Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

14

Click here to load reader

Transcript of Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

Page 1: Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

Negeri Asal

Hamzah FansuriSyekhul Islam & Qadhi Malik al-Adil

Kerajaan Aceh Darussalam

Hilmy Bakar Almascaty

1

Page 2: Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

Sampai saat ini masih banyak dikalangan cendekia yang berbeda pendapat tentang negeri asal Mistikus Agung Nusantara, Syekh Hamzah Fansuri yang memiliki peran sentral dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Terutama setelah muridnya Syekh Syamsuddin Al-Sumatrany menjadi Mufti dan Qadhi Malik al-Adil pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda dengan gelar Syekul Islam. Prof. Naquib al-Attas, cendekiawan Nusantara yang mengadakan penelitian intent terhadap Hamzah Fansuripun masih mengalami kegamangan ketika menafsirkan bait-bait syair beliau yang menunjuk negeri asalnya, yang sebagian besar menunjuk Negeri Siam (Thailand) karena salah menafsirkan bait syair Syekh Fansuri.

Untuk mengetahui asal dan perjalanan Syekh Hamzah Fansuri, ada beberapa bait syair beliau yang harus dipecahkan dan diterjemahkan maknanya. Diantaranya adalah;

Hamzah ini asalnya Fansuri // Mendapat wujud di tanah Shahrnawi // Beroleh khilafat ilmu yang ’ali // Daripada ’Abd al-Qadir Jilani. Hamzah di negeri Melayu // Tempatnya kapur di dalam kayu. Hamzah Fansuri di dalam Mekkah // mencapai Tuhan di Baitul Ka’bah // dari Barus terlalu payah // akhirnya dijumpa di dalam rumah. Hamzah Fansuri orang uryani // seperti ismail menjadi qurbani // bukan Ajami lagi Arabi //senantiasa wasil dengan Yang Baqi

Dari beberapa syair di atas, ada beberapa kata yang mesti diterjemahkan dengan tepat dan dihubungkan satu dengan lainnya, yaitu Fansur, Tanah Shahrnawi, negeri Melayu, kafuur di dalam kayu (kafur, champora, kaafuuro (arab), Barus, orang uryani dan bukan Ajami lagi Arabi.

Fansur – Barus – Kafuur di dalam kayu – negeri Melayu Daerah Fansur-Baros yang asal adalah tempat yang dikaitkan dengan penghasil kayu

kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab). Nama ini terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan Cina dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum. Masyarakat pra-Islam telah mengenal kafur yang masyhur itu, hal ini dibuktikan dengan penemuan penggunaan kata kafur yang disebut berkali-kali dalam syair-syair Arab sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW.1

Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah ini dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemeus menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Sumatera mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Para pedagang Nusantara sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi. Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari negeri Ophir. Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang

2

Page 3: Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

diberkati Allah ? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera. Kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya King Solomon.2

Dalam karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir (wafat tahun 1233 M), dan Ibn al-Baladuri (wafat tahun 1473) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, orang-orang Arab menemukan kamper/kafur yang dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-wangian.3

Ibn Gulgul, abad ke-10 M, seorang ahli biobibliografi dan ilmu kedokteran dari Andalusia, mencata kafur atau kamfer dalam 63 bahan obat-obatan baru yang belum dikenal sebelumnya sebagai obat, kecuali hanya pewangian dan alat-alat ritual semata di agama-agama paganisme. Ibn Sarabiyun pada abad ke-10 juga mulai memperkenalkan zat yang sangat ampuh ini. Ibn al-Baytar yang mengutip Ishaq ibn Imran yang hidup awal abad ke-9 M juga melakukan hal yang sama. Ketiganya melalui serangkaian eksperimen yang dilakukan berhasil menjelaskan berbagai fungsi dan kegunaan kafur dengan berbagai campuran untuk khasiat yang berbeda-beda. Fungsinya dalam berbagai bentuk olahan diantaranya adalah, sebagai balsem, penghobatan kandung empedu, radang hati, demam tinggi, berbagai penyakit mata, sakit kepala akibat liver, memperkuat organ dan indra, mengontrol syaraf, pembiusan alami, pendarahan, menguatkan gigi, dan lain-lain.

Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.

Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Aviceena menulis: "Jika kafur dipakai sedikit, maka obat ini dapat membantu menenangkan, karena bahan ini dingin. Kadang kala obat ini menurunkan suhu badan yang tinggi akibat badan kurang sehat karena lemah. Efek yang menguatkan dan menenangkan ini disertai efek harumnya. Efek pendinginannya dikurangi dengan kasturi dan ambar, dan kekeringannya dikurangi dengan minyak wangi dan pelunaknya, misalnya minyak cengkeh dan minyak bunga berwarna ungu lembayung. Kafur merupakan penangkal racun, khususnya racun panas. Berkat kafur pikiran menjadi lebih tajam dan terang; oleh karena itu kafur menguatkan dan menyenangkan. Efeknya serupa ambar kuning, tetapi lebih kuat dan lebih bermanfaat."4

Selain bangsa Arab, bangsa Persia juga berdatangan untuk meneliti kegunaan kafur dari Fansur ini. Buku tertua mengenai ilmu kedokteran yang ditulis dalam bahasa Persia adalah buku Muwaffak al-Din Abu Mansur Ali al-Harawi (abad ke-10 M), yang berjudul Kitab al-Abniya 'an haqa'iq al-Adwiya [Buku mengenai dasar dan kebenaran obat-obatan asli]. Dalam bukunya yang berjudul Hidayat al-muta'alimin fi al-tibb (Panduan untuk mahasiswa ilmu kedokteran), al-Bukhori (abad ke-10) seorang mahasiswa Harawi dan dokter terkenal al-Razi (abad ke-9 dan 10 M) berhasil mengembangkan kafur dalam berbagai bentuk resep, sebanyak 31 resep. Salah satunya adalah dalam penanggulanagn penularan penyakit pes.

Orang-orang Yunani telah terlibat secara intens dalam pengembangan ilmu kedokteran. Salah satu buku yang berhasil ditemukan seperti catatan Actius dari Amide dari abad ke-6 dan ke-7 M, menyebutkan kafur dalam karyanya Libri Medicinales.

3

Page 4: Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

Salah satu surat pertama dari riga surat karya al-Kind yang berjudul al-rasail al-hikmiyya fi asrul al-ruhaniyya [Risalah-risalah Hukum tentang Rahasia-Rahasia Batin], dikatakan bahwa kafur milik Devi Venus dan digunakan dalam pengasapan yang dipersembahkan kepadanya. "Allah Yang Maha Kuasa telah menciptakan Venus dari cahaya dan kecerahan; Venus memberi kebaikan dalam semua posisinya … di antaranya batu maha yang dimilikinya; dalam badan manusia, perut dan usus yang dimilikinya; dalam abjad tiga huruf yang dimilikinya ('ain, ha dan kaf); di antara bahan murni untuk pengasapan yang dimilikinya terdapat: ambar abu-abu, qust, tanaman fagara, kafur, bunga mawar kering, laudanum."5

Dijelaskan di Alf Layla wa layla (Seribu Satu Malam) oleh Sindbad, sang petualang yang terkenal: "Sesudah bangun keesokan harinya, kami pergi melewati gunung-gunung tinggi ke Pulau Riha yang kaya dengan pohon kafur. Setiap pohon dapat membayangi lebih dari 100 orang. Puncak pohonnya ditoreh dan air yang mengalir darinya dapat mengisi beberapa wadah. Kafur mulai menetes dan tetesannya mirip lem. Sesuadah itu kafur tidak meleleh lagi dan pohonnya menjadi kering." Riha adalah berarti kafur yang bermutu tinggi yang berarti al-Kafur al-Fansuri. Jadi Pulau Riha yang dimaksud adalah daerah Fansur.

Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia.

Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohon-pohon kapur yang tinggi,"6

Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua lautan..Harkand dan dan Salahit" . Nama Ramni atau Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Aceh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka).7

Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2 miles in extent) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya."8

1 Lihat: artikel "Kafur", A. Dietrich, Ensiklopedia Islam (E.I) 2 hal: 435-436.2 N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hal. 10-12. (Nicholaas

Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, deel 100, 1941). William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang 1975. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.

3 W. Heyd, Histoire du commerce du Levant [Sejarah Pergadangan di Kawasan Syria-Libanon], edisi Prancis yang disusun kembali oleh Furcy Raynand, Amsterdam: Adolf M, Hakkert, 1967, tambahan I, hal 590).

4 Ibn Baytar, Traite des Simples par Ibn el-Beithar. Terj. Dr. L. Leclerc, 3 jil. –Paris: 1881-1887.

5 G. Celentano, L.V. Vaglieri, "Trois Epitres d'al-Kindi: textes et traduction avec XIX plaches facsimile des trois epitres", dalam Annali dell Istituto universitario Orientale di Nipoli, jil 34, buku 3 (1974) hal 523-562.

6 Tibbetts, Arabic Texts, hal. 27-28.

7 Wolters, Early Indonesian Commerce, hal. 178)

4

Page 5: Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

Pada tahun 943, Mas’udi mencatat: “Kira-kira seribu parasangs (dari Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang hanya dapat ditemukan di Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan gempa bumi.9

'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan: ”Di Pulau Lamuri terdapat zarafa yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di waktu malam karena takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri ”.... "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri." 10

Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih lanjut. Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. Nama tersebut juga ditulis dalam teks Dimashqi di tahun 1325 dalam buku Cowan,"Lamuri," hal. 421.

Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam perang" disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah target-target penggempuran mereka pada tahun 1025.11

Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li dimana kapal-kapal dari Canton atau Guangdong sering merapat sambil menunggu bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka dan India.12

Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan (Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…."13

Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei:”Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan.14

Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan, selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir lainnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di China.15 8 Tibbetts, Arabic Texts, hal. 30 9 Ibid, hal. 37-3810 Ibid, hal. 44-4511 K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), hal. 80, 81.12 Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei,( Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), hal. 40-41)13 Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth

and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hal. 72).14 Ibid, hal.114

5

Page 6: Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para saudagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara.16

Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li, yang katanya: ”Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek). Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur, porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-lain.”17

Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit.18

Ma Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho: ”Kerajaan ini terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan juga menyebutkan nama Pulau Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Aceh yang juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu.19

Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: ”Terletak di arah laut Timur Laut Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah. Di laut yang dangkal, sekitar dua cang dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan Nan-po-li.20

Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar (45) terletak antara Aceh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada Aceh dan memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…".21

15 Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo Press, 1975), 2:299)

16 Ibid, hal. 30017 ibid18 Th. C. Th. Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century, 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:1119 Mills, Ma Huan, hal 122-123.20 Ibid, hal. 123-124

6

Page 7: Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

Istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara Aceh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri".22

Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat Banda Aceh kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini. Sementara Chia Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka.

Dari uraian di atas, maka jelaslah yang di maksud dengan Fansur, Barus, adalah sebuah negeri di Melayu yang menghasilkan kafur, yang tidak lain disebut dengan Lambri atau Lamuri yang tidak lain terletak di ujung tanduk pulau Sumatra, yang tidak lain di sekitar Bandar Aceh dan saat ini menjadi bagian dari Aceh.

Tanah Shahr NuwiUntuk dapat mengetahui dimanakah tanah Shahr Nuwi yang disebutkan Syekh Hamzah

Fansuri, maka pertama yang mesti diungkap siapakah Sharn Nuwi atau Shahri Nawi itu? Kebanyakan para cendekia mengartikannya sebagai nama tempat di Siam (Thailand).

Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, telah berdiri sebuah kerajaan di sekitar Aceh dengan nama Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau tahun 770an Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Shahri Poli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir.

Menurut penelitian ahli sejarah Malaysia, Wan Husein Azmi, Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Shahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.23

21 ibid22 T. Iskandar, Hikayat Atjeh, op.cit. hal. 1723 Wan Huseein Azmi, Islam di Aceh, Kuala Lumpur: UKM. hal.

7

Page 8: Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.

Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.

Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.

Dari rangkaian syair yang digubah Syekh Hamzah Fansuri, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal Barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini. Syahrnawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.

Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Shahrnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa, yang berkembang menjadi Kerajaan Perlak dan mendapat kejayaan di masa Kerajaan Pasai di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh yang juga keturunan dari Shahr Nuwi. Menurut beberapa data dan analisis bahwa hubungan antara Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh berkaitan satu dengan lainnya. Jadi tidak diragukan bahwa tanah Shahr Nawi atau Shahr Nawi yang disebutkan oleh Syekh Hamzah bukanlah di negeri Siam atau Thailand sebagaimana diyakini kebanyakan orang, tapi tetap terletak di bumi Aceh, yaitu di Jeumpa atau Perlak atau Pasai dan selanjutnya digantikan

8

Page 9: Negeri Asal Syekh Hamzah Fansuri

perannya oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Aceh Darussalam, Pasai Perlak dan Jeumpa adalah Tanah Shahr Nawi, karena beliau adalah salah seorang pendiri pertama Kerajaan di Aceh.

Negeri Melayu - Orang Uryani dan bukan Ajami lagi Arabi. Adapun pernyataan Syekh Hamzah tentang identitas keturunannya, sebagai orang Uryani

bukan Ajami dan bukan Arabi adalah penegasan kembali bahwa beliau adalah orang yang berasal dari alam Melayu, yang diketahui rumpunnya berasal dari bangsa Aria, yang lebih dekat dengan bangsa Romawi. Biasanya rumpun Melayu asal lebih mendekati keturunannya dari suku Iskandar Zulkarnaen yang memang diketahui berasal dari Rumawi klasik dan bukan dari bangsa Ajami yang biasanya menunjuk kepada bangsa Parsia dan juga bukan dari keturunan bangsa Arab secara langsung.

KesimpulanDengan demikian, maka jelaslah bahwa Syekh Hamzah Fansuri berasal dari negeri

Melayu yang biasanya disebut dengan Baros. Sementara Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bumi klasik dari Mesir menyebut nama ”Barousai” sebagai negeri yang terletak di pinggir jalan menuju Tiongkok,24

yang menjadi tempat tumbuhnya pohon kafur dan menjadi asal muasal tanah Shahr Nuwi. Di mana daerah itu dahulunya terkenal dengan Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Perlak, Kerajaan Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam, dan sekarang menjadi wilayah yang berada di Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam.

24 N.J. Kroom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hlm. 10-12. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.

9