Neuro Revisi
-
Upload
muhammad-luthfi-adrianz -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
description
Transcript of Neuro Revisi
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus
fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar
sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Paralisis fasial
idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia.
Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah
imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita
hipertensi. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer
nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu
gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha
menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala
ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak
mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang
sehat (lagoftalmos).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron
akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis
lainnya.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi
menunjukkan bahwa Bell’s Palsy bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat
dengan banyak faktor dan merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca
dingin
2.2. EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden
Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai
resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan
wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19
tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit
ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada
kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya
Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
2
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy
sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara
iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat
terpapar udara dingin atau angin berlebihan .
2.3. ANATOMI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi
otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke
kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga
menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan
dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa
hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi
dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars
intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan
3
saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar
melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum.
Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion
genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf
trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus. Inti motorik
nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral
pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan
nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus
akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi
satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os
mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang
untuk mersarafi otot- otot wajah.
4
2.4. PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu
atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau
di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer. Paparan udara dingin seperti angin
kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah
satu penyebab terjadinya Bell’s palsy yang menyebabkan nervus fasialis sembab, nervus
facialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau
kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis.
Lesi di pons yang terletak sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis, sehingga paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus
rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN
akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
5
2.5. ETIOLOGI
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa
tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus
Bell’s palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks
Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu, masuk angin
(misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap
sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV
sebagai penyebab Bell’s palsy.
Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab
paralisis fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk
angin (panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap
laten dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan
6
adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien Bell’s palsy. Murakami at.all
melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII
penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam
cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan
ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella
Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan pada
penderita Ramsay Hunt syndrome.
2.6. GEJALA KLINIK
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,
menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis
Kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos)
Bola mata tampak berputar ke atas (tanda Bell)
Penderita tidak dapat bersiul atau meniup
Pada saat berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.
Gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.(2)
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan
gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka
air mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana
korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
7
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan
di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran
timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat
di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat
dari terlibatnya nervus akustikus.
2.7. DIAGNOSA
8
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari
nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan
rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan.
A. Anamnesa
Rasa nyeri
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir
C. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bell’s palsy.
D. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke,
sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy
akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau
pada telinga, ganglion genikulatum.
2.8. DIAGNOSA BANDING
9
1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom).
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan
ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
2. Miller Fisher Syndrom
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang
dijumpai. Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada
Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa
didapatkan rasa kebas, pusing dan mual.
2.9. TATA LAKSANA
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian),
dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya
untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus
fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.
b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan
prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang
tidak dapat mengkonsumsi prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika
diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
c. Perawatan mata:
10
Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi
yang hilang.
Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air
mata buatan tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu
kerugiannya adalah pandangan kabur.
Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan
pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea.
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit
pagi-sore atau dengan faradisasi.
4. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
- tidak terdapat penyembuhan spontan
- tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
2.10. KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa
bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari
serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar
lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau
berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang
mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
11
3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal
hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi
lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.
Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam
beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
2.11. PROGNOSIS
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam
waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun
atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan
gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang
10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh
dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu
sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial. Penderita diabetes 30% lebih
sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih
sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai
kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita
yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
BAB III
KESIMPULAN
12
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat
menyebabkan gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada duapertiga anterior lidah.
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak. Diagnosis
dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi nervus fasialis perifer
disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan
operasi bila perlu.
DAFTAR PUSTAKA
13
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy,
“http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html” (diakses tanggal 11
desember 2011)
3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
“http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses tanggal 22
Desember 2011).
4. Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-
palsy-case-report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”,
(diakses tanggal 12 Desember 2011)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy,
http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggal 12 desember
2011)
9. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17
14