Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

download Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

of 53

Transcript of Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    1/53

    1

    BAB 75

    Patofisiologi Penyakit Kritis

    Luca M. Bigatello, MD, Judith Hellman, MD, David liu, MD, PhD, dan Warren M. Zapol, MD

    Istilah penyakit kritis digunakan untuk mendefinisikan beberapa kondisi

    klinis yang mendapatkan perawatan primer di unit perawatan intensif (ICU), dan

    umumnya memiliki derajat disfungsi sistem atau organ baik tunggal maupun

    multipel yang bervariasi, dengan pemantauan prognosis yang bersifat tiba-tiba.

    Patofisiologi dan manisfestasi klinis dari penyakit kritis sangat bersifat inklusif,

    karena istilah penyakit kritis itu sendiri lebih ke arah prediksi kondisi akhir

    pasien, dibandingkan perwujudan yang berlainan. Ahli anastesi bertugas untuk

    memberikan pelayanan kepada pasien kritis baik di kamar operasi, ICU, maupun

    selama dilakukannya prosedur yang dilakukan di luar kamar operasi, seperti

    prosedur radiografi dan endoskopi. Oleh karena itu, ahli anastesi pernting untuk

    memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai proses patofisiologi yang terjadi

    pada kasus-kasus kritis, untuk memberikan penanganan perioperatif yang efektif

    terhadap pasien dengan penyakit kritis tersebut.

    Bab ini akan membahas mengenai sejumlah elemen dasar dari penyakit

    kritis, termasuk faktor pemicu, patofisiologi yang menyebabkan disfungsi organ

    dan sistem, peran sistem imunitas dalam penyakit kritis, dan terapi terbaru untuk

    kondisi dan derajat penyakit kritis yang berbeda-beda. Progresifitas penyakit kritis

    ini kemudian dianalisis dengan melakukan penilaian terhadap jenis kelainan

    primer yang terjadi, respon tubuh terhadap kelainan tersebut, dan progresifitas

    dari respon tersebut, baik terhadap proses penyembuhan dan pemulihan, atau

    terhadap deteriorasi dan kematian. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan

    mengenai angka epidemiologi, serta keberhasilan terapi. Bab ini dimulai dengan

    laporan kasus mengenai pasien dengan derajat severitas penyakit kritis yang

    berbeda-beda, yang kemudian dibahas lebih rinci pada subbab yang terdapat

    dalam bab ini.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    2/53

    2

    Laporan Kasus

    Wanita usia 77 tahun dengan riwayat penyakit paru obstruktif kronik dan

    hipertensi, dipindahkan dari bangsal ke unit perawatan intensif (ICU)

    pembedahan, dengan indikasi distres pernapasan akut. Wanita ini telah pulih

    dengan baik dari prosedur Whipple hingga pagi hari saat kejadian, dimana wanita

    ini merasakan mual dan lemas, lalu diikuti dengan muntah yang cukup banyak dan

    berwarna hitam, lalu tiba-tiba mengeluhkan kesulitan untuk bernapas.

    Saat sampai di ICU pembedahan, wanita ini tampak mengalami distres

    pernapasan absolut, dengan saturasi oksigen marginal 87-89% yang diukur

    menggunakan pulse oxymetry (SpO2) pada masker oksigen non-rebreathing.

    Pasien ini kemudian mendapatkan tindakan intubasi endotrakea, dan didapatkan

    banyak cairan berwarna hijau kehitaman dari jalan napas ketika dilakukansuction.

    Cairan yang didapatkan tampak sama dengan cairan ketika dilakukansuctionpada

    lambung. Pemeriksaan bronkoskopi memperlihatkan adanya pewarnaan difus

    pada mukosa trakeobronkial dengan material bilier, hingga turun ke bronkus

    lobaris secara bilateral. Kondisi pasien terus memburuk setelah 4-6 jam kemudian.

    Pasien mengalami kegagalan respirasi yang membutuhkan bantuan ventilator, dan

    juga mengalami ketidakstabilan hemodinamik yang diterapi dengan infus

    vasopresor intravena dosis tinggi, untuk mempertahankan tekanan darah arteri

    sistemik yang adekuat. Pemeriksaan kateter arteri pulmoner memperlihatkan

    adanya hipertensi arteri pulmoner sedang sampai berat dan curah jantung yang

    rendah, yang utamanya disebabkan oleh disfungsi ventrikel kanan yang

    dikonfirmasi dengan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal. Pasien ini diterapi

    dengan antibiotik spektrum luas, recombinant human activated protein C, dan

    inhalasi oksida nitrat (NO), serta diberikan ventilasi menggunakan strategi lung

    protective dengan volume tidal yang rendah. Setelah beberapa hari, kondisi

    pasien masih sangat tidak stabil karena gangguan kardiovaskuler dan pulmoner

    yang dialami. Pasien mengalami tiga kali episode henti denyut jantung yang

    membutuhkan resusitasi kardiopulmoner, dan menjadi hipoksemik dengan

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    3/53

    3

    stimulasi minimal yang sangat membutuhkan perawatan yang intensif. Pada hari

    ke 10, fungsi respirasi dan kardiovaskuler sudah mulai membaik, dan dilakukan

    pemeriksaan computed tomogram pada dada pasien (Gambar 75-1). Setelah itu,

    alat penyokong hemodinamik dan penggunaan ventilator mulai dikurangi, dan

    digantikan dengan ventilasi pendamping, kemudian pemberian vasopresor

    dihentikan, dan pasien sudah mulai berinteraksi dengan petugas-petugas di ICU.

    Pada perawatan ICU hari ke 13, pasien menjalani trakeostomi perkutan bedside.

    Pada perawatan ICU hari ke 15, sekresi bronkial pasien menjadi purulen, dan

    pasien mengalami demam dan leukositosis, sehingga membutuhkan peningkatan

    bantuan pernapasan. Pasien kemudian didiagnosis dengan ventilator-associated-

    pneumonia dengan bakteri Pseudomonas aeroginosa yang didapatkan pada

    pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan gambaran klinis. Pasien kemudian

    kembali diterapi dengan antibiotik dan penyokong ventilasi kontinyu, dan kondisi

    pasien mulai membaik secara bertahap, dan keluar dari perawatan ICU

    pembedahan pada hari ke 24. Penggunaan ventilasi mekanik kemudian dihentikan,

    dan pasien dipindahkan ke ruang perawatan semi-intensif.

    28 hari setelah awal masuk ke ICU, dan 45 hari setelah prosedur

    pembedahan yang dijalankan, pasien kemudian dipindahkan ke fasilitas

    rehabilitasi. Walaupun pasien sudah tidak menggunakan ventilasi mekanik,

    namun pasien masih memiliki beberapa keterbatasan, dimana pasien tidak dapat

    berdiri lebih dari beberapa menit, berjalan lebih dari beberapa langkah, dan tidak

    dapat melakukan beberapa aktivitas sehari-hari, seperti makan sendiri. Selain itu,

    pasien masih membutuhkan analgesia narkotik dan obat-obat antipsikosis untuk

    membantu pasien agar dapat tidur pada malam hari, dan mengurangi episode

    delirium hiperaktif berulangnya.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    4/53

    4

    Beberapa kondisi yang dapat berujung pada kondisi kritis

    Beberapa kondisi cedera akut dapat berujung pada penyakit-penyakit kritis

    dan perawatan ICU. Kondisi-kondisi tersebut diklasifikasikan dalam beberapa

    kelompok yaitu pembedahan dan trauma, gangguan metabolik, dan infeksi. Pada

    beberapa pasien, beberapa kondisi dapat muncul secara bersamaan, contohnya

    pembedahan, peradangan, dan infeksi.

    Cedera langsung pada jaringan akibat trauma dan prosedur pembedahan

    Cedera langsung pada jaringan akibat trauma dan prosedur pembedahan

    dapat menyebabkan gangguan hemostasis tubuh yang cukup berat, seperti

    ketidakstabilan hemodinamik, abnormalitas respirasi, dan perpindahan cairan dari

    satu kompartemen ke kompartemen lain. Morbiditas perioperatif dapat disebabkan

    oleh beberapa kondisi seperti nyeri, imobilitas, dan bedrest yang terlalu lama.

    Beberapa dekade yang lalu, semua kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri

    terhadap para ahli bedah dan ahli anastesi, dan membuat beberapa prosedur

    pembedahan menjadi lebih kompleks dan berbahaya. Namun, tantangan tersebut

    sekarang sudah mulai dapat diatasi dengan pemberian pelayanan anastesi

    perioperatif yang tepat, walaupun pada dasarnya beberapa prosedur tetap akan

    berpotensi untuk menyebabkan komplikasi perioperatif, seperti prosedur elektif

    kompleks (pneumonektomi, perbaikan aneurisma torakoabdominal, dll), trauma

    Gambar 75-1. Pemeriksaan CT-scan dada pada level segmen atas thoraksmemperlihatkan adanya opasitas parenkim ground-glass bilateral difus yang sesuai

    dengan gambaran sindrom distres perdapasan akut/cedera paru akut

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    5/53

    5

    mayor, pembedahan emergensi, dan prosedur yang dilakukan pada pasien dengan

    komorbiditas yang cukup signifikan. Pasien-pasien dengan kondisi tersebut

    merupakan populasi mayor yang paling sering dirawat di ICU pembedahan.

    Trauma merupakan penyebab primer mortalitas pada individu dibawah 40

    tahun di Amerika Serikat.1Pada negara-negara yang belum berkembang, korban

    trauma biasanya memiliki keterbatasan untuk mengakses pelayanan intensif,

    padahal pelayanan intensif pada dasarnya sangat dibutuhkan untuk

    menyelamatkan ribuan nyawa tiap tahunnya. Trauma secara umum dibagi menjadi

    trauma tajam dan trauma tumpul. Trauma tajam seperti luka tusuk atau luka

    tembak membutuhkan tindakan yang segera, seperti kontrol perdarahan, drainase

    udara atau darah yang berada di ruang dengan tekanan negatif, serta pemindahan

    dengan cepat ke pusat pelayanan trauma. Penanganan yang cepat dan tepat dapat

    meningkatkan kesempatan bertahan hidup, serta menurunkan kemungkinan

    perawatan lebih lanjut di unit perawatan intensif.2,3Trauma tumpul seperti jatuh

    dan kecelakaan kendaraan bermotor dapat menyebabkan cedera multipel yang

    membutuhkan penanganan segera, seperti kasus-kasus ruptur limpa atau fraktur

    tulang terbuka, dan kasus-kasus lain yang paling baik ditangani secara

    konservatif. Penanganan dengan metode damage control dapat meminimalkan

    durasi pembedahan, dan memungkinkan pelayanan ICU pembedahan preoperatif

    yang mencakup resusitasi volume cairan, kontrol suhu, pemantauan hemodinamik,

    nutrisi, dan protokol pencegahan komplikasi berupa infeksi nasokomial. Metode

    ini biasanya membutuhkan pendampingan tim anastesi selama perjalanan ulang ke

    kamar operasi. Cedera yang berhubungan dengan trauma dan pembedahan mayor

    dapat terjadi melalui tiga mekanisme utama yaitu perdarahan, cedera jaringan, dan

    hipoperfusi.

    Perdarahan dapat menyebabkan respon fisiologi segera untuk

    mempertahankan volume darah sirkulasi dan transfer oksigen ke organ-organ

    vital. Pada individu yang sehat, gejala syok terjadi jika perdarahan akut

    menyebabkan kehilangan darah lebih dari 20% dari total volume darah sirkulasi,

    yaitu sekitar 1 liter darah pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg. Kondisi

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    6/53

    6

    ini membutuhkan tindakan resusitasi dengan segera untuk mencegah kolaps

    kardiovaskuler dan kematian. Keterbatasan toleransi perdarahan dipengaruhi oleh

    penurunan volume darah sirkulasi dan curah jantung, dan bukan oleh penurunan

    kapasitas darah dalam membawa oksigen, bahkan pada kasus kadar hemoglobin

    (Hgb) rendah setelah perdarahan sekalipun. Contohnya, kehilangan darah sebesar

    30-40% akan secara langsung menurunkan konsentrasi hemoglobin plasma

    sampai level yang masih cukup dapat membawa oksigen ke jaringan. Konsentrasi

    hemoglobin pada level 5 gr/dL dikatakan masih dapat mengirimkan oksigen yang

    cukup ke jaringan dengan didukung oleh pembuluh darah yang normal, dan

    tekanan oksigen arteri (PaO2) serta curah jantung yang adekuat (Tabel 75-1).

    Terapi yang dilakukan dengan segera dan efektif memiliki peranan yang

    sangat penting terhadap kondisi klinis pasien. Terdapat teori lama yang

    menyatakan bahwa, resusitasi volume agresif harus dimasukkan kedalam

    penanganan awal pasien dengan perdarahan. Namun, metode tersebut sekarang

    telah menimbulkan banyak kontroversi dikarenakan beberapa alasan. Pertama,

    pemberian infus kristaloid dengan volume besar dapat menyebabkan koagulopati

    dilusional, yang ditandai dengan trombositopeni dan penurunan konsentrasi

    Tabel 75-1

    Nilai transfer oksigen (DO2) pada beberapa derajat anemia yang berbeda

    Hgb (gr/dl) CO (l/menit) DO2(ml/menit)

    Normal 14 5 900

    Anemia 9 6 700

    Anemia berat 5 7 450

    DO2= kandungan oksigen arteri (CaO2) x curah jantung (CO)

    CaO2= Hg x 1.34 x saturasi oksigen (SpO2) + PaO2x 0.003

    CaO2normal = 14 gr/dl x 1.34 x 0.98 + negligible dissolvedO2= 19 mL O2per dL darah; x CO

    5 L/menit, DO2= 900 mL/menit

    Dengan anemia berat: Hgb 5 gr/dl, SpO2normal, dan peningkatan CO sebesar 7 L/menit, nilai

    DO2yang didapatkan adalah 350 mL/menit, masih diatas nilai kebuthan oksigen jaringan rata-

    rata pada istirahat VO2 sekitar 250 ml/menit. Diasumsikan terdapat peningkatan sedang dari

    kadar CO pada masing-masing level anemia.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    7/53

    7

    faktor-faktor pembekuan di sirkulasi.4Gangguan tersebut dapat ditangani dengan

    pemberian infus platelet dan fresh-frozen plasma, bersamaan dengan resusitasi

    kristaloid masif,5dapat memperburuk kelebihna volume intravaskuler dan edema

    pada organ-organ vital. Kedua, terdapat bukti bahwa resusitasi volume masif

    untuk trauma tajam torso dapat menyebabkan eksaserbasi perdarahan dari lokasi

    trauma, dan dapat meningkatkan mortalitas.2 Ketiga, transfusi darah dapat

    menekan imunitas seluler dan meingkatkan resiko infeksi, menyebabkan

    gangguan paru akut/sindrom distres pernapasan akut, dan kematian.6-8

    Cedera jaringan dapat menyebabkan gangguan sistemik. Cedera jaringan

    ini bisa diminimalisir selama pembedahan elektif dengan penggunaan teknik

    pembedahan dan anastesi yang tepat, namun dapat menyebabkan beberapa cedera

    mayor pada beberapa kondisi yang tidak dapat diprediksi. Kerusakan jaringan,

    gangguan perfusi, dan nekrosis sel dapat menyebabkan pelepasan faktor-faktor

    jaringan kedalam peredaran darah, sehingga memicu respon inflamasi sistemik

    yang ditandai dengan proses sintesis dan pelepasan sitokin. Tumor necrosis factor

    (TNF)- dan Interleukin (IL)-6 merupakan sitokin awal yang dapat dideteksi di

    sirkulasi sistemik segera setelah terjadinya cedera jaringan, dan memperparah

    respon inflamasi kompleks yang merupakan bagian dari penyakit kritis. 9 Jenis

    cedera jaringan yang lain dapat memberikan efek langsung maupun sistemik yang

    berkontribusi terhadap terjadinya penyakit kritis. Salah satu contoh yang sering

    ditemukan adalah kasus cedera pada paru-paru. Laporan kasus yang telah

    dijelaskan sebelumnya memperlihatkan bahwa, penyebab awal dari penyakit kritis

    kompleks yang dialami pasien adalah trauma kimia terhadap epitel alveolus yang

    disebabkan oleh aspirasi dari isi lambung. Mekanisme yang sama dapat terjadi

    pada beberapa jenis cedera paru yang lain, seperti kontusio paru akibat trauma

    tumpul pada dada, atau pneumonia. Respon paru terhadap cedera kaut pada

    beberapa kondisi stereotipikal yang disebabkan beberapa macam faktor pemicu,

    dapat menyebabkan gambaran patologis berupa diffuse alveolar damage10 dan

    gambaran klinis dari gangguan paru akut/sindrom distres pernapasan akut, yang

    merupakan sindrom dengan kombinasi inflamasi lokal dan sistemik.11Mekanisme

    yang sama juga tampaknya dapat terjadi sebagai sekuensial dari trauma mayor

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    8/53

    8

    akut pada ginjal12dan usus13,14, walaupun pendapat tersebut belum diteliti lebih

    lanjut.

    Hipoperfusi dan iskemi dapat disebabkan oleh trauma jaringan secara

    langsung, gangguan aliran darah regional, atau penurunan aliran darah

    keseluruhan yang juga disebut sebagai low-fow-state. Penurunan signifikan

    transfer oksigan ke jaringan ditandai dengan produksi lokal asam laktat akibat

    proses glikolisis anaerob, dan dapat menyebabkan atau memicu terjadinya

    asidosis metabolik. Namun, walaupun terjadi iskemi yang cukup berat, viabilitas

    jaringan masih dapat tetap dipertahankan. Efek restorasi aliran darah setelah

    terjadi iskemi dapat didapatkan pada jantung, dimana bisa didapatkan adanya

    oklusi arteri yang sering ditemukan pada prosedur revaskularisasi koronek dengan

    teknik yang cukup canggih.15Myocardial stunningdidefinisikan sebagai disfungsi

    iskemik akut yang disebabkan oleh penghentian akut sirkulasi koroner regional,

    dan dapat dikembalikan ke kondisi semula dengan restorasi cepat aliran darah.16

    Myocardial hibernation merupakan kondisi disfungsi kronik yang disebabkan

    oleh ketidakseimbangan perfusi koroner, dan dapat pula ditingkatkan dengan

    prosedur revaskularisasi koroner, walaupun agak sulit untuk diprediksi.17

    Bagaimanapun, hipoperfusi global biasanya bersifat ireversibel: pada sindrom

    postresusitasi yang terjadi setelah resusitasi kardiopulmoner yang cukup lama,

    disfungsi iskemik akut dari otot jantung (stony heart)15 dikatakan bertanggung

    jawab terhadap tingginya angka fatalitas yang didapatkan segera setelah resusitasi

    kardiopulmoner, dan ditandai dengan penurunan kontraktilitas jantung dan aritmia

    yang berat.

    Walaupun restorasi suplai darah jaringan dapat mencegah kematian sel dan

    mengembalikan fungsinya, namun reperfusi akut jari jaringan yang iskemi dapat

    menyebabkan cedera sel yang cukup signifikan yang disebut sebagai ischemia-

    reperfusion injury. Jika suplai oksigen tidak adekuat, produksi adenosin trifosfat

    (ATP) dari mitokondria akan berkurang, menyebabkan peningkatan adenosin

    monofosfat (AMP) dan produk sampingnya berupa hipoksantin, dan konversi

    enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase. Selama proses reperfusi

    dengan darah yang kaya oksigen, hipoksantin akan dioksidasi oleh xantin

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    9/53

    9

    oksidase dengan kecepatan yang cukup tinggi, sehingga menghasilkan radikal

    bebas oksigen sitotoksik dalam kuantitas yang cukup besar, termasuk oksigen

    molekuler, superoksida, dan ion hidrogen peroksida.18 Ischemia-reperfusion

    injury dapat didapatkan pada pasien dengan crush syndrome,19 transplantasi

    organ,20perbaikan aliran darah pada ekstremitas atau organ-organ intraabdomen,21

    dan selama perubahan eksperimental dari ventilasi dan perfusi paru.22,23

    Kegagalan metabolik

    Kegagalan metabolik merupakan indikasi perawatan ICU yang cukup

    jarang ditemukan. Gangguan metabolik biasanya terjadi akibat konsekuensi dari

    malnutrisi berat seperti penurunan berat badan yang cukup ekstrim, kwasiorkor,

    dan avitaminosis. Penyakit-penyakit tersebut sangat jarang ditemukan pada

    masyarakat industrialisasi, walaupun prevalensinya dilaporkan cukup tinggi di

    seluruh dunia.

    Gangguan metabolik lain seperti obesitas morbid, dilaporkan lebih banyak

    ditemukan di Amerika Serikat dan negara-negara industri lain.24Obesitas morbid

    (kelebihan berat badan sebesar 30% dari berat badan ideal, atau indeks massa

    tubuh lebih dari 40, dimana indeks massa tubuh didapatkan dari berat badan

    dalam kg dibagi dengan tinggi badan dalam m2]) dapat meningkatkan resiko

    komplikasi yang berhubungan dengan prosedur pembedahan dan anastesi. Pasien

    dengan obesitas morbid memiliki peningkatan kecenderungan untuk masuk ke

    unit perawatan intensif karena komplikasi akibat pembedahan bariatrik atau

    kondisi-kondisi yang tidak berhubungan, seperti trauma. Komorbiditas obesitas

    yang sering ditemukan meliputi hipertensi, diabetes, obstructive sleep apnea,

    penyakit paru kronik, dan gagal jantung, yang meningkatkan resiko komplikasi

    gangguan pernapasan dan kardiovaskuler posoperatif. Selain itu, obesitas morbid

    juga sering memberikan permasalahan logistik, seperti perlunya penggunaan

    tempat tidur khusus, keterbatasan dalam kemampuan untuk melakukan beberapa

    prosedur diagnostik yang penting seperti MRI dan CT scan, kesulitan dalam

    mengakses pembuluh darah, serta kesulitan dalam melakukan pemantauan,25,26

    serta permasalahan kompleks mengenai dosis obat yang sesuai.27

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    10/53

    10

    Gangguan metabolik yang sering membutuhkan perawatan lebih lanjut di

    ICU meliputi gangguan-gangguan metabolik yang berhubungan dengan penyakit

    kronik seperti diabetes melitus, ketoasidosis diabetik, dan koma nonketotik

    hiperosmolar. Penanganan diabetes melitus dan komplikasinya dibahas lebih

    lanjut dalam bab 12 dan 16.

    Infeksi

    Infeksi memegang peranan penting dalam onset dan progresivitas

    penyakit-penyakit kritis. Sebuah survey yang dilakukan pada 198 ICU di Eropa

    memberikan hasil bahwa, 25% perawatan ICU didasarkan pada indikasi sepsis,

    dan 37% dari pasien ICU mengalami sepsis dan syok septik pada beberapa waktu

    selama perawatan tersebut.28 Infeksi merupakan penyebab utama kematian yang

    terjadi di ICU. Sekitar 750.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat

    dilaporkan mengalami sepsis, dan 30-40% diantaranya meninggal.29 Pasien

    dengan perawatan ICU lebih dari 48 hari dan mengalami infeksi, dikatakan

    mengalami peningkatan angka mortalitas dari 22% sampai 35%.30 Spektrum

    severitas sepsis dijelaskan dengan menggunakan beberapa istilah, yaitu sepsis,

    sepsis berat, syok septik, dan syok septik refraktori. Sindrom disfungsi multiorgan

    merupakan komplikasi berat dari sepsis dan kondisi inflamasi lain yang

    disebabkan oleh penyakit-penyakit kritis. Sindrom disfungsi multiorgan dikatakan

    berhubungan dengan tingginya angka mortalitas. Istilah-istilah tersebut sempat

    dibahas dalam sebuah konferensi konsensus terbaru dari The Society of Critical

    Care Medicine dan The American College of Chest Physicians31dan dibahas lebih

    lanjut dalam bab 76. Penyebab dasar kematian pasien-pasien di ICU kebanyakan

    agak sulit untuk ditentukan, karena fungsi respirasi pada pasien ICU biasanya

    dibantu dengan ventilator atau paru-paru artifisial, dan fungsi renal biasanya

    digantikan oleh hemofiltrasi dan hemodialisis. Penyebab kematian terkadang

    dapat berupa hipoksemi, hipotensi yang tidak dikoreksi, atau aritmia fatal yang

    tiba-tiba. Mayoritas pasien ICU yang meninggal akibat infeksi berat,32,33biasanya

    akan meninggal akibat dihentikannya terapi yang diberikan setelah mendapatkan

    persetujuan kedua belah pihak, baik dari dokter yang merawat maupun keluarga

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    11/53

    11

    pasien sebagai konsekuensi kegagalan dalam penanganan sindrom disfungi

    multiorgan persisten.

    Tabel 75-2 menampilkan infeksi yang umum ditemukan, dan

    membutuhkan perawatan lebih lanjut di unit perawatan intensif (ICU). Infeksi-

    infeksi lain juga cukup penting karena efeknya yang cukup besar dalam dunia

    kesehatan masyarakat, baik yang telah ada (tuberkulosis, malaria, dan AIDS),

    maupun yang berpotensi untuk muncul seperti sindrom distres pernapasan akut,

    maupun avian influenza, dan dirangkum dalam Tabel 75-3. Deskripsis sistematis

    gambaran klinis dan terapi dari kondisi tersebut dibahas lebih lanjut dalam bab 17.

    Pasien ICU sering menderita infeksi, termasuk infeksi yang didapatkan di

    rumah sakit maupun infeksi nasokomial, dan kondisi tersebut berkontribusi

    terhadap angka kematian yang cukup tinggi pada pasien dengan penyakit-penyakit

    kritis. Pada laporan kasus yang telah dibahas sebelumnya, pneumonia

    Pseudomonas aeroginosa dikatakan dapat menghambat pemulihan dari kondisi

    sindrom distres pernapasan akut, dan cenderung memperpanjang durasi perawatan

    ICU, dan meningkatkan waktu dependensi pasien terhadap ventilator. Untungnya,

    pasien berhasil pulih dari ventilator-associated pneumonia yang dialami,

    walaupun angka mortalitas yang didapatkan mencapai 20-50%.34 Infeksi

    nasokomial sering disebabkan oleh bakteri-bakteri multiresisten yang ditularkan

    oleh petugas kesehatan ke pasien, akibat penggunaan luas dari agen-agen

    antimikroba.35,36 Penggunaan alat-alat yang membutuhkan waktu lama seperti

    kateter vena sentral, tuba endotrakea, dan kateter urin dikatakan berkontribusi

    terhadap terjadinya infeksi. Faktor-faktor tersebut dapat diminimalkan dengan

    melakukan prosedur-prosedur standar yang terkadang jarang dilakukan, seperti

    mencuci tangan, penggunaan sarung tangan dan jubah ketika memeriksa pasien,

    perawatan berkala dari alat-alat yang digunakan dalam waktu yang lama, dan

    penggunaan antibiotik yang tepat.37

    Kebanyakan infeksi nasokomial sebenarnya muncul dalam bentuk cedera

    iatrogenik yang dapat dicegah. Publikasi oleh The Institute of Medicine of the

    Landmark Report To Err is Human-Building a Safer Health System,38 telah

    memfokuskan organisasi-organisasi kesehatan untuk memaksimalkan efektifitas

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    12/53

    12

    dan keamanan dari perawatan ICU. Sebagai hasilya, telah terjadi peningkatan

    jumlah penelitian yang dipublikasi dalam meningkatakan keselamatan pasien.

    Selain itu, terdapat pula peningkatan kepatuhan terapi pada pasien dengan

    penggunaan pedoman yang aman. Beberapa tahun kedepan, penggunaan

    pelayanan ICU yang lebih aman diharapkan dapat memberikan efek yang nyata,

    termasuk penurunan infeksi iatrogenik.39

    Tabel 75-2

    Jenis-jenis infeksi komunitas yang membutuhkan perawatan ICU

    Infeksi komunitas Agen Etiologi

    Pneumonia Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus

    aureus, Moraxella catarrhalis, Patogen atipikal:

    Mycoplasma pneumoniae, Legionella pneumophila

    Peritonitis akibat

    perforasi, nekrosis,

    atau infeksi

    supuratif

    Flora usus: Coccus gram positif yang dominan pada daerah proksimal

    (Streptococcus spp.,Enterococcus spp.,dan bakteri-bakteri

    anaerob); Basil gram negatif (Eschercia coli, Enterobacter

    spp.), bakteri-bakteri anaerob (Bacteroidesspp.) pada usus

    halus dan usus besar

    Kolesistitis akut,

    kolangitis

    Flora usus:Klebsiellaspp.,Enterobacterspp.,E.coli,Enterococcus

    spp.,Bacteroidesspp., Clostridiumspp.

    Kolitis difikel

    klostridium

    C.difficile: basil anaerob yang menghasilkan eksotoksin

    Infeksi jaringan lunak

    nekrotikans

    Streptococcusspp.,Clostridiumspp., atau flora polimikrobial

    Infeksi traktus urinarius Basil gram negatif usus:E.coli, Klebsiellaspp.,Proteusspp.

    Endokarditis infektif Streptococcus viridans,Enterococcusspp., Staphylococcus aureus

    Meningitis Streptococcus pneumoniae, hameophilus influenzae, Neiserria

    meningitidisInfeksi virus Sitomegalovirs, virus herpes simpleks tipe 1 dan 2, hepatitis A, B,

    dan C

    Infeksi pada tubuh

    dengan sistem

    imun yang baik

    Bakteri (mencakup mikobakterium), jamur (Candida spp.,

    Aspergillusspp., Torulopsis glabrata), virus

    (Sitomegalovirus, virus herpes simpleks, virus Epsteinn-

    Barr), dan parasit.

    Tabel 75-3

    Infeksi yang menyebabkan ancaman kesehatan masyarakat

    Penyakit Penyebaran Status sekarang Terapi

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    13/53

    13

    TB (bakteri) Droplet satu

    individu ke

    individu lain

    14.000 kasus di Amerika

    Serikat pada tahun 2003;

    Masalah kesehatan

    masyarakat yang cukup

    besar di Afrika dan Asia;

    Peningkatan prevalensi di

    Eropa; Berhubungan dengan

    HIV

    Kombinasi antibakterial

    dikatakan cukup efektif,

    namun terdapat beberapa

    kemungkinan terjadinya

    resistensi

    Malaria

    (parasit

    Gigitan nyamuk

    Anopheles

    Penyebaran ke daerah yang

    hangat dan lembab;

    Prevalensi tertinggididapatkan di sub-Sahara

    Afrika

    Pencegahan dan terapi

    dengan klorokuin oral dan

    quinin intravena; masihterdapat masalah resistensi

    AIDS (virus) Darah dan

    cairan tubuh,

    seksual

    Cukup banyak didapatkan di

    Amerika Serikat; Merupakan

    masalah kesehatan yang

    cukup besar di Afrika, Asia,

    dan Amerika Selatan

    Terapi antiretroviral dapat

    memperlambat

    progresivitasnya, namun

    tidak terapi ini tidak

    tersedia secara universal

    SARS (virus) Droplet satu

    individu ke

    individu lain

    Menjadi wabah di tahun

    2003; kurang didapatkan di

    Amerika Serikat, dan

    sekarang kasusnya sudah

    tidak pernah dilaporkan

    Terapi suportif

    Avian flu Burung ke

    manusia;

    menyebar dari

    satu individu ke

    individu lain

    Kasus yang terisolasi;

    Merupakan wabah kecil di

    Asia dan Eropa bagian timur

    Terapi suportif

    SARS: severe acute respiratory syndrome; TB: tuberkulosis

    Syok

    Istilah syok dijelaskan sebagai manifestasi patofisiologi dari gangguan

    katastrofik yang menyebabkan gangguan perfusi ke organ-organ vital. Istilah ini

    awalnya digunakan untuk menjelaskan hipotensi refraktori, sedangkan defenisi

    terbaru dari syok ini adalah sebuah kondisi hipoperfusi jaringan yang disebabkan

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    14/53

    14

    oleh aliran darah yang rendah, agen toksik, atau keduanya, dimana sirkulasi gagal

    untuk memenuhi kebutuhan metabolik dari sel. Pada kondisi awal, mekanisme

    kompensasi neurohormonal masih dapat bekerja dan mempertahankan prefusi ke

    organ-organ vital. Namun, jika tidak diberikan terapi suportif yang adekuat, maka

    mekanisme kompensasi neurohormonal ini lama kelamaan akan kewalahan, dan

    menyebabkan iskemi jaringan progresif yang berujung pada kondisi gagal organ.

    Secara klinis, tanda dan gejala dari hipoperfusi organ akhir dapat berupa

    perubahan status mental, hilangnya turgor kulit, ekstremitas yang dingin, oligouri,

    asidemia, peningkatan konsentrasi laktat serum, dan penurunan saturasi oksigen

    vena sentral atau campuran.

    Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan pola karakteristik

    hemodinamiknya. Syok hipovolemidisebabkan oleh kehilangan volume darah akut

    20-25% dari volume darah sirkulasi akibat beberapa kondisi seperti perdarahan,

    heat stroke, dan sekuestrasi cairan didalam tubuh akibat obstruksi usus. Secara

    hemodinamik, terdapat penurunan tekanan darah arteri, tekanan vaskular sentral,

    dan curah jantung. Syok kardiogenik disebabkan oleh gagal jantung primer.

    Penyebab yang paling sering dari syok kardiogenik adalah infark miokard dan

    komplikasi akutnya. Syok kardiogenik ditandai dengan hipotensi sistemik dan

    curah jantung rendah yang digambarkan sebagai peningkatan atau adekuasi

    volume darah. Kondisi tersebut dikarakterisasi dengan peningkatan tekanan vena

    sentral dan tekanan desakan arteri pulmoner, atau indeks ekuivalen dari volemia.

    Syok distributif ditandai dengan vasodilatasi generalisata, penyatuan vena, dan

    redistribusi aliran darah sistemik, dan berhubungan dengan peningkatan curah

    jantung. Hal ini dapat disebabkan oleh respon tubuh terhadap bakteri hidup di

    dalam sirkulasi, dan produk bakteri tersebut selama syok septik, akibat mediator-

    mediator inflamasi tanpa adanya infeksi, oleh komponen vasoaktif endogen

    selama syok anafilaktik, atau karena hilangnya tonus vaskuler sebagai akibat dari

    syok neurogenik atau perdarahan adrenal bilateral. Syok obstruktif berhubungan

    dengan hambatan mekanik aliran darah vena dan/atau hambatan aliran arteri

    keluar dari jantung, dimana hal ini dapat terjadi akibat tension pneumothotax,

    tamponade perikardium, sindrom kompartemen abdominal, dan terkadang dapat

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    15/53

    15

    juga disebabkan oleh konsekuensi dari ventilasi tekanan positif iatrogenik dan

    tekanan akhir autopositif akhir ekspirasi. Syok obstruktif ditandai dengan tekanan

    darah sistemik yang rendah, curah jantung rendah, dan peningkatan tekanan

    vaskuler sentral.

    Syok traumatikmerupakan contoh model pengajaran yang sangat berguna,

    karena kondisi ini dapat muncul bersamaan dengan manifestasi fisiologi yang

    beragam, termasuk hipovolemi, hipoksemi, disfungsi miokard, vasodilatasi, dan

    kegagalan neurologis, serta pola hiperdinamik setelah resusitasi volume darah.3

    Pengontrolan perdarahan yang segera, pereda nyeri, penanganan hipotermi, serta

    pemindahan pasien dengan cepat ke fasilitas kesehatan yang memadai, dikatakan

    dapat mencegah syok, dan menurunkan angka mortalitas. Selain itu, pada

    lingkungan rumah sakit, resusitasi cairan dan penanganan jalan napas yang sesuai,

    waktu pemberian antibiotik, pembedahan yang terkontrol, dan perawatan ICU

    dikatakan dapat mencegah onset syok dan meningkatkan angka pertahanan hidup.

    Penilaian Kuantitas Severitas Penyakit Dan Hubungannya Dengan Kondisi

    Akhir Pasien

    Walaupun terdapat peningkatan kompleksitas dan jumlah ICU pada tahun

    1970an, data yang mendukung efektifitas pelayanan ICU sampai sekarang masih

    kurang. Penilaian kuantitas kondisi akhir pasien ICU memiliki beberapa tahapan

    yaitu, pengoptimalan penggunaan sumber daya, analisis kualitas, pemberian

    penjelasan kepada pasien, keluarga, serta dokter yang merawatnya mengenai apa

    saja yang secara realistis dapat diharapkan dari perawatan ICU. Memprediksi

    kondisi akhir pasien dengan melakukan beberapa pemeriksaan klinis kompleks

    secara intrinsik tampaknya cukup sulit, karena variabilitas derajat penyakit yang

    mendasari yang sering berubah seiring dengan waktu, sedangkan terapi yang

    diberikan juga dapat berubah-ubah pada unit yang berbeda. Contohnya, sebuah

    review dari tahun 1973 memperlihatkan bahwa angka kematian di beberapa ICU

    bedah di Amerika Selatan bervariasi dari 2% sampai 44%; meskipun kualitas

    perawatan telah bertanggung jawab atas beberapa perbedaan yang diamati dalam

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    16/53

    16

    tingkat kematian, tidak mungkin untuk menentukan ini pasti dari data yang

    tersedia.

    Perkembangan sistem penilaian Acute Physiology and Chronic Health

    Evaluation (APACHE) oleh Knaus et al. dimulai pada tahun 1978 menggunaka

    dana dari U.S. Health Care Financing Administration (Administrasi Pendanaan

    Kesehatan Amerika). Tujuannya adalah untuk mengembangkan metodologi yang

    lebih baik untuk mengukur keparahan penyakit pada pasien ICU. Hasilnya adalah

    pengembangan yang komprehensif dan dari sistem penilaian prognostik yang

    memperkirakan risiko pretreatment kematian pasien akut yang dirawat di rumah

    sakit berdasarkan proses penyakit utama pasien, cadangan fisiologis mereka, dan

    kontribusi keparahan akut penyakit tersebut yang ditentukan oleh kekacauan

    parameter fisiologis penting.

    Setelah validasi awal instrumen ini, APACHE asli, yang berdasarkan 33

    potensi pengukuran fisiologis untuk menentukan tingkat kekacauan fisiologis, saat

    ini menjadi lebih efisien yaitu 12 variabel fisiologis. Dengan perubahan lebih

    lanjut dalam pembobotan untuk usia, definisi dan status kesehatan kronis, dan

    apakah perawatan di ICU terjadi setelah operasi elektif, sistem yang dihasilkan

    adalah sistem penilaian prognostik APACHE II. Selama dua dekade berikutnya,

    sejumlah sistem lain telah dikembangkan dan divalidasi untuk membantu

    memprediksi kelangsungan hidup, mengalokasikan sumber daya, dan

    memverifikasi kualitas latihan kita. Masing-masing instrumen ini memiliki

    kelebihan dan kekurangan. Namun, jelas bahwa kemampuan untuk

    mengkategorikan pasien di awal program berdasarkan tingkat keparahan penyakit

    mereka, walupun tidak sempurna, telah meningkatkan kualitas uji penelitian klinis

    pada pasien sakit kritis, dan yang lebih penting, telah mencatat pasien yang

    mempunyai prognosis jelek dengan skor yang sangat tinggi.

    Respons Penderita/Host Selama Penyakit Kritis

    Tubuh merespon cedera akut yaitu aspirasi isi lambung ke paru-paru

    seperti dalam laporan kasus kami, atau infeksi bakteri, atau luka operasi dengan

    cara yang reproduktif. Respon inflamasi lokal awal bertujuan untuk mengontrol

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    17/53

    17

    efek langsung dari cedera, dan menghasilkan sinyal dari berbagai sel di tempat

    cedera yang mengaktifkan respons sistemik. Oleh karena itu, cedera dengan

    keparahan yang tertentu memicu respon gabungan dari ujung saraf dan endotel

    serta sel-sel imun, yang dengan cepat meluas ke seluruh organisme. Ketika respon

    homeostatis yang digabungkan dengan intervensi tepat kami, mereka

    memperbolehkan kami untuk mempertahankan atau mengembalikan fungsi organ-

    organ vital, mempercepat perbaikan, dan melakukan penyembuhan serta

    rehabilitasi. Ketika cedera menghambat proses regulasi penderita, atau ketika

    intervensi kami tidak memadai atau terlambat, upaya untuk memelihara integritas

    tubuh kewalahan oleh cedera dan disfungsi organ, dan kematian pun terjadi.

    Waktu

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    18/53

    18

    Kompleksitas respon tubuh terhadap cedera dari waktu ke waktu

    merupakan tantangan besar atas kemampuan kita untuk mengembangkan

    pengobatan yang efektif yang akan menghambat perkembangan cedera traumatis,

    inflamasi, dan infeksi untuk MODS dan kematian. Pandangan klasik dari "ebb"

    (hypodynamic) dan fase "flow" (hiperdinamik) berikutnya dari respon

    kardiovaskular dan metabolik terhadap cedera dimengerti dengan sederhana. Hal

    ini berarti kemungkinan besar waktu dan intensitas respons kompleks sangat

    bervariasi antara pasien, dan dipengaruhi oleh besarnya cedera, status fisiologis

    pasien, dan terapi. Gambar 75-2 mengilustrasikan tiga urutan waktu hipotetis

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    19/53

    19

    evolusi penyakit kritis, menunjukkan pola yang berbeda dari aktivasi dan

    penekanan sistem kekebalan tubuh setelah cedera menular. Meskipun dipelajari

    secara menyeluruh dalam kasus sepsis, urutan kejadian mungkin berlaku untuk

    peristiwa berbahaya lainnya, seperti setelah operasi besar, trauma, dan syok.

    Pemeriksaan fisik setelah cedera serius dapat mengungkapkan perubahan

    warna kulit dan turgor, suhu tubuh, tekanan darah arteri, pola pernapasan, dan

    fungsi mental. Parameter lain yang mudah diukur yaitu produksi urin, defisit base

    dan level laktat serum, mungkin juga abnormal. Temuan ini mungkin

    Gambar 75-2. Respon inflamasi dan imunitas terhadap cedera: Hipotesis waktu yang

    dibutuhkan pada 3 orang pasien. Pasien yang sehat dengan infeksi berat

    (meningokoksemia, garis atas) memperlihatkan respon inflamasi yang cukup kuat;jika pasien ini dapat bertahan pada fase awal, akan terdapat periode hipoimun yang

    singkat, dan kondisi pasien akan membaik sepanjang jalur pemulihan. Untuk pasien

    yang malnutrisi dan sudah lanjut usia dengan infeksi sedang (diverkulitis akut, garis

    tengah), respon inflamasi awal yang diberikan bersifat terbatas, dan jika infeksi tidak

    diatasi dengan tepat, akan terdapat perpanjangan status hipoimun, dan dapat terjadi

    kematian sebagai komplikasi infeksi lebih lanjut. Pasien dengan komorbiditas

    signifikan (diabetes, obesitas, PPOK, dan pneumonia, garis bawah) memberikan

    respon inflamasi awal yang tumpul, dan kondisi klinis didominasi oleh status

    hipoimun, dimana resiko kematian akibat infeksi yang baru maupun infeksi persisten

    terus meningkat.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    20/53

    20

    mencerminkan respon homeostatis yang dikarenakan oleh cedera. Walaupun kami

    menggambarkan karakteristik respon berbagai sistem organ secara terpisah, dalam

    tubuh sistem ini sangat saling berhubungan dan memiliki karakteristik respon

    tertentu yang sama, seperti mediator upregulation inflamasi. Disfungsi salah satu

    sistem akan mengganggu fungsi organ lain, contoh sederhana adalah

    pengembangan gagal ginjal fungsional (sindrom hepatorenal) yang dapat timbul

    pada pasien sirosis dengan infeksi iintraabdominal.

    Respon in fl amasi dan imunitas

    Respon imun inflamasi memainkan peran sentral dalam evaluasi penyakit

    kritis. Sistem kekebalan innate merupakan garis pertahanan pertama, namun baik

    respon imun innate dan adaptifdiaktifkan oleh cedera dan infeksi.

    Segera setelah cedera jaringan akut, berbagai mediator inflamasi

    dilepaskan oleh mediator inflamasi oleh leukosit teraktivasikhususnya monosit

    dan makrofagserta sel-sel endotel dan fibroblas. Mediator ini termasuk sitokin,

    metabolit asam arakidonat, fraksi komplemen, berbagai protein fase akut, dan

    oksigen serta nitrogen radikal bebas. Sitokin adalah kurir polipeptida kaskade

    reaksi yang telah dipelajari secara ekstensif ini, dan telah diidentifikasi sebagai

    mediator penting dari manifestasi fisiologis dan laboratorium dari inflamasi,

    termasuk demam, leukositosis, hipotensi dan takikardi, perubahan status mental,

    serta katabolisme. Tidak seperti hormon yang diproduksi oleh jaringan endokrin

    khusus, sitokin tidak disimpan, dan peningkatan sitokin setelah cedera jaringan

    mencerminkan transkripsi gen yang diregulasi, translasi, dan sintesis oleh sel-sel

    imun dan/atau endotel yang aktif. Karakteristik dari jenis respon ini adalah bahwa

    ia cenderung untuk memodulasi diri dengan mengatur ekspresi kedua sitokin baik

    pro maupun anti-inflamasi dan reaktan fase akut. Maisih menjadi perdebatan alih

    peran utama respon inflamasi dalam patogenesis penyakit yang sangat kritis.

    Selama tiga dekade terakhir telah ada pandangan bahwa patogenesis cedera

    traumatik dan infeksi didasarkan pada respon yang berlebihan dan tidak terkendali

    kerugian awal ("cytokine storm") yang mengubah sistem pertahanan yang

    menguntungkan ke pelaku yang sebenarnya, dan akhirnya menyebabkan penyakit

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    21/53

    21

    kritis. Tampilan menarik ini, yang diajukan oleh Lewis Thomas pada 1970-an dan

    dilanjutkan oleh Bone pada 1990-an, mengarah pada pengembangan dan

    pengujian banyak terapi yang ditargetkan atau termodulasi pada mediator

    inflamasi, termasuk reseptor antagonis kortikosteroid dosis tinggi, ibuprofen,

    antibodi terhadap endotoksin bakteri (lipopolisakarida [LPS]), TNF-, dan IL-1.

    Namun, percobaan manusia dengan agen ini sebagian besar tidak berhasil.

    Mengingat kompleksitas respon inflamasi, maka tidak mengherankan bahwa agen

    yang menghambat aktivitas mediator tunggal mungkin tidak memberikan manfaat

    yang cukup. Baru-baru ini, beberapa tingkat keberhasilan telah dicapai dengan

    menambah zat individu atau jalur yang tampaknya kurang selama fase tertentu

    penyakit kritis, dan memperlakukan hal tersebut seperti "ketidakcukupan relatif"

    dengan equivalen alami atau sintetis dari zat yang kurang. Contoh strategi tersebut

    akan dijelaskan dalam bagian berikutnya.

    Sistem Saraf Pusat

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    22/53

    22

    Respon Sistem Saraf Pusat (SSP) terhadap cedera utama dan stres

    melibatkan aktivasi sistem otonom serta interaksi dengan endokrin dan sistem

    kekebalan tubuh. Respon neurohumoral klasik untuk cedera akut meliputi aktivasi

    awal dari sistem simpatis otonom yang mengakibatkan takikardia, peningkatan

    kontraktilitas miokard, takipnea, splanchnic dan vasokonstriksi kulit, serta

    peningkatan ketersediaan substrat metabolik. Respon "berjuang-atau-terbang"

    berhubungan erat dengan aktivasi jalur hormonal medula adrenal, axis hipofisis-

    adrenal, hormon antidieuretic (ADH), dan angiotensin-aldosteron (lihat Respon

    Hormonal dibawah); semua jalur fisiologis ini, dengan berbagai cara, cenderung

    mempertahankan perfusi ke organ vital.

    Otak juga berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh, dan pengamatan

    eksperimen baru-baru ini telah mengidentifikasi jalur saraf vagus termediasi yang

    Gambar 75-3. Jalur antiinflamasi kolinergik. Produk inflamasi dihasilkan dari lokasi

    terjadinya cedera yang mengaktivasi sinyal neural yang kemudian berjalan ke nukleus

    dari traktus solitarius. Dari lokasi tersebut, aktivitas vagal eferen (jalur antiinflamasi

    kolinergik) akan menghambat pelepasan sitokin. Selain itu, vagal aferen juga dapat

    berjalan ke hipotalamus dan menstimulasi pelepasan hormon adrenokortikotropik

    (ACTH).

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    23/53

    23

    berpartisipasi dalam regulasi peradangan. Gambar 75-3 menunjukkan skema "

    jalur anti-inflamasi kolinergik". Rangsangan inflamasi (termasuk LPS, TNF-,

    dan IL-1) mengaktifkan serabut aferen visceral vagus yang mencapai beberapa

    inti vagus di medula dan hipotalamus. Masukan saraf ini memunculkan respon

    anti-inflamasi langsung yang dimediasi oleh otonom yang sama, sistem

    parasimpatis. Aktivasi Eksperimental jalur antiinflamasi kolinergik menghambat

    fungsi dan mengurangi ekspresi TNF selama endotoksemia melalui pengikatan

    reseptor nikotinik pada makrofag. Pengetahuan tentang jalur antiinflamasi

    kolinergik ini memiliki implikasi terapi: aktivasi eksperimental output vagus

    dengan listrik dan farmakologis, stimulasi vagus telah menghambat aktivasi

    makrofag dan pelepasan sitokin.

    Respon Hormonal

    Respon hormonal untuk cedera akut cenderung meningkatkan tekanan

    pembuluh darah, menjaga volume sirkulasi darah, dan memberikan substrat untuk

    metabolisme jaringan dan regenerasi. Jalur hormonal ini mencakup sintesis dan

    pelepasan cathecolamines, ADH dan aldosteron-angotensin, prolaktin, hormon

    pertumbuhan, dan hormon antiinsulin lainnya. Peran hormon ini dalam respon

    akut sangat kompleks, dan pemahaman signifikan peran hormone ini telah

    diperoleh selama beberapa dekade terakhir. Bukti terbaru menunjukkan bahwa

    beberapa jalur ini mungkin menjadi kunci penentu kelangsungan hidup bagi

    pasien sakit kritis, dan menyarankan mereka mungkin berhasil termodulasi

    dengan farmakologi.

    Output dari axis hipofisis-adrenal meningkat beberapa kali lipat sebagai

    respons normal terhadap penyakit akut. Setiap kerusakan axis ini, baik di tingkat

    prekursor, produk akhir (kortisol) atau reseptor seluler, menyebabkan respon yang

    tidak efektif dan mungkin terkait dengan pengurangan peluang bertahan hidup.

    Istilah insufisiensi adrenal relatifmengacu pada keadaan dimana axis hipofisis-

    adrenal gagal untuk menaikkan respon yang cukup terhadap stres akut dan berat,

    meskipun berfungsi secara memadai di bidang kesehatan. Sebuah uji coba

    terkontrol secara acak baru-baru ini menunjukkan bahwa pengobatan dengan dosis

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    24/53

    24

    fisiologis kombinasi gluco- dan mineralokortikoid meningkatkan kelangsungan

    hidup pada pasien dengan syok septik dan respon adrenal tertekan. Namun,

    perdebatan masih terjadi atas pasien mana yang tepat untuk menggunakan

    pengobatan steroid.

    Demikian pula, ADH kurang disintesis dalam fraksi yang signifikan dari

    pasien yang sakit kritis. Pemberian dosis rendah vasopressin, ADH analog

    sintetik, tampaknya meningkatkan hemodinamik sistemik, mengurangi kebutuhan

    untuk menanamkan obat vasopressor lain seperti norepinefrin, dan mungkin

    meningkatkan perfusi lambung dan ginjal pada shock septik.

    Bukti terbaru menunjukkan bahwa kontrol ketat kadar glukosa plasma

    pada pasien sakit kritis dengan menyuntikkan insulin meningkatkan kelangsungan

    hidup pada pasien bedah yang kritis. Insulin incretion tidak efisien dalam fase

    awal penyakit kritis karena adanya peningkatan sintesis hormon seperti

    katekolamin, glukokortikoid, glukagon, dan hormon pertumbuhan. Lonjakan

    hormon antiinsulin meningkatkan ketersediaan glukosa ke jaringan selama waktu

    kelaparan paksa; Namun, kadar glukosa darah tinggi yang dihasilkan dapat

    dihubungkan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, imunosupresi, dan

    kerusakan neurologis. Dalam uji klinis pada pasien ICU bedah jantung di Belgia,

    Vandeberghe et al. menunjukkan bahwa dengan mempertahankan kadar gula

    darah antara 80 dan 20 mg / dL melalui infus insulin terus menerus, mereka secara

    signifikan menurunkan kemungkinan bakteremia, polineuropati kritis, dan

    kematian. Penelitian ini dan penelitian lain yang lebih baru pada pasien ICU

    medis telah banyak dikritik, tapi penelitian tersebut telah mempengaruhi cara kita

    memperlakukan hiperglikemia di ICU. Studi waktu dan studi tambahan harus

    mengarah pada praktek yang seragam untuk beberapa tahun ke depan.

    Respon Hemodinamik

    Respon hemodinamik terhadap cedera telah banyak diteliti dengan

    memantau tekanan vascular central, curah jantung, dan indeks pengiriman oksigen

    dan konsumsi. Vasokonstriksi sistemik biasanya mendominasi periode segera

    setelah cedera akut, kemungkinan besar sebagai respon terhadap hipovolemia

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    25/53

    25

    intravaskular dari perdarahan atau penyerapan cairan tubuh diluar kompartemen

    vaskular. Setelah normovolemia dipulihkan, pola hiperdinamik curah jantung

    yang tinggi dan tekanan darah normal-ke-rendah terjadi setelahnya. Tingkat

    respon hiperdinamik ini bervariasi tergantung jenis dan besarnya cedera. Penting

    untuk dicatat bahwa keadaan hiperdinamik juga terjadi pada kondisi lain, seperti

    hipertiroidisme, sirosis hati, dan arteriovenosus dengan fistula yang besar, bahkan

    jika tidak ada cedera akut dan/atau peradangan.

    Respon hiperdinamik ini dapat menjadi bagian dari Sindrom Respons

    Inflamasi Sistemik/Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang

    berhubungan dengan cedera akut dengan berbagai etiologi, dan disebabkan oleh

    pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya seperti prostaglandin, bradikinin,

    dan fraksi komplemen. Manifestasi kardinal SIRS terdiri dari hyper- atau

    hipotermia, takikardi, leukositosis atau leukopenia, dan hiperventilasi. Selain itu,

    sejumlah tanda dan gejala, seperti hipotensi, kelainan koagulasi platelet, dan

    perubahan status mental, merupakan ciri khas dari SIRS, meskipun masing-

    masing diambil secara individual sehingga tidak memiliki spesifisitas yang baik

    sebagai tanda diagnostik maupun sebagai titik akhir untuk menentukan terapi.

    Vasodi latasi Sistemik, Peradangan, dan Koagulasi: Endotel ium

    Sejumlah zat diyakini bertanggung jawab atas penurunan tonus pembuluh

    darah sistemik yang merupakan bagian dari respon hiperdinamik. Endotel

    pembuluh darah memainkan peran penting pada keadaan inflamasi dan

    prokoagulan yang merupakan hasil dari cedera traumatik atau infeksi akut (lihat

    Respon Imun Inflamasi di atas). Endotelium memberikan kontribusi pada

    pemeliharaan homeostasis dalam berbagai cara, termasuk pencegahan koagulasi,

    pengaturan tonus pembuluh darah dan permeabilitas serta orkestrasi dari migrasi

    leukosit ke dalam jaringan dengan ekspresi molekul adhesi. Gambar 75-4 adalah

    skema interaksi antara stimulus inflamasi, endothelium, dan leukosit.

    Segera setelah trauma, terjadi regulasi adhesi ekspresi molekul pada

    endotel sel dan leukosit yang berefek peningkatan interaksi endotel sel-leukosit

    dan migrasi leukosit melintas dinding pembuluh darah ke jaringan sekitar.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    26/53

    26

    (Gambar 75-4). Trauma langsung dan mediator inflamasi menyebabkan endotel

    kehilangan substans antikoagulannya; terjadi ketidakseimbangan konkomitan

    antara thrombin dan plasmin, dan peningkatan perlengketan platelet, yang secara

    lanjut menyebabkan pembentukan klot pada permukaan endothelial. Aktivasi

    sistem koagulasi sebagai respon terhadap stressor dapat memicu disseminated

    intravascular coagulation (DIC), pembentukan fibrin pada intravaskuler,

    penurunan aktivitas fibrinolitik, dan thrombosis luas. Meskipun sindrom

    thrombosis vaskuler dalam jarang terjadi, DIC biasanya memberikan tantangan

    klinis yang rumit dikarenakan adanya konkomitan terhadap thrombosis dan

    koagulopati. Sistem koagulasi telah menjadi fokus pengobatan pada pasien

    dengan sepsis dan syok sepsis. Antitrombin III dan protein C keduanya

    merupakan antikoagulan yang dijaga dalam fase aktif oleh aktivitas endothelial,

    dan diturunkan pada kondisi stress semisal SIRS dan sepsis. Meskipun percobaan

    klinis mengenai pemberian terapi antitrombin III sepertinya tidak memuaskan,

    pembeerian protein C rekombinan manusia (drotrecogin-a) secara signifikan

    meningkatkan angka keberhasilan dari pasien penyakit kritis dengan sepsis berat

    dan syok sepsis sebesar 6%.

    Endotel mampu memproduksi beragam mediator yang mempunyai fungsi

    yang juga beragam. Beberapa mediator mempunyai efek multipel, seperti protein

    C, mediator vasodilator seperti gas NO dan prostasiklin (keduanya juga

    membatasi agregasi platelet), dan vasokonstriktor endotelin, kesemuanya

    mempunyai efek poten vasoaktif dan substans imunologik. NO diproduksi oleh

    sel endothelial melalui isozyme nitric oxide synthase (NOS-3, endhotelial nitroc

    oxide synthase (eNOS)). Setelah terjadinya stimulasi oleh beberapa sebab, terjadi

    regulasi dari bentuk NOS (NOS-2, Inos), yang menghasilkan produksi NO, dan

    berkontribusi pada vasodilatasi yang terjadi pada proses sistemik inflamasi berat.

    Aktivasi sel-sel endothelial juga berefek pada produksi mediator yang mempunyai

    efek sebaliknya, seperti endotelin, yang dapat menimbulkan vasokonstriksi

    sedangkan NO menimbulkan vasodilatasi. Ketika induksi iNOS terlalu berlebihan,

    seperti pada keadaan syok sepsis, vasodilatasi masif dari sindrom hiperdinamik

    berakibat pada hipotensi dalam yang dapat mengganggu perfusi ke jaringan vital

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    27/53

    27

    dan emnimbulkan MODS dan kematian (lihat bab 76). Vasodilatasi akibat

    nitrikoksida telah dicegah dengan pemberian non-spesifik NO inhibitor seperti

    methylen blue , L-nitroarginine methyl ester (L-NAME), dan N-methyl-arginine

    hydrochloride . Meskipun begitu, strategi klinis ini tidak berhasil, kemungkinan

    diakibatkan pentingnya penggantian isoenzim dari NO yang juga menghambat

    senyawa non-selektif ini.

    Respon metaboli k

    Respon metabolik terhadap trauma dicirikan adanya hiperkatabolisme dan

    peningkatan eksresi nitrogen urin. Ketika resusitasi hemodinamik awal dan

    stabilisasi telah dicapai, substrat digunakan untuk meningkatkan perbaikan

    jaringan dan perlindungan fungsi organ vital. Jaringan yang tidak mempunyai

    cadangan energi resting , seperti lemak dan otok skelet, mengeluarkan nutrient

    dari simpanan (glukosa dan asam lemak), atau menghancurkan protein untuk

    menyediakan energi untuk organ viseral. Kadar yang tinggi dari katekolamin yang

    bersirkulasi hidup berdampingan dengan respon metabolic ini. Epinefrin, memicu

    Gambar 75-4. Adesi leukosit skematik terhadap endotel teraktivasi selama proses

    inflamasi. Leukosit awalnya ditambatkan dan bergulir sepanjang endotel predominan

    melalui interaksinya dengan selektin. Ketika reseptor integrin leukosit pada endotel

    teraktivasi dan berikatan ke ligan pada matriks ekstraseluler, maka akan terjadi migrasi

    leukosit antara sel-sel endotel. Sinyal dari reseptor integrin juga memodulasi

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    28/53

    28

    glikogenolisis pada otot dan hati, lipolisis dan ketogenesis pada jaringan adipose,

    dan glukoneogenesis di hati. Proses ini menyediakan energi yang dibutuhkan untu

    metabolism yang tinggi selama fase pemulihan. Sebagai tambahan, epinefrin

    memicu resistensi insulin pada otot skelet, yang juga memicu berkembangnya

    hiperglikemi. Seperti kebanykan respon hemostatik, keadaan katekolaminergik

    yang tinggi ini mempunyai efek berkebalikan; meskipun katekolamin memicu

    pemulihan dan kesembuhan, kadar katekolamin yang tinggi dapat mengakibatkan

    katabolisme yang berlebihan, hiperglikemia, kelemhana otot, dan berkurangnya

    pertahanan tubuh host. Suatu studi klinis yang dilakukan pada anak-anak dengan

    luka bakar akut menunjukkan adanya efek menguntungkan dari pemblokiran

    respon katekolaminergik pada luka bakar akut. Karena anak-anak dengan luka

    bakar memerlukan metabolism yang lebih tinggi, masih merupakan hal yang tidak

    pasti apakah keuntungan ini dapat diaplikasikan pada pasien kritis dewasa tanpa

    luka bakar.

    Respon seluler terhadap luka

    Pada tingkatan jaringan, kemampuan untuk hidup atau mati dapat secara

    sederhana disimpulkan pada kemampuan tubuh untuk mensuplai jumlah oksigen

    yang adekuat dan nutrisi (semisal glukosa) untuk respirasi seluler dan

    menghilangkan hasil samping metabolisme (C02dan toksin). Kedua hal tersebut

    tampak merupakan titik ahir yang cukup sederhanayang dicapai melalui proses

    kompleks yang cukup hebat. Berikut akan dibahas mengenai beberapa aspek yang

    relevan terhadap cedera akut, baik traumatik, inflamasi, maupun infeksi.

    Respon seluler terhadap trauma

    Perluasan kerusakan yang disebabkan oleh trauma (sejumlah energi yang

    bertanggung jawab terhadap dampak dan ukuran luka) dikatakan dapat

    menentukan prognosis segera dari pasien. Perdarahan yang tidak dapat terkontrol

    dapat menyebabkan kematian dini, dimana kegagalan kontrol eprdarahan ini dapat

    dikarenakan penggunaan strategi penyelamatan yang sangat sederhana seperti

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    29/53

    29

    turniket dan transpor segera, bukan perawatan ICU. Cedera non-akut yang bersifat

    lethal dan kompleks dapat berkembang seiring dengan waktu, dan kondisi akhir

    pasien akan bergantung oada adekuasi respon endogen terhadap cedera tersebut,

    dan kemampuan untuk memberikan terapi suportif dengan berhasil.

    Respon akut tubuh terhadap cedera trauma membutuhkan bangkitan sinyal

    yang memberikan informasi mengenai adanya ancaman ke bagian tubuh lain.

    Sinyal berbahaya tersebut dapat melibatkan prodak dari jaringan nekrotik dan

    perubahan lokal pada pH dan temperatur, aktivasi sel endotel, monosit, dan

    makrofag untuk menghasilkan dan melepaskan mediator-mediator radang.

    Pembentukan dan pelepasan sitokin terjadi dalam beberapa menit setelah cedera,

    dan memfasilitasi respon sistemik yang memberikan beragam manifestasi klinis.

    Pemeriksaan dini level sitokin plasma pada pasien bedah dan trauma

    mengindikasikan bahwa derajat peningkatan IL-6 yang merupakan respon paling

    dini, berhubungan dengan derajat cedera yang terjadi.9,87 Selain sintesis dan

    pelepasan sitokin yang segeram reseptor solubel dan mediator antagonis juga

    dilepaskan setelah trauma, dan kemudian memodulasi efek dari sitokinm serta

    menginisiasi anti-inflamasi kompetitif dan respon imunosupresif.88,89

    Keseimbangan antara aktivasi dan supresi inflamasi berlanjut selama periode

    penyakit kritis berlangsung, dan cenderung memberikan dampak evolusi terhadap

    pemulihan atau kematian.90Pemahaman yang lebih baik mengenai keseimbangan

    antara respon proinflamasi dan respon anti-inflamasi dikatakan dapat membantu

    dalam menemukan strategi terapi yang efektif. Trauma berat dan pembedahan

    dapat berujung pada kondisi anergi dan imunosupresif, sehingga dapat

    meningkatkan kecenderungan pasien untuk mengalami infeksi nasokomial yang

    merupakan penyebab tersering dari morbiditas dan perpanjangan durasi perawatan

    ICU.91

    Infeksi

    Sama seperti pada cedera trauma, dimana kerusakan yang terjadi dapat

    memicu respon tubuh, sejumlah mikroorganisme patogenik juga dikatakan dapat

    memicu respon inflamasi sistemik tubuh, yang bermanifestasi dalam bentuk yang

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    30/53

    30

    paling berat, seperti syok septik. Respon tubuh terhadap infeksi diinisiasi oleh

    interaksi antara komponen struktural dari organisme yang menginvasi (pola

    molekuler patogen) dan sel-sel imun tubuh. Semua kelas mikroba memiliki pola

    molekuler patogen, termasuk bakteri gram negatif dan gram positif, jamur, virus

    dan parasit, walaupun jenis pola molekuler tersebut bervariasi satu sama lain.

    Contohnya, bakteri gram negatif memiliki endotoksin (LPS) pada lapisan luar sel

    membrannya. LPS merupakan toksin bakterial poten yang dikatakan memiliki

    peran penting dalam sepsis gram negatif. Bakteri gram positif tidak memiliki LPS,

    namun memiliki pola molekuler patogen jenis lain yang memiliki efek radang

    seperti peptidoglikan dan asam lipotekoik. Pola molekuler patogen jenis lain

    meliputi asam-asam nukleat pada bakteri dan virus, dan zimosan pada jamur.

    LPS merupakan pola molekuler patogen yang paling mudah dikenali, dan

    paling banyak dipelajari. LPS meupakan kompleks glikolipid pada lapisan luar

    membran dari dinding sel bakteri gram negatif. Injeksi LPS ke hewan percobaan

    dan manusia relawan akan menyebabkan inflamasi dan respon-respon lain yang

    mirip dengan yang terjadi pada pasien sepsis. Karena LPS memiliki toksisitas

    yang cukup tinggi, pola molekuler tersebut sudah dijadikan target dari terapi

    selama beberapa dekade terakhir. LPS terdiri atas domain lipofilik (lipid A) dan

    untaian polisakarida yang bervariasi pada bakteri-bakteri yang berbeda. Karena

    lipid A umumnya ditemukan pada semua jenis bakteri, maka beberapa straegi

    terapi telah menargetkan lipid A dari LPS untuk perkembangan antibodi. 92

    Walaupun percobaan klinis memberikan hasil yang cukup menjanjikan, namun

    percobaan klinis fase 3 gagal untuk memberikan perkembangan yang signifikan

    pada pasien yang diberikan antibodi antilipid A. Walaupun LPS merupakan toksin

    yang sangat poten, namun LPS tidak ditemukan pada sejumlah besar

    mikroorganisme yang menyebabkan sepsis, sehingga mengindikasikan bahwa

    komponen mikrobial lain berkontribusi terhadap patogenesis dari sepsis.

    Mediator tubuh yang bervariasi termasuk mediator solubel pada darah,

    reseptor permukaan sel, dan jalur sinyal intraseluler, terlibat dalam aktivasi radang

    yang dipicu oleh pola molekuler patogen. Contohnya, LPS yang berikatan pada

    protein dan monosit pada permukaan antigen CD1493akan berikatan dengan LPS,

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    31/53

    31

    dan terlibat dalam inisiasi respon inflamasi terhadap LPS. CD14 memegang

    peranan penting dalam aktivasi sel-sel imun yang diinduksi oleh LPS, dan

    memiliki ikatan membran serta bentuk yang solubel. CD14 solubel dibutuhkan

    untuk aktivasi sel CD14 negatif yang diinduksi oleh LPS.94CD14 juga memegang

    peranan penting dalam interaksi sel oleh pola molekuler patogen bakteria gram

    positif, seperti peptidoglikan.95

    Selama beberapa dekade terakhir, terdapat pemahaman mengenai

    mekanisme inflamasi yang dipicu oleh mikroorganisme. Walaupun

    mikroorganisme memiliki pola struktural yang berbeda-beda, namun respon

    inflamasi terhadap komponen mikroba yang berbeda dimediasi oleh reseptor dan

    jalur intraseluler yang sama. Toll-like receptor(TLRs) dapat mengenali beberapa

    kelas dari pola molekuler patogen dan merupakan mediator proksimal yang

    penting dalam proses inflamasi selama terjadinya infeksi. TLRs secara

    evolusioner menjaga reseptor imun tubuh yang didapatkan baik pada insekta

    maupun mamalia. Reseptor tersebut digolongkan kedalam pattern recognition

    receptor (RRRs) yang dapat mengenali pola umum dari komponen

    mikroorganisme. Reseptor Toll awalnya ditemukan pada Drosophila

    melanogasterpada tahun 1985, dan dikatakan cukup penting secara embriologis

    dalam polaritas dorsoventral.96,97 Secara subsekuensial, reseptor toll Dorsophila

    dibutuhkan untuk menimbulkan respon imunitas terhadap Aspergillus.98 TLRs

    mamalia ditemukan pada tahun 1998. TLR4 diidentifikasi sebagai reseptor LPS,

    berdasarkan studi yang dilakukan menggunakan rantai DNA tikus percobaan yang

    diketahui bersifat hiporesponsif terhadap efek dari LPS, tapi memiliki

    kecenderungan yang cukup tinggi untuk terkena infeksi.99Pada tahun yang sama,

    TLRs 1-5 pada manusia kemudian dikloning, dan diatur sedemikian rupa sehingga

    terlibat didalam proses imunitas berdasarkan homologi sekuensial dengan reseptor

    toll Dorsophila.100 Karena pada waktu itu TLRs mammalia multipel telah

    diidentifikasi, maka masing-masing TLR akhirnya mengenali pola molekuler

    patogen yang berbeda-beda. Contohnya, TLR2 memediasi efek dari lipoprotein

    mikrobial, peptidoglikan, asam lipotekoik, dan zimosan, yang merupakan

    komponen dari jamur; TLR3 berespon terhadap rantai ganda RNA; TLR4

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    32/53

    32

    memediasi efek dari LPS; TLR5 memeberi respon ke flagelin; TLRs7 dan 8

    mengenali stran RNA tunggal; dan TLR9 mengenali DNA yang unmethylated.

    Pemahaman yang luas mengenai struktur TLR dan jalurnya telah banyak

    berkembang sejak awal kemunculannya (gambar 75-5). TLR merupakan protein

    transmembran dengan dua domain utama. Ekstraseluler amino-terminal yang

    mengandung leusin dan juga terlibat pada proses PAMP. Intraseluler karboksi-

    terminal domain reseptor IL-1 (TIR) dibutuhkan dalam proses intraseluler.

    Kebanyakan TLR member signal secara eksklusif melalui molekul adapter

    MyD88, yang selanjutnya dapat mengakibatkan transkirpsi factor nuclear KB (NF-

    KB) translokasi ke nucleus, yang memicu transkripsi gen inflamasi, yang

    selanjutnya memicu produksi sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya.

    TLR3 memberi sinyal melalui molekul adapter yang berbeda dari MyD888 dan

    selanjutnya memicu translokasi nuclear dari interferon regulatory factor 3(IRF 3)

    dan peningkatan regulasi dari gen-gen B-interferon. TLR4, reseptor LPS, member

    sinyal mealui kedua jalur. Diyakini bahwa dengan jalur koordinasi yang berbeda

    dari beragam TLR, maka host kemudian mampu membedakan antara infeksi yang

    berbeda tipe dan menyusun respon imun yang sesuai untuk beberapa kuman

    pathogen.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    33/53

    33

    Karena kebanyakan PAMP memberi sinyal melalui NF-kB, maka

    memblok NF-KB sepertinya merupakan strategi yang potensial untk terapi

    antisepsis. Meskipun pada percobaan hewan inhibisi endotoksemia murni dari

    NF-KB telah menunjukkan hasil mampu meningkatkan keberhasilan dan

    membatasi kerusakan organ, masih belum ada penjelasan pasti mengenai efekmenguntungkan pembatasan NF-KB yang didemonstrasikan pada model bakteri

    sepsis hidup seperti infeksi peritonitis dari ligasi caecum dan punksi. NF-KB juga

    mempunyai jaringan dan fungsi yang bergantung pada waktu, dan inhibisi global

    sepertinya strategi yang sangat non-selektif yang mampu berinteraksi dengan

    efek menguntungkan dari mediator ini.

    Seperti pada semua sistem biologis, pemberian sinyal interseluler pada

    fase awal inflamasi dan infeksi adalah sangat berlebihan. Sebagai tambahan pada

    Gambar 75-5. Gambaran TLRs (toll-like receptor) dan skema jalur sinyal dari TLR.

    TLRs mengenali komponen mikroorganisme dan secara sentral terlibat dalam respon

    imun seluler selama proses infeksi. Aktivasi TLRs menyebabkan produksi dari

    beberapa mediator radang dini seperti sitokin tumor necrosis factor (TNF) dan

    interleukin (IL)-6, dan pada beberapa kasus diikuti dengan produksi interferon-.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    34/53

    34

    TLR, reseptor imun lain dan jalur sinyal juga sepertinya penting pada pengenalan

    dan pemberian respon pada infeksi, termasuk reseptor NOD, reseptor hewan, dan

    dektin. Tolong berpedoman pada kajian yang terbaru untuk diskusi yang lebih

    mendalam.

    Imunomodulasi : dari respon peradangan hingga imunosupresi

    Dalam 30-90 menit pertama setelah terpapar pada LPS, sel-sel

    mononuclear melepaskan sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-6, dan IL-1B.

    Hal ini mengaktivasi kaskade peradangan yang menstimulasi produksi lebih lanjut

    dan pelepasan sitokin, kemokin, mediator lipid, dan radikal bebas, yang

    kesemuanya terlibat dalam migrasi dan adesi leukosit pada kerusakan jaringan.

    Respon inflamasi yang mirip dapat dipicu melalui semua stressor yang dijelaskan

    pada pembahasan sebelumnya pada bab ini. Kegagalan pada terapi awal yang

    bertujuan memblok aspek dari respon inflamasi, seperti injeksi kortikosteroid

    dosis tinggi, TNF antagonis, IL-1 reseptor antagonis, dan non-isozim-spesifik

    inhibitor dari sintesis NO, telah memicu para peneliti untuk mencari pemahaman

    yang lebih dalam mengenai kompleks yang rumit ini dan sistem yang berlebihan.

    Ada banyak sekali bukti untuk mendukung konsep imunomodulasi, yaitu,

    keseimbangan antara aktivasi dan supresi sistem imun, selama masa penyakit

    kritis. Ada teori yang mempertanyakan bahwa ada kemungkinan terjadi

    imunoparalisis, dimana host mempunyai respon imun yang tidak adekuat terhadap

    mikroorganisme, memainkan peran penting pada tingkat morbiditas dan mortalitas

    yang menyangkut trauma maupun infeksi. Mediator antiinflamasi dan respon

    seluler yang terganggu dipercaya mampu membawa pasien kepada infeksi

    nosokomial dan mungkin saja MODS. Pada beberapa waktu setelah awal

    terjadinya fase proinflamasi setelah trauma maupun infeksi, antagonis dari sitokin

    proinflamasi dihasilkan. Imunosupresi diyakini terjadi ketika respon ini

    menggantikan fungsinya yaitu mengebalikan balans imunologik. Hal ini

    digambarkan melalui studi yang mengindikasikan bahwa darah dari pasien sepsis

    telah menurunkan jumlah produksi sitokin yang dipicu kerja LPS, tidak seperti

    darah dari pasien lain. Anergi, atau ketidakmampuan sel T untuk berproliferasi

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    35/53

    35

    dan mensekresi limfokin, terkadang diobservasi pada trauma berat dan pasien

    sepsis. Pada kasus trauma, adanya penurunan jumlah sel T mungkin saja

    merupakan hasil dari interaksi antara sel T dan mediator imunosupresif seperti IL-

    10. Regulator sel T (T-reg) yang merupakan elemen penting pada keseimbangan

    imunologik normal, memainkan peran penting dalam imunosupresi yang terjadi

    akibat luka bakar.115,117

    Pada infeksi akut, imunitas bisa terganggu akibat apoptosis dari sel T

    limfosit118 dibanding nekrosis sel itu sendiri. Terminologi nekrosis mengacu

    pada kematian sel yang tidak disengaja, sedang terminology apoptosis mengacu

    pada kematian yang telah direncanakan atau diprogramkan. Sebagai perbandingan

    dari nekrosis sel (kematian sel yang tidak terprogram), yang secara umum

    mempunyai efek menstimulasi sistem imun, apoptosis (kematian sel yang

    terprogramkan) dapat memicu pengeluaran sitokin antiinflamasi yang berefek

    terjadinya imunosupresi. Telah digambarkan bahwa limfosit B, limfosit CD4, dan

    sel dendritik mengalami apoptosis, namun limfosit T CD8 atau sel NL (Natural

    Killer) tidak mengalami apoptosis.118 Setelah berkurangnya sel sel T CD4 , bagian

    besar pada sel ini yang mengalami pemulihan adalah T-reg dan bukan T-helper

    (Th).119 Sel T-reg (lihat gambar di atas) mempunyai efek regulasi negatif yang

    multiple pada sistem imun, dan dapat berkontribusi terjadinya imunosupresi.

    Pentingnya sel imun untuk mengadakan apoptosis pada kasus sepsis juga telah

    ditunjukkan pada percobaan pada binatang. Strain dari tikus yang memproduksi

    protein antiapoptosis Bcl-2 dilindungi dari kerusakan setelah terjadinya sepsis

    intraabdominal yang diakibatkan punksi dan ligasi caecum.

    Dengan adanya imunosupresi tingkat lanjut setelah terjadinya trauma, para

    pasien penyakit kritis menjadi target terjadinya infeksi nosokomialyang dapat

    berakibat kegagalan organ yang fatal bahkan kematian.

    Gangguan metaboli k dan hi poksia ditopatik

    Pasien penyakit kritis dapat memicu terjadinya gangguan metabolic yang

    berakibat ketidakmampuan dalam mengadakan energy yang cukup untuk menjaga

    hemostasis. ATP merupakan bahan bakar dasar utama untuk respirasi tingkat sel.

    Mitokondria merupakan tempat utama produksi ATP secara aerobic. Hasil akhir

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    36/53

    36

    berupa piruvat, sebuah produk hasil metabolism glukosa, digunakan dalam siklus

    asam sitrat untuk memproduksi agen yang mampu menurunkan nikotinamid

    adenine dinukleotida (NADH) atau flavin adenine dinukleotida (FADH2) dan

    menyediakan aliran electron yang diperlukan untuk mensintesi ATP melalui

    fosforilasi oksidatif. Akhirnya, 36 atau 38 mol ATP dihasilkan dari oksidasi 1 mol

    glukosa. Sebaliknya, glikolisis anaerobik terjadi di sitoplasma dan hanya

    menghasilkan 2 mol ATP per mol glukosa, dengan hasil samping berupa asam

    laktat dan etanol. Pada penyakit kritis, kegagalan untuk menghasilkan jumlah

    ATP yang adekuat dapat berakibat disfungsi organ dan seluler.

    Beberapa studi menjelaskan bahwa berkurangnya produksi ATP pada

    pasien sepsis, dan rendahnya level ATP pada jaringan pada pasien penyakit kritis

    yang sepsis dan meninggal, ketika dibandingkan dengan mereka yang selamat.

    Salah satu alasan kegagalan memproduksi pasien pada pasien penyakit kritis

    adalah adanya distribusi oksigen ke jaringan vital yang tidak adekuat, yang

    merupakan akibat dari oksigenasi dan perfusi yang buruk. Selama masa SIRS dan

    syok sepsis beberapa factor dapat mengurangi perfusi jaringan, termasuk keadaan

    sirkulasi performa jantung, hipoksemi akibat trauma paru-paru yang akut,

    vasokontriksi akibat terpacunya pelepasan mediator vasopresor, dan atau

    koagulasi yang menyebabkan obstruksi mikrovaskuler.

    Hipoksia sitopatik

    Hipoksia sitopatik juga merupakan factor penting dalam terjadinya

    kegagalan memproduksi ATP yang adekuat karena ketidakmampuan sel untuk

    menggunakan oksigen yang tersedia. Studi klinis dan eksperimental menunjukkan

    bahwa tekanan oksigen di jaringan selama sepsis terkadang lebih tinggi

    disbanding pada masa non-sepsis.Disfungsi mitokondrial diperkirakan merupakan

    penyebab yang mendasari adanya diskoneksi yang nyata antara tekanan oksigen di

    jaringan, yang biasanya adekuat, dan rendahnya kadar ATP. Disfungsi

    mitokondria dilaporkan terjadi pada sel yang terekspos oleh makrofag, sitokin

    proinflamasi, LPS, dan infeksi. Beberapa factor dapat berkontribusi dalam

    terjadinya disfungsi mitokondria pada trauma akut, termasuk produksi NO dan

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    37/53

    37

    oksigen reaktif sepsis. Dosis rendah LPS dapat meningkatkan aktivitas RNA

    messenger pada jaringan pencernaan pada hewan percobaan, dan konsentrasi NO

    fisiologik dapat membatasi aktivitas oksidase sitokrom dengan jalan melakukan

    kompetisi dengan oksigen. Sebagai tambahan, NO dapat merusak mitokondria

    dengan memproduksi peroksinitrit ketika bereaksi dengan oksigen molekuler dari

    anion superoksida. Peroksinitrit merupakan agen oksidasi dan nitrat yang poten,

    yang dapat membatasi aktivitas mitokondria. Mitokondria biasanya mampu

    memproduksi kadar basal yang rendah dari anion superoksida yang dapat

    menignkat selama fase inflamasi. Adanya peroksinitrit dikaitkan dengan inhibisi

    mitokondria, kerusakan DNA, dan aktivasi poli-(ADP ribose)-polimerase (PARP),

    suatu enzim yang berfungsi memperbaiki kerusakan DNA stran tunggal. Aktivasi

    PARP mampu berefek pada kegagalan energi akibat berkurangnya bentuk

    teroksidasi dari nikotinamid adenine dinukleotide (NAD+) dan NADH, yang

    merupakan donor elektron penting pada fosforilasi oksidatif mitokondria.

    Kegagalan Organ, Kemampuan Bertahan Hidup, dan Kematian

    Untuk sekarang hanya terdapat pemahaman yang terbatas mengenai

    adanya disfungsi organ selama terjadinya penyakit kritis. Sebuah studi dengan

    autopsy pada pasien yang meninggal akibat sepsis menunjukkan adanya

    ketidakselarasan antara manifestasi klinis dan hasil histologist pada beberapa

    organ. Pada jantung, tidak ditemukan bukti histologist adanya kerusakan miosit

    meskipun terjadi berkurnagnya kontraktilitas yang secara umum dapat terlihat

    secara klinis; pada ginjal hanya terdapat kerusakan fokal dengan glomerulus yang

    masih terjaga dan arsitektur tubuler meskipun telah terjadi kerusakan akut yang

    mengganggu fungsi ginjal. Lebih jauh, kebanyakan pasien yang selamat dari syok

    sepsis mengalami pemulihan fungsi-fungsi dasar dari janutng, paru-paru, dan

    ginjal yang mengindikasikan bahwa faktor reversibel, berperan dalam disfungsi

    organ. Serupa dengan hal ini, kematian akibat sepsis juga belum dapat dipahami

    dengan baik. Seperti yang telah dibahas pada awal bab ini, kematian pada pasien

    dengan penyakit kritis terjadi kebanyakan karena ketidakpedulian pada terapi

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    38/53

    38

    disbanding yang diakibatkan oleh syok refrakter, hipoksia yang ekstrim, atau

    aritmia malignan.

    Mekanisme dari kegagalan organ pada penyakit kritis dideskripsikan

    secara detail pada bab 76. Di sini, kami menyediakan skema mengenai kejadian

    patofisiologik yang terjadi selama berkembangnya penyakit kritis. Pada tahap

    selanjutnya, pendekatan terapeutik yang berbeda dapat berguna untuk

    memengaruhi kemajuan penyakit menjauhi kematian (Gambar 75-6).

    Awalnya, penggunaan stress harus dilawan dengan resusitasi yang

    merupakan terapi dengan tujuan paling dini, menjamin bahwa tidak akan terjadi

    hipoksia jaringan. Namun demikian, prinsip ini juga bukanlah nilai universal,

    penggunaan terapi cairan terbatas telah berhasil menunjukkannya pada beberapa

    pasien trauma.2 Pada laporan kasus kami, adanya hipertensi pulmoner dan

    insufisiensi ventrikel kanan secara lebih lanjut menambah tingkat kesulitan dari

    manajemen terapi resusitasi, memicu penggunaan monitoring infasif melalui

    Gambar 75-6. Paradigma evolusi penyakit kritis yang diajukan

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    39/53

    39

    kateter arteri pulmoner, yang sebaiknya tidak secara rutin digunakan sebagai

    terapi ARDS.140

    Lebih lanjut, terapi yang memicu terjadinya respons alamiah terhadap

    trauma akut, seperti injeksi protein C yang telah diaktifkan spserti yang telah

    dilakukan pada laporan kasus kami, dapat meningkatkan kondisi pasien pada

    kebanyakan pasien-pasien kritis. Ke depannya, terapi yang terfokus pada proteksi

    mitokondria, seperti pemberian PARP inhibitor, superoksida, peroksinitrit hewan,

    atau NOS-2 selektif inhibitor, dapat mencegah efek sitopatik oksigen dan radikal

    bebas nitrogen, dan menurunkan disfungsi mitokondria. Imunosupresi, keadaan

    katabolik yang menetap, dan status nutrisi yang buruk dapat menurunkan

    pertahanan tubuh host dan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi sebagai

    komplikasi. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan kurangnya perhatian

    terhadap prosedur dasar untuk mencegah transmisi bakteri yang resisten terhadap

    antibiotik dapat selanjutnya meningkatkan resiko infeksi nosokomial. Pada

    laporan kasus kami, suatu pneumonia yang disebabkan Pseudomonas

    menghambat status pemulihan pasien, meskipun pada akhirnya pasien kami tetap

    selamat. Terapi di masa yang akan datang dapat berfokus pada banyak aspek dari

    imunosupresi, termasuk mekanisme apoptosis (semisal, dengan manipulasi Bcl-2),

    dan menyediakan balans nutrisi yang mampu menstimulasi fungsi sistem imu.

    Sebagai tambahan, stimulus-stimulus untuk meningkatkan pembangkitan energi

    dari mitokondria akan menjadi sangat penting, sehingga kita dapat mengontrol

    produksi energi di tingkat sel untuk mencapai level yang sesuai.

    Melalui penelitian tingkat lanjut kita dapat mengetahui mekanisme dasar

    dari segala penyakit kritis, maka sepertinya algoritma terapi dalam mengatasi

    penyakit kritis akan berkembang, dari pendekatan fisiologis respirasi dan sirkulasi

    ke pendekatan yang lebih mengarah ke mekanisme yang diinginkan.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    40/53

    40

    Rangkuman

    Trauma akut yang disebabkan oleh beragam cara, seperti aspirasi isi

    lambung ke paru-paru, menyebabkan respon fisiologis lokal dan sistemik yang

    segera yang disebabkan oleh fenomena humoral dan fenomena peradangan yang

    telah dipahami dengan baik. Meskipun fenomena ini sangat kompleks,

    pemahaman kita mengenai evolusi penyakit kritis juga telah banyak mengalami

    peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, dikarenakan para peneliti telah

    berusaha untuk menggambarkan mekanisme pada tingkat sel dari respon host

    terhadap trauma. Interaksi yang terjadi antara trauma awal (biasanya pembedahan,

    atau infeksi) dan respon dari host menentukan evolusi dari penyakit kritis apakah

    akan membaik dan mengalami pemulihan atau terjadi komplikasi dan kematian.

    Meskipun dibuthkan respon terhadap radang yang baik untuk melawan trauma

    yang sangat parah, adanya penurunan pada intensitas, dan onset terjadinya status

    hipoimun akan menyebabkan infeksi tingkat lanjut yang dapat berakibat

    terjadinya disfungsi organ dan kematian.

    Hasil terapi pada kebanyakan pasien ICU dapat diprediksi menggunakan

    sistem yang tervalidasi yang dapat menghitung tingkat keparahan suatu penyakit,

    namun sistem ini tidak akurat pada tingkat pasien-per-pasien. Maka dari itu,

    pasien-pasien penyakit kritis biasanya menjalani terapi yang kompleks dan

    intervensi yang bersifat infasif sampai mereka, keluarga mereka, bahkan para

    dokter meyakini tidak ada harapan lagi untuk mengejar pemulihan atau sampai

    pada isu pembiaran kematian. Efektivitas dari terapi kami bergantung pada

    beberapa faktor, termasuk kemampuan kami dalam melakukan intervensi yang

    sesuai dan pada waktu yang tepat. Terapi intervensi masa kini meningkatkan

    kemungkinan survival rate pada banyak pasien-pasien kritis. Bertambah

    baiknya pemahaman mengenai mekanisme dasar yang mendasari penyakit kritis,

    menyebabkan dibutuhkannya strategi terapeutik tambahan yang efektif yang

    selanjutnya mampu meningkatkan pelayanan dan hasil terapi pada pasien-pasien

    penyakit kritis.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    41/53

    41

    REFERENSI UTAMA

    1. Chastre J, Fagon J-Y. Ventilatorassociated pneumonia. Am J Respir Crit Care

    Med 2002;165:867903.

    2. Kohn K, Corrigan J, Donaldson M. To Err Is Human: Building a Safer Health

    System. Washington, DC: National Academy Press, 1999.

    3. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N EnglJ Med 2003;348:138150.

    4. Tracey K. The inflammatory reflex. Nature 2002;420:853859.

    5. Russell J, Phang P. The oxygen delivery/consumption controversy.

    Approaches to management of the critically ill patient. Am J Respir Crit Care

    Med 1994;149:533537.

    6. Gay NJ, Keith FJ.Drosophila toll and IL-1 receptor. Nature 1991;351: 355

    356.

    7. Ochoa JB, Makarenkova V. T lymphocytes. Crit Care Med 2005; 33:S510

    S513.

    8. Fink MP. Bench-to-bedside review: cytopathic hypoxia. Crit Care

    2002;6:491499.

    9. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. N Engl J Med

    1999;340:207214.

    DAFTAR PUSTAKA

    1.

    Mokdad A, Marks J, Stroup D, Gerberding J. Actual causes of death in the

    United States in 2000. JAMA 2004;291:12381245.

    2.

    Bickell W, Wall M, Pepe P, et al. Immediate versus delayed fluid

    resuscitation for hypotensive patients with penetrating injuries. N Engl J Med

    1994;331:11051109.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    42/53

    42

    3.

    Moore F, McKinley B, Moore E. The next generation of shock resuscitation.

    Lancet 2004;363:19881996.

    4. Spahn D, Rossaint R. Coagulopathy and blood component transfusion in

    trauma. Br J Anaesth 2005;95:130139.

    5. Rhee P, Kustova E, Alam H. Searching for the optimal resuscitation method:

    recommendations for the initial fluid resuscitation of combat casualties. J

    Trauma 2003;54:552562.

    6. Moore F, Moore E, Saunia A. Blood transfusion. An independent risk factor

    for postinjury multiple organ failure. Arch Surg 1997;132:620624.

    7.

    Toy P, Popovsky M, Abraham W, et al. Transfusion-related acute lung injury:

    definition and review. Crit Care Med 2005;33: 721726.

    8. Zallen G, Offner P, Moore E, et al. Age of transfused blood is an independent

    risk factor for postinjury multiple organ failure. Am J Surg 1999;178:570

    572.

    9. Lin E, Calvano S, Lowry S. Inflammatory cytokines and cell response in

    surgery. Surgery 2000;127:117126.

    10.

    Katzenstein A, Asken F. Acute lung injury patterns: diffuse alveolar damage,

    acute interstitial pneumonia, bronchiolitis obliterans-organizing pneumonia.

    In: Katzenstein AAF, ed. Surgical pathology of the non neoplastic lung

    diseases. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1990:956.

    11. Ware L, Matthay M. The acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med

    2000; 342:13341349.

    12. Wan L, Bellomo R, Giantomasso D, Ronco C. The pathogenesis of septic

    acute renal failure. Curr Opin Crit Care 2003;9: 496502.

    13.

    Jakob SM, Takala J. Gut perfusion in the critically ill. Intensive Care Med

    2000; 26:813815.

    14. Alverdy J, Laughlin R, Wu L. Influence of the critically ill state on host

    pathogen interactions within the intestine: gut-derived sepsis redefined. Crit

    Care Med 2003; 31:598607.

    15. El-Menyar A, Ayman A. The resuscitation outcome: revisit the story of the

    stony heart. Chest 2005;128:28352846.

  • 5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX

    43/53

    43

    16.

    Bolli R, Marban E. Molecular and cellular mechanisms of myocardial

    stunning. Physiol Rev 1999;79:609634.

    17. Heusch G, Schulz R, Rahimtoola S. Myocardial hibernation: a delicate

    balance. Am J Physiol 2005;288:H984H999.

    18. McCord JM. Oxygen-derived free radicals in postischemic tissue injury. N

    Engl J Med 1985;312:159163.

    19. Gonzalez D. Crush syndrome. Crit Care Med 2005;33:S34S41.

    20. Kupiec-Weglinski J, Busuttil R. Ischemia and reperfusion injury in liver

    transplantation. Transplant Proc 2005;37:16531656.

    21.

    Seal J, Gewertz B. Vascular dysfunction in ischemia-reperfusion injury. Ann

    Vasc Surg 2005;19:572584.

    22. Baudouin S. Lung injury after thoracotomy. Br J Anaesth 2003;91:132142.

    23.

    Hamvas A, Park C, Palazzo R, Liptay M, Cooper J, Shuster D. Modifying

    pulmonary ischemia-reperfusion injury by altering ventilatory strategies

    during ischemia. J Appl Physiol 1992;73:21122119.

    24.

    Calle E, Thun M, Petrelli J, Rodriguez C, Heath C. Body-m