Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
Transcript of Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
1/53
1
BAB 75
Patofisiologi Penyakit Kritis
Luca M. Bigatello, MD, Judith Hellman, MD, David liu, MD, PhD, dan Warren M. Zapol, MD
Istilah penyakit kritis digunakan untuk mendefinisikan beberapa kondisi
klinis yang mendapatkan perawatan primer di unit perawatan intensif (ICU), dan
umumnya memiliki derajat disfungsi sistem atau organ baik tunggal maupun
multipel yang bervariasi, dengan pemantauan prognosis yang bersifat tiba-tiba.
Patofisiologi dan manisfestasi klinis dari penyakit kritis sangat bersifat inklusif,
karena istilah penyakit kritis itu sendiri lebih ke arah prediksi kondisi akhir
pasien, dibandingkan perwujudan yang berlainan. Ahli anastesi bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada pasien kritis baik di kamar operasi, ICU, maupun
selama dilakukannya prosedur yang dilakukan di luar kamar operasi, seperti
prosedur radiografi dan endoskopi. Oleh karena itu, ahli anastesi pernting untuk
memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai proses patofisiologi yang terjadi
pada kasus-kasus kritis, untuk memberikan penanganan perioperatif yang efektif
terhadap pasien dengan penyakit kritis tersebut.
Bab ini akan membahas mengenai sejumlah elemen dasar dari penyakit
kritis, termasuk faktor pemicu, patofisiologi yang menyebabkan disfungsi organ
dan sistem, peran sistem imunitas dalam penyakit kritis, dan terapi terbaru untuk
kondisi dan derajat penyakit kritis yang berbeda-beda. Progresifitas penyakit kritis
ini kemudian dianalisis dengan melakukan penilaian terhadap jenis kelainan
primer yang terjadi, respon tubuh terhadap kelainan tersebut, dan progresifitas
dari respon tersebut, baik terhadap proses penyembuhan dan pemulihan, atau
terhadap deteriorasi dan kematian. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan
mengenai angka epidemiologi, serta keberhasilan terapi. Bab ini dimulai dengan
laporan kasus mengenai pasien dengan derajat severitas penyakit kritis yang
berbeda-beda, yang kemudian dibahas lebih rinci pada subbab yang terdapat
dalam bab ini.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
2/53
2
Laporan Kasus
Wanita usia 77 tahun dengan riwayat penyakit paru obstruktif kronik dan
hipertensi, dipindahkan dari bangsal ke unit perawatan intensif (ICU)
pembedahan, dengan indikasi distres pernapasan akut. Wanita ini telah pulih
dengan baik dari prosedur Whipple hingga pagi hari saat kejadian, dimana wanita
ini merasakan mual dan lemas, lalu diikuti dengan muntah yang cukup banyak dan
berwarna hitam, lalu tiba-tiba mengeluhkan kesulitan untuk bernapas.
Saat sampai di ICU pembedahan, wanita ini tampak mengalami distres
pernapasan absolut, dengan saturasi oksigen marginal 87-89% yang diukur
menggunakan pulse oxymetry (SpO2) pada masker oksigen non-rebreathing.
Pasien ini kemudian mendapatkan tindakan intubasi endotrakea, dan didapatkan
banyak cairan berwarna hijau kehitaman dari jalan napas ketika dilakukansuction.
Cairan yang didapatkan tampak sama dengan cairan ketika dilakukansuctionpada
lambung. Pemeriksaan bronkoskopi memperlihatkan adanya pewarnaan difus
pada mukosa trakeobronkial dengan material bilier, hingga turun ke bronkus
lobaris secara bilateral. Kondisi pasien terus memburuk setelah 4-6 jam kemudian.
Pasien mengalami kegagalan respirasi yang membutuhkan bantuan ventilator, dan
juga mengalami ketidakstabilan hemodinamik yang diterapi dengan infus
vasopresor intravena dosis tinggi, untuk mempertahankan tekanan darah arteri
sistemik yang adekuat. Pemeriksaan kateter arteri pulmoner memperlihatkan
adanya hipertensi arteri pulmoner sedang sampai berat dan curah jantung yang
rendah, yang utamanya disebabkan oleh disfungsi ventrikel kanan yang
dikonfirmasi dengan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal. Pasien ini diterapi
dengan antibiotik spektrum luas, recombinant human activated protein C, dan
inhalasi oksida nitrat (NO), serta diberikan ventilasi menggunakan strategi lung
protective dengan volume tidal yang rendah. Setelah beberapa hari, kondisi
pasien masih sangat tidak stabil karena gangguan kardiovaskuler dan pulmoner
yang dialami. Pasien mengalami tiga kali episode henti denyut jantung yang
membutuhkan resusitasi kardiopulmoner, dan menjadi hipoksemik dengan
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
3/53
3
stimulasi minimal yang sangat membutuhkan perawatan yang intensif. Pada hari
ke 10, fungsi respirasi dan kardiovaskuler sudah mulai membaik, dan dilakukan
pemeriksaan computed tomogram pada dada pasien (Gambar 75-1). Setelah itu,
alat penyokong hemodinamik dan penggunaan ventilator mulai dikurangi, dan
digantikan dengan ventilasi pendamping, kemudian pemberian vasopresor
dihentikan, dan pasien sudah mulai berinteraksi dengan petugas-petugas di ICU.
Pada perawatan ICU hari ke 13, pasien menjalani trakeostomi perkutan bedside.
Pada perawatan ICU hari ke 15, sekresi bronkial pasien menjadi purulen, dan
pasien mengalami demam dan leukositosis, sehingga membutuhkan peningkatan
bantuan pernapasan. Pasien kemudian didiagnosis dengan ventilator-associated-
pneumonia dengan bakteri Pseudomonas aeroginosa yang didapatkan pada
pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan gambaran klinis. Pasien kemudian
kembali diterapi dengan antibiotik dan penyokong ventilasi kontinyu, dan kondisi
pasien mulai membaik secara bertahap, dan keluar dari perawatan ICU
pembedahan pada hari ke 24. Penggunaan ventilasi mekanik kemudian dihentikan,
dan pasien dipindahkan ke ruang perawatan semi-intensif.
28 hari setelah awal masuk ke ICU, dan 45 hari setelah prosedur
pembedahan yang dijalankan, pasien kemudian dipindahkan ke fasilitas
rehabilitasi. Walaupun pasien sudah tidak menggunakan ventilasi mekanik,
namun pasien masih memiliki beberapa keterbatasan, dimana pasien tidak dapat
berdiri lebih dari beberapa menit, berjalan lebih dari beberapa langkah, dan tidak
dapat melakukan beberapa aktivitas sehari-hari, seperti makan sendiri. Selain itu,
pasien masih membutuhkan analgesia narkotik dan obat-obat antipsikosis untuk
membantu pasien agar dapat tidur pada malam hari, dan mengurangi episode
delirium hiperaktif berulangnya.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
4/53
4
Beberapa kondisi yang dapat berujung pada kondisi kritis
Beberapa kondisi cedera akut dapat berujung pada penyakit-penyakit kritis
dan perawatan ICU. Kondisi-kondisi tersebut diklasifikasikan dalam beberapa
kelompok yaitu pembedahan dan trauma, gangguan metabolik, dan infeksi. Pada
beberapa pasien, beberapa kondisi dapat muncul secara bersamaan, contohnya
pembedahan, peradangan, dan infeksi.
Cedera langsung pada jaringan akibat trauma dan prosedur pembedahan
Cedera langsung pada jaringan akibat trauma dan prosedur pembedahan
dapat menyebabkan gangguan hemostasis tubuh yang cukup berat, seperti
ketidakstabilan hemodinamik, abnormalitas respirasi, dan perpindahan cairan dari
satu kompartemen ke kompartemen lain. Morbiditas perioperatif dapat disebabkan
oleh beberapa kondisi seperti nyeri, imobilitas, dan bedrest yang terlalu lama.
Beberapa dekade yang lalu, semua kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri
terhadap para ahli bedah dan ahli anastesi, dan membuat beberapa prosedur
pembedahan menjadi lebih kompleks dan berbahaya. Namun, tantangan tersebut
sekarang sudah mulai dapat diatasi dengan pemberian pelayanan anastesi
perioperatif yang tepat, walaupun pada dasarnya beberapa prosedur tetap akan
berpotensi untuk menyebabkan komplikasi perioperatif, seperti prosedur elektif
kompleks (pneumonektomi, perbaikan aneurisma torakoabdominal, dll), trauma
Gambar 75-1. Pemeriksaan CT-scan dada pada level segmen atas thoraksmemperlihatkan adanya opasitas parenkim ground-glass bilateral difus yang sesuai
dengan gambaran sindrom distres perdapasan akut/cedera paru akut
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
5/53
5
mayor, pembedahan emergensi, dan prosedur yang dilakukan pada pasien dengan
komorbiditas yang cukup signifikan. Pasien-pasien dengan kondisi tersebut
merupakan populasi mayor yang paling sering dirawat di ICU pembedahan.
Trauma merupakan penyebab primer mortalitas pada individu dibawah 40
tahun di Amerika Serikat.1Pada negara-negara yang belum berkembang, korban
trauma biasanya memiliki keterbatasan untuk mengakses pelayanan intensif,
padahal pelayanan intensif pada dasarnya sangat dibutuhkan untuk
menyelamatkan ribuan nyawa tiap tahunnya. Trauma secara umum dibagi menjadi
trauma tajam dan trauma tumpul. Trauma tajam seperti luka tusuk atau luka
tembak membutuhkan tindakan yang segera, seperti kontrol perdarahan, drainase
udara atau darah yang berada di ruang dengan tekanan negatif, serta pemindahan
dengan cepat ke pusat pelayanan trauma. Penanganan yang cepat dan tepat dapat
meningkatkan kesempatan bertahan hidup, serta menurunkan kemungkinan
perawatan lebih lanjut di unit perawatan intensif.2,3Trauma tumpul seperti jatuh
dan kecelakaan kendaraan bermotor dapat menyebabkan cedera multipel yang
membutuhkan penanganan segera, seperti kasus-kasus ruptur limpa atau fraktur
tulang terbuka, dan kasus-kasus lain yang paling baik ditangani secara
konservatif. Penanganan dengan metode damage control dapat meminimalkan
durasi pembedahan, dan memungkinkan pelayanan ICU pembedahan preoperatif
yang mencakup resusitasi volume cairan, kontrol suhu, pemantauan hemodinamik,
nutrisi, dan protokol pencegahan komplikasi berupa infeksi nasokomial. Metode
ini biasanya membutuhkan pendampingan tim anastesi selama perjalanan ulang ke
kamar operasi. Cedera yang berhubungan dengan trauma dan pembedahan mayor
dapat terjadi melalui tiga mekanisme utama yaitu perdarahan, cedera jaringan, dan
hipoperfusi.
Perdarahan dapat menyebabkan respon fisiologi segera untuk
mempertahankan volume darah sirkulasi dan transfer oksigen ke organ-organ
vital. Pada individu yang sehat, gejala syok terjadi jika perdarahan akut
menyebabkan kehilangan darah lebih dari 20% dari total volume darah sirkulasi,
yaitu sekitar 1 liter darah pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg. Kondisi
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
6/53
6
ini membutuhkan tindakan resusitasi dengan segera untuk mencegah kolaps
kardiovaskuler dan kematian. Keterbatasan toleransi perdarahan dipengaruhi oleh
penurunan volume darah sirkulasi dan curah jantung, dan bukan oleh penurunan
kapasitas darah dalam membawa oksigen, bahkan pada kasus kadar hemoglobin
(Hgb) rendah setelah perdarahan sekalipun. Contohnya, kehilangan darah sebesar
30-40% akan secara langsung menurunkan konsentrasi hemoglobin plasma
sampai level yang masih cukup dapat membawa oksigen ke jaringan. Konsentrasi
hemoglobin pada level 5 gr/dL dikatakan masih dapat mengirimkan oksigen yang
cukup ke jaringan dengan didukung oleh pembuluh darah yang normal, dan
tekanan oksigen arteri (PaO2) serta curah jantung yang adekuat (Tabel 75-1).
Terapi yang dilakukan dengan segera dan efektif memiliki peranan yang
sangat penting terhadap kondisi klinis pasien. Terdapat teori lama yang
menyatakan bahwa, resusitasi volume agresif harus dimasukkan kedalam
penanganan awal pasien dengan perdarahan. Namun, metode tersebut sekarang
telah menimbulkan banyak kontroversi dikarenakan beberapa alasan. Pertama,
pemberian infus kristaloid dengan volume besar dapat menyebabkan koagulopati
dilusional, yang ditandai dengan trombositopeni dan penurunan konsentrasi
Tabel 75-1
Nilai transfer oksigen (DO2) pada beberapa derajat anemia yang berbeda
Hgb (gr/dl) CO (l/menit) DO2(ml/menit)
Normal 14 5 900
Anemia 9 6 700
Anemia berat 5 7 450
DO2= kandungan oksigen arteri (CaO2) x curah jantung (CO)
CaO2= Hg x 1.34 x saturasi oksigen (SpO2) + PaO2x 0.003
CaO2normal = 14 gr/dl x 1.34 x 0.98 + negligible dissolvedO2= 19 mL O2per dL darah; x CO
5 L/menit, DO2= 900 mL/menit
Dengan anemia berat: Hgb 5 gr/dl, SpO2normal, dan peningkatan CO sebesar 7 L/menit, nilai
DO2yang didapatkan adalah 350 mL/menit, masih diatas nilai kebuthan oksigen jaringan rata-
rata pada istirahat VO2 sekitar 250 ml/menit. Diasumsikan terdapat peningkatan sedang dari
kadar CO pada masing-masing level anemia.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
7/53
7
faktor-faktor pembekuan di sirkulasi.4Gangguan tersebut dapat ditangani dengan
pemberian infus platelet dan fresh-frozen plasma, bersamaan dengan resusitasi
kristaloid masif,5dapat memperburuk kelebihna volume intravaskuler dan edema
pada organ-organ vital. Kedua, terdapat bukti bahwa resusitasi volume masif
untuk trauma tajam torso dapat menyebabkan eksaserbasi perdarahan dari lokasi
trauma, dan dapat meningkatkan mortalitas.2 Ketiga, transfusi darah dapat
menekan imunitas seluler dan meingkatkan resiko infeksi, menyebabkan
gangguan paru akut/sindrom distres pernapasan akut, dan kematian.6-8
Cedera jaringan dapat menyebabkan gangguan sistemik. Cedera jaringan
ini bisa diminimalisir selama pembedahan elektif dengan penggunaan teknik
pembedahan dan anastesi yang tepat, namun dapat menyebabkan beberapa cedera
mayor pada beberapa kondisi yang tidak dapat diprediksi. Kerusakan jaringan,
gangguan perfusi, dan nekrosis sel dapat menyebabkan pelepasan faktor-faktor
jaringan kedalam peredaran darah, sehingga memicu respon inflamasi sistemik
yang ditandai dengan proses sintesis dan pelepasan sitokin. Tumor necrosis factor
(TNF)- dan Interleukin (IL)-6 merupakan sitokin awal yang dapat dideteksi di
sirkulasi sistemik segera setelah terjadinya cedera jaringan, dan memperparah
respon inflamasi kompleks yang merupakan bagian dari penyakit kritis. 9 Jenis
cedera jaringan yang lain dapat memberikan efek langsung maupun sistemik yang
berkontribusi terhadap terjadinya penyakit kritis. Salah satu contoh yang sering
ditemukan adalah kasus cedera pada paru-paru. Laporan kasus yang telah
dijelaskan sebelumnya memperlihatkan bahwa, penyebab awal dari penyakit kritis
kompleks yang dialami pasien adalah trauma kimia terhadap epitel alveolus yang
disebabkan oleh aspirasi dari isi lambung. Mekanisme yang sama dapat terjadi
pada beberapa jenis cedera paru yang lain, seperti kontusio paru akibat trauma
tumpul pada dada, atau pneumonia. Respon paru terhadap cedera kaut pada
beberapa kondisi stereotipikal yang disebabkan beberapa macam faktor pemicu,
dapat menyebabkan gambaran patologis berupa diffuse alveolar damage10 dan
gambaran klinis dari gangguan paru akut/sindrom distres pernapasan akut, yang
merupakan sindrom dengan kombinasi inflamasi lokal dan sistemik.11Mekanisme
yang sama juga tampaknya dapat terjadi sebagai sekuensial dari trauma mayor
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
8/53
8
akut pada ginjal12dan usus13,14, walaupun pendapat tersebut belum diteliti lebih
lanjut.
Hipoperfusi dan iskemi dapat disebabkan oleh trauma jaringan secara
langsung, gangguan aliran darah regional, atau penurunan aliran darah
keseluruhan yang juga disebut sebagai low-fow-state. Penurunan signifikan
transfer oksigan ke jaringan ditandai dengan produksi lokal asam laktat akibat
proses glikolisis anaerob, dan dapat menyebabkan atau memicu terjadinya
asidosis metabolik. Namun, walaupun terjadi iskemi yang cukup berat, viabilitas
jaringan masih dapat tetap dipertahankan. Efek restorasi aliran darah setelah
terjadi iskemi dapat didapatkan pada jantung, dimana bisa didapatkan adanya
oklusi arteri yang sering ditemukan pada prosedur revaskularisasi koronek dengan
teknik yang cukup canggih.15Myocardial stunningdidefinisikan sebagai disfungsi
iskemik akut yang disebabkan oleh penghentian akut sirkulasi koroner regional,
dan dapat dikembalikan ke kondisi semula dengan restorasi cepat aliran darah.16
Myocardial hibernation merupakan kondisi disfungsi kronik yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan perfusi koroner, dan dapat pula ditingkatkan dengan
prosedur revaskularisasi koroner, walaupun agak sulit untuk diprediksi.17
Bagaimanapun, hipoperfusi global biasanya bersifat ireversibel: pada sindrom
postresusitasi yang terjadi setelah resusitasi kardiopulmoner yang cukup lama,
disfungsi iskemik akut dari otot jantung (stony heart)15 dikatakan bertanggung
jawab terhadap tingginya angka fatalitas yang didapatkan segera setelah resusitasi
kardiopulmoner, dan ditandai dengan penurunan kontraktilitas jantung dan aritmia
yang berat.
Walaupun restorasi suplai darah jaringan dapat mencegah kematian sel dan
mengembalikan fungsinya, namun reperfusi akut jari jaringan yang iskemi dapat
menyebabkan cedera sel yang cukup signifikan yang disebut sebagai ischemia-
reperfusion injury. Jika suplai oksigen tidak adekuat, produksi adenosin trifosfat
(ATP) dari mitokondria akan berkurang, menyebabkan peningkatan adenosin
monofosfat (AMP) dan produk sampingnya berupa hipoksantin, dan konversi
enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase. Selama proses reperfusi
dengan darah yang kaya oksigen, hipoksantin akan dioksidasi oleh xantin
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
9/53
9
oksidase dengan kecepatan yang cukup tinggi, sehingga menghasilkan radikal
bebas oksigen sitotoksik dalam kuantitas yang cukup besar, termasuk oksigen
molekuler, superoksida, dan ion hidrogen peroksida.18 Ischemia-reperfusion
injury dapat didapatkan pada pasien dengan crush syndrome,19 transplantasi
organ,20perbaikan aliran darah pada ekstremitas atau organ-organ intraabdomen,21
dan selama perubahan eksperimental dari ventilasi dan perfusi paru.22,23
Kegagalan metabolik
Kegagalan metabolik merupakan indikasi perawatan ICU yang cukup
jarang ditemukan. Gangguan metabolik biasanya terjadi akibat konsekuensi dari
malnutrisi berat seperti penurunan berat badan yang cukup ekstrim, kwasiorkor,
dan avitaminosis. Penyakit-penyakit tersebut sangat jarang ditemukan pada
masyarakat industrialisasi, walaupun prevalensinya dilaporkan cukup tinggi di
seluruh dunia.
Gangguan metabolik lain seperti obesitas morbid, dilaporkan lebih banyak
ditemukan di Amerika Serikat dan negara-negara industri lain.24Obesitas morbid
(kelebihan berat badan sebesar 30% dari berat badan ideal, atau indeks massa
tubuh lebih dari 40, dimana indeks massa tubuh didapatkan dari berat badan
dalam kg dibagi dengan tinggi badan dalam m2]) dapat meningkatkan resiko
komplikasi yang berhubungan dengan prosedur pembedahan dan anastesi. Pasien
dengan obesitas morbid memiliki peningkatan kecenderungan untuk masuk ke
unit perawatan intensif karena komplikasi akibat pembedahan bariatrik atau
kondisi-kondisi yang tidak berhubungan, seperti trauma. Komorbiditas obesitas
yang sering ditemukan meliputi hipertensi, diabetes, obstructive sleep apnea,
penyakit paru kronik, dan gagal jantung, yang meningkatkan resiko komplikasi
gangguan pernapasan dan kardiovaskuler posoperatif. Selain itu, obesitas morbid
juga sering memberikan permasalahan logistik, seperti perlunya penggunaan
tempat tidur khusus, keterbatasan dalam kemampuan untuk melakukan beberapa
prosedur diagnostik yang penting seperti MRI dan CT scan, kesulitan dalam
mengakses pembuluh darah, serta kesulitan dalam melakukan pemantauan,25,26
serta permasalahan kompleks mengenai dosis obat yang sesuai.27
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
10/53
10
Gangguan metabolik yang sering membutuhkan perawatan lebih lanjut di
ICU meliputi gangguan-gangguan metabolik yang berhubungan dengan penyakit
kronik seperti diabetes melitus, ketoasidosis diabetik, dan koma nonketotik
hiperosmolar. Penanganan diabetes melitus dan komplikasinya dibahas lebih
lanjut dalam bab 12 dan 16.
Infeksi
Infeksi memegang peranan penting dalam onset dan progresivitas
penyakit-penyakit kritis. Sebuah survey yang dilakukan pada 198 ICU di Eropa
memberikan hasil bahwa, 25% perawatan ICU didasarkan pada indikasi sepsis,
dan 37% dari pasien ICU mengalami sepsis dan syok septik pada beberapa waktu
selama perawatan tersebut.28 Infeksi merupakan penyebab utama kematian yang
terjadi di ICU. Sekitar 750.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat
dilaporkan mengalami sepsis, dan 30-40% diantaranya meninggal.29 Pasien
dengan perawatan ICU lebih dari 48 hari dan mengalami infeksi, dikatakan
mengalami peningkatan angka mortalitas dari 22% sampai 35%.30 Spektrum
severitas sepsis dijelaskan dengan menggunakan beberapa istilah, yaitu sepsis,
sepsis berat, syok septik, dan syok septik refraktori. Sindrom disfungsi multiorgan
merupakan komplikasi berat dari sepsis dan kondisi inflamasi lain yang
disebabkan oleh penyakit-penyakit kritis. Sindrom disfungsi multiorgan dikatakan
berhubungan dengan tingginya angka mortalitas. Istilah-istilah tersebut sempat
dibahas dalam sebuah konferensi konsensus terbaru dari The Society of Critical
Care Medicine dan The American College of Chest Physicians31dan dibahas lebih
lanjut dalam bab 76. Penyebab dasar kematian pasien-pasien di ICU kebanyakan
agak sulit untuk ditentukan, karena fungsi respirasi pada pasien ICU biasanya
dibantu dengan ventilator atau paru-paru artifisial, dan fungsi renal biasanya
digantikan oleh hemofiltrasi dan hemodialisis. Penyebab kematian terkadang
dapat berupa hipoksemi, hipotensi yang tidak dikoreksi, atau aritmia fatal yang
tiba-tiba. Mayoritas pasien ICU yang meninggal akibat infeksi berat,32,33biasanya
akan meninggal akibat dihentikannya terapi yang diberikan setelah mendapatkan
persetujuan kedua belah pihak, baik dari dokter yang merawat maupun keluarga
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
11/53
11
pasien sebagai konsekuensi kegagalan dalam penanganan sindrom disfungi
multiorgan persisten.
Tabel 75-2 menampilkan infeksi yang umum ditemukan, dan
membutuhkan perawatan lebih lanjut di unit perawatan intensif (ICU). Infeksi-
infeksi lain juga cukup penting karena efeknya yang cukup besar dalam dunia
kesehatan masyarakat, baik yang telah ada (tuberkulosis, malaria, dan AIDS),
maupun yang berpotensi untuk muncul seperti sindrom distres pernapasan akut,
maupun avian influenza, dan dirangkum dalam Tabel 75-3. Deskripsis sistematis
gambaran klinis dan terapi dari kondisi tersebut dibahas lebih lanjut dalam bab 17.
Pasien ICU sering menderita infeksi, termasuk infeksi yang didapatkan di
rumah sakit maupun infeksi nasokomial, dan kondisi tersebut berkontribusi
terhadap angka kematian yang cukup tinggi pada pasien dengan penyakit-penyakit
kritis. Pada laporan kasus yang telah dibahas sebelumnya, pneumonia
Pseudomonas aeroginosa dikatakan dapat menghambat pemulihan dari kondisi
sindrom distres pernapasan akut, dan cenderung memperpanjang durasi perawatan
ICU, dan meningkatkan waktu dependensi pasien terhadap ventilator. Untungnya,
pasien berhasil pulih dari ventilator-associated pneumonia yang dialami,
walaupun angka mortalitas yang didapatkan mencapai 20-50%.34 Infeksi
nasokomial sering disebabkan oleh bakteri-bakteri multiresisten yang ditularkan
oleh petugas kesehatan ke pasien, akibat penggunaan luas dari agen-agen
antimikroba.35,36 Penggunaan alat-alat yang membutuhkan waktu lama seperti
kateter vena sentral, tuba endotrakea, dan kateter urin dikatakan berkontribusi
terhadap terjadinya infeksi. Faktor-faktor tersebut dapat diminimalkan dengan
melakukan prosedur-prosedur standar yang terkadang jarang dilakukan, seperti
mencuci tangan, penggunaan sarung tangan dan jubah ketika memeriksa pasien,
perawatan berkala dari alat-alat yang digunakan dalam waktu yang lama, dan
penggunaan antibiotik yang tepat.37
Kebanyakan infeksi nasokomial sebenarnya muncul dalam bentuk cedera
iatrogenik yang dapat dicegah. Publikasi oleh The Institute of Medicine of the
Landmark Report To Err is Human-Building a Safer Health System,38 telah
memfokuskan organisasi-organisasi kesehatan untuk memaksimalkan efektifitas
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
12/53
12
dan keamanan dari perawatan ICU. Sebagai hasilya, telah terjadi peningkatan
jumlah penelitian yang dipublikasi dalam meningkatakan keselamatan pasien.
Selain itu, terdapat pula peningkatan kepatuhan terapi pada pasien dengan
penggunaan pedoman yang aman. Beberapa tahun kedepan, penggunaan
pelayanan ICU yang lebih aman diharapkan dapat memberikan efek yang nyata,
termasuk penurunan infeksi iatrogenik.39
Tabel 75-2
Jenis-jenis infeksi komunitas yang membutuhkan perawatan ICU
Infeksi komunitas Agen Etiologi
Pneumonia Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus
aureus, Moraxella catarrhalis, Patogen atipikal:
Mycoplasma pneumoniae, Legionella pneumophila
Peritonitis akibat
perforasi, nekrosis,
atau infeksi
supuratif
Flora usus: Coccus gram positif yang dominan pada daerah proksimal
(Streptococcus spp.,Enterococcus spp.,dan bakteri-bakteri
anaerob); Basil gram negatif (Eschercia coli, Enterobacter
spp.), bakteri-bakteri anaerob (Bacteroidesspp.) pada usus
halus dan usus besar
Kolesistitis akut,
kolangitis
Flora usus:Klebsiellaspp.,Enterobacterspp.,E.coli,Enterococcus
spp.,Bacteroidesspp., Clostridiumspp.
Kolitis difikel
klostridium
C.difficile: basil anaerob yang menghasilkan eksotoksin
Infeksi jaringan lunak
nekrotikans
Streptococcusspp.,Clostridiumspp., atau flora polimikrobial
Infeksi traktus urinarius Basil gram negatif usus:E.coli, Klebsiellaspp.,Proteusspp.
Endokarditis infektif Streptococcus viridans,Enterococcusspp., Staphylococcus aureus
Meningitis Streptococcus pneumoniae, hameophilus influenzae, Neiserria
meningitidisInfeksi virus Sitomegalovirs, virus herpes simpleks tipe 1 dan 2, hepatitis A, B,
dan C
Infeksi pada tubuh
dengan sistem
imun yang baik
Bakteri (mencakup mikobakterium), jamur (Candida spp.,
Aspergillusspp., Torulopsis glabrata), virus
(Sitomegalovirus, virus herpes simpleks, virus Epsteinn-
Barr), dan parasit.
Tabel 75-3
Infeksi yang menyebabkan ancaman kesehatan masyarakat
Penyakit Penyebaran Status sekarang Terapi
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
13/53
13
TB (bakteri) Droplet satu
individu ke
individu lain
14.000 kasus di Amerika
Serikat pada tahun 2003;
Masalah kesehatan
masyarakat yang cukup
besar di Afrika dan Asia;
Peningkatan prevalensi di
Eropa; Berhubungan dengan
HIV
Kombinasi antibakterial
dikatakan cukup efektif,
namun terdapat beberapa
kemungkinan terjadinya
resistensi
Malaria
(parasit
Gigitan nyamuk
Anopheles
Penyebaran ke daerah yang
hangat dan lembab;
Prevalensi tertinggididapatkan di sub-Sahara
Afrika
Pencegahan dan terapi
dengan klorokuin oral dan
quinin intravena; masihterdapat masalah resistensi
AIDS (virus) Darah dan
cairan tubuh,
seksual
Cukup banyak didapatkan di
Amerika Serikat; Merupakan
masalah kesehatan yang
cukup besar di Afrika, Asia,
dan Amerika Selatan
Terapi antiretroviral dapat
memperlambat
progresivitasnya, namun
tidak terapi ini tidak
tersedia secara universal
SARS (virus) Droplet satu
individu ke
individu lain
Menjadi wabah di tahun
2003; kurang didapatkan di
Amerika Serikat, dan
sekarang kasusnya sudah
tidak pernah dilaporkan
Terapi suportif
Avian flu Burung ke
manusia;
menyebar dari
satu individu ke
individu lain
Kasus yang terisolasi;
Merupakan wabah kecil di
Asia dan Eropa bagian timur
Terapi suportif
SARS: severe acute respiratory syndrome; TB: tuberkulosis
Syok
Istilah syok dijelaskan sebagai manifestasi patofisiologi dari gangguan
katastrofik yang menyebabkan gangguan perfusi ke organ-organ vital. Istilah ini
awalnya digunakan untuk menjelaskan hipotensi refraktori, sedangkan defenisi
terbaru dari syok ini adalah sebuah kondisi hipoperfusi jaringan yang disebabkan
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
14/53
14
oleh aliran darah yang rendah, agen toksik, atau keduanya, dimana sirkulasi gagal
untuk memenuhi kebutuhan metabolik dari sel. Pada kondisi awal, mekanisme
kompensasi neurohormonal masih dapat bekerja dan mempertahankan prefusi ke
organ-organ vital. Namun, jika tidak diberikan terapi suportif yang adekuat, maka
mekanisme kompensasi neurohormonal ini lama kelamaan akan kewalahan, dan
menyebabkan iskemi jaringan progresif yang berujung pada kondisi gagal organ.
Secara klinis, tanda dan gejala dari hipoperfusi organ akhir dapat berupa
perubahan status mental, hilangnya turgor kulit, ekstremitas yang dingin, oligouri,
asidemia, peningkatan konsentrasi laktat serum, dan penurunan saturasi oksigen
vena sentral atau campuran.
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan pola karakteristik
hemodinamiknya. Syok hipovolemidisebabkan oleh kehilangan volume darah akut
20-25% dari volume darah sirkulasi akibat beberapa kondisi seperti perdarahan,
heat stroke, dan sekuestrasi cairan didalam tubuh akibat obstruksi usus. Secara
hemodinamik, terdapat penurunan tekanan darah arteri, tekanan vaskular sentral,
dan curah jantung. Syok kardiogenik disebabkan oleh gagal jantung primer.
Penyebab yang paling sering dari syok kardiogenik adalah infark miokard dan
komplikasi akutnya. Syok kardiogenik ditandai dengan hipotensi sistemik dan
curah jantung rendah yang digambarkan sebagai peningkatan atau adekuasi
volume darah. Kondisi tersebut dikarakterisasi dengan peningkatan tekanan vena
sentral dan tekanan desakan arteri pulmoner, atau indeks ekuivalen dari volemia.
Syok distributif ditandai dengan vasodilatasi generalisata, penyatuan vena, dan
redistribusi aliran darah sistemik, dan berhubungan dengan peningkatan curah
jantung. Hal ini dapat disebabkan oleh respon tubuh terhadap bakteri hidup di
dalam sirkulasi, dan produk bakteri tersebut selama syok septik, akibat mediator-
mediator inflamasi tanpa adanya infeksi, oleh komponen vasoaktif endogen
selama syok anafilaktik, atau karena hilangnya tonus vaskuler sebagai akibat dari
syok neurogenik atau perdarahan adrenal bilateral. Syok obstruktif berhubungan
dengan hambatan mekanik aliran darah vena dan/atau hambatan aliran arteri
keluar dari jantung, dimana hal ini dapat terjadi akibat tension pneumothotax,
tamponade perikardium, sindrom kompartemen abdominal, dan terkadang dapat
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
15/53
15
juga disebabkan oleh konsekuensi dari ventilasi tekanan positif iatrogenik dan
tekanan akhir autopositif akhir ekspirasi. Syok obstruktif ditandai dengan tekanan
darah sistemik yang rendah, curah jantung rendah, dan peningkatan tekanan
vaskuler sentral.
Syok traumatikmerupakan contoh model pengajaran yang sangat berguna,
karena kondisi ini dapat muncul bersamaan dengan manifestasi fisiologi yang
beragam, termasuk hipovolemi, hipoksemi, disfungsi miokard, vasodilatasi, dan
kegagalan neurologis, serta pola hiperdinamik setelah resusitasi volume darah.3
Pengontrolan perdarahan yang segera, pereda nyeri, penanganan hipotermi, serta
pemindahan pasien dengan cepat ke fasilitas kesehatan yang memadai, dikatakan
dapat mencegah syok, dan menurunkan angka mortalitas. Selain itu, pada
lingkungan rumah sakit, resusitasi cairan dan penanganan jalan napas yang sesuai,
waktu pemberian antibiotik, pembedahan yang terkontrol, dan perawatan ICU
dikatakan dapat mencegah onset syok dan meningkatkan angka pertahanan hidup.
Penilaian Kuantitas Severitas Penyakit Dan Hubungannya Dengan Kondisi
Akhir Pasien
Walaupun terdapat peningkatan kompleksitas dan jumlah ICU pada tahun
1970an, data yang mendukung efektifitas pelayanan ICU sampai sekarang masih
kurang. Penilaian kuantitas kondisi akhir pasien ICU memiliki beberapa tahapan
yaitu, pengoptimalan penggunaan sumber daya, analisis kualitas, pemberian
penjelasan kepada pasien, keluarga, serta dokter yang merawatnya mengenai apa
saja yang secara realistis dapat diharapkan dari perawatan ICU. Memprediksi
kondisi akhir pasien dengan melakukan beberapa pemeriksaan klinis kompleks
secara intrinsik tampaknya cukup sulit, karena variabilitas derajat penyakit yang
mendasari yang sering berubah seiring dengan waktu, sedangkan terapi yang
diberikan juga dapat berubah-ubah pada unit yang berbeda. Contohnya, sebuah
review dari tahun 1973 memperlihatkan bahwa angka kematian di beberapa ICU
bedah di Amerika Selatan bervariasi dari 2% sampai 44%; meskipun kualitas
perawatan telah bertanggung jawab atas beberapa perbedaan yang diamati dalam
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
16/53
16
tingkat kematian, tidak mungkin untuk menentukan ini pasti dari data yang
tersedia.
Perkembangan sistem penilaian Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation (APACHE) oleh Knaus et al. dimulai pada tahun 1978 menggunaka
dana dari U.S. Health Care Financing Administration (Administrasi Pendanaan
Kesehatan Amerika). Tujuannya adalah untuk mengembangkan metodologi yang
lebih baik untuk mengukur keparahan penyakit pada pasien ICU. Hasilnya adalah
pengembangan yang komprehensif dan dari sistem penilaian prognostik yang
memperkirakan risiko pretreatment kematian pasien akut yang dirawat di rumah
sakit berdasarkan proses penyakit utama pasien, cadangan fisiologis mereka, dan
kontribusi keparahan akut penyakit tersebut yang ditentukan oleh kekacauan
parameter fisiologis penting.
Setelah validasi awal instrumen ini, APACHE asli, yang berdasarkan 33
potensi pengukuran fisiologis untuk menentukan tingkat kekacauan fisiologis, saat
ini menjadi lebih efisien yaitu 12 variabel fisiologis. Dengan perubahan lebih
lanjut dalam pembobotan untuk usia, definisi dan status kesehatan kronis, dan
apakah perawatan di ICU terjadi setelah operasi elektif, sistem yang dihasilkan
adalah sistem penilaian prognostik APACHE II. Selama dua dekade berikutnya,
sejumlah sistem lain telah dikembangkan dan divalidasi untuk membantu
memprediksi kelangsungan hidup, mengalokasikan sumber daya, dan
memverifikasi kualitas latihan kita. Masing-masing instrumen ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Namun, jelas bahwa kemampuan untuk
mengkategorikan pasien di awal program berdasarkan tingkat keparahan penyakit
mereka, walupun tidak sempurna, telah meningkatkan kualitas uji penelitian klinis
pada pasien sakit kritis, dan yang lebih penting, telah mencatat pasien yang
mempunyai prognosis jelek dengan skor yang sangat tinggi.
Respons Penderita/Host Selama Penyakit Kritis
Tubuh merespon cedera akut yaitu aspirasi isi lambung ke paru-paru
seperti dalam laporan kasus kami, atau infeksi bakteri, atau luka operasi dengan
cara yang reproduktif. Respon inflamasi lokal awal bertujuan untuk mengontrol
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
17/53
17
efek langsung dari cedera, dan menghasilkan sinyal dari berbagai sel di tempat
cedera yang mengaktifkan respons sistemik. Oleh karena itu, cedera dengan
keparahan yang tertentu memicu respon gabungan dari ujung saraf dan endotel
serta sel-sel imun, yang dengan cepat meluas ke seluruh organisme. Ketika respon
homeostatis yang digabungkan dengan intervensi tepat kami, mereka
memperbolehkan kami untuk mempertahankan atau mengembalikan fungsi organ-
organ vital, mempercepat perbaikan, dan melakukan penyembuhan serta
rehabilitasi. Ketika cedera menghambat proses regulasi penderita, atau ketika
intervensi kami tidak memadai atau terlambat, upaya untuk memelihara integritas
tubuh kewalahan oleh cedera dan disfungsi organ, dan kematian pun terjadi.
Waktu
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
18/53
18
Kompleksitas respon tubuh terhadap cedera dari waktu ke waktu
merupakan tantangan besar atas kemampuan kita untuk mengembangkan
pengobatan yang efektif yang akan menghambat perkembangan cedera traumatis,
inflamasi, dan infeksi untuk MODS dan kematian. Pandangan klasik dari "ebb"
(hypodynamic) dan fase "flow" (hiperdinamik) berikutnya dari respon
kardiovaskular dan metabolik terhadap cedera dimengerti dengan sederhana. Hal
ini berarti kemungkinan besar waktu dan intensitas respons kompleks sangat
bervariasi antara pasien, dan dipengaruhi oleh besarnya cedera, status fisiologis
pasien, dan terapi. Gambar 75-2 mengilustrasikan tiga urutan waktu hipotetis
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
19/53
19
evolusi penyakit kritis, menunjukkan pola yang berbeda dari aktivasi dan
penekanan sistem kekebalan tubuh setelah cedera menular. Meskipun dipelajari
secara menyeluruh dalam kasus sepsis, urutan kejadian mungkin berlaku untuk
peristiwa berbahaya lainnya, seperti setelah operasi besar, trauma, dan syok.
Pemeriksaan fisik setelah cedera serius dapat mengungkapkan perubahan
warna kulit dan turgor, suhu tubuh, tekanan darah arteri, pola pernapasan, dan
fungsi mental. Parameter lain yang mudah diukur yaitu produksi urin, defisit base
dan level laktat serum, mungkin juga abnormal. Temuan ini mungkin
Gambar 75-2. Respon inflamasi dan imunitas terhadap cedera: Hipotesis waktu yang
dibutuhkan pada 3 orang pasien. Pasien yang sehat dengan infeksi berat
(meningokoksemia, garis atas) memperlihatkan respon inflamasi yang cukup kuat;jika pasien ini dapat bertahan pada fase awal, akan terdapat periode hipoimun yang
singkat, dan kondisi pasien akan membaik sepanjang jalur pemulihan. Untuk pasien
yang malnutrisi dan sudah lanjut usia dengan infeksi sedang (diverkulitis akut, garis
tengah), respon inflamasi awal yang diberikan bersifat terbatas, dan jika infeksi tidak
diatasi dengan tepat, akan terdapat perpanjangan status hipoimun, dan dapat terjadi
kematian sebagai komplikasi infeksi lebih lanjut. Pasien dengan komorbiditas
signifikan (diabetes, obesitas, PPOK, dan pneumonia, garis bawah) memberikan
respon inflamasi awal yang tumpul, dan kondisi klinis didominasi oleh status
hipoimun, dimana resiko kematian akibat infeksi yang baru maupun infeksi persisten
terus meningkat.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
20/53
20
mencerminkan respon homeostatis yang dikarenakan oleh cedera. Walaupun kami
menggambarkan karakteristik respon berbagai sistem organ secara terpisah, dalam
tubuh sistem ini sangat saling berhubungan dan memiliki karakteristik respon
tertentu yang sama, seperti mediator upregulation inflamasi. Disfungsi salah satu
sistem akan mengganggu fungsi organ lain, contoh sederhana adalah
pengembangan gagal ginjal fungsional (sindrom hepatorenal) yang dapat timbul
pada pasien sirosis dengan infeksi iintraabdominal.
Respon in fl amasi dan imunitas
Respon imun inflamasi memainkan peran sentral dalam evaluasi penyakit
kritis. Sistem kekebalan innate merupakan garis pertahanan pertama, namun baik
respon imun innate dan adaptifdiaktifkan oleh cedera dan infeksi.
Segera setelah cedera jaringan akut, berbagai mediator inflamasi
dilepaskan oleh mediator inflamasi oleh leukosit teraktivasikhususnya monosit
dan makrofagserta sel-sel endotel dan fibroblas. Mediator ini termasuk sitokin,
metabolit asam arakidonat, fraksi komplemen, berbagai protein fase akut, dan
oksigen serta nitrogen radikal bebas. Sitokin adalah kurir polipeptida kaskade
reaksi yang telah dipelajari secara ekstensif ini, dan telah diidentifikasi sebagai
mediator penting dari manifestasi fisiologis dan laboratorium dari inflamasi,
termasuk demam, leukositosis, hipotensi dan takikardi, perubahan status mental,
serta katabolisme. Tidak seperti hormon yang diproduksi oleh jaringan endokrin
khusus, sitokin tidak disimpan, dan peningkatan sitokin setelah cedera jaringan
mencerminkan transkripsi gen yang diregulasi, translasi, dan sintesis oleh sel-sel
imun dan/atau endotel yang aktif. Karakteristik dari jenis respon ini adalah bahwa
ia cenderung untuk memodulasi diri dengan mengatur ekspresi kedua sitokin baik
pro maupun anti-inflamasi dan reaktan fase akut. Maisih menjadi perdebatan alih
peran utama respon inflamasi dalam patogenesis penyakit yang sangat kritis.
Selama tiga dekade terakhir telah ada pandangan bahwa patogenesis cedera
traumatik dan infeksi didasarkan pada respon yang berlebihan dan tidak terkendali
kerugian awal ("cytokine storm") yang mengubah sistem pertahanan yang
menguntungkan ke pelaku yang sebenarnya, dan akhirnya menyebabkan penyakit
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
21/53
21
kritis. Tampilan menarik ini, yang diajukan oleh Lewis Thomas pada 1970-an dan
dilanjutkan oleh Bone pada 1990-an, mengarah pada pengembangan dan
pengujian banyak terapi yang ditargetkan atau termodulasi pada mediator
inflamasi, termasuk reseptor antagonis kortikosteroid dosis tinggi, ibuprofen,
antibodi terhadap endotoksin bakteri (lipopolisakarida [LPS]), TNF-, dan IL-1.
Namun, percobaan manusia dengan agen ini sebagian besar tidak berhasil.
Mengingat kompleksitas respon inflamasi, maka tidak mengherankan bahwa agen
yang menghambat aktivitas mediator tunggal mungkin tidak memberikan manfaat
yang cukup. Baru-baru ini, beberapa tingkat keberhasilan telah dicapai dengan
menambah zat individu atau jalur yang tampaknya kurang selama fase tertentu
penyakit kritis, dan memperlakukan hal tersebut seperti "ketidakcukupan relatif"
dengan equivalen alami atau sintetis dari zat yang kurang. Contoh strategi tersebut
akan dijelaskan dalam bagian berikutnya.
Sistem Saraf Pusat
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
22/53
22
Respon Sistem Saraf Pusat (SSP) terhadap cedera utama dan stres
melibatkan aktivasi sistem otonom serta interaksi dengan endokrin dan sistem
kekebalan tubuh. Respon neurohumoral klasik untuk cedera akut meliputi aktivasi
awal dari sistem simpatis otonom yang mengakibatkan takikardia, peningkatan
kontraktilitas miokard, takipnea, splanchnic dan vasokonstriksi kulit, serta
peningkatan ketersediaan substrat metabolik. Respon "berjuang-atau-terbang"
berhubungan erat dengan aktivasi jalur hormonal medula adrenal, axis hipofisis-
adrenal, hormon antidieuretic (ADH), dan angiotensin-aldosteron (lihat Respon
Hormonal dibawah); semua jalur fisiologis ini, dengan berbagai cara, cenderung
mempertahankan perfusi ke organ vital.
Otak juga berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh, dan pengamatan
eksperimen baru-baru ini telah mengidentifikasi jalur saraf vagus termediasi yang
Gambar 75-3. Jalur antiinflamasi kolinergik. Produk inflamasi dihasilkan dari lokasi
terjadinya cedera yang mengaktivasi sinyal neural yang kemudian berjalan ke nukleus
dari traktus solitarius. Dari lokasi tersebut, aktivitas vagal eferen (jalur antiinflamasi
kolinergik) akan menghambat pelepasan sitokin. Selain itu, vagal aferen juga dapat
berjalan ke hipotalamus dan menstimulasi pelepasan hormon adrenokortikotropik
(ACTH).
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
23/53
23
berpartisipasi dalam regulasi peradangan. Gambar 75-3 menunjukkan skema "
jalur anti-inflamasi kolinergik". Rangsangan inflamasi (termasuk LPS, TNF-,
dan IL-1) mengaktifkan serabut aferen visceral vagus yang mencapai beberapa
inti vagus di medula dan hipotalamus. Masukan saraf ini memunculkan respon
anti-inflamasi langsung yang dimediasi oleh otonom yang sama, sistem
parasimpatis. Aktivasi Eksperimental jalur antiinflamasi kolinergik menghambat
fungsi dan mengurangi ekspresi TNF selama endotoksemia melalui pengikatan
reseptor nikotinik pada makrofag. Pengetahuan tentang jalur antiinflamasi
kolinergik ini memiliki implikasi terapi: aktivasi eksperimental output vagus
dengan listrik dan farmakologis, stimulasi vagus telah menghambat aktivasi
makrofag dan pelepasan sitokin.
Respon Hormonal
Respon hormonal untuk cedera akut cenderung meningkatkan tekanan
pembuluh darah, menjaga volume sirkulasi darah, dan memberikan substrat untuk
metabolisme jaringan dan regenerasi. Jalur hormonal ini mencakup sintesis dan
pelepasan cathecolamines, ADH dan aldosteron-angotensin, prolaktin, hormon
pertumbuhan, dan hormon antiinsulin lainnya. Peran hormon ini dalam respon
akut sangat kompleks, dan pemahaman signifikan peran hormone ini telah
diperoleh selama beberapa dekade terakhir. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
beberapa jalur ini mungkin menjadi kunci penentu kelangsungan hidup bagi
pasien sakit kritis, dan menyarankan mereka mungkin berhasil termodulasi
dengan farmakologi.
Output dari axis hipofisis-adrenal meningkat beberapa kali lipat sebagai
respons normal terhadap penyakit akut. Setiap kerusakan axis ini, baik di tingkat
prekursor, produk akhir (kortisol) atau reseptor seluler, menyebabkan respon yang
tidak efektif dan mungkin terkait dengan pengurangan peluang bertahan hidup.
Istilah insufisiensi adrenal relatifmengacu pada keadaan dimana axis hipofisis-
adrenal gagal untuk menaikkan respon yang cukup terhadap stres akut dan berat,
meskipun berfungsi secara memadai di bidang kesehatan. Sebuah uji coba
terkontrol secara acak baru-baru ini menunjukkan bahwa pengobatan dengan dosis
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
24/53
24
fisiologis kombinasi gluco- dan mineralokortikoid meningkatkan kelangsungan
hidup pada pasien dengan syok septik dan respon adrenal tertekan. Namun,
perdebatan masih terjadi atas pasien mana yang tepat untuk menggunakan
pengobatan steroid.
Demikian pula, ADH kurang disintesis dalam fraksi yang signifikan dari
pasien yang sakit kritis. Pemberian dosis rendah vasopressin, ADH analog
sintetik, tampaknya meningkatkan hemodinamik sistemik, mengurangi kebutuhan
untuk menanamkan obat vasopressor lain seperti norepinefrin, dan mungkin
meningkatkan perfusi lambung dan ginjal pada shock septik.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa kontrol ketat kadar glukosa plasma
pada pasien sakit kritis dengan menyuntikkan insulin meningkatkan kelangsungan
hidup pada pasien bedah yang kritis. Insulin incretion tidak efisien dalam fase
awal penyakit kritis karena adanya peningkatan sintesis hormon seperti
katekolamin, glukokortikoid, glukagon, dan hormon pertumbuhan. Lonjakan
hormon antiinsulin meningkatkan ketersediaan glukosa ke jaringan selama waktu
kelaparan paksa; Namun, kadar glukosa darah tinggi yang dihasilkan dapat
dihubungkan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, imunosupresi, dan
kerusakan neurologis. Dalam uji klinis pada pasien ICU bedah jantung di Belgia,
Vandeberghe et al. menunjukkan bahwa dengan mempertahankan kadar gula
darah antara 80 dan 20 mg / dL melalui infus insulin terus menerus, mereka secara
signifikan menurunkan kemungkinan bakteremia, polineuropati kritis, dan
kematian. Penelitian ini dan penelitian lain yang lebih baru pada pasien ICU
medis telah banyak dikritik, tapi penelitian tersebut telah mempengaruhi cara kita
memperlakukan hiperglikemia di ICU. Studi waktu dan studi tambahan harus
mengarah pada praktek yang seragam untuk beberapa tahun ke depan.
Respon Hemodinamik
Respon hemodinamik terhadap cedera telah banyak diteliti dengan
memantau tekanan vascular central, curah jantung, dan indeks pengiriman oksigen
dan konsumsi. Vasokonstriksi sistemik biasanya mendominasi periode segera
setelah cedera akut, kemungkinan besar sebagai respon terhadap hipovolemia
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
25/53
25
intravaskular dari perdarahan atau penyerapan cairan tubuh diluar kompartemen
vaskular. Setelah normovolemia dipulihkan, pola hiperdinamik curah jantung
yang tinggi dan tekanan darah normal-ke-rendah terjadi setelahnya. Tingkat
respon hiperdinamik ini bervariasi tergantung jenis dan besarnya cedera. Penting
untuk dicatat bahwa keadaan hiperdinamik juga terjadi pada kondisi lain, seperti
hipertiroidisme, sirosis hati, dan arteriovenosus dengan fistula yang besar, bahkan
jika tidak ada cedera akut dan/atau peradangan.
Respon hiperdinamik ini dapat menjadi bagian dari Sindrom Respons
Inflamasi Sistemik/Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang
berhubungan dengan cedera akut dengan berbagai etiologi, dan disebabkan oleh
pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya seperti prostaglandin, bradikinin,
dan fraksi komplemen. Manifestasi kardinal SIRS terdiri dari hyper- atau
hipotermia, takikardi, leukositosis atau leukopenia, dan hiperventilasi. Selain itu,
sejumlah tanda dan gejala, seperti hipotensi, kelainan koagulasi platelet, dan
perubahan status mental, merupakan ciri khas dari SIRS, meskipun masing-
masing diambil secara individual sehingga tidak memiliki spesifisitas yang baik
sebagai tanda diagnostik maupun sebagai titik akhir untuk menentukan terapi.
Vasodi latasi Sistemik, Peradangan, dan Koagulasi: Endotel ium
Sejumlah zat diyakini bertanggung jawab atas penurunan tonus pembuluh
darah sistemik yang merupakan bagian dari respon hiperdinamik. Endotel
pembuluh darah memainkan peran penting pada keadaan inflamasi dan
prokoagulan yang merupakan hasil dari cedera traumatik atau infeksi akut (lihat
Respon Imun Inflamasi di atas). Endotelium memberikan kontribusi pada
pemeliharaan homeostasis dalam berbagai cara, termasuk pencegahan koagulasi,
pengaturan tonus pembuluh darah dan permeabilitas serta orkestrasi dari migrasi
leukosit ke dalam jaringan dengan ekspresi molekul adhesi. Gambar 75-4 adalah
skema interaksi antara stimulus inflamasi, endothelium, dan leukosit.
Segera setelah trauma, terjadi regulasi adhesi ekspresi molekul pada
endotel sel dan leukosit yang berefek peningkatan interaksi endotel sel-leukosit
dan migrasi leukosit melintas dinding pembuluh darah ke jaringan sekitar.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
26/53
26
(Gambar 75-4). Trauma langsung dan mediator inflamasi menyebabkan endotel
kehilangan substans antikoagulannya; terjadi ketidakseimbangan konkomitan
antara thrombin dan plasmin, dan peningkatan perlengketan platelet, yang secara
lanjut menyebabkan pembentukan klot pada permukaan endothelial. Aktivasi
sistem koagulasi sebagai respon terhadap stressor dapat memicu disseminated
intravascular coagulation (DIC), pembentukan fibrin pada intravaskuler,
penurunan aktivitas fibrinolitik, dan thrombosis luas. Meskipun sindrom
thrombosis vaskuler dalam jarang terjadi, DIC biasanya memberikan tantangan
klinis yang rumit dikarenakan adanya konkomitan terhadap thrombosis dan
koagulopati. Sistem koagulasi telah menjadi fokus pengobatan pada pasien
dengan sepsis dan syok sepsis. Antitrombin III dan protein C keduanya
merupakan antikoagulan yang dijaga dalam fase aktif oleh aktivitas endothelial,
dan diturunkan pada kondisi stress semisal SIRS dan sepsis. Meskipun percobaan
klinis mengenai pemberian terapi antitrombin III sepertinya tidak memuaskan,
pembeerian protein C rekombinan manusia (drotrecogin-a) secara signifikan
meningkatkan angka keberhasilan dari pasien penyakit kritis dengan sepsis berat
dan syok sepsis sebesar 6%.
Endotel mampu memproduksi beragam mediator yang mempunyai fungsi
yang juga beragam. Beberapa mediator mempunyai efek multipel, seperti protein
C, mediator vasodilator seperti gas NO dan prostasiklin (keduanya juga
membatasi agregasi platelet), dan vasokonstriktor endotelin, kesemuanya
mempunyai efek poten vasoaktif dan substans imunologik. NO diproduksi oleh
sel endothelial melalui isozyme nitric oxide synthase (NOS-3, endhotelial nitroc
oxide synthase (eNOS)). Setelah terjadinya stimulasi oleh beberapa sebab, terjadi
regulasi dari bentuk NOS (NOS-2, Inos), yang menghasilkan produksi NO, dan
berkontribusi pada vasodilatasi yang terjadi pada proses sistemik inflamasi berat.
Aktivasi sel-sel endothelial juga berefek pada produksi mediator yang mempunyai
efek sebaliknya, seperti endotelin, yang dapat menimbulkan vasokonstriksi
sedangkan NO menimbulkan vasodilatasi. Ketika induksi iNOS terlalu berlebihan,
seperti pada keadaan syok sepsis, vasodilatasi masif dari sindrom hiperdinamik
berakibat pada hipotensi dalam yang dapat mengganggu perfusi ke jaringan vital
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
27/53
27
dan emnimbulkan MODS dan kematian (lihat bab 76). Vasodilatasi akibat
nitrikoksida telah dicegah dengan pemberian non-spesifik NO inhibitor seperti
methylen blue , L-nitroarginine methyl ester (L-NAME), dan N-methyl-arginine
hydrochloride . Meskipun begitu, strategi klinis ini tidak berhasil, kemungkinan
diakibatkan pentingnya penggantian isoenzim dari NO yang juga menghambat
senyawa non-selektif ini.
Respon metaboli k
Respon metabolik terhadap trauma dicirikan adanya hiperkatabolisme dan
peningkatan eksresi nitrogen urin. Ketika resusitasi hemodinamik awal dan
stabilisasi telah dicapai, substrat digunakan untuk meningkatkan perbaikan
jaringan dan perlindungan fungsi organ vital. Jaringan yang tidak mempunyai
cadangan energi resting , seperti lemak dan otok skelet, mengeluarkan nutrient
dari simpanan (glukosa dan asam lemak), atau menghancurkan protein untuk
menyediakan energi untuk organ viseral. Kadar yang tinggi dari katekolamin yang
bersirkulasi hidup berdampingan dengan respon metabolic ini. Epinefrin, memicu
Gambar 75-4. Adesi leukosit skematik terhadap endotel teraktivasi selama proses
inflamasi. Leukosit awalnya ditambatkan dan bergulir sepanjang endotel predominan
melalui interaksinya dengan selektin. Ketika reseptor integrin leukosit pada endotel
teraktivasi dan berikatan ke ligan pada matriks ekstraseluler, maka akan terjadi migrasi
leukosit antara sel-sel endotel. Sinyal dari reseptor integrin juga memodulasi
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
28/53
28
glikogenolisis pada otot dan hati, lipolisis dan ketogenesis pada jaringan adipose,
dan glukoneogenesis di hati. Proses ini menyediakan energi yang dibutuhkan untu
metabolism yang tinggi selama fase pemulihan. Sebagai tambahan, epinefrin
memicu resistensi insulin pada otot skelet, yang juga memicu berkembangnya
hiperglikemi. Seperti kebanykan respon hemostatik, keadaan katekolaminergik
yang tinggi ini mempunyai efek berkebalikan; meskipun katekolamin memicu
pemulihan dan kesembuhan, kadar katekolamin yang tinggi dapat mengakibatkan
katabolisme yang berlebihan, hiperglikemia, kelemhana otot, dan berkurangnya
pertahanan tubuh host. Suatu studi klinis yang dilakukan pada anak-anak dengan
luka bakar akut menunjukkan adanya efek menguntungkan dari pemblokiran
respon katekolaminergik pada luka bakar akut. Karena anak-anak dengan luka
bakar memerlukan metabolism yang lebih tinggi, masih merupakan hal yang tidak
pasti apakah keuntungan ini dapat diaplikasikan pada pasien kritis dewasa tanpa
luka bakar.
Respon seluler terhadap luka
Pada tingkatan jaringan, kemampuan untuk hidup atau mati dapat secara
sederhana disimpulkan pada kemampuan tubuh untuk mensuplai jumlah oksigen
yang adekuat dan nutrisi (semisal glukosa) untuk respirasi seluler dan
menghilangkan hasil samping metabolisme (C02dan toksin). Kedua hal tersebut
tampak merupakan titik ahir yang cukup sederhanayang dicapai melalui proses
kompleks yang cukup hebat. Berikut akan dibahas mengenai beberapa aspek yang
relevan terhadap cedera akut, baik traumatik, inflamasi, maupun infeksi.
Respon seluler terhadap trauma
Perluasan kerusakan yang disebabkan oleh trauma (sejumlah energi yang
bertanggung jawab terhadap dampak dan ukuran luka) dikatakan dapat
menentukan prognosis segera dari pasien. Perdarahan yang tidak dapat terkontrol
dapat menyebabkan kematian dini, dimana kegagalan kontrol eprdarahan ini dapat
dikarenakan penggunaan strategi penyelamatan yang sangat sederhana seperti
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
29/53
29
turniket dan transpor segera, bukan perawatan ICU. Cedera non-akut yang bersifat
lethal dan kompleks dapat berkembang seiring dengan waktu, dan kondisi akhir
pasien akan bergantung oada adekuasi respon endogen terhadap cedera tersebut,
dan kemampuan untuk memberikan terapi suportif dengan berhasil.
Respon akut tubuh terhadap cedera trauma membutuhkan bangkitan sinyal
yang memberikan informasi mengenai adanya ancaman ke bagian tubuh lain.
Sinyal berbahaya tersebut dapat melibatkan prodak dari jaringan nekrotik dan
perubahan lokal pada pH dan temperatur, aktivasi sel endotel, monosit, dan
makrofag untuk menghasilkan dan melepaskan mediator-mediator radang.
Pembentukan dan pelepasan sitokin terjadi dalam beberapa menit setelah cedera,
dan memfasilitasi respon sistemik yang memberikan beragam manifestasi klinis.
Pemeriksaan dini level sitokin plasma pada pasien bedah dan trauma
mengindikasikan bahwa derajat peningkatan IL-6 yang merupakan respon paling
dini, berhubungan dengan derajat cedera yang terjadi.9,87 Selain sintesis dan
pelepasan sitokin yang segeram reseptor solubel dan mediator antagonis juga
dilepaskan setelah trauma, dan kemudian memodulasi efek dari sitokinm serta
menginisiasi anti-inflamasi kompetitif dan respon imunosupresif.88,89
Keseimbangan antara aktivasi dan supresi inflamasi berlanjut selama periode
penyakit kritis berlangsung, dan cenderung memberikan dampak evolusi terhadap
pemulihan atau kematian.90Pemahaman yang lebih baik mengenai keseimbangan
antara respon proinflamasi dan respon anti-inflamasi dikatakan dapat membantu
dalam menemukan strategi terapi yang efektif. Trauma berat dan pembedahan
dapat berujung pada kondisi anergi dan imunosupresif, sehingga dapat
meningkatkan kecenderungan pasien untuk mengalami infeksi nasokomial yang
merupakan penyebab tersering dari morbiditas dan perpanjangan durasi perawatan
ICU.91
Infeksi
Sama seperti pada cedera trauma, dimana kerusakan yang terjadi dapat
memicu respon tubuh, sejumlah mikroorganisme patogenik juga dikatakan dapat
memicu respon inflamasi sistemik tubuh, yang bermanifestasi dalam bentuk yang
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
30/53
30
paling berat, seperti syok septik. Respon tubuh terhadap infeksi diinisiasi oleh
interaksi antara komponen struktural dari organisme yang menginvasi (pola
molekuler patogen) dan sel-sel imun tubuh. Semua kelas mikroba memiliki pola
molekuler patogen, termasuk bakteri gram negatif dan gram positif, jamur, virus
dan parasit, walaupun jenis pola molekuler tersebut bervariasi satu sama lain.
Contohnya, bakteri gram negatif memiliki endotoksin (LPS) pada lapisan luar sel
membrannya. LPS merupakan toksin bakterial poten yang dikatakan memiliki
peran penting dalam sepsis gram negatif. Bakteri gram positif tidak memiliki LPS,
namun memiliki pola molekuler patogen jenis lain yang memiliki efek radang
seperti peptidoglikan dan asam lipotekoik. Pola molekuler patogen jenis lain
meliputi asam-asam nukleat pada bakteri dan virus, dan zimosan pada jamur.
LPS merupakan pola molekuler patogen yang paling mudah dikenali, dan
paling banyak dipelajari. LPS meupakan kompleks glikolipid pada lapisan luar
membran dari dinding sel bakteri gram negatif. Injeksi LPS ke hewan percobaan
dan manusia relawan akan menyebabkan inflamasi dan respon-respon lain yang
mirip dengan yang terjadi pada pasien sepsis. Karena LPS memiliki toksisitas
yang cukup tinggi, pola molekuler tersebut sudah dijadikan target dari terapi
selama beberapa dekade terakhir. LPS terdiri atas domain lipofilik (lipid A) dan
untaian polisakarida yang bervariasi pada bakteri-bakteri yang berbeda. Karena
lipid A umumnya ditemukan pada semua jenis bakteri, maka beberapa straegi
terapi telah menargetkan lipid A dari LPS untuk perkembangan antibodi. 92
Walaupun percobaan klinis memberikan hasil yang cukup menjanjikan, namun
percobaan klinis fase 3 gagal untuk memberikan perkembangan yang signifikan
pada pasien yang diberikan antibodi antilipid A. Walaupun LPS merupakan toksin
yang sangat poten, namun LPS tidak ditemukan pada sejumlah besar
mikroorganisme yang menyebabkan sepsis, sehingga mengindikasikan bahwa
komponen mikrobial lain berkontribusi terhadap patogenesis dari sepsis.
Mediator tubuh yang bervariasi termasuk mediator solubel pada darah,
reseptor permukaan sel, dan jalur sinyal intraseluler, terlibat dalam aktivasi radang
yang dipicu oleh pola molekuler patogen. Contohnya, LPS yang berikatan pada
protein dan monosit pada permukaan antigen CD1493akan berikatan dengan LPS,
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
31/53
31
dan terlibat dalam inisiasi respon inflamasi terhadap LPS. CD14 memegang
peranan penting dalam aktivasi sel-sel imun yang diinduksi oleh LPS, dan
memiliki ikatan membran serta bentuk yang solubel. CD14 solubel dibutuhkan
untuk aktivasi sel CD14 negatif yang diinduksi oleh LPS.94CD14 juga memegang
peranan penting dalam interaksi sel oleh pola molekuler patogen bakteria gram
positif, seperti peptidoglikan.95
Selama beberapa dekade terakhir, terdapat pemahaman mengenai
mekanisme inflamasi yang dipicu oleh mikroorganisme. Walaupun
mikroorganisme memiliki pola struktural yang berbeda-beda, namun respon
inflamasi terhadap komponen mikroba yang berbeda dimediasi oleh reseptor dan
jalur intraseluler yang sama. Toll-like receptor(TLRs) dapat mengenali beberapa
kelas dari pola molekuler patogen dan merupakan mediator proksimal yang
penting dalam proses inflamasi selama terjadinya infeksi. TLRs secara
evolusioner menjaga reseptor imun tubuh yang didapatkan baik pada insekta
maupun mamalia. Reseptor tersebut digolongkan kedalam pattern recognition
receptor (RRRs) yang dapat mengenali pola umum dari komponen
mikroorganisme. Reseptor Toll awalnya ditemukan pada Drosophila
melanogasterpada tahun 1985, dan dikatakan cukup penting secara embriologis
dalam polaritas dorsoventral.96,97 Secara subsekuensial, reseptor toll Dorsophila
dibutuhkan untuk menimbulkan respon imunitas terhadap Aspergillus.98 TLRs
mamalia ditemukan pada tahun 1998. TLR4 diidentifikasi sebagai reseptor LPS,
berdasarkan studi yang dilakukan menggunakan rantai DNA tikus percobaan yang
diketahui bersifat hiporesponsif terhadap efek dari LPS, tapi memiliki
kecenderungan yang cukup tinggi untuk terkena infeksi.99Pada tahun yang sama,
TLRs 1-5 pada manusia kemudian dikloning, dan diatur sedemikian rupa sehingga
terlibat didalam proses imunitas berdasarkan homologi sekuensial dengan reseptor
toll Dorsophila.100 Karena pada waktu itu TLRs mammalia multipel telah
diidentifikasi, maka masing-masing TLR akhirnya mengenali pola molekuler
patogen yang berbeda-beda. Contohnya, TLR2 memediasi efek dari lipoprotein
mikrobial, peptidoglikan, asam lipotekoik, dan zimosan, yang merupakan
komponen dari jamur; TLR3 berespon terhadap rantai ganda RNA; TLR4
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
32/53
32
memediasi efek dari LPS; TLR5 memeberi respon ke flagelin; TLRs7 dan 8
mengenali stran RNA tunggal; dan TLR9 mengenali DNA yang unmethylated.
Pemahaman yang luas mengenai struktur TLR dan jalurnya telah banyak
berkembang sejak awal kemunculannya (gambar 75-5). TLR merupakan protein
transmembran dengan dua domain utama. Ekstraseluler amino-terminal yang
mengandung leusin dan juga terlibat pada proses PAMP. Intraseluler karboksi-
terminal domain reseptor IL-1 (TIR) dibutuhkan dalam proses intraseluler.
Kebanyakan TLR member signal secara eksklusif melalui molekul adapter
MyD88, yang selanjutnya dapat mengakibatkan transkirpsi factor nuclear KB (NF-
KB) translokasi ke nucleus, yang memicu transkripsi gen inflamasi, yang
selanjutnya memicu produksi sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya.
TLR3 memberi sinyal melalui molekul adapter yang berbeda dari MyD888 dan
selanjutnya memicu translokasi nuclear dari interferon regulatory factor 3(IRF 3)
dan peningkatan regulasi dari gen-gen B-interferon. TLR4, reseptor LPS, member
sinyal mealui kedua jalur. Diyakini bahwa dengan jalur koordinasi yang berbeda
dari beragam TLR, maka host kemudian mampu membedakan antara infeksi yang
berbeda tipe dan menyusun respon imun yang sesuai untuk beberapa kuman
pathogen.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
33/53
33
Karena kebanyakan PAMP memberi sinyal melalui NF-kB, maka
memblok NF-KB sepertinya merupakan strategi yang potensial untk terapi
antisepsis. Meskipun pada percobaan hewan inhibisi endotoksemia murni dari
NF-KB telah menunjukkan hasil mampu meningkatkan keberhasilan dan
membatasi kerusakan organ, masih belum ada penjelasan pasti mengenai efekmenguntungkan pembatasan NF-KB yang didemonstrasikan pada model bakteri
sepsis hidup seperti infeksi peritonitis dari ligasi caecum dan punksi. NF-KB juga
mempunyai jaringan dan fungsi yang bergantung pada waktu, dan inhibisi global
sepertinya strategi yang sangat non-selektif yang mampu berinteraksi dengan
efek menguntungkan dari mediator ini.
Seperti pada semua sistem biologis, pemberian sinyal interseluler pada
fase awal inflamasi dan infeksi adalah sangat berlebihan. Sebagai tambahan pada
Gambar 75-5. Gambaran TLRs (toll-like receptor) dan skema jalur sinyal dari TLR.
TLRs mengenali komponen mikroorganisme dan secara sentral terlibat dalam respon
imun seluler selama proses infeksi. Aktivasi TLRs menyebabkan produksi dari
beberapa mediator radang dini seperti sitokin tumor necrosis factor (TNF) dan
interleukin (IL)-6, dan pada beberapa kasus diikuti dengan produksi interferon-.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
34/53
34
TLR, reseptor imun lain dan jalur sinyal juga sepertinya penting pada pengenalan
dan pemberian respon pada infeksi, termasuk reseptor NOD, reseptor hewan, dan
dektin. Tolong berpedoman pada kajian yang terbaru untuk diskusi yang lebih
mendalam.
Imunomodulasi : dari respon peradangan hingga imunosupresi
Dalam 30-90 menit pertama setelah terpapar pada LPS, sel-sel
mononuclear melepaskan sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-6, dan IL-1B.
Hal ini mengaktivasi kaskade peradangan yang menstimulasi produksi lebih lanjut
dan pelepasan sitokin, kemokin, mediator lipid, dan radikal bebas, yang
kesemuanya terlibat dalam migrasi dan adesi leukosit pada kerusakan jaringan.
Respon inflamasi yang mirip dapat dipicu melalui semua stressor yang dijelaskan
pada pembahasan sebelumnya pada bab ini. Kegagalan pada terapi awal yang
bertujuan memblok aspek dari respon inflamasi, seperti injeksi kortikosteroid
dosis tinggi, TNF antagonis, IL-1 reseptor antagonis, dan non-isozim-spesifik
inhibitor dari sintesis NO, telah memicu para peneliti untuk mencari pemahaman
yang lebih dalam mengenai kompleks yang rumit ini dan sistem yang berlebihan.
Ada banyak sekali bukti untuk mendukung konsep imunomodulasi, yaitu,
keseimbangan antara aktivasi dan supresi sistem imun, selama masa penyakit
kritis. Ada teori yang mempertanyakan bahwa ada kemungkinan terjadi
imunoparalisis, dimana host mempunyai respon imun yang tidak adekuat terhadap
mikroorganisme, memainkan peran penting pada tingkat morbiditas dan mortalitas
yang menyangkut trauma maupun infeksi. Mediator antiinflamasi dan respon
seluler yang terganggu dipercaya mampu membawa pasien kepada infeksi
nosokomial dan mungkin saja MODS. Pada beberapa waktu setelah awal
terjadinya fase proinflamasi setelah trauma maupun infeksi, antagonis dari sitokin
proinflamasi dihasilkan. Imunosupresi diyakini terjadi ketika respon ini
menggantikan fungsinya yaitu mengebalikan balans imunologik. Hal ini
digambarkan melalui studi yang mengindikasikan bahwa darah dari pasien sepsis
telah menurunkan jumlah produksi sitokin yang dipicu kerja LPS, tidak seperti
darah dari pasien lain. Anergi, atau ketidakmampuan sel T untuk berproliferasi
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
35/53
35
dan mensekresi limfokin, terkadang diobservasi pada trauma berat dan pasien
sepsis. Pada kasus trauma, adanya penurunan jumlah sel T mungkin saja
merupakan hasil dari interaksi antara sel T dan mediator imunosupresif seperti IL-
10. Regulator sel T (T-reg) yang merupakan elemen penting pada keseimbangan
imunologik normal, memainkan peran penting dalam imunosupresi yang terjadi
akibat luka bakar.115,117
Pada infeksi akut, imunitas bisa terganggu akibat apoptosis dari sel T
limfosit118 dibanding nekrosis sel itu sendiri. Terminologi nekrosis mengacu
pada kematian sel yang tidak disengaja, sedang terminology apoptosis mengacu
pada kematian yang telah direncanakan atau diprogramkan. Sebagai perbandingan
dari nekrosis sel (kematian sel yang tidak terprogram), yang secara umum
mempunyai efek menstimulasi sistem imun, apoptosis (kematian sel yang
terprogramkan) dapat memicu pengeluaran sitokin antiinflamasi yang berefek
terjadinya imunosupresi. Telah digambarkan bahwa limfosit B, limfosit CD4, dan
sel dendritik mengalami apoptosis, namun limfosit T CD8 atau sel NL (Natural
Killer) tidak mengalami apoptosis.118 Setelah berkurangnya sel sel T CD4 , bagian
besar pada sel ini yang mengalami pemulihan adalah T-reg dan bukan T-helper
(Th).119 Sel T-reg (lihat gambar di atas) mempunyai efek regulasi negatif yang
multiple pada sistem imun, dan dapat berkontribusi terjadinya imunosupresi.
Pentingnya sel imun untuk mengadakan apoptosis pada kasus sepsis juga telah
ditunjukkan pada percobaan pada binatang. Strain dari tikus yang memproduksi
protein antiapoptosis Bcl-2 dilindungi dari kerusakan setelah terjadinya sepsis
intraabdominal yang diakibatkan punksi dan ligasi caecum.
Dengan adanya imunosupresi tingkat lanjut setelah terjadinya trauma, para
pasien penyakit kritis menjadi target terjadinya infeksi nosokomialyang dapat
berakibat kegagalan organ yang fatal bahkan kematian.
Gangguan metaboli k dan hi poksia ditopatik
Pasien penyakit kritis dapat memicu terjadinya gangguan metabolic yang
berakibat ketidakmampuan dalam mengadakan energy yang cukup untuk menjaga
hemostasis. ATP merupakan bahan bakar dasar utama untuk respirasi tingkat sel.
Mitokondria merupakan tempat utama produksi ATP secara aerobic. Hasil akhir
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
36/53
36
berupa piruvat, sebuah produk hasil metabolism glukosa, digunakan dalam siklus
asam sitrat untuk memproduksi agen yang mampu menurunkan nikotinamid
adenine dinukleotida (NADH) atau flavin adenine dinukleotida (FADH2) dan
menyediakan aliran electron yang diperlukan untuk mensintesi ATP melalui
fosforilasi oksidatif. Akhirnya, 36 atau 38 mol ATP dihasilkan dari oksidasi 1 mol
glukosa. Sebaliknya, glikolisis anaerobik terjadi di sitoplasma dan hanya
menghasilkan 2 mol ATP per mol glukosa, dengan hasil samping berupa asam
laktat dan etanol. Pada penyakit kritis, kegagalan untuk menghasilkan jumlah
ATP yang adekuat dapat berakibat disfungsi organ dan seluler.
Beberapa studi menjelaskan bahwa berkurangnya produksi ATP pada
pasien sepsis, dan rendahnya level ATP pada jaringan pada pasien penyakit kritis
yang sepsis dan meninggal, ketika dibandingkan dengan mereka yang selamat.
Salah satu alasan kegagalan memproduksi pasien pada pasien penyakit kritis
adalah adanya distribusi oksigen ke jaringan vital yang tidak adekuat, yang
merupakan akibat dari oksigenasi dan perfusi yang buruk. Selama masa SIRS dan
syok sepsis beberapa factor dapat mengurangi perfusi jaringan, termasuk keadaan
sirkulasi performa jantung, hipoksemi akibat trauma paru-paru yang akut,
vasokontriksi akibat terpacunya pelepasan mediator vasopresor, dan atau
koagulasi yang menyebabkan obstruksi mikrovaskuler.
Hipoksia sitopatik
Hipoksia sitopatik juga merupakan factor penting dalam terjadinya
kegagalan memproduksi ATP yang adekuat karena ketidakmampuan sel untuk
menggunakan oksigen yang tersedia. Studi klinis dan eksperimental menunjukkan
bahwa tekanan oksigen di jaringan selama sepsis terkadang lebih tinggi
disbanding pada masa non-sepsis.Disfungsi mitokondrial diperkirakan merupakan
penyebab yang mendasari adanya diskoneksi yang nyata antara tekanan oksigen di
jaringan, yang biasanya adekuat, dan rendahnya kadar ATP. Disfungsi
mitokondria dilaporkan terjadi pada sel yang terekspos oleh makrofag, sitokin
proinflamasi, LPS, dan infeksi. Beberapa factor dapat berkontribusi dalam
terjadinya disfungsi mitokondria pada trauma akut, termasuk produksi NO dan
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
37/53
37
oksigen reaktif sepsis. Dosis rendah LPS dapat meningkatkan aktivitas RNA
messenger pada jaringan pencernaan pada hewan percobaan, dan konsentrasi NO
fisiologik dapat membatasi aktivitas oksidase sitokrom dengan jalan melakukan
kompetisi dengan oksigen. Sebagai tambahan, NO dapat merusak mitokondria
dengan memproduksi peroksinitrit ketika bereaksi dengan oksigen molekuler dari
anion superoksida. Peroksinitrit merupakan agen oksidasi dan nitrat yang poten,
yang dapat membatasi aktivitas mitokondria. Mitokondria biasanya mampu
memproduksi kadar basal yang rendah dari anion superoksida yang dapat
menignkat selama fase inflamasi. Adanya peroksinitrit dikaitkan dengan inhibisi
mitokondria, kerusakan DNA, dan aktivasi poli-(ADP ribose)-polimerase (PARP),
suatu enzim yang berfungsi memperbaiki kerusakan DNA stran tunggal. Aktivasi
PARP mampu berefek pada kegagalan energi akibat berkurangnya bentuk
teroksidasi dari nikotinamid adenine dinukleotide (NAD+) dan NADH, yang
merupakan donor elektron penting pada fosforilasi oksidatif mitokondria.
Kegagalan Organ, Kemampuan Bertahan Hidup, dan Kematian
Untuk sekarang hanya terdapat pemahaman yang terbatas mengenai
adanya disfungsi organ selama terjadinya penyakit kritis. Sebuah studi dengan
autopsy pada pasien yang meninggal akibat sepsis menunjukkan adanya
ketidakselarasan antara manifestasi klinis dan hasil histologist pada beberapa
organ. Pada jantung, tidak ditemukan bukti histologist adanya kerusakan miosit
meskipun terjadi berkurnagnya kontraktilitas yang secara umum dapat terlihat
secara klinis; pada ginjal hanya terdapat kerusakan fokal dengan glomerulus yang
masih terjaga dan arsitektur tubuler meskipun telah terjadi kerusakan akut yang
mengganggu fungsi ginjal. Lebih jauh, kebanyakan pasien yang selamat dari syok
sepsis mengalami pemulihan fungsi-fungsi dasar dari janutng, paru-paru, dan
ginjal yang mengindikasikan bahwa faktor reversibel, berperan dalam disfungsi
organ. Serupa dengan hal ini, kematian akibat sepsis juga belum dapat dipahami
dengan baik. Seperti yang telah dibahas pada awal bab ini, kematian pada pasien
dengan penyakit kritis terjadi kebanyakan karena ketidakpedulian pada terapi
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
38/53
38
disbanding yang diakibatkan oleh syok refrakter, hipoksia yang ekstrim, atau
aritmia malignan.
Mekanisme dari kegagalan organ pada penyakit kritis dideskripsikan
secara detail pada bab 76. Di sini, kami menyediakan skema mengenai kejadian
patofisiologik yang terjadi selama berkembangnya penyakit kritis. Pada tahap
selanjutnya, pendekatan terapeutik yang berbeda dapat berguna untuk
memengaruhi kemajuan penyakit menjauhi kematian (Gambar 75-6).
Awalnya, penggunaan stress harus dilawan dengan resusitasi yang
merupakan terapi dengan tujuan paling dini, menjamin bahwa tidak akan terjadi
hipoksia jaringan. Namun demikian, prinsip ini juga bukanlah nilai universal,
penggunaan terapi cairan terbatas telah berhasil menunjukkannya pada beberapa
pasien trauma.2 Pada laporan kasus kami, adanya hipertensi pulmoner dan
insufisiensi ventrikel kanan secara lebih lanjut menambah tingkat kesulitan dari
manajemen terapi resusitasi, memicu penggunaan monitoring infasif melalui
Gambar 75-6. Paradigma evolusi penyakit kritis yang diajukan
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
39/53
39
kateter arteri pulmoner, yang sebaiknya tidak secara rutin digunakan sebagai
terapi ARDS.140
Lebih lanjut, terapi yang memicu terjadinya respons alamiah terhadap
trauma akut, seperti injeksi protein C yang telah diaktifkan spserti yang telah
dilakukan pada laporan kasus kami, dapat meningkatkan kondisi pasien pada
kebanyakan pasien-pasien kritis. Ke depannya, terapi yang terfokus pada proteksi
mitokondria, seperti pemberian PARP inhibitor, superoksida, peroksinitrit hewan,
atau NOS-2 selektif inhibitor, dapat mencegah efek sitopatik oksigen dan radikal
bebas nitrogen, dan menurunkan disfungsi mitokondria. Imunosupresi, keadaan
katabolik yang menetap, dan status nutrisi yang buruk dapat menurunkan
pertahanan tubuh host dan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi sebagai
komplikasi. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan kurangnya perhatian
terhadap prosedur dasar untuk mencegah transmisi bakteri yang resisten terhadap
antibiotik dapat selanjutnya meningkatkan resiko infeksi nosokomial. Pada
laporan kasus kami, suatu pneumonia yang disebabkan Pseudomonas
menghambat status pemulihan pasien, meskipun pada akhirnya pasien kami tetap
selamat. Terapi di masa yang akan datang dapat berfokus pada banyak aspek dari
imunosupresi, termasuk mekanisme apoptosis (semisal, dengan manipulasi Bcl-2),
dan menyediakan balans nutrisi yang mampu menstimulasi fungsi sistem imu.
Sebagai tambahan, stimulus-stimulus untuk meningkatkan pembangkitan energi
dari mitokondria akan menjadi sangat penting, sehingga kita dapat mengontrol
produksi energi di tingkat sel untuk mencapai level yang sesuai.
Melalui penelitian tingkat lanjut kita dapat mengetahui mekanisme dasar
dari segala penyakit kritis, maka sepertinya algoritma terapi dalam mengatasi
penyakit kritis akan berkembang, dari pendekatan fisiologis respirasi dan sirkulasi
ke pendekatan yang lebih mengarah ke mekanisme yang diinginkan.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
40/53
40
Rangkuman
Trauma akut yang disebabkan oleh beragam cara, seperti aspirasi isi
lambung ke paru-paru, menyebabkan respon fisiologis lokal dan sistemik yang
segera yang disebabkan oleh fenomena humoral dan fenomena peradangan yang
telah dipahami dengan baik. Meskipun fenomena ini sangat kompleks,
pemahaman kita mengenai evolusi penyakit kritis juga telah banyak mengalami
peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, dikarenakan para peneliti telah
berusaha untuk menggambarkan mekanisme pada tingkat sel dari respon host
terhadap trauma. Interaksi yang terjadi antara trauma awal (biasanya pembedahan,
atau infeksi) dan respon dari host menentukan evolusi dari penyakit kritis apakah
akan membaik dan mengalami pemulihan atau terjadi komplikasi dan kematian.
Meskipun dibuthkan respon terhadap radang yang baik untuk melawan trauma
yang sangat parah, adanya penurunan pada intensitas, dan onset terjadinya status
hipoimun akan menyebabkan infeksi tingkat lanjut yang dapat berakibat
terjadinya disfungsi organ dan kematian.
Hasil terapi pada kebanyakan pasien ICU dapat diprediksi menggunakan
sistem yang tervalidasi yang dapat menghitung tingkat keparahan suatu penyakit,
namun sistem ini tidak akurat pada tingkat pasien-per-pasien. Maka dari itu,
pasien-pasien penyakit kritis biasanya menjalani terapi yang kompleks dan
intervensi yang bersifat infasif sampai mereka, keluarga mereka, bahkan para
dokter meyakini tidak ada harapan lagi untuk mengejar pemulihan atau sampai
pada isu pembiaran kematian. Efektivitas dari terapi kami bergantung pada
beberapa faktor, termasuk kemampuan kami dalam melakukan intervensi yang
sesuai dan pada waktu yang tepat. Terapi intervensi masa kini meningkatkan
kemungkinan survival rate pada banyak pasien-pasien kritis. Bertambah
baiknya pemahaman mengenai mekanisme dasar yang mendasari penyakit kritis,
menyebabkan dibutuhkannya strategi terapeutik tambahan yang efektif yang
selanjutnya mampu meningkatkan pelayanan dan hasil terapi pada pasien-pasien
penyakit kritis.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
41/53
41
REFERENSI UTAMA
1. Chastre J, Fagon J-Y. Ventilatorassociated pneumonia. Am J Respir Crit Care
Med 2002;165:867903.
2. Kohn K, Corrigan J, Donaldson M. To Err Is Human: Building a Safer Health
System. Washington, DC: National Academy Press, 1999.
3. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N EnglJ Med 2003;348:138150.
4. Tracey K. The inflammatory reflex. Nature 2002;420:853859.
5. Russell J, Phang P. The oxygen delivery/consumption controversy.
Approaches to management of the critically ill patient. Am J Respir Crit Care
Med 1994;149:533537.
6. Gay NJ, Keith FJ.Drosophila toll and IL-1 receptor. Nature 1991;351: 355
356.
7. Ochoa JB, Makarenkova V. T lymphocytes. Crit Care Med 2005; 33:S510
S513.
8. Fink MP. Bench-to-bedside review: cytopathic hypoxia. Crit Care
2002;6:491499.
9. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. N Engl J Med
1999;340:207214.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Mokdad A, Marks J, Stroup D, Gerberding J. Actual causes of death in the
United States in 2000. JAMA 2004;291:12381245.
2.
Bickell W, Wall M, Pepe P, et al. Immediate versus delayed fluid
resuscitation for hypotensive patients with penetrating injuries. N Engl J Med
1994;331:11051109.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
42/53
42
3.
Moore F, McKinley B, Moore E. The next generation of shock resuscitation.
Lancet 2004;363:19881996.
4. Spahn D, Rossaint R. Coagulopathy and blood component transfusion in
trauma. Br J Anaesth 2005;95:130139.
5. Rhee P, Kustova E, Alam H. Searching for the optimal resuscitation method:
recommendations for the initial fluid resuscitation of combat casualties. J
Trauma 2003;54:552562.
6. Moore F, Moore E, Saunia A. Blood transfusion. An independent risk factor
for postinjury multiple organ failure. Arch Surg 1997;132:620624.
7.
Toy P, Popovsky M, Abraham W, et al. Transfusion-related acute lung injury:
definition and review. Crit Care Med 2005;33: 721726.
8. Zallen G, Offner P, Moore E, et al. Age of transfused blood is an independent
risk factor for postinjury multiple organ failure. Am J Surg 1999;178:570
572.
9. Lin E, Calvano S, Lowry S. Inflammatory cytokines and cell response in
surgery. Surgery 2000;127:117126.
10.
Katzenstein A, Asken F. Acute lung injury patterns: diffuse alveolar damage,
acute interstitial pneumonia, bronchiolitis obliterans-organizing pneumonia.
In: Katzenstein AAF, ed. Surgical pathology of the non neoplastic lung
diseases. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1990:956.
11. Ware L, Matthay M. The acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med
2000; 342:13341349.
12. Wan L, Bellomo R, Giantomasso D, Ronco C. The pathogenesis of septic
acute renal failure. Curr Opin Crit Care 2003;9: 496502.
13.
Jakob SM, Takala J. Gut perfusion in the critically ill. Intensive Care Med
2000; 26:813815.
14. Alverdy J, Laughlin R, Wu L. Influence of the critically ill state on host
pathogen interactions within the intestine: gut-derived sepsis redefined. Crit
Care Med 2003; 31:598607.
15. El-Menyar A, Ayman A. The resuscitation outcome: revisit the story of the
stony heart. Chest 2005;128:28352846.
-
5/19/2018 Patofisiologi Penyakit Kritis FIX
43/53
43
16.
Bolli R, Marban E. Molecular and cellular mechanisms of myocardial
stunning. Physiol Rev 1999;79:609634.
17. Heusch G, Schulz R, Rahimtoola S. Myocardial hibernation: a delicate
balance. Am J Physiol 2005;288:H984H999.
18. McCord JM. Oxygen-derived free radicals in postischemic tissue injury. N
Engl J Med 1985;312:159163.
19. Gonzalez D. Crush syndrome. Crit Care Med 2005;33:S34S41.
20. Kupiec-Weglinski J, Busuttil R. Ischemia and reperfusion injury in liver
transplantation. Transplant Proc 2005;37:16531656.
21.
Seal J, Gewertz B. Vascular dysfunction in ischemia-reperfusion injury. Ann
Vasc Surg 2005;19:572584.
22. Baudouin S. Lung injury after thoracotomy. Br J Anaesth 2003;91:132142.
23.
Hamvas A, Park C, Palazzo R, Liptay M, Cooper J, Shuster D. Modifying
pulmonary ischemia-reperfusion injury by altering ventilatory strategies
during ischemia. J Appl Physiol 1992;73:21122119.
24.
Calle E, Thun M, Petrelli J, Rodriguez C, Heath C. Body-m