PBL
-
Upload
andika-metrisiawan -
Category
Documents
-
view
32 -
download
5
description
Transcript of PBL
![Page 1: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kronik degeneratif masih terus mengalami peningkatan.1 Hal ini diduga akibat
perubahan gaya hidup modernisasi yang mencerminkan sedentary lifestyle. Berbagai
laporan epidemiolegi telah menunjukkan insiden diabetes melitus yang semakin
meningkat, baik pada negara maju maupun berkembang. Pasien diabetes yang identik
dengan gaya hidup tersebut sangat berisiko mengalami aterosklerosis yang terjadi lebih
awal dan cepat, menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah serta penyakit jantung
koroner sebagai penyebab kematian tertinggi pada pasien dengan diabetes dibandingkan
dengan nondiabetes.2
Kejadian kasus diabetes dilaporkan sekitar 70 % terjadi pada negara-negara
berkembang. Secara kuantitas 285 juta orang menderita diabetes pada tahun 2010 di
seluruh dunia. Dan pada tahun 2030 akan meningkat menjadi 438 juta orang. Penderita
diabetes tipe 2 biasanya menderita diabetes pada kisaran umur 40-59 tahun. Walaupun
diabetes lebih banyak dialami pria dibandingkan wanita dalam populasi, diabetes ternyata
meningkatkan insiden infark myokard, klaudikasio dan stroke lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria.2 Peningkatan risiko ini diakibatkan faktor risiko mayor lainnya seperti
hipertensi dan dislipidemia.
Diabetes merupakan penyakit metabolik yang biasanya herediter, dan merupakan
salah satu ancaman utama bagi umat manusia pada abad 21. Berdasarkan suatu hasil studi
epidemiologi terbaru, tanpa memandang gender, ras, usia, Indonesia telah memasuki
epidemi diabetes melitus tipe 2. Di Indonesia diperkirakan masih banyak (sekitar 50%)
penyandang diabetes yang belum terdiagnosis. Jika sudah terdiagnosis pun, dua pertiganya
saja yang menjalani pengobatan (non farmakologik maupun farmakologik) dan hanya
sepertiganya saja yang terkendali dengan baik.3
Diabetes merupakan penyakit yang akan diderita seumur hidup, jadi bukan hanya
tim medis saja yang memiliki peran penting dalam pengelolaan penyakit ini, namun pasien
dan orang disekelilingnya memiliki peranan yang jauh lebih penting. Edukasi terhadap
pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi akan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan.
1
![Page 2: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/2.jpg)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang biasanya herediter,
dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya
gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat gangguan sekresi, kerja insulin atau
keduanya. Gejala hiperglikemia yang nyata berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan
berat badan yang menurun.4
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus menurut ADA 2010 yaitu5 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
2. Diabetes Melitus Tipe 2
3. Diabetes Melitus Tipe Lain meliputi defek genetik fungsi sel beta, defek genetik
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, diabetes yang diinduksi obat atau zat
kimia.
4. Diabetes Gestasional
2.3 Faktor Risiko
Adapun faktor-faktor risiko terjadinya DM tipe adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor genetik
Penandaan gen
Riwayat keluarga
Gen khusus
2. Karakteristik Demografi
Jenis kelamin
Umur
Suku bangsa
3. Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi
Kegemukan
Kurang aktivitas fisik
2
![Page 3: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/3.jpg)
Diet
Alkohol dan merokok
Diet
Werternisasi, urbanisasi, modernisasi
Lingkungan intrauterine
2.4 Patofisiologi
1. DM Tipe 2
Pada DM tipe 2 letak kelainan di beberapa tempat :
Sekresi insulin oleh pankreas cukup, tetapi terjadi resistensi insulin di perifer.
Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang.
Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin tidak
efektif.
Terdapat kelainan di pasca reseptor, sehingga proses glikolisis intra seluler
terganggu.
Adanya kelainan campuran diantara nomor 1,2,3 dan 4.
2.5 Gejala klinis
Gejala klinis DM yang klasik : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa lemah badan,
kesemutan, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.3
2.6 Diagnosis
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus-menerus dibuat
baik oleh WHO, American Diabetes Association (ADA), maupun PERKENI
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). Diagnosis DM harus didasarkan atas
pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya
glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan
darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM,
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi
3
![Page 4: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/4.jpg)
setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO.3
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM 3
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa
darah sewaktu
(mg/dL)
Plasma vena <100 100-199 ≥200
Darah kapiler <90 90-199 ≥200
Kadar glukosa
darah puasa
(mg/dL)
Plasma vena <100 100-125 ≥126
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan
dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok
dengan salah satu risiko DM sebagai berikut: (1) usia > 45 tahun, (2) berat badan
lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2, (3) hipertensi (≥140/90
mmHg), (4) riwayat DM dalam garis keturunan, (5) riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4.000 gram, dan (6) kolesterol HDL ≤ 35
mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl.1
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menyaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT), dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat
ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT
merupakan tahapan sementara menuju DM (prediabetes). Setelah 5-10 tahun
kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3
lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin.
Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan
4
![Page 5: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/5.jpg)
kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi
dan dislipidemia.1,3
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien
wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa ≥ 126 mg/dL juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok
tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL pada
hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar
glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dL.1,3
Tabel 2. Kriteria diagnosis diabetes melitus 3
1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
2.7 Penatalaksanaan
5
![Page 6: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/6.jpg)
Prinsip penatalaksanaan DM 3:
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk secara mapan. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien
dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai perubahan perilaku dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Diantaranya
pemahaman tentang perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan
pemantauan DM, penyulit DM dan resikonya, intervensi farmakologis dan non-
farmakologis, serta pentingnya latihan jasmani yang teratur.
2. Terapi Gizi Medis
Terapi gizi medis merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap diabetisi
sebaiknya mendapatkan TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai target
terapi. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin. Pada konsensus PERKENI, telah ditetapkan
bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi yang seimbang
berupa karbohidrat (45-65%), lemak (20-25%), protein (15-20%), diet cukup serat,
serta pembatasan garam.
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi. Di
antaranya adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25 kalori/kg BB untuk perempuan dan 30 kalori/kg BB untuk laki-laki.
Hasilnya kemudian ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu
jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, stres metabolik dll.
Perhitungan BB ideal dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb :
BB ideal = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
Bagi pria dengan TB di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
modifikasi menjadi :
6
![Page 7: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/7.jpg)
BB ideal = (TB dalam 100 cm-100)
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT :
BB kurang < 18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB Lebih ≥ 23,00
Dengan Risiko 23,00-24,9
Obesitas I 25,00-29,9
Obesitas II ≥ 30,00
Penentuan status gizi berdasarkan Berat Badan Ideal (BBI) :
(BB aktual : BB Idaman X 100 %)
BB kurang : BB < 90 %
BB normal : BB 90 – 110 %
BB lebih : BB >110 – 120 %
BB gemuk : BB > 120 %
Penentuan kebutuhan kalori per hari, berdasarkan :
1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria
Laki-laki : BBI x 30 kal
Wanita : BBI x 25 kal
2. Umur
40-59 tahun : -5%
60-69 tahun : -10%
≥70 tahun : -20%
3. Aktifitas
Ringan : +10%
Sedang : +20%
Berat : +30%
4. Berat Badan
Gemuk : -20%
Lebih : -10%
Kurus : +20%
5. Stres Metabolik : + 10-30%
7
![Page 8: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/8.jpg)
Infeksi, Operasi, Stroke
6. Kehamilan trimester I dan II : + 300 kal
Kehamilan trimester III : + 500 kal
2. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe II. Latihan jasmani selain menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang.
3. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan bila sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan TGM dan latihan jasmani
Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan :
a. Pemicu sekresi insulin : sulfonilurea dan glinid
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis : metformin
d. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Cara pemberian Obat Hipoglikemik Oral (OHO) :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respon kadar glukosa darah, dan dapat diberikan sampai dosis hampir
maksimal.
Sulfonilurea generasi I dan II : 15-30 menit sebelum makan
Glimepiride : sebelum/sesaat sebelum makan
Repaglinid/Nateglinid : sesaat/sebelum makan
Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan
Penghambat glukosidase alfa : bersama suapan pertama makan
Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
Tabel 3. Efek samping obat hipoglikemik oral 3 :
8
![Page 9: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/9.jpg)
Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan 3:
a. Penurunan berat badan yang cepat
b. Hiperglikemia berat yang disertai dengan ketosis
c. Ketoasidosis diabetik
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
g. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan TGM
i. Gangguan ginjal atau hati yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin3 :
a. Insulin kerja cepat
b. Insulin kerja pendek
c. Insulin kerja menengah
d. Insulin kerja panjang
e. Insulin campur tetap
Tabel 4. Farmakokinetik insulin eksogen
9
![Page 10: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/10.jpg)
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai dapat diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Untuk
kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dosis
awal insulin basal adalah 10 unit yang diberikan pada pukul 10 malam,
10
![Page 11: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/11.jpg)
kemudian dilakukan evaluasi dosis dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya.
Gambar 1. Algoritma pengelolaan DM Tipe 2.6
2.8 Kendali DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM
yang merupakan target terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah
mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar
yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.1,3,7
Kendali glikemik merupakan dasar pengelolaan diabetes. Perbaikan kendali
glikemik dihubungkan dengan penurunan angka retinopati, nefropati dan neuropati.
Pada pasien dengan penurunan HbA1c hingga 7% menunjukkan komplikasi
mikroangiopati yang lebih sedikit dan penurunan angka kejadian kardiovaskular.7
Telah tersedia berbagai cara untuk menilai kendali glikemik dalam pengelolaan
diabetes, sehingga memungkinkan dalam mendapatkan derajat kendali yang
maksimum bagi masing-masing individu.
1. Pemeriksaan kadar gula darah 3,5,7
Pemeriksaan glukosa darah dapat dilakukan di laboratorium atau dilakukan
sendiri (self-monitoring blood glucose). SMBG memungkinkan pasien untuk
11
![Page 12: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/12.jpg)
menilai respon terhadap terapi dan menentukan apakah target glikemik sudah
tercapai, sehingga SMBG merupakan komponen terapi yang efektif. SMBG
penting dilakukan pada pasien yang mendapat terapi insulin untuk memantau dan
mencegah hipoglikemia dan hiperglikemia. Bagi mereka yang menggunakan
insulin mungkin diperlukan pemeriksaan setiap hari bisa sampai tiga kali atau
lebih dalam sehari.
2. Pemeriksaan HbA1c 3,5,7
Pemeriksaan hemoglobin glikasi (HbA1c) dapat digunakan untuk menilai rata-
rata kadar gula darah selama 2-3 bulan sebelumnya. Pemeriksaan ini dilakukan
saat penderita memeriksakan dirinya pertama kali dan berikutnya untuk menilai
hasil terapi jangka panjang. Pemeriksaan HbA1c sebaiknya dilakukan setiap 3
bulan, atau paling sedikit 2 kali dalam setahun sesuai anjuran PERKENI 2002.
Untuk menilai kendali glikemik paling baik menggunakan kombinasi antara
kadar gula darah dan HbA1c. Hiperglikemia sebagai manifestasi kardinal pada
diabetes mempengaruhi fungsi pembuluh darah, lipid dan koagulasi. Peningkatan
kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah berkorelasi kuat dengan
peningkatan kadar glukosa darah. Peningkatan risiko ini terjadi apabila kadar
HbA1c di atas 6,2 %.8 Intervensi yang mampu menurunkan kadar HbA1c walau
hanya 1% saja dapat menurunkan 14 % risiko infark myokard dan memberikan
perbedaan yang bermakna pada pasien dengan diabetes.8
Tabel 5. Korelasi antara HbA1c dengan kadar glukosa darah rata-rata 5
A1c (%)Rata-rata gula darah
mg/dL mmol/L
6
7
8
9
10
11
12
126
154
183
212
240
269
298
7.0
8.6
10.2
11.8
13.4
14.9
16,5
3. Pemeriksaan glukosa urin 7
12
![Page 13: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/13.jpg)
Pemeriksaan glukosa urin merupakan cara penilaian tidak langsung dan kurang
tepat, hanya digunakan pada penderita yang karena suatu sebab tidak bisa
dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Nilai ambang ginjal untuk ekskresi
glukosa adalah kadar gula darah sekitar 180 mg/dl, namun hal ini sangat
bervariasi antara satu penderita dengan yang lainnya sesuai keadaan atau penyakit
yang menyertainya, seperti penyakit ginjal.
4. Kendali tekanan darah
Hipertensi merupakan komorbid yang sering ditemukan pada pasien dengan
diabetes. Prevalensi hipertensi pada pasien diabetes ditemukan 1,5 – 3 kali lebih
tinggi daripada mereka yang tanpa diabetes.9 Keduanya merupakan penyakit yang
sangat signifikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara keseluruhan
pada penyakit jantung dan pembuluh darah. Kontrol yang baik terhadap tekanan
darah adalah salah satu intervensi yang paling penting karena ternyata dapat
menurunkan kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah lebih efektif daripada
kontrol yang ketat terhadap glukosa darah.2 Penurunan tekanan sistolik sebanyak
10 mmHg dapat menurunkan risiko infark myokard sebanyak 11%.2
Nilai cut-off diagnostik hipertensi pada pasien dengan diabetes adalah lebih
rendah (≤ 130/80 mmHg) dibanding nondiabetes (≤ 140/90 mmHg).5 Terapi
perubahan gaya hidup pada hipertensi terdiri dari menurunkan berat badan jika
overweight, diet rendah sodium dan tinggi kalium, mengurangi konsumsi alkohol
dan meningkatkan aktivitas fisik. Terapi farmakologis pada pasien diabetes dan
hipertensi haruslah mencakup ACE-inhibitor atau angiotensin II receptor blocker
(ARB).5 Jika diperlukan dapat ditambahkan thiazide diuretic pada mereka dengan
GFR ≥ 30 ml/mnt/1.73 m2 dan loop diuretic pada mereka dengan estimasi GFR <
30 ml/mnt/1.73 m2.5 Jika menggunakan ACE inhibitor, ARB dan diuretik, fungsi
ginjal dan kadar potasium serum harus dimonitor ketat. Kebanyakan pasien akan
mendapatkan 3 macam obat atau lebih untuk mencapai target. Bila pasien sudah
mendapatkan tiga macam obat antihipertensi dari golongan yang berbeda dengan
dosis maksimum maka salah satu agen haruslah diuretik.5
5. Pengelolaan lipid
Penderita dengan DM tipe II sering ditemukan adanya peningkatan kadar lipid
plasma yang meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular. Rekomendasi
13
![Page 14: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/14.jpg)
penanganan dislipidemia diabetik menurut American Diabetes Association
(ADA) 2010 adalah sebagai berikut:
1. Pada orang dewasa, pemeriksaan lipid plasma paling sedikit dilakukan setiap
tahun dan lebih sering jika diperlukan untuk mencapai sasaran. Bagi mereka
dengan kadar lipid risiko rendah (LDL <100 mg/dl, HDL > 50 mg/dl, dan
trigliserida < 150 mg/dl) ulangi pemeriksaan lipid setiap 2 tahun.
2. Terapi dan sasaran.
Modifikasi gaya hidup dipusatkan pada pengurangan asupan lemak jenuh,
lemak trans dan asupan kolesterol, peningkatan serat dan sterol, penurunan
berat badan dan peningkatan aktivitas fisik untuk memperbaiki profil lipid.
Mereka yang tanpa penyakit kardiovaskular sasaran utama adalah LDL < 100
mg/dl. Mereka yang dengan penyakit kardiovaskular diberikan statin untuk
menurunkan LDL mencapai sasaran LDL < 70 mg/dl, karena terapi statin
dapat menurunkan LDL sebanyak 30 – 40 % dari kadar awal.
Abnormalitas pada profil lipid yang ditemui pada pasien dengan diabetes
meliputi peningkatan trigliserida, penurunan HDL yang bersifat ateroprotektif
dan peningkatan small-dense LDL yang aterogenik. Kontrol glukosa darah yang
buruk berpengaruh terhadap memburuknya dislipidemia. Oleh karena itu, kontrol
glukosa darah yang baik dapat menurunkan aliran asam lemak bebas dalam
sirkulasi dan produksi VLDL oleh hepar. Penurunan berat badan, olahraga,
berhenti merokok dan modifikasi pola makan adalah terapi pertama yang harus
diberikan. Obat-obatan seperti HMG-CoA reductase inhibitor (statin) dapat
meningkatkan pengambilan LDL dari sirkulasi, menurunkan produksi VLDL oleh
hepar dan meningkatkan HDL. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
penambahan TZD pada pasien yang menerima statin menunjukkan perbaikan
dalam profil lipid, menurunkan aterosklerosis dan menurunkan risiko terhadap
penyakit jantung dan pembuluh darah walaupun keduanya memiliki efek
metabolik yang berbeda. Derivat fibrat meningkatkan kadar HDL dan
menurunkan kadar trigliserida.1 Asam nikotinik meningkatkan kadar HDL lebih
baik daripada modalitas lainnnya tanpa mengganggu kontrol glukosa. Niasin
digunakan dalam lini kedua dan peringatan terhadap efek sampingnya seperti
flushing, hiperurisemia, hiperglikemia dan gangguan fungsi hepar. Terapi statin
14
![Page 15: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/15.jpg)
sebaiknya diberikan pada pasien diabetes dengan penyakit kardiovaskular dan
mereka yang tanpa penyakit kardiovaskular tetapi lebih dari 40 tahun dan
memiliki risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Terapi kombinasi statin dan
fibrat atau statin dan niasin mungkin efektif terhadap ketiga fraksi lipid tetapi
kombinasi tersebut dapat meningkatkan transaminase, myositis maupun
rabdomyolisis.5
6. Antiplatelet
Aspirin dosis rendah direkomendasikan pada pasien diabetes walaupun tanpa
riwayat penyakit janting dan pembuluh darah, oleh karena fungsi platelet yang
abnormal pada pasien diabetes dan banyak pasien dengan ateroskleosis tidak
nampak secara klinis. Terapi aspirin (75-162 mg/hari) sebagai strategi
pencegahan primer pada diabetisi dengan peningkatan risiko kardiovaskular,
dimana termasuk laki-laki > 50 tahun atau wanita > 60 tahun yang memiliki
sedikitnya satu faktor risiko mayor (riwayat penyakit kardiovaskular dalam
keluarga, hipertensi, merokok, dislipidemia atau albuminuria).5 Antiplatelet dapat
menurunkan risiko stroke, infark myokard dan kematian vaskuler.2,5 Glycoprotein
IIb/IIIa inhibitor dapat menurunkan mortalitas 25% dalam tiga puluh hari pada
pasien diabetes yang mengalami sindrom koroner akut dibandingkan
nondiabetes.10 Kombinasi aspirin dengan clopidogrel menunjukkan penurunan
angka kematian, infark myokard atau stroke pada pasien dengan unstable
angina/NSTEMI yang menderita diabetes.10
7. Pemantuan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama
pada penyandang DM tipe-2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah > 300
mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes
yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara
benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat
dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara
langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat
darah < 0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan
melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan
15
![Page 16: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/16.jpg)
benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes,
khususnya KAD.
Tabel 6. Kriteria Pengendalian DM 3
Untuk penderita DM yang berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa <150 mg/dL, dan sesudah makan
<200 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada
batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus
penderita DM usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek
samping dan interaksi obat.7
2.9 Pencegahan
Mengingat jumlah pasien yang banyak dan besarnya biaya perawatan pasien diabetes
yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang paling baik
dilakukan adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan ada 3
jenis yaitu:
a. Pencegahan Primer : semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya
hiperglikemi pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi
umum.
16
![Page 17: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/17.jpg)
b. Pencegahan Sekunder : menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya
dengan tes penyaringan terutama pada populasi berisiko tinggi. Dengan demikian
pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, sehingga
dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada
komplikasi masih reversibel.
c. Pencegahan Tersier : semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan
akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi:
Mencegah timbulnya komplikasi
Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak terjadi kegagalan
organ
Mencegah kecacatan tubuh
2.10 Penyulit Diabetes Melitus
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
a. Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik 1
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. Akibat diuresis osmotik biasanya mengalami
dehidrasi berat bahkan sampai syok. KAD memiliki beberapa faktor pencetus
seperti infeksi, infark myokard akut, pankreatitis akut, pemakaian obat steroid, dan
menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Pada KAD selain defisiensi insulin
absolut atau relatif juga terdapat peningkatan hormon kontraregulator (glukagon,
kortisol, katekolamin, dan hormon pertumbuhan) yang menyebabkan peningkatan
produksi glukosa hati sehingga pasien jatuh dalam keadaan hiperglikemia.
Walaupun kadar glukosa dalam darah tinggi, namun glukosa tersebut tidak dapat
digunakan oleh sel untuk proses oksidasi sehingga terjadi peningkatan lipolisis.
Produk akhir dari lipolisis adalah benda keton seperti asam asetoasetat, aseton, β-
hydroxybutirate. Benda keton inilah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya
ketosis.
Gejala klinis pasien KAD seperti pernafasan yang cepat dan dalam
(Kussmaul), dehidrasi dan kadang-kadang disertai syok. Pasien KAD biasanya
17
![Page 18: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/18.jpg)
juga datang ke rumah sakit dengan keluhan muntah, nyeri perut akibat
gastroparesis atau dilatasi lambung. Diagnosis KAD ditegakkan berdasarkan
temuan adanya kadar glukosa darah > 250 gr/dL, pH darah < 7.35, ion bikarbonat
(HCO3-) rendah, anion gap yang tinggi, dan didapatkan keton serum maupun
keton dalam urine positif.1
Prinsip pengobatan KAD adalah :
a. penggantian cairan dan garam yang hilang
b. menekan lipolisis sel lemak dengan pemberian insulin
c. mengatasi pencetus KAD
d. pemberian kalium bila terjadi hipokalemia
e. glukosa bila kadar glukosa mencapai < 200 mg%
f. bikarbonat diberikan bila pH darah < 7.1 atau hiperkalemia > 6.5 mmol/L
g. di samping itu dapat diberikan antibiotik bila pencetus KAD adalah infeksi.
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD adalah edema
paru, infark myokard akut, hipertrigliseridemia dan komlikasi iatrogenik
(hipoglikemia, hiperkloremia, hipokalemia, hipokalsemia dan edema serebri).
2. Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotik
Koma Hiperglikemia ini dicirikan dengan hiperglikemi, hiperosmolar, dan
dehidrasi tanpa disertai keadaan ketotik. Sering terjadi pada umur tua atau paruh
baya yang menderita DM tipe 2 yang ringan atau tak terdiagnosis. Koma dapat
terjadi jika osmolaritas melebihi 330 mOsm/kg. Insufisiensi ginjal atau gangguan
vaskular dapat menjadi penyebab terjadinya hiperglikemia hiperosmolar non
ketotik ini. Di samping itu beberapa obat seperti diuretik dan fenitoin juga dapat
menjadi penyebab.1
Defisiensi insulin menyebabkan penurunan penggunaan glukosa oleh otot,
lemak, dan hati. Di saat yang bersamaan terjadi peningkatan glukoneogenesis di
hati serta glikolisis di otot dan lemak yang menyebabkan hiperglikemia yang berat.
Keadaan hiperglikemik tersebut memicu glukosuri dan diuresis osmotik. Ketosis
tidak terjadi karena masih terdapatnya insulin dalam jumlah yang cukup untuk
mencegah lipolisis namun tidak adekuat untuk menghambat hiperglikemi. Pada
pasien tersebut dehidrasi akan terjadi bila cairan masuk tidak bisa mengimbangi
banyaknya cairan yang keluar. Pada dehidrasi yang berat, aliran perfusi darah ke
18
![Page 19: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/19.jpg)
ginjal akan berkurang yang kemudian menyebabkan bertambah beratnya kerusakan
ginjal yang sebelumnya terjadi. Akibatnya ekskresi glukosa melalui urin menurun,
sehingga kadar glukosa dalam darah akan meningkat. Hal ini menyebabkan
osmolaritas kapiler juga meningkat. Bila nilai osmolaritas melebihi 330 mOsm/kg,
air akan ditarik keluar dari jaringan otak sehingga dapat memicu terjadinya koma.
Gejala poliuri, polidipsi, dan badan lemah dapat terjadi beberapa hari sebelum
keadaan hiperglikemik, hiperosmolar non ketotik. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan tanda-tanda dehidrasi (tekanan darah turun, nadi meningkat, turgor kulit
berkurang, mukosa kering,dll). Dan juga tampak tanda-tanda kelainan neurologis
seperti gelisah, kejang, sampai koma.1
3. Hipoglikemia 1
Berbagai faktor yang merupakan predisposisi hipoglikemia adalah :
a. Kadar insulin yang berlebih
- Dosis berlebihan baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan
- Peningkatan bioavailabilitas insulin
b. Peningkatan sensitivitas insulin
- Penurunan berat badan
- Post partum
- Gangguan menstruasi
c. Asupan karbohidrat yang tidak adekuat
- Porsi makan kurang atau telat makan
- Muntah dan diare
d. Pemakaian obat yang meningkatkan kerja obat hipoglikemik oral atau
insulin (salisilat, sulfonamide meningkatkan kerja sulfonilurea).
Gejala pasien dengan hipoglikemia terdiri dari gejala autonomik seperti
berkeringat, jantung berdebar, tremor, lapar ; gejala neuroglikopenik seperti
bingung, mengantuk, sulit berbicara, inkoordinasi, perilaku yang berbeda,
gangguan visual, parestesi ; serta malaise. Terapi hipoglikemia pada diabetes
berupa glukosa oral ataupun glukosa intravena. Pada pemberian glukosa intravena,
pemberiannya harus lebih hati-hati karena bersifat toksik terhadap jaringan bila
glukosa yang diberikan berkonsentrasi tinggi( 50 % atau lebih). Di samping
pemberian glukosa dapat juga diberikan glukagon intramuskular.
19
![Page 20: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/20.jpg)
b. Penyulit menahun
1. Makroangiopati :
Pembuluh darah jantung
Penyakit jantung koroner menyebabkan sebagian besar morbiditas dan
mortalitas pada pasien dengan diabetes, dimana risikonya meningkat dua
hingga empat kali.2 Pada suatu studi berbasis populasi ditemukan bahwa
pasien diabetes tanpa riwayat infark myokard akut memiliki risiko yang
sama terhadap penyakit jantung koroner dibandingkan dengan pasien
nondiabetes dengan riwayat infark myokard. Hasil ini membuat Adult
Treatment panel III of the National Cholesterol Education Programme
menyimpulkan bahwa diabetes sebagai risiko ekuivalen penyakit jantung
koroner yang harus mendapatkan terapi antiaterosklerosis yang agresif.2,11
Target kolesterol LDL yang harus diacapai yaitu < 100 mg/dL, dimana
terapi medikamentosa harus diberikan apabila kadar kolesterol ≥ 130
mg/dL.11 Pasien dengan diabetes juga memiliki prognosis jangka panjang
yang buruk termasuk reinfark, penyakit jantung kongestif dan kematian.
Kurang lebih pasien diabetes meninggal dalam lima tahun setelah infark
myokard, dua kali lebih besar dibanding nondiabetes.2,10
Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Pasien
dengan diabetes berisiko tiga hingga empat kali terhadap penyakit arteri
perifer. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio,
meskipun sering tanpa gejala. Diabetes meningkatkan risiko amputasi lebih
dari dua puluh kali lipat, bahkan diabetes merupakan penyebab nomor satu
amputasi ekstremitas bawah selain trauma di Amerika Serikat.2 Terkadang
ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
Pembuluh darah otak
Prevalensi aterosklerosis pada pembuluh darah otak lima kali lebih banyak
terdapat pada pasien dengan diabetes, dimana risiko stroke meningkat 150
hingga 400% dan kontrol hiperglikemia yang buruk berhubungan langsung
terhadap risiko stroke.2 Diabetes meningkatkan risiko demensia tiga kali
20
![Page 21: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/21.jpg)
lipat pascastroke, meningkatkan rekurensi stroke dua kali lipat dan
meningkatkan mortalitas total.2,10
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Retinopati diabetik adalah komplikasi vaskular yang berkorelasi kuat
dengan durasi diabetes, hiperglikemia kronis, adanya nefropati dan
hipertensi. Untuk mengurangi progresivitas dari retinopati maka kontrol
terhadap gula darah dan tekanan darah harus dioptimalkan. Pasien dengan
diabetes tipe II haruslah mendapatkan pemeriksaan mata segera setelah
diagnosis diabetes ditegakkan. Adanya retinopati bukanlah kontraindikasi
untuk memberikan aspirin sebagai terapi kardioprotektif, karena
pemberiannya tidak meningkatkan risiko perdarahan retina.5 Terapi aspirin
tidak mencegah timbulnya retinopati.3 Pembedahan fotokoagulasi dengan
laser memiliki keuntungan dengan menurunkan risiko kehilangan
penglihatan, tetapi tidak memberikan keuntungan dalam hal mengembalikan
tajam penglihatan.5
Nefropati diabetik
Nefropati diabetik dapat terjadi pada 20-40 % pasien dengan diabetes.5
Mikroalbuminuria persisten (30 – 299 mg/24 jam) dapat mengindikasikan
stadium awal suatu nefropati pada pasien diabetes. Untuk mengurangi risiko
terhadap nefropati diabetik, kontrol terhadap glukosa darah dan tekanan
darah haruslah optimal. Penggunaan ACE Inhibitor dan ARB dapat
mengurangi kehilangan fungsi ginjal melalui efeknya dalam menurunkan
tekanan darah sistolik. Pada pasien diabetes tipe II, hipertensi dan
mikroalbuminuria, penggunaan ACE Inhibitor dan ARB dapat menghambat
progresivitas menjadi makroalbuminuria.5 Sedangkan ARB terbukti dapat
menghambat progresivitas pada diabetes tipe II dengan hipertensi,
makroalbuminuria, dan insufisiensi renal (creatinin serum > 1,5 mg/dl).5
Kombinasi obat-obatan yang dapat memblok sistem Renin-angiotensin-
aldosteron (ACE inhibitor, ARB, antagonis mineralocorticoid) dapat lebih
menurunkan level albuminuria. Restriksi protein juga sangat bermanfaat
21
![Page 22: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/22.jpg)
pada pasien penyakit ginjal kronis, dimana restriksi 0,8-1,0 gr/kgBB/hari
pada stadium awal dan 0,8/kgBB/hari pada stadium akhir dapat
memperbaiki fungsi ginjal.5
Neuropati
Neuropati diabetik dapat bervariasi dalam manifestasi klinisnya, dapat lokal
atau difus. Yang paling sering adalah polineuropati simetris distal dan
neuropati autonomik diabetik. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa
terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari.
1. Polineuropati simetris distal 5
Skrining neuropati pada pasien dengan diabetes dapat menggunakan
beberapa tes seperti tes sensasi pin-prick, persepsi vibrasi, pemeriksaan
sensasi raba dengan monofilamen 10 gram pada bagian plantar distal ibu
jari dan sendi metatarsal serta pemeriksaan reflek lutut.5 Kombinasi dari
pemeriksaan tersebut memiliki sensitivitas > 87 % dalam mendeteksi
polineuropati simetris distal.5 Langkah awal penanganan adalah dengan
mengontrol kadar glukosa darah. Apabila diketemukan adanya
polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan
risiko amputasi.
Amputasi dan ulkus kaki sebagai akibat dari neuropati diabetik
dan/atau penyakit arteri perifer merupakan penyebab morbiditas dan
ketidakmampuan pada pasien diabetes. Pemeriksaan kaki meliputi
inspeksi, pulsasi arteri, dan pemeriksaan sensoris. Risiko amputasi dan
ulkus kaki dapat meningkat pada pasien dengan riwayat amputasi
sebelumnya, riwayat ulkus kaki sebelumnya, neuropati perifer,
deformitas, penyakit vaskular perifer, gangguan penglihatan, nefropati
diabetik, kontrol gula darah yang buruk dan merokok. Skrining penyakit
arteri perifer meliputi riwayat klaudikasio dan pemeriksaan pulsasi arteri
pedis. Pemeriksaan ABI dapat dilakukan pada pasien dengan gejala
penyakit arteri perifer. Sedangkan menurut konsensus ADA, ABI dapat
dilakukan pada pasien > 50 tahun dan pasien < 50 tahun dengan faktor
risiko seperti merokok, hipertensi, dislipidemia, dan diabetes selama >
10 tahun.5 Pasien dengan neuropati atau dengan peningkatan tekanan
22
![Page 23: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/23.jpg)
plantar dirawat dengan baik dengan menggunakan alas kaki yang pas
dan nyaman serta dapat mendistribusikan tekanan. Obat-obatan yang
dapat diberikan yaitu golongan obat trisiklik, antikonvulsan (gabapentin,
pregabalin) duloxetine (5-HT & NE upatake inhibitor) dan capsaicin
cream (substance P inhibitor).
Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada semua
orang dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral arterial
disease, seperti:
- Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air
- Periksa kaki setiap hari, dan laporkan pada dokter apabila ada kulit
yang terkelupas atau daerah kemerahan atau luka
- Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya
- Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, dan mengoleskan krim
pelembap ke kulit secara teratur
2. Neuropati autonomik diabetik
Manifestasi mayor dari neuropati autonomik antara lain takikardia saat
istirahat, exercise intolerance, hipotensi ortostatik, konstipasi,
gastroparesis, disfungsi ereksi, disfungsi sudomotor dan fungsi
neurovaskular.5 Neuropati autonomik kardiovaskular, suatu faktor risiko
terhadap penyakit kardiovaskular adalah bentuk klinis yang paling
penting dari neuropati autonomik diabetik. Neuropati ini diindikasikan
dengan adanya resting tachycardia (> 100 x/mnt), hipotensi ortostatik
(penurunan tekanan darah sistolik > 20 mmHg saat berdiri).5 Neuropati
gastrointestinal (misalnya enteropati esofageal, gastroparesis, konstipasi,
diare, dan inkontinensia alvi) dapat mempengaruhi bagian manapun.
Neuropati autonomik diabetik juga sering dikaitkan dengan traktus
genitourinarius. Pada laki-laki, dapat menyebabkan disfungsi ereksi
dan/atau ejakulasi retrograde. Evaluasi fungsi kandung kemih harus
dilaksanakan pada pasien dengan ISK berulang, pyelonefritis,
inkontinensia dan kandung kemih yang teraba.
23
![Page 24: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/24.jpg)
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas pasien
Nama : PURWA
Umur : 51 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SD
Status perkawinan : Sudah menikah
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Perum Angkasa Pura Bypas Jimbaran, Badung
3.2 Anamnesis (7 September 2011)
Keluhan Utama
Badan terasa lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli interna RSUP Sanglah dengan membawa konsulan dari bagian
TS Mata dengan diagnosis ODS Katarak Subcapsular Posterior + OS Vitreus
Opacity. Pasien akan direncanakan operasi dengan anestesi lokal dikonsulkan untuk
menilai kelayakan operasi sebab kadar glukosa darah sewaktu 375 mmol/dL.
Pasien mengeluhkan lemas pada badan yang dirasakan sejak 3 bulan yang lalu.
Lemas dirasakan pada seluruh tubuh. Keluhan lemas dirasakan hampir sepanjang
hari, terutama saat beraktivitas berat. Keluhan dikatakan membaik saat pasien
beristirahat namun sejak keluhan muncul pasien merasa tubuhnya tidak terasa bugar
seperti dulu. Awalnya keluhan ini dikatakan berlangsung perlahan-lahan hilang
timbul sepanjang hari, tetapi sejak seminggu terakhir keluhan dirasakan memberat
dan membuat pasien tidak bisa beraktivitas berat dan bekerja.
24
![Page 25: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/25.jpg)
Pasien juga mengatakan adanya penurunan berat badan dalam kurun waktu
satu tahun terakhir. Awalnya dikatakan beratnya adalah 81 kg dan terakhir diperiksa
tadi beratnya adalah 55 kg. Berat badannya dirasakan menurun perlahan-lahan
hingga sekarang. Pasien mengatakan tidak ada riwayat mengalami sakit keras hingga
diopname. Nafsu makan pasien dikatakan baik, namun pasien mengeluhkan sering
merasa lapar.
Pasien mengatakan sering merasa haus sehingga kebiasaan minum dikatakan
lebih banyak dari biasanya sejak 5 bulan yang lalu. Buang air kecil dikatakan lebih
sering, frekuensi 4-6 kali perhari, volume tiap kencing ½ sampai 1 gelas, warna
kuning jernih. Dan pada malam hari pasien biasanya kencing 2-3 kali dalam
semalam. Pasien mengatakan buang air besar seperti biasa, konsistensi lembek,
warna kuning kecoklatan, dengan frekuensi satu kali sehari.
Pasien juga mengeluhkan kesemutan sejak kurang lebih 3 minggu yang lalu
pada kedua kakinya. Keluhan kesemutan dirasa menetap, tidak hilang dengan
beristirahat. Walaupun kesemutan, pasien masih bisa merasakan bila disentuh
sesuatu, hanya terasa tebal. Awalnya kesemutan hanya dirasakan di ujung-ujung jari,
dan bertambah hingga telapak dan punggung kaki. Keluhan penyerta lain seperti,
mual, muntah, pusing, sesak nafas disangkal oleh pasien.
Pasien juga mengatakan mengalami gangguan penglihatan pada kedua mata.
Penglihatan pasien mulai kabur sejak 2 bulan yang lalu terutama jika melihat benda-
benda silau atau di siang hari. Dikatakan penglihatan kabur perlahan-lahan semakin
memberat, sejak 1 minggu pasien merasa hanya bisa melihat lambaian jari-jari
tangan dari kejauhan. Riwayat memakai kacamata disangkal oleh pasien. Sejak
keluhan ini memberat membuat pasien tidak berkerja lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
Pasien menderita diabetes melitus sejak 1 tahun yang lalu, dimana pada saat itu
pasien mengaku banyak minum, banyak makan dan sering kencing serta badan selalu
terasa lemah. Akibat keluhan tersebut pasien memeriksakan diri ke RSU di Lombok
dan mendapatkan terapi diabetes berupa pil yang diminum 3 kali sehari. Pasien
mengatakan lupa nama pilnya karena pasien tidak rutin minum obat bahkan sejak 3
25
![Page 26: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/26.jpg)
bulan terakhir pasien sudah berhenti minum obat. Riwayat penggunaan insulin
disangkal pasien. Pasien juga mengatakan tidak mempunyai riwayat dioperasi.
Riwayat mengkonsumsi jamu dan obat herbal lain juga disangkal.
Pasien mengatakan mempunyai riwayat alergi terhadap semen, bila terlalu
lama terpapar semen maka pasien sering merasa gatal-gatal dan kemerahan pada
tangan hingga ke lengan, dan bahkan pernah pada hampir seluruh tubuh, namun tidak
pernah sampai opname. Setiap keluhan muncul pasien meminum obat Dermaxan
(dexametazone dan ctm) yang dia beli di toko obat. Pasien mengatakan tidak
mempunyai riwayat penyakit lain seperti asma, tekanan darah tinggi dan penyakit
jantung .
Riwayat Keluarga
Di keluarga pasien, dikatakan tidak terdapat yang menderita diabetes melitus di
antaranya ayah, ibu, dan 2 orang kakak pasien. Riwayat hipertensi pada keluarga
tidak diketahui oleh pasien.
Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta yaitu sebagai buruh proyek. Namun 1
bulan terakhir pasien sudah mulai mengurangi aktivitasnya karena lemas dan
beberapa kali tidak masuk kerja. Sejak 1 minggu karena gangguan penglihatan
memberat pasien tidak bekerja lagi. Kegiatan sehari-hari pasien hanyalah beraktivitas
di dalam rumah dan terkadang membantu istri berjualan di warung.
Riwayat merokok dikatakan sejak umur 15 tahun. Dalam sehari rata-rat bisa
menghabiskan 1 bungkus rokok, dan sejak 6 bulan yang lalu pasien mulai
mengurangi kebiasaannya tersebut sekitar 1-2 batang tiap harinya. Riwayat minum
minuman beralkohol disangkal oleh pasien.
Pasien jarang berolahraga karena menganggap beraktivitas tempatnya sudah
cukup sebagai latihan fisik. Pasien mengatakan sejak menderita diabetes pasien
mulai mengatur pola makannya sesuai anjuran dokter dan pasien lebih sering
mengkonsumsi jagung sebagai makanan pengganti.
26
![Page 27: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/27.jpg)
3.3 Pemeriksaan Fisik (7 September 2011)
Status Present
Kondisi Umum : sedang
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : Sedang
GCS : E4 V5 M6
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 86 x/mnt
Respirasi : 20 x/mnt
Suhu aksila : 36,5 °C
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 160 cm
IMT : 21,48 kg/m2
Lingkar perut : 74 cm
Status General
Mata : Konjungtiva pucat-/-, Ikterus -/-, Reflek Pupil +/+ isokor
THT : Kesan tenang
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP PR + 0 cm H2O
Thorax
Cor :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba iktus kordis pada ICS V 1cm dari MCL kiri, irama
teratur, thrill (-)
Perkusi : Batas atas jantung ICS II
Batas kanan jantung 1cm PSL kanan
Batas kiri jantung 1cm lateral MCL kiri ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal regular murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : Simetri
Palpasi : Pergerakan simetri, taktil vokal fremitus simetri
27
![Page 28: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/28.jpg)
Perkusi : Batas bawah kanan ICS V, batas bawah kiri ICS VI,
sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar/lien tidak teraba, ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-).
Perkusi : ascites (-)
Ekstremitas : Akral hangat ++/++ edema: --/--
Pemeriksaan Mata (07/09/2011)
OD OS
6/12
PH (-)
Visus 2/60
PH(-)
N Palpebra N
Tenang Konjunctiva Tenang
Jernih Kornea Jernih
Dalam Bilik mata depan Dalam
Bulat, reguler Iris Bulat, reguler
Reflek Pupil (+) Pupil Reflek pupil (+)
Keruh Lensa Keruh
Jernih Vitreus Opasitas
12,2 TIO 17,3
Papil N. II bulat, batas tegas
CDR 0,3 aa/vv 2:3
Retina : exudat (-), perdarahan (-)
Makula : exudat (-), RM (+)
Funduskopi Papil N. II bulat, batas tegas
CDR 0,3 aa/vv 2:3
Retina : eksudat (-),perdarahan -
Makula : RM (+), perdarahan (-)
Kesimpulan : ODS Katarak Subcapsular Posterior
OS Vitreus Opacity
28
![Page 29: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/29.jpg)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
DARAH LENGKAP
PEMERIKSAAN 7/9 NILAI NORMAL
WBC 9,04 4,1 - 11,0 103/uL
Neu % 51,70 47 - 80 %
Lym % 35,60 13 - 40 %
Mo % 4,90 2 - 11 %
Eos % 5,60 0,0 - 5 %
Ba % 0,60 0,0 – 2 %
Neu # 4,67 2,5 – 7,5 103/uL
Lym # 3,22 1 - 4 103/uL
Mo # 0,44 0,1 – 1,2 103/uL
Eos # 0,51 0,0 – 0,5 103/uL
Ba # 0,06 0,0 – 0,1 103/uL
RBC 5,37 4,5 – 5,9 106/uL
HGB 14,10 13,5 - 17,5 g/dl
HCT 43,1 41,0 - 53,0 %
MCV 80,20 80,0 - 100 fL
MCH 26,3 26,0 - 34,0 pg
MCHC 32,70 31,0 - 36,0 g/dl
PLT 238 150 - 440 103/uL
RDW 12,1 11,6-14,8 %
MPV 6,8 6,8-10,0 Fl
Blooding Time 1’00’’ 1-3 menit
Clotting Time 6’30’’ 5-15 menit
KIMIA DARAH
29
![Page 30: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/30.jpg)
PEMERIKSAAN 7/9/2011 NILAI NORMAL
SGOT/AST 24,00 11 - 33 IU/L
SGPT/ALT 31,00 11 - 50 IU/L
GDP 375 80 – 100 mg/dL
GD 2 jam PP 390 70 – 140 mg/dL
Creatinin 0,81 0,50 - 1,20 mg/dL
BUN 15 6,0 - 20,0 mg/dL
HbA 1C 13,59 <6,5%
3.5 Diagnosis
Diabetes Melitus Tipe 2
ODS Katarak Subcapsular Posterior
OS Vitreus Opacity
3.6 Penatalaksanaan
- Rawat jalan
- Edukasi
- Latihan Jasmani
- Diet 1620 kkal /hari
- Humalog mix 10-10-8
- Metformin 2 x 500 mg
3.7 Daftar Permasalahan
Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal
menghadapi penyakitnya:
1. Pasien akan dilakukan operasi katarak dengan kadar glukosa darah puasa dan
glukosa darah 2 jam post prandial tinggi serta HbA1c yang juga tinggi sehingga
operasi ditunda untuk regulasi kadar glukosa darahnya.
2. Pasien sering tidak taat dalam mengkonsumsi obat minum yang diberikan karena
terlalu sibuk bekerja dan sering lupa. Saat dilakukan kunjungan pasien sudah
30
![Page 31: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/31.jpg)
mengkonsumsi 1 obat tablet pada pukul 14.00 WITA dan belum menyuntikkan
insulin setelah makan yang terakhir. Pasien terakhir makan pukul 18.00 WITA
3. Pasien mengalami gangguan penglihatan sehingga tidak bisa menyuntikkan
sendiri insulin karena tidak bisa mengatur dosisnya. Pasien biasanya menunggu
anaknya datang selesai bekerja untuk menyuntikkan insulin.
4. Pasien lebih sering berdiam di rumah dan hanya melakukan aktivitas ringan oleh
karena pasien cepat merasa lelah, mata kabur dan silau dengan cahaya matahari
dan takut membawa kendaraan sendiri. Atas dasar keluhan ini pula, pasien
akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja sejak 1 minggu yang lalu.
5. Pasien bergantung sepenuhnya dari penghasilan istri dan anaknya untuk dana
pengobatan yang tidak ditanggung oleh asuransi kesehatan
3.8 Analisis Kebutuhan Pasien
1. Kebutuhan Fisik-Biomedis
Kecukupan Gizi
Terapi gizi medik merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam
penatalaksanaan pasien dengan DM. Selama ini pasien belum melakukan
konsultasi ke ahli gizi. Menurut pengakuan pasien, dalam sehari pasien biasa
makan 2-3 kali sehari dengan uraian menu berupa nasi, tempe atau tahu, ikan
atau daging, sayur-sayuran dan buah. Buah ataupun ikan atau daging hanya
terakadang dikonsumsi oleh pasien. Riwayat alergi makanan tidak ada.
Berdasarkan status gizi pasien dari kunjungan rawat jalan terakhir, dengan
berat badan terakhir pasien sebesar 55 kg dan tinggi badan 160 cm, kebutuhan
kalori pasien sekitar 1620 kkal. Pada pasien ini jumlah, jenis dan jadwal makan
belum sepenuhnya diatur sesuai dengan diet untuk pasien DM. Hal ini
dikarenakan faktor ekonomi pasien.
Waktu Makan Jenis Makanan Contoh Menu
31
![Page 32: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/32.jpg)
Pagi (pk
07.00)
Nasi/ penukar (60gr)
Daging/ penukar (50 gr)
Tempe/penukar (60gr)
Sayuran B (50gr)
Minyak/ penukar (5gr)
Susu (1 gelas)
Nasi putih (150 kal, 2 gr protein )
Telur dadar (75 kal, 6 gr gr protein)
Tempe goreng (90 kal, 4 gr protein)
Bayam (12 kal, 1 gr protein)
Minyak kelapa (50 kal)
Susu (75 kal, 5gr prot)
Snack pagi (pk
9.30)
Buah/ penukar (200gr) Pisang 1 potong besar (60 kal)
Siang( pk
12.00)
Nasi/ penukar (800 gr)
Ikan/ penukar (100 gr)
Tempe/ tahu (120 gr)
Sayuran C (100gr)
Minyak/ penukar (5gr)
Nasi putih (350 kal, 2 gr protein)
Ikan mujair (110 kal, 13 gr protein)
Tahu 2 potong sedang (220 kal, 10 gr
protein)
Kangkung (100 kal, 2 gr protein)
Minyak kelapa (50 kal)
Snack sore (pk
15.00)
Roti tawar (2 iris)
Pisang (2 buah sedang)
Roti tawar putih (120 kal, 2 gr prot)
Pepaya (100 kal)
Malam (pk
18.30)
Nasi/ penukar (50 gr)
Tempe/ tahu (100gr)
Sayuran B (120gr)
Minyak/ penukar (5gr)
Buah/ penukar (200gr)
Nasi putih (180 kal, 3 gr protein)
Tumis tempe (75 kal, 4gr protein)
Buncis tumis (30 kal, 1 gr protein)
Minyak zaitun (50 kal)
Semangka ( 80 kal)
Total kalori 1727 kal
Karbohidrat : 1036 kal
Lemak : 345 kal
Protein : 246
Akses pelayanan kesehatan
DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan tapi bisa dikontrol dan
komplikasinya tidak dapat dihindari tapi perkembangannya dapat diperlambat.
Untuk itu, dalam mengetahui perkembangan penyakitnya pasien harus rutin
memeriksakan diri ke pusat layanan kesehatan terdekat. Mengingat pasien
32
![Page 33: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/33.jpg)
bermukim di daerah Jimbaran, akses ke pelayanan kesehatan masih tergolong
mudah bagi pasien, dimana jarak dari rumah pasien ke Puskesmas terdekat
sekitar 1 km dan jarak ke RS Sanglah yang cukup jauh yaitu kira-kira 20 km
yang dapat ditempuh selama ± 30 menit dengan menggunakan kendaraan
bermotor.
Lingkungan
Pasien tinggal bersama dengan istri. Pasien mempunyai tiga orang anaknya
yang sudah menikah dan tinggal terpisah dengan pasien. Hanya anak tertua
yang tempat tinggalnya berdekatan dengan rumah pasien yaitu kira-kira 2 km.
Rumah pasien seluas kira-kira 0,5 are tergolong tidak permanen dimana
dinding terbuat dari bahan tidak permanen yaitu rumbia. Atap terbuat dari seng
dan lantai hanya disemen tanpa keramik dengan lantai rumah dari bahan semen
dan beralaskan karpet pada kamar tamu. Rumah terdiri dari 1 lantai, satu kamar
tidur, satu kamar tamu, 1 dapur sekaligus warung. Rumah pasien tidak terdapat
batas dinding pembatas rumah, jadi merupakan perumahan yang langsung
berdampingan dengan halaman rumah tetangga pasien. Di luar rumah terdapat
halaman dan kandang ayam milik tetangga. Keadaan rumah yang didiami oleh
pasien tergolong rapi namun tidak cukup bersih sebab halaman rumah pasien
berupa tanah yang langsung berhubungan dengan halaman rumah tetangga,
Ventilasi tidak terlalu bagus sebab hanya ada 1 jendela di kamar tamu.
Pertukaran udara dan masuknya sinar matahar sudah cukup karena rumah
pasien cukup kecil. Barang-barang tertata cukup rapid dan hanya beberapa
pakaian yang bertumpuk-tumpuk di kamar tidur pasien. Pasien tidak memiliki
kamar mandi dan jamban pribadi, jadi menggunakan kamar mandi umum di
perumahan tersebut. Sumber air minum untuk keluarga pasien adalah dari air
mineral sedangkan sumber air MCK bersumber dari air sumur bor. Tempat
pembuangan sampah menggunakan tempat sampah, dimana sampah dibungkus
dalam kantong plastik. Sampah biasanya dibakar ataupun dibuang ke tempat
pembuangan sampah umum. Komunikasi dengan tetangga sekitar sangat baik,
dimana pasien sesekali mengobrol dengan tetangga apabila bertemu. Hubungan
pasien dengan keluarga juga sangat baik, dimana anak pasien dan menantu
33
![Page 34: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/34.jpg)
serta cucu-cucunya rutin datang pulang untuk mengunjungi pasien. Biasanya
pada hari raya besar seperti Idul Fitri pasien dan keluarganya pulang ke
kampung untuk bersilahturahmi menengok keluarganya.
2. Kebutuhan Bio-Psikososial
Lingkungan biologis
Dari segi genetik pasien tidak ada anggota keluarga lain mengidap penyakit
DM. Pasien adalah anak keempat dari enam orang bersaudara saat ini sudah
menikah dengan mempunyai 3 orang anak dan 8 orang cucu. Kualitas
kehidupan pasien sehari-hari dikatakan sedikit berkurang. Pasien masih bisa
mengontrol BAB, mengontrol BAK, membersihkan diri (lap muka, sikat gigi),
penggunaan toilet (melepas, memakai celana, menyeka, menyiram), makan
sendiri, mampu berpindah tempat dari tidur ke duduk, berjalan sendiri tanpa
kursi roda atau bantuan tongkat, bisa memakai dan mengancing baju, naik-
turun tangga, mampu mandi sendiri, mengoperasikan telepon sendiri,
meminum obat secara tepat dosis dan waktunya tanpa bantuan. Namun sejak
pasien mengalami gangguan penglihatan, pasien merasa silau melihatdi siang
hari dan benda-benda yang terang, kemudian tidak berani mengendarai sepeda
motor sendiri, bahkan pesien kesulitan dalam bekerja.
Faktor psikososial
Karena penyakit DM tidak bisa disembuhkan maka harus diupayakan agar
pasien hidup bahagia dengan penyakitnya dengan cara tidak putus asa dalam
berobat dan menjalani program lainnya. Untuk mencapai hal tersebut
diperlukan dukungan dari keluarga. Untungnya, keluarga pasien tampaknya
termasuk keluarga yang harmonis sehingga pasien tidak memiliki masalah
dalam hal emosi, pasien memperoleh cukup kasih sayang dan perhatian,
dimana interaksi pasien dengan anggota keluarga yang lain sangat baik.
3.9 Saran dan KIE
34
![Page 35: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/35.jpg)
1. Pasien hendaknya menjalani pengobatan rutin ke dokter untuk menurunkan gula
darahnya sehingga target glukosa darah sebagai syarat kelayakan operasi dapat
dicapai yaitu dengan minum obat rutin dan kontrol rumah sakit secara teratur.
2. Pasien sebisa mungkin mengikuti anjuran dokter dalam konsumsi obat oral dan
suntikan sehingga kontrol maksimal terhadap penyakitnya dapat dicapai. Diberikan
pula edukasi mengenai cara dan waktu penyuntikan insulin yang benar sehingga
pasien mengkonsumsi obat sesuai dengan jadwal. Juga diberikan informasi
mengenai penyakit yang dialami pasien dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Misalnya mengenai hipoglikemik dan cara mengatasi secara dini.
3. Pasien dianjurkan pengawasan yang ketat dari anggota keluarga lain terutama istri
dan anak. Disini yang perlu diperhatikan adalah cara penggunakan insulin suntikan.
Diajarkan kepada anggota keluarga lain terutama istri untuk menyuntikkan insulin
setelah makan. Kemudian juga dianjurkan bila anggota keluarga lain tidak sempat
atau berhalangan agar diatur dosis insulin sehingga pasien bisa menyuntikkan
insulin sendiri, mengingat pasien mengalami gangguan penglihatan.
4. Mempertahankan pola makan dan meningkatkan aktivitas fisik. Apabila keluhan
penglihatan membatasi aktivitas pasien, maka pasien dapat mencoba menggunakan
kacamata hitam apabila bepergian di siang hari dan tetap ditemani oleh sedikitnya
satu orang dewasa. Aktivitas fisik di dalam rumah dapat dimodifikasi misalnya
dengan olahraga senam dengan panduan (misalnya video aerobik, dll)
5. Pasien dianjurkan mengurus KTP sehingga bias memperoleh asuransi kesehatan
JKBM atau asuransi miskin lainya, sehingga bisa membantu memperingan biaya
pengobatan. Sebab DM merupakan penyakit yang akan dialami seumur hidup dan
memerlukan kontrol dan pengobatan yang rutin dan teratur.
35
![Page 36: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/36.jpg)
LAMPIRAN
Denah Rumah
Keterangan :
1. Kamar tidur utama
2. Kamar tamu
3. Dapur dan warung
36
U
1
2
3
![Page 37: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/37.jpg)
Foto Keluarga Pasien
37
![Page 38: PBL](https://reader033.fdokumen.site/reader033/viewer/2022061205/54812ca4b479592e7e8b473f/html5/thumbnails/38.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, AW. Setyohadi B, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th edition.
Jakarta: FKUI dan PAPDI.2010
2. Beckman J, Creager M, Libby P. Diabetes and Atherosclerosis: Epidemiology,
Pathophysiology, and Management. JAMA. 2002;287(19):2570-2581
3. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
4. Suastika K. Diagnosis, klasifikasi dan standar perawatan diabetes. Dalam
Kumpulan Naskah Ilmiah. Denpasar : Udayana University Press 2008; 66-72
5. American Diabetes Association. Standard of Medical Care in Diabetes.
Diabetes Care. 2010. (33): S11-S48
6. PERKENI. 2007. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Jakarta.
7. Suastika K. Kendali Diabetes. Disampaikan dalam 2nd National Diabetes
Educator Training Camp Diabetes Update for Primary Health Care Physician
Cimacan. 2004.
8. Selvin E, Coresh J, Golden S et al. . Glycemic Control, Atherosclerosis, and
Risk Factors for Cardiovascular Disease in Individuals With Diabetes. Diabetes
Care, vol 28 (8) 2005, p. 1965-1973
9. Suastika K. Terapi Hipertensi Pada Diabetes Tipe 2. 2004. Majalah Penyakit
Dalam Udayana 5 : 61-66
10. Creager M, Luscher T, Cosentino F et al. Diabetes and Vascular Disease :
Pathophysiology, Clinical Consequences, and Medical Therapy: Part II.
Circulation 2003;108;1655-1661
11. McBride P, Underbakke G, et al. Dyslipidemia. In: taylor R (ed). Taylor’s
cardiovascular disease. New York: Springer; 2005. P. 145-172
38