PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA...

89
PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) SECARA LISAN TERHADAP PEKERJA PKWT ATAU PKWTT DI SEKTOR PELAYARAN OLEH PT INTERNUSA BAHARI PERSADA SUATU PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 52 K/PDT.SUS-PHI/2018 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA OLEH: DINA FIRDAUS 1114048000143 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1440 H/2018 M

Transcript of PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA...

Page 1: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

(PHK) SECARA LISAN TERHADAP PEKERJA PKWT ATAU

PKWTT DI SEKTOR PELAYARAN OLEH PT INTERNUSA

BAHARI PERSADA

SUATU PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 52 K/PDT.SUS-PHI/2018

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

OLEH:

DINA FIRDAUS

1114048000143

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2018 M

Page 2: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara
Page 3: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara
Page 4: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara
Page 5: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

iv

ABSTRAK

Dina Firdaus, NIM 11140480000143, “Pelaksanaan Hukum Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan Terhadap Pekerja PKWT atau

PKWTT di Sektor Pelayaran Oleh PT Internusa Bahari Persada Suatu

Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018”, Strata Satu (S1),

Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2018 M,

viii+80 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sebab dan akibat dari pemutusan

hubungan kerja secara lisan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerja

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak

Tertentu (PKWTT). Latar belakang penelitian ini didasari dari Putusan

Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus.PHI/2018 yang diajukan oleh Timbul

Simatupang untuk menggugat PT Internusa Bahari Persada. Timbul Simatupang

melakukan pelanggaran berat, lalu PT Internusa Bahari Persada memutuskan

hubungan kerja dengan Timbul Simatupang secara lisan dengan alasan

pelanggaran tersebut. Putusan tersebut menimbulkan akibat yang signifikan.

Penelitian ini bersifat library research, mengkaji kasus yang terjadi dan

mengkaitkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mendukung

penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah normatif Empiris dengan

menggunakan bahan hukum primer terdiri dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 52

K/Pdt.Sus-PHI/2018, bahan hukum sekunder terdiri dari publikasi tentang hukum

dalam pemutusan hubungan kerja meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas kasus yang terjadi, serta data tersier yaitu

data hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas data primer dan

sekunder, misalnya ensiklopedia, kamus, website, atau sumber yang lain yang

mencakup pokok permasalahan materi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 52

K/Pdt.Sus-PHI/2018 membuat pemutusan hubungan kerja terlihat tidak adil dan

diremehkan oleh perusahaan. Karena seharusnya, pemutusan hubungan kerja

dilakukan sesuai prosedur yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan. Walaupun pekerja tersebut PKWT atau PKWTT

namun dia berhak mendapatkan pemutusan hubungan kerja yang layak.

Kata Kunci : Pemutusan Hubungan Kerja, Perjanjian Kerja, PKWT, PKWTT

Page 6: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

v

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمان الرحيم

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia

yang tidak terhingga. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Baginda

Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang

setia hingga akhir zaman. Dengan mengucap Alhamdullilahi Robbil ‘alamin

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Hukum

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan Terhadap Pekerja PKWT

atau PKWTT di Sektor Pelayaran Oleh PT Internusa Bahari Persada, Suatu

Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018”.

Dalam penyelesaian Skripsi ini, tidak terlepas dari pengetahuan keilmuan

yang penulis dapatkan dari berbagai sumber. Selain itu tidak lupa pula terima

kasih atas bimbingan, bantuan, nasehat, doa, dan dukungannya. Kepada yang

terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, Ph.D Dekan Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum

dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan serta masukan

atas penyusunan skripsi.

3. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi,

Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., serta Dr. JM Muslimin, M.A., selaku dosen

pembimbing akademik yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan

pikirannya untuk memberikan saran dan masukan terhadap proses penyusunan

skripsi ini.

4. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Arifin Setyabudi

Yanuardi, S.E., dan Uki Mulkiyah, S.Pd., yang telah mendoakan, mendukung,

dan menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini, tanpa mereka saya tidak

akan bisa sampai ke tahap ini.

Page 7: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

vi

5. Kepada orang-orang terdekat Rifky Muhammad Fadhil, Miranti Hanifa dan

Ryan Adhi Tama, S.H., yang selalu ada untuk saya dan menjadi motivasi saya

untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat seperjuangan Muslimah, S.H., Denti Aulia Puspita Sari, S.H.,

Kika Nurmala, S.H., serta kawan-kawan Ilmu Hukum 2014 yang telah

membantu dalam pengetahuan, memberikan semangat dan dukungan kepada

penulis sehingga penelitian ini terselesaikan

Akhir kata, atas jasa dan bantuan semua pihak yang telah membantu dan

memberikan masukan, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis,

masyarakat serta para pembaca kalangan umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, Desember 2018

Dina Firdaus

Page 8: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR .............................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah........................................... 4

C. Tujuan Penelitian..................................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6

E. Tinjauan Kajian Terdahulu...................................................................... 7

F. Kerangka Teori dan Konseptual .............................................................. 8

G. Metode Penelitian .................................................................................... 13

H. Sistematika Penulisan .............................................................................. 16

BAB II TINJAUAN MENGENAI PENGATURAN KETENAGAKERJAAN

DI INDONESIA ......................................................................................... 19

A. Sejarah Perkembangan Buruh atau Pekerja di Indonesia ........................ 19

B. Pemahaman Mengenai Ketenagakerjaan ................................................ 21

C. Visi, Misi dan Tujuan Ketenagakerjaan .................................................. 28

D. Ketenagakerjaan dalam Sudut Pandang Politik ...................................... 35

BAB III PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

PADA SEKTOR PELAYARAN DI INDONESIA ............................... 37

A. Profil Perusahaan PT Internusa Bahari Persada ...................................... 37

B. Tinjauan Mengenai Pekerja di Indonesia ................................................ 38

C. Pelanggaran-Pelanggaran yang Memperkenankan Pemutusan

Hubungan Kerja Secara Lisan di PT Internusa Bahari Persada .............. 43

D. Urgensi Perjanjian Kerja dalam Kesepakatan Kerja Bersama ................ 46

Page 9: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

viii

E. Dampak Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Pekerja oleh

Perusahaan PT Internusa Bahari Persada ................................................ 50

F. Kompensasi Akibat Pemutusan Hubungan Kerja ................................... 53

BAB IV PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA LISAN DI PT

INTERNUSA BAHARI PERSADA DALAM PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR 52 K/PDT.SUS-PHI/2018 ............. 57

A. Kronologi Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan

oleh PT Internusa Bahari Persada ........................................................... 57

B. Analisis Kasus Berdasarkan Putusan mahkamah Agung Nomor 52

K/Pdt.Sus-PHI/2018 ................................................................................ 66

C. Pengaturan Ketenagakerjaan Terhadap Masalah Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) ............................................................................................ 69

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 75

A. Kesimpulan.............................................................................................. 75

B. Saran ........................................................................................................ 76

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 77

LAMPIRAN ............................................................................................................. 80

Page 10: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara pertama di Asia dan negara kelima di

dunia yang telah meratifikasi seluruh konvensi pokok International

Labour Organisation (ILO). Tujuannya untuk menciptakan kesempatan

kerja guna mengurangi pengangguran dan sekaligus menampung

pertambahan tenaga kerja yang merupakan bagian kesatuan dari seluruh

kebijakan dan program-program pembangunan.

Indonesia menerapkan peraturan perundang-undangan

ketenagakerjaan yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara

hak dan kewajiban bagi pengusaha dan pekerja sehingga kelangsungan

usaha dan ketenangan kerja dalam rangka meningkatkan produktivitas

kerja dan kesejahteraan tenaga kerja terjamin. Dalam Pasal 27 butir (2)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga

negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa menjadi tugas bersama

untuk mengusahakan agar setiap orang yang mau dan mampu bekerja,

mendapatkan pekerjaan sesuai dengan yang diinginkannya, dan setiap

orang yang bekerja mampu memperoleh penghasilan yang cukup untuk

hidup layak bagi tenaga kerja itu sendiri maupun keluarganya.1

Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan

antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Berdasarkan pengertian

hubungan kerja tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk

1 Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1988), h. 19

Page 11: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

2

hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara

pekerja dengan pengusaha.2

Perjanjian kerja juga dibahas di dalam Hubungan industrial yang

menjelaskan sistem hubungan yang menempatkan kedudukan pengusaha

dan pekerja sebagai hubungan yang saling melengkapi dalam rangka

mencapai tujuan bersama. Selain unsur tersebut, dalam tatanan sistem

ketenagakerjaan Indonesia terdapat pemerintah yang bersifat mengayomi

dan melindungi para pihak. Pemerintah mengeluarkan rambu-rambu

berupa aturan-aturan ketenagakerjaan demi terwujudnya hubungan kerja

yang harmonis antara pengusaha dengan pekerja.3 Hubungan industrial itu

sendiri telah dibahas pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 yang

didalamnya dibahas terkait Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial.

Sementara itu, hukum ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya

membahas tentang hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja saja.

Tetapi, ketenagakerjaan mengenalkan istilah Pemutusan Hubungan Kerja

yang sering disebut dengan PHK. PHK atau pemutusan hubungan kerja

merupakan suatu pengakhiran hubungan kerja antara pelaku usaha dengan

pekerja yang disebabkan oleh suatu keadaan tertentu.4 Definisi lainnya

tentang pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja

antara perusahaan atau pekerja, yang disebabkan oleh sejumlah faktor

penting.5 Pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pengusaha

maupun oleh pekerja, akan tetapi dalam melakukan pemutusan hubungan

kerja tersebut harus mengikuti aturan yang berlaku, dan pihak yang

2 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010),

h. 63

3 Sri Subiandini Gultom, Aspek Hukum Hubungan Industrial (Jakarta: Inti Prima Promosindo,

2008), Cet. Ke 2, h. 14

4 Zainal Asikin, dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1993), h. 173

5 D. Danny Simanjuntak, PHK dan Pesangon Karyawan (Jakarta: Visi Media, 2007), h.18

Page 12: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

3

mengalami pemutusan hubungan kerja dapat menerima atau menolak

pemutusan hubungan kerja itu.

Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Pasal 150 hingga dengan

Pasal 172 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

termasuk alasan-alasan Pemutusan Hubungan Kerja. Pemutusan

Hubungan Kerja oleh pengusaha kepada pekerja bisa disebabkan beragam

alasan, seperti pengunduran diri, mangkir, perubahan status perusahaan,

perusahaan tutup, perusahaan pailit, pekerja meninggal dunia, pekerja

pensiun atau karena pekerja telah mengerjakan kesalahan berat

sebagaimana diatur dalam Pasal 158 butir (1) Undang- Undang Nomor 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.6

Seluruh warga negara Indonesia selayaknya dijamin haknya atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun sampai

saat ini masalah pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi sebagian

masyarakat Indonesia masih terus menjadi persoalan dasar, tidak hanya

bagi pemerintah tetapi juga bagi dunia usaha dan masyarakat pada

umumnya. Pembangunan ekonomi yang berbasis modal tidak mampu

menyelesaikan seluruh masalah ketenagakerjaan seperti kesempatan kerja,

pengangguran, dan kemiskinan. Masalah perekonomian bukan hanya

menyangkut masalah pekerjaan dan penghidupan yang layak tetapi juga

terletak struktur lapangan kerja dan status pekerjaan, tingkat upah dan

penghasilan yang relatif rendah terhadap kebutuhan hidup layak, masalah

kompetensi dan produktivitas yang kurang dapat bersaing, dan masalah

ketenagakerjaan lainnya yang saling kait mengkait.

Masalah diatas termasuk dalam permasalahan besar ketenagakerjaan

yang mungkin menjadi masalah di sebagian negara-negara besar. Namun,

ada bagian kecil permasalahan yang menarik untuk peneliti bahas, yaitu

terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara lisan yang

dilakukan oleh PT. Internusa Bahari Persada. Sejauh pengalaman peneliti

hanya sedikit orang yang mengetahui secara rinci tentang Pemutusan

6 Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan (Jakarta: PT Indeks, 2009), h. 79-80

Page 13: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

4

Hubungan Kerja secara lisan, bahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan tidak membenarkan adanya Pemutusan

Hubungan Kerja secara lisan. Tetapi dalam persidangan, PT Internusa

Bahari Persada menang dari kasus tersebut dan menurut hakim PT

Internusa Bahari Persada sudah tepat menindak pegawai tersebut.

Dari masalah tersebut, peneliti ingin membahas “Pelaksanaan

Hukum Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan Terhadap

Pekerja PKWT atau PKWTT di Sektor Pelayaran Oleh PT Internusa

Bahari Persada, Suatu Putusan Mahkamah Agung Nomor 52

K/Pdt.Sus-PHI/2018”.

B. Indentifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

a. Penentuan Kompensasi yang merupakan hak bagi pekerja dan

kewajiban bagi pengusaha, pada kenyataannya sering menjadi

konflik antara kedua belah pihak. Menurut Pasal 156 butir (1)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaaan,

dijelaskan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,

pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau

penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang

seharusnya diterima.

b. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja memang tidak bisa

dibenarkan, namun bukan berarti pekerja tersebut bisa

diperlakukan semena-mena. Pada Pasal 161 dijelaskan bahwa

apabila pekerja melakukan pelanggaran berdasarkan ketentuan

yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja, setelah pekerja yang bersangkutan diberikan surat

peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

c. Pertimbangan hakim dalam putusan tersebut tidak serta merta

diterima oleh pekerja yang mengajukan gugatan ke Pengadilan

Page 14: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

5

Hubungan Industrial, karena dalam putusan tersebut tidak satupun

permohonan pekerja dikabulkan sehingga berpengaruh kepada

penerimaan hak yang semestinya diterima oleh pekerja.

Pertimbangan hakim dalam putusan ini pun tidak sesuai dalam

penerapan hukumnya dalam memutus perkara Pemutusan

Hubungan Kerja.

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,

peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga

pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan

peneliti. Disini peneliti hanya akan membahas pelaksanaan hukum

pemutusan hubungan kerja (PHK) secara lisan terhaadap pekerja

PKWT atau PKWTT di sektor pelayaran oleh PT Internusa Bahari

Persada berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-

PHI/2018 menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 serta

peraturan lainnya yang terkait dengan masalah tersebut.

3. Rumusan Masalah

Rumusan masalah tersebut peneliti rinci dalam bentuk pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana tinjauan mengenai pengaturan ketenagakerjaan di

Indonesia?

b. Bagaimana pelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja pada

sektor pelayaran di Indonesia?

c. Bagaimana Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan di PT

Internusa Bahari Persada dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

52 K/Pdt.Sus-PHI/2018?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, maka

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Page 15: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

6

1. Untuk menjelaskan tinjauan mengenai pengaturan ketenagakerjaan di

Indonesia.

2. Untuk menjelaskan pelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja

pada sektor pelayaran di Indonesia.

3. Untuk menjelaskan Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan di PT

Internusa Bahari Persada dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 52

K/Pdt.Sus-PHI/2018.

D. Manfaat Penelitian

Berawal dari rumusan masalah penelitian yang telah dijelaskan di atas,

ada beberapa manfaat yang ingin peneliti peroleh, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh dari pemutusan

hubungan kerja (PHK) secara lisan

b. Dapat memberikan sumbangan kepada dunia pendidikan untuk

pengembangan ilmu pengetahuan dan guna memberikan tambahan

pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan

terutama tentang pemutusan hubungan kerja.

c. Melatih peneliti dalam pembuatan karya ilmiah dan menuangkan

hasil pemikirannya ke dalam bentuk tulisan.

d. Untuk lebih memperkaya pemikiran ilmu pengetahuan peneliti

baik di bidang hukum maupun di bidang bisnis.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi dan

sosialisasi bagi civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, masyarakat,

serta pihak-pihak terkait mengenai pemutusan hubungan kerja.

b. Memberi masukan kepada Mahkamah Agung, atau Instansi lain

untuk mempertimbangkan putusan agar dikemudian hari tidak

terjadi kembali.

Page 16: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

7

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian ataupun kajian terdahulu

yang pernah dilakukan dalam hal terkait adalah sebagai berikut:

1. Skripsi yang disusun oleh Musrifah Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Tahun 2013, yang

berjudul “Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dalam Perkara

Nomor: 50/G/2009/PHI.BDG”. Penelitian tersebut lebih menjelaskan

tentang Proses pembuktian yang dilakukan pada perkara tersebut serta

pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perselisihan pemutusan

hubungan kerja. Perbedaan skripsi peneliti dengan skripsi yang

disusun oleh Musrifah terletak pada putusan Pengadilan Hubungan

Industrial-nya. Skripsi Musrifah lebih fokus pada aturan tidak

produktif bagi pekerja dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku sedangkan peneliti lebih kepada pemutusan hubungan kerja

secara lisan yang dilakukan oleh perusahaan.

2. Skripsi yang disusun oleh Sawitri Dian Kusuma Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman, Tahun 2012, yang berjudul

“Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karena

Kesalahan Berat pada Tingkat Mediasi Di Dinas Sosial Tenaga Kerja

dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga”. Penelitian tersebut lebih

menjelaskan tentang pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan

hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di

suatu daerah. Perbedaan skripsi peneliti dengan skripsi yang disusun

oleh Sawitri terletak pada jenis Pemutusan Hubungan Kerja-nya.

Skripsi Sawitri lebih fokus pada Pemutusan Hubungan Kerja karena

kesalahan berat sedangkan peneliti lebih kepada Pemutusan Hubungan

Kerja secara lisan yang dilakukan oleh perusahaan.

3. Buku berjudul Hukum Perburuhan di Indonesia karangan Abdul

Rachmad Budiono membahas tentang bidang-bidang penting di dalam

perburuhan yaitu, hubungan kerja serta subjek hukum perjanjian kerja

termasuk didalamnya menguraikan tentang pekerja anak, organisasi

Page 17: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

8

buruh, perselisihan hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga

kerja. Buku ini hanya membahas perselisihan hubungan kerja secara

luas sedangkan peneliti lebih fokus ke Pemutusan Hubungan Kerja

terutama Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan.

4. Jurnal yang disusun oleh Lex Adminisratum pada tahun 2017 yang

berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja yang di PHK

Sepihak oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan” tersebut menjelaskan tentang

perlindungan hukum ketenagakerjaan yang di PHK berdasarkan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta

mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja berdasarkan Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berbeda dengan

peneliti yang nanti dalam tulisannya akan menyinggung dampak dari

pemutusan hubungan kerja secara lisan dan pemenuhan hak-hak

pekerja yang hilang akibat pemutusan hubungan kerja tersebut.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

a. Menurut Soedarjadi, hukum ketenagakerjaan merupakan suatu

peraturan-peraturan tertulis atau tidak tertulis yang mengatur

seseorang mulai dari sebelum, selama, dan sesudah tenaga kerja

berhubungan dalam ruang lingkup di bidang ketenagakerjaan dan

apabila di langgar dapat terkena sanksi perdata atau pidana

termasuk lembaga-lembaga penyelenggara swasta yang terkait di

bidang tenaga kerja.7

b. Menurut Manulang, tujuan hukum ketenagakerjaan ialah:8

1) Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam

bidang ketenagakerjaan

7 Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), h.

5

8 Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Sinar grafika, 2016), h. 7

Page 18: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

9

2) Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak

terbatas dari pengusaha

c. Visi perburuhan di Indonesia menurut Abdullah Sulaiman adalah

kepastian hukum non diskriminasi kepegawaian (publik dan privat)

dan pemberian serta penerimaan kesejahteraan perburuhan atau

ketenagakerjaan hingga pensiun yang diatur dalam konstitusi dan

perundang-undangan.9

d. Budiono membagi sifat hukum ketenagakerjaan menjadi 2, yaitu:10

1) Hukum bersifat impreatif atau dwingenrecht (hukum memaksa)

2) Hukum bersifat fakultatif atau regelend recht/aanvulled recht

(hukum yang mengatur atau melengkapi)

e. Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dan

pekerja, maka putus hubungan kerja berarti putus hubungan hukum

antara pengusaha dengan pekerja.11

f. Menurut M.G Rood (pakar hukum perburuhan dari Belanda), 4

unsur syarat perjanjian kerja yaitu:12

1) Adanya unsur pekerjaan (work)

2) Adanya unsur pelayanan (service)

3) Adanya unsur waktu (time)

4) Adanya unsur upah (pay)

g. Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dalam teori hukum

perburuhan dikenal ada 4 jenis Pemutusan Hubungan Kerja13

,

yaitu:

1) Pemutusan hubungan kerja demi hukum

9Abdullah Sulaiman, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 44

10

Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan…, h. 8

11

Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan…, h. 46

12

Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 16

13

Zaeni Asyhadie, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Pemutusan Hubungan Kerja), (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2002), h. 140

Page 19: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

10

2) Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja

3) Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

4) Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan

h. Penyelesaian secara sukarela diluar pengadilan (non litigasi), atau

dikenal juga dengan istilah penyelesaian sengketa alternatif

(Alternative Disputes Resolution/ADR), memiliki berbagai macam

bentuk:14

1) Mediasi

2) Konsiliasi

3) Arbitrasi

i. Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin mengemukakan sebuah teori

tentang penyelesaian sengketa, yaitu:15

1) Contending (bertanding), mencoba menerapkan suatu solusi

yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya;

2) Yielding (mengalah), menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia

menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan;

3) Problem solving (pemecahan masalah), mencari alternatif yang

memuaskan dari kedua belah pihak;

2. Kerangka Konseptual

a. Mengacu pada pancasila sebagai landasan filosofis dan Undang-

Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional , maka norma

hukum hubungan industrial di Indonesia, terutama Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 3, menganut

asas-asas sebagai berikut:16

1) Asas Manfaat

14 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996),

h. 88

15

Dean G Pruitt dan Z Rubin, Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 4-6

16

Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun dan

Mengetahui Pendapat Ahli Mengenai Pengertian Sumber-sumber Hukum Mengenai

Ketenagakerjaan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM,

2010), h. 10-12

Page 20: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

11

2) Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan

3) Asas Demokrasi

4) Asas Keterbukaan

5) Asas Adil dan Merata

6) Asas Kemitraan Kerja

7) Asas Keterpaduan

8) Asas Non Diskriminasi

b. Pasal 27 butir (2) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa

tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan.

c. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa

kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran

dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-

undang.

d. Pasal 28 D butir (2) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan

bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan

dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

e. Pasal 38 butir (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang, sesuai dengan

bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang

layak.

f. Pasal 38 butir (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang berhak dengan

bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas

syarat-syarat ketenagakerjaan.

g. Pasal 38 butir (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang, baik pria

maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding,

setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian

kerja yang sama.

Page 21: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

12

h. Pasal 38 butir (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang, baik pria

maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan

martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan

prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan

keluarganya.

i. Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa tenaga kerja adalah setiap

orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan

barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun untuk masyarakat.

j. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pekerja adalah setiap orang

yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk

lain. Pasal 1 butir (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik

Indonesia Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian

Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang

Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan

menjelaskan bahwa pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja pada

pengusaha dengn menerima upah.

k. Pasal 1 butir (25) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja

adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan

pengusaha. Pasal 1 butir (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja

Republik Indonesia Nomor Kep-150/Men/2000 tentang

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang

Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di

Perusahaan menjelaskan bahwa Pemutusan Hubungan kerja adalah

pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja

berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.

Page 22: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

13

l. Pasal 1 butir (16) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa hubungan Industrial adalah

suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam

proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur

pengusaha, pekerja, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-

nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

m. Pasal 1 butir (15) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah

hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian

kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

n. Pasal 1 butir (30) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa upah adalah hak pekerja yang

diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari

pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan

dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja.

o. Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang

Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan bahwa perselisihan

hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan

pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya

perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan

hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja dalam suatu

perusahaan.

G. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat mengenai permasalahan tersebut,

maka dalam skripsi ini peneliti menggunakan beberapa metode penelitian

yang relevan dengan judul di atas, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis

Page 23: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

14

dan konsisten. Penelitian dibagi menjadi dua jenis yaitu penelitian

Kuantitatif dan penelitian Kualitatif, penelitian yang dipakai adalah

penelitian kualitatif yang bekerja sesuai data. Sedangkan penelitian

hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode

sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang

bersangkutan.17

Tujuan dari penelitian yaitu menemukan, mengembangkan,

menguji kebenaran suatu pengetahuan berdasarkan fakta dan data.

Karena sebuah usaha dari pengembangan dan penemuan ilmu

pengetahuan maka sebuah penelitian harus menggunakan metode

ilmiah yaitu logico hipotetico verifikatif yang artinya melibatkan dua

wilayah (deduktif) dan wilayah empiris (induktif).18

2. Teknik Pengumpulan data

Penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data

melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu

melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti buku-

buku yang berkaitan dengan Hukum Ketenagakerjaan, Mahkamah

Agung, Ilmu Perundang-undangan, Peraturan-peraturan mengenai

Ketenagakerjaan dan Pemutusan Hubungan Kerja, Putusan Mahkamah

Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018, Pendapat sarjana, surat kabar,

artikel, kamus dan juga berita dari internet atau buku-buku yang

berhubungan dengan penelitian.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

pendekatan hukum normatif empiris yang menggunakan data sekunder

17 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 2

18

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 4

Page 24: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

15

dan data primer yang berasal dari buku-buku, atau literatur-literatur

hukum, peraturan perundang-undangan, serta bahan-bahan lainnya.

Penggunaan pendekatan secara normatif empris ini pada dasarnya

merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan

adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian hukum

normatif empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif

(undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu

dalam suatu masyarakat.19

4. Data dan Sumber Penelitian

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum

primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau

risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.20

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh

dari semua publikasi tentang hukum yang merupakan bukan dokumen-

dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,

kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar

atas putusan pengadilan. Sumber bahan non hukum digunakan sebagai

penunjang untuk memperkaya dan memperluas wawasan, peneliti

menggunakan sumber bahan non hukum yang dapat berupa buku-buku

mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi, filsafat, kebudayaan atau

pun laporan-laporan penelitian non hukum dan jurnal-jurnal non

hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.21

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Metode pengolahan data dilakukan secara komprehensif tentang

Pemutusan Hubungan Kerja menurut UU Nomor 13 Tahun 2003

tentang ketenagakerjaan serta peraturan lainnya yang terkait dengan

19 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

2004) h.54.

20

Ashrhofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 141

21

Ashrhofa Burhan, Metode Penelitian Hukum…, h. 143

Page 25: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

16

menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 52

K/Pdt.Sus_PHI/2018 yang selanjutnya diteliti dengan pendekatan yang

digunakan. Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah metode analisis data kualitatif.

Pengertian dari analisis kualitatif itu sendiri adalah bekerja dengan

data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang

dapat dikelola, mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang penting untuk dipelajari, serta memutuskan apa

yang dapat diceritakan kepada orang lain. Sehingga dapat ditarik

kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.

Pada penelitian hukum normatif, peraturan perundangan yang

menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam penelitian

yang dilakukan.22

Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data

penelitian hukum normatif dengan cara data yang diperoleh, dianalisis

secara deskriptif kualitatif yaitu analisa terhadap data yang tidak bisa

dihitung. Bahan hukum yang diperoleh selanjutnya dilakukan

pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokkan kedalam bagian-

bagian tertentu untuk diolah menjadi data informasi.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta Tahun 2017, yang terbagi dalam lima Bab. Pada setiap bab terdiri

dari sub bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti

permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing

bab serta inti permasalahan adalah sebagai berikut:

BAB I: Merupakan pendahuluan yang bermuatkan: Latar Belakang

Masalah; Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan

Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Tinjauan

22

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 38

Page 26: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

17

(Review) Kajian Terdahulu; Kerangka Teori dan

Konseptual; Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Berisi tentang Tinjauan Mengenai Pengaturan

Ketenagakerjaan di Indonesia yang bermuatkan: Sejarah

Perkembangan Buruh atau Pekerja di Indonesia;

Pemahaman Mengenai Ketenagakerjaan; Visi, Misi dan

Tujuan Ketenagakerjaan; serta Ketenagakerjaan dalam

Sudut Pandang Politik.

BAB III : Merupakan Pelaksanaan Hukum Pemutusan Hubungan

Kerja pada Sektor Pelayaran di Indonesia yang

bermuatkan: Profil Perusahaan PT Internusa Bahari

Persada; Tinjauan Mengenai Pekerja di Indonesia;

Pelanggaran-Pelanggaran yang Memperkenankan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan di PT

Internusa Bahari Persada; Urgensi Perjanjian Kerja dalam

Kesepakatan Kerja Bersama; Dampak Pemutusan

Hubungan Kerja Terhadap Pekerja oleh Perusahaan PT

Internusa Bahari Persada; serta Kompensasi Akibat

Pemutusan Hubungan Kerja.

BAB IV : Merupakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara

Lisan di PT Internusa Bahari Persada dalam Putusan

Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018 yang

bermuatkan: Kronologi Kasus Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) Secara Lisan oleh PT Internusa Bahari Persada;

Analisa Kasus Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung

nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018; serta Pengaturan

Ketenagakerjaan Terhadap Masalah Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK).

BAB V : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang dapat

ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan

perumusan masalah yang telah ditetapkan dan saran yang

Page 27: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

18

akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan

pengulasannya dalam skripsi.

Page 28: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

19

BAB II

TINJAUAN MENGENAI PENGATURAN KETENAGAKERJAAN DI

INDONESIA

A. Sejarah Perkembangan Buruh atau Pekerja di Indonesia1

Pada era pasca kemerdekaan (1945-1949) ditandai dengan

diratifikasinya sejumlah konvensi International Labour Organitation

(ILO) oleh Pemerintah Indonesia. Sejumlah undang-undang juga lahir

sebagai bentuk ratifikasi dari konvensi tersebut. Seperti disahkannya

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan

antara Serikat Buruh dan Majikan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, dan sebagainya. Secara

umum, peraturan ketenagakerjaan yang ada pada masa ini cenderung

memberi jaminan sosial dan perlindungan kepada buruh. Hal ini dapat

dilihat dari beberapa peraturan di bidang perburuhan, salah satunya

Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 90 Tahun 1955 tentang Pendaftaran

Serikat Buruh, yang diundangkan pada masa ini.

Barisan Buruh Indonesia (BBI) terbentuk tanggal 19 September 1945

dengan tujuan ikut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena

tujuannya bersifat umum, semua serikat buruh dianggap menjadi anggota

BBI (Barisan Buruh Indonesia). Pada kongres di Solo, 17 November 1945,

BBI (Barisan Buruh Indonesia) mengalami perpecahan dalam dua kubu,

yang ingin menjadi partai politik dan yang tetap bergerak di bidang sosial

ekonomi.

Sekitar 150 serikat buruh di tingkat nasional, ratusan serikat buruh

lokal dan tujuh federasi serikat buruh lahir pada tahun 1950-an. Dasar dan

asasnya beraneka ragam, tetapi program dan kegiatannya dititikberatkan di

bidang politik sehingga melupakan tugas utamanya membela dan

1 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia, (Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011), h. 14-22

Page 29: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

20

memajukan kepentingan umum buruh. Dalam masa liberal tersbut, jumlah

partai politik berkembang dengan pesat. Banyak partai politik ikut

mendirikan serikat buruh sebagai onderbouw dengan maksud

mengumpulkan jumlah anggota sebanyak-banyaknya guna memperoleh

suara dalam pemilihan umum 1955. Itu dimungkinkan dengan keluarnya

Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 90 Tahun 1955 tentang Pendaftaran

Serikat Buruh yang sifatnya liberalistik.

Di akhir 1950-an, angin politik berganti dan Indonesia memulai masa

demokrasi terpimpin. Ini diawali dengan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Arah politik nasional saat itu sangat berpengaruh kepada kegiatan serikat

buruh yang lebih bersifat umum, bukan untuk mengusahakan kepentingan

buruh.

Sedangkan, awal 1960-an kondisi politik yang berubah pun membawa

perbedaan dalam penanganan ketenagakerjaan. Meski kepemimpinan

nasional masih di tangan Presiden Soekarno, namun semangat peraturan

tenaga kerja mulai berubah. Di tahun tersebut, peraturan dibuat untuk

membatasi gerak politis dan ekonomis buruh.

Memasuki pertengahan 1960-an terjadinya perubahan kekuasaan

politik, yang dikenal sebagai era pemerintahan orde baru. Masalah yang

dihadapi Indonesia pada tahun 1966 dan 1967 cukup berat, terutama dalam

hal penciptaan kesempatan kerja. Pada saat itu pelaksanaan rencana

pembangunan jangka panjang tahap 1 telah dimulai. Rencana

Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I dimulai dengan melakukan

berbagai usaha jangka pendek di bidang tenaga kerja dan penciptaan

kesempatan kerja. Usaha-usaha jangka pendek tersebut merupakan

pelaksanaan Ketetapan MPRS Nomor 28 Tahun 1966 dan pada awal tahun

1970-an, pemerintah Indonesia berhasil menyederhanakan jumlah partai

politik melalui penggabungan atau fusi. Penyederhanaan partai politik ini

diikuti oleh para pimpinan serikat pekerja.

Sedangkan, Era reformasi dimulai dari gerakan reformasi pada 1998

sebagai reaksi terhadap krisis ekonomi, kondisi sosial dan politik yang

Page 30: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

21

diakibatkan karena berbagai sebab yang kompleks. Termasuk

membengkaknya utang luar negeri, kredit perbankan yang tidak terkendali,

pemusatan kekuasaan eksekutif, Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN),

Ekonomi biaya tinggi, dan konglomerasi usaha. Selain itu, reformasi juga

didorong semangat deregulasi, privatisasi, liberalisasi ekonomi pasar,

makin tingginya kesadaran akan Hak Asasi Manusia dan tuntutan

demokratisasi. Gerakan reformasi politik juga telah menstimulasi

reformasi serikat pekerja di Indonesia. Banyak pekerja di Indonesia

merasa memperoleh kembali hak-haknya untuk berorganisasi secara bebas

dan jumlah serikat pekerja pun melonjak.

Gerakan reformasi politik juga telah menstimulasi reformasi serikat

pekerja di Indonesia, menjelang akhir 2004 terdapat lebih dari 80 federasi

serikat pekerja yang didaftarkan di Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigasi, di samping itu masih terdaftar lebih dari 100 serikat pekerja

non-federasi di tingkat nasional. Akan tetapi setelah dilakukan verifikasi

keanggotaan serikat pekerja menjelang akhir 2005, hanya terdapat 35

federasi serikat pekerja yang memenuhi syarat dan 31 serikat pekerja non-

federasi di tingkat nasional.

B. Pemahaman Mengenai Ketenagakerjaan

1. Pengertian Pekerja atau Buruh

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, istilah buruh sangat dikenal dalam hukum-

hukum perburuhan atau ketenagakerjaan karena sering di gunakan

sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu yang dimaksud dengan buruh

adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan lain-

lain yang melakukan pekerjaan kasar sejenisnya disebut dengan Blue

Collar, sedangkan orang-orang yang melakukan pekerjaan halus oleh

Page 31: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

22

Pemerintah Hindia Belanda disebut dengan istilah

”karyawan/pegawai” dan disebut dengan White Collar.2

Menurut Payaman Simanjuntak, tenaga kerja adalah penduduk

yang sudah atau sedang bekerja, sedang mencari pekerjaan, dan yang

melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah

tangga. Pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurutnya

ditentukan oleh umum atau usia.3 Jadi tenaga kerja mencakup siapa

saja yang dikategorikan sebagai angkatan kerja dan juga mereka yang

bukan angkatan kerja, sedangkan angkatan kerja adalah mereka yang

bekerja dan yang tidak bekerja (pengangguran).4

Buruh adalah tiap orang yang melakukan pekerjaan di dalam

hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat. Orang itu disebut buruh apabila dia telah

melakukan hubungan kerja dengan majikan, kalau tidak melakukan

hubungan kerja maka dia hanya tenaga kerja, belum termasuk buruh.5

Istilah pekerja menurut Kamus Besar bahasa Indonesia mempunyai

definisi yaitu orang yang bekerja pada pemerintah atau perusahaan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menetapkan, bahwa penggunaan istilah pekerja selalu dibarengi

dengan istilah buruh yang menandakan bahwa dalam undang-undang

ini dua istilah tersebut memiliki makna yang sama. Pasal 1 butir 3

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

dijelaskan bahwa pekerja setiap orang yang bekerja dengan menerima

2 Zainal Asikin dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1993), h. 39-40

3 Sendjun H Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1995), h. 3

4 Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Dinamika dan Kajian Teori, (Bogor:

Ghalia Indonesia,2010), h. 7

5 Zainal Asikin dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan…, h. 42-43

Page 32: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

23

upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian tersebut dapat

dilihat beberapa unsur yang melekat yaitu:

a. Setiap orang yang bekerja, baik angkatan kerja maupun bukan

angkatan kerja tetapi harus bekerja;

b. Menerima upah atau imbalan sebagai balas jasa atas pelaksanaan

pekerjaan tersebut.

Sedangkan, pekerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja

Nomor 150 tahun 2000 menetapkan bahwa pekerja adalah tenaga kerja

yang bekerja dengan pengusaha dengan menerima upah. Konsep

pekerja sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa Pekerja

adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalan

bentuk lain.

Dari pengertian di atas, konsep pekerja adalah setiap pekerja atau

setiap buruh yang terikat dalam hubungan kerja dengan orang lain atau

majikannya, jadi pekerja adalah mereka yang telah memiliki status

sebagai pekerja, status diperoleh setelah adanya hubungan kerja

dengan orang lain.

2. Penafsiran Kompensasi

Pada dasarnya setiap transaksi barang atau jasa dari satu pihak

kepada pihak lain akan menimbulkan kompensasi. Dengan terjadinya

Pemutusan Hubungan Kerja, pekerja akan mendapatkan haknya, yaitu

kompensasi yang meliputi uang pesangon, uang penghargaan masa

kerja dan uang ganti kerugian. Adapun mengenai kompensasi tersebut

diatur dalam ketentuan Pasal 156 butir (1) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa hak-

hak tenaga harus diberikan oleh perusahaan akibat adanya Pemutusan

Hubungan Kerja, perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon

dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang

seharusnya diterima dan dihitung berdasarkan jumlah upah tenaga

kerja dan masa kerjanya.

Page 33: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

24

Uang Pesangon adalah pembayaran dalam bentuk uang dari

pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan

Kerja yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja pekerja.6 Bagi

pekerja yang diputus hubungan kerjanya, alasan Pemutusan Hubungan

Kerja berperan besar dalam menentukan apakah pekerja tersebut

berhak atau tidak atas uang pesangon, uang penghargaan dan uang

penggantian hak. Berdasarkan ketentuan di dalam Undang- Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apabila terjadi

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pengusaha diwajibkan membayar

uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang

penggantian hak yang seharusnya diterima.7

Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang

penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya

diterima ditetapkan dengan peraturan pemerintah.8 Pada Pasal 157

butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa uang pesangon dan uang

penghargaan masa kerja perhitungan didasarkan pada upah sebulan

terakhir sebelum terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Upah terdiri dari

upah pokok dan tunjangan yang bersifat tetap. Upah sebagai dasar

pemberian uang pesangon, uang jasa dan uang kerugian terdiri dari:9

a. Upah pokok

b. Segala macam tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada

pekerja keluarganya

c. Harga pembelian dari jatah yang diberikan kepada pekerja secara

cuma-cuma harus dibayar kepada pekerja sebagai subsidi maka

6 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010),

h. 135

7 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun dan Mengetahui

Pendapat Ahli Mengenai Pengertian Sumber-sumber Hukum Mengenai Ketenagakerjaan,

(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, 2010), h. 81

8 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 83

9 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 138

Page 34: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

25

sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan yang

harus dibayar oleh pekerja.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian kompensasi:10

a. Penawaran dan permintaan tenaga kerja

b. Kemampuan dan ketersediaan perusahaan

c. Serikat buruh atau organisasi karyawan

d. Produktivitas kerja karyawan

e. Pemerintah dengan undang-undang dan keputusan presiden

f. Biaya hidup atau cost of living

g. Posisi jabatan karyawan

h. Pendidikan dan pengalaman kerja

i. Kondisi perekonomian nasional

j. Jenis dan sifat pekerjaan

Pekerja yang diputus hubungan kerjanya dengan alasan efisiensi

berhak mendapatkan kompensasi. Uang pesangon merupakan salah

satu hak pekerja yang seharusnya dipenuhi oleh perusahaan karena

secara tidak langsung pekerja telah mempunyai jasa kepada

perusahaan, apalagi jika masa kerja pekerja tersebut berlangsung lama.

Oleh karena itu, untuk membantu dan mengurangi beban pekerja yang

diputus hubungan kerjanya, maka peraturan perundang-undangan

mengharuskan untuk memberikan hak-hak pekerja tersebut.

3. Pemahaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pasal 1 butir (25) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena sesuatu hal tertentu

yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara perkara

(buruh dan pengusaha). Pemutusan Hubungan Kerja dalam undang-

undang ini meliputi Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi di badan

10 I Komang Ardana, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h.

153-154

Page 35: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

26

usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,

milik persekutuan atau milik badan hukum, milik swasta atau milik

negara, usaha-usaha sosial maupun usaha-usaha lain yang mempunyai

pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau

imbalan dalam bentuk lain.11

Menurut F.X. Djulmiaji, pemutusan

hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja

antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu. Istilah dan

pengertian Pemutusan Hubungan Kerja antara lain:12

a. Determination, pemutusan hubungan kerja karena selesai atau

berakhirnya kontrak kerja

b. Dissmisal, pemutusan hubungan kerja karena tindakan indisipliner

c. Redudancy, pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan

perkembangan teknologi

d. Retrechtment, pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan

masalah ekonomi

Di kehidupan sehari-hari, pemutusan kerja antara pekerja dengan

pengusaha dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang

telah disepakati atau diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi

karena adanya perselisihan antara pekerja dan pengusaha,

meninggalnya pekerja atau karena sebab lainnya.13

Menurut Lalu

Husni, pemutusan hubungan kerja merupakan suatu peristiwa yang

tidak diharapkan terjadinya, terutama dari kalangan pekerja karena

dengan adanya pemutusan hubungan kerja, pekerja yang bersangkutan

akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan

keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan

industrial baik pengusaha, pekerja, atau pemerintah, dengan segala

11 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 28

12

Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 20

13

Zaeni Asyhadie, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Pemutusan Hubungan Kerja), (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2002), h. 177

Page 36: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

27

upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan

kerja.14

Pemutusan hubungan kerja adalah suatu hal yang tidak diinginkan

oleh setiap pekerja, kehilangan pekerjaan berarti kehilangan mata

pencaharian yang dapat menimbulkan kesulitan ekonomi bagi

keluarga, sehingga banyak pekerja yang berusaha untuk

mempertahankan pekerjaannya. Hak dasar pekerja mendapat

perlindungan atas tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah, dengan segala

upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK). Mengenai pemutusan hubungan kerja dalam teori hukum

perburuhan dikenal ada 4 (empat) jenis pemutusan hubungan kerja,

yaitu:15

a. Pemutusan hubungan kerja demi hukum

Pemutusan hubungan kerja demi hukum disebabkan karena

hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya tanpa perlu

mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial.16

b. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja atau buruh

Pekerja berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan

pihak pengusaha, karena pada prinsipnya buruh tidak boleh

dipaksakan untuk terus menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak

menghendakinya. Dengan demikian pemutusan hubungan kerja

oleh pekerja ini, yang aktif untuk meminta diputuskan hubungan

kerjanya adalah dari pekerja itu sendiri.17

c. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

14 Zainal Asikin dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan…, h. 174

15

Zaeni Asyhadie, Dasar-dasar Hukum Perburuhan…, h. 140

16

Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 195

17

Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 193

Page 37: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

28

Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha merupakan

pemutusan hubungan kerja dimana berasal dari kehendak

pengusaha, karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang

dilakukan oleh pekerja atau karena faktor-faktor lain, seperti

pengurangan tenaga kerja, perusahaan tutup, perubahan status

perusahaan, dan sebagainya.18

d. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan

Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan terjadi karena

alasan-alasan tertentu yang mendesak dan penting, misalnya terjadi

peralihan kepemilikan, peralihan aset atau pailit.19

Pemutusan hubungan kerja bagi pihak pekerja akan memberi

pengaruh psikologis, ekonomis, finansial, sebab:

a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi pekerja telah

kehilangan mata pencaharian

b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus

banyak mengeluarkan biaya

c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum

mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya

C. Visi, Misi dan Tujuan Ketenagakerjaaan20

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tahap

pembangunannya dilakukan secara konkuren (tahap unifikasi, tahap

industrialisasi dan tahap kesejahteraan berlangsung secara bersamaan).

Kondisi ini sangat mempengaruhi perubahan sosial dan perkembangan

hukum perburuhan. Menurut Aloysius Uwiyono, tahap industrialisasi yang

menekankan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya akan mengarahkan

hukum perburuhan untuk melindungi pemilik modal. Hal ini berarti, buruh

18 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 198

19

Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 196

20

Perkembangan Ketenenagakerjaan di Indonesia…, h. 39-42

Page 38: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

29

dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Di lain pihak,

pada tahap kesejahteraan fokus pembangunannya adalah untuk

memperhatikan kesejahteraan masyarakat termasuk buruh.21

Konsep pembangunan Jangka Panjang dimulai ketika Indonesia

memasuki era Orde Baru. Kinerja perekonomian selama dua pelita

(Pembangunan Lima Tahun) pada era tersebut sangat memuaskan. Oleh

karena itu, untuk menghadapi persaingan dan ketidakpastian global yang

makin meningkat, jumlah penduduk yang makin banyak, dan dinamika

masyarakat yang makin beragam maka Indonesia memiliki sejumlah

tantangan untuk mewujudkan visi Indonesia, yaitu:

1. Pertumbuhan ekonomi,

2. Globalisasi,

3. Persoalan demografi dalam negeri,

4. Konsentrasi penduduk dan aktivitas perekonomian,

5. Kemandirian dalam teknologi dan produktivitas sumber daya manusia,

dan

6. Situasi politik dalam negeri.

Berdasarkan hal tersebut, dengan memperhitungkan modal sosial yang

dimiliki Indonesia dan faktor-faktor strategis yang muncul, sehingga visi

dan arah pembangunan ekonomi Indonesia adalah Indonesia yang maju

dan mandiri, adil dan demokratis serta makmur bersatu dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Visi tersebut dapat dipahami

sebagai berikut:

1. Indonesia yang maju dan mandiri adalah mendorong pembangunan

yang menjamin pemerataan yang seluas-luasnya didukung oleh sumber

daya manusia yang berkualitas, infrastruktur yang maju, penerapan

ilmu pengetahuan dan teknologi, berwawasan lingkungan, serta

didukung oleh pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif.

21 Abdullah Sulaiman, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 44

Page 39: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

30

2. Indonesia yang adil dan demokratis adalah mendorong pembangunan

yang menjamin penegakan hukum yang adil, konsekuen, tidak

diskriminatif, mengabdi pada kepentingan masyarakat luas, serta

meneruskan konsolidasi demokrasi bertahan pada berbagai aspek

kehidupan politik agar demokrasi konstitusional dapat diterima sebagai

konsensus dan pedoman politik dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

3. Indonesia yang makmur, aman, dan bersatu adalah mendorong

pembangunan yang mampu mewujudkan rasa aman dan damai,

mampu menampung aspirasi masyarakat yang dinamis, menegakkan

kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, serta melindungi segenap bangsa dari setiap ancaman.

Untuk mendorong tercapainya visi di atas, pemerintah Indonesia telah

menetapkan delapan program utama dan 18 aktivitas ekonomi. Kedelapan

program utama yang akan didorong itu adalah perindustrian,

pertambangan, pertanian, kelautan, pariwisata, telekomunikasi, energi dan

pengembangan kawasan.

Misi utama pemerintah Indonesia di bidang ketenagakerjaan adalah:22

1. mempromosikan kesempatan kerja dan pelayanan penempatan kerja,

2. Menciptakan hubungan industrial yang harmonis, demokratis, adil, dan

bermartabat,

3. Peningkatan kualitas dari manajemen dan administrasi, sistem

pengawasan, sistem informasi, serta penelitian dan pengembangan.

Pemerintah republik di awal-awal kemerdekaan, terutama di era 1950-

an, menyadari hal yang sama, yakni usaha-usaha menciptakan kesempatan

kerja untuk mengurangi pengangguran dan sekaligus menampung

pertambahan tenaga kerja merupakan bagian kesatuan dari seluruh

kebijakan dan program pembangunan. Bahkan seluruh kebijakan dan

22 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia…, h. 3

Page 40: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

31

program pembangunan ekonomi dan sosial mempertimbangkan

sepenuhnya tujuan-tujuan perluasan kesempatan kerja serta penggunaan

cara-cara kegiatan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja.23

Tujuan utama pemerintah mengatur kebijakan upah minimum adalah

untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Pemerintah secara periodik

menyesuaikan kenaikan upah minimum untuk mencerminkan perubahan

tingkat kesempatan kerja, produktivitas kerja, dan penetapan per kapita.24

Campur tangan pemerintah dalam hukum perburuhan atau

ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan

atau ketenagakerjaan yang adil. Jika hubungan antara pekerja dan

pengusaha diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk

menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sangat sulit

tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah.

Atas dasar itulah pemerintah turut campur tangan melalui peraturan

perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan

kewajiban para pihak.25

Para pemimpin pemerintahan, pekerja, dan pengusaha mengadopsi

Pakta Lapangan Kerja Global (Global Jobs Pact/GJP) pada Konferensi

Perburuhan Internasional Juni 2009 sebagai sebuah portofolio kebijakan

yang telah diujicoba, menempatkan ketenagakerjaan dan jaminan sosial

sebagai pusat dalam upaya merespons krisis. GJP (Global Jobs Pact)

disusun untuk merespons dampak sosial yang muncul akibat krisis global

pada ketenagakerjaan yang baru-baru ini terjadi dan mengusulkan

kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja, memperluas

23 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia…, h. 45

24

Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 31

25

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia…, h. 52

Page 41: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

32

jaminan sosial, menghargai standar-standar ketenagakerjaan dan

mempromosikan dialog sosial.26

Sejak dibentuk pada 1967, anggota Association of South East Asian

Nations atau Persatuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)

meletakkan kerjasama ekonomi sebagai agenda utama. Awalnya

kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian

preferensi perdagangan (prefential trade), usaha patungan (joint ventures),

dan skema saling melengkapi (complementation scheme). Pada Konferensi

Tingkat Tinggi (KTT) ke-sembilan ASEAN (Association of South East

Asian Nations) di Bali pada 2003 disepakati pembentukan komunitas

ASEAN (Association of South East Asian Nations) yang salah satu

pilarnya adalah Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC). AEC (ASEAN

Economic Community) bertujuan menciptakan pasar tunggal dan basis

produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi,

tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas.27

Pemerintah secara khusus membangun komunikasi dan kerjasama

antar Menteri Tenaga Kerja se-ASEAN (Association of South East Asian

Nations) atau ASEAN Labour Ministers (ALM). Tujuan keseluruhan dari

kerjasama ASEAN (Association of South East Asian Nations) di bidang

ketenagakerjaan adalah untuk membangun visi menuju kualitas hidup

yang lebih baik, pekerjaan yang produktif, dan perlindungan sosial yang

memadai bagi masyarakat ASEAN (Association of South East Asian

Nations) melalui peningkatan daya saing tenaga kerja, menciptakan

lingkungan kerja yang harmonis dan progresif, dan mempromosikan

pekerjaan yang layak bagi semua.28

26 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia…, h. 13

27

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia…, h. 33

28

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia…, h. 36

Page 42: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

33

Tujuan dari Konvensi ILO (International Labour Organisation)

Nomor 87 tahun 1948 adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja

dan pengusaha akan kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota

kelompok serta memberikan kemajuan dan kepastian dari kepentingan-

kepentingan pekerjaan mereka tanpa sedikitpun ada keterlibatan negara.29

Tujuan utama ILO (International Labour Organisation) saat ini adalah

mempromosikan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk

memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif, dalam kondisi merdeka,

setara, aman dan bermartabat.30

ILO (International Labour Organisation)

mendukung Indonesia untuk mencapai tujuan menciptakan lapangan kerja

yang layak, melalui program-program dan kegiatan di tiga area utama,

yaitu:

1. Menghapuskan eksploitasi di tempat kerja

2. Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan dan

pemulihan mata pencaharian, khususnya bagi kaum muda

3. Dialog sosial untuk pertumbuhan ekonomi serta prinsip dan hak

mendasar di tempat kerja

Menurut Manulang, tujuan hukum ketenagakerjaan ialah:31

1. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang

ketenagakerjaan

2. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas

dari pengusaha

Butir (1) lebih menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan harus

menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait

dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan

kelangsungan berusaha. Adapun butir (2) dilatar belakangi adanya

29 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 38

30

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia…, h. 47

31

Eko Wahyudi dkk, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Sinar grafika, 2016), h. 7

Page 43: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

34

pengalaman selama ini yang sering kali terjadi kesewenang-wenangan

pengusaha terhadap pekerja. Untuk itu diperlukan suatu perlindungan

hukum secara komprehensif dan konkret dari pemerintah.

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberdayakan dan

mendayagunakan tenaga kerja secara optimal, mewujudkan pemerataan

kesempatan kerja, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam

mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan tenaga

kerja.32

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi

b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja yang sesuai dengan

kebutuhan pembangunan nasional dan daerah

c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan

d. Meningkatkan kesejahteran tenaga kerja dan keluarganya

Pekerja dalam berserikat dan berkumpul harus dijamin haknya dengan

tujuan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan semua anggota

mereka. Hak berserikat dan berkumpul merupakan salah satu syarat

penting untuk bisa menjamin hak atas upah yang adil.33

Pembinaan atau pengaturan hubungan industrial yang pada dasarnya

pengaturan hak dan kewajiban tidak lain untuk menciptakan hubungan

yang harmonis antara pelaku proses produksi dengan tujuan meningkatkan

kinerja perusahaan dan kesejahteraan.34

Hubungan industrial yang baik akan menciptakan kerja yang tentunya

akan sangat berpengaruh pula pada peningkatan produktivitas dan

32 Yatim kelana dkk, Sorotan Pers Tentang Ketenagakerjaan, (Jakarta: wijaya, 1993), h. 2

33

Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 44

34

Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 48

Page 44: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

35

kesejahteraan pekerja.35

Tujuan akhir pengaturan hubungan industrial

adalah meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan. Untuk dapat

menciptakan tujuan tersebut, maka faktor utama adalah interaksi yang

positif antara pekerja dan pengusaha. Dengan demikian, ketenangan kerja

menjadi tujuan dalam menciptakan hubungan industrial yang aman dan

dinamis.36

Para pekerja yang bekerja pada perusahaan harus mengimbangi jalinan

atau hubungan kerja dengan kerja nyata yang baik, penuh kedisiplinan,

dan tanggung jawab agar tujuan perusahaan dapat tercapai dengan penuh

keberhasilan bagi kepentingan pekerja itu sendiri. Dengan demikian, usaha

produksi perusahaan tidak akan terganggu karena kedua belah pihak saling

memperhatikan, saling menghargai, saling bekerjasama dan saling

berkegiatan dalam mencapai tujuan perusahaan.37

D. Ketenagakerjaan dalam Sudut Pandang Politik

Resonansi perubahan yang terjadi di bidang politik terasa pula pada

semua bidang dan segi kehidupan, pada tingkat individual, tingkat

organisasional, tingkat masyarakat dan bahkan juga pada tingkat Negara.

Jika sebagai akibat perubahan yang terjadi di bidang politik terjadi pula

perubahan di bidang militer, ekonomi sosial budaya dan pendidikan,

tentunya implikasinya terhadap ketenagakerjaan akan menjadi sangat luas,

suatu hal yang perlu diperhitungkan secara matang.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu hal yang

merupakan kegiatan yang sangat ditakuti oleh pekerja yang masih aktif

bekerja. Hal ini karena kondisi kehidupan politik yang goyah. Kemudian

disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak

pada banyaknya industri yang gulung tikar dan tentu saja berdampak pada

35 Dhaniswara K Harjono, Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha, (Jakarta: Rajawali

Press, 2006), h. 80

36

Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 50-51

37

Sunindhia Y W dan Ninik Widiyanti, Masalah PHK dan Pemogokan, (Jakarta: Bina

Aksara, 1998), h. 129-137

Page 45: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

36

Pemutusan Huungan Kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana.

Kondsi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu ini selalu

dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya

diberhentikan dari pekerjaannya yang menjadi penopang hidup

keluarganya.

Penetapan upah minimum di beberapa daerah diidentifikasi telah

menjadi salah satu alat politik pemerintah untuk memenangkan kepala

daerah.38

Hubungan industrial merupakan sisi yang paling rawan di dalam

bidang ketenagakerjaan. Kerawanan tersebut sebagai akibat dari sifat

hubungan kerja yang pada dasarnya ada perbedaan kepentingan antara

pelaku proses produksi (pekerja dan pengusaha). Kerawanan ini semakin

lebih potensial manakala hubungan industrial berkembang menjadi

bermuatan politik. Kaum pekerja yang lemah tidak jarang digunakan untuk

alat politik tertentu. Apalagi pada akhir-akhir ini, praktek hubungan

industrial diakui sebagai salah satu sisi pelaksanaan hak asasi manusia dan

demokratisasi.39

38 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 34

39

Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 48

Page 46: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

37

BAB III

PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA

SEKTOR PELAYARAN DI INDONESIA

A. Profil Perusahaan PT Internusa Bahari Persada1

PT Internusa didirikan tahun 1995 dengan nama PT Pelayaran

Internusa Bahari Persada dihadapan Notaris Weece Herawati, S.H. Hal

tersebut tercantum dalam Akta Pendirian Perseroan Terbatas Nomor 229

tahun 1995 yang sudah disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia dibawah naungan Direktur Jenderal

Administrasi Hukum Umum tanggal 6 Maret 1996 nomor SK.02-

4464.HT.01.01.TH.96. Lalu terjadi perubahan dari Notaris Weece

Herawati, S.H. menjadi Notaris Sukawaty Sumadi, S.H. tanggal 6 Maret

2015 yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia dibawah naungan Direktur Jenderal Administrasi

Hukum Umum tanggal 7 Maret 2015 nomor AHU-AH.01.03-0014607

dengan Klasifikasi Lapangan Usaha Utama sebagai Perusahaan Angkutan

Laut Domestik untuk barang.

PT Pelayaran Internusa Bahari Persada beralamat di Jalan Baruna

Nomor 5, Pelabuhan Sunda Kelapa, Kelurahan Ancol, Kecamatan

Pademangan, Kota Administrasi Jakarta Utara, DKI Jakarta. Pemilik dari

perusahaan pelayaran ini adalah Albert Wongso (Albert), Eugenia Njolito

dan Agung Sembada Anggianto. Susunan pengurus PT Internusa Bahari

Persada sebagai berikut:

1. Dewan Komisaris

a. Komisaris : Agung Sembada Anggianto

2. Direksi

a. Direktur Utama : Djoli

b. Direktur : Eugenia Njolito

1Htpps://ahu.go.id/profil-pt/CetakPDF?kode=%7ECw%7DlskAampm%40xw%7B%60mArqC

diakses pada 16 Juli 2018

Page 47: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

38

B. Tinjauan Mengenai Pekerja di Indonesia

1. Hak dan Kewajiban Pekerja di PT Internusa Bahari Persada

Berbicara mengenai hak pekerja berarti kita membicarakan hak-

hak asasi, maupun hak yang bukan asasi. Hak asasi adalah hak yang

melekat pada diri pekerja itu sendiri yang dibawa sejak lahir dan jika

hak tersebut terlepas atau terpisah, maka pekerja itu akan menjadi

turun derajat dan harkatnya sebagai manusia. Sedangkan hak yang

bukan asasi berupa hak pekerja yang telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang sifatnya non asasi.2 Hak dan kewajiban

subjek kerja, dimana hak merupakan suatu tuntutan dan keinginan

yang diperoleh oleh subjek kerja (pengusaha dan pekerja). Sedangkan

kewajiban adalah para pihak, disebut prestasi.3

Tahun 2004, International Labour Organisation (ILO) dan

Pemerintah Indonesia memulai program untuk mempromosikan dan

melindungi hak-hak pekerja migran, dengan fokus awal pada pekerja

domestik migran dan diperluas untuk mencapai para pekerja lainnya,

terutama jika melibatkan perdagangan.4 Untuk melindungi hak pekerja

dalam berserikat tanpa adanya campur tangan dari pihak pengusaha

maka International Labour Organisation (ILO) mengadakan Konvensi

pada tahun 1949 yang dinamakan Konvensi ILO Nomor 98 tahun

1949.5 Hak-hak pekerja adalah sebagai berikut:

6

a. Hak-hak Pekerja adalah Hak Asasi Manusia

b. Kebebasan Berserikat dan Hak Berunding Bersama

c. Penghapusan Kerja Paksa

2 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 15

3 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun dan Mengetahui

Pendapat Ahli Mengenai Pengertian Sumber-sumber Hukum Mengenai Ketenagakerjaan,

(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, 2010), h. 35

4 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia, (Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011), h. 54

5 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 39

6 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 35-47

Page 48: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

39

d. Macam-macam Hak Pekerja;

1) Hak atas Pekerjaan

2) Hak atas upah yang adil

3) Hak untuk berserikat dan berkumpul

4) Hak atas perlindungan keamanan dan kesehatan

5) Hak untuk diproses hukum secara sah

6) Hak untuk diperlakukan secara sama

7) Hak atas rahasia pribadi

8) Hak atas kebebasan suara hati

e. Kewajiban Pekerja;

1) Memahami, mengetahui dan mematuhi aturan dan prinsip-

prinsip dalam bekerja termasuk mengenai kesehatan dan

keselamatan kerja, berpartisipasi dalam pelatihan dan lain-lain.

2) Melakukan pekerjaan sesuai dengan ketentuan dan prinsip-

prinsip ketenagakerjaan, termasuk kesehatan dan keselamatan

kerja.

3) Menjaga ketertiban dan harmoni di tempat kerja.

4) Memberitahukan kepada pengawas di tempat kerja ketika

melihat kecelakaan kerja atau bahaya terhadap kehidupan atau

kesehatan pekerja.

Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam

bentuk uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha kepada

pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian,

kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan

bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan jasa yang telah

dilakukan. Hak atas manfaat pensiun tidak menghilangkan hak pekerja

atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Hak pekerja tersebut telah di jamin

dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa

kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Page 49: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

40

Perbedaan kedudukan secara ekonomi dan sosial antara pekerja

dan pengusaha menimbulkan hubungan subordinatif yang terbingkai

dalam hubungan kerja sehingga menimbulkan posisi tidak seimbang

antara keduanya. Dalam konteks inilah hukum dijadikan sarana guna

memberikan perlindungan bagi pekerja. Karena sebagai konsekuensi

dari hubungan kerja muncullah hak dan kewajiban yang oleh hukum

harus dijaga dan dilindungi. Menurut Adrian Sutedi7, hanya ada dua

cara melindungi pekerja yaitu:

a. Melalui undang-undang perburuhan. Karena dengan undang-

undang berarti ada jaminan negara untuk memberikan pekerjaan

yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan, keselamatan

kerja, dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial

setelah pensiun.

b. Melalui serikat pekerja. Karena melalui serikat pekerja, pekerja

dapat menyampaikan aspirasinya, berunding dan menuntut hak-hak

yang semestinya mereka terima. Serikat pekerja juga dapat

mewakili pekerja dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama yang

mengatur hak-hak dan kewajiban pekerja dengan pengusaha

melalui suatu kesepakatan umum yang menjadi pedoman dalam

hubungan industrial.

Pasal 111 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa peraturan perusahaan sekurang-

kurangnya memuat:

a. Hak dan kewajiban pengusaha

b. Hak dan kewajiban pekerja

c. Syarat kerja

d. Tata tertib perusahaan

e. Jangka waktu peraturan perusahaan

7 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan…, h. 13

Page 50: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

41

Konsep terhadap perlindungan hukum bagi pekerja yang

dipergunakan adalah perlindungan terhadap hak pekerja dengan

menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh

hukum bagi pekerja atas tindakan-tindakan pengusaha pada saat

sebelum bekerja (pre-employment), selama bekerja (during

employment) dan masa setelah bekerja (post employment). Hakikat

“hak pekerja” merupakan “kewajiban pengusaha”, dan sebaliknya “hak

pengusaha” merupakan “kewajiban pekerja”8 Dengan kata lain, jika isi

yang tertuang di dalam perjanjian kerja tersebut menunjukkan

kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pekerja maka

sebaliknya kewajiban tersebut bagi pihak pengusaha adalah haknya,

dan begitu pula jika isi yang tertuang di dalam perjanjian kerja tersebut

menunjukkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha maka

kewajiban tersebut merupakan hak-hak dari pekerja.

2. Jenis-Jenis Hubungan Kerja

Kegiatan formal dan informal penduduk yang bekerja dapat

diidentifikasikan berdasarkan status dan jenis pekerjaan. Sebanyak

33,74 juta pekerja Indonesia bekerja pada kegiatan atau pekerjaan

formal dan sekitar 73,67 juta orang atau hampir 70 persen bekerja di

kegiatan atau pekerjaan informal.9 Dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Nomor 101/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian

Kerja Waktu Tertentu tidak diatur secara rinci klasifikasi mengenai

jenis-jenis pekerjaan pokok (core business) dan pekerjaan penunjang

(non core business), kategori yang ditentukan bersifat umum dan tidak

mengakomodir perkembangan dunia usaha, sehingga dalam

pelaksanaannya terjadi tumpang tindih dan penyelewengan.

8 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2007), h.26

9 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkembangan Ketenenagakerjaan di

Indonesia…, h. 29

Page 51: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

42

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja

berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah

dan perintah. Pada dasarnya, hubungan kerja yaitu hubungan antara

pekerja dan pengusaha yang terjadi setelah diadakan perjanjian oleh

pekerja dengan pengusaha dimana pekerja menyatakan

kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan

kesanggupannya untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar

upah.10

Di dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi

karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Jenis-

jenis hubungan kerja adalah sebagai berikut:

a. Pekerjaan Waktu Tertentu (Kontrak)

Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

menyebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu adalah

perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk

mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk

pekerja tertentu11

, hubungan kerja itu sendiri merupakan hubungan

hukum antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan sebuah

perjanjian kerja.

b. Pekerjaan Waktu Tidak Tertentu (Tetap)

Perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja

antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan

kerja tetap.12

Pekerjaan ini dalam prosesnya dapat mensyaratkan

masa percobaan kerja paling lama 3 bulan. Pada masa percobaan

itu pengusaha dilarang membayar upah dibawah minimum yang

10 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1999), h. 88

11

F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 13

12

F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi…, h. 13

Page 52: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

43

berlaku. Perjanjian untuk pekerjaan waktu tidak tertentu dibuat

secara tertulis, jika dibuat secara lisan maka pengusaha wajib

membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan.

C. Pelanggaran-Pelanggaran yang Memperkenankan Pemutusan

Hubungan Kerja Secara Lisan di PT Internusa Bahari Persada

Di dalam hubungan kerja ada suatu ikatan antara pekerja dengan

perusahaan yang berupa perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan

perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh perusahaan atau secara bersama-

sama antara pekerja atau serikat pekerja dengan perusahaan, yang isinya

minimal hak dan kewajiban masing-masing pihak dan syarat-syarat kerja,

dengan perjanjian yang telah disetujui oleh masing-masing pihak agar di

dalam implementasinya tidak dilanggar oleh salah satu pihak.

Perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja selama ini paling

banyak terjadi karena tindakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan

oleh satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. Pemutusan

hubungan kerja dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun

pekerja. Pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja

melakukan berbagai tindakan atau pelanggaran. Demikian sebaliknya,

pemutusan hubungan kerja juga dapat dilakukan atas permohonan pekerja

karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah

disepakati atau berbuat sewenang-wenang kepada pekerja.13

Apabila melihat dari kasus-kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),

maka ada beberapa penyebab terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) tersebut antara lain Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang

dilakukan perusahaan secara lisan, adanya efisiensi yang dilakukan

perusahaan sehingga menyebabkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK), serta karena ada kesalahan berat yang dilakukan pekerja.

13 Lalu husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di

Luar Pengadilan, (Jakarta: raja grafindo persada, 2007), h. 46

Page 53: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

44

Dikemukakan ada delapan alasan dalam Pemutusan hubungan Kerja

(PHK) yaitu karena undang-undang, keinginan perusahaan, keinginan

karyawan, pensiun, kontrak kerja berakhir, kesehatan karyawan,

meninggal dunia dan perusahaan di likuidasi.14

Menurut Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pihak perusahaan dapat

saja melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam berbagai

kondisi yaitu:

1. Pengunduran diri secara baik-baik atas kemauan sendiri;

2. Pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri karena

berakhirnya hubungan kerja;

3. Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun;

4. Pekerja melakukan kesalahan berat;

5. Pekerja ditahan pihak yang berwajib;

6. Perusahaan mengalami kerugian;

7. Pekerja mangkir terus menerus;

8. Pekerja meninggal dunia;

9. Pekerja melakukan pelanggaran;

10. Perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan

kepemilikan;

11. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena alasan efisiensi.

Pemberhentian berdasarkan keinginan perusahaan dapat menyebabkan

seseorang harus diberhentikan dari perusahaan, baik secara terhormat atau

dipecat. Permohonan izin Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diberikan

karena buruh melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan besar, antara

lain:

1. Pada saat perjanjian kerja diadakan, pekerja memberikan keterangan

palsu atau dipalsukan;

2. Melakukan tindakan kejahatan;

14 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan…, h. 174

Page 54: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

45

3. Melakukan penganiayaan, menghina secara kasar atau mengancam

pengusaha, keluarga pengusaha serta teman kerja.

Pelanggaran terhadap perjanjian yang ada tentunya ada sanksi berupa

teguran lisan atau surat tertulis, atau bisa juga berupa surat peringatan.

Surat peringatan tertulis dapat dibuat surat peringatan pertama, kedua,

sampai ketiga. Masing-masing surat peringatan memiliki masa berlaku

selama 6 bulan. Apabila pekerja sudah diberi peringatan sampai 3 kali

berturut-turut terhadap pelanggaran yang sama maka perusahaan dapat

melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti yang sudah

dijelaskan pada Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Namun, untuk beberapa hal yang menyangkut dengan

kebijakan dari manajemen perusahaan berkaitan dengan kesejahteraan

pekerja dan juga penjatuhan sanksi disiplin oleh perusahaan karena

adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja seringkali menimbulkan

masalah.

Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh

perusahaan harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) dilakukan dalam beberapa proses, yaitu mengadakan

musyawarah antara pekerja dengan perusahaan. Bila menemui jalan buntu

maka jalan terakhir adalah melalui pengadilan untuk memutuskan perkara.

Bagi pekerja yang bermasalah melakukan pelanggaran berat, langsung

diserahkan kepada pihak kepolisian tanpa meminta izin kepada pihak

yang berwenang. Dan untuk pekerja yang akan pensiun dapat diajukan

sesuai dengan peraturan. Demikian pula pekerja yang mengundurkan diri

diatur sesuai dengan peraturan perusahaan dan perundang-undangan

sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap tenaga kerja yang telah

diputus hubungan kerjanya.

Berdasarkan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan tersebut,

maka dapat dipahami bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

merupakan opsi terakhir dalam penyelamatan sebuah perusahaan.

Page 55: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

46

Undang-undang ketenagakerjaan sendiri mengatur bahwa perusahaan

tidak boleh semena-mena memutuskan hubungan kerja pekerjanya.

Terkecuali karyawan atau pekerja yang bersangkutan telah terbukti

melakukan pelanggaran berat dan dinyatakan oleh putusan pengadilan

yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap bahwa pekerja tersebut

telah melakukan kesalahan berat. Telah jelasnya peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan

tata cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Persoalannya adalah, masih

banyak kita temukan berbagai macam pelanggaran terkait Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) dalam ketenagakerjaan.

D. Urgensi Perjanjian Kerja dalam Kesepakatan Kerja Bersama

Perjanjian kerja mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengertian bahwa

perjanjian perburuhan adalah suatu perjanjian dimana pihak pertama atau

pekerja mengikatkan dirinya dibawah perintah pihak yang lain (majikan)

untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1

butir (14) menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian

antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-

syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Menurut Imam Soepomo, perjanjian kerja adalah suatu perjanjian

dimana pihak pertama (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan

menerima upah dari pihak kedua (majikan), dan majikan mengikatkan diri

untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah.15

Berdasarkan hal

tersebut, maka unsur-unsur dari perjanjian kerja yaitu:

1. Adanya Unsur pekerjaan

2. Adanya unsur perintah

3. Adanya unsur upah

15 Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Medan: USU Press, 2010), h.

40

Page 56: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

47

Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus

memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juncto Pasal 52 butir (1) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang

menjelaskan bahwa:

1. Perjanjian kerja dibuat atas dasar:

a. Kesepakatan kedua belah pihak,

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum,

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

2. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir (1) huruf a dan b dapat

dibatalkan

3. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir (1) huruf c dan d batal

demi hukum

Jenis-jenis perjanjian kerja adalah sebagai berikut:16

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Perjanjian ini didasarkan atas jangka waktu atau selesainya

Pekerjaan. Dalam hal ini, perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat

dibuat untuk jenis sifat dan pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat:17

a. Pekerjaan yang sifatnya sekali selesai atau sementara

b. Pekerjaan yang diperkirakan akan selesai dalam waktu paling

lama 3 tahun

c. Pekerjaan yang sifatnya musiman

16 Basani Situmorang dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun…, h. 19-20

17

Goenawan Oetomo R, pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia,

(Jakarta: Grahadika Binangkit Press, 2004), h. 15

Page 57: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

48

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan

baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan

2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

Perjanjian ini mengenai hubungan kerja yang tidak dibatasi oleh

jangka waktu atau tidak dibatasi oleh selesainya pekerjaan. Dalam

perjanjian ini, dapat disyaratkan adanya masa percobaan dengan

jangka waktu paling lama tiga bulan.

Perjanjian ketenagakerjaan dikenal 2 bentuk perjanjian yang sudah

dijelaskan didalam Pasal 51 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan. Bentuk perjanjian tersebut yaitu:

1. Perjanjian Tertulis adalah perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertentu

atau adanya kesepakatan para pihak bahwa perjanjian itu dibuat secara

tertulis agar adanya kepastian hukum.

2. Perjanjian tidak tertulis adalah perjanjian yang oleh undang-undang

tidak disyaratkan dalam bentuk tertulis

Pada Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa kesepakatan kedua belah pihak yang

mengikatkan dirinya harus setuju atau sepakat, seia sekata mengenai hal-

hal yang diperjanjikan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak

yang membuat perjanjian haruslah cakap membuat perjanjian ataupun

cukup umur minimal 18 tahun.

Perwujudan Jaminan Perlindungan terhadap tenaga kerja ditetapkan

melalui perjanjian kerja yang ditandatangani oleh tenaga kerja dan pihak

pengguna melalui program dan sistem asuransi perlindungan terhadap

berbagai resiko serta bantuan hukum bagi tenaga kerja yang mengalami

permasalahan. Perjanjian-perjanjian kerja tersebut meliputi:18

1. Perjanjian penempatan secara tertulis antara penyelenggara dan

pengguna tenaga kerja

18 Abdullah Sulaiman dan Azhar Usman, Hukum Tenaga Kerja Indonesia, (Jakarta: Program

Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Jakarta, 2008), h. 31-32

Page 58: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

49

2. Perjanjian penempatan secara tertulis antara penyelenggara dan tenaga

kerja

3. Perjanjian perburuhan secara tertulis antara pengguna dan tenaga kerja

4. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta kesejahteraan

tenaga kerja mulai dari keberangkatan di daerah asal, selama bekerja,

sampai dengan kembali ke daerah asal.

Suatu perusahaan yang memperkerjakan buruh wajib mempunyai

peraturan perusahaan. Kewajiban tersebut memiliki keharusan berupa:

1. Pengusaha yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang,

wajib membuat peraturan perusahaan yang disahkan oleh menteri

ketenagakerjaan dan transmigrasi,

2. Kewajiban perusahaan membuat peraturan perusahaan tidak berlaku

apabila perusahaan telah memiliki perjanjian bersama, dan

3. Peraturan perusahaan disusun oleh perusahaan dan menjadi tanggung

jawab perusahaan yang sekurang-kurangnya memuat hak dan

kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban buruh, syarat kerja, tata

tertib perusahaan, serta jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan

adalah 2 tahun.

Pengusaha diharuskan pula membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

dengan buruhnya. Perjanjian kerja bersama dibuat serikat buruh atau

beberapa serikat buruh yang telah tercatat di kantor ketenagakerjaan

dengan pengusaha atau beberapa pengusaha secara musyawarah dan

tertulis dengan huruf latin menggunakan bahasa Indonesia. Dalam satu

perusahaan hanya dibuat satu perjanjian kerja bersama yang berlaku untuk

seluruh serikat buruh di perusahaan selama 2 tahun. Perjanjian kerja

bersama memuat hak dan kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban serikat

buruh atau buruh, jangka waktu, tanggal berlaku serta tanda tangan para

pihak pembuat perjanjian kerja bersama.19

19 Abdullah Sulaiman, Arbitrase Perburuhan, (Jakarta: Program Magister Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Islam Jakarta, 2013), h. 134

Page 59: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

50

E. Dampak Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Pekerja oleh

Perusahaan PT Internusa Bahari Persada

Di tengah-tengah masa kerja kerap kali terjadi perselisihan hubungan

industrial, baik perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan

antar serikat pekerja maupun perselisihan pemutusan hubungan kerja

(PHK). Oleh karena itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa timbul

karena adanya hubungan kerja yang terjadi sebelumnya.20

Pemutusan

hubungan kerja merupakan isu yang sensitif. Pengusaha seharusnya

bijaksana dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), karena

pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat menurunkan kesejahteraan

masyarakat, rakyat kehilangan pekerjaan, bahkan yang lebih parah adalah

bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat mengakibatkan

pengangguran. Istilah pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan

sebuah momok bagi pekerja, mengingat banyak dampak dan akibat yang

ditimbulkan. Tidak hanya bagi pekerja itu sendiri, bahkan ini seperti efek

domino yang saling berkaitan satu sama lain dan merambah kesektor

kehidupan masyarakat lainnya. Pemerintah, pengusaha, pekerja dan

serikatnya harus mengupayakan agar jangan sampai terjadi pemutusan

hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150

sampai dengan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Pemberhentian kerja merupakan peristiwa yang tidak

diharapkan terjadinya, karena pemutusan hubungan kerja (PHK) itu akan

memberikan dampak psikologis, ekonomi finansial bagi pekerja dan

keluarganya.21

Berbagai implikasi yang ditimbulkan akibat pemutusan

hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tenaga

kerja adalah sebagai berikut:

1. Pengangguran

20

Hartono Widodo dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,

(Jakarta: CV Rajawali, 1989), h. 23

21

F X Djumadji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 88

Page 60: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

51

2. Menurunnya status dan prestise

3. Memicu disintegrasi keluarga

4. Perubahan struktural dalam kehidupan sehari-hari

Kontribusi pekerja pada suatu perusahaan akan menentukan maju

mundurnya perusahaan. Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu

elemen utama dalam suatu sistem kerja, pekerja tidak bisa lepas dari

berbagai kesulitan dan masalah. Salah satu permasalahan yang sedang

marak sekarang ini adalah karena krisis ekonomi yang terjadi sehingga

banyak perusahaan di Indonesia harus melakukan restrukturisasi.

Perusahaan harus mengurangi pekerjanya dengan alasan efisiensi. Kondisi

seperti ini diikuti oleh meningkatnya pemutusan hubungan kerja sehingga

setiap pekerja yang tidak mempunyai kompetensi tinggi harus memikirkan

alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pemutusan hubungan kerja (PHK) pada prinsipnya dapat terjadi jika

salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa rugi bila hubungan kerja

tersebut diteruskan. Dengan demikian, pemutusan hubungan kerja (PHK)

dapat terjadi karena keinginan pekerja, keinginan perusahaan, atau

keinginan kedua belah pihak. Sebenarnya, pemutusan hubungan kerja itu

sendiri dapat menimbulkan kerugian. Namun, karena kerugian yang

ditimbulkan akibat mempertahankan hubungan kerja dianggap lebih besar

dibandingkan dengan kerugian akibat pemutusan hubungan kerja (PHK)

maka pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilaksanakan. Alasan

pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan bukan karena

ketidakjujuran pekerja, melainkan juga alasan-alasan lain yang dianggap

merugikan, misalnya ketidakmampuan bekerja, malas, pemabok, tidak

patuh, sering absen, dan sebagainya. Pemutusan hubungan kerja (PHK) ini

menurut pandangan perusahaan akan menimbulkan kerugian yang lebih

kecil daripada meneruskan hubungan kerja.

Sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan dengan adanya

hubungan kerja itu, khususnya bagi pekerja dan keluarganya, pemutusan

hubungan kerja (PHK) bagi pekerja merupakan permulaan segala

Page 61: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

52

pengakhiran, permulaan dari berakhirnya mempunyai pekerjaan,

permulaan dari berakhirnya kemampuan membiayai keperluan hidup,

menyekolahkan anak-anak dan sebagainya. Faktanya, pemutusan

hubungan kerja (PHK) yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah

ditetapkan dalam perjanjian kerja tidak menimbulkan permasalahan

terhadap kedua belah pihak karena pihak yang bersangkutan sama-sama

telah menyadari dan mengetahui bahwa saat berakhirnya hubungan kerja

tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri

menghadapi kenyataan tersebut. Berbeda halnya dengan pemutusan

hubungan kerja (PHK) yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan

ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak. Terutama pekerja

yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah

jika dibandingkan dengan pihak pengusaha.

Akibat hukum dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) selalu ada,

baik terhadap pengusaha maupun terhadap pekerja itu sendiri. Akibat

hukum yang dimaksud adalah bentuk pemberian kompensasi upah kepada

kepada pekerja yang hubungan kerjanya terputus dengan pengusaha. Bagi

pengusaha, ada kewajiban untuk memberikan kompensasi upah kepada

pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya. Sebaliknya, pekerja berhak

untuk mendapatkan kompensasi upah yang dimaksud. Namun demikian,

tidak selamanya pmutusan hubungan kerja (PHK) selalu diikuti dengan

pemberian kompensasi upah kepada pekerja. Adakalanya pekerja tidak

mendapatkan kompensasi apapun atas terputusnya hubungan kerja dengan

pengusaha, seperti misalnya pekerja yang hubungan kerjanya diakhiri

dalam masa percobaan atau hubungan kerjanya didasarkan pada Perjanjian

Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Terdapat berbagai alasan atau sebab pekerja itu berhenti, ada yang

didasarkan permintaan sendiri. Tetapi ada juga karena peraturan yang

sudah tidak memungkinkan lagi yang akhirnya membuat pekerja tersebut

tidak meneruskan pekerjaannya. Akibat Pemutusan hubungan kerja (PHK)

ternyata dapat menimbulkan dampak bagi pekerja dan perusahaan.

Page 62: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

53

Dampak bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya adalah pekerja

akan kehilangan pekerjaannya, sehingga penghasilan untuk mencukupi

kebutuhan keluarganya pun akan berkurang. Atas dasar tersebut, maka

bagian sumber daya manusia harus sudah dapat memperhitungkan berapa

jumlah uang yang seharusnya diterima oleh pekerja yang berhenti agar

pekerja tersebut dapat memenuhi kebutuhannya sampai pada tingkat

dianggap cukup.

Selain dampak bagi pekerja itu sendiri, proses pemutusan hubungan

kerja (PHK) itu akan memberikan dampak positif dan negatif bagi

perusahaan. Dampak positif bagi perusahaan adalah memungkinkan

perusahaan untuk mendapatkan pekerja yang lebih baik dari pekerja

sebelumnya, dan mengurangi biaya pengeluaran gaji atau efisiensi.

Sedangkan dampak negatif bagi perusahaan yaitu citra perusahaan akan

berkurang di mata investor dan masyarakat, perusahaan akan kehilangan

pekerjanya, perusahaan akan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk

mendapatkan pekerja baru serta kuantitas produksi perusahaan menjadi

menurun.

Sebagian pekerja langsung menyetujui perjanjian secara lisan tanpa

memikirkan dampak buruk ketika pengusaha melakukan pemutusan

hubungan kerja (PHK). Bagi kaum pekerja, putusnya hubungan kerja

berarti permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga

untuk menjamin kepastian dan ketentraman kaum buruh seharusnya tidak

ada pemutusan hubungan kerja. Tetapi, pengalaman sehari-hari

membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah

seluruhnya.

F. Kompensasi Akibat Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja

karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan

kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja dapat

dilakukan oleh pihak tenaga kerja maaupun pihak perusahaan. Secara

Page 63: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

54

umum, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) ada bermacam-

macam, yaitu dari mulai adanya tenaga kerja yang mengundurkan diri,

tidak diperpanjang kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT),

pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak baik secara lisan mupun tertulis

oleh perusahaan hingga perusahaan yang mengalami keadaan pailit.

Setiap pemutusan hubungan kerja memiliki konsekuensi bagi para

pihak, seperti hak buruh dan hak pengusaha. Hak buruh merupakan

kewajiban dari pihak pengusaha dalam pemutusan hubungan kerja.

Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja maka pengusaha diwajibkan

membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja serta

uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 156 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

Mengenai kompensasi diatur dalam ketentuan Pasal 156 butir (1)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang

menjelaskan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,

pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang

penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya

diterima. Perhitungan uang pesangon tersebut diatur dalam ketentuan Pasal

156 butir (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perhitungan uang pesangon

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 butir (1) paling sedikit sebagai

berikut:

1. Masa kerja kurang dari satu tahun, satu bulan upah;

2. Masa kerja satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua tahun, dua

bulan upah;

3. Masa kerja dua tahun atau lebih tetapi kurang dari tiga tahun, tiga

bulan upah;

4. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari empat tahun, empat

bulan upah;

Page 64: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

55

5. Masa kerja empat tahun atau lebih tetapi kurang dari lima tahun, lima

bulan upah;

6. Masa kerja lima tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun, enam

bulan upah;

7. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari tujuh tahun, tujuh

bulan upah;

8. Masa kerja tujuh tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan tahun,

delapan bulan upah;

9. Masa kerja delapan tahun atau lebih, sembilan bulan upah.

Penghitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud

Pasal 156 butir (1) ditetapkan dalam Pasal 156 butir (3) sebagai berikut:

1. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun, dua

bulan upah;

2. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari sembilan tahun,

tiga bulan upah;

3. Masa kerja sembilan tahun atau lebih tetapi kurang dari dua belas

tahun, empat bulan upah;

4. Masa kerja dua belas tahun atau lebih tetapi kurang dari lima belas

tahun, lima bulan upah;

5. Masa kerja lima belas tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan

belas tahun, enam bulan upah;

6. Masa kerja delapan belas tahun atau lebih tetapi kurang dari dua puluh

satu tahun, tujuh bulan upah;

7. Masa kerja dua puluh satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua

puluh empat tahun, delapan bulan upah;

8. Masa kerja dua puluh empat tahun atau lebih, sepuluh bulan upah.

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana

dimaksud Pasal 156 butir (1) ditetapkan dalam Pasal 156 butir (4)

meliputi:

1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

Page 65: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

56

2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat

dimana pekerja diterima bekerja;

3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan

15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi

yang memenuhi syarat;

4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dalam Pasal 156 butir (5) juga dijelaskan bahwa perubahan

perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,

dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 156 butir (2),

(3), dan butir (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Jika terjadi pemutusan hubungan kerja dalam perjanjian kerja waktu

tidak tertentu (PKWTT) maka pekerja mendapatkan uang pesangon, uang

penghargaan masa kerja (bagi pekerja yang bekerja minimal 3 tahun) dan

uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan. Namun apabila pemutusan

hubungan kerja terjadi pada pekerja dalam perjanjian kerja waktu tertentu

(PKWT) dan salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum

berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam pekerjaan waktu tertentu,

maka jika pihak pekerja yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan

untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja

sampai batas jangka waktu berakhirnya perjanjian kerja. Tetapi kalau

pihak pengusaha yang memutuskan hubungan kerja sebelum berakhir

jangka waktu sesuai perjanjian maka pihak pengusaha diwajibkan

membayar sisa jangka waktu yang ditetapkan sesuai besaran upah yang

dijanjikan.

Page 66: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

57

BAB IV

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA LISAN DI PT INTERNUSA

BAHARI PERSADA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

52 K/PDT.SUS-PHI/2018

A. Kronologi Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan

oleh PT Internusa Bahari Persada

Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-

PHI/2018 tentang perkara gugatan Pemutusan Hubungan Kerja, adapun

yang mengajukan gugatan adalah Timbul Simatupang. Dalam hal ini,

Timbul Simatupang mengajukan gugatan pada Pengadilan Hubungan

Industrial Jakarta Pusat, melawan PT Internusa Bahari Persada sebagai

Tergugat I dan Djoli selaku Direktur Utama PT Internusa Bahari Persada

sebagai Tergugat II. Gugatan tersebut dikabulkan sebagian oleh

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

dengan putusan Nomor 155/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Jkt.Pst. tanggal 6

September 2017, dengan duduk Perkara sebagai berikut:

1. Timbul Simatupang bekerja pada PT Internusa Bahari Persada dengan

status Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Pekerja Kontrak sesuai

dengan Perjanjian Kerja Laut yang ditandatangani oleh Timbul

Simatupang dan Saudara Sutiono Chandra selaku Kepala Cabang PT

Internusa Bahari Persada di Pangkal Pinang;

2. Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Kerja Laut tersebut, maka

dibuatlah surat penempatan kerja oleh PT Internusa Bahari Persada

yang ditandatangani oleh Djoli sebagai Direktur Utama PT Internusa

Bahari Persada kepada Timbul Simatupang;

3. Perjanjian Kerja Laut antara Timbul Simatupang dengan PT Internusa

Bahari Persada berlangsung selama satu tahun terhitung mulai tanggal

25 Juli 2016 dengan jabatan Nakhoda kapal dan masa percobaan tiga

bulan telah dilalui oleh Timbul Simatupang dengan baik;

Page 67: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

58

4. Kemudian secara tiba-tiba pada tanggal 5 Desember 2016, Timbul

Simatupang dipanggil oleh PT Internusa Bahari Persada dan secara

sepihak dengan pernyataan lisan menyatakan hubungan kerja antara

Timbul Simatupang dengan PT Internusa Bahari Persada telah

berakhir;

5. Dasar Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan PT Internusa Bahari

Persada kepada Timbul Simatupang dikarenakan Timbul Simatupang

pada tanggal 26 November 2016 dan tanggal 2 Desember 2016

melakukan pelanggaran kerja dengan membiarkan kapal kandas;

menyenggol kapal teman hingga tiangnya roboh; minum-minuman

keras; setelah mau berlayar, memarahi lima Anak Buah Kapal akibat

mabuk; kurang cakap membawa kapal; serta membahayakan

keselamatan kapal;

6. Atas tuduhan tersebut, Timbul Simatupang membantahnya. Dasar

bantahan Timbul Simatupang adalah bila memang benar Timbul

Simatupang melakukan pelanggaran seperti yang disebutkan di atas,

tentu harus ada surat peringatan terlebih dahulu dari PT Internusa

Bahari Persada kepada Timbul Simatupang agar tidak mengulangi

perbuatannya. Namun PT Internusa Bahari Persada tidak dapat

membuktikannya karena memang Timbul Simatupang tidak pernah

melakukan segala yang diruduhkan PT Internusa Bahari Persada dan

memang tidak pernah terjadi;

7. Timbul Simatupang juga menjelaskan bahwa pada tanggal 2 Desember

2016, ia tetap menjalankan tugas sebagai nakhoda kapal dan berlayar

serta kembali ke dermaga membawa kapal dengan selamat;

8. Akibat peristiwa tersebut, Timbul Simatupang diminta untuk

menandatangani berita acara tentang peristiwa tanggal 26 November

2016 dan 2 Desember 2016 oleh Saudara Bastian Dimas Putra selaku

Chief Officer. Namun, ditolak oleh Timbul Simatupang sebab berita

acara tersebut dibuat oleh pihak yang tidak berwenang atau

berkompeten;

Page 68: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

59

9. PT Internusa Bahari Persada yang diwakili oleh Djoli tetap

memutuskan hubungan kerja secara sepihak kepada Timbul

Simatupang dan ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun kepada

PT Internusa Bahari Persada. Oleh karena itu, Timbul Simatupang

meminta PT Internusa Bahari Persada untuk membayarkan sisa gaji

Timbul Simatupang selama tujuh bulan sisa waktu kerja;

10. Akan tetapi, PT Internusa Bahari Persada melalui Djoli tetap tidak

memenuhi kewajibannya kepada Timbul Simatupang untuk membayar

sisa gaji Timbul Simatupang meskipun perkara tersebut telah

disampaikan kepada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota

Administrasi Jakarta Utara;

11. Sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa apabila salah satu

pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu

yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), atau

berakhirnya hubungan kerja, pihak yang mengakhiri hubungan kerja

diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lain sebesar upah

pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Karena yang mengakhiri hubungan kerja adalah perusahaan maka

pihak perusahaan berkewajiban membayar sisa kontrak yang belum

berakhir;

12. Berdasarkan fakta-fakta di atas, tindakan PT Internusa Bahari Persada

kepada Timbul Simatupang yang melakukan Pemutusan Hubungan

Kerja secara sepihak tanpa pemenuhan hak-hak Timbul Simatupang

adalah tindakan tidak sah secara hukum;

13. Timbul Simatupang memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa

dan mengadili perkara tersebut untuk memutuskan dan memerintahkan

PT Internusa Bahari Persada membayar sisa gaji Timbul Simatupang

selama sisa waktu kontrak kerja.

Gugatan yang diajukan oleh Timbul Simatupang mempunyai

kelemahan-kelemahan dari segi teknis beracara yang mengakibatkan

Page 69: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

60

gugatan ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima oleh

pengadilan. Adapun eksepsi dari PT Internusa Bahari Persada dan Djoli

adalah sebagai berikut:

1. Tidak pernah ada mediasi antara Timbul Simatupang dan PT Internusa

Bahari Persada. Salah satu fakta hukumnya adalah pada Pasal 83 butir

(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial dijelaskan bahwa pengajuan gugatan

yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau

konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib

mengembalikan gugatan kepada penggugat. Oleh sebab itu,

dikarenakan gugatan Timbul Simatupang tanpa dilampiri dengan

risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka Majelis

Hakim wajib untuk tidak menerima serta mengembalikan gugatan

tersebut kepada Timbul Simatupang;

2. Gugatan Timbul Simatupang salah pihak (Error in Persona). Hal itu

dikarenakan perjanjian kerja Timbul Simatupang adalah dengan PT

Internusa Bahari Persada, sehingga para pihak dalam perselisihan

tersebut hanyalah Timbul Simatupang dan PT Internusa Bahari

Persada. Disamping itu, Timbul Simatupang tidak mempunyai

hubungan kerja dengan Djoli, sehingga Timbul Simatupang hanya

dapat menggugat PT Internusa Bahari Persada tanpa melibatkan Djoli.

Sesuai hukum acara, Majelis Hakim wajib untuk tidak menerima

gugatan Timbul Simatupang.

Dalam Pokok Perkara:

3. PT Internusa Bahari Persada dan Djoli memohon kepada Majelis

hakim agar apa yang telah diuraikan dalam eksepsi merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pokok perkara;

4. PT Internusa Bahari Persada dan Djoli membantah, menolak serta

menyangkal dengan tegas seluruh dalil, alasan dan hal-hal yang

dikemukakan oleh Timbul Simatupang didalam gugatannya, kecuali

Page 70: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

61

yang secara tegas dinyatakan atau diakui kebenarannya oleh PT

Internusa Bahari Persada dan Djoli didalam jawaban pokok perkara;

5. Dalil Timbul Simatupang pada surat gugatan butir 1 yang menyatakan

Timbul Simatupang bekerja pada PT Internusa Bahari Persada dengan

status Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) sesuai dengan Perjanjian Kerja

Laut adalah tidak benar dan menyesatkan. Dalam Perjanjian Kerja

Laut antara Timbul Simatupang dan PT Internusa Bahari Persada yang

benar adalah atas dasar Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT);

6. Djoli selaku Direktur PT Internusa Bahari Persada telah membuat dan

menandatangani surat penempatan Timbul Simatupang. Dalam surat

tersebut Timbul Simatupang ditugaskan di KM Karsa Jaya sebagai

Nakhoda;

7. PT Internusa Bahari Persada menolak keras dalil Timbul Simatupang

pada butir 3 yang menyatakan Perjanjian Kerja Laut antara Timbul

Simatupang dan PT Internusa Bahari Persada berlangsung selama satu

tahun terhitung mulai tanggal 25 Juli 2016. Dalil Timbul Simatupang

tidak benar dan mengada-ada;

8. Pada perjanjian kerja laut yang dibuat antara Timbul Simatupang dan

PT Internusa Bahari Persada, sengaja tidak dicantumkan masa kerja

atau berakhirnya hubungan kerja atau perjanjian kerja, yang ada hanya

dicantumkan tanggal mulai kerja pekerja dan tenggang waktu

pengajuan pengakhiran perjanjian, yakni dengan waktu 3 x 24 jam

sebelum perjanjian kerja ini berakhir. Dengan demikian, perjanjian

kerja laut ini adalah perjanjian untuk waktu yang tidak tertentu atau

sampai pemutusan perjanjian yang dapat dilakukan oleh satu pihak;

9. PT Internusa Bahari Persada membantah dalil Timbul Simatupang

pada surat gugatan butir 4, 5, 6, 8, 9, dan 10 perihal:

a. Timbul Simatupang dipanggil oleh PT Internusa Bahari Persada

dan secara sepihak dengan pernyataan lisan menyatakan hubungan

kerja antara Timbul Simatupang dengan PT Internusa Bahari

Persada telah berakhir;

Page 71: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

62

b. Dasar Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan PT Internusa

Bahari Persada kepada Timbul Simatupang dikarenakan Timbul

Simatupang melakukan pelanggaran kerja dengan membiarkan

kapal kandas; menyenggol kapal teman hingga tiangnya roboh;

minum-minuman keras; setelah mau berlayar, memarahi lima Anak

Buah Kapal akibat mabuk; kurang cakap membawa kapal; serta

membahayakan keselamatan kapal;

c. Atas peristiwa tersebut, Timbul Simatupang membantahnya. Dasar

bantahan Timbul Simatupang adalah bila memang benar Timbul

Simatupang melakukan pelanggaran seperti yang disebutkan di

atas, tentu harus ada surat peringatan terlebih dahulu dari PT

Internusa Bahari Persada kepada Timbul Simatupang agar tidak

mengulangi perbuatannya. Namun PT Internusa Bahari Persada

tidak dapat membuktikannya karena memang Timbul Simatupang

tidak pernah melakukan segala yang dituduhkan PT Internusa

Bahari Persada dan memang tidak pernah terjadi;

d. Akibat peristiwa tersebut, Timbul Simatupang diminta untuk

menandatangani berita acara. Namun, ditolak oleh Timbul

Simatupang sebab berita acara tersebut dibuat oleh pihak yang

tidak berwenang atau berkompeten;

e. PT Internusa Bahari Persada yang diwakili oleh Djoli tetap

memutuskan hubungan kerja secara sepihak kepada Timbul

Simatupang dan Timbul Simatupang merasa tidak melakukan

kesalahan apapun kepada PT Internusa Bahari Persada;

f. PT Internusa Bahari Persada melalui Djoli tetap tidak memenuhi

kewajibannya kepada Timbul Simatupang untuk membayar sisa

gaji Timbul Simatupang meskipun perkara tersebut telah

disampaikan kepada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Kota Administrasi Jakarta Utara.

10. Tanggal 2 Desember 2016, Timbul Simatupang masih menjalankan

pekerjaannya sebagaimana dalil Timbul Simatupang pada surat

Page 72: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

63

gugatan butir 7. Namun PT Internusa Bahari Persada telah mencatat,

dalam waktu singkat telah terjadi 2 kejadian serius yang dapat

membahayakan keselamatan orang, barang, keselamatan dan

keamanan pelayaran;

11. PT Internusa Bahari Persada membantah dalil Timbul Simatupang

pada surat gugatan butir 11 yang menyatakan pada Pasal 62 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan

bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum

berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja

waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja, pihak yang

mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada

pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas berakhirnya jangka

waktu perjanjian kerja. Berdasarkan hal tersebut, karena hubungan

kerja antara PT Internusa Bahari Persada dan Timbul Simatupang atas

dasar Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu bukan perjanjian kerja

waktu tertentu, maka ketentuan dalam pasal itu tidak berlaku atau tidak

dapat diterapkan dalam perkara tersebut;

12. PT Internusa Bahari Persada menolak tegas dalil Timbul Simatupang

pada surat gugatan butir 12 dan 13. Pemutusan Hubungan Kerja sudah

sah dan mengikat menurut hukum, tata cara pemutusan hubungan kerja

sesuai dengan ketentuan perjanjian kerja laut yang dibuat,

ditandatangani dan dibacakan seluruhnya dihadapan syahbandar

Pangkalbalam;

13. PT Internusa Bahari Persada membantah dan menolak dalil Timbul

Simatupang tentang upah proses dikarenakan hubungan kerja antara

Timbul Simatupang dan PT Internusa Bahari Persada telah berakhir.

Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan

antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah;

Page 73: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

64

14. Permohonan sita jaminan terhadap barang milik PT Internusa Bahari

Persada sepatutnya ditolak;

15. Dalam perkara tersebut, tidak ada bukti-bukti dari Timbul Simatupang

yang dapat membuktikan adanya upaya PT Internusa Bahari Persada

akan mengalihkan, mengasingkan dan memindahtangankan hartanya

kepada pihak lain atau pihak ketiga akibat adanya gugatan Timbul

Simatupang dengan maksud agar tidak tersentuh oleh putusan hukum

dalam perkara tersebut. Tidak ada alasan apalagi niat PT Internusa

Bahari Persada untuk melakukan hal itu. Dengan demikian, sudah

sepatutnya Majelis Hakim menolak permohonan sita jaminan Timbul

Simatupang;

16. Tuntutan uang paksa (Dwangsom) pantas ditolak.

Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan

Industrial Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan pada tanggal 6

September 2017 sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Timbul Simatupang untuk sebagian;

2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Timbul Simatupang dengan

PT Internusa Bahari Persada terhitung sejak tanggal 3 Desember 2016;

3. Menghukum PT Internusa Bahari Persada untuk membayar kepada

Timbul Simatupang sebagai kompensasi atas pemutusan hubungan

kerja tersebut berupa Pesangon dan Uang Penggantian Hak serta THR

(Tunjangan Hari Raya) Tahun 2016;

4. Memerintahkan Djoli untuk tunduk dan mematuhi putusan ini;

5. Menolak gugatan Timbul Simatupang selain dan selebihnya;

6. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

Akan tetapi, karena Timbul Simatupang tidak terima dengan hasil

putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan negeri Jakarta Pusat,

ia mengajukan kasasi tanggal 2 Oktober 2017 dengan isi memori kasasi

sebagai berikut:

Page 74: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

65

1. Menerima Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi dan membatalkan

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat tanggal 6 September 2017 dengan register perkara nomor

155/Pdt.Sus-PHI/2017.PN.JKT.PST dan selanjutnya mengadili sendiri

dengan amar putusan yaitu:

a. Menerima dan mengabulkan gugatan Timbul Simatupang untuk

seluruhnya;

b. Menyatakan tindakan Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan

yang dilakukan oleh PT Internusa Bahari Persada kepada Timbul

Simatupang tanpa pemenuhan haknya adalah tidak sah;

c. Menyatakan sah dan mengikat secara hukum perjanjian kerja laut

tanggal 25 Juli 2016 yang dibuat dan disepakati antara Timbul

Simatupang dengan Sutiono Chandra serta surat penempatan kerja

tanggal 25 Juli 2016 yang dibuat oleh PT Internusa Bahari Persada

dan ditandatangani oleh Djoli;

d. Menghukum PT Internusa Bahari Persada untuk membayar gaji

Timbul Simatupang selama tujuh bulan sisa waktu kerja kontrak;

e. Meletakkan sita jaminan terhadap benda bergerak dan tidak

bergerak milik PT Internusa Bahari Persada;

f. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut;

g. Menghukum PT Internusa Bahari Persada untuk membayar uang

paksa (dwangsom) kepada Timbul Simatupang;

h. Menghukum Djoli untuk tunduk dan taat atas putusan perkara

tersebut;

i. Menghukum PT Internusa Bahari Persada membayar biaya perkara

bila ada;

j. Atau, bila Mahkamah Agung berpendapat lain mohon putusan

yang seadil-adilnya (ex aqueo et bono).

PT Internusa Bahari Persada juga telah mengajukan kontra memori

kasasi tanggal 30 Oktober 2017 yang pada pokoknya menolak

permohonan kasasi dari Timbul Simatupang. Namun dikarenakan

Page 75: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

66

menurut Mahkamah Agung putusan Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak bertentangan dengan

hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang

diajukan oleh Timbul Simatupang tersebut harus ditolak.

Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa PT Internusa Bahari Persada dan

Timbul Simatupang telah melakukan kesalahan. PT Internusa Bahari

Persada sebagai perusahaan tempat Timbul Simatupang bekerja tidak ada

upaya hukum untuk mencegah pemutusan hubungan kerja. Walaupun

Timbul Simatupang melakukan pelanggaran berat, namun tetap saja ia

merupakan pekerja yang memiliki hak-hak yang harus dijunjung tinggi.

Timbul Simatupang sebagai pekerja di PT Internusa Bahari Persada tidak

menghormati hak dan kewajiban perusahaan dengan melakukan tindakan

yang mencoreng nama baik perusahaan. Jika antara PT Internusa Bahari

Persada dan Timbul Simatupang saling menghormati, menghargai dan

menjunjung hak serta kewajiban masing-masing maka hal seperti ini tidak

akan terjadi.

B. Analisis Kasus Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 52

K/Pdt.Sus-PHI/2018

Timbul Simatupang yang merupakan pekerja di PT Internusa Bahari

persada di putus hubungan kerjanya perusahaan tersebut. Menurut PT

Internusa bahari Persada, Timbul Simatupang telah melakukan

pelanggaran berat yaitu minum minuman keras yang mengakibatkan kapal

kandas, menyenggol kapal teman hingga tiang kapal roboh, memarahi

beberapa anak buah kapal karena sedang mabuk, kurang cakap membawa

kapal serta mengganggu keselamatan kapal. Oleh karena itu PT Internusa

Bahari Persada melakukan pemutusan hubungan kerja secara lisan dan

sepihak tanpa memberi surat peringatan terlebih dahulu. Padahal

berdasarkan putusan pada tingkat pertama dan tingkat kasasi telah

dijelaskan bahwa Timbul Simatupang merupakan pekerja PKWTT

(Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) yang menjelaskan bahwa

Page 76: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

67

seharusnya sebelum pemutusan hubungan kerja terjadi, harus ada upaya

dari perusahaan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam Pasal

151 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pengusaha, pekerja, serikat pekerja,

dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan

terjadi pemutusan hubungan kerja.

Selain itu, perusahaan PT Internusa Bahari Persada menganggap tidak

pernah ada mediasi antara Timbul Simatupang dan PT Internusa Bahari

Persada. Namun, dalam pembuktian terdapat surat anjuran Mediator

Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara nomor

426/-1.831 tertanggal 8 Maret 2017 yang asli terlampir bersama surat

gugatan Timbul Simatupang. Anjuran tersebut membuktikan bahwa para

pihak telah menempuh proses penyelesaian perkara perselisihan

pemutusan hubungan kerja sebelum mengajukan gugatannya ke

pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

sehingga Majelis Hakim berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1

butir (17) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial yang menjelaskan bahwa Pengadilan

Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di

lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan

memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial dan Pasal 83

butir (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial yang menjelaskan bahwa pengajuan

gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau

konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib

mengembalikan gugatan kepada penggugat.

Pemutusan hubungan kerja secara lisan dan sepihak yang dilakukan

oleh PT internusa Bahari Persada tidak dapat dibenarkan. Menurut PT

Internusa Bahari persada, tanpa adanya surat peringatan terhadap Timbul

Simatupang bukan berarti membuktikan Timbul Simatupang tidak

Page 77: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

68

melakukan kesalahan. Karena surat peringatan tidak selalu harus diberikan

atas suatu pelanggaran seperti yang dilakukan Timbul Simatupang, dimana

apabila kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja sudah

dikategorikan berat dan merugikan perusahaan maka pelanggaran tersebut

dapat diberikan sanksi pemutusan hubungan kerja tanpa ada surat

peringatan terlebih dahulu. Tetapi dalam Pasal 161 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa:

1. Dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,

pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada

pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua,

dan ketiga secara berturut-turut;

2. Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam butir (1) masing-masing

berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja

bersama;

3. Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan

sebagaimana dimaksud dalam butir (1) memperoleh uang pesangon

sebesar 1 (satu) kali, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali,

dan uang penggantian hak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Mengenai kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja memang tidak

bisa didiamkan begitu saja, namun harus sesuai peraturan yang berlaku.

Berdasarkan pertimbangan hakim, PT Internusa tidak dikenakan sanksi

apapun, bahkan tidak dikenakan sanksi dikarenakan memutuskan

hubungan kerja secara lisan. Seharusnya walaupun pekerja itu terlibat

Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu

tidak tertentu (PKWTT) sekalipun setidaknya ada upaya pencegahan agar

pemutusan hubungan kerja tidak terjadi. Kalaupun diadakan pemutusan

hubungan kerja, alasan pemutusan hubungan kerja tersebut harus sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

Page 78: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

69

C. Pengaturan Ketenagakerjaan Terhadap Masalah Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK)

Secara yuridis konstitusional, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

dengan alasan efisiensi memang dibenarkan sebagaimana dijelaskan dalam

Pasal 164 butir (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan

kerja terhadap pekerja karena perusahaan tutup bukan karena mengalami

kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa

(force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan

pekerja berhak atas uang pesangon sesuai peraturan yang berlaku.

Meskipun demikian, hal tersebut masih menimbulkan polemik dalam

praktik aturan ketenagakerjaan. Karena konteks perusahaan yang

melakukan efisiensi adalah agar perusahaan tidak menjurus kepada pailit

atau tutup perusahaan sehingga perusahaan dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja (PHK) berdasarkan Pasal 164 butir (3) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja dan atau serikat

pekerja kerap menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan

efisiensi karena menurut mereka tidak ada pasal dalam Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur efisiensi

tanpa tutupnya perusahaan bisa dijadikan alasan dilaksanakannya

pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha. Hal ini tidak adil

karena efisiensi seringkali dijadikan alasan oleh pengusaha untuk

melaksanakan pemutusan hubungan keerja (PHK) secara sewenang-

wenang.

Bila seseorang diterima sebagai pekerja pada suatu perusahaan,

dengan sendirinya antara pekerja tersebut dan perusahaan tempatnya

bekerja telah terjadi hubungan kerja. Dengan adanya hubungan kerja ini,

masing-masing pihak, yaitu pekerja dan perusahaan, telah saling terikat

satu dan yang lain. Dengan adanya hubungan kerja yang menimbulkan

keterikatan satu dengan yang lain, masing-masing pihak mempunyai hak

dan kewajiban terhadap yang lain. Jika setelah adanya hubungan kerja ini

Page 79: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

70

terjadi pemutusan hubungan kerja, hak dan kewajiban masing-masing

pihak harus dipenuhi sesuai dengan aturan permainan yang telah disetujui

bersama. Tidak ada perbedaan apakah pemutusan hubungan kerja tersebut

oleh pekerja atau oleh perusahaan, sebab dalam hukum ketenagakerjaan

hal ini dibedakan terkait dengan prosedur dan juga akibat hukumnya

seperti yang tercantum dalam undang-undang ketenagakerjaan.

Pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 hingga

Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, termasuk alasan-alasan pemutusan hubungan kerja

(PHK).1 Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha kepada pekerja bisa

disebabkan beragam alasan, seperti pengunduran diri, mangkir, perubahan

status perusahaan, perusahaan tutup, perusahaan pailit, pekerja meninggal

dunia, pekerja pensiun, atau karena pekerja telah mengerjakan kesalahan

berat sebagaimana diatur dalam Pasal 158 butir (1) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa

pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan

alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau

uang milik perusahaan;

2. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga

merugikan perusahaan;

3. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai

dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya

di lingkungan kerja;

4. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman

sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

6. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

1 Abdul R Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT Indeks, 2009), h. 79

Page 80: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

71

7. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam

keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian

bagi perusahaan;

8. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau

pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

9. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya

dirahasiakan, kecuali untuk kepentingan negara; atau

10. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam

pidana penjara lima tahun atau lebih.

Ketentuan Pasal 1 butir (25) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketengakerjaan menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja

adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan

pengusaha. Oleh sebab itu maka kebijakan pemutusan hubungan kerja

ketetapan yang memuat prinsip-prinsip perusahaan untuk melakukan

tindakan pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja dengan

alasan-alasan dan sebab-sebab tertentu.

Pada umumnya, dalam beberapa kasus yang berkaitan dan

menyangkut ketenagakerjaan di Indonesia, pemutusan hubungan kerja

(PHK) secara sepihak baik lisan maupun tertulis merupakan suatu hal yang

sering terjadi hingga saat ini. Perlakuan pemutusan hubungan kerja (PHK)

oleh perusahaan adalah suatu kejahatan terselubung dan jelas-jelas

termasuk bentuk dari pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan yang

sangat merugikan tenaga kerja karena tidak sesuai dengan perjanjian yang

sebelumnya diperjanjikan sebagai undang-undang bagi pihak pengusaha

dan tenaga kerja. Akan tetapi, pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh

pihak perusahaan tetap saja sering terjadi. Padahal dalam ketentuan Pasal

151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menyebutkan bahwa:

Page 81: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

72

1. Pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah, dengan segala

upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan

kerja;

2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan

kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja

wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan

pekerja apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota

serikat pekerja;

3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam butir (2) benar-

benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat

memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh

penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial.

Kasus pemutusan hubungan kerja yang melibatkan pihak pengusaha

dengan pihak tenaga kerja banyak terjadi di berbagai perusahaan.

Meskipun pemutusan hubungan kerja merupakan hal yang wajar dalam

dunia ketenagakerjaan, tetapi pelaksanaannya membutuhkan biaya, tenaga

dan pikiran. Oleh karena itu, pemutusan hubungan kerja merupakan upaya

terakhir yang dilakukan. Itulah sebabnya pengusaha, pekerja, serikat

pekerja, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar

tidak terjadi pemutusan hubungan kerja seperti pengaturan waktu kerja,

penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan

kepada pekerja. Namun, dalam kenyataannya membuktikan bahwa

pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan

alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 153 butir (1) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa:

11. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan

dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara

terus menerus;

Page 82: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

73

12. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi

kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

13. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

14. Pekerja menikah;

15. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

menyusui bayinya;

16. Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan

dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama;

17. Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat

pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja diluar jam kerja,

atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan

ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,

atau perjanjian kerja bersama;

18. Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai

perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

19. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,

golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

20. Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau

sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter

jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Selain itu, pemutusan hubungan kerja juga dapat dilakukan dengan

pengunduran diri yang dilakukan oleh pekerja. Pada dasarnya, pekerja

yang mengundurkan diri itu harus memenuhi syarat berdasarkan Pasal 162

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu:

1. Pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh

uang penggantian hak;

2. Bagi pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang

tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara

Page 83: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

74

langsung, selain menerima uang penggantian hak diberikan juga uang

pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

3. Pekerja yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam butir

(1) harus memenuhi syarat:

a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai

pengunduran diri;

b. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai

pengunduran diri;

4. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas

kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian

perselisihan hubungaan industrial.

Di dalam ketentuan undang-undang ketenagakerjaan, telah mengatur

alasan-alasan pemutusan hubungan kerja beserta hak-haknya dan

mengenai pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas

kemauan diri sendiri. Pemutusan hubungan kerja (PHK) secara khusus

juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Istilah sengketa yang

digunakan adalah perselisihan atau perselisihan hubungan industrial.2

Pengusaha maupun pekerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

(PHK) dan harus mengikuti aturan yang berlaku. Pihak yang mengalami

pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat menerima atau menolak

pemutusan hubungan kerja tersebut.

2 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.

7

Page 84: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tinjauan Mengenai Pengaturan Ketenagakerjaan di Indonesia

Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara Lisan harus

mengacu kepada Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pengusaha maupun

pekerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan harus

mengikuti aturan yang berlaku. Memang dalam undang-undang tidak

dijelaskan secara jelas tentang Pemutusan Hubungan Kerja secara lisan.

Tetapi setiap perusahaan pasti mempunyai peraturan perusahaan-

perjanjian kerja bersama (PP-PKB) yang telah didaftarkan kepada

kementerian ketenagakerjaan dan didalam PP dan PKB tersebut pasti

mengatur tentang Hubungan Kerja.

2. Pelaksanaan Hukum Pemutusan Hubungan Kerja pada Sektor Pelayaran

di Indonesia

Tentunya dari setiap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pasti memiliki

dampak tersendiri bagi pekerja yaitu dampak psikologis, ekonomi

finansial bagi pekerja dan keluarganya. Tetapi, apabila terjadi

pemutusan hubungan kerja maka pengusaha diwajibkan membayar

uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja serta uang

pergantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 156 butir (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan.

3. Pemutusan Hubungan Kerja Secara Lisan di PT Internusa Bahari

Persada dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-

PHI/2018

Dari kasus yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 52

K/Pdt.Sus-PHI/2018 setelah dianalisis terdapat kejanggalan yaitu

Page 85: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

76

seharusnya pemutusan hubungan kerja tidak dapat dilakukan secara

lisan karena berdasarkan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja harus

melalui upaya-upaya untuk mencegah dan mencari solusi agar tidak

terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun apabila harus dilakukan

pemutusan kerja maka ada prosedur yang harus dilakukan sesuai

peraturan yang berlaku. Sedangkan apabila pekerja tersebut melakukan

pelanggaran berat, harus ada surat peringatan sesuai dengan Pasal 161

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

B. Saran

1. Hal yang perlu diperhatikan secara khusus yaitu setiap perusahaan

yang memiliki karyawan diatas 10 orang karyawan wajib memiliki

peraturan perusahaan sendiri yang harus didaftarakan pada

kementerian ketenagakerjaan. Agar suatu saat ada hal yang serupa

perusahaan sudah memiliki regulasi sendiri dan tentunya tidak

bertentangan dengan undang-undang.

2. Meningkatkan komunikasi yang lebih baik antara manajemen

perusahaan dan pekerjanya, salah satunya dengan mengadakan

sosialisasi mengenai kebijakan pemutusan hubungan kerja ataupun

mengenai kebijakan perusahaan lainnya yang belum diketahui oleh

pekerja agar pekerja merasa lebih nyaman dan dapat mempersiapkan

diri dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut. Biasanya perusahaan

tiap tahunnya mengupdate peraturan-peraturan perusahaan yang baru

dan memang seharusnya perusahaan mensosialisasikan peraturan-

peraturan tersebut ke karyawannya.

3. Dalam melakukan pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan

undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak

ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Page 86: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

77

DAFTAR PUSTAKA

Agusmidah. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Dinamika dan Kajian Teori.

Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.

Agusmidah. Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Medan: usu press.

2010.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum.

Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010

Ardana, I Komang. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

2012.

Asikin, Zainal dkk. Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada. 1993.

Asyhadie, Zaeni. Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Pemutusan Hubungan Kerja).

Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.

Budiono, Abdul R. Hukum Perburuhan. Jakarta: PT Indeks. 2009

Burhan, Ashrhofa. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2000.

Djulmiadji, F X dan Wiwoho Soejono. Perjanjian Perburuhan dan Hubungan

Perburuhan Pancasila. Jakarta: Bina Aksara. 1985.

Djulmiadji, F X. Perjanjian Kerja Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Gultom, Sri Subiandini. Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima

Promosindo. 2008.

Harjono, Dhaniswara K. Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha. Jakarta:

Rajawali Press. 2006.

Husni, Lalu. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan

dan di Luar Pengadilan. Jakarta: raja grafindo persada. 2007.

Page 87: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

78

Husni, Lalu Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada. 2010.

Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia. 2008.

Kelana, Yatim dkk. Sorotan Pers Tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: wijaya.

1993.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Perkembangan Ketenenagakerjaan

di Indonesia. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2011.

Khakim, Abdul. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: Citra

Aditya Bakti. 2007.

Manulang, Sendjun H. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.

Jakarta: PT Rineka Cipta. 1988.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media.

2015.

Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

Liberty. 1996.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra

Aditya Bakti. 2004

Pruitt, Dean G dan Z Rubin. Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

R, Goenawan Oetomo. pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di

Indonesia. Jakarta: Grahadika Binangkit Press. 2004.

Simanjuntak, D Danny. PHK dan Pesangon Karyawan. Jakarta: Visi Media.

2007.

Situmorang, Basani dkk, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Menghimpun dan

Mengetahui Pendapat Ahli Mengenai Pengertian Sumber-sumber Hukum

Mengenai Ketenagakerjaan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Hukum dan HAM. 2010.

Page 88: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

79

Soedarjadi. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

2008.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI. 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rieneka

Cipta. 2000.

Soepomo, Imam. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan. 1999.

Sulaiman, Abdullah. Hukum Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Program Magister

Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Jakarta. 2008

Sulaiman, Abdullah. Arbitrase Perburuhan. Jakarta: Program Magister Ilmu

Hukum Pascasarjana Universitas Islam Jakarta. 2013

Sulaiman, Abdullah. Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan di Indonesia. Jakarta:

Fakultas Syariah dn Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2018

Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.

W, Sunindhia Y dan Ninik Widiyanti. Masalah PHK dan Pemogokan. Jakarta:

Bina Aksara. 1998.

Wahyudi, Eko dkk, Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Sinar grafika. 2016.

Widodo, Hartono dan Judiantoro. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan. Jakarta: CV Rajawali. 1989.

Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar

Grafika. 2010.

PERATURAN PERUNDANGAN Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang nomor 2 tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial

Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pdt.Sus-PHI/2018

Page 89: PELAKSANAAN HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44300/1/DINA FIRDAUS-FSH.pdfpelaksanaan hukum pemutusan hubungan kerja (phk) secara

80

LAMPIRAN