Pembanguan Manusia Berbasis Gender 2011

130
KERJASAMA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN BADAN PUSAT STATISTIK PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER 2011

Transcript of Pembanguan Manusia Berbasis Gender 2011

  • KERJASAMAKEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

    DAN PERLINDUNGAN ANAKDENGAN

    BADAN PUSAT STATISTIK

    PEMBANGUNAN MANUSIABERBASIS GENDER

    2011

  • PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER2011

    ISSN : 2089-3531

    Ukuran Buku : 17,5x25 cm

    Naskah : Badan Pusat Statistik (BPS)

    Gambar Kulit : Badan Pusat Statistik (BPS)

    Diterbitkan oleh : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA)

    Dicetak oleh : CV. Permata Andhika

    Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya.

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | iii

    MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAKREPUBLIK INDONESIA

    SAMBUTAN

    Keberhasilan pencapaian nasional, tidak hanya diukur dari pencapaian pembangunan ekonomi semata, tetapi juga dilihat dari pembangunan kualitas hidup manusianya. Secara umum pencapaian pembangunan kapabilitas manusia di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi telah menunjukkan kemajuan yang nyata. Namun, apakah pembangunan kapabilitas manusia di Indonesia ini telah memberikan manfaat yang sama antara laki-laki dan perempuan? Apakah masih ada kesenjangan pencapaian pembangunan kapabilitas dasar antara laki-laki dan perempuan yang mengarah pada persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender?

    Publikasi ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menyajikan indikator pembangunan manusia, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang dirinci sampai tingkat kabupaten/kota. IPM memberikan gambaran pembangunan kapabilitas dasar manusia di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Sama dengan IPM, IPG juga mengukur kapabilitas dasar manusia pada ketiga bidang tersebut, tetapi terfokus pada faktor ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dengan membandingkan kedua indikator tersebut, dapat diketahui ada tidaknya kesenjangan pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan. Lebih rendahnya pencapaian IPG dibandingkan IPM, menunjukkan masih adanya kesenjangan gender pada ketiga bidang pembangunan tersebut, dan sampai saat ini perempuan masih berada pada posisi yang tertinggal. Sedangkan IDG merupakan indikator untuk melihat peranan perempuan dalam ekonomi, politik dan pengambilan keputusan. Secara umum, peranan perempuan dalam pengambilan keputusan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki. Meskipun demikian, peranan perempuan dalam pengambilan keputusan terus menunjukkan perkembangan yang dapat dilihat dari pencapaian IDG yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

  • iv | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Data yang disajikan sampai tingkat kabupaten/kota bertujuan untuk membandingkan pencapaian pembangunan manusia dari seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Publikasi ini tentunya sangat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam perencanaan program dan kebijakan pembangunan manusia yang responsif gender di masing-masing wilayah. Semoga publikasi ini dapat memberikan kontribusi positif dalam upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia yang adil dan setara sebagai tujuan akhir pembangunan nasional.

    Jakarta, Oktober 2011Menteri Negara

    Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia

    Linda Amalia Sari Gumelar

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | v

    KATA PENGANTAR

    Publikasi Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2011 merupakan hasil kerjasama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA) dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Publikasi ini berisi ulasan tentang perkembangan pencapaian tiga (3) indeks komposit yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).

    IPM merupakan ukuran kualitas hidup berbasis pada kapabilitas dasar penduduk yang diperluas, IPG mengukur hal sama seperti IPM tetapi terfokus pada faktor ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan di berbagai level, sedangkan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) mengukur partisipasi aktif perempuan pada kegiatan ekonomi dan politik dalam pengambilan keputusan. Prinsipnya, IDG digunakan untuk melihat sejauh mana kapabilitas yang dicapai perempuan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang kehidupan.

    Publikasi ini dapat digunakan sebagai alat monitoring hasil pembangunan yang meliputi pencapaian kualitas hidup semua penduduk, perbedaan (gap) pencapaian antara laki-laki dan perempuan, serta kemajuan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Hasilnya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan prioritas program-program pembangunan selanjutnya.

    Disadari publikasi ini masih memiliki banyak kelemahan, untuk itu kritik dan saran demi perbaikan di masa datang sangat diharapkan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga publikasi ini dapat diselesaikan tepat waktu.

    Jakarta, 17 Oktober 2011Kepala Badan Pusat Statistik,

    (DR. Rusman Heriawan)

  • vi | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | vii

    DAFTAR ISI

    KATA SAMBUTAN iiiKATA PENGANTAR vDAFTAR ISI viiDAFTAR TABEL viiiDAFTAR GAMBAR ixRINGKASAN EKSEKUTIF xiBAB I PENDAHULUAN 1

    1.1 Latar Belakang 11.2 Tujuan Penulisan 41.3 Sistema ka Penulisan 51.4 Sumber Data 5

    BAB II PENCAPAIAN PEMBANGUNAN MANUSIA 92.1 Gambaran Umum Pembangunan Manusia 92.2 Disparitas Pencapaian Pembangunan Manusia 12

    BAB III PENCAPAIAN PEMBANGUNAN GENDER 213.1 Persamaan Status dan Kedudukan 22

    3.1.1 Perkembangan Sumbangan Pendapatan 263.1.2 Angka Harapan Hidup 313.1.3 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah 32

    3.2 Persamaan Peranan dalam Pengambilan Keputusan 343.2.1 Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen 363.2.2 Tenaga Profesional, Kepemimpinan, dan Teknisi 38

    3.3 Status Pembangunan Gender 413.4 Disparitas Pencapaian Pembangunan Gender 42

    3.4.1 Capaian IPG Provinsi 423.4.2 Capaian IPG Kabupaten/Kota 45

    BAB IV KETERKAITAN ANTARA IPM, IPG DAN IDG 514.1 Hubungan antara IPM dengan IPG 51

    4.1.1 Keterkaitan IPM 2010 dan IPG 2010 514.1.2 Tingkat Kesetaraan Gender Antar Propinsi 2009-2010 554.1.3 Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender 57

    4.2 Hubungan IPM dan IDG 584.3 Hubungan IPG dan IDG 61

    BAB V KESIMPULAN 67DAFTAR PUSTAKA 69TIM PENULIS 70LAMPIRAN LAMPIRAN 73

  • viii | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Perkembangan IPM Indonesia Tahun 1990 2010 11Tabel 2.2 Sepuluh Kabupaten/Kota dengan IPM Tertinggi Tahun 2010 14Tabel 2.3 Sepuluh Kabupaten/Kota dengan IPM Terendah Tahun 2010 15Tabel 3.1 Perkembangan IPM, IPG dan Rasio 24Tabel 3.2 Provinsi dengan peringkat tertinggi dan terendah Berdasarkan Rasio IPG terhadap IPM tahun 2010 26Tabel 3.3 Perkembangan Jumlah Anggota DPR RI, 1955-2009 38Tabel 3.4 Status Pembangunan Provinsi, Kabupaten dan Kota, 2009-2010 41Tabel 3.5 Provinsi dengan IPG Tertinggi, 2009-2010 44Tabel 3.6 Provinsi dengan IPG Terendah, 2009-2010 45Tabel 3.7 Kabupaten/Kota dengan IPG Tertinggi, 2009-2010 46Tabel 3.8 Kabupaten/Kota dengan IPG Terendah, 2009-2010 47Tabel 4.1 Perbandingan komponen Penyusun IPM 2010 dan IPG 2010 54

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | ix

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Capaian IPM Provinsi Tahun 2010 13Gambar 2.2 Reduksi Shortfall Provinsi Tahun 2010 17Gambar 3.1 Perkembangan IPG Periode 2004-2010 24Gambar 3.2 Perkembangan Sumbangan Pendapatan (Persen), 2004-2010 27Gambar 3.3 Sumbangan Pendapatan Perempuan per Propinsi, 2009-2010 29Gambar 3.4 Perkembangan Komponen IPG, 2009-2010 30Gambar 3.5 Perkembangan Angka Harapan Hidup (Tahun) 2004-2010 32Gambar 3.6 Perkembangan Angka Melek Huruf (Persen), 2004-2010 33Gambar 3.7 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 2004-2010 34Gambar 3.8 Perkembangan IDG Periode 2004-2010 35Gambar 3.9 Persentase Anggota DPR RI 2009-2014 37Gambar 3.10 Penduduk 15 ke Atas Bekerja Sebagai Tenaga Profesional, Kepemimpinan, Administrasi, Teknisi, 2009-2010 39Gambar 3.11 Persentase PNS Perempuan, 2007-2010 40Gambar 3.12 Persentase PNS yang Menduduki Jabatan Struktural, 2007-2010 40Gambar 3.13 IPG Provinsi Menurut Peringkat, 2009 43 Gambar 3.14 IPG Provinsi Menurut Peringkat, 2010 43Gambar 4.1 Trend IPM dan IPG Indonesia tahun 2004-2010 51Gambar 4.2 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2010 dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) 2010 52Gambar 4.3 Hubungan antara IPG 2010 pada IPM 2010 Kabupaten 54Gambar 4.4 Selisih IPM dan IPG menurut Provinsi Tahun 2009-2010 56Gambar 4.5 IPM dan gap antara IPM-IPG 57Gambar 4.6 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2010 dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) 2010 59Gambar 4.7 Indeks Pembangunan Gender (IPG) 2010 dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) 2010 62Gambar 4.8 Hubungan Indeks Pembangunan Gender (IPG) 2010 dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) 2010 Kabupaten 63

  • x | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | xi

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya terus-menerus yang dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik. Upaya pembangunan ini ditujukan untuk kepentingan seluruh penduduk tanpa membedakan jenis kelamin tertentu. Namun demikian tidak dapat dipungkiri, pada pelaksanaannya masih terdapat kelompok penduduk (baca:perempuan) yang tertinggal dalam pencapaian kualitas hidup. Ketertinggalan ini disebabkan oleh berbagai persoalan pelik yang seringkali saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Persoalan paling penting yang menghalangi upaya peningkatan kualitas hidup perempuan adalah pendekatan pembangunan yang mengabaikan isu tentang kesetaraan dan keadilan gender. Belum lagi, persoalan lain seperti budaya, agama yang terkadang dapat menjadi faktor penghambat untuk berkreasi, disamping kodrat sebagai perempuan yang sangat menentukan derajat kesehatan dirinya dan anak kandungnya.

    Disadari, keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peranserta seluruh penduduk baik laki-laki maupun perempuan sebagai pelaku, dan sekaligus pemanfaat hasil pembangunan. Tuntutan akan kualitas sumber daya manusia (SDM) perempuan paling tidak memiliki dampak pada dua (2) hal. Pertama, dengan kualitas yang dimiliki, perempuan akan menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan. Kedua, perempuan yang berkualitas turut mempengaruhi kualitas generasi penerus, mengingat fungsi reproduksi perempuan berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia di masa datang. Tetapi pada kenyataannya, selama ini peranserta kaum perempuan dalam pelaksanaan program pembangunan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Faktor penyebab belum optimalnya peranserta perempuan dalam pembangunan karena masih rendahnya kualitas sumber daya perempuan sehingga tidak mampu untuk bersaing dalam berbagai bidang dengan mitra sejajarnya.

    Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai ukuran kualitas hidup menunjukkan perkembangan yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Pada tahun 2004, IPM nasional mencapai 68,69 kemudian meningkat menjadi 72,27 pada tahun 2010. Hanya sayangnya, keberhasilan pembangunan kualitas hidup yang diukur melalui IPM masih belum cukup efektif memperkecil kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam pencapaian kapabilitas dasar di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Fenomena kesenjangan ini secara statistik dapat ditunjukkan oleh pencapaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang

  • xii | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    nilainya lebih kecil dari pencapaian IPM, baik di level nasional, provinsi maupun kabupaten dan kota. Meski demikian, perkembangan pencapaian IPG dari tahun ke tahun terus meningkat, akan tetapi tidak secepat peningkatan IPM.

    Dalam aspek pemberdayaan terutama keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik, perempuan juga relatif tertinggal dibandingkan laki-laki. Ketertinggalan ini, sangat berpengaruh terhadap hasil keputusan apapun yang menyangkut kepentingan perempuan baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Hasil pemilu legislatif tahun 2009 menempatkan keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR hanya sekitar 17,49 persen dari keseluruhan jumlah anggota DPR RI. Bahkan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota keterwakilan perempuan sebagai anggota DPRD jauh lebih kecil. Sementara itu, perempuan sebagai tenaga professional, manager, administrasi dan teknisi yang bekerja di lembaga eksekutif, yudikatif serta lembaga swasta lainnya tidak lebih dari 48 persen dari seluruh tenaga tenaga professional, manager, ad ministrasi dan teknisi. Tetapi, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) sebagai ukuran peranan perempuan dalam pengambilan keputusan dari waktu ke waktu menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, meski relatif lambat.

  • Bab1Pendahuluan

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 1

    BAB IPENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Konsep nurture dalam paradigma sosiologi menyatakan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa realisasi dari konsep tersebut dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, yaitu terjadi ketidakadilan gender. Keseluruhan ketidakadilan gender dalam berbagai dimensi kehidupan tersebut lebih banyak dialami oleh perempuan.

    Beragam permasalahan yang dialami perempuan pada masa lalu maupun kini, tentu saja tidak luput dari perhatian komunitas negara-negara di dunia. Perhatian ini sebagai wujud ungkapan keprihatinan sesama manusia atas terjadinya ketidakadilan di berbagai hal yang menyangkut perempuan. Dalam berbagai kesempatan kerap perempuan selalu dijadikan objek eksploitasi, serta adanya upaya marginalisasi perempuan. Padahal, bila ditinjau dari konteks kehidupan bermasyarakat perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk diperlakukan secara adil dalam berbagi peran di segala bidang kehidupan. Keprihatinan negara-negara di dunia diwujudkan dalam berbagai bentuk pertemuan yang menghasilkan serangkaian deklarasi dan konvensi dan telah tercatat dalam dokumen sejarah. Dimulai dari dicetuskannya The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), oleh Majelis Umum PBB di tahun 1948 yang kemudian diikuti oleh berbagai deklarasi serta konvensi lainnya.

    Didalam perkembangannya, konvensi yang menjadi landasan hukum tentang hak perempuan adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination Against Women) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1979. Konvensi tersebut disebut juga Konvensi Wanita, atau Konvensi Perempuan atau Konvensi CEDAW (Committee on the Elimination of Discrimination Against Women). Selanjutnya, Hak Asasi Perempuan yang merupakan Hak Asasi Manusia kembali dideklarasikan dalam Konferensi Dunia ke-IV tentang Perempuan di Beijing tahun 1995. Konferensi tersebut mengangkat 12 bidang yang menjadi keprihatinan negara-negara di dunia, mencakup:

  • 2 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    (1) perempuan dan kemiskinan; (2) pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; (3) perempuan dan kesehatan; (4) kekerasan terhadap perempuan; (5) perempuan dan konfl ik bersenjata; (6) perempuan dan ekonomi;(7) perempuan dan kekuasaan serta pengambilan keputusan; (8) mekanisme kelembagaan untuk kemajuan perempuan; (9) hak asasi perempuan; (10) perempuan dan media; (11) perempuan dan lingkungan hidup; serta (12) anak perempuan.

    Selanjutnya pada tahun 2000, 189 negara anggota PBB telah menyepakati tentang Deklarasi Millenium (Millenium Declaration) untuk melaksanakan Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals-MDGs) dengan menetapkan target keberhasilannya pada tahun 2015. Ada delapan komitmen kunci yang ditetapkan dan disepakati dalam MDGs, salah satunya adalah mendorong tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia ikut serta melaksanakan komitmen dengan mendorong upaya pembangunan menuju kesetaraan gender. Untuk itu, pemerintah berkomitmen melaksanakan tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dengan salah satu targetnya, menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.

    Dalam melaksanakan komitmen MDGs, mendorong tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan diperlukan sumber pendanaan. Untuk itu, dari aspek ekonomi pemerintah terus melakukan upaya menggerakkan semua sektor ekonomi sehubungan dengan peningkatan produksi barang dan jasa dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari sisi besaran ekonomi upaya pemerintah dinilai cukup berhasil mengingat pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir tumbuh positif dan mencapai 6,1 persen pada tahun 2010, tetapi dari aspek pemanfaatannya dinilai kurang berkualitas. Hal ini terlihat dari fakta statistik yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai ternyata belum mampu mengatasi permasalahan ketidakmerataan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan. Rasio Gini (G) sebagai ukuran ketimpangan pendapatan selama lima tahun terakhir menunjukkan besaran angka di kisaran 0,3 yang dianggap sebagai

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 3

    ketimpangan moderat1 (BPS, 1998). Artinya selama periode tersebut ketimpangan pendapatan di Indonesia tidak mengalami perubahan menuju kondisi membaik atau memburuk.

    Disamping permasalahan ketimpangan pendapatan, pemerintah dihadapkan pada kenyataan mengenai rendahnya alokasi pengeluaran untuk belanja publik. Padahal momentum pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya dapat dimanfaatkan se-optimal mungkin karena untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk disamping faktor pemerataan pendapatan, pengeluaran pemerintah untuk belanja publik yang memadai juga sangat diperlukan. Penyediaan sarana dan prasarana kesehatan maupun pendidikan merupakan salah satu bagian dari pengeluaran belanja publik yang semestinya disiapkan pemerintah. Tujuannya memberikan fasilitas dan pelayanan dasar bagi penduduk sebagai sarana untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Sayangnya, alokasi anggaran yang disusun antara pengeluaran rutin dan pembangunan dalam struktur APBN menempatkan pengeluaran rutin pada porsi yang lebih besar dibandingkan pengeluaran pembangunan. Tentu saja, perbedaan alokasi pengeluaran ini akan berdampak pada keberhasilan pemerintah dalam pencapaian sasaran pembangunan kualitas hidup manusia melalui peningkatan kapabilitas dasar (pendidikan dan kesehatan).

    Meskipun alokasi pengeluaran pembangunan mendapatkan porsi lebih kecil dibandingkan pengeluaran rutin, tetapi upaya pemerintah dengan segala keterbatasannya untuk meningkatkan pencapaian kapabilitas dasar penduduk telah menunjukkan kemajuan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya beberapa indikator sosial terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Di bidang pendidikan, Angka Partisipasi Sekolah (APS) sebagai ukuran daya serap pendidikan secara umum telah mengalami peningkatan di semua kelompok umur (7-12, 13-15, 16-18) pada periode 2008-2009. Demikian halnya dengan Angka Partisipasi Murni (APM) sebagai ukuran pemanfaatan fasilitas pendidikan sesuai dengan umurnya juga menunjukkan peningkatan. Tentunya, peningkatan APS dan APM secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan indikator pendidikan penting lainnya seperti angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (MYS), serta pendidikan yang ditamatkan.

    Tidak berbeda dengan bidang pendidikan, upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah di bidang kesehatan, juga telah memperlihatkan keberhasilannya, dimana kualitas kesehatan penduduk secara umum meningkat selama periode

    1 Menurut Oshima, ke mpangan rendah (G

  • 4 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    waktu 2008-2009. Peningkatan kualitas kesehatan penduduk tidak terlepas dari ketersediaan dan keterjangkauan sarana dan prasarana kesehatan. Dari waktu ke waktu sarana dan prasarana tersebut terus mengalami perbaikan baik aspek kuantitas maupun kualitas. Dampak dari tersedianya sarana dan prasarana, serta pelayanan yang memadai menyebabkan kondisi kesehatan penduduk akan semakin meningkat. Selanjutnya dari sisi besaran nilai indikator kesehatan seperti keluhan kesehatan, angka kesakitan, pertolongan persalinan, imunisasi, angka kematian bayi, angka harapan hidup dipastikan meningkat.

    Disamping aspek kesehatan dan pendidikan, pembangunan di bidang ketenagakerjaan dinilai sangat penting sebagai faktor pendorong untuk meningkatkan kualitas hidup. Untuk itu, pembangunan ekonomi dalam rangka menciptakan beragam lapangan kerja adalah membantu penduduk untuk memiliki sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk kebutuhan hidup. Selain itu, penduduk yang bekerja memiliki banyak pilihan sebagai konsekuensi logis dari sumber-sumber pendapatan yang dimiliki. Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Hal ini ditunjukkan oleh angka pengangguran yang terus menurun dari waktu ke waktu. Pada bulan Agustus 2011, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 6,56 %. Akibatnya, penduduk yang bekerja semakin meningkat jumlahnya dari total angkatan kerja. Kemajuan lain dari ketenagakerjaan adalah besaran upah yang diterima pekerja. Fakta statistik menunjukkan bahwa besaran upah nominal yang diterima pekerja dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, namun demikian peningkatan upah pekerja sangat tergantung nilai infl asi maupun dari karakteristik lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, status pekerjaan dan tingkat pendidikan.

    Secara umum pencapaian kapabilitas dasar penduduk di bidang kesehatan, pendidikan, maupun ekonomi sebagai upaya pemerintah telah mengalami kemajuan yang nyata. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana tingkat pencapaian kapabilitas dasar untuk bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi, jika dipilah menurut jenis kelamin? Apakah terdapat ketimpangan pencapaian kapabilitas dasar yang mengarah kepada persoalan ketidaksetaraan dan keadilan gender?

    1.2 Tujuan Penulisan

    Publikasi ini disusun untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan sehingga mampu meningkatkan pencapaian pembangunan manusia serta mampu mengurangi perbedaan pencapaian antara perempuan dan laki-laki di

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 5

    berbagai bidang yang di representasikan dengan indeks pembangunan gender (IPG), dan indeks pemberdayaan gender (IDG). Selain itu juga menelusuri faktor-faktor yang memiliki kaitan terhadap pencapaian IPG maupun IDG melalui komponen pembentuk IPG dan IDG.

    1.3 Sistematika Penulisan

    Penulisan pembangunan manusia berbasis gender ini terdiri dari 5 (lima) bab. Bab 1, menjelaskan tentang latar belakang masalah, tujuan penulisan, sistematika penulisan, serta sumber data. Bab 2, menjelaskan tentang pencapaian pembangunan manusia. Bab 3, menjelaskan tentang pencapaian IPG, dan IDG. Bab 4, menjelaskan mengenai faktor-faktor yang terkait dengan pencapaian IPG, IDG melalui berbagai indikator sosial ekonomi lainnya dan Bab 5 Kesimpulan

    1.4 Sumber Data

    Sumber data utama yang digunakan (khususnya dalam penghitungan IPG dan IDG) adalah data Susenas Kor, Susenas Modul Konsumsi dan data Sakernas. Sementara untuk data penunjang digunakan data Supas, Proyeksi Penduduk (SP 2000), dan Indeks Harga Konsumen (IHK) serta data sekunder lainnya. Data Susenas Kor digunakan untuk menghitung indikator pembentuk IPG, yaitu Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah. Sementara angka harapan hidup dihitung menggunakan data Susenas yang dikoreksi dengan data Supas dan Proyeksi Penduduk. Data Sakernas digunakan untuk menghitung komponen IPG dan IDG yang menyangkut indikator ketenagakerjaan.

  • 6 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

  • Bab2Pencapaian Pembangunan Manusia

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 9

    BAB IIPENCAPAIAN PEMBANGUNAN MANUSIA

    2.1 Gambaran Umum Pembangunan Manusia

    Manusia merupakan kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Sejak awal, pembangunan manusia sudah menjadi tujuan dalam model pembangunan di Indonesia, setidaknya dalam tataran normatif yang tercermin dalam falsafah Negara seperti Pancasila, UUD 1945, dan dokumen-dokumen kenegaraan lainnya. Berbagai model untuk mengukur keberhasilan pembangunan telah banyak dikembangkan, diantaranya konsep pembangunan ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan (economic growth), pembangunan sumber daya manusia (human resource development), kebutuhan dasar (basic needs), dan kesejahteraan masyarakat (social welfare).

    Pembangunan ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan memandang bahwa keberhasilan pembangunan suatu wilayah hanya ditandai oleh tingginya pertumbuhan ekonomi, tanpa melihat aspek-aspek lainnya seperti ketimpangan pendapatan, kemiskinan yang masih tinggi, dan sebagainya. Pembangunan sumber daya manusia memandang manusia sebagai input dalam proses produksi, seperti halnya dengan faktor-faktor produksi lainnya yaitu, tanah, modal dan mesin. Manusia digunakan sebagai sarana untuk mengejar tingkat output yang tinggi tetapi dalam proses ini manusia bukan sebagai pewaris dari apa yang telah dihasilkan. Pembangunan yang mempunyai pendekatan kebutuhan dasar hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia agar dapat keluar dari perangkat kemiskinan tanpa memiliki pilihan-pilhan dalam meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan pembangunan dengan kesejahteraan manusia memandang manusia dalam proses pembangunan hanya sebagai penerima bukan sebagai peserta yang berpartisipasi aktif dalam pembangunan (agen pembangunan). Semua model pembangunan tersebut dinilai masih bersifat parsial/tunggal.

    Pada tahun 1990 UNDP (United Nations Development Programme) dalam laporannya Global Human Development Report memperkenalkan konsep Pembangunan Manusia (Human Development), sebagai paradigma baru model pembangunan. Menurut UNDP, pembangunan manusia dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choices of people), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah "perluasan pilihan" dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut. Pada saat yang sama pembangunan manusia dapat dilihat juga sebagai pembangunan (formation) kemampuan manusia

  • 10 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    melalui perbaikan taraf kesehatan, pengetahuan, dan keterampilan; sekaligus sebagai pemanfaatan (utilization) kemampuan/keterampilan mereka tersebut. Konsep pembangunan di atas jauh lebih luas pengertiannya dibandingkan konsep pembangunan ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan (economic growth), kebutuhan dasar, kesejahteraan masyarakat, atau pengembangan sumber daya manusia. Hal ini terkait konsep pembangunan manusia UNDP yang mengandung empat unsur yaitu: produktivitas (productivity), pemerataan (equity), kesinambungan (sustainability), dan pemberdayaan (empowerment).

    Pembangunan manusia dapat juga dilihat dari sisi pelaku atau sasaran yang ingin dicapai. Dalam kaitan ini UNDP melihat pembangunan manusia sebagai suatu "model" pembangunan tentang penduduk, untuk penduduk, dan oleh penduduk:a. tentang penduduk; berupa investasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan

    pelayanan sosial lainnya;b. untuk penduduk, berupa penciptaan peluang kerja melalui perluasan

    (pertumbuhan) ekonomi dalam negeri; danc. oleh penduduk; berupa upaya pemberdayaan (empowerment) penduduk

    dalam menentukan harkat manusia dengan cara berpartisipasi dalam proses politik dan pembangunan (UNDP, HDR 1990).

    Menurut UNDP upaya ke arah "perluasan pilihan" hanya mungkin dapat direalisasikan jika penduduk paling tidak memiliki: peluang berumur panjang dan sehat, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, serta peluang untuk merealisasikan pengetahuan yang dimiliki dalam kegiatan yang produktif. Dengan kata lain, tingkat pemenuhan ketiga unsur tersebut sudah dapat merefl eksikan, secara minimal, tingkat keberhasilan pembangunan manusia suatu wilayah (BPS-UNDP, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, Perbandingan Antarprovinsi 1990-1993).

    Untuk mengukur tingkat pemenuhan ketiga unsur di atas, UNDP menyusun suatu indeks komposit berdasarkan pada 4 (empat) indikator yaitu: Angka Harapan Hidup (life expectancy at age 0: e0), Angka Melek Huruf penduduk dewasa (adult literacy rate: AMH), Rata-rata Lama Sekolah (Mean Years of Schooling: MYS) ,dan Purchasing Power Parity(PPP)1.

    1 Pada awalnya UNDP hanya menggunakan 3 indikator dalam menghitung IPM yaitu e0, AMH, dan PPP. Namun pada publikasi HDR tahun 1991, UNDP menambahkan indikator MYS pada komponen pendidikan dengan penimbang 2/3 untuk AMH dan 1/3 untuk MYS. Kemudian, karena terkendala ketersediaan data di beberapa negara maka pada publikasi UNDP tahun 1995 terjadi perubahan lagi pada komponen pendidikan, dimana MYS digan dengan kombinasi angka par sipasi sekolah SD, SMP, dan SMA (combined fi rst-, second-, and third- level gross enrolment ra o: APS), dengan penimbang 2/3 untuk AMH dan 1/3 untuk APS.

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 11

    Angka harapan hidup mengukur dimensi "umur panjang dan sehat", angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mengukur dimensi "pengetahuan dan keterampilan", dan purchasing power parity mengukur dimensi kemampuan dalam mengakses sumber daya ekonomi dalam arti luas. Ketiga indikator inilah yang digunakan sebagai komponen dalam penyusunan HDI (Human Development Index) yang diterjemahkan menjadi IPM (Indeks Pembangunan Manusia).Penghitungan IPM UNDP digunakan untuk perbandingan kemajuan pembangunan manusia antarnegara. Sementara itu BPS mengaplikasikan penghitungan IPM tersebut untuk melihat kemajuan pembangunan manusia di Indonesia baik pada level provinsi maupun level kabupaten/kota. BPS melakukan beberapa penyesuaian pada penghitungan IPM, yaitu pada komponen pendidikan dan ekonomi. Pada komponen pendidikan, BPS menggunakan MYS bukan APS karena APS merupakan indikator input, sementara MYS merupakan indikator output yang lebih mampu menggambarkan pencapaian di bidang pendidikan. Kemudian pada komponen ekonomi, BPS menggunakan PPP dengan pendekatan pengeluaran per kapita per tahun disesuaikan karena lebih mampu menggambarkan daya beli masyarakat dibandingkan dengan GDP.

    Tabel 2.1. Perkembangan IPM Indonesia Tahun 1990 2010Tahun IPM (BPS) IPM (UNDP) Peringkat Jumlah Negara

    (1) (2) (3) (4) (5)1990 - 51,5 108 1731992 - 63,7 104 1741993 - 64,1 102 1741994 - 66,8 99 1751995 - 67,9 96 1741996 67,7 - - -1997 - 68,1 105 1741998 - 67,0 109 1741999 64,3 67,7 102 1622000 - 68,4 110 1732001 - 68,2 112 1752002 65,8 69,2 111 1772003 - 69,7 110 1772004 68,69 71,1 108 1772005 69,57 72,8 107 1772006 70,10 - - -2007 70,59 73,4 111 1822008 71,17 - - -2009 71,76 - - -2010 72,27 60,0*) 108 169

    Keterangan : *) IPM tahun 2010 yang dihitung UNPD mengalami perubahan metode penghitungan sehingga nilainya tidak bisa dibandingkan dengan nilai IPM tahun-tahun sebelumnyaSumber : BPS dan Human Development Report (UNDP) berbagai tahun.

  • 12 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa IPM yang dihitung oleh UNDP dan IPM yang dihitung BPS memiliki tujuan dan komponen penyusun yang berbeda. Berdasarkan IPM yang dihitung oleh UNDP, sejak tahun 1990 secara umum IPM Indonesia terus mengalami peningkatan kecuali pada periode 1997-1998 dan 2000-2001. Penurunan IPM tahun 1998 cukup drastis mencapai 1,1 poin. Hal ini disebabkan karena terjadi krisis moneter sehingga daya beli masyarakat turun drastis. Sementara penurunan IPM tahun 2001 hanya 0,2 poin yang juga disebabkan karena turunnya daya beli masyarakat, tetapi tidak sedrastis penurunan akibat krisis moneter. Penurunan IPM tahun 2001 ini bisa disebabkan karena kondisi perekonomian yang belum stabil pasca krisis moneter sehingga daya beli masyarakat pun belum stabil.

    Meskipun mengalami peningkatan tetapi peringkat IPM Indonesia di level internasional agak sulit diinterpretasikan, apakah mengalami peningkatan atau penurunan mengingat jumlah negara yang dihitung berbeda-beda. Jika dilihat series pendek terlihat bahwa dari tahun 1995 sampai 1998 peringkat Indonesia diantara 174 negara terus mengalami penurunan, sementara dari tahun 2002 sampai 2005 peringkat Indonesia diantara 177 negara menunjukkan perbaikan yang berkesinambungan.

    Kemudian untuk nilai IPM yang dihitung oleh BPS, secara umum terus menunjukkan peningkatan kecuali pada tahun 1999. Penurunan ini juga disebabkan karena turunnya daya beli masyarakat akibat terjadinya krisis moneter pada tahun 1997/1998. Namun pada tahun-tahun berikutnya IPM Indonesia terus meningkat hingga tahun 2010 mencapai nilai 72,27.

    Berdasarkan skala internasional, pencapaian IPM dikategorikan menjadi empat, yaitu kategori tinggi (IPM80), kategori menengah atas (66IPM

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 13

    program-program pembangunan, tetapi juga diperlukan pengawasan dan evaluasi terhadap program-program tersebut. Perbedaan pencapaian ini mengakibatkan terjadinya disparitas pembangunan antardaerah seperti terlihat dalam gambar 2.1

    Pada level provinsi, IPM DKI Jakarta selalu menduduki peringkat pertama diikuti oleh Provinsi Sulawesi Utara, Riau, dan DI Yogyakarta yang secara bergantian menduduki peringkat 2, 3, dan 4 besar IPM tertinggi di Indonesia. Sedangkan di peringkat terakhir, pada tahun 1990 ditempati oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur, tetapi tahun 1991 sampai 2004 peringkat terakhir ditempati oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan sejak tahun 2005 sampai 2010 peringkat terakhir IPM ditempati oleh Provinsi Papua. Gap antara IPM DKI Jakarta yang menempati peringkat tertinggi, dengan IPM Papua yang menempati peringkat terendah mencapai 12,66 poin sedikit menyempit dibandingkan gap tahun 2009 yang sebesar 12,83 poin.

    Gambar 2.1 Pencapaian IPM Provinsi Tahun 2010

    Gor

    S

    K

    S

    P

    Ba

    ronta

    Sultra

    Kalsel

    Sulba

    Kal

    Papua

    L

    Sute

    anten

    alo (24

    a (25)

    l (26)

    ar (27)

    bar (2

    a Bara

    Lampu

    eng (

    (23)

    4)

    )

    28)

    at (29

    Malu

    Malung (

    (22)

    9)

    ut (30)

    NT

    Sluku (21)

    )

    T (31NT

    Sulse(20)

    )TB (32

    Pap

    Jatil (19)

    2)pua (

    55,

    60,

    65,

    70,

    75,

    80,DK

    m (18

    33)

    00

    00

    00

    00

    00

    00KI Jak

    8)

    karta

    Ac

    (1)Sul

    ceh (

    ut (2)Ri

    Bali (17)

    )au (3

    D

    Jaba(16)

    3)DIY (4

    K

    Jatear (15

    4)

    Kaltim

    K

    Jam

    eng (5)

    m (5)

    Kepri (

    Kal

    S

    S

    Be

    Babe

    mbi (1

    14)

    (6)

    lteng

    Sumu

    Sum

    Sums

    engk

    el (12

    13)

    (7)

    ut (8)

    bar (9

    sel (1

    ulu (1

    2)

    9)

    0)

    11)

    Keterangan : capaian IPM Kode 1 s.d 33 di belakang nama provinsi menunjukkanperingkat IPM Sumber : Diolah khusus dari Tabel Lampiran

  • 14 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Pada tahun 2010 terdapat 6 provinsi yang mengalami perubahan peringkat IPM baik naik maupun turun. Pada umumnya provinsi-provinsi tersebut memang kerap bergantian peringkat di tahun-tahun sebelumnya. Provinsi Bengkulu dan Bangka Belitung mengalami pertukaran peringkat, dimana peringkat Bengkulu naik dari peringkat 12 menjadi 11, sementara peringkat Kepulauan Bangka Belitung turun dari peringkat 11 menjadi 12. Perubahan peringkat ini disebabkan karena peningkatan e0 dan AMH Bengkulu jauh lebih cepat dari Bangka Belitung, sementara pergerakan komponen MYS dan PPP untuk Bangka Belitung hanya sedikit lebih besar dari Bengkulu. Hal ini tercermin dari reduksi shortfall Bengkulu sebesar 1,36, lebih cepat dari Bangka Belitung yang sebesar 1,13.

    Provinsi lainnya yang mengalami pertukaran peringkat yaitu Sulawesi Selatan dan Maluku, serta Maluku Utara dan Papua Barat. Pada tahun 2009, IPM Sulawesi Selatan dan Maluku hanya berbeda 0,02 poin, sementara pada tahun 2010, komponen AMH dan MYS di Sulawesi Selatan bergerak sangat cepat sehingga nilai IPM-nya melesat meninggalkan IPM Maluku sebesar 0,2 poin. Oleh sebab itu peringkat IPM Sulawesi Selatan naik dari peringkat 20 menjadi peringkat 19, sementara peringkat IPM Maluku turun dari peringkat 19 menjadi 20. Pergerakan ini dipicu oleh cepatnya reduksi shortfall di Sulawesi Selatan yang menduduki peringkat kedua terbesar setelah Bali.

    Tabel 2.2. Sepuluh Kabupaten/Kota dengan IPM Tertinggi Tahun 2009 - 2010

    Kabupaten/Kota IPM Tertinggi Tahun 2009

    IPM Tahun 2009

    Kabupaten/Kota IPM Tertinggi Tahun 2010

    IPM Tahun 2010

    (1) (2) (3) (4)

    Kota Yogyakarta 79,29 Kota Yogyakarta 79,52 Kota Jakarta Selatan 79,26 Kota Jakarta Selatan 79,47 Kota Depok 78,77 Kota Depok 79,09 Kota Jakarta Timur 78,74 Kota Jakarta Timur 78,95 Kota Jakarta Barat 78,63 Kota Jakarta Barat 78,84 Kota Ambon 78,25 Kota Makasar 78,79 Kota Makasar 78,24 Kota Ambon 78,56 Kota Jakarta Pusat 78,17 Kota Jakarta Pusat 78,41 Kota Palangka Raya 78,02 Kota Balikpapan 78,33

    Kota Pekan Baru 77,86 Kota Palangka Raya 78,30Sumber : diolah khusus dari tabel lampiran dan Publikasi IPM 2009.

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 15

    Tidak jauh berbeda dengan Sulawesi Selatan dan Maluku, pertukaran peringkat antara Papua Barat dengan Maluku Utara juga disebabkan karena komponen pendidikan di Papua Barat yang bergerak lebih cepat dari Maluku Utara sehingga mengakibatkan peringkat Papua Barat naik dari peringkat 30 menjadi 29, sementara peringkat Maluku Utara turun dari 29 menjadi 30.

    Pada tingkat kabupaten/kota, peringkat 10 besar IPM tertinggi ditempati oleh kota-kota besar di Indonesia dan hampir sama dengan tahun 2009 kecuali untuk Kota Pekanbaru yang sekarang digantikan oleh Kota Balikpapan. Pada peringkat 5 besar semuanya ditempati oleh kota-kota di Pulau Jawa dimana Kota Yogyakarta menjadi juara dalam pencapaian IPM tahun 2010 sebesar 79,52. Kemudian di peringkat 6 sampai 10 terbesar di tempati oleh Kota Makasar, Kota Ambon, Kota Jakarta Pusat, Kota Balikpapan, dan Kota Palangka Raya. Melihat tabel 2, sangat tampak bahwa kemajuan pembangunan manusia masih didominasi oleh kota-kota di Pulau Jawa, khususnya Provinsi DKI Jakarta. Terbukti bahwa diantara 10 kabupaten/kota yang memiliki nilai IPM tertinggi, 6 diantaranya merupakan kota yang terletak di Pulau Jawa, dan dari 6 kota tersebut 4 diantaranya merupakan kota di Provinsi DKI Jakarta.

    Sementara itu, jika diurutkan dari yang terendah maka peringkat 10 besar IPM terendah seluruhnya ditempati oleh kabupaten-kabupaten di Papua. Kesepuluh kabupaten tersebut juga merupakan 10 kabupaten dengan IPM terendah pada tahun 2009, hanya saja terdapat beberapa perubahan urutan.

    Tabel 2.3. Sepuluh Kabupaten/Kota dengan IPM Terendah Tahun 2009 - 2010Kabupaten/Kota IPM Terendah Tahun 2009

    IPM Tahun 2009

    Kabupaten/Kota IPM Terendah Tahun 2010

    IPM Tahun 2010

    (1) (2) (3) (4)

    Nduga 47,74 Nduga 48,02

    Intan Jaya 47,94 Intan Jaya 48,42

    Deiyai 48,02 Yalimo 48,55

    Yalimo 48,16 Deiyai 48,57

    Mamberamo Tengah 48,18 Mamberamo Tengah 48,96 Pegunungan Bintang 48,54 Pegunungan Bintang 48,99 Lanny Jaya 48,57 Puncak 49,00 Puncak 48,71 Yahukimo 49,59 Tambrauw 49,12 Lanny Jaya 49,90 Yahukimo 49,22 Dogiyai 50,03

    Sumber : diolah khusus dari tabel lampiran dan Publikasi IPM 2009.

  • 16 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Rentang antara IPM tertinggi dan terendah tahun 2010 pada level kabupaten/kota mencapai 31,49 poin. Meskipun rentang ini semakin menyempit dibandingkan tahun 2009 yang sebesar 31,55 poin tetapi masih tetap tidak mampu mengaburkan kesenjangan pembangunan antara wilayah barat dan timur Indonesia2. Dilihat dari sarana dan prasarana seperti fasilitas transportasi, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan fasilitas lainnya secara umum wilayah barat memang lebih baik. Ketertinggalan wilayah timur yang bisa diwakilkan oleh Provinsi NTT, NTB, dan Papua sangat jelas terlihat dari tingginya kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan banyaknya kasus gizi buruk. Uraian tersebut menunjukkan bahwa pembangunan di Indonesia belum merata.

    Selain dibandingkan menurut nilai IPM, pencapaian pembangunan manusia di suatu wilayah dapat juga dibandingkan menurut kecepatan pergerakan IPM menuju nilai ideal. Kecepatan suatu daerah dalam mencapai IPM ideal ditunjukkan oleh nilai reduksi shortfall. Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan ukuran reduksi shortfall per tahun. Reduksi shortfall menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang harus ditempuh untuk mencapai titik IPM ideal (100). Semakin tinggi nilai reduksi shortfall, semakin cepat IPM suatu wilayah untuk mencapai nilai idealnya.

    Secara harafi ah reduksi berarti pengurangan. Reduksi shortfall sendiri bisa diartikan sebagai pengurangan sisa langkah menuju nilai ideal yang merupakan gambaran laju pergerakan IPM untuk mencapai nilai idealnya. Semakin besar nilai reduksi shortfall maka semakin cepat suatu wilayah akan mencapai IPM ideal.

    Selama ini konsep reduksi shortfall sering rancu/tertukar dengan konsep pertumbuhan. Pada konsep pertumbuhan, semakin besar nilai IPM, dengan besar perubahan yang sama maka akan menghasilkan pertumbuhan yang semakin kecil. Sementara pada konsep reduksi shortfall, semakin besar nilai IPM, dengan besar perubahan yang sama maka akan menghasilkan pertumbuhan yang semakin besar. Intinya, jika nilai IPM sudah tinggi, maka peningkatan nilai komponen yang kecil pun dapat menghasilkan nilai reduksi shortfall yang tinggi.

    Nilai reduksi shortfall tahun 2010 berada pada kisaran 1 sampai 3 poin. Berdasarkan gambar 2.2 terlihat bahwa Provinsi Bali memiliki reduksi shortfall tertinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain dengan nilai sebesar 2,69. Besarnya reduksi shorttfall Bali disumbang oleh peningkatan yang cukup tinggi dari

    2 Wilayah Barat Indonesia melipu Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Sedangkan Wilayah Timur Indonesia melipu Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 17

    komponen pendidikan. Peningkatan AMH Bali dari tahun 2009 merupakan yang tertinggi dibanding provinsi lainnya, sementara peningkatan MYS Bali merupakan yang tertinggi ketiga. Peningkatan AMH Bali merupakan hasil dari program pemberantasan buta aksara yang digalakkan pemerintah daerah Bali yang didukung oleh partisipasi aktif lembaga-lembaga swadaya masyarakat serta para sukarelawan dari kalangan mahasiswa. Program-program pendidikan seperti sekolah gratis (contohnya di Kabupaten Jembrana) mampu menurunkan angka putus sekolah sehingga menyebabkan peningkatan MYS Bali.

    Peringkat kedua reduksi shortfall terbesar ditempati oleh Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 2,34. Sama halnya dengan Bali, besarnya reduksi shortfall Sulawesi Selatan juga disumbang oleh komponen pendidikan. Peningkatan MYS Sulawesi Selatan merupakan yang tertinggi, mencapai 0,43 poin, sementara peningkatan AMH mencapai 0,73 poin dan menempati urutan keenam terbesar. Pergerakan yang relatif cepat ini, jika dibandingkan provinsi lain menyebabkan naiknya peringkat Sulawesi Selatan, menggeser Maluku.

    Gambar 2.2 Reduksi Shortfall Provinsi Tahun 2010

    Keterangan : Kode 1 s.d 33 di belakang nama provinsi menunjukkan peringkatreduksi shortfall tahun2010Sumber : Diolah khusus dari Tabel Lampiran

  • 18 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Sementara itu, reduksi shortfall terendah ditempati oleh Jambi sebesar 1,08, kemudian diikuti oleh DKI Jakarta dengan reduksi shortfall sebesar 1,09. Hal ini disebabkan karena peningkatan komponen IPM di provinsi tersebut relatif lambat dibandingkan provinsi lainnya. Komponen IPM di DKI Jakarta memang sudah cukup tinggi jika dibandingkan provinsi lainnya, hal tersebut yang diduga menyebabkan komponen IPM DKI Jakarta lambat bergerak.

  • Bab3Pencapaian Pembangunan Gender

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 21

    BAB IIIPENCAPAIAN PEMBANGUNAN GENDER

    Kesetaraan gender bukan dimaknai sebagai perbedaan fi sik semata, namun jauh lebih luas pengertiannya, yakni kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia dalam berperan dan berpartisipasi di segala bidang kehidupan. Sementara itu, keadilan gender merupakan proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki sehingga dalam menjalankan kehidupan tidak ada pembakuan peran, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki. Terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan pembangunan yang selama ini dilaksanakan dengan mengakomodasi persoalan gender, maka diperlukan sebuah ukuran yang dapat menjelaskan bahwa pencapaian Kesetaraan dan Keadilan Gender telah berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan kebijakan nasional yang ditetapkan melalui GBHN 1999, UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan nasional (PROPENAS 2000-2004), dan dipertegas dalam instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG).

    Beberapa ukuran tentang kesetaraan dan keadilan gender telah digunakan banyak pihak, meski ukuran tersebut masih bersifat tunggal (single variable). Namun didalam perkembangan waktu serta tuntutan akan tingkat keakurasian, maka ukuran yang bersifat komprehensif dan representatif mutlak dibutuhkan. United Nations Development Programs (UNDP) melalui Laporan Pembangunan Manusia Tahun 1995 memperkenalkan ukuran pembangunan manusia yang bersifat gabungan (komposit) dari empat indikator, yang menyoroti tentang status perempuan khususnya mengukur prestasi dalam kemampuan dasar. Ukuran komposit yang dimaksud adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG)1. Selain itu, UNDP juga mengenalkan ukuran komposit lainnya terkait dengan gender, yakni Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang mengukur tentang persamaan peranan antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan di bidang politik maupun di bidang manajerial. Kedua ukuran ini, diharapkan mampu memberikan

    1 IPG mengukur hal yang sama seper IPM hanya komponen yang digunakan dibedakan menurut jenis kelamin.

  • 22 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    penjelasan tentang kesetaraan dan keadilan gender yang dicapai melalui berbagai program-program pembangunan

    Pencapaian pembangunan manusia secara kuantitatif dapat dilihat dari besaran IPM (lihat pada Bab 2). Tentu saja, besaran angka IPM semata tidak dapat menjelaskan berapa besar perbedaan (gap) pencapaian kualitas hidup perempuan dan laki-laki yang diukur melalui gabungan indikator kesehatan, pendidikan dan daya beli. Namun, melalui IPG perbedaan pencapaian yang menggambarkan kesenjangan pencapaian antara laki-laki dan perempuan dapat terjelaskan, yakni dengan mengurangkan nilai IPM dengan IPG. Hasil pengurangan antara IPM dengan IPG mengindikasikan adanya kesenjangan pencapaian kapabilitas antara laki-laki dan perempuan.

    Pada bab ini pencapaian pembangunan gender akan dibahas melalui dua pendekatan. Pertama, mengenai bahasan persamaan status dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang diukur melalui Indeks Pembangunan Gender (IPG). Kedua, persamaan peranan yang dijalankan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan yang diukur melalui Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).

    3.1 Persamaan Status dan Kedudukan

    Persamaan status dan kedudukan merujuk pada tidak adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang tidak hanya dijamin oleh perundang-undangan, tetapi juga dalam praktek kehidupan sehari-hari. Jaminan persamaan status dan kedudukan ini meliputi partisipasi dalam program pembangunan terutama dalam peningkatan kualitas hidup melalui program-program peningkatan kapabilitas dasar (BPS, 1998). Program peningkatan kapabilitas dasar yang dimaksud mencakup berbagai pelayanan dasar kesehatan, maupun pendidikan, termasuk kemudahan akses ekonomi yang diberikan pemerintah kepada semua penduduk. Namun kenyataannya, implementasi pada kehidupan sehari-hari khususnya upaya peningkatan kapabilitas dasar penduduk perempuan belum sepenuhnya dapat diwujudkan, karena masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki (Parawansa, 2003). Nilai-nilai sosial budaya patriarki ini secara langsung maupun tidak langsung dapat menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Belum lagi persoalan ketidaktepatan pemahaman ajaran agama yang seringkali menyudutkan kedudukan dan peranan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan upaya lebih serius dan berkesinambungan dalam mewujudkan persamaan status dan kedudukan antara laki-laki dan

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 23

    perempuan melalui berbagai program pembangunan seperti peningkatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai proses pembangunan, penguatan peran masyarakat, dan peningkatan kualitas kelembagaan berbagai instansi pemerintah, organisasi perempuan dan lembaga-lembaga lainnya. Melalui upaya ini diharapkan peningkatan kapabilitas dasar perempuan akan dapat segera diwujudkan.

    Secara umum pencapaian pembangunan gender di Indonesia dari waktu ke waktu memperlihatkan perkembangan yang semakin membaik seperti terlihat pada Gambar 3.1. Pada tahun 2004 IPG secara nasional sebesar 63,94, kemudian naik menjadi 65,81 pada tahun 2007 dan bergerak naik lagi secara perlahan hingga menjadi 67,20 pada tahun 2010. Peningkatan IPG selama kurun waktu enam tahun sejalan dengan peningkatan beberapa indikator dalam komponen IPG. Artinya bahwa kapabilitas dasar perempuan yang terangkum dalam dimensi kesehatan, pendidikan maupun hidup layak selama kurun waktu 2004-2010 terus mengalami peningkatan seiring dengan pelaksanaan program-program pembangunan. Namun demikian, peningkatan IPG dalam kurun waktu 2004-2010 belum memberikan gambaran yang menggembirakan, apabila dilihat dari kerangka pencapaian persamaan status dan kedudukan menuju kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini dikarenakan pencapaian IPG selama kurun waktu tersebut masih belum mampu mengurangi jarak (gap) secara nyata dalam pencapaian kapabilitas dasar antara laki-laki dan perempuan. Gap antara IPM dengan IPG selama kurun waktu tersebut masih terlihat tetap dan cenderung tidak berubah dari besarannya.

    Harus diakui, upaya pembangunan manusia dalam rangka meningkatkan kualitas hidup selama beberapa dekade telah mengalami kemajuan. Namun, hasil yang dicapai upaya pembangunan kualitas hidup masih tampak kentara yang cenderung menguntungkan kepada penduduk laki-laki. Fenomena ini tercermin dari indikator komposit yang digunakan untuk menilai kesenjangan gender, yaitu IPG menunjukkan angka yang lebih rendah dibanding IPM. Pada perkembangannya, selama kurun waktu 2004-2010 secara nasional IPG selalu menunjukkan posisi lebih rendah dibandingkan IPM. Besaran rasio yang diperoleh berdasarkan perbandingan antara IPG terhadap IPM pada kisaran 93 persen. Hal ini dapat dimaknai, meski IPG memperlihatkan perkembangan yang selalu meningkat selama periode 2004-2010, tetapi kesenjangan gender masih terjadi (Lihat Tabel 3.1). Untuk itu, diperlukan upaya yang lebih serius dalam meningkatkan kapabilitas dasar penduduk melalui berbagai kebijakan pembangunan di berbagai bidang kehidupan sehingga gap yang terjadi antara kapabilitas dasar laki-laki dan perempuan dapat diperkecil jaraknya. Keberhasilan

  • 24 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    upaya peningkatan kapabilitas dasar penduduk pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan angka IPG.

    Gambar 3.1 Perkembangan IPG Periode 2004-2010

    62

    63

    64

    65

    66

    67

    68

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    200

    63,

    04

    ,94

    20

    65

    005

    5,13

    20

    6

    006

    65,27

    2

    7

    2007

    65,8

    7

    81

    200

    66,

    8

    38

    200

    66

    09

    6,77

    20

    67

    010

    7,200

    Sumber: Diolah khusus dari tabel lampiran dan Publikasi IPM berbagai tahun

    Tabel 3.1 Perkembangan IPM, IPG dan Rasio

    Tahun IPM IPG Rasio%(1) (2) (3) (4)

    2004 68,69 63,94 93,12005 69,57 65,13 93,62006 70,08 65,27 93,12007 70,59 65,81 93,22008 71,17 66,38 93,32009 71,76 66,77 93,02010 72,27 67,20 93,0

    Sumber: Diolah khusus dari tabel lampiran dan Publikasi IPM berbagai tahun

    Adanya perbedaan pencapaian kapabilitas dasar antara laki-laki dan perempuan (baca: kesenjangan gender) yang terjadi di tingkat nasional, tampaknya juga terjadi di tingkat provinsi. Fenomena ini, dapat ditunjukkan melalui besaran angka IPG yang lebih rendah dibanding angka IPM di semua provinsi. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa persoalan kesenjangan gender masih terjadi di semua provinsi. Berdasarkan besaran rasio IPG terhadap IPM, maka terdapat lima provinsi masuk dalam kategori rasio tertinggi dan

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 25

    terendah. Lima provinsi yang masuk kategori rasio tertinggi berturut-turut adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), DI. Yogyakarta (Yogya), Papua, DKI Jakarta (DKI), dan Maluku. Sedangkan provinsi dengan rasio terendah secara berurutan adalah Papua Barat, Kepulauan Riau (Keppri), Kep. Bangka Belitung (Babel), Gorontalo, dan Kalimantan Timur (Kaltim).

    Provinsi NTT merupakan provinsi yang memiliki gap IPM dan IPG yang paling kecil dibandingkan provinsi lainnya, dengan besaran rasio tertinggi di sekitar 96,07 persen. Kecilnya gap pencapaian IPM dan IPG di Provinsi NTT memberikan petunjuk bahwa pencapaian kapabilitas dasar antara laki-laki dan perempuan di NTT pada tahun 2010 relatif tidak jauh berbeda, berarti walau terdapat kesenjangan gender di NTT tetapi dengan gap kecil. Jika dikaji lebih jauh, yang membuat angka IPG NTT mendekati angka IPM utamanya disebabkan oleh besaran sumbangan pendapatan penduduk perempuan terhadap total pendapatan. Sumbangan pendapatan ini dihitung dari upah buruh yang bekerja di semua sektor kecuali sektor pertanian2. Sementara itu, pada kasus Provinsi Maluku sedikit berbeda dibandingkan NTT. Provinsi Maluku merupakan provinsi dengan IPM relatif tinggi, yaitu sekitar 71,42, hanya sayang tingginya IPM di Provinsi Maluku ternyata tidak diikuti oleh pencapaian IPG yang tinggi pula di provinsi yang sama, yaitu hanya sekitar 67,23. Hal ini dapat dimaknai bahwa keberhasilan pembangunan kualitas hidup yang diukur melalui IPM di Provinsi Maluku, kemajuannya hanya didorong oleh keberhasilan peningkatan kapabilitas dasar penduduk laki-laki. Selain itu sumbangan pendapatan perempuan yang diduga mampu mengungkit peningkatan IPG di Provinsi Maluku, ternyata hanya menyumbang rata-rata sekitar 35 persen dari seluruh total pendapatan. Besaran 35 persen sumbangan pendapatan penduduk perempuan, ternyata tidak mampu meningkatkan nilai IPG Provinsi Maluku. Sementara, mengharapkan peningkatan IPG dari sektor kesehatan dan pendidikan kemungkinannya sangat kecil. Demikian halnya dengan Provinsi Kalimantan Timur, yang memiliki IPM sebesar 75,56 (tertinggi ke 5 dari 33 provinsi di Indonesia) ternyata tidak selalu diikuti peningkatan IPG yang hanya mencapai 60,37. Jadi, fenomena tingginya IPM pada suatu daerah, tampaknya tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan IPG.

    Tidak berbeda dengan lima provinsi dengan rasio tertinggi, lima provinsi dengan rasio terendah juga mempunyai persoalan yang sama. Rendahnya IPG pada lima provinsi dengan rasio terendah disebabkan kecilnya sumbangan pendapatan perempuan terhadap total pendapatan. Besaran sumbangan pendapatan perempuan di lima provinsi dengan rasio terendah (Papua Barat,

    2 Lihat lampiran 1 pada tatacara penghitungan sumbangan pendapatan

  • 26 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Keppri, Babel, Gorontalo, Kaltim) berkisar antara 21-26 persen. Sementara itu, pembangunan kualitas manusia di Provinsi Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kalimantan Timur dinilai cukup berhasil karena angka IPM di lima provinsi tersebut mencapai level 70-an. Berdasarkan skala internasional besaran IPM di level 70-an termasuk kategori status pembangunan menengah atas (66

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 27

    Jakarta pun mengalami hal serupa. Sumbangan pendapatan ini terkait dengan dua faktor yang memengaruhinya, yaitu faktor angkatan kerja dan upah yang diterima. Berdasarkan Sakernas Februari 2010, angkatan kerja perempuan di Indonesia mengalami peningkatan dari 38,15 persen di tahun 2009 menjadi 38,31 persen di tahun 2010. Meskipun peningkatannya tidak nyata, tetapi sangat berarti karena angkatan kerja ini merupakan proporsi antara laki-laki dan perempuan. Jika perempuan mengalami peningkatan proporsi maka laki-laki mengalami penurunan proporsi sehingga total tetap 100 persen.

    Gambar 3.2 Perkembangan Sumbangan Pendapatan (Persen), 2004-2010

    59,45 60,0563,61 62,51

    65,62 64,99 66,50

    40,55 39,9536,39 37,49 34,38 35,01 33,50

    0,00

    10,00

    20,00

    30,00

    40,00

    50,00

    60,00

    70,00

    2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010Laki-laki Perempuan

    Sumber : Diolah khusus dari data SAKERNAS berbagai tahun

    Faktor upah, secara nominal setiap tahun selalu mengalami peningkatan baik upah yang diterima pekerja laki-laki maupun perempuan. Hal ini dikarenakan adanya penyesuaian upah nominal yang diterima pekerja sebagai dampak dari biaya kebutuhan hidup yang selalu mengalami kenaikan agar kemampuan daya beli masyarakat tetap terjaga. Pada penghitungan IPG, komponen upah menggunakan data upah buruh di sektor non-pertanian. Tahun 2010, rata-rata upah perempuan non-pertanian di Indonesia mencapai 1.292.300 rupiah per bulan. Nilai upah ini masih lebih rendah dibanding upah yang diterima laki-laki yang mencapai 1.593.600 rupiah per bulan. Hal ini memberikan gambaran bahwa dalam dunia kerja ternyata masih terdapat perbedaan jumlah upah yang

  • 28 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    diterima. Penduduk perempuan menerima upah lebih rendah dibanding laki-laki. Namun pertanyaannya, apakah perbedaan upah yang diterima perempuan dan laki-laki dapat dikatakan adanya kesenjangan gender dalam dunia kerja? Untuk menjawabnya masih diperlukan kajian lebih lanjut. Namun yang pasti perbedaan upah yang diterima antara laki-laki dan perempuan berpengaruh terhadap IPG3. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab adanya perbedaan upah yang diterima laki-laki dan perempuan, antara lain dilatarbelakangi oleh masalah klasik, yaitu perempuan yang bekerja hanya dianggap untuk membantu perekonomian keluarga, sementara laki-laki tetap sebagai pencari nafkah utama. Faktor lain yang juga berpengaruh pada perbedaan tingkat upah adalah tingkat pendidikan. Kecenderungan pendidikan perempuan lebih rendah dibanding pendidikan laki-laki jelas berpengaruh pada perbedaan upah yang diterima antara laki-laki dan perempuan.

    Perkembangan sumbangan pendapatan perempuan menurut provinsi selama periode 2009-2010 terlihat berfl uktuasi. Sebagian provinsi mengalami peningkatan, dan sebagian provinsi lainnya stagnasi bahkan terjadi penurunan. Pola yang ditunjukkan Gambar 3.3 merupakan indikasi adanya persoalan mengenai upah yang diterima oleh pekerja perempuan di setiap provinsi. Persoalan tersebut erat kaitannya dengan faktor lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, dan status pekerjaan. Berdasarkan data Sakernas (Februari, 2010) sebagian besar pekerja perempuan bekerja di sektor jasa yang umumnya di perdagangan, dan jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Sedangkan jenis pekerjaan yang dilakukan perempuan sebagai tenaga usaha perdagangan, dan status pekerjaannya sebagai buruh/karyawan dan pekerja tidak dibayar. Kategori pekerjaan seperti ini umumnya produktivitasnya rendah dan upah yang dibayarkan relatif kecil. Sementara itu, pekerja laki-laki lebih banyak bekerja di sektor padat modal, sebagai tenaga profesional, teknisi dan kepemimpinan sehingga upah yang diterima relatif besar. Perbedaan yang mendasar terkait lapangan, jenis dan status pekerjaan menyebabkan gap upah yang diterima pekerja laki-laki dan perempuan.

    3 Semakin besar jarak (gap) upah yang diterima antara laki-laki dan perempuan menyebabkan angka IPG makin kecil

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 29

    Gambar 3.3 Sumbangan Pendapatan Perempuan menurut Propinsi, 2009-2010

    15,0

    20,0

    25,0

    30,0

    35,0

    40,0

    PAPU

    ADI

    YN

    TTBA

    LIDK

    IKA

    LSEL

    MAL

    UKU

    JATE

    NG

    SULB

    ARSU

    MU

    TSU

    MBA

    RSU

    LTRA

    BEN

    GKU

    LUM

    ALU

    TKA

    LBAR

    JATI

    MKE

    PRI

    KALT

    ENG

    NTB

    SUM

    SEL

    NAD

    SULS

    ELSU

    LTEN

    GJA

    BAR

    JAM

    BILA

    MPU

    NG

    BAN

    TEN

    SULU

    TGO

    RON

    TALO

    BABE

    LPA

    PBAR

    RIAU

    KALT

    IM

    2009 2010

    Sumber : Diolah khusus dari data tabel lampiran

    Provinsi-provinsi yang mengalami penurunan sumbangan pendapatan perempuan mencakup sebagian pulau Sumatera yang meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung; Pulau Jawa meliputi provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah; Pulau Nusa Tenggara meliputi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur; kemudian Provinsi Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, serta Papua Barat. Sedangkan, provinsi-provinsi yang mengalami peningkatan dalam sumbangan pendapatan adalah Provinsi Kalimatan Tengah dan Kepulauan Riau (Gambar 3.3). Meskipun, sumbangan pendapatan perempuan mengalami peningkatan di Kalimantan Tengah dan Kepulauan Riau selama 2009-2010, tetapi peningkatan tersebut belum cukup kuat untuk mendorong peningkatan IPG.

  • 30 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Gambar 3.4 Perkembangan Komponen IPG, 2009-2010

    Sumber: Diolah khusus dari tabel lampiran

    Komponen lainnya yang juga mempunyai kontribusi terhadap kenaikan IPG adalah angka harapan hidup, angka melek huruf, dan rata-rata lama sekolah. Melihat sifat dari ketiga komponen ini tampaknya tidak dapat berharap banyak untuk meningkatkan IPG, mengingat pertumbuhannya relatif lambat. Namun demikian, bukan berarti bahwa ketiga komponen ini dibiarkan tanpa upaya perbaikan, melainkan secara terus menerus perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan di setiap pelaksanaan pogram pembangunan. Upaya perbaikan di bidang sosial dilakukan tidak hanya pada bidang kesehatan dan pendidikan saja, tetapi meliputi bidang-bidang sosial lainnya agar kualitas sumber daya manusia semakin membaik dan pada gilirannya kualitas hidup manusia Indonesia akan meningkat. Untuk melihat lebih jauh hasil pembangunan bidang sosial yang telah dicapai selama setahun terakhir, maka subbab berikut menelaah perkembangan komponen IPG yang mencakup indikator harapan hidup, melek huruf dan rata-rata lama sekolah.

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 31

    3.1.2 Angka Harapan Hidup

    Angka harapan hidup (AHH) adalah rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Indikator ini sering digunakan untuk mengevalusi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya di bidang kesehatan. Gambar 3.4 memperlihatkan AHH laki-laki dan perempuan dalam dua tahun terakhir. AHH laki-laki dan perempuan dari tahun 2009-2010 sama-sama mengalami peningkatan, meski tidak signifi kan. Kenaikan AHH baik untuk laki-laki maupun perempuan kurang dari 0,5 tahun dan cenderung melambat dibanding dengan kenaikan AHH tahun sebelumnya. AHH laki-laki cenderung lebih rendah dibanding AHH perempuan yang mencapai kisaran 4 tahun lebih pendek dibanding perempuan.

    Secara umum pembangunan di bidang kesehatan di Indonesia telah membawa dampak semakin membaiknya kualitas kesehatan penduduk. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan AHH yang meningkat dari waktu ke waktu tidak saja menyangkut AHH laki-laki, tetapi juga AHH perempuan. Tetapi sayangnya, level AHH yang dicapai penduduk laki-laki masih jauh dibawah level AHH yang dicapai perempuan, yakni di level 60-an tahun untuk laki-laki berbanding level 70-an tahun untuk perempuan. Banyak faktor penyebab rendahnya AHH laki-laki dibandingkan AHH perempuan seperti kesehatan, perilaku, dan kemampuan bertahan hidup. Hasil kajian dari aspek kesehatan, salah satunya mengungkapkan bahwa banyaknya kejadian kematian pada laki-laki umumnya bersifat prematur yang seharusnya dapat dicegah melalui tindakan promosi kesehatan atau pencegahan yang dapat dilakukan sedini mungkin. Selain itu, beberapa penyakit yang menjadi penyebab kematian pada laki-laki adalah penyakit jantung, paru, stroke, hipertensi, diabetes dan kanker. Lebih lanjut, hal yang menarik lain yang perlu diketahui terkait masalah kesehatan pada laki-laki adalah sifat atau perasaan yang umum dijumpai pada laki-laki yaitu ketakutan, malu dan tak mau mengalah. Ketakutan akan eksistensinya sebagai laki-laki yang diragukan, malu untuk menyatakan diri sakit yang diidentikkan sebagai kelemahan dan selalu berusaha menampilkan diri serba mampu sehingga muncul sifat tak mau mengalah.

    Perkembangan AHH perempuan mengalami peningkatan selama periode 2004-2010. Pada tahun 2004 AHH perempuan mencapai 69,60 tahun, kemudian tahun berikutnya meningkat lagi di level 70-an tahun menjadi 71,47 tahun pada tahun 2010. Peningkatan AHH perempuan juga diikuti peningkatan AHH laki-laki, hanya saja level yang dicapai di angka 60-an tahun. Pada tahun 2004 AHH laki-laki mencapai 65,70, meningkat menjadi 67,51 tahun pada tahun 2010 (Gambar 3.5). Lebih jauh, pada gambar tersebut terlihat pola peningkatan AHH

  • 32 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    perempuan juga diikuti oleh peningkatan AHH laki-laki tetapi peningkatan kedua AHH tersebut tidak cukup nyata mempersempit gap antara pencapaian AHH perempuan dan laki-laki. Tetapi, dalam jangka panjang perbedaan tersebut diperkirakan semakin mengecil sejalan dengan perbaikan pelayanan di bidang kesehatan.

    Gambar 3.5 Perkembangan Angka Harapan Hidup (Tahun), 2004-2010

    65,70 66,2066,50 66,78

    67,08 67,47 67,51

    69,60 70,2070,50 70,72 71,04

    71,43 71,47

    62,00

    64,00

    66,00

    68,00

    70,00

    72,00

    2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010Laki-laki Perempuan

    Sumber: Diolah khusus dari tabel lampiran

    3.1.3 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah

    Kemajuan di bidang pendidikan memiliki andil yang sangat besar dalam kemajuan pembangunan manusia karena pendidikan membawa dampak positif yang nyata di masa mendatang. Penuntasan buta huruf dan penurunan angka putus sekolah menjadi program prioritas dalam kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah. Pembangunan serta revitalisasi gedung-gedung sekolah merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan partisipasi sekolah secara berkelanjutan.

    Indikator pendidikan yang merepresentasikan dimensi pengetahuan baik dalam IPM maupun IPG adalah Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata lama Sekolah (MYS). AMH menggambarkan persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang mampu baca tulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang dijalani oleh penduduk usia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal.

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 33

    Gambar 3.6 Perkembangan Angka Melek Huruf (Persen), 2004-2010

    94,04 94,34 94,6095,22 95,38 95,65 95,65

    86,8087,54

    88,40 88,62 89,1089,68

    90,52

    82,0084,0086,0088,0090,0092,0094,0096,0098,00

    2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

    Laki-laki Perempuan

    Sumber: Diolah khusus dari tabel lampiran dan Publikasi IPM berbagai tahun

    Perkembangan AMH selama periode 2004-2010 terus meningkat meskipun peningkatannya berjalan lambat, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peningkatan indikator sosial seperti kesehatan dan pendidikan tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek. Hal ini berlaku baik untuk AMH laki-laki maupun perempuan. Namun posisi perempuan di bidang pendidikan diakui masih lebih rendah dibanding laki-laki. Penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas yang buta huruf mencapai 9,48 persen, sedangkan laki-laki hanya 4,35 persen. Atas dasar fakta tersebut, bahwa pembangunan pendidikan yang dilaksanakan masih terjadi ketimpangan pencapaian kapabilitas kemampuan baca tulis antara laki-laki dan perempuan. Salah satu penyebab ketimpangan tersebut antara lain akibat belum meratanya akses pendidikan dasar bagi perempuan terutama bagi keluarga dengan kemampuan ekonomi yang sangat terbatas atau keluarga miskin yang jumlahnya masih cukup besar.

    Seperti halnya dengan komposisi besaran melek huruf penduduk, untuk besaran rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki lebih lebih tinggi pada kisaran 1 tahun dibandingkan rata-rata lama sekolah penduduk perempuan. Pada tahun 2010 MYS laki-laki mencapai 8,34 tahun, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 8,24. Artinya pada tahun 2009-2010 secara umum pendidikan penduduk laki-laki di Indonesia yang dijalani setara dengan kelas 2 SMP. Sedangkan MYS perempuan meningkat dari 7,32 menjadi 7,50 pada tahun 2010, yang berarti setara dengan kelas 1 SMP. Pola seperti ini berlangsung dari tahun ke tahun selama periode 2004-2010. Perbedaan pencapaian rata-rata lama sekolah antara

  • 34 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    laki-laki dan perempuan hampir tidak mengalami perubahan selama kurun waktu lima tahun, hanya pada tahun 2008 pernah mengalami penyempitan gap rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki dan perempuan.

    Gambar 3.7 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah (Tahun), 2004-2010

    7,79 7,79 7,907,97 7,98

    8,24 8,34

    6,71 6,806,90 6,98

    7,097,32

    7,50

    5,00

    5,50

    6,00

    6,50

    7,00

    7,50

    8,00

    8,50

    9,00

    2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

    Laki-laki Perempuan

    Sumber : Diolah khusus dari tabel lampiran dan Publikasi IPM berbagai tahun

    3.2 Persamaan Peranan dalam Pengambilan Keputusan

    Stereotip perempuan sebagai makhluk yang lemah dan hanya berkutat pada urusan rumah tangga saja lambat laun semakin memudar. Hal ini didukung oleh semakin terbukanya peluang perempuan untuk berpartispasi di berbagai bidang pembangunan. Namun keadaan ini terlihat lebih menonjol hanya di daerah perkotaan yang sarat dengan kemajuan di berbagai bidang. Sebenarnya peranan perempuan untuk berpartisipasi di berbagai bidang pembangunan telah diakui dan dihargai. Tidak ada satu katapun dalam pasal-pasal UUD 1945 yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Undang-undang telah mengatur persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga Negara baik laki-laki maupun perempuan untuk menjalankan perannya di berbagai kehidupan.

    Pada kenyataannya, perempuan masih mengalami ketertinggalan dibanding kan dengan laki-laki pada bidang-bidang seperti pendidikan, ketenaga-kerjaan, maupun pengambilan keputusan. Namun demikian, pemerintah terus ber upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam pembagunan melalui peningkatan kapabilitas dasar SDM. Keseriusan pemerintah dalam mengupayakan

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 35

    peningkatan kapabilitas perempuan untuk tercapainya kesetaraan gender ditandai dengan dibentuknya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA). KPP dan PA merupakan lembaga pemerintah yang diberi mandat formal berupa amanat dan tugas serta tanggung jawab dalam menangani pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk men dorong kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan sudah mulai tampak hasilnya. Secara kuantitas banyak perempuan telah menduduki jabatan strategis yang memungkinkan perempuan dapat berperan sebagai pengambil keputusan. Namun dari aspek kualitas masih banyak hal yang perlu ditingkatkan terkait dengan kompetensi bersangkutan. Untuk mengkaji lebih jauh peranan perempuan dalam pengambilan keputusan, maka dapat digunakan indeks pemberdayaan gender (IDG).

    IDG dibentuk berdasarkan tiga komponen, yaitu keterwakilan perempuan dalam parlemen; perempuan sebagai tenaga profesional, teknisi, kepemimpinan dan ketatalaksanaan; dan sumbangan pendapatan. Dengan demikian, arah dan perubahan IDG sangat dipengaruhi oleh ketiga komponen pembentuk IDG. Besaran nilai indikator yang terekam dari kegiatan pengumpulan data (survey) merupakan hasil akumulasi dari berbagai kebijakan baik bersifat langsung maupun tidak langsung dari program-program pembangunan yang telah dilaksanakan. Hasilnya menggambarkan kondisi terkini (riil) perempuan sehubungan dengan peranannya dalam pengambilan keputusan.

    Gambar 3.8 Perkembangan IDG 2004-2010

    54,0

    56,0

    58,0

    60,0

    62,0

    64,0

    66,0

    68,0

    70,0

    00

    00

    00

    00

    00

    00

    00

    00

    00

    2

    5

    2004

    59,70

    200

    61,

    05

    ,30

    20

    6

    006

    61,800

    2007

    62,

    7

    10

    20

    62

    008

    2,27

    22009

    63,5

    9

    52

    201

    68

    10

    8,15

    Sumber : Diolah khusus dari tabel lampiran

  • 36 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Secara umum peranan perempuan dalam pengambilan keputusan di Indonesia yang diukur melalui IDG memperlihatkan perkembangan yang semakin membaik. Pada tahun 2004, IDG di Indonesia mencapai 59,70, kemudian sejalan dengan berbagai kebijakan pembangunan yang dilaksanakan IDG meningkat perlahan setiap tahun, hingga menjadi 68,15 pada tahun 2010. Berarti peranan perempuan dalam pengambilan keputusan pada tahun 2004 baru mencapai sebesar 59,70 persen dari peranan yang dijalankan laki-laki, kemudian meningkat menjadi 68,15 persen pada tahun 2010 (Lihat Gambar 3.8).

    Persamaan dalam peranan bagi perempuan memiliki arti penting tidak hanya sekedar dalam persamaan status dan kedudukan, tetapi lebih kepada persoalan pemberdayaan. Dalam pengertian yang lebih luas pemberdayaan sudah mencakup adanya upaya peningkatan kapabilitas perempuan untuk berperanserta dalam berbagai bentuk pengambilan keputusan serta memiliki kesempatan dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian pemberdayaan dalam konteks ini, perempuan diposisikan memiliki peranan yang strategis. Untuk mengetahui lebih jauh peranan perempuan dalam pengambilan keputusan, maka perlu mengkaji setiap komponen IDG.

    3.2.1 Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen

    Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk membangun kehidupan kebangsaan yang lebih baik. Perbaikan kualitas, status, dan peran perempuan dalam pembangunan memiliki peranan penting untuk meningkatkan keadilan sosial. Banyak analisa memberikan bukti, rendahnya pendidikan dan keterampilan perempuan, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, serta terbatasnya akses terhadap sumber daya pembangunan akan membatasi produktivitas bangsa, membatasi pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi efi siensi pembangunan secara keseluruhan. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas perempuan dilakukan dalam rangka menciptakan kesetaraan hak-hak asasi dan keadilan sosial bagi perempuan dan laki-laki, serta alasan efi siensi ekonomi dalam pembangunan.

    Upaya peningkatan kualitas perempuan meliputi banyak hal, tidak hanya dibidang sosial dan ekonomi saja, tetapi juga di bidang politik. Seperti yang diketahui, bahwa pekerjaan di bidang politik tampaknya tidak mudah karena memerlukan persyaratan tinggi seperti pengetahuan yang luas tentang berbagai hal yang menyangkut persoalan politik. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dibidang politik akan membawa pengaruh besar terhadap keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan. Tetapi sayangnya, secara kuantitas

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 37

    jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam politik khususnya sebagai anggota parlemen (baca: DPR) kecil. Padahal, menurut UU No.12 Tahun 2003, kuota perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam politik sekitar 30 persen. Namun jumlah keterwakilan perempuan di parlemen hasil pemilu 2004 hanya mencapai 61 kursi dari 550 kursi atau sekitar 11,1 persen yang ada di DPR.

    Gambar 3.9 Persentase Anggota DPR RI Periode 2009-2014

    82.51

    17.49

    laki-laki perempuan

    Sumber : Media Center KPU

    Berdasarkan hasil Pemilu tahun 2009, perempuan hanya mengisi 17,49 persen saja dari keseluruhan anggota DPR yang lolos. Persentase tersebut masih relatif sedikit untuk menyuarakan suara perempuan yang jumlahnya lebih dari separuh penduduk Indonesia. Keadaan ini terjadi pada setiap periode pemilihan umum keanggotaan DPR dimana hasil dari pemilu tersebut masih didominasi laki-laki. Untuk mencapai target kuota sebesar 30 persen yang seringkali dituntut oleh banyak kalangan tampaknya masih jauh. Meski demikian jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2004 peranan perempuan dibidang politik tahun 2009 masih lebih tinggi.

  • 38 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Tabel 3.3 Perkembangan Jumlah Anggota DPR RI, 1955-2009

    Tahun Pemilu Laki-laki Perempuan Jumlah1955 256 16 2721971 429 31 4601977 423 37 4601982 418 42 4601987 441 59 5001992 438 62 5001997 442 58 5001999 456 44 5002004 485 65 5502009 460 100 560

    Sumber : Statistik Indonesia berbagai tahun

    3.2.2 Tenaga Profesional, Kepemimpinan, dan Teknisi

    Selain indikator keanggotaan perempuan dalam DPR, indikator perempuan sebagai tenaga profesional, kepemimpinan, dan teknisi juga merupakan komponen pembentuk IDG. Indikator ini menunjukkan peranan perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan ekonomi dan sosial. Keterlibatan perempuan di posisi ini memberikan gambaran kemajuan terhadap peranan perempuan, mengingat selama ini perempuan hanya dipandang sebagai makhluk berurusan dengan pekerjaan rumah tangga. Padahal perempuan memiliki potensi yang sama baiknya dengan laki-laki, hanya perempuan kurang memiliki kesempatan karena terbentur oleh persoalan budaya serta kodrat yang melekat terkait dengan fungsi-fungsi reproduksi (Parawansa, 2003). Hanya sayangnya, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang penyelenggaraan pemerintahan, swasta, dan organisasi sosial lainnya sangat kecil, mengingat masih terbatasnya perempuan sebagai tenaga profesional, kepemimpinan/managerial, administrasi, serta teknisi.

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 39

    Gambar 3.10 Penduduk 15 ke Atas Bekerja Sebagai Tenaga Profesional, Kepemimpinan, Administrasi, Teknisi, 2009-2010

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    0,0

    10,0

    20,0

    30,0

    40,0

    50,0

    60,0

    00

    00

    00

    00

    00

    00

    00

    20

    54,

    009

    ,52

    L

    45

    aki-l

    5,48

    aki PPereempu

    201

    55,

    uan

    10

    ,98

    44,,02

    Sumber: BPS, Sakernas Februari, 2010

    Perempuan yang bekerja sebagai tenaga profesional, kepemimpinan, administrasi, dan teknisi mencapai 45,48 persen di tahun 2009, hampir mencapai separuhnya dari seluruh tenaga kerja profesional, kepemimpinan, administrasi, dan teknisi Namun prestasi ini tidak bertahan selama satu tahun ke depan, karena persentase perempuan sebagai tenaga profesional, kepemimpinan, administrasi, dan teknisi menurun menjadi 44,02 persen pada tahun 2010. Penurunan ini tidak selalu dimaknai, jumlah perempuan yang bekerja sebagai tenaga profesional, kepemimpinan, administrasi, dan teknisi berkurang, melainkan perkembangan laki-laki yang bekerja sebagai tenaga profesional, kepemimpinan, administrasi, dan teknisi tumbuh lebih pesat dibanding perempuan.

    Pada tahun 2010, terdapat sekitar 44,02 persen perempuan di Indonesia telah menduduki berbagai jabatan penting seperti tenaga profesional, teknisi, kepemimpinan dan ketatalaksanaan yang kesemuanya merupakan jabatan yang sarat dengan pekerjaan pengambilan keputusan. Meskipun demikian, persentase tersebut relatif masih rendah karena belum mencapai separuh dari keseluruhan penduduk perempuan. Jumlah perempuan yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama satu tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup signifi kan. Pada tahun 2009 jumlah PNS perempuan mencapai 1,77 juta orang atau sekitar 43,63 persen dari total PNS. Setahun kemudian jumlah PNS perempuan meningkat menjadi 2,14 juta atau sekitar 46,49 persen dari 4,6 juta PNS pada tahun 2010. Peningkatan jumlah PNS perempuan ini merupakan salah satu dampak dari meningkatnya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yang mengalami peningkatan sekitar 0,73 poin persen dari 51,77 persen pada tahun 2009 menjadi 52,50 persen pada tahun 2010 (BPS, 2010).

  • 40 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    Gambar 3.11 Persentase PNS Perempuan, 2007-2010

    42

    43

    44

    45

    46

    47

    20

    4

    007

    45,733

    200

    44

    08

    4,72

    20

    4

    009

    43,663

    201

    46

    10

    6,49

    Sumber : BPS, Statistik Indonesia Tahun 2010

    Dari keseluruhan jumlah PNS perempuan, yakni sekitar 2,14 juta pada tahun 2010, terdapat 49,9 ribu atau sekitar 22,80 persen PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam pengambilan keputusan masih relatif sangat kecil. Dan diantaranya, hanya sebagian kecil perempuan yang menempati posisi sebagai pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan. Untuk itu masih diperlukan upaya lebih serius dari berbagai pihak terutama penentu kebijakan dalam rangka mendorong perempuan lebih maju dalam mencapai kapabilitas yang optimum sehingga dapat berpeluang menduduki jabatan-jabatan strategis.

    Gambar 3.12 Persentase PNS yang Menduduki Jabatan Struktural, 2007-2010

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    0

    0

    0

    0

    0

    0

    2007

    78,

    21,

    7

    ,95

    ,05

    20

    7

    2

    Laki008

    78,12

    21,88

    i-lak

    2

    8

    ki Per200

    77

    22

    remp09

    7,67

    2,33

    puann2010

    77,2

    22,8

    20

    80

    Sumber : BPS, Statistik Indonesia Tahun 2010

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 41

    3.3 Status Pembangunan Gender

    Secara umum pembangunan gender di Indonesia selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Peningkatan ini tidak terlepas dari upaya berbagai pihak dalam mendorong kemajuan perempuan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Peningkatan pembangunan gender di tingkat nasional merupakan gambaran kemajuan pembangunan gender di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pembangunan gender di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota selama dua tahun terakhir mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan ini didasarkan pada ukuran status pembangunan yang memiliki empat kriteria, yakni status rendah (IPG

  • 42 | Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011

    kota yang merupakan hasil pemekaran dari wilayah sebelumnya. Pertambahan jumlah kabupaten/kota tersebut memiliki andil dalam pergeseran status pembangunan gender pada level kabupaten/kota. Kabupaten/kota dengan status pembangunan menengah atas mengalami kemajuan yang cukup pesat, yaitu dari 132 kabupaten/kota menjadi 160 kabupaten/kota. Namun, hasil pemekaran wilayah kabupaten/kota tersebut juga menyebabkan jumlah kabupaten/kota yang berstatus pembangunan rendah bertambah sebanyak 9 kabupaten/kota. Pertambahan jumlah kabupaten/kota pada status pembangunan gender rendah tersebut sebagian besar terjadi di wilayah Papua, baik pada kabupaten/kota lama maupun kabupaten/kota hasil pemekaran. Sama halnya dengan IPM, posisi Papua dalam pembangunan manusia berbasis gender pun masih menempati posisi rendah ditambah dengan banyaknya pemekaran di wilayah tersebut.

    3.4 Disparitas Pencapaian Pembangunan Gender

    Pembangunan nasional seyogianya merupakan pembangunan merata di seluruh wilayah Indonesia, tetapi salah satu masalah pembangunan di Indonesia adalah kesenjangan pembangunan antar wilayah. Wilayah bagian barat Indonesia cenderung mengalami pembangunan yang lebih pesat dibandingkan wilayah bagian timur Indonesia. Akibatnya, kualitas sumber daya di wilayah timur Indonesia jauh tertinggal dibandingkan sumber daya manusia di wilayah bagian barat Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan ketertinggalan pembangunan di wilayah bagian timur Indonesia, salah satunya terkait dengan kondisi alamnya dan kondisi Infrastruktur di bagian pedalaman yang sangat buruk sehingga tercipta daerah-daerah kantong yang terisolasi (BPS, 2001). Ketertinggalan pembangunan di wilayah timur bagian Indonesia menyebabkan terjadinya kesenjangan antarwilayah yang tercermin dari hasil pencapaian pembangunan gender. Pada subbab ini akan mengulas lebih jauh tentang kesenjangan pembangunan gender antarwilayah di Indonesia.

    3.4.1 Capaian IPG Provinsi

    Gambaran lebih lengkap mengenai tingkat pencapaian pembangunan gender sebagai dampak dari kegiatan pembangunan di suatu provinsi, maka dapat dilihat dari angka IPG provinsi. Pada Gambar 3.14, menunjukkan pencapaian IPG setiap provinsi pada tahun 2010. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa pencapaian IPG delapan provinsi melebihi rata-rata IPG nasional. Delapan provinsi tersebut berturut-turut adalah DKI Jakarta, DI.Yogyakarta, Sumatera

  • Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011 | 43

    Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Bali, dan Bengkulu. Namun demikian, jika dilihat dari perkembangannya pencapaian IPG untuk seluruh provinsi menunjukkan peningkatan. Hal ini berarti bahwa pembangunan gender di semua provinsi telah menunjukkan kemajuan, tetapi masih perlu upaya lebih kuat lagi untuk meningkatkan kapabilitas perempuan mengingat kesenjangan gender masih terjadi di semua provinsi.

    Pada tahun 2009 IPG Indonesia mencapai 66,77, setahun kemudian IPG Indonesia meningkat sebesar 0,43 poin menjadi 67,20. Peningkatan IPG ini menunjukkan indikasi keberhasilan dalam pembangunan gender. Namun demikian, bila dibandingkan dengan IPM (72,27), maka keberhasilan tersebut masih menyisakan kesenjangan.

    Gambar 3.13 IPG Provinsi Menurut Peringkat, 2009

    50

    55

    60

    65

    70

    75

    DKI

    DIY

    SUM

    UT

    KALT

    ENG

    SULU

    T

    SUM

    BAR

    BEN

    GKU

    LU

    BALI

    MAL

    UKU

    RIAU

    JATE

    NG

    SUM

    SEL

    SULB

    AR

    NAD

    KALS

    EL

    NTT

    JATI

    M

    MAL

    UT

    KALB

    AR

    SULT

    RA

    KEPR

    I

    JAM

    BI

    LAM

    PUN

    G

    SULT

    ENG

    BAN

    TEN

    PAPU

    A

    JABA

    R

    SULS

    EL

    BABE

    L

    KALT

    IM

    PAPB

    AR NTB

    GORO

    NTA

    LO

    Indonesia (66.77)

    Sumber : Diolah khusus dari tabel lampiran

    Gambar 3.14 IPG Provinsi Menurut Peringkat, 2010

    50,00

    55,00

    60,00

    65,00

    70,00

    75,00

    DKI

    DIY

    SUM

    UT

    KALT

    ENG

    SUM

    BAR

    SULU

    T

    BALI

    BEN

    GKU

    LU

    MAL

    UKU

    SUM

    SEL

    JATE

    NG

    RIAU

    SULB

    AR

    NAD

    JATI

    M

    KALS

    EL

    NTT

    MAL

    UT

    KALB

    AR

    SULT

    RA

    KEPR

    I

    JAM

    BI

    LAM

    PUN

    G

    BAN

    TEN

    SULT

    ENG

    JABA

    R

    SULS

    EL

    PAPU

    A

    KALT

    IM

    BABE

    L

    PAPB

    AR

    GORO

    NTA

    LO NTB

    Indonesia (67.20)

    Sumber : Diolah khusus dari tabel lampiran

  • 44 | Pembangun