PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA...

91
PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI (Studi Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: MUHAMAD NURHASAN NIM: 11140480000049 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1440 H /2018 M

Transcript of PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA...

Page 1: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW

PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI

(Studi Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMAD NURHASAN

NIM: 11140480000049

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H /2018 M

Page 2: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

i

PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW

PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI

(Studi Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMAD NURHASAN

NIM: 11140480000049

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2018 M

Page 3: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

ii

PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW

PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI

(Studi Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMAD NURHASAN

NIM: 11140480000049

Dosen Pembimbing:

Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H

NIP. 19540303 197611 1 001

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2018 M

Page 4: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...
Page 5: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...
Page 6: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

v

ABSTRAK

Muhamad Nurhasan. NIM 11140480000049. PEMBATALAN KEWENANGAN

EXECUTIVE REVIEW PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI (Studi

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/XIV-PUU/2016 Skripsi

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2018 M/1440 H, x + 80 Halaman.

Studi ini bertujuan untuk menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 56/XIV-PUU/2016 agar dapat diketahui pertimbangan hakim dalam

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan

peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Gubernur dan Menteri serta

untuk mengetahui Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016. Latar belakang penelitian ini adalah ketika

Pemerintah Pusat yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri dan Gubernur dapat

membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dan itu bertentangan

dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. Mahkamah berpendapat

bahwa kewenangan Pemerintah Pusat dalam membatalkan Peraturan Daerah adalah

inkonstitusional akan tetapi, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016 masih menyisakan masalah konstitusional hal ini dikarenakan Gubernur

dan Menteri masih dapat membatalkan Peraturan Kepala Daerah yang sebenarnya

juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan

teknik pengumpulan data library research yang mengkaji berbagai dokumen terkait

objek penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pertimbangan Hakim pada Putusan

Mahkamah Konstitusi terdapat inkonsistensi mahkamah menyatakan bahwa

Keputusan Kepala Daerah bukan bagian dari jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan padahal Peraturan Kepala Daerah dikenal 2 (dua) istilah yakni

sebagai peraturan kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Kemudian

eksistensi atau keberadaan Peraturan Kepala Daerah itu sendiri masih menjadi

masalah konstitusional hal ini dikarenakan Peraturan Kepala Daerah sebagai

produk hukum yang berada dibawah undang-undang yang mestinya pengujiannya

dilakukan oleh Mahkamah Agung tetapi masih dapat diuji oleh mekanisme

executive review.

Kata Kunci : Pembatalan Kewenangan, Executive Review, Peraturan Kepala Daerah

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai Tahun 2017

Page 7: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

vi

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Alhamdulillah, puji syukur Hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi

ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad

Shallallahu ‘alaihi Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di

akhirat kelak. Amiin.

Selanjutnya peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pihak baik secara

langsung maupun tidak langsung yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi

ini.

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah & Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Drs. Abu Tamrin, S.H. M. Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengarahkan

menyelesaikan skripsi

4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H, Dosen Pembimbing, yang dengan

arahan dan bimbingan serta kesabaran beliau sehingga peneliti bisa

menyelesaikan skripsi ini

5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

mengizikan saya untuk mencari dan meminjam buku – buku referensi dan

sumber – sumber data lainnya yang diperlukan.

6. Pihak­pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaikan karya tulis ini sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dan

studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian ucapan terima kasih peneliti, semoga Allah SWT. memberikan

pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Peneliti menyadari

bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang

Page 8: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

vii

bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Peneliti

berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan bagi para

pembaca umumnya. Amiin

Jakarta, 17 Desember 2018

Peneliti,

Muhamad Nurhasan

Page 9: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv

ABSTRAK .................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................. vi

DAFTAR ISI ................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5

D. Metode Penelitian...................................................................... 6

E. Sistematika Penulisan................................................................ 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual ................................................................ 12

1. Pembatalan ......................................................................... 12

2. Kewenangan ....................................................................... 13

3. Pembatalan Kewenangan ................................................... 14

4. Executive review ................................................................ 15

5. Kementerian Dalam Negeri ............................................... 16

6. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 56/PUU-XIV/2016 ................................................. 18

7. Eksistensi ........................................................................... 20

8. Peraturan Kepala Daerah ................................................... 20

B. Kerangka Teori ......................................................................... 21

1. Teori Pengujian Peraturan Perundang-Undangan .............. 21

a. Hak Menguji (Toetsingrecht) ...................................... 21

Page 10: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

ix

b. Legislative Review .................................................. 24

c. Executive Review .................................................... 26

d. Judicial Review ...................................................... 31

2. Teori Negara Hukum .................................................. 34

3. Teori Norma Hukum .................................................. 36

C. Kedudukan Peraturan Kepala Daerah

Dalam Tata Hukum Indonesia .............................................. 39

D. Studi (Review) Kajian Terdahulu ......................................... 44

BAB III KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI

DALAM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN

PERATURAN KEPALA DAERAH

A. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah .............................. 46

1. Konsep Good Governance

dalam pemerintahan ........................................................ 46

2. Otonomi daerah dan desentralisasi.................................. 47

3. Hubungan Antara Pusat dan Daerah

dalam otonomi UU No 23 Tahun 2014 ........................... 49

B. Dasar Hukum Menteri Dalam Negeri Membatalkan

Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah ................... 53

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 56/PUU-XIV/2016

A. Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 56/PUU-XIV/2016 .................................................... 57

B. Pertimbangan Hakim Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 .................................. 60

C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

56/PUU-XIV/2016 ................................................................ 64

D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 56/PUU-XIV/2016 .................................................... 66

Page 11: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

x

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 74

B. Rekomendasi ........................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 76

Page 12: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Indonesia sejak awal kemerdekaannya telah memilih sebagai negara

Republik. Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

atau disingkat dengan (UUD NRI 1945) menyatakan, bahwa “Negara

Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.1” , Pasal 18 ayat

(1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu

mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Amanat UUD NRI 1945 pasca amandemen memisahkan pola

pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik atau otonomi daerah.

Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat

sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan,

penggerakan, dan pengawasan dalam pengelolaan pemerintah daerah dalam

penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan layanan yang prima

kepada publik2.

Peraturan daerah hadir sebagai bentuk produk hukum legislasi daerah

maka sebab itu untuk memenuhi asas otonomi daerah dan tugas pembantuan

Pemerintah Daerah bersama DPRD melakukan upaya-upaya dalam

mewujudkan cita-cita masyarakat di daerah salah satunya dengan membuat

regulasi yang mengakomodir keinginan masyarakat di daerah. Salah satu

kewenangan yang sangat penting dari suatu daerah yang berwenang mengatur

dan mengurus rumah tangganya sendiri ialah kewenangan untuk menetapkan

1 A. Salman Maggalatung & Nur Rohim Yunus, POKOK-POKOK TEORI ILMU

NEGARA (Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia, (Jakarta: Fajar Media, 2013), h.148-149

2 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2008, Ed 1-3), h.5

Page 13: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

2

Peraturan Daerah. Hak untuk menetapkan Peratuan Daerah disebut hak

legislatif (legislatieve bevoeigdeheid, legislative power)3. Sebagai daerah

otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk

membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna

menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan

daerah (Perda) ditetapkan oleh kepala daerah, setelah mendapat persetujuan

bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)4. Namun di dalam

menyelenggarakan pemerintahannya sendiri Pemerintah di Daerah tidak selalu

menemui jalan mulus terutama dalam menikmati Hak legislasinya membuat

dan membentuk Peraturannya sendiri. Hal ini dikarenakan Peraturan tersebut

dibatalkan oleh Pemerintah yang mengumumkan membatalkan 3.143

Peraturan Daerah di seluruh Indonesia. Menteri Dalam Negeri sebagai pihak

yang berwenang dalam pembatalan ribuan Peraturan Daerah ini beralasan

bahwa Peraturan Daerah tersebut telah mengganggu iklim ekonomi dan

investasi5, sejatinya Peraturan Daerah hadir sebagai penjabaran dari peraturan

perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri

khas masing-masing daerah dan substansi materi tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi6.

Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri sudah tidak dapat lagi melakukan

executive review terhadap Peraturan Daerah yang dianggap bertentangan

3 Irawan Soejito, Teknik Membuat Peraturan Daerah, (ttp: Bina Aksara, 1989, Cet-

2), h.1.

4 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2008, Cet-2), h. 37.

5http://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2016/06/21/b/a/batal_perda_21_ju

ni_2016.pdf: diakses pada tanggal 9 Nov 2017

6 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia,... h. 37

Page 14: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

3

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kesusilaan, serta

kepentingan umum. Pemohon dalam Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016

beralasan Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) Undang-Undang Nomor 23 tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1)

dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 dengan alasan bahwa kewenangan

menguji materil peraturan perundang-undangam dibawah undang-undang

terhadap undang-undang merupakan kewenangan Mahkamah Agung selain

dari pada itu pemohon mendalilkan Pasal 251 ayat (7) dan (8) Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang Undang

Dasar NRI 1945 dengan alasan secara tegas hanya diakui penyelenggaraan

pemerintahan daerah dalam hal ini Gubernur pada tingkat Provinsi sebagai

subjek hukum yang dapat mengajukan keberatan kepada Presiden, terhadap

keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah pada

tingkat Provinsi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, dan

Bupati/Wali Kota pada tingkat Kabupaten/kota sebagai subjek hukum yang

dapat mengajukan keberatan kepada Menteri Dalam Negeri, terhadap

keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah pada

tingkat Kabupaten/Kota yang dilakukan oleh Gubernur.

Pertimbangan Majelis Hakim tidak bulat, sebanyak 4 (empat) orang

hakim Mahkamah Konstitusi berbeda pendapat (dissenting opinion) yang

menolak mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam membatalkan

peraturan daerah. Karena, dalam otonomi daerah, tanggung jawab

penyelenggaraan pemerintah berakhir di presiden. Selanjutnya, melengkapi

Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan

Nomor 56/PUUXIV/2016 menyatakan pemerintah pusat tidak lagi memiliki

kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan

tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan

pemerintah dalam produk hukum daerah, hal ini dikarenakan putusan

Page 15: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

4

Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan

peraturan daerah kabupaten/kota7.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan kewenangan bagi Menteri

Dalam Negeri dan gubernur secara berjenjang untuk membatalkan peraturan

daerah dan peraturan kepala daerah yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau

kesusilaan. Pembatalan suatu peraturan daerah merupakan kewenangan

pemerintah pusat dalam kaitannya melaksanakan proses pengawasan kepada

daerah.

Problematika kewenangan pembatalan terhadap peraturan daerah dan

peraturan kepala daerah setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas

menarik untuk dikaji lebih mendalam, terutama apabila dikaitkan dengan aspek

konstitusionalitas kewenangan pembatalan peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang yang berdasarkan Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI 1945

diberikan kepada Mahkamah Agung serta Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945

tentang persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan. Berkenaan

dengan latar belakang di atas, karena itu dengan adanya hal tersebut judul

dalam penelitian ini adalah “PEMBATALAN KEWENANGAN

EXECUTIVE REVIEW PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI:

Studi Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat

mengemukakan identifikasi sebagai berikut:

7Eka NAM Sihombing, Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan

Daerah dan Peraturan Kepala Daerah: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-

XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016, Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2, agustus 2017, h.218-219

Page 16: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

5

a. Beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah yang bertentangan dengan Undang Undang

Dasar 1945

b. Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

c. Akibat hukum dari pembatalan Peraturan Daerah berdasarkan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

d. Inkonsistensi Pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas, maka

peneliti membatasi hanya pada eksistensi Peraturan Kepala Daerah pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait

Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang dilakukan

oleh Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah

untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama di atas, maka

peneliti merumuskan masalah yaitu: Pembatalan Kewenangan Executive

Review Pada Kementerian Dalam Negeri (Studi Analisis Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VIV/2016)

4. Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan

Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan peraturan daerah dan

peraturan kepala daerah oleh Gubernur dan Menteri Dalam Negeri ?

b. Bagaimana Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas,

penelitian ini bertujuan untuk:

Page 17: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

6

a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan peraturan

daerah dan peraturan kepala daerah oleh Gubernur dan Menteri Dalam

Negeri

b. Untuk mengetahui Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini sebagai bahan dokumentasi

tentang peninjauan pembatalan kewenangan executive review pada

Kementerian Dalam Negeri yang dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi

b. Secara praktis, hasil penelitian ini sebagai kontribusi pemikiran bagi

para peminat hukum tata negara dan praktisi ketatanegaraan dalam

menganalisis tentang Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

c. Secara akademis, hasil penelitian ini sebagai bahan penelitian lanjutan

bagi mahasiswa dan peneliti yang akan membahas masalah

peninjauan pembatalan kewenangan executive review pada

Kementerian Dalam Negeri yang dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif yuridis,

maka pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan

(statutory approach)8 dan Pendekatan Kasus (Case approach)9.

Pendekatan perundang-undangan (statutory approach), diterapkan guna

8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2005).h. 136

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 158

Page 18: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

7

memahami kewenangan pembatalan produk hukum daerah (peraturan

daerah) ditinjau dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah. Pendekatan Kasus (Case approach) diterapkan dalam mengamati

kasus mengenai pembatalan kewenangan executive review pada

kementerian dalam negeri agar dapat diketahui bagaimana pertimbangan

hakim pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

terkait Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah oleh

Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.

2. Jenis Penelitian

Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak

membutuhkan populasi dan sampel karena jenis penelitian ini

menekankan pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat

didalam perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan

berkembang di masyarakat.10, penelitian ini bersifat yuridis normatif,

sebagai ilmu normatif ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas sui

generis. Penelitian ini merupakan penelitian hukum (penelitian yuridis)

yang memiliki suatu metode yang berbeda dengan penelitian yang lainnya.

Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam

melakukan sebuah penelitian11. Penelitian hukum normatif adalah

penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem

norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,

kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,

perjanijian, serta doktrin (ajaran)12 Penelitian hukum normatif

mencangkup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap

10 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, (Bandung:

Alfabeta, 2005), h. 46

11 Abdulkadir Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2004), h. 57

12 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,

(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31

Page 19: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

8

sistematika hukum, penilitan terhadap sinkronisasi hukum, penelitian

sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.

Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian

doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis

hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses

pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)13

Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data

sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan

analisis normatif-kualitatif.14

3. Data Penelitian

Data penelitian dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder, bahan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim15, sedangkan data

sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku hukum, jurnal-jurnal

hukum serta berbagi pemikiran para pakar hukum sebagai sumber

informasi, untuk menganalisa data dan menjadi panduan berfikir16 dalam

penelitian untuk memberikan sebuah analisis dan solusi kongkrit bagi

permasalahan yang sedang di analisis.

4. Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data

sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang

diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap

berbagai literature atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau

13 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Kencana, 2006), h. 118

14 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2003), h. 3

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 181

16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 195-196

Page 20: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

9

materi penelitian yang sering disebut bahan hukum17.Bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup

ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan

mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat18. Bahan hukum yang

digunakan penulis merupakan bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh

dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel19yang berkaitan dengan

penelitian ini, yang memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan

hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penulisan penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, dan

disertasi serta artikel ilmiah dan tulisan di internet untuk memperkaya

sumber data dalam penulisan penelitian ini.

c) Bahan non-hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan

bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,20, sepertiKamus

Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan lain-lain.

17 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian

Hukum Normatif Dan Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2010), h. 156.

18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,... h.52

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,... h.52

20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,... h.52

Page 21: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

10

5. Subyek penelitian

Subyek penelitian yang akan di jadikan sebagai bahan analisis dalam

penelitian ini ialah, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah. Adapun hal lain yang akan di jadikan Sebagai bahan penunjang dan

bahan pelengkap penulisan karya ilmiah ini di dasarkan atas beberapa aspek

penelitian untuk mendapatkan sumber data dan informasi yang akurat, yang

kemudian dikaji dan di analisis untuk menemukan titik terang terhadap

permasalahan yang sedang di alami.

6. Metode analisis data

Sesuai dengan jenis penelitian bahwa penelitian ini termasuk jenis

penelitian kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel maka

data peneliti diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan

terhadap berbagai literature atau bahan pustaka yang berkaitan dengan

masalah atau materi penelitian yang sering disebut bahan hukum Adapaun

bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun

bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga

ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya setelah bahan hukum

diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya

akan diketahui bagaimana eksistensi Peraturan Kepala Daerah pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

E. Sistematika Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berdasarkan

pada buku pedoman panduan penyusunan skripsi dan karya tulis ilmiah yang

telah diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. Adapun sistematika penulisanya

adalah sebagai berikut:

BAB I : Bab ini Berisikan pendahuluan yang menguraikan latar

belakang masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan dan

Page 22: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

11

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II : Bab ini akan diuraikan dua pokok pembahasan yang mendukung

penulisan skripsi ini, diantaranya pembahasan terkait kerangka

konseptual dan kerangka teoritis yang menggambarkan secara

rinci konsep yang menjadi acuan dalam penulisan ini, yang

kemudian diuraikan ke dalam beberapa sub bab. Selanjutnya

akan dijelaskan terkait review (tinjauan ulang) studi terdahulu,

agar tidak ada persaman terhadap materi muatan dan

pembahasan dalam skripsi ini dengan apa yang di tulis oleh

pihak lain.

BAB III: Bab ini akan menguraikan Kewenangan Kementerian Dalam

Negeri dalam membatalkan peraturan daerah dan peraturan

kepala daerah serta menjelaskan tentang hubungan pemerintah

pusat dengan daerah dalam perspektif otonomi daerah dan

desentralisasi

BAB IV: Bab ini akan menguraikan tentang Analisis Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, kemudian pertimbangan

hakim konstitusi dan analisis putusan terkait eksistensi Peraturan

Kepala Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

56/PUU-XIV/2016 Pada Kementerian Dalam Negeri

BAB V: Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan

dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari

sistematika penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian

ini menarik beberapa kesimpulan dari penelitian untuk

menjawab rumusan masalah serta memberikan saran-saran

yang dianggap perlu.

Page 23: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual

1. Pembatalan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud

dengan “pembatalan” adalah proses, cara, perbuatan membatalkan;

pernyataan membatalkan. “pembatalan” berasal dari kata dasar “batal”

yang artinya tidak berlaku; tidak sah;. Pembatalan dalam hal ini adalah

pembatalan dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang

dilakukan oleh suatu badan peradilan yakni Mahkamah Konstitusi atau

yang dikenal dengan sebutan judicial review, adanya pembatalan diawali

dengan sebuah permohonan yang dilakukan oleh pemohon yang memiliki

kedudukan hukum, kemudian permohonan tersebut diproses dalam

persidangan, dan setelah itu berakhir dalam sebuah putusan yang dimana

putusan tersebut merupakan pendapat tertulis hakim tentang perdebatan

perbedaan penafsiran norma yang ada dalam Undang-Undang dengan

norma atau prinsip yang ada dalam Undang Undang Dasar, dalam sebuah

putusan terdapat amar putusan yang apabila amar putusan tersebut

mengabulkan satu permohonan pengujian, yang menyatakan satu atau

beberapa pasal, ayat, bagian dari Undang-Undang atau Undang-Undang

secara keseluruhan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka

pasal, ayat, bagian dari Undang-Undang, atau Undang-Undang secara

keseluruhan yang diuji tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang

mengikat. Putusan yang demikian menegaskan bahwa ketentuaan norma

dalam Undang-Undang yang telah diuji dinyatakan batal (null and void)

dan tidak berlaku lagi”.1

1 Maruarar Siahaan, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum

Konstitusi, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 16 (Juli, 2009), h.358

Page 24: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

13

2. Kewenangan

Dasar dalam menyelenggarakan roda pemerintahan adalah asas

legalitas, dari asas legalitas ini timbullah sebuah legitimasi, karena

legitimasi diperlukan dalam menjalankan setiap roda pemerintahan,

legitimasi merupakan sebuah kewenangan yang diberikan oleh undang-

undang. Karena substansi dari asas legalitas adalah wewenang2. Menurut

pengertian umum wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak

atau melakukan sesuatu, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan

melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain3.

Kewenangan merupakan salah satu cabang dari kekuasaan,

keduanya hanya dibedakan dari segi keabsahan (legitimasi), kekuasaan

tidak harus memiliki legitimasi atau keabsahan, berbeda dengan

kewenangan dia merupakan kekuasaan yang harus mempunyai keabsahan

atau legitimasi4. Beberapa sarjana berpendapat bahwa tidak terdapat

perbedaan yang prinsip pada pengertian “kekuasaan” dan “wewenang”,

menurut Soerjono Soekanto kekuasaan adalah kemampuan badan yang

lebih tinggi untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada

pada pemegang kekuasaan, biarpun kemampuan tersebut mempunyai atau

tidak mempunyai dasar yang sah. Sedangkan wewenang menurut Bagir

Manan, Stout, dan Nicolai yaitu kemampuan yang diperoleh berdasarkan

aturan-aturan untuk melakukan tindakan tertentu yang dimaksud untuk

menimbulkan akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus kewajiban

(rechten en plichten). Lukman Hakim dalam jurnalnya menyimpulkan

pengertian dari kekuasaan dan kewenangan dari beberapa sarjana yang

2 Abdul Rauf Alauddin Said, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-

Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Seluas-luasnya Menurut UUD 1945, Fiat Justisia Jurnal Ilmu

Hukum Volume 9 No. 4, (Oktober-Desember, 2015), h.580

3 Lukman Hakim, Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan, Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No.1, (Juni, 2011), h.115.

4 Abdul Rauf Alauddin Said, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-

Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Seluas-luasnya Menurut UUD 1945, h. 581

Page 25: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

14

menyatakan bahwa dalam negara hukum demokrasi, kewenangan yang

disertai hak dan kewajiban adalah sebuah hal yang paling relevan5.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah, mengatur kewenangan Menteri Dalam Negeri membatalkan

peraturan daerah, kewenangan itu tertuang pada Pasal 251, selain itu

presiden juga melimpahkan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri

yang berkedudukan sebagai pembantu presiden untuk bertanggung jawab

atas otonomi daerah atas wewenang itu Menteri Dalam Negeri berwenang

membatalkan peraturan daerah karena memiliki keabsahan dan memiliki

kekuatan hukum yang sah6.

3. Pembatalan Kewenangan

Pembatalan kewenangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

Pembatalan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian

peraturan perundang-undangan. Menurut UUD NRI Pasal 24C Ayat (1)

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-undang Dasar.

Undang-undang yang dilakukan pengujian adalah Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Undang-

Undang tersebut memberikan kewenangan terhadap Kementerian Dalam

Negeri membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah baik

pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, kewenangan tersebut

5 Lukman Hakim, Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan, h.117

6 A.A.NGR.Wiradarma, dkk Akibat Hukum Atas Dibatalkannya Peraturan

Daerah Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, Jurnal Kertha Negara, Vol.3, No.2, (mei, 2015)

h.5

Page 26: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

15

termaktub dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah.

Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pemohon mengajukan

permohonan kepada Mahkamah Konstitusi bahwa pada Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 251 Ayat (1),

(2), (7), (8) dianggap bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (1) dan Pasal

27 Ayat (1) UUD NRI 1945. Kemudian mahkamah melakukan pengujian

terhadap pasal tersebut dalam sebuah persidangan yang berakhir dalam

sebuah putusan. Amar putusan tersebut mengabulkan permohonan para

pemohon untuk sebagian, yang menyatakan Pasal 251 Ayat (1), (4), (5),

dan (7) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4. Executive Review

Executive Review merupakan bentuk pengawasan terhadap produk

hukum daerah, pengawasan tersebut merupakan proses pengujian dengan

mekanisme executive review yang berakhir pada pembatalan produk

hukum daerah. Mekanisme pengawasan tersebut merupakan bentuk

pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah dalam

menjalankan otonomi daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dan

disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah, mengatur mengenai ketentuan pembatalan produk

hukum daerah7.

Kewenangan tersebut dimiliki oleh Menteri Dalam Negeri dan

Gubernur dalam membatalkan Peraturan Daerah tingkat Provinsi,

Kabupaten atau kota, hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Menteri

Dalam Negeri berwenang membatalkan atau menyatakan batal peraturan

daerah pada tingkat provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur, dan

7 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusionalitas di Berbagai

Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.74-75

Page 27: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

16

sebagai wakil pemerintah pusat Gubernur berwenang membatalkan atau

menyatakan batal peraturan daerah pada tingkat kabupaten atau kota yang

dipimpin oleh seorang Bupati atau Wali Kota. Meski pembatalan

dilakukan oleh lembaga eksekutif atau pemerintah pusat dan bukan

melalui lembaga kehakiman (juidiciary) atau legislator, jenis pembatalan

ini termasuk ke dalam bentuk pengujian juga, walaupun pada kenyataanya

Pasal 24A Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh Mahkamah Agung yang

berwenang menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang-

undang terhadap undang-undang, oleh karena itu Jimly Asshiddiqie

menyebutnya sebagai executive review bukan legislative review maupun

judicial review, karena yang menjadi tolok ukur pengujian yang dilakukan

pemerintah pusat adalah Undang-Undang dengan Undang-Undang, bukan

Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar. Apabila pemerintahan

yang berkuasa cenderung otoriter bisa saja peraturan daerah diuji dengan

batu uji Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan

menafsirkannya sesuai dengan kemauan dan kehendaknya sendiri8.

5. Kementerian Dalam Negeri

Kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia dipegang oleh

seorang Presiden yang dijelaskan dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), kemudian

dalam melakukan kewajibannya Presiden sebagai pemegang kekuasaan

dibantu oleh seorang Wakil Presiden, selain dibantu oleh seorang Wakil

Presiden, Presiden juga dibantu oleh Menteri Negara yang selanjutnya

disebut Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin Kementerian,

dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, Presiden sebagai pemegang

kekuasaan dapat mengangkat dan memberhentikan menteri yang

dijelaskan pada Pasal 17 ayat (2) UUD NRI 1945, tugas dan fungsi serta

8 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusionalitas di Berbagai

Negara,), h.74-75.

Page 28: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

17

urusan pemerintahan menteri dijelaskan dalam Undang-Undang No.39

tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Kementerian Dalam Negeri dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri

dan bertanggung jawab kepada presiden, tugas dan fungsi tentang

Kementerian Dalam Negeri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 11

Tahun 2015 Tentang Kementerian dalam Negeri. Kementerian Dalam

Negeri mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang

pemerintahan dalam negeri untuk membantu Presiden dalam

menyelenggarakan pemerintahan negara. Pasal 3 Perpres No 11 Tahun

2015 menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Kementerian

Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang

politik dan pemerintahan umum, otonomi daerah, pembinaan

administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa,

pembinaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah,

pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan dan pencatatan

sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian

dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di

lingkungan Kementerian Dalam Negeri;

c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi

tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;

d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian

Dalam Negeri;

e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan

urusan Kementerian Dalam Negeri di daerah;

f. pengoordinasian, pembinaan dan pengawasan umum, fasilitasi,

dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

g. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang

pemerintahan dalam negeri;

h. pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang

pemerintahan dalam negeri;

i. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah; dan.

j. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh

unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.

Menteri Dalam Negeri sebagai bagian dari Lembaga Eksekutif

yang memiliki kewenangan executive review terdapat pada Pasal 251

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Page 29: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

18

Executive review merupakan model pengujian terhadap peraturan

perundang-undangan yang secara hierarkies berada dibawah Undang-

Undang yaitu Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat

dalah hal ini Menteri Dalam Negeri. Indonesia adalah negara yang

berbentuk kesatuan dan Indonesia mengenal model pengujian executive

review. Otonomi daerah memberi peluang kepada pemerintah daerah

untuk membuat peraturannya sendiri. Executive review hadir untuk

mengawasi penyelenggaraan otonomi daerah terhadap produk legislasi

daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini menteri

dalam negeri, executive review dikenal juga dengan administrative

review karena dilakukan oleh pejabat yang berwenang seperti menteri

dan gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah, bentuk

pengawasan ini merupakan pengawasan secara represif 9.

Pengawasan ini merupakan dalam rangka menjaga agar pengaturan

Perda selaras dengan hukum nasional dan tidak bertentangan dengan

kepentingan umum. Pengawasan perda tidak hanya menjadi kewenangan

Kementerian Dalam Negeri tetapi Undang-Undang mengatur tentang

keterlibatan kementerian lain yang berkaitan dengan materi muatan

perda10. Kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Dalam

Negeri kini sudah tidak memiliki kewenangan melakukan executive

review karena kewenangan tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah

Konstitusi Melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016.

6. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

Keberadaan produk hukum daerah pada prinsipnya sebagai

instrumen hukum daerah untuk melaksanakan roda Pemerintahan Daerah,

9 Jeremia Radix, Kewenangan Mendagri Membatalkan Perda Dalam

Kedudukannya sebagai Lembaga Eksekutif, Jurnal Hukum Bisnis dan Administrasi Negara, Univ.

DR. SOETOMO, Vol.1, No.2 (2017), h. 21-22

10 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Laporan Kajian

Implementasi Pengawasan Perda Oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung. (Jakarta: PSHK, 2011),

h. 51

Page 30: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

19

namun tiada otonomi daerah tanpa diawasi, oleh karena itu pengawasan dan

pembinaan pelaksanaan desentralisasi, dan pelaksanaan otonomi daerah dan

tugas pembantuan merupakan sebuah keharusan dan kewajiban yang harus

dijalankan. Pengawasan dan pembinaan khususnya produk hukum daerah

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintahan Daerah, merupakan konsekuensi dari bentuk Negara

kesatuan yang terdiri dari daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.

Pembatalan (vernietiging) produk hukum daerah dalam rangka pengawasan

dan pembinaan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah, juga tidak terlepas

dari prinsip dasar Negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat 3

UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara

Hukum”11.

Berkaitan dengan kewenangan pembatalan Produk Hukum Daerah

yang dilakukan oleh pemerintah pusat diwakili oleh dua subjek yang

pertama adalah Kementerian Dalam Negeri dan yang kedua adalah

Gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Kewenangan

tersebut dijelaskan pada Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintahan Daerah, namun pada Pasal 251 tersebut dirasa

mengandung masalah konstitusional. Sehingga masalah tersebut menjadi

objek Permohonan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara garis besar

adalah pertama, membatalkan kewenangan Gubernur dan tidak dapat lagi

membatalkan Peraturan Daerah tingkat Kabupaten dan Kota, kedua,

membatalkan kewenangan Menteri Dalam Negeri dan tidak dapat lagi

membatalkan Peraturan Daerah tingkat Provinsi, Namun pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut masih menyisakan masalah Konstitusional,

hal ini dikarenakan pada Pasal 251 Ayat (1),(2),(7),(8) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah frase “… dan

11 Quido Benyamin Ngaji, Kewenangan Pembatalan Produk Hukum Daerah oleh

Pemerintah Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Jurnal

Magister Ilmu Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, (Maret, 2016), h. 21

Page 31: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

20

peraturan gubernur” dan “… dan peraturan bupati/wali kota” yang

keduanya disebut sebagai Peraturan Kepala Daerah tidak dibatalkan oleh

Mahkamah Konstitusi sehingga hal ini yang kemudian menjadi fokus

masalah dalam penelitian kali ini.

7. Eksistensi

Eksistensi berasal dari kata existere (eks=keluar, sister=ada/berada).

Dengan demikian, eksistensi memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup

keluar dari keberadaannya” atau “sesuatu yang mampu melampaui dirinya

sendiri”12 . Dalam kamus besar Bahasa Indonesia eksistensi mengandung

arti keberadaan. Keberadaan berasal dari kata “ada” yang artinya hadir,

kelihatan, atau berwujud. Menurut Achmad Maulana berpendapat bahwa

eksistensi adalah keberadaan, wujud (yang tampak), adanya sesuatu yang

membedakan antara satu benda dan benda yang lain. Zaenal Abidin

mengatakan bahwa eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan

lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran,

tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-

potensinya13.Eksistensi yang dimaksud pada penelitian kali ini adalah

membahas tentang eksistensi/keberadaan Peraturan Kepala Daerah Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang masih

menjadi problem konstitusional dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

8. Peraturan Kepala Daerah

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor

80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah yang

dimaksud dengan Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut

perkada adalah peraturan gubernur dan/atau peraturan bupati/walikota.

Peraturan Kepala Daerah dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan

dapat ditafsirkan melalui Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor

12 Zainal Abidin, Filsafat Manusia ,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),

h.34

13 Irma Tri Maharani, Eksistensi Kesenian Kenthongan Grup Titir Budaya Di Desa

Karangduren, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jurnal Pendidikan Seni Tari,

(Januari, 2017), h.3

Page 32: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

21

12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bahwa peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan dalam

hierarkhi masih dimungkinkan keberadaannya sepanjang diperintahkan oleh

Peraturan yang lebih tinggi. Produk perundang-undangan inilah yang masuk

dalam lingkup delegated legislation/ secondary legislation.

Fungsi Peraturan Kepala Daerah adalah merinci ketentuan dalam

Peraturan Daerah yang sangat umum, untuk memberikan pedoman

prosedural. Dengan peran yang demikian, maka ia adalah peraturan yang

saling berkaitan terhadap Peraturan Daerah (Perda), sehingga isinya tidak

boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya atau dengan kata lain

Perkada adalah salah satu bentuk produk delegated legislation. Sebagai

delegated legislation, maka area pertama yang disentuh oleh peraturan ini,

adalah sebagai Peraturan Perundang-undangan14.

B. Kerangka Teori

1. Teori Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

a. Hak Menguji (Toetsingrecht)

Menurut Jimly Asshiddiqie istilah toetsingrecht merupakan hak

atau kewenangan untuk menguji, toetsingrecht yang dikenal dengan

sebutan hak uji atau hak untuk menguji adalah istilah yang berasal dari

bahasa Belanda15. Kemudian lebih lanjut Sri Soemantri menjelaskan,

hak menguji tersebut kemudian dibagi dua menjadi hak menguji

formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji material (materiele

toetsingsrecht). Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai

apakah produk legislatif dibentuk dengan tepat melalui cara-cara

prosedur (procedure) menurut hukum sebagaimana telah ditentukan

dan diatur dalam peraturan perundang-undangan atau tidak,

Sedangkan hak menguji material adalah wewenang untuk menyelidiki

14 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan

Kepala Daerah, Jurnal Yuridika: Volume 27 No 1, (Januari-April, 2012), h.79

15 Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstituisional di Berbagai

Negara,... h.6

Page 33: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

22

dan kemudian menilai apakah produk hukum isinya sesuai atau

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya atau tidak,

jadi hak menguji formal adalah pengujian terhadap prosedur

pembentukan produk perundang-undangan dan Hak menguji material

lebih kepada pengujian terhadap substansi (materi) dari peraturan

perundang-undangan16, kadang kala terjadi kekeliruan dalam

penggunaan istilah antara toetsingrecht dengan judicial review,

sebetulnya terdapat perbedaan antara istilah toetsingrecht dengan

judicial review, hak menguji atau yang dikenal dengan istilah

toetsingrecht dipergunakan dalam negara yang menganut sistem

hukum civil law, sedangkan judicial review lebih dikenal pada negara

yang menganut sistem hukum common law17.

Menurut Fatmawati terdapat perbedaan pada keduanya, yaitu:

1) Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk

menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD,

sedangkan judicial review tidak hanya menilai peraturan

perundang-undangan tetapi juga administrative action terhadap

UUD

2) Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-

undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh

lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut

berdasarkan peraturan perundangundangan, sedangkan judicial

review hanya merupakan kewenangan dari hakim pengadilan

dalam kasus konkret di pengadilan18.

Istilah “toetsingsrecht”, “judicial review” dan “constitutional

review” dalam literatur dikenal sebagai mekanisme dalam pengujian

peraturan perundang-undangan, akan tetapi dalam praktiknya istilah-

istilah tersebut terkadang disalah tafsirkan definisinya, ketiga istilah

16 Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-

Undangan di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 6, (Desember, 2010), h.

151

17 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan

Kepala Daerah,... h. 84

18 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan

Kepala Daera,... h.84

Page 34: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

23

tersebut memiliki makna yang berbeda dan dari sistem hukum yang

berbeda. Kebanyakan sarjana lebih memilih istilah toetsingsrecht dalam

memaknai hak menguji atau kewenangan untuk menguji. Apabila hak atau

kewenangan untuk menguji tersebut dilakukan oleh lembaga kekuasaan

kehakiman, maka disebut dengan istilah judicial review, jika kewenangan

tersebut dilakukan oleh lembaga legislatif, maka disebut dengan istilah

legislative review, begitupun apabila kewenangan untuk menguji tersebut

dilakukan oleh lembaga eksekutif maka disebut dengan istilah executive

review19. Karena istilah toetsingrecht yang artinya adalah hak uji atau hak

untuk menguji, digunakan untuk pengujian peraturan perundang-

undangan secara umum. Maka istilah toetsingrecht juga dapat digunakan

dalam proses menguji peraturan perundang-undangan oleh lembaga

legislatif (legislative review), eksekutif (executive review), oleh lembaga

yudikatif (judicial review) juga constitutional review20.

Indonesia memiliki 3 (tiga) cabang kekuasaan yakni kekuasaan

eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif, dalam kaitannya

dengan pengujian peraturan perundang-undangan (toetsingrecht/ review)

baik secara formal maupun materil (formele toetsingrecht dan materiele

toetsingrecht). Ketiga lembaga kekuasaan tersebut dapat melakukan

pengujian terhadap peraturan perundang-undangan, pengujian tersebut

dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni baik secara internal maupun

secara eksternal, pengujian secara internal merupakan pengujian yang

dilakukan oleh lembaga pembentuknya sendiri, sedangkan pengujian

secara eksternal merupakan pengujian yang dilakukan oleh lembaga diluar

pembentuknya. Negara Indonesia adalah negara hukum dengan demokrasi

konstitusional, sebagaimana termaktub di dalam pasal 1 Ayat (1), (2) dan

19 Alek Karci Kurniawan, Judicial Preview Sebagai Mekanisme Verifikasi

Konstitusionalitas Suatu Rancangan Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 4,

(Desember, 2014), h. 638

20 Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-

Undangan di Mahkamah Konstitusi, h.150

Page 35: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

24

(3) UUD NRI 1945, Machmud Aziz dalam jurnalnya menyatakan bahwa

tujuan dari pengujian peraturan perundang-undangan adalah untuk

memperbaiki, mengganti, atau meluruskan isi dari Undang-Undang agar

tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 (konstitusi) atau peraturan

perundang–undangan di bawah Undang-Undang agar tidak bertentangan

dengan Undang-Undang atau UUD NRI 1945, sehingga peraturan

perundang-undangan tersebut dapat memberikan kepastian hukum

(rechtszekerheid) dan perlindungan hukum (rechtsbescherming) serta

memberikan keadilan (rechtvaardigheid) dan kemanfaatan (nuttigheid)

bagi masyarakat luas21.

b. Legislative Review

Pengujian peraturan perundang-undangan melalui mekanisme

legislative review di awali karena pada waktu itu Indonesia menghadapi

peristiwa penting yakni terjadinya perubahan atau pergantian rezim, yakni

dari rezim Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno kemudian berganti

menuju rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Ketetapan MPRS

Nomor XIX/MPRS/1966 berisi tentang peninjauan kembali segala bentuk

produk legislatif. Pada rezim Soekarno produk hukum yang dibuat lebih

memihak dan mementingkan dirinya, karena hal itu kemudian dijadikan

alasan sebagai dilakukannya pengujian peraturan perundang-undangan

melalui mekanisme legislative review, yang menjadi landasan hukum bagi

Soekarno pada waktu itu adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli

1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, karena kewenangan

presiden dalam membuat Undang-Undang memang diberikan oleh UUD

1945 (sebelum amandemen) sehingga dalam menguji Undang-Undang

hanya bisa dilakukan oleh lembaga pembentuknya yaitu antara Presiden

bersama DPR, karena pada waktu itu lembaga kekuasaan kehakiman

21 Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam Sistem

Peraturan Peundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, vol.7, no.5, (oktober, 2010), h.147.

Page 36: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

25

mendapat pengaruh dan campur tangan dari kekuasaan eksekutif sehingga

tidak dapat terlaksananya dengan baik kontrol normatif pengujian

peraturan perundang-undangan melalui pendekatan judicial review dalam

mengawasi produk hukum yang dibuat oleh penguasa.22

Setelah era reformasi sebelum amandemen ketiga pendekatan secara

legislative review juga diterapkan yakni melalui TAP MPR-RI No.

III/MPR/2000 yang memberikan tugas kepada MPR untuk menguji

konstitusionalitas dari Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,

menurut Jimly Asshiddiqie dari kedua peristiwa tersebut dalam hal menilai,

menguji dan mengubah produk hukum baik yang dilakukan oleh Presiden

bersama DPR (Orde Lama), dan MPR merupakan pengujian secara

legislative review23.

Mengingat bahwa dalam membentuk suatu peraturan perundang-

undangan seperti undang-undang dilakukan oleh lembaga legislatif

disamping itu ada lembaga eksekutif yang merupakan lembaga politik

maka Pengujian tersebut dinamakan legislative review ketika lembaga

legislatif (DPR/MPR/DPRD) mengadakan perubahan/penggantian

terhadap produk hukumya (UU/TAP MPR/UUD 1945) lembaga legislatif

tersebut telah melakukan tindakan pengujian. Bahkan pada saat masih

dalam tahap perencanaan sampai pengundangan lembaga legislatif telah

melakukan pengujian hal itu dilakukan dalam rangka agar rancangan

peraturan sesuai dengan substansi dari UUD dan nantinya peraturan

tersebut bisa selaras dan harmonis dengan peraturan lainnya24

Mekanisme pengujian melalui legislative review merupakan bagian

proses politik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena

22 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade

Pengujian Peraturan Perundang-undangan), (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 59-60

23 Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstituisional di Berbagai

Negara,... h.73

24 Machmud Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam Sistem

Peraturan Peundang-undangan di Indonesia,... h.148

Page 37: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

26

banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik maka perubahan

produk hukum tidak dilakukan melalui mekanisme judicial review tetapi

melalui lembaga politik sesuai dengan perspektif legislative review apabila

produk hukum yang telah diputuskan dan/ atau ditetapkan tidak berlaku

lagi, dan pada saat yang bersamaan juga lembaga pembuatnya dapat

menerbitkan peraturan baru hal ini dikarenakan karena lembaga legislatif

merupakan lembaga pembuat undang-undang dan memiliki original

jurisdiction, berbeda dengan judicial review karena lembaga kekuasaan

kehakiman tidak memiliki original jurisdiction dan bukan lembaga pembuat

undang-undang dan tidak bisa membuat peraturan baru25

c. Executive Review

Berkaitan dengan pengawasan secara internal dan eksternal sama

seperti legislative review, pengujian atau penilaian peraturan perundang-

undangan oleh pihak executive disebut dengan executive review artinya

dalam menguji produk hukum dapat dilakukan oleh lembaga pembentuknya

(kontrol internal), segala bentuk produk hukum yang dibuat oleh pihak

executive diuji oleh executive baik kelembagaan dan kewenangan yang

bersifat hierarkis, kontrol internal dilakukan oleh lembaga yang membentuk

produk hukum tersebut, baik produk hukum yang bersifat mengatur

“regeling” maupun yang bersifat ketetapan atau yang dikenal dengan

“beschikking” , untuk bentuk peraturan yang sifatnya “beschikking”

pengujian dapat dilakukan oleh lembaga lain yakni menjadi ranah Peradilan

Tata Usaha Negara yang merupakan pengawasan secara hukum. Akan tetapi

objek pengujian executive review lebih kepada norma yang bersifat abstrak

dan mengatur, serta mengikat secara umum atau dikenal dengan ‘regeling’,

atas dari konsekuensi itu maka dalam pengawasan yang dilakukan melalui

executive review dilakukan melalui pendekatan ‘perubahan’ sebagian

25 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade

Pengujian Peraturan Perundang-undangan),... h. 61

Page 38: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

27

ketentuan atau melalui pendekatan ‘pencabutan’ peraturan tertentu dan

menggantinya dengan peraturan yang baru26.

Presiden Republik Indonesia adalah sebagai kepala pemerintah

(eksekutif) dan juga sebagai kepala negara dalam sistem yang dianut oleh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 194527, Pasal 7 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan

bahwa Presiden sebagai penanggung jawab akhir sebagai kepala

pemerintahan baik yang di pusat maupun daerah mengemban amanah dalam

mengawasi otonomi daerah agar tetap berada dalam koridor Negara

kesatuan. Pemerintah pusat bertanggungjawab menjamin keutuhan Negara

kesatuan, menjamin pelayanan yang sama untuk seluruh rakyat Negara (asas

equal treatment), menjamin keseragaman tindakan dan pengaturan dalam

bidang-bidang tertentu (asas uniformitas). Daerah dalam mengatur dan

mengurus urusan rumah tangganya dengan menjalankan otonomi yang

seluas-luasnya bukan berarti tanpa batas, batas tersebut merupakan

konsekuensi logis dianutnya prinsip Negara hukum. Pengawasan atau

control tersebut meliputi juga kontrol atas norma hukum yang ditetapkan

oleh Pemerintah Daerah28.

Menurut Anas Saba’ni dalam jurnalnya menjelaskan bahwa

pembentukan Peraturan Daerah merupakan sebuah mekanisme untuk

mencapai demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan melalui otonomi

daerah yang sesuai dengan tujuan hukum untuk mengayomi masyarakat

daerah baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan

sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan daerah

yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif

26 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade

Pengujian Peraturan Perundang-undangan),... h.62-63

27 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen

UUD 1945, (Jakarta: Focus Grahamedia, 2015), h.77

28 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam, Pengawasan Terhadap Peraturan

Kepala Daerah,... h.82

Page 39: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

28

adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan

penyalahgunaan hak secara tidak adil. Begitu juga ketika suatu Peraturan

Daerah akan dibatalkan, harus sesuai dengan alasan-alasan yang bertujuan

untuk mengayomi dan melindungi rakyat 29

Pembentukan peraturan daerah harus diawasi oleh pemerintah pusat

yang memiliki wewenang melakukan pengujian peraturan daerah,

kewenangan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 251 Undang-Undang Pemerintahan

Daerah yang secara jelas mengatur mengenai Pembatalan Peraturan Daerah

dan Peraturan Kepala Daerah. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa

Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan

ketentuan Peraturan Perundang – undangan yang lebih tinggi, kepentingan

umum, dan/atau kesusilaan, maka dapat dibatalkan oleh Menteri.

Sedangkan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dapat dibatalkan oleh

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat30.

Kaitannya dengan executive review, dikenal ada dua bentuk

pengawasan yang dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu pengawasan yang

bersifat preventif dan pengawasan yang bersifat represif. Pengawasan

preventif merupakan pengawasan terhadap rancangan perda (ranperda)

yang meliputi pengawasan terhadap ranperda yang berkaitan dengan pajak

daerah, restribusi daerah, anggaran dan pendapatan belanja daerah, serta

penataan ruang. Terhadap semua ranperda ini, sebelum dilakukan

pengesahan terlebih dahulu dievaluasi oleh menteri dalam negeri (untuk

29 Anas Saba’ni, Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Menteri Dalam Negeri

Dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2015 Tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 10 No. 2 (November,

2017), h. 179 30 Jefri S.Pakaya, Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah ( Redesign Of

Judicial Review System Of Regional Regulations), Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No. 01,

(Maret, 2017), h. 93

Page 40: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

29

ranperda provinsi), dan oleh Gubernur (untuk ranperda kabupaten/kota).

Tujuan dari pengawasan ini dimaksudkan supaya pengaturannya dapat

mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. Sedangkan pengawasan

represif merupakan pengawasan terhadap berbagai perda yang berkaitan

dengan hal-hal selain dengan pajak daerah, restribusi daerah, anggaran dan

pendapatan belanja daerah, serta penataan ruang. Efendi dalam jurnalnya

mengungkapkan bahwa tujuan dari pengawasan ini adalah untuk

memperoleh klarifikasi terhadap perda yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan

kesusilaan, sehingga dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang

berlaku 31

Pengujian terhadap Perda ini terdapat dualisme kewenangan

pengujian terhadap Perda, yang pertama Mahkamah Agung yang dikenal

sebagai judicial review dan yang kedua adalah Pemerintah Pusat yang

dalam hal ini Menteri Dalam Negeri yang dikenal sebagai executive review.

Pada dua model pengujian ini terdapat perbedaan yaitu pada model

pengujian judicial review pengadilan bersifat pasif yaitu apabila ada yang

mengajukan pengujian terhadap Perda saja baru mekanisme judicial review

akan berjalan sedangkan pada model executive review bersifat aktif artinya

Pemerintah Pusat dapat mendesak untuk Pemerintah untuk menyerahkan

Perdanya untuk diuji32, sependapat dengan hal itu Arie Satio Rantjoko

dalam jurnalnya mengungkapkan bahwa sistem pengujian terhadap perda

oleh pemerintah dan mahkamah agung memang berbeda pengujian perda

oleh pemerintah memang bersifat aktif dalam artian jika peraturan daerah

tersebut terbukti bertentangan dengan peraturan yang hirarkinya lebih

31 Efendi, Hak Uji Materi Pemerintah Terhadap Peraturan Daerah (Kajian

Terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-

XIII/2015), Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 51, No. 1,( Juni, 2017), h. 141-142

32 Anas Saba’ni, Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Menteri Dalam Negeri

Dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2015 Tentang Pemerintahan Daerah,... h. 179

Page 41: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

30

tinggi serta bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan maka

perda tersebut akan langsung dibatalkan. Sedangkan pengujian perda oleh

mahkamah agung bersifat pasif dalam artian pengujian peraturan

menunggu pihak yang mengajukan keberatan atas adanya peraturan daerah

tersebut apabila tidak sesuai maka dibatalkan33, yang membedakan pada

dualisme pengujian tersebut adalah jika executive review sebelum perda

tersebut dibatalkan perda tersebut melalui beberapa tahapan seperti adanya

evaluasi terlebih dahulu jika sesuai maka perda tersebut dapat berlaku jika

tidak sesuai perda tersebut kemudian dibatalkan yakni melalui tahapan

secara preventif dan represif, berbeda dengan Mahkamah Agung perda

tersebut diuji oleh hakim tanpa adanya proses evaluasi terhadap perda

tersebut tetapi langsung diuji dalam tahapan persidangan.

Jefri S.Pakaya dalam jurnalnya berpendapat bahwa dalam sistem

pengujian peraturan perundang-undangan, perda memiliki posisi yang unik

karena meski kedudukan perda berada di bawah undang–undang, beberapa

pakar memiliki perbedaan pendapat kepada siapa kewenangan menguji

perda itu dimiliki? sehingga menjadi perdebatan tersendiri di era otonomi

daerah saat ini mengenai berlakunya executive review dan judicial review

dalam menguji perda, mengingat perda adalah produk hukum daerah yang

dihasilkan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang bersifat otonom34.

Terlebih lagi standar uji materi yang digunakan oleh Mahkamah

Agung dengan Pemerintah berbeda dalam menguji perda. Apabila

Mahkamah Agung menguji suatu perda berdasarkan apakah satu perda

bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi (aspek materil)

dan atau apakah dalam proses pembuatan perda bertentangan atau tidak

dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan (aspek

33 Arie Satrio Rantjoko, Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Untuk Menguji

Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang di Indonesia, JURNAL RECHTENS,

Vol. 3, No. 1, (Maret, 2014), h. 49

34 Jefri S.Pakaya, Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah ( Redesign Of

Judicial Review System Of Regional Regulations),... h. 92

Page 42: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

31

formil), maka pemerintah dalam hal melakukan uji materi terhadap perda

didasarkan atas standar yang lebih luas yaitu pemerintah dalam menguji

perda tidak hanya disandarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari

perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum dan

kesusilaan. Kepentingan umum sering terkait dengan dinamika kepentingan

dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga pengujian

terhadap kepentingan umum bergantung pada pertarungan kepentingan dan

aspek keberlakuan berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada

dalam masyarakat35. Aspek formiil dan aspek materiil menjadi standar

normatif yang digunakan oleh Mahkamah Agung,

Standar normatif yang dipakai dalam pengujian (executive review) atas

perda hanya merupakan aspek materil dari subtansi perda tersebut. Aspek

formil atau tata cara pembentukan sebuah perda kurang dijadikan

pertimbangan. Dengan demikian standar pengujian perda oleh Pemerintah

berbeda dengan standar pengujian perda yang digunakan oleh Mahkamah

Agung36.

d. Judicial Review

Pengujian perundang-undangan atau yang di dalam istilah bahasa

Inggris biasa disebut dengan Judicial Review dapat diartikan secara tata

bahasa (etimologi) ataupun dapat diartikan dari sisi istilah atau pengertian

secara umum.Secara tata bahasa (etimologi) Judicial Review berasal dari

kata “Judicial” dan “Review”. “Judicial” dapat diartikan sesuatu yang

berhubungan dengan “Pengadilan”, atau dapat juga diartikan sebagai

“Keputusan Hukum” dari distrik, bagian, cabang pengadilan dari

35 Efendi, Hak Uji Materi Pemerintah Terhadap Peraturan Daerah (Kajian

Terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-

XIII/2015,... h, 142

36 Jefri S.Pakaya, Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah ( Redesign Of

Judicial Review System Of Regional Regulations),... h. 95

Page 43: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

32

pemerintahan. Dan “Review” dapat diartikan suatu “Tinjauan” atau

“Peninjauan Kembali.37

Pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review

merupakan sarana untuk menilai suatu peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi secara hirarkis. Menurut Brewer Carrias, judicial review

ini penting dilakukan sebagai upaya dari yudikatif untuk menjamin

tindakan legislatif dan eksekutif sesuai dengan hukum tertinggi, yaitu

konstitusi. Pengujian peraturan perundang-undangan adalah sebuah

konsekuensi logis dari teori Hans Kelsen tentang hirarki norma hukum di

dalam sistem hukum yang menggunakan peraturan hukum tertulis sebagai

sumber yang dominan. Hal ini merupakan cara untuk menjaga konsistensi

antar peraturan yang ada38.

Judicial Review adalah pengujian kepada produk hukum yang

dilakukan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Lembaga ini memiliki

kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menguji produk hukum

yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Kewenangan melakukan pengujian

(judicial review) ini juga dipercaya dilakukan untuk menjalankan fungsi

check and balances di antara lembaga pemegang kekuasaan negara39.

Judicial review merupakan mekanisme untuk menjaga superioritas

konstitusi dan cara agar setiap penyelenggara negara mematuhi konstitusi

sangat bervariasi di setiap negara perbedaan mekanisme dan cara tersebut

di pengaruhi oleh latar belakang sejarah, penagalaman politik, pandangan

kenegaraan dan sistem hukum yang berlaku diamsing-masing negara.

37 Yoyon M. Darusman, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pengujian Perundang-

undangan Terhadap Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah Tentang Ratifikasi Atas Konvensi

Internasional (Studi Kasus Ratifikasi Konvensi Internasional Di Bidang Haki), Jurnal Ilmiah Prodi

Manajemen Universitas Pamulang, Vol. 1, No. 1, (Oktober, 2013), h.55

38 Nafiati M. dan Maryam NH, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia, Jurnal Hukum

IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 22 (April, 2015), h.261

39 Maria Farida, Sony Maulana Sikumbang, Fitriani Ahlan Sjarif, dkk, Teori

Perundang-Undangan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2014), h. 1.3

Page 44: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

33

Faktor-faktor itu telah menyebabkan mengapa ada negara yang

menyerahkan kekuasaan untuk menjaga superioritas kepada badan

kehakiman (judicial review), ada yang menyerakan kepada pembentuk

undang-undang sendiri (legislative review) dan bahkan ada yang

menyerahkannya kepada pemerintah (executive review)40.

Praktik di Indonesia judicial review merupakan mekanisme untuk

mengkoreksi produk hukum di bawah staatsfundamentalnorm, produk

perundang-undangan di bawah undang-undang dasar. Untuk

mempertahankan objektivitas, benar bahwa tugas untuk me-review

peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar, sebaiknya

memang diserahkan kepada lembaga di luar lembaga pembentuknya

(legislatif dan eksekutif), karena pengujian secara internal baik melalui

legislative review atau executive review dipandang cenderung bersifat

subjektif. Pengaturan fungsi pengujian atau review tersebut dalam UUD

1945 diatur terhadap dua lembaga kekuasaan kehakiman yang berbeda.

Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji terhadap UUD NRI 1945,

dan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan

dibawah undang-undang terhadap Undang-Undang Pembagian kewenangan

pengujian seperti yang ditentukan dalam UUD NRI 1945 dalam praktek

menimbulkan kesulitan dalam upaya menjaga keutuhan sistim hukum yang

berlaku, karena secara teoritik maupun empirik, ada kemungkinan peraturan

perundang-undangan dibawah undang-undang, tidak bertentangan dengan

undang-undang yang menjadi sumber validitasnya, tetapi jikalau dilihat dan

diuji kepada konstitusi peraturan tersebut bisa saja tidak sesuai atau

inkonsisten dan bahkan bertentangan41.

40 Jamri. Kms, Novyar Satriawan, dan Salimin, Analisis Yuridis Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Das Sollen, Vol.1,No.2 (2017), h.43

41 Maruar Siahaan, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan

Negara Kita: Masalah dan Tantangan, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, (Agustus, 2010), h.

14

Page 45: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

34

2. Teori Negara Hukum

Menurut Tahir Azhary konsep negara hukum dibagi menjadi tiga

konsep, konsep yang pertama adalah rechstaat konsep ini dikenal pada

negara yang bersistem hukum eropa kontinental, konsep yang kedua adalah

rule of law konsep ini dikenal pada negara yang bersistem hukum Anglo

Saxon, dan yang ketiga adalah konsep socialist legality yang dikenal pada

negara komunis42.

Konsep negara hukum tersebut ketiganya dijelaskan oleh

Mohammad Tahir Azhary bahwa negara hukum rechstaat memiliki ciri-ciri

bersumber dari rasio manusia , liberalistik/individualistik , humanisme dan

antroposentrik (lebih dipusatkan kepada manusia), pemisahan antara negara

dan agama secara mutlak adapun unsur-unsurnya, menurut Stahl yaitu

pengakuan/perlindungan terhadap hak asasi manusia, ada trias politica,

pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, peradilan administrasi.

Menurut Scheltema yaitu adanya kepastian hukum, adanya persamaan,

adanya demokrasi, dan pemerintahan yang melayani kepentingan umum,

kemudian konsep negara hukum Rule Of Law memiliki ciri bersumber dari

rasio manusia, liberalistik,/individualistik, humanisme yang antroposentrik

(lebih dipusatkan pada manusia), pemisahan antara agama dan negara secara

rigid (mutlak), kebebasan beragama, adapun unsurnya adalah supremasi

hukum, kesamaan dimuka hukum, dan kebebasan individu. Dalam

hubungan ini, konsep rule of law tidak memerlukan peradilan administrasi

negara, karena peradilan umum dianggap berlaku untuk semua orang, baik

warga biasa maupun pejabat pemerintah , konsep socialist legality, memiliki

ciri-ciri antara lain: bersumber pada rasio manusia, komunis, atheis,

totaliter, kebebasan beragama yang semu dan kebebasan propaganda anti

agama. Adapun unsur-unsurnya adalah pertama perwujudan sosialisme,

42 Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif tentang unsur-

unsurnya, (Jakarta: UI Press, 1995), h.33

Page 46: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

35

kedua hukum adalah alat di bawah sosialisme, dan yang ketiga menekankan

pada sosialisme-realisme dari pada mempertimbangkan hak perorangan43.

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa negara Indonesia

berdasarkan atas hukum, hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD

1945. Salah satu prinsip yang menyangga tegaknya negara modern ini

adalah supremasi hukum (Supremacy of Law). Letak supremasi hukum

negara Indonesia adalah konstitusi. Dimana konstitusi materi muatannya

mengandung jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga

negaranya serta ditetapkannya susunan ketatanegaraan dan pembagian

kekuasaan secara fundamental44. Konsekuensi dari negara hukum adalah

bahwa seluruh sikap, kebijakan, perilaku alat negara dan penduduk harus

berdasar dan sesuai dengan hukum, hukumlah yang yang memegang

komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara45. Seperti salah satu ciri

negara hukum yang dikemukakan oleh Frederich Julius Stahl bahwa

pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan harus berdasarkan

peraturan perundangan (asas legalitas)46.

Asas legalitas menghendaki bahwa materi muatan dalam undang-

undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara)

dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai

jenis tindakan yang tidak benar. sehingga pelaksanaan wewenang oleh

43 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade

Pengujian Peraturan Perundang-undangan),... h.66-67

44 Nafiati M. dan Maryam NH, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia,... h.259

45 Salman Maggalatung & Nur Rohim Yunus, POKOK-POKOK TEORI ILMU

NEGARA (Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia),... h.137

46 H.Iriyanto A.Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas

Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), (Bandung: PT

Alumni, 2008), h.47

Page 47: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

36

organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undang-undang

tertulis. Mengingat pentingnya kedudukan peraturan perundang-undangan

tersebut dalam sistem ketatanegaraan kita baik karena materi muatan

maupun kedudukannya maka tertib peraturan perundangan wajib untuk

diwujudkan, salah satunya melalui pengujian peraturan perundang-

undangan47.

Sebab kekuasaan itu cenderung untuk disalah gunakan, artinya

kekuasaan memberikan peluang untuk melakukan kesewenang-wenangan,

sehingga setiap kekuasaan perlu dibatasi dan yang mampu membatasi

kekuasaan itu adalah norma hukum itu sendiri48.

3. Teori Norma Hukum

Kajian Stufenbautheorie adalah teori mengenai sistem hukum oleh

Hans Kelsen yang menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-

jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu

norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi, berlaku, bersumber dan berdasar

pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan

fiktif, yaitu Norma Dasar (grundnorm). Norma Dasar yang merupakan

norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu

norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma dasar itu ditetapkan terlebih

dahulu oleh masyarakat sebagai Norma dasar yang merupakan gantungan

bagi norma-norma yang berada di bawahnya sehingga suatu Norma Dasar

itu dikatakan pre-supposed (diandaikan)49.

47 Nafiati M. dan Maryam NH, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia,... h. 259

48 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade

Pengujian Peraturan Perundang-undangan,... h.70

49 Retno Saraswati, Problematika Hukum Undang-Undang No.12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Yustisia Vol.2 No.3 (September –

Desember, 2013), h. 98

Page 48: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

37

Perkembangan teori Hans Kelsen tersebut dikembangkan lagi oleh

muridnya yang bernama Hans Nawiasky. Hans Nawiasky mengembangkan

sebuah teori yang disebut “die theorie vom stufenordnung der

rechtnormen”, yang menyatakan bahwa suatu norma hukum di suatu

negara pastilah selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum

tersebut yang berlaku lebih rendah bersumber pada norma hukum yang

berlaku lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi tersebut

bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi dan seterusnya sampai pada

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih tinggi lagi yaitu

staatsfundamentalnorm50

Hans Nawiasky telah mengelompokkan norma-norma hukum dalam

suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:

a. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

b. Staatsgrundgesetz (Aturan dasar/Pokok Negara)

c. Formell Gesetz (Undang-undang formal)

d. Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan

otonom).

Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata

susunan norma hukum setiap negara51.

Teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky ini rupanya diadopsi

kedalam tata urutan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan52. Sebagai contoh dapat kita

50 Heriyono Tardjono, Reorientasi Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang

di Indonesia, Jurnal Renaissance, Volume 1 No. 02, (Agustus, 2016), h. 66

51 Retno Saraswati, Problematika Hukum Undang-Undang No.12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,... h. 98

52 Mhd. Yusrizal Adi Syaputra, Kajian Yuridis Terhadap Penegasan Hierarki

Peraturan Perundang- Undangan Di Indonesia Dalam Perspektif Stufen Theorie, jurnal Mercatoria

Vol. 9 No. 2 (Desember, 2016), h. 96

Page 49: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

38

lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang

4) Peraturan Pemerintah

5) Peraturan Presiden

6) Peraturan Daerah Provinsi dan

7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan perundang-undangan Indonesia jika dikaitkan dengan

Stufentheory Kelsen, maka grundnorm (basic norm) peraturan perundang-

undangan Indonesia adalah Pancasila sebagai norma tertinggi yang didalamnya

terdapat cita hukum (rechtsidee), satu tingkat di bawah basic norm

(staatsfundamentalnorm) dalam teori Kelsen, yang oleh Hans Nawiasky sebut

sebagai Staatsgudngezets (Aturan Dasar/ Pokok Negara), yang dalam hirarki

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah mencakup batang tubuh UUD

NRI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR. Pada tingkatan berikutnya terdapat

Formelgesetz yang dapat dikategorikan dalam Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 adalah mencakup Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah

Provinsdan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sealnjutnya Verordnung &

Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonom) dalam teori

Nawiasky adalah Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank

Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk

dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Page 50: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

39

Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat53.

Peraturan perundang-undangan pada pasal 8 ini diakui keberadaannya dan

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis tersebut

mengandung konsekuensi bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini selaras dengan asas

hukum lex superior derogat inferior (setiap peraturan yang berada dibawah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya), Lex Specialis Derogat Lex

Generalis (peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengatur hal khusus

mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum.), Lex

Posteriori Derogat Lex Priori (hal-hal yang diatur dalam peraturan yang lama,

apabila diatur dalam peraturan yang baru, maka peraturan baru yang berlaku)54.

C. Kedudukan Peraturan Kepala Daerah Dalam Tata Hukum Indonesia

Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan hal

tersebut dijelaskan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945.

Otonomi Daerah sendiri mengandung arti adanya kebebasan daerah

untuk membuat keputusan, baik secara politik maupun administratif atas dasar

kemauan daerah sendiri. Otonomi daerah tersebut dimaksudkan agar daerah

memiliki kemandirian untuk meningkatkan daya saing dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan

53 Muhtadi, Penerapan Teori Hans Kelsen Dalam Tertib HuKum Indonesia, jurnal Fiat

Justitia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 5 No. 2 (September-Desember, 2012), h. 300

54 Noor Tri Hastuti, Mengukur Derajat Jenis dan Fungsi Dalam Hirarki Peraturan

Perundang-undangan (Pasal 7 (4) Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Perspektif, Volume XII No. 3 , (September, 2007), h. 204

Page 51: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

40

kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia, agar tercapainya tujuan nasional secara

keseluruhan, sehingga daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai otonomi daerah, berwenang mengatur dan mengurus wilayahnya

sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional dan kepentingan umum55.

Pemerintah Daerah dapat membuat berbagai macam bentuk kebijakan

seperti peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan Keputusan kepala

Daerah. keberadaan Kebijakan Daerah hadir dan diperlukan sebagai dasar

hukum dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dijelaskan dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai

dasar pelaksanaan otonomi daerah. Pembuatan kebijakan Daerah

memperhatikan tatanan hukum nasional, yang dimaksudkan untuk

menciptakan keharmonisasian dan keselarasan antara kepentingan nasional dan

kepentingan daerah yang memiliki kekhasan dan kearifan lokal56.

Peraturan Daerah dibentuk berdasarkan perintah kuasa peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, karenanya untuk melaksanakan

peraturan daerah, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah. Ketentuan

mengenai asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan

peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah berlaku secara mutatis

mutandis terhadap asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan

peraturan kepala daerah. Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah dapat

disejajarkan sama-sama diperlukan dalam penyelenggaraan Pemerintah di

Daerah, memiliki sifat yang mengatur untuk mengurus rumah tangganya sendiri

dan menjadi dasar untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah., baik peraturan daerah maupun Peraturan Kepala Daerah

55 Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana

Peraturan Daerah, Jurnal Badamai Law, Vol. 2, Issues 1, (Maret, 2017), h.163

56 Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana

Peraturan Daerah,... h.163

Page 52: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

41

keduanya digunakan untuk mengatur kepentingan umum Peraturan Kepala

Daerah yang terdiri dari Peraturan Gubernur, Bupati/Walikota baru diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih

tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan57.

Kewenangan delegasi yang diberikan kepada kepala daerah merupakan

hal yang sesuai karena pemerintah daerah merupakan salah satu pelaksana

penyelenggara pemerintah daerah yang mengetahui betul kebutuhan hukum

masyarakat di daerah, fungsi pemerintah dalam konteks negara hukum adalah

untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, selain itu juga melakukan tindakan

mengatur, agar kesejahteraan dapat terwujud diperlukan instrumen hukum untuk

mengatur masyarakat. Pemerintahan Daerah biasanya membuat peraturan

daerah untuk mengatur masyarakat, karena bentuk peraturan daerah pada

dasarnya masih mengatur hal-hal yang sifatnya abstrak, sehingga seringkali

pengaturan lebih lanjut biasanya diserahkan kepada peraturan kepala daerah.

Dengan demikian keberadaan dari peraturan kepala daerah merupakan

peraturan yang setingkat dengan peraturan daerah. Sifatnya sebagai peraturan

pelaksana maka materinya tidak boleh melebihi pengaturan yang ada dalam

peraturan daerah tersebut. Kepala Daerah tidak boleh melebihi atribusi

kewenangan yang diberikan kepadanya dalam membentuk sebuah kebijakan

daerah58.

Peraturan Kepala Daerah memang tidak tercantum dalam Pasal 7 Ayat

(1) dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 7 Ayat (1) hanya menjelaskan tentang

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik I ndonesia Tahun 1945;

57 Ilman Hadi, https://www.hukumonline.com/, diakses pada tanggal 5 Desember

2018, Pukul 05.10 BBWI

58 Indra Lorenly Nainggolan, Kedudukan Dan Ruang Lingkup Pergub Dalam

Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jurnal Hukum dan Kebijakan, Vol 3, No 2

(2017)

Page 53: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

42

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan Kepala Daerah merupakan peraturan kebijakan yang dibuat

oleh Gubernur, Bupati/Walikota dan masuk kategori Jenis Peraturan

Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1)

mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi

Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang

setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas

perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-

undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan.

Menurut Maria Farida Indrati, di dalam Kelompok norma hukum

terdapat peraturan pelaksanaan (verordung) dan peraturan otonom

(Autonome Satzung). Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini

merupakan peraturan-peraturan yang berada dibawah Undang-undang.

kedudukan peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi dan

peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi59.Peraturan Kepala

59 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (jenis, fungsi, dan materi

muatan),Jakarta: Kanisius, 2013, h.55

Page 54: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

43

Daerah dapat dikatakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang

jenis peraturan perundang-undangannya berupa peraturan pelaksana dan

peraturan otonom. Keberadaannya adalah karena diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bersumber pada

kewenangan delegasi dan kewenangan atribusi.

Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah mutlak diperlukan

sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang

menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah maka dengan demikian materi

muatan Peraturan Kepala Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam

pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung

kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti yang diamanatkan UUD NRI

Pasal 18 Ayat (2)60.

Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa Daerah berhak menetapkan

kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang

menjadi kewenangan Daerah. Kebijakan daerah menurut Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 80 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Pasal

3 tentang produk hukum daerah yang berbentuk peraturan adalah peraturan

daerah, peraturan kepala daerah, peraturan bersama kepala daerah, dan

peraturan DPRD.

Pemerintah Daerah dalam membuat Peraturan Kepala Daerah

mengacu pada Pasal 246 Ayat (1) yang menyebutkan secara tegas bahwa

untuk melaksanakan peraturan daerah atau atas kuasa peraturan perundang-

undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah. Kemudian

Pasal 246 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjelaskan

bahwa ketentuan mengenai asas pembentukan dan materi muatan serta

60 Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan

Pelaksana Peraturan Daerah,... h.163

Page 55: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

44

pembentukan peraturan daerah dimaksud dalam pasal 237 berlaku secara

mutatis mutandis terhadap asas pembentukan dan materi muatan serta

pembentukan peraturan kepala daerah.

D. Studi (Review) Kajian Terdahulu

1. Skripsi Farhan Bestyardi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014 yang berjudul “Kewenangan

Pemerintah Pusat Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah” . Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi inkonsistensi dalam

membatalkan peraturan daerah karena terdapat dua instrumen hukum

keputusan menteri dan keputusan presiden yang dapat digunakan, penelitian

tersebut menganggap bahwa keputusan presiden lebih tepat untuk

membatalkan peraturan daerah, Menteri dan Gubernur hanya dibekali

pengawasn secara preventif saja. Persamaan dalam penelitian ini adalah

mengupayakan agar Menteri Dalam Negeri dan Gubernur lebih

mengedepankan upaya preventif dalam mengawasi peraturan daerah.

Perbedaan dalam penelitian ini menunjukan bahwa Keputusan Presiden dan

Keputusan Menteri bukan instrumen hukum yang dapat digunakan untuk

membatalkan Peraturan daerah akan tetapi pembatalan peraturan daerah

melalui mekanisme judicial review.

2. Skripsi ITA KUSMITA, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan

Nasional “VETERAN” Jawa Timur yang berjudul “Analisis Yuridis

Pembatalan Peraturan Daerah dalam Perspektif executive review dan

judicial review: Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung nomor 02

P/HUM/2008”, Hasil temuan penelitian ini adalah Pemerintah Pusat dan

Mahkamah Agung mempunyai wewenang membatalkan Peraturan Daerah.

Praktik pembatalan Peraturan Daerah dengan Keputusan Menteri Dalam

Negeri sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang dan sistem

pemerintahan presidensiil. Penelitian tersebut menganggap bahwa keputusan

menteri dalam membatalkan peraturan daerah yang menegasikan

Page 56: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

45

kewenangan Mahkamah Agung bukanlah sebuah kekeliruan, oleh karenanya

perbedaan dalam penelitian ini akan berupaya menjelaskan bahwa

kewenangan yang diberikan kepada pemerintah pusat yang diwakili Menteri

Dalam Negeri dan Gubernur dalam membatalkan peraturan daerah

merupakan sebuah kekeliruan.

3. Buku berjudul “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai

Negara” yang ditulis oleh Prof. Jimly Asshiddiqie. Buku ini membahas

tentang perkembangan teori dan praktik gagasan pengujian

konstitusionalitas (constitutional review) di berbagai negara di dunia.

Pembahasannya meliputi berbagai catatan sejarah perkembangan,

pemikiran, dan penerapan mekanisme pengujian konstitusional, pola-pola

atau model-model pelembagaan atau pengorganisasian fungsi pengujian di

dalam sistem kelembagaan negara di dunia seperti Australia, Jerman, Italia,

Prancis, Rusia, Hungaria, Afrika, dan Taiwan dalam buku tersebut dijelaskan

tentang executive review,

4. Jurnal Ilmu Pemerintahan berjudul “Pembatalan 3.143 Peraturan Daerah:

Satu Analisis Singkat” ditulis oleh Leo Agustino, jurnal ini membahas

mengenai otonomi daerah dan peraturan daerah bermasalah. Sejak otonomi

dilaksanakan, peraturan daerah yang bermasalah tumbuh lebih buruk

daripada masa sebelumnya. Akibatnya, pelayanan menjadi tidak prima,

pungutan liar (pungli) terjadi, dan korupsi menjadi hal yang biasa. Oleh

karena itu, pemerintah pusat mengambil inisiatif untuk menyelesaikan

masalah ini dengan membatalkan peraturan-peraturan daerah bermasalah di

seluruh Indonesia yang berjumlah 3.143.

Page 57: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

46

BAB III

KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI

DALAM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN

PERATURAN KEPALA DAERAH

A. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

1. Konsep Good Governance dalam Pemerintahan

Semangat reformasi menjadikan jalannya pemerintahan di Indonesia

dewasa ini harus mengedepankan prinsip good governance hal ini juga

diimplementasikan dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah,

Pemerintahan yang baik (good governance) sebagai semangat dari

amanat reformasi, bertujuan dan menghendaki terciptanya suasana

pemerintahan yang baik dan bersih (good clean governance) agar jalannya

pemerintahan lebih mengedepankan prisnsip profesionalitas, akuntabilitas,

transparansi, pelayanan prima, demokrasi, partisipasi, efesiensi, efektivitas,

supermasi hukum, dan bervisi strategis.1 good governance sesungguhnya

bukanlah suatu formula yang baru good governance merupakan

penyelenggaraan pemerintahan yang mengedepankan prinsip partisipasi,

transparansi, dan akuntabilitas, serta membuka ruang bagi ke terlibatan

warga masyarakat2.

Berikut penjelasan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam

pemerintahan antara lain:

a. Profesionalitas yaitu kinerja pemerintah yang berkompeten dalam

memberikan pelayanan publik

b. Akuntabilitas yaitu para pembuat keputusan dan kebijakan bertanggung

jawab terhadap setiap lapisan elemen masyarakat (public)

1 Sondil E. Nubatonis, dkk, Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance

Dalam Meningkatkan Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Jurnal JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Vol. 3, No. 1 (2014), h.17

2 Abdullah, Kasman, Penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Konsep Good

Governance, Jurnal Meritokrasi Vol. 1 No. 1, (2002), h. 65.

Page 58: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

47

c. Transparansi yaitu keterbukaan pemerintah dalam membuka arus

informasi, kemudahan dalam mendapatkan informasi dan dapat

dimonitor

d. Pelayanan prima yaitu cepat tanggap dalam melayani kepentingan yang

berbeda-beda, ditunjang dengan fasilitas yang memadai, dan etika

pelayanan yang baik guna memperoleh pilihan terbaik

e. Demokrasi dan Partisipasi yaitu masyarakat bebas menyampaikan

pendapat dan berpartisipasi di dalam setiap pengambilan kebijakan yang

mewakili kepentingannya

f. Efesiensi dan Efektivitas yaitu terlaksananya dan tercapainya proses-

proses sesuai dengan sumber daya yang ada

g. Supremasi Hukum yaitu penegakan hukum yang mencerminkan

keadilan, kesetaraan dimuka hukum dan menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia

Sejalan dengan itu berdasarkan hasil penelitian yang ada terdapat 4

fungsi dasar pemerintah yaitu: Pelayanan publik, pembuatan kebijakan,

manajemen konflik, dan pemberdayaan masyarakat. Pelayanan publik

artinya segala kegiatan pemerintah guna memenuhi kepentingan seluruh

masyarakat yang pastinya harus menjunjung tinggi rasa keadilan di tengah

masyarakat, jalannya politik di Indonesia dewasa ini melibatkan masyarakat

dalam proses pembuatan kebijakan dan memungkinkan membuka ruang

untuk masyarakat dalam policy making, selanjutnya manajemen konflik

dimaksudkan pemerintah daerah agar mampu meredam konflik baik secara

vertikal maupun secara horizontal dengan baik, kemudian pemberdayaan

masyarakat dimaksudkan memperkuat kemandirian daerah baik secara

politik, ekonomi, dan budaya agar mampu bersaing di era globalisasi saat ini3.

2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi

3 Rahayu Sulistiowati, Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada

Otonomi Daerah Baru (DOB) (Studi Di Kabupaten Pesawaran dan Kabupaten Pringsewu Provinsi

Lampung), Jurnal Sosiohumaniora, Volume 16 No. 3 (November, 2014), h.272-273

Page 59: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

48

Indonesia pernah mengalami perubahan dalam penyelenggaraan

permerintahan daerah hal ini disebabkan arah politik hukum ketatanegaraan

yang berganti yakni sejak orde lama, orde baru, dan yang sekarang orde

reformasi, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 menjelaskan bahwa Indonesia

adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang melandasi berdirinya

daerah yang otonom dan berproses dalam Desentralisasi4 untuk tugas

pembantuan yakni pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah, yang

termaktub pada Pasal 18, 18A, dan 18B yang mengatur tentang

penyelenggaraan pemerintah daerah, karena bentuk Indonesia yang

merupakan negara kepulauan memiliki suku dan budaya yang beragam

jalannya pemerintahan harus berada dalam satu kendali yaitu Pemerintah

Pusat agar keutuhan dan kesatuan tetap terjaga, maka dari itu otonomi dan

desentralisasi adalah sebuah keharusan, yang dimaksud dengan otonomi

adalah dapat membuat peraturan dan hukumnya sendiri. Menjalankan

Pemerintahannya sendiri yang dapat mengatur perundang-undangan sendiri,

melaksanakannya sendiri, dan dalam hal-hal tertentu dapat mengadili dan

menindak sendiri, secara garis besar bahwa otonomi daerah adalah sebuah

hak, wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada daerah untuk mengurus

rumah tangganya sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

otonomi daerah dimaksudkan untuk membuka jalannya kemajuan bangsa dan

negara secara bersama-sama agar jalannya pemerintahan di daerah dapat

berjalan dengan baik dan sejalan sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat

daerah5, berkaitan dengan itu kemudian desentralisasi merupakan sebuah

kebijakan yaitu melimpahkan sebagian tugas atau wewenang kepada daerah

(dari pusat terhadap cabang yang dibawahnya), Sarundajang berpendapat

bahwa desentralisasi adalah

4 Yusdianto, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 3

Tahun 2015, h.494

5 Yusdianto, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,... h.492.

Page 60: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

49

“suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan yang

merupakan kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi

kewenangan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan

dalam tangan pemerintah pusat. Pejabat-pejabat di daerah hanya

melak sanakan kehendak pemerintah pusat .Dalam sistem

desentralisasi, sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan

kepada pihak lain untuk dilaksanakan pelimpahan kewenangan

pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan disebut

dentralisasi.6”

Desentralisasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

dalam penyelenggaraan pemerintahan, menjadikan desentralisasi sebagai

sarana edukasi politik di daerah, menjaga kesatuan Republik Indonesia yang

beraneka ragam, mengawal demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

yang berawal dari daerah, membuka peluang masyarakat daerah untuk

membangun pemerintahannya terutama dibidang politk, desentralisasi hadir

sebagai wadah masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelengaraan

pemerintahan, mempercepat pembangunan daerah agar terciptanya

pemerintahan yang bersih dan berwibawa.7

3. Hubungan Antara Pusat dan Daerah dalam otonomi Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah menjelaskan tentang hubungan pemerintah pusat dan

pemerintah daerah dijelaskan bahwa otonomi diberikan oleh presiden sebagai

pemegang kekuasaan yang kemudian memberikan mandat kepada kementerian

negara yang dikepalai oleh seorang menteri, menteri bertanggung jawab atas

sebagian urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut,

sebagian urusan pemerintahan tersebutlah yang kemudian diotonomikan ke

daerah. karena dasar itu menteri berkewajiban atas nama presiden membantu

presiden dalam melakukan pembinaan dan pengawasan supaya jalannya

6 Yusdianto, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,... h.493

7 Septi Nur Wijayanti, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Jurnal Media Hukum,

VOL. 23 NO. 2 (DESEMBER 2016), h.189

Page 61: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

50

pemerintahan daerah sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Agar

terjadi harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah, terdapat dua

komponen dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan

ke Daerah, yang pertama adalah kementerian dan yang kedua lembaga

pemerintah non kementerian keduanya berkewajiban membuat Norma,

Standar, Prosedur dan Kriteria atau disingat dengan NSPK yang dijadikan

sebagai acuan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

diserahkan ke Daerah dan menjadi acuan bagi kementerian/lembaga

pemerintah nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah juga menjelaskan tentang penyelenngaraan daerah

bahwa Pemerintahan Daerah dilakukan oleh DPRD dan kepala daerah.

DPRD dan kepala daerah berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan

daerah yang diberi mandat oleh rakyat untuk melaksanakan Urusan

Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Jadi bahwa DPRD dan

Kepala Daerah adalah sebuah mitra yang memiliki fungsi berbeda tetapi

berkedudukan secara sejajar, DPRD berfungsi membentuk Perda, menyusun

anggaran dan melakukan pengawasan, sedangkan Kepala Daerah

melaksanakan perda dan kebijakan daerah. Posisi DPRD yang menjadi

penyelenggara pemerintah daerah tidak diatur dalam beberapa undang-undang

tetapi sudah diatur dalam undang-undang ini secara keselurahan guna

memudahkan pengaturannya secara integrasi.

Urusan Pemerintahan Pasal 9 Ayat (1) mengatakan urusan

pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan

konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Selanjutnya akan dijelaskan

sebagai berikut:

a. Pasal 9 ayat (2) Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan

Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah

Pusat.

b. Pasal 9 ayat (3) dan (4) Urusan pemerintahan konkuren adalah

Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan

Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan

Page 62: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

51

pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar

pelaksanaan Otonomi Daerah.

c. Pasal 9 ayat (5) Urusan pemerintahan umum adalah Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala

pemerintahan.

Urusan Pemerintahan tersebut antara lain:

1) Pasal 10 ayat (1) urusan pemerintahan absolut meliputi: politik luar

negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,

dan agama.

2) Pasal 11 menjelaskan tentang urusan pemerintahan konkuren bahwa

urusan pemerintahan Konkuren yang diserahkan meliputi Urusan

Wajib dan Urusan Pilihan. Pada Urusan Wajib ada Urusan Wajib

Pelayanan dasar dan Urusan Wajib tidak terkait dengan Pelayanan

Dasar. Kemudian pembagian urusan pemerintahan konkuren

tersebut berdasarkan Pasal 13 didasarkan pada prinsip akuntabilitas,

efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.

Prinsip akuntabilitas dimaksudkan bahwa Pertanggungjawaban

memperhatikan kedekatan, luas, besaran, dan jangkauan karena

dampak yang timbul dari penyelenggaraan suatu Urusan

Pemerintahan. Adapun yang dimaksud dengan prinsip efisiensi

adalah potensi kedayagunaan tertinggi yang dapat diperoleh dan

dihasilkan. Sedangkan Prinsip eksternalitas merupakan Luas,

besaran, jangkauan, dan pengaruh yang ditimbulkan karena adanya

penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan, kemudian prinsip

kepentingan strategis nasional merupakan rangka menjaga keutuhan

dan kesatuan Negara Republik Indonesia, dan mewujudkan program

strategis nasional lainnya8. Selanjutnya akan dijelaskan Urusan

Pemerintahan Absolut, Konkuren, dan Umum sebagai berikut:

a) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan

Pelayanan Dasar terdiri dari: pendidikan, kesehatan,

8 Septi Nur Wijayanti, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,... h. 195

Page 63: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

52

pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan

kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan

pelindungan masyarakat sosial, ditentukan dengan Standar

Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak

konstitusional masyarakat

b) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan

Pelayanan Dasar meliputi: tenaga kerja, pemberdayaan

perempuan dan pelindungan anak, pangan, lingkungan

hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil,

pemberdayaan masyarakat dan Desa pengendalian penduduk

dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan

informatika, koperasi, usaha kecil, dan menengah,

penanaman modal, kepemudaan dan olahraga, statistik,

persandian, kebudayaan, perpustakaan, dan kearsipan.

c) Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi: kelautan dan

perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan

sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian, dan

transmigrasi.

3) Pasal 25 Urusan Pemerintahan Umum yang meliputi:

(a) pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional

dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila,

pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika

serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

(b) pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;

(c) pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat

beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan

stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;

(d) penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan

(e) koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan

yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah

kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang

timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak

asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan

Page 64: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

53

kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(f) pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan

Pancasila; dan

(g) pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan

merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan

oleh Instansi Vertikal.

Penjelasan umum UU No 23 Tahun 2014 dijelaskan bahwa Peran

Gubernur adalah sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah karena letak

geografis Indonesia yang cukup luas, maka demi efektifitas dan efisiensi

pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang

menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota, dan Presiden sebagai

penanggung jawab akhir pemerintahan secara keseluruhan melimpahkan

kewenangannya kepada gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah

Pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Daerah

kabupaten/kota dalam menjalankan otonominya agar sesuai dengan NSPK

yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk efektifitas tersebut Gubernur

dalam melaksanaan tugasnya selaku wakil Pemerintah Pusat, dapat dibantu

oleh perangkat gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena sebagai

Wakil Pemerintah Pusat maka peran gubernur dan hubungan Pemerintah

Daerah kabupaten/kota bersifat hierarkis.

B. Dasar Hukum Menteri Dalam Negeri Membatalkan Peraturan Daerah

dan Peraturan Kepala Daerah

Berpedoman pada Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, pembatalan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan

Kepala Daerah (Perkada) berdasarkan pada Pasal 250, Ayat (1) yang

menjelaskan bahwa Perda dan Perkada tidak boleh bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan

umum, dan/atau kesusilaan, dan kepentingan umum, seperti yang dimaksud

(pada Ayat (2)) meliputi:

1. Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;

2. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;

Page 65: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

54

3. Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;

4. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat; dan/atau

5. Diskriminasi terhadap suku,agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan,

dan gender.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa

pembatalan perda dan perkada dapat dilakukan jika bertentangan dengan

peraturan perundangan-undangan yang lebih tinngi, kepentingan umum,

dan /atau kesusilaan.

Selanjutnya mengacu pada pasal 251 Undang-undang No. 23 tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan:

(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh

Menteri.

(2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan

yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan

dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat

(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak

membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan

bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,

dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau

peraturan bupati/wali kota.

(4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan

keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan

peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil

Pemerintah Pusat

(5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus

menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD

bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.

(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus

Page 66: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

55

menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala

daerah mencabut Perkada dimaksud.

(7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak

dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan

gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan

peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan

kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak

keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima.

(8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah

kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan

Perda Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota tidak dapat

menerima keputusan pembatalan peraturan bupati/wali kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat

dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,

bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri

paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan

pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali

kota diterima.

Kemudian merujuk Pasal 91 Ayat (1), disebutkan bahwa: “Dalam

melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota

dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh

gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.” Sejalan dengan itu pada Ayat

(2) bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) , maka gubernur mempunyai tugas di antaranya poin

(e) ayat (2) gubernur dapat “Melakukan pengawasan terhadap Perda

Kabupaten/kota” Selanjutnya, pada Ayat (3) ditegaskan bahwa: “Dalam

melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2) gubernur sebagai wakil

Pemerintah Pusat mempunyai wewenang:” salah satunya pada Poin (a) ayat

(3) gubernur berwenang “Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan

peraturan bupati/wali kota.” jadi dalam hal ini, gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk membatalkan Perda dan

Perkada.Dengan demikian bahwa pembatalan Perda dan Perkada di tingkat

Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat

Page 67: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

56

di daerah. Apabila ketika Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat enggan

membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota

(Perkada) yang bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau

kesusilaan (sebagaimana dimaksud pada Pasal 250, Ayat (2)), maka melihat

Pasal 251, Ayat (3), Menteri dapat membatalkan Perda Kabupaten/Kota

dan/atau peraturan bupati/wali kota yang bersangkutan9.

Kesimpulannya kewenangan Menteri Dalam Negeri diatur pada

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

dalam Pasal 251 yang mengatur Kewenangan Menteri dalam negeri

Membatalkan Perda. Tugas dan Fungsi Kementerian Dalam Negeri diatur

dalam Perpres No.11 Tahun 2015 Pasal 2 dan 3.

Tulisan hukum mengenai mekanisme pencabutan/pembatalan

Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Dan Keputusan Kepala Daerah

yang bermasalah berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia

ini dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan, sebagai berikut:

(a) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang- Undangan;

(b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun

2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 Tentang Pemerintahan Daerah;

(c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah;

(d) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Percepatan

Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Diktum Kedelapan;

(e) Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 582/476/SJ

(f) Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 582/1107/SJ

9 Leo Agustino, PEMBATALAN 3.143 PERATURAN DAERAH: Satu Analisis

Singkat, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.3 No.1, (April, 2017), h. 24-26

Page 68: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

57

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 56/PUU-XIV/2016

A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

Pemohon adalah 5 (lima) orang karyawan yang hak-hak

konstitusionalnya berpotensi dirugikan oleh ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan

ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemohon mengajukan Perda

yang berpotensi dibatalkan oleh Menteri dan Gubernur, yang apabila perda

tersebut dibatalkan maka pembatalan tersebut akan berdampak pada diri para

Pemohon, perda yang berpotensi dibatalkan yaitu:

1) Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Penyelenggaraan Ketenagakerjaan (Lembaran Daerah Kabupaten

Karawang Tahun 2011 Nomor 1 Seri E)

2) Peraturan Daerah Kabupaten Siak Nomor 11 Tahun 2001 tentang

Penempatan Tenaga Kerja Lokal (Lembaran Daerah Kabupaten Siak

Tahun 2001 Nomor 11 Seri C)

3) Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2002 tentang

Penempatan Tenaga Kerja Lokal (Lembaran Daerah Kota Pekanbaru

Tahun 2002, Seri D, Nomor 4)

Kemudian ketentuan Pasal 251 Ayat (7) dan Ayat (8) Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2014, yang hanya mengakui Bupati dan Gubernur sebagai

satu-satunya subjek hukum yang dapat mengajukan keberatan atas keputusan

pematalan Perda dan Perkada, hal ini dirasa oleh para Pemohon telah

menghilangkan hak para Pemohon untuk turut serta mempertahankan

keberadaan Perda dimaksud. Sebab, sangat mungkin bagi penyelenggara

pemerintahan pada tingkatan kabupaten/kota dan provinsi, tidak

mempergunakan haknya untuk mengajukan keberatan atas keputusan gubernur

atau menteri terhadap pembatalan Perda provinsi atau kabupaten/kota, dan

Page 69: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

58

peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota. Hal itu jelas merugikan hak

konstitusional para Pemohon

Pasal 251 Ayat (1), (2), (7), (8) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (1) dan

Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945 dengan alasan bahwa kewenangan menguji

materil peraturan perundang-undangam dibawah undang-undang terhadap

undang-undang merupakan kewenangan Mahkamah Agung, selain dari pada

itu pemohon mendalilkan Pasal 251 Ayat (7) dan (8) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar

NRI 19451. Berikut norma yang dimohonkan pengujian dalam menguji materil

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014:

Pasal 251 ayat (1):

Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.

Pasal 251 ayat (2):

Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang

lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh

gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Pasal 251 ayat (7):

Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat

menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak

dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat

dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur

dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat

belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan

gubernur diterima.

Pasal 251 ayat (8):

Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak

dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan

bupati/wali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan

peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan

1 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, h.4

Page 70: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

59

kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan

pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota

diterima.

Menurut para pemohon ketentuan pada pasal 251 ayat (1), ayat (2) ayat (7),

dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan

pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi :

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undangundang dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh

undang-undang”.

Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi ::

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya.”

Pemohon beralasan bahwa executive review secara represif yang diatur

dalam ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014, merupakan kompetensi Mahkamah Agung (MA) sebagai

pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan umum, agama, militer dan tata

usaha negara, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1)

UUD 1945, dengan demikian Pasal 251 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ayat (7) dan (8), secara tegas hanya

diakui penyelenggara pemerintahan daerah pada tingkat provinsi atau

kabupaten/kota, sebagai satu-satunya subyek hukum yang dapat mengajukan

keberatan terhadap keputusan pembatalan Perda kabupaten/kota oleh Gubernur

atau Menteri, atau Perda provinsi oleh Menteri, hal ini bertentangan karena

sebagai negara hukum, konstitusi Indonesia mengakui hak asasi manusia yang

harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta

persamaan kedudukan dihadapan hukum harus dijunjung tinggi oleh setiap

warganegara, tanpa terkecuali juga dengan penyelenggara negara atau

pemerintahan sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD

1945.

Page 71: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

60

Peraturan Gubernur maupun bupati/wali kota yang tertuang dalam

Pasal 251 ayat (1) dan (2) merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-

undangan yang memuat norma hukum mengikat secara umum dan ditetapkan

oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, selain itu secara hierarki

kedudukan peraturan bupati/wali kota berada di bawah undang-undang

sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dengan demikian, keputusan

gubernur dan menteri yang membatalkan Perda yang erat kaitannya dengan

hajat hidup masyarakat, dan menurut penilaian masyarakat bahwa Perda

tersebut harus dipertahankan, maka keputusan gubernur dan menteri yang

membatalkan Perda dapat dimintakan keberatan ke Mahkamah Agung melalui

mekanisme pengujian peraturan (judicial review). Dari uraian tersebut para

pemohon intinya mempersoalkan Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan

dengan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.

B. Pertimbangan Hakim Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-

XIV/2016

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 ini

melengkapi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015

sehingga pertimbangan hakim pada kedua putusan ini tidak jauh berbeda. Pada

Putusan yang sebelumnya yakni Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan

bahwa frase “peraturan daerah kabupaten/ kota dan” dalam ketentuan Pasal

251 ayat (2) dan (4), frase “peraturan daerah kabupaten/ kota dan/atau” dalam

Pasal 251 ayat (3), dan frase “penyelenggara pemerintahan daerah

kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan

daerah kabupaten/kota dan” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga Menteri Dalam Negeri

Page 72: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

61

maupun gubernur tidak dapat lagi membatalkan peraturan daerah

kabupaten/kota.

Berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kini baik

Gubernur maupun Menteri Dalam Negeri tidak lagi berwenang membatalkan

Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/kota dan Peraturan Daerah tingkat

Provinsi. Sehingga untuk Pembatalan Peraturan Daerah harus melalui proses

Judicial Review di Mahkamah Agung, hal ini sesuai dengan amanat UUD NRI

1945 pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi Mahkamah Agung

berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai

wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Berikut penjelasan terkait

pertimbangan hakim mengenai Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala

Daerah:

1). Peraturan Daerah (Perda)

Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan terkait dengan

pembatalan Peraturan Daerah. Pertama, Mahkamah mempertimbangkan

bahwa kewenangan yang diberikan kepada Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat di daerah dan menteri sebagai pembantu presiden melalui

Pasal 251 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah dalam hal membatalkan Peraturan Daerah baik

ditingkat Kabupaten/Kota maupun di Provinsi telah melabrak logika konsep

Negara Hukum seperti yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI

1945. Kedua, Pembatalan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Gubernur

Dan Menteri telah Menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung

sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-Undang baik itu Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota maupun Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana telah

tertuang dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Ketiga, selain itu Mahkamah

juga berpendapat bahwa Menteri Dalam Negeri dan Gubernur telah

melampaui kewenangan Mahkamah Agung karena parameter atau tolok

ukur yang dilakukan untuk membatalkan Peraturan Daerah oleh pihak

Page 73: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

62

pemerintah terkait frase peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

Kepentingan Umum dan Kesusilaan merupakan ranah dari Mahkamah

Agung. Keempat, pembatalan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota melalui melalui keputusan gubernur sebagai wakil

Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4) UU

Pemda, menurut Mahkamah tidak sesuai dengan rezim peraturan

perundang-undangan yang dianut Indonesia. Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu

jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian

kedudukan keputusan gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan

perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk

membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kelima mahkamah

menganggap bahwa telah terjadi kekeliruan bahwa produk hukum

(beschikking) dapat membatalkan produk hukum yang berbentuk peraturan

(regeling) Peraturan Daerah yang berkedudukan sebagai produk hukum

(regeling) dapat dibatalkan oleh Keputusan Gubernur atau Keputusan

Menteri yang bersifat (beschikking). Keenam, karena berbentuk Keputusan

Gubernur atau Keputusan Menteri akan dikhawatirkan menimbulkan

dualisme Putusan Pengadilan, Peraturan Daerah Provinsi atau

Kabupaten/Kota dibatalkan melalui Keputusan Gubernur atau Keputusan

Menteri maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah melalui

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan seandainya upaya hukum

tersebut dikabulkan maka Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota

yang dibatalkan oleh Keputusan Gubenur atau Keputusan Menteri menjadi

berlaku kembali. Di sisi lain, terdapat upaya hukum pengujian Peraturan

Daerah melalui Mahkamah Agung yang dilakukan oleh Pemerintah,

masyarakat di daerah tersebut atau pihak yang merasa dirugikan dengan

berlakunya. Peraturan Daerah tersebut. Misalnya upaya hukum melalui

Mahkamah Agung tersebut dikabulkan maka Peraturan Daerah menjadi

dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian telah terjadi dualisme dalam

Page 74: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

63

persoalan yang sama. Potensi dualisme putusan pengadilan antara putusan

PTUN dan putusan pengujian Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung

terhadap substansi perkara yang sama, hanya berbeda produk hukum akan

menimbulkan ketidakpastian hukum, padahal kepastian hukum merupakan

hak setiap orang yang dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD

NRI 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah pengujian atau pembatalan

Peratuaran Daerah menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah

Agung.

2). Peraturan Kepala Daerah (Perkada)

Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan terkait dengan

pembatalan Peraturan Kepala Daerah Mahkamah mempertimbangkan

bahwa Peraturan Kepala Daerah menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang

Pemerintahan Daerah adalah peraturan gubernur dan peraturan

bupati/walikota. Selanjutnya Pasal 246 ayat (1) UU Pemda menyatakan,

kepala daerah berwenang menetapkan Perkada dalam rangka melaksanakan

Perda atau atas kuasa peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan

Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang dalam

pembuatannya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

sedangkan Peraturan Bupati/Wali Kota atau Peraturan Gubernur dibuat

dengan tidak melibatkan DPRD.

Mahkamah berpendapat Peraturan Kepala Daerah merupakan salah

satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, akan tetapi oleh karena dibentuk hanya oleh kepala

daerah sebagai satuan bestuur dalam rangka menindak lanjuti Peraturan

Daerah dan urusan pemerintahan wajib sebagaimana ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

sehingga dalam kerangka negara kesatuan Pemerintah Pusat sebagai satuan

bestuur yang lebih tinggi memiliki kewenangan untuk membatalkan

Perkada. Pembatalan dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalan

Perkada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Page 75: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

64

Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari

Presiden atau Menteri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah atau dengan kata lain sebagai suatu bentuk pengawasan,

bukan pengujian peraturan perundang-undangan, dalam lingkungan bestuur

oleh satuan bestuur yang lebih tinggi terhadap satuan bestuur yang lebih

rendah.

Mengenai pembatalan Perkada tidak ada ketentuan dan mekanisme

yang mengatur pengajuan keberatan pembatalannya, tidak seperti Perda.

Penyebutan Perkada menggunakan 2 (dua) istilah peraturan kepala daerah

dan/atau keputusan kepala daerah melalui Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah barulah ditemukan mekanisme

pengujian Pembatalan Peraturan Kepala Daerah serta Peraturan Daerah.

Berdasarkan perkembangan tersebut, menurut Mahkamah pembentuk

Undang-Undang mendudukkan Peraturan Kepala Daerah sebagai keputusan

kepala daerah atau disebut juga keputusan tata usaha negara, meski produk

hukumnya berupa peraturan bupati/walikota, sehingga mekanisme kontrol

oleh pemerintah di atasnya dapat saja dilakukan dan bukan merupakan hal

yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Mekanisme kontrol

pemerintahan di atasnya adalah lingkup fungsi administrasi negara

(bestuursfunctie).

C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan para

Pemohon untuk sebagian, namun Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan

beberapa ayat dari Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah yang meskipun tidak dicantumkan oleh para Pemohon

dalam Pokok Permohonan tetapi kemudian dikabulkan oleh Mahkamah

Konstitusi. Ayat pada Pasal 251 yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi

adalah Pasal 251 ayat (1), Pasal 251 ayat (4), Pasal 251 ayat (5), dan Pasal 251

ayat (7) yang akan dijelaskan sebagai berikut, frase-frase mana saja yang

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan dianggap bertentangan dengan

Page 76: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

65

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945),

diantaranya adalah:

Pasal 251 Ayat (1) “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh

Menteri”

Pasal 251 Ayat (4) “Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan

gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan

keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan

bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan

keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”

Pasal 251 Ayat (5) “Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan

pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus

menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala

daerah mencabut Perda dimaksud”

Pasal 251 Ayat (7) “Dalam hal penyelenggara Pemerintahan

Daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda

Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan

peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan

yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,

gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14

(empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan

gubernur diterima.”

Pasal 251 ayat (5) meskipun tidak dicantumkan oleh para Pemohon

dalam Pokok Permohonan tetapi Mahkamah Konstitusi memutus ayat (5)

tersebut dikarenakan ayat ini tidak rasional dan kehilangan relevansinya karena

induk dari ayat ini adalah Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) telah dibatalkan

sehinnga apabila tidak diputus dan dibatalkan maka akan menimbulkan

ketidakpastian hukum. Berdasarkan pemaparan tersebut Mahkamah Konstitusi

menyatakan frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4),

dan frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (7), serta Pasal 251 ayat

(5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Page 77: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

66

D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016

pengujian atau pembatalan Peraturan Daerah Provinsi maupun

Kabupaten/Kota harus melalui mekanisme Judicial Review di Mahkamah

Agung, Gubernur dan Menteri tidak lagi berwenang membatalkan Peraturan

Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota, akan tetapi Mahkamah Konstitusi

masih menyisakan masalah Konstitusional hal ini dikarenakan Mahkamah

Konstitusi tidak mengabulkan Permohonan para Pemohon terkait Peraturan

Kepala Daerah bahwa Gubernur dan Menteri Dalam Negeri masih dapat

membatalkan Peraturan Kepala Daerah, Gubernur masih dapat membatalkan

Peraturan Bupati/Wali Kota dan Menteri Dalam Negeri masih dapat

membatalkan Peraturan Gubernur Mahkamah menganggap bahwa hal tersebut

tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 padahal oleh pemohon ini dianggap

bertentangan dengan UUD NRI Pasal 24A ayat (1).

Peraturan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Walikota dan Bupati

dibuat dalam rangka delegasi dari peraturan poerundang-undangan yang lebih

tinggi yakni melaksanakan Peraturan Daerah, jika kita melihat teori norma

hukum Hans Nawiasky Peraturan Kepala Daerah termasuk kedalam Hierarki

peraturan perundang-undangan begitupun apabila kita merujuk kepada

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan Pasal 8 ayat (1) yang terdiri dari peraturan yang

ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,

lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang

atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Apabila

kita kaitkan dengan dengan 4 (empat) kelompok besar norma hukum yang

dikemukaan oleh Hans Nawiasky peraturan perundang-undangan yang

tercantum pada Pasal 8 Ayat (1) masuk ke dalam kategori Verordnung &

Page 78: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

67

Autonome satzung yang merupakan aturan pelaksana/aturan otonom Peraturan

Kepala Daerah merupakan bagian dari itu dan terletak satu tingkat dibawah

Formell gesetz (undang-undang) hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24A

ayat (1) UUD NRI yang berbunyi:

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lain yang

diberikan oleh undang-undang”

Negara kita adalah negara hukum definisi dari negara hukum itu sendiri

adalah bahwa seluruh sikap, kebijakan, perilaku alat negara dan penduduk

harus berdasar dan sesuai dengan hukum, hukumlah yang yang memegang

komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara2, selain dari pada itu sistem

pemerintahan Republik Indonesia menganut konsep ‘trias politica’ yang

dimaksudkan untuk memisahkan kekuasaan antar lembaga yakni eksekutif,

legislatif, dan yudikatif secara sejajar dengan semangat (check and balances)

agar nantinya antara lembaga kekuasaan dapat saling mengawasi dan saling

mengimbangi satu sama lain, tujuan dari pembatasan kekuasaan untuk

menghindari kekuasaan yang absolut pada satu tangan kekuasaan, bahwa dapat

kita ketahui kekuasaan yang absolut akan melahirkan kesewenang-wenangan3,

dengan masih diperbolehkannya Pemerintah Pusat sebagai pihak dari Lembaga

Eksekutif yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Dalam Negeri dan

Gubernur yang masih diberi kewenangan untuk membatalkan Peraturan

Kepala Daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten atau Kota hal ini

dikhawatirkan nantinya akan timbul kesewenang-wenangan dari Menteri

Dalam Negeri dan Gubernur dalam hal melakukan pembatalan Peraturan

Kepala Daerah.

2 A. Salman Maggalatung & Nur Rohim Yunus, POKOK-POKOK TEORI ILMU

NEGARA (Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia),... h.137

3 Efi Yulistyowati, Endah Pujiastuti, Tri Mulyani, Penerapan Konsep Trias Politica

Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi Komparatif UUD NRI 1945 Sebelum dan

Sesudah Amandemen, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Volume 18, Nomor 2, (Desember, 2016),

h.330

Page 79: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

68

Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelumnya, baik Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pembatalan Peraturan

Kepala Daerah dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalannya, sebelum

berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah pengujian Peraturan Kepala Daerah dapat dilakukan melalui 3 (tiga)

mekanisme Executive Review, Judicial Review, Political Review4 hal ini tentu

menjadikan pengujian peraturan perundang-undangan terkhusus Peraturan

Kepala Daerah menjadi anomali. Hal ini tentu tidak sesuai dengan sistem yang

dianut dan dikembangkan menurut UUD 1945 yakni “Centralized Model Of

Judicial Review” seperti yang tertuang pada Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C

ayat (1) UUD NRI 1945. Ciri utama model ini adalah terdapatnya lembaga

khusus dalam melakukan kewenangan judicial review. Khusus disini bermakna

tidak terdapat lembaga lain atau lembaga peradilan lain yang melakukan

kewenangan judicial review5.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 masih

menyisakan persoalan konstitusional, bahwa terkait Peraturan Daerah

Gubernur dan Menteri dalam Negeri sudah tidak berwenang lagi membatalkan

Peraturan Daerah tingkat Provinsi maupun Kabupaten/atau Kota, tetapi masih

berwenang membatalkan Peraturan Kepala Daerah, Gubernur dan Menteri

Dalam Negeri masih dapat membatalkan Peraturan Kepala Daerah tingkat

Provinsi maupun Kabupaten/atau Kota jika Peraturan Kepala Daerah tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

kepentingan umum, dan atau kesusilaan.

Putusan tersebut berdampak kepada Kepala Daerah baik Gubernur

ataupun Bupati/Wali Kota mereka akan merasa dilematis dalam membuat

sebuah peraturan untuk melaksanakan otonomi daerah dalam

4 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan Kepala

Daerah,... h.93

5 Minolah, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah Provinsi di

Indonesia, Jurnal Syiar Hukum, Vol. XIII. No. 1, (Maret, 2011), h. 5

Page 80: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

69

menyelenggarakan pemerintahan daerah, Kepala Daerah harus bekerja lebih

ekstra keras dalam membuat Peraturan Kepala Daerah agar tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan mengupayakan

sebisa mungkin agar Peraturan Kepala Daerah tersebut harmonis baik secara

vertikal maupun horizontal dengan peraturan lainnya. Mengapa demikian,

dilematisnya adalah terletak pada manakah yang harus kepala Daerah ikuti,

selera pusat atau selera daerah selain dari pada itu eksistensi dari Peraturan

Kepala Daerah ini menimbulkan konflik kewenangan, yang terlibat dalam

konflik kewenangan tersebut adalah antara Pemerintah Pusat (Eksekutif) dalam

hal ini diwakili oleh Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, Mahkamah Agung,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau yang disebutl dengan (DPRD), dan

Pengadilan Tata Usaha Negara yang disebut dengan (PTUN) karena lembaga-

lembaga tersebut berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap Peraturan

Kepala Daerah. Berikut uraian mengenai potensi konflik kewenangan yang

mungkin terjadi dalam hal melakukan pengawasan terhadap Perkada:

1. Dalam hal Peraturan Kepala Daerah Gubernur maupun Bupati/Walikota

dibatalkan melalui keputusan gubernur atau menteri upaya hukum yang

dilakukan adalah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan

seandainya upaya hukum tersebut dikabulkan maka Peraturan Kepala

Daerah Gubernur maupun Bupati/Walikota yang dibatalkan oleh

keputusan gubenur dan menteri menjadi berlaku kembali. Di sisi lain,

terdapat upaya hukum pengujian Peraturan Kepala Daerah melalui

Mahkamah Agung yang dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat di daerah

tersebut atau pihak yang merasa dirugikan dengan berlakunya Perkada

tersebut. Misalnya upaya hukum melalui Mahkamah Agung tersebut

dikabulkan maka Peraturan Kepala Daerah menjadi dinyatakan tidak

berlaku.

2. Ketika Peraturan Kepala Daerah dianggap sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan

oleh pihak eksekutif,. Di sisi lain, terdapat upaya hukum pengujian

Peraturan Kepala Daerah melalui Mahkamah Agung yang dilakukan oleh

Page 81: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

70

masyarakat di daerah tersebut atau pihak yang merasa dirugikan dengan

berlakunya Peraturan Kepala Daerah tersebut. Misalnya upaya hukum

melalui Mahkamah Agung tersebut dikabulkan maka Peraturan Kepala

Daerah menjadi tidak berlaku

3. Peraturan Kepala Daerah yang dibuat tidak melibatkan DPRD bisa saja

peraturan Kepala Daerah itu tidak sesuai dengan Peraturan Daerah

sehingga DPRD menganggap bahwa Peraturan Kepala Daerah tersebut

bertentangan dengan Peraturan Daerah yang dibuat secara bersama antara

DPRD dan Kepala Daerah, Di sisi lain, terdapat upaya hukum pengujian

Peraturan Kepala Daerah melalui Mahkamah Agung yang dilakukan oleh

masyarakat di daerah tersebut atau pihak yang merasa dirugikan dengan

berlakunya Peraturan Kepala Daerah tersebut. dan Mahkamah Agung

menganggap bahwa Peraturan Kepala Daerah tersebut tidak bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi maka Peraturan Kepala Daerah tetap

berlaku.

4. Kepala Daerah dituntut dalam membuat produk hukumnya terkhusus

Peraturan Kepala Daerah agar sesuai dengan selera Pemerintah Pusat dan

sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat di daerah yang

direpresentasikan oleh DPRD sebagai penampung dan mewakili aspirasi

masyarakat daerah, sepertinya hal ini merupakan hal yang rumit bagi

Kepala Daerah hal ini dikarenakan baik Pemerintahan Pusat maupun

Pemerintahan di daerah selalu terdapat kelompok-kelompok elit politik

yang memliki kepentingan, tujuan dan maksud yang berbeda-beda hal ini

tidak mengherankan karena baik Pemerintah Pusat, Kepala Daerah, dan

DPRD merupakan lembaga politik, hal ini membuat Kepala Daerah

menjadi dilematis manakah yang harus dituruti Pemerintah Pusat atau

DPRD, ketika Peraturan Kepala Daerah tidak sesuai dengan selera

Pemerintah Pusat maka Pemerintah Pusat dapat bertindak represif melalui

mekanisme executive review membatalkan Peraturan Kepala Daerah.

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Page 82: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

71

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) menjelaskan

bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang

berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Provinsi

maupun Kabupaten/Kota. Memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan

pengawasan, dalam hal DPRD melakukan pengawasan DPRD berhak

mengeluarkan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat,

hak angket adalah hak DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk

melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi maupun

Kabupaten/Kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada

kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

DPRD dalam melakukan pengawasan terhadap Peraturan Kepala

Daerah dapat menggunakan hak angketnya apabila Pemerintah Daerah

membuat kebijakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. sehingga

jika terdapat penyalahgunaan wewenang dalam pembuatan Peraturan

Kepala Daerah (yang tidak diperintahkan peraturan perundangan lain

tetapi dibuat berdasarkan wewenang yang ada pada Kepala Daerah) tetap

dianggap bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Muara

dari hak angket ini bisa membawa pada pemberhentian Kepala Daerah6,

jika hak angket ini dapat dilakukan upaya hukum ke PTUN maka hal ini

tentu akan menimbulkan dualisme keputusan.

Berdasarkan pemaparan tersebut dalam praktiknya hal yang demikian dapat

saja terjadi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 tidak

benar-benar menyelesaikan permasalahan pengujian produk hukum dibawah

undang-undang terkhusus Peraturan Kepala Daerah mahkamah memperpanjang

keanomalian pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang yakni karena Peraturan Kepala Daerah masih dapat

6 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan

Kepala Daerah,... h.91

Page 83: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

72

dibatalkan melalui mekanisme Executive review yang dijalankan oleh Gubernur dan

Menteri Dalam Negeri disisi lain masih terdapat lembaga lain yang juga berwenang

melakukan pengawasan terhadap Peraturan Kepala Daerah. Sehingga pengujian

Peraturan Perundang-undangan dibawah undang-undang dalam hal ini Peraturan

Kepala Daerah masih menjadi persoalan konstitusional. Anomali pengujian

Peraturan Kepala Daerah dan masih terdapatnya lembaga lain dalam melakukan

pengawasan Kepala Daerah tidak benar-benar menempatkan Mahkamah Agung

sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang, hal ini tentunya pasti menimbulkan ketidak

kepastian hukum padahal kepastian hukum merupakan hak setiap orang yang

dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, hal ini juga

mencederai prinsip check and balances antar lembaga negara. Fungsi Peraturan

Kepala Daerah adalah merinci ketentuan dalam Peraturan Daerah yang sangat

umum, untuk memberikan pedoman prosedural. Dengan peran yang demikian,

maka Peraturan Kepala Daerah saling berkaitan terhadap Peraturan Daerah (Perda),

sehingga isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya atau dengan

kata lain Peraturan Kepala Daerah adalah salah satu bentuk produk delegated

legislation. Sebagai delegated legislation, maka perspektif yang digunakan bahwa

Peraturan Kepala Daerah adalah sebagai Peraturan Perundang-undangan, tetapi

Mahkamah melihat Peraturan Kepala Daerah baik itu Peraturan Gubernur maupun

Peratuan Bupati/Walikota sebagai Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, hal yang

demikian tidak sepenuhnya salah melihat Peraturan Kepala Daerah dikenal dengan

2 (dua) istilah yakni sebagai Peraturan Kepala Daerah dan yang kedua sebagai

keputusan Kepala Daerah.

Mahkamah menyadari bahwa ada kekeliruan Peraturan Daerah yang

sifatnya (regeling) dapat dibatali dengan keputusan Gubernur dan Keputusan

Menteri yang sifatnya (beschikking), kekeliruannya sebenarnya bahwa keputusan

yang dikeluarkan oleh Gubernur dan Menteri dalam rangka mekanisme executive

review cenderung subjektif pengertian dari executive review itu adalah pengawasan

secara internal lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan itu sendiri

seperti yang kita ketahui bahwa lembaga ekskutif merupakan lemabaga politik,

Page 84: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

73

keputusan Mahkamah Agung pun sifatnya (beschikking)akan tetapi dia adalah

lembaga eksternal yang mengawasi dan menguji peraturan-perundang-undangan

secara objektif karena Mahkamah Agung merupakan lembaga yudikatif.

Permasalahan selanjutnya ketika Peraturan Daerah tidak dapat dibatalkan

oleh Gubernur maupun Menteri akan tetapi Peraturan Kepala Daerah masih dapat

dibatalkan oleh Gubernur dan Menteri ketika Peraturan Daerah telah hadir dan

memerlukan Peraturan yang lebih lanjut untuk mengatur hal-hal yang sifatnya

teknis dan prosedural seperti Peraturan Kepala Daerah, akan tetapi Peraturan

Kepala Daerah itu dibatalkan oleh Gubernur dan Menteri hal ini dikhawatirkan akan

menimbulkan dan terjadi ‘death lock’ bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Surat An Nisa Ayat (135): Prinsip Kepastian Hukum

أنفسكم أو ٱلو ولو على مين بٱلقسط شهداء لل أيها ٱلذين ءامنوا كونوا قو ا أو لدين وٱأقببين ني يكن نني ﴿۞ ي

ا أو تعبضوا فإي وني تلوۥ أي تعدلوا أولى بهما فل تتبعوا ٱلهوى كاي بما تعملوي خبيب فقيبا فٱلل ﴾٥٣١ا ٱلل

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-

benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu

sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka

Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu

karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-

kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha

Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.

Surat Ash-Shura Ayat (38): Prinsip Musyawarah

ل هم ينفقوي ﴿وٱلذين ٱستجابوا لببهم وأقاموا ٱلص ا رزقن ة وأمبهم شورى بينهم ومم ﴾٣٣و

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya

dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat

antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan

kepada mereka”.

Page 85: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

74

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri

pembahasan dalam skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai

berikut:

1. Pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor

56/PUU-XIV/2016 terdapat inkonsistensi, mahkamah menyadari bahwa

Peraturan Kepala Daerah dikenal dua istilah yaitu Peraturan Kepala

Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, pada saat mempertimbangkan

terkait Peraturan Daerah Mahkamah tidak mengakui Keputusan

Gubernur dan Keputusan Menteri Dalam Negeri sebagai bagian dari

rezim Hirarki Peraturan Perundang-undangan dan tidak bisa dijadikan

produk hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah, akan tetapi pada

saat mempertimbangkan Peraturan Kepala Daerah mahkamah mengakui

bahwa Keputusan Gubernur dan Keputusan Menteri Dalam Negeri

merupakan bagian dari rezim Hirarki Peraturan Perundang-undangan

sehingga bisa dijadikan produk hukum untuk membatalkan Peraturan

Kepala Daerah.

2. Eksistensi atau keberadaan dari Peraturan Kepala Daerah masih menjadi

masalah konstitusional dalam pengujiannya, hal ini karena selain

pemerintah pusat masih dapat menerapkan executive review untuk

membatalkan Peraturan Kepala Daerah yang diwakili oleh Gubernur

dan Menteri Dalam Negeri, di sisi lain juga masih terdapat lembaga lain

yang berhak dan berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap

Peraturan Kepala Daerah. Meskipun Peraturan Daerah sudah tidak dapat

lagi dibatalkan melalui mekanisme executive review, akan tetapi

Peraturan Kepala Daerah masih dapat dibatalkan oleh Gubernur dan

Menteri Dalam Negeri hal ini dikhawatirkan akan menghambat

penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Page 86: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

75

B. Rekomendasi

Dari hasil penelitian, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Peraturan Kepala Daerah sebaiknya dilakukan pengujian dan dibatalkan

melalui mekanisme judicial review oleh Mahkamah Agung, meskipun

Peraturan Kepala Daerah bersifat (beschikking) tetapi di dalamnya

memuat norma mengatur dan mengikat umum (regeling). Peraturan

Daerah dan Peraturan Kepala Daerah merupakan satu kesatuan yang

hirarkinya dibawah Undang-Undang, yang pengujiannya merupakan

kewenangan Mahkamah Agung.

2. Pemerintah pusat sebaiknya lebih meningkatkan pembinaan terhadap

penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah pusat dalam

mengawasi produk hukum daerah lebih mengedepankan langkah

preventif dibandingkan dengan langkah represif, yakni pengujian

terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum,

dengan melakukan pengawasan lebih dini terhadap rancangan Peraturan

Daerah atau Rancangan Peraturan Kepala Daerah. Pemerintah pusat

dalam hal ini menteri dalam negeri dan gubernur dapat melakukan

pengawasan terhadap produk hukum daerah melalui mekanisme

executive preview dengan melibatkan kementerian lain atau instansi

pemerintahan terkait materi muatan dalam produk hukum daerah itu

sendiri.

Page 87: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

76

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdulkadir, Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2004

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia ,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal, Metode Penelitian Hukum,

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:

Kencana, 2006

Arifin, Zaenal Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik

Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2013

Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif tentang unsur-

unsurnya, Jakarta: UI Press, 1995

Dewata, Mukti Fajar Nur dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum

Normatif Dan Empiris , Jakarta: Pustaka Pelajar . 2010

Ence A.Baso, H.Iriyanto, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah

Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi),

Bandung: PT Alumni, 2008

Maggalatung, Salman & Yunus, Nur Rohim, POKOK-POKOK TEORI ILMU

NEGARA (Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia, Jakarta: Fajar

Media, 2013

__________________, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD

1945, Jakarta: Focus Grahamedia, 2015)

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2005

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Laporan Kajian

Implementasi Pengawasan Perda Oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung.

Jakarta: PSHK, 2011

Sjarif, Fitriani Ahlan. Farida, Maria, Sony. Sikumbang, Maulana, , dkk, Teori

Perundang-Undangan, Jakarta: Universitas Terbuka, 2014

Soejito, Irawan, Teknik Membuat Peraturan Daerah,Cet-2 ttp: Bina Aksara, 1989

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum ,Jakarta: UI Press, 1983

Soemantri, Sri, Hak Uji Material Di Indonesia, Ed.2, Bandung: Alumni, 1997

Page 88: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

77

Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, cet-2, Jakarta:

Sinar Grafika, 2008,

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2003

Widjaja, HAW, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Ed 1-3, Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2008,

B. JURNAL HUKUM

Adam, Haidar & Widiati, E. Prajwalita, Pengawasan Terhadap Peraturan Kepala

Daerah, Jurnal Yuridika: Volume 27 No 1, Januari-April, 2012

Agustino, Leo, PEMBATALAN 3.143 PERATURAN DAERAH: Satu Analisis

Singkat, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.3 No.1, April, 2017

Aryani, Sylvia, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana

Peraturan Daerah, Jurnal Badamai Law, Vol. 2, Issues 1, Maret, 2017

Aziz, Machmud, “Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam Sistem

Peraturan Peundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, vol.7,

no.5, oktober, 2010.

Darusman, Yoyon M., Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pengujian Perundang-

undangan Terhadap Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah Tentang

Ratifikasi Atas Konvensi Internasional (Studi Kasus Ratifikasi Konvensi

Internasional Di Bidang Haki), Jurnal Ilmiah Prodi Manajemen Universitas

Pamulang, Vol. 1, No. 1, Oktober, 2013

Efendi, Hak Uji Materi Pemerintah Terhadap Peraturan Daerah (Kajian Terhadap

Kewenangan Pemerintah Pusat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 137/PUU-XIII/2015), Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 51, No.

1, Juni, 2017

Hakim, Lukman, Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan, Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No.1, Juni, 2011.

Hastuti, Noor Tri, Mengukur Derajat Jenis dan Fungsi Dalam Hirarki Peraturan

Perundang-undangan (Pasal 7 (4) Undang-Undang No.10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Perspektif,

Volume XII No. 3, September, 2007

Heriyono, Tardjono, Reorientasi Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang di

Indonesia, Jurnal Renaissance, Volume 1 No. 02, Agustus, 2016

Kurniawan, Alek Karci, Judicial Preview Sebagai Mekanisme Verifikasi

Konstitusionalitas Suatu Rancangan Undang-Undang, Jurnal Konstitusi,

Volume 11, Nomor 4, Desember, 2014

Page 89: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

78

Maharani, Irma Tri, Eksistensi Kesenian Kenthongan Grup Titir Budaya Di Desa

Karangduren, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jurnal

Pendidikan Seni Tari, Januari, 2017

Minolah, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah Provinsi di

Indonesia, Jurnal Syiar Hukum, Vol. XIII. No. 1, Maret, 2011

Muhtadi, Penerapan Teori Hans Kelsen Dalam Tertib HuKum Indonesia, jurnal Fiat

Justitia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 5 No. 2 September-Desember, 2012

Mulyani, Tri. Pujiastuti, Endah. & Yulistyowati, Efi, Penerapan Konsep Trias

Politica Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi Komparatif

UUD NRI 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Jurnal Dinamika Sosial

Budaya, Volume 18, Nomor 2, Desember, 2016

Nainggolan, Indra Lorenly, Kedudukan Dan Ruang Lingkup Pergub Dalam

Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jurnal Hukum dan

Kebijakan, Vol 3, No 2 2017

Ngaji, Quido Benyamin, Kewenangan Pembatalan Produk Hukum Daerah oleh

Pemerintah Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Dasar Negara RI

Tahun 1945, Jurnal Magister Ilmu Hukum, Universitas Atmajaya

Yogyakarta, Maret, 2016

NH. Maryam, M. Nafiati. dan, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum

Indonesia, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 22 April, 2015

Nubatonis, Sondil E., dkk, Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam

Meningkatkan Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Jurnal JISIP: Jurnal

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 3, No. 1 2014

Pakaya, Jefri S., Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah ( Redesign Of

Judicial Review System Of Regional Regulations), Jurnal Legislasi

Indonesia, Vol. 14 No. 01, Maret, 2017

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Laporan Kajian

Implementasi Pengawasan Perda Oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung.

Jakarta: PSHK, 2011

Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-

Undangan di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 6,

Desember, 2010

Radix, Jeremia, Kewenangan Mendagri Membatalkan Perda Dalam

Kedudukannya sebagai Lembaga Eksekutif, Jurnal Hukum Bisnis dan

Administrasi Negara, Univ. DR. SOETOMO, Vol.1, No.2 2017

Rantjoko, Arie Satrio, Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Untuk Menguji

Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang di Indonesia,

JURNAL RECHTENS, Vol. 3, No. 1, Maret, 2014

Page 90: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

79

Saba’ni, Anas, Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Menteri Dalam Negeri Dalam

Tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Juncto Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmiah Ilmu

Hukum QISTIE Vol. 10 No. 2 November, 2017

Said, Abdul Rauf Alauddin, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-

Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Seluas-luasnya Menurut UUD 1945,

Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 4, Oktober-Desember, 2015

Salimin, Kms Jamri., dan Satriawan, Novyar, Analisis Yuridis Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Das Sollen, Vol.1,No.2

,2017

Saraswati, Retno, Problematika Hukum Undang-Undang No.12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Yustisia

Vol.2 No.3 September – Desember, 2013

Sihombing, Eka NAM, Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan

Daerah dan Peraturan Kepala Daerah: Kajian Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016,

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2, agustus 2017

Siahaan, Maruarar, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan

Negara Kita: Masalah dan Tantangan, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor

4, Agustus, 2010

_______________, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum

Konstitusi, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 16, Juli, 2009

Sulistiowati, Rahayu, Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada

Otonomi Daerah Baru (DOB) (Studi Di Kabupaten Pesawaran dan

Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung), Jurnal Sosiohumaniora, Volume

16 No. 3 November, 2014

Syaputra, Mhd. Yusrizal Adi, Kajian Yuridis Terhadap Penegasan Hierarki

Peraturan Perundang- Undangan Di Indonesia Dalam Perspektif Stufen

Theorie, jurnal Mercatoria Vol. 9 No. 2 Desember, 2016

Wijayanti, Septi Nur, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014, Jurnal Media Hukum, VOL. 23 NO. 2 DESEMBER 2016

Wiradarma, A.A.NGR.. dkk, Akibat Hukum Atas Dibatalkannya Peraturan Daerah

Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Jurnal Kertha Negara, Vol.3,

No.2, mei, 2015

Yusdianto, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmu Hukum

Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015

Page 91: PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44020/1/MUHAMAD... · juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. ...

80

C. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan

Produk Hukum Daerah

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 Tentang

Kementerian Dalam Negeri

D. INTERNET

http://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2016/06/21/b/a/batal_perda_21_

juni_2016.pdf: Daftar Peraturan Daerah/Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan

Menteri Dalam Negeri yang Dibatalkan/Revisi

https://www.hukumonline.com/, Hadi, Ilman. “Perbedaan Peraturan Gubernur dan

Peraturan Daerah”