PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA...
Transcript of PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW PADA...
PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW
PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI
(Studi Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMAD NURHASAN
NIM: 11140480000049
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H /2018 M
i
PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW
PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI
(Studi Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMAD NURHASAN
NIM: 11140480000049
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2018 M
ii
PEMBATALAN KEWENANGAN EXECUTIVE REVIEW
PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI
(Studi Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMAD NURHASAN
NIM: 11140480000049
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H
NIP. 19540303 197611 1 001
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2018 M
v
ABSTRAK
Muhamad Nurhasan. NIM 11140480000049. PEMBATALAN KEWENANGAN
EXECUTIVE REVIEW PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI (Studi
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/XIV-PUU/2016 Skripsi
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2018 M/1440 H, x + 80 Halaman.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 56/XIV-PUU/2016 agar dapat diketahui pertimbangan hakim dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Gubernur dan Menteri serta
untuk mengetahui Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016. Latar belakang penelitian ini adalah ketika
Pemerintah Pusat yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri dan Gubernur dapat
membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dan itu bertentangan
dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945. Mahkamah berpendapat
bahwa kewenangan Pemerintah Pusat dalam membatalkan Peraturan Daerah adalah
inkonstitusional akan tetapi, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
XIV/2016 masih menyisakan masalah konstitusional hal ini dikarenakan Gubernur
dan Menteri masih dapat membatalkan Peraturan Kepala Daerah yang sebenarnya
juga bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan
teknik pengumpulan data library research yang mengkaji berbagai dokumen terkait
objek penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pertimbangan Hakim pada Putusan
Mahkamah Konstitusi terdapat inkonsistensi mahkamah menyatakan bahwa
Keputusan Kepala Daerah bukan bagian dari jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan padahal Peraturan Kepala Daerah dikenal 2 (dua) istilah yakni
sebagai peraturan kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Kemudian
eksistensi atau keberadaan Peraturan Kepala Daerah itu sendiri masih menjadi
masalah konstitusional hal ini dikarenakan Peraturan Kepala Daerah sebagai
produk hukum yang berada dibawah undang-undang yang mestinya pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung tetapi masih dapat diuji oleh mekanisme
executive review.
Kata Kunci : Pembatalan Kewenangan, Executive Review, Peraturan Kepala Daerah
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai Tahun 2017
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, puji syukur Hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di
akhirat kelak. Amiin.
Selanjutnya peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi
ini.
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah & Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Drs. Abu Tamrin, S.H. M. Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengarahkan
menyelesaikan skripsi
4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H, Dosen Pembimbing, yang dengan
arahan dan bimbingan serta kesabaran beliau sehingga peneliti bisa
menyelesaikan skripsi ini
5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
mengizikan saya untuk mencari dan meminjam buku – buku referensi dan
sumber – sumber data lainnya yang diperlukan.
6. Pihakpihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaikan karya tulis ini sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dan
studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian ucapan terima kasih peneliti, semoga Allah SWT. memberikan
pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Peneliti menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
vii
bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Peneliti
berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan bagi para
pembaca umumnya. Amiin
Jakarta, 17 Desember 2018
Peneliti,
Muhamad Nurhasan
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5
D. Metode Penelitian...................................................................... 6
E. Sistematika Penulisan................................................................ 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual ................................................................ 12
1. Pembatalan ......................................................................... 12
2. Kewenangan ....................................................................... 13
3. Pembatalan Kewenangan ................................................... 14
4. Executive review ................................................................ 15
5. Kementerian Dalam Negeri ............................................... 16
6. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 56/PUU-XIV/2016 ................................................. 18
7. Eksistensi ........................................................................... 20
8. Peraturan Kepala Daerah ................................................... 20
B. Kerangka Teori ......................................................................... 21
1. Teori Pengujian Peraturan Perundang-Undangan .............. 21
a. Hak Menguji (Toetsingrecht) ...................................... 21
ix
b. Legislative Review .................................................. 24
c. Executive Review .................................................... 26
d. Judicial Review ...................................................... 31
2. Teori Negara Hukum .................................................. 34
3. Teori Norma Hukum .................................................. 36
C. Kedudukan Peraturan Kepala Daerah
Dalam Tata Hukum Indonesia .............................................. 39
D. Studi (Review) Kajian Terdahulu ......................................... 44
BAB III KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI
DALAM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN
PERATURAN KEPALA DAERAH
A. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah .............................. 46
1. Konsep Good Governance
dalam pemerintahan ........................................................ 46
2. Otonomi daerah dan desentralisasi.................................. 47
3. Hubungan Antara Pusat dan Daerah
dalam otonomi UU No 23 Tahun 2014 ........................... 49
B. Dasar Hukum Menteri Dalam Negeri Membatalkan
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah ................... 53
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 56/PUU-XIV/2016
A. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 56/PUU-XIV/2016 .................................................... 57
B. Pertimbangan Hakim Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 .................................. 60
C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
56/PUU-XIV/2016 ................................................................ 64
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 56/PUU-XIV/2016 .................................................... 66
x
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 74
B. Rekomendasi ........................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Indonesia sejak awal kemerdekaannya telah memilih sebagai negara
Republik. Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
atau disingkat dengan (UUD NRI 1945) menyatakan, bahwa “Negara
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.1” , Pasal 18 ayat
(1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Amanat UUD NRI 1945 pasca amandemen memisahkan pola
pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik atau otonomi daerah.
Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat
sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
penggerakan, dan pengawasan dalam pengelolaan pemerintah daerah dalam
penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan layanan yang prima
kepada publik2.
Peraturan daerah hadir sebagai bentuk produk hukum legislasi daerah
maka sebab itu untuk memenuhi asas otonomi daerah dan tugas pembantuan
Pemerintah Daerah bersama DPRD melakukan upaya-upaya dalam
mewujudkan cita-cita masyarakat di daerah salah satunya dengan membuat
regulasi yang mengakomodir keinginan masyarakat di daerah. Salah satu
kewenangan yang sangat penting dari suatu daerah yang berwenang mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri ialah kewenangan untuk menetapkan
1 A. Salman Maggalatung & Nur Rohim Yunus, POKOK-POKOK TEORI ILMU
NEGARA (Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia, (Jakarta: Fajar Media, 2013), h.148-149
2 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2008, Ed 1-3), h.5
2
Peraturan Daerah. Hak untuk menetapkan Peratuan Daerah disebut hak
legislatif (legislatieve bevoeigdeheid, legislative power)3. Sebagai daerah
otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk
membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna
menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan
daerah (Perda) ditetapkan oleh kepala daerah, setelah mendapat persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)4. Namun di dalam
menyelenggarakan pemerintahannya sendiri Pemerintah di Daerah tidak selalu
menemui jalan mulus terutama dalam menikmati Hak legislasinya membuat
dan membentuk Peraturannya sendiri. Hal ini dikarenakan Peraturan tersebut
dibatalkan oleh Pemerintah yang mengumumkan membatalkan 3.143
Peraturan Daerah di seluruh Indonesia. Menteri Dalam Negeri sebagai pihak
yang berwenang dalam pembatalan ribuan Peraturan Daerah ini beralasan
bahwa Peraturan Daerah tersebut telah mengganggu iklim ekonomi dan
investasi5, sejatinya Peraturan Daerah hadir sebagai penjabaran dari peraturan
perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri
khas masing-masing daerah dan substansi materi tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi6.
Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri sudah tidak dapat lagi melakukan
executive review terhadap Peraturan Daerah yang dianggap bertentangan
3 Irawan Soejito, Teknik Membuat Peraturan Daerah, (ttp: Bina Aksara, 1989, Cet-
2), h.1.
4 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, Cet-2), h. 37.
5http://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2016/06/21/b/a/batal_perda_21_ju
ni_2016.pdf: diakses pada tanggal 9 Nov 2017
6 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia,... h. 37
3
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kesusilaan, serta
kepentingan umum. Pemohon dalam Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016
beralasan Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1)
dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 dengan alasan bahwa kewenangan
menguji materil peraturan perundang-undangam dibawah undang-undang
terhadap undang-undang merupakan kewenangan Mahkamah Agung selain
dari pada itu pemohon mendalilkan Pasal 251 ayat (7) dan (8) Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang Undang
Dasar NRI 1945 dengan alasan secara tegas hanya diakui penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam hal ini Gubernur pada tingkat Provinsi sebagai
subjek hukum yang dapat mengajukan keberatan kepada Presiden, terhadap
keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah pada
tingkat Provinsi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, dan
Bupati/Wali Kota pada tingkat Kabupaten/kota sebagai subjek hukum yang
dapat mengajukan keberatan kepada Menteri Dalam Negeri, terhadap
keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah pada
tingkat Kabupaten/Kota yang dilakukan oleh Gubernur.
Pertimbangan Majelis Hakim tidak bulat, sebanyak 4 (empat) orang
hakim Mahkamah Konstitusi berbeda pendapat (dissenting opinion) yang
menolak mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam membatalkan
peraturan daerah. Karena, dalam otonomi daerah, tanggung jawab
penyelenggaraan pemerintah berakhir di presiden. Selanjutnya, melengkapi
Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan
Nomor 56/PUUXIV/2016 menyatakan pemerintah pusat tidak lagi memiliki
kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan
tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan
pemerintah dalam produk hukum daerah, hal ini dikarenakan putusan
4
Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan
peraturan daerah kabupaten/kota7.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan kewenangan bagi Menteri
Dalam Negeri dan gubernur secara berjenjang untuk membatalkan peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau
kesusilaan. Pembatalan suatu peraturan daerah merupakan kewenangan
pemerintah pusat dalam kaitannya melaksanakan proses pengawasan kepada
daerah.
Problematika kewenangan pembatalan terhadap peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas
menarik untuk dikaji lebih mendalam, terutama apabila dikaitkan dengan aspek
konstitusionalitas kewenangan pembatalan peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang yang berdasarkan Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI 1945
diberikan kepada Mahkamah Agung serta Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945
tentang persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan. Berkenaan
dengan latar belakang di atas, karena itu dengan adanya hal tersebut judul
dalam penelitian ini adalah “PEMBATALAN KEWENANGAN
EXECUTIVE REVIEW PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI:
Studi Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat
mengemukakan identifikasi sebagai berikut:
7Eka NAM Sihombing, Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-
XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016, Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2, agustus 2017, h.218-219
5
a. Beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang bertentangan dengan Undang Undang
Dasar 1945
b. Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
c. Akibat hukum dari pembatalan Peraturan Daerah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
d. Inkonsistensi Pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas, maka
peneliti membatasi hanya pada eksistensi Peraturan Kepala Daerah pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait
Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang dilakukan
oleh Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah
untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama di atas, maka
peneliti merumuskan masalah yaitu: Pembatalan Kewenangan Executive
Review Pada Kementerian Dalam Negeri (Studi Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VIV/2016)
4. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah oleh Gubernur dan Menteri Dalam Negeri ?
b. Bagaimana Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas,
penelitian ini bertujuan untuk:
6
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah oleh Gubernur dan Menteri Dalam
Negeri
b. Untuk mengetahui Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini sebagai bahan dokumentasi
tentang peninjauan pembatalan kewenangan executive review pada
Kementerian Dalam Negeri yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi
b. Secara praktis, hasil penelitian ini sebagai kontribusi pemikiran bagi
para peminat hukum tata negara dan praktisi ketatanegaraan dalam
menganalisis tentang Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
c. Secara akademis, hasil penelitian ini sebagai bahan penelitian lanjutan
bagi mahasiswa dan peneliti yang akan membahas masalah
peninjauan pembatalan kewenangan executive review pada
Kementerian Dalam Negeri yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif yuridis,
maka pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan
(statutory approach)8 dan Pendekatan Kasus (Case approach)9.
Pendekatan perundang-undangan (statutory approach), diterapkan guna
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005).h. 136
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 158
7
memahami kewenangan pembatalan produk hukum daerah (peraturan
daerah) ditinjau dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah. Pendekatan Kasus (Case approach) diterapkan dalam mengamati
kasus mengenai pembatalan kewenangan executive review pada
kementerian dalam negeri agar dapat diketahui bagaimana pertimbangan
hakim pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
terkait Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah oleh
Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.
2. Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak
membutuhkan populasi dan sampel karena jenis penelitian ini
menekankan pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat
didalam perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan
berkembang di masyarakat.10, penelitian ini bersifat yuridis normatif,
sebagai ilmu normatif ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas sui
generis. Penelitian ini merupakan penelitian hukum (penelitian yuridis)
yang memiliki suatu metode yang berbeda dengan penelitian yang lainnya.
Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam
melakukan sebuah penelitian11. Penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem
norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,
kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanijian, serta doktrin (ajaran)12 Penelitian hukum normatif
mencangkup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
10 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2005), h. 46
11 Abdulkadir Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2004), h. 57
12 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31
8
sistematika hukum, penilitan terhadap sinkronisasi hukum, penelitian
sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian
doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis
hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the
book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses
pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)13
Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data
sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan
analisis normatif-kualitatif.14
3. Data Penelitian
Data penelitian dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim15, sedangkan data
sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku hukum, jurnal-jurnal
hukum serta berbagi pemikiran para pakar hukum sebagai sumber
informasi, untuk menganalisa data dan menjadi panduan berfikir16 dalam
penelitian untuk memberikan sebuah analisis dan solusi kongkrit bagi
permasalahan yang sedang di analisis.
4. Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang
diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap
berbagai literature atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau
13 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 118
14 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2003), h. 3
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 181
16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,... h. 195-196
9
materi penelitian yang sering disebut bahan hukum17.Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan
mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat18. Bahan hukum yang
digunakan penulis merupakan bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh
dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel19yang berkaitan dengan
penelitian ini, yang memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan
hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penulisan penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, dan
disertasi serta artikel ilmiah dan tulisan di internet untuk memperkaya
sumber data dalam penulisan penelitian ini.
c) Bahan non-hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,20, sepertiKamus
Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan lain-lain.
17 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian
Hukum Normatif Dan Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2010), h. 156.
18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,... h.52
19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,... h.52
20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,... h.52
10
5. Subyek penelitian
Subyek penelitian yang akan di jadikan sebagai bahan analisis dalam
penelitian ini ialah, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
XIV/2016, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Adapun hal lain yang akan di jadikan Sebagai bahan penunjang dan
bahan pelengkap penulisan karya ilmiah ini di dasarkan atas beberapa aspek
penelitian untuk mendapatkan sumber data dan informasi yang akurat, yang
kemudian dikaji dan di analisis untuk menemukan titik terang terhadap
permasalahan yang sedang di alami.
6. Metode analisis data
Sesuai dengan jenis penelitian bahwa penelitian ini termasuk jenis
penelitian kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel maka
data peneliti diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan
terhadap berbagai literature atau bahan pustaka yang berkaitan dengan
masalah atau materi penelitian yang sering disebut bahan hukum Adapaun
bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun
bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga
ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya setelah bahan hukum
diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya
akan diketahui bagaimana eksistensi Peraturan Kepala Daerah pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
E. Sistematika Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berdasarkan
pada buku pedoman panduan penyusunan skripsi dan karya tulis ilmiah yang
telah diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. Adapun sistematika penulisanya
adalah sebagai berikut:
BAB I : Bab ini Berisikan pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan dan
11
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Bab ini akan diuraikan dua pokok pembahasan yang mendukung
penulisan skripsi ini, diantaranya pembahasan terkait kerangka
konseptual dan kerangka teoritis yang menggambarkan secara
rinci konsep yang menjadi acuan dalam penulisan ini, yang
kemudian diuraikan ke dalam beberapa sub bab. Selanjutnya
akan dijelaskan terkait review (tinjauan ulang) studi terdahulu,
agar tidak ada persaman terhadap materi muatan dan
pembahasan dalam skripsi ini dengan apa yang di tulis oleh
pihak lain.
BAB III: Bab ini akan menguraikan Kewenangan Kementerian Dalam
Negeri dalam membatalkan peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah serta menjelaskan tentang hubungan pemerintah
pusat dengan daerah dalam perspektif otonomi daerah dan
desentralisasi
BAB IV: Bab ini akan menguraikan tentang Analisis Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, kemudian pertimbangan
hakim konstitusi dan analisis putusan terkait eksistensi Peraturan
Kepala Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
56/PUU-XIV/2016 Pada Kementerian Dalam Negeri
BAB V: Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan
dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari
sistematika penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian
ini menarik beberapa kesimpulan dari penelitian untuk
menjawab rumusan masalah serta memberikan saran-saran
yang dianggap perlu.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Pembatalan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud
dengan “pembatalan” adalah proses, cara, perbuatan membatalkan;
pernyataan membatalkan. “pembatalan” berasal dari kata dasar “batal”
yang artinya tidak berlaku; tidak sah;. Pembatalan dalam hal ini adalah
pembatalan dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang
dilakukan oleh suatu badan peradilan yakni Mahkamah Konstitusi atau
yang dikenal dengan sebutan judicial review, adanya pembatalan diawali
dengan sebuah permohonan yang dilakukan oleh pemohon yang memiliki
kedudukan hukum, kemudian permohonan tersebut diproses dalam
persidangan, dan setelah itu berakhir dalam sebuah putusan yang dimana
putusan tersebut merupakan pendapat tertulis hakim tentang perdebatan
perbedaan penafsiran norma yang ada dalam Undang-Undang dengan
norma atau prinsip yang ada dalam Undang Undang Dasar, dalam sebuah
putusan terdapat amar putusan yang apabila amar putusan tersebut
mengabulkan satu permohonan pengujian, yang menyatakan satu atau
beberapa pasal, ayat, bagian dari Undang-Undang atau Undang-Undang
secara keseluruhan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka
pasal, ayat, bagian dari Undang-Undang, atau Undang-Undang secara
keseluruhan yang diuji tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang
mengikat. Putusan yang demikian menegaskan bahwa ketentuaan norma
dalam Undang-Undang yang telah diuji dinyatakan batal (null and void)
dan tidak berlaku lagi”.1
1 Maruarar Siahaan, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum
Konstitusi, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 16 (Juli, 2009), h.358
13
2. Kewenangan
Dasar dalam menyelenggarakan roda pemerintahan adalah asas
legalitas, dari asas legalitas ini timbullah sebuah legitimasi, karena
legitimasi diperlukan dalam menjalankan setiap roda pemerintahan,
legitimasi merupakan sebuah kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang. Karena substansi dari asas legalitas adalah wewenang2. Menurut
pengertian umum wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak
atau melakukan sesuatu, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan
melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain3.
Kewenangan merupakan salah satu cabang dari kekuasaan,
keduanya hanya dibedakan dari segi keabsahan (legitimasi), kekuasaan
tidak harus memiliki legitimasi atau keabsahan, berbeda dengan
kewenangan dia merupakan kekuasaan yang harus mempunyai keabsahan
atau legitimasi4. Beberapa sarjana berpendapat bahwa tidak terdapat
perbedaan yang prinsip pada pengertian “kekuasaan” dan “wewenang”,
menurut Soerjono Soekanto kekuasaan adalah kemampuan badan yang
lebih tinggi untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada
pada pemegang kekuasaan, biarpun kemampuan tersebut mempunyai atau
tidak mempunyai dasar yang sah. Sedangkan wewenang menurut Bagir
Manan, Stout, dan Nicolai yaitu kemampuan yang diperoleh berdasarkan
aturan-aturan untuk melakukan tindakan tertentu yang dimaksud untuk
menimbulkan akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus kewajiban
(rechten en plichten). Lukman Hakim dalam jurnalnya menyimpulkan
pengertian dari kekuasaan dan kewenangan dari beberapa sarjana yang
2 Abdul Rauf Alauddin Said, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-
Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Seluas-luasnya Menurut UUD 1945, Fiat Justisia Jurnal Ilmu
Hukum Volume 9 No. 4, (Oktober-Desember, 2015), h.580
3 Lukman Hakim, Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan, Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No.1, (Juni, 2011), h.115.
4 Abdul Rauf Alauddin Said, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-
Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Seluas-luasnya Menurut UUD 1945, h. 581
14
menyatakan bahwa dalam negara hukum demokrasi, kewenangan yang
disertai hak dan kewajiban adalah sebuah hal yang paling relevan5.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah, mengatur kewenangan Menteri Dalam Negeri membatalkan
peraturan daerah, kewenangan itu tertuang pada Pasal 251, selain itu
presiden juga melimpahkan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri
yang berkedudukan sebagai pembantu presiden untuk bertanggung jawab
atas otonomi daerah atas wewenang itu Menteri Dalam Negeri berwenang
membatalkan peraturan daerah karena memiliki keabsahan dan memiliki
kekuatan hukum yang sah6.
3. Pembatalan Kewenangan
Pembatalan kewenangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
Pembatalan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian
peraturan perundang-undangan. Menurut UUD NRI Pasal 24C Ayat (1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-undang Dasar.
Undang-undang yang dilakukan pengujian adalah Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Undang-
Undang tersebut memberikan kewenangan terhadap Kementerian Dalam
Negeri membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah baik
pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, kewenangan tersebut
5 Lukman Hakim, Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan, h.117
6 A.A.NGR.Wiradarma, dkk Akibat Hukum Atas Dibatalkannya Peraturan
Daerah Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, Jurnal Kertha Negara, Vol.3, No.2, (mei, 2015)
h.5
15
termaktub dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pemohon mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi bahwa pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 251 Ayat (1),
(2), (7), (8) dianggap bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (1) dan Pasal
27 Ayat (1) UUD NRI 1945. Kemudian mahkamah melakukan pengujian
terhadap pasal tersebut dalam sebuah persidangan yang berakhir dalam
sebuah putusan. Amar putusan tersebut mengabulkan permohonan para
pemohon untuk sebagian, yang menyatakan Pasal 251 Ayat (1), (4), (5),
dan (7) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Executive Review
Executive Review merupakan bentuk pengawasan terhadap produk
hukum daerah, pengawasan tersebut merupakan proses pengujian dengan
mekanisme executive review yang berakhir pada pembatalan produk
hukum daerah. Mekanisme pengawasan tersebut merupakan bentuk
pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah dalam
menjalankan otonomi daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dan
disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, mengatur mengenai ketentuan pembatalan produk
hukum daerah7.
Kewenangan tersebut dimiliki oleh Menteri Dalam Negeri dan
Gubernur dalam membatalkan Peraturan Daerah tingkat Provinsi,
Kabupaten atau kota, hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Menteri
Dalam Negeri berwenang membatalkan atau menyatakan batal peraturan
daerah pada tingkat provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur, dan
7 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusionalitas di Berbagai
Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.74-75
16
sebagai wakil pemerintah pusat Gubernur berwenang membatalkan atau
menyatakan batal peraturan daerah pada tingkat kabupaten atau kota yang
dipimpin oleh seorang Bupati atau Wali Kota. Meski pembatalan
dilakukan oleh lembaga eksekutif atau pemerintah pusat dan bukan
melalui lembaga kehakiman (juidiciary) atau legislator, jenis pembatalan
ini termasuk ke dalam bentuk pengujian juga, walaupun pada kenyataanya
Pasal 24A Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh Mahkamah Agung yang
berwenang menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang-
undang terhadap undang-undang, oleh karena itu Jimly Asshiddiqie
menyebutnya sebagai executive review bukan legislative review maupun
judicial review, karena yang menjadi tolok ukur pengujian yang dilakukan
pemerintah pusat adalah Undang-Undang dengan Undang-Undang, bukan
Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar. Apabila pemerintahan
yang berkuasa cenderung otoriter bisa saja peraturan daerah diuji dengan
batu uji Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan
menafsirkannya sesuai dengan kemauan dan kehendaknya sendiri8.
5. Kementerian Dalam Negeri
Kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia dipegang oleh
seorang Presiden yang dijelaskan dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), kemudian
dalam melakukan kewajibannya Presiden sebagai pemegang kekuasaan
dibantu oleh seorang Wakil Presiden, selain dibantu oleh seorang Wakil
Presiden, Presiden juga dibantu oleh Menteri Negara yang selanjutnya
disebut Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin Kementerian,
dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, Presiden sebagai pemegang
kekuasaan dapat mengangkat dan memberhentikan menteri yang
dijelaskan pada Pasal 17 ayat (2) UUD NRI 1945, tugas dan fungsi serta
8 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusionalitas di Berbagai
Negara,), h.74-75.
17
urusan pemerintahan menteri dijelaskan dalam Undang-Undang No.39
tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Kementerian Dalam Negeri dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri
dan bertanggung jawab kepada presiden, tugas dan fungsi tentang
Kementerian Dalam Negeri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 11
Tahun 2015 Tentang Kementerian dalam Negeri. Kementerian Dalam
Negeri mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang
pemerintahan dalam negeri untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara. Pasal 3 Perpres No 11 Tahun
2015 menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Kementerian
Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang
politik dan pemerintahan umum, otonomi daerah, pembinaan
administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa,
pembinaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah,
pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan dan pencatatan
sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Dalam Negeri;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian
Dalam Negeri;
e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
urusan Kementerian Dalam Negeri di daerah;
f. pengoordinasian, pembinaan dan pengawasan umum, fasilitasi,
dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
g. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang
pemerintahan dalam negeri;
h. pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pemerintahan dalam negeri;
i. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah; dan.
j. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.
Menteri Dalam Negeri sebagai bagian dari Lembaga Eksekutif
yang memiliki kewenangan executive review terdapat pada Pasal 251
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
18
Executive review merupakan model pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan yang secara hierarkies berada dibawah Undang-
Undang yaitu Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat
dalah hal ini Menteri Dalam Negeri. Indonesia adalah negara yang
berbentuk kesatuan dan Indonesia mengenal model pengujian executive
review. Otonomi daerah memberi peluang kepada pemerintah daerah
untuk membuat peraturannya sendiri. Executive review hadir untuk
mengawasi penyelenggaraan otonomi daerah terhadap produk legislasi
daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini menteri
dalam negeri, executive review dikenal juga dengan administrative
review karena dilakukan oleh pejabat yang berwenang seperti menteri
dan gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah, bentuk
pengawasan ini merupakan pengawasan secara represif 9.
Pengawasan ini merupakan dalam rangka menjaga agar pengaturan
Perda selaras dengan hukum nasional dan tidak bertentangan dengan
kepentingan umum. Pengawasan perda tidak hanya menjadi kewenangan
Kementerian Dalam Negeri tetapi Undang-Undang mengatur tentang
keterlibatan kementerian lain yang berkaitan dengan materi muatan
perda10. Kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Dalam
Negeri kini sudah tidak memiliki kewenangan melakukan executive
review karena kewenangan tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi Melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016.
6. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
Keberadaan produk hukum daerah pada prinsipnya sebagai
instrumen hukum daerah untuk melaksanakan roda Pemerintahan Daerah,
9 Jeremia Radix, Kewenangan Mendagri Membatalkan Perda Dalam
Kedudukannya sebagai Lembaga Eksekutif, Jurnal Hukum Bisnis dan Administrasi Negara, Univ.
DR. SOETOMO, Vol.1, No.2 (2017), h. 21-22
10 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Laporan Kajian
Implementasi Pengawasan Perda Oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung. (Jakarta: PSHK, 2011),
h. 51
19
namun tiada otonomi daerah tanpa diawasi, oleh karena itu pengawasan dan
pembinaan pelaksanaan desentralisasi, dan pelaksanaan otonomi daerah dan
tugas pembantuan merupakan sebuah keharusan dan kewajiban yang harus
dijalankan. Pengawasan dan pembinaan khususnya produk hukum daerah
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah, merupakan konsekuensi dari bentuk Negara
kesatuan yang terdiri dari daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Pembatalan (vernietiging) produk hukum daerah dalam rangka pengawasan
dan pembinaan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah, juga tidak terlepas
dari prinsip dasar Negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat 3
UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum”11.
Berkaitan dengan kewenangan pembatalan Produk Hukum Daerah
yang dilakukan oleh pemerintah pusat diwakili oleh dua subjek yang
pertama adalah Kementerian Dalam Negeri dan yang kedua adalah
Gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Kewenangan
tersebut dijelaskan pada Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah, namun pada Pasal 251 tersebut dirasa
mengandung masalah konstitusional. Sehingga masalah tersebut menjadi
objek Permohonan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
XIV/2016. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara garis besar
adalah pertama, membatalkan kewenangan Gubernur dan tidak dapat lagi
membatalkan Peraturan Daerah tingkat Kabupaten dan Kota, kedua,
membatalkan kewenangan Menteri Dalam Negeri dan tidak dapat lagi
membatalkan Peraturan Daerah tingkat Provinsi, Namun pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut masih menyisakan masalah Konstitusional,
hal ini dikarenakan pada Pasal 251 Ayat (1),(2),(7),(8) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah frase “… dan
11 Quido Benyamin Ngaji, Kewenangan Pembatalan Produk Hukum Daerah oleh
Pemerintah Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Jurnal
Magister Ilmu Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, (Maret, 2016), h. 21
20
peraturan gubernur” dan “… dan peraturan bupati/wali kota” yang
keduanya disebut sebagai Peraturan Kepala Daerah tidak dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi sehingga hal ini yang kemudian menjadi fokus
masalah dalam penelitian kali ini.
7. Eksistensi
Eksistensi berasal dari kata existere (eks=keluar, sister=ada/berada).
Dengan demikian, eksistensi memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup
keluar dari keberadaannya” atau “sesuatu yang mampu melampaui dirinya
sendiri”12 . Dalam kamus besar Bahasa Indonesia eksistensi mengandung
arti keberadaan. Keberadaan berasal dari kata “ada” yang artinya hadir,
kelihatan, atau berwujud. Menurut Achmad Maulana berpendapat bahwa
eksistensi adalah keberadaan, wujud (yang tampak), adanya sesuatu yang
membedakan antara satu benda dan benda yang lain. Zaenal Abidin
mengatakan bahwa eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan
lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran,
tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-
potensinya13.Eksistensi yang dimaksud pada penelitian kali ini adalah
membahas tentang eksistensi/keberadaan Peraturan Kepala Daerah Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang masih
menjadi problem konstitusional dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
8. Peraturan Kepala Daerah
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor
80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah yang
dimaksud dengan Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut
perkada adalah peraturan gubernur dan/atau peraturan bupati/walikota.
Peraturan Kepala Daerah dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan
dapat ditafsirkan melalui Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
12 Zainal Abidin, Filsafat Manusia ,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),
h.34
13 Irma Tri Maharani, Eksistensi Kesenian Kenthongan Grup Titir Budaya Di Desa
Karangduren, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jurnal Pendidikan Seni Tari,
(Januari, 2017), h.3
21
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan dalam
hierarkhi masih dimungkinkan keberadaannya sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan yang lebih tinggi. Produk perundang-undangan inilah yang masuk
dalam lingkup delegated legislation/ secondary legislation.
Fungsi Peraturan Kepala Daerah adalah merinci ketentuan dalam
Peraturan Daerah yang sangat umum, untuk memberikan pedoman
prosedural. Dengan peran yang demikian, maka ia adalah peraturan yang
saling berkaitan terhadap Peraturan Daerah (Perda), sehingga isinya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya atau dengan kata lain
Perkada adalah salah satu bentuk produk delegated legislation. Sebagai
delegated legislation, maka area pertama yang disentuh oleh peraturan ini,
adalah sebagai Peraturan Perundang-undangan14.
B. Kerangka Teori
1. Teori Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
a. Hak Menguji (Toetsingrecht)
Menurut Jimly Asshiddiqie istilah toetsingrecht merupakan hak
atau kewenangan untuk menguji, toetsingrecht yang dikenal dengan
sebutan hak uji atau hak untuk menguji adalah istilah yang berasal dari
bahasa Belanda15. Kemudian lebih lanjut Sri Soemantri menjelaskan,
hak menguji tersebut kemudian dibagi dua menjadi hak menguji
formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji material (materiele
toetsingsrecht). Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai
apakah produk legislatif dibentuk dengan tepat melalui cara-cara
prosedur (procedure) menurut hukum sebagaimana telah ditentukan
dan diatur dalam peraturan perundang-undangan atau tidak,
Sedangkan hak menguji material adalah wewenang untuk menyelidiki
14 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan
Kepala Daerah, Jurnal Yuridika: Volume 27 No 1, (Januari-April, 2012), h.79
15 Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstituisional di Berbagai
Negara,... h.6
22
dan kemudian menilai apakah produk hukum isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya atau tidak,
jadi hak menguji formal adalah pengujian terhadap prosedur
pembentukan produk perundang-undangan dan Hak menguji material
lebih kepada pengujian terhadap substansi (materi) dari peraturan
perundang-undangan16, kadang kala terjadi kekeliruan dalam
penggunaan istilah antara toetsingrecht dengan judicial review,
sebetulnya terdapat perbedaan antara istilah toetsingrecht dengan
judicial review, hak menguji atau yang dikenal dengan istilah
toetsingrecht dipergunakan dalam negara yang menganut sistem
hukum civil law, sedangkan judicial review lebih dikenal pada negara
yang menganut sistem hukum common law17.
Menurut Fatmawati terdapat perbedaan pada keduanya, yaitu:
1) Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk
menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD,
sedangkan judicial review tidak hanya menilai peraturan
perundang-undangan tetapi juga administrative action terhadap
UUD
2) Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-
undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh
lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut
berdasarkan peraturan perundangundangan, sedangkan judicial
review hanya merupakan kewenangan dari hakim pengadilan
dalam kasus konkret di pengadilan18.
Istilah “toetsingsrecht”, “judicial review” dan “constitutional
review” dalam literatur dikenal sebagai mekanisme dalam pengujian
peraturan perundang-undangan, akan tetapi dalam praktiknya istilah-
istilah tersebut terkadang disalah tafsirkan definisinya, ketiga istilah
16 Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 6, (Desember, 2010), h.
151
17 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan
Kepala Daerah,... h. 84
18 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan
Kepala Daera,... h.84
23
tersebut memiliki makna yang berbeda dan dari sistem hukum yang
berbeda. Kebanyakan sarjana lebih memilih istilah toetsingsrecht dalam
memaknai hak menguji atau kewenangan untuk menguji. Apabila hak atau
kewenangan untuk menguji tersebut dilakukan oleh lembaga kekuasaan
kehakiman, maka disebut dengan istilah judicial review, jika kewenangan
tersebut dilakukan oleh lembaga legislatif, maka disebut dengan istilah
legislative review, begitupun apabila kewenangan untuk menguji tersebut
dilakukan oleh lembaga eksekutif maka disebut dengan istilah executive
review19. Karena istilah toetsingrecht yang artinya adalah hak uji atau hak
untuk menguji, digunakan untuk pengujian peraturan perundang-
undangan secara umum. Maka istilah toetsingrecht juga dapat digunakan
dalam proses menguji peraturan perundang-undangan oleh lembaga
legislatif (legislative review), eksekutif (executive review), oleh lembaga
yudikatif (judicial review) juga constitutional review20.
Indonesia memiliki 3 (tiga) cabang kekuasaan yakni kekuasaan
eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif, dalam kaitannya
dengan pengujian peraturan perundang-undangan (toetsingrecht/ review)
baik secara formal maupun materil (formele toetsingrecht dan materiele
toetsingrecht). Ketiga lembaga kekuasaan tersebut dapat melakukan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan, pengujian tersebut
dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni baik secara internal maupun
secara eksternal, pengujian secara internal merupakan pengujian yang
dilakukan oleh lembaga pembentuknya sendiri, sedangkan pengujian
secara eksternal merupakan pengujian yang dilakukan oleh lembaga diluar
pembentuknya. Negara Indonesia adalah negara hukum dengan demokrasi
konstitusional, sebagaimana termaktub di dalam pasal 1 Ayat (1), (2) dan
19 Alek Karci Kurniawan, Judicial Preview Sebagai Mekanisme Verifikasi
Konstitusionalitas Suatu Rancangan Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 4,
(Desember, 2014), h. 638
20 Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi, h.150
24
(3) UUD NRI 1945, Machmud Aziz dalam jurnalnya menyatakan bahwa
tujuan dari pengujian peraturan perundang-undangan adalah untuk
memperbaiki, mengganti, atau meluruskan isi dari Undang-Undang agar
tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 (konstitusi) atau peraturan
perundang–undangan di bawah Undang-Undang agar tidak bertentangan
dengan Undang-Undang atau UUD NRI 1945, sehingga peraturan
perundang-undangan tersebut dapat memberikan kepastian hukum
(rechtszekerheid) dan perlindungan hukum (rechtsbescherming) serta
memberikan keadilan (rechtvaardigheid) dan kemanfaatan (nuttigheid)
bagi masyarakat luas21.
b. Legislative Review
Pengujian peraturan perundang-undangan melalui mekanisme
legislative review di awali karena pada waktu itu Indonesia menghadapi
peristiwa penting yakni terjadinya perubahan atau pergantian rezim, yakni
dari rezim Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno kemudian berganti
menuju rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Ketetapan MPRS
Nomor XIX/MPRS/1966 berisi tentang peninjauan kembali segala bentuk
produk legislatif. Pada rezim Soekarno produk hukum yang dibuat lebih
memihak dan mementingkan dirinya, karena hal itu kemudian dijadikan
alasan sebagai dilakukannya pengujian peraturan perundang-undangan
melalui mekanisme legislative review, yang menjadi landasan hukum bagi
Soekarno pada waktu itu adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, karena kewenangan
presiden dalam membuat Undang-Undang memang diberikan oleh UUD
1945 (sebelum amandemen) sehingga dalam menguji Undang-Undang
hanya bisa dilakukan oleh lembaga pembentuknya yaitu antara Presiden
bersama DPR, karena pada waktu itu lembaga kekuasaan kehakiman
21 Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam Sistem
Peraturan Peundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, vol.7, no.5, (oktober, 2010), h.147.
25
mendapat pengaruh dan campur tangan dari kekuasaan eksekutif sehingga
tidak dapat terlaksananya dengan baik kontrol normatif pengujian
peraturan perundang-undangan melalui pendekatan judicial review dalam
mengawasi produk hukum yang dibuat oleh penguasa.22
Setelah era reformasi sebelum amandemen ketiga pendekatan secara
legislative review juga diterapkan yakni melalui TAP MPR-RI No.
III/MPR/2000 yang memberikan tugas kepada MPR untuk menguji
konstitusionalitas dari Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
menurut Jimly Asshiddiqie dari kedua peristiwa tersebut dalam hal menilai,
menguji dan mengubah produk hukum baik yang dilakukan oleh Presiden
bersama DPR (Orde Lama), dan MPR merupakan pengujian secara
legislative review23.
Mengingat bahwa dalam membentuk suatu peraturan perundang-
undangan seperti undang-undang dilakukan oleh lembaga legislatif
disamping itu ada lembaga eksekutif yang merupakan lembaga politik
maka Pengujian tersebut dinamakan legislative review ketika lembaga
legislatif (DPR/MPR/DPRD) mengadakan perubahan/penggantian
terhadap produk hukumya (UU/TAP MPR/UUD 1945) lembaga legislatif
tersebut telah melakukan tindakan pengujian. Bahkan pada saat masih
dalam tahap perencanaan sampai pengundangan lembaga legislatif telah
melakukan pengujian hal itu dilakukan dalam rangka agar rancangan
peraturan sesuai dengan substansi dari UUD dan nantinya peraturan
tersebut bisa selaras dan harmonis dengan peraturan lainnya24
Mekanisme pengujian melalui legislative review merupakan bagian
proses politik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena
22 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-undangan), (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 59-60
23 Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstituisional di Berbagai
Negara,... h.73
24 Machmud Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam Sistem
Peraturan Peundang-undangan di Indonesia,... h.148
26
banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik maka perubahan
produk hukum tidak dilakukan melalui mekanisme judicial review tetapi
melalui lembaga politik sesuai dengan perspektif legislative review apabila
produk hukum yang telah diputuskan dan/ atau ditetapkan tidak berlaku
lagi, dan pada saat yang bersamaan juga lembaga pembuatnya dapat
menerbitkan peraturan baru hal ini dikarenakan karena lembaga legislatif
merupakan lembaga pembuat undang-undang dan memiliki original
jurisdiction, berbeda dengan judicial review karena lembaga kekuasaan
kehakiman tidak memiliki original jurisdiction dan bukan lembaga pembuat
undang-undang dan tidak bisa membuat peraturan baru25
c. Executive Review
Berkaitan dengan pengawasan secara internal dan eksternal sama
seperti legislative review, pengujian atau penilaian peraturan perundang-
undangan oleh pihak executive disebut dengan executive review artinya
dalam menguji produk hukum dapat dilakukan oleh lembaga pembentuknya
(kontrol internal), segala bentuk produk hukum yang dibuat oleh pihak
executive diuji oleh executive baik kelembagaan dan kewenangan yang
bersifat hierarkis, kontrol internal dilakukan oleh lembaga yang membentuk
produk hukum tersebut, baik produk hukum yang bersifat mengatur
“regeling” maupun yang bersifat ketetapan atau yang dikenal dengan
“beschikking” , untuk bentuk peraturan yang sifatnya “beschikking”
pengujian dapat dilakukan oleh lembaga lain yakni menjadi ranah Peradilan
Tata Usaha Negara yang merupakan pengawasan secara hukum. Akan tetapi
objek pengujian executive review lebih kepada norma yang bersifat abstrak
dan mengatur, serta mengikat secara umum atau dikenal dengan ‘regeling’,
atas dari konsekuensi itu maka dalam pengawasan yang dilakukan melalui
executive review dilakukan melalui pendekatan ‘perubahan’ sebagian
25 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-undangan),... h. 61
27
ketentuan atau melalui pendekatan ‘pencabutan’ peraturan tertentu dan
menggantinya dengan peraturan yang baru26.
Presiden Republik Indonesia adalah sebagai kepala pemerintah
(eksekutif) dan juga sebagai kepala negara dalam sistem yang dianut oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 194527, Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan
bahwa Presiden sebagai penanggung jawab akhir sebagai kepala
pemerintahan baik yang di pusat maupun daerah mengemban amanah dalam
mengawasi otonomi daerah agar tetap berada dalam koridor Negara
kesatuan. Pemerintah pusat bertanggungjawab menjamin keutuhan Negara
kesatuan, menjamin pelayanan yang sama untuk seluruh rakyat Negara (asas
equal treatment), menjamin keseragaman tindakan dan pengaturan dalam
bidang-bidang tertentu (asas uniformitas). Daerah dalam mengatur dan
mengurus urusan rumah tangganya dengan menjalankan otonomi yang
seluas-luasnya bukan berarti tanpa batas, batas tersebut merupakan
konsekuensi logis dianutnya prinsip Negara hukum. Pengawasan atau
control tersebut meliputi juga kontrol atas norma hukum yang ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah28.
Menurut Anas Saba’ni dalam jurnalnya menjelaskan bahwa
pembentukan Peraturan Daerah merupakan sebuah mekanisme untuk
mencapai demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan melalui otonomi
daerah yang sesuai dengan tujuan hukum untuk mengayomi masyarakat
daerah baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan
sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan daerah
yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif
26 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-undangan),... h.62-63
27 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: Focus Grahamedia, 2015), h.77
28 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam, Pengawasan Terhadap Peraturan
Kepala Daerah,... h.82
28
adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan
penyalahgunaan hak secara tidak adil. Begitu juga ketika suatu Peraturan
Daerah akan dibatalkan, harus sesuai dengan alasan-alasan yang bertujuan
untuk mengayomi dan melindungi rakyat 29
Pembentukan peraturan daerah harus diawasi oleh pemerintah pusat
yang memiliki wewenang melakukan pengujian peraturan daerah,
kewenangan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 251 Undang-Undang Pemerintahan
Daerah yang secara jelas mengatur mengenai Pembatalan Peraturan Daerah
dan Peraturan Kepala Daerah. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa
Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan
ketentuan Peraturan Perundang – undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan/atau kesusilaan, maka dapat dibatalkan oleh Menteri.
Sedangkan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dapat dibatalkan oleh
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat30.
Kaitannya dengan executive review, dikenal ada dua bentuk
pengawasan yang dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu pengawasan yang
bersifat preventif dan pengawasan yang bersifat represif. Pengawasan
preventif merupakan pengawasan terhadap rancangan perda (ranperda)
yang meliputi pengawasan terhadap ranperda yang berkaitan dengan pajak
daerah, restribusi daerah, anggaran dan pendapatan belanja daerah, serta
penataan ruang. Terhadap semua ranperda ini, sebelum dilakukan
pengesahan terlebih dahulu dievaluasi oleh menteri dalam negeri (untuk
29 Anas Saba’ni, Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Menteri Dalam Negeri
Dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 Tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 10 No. 2 (November,
2017), h. 179 30 Jefri S.Pakaya, Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah ( Redesign Of
Judicial Review System Of Regional Regulations), Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No. 01,
(Maret, 2017), h. 93
29
ranperda provinsi), dan oleh Gubernur (untuk ranperda kabupaten/kota).
Tujuan dari pengawasan ini dimaksudkan supaya pengaturannya dapat
mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. Sedangkan pengawasan
represif merupakan pengawasan terhadap berbagai perda yang berkaitan
dengan hal-hal selain dengan pajak daerah, restribusi daerah, anggaran dan
pendapatan belanja daerah, serta penataan ruang. Efendi dalam jurnalnya
mengungkapkan bahwa tujuan dari pengawasan ini adalah untuk
memperoleh klarifikasi terhadap perda yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan
kesusilaan, sehingga dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang
berlaku 31
Pengujian terhadap Perda ini terdapat dualisme kewenangan
pengujian terhadap Perda, yang pertama Mahkamah Agung yang dikenal
sebagai judicial review dan yang kedua adalah Pemerintah Pusat yang
dalam hal ini Menteri Dalam Negeri yang dikenal sebagai executive review.
Pada dua model pengujian ini terdapat perbedaan yaitu pada model
pengujian judicial review pengadilan bersifat pasif yaitu apabila ada yang
mengajukan pengujian terhadap Perda saja baru mekanisme judicial review
akan berjalan sedangkan pada model executive review bersifat aktif artinya
Pemerintah Pusat dapat mendesak untuk Pemerintah untuk menyerahkan
Perdanya untuk diuji32, sependapat dengan hal itu Arie Satio Rantjoko
dalam jurnalnya mengungkapkan bahwa sistem pengujian terhadap perda
oleh pemerintah dan mahkamah agung memang berbeda pengujian perda
oleh pemerintah memang bersifat aktif dalam artian jika peraturan daerah
tersebut terbukti bertentangan dengan peraturan yang hirarkinya lebih
31 Efendi, Hak Uji Materi Pemerintah Terhadap Peraturan Daerah (Kajian
Terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-
XIII/2015), Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 51, No. 1,( Juni, 2017), h. 141-142
32 Anas Saba’ni, Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Menteri Dalam Negeri
Dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 Tentang Pemerintahan Daerah,... h. 179
30
tinggi serta bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan maka
perda tersebut akan langsung dibatalkan. Sedangkan pengujian perda oleh
mahkamah agung bersifat pasif dalam artian pengujian peraturan
menunggu pihak yang mengajukan keberatan atas adanya peraturan daerah
tersebut apabila tidak sesuai maka dibatalkan33, yang membedakan pada
dualisme pengujian tersebut adalah jika executive review sebelum perda
tersebut dibatalkan perda tersebut melalui beberapa tahapan seperti adanya
evaluasi terlebih dahulu jika sesuai maka perda tersebut dapat berlaku jika
tidak sesuai perda tersebut kemudian dibatalkan yakni melalui tahapan
secara preventif dan represif, berbeda dengan Mahkamah Agung perda
tersebut diuji oleh hakim tanpa adanya proses evaluasi terhadap perda
tersebut tetapi langsung diuji dalam tahapan persidangan.
Jefri S.Pakaya dalam jurnalnya berpendapat bahwa dalam sistem
pengujian peraturan perundang-undangan, perda memiliki posisi yang unik
karena meski kedudukan perda berada di bawah undang–undang, beberapa
pakar memiliki perbedaan pendapat kepada siapa kewenangan menguji
perda itu dimiliki? sehingga menjadi perdebatan tersendiri di era otonomi
daerah saat ini mengenai berlakunya executive review dan judicial review
dalam menguji perda, mengingat perda adalah produk hukum daerah yang
dihasilkan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang bersifat otonom34.
Terlebih lagi standar uji materi yang digunakan oleh Mahkamah
Agung dengan Pemerintah berbeda dalam menguji perda. Apabila
Mahkamah Agung menguji suatu perda berdasarkan apakah satu perda
bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi (aspek materil)
dan atau apakah dalam proses pembuatan perda bertentangan atau tidak
dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan (aspek
33 Arie Satrio Rantjoko, Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Untuk Menguji
Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang di Indonesia, JURNAL RECHTENS,
Vol. 3, No. 1, (Maret, 2014), h. 49
34 Jefri S.Pakaya, Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah ( Redesign Of
Judicial Review System Of Regional Regulations),... h. 92
31
formil), maka pemerintah dalam hal melakukan uji materi terhadap perda
didasarkan atas standar yang lebih luas yaitu pemerintah dalam menguji
perda tidak hanya disandarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari
perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum dan
kesusilaan. Kepentingan umum sering terkait dengan dinamika kepentingan
dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga pengujian
terhadap kepentingan umum bergantung pada pertarungan kepentingan dan
aspek keberlakuan berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada
dalam masyarakat35. Aspek formiil dan aspek materiil menjadi standar
normatif yang digunakan oleh Mahkamah Agung,
Standar normatif yang dipakai dalam pengujian (executive review) atas
perda hanya merupakan aspek materil dari subtansi perda tersebut. Aspek
formil atau tata cara pembentukan sebuah perda kurang dijadikan
pertimbangan. Dengan demikian standar pengujian perda oleh Pemerintah
berbeda dengan standar pengujian perda yang digunakan oleh Mahkamah
Agung36.
d. Judicial Review
Pengujian perundang-undangan atau yang di dalam istilah bahasa
Inggris biasa disebut dengan Judicial Review dapat diartikan secara tata
bahasa (etimologi) ataupun dapat diartikan dari sisi istilah atau pengertian
secara umum.Secara tata bahasa (etimologi) Judicial Review berasal dari
kata “Judicial” dan “Review”. “Judicial” dapat diartikan sesuatu yang
berhubungan dengan “Pengadilan”, atau dapat juga diartikan sebagai
“Keputusan Hukum” dari distrik, bagian, cabang pengadilan dari
35 Efendi, Hak Uji Materi Pemerintah Terhadap Peraturan Daerah (Kajian
Terhadap Kewenangan Pemerintah Pusat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-
XIII/2015,... h, 142
36 Jefri S.Pakaya, Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah ( Redesign Of
Judicial Review System Of Regional Regulations),... h. 95
32
pemerintahan. Dan “Review” dapat diartikan suatu “Tinjauan” atau
“Peninjauan Kembali.37
Pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review
merupakan sarana untuk menilai suatu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi secara hirarkis. Menurut Brewer Carrias, judicial review
ini penting dilakukan sebagai upaya dari yudikatif untuk menjamin
tindakan legislatif dan eksekutif sesuai dengan hukum tertinggi, yaitu
konstitusi. Pengujian peraturan perundang-undangan adalah sebuah
konsekuensi logis dari teori Hans Kelsen tentang hirarki norma hukum di
dalam sistem hukum yang menggunakan peraturan hukum tertulis sebagai
sumber yang dominan. Hal ini merupakan cara untuk menjaga konsistensi
antar peraturan yang ada38.
Judicial Review adalah pengujian kepada produk hukum yang
dilakukan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Lembaga ini memiliki
kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menguji produk hukum
yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Kewenangan melakukan pengujian
(judicial review) ini juga dipercaya dilakukan untuk menjalankan fungsi
check and balances di antara lembaga pemegang kekuasaan negara39.
Judicial review merupakan mekanisme untuk menjaga superioritas
konstitusi dan cara agar setiap penyelenggara negara mematuhi konstitusi
sangat bervariasi di setiap negara perbedaan mekanisme dan cara tersebut
di pengaruhi oleh latar belakang sejarah, penagalaman politik, pandangan
kenegaraan dan sistem hukum yang berlaku diamsing-masing negara.
37 Yoyon M. Darusman, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pengujian Perundang-
undangan Terhadap Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah Tentang Ratifikasi Atas Konvensi
Internasional (Studi Kasus Ratifikasi Konvensi Internasional Di Bidang Haki), Jurnal Ilmiah Prodi
Manajemen Universitas Pamulang, Vol. 1, No. 1, (Oktober, 2013), h.55
38 Nafiati M. dan Maryam NH, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia, Jurnal Hukum
IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 22 (April, 2015), h.261
39 Maria Farida, Sony Maulana Sikumbang, Fitriani Ahlan Sjarif, dkk, Teori
Perundang-Undangan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2014), h. 1.3
33
Faktor-faktor itu telah menyebabkan mengapa ada negara yang
menyerahkan kekuasaan untuk menjaga superioritas kepada badan
kehakiman (judicial review), ada yang menyerakan kepada pembentuk
undang-undang sendiri (legislative review) dan bahkan ada yang
menyerahkannya kepada pemerintah (executive review)40.
Praktik di Indonesia judicial review merupakan mekanisme untuk
mengkoreksi produk hukum di bawah staatsfundamentalnorm, produk
perundang-undangan di bawah undang-undang dasar. Untuk
mempertahankan objektivitas, benar bahwa tugas untuk me-review
peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar, sebaiknya
memang diserahkan kepada lembaga di luar lembaga pembentuknya
(legislatif dan eksekutif), karena pengujian secara internal baik melalui
legislative review atau executive review dipandang cenderung bersifat
subjektif. Pengaturan fungsi pengujian atau review tersebut dalam UUD
1945 diatur terhadap dua lembaga kekuasaan kehakiman yang berbeda.
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji terhadap UUD NRI 1945,
dan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang terhadap Undang-Undang Pembagian kewenangan
pengujian seperti yang ditentukan dalam UUD NRI 1945 dalam praktek
menimbulkan kesulitan dalam upaya menjaga keutuhan sistim hukum yang
berlaku, karena secara teoritik maupun empirik, ada kemungkinan peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang, tidak bertentangan dengan
undang-undang yang menjadi sumber validitasnya, tetapi jikalau dilihat dan
diuji kepada konstitusi peraturan tersebut bisa saja tidak sesuai atau
inkonsisten dan bahkan bertentangan41.
40 Jamri. Kms, Novyar Satriawan, dan Salimin, Analisis Yuridis Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Das Sollen, Vol.1,No.2 (2017), h.43
41 Maruar Siahaan, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan
Negara Kita: Masalah dan Tantangan, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, (Agustus, 2010), h.
14
34
2. Teori Negara Hukum
Menurut Tahir Azhary konsep negara hukum dibagi menjadi tiga
konsep, konsep yang pertama adalah rechstaat konsep ini dikenal pada
negara yang bersistem hukum eropa kontinental, konsep yang kedua adalah
rule of law konsep ini dikenal pada negara yang bersistem hukum Anglo
Saxon, dan yang ketiga adalah konsep socialist legality yang dikenal pada
negara komunis42.
Konsep negara hukum tersebut ketiganya dijelaskan oleh
Mohammad Tahir Azhary bahwa negara hukum rechstaat memiliki ciri-ciri
bersumber dari rasio manusia , liberalistik/individualistik , humanisme dan
antroposentrik (lebih dipusatkan kepada manusia), pemisahan antara negara
dan agama secara mutlak adapun unsur-unsurnya, menurut Stahl yaitu
pengakuan/perlindungan terhadap hak asasi manusia, ada trias politica,
pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, peradilan administrasi.
Menurut Scheltema yaitu adanya kepastian hukum, adanya persamaan,
adanya demokrasi, dan pemerintahan yang melayani kepentingan umum,
kemudian konsep negara hukum Rule Of Law memiliki ciri bersumber dari
rasio manusia, liberalistik,/individualistik, humanisme yang antroposentrik
(lebih dipusatkan pada manusia), pemisahan antara agama dan negara secara
rigid (mutlak), kebebasan beragama, adapun unsurnya adalah supremasi
hukum, kesamaan dimuka hukum, dan kebebasan individu. Dalam
hubungan ini, konsep rule of law tidak memerlukan peradilan administrasi
negara, karena peradilan umum dianggap berlaku untuk semua orang, baik
warga biasa maupun pejabat pemerintah , konsep socialist legality, memiliki
ciri-ciri antara lain: bersumber pada rasio manusia, komunis, atheis,
totaliter, kebebasan beragama yang semu dan kebebasan propaganda anti
agama. Adapun unsur-unsurnya adalah pertama perwujudan sosialisme,
42 Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif tentang unsur-
unsurnya, (Jakarta: UI Press, 1995), h.33
35
kedua hukum adalah alat di bawah sosialisme, dan yang ketiga menekankan
pada sosialisme-realisme dari pada mempertimbangkan hak perorangan43.
Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum, hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Salah satu prinsip yang menyangga tegaknya negara modern ini
adalah supremasi hukum (Supremacy of Law). Letak supremasi hukum
negara Indonesia adalah konstitusi. Dimana konstitusi materi muatannya
mengandung jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga
negaranya serta ditetapkannya susunan ketatanegaraan dan pembagian
kekuasaan secara fundamental44. Konsekuensi dari negara hukum adalah
bahwa seluruh sikap, kebijakan, perilaku alat negara dan penduduk harus
berdasar dan sesuai dengan hukum, hukumlah yang yang memegang
komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara45. Seperti salah satu ciri
negara hukum yang dikemukakan oleh Frederich Julius Stahl bahwa
pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan harus berdasarkan
peraturan perundangan (asas legalitas)46.
Asas legalitas menghendaki bahwa materi muatan dalam undang-
undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara)
dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai
jenis tindakan yang tidak benar. sehingga pelaksanaan wewenang oleh
43 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-undangan),... h.66-67
44 Nafiati M. dan Maryam NH, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia,... h.259
45 Salman Maggalatung & Nur Rohim Yunus, POKOK-POKOK TEORI ILMU
NEGARA (Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia),... h.137
46 H.Iriyanto A.Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), (Bandung: PT
Alumni, 2008), h.47
36
organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undang-undang
tertulis. Mengingat pentingnya kedudukan peraturan perundang-undangan
tersebut dalam sistem ketatanegaraan kita baik karena materi muatan
maupun kedudukannya maka tertib peraturan perundangan wajib untuk
diwujudkan, salah satunya melalui pengujian peraturan perundang-
undangan47.
Sebab kekuasaan itu cenderung untuk disalah gunakan, artinya
kekuasaan memberikan peluang untuk melakukan kesewenang-wenangan,
sehingga setiap kekuasaan perlu dibatasi dan yang mampu membatasi
kekuasaan itu adalah norma hukum itu sendiri48.
3. Teori Norma Hukum
Kajian Stufenbautheorie adalah teori mengenai sistem hukum oleh
Hans Kelsen yang menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi, berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan
fiktif, yaitu Norma Dasar (grundnorm). Norma Dasar yang merupakan
norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu
norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma dasar itu ditetapkan terlebih
dahulu oleh masyarakat sebagai Norma dasar yang merupakan gantungan
bagi norma-norma yang berada di bawahnya sehingga suatu Norma Dasar
itu dikatakan pre-supposed (diandaikan)49.
47 Nafiati M. dan Maryam NH, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia,... h. 259
48 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI (Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-undangan,... h.70
49 Retno Saraswati, Problematika Hukum Undang-Undang No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Yustisia Vol.2 No.3 (September –
Desember, 2013), h. 98
37
Perkembangan teori Hans Kelsen tersebut dikembangkan lagi oleh
muridnya yang bernama Hans Nawiasky. Hans Nawiasky mengembangkan
sebuah teori yang disebut “die theorie vom stufenordnung der
rechtnormen”, yang menyatakan bahwa suatu norma hukum di suatu
negara pastilah selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum
tersebut yang berlaku lebih rendah bersumber pada norma hukum yang
berlaku lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi tersebut
bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi dan seterusnya sampai pada
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih tinggi lagi yaitu
staatsfundamentalnorm50
Hans Nawiasky telah mengelompokkan norma-norma hukum dalam
suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:
a. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
b. Staatsgrundgesetz (Aturan dasar/Pokok Negara)
c. Formell Gesetz (Undang-undang formal)
d. Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan
otonom).
Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata
susunan norma hukum setiap negara51.
Teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky ini rupanya diadopsi
kedalam tata urutan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan52. Sebagai contoh dapat kita
50 Heriyono Tardjono, Reorientasi Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang
di Indonesia, Jurnal Renaissance, Volume 1 No. 02, (Agustus, 2016), h. 66
51 Retno Saraswati, Problematika Hukum Undang-Undang No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,... h. 98
52 Mhd. Yusrizal Adi Syaputra, Kajian Yuridis Terhadap Penegasan Hierarki
Peraturan Perundang- Undangan Di Indonesia Dalam Perspektif Stufen Theorie, jurnal Mercatoria
Vol. 9 No. 2 (Desember, 2016), h. 96
38
lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang
4) Peraturan Pemerintah
5) Peraturan Presiden
6) Peraturan Daerah Provinsi dan
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan perundang-undangan Indonesia jika dikaitkan dengan
Stufentheory Kelsen, maka grundnorm (basic norm) peraturan perundang-
undangan Indonesia adalah Pancasila sebagai norma tertinggi yang didalamnya
terdapat cita hukum (rechtsidee), satu tingkat di bawah basic norm
(staatsfundamentalnorm) dalam teori Kelsen, yang oleh Hans Nawiasky sebut
sebagai Staatsgudngezets (Aturan Dasar/ Pokok Negara), yang dalam hirarki
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah mencakup batang tubuh UUD
NRI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR. Pada tingkatan berikutnya terdapat
Formelgesetz yang dapat dikategorikan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 adalah mencakup Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah
Provinsdan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sealnjutnya Verordnung &
Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonom) dalam teori
Nawiasky adalah Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
39
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat53.
Peraturan perundang-undangan pada pasal 8 ini diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis tersebut
mengandung konsekuensi bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini selaras dengan asas
hukum lex superior derogat inferior (setiap peraturan yang berada dibawah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya), Lex Specialis Derogat Lex
Generalis (peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengatur hal khusus
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum.), Lex
Posteriori Derogat Lex Priori (hal-hal yang diatur dalam peraturan yang lama,
apabila diatur dalam peraturan yang baru, maka peraturan baru yang berlaku)54.
C. Kedudukan Peraturan Kepala Daerah Dalam Tata Hukum Indonesia
Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan hal
tersebut dijelaskan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945.
Otonomi Daerah sendiri mengandung arti adanya kebebasan daerah
untuk membuat keputusan, baik secara politik maupun administratif atas dasar
kemauan daerah sendiri. Otonomi daerah tersebut dimaksudkan agar daerah
memiliki kemandirian untuk meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
53 Muhtadi, Penerapan Teori Hans Kelsen Dalam Tertib HuKum Indonesia, jurnal Fiat
Justitia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 5 No. 2 (September-Desember, 2012), h. 300
54 Noor Tri Hastuti, Mengukur Derajat Jenis dan Fungsi Dalam Hirarki Peraturan
Perundang-undangan (Pasal 7 (4) Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Perspektif, Volume XII No. 3 , (September, 2007), h. 204
40
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia, agar tercapainya tujuan nasional secara
keseluruhan, sehingga daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai otonomi daerah, berwenang mengatur dan mengurus wilayahnya
sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan kepentingan umum55.
Pemerintah Daerah dapat membuat berbagai macam bentuk kebijakan
seperti peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan Keputusan kepala
Daerah. keberadaan Kebijakan Daerah hadir dan diperlukan sebagai dasar
hukum dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai
dasar pelaksanaan otonomi daerah. Pembuatan kebijakan Daerah
memperhatikan tatanan hukum nasional, yang dimaksudkan untuk
menciptakan keharmonisasian dan keselarasan antara kepentingan nasional dan
kepentingan daerah yang memiliki kekhasan dan kearifan lokal56.
Peraturan Daerah dibentuk berdasarkan perintah kuasa peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, karenanya untuk melaksanakan
peraturan daerah, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah. Ketentuan
mengenai asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan
peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah berlaku secara mutatis
mutandis terhadap asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan
peraturan kepala daerah. Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah dapat
disejajarkan sama-sama diperlukan dalam penyelenggaraan Pemerintah di
Daerah, memiliki sifat yang mengatur untuk mengurus rumah tangganya sendiri
dan menjadi dasar untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah., baik peraturan daerah maupun Peraturan Kepala Daerah
55 Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana
Peraturan Daerah, Jurnal Badamai Law, Vol. 2, Issues 1, (Maret, 2017), h.163
56 Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana
Peraturan Daerah,... h.163
41
keduanya digunakan untuk mengatur kepentingan umum Peraturan Kepala
Daerah yang terdiri dari Peraturan Gubernur, Bupati/Walikota baru diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan57.
Kewenangan delegasi yang diberikan kepada kepala daerah merupakan
hal yang sesuai karena pemerintah daerah merupakan salah satu pelaksana
penyelenggara pemerintah daerah yang mengetahui betul kebutuhan hukum
masyarakat di daerah, fungsi pemerintah dalam konteks negara hukum adalah
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, selain itu juga melakukan tindakan
mengatur, agar kesejahteraan dapat terwujud diperlukan instrumen hukum untuk
mengatur masyarakat. Pemerintahan Daerah biasanya membuat peraturan
daerah untuk mengatur masyarakat, karena bentuk peraturan daerah pada
dasarnya masih mengatur hal-hal yang sifatnya abstrak, sehingga seringkali
pengaturan lebih lanjut biasanya diserahkan kepada peraturan kepala daerah.
Dengan demikian keberadaan dari peraturan kepala daerah merupakan
peraturan yang setingkat dengan peraturan daerah. Sifatnya sebagai peraturan
pelaksana maka materinya tidak boleh melebihi pengaturan yang ada dalam
peraturan daerah tersebut. Kepala Daerah tidak boleh melebihi atribusi
kewenangan yang diberikan kepadanya dalam membentuk sebuah kebijakan
daerah58.
Peraturan Kepala Daerah memang tidak tercantum dalam Pasal 7 Ayat
(1) dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 7 Ayat (1) hanya menjelaskan tentang
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik I ndonesia Tahun 1945;
57 Ilman Hadi, https://www.hukumonline.com/, diakses pada tanggal 5 Desember
2018, Pukul 05.10 BBWI
58 Indra Lorenly Nainggolan, Kedudukan Dan Ruang Lingkup Pergub Dalam
Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jurnal Hukum dan Kebijakan, Vol 3, No 2
(2017)
42
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Kepala Daerah merupakan peraturan kebijakan yang dibuat
oleh Gubernur, Bupati/Walikota dan masuk kategori Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Menurut Maria Farida Indrati, di dalam Kelompok norma hukum
terdapat peraturan pelaksanaan (verordung) dan peraturan otonom
(Autonome Satzung). Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini
merupakan peraturan-peraturan yang berada dibawah Undang-undang.
kedudukan peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi dan
peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi59.Peraturan Kepala
59 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (jenis, fungsi, dan materi
muatan),Jakarta: Kanisius, 2013, h.55
43
Daerah dapat dikatakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang
jenis peraturan perundang-undangannya berupa peraturan pelaksana dan
peraturan otonom. Keberadaannya adalah karena diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bersumber pada
kewenangan delegasi dan kewenangan atribusi.
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah mutlak diperlukan
sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah maka dengan demikian materi
muatan Peraturan Kepala Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam
pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung
kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti yang diamanatkan UUD NRI
Pasal 18 Ayat (2)60.
Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa Daerah berhak menetapkan
kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah. Kebijakan daerah menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Pasal
3 tentang produk hukum daerah yang berbentuk peraturan adalah peraturan
daerah, peraturan kepala daerah, peraturan bersama kepala daerah, dan
peraturan DPRD.
Pemerintah Daerah dalam membuat Peraturan Kepala Daerah
mengacu pada Pasal 246 Ayat (1) yang menyebutkan secara tegas bahwa
untuk melaksanakan peraturan daerah atau atas kuasa peraturan perundang-
undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah. Kemudian
Pasal 246 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjelaskan
bahwa ketentuan mengenai asas pembentukan dan materi muatan serta
60 Sylvia Aryani, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan
Pelaksana Peraturan Daerah,... h.163
44
pembentukan peraturan daerah dimaksud dalam pasal 237 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap asas pembentukan dan materi muatan serta
pembentukan peraturan kepala daerah.
D. Studi (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi Farhan Bestyardi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014 yang berjudul “Kewenangan
Pemerintah Pusat Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah” . Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi inkonsistensi dalam
membatalkan peraturan daerah karena terdapat dua instrumen hukum
keputusan menteri dan keputusan presiden yang dapat digunakan, penelitian
tersebut menganggap bahwa keputusan presiden lebih tepat untuk
membatalkan peraturan daerah, Menteri dan Gubernur hanya dibekali
pengawasn secara preventif saja. Persamaan dalam penelitian ini adalah
mengupayakan agar Menteri Dalam Negeri dan Gubernur lebih
mengedepankan upaya preventif dalam mengawasi peraturan daerah.
Perbedaan dalam penelitian ini menunjukan bahwa Keputusan Presiden dan
Keputusan Menteri bukan instrumen hukum yang dapat digunakan untuk
membatalkan Peraturan daerah akan tetapi pembatalan peraturan daerah
melalui mekanisme judicial review.
2. Skripsi ITA KUSMITA, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Nasional “VETERAN” Jawa Timur yang berjudul “Analisis Yuridis
Pembatalan Peraturan Daerah dalam Perspektif executive review dan
judicial review: Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung nomor 02
P/HUM/2008”, Hasil temuan penelitian ini adalah Pemerintah Pusat dan
Mahkamah Agung mempunyai wewenang membatalkan Peraturan Daerah.
Praktik pembatalan Peraturan Daerah dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang dan sistem
pemerintahan presidensiil. Penelitian tersebut menganggap bahwa keputusan
menteri dalam membatalkan peraturan daerah yang menegasikan
45
kewenangan Mahkamah Agung bukanlah sebuah kekeliruan, oleh karenanya
perbedaan dalam penelitian ini akan berupaya menjelaskan bahwa
kewenangan yang diberikan kepada pemerintah pusat yang diwakili Menteri
Dalam Negeri dan Gubernur dalam membatalkan peraturan daerah
merupakan sebuah kekeliruan.
3. Buku berjudul “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara” yang ditulis oleh Prof. Jimly Asshiddiqie. Buku ini membahas
tentang perkembangan teori dan praktik gagasan pengujian
konstitusionalitas (constitutional review) di berbagai negara di dunia.
Pembahasannya meliputi berbagai catatan sejarah perkembangan,
pemikiran, dan penerapan mekanisme pengujian konstitusional, pola-pola
atau model-model pelembagaan atau pengorganisasian fungsi pengujian di
dalam sistem kelembagaan negara di dunia seperti Australia, Jerman, Italia,
Prancis, Rusia, Hungaria, Afrika, dan Taiwan dalam buku tersebut dijelaskan
tentang executive review,
4. Jurnal Ilmu Pemerintahan berjudul “Pembatalan 3.143 Peraturan Daerah:
Satu Analisis Singkat” ditulis oleh Leo Agustino, jurnal ini membahas
mengenai otonomi daerah dan peraturan daerah bermasalah. Sejak otonomi
dilaksanakan, peraturan daerah yang bermasalah tumbuh lebih buruk
daripada masa sebelumnya. Akibatnya, pelayanan menjadi tidak prima,
pungutan liar (pungli) terjadi, dan korupsi menjadi hal yang biasa. Oleh
karena itu, pemerintah pusat mengambil inisiatif untuk menyelesaikan
masalah ini dengan membatalkan peraturan-peraturan daerah bermasalah di
seluruh Indonesia yang berjumlah 3.143.
46
BAB III
KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI
DALAM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN
PERATURAN KEPALA DAERAH
A. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
1. Konsep Good Governance dalam Pemerintahan
Semangat reformasi menjadikan jalannya pemerintahan di Indonesia
dewasa ini harus mengedepankan prinsip good governance hal ini juga
diimplementasikan dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah,
Pemerintahan yang baik (good governance) sebagai semangat dari
amanat reformasi, bertujuan dan menghendaki terciptanya suasana
pemerintahan yang baik dan bersih (good clean governance) agar jalannya
pemerintahan lebih mengedepankan prisnsip profesionalitas, akuntabilitas,
transparansi, pelayanan prima, demokrasi, partisipasi, efesiensi, efektivitas,
supermasi hukum, dan bervisi strategis.1 good governance sesungguhnya
bukanlah suatu formula yang baru good governance merupakan
penyelenggaraan pemerintahan yang mengedepankan prinsip partisipasi,
transparansi, dan akuntabilitas, serta membuka ruang bagi ke terlibatan
warga masyarakat2.
Berikut penjelasan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam
pemerintahan antara lain:
a. Profesionalitas yaitu kinerja pemerintah yang berkompeten dalam
memberikan pelayanan publik
b. Akuntabilitas yaitu para pembuat keputusan dan kebijakan bertanggung
jawab terhadap setiap lapisan elemen masyarakat (public)
1 Sondil E. Nubatonis, dkk, Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance
Dalam Meningkatkan Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Jurnal JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Vol. 3, No. 1 (2014), h.17
2 Abdullah, Kasman, Penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Konsep Good
Governance, Jurnal Meritokrasi Vol. 1 No. 1, (2002), h. 65.
47
c. Transparansi yaitu keterbukaan pemerintah dalam membuka arus
informasi, kemudahan dalam mendapatkan informasi dan dapat
dimonitor
d. Pelayanan prima yaitu cepat tanggap dalam melayani kepentingan yang
berbeda-beda, ditunjang dengan fasilitas yang memadai, dan etika
pelayanan yang baik guna memperoleh pilihan terbaik
e. Demokrasi dan Partisipasi yaitu masyarakat bebas menyampaikan
pendapat dan berpartisipasi di dalam setiap pengambilan kebijakan yang
mewakili kepentingannya
f. Efesiensi dan Efektivitas yaitu terlaksananya dan tercapainya proses-
proses sesuai dengan sumber daya yang ada
g. Supremasi Hukum yaitu penegakan hukum yang mencerminkan
keadilan, kesetaraan dimuka hukum dan menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia
Sejalan dengan itu berdasarkan hasil penelitian yang ada terdapat 4
fungsi dasar pemerintah yaitu: Pelayanan publik, pembuatan kebijakan,
manajemen konflik, dan pemberdayaan masyarakat. Pelayanan publik
artinya segala kegiatan pemerintah guna memenuhi kepentingan seluruh
masyarakat yang pastinya harus menjunjung tinggi rasa keadilan di tengah
masyarakat, jalannya politik di Indonesia dewasa ini melibatkan masyarakat
dalam proses pembuatan kebijakan dan memungkinkan membuka ruang
untuk masyarakat dalam policy making, selanjutnya manajemen konflik
dimaksudkan pemerintah daerah agar mampu meredam konflik baik secara
vertikal maupun secara horizontal dengan baik, kemudian pemberdayaan
masyarakat dimaksudkan memperkuat kemandirian daerah baik secara
politik, ekonomi, dan budaya agar mampu bersaing di era globalisasi saat ini3.
2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
3 Rahayu Sulistiowati, Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada
Otonomi Daerah Baru (DOB) (Studi Di Kabupaten Pesawaran dan Kabupaten Pringsewu Provinsi
Lampung), Jurnal Sosiohumaniora, Volume 16 No. 3 (November, 2014), h.272-273
48
Indonesia pernah mengalami perubahan dalam penyelenggaraan
permerintahan daerah hal ini disebabkan arah politik hukum ketatanegaraan
yang berganti yakni sejak orde lama, orde baru, dan yang sekarang orde
reformasi, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 menjelaskan bahwa Indonesia
adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang melandasi berdirinya
daerah yang otonom dan berproses dalam Desentralisasi4 untuk tugas
pembantuan yakni pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah, yang
termaktub pada Pasal 18, 18A, dan 18B yang mengatur tentang
penyelenggaraan pemerintah daerah, karena bentuk Indonesia yang
merupakan negara kepulauan memiliki suku dan budaya yang beragam
jalannya pemerintahan harus berada dalam satu kendali yaitu Pemerintah
Pusat agar keutuhan dan kesatuan tetap terjaga, maka dari itu otonomi dan
desentralisasi adalah sebuah keharusan, yang dimaksud dengan otonomi
adalah dapat membuat peraturan dan hukumnya sendiri. Menjalankan
Pemerintahannya sendiri yang dapat mengatur perundang-undangan sendiri,
melaksanakannya sendiri, dan dalam hal-hal tertentu dapat mengadili dan
menindak sendiri, secara garis besar bahwa otonomi daerah adalah sebuah
hak, wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada daerah untuk mengurus
rumah tangganya sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
otonomi daerah dimaksudkan untuk membuka jalannya kemajuan bangsa dan
negara secara bersama-sama agar jalannya pemerintahan di daerah dapat
berjalan dengan baik dan sejalan sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat
daerah5, berkaitan dengan itu kemudian desentralisasi merupakan sebuah
kebijakan yaitu melimpahkan sebagian tugas atau wewenang kepada daerah
(dari pusat terhadap cabang yang dibawahnya), Sarundajang berpendapat
bahwa desentralisasi adalah
4 Yusdianto, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 3
Tahun 2015, h.494
5 Yusdianto, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,... h.492.
49
“suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan yang
merupakan kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi
kewenangan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan
dalam tangan pemerintah pusat. Pejabat-pejabat di daerah hanya
melak sanakan kehendak pemerintah pusat .Dalam sistem
desentralisasi, sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan
kepada pihak lain untuk dilaksanakan pelimpahan kewenangan
pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan disebut
dentralisasi.6”
Desentralisasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
dalam penyelenggaraan pemerintahan, menjadikan desentralisasi sebagai
sarana edukasi politik di daerah, menjaga kesatuan Republik Indonesia yang
beraneka ragam, mengawal demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang berawal dari daerah, membuka peluang masyarakat daerah untuk
membangun pemerintahannya terutama dibidang politk, desentralisasi hadir
sebagai wadah masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelengaraan
pemerintahan, mempercepat pembangunan daerah agar terciptanya
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.7
3. Hubungan Antara Pusat dan Daerah dalam otonomi Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menjelaskan tentang hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dijelaskan bahwa otonomi diberikan oleh presiden sebagai
pemegang kekuasaan yang kemudian memberikan mandat kepada kementerian
negara yang dikepalai oleh seorang menteri, menteri bertanggung jawab atas
sebagian urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut,
sebagian urusan pemerintahan tersebutlah yang kemudian diotonomikan ke
daerah. karena dasar itu menteri berkewajiban atas nama presiden membantu
presiden dalam melakukan pembinaan dan pengawasan supaya jalannya
6 Yusdianto, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,... h.493
7 Septi Nur Wijayanti, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Jurnal Media Hukum,
VOL. 23 NO. 2 (DESEMBER 2016), h.189
50
pemerintahan daerah sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Agar
terjadi harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah, terdapat dua
komponen dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan
ke Daerah, yang pertama adalah kementerian dan yang kedua lembaga
pemerintah non kementerian keduanya berkewajiban membuat Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria atau disingat dengan NSPK yang dijadikan
sebagai acuan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
diserahkan ke Daerah dan menjadi acuan bagi kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah juga menjelaskan tentang penyelenngaraan daerah
bahwa Pemerintahan Daerah dilakukan oleh DPRD dan kepala daerah.
DPRD dan kepala daerah berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan
daerah yang diberi mandat oleh rakyat untuk melaksanakan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Jadi bahwa DPRD dan
Kepala Daerah adalah sebuah mitra yang memiliki fungsi berbeda tetapi
berkedudukan secara sejajar, DPRD berfungsi membentuk Perda, menyusun
anggaran dan melakukan pengawasan, sedangkan Kepala Daerah
melaksanakan perda dan kebijakan daerah. Posisi DPRD yang menjadi
penyelenggara pemerintah daerah tidak diatur dalam beberapa undang-undang
tetapi sudah diatur dalam undang-undang ini secara keselurahan guna
memudahkan pengaturannya secara integrasi.
Urusan Pemerintahan Pasal 9 Ayat (1) mengatakan urusan
pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Selanjutnya akan dijelaskan
sebagai berikut:
a. Pasal 9 ayat (2) Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan
Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat.
b. Pasal 9 ayat (3) dan (4) Urusan pemerintahan konkuren adalah
Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan
51
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar
pelaksanaan Otonomi Daerah.
c. Pasal 9 ayat (5) Urusan pemerintahan umum adalah Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan.
Urusan Pemerintahan tersebut antara lain:
1) Pasal 10 ayat (1) urusan pemerintahan absolut meliputi: politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
dan agama.
2) Pasal 11 menjelaskan tentang urusan pemerintahan konkuren bahwa
urusan pemerintahan Konkuren yang diserahkan meliputi Urusan
Wajib dan Urusan Pilihan. Pada Urusan Wajib ada Urusan Wajib
Pelayanan dasar dan Urusan Wajib tidak terkait dengan Pelayanan
Dasar. Kemudian pembagian urusan pemerintahan konkuren
tersebut berdasarkan Pasal 13 didasarkan pada prinsip akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
Prinsip akuntabilitas dimaksudkan bahwa Pertanggungjawaban
memperhatikan kedekatan, luas, besaran, dan jangkauan karena
dampak yang timbul dari penyelenggaraan suatu Urusan
Pemerintahan. Adapun yang dimaksud dengan prinsip efisiensi
adalah potensi kedayagunaan tertinggi yang dapat diperoleh dan
dihasilkan. Sedangkan Prinsip eksternalitas merupakan Luas,
besaran, jangkauan, dan pengaruh yang ditimbulkan karena adanya
penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan, kemudian prinsip
kepentingan strategis nasional merupakan rangka menjaga keutuhan
dan kesatuan Negara Republik Indonesia, dan mewujudkan program
strategis nasional lainnya8. Selanjutnya akan dijelaskan Urusan
Pemerintahan Absolut, Konkuren, dan Umum sebagai berikut:
a) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar terdiri dari: pendidikan, kesehatan,
8 Septi Nur Wijayanti, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,... h. 195
52
pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan
kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan
pelindungan masyarakat sosial, ditentukan dengan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak
konstitusional masyarakat
b) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar meliputi: tenaga kerja, pemberdayaan
perempuan dan pelindungan anak, pangan, lingkungan
hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil,
pemberdayaan masyarakat dan Desa pengendalian penduduk
dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan
informatika, koperasi, usaha kecil, dan menengah,
penanaman modal, kepemudaan dan olahraga, statistik,
persandian, kebudayaan, perpustakaan, dan kearsipan.
c) Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi: kelautan dan
perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan
sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian, dan
transmigrasi.
3) Pasal 25 Urusan Pemerintahan Umum yang meliputi:
(a) pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional
dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila,
pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika
serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
(b) pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
(c) pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat
beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan
stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
(d) penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
(e) koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan
yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak
asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
53
kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(f) pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila; dan
(g) pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan
merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan
oleh Instansi Vertikal.
Penjelasan umum UU No 23 Tahun 2014 dijelaskan bahwa Peran
Gubernur adalah sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah karena letak
geografis Indonesia yang cukup luas, maka demi efektifitas dan efisiensi
pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota, dan Presiden sebagai
penanggung jawab akhir pemerintahan secara keseluruhan melimpahkan
kewenangannya kepada gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah
Pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Daerah
kabupaten/kota dalam menjalankan otonominya agar sesuai dengan NSPK
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk efektifitas tersebut Gubernur
dalam melaksanaan tugasnya selaku wakil Pemerintah Pusat, dapat dibantu
oleh perangkat gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena sebagai
Wakil Pemerintah Pusat maka peran gubernur dan hubungan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota bersifat hierarkis.
B. Dasar Hukum Menteri Dalam Negeri Membatalkan Peraturan Daerah
dan Peraturan Kepala Daerah
Berpedoman pada Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pembatalan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan
Kepala Daerah (Perkada) berdasarkan pada Pasal 250, Ayat (1) yang
menjelaskan bahwa Perda dan Perkada tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan/atau kesusilaan, dan kepentingan umum, seperti yang dimaksud
(pada Ayat (2)) meliputi:
1. Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
2. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
54
3. Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
4. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat; dan/atau
5. Diskriminasi terhadap suku,agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan,
dan gender.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa
pembatalan perda dan perkada dapat dilakukan jika bertentangan dengan
peraturan perundangan-undangan yang lebih tinngi, kepentingan umum,
dan /atau kesusilaan.
Selanjutnya mengacu pada pasal 251 Undang-undang No. 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan:
(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh
Menteri.
(2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan
bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,
dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau
peraturan bupati/wali kota.
(4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan
peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat
(5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD
bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
55
menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala
daerah mencabut Perkada dimaksud.
(7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan
gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan
peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan
kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak
keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima.
(8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan
Perda Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota tidak dapat
menerima keputusan pembatalan peraturan bupati/wali kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,
bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri
paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali
kota diterima.
Kemudian merujuk Pasal 91 Ayat (1), disebutkan bahwa: “Dalam
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota
dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.” Sejalan dengan itu pada Ayat
(2) bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) , maka gubernur mempunyai tugas di antaranya poin
(e) ayat (2) gubernur dapat “Melakukan pengawasan terhadap Perda
Kabupaten/kota” Selanjutnya, pada Ayat (3) ditegaskan bahwa: “Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2) gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat mempunyai wewenang:” salah satunya pada Poin (a) ayat
(3) gubernur berwenang “Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan
peraturan bupati/wali kota.” jadi dalam hal ini, gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk membatalkan Perda dan
Perkada.Dengan demikian bahwa pembatalan Perda dan Perkada di tingkat
Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
56
di daerah. Apabila ketika Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat enggan
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota
(Perkada) yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau
kesusilaan (sebagaimana dimaksud pada Pasal 250, Ayat (2)), maka melihat
Pasal 251, Ayat (3), Menteri dapat membatalkan Perda Kabupaten/Kota
dan/atau peraturan bupati/wali kota yang bersangkutan9.
Kesimpulannya kewenangan Menteri Dalam Negeri diatur pada
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
dalam Pasal 251 yang mengatur Kewenangan Menteri dalam negeri
Membatalkan Perda. Tugas dan Fungsi Kementerian Dalam Negeri diatur
dalam Perpres No.11 Tahun 2015 Pasal 2 dan 3.
Tulisan hukum mengenai mekanisme pencabutan/pembatalan
Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Dan Keputusan Kepala Daerah
yang bermasalah berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia
ini dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan, sebagai berikut:
(a) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang- Undangan;
(b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
(c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah;
(d) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Diktum Kedelapan;
(e) Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 582/476/SJ
(f) Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 582/1107/SJ
9 Leo Agustino, PEMBATALAN 3.143 PERATURAN DAERAH: Satu Analisis
Singkat, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.3 No.1, (April, 2017), h. 24-26
57
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 56/PUU-XIV/2016
A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
Pemohon adalah 5 (lima) orang karyawan yang hak-hak
konstitusionalnya berpotensi dirugikan oleh ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemohon mengajukan Perda
yang berpotensi dibatalkan oleh Menteri dan Gubernur, yang apabila perda
tersebut dibatalkan maka pembatalan tersebut akan berdampak pada diri para
Pemohon, perda yang berpotensi dibatalkan yaitu:
1) Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Ketenagakerjaan (Lembaran Daerah Kabupaten
Karawang Tahun 2011 Nomor 1 Seri E)
2) Peraturan Daerah Kabupaten Siak Nomor 11 Tahun 2001 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Lokal (Lembaran Daerah Kabupaten Siak
Tahun 2001 Nomor 11 Seri C)
3) Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2002 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Lokal (Lembaran Daerah Kota Pekanbaru
Tahun 2002, Seri D, Nomor 4)
Kemudian ketentuan Pasal 251 Ayat (7) dan Ayat (8) Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014, yang hanya mengakui Bupati dan Gubernur sebagai
satu-satunya subjek hukum yang dapat mengajukan keberatan atas keputusan
pematalan Perda dan Perkada, hal ini dirasa oleh para Pemohon telah
menghilangkan hak para Pemohon untuk turut serta mempertahankan
keberadaan Perda dimaksud. Sebab, sangat mungkin bagi penyelenggara
pemerintahan pada tingkatan kabupaten/kota dan provinsi, tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan keberatan atas keputusan gubernur
atau menteri terhadap pembatalan Perda provinsi atau kabupaten/kota, dan
58
peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota. Hal itu jelas merugikan hak
konstitusional para Pemohon
Pasal 251 Ayat (1), (2), (7), (8) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (1) dan
Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945 dengan alasan bahwa kewenangan menguji
materil peraturan perundang-undangam dibawah undang-undang terhadap
undang-undang merupakan kewenangan Mahkamah Agung, selain dari pada
itu pemohon mendalilkan Pasal 251 Ayat (7) dan (8) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar
NRI 19451. Berikut norma yang dimohonkan pengujian dalam menguji materil
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014:
Pasal 251 ayat (1):
Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.
Pasal 251 ayat (2):
Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pasal 251 ayat (7):
Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat
menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak
dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur
dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat
belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan
gubernur diterima.
Pasal 251 ayat (8):
Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan
bupati/wali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan
peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan
1 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, h.4
59
kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota
diterima.
Menurut para pemohon ketentuan pada pasal 251 ayat (1), ayat (2) ayat (7),
dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan
pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undangundang dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh
undang-undang”.
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi ::
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
Pemohon beralasan bahwa executive review secara represif yang diatur
dalam ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014, merupakan kompetensi Mahkamah Agung (MA) sebagai
pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan umum, agama, militer dan tata
usaha negara, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1)
UUD 1945, dengan demikian Pasal 251 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ayat (7) dan (8), secara tegas hanya
diakui penyelenggara pemerintahan daerah pada tingkat provinsi atau
kabupaten/kota, sebagai satu-satunya subyek hukum yang dapat mengajukan
keberatan terhadap keputusan pembatalan Perda kabupaten/kota oleh Gubernur
atau Menteri, atau Perda provinsi oleh Menteri, hal ini bertentangan karena
sebagai negara hukum, konstitusi Indonesia mengakui hak asasi manusia yang
harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
persamaan kedudukan dihadapan hukum harus dijunjung tinggi oleh setiap
warganegara, tanpa terkecuali juga dengan penyelenggara negara atau
pemerintahan sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD
1945.
60
Peraturan Gubernur maupun bupati/wali kota yang tertuang dalam
Pasal 251 ayat (1) dan (2) merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan yang memuat norma hukum mengikat secara umum dan ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, selain itu secara hierarki
kedudukan peraturan bupati/wali kota berada di bawah undang-undang
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dengan demikian, keputusan
gubernur dan menteri yang membatalkan Perda yang erat kaitannya dengan
hajat hidup masyarakat, dan menurut penilaian masyarakat bahwa Perda
tersebut harus dipertahankan, maka keputusan gubernur dan menteri yang
membatalkan Perda dapat dimintakan keberatan ke Mahkamah Agung melalui
mekanisme pengujian peraturan (judicial review). Dari uraian tersebut para
pemohon intinya mempersoalkan Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan
dengan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.
B. Pertimbangan Hakim Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
XIV/2016
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 ini
melengkapi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015
sehingga pertimbangan hakim pada kedua putusan ini tidak jauh berbeda. Pada
Putusan yang sebelumnya yakni Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan
bahwa frase “peraturan daerah kabupaten/ kota dan” dalam ketentuan Pasal
251 ayat (2) dan (4), frase “peraturan daerah kabupaten/ kota dan/atau” dalam
Pasal 251 ayat (3), dan frase “penyelenggara pemerintahan daerah
kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan
daerah kabupaten/kota dan” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga Menteri Dalam Negeri
61
maupun gubernur tidak dapat lagi membatalkan peraturan daerah
kabupaten/kota.
Berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kini baik
Gubernur maupun Menteri Dalam Negeri tidak lagi berwenang membatalkan
Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/kota dan Peraturan Daerah tingkat
Provinsi. Sehingga untuk Pembatalan Peraturan Daerah harus melalui proses
Judicial Review di Mahkamah Agung, hal ini sesuai dengan amanat UUD NRI
1945 pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai
wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Berikut penjelasan terkait
pertimbangan hakim mengenai Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah:
1). Peraturan Daerah (Perda)
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan terkait dengan
pembatalan Peraturan Daerah. Pertama, Mahkamah mempertimbangkan
bahwa kewenangan yang diberikan kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah dan menteri sebagai pembantu presiden melalui
Pasal 251 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah dalam hal membatalkan Peraturan Daerah baik
ditingkat Kabupaten/Kota maupun di Provinsi telah melabrak logika konsep
Negara Hukum seperti yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI
1945. Kedua, Pembatalan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Gubernur
Dan Menteri telah Menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung
sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang baik itu Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota maupun Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana telah
tertuang dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Ketiga, selain itu Mahkamah
juga berpendapat bahwa Menteri Dalam Negeri dan Gubernur telah
melampaui kewenangan Mahkamah Agung karena parameter atau tolok
ukur yang dilakukan untuk membatalkan Peraturan Daerah oleh pihak
62
pemerintah terkait frase peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Kepentingan Umum dan Kesusilaan merupakan ranah dari Mahkamah
Agung. Keempat, pembatalan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota melalui melalui keputusan gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4) UU
Pemda, menurut Mahkamah tidak sesuai dengan rezim peraturan
perundang-undangan yang dianut Indonesia. Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian
kedudukan keputusan gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan
perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk
membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kelima mahkamah
menganggap bahwa telah terjadi kekeliruan bahwa produk hukum
(beschikking) dapat membatalkan produk hukum yang berbentuk peraturan
(regeling) Peraturan Daerah yang berkedudukan sebagai produk hukum
(regeling) dapat dibatalkan oleh Keputusan Gubernur atau Keputusan
Menteri yang bersifat (beschikking). Keenam, karena berbentuk Keputusan
Gubernur atau Keputusan Menteri akan dikhawatirkan menimbulkan
dualisme Putusan Pengadilan, Peraturan Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota dibatalkan melalui Keputusan Gubernur atau Keputusan
Menteri maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan seandainya upaya hukum
tersebut dikabulkan maka Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota
yang dibatalkan oleh Keputusan Gubenur atau Keputusan Menteri menjadi
berlaku kembali. Di sisi lain, terdapat upaya hukum pengujian Peraturan
Daerah melalui Mahkamah Agung yang dilakukan oleh Pemerintah,
masyarakat di daerah tersebut atau pihak yang merasa dirugikan dengan
berlakunya. Peraturan Daerah tersebut. Misalnya upaya hukum melalui
Mahkamah Agung tersebut dikabulkan maka Peraturan Daerah menjadi
dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian telah terjadi dualisme dalam
63
persoalan yang sama. Potensi dualisme putusan pengadilan antara putusan
PTUN dan putusan pengujian Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung
terhadap substansi perkara yang sama, hanya berbeda produk hukum akan
menimbulkan ketidakpastian hukum, padahal kepastian hukum merupakan
hak setiap orang yang dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD
NRI 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah pengujian atau pembatalan
Peratuaran Daerah menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah
Agung.
2). Peraturan Kepala Daerah (Perkada)
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan terkait dengan
pembatalan Peraturan Kepala Daerah Mahkamah mempertimbangkan
bahwa Peraturan Kepala Daerah menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang
Pemerintahan Daerah adalah peraturan gubernur dan peraturan
bupati/walikota. Selanjutnya Pasal 246 ayat (1) UU Pemda menyatakan,
kepala daerah berwenang menetapkan Perkada dalam rangka melaksanakan
Perda atau atas kuasa peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan
Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang dalam
pembuatannya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
sedangkan Peraturan Bupati/Wali Kota atau Peraturan Gubernur dibuat
dengan tidak melibatkan DPRD.
Mahkamah berpendapat Peraturan Kepala Daerah merupakan salah
satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, akan tetapi oleh karena dibentuk hanya oleh kepala
daerah sebagai satuan bestuur dalam rangka menindak lanjuti Peraturan
Daerah dan urusan pemerintahan wajib sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
sehingga dalam kerangka negara kesatuan Pemerintah Pusat sebagai satuan
bestuur yang lebih tinggi memiliki kewenangan untuk membatalkan
Perkada. Pembatalan dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalan
Perkada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
64
Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari
Presiden atau Menteri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah atau dengan kata lain sebagai suatu bentuk pengawasan,
bukan pengujian peraturan perundang-undangan, dalam lingkungan bestuur
oleh satuan bestuur yang lebih tinggi terhadap satuan bestuur yang lebih
rendah.
Mengenai pembatalan Perkada tidak ada ketentuan dan mekanisme
yang mengatur pengajuan keberatan pembatalannya, tidak seperti Perda.
Penyebutan Perkada menggunakan 2 (dua) istilah peraturan kepala daerah
dan/atau keputusan kepala daerah melalui Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah barulah ditemukan mekanisme
pengujian Pembatalan Peraturan Kepala Daerah serta Peraturan Daerah.
Berdasarkan perkembangan tersebut, menurut Mahkamah pembentuk
Undang-Undang mendudukkan Peraturan Kepala Daerah sebagai keputusan
kepala daerah atau disebut juga keputusan tata usaha negara, meski produk
hukumnya berupa peraturan bupati/walikota, sehingga mekanisme kontrol
oleh pemerintah di atasnya dapat saja dilakukan dan bukan merupakan hal
yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Mekanisme kontrol
pemerintahan di atasnya adalah lingkup fungsi administrasi negara
(bestuursfunctie).
C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan para
Pemohon untuk sebagian, namun Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan
beberapa ayat dari Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah yang meskipun tidak dicantumkan oleh para Pemohon
dalam Pokok Permohonan tetapi kemudian dikabulkan oleh Mahkamah
Konstitusi. Ayat pada Pasal 251 yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi
adalah Pasal 251 ayat (1), Pasal 251 ayat (4), Pasal 251 ayat (5), dan Pasal 251
ayat (7) yang akan dijelaskan sebagai berikut, frase-frase mana saja yang
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan dianggap bertentangan dengan
65
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945),
diantaranya adalah:
Pasal 251 Ayat (1) “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh
Menteri”
Pasal 251 Ayat (4) “Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan
gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan
bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”
Pasal 251 Ayat (5) “Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan
pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala
daerah mencabut Perda dimaksud”
Pasal 251 Ayat (7) “Dalam hal penyelenggara Pemerintahan
Daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan
peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,
gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14
(empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan
gubernur diterima.”
Pasal 251 ayat (5) meskipun tidak dicantumkan oleh para Pemohon
dalam Pokok Permohonan tetapi Mahkamah Konstitusi memutus ayat (5)
tersebut dikarenakan ayat ini tidak rasional dan kehilangan relevansinya karena
induk dari ayat ini adalah Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) telah dibatalkan
sehinnga apabila tidak diputus dan dibatalkan maka akan menimbulkan
ketidakpastian hukum. Berdasarkan pemaparan tersebut Mahkamah Konstitusi
menyatakan frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4),
dan frasa “Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (7), serta Pasal 251 ayat
(5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
66
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016
pengujian atau pembatalan Peraturan Daerah Provinsi maupun
Kabupaten/Kota harus melalui mekanisme Judicial Review di Mahkamah
Agung, Gubernur dan Menteri tidak lagi berwenang membatalkan Peraturan
Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota, akan tetapi Mahkamah Konstitusi
masih menyisakan masalah Konstitusional hal ini dikarenakan Mahkamah
Konstitusi tidak mengabulkan Permohonan para Pemohon terkait Peraturan
Kepala Daerah bahwa Gubernur dan Menteri Dalam Negeri masih dapat
membatalkan Peraturan Kepala Daerah, Gubernur masih dapat membatalkan
Peraturan Bupati/Wali Kota dan Menteri Dalam Negeri masih dapat
membatalkan Peraturan Gubernur Mahkamah menganggap bahwa hal tersebut
tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 padahal oleh pemohon ini dianggap
bertentangan dengan UUD NRI Pasal 24A ayat (1).
Peraturan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Walikota dan Bupati
dibuat dalam rangka delegasi dari peraturan poerundang-undangan yang lebih
tinggi yakni melaksanakan Peraturan Daerah, jika kita melihat teori norma
hukum Hans Nawiasky Peraturan Kepala Daerah termasuk kedalam Hierarki
peraturan perundang-undangan begitupun apabila kita merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Pasal 8 ayat (1) yang terdiri dari peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Apabila
kita kaitkan dengan dengan 4 (empat) kelompok besar norma hukum yang
dikemukaan oleh Hans Nawiasky peraturan perundang-undangan yang
tercantum pada Pasal 8 Ayat (1) masuk ke dalam kategori Verordnung &
67
Autonome satzung yang merupakan aturan pelaksana/aturan otonom Peraturan
Kepala Daerah merupakan bagian dari itu dan terletak satu tingkat dibawah
Formell gesetz (undang-undang) hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24A
ayat (1) UUD NRI yang berbunyi:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lain yang
diberikan oleh undang-undang”
Negara kita adalah negara hukum definisi dari negara hukum itu sendiri
adalah bahwa seluruh sikap, kebijakan, perilaku alat negara dan penduduk
harus berdasar dan sesuai dengan hukum, hukumlah yang yang memegang
komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara2, selain dari pada itu sistem
pemerintahan Republik Indonesia menganut konsep ‘trias politica’ yang
dimaksudkan untuk memisahkan kekuasaan antar lembaga yakni eksekutif,
legislatif, dan yudikatif secara sejajar dengan semangat (check and balances)
agar nantinya antara lembaga kekuasaan dapat saling mengawasi dan saling
mengimbangi satu sama lain, tujuan dari pembatasan kekuasaan untuk
menghindari kekuasaan yang absolut pada satu tangan kekuasaan, bahwa dapat
kita ketahui kekuasaan yang absolut akan melahirkan kesewenang-wenangan3,
dengan masih diperbolehkannya Pemerintah Pusat sebagai pihak dari Lembaga
Eksekutif yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Dalam Negeri dan
Gubernur yang masih diberi kewenangan untuk membatalkan Peraturan
Kepala Daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten atau Kota hal ini
dikhawatirkan nantinya akan timbul kesewenang-wenangan dari Menteri
Dalam Negeri dan Gubernur dalam hal melakukan pembatalan Peraturan
Kepala Daerah.
2 A. Salman Maggalatung & Nur Rohim Yunus, POKOK-POKOK TEORI ILMU
NEGARA (Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia),... h.137
3 Efi Yulistyowati, Endah Pujiastuti, Tri Mulyani, Penerapan Konsep Trias Politica
Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi Komparatif UUD NRI 1945 Sebelum dan
Sesudah Amandemen, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Volume 18, Nomor 2, (Desember, 2016),
h.330
68
Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelumnya, baik Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pembatalan Peraturan
Kepala Daerah dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalannya, sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah pengujian Peraturan Kepala Daerah dapat dilakukan melalui 3 (tiga)
mekanisme Executive Review, Judicial Review, Political Review4 hal ini tentu
menjadikan pengujian peraturan perundang-undangan terkhusus Peraturan
Kepala Daerah menjadi anomali. Hal ini tentu tidak sesuai dengan sistem yang
dianut dan dikembangkan menurut UUD 1945 yakni “Centralized Model Of
Judicial Review” seperti yang tertuang pada Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C
ayat (1) UUD NRI 1945. Ciri utama model ini adalah terdapatnya lembaga
khusus dalam melakukan kewenangan judicial review. Khusus disini bermakna
tidak terdapat lembaga lain atau lembaga peradilan lain yang melakukan
kewenangan judicial review5.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 masih
menyisakan persoalan konstitusional, bahwa terkait Peraturan Daerah
Gubernur dan Menteri dalam Negeri sudah tidak berwenang lagi membatalkan
Peraturan Daerah tingkat Provinsi maupun Kabupaten/atau Kota, tetapi masih
berwenang membatalkan Peraturan Kepala Daerah, Gubernur dan Menteri
Dalam Negeri masih dapat membatalkan Peraturan Kepala Daerah tingkat
Provinsi maupun Kabupaten/atau Kota jika Peraturan Kepala Daerah tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan atau kesusilaan.
Putusan tersebut berdampak kepada Kepala Daerah baik Gubernur
ataupun Bupati/Wali Kota mereka akan merasa dilematis dalam membuat
sebuah peraturan untuk melaksanakan otonomi daerah dalam
4 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan Kepala
Daerah,... h.93
5 Minolah, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah Provinsi di
Indonesia, Jurnal Syiar Hukum, Vol. XIII. No. 1, (Maret, 2011), h. 5
69
menyelenggarakan pemerintahan daerah, Kepala Daerah harus bekerja lebih
ekstra keras dalam membuat Peraturan Kepala Daerah agar tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan mengupayakan
sebisa mungkin agar Peraturan Kepala Daerah tersebut harmonis baik secara
vertikal maupun horizontal dengan peraturan lainnya. Mengapa demikian,
dilematisnya adalah terletak pada manakah yang harus kepala Daerah ikuti,
selera pusat atau selera daerah selain dari pada itu eksistensi dari Peraturan
Kepala Daerah ini menimbulkan konflik kewenangan, yang terlibat dalam
konflik kewenangan tersebut adalah antara Pemerintah Pusat (Eksekutif) dalam
hal ini diwakili oleh Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, Mahkamah Agung,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau yang disebutl dengan (DPRD), dan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang disebut dengan (PTUN) karena lembaga-
lembaga tersebut berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap Peraturan
Kepala Daerah. Berikut uraian mengenai potensi konflik kewenangan yang
mungkin terjadi dalam hal melakukan pengawasan terhadap Perkada:
1. Dalam hal Peraturan Kepala Daerah Gubernur maupun Bupati/Walikota
dibatalkan melalui keputusan gubernur atau menteri upaya hukum yang
dilakukan adalah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan
seandainya upaya hukum tersebut dikabulkan maka Peraturan Kepala
Daerah Gubernur maupun Bupati/Walikota yang dibatalkan oleh
keputusan gubenur dan menteri menjadi berlaku kembali. Di sisi lain,
terdapat upaya hukum pengujian Peraturan Kepala Daerah melalui
Mahkamah Agung yang dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat di daerah
tersebut atau pihak yang merasa dirugikan dengan berlakunya Perkada
tersebut. Misalnya upaya hukum melalui Mahkamah Agung tersebut
dikabulkan maka Peraturan Kepala Daerah menjadi dinyatakan tidak
berlaku.
2. Ketika Peraturan Kepala Daerah dianggap sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan
oleh pihak eksekutif,. Di sisi lain, terdapat upaya hukum pengujian
Peraturan Kepala Daerah melalui Mahkamah Agung yang dilakukan oleh
70
masyarakat di daerah tersebut atau pihak yang merasa dirugikan dengan
berlakunya Peraturan Kepala Daerah tersebut. Misalnya upaya hukum
melalui Mahkamah Agung tersebut dikabulkan maka Peraturan Kepala
Daerah menjadi tidak berlaku
3. Peraturan Kepala Daerah yang dibuat tidak melibatkan DPRD bisa saja
peraturan Kepala Daerah itu tidak sesuai dengan Peraturan Daerah
sehingga DPRD menganggap bahwa Peraturan Kepala Daerah tersebut
bertentangan dengan Peraturan Daerah yang dibuat secara bersama antara
DPRD dan Kepala Daerah, Di sisi lain, terdapat upaya hukum pengujian
Peraturan Kepala Daerah melalui Mahkamah Agung yang dilakukan oleh
masyarakat di daerah tersebut atau pihak yang merasa dirugikan dengan
berlakunya Peraturan Kepala Daerah tersebut. dan Mahkamah Agung
menganggap bahwa Peraturan Kepala Daerah tersebut tidak bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi maka Peraturan Kepala Daerah tetap
berlaku.
4. Kepala Daerah dituntut dalam membuat produk hukumnya terkhusus
Peraturan Kepala Daerah agar sesuai dengan selera Pemerintah Pusat dan
sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat di daerah yang
direpresentasikan oleh DPRD sebagai penampung dan mewakili aspirasi
masyarakat daerah, sepertinya hal ini merupakan hal yang rumit bagi
Kepala Daerah hal ini dikarenakan baik Pemerintahan Pusat maupun
Pemerintahan di daerah selalu terdapat kelompok-kelompok elit politik
yang memliki kepentingan, tujuan dan maksud yang berbeda-beda hal ini
tidak mengherankan karena baik Pemerintah Pusat, Kepala Daerah, dan
DPRD merupakan lembaga politik, hal ini membuat Kepala Daerah
menjadi dilematis manakah yang harus dituruti Pemerintah Pusat atau
DPRD, ketika Peraturan Kepala Daerah tidak sesuai dengan selera
Pemerintah Pusat maka Pemerintah Pusat dapat bertindak represif melalui
mekanisme executive review membatalkan Peraturan Kepala Daerah.
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
71
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) menjelaskan
bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Provinsi
maupun Kabupaten/Kota. Memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan, dalam hal DPRD melakukan pengawasan DPRD berhak
mengeluarkan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat,
hak angket adalah hak DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk
melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi maupun
Kabupaten/Kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
DPRD dalam melakukan pengawasan terhadap Peraturan Kepala
Daerah dapat menggunakan hak angketnya apabila Pemerintah Daerah
membuat kebijakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. sehingga
jika terdapat penyalahgunaan wewenang dalam pembuatan Peraturan
Kepala Daerah (yang tidak diperintahkan peraturan perundangan lain
tetapi dibuat berdasarkan wewenang yang ada pada Kepala Daerah) tetap
dianggap bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Muara
dari hak angket ini bisa membawa pada pemberhentian Kepala Daerah6,
jika hak angket ini dapat dilakukan upaya hukum ke PTUN maka hal ini
tentu akan menimbulkan dualisme keputusan.
Berdasarkan pemaparan tersebut dalam praktiknya hal yang demikian dapat
saja terjadi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 tidak
benar-benar menyelesaikan permasalahan pengujian produk hukum dibawah
undang-undang terkhusus Peraturan Kepala Daerah mahkamah memperpanjang
keanomalian pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang yakni karena Peraturan Kepala Daerah masih dapat
6 E. Prajwalita Widiati dan Haidar Adam,Pengawasan Terhadap Peraturan
Kepala Daerah,... h.91
72
dibatalkan melalui mekanisme Executive review yang dijalankan oleh Gubernur dan
Menteri Dalam Negeri disisi lain masih terdapat lembaga lain yang juga berwenang
melakukan pengawasan terhadap Peraturan Kepala Daerah. Sehingga pengujian
Peraturan Perundang-undangan dibawah undang-undang dalam hal ini Peraturan
Kepala Daerah masih menjadi persoalan konstitusional. Anomali pengujian
Peraturan Kepala Daerah dan masih terdapatnya lembaga lain dalam melakukan
pengawasan Kepala Daerah tidak benar-benar menempatkan Mahkamah Agung
sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, hal ini tentunya pasti menimbulkan ketidak
kepastian hukum padahal kepastian hukum merupakan hak setiap orang yang
dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, hal ini juga
mencederai prinsip check and balances antar lembaga negara. Fungsi Peraturan
Kepala Daerah adalah merinci ketentuan dalam Peraturan Daerah yang sangat
umum, untuk memberikan pedoman prosedural. Dengan peran yang demikian,
maka Peraturan Kepala Daerah saling berkaitan terhadap Peraturan Daerah (Perda),
sehingga isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya atau dengan
kata lain Peraturan Kepala Daerah adalah salah satu bentuk produk delegated
legislation. Sebagai delegated legislation, maka perspektif yang digunakan bahwa
Peraturan Kepala Daerah adalah sebagai Peraturan Perundang-undangan, tetapi
Mahkamah melihat Peraturan Kepala Daerah baik itu Peraturan Gubernur maupun
Peratuan Bupati/Walikota sebagai Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, hal yang
demikian tidak sepenuhnya salah melihat Peraturan Kepala Daerah dikenal dengan
2 (dua) istilah yakni sebagai Peraturan Kepala Daerah dan yang kedua sebagai
keputusan Kepala Daerah.
Mahkamah menyadari bahwa ada kekeliruan Peraturan Daerah yang
sifatnya (regeling) dapat dibatali dengan keputusan Gubernur dan Keputusan
Menteri yang sifatnya (beschikking), kekeliruannya sebenarnya bahwa keputusan
yang dikeluarkan oleh Gubernur dan Menteri dalam rangka mekanisme executive
review cenderung subjektif pengertian dari executive review itu adalah pengawasan
secara internal lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan itu sendiri
seperti yang kita ketahui bahwa lembaga ekskutif merupakan lemabaga politik,
73
keputusan Mahkamah Agung pun sifatnya (beschikking)akan tetapi dia adalah
lembaga eksternal yang mengawasi dan menguji peraturan-perundang-undangan
secara objektif karena Mahkamah Agung merupakan lembaga yudikatif.
Permasalahan selanjutnya ketika Peraturan Daerah tidak dapat dibatalkan
oleh Gubernur maupun Menteri akan tetapi Peraturan Kepala Daerah masih dapat
dibatalkan oleh Gubernur dan Menteri ketika Peraturan Daerah telah hadir dan
memerlukan Peraturan yang lebih lanjut untuk mengatur hal-hal yang sifatnya
teknis dan prosedural seperti Peraturan Kepala Daerah, akan tetapi Peraturan
Kepala Daerah itu dibatalkan oleh Gubernur dan Menteri hal ini dikhawatirkan akan
menimbulkan dan terjadi ‘death lock’ bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Surat An Nisa Ayat (135): Prinsip Kepastian Hukum
أنفسكم أو ٱلو ولو على مين بٱلقسط شهداء لل أيها ٱلذين ءامنوا كونوا قو ا أو لدين وٱأقببين ني يكن نني ﴿۞ ي
ا أو تعبضوا فإي وني تلوۥ أي تعدلوا أولى بهما فل تتبعوا ٱلهوى كاي بما تعملوي خبيب فقيبا فٱلل ﴾٥٣١ا ٱلل
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-
kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Surat Ash-Shura Ayat (38): Prinsip Musyawarah
ل هم ينفقوي ﴿وٱلذين ٱستجابوا لببهم وأقاموا ٱلص ا رزقن ة وأمبهم شورى بينهم ومم ﴾٣٣و
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka”.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
56/PUU-XIV/2016 terdapat inkonsistensi, mahkamah menyadari bahwa
Peraturan Kepala Daerah dikenal dua istilah yaitu Peraturan Kepala
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, pada saat mempertimbangkan
terkait Peraturan Daerah Mahkamah tidak mengakui Keputusan
Gubernur dan Keputusan Menteri Dalam Negeri sebagai bagian dari
rezim Hirarki Peraturan Perundang-undangan dan tidak bisa dijadikan
produk hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah, akan tetapi pada
saat mempertimbangkan Peraturan Kepala Daerah mahkamah mengakui
bahwa Keputusan Gubernur dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
merupakan bagian dari rezim Hirarki Peraturan Perundang-undangan
sehingga bisa dijadikan produk hukum untuk membatalkan Peraturan
Kepala Daerah.
2. Eksistensi atau keberadaan dari Peraturan Kepala Daerah masih menjadi
masalah konstitusional dalam pengujiannya, hal ini karena selain
pemerintah pusat masih dapat menerapkan executive review untuk
membatalkan Peraturan Kepala Daerah yang diwakili oleh Gubernur
dan Menteri Dalam Negeri, di sisi lain juga masih terdapat lembaga lain
yang berhak dan berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap
Peraturan Kepala Daerah. Meskipun Peraturan Daerah sudah tidak dapat
lagi dibatalkan melalui mekanisme executive review, akan tetapi
Peraturan Kepala Daerah masih dapat dibatalkan oleh Gubernur dan
Menteri Dalam Negeri hal ini dikhawatirkan akan menghambat
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
75
B. Rekomendasi
Dari hasil penelitian, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Peraturan Kepala Daerah sebaiknya dilakukan pengujian dan dibatalkan
melalui mekanisme judicial review oleh Mahkamah Agung, meskipun
Peraturan Kepala Daerah bersifat (beschikking) tetapi di dalamnya
memuat norma mengatur dan mengikat umum (regeling). Peraturan
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah merupakan satu kesatuan yang
hirarkinya dibawah Undang-Undang, yang pengujiannya merupakan
kewenangan Mahkamah Agung.
2. Pemerintah pusat sebaiknya lebih meningkatkan pembinaan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah pusat dalam
mengawasi produk hukum daerah lebih mengedepankan langkah
preventif dibandingkan dengan langkah represif, yakni pengujian
terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum,
dengan melakukan pengawasan lebih dini terhadap rancangan Peraturan
Daerah atau Rancangan Peraturan Kepala Daerah. Pemerintah pusat
dalam hal ini menteri dalam negeri dan gubernur dapat melakukan
pengawasan terhadap produk hukum daerah melalui mekanisme
executive preview dengan melibatkan kementerian lain atau instansi
pemerintahan terkait materi muatan dalam produk hukum daerah itu
sendiri.
76
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdulkadir, Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004
Abidin, Zainal, Filsafat Manusia ,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Kencana, 2006
Arifin, Zaenal Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2013
Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif tentang unsur-
unsurnya, Jakarta: UI Press, 1995
Dewata, Mukti Fajar Nur dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif Dan Empiris , Jakarta: Pustaka Pelajar . 2010
Ence A.Baso, H.Iriyanto, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi),
Bandung: PT Alumni, 2008
Maggalatung, Salman & Yunus, Nur Rohim, POKOK-POKOK TEORI ILMU
NEGARA (Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia, Jakarta: Fajar
Media, 2013
__________________, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD
1945, Jakarta: Focus Grahamedia, 2015)
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Laporan Kajian
Implementasi Pengawasan Perda Oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung.
Jakarta: PSHK, 2011
Sjarif, Fitriani Ahlan. Farida, Maria, Sony. Sikumbang, Maulana, , dkk, Teori
Perundang-Undangan, Jakarta: Universitas Terbuka, 2014
Soejito, Irawan, Teknik Membuat Peraturan Daerah,Cet-2 ttp: Bina Aksara, 1989
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum ,Jakarta: UI Press, 1983
Soemantri, Sri, Hak Uji Material Di Indonesia, Ed.2, Bandung: Alumni, 1997
77
Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, cet-2, Jakarta:
Sinar Grafika, 2008,
Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003
Widjaja, HAW, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Ed 1-3, Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2008,
B. JURNAL HUKUM
Adam, Haidar & Widiati, E. Prajwalita, Pengawasan Terhadap Peraturan Kepala
Daerah, Jurnal Yuridika: Volume 27 No 1, Januari-April, 2012
Agustino, Leo, PEMBATALAN 3.143 PERATURAN DAERAH: Satu Analisis
Singkat, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.3 No.1, April, 2017
Aryani, Sylvia, Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana
Peraturan Daerah, Jurnal Badamai Law, Vol. 2, Issues 1, Maret, 2017
Aziz, Machmud, “Pengujian Peraturan Perundang-undangan Dalam Sistem
Peraturan Peundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, vol.7,
no.5, oktober, 2010.
Darusman, Yoyon M., Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pengujian Perundang-
undangan Terhadap Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah Tentang
Ratifikasi Atas Konvensi Internasional (Studi Kasus Ratifikasi Konvensi
Internasional Di Bidang Haki), Jurnal Ilmiah Prodi Manajemen Universitas
Pamulang, Vol. 1, No. 1, Oktober, 2013
Efendi, Hak Uji Materi Pemerintah Terhadap Peraturan Daerah (Kajian Terhadap
Kewenangan Pemerintah Pusat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 137/PUU-XIII/2015), Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 51, No.
1, Juni, 2017
Hakim, Lukman, Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan, Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No.1, Juni, 2011.
Hastuti, Noor Tri, Mengukur Derajat Jenis dan Fungsi Dalam Hirarki Peraturan
Perundang-undangan (Pasal 7 (4) Undang-Undang No.10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Perspektif,
Volume XII No. 3, September, 2007
Heriyono, Tardjono, Reorientasi Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang di
Indonesia, Jurnal Renaissance, Volume 1 No. 02, Agustus, 2016
Kurniawan, Alek Karci, Judicial Preview Sebagai Mekanisme Verifikasi
Konstitusionalitas Suatu Rancangan Undang-Undang, Jurnal Konstitusi,
Volume 11, Nomor 4, Desember, 2014
78
Maharani, Irma Tri, Eksistensi Kesenian Kenthongan Grup Titir Budaya Di Desa
Karangduren, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jurnal
Pendidikan Seni Tari, Januari, 2017
Minolah, Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah Provinsi di
Indonesia, Jurnal Syiar Hukum, Vol. XIII. No. 1, Maret, 2011
Muhtadi, Penerapan Teori Hans Kelsen Dalam Tertib HuKum Indonesia, jurnal Fiat
Justitia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 5 No. 2 September-Desember, 2012
Mulyani, Tri. Pujiastuti, Endah. & Yulistyowati, Efi, Penerapan Konsep Trias
Politica Dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia: Studi Komparatif
UUD NRI 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Jurnal Dinamika Sosial
Budaya, Volume 18, Nomor 2, Desember, 2016
Nainggolan, Indra Lorenly, Kedudukan Dan Ruang Lingkup Pergub Dalam
Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jurnal Hukum dan
Kebijakan, Vol 3, No 2 2017
Ngaji, Quido Benyamin, Kewenangan Pembatalan Produk Hukum Daerah oleh
Pemerintah Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945, Jurnal Magister Ilmu Hukum, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, Maret, 2016
NH. Maryam, M. Nafiati. dan, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum
Indonesia, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 22 April, 2015
Nubatonis, Sondil E., dkk, Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam
Meningkatkan Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Jurnal JISIP: Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 3, No. 1 2014
Pakaya, Jefri S., Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah ( Redesign Of
Judicial Review System Of Regional Regulations), Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 14 No. 01, Maret, 2017
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Laporan Kajian
Implementasi Pengawasan Perda Oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung.
Jakarta: PSHK, 2011
Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 6,
Desember, 2010
Radix, Jeremia, Kewenangan Mendagri Membatalkan Perda Dalam
Kedudukannya sebagai Lembaga Eksekutif, Jurnal Hukum Bisnis dan
Administrasi Negara, Univ. DR. SOETOMO, Vol.1, No.2 2017
Rantjoko, Arie Satrio, Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Untuk Menguji
Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang di Indonesia,
JURNAL RECHTENS, Vol. 3, No. 1, Maret, 2014
79
Saba’ni, Anas, Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Menteri Dalam Negeri Dalam
Tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Juncto Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmiah Ilmu
Hukum QISTIE Vol. 10 No. 2 November, 2017
Said, Abdul Rauf Alauddin, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-
Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Seluas-luasnya Menurut UUD 1945,
Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 4, Oktober-Desember, 2015
Salimin, Kms Jamri., dan Satriawan, Novyar, Analisis Yuridis Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Das Sollen, Vol.1,No.2
,2017
Saraswati, Retno, Problematika Hukum Undang-Undang No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Yustisia
Vol.2 No.3 September – Desember, 2013
Sihombing, Eka NAM, Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah: Kajian Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016,
Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2, agustus 2017
Siahaan, Maruarar, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan
Negara Kita: Masalah dan Tantangan, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor
4, Agustus, 2010
_______________, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum
Konstitusi, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 16, Juli, 2009
Sulistiowati, Rahayu, Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada
Otonomi Daerah Baru (DOB) (Studi Di Kabupaten Pesawaran dan
Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung), Jurnal Sosiohumaniora, Volume
16 No. 3 November, 2014
Syaputra, Mhd. Yusrizal Adi, Kajian Yuridis Terhadap Penegasan Hierarki
Peraturan Perundang- Undangan Di Indonesia Dalam Perspektif Stufen
Theorie, jurnal Mercatoria Vol. 9 No. 2 Desember, 2016
Wijayanti, Septi Nur, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014, Jurnal Media Hukum, VOL. 23 NO. 2 DESEMBER 2016
Wiradarma, A.A.NGR.. dkk, Akibat Hukum Atas Dibatalkannya Peraturan Daerah
Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Jurnal Kertha Negara, Vol.3,
No.2, mei, 2015
Yusdianto, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmu Hukum
Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015
80
C. PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 Tentang
Kementerian Dalam Negeri
D. INTERNET
http://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2016/06/21/b/a/batal_perda_21_
juni_2016.pdf: Daftar Peraturan Daerah/Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri yang Dibatalkan/Revisi
https://www.hukumonline.com/, Hadi, Ilman. “Perbedaan Peraturan Gubernur dan
Peraturan Daerah”