Pembuatan Contoh Pivotal-Bridging Dalam Interaksi Pembelajaran ...
Transcript of Pembuatan Contoh Pivotal-Bridging Dalam Interaksi Pembelajaran ...
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015
1131
Pembuatan Contoh Pivotal-Bridging
Dalam Interaksi Pembelajaran Matematika
Edy Bambang Irawan
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang
Abstrak: Masalah utama pemberian contoh dalam kerja matematika adalah agar pebelajar
dapat menginternalisasi contoh tersebut sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.
Pemberian contoh seharusnya lebih diarahkan pada pendekatan investigasi, tidak sekedar
menggambarkan algoritma atau prosedur dengan hierarki yang sesuai. Ketika seorang
guru menyajikan contoh, siswa cenderung memahami algoritma atau prosedur tersebut,
dan tidak berpikir apa manfaat selanjutnya dari pemberian contoh. Ide yang disajikan
dalam makalah ini menunjuk pada ciri pemberian contoh bagi guru matematika. Terdapat
dua ciri penting dalam pemberian contoh bagi guru matematika, yaitu (1) memunculkan
konflik kognitif, (2) memungkinkan siswa untuk menyelesaikan konflik kognitif . Contoh
yang memiliki ciri tersebut dinamakan contoh pivotal-bridging. Pembuatan contoh
pivotal-bridging dalam interaksi pembelajaran cenderung muncul tiba-tiba. Dengan
demikian pemberian contoh pivotal-bridging oleh guru matematika dapat digolongkan
sebagai pengetahuan tasit, karena munculnya pembuatan contoh pivotal-bridging tersebut
sulit dijelaskan secara eksplisit.
Kata Kunci: Contoh pivotal-bridging, Konflik kognitif
I. PENDAHULUAN
Penyusunan makalah ini dilandasi oleh pengalaman penulis dalam memberikan contoh pertanyaan
dalam diskusi sebagai bagian proses interaksi kelas matematika program Magister Pendidikan Dasar.
Terdapat dua contoh pertanyaan yang menjadi perhatian dalam diskusi. Contoh pertanyaan diangkat dari
konsep pecahan dan persegi panjang. Contoh pertanyaan dari konsep pecahan terkait strategi yang
digunakan dalam membandingkan dua pecahan, sedangkan contoh pertanyaan konsep persegipanjang
terkait banyaknya titik sudut dalam persegipanjang.
Pada umumnya peserta didik memahami strategi yang digunakan dalam membandingkan dua
pecahan adalah dengan menyamakan penyebut, dan mengalami kesulitan menentukan beragam strategi
lain. Pada konsep persegipanjang, peserta didik tidak mampu mengembangkan pertanyaan tentang
banyaknya titik sudut dalam persegipanjang. Apabila dalam suatu ruas garis dalam suatu persegipanjang
dimunculkan simbol titik, peserta didik mengalami kesulitan dalam menentukan sebagai titik sudut
persegipanjang atau bukan titik sudut dari persegipanjang.
Pembahasan tentang pembuatan contoh pertanyaan dalam interaksi pembelajaran matematika
mempunyai kaitan dengan konflik kognitif. Terdapat sumber yang menolak dan mendukung terkait
perlunya pembuatan contoh pertanyaan yang menimbulkan konflik kognitif. Beberapa penelitian
menolak keefektifan konflik kognitif pada perubahan konseptual (Limon, 2001; Hewson, Beeth, &
Thorley, 1998). Penelitian lain menyatakan bahwa pembelajaran yang mendasarkan pada konflik
kognitif tidak selalu memunculkan perubahan konseptual (Dekkers & Thijs, 1998; Elizabeth &
Galloway, 1996; Dreyfus, Jungwirth & Eliovitch, 1990). Para siswa sering menolak untuk menerima ide-ide
yang memunculkan konflik langsung sebagai konsep alternatif yang dimiliki (Bergquist & Heikkinen,
1990).
Walaupuan banyak penelitian yang menolak keefektifan konflik kognitif, penelitian tentang
pembelajaran yang memandang pentingnya konflik kognitif mulai banyak dilakukan pada era seputar 1990.
Beberapa penelitian metimpulkan bahwa konflik kognitif memiliki dampak positif pada perubahan
konseptual (Lee et al., 2003; Kim, Choi, & Kwon, 2002; Stern, 2002; Kwon, 1997; Druyan, 1997; Niaz,
1995; Thorley & Treagust, 1989; Hashweh, 1986; Stavy & Berkovitz, 1980). Adanya perubahan
konseptual yang lebih tinggi dari konsepsi yang tidak ilmiah menuju konsepsi ilmiah ditunjukkan oleh
Kwon & Lee (1999). Dikatakan bahwa para siswa yang memiliki tingkat konflik lebih tinggi
menghasilkan tingkat perubahan konseptual yang lebih tinggi dari konsepsi tidak ilmiah menuju konsepsi
yang ilmiah. Pandangan yang mendukung perlunya pembuatan contoh pertanyaan yang menimbulkan
konflik kognitif lebih kuat dan bisa diterima dalam konteks interaksi pembelajaran yang berorientasi
PM -159
ISBN. 978-602-73403-0-5
1132
pada perubahan konseptual. Istilah perubahan konseptual digunakan untuk mengkarakterisasi jenis
belajar yang diperlukan ketika informasi baru diperoleh dalam bentuk konflik (Vosniadou &
Verschafel, 2004)
II. KAJIAN TEORI
Dalam disiplin ilmu bidang matematika, istilah “contoh” dalam matematika dapat diwujudkan
dalam berbagai bentuk. Ilustrasi sederhana tentang contoh dalam matematika adalah contoh
penyelesaian suatu soal matematika (Leindhardt 2001). Berkaitan dengan istilah contoh, terdapat tiga
istilah yang dikenal, yaitu: contoh generik, contoh penyangkal, dan bukan contoh (Bills,
Dreyfus,Tsamir,Watson,Zaslavsky, 2006). Contoh generik merupakan contoh dari suatu konsep atau
prosedur. Penafsiran terhadap istilah contoh sering menunjuk pada contoh generik. Contoh penyangkal
perlu menunjukkan pernyataan penyangkal, dalam hal ini dapat berupa pernyataan penyangkal terhadap
konsep atau prosedur. Bukan contoh menyediakan batasan yang jelas antara suatu konsep dan bukan
konsep, serta dapat digunakan untuk menunjukkan kegagalan dalam mendapatkan hasil dari prosedur
yang diharapkan.
Ide-ide matematika seringkali bisa berkembang melalui pembuatan contoh. Para
matematikawan tidak meragukan lagi pentingnya contoh dalam memahami ide-ide matematika, serta
dalam menyelesaikan masalah matematika. Setiap orang yang belajar matematika apabila menghadapi
pernyataan yang tidak jelas akan mencari contoh melalui pengalaman yang dimiliki untuk memahami
pernyataan tersebut (Courant 1981). Siswa dapat memahami suatu konsep matematika melalui contoh
yang diberikan guru tanpa mengalami konflik kognitif. Dalam proses belajar matematika, pemberian
contoh bagi guru tidak sekedar digunakan untuk mengetahui konsep atau prosedur matematika, tetapi
perlu memunculkan konflik kognitif. Gagasan memunculkan konflik kognitif dalam proses belajar
merupakan strategi pedagogik penting untuk memperbaiki kekeliruan siswa dalam memahami suatu
konsep (Ernest 1996).
Contoh masalah matematika yang dibuat guru yang dapat menimbulkan konflik kognitif dan
mengarah pada perubahan konseptual dinamakan contoh pivotal ( Tiros and Tsamir, 2004 ; Vosniadou &
Verschafel, 2004). Namun demikian, pembuatan contoh yang dapat menimbulkan konflik kognitif belum
tentu dapat membantu siswa melakukan resolusi konflik. Pembuatan contoh yang dapat menimbulkan
konflik kognitif dan dapat membantu siswa melakukan resolusi konflik dinamakan contoh pivotal-
bridging (Zazkis & Chernoff. 2008).
III. DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Dalam kerja matematika, pemberian contoh bertujuan agar siswa dapat menginternalisasi contoh
sebagai alat untuk menyelesaikan masalah. Pemberian contoh seharusnya lebih diarahkan pada
pendekatan investigasi, tidak sekedar menggambarkan algoritma atau prosedur dengan hierarki yang
sesuai (Rissland 1991). Ketika guru menyajikan contoh kepada siswa, respon siswa cenderung
memahami contoh tersebut sebagai algoritma atau prosedur, dan tidak berpikir apa manfaat selanjutnya
dari pemberian contoh tersebut (Mason dan Pimm 1984).
Manfaat lain dalam pemberian contoh adalah adanya perubahan konseptual dalam pikiran siswa.
Beragam contoh yang diberikan kepada siswa dalam belajar matematika dapat membantu siswa
menyelesaikan berbagai pendekatan dalam menyelesaikan masalah. Contoh penyangkal berperan
membantu siswa dalam membangun persepsi dan belief dari konsep yang dipelajari. Contoh penyangkal
telah diakui memberikan peran penting dalam memunculkan konflik kognitif (Klymchuk 2001; Peled
dan Zaslavsky 1997). Namun demikian, belum cukup bagi guru memberikan contoh yang memunculkan
konflik kognitif, namun perlu mencari contoh strategis yang tidak sekedear memunculkan konflik,
namun memungkinkan siswa untuk menyelesaikan konflik kognitif tersebut. Contoh penyangkal yang
memunculkan konflik kognitif dinamakan contoh pivotal (Zaskis dan Chernoff (2008)
Para matematikawan yang mendukung pentingnya contoh dalam memahami ide-ide matematka dan
manfaat dalam menyelesaikan masalah antara lain Polya, Hilbert, Halmos, Davis, Feynman (Bills
Dreyfus,Tsamir,Watson, Zaslavsky, 2006). Ketika matematikawan menghadapi pernyataan yang tidak
segera diketahui kejelasannya, maka secara alamiah mereka akan mencari contoh secara teliti melalui
pengalaman yang dimiliki (Courant 1981). Ketika dugaan terhadap kejelasan pernyataan melalui
contoh yang dicari mulai muncul, biasanya langsung mencari contoh penyangkal untuk menunjukkan
bahwa dugaannya adalah benar (Davis & Hersh 1981).
Upaya meningkatkan kemampuan tasit guru muda matematika dapat dilakukan melalui beratih
mengembangkan kemampuan mengidentifikasi konsep. Kemampuan mengidentifikasi konsep yang
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015
1133
dimaksudkan dihubungkan dengan dua hal, yaitu menyusun karakteristik konsep dan kemampuan
memberikan contoh dan contoh penyangkal (counterexampels). Menyusun karakteristik konsep berarti
melakukan analisis sifat-sifat terhadap konsep. Proses mengenal pola merupakan unsur penting dalam
belajar matematika (Burger & Murser, 1991, h. 11).
Kemampuan guru dalam mengidentifikasi konsep akan mendukung kelancaran proses
pembelajaran, khususnya dalam membantu anak memahami konsep. Dalam proses pembelajaran, siswa
akan memahami konsep dengan baik bila konsep tersebut disajikan secara bermakna. Hal tersebut
mendukung prinsip self-reflexivity dari Stilerr. Prinsip self-reflexivity dari Stiler (1995, dalam Voight,
1996) berpandangan bahwa model belajar matematika perlu dibangun dengan menghubungkan antar
makna matematika dengan konteks yang dihadapi pebelajar.
Kemampuan memberikan contoh dan contoh penyangkal terhadap suatu konsep penting dimiliki
oleh seorang guru, untuk membantu siswa agar siswa memahami secara mendalam dari konsep yang
dipelajari. Kebiasaan guru dalam menyusun contoh dan contoh penyangkal dapat menciptakan aktivitas
matematika di kelas. Booler (Lester, 2007) memandang bahwa pemberian contoh dan contoh penyangkal
sebagai aktivitas di kelas dapat memberi inspirasi dalam melakukan reformasi pembelajaran. Menurut
Booler, belajar matematika di kelas secara aktif tidak sekedar hanya memiliki pengetahuan prosedural,
tetapi akan mampu mengembangkan conceptual understanding.
Peled & Zaslavsky (1997) membedakan 3 tipe contoh, yaitu spesifik, semi umum dan contoh
penyangkal umum. Apabila guru memberikan sebuah contoh persegipanjang memiliki panjang diagonal
sama panjang, contoh tersebut merupakan contoh spesifik. Apabila guru memberikan beragam contoh
persegipanjang dengan ukuran yang berbeda dapat memiliki diagonal sama, contoh tersebut merupakan
semi umum. Contoh umum dapat digunakan dasar untuk menunjukkan dugaan yang keliru terhadap
contoh spesifik tertentu. Dugaan bahwa dua persegipanjang yang diagonalnya sama maka kedua
persegipanjang tersebut kongruen adalah tidak benar. Selanjutnya guru dapat memberikan ilustrasi
dengan memberikan gambar berikut.
Pada gambar tersebut, dua persegipanjang yang titik-titik sudutnya terletak pada lingkaran mempunyai
panjang diagonal sama. Mason dan Pimm (1994) menggunakan istilah kasus di atas dengan contoh
generik. Contoh generik dapat digunakan untuk menunjukkan suatu kasus umum dapat diterima oleh
siswa melalui ilustrasi spesifik.
Ciri penting dalam membuat contoh adalah kejelasan (transparency), sehingga contoh tersebut
dapat memberi kesempatan siswa memahami dalam berbagai konteks. Zaslavsky & Lavie (2005)
menjelaskan ciri kejelasan dengan memberikan contoh dari fungsi kuadrat dalam 3 bentuk berikut:
y = (x+1)(x-3) y = (x-1)2 – 4 y = x
2 -2x -3
Contoh tersebut merupakan tiga representasi dari fungsi yang sama. Para siswa dapat melihat bahwa
contoh fungsi kuadrat tidak selalu memiliki bentuk kuadrat pada variabel yang ditunjukkan pada contoh
persamaan fungsi yang diberikan.
Pembuatan contoh oleh guru dalam pembelajaran perlu memperhatikan pentingnya konflik kognitif. Zaskis & Chernoff (2008) menggunakan istilah contoh pivotal sebagai contoh yang dibuat guru sehingga dapat memunculkan konflik kognitif bagi siswa. Ernest (1996) berpandangan bahwa pentingnya memunculkan konflik kognitif merupakan strategi penting dalam memperbaiki miskonsepsi siswa. Melalui konflik kognitif, siswa akan mempermasalahkan pemikirannya sendiri sehingga dapat memberi baru dari yang dipahami sebelumnya. Selain Ernest, yang menyampaikan gagasan tentang pentingnya konflik kognitif adalah Tall (1997), Tirosh dan Greber (1990), Tsamir dan Tirosh (1999) dan Watson (2002).
ISBN. 978-602-73403-0-5
1134
Zaskis dan Chernoff (2008) memberikan pengalaman guru pemberian contoh pivotal dalam bentuk episode interaksi pembelajaran. Apabila merujuk pada Mason (2006), episode interaksi pembelajaran tersebut dipandang sebagai metode pengamatan dari suatu studi kasus. Zaskis dan Chernoff (2008) memberikan pengalaman pembuatan contoh pivotal-bridging dalam bentuk episode interaksi pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan kepekaan dan kesadaran siswa terhadap yang sudah dipelajari. Pengalaman tersebut dipandang sebagai bentuk studi kasus , dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Berikut ini , penulis memberikan ilustrasi berdasarkan pengalaman mengajar tentang pemberian contoh pivotal-bridging dalam dua episode interaksi pembelajaran antara penulis sebagai pembina matakuliah (G) dan mahasiswa (S). Episode pertama mengangkat masalah tentang membandingkan dua pecahan, masalah kedua mengangkat masalah tentang banyaknya titik sudut dalam persegi panjang. Episode 1: Masalah membandingkan dua pecahan [1] G: Strategi apa saja yang bisa digunakan untuk mengetahui bilangan yang lebih besar daridua pecahan berikut: 4/9 dan 5/7? S1: Menyamakan penyebut. [2] G : Baik, apa strategi yang lain ? S2: Dengan perkalian silang. [3] G : Baik, apa strategi yang lain lagi ? Semua siswa di kelas diam sejenak , sehingga guru membuat pertanyaan berikut: [4] G : Mungkinkah menggunakan strategi menyamakan pembilang ? S3: Mungkin pak. [5] G : Bagimana caranya ? S3: Apabila pembilangnya sama, pecahan yang lebih besar adalah pecahan yang memiliki penyebut lebih kecil. [6] G: Ya…., apa stretagi yang lain lagi? S4: Dengan batuan gambar [7] G: Bagus…., masih ada strategi yang lain lagi, apa ada yang tahu ? Semua siswa di kelas diam lama, sehingga guru membuat pertanyaan berikut: [8] G: Pada garis bilangan, dimana posisi kedua pecahan tersebut terhadap pecahan 1/2 ? Dalam interaksi pembelajaran di atas, setelah guru memberikan pertanyaan [3], semua mahasiswa (S) di kelas diam sejenak. Dalam situasi tersebut tampak para siswa mengalami stuck , situasi ini dapat dikatakan para siswa mengalami konflik kognitif, dan mahasiswa tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Selanjutnya pembina matakuliah memunculkan pertanyaan [4]. Hal serupa terjadi ketika guru memunculkan pertanyaan [7] , tampak para siswa mengalami stuck kembali . Pada pertanyaan [8], guru G memberikan pertanyaan dengan meminta siswa untuk mengamati posisi dua pecahan 4/9 dan 5/7 terhadap pecahan 1/2 pada garis bilangan. Selanjutnya para siswa menyadari bahwa pada garis bilangan, posisi pecahan 4/9 terletak di kiri dari pecahan 5/7. Contoh pertanyaan yang ditunjukkan pada interaksi diatas merupakan contoh pivotal-bridging, sedangkan contoh yang menimbulkan stuck sehingga mahasiswa tidak dapat menyelesaikan masalah dinamakan contoh pivotal.
Episode 2: Masalah banyaknya titik sudut dalam persegipanjang
[1] G: Perhatikan gambar persegipanjang ABCD
berikut.
A B
C D
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015
1135
Ada berapa titik sudut ?
S1 : empat
[2] G : Baik, selanjutnya perhatikan gambar
persegipanjang berikut
Ada berapa titik sudut pada
persegipanjang di atas?
S2 : lima
[3] G : Baik, memperhatikan gambar tersebut,
apakah dapat dikatakan bahwa
persegipanjang memiliki lima titik
sudut ?
S3 : Tidak
[4] G : Mengapa ?
Selanjutnya, semua siswa di kelas diam lama, tidak ada siswa yang merespon pertanyaan
terakhir guru. Pada pertanyaan [4] terjadi stuck , dapat diprediksi bahwa siswa mengalami konflik
kognitif, dan tidak dapat memberikan argumentasi terhadap jawab pertanyaan tersebut. Pemahaman
yang dimiki selama ini adalah persegipanjang memiliki 4 titik sudut, pada kasus di atas, gambar
persegipanjang menunjukkan adanya 5 titik sudut, dengan salah satu sudutnya 1800
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dua episode interaksi pembelajaran antara guru dan siswa pada pengalaman di atas
memberi gambaran tentang pembuatan contoh pertanyaan pivotal-bridging yang dibuat
guru. Pemberian
contoh pivotal-bridging memiliki manfaat terhadap adanya perubahan konseptual pada
diri siswa. Munculnya pemberian contoh pivotal-bridging yang dibuat guru sulit untuk
direncanakan sebelumnya, sehingga pertanyaan pivotal-bridging cenderung muncul
secara tiba-tiba. Dapat dikatakan bahwa pemberian contoh pivotal-bridging oleh guru
matematika dapat digolongkan sebagai pengetahuan tasit, karena munculnya pembuatan
contoh pivotal tersebut sulit dijelaskan secara eksplisit. DAFTAR PUSTAKA :
[1] Bills, Dreyfus, Mason, Tsamir, Watson, Zalavsky. 2006. Exemplification in mathematics education. In J. Novotna, H.
Moraova, M.Kratka.&Stehlikova (Eds). Procedeedings of the 30th conference of the international group for the psychology of mathematics education, v.1. Prague, Czech Republic.
[2] Burger, W.F. & Murser, G.L. 2006. Mathematics for elementary teachers. Contemporary Approach. USA: Macmillan
[3] Courant, R. 1981. Reminiscences from Hilbert’s Gottingen. Mathematical Intelligencer. [4.] Davis & Hersh ( 1981 ). The Mathematical Experience. Brighton UK: Harvester
[5] Ernest, P. 1996. Varieties of constructivism: A framework for comparison. In L. P. Steffe, P. Nesher, P. Cobb, G. A.
Goldin, & B. Greer (Eds.), Theories of mathematical learning. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum [6] Evans & Smith .2000. ‘The dynamics of power and knowledge during a corporate acquisition’. British Academy of Management
2000 Conference Proceedings.
[7] Klymchuk, S. (2001). Counter examples and conflicts as a remedy to eliminate misconceptions and mistakes. A case study. In M. van den Heuvel-Panhuizen (Ed.), Proceedings of the 25th international conference for the
psychology in mathematics education, v. 1, (p. 326). Utrecht, The Netherlands.
[8] Leindhardt .2001. Instructional explanation: A commonplace for teaching and location for contrast, In V. Richardson (Ed), Handbook of Research on Teaching (4th edition. Washington DC, USA: American Education Research Association.
A B
C D E •
ISBN. 978-602-73403-0-5
1136
[9] Mason & Pimm .1984. Generic examples: Seeing the general in the particular. Educational Studies in Mathematics.
[10] Peled, I., & Awawdy-Shahbari, J. (2003). Improving decimal number conception by transfer from fractions to decimals. Proceedings of
the 27th International Conference for the Psychology of Mathematics Education (Vol. 4, pp. 1-6). Honolulu, USA: PME
[11] Peled, I., & Zaslavsky, O. (1997). Counter-examples that (only) prove and counter-examples that (also) explain. FOCUS on Learning Problems in Mathematics..
[12] Rissland, E. 1991. Example - based reasoning. In J. F. Voss, D. N. Parkins, & J. W. Segal (Eds.), Informal reasoning in education (pp.
187-208). Hillsdale, NJ, USA: Lawrence Erlbaum Associates.
[13] Socket H. 2008. The moral and epistemic purposes of teacher education. In Cochran M-Smith etc. Handbook of Research on Teacher Education. Enduring Question in Changing Contexts. 3th Eds. Routledge.
[14] Tall, D. (1977). Cognitive conflict and the learning of mathematics. Paper presented at the first conference of the international
group for the psychology of mathematics education. Utrecht, Netherlands. retrieved on [date] from www.warwick.ac.uk/staff/David.Tall/ pdfs/dot1977a-cog-confl-pme.pdf.
[15] Tirosh, D., & Graeber, A. O. (1990). Evoking cognitive conflict to explore preservice teachers’ thinking about division.
Journal for Research in Mathematics Education. [16] Tsamir, P., & Tirosh, D. (1999). Consistency and representations: The case of actual infinity. Journal for Research in
Mathematics Education.
[17] Voight, J. (1996). Negotiation of mathe-matical meaning in classroom processes: social interaction and learning mathematics. Theories of Mathematical Learning. New-Jersey:LEA
[18] Watson, J. M. (2002). Inferential reasoning and the influence of cognitive conflict. Educational Studies in Mathematics.
[19] Zaslavsky, O. (1997). Conceptual obstacles in the learning of quadratic functions. FOCUS on Learning Problems in Mathematics, 19(1), 20-4
[20] Zazkis & Chernoff. 2008. What makes a counterexamples exemplary. Education Study Mathematics.