PENAFSIRAN IBN KATSĪR TENTANG AYAT-AYAT AMANAH …
Transcript of PENAFSIRAN IBN KATSĪR TENTANG AYAT-AYAT AMANAH …
PENAFSIRAN IBN KATSĪR TENTANG AYAT-AYAT
AMANAH DALAM TAFSIR AL-QURˋAN AL-ʻAẒĪM
(Kajian Tematis Ayat-ayat Amanah)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Silma Laatansa Haqqi
NIM: 11140340000191
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
PENAFSIRAN IBN KATSĪR TENTANG AMANAH DALAM
TASFIR AL-QURˋAN AL-‘AẒĪM (Kajian Tematis Ayat-ayat Amanah)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Silma Laatansa Haqqi
Nim: 11140340000191
Di bawah Bimbingan:
Muslih, M.Ag
NIP. 197210242003121002
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURˋAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
v
ABSTRAK
Silma Laatansa Haqqi
Penafsiran Ibn Katsīr Tentang Amanah dalam Tafsir Al-Qurˋan Al-‘Aẓīm
(Kajian Tematis Ayat-ayat Amanah).
Kajian tentang Amanah sudah lama diperbincangkan dan dikaji dalam
sejarah kehidupan manusia dari dulu hingga sekarang. Berbagai ragam pendapat
para ulama yang menjelaskan tentang amanah mengindikasikan tentang betapa
pentingnya pemahaman amanah secara luas dan menyeluruh dalam mengarungi
setiap aspek kehidupan. Amanah merupakan sebuah konsep penting dalam al-
Qurˋan yang berkaitan dengan hakikat keagamaan muslim. Dalam pandangan
syariʻat, amanah mengandung makna yang luas dan mencakup banyak segi
pengertian. Ruang lingkupnya meliputi segenap perasaan manusia yang ingin
melaksanakan dengan baik segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya atas
dasar kesadaran bahwa dirinya bertanggungjawab di hadapan Allah.
Kajian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini adalah berupaya
menelusuri pandangan tentang makna amanah dalam al-Qurˋan yang dikaji dari
segi penafsiran Ibn Katsīr. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
menganalisis dan mendeskripsikan. Bentuk penelitian ini menggunakan penelitian
kepustakaan (library research). Menjawab permasalahan yang ada dengan
merujuk pada yang beberapa kitab tafsir, buku-buku, artikel, skripsi maupun
jurnal yang berkaitan dengan judul tersebut. Dan didukung dengan kamus dan al-
Qurˋan terjemah untuk menjelaskan makna ayat al-Qurˋan dan mu’jam yang
digunakan untuk mencari ayat-ayat tentang amanah.
Hasil penelitian yang didapapatkan, secara garis besar adalah Ibn Katsīr
menjelaskan pengertian kata amanah sesuai dengan konteks ayat yang dibahas.
Adapun sumber amanah ada 2, yaitu dari Allah dan Manusia. Amanah yang
bersumber dari Allah terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan.
Sedangkan amanah yang datang dari manusia terkait dengan segala bentuk
kepercayaan, baik berupa harta, jabatan dan lain sebagainya. Setiap perbuatan
pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Menjalankan tugas sesuai dengan yang
diamanatkan adalah sesuatu yang esensial dalam membangun tatanan masyarakat
yang madani dan sejahtera, terutama untuk konteks kehidupan saat ini.
Kata Kunci: Ibn Katsīr, Amanah, Ayat-ayat Amanah.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT., atas segala nikmat iman,
jasmani dan rohani. Dialah Tuhan tempat mengadu ketika penulis sudah merasa
lelah dan putus asa dalam menyelesaikan skripsi ini. Tiada henti kepada-Nya
penulis meminta agar selalu diberi kesehatan, kemudahan, kesabaran dan
kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Berkat kasih sayang, petujuk dan
rahmat-Nya penulis dapat mengolah data dan menjadi kata, yang menjadi kalimat
dan menjadi paragraf-paragraf yang berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf
menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah skripsi ini.
Shalawat dan salam seiring kecintaan, akan senantiasa tercurah limpahkan
pada baginda Rasulullah, yakni Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan
para sahabatnya. Sesungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam
menyampaikan pesan-pesan Allah SWT., sampai akhirnya pesan itu sampai
kepada kita semua saat ini.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari bahwa skripsi yang
berjudul Penafsiran Ibn Katsīr Tentang Amanah dalam Tafsir Al-Qurˋan Al-
ʻAẓīm (Kajian Tematis Ayat-ayat Amanah) ini tidak akan selesai dengan daya
dan upaya penulis sendiri, melainkan ada banyak sosok kerabat, dan orang-orang
spesial dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah
banyak membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan ini selesai. Maka, pada
kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya, yaitu kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik. Ummi Kultsum, MA., selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M.Pd., selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, serta Civitas Akademik Fakultas
Ushuluddin.
vii
4. Dosen Penasihat Akademik, Bapak Dr. Masykur Hakim, MA., yang
banyak memberi masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Muslih, M.Ag., selaku pembimbing skripsi yang dengan ikhlas dan
sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Ilmu Al-Quran dan
Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan memberikan
berbagai wawasan, ilmu serta pegalaman kepada penulis selama studi di
kampus tercinta ini.
7. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur’an
(PSQ) Ciputat dan Perpustakaan Nasional RI yang telah memberikan
fasilitas serta rujukan-rujukan sebagai sumber referensi.
8. Teruntuk Kedua Orang Tuaku yang terkasih dan tersayang. Terimakasih
Ayahanda H. Soleh Mudzakar, S.Ag, M.PdI dan Mama Hj. Yati
Nurhayati, M.Pd yang tidak pernah lelah memberikan cinta dan kasih
sayangnya kepada penulis juga tiada henti-hentinya selalu memberikan
do’a, dukungan dan semangat penuh untuk keberhasilan penulis.
9. Kepada sahabat-sahabat tercinta, Fawa Idul Makiyah, Mega Nur Fadhilah,
Fradhita Solikha, Saibatul Aslamiah, Siti Aisyah, Khulaimah Musyfiqah.
Terimakasih telah banyak memberikan cinta, cerita, motivasi, dorongan,
dan do’anya untuk penulis.
10. Segenap rekan KKN 056 MERDEKA keluarga MARISA, Lisa, Ceka, Rita
kalian keluarga yang telah berbagi pengalaman mengisi hari-hari selama 3
hari di Desa Rawa Beureum Sepatan Tangerang. Terimakasih atas doa dan
motivasi dari rekan-rekan semua.
11. Saudara Niko Ardian, yang tidak bosan-bosan menjadi alarm pengingat
untuk segera menyelesaikan skripsi ini, serta membantu, memberikan
dorongan semangat dan do’a. Terimakasih.
viii
12. Teman-teman seperjuangan, angkatan 2014 Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
yang semala kurang lebih 4 tahun ini sudah menjadi teman yang sangat
baik.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga Allah
membalas kebaikan kalian semua, amiin. Penulis hanya dapat memohon kepada
Allah SWT, semoga berkenan menerima segala kebaikan dan ketulusan kalian
semua serta memberikan sebaik-baiknya balasan atas amal baik kalian. Terakhir,
semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah khazanah keilmuan bagi
siapapun yang membacanya.
Jakarta, 24 Oktober 2018
Silma Laatansa Haqqi
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ...............................................................................................i
SURAT PERNYATAAN ....................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN ..............................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................iv
ABSTRAK ...........................................................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................ix
PEDOMAN TRANSLITERASI.……………………………………………...xii
BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
....................................................................................................................8
D. Tinjauan Pustaka
....................................................................................................................8
E. Metode Penelitian ....................................................................................13
F. Sistematika Penulisan ..............................................................................13
BAB II
AMANAH DALAM AL-QURˋAN .................................................................15
A. Pengertian Amanah ................................................................................15
B. Ayat-ayat Amanah dalam Al-Qur’an .....................................................16
C. Klasifikasi Ayat Amanah Ditinjau dari Segi Makkiyah
dan Madaniyah .......................................................................................16
x
D. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Amanah dalam Al-Qur’an ...........................18
E. Obyek Amanah ......................................................................................19
BAB III
BIOGRAFI IBN KATSĪR DAN GAMBARAN UMUM KITAB TAFSIR AL-
QURˋAN AL-ʻAẒĪM ..........................................................................................24
A. Biografi Ibn Katsir ..................................................................................24
B. Gambaran Umum Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aẓīm ..............................27
1. Nama Tafsir......................................................................................27
2. Kitab Ringkasan Tafsir Ibn Katsīr ..................................................28
3. Corak dan Metode Penafsiran .........................................................29
4. Keistimewaan Tafsir Ibn Katsīr ......................................................32
5. Pendapat Ibn Katsīr Terhadap Isrāiliyat...........................................33
C. Penilaian Ulama Terhadap Ibn Katsīr ....................................................36
BAB IV
KLASIFIKASI AYAT-AYAT AMANAH DALAM TAFSIR IBN KATSĪR
.............................................................................................................................38
A. Tabel Amanah dalam bentuk Kewajiban dan Hak-hak
.................................................................................................................38
B. Tabel Amanah dalam bentuk Hutang Piutang
.................................................................................................................48
C. Tabel Amanah dalam bentuk Kepercayaan dan Aman
.................................................................................................................51
BAB V
PENUTUP ........................................................................................................62
xi
A. Kesimpulan ............................................................................................62
B. Saran ......................................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................64
LAMPIRAN .....................................................................................................68
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nomor: 507 Tahun 2017.
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
Ḥ h dengan titik di bawah ح
kh ka dan ha خ
D De د
dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
Ṣ es dengan titik di bawah ص
ḍ de dengan titik di bawah ض
ṭ te dengan titik di bawah ط
ẓ zet dengan titik di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ˋ ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut.
xiii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah
I Kasrah
U Ḍammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya ada sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ا ي
au a dan u ا و
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ا Ā a dengan garis di atas
ī i dengan garis di atas ا ي
ū u dengan garis di atas ا و
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar- rijāl, al-dīwān bukan ad-
dîwân.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydīd ) ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata
.tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḍarurah, demikian seterusnya (الضرورة)
xiv
6. Ta Marbūṭah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūṭah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūṭah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbūṭah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṭarīqah طريقة 1
al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah الجامعة الإسلامية 2
Waḥdat al-wujūd وحدة الوجود 3
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup manusia dengan
sempurna tentang kehidupan individu dan masyarakat. Dalam Islam
diperkenalkan tentang adanya siksaan dan ganjaran.1 Siapa saja yang berbuat baik
dalam hidupnya dengan berpegang teguh pada ajaran Allah maka dia akan
diganjar dengan surga-Nya. Sebaliknya bagi siapa saja yang berbuat buruk dalam
hidupnya serta mengacuhkan perintah dan larangan Allah akan dimasukkan ke
dalam neraka-Nya.2 Pemahaman seperti ini tentu akan berdampak pada sikap dan
perilaku umat Islam secara umum.
Amanah merupakan ajaran Islam yang dituangkan Allah untuk makhluk-
Nya melalui ayat-ayatnya dalam al-Qur‟an. Beberapa orang telah melakukan
penelitian tentang amanah dalam al-Qur‟an dan tafsir, diantaranya adalah
Sahmiar3, Sahri
4, Diah
5. Sahmiar, dalam disertasinya mendeskripsikan bahwa
amanah mempunyai beberapa pecahan makna, satu kali maknanya aman, yang
ditujukan kepada arti keamanan, ketenteraman, hilangnya rasa takut. Pada kali
yang lain amanah mengadung makna agama, kepercayaan, kekuasaan, titipan,
pembebanan, tanggung jawab dan janji.6 Sahri, dalam artikelnya menjelaskan
bahwa sikap amanah yang diamanatkan kepada manusia harus dilaksanakan
dengan penuh ikhlas dan sabar. Dengan sikap amanahlah akan tercipta suatu
1 Wahyudi Setiawan, “Reward and Pushment dalam Perspektif Islam, Al-MURABBI,
Vol. 4, No. 2 (Januari 2018), h. 184-201. 2 Balasan dalam al-Qur‟an biasanya dibahaskan dengan kata Jazaa. Banyak ayat yang
menjelaskan hal ini seperti dalam Q.S at-Taubah: 74, al-Zalzalah: 7-8, al-Baqarah: 62, al-
„Ankabūt: 299-58, al-Bayyinah: 8, Alī Imrān: 21. Lihat Azis, “Reward-Punishment Sebagai
Motivasi Pendidikan: Perspektif Barat dan Islam”, Cendekia, Vol. 14 No. 2 (Desember 2016), h.
333-349. 3 Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). 4 Sahri, “Penafsiran Ayat-ayat Al-Quran Tentang Amanah Menurut M. Quraish Shihab”,
Madaniyah, Vol. No. 1 (januari 2018): h. 125-140. 5 Diah Rahmawati, “Penafsiran Kata Amanah dalam Al-Qur‟an Menurut Ṭabaṭaba‟i dan
Sayyid Quṭb, “Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta, 2008. 6 Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006).
2
kerukunan, ketenteraman dan keamanan baik dalam jiwa maupun rohania.7 Diah,
Dalam skripsinya menjelaskan pandangan Ṭabaṭabā‟i dan Sayyid Quṭb dalam
menafsirkan amanah. di dalam surat al-Anfāl ayat 27, Ṭabaṭabā‟i dan Sayyid Quṭb
sama-sama mengartikan amanah dengan suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan. Namun pada surat al-Ahzāb:72, mereka berbeda dalam menafsirkan
amanah.8
Ibn Katsīr menafsirkan kata amanah berpangkal kepada pengertian amanah
sebagai taklīf (beban kewajiban) baik dari Allah atau manusia yang harus dijaga
dan ditunaikan sebaik-baiknya. Amanah dari Allah berupa penerimaan perintah
serta larangan secara bersyarat. Artinya jika seseorang melaksanakannya maka
diganjar dan jika meninggalkannya diberi sanksi. Sedangkan amanah sesama
manusia dalam bentuk kepercayaan, harta, jabatan dan lain sebagainya.9
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya penulis belum menemukan makna
amanah secara khusus. Maka dari itu di sini penulis mencoba meneliti kembali
dan melengkapi point-point yang ada dari penelitian-penelitian sebelumnya
dengan tujuan memperoleh kesimpulan yang lebih terperinci dan mudah dipahami
lagi mengenai makna amanah dalam al-Qur‟an menurut pandangan Ibn Katsīr.
Dari penelitian-penelitian yang sudah ada tidak banyak mengambil ayat-ayat
amanah dalam al-Qur‟an untuk dikaji. Maka di sini penulis menambahkan
beberapa ayat-ayat amanah lebih banyak lagi dalam al-Qur‟an untuk dikaji.
Agama mengajarkan bahwa amanah adalah asas keimanan berdasarkan
sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada Iman bagi yang tidak memiliki (sifat)
amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya”. dalam
hal ini Rasulullah merupakan gambaran nyata mengenai pribadi yang baik.
Demikian dijelaskan dalam al-Qurˋan10
dan praktiknya melalui pribadi Rasulullah
SAW. Maka dengan ini tentu penting memahami sikap dan keteladanan Rasul
untuk diimplemetasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga diharapkan ajaran
agama dapat memberikan dampak pada sikap dan perilaku umat, khususnya
7 Sahri, “Penafsiran Ayat-ayat Al-Quran Tentang Amanah Menurut M. Quraish Shihab”,
Madaniyah, Vol. No. 1 (januari 2018): h. 125-140. 8 Diah Rahmawati, “Penafsiran Kata Amanah dalam Al-Qur‟an Menurut Ṭabaṭaba‟i dan
Sayyid Quṭb, “Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta, 2008. 9 Al-Imām Abī Al-Fidā‟ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz
III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992). h. 502. 10
Lihat Q.S al-Ahzāb: 21
3
dalam membangun relasi yang baik, baik dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Kata amanah sendiri sesungguhnya bukan merupakan bahasa Indonesia
asli, melainkan bahasa serapan dari bahasa Arab yaitu أمانة yang diartikan “dapat
dipercaya”.11
Hubungan dengan ayat ini Allah percaya bahwa Rasul mampu
melaksanakan tugasnya yaitu menyampaikan apa yang telah diturunkan
kepadanya.
Berbicara tentang amanah, dalam ayat lain Allah memerintahkan kepada
manusia agar dapat memberikan amanah kepada yang berhak menerima amanah
tersebut. Seperti dalam Q.S al-Nisāˋ/4: 58, Allah berfirman:
اللهيأمركمأنت ؤدواالأماناتإلأهلهاوإذاحكمتمب ي إن الناسأنتكموابالعدلإنرا. عابصي ي كانس الله ايعظكمبهإن اللهنعم
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah-
amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu
menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik
pemberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar,
Maha Melihat.12
(Q.S Al-Nisāˋ: 58).
Amanah dalam ayat di atas merupakan amanah untuk menegakkan hukum
Allah swt secara adil, baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun
bernegara.13
Makna adil adalah jauh dari sifat ifrāṭ (ekstrem/ berlebihan) maupun
tafrīṭ (longgar).
Di sisi lain, pengertian amanah dalam ayat tersebut banyak diperselisihkan
oleh para mufassir. Yakni Al-Ṭabarī yang berpendapat bahwa ayat tersebut
diajukan kepada para pemimpin umat agar mereka menunaikan hak-hak umat
Islam dan menyelesaikan masalah mereka dengan baik dan adil. Berbeda dengan
Al-Maraghī yang membagi amanah ke dalam tiga jenis: pertama; amanah yang
11
Departement Pendidikan Nasional, KBBI, Cet. 4 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h.
265. 12
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, h. 113. 13
Tim Baitul Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedi Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits, h. 75.
4
berasal dari Tuhan, kedua; amanah dari sesama manusia, ketiga; amanah untuk
diri sendiri. Semua amanah tersebut harus ditunaikan semaksimal mungkin.14
عنعطاءبنيس ث ناهلالبنعلي ث نااف ليحبنسليمانحد دبنسنانحد ث نامم ارحدعةالأمان هري رةرضياللهعنهقالرسولاللهصلىاللهعليهوسلمإذاضي اعةعنأب ةفان تظرالس
اعة أهليهفان تظرالس كيفإضاعت هايارسولاللهقالإذااسندالأمرإلغي قال
“Telah menceritakan kepada kami (Muhammad bin Sinan) telah
menceritakan kepada kami Fullah bin Sulaiman telah
menceritakan kepada kami (Hilal bin Ali) dari (ˋAtho bin Yasar)
dari (Abu Hurairah) ra mengatakan: Rasulullah saw bersabda:
“Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi,”
Ada seorang sahabat bertanya; „Bagaimana maksud amanah
disia-siakan?‟ Nabi menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan
kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.”15
Hadits ini merupakan salah satu pesan Rasul agar umatnya memberikan
kepercayaan kepada yang bisa dipercaya. Kemampuan yang dimiliki seseorang
menjadi penting dalam pertimbangan untuk mengemban sebuah amanah. Karena
hal ini akan berdampak pada terlaksana atau tidaknya sebuah amanah yang
diberikan. Dalam riwayat lain Nabi saw menjadi seorang pemimpin agama dan
pemimpin politik. Beliau bersabda:
هوكمراعومسئولعنرئيتهفالإمامراعوهومسئ ولعنرئيتهوالرجلفأهلهراعوكلمالسيد مسئ ولعنرئيتهوالمرأةفب يتزوجهاراعيةوهيمسئ ولةعنرئيتهاوالادمف
براعوهومسئ ولعنرئيتهقالفسمعتهؤلاءمنرسولاللهصلاللهعليهوسلموأحسعنرئيتهفكلكمراعالنبصلاللهعليهوسلموالرجلفمالأبيهفالإمامراعوهومسئ ول
16كلكمومسئولعنرئيته. “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Imam (kepala negara)
adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas
rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri
adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas urusan rumah tangga tersebut.
Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya dan
14
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur‟an Tematik “Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat, dan Berpolitik” (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 38. 15 Imam al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī (Dār al-Kutb al-Ilmiyah, 1992), No hadits 6015. 16
Abu Abdullah Muhammad bin Ismā‟īl bn Ibrāhīm bin al-Mughīrah al-Bukhārī, Ṣaḥīh
al-Bukhārī, (Beirut: Dar al-Thaba‟iyah al-Muniriyah, 1412 H/1997 M), h. 62.
5
akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan tanggung jawabnya
tersebut”. Dia („Abdullah bin „Umar radliallahu „anhuma) berkata:
“Aku mendengar semua itu dari Rasulullah saw dan aku pun
mendengar Nabi saw juga bersabda”: “Dan seorang laki-laki adalah
pemimpin atas harta bapaknya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atasnya dan setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
dipimpinnya.”
Rasulullah saw menegaskan bahwa puncak kemusnahan manusia yang
menjadi tanda akan terjadinya hari kiamat ialah apabila amanah tidak diserahkan
kepada orang yang berkelayakan.17
Terbukti dalam sejarah, bahwa hancurnya
sebuah negeri dan terlantarnya manusia adalah karena kebusukan akhlak
pemimpinnya dalam menjaga amanah. Ingat, bahwa segala fasilitas yang
diberikan untuk memenuhi kebutuhan manusia sudah Allah sediakan secara
seimbang. Tidak mungkin Allah mendzalimi makhluk-Nya. Maka jika ternyata
ditemukan ketidakseimbangan di berbagai tempat, pasti itu terjadi karena adanya
kedzaliman yang diperbuat oleh manusia sendiri.18
Namun apabila diperhatikan pada ayat lain yaitu dalam Q.S al-Ahzāb/33:
72. Allah SWT berfirman:
أنيملن هاوأشفقن ماواتوالأرضوالبالفأب ي هاوحلهاإناعرضناالأمانةعلىالس من كانظلوماجهولا الإنسانإنه
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk
memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya,
dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh."
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa amanah yang diembankan kepada
manusia sesungguhnya amanah yang tidak sanggup diemban oleh langit, bumi
dan gunung-gunung. Pernyataan ini diakhiri dengan penilaian Allah kepada
manusia atas kesanggupannya mengemban amanah tersebut bahwa sesungguhnya
manusia adalah makhluk yang dzalim dan amat bodoh.
17
Pusat Dakwah Islamiyah Kementerian Hal Ehwal Ugama, Jujur, Amanah, dan
Bijaksana dalam Pekerjaan (Brunei Darussalama, 1999), Cetakan I, h. 15. 18
Tim Baitul Kilmah Jogkarta, Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits
(Jakarta: Kamil Pustaka, 2013), Jilid 7, h. 76-77.
6
Beberapa pandangan para ulama mengenai pengertian amanah dalam ayat
ini, di antaranya Mujahid, Saʻīd bin Jubair, aḍ-Ḍahak, Hasan Baṣri dan ulama
lainnya yang mengatakan bahwa amanah itu berarti kewajiban-kewajiban. Ulama
lain mengatakan bahwa amanah pada ayat di atas bermakna ketaatan. Qatādah
memahaminya sebagai agama, kewajiban dan hudūd.19
Sedangkan Ibn Katsīr memberikan argumen mengenai ayat tersebut, yakni
semua pendapat tersebut tidaklah kontradiktif namun saling melengkapi dan
berpangkal kepada pengertian amanah sebagai taklif (beban kewajiban) dan
penerimaan perintah serta larangan secara bersyarat. Artinya jika seseorang
melaksanakannya, maka diganjar dan jika meninggalkannya, maka diberi sanksi.
Kemudian amanah itu diterima oleh manusia karena kelemahan dan
kebodohannya, kecuali orang yang diberi taufik oleh Allah. Dialah tempat
memohon pertolongan.
Untuk memahami konsep amanah yang terdapat dalam al-Qurˋan perlu di
lihat dari berbagai konteks yang melingkupi turunnya ayat-ayat amanah tersebut,20
selain itu pendekatan dalam memahami ayat yang digunakan juga harus
mempresentasikan berbagai pendekatan setidaknya pendekatan bi al-raˋyi atau bi
al-maˋtsūr. Hal ini penting untuk dilakukan agar memperoleh pemahaman yang
komprehensif terkait tema amanah.
Term (amanah) ini menarik untuk dikaji karena pertimbangan seringnya
pemakaian term ini dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Penelitian
ini difokuskan pada penafsiran Ibn Katsīr atas ayat-ayat amanah dalam karya tulis
yang terkenal dengan Tafsīr al-Qurˋan al-ˋAẓīm. Tafsir ini dapat dikategorikan
sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi tafsīr bi al-maˋtsūr.21
19
Al-Imām Abī Al-Fidā‟ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm
(Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), Juz III, h. 501. 20
Konteks turun ayat mengandung pesan yang sangat penting dalam pemahaman al-
Qur‟an, yaitu konteks sosio-historis di mana asbāb al-nuzūl merupakan bagian darinya. Lihat
Muqaddimah, “Urgensi Tafsir Konteksual Dalam Penafsiran al-Qur‟an “FARABI, vol. 12 No. 1
(Juni 2015): h. 138-149. 21
Namun perlu diperhatikan, bahwa dimasukkannya suatu kitab tafsir ke dalam kategori
yang bercorakkan bi al-ma‟tsūr tidak berarti menutup kemungkinan bagi penulisnya untuk
memasukkan juga unsur-unsur non riwayat, seperti kupasan ijtihad. Pengkategorian di atas
hanyalah untuk menunjukkan dominasi unsur riwayat saja. Lihat Rosihon Anwar, Melacak Unsur-
unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir Ibn Katsīr, h. 72.
7
Atau tafsir bi al-riwāyah,22
karena dalam tafsir ini sangat dominan memakai
riwayat/ hadits, pendapat sahabat dan tabi‟in. Metode yang ditempuh oleh Ibn
Katsīr yang merupakan seorang ulama besar ahli tafsir dan hadits yang hidup pada
abad ke-8 H yang cara penafsirannya menggunakan metode (manhaj) tahlilī23
yaitu metode analitis. Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat
demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf al-Qur‟an. Penafsiran seperti ini
dianggap sebagai metode yang terbaik karena relatif belum dipengaruhi oleh
kepentingan dan tujuan tertentu.
Penafsiran Ibn Katsīr penulis anggap mampu memberikan kontribusi yang
menarik mengenai pemaknaan terhadap ayat-ayat amanah. Jika dibandingkan
dengan Tafsīr Al-Ṭabarī Penafsiran Ibn Katsīr ini memiliki keistimewaan, seperti
dalam hal ketelitian sanadnya, kesederhanaan ungkapannya dan kejelasan ide
pemikirannya.24
Sehingga menarik untuk di ketahui bagaimana konsep amanah
dipahami olehnya. Sehingga dalam karya tulis ini, penulis mengambil judul
“PENAFSIRAN IBN KATSĪR TENTANG AMANAH DALAM TAFSIR AL-
QURˋAN AL-ʻAẒĪM (Kajian Tematis Ayat-ayat Amanah).
B. Rumusan Masalah
Dari beberapa penjelasan yang dipaparkan pada latar belakang di atas,
tulisan ini difokuskan kepada term amanah, dan berupaya menggali makna
amanah tersebut dengan menggunakan tafsir tematis. Dengan mengumpulkan
seluruh tema amanah dari batasan ayat yang tersedia maka penulis hanya
mengambil beberapa ayat saja mengenai tema amanah menurut Ibn Katsīr dalam
tafsir al-Qur‟an al-„Aẓīm. Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini
ditentukan rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana Ibn Katsīr menafsirkan ayat-ayat amanah?
22
Abd Muīn Sālim, Metode Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS, 2010), h. 42. 23
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 149. 24
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 147-148.
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan dan kegunaan yang diharapkan dapat
menambah manfaat baik yang bersifat ilmiah maupun akademik, yaitu:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami makna
amanah menurut Ibn Katsīr dalam Tafsir al-Qur‟an al-„Aẓīm.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: penelitian ini mampu
memberikan pengetahuan kepada setiap pembaca dalam memahami maksud ayat-
ayat yang berkenaan dengan makna amanah yang dikemukakan oleh Ibn Katsīr .
serta diharapkan penelitian ini guna melengkapi tulisan-tulisan sebelumnya terkait
tentang amanah, dan dapat menjadi bagian dari bahan ajar pada mata kuliah
metode tafsir. Penelitian ini juga dapat menjadi pembanding terhadap penelitian-
penelitian berikutnya khususnya pada tema yang sama.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, kajian tentang amanah sudah banyak ditulis
baik dalam bentuk artikel, skripsi, tesis maupun disertasi, namun ditulis dengan
tema serta analisis yang berbeda. Untuk itu penulis mengangkat tema amanah
dalam pandangan Ibn Katsīr dengan kajian tematis ayat-ayat amanah dimana Ibn
Katsīr mengartikan kata amanah sesuai dengan konteks ayat al-Qurˋan yang
dibahas. Akhirnya penulis mendapatkan beberapa pustaka yang memberikan
inspirasi dan mendasari penelitian ini diantaranya sebagai berikut:
Disertasi Sahmiar Pulungan dengan judul “Wawasan Tentang Amanah
Dalam Al-Qurˋan”25
disertasi ini menjelaskan bahwa amanah berakar dari kata
amina yang mempunyai beberapa pecahan makna, satu kali maknanya aman, yang
ditujukan kepada arti keamanan, ketenteraman, hilangnya rasa takut, dengan
hilangnya rasa takut tersebut manusia merasa tenteram dan damai dari ancaman
rasa ketakutannya. Pada kali yang lain amanah mengadung makna agama,
kepercayaan, kekuasaan, titipan, pembebanan, tanggung jawab dan janji. Makna-
makna amanah tersebut terlihat bahwa semua itu mencerminkan kedudukan,
peran, dan kualitas dari si pemikul amanah, dan setiap manusia tidak lepas dari
25
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006).
9
jaring amanah. tidak ada celah manusia untuk menghindar dari menjalankan
amanah apapun status mereka, dan bagaimanapun kualifikasi dan status sosial
mereka.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Ivan dan Desma adalah sama-
sama membahas amanah dalam al-Qur‟an. Perbedaannya adalah penelitian ini
cakupannya sangat luas dengan mengartikan amanah dalam berbagai pandangan.
Sedangkan dalam penelitian saya lebih fokus menggunakan pandangan Ibn Katsīr
dalam menafsirkan ayat-ayat amanah dan mengkaji ayat-ayat amanah lebih
banyak dari penelitian tersebut.
Artikel Sri Herianingrum tentang Implementasi Nilai-nilai Amanah pada
Karyawan Hotel Darussalam Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo.26
Ia
menjelaskan bahwa amanah adalah sikap Rasul yang menjadi kunci sukses
keberhasilan beliau dalam menjalankan tugas besarnya menyebarkan agama Islam
juga menjadi alasan paling berpengaruh dalam pembinaan ekonomi masyarakat
muslim saat itu. Dalam penelitian ini terdapat indikator-indikator yang menjadi
bagian dari sifat amanah yakni meliputi tanggung jawab, transparasi, serta tepat
janji. Implementasi sifat amanah dalam pelayanan yang dilakukan oleh para
karyawan hotel akan mampu menghasilkan output berupa pelayanan yang
berkualitas. Pelayanan yang berkualitas akan mampu meningkatkan kondisi
ekonomi baik bagi diri sendiri maupun bagi pihak lain.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Ivan dan Desma adalah sama-
sama membahas amanah. Perbedaannya adalah penelitian ini menerapkan sifat
amanah yang dilakukan oleh karyawan hotel dalam pelayanannya. Sedangkan
dalam penelitian saya membahas ayat-ayat amanah dalam al-Qur‟an menurut
pandangan Ibn Katsir.
Artikel Sahri dengan judul “Penafsiran Ayat-ayat Al-Quran Tentang
Amanah Menurut M. Quraish Shihab”27
dalam jurnal ini menjelaskan bahwa
sikap amanah yang diamanatkan kepada manusia harus dilaksanakan dengan
penuh ikhlas dan sabar. Dengan sikap amanahlah akan tercipta suatu kerukunan,
26
Sri Herianingrum, dkk, “Implementasi Nilai-nilai Amanah pada Karyawan Hotel
Darussalam Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo”, Al-Tijarah, Vol. 1, No. 1 (Juni 2015): h. 59-
71. 27 Sahri, “Penafsiran Ayat-ayat Al-Quran Tentang Amanah Menurut M. Quraish Shihab”,
Jurnal Madaniyah, Vol. No. 1 (januari 2018): h. 125-140.
10
ketenteraman dan keamanan baik dalam jiwa maupun rohania. Bahkan, Allah
telah menjelaskan dan menerangkan banyak sekali tentang amanah di dalam al-
Qur‟an. Dengan secara tidak langsung, bahwa amanah harus dilaksanakan tanpa
harus didustakan. Amanah tidak hanya berhubungan dengan Allah, melainkan
berhubungan dengan sesama manusia dan ciptaan Allah bahkan berhubungan
dengan diri sendiri.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Sahri adalah sama-sama
membahas konsep amanah dalam al-Qur‟an. Perbedaannya adalah penelitian ini
menggunakan pandangan M. Quraish Shihab dan mengkaji ayat-ayat amanah
hanya lima ayat dari surat yang berbeda dalam al-Qur‟an. Sedangkan dalam
penelitian saya, menggunakan pandangan Ibn Katsīr dengan menggunakan kitab
tafsirnya tafsir al-Qur‟an al-„Aẓīm dan mengkaji ayat-ayat amanah lebih dari itu.
Skripsi Diah Rahmawati dengan judul “Penafsiran Kata Amanah dalam al-
Qurˋan Menurut Ṭabaṭaba’i dan Sayyid Quṭb”28
Dalam pandangan Ṭabaṭabā‟i
dan Sayyid Quṭb terdapat persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan amanah.
di dalam surat al-Anfāl ayat 27, Ṭabaṭabā‟i dan Sayyid Quṭb sama-sama
mengartikan amanah dengan suatu kewajiban yang telah dibebankan kepada
manusia dan kewajiban itu harus dilaksanakan. Jika manusia melaksanakan
kewajiban tersebut maka akan mendapatkan pahala, namun apabila kewajiban itu
tidak dilaksanakan berarti ia telah berdosa. Namun dalam surat al-Ahzāb:72,
mereka berbeda dalam menafsirkan amanah. Ṭabaṭabā‟i menafsirkan amanah
adalah sesuatu yang dipercayakan Allah kepada manusia untuk memeliharanya
demi keselamatannya, kemudian amanat itu dikembalikan kepada Allah
sebagaimana yang dikehendakinya. Sedangkan Sayyid Quṭb mengartikan amanah
secara umum yaitu sebagai seluruh amanat baik amanat-amanat dalam kehidupan
manusia maupun amanat-amanat dalam agama.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Diah adalah sama-sama
membahas amanah dalam al-Qur‟an. Perbedaannya adalah penelitian ini
menggunakan metode muqaran (perbandingan). Sedangkan dalam penelitian saya
menggunakan metode tematik dan hanya fokus terhadap 1 kajian tafsir yaitu
Tafsir al-Qur‟an al-„Aẓīm karya Ibn Katsīr.
28
Diah Rahmawati, “Penafsiran Kata Amanah dalam Al-Qur‟an Menurut Ṭabaṭaba‟i dan
Sayyid Quṭb, “Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta, 2008.
11
Ahyani Radhiani Fitri Dan Ami Widyastuti29
meneliti tentang “Orang Tua
yang Amanah Tinjauan Psikologi”. Pendekatan Psikologi yang digunakan ialah
pendekatan indijinus. Menurut penjelasan keduanya pendekatan psikologi
indijinus merupakan pendekatan yang dilihat dari sudut pandang budaya lokal,
yang memungkinkan untuk melihat setiap fenomena berdasarkan konteks terkait.
Kajiannya ialah orang tua yang amanah studi kasus masyarakat melayu.
Menurutnya ada empat kategori ciri-ciri ayah dan ibu yang amanah yaitu dalam
segi 1) peran, 2) karakter, 3) integritas, dan 4) benevoleance. Peran merupakan
kemampuan yang dilakukan orang tua untuk menunaikan amanah, karakter adalah
tabiat atau sifat yang mengarahkan pada perilaku amanah orang tua, sedangkan
integritas merupakan kesesuaian dan konsistensi antara komitmen dan perilaku
orang tua pada anak, dan benevoleance merupakan bentuk perhatian dan kasih
sayang yang ditunukkan orang tua sehingga anak merasakan kenyamanan dan
keamanan.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Ahyani dan Ami adalah sama-
sama membahas amanah dalam al-Qur‟an. Perbedaannya adalah penelitian ini
menggunakan pendekatan psikologi. Sedangkan dalam penelitian saya
menggunakan metode tafsir tematik yaitu Tafsir al-Qur‟an al-„Aẓīm karya Ibn
Katsīr.
Ivan Muhammad Agung Dan Desma Husni30
melakukan penelitian mengenai
“Pengukuran Amanah dalam pendekatan kualitatif dan kuantitatif”. Amanah
merupakan konsep Islam yang sudah sering digunakan dalan konteks masyarakat
Indonesia. Berdasarkan hasil studi pertama menunjukkan bahwa dapat diketahui
bahwa orang amanah adalah orang yang memiliki karakter positif, seperti dapat
dipercaya, bertanggung jawab, jujur dan mampu melaksanakan tugas yang
diberikan. sedangkan pada studi kedua menunjukkan bahwa amanah terbentuk
atas tiga faktor atau komponen dalam skala amanah, yaitu integritas,
melaksanakan tugas dan kebijakan.
29
Ahyani Radhiani Fitri dan Ami Widyastuti, “Orang Tua Yang Amanah: Tinjauan
Psikologi Indijinus”, Jurnal Psikologi Sosial, Vol. 15, No. 01 (2017): h. 12-24. 30
Ivan Muhammad Agung Dan Desma Husni, “Pengukuran Konsep Amanah Dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif”, Jurnal Psikologi, Vol. 43, No. 3 (2016): h. 194-206
12
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Ivan dan Desma adalah sama-
sama membahas amanah. Perbedaannya adalah penulis membahas makna ayat-
ayat amanah dalam al-Qur‟an dengan menggunakan metode tafsir tematik dan
pendekatan kualitatif dalam penelitian penulis.
Ricca Angreini Munthe dan Ami Widyastuti31
menulis sebuah artikel tentang
“Saudara Yang Amanah: Tinjauan Psikologi Indijinus”. penelitian ini
termasuk penelitian lapangan. yang menjadi informasi adalah masyarakat melayu,
menurutnya masyarakat Melayu merupakan salah satu suku di Indonesia yang
menjungjung tinggi kolektivitas budaya. Hal ini dapat terlihat dari Interaksi
masyarakat Melayu, salah satunya dalam bentuk persaudaraan. Dari penelitiannya
ini ia berkesimpulan bahwa Saudara yang dianggap amanah adalah saudara
dengan karakter dipercaya, bertanggungawab, disiplin, bijaksana, dan cerdas yang
menjalankan peran sebagai anggota keluarga yang mendidik, melindungi, menjadi
tauladan, dan mengurus saudaranya karena memiliki kebaikan hati (peduli, baik
dan kasih sayang) terhadap saudaranya. Nilai-nilai ajaran Islam, khususnya yang
mengatur hubungan antar sesama manusia, telah tercermin dalam pola pikir
(penilai) dan perilaku (yang dinilai) persaudaraan remaja Melayu.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Ivan dan Desma adalah sama-
sama membahas amanah. Perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan
pendekatan psikologi dan studi lapangan. Sedangkan dalam penelitian saya
menggunakan pendekatan metode tafsir tematik dengan menggunakan Library
research (studi kepustakaan).
Dari sekian banyak karya yang bersinggungan dengan penelitian yang
sedang penulis lakukan, penulis belum menemukan penelitian yang secara
spesifik dan fokus membahas tentang penafsiran ayat-ayat amanah menurut Ibn
Katsīr. Perbedaan yang paling mendasar adalah sudut pandang yang diambil
dalam menafsirkan dan memberikan pandangan tentang ayat-ayat amanah. Di sisi
lain, kesimpulan dalam menafsirkan ayat-ayat amanah pun akan memberikan hasil
penafsiran yang berbeda. Hal inilah yang membedakan penelitian sebelumnya
dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.
31
Ricca Angreini Munthe dan Ami Widyastuti, “‟Saudara Yang Amanah: Tinjauan
Psikologi Indijinus”, Jurnal Psikologi Sosial, Vol. 15, No. 01 (2017): h. 25-34
13
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistic, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa; pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Oleh karena itu, jenis penelitian
yang digunakan adalah library research (penelitian kepustakaan), yaitu suatu
metode dengan mengumpulkan dan menggunakan data-data yang diperoleh dari
beberapa referensi dengan cara membaca, menelaah buku-buku, skripsi, jurnal
dan literatur-literatur lain yang tentunya berhubungan dengan pembahasan pada
skripsi ini.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, terdapat dua jenis sumber data penelitian , yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung berkaitan
dan menjadi rujukan utama dalam penulisan skripsi ini, meliputi Tafsīr al-Qurˋan
al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr. Sedangkan data sekunder adalah sumber-sumber lain
yang berkaitan dengan kaya tulis ini, yang menjadi data pendukung serta relevan
dengan judul skrispi yang penulis ambil.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan merupakan hal yang penting karena mempunyai
fungsi untuk menyatakan garis-garis besar dari masing-masing bab yang saling
berkaitan dan berurutan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan dalam
penyusunan dan tidak keluar dari pembahasannya. Adapun sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab I, merupakan langkah awal dalam penelitian ini, yang mana penulis
memberikan gambaran mengenai penelitian yang akan penulis lakukan. Bab ini
menjelaskan tentang latar belakang penelitian penulis kemudian rumusan masalah
berdasarkan latar belakang tersebut serta tujuan dan kegunaan penelitian ini.
Penelitian ini didukung oleh beberapa pustaka dengan beberapa metode
14
penelitian. Adapun sistematika pembahasan guna menjadikan penelitian ini
tersusun rapi.
Bab II, berisi deskripsi mengenai amanah dalam al-Qurˋan yang meliputi
tentang definisi amanah secara etimologi dan terminologi. Ini dimaksudkan untuk
melihat argumen masing-masing tentang perbedaan pendapat mengenai definisi
kata amanah. Kemudian dilanjutkan pembahasan tentang ayat-ayat amanah dalam
al-Qurˋan dari berbagai bentuk dan tempatnya disertai dengan asbāb al-nuzūl.
Setelah itu, penulis akan mengklasifikasikan ayat-ayat amanah tersebut yang
ditinjau dari segi Makiyyah dan Madaniyah. Pada pembahasan selanjutnya akan
dipaparkan mengenai siapakah obyek atau sasaran yang diberi amanah serta isi
dari amanah tersebut.
Bab III, penulis akan mendeskripsikan sosok Ibn Katsīr dan kitab tafsirnya
yaitu Tafsīr Al-Qurˋan Al-ʻAẓīm. Pada bagian pertama akan dipaparkan tentang
biografi Ibn Katsīr, kemudian dilanjutkan pembahasan mengenai gambaran umum
tentang kitab Tafsīr Ibn Katsīr yang meliputi Nama Tafsir, Ringkasan Tafsīr Ibn
Katsīr, Corak dan Metode Penafsiran, Keistimewaan Tafsīr Ibn Katsīr serta
Pendapat Ibn Katsīr Terhadap Isrāiliyāt. Sedangkan pada bagian berikutnya akan
dipaparkan mengenai beberapa penilaian ulama terhadap Ibn Katsīr. Hal ini
bertujuan untuk mendapatkan gambaran lengkap dari pemikiran dan metode
penafsiran Ibn Katsīr terhadap ayat-ayat amanah.
Bab IV, secara khusus berbicara tentang Klasifikasi Ayat-ayat Amanah
dalam Tafsīr Al-Qurˋan Al-ʻAẓīm. Amanah dalam bentuk kewajiban dan hak-hak,
hutang piutang dan kepercayaan atau rasa aman.
Bab V, berisikan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah serta berisi saran-
saran.
15
BAB II
AMANAH DALAM AL-QURˋAN
A. Pengertian Amanah
1. Pengertian Etimologi
Amānah ( الأمانة) berasal dari kata أمانة-أمنا-يأمن-أمن yang artinya jujur
atau dapat dipercaya.1 Dalam Lisān Al-ʻArab dijelaskan amanah bermakna (dan
sungguh saya merasa aman, maka saya orang yang aman dan percaya). Kata
amanah merupakan antonim dari rasa takut, dan amanah merupakan lawan kata
khianat.2 A.W. Munawwir dalam Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap memaknai kata amanah dengan segala yang diperintahkan Allah
kepada hamba-Nya.3 Sedangkan Ibrahim Anis dalam Al-Muʻjam Al-Wasiṭ
memaknai kata amanah dengan al-wafāˋ (memenuhi) dan al-wadīʻah (titipan).4
Kata amanah dan īmān berasal dari akar kata yang sama yaitu أمن. Kedua
kata tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitan itu terlihat dari
sabda Nabi saw, “Tiada iman bagi orang yang tidak menunaikan amanah dan
tiada agama bagi orang yang tidak menunaikan janji.”5
2. Pengertian Terminologi
Kata amanah mempunyai pengertian yang luas, misalnya suatu tanggung
jawab yang dipikul oleh seseorang atau titipan yang diserahkan kepadanya untuk
diserahkan kembali kepada orang yang berhak. Juga berarti kejujuran dalam
melaksanakan tanggung jawab.6 Dalam tafsirnya, al-Maraghī menjelaskan
tentang definisi amanah ke dalam tiga bagian, yaitu: Pertama; amanah hamba
dengan Rabb-nya; yaitu apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya untuk
dipelihara, berupa melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-
Nya dan menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal-hal yang
1 Tim Baitul Kilmah Yogyakarta, Ensiklopedi Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits, Jilid 7
(Jakarta: Kamil Pustaka, 2013), h. 74. 2 Abu al-Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad Ibn Mukrom Ibn Manzur, Lisan Al-„Arab, juz 16
(Beirut: Dār Ṣadr, 1995), cet I, h. 160. 3 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 41. 4 Ibrahim Anis, Al-Mu‟jam Al-Wasit (Sl: Sn, Sa), juz I, cet 4, h. 28.
5 Tim Baitul Kilmah Yogyakarta, Ensiklopedi Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits, Jilid
7 (Jakarta: Kamil Pustaka, 2013), h. 75. 6 Fachruddin Hs, Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits, Jilid 7. h. 15
16
bermanfaat baginya dan mendekatkan kepada Rabb. Kedua; amanah hamba
dengan sesama manusia; di antaranya adalah mengembalikan titipan kepada
pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia dan lain sebagainya. Ketiga; amanah
manusia terhadap dirinya sendiri, seperti hanya memilih yang paling pantas dan
bermanfaat baginya dalam masalah agama dan dunianya.7
B. Ayat-ayat Amanah dalam Al-Quran
Dalam al-Qurˋan, penyebutan term amanah menggunakan beberapa
macam derivasi. Untuk mengetahui gambar tentang bentuk derivasi kata amanah
sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Fuad Abd al-Bāqî dalam bukunya
Al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur‟an Al-Karīm8 adalah:
Tabel 2.1 Ayat-ayat Amanah
NO BENTUK LAFAZ LETAK AYAT
الأمانة .1 (al-amānatu) Q.S Al-Ahzab: 72
الأمانات .2 (al-amānātu) Q.S Al-Nisāˋ: 58
أوتمن .3 (uˋtumina) Q.S Al-Baqarah: 283
أماناتكم .4 (amānātikum) Q.S Al-Anfāl: 27
أماناتهم .5 (amānātihim) Q.S Al-Mu‟minūn: 8
آمين .9 (āmīn) Q.S Al-A‟rāf: 68, Q.S Al-Syu‟ara: 107,
125, 143, 162, 178, Q.S Al-Naml: 39, Q.S
Al-Takwir: 21 dan Q.S Al-Tīn: 3
C. Klasifikasi Ayat Amanah Ditinjau dari Segi Makkiyah dan Madaniyah
Hal-hal lain yang dapat membantu memahami al-Qurˋan dan tafsirnya
adalah dengan pengetahuan tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah. Untuk
mengetahui ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, para ulama bersandar pada dua
metode pokok, yaitu:9
1. Metode simāˋi naqlī (metode mendengar dan menukil). Metode ini
disandarkan kepada riwayat yang ṣaḥīh dari sahabat yang hidup semasa
wahyu diturunkan dan mereka menyaksikannya atau kepada tabi‟in yang
menerima wahyu dari sahabat dan mendengar dari mereka tentang cara
7 Ahmad Muṣṭafā al-Maraghī, Tafsir al-Maraghī terj. Bahrun Abu Bakar dkk, Juz V
(Semarang: Toha Putra, 1986), h. 116. 8 Muhammad Fuad Abd al-Bāqī, Al-Mu‟jam Al-Mufahras lī Alfaz Al-Qur‟an Al-Karīm
(Beirut: Dār al-Fikr, 1981), h. 88-89. 9 Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Bagaimana Memahami al-Qur‟an terj. Salafuddin Aj.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1995). Cet. I, h. 52-53.
17
turunnya wahyu. Kebanyakan ayat disebut makkiyah dan madaniyah
diketahui dengan metode seperti ini.
2. Metode qiyāsi ijtihādi (metode analogi berdasarkan ijtihad). Metode ini
disandarkan pada ciri-ciri khusus (karakteristik) makkiyah dan
madaniyah.
Selanjutnya, pengelompokkan ayat amanah berdasarkan Makkiyah dan
Madaniyah dapat dilihat dari tabel berikut ini:10
Tabel 2.1 Klasifikasi Makkiyah
Nama Surat No Urut
Turun
No Urut
Mushaf Variasi Kata
Q.S Al-Takwīr: 21 7 81 أمين
Q.S Al-Tīn: 3 28 95 الأمين
Q.S Al-Aʻrāf: 68 39 7 أمين
Q.S Al-Syuʻarāˋ:
107, 125, 143, 162,
178
أمين 26 47
Q.S Al-Naml: 39 48 27 أمين
Q.S Al-Muˋminūn: 8 74 23 أماناتهم
Tabel 2.2 Klasifikasi Madaniyah
Nama Surat No Urut
Turun
No Urut
Mushaf Variasi Kata
Q.S Al-Baqarah: 283 87 2 أؤتمن
Q.S Al-Anfāl: 27 88 8 أماناتكم
Q.S Al-Ahzāb: 72 90 33 الأمانة
Q.S Al-Nisāˋ: 58 92 4 الأمانات
Jika dilihat dari tabel di atas, secara umum ayat-ayat amanah tergolong
ke dalam ayat Makkiyah. Adapun perbedaan ayat-ayat amanah Makkiyah dan
Madaniyah terletak pada sisi obyeknya. Rinciannya adalah ayat amanah yang
obyek kajiannya manusia termasuk kategori ayat Madaniyah. Sedangkan sisanya
(Nabi, Malaikat, Jin dan Wilayah) termasuk kategori ayat Makkiyah.
10
Zainal Arif, Ulum Al-Qur‟an Cara Memahami Kandungan Al-Qur‟an (Banten: Pustaka
Getok Tular, 2017). Cet . I, h. 154-156.
18
D. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Amanah dalam Al-Qurˋan
Sebagaimana dikutip Nashruddin Baidan, Bint al-Syāṭiˋ berpendapat,
“Ayat-ayat (yang mempunyai satu peristiwa sebab turun) itu tidak turun kecuali
pada masa di mana suatu peristiwa terjadi (karena itu) pengertian sebab di sini
tidak mengandung makna kausalitas (sebab-akibat).”11
Artinya, turunnya suatu
ayat tidak disebabkan oleh peristiwa yang terjadi, melainkan tetap menurut
kehendak Allah. Sedangkan peristiwa yang terjadi tersebut hanya berguna untuk
memperjelas maksud yang terkandung di dalam pesan yang dibawa oleh ayat
yang turun itu. Al-Wāhidi berkata mengetahui asbāb al-nuzūl suatu kewajiban
dan harus mendapat perhatian yang utama. Dari 10 ayat amanah yang disebutkan
dalam al-Qurˋan, ada 2 ayat yang mempunyai asbāb al-nuzūl. Dua ayat tersebut
ialah Q.S Al-Nisāˋ: 58 dan Al-Anfāl 27. Rinciannya sebagai berikut:
(Q.S. Al-.Nisāˋ: 58)
إ لىن إ إ ن اللهيأم ر ك مأنت ؤدواالأمانات أنتك م واب العدل الن اس أهل هاوإ ذاحكمت مب يرا) ي عابص ي كانس (۸۵اللهن ع م ايع ظ ك مب ه إ ن الله
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.”
“Ibn Mardawaih meriwayatkan dari jalur al-Kalbi dari Abu Ṣāleh bahwa
Ibn ʻAbbās berkata, “Ketika Rasulullah saw menaklukkan Mekkah,
beliau memanggil Utsmān bin Ṭalḥah. Ketika Usman bin Ṭalḥah datang,
Rasulullah saw bersabda, “Tunjukkanlah kunci Kaʻbah kepadaku.” Lalu
dia datang kembali dengan membawa kunci Ka‟bah dan menjulurkan
tangannya kepada Rasulullah saw sembari membuka telapaknya.”
“Ketika itu juga al- Abbās bangkit lalu berkata, “Wahai Rasulullah
berikan kunci itu kepada saya agar tugas memberi minum dan kunci
Kaʻbah saya pegang sekaligus ” Maka Utsmān menggenggam kembali
kunci itu ”
“Rasulullah saw pun bersabda, “Berikan kepadaku kunci itu
ahai Utsmān.” Maka Utsmān berkata, “Terimalah dengan amanah
11
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an (Yogyakarta Pustaka Pelajar 2002),
h. 275.
19
Allah ” Lalu Rasulullah saw bangkit dan membuka pintu Kaʻbah.
Kemudian beliau melakukan tawaf mengelilingi Kaʻbah ”
“Kemudian Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Rasulullah saw
agar beliau mengembalikan kunci itu kepada Utsmān bin Ṭalḥah Beliau
pun memanggil Utsmān dan memberikan kunci itu kepadanya. Kemudian
beliau membaca firman Allah swt Q.S al-Nisāˋ: 58 tersebut hingga akhir
ayat.”12
(Q.S. Al-Anfāl: 27)
ت ون وااللهوالر س ولوت ون واأمانات ك م (۷۲وأن ت مت علم ون)ياأي هاال ذ ينآمن والا “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui.”
“Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan
dengan Abu Lubabah bin Abdil Mundzir (seorang muslim) yang ditanya
oleh Bani Quraiḍah (yang memusuhi kaum muslimin) waktu perang
Quraiḍah tentang pandangan kaum muslimin terhadap mereka. Abu
Lubabah memberi isyarat dengan tangan pada lehernya (maksudnya akan
dibunuh). Setelah turun ayat ini, Abu Lubabah menyesali perbuatannya
karena membocorkan rahasia kaum muslimin Ia berkata, “Hatiku teriris,
sehingga hatiku tidak dapat kugerakkan karena aku merasa telah
berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya ” (Diriwayatkan oleh Saʻīd bin
Mansur dan lainnya yang bersumber dari Abdullah bin Abi Qatādah).”
“Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum muslimin mendengarkan
perintah Nabi saw (yang perlu dirahasiakan), tapi disebarkan di antara
kawan-kawannya sehingga sampai kepada kaum musyrikin. Maka
turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa penyebaran perintah seperti itu
adalah khianat kepada Allah dan Rasul-Nya. (Diriwayatkan oleh Ibn Jarir
yang bersumber dari as-Suddī).”13
E. Obyek Amanah
Jika dilihat dari sisi subjeknya (pemberi amanah), maka amanah bisa
datang dari dua sumber, yaitu dari Allah dan dari manusia. Amanah yang datang
dari Allah terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan yang dibebankan
kepada manusia. Sedangkan amanah dari manusia terkait dengan segala bentuk
kepercayaan, baik berupa harta, jabatan dan lain sebagainya.
12
Jalāluddīn As-Suyūṭī, Asbabun Nuzūl: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an terj. Tim Abdul
Hayyie (Jakarta: Gema Insani, 2008). Cet. I, h. 172. 13
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-
Qur‟an (Bandung: CV Diponogoro, 1995), h. 224-225.
20
Jika demikian halnya, maka kata amanah bisa dipahami dengan
kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt atau makhluk lain untuk dilaksanakan
oleh orang yang diberi amanah. Contoh amanah yang bersumber dari Allah swt
bisa dipahami dari Q.S Al-Ahzāb ayat 72:
هاوحلهاإ ن اعرضناالأمانةعلىالس ن لن هاوأشفقنم أنيم فأب ي وال بال والأرض ماوات كانظل وماجه ولا نسان إ ن ه الإ
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amânah itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya
(berat, lalu dipikullah amânah itu oleh manusia. Sungguh, manusia
itu sangat zhalim dan sangat bodoh.”
Diriwayatkan oleh Al „Aufī dari Ibn „Abbās ra bahwa yang dimaksud dengan
amanah adalah ketaatan kepada Allah dan kewajiban-kewajiban agama, yang
telah ditawarkannya kepada langit, bumi dan gunung-gunung sebelum
ditawarkannya kepada Adam, maka setelah mereka enggan memikulnya,
berfirmanlah Allah kepada Adam: “Aku telah tawarkan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung yang semuanya enggan memikulnya, sanggupkah
engkau menerimanya?” Bertanya Adam: “Ya Tuhanku, dan apa di dalamnya?”
Allah berfirman: “Jika engkau lakukan dengan baik, engkau dapat pahala dan jika
engkau menyalah-gunakannya, engkau disiksa, maka diterimalah amanah itu oleh
Adam.14
Belum berlangsung lama, yaitu sekitar jarak antara Ashr hingga malam
dan masih pada hari tersebut, Adam telah melakukan kesalahan ”
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa obyek atau yang diberi
amanah dalam al-Qur‟an mencakup beberapa jenis makhluk antara lain:
1. Nabi
Di dalam al-Qur‟an, Nabi merupakan makhluk Allah yang paling sering
disifati dengan amanah. sebagai contoh adalah Nabi Nūh yang mengajak kaumnya
untuk takut akan siksaan Allah atas kesyirikan yang mereka lakukan sebagaimana
firman Allah SWT:
ي لك مرس ولأم ت ت ق ون،إ نى ألا
14 Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1994). h. 337.
21
“Mengapa kamu tidak bertak a? Sesungguhnya aku adalah
seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu.” ) QS. Al-
Syuʻarāˋ 106-107(
Nabi Nūh mendahulukan perintah bertakwa kepada Allah atas perintah taat
kepadanya, karena takwa adalah proses seluruh perintah di dalam hidup ini.
Pengulangan perintah di sini karena takwa merupakan pokok seluruh perbuatan,
maka orang yang beramal wajib harus memperhatikannya apabila menghendaki
amalan itu baik.15
2. Malaikat
Malaikat juga termasuk makhluk Allah swt yang terkadang disifati dengan
al-amīn. Dalam hal ini, bisa dilihat dari firman Allah SWT:
العالم ي، نالم نذ ر ين.الروح الأم ي ن زلب ه وإ ن ه لت نز يل ربى ،علىق لب كل تك ونم “Dan sesungguhnya al-Qur‟an ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh al-Rūh al-Amīn
(Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seoran di antara orang-orang yang memberi peringatan ” (QS Al-
Syu‟arā‟: 192-194)
Dalam Tafsir al-Maraghī disebutkan, yang dimaksud Al-Rūh al-Amīn
dalam ayat tersebut adalah malaikat Jibril as. Disifati dengan al-Amīn karena ia
(Jibril) merupakan kepercayaan Allah SWT untuk memelihara wahyu-Nya dan
menyampaikannya kepada siapapun di antara hamba-Nya yang Dia kehendaki.16
3. Jin
Dalam al-Qur‟an, terdapat surat yang disebut Al-Jīn dan dari surat tersebut
dapat diambil sejumlah informasi mengenai makhluk jin. Jin adalah makhluk
yang diberi akal sehingga mempunyai kemampuan untuk memilih jalan hidupnya
sendiri. Statusnya sama seperti manusia, ada yang beriman dan sholeh, namun ada
juga yang kufur dan jahat.17
15
Ahmad Musṭafā al-Maraghī, Tafsir al-Maraghī terj. Bahan Abu Bakar dkk, Juz XIX
(Semarang: Toha Putra, 1986), h. 141. 16
Ahmad Musṭafā al-Maraghī, Tafsir al-Maraghī terj. Bahan Abu Bakar dkk, Juz XIX
(Semarang: Toha Putra, 1986), h. 141. 17
Jan Ahmad Wassil, Tafsir al-Qur‟an Ulul Albab (Bandung: PT Karya Kita, 2009), Cet. I.
h. 3.
22
Sebagai contoh adalah kisah „Ifrit dari golongan jin yang hidup pada masa
Nabi Sulaiman dan yang membantu Nabi Sulaiman untuk memindahkan
singgasana Ratu Bilqis. Hal itu bisa terlihat sebagaimana firman Allah:
عليه ل أناآت يكب ه ق بلأنت ق ومم نمقام كوإ نى نال نى يقالع فر يتم قو يأم “Berkata „Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin. “Aku akan datang
kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sesungguhnya aku benar-
benar kuat untuk memba anya lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-
Naml: 39)
Dalam Tafsir al-Ṭabarī disebutkan, maksud dari kata أمين adalah
terpercaya atas permata-permata yang terdapat di dalamnya dan tidak akan
berkhianat terhadap hal tersebut. Pendapat lain mengatakan terpercaya (kuat)
memikul singgasana tersebut.
Sedangkan dalam Tafsir Ibn Katsīr disebutkan, maksud dari kata adalah
kuat untuk memikulnya dan terpercaya untuk menjaga permata yang terdapat di
dalamnya.18
4. Manusia
Makhluk Allah lainnya yang terkadang juga disifati dengan amanah
adalah manusia. Allah menawarkan ketaatan kepada langit, bumi dan gunung-
gunung sebelum Dia menawarkan kepada Adam (manusia). Sebagaimana firman
Allah SWT:
هاو ن لن هاوأشفقنم أنيم فأب ي وال بال والأرض حلهاإ ن اعرضناالأمانة علىالس ماوات كانظ ل وماجه ولا نسان إ ن ه الإ
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat
zalim dan amat bodoh." (Q.S Al-Ahzāb 72)
18 Muhammad Nasib Al-Rifāi, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn Katsīr terj.
Syihabuddin, Jilid 3 (Jakarta: Gema Insani, 2012), Cet I. h. 460.
23
Al-„Aufī meriwayatkan dari Ibn „Abbās, yang dimaksud amanah adalah
ketaatan. Dalam Tafsir Fī Zilālil Qur‟an disebutkan, maksud amanah di sini
adalah amanah kehendak, amanah ma‟rifat yang khusus dan amanah usaha yang
khusus. Manusia mengenal Allah dengan pengetahuannya dan perasaannya, pasti
akan tertuntun kepada hukum-Nya dengan pikiran dan pandangannya. Dan dia
beramal sesuai dengan hukum itu karena usaha dan pengorbanannya, mentaati
Allah sesuai kehendak-Nya, melawan segala kecenderungan penyimpangan dan
menentang segala dorongan nafsu dan syahwatnya. Dalam setiap langkah-langkah
itu dia sadar, berkehendak mengetahui dan memilih jalannya. Dan dia tau kemana
jalan itu akan mengantarkannya.19
5. Wilayah
Selain yang telah disebutkan di atas, masih ada makhluk yang disifati
dengan al-amīn, yaitu wilayah atau tempat tinggal sebagaimana yang diberikan
kepada Mekkah Al-Mukarramah.
ي وهذاالب لد الأم Artinya:“Dan demi negeri (Makkah) yang aman ini.” (QS. Al-
Tīn:3)
Al-Alūsī mengatakan bahwa kata الأم ي dalam ayat di atas memiliki dua
makna, yaitu bermakna kepercayaan dan bermakna keamanan. Menurutnya, الأم ي diberikan kepada Mekkah karena kota tersebut menjaga orang yang masuk ke
dalam wilayahnya, bahkan menjaga hewan atau tumbuhan yang ada di dalamnya,
sebagaimana orang yang dipercaya menjaga apa yang dipercayakan kepadanya.20
Dengan demikian, Mekkah disamakan dengan makhluk hidup karena memiliki
kesamaan yaitu penjagaan.
19
Muhammad Nasib Al-Rifāi, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn Katsīr terj.
Syihabuddin, Jilid 3 (Jakarta: Gema Insani, 2012), Cet I. h. 657. 20
Abū al-Fadl Syihāb al-Dīn Mahmūd al-Alūsī, Rūh al-Maʻānī fī Tafsīr al-Qurˋan al-„Aẓīm
wa al-Sab‟ al-Masani (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, t.th), h. 173.
24
BAB III
BIOGRAFI IBN KATSĪR DAN GAMBARAN UMUM KITAB
TAFSIR AL-QURˋAN AL-ʻAẒĪM
A. Biografi Ibn Katsīr
Ibn Katsīr merupakan seorang ulama besar ahli tafsir dan hadits, sejarawan
yang hidup di abad ke delapan Hijriyah.1 Nama lengkap beliau ialah ʻImād al-Dīn
Ismāʻīl Ibn ʻUmar Ibn Katsīr al-Baṣry, al-Dimasyqī, al-Faqīh, al-Syāfiʻī.2 Ia biasa
dipanggil dengan sebutan Abū al-Fidā.3 Predikat al-Dimasyqī sering menghiasi
namanya karena hal ini berkaitan dengan kedudukan kota Bashrah yang menjadi
bagian kawasan Damaskus, atau mungkin disebabkan kepindahannya semenjak
anak-anak ke sana. Pendapat lain mengatakan bahwa predikat Al-Baṣry berkaitan
dengan pertumbuhan dan pendidikannya. Dan predikat Al-Syāfiʻī berkaitan
dengan mazhabnya.4 Ia dilahirkan di sebuah desa Mijdal di Syam, tepatnya
kawasan Damaskus. Dia dilahirkan pada tahun 701 H. Hal ini dinyatakan sendiri
oleh Ibn Katsīr dalam karyanya, Al-Bidāyah wa An-Nihāyah.5 Di dalam biografi
kitab Mukhtasar Al-Bidāyah wa An-Nihāyah6, Ibn Katsīr juga berkata, ayah kami
meninggal pada bulan Jumadil Ula tahun 703 Hijriyah di desa Majidal Al Qaryah
dan dimakamkan ditempat bernama Az-Zaitunah, di sebelah utara. Ketika itu, aku
kira-kira berumur 3 tahun. Aku tidak sempat melihatnya, melainkan hanya dalam
mimpi. Sepeninggal ayah, kami pindah ke Damaskus bersama Kamāluddīn
ʻAbdul Wahhāb. Dia saudara kandung kami yang selalu mendampingi kami
dengan penuh kasih sayang. Dia wafat kira-kira 50 tahun sesudahnya. Aku
bekerja di bidang ilmiah padanya.
1 Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsīr Ibn Katsīr, Jilid II (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
tt), h. xiii. 2 Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir terj. Faisal Saleh dkk (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). Ed. I, h. 60. 3 Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.).
Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 132. 4 Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsīr Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 69. 5 Al-Hāfiz ʻImāduddīn Abu Al-Fidā Ismā‟īl Ibn Katsīr, Tafsir Juz ʻAmma terj. Farizal
Tirmīzi (Jakarta: Pustaka Azzam, 207), h. xv. 6 Al-Hâfiz ʻImāduddīn Abu Al-Fidā Ismā‟īl Ibn Katsīr, Mukhtaṣar Al-Bidāyah wa An-
Nihāyah terj. Asmuni (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 15.
25
Masa kecil Ibn Katsīr bisa dibilang kurang berbahagia, sebab pada usia 3
tahun7, kira-kira tahun 703 H ayahnya meninggal dunia. Sejak saat itu ia diasuh
oleh kakeknya di Damaskus. Di kota inilah ia pertama kali mengenyam
pendidikan. Guru pertama yang membimbingnya ialah Burhānuddīn al-Fazari
(seorang ulama penganut Mazhab Syāfiʻī).
Selama bertahun-tahun, Ibn Katsīr tinggal di Damaskus. Bersama
kakeknya, ia hidup sangat sederhana. Meski demikian, tekadnya untuk menuntut
ilmu berkobar-kobar. Kecerdasan dan daya hafal yang kuat menjadi modal utama
baginya untuk mengkaji, memahami dan menelaah berbagai disiplin ilmu. Nama
Ibn Katsīr mulai diperhitungkan di jagat intelektual Damaskus, Suriah, ketika
terlihat dalam sebuah penelitian untuk menetapkan hukum terhadap seorang
zindik yang didakwa menganut paham hulul, yakni suatu paham yang
berkeyakinan bahwa Allah bersemayam dalam diri hamba. Penelitian itu
diprakarsai oleh Gubernur Suriah, yakni Altunbuga an-Nasiri.8
Walau reputasi Ibn Katsīr mulai meroket, namun ia tak cepat puas. Ia pun
bermaksud mendalami ilmu hadits kepada Jamaluddin al-Mizzi (seorang ulama
terkemuka Suriah) yang kelak Ibn Katsīr akan menjadi menantunya. Di usia yang
relatif muda, ia menghafal banyak matan, mengenali sanad, menilai kualitas
perawi, biografi tokoh dan sejarah. Tak tanggung-tanggung, ia juga sempat
mendegar hadits langsung dari ulama Hijaz serta memperoleh ijazah dari al-Wani.
Karena keahlian itulah, beberapa waktu kemudian, ia mendapat kepercayaan
menduduki jabatan yang sesuai ilmunya. Ia juga berguru kepada Kamaluddin bin
Qadi Syuhbab dan Ibn Taimiyyah.9 Dan kepada Ibn Taimiyyah pula, Ibn Katsīr
7 Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer
(Yogyakarta: Penerbit Kaukaba, 2013), h. 75. Pendapat lain ada yang mengatakan sekitar 7 tahun
(Lihat Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarî dan Tafsir Ibn
Katsīr, h. 69. 8 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 106. 9 Ibn Taimiyyah, nama lengkapnya adalah Taqī al-Dīn Abul ʻAbbās Ibn ῾Abdul Halim
Ibn Muhammad Ibn Taimiyyah al-Harrānī, atau yang populer dengan sebutan Ibn Taimiyyah. Ibn
Taimiyyah merupakan tokoh yang berusaha menghidupkan kembali ajaran agama Islam. Ia
mengkritik ahli fiqih, tasawuf, mazhab-mazhab kalam dan aliran-aliran pemikiran lainnya dengan
logika. Ibn Taimiyyah merupakan tokoh yang berpengaruh pada beberapa tokoh gerakan Islam
semisal Syah Waliyullah, Muḥammad Ibn ʻAbd al-Wahhāb (pendiri gerakan Wahabi di Saudi
Arabia), Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyīd Riḍā. Pengaruh itu pada mulanya
terbatas pada murid-murid terdekat, akan tetapi dalam jangka panjang meresap ke dalam tubuh
26
belajar dan mengikuti dalam sejumlah besar pendapatnya. Para ulama juga
mengakui keluasan ilmu Ibn Katsīr terutama dalam bidang tafsir, hadits dan
sejarah.10
Di antara guru-guru Ibn Katsīr yang banyak memberi pengaruh besar pada
dirinya adalah:11
a. Abdullāh bin Muhammad bin Husain bin Ghailan Al-Baʻlabaki, gurunya
dalam bidang al-Qurˋan.
b. Muhammad bin Jaʻfar bin Farʻusy, gurunya dalam ilmu qiraat.
c. Dhiyaˋuddīn Abdullâh Az-Zarbandy An Nahwy, gurunya dalam ilmu
nahwu.
d. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah. Pada banyak masalah Ibn Katsīr banyak
mengeluarkan pendapat gurunya yang satu ini, antara lain dalam masalah
talak.
e. Ibrāhīm bin Abdurrahmān Al-Gazzary, gurunya dalam Mazhab Syāfiʻī.
f. Najmuddīn Al-Asqalanī, gurunya dalam bidang hadis Ṣaḥīh Muslim.
g. Yūsuf bin Abdurrahman Al-Mazzy. Banyak hal yang dipelajari Ibn Katsīr
dari gurunnya ini hingga ia menikahi putrinya.
h. Al-Hāfiz Al-Zahabī, gurunya dalam ilmu hadits dan tafsir.
i. Al-Qāsim bin Muḥammad Al-Barazily, gurunya dalam ilmu sejarah.
j. Syeikh Syamsuddin al-Zahabī Muhammad ibn Ahmad Qaimas, seorang
sejarawan dari Syam.
k. Syeikh Jamaluddin Ibn al-Zakkiy al-Mizziy, gurunya dalam bidang hadis
dan sekaligus pengarang kitab Tahzībul Kamāl.
Tahun 748 H/1348 M, Ibn Katsīr menggantikan gurunya, Az-Zahabī, di
Turba Umm Salih (Lembaga Pendidikan). Selanjutnya ia diangkat menjadi kepala
Dar al-Hadits al-Asyrafiyah (Lembaga Pendidikan Hadits) setelah wafatnya
Hākim Taqiyyuddīn As-Subkī tahun 756 H/1355 M.
Selama hayatnya, Ibn Katsīr telah menghasilkan banyak karya tulis dalam
berbagai bidang, di antaranya:
1. Bidang Hadits
a. Kitab Jāmiʻ al-Masānid wa al-Sunan12
(Kitab koleksi Musnad dan
Sunan).13
b. Kutub al-Sittah (Enam kitab koleksi hadits)
inteligensia keagamaan pada abad ke-12 H/ 18 M. Lihat Muhammad Chirzin,”Tafsir Ibn
Taimiyyah” dalam Hamim Ilyas (ed.), Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 80-82. 10
Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥis fī ʻUlūm al-Qurˋan terj. Mudzakir (jakarta: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2011), h. 505. 11
Al-Hāfiz ʻImāduddīn Abu Al-Fidā Ismā‟īl Ibn Katsīr, Tafsir Juz ʻAmma terj. Farizal
Tirmizi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. xvi. 12
Kitab ini terdiri dari delapan jilid, yang berisi nama-nama sahabat periwayat hadis ang
terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Kutub al-Sittah dan sumber-sumber lainnya. Kitab ini
disusun secara alpabetis. 13
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 133.
27
c. At-Takmillah fi Maʻrifāt al-Sighāt wa al-Ḍuʻafā wa al-Mujāhal
(perlengkapan untuk mengetahui para periwayat terpercaya, lemah dan
kurang dikenal).
d. Al-Mukhtaṣar (Ringkasan), dari Muqaddimah li ʻUlūm al-Hadits karya Ibn
Ṣalāh (w. 642 H/ 1426 M).
e. Abdillah al-Tanbīh li ʻUlūm al-Hadits, yaitu buku ilmu hadits yang lebih
dikenal dengan nama al-Bâʻis al-Hadits.
2. Bidang Tafsir
a. Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm14
3. Bidang Sejarah
a. Qaṣās al-Anbiyā (Kisah-kisah Para Nabi).
b. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah15
(Permulaan dan Akhir).
c. Al-Kawākib al-Darāri (Merupakan cuplikan pilihan dari Al-Bidāyah wa
al-Nihāyah).16
d. Al-Fuṣūl fi Sirah al-Rasūl (Uraian Mengenai Sejarah Rasul).
e. Ṭabaqāt al-Syāfiʻiyah (Pengelompokan Ulama Mazhab Syāfiʻī).
f. Manāqib al-Imām al-Syāfiʻī (Biografi Imam Syāfiʻī).
4. Karya Ibn Katsīr lainnya adalah Tafsīrul Qurˋan: al-Ijtihād fî Ṭalabil Jihād,
Jamīʻul Masānid: as-Sunanul Hādi li Aqwami Sunan dan Al-Wādihun Nafis fī
Manāqibil Imām Muhammad Ibn Idrīs.17
Di akhir hayatnya, dalam usia 74 tahun tepatnya pada bulan Sya‟ban 774
H/1373 M, mufasir ini wafat di Damaskus. Jenazahnya dimakamkan di samping
makam Ibn Taimiyah, di Sufiah Damaskus.
B. Gambaran Umum Kitab Tafsir Al-Qurˋan Al-‘Aẓīm
1. Nama Tafsir
Pengarang kitab ini yaitu Ibn Katsīr nampaknya tidak pernah menyebut
secara khusus nama kitab tafsirnya. Hal ini sangat berbeda dengan para penulis
kitab dahulu yang selalu mencantumkan nama kitab dalam muqaddimahnya, yang
pada umumnya dipilih dari rangkaian dan kalimat bersajak.
14
Kitab ini terdiri dari 4 jilid. Kitab ini terkenal dengan sebutan Tafsir Ibn Katsīr yang
ditulis setelah beliau diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Bugha di Masjid
Ummayah Damaskus pada tahun 1366. Hingga saat ini, Tafsir Ibn Katsīr masih menjadi bahan
rujukan karena pengaruhya begitu besar dalam bidang keagamaan. 15
Kitab ini merupakan kitab sejarah yang sangat penting. Dalam buku ini, sejarah dibagi
menjadi dua bagian besar: pertama, sejarah kuno mulai dari penciptaan sampai masa kenabian
Muhammad saw. Kedua, sejarah Islam mulai dari periode Nabi saw di Makkah sampai
pertengahan abad ke-8 H. Kitab ini sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam,
terutama sejarah dinasti Mamluk di Mesir. 16
Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥis fī ʻUlūm al-Qurˋan terj. Mudzakir (Jakarta: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2011), h. 527. 17
Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥis fī ʻUlūm al-Qurˋan terj. Mudzakir, h. 528.
28
Namun pada umumnya, para penulis sejarah tafsir menyebut Tafsir Ibn
Katsīr dengan nama Tafsir Al-Qurˋan Al-ʻAẓīm. Muhammad Husain Al-Zahabī
dalam salah satu karyanya menulis Tafsir Al-Ḥāfiẓ Ibn Katsīr Al-Musamma Tafsir
Al-Qurˋan Al-ʻAẓīm. Namun, nama tersebut belum mengandung ketegasan tentang
siapakah yang memberi nama itu, sedangkan ʻAlī al-Ṣābūnī dalam mukhtaṣarnya
dengan tegas mengatakan bahwa nama itu sebagai pemberian Ibn Katsīr sendiri.18
Perbedaan nama atau judul tersebut hanyalah pada namanya, sedangkan isinya
sama.
Dari masa hidup penulisnya, diketahui bahwa kitab tafsir ini muncul pada
abad ke-8 H/ 14 M. Dan kitab ini pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 134
H/ 1923 M, yang terdiri dari empat jilid.19
Sistematika Tafsir Ibn Katsīr menganut
sistem tradisional yakni sistematika tartīb musḥafī dengan merampungkan
penafsiran seluruh ayat al-Qurˋan dimulai dari surah Al-Fātiḥah dan diakhiri oleh
surah Al-Nās. Rinciannya ialah: jilid I berisi tafsir surah al-Fātiḥah s/d surah al-
Nisāˋ, jilid II berisi tafsir surah al-Māˋidah s/d surah al-Nahl, jilid III berisi tafsir
surah al-Isrāˋ s/d surah Yāsīn dan jilid IV berisi tafsir surah al-Ṣāffāt s/d surah al-
Nās. Metodologi tafsir yang digunakan Ibn Katsīr ini ternyata ditempuh pula oleh
beberapa penulis tafsir terkenal abad dua puluh seperti Rasyīd Riḍā, Aḥmad
Musṭafā Al-Maraghy dan Jamāl al-Dīn al-Qāsimy. Cara penyajian tafsir seperti
ini, menurut Quraish Shihāb adalah penggabungan antara metode tahlilī20
dan
mauḍūʻī (tematik).21
2. Kitab Ringkasan Tafsir Ibn Katsīr
Kitab tafsir Ibn Katsīr ini telah diringkas dan diteliti ulang oleh
Muhammad ʻAlī al-Ṣābūnī guru besar tafsir pada Fakultas Hukum dan Studi
18
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr, h. 71. 19
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 135. 20
Metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qurˋan dengan cara meneliti semua
aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosakata, makna
kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munāsabah) sampai sisi-sisi keterkaitan
antar pemisah itu (wajh al-munâsabah) dengan bantuan asbāb al-nuzūl, riwayat-riwayat yang
berasal dari Nabi saw, sahabat dan tabi‟in. Lihat Abdul Hayy Al-Farmawi “Metode Tafsir Mauḍū’ī
dan Cara Penerapannya”, h. 23-24. 21
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr, h. 72.
29
Islam Universitas King ʻAbdul ʻAziz, Makkah. Ringkasan kitab ini berjudul
Mukhtasar Tafsir Ibn Katsīr yang terdiri tiga jilid. Jilid I memuat tafsir surah al-
Fātiḥah s/d surah al-Anʻām, jilid II memuat tafsir surah al-Aʻrāf s/d surah al-Naml
dan jilid III memuat tafsir surah al-Qaṣas s/d surah al-Nās. Kitab ringkasan ini
juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H. Salim Bahreisy dan
H. Said Bahreisy dengan judul Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr (8 jilid).22
3. Corak dan Metode Tafsir Ibn Katsīr
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak
dan orientasi tafsīr bi al-maˋtsūr.23
Metode yang ditempuh oleh Ibn Katsīr dalam
menafsirkan al-Qur‟an dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlilī (metode
analitis). Ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis
menurut urutan mushaf al-Qurˋan.
Corak bi al-maˋtsūr24
yang digunakan dalam kitab tafsir ini, terbukti
ketika terlihat bahwa Ibn Katsīr tidak hanya bertindak sebagai pengumpul riwayat
saja, tetapi juga sebagai kritikus yang mampu menarjih sebagian riwayat, bahkan
pada saat-saat tertentu menolaknya, baik dengan alasan karena riwayat-riwayat itu
tidak dapat dicerna akal sehat atau karena alasan-alasan lainnya. Sikap Ibn Katsīr
ini terlihat jelas ketika membaca muqaddimah kitab tafsirnya yang merupakan
paparan tentang prinsip-prinsip penafsiran yang dipegangnya dan sekaligus
dipakainya ketika menafsirkan al-Qurˋan. Berikut muqaddimah tafsir al-Qur’an
al-‘Aẓīm karya Ibn Katsīr.
“Jika ada orang yang bertanya cara manakah yang paling baik untuk
menafsirkan al-Qurˋan? Maka jawabannya adalah cara yang terbaik
dalam hal ini adalah menafsirkan al-Qurˋan dengan al-Qurˋan. Sebab,
sesuatu yang dikemukakan secara global pada suatu ayat adakalanya
diperinci atau diperjelas di ayat lain, tetapi jika ternyata pada ayat lain
tidak dijumpai, maka penjelasannya akan dijumpai pada sunnah
22
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 136-137. 23
Namun perlu diperhatikan, bahwa dimasukkannya suatu kitab tafsir ke dalam kategori
yang bercorakkan bi al-ma’tsūr tidak berarti menutup kemungkinan bagi penulisnya untuk
memasukkan juga unsur-unsur non riwayat, seperti kupasan ijtihad. Pengkategorian di atas
hanyalah untuk menunjukkan dominasi unsur riwayat saja. Lihat Rosihon Anwar, Melacak Unsur-
unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir Ibn Katsīr, h. 72. 24
Nashruddin Baidan menyebutnya dengan tafsīr bi al-maˋtsūr atau tafsīr bi al-riwāyah.
Lihat Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.
41.
30
Rasulullah sebagai penjelas al-Qurˋan. Jika di sana tidak dijumpainya,
kembalilah kepada perkataan sahabat, sebab mereka lebih mengetahui
secara rinci tentang sebab diturunkannya ayat al-Qurˋan. Di samping
pemahamannya yang sempurna serta ilmu sahih yang dimilikinya.
Jika di sana pun tidak dijumpai, kembalilah kepada perkataan
tabi‟in.25
Adapun langkah-langkah penafsirannya adalah sebagai berikut:
a. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan Al-Qurˋan. Metode penafsiran yang
paling ṣaḥīh ialah penafsiran al-Qurˋan dengan al-Qurˋan. Ayat yang di-
mujmal-kan pada suatu tempat, akan diperjelas pada ayat yang lain.
Apabila metode ini tidak dapat anda lakukan, maka tafsirkanlah dengan as-
Sunnah karena ia merupakan penjelas bagi al-Qurˋan.26
Imam Al-Syāfiʻī
r.a berkata, “Semua perkara yang ditetapkan Rasulullah saw merupakan
bagian dari apa yang dipahaminya dari al-Qurˋan.” Rasulullah saw juga
pernah bersabda kepada Muʻadz bin Jabal saat beliau mengutusnya ke
Yaman, “Dengan apa kau menulis perkara?” Muʻadz menjawab, “Dengan
Kitabullah.” Beliau bertanya, “Jika kamu tidak mendapatkannya? “Ia
menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya, “Jika kamu
tidak mendapatkannya?” Ia menjawab, “Saya akan berijtihad dengan
pendapat saya.” Rasulullah saw lalu menepuk dada Muʻadz dan bersabda,
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan
Rasulullah dengan apa yang diridhai Rasulullah.27
Contohnya adalah ketika Ibn Katsīr menafsirkan kata دى dalam
lafadz ayat دى للوتقيي al-Qurˋan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa), ia menafsirkannya dengan menyebutkan 3 ayat dalam al-
Qurˋan yaitu Q.S Fuṣṣilat ayat 44, al-Isrāˋ ayat 82 dan Yūnus ayat 85.28
Sehingga pengertiannya menjadi khusus yakni bagi orang-orang yang
beriman.
25
Imām al-Jalīl al-Hāfiẓ ʻImād al-Dīn Abi al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsīr Al-Qurˋân Al-‘Aẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt), h. 3. 26
Muhammad Nasib ar-Rifāʻī, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsīr Ibn Katsīr terj.
Syihabuddin, Jilid I (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), lihat di Ringkasan Kata Pengantar Tafsīr
Ibn Katsīr 27
Al-Hāfiẓ „Imād al-Dīn Abu Al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr, Tafsir Juz ʻAmma terj. Farizal
Tirmizi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. xvii. 28
Lihat Imām al-Jalīl al-Hāfiẓ ʻImād al-Dīn Abi al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsīr Al-Qurˋan Al-‘Aẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt). h. 39.
31
a. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan al-Sunnah
Ibn Katsīr menggunakan langkah ini ketika penjelasan dari ayat
lain tidak ditemukan, atau jika ayat lain ada, penyajian hadis
dimaksudkan untuk melengkapi penjelasan. Hal ini merupakan ciri khas
tafsir Ibn Katsīr. Dalam tafsir ini, secara kuantitas banyak sekali dikutip
hadits-hadits yang dianggap terkait atau dapat menjelaskan maksud ayat
yang sedang ditafsirkan.29
Contohnya adalah ketika ia menampilkan
banyak hadits30
untuk menjelaskan kisah Isra Mi‟raj dalam Q.S al-Isrāˋ
ayat 1.31
b. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan Pendapat Sahabat dan Tabiʻin
Ibn Katsīr berpendapat, “apabila kamu tidak menemukan
penjelasan terhadap suatu makna dalam al-Qurˋan, baik dari al-Qurˋan
maupun hadits, maka lihatlah kepada perkataan sahabat. Pendapat ini
didasarkan pada asumsi bahwa sahabat terutama tokoh-tokohnya adalah
orang yang lebih mengetahui penafsiran al-Qurˋan karena mereka
mengalami dan menyaksikan langsung proses turunnya ayat-ayat al-
Qurˋan. Di antara pendapat para sahabat yang paling sering ia kutip
adalah Ibn ʻAbbās dan Qatādah.32
Ibn Katsīr menambahkan apabila kamu
tidak menemukan penjelasan makna ayat dalam al-Qurˋan, hadits dan
dalam perkataan sahabat, maka lihatlah penjelasan dari para Tabiʻin
seperti Mujahid.
c. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan Pendapat Para Ulama
Selain menggunakan langkah-langkah di atas, Ibn Katsīr pun
sering mengutip berbagai pendapat ulama atau mufassir sebelumnya
ketika menafsirkan ayat. Pendapat yang ia kutip menyangkut berbagai
aspek di antaranya, teologi, hukum, kisah dan lain-lain. Dari sekian
29
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 139-140. 30
Lihat Imām al-Jalīl al-Hāfiẓ ʻImād al-Dīn Abi al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsīr Al-Qurˋan Al-‘Aẓīm, Juz III (Semarang: Toha Putra, tt). h. 2-24. 31
Bunyi Q.S Al-Isrā‟ ayat 1:
بازكا حو ليلا هي الوسجد الحسام إلي الوسجد الأقصي الر أسس بعبد وي سبحاى الر و الس ع البصيس ل لسي هي آياتا إ 32
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 140-141.
32
banyak pendapat yang dikutip, beliau paling sering mengutip pendapat
Ibn Jarīr Al-Ṭabarī33
d. Menafsirkan Al-Qurˋan dengan Pendapatnya Sendiri
Langkah ini biasanya ditempuh setelah ia melakukan keempat langkah di
atas. Setelah menganalisis dan membandingkan berbagai data atau penafsiran, ia
seringkali mengemukakan kesimpulan ataupun pendapatnya sendiri pada bagian
akhir penafsiran ayat. Namun langkah ini tidak ia terapkan pada semua ayat. Dan
untuk membedakannya dengan pendapat ulama lainnya dapat diketahui dari
pernyataannya: “Menurut pendapatku..” (qultu...) yang secara eksplisit banyak
dijumpai dalam kitab ini.34
4. Keistimewaan Tafsir Ibn Katsīr
Tafsir Al-Qurˋan Al-‘Aẓīm karya Imam Ibn Katsīr termasuk kitab
berkualitas dalam menafsirkan firman Tuhan karena dalam penafsirannya ia
menggunakan metode yang terbaik.35
Menurut Ṣubhī al-Ṣālih, dalam beberapa aspek, kitab tafsir Ibn Katsīr ini
memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan Tafsir al-Ṭabarī, seperti dalam
hal ketelitian sanadnya, kesederhanaan ungkapannya dan kejelasan ide
pemikirannya.36
Kelebihan lain kitab ini ialah penafsiran ayat dengan ayat atau al-
Qur‟an dengan al-Quran dan dengan hadits yang tersusun secara semi tematik,
bahkan dalam hal ini dapat dikatakan sebagai perintisnya. Selain itu, dalam tafsir
ini pun banyak memuat informasi dan menghindari kupasan-kupasan linguistik
yang terlalu bertele-tele. Karena itulah, al-Suyūṭī memujinya sebagai kitab tafsir
yang tiada tandingannya.
33
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 141. 34
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 142. 35
Al-Ḥāfiẓ ʻImād al-Dīn Abu Al-Fidāˋ Ismāˋīl Ibn Katsīr, Tafsir Juz ʻAmma terj. Farizal
Tirmīzī (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. xvii. 36
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 147-148.
33
5. Pendapat Ibn Katsīr Terhadap Isrāiliyat
Dalam menyikapi berita-berita yang berasal dari Ahli Kitab (Isrāiliyat),
Ibn Katsīr mempunyai langkah tersendiri. Sebagai contoh adalah ketika ia
menafsirkan Q.S Al-„Ankabūt ayat 46:
م وق جوجلجوآ ولا تجادلجوآ أهل الكتاب إلا بالت هي أحسنج إلا هج وا من الذين ظلمجم وإلج نا وأجنزل إليكج ون ن ءامنا بالذي أجنزل إلي م واحد وننج لهج مجسلمج ا وإلجكج
Artinya:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan
dengan cara yang paling baik.” (Q.S Al-„Ankabūt: 46)
Berkaitan dengan ayat di atas, Ibn Katsīr berkometar sebagai berikut:
“Bila mereka (Ahli Kitab) menyampaikan suatu berita yang tidak
diketahui kebenaran dan kebohongannya, berita itu tidak perlu
didustakan sebab dimungkinkan mengandung kebenaran, tetapi juga
jangan dibenarkan sebab dimungkinkan mengandung dusta. Sikap yang
harus kita ambil adalah mempercayai berita tersebut secara global
(apabila berita tersebut pernah Allah turunkan kepada mereka) dan bukan
merupakan ajaran Allah yang diganti dan telah disampingkan”.37
Dalam memecahkan masalah di atas, Ibn Katsīr membagi Isrāiliyat
dalam tiga klasifikasi, yaitu berita yang diketahui kebenarannya, berita yang
diketahui kebohongannya dan berita yang didiamkan (maskut ‘anhu).
Penyelesaian persoalan Isrāiliyat yang pertama dan kedua adalah mudah dan jelas,
yaitu Isrāiliyat yang pertama harus diterima dan yang bagian kedua harus ditolak.
Dan ia hanya mempersoalkan Isrāiliyat yang termasuk ke bagian ketiga.
Ibn Katsīr memperbolehkan meriwayatkan bagian ketiga dengan dua
syarat. Pertama: tidak bertentangan dengan akal dan belum terbukti
kebohongannya. Kedua: meskipun pernyataan pertama terpenuhi, Isrāiliyat jenis
ketiga ini tetap tidak boleh didustakan dan tidak boleh pula dibenarkan. Dengan
demikian bila melihat keterangan Ibn Katsīr di atas, bagian yang ketiga ini boleh
diriwayatkan, tetapi tidak boleh dijadikan keyakinan.
Kebolehan yang diberikan oleh Ibn Katsīr untuk meriwayatkan Isrāiliyat
yang didiamkan oleh syari‟at tidak menunjukkan sikapnya yang lunak terhadap
37
Imām al-Jalīl al-Ḥāfiẓ „Imād al-Dīn Abi al-Fidā‟ Ismāīl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm (Semarang: Toha Putra, tt). Juz III, h. 416.
34
persoalan ini. Sebab, ia pun mengetahui bahwa Isrāiliyat ini pada umumnya tidak
memberi faedah apa-apa bagi agama dan sedikit sekali yang benar.38
Pernyataan-pernyataan berikut ini adalah sebagai bukti akan sikap
kerasnya:
1. Para ulama tafsir, baik dari kalangan mutaqaddimīn maupun
muta’akhirīn banyak mengutip kisah Isrāiliyat yang notabene berasal
dari Bani Israil. Kisah itu di dalamnya tidak terdapat riwayat yang
marfu’ (langsung) dari Nabi yang terpercaya, ma’ṣūm (terpelihara)
dan tidak bersabda berdasarkan bahwa nafsunya. Sedangkan, al-
Qur‟an sendiri mengemukakan permasalahan tersebut secara global.
Oleh karena itu diimani (terima) saja apa yang terdapat dalam al-
Qur‟an (keglobalannya) dan hakikat sebenarnya, diserahkan kepada
Allah.39
2. Banyak ulama salaf yang meriwayatkan berita-berita Isrāiliyat ini.
Padahal pada umumnya, kisah Isrāiliyat ini tidak ada faedah dan
tidak memberi manfaat apa-apa bagi agama. Kalau memang
bermanfaat, tentunya syariat Islam yang sempurna dan universal ini
akan menjelaskannya.40
Dalam mengemukakan Irsāiliyat, Ibn Katsīr menempuh langkah-langkah
berikut ini:
a. Ia mengemukakan berbagai kelemahan Isrāiliyat berdasarkan
penelitiannya. Ia mengkritik perawi-perawi yang dianggap memiliki
kelemahan-kelemahan tertentu serta memperlihatkan riwayat yang
palsu dan rusak. Keistimewaan itulah yang membedakannya dengan
mufassir lainnya.41
b. Ketika mengemukakan Isrāiliyat asing yang mengandung
kemungkinan benar dan salah, Ibn Katsīr mengingatkan bahwa
Isrāiliyat itu termasuk hal yang diizinkan oleh Nabi untuk
38
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 141. 39
Lihat pernyataan Ibn Katsīr tersebut dalam, Tafsir Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm. Juz I
(Semarang: Toha Putra, tt), h. 141. 40
Lihat pernyataan Ibn Katsīr tersebut dalam, Tafsir Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm. Juz III. h. 181. 41
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 142.
35
diriwayatkan. Ia mengingatkan pula bahwa, Isrāiliyat itu tidak boleh
dijadikan pegangan, kecuali bila didukung oleh argumentasi yang
membenarkannya. Misalnya ketika Ibn Katsīr menafsirkan Q.S Al-
Baqarah: 6742
yang menceritakan perintah Tuhan kepada Bani Israil
untuk menyembelih seekor sapi betina. Dalam hal ini, Ibn Katsīr
menyebutkan suatu kisah yang cukup panjang. Beliau menerangkan
tentang pencarian mereka terhadap sapi tertentu dan keberadaan sapi
itu di tangan seorang lelaki Bani Israil. Lalu Ibn Katsīr menyebutkan
pendapat yang menanggapi hal ini dari sebagian ulama salaf.
c. Dalam mengemukakan Isrāiliyat yang dinilai oleh Ibn Katsīr tidak
dapat dicerna oleh akal sehat, ia terkadang meriwayatkannya disertai
peringatan, misalnya ketika Ibn Katsīr menafsirkan Q.S Al-Baqarah:
10243
yang berisi tentang kisah Hārūt Mārūt yang banyak
diriwayatkan oleh sebagian tabi‟in seperti Mujahid, As-Sa‟di, Hasan
al-Bashri, Qatādah, Abu Aliyah, Az-Zuhri, Rabī‟ah bin Anas,
Muqātil bin Ḥayyān dan lain-lain.44
d. Ketika meriwayatkan Isrāiliyat yang nampak bertentangan dengan
akal dan syariat, Ibn Katsīr membantahnya dengan mengajukan
argumentasi yang lengkap dan jelas. Seperti ketika ia menafsirkan
Q.S Al-Māidah: 2245
yang menceritakan tentang keengganan kaum
Nabi Musa a.s untuk melaksanakan perintahnya memasuki Palestina
karena terdapat orang-orang yang gagah perkasa (qaumun jabbārūn).
Dalam riwayat-riwayat yang dikutipnya diceritakan tentang ciri-ciri
fisik qaumun jabbārūn yang menyatakan bahwa salah seorang
penghuni negeri itu adalah cucu Nabi Adam as yang tinggi badannya
3.333 ⅓ hasta. Ia mengomentarinya bahwa hal tersebut mustahil dan
bertentangan dengan dalil yang kuat dari Sahīh Bukhārī dan Muslim
42
Bunyi Q.S Al-Baqarah ayat 67:
إى الله يأهسكن أى تربحوا بقسة قالوا أتتخرا زوا قال أع ليي وإذ قال هوسي لقوه وذ بالله أى أكوى هي الجا 43
Bunyi Q.S Al-Baqarah ayat 102: 44
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 142. 45
Bunyi Q.S Al-Maidah ayat 22:
ها فإن وا من لها حت يرججج ها ق وما جبارين وإنا لن ندخج وسى إن في ها فإنا داخلجون قالجوا يامج وا من يرججج
36
(sahīḥain) yang mengatakan bahwa Allah menciptakan Adam
dengan tinggi badan 60 hasta, setelah itu sampai sekarang Dia
menciptakan (manusia) tingginya kurang dari itu.46
e. Ibn Katsīr terkadang sama sekali tidak mengambil riwayat Isrāiliyat
seperti ketika ia menafsirkan kata ra’d dan barq dalam Q.S Al-
Baqarah: 19. Hal ini berbeda dengan yang ditempuh Al-Ṭabarī yang
banyak mengutip riwayat Isrāiliyat, antara lain riwayat dari Ali bin
Abī Ṭālib yang menyatakan bahwa ra’d ialah الولك, dan al-barq ialah
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir .ضسب السحاب بخساق هي حديد
justru menakwilkan bahwa ra’d ialah sesuatu yang
mencemaskan/menggelisahkan hati dikarenakan keadaan sangat
takutnya orang-orang munafik.47
C. Penilaian Ulama Terhadap Ibn Katsīr
1. Dalam Muʻjam, Imam al-Zahabī mengungkapkan tentang Ibn Katsīr,
“Ia adalah seorang imam, mufti, pakar hadits, spesialis fiqih, ahli
hadits yang cermat dan mufassir yang kritis.”48
2. Ibn Hubaib yang menyebutnya sebagai, “Pemimpin para ahli tafsir,
menyimak, menghimpun dan menulis buku. Fatwa-fatwa dan
ucapannya banyak didengar hampir di seluruh pelosok. Kesohor sebab
kecermatan dan tulisannya. Ia merupakan pakar dalam bidang sejarah,
hadits dan tafsir.
3. Al-Ḥāfiẓ Syihābuddin yang pernah menjadi santri Ibn Katsīr
menyatakan, “Tidak seorang pun yang kami ketahui lebih memiliki
kekuatan memori dengan matan-matan hadits, mengenali tokoh-
tokohnya, menyatakan kesahihan dan ketidaksahihannya selain Ibn
Katsīr.49
Ia merupakan kesaksian ulama yang sezaman dengannya dan
guru-gurunya. Ia menguasai banyak tentang fiqih, sejarah dan jarang
sekali lupa. Ia juga memiliki kemampuan memahami yang baik dan
didukung rasionalitas yang cerdas. Ia mempunyai andil besar dalam
bidang bahasa Arab. Ibn Katsīr kadang merangkai syair. Banyak yang
saya dapat sejak sering bersamanya.”
46
Dadi Nurhaedi, “Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 142. 47
Dadi Nurhaedi, “Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 142. 48
Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir terj. Faisal Saleh dkk (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). Ed. I, h. 64. 49
Mani Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir terj. Faisal Saleh dkk (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). Ed. I, h. 65.
37
4. Muhammad Ḥusain al-Zahabī, sebagaimana dikutip oleh Faudah,
berkata, “Imam Ibn Katsīr adalah seorang pakar fiqih yang sangat ahli,
seorang ahli hadits dan mufassir yang sangat paripurna dan pengarang
dari banyak kitab.50
5. Al-Ḥāfiẓ Ibn Hajar menjelaskan, “Ia adalah seorang ahli hadits yang
faqih. Karangan-karangannya tersebar luas di berbagai negeri semasa
hidupnya dan dimanfaatkan orang banyak setelah wafatnya.”51
50
Dadi Nurhaedi, “Tafsir al-Qurˋan al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr” dalam Hamim Ilyas (ed.),
Studi Kitab Tafsir, h. 133. 51
Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhis fī ‘Ulūmil Qurˋan terj. Mudzakir (Jakarta: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2011), h. 527.
38
BAB IV
KLASIFIKASI AYAT-AYAT AMANAH DALAM TAFSIR IBN KATSĪR
Dalam bab ini, penulis memaparkan tentang penafsiran ayat-ayat amnah
menurut Ibn Katsīr. Dalam menafsirkan ayat-ayat amanah, Ibn Katsīr menjelaskan
pengertian kata amanah sesuai dengan konteks ayatnya. Rincian tersebut
didasarkan pada obyek kepada siapa amanah tersebut ditujukan dan apa maksud
dan isi dari amanah tersebut. Berikut ini merupakan hasil analisa penulis
berdasarkan pengklasifikasian atau pengelompokkan ayat-ayat amanah.
A. Tabel 4.1. Amanah dalam bentuk Beban Kewajiban (taklīf) dari
Allah untuk Manusia dan Janji (‘aqd).
NAMA SURAT KONTEKS AYAT ARGUMEN
QS. Al-Ahzāb: 72
Allah menawarkan amanah
(kewajiban) kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, namun
ketiganya tidak sanggup. Lalu
ditawarkannya amanah itu
kepada Adam dan diterimalah
amanah itu oleh Adam.
Al-„Aufī, Ibn
„Abbās, Said bin
Jubair, Aḍ-Ḍahak,
Hasan Baṣri,
Ubay bin Ka‟ab,
Qatādah.
QS. Al-Nisā‟: 58
Allah menyuruh kepada manusia
agar menyampaikan amanah
kepada ahlinya. Segala bentuk
amanah wajib dilakukan seluruh
umat manusia. Barangsiapa yang
tidak melaksanakannya di dunia,
maka Dia akan menuntutnya di
akhirat.
Ibn „Abbās,
Muhammad bin
Hanafiyyah, Abu
„Aliyah, Ubay bin
Ka‟ab, Rabi‟ bin
Anas.
QS. Al-Anfāl: 27
Amanah adalah amal-amal
perbuatan yang telah Allah
percayakan kepada hamba-
hambaNya yaitu kewajiban-
kewajiban. Maka janganlah
kamu mengkhianati amanah
yang dipercayakan kepadamu.
Ibn „Abbās
QS. Al-
Mu‟minūn: 8
Orang-orang yang diserahi
amanah, maka wajib bagi
mereka tidak mengkhianatinya,
namun menyampaikan kepada
yang berhak menerimanya. Jika
mereka berjanji atau berakad,
maka mereka mmenuhinya.
Ibn Katsīr
39
1. QS. Al-Ahzāb 72:
ها وحلها إنا عرضنا الأمانة على السماوات والأرض والبال فأبػي أن يملنػها وأشفقن منػ الإنسان إنو كان ظلوما جهول
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amânah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat
zalim dan amat bodoh."
Berdasarkan tabel di atas, dalam menafsirkan QS. Al-Ahzāb: 72 Ibn Katsīr
menyebutkan suatu riwayat dari Ibn „Abbās yang diriwayatkan oleh Al-„Aufī:
قال العوفى عن ابن عباس يعنى بالأمانة الطاعة عرضها عليهم قبل يعرضها على آدم فلم يطقنها فقال لأدم : إنى قد عرضت الأمانة على السموات والأرض والبال فلم يطقنها
قال ان احسنت جزيت وإن أسأت عوقبت فهل أنت أخذ بما فيها؟ قال يا رب وما فيها؟ 1فأخذىا آدم فتحملها فذالك قولو تعالى )و حلها الإنسان إنو. كان ظلوما جهول(.
Al-Aufī meriwayatkan dari Ibn „Abbās. “Yang dimaksud amanah
ialah kewajiban yang harus ditaati”. Allah menawarkan kewajiban
kepada langit, bumi dan gunung-gunung sebelum Dia
menawarkannya kepada Adam. Namun, ketiganya tidak sanggup.
Lalu Allah berfirman kepada Adam, “Sesungguhnya Aku telah
menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
namun semuanya tidak sanggup. Apakah kamu sanggup memegang
teguh perkara yang terdapat di balik amanah itu?” Adam berkata,
“Ya Tuhanku, apakah yang ada di baliknya?” Allah berfirman, “Jika
kamu berbuat baik, maka mendapat imbalan dan jika berbuat buruk,
maka mendapat hukuman.” Kemudian Adam mengambilnya.2
Diriwayatkan oleh Al „Aufī dari Ibn „Abbās ra bahwa yang dimaksud dengan
amanah adalah ketaatan kepada Allah dan kewajiban-kewajiban agama, yang
telah ditawarkannya kepada langit, bumi dan gunung-gunung sebelum
ditawarkannya kepada Adam, maka setelah mereka enggan memikulnya,
berfirmanlah Allah kepada Adam: “Aku telah tawarkan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung yang semuanya enggan memikulnya, sanggupkah
1 Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz
III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992). h. 501. 2 Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1994). h. 337.
40
engkau menerimanya?” Bertanya Adam: “Ya Tuhanku, dan apa di dalamnya?”
Allah berfirman: “Jika engkau lakukan dengan baik, engkau dapat pahala dan jika
engkau menyalah-gunakannya, engkau disiksa, maka diterimalah amanah itu oleh
Adam.3 Belum berlangsung lama, yaitu sekitar jarak antara Ashr hingga malam
dan masih pada hari tersebut, Adam telah melakukan kesalahan.”
Kemudian Ibn Katsīr menyebutkan beberapa pandangan para ulama
mengenai pengertian amanah dalam ayat ini, di antaranya Mujahid, Saʻīd bin
Jubair, aḍ-Ḍahak, Hasan Baṣry dan ulama lainnya yang mengatakan bahwa
amanah itu berarti kewajiban-kewajiban. Ulama lain mengatakan bahwa amanah
pada ayat di atas bermakna ketaatan. Aʻmasy berakata dari Abi Al-Ḍuhā dari
Masrīq dia berkata, “Ubay bin Kaʻab mengatakan termasuk dari sifat amanah
adalah seorang perempuan yang menjaga kemaluannya. Qatādah memahaminya
sebagai agama, kewajiban dan hudud. Yang lain lagi memahaminya sebagai
mandi janabah. Malik berkata Zaid bin Aslam, dia berkata bahwa amanah itu
mengandung 3 hal yaitu shalat, shaum dan mandi janabah.4
Setelah menyebutkan beberapa perbedaan pandangan para ulama mengenai
pengertian amanah dalam ayat di atas, Ibn Katsīr memberikan argumen atau
kesimpulan sebagaimana berikut:
Semua pendapat tersebut tidaklah kontradiktif namun saling melengkapi dan
berpangkal kepada pengertian amanah sebagai taklif (beban kewajiban) dan
penerimaan perintah serta larangan secara bersyarat. Artinya jika seseorang
melaksanakannya, maka diganjar dan jika meninggalkannya, maka diberi sanksi.
Kemudian amanah itu diterima oleh manusia karena kelemahan dan
kebodohannya, kecuali orang yang diberi taufik oleh Allah. Dialah tempat
memohon pertolongan.5
3 Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1994). h. 337. 4 Al-Imām Abī Al-Fidā‟ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz
III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992). h. 501. 5 Al-Imām Abī Al-Fidā‟ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz
III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992). h. 502.
41
Sahmiar Pulungan, dalam Disertasinya6 menjelaskan bahwa amanah itu berat.
Beratnya amanah tersebut ketika diserahkan kepada benda-benda raksasa (langit
dan bumi) yang tidak sanggup memikul beban itu karena ketidaksiapan bawaan
untuk menerima akal dan taklīf. Amanah dalam ayat di atas mengandung makna
yang umum mencakup segala kewajiban agama. Kemaluan, pendengaran, mata,
lidah, perut, tangan, kaki semuanya adalah amanah dan tidak ada Iman bagi orang
yang tidak mempunyai amanah. Dengan demikian amanah adalah suatu beban
yang diturunkan kepada makhluk berakal maupun yang tidak berakal.
2. QS. Al-Nisāˋ 58:
أىلها وإذا حكمتم بػي الناس أن تكموا بالعدل إن الله يأمركم أن تػؤدوا الأمانات إلىى را عا بصيػ يػ إن الله نعما يعظكم بو إن الله كان س
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar
lagi Maha melihat.”
Dalam QS Al-Nisāˋ: 58 Allah mengabarkan bahwa Dia menyuruh kamu agar
menyampaikan amanah kepada ahlinya. Dalam hadits al-Hasan yang diriwayatkan
dari Samurah bahwa Rasulullah saw bersabda:
7أد الأمانة إلى من ائػتمنك، ول تن من خانك )رواه أحد وأصحاب السنن( “Sampaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah
kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati orang yang
mengkhianatimu.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para penyusun sunan.
Hadits tersebut mencakup segala bentuk amanah yang wajib dilakukan manusia
seperti hak-hak Allah yang menjadi kewajiban para hamba-Nya, yaitu shalat,
zakat, puasa, kafarat, nazar dan sebagainya. Berupa perkara yang dipercayakan
kepada manusia tanpa perlu diwarisi oleh orang lain, juga berupa hak hamba yang
menjadi kewajiban hamba lain, seperti barang titipan dan perkara lain yang
6 Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 42-44. 7 Imām al-Jalīl al-Ḥāfiẓ ˋImād al-Dīn Abi al-Fidā Ismāil Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsir Al-Qurˋan Al-ʻAẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt). h. 505.
42
dimanatkan kepadanya untuk dilaksanakan tanpa perlu disaksikan pihak lain.
Maka Allah swt menyuruh untuk melaksanakan amanah. Barang siapa yang tidak
melaksanakannya di dunia, maka Dia akan menuntutnya di akhirat, sebagaimana
ditegaskan dalam kitab ṣaḥīh, bahwa Rasulullah saw bersabda:
لتػؤدن القوق إلى أىلها حت يقتص للشاة الماء من القرناء “Hendaknya kamu menyampaikan hak kepada penerimanya hingga
kawanan domba yang satu pun menuntut balas dari kawanan domba
yang lain.”8
Kemudian Ibn Katsīr mengemukakan berbagai pandangan para ulama
mengenai pengertian amanah dalam ayat di atas. Seperti Ibn ʻAbbās yang
berpendapat bahwa maksud amanah di sini untuk orang baik maupun durhaka.
Muhammad bin Hanafiyyah berkata, “Amanah di sini bersifat umum, yakni bagi
orang baik maupun durhaka. Ulama lain (Abu „Aliyah) mengatakan, “Amanah
adalah apa yang diperintahkan terhadapnya dan dilarang darinya.” Ubay bin
Kaʻab berkata, “Termasuk amanah adalah seorang wanita yang menjaga
kemaluannya.” Dan Rabi‟ bin Anas berkata, “Termasuk bagian dari amanah
adalah sesuatu yang ada di antara kamu dan di antara manusia.”
Banyak penafsir yang menuturkan bahwa ayat itu diturunkan sehubungan
dengan kasus „Utsman bin Ṭalḥah9, penjaga Kaʻbah yang mulia. Ayat ini
diturunkan karena tatkala Rasulullah saw mengambil kunci Kaʻbah pada peristiwa
penaklukan Mekkah, beliau mengembalikannya kepada Utsmān. Sebagian ahli
ilmu menceritakan bahwa Rasulullah saw berdiri di pintu Kaʻbah lalu bersabda,
“Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Maha benar janji-Nya. Dia Yang Esa menolong hamba-Nya dan mengalahkan
berbagai golongan.” Ketahuilah, segala kehormatan, darah atau kekayaan yang
diadukan, maka ia berada di bawah kedua kakiku ini, kecuali soal pemeliharaan
Baitullah dan pemberian air minum kepada jemaah haji.” Dia menuturkan kalimat
selanjutnya yang terdapat dalam hadits yang merupakan khutbah Nabi saw pada
8 Imām al-Jalīl al-Ḥāfiẓ ˋImād al-Dīn Abi al-Fidā Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsir Al-Qurˋân Al-ʻAẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt). h. 505. 9 Nama lengkapnya adalah Abi Ṭalhah Abdullah bin Abdul ῾Izzi bin ʻUtsman bin ʻAbd
Al-Dār bin Qusai bin Kilāb Al-Qurasyī Al-ʻAbdarī. Lihat Imam al-Jalîl al-Hāfiẓ ˋImād al-Dīn Abi
al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr al-Qurasyī al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-„Aẓīm, Juz I, h. 505.
43
saat itu hingga ia berkata: “Rasulullah saw duduk di masjid, lalu datanglah Ali bin
Abi Ṭālib sedangkan kunci Kaʻbah berada di tangannya, kemudian berkata, “Ya
Rasulullah, berikanlah tanggung jawab tentang penjagaan Kaʻbah dan pemberian
minum jamaʻah haji kepada kami. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam
kepadamu. „Maka Rasulullah saw bersabda, Di manakah Utsmān bin Ṭalḥah?‟
Maka Utsmān dipanggil supaya menghadap beliau. Lalu Nabi bersabda
kepadanya, “Hai Utsmān, ini ambillah kuncimu! Hari ini merupakan hari
pemenuhan janji dan hari kebaikan.” Ibn Jarīr berkata, telah menceritakan
kepadaku Al-Qāsim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain dari Hajjāj dari
Ibn Juraij berkaitan dengan ayat ini, dia berkata, “Meskipun ayat ini diturunkan
berkaitan dengan pengembalian kunci Kaʻbah, hal ini merupakan amanah yang
dulu diserahkan oleh Utsmān bin Ṭalḥah kepada Rasulullah saw yang kemudian
beliau mengembalikannya kepada Utsmān sebagaimana dikemukakan hadits
tersebut.10
Setelah mengemukakan hadis di atas, Ibn Katsīr berkata:
أن ىذه الأية نزلت في ذلك وسواء كانت نزلت فى ذلك أول فحكمها عام ولهذا قال بن عباس ومحمد بن النفية ىي للبر والفاجر أي ىي أمر لكل أحد.
Maksudnya adalah hukum ayat ini mencakup segala jenis amanah yang
diterima oleh manusia. Oleh karena itu, Ibn „Abbās ra berkata, “Amanah ini bagi
orang yang baik maupun durhaka. Yakni amanah itu merupakan perintah bagi
setiap orang agar memberikan amanah kepada ahlinya.
Dalam Disertasi Sahmiar Pulungan. Ayat di atas menjelaskan amanah di sini
ditujukan sebagai perintah kepada para pemimpin dan kepada manusia semuanya,
seperti memelihara barang titipan, menjaga persaksian dan sebagainya. Dengan
demikian amanah dalam ayat ini adalah kekuasaan.11
Yakni, suatu amanah
ditunaikan kepada ahlinya jangan pandang enteng. Meletakkan suatu amanah pada
ahlinya yang sesuai dengan kesanggupan dan bakatnya, jangan mementingkan
10
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid II (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1993). h. 448-449. 11
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 46.
44
keluarga atau golongan sedangkan dia ternyata tidak ahli, jangan menerima
amanah kalau tidak ahli baik dalam urusan pemerintahan atau urusan umum.12
3. QS. Al-Anfāl 27:
ياأيػها الذين آمنػوا ل تونػوا الله والرسول وتونػوا أماناتكم وأنػتم تػعلمون “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui”
Dalam QS. Al-Anfāl: 27 Ibn Katsīr menyebutkan riwayat dari kitab Ṣaḥīh
Bukhārī dan Ṣaḥīh Muslim yang artinya:
“Ada sebuah kisah tentang Hāṭib bin Abu Balṭaˋah r.a Bahwa dia
pernah menulis surat kepada orang-orang Quraisy untuk
memberitahukan mereka tentang tujuan Rasulullah saw terhadap
mereka di tahun Fathu Makkah. Maka, Allah Ta‟ala memperlihatkan
hal itu kepada Rasul-Nya, lalu beliau mengirim seseorang untuk
mengejar dan mengambil surat itu. Lalu, beliau pun meminta agar
Hāṭib dihadapkan kepadanya dan dia mengakui apa yang telah dia
perbuat. Maka ʻUmar bin Khaṭṭāb r.a bangun dan berkata, “Wahai
Rasulullah bolehkan aku memenggal batang lehernya karena dia telah
berkhianat terhadap Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin?” Maka
beliau bersabda, “Biarkan dia, karena dia telah ikut perang Badar.
Bisa jadi Allah telah memperhatikan apa yang terjadi pada ahli
Badar lalu Dia berfirman, “Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya
Aku telah memberikan ampunan bagi kalian.”13
Setelah menyebutkan beberapa riwayat hadits seperti yang disebutkan di atas,
Ibn Katsīr berkomentar sebagaimana berikut:
عامة وان صخ أنها وردت على سبب خاص فالأخذ بعموم اللفظ قلت: والصحيح أن الأيةل بخصوص السبب عند الماىير من العلماء. والخيانة تعم الذنوب الصغار الكبار اللازمة
والمتعدية. وقال على بن أبى طلحة عن ابن عباس )وتونوا أماناتكم(, الأمانة : الأعمال الت يضة, يقول )ل تونوا( ل تنقضوىا, وقال في رواية )ل تونوا ائتمن الله عليها العباد يعنى الف
14الله والرسول( يقول بترك سنتو وارتكاب معصيتو.
12 Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 288. 13
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid III (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1993).h.561. 14
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,
Juz II (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992)., h. 288.
45
Ibn Katsīr berkata, “Pendapat yang benar adalah ayat tersebut berlaku
umum, meskipun telah diriwayatkan secara ṣaḥīh bahwa ayat itu turun karena
suatu sebab yang khusus. Karena menurut jumhur ulama, yang dijadikan patokan
adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab. Perbuatan khianat mencakup
semua dosa kecil dan dosa besar, baik berakibat pada diri sendiri maupun pada
orang lain. „Alī bin Abī Ṭalḥah meriwayatkan dari Ibn ʻAbbās r.a bahwa dia
berkata berkenaan dengan firman Allah swt, “Dan janganlah kamu mengkhianati
amanah yang dipercayakan kepadamu.” Amanah adalah amal-amal perbuatan
yang telah Allah Ta‟ala percayakan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu kewajiban-
kewajiban. Dia (Ibn ʻAbbās) berkata, “Janganlah kamu mengkhianati”, yaitu
janganlah kamu membatalkannya.” Ibn „Abbās r.a juga berkata dalam riwayat
yang lain berkenaan firman Allah tersebut. Dia berkata, “Yaitu dengan
meninggalkan perintah-Nya dan melakukan kemaksiatan terhadap-Nya.15
Ibn ʻAbbās mengartikan: wa takhūnū amānātikum, amanah ialah amal
perbuatan yang diamanahkan (diwajibkan) Allah atas hamba-Nya. Lā takhūnū:
jangan kamu kurangi, jangan kamu teledor dan jangan kamu mengabaikannya.
Mengkhianati Rasul ialah meninggalkan sunnahnya dan melanggar larangannya.16
Disertasi Sahmiar Pulungan. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa
mengkhianati amanah karena sebagai kesatuan yang berkaitan dengan khianat
kepada Allah swt dan Nabi Muhammad dan mencakup amanah Allah swt kepada
manusia seperti hukum-hukum yang disyariatkan-Nya agar dilaksanakan, amanah
Nabi Muhammad saw kepada manusia seperti keteladanan yang beliau tampilkan
dan amanah antar sesama manusia seperti penitipan harta benda dan rahasia.17
Larangan berlaku khianat terhadap amanah Allah swt, amanah Rasul dan amanah
sesama manusia, yakni menunda-nunda kewajiban dan tidak memelihara amanah
dengan baik.18
15
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid III (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1993). h. 562. 16
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid III (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1993). h. 563. 17
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 49-50. 18
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 247.
46
4. QS. Al-Mu‟minūn 8:
ذين ىم لأماناتم وعهدىم راعون وال “Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang
dipikulnya) dan janjinya.”
Jika mereka diserahi amanah, maka mereka tidak mengkhianatinya, namun
menyampaikan kepada yang berhak menerimanya. Jika mereka berjanji atau
berakad, maka mereka memenuhinya.
ذين ىم لأماناتم وعهدىم راعون وال “Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang
dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al-Ma‟ārij 32)”
Maksudnya adalah bila mereka diberi amanah tidak mengkhianatinya dan bila
berjanji tidak pernah melanggarnya. Inilah sifat-sifat orang beriman dan
sebaliknya adalah sifat-sifat orang munafik, sebagaimana telah disebutkan dalam
sebuah hadits ṣaḥīh:
آية المنافق عن أب ىريػرة رضي الله عنو: أن رسول الله صلى الله عليو وسلم قال ثلاث : إذا حدث كذب, وإذا وعد أخلف, وإذا اؤتن خان
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra katanya: Sesungguhnya Nabi
Muhammad saw telah bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga
perkara, yaitu apabila bercakap dia berbohong, apabila berjanji dia
mungkiri dan apabila di beri amanah dia mengkhianatinya”. (HR.
Bukhārī).19
Dalam riwayat lain juga dikatakan:
20عاىد غدر وإذا خاصم فجر آية المنافق ثلاث : إذا حدث كذب, وإذا Artinya:“Ciri-ciri orang munafik ada tiga: bila berbicara selalu
dusta, bila berjanji selalu melanggar dan bila berperkara selalu
melampaui batas.”
Disertasi Sahmiar Pulungan.21
Ayat di atas menjelaskan bahwa amanah dan
janji di sini mencakup apa saja yang harus ditunaikan manusia baik urusan agama
19
Abdullah Muhammad bin Ismā‟īl bin Ibrahim bin al-Mughīrah al-Bukhārī, al-Jami‟ al-
Sahih, juz I (Beirut: „Alam al-Kutb, 1417H/1997M), h. 46. Lihat juga Sahih Muslim, Bab Iman,
No. 8. 20
Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-„Aẓīm, Juz IV, h. 422-423. 21
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 44-45.
47
maupun dunia baik perkataan maupun perbuatan. Orang-orang yang beriman
adalah memegang amanah dengan memelihara dan memenuhi setiap janji, baik
janjinya dengan Allah maupun janjinya dengan sesama manusia. Apabila mereka
berkata tidak berdusta, dipercaya tidak berkhianat, apabila berjanji tidak
melanggar.
Dari uraian yang terdapat pada tabel 4.1 di atas penulis menemukan
persamaan dan perbedaan antara penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya
Persamaan Perbedaan
QS. al-Ahzāb: 72. Persamaanya antara
penelitian penulis dengan sebelumnya
adalah sama-sama memaknai amanah
dengan segala kewajiban agama yang
harus ditunaikan sebaik-baiknya.
Perbedaannya adalah dalam
penelitian penulis, Ibn Katsīr
menafsirkan ayat amanah yang
terdapat QS. al-Ahzāb: 72 yaitu
tidak hanya mengemukakan makna
amanah dari berbagai pandangan saja
tapi di sini Ibn Katsīr menyebutkan
riwayat Ibn „Abbās. Sedangkan
dalam penelitian sebelumnya hanya
mengemukakan berbagai pandangan
tentang makna amanah.
Jadi terbukti bahwa Ibn Katsīr tidak
hanya bertindak sebagai pengumpul
riwayat saja, tetapi juga sebagai
kritikus yang mampu menarjih
sebagian riwayat.
QS. Al-Nisa’: 58. Persamaannya antara
penelitian penulis dengan sebelumnya
adalah sama sama memberi pernyataan
untuk menyampaikan amanah kepada
ahlinya.
Perbedaannya adalah dalam
penelitian saya memaknai amanah
dengan segala bentuk amanah yan
wajib dilakukan manusia seperti hak-
hak Allah yang menjadi kewajiban
para hamba-Nya. Dalam penelitian
ini Ibn Katsīr juga mengambil
riwayat hadits al-Hasan dari
Samurah. Sedangkan dalam
penelitian sebelumnya memaknai
amanah dengan kekuasaan yang
ditujukan kepada pemimpin dan
manusia untuk memelihara dan
menjaga persaksian. Dan hanya
mengemukakan beberapa pendangan
tentang makna amanah.
QS. Al-Anfāl: 27. Persamaannya
antara penelitian penulis dengan
sebelumnya adalah sama sama memberi
pernyataan tidak boleh mengkhianati
Perbedaannya adalah dalam
penelitian saya Ibn Kastīr
menyebutkan riwayat dari kitab
Sahih Muslim kisah tentang Hāṭib bin
48
amanah Allah, rasul dan sesama
manusia. Yakni mengkhianati Allah
berupa meninggalkan kewajiban-
kewajiban atau syari‟at hukum yang
telah Allah percayakan kepada hamba-
Nya agar dilaksanakan. Mengkhianati
rasul yaitu meninggalkan sunnahnya
dan melaranggar larangannya.
Mengkhianati sesama manusia yakni
tidak memelihara barang titipan, rahasia
dan lain sebagainya.
Abu Balṭa‟ah ra sebagai sebab
turunnya ayat ini. Sedangkan dalam
penelitian sebelumnya ayat ini
diturunkan berkaitan dengan
peristiwa Abu Lubabah dan Bani
Quraizhah.
QS. Al-Mu’minūn: 8. Persamaannya
antara penelitian penulis dengan
sebelumnya adalah sama sama
memaknai amanah disini dengan
memberi pernyataan sifat orang-orang
yang beriman adalah memegang
amanah dengan memelihara dan
memenuhi setiap janji. Apabila mereka
berkata tidak berdusta, dipercaya tidak
berkhianat dan apabila berjanji tidak
melanggar.
Perbedannya adalah dalam penelitian
saya Ibn Katsīr mengambil riwayat
abu Hurairah ra dalam hadits Bukhārī
dan riwayat lain dalam Tafsir al-
Qur‟an al-„Aẓīm. Sedangkan dalam
penelitian sebelumnya tidak
mengambil riwayat siapapun.
B. Tabel 4.2 Amanah dalam bentuk Hutang Piutang (barang titipan)
sesama Manusia
NAMA
SURAT
KONTEKS AYAT ARGUMEN
QS. Al-Baqarah:
283
Jika terjadi hutang piutang dan sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain
maka tidak apa-apa apabila kamu tidak
mencatat dan mempersaksikannya.
Tetapi Allah mengingatkan supaya yang
berhutang membayar tepat pada
waktunya, hendaknya takut benar
kepada ancaman Tuhan terhadap orang
yang berlaku khianat, demikian pula
orang yang menyaksikan kejadian itu
harus menerangkan yang sebenarnya
dan jangan sampai menyembunyikan
persaksiannya sebab hal itu adalah dosa,
sedang Allah mengetahui segala
perbuatan makhluk-Nya.
Abu Sa᾿īd al-
Khudrī, Al-
Syaʻbī, Ibn
„Abbās.
49
QS. Al-Baqarah: 283 ذي اؤتن وإن كنتم على سفر ول تدوا كاتبا فرىان مقبػوضة فإن أمن بػعضكم بػعضا فػليػؤد ال
.فإنو ءاث قػلبو والله بما تػعملون عليم أمانػتو وليتق الله ربو ول تكتموا الشهادة ومن يكتمها “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu‟amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah (Tuhannya), dan janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa
yang menyembunyikan (persaksian), maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibn Katsīr menyebutkan sebuah riwayat dari
Ibn Abī Hātim yang meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Abu Sa᾿īd al-
Khudrī, dia berkata; ىذه ما نسخت قبلها bahwa ayat ini menaskh ayat sebelumnya,
(yaitu firman Allah Ta‟ala, „Maka catatlah..‟). Kemudian Ibn Katsīr melanjutkan
"وقال الشعبي: اذا نتمن بعضكم بعضا فلا بأس أن ل تكتبوا أو ل تشهدوا" . Al-Syaʻbī
berkata: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka tidak apa-
apa apabila kamu tidak mencatat dan mempersaksikannya.”22
Jika terjadi hutang piutang dalam perjalanan dan bertepatan tidak ada penulis,
maka hendaknya dilakukan dengan memegangkan barang tanggungan, tetapi jika
masing-masing percaya mempercayai maka boleh tanpa tanggungan, tetapi Allah
mengingatkan supaya yang berhutang membayar tepat pada waktunya, hendaknya
takut benar kepada ancaman Tuhan terhadap orang yang berlaku khianat,
demikian pula orang yang menyaksikan kejadian itu harus menerangkan yang
sebenarnya dan jangan sampai menyembunyikan persaksiannya sebab hal itu
adalah dosa, sedang Allah mengetahui segala perbuatan makhluk-Nya.
فػليػؤد الذي اؤتن أمانػتو فإن أمن بػعضكم بػعضا ; Maka jika masing-masing
mempercayai, maka hendaknya yang diamanati supaya mengembalikan
amanahnya. Abu Sa᾿īd Al-Khudrī berkata: ayat ini memansukhkan ayat yang
sebelumnya. Yakni kewajiban menulis itu berubah tidak wajib, demikian pula soal
22
Imām al-Jalīl al-Ḥāfiẓ ῾Imād al-Dīn Abī al-Fidā Ismāil Ibn Katsīr al-Qurasyī al-
Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟ân Al-„Aẓīm, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt). h. 43.
50
persaksian, yakni jika sudah saling percaya meskipun tidak ditulis dan tidak
dipersaksikan tidak apa-apa, hanya saja Allah menekankan supaya orang yang
dipercaya itu menjaga benar taqwanya, jangan sampai menyalahi amanah.
تكتموا الشهادة ول ; Dan jangan menyembunyikan persaksian. Ibnu „Abbās ra.
Berkata; “Persaksian yang palsu itu termasuk dosa besar dan menyembunyikan
persaksian itu juga sama. Dan siapa yang menyembunyikan persaksiannya maka
ia lancung hatinya dan berdosa. Dan Allah Maha Mengetahui semua perbuatanmu
yang lahir, batin terang dan samar.23
Firman Allah Taʻala, “dan bertakwalah kepada Allah (Tuhanmu)” sebagai
Dzat Yang Dipercaya. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para penulis sunan yang diterima dari
Qatādah dari Al-Ḥasan dan Samurah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
على اليدى ما أخذت حت تؤديو “Tetapi tangan yang menerima itu menanggung amanat sehingga
ia kembalikan amanat itu. (HR. Ahmad, Ahlisuunan).24
Dalam Disertasi Sahmiar Pulungan.25
Menjelaskan jika kamu dalam
perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedangkan tidak mendapatkan
seorang penulis yang dapat menulis hutang-hutang sebagaimana mestinya, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Di sini
jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi, tetapi bebentuk kepercayaan dan
amanah yang bersifat timbal balik. Amanah dalam ayat ini adalah kepercayaan
dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi yang harus dipelihara.26
Dari uraian di atas penulis menemukan persamaan dan perbedaan antara
penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya. Persamaan dalam penelitian
23
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1988).
Jilid I, h. 520-521. 24
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid I (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 521. 25
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 204-205. 26
Sahmiar Pulungan, “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qurˋan” Disertasi Program
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2006). h. 39.
51
penulis dengan sebelumnya adalah sama-sama memaknai amanah dengan barang
ttipan. Yakni kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi
yang harus diperlihara dan jangan menyembunyikan persaksian. Persaksian yang
palsu dan menyembunyikannya itu termasuk dosa besar. Perbedaannya adalah
dalam penelitian saya Ibn Katsīr menyebutkan riwayat dari Ibn Abī Hātim dan
hadits Imam Ahmad. Sedangkan dalam penelitian sebelumnya tidak terdapat
riwayat siapapun hanya menjelaskan ayat yang bersangkutan dengan amanah. Jadi
terbukti bahwa Ibn Katsīr menafsirkan makna amanah tidak hanya bertindak
sebagai pengumpul riwayat saja, tetapi juga sebagai kritikus yang mampu
menarjih sebagian riwayat. Sedangkan dalam disertasi Sahmiar mengakumulasi
berbagai aspek pembahasan yang bertitik tolak dari teks ayat al-Qur‟an tentang
amanah dalam cakupan makna yang lebih luas.
Tabel 4.3 Amanah dalam bentuk Kepercayaan dan Aman.
NO NAMA SURAT KONTEKS AYAT ARGUMEN
1. QS. Al-A‟rāf: 68 Inilah sifat-sifat yang harus dimiliki
oleh para Rasul: yaitu menyampaikan
risalah dakwah, memberi nasehat dan
menunaikan amanah (terpercaya).
Ibn Katsīr
2.
QS. Al-Syuʻarāˋ
:107
Nūh as diutus oleh Allah kepada
penghuni bumi setelah sebelumnya
berhala dan sekutu yang disembah
oleh mereka. Namun kaumnya
mendustakan Nūh dan mereka terus-
menerus berada dalam kemusyrikan.
Pendustaan mereka terhadap Nūh
dipandang Allah sebagai pendustaan
terhadap seluruh rasul.
Ibn Katsīr
QS. Al-Syuʻarāˋ:
125
Hūd as bahwasannya ia menyeru
kaumnya. Yaitu kaum ʻĀd mereka
beribadah kepada selain Allah swt.
Allah mengutus kepada (Hūd as)
seseorang dari kalangan mereka
sebagai rasul, pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan.
Lalu dia menyeru mereka kepada
Allah dan memperingatkan mereka
akan hukuman dan adzab-Nya jika
mereka menyelisihi-Nya
QS. Al-Syuʻarāˋ:
143
Allah mengutus nabi Ṣāleh as kepada
kaum Tsamud. Mereka bangsa Arab.
52
Nabi Ṣāleh mengajak mereka kepada
Allah Taʻala agar mereka
menyembah Dia semata tanpa sekutu
bagi-Nya dan hendaklah mereka
menaati risalah yang disampaikan
kepada mereka. Namun jika mereka
membangkang, mendustakan dan
menyelisihnya maka semuanya akan
binasa bersama mereka.
QS. Al-Syuʻarāˋ:
162
Lūṭ as diutus Allah kepada satu umat
yang ditinggal di Sadum. Perilaku
mereka menyebabkan mereka
dibinasakan oleh Allah swt. Dia
menjadikan tempat tinggal mereka
danau yang bau busuk. Lūṭ mengajak
mereka untuk meng-Esakan Allah,
dan menaati rasul yang telah Allah
utus kepada mereka dan melarang
mereka bermaksiat yaitu berbuat
sodomi
QS. Al-Syuʻarāˋ:
178
Allah mengutus nabi Syuʻaib as
untuk mengajak penduduk Aikah
menyembah hanya kepada Allah
yang telah menciptakan kamu dan
menciptakan alam semesta ini,
bertaqwalah kamu kepada-Nya dan
taatlah kepada ajaranku yang Allah
perintahkan aku menyampaikan
kepadamu.
3.
QS. Al-Takwīr:
21
Maksud Ar-Rūh Al-Amīn dalam ayat
ini adalah Jibril as. Jibril merupakan
malaikat Allah yang disifati dengan
Ar-Rūh Al-Amīn. Disifati dengan al-
Amīn karena ia (Jibril merupakan
kepercayaan Allah swt untuk
memelihara wahyu-Nya dan
menyampaikannya kepada siapapun
di antara hamba-Nya yang Dia
kehendaki.
Ibn „Abbās,
Muhammad
bin Ka‟ab,
Qatādah
„Aṭiyyah Al-
Aufā, Aḍ-
Ḍahak, Az-
Zuhrī dan Ibn
Juraij.
4. QS. Al-Naml: 39 Ifrit dari golongan Jin.
“Sesungguhnya aku benar-benar
kuat untuk membawanya lagi dapat
dipercaya. Ibn „Abbās berkata:
yakni, kuat untuk memikulnya dan
terpercaya untuk menjaga permata
yang terdapat di dalamnya.
Ibn „Abbās
5. QS. Al-Tīn: 3 Yang dimaksud الأمين (aman) pada
ayat di atas yaitu Kota Makkah.
Ibn „Abbās,
Mujahid,
53
Sebagian para Imam berkata: ketiga
tempat ini adalah lokasi diutusnya
seorang Nabi yang tergolong dalam
Ulul Azmi yang diturunkan syariat
besar kepada mereka. Yaitu: tempat
Tin dan Zaitun, Sinīn (Gunung
Sinai), Makkah, yaitu negeri yang
aman.
Ikrimah, Al-
Hasan,
Ibrāhīm, An-
Nakhāī, Ibn
Zaid, dan
Ka‟ab Al-
Ahbār.
1. QS. Al-A‟rāf: 68
ت رب وأنا لكم ناصح أمي ال س أبػلغكم ر “Aku menyampaikan amanah-amanah Tuhanku kepadamu dan
aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.”
Pada ayat di atas. Ibn Katsīr berkata:
27وىذه الصفات الت يتصف بها الرسل البلاغ والنصح والأمانة
Itulah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para Rasul: yaitu menyampaikan
risalah dakwah, memberi nasehat dan menunaikan amanah (terpercaya).”
ي وقال الملك ائػتون بو أستخلصو لنػفسى فػلما كلمو, قال إنك اليػوم لديػنا مكي أم Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih
dia sebagai orang yang dekat kepadaku”. Maka tatkala raja telah
bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu
(mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi
dipercayai di sisi kami.” (QS. Yūsuf: 54)
Allah swt berfirman mengisahkan raja Mesir. Setelah mengetahui dan
meyakini kebersihan Yūsuf dari segala yang dituduhkan kepadanya serta
keluhuran budi pekertinya, maka ia berkata, “Bawalah Yūsuf kepadaku untuk ku
angkat dia menjadi salah seorang anggota staf khususku dan penasehatku.”28
Disebutkan dalam Tafsir Ibn Katsīr, setelah raja Mesir bercakap-cakap
dengan Yūsuf, maka berkatalah ia kepadanya, مكانة وأمنة إنك عندنا قد بقيت ذا
27
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,
Juz II (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992). h. 215. 28
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid IV (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 384.
54
Sesungguhnya engkau (Yūsuf) di sisi kami sebagai pembantu yang berkedudukan
tinggi dan berkepercayaan penuh.”29
2. QS. Al-Syuʻarāˋ
إن لكم رسول أمي “Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus)
kepadamu.” (QS. Al-Syuʻarâˋ 107, 125, 143, 162, dan 178).
Pada ayat di atas, disebutkan sebanyak 5 kali dalam satu surah yang sama.
Ayat-ayat tersebut ialah ayat ke 107, 125, 143, 162 dan 178, namun mengarah
pada obyek yang berbeda. Obyek-obyek tersebut ialah Nabi Nūh, Hūd, Ṣāleh, Lūṭ
dan Syuʻaib. Adapun rinciannya sebagai berikut:
a. Nabi Nūh as
Tafsirnya: Kelompok ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah
Taʻala ihwal hamba dan Rasul-Nya, Nūh as. Dia merupakan rasul pertama
yang diutus oleh Allah kepada penghuni bumi setelah sebelumnya berhala
dan sekutu yang disembah oleh mereka. Kemudian kaumnya mendustakan
Nûh dan mereka terus-menerus berada dalam kemusyrikan. Pendustaan
mereka terhadap Nūh dipandang Allah sebagai pendustaan terhadap seluruh
rasul. Karena itu, Allah Ta‟ala berfirman, “Kaum Nūh telah mendustakan
para rasul” Ketika saudara mereka berkata: kepada mereka, „Mengapa kamu
tidak bertaqwa?‟ Yakni mengapa kamu tidak takut kepada Allah dengan
penyembahanmu kepada selain-Nya?‟30
Terkait firman Allah, “ إن لكم رسول أمي” Ibn Katsīr menafsirkannya
dengan:
: أي إنى رسول من الله إليكم أمي فيما بعثنى الله بو أبلغكم رسالت إنى لكم رسول أمي 31رب ول أزيد فيها ول أنقص منها.
29
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,
Juz II (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), h. 463. 30
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 62. 31
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,,
Juz III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), h. 329.
55
Sesungguhnya aku adalah seorang rasul Allah yang terpercaya
bagimu. Allah telah mengutus kepadaku untuk menyampaikan risalah-Nya.
Dan aku tidak menambah dan mengurangi risalah itu.
b. Nabi Hūd as
Tafsirnya: Ini adalah kabar dari Allah Taʻala tentang hamba dan rasul-
Nya, yaitu Hūd as, bahwasannya ia menyeru kaumnya. Yaitu kaum ʻĀd.
Mereka adalah kaum yang menempati Al-Ahqāf, yaitu bukit-bukit pasir yang
terletak dekat dengan negeri Hadramaut dari arah negeri Yaman. Zaman
mereka adalah setelah Nabi Nūh. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S Al-
Aʻrāf: 69 Mereka وواذكروا إذ جعلكم خلفاء من بعد قوم نوح وزادكم في الخلق بسط
kaum yang berada pada puncak keteraturan, kekuatan, siksanya keras,
kekuasaan yang luas, rezeki yang lapang, harta benda, kebun-kebun, sungai-
sungai, anak-anak, tanaman-tanaman dan buah-buahan. Meski demikian,
mereka beribadah kepada selain Allah swt. Maka Allah mengutus kepada
(Hūd as) seseorang dari kalangan mereka sebagai rasul, pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan. Lalu dia menyeru mereka kepada Allah dan
memperingatkan mereka akan hukuman dan adzab-Nya jika mereka
menyelisihi-Nya.32
c. Nabi Ṣāleh as
Tafsirnya: Ini merupakan pemberitahuan dari Allah swt ihwal hamba
dan rasul-Nya, Ṣāleh as. Dia mengutusnya kepada kaum Tsamud. Mereka
bangsa Arab. Mereka tinggal di kota al-Hijr yang terletak antara Wadil Qura
dan Syria. Tempat tinggal mereka dikenal dan sangat masyhur. Kaum
Tsamud hidup setelah kamu ʻĀd dan sebelum Ibrāhīm as.
Nabi Ṣāleh mengajak mereka kepada Allah Taʻala agar mereka
menyembah Dia semata tanpa sekutu bagi-Nya dan hendaklah mereka
menaati risalah yang disampaikan kepada mereka. Namun jika mereka
membangkang, mendustakan dan menyelisihnya maka semuanya akan binasa
32
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 68.
56
bersama mereka.33
Dan Nabi Ṣāleh juga mengabarkan kepada mereka bahwa
dia tidak meminta upah sedikitpun dari mereka, akan tetapi dia hanya
mengharapkan pahala dari Allah swt.
Pendapat yang benar adalah mereka satu umat. Mereka disifati untuk
setiap situasi dengan sesuatu. Karena itu Nabi Syuʻaib menasehati dan
memerintahkan mereka untuk memenuhi takaran dan timbangan sebagaimana
dalam kisah Madyan (sama persis). Maka hal ini menunjukkan bahwa mereka
adalah satu umat dengan nama yang berbeda. d. Nabi Lūṭ as
Tafsirnya: Allah Ta‟ala memberitahukan ihwal hamba dan rasul-Nya,
Lûṯ as. Lûṯ adalah anak laki-laki Haran bin Azar. Dia adalah anak saudara
laki-laki Ibrahīm as. Dia diutus kepada satu umat yang ditinggal di Sadum.
Perilaku mereka menyebabkan mereka dibinasakan oleh Allah swt. Dia
menjadikan tempat tinggal mereka danau yang bau busuk. Tempat ini dikenal
di wilayah pegunungan Bergua yang berdekatan dengan wilayah pegunungan
Baitul Maqdis. Lūṯ mengajak mereka untuk meng-Esakan Allah, dan menaati
rasul yang telah Allah utus kepada mereka dan melarang mereka bermaksiat
yaitu berbuat sodomi.34
e. Nabi Syuʻaib as
Tafsirnya: Penduduk Aikah adalah penduduk Madyan. Aikah nama
sebuah pohon yang menjadi persembahan mereka. Nabi yang datang kepada
mereka adalah Nabi Syuʻaib as yang sekutu, sedarah, sedaging dengan
seorang rasul kepercayaan yang diutus Allah kepada kamu, untuk mengajak
kamu menyembah hanya kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan
menciptakan alam semesta ini, bertaqwalah kamu kepada-Nya dan taatlah kepada
ajaranku yang Allah perintahkan aku menyampaikan kepadamu. Dan untuk
penyampaian ajaran dan tuntunan Allah kepadamu, sekali-kali aku tidak
33
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h.74. 34
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 79.
57
minta upah kepadamu. Upahku hanyalah dari Allah, Tuhan semesta alam
yang telah mengutusku.35
Kemudian, Ibn Katsīr menyebutkan beberapa riwayat hadits yang
berbicara mengenai apakah penduduk Aikah dan Madyan itu satu umat?
Ataukah keduanya berbeda (dua umat)? Hadits-hadits tersebut di antaranya:
ا حدثنى إبن السدى عن أبيو وزكري –وىو ضعيف -وقد روى إسحاق بن بشر الكاىلىبن عمر وعن خصيف عن عكرمة قال: ما بعث الله نبيا مرتي إل شعيبا مرة الى مدين
فأخذىم الله بالصحيحة ومرة الى أصحاب الأيكة فأخذىم الله تعالى بعذاب يوم الظلة, وروى أبو القاسم البغوى عن ىدبة عن همام عن قتادة فى قولو تعالى )وأصحاب الرس( قوم
الأيكة( قوم شعيب. وقال لو إسحاق بن بشر. وقال غير جويبر شعيب وقولو )وأصحاب .أصحاب الأيكة ومدين هما واحد, والله أعلم
36
Pada pembahasan akhir dalam menafsirkan ayat di atas, Ibn Katsīr
berkata:
والصحيح أنهم أمة واحدة وصفوا فى كل مقام بشيئ ولهذا وعظ ىؤلء وأمرىم بوفاء 37والميزان كما فى قصة مدين سواء بسواء فدل ذلك على أنهما أمة واحدة.المكيال
Dari uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam QS. Al-Syuʻarâˋ
107, 125, 143, 162, dan 178 yaitu amanah dengan makna kepercayaan,
maksudnya adalah sifat yang dimiliki oleh seseorang, yaitu sifat terpercaya, selalu
jujur, setia dengan ucapan dan tidak berdusta. Amanah merupakansatu sifat yang
wajib dimiliki oleh seorang rasul. Lima kali kata rasūlun amīn untuk menyebut
lima orang Rasul. Gelar tersebut diberikan kepada yakni; Nabi Nūh as (ayat 107),
Nabi Hūd as. (ayat 125), Nabi Shaleh as (ayat 143), Nabi Luth as (ayat 162) dan
Nabi Syu‟aib as (ayat 178). Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan bahwa rasul diberi
kepercayaan dan kepercayaan yang dimaksud adalah risalah atau agama Allah swt
untuk mengatur kehidupan manusia.
35
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr, Jilid VI (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1988). h. 81. 36
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,
Juz III (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), h. 334. 37
Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz III, h. 334.
58
3. QS. Al-Takwīr: 21
أمي طاع ث م “Yang ditaati (di alam malaikat), lagi dipercaya.”
Kata الأمي dalam ayat di atas dimaknai dengan “صفة لبريل بالأمانة” adalah
sifat yang dimiliki Jibril as, yaitu amanah atau dapat dipercaya.38
Hal ini
merupakan suatu perkara yang sangat agung karena Allah swt menyucikan
hamba-Nya dan utusan-Nya (Malaikat Jibril) sebagaimana Allah swt menyucikan
hamba-Nya dan utusanya (Muhammad saw) dengan firman-Nya: وما صحبكمن بمجنػو (Dan temanmu [Muhammad] bukanlah sekali-kali orang yang gila). Al-
Syaʻbī, Maimūn bin Mahrān dan Abu Ṣālih berkata: maksud dari ayat “ وما صحبكم adalah Nabi Muhammad saw. Sedangkan pendapat yang dikatakan oleh ”بمجنػون
lebih dari satu orang ulama salaf, di antaranya Ibn ʻAbbās, Muhammad bin Kaʻab,
Qatādah, „Aṭiyyah Al-Aufā, As-Suddī, Adh-Dhahak, Az-Zuhrī dan Ibn Juraij.
Disifati dengan al-Amīn karena ia (Jibril merupakan kepercayaan Allah swt untuk
memelihara wahyu-Nya dan menyampaikannya kepada siapapun di antara hamba-
Nya yang Dia kehendaki.39
Az-Zuhri bekata: Ini seperti yag disebutkan dalam
firman Allah QS. Al-Baqarah 97:
قا لما بػي يديو وىدى قل من كان ع دوا لبريل فإنو نػزلو على قػلبك بإذن الله مصد وبشرى للمؤمني
“Katakanlah Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka
Jibril itu telah menurunkan (al-Qur‟an) ke dalam hatimu dengan
seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang
beriman.”
Dari uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa dari ayat (QS.
Al-Takwīr: 21) tersebut, diketahui bahwa amanah bukan saja diberikan kepada
manusia, akan tetapi amanah juga dapat disematkan kepada para malaikat,
38
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz
IV (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), h. 481. 39
Salim Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994).
Jilid VI, h. 85.
59
khususnya malaikat Jibril as selaku penghubung yang membawakan wahyu dan
risalah Allah SWT dengan para nabi-Nya.
4. QS. Al-Naml: 39.
قال عفريت من الن أنا آتيك بو قػبل أن تػقوم من مقامك وإنى عليو لقوي أمي “Berkata „Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin. “Aku akan datang
kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar
kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.”
.Berkatalah Ifrit dari golongan jin, “Aku akan datang kepadamu dengan
membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu.”
Ibn ʻAbbās berkata, “Sebelum engkau bangun dari singgasanamu.” Mujahid
berkata, “tempat dudukmu” As-Suddī dan lainnya berkata, yakni mulai dari pagi
hingga tergelincir matahari. “Sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk
membawanya lagi dapat dipercaya.” Ibn ʻAbbās berkata, “ قوي على حلو أمي على ما Yakni, kuat untuk memikulnya dan terpercaya untuk menjaga ”فيو من الوىر
permata yang terdapat di dalamnya.40
Dari uraian tersebut, penulis menyimpulkan dalam ayat (Q.S Al-Naml: 39)
tersebut merupakan tentang kemampuan „Ifrit (golongan jin) memindahkan
singgasana ratu Balqis pada saat itu dalam waktu singkat. „Ifrit juga menjamin
bahwa dia dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas tersebut. yang dimaksud
dengan amīnun dalam ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang diberikan
oleh „Ifrit untuk membawa istana seperti sedia kala tanpa ada perubahan,
pengurangan, atau penambahan, khususnya yang terkait dengan isi singgasana.
5. QS. Al-Tīn: 3
وىذا البػلد الأمي Artinya: “Dan demi kota (Makkah) ini yang aman.”
40
Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm, Juz III, h. 336.
60
Yang dimaksud الأمي (aman) pada ayat di atas yaitu kota Makkah. Pendapat
ini dikatakan oleh Ibn „Abbās, Mujāhid, Ikrimah, Al-Ḥasan, Ibrāhīm An-Nakhāi,
Ibn Zaid dan Kaʻab Al-Ahbār, dan tidak ada perselisihan tentang ayat ini.41
Sebagian para imam berkata: Ketiga tempat ini adalah lokasi diutusnya
seorang Nabi yang tergolong dalam Ulul Azmi, yang diturunkan syariʻat besar
kepada mereka yaitu:
Pertama: Tempat Tin dan Zaitun, yaitu Baitul Maqdis yang diutus ke sana
adalah Nabi „Īsa as.
Kedua: Sinīn, yaitu Gunung Sinai, tempat Allah berbicara dengan Nabi Musa
as.
Ketiga: Makkah, yaitu negeri yang aman. Orang yang masuk ke negeri itu
akan aman dan itulah tempat Allah swt mengutus utusanNya, yaitu Muhammad
saw.
Sebagian para imam itu berkata: Di dalam kitab Taurat telah disebutkan
ketiga tempat ini: “Allah datang dari Thur Sinai.” Yaitu tempat Allah berbicara
dengan Nabi Mūsa as. “Kemudian terbit di Sa‟ir.” Yaitu gunung Baitul Maqdis,
tempat Allah mengutu Nabi Isa as. “Dan memberi pernyataan dari gunung
Farran,” yaitu pegunungan Makkah, tempat Allah swt mengutus Nabi
Muhammad saw. Di sini Allah menyebutkan ketiga tempat tersebut secara
berturut-turut sesuai urutan waktu. Dengan demikian, di sini Allah bersumpah
dengan yang paling mulia, lalu yang paling mulia darinya dari yang paling mulia
di antara keduanya itu.42
Kata al-amīn dalam ayat (QS. Al-Tīn: 3) mengandung makna kepercayaan
dan keamanan. Karena kota Mekkah menjaga orang yang masuk ke dalam
wilayahnya, bahkan menjaga hewan atau tumbuhan yang ada di dalamnya,
sebagaimana orang yang dipercaya menjaga apa yang dipercayakan kepadanya.
41
Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,,
Juz IV (Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992), h. 529. 42
Al-Hāfiẓ „Imād al-Dīn Abu Al-Fidā Ismā‟īl Ibn Katsīr, Tafsir Juz „Amma terj. Farizal
Tirmizi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 260-261, atau Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn
Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm,, Juz IV (Beirut: Maktabah Al-Nûr Al-„Ilmiyyah,
1992), h. 529.
61
Dengan demikian, Mekkah disamakan dengan makhluk hidup karena memiliki
kesamaan yaitu penjagaan.
Jika dilihat dari pengklasifikasian ayat-ayat amanah dalam tafsir Ibn Katsīr,
amanah yang berakar dari kata amina mengandung beberapa makna yakni, beban
kewajiban, janji, barang titipan, kepercayaan; Amanah dengan pengertian
pembebanan ialah agama yakni taklīf (pembebanan kewajiban-kewajiban agama).
Ketika Allah swt ingin melihat keimanan hamba-Nya. Ia menetapkan seperangkat
perintah dan larangan untuk dijalankan dan dihindari oleh manusia. Pada
hakikatnya pembebanan tersebut demi kebaikan dan kepentingan manusia itu
sendiri, sebaliknya ketika mereka menghindari taklif tersebut berarti mereka
menolak kebaikan yang sudah direncanakan Allah swt untuk dirinya, yaitu
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; Amanah dengan makna perjanjian,
perjanjian merupakan pembebanan atas diri sendiri dan pertanggungjawaban
kepada Allah swt. Pertanggungjawaban tidak hanya menyangkut dilaksanakan
atau tidaknya perjanjian tersebut, namun perlunya loyalitas dan disiplin terhadap
pelaksanaannya. Setiap janji dan ikrar yang dibuat harus dipenuhi dan
dilaksanakan semaksimal mungkin sesuai dengan janji yang telah disepakati.
Pengingkaran janji adalah pengingkaran amanah dan pengingkaran
pertanggungjawaban kepada Allah swt dan termasuk dalam kategori munafik;
Amanah dengan pengertian barang titipan adalah setiap barang yang dipercayakan
seseorang kepadanya untuk dijaga, disimpan, dipelihara, atau disampaikan kepada
orang lain, atau titipan yang akan diambil pada saat dikembalikan. Amanah
dengan pengertian ini menuju kepada terciptanya hubungan saling membutuhkan
yang harmonis di antara sesama manusia; Amanah dengan makna kepercayaan
adalah suatu hal yang berkaitan dengan integritas moral seseorang, seperti jujur,
tidak berdusta, memenuhi janji dan bisa dipercaya. Amanah dalam pengertian ini
menekankan titik kejujuran dalam membersihkan diri untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt. Sifat ini merupakan tanggungjawab orang yang beriman agar
memiliki kejujuran dalam rangka mempraktekkan sifat terpuji yang dimiliki para
Nabi.
62
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah dilakukan penelitian tentang tema Penafsiran Ibn Katsīr Tentang
Amanah dalam - - Aẓīm (Kajian Tematis Ayat-ayat Amanah),
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibn Katsīr menafsirkan ayat-ayat amanah
menjadi beberapa arti tergantung pada konteks ayat yang dibahas. Adapun sumber
amanah ada 2, yaitu dari Allah dan Manusia. Amanah yang bersumber dari Allah
terkait dengan segala bentuk perintah dan larangan. Sedangkan amanah yang
datang dari manusia terkait dengan segala bentuk kepercayaan, baik berupa harta,
jabatan dan lain sebagainya. Namun semuanya terpangkal pada makna amanah
sebagai beban kewajiban yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan
berlaku adil baik dalam bentuk hutang piutang (barang titipan), beban kewajiban
(taklīf) dan hak-hak Allah yang harus ditunaikan berupa perkara yang
dipercayakan kepada manusia tanpa perlu diwarisi dan mengembalikan kewajiban
(tugas) kepada yang berhak menunaikannya. Adapun obyek atau sasaran yang
diberi amanah yaitu: Nabi, Malaikat, Jin, Manusia dan Wilayah. Rinciannya
adalah ketika amanah itu dimaknai dengan kepercayaan maka obyek kajiannya
mengarah kepada Nabi, Malaikat, Jin ataupun Manusia. Kemudian jika amanah
itu dimaknai dengan kewajiban dan hak-hak maka obyeknya mengarah kepada
manusia. Sedangkan jika amanah itu dimaknai dengan aman maka mengarah
kepada wilayah atau tempat.
B. SARAN
Dalam penulisan skripsi yang berkaitan dengan konsep amanah dalam
pandangan Ibn Katsīr dalam Tafsir al- ’ -‘ ẓīm (Kajian Tematis Ayat-ayat
amanah) ini akan lebih bermakna apabila ada sumbangan dan saran untuk
menganalisa tafsir-tafsir yang berkaitan dengan sosial masyarakat. Untuk itu
penulis menyampaikan bahwa perlu adanya penelitian yang lebih mendalam
63
terhadap kata yang mirip atau semakna dengan kata amanah seperti ṣiddīq, imān,
iṭm ʻ dan lain sebagainya yang bisa dikaji lebih lanjut untuk dijadikan
sebagai skripsi. Hendaknya sikap amanah ini diaplikasikan di dalam segala segala
aspek kehidupan sebagaimana tuntutan agama, karena dengan amanah ini maka
akan tercipta rasa tanggung jawab yang tinggi sehingga segala aspek kehidupan
akan beralan dengan baik.
64
DAFTAR PUSTAKA
Al-Alusī, Abū al-Fadl Syihāb al-Dīn Mahmūd. Rūh al-Ma‟ānī fī Tafsīr al-Qur‟ān
al-Aẓīm wa al-Sab‟ al-Masani. Beirut: Dār Ihyā al-Turas al-„Arabī. t.th
Agung, Ivan Muhammad dan Desma Husni. “Pengukuran Konsep Amanah Dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif” Jurnal Psikologi, Vol. 43, No. 3,
2016.
Anis, Ibrahim.. Al-Mu‟jam Al-Wasit. juz I. cet 4. Sl: Sn, Sa.
Anwar, Rosihon. Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir Aṭ-Ṭabarī dan
Tafsir Ibn Katsīr. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Arif, Zainal. Ulum Al-Qur‟an Cara Memahami Kandungan Al-Qur‟an. Banten:
Pustaka Getok Tular, 2017.
Bahreisy, Salim. Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsīr. Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1993.
Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Al-Bāqī, Muhammad Fuad Abd. Al-Muʻjam Al-Mufahras lī Alfāz Al-Qurˋan Al-
Karīm. Beirut: Dār al-Fikr, 1981.
al-Bukhārī, Abdullah Muhammad bin Ismāīl bin Ibrahim bin al-Mughīrah. Al-
Jami‟ al-Sahih, juz I. Beirut: „Alam al-Kutb, 1417H/1997M.
Al-Dimasyqī, Imām al-Jalīl al-Hāfiẓ ʻImād al-Dīn Abi al-Fidāˋ Ismā‟īl Ibn Katsīr
al-Qurasyī. Tafsir Al-Qurˋan Al-ʻAẓīm. Juz I. Semarang: Toha Putra, tt.
________ Tafsir Al-Qurˋan Al-ʻAẓīm. Juz III. Semarang: Toha Putra, tt.
Al-Dimasyqī, Al-Imām Abī Al-Fidāˋ Al-Hāfiẓ Ibn Katsīr. Tafsir Al-Qur‟an Al-
Aẓīm. Juz II. Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-„Ilmiyyah, 1992.
________Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm. Juz III. Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-
„Ilmiyyah, 1992.
________Tafsir Al-Qur‟an Al-Aẓīm. Juz IV. Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-
„Ilmiyyah, 1992.
Fachruddin Hs,. Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1992.
65
Al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhuʻi dan Cara Penerapannya.
Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Ghofur, Saiful Amin. Mozaik Mufasir Al-Qur‟an dari Klasik hingga
Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Kaukaba, 2013.
________Profil Para Mufassir Al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008.
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qurˋan. Jakarta: AMZAH, 2005.
Herianingrum, Sri dkk. “Implementasi Nilai-nilai Amanah pada Karyawan Hotel
Darussalam Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo”. Al-Tijarah, Vol. 1,
No. 1 Juni 2015.
Katsīr, Al-Hāfiz ʻImāduddīn Abū Al-Fidā Ismā‟īl Ibn. Tafsir Juz „Amma terj.
Farizal Tirmizi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
________Mukhtasar Al-Bidāyah wa An-Nihāyah terj. Asmuni. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahanya. Jakarta: PT. Sinergi
Pustaka Indonesia, 2012.
________Tafsir Al-Qur‟an Tematik “Etika Berkeluarga, Bermasyaraat, dan
Berpolitik”. Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.
Mahmud, Mani Abd Halim. Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir terj. Faisal Saleh dkk. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006.
Al-Maraghī, Ahmad Musṭafā. Tafsir al-Maraghī terj. Bahrun Abu Bakar dkk.
Semarang: Toha Putra, 1986.
Manzur, Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukrom Ibn. Lisān Al-„Arab.
juz 16. cet I. Beirut: Dar Shadr, 1995.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian Al-Qurˋan dan Tafsir. Yogyakarta: Idea
Press Yogyakarta, 2014.
Mohaqqeq, Mehdi. Kamus Kecil al-Qurˋan: Homonim Kata Secara Alfabetis, terj.
Musa Muzauwir. Jakarta: Penerbit Citra, 2002.
66
Nurhaedi, Dadi. “Tafsir al-Qurˋan al-„Aẓīm karya Ibnu Katsīr” dalam Hamim
Ilyas, Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2004.
Pulungan, Sahmiar. “Wawasan Tentang Amanah Dalam Al-Qur‟an”. Disertasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta 2006.
Pusat Dakwah Islamiyah Kementerian Hal Ehwal Ugama, Jujur, Amanah, dan
Bijaksana dalam Pekerjaan. Cetakan I. Brunei Darussalama, 1999.
Al-Qaṭṭān, Mannāʻ Khalīl. Mabāhis fī ʻUlūmil Qurˋan terj. Mudzakir. jakarta:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2011.
Al-Qurṭubī, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurṯubî. Terj. Dudi Rosyadi dkk. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
Quṭb, Sayyid. Tafsir Fī Ẓilālil Qur‟an terj. As‟ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani
Press, 2004.
Raharjo, M. Dawan. Ensiklopedia Al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Rahmawati, Diah. “Penafsiran Kata Amanah Dalam Al-Qur‟an Menurut
Ṭabaṭaba‟ī dan Sayyid Qutb”. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta 2008.
Ar-Rifāʻī, Muhammad Nasib. Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsīr Ibnu
Katsīr, terj. Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Romadlon, Arif Firdaus Nur. Penafsiran Amanah Menurut Hamka, M. Quraish
Shihab dan Depag. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2011.
Shaleh, Qamaruddin. Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat
Al-Qur‟an. Bandung: CV Diponogoro, 1995.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al Misbah. Volume II. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
As-Suyūṭī, Jalāluddīn. Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an terj. Tim
Syakir, Syaikh Ahmad. Mukhtasar Tafsir Ibn Katsīr terj. Suharlan. Jakarta: Darus
Sunnah, 2014.
Al-Ṭabarī, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr. Tafsir Al-Ṭabarī. terj. Ahsan Askan
dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
67
Tim Baitul Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits.
Jakarta: Kamil Pustaka, 2013.
Wassil, Jan Ahmad. Tafsir Qurˋan Ulul Albab. Bandung: PT Karya Kita, 2009.
Zainu, Syaikh Muhammad Jamil. Bagaimana Memahami al-Qur‟an terj.
Salafuddin Aj. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1995.
Zenrif, M. F. Sintesis Paradigma Studi Al-Qur‟an. Malang: UIN-Malang Press,
2008.
68
LAMPIRAN KESELURUHAN AYAT-AYAT AMANAH
BERDASARKAN PENGELOMPOKKAN MAKKIYAH DAN
MADANIYAH
MAKKIYAH MADANIYAH
Q.S Al-Takwir: 21
مطاع ثم أمين
Q.S Al-Baqarah: 283
وإن كنتم على سفر ول تدوا كاتبا فرهان فإن أمن ب عضكم ب عضا ف لي ؤد مقب وضة
المذي اؤتمن أمان ته وليتمق الله ربمه ولا تكتموا الشمهادة ومن يكتمها فإنمه ءاث
ق لبه والله با ت عملون عليم
Q.S Al-Tin: 3
وهذا الب لد الأمين
Q.S Al-Anfāl: 27
ياأي ها المذين آمن وا لا تون وا الله والرمسول وتون وا أماناتكم وأن تم ت علمون
Q.S Al-A’rāf: 68
أمين أب لغكم ر س الا ت ر وأنا لكم نا
Q.S Al-Ahzāb: 72
إنما عرضناالأمانة على السمماوات والأرض ها والبال فأب ي أن يملن ها وأشفقن من وحلها الإنسان إنمه كان ظلوما جهولا
Q.S Al-Syu’arā’: 107, 125, 143, 162
dan 178
إن لكم رسول أمين
Q.S Al-Nisā’: 58
إنم الله يأمركم أن ت ؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم ب ي النماس أن تكموا بالعدل إنم
را عا بصي ي الله نعمما يعظكم به إنم الله كان سQ.S Al-Naml: 39
قال عفريت من الن أنا أتيك به ق بل أن ت قوم
69
من مقامك وإن عليه لقوي أمين Q.S Al-Mu’minūn: 8
والمذين هم لأماناتمم وعهدهم راعون