Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah...

39
PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN DALAM PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH AGUNG 1 Shalahuddin Al Ayoubi S.H. ABSTRAK Judicial review merupakan salah satu bentuk judicial control dalam kerangka checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan. Pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi terdiri atas dua yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di antara pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan melaksanakan judicial review adalah Mahkamah Agung. Landasan konstitusional kewenangan Mahkamah Agung melakukan judicial review diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi , menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Pelaksanaan judicial review di Indonesia dewasa ini sudah semakin mapan, namun masih terdapat persoalan hukum yaitu mengenai penerapan asas-asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung. Pelaksanaan hukum acara pengujian peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung dilakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil. Yang menjadi fokus penelitian ini adalah apakah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 memuat asas-asas hukum acara peradilan yang berlaku umum dan apakah proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung harus menerapkan asas-asas hukum acara peradilan yang berlaku umum. Dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), 1 Tulisan ini disarikan dari skripsi penulis yang berjudul “Penerapan Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Bawah Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Oleh Mahkamah Agung”, (Padang, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2014). 1

Transcript of Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah...

Page 1: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN DALAM PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG

TERHADAP UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH AGUNG1

Shalahuddin Al Ayoubi S.H.

ABSTRAK

Judicial review merupakan salah satu bentuk judicial control dalam kerangka checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan. Pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi terdiri atas dua yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di antara pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan melaksanakan judicial review adalah Mahkamah Agung. Landasan konstitusional kewenangan Mahkamah Agung melakukan judicial review diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi , menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Pelaksanaan judicial review di Indonesia dewasa ini sudah semakin mapan, namun masih terdapat persoalan hukum yaitu mengenai penerapan asas-asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung. Pelaksanaan hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung dilakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil. Yang menjadi fokus penelitian ini adalah apakah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 memuat asas-asas hukum acara peradilan yang berlaku umum dan apakah proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung harus menerapkan asas-asas hukum acara peradilan yang berlaku umum. Dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan sejarah hukum (historical approach).

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Hanya dengan kaidah aturan yang tersusun secara hierarkis, hukum sebagai suatu sistem dapat terbangun. Jika peraturan perundang-undangan saling bertentangan satu dengan lainnya, tidak lagi dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem yang dapat dilaksanakan dan ditegakkan.2 Untuk itu diperlukan mekanisme yang dapat menjamin hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu melalui pengujian peraturan perundang-undangan atau juga dikenal dengan sebutan judicial review.

Judicial review di dalam negara hukum semakin memegang peranan penting sekaligus eksistensinya merupakan konsekuensi logis dari suatu negara dengan corak

1 Tulisan ini disarikan dari skripsi penulis yang berjudul “Penerapan Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Bawah Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Oleh Mahkamah Agung”, (Padang, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2014).

2 Kata pengantar Jimly Asshiddiqie dalam Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia : Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hlm. v.

1

Page 2: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

pemerintahan yang demokratis. Dalam sistem demokrasi konstitusional, judicial review diyakini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam bidang hukum ketatanegaraan.3

Abdul Hakim Garuda Nusantara misalnya berpendapat bahwa judicial review merupakan sarana pengembangan good governance.4 Ide judicial review telah demikian luas diterima dan dipraktikan di dunia sebagai hasil perkembangan ketatanegaraan masing-masing. Tak terkecuali di Indonesia yang usia ide judicial review bahkan dapat dikatakan lebih tua dari umur Negara Republik Indonesia ini.

Pelembagaan fungsi judicial review di dalam ketatanegaraan Indonesia saat ini terdiri atas dua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan konstitusional Mahkamah Agung melakukan judicial review tercantum dalam Pasal 24A Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Sementara itu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melakukan judicial review tercantum dalam Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Dari ketentuan di atas, jelas dibedakan antara konsep pengujian undang-undang

terhadap UUD yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, dengan konsep pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Dengan adanya pembedaan itu membedakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah pengawal Undang-Undang Dasar (the guardian of the constitution).5 Sedangkan Mahkamah Agung adalah pengawal undang-undang (the guardian of the law).6

Meskipun pelaksanaan judicial review di Indonesia dewasa ini sudah semakin mapan, namun masih terdapat persoalan hukum terutama mengenai penerapan asas-asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung. Pelaksanaan hukum acara pengujian peraturan

3 Pan Mohamad Faiz, Konstitusi dan Aktivisme Yudisial, Kolom Opini Jurnal Nasional, Selasa 25 Agustus 2009.

4 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Judicial Review Sebagai Sarana Pengembangan Good Governance, (Makalah disampaikan pada Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12-15 Oktober 1999), hlm. 5-6. Dalam Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 1.

5 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010), hlm. 30. Lebih lanjut beliau menjelaskan : Penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan sebagai berikut : “… keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.”

6 Ibid.

2

Page 3: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung dilakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil.

Jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal 31A Ayat (3) huruf a Undang-Undang Mahkamah Agung,7 permohonan hak uji yang langsung diajukan kepada Mahkamah Agung adalah bersifat peradilan voluntair (voluntary jurisdiction). Ketentuan ini menegaskan yang harus dicantumkan dalam permohonan : nama dan alamat pemohon saja. Tidak disebut nama dan alamat termohon. Berarti permohonan cukup menyebut nama dan alamat pemohon saja, dan tidak disyaratkan mesti ada pihak lain yang ditarik sebagai termohon dan tergugat. Jadi tidak mesti menarik penguasa tertentu sebagai pihak termohon atau tergugat. Akan tetapi, tidak dilarang untuk menarik penguasa atau badan pemerintah tertentu sebagai termohon/tergugat yakni penguasa atau badan pemerintah (government agency) yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.8

Bagaimana proses pemeriksaannya di persidangan? Apakah benar-benar murni melalui proses pemerikasaan secara ex parte, yakni pemeriksaan di sidang peradilan hanya melibatkan pihak pemohon saja tanpa hadirnya pihak lain (involving only one party to a legal matter)? Jika secara strict law berpegang pada asas ex parte, proses pemeriksaannya hanya mendengar pihak pemohon saja tanpa menarik pihak lain sebagai termohon/tergugat. Akan tetapi, Jika dikaitkan dengan lingkup permohonan hak uji bukan semata-mata untuk kepentingan pemohon, namun langsung menyangkut kepentingan masyarakat luas, kurang tepat menganut pemeriksaan persidangan secara ex parte. Oleh karena itu dianggap tepat dan rasional ketentuan yang digariskan Pasal 2 Ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 1993 yang menggariskan proses pemeriksaan hak uji tersebut dengan menerapkan hukum acara yang berlaku bagi sebuah perkara kontentiosa (contentieuze rechtspraak, contentious jurisdiction).9 Dengan demikian, proses pemeriksaannya dilakukan secara contradictoir (interpartes). Tata cara proses pemeriksaan berdasarkan prinsip kontentiosa perlu diterapkan dan dipertahankan tanpa mempersoalkan apakah permohonan hak uji yang diajukan bersifat permohonan secara sepihak atau gugatan yang menarik pihak lain sebagai termohon/tergugat.10

Penerapan cara pemeriksaan kontentiosa atas bentuk permohonan telah dikembangkan dalam berbagai kasus. Seperti halnya pemeriksaan cerai talak berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Meskipun bentuknya permohonan, namun proses

7 Pasal 31A Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung berbunyi :Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat :

a. nama dan alamat pemohon;b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan menguraikan dengan jelas bahwa :

1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau

2) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; danc. hal-hal yang diminta untuk diputus.

8 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), hlm. 113.

9 Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Hak Uji Materil berbunyi :Majelis memeriksa dan memutus gugatan tentang hak uji materil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum acara yang berlaku bagi sebuah perkara contentiosa.

10 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung…, Op. Cit., hlm. 114.

3

Page 4: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

pemeriksaannya secara kontentiosa melalui proses contradictoir, tidak secara ex parte. Kedudukan istri ditempatkan sebagai termohon, tidak ada bedanya sebagai tergugat. Begitu pula mengenai proses pemeriksaan permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Pasal 70 jo. Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Meskipun bentuknya permohonan secara voluntair, namun proses pemeriksaannya secara kontentiosa dengan jalan menghadirkan dan mendengar pihak yang dilawan atas putusan arbitrase tersebut. Demikian juga pernyataan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. Meskipun bentuknya permohonan, namun pemeriksaannya tidak secara ex parte, tetapi kontentiosa, oleh karena itu wajib memanggil debitur dalam proses pemeriksaan.11

PERMA Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil memang telah memberikan kemudahan bagi pemohon untuk mengajukan judicial review melalui Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum pemohon. Pemohon tidak perlu datang langsung ke Mahkamah Agung untuk mengajukan permohonan judicial review. Namun ketika masuk dalam tahap pemeriksaan, tidak ada sidang untuk mendengarkan keterangan dari pemohon, begitu juga keterangan dari termohon. Itu artinya tidak ada teknis acara sidang dengan agenda mendengarkan keterangan dari para pihak, tentu hal ini tidak sesuai dengan asas audi et alteram partem sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dalam pelaksanaan sidang hakim harus mendengarkan kedua belah pihak. Hakim harus adil dalam memberikan beban pembuktian kepada para pihak yang berperkara, agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua belah pihak tetap sama, tidak pincang atau berat sebelah.

Selanjutnya, Pemohon cukup menyerahkan permohonan dan termohon hanya diberi kesempatan untuk menyampaikan jawabannya, selebihnya proses pemeriksaan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dalam hal ini timbul pertanyaan, Bagaimana proses pemeriksaannya dilakukan, apakah ada keterangan ahli yang diperdengarkan dalam pemeriksaan tersebut, atau apakah ada informasi yang perlu dikonfirmasi kepada pemohon maupun termohon, tidak dapat diketahui oleh masyarakat bahkan oleh para pihak yang berperkara sekalipun sehingga hal ini menggambarkan bahwa persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung terkesan menjadi sangat tertutup. Tentu hal ini bertentangan dengan asas hukum acara peradilan yang terbuka untuk umum yang bertujuan supaya setiap orang tidak hanya pihak yang berperkara melainkan masyarakat juga dapat mengetahui bagaimana perkembangan dari setiap persidangan yang dilakukan. Kemudian, Setelah mengajukan permohonan, pemohon hanya tinggal menunggu pengiriman putusan tanpa tahu bagaimana proses pemeriksaannya dan bahkan tanpa tahu kapan putusannya akan diterima. Pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang haruslah sesuai dengan asas hukum acara peradilan yang terbuka untuk umum. Hal ini diharapkan melalui persidangan yang terbuka untuk umum dapat menjamin adanya social control atas tugas-tugas yang dilaksanakan oleh hakim, sehingga dengan demikian hakim dapat mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Apabila di dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan saja dilakukan dengan terbuka, maka pengujian terhadap peraturan perudang-undangan juga

11 Ibid.

4

Page 5: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

harus terbuka sehingga dapat diakses baik oleh para pihak yang berperkara maupun oleh masyarakat.

B. MasalahBerdasarkan uraian yang telah dikemukan sebelumnya, maka dirumuskan masalah

sebagai berikut :1. Apakah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil memuat asas-asas hukum acara peradilan yang berlaku umum ?2. Apakah proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung harus menerapkan asas-asas hukum acara peradilan yang berlaku umum ?

II. PEMBAHASANA. Muatan Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Yang Berlaku Umum Dalam

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji MaterilPeraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji

Materil secara garis besar memuat pengaturan tentang tata cara pengajuan permohonan keberatan, pemeriksaan dalam persidangan, putusan, pemberitahuan isi putusan dan pelaksanaan putusannya.

(1) Prosedur Permohonan KeberatanBerdasarkan Pasal 31A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang

Mahkamah Agung12 menegaskan bahwa Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

Ketentuan Pasal 31A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 di atas menentukan secara imperatif bentuk permohonan pengujian peraturan perundang-undangan harus dibuat secara tertulis, tidak boleh secara lisan. Barangkali pembuat undang-undang berpendapat bahwa setiap orang yang akan mengajukan permohonan pengujian adalah mereka yang telah berpendidikan, itu sebabnya permohonan harus dibuat secara tertulis. Padahal tidak tertutup kemungkinan akan adanya orang yang tidak berpendidikan tampil sebagai pemohon yang tidak pandai menulis di satu sisi dan tidak pula memiliki biaya untuk menunjuk seorang kuasa hukum di sisi lain.

Tentang isi permohonan diatur dalam Pasal 31A Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa permohonan sekurang-kurangnya harus memuat :

a. Nama dan alamat pemohonb. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan

dengan jelas bahwa :

12 Pasal 31A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 berbunyi :Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

5

Page 6: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

1. Materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau

2. Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan

c. Hal-hal yang diminta untuk diputusMemperhatikan ketentuan di atas, pada dasarnya isi permohonan hak uji sama dengan

prinsip gugatan. Harus mengajukan dalil atau alasan gugatan yang sejelas-jelasnya (deugdelijk, reliable) apa yang menjadi dasar permohonan pengujian, serta harus pula dibarengi dengan petitum (dagvaarding) tentang hal-hal apa yang diminta atau dituntut untuk diputus (relief to be sought). Apabila hal-hal yang dideskripsikan pada Pasal 31A Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 di atas tidak dipenuhi, permohonan dianggap mengandung cacat formil dalam bentuk obscuur libel.13

Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2011, Tata cara pengajuan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di Mahkamah Agung dilakukan melalui “permohonan keberatan”. Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang,14 sedangkan termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan.15 Di samping itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 menambahkan bahwa pemohon merupakan pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yaitu (a) perorangan warga Negara Indonesia, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang atau (c) badan hukum publik atau badan hukum privat.16

Secara rinci prosedur permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2011 dapat dijelaskan sebagai berikut.1) Permohonan keberatan dapat diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara : a) langsung ke Mahkamah Agung,17 dan b) melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.18

2) Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.19

3) Permohonan keberatan dibuat rangkap sesuai keperluan dengan menyebutkan secara jelas alasan-alasan sebagai dasar keberatan dan wajib ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah.20

13 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung…, Op.Cit., hlm. 112.14 Lihat Pasal 1 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.15 Lihat Pasal 1 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.16 Lihat Pasal 31A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.17 Lihat Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.18 Lihat Pasal 2 Ayat (1) Huruf b Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.19 Lihat Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.20 Lihat Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.

6

Page 7: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

4) Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri.21

Selanjutnya, tata cara atau proses permohonan keberatan tersebut apabila diajukan langsung ke Mahkamah Agung adalah sebagai berikut.1) Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan menggunakan kode : …..P/HUM/Th…..22

2) Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon keberatan atau kuasanya yang sah.23

3) Panitera Mahkamah Agung wajib mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak termohon setelah terpenuhi kelengkapan berkasnya.24

4) Termohon wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterima salinan permohonan tersebut.25

5) Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.26

6) Penetapan majelis sebagaimana dimaksud ayat (5) dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.27

Selanjutnya apabila permohonan keberatan tersebut diajukan melalui Pengadilan Negeri, maka tata caranya adalah sebagai berikut.1) Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri, didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan dibukukan dalam buku register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode : …..P/HUM/Th…../PN….. setelah pemohon atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima.28

2) Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah.29

3) Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung pada hari berikut setelah pendaftaran.30

4) Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.31

5) Penetapan majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.32

21 Lihat Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.22 Lihat Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.23 Lihat Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.24 Lihat Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.25 Lihat Pasal 3 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.26 Lihat Pasal 3 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.27 Lihat Pasal 3 Ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.28 Lihat Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.29 Lihat Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.30 Lihat Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.31 Lihat Pasal 4 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.32 Lihat Pasal 4 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.

7

Page 8: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

(2) Pemeriksaan Dalam PersidanganKetentuan yang mengatur tentang tata cara pemeriksaan atas permohonan keberatan

terhadap suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang secara eksplisit sebagai berikut.1) Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang hak uji materil tersebut.33

2) Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang hak uji materil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.34

Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 di atas menggariskan bahwa majelis hakim memeriksa dan memutus pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dengan menerapkan hukum acara yang berlaku bagi perkara permohonan. Melalui ketentuan tersebut itulah barangkali Mahkamah Agung beranggapan bahwa perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang termasuk perkara voluntair karena pengajuan judicial review diajukan melalui permohonan.

(3) Putusan, Pemberitahuan Isi Putusan dan Pelaksanaan PutusanBentuk putusan yang dapat dijatuhkan terhadap pengujian peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 dapat dijelaskan sebagai berikut.

a) Mengabulkan PermohonanDalam hal ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.35 Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.36

b) Menolak Permohonandalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.37

Selanjutnya, Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan negeri yang mengirim.38 Panitera Mahkamah Agung

33 Lihat Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.34 Lihat Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.35 Lihat Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.36 Lihat Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.37 Lihat Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.38 Lihat Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.

8

Page 9: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara.39 Dalam hal 90 (Sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.40 Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali.41

1. Asas-Asas Hukum Acara Yang Termuat Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil

a) Asas Hakim Bersifat MenungguPeraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 mengatur prosedur

pengajuan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dapat dilakukan melalui permohonan keberatan yang diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara langsung ke Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon. Secara implisit PERMA Nomor 1 Tahun 2011 mengandung asas hakim bersifat menunggu, hal ini terlihat bahwa inisiatif untuk mengajukan permohonan diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi, apakah akan ada proses judicial review atau tidak, apakah suatu permohonan itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Hakim hanya menunggu adanya permohonan yang diajukan kepadanya. Kalau tidak ada permohonan, maka tidak ada hakim (iudex ne procedat ex officio).

b) Mendengar Kedua Belah Pihak (Audi Et Alteram Partem)Dalam setiap perkara yang diperiksa dan diadili baik pemohon maupun termohon

mempunyai hak memperoleh kesempatan yang sama. Asas ini memang terkandung dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 yang terlihat secara implisit bahwa hakim tidak hanya memeriksa permohonan keberatan yang diajukan oleh pemohon namun juga memeriksa jawaban dari termohon yang diserahkan kepada hakim dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan permohonan pemohon. Namun, asas ini menurut penulis tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh Mahkamah Agung karena yang dilakukan Mahkamah Agung hanya sampai pada pemeriksaan berkas permohonan dari pemohon dan berkas jawaban permohonan dari termohon, sedangkan para pihak hanya akan dipanggil oleh Mahkamah Agung untuk hadir jika dibutuhkan saja.42 Sejatinya asas audi et alteram partem mengharuskan hakim untuk adil dalam memberikan beban pembuktian pada para pihak. Hal itu berarti juga pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Dengan adanya proses pembuktian melalui mekanisme sanggah-menyanggah antara para pihak dapat membuat terang permasalahan yang sedang

39 Lihat Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.40 Lihat Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.41 Lihat Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.42 Hasil tanya jawab penulis dengan Dr. Pri Pambudi Teguh S.H., M.H. (Panitera Muda Perdata

Mahkamah Agung RI) dalam rangkaian kegiatan Study Visit Ke Lembaga Negara oleh Perhimpunan Mahasiswa Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas (PMTN FHUA) tanggal 13 Februari 2014 di Mahkamah Agung, Jakarta. Pri Pambudi Teguh menjelaskan bahwa “proses persidangan untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang bukannya Mahkamah Agung tidak memanggil para pihak untuk hadir dalam persidangan. Namun jika memang dibutuhkan, Mahkamah Agung akan memanggil pihak yang bersangkutan untuk hadir”.

9

Page 10: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

diperiksa serta dapat membantu hakim memberikan pertimbangan atas putusan yang akan dijatuhkannya.

c) Putusan Harus Disertai Alasan-AlasanSemua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar

untuk mengadili. Asas ini terlihat secara implisit dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa dalam hal Mahkamah Agung berpendapat permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan yang di uji tersebut bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut. Selain itu asas ini secara faktual juga dapat dilihat dalam putusan-putusan yang telah dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang menjadi kewenangannya.

d) Beracara Dikenakan BiayaUntuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya. Biaya perkara ini meliputi biaya

kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Asas ini terkandung dan disebutkan secara tegas dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan. Dalam Makalahnya Refly Harun menyatakan bahwa untuk mengajukan permohonan judicial review di Mahkamah Agung harus membayar biaya sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).43

Pengujian peraturan perundang-undangan yang dibawa ke Mahkamah Agung sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi oleh peradilan biasa. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andaikata permohonan diajukan oleh seseorang atau individu tertentu. Hal inilah yang menjadi pertimbangan menurut penulis bahwa semestinya pengajuan judicial review ke Mahkamah Agung tidak dibebankan biaya atau dengan kata lain berperkara secara cuma-cuma (prodeo), berbeda halnya dengan seseorang yang mengajukan perkara ke peradilan biasa karena yang dilakukannya adalah untuk kepentingan pribadi sehingga dapat dibebankan biaya. Putusan terhadap pengajuan judicial review yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Agung tidak hanya mengenai orang seorang atau individu yang mengajukan permohonan, tetapi juga kepada orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya. Nuansa kepentingan umum yang melekat pada perkara inilah yang menjadi ciri pembeda dengan perkara perdata, pidana dan tata usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah dimana setiap berperkara di pengadilan harus membayar.

e) Persidangan Harus MajelisSusunan persidangan untuk semua pengadilan pada asasnya merupakan majelis, yang

sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Asas ini termuat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011. Hal ini terlihat pada saat setelah lengkap berkas permohonan, panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah

43 Refly Harun, Pengalaman Mengajukan Judicial Review Di Mahkamah Agung, hlm. 2. Makalah disampaikan dalam acara pelatihan tata cara uji peraturan perundang-undangan kerjasama Jimly School Of Law and Government & Australia Indonesia Partnership For Justice.

10

Page 11: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

Agung untuk menetapkan Majelis Hakim Agung yang kemudian penetapan tersebut dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.

f) Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya RinganPeraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 menentukan

pemeriksaan dan memutus permohonan keberatan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun walaupun secara tegas dinyatakan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2011 tersebut, asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dalam perwujudannya sangat lemah. Hal ini terlihat pada tidak diaturnya berapa lama waktu penunjukkan majelis hakim dilakukan serta berapa lama waktu maksimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa dan memutus perkara. Apalagi kalau mengingat ditengah menumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung, sehingga berpotensi membuat proses judicial review menjadi terkatung-katung (justice delayed is justice denied).2. Asas-Asas Hukum Acara Yang Tidak Termuat Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil

a) Hakim Aktif Dalam Proses PersidanganPeraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 tidak mewajibkan

hakim dalam pemeriksaan di persidangan untuk mendengar keterangan baik dari pemohon maupun dari pihak termohon di dalam pemeriksaan persidangan. Pemohon cukup mengirimkan atau menyerahkan permohonan. Begitu pula sebaliknya, termohon hanya mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Mahkamah Agung. Selain itu, Pemohon maupun termohon juga tidak bisa menghadirkan ahli dan saksi untuk didengarkan di persidangan serta tidak bisa pula menghadirkan alat bukti guna memperkuat keterangan mereka. Itu artinya tidak ada sidang dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Bagaimana asas hakim aktif dalam proses persidangan akan terwujud jika memang tidak diadakannya sidang dalam proses pengujian. Padahal melalui proses persidangan hakim dapat menggali keterangan maupun bukti-bukti yang penting untuk membuat jelas dan terang perkara yang sedang diadili.

b) Persidangan Terbuka Untuk UmumPeraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 tidak merumuskan

ruang bagi para pihak maupun masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pemohon maupun termohon tidak mengetahui sejauh mana perkaranya diproses oleh Mahkamah Agung. Dari rumusan PERMA Nomor 1 Tahun 2011 tersebut terlihat bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di Mahkamah Agung bersifat tertutup. Sampai dengan pembacaan putusan pun Mahkamah Agung tidak mengucapkannya dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pemberitahuan isi putusan hanya disampaikan dengan surat tercatat kepada para pihak. Padahal setiap putusan pengadilan haruslah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum meskipun proses persidangan dilakukan secara tertutup, jika tidak maka putusan tersebut batal demi hukum. Hal ini jelas mengingkari asas sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Selain untuk mewujudkan tranparansi peradilan, pelaksanaan pengujian secara terbuka dapat juga dijadikan sebagai forum terbuka bagi termohon yaitu Badan atau

11

Page 12: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

Pejabat Tata Usaha Negara untuk mempertanggungjawabkan aturan yang telah dibuat di depan majelis hakim, pemohon dan masyarakat. Di sisi lain, hakim juga akan bersungguh-sungguh dalam memeriksa permohonan, membuat pertimbangan dan memutus permohonan karena prosesnya di awasi oleh masyarakat dengan membuat prosedur pemeriksaan yang melibatkan para pihak dan sidang yang terbuka untuk umum.

c) ObyektifitasDi dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan, hakim harus obyektif dan

tidak boleh memihak. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di Mahkamah Agung dilakukan tanpa adanya proses persidangan dan dilaksanakan dengan tertutup. Sehingga bagaimana untuk menjamin asas ini dapat terwujud apabila para pihak tidak hadir dalam persidangan, sebab melalui proses persidangan itulah para pihak dapat menilai tingkat obyektifitas hakim. Belum lagi pengujian yang dilakukan sangat tertutup sehingga menyulitkan para pihak maupun masyarakat untuk mengawal setiap perkembangan perkara. Padahal kemungkinan besar bisa saja terjadi hakim atau panitera terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pemohon atau termohon atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara pengujian yang sedang ditanganinya. Bahkan tidak menutup kemungkinan juga adanya intervensi dari pihak-pihak lain baik dari kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif maupun pihak termohon yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan.

B. Penerapan Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Dalam Proses Pengujian Peraturan Perundang-undangan Di Bawah Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Di Mahkamah Agung Melalui Proses Pemeriksaan Secara Contradictoir

Sejak diaturnya pengujian peraturan perundang-undangan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan peraturan lainnya sampai dengan tahun 2003, jumlah perkara pengujian yang masuk dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung dapat dibedakan tahun 1970-1998 dan 1999-2003.44 Penentuan kurun waktu 1970-2003 karena pada tahun 1970 dimulai perdebatan terbuka dan sekaligus pertama kali diatur wewenang untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dalam suatu undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Demikian pula batasan tahun 2003, juga merupakan kurun waktu yang monumental di bidang kekuasaan kehakiman, karena sejak 2003 telah resmi terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai kelanjutan perubahan mendasar atas UUD 1945.45 Selain itu juga, pembagian kurun waktu tersebut untuk membedakan pengujian peraturan di bawah undang-undang pada masa pemerintahan yang menerapkan sistem politik yang otoriter (1970-1998), dan sejak tumbangnya kekuasaan orde baru yang diganti dengan pemerintahan yang mengedepankan asas-asas demokrasi yakni menjelang dan setelah perubahan UUD 1945 (1999-2003).46 Kurun waktu ini dianggap memadai karena pada

44 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review…, Op. Cit., hlm. 206.45 Ibid., hlm. xii.46 Ibid., hlm. 206.

12

Page 13: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

rentang waktu itu terdapat beberapa peristiwa hukum tentang pengujian peraturan perundang-undangan.1. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Bawah Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Melalui Prosedur Gugatana. Kurun Waktu 1970-199847

Pada kurun waktu 1970-1998, perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang pelaksanaan teknisnya didasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993. Prosedur pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dapat diajukan secara langsung kepada Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tergugat. Pada kurun waktu 1970-1998 perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1Perkara Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Mahkamah Agung

Berdasarkan Gugatan Kurun Waktu 1970-1998No. Tahun Jumlah perkara teregistrasi Jumlah yang

diputusJumlah yang

diproses1. 1970-1992 - - -2. 1993 2 2 -3. 1994 - - -4. 1995 4 2 25. 1996 1 - 16. 1997 2 - 27. 1998 1 1 -

Jumlah 10 5 5

Diolah dari sumber data Direktorat TUN Mahkamah Agung RI Tahun 2003Data pada tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa perkara pengujian peraturan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang sejak diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Pasal 11 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 ternyata belum dapat berjalan sebagaimana mestinya, bahkan selama dua puluh dua tahun tidak ada perkara pengujian peraturan. Perkara pengujian melalui proses gugatan mulai diajukan ke Mahkamah Agung, sejak tahun 1993 sebanyak dua perkara dan sampai dengan tahun 1998 perkara pengujian yang teregistrasi di Mahkamah Agung sebanyak sepuluh perkara dan yang telah diputus sebanyak lima perkara atau 50% dan sisanya lima perkara masih dalam proses pemeriksaan di Mahkamah Agung.

Apabila ditelaah dengan seksama tabel 1 di atas, dapat dikatakan telah terjadi kemandegan (stalling) perkara pengujian (1970-1998). Memang sampai saat ini belum ada penelitian empirik yang dapat menjelaskan tentang faktor-faktor penyebabnya. Oleh karena itu, faktor-faktor yang menjadi latar belakang minimnya perkara gugatan pengujian peraturan perundang-undangan hanya dapat berupa dugaan-dugaan yang dilakukan melalui beberapa kajian atau penelitian kualitatif seperti yang dilakukan oleh Paulus Effendi Lotulung pada 1999/2000.48

47 Ibid., hlm. 206-207.48 Paulus Effendi Lotulung, Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang

Mahkamah Agung Dalam Melaksanakan Hak Uji Materil (judicial review), (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum

13

Page 14: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan49 antara lain : pertama, Mahkamah Agung baru akan memulai pemeriksaan dalam rangka hak uji materil tersebut apabila sudah ditempuh proses pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat pertama dan/atau tingkat kedua (banding). Hal ini tidak mungkin, karena menurut undang-undang perkara tersebut merupakan wewenang atau kompetensi mutlak Mahkamah Agung. Kedua, peradilan tingkat pertama dan/atau banding tidak memeriksa dan memutus perkara tersebut, karena hak uji materil merupakan wewenang mutlak Mahkamah Agung. Apabila ada perkara/gugatan pengujian peraturan perundang-undangan, hakim yang memeriksa perkara tersebut dapat saja memutuskan untuk menolak perkara, karena tidak berwenang mengadilinya.50 Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa beberapa faktor yang menghambat pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan secara yudisial antara lain :a) Faktor Peraturan Perundang-UndanganKetentuan-ketentuan tentang pengujian peraturan perundang-undangan51 menurut analisis Paulus Effendi Lotulung masih mengandung kelemahan-kelemahan, antara lain :

(1) kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung saat ini masih berupa kewenangan untuk menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak sah. Dengan adanya ketentuan ini, maka yang dapat dimintakan proses judicial review hanya dari tingkat peraturan pemerintah ke bawah terhadap undang-undang.

(2) Sehubungan dengan poin 1 di atas, maka peraturan perundang-undangan tidak dapat dinilai berdasarkan UUD 1945. Sehubungan dengan hal itu, fungsi kekuasaan kehakiman sebagai salah satu penjaga “kemurnian” konstitusi (UUD 1945) telah dihapuskan.

(3) Kewenangan judicial review hanya dapat dilakukan melalui prosedur perkara di Mahkamah Agung.

(4) Kewenangan untuk mencabut peraturan yang dinyatakan tidak sah diberikan kepada instansi yang mengeluarkan peraturan yang mencabut peraturan tersebut. Ketentuan ini memperlihatkan tidak adanya daya paksa legal enforcement dari Mahkamah Agung setelah suatu peraturan perundang-undangan melalui proses judicial review.

(5) Masih adanya intervensi pemerintah dalam kekuasaan kehakiman yang terjadi sekarang ini.52

b) Faktor Politik (Hukum)

Nasioanl – Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI, 1999/2000). Dalam Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review…, Op. Cit., hlm. 207.

49 Istilah yang digunakan oleh Paulus Effendi Lotulung tentang pengujian peraturan perundang-undangan adalah ‘hak uji materil’.

50 Paulus Effendi Lotulung, Laporan Akhir…, Loc. Cit., hlm. 55.51 Perundang-undangan yang berkaitan dengan pengujian peraturan adalah sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 11 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Ketiga produk hukum tersebut merupakan dasar pijakan pengaturan pengujian peraturan dengan objek terbatas, yaitu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan sebagai subjek pelaksananya adalah Mahkamah Agung.

52 Ibid., hlm. 57.

14

Page 15: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

Sebagaimana yang diuraikan oleh Daniel S. Lev,53 bahwa pemberian kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan melalui proses judicial review kepada Mahkamah Agung memang setengah hati, karena pengaturannya sangat sulit dan bahkan mustahil untuk dapat dilaksanakan. Sebabnya adalah karena pada sistem kekuasaan yang dianut oleh UUD 1945 yang memberikan porsi kekuasaan yang cukup besar kepada lembaga kepresidenan di samping parlemen. Di samping itu, dikhawatirkan Mahkamah Agung terseret dalam politik, padahal dibentuknya Mahkamah Agung adalah sebagai lembaga peradilan tertinggi.

Dengan demikian, Mahkamah Agung sudah cukup berat dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam memimpin badan-badan peradilan di bawahnya, sehingga tidak ada relevansinya Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan kehakiman melakukan kontrol terhadap kekuasaan politik.54 Dalam makalahnya Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa kekhawatiran adanya kontrol normatif oleh Mahkamah Agung sebagai organ yudikatif terhadap produk hukum organ lainnya dapat dipahami sebagai masalah politik hukum, karena kewenangan tersebut akan merusak keharmonian hubungan antar lembaga negara yang dibangun oleh UUD 1945. Oleh karena itu, pengaturan yang bersifat membatasi obyek pengujian peraturan perundang-undangan dengan prosedur yang sulit, menurut beberapa kalangan justru tidak kondusif bagi pembangunan dan pembaruan hukum di Indonesia.55

b. Kurun Waktu 1999-200356

Pada kurun waktu 1999-2003, perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang secara kuantitas mengalami peningkatan jumlah perkara yang teregistrasi dan yang telah diputus oleh Mahkamah Agung. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 yang menggambarkan tentang jumlah perkara pengujian dari tahun 1999-2003.

Tabel 2Perkara Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Mahkamah Agung

Berdasarkan Gugatan Kurun Waktu 1999-2003No. Tahun Jumlah perkara teregistrasi Jumlah yang

diputusJumlah yang

diproses1. 1999 1 1 -2. 2000 13 2 113. 2001 8 2 64. 2002 9 4 55. 2003 13 3 10

Jumlah 44 12 32

Diolah dari data yang bersumber : Direktorat TUN Mahkamah Agung RI Tahun 2003

Berdasarkan data pada tabel 2 tersebut di atas, terjadi peningkatan terhadap jumlah perkara pengujian peraturan melalui proses gugatan. Jika pada kurun 1970-1998 (22 tahun)

53 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik Di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta, LP3ES, 1990), hlm. 395-404 dalam Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review…, Op. Cit., hlm. 209.

54 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik Di Indonesia…, Op. Cit., hlm. 96.55 Todung Mulya Lubis, Judicial Review Dalam perspektif Hukum Tata Negara, 1991 dalam Zainal

Arifin Hoesein, Judicial Review…, Op. Cit.56 Ibid., hlm. 211-212.

15

Page 16: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

hanya sepuluh perkara yang teregistrasi, maka pada kurun waktu 1999-2003 sebanyak 44 gugatan pengujian peraturan di bawah undang-undang di ajukan ke Mahkamah Agung.

Peningkatan cukup signifikan adalah dialami pada tahun 2000 dan 2003, yakni masing-masing sebanyak tiga belas perkara yang teregistrasi di Mahkamah Agung dan tahun 2001 serta 2002 jumlah perkara pengujian yang teregistrasi di Mahkamah Agung hampir sama. Apabila dibandingkan dengan periode 1970-1998, maka terlihat adanya lonjakan jumlah perkara pengujian, yakni dalam satu tahun pada tahun 2000 atau 2003 perkara pengujian sebanyak tiga belas perkara teregistrasi dan lebih besar dibandingkan dengan kurun waktu 28 tahun (1970-1998) yang hanya sepuluh perkara pengujian yang teregistrasi.

Terjadinya lonjakan jumlah perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang pada kurun waktu 1999-2003 sebanyak 44 perkara yang teregistrasi di Mahkamah Agung tersebut, tentu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan terdapat faktor pendorong yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya lonjakan jumlah perkara pada kurun 1999-2003, sebagaimana juga yang dijelaskan di atas adalah faktor pengaturan (yuridis) dan faktor politik.

Faktor yuridis, karena pada tahun 1999 telah diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 yang mencabut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993. Pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999, di samping prosedur yang diubah, yakni melalui gugatan dan permohonan, juga pelaksanaan putusan yang kewenangan untuk mencabut peraturan yang dinyatakan tidak sah tetap diberikan kepada instansi yang mengeluarkan peraturan yang mencabut peraturan tersebut, tetapi jika dalam tenggang waktu 90 hari peraturan tersebut tidak dicabut, maka peraturan dimaksud dengan sendirinya tidak berlaku. Ketentuan ini memperlihatkan adanya daya paksa dari Mahkamah Agung setelah suatu peraturan perundang-undangan diuji melalui proses judicial review, dan ketentuan tersebut yang membedakan dengan ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 1993.

Di samping faktor yuridis, juga dipengaruhi faktor politik. Pelaksanaan hak uji materil akan sangat dipengaruhi pada format politik dari pemerintah, karena uji materil tersebut dilakukan terhadap produk politik hukum. Pelaksanaan uji materil hanya berlangsung kalau ada permintaan masyarakat atas dasar pertimbangan kepentingannya yang dirugikan oleh peraturan tersebut. Pelaksanaan uji materil juga ditentukan oleh tingkat partisipasi warga negara, yang tidak lain manifestasi partisipasi rakyat dalam pengawasan terhadap pemerintah.57

Perkembangan politik pasca jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1998 membawa tuntutan pembaharuan reformasi di segenap lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk reformasi di bidang hukum secara umum dan reformasi di bidang peradilan secara khusus.58 Reformasi sektor hukum dan pengadilan dimaksudkan untuk memperkuat independensi kekuasaan lembaga peradilan. Salah satu faktor kemandirian atau

57 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2007), hlm. 91.

58 Gagasan reformasi peradilan terungkap dalam Seminar Hukum Nasional VII, dengan tema “Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani”, oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Baca Benyamin Mangkudilaga, Peranan Peradilan Dalam Perubahan Nilai dan Masyarakat, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional VII Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 12 Oktober 1999. Dalam Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap…, Op. Cit., hlm. 118.

16

Page 17: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

independensi lembaga peradilan adalah kesadaran hukum masyarakat. Bilamana kondisi kesadaran hukum masyarakat tinggi, akan mendukung pula tingginya kemandirian lembaga peradilan. Kesadaran hukum masyarakat tidak saja berdampak kepada lembaga peradilan melainkan kepada pranata hukum, baik menyangkut materi hukumnya, penegak hukumnya, maupun lembaganya. Hukum yang ada pada masyarakat yang rendah kesadaran hukumnya menjadikan hukum itu sebagai barang mati tanpa memberi arti apa-apa bagi kehidupan. Penegak hukum, akan dapat kehilangan visi dan misinya dalam menegakkan hukum yang berintikan keadilan, bahkan mudah terjatuh dari bagannya (kedudukannya) dan terjerumus pada bentuk kerja sama (mafia peradilan) jahat di dalam suatu proses peradilan. Sementara lembaganya akan sulit memberikan pelayanan yang netral, yang berada di antara semua pihak dan memihak hanya kepada kebenaran dan keadilan.59

Sejak tahun 1999 telah dimulai babak baru dalam sistem penyelengaraan negara yang didasarkan pada asas-asas demokrasi.60 Sehingga melalui proses penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis pasca reformasi 1998 dan diiringi juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat berdampak pada melonjaknya pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di Mahkamah Agung.2. Pengujian Peraturan Perundang-undangan Di Bawah Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Melalui Prosedur Permohonana. Kurun Waktu 1970-199861

Pada kurun waktu 1970-1998 prosedur permohonan keberatan dalam perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, tidak diatur dalam ketentuan baik dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, dan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 serta PERMA Nomor 1 Tahun 1993, dan yang diatur adalah hanya melalui prosedur gugatan.

Walaupun demikian, pada tahun 1992 telah diajukan permohonan pengujian ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) Nomor 01/Per/Menpen 1984 Tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Pers.62

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 01/P/TN/1992 yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Pasal 11 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978, maka permohonan tersebut tidak diterima karena prosedur tersebut tidak diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut. Konsekuensi dari putusan Mahkamah Agung pada tahun 1992

59 Ibid., hlm. 112-113.60 J. Kristiadi, Mengawal Demokrasi, Menuntaskan Transisi, makalah disampaikan dalam diskusi

publik yang diselenggarakan oleh IDE, di Jakarta, 14 januari 2004, hlm. 9-11. Dalam Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review…, Op. Cit., hlm. 212.

61 Ibid., hlm. 217-218.62 Mahkamah Agung pernah memeriksa permohonan judicial review atas Peraturan Menteri

Penerangan Nomor 1 Tahun 1984 yang diajukan oleh Surya Paloh sehubungan kasus penutupan Harian Prioritas pada tahun 1985. Permenpen Nomor 1 Tahun 1984 dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Pokok-pokok Pers. Karena Permenpen Nomor 1 Tahun 1984 memuat aturan tentang pencabutan surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang tidak lain merupakan tindakan pembredelan atau penghentian penerbitan suatu media. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 menegaskan “terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan”.

17

Page 18: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

tersebut, memberikan inspirasi lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993, yang membolehkan mengajukan gugatan tentang pengujian secara langsung ke Mahkamah Agung.

Hal ini dengan menafsirkan ketentuan Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang menyatakan :Putusan Mahkamah Agung mengenai hak uji materil dapat (huruf tebal dari penulis) diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

Kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dapat ditafsirkan sebagai kata yang memberikan makna “harus” atau “hanya dapat” yang bersifat membatasi secara limitatif, tetapi kata “dapat” tersebut juga memberikan makna pilihan lain terhadap prosedur pengajuan perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Dengan mendasarkan pada tafsir yang demikian, maka Mahkamah Agung berpendapat dan mengaturnya dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1993 bahwa “gugatan” pengujian dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung.

Perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dalam kurun waktu 1970-1998 dapat dilihat pada tabel 3 yang memberikan informasi bahwa pada kurun tersebut walaupun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang prosedur pengajuan perkara pengujian melalui permohonan, tetapi tetap saja terdapat dua perkara pengujian melalui prosedur permohonan, dan dari dua perkara tersebut satu perkara sudah diputus oleh Mahkamah Agung. Lebih jelasnya dapat dilihat tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3Perkara Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Agung

Berdasarkan Permohonan Kurun Waktu 1970-1998No. Tahun Jumlah perkara teregistrasi Jumlah yang

diputusJumlah yang

diproses1. 1970-1992 1 1 -2. 1993 1 - 13. 1994 - - -4. 1995 - - -5. 1996 - - -6. 1997 - - -7. 1998 - - -

Jumlah 2 1 1

Diolah dari sumber data : Direktorat TUN Mahkamah Agung R1 Tahun 2003b. Kurun Waktu 1999-200363

Perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang melalui prosedur permohonan pada kurun waktu 1999-2003 secara kuantitatif dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4Perkara Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Mahkamah Agung

Berdasarkan Permohonan Kurun Waktu 1999-2003

63 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review…, Op.Cit., hlm. 218-223.

18

Page 19: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

No. Tahun Jumlah perkara teregistrasi Jumlah yang diputus

Jumlah yang diproses

1. 1999 13 2 112. 2000 7 3 43. 2001 17 8 94. 2002 28 9 195. 2003 21 7 14

Jumlah 86 29 57

Diolah dari sumber data : Direktorat TUN Mahkamah Agung RI Tahun 2003Data pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 1999 secara kuantitatif

terjadi lonjakan perkara pengujian yang diajukan ke Mahkamah Agung. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun perkara pengujian yang diajukan ke Mahkamah Agung yang teregistrasi sebanyak 86 (delapan puluh enam) perkara. Terjadinya lonjakan perkara pengujian melalui prosedur permohonan disebabkan oleh diaturnya prosedur permohonan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1999.

Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa dalam ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan pengujian peraturan menggunakan kata putusan dan bukan penetapan, tetapi Mahkamah Agung mengesampingkan peristilahan tersebut, sehingga prosedur permohonan keberatan tetap dijadikan alternatif untuk mengajukan perkara pengujian peraturan.

Diaturnya prosedur permohonan keberatan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1999 menurut Zaid Badjeber, disebabkan bahwa perkara pengujian peraturan merupakan perkara khusus dan dengan menganalogkan perkara pengujian peraturan ini dengan perkara perceraian dalam hukum perkawinan yang dapat dilakukan melalui gugatan dan melalui permohonan.64

Dengan demikian, pengaturan prosedur permohonan keberatan dalam perkara pengujian peraturan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 memiliki pengaruh cukup besar terhadap naiknya perkara pengujian peraturan pada kurun waktu 1999-2003 di Mahkamah Agung RI.

Untuk melihat lebih jauh tentang perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dapat dilihat pada tabel 5. Pada tabel 5 akan digambarkan seluruh perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan sekaligus membandingkan perkara pengujian melalui prosedur gugatan dan permohonan.

Tabel 5Perkara Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Mahkamah Agung

Berdasarkan Gugatan dan Permohonan Kurun Waktu 1970-2003

64 Ibid., lebih lanjut beliau menjelaskan hasil wawancaranya dengan Zaid Badjeber (mantan anggota DPR RI dan Ketua Badan Legislasi DPR RI periode 1999-2004) tanggal 3 April 2004. Menurut Zaid Badjeber, memang terdapat perbedaan prosedur gugatan dan permohonan walaupun akibat hukumnya sama, yakni adanya putusan hakim untuk mengabulkan atau menolak. Perbedaan keduanya terletak pada ada keterkaitan dengan perkara lain atau tidak, artinya perkara tersebut memang hanya khusus tentang pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi. Jika gugatan perkara pengujian peraturan tersebut juga terkait dengan materi gugatan dalam perkara lain, maka sekaligus dapat dimajukan perkara pengujian tersebut bersamaan dengan pengajuan gugatan perkara lainnya. Akan tetapi, Mahkamah Agung lebih maju dalam pengaturannya, yakni dapat langsung diajukan ke Mahkamah Agung secara langsung, tanpa harus dikaitkan dengan perkara lainnya. Sebenarnya prosedur gugatan dan permohonan yang langsung diajukan ke Mahkamah Agung secara substansial tidak ada bedanya.

19

Page 20: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

No. Tahun Jumlah perkara teregistrasi Jumlah yang diputus Jumlah yang

diprosesGugatan Permohonan Jumlah Gugatan Permohonan Jumlah

1 2 3 4 5 6 7 8 91. 1970-

1992- 1 1 - 1 1 -

2. 1993 2 1 3 2 - 2 13. 1994 - - - - - - -4. 1995 4 - 4 2 - 2 25. 1996 1 - 1 - - - 16. 1997 2 - 2 - - - 27. 1998 1 - 1 1 - 1 -8. 1999 1 13 14 1 2 3 119. 2000 13 7 20 2 3 5 1510. 2001 8 17 25 2 8 10 1511. 2002 9 28 37 4 9 13 2412. 2003 13 21 34 3 7 10 24

Jumlah

54 88 142 17 30 47 95

Diolah dari sumber data Direktorat TUN Mahkamah Agung RI Tahun 2003Data yang tersaji dalam tabel 5 menunjukan jumlah perkara pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dalam kurun waktu tiga puluh tiga tahun sebanyak 142 perkara teregistrasi di Mahkamah Agung RI baik melalui prosedur gugatan maupun permohonan dan yang telah diputus sebanyak 47 perkara serta 95 perkara masih dalam proses. Jika dilihat dari segi kuantitas, maka rata-rata tiap tahun perkara pengujian peraturan perundang-undangan yang teregistrasi sebanyak 4-5 perkara dan rata-rata yang telah diputus oleh Mahkamah Agung RI hanya antara 1-2 perkara. Demikian pula apabila dilihat dari tren perkara yang teregistrasi di Mahkamah Agung RI dalam kurun 1970-1998 atau selama dua puluh delapan tahun hanya dua belas perkara atau rata-rata setiap tahunnya hanya setiap dua tahun tiga bulan baru terdapat 1 (satu) perkara pengujian yang teregistrasi. Demikian pula pada kurun yang sama, dari dua belas perkara pengujian yang teregistrasi tersebut, baru enam perkara atau 50% yang sudah diputus dan sisanya masih dalam proses.

Berdasarkan data tersebut, maka pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung RI sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 11 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 belum berjalan efektif. Hal ini dikarenakan prosedur pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang melalui pemeriksaan kasasi, sehingga sangat tergantung ada tidaknya perkara gugatan yang berkenaan dengan hal tersebut. Akan tetapi, sejak diubah ketentuan tentang prosedur pengujian yakni tidak hanya melalui gugatan dan dikaitkan dengan perkara dalam pemeriksaan kasasi, tetapi gugatan dapat langsung diajukan ke Mahkamah Agung, di samping melalui permohonan (PERMA Nomor 1 Tahun 1999) sebagaimana dijelaskan di atas, maka perkara pengujian peraturan perundang-undangan tersebut secara kuantitas naik sebanyak 130 perkara pada kurun 1999-

20

Page 21: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

2003 dan secara kumulatif pada kurun 1970-2003 sebanyak 142 perkara pengujian yang teregistrasi di Mahkamah Agung RI.

Dengan demikian, perubahan prosedur pengajuan perkara pengujian peraturan perundang-undangan melalui PERMA Nomor 1 Tahun 1999 tersebut berdampak pada peningkatan perkara pengujian peraturan perundang-undangan, bahkan dapat disimpulkan bahwa perkara pengujian melalui prosedur permohonan justru lebih efektif.

Beberapa istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan tentang kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung di antaranya yakni, ‘berwenang untuk menyatakan tidak sah’65 ,‘wewenang menguji secara materil’66, ‘gugatan hak uji materil’67, ‘menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi’68, dan ‘berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang’69, menunjukkan inkosistensi peristilahan yang digunakan.

Hal yang senada juga terjadi dalam penggunaan istilah prosedur pengajuan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung yakni, ‘gugatan hak uji materil’ dipakai oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993, ‘gugatan dan permohonan keberatan’ dipakai oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 serta ‘permohonan keberatan’ dipakai oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.

Inkosistensi penggunaan istilah yang dipakai dalam prosedur pengajuan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung menimbulkan ketidakjelasan bagaimana konsep hukum acara judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Hal ini sangat penting karena konsekuensi penggunaan istilah prosedur pengajuan peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung apakah itu berbentuk permohonan atau gugatan akan berimplikasi kepada konsep hukum acaranya. Apabila prosedur pengujian menggunakan ‘permohonan’, maka proses hukum acara dilakukan berdasarkan mekanisme peradilan voluntair melalui pemeriksaan persidangan secara ex parte. Sebaliknya, apabila prosedur pengujian menggunakan ‘gugatan’, maka proses hukum acara dilakukan berdasarkan mekanisme peradilan kontentiosa melalui pemeriksaan secara contradictoir.

Jika bertitik tolak dari ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 menentukan bahwa prosedur pengajuan pengujian dilakukan melalui permohonan, sehingga permohonan hak uji yang diajukan ke Mahkamah Agung adalah bersifat peradilan voluntair. Hal ini berarti proses pemeriksaan pengujian dilakukan secara ex parte, yakni pemeriksaan di sidang peradilan hanya melibatkan pihak pemohon saja tanpa hadirnya pihak lain (involving only one party to a legal matter). Jika secara teguh memegang pada asas ex parte, maka proses pemeriksaannya hanya mendengar pihak pemohon saja tanpa menarik pihak lain sebagai termohon. Namun nyatanya pemohon hanya mengirimkan berkas permohonannya kepada Mahkamah Agung tanpa adanya sidang pemeriksaan untuk menghadirkan pemohon

65 Istilah yang dipakai oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.66 Istilah yang dipakai oleh Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978, Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1985 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999.67 Istilah yang dipakai oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993.68 Istilah yang digunakan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 2011.69 Istilah yang digunakan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Dasar 1945.

21

Page 22: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

guna memberikan keterangan atau menghadirkan saksi maupun ahli untuk memperkuat permohonannya. Pemohon cukup mengirimkan berkas permohonan kepada Mahkamah Agung setelah itu cukup menunggu saja putusan dijatuhkan tanpa mengetahui bagaimana proses persidangannya. Selain itu, apabila memang proses persidangan dilakukan secara ex parte, maka seharusnya Mahkamah Agung tidak perlu menarik pihak lain sebagai termohon. Namun nyatanya melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2011 Mahkamah Agung mengharuskan pihak termohon yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengirimkan jawabannya kepada Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan permohonan.

Apabila dirunut dari belakang, teknis hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang untuk pertama kali diatur dalam Peraturan Mahkamah (PERMA) Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Hak uji Materil. PERMA Nomor 1 Tahun 1993 menggunakan prosedur gugatan dalam pengujian di Mahkamah Agung yang proses pemeriksaannya menerapkan ketentuan hukum acara yang berlaku bagi sebuah perkara kontentiosa, sehingga proses pemeriksaan persidangannya dilakukan secara contradictoir. Sedangkan prosedur permohonan untuk pertama kali mulai diakomodir oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999. Alasan dipertahankannya prosedur permohonan mulai dari PERMA Nomor 1 Tahun 1999, kemudian PERMA Nomor 1 Tahun 2004 sampai dengan saat ini yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 2011 lebih didasarkan pada alasan efektifitas pelaksanaan judicial review oleh Mahkamah Agung, di mana masyarakat lebih banyak menggunakan prosedur permohonan daripada menggunakan prosedur gugatan. Masyarakat merasa lebih mudah melalui prosedur permohonan langsung ke Mahkamah Agung ketimbang melalui prosedur gugatan yang membutuhkan proses yang sangat panjang mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi. Alasan tersebut terlihat dari tabel 1 di atas yang menunjukkan sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 perkara pengujian melalui prosedur gugatan yang teregistrasi di Mahkamah Agung hanya sebanyak 10 (sepuluh) perkara. Sedangkan pada tabel 2 menunjukkan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap jumlah perkara yang teregistrasi di Mahkamah Agung sebanyak 44 (empat puluh empat) perkara.

Terjadinya inkosistensi penggunaan istilah yang dipakai dalam prosedur pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Mahkamah Agung tidak semestinya menghilangkan hakikat dari pada pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah bersifat kontentiosa. Penerapan cara pemeriksaan kontentiosa atas bentuk permohonan telah dikembangkan dalam berbagai kasus, salah satunya adalah penyelesaian perkara perceraian oleh Pengadilan Agama. Pembenaran terhadap hal ini dapat dipahami juga lewat wawancara Zainal Arifin Hoesein dengan Zaid Badjeber sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Zaid Badjeber menjelaskan bahwa perkara pengujian peraturan merupakan perkara khusus dan dengan menganalogkan perkara pengujian peraturan ini dengan perkara perceraian dalam hukum perkawinan. Hal tersebut menerangkan bahwa meskipun prosedur perkara perceraian bentuknya permohonan namun pemeriksaannya dilakukan secara kontentiosa melalui proses contradictoir, tidak secara ex parte di mana kedudukan istri ditempatkan sebagai termohon, tidak ada bedanya sebagai tergugat. Selanjutnya Zaid Badjeber menambahkan bahwa sebenarnya prosedur gugatan dan

22

Page 23: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

permohonan yang langsung diajukan ke Mahkamah Agung secara substansial tidak ada bedanya.

Dari semua PERMA Tentang Hak uji Materil yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung ternyata semua hasil pemeriksaan dan penilaian atas pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang tetap menggunakan kata putusan dan bukan kata penetapan. Jika dicermati hanya satu PERMA saja yang menggunakan prosedur gugatan yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 1993 sedangkan sisanya yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 1999, PERMA Nomor 1 Tahun 2004 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2011 menggunakan prosedur permohonan. Padahal kata putusan merupakan vonis hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang bersifat kontentiosa atau melaui gugatan, sedangkan kata penetapan dipakai dalam perkara yang bersifat voluntair atau melalui permohonan.

Hal-hal yang telah dijelaskan di atas menerangkan bahwa perkara pengujian peraturan tidaklah sama dengan perkara voluntair karena permohonan keberatan yang diajukan bukan untuk diri sendiri para pemohon, tetapi justru untuk kepentingan umum, sehingga dalam perkara ini tetap terdapat dua pihak yang berperkara. Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang merupakan bentuk pengujian yang objeknya adalah seluruh peraturan yang bersifat mengatur, abstrak dan mengikat secara umum. oleh karena itu jika dikaitkan dengan ruang lingkup pengujian bukan semata-mata untuk kepentingan pemohon, namun juga menyangkut kepentingan masyarakat secara umum dirasa tidak tepat menganut pemeriksaan peradilan voluntair yang dilakukan secara ex parte. Dengan demikian, dianggap tepat dan relevan ketentuan yang dulu ditentukan Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993 yang menggariskan proses pengujian tersebut dilakukan dengan menerapkan hukum acara yang berlaku bagi sebuah perkara kontentiosa. Dengan demikian, proses pemeriksaannya dilakukan secara contradictoir.

III. PENUTUPA. Kesimpulan

Setelah dilakukannnya pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :1. Asas-asas hukum acara yang termuat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)

Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak uji Materil hanya memuat beberapa asas, yaitu di antaranya (1) asas hakim bersifat menunggu, (2) asas mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem), (3) asas putusan harus disertai alasan-alasan, (4) asas beracara dikenakan biaya, (5) asas persidangan harus majelis, dan (6) asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Sedangkan asas-asas yang tidak termuat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil, yaitu (1) asas hakim aktif dalam proses persidangan, (2) asas persidangan terbuka untuk umum dan (3) asas obyektifitas. Namun dari beberapa asas yang termuat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil sebagaimana yang telah disebutkan di atas masih terdapat beberapa asas yang tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh Mahkamah Agung serta dalam pelaksanaannya tidak dapat berjalan dengan baik.

2. Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang pada hakikatnya merupakan perkara kontentiosa, sehingga harus menerapkan asas-

23

Page 24: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

asas hukum acara yang belaku bagi pemeriksaan peradilan secara contradictoir. Hal ini dasarkan kepada beberapa alasan yaitu (1) teknis hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang untuk pertama kali diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Hak uji Materil. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Hak uji Materil menggunakan prosedur gugatan dalam pengujian di Mahkamah Agung yang proses pemeriksaannya menerapkan ketentuan hukum acara yang berlaku bagi sebuah perkara kontentiosa, sehingga proses pemeriksaan persidangannya dilakukan secara contradictoir. Sedangkan prosedur permohonan untuk pertama kali mulai diakomodir oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Hak Uji Materil. Dipertahankannya prosedur permohonan hingga saat ini yaitu lebih didasarkan pada alasan efektifititas pelaksanaan judicial review oleh Mahkamah Agung, di mana masyarakat lebih banyak menggunakan prosedur permohonan daripada menggunakan prosedur gugatan. Masyarakat merasa lebih mudah melalui prosedur permohonan langsung ke Mahkamah Agung ketimbang melalui prosedur gugatan yang membutuhkan proses yang sangat panjang mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi. (2) Terjadinya inkosistensi penggunaan istilah yang dipakai dalam prosedur pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Mahkamah Agung tidak semestinya menghilangkan hakikat daripada pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah bersifat kontentiosa. Sebab, baik prosedur gugatan maupun prosedur permohonan yang langsung diajukan ke Mahkamah Agung sesungguhnya secara substansial tidak ada bedanya. Perkara pengujian peraturan merupakan perkara khusus yang menganalogkan perkara pengujian peraturan ini dengan perkara perceraian dalam hukum perkawinan di mana meskipun prosedur perkara perceraian bentuknya permohonan namun pemeriksaannya dilakukan secara kontentiosa melalui proses contradictoir.

B. SaranSesuai dengan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka di masa

mendatang diharapkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dapat berjalan lebih baik lagi. Maka penulis memberikan dua saran alternatif. Pertama, Mahkamah Agung melakukan revisi terhadap Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil. Perubahan dilakukan dengan merumuskan ketentuan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang merupakan perkara kontentiosa yang proses pemeriksaannya dalam persidangan dilakukan secara contradictoir. Sistem dan proses pemeriksaan secara contradictoir adalah sebagai berikut : (1) dihadiri kedua belah pihak secara in person atau kuasa, untuk itu para pihak dipanggil dengan resmi dan patut untuk menghadiri persidangan (2) proses pemeriksaan berlangsung secara Op Tegenspraak, yaitu memberikan hak dan kesempatan kepada termohon untuk membantah dalil pemohon begitu juga sebaliknya pemohon juga berhak melawan bantahan termohon. Proses dan sistem yang seperti ini disebut contradictoir yaitu pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk kesimpulan (conclusion). Di samping itu juga ada beberapa asas yang harus secara sungguh-sungguh

24

Page 25: Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung

ditegakkan dan diterapkan dalam proses pemeriksaan secara contradictoir, antara lain : (1) menyerahkan sepenuhnya kewajiban mengemukakan fakta dan kebenaran kepada para pihak (2) persidangan terbuka untuk umum dan (3) audi et alteram partem. Atau yang kedua, melakukan penyatuan kewenangan judicial review menjadi satu atap, yaitu dengan cara menetapkan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dipindahkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu, asas-asas hukum acara peradilan dapat terlaksana sebagaimana yang telah dijalankan selama ini oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (constitutional review). Jalan yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga, penyatuan kewenangan ini dimaksudkan selain agar tegaknya asas-asas hukum acara peradilan, juga supaya Mahkamah Agung dapat lebih fokus melaksanakan kewenangannnya sebagai judex juris, sedangkan Mahkamah Konstitusi fokus menjadi pengawal tegaknya tertib hukum melalui judicial review.

IV. DAFTAR PUSTAKAA. BukuAhmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2007).Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum

Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006).Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010).M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008).Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia : Tiga

Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009).

B. Jurnal/ Makalah/ WebsitePan Mohamad Faiz, Konstitusi dan Aktivisme Yudisial, Kolom Opini Jurnal Nasional, Selasa

25 Agustus 2009.Refly Harun, Pengalaman Mengajukan Judicial Review Di Mahkamah Agung.

BIODATA PENULISShalahuddin Al Ayoubi S.H., lahir di Manna - Bengkulu Selatan, 29 September 1992.

Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Andalas (2014) dengan predikat cumlaude. Semasa kuliah pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan antara lain Lembaga Pengkajian Islam (LPI FHUA), Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan (LAM & PK FHUA), Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Andalas (BEM KM UNAND), serta menjabat sebagai Ketua Umum di Perhimpunan Mahasiswa Tata Negara (PMTN FHUA).

25