Pengelolaan Kawasan Batam

33
Tim Peneliti The Habibie Center , Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas 1 SISTEM PENGELOLAAN KAWASAN BATAM PADA ERA OTONOMI DAERAH DAN PERDAGANGAN BEBAS Tim Peneliti The Habibie Center 1 A. PENDAHULUAN. Makalah ini disusun dalam kerangka yang berisi spirit untuk menyumbangkan policy advice kepada segala pihak yang merupakan stakeholders ’ dalam pembangunan Pulau Batam, sebagai kawasan yang nyata- nyata memilliki nilai strategis dalam pembangunan ekonomi regional dan nasional. Tim The Habibie Center sadar sepenuhnya bahwa akan sulit untuk memahami apa yang terjadi di Pulau Batam tanpa mengkaji secara akurat visi dan misi yang ‘ original ’ pada saat pemerintah menetapkan Pulau Batam sebagai front linemenghadapi globalisasi pada umumnya dan Singapura pada khususnya sampai dengan tahap perkembangan mutakhir yang penuh dengan dinamika sekaligus kompleksitas. Uraian di bawah ini sekaligus bermakna untuk memahami dan memprediksi peran Lembaga Otorita Pemerintah Pusat dan misi strategis, nasional dan keterkaitan dalam konteks regional dan lokal. Batam merupakan fenomena yang menarik karena merupakan kawasan yang mengalami pertumbuhan tercepat di Indonesia, baik dari ukuran penduduk, perkotaan maupun perekonomian khususnya dalam empat dekade terakhir. Dari sisi ini, Batam hanya dapat disejajarkan dengan Jabotabek, dengan pengecualian dari segi jumlah penduduk. Dari kawasan yang pada tahun 1970-an masih dihuni oleh kurang dari 10.000 jiwa, kini kawasan tersebut telah dihuni oleh hampir 600.000 penduduk. Sebagai suatu kawasan perekonomian, Batam kini merupakan salah satu dari sedikit penyangga perekonomian. Di luar kawasan-kawasan sentral di Pantura Jawa yang membentang dari Cilegon Banten, hingga Sidoarjo, Jawa Timur, 1 Terdiri dari Muladi, Andrinof A Chaniago, Taftazani, Abdul Gafur dan John D. Pattihahuan

description

-

Transcript of Pengelolaan Kawasan Batam

Page 1: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

1

SISTEM PENGELOLAAN KAWASAN BATAM PADA ERA OTONOMI DAERAH DAN PERDAGANGAN BEBAS

Tim Peneliti The Habibie Center 1

A. PENDAHULUAN.

Makalah ini disusun dalam kerangka yang berisi spirit untuk

menyumbangkan ‘policy advice’ kepada segala pihak yang merupakan

‘stakeholders’ dalam pembangunan Pulau Batam, sebagai kawasan yang nyata-

nyata memilliki nilai strategis dalam pembangunan ekonomi regional dan

nasional. Tim The Habibie Center sadar sepenuhnya bahwa akan sulit untuk

memahami apa yang terjadi di Pulau Batam tanpa mengkaji secara akurat visi

dan misi yang ‘original’ pada saat pemerintah menetapkan Pulau Batam sebagai

‘front line’ menghadapi globalisasi pada umumnya dan Singapura pada

khususnya sampai dengan tahap perkembangan mutakhir yang penuh dengan

dinamika sekaligus kompleksitas.

Uraian di bawah ini sekaligus bermakna untuk memahami dan memprediksi

peran Lembaga Otorita Pemerintah Pusat dan misi strategis, nasional dan

keterkaitan dalam konteks regional dan lokal.

Batam merupakan fenomena yang menarik karena merupakan kawasan

yang mengalami pertumbuhan tercepat di Indonesia, baik dari ukuran penduduk,

perkotaan maupun perekonomian khususnya dalam empat dekade terakhir. Dari

sisi ini, Batam hanya dapat disejajarkan dengan Jabotabek, dengan

pengecualian dari segi jumlah penduduk.

Dari kawasan yang pada tahun 1970-an masih dihuni oleh kurang dari

10.000 jiwa, kini kawasan tersebut telah dihuni oleh hampir 600.000 penduduk.

Sebagai suatu kawasan perekonomian, Batam kini merupakan salah satu dari

sedikit penyangga perekonomian. Di luar kawasan-kawasan sentral di Pantura

Jawa yang membentang dari Cilegon Banten, hingga Sidoarjo, Jawa Timur,

1 Terdiri dari Muladi, Andrinof A Chaniago, Taftazani, Abdul Gafur dan John D. Pattihahuan

Page 2: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

2

Kawasan Batam bersama Bali berfungsi sebagai kawasan yang menyangga

perekonomian nasional dari Luar Jawa.

Sekalipun demikian latar belakang pertumbuhan Batam yang demikian jelas

berbeda dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya. Bali misalnya,

semata-mata digerakkan oleh modal alamiah berupa lingkungan alam dan

budaya lokalnya yang sangat ‘kompetitif’, Tetapi Batam tumbuh sepenuhnya

karena factor ‘intervensi’ yang sangat terencana dilakukan oleh Pemerintah

Pusat.2 Alasan-alasan Pemerintah Pusat melakukan ‘intervensi’ dapat ditelusuri

dari perjalanan sejarah Batam selama 40 tahun terakhir. Tanpa tindakan-

tindakan intervensi Pemerintah Pusat -- dengan segala dampak positif dan

negatifnya -- Batam tentu tidak mungkin tumbuh dengan akselerasi yang

demikian tinggi. Persoalannya saat ini adalah bagaimana memanfaatkan potensi

atau peluang yang diberikan oleh posisi Batam saat ini ditinjau dari berbagai

aspek, untuk kemajuan masyarakatnya dan Negara Republik Indonesia, sambil

mengendalikan dan mengatasi sejumlah ekses negatif yang umum terjadi di

setiap kawasan yang tumbuh cepat, khususnya dengan lingkungan sosial politis

yang sudah dan terus berubah.

Persoalan pembangunan Batam menjadi semakin kompleks dan menarik

karena terjadinya proses reformasi, yang pada dasarnya merupakan evolusi

yang dipercepat (accelerated evolution) dari Pemerintahan Orde Baru yang tidak

demokratis ke arah masyarakat madani yang demokratis.3

Pemerintahan sentralistik Orde Baru yang mendewakan pembangunan

ekonomi dan kurang memperhatikan ‘relaxation’ sosial dan politik serta

cenderung tidak demokratis sehingga menciptakan kesenjangan sosial, ekonomi

dan politik yang tajam di antara warga masyarakat secara sistematis harus

ditinggalkan menuju ke sistem pemerintahan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip

dasar demokrasi. Usaha sistematik untuk merealisasikan prinsip-prinsip dasar 2 Kata ‘intervensi’ di sini lebih bermakna sebagai tindakan rekayasa yang disengaja atau direncanakan melalui instrumen undang-undang, kebijakan, dan peraturan serta pengalokasian sumberdaya 3 BJ Habibie, ‘Revitalizing the Administration for Economic Recovery and the Promotion of Democracy, Governance Reform during Critical Years’, Chungbuk, March, 13, 2001, Korea, hal. 4 dan BJ Habibie, “Human Rights, Human Responsibility, and Human Security”, Berlin, May, 2002, hal.7

Page 3: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

3

tersebut yang pada hakikatnya merupakan langkah transisional yang rawan

konflik, antara lain dilakukan dengan penerapan sistem desentralisasi kekuasaan

melalui Otonomi Daerah, dengan paradigma yang sama sekali berbeda dengan

pemerintahan sentralistik. Dan sangat kita sadari bahwa sesungguhnya Proyek

Otorita Batam sepenuhnya merupakan produk pemerintahan yang sentralistik,

sekalipun ide dasar (‘basic idea’ ) yang melatarbelakanginya sangat menjanjikan.

Di samping persoalan-persoalan pelik yang bersifat transisional dalam

rangka implementasi Otonomi Daerah tersebut, pelbagai ‘independent variables ’

lain muncul sehingga menambah kompleksitas masalah yang sudah ada.

Pelbagai variable tersebut antara lain berupa: kurang diperhatikannya asumsi-

asumsi transisional dalam mengeluarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah

No. 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 tentang

pembentukan beberapa kabupaten baru dan Kota Batam; belum adanya

Peraturan Pemerintah yang sebenarnya diharapkan berfungsi sebagai sistem

kendali komprehensif (comprehensive guidelines) dari Otonomi Daerah; belum

adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur hubungan kerja antara

Otorita Batam dengan Pemerintah Kota Batam yang otonom; dan terbentuknya

Provinsi Riau Kepulauan.

Di tengah kompleksitas masalah tersebut, akhir-akhir ini muncul

pemikiran yang sudah dilembagakan dalam bentuk RUU tentang penetapan

Batam sebagai ‘Free Trade Zone’. Munculnya RUU ini tentu saja menarik

perhatian erbagai pihak yang berkepentingan ataupun yang merasa berhak

ambil bagian dalam pengelolaan kawasan Batam sebagai kawasan “Free Trade

Zone”.

Tarik-menarik antar berbagai variable yang kompeks tadi jelas tidak

sesederhana yang diperkirakan sejumlah pihak akhir-akhir ini. Disamping

dampak dari apa yang dinamakan ‘accelerated evolution’ di atas bisa bersifat

sistemik, ia juga berimplikasi pada jangka panjang dan ‘extraordinary’. Implikasi

sistemik itu terjadi karena di dalam era evolusi yang dipercepat itu terdapat

nuansa-nuansa substantif dalam bentuk norma-norma hukum yang masih

‘sangat tidak memuaskan’. Alih-alih sebagai mekanisme pengintegrasi (law as an

Page 4: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

4

integrative mechanism), kesimpangsiuran norma hukum cenderung menciptakan

‘disintegrasi’ dan menimbulkan kerugian serta korban (viktimogin). Kadang-

kadang bahkan bisa mencetuskan perbuatan-perbuatan menyimpang

(kriminogin).

Implikasi yang berjangka panjang dan ‘extraordinary’ bisa bernilai positif

dan bisa bernilai negatif. Nilai positif bisa kita raih apabila kita berhasil

mengambil langkah-langkah strategis yang tepat berdasarkan kecenderungan

global dan berpijak pada potensi kekuatan internal yang dimiliki. Sementara nilai

negatif bisa menimpa kita hanya karena kita melewatkan, atau kehilangan,

peluang yang pernah singgah di depan mata. Untuk kasus Batam, kita masih

beruntung belum ditinggalkan oleh kesempatan emas untuk menjadikan

kawasan Batam sebagai kawasan yang menjanjikan keuntungan ekonomis

sekaligus menjanjikan terwujudnya masyarakat lokal yang demokratis dan

pemerintahan daerah yang menjunjung prinsip-prinsip Good Governance.4 Untuk

merebut kesempatan emas tersebut, berbagai masalah dan variable tadi tentu

perlu dikaji secara cermat.

Atas dasar pertimbangan tadi, bagian berikut dari tulisan ini memandang

penting menganalis aspek-aspek penting berikut :

a. Aspek historis keberadaan Batam saat ini;

b. Aspek ekonomi kawasan Batam;

c. Aspek hukum dan demokrasi;

d. Konsekuensi Otonomi Daerah dan ‘Free Trade Zone’ (FTZ) terhadap Tata

Kelola Pemeritahan;

e. Kesimpulan dan rekomendasi;

f. Penutup.

4 JIka kita menggunakan definisi yang dikeluarkan oleh UNDP, prinsip-prinsip Good Governance itu terdiri atas: Partisipasi, Pemerintahan berdasarkan Hukum, Transparansi, Daya tanggap, Berorientasi pada consensus, Persamaan, Efisiensi dan efektifitas, Pertanggungjawaban, dan Visi strategis.

Page 5: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

5

B. ASPEK HISTORIS

Kesadaran Pemerintah dalam melihat prospek yang dijanjikan Batam sudah

muncul sejak empat dekade lalu. Sejak awal masa Pemerintahan Orde Baru

hingga saat ini jelas terlihat bahwa kesadaran yang melihat arti penting Batam

sebagai salah satu pilar ekonomi nasional tidak pernah putus. Pemerintah pusat

melihat dari aspek geopolitik dan geostrategis, pulau Batam (dengan luas kurang

lebih 415 km2) yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia di sebelah

utaranya mempunyai lokasi yang sangat ideal dan strategis, yaitu berada di Selat

Singapura yang dilewati oleh jalur pelayaran internasional yang sangat ramai,

sekaligus merupakan jalur perdagangan internasional yang menghubungkan

Asia Timur, Amerika Bagian Barat, Timur Tengah dan Eropa.

Sangat beralasan jika pada tahun 1968 PN Pertamina menjadikan Pulau

Batam sebagai pangkalan logistik dan operasional yang berhubungan dengan

eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai. Mengingat lokasinya yang tepat

untuk menjamin efisiensi dan efektivitas suplai minyak dan gas serta secara

geografis pulau ini sangat berdekatan dengan Singapura (kurang lebih hanya

berjarak 20 km), maka dikeluarkanlah Keppres 65/70 pada tgl. 19 Oktober 1970,

disusul pengangkatan Direktur Pertamina, Ibnu Sutowo sebagai penanggung

jawab pengelolaan Pulau tersebut.

Alasan mendasar mengapa menjadikan Batam sebagai sentral logistik,

karena hingga dasawarsa 1960-an Pertamina masih berpangkalan di Singapura.

Pertamina pada saat itu tidak hanya menerima hasil yang 85 % akan tetapi juga

harus menanggung biaya 85 % kontraktor bersangkutan. Dengan kehadiran

Batam inilah diharapkan Pertamina dapat menghemat biaya secara signifikan, di

samping menghemat devisa dan menghidupkan perekonomian negeri karena

biaya Pangkalan Batam akan dapat diserap oleh pasar dalam negeri.5

Pemerintah kemudian menjadikan Batu Ampar sebagai wilayah entreport

partikulir berdasarkan Keppres No. 74 tahun 1971 atas dasar Reglement A

5 Heri Muliono, Merajut Batam Masa Depan Menyongsong Status ‘Free Trade Zone’, 2001, LP3ES, hal 143

Page 6: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

6

Ordonansi Bea (S. 1931 No. 471). Sejak saat itu mulai berdatanganlah investor

asing. Mereka mulai merelokasikan kegiatannya ke Batu Ampar, khususnya

industri yang berkaitan dengan peralatan pengeboran minyak lepas pantai. Di

samping itu, dengan adanya legalitas tersebut, perusahaan yang terlibat dalam

kegiatan operasi dan logistik minyak mulai memiliki keleluasaan operasi karena

banyak membutuhkan barang import. Sebagai langkah koordinasi dan

pengintegrasian kegiatan pembangunan proyek daerah industri, dibentuklah

Badan Pimpinan Industri Pulau Batam sebagai lembaga penguasa yang

bertugas (1) Perencanaan, pengembangan, dan pembangunan industri dan

prasarananya; (2) Menampung dan meneliti izin usaha untuk diajukan pada

instansi terkait ; dan (3) Mengawasi pelaksanaan proyek industri.

Dalam perkembangannya, Batu Ampar kemudian tumbuh menjadi kawasan

industri yang menunjang eksplorasi dan eksploitasi minyak. Selanjutnya dengan

Keppres No. 41 tahun 1973, seluruh wilayah Pulau Batam dikembangkan

sebagai Daerah Industri yang dikelola oleh dua lembaga. Lembaga pertama

adalah Perusahaan Perseroan Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam

(Persero Batam) dengan fungsi menyelenggarakan pengusahaan daerah

industri. Kedua adalah Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam

(Otorita Batam) yang bertanggungjawab atas Pengembangan dan Pertumbuhan

Daerah Industri Pulau Batam, dengan tugas:6

- Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam

sebagai daerah industri dan kegiatan pengalihkapalan (Transhipment) di

Pulau Batam;

- Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi

prasarana dan fasilitas lainnya;

- Menampung dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan ke

instansi terkait;

- Menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara perizinan dan pemberian

jasa agar menumbuhkan minat penanaman modal swasta di Pulau

Batam.

6 Heri Muliono, op.cit., hal.144

Page 7: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

7

Kemudian berdasarkan Keppres No. 33 tahun 1974 tgl. 29 Juni 1974 dan

berdasarkan PP 20/72, tiga kawasan di Pulau Batam (Batuampar, Sekupang dan

Kabil) memperoleh status bonded warehouse, yang mestinya memiliki fungsi

sebagai sarana penyimpanan barang impor dan tidak dikenai pungutan bea

masuk dan cukai.

Pengaturan Kepabeanan umum diberlakukan terhadap barang impor akan

diterapkan jika barang tersebut keluar dari bonded warehouse dan dimasukkan

ke dalam daerah pabean Negara bersangkutan. Biasanya dekat bandara atau

pelabuhan. Di dalam bonded warehouse hanya dapat dilakukan kegiatan

komersial (konsolidasi-dekonsilidasi), namun tidak dapat dilakukan kegiatan

industrial (pengolahan atau processing).

Namun pada kenyataannya, sebelum diberlakukan bonded warehouse ini,

status entreport partikulir menjadikan Batam bukan hanya sebagai tempat yang

memiliki kegiatan industri dan pergudangan saja, melainkan juga telah adanya

perumahan dan perdagangan serta tidak pernah ada pengaturan untuk

memindahkannya dari kawasan industri dan pergudangan. Sejak saat itu,

kawasan ini telah bercampur baur antara kawasan perumahan dan

perdagangan.

Akibat adanya krisis Pertamina, maka pada 23 Juni 1976 kepemimpinan

Pulau Batam untuk sementara dialihkan ke Menteri Penertiban Aparatur

Pembangunan yang dijabat oleh JB Sumarlin berdasarkan Keppres 60/M/76.

Pembangunan Batam saat itu berjalan di tempat dan minyak yang pada tahun

1970-an sempat menjadi primadona pasar dunia dan andalan Indonesia, namun

sekitar tahun 1976-an merosot dan menjadi salah satu penyebab kemerosotan

ekonomi dunia. Akibatnya sekitar tahun 1977 minyak dan gas tidak lagi menjadi

andalan ekonomi Indonesia.

Pada tahun 1978, tiga bulan sebelum menjabat sebagai Menteri Riset dan

Teknologi, Presiden Suharto menugaskan BJ Habibie memimpin perencanaan

dan pengelolaan Batam. Berdasarkan mandat yang diterimanya itu, BJ Habibie

melakukan langkah strategis yakni meminta kesempatan untuk dapat bertemu

dengan PM Singapura Lee Kwan Yew. Dalam pembicaraannya dengan PM

Page 8: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

8

Singapura ini, BJ Habibie mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan ‘Teori

Balon’. Dalam pandangannya, BJ Habibie melihat jika balon terus menerus ditiup

maka tekanannya akan semakin besar hingga pada suatu titik balon tersebut

akan meledak karena keterbatasan kapasitas ruang yang dimiliki. Demikian pula

halnya dengan Singapura yang memiliki keterbatasan wilayah, pada suatu saat

akan mengalami nasib yang sama dengan balon tersebut. Untuk itu diperlukan

adanya balon-balon kecil lain yang dapat menampung kelebihan kapasitas

tersebut. Inilah kiranya salah satu titik tolak yang mendorong terjadinya

akselerasi pertumbuhan Batam selama tiga dekade terakhir.7 Seandainya

Singapura diaanggap Balon I, maka Balon II adalah Batam, sedangkan Balon III

adalah Pulau Galang dan Rempang, sedangkan Balon IV adalah Bintan. Balon I

diharapkan akan bersinergi positif dengan Balon II-IV, tanpa harus mengurangi

kualitas Balon I.

Program pengembangan yang berjangka pendek, jangka menengah dan

jangka panjang dirancang selama 25 tahun mulai tahun 1981 dan diharapkan

akan berakhir pada tahun 2006 dengan target akan menjadikan Barelang

menjadi semacam Daerah Istimewa dengan otonomi khusus, sebagai ‘bonded

area’, sangat kompetitif, sekaligus diharapkan sebagai pusat keunggulan

perdagangan, finansial dan hi-tech. Menurut BJ Habibie, setelah target 2006

tercapai, Proyek Otorita harus ditiadakan (non-existence) dan pengurusan

selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

Menyusul ‘Informal MoU’ antara BJ Habibie dan PM Lee Kwan Yew di atas,

beberapa wilayah di Batam selanjutnya ditetapkan sebagai Kawasan Berikat

(Bonded Area), guna menarik para investor untuk menanamkan modalnya di

Pulau Batam dan pada akhirnya seluruh wilayah pulau Batam ditentukan sebagai

Kawasan Berikat (Keppres No. 41 Tahun 1978). Menurut PP 31/77 definisi

bonded warehouse adalah ‘suatu sarana institusional dalam bidang

perekonomian dan perdagangan dalam daerah pabean Indonesia yang 7 Sejauh ini kami belum tahu, apakah Teori Balon ini yang dkemukakan BJ Habibie ini merupakan pemikiran spontan ataukah pemikiran yang merujuk kepada literatur-literatur mengenai ekonomi regional. Jika kita merujuk kepada literature-literatur ekonom regional, sebetulnya Teori Balon dari BJ Habibie ini sama dengan Teori Aglomerasi yang menjelaskan proses pemekaran suatu kawasan ekonomi yang digerakkan oleh pertumbuhan kawasan inti.

Page 9: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

9

mempunyai wilayah pengusahaan tertentu dan ketentuan-ketentuan khusus di

bidang pabean, impor, ekspor, lalu lintas devisa/barang, dan penanaman modal,

sebagai suatu tempat untuk menyimpan, menimbun, meletakkan, mengemas

dan atau mengolah barang-barang yang berasal dari :

a. luar daerah pabean Indonesia, tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan

bea, cukai, pajak dan atau pungutan Negara lainnya sampai barang-

barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor;

b. luar daerah pabean Indonesia, dengan tidak dikenakan pungutan bea,

cukai, pajak, dan atau pungutan Negara jika sampai barang-barang

tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor atau re-ekspor;

c. dalam daerah pabean Indonesia, tanpa terlebih dahulu dikenakan

pungutan bea, cukai, pajak dan atau pungutan Negara lainnya sampai

barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor.

Selanjutnya disebutkan bahwa ‘wilayah usaha bonded warehouse ialah suatu

wilayah dalam bonded warehouse dimana terdapat usaha dan kegiatan

penyimpanan, penimbunan, peletakan, alih kapal (transshipment), pengemasan

dan atau pengolahan barang’. Dengan demikian definisi tadi berbeda dengan

bonded warehouse yang dikenal dalam dunia internasional sebagai tempat

penyimpanan sementara bukan sebagai tempat pengolahan.

Sebagaimana halnya dengan peraturan perundangan sebelumnya yakni

UU No. 3 tahun 1970 dan PP 20/72 tentang kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas. Substansi kekhususan UU No. 3/70 sama dengan PP 20/72

yaitu tidak ada pengenaan terlebih dahulu berupa pungutan bea, cukai, pajak

dan atau pungutan Negara terhadap barang yang disimpan, ditimbun, diletakkan,

dialihkapalkan, dikemas dan atau diolah. Dengan demikian kawasan

perdagangan bebas terpisah dari daerah pabean Indonesia, sementara bonded

warehouse berada di dalam daerah pabean Indonesia. Bonded warehouse

sebagai bentuk usaha di antara kawasan perdagangan bebas yang di luar

daerah pabean dengan entreport partikulir yang berada di dalam daerah

pabean.8

8 Op. cit.,, hal. 155

Page 10: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

10

Sebagai langkah lanjut, untuk pertama kalinya kemudian disusun Rencana

Induk Pembangunan Komprehensif Pulau Batam yang tidak lagi berorientasi

pada industri minyak. Dalam Rencana Induk yang dibuat oleh Departemen

Pekerjaan Umum tahun 1979 Pulau Batam direncanakan menjadi kawasan

Industri, Free Trade Zone dan pusat alih kapal dengan tempat penimbunan

barang ekspor, impor, pariwisata serta berbagai sarana dan prasarana

pendukung.9

Memasuki dasawarsa 80-an, Batam mulai memasuki babak baru dengan

pertumbuhan industri manufaktur terutama elektronika. Selain itu, melewati

dasawarsa 1980-an prasarana infrastruktur jalan, dam, pembangkit tenaga listrik,

dan telekomunikasi telah dibangun. Industri petroleum sudah menancap kuat

dan memberikan sumbangan yang fundamental bagi ekonomi Batam. Dengan

strategi yang tepat, perusahaan penunjang migas dapat diharapkan terus

berkembang dan berdaya saing lebih kuat untuk memasuki pasar internasional.

Keberadaan perusahaan yang pasti akan memasarkan produksinya ke luar

Batam dan akan mendukung kegiatan pelabuhan Batam. Batam membutuhkan

orientasi strategis untuk mendukung perkembangan perusahaan penunjang

minyak di Batam.

Mengantisipasi perkembangan ke depan sebagai konsekuensi dari

dijadikannya Batam sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi, maka pada tahun

1981 dibuatlah Masterplan Rencana Jangka Panjang Pengembangan Batam

1981-2006 yang kemudian dilakukan dua kali revisi oleh Lembaga Teknologi

Universitas Indonesia yakni pada tahun 1985 dan tahun 1991. Dalam dua kali

revisi, masterplan ini fungsi Batam tetap tidak mengalami perubahan

substansial. Batam tetap diarahkan menjadi kawasan industri, pariwisata,

perdagangan, dan alih kapal (transshipment). Berdasarkan masterplan ini pula

diambil kesimpulan bahwa pembangunan Pulau Batam tidak cukup hanya

direncanakan sebagai daerah industri semata-mata tetapi juga diarahkan

sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh sektor industri,

perdagangan dan pariwisata.

9 ibid.

Page 11: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

11

Mengingat potensi ekonominya dari berbagai sektor tadi, maka pemerintah

melalui Keppres No. 56/84 tgl. 18 September 1984 memperluas kawasan

ekonomi Batam mencakup lima pulau di sekitanya,r yakni Pulau Kasem, Pulau

Moi-moi, Pulau Ngenang, Pulau Tanjung Sauh dan Pulau Janda Berias, dan

kepada wilayah ini diberi status bonded warehouse. Artinya, kawasan

pertumbuhan ekonomi Batam bukan lagi berarti kawasan Pulau Batam, tetapi

juga diperluas ke beberapa pulau di sekitarnya.

Dari perjalanan di atas dapat dilihat bahwa perkembangan Batam sangat

ditentukan oleh rencana-rencana ekonomi yang berbasis industri. Sementara

perkembangan di bidang-bidang lainnya lebih mengambil posisi mengikuti

pekembangan ekonomi berbasiskan sektor industri. Di sinilah letak perbedaan

Batam dan Bali.

Sejalan dengan perkembangan pembangunan Batam, pertumbuhan

penduduk Batampun secara perlahan tapi pasti meningkat dan menumbuhkan

adanya jasa perkotaan. Karena itu, di awal tahun 1980-an dipandang perlu

adanya pengaturan khusus dalam hal penyelenggaraan pemerintahan. Dengan

kata lain, perlu ada lembaga di luar Otorita Batam yang berperan untuk mengatur

fungsi pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. Atas pertimbangan

ini, Pemerintah Pusat kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 34/83

mengenai Pembentukan Kota Administratif Batam di wilayah Propinsi Daerah

Tingkat I Riau sebagai perangkat dekonsentrasi. Sejak saat itu pula, pengelolaan

kawasan Batam melibatkan dua lembaga, yakni Otorita Batam dan Pemerintah

Kota Administratif.

Meski pengelolaan kawasan Batam sejak tahun 1983 telah melibatkan

Pemerintah Kota Administratif, Otorita Batam memiliki kewenangan yang sangat

luas untuk mengelola Pulau Batam dalam rangka menarik investor dalam

menanamkan modalnya di Pulau Batam. Kewenangan tersebut meliputi

penyelenggaraan ‘dual functions’, yaitu (a) sebagian fungsi pemerintahan,

berupa pemberian izin, pelayanan masyarakat, pertanahan dan sebagainya,

atas dasar pendelegasian pelbagai kewenangan Pemerintah Pusat cq.

Departemen tehnis terkait; (b) fungsi pembangunan, dimana Otorita Batam

Page 12: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

12

mengelola sarana dan prasarana seperti bandara, pelabuhan laut, listrik, air

minum, rumah sakit dan lain-lain dalam rangka mempertahankan daya saing

sebagai kawasan industri, kegiatan alih kapal, perdagangan dan pariwisata.

Dengan demikian terjadi pemisahan antara fungsi pemerintahan dan

kemasyarakatan yang diemban oleh Kotatip dan fungsi pembangunan yang

dijalankan oleh Badan Otorita Batam. Karena itu wilayah administratif ini tidak

dilengkapi dengan DPRD tingkat II dan Walikota Administratif Batam langsung

bertanggungjawab kepada Gubernur/KDH tingkat I Riau.

Kewenangan Otoritas Batam yang sudah cukup luas tadi, mendapat

tambahan wilayah kerja lagi pada tahun 1992 dengan diperluasnya wilayah kerja

Otoritas Batam berdasarkan Keppres No. 28 tahun 1992 yang memasukkan

pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru dan pulau-pulau kecil di

sekitarnya sekaligus menetapkan statusnya sebagai Kawasan Berikat (bonded

zone). Perluasan wilayah kerja tersebut sebagai wilayah Batam-Rempang-

Galang (Barelang) dihubungkan dengan 6 (enam) buah jembatan antar pulau

yang pertama dibangun di Indonesia menjadikan penambahan luas menjadi 715

km2. Batam telah berfungsi sebagai kawasan FTZ dan mendapat fasilitas

pembebasan pajak, sehingga fasilitas bebas PPN, PpnBM dan BM berlaku

bukan saja untuk kegiatan industri, tetapi juga untuk kegiatan lainnya seperti

komersial, jasa pendukung industri termasuk kebutuhan konsumsi. Bahkan

seluruh lokasi kegiatan industri bersatu dengan kegiatan-kegiatan lain seperti

pemukiman, komersial termasuk jasa pendukung industri.

Perubahan besar terjadi setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UU No. 22

Tahun 1999 dan UU No. 53 Tahun 1999, yang menjadikan Batam sebagai

daerah pemerintahan kota otonom yang sama kedudukannya dengan kabupaten

dan kota-kota lainnya di Indonesia. Salah satu bentuk perubahan itu adalah,

munculnya kewenangan Pemerintah Kota Batam dalam mengelola urusan

industri dan investasi. Perubahan ini jelas berdampak pada masalah kepastian

hokum karena adanya dualisme kelembagaan untuk urusan yang sama.

Page 13: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

13

C. ASPEK EKONOMI KEBERADAAN BATAM.

Salah satu yang membuat Batam menjadi perhatian khusus sejak dahulu

hingga sekarang adalah karena kawasan ini memiliki potensi maupun

kemampuan aktual untuk memberi kontribusi terhadap kemajuan ekonomi

nasional maupun daerah Batam dan sekitarnya. Posisinya yang sangat dekat

dengan negara industri baru Singapura, membuat kawasan ini sangat berpotensi

untuk menampung luapan ekonomi dari Negara pulau yang sudah tergolong

maju tersebut.

Nilai ekonomis kawasan ini sudah tak terbantahkan sejak ia dikembangkan

secara terencana oleh pemerintah. Saat ini, nilai ekspor nonmigas Batam

memberi kontribusi sekitar 14% dari nilai ekspor nonmigas nasional dan

menyumbang sektiar 11% dari nilai total PMA yang masuk ke Indonesia.

Perkembangan investasi swasta asing mengalami peningkatan selama 10 tahun

terakhir dimana tahun 1993 foreign private investment (dalam jutaan US $)

sejumlah 1.648 meningkat menjadi 3.620 pada tahun 2002.10

Selain itu, juga telah tercatat fungsi kawasan ini dalam menciptakan

lapangan kerja bagi sekitar 170 ribu tenaga kerja dan menciptakan lapangan

usaha bagi sekitar 9000 UKM. Sementara untuk ekspor dan pemasukan devisa

dalam 10 tahun terakhir terjadi flaktuasi dimana pada tahun 1992 sejumlah US$

564,5 juta meningkat hingga tahun 1997 senilai US$ 4.885,1 juta, namun

mengalami penurunan pada tahun 1998 menjadi US$ 4.726,2 juta dan mulai

merangkak naik menjadi US$ 4.807,3 juta setahun kemudian (1999) dimana

puncaknya pada tahun 2000 senilai US$ 6.770 juta sebelum kembali jatuh pada

tahun 2001 senilai US$ 5.710 juta dan pada tahun 2002 sebesar US$ 5.000

juta.11

Batam juga tercatat ke dalam kelompok tiga besar daerah tujuan wisatawan

mancanegara ke Indonesia, sehingga Batam juga menjadi penting sebagai

penariknya masuknya devisa melalui sektor pariwisata. Untuk pemasukan devisa

10 Investment Guidelines Batam Indonesia, (BIDA, Tanpa tahun terbit). 11 Ibid.

Page 14: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

14

dari sisi pariwisata pada tahun 1992 sejumlah US$ 238 juta , meningkat terus

hingga tahun 1997 berjumlah US$ 405,6 juta dan tahun 1998 senilai US$

421,58. juta Meski pada tahun 2000 menurun menjadi US$ US$ 413,45 juta dari

tahun 1999 yang berjumlah US$ 478,44 juta, penerimaan devisa dari pariwisata

ini meningkat kembali pada tahun 2001 menjadi US$ 428 juta. Pada tahun 2002

sedikit menurun menjadi senilai US$ 417 juta.

Untuk perbandingan nilai ekspor nonmigas antara Indonesia, Provinsi Riau

dan Batam digambarkan sebagai berikut: untuk tahun 1993 nilai ekspor

Indonesia sejumlah US$ 27.078 juta sementara Riau sejumlah US$ 615 juta dan

untuk Batam sendiri US$ 930 juta. Kondisi ini tetap bertahan hingga tahun 1997

dimana untuk Indonesia sebesar US$ 4.1821 juta, untuk Riau US$ 2.312 juta

dan untuk Batam sebesar US$ 4800 juta. Namun pada tahun 1998 terjadi

penurunan dimana Indonesia sebesar US$ 40.975 juta, untuk Riau US$ 1.658

juta dan untuk Batam US$ 4.700 juta. Pada tahun 1998 ketika Nilai Ekspor non

Migas Indonesia mengalami penurunan justru Batam dan Riau terjadi

peningkatan dari tahun sebelumnya dimana Riau dengan nominal US$ 5.216

juta dan Batam US$ 4.800 juta. Untuk tahun 2000 Indonesia kembali meningkat

menjadi US$ 47.779 juta, demikian pula Riau dan Batam, yang mana Riau

memperoleh nominal sejumlah US$ 7.439 juta dan Batam US$ 6.700 juta. Posisi

Tahun 2001 untuk Indonesia menurun menjadi US$ 43.406 juta, untuk Riau US$

6.718 juta dan untuk Batam US$ 5.710 juta. Pada akhir tahun 2002 (Desember)

ketika nilai ekspor non Migas Indonesia berada pada posisi mengalami

peningkatan menjadi US$ 44.880 juta dan Riau juga mengalami peningkatan dari

tahun sebelumnya menjadi US$ 7.142 juta, Batam mengalami penurunan dari

tahun sebelumnya, dimana Nilai Ekspor Non Migasnya tahun 2002 sebesar US$

5.000 juta.

Sering dengan peningkatan berbagai kegiatan produksi tadi, penerimaan

pajak Pemerintah Pusat dari Batam selama 10 tahun terakhir ikut meningkat

cukup drastis dari Rp 35,8 milyar pada tahun 91/92 menjadi Rp 945,74 milyar

pada tahun 1991/1992, dan hanya turun sedikit pada tahun 2002 menjadi Rp 907

milyar. Sementara untuk penerimaan pajak kota Batam sendiri juga meningkat

Page 15: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

15

drastis dari Rp 5,81 milyar pada tahun 91/92 hingga menjadi Rp 73,01 milyar

pada tahun 2000 hingga melonjak drastis ke Rp 358,833 milyar pada tahun 2001

dan menjadi Rp 358,633 milyar pada akhir tahun 2002 (Desember).

Dari data-data ekonomi di atas jelas tidak bisa diingkari bahwa Batam

adalah kawasan ekonomi yang sangat menguntungkan bagi banyak pihak,

termasuk Pemerintaha Kota Batam.

D. ASPEK HUKUM DAN DEMOKRASI.

Dari sisi hokum dan demokrasi keberadaan Otorita Batam dengan segala

kompleksitasnya juga tidak kalah menariknya. Dari sejarah perkembangan status

pemerintahan di Pulau Batam sebelum Era Otonomi Daerah, terlihat bahwa

Pemerintah telah menetapkan adanya perangkat untuk mengembangkan Pulau

Batam sebagai kawasan industri, pusat kegiatan alih kapal (transshipment),

kawasan perdagangan dan kawasan pariwisata serta penyelenggaraan

pemerintahan yang bersifat dekonsentrasi.

Dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah, telah terjadi perubahan paradigma yang siknifikan terhadap

penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sistem sentralisasi menjadi sistem

desentralisasi, yang ditandai dengan penyerahan seluruh kewenangan dari pusat

ke daerah kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan

keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain

sebagaimana yang tercantum pada Pasal 7 UU tersebut. Pembentukan Kota

Batam dan 6 Kabupaten lain dilakukan atas dasar UU No. 22 Tahun 1999. Hal

ini semua pararel dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (amandemen kedua

tahun 2000) yang menegaskan bahwa ‘Pemerintahan Daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan Pemerintahan yang oleh Undang-

Undang ditentukan sebagai Urusan Pemerintah Pusat’.

Dengan demikian berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999 Kota Administratif

Batam sebagai perangkat dekonsentrasi telah ditetapkan sebagai daerah

Page 16: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

16

otonom Pemerintah Kota Batam sebagai perangkat desentralisasi dengan 11

kewenangan wajibnya, yaitu : pekerjaan umum, kesehatan, pariwisata dan

kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman

modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. (Pasal 11 UU

No. 22 Tahun 1999 dan Pasal 17 ayat (2) UU No. 53 Tahun 1999).

Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Pasal 21 ayat (1)

UU No. 53 Tahun 1999 menyatakan bahwa “Dengan terbentuknya Kota Batam

sebagai Daerah Otonom, Pemerintah Kota Batam dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan didaerahnya mengikutsertakan Badan Otorita

Batam”.

Merujuk pada ‘basic idea’ Badan Otorita Batam sebagaimana digambarkan

di atas (lihat Teori Balon BJ Habibie), dalam perkembangannya nampak telah

terjadi semacam ‘goal displacement’. Sebab proses non-eksistensi yang melekat

pada basic idea Badan Otorita Batam tidak disinggung dalam kedua UU

tersebut, bahkan memperoleh pengakuan terselubung (implied recognition)

sebagai ‘permanent body’ sekalipun dalam status yang berbeda. Apabila

sebelum Era Otonomi Daerah status Kota Batam sebagai Kotatip justru

merupakan penunjang (proponent) Otorita Batam, maka di Era Otonomi Badan

Otorita Batam berstatus sebagai ‘participant’ dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan Pemerintah Kota Batam.

Dengan demikian akan timbul pertanyaan apakah institusi Badan Otorita

Batam akan tetap bersifat ‘temporary’ ataukah dipertimbangkan menjadi

‘permanent institution’ atau harus dicari jalan tengah mengingat telah

berubahnya lingkungan politik, sosial dan ekonomi serta lingkungan regional dan

global yang terjadi secara cepat dan mendasar,

Berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999, pembagian kewenangan antara

Pemerintah Daerah dengan Otorita Batam diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sampai hari ini PP yang menggantikan Keppres No. 7 Tahun 1984 yang

mengatur Hubungan Kerja Antara Walikota Administratif Batam dengan Otorita

Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam belum rampung (sekalipun Konsep

PP sudah disepakati baik oleh Pemkot Batam maupun Otorita Batam).

Page 17: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

17

Sementara itu telah pula muncul ‘intervening variables’ baru berupa

perkembangan Riau Kepulauan sebagai Provinsi baru, dan pemikiran atas dasar

RUU untuk mengembangkan status Batam sebagai Kawasan Perdagangan

Bebas (Free Trade Zone) dalam rangka mengantisipasi persaingan global

dimana di dalamnya diatur pula tentang kelembagaan dalam pengelolaannya

yang melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pembahasan RUU Free

Trade Zone inipun masih mengalami hambatan akibat tarik menarik kepentingan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam kelembagaan apa yang

dinamakan Dewan Kawasan.

Kekosongan hukum (legal emptiness) ini sangat berisiko karena akan

memicu terjadinya pelbagai diskresi (misalnya munculnya pelbagai Perda dan

kebijakan Badan Otorita), tidak adanya kepastian hukum (legal uncertainty),

suasana anomis, berkembangnya faktor kriminogin, berkembangnya keresahan

sosial dan politis (social and political unrest), munculnya issue dualisme

kepemimpinan, rasa ketidaktenteraman, gangguan terhadap kelancaran

pembangunan, kekaburan kewenangan Badan Otorita di satu pihak dan

Pemerintah Kota Batam di lain pihak dan sebagainya yang sangat tidak kondusif

bagi investor, iklim bisnis dan pelayanan sosial yang luas. Semuanya ini jelas-

jelas kontra poduktif.

Dalam hal ini yang perlu dipikirkan adalah di satu pihak sampai seberapa

jauh ‘basic idea’ terbetuknya Badan Otorita Batam yang sangat positif dan

kemudian mengalami ‘goal displacement’ tetap bisa dilanjutkan realisasinya,

tetapi di lain pihak Otonomi Daerah sebagai bagian dari agenda reformasi dalam

kerangka demokratisasi tidak terganggu. Demokrasi tidak dirancang demi

effisiensi tetapi demi pertanggungjawaban. Otonomi dan desentralisasi

merupakan salah satu dari sekian banyak prinsip dasar demokrasi. Semakin jauh

suatu pemerintahan dari rakyatnya, maka ia semakin kurang efektif dan semakin

kurang mendapat kepercayaan.12

Dengan otonomi daerah rakyat didekatkan pada para pejabatnya yang

memiliki ‘decisive power’. Bagi Negara yang besar, dengan luas wilayah dan

12 Urofsky, Melvin I, Basic Principles of Democracy, 2003, hal. 27

Page 18: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

18

heterogen seperti Indonesia, otonomi daerah dalam kerangka desentralisasi

bisa menjadi penjaga keamanan yang penting terutama untuk meredam

ketidakpuasan daerah dan mencegah gerakan separatis. Persoalan yang

penting di sini adalah jalan tengah apa yang perlu dirumuskan untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan di atas ?

Di Era Orde Baru telah terbukti bahwa kekuasaan eksekutif yang terpusat

dan tertutup di bawah kontrol lembaga kepresidenan yang feodalistik telah

mengakibatkan krisis sistemik (struktural, substantif dan kultural), sehingga tidak

mendukung berkembangnya fungsi pelbagai lembaga kenegaraan, politik, dan

sosial secara proporsional dan optimal. Mekanisme hubungan pusat-daerah

cenderung tidak adil dan pengambilan keputusan kurang sesuai dengan kondisi

politis, sosiologis, filosofis, geografis dan demografis di pelbagai daerah.

Dari segi konsep tipe hukum dan organisasi formal (type of law and formal

organization) telah terjadi pergeseran dan perkembangan nilai-nilai yang

signifikan dari Tipe Hukum Repressive yang menitik beratkan pada ‘order’,

pendekatan ‘ad hoc’, sifat opportunistic yang penuh diskresi, law subordinated to

power politic, criticism as disloyalty , penekanan pada moralitas komunal, menjadi

Tipe Hukum Autonomous sekaligus Responsive yang menekankan legitimasi

dan kompetensi, keadilan prosedural dan substantif, legalistic dan purposive,

subordinated to principle, accountable to rules and purpose, institutional and civil

morality, legal and political aspirations powers integrated and blending of

powers, integration of legal and social advocacy.

Birokrasi yang semula partikularistik, kharismatik, ad hoc, unstable tumbuh

menjadi birokrasi yang ‘mission oriented, substantive rationality, subordinated to

purpose, participatory, broad delegation, experts have autonomus professional

base’.13

Pergeseran nilai dari masyarakat yang tidak demokratis ke arah masyarakat

demokratis dalam kerangka reformasi beserta hukum yang autonomous dan

responsive disertai nilai-nilai ‘post-bureaucratic’ di atas nampaknya kurang

13 Nonet, Philippe and Selznick Philip, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper & Row Publ., New York, 1998, hal. 16 dst.nya

Page 19: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

19

disadari dan tidak dipahami secara mendasar. Sehingga, dengan dalih

‘transisional’ justru memunculkan kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan

dengan nilai-nilai di atas.

Ketidakberhasilan menciptakan produk hukum yang kondusif untuk

pembangunan Batam sampai saat ini, sebenarnya merupakan indikator belum

mantapnya beberapa nilai dasar demokrasi di atas dalam kehidupan

ketatanegaraan. Kunci dan kualitas produk hukum yang demokratis tidak

terletak pada tata cara atau bahkan forum di mana peraturan itu dihasilkan,

melainkan pada sifat keterbukaan prosesnya bagi masyarakat dan perlunya

pemahaman terhadap harapan rakyat sebagai ‘norm addresse’.

Kesadaran dan penghayatan terhadap nilai-nilai dasar demokrasi dengan

segala aspeknya akan sangat penting untuk menciptakan ‘unity of command and

aspirations’ dalam rangka menghadai proses globalisasi yang sudah didepan

mata. Hal ini penting untuk dihayati karena : ‘Globalization, growth and

regionalization are helpful to develop or rejuvenate economies. Indeed, over the

long term, increasing global integration through trade and investment will vastly

improved the wellbeing of developing and industrial countries alike- helping to

mitigate hostilities, built confidence, and peacefully channel competition. But this

process also entails difficult adjustments in both developed countries and less

developed countries. Not everyone is finding a niche in the world economy-

many have fallen between the cracks, if not into chasm of chaos’ 14

E. TATA KELOLA PEMERINTAHAN PASKA OTONOMI DAERAH

Sumber persoalan pembagian kewenangan dan tata kelola Batam yang

mencuat saat ini pertama-tama berkaitan dengan perkembangan cepat kawasan

Batam semenjak adanya kebijakan-kebijakan rekayasa pengembangan kawasan

14 Lodge, George C, Managing Globalization in the Age of Interdependence, (Pfeiffer and Co, Toronto, 1995), hal 45

Page 20: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

20

ekonomi oleh pemerintah. Semula, rencana pengembangan kawasan ini

didasarkan pada sektor industri. Sementara perkembangan di bidang-bidang

lainnya lebih mengambil posisi ‘defensive’’ dan bersifat sebagai ‘followers’

mengikuti perkembangan ekonomi berbasiskan sektor industri tersebut. Namun

‘Social Policy’ semacam ini ternyata juga menimbulkan persoalan karena ‘social

policy’ yang diambil tersebut kurang memperhatikan dua dimensi yang mestinya

selalu ada, yaitu ‘social welfare policy’ dan ‘social defence policy’. Dimensi ini

sejak awal seharusnya dirumuskan secara simultan dan komplementer;

Sehingga, salah satu tantangan pembangunan Batam saat ini adalah bagaimana

menghindari kondisi yang bersifat ‘fragmented’ ini.

Perlu dingat kembali, kelemahan UU No. 22/99 maupun UU No. 53/99

yang menyebabkan munculnya sejumlah masalah dalam pengembangan

ekonomi dan tatakelola pemerintahan Batam jelas bersumber pada

ketidakcukupan asumsi-asumsi dalam melihat kecenderungan masalah-masalah

pembangunan di Batam. Dalam merumuskan kedua UU tersebut tampaknya

para arsiteknya telah mengasumsikan kondisi Batam sama dengan Kabupaten

atau Kota-Kota lain di Indonesia. Padahal, karena sejarah perkembangannya

yang berbeda dan posisinya yang strategis Batam menjadi memiliki dimensi

tertentu yang bersifat khusus, selain dimensi yang bersifat umum yang juga

ditemukan di daerah lain di Indonesia. Karena itu untuk urusan tatakelola

pemerintahan, setiap masalah yang muncul harus dilihat dari pelbagai dimensi,

dengan menggunakan sebanyak mungkin asumsi. Artinya, pelbagai asumsi dari

pelbagai aspek pembangunan harus dikemukakan pada saat hendak

merumuskan suatu peraturan yang menyangkut tatakelola pemerintahan di

Batam.

Sebagai contoh, perumus UU No. 22/99 dan UU No. 53/99 mungkin tidak

memperhitungkan asumsi manajemen pemerintahan karena kurang

memperhatikan timbangan antara beban kewenangan dan kapasitas

kelembagaan ketika mendesentralisasikan kewenangan di bidang industri dan

investasi kepada Pemerintah Kota Batam sebagai daerah otonom. Seandainya

kewenangan industri dan investasi yang dilimpahkan tersebut dipersepsikan

Page 21: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

21

sebagai semua urusan industri dan investasi, jelas untuk kasus Batam beban

urusan yang dilimpahkan demikian besar, sementara kapasitas kelembagaan

Pemerintah Kota sebagai pemerintahan baru masih relatif kecil.

Maka, paling tidak, mestinya asumsi yang dipakai di sini adalah asumsi

transisional jika Pemerintah Pusat tetap ingin menyamakan daerah otonom

Batam dengan daerah otonom lainnya. Itupun akan tergantung apakah Otorita

Batam masih dilihat keberadaannya yang bersifat temporer atau merupakan

‘permanent body’.

Selain menggunakan asumsi transisional di atas, kebijakan tatakelola

pemerintahan Batam tentunya juga harus memasukkan asumsi-asumsi lainnya

yang mungkin tidak terlalu perlu untuk daerah-daerah kabupaten atau kota-kota

lain. Asumsi-asumsi tersebut, misalnya bisa mencakup masalah kecenderungan

regionalisasi ASEAN, perubahan geopolitik internasional, ketahanan ekonomi

nasional, stabilitas sosial yang dinamis, pelestarian lingkungan ekologis, dan

sebagainya.

Ditinjau dari pelbagai kondisi sekarang dan kecenderungan pelbagai bidang

pembangunan yang sedang bergerak di Batam, sebetulnya tipe tatakelola

pemerintahan Batam lebih tepat menggunakan Tipe Transisional Menuju Daerah

Otonomi Khusus untuk waktu sekitar 5 hingga 10 tahun. Diusahakan, setelah

masa transisi berakhir, dualisme kelembagaan dalam tata kelola pemerintahan di

Batam juga harus diakhiri dengan mengintegrasikan Otorita Batam ke dalam

sebuah sistem pemerintahan yang kurang lebih berbentuk Pemerintahan

Kawasan Khusus Batam.

Pada masa transisi tadi, bisa dilakukan pembagian kewenangan antara

Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam berdasarkan pertimbangan historis,

kondisi obyektif saat ini, dan kecenderungan-kecenderungan lungkungan

strategis jangka panjang. Secara sektoral, pembangunan kewenangan tersebut

semestinya tidak sulit, karena kita bisa merujuk kepada pembagian kewenangan

yang lumrah antara urusan pemerintahan (pelayanan publik) dan urusan

mekanisme pasar. Dalam rangka memberikan iklim yang kondusif kepada pelaku

pasar, misalnya, kita perlu menegaskan lewat Undang-undang bahwa lembaga

Page 22: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

22

Otorita Batam tetap harus diberi kewenangan mengurus industri besar,

pelabuhan dan bandara, kawasan-kawasan industri, dan pengadaan dan

pengelolaan infrastruktur industri. Sementara itu, Pemerintah Kota Batam sendiri

memperoleh kewenangan-kewenangan lain, kecuali kewenangan-kewenangan

yang disebutkan untuk Otoritas Batam tadi.

Tetapi untuk masa transisi menuju satu otoritas pemerintahan, kita juga

harus melihat secara realistis adanya sektor-sektor yang terpaksa berada di

wilayah abu-abu (grey sector). Urusan-urusan yang bisa masuk ke dalam

wilayah abu-abu ini misalnya, pelayanan kesehatan, pertanahan, pengadaan air

bersih dan beberapa lainnya. Adanya wilayah abu-abu ini sekaligus menuntut

pemikiran yang arif ketika hendak mendistribusikan kewenangan kepada para

stakeholders pengelola kawasan. Di sini persoalan yang agak rumit mungkin

adalah masalah membagi kewenangan diantara Pemerintah Pusat, Gubernur,

Walikota Batam dan Otorita Batam.

F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.

a. Saat ini berkembang dua pemikiran yang berbeda mengenai pilihan

bentuk ‘free trade zone’ (FTZ) Kawasan Batam ke depan dengan

sejumlah alasan yang digunakan oleh masing-masing pihak. Pertama,

adalah pemikiran yang menginginkan bentuk FTZ yang menyeluruh di

kawasan Batam. Kedua, pemikiran yang mengusulkan agar FTZ Batam

berbentuk beberapa ‘enclaves’ di dalam Wilayah Batam (FTZ Enclave,

FTZ kawasan industri saja). Dengan bentuk pilihan yang disebut pertama,

bentuk FTZ Batam berarti seluruh wilayah Batam adalah kawasan bebas

keluar-masuk barang dari dan ke luar negeri. Pendekatan ini sering

dituduh sebagai usaha untuk ‘mengkerdilkan kewenangan daerah’ dan

lebih jauh lagi dianggap tidak konsisten terhadap Konsep Otonomi Daerah

sebagai salah satu agenda reformasi serta ingin menghidupkan kembali

budaya sentralistik. Sedangkan dengan bentuk pilihan kedua, kawasan

Page 23: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

23

bebas keluar-masuk tadi hanya pada ‘enclave-enclave’ yang ditetapkan

sebagai FTZ di dalam daerah Batam, dianggap merupakan usaha

‘dengan sengaja ingin menghilangkan peran pemerintah pusat.15

Perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa para ‘stakeholders ’

pembangunan Batam seperti terbagi ke dalam dua cara pandang tadi dan

cenderung terlibat ke dalam situasi tarik-menarik karena meyakini

kebenaran perspektif masing-masing.

b. Masalah utama dalam pengelolaan kawasan Batam saat ini berkaitan

dengan masalah ‘legal uncertainty’ dan dualisme kelembagaan dalam

mengelola urusan pelayanan kepada publik maupun kepada investor;

Masalah ini jelas bersumber dari ketidaksempurnaan Undang-undang No.

22 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 dan tidak adanya

Peraturan Pemerintah yang menindaklanjuti kedua undang-undang

tersebut.

c. Dari aspirasi yang berkembang, sebenarnya baik Badan Otorita Batam,

Pemerintah Kota Batam dan para pengusaha serta masyarakat Batam

sendiri tidak lagi mempersoalkan produk hukum yang akan mengatur

pembangunan Batam, misalnya apakah ‘free trade zone’ yang akan

berlaku berbentuk ‘enclave’ ataukah berbentuk ‘ FTZ seluruh Batam’ atau

bentuk kombinasi keduanya. Yang dibutuhkan segera adalah ‘legal

certainty’ dalam bentuk produk UU dari Pemerintah Pusat, atas dasar

pelbagai aspirasi yang telah disampaikan kepada Pemerintah Pusat oleh

para ‘stakeholders’ pembangunan Batam. Dalam suasana konflik

kepentingan yang terjadi, Pemerintah Pusat diharapkan dapat

memberikan solusi yang obyektif berdasarkan ‘cost and benefit analysis ’

dan ‘swot analysis’ terhadap pelbagai permasalahan di atas.

d. Harus diakui, terdapat kecenderungan pada Otorita Batam mengalami

‘goal displacement’ yakni tumbuh menjadi ‘permanent body ’ sehubungan

15 Octarevia, David, Tinjauan Suatu Model FTZ di Indonesia, FTZ Khas Batam, Berpenduduk dan Berpemerintah Kota, UI-Press, 2003 hal. 47

Page 24: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

24

dengan ‘implied recognition’, baik dalam UU Otonomi Daerah maupun

dalam Konsep RUU FTZ. ‘Implied recognition’ dalam politik hukum tidak

dapat dibenarkan karena akan menimbulkan ‘multi-interpretation’ dan

ketidakpastian. Dalam hal ini harus ada penegasan apakah keberadaan

Otorita Batam bersifat permanen ataukah temporer, dan apakah Otorita

Batam akan tetap berdiri sendiri di luar Pemerintahan Kota Batam atau

pada suatu saat akan diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan

kawasan khusus Batam.

e. Konsep OTDA mengalami permasalahan karena penekanan lebih banyak

diletakkan pada aspek struktural dan substantif (yang secara empiris juga

jauh dari memadai), dan kurang memperhatikan aspek kultural. Segala

pihak harus sadar bahwa sikap kurang konsisten dalam melaksanakan

‘accelerated evolution’ tidak hanya menimbulkan akibat dalam kaitannya

dengan efisiensi dan efektivitas, tetapi akan mencederai proses reformasi

yang tidak lain merupakan usaha sistematis untuk melakukan proses

demokratisasi.

f. Dramatisasi terhadap kontroversi tentang ‘dualisme kepemimpinan’ yang

muncul antara Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam sejak

diberlakukannya UU No. 22/99 dan UU No. 53/99, telah menjadi bahan

perdebatan yang berlarut-larut dan cenderung mengalami kompleksitas

baru berupa suasana ‘quasi rivalry’ antara kedua institusi tersebut. Jika

keadaan yang demikian terus berlanjut dan tidak segera menemukan

solusinya yang tepat, seperti dikhawatirkan banyak kalangan selama ini,

pasti akan menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi pertumbuhan Kota

Batam sebagai kawasan yang sejak semula disiapkan sebagai lokomotif

pertumbuhan industri nasional.

g. Para pembuat keputusan-keputusan strategis yang berhubungan dengan

masa depan pengelolaan kawasan Batam, seperti DPR dan Pemerintah

Page 25: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

25

Pusat, hendaknya menjajaki terlebih dahulu berbagai asumsi yang bisa

membuat suatu produk hukum kaya dengan perhitungan dampak positif

dan negatif terhadap berbagai bidang dan urusan pembangunan. Untuk

pengelolaan kawasan Batam khususnya, para pembuat keputusan

strategis hendaknya memasukkan asumsi-asumsi ekonomi, ekologis,

sosial-budaya, manajemen pemerintahan dan perubahan politik sehingga

memudahkan merancang konsep tata kelola pemerintahan yang baik

(Good Governance) untuk kawasan Batam.

h. Para stakeholders sebaiknya menghindari tarik-menarik yang tidak perlu

dalam mencari alternative bentuk sistem pengelolaan kawasan Batam

dalam rangka mengimplementasikan otonomi daerah sekaligus

mengambil peluang emas dari era perdagangan bebas. Tarik-menarik

yang membuang sumberdaya ini bisa dihindarkan dengan cara

mempersiapkan dua tahapan sistem pengelolaan kawasan Batam. Pada

tahap pertama, sistem pengelolaan kawasan Batam dibuat dengan

dengan cara melakukan pembagian kewenangan-kewenangan antara

Pemerintah Kota Batam dan Otoritas Batam yang bisa dibuat dengan

tegas dan jelas, dan menentukan sistem koordinasi untuk kewenangan-

kewenangan yang berada di wilayah grey area. Tahap ini bisa kita sebut

sebagi tahap transisi menuju pengintegrasian kedua lembaga tadi. Tahap

kedua, adalah tahap memasuki sistem pengelolaan kawasan yang

terintegrasi di dalam spirit otonomi daerah sekaligus memanfaatkan

peluang emas dari posisi strategis Batam untuk kepentingan

pembangunan nasional. (Lihat Bagan pada lampiran).

i. Dalam rancangan sistem pada tahap kedua – tahap integrasi – memang

perlu dipertimbangkan perlunya Dewan Kawasan Batam dalam kerangka

mengelola ‘free trade zone’ sekaligus mempertahankan spirit otonomi

daerah (desentralisasi). Namun dalam rancangan sistem untuk tahap

transisi menuju pengintegrasian, Dewan Kawasan tidak mutlak harus ada.

Page 26: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

26

Untuk mengatasi masalah-masalah yang mencuat saat ini, kiranya cukup

dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur urusan-urusan atau

kewenangan-kewenangan yang harus dikelola secara bersama atau

dikoordinasikan pengelolaannya antara Pemerintah Kota Batam dan

Otoritas Batam.

j. Jika Dewan Kawasan dibentuk bersamaan dengan dimulainya tahap

pengintegrasian penelolaan kawasan Batam, Dewan tersebut harus

benar-benar merupakan ‘dispute settlement body’ yang aspiratif, obyektif

dan demokratis, baik dalam kerangka permasalahan internal Badan

Otorita Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas

(kebijaksanaan umum, pembinaan, pengawasan dan sinergi positif serta

pengusulan pengangkatan dan pemberhentian Pimpinan Otorita) maupun

permasalahan eksternal dalam kaitannya dengan koordinasi dengan

Pemerintah Kota Batam. Sebagai ‘dispute settlement body’ yang obyektif,

Dewan Kawasan yang diketuai oleh Gubernur harus terdiri atas unsur-

unsur yang komprehensif yang selalu menerapkan prinsip ‘integrative

mechanism’. Keanggotaan sebaiknya mencakup Unsur Pemerintah

Pusat, Unsur Pemda (Gubernur/Walikota), Wakil Investor, Pakar (untuk

menjaga konsistensi ‘principles’) dan Pemimpin/Tokoh Masyarakat;

Dalam hal ini Undang-undang harus tegas untuk menyatakan apakah

keberadaan Otorita merupakan ‘Temporary Body’ sebagaimana ide

dasarnya ataukah merupakan ‘Permanent Body’, masing-masing dengan

didukung alasan yang kuat.

k. Sistem pengelolaan Kawasan Batam pada tahap integrasi yang terdiri

atas unsur-unsur, Dewan Kawasan, Eksekutif Pemerintahan Kawasan

Khusus Batam yang sekaligus membawahi Badan Pengelolan

Kawasan Industri dan Investasi, dan Pengusaha, harus bebas dari

persoalan-persoalan masa lalu. Untuk itu pelaku-pelaku utama yang

terkait saat ini harus benar-benar menerapkan prinsip demokrasi berupa

Page 27: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

27

transparansi, akuntabilitas dan responsive, ketika membentuk dan

menjalankan sistem pengelolaan kawasan yang terintegrasi itu nanti.

Badan Pengelola Kawasan Industri/Investasi dan Perdagangan

Batam, atas nama Eksekutif Pemerintahan Kawasan Khusus Batam,

harus menyampaikan laporannya kepada masyarakat atau DPRD, baik

yang berkaitan dengan aspek finansial maupun konseptual yakni

pertanggungjawaban sampai seberapa jauh visi dan misi dasarnya

tercapai Sedangkan Eksekutif Pemerintahan Kawasan Khusus Batam

bersama DPRD harus bisa menjelaskan urgensi dari setiap Perda yang

tdikeluarkan beserta sinkronisasinya baik secara vertikal terhadap

peraturan yang lebih tinggi maupun sinkronisasi horizontal antar

peraturan yang sederajat.

l. Untuk mencari alternatif penyelesaian terhadap benturan antara kedua

pilihan bentuk FTZ, pertama-tama harus dilakukan inventarisasi kembali

terhadap masalah-masalah yang dikemukakan oleh masing-masing

pihak. Tahap berikutnya, harus ditinjau kembali asumsi-asumsi yang

digunakan dalam melihat setiap masalah tersebut, dan melihat apakah

asumsi-asumsi yang dipakai selama ini sudah mencukupi atau belum.

Misalnya, bisa saja asumsi suatu masalah benar dilihat dari aspek

ekonomi, tetapi asumsi seperti itu tidak cukup (insufficient) karena asumsi

ekologis atau asumsi dari aspek lain justru menghasilkan dampak negatif.

Kami menyarankan agar para stakeholders perencanaan dan pengelolaa

Batam duduk bersama dengan kepala dingin, hati yang lapang dan pikiran

yang jernih untuk menentukan pelbagai kebijakan pengelolaan kawasan

Batam di masa depan.

m. Diperlukan sesegera mungkin mengakhiri overlapping fungsi yang

terlanjur muncul akibat keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 53

Tahun 1999 agar kesempatan emas untuk melanjutkan pembangunan

Batam tidak hilang. Untuk itu, mungkin perlu dibuat pembagian

kewenangan pada beberapa urusan yang masih overlapping tadi

berdasarkan cluster, kemampuan dan kompetensi penerima wewenang,

Page 28: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

28

dan sebagainya. Misalnya, dibuat pembagian kewenangan di sektor

industri dan investasi berdasarkan skala ekonomi, dimana pihak Otorita

Batam memiliki kewenangan merencanakan dan mengelola kegiatan

industri dan investasi skala besar, sementara untuk yang berskala

menengah dan kecil kewenangannya langsung diserahkan kepada

Pemerintah Kota. Disamping itu, tentu saja masih dimungkinkan

kerjasama atau sinergi positif di lingkungan kewenangan yang masuk

kategori ‘grey areas’ selama masa transisi berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan yang realistis da masuk akal. Yang jelas, dalam mencari

alternative-alternatif kebijakan jangka pendek (masa transisi) dan jangka

panjang itu, semua pihak perlu juga untuk melakukan introspeksi

terhadap beberapa kebutuhan, seperti antara lain :

a. Menjaga wibawa Pemerintah Pusat dalam kerangka NKRI;

b. Menjaga wibawa Pemerintah Kota saat ini karena keberadaan merupakan

refleksi dari spirit Otonomi Daerah yang merupakan salah satu agenda

reformasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat;

c. Memperhatikan konsistensi pola pengembangan Pulau Batam sesuai ide

dasarnya;

d. Menjadikan efisiensi prosedur dan proses kepabeanan sebagai salah satu

prioritas dalam kebijakan industri, perdagangan dan investasi;

e. Mendorong agar birokrasi pemerintahan benar-benar menerapkan prinsip

‘transparant, accountable and responsive governance’;

F. P E N U T U P.

Carut - marut masalah Batam dengan segala kompleksitasnya yang kita

rasakan sekarang harus diyakini sebagai gejala sementara yang mampu kita

atasi. Kelemahan-kelemahan substantif, struktural maupun kultural yang terdapat

di dalam beberapa kebijakan saat ini kami yakni bisa dihilangkan apabila dalam

melakukan koreksi, penyempurnaan ataupun perubahan atas kebijakan-

Page 29: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

29

kebijakan tersebut kita mengerahkan kemampuan berpikir kita untuk menjajaki

sebanyak mungkin asumsi-asumsi dari berbagai bidang kehidupan seperti

penegakan hukum, keberlanjutan kemajuan demokrasi, keberlanjutan

pertumbuhan ekonomi, perlindungan dan pelestarian ekologis, pencegahan

dehumanisasi dan sebagainya.

Cita-cita untuk menjadikan Batam sebagai salah satu kawasan

pertumbuhan sekaligus penyeimbang hubungan antarwilayah di Indonesia tidak

mungkin akan pudar, siapapun yang naik menduduki kursi pemerintahan di

tingkat nasional mupun lokal. Sungguh sulit membayangkan akan ada pihak

yang berpikir melakukan diskontinuitas sejarah dalam pengelolaan kawasan

Batam. Batam Adalah asset nyata yang telah menampakkan dirinya sejak

beberapa puluh tahun lalu. Aset ini masih bisa dioptimalkan fungsinya untuk

berbagai tujuan pembangunan. Karena itu pelbagai ekses yang timbul solusinya

sepenuhnya harus diletakkan dalam konteks yang lebih empiris berdasarkan

sejarah dan kenyataan-kenyataan lokal masing-masing daerah. Dengan

demikian tidak terjadi generalisasi yang tidak relevan dan solusi yang disepakati

tetap harus mempertimbangkan kekhasan masing-masing daerah dengan tujuan

untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya baik bagi masyarakat Batam

maupun kepentingan nasional yang lebih luas. Dalam hal ini kualitas

kepemimpinan di segala lapisan masyarakat, di segala lini dan sektor yang

dapat menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemeene

beginselen van behoorlijke bestuur) akan diuji.

Menyadari bahwa akar segala masalah yang timbul di Batam bersumber dari

ketiadaan dan ketidakharmonisan produk legal dari Pusat Pemerintahan, yang

pada dasarnya di luar kewenangan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam

untuk menyelesaikannya, maka sebenarnya yang dituntut adalah kearifan pada

kedua lembaga tersebut untuk menempuh langkah kompromi, menyongsong

aspirasi yang bersifat permanen dalam bentuk produk legislatif dari Pemerintah

Pusat dan DPR (misalnya dalam melahirkan UU tentang FTZ Batam).

Apabila rencana Tatakelola Batam melalui tahap transisional tadi bisa

disepakati, maka dalam transisi menuju sistem terintegrasi yang mungkin

Page 30: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

30

memerlukan waktu antara 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) tahun itu Pemerintah

Pusat, Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam bisa secara bersama-sama

mempersiapkan sumberdaya manusia pemerintahan yang menghayati dan

mampu menerapkan prinsip-prinsip Good Governance dalam sistem

pemerintahan paska transisi. Waktu antara lima hingga sepuluh tahun tadi

mestinya cukup untuk melalui proses pembelajaran dan sosialisasi jika hal itu

dilakukan juga dengan terencana.

Dari aspirasi yang dapat diserap, hal-hal di atas sangat dimungkinkan

tercapai apabila masing-masing sangat menyadari keterbatasannya, baik dari

sisi implementasi paradigma baru pemerintahan reformasi beserta ide-dasar

yang melatarbelakanginya, kekmampuan sumberdaya manusia dan

kelembagaan yang dimilki, maupun mengingat pengalaman masing-masing.

Jakarta, 26 Agustus 2003

Page 31: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

31

Lampiran 1

Usulan Sistem Pemerintahan Daerah Batam pada Masa Transisi Menuju Pemberlakukan

Sistem Pemerintahan Kawasan Khusus Batam

Pemerintah Pusat

DPRD PEMKOT

OTORITA BATAM

MASYARAKAT BATAM

= Kewenangan Langsung = Desentralisasi = Koordinasi = Pengawasan Politik oleh DPRD

Fiskal &Moneter Hankam Hub LN Peradilan Agama

Page 32: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

32

Lampiran 2

Usulan Sistem Pemerintahan Kawasan Khusus Batam Paska Sistem Transisi

BPKIP Batam= Badan Pengelola Kawasan Industri dan Perdagangan Batam

Pemerintah Pusat

Dewan Kawasan

DPRD

EKSEKUTIF KAWASAN

KHUSUS BATAM

MASYARAKAT BATAM

= Kewenangan Langsung = Desentralisasi = Pengawasan Politik oleh DPRD = Koordinasi = Perencanaan Strategis & Pengendalian

Fiskal &Moneter Hankam Hub LN Peradilan Agama

BPKIP Batam Dinas-dinas &

Perangkat Daerah

Page 33: Pengelolaan Kawasan Batam

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas

33

Lampiran 3

Usulan Pembagian Kewenangan Selama Masa Transisi Menuju Pemerintahan Kawasan Khusus Batam

No. Kewenangan

Pemerintah Kota Batam

Grey Areas

yang harus

dikoordinasikan

Kewenangan

Otoritas Batam

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12

13.

Pendidikan

Kesehatan

Pemukiman

Pertanian dan Kelautan

Perhubungan Darat

Industri Kecil, Menengah

dan Koperasi

Lingkungan Hidup

Pertanahan di luar

Kawasan Industri.

Penataan Ruang

Fasilitas Umum dan

Fasilitas Sosial.

Pariwisata

Seni Budaya dan Olah

Raga

Kependudukan dan

Tenaga Kerja

Keamanan dan Ketertiban

- Kesehatan

- Pertanahan

- Pengadaan

air bersih

- Lainnya

Industri Besar

Pelabuhan dan Bandara

Ekspor-Impor

Kawasan Industri

Infrastruktur Industri (air, listrik,

dll).