Pengertian Halal Dan Haram

download Pengertian Halal Dan Haram

of 25

Transcript of Pengertian Halal Dan Haram

Pengertian Halal dan Haram Halal ( ,hall, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh". Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dll). Di Indonesia, sertifikasi kehalalan produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesiasecara spesifik Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Haram adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas atau keadaan suatu benda (misalnya makanan). Aktivitas yang berstatus hukum haram atau makanan yang dianggap haram adalah dilarang secara keras. Orang yang melakukan tindakan haram atau makan binatang haram ini akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa. Jenis Makanan yang Halal dan haram Makanan yang Halal Halal artinya boleh, jadi makanan yang halal ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syariat Islam. segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi mudharat bagi kehidupan manusia seperti racun, barang-barang yang menjijikan dan sebagainya. Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-Baqarah : 17) Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. (QS. AlBaqarah : 168). Menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al-Araf : 157) Dari Abu Hurairah RA. ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT adalah Zat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mumin sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Taala berfirman : Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang sholeh. Allah Taala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kamu sekalian. (HR. Muslim) Rasulullah SAW, ditanya tentang minyak sanin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk. Rasulullah SAW bersabda : Apa yang dihalalkan oleh Allah

dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang dimaafkan. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi). Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah : 1. Semua makanan yang baik, tidak kotor dan tidak menjijikan. 2. Semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 3. semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal, moral, dan aqidah. 4. Binatang yang hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar. Makanan yang Haram Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh syara pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara pasti ada faidahnya dan mendapat pahala. Yang termasuk makanan yang diharamkan adalah : 1. Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 3 dan AlAnam ayat 145 : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS. Al-Maidah : 3) Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Anam : 145) Catatan : semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang. semua darah haram kecuali hati dan limpa. 2. Semua makanan yang keji, yaitu yang kotor, menjijikan. Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al-Araf : 157)

3. Semua jenis makanan yang dapat mendatangkan mudharat terhadap jiwa, raga, akal, moral dan aqidah. Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi (akibatnya), dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar. (QS. Al-Araf : 33). 4. Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup. Sabda Nabi SAW : Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup, maka yang terpotong itu termasuk bangkai. (HR. Ahmad) 5. Makanan yang didapat dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, korupsi, riba dan cara-cara lain yang dilarang agama. Minuman yang Halal Minuman yang halal pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4 bagian : 1. Semua jenis aiar atau cairan yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia, baik membahayakan dari segi jasmani, akal, jiwa, maupun aqidah. 2. Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya pernah memabukkan seperti arak yang berubah menjadi cuka. 3. Air atau cairan itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang terkena najis. 4. Air atau cairan yang suci itu didapatkan dengan cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Minuman yang Haram 1. Semua minuman yang memabukkan atau apabila diminum menimbulkan mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak, khamar, dan sejenisnya. Allah berfirman : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. (QS. Al-Baqarah : 219) Dalam ayat lain Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah : 90) Nabi SAW bersabda : Sesuatu yang memabukkan dalam keadaan banyak, maka dalam keadaan sedikit juga tetap haram. (HR An-Nasai, Abu Dawud dan Turmudzi). 2. Minuman dari benda najis atau benda yang terkena najis.

3. Minuman yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halan atau yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan haram. Rasulullah bersabda: Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah baik tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mumin sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan Dan firmanNya yang lain: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baikbaik yang Kami berikan kepadamu Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: Yaa Rabbi ! Yaa Rabbi ! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima doanya. (HR Muslim no. 1015). Jenis Makanan HARAM: 1. BANGKAI Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sbb : A. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak. B. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik. C. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati. D. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir AlQuran Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir). Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits: Dari Ibnu Umar berkata: Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa. (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)

Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.: (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin AlAlbani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya (HR. Daraqutni: 538). Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh AnNawawi). 2. DARAH Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya: Atau darah yang mengalir (QS. Al-AnAm: 145) Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Said bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24). Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu hukumnya halal. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama yang mengharamkannya. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan). 3. DAGING BABI Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Quran, hadits dan ijma ulama. 4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.

5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta,sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin. Adapun hewan yang diterkam binatang buasa apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syari, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal. 6. BINATANG BUAS BERTARING Hal ini berdasarkan hadits : Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan (HR. Muslim no. 1933) Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam Ilamul Muwaqqiin (2/118-119) Maksudnya dziinaab yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa,anjing, macan tutul, harimau,beruang,kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi). Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, Ilamul Muwaqqiin (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani. Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): Saya tidak mengetahui persilanganpendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulamapun yang membolehkan untuk memakannya. Demikianpula anjing,gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang.. Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafii berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: Ya. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasai (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).

Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam Ilamul Muwaqqiin (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam AtTaliqat Ar-Radhiyyah (3-28) 7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM Hal ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam (HR Muslim no. 1934) Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafii, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam. 8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK) Hal ini berdasarkan hadits: Dari Jabir berkata: Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda. (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) dalam riwayat lain disebutkan begini : Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasai (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811). Dalam hadits di atas terdapat dua masalah : Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabiin dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani). Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafii, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: Salafmu biasa memakannya (daging kuda). Ibnu Juraij berkata: Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shanani). 9. AL-JALLALAH

Hal ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih). Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya. (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189). Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan AlHafidz dalam Fathul Bari 9/648). Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua-yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafiiyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-Ied dari para fuqaha serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar). Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. AlHafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Taliqat Ar-Radhiyyah (3/32). 10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA Berdasarkan hadits: Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Marifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390). Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu (sampai pada nabi)

Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya. (HR Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943) 11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam. (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz kalajengking: gantinya ular ) Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan (Lihat pula AlMughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi). Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129) Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya. 12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hudhud dan burung surad. (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafii dan para sahabatnya mengatakan: Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya. (Lihat Al-Majmu (9/23) oleh Nawawi). Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasai (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani). Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafei. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Mabud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam) 13. BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM Sejauh ini BELUM ADA DALIL dari Al Quran dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang

yang hidup di dua alam dasar hukumnya asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam : KEPITING hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha dan Imam Ahmad.(Lihat AlMughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm). KURA-KURA dan PENYU juga HALAL sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha, Hasan Al-Bashri dan fuqaha Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84). ANJING LAUT juga HALAL sebagaimana pendapat imam Malik, Syafei, Laits, Syaibi dan Al-Auzai (lihat Al-Mughni 13/346). KATAK/KODOK hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapt yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas. Makanan Halal & Haram Dari A Sampai Z Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syariat Islam, Allah -Subhanahu wa Taalamenghalalkan semua makanan [1] yang mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Karenanya Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- pernah bersabda: Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya. Makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis: 1. Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan selainnya. 2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bidah, dan lain sebagainya.

Satu hal yang sangat penting untuk diyakini oleh setiap muslim adalah bahwa apa-apa yang Allah telah halalkan berupa makanan, maka disitu ada kecukupan bagi mereka (manusia) untuk tidak mengkonsumsi makanan yang haram. [Muqaddimah Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat dan muqaddimah Al-Ath'imah karya Al-Fauzan] Sebelum kita menyebutkan satu persatu makanan dan minuman yang disebutkan dalam AlQur`an dan Sunnah beserta hukumnya masing-masing, maka untuk lebih membantu memahami pembahasan, kami dahului dengan beberapa pendahuluan. -Pendahuluan Pertama: Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya. Allah -Taala- berfirman: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. Al-Baqarah: 29) Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik. Dalam ayat yang lain: Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. (QS. Al-Anam: 119) Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syariat berarti adalah halal [2]. Faidah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, Hukum asal padanya (makanan) adalah halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Taala- tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh. (QS. Al-Ma`idah: 93) Karenanya tidak boleh menolong dengan sesuatu yang mubah jika akan digunakan untuk maksiat, seperti memberikan daging dan roti kepada orang yang akan minum-minum khamar atau akan menggunakannya dalam kejelekan [3]. -Pendahuluan Kedua: Manhaj Islam dalam penghalalan dan pengharaman makanan adalah Islam menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik, dan tidak mengandung mudhorot,

demikian pula sebaliknya Islam mengharamkan semua makanan yang haram, najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang mengandung mudhorot. Manhaj ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. (QS. Al-Baqarah: 168) Dan Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya: Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al-Araf: 157) Allah melarang melakukan apa saja -termasuk memakan makanan- yang bisa memudhorotkan diri, dalam firman-Nya: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS. Al-Baqarah: 195) Juga sabda Nabi -Shallallahu alaihi wasallam-: Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain. Karenanya diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa memudhorotkan diri -apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya. Adapun makanan yang haram karena diperoleh dari cara yang haram, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam- telah bersabda: Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian antara sesama kalian adalah haram. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Faidah:

1. Makna makanan yang najis adalah jelas, adapun makanan yang ternajisi, contohnya adalah mentega yang kejatuhan tikus. Hukumnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah -radhiallahu anha- bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- ditanya tentang lemak yang kejatuhan tikus, maka beliau bersabda: , Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah lemak kalian. (HR. Al-Bukhary) Jadi jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara membersihkannya adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di sekitarnya, adapun sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang kejatuhan najis adalah makanan yang berupa cairan, maka hukumnya dirinci; jika najis ini merubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, dan warna) maka makanannya dihukumi najis sehingga tidak boleh dikonsumsi, demikian pula sebaliknya. 2. Makanan yang jelek (arab: khobits) ada dua jenis; yang jelek karena dzatnya -seperti: darah, bangkai, dan babi- dan yang jelek karena salah dalam memperolehnya -seperti: hasil riba dan perjudian-. Lihat Majmu Al-Fatawa (20/334). 3. Adapun ukuran kapan suatu makanan dianggap thoyyib (baik) atau khobits (jelek), maka hal ini dikembalikan kepada syariat. Maka apa-apa yang dihalalkan oleh syariat maka dia adalah thoyyib dan apa-apa yang diharamkan oleh syariat maka dia adalah khabits, ini adalah madzhab Malikiyah dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang akan nampak dalam ucapan beliau. Adapun jumhur ulama, mereka mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam penentuannya adalah orang-orang Arab, karena kepada merekalah asalnya diturunkan Al-Qur`an sehingga mereka yang secara langsung diajak bicara oleh syariat. Lihat Hasyiyah Ibni Abidin (5/194), Al-Majmu (9/25-26), dan Asy-Syarhul Kabir (11/64). Hanya saja ini (pendapat jumhur) adalah pendapat yang kurang kuat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menjelaskan makna firman Allah -Taala-: Mereka menanyakan kepadamu: Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik.. (QS. Al-Maidah: 4) Beliau berkata, Seandainya makna yang baik di sini adalah apa yang dihalalkan, maka tentunya kalimat ini tidak ada faidahnya4. Maka dari sini diketahuilah bahwa thoyyib dan khobits adalah sifat yang berada pada sebuah benda, dan bukan yang diinginkan dengannya (thoyyib) sekedar kelezatan dalam memakannya. Karena terkadang seorang manusia menikmati (merasa lezat) dengan apa yang membahayakan dirinya yang berupa racun [5], atau menikmati apa yang dilarang oleh dokter [6]. Dan bukan pula yang diinginkan darinya (thoyyib) dengan merasa nikmatnya sebagian bangsa -misalnya bangsa Arab- terhadap suatu makanan, dan bukan

pula dianggap thoyyib karena keberadaannya sebagai makanan yang biasa dimakan (dinikmati) oleh orang-orang Arab. Hal itu karena, keberadaan suatu makanan biasa dimakan dan disenangi oleh sebagian bangsa atau sebaliknya mereka tidak menyukainya karena makanan itu tidak ada di negerinya, (semua ini) tidaklah mengharuskan Allah mengharamkan sebuah makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) tidak terbiasa dengannya sebagaimana tidak mengharuskan Allah menghalalkan suatu makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) terbiasa dengannya. Bagaimana tidak, padahal orang-orang Arab (dahulu) telah terbiasa (menyukai) dengan memakan darah, bangkai, dan selainnya padahal semuanya telah diharamkan oleh Allah -Taala-. . . Demikian halnya Quraisy, mereka memakan yang khobits yang telah Allah haramkan dan sebaliknya mereka tidak menyukai makanan-makanan yang Allah tidak mengharamkannya. -Lalu beliau membawakan hadits yang menunjukkan Nabi tidak makan biawak, bukan karena dia haram akan tetapi karena beliau tidak biasa memakannya [7]-. Maka dari sini jelaslah bahwa ketidaksukaan suku Quraisy dan selainnya (dari bangsa Arab) terhadap sebuah makanan tidaklah mengharuskan (baca: menunjukkan) pengharaman makanan tersebut atas segenap kaum mu`minin baik yang Arab maupun yang ajam (non-Arab). Dan juga sesungguhnya Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, tidak seorangpun di antara mereka yang mengharamkan makanan yang tidak disukai oleh orang Arab dan sebaliknya tidak pernah membolehkan apa yang (biasa) dimakan oleh orang Arab [8]. -Pendahuluan Ketiga: Makanan manusia secara umum ada dua jenis: 1. Selain hewan, terdiri dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda (roti, kue dan sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan semua bentuknya). Ibnu Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (2/453) menukil kesepakatan ulama akan halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudhorot. 2. Hewan, yang terdiri dari hewan darat dan hewan air. Hewan darat juga terbagi menjadi dua; 1. Jinak, yaitu semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia, seperti: hewan ternak 2. Liar, yaitu semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam hutan, dan sejenisnya. Hukum hewan darat dengan kedua bentuknya adalah halal kecuali yang diharamkan oleh syariat [9], yang rinciannya insya Allah akan datang satu persatu. Hewan air juga terbagi menjadi 2: 1. Hewan yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.

2. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting [10]. Hukum hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafiiyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah Taala-: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu (QS. Al-Ma`idah: 96) Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya: 1. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny maa Asy-Syarhul Kabir (11/195) 2. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam-: , Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, AnNasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9) [Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu' (9/32,33), Al-Mughny ma'a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195] Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafiiyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya [11]. Lihat Al-Majmu (9/32-33) Setelah memahami ketiga pendahuluan di atas, maka berikut penyebutan satu persatu makanan yang dibahas oleh para ulama beserta hukumnya masing-masing: 1. Bangkai Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan yang syariy dan juga bukan hasil perburuan. Allah -Subhanahu wa Taala- menyatakan dalam firman-Nya:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (QS. Al-Ma`idah: 3) Dan juga dalam firmannya: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS. AlAnam: 121) Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di atas: 1. Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik. 2. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan keras. 3. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi. 4. An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya. 5. Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas. 6. Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum. 7. Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah. 8. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah. 9. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu: Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan dia (hewan itu) masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy dan dishohihkan olehnya) Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan: 1. Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok.

2. Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu Umar secara marfu: : , : Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) 3. Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam- bersabda: Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya. Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang. [Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat point pertama] 2. Darah. Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-Anam ayat 145: Atau darah yang mengalir. Dikecualikan darinya hati dan limfa sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu Umar yang baru berlalu. Juga dikecualikan darinya darah yang berada dalam urat-urat setelah penyembelihan. 3. Daging babi. Telah berlalu dalilnya dalam surah Al-Ma`idah ayat ketiga di atas. Yang diinginkan dengan daging babi adalah mencakup seluruh bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya. 4. Khamar. Allah -Subhanahu wa Taala- berfirman: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.. (QS. AlMa`idah: 90

Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- secara marfu: Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram. Dikiaskan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya. 5. Semua hewan buas yang bertaring. Sahabat Abu Tsalabah Al-Khusyany -radhiallahu anhu- berkata: Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- melarang dari (mengkonsumsi) semua hewan buas yang bertaring. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Dan dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram. Yang diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan lainnya. Lihat Al-Ifshoh (1/457) dan Ilamul Muwaqqiin (2/117). Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya. [Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh Tanwiril Abshor ma'a Hasyiyati Ibnu 'Abidin (5/193)] 6. Semua burung yang memiliki cakar. Yang diinginkan dengannya adalah semua burung yang memiliki cakar yang kuat yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan rajawali. Jumhur ulama dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik- dan selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma-: Beliau (Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar. (HR. Muslim) [Al-Majmu' (9/22), Al-Muqni' (3/526,527), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499)] 7. Jallalah.

Dia adalah hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain, baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan sebagian gagak. Lihat Nailul Author (8/128). Hukumnya adalah haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad -dalam satu riwayat- dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafiiyah, mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- melarang dari memakan al-jallalah dan dari meminum susunya. (HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`iy (3787)) Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah: 1. Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al-Muqni (3/529). 2. Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. Lihat Al-Majmu (9/28). [Al-Muqni' (3/527,529), Mughniyul Muhtaj (4/304), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)] 8. Keledai jinak (bukan yang liar). Ini merupakan madzhab Imam Empat kecuali Imam Malik dalam sebagian riwayat darinya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallambersabda: , Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging-daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Diperkecualikan darinya keledai liar, karena Jabir -radhiallahu anhu- berkata: Saat (perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- melarang kami dari keledai jinak. (HR. Muslim)

Inilah pendapat yang paling kuat, sampai-sampai Imam Ibnu Abdil Barr menyatakan, Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang pengharamannya. Lihat Al-Mughny beserta Asy-Syarhul Kabir (11/65). [Al-Bada`i' (5/37), Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/525), dan Al-Bidayah (1/344]. 9. Kuda. Telah berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan kuda saat perang Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma` bintu Abi Bakr -radhiallahu anhuma-: Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- lalu kamipun memakannya. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi -Shallallahu alaihi wasallam-. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafiiyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440). [Mughniyul Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni' beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i' (5/18), dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)] 10. Baghol. Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu anhuma- berkata: Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy) Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan. [Al-Majmu' (9/27), Ays-Syarhul Kabir (11/75), dan Majmu' Al-Fatawa (35/208)]. 11. Anjing. Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:

Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya [12]. Dan telah tsabit dalam hadits Abu Masud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing. [Al-Luqothot point ke-12] 12. Kucing baik yang jinak maupun yang liar. Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya. [Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)] 13. Monyet. Ini merupakan madzhab Syafiiyah dan merupakan pendapat dari Atho`, Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, Dan monyet adalah haram, karena Allah -Taala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Taala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek) [13]. [Al-Luqothot point ke-13] 14. Gajah. Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-. [Al-Luqothot point ke-14] 15. Musang (arab: tsalab) Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafiiyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad. [Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)] 16. Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhibun) Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafiiy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits Abdurrahman bin Abdillah bin Abi Ammar, beliau berkata, Saya bertanya kepada Jabir, apakah hyena termasuk hewan buruan?, beliau menjawab, iya. Saya bertanya lagi,

apakah boleh memakannya?, beliau menjawab, boleh. Saya kembali bertanya, apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?, beliau menjawab, iya. Diriwayatkan oleh Imam Lima [14] dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152). Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam AsySyaukany. Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan Ilamul Muwaqqiin (2/117). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)] 17. Kelinci. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu anhu-: Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya. Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari Amr ibnul Ash. [AlLuqothot point ke-16] 18. Belalang. Telah berlalu dalam hadits Ibnu Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik radhiallahu anhu-: Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- sebanyak 7 peperangan sedang kami hanya memakan belalang. (HR. Al-Bukhary dan Muslim). [Al-Luqothot point ke17] 19. Kadal padang pasir (arab: dhobbun [15]).

Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafiiyah dan Al-Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu alaihi wasallamtentang biawak: Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu Umar) Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya: Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku. Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)] 20. Landak. Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafiiyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu (9/10). 21. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah. Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hudhud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih). Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. [Al-Luqothot point ke-19 s/d 23] 22. Yarbu. Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafiiyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat Urwah, Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu ini. Inilah yang

dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71). [Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)] 23. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak. Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syariy. Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda: : Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim) Adapun tokek dan -wallahu alam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek). [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)] 24. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon). Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan. [Al-Luqothot point ke-28 s/d 30] 25. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar. Imam Ibnu Hazm menyatakan, Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah -Taala-, Diharamkan untuk kalian bangkai, dan firman Allah -Taala-, Kecuali yang kalian sembelih. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syariy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih [16]. [Al-Luqothot point ke-31 s/d 34] Inilah secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam masalah penghalalan dan pengharaman makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat. Penyebutan makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya sekitar itu, akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi hewanhewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.

Adapun makanan selain hewan dan juga minuman, maka hukumnya telah kami terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal pembahasan, yang mana pendahuluanpendahuluan ini adalah semacam kaidah untuk menghukumi semuanya, wallahul muwaffiq.