PENGGALIAN POTENSI DIRI MANUSIA MENURUT TOTO...

93
PENGGALIAN POTENSI DIRI MANUSIA MENURUT TOTO TASMARA DALAM BUKU MENUJU MUSLIM KAFFAH: MENGGALI POTENSI DIRI SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) KHOIRIYAH 1103093 FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008

Transcript of PENGGALIAN POTENSI DIRI MANUSIA MENURUT TOTO...

PENGGALIAN POTENSI DIRI MANUSIA MENURUT TOTO TASMARA

DALAM BUKU MENUJU MUSLIM KAFFAH: MENGGALI POTENSI

DIRI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI)

KHOIRIYAH 1103093

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2008

ii

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 5 (Lima) Eksemplar Hal : Persetujuan Naskah Skripsi

Kepada Yth, Bapak Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang di Semarang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah membaca, mengadakan koreksi, dan perbaikan sebagaimana

semestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudari :

Nama : Khoiriyah

NIM : 1103093

Fakultas/Jurusan : Dakwah / Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)

Judul Skripsi : Penggalian Potensi Diri Manusia Menurut Toto Tasmara

Dalam Buku Menuju Muslim Kaffah: Menggali Potensi

Diri

Dengan ini saya menyetujui dan memohon segera diujikan. Demikian atas

perhatiannya diucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, Januari 2008

Pembimbing,

Bidang Substansi Materi

Prof. Dr. Hj. Ismawati, M.Ag NIP. 150094093

Tanggal : …………………

Bidang Metodologi dan Tata Tulis

Komarudin M. Ag NIP. 150299489

Tanggal : …………………

iii

SKRIPSI

PENGGALIAN POTENSI DIRI MANUSIA MENURUT TOTO TASMARA

DALAM BUKU MENUJU MUSLIM KAFFAH: MENGGALI POTENSI

DIRI

Disusun oleh Khoiriyah 1103093

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

pada tanggal 29 Januari 2008

dan dinyatakan telah lulus memenuhi syarat

Susunan Dewan Penguji

Ketua Dewan Penguji/ Dekan/Pembantu Dekan

Anggota Penguji

Sekretaris Dewan Penguji/ Pembimbing

iv

MOTTO

.قد أفلح من زآاها.فألهمها فجورها وتقواها.ونفس وما سواها وقد خاب من دساها

“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya

beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah

orang yang mengotorinya.”

(QS Asy-Syams: 7-10).

v

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan teruntuk :

♥ Ayahanda dan Ibunda, karya ini layaknya dan semoga menjadi setetes air

yang akan kuisikan ke dalam bejana pengabdianku kepadamu.

♥ Adikku tersayang, semoga karya ini menjadi ilham dalam menjalani

kerasnya kehidupan; semangat juang akan mengalahkan segala rintangan

dan kesulitan.

♥ Semua yang ada. Ke-ada-an takkan ada tanpa suatu penyebab, namun

belum tentu sebuah sebab akan menghasilkan sesuatu; “Adakah buah

tanpa bunga, Apakah bunga pasti berbuah?”

♥ Fakultas (Dakwah)ku tercinta, semoga karya ini menjadi bukti cintaku

kepadamu dan bukan menjadi lambang perpisahan engkau dan aku.

vi

vii

KATA PENGANTAR

بسم اهللا الرحمن الرحيم

Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Penggalian Potensi Diri Manusia Menurut

Toto Tasmara Dalam Buku Menuju Muslim Kaffah: Menggali Potensi Diri”,

tanpa halangan yang berarti.

Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW, beserta para keluarga dan sahabatnya :

Proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran serta bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis hendak

menghaturkan ungkapan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan dan mencurahkan segala

kemampuannya untuk memenuhi keinginan penulis untuk tetap

bersekolah. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan pernah ada.

2. Prof. Dr. H. Abdul Jamil, M.A, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang

3. Drs. M. Zein Yusuf, M.M, selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN

Walisongo Semarang

4. Ibu Prof. Dr. Hj. Ismawati, M.Ag selaku Pembimbing I dan Bapak

Komaruddin, M.Ag, selaku Pembimbing II yang telah merelakan waktu,

tenaga, dan pikirannya guna mendampingi dan menjadi teman diskusi

penulis.

5. Bapak Sulistyo, M.Ag., kesabaran dan ketekunan yang telah terajarkan

takkan penulis lupakan.

6. Para Dosen Pengajar, terima kasih atas seluruh ilmu yang telah penulis

terima yang sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.

7. Ketua Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Institut bersama staff, yang

telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk memanfaatkan

fasilitas dalam proses penyusunan skripsi.

viii

8. Seluruh temanku dan seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebut dan

tulis satu persatu, terima kasih atas segala bantuan dan peran sertanya yang

telah diberikan kepada penulis.

Selain ungkapan terima kasih, penulis juga menghaturkan ribuan maaf

apabila selama ini penulis telah memberikan keluh kesah dan segala permasalahan

kepada seluruh pihak.

Tiada yang dapat penulis berikan selain do’a semoga semua amal dan jasa

baik dari semua pihak tersebut di atas dicatat oleh Allah SWT sebagai amal sholeh

dan semoga mendapat pahala dan balasan yang setimpal serta berlipat ganda dari-

Nya.

Harapan penulis semoga skripsi yang sifatnya sederhana ini dapat

bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan segenap pembaca pada umumnya.

Terlebih lagi semoga merupakan sumbangsih bagi almamater dengan penuh

siraman rahmat dan ridlo Allah SWT. Amin.

Semarang, …… Januari 2008

Khoiriyah 1103093

ix

ABSTRAK

Penelitian dengan judul “Penggalian Potensi Diri Manusia Menurut Toto Tasmara Dalam Buku Menuju Muslim Kaffah: Menggali Potensi Diri” ini adalah penelitian yang berkaitan dengan pemikiran Toto Tasmara yang terdapat dalam buku Menuju Muslim Kaffah; Menggali Potensi Diri. Permasalahan dalam penelitian ini berkaitan dengan penggalian potensi diri menurut Toto Tasmara dan relevansinya dengan bimbingan dan konseling Islam.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang pengumpulan datanya dilakukan dengan metode dokumentasi yang mana sumber data primernya adalah buku Menuju Muslim Kaffah: Menggali Potensi Diri. Sedangkan proses analisis dilakukan dengan mendasarkan pada metode analisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis).

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dijelaskan bahwa penggalian potensi diri manusia menurut Toto Tasmara meliputi penggalian rohani dan penggalian potensi fisik. Meski demikian, menurut Toto Tasmara, penggalian potensi diri tersebut harus didasarkan dan diawali dari penggalian potensi diri rohaniah (qalb) dengan langkah pertama, melatih sejak dini dengan mengenalkan pada lafadz-lafadz Ilahi; kedua, melatih sejak dini aktifitas illahiyah, dan ketiga, mengenalkan dan membiasakan anak sejak usia dini dengan syari’at atau aturan hidup sesuai dengan hukum Islam. Apabila telah tergali dan terbentuk potensi qalb, maka langkah berikutnya adalah menggali dan membentuk potensi fisik manusia yang dilakukan dengan langkah memberikan pelatihan pada tiga aspek, yakni pelatihan pengetahuan, pelatihan ketrampilan, dan pelatihan keahlian yang dilandaskan pada pengertian akan makna hidup (batiniah).

Penggalian potensi diri manusia dalam pemikiran Toto Tasmara lebih cenderung pada pengembangan potensi fisik yang berdasar pada penggalian dan pembentukan potensi rohani (qalb). Terbentuk dan berkembangnya potensi qalb akan menjadikan manusia menjadi sosok makhluk yang memiliki kemampuan untuk menganalisa dan mendiagnosis kehidupan dengan segala permasalahan yang ada. Sehingga nantinya mereka juga akan memiliki kemampuan untuk menghindar dari segala sesuatu yang dapat menyebabkan permasalahan hidup dan atau dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi serta dapat pula memberikan bantuan kepada orang lain dalam mengatasi permasalahan hidupnya. Singkatnya, Toto Tasmara menjadikan penggalian potensi diri manusia sebagai dasar untuk membentuk manusia yang mampu mendiagnosis kehidupan serta memiliki kemampuan untuk menganalisa masalah sehingga mereka mampu menghadapi permasalahan sekaligus mampu menjadi konselor bagi orang lain. Atau from client to be counselor (dari seorang klien menjadi seorang konselor). Hal ini tentu saja memiliki kesesuaian dengan prinsip BKI yang mana berorientasi pada terbentuknya manusia Islam seutuhnya, yang dalam bahasa Toto Tasmara adalah muslim kaffah, yang memiliki kemampuan duniawi dan ukhrawi.

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ....................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ............................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN................................................................... vi

KATA PENGANTAR ............................................................................... vii

ABSTRAK ................................................................................................. ix

DAFTAR ISI.............................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah........................................................... 7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................... 7

1.4 Tinjauan Pustaka................................................................ 8

1.5 Metodologi Penelitian........................................................ 9

1.6 Sistematika ........................................................................ 19

BAB II URGENSI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM BAGI

PERILAKU MENYIMPANG ANAK JALANAN

2.1 Bimbingan dan Penyuluhan Islam..................................... 21

xi

2.1.1.Pengertian Bimbingan Penyuluhan Islam................. 21

2.1.2.Fungsi dan Tujuan Bimbingan Penyuluhan Islam.... 24

2.2.Perilaku Menyimpang........................................................ 26

2.2.1.Pengertian Perilaku Menyimpang ............................ 26

2.2.2.Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Menyimpang dan

Macam Perilaku Menyimpang.................................. 28

2.3.Anak Jalanan...................................................................... 30

2.3.1 Pengertian dan Klasifikasi Anak Jalanan ................. 30

2.3.2 Sebab-Sebab Timbulnya Anak Jalanan .................... 37

2.4. Perilaku Menyimpang Anak Jalanan................................ 42

2.4.1.Problem Hidup.......................................................... 42

2.4.2.Perilaku Menyimpang Anak Jalanan........................ 44

2.5. Arti Penting Bimbingan Penyuluhan Bagi Anak Jalanan. 46

BAB III BIMBINGAN PENYULUHAN ANAK JALANAN DI RUMAH

SINGGAH TUNAS HARAPAN PEDURUNGAN SEMARANG

3.1. Profil Anak Jalanan Semarang ........................................ 51

3.2. Bimbingan dan Penyuluhan terhadap Anak Jalanan di

Rumah Singgah Tunas Harapan Pedurungan Semarang.. 54

3.2.1 Rumah Singgah Tunas Harapan ............................ 54

3.2.2 Profil Anak Jalanan di Rumah Singgah Tunas

Harapan Semarang................................................. 57

3.2.3 Program Pembinaan Anak Jalanan Rumah Singgah

Tunas Harapan....................................................... 59

xii

3.2.4 Bimbingan dan Penyuluhan Keagamaan Bagi

Anak Jalanan di Rumah Singgah Tunas Harapan . 68

BAB IV ANALISIS

4.1.Analisis Penyimpangan Perilaku Anak Jalanan dan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya .......................... 72

4.2.Analisis Relevansi Bimbingan Penyuluhan Islam

dengan Penyimpangan Perilaku Anak Jalanan............... 80

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan....................................................................... 95

5.2 Saran-saran ....................................................................... 96

5.3 Penutup ............................................................................. 97

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BIODATA PENULIS

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kalam Allah. Sastra bahasanya tidak diragukan

lagi memiliki daya eksotis tersendiri, yang tidak dimiliki oleh kitab suci

agama lain selain Islam. Oleh Sayyid Qutub, kalimat perdana dalam tafsirnya

(Fi Dhilal al-Qur’an) “hidup di bawah naungan al-Qur’an adalah suatu

kenikmatan, kenikmatan yang hanya diketahui oleh orang-orang yang telah

merasakannya.” Maha benar Allah dengan segala firman-Nya (El-Saha dan

Hadi, 2005: 85).

Isi kandungan al-Qur’an secara global dapat dibedakan ke dalam tiga

kelompok isi. Kandungan isi yang pertama menyangkut syari’at kehidupan

manusia sebagai hamba Allah (‘abd) atau keimanan. Ada dua hal pokok

berkaitan dengan keimanan yang mengambil tepat tidak sedikit dalam ayat-

ayat Al-Qur’an. Pertama, adalah uraian serta pembuktian tentang keesaan

Allah SWT, dan kedua adalah uraian dan pembuktian tentang hari akhir

(Shihab, 1998 : 80), alam akhirat dan penciptaan manusia merupakan dua

fenomena gaib (Wadud, 2006 : 80). Menurut Al-Qur’an seperti dikemukakan

oleh M. Abdul Halim (2002 : 116), kehidupan di dunia ini merupakan bagian

tak terpisahkan dari sebuah kontinum, antara kehidupan dan kematian.

Kandungan isi kedua berhubungan dengan syari’at manusia sebagai

khalifah di muka bumi. Intisari dari isi kandungan ini adalah tentang tatacara

2

manusia memperlakukan sesama makhluk ciptaan Allah, baik yang berwujud

benda mati maupun benda hidup, demi keberlangsungan kehidupan dunia.

Kandungan isi ketiga berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam

yang berguna dalam kehidupan manusia. Mengenai kandungan tentang ilmu

pengetahuan ini banyak terkandung dalam beberapa surat dalam al-Qur’an

seperti pada :

1. Surat Adh-Dhuhaa ayat 1-2, al-Lail ayat 1-2, dan asy-Syams ayat 1-4 yang

menjelaskan tentang keberadaan malam dan siang akibat adanya matahari

dan bulan yang merupakan ilmu pengetahuan tentang rotasi bumi.

2. Surat Asy-Syams ayat 7 yang menjelaskan tentang ilmu jiwa, di mana

disebutkan bahwa jiwa manusia dapat berkembang sesuai dengan

pengembangan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, baik dalam

konteks positif maupun negatif.

3. Surat an-Nahl ayat 4, al-Kahfi ayat 37, al-Mukminuun ayat 13-14, al-Hajj

ayat 5, al-Fathir ayat 11, al-Mukmin ayat 67, al-Qiyamah ayat 38, dan

beberapa ayat lain yang menjelaskan tentang ilmu pengetahuan terkait

dengan kejadian manusia secara keilmuan biologi.

4. Surat al-Hadiid ayat 25 tentang keberadaan besi, sebagai zat maupun

benda, yang diciptakan Allah untuk dimanfaatkan dalam kehidupan umat

manusia.

5. Surat an-Nahl ayat 69 yang menerangkan tentang keberadaan madu

sebagai obat yang berguna bagi manusia, dan lain sebagainya.

3

Hal tersebut semakin mempertegas bahwasanya al-Qur’an tidak hanya

menjadi petunjuk terjalinnya hubungan antara manusia dengan Allah semata,

namun juga menjadi petunjuk ilmu pengetahuan yang akan sangat berguna

dalam kehidupan umat manusia. Keberadaan ilmu pengetahuan itu sendiri

tidak terlepas dari tugas manusia sebagai khalifah yang cukup berat dan

sempat mendapatkan keraguan dari para malaikat sebagaimana tersebut dalam

salah satu firman Allah surat al-Baqarah ayat 30

فسدن يا ميهل فعجيفة قالوا أتلض خي األرل فاعي جإن كةالئلمل كبإذ قال روفيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما ال

)30: البقرة . (تعلمون

Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. al-Baqarah : 30)

Selain ilmu pengetahuan, Allah juga melengkapi manusia dengan

potensi-potensi positif dalam diri umat manusia. Hal itu terbukti pada saat

Adam – sebagai khalifah pertama – mampu memenangi kompetisi dengan

para malaikat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Allah seperti termaktub

dalam surat al-Baqarah ayat 31-33.

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwasanya manusia memiliki potensi

berfikir dan menjawab permasalahan yang berkaitan dengan kehidupannya

yang mana salah satunya adalah permasalahan ilmu pengetahuan. Selain

4

potensi berfikir, sebagai akibat dari terbentuknya manusia oleh badan, akal,

dan ruh (al-Syaibani, 1979 : 105), manusia juga memiliki potensi positif yang

berkaitan dengan pertumbuhan fisiknya, seperti dari bayi, menjadi lebih

tinggi, dan berkembang tinggi lagi sampai pada batas usia tertentu;

pertumbuhan rambut, dan lain sebagainya.

Potensi yang ada dalam setiap manusia menurut para ilmuan itu

sungguh tak terbatas, akan tetapi hingga tingkat peradaban sekarang ini yang

digunakan hanya satu persen dari seluruh potensi tersebut (Acarya, 1991: 4).

Potensi diri manusia secara utuh adalah keseluruhan badan atau tubuh manusia

sebagai suatu sistem yang sempurna dan paling sempurna bila dibandingkan

dengan sistem makhluk ciptaan Allah lainnya. Ini sesuai dengan Firman Allah

surat at Tin ayat 4:

ا لقدلقنان خسي الإنن فسقومي أح4﴿ ت﴾

Sesungguhnya kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. (QS. al-Tin: 4)

Jenis atau bentuk potensi itu sangat beragam. Menurut Hasan

Langgulung (1980: 20-21) Allah memberi manusia beberapa potensi atau

kebolehan berkenaan dengan sifat-sifat Allah yaitu Asmaul Husna yang

berjumlah 99.

Sedangkan apabila diidentifikasi secara garis besarnya manusia

dibekali tiga potensi dasar yaitu:

a. Roh; Potensi ini lebih cenderung pada potensi tauhid dalam bentuk adanya

kecenderungan untuk mengabdi pada penciptanya.

5

b. Potensi jasmani berupa bentuk fisik dan faalnya serta konstitusi biokimia

yang teramu dalam bentuk materi.

c. Potensi Rohani, berupa konstitusi non materi yang terintegrasi dalam

komponen-komponen yang terintegrasi (Jalaluddin dan Said, 1994: 110).

Pertumbuhan pada diri manusia dan proses interaksi dengan

sesamanya pada akhirnya akan membentuk berbagai sikap dan perilaku

sebagai wujud pengembangan potensi diri manusia. Dalam pengertian umum

sikap dipandang sebagai perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek

tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu.

Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman dari

seseorang tetapi bukan pengaruh bawaan serta tergantung pada obyek tertentu.

Menurut Mar’at sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin (2000 : 187)

terdapat beberapa rumusan umum mengenai sikap seseorang yang meliputi :

1. Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan

interaksi seseorang dengan lingkungan. Lingkungan ini secara garis besar

dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. Lingkungan fisik, yaitu lingkungan yang berupa alam

b. Lingkungan sosial, yaitu lingkungan dalam masyarakat.

2. Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain, baik di rumah,

sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasehat atau

percakapan.

3. Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara

tertentu terhadap obyek.

6

4. Sikap tergantung kepada situasi dan waktu.

Asas-asas perubahan perilaku manusia yang diamalkan dalam kegiatan

sehari-hari meliputi : pendidikan, psikoterapi, perubahan sikap dan penertiban

sosial melalui :

1. Classical conditioning (pembiasaan klasik) : suatu rangsang (netral) akan

menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsang itu sering diberikan

bersamaan dengan rangsang lain yang secara alamiah tidak memuaskan

cenderung akan dihentikan.

2. Law of effect (hukum akibat) yaitu perilaku yang menimbulkan akibat-

akibat yang memuaskan si pelaku cenderung akan diulangi, sebaliknya

perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak memuaskan

cenderung akan dihentikan.

3. Operant conditioning (pembiasaan operan), yaitu suatu pola perilaku akan

menjadi mantap apabila dengan perilaku itu berhasil diperoleh hal yang

diinginkan si pelaku.

4. Modelling (peneladanan), yaitu dalam kehidupan sosial perubahan

perilaku terjadi karena proses dan peneladanan terhadap perilaku prang

lain yang disenangi dan dikagumi (Bastaman, 1997 : 51-52).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa manusia pada hakikatnya

adalah netral, baik buruknya terpengaruh dari pengaruh situasi yang

dialaminya, sehingga secara tidak langsung juga dapat disimpulkan

bahwasanya potensi diri manusia juga memiliki sifat netral yang mana dapat

7

berkembang sesuai dengan kondisi yang dialami oleh manusia selama

hidupnya.

Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian terkait

dengan pemikiran salah satu tokoh dakwah yakni Toto Tasmara. Pemilihan

terhadap tokoh ini dikarenakan pemikiran Toto Tasmara memiliki relevansi

dengan keilmuan bidang dakwah. Hal ini dibuktikan dengan beberapa

karyanya yang banyak membahas tentang keilmuan dakwah yang meliputi

komunikasi dakwah maupun penyuluhan dakwah

(http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg04144.html:25/

11/2007.jam.13.37).

Salah satu karya Toto Tasmara, yang akan dijadikan sebagai obyek

penelitian, adalah buah karya yang berjudul Menuju Muslim Kaffah :

Menggali Potensi Diri Manusia. Melalui buku tersebut, Toto Tasmara

mengajak pembaca untuk membahas mengenai potensi-potensi yang dimiliki

oleh manusia.

Pandangan yang diberikan oleh Toto Tasmara dalam bukunya Menuju

Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri Manusia (2000) didasarkan pada

penelusuran hakekat potensi diri manusia yang terkandung dalam al-Qur’an.

Kodrat diri manusia yang memiliki dua sisi kemungkinan, sebagaimana telah

ditunjukkan oleh Adam ketika menjawab pertanyaan Allah mengenai nama

benda dan ketika Adam dan Hawa terbujuk oleh rayuan syaithan untuk

memetik dan memakan buah yang terlarang (Khuldi), paling tidak menjadi

8

dasar dalam mengembangkan teori tentang bagaimana menggali potensi diri

manusia menuju kepribadian muslim yang kaffah.

Pembahasan mengenai potensi diri manusia merupakan kajian yang

memiliki hubungan dengan kajian ilmu psikologi, termasuk juga kajian

bimbingan penyuluhan Islam. Hal ini dapat dijelaskan bahwa masalah potensi

diri manusia memiliki hubungan dengan persoalan-persoalan diri manusia

karena pembicaraan potensi diri manusia akan meliputi ruang lingkup potensi

diri manusia bidang psikis dan fisik. Dan, permasalahan fisik dan khususnya

psikis manusia merupakan kajian pokok dalam ilmu-ilmu psikologi.

Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka penulis memiliki

keinginan untuk melakukan studi secara khusus terkait pendapat Toto

Tasmara tentang penggalian potensi diri manusia menuju kepribadian muslim

kaffah. Penelitian ini akan penulis fokuskan pada permasalahan yang akan

disajikan pada bagian rumusan masalah dan diketengahkan dengan judul

penelitian "Penggalian Potensi Diri Manusia Menurut Toto Tasmara

Dalam Buku Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri".

1.2.Rumusan Masalah

Untuk lebih memudahkan langkah-langkah penelitian, maka dalam

penelitian ini penulis akan membuat batasan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah penggalian potensi diri manusia menurut Toto Tasmara?

2. Bagaimana penggalian potensi diri manusia menurut Toto Tasmara dalam

tinjauan BKI?

9

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini tidak lain adalah menjawab permasalahan

yang telah penulis rumuskan, yakni :

1. Untuk mengetahui cara-cara penggalian potensi diri manusia menurut Toto

Tasmara.

2. Untuk mengetahui penggalian potensi diri manusia menurut Toto Tasmara

dalam tinjauan BKI.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain adalah :

1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sarana penulis dalam

mempraktekkan ilmu-ilmu pengetahuan (teori) yang telah penulis

dapatkan selama di institusi tempat penulis belajar.

2. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan dan media

pembanding dalam khazanah keilmuan khususnya di bidang bimbingan

dan penyuluhan Islam.

1.4.Tinjauan Pustaka

Untuk menunjang sebuah penelitian perlu adanya jaminan keaslian

penelitian yang akan dilakukan dengan jalan memaparkan beberapa hasil

penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya dan ada kaitannya dengan

obyek masalah penelitian ini. Beberapa hasil penelitian tersebut adalah

sebagai berikut :

Buku Psikologi Kepribadian, karya Sumadi Suryabrata (1990)

memiliki isi bahasan mengenai perlunya keseimbangan energi dalam diri

manusia serta usaha yang perlu dilakukan untuk menjaganya (ekualisasi).

10

Selain pembahasan mengenai keseimbangan energi dalam diri manusia, buku

ini juga membahas mengenai potensi-potensi yang terdapat dalam diri

manusia yang berguna dan berfungsi untuk membentuk perilaku manusia.

Potensi-potensi tersebut meliputi potensi fisik dan psikis manusia.

Buku karya Latipun Moeljono Notosoedirjo (2002) yang berjudul

Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Dalam buku ini dibahas mengenai

konsep-konsep kesehatan mental. Selain itu, pembahasan mentalitas dalam

buku ini juga meliputi potensi-potensi mental dalam diri manusia.

Buku Ilmu Pendidikan Islam karya Zakiah Daradjat. Pembahasan yang

hampir sama dengan Omar Mohammad ditampilkan dalam buku tersebut yang

di antaranya membahas tentang pandangan Islam tentang manusia di mana

dijelaskan bahwasanya dalam Islam, manusia adalah makhluk yang paling

mulia dan memiliki potensi untuk mengembangkan diri sehingga mampu

mencapai derajat kemuliaan tertinggi. Di samping itu, Zakiah juga

menjelaskan tentang kedudukan manusia dalam dunia pendidikan sebagai

makhluk yang memiliki status sebagai :

1. Makhluk yang paling mulia

2. Khalifah di muka bumi

3. Makhluk paedagogik

Kesimpulan dari buku karya Zakiah Daradjat ini menjurus pada

perlunya proses pendidikan bagi manusia untuk mengembangkan potensi yang

ada dalam dirinya sehingga mampu mendedikasikan diri mereka sebagai

khalifah di muka bumi.

11

Keempat, skripsi Zainal Abidin (2003) yang berjudul Studi Komparatif

tentang Kepribadian dan Kesehatan Mental Antara Konsep Islam dengan

Psikoanalisa Sigmund Freud serta Implikasinya terhadap Bimbingan dan

Penyuluhan Islam. Kesimpulan dari penelitian ini menyebutkan bahwasanya

melalui keberadaan id, ego, dan superego manusia memiliki peluang untuk

mengembangkan potensi dirinya, baik potensi positif maupun potensi negatif.

Jika id lebih dominan dari superego maka potensi positif akan lebih dapat

berkembang dan sebaliknya. Selain itu, penelitian ini juga berkesimpulan

bahwasanya bimbingan dan penyuluhan akan dapat membantu proses

perkembangan positif potensi diri manusia.

Pustaka-pustaka yang telah penulis sebutkan, secara umum hampir

memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan khususnya

pada bidang masalah yang berkaitan dengan konsep manusia. Akan tetapi dari

keempat pustaka, tidak ada satupun yang mengkaji secara khusus obyek

tentang pendapat tokoh, khususnya Toto Tasmara dalam tema penggalian

potensi diri manusia dalam rangka menuju muslim kaffah. Oleh karena

ketiadaan tersebut, maka penulis memberanikan diri untuk melakukan

pengkajian secara lebih mendalam berkaitan dengan permasalahan tersebut.

1.5.Metodologi Penelitian

Untuk memudahkan proses pelaksanaan penelitian, maka penulis akan

memilih dan menerapkan metode penelitian lapangan yang bersifat kualitatif

yang meliputi :

12

1. Sumber Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dibedakan

menjadi dua kelompok yaitu :

a. Data primer

Data primer adalah jenis data yang diperoleh langsung dari

obyek penelitian sebagai bahan informasi yang dicari (Azwar, 1998 :

91). Data primer dalam penelitian ini adalah pendapat Toto Tasmara

tentang penggalian potensi diri manusia. Sedangkan sumber data

primer dalam penelitian ini tentu saja adalah buku karya Toto Tasmara

yang berjudul Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah jenis data yang mendukung data primer

dan dapat diperoleh di luar obyek penelitian (Hadi, 1993 : 11;

Moleong, 2002 : 101). Sumber data sekunder yang mendukung

penelitian ini terdiri dari seluruh data yang berkaitan dengan teori-teori

yang berhubungan dengan potensi diri manusia dan bimbingan

konseling. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-

buku, majalah, arsip, maupun bentuk tulisan lain yang memuat teori

atau pengetahuan tentang potensi diri manusia. Buku tersebut di

antaranya adalah : Ilmu Pendidikan Islam karya Zakiah Daradjat; buku

karya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani yang berjudul Falsafah

Pendidikan Islam; buku karya Jalaluddin Rahmat yang berjudul

13

Psikologi Agama; buku Integrasi Psikologi dengan Islam karya Hanna

Djumhana Bastaman.

2. Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data penelitian juga dipengaruhi dari jenis

sumber data. Dikarenakan jenis sumber data dalam penelitian ini adalah

kertas/tulisan (paper) maka untuk memperoleh dan mengumpulkan data

digunakan model pengumpulan data kepustakaan (library research)

dengan teknik dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah teknik

pengumpulan data berupa sumber data tertulis (yang berbentuk tulisan).

Sumber data tertulis dapat dibedakan menjadi : dokumen resmi, buku,

majalah, arsip, ataupun dokumen pribadi dan juga foto (Sudarto, 2002 :

71). Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk memperoleh

informasi yang berbentuk dokumen dengan obyek pendapat Toto Tasmara

tentang penggalian potensi diri manusia dalam buku Menuju Muslim

Kaffah : Menggali Potensi Diri.

3. Analisis Data

Proses analisa data merupakan suatu proses penelaahan data secara

mendalam. Menurut Lexy J. Moleong (202 : 103) proses analisa dapat

dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pelaksanaan pengumpulan

data meskipun pada umumnya dilakukan setelah data terkumpul. Proses

analisis data yang akan penulis lakukan menggunakan metode content

analysis (analisa isi). Hal ini tidak terlepas dari obyek penelitian yang

bersumber data pada benda yang berbentuk tulisan. Sedangkan teknik

14

analisis yang digunakan adalah teknik analisis data induktif, yaitu

menyimpulkan secara umum data-data yang bersifat khusus (Moleong,

2002).

1.6.Sistematika Penulisan

Proses pelaporan tentang hasil penelitian yang akan penulis laksanakan

akan penulis bagi ke dalam tiga bagian yaitu bagian awal, bagian isi, dan

bagian akhir.

Bagian awal berisi tentang halaman judul, nota pembimbing, halaman

pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar,

dan halaman daftar isi.

Bagian isi terdiri dari lima bab dengan rincian sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi

penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II : Tinjauan Umum Potensi Diri, Bimbingan dan Konseling Islam

(BKI), Fungsi BKI terhadap Penggalian Potensi Diri Manusia

Isi dari bab ini adalah tentang pengertian potensi diri,

Jenis-jenis potensi diri, faktor-faktor yang mempengaruhi potensi

manusia, dan Cara mengembangkan potensi manusia; Bimbingan

dan Konseling Islam yang terdiri dari Pengertian bimbingan dan

konseling Islam, tujuan dan fungsi bimbingan dan konseling

Islam, unsur-unsur kegiatan bimbingan dan konseling Islam, Asas-

15

asas bimbingan dan konseling Islam; dan Fungsi BKI terhadap

Pengembangan Potensi Diri Manusia.

Bab III : Deskripsi Umum Pemikiran Toto Tasmara Tentang Penggalian

Potensi Diri Manusia dalam buku Menuju Muslim Kaffah :

Menggali Potensi Diri

A. Biografi dan Karya Toto Tasmara

B. Pemikiran Toto Tasmara Tentang Penggalian Potensi Diri

Manusia dalam buku Menuju Muslim Kaffah : Menggali

Potensi Diri.

Bab IV : Analisis Pemikiran Toto Tasmara Tentang Penggalian Potensi Diri

Manusia dalam buku Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi

Diri Manusia

Kandungan bab ini terdiri dari dua sub bab. Sub bab

pertama adalah analisis tentang penggalian potensi diri manusia

menurut Toto Tasmara. Sub bab kedua adalah penggalian potensi

diri manusia menurut Toto Tasmara.

Bab V : Penutup

Isi dari bab ini adalah kesimpulan, saran-saran, dan

penutup.

Bagian akhir yang berisi daftar pustaka dan biografi penulis.

BAB II

POTENSI DIRI DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM

2.1. Potensi

2.1.1. Pengertian Potensi Diri

Pada dasarnya setiap individu itu memiliki kekhususan pada dirinya

masing-masing, yang itu sebagai salah satu ciri untuk membedakan antara

individu satu dengan individu lainnya. Kekhususan itu bentuknya berupa

potensi. Meskipun demikian, potensi adalah merupakan suatu konsep yang

sukar untuk dimengerti, meskipun istilah ini sering digunakan dalam bahasa

sehari-hari khususnya dalam dunia psikologi dan pendidikan. Untuk dapat

memberikan penjelasan mengenai potensi secara cepat, jelas dan mudah

untuk dipahami, maka potensi dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:

a. Etimologi

Kata potensi itu berasal dari bahasa Inggris yaitu

potency,potential dan potentiality, yang mana dari ketiga kata tersebut

memiliki arti tersendiri. Kata potency memiliki arti kekuatan, terutama

kekuatan yang tersembunyi. Kemudian kata potential memiliki arti yang

ditandai oleh potensi, mempunyai kemampuan terpendam untuk

menampilkan atau bertindak dalam beberapa hal, terutama hal yang

mencakup bakat atau intelegensia. Sedangkan kata potentiality

mempunyai arti sifat yang mempunyai bakat terpendam, atau kekuatan

bertindak dalam sikap yang pasti di masa mendatang (Anshari, 1996:

482).

b. Terminologi

Selain dari sudut pandang bahasa, kata potensi juga didefinisikan

oleh para ahli psikologi ataupun para ahli disiplin ilmu lainnya sesuai

dengan kapabilitas keilmuan masing-masing. Di antaranya adalah

sebagai berikut:

1) Jalaluddin

“Potensi dalam konsep pendidikan Islam disebut fitrah yang berarti kekuatan asli yang terpendam di dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi kepribadiannya serta yang dijadikan alat untuk pengabdian dan ma’rifatullah” (Jalaluddin, 2001: 137).

2) Slamet Wiyono

“Potensi adalah kemampuan dasar manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. sejak dalam kandungan ibunya sampai pada saat tertentu (akhir hayatnya) yang masih terpendam di dalam dirinya menunggu untuk diwujudkan menjadi sesuatu manfaat nyata dalam kehidupan diri manusia di dunia ini dan di akhirat nanti” (Wiyono, 2004: 37-38).

3) Chalijah Hasan

“Potensi sama dengan fitrah. Karena kata fitrah dalam bahasa

psikologi disebut dengan potensialitas atau disposisi atau juga

kemampuan dasar yang secara otomatis adalah mempunyai

kecenderungan untuk dapat berkembang” (Hasan, 2994: 35).

Bertolak dari pengertian atau definisi yang ada itu, maka dapat

dikatakan bahwa potensi adalah sesuatu atau kemampuan dasar manusia

yang telah ada dalam dirinya yang siap untuk direalisasikan menjadi

kekuatan dan dimanfaatkan secara nyata dalam kehidupan manusia di dunia

ini sesuai dengan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT.

2.1.2. Jenis-jenis Potensi Manusia

Potensi yang ada dalam setiap manusia menurut para ilmuan itu

sungguh tak terbatas, akan tetapi hingga tingkat peradaban sekarang ini yang

digunakan hanya satu persen dari seluruh potensi tersebut (Acarya, 1991: 4).

Potensi diri manusia secara utuh adalah keseluruhan badan atau tubuh

manusia sebagai suatu sistem yang sempurna dan paling sempurna bila

dibandingkan dengan sistem makhluk ciptaan Allah lainnya. Ini sesuai

dengan Firman Allah surat at Tin ayat 4:

Sesungguhnya kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. (QS. al-Tin: 4) Jenis atau bentuk potensi itu sangat beragam. Menurut Hasan

Langgulung (1980: 20-21) Allah memberi manusia beberapa potensi atau

kebolehan berkenaan dengan sifat-sifat Allah yaitu Asmaul Husna yang

berjumlah 99. Dengan berdasarkan bahwa proses penciptaan manusia itu

secara non fisik. Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Hijr ayat

29 sebagai berikut:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kepadanya dengan bersujud (QS. al-Hijr: 29) Dengan kata lain sifat-sifat Allah itu merupakan potensi pada

manusia yang kalau dikembangkan, maka ia telah memenuhi tujuannya

diciptakan, yaitu untuk ibadah kepada penciptanya (Langgulung, 1980: 21).

Sedangkan apabila diidentifikasi secara garis besarnya manusia

dibekali tiga potensi dasar yaitu:

a. Roh; Potensi ini lebih cenderung pada potensi tauhid dalam bentuk

adanya kecenderungan untuk mengabdi pada penciptanya.

b. Potensi jasmani berupa bentuk fisik dan faalnya serta konstitusi biokimia

yang teramu dalam bentuk materi.

c. Potensi Rohani, berupa konstitusi non materi yang terintegrasi dalam

komponen-komponen yang terintegrasi (Jalaluddin dan Said, 1994: 110).

Sedangkan menurut Jalaluddin (2001: 32), secara garis besarnya

membagi potensi manusia menjadi empat, yang secara fitrah sudah

dianugerahkan Allah kepada manusia,13 yaitu sebagai berikut:

a. Hidayah al-Gharizziyah / wujdaniyah (naluri)

Potensi naluriyah disebut juga dengan istilah hidayah wujdaniyah

yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat

dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi ini

(Thoha dkk, 1996: 102). Potensi ini dapat dikatakan sebagai suatu

kemampuan berbuat tanpa melalui proses belajar mengajar (Muhaimin

dan Mujib, 1993: 24).

Dalam potensi ini memberikan dorongan primer yang berfungsi

untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Di antara

dorongan itu adalah insting untuk memelihara diri seperti makan minum,

dorongan untuk mempertahankan diri seperti nafsu marah dan dorongan

untuk mengembangkan diri. Dorongan ini contohnya adalah naluri

seksual (Jalaluddin, 2001: 33).

b. Hidayah al-Hissiyyah (indra)

Secara umum manusia memiliki lima indera dengan sebutan

pancaindera yaitu indera yang berjumlah lima. Potensi yang Allah

berikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan inderawi sebagai

penyempurna potensi yang pertama. Pancaindera ini merupakan jendela

komunikasi untuk mengetahui lingkungan kehidupan manusia, sehingga

dari sini manusia akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan .

Potensi inderawi yang umum dikenal itu berupa indera

penciuman, perabaan, pendengar dan perasa. Namun, di luar itu masih

ada sejumlah alat indera dengan memanfaatkan alat indera lain yang

sudah siap (Jalaluddin, 2001: 33-34). Oleh Toto Tasmara (2001: 94)

dikaitkan dengan fuad yang merupakan potensi qalbu yang berfungsi

untuk mengolah informasi yang sering dilambangkan berada dalam otak

manusia (fungsi rasio, kognitif). Fuad mempunyai tanggung jawab

intelektual yang jujur kepada apa yang dilihatnya, yang menurut al-

Ghazali fuad/qalb merupakan alat dan wadah guna memperoleh ilmu

pengetahuan (Shihab, 1996: 291).

c. Hidayah al-‘Aqliyah (akal)

Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk

memahami simbol-simbol hal-hal yang abstrak, menganalisa,

membandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih

maupun memisahkan antara yang benar dan yang salah (Jalaluddin,

2001: 34). Potensi akal ini sebagai organ yang ada dalam manusia yang

untuk membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain

(Barmawie, 1995: 21).

Akal sebagai potensi manusia dalam pandangan Islam itu berbeda

dengan otak. Akal di sini diartikan sebagai daya pikir yang terdapat

dalam jiwa manusia. Akal dalam Islam merupakan ikatan dari tiga unsur,

yaitu pikiran, perasaan dan kemauan. Bila ikatan itu tidak ada, maka

tidak ada akal itu (Ancok dan Suroso, 1994: 158). Akal diartikan juga

sebagai sifat yang untuk memahami dan menemukan pengetahuan dan

sebagai unsur pemahaman dalam diri manusia yang mengenal hakekat

segala sesuatu. Terkadang akal ini disebut kalbu jasmaniyah, yang ada

dalam dada, sebab antara kalbu jasmani dengan latifah ‘amaliyah

mempunyai hubungan unik.

Dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an kata ‘aql dapat dipahami

sebagai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu. Dorongan

moral dan daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah

(Shihab, 1996: 294-295). Selain itu, akal merupakan pengertian dan

pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi segala sesuatu, baik

yang tampak jelas maupun yang tidak jelas (al-Aqqad, 1991: 22). Dengan

potensi akal ini, manusia akan mampu berpikir dan berkreasi menggali

dan menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang

diberikan kepada manusia untuk fungsi kekhalifahannya. Dan potensi

akal inilah yang ada dalam diri manusia sebagai sumber kekuatan yang

luar biasa dan dahsyat yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya

(Hadhiri, 1996: 85-86).

d. Hidayah Diniyah (keagamaan)

Pada dasarnya dalam diri manusia sudah ada yang namanya

potensi keagamaan, yaitu dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang

dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi (Jalaluddin, 2001:

34). Dalam Islam potensi yang hubungannya dengan keagamaan disebut

fitrah, yaitu kemampuan yang telah Allah ciptakan dalam diri manusia,

untuk mengenal Allah. Inilah bentuk alami yang dengannya seorang anak

tercipta dalam rahim ibunya sehingga dia mampu menerima agama yang

hak (Muhammad, 1995: 20). Potensi fitrah (keagamaan) merupakan

bawaan alami. Artinya ia merupakan sesuatu yang melekat dalam diri

manusia (bawaan), dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha

(muktasabah) (Muthahari, 1998: 20).

Potensi fitrah pada intinya sudah diterima dalam jiwa manusia

sendiri dan merupakan potensi yang hebat, energi dahsyat yang tidak

ditundukkan oleh kekuatan lahiriyah yang konkrit apabila ia dikerahkan,

diarahkan dan dilepaskan secara wajar menurut apa yang telah diterapkan

(Qutb, 1982: 84). Bentuk potensi ini menunjukkan bahwa manusia sejak

asal kejadiannya membawa potensi beragama yang lurus dan ini

merupakan pondasi dasar dalam agama Islam untuk mengarahkan

potensi-potensi yang ada dari insting, inderawi dan aqli. Sebagaimana

Firman Allah SWT. dalam surat al Rum ayat 30:

Potensi sebagai kemampuan dasar dari manusia yang bersifat fitri

yang terbawa sejak lahir memiliki komponen-komponen dasar yang dapat

ditumbuhkembangkan melalui pendidikan. Karena komponen dasar ini

bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, di

antaranya adalah lingkungan pendidikan. Komponen-komponen dasar itu

meliputi hal-hal sebagai berikut (Muhaimin dan Mujib, 1993: 29):

a. Bakat

Bakat dalam hal ini dekat pengertiannya dengan kata aptitude

yang berarti kecakapan pembawaan, yaitu yang mengenai kesanggupan-

kesanggupan (potensi-potensi) tertentu (Purwanto, 2001: 69). Bakat ini

akan tampak nyata jika ia mendapat kesempatan atau kemungkinan untuk

berkembang.

Menurut William B. Michael sebagaimana dikutip oleh Sumadi

Suryabrata (2001: 160), meninjau bakat itu terutama dari segi

kemampuan individu untuk melakukan suatu tugas yang sedikit sekali

tergantung kepada latihan. Titik tekan dalam bakat adalah dari segi apa

yang dapat dilakukan individu. Adapun Guillford, dalam buku yang

sama, menjelaskan bahwa aptitude mencakup tiga dimensi psikologis,

yaitu perseptual, psikomotor dan intelektual (Suryabrata, 2001: 161-162).

Dari ketiga dimensi tersebut saling mendukung terwujudnya bakat dalam

diri individu. Pada dasarnya bakat merupakan kemampuan bawaan sejak

lahir sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar

terwujud suatu tindakan yang dapat dilakukan di masa mendatang

(Munandar, 1992: 17-18).

Seseorang yang memiliki bakat tertentu sejak kecilnya, tetapi

tidak memperoleh kesempatan untuk berkembang yang disebabkan tidak

ada dana untuk latihan, maka bakatnya tidak dapat berkembang. Hal ini

biasanya dikatakan sebagai bakat terpendam. Pada umumnya anak-anak

mempunyai bakat yang dapat diketahui orang tuanya dengan

memperhatikan tingkah laku dan kegiatan anaknya sejak dari kecil.

Biasanya anak yang memiliki bakat dalam suatu bidang, dia akan gemar

sekali melakukan/ membicarakan bidang tersebut (Dalyono, 1998: 128).

Oleh karena itu, cassidy menyebabkan lima hal sebagaimana dikutip

Reni Akbar dan Hawadi (2003: 150) yang mungkin dapat menjadi

pegangan bagi orang tua dalam mendidik anaknya yang tegolong

berbakat:

1) Berlaku sebagai pendorong anak dengan sekolahnya di dalam

memberikan informasi tentang kekuatan-kekuatan dan gaya belajar

yang dimiliki anak.

2) Menyediakan kesempatan belajar di rumah/di luar rumah.

3) Bantulah anak pada setiap tugas yang diberikan oleh sekolah.

4) Berperan sebagai mentor dan tidak segan-segan bertukar pikiran

dengan orang tua lainnya maupun anak yang lain.

5) Mengembangkan materi pelajaran yang diberikan untuk anak sesuai

dengan minat dan kemampuannya.

Dari penjelasan itu menunjukkan bahwa dalam diri anak terdapat

kemampuan dasar dan dalam mengembangkannya butuh pengajaran.

Karena pada dasarnya kecakapan ini berkembang dengan perpaduan

antara dasar dengan training (ajar/latihan) yang intensif dan pengalaman.

b. Insting atau gharizah

Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau

beringkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting

inipun merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam dunia psikologi

pendidikan, kemampuan ini disebut dengan istilah “kapabilitas” (Arifin,

1994: 101). Naluri (gharizah) kebanyakan digunakan untuk binatang dan

jarang sekali untuk manusia. Sebab hakekat naluri yang sebenarnya

masih belum jelas hingga saat ini. Namun demikian masih terdapat

beberapa pendapat mengenai insting oleh beberapa sarjana yang

memberikan ta’rif naluri sebagai suatu sifat yang dapat menimbulkan

perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berfikir terlebih

dahulu ke arah tujuan itu tanpa didahului latihan perbuatan itu (Ya’qub,

1983: 58).

Insting merupakan tendensi khusus dari jiwa manusia/binatang

yang menimbulkan tingkah laku yang sudah terbawa sejak lahir tanpa

melalui proses belajar.

c. Nafsu dan dorongan-dorongan (drives)

Nafsu adalah makna keseluruhan dari potensi amarah dan senang

yang ada dalam diri manusia. Nafsu juga mempunyai arti sebagai organ

rohani yang besar pengaruhnya dan yang paling banyak di antara anggota

rohani yang mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk

berbuat atau bertindak (Barmawie, 1995: 22). Nafsu juga merupakan

tenaga potensial yang berupa dorongan-dorongan untuk berbuat dan

bertindak kreatif dan dinamis yang dapat berkembang kepada dua arah,

yaitu kebaikan dan kejahatan (Nurdin, 1993: 13). Ini sesuai dengan

Firman Allah dalam surat al-Syams ayat 7 sebagai berikut:

Inilah yang menunjukkan, bahwa nafsu itu berpotensi positif dan

negatif. Akan tetapi diperoleh pula isyarat, bahwa hakekatnya potensi

positif manusia lebih kuat dari negatif, hanya saja daya tarik keburukan

lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut untuk

dapat memelihara kesucian nafsu dan tidak mengotorinya.

d. Karakter atau tabiat manusia

Watak tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang

terbawa sejak lahir. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral,

sosial serta etis seseorang. Karakter dan tabiat ini terbentuk dari diri

manusia dan bukan dari pengaruh luar dan berhubungan erat dengan

kepribadian seseorang. Oleh karena itu ciri keduanya hampir tidak dapat

dibedakan dengan jelas (Arifin, 1994: 103).

e. Hereditas

Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan

dasar yang mendukung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan

oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang telah jauh.

Hereditas ini lebih mengarah pada bentuk fisik dan kejiwaan yang

dimiliki oleh individu lebih identik atau memiliki kesamaan dengan

orang-orang terdekatnya seperti kedua orang tuanya (Arifin, 1994: 103).

f. Intuisi

Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses

penalaran tertentu. Intuisi ini dapat bekerja dalam keadaan tidak

sepenuhnya sadar. Artinya suatu permasalahan itu muncul dalam

keadaan orang itu tidak sedang menggelutinya, tetapi jawaban serta

merta muncul dibenaknya (Syukur dkk., 1998: 117).

Intuisi adalah kegiatan berfikir yang tidak analitis, tidak

berdasarkan pada pola berfikir tertentu. Pendapat yang berdasarkan

intuisi ini timbul dari pengetahuan yang terdahulu melalui suatu proses

berfikir yang tidak disadari. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa

intiusi merupakan pengalaman puncak. Pendapat lain mengatakan,

bahwa intuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi (Mas’ud dan

Paryono, 1998: 16-17). Intuisi hanya diberikan Tuhan kepada jiwa

manusia yang bersih dan dirasakan sebagai getaran hati nurani yang

merupakan panggilan Tuhan untuk berbuat sesuatu yang amat khusus.

Berbagai potensi yang ada pada diri kita ini seyogyanya dimanage

atau dikelola dengan baik, kemudian digunakan secara optimal dalam hidup

ini dan akhirnya yang sangat penting adalah mengendalikan potensi-potensi

tersebut agar selalu dapat memberikan kesuksesan, kebaikan, kebahagiaan

dan keberuntungan dalam hidup, baik di dunia maupun di akherat nanti.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Potensi Manusia

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dan dilengkapi

dengan berbagai potensi yang tidak terbatas jumlahnya. Potensi-potensi

tersebut harus mendapatkan tempat dan perhatian serta pengaruh dari

manusia itu sendiri, seperti pembawaan dan keturunan. Selain dari faktor

manusia, terdapat pula faktor dari luar, seperti lingkungan. Semua ini untuk

mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif.

Dalam perkembangan individu, ada beberapa kekuatan atau faktor-

faktor yang turut berperan dalam menentukan bagaimana perkembangan

tersebut, sehingga dalam hal ini akan diuraikan tentang faktor-faktor yang

berperan dalam perkembangan individu yang berhubungan dengan potensi

yang dimilikinya.

a. Faktor pembawaan

Pembawaan atau bakat merupakan potensi-potensi yang

memberikan kemungkinan kepada seseorang untuk berkembang menjadi

sesuatu. Berkembang atau tidaknya potensi yang ada pada diri individu

sangat bergantung kepada faktor-faktor lain.

Proses kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa

anak didik tidak berdaya merubahnya (Arifin, 1994: 89). Potensi yang

bercorak nativistik ini berkaitan juga dengan faktor hereditas yang

bersumber dari orang tua, termasuk keturunan beragama (religiousitas).

Aliran nativisme mengesampingkan faktor-faktor eksternal, seperti

pendidikan atau lingkungan serta pengalaman tidak ada artinya bagi

perkembangan hidup manusia (Arifin, 2000: 64).

Sejalan dengan aliran nativisme, aliran naturalisme mengatakan,

bahwa individu sejak dilahirkan adalah memiliki potensi baik.

Perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang

diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh pendidikan itu

baik, maka akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya (Purwanto, 2001:

59).

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa anak atau manusia

itu sejak dilahirkan telah mempunyai kesanggupan untuk berjalan,

potensi untuk berkata-kata dan lain-lain. Potensi-potensi yang bermacam-

macam yang ada pada anak itu, tentu saja tidak begitu saja dapat

direalisasikan atau dengan begitu saja dapat menyatakan diri dalam

perwujudan untuk dapat diwujudkan, sehingga kelihatan dengan nyata

potensi-potensi tersebut harus dikembangkan dan dilatih.

b. Faktor lingkungan

Lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di luar diri

anak yang memberikan pengaruh terhadap perkembangannya. Karena

perkembangan anak itu juga dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan.

Karena lingkungan juga merupakan arena yang memberikan kesempatan

pada kemungkinan-kemungkinan (potensi) yang ada pada seseorang anak

untuk dapat berkembang. Sementara itu menurut Sartain, sebagaimana

dikutip oleh Ngalim Purwanto (1996: 28), lingkungan itu dapat dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Lingkungan alam luar (external or pysical

enviroment); 2) lingkungan dalam (internal enviroment); 3) lingkungan

sosial/masyarakat (social enviroment).

Pengaruh lingkungan sangat besar bagi setiap pertumbuhan fisik.

Sejak individu masih berada dalam konsepsi, lingkungan telah ikut

memberi andil bagi proses pembuahan, pertumbuhan, suhu, makanan,

keadaan gizi, vitamin, mineral, kesehatan jasmani, aktivitas dan

sebagainya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak.

Sebaik apapun potensi atau pembawaan seorang anak, maka

tanpa adanya kesempatan dan pendidikan, maka potensi atau pembawaan

yang baik itu akan tetap hanya merupakan pembawaan saja dan tidak

berkembang. Sebaliknya meskipun potensi atau pembawaan itu kurang

baik, tetapi lingkungan memberi dorongan yang cukup dan kesempatan

yang leluasa, maka potensi yang kurang baik itu bisa berkembang

mencapai tingkat yang maksimal.

Dari kedua pendapat tersebut, masing-masing ada benarnya.

Bahwasanya potensi anak itu dipengaruhi oleh faktor bawaan yang

merupakan warisan dari orang tuanya dan dipengaruhi pula oleh faktor

lingkungan di mana anak itu tumbuh dan berkembang. Akan tetapi

kurang relevan apabila faktor pembawaan dan lingkungan itu dikatakan

secara mutlak mempengaruhi potensi yang ada pada anak, karena pada

intinya kedua faktor itu sama-sama mempunyai pengaruh.

c. Teori Fitrah

Menurut Islam, fitrah merupakan potensi dasar manusia. Karena

manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu

tauhid. Berangkat dari ajaran fitrah ini, manusia pada hakekatnya

beriman by nature (Ahmadi, 2005: 47). Hal ini diperjelas dengan Firman

Allah SWT dalam surat al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:

Dalam ayat atas, Allah bermaksud membuktikan ketuhanan-Nya

dengan mempersaksikan kepada manusia tentang hakikat dirinya sendiri.

Hakikat itu adalah bahwa manusia mempunyai kebutuhan dalam segi

kebutuhannya, baik dari segi wujudnya maupun berbagai tuntutan dan

hukum yang berkenaan dengan wujudnya. Sementara itu, manusia sendiri

adalah makhluk yang lemah, tidak mampu menguasai, mengatur dan

memelihara dirinya sendiri, sehingga ia membutuhkan penguasa,

pengatur dan pemeliharaannya, dan itu bukan lain adalah Allah SWT

(Aly, 1999: 121).

Selain itu, berdasarkan pada ayat 172 surat al-A’raf di atas, al-

Qur’an mengajarkan bahwa setiap individu itu mempunyai fitrah sejak

lahirnya. Yang dimaksudkan dengan fitrah di sini, adalah kemampuan

dasar dan kecenderungan-kecenderungan yang murni bagi setiap

individu.

Dalam konsep fitrah, Islam menegaskan bahwa manusia memiliki

fitrah dan sumber daya insani, serta bakat-bakat bawaan atau keturunan.

Semua itu masih merupakan potensi yang mengandung berbagai

kemungkinan dan merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan

berbagai sumber daya manusia yang potensial. Karena masih merupakan

potensi, maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum

dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan (Ahmadi, 2005: 76-

77).

Secara fitrah, manusia sadar akan Tuhannya, kesadaran-kesadaran

itu adalah suara fitrah yang ada pada diri manusia itu sendiri. Namun

dengan kesibukan dari pengaruh lingkungan, pengaruh kawan dan

pengaruh dosa-dosa yang diperbuatnya, maka suara fitrah itu menjadi

lemah dan sayup-sayup atau bahkan bisa jadi tidak terdengar oleh dirinya

sendiri (Azizy, 2002: 39).

Potensi manusia pada asal penciptaannya adalah suci dan selamat

dari penyimpangan. Kemudian di dalam fitrah mengandung pengertian

baik-buruk, benar-salah, indah-jelek, lempeng-sesat, dan seterusnya.

Dengan demikian, berarti penyimpangan dan perubahan yang terjadi

padanya adalah karena penyakit luar dan virus yang senantiasa

menyerangnya. Penyimpangan isi fitrah tersebut, yang awal mulanya

hanya bersih atau suci merupakan akibat dari faktor lingkungan. Oleh

karena itu, pelestarian fitrah dapat ditempuh lewat pemeliharaan sejak

awal (preventif) atau mengembalikan pada kebaikan setelah ia

mengalami penyimpangan (kuratif).

Ini semua menunjukkan adanya pengaruh internal dalam diri

manusia berupa keimanan dalam pribadi, dan pengaruh eksternal yang

berupa kegiatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Faktor

pembawaan dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap potensi yang

ada pada manusia. Dengan kata lain, pengaruh yang berada di luar diri

manusia dapat pula membentuk diri manusia (Hitami, 2004: 12).

Dengan demikian, perkembangan potensi anak itu ditentukan oleh

hasil kerjasama oleh faktor keturunan (hereditas, pembawaan dan

lingkungan) yang merupakan hasil kerjasama antara faktor-faktor yang

ada dalam diri anak dan faktor-faktor yang ada di luar anak. Hasil

kerjasama antara kekuatan eksogen dan kekuatan endogen itulah yang

dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak.

2.1.4. Cara Mengembangkan Potensi Manusia

Potensi dapat diibaratkan seperti tumbuh-tumbuhan. Wujudnya akan

tampak nyata apabila dipelihara, dirawat, dijaga, dibimbing serta

dikembangkan karena secara kodrati, manusia dianugerahi oleh Tuhan

berupa kemampuan potensi dasar.

Demikian halnya dengan potensi yang dimiliki manusia, maka

potensi naluriah indrawi, akal maupun rasa keberagamaan pada bentuk

asalnya baru berupa dorongan-dorongan dasar yang bersifat alamiah. Oleh

karena itu, potensi tersebut akan dapat mencapai tujuan yang sebenarnya

apabila dijaga, dipelihara, dibimbing dan dikembangkan secara terarah,

bertahap dan berkesinambungan. Pengembangan potensi manusia dapat

dilakukan dengan beragam cara dan ditinjau dari berbagai pendekatan

sebagai berikut (Jalaluddin, 2001: 36):

a. Pendekatan filosofis

Pendekatan ini digunakan dalam konteks pandangan filsafat yang

mengacu pada hakekat penciptaan manusia itu sendiri. Pada garis

besarnya, pengembangan potensi manusia harus mengacu kepada

pengabdian dalam bentuk mematuhi ketentuan dan pedoman Allah

selaku pencipta. Sedangkan ungkapan rasa syukur digambarkan dalam

bentuk penghayatan terhadap nilai-nilai akhlak yang terkandung di

dalamnya serta mampu diimplementasikan dalam sikap dan perilaku

lahiriah maupun batiniah. Pengembangan ini diarahkan pada nilai-nilai

batin dengan harapan dapat menumbuhkan kesadaran diri manusia,

bahwa segala potensi yang dimiliki merupakan nikmat Allah semata

(Jalaluddin, 2001: 37). Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat

an-Nahl ayat 53 sebagai berikut:

Dengan demikian jelas bahwa potensi yang telah dianut bahkan

itu tidak lepas kaitannya dengan pengabdian kepada pencipta.

b. Pendekatan kronologis

Pendekatan kronologis adalah pendekatan yang didasarkan atas

proses perkembangan melalui pentahapan. Karena proses pembentukan

embrio manusia berlangsung dalam tahap-tahap dari yang sederhana

sampai kepada yang lebih kompleks (Albar, 2002: 3). Karena manusia

adalah makhluk yang berkembang secara evolusi dari lahir hingga

menginjak dewasa perkembangan manusia melalui periodesasi semua ini

sejalan dengan Firman Allah surat al-Mukmin ayat 67:

Merujuk kepada kenyataan ini, maka pengembangan potensi

manusia harus diarahkan kepada bimbingan secara bertahap pula. Selain

itu pengembangan potensi manusia tidak mungkin dilakukan dengan

paksa, karena tiap individu mempunyai irama perkembangan yang

berbeda-beda. Karena itu bimbingan diberikan dan berdasarkan

kemampuan untuk mengenal karakteristik perkembangan tahap demi

tahap (Jalaluddin, 2001: 38-39). Itulah sebabnya potensi itu perlu

dikembangkan secara bertahap.

c. Pendekatan fungsional

Setiap potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia

tentunya diarahkan untuk dimanfaatkan. Melalui pendekatan fungsional

ini dimaksudkan bahwa pengembangan potensi manusia dilihat dalam

kaitannya dengan fungsi potensi itu masing-masing, seperti halnya

potensi rasa mengarah pada nilai-nilai etika, estetika, dan agama (Nurdin,

1993: 14). Potensi akal pikiran manusia berfungsi untuk merenung dan

memikirkan esensi ciptaan Allah, mengadakan analisis dan studi

perbandingan betapa besar dan agungnya semua rahasia ciptaan-Nya itu

(Hamdani, 2001: 17). Indra berfungsi sebagai media untuk mengenal

dunia luar hingga manusia dapat berkomunikasi dengan lingkungan.

Sedangkan fungsi dorongan beragama adalah agar manusia dapat

mengenal dan mengabdi kepada Tuhan sebagai pencipta. Dengan

menggunakan pendekatan ini diharapkan agar perkembangan potensi

yang ada pada manusia tidak menjadi sia-sia karena terlantar. Maka

pengembangannya perlu disesuaikan dengan fungsi utama dari setiap

potensi itu masing-masing. Berdasarkan fungsinya yang hakiki, maka

potensi manusia perlu diarahkan sejalan dengan hakikat kejadiannya.

Lebih lanjut atas dasar fungsi hakekat ini, maka untuk

mengaktualisasikan hakekat kemanusiaannya pengembangan mesti

ditujukan pada bagaimana upayanya agar potensi tersebut dapat

dimanfaatkan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang

manusiawi (Jalaluddin, 2001: 39-40).

d. Pendekatan sosial

Berdasarkan pendekatan ini manusia dilihat sebagai makhluk

yang memiliki dorongan hidup berkelompok dan bermasyarakat. Dari

hubungan yang dibina dalam masyarakat akan terwujud hubungan timbal

balik (reciprocal interaction) dengan orang-orang di sekitarnya. Maka

terjadilah rangsangan-rangsangan yang dapat mengembangkan potensi-

potensi alamiah manusia (Zuhairini, dkk., 1995: 81).

Melalui pendekatan sosial manusia dibina dan dibimbing

sehingga potensi yang dimilikinya yaitu sebagai makhluk sosial dapat

teratur dan sekaligus terarah pada nila-nilai positif melalui pembinaan

dan bimbingan yang berpedoman pada prinsip dan akhlak. Diharapkan

potensi yang dimiliki setiap individu akan bermanfaat dalam pembinaan

hubungan sosialnya (Jalaluddin, 2001: 44). Dengan demikian,

pengembangan potensi melalui pendekatan sosial ini diharapkan akan

terbentuk hubungan sosial yang baik antar sesama manusia maupun

antara makhluk yang terpelihara secara harmonis, karena berlandaskan

pada keimanan dan kemaslahatan.

Hasan Langgulung (1986: 263) dalam mengembangkan potensi

lebih mendasarkan pada pendapat filosof muslim, yakni sifat-sifat Tuhan

yang berjumlah 99 itu menurutnya merupakan potensi-potensi yang harus

dikembangkan dengan wajar dan sempurna. Bukan hanya kekuatan

jasmani saja seperti pada pendidikan Sparta, atau kecerdasan rohani saja

seperti di Athena.

Adapun bentuk pengembangan potensinya harus sesuai dengan

petunjuk Tuhan, itulah yang disebut sebagai ibadah/menyembah kepada

penciptanya (Langgulung, 1998: 60). Kalau potensi tadi tidak

dikembangkan, berarti ia telah menyeleweng dari tujuan kejadiannya, al-

Ilmu misalnya adalah merupakan sifat Tuhan dan merupakan potensi

manusia. Menuntut ilmu merupakan bentuk pengembangan potensi

tersebut, dan ini merupakan ibadah, tetapi kalau ini tidak dikembangkan

dalam diri manusia dan tidak menuntut ilmu, maka berarti ia menyalahi

potensinya atau dengan kata-kata psikologi, ia menyalahi tabiat semula

(natur)nya. Begitu jugalah dengan sifat-sifat Tuhan yang lainnya

(Langgulung, 1980: 21).

Pengembangan potensi juga dapat dilakukan dengan melalui

pendidikan, karena di dalamnya terdapat proses menumbuhkan dan

mengembangkan potensi-potensi tersebut dalam arti berusaha untuk

menampakkan (aktualisasi) potensi-potensi laten tersebut yang dimiliki

setiap anak. Untuk itu, dalam rangka mengembangkan potensi atau

kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari

orang lain untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan agar

berbagai potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajar

dan optimal, sehingga hidupnya dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Dengan begitu, mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya,

baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

2.2. Bimbingan Konseling Islam

2.2.1. Pengertian Bimbingan Konseling Islam

Bimbingan dan konseling menurut Prayitno (1999: 100) adalah

proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada

seseorang atau beberapa individu baik anak-anak, remaja, maupun dewasa,

agar dapat mengembangkan kemampuan diri dan mandiri, dengan

memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada serta dapat

dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Sedangkan konseling adalah proses pemberian bantuan yang

dilakukan melalui wawancara konseling oleh seseorang (konselor) kepada

individu yang sedang mengalami suatu masalah (klien) dengan tujuan

teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien (Prayitno, 1999: 101).

Adapun pengertian bimbingan dan konseling Islam dapat dimengerti

melalui penjabaran bimbingan Islam dan konseling Islam sebagai berikut:

Bimbingan Islam adalah sebagai berikut proses pemberian bantuan

terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk

Allah, sehingga mampu mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat

(Musnawar, 1992: 5).

Konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu

untuk menyadari eksistensinya sebagai makhluk Allah yang harus selaras

dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga mampu mencapai

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Faqih, 2001: 4).

Sedangkan menurut Mustahidin (2004: 57) yang mengartikan

bimbingan konseling Islam secara keseluruhan menyebutkan bahwa

bimbingan konseling Islam dapat diartikan sebagai :

Suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) yang mengalami penyimpangan perkembangan fitrah beragama, dengan mengembangkan potensi akal pikiran kepribadiannya, keimanan dan keyakinan yang dimilikinya, sehingga klien dapat menanggulangi problematika hidup secara mandiri yang berpandangan pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW, demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bimbingan

konseling Islam merupakan proses pemberian bantuan kepada seluruh

individu, baik yang mengalami permasalahan (penyimpangan) maupun yang

tidak, dengan cara mengembangkan potensi fitrah kemanusiaan yang

dimilikinya agar senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah,

sehingga dapat mewujudkan diri yang mandiri dalam menghadapi

permasalahan hidup guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di

akhirat.

2.2.2. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Konseling Islam

Bimbingan konseling Islam sifatnya hanya merupakan bantuan saja

sedangkan tanggung jawab dan penyelesaian masalah terletak pada diri

individu (klien) yang bersangkutan. Secara garis besar, tujuan BKI dapat

dirumuskan untuk membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia

seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.

Menurut Arifin (1976:29), Bimbingan Konseling Islam mempunyai

dua tujuan :

a. Bimbingan dan konseling Islam dimaksudkan untuk membantu klien

supaya memiliki religious reference (sumber pegangan keagamaan)

dalam pemecahan problem-problem.

b. Bimbingan dan konseling Islam yang ditujukan kepada klien untuk

membantu agar supaya dengan kesadaran serta kemauannya bersedia

mengamalkan ajaran Islam. Dalam hal ini konselor bentindak sebagai

pendidik agama yang pendekatannya secara individual terhadap si

terbimbing (client). Namun demikian harus ditekankan bahwa dalam

bimbingan dan konseling tidak boleh ada unsur paksaan atau desakan,

melainkan sebaliknya perlu ditumbuhkan pada diri terbimbing (client)

kemampuan self directif (pengarahan terhadap dirinya sendiri) kepada

hal-hal yang dibimbing/dinasehatkan kepadanya.

Selain itu menurut Faqih (2001: 36), tujuan khusus dari bimbingan

dan konseling Islam adalah :

a. Membantu individu agar terhindar dari masalahnya.

b. Membantu individu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.

c. Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi

yang baik/yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik

sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.

Sedangkan secara umum, menurut Faqih (2001: 37), fungsi

bimbingan dan konseling Islam sebagai berikut :

a. Fungsi preventif : yakni membantu individu menjaga/mencegah

timbulnya masalah bagi dirinya.

b. Fungsi kuratif atau korektif : yakni membantu individu memecahkan

masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.

c. Fungsi preservatif : yakni membantu individu menjaga agar siatuasi dan

kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik

(terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (instate of god)

d. Fungsi developmental atau pengembangan: yakni membantu individu

memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik

agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak

memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya.

Berdasarkan penjelasan tentang tujuan dan fungsi bimbingan dan

konseling Islam di atas, maka dapat diperoleh rumusan mengenai tujuan dan

fungsi bimbingan dan konseling Islam yakni sebagai usaha membantu

mempersiapkan manusia agar terhindar dan atau mampu menyelesaikan

masalah yang dialami dalam hidupnya dengan memaksimalkan potensi-

potensi yang dimilikinya sehingga menjadi manusia yang mandiri guna

mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

2.2.3. Unsur-unsur Kegiatan dalam Bimbingan dan Konseling Islam

Berdasarkan pada tujuan dan fungsi bimbingan dan konseling Islam,

maka dapat diketahui bahwasanya bimbingan dan konseling Islam tidak

hanya bertujuan untuk pemecahan masalah, baik pencegahan maupun

penanggulangan masalah, namun juga mencakup usaha untuk membentuk

manusia (mandiri) yang seutuhnya yang selaras dengan unsur dirinya (Faqih,

2001: 35). Oleh karena itu, dalam proses bimbingan dan konseling Islam

diperlukan kegiatan-kegiatan yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

Menurut Hendrarno (1987: 63), unsur-unsur kegiatan yang ada dalam

bimbingan dan konseling Islam meliputi:

a. Unsur pemulihan/penyantunan (curatif rehabilitatif).

Yaitu kegiatan yang dimaksudkan untuk menyembuhkan atau

memulihkan suatu gangguan, mengatasi dan memecahkan masalah yang

berkaitan dengan diri klien.

b. Unsur Perlindungan (protective).

Unsur kegiatan ini dimaksudkan untuk melindungi klien mengenai

pengembangan diri, ketrampilan, hidup mandiri, hidup bersama dalam

lingkungan dan tindakan berbuat baik, agar klien terarah dengan benar

dan akhirnya dapat memposisikan fungsinya dengan mudah untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.

c. Unsur pengembangan (promotif development).

Dimaksudkan untuk mengembangkan diri klien agar klien mampu

mengembangkan potensi dalam diri mereka untuk menghadapi

permasalahan-permasalahan hidup sehingga klien tidak mengalami

kesulitan dalam hidup dan berkehidupan dalam masyarakat.

d. Unsur pencegahan (preventif).

Yakni untuk mencegah timbulnya masalah-masalah. Dalam bimbingan

konseling ini klien dipersiapkan untuk menghadapi masalah-masalah

yang timbul dalam hal konsep diri, sehingga di sini klien akan dapat

benar-benar memahami betapa pentingnya pemahaman manusia

terhadap potensi yang ada dalam diri mereka.

BAB III

DESKRIPSI UMUM PEMIKIRAN TOTO TASMARA TENTANG PENGGALIAN

POTENSI DIRI MANUSIA DALAM BUKU MENUJU MUSLIM KAFFAH :

MENGGALI POTENSI DIRI MANUSIA

3.1 Biografi Dan Karya Toto Tasmara

Toto Tasmara dilahirkan di Banjar Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 10

November 1948 dalam lingkungan keluarga yang sufistik sehingga memberikan

pengaruh kejiwaan kepadanya. Hal ini membuat kumpulan tulisan maupun puisinya

sarat dengan nuansa sufistik tersebut (Tasmara, 2001 : 299). Seluruh kehidupannya

diabdikan untuk gerakan dakwah yang olehnya disingkat Geradah (Gerakan

Dakwah).

Pada tahun 1976, dia mendirikan Badan Komunikasi Pemuda Masjid

Indonesia (BKPMI sekarang RMI), tahun 1979 sekembali memenuhi undangan

ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) yang pada saat itu diketuai oleh Anwar

Ibrahim, dia memperkenalkan Ikhwanul Muslimin dengan metode pembinaan

keluarga Islami (usroh).

Ceramah serta tulisan-tulisannya yang menggelitik menyebabkan dirinya

harus menghuni rumah tahanan yang lebih dikenal dengan sebutan Kampus Kuning.

Pada tahun 1978 dan sampai tahun 1983 dia keluar masuk tahanan karena kemelut

serta pendekatan represif (security approach) terhadap umat Islam, bahkan dia harus

mengundurkan diri sebagai Manajer di Perusahaan Multi National, karena urusan

dengan pihak keamanan pada waktu itu. Kisah hidupnya tidak pernah sepi dari

52

rangkaian penderitaan yang harus dia tanggung karena sebagai konsekuensi sebagai

seorang mujahid da’wah (Tasmara, 1999 : 438).

Dalam karir pekerjaan, dia ingin membuktikan bahwa seorang mujahid

da’wah akan lebih efektif bila mampu menunjukkan prestasinya, maka berbagai

jabatan eksekutif dia raih, di PT. Richardsonn Merrel (sekarang P & G) dia sempat

menduduki sebagai Sales Manager, kemudian pindah lagi di PT. Singer sebagai

Industries Indonesia dan jabatan terakhirnya adalah National Sales Manager. Jabatan

sebagai Ass. Vice President di Bank Duta yang mengelola sumber daya manusia

merupakan bagian dari bukti prestasi dirinya. Jabatan terakhirnya adalah sebagai

Corporate Secretary, di PT.Humpuss sampai Agustus 1997, dan setelah itu dia

mengabdikan diri sepenuhnya dalam dunia dakwah di dalam maupun di luar negeri

dan menjadi konsultan sumber daya manusia di Labmend (Laboratory for

Manajemen and Mental Development) yang bergerak dalam bidang pelatihan

menejemen dan spiritual.

Pendidikan terakhirnya adalah sarjana Ilmu Komunikasi, UNPAD dengan

pendalaman khusus di bidang psikologi komunikasi. Diantara pelatihan dan seminar

yang pernah dijalaninya adalah Human Resources Management di National

University Singapore, sebagai angota IPRA (The International Public Relations

Association), dia juga mengikuti seminar International di Perth, Australia, kemudian

pertemuan para pengusaha di Melbourne, Houston, Tokyo, Cambodia, Iran dan lain-

lain. Tentu saja, seperti biasanya, di sela-sela aktivitasnya dia selalu menyempatkan

diri untuk menjalin hubungan dengan sesama muslim di negara yang dikunjunginya

yang kemudian dijalin hubungan dakwah.

53

Tahun 1996 dia mendirikan Bakomubin (Badan Koordinasi Mubaligh se-

Indonesia) dan menjadi ketua umumnya sampai tahun 1999. Adapun karya yang

sudah ditulisnya adalah :

Buku:

Komunikasi Dakwah, Etos Kerja Pribadi Muslim Menjawab Tantangan Zaman

Kecerdasan Ruhaniah: Membentuk Kepribadian yang Bertanggungjawab,

Profesional dan Berakhlaq

Dimensi Do’a dan Dzikir: Menyelami Samudra Kalbu Mengisi Makna Hidup.

Artikel:

Berdo’a itu ibadah

3.2 Profil Buku Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri Manusia

Buku ini merupakan buku karya Toto Tasmara yang ditulis sejak tahun 1996.

Sedangkan penerbitannya dilakukan pada tahun 2000. Buku ini terdiri dari lima bab

di mana pada bab I, II, dan III dari buku tersebut membahas aspek-aspek potensi

dalam diri manusia, yang terdiri dari potensi qalb dan potensi fisik. Sedangkan pada

bab III dan IV membahas tentang kerja ideal bagi manusia Islam. Buku dengan tebal

lebih dari 415 halaman, diterbitkan oleh Bina Insani, salah satu penerbit dari kota

Bandung.

3.3 Pemikiran Toto Tasmara tentang Penggalian Potensi Diri Manusia dalam Buku

Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri Manusia

Menurut Toto Tasmara, penggalian potensi diri manusia tidak dapat

dilepaskan dari unsur yang membentuk diri manusia, yakni unsur rohani (qalb) dan

54

unsur fisik. Unsur rohani merupakan unsur yang tidak tampak oleh mata, namun

menjadi dasar segala perbuatan atau perilaku fisik manusia. Sedangkan unsur fisik

adalah segala unsur yang ada dalam diri manusia yang terdapat dalam tubuh manusia.

Tujuan dari penggalian potensi diri manusia tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-

cita membentuk manusia Islam seutuhnya (muslim kaffah).

3.2.1. Penggalian Potensi Qalbu

Menurut Toto Tasmara (2000: 154), secara etimologi, kalbu berakar

dari kata kerja qolaba yang artinya berubah-ubah, berbolak-balik, berganti-

ganti, pokoknya kalbu merupakan lokus atau tempat di dalam jiwa manusia

yang merupakan titik sentral yang menggerakkan perbuatan manusia.

Dengan kalbu itulah Allah ingin memanusiakan manusia,

memuliakannya dari segala makhluk yang diciptakan-Nya. Sebaliknya karena

kalbu itu pula manusia membinatangkan dirinya sendiri.

Allah menempatkan kalbu sebagai sentral kesadaran untuk manusia.

sehingga Allah sendiri tidak memperdulikan tindakan yang tampak kasat

mata, bahkan Allah memaafkan kesalahan yang tidak dengan sengaja

disuarakan oleh hati nuraninya. Di dalam kalbu terhimpun perasaan moral

mengalami dan menghayati yang harus dipertangungjawabkannya secara

sadar, sehingga kualitas kalbu akan menetukan apakah dirinya bisa tampil

sebagai subjek bahkan sebagai wakil Tuhan di muka bumi ataukah terpuruk

dalam kebinatangan yang hina, bahkan lebih hina dari binatang yang melata.

Menurutnya, fungsi kalbu untuk “mengalami” yang artinya dia mampu

menangkap fungsi inderawi yang kemudian diolah, dirangkum dan

55

dipantulkan kembali ke dunia luar, dan proses ini disebut sebagai menghayati.

Dalam proses mengalami, dia sadar akan dirinya dengan dunia luar,

sedangkan di dalam proses penghayatan, dia sadar akan seluruh tanggung

jawab perbuatannya (Tasmara, 2000: 157).

Dengan demikian, kalbu juga mempunyai fungsi moral, artinya dialah

yang menentukan tentang rasa bersalah, tentang baik buruk, serta mengambil

keputusan berdasarkan tanggung jawab moralnya tersebut, sehingga penilaian

akhir dari sebuah perbuatan sangat ditentukan oleh fungsi kalbu. Segala

perilaku aktual yang tampak dalam kasat mata dan penginderaan, bisa jadi

dikesampingkan untuk sementara, karena perilaku aktual bisa jadi sebuah

kepalsuan, pura-pura, dibuat-buat, artificial dan tidak memantulkan perilaku

orisinal. Manusia bisa bersandiwara, manis madu dimulutnya, tetapi sepahit

empedu rasa benci yang bergayut di kalbunya. Banyak orang tertipu kalau

hanya mengandalkan apa yang nampak secara lahiriah. Hal ini dikarenakan,

perilaku seseorang belum tentu menampakkan orisinalitas dari kemauan yang

sebenarnya yang tersimpan secara misterius di balik dada manusia.

Menurutnya, kita tidak boleh mengandalkan sepenuhnya pada potensi

inderawi, tanpa mendengarkan suara hati. Perilaku tanpa muatan moral,

adalah kering, tidak ada kedalaman dan dimenis kemanusiaan, sehingga

mengakibatkan manusia sering terjebak pada penilaian semu, keputusan yang

tergesa-gesa hanya karena melihat “kulit luar”, sehingga mengalami

kekecewaan setelah terlibat lebih jauh dengan orang yang dinilai tersebut

(Tasmara, 2000: 160).

56

Manusia adalah makhluk yang sangat kreatif, penuh dengan daya

imajinasi. Apabila potensi yang dimilikinya itu terlepas dari cahaya Ilahi,

maka masuklah ke dalam kalbunya kekuasaan setan, sehingga seluruh

kreatifitasnya, imajinasinya dapat menyesatkan pandangan lahir manusia

lainnya. Seseorang dapat tampak sopan dihadapan kita, padahal kesopanan

yang ditampilkannya bukanlah ke luar dari hati nuraninya. Orang tersebut

bersopan-sopan hanya karena ada pamrih dan kalau pamrihnya tidak

terpenuhi, maka tampillah wajah batin yang sebenarnya, dia mengumpat,

cemberut dan mungkin juga dia menyerang kita dengan wajah beringas.

Kesopanan yang disandiwarakannya berubah menjadi kebinatangan yang

didemonstrasikannya dengan penuh amarah. Di sinilah pentingnya peranan

kalbu yang terus diketuk dari dalam agar timbul kesadaran moral serta rasa

tanggung jawabnya sebagai manusia dalam kebersamaan dengan manusia

lainnya. Kalbu yang sering diasah, akan bertambah tajam dan sensitif terhadap

rangsangan luar sehingga di dalam diri kita akan ada semacam bisikan, feeling

yang menyuarakan kebenaran, ada semacam extra sensory perception, indra

keenam yang mengatakan ya atau tidak dalam mengambil keputusan. Dia

mengutip ungkapan dari Pascal, bahwa : “le a ses raisons que la raison ne

connait pas”, (hati punya akalnya sendiri, yang tidak bisa dimengerti akal

budinya). Itulah sebabnya secara hakikat Allah meminta kalbu tampil untuk

mempertangungjawabkan sikap dan perilakunya, karena seluruh perbuatan

manusia diputuskan oleh sang kalbu.

57

Kesadaran dan tanggung jawab memang berawal dari kalbu. Tidak ada

sebuah perbuatan tanpa keterlibatan kalbu, sehingga al-Qur’an menempatkan

rangkaian kesadaran zikir, jiwa, iman, dan taqwa tidak pernah terlepas dari

peran dan fungsi kalbu yang oleh Nabi Muhammad diperlambangkan

bagaikan segumpal darah yang apabila mudghoh itu baik maka baiklah

seluruh jasad dan perilaku manusia begitu sebaliknya.

Perhatian Allah terhadap kalbu menurutnya, sangat mendasar dan

radikal yaitu membenahi dahulu karakter serta cahaya kalbu, agar tidak

kehilangan pelita jiwa ilahyah. Kalbu manusia pada awalnya adalah khasanah

kebaikan semata-mata, karena kalbu juga mempunyai pengertian jiwa yang

diberi potensi serta ilham untuk mengenal baik dan buruk, hanya karena

bujukan setan yang selalu memalingkan kalbu, sehingga manusia terpenjara

oleh berbagai nafsu-nafsu kejahatan yang rendah, atau perilaku manipulatif

tanpa rasa tanggung jawab moral.

Kalbu harus berani bertanggng jawab untuk menampilkan wajahnya

yang suci dan selalu berupaya untuk berpihak kepada Allah, menghidupkan

getaran jiwa melalui kesadaran yang hakiki, kesadaran ini pula yang dituntut

dari prosesi zikir, karena zikir yang menghasilkan getaran jiwa, dapat

menjadikan seseorang mencapai puncak keimanan.

Menurutnya, seluruh potensi kalbu harus disinari cahaya Ilahi,

sehingga dia akan tetap berada di jalan kebenaran. Inilah tugas manusia yang

paling berat, mengingat peranan setan yang dengan gigih berusaha untuk

memadamkan cahaya Ilahi dan diganti dengan nafsu hewaniah.

58

Penggalian potensi qalbu dapat dilakukan dengan melalui cara-cara:

1. Melatih anak sejak dini dengan mengenalkan pada lafadz-lafadz Ilahi

2. Melatih anak sejak dini dengan melakukan aktifitas illahiyah

3. Mengenalkan dan membiasakan anak sejak usia dini dengan syari’at atau

aturan hidup sesuai dengan hukum Islam.

Untuk memelihara cahaya Ilahi dan membentengi dari gangguan setan,

maka manusia perlu mengetahui potensi dan fungsi masing-masing yaitu,

pertama : Fuad yaitu potensi kalbu untuk mengolah informasi yang sering

dilambangkan berada dalam otak manusia (fungsi rasio, kognitif), kedua :

Shadr yaitu potensi kalbu yang berperan untuk merasakan dan menghayati

atau mempunyai fungsi emosi, dan ketiga : Hawaa yaitu potensi yang

menggerakkan (fungsi konatif).

Dengan memahami hal ini diharapkan kita mampu untuk memahami

dan meningkatkan potensi kalbu supaya menjadi pribadi yang tangguh.

3.2.2. Penggalian Potensi Fisik

Menurut Toto Tasmara (2000: 164), jarang ada orang yang

memahami, bahwa sikap dan perilaku manusia sangat ditentukan dari cara

dirinya memberikan makna terhadap hidup yang dijalaninya. Makna hidup

merupakan sebuah gambaran menyeluruh yang memberikan arah dalam cara

manusia berhubungan dengan dirinya sendiri, orang lain dan alam sekitarnya.

Pertanyaannya adalah, bagaimana eksistensi orang yang berhubungan dengan

dirinya sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini, bidang filsafat, ilmuwan,

agamawan dan khususnya telaah psikologi eksistensial yang dilakukan Victor

59

Frankle tentang Logoterapi mengungkapkan bahwa selama individu

mempunyai makna hidup, dia akan merasakan kebahagiaan, dan kenikmatan

yang memuaskan (Frankle, 2004 : 37), dan sebaliknya, apabila individu

tersebut tidak mempunyai makna atau tidak mampu memberikan arti dan

tujuan hidupnya, dia akan menjadi pribadi yang tidak orisinal (Frankle, 2004 :

38). Dengan asumsi ini, Frankle berpendapat bahwa kekuatan yang paling

utama untuk menggerakkan kepribadian manusia terletak dari sejauhmana

keinginannya untuk memberi makna hidup (the will to meaning), yang

kemudian menjadi dasar penelitian dan kekuatan bidang studinya yang disebut

dengan Logoterapi, disamping dua konsep utama lainnya yaitu konsep

kebebasan dan makna hidup.

Dalam pandangan Logoterapi, manusia memiliki kebebasan, tetapi

kebebasan manusia ini sifatnya tidak mutlak dan tidak terbatas, karena

manusia memang mahluk yang serba terbatas. Selain itu, kebebasan manusia

juga bukan kebebasan dari (freedom from) kondisi-kondisi biologis, psikologi

dan sosiokultural serta kesejarahannya, namun yang dimaksud dengan

kebebasan adalah kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take a

stand) terhadap kondisi-kondisi tersebut. Dalam upaya menjelaskan logoterapi

ini, dia menulis : Logos” dalam bahasa Yunani berarti makna, arti (meaning),

tetapi dapat juga menunjukkan pada sesuatu yang bersifat rohaniah, spiritual.

Sehingga Logoterapi dimaksudkan sebagai corak psikologi yang dilandasi

pengakuan mengenai manusia yang memiliki dimensi rohani di samping

dimensi jasmani. Logoterapi berasumsi bahwa makna hidup (the meaning of

60

life) dan hasrat untuk hidup (the will to meaning) merupakan daya pendorong

atau motivasi utama manusia untuk mencapai kehidupan yang penuh makna.

Menurutnya, memenuhi kebutuhan batin (inner fulfiment) di samping

kebutuhan ragawi yaitu dengan cara merealisasikan nilai-nilai, keyakinan-

keyakinan serta prinsip yang mengisi batin masing-masing individu,

merupakan upaya manusia untuk memperoleh makna hidup yang sebenarnya

kendati manusia terikat atau menghadapi keterbatasan karena kondisi biologis

dan sosiologis, manusia memiliki kebebasan untuk mengambil sikap,

menentukan posisinya sendiri. Manusia mempunyai kebebasan hakiki untuk

melepaskan diri dari segala keterikatan biososiologis, mengatasi segala

hambatan dan psikis untuk memasuki dimensi yang dia kehendaki yaitu

imensi noetik atau dimensi spiritual. Dia sanggup membuat jarak dan

berhadapan dengan dirinya sendiri, sehingga manusia dapat dikategorikan

sebagai makhluk yang mampu membuat jarak dan melakukan pemisahan diri

(self distance and self detachment). Manusia mampu menarik diri (withdrawl)

dari keramaian, menyepi untuk merenung. Dia keluar untuk memandang

dirinya sendiri.

Kesanggupan manusia untuk mengambil jarak dan mengambil sikap

terhadap situasi tertentu merupakan sebuah aset yang sangat berharga untuk

dikembangkan seluas-luasnya sehingga manusia berkemampuan untuk selalu

mengisi dan mengembangkan makna serta tujuan hidupnya yang sejati.

Kemampuan dan kebebasan manusia untuk merealisasikan nilai-nilai,

keyakinan serta prinsip-prinsipnya yang kemudian akan memperkaya nilai

61

batiniah, kualitas warna rohani dan mentalitas dirinya di dalam mengarungi

misi hidupnya di dunia (Tasmara, 2000: 173).

Untuk menunjang potensi fisiknya, menurut Toto Tasmara dapat

diwujudkan dengan memberikan pelatihan pada tiga aspek, yakni pelatihan

pengetahuan, pelatihan ketrampilan, dan pelatihan keahlian yang dilandaskan

pada pengertian akan makna hidup (batiniah).

Makna dan tujuan hidup merupakan fondasi yang siap menghadapi

beban apapun. Tanpa makna dan tujuan yang jelas, dia akan terombang-

ambing dalam permainan arus inersia yang membingungkan dirinya sendiri.

Tanpa makna hidup manusia tidak lain hanyalah kumpulan dari tulang daging

ditambah sekian liter air. Makna hidup itulah yang sebenarnya mengarahkan

dan mewarnai perilaku dan peribatinannya dalam keberadaannya di tengah-

tengah dunia ini, tentu saja, bahwa di dalam mengisi makna hidupnya,

manusia akan menghadapi tantangan, tetapi justru dengan tantangan itulah dia

mampu mengembangkan hidupnya lebih bermakna. Penderitaan yang

menyanyat jiwanya, kesengsaraan yang menerpa kehidupannya, bukan

membuat dirinya tenggelam dan menyerah pada nilai-nilai eksternal,

melainkan justru merasakan adanya romantika hidup yang berbinar. Apalah

artinya hidup yang monoton, membosankan, dan tanpa warna bila dibanding

dengan hidup yang penuh dengan perjuangan, walau demikian, untuk

memperoleh makna hidup manusia tidak harus terperangkap dalam situasi

melankolis, terpuruk dalam kesedihan yang mencabik, tetapi dapat pula dia

berenang mencari dan mengisi makna hidupnya dalam limpahan harta, selama

62

dia mau menjadikan dirinya sebagai subjek yang tidak dikuasai oleh harta dan

kekuasaannya tersebut.

Untuk memperjelas deskripsi tentang makna hidup ini, Toto Tasmara

(2000: 174-175) mengutip pendapat Rollo May yang berasumsi bahwa

masalah utama yang dihadapi individu masyarakat modern, adalah kehampaan

jiwa individu tidak mengetahui apa yang diinginkannya dan tidak lagi

memiliki kekuasaan terhadap apa yang terjadi dan apa yang dialaminya. Di

bagian lain dia menjelaskan dengan menutip pendapat Reismen yang

berpandangan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang kesepian di

tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakatnya. Orang modern takut

ditolak kehadirannya oleh orang lain. Menurut May, pada masyarakat modern,

kegiatan bersama orang lain misalnya pergi ke pesta bukan untuk mencari

hubungan emosional yang lebih intim, kebersamaan atau saling membagi

cinta kasih dan kehangatan, tetapi semata-mata hanya karena takut berada

dalam kesendirian atau terealisasi dari kehidupan orang lain. Individu

hanyalah butir-butir pasir di gurun Sahara, tidak mempunyai akar kepribadian

dan makna hidup yang mandiri. dia berbuat bagaimana orang lain, dia bersatu,

berorganisasi, bermasyarakat, bukan karena keinginan untuk memberi makna,

melainkan lebih didasari rasa sepi dan kecemasan dan takut ditinggalkan

orang lain. Jati diri yang diungkapkan melalui eksistensi kebebasannya

bertindak dan bertanggungjawab menghilang, kebebasan dirinya direduksi

dalam kebersamaan. Menurutnya rasa cemas yang menghinggapi manusia

63

modern lebih besar dan mendasar dibandingkan dengan kehampaan atau

kesepian.

Menurut Toto Tasmara (2000: 182), rasa hampa (emptiness), hidup

tanpa makna (meaningless of life) serta cemas (anxiety) merupakan beberapa

situasi batin yang dialami masyarakat modern. Kekosongan telah merubah

masyarakat modern menjadi individu-individu yang outer directed, yakni

individu-individu yang mengarahkan dirinya kepada orang lain untuk mencari

pegangan atau petunjuk bagi penentuan hidupnya. Mereka bisa merespons

tetapi tidak bisa memilih sendiri respons apa yang paling baik bagi masalah

yang dihadapinya. Sebagai contoh kehampaan makna hidup ini adalah tipe

manusia giroskop seperti yang dialami multi mulyiner, Randolph Hears yang

memiliki kekuasaan dan kekayaan, tetapi tidak berdaya dan selalu merasa

cemas bahwa kekuasaan dan kekayaannya itu akan hilang. Ancaman utama

bagi manusia giroskop adalah kematian. Hearst selalu menaruh curiga,

menyendiri dan tidak mau didekati orang lain.

Berbagai penyimpangan perilaku sebagai akibat dari kehilangan

makna dan tujuan hidup telah dijadikan bahan studi oleh para ahli dengan

berbagai pendekatan disiplin ilmunya masing-masing. Dari mulai perasaan

sepi yang mencekam, psikosis, neurosis, paranoid, meaningless, emptiness,

dan lain-lain. Dari deskripsi diatas pertanyaannya adalah apa hakikat makna

hidup itu sendiri?. Menurutnya, secara singkat, makna hidup adalah seluruh

keyakinan serta cita-cita yang paling mulia yang manusia miliki dan dengan

keyakinan itu pula manusia menjalankan misi kehidupan melalui sikap dan

64

perilaku yang bertanggungjawab dan berbudi luhur. Jelasnya, makna hidup

adalah sesuatu yang dinamis, dan karenanya harus secara konsisten kita

tingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu, sehingga pemerkayaan diri

melalui perbuatan-perbuatan yang terpuji, melalui sikap dan perilaku disiplin

dan tanggungjawab moral yang tinggi. Makna hidup hanya dapat diisi selama

individu menyadari bahwa sesuatu belum menjadi satu kenyataan, kecuali

diperjuangkan. Nilai-nilai yang diyakininya tidak bisa diserahkan begitu saja

kepada takdir, tetapi justru harus diusahakan, dinyatakan, betapapun resiko

yang harus dia hadapi. Pada posisi ini, Toto Tasmara merujuk pendapat

William Jennings Bryan yang berkata : “Takdir bukanlah masalah kebetulan,

takdir adalah masalah pilihan, takdir bukanlah sesuatu yang harus ditunggu,

takdir merupakan sesuatu yang harus dicapai”. (Destiny is not a matter of

chance, it is a matter of choice ; it is not a thing to be waited for, it is a thing

to be achieved) (Tasmara, 2000: 190)

Dari pemaparan singkat tentang makna hidup di atas, tampaklah

bahwa setiap orang harus mempunyai pengetahuan serta mengetahui

gambaran atau persepsi terhadap dirinya sendiri. Dia harus mampu membuat

rumusan-rumusan tentang arti dan tujuan hidup, sehingga dia mampu eksis

secara utuh sebagai manusia ragawi dan rohani dalam menghadapi segala

tantangan serta kewajiban-kewajibannya sebagai manusia dalam berbagai

dimensi dan peranannya. Untuk itu individu yang mengharapkan hidupnya

bermakna harus melakukan beberapa tindakan yang bersungguh-sungguh

diantaranya dengan cara (Tasmara, 2000: 195-200):

65

Pertama: melakukan perenungan secara mendalam, kelebihan manusia

diantara makhluk lainnya adalah kemampuannya untuk merenung yaitu

berpikir secara radikal mendasar, sehingga dia menemukan sebuah pertanyaan

abadi yang akan menggiring dirinya kepada sikap arif dan bijaksana. Dia

belajar mempertanyakan dirinya dalam berbagai hubungan yang mencakup

dimensi spiritual. Dia mempertanyakan untuk apa semuanya ini? Seluruh

perbuatan, pencapaian serta peran yang dimainkanya itu akhirnya untuk

diabdikan kepada siapa.

Kedua: membina hubungan sesuai dengan fitrah kelahirannya yang

membutuhkan pertolongan orang lain, maka manusia tidak mungkin

mengingkari kebutuhannya kepada orang lain tersebut, bahkan dia harus

mengembangkan dirinya justru dengan orang lain. Aku ada karena aku

bersama orang lain. Keberadaanku tanpa orang lain adalah sia-sia dan tidak

mempunyai makna.

Ketiga: menetapkan tujuan manusia ditentukan oleh cara dirinya

mantapkan tujuan. Perilakunya diitentukan apa yang diinginkannya. Arah

tindakannya, sikap dan bentuk keseluruhan dari manusia itu sangat ditentukan

apa yang dijadikannya dari manusia itu sangat ditentukan apa yang

dijadikannya sebagai tujuan.

Keempat: memperkirakan kendala, setelah menetapkan tujuan-

tujuannya dengan sadar selanjutnya seseorang harus membuat perencanaan-

perencanaan serta mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan

dihadapinya di masa datang setelah dia menetapkan atau mengambil

66

keputusan. Persiapan tersebut tidak saja menyangkut masalah-masalah yang

berkaitan dengan nilai ekonomis, tetapi juga dia mampu membuat perkiraan

yang menyeluruh. Kebiasaan-kebiasaan dirinya untuk memperkirakan masa

depan, atau mengantisipasi apa yang akan terjadi sebagai akibat dari

keputusannya, menyebabkan dirinya menjadi terlatih dan peka terhadap apa

yang akan terjadi.

Kelima : memperteguh keyakinan, tidak ada makna yang lebih

mendalam dari pada memperteguh keyakinan khususnya keimanan kita

sebagai makhluk Tuhan. Gambaran diri kita terhadap Tuhan secara utuh, dan

absolut. Sistem keyakinan ini pula yang akan menjadi fondasi dalam

menghadapi beban hidup dan sekaligus menjadi pembebas yang akan

mereduksi segala kendala batin atau pencapaian yang tidak sesuai dengan

harapan individu tersebut.

Keenam : dan terakhir bahwa meraih hasil dengan lapang dada,

mempersiapkan mental di dalam menghadapi kenyataan hidup,

mempersiapkan batin dalam hal menerima fakta dari hasil yang diraih

merupakan bagian dari keyakinan individu, sehingga apapun yang terjadi tetap

diterima dengan lapang dada, ketika hasil yang diperoleh jauh dari harapan,

dia tetap lapang hatinya dan segera mereduksi kekecewaannya dengan melihat

gambaran ke-Ilahian, begitu juga, ketika hasil yang diharapkan melampaui

keinginannya dia tidak kehilangan keseimbangan dan dikembalikan lagi

kepada makna keilahiannya dalam bentuk peribatin dan perilaku bersyukur.

67

Dari penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwasanya penggalian diri manusia

menurut Toto Tasmara diawali dan disandarkan pada penggalian potensi qalb. Potensi

qalb tersebut digali melalui tiga langkah, yakni melatih anak sejak dini dengan

mengenalkan pada lafadz-lafadz Ilahi; melatih anak sejak dini dengan melakukan

aktifitas illahiyah; mengenalkan dan membiasakan anak sejak usia dini dengan

syari’at atau aturan hidup sesuai dengan hukum Islam. Setelah terpenuhinya tiga

langkah tersebut, baru kemudian manusia difokuskan pada penggalian diri fisiknya

melalui pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pelatihan pengetahuan (akal),

pelatihan ketrampilan, dan pelatihan keahlian.

Melalui perpaduan dua penggalian pada diri manusia tersebut, penggalian qalb

dan penggalian fisik, akan terwujud manusia yang telah memiliki kesiapan dari segi

qalb dan fisik sehingga akan terbentuk manusia yang siap sedia dalam menghadapi

masalah di seputar kehidupannya. Secara tidak langsung, tujuan dari penggalian

potensi diri manusia tidak lain adalah membentuk manusia Islam yang utuh dan

memiliki kemampuan menyeluruh yang meliputi kemampuan rohaniah dengan

bersandar pada syari’at Islam dan kemampuan fisik (kaffah).

Menjadi seorang muslim berarti mengaktualisasikan iman, hal ini dikarenakan

iman pada hakikatnya sudah merupakan fitrah manusia, bahwa sejak dalam bentuk

ruh sudah diberi bahan untuk beriman, tetapi fitrah ini terpendam (latent) tertimbun

oleh berbagai pandangan hidup serta gengsi diri. Fitrah yang ditanamkan Allah,

menurut Toto Tasmara, ibarat bibit unggul yang disemai di setiap hati manusia, tetapi

karena ‘independensi” manusia telah dipakai dengan salah kaprah, maka bibit itu

menjadi penuh dengan berbagai bibit penyakit yang menggerogoti. Dia

68

mencontohkan Fir’aun, karena gengsi dan tiraninya lebih dominan di hatinya, maka

dia tergelincir dalam kesombongan kekuasaan.

Dengan sikap berserah diri sebagai suatu bentuk aktualisasi iman, bertahkim

dan mengabdi kepada Allah, sebenarnya Allah dengan segala rahmat dan rahimnya

ingin mengangkat manusia sebagai makhluk yang paling mulia di muka alam semesta

ini. Dengan Islam, manusia bebas dari segala ikatan penghambaan pada “benda dan

makhluk apapun”, sehingga prisnsip kemerdekaan, persamaan dan kedaulatan

menjadi satu sikap yang riil, bebas dari penafsiran hawa nafsu manusia. Inilah yang

diseru oleh para Nabi, dan Rasul, ini pula yang menjadi The Grand Mission semua

agama samawi di muka bumi. Dengan terbebasnya manusia dari “hawa nafsu”,

dirinya, maka jaminan perdamaian dan keselamatan dapat terwujud tanpa harus

mengambil risiko Al fasadu (kerusakan).

Eksistensi muslim kafah ini memiliki beberapa tipologi dalam berinteraksi

dengan eksistensi lainnya. Di antaranya dalam berhubungan dengan manusia atau

alam semesta potensi pikir mengambil peran yang dominan. Dia melakukan proses

perenungan (tafakur) terhadap alam semesta untuk menambah taqorub dirinya

dengan Allah. Diolahnya seluruh tanda kekuasaan Allah, diteliti dan diperiksa

sehingga menghasilkan ilmu. Hubungannya dengan manusia dan alam adalah

hubungan yang dinamis, tidak terpaku pada satu nuansa, tetapi penuh dengan

dinamika yang kreatif. Kebebasan berpikir untuk menggali potensi alam dijadikan

sebagai salah satu misi dirinya dalam mengolah bumi menjadi dunia, mengolah

matrial menjadi bentuk yang siap pakai demi meraih As Salam, kedamaian dan

kesejahteraan. Apabila di dalam posisi habluminallah, muslim adalah hamba Allah,

69

sebaliknya di dalam hablumminannaas, dia tampil sebagai khalifah, pemimpin yang

membawa pengaruh kepada alam dalam bentuk rahmatan lil ‘alamin.

Kehadiran seorang Muslim di tengah pergaulan manusia dan alam

memberikan nuansa kedamaian, sejahtera dan rahmat. Dia menjadi manusia yang

didambakan, karena kehadirannya akan memberikan manfaat. Merasa pedih dan

kecewa dirinya, apabila kehadiannya di tengah-tengah pergaulan dunia, tidak

memberikan makna, tidak ada pengaruh dan tidak diperhitungkan oleh

lingkungannya, ada dan tiadanya sama saja (wujuduh ka adamihi).

Hubungan dengan manusia dan alam semesta, muslim yang kafah ini, ingin

selalu memberikan nuansa As Salam yang merupakan karakter khas dari ajaran Islam

yang menuntut setiap penganutnya (muslim) untuk hidup dengan penuh pengabdian

yang utuh, sehingga membawa kedamaian di dalam pribadinya, dan kedamaian bagi

alam semesta, yang paling dominan dalam tingkah laku dan sikap hidupnya, adalah

sikap yang selalu membawa panji-panji perdamaian, sebagaimana tafsiran atas sabda

Rasulullah bahwa yang dimaksukan dengan Muslim itu ialah: “Tipikal manusia yang

menyebabkan orang lain merasa damai dan sejahtera dan terpelihara dari tangan

mulutnya”.

Islam sangat menolak dengan keras al fasad (kerusakan) sebagai salah satu

bentuk kekerasan (violence). Misi seorang Muslim sangat jelas, yaitu menyebarkan

“kedamaian”. Ayat-ayat yang menunjukkan suatu sikap preventip agar manusia

terhindar dari ambisi kekerasan (al-Fasadu) banyak di dalam Al-Qur’an, melalui

kata-kata yang sangat populer yaitu: “Ya’ muruuna bil ma ’ruf dan yanhauna ‘anil

munkar”.

70

Inilah misi seorang Muslim dalam posisi dan situasi bagaimanapun dia

berada. Mengajak manusia ke dalam aslama, penyerahan diri kepada hukum dan

ajaran Allah, dan mencegah manusia dari perbuatan pengingkaran ajaran tersebut,

yang hanya akan menimbulkan kehancuran, tidak saja bagi dirinya tetapi bagi

masyarakat dengan segala budayanya.

BAB IV

ANALISIS PENGGALIAN POTENSI DIRI MANUSIA MENURUT TOTO

TASMARA DALAM BUKU MENUJU MUSLIM KAFFAH : MENGGALI

POTENSI DIRI MANUSIA

4.1.Penggalian Diri Manusia Menurut Toto Tasmara

Manusia dalam pandangan Toto Tasmara adalah makhluk yang paling

sempurna di antara makhluk Allah lainnya. Kesempurnaan yang membedakan antara

manusia dengan makhluk lain tersebut adalah keberadaan akal pikiran. Selain itu,

manusia juga memiliki elemen penyusun diri yang terdiri dari unsur rohani dan

jasmani yang mana keduanya memiliki kemampuan untuk berkembang sesuai dengan

keinginan diri manusia. Oleh karena itu, menurut Toto Tasmara, diperlukan sebuah

langkah penggalian potensi dalam diri manusia untuk mewujudkan manusia yang siap

jasmani maupun rohaninya dalam menghadapi hidup dan berkehidupan.

Penggalian diri manusia tersebut, sebagaimana telah dijelaskan pada bab

sebelumnya (bab III), terdiri dari penggalian potensi diri dalam lingkup potensi fisik

maupun potensi non fisik yang mana terpusat dan berakar pada potensi non fisik

(rohaniah). Potensi non fisik yang dimiliki oleh manusia yang dimaksud oleh Toto

Tasmara adalah potensi qalbu.

Apa yang dikemukakan oleh Toto Tasmara, menurut penulis, merupakan

suatu “tindak lanjut” dari penjelasan Allah mengenai keberadaan jiwa (nafs) dalam

diri manusia sebagaimana disebutkan dalam surat asy-Syams ayat 7

﴾7﴿ونفس وما سواها “dan jiwa serta penyempurnaannya” Beberapa ahli psikologi menyatakan bahwasanya kejiwaan dan fisik manusia

merupakan dua hal yang saling berkaitan dan memiliki hubungan keterpengaruhan.

Menurut dr. Makmuri M.S. psikis dan fisik itu merupakan satu kesatuan yang tidak

dapat dipisah-pisahkan, sehingga setiap terjadi problema mental pada individu pasti

akan mempengaruhi efektifitas dari fisik dan juga sebaliknya setiap terjadi perubahan

kondisi fisik akan mempengaruhi pula kondisi mentalnya walaupun tidak selalu dapat

terlihat dari luar (http://www.psikologi_ugm).

Pendapat yang sama juga diberikan oleh Musbikin (2006: 81) yang

menyatakan bahwa fisik dan psikis merupakan satu kesatuan dalam eksistensi

manusia yang menyangkut kesehatannya, juga terdapat adanya saling berhubungan

antara kesehatan fisik dan psikis dan saling mempengaruhi antara keduanya. Lebih

lanjut, Goldberg, sebagaimana dikutip oleh Latipun Moelyono (2002: 10),

mengungkapkan terdapat tiga kemungkinan hubungan antara sakit secara fisik dan

mental ini. Pertama; orang mengalami sakit mental disebabkan oleh sakit fisiknya.

Karena kondisi fisiknya tidak sehat, dia tertekan sehingga menimbulkan akibat

sekunder berupa gangguan secara mental. Kedua; sakit fisik yang diderita itu

sebenarnya gejala gangguan mental. Ketiga; antara gangguan mental dan sakit secara

fisik menimbulkan gangguan secara mental, dan gangguan mental itu turut

memperparah sakitnya.

Pengaruh unsur fisik (biologi) terhadap unsur psikis dapat terjadi karena

adanya unsur-unsur perubahan kelenjar yang tidak seimbang yang berakibat pada

ketidaknormalan hormon dalam tubuh manusia yang menyebabkan perubahan kondisi

kesehatan psikis manusia. Salah satu contoh kecil dari pengaruh fisik terhadap psikis

manusia misalnya adalah ketika seseorang telah memakan makanan yang banyak

mengandung unsur minyak akan menimbulkan rasa lesu dan ingin tidur. Contoh

lainnya adalah bagaimana proses berfikir manusia yang akan berbeda akibat adanya

sikap dan posisi duduk dari manusia (el-Quussy, 1974: 77).

Sedangkan contoh dari pengaruh psikis terhadap kondisi kesehatan fisik

manusia adalah hubungan keadaan emosi dengan proses buang air besar. Hal ini

dapat dijelaskan bahwasanya seseorang yang memiliki tingkat rasa cemas tinggi akan

mengalami kesulitan dalam proses buang air besar. Contoh lain adalah hubungan

antara frekuensi marah dengan keadaan pencernaan manusia (el-Quussy, 1974: 77).

Bahkan Kartini Kartono (1998 : 17) menyatakan bahwa banyak sekali

gangguan jasmani yang disebabkan gangguan rohani atau jiwa, istilah dalam

kedokteran disebut psikosomatik yaitu adanya gangguan fisik yang disebabkan oleh

ketegangan emosional.

Jika mengacu pada pendapat-pendapat para tokoh, khususnya pada pendapat

Kartini Kartono, maka pendapat yang dinyatakan oleh Toto Tasmara merupakan

sebuah pendapat yang relevan dengan konteks kebahagiaan diri manusia. Hal ini

dapat diperkuat dengan pendapat Zakiah Daradjat (1982: 16) yang menyebutkan

bahwasanya kebahagiaan dan ketenteraman hidup manusia tidak tergantung pada

faktor luar seperti, keadaan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya melainkan lebih

terpengaruh pada cara dan sikap dalam menghadapi factor-faktor tersebut. Orang

yang sehat mentalnya, meskipun menghadapi goncangan ekonomi yang tidak stabil

akan tetap tenang dan tidak mudah putus asa, pesimis atau apatis. Sebaliknya bagi

orang yang terganggu keadaan mentalnya akan mempengaruhi keseluruhan hidupnya.

Pengaruh itu meliputi perasaan, pikiran, kecerdasan, perilaku dan kesehatan.

Pengaruh gangguan kesehatan mental terhadap perasaan meliputi rasa cemas,

iri hati, gelisah, sedih, merasa rendah diri, pemarah, bimbang, dan sebagainya.

Gangguan terhadap pikiran seperti, sering lupa, tidak mengkonsentrasikan pikiran

tentang sesuatu yang penting, dan kemampuan berfikir menurun, sedangkan

gangguan terhadap perilaku bervariasi bentuknya seperti tindak criminal, agresif, dan

destruktif (Daradjat, 1982: 16).

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya

kebahagiaan, ketenteraman, dan ketenangan hidup tidak dapat diukur dari keberadaan

materi sebagai media pemenuhan kebutuhan fisik manusia, namun juga diukur dari

keadaan jiwa manusia. Oleh karena itu, Toto Tasmara menyebutkan bahwasanya

pusat penggalian potensi diri manusia, yang meliputi potensi qalbu dan potensi fisik,

harus berpusat dan berawal dari penggalian potensi qalbu.

Selain pendapat para tokoh psikologi, pendapat Toto Tasmara juga dapat

dijelaskan melalui sebuah hadits Nabi yang menjelaskan bahwasanya seluruh

perbuatan manusia bermula dari keadaan hati manusia itu sendiri.

: ... م يقول.عن أىب عبد اهللا النعمان ابن بشري رضي اهللا عنهما قال مسعت رسول اهللا صوهي إن يف اجلسد مضغة إذا صلحت صلح اجلسد كله وإذا فسدت فسد اجلسد كله أال

)رواه البخارى و مسلم(القلب

“Dari Abi Abdillah an-Nu’man bin Basyir r.a. telah berkata: aku telah mendengar Rasulullah Saw telah bersabda: … Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya dan jika ia rusak, rusaklah jasad seluruhnya. Ingatlah! Itu adalah hati (H.R. Bukhari dan Muslim) (Dahlan, 1985: 18-20).

Berdasarkan hadits Nabi tersebut dapat dimengerti bahwasanya setiap

perbuatan manusia bermula dari hati manusia. Jika keadaan hati manusia bersih,

maka perbuatan yang akan dihasilkan juga akan bersih. Namun jika hati manusia

tersebut kotor, maka akan kotor pula segala perbuatan manusia. Oleh karena itu hati

memerlukan “makanan” yang baik. Di sinilah letak relevansi pemikiran Toto

Tasmara bahwasanya secara tidak langsung “tidak perlu” dilakukan penggalian

potensi fisik manusia sebelum adanya penggalian potensi qalbu manusia tersebut.

Penggalian potensi qalbu, lebih lanjut dijelaskan oleh Toto Tasmara, dapat

dilakukan dengan menempuh jalan-jalan Ilahiyah berupa ibadah, baik ibadah yang

bersifat pribadi maupun ibadah sosial.

Penggalian potensi qalbu melalui pelaksanaan ibadah bertujuan agar manusia

selalu ingat kepada Allah. Semakin seringnya manusia mengingat Allah maka

manusia akan semakin menemukan kedekatan diri manusia dengan Allah. Dengan

kedekatan manusia dengan Allah tersebut akan menghasilkan sebuah rasa ketenangan

bagi diri manusia. Hal ini seperti telah dijanjikan sendiri oleh Allah dalam salah satu

firman-Nya, surat ar-Ra’du ayat 28, yang menyebutkan

القلوب نئطمت كر اللهألا بذ كر اللهبذ مهقلوب نئطمتوا ونآم ين28﴿الذ﴾

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” Dengan mendasarkan pada isi kandungan surat ar-Ra’du ayat 28, maka dapat

dimengerti mengapa Toto Tasmara lebih mendahulukan penggalian potensi qalbu

ketimbang penggalian potensi fisik manusia. Melalui penggalian potensi qalbu, Toto

Tasmara bermaksud agar manusia memiliki fondasi keimanan yang kuat terlebih

dahulu sebelum diberikan materi-materi yang berkaitan dengan pengembangan

potensi fisik manusia. Sehingga nantinya ketika manusia tersebut telah memiliki

keimanan yang kuat (dengan adanya penggalian potensi qalb), manusia akan

memiliki dasar yang benar dalam mengaktualisasikan potensi fisik manusia. Hal ini,

menurut penulis, tidak berlebihan karena banyak dari manusia yang memiliki

kemampuan fisik yang baik namun karena tidak memiliki dasar keimanan banyak

dari mereka yang menyimpang dari syari’at agama maupun norma kebenaran sosial

lainnya.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwasanya penggalian potensi qalbu

manusia menurut Toto Tasmara pada akhirnya akan membantu manusia dalam

melakukan penggalian potensi fisik mereka. Terutama dalam hal landasan keimanan

yang harus menjadi dasar segala perbuatan fisik manusia.

Secara lebih jelasnya, pemusatan penggalian potensi diri manusia pada

penggalian potensi qalb yang akan berdampak pada potensi fisik manusia dapat

digambarkan sebagai berikut:

BAGAN

HUBUNGAN PENGGALIAN POTENSI QALB MANUSIA

DENGAN PENGGALIAN DAN PEMBENTUKAN POTENSI FISIK MANUSIA

POTENSI DIRI

MAKANAN HATI

MAKANAN FISIK

POTENSI QALB

POTENSI FISIK

KEMAMPUAN DIRI (JASMANI) YANG

MEMPUNYAI DASAR KEIMANAN (ROHANI)

- Pelatihan Pengetahuan - Pelatihan Ketrampilan - Pelatihan Keahlian

- Pelatihan Lafadz Ilahi - Pelatihan aktifitas

ibadah - Pemahaman akan

Syari’at

MUSLIM KAFFAH

4.2. Penggalian Diri Manusia Menurut Toto Tasmara dalam Tinjauan Bimbingan

dan Konseling Islam

Dalam konteks Islam, manusia mempunyai sifat-sifat atau keadaan sebagai

berikut:

1. Manusia terdiri dari berbagai unsur yang menjadi satu kesatuan yang tidak

terpisahkan.

2. Manusia memiliki empat fungsi, yakni sebagai makhluk Allah, makhluk individu,

makhluk sosial, dan khalifatullah.

3. Manusia memiliki sifat utama dan juga kelemahan-kelemahan sekaligus

4. Manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya (Faqih, 2001: 6).

Keempat sifat dan keadaan tersebut merupakan kodrat manusia dari Allah

yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari dalam diri manusia, dengan berbagai macam

cara sekalipun. Untuk itulah Islam menegaskan perlunya individu manusia untuk

saling mengingatkan antar individu mengenai sifat dan keadaan dirinya. Oleh karena

itu, dalam konteks bimbingan dan konseling Islam, sebuah bimbingan dan konseling

ditujukan untuk membantu individu manusia dalam mencapai cita-cita sebagai

manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Untuk

itulah, dalam bimbingan dan konseling Islam, terdapat beberapa asas yang dijadikan

dasar kegiatan bimbingan dan konseling Islam, yaitu:

1. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat

2. Asas fitrah

3. Asas kesatuan jasmani dan rohani

4. Asas keseimbangan rohaniah

5. Asas kemaujudan individu

6. Asas sosialitas manusia

7. Asas kekhalifahan manusia

8. Asas keselarasan dan keadilan

Jika mengacu pada asas-asas dalam proses bimbingan dan konseling Islam,

kaitannya dengan pemikiran Toto Tasmara tentang penggalian potensi diri manusia,

maka dapat diketahui bahwasanya apa yang menjadi pemikiran Toto Tasmara

terdapat dalam asas-asas bimbingan dan konseling Islam. Namun jika diperhatikan,

ada perbedaan dan persamaan antara asas dalam bimbingan konseling Islam dengan

asas penggalian potensi diri manusia menurut Toto Tasmara.

Perbedaan tersebut adalah perbedaan pentingnya asas rohaniah; di mana

dalam bimbingan dan konseling Islam menjadi asas yang keenam sedangkan menurut

Toto Tasmara adalah asas paling mendasar dalam upaya membentuk manusia Islam

seutuhnya.

Menurut penulis, ketiadaan asas kebahagiaan hidup dunia-akhirat, fitrah,

bimbingan semur hidup, dan kesatuan jasmani-rohani pada asas penggalian potensi

diri manusia dalam pemikiran Toto Tasmara, karena secara tidak langsung asas qalbu

yang menjadi asas dasar penggalian potensi diri manusia mewakili lima asas tersebut.

Hal ini dapat dijelaskan bahwasanya keberadaan qalbu tidak lepas dari awal

kehidupan manusia yang mana melalui qalbu tersebut telah terjalin janji hubungan

antara manusia dengan Allah yang di dalamnya tentu terkandung kelima asas

tersebut. Perjanjian hubungan antara Allah dengan manusia itu dijelaskan Allah

dalam salah satu firman-Nya, surat al-A’raf ayat 172 yang menjelaskan mengenai

kesaksian sulbu atas ke-Esaan Allah sebagai Rabb.

Dengan memperhatikan isi firman Allah tersebut, jelaslah bahwasanya jiwa,

sulbi, ataupun qalb merupakan wilayah dalam diri manusia yang menjadi awal

“bekerjanya” manusia, sebelum lahir wujud fisik manusia di dunia. Kerja tersebut

adalah “ucapan” janji qalb kepada Allah tentang pengakuan bahwa tidak ada Tuhan

selain Allah, dan juga qalb sekaligus menjadi saksi atas janji tersebut. Di samping

sebagai penjelasan mengenai kesaksian sulbi, ayat di atas sekaligus, meskipun tidak

secara langsung, juga menyertakan jaminan kebahagiaan hidup manusia di dunia

maupun di akhirat manakala dalam kehidupan di dunia, manusia mengingat dan

mendasarkan kehidupan mereka pada janji yang telah terucapkan oleh sulbi.

Selain itu, ayat 172 dari surat al-A’raf juga menegaskan bahwasanya segala

yang berasal dari jiwa manusia haruslah berdasar pada Lillahi ta’ala; semuanya untuk

Allah, sebagai implementasi dari janji setia tersebut. Baru kemudian setelah adanya

wujud manusia, maka barulah Allah menjelaskan mengenai tugas kemanusiaan yang

terpokok yakni melakukan ibadah kepada-Nya sebagaimana termaktub dalam surat

adz-Dzariyat ayat 56 tentang kewajiban manusia atas penciptaannya.

Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwasanya penggabungan isi

kandungan dua firman Allah tersebut di atas, secara tidak langsung adalah

penggabungan kesatuan antara rohaniah dan jasmaniah manusia. Jadi sebenarnya

pokok dari segala perbuatan manusia adalah keberadaan jiwa, di mana Allah sendiri

telah mencontohkan dengan kesaksian manusia yang dinyatakan pertama kali oleh

hati manusia. Oleh karena itu, dalam penggalian potensi diri manusia langkah awal

adalah penggalian potensi-potensi qalbu dengan menata qalbu (hati).

Dengan adanya penataan hati, maka manusia akan dapat mengatur diri mereka

dalam menghadapi maupun menyelesaikan masalah kehidupannya. Sebab dengan

keadaan hati yang bersih, maka segala perbuatan yang meliputi pikiran dan perilaku

juga akan bersih. Hal ini sangat relevan dengan tujuan utama dari bimbingan dan

konseling Islam. Selain itu, dengan tertatanya hati melalui aktifitas dzikrullah,

peluang manusia terkena masalah akan lebih kecil karena telah dijanjikan sendiri oleh

Allah bahwa orang yang banyak berdzikir akan menemukan ketenangan hidup.

Kemudian, setelah terbentuknya dan berkembangnya potensi qalb pada diri

manusia, barulah ketrampilan-ketrampilan yang berkaitan dengan fisik manusia

diajarkan. Sehingga dari proses tersebut akan diperoleh perwujudan manusia yang

siap secara rohani dan jasmani untuk mengarungi kehidupan di dunia, baik sebagai

makhluk individu, makhluk Allah, maupun makhluk sosial yang berlandaskan pada

keimanan, kasih sayang, dan motivasi hidup yang positif guna mencapai kebahagiaan

hidup di dunia dan di akhirat.

Dengan demikian, menurut penulis, sebenarnya apa yang menjadi pemikiran

Toto Tasmara memiliki relevansi dengan apa yang ada dalam bimbingan dan

konseling Islam. Kalaupun ada perbedaan, hal itu hanya sebatas pada perbedaan

istilah di mana kelima asas dalam bimbingan dan konseling Islam merupakan

penjabaran dari keberadaan qalb sebagaimana Allah memperlakukan qalb manakala

mengambil janji setia manusia kepada-Nya seperti telah termaktub dalam firman-Nya

surat al-A’raf ayat 172. Pentingnya penggalian potensi qalb sebagai dasar dalam

proses bimbingan kepada manusia juga dijelaskan oleh Nabi dalam haditsnya yang

menerangkan tentang peran penting hati bagi seluruh perbuatan manusia.

BAGAN

PEMIKIRAN TOTO TASMARA TENTANG PENGGALIAN DIRI DALAM TINJAUAN BIMBINGAN KONSELING

ISLAM

Penggalian potensi diri Toto Tasmara

Penggalian potensi

rohani (qalb)

Penggalian potensi fisik

Pengenalan lafadz Allah

Pelatihan ibadah

Pemahaman syari’at

Pelatihan ketrampilan

Pelatihan pengetahuan

Pelatihan keahlian

Fungsi BKI

Kuratif

Preventif

Preservatif

Developmental

77

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Penggalian potensi diri manusia menurut Toto Tasmara dilakukan dengan

mendahulukan pada penggalian potensi qalbu. Penggalian potensi qalbu

tersebut dilakukan dengan melalui jalur-jalur Ilahiyah (ibadah).

Keberadaan ibadah untuk mengingat Allah akan membantu manusia dalam

mengembangkan potensi qalbunya, sebab dengan semakin dekat dan

kenalnya manusia kepada Allah, maka manusia tersebut akan semakin

menemukan ketenangan dalam hidupnya.

Melalui penggalian potensi qalbu, Toto Tasmara bermaksud agar manusia

memiliki fondasi keimanan yang kuat terlebih dahulu sebelum diberikan

materi-materi yang berkaitan dengan pengembangan potensi fisik manusia.

Sehingga nantinya ketika manusia tersebut telah memiliki keimanan yang

kuat (dengan adanya penggalian potensi qalb), manusia akan memiliki

dasar yang benar dalam mengaktualisasikan potensi fisik manusia. Hal ini,

tidak berlebihan karena banyak dari manusia yang memiliki kemampuan

fisik yang baik namun karena tidak memiliki dasar keimanan banyak dari

mereka yang menyimpang dari syari’at agama maupun norma kebenaran

sosial lainnya..

2. Pemikiran Toto Tasmara memiliki relevansi dengan apa yang ada dalam

bimbingan dan konseling Islam. Kalaupun ada perbedaan, hal itu hanya

sebatas pada perbedaan istilah di mana kelima asas dalam bimbingan dan

konseling Islam merupakan penjabaran dari keberadaan qalb sebagaimana

Allah memperlakukan qalb manakala mengambil janji setia manusia

kepada-Nya seperti telah termaktub dalam firman-Nya surat al-A’raf ayat

172. Pentingnya penggalian potensi qalb sebagai dasar dalam proses

bimbingan kepada manusia juga dijelaskan oleh Nabi dalam haditsnya

yang menerangkan tentang peran penting hati bagi seluruh perbuatan

manusia.

B. Saran-Saran

Setelah memperhatikan dan menganalisa pemikiran Toto Tasmara,

maka penulis memiliki saran yakni ada baiknya instansi yang berhubungan

dengan bimbingan dan konseling Islam, dalam perkembangan pelaksanaannya

perlu melakukan pengembangan metodis melalui penyatuan atau

penggabungan beberapa metode bimbingan dan konseling Islam yang sesuai

dengan tujuan dan fungsi bimbingan dan konseling Islam.

C. Penutup

Demikian paparan hasil penelitian yang dapat penulis sampaikan

dengan penuh keterbatasan dan kekurangan yang ada pada diri penulis. Oleh

karenanya kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan

dari pembaca demi mencapai kesempurnaan sebuah karya manusia. Semoga

karya ini memiliki nilai manfaat bagi kita semua, dan akhirnya tiada kata lain

yang pantas terucap selain al-Hamdulillahirobbil’alamin likulli ni’matihi

‘alayyaa.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Abidin, Zainal “Studi Komparatif tentang Kepribadian dan Kesehatan Mental Antara Konsep Islam dengan Psikoanalisa Sigmund Freud serta Implikasinya terhadap Bimbingan dan Penyuluhan Islam”, Skripsi, Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 2003.

Amina Wadud, Qur’an menurut Perempuan, Jakarta: Serambi, 2006

Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000

Latipun Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, Malang: UMM Press, 2002.

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002

M. Abdul Halim, Memahami Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Marja’, 2002

M. Ishom El-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa Al-Qur’an, Jakarta: PT. Lista Fariska Putra, 2005

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1998

Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Cet. XXIV, Yogyakarta: Andi Offset, 1993

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1996.

Tasmara, Toto, Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri Manusia, Bandung: Mizan, 2000.