Peranan Bakteri Wolbachia Pada Patogenesis Filariasis

6
107 CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014 TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Nematoda jaringan filaria adalah cacing parasit manusia yang umumnya terdapat di daerah tropis. Cacing filaria menyebabkan penyakit yang dikenal dengan filariasis. Filariasis limfatik dikenal sebagai salah satu penyakit penyebab kecacatan yang sangat hebat di seluruh dunia. Diperkirakan lebih dari 150 juta penduduk dunia di daerah miskin dan kumuh terinfeksi oleh cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, dan lebih dari 1,3 milyar penduduk dunia dan tersebar pada lebih dari 80 negara mempunyai risiko terinfeksi filariasis limfatik. Filariasis limfatik adalah infeksi parasit pada pembuluh atau kelenjar limfe yang disebabkan oleh ketiga parasit yang telah disebutkan terdahulu. Sembilan puluh persen dari total keseluruhan penyakit filariasis limfatik pada seluruh dunia disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti dan sisanya oleh spesies Brugia. Infeksi cacing Wuchereria bancrofti menyebabkan hidrokel, kiluria ataupun limfedema, sedangkan infeksi cacing Brugia menyebabkan limfedema ataupun elefantiasis tetapi tidak pernah melibatkan organ genital. Lebih dari 27 juta pria di seluruh dunia diketahui menderita hidrokel, serta lebih dari 15 juta penduduk dunia menderita elefantiasis dan limfedema. 1-4 Di Indonesia, prevalensi filariasis ternyata tetap tinggi dan sampai saat ini, masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan survei tahun 2000-2004, terdapat lebih dari 8.000 penderita elefantiasis dan tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan bahwa lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah berisiko tinggi tertular filariasis, 6 juta di antaranya telah terinfeksi. Meskipun sejak tahun 1970 sudah dilaksanakan pemberantasan filaria, upaya tersebut agaknya masih menemui kendala sehingga angka penularan filariasis masih tinggi. Walaupun penyakit ini diketahui tidak menyebabkan kematian, berkurangnya produktivitas kerja dan cacat yang ditimbulkan akan menjadi beban sosial ekonomi, baik bagi penderita, ABSTRAK Diperkirakan saat ini sekitar 150 juta penduduk di seluruh dunia terinfeksi filariasis terutama penduduk di kantong-kantong kemiskinan di daerah tropis termasuk Indonesia. Penyebab filariasis berupa nematoda jaringan, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Wolbachia pipientis sebagai bakteri yang diketahui berendosimbion dengan cacing filaria mempunyai peranan pada patogenesis inflamasi filariasis. Inflamasi diakibatkan oleh lipoprotein Wolbachia yang terpapar pada respon imun manusia diperantarai jalur TLR2/6 saat bakteri Wolbachia terbebas ke peredaran darah setelah kematian dan degenerasi cacing dewasa maupun microfilaria. Bakteri Wolbachia hanya mempunyai gen Ltg dan LspA untuk biosintesis lipoprotein, tetapi tidak mempunyai gen Lnt mengisyaratkan bahwa lipoprotein Wolbachia berbentuk diasil sehingga merupakan ligan yang cocok dengan TLR2/6. Inflamasi akibat lipoprotein Wolbachia akan memicu peningkatan sitokin proinflamasi. Sitokin proinflamasi akan meningkatkan induksi VEGF-A dan VEGF-C yang sangat berkontribusi pada patogenesis limfedema dan hidrokel pada penderita filariasis. Kata kunci: Filariasis, TLR, VEGF, Wolbachia ABSTRACT It is estimated that more than 150 million people in the world are infected by the filarial disease, especially among poor communities in tropic regions, including Indonesia. The cause of this lymphatic filariasis are Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, and Brugia timori. Wolbachia pipientis, an obligate intracellular bacterium, is an endosymbiont of the filarial parasite, have a very important role in the pathogenesis of lymphatic filariasis. Inflammation is caused by the Wolbachia lipoprotein which are liberated after the death of adult parasite or microfilariae and exposed to the host immune system and is mediated by TLR2/6. Wolbachia only have Ltg dan LspA genes for the lipoprotein biosynthesis, but do not possess the Lnt gene. These findings confirm that Wolbachia lipoprotein is diacylated, so it is a match ligand with TLR2/6. Inflammation caused by Wolbachia lipoprotein increased pro-inflammation cytokine. The pro-inflammation cytokine will cause induction of VEGF-A dan VEGF-C, contributing to the lymphedema and hydrocele pathogenesis in lymphatic filariasis. Suriyani. Role of Wolbachia on Filariasis Pathogenesis. Key words: Filariasis, TLR, VEGF, Wolbachia Peranan Bakteri Wolbachia pada Patogenesis Filariasis Suriyani Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta, Indonesia Alamat korespondensi email: [email protected]

description

Peranan Bakteri Wolbachia Pada Patogenesis Filariasis

Transcript of Peranan Bakteri Wolbachia Pada Patogenesis Filariasis

Page 1: Peranan Bakteri Wolbachia Pada Patogenesis Filariasis

107CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUANNematoda jaringan fi laria adalah cacing parasit manusia yang umumnya terdapat di daerah tropis. Cacing fi laria menyebabkan penyakit yang dikenal dengan fi lariasis. Filariasis limfatik dikenal sebagai salah satu penyakit penyebab kecacatan yang sangat hebat di seluruh dunia. Diperkirakan lebih dari 150 juta penduduk dunia di daerah miskin dan kumuh terinfeksi oleh cacing fi laria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, dan lebih dari 1,3 milyar penduduk dunia dan tersebar pada lebih dari 80 negara mempunyai risiko terinfeksi fi lariasis limfatik. Filariasis limfatik adalah infeksi parasit pada pembuluh atau kelenjar limfe yang disebabkan oleh ketiga

parasit yang telah disebutkan terdahulu. Sembilan puluh persen dari total keseluruhan penyakit fi lariasis limfatik pada seluruh dunia disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti dan sisanya oleh spesies Brugia. Infeksi cacing Wuchereria bancrofti menyebabkan hidrokel, kiluria ataupun limfedema, sedangkan infeksi cacing Brugia menyebabkan limfedema ataupun elefantiasis tetapi tidak pernah melibatkan organ genital. Lebih dari 27 juta pria di seluruh dunia diketahui menderita hidrokel, serta lebih dari 15 juta penduduk dunia menderita elefantiasis dan limfedema.1-4

Di Indonesia, prevalensi fi lariasis ternyata tetap tinggi dan sampai saat ini, masih

merupakan masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan survei tahun 2000-2004, terdapat lebih dari 8.000 penderita elefantiasis dan tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan bahwa lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah berisiko tinggi tertular fi lariasis, 6 juta di antaranya telah terinfeksi. Meskipun sejak tahun 1970 sudah dilaksanakan pemberantasan fi laria, upaya tersebut agaknya masih menemui kendala sehingga angka penularan fi lariasis masih tinggi. Walaupun penyakit ini diketahui tidak menyebabkan kematian, berkurangnya produktivitas kerja dan cacat yang ditimbulkan akan menjadi beban sosial ekonomi, baik bagi penderita,

ABSTRAKDiperkirakan saat ini sekitar 150 juta penduduk di seluruh dunia terinfeksi fi lariasis terutama penduduk di kantong-kantong kemiskinan di daerah tropis termasuk Indonesia. Penyebab fi lariasis berupa nematoda jaringan, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Wolbachia pipientis sebagai bakteri yang diketahui berendosimbion dengan cacing fi laria mempunyai peranan pada patogenesis infl amasi fi lariasis. Infl amasi diakibatkan oleh lipoprotein Wolbachia yang terpapar pada respon imun manusia diperantarai jalur TLR2/6 saat bakteri Wolbachia terbebas ke peredaran darah setelah kematian dan degenerasi cacing dewasa maupun microfi laria. Bakteri Wolbachia hanya mempunyai gen Ltg dan LspA untuk biosintesis lipoprotein, tetapi tidak mempunyai gen Lnt mengisyaratkan bahwa lipoprotein Wolbachia berbentuk diasil sehingga merupakan ligan yang cocok dengan TLR2/6. Infl amasi akibat lipoprotein Wolbachia akan memicu peningkatan sitokin proinfl amasi. Sitokin proinfl amasi akan meningkatkan induksi VEGF-A dan VEGF-C yang sangat berkontribusi pada patogenesis limfedema dan hidrokel pada penderita fi lariasis.

Kata kunci: Filariasis, TLR, VEGF, Wolbachia

ABSTRACTIt is estimated that more than 150 million people in the world are infected by the fi larial disease, especially among poor communities in tropic regions, including Indonesia. The cause of this lymphatic fi lariasis are Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, and Brugia timori. Wolbachia pipientis, an obligate intracellular bacterium, is an endosymbiont of the fi larial parasite, have a very important role in the pathogenesis of lymphatic fi lariasis. Infl ammation is caused by the Wolbachia lipoprotein which are liberated after the death of adult parasite or microfi lariae and exposed to the host immune system and is mediated by TLR2/6. Wolbachia only have Ltg dan LspA genes for the lipoprotein biosynthesis, but do not possess the Lnt gene. These fi ndings confi rm that Wolbachia lipoprotein is diacylated, so it is a match ligand with TLR2/6. Infl ammation caused by Wolbachia lipoprotein increased pro-infl ammation cytokine. The pro-infl ammation cytokine will cause induction of VEGF-A dan VEGF-C, contributing to the lymphedema and hydrocele pathogenesis in lymphatic fi lariasis. Suriyani. Role of Wolbachia on Filariasis Pathogenesis.

Key words: Filariasis, TLR, VEGF, Wolbachia

Peranan Bakteri Wolbachia pada Patogenesis Filariasis

Suriyani Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta, Indonesia

Alamat korespondensi email: [email protected]

Page 2: Peranan Bakteri Wolbachia Pada Patogenesis Filariasis

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014108

TINJAUAN PUSTAKA

keluarga, maupun masyarakat.4,5

SIKLUS HIDUP FILARIAJika mikrofi laria dalam darah perifer penderita fi lariasis terhisap oleh nyamuk, di dalam lambung nyamuk mikrofi laria tersebut akan segera melepaskan sarung/selubungnya dan menembus dinding lambung nyamuk agar tidak tercerna. Selanjutnya, setelah menembus dinding lambung nyamuk, mikrofi laria akan bergerak menuju otot toraks nyamuk dan akhirnya berturut-turut berubah menjadi larva stadium I, II, dan III. Setelah terbentuk larva stadium III, larva tersebut akan segera meninggalkan otot toraks,

menuju serta masuk ke dalam kelenjar liur nyamuk. Selanjutnya, ketika nyamuk tersebut mengisap darah manusia lain, larva stadium III dalam kelenjar liur akan keluar dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva III akan masuk secara aktif melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak melalui vena menuju sistem limfe untuk kemudian bersarang dalam pembuluh atau kelenjar limfe setempat.4-6

Larva stadium III Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan larva stadium III Wuchereria bancrofti memerlukan

waktu lebih lama untuk menjadi cacing dewasa, yaitu sekitar 9-12 bulan. Pada tahap berikutnya, terjadi pembentukan mikrofi laria dalam tubuh cacing betina dewasa yang telah difertilisasi oleh cacing jantan. Diperkirakan cacing betina dapat mengeluarkan mikrofi laria sekitar 5 sampai 8 tahun. Sebagian mikrofi laria akan masuk ke peredaran darah dan bertahan selama 1 sampai 2 tahun. Siklus hidup tersebut terulang kembali jika mikrofi laria dalam darah manusia terhisap lagi oleh nyamuk.4-6

Gambar 3 Mikrofi laria Wuchereria bancrofi

(Sumber: http://www.stanford.edu/class/humbio103/

ParaSites2006/Lymphatic_fi lariasis/Introduction.htm)

Gambar 4 A. Mikrofi laria Brugia malayi. B. Mikrofi laria Brugia

timori.

(Sumber: http://www.phsource.us/PH/PARA/Chapter_10.

htm)

BAKTERI WOLBACHIA SEBAGAI ENDOSIMBION FILARIASuatu fenomena unik cacing fi laria adalah ketergantungan mutlak pada bakteri intraseluler Wolbachia, yang sangat diperlukan untuk menunjang perkembangan dan

Gambar 2 Siklus hidup cacing fi laria

(Sumber: http://www.btinternet.com/~ukneqas.parasitologyscheme)

Negara endemis

Gambar 1 Gambaran endemisitas fi lariasis

(Sumber: http://sprojects.mmi.mcgill.ca/tropmed/disease/fi la/geo.htm)

Page 3: Peranan Bakteri Wolbachia Pada Patogenesis Filariasis

109CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

fertilitas cacing fi laria. Bakteri ini ditemukan pada semua stadium hidup cacing fi laria, yaitu dari stadium cacing dewasa dan mikrofi laria pada tubuh hospes (dalam hal ini manusia) serta pada stadium larva I, II, III pada nyamuk. Bakteri Wolbachia ini berbentuk pleiomorfi k dengan panjang antara 0,2-4 μm. Bakteri tidak akan bertambah (jumlah bakteri bersifat statis) pada mikrofi laria dan pada stadium larva II dan III pada tubuh nyamuk. Pada stadium II dan III di tubuh nyamuk inilah jumlah bakteri Wolbachia sebagai endosimbion pada cacing fi laria mencapai titik paling rendah. Pada minggu pertama post infeksi terutama pada hari ke-9 pasca-infeksi pada manusia, jumlah bakteri akan bertambah secara drastis dan akan mencapai jumlah terbanyak sepanjang siklus hidup fi laria. Pertumbuhan bakteri yang cepat ini akan terus berlanjut sampai larva stadium IV dan kemudian stabil pada stadium cacing dewasa. Pada cacing betina khususnya, jumlah bakteri akan bertambah seiring dengan maturitas cacing dan organ genital cacing betina tersebut.1

Genus Wolbachia termasuk grup bakteri intraseluler yang umumnya terdapat pada arthropoda (serangga, laba-laba, kutu, dan crustacea). Genus ini termasuk famili Anaplasmataceae, ordo Rickettsiales (alphaproteobacteria). Hanya ada 1 spesies

yang termasuk dalam genus ini, yaitu Wolbachia pipientis. Meskipun hanya 1 spesies, genus ini mempunyai diversitas molekular yang sangat bervariasi. Berdasarkan analisis berbagai gen (16S rDNA; ftsZ; dnaA; wsp), terdapat 6 garis pilogenetik utama, yaitu supergrup A – F. Dari keenam supergrup ini, yang menjadi perhatian hanyalah supergrup C – D karena kedua supergrup ini mencakup hampir seluruh bakteri Wolbachia yang menjadi endosimbion dengan cacing fi laria yang menginfeksi manusia. Perbedaan divergenitas antara keenam supergrup ini sekitar 3%.1

Pada cacing fi laria dewasa, Wolbachia terutama didapati pada sel hipodermal di corda lateral. Pada cacing betina, bakteri ini didapati pada ovarium, oosit, stadium embriogenik yang sedang berkembang dalam uterus, tetapi Wolbachia tidak pernah didapati pada sistem reproduksi cacing jantan. Hal ini mengindikasikan bahwa bakteri ini diturunkan secara vertikal melalui sitoplasma ovum dan tidak melalui sperma. Keberadaan Wolbachia hanya terbatas pada cacing fi laria dari Onchocercinae dan Dirofi lariinae.1

Hubungan simbiosis antara Wolbachia dengan cacing fi laria bersifat mutualis; melalui simbiosis ini, bakteri akan mampu

bertahan hidup dengan meningkatkan kemampuan cacing fi laria untuk bertahan hidup juga pada tubuh manusia. Kemampuan menyediakan ribofl avin, fl avin adenin dinukleotida (FAD), haem, nukleotida, dan glutation adalah kontribusi bakteri Wolbachia, sebaliknya fi laria akan menyediakan asam amino yang diperlukan oleh Wolbachia untuk pertumbuhan bakteri tersebut. Hanya ada satu asam amino yang disintesis sendiri oleh Wolbachia, yaitu meso-diaminopimelate yang merupakan komponen utama peptidoglikan bakteri ini. Glutation diperlukan oleh cacing fi laria untuk bertahan melawan stres oksidatif ataupun molekul efektor imunologi yang dikeluarkan oleh tubuh manusia. Haem dari Wolbachia juga merupakan komponen vital untuk proses embriogenesis cacing fi laria. Proses perubahan stadium larva serta proses reproduksi cacing fi laria dikontrol oleh hormon mirip ecdysteroid, dan proses sintesis hormon ini memerlukan haem yang telah disediakan oleh Wolbachia.1,6

PERAN BAKTERI WOLBACHIA PADA PATOGENESIS FILARIASIS Patologi fi lariasis dihubungkan dengan cakupan kondisi infl amasi yang luas. Pada fi lariasis limfatik, patologi infl amasi dapat timbul dalam bentuk serangan berulang dari adenolimfangitis yang dikaitkan dengan kematian cacing dewasa, ataupun dalam bentuk infl amasi kronik yang berkaitan dengan hidrokel, limfedema dan elefantiasis. Respon infl amasi juga berkaitan dengan reaksi lanjut pengobatan fi lariasis.2

Semua cacing fi laria patogen yang menginfeksi manusia telah mengembangkan simbiosis dengan bakteri Wolbachia. Pada fi lariasis, kematian cacing dewasa atau mikrofi laria secara alami ataupun karena pengaruh obat akan menyebabkan reaksi infl amasi sistemik berat. Hal ini disebabkan oleh adanya bakteri yang terlepas ke peredaran darah dan terpajan ke sistem imunologi manusia. Fakta di atas mengonfi rmasi bahwa antigen dari bakteri endosimbion ini akan dikenali oleh sistem imun manusia, baik bawaan (innate) maupun yang adaptif dan sangat berperan pada patogenesis penyakit fi lariasis.1,2,8

Lipoprotein Wolbachia akan menstimulasi sistem imun bawaan dan adaptif melalui Toll-like Receptor 2 dan 6 dan menginduksi manifestasi klinis fi lariasis. Jika bakteri Wolbachia, lemak

Gambar 5 Philogeny Wolbachia berdasarkan sekuens gen ftsZ

(Sumber: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Wolbachia_pipientis)

Page 4: Peranan Bakteri Wolbachia Pada Patogenesis Filariasis

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014110

TINJAUAN PUSTAKA

atau protein Wolbachia dihilangkan dari peredaran darah, segala reaksi infl amasi akan mereda dan menghilang. Beberapa pola molekul tertentu akan berikatan dengan TLR 2 dan mengaktivasi jalur MyD88. Secara umum, TLR 2 bisa berikatan dengan koreseptor TLR1 ataupun TLR6, yang masing-masing jalur akan sangat berbeda spesifi sitasnya dalam pengenalan akan lipoprotein mikroba. TLR2/6 akan mengenali lipoprotein diasil, sedangkan TLR2/1 akan mengenali lipoprotein triasil. Lebih lanjut, aktivasi makrofag oleh lipoprotein Wolbachia juga melalui TLR2/6.8-11

Dengan menggunakan genom Wolbachia pada Brugia malayi (genom wBm) untuk identifi kasi gen yang mengkode biosintesis lipoprotein, didapatkan dua gen, yaitu Ltg (proplipoprotein diasilgliseril transferase) dan LspA (lipoprotein sinyal peptidase). Berlawanan dengan genom bakteri secara umum, pada bakteri Wolbachia tidak didapati adanya gen Lnt (apolipoprotein aminoasil transferase). Gen Lnt pada bakteri secara umum bertanggung jawab untuk menyandi enzim yang berfungsi untuk proses asetilasi pada terminal N gugus amida. Tanpa adanya gen Lnt ini, lipoprotein pada Wolbachia berupa diasil, bukan triasil, sehingga fenomena ini konsisten dengan pengenalan sistem imun melalui TLR2/6.8-10

Penelitian dengan ocular onchocerciasis pada mencit dengan ekstrak Onchorcerca volvulus atau dengan Wolbachia yang diisolasi menunjukkan bahwa neutrofi l

dan makrofag yang berkumpul di stroma kornea dan kerusakan kornea bergantung pada jalur TLR2. Untuk memastikan apakah efek lipoprotein Wolbachia/WoLP, seperti wBmPAL (contoh WoLP adalah wBmPAL = Brugia malayi Wollbachia peptidoglycan-associated lipoprotein) mempunyai peran pada kerusakan kornea, mencit WT (wild type) disuntik dengan protein diasil WoLP (protein sintetik lipopeptida Wolbachia) dalam konsentrasi yang meningkat. Protein diasil WoLP akan menginduksi infi ltasi neutrofi l sesuai peningkatan konsentrasi. Fenomena yang sama juga terlihat pada kerusakan kornea seiring dengan kenaikan konsentrasi diasil WoLP yang diinjeksikan ke mencit.8

Untuk melihat peran TLR pada penyakit kornea yang diinduksi oleh WoLP (lipoprotein Wolbachia), penelitian dilanjutkan dengan injeksi diasil WoLP sebanyak 1 μg ke stroma kornea mencit-mencit yang mempunyai profi l TLR1 -/-, TLR2 -/-, TLR6 -/-, untuk kemudian diukur tingkat infi ltrasi neutrofi l serta kerusakan kornea yang terjadi. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa tingkat infi ltrasi neutrofi l turun bermakna pada mencit yang mempunyai profi l TLR 2 -/- dan TLR6 -/- dibandingkan dengan mencit wild type, tetapi fenomena penurunan infi ltasi neutrofi l tidak terjadi pada mencit dengan profi l TLR1 -/-. Fenomena yang sama juga terjadi dengan gambaran kerusakan kornea. Tingkat kerusakan kornea yang diinduksi oleh Diasil WoLP turun bermakna pada mencit dengan profi l TLR 2-/- dan TLR6 -/- dibandingkan dengan mencit wild type, tetapi tidak terjadi

pada mencit dengan TLR 1 -/-.8

Percobaan dengan mencit di atas memberi-kan gambaran bahwa kelainan berupa infi ltasi netrofi l serta kerusakan kornea yang disebabkan oleh Diasil WoLP membutuhkan TLR 2 dan TLR 6 sebagai koreseptor. Serangkaian fenomena pada penyakit kornea dimulai dengan kematian dan degenerasi mikrofi laria dan diikuti oleh pemaparan lipoprotein Wolbachia yang terlepas ke peredaran darah terhadap fi broblas, makrofag dan dendritik sel melalui TLR2/6. Sinyal melalui TLR2/6 akan mengaktivasi jalur MyD88/Mal dengan hasil akhir induksi produksi sitokin pro infl amasi yang akan memediasi penarikan dan aktivasi netrofi l di kornea.8,9

Pemaparan terhadap lipoprotein Wolbachia/WoLP juga menimbulkan reaksi infl amasi yang jauh dari tempat inokulasi. Hal ini dibuktikan oleh adanya peningkatan produksi TNF α sistemik 6 jam setelah inokulasi. Fenomena ini terjadi pada mencit wild type, tetapi tidak pada mencit dengan TLR2 -/-.8

Gambar 8 Diasil WoLP menginduksi produksi TNF α

sistemik pada mencit wild type8

Lipoprotein Wolbachia melalui jalur TLR2 juga sangat berpengaruh terhadap patogenesis limfedema pada pasien fi lariasis. Beberapa studi memperlihatkan bahwa vascular endothelial growth factor (VEGF) mengkontrol angiogenesis dan limfangiogenesis pada manusia. Famili dari VEGF (vascular endothelial growth factor) terdiri dari 5 jenis VEGF, di antaranya VEGF-A serta VEGF-C.7,12

VEGF-A adalah regulator potensial angiogenesis yang normal maupun abnormal. Penelitian dengan mencit membuktikan bahwa ekspresi berlebih dari VEGF-A akan meningkatkan densitas vaskular, meningkatkan adhesi leukosit dan meningkatkan limfa-ngiogenesis. VEGF-C menstimulasi migrasi sel endotel, meningkatkan permeabilitas vaskuler,

Gambar 7 Diasil WoLP menginduksi kerusakan kornea setelah injeksi intrakorneal pada mencit8

Gambar 6 Diasil WoLP menginduksi infi ltrasi netrofi l setelah injeksi intrakorneal pada mencit8

Page 5: Peranan Bakteri Wolbachia Pada Patogenesis Filariasis

111CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

serta meningkatkan proliferasi endotel kelenjar limfe. Jika dibandingkan dengan VEGF-A, semua efek VEGF-C baru terlihat jika terdapat konsentrasi yang tinggi dalam plasma. Ekspresi yang berlebih pada penelitian dengan mencit transgenik akan berakibat pada proliferasi endotel kelenjar limfe dan pembesaran kelenjar limfe.7,12

Seperti dinyatakan di atas, adanya lipoprotein Wolbachia yang terpapar pada peredaran darah setelah kematian dan degenarasi cacing dewasa serta mikrofi laria akan memicu stimulasi sitokin proinfl amasi melalui jalur TLR2. Sitokin proinfl amasi, seperti TNF, IL-1ß, IL-6, IL-17, dan nitric oxide, akan meningkatkan regulasi VEGF-A dan VEGF-C. VEGF-A, endotelin-1, VEGF-C, dan VEGFR-3 pada serum plasma diketahui meningkat pada penderita fi lariasis. VEGFR-3 akan meningkat

secara signifi kan, terutama pada penderita elefantiasis.7,12

Hidrokel pada penderita fi lariasis juga akan berkaitan dengan penanda (marker) limfangiogenesis, terutama berkaitan dengan VEGF-A. Sekresi VEGF-A sekitar daerah skrotum pada pasien hidrokel akan meningkatkan ekstravasasi dan akumulasi protein plasma, cairan limfe dari pembuluh darah dan kelenjar limfe ke jaringan sekitar skrotum berakibat pada pembentukan hidrokel, kilokel (chylocele), limfokel. Akibat lain berupa pembentukan nodul mendahului pembentukan hidrokel jika penderita fi lariasis diterapi dengan DEC. Pembentukan nodul ini diduga sebagai akibat kematian cacing dewasa setelah pemberian DEC, yang membebaskan Wolbachia ke peredaran darah dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi VEGF-A.7,12

Gambar 9 Kadar VEGF-A dalam plasma penderita fi lariasis dan kontrol11

Gambar 10 Kadar VEGF-A plasma berhubungan dengan stadium hidrokel11

Tabel 1 Stadium hidrokel11

Stadium I Hidrokel subklinis

Stadium II Diameter maksimal longitudinal dan transversal pada hidrokel tidak melebihi 1,9 dan 1,6 cm

Stadium III Diameter maksimal longitudinal dan transversal pada hidrokel tidak melebihi 3,8 dan 3,2 cm

Stadium IV Diameter maksimal longitudinal dan transversal pada hidrokel melebihi 3,8 dan 3,2 cm

Program eliminasi fi lariasis melalui pengobat-an massal di daerah endemis yang dicanang-kan oleh WHO adalah kombinasi DEC 6 mg/kgBB serta albendazol 400 mg yang diberikan sekali setiap tahun selama 5 -10 tahun pada penduduk di atas usia 2 tahun. Terapi yang sekarang banyak diteliti adalah penggunaan antibiotik. Beberapa efek antibiotik berupa hambatan perkembangan larva infektif menjadi cacing dewasa, penghambatan embriogenesis pada cacing betina secara jangka panjang dengan efek toksik pada embrio sehingga menghambat transmisi secara transovarian, dan efek membunuh cacing dewasa. Studi Sabine Mand et al pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa pemberian doksisiklin 200 mg/hari selama 21 hari sebelum pemberian terapi standar fi lariasis ternyata menurunkan jumlah Wolbachia lebih dari 90 % pada Wuchereria bancofti. Kombinasi doksisiklin selama 21 hari diikuti dengan dosis tunggal DEC meningkatkan efek makrofi larisidal serta meningkatkan kondisi fi sik penderita fi lariasis.1,13

PENUTUPLipoprotein Wolbachia akan memediasi terjadinya respon imun innate dan adaptif (terutama Th1). Konsekuensi pemaparan Wolbachia pada respon imun adaptif terhadap infeksi fi laria belum sepenuhnya dimengerti, meskipun pada saat ini diketahui bahwa respons antibodi terhadap Wolbachia menjadi sangat nyata peranannya pada individu yang telah terpapar dan juga pada pasien simptomatis. Saat cacing dewasa fi laria maupun mikrofi laria mati berdegenerasi, produk Wolbachia termasuk lipoprotein Wolbachia dilepaskan ke peredaran darah dan berikatan dengan TLR2 pada Antigen presenting cells (APC). Lipoprotein Wolbachia merupakan ligan utama yang akan berikatan dengan TLR2/6 serta mengaktifkan respons imun bawaan maupun adaptif yang pada akhirnya akan memengaruhi patogenesis penyakit.

Page 6: Peranan Bakteri Wolbachia Pada Patogenesis Filariasis

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014112

TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

1. Taylor MJ, Bandi C, Hoerauf A. Wolbachia bacterial endosymbionts of fi larial nematodes. Advances in Parasitology. 2005;60:246-74.

2. Taylor MJ. Wolbachia endosymbiotic bacteria of fi larial nematodes. A new insight into diasease pathogenesis and control. Arch. Medical Res. 2002;33: 422-24.

3. Debrah AY, Mand S, Debrekyei YM, Batsa L, Pfarr K, Lawson B, et al. Reduction in level of plasma vascular endothelial growth factor-A and improvement in hydrocele patients by targeting

endosymbiotic Wolbachia sp in Wuchereria bancrofti with doxycycline. Am J Trop Med Hyg. 2009;80(6):956-63.

4. Rahmad A. Manifestasi klinik dan respons imun pada fi lariasis bancrofti. Ebers papyrus. 2008;14(3):159-68

5. Direktorat Jenderal PP&PL. Pedoman program eliminasi fi lariasis di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009.

6. Supali T, Kurniawan A, Partono F. Wuchereria bancrofti. Dalam: Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

2008. 32-38.

7. Pfarr KM, Debrah AY, Specht S, Hoerauf A. Filariasis and lymphoedema. Parasite Immunol. 2009;31:661-72.

8. Turner JD, Langley RS, Johnston KL, Gentil K, Ford L, Wu B, et al. Wolbachia lipoprotein stimulates innate and adaptive immunity through toll-like receptors2 and 6 to induce disease

manifestations of fi lariasis. J Biol Chem. 2009 Aug;284(33):22364-78.

9. Hise AG, Daehnel K, Ferguson IG, Cho E, McGarry HF, Taylor MJ, et al. Innate immune responses to endosuymbiotic Wolbachia bacteria in Brugia malayi and Onchocerca volvulus are

dependent on TLR2, TLR6, MyD88, and Mal, but not TLR4, TRIF, or TRAM. J Immunol. 2007;178:1068-76.

10. Turner JD, Langley RS, Johnston KL, Egerton G, Wanji S, Taylor MJ. Wolbachia endosymbiotic bacteria of Brugia malayi mediate macrophage tolerance to TLR- and CD40-spesifi c stimuli in

a MyD88/TLR2-dependent manner. J Immunol. 2006;177:1240-49.

11. Venugopal PG, Nutman TB, Semnani RT. Activation and regulation of Toll-Like Receptors (TLRs) by helminth parasites. Immunol Res. 2009; 43(1-3):252–63. doi:10.1007/s12026-008-

8079-0.

12. Debrah AY, Mand S, Toliat MR, Debrehyei YM, Batsa L, Nurnberg P, et al. Plasma vascular endothelial growth factor-A (VEGF-A) and VEGF-A gene polymorphism are associated with

hydrocele development in lymphatic fi lariasis. Am J Trop Med Hyg. 2007;77(4):601-8.

13. Mand S, Pfarr K, Sahoo PK, Satapathy AK, Specht S, Klarmann U, et al. Macrofi laricidal activity and amelioration of lymphatic pathology in bancroftian fi lariasis after 3 weeks of doxycycline

followed by single-dose diethylcarbamazine Am J Trop Med Hyg. 2009;81(4):702-11