Perbuatan Pidana Yang Dilakukan Secara Massal

download Perbuatan Pidana Yang Dilakukan Secara Massal

of 220

Transcript of Perbuatan Pidana Yang Dilakukan Secara Massal

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. ........................i HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................ii HALAMAN MOTTO.......................iii HALAMAN PERSEMBAHAN...........................................................................iv KATA PENGANTAR............................................................................................v DAFTAR ISI..........................................................................................................xi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...............1 B. Rumusan Masalah.............8 C. Tujuan Penelitian..............9 D. Tinjauan Pustaka..............9 E. Metode Penelitian............20 BAB II. PERBUATAN PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA MASSAL A. Perbuatan Pidana.................24 1. Perbuatan Pidana.......................24 2. 3. Perumusan Perbuatan Pidana Undang-undang...........35 B. Perbuatan Pidana yang dilakukan Secara Massal....................40 1. Massal.........40 2. Bentuk-bentuk Perbuatan Pidana yang dilakukan Secara Massal..............................................................................................44 3. Faktor Penyebab Perbuatan Pidana yang dilakukan Secara Massal..................................................................................................48 4. Dampak Terhadap Korban Perbuatan Pidana yang dilakukan Secara Massal.....................................................................57 Pengertian Perbuatan Pidana yang dilakukan Secara Unsurunsur Perbuatan Pidana........................30 Bentuk-bentuk Pengertian

5. Penegakkan Hukum Dalam Perbuatan Pidana yang Dilakukan Secara Massal..................................................................................................70 BAB III. HUBUNGAN ANTAR PELAKU DALAM PERBUATAN PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH DUA ORANG ATAU LEBIH A. Subyek hukum Pidana ..........................100 1. Orang Sebagai Subyek Hukum ....................104 a. b. Pengertian Orang..................104 Pengaturan Orang Sebagai Subyek Hukum Pidana dan Pertanggung Jawabannya dalam hukum Pidana...................106 2. Korporasi sebagai subyek Hukum ..................118 Pengertian Korporasi........................118 Pembagian Badan Hukum (Korporasi)............................122 Pengaturan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana dan Pertanggung Jawabannya dalam Hukum Pidana...........................................126 B. Pengaturan Hubungan antar Pelaku dalam Perbuatan Pidana yang dilakukan Dua Orang atau Lebih dalam Delik Penyertaan..........................148 1. 2. 3. Pengertian Delik Penyertaan................148 Bentuk-bentuk Delik Penyertaan..............153 Sistem Pertanggung Jawaban pelaku dalam Delik Penyertaan............174 a. b. c.

BAB VI. PENETAPAN HUBUNGAN ANTAR PELAKU PERBUATAN PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA MASSAL MENURUT DOKTRIN HUKUM PIDANA DAN YURISPRUDENSI A. Hubungan antar Pelaku Perbuatan Pidana yang dilakukan Secara Massal ditinjau dari Hukum Pidana................................................181 1. Hubungan Antar Pelaku Perbuatan Pidana yang dilakukan secara Massal............................184 2. Konsep Pertanggung Jawaban Antar Pelaku Perbuatan Pidana yang dilakukan Secara Massal...........................................201 B. Hubungan Antar Pelaku Perbuatan Pidana yang dilakukan secara Massal ditinjau dari Sudut Pandang Yurisprudensi.............217

1. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 28/1999/Pid.B/PN.Ska...........................................................218 2. Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 49/Pid.B/2004/PN.Yk.........233 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.................239 B. Saran................242

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana yang menjadi pokok pembahasan ada 3 aspek yaitu masalah perbuatan, pertanggung jawaban dan pidana itu sendiri dalam hal ini sanksi yang diberikan terhadap konsekuensi bagi yang melanggar. Berkaitan dengan ketiga permasalahan tersebut dalam dataran pembahasan baik secara teori maupun dalam operasionalnya tidak dapat disatukan atau dicampuradukan satu dengan yang lainnya, karena merupakan unsur yang berbeda-beda yang disatukan dalam satu bagian yaitu hukum pidana. Seseorang dikatakan telah melanggar hukum pidana apabila perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dan bertentangan dengan norma masyarakat dan hal ini telah termaktub dalam perundang-undang yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana1, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang terdahulu dari pada perbuatan itu2. Pasal tersebut di atas biasa dikenal dengan asas legalitas yang mana hampir semua Negara yang menyatakan negaranya sebagai Negara hukum menganut asas tersebut, dengan tujuan perlindungan dari penguasa yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Tidak cukup hanya perbuatan saja yang terbukti seseorang dikenakan pidana tapi harus ada kesalahan, sebagaimana sebuah adagium menyatakan actus non facit reum, nisi mens sit rea, artinya perbuatan tidak membuat orang bersalah kecuali jika terdapat sikap batin yang salah3. Artinya untuk menyatakan bahwa seseorang telah melanggar hukum pidana dan dikenakan sanksi harus memenuhi dua hal pokok sebagai syarat yaitu: 1. orang tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa ia benar-benar telah melakukan suatu tindak pidana, dan

1 2

Selanjutnya akan disingkat KUHP R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Ctk. Ulang, Politeia, Bogor, 1996, hlm. 27 3 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Ctk. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 54

2.

pada saat orang tersebut melakukan tindak pidana harus dibuktikan bahwa ia benar-benar merupakan orang yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana4. Realita hukum pidana yang terjadi di masyarakat tidak semudah yang

dipaparkan di atas karena banyak permasalahan yang komplek bermunculan terutama diantaranya permasalahan perbuatan pidana yang semakin berkembang dan bervariatif seiring dengan perkembangan masyarakat menuju era modern, sebagaimana yang diungkapkan Satjipto bahwa moderenisasi sebagai suatu proses untuk mencapai moderenitas akan senantiasa membawa ketidakstabilan dalam masyarakat, oleh karena itu merupakan perubahan dari nilai-nilai dan sikap-sikap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa moderenisasi turut bertanggung jawab dalam melahirkan banyak bentuk dan jenis kriminalitas5. Hal tersebut berdampak pada keberadaan hukum pidana kita yang berbentuk kodifikasi sehingga terkesan stagnan dan kaku. Seiring dengan lajunya arus globalisasi dan perkembangan zaman, maka dalam masyarakat banyak tindakan atau perbuatan baru yang merugikan dan meresahkan masyarakat yang belum ada pengaturannya seperti cyber crime dan tindakan asusila lainnya, sebagaimana tujuan dari hukum pidana yaitu untuk menanggulangi kejahatan dan juga pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan6. Berbicara masalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh subyek hukum pidana baik oleh perorangan maupun dan korporasi, sudah mendapat klasifikasi dan ketentuan yang jelas dalam setiap peraturan yang mengatur perbuatan pidana yang dilakukan dan bagaimana bentuk pertanggung jawabanya. Seperti halnya dengan sebuah korporasi yang melakukan perbuatan pidana ada berbagai macam peraturan di luar KUHP seperti dalam Undang-undang Pasar Modal, Perbankan, pajak, dan lain-lain. Yang menjadi permasalahan adalah apabila ada perbuatan4

Abdul Kholiq, Hukum Pidana (Buku Panduan Kuliah), Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hlm. 23 5 Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatankejahatan Baru yang Berkembangan Dalam masyarakat, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 46-47 6 Ibid, hlm. 10

pidana yang dilakukan secara kolektif/massal/kelompok yang bisa saja dalam hal ini dilakuakan oleh korporasi, baik yang berbadan hukum ataupun bukan badan hukum, yang jumlah personnya bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan, sehingga menjadi sebuah pertanyaan bagaimana hukum pidana mengatur hal ini. Seperti contoh kasus di Nusa Tenggara Barat (NTB) terjadinya amuk massa yang merusak kantor Kejati NTB hal ini dipicu karena kasus dugaan korupsi dengan tersangka 9 orang mantan anggota DPRD NTB yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Mataram, adapun massa menuntut agar kesembilan orang tersebut dibebaskan karena menurut mereka pihak Kejati pilih kasih karena ada orang lain lagi yang seharusnya dituntut tapi tidak dilakukan oleh Kejati sehingga segerombolan massa marah dan mengamuk sehingga melakukan perbuatan pidana pengrusakan barang milik orang lain7 sebagaimana tertuang dalam pasal 406 ayat 1 KUHP yang berbunyi Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain dihukum penjara dan denda8. Selain kasus tersebut masih banyak kasus-kasus lain yang banyak bermunculan tentang kejahatan yang dilakukan secara massal ini yaitu kasus para pengikut Ahmadiyah yang diserang oleh pihak FPI (Front Pembela Islam), kasus para demonstran yang mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak jarang diakhiri dengan aksi kriminal, kasus SARA (Suku, Agama dan Ras) dibeberapa daerah seperti Kalimantan dan Ambon, dan lain-lain. Berdasarkan kasus di atas telah jelas terjadi pelanggaran pidana dan idealnya semua pihak yang terlibat amuk massa harus diproses secara hukum, tapi realita yang terjadi hanya sebagian saja yang diproses, menurut pihak penyidik yang ditangkap adalah orang-orang yang dianggap otak/dalang dari semua perbuatan pidana yang dilakukan, bisa dikatakan representatif dari semua pelaku, padahal dalam hukum pidana baik pelaku dan pembantu sampai pada peran terkecil yaitu pendukung dari perbuatan pidana dikenakan sanksi apabila memang terbukti mempunyai hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung7 8

Korupsi dan Amuk Massa dan Dagelan Hukum, dalam http://antikorupsi.org/mod R. Soesilo, op.cit., hlm. 287

dengan perbuatan yang dilakukan sehingga perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hukum pidana kita mengenal yang namanya delik penyertaan yang mengklasifikasikan pelaku kejahatan dalam beberapa golongan yaitu: pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta (medepleger), dan pengajur (uitloker). Tapi untuk delik penyertaan biasanya kejahatan yang dilakukan dalam hal wajar yang bisa dianalisis dan diklasifikasikan mana yang merupakan pelaku, actor intelektual dan actor materialis, dalam hal ini jelas jumlah subyeknya dan ketentuannya dalam hukum pidana. Tapi hal tersebut bukan merupakan jawaban yang tepat untuk bisa menjawab permasalahan tentang perbuatan pidana yang dilakukan secara massal karena dalam hal ini banyak pihak yang terkait dan terlibat, sehingga perlu pengklasifikasian yang jelas sebatas dan sejauh mana keterlibatan serta hubungan antar setiap pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal perbuatan pidana yang dilakukan secara massal oleh sebuah korporasi berupa penyerangan dan perusakan seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam yang merupakan sebuah perkumpulan orang dalam bentuk organisasi massa, sehingga butuh kejelian dan ketelitian untuk menentukan pihakpihak yang terlibat dan dipertanggung jawabkan kepada siapa, apakah pada perorangannya atau kepada organisasinya, dengan harapan agar tercipta sebuah keadilan yang sesuai dengan proporsinya. Permasalahan tentang perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tidak hanya selesai pada pelakunya saja tapi juga pada korban yang dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung, yang mana jarang sekali dari para korban yang melaporkan kepihak yang berwajib walaupun secara hukum para korban tersebut benar. Apabila dilaporkan dari pihak yang berwajib sendiri kesulitan untuk menentukan yang mana yang harus ditangkap yang pada akhirnya hanya representasi dari para pelaku. Dalam hukum pidana tidak mengenal hal tersebut, dan tentunya hal ini mencederai nilai keadilan yang ada dimasyarakat. Perbuatan pidana atau kejahatan massal biasanya identik dengan perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) yang berdasarkan realitas dimasyarakat ada

perbedaan gerakan background yang melatarbelakanginya yang diusung sebagai legitimasi kekuatan agar tindakan yang dilakukan mempunyai efek penjera membuat takut para calon korbannya, biasanya ada yang mengatasnamakan komunitas, suatu perkumpulan, ras, suku, agama dan lain-lain. Terkait dengan perbuatan yang dilakukan oleh suatu komunitas maupun kelompok bagi aparat tidak sulit untuk menindaknya, tapi apabila berkaitan dengan ras, suku, dan agama apalgi yang berbentuk sebuah korporasi (dalam hal ini sebuah organisasi) sangat sulit untuk ditindak karena merupakan masalah yang sangat sensitif apalagi mengingat kondisi masyarakat kita yang heterogen. Hal yang cukup pelik adalah yang terkait dengan agama, seperti peristiwa yang pernah terjadi di ambon dan poso. Jadi dalam hal kejahatan massa tidak mudah bagi polisi untuk menangkap dan menyidik pelaku, apalagi polisi cenderung berhati-hati agar tidak terpeleset dalam tindak pelanggaran (Kejahatan) menurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Seperti kasus akhir-akhir ini yang marak beredar dimedia massa dan elektronik berupa tindak perampasan dan pengrusakan hak milik bahkan pemukulan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) pada waktu bulan Ramadhan yang mengadakan operasi penertiban disejumlah tempat hiburan di Jakarta dan dari pihak kepolisian metro Jaya hanya memberikan peringatan dan himbauan agar aksi FPI dihentikan karena meresahkam warga9, belum lagi tindakan penyerangan dan pengrusakan yang juga dilakukan oleh FPI dan LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) terhadap kampus Ahmadiyah di Mubarok, Bogor, hal tersebut dipicu oleh kegiatan pertemuan tahunan yang biasa dilakukan oleh Ahmadiyaah dan hal tersebut dianggap meresahkan warga sekitar karena Ahmadiyah di anggap sebuah aliran sesat, dalam hal ini dari pihak Ahmadiyah menyatakan penyesalannya terhadap sikap aparat keamanan yang tidak siap mengantisipasi munculnya massa yang anarkis tersebut10. Dengan sering terjadinya peristiwa amuk massa yang anarkis, dan hal tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintah yang hal ini lebih kepada sistem penegakan hukum yang seperti apa yang diterapkan untuk bisa mengatasi9 10

Tentang Kasus Ahmadiyah, terdapat dalam, http://majelis, mujahidin.or.id Ibid

hal tersebut, karena mengingat kita sebagai negara hukum, yang segala sesuatunya mempunyai ketentuan dan aturan yang jelas untuk mencegah terjadinya abuse of power. Dalam hal merumuskan kejahatan secara massa memang relatif sulit karena memang belum ada konstruksi aturan yang jelas untuk mengakomodir hal tersebut,dan hal ini tidak dapat dibiarkan berlalu tanpa tidak lanjut untuk menanganinya karena ada banyak pihak yang dirugikan, tapi yang menjadi permasalahan kepada siapa saja perbuatan tersebut akan dipertanggung jawabkan, apakah kepada semua pihak yang terlibat dengan jumlah yang ratusan bahkan ribuan dengan keterbatasan dan kesulitan yang dihadapi aparat penegak hukum atau hanya refresentatif dari semua pelaku massal, padahal notabene ada para pelaku yang telah memenuhi kreteria baik perbuatan dan kesalahan telah memenuhui unsur untuk dipidana tapi tidak ditindak oleh aparat. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah hubungan antar pelaku dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal menurut doktrin hukum pidana? 2. Bagaimanakah pandangan yurisprudensi dalam menetapkan hubungan antar pelaku dalam tindak pidana yang dilakukan secara massal dan pengaturan pidananya? C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mencari jawaban atas permasalahan tentang: 1. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah hubungan antar pelaku dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal menurut doktrin hukum pidana. Untuk mengetahui bagaimanakah pandangan yurisprudensi dalam menetapkan hubungan antar pelaku dalam tindak pidana yang dilakukan secara massal dan pengaturan pidananya. D. Tinjauan Pustaka

Hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang dibentuk dengan tujuan menciptakan ketertiban. Suatu peraturan hukum adalah untuk keperluan penghidupan di dalam masyarakat demi kebaikan dan ketentraman bersama, hukum mengutamakan masyarakatnya bukan kepentingan perseorangan atau golongan, hukum juga menjaga hak-hak dan menentukan kewajibankewajiban anggota masyarakatnya agar tercipta suatu masyarakat yang teratur dan damai, adil dan makmur11. Hukum mengatur segala aspek kehidupan dimasyarakat baik yang berhubungan dengan masalah public dan privat, salah satu persoalan yang muncul ke permukaan dalam kehidupan masyarakat adalah tentang kejahatan. Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara termasuk Indonesia, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut; menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan; dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut12. Perbuatan yang diancam dengan hukum pidana adalah perbuatan yang secara mutlak harus memenuhi syarat formal, yaitu mencocoki dengan rumusan undang-undang (tatbestandsmaszigkeit) yang telah ditetapkan dalam kitab undang-undangan hukum pidana dan peraturan-peraturan lain yang berdimensi pidana, dan unsur material yaitu bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek sifat melawan hukum (rechtswidrigkeit)13.

11 12

S. Wiratmo, Pengantar Ilmu Hukum, perc. Lukman Opset, Yogyakarta, 1979, hlm. 20 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, 1987, hlm. 1 13 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban dalam Hukum Pidana, Ctk. Pertama, Bina Aksara, Yogyakarta, 1983, hlm. 24-25

Tinjauan perbuatan pidana dari segi material sangat diperlukan oleh karena baru dengan adanya ini aturan-aturan hukum mempunyai isi atau mendapat arti, dan bukan pengertian dalam pengertian dalam lisan atau tulisan belaka14 Berdasarkan pernyataan di atas maka tidak satu perbuatanpun dikatakan tercela dan dapat dipidana apabila perbuatan yang tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan hukum pidana hal ini dikenal dengan asas legalitas. Suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut15: 1. 2. 3. unsur melawan hukum; unsur kesalahan; unsur gangguan/bahaya/merugikan.

Dalam hukum islam perbuatan pidana atau kejahatan (jarimah/jinayat) didefenisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan oleh Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya, dengan demikian suatu kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh syariat16. Perbedaannya dengan hukum pidana barat yang jelas adalah masalah sumber hukumnya, yang hukum islam berasal dari Allah SWT sebagai pencipta umat manusia dan hukum pidana barat berasal dari buatan manusia itu sendiri. Kejahatan dalam hukum pidana islam dibagi menjadi tiga (3) Yaitu17: 1. Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana islam, yang berkaitana dengan apa yang disebut dengan hak Allah dan hukumannya ditentukan oleh Allah, yang tergolong kejahatan ini adalah riddah (murtad), al-baghi (Pemberontak), zina, Qadzaf (tuduhan Palsu Zina), sariqah (pencurian), Hirabah (perampokan), dan Shurb alkhamar (Meminum Khamar). 2. Kejahatan Qishash sasarannya adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja yang dikenal dalam hukum modern sebagai kejahatan manusia atau crime against persons, yang tergolong kejahatan ini adalah:14 15

Ibid,. hlm. 20-21 Ibid., hlm. 63 16 Topo Santoso, Membumikan Hukum Islam, Ctk. Pertama, Gema Insani Perss, Jakarta, 2003, hlm. 20 17 Ibid., hlm. 22-23

pembunuhan

dengan

sengaja,

pembunuhan

menyerupai

sengaja,

pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka atau sakit karena kelalaian. 3. Kejahatan tazir yaitu landasan dan penentuan hukumnya didasarkan pada ijma (konsensus) berkaitan dengan hak Negara muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian/kerusakan fisik, sosoial, politik, financial, dan moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hukum pidana tidak hanya berbicara masalah perbuatan saja yang apabila sudah memenuhi unsur tersebut bisa dijatuhkan sanksi sebagai konsekuensi yang telah ditetapkan dalam peraturan hukum pidana, ada satu permasalahan yang menjadi kajian pokok dan mendasar dalam hukum pidana yaitu masalah pertanggung jawaban pidana. Menurut ajaran Kantrorowicz antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban dalam hukum pidana ada hubungan yang erat seperti halnya dengan perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan, perbuatan pidana baru mempunyai arti kalau disampingnya adalah pertanggung jawaban begitu juga sebaliknya tidak mungkin ada pertanggungjawaban jika tidak ada perbuatan pidana 18. Pertanggungjawaban atas perbuatan pidana dapat dibebankan kepada subyek hukum sebagai pelaku, dalam hal ini yaitu: 1. Manusia (Natuurlijke person) adalah tiap orang dan warga Negara ataupun orang asing dengan tidak memandang agama dan kebudayaannya, mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam melakukan perbuatan hukum, yang bermulai saat dia dilahirkan sampai meninggal. Tapi ada pengecualian dalam hukum tidak semua orang cakap hukum, diantara mereka yang oleh hukum tidak cakap melakukan perbuatan hukum tertuang dalam pasal 44 KUHP19. 2. Korporasi, merupakan subyek hukum baru dalam hukum pidana dan KUPH kita tidak mengenal, karena menurut pasal 59 KUHP subyek18 19

Moeljatno. Perbuatan.., op.cit., hlm. 25 S. Wiratmo, Pengantar Ilmu Hukum, Perc. Lukman Offset, Yogyakarta, 1979, hlm. 41.

hukum pidana umumnya adalah manusia20. Kemudian penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak lepas dari modernisasi social, sebagaimana menurut Satjipto Raharjo, modernisasi social dampaknya pertama harus diakui, bahwa semakin modern masyarakat itu semakin komplek sistem social, ekonomi dan politik yang terdapat disitu maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula21. Itulah sebabnya kenapa korporasi dijadikan subyek hukum karena untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan sebuah keadilan. Pengertian korporasi dalam hukum pidana lebih luas sifatnya dibandingkan dalam hukum perdata, sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum dan non badan hukum dan hal ini diatur di luar KUHP seperti dalam UU Tindak Pidana Ekonomi, sedangkan korporasi dalam hukum perdata adalah sebatas badan hukum22. Hukum pidana Indonesia menganut asas kesalahan yang merupakan dasar untuk menerapkan pertanggung jawaban pidana kepada pelaku yang melanggar ketentuan hukum pidana. artinya untuk dapat memidana pelaku delik, selain membuktikan unsur-unsur perbuatan yang menimbulkan celaan, dalam diri pelaku harus ada unsur kesalahan23. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung jawab, sedang hubungan batin antar si pembuat dengan perbuatanya itu merupakan kesengajaan, kealpaan serta pemaaf24. Sehingga untuk menentukan adanya kesalahan sebagai dasar dari pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut25: 1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat20

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Ctk. Pertama, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Bandung, 1991, hlm. 22 21 Ibid., hlm. 28 22 Ibid., hlm. 20-21 23 Abdul Kholiq, .., artikel pada Jurnal hukum, edisi no. 26 vol. 11 , 1999. hlm 15 24 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm. 60 25 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit, hlm. 62

Menurut para ahli sarjana bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada26: a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk: yang sesuai hukum dan yang melawan hukum b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi 2. Hubungan antara batin pelaku dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (Dolus), atau kealpaan (Culpa) ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. 3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf 27. Pasal 44 KUHP28 berbunyi Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya atau tergangu karena penyakit tidak dipidana. Menurut pasal tersebut maka hal tidak mampu bertanggung jawab adalah karena hal-hal tertentu, yaitu jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, dan sebagai akibatnya ia tidak mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dengan terpenuhi semua unsur di atas, maka seseorang dapat dijatuhi suatu sanksi pidana yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Lain halnya perbuatan pidana dilakukan oleh korporasi atau badan hukum yang tanpa spesifikasi yang jelas atau identitas yang jelas,maka masalah kesulitan siapa pembuatnya akan selalu timbul, dan hal ini akan membawa konsekuensi tentang masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, walaupun telah terpenuhinya semua unsur untuk dapat dipidana29. Mengenai hal tersebut ada tiga (3) cara yang ditempuh dalam hal menetapkan kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu30:

26 27 28 29 30

Moeljatno, op.cit., hlm. 165 Muladi dan Dwidja Priyatno, loc.cit. Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm. 67 Ibid

1. 2. 3.

Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab Permasalahan perbutan pidana yakni kejahatan mempunyai konsekuensi

terhadap semua pihak baik bagi masyarakat, korban, pelaku dan Negara. Yang dalam hal ini berdampak pada kerugian baik materiel maupun immateriel yang diderita akibat apabila ada norma-norma maupun peraturan-peraturan tertulis yang telah disepakati dilanggar oleh siapa pun. Secara teoritis Negara telah mengambil alih konflik yang terjadi antara pelanggar hukum pidana dengan orang yang terlanggar haknya, orang yang kepentingannya dilindungi oleh hukum pidana, menjadi konflik antara pelanggar dengan Negara atau kepentingan publik31. Jadi segala perbuatan pihak-pihak yang meresahkan dan merugikan pihak lain sebagai akibat munculnya kejahatan yang dipandang sebagai pelanggaran terhadap kepentingan publik akan ditangani oleh negara melalui aparat penegak hukumnya yaitu, polisi, jaksa, hakim dan para petugas lembaga pemasyarakatan sebagai gerbang akhir dari proses sistem pidana. Seiring dengan perkembangan zaman, maka Masalah kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan umat manusia karena ia berkembang sejalan dengan perkembanganan tingkat peradaban umat manusia, sehingga banyak permasalah pidana yang muncul yang belum diakomodir oleh hukum pidana, hal ini terkait dengan makin maraknya akhir ini tindakan criminal yang dilakukan dan mereka bergerak secara berkelompok atau lebih dikenal dengan massa, yang hal ini sangat meresahkan warga masyarakat. Gerakan kelompok massa selalu ditandai dengan tiga (3) ciri yang menjadikanya satu kesatuan yang kuat untuk bertindak, diantaranya yaitu32: 1. Anonimitas, adalah memindahkan identitas dan tanggung jawab individu kedalam identitas dan tanggung jawab kelompok, akibatnya individu dalam31

Mudzakkir,Viktimologi Makalah disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi XI Tahun 2005, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Forum Pemantau Pemberantas Korupsi , ASPEHUPIKI, Surabaya, 14-16 Maret 2005, hlm. 15 32 Korupsi, Amuk Massa, dan Dagelan Hukum, terdapat dalam http://antikorupsi.org/mod

kelompok massa menjadi sangat berani, tidak rasional, agresif, destruktif, pendeknya tidak bertanggung jawab, karena dia tidak merasa bertindak sebagai individu dan tidak akan dimintai tanggung jawab sebagai individu. 2. Impersonalitas adalah dimana hubungan antarindividu di dalam massa dengan individu di luar massa (misalnya aparat polisi) menjadi sangat impersonal, bisa jadi mereka bertetangga, berkawan atau mempunyai hubungan darah, tetapi ketika saling berhadapan menjadi impersonal antagonis. 3. Sugestif dan menular, yaitu dimana ucapan atau tindakan yang dilakukan oleh salah satu individu (apalagi dianggap sebagai pemimpin), bisa sangat sugestif dan mempunyai daya penularan yang sangat kuat bagi individuindividu lain. Dengan ketiga ciri kelompok massa tersebut di atas bisa menggiring terciptanya tindak kekerasan, agresivitas, dan perusakan atau amuk massa Dengan melihat permasalahan di atas, dimana dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dilakukan lebih dari satu orang atau lebih, dalam hukum pidana Indonesia mengenal istilah tersebut dengan delik penyertaan yang merupakan bentuk khusus dari hukum pidana, adapun bentuk dari delik penyertaan ini ada empat (4) dan hal ini termaktub pada pasal 55 KUHP, yaitu33: 1. Pleger (Yang melakukan perbuatan pidana) Ialah orang yang secara materiel dan persoonlijk nyata-nyata melakukan perbuatan yang secar sempurna memenuhi semua unsur dari rumusan delik dalam hal ini hanya sendirian dalam melakukan perbuatan pidana. 2. Doen pleger (Yang menyuruh melakakan perbuatan pidana) Ialah orang yang mempergunakan seorang perantara yang tidak dapat dipidana guna mencapai tujuannya, hal tersebut dikarena orang yang disuruh memiliki sifat tidak mampu bertanggung jawab dan adanya alasan pemaaf. Adapun pihak yang menyuruh sebagai Actor Intelectualis dan pihak yang disuruh sebagai Actor Materialis, dan dalam hal ini peran si pembujuk bersifat limitatif 3.33

hubungan itu berlarut

Uit Lokker (Yang mengajurkan melakukan perbuatan pidana)

D. Schaffmeister, N. Keijzer dan PH. Sutorius, Hukum pidana, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 248-256

Ialah orang yang membujuk untuk mendapat jalan masuk pada orang lain bagi rencana-rencana sendiri, supaya orang lain melakukan perbautan pidana. dalam hal ini si pembujuk menggunakan sarana-sarana penbujukan (yaitu, pemberian-pemberian, janji-janji, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman, tipu daya, kesempatan-kesempatan, sarana-sarana atau keteranganketerangan). Kedudukan pihak dalam hal ini dimana si penganjur sebagai Actor Intelectualis dan yang dianjurkan sebagai Actor Meterialis, dan dalam hal ini peran si pembujuk tidak bersifat limitatif 4. Mede Pleger (yng turut serta melakukan perbuatan pidana) Ialah seorang pembuat ikut serta mengambil prakarsa dengan berunding dengan orang lain dan sesuai dengan perundingan itu mereka itu sama-sama melaksanakan delik. Dalam delik penyertaan berbicara perihal pembuat dan pembantu, untuk pasal 55 KUPH berbicara tentang pembuat, sedang pembantu delik tertuang dalam pasal 56 KUHP yaitu tentang MedePlechtiger (pembantu pembuat), yaitu dimana si pembantu dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan atau dengan sengaja memberikan kesempatan, sarana-sarana, atau keterangan-keterangan untuk melakuakan kejahatan34. Sehubungan dengan permasalahan hubungan antar pelaku dalam delik ini dan bagaimana pertanggung jawaban pidananya dibutuhkan kecermatan oleh para penegak hukum. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, dan ini harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu, masalah ini menyangkut subyek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan namun kenyataannya memastikan siapa sipembuat adalah tidak mudah dan sulit. dan

34

Ibid., hlm. 248-249

tidak jarang parang penegak hukum keliru dan salah dalam menetapkan pelaku perbuatan pidana35. E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian Obyek penelitian adalah berupa hal-hal yang akan diteliti sebagaimana tertuang dalam rumusan masalah yakni: bagaimana hubungan antar pelaku dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal menurut doktrin hukum pidana, dan bagaimana pandangan yurisprudensi dalam menetapkan hubungan antar pelaku dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dan pengaturan pidananya. 2. Subyek penelitian Subyek penelitian adalah pihak-pihak yang bisa memberikan pendapat, informasi atau keterangan terhadap masalah yang diteliti serta memiliki kompetensi karena kepakarannya dalam jabatan maupun pengalamannya, dalam hal ini adalah para penegak hukum, antara lain: Hakim, Jaksa Polisi, Advokat, serta para Akedemisi. 3. Sumber Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer, berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku diteliti. Adapun bahan ini adalah: 1) 2)35

dan

mengikat terhadap permasalahan yang akan hukum primer yang utama sebagai kajian dalam penulisan Kitan Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Barda Nawawi Arief, Masalah Pemidanaan sehubungan Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat Modern, Kertas Kerja pada Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang mengalami Modernisasi BPHN-FH UNAIR Surabaya, Tanggal 25-27 Februari 1980 (Bandung : Bina Cipta, 1982), hlm. 105-107

Sementara bahan hukum primer pendukung lainnya sebagai kajian dalam penulisan ini adalah Yurisprudensi. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan perundangundangan, literatur, jurnal, pendapat ahli hukum, media masa, hasi penelitian terdahulu, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti berupa kamus dan ensiklopedi maupun sumber hukum lainnya yang sejenis dan berhubungan dalam penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum a. Penelitian Kepustakaan, yakni dilakukan dengan cara mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan, literatur, doktrin-doktrin, media massa, dan sumber-sumber lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian. b. yakni wawancara yang dilakukan dengan cara wawancara bebas terpimpin dengan subyek penelitian, yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman, selanjutnya responden secara bebas memberikan jawaban sesuai dengan apa yang ia rasakan, alami, dan diketahuinya. c. studi dokumentasi, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa putusan pengadilan, risalah sidang, dan lainlain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah berupa pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau menurut ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku sekarang.

6.

Analisis Hukum Analisis hukum dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu bahan

hukum yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif (content analisis) dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. b. c. Bahan hukum penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian; Hasil klasifikasi bahan hukum tersebut selanjutnya disistematisasikan; Bahan hukum yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.

BAB II PERBUATAN PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA MASSAL

A. PERBUATAN PIDANA 1. Pengertian Perbuatan Pidana Perilaku kita sehari-hari dipengaruhi oleh banyak norma yang tidak tercantum dalam undang-undang, yang kadang-kadang tidak diakui oleh hukum dan bahkan tidak diungkapkan, hanya sebagian norma-norma yang mengatur perilaku manusia adalah norma hukum, yaitu: yang oleh pembentuk undangundang dimasukkan dalam ketentuan undang-undang dan diterapkan oleh hakim dalam persengketaan36. Dalam hal pembentuk undang-undang berketetapan untuk membuat suatu norma perilaku menjadi norma hukum untuk seluruhnya atau sebagian, maka yang sering terkandung dalam maksudnya adalah antara lain untuk memberi perlindungan kepada kepentingan umum yang berhubungan dengan norma itu, dan tentu saja perlindungan itu tidak mungkin mutlak, tetapi dapat diharapkan bahwa penentuan dapat dipidana itu akan membantu ditepatinya norma tersebut37. Terkait dengan perilaku manusia yang berdimensi publik yang ditetapkan oleh undang-undang dan ditentukan dalam aturan pidana. Aturan pidana itu adalah aturan hukum, sebagaimana diketahui aturan hukum berisikan penilaian, bahwa kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan hukum itu adalah baik atau jelek bagi masyarakat, dan sepatutnyalah jikalau kelakuan demikian boleh dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan dalam masyarakat38. Dalam ilmu hukum pidana, dijumpai beberapa istilah yang berhubungan dengan penyebutan terhadap perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam masyarakat atau bisa dikatakan suatu perbuatan yang tercela, dimana pelakunya dapat diancam dengan pidana tertentu sebagaimana yang tercantum36

D. Schaffmeister, N. Keijzer dan PH. Sutorius, Hukum pidana, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 248-256 37 Ibid., hlm. 23 38 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Ctk. Keempat, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 7

dalam peraturan hukum pidana baik di dalam KUHP atau di luar KUHP. Istilahistilah yang dimaksud antara lain: peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana, yang ketiga istilah tersebut sering dipergunakan oleh pembuat undangundang. Dalam merumuskan undang-undang, sedang dalam KUHP (WvS) yang merupakan kopian dari KUHP Belanda dikenal istilah Strafbaar Feit, yang pada umumnya para pengarang Belanda menggunakan istilah tersebut. Maksud diadakannya istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing Strafbaar Fiet. Namun dalam hal ini belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah Starafbaar Fiet itu dimaksudkan mengalihkan makna dari pengertiannya juga, dikarenakan sebagian besar karangan ahli hukum pidana belum jelas dan terperinci menerangkan pengerian istilah ataukah sekedar mengalihkan bahasanya39. Untuk lebih memperjelas pengertian dan pemahaman mengenai istilah-istilah yang dipakai akan diuraikan berikut ini, sekaligus pemaparan para ahli pidana yang mendukung istilah-istilah yang dipakai: a) Istilah peristiwa pidana40 Istilah peristiwa pidana pernah digunakan dan dicantumkan dalam pasal 14 ayat 1 UUDS (Undang-undang Dasar Sementara) 1950. Pengertian dari peristiwa pidana menurut Prof. Moelyatno kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak, karena peristiwa pidana menunjuk pada pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya: matinya orang, terhadap peristiwa tersebut tidak mungkin dilarang, tapi yang dilarang oleh hukum pidana adalah matinya orang karena perbuatan orang lain, tapi apabila matinya orang tersebut karena keadaan alam, sakit, maka peristiwa tersebut tidak penting sama sekali bagi hukum pidana. Menurut Utrecht41, menganjurkan memakai istilah peristiwa pidana, karena Peristiwa itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen-positif) atau suatu melalaikan (Verzuim atau nalaten, niet-doen-negatif) maupun39

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ctk. kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 125 40 Samidjo, Hukum Pidana (Ringkasan & Tanya Jawab), Armico, Bandung, 1985. hlm. 80 41 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, Jakarta, 1958, hlm. 250

akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu). Jadi peristiwa pidana adalah peristiwa hukum (rechtfeit), yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum). b) Istilah Perbuatan Pidana42 Istilah perbuatan pidana merupakan istilah yang mengadung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Pengertian pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberi arti yang bersifaf ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Perbuatan pidana menurut Prof. Moeljatno adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, dan dalam hal tersebut diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Sehingga antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, karena kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Jadi perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian. c) Istilah Tindak Pidana43 Istilah tindak pidana digunakan dan tercantum dalam pasal 129 Undangundang No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota Konstitusi dan anggota DPR, Undang-undang Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan dan pengertian tentang istilah-istialh yang dipakai, maka dalam hal ini penulis lebih cenderung menggunakan istilah perbuatan pidana, dikarenakan berdasarkan defenisi42 43

di atas, maka dapat dilihat bahwa

Bambang Poernomo, op. cit., hlm. 124 Samidjo, op.cit., hlm. 80

istilah perbuatan pidana menunjuk pada suatu kejadian yang pelakunya adalah manusia yang merupakan salah satu subyek hukum pidana disamping korporasi (akan dibahas pada bab selanjutnya), sedangkan istilah peristiwa pidana menunjuk pada suatu kejadian yang mana pelakunya bisa manusia, alam, hewan dan lainlain yang menurut penulis hal ini terlalu luas dan tidak masuk dalam kajian hukum pidana. Hubungan antara perbuatan pidana dan Strafbaar Feit dalam lingkup kesamaan pengertian, dan dipakai dalam khasanah keilmuan hukum pidana, mempunyai perbedaan makna. yang walaupun perbuatan pidana merupakan pengalihan bahasa dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Strafbaar Feit dipergunakan dinegeri Belanda yang beraliran/paham monistis yang antar lain dikemukan oleh Simon yang merumuskan Simons yang merumuskan Strafbaar Feit sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Berdasarkan dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan unsur-unsur dari Strafbaar Feit meliputi baik unsur-unsur perbuatan yang lazim disebut dengan unsur obyektif, maupun unsur-unsur pembuat yang lazim disebut unsur subyektif dicampur menjadi satu, sehingga Strafbaar Feit sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap kalau terjadi Strafbaar Feit maka pelakunya pasti dapat dipidana44. Perbuatan pidana yang pokok pengertian harus mengenai Perbuatan, yang dalam hal ini tidak mungkin mengenai orang yang melakukan perbuatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof. Moeljatno di atas yang memisahkan antara perbuatan dan pembuatnya. Pokok pengertian pada perbuatan dan apakah inkonkrito yang melakukan perbuatan tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan pidana.45 Tapi pada perkembangnya telah tumbuh pemikiran baru tentang Strafbaar Feit, yang menurut pandangan Pompe, Jonkers dan Vos, telah tumbuh pemikiran tentang pemisahan antara de strafbaarheit van heit feit dan de strafbaarheit44 45

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm. 50 Bambang Poernomo, op.cit., hlm. 126

van de dader, dengan perkataan lain bahwa adanya pemisahan antara perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidana dan orang yang melanggar larangan yang dapat dipidana yang dalam hal ini satu pihak tentang perbuatan pidana dan dipihak lain tentang kesalahan46. Dengan adanya pemisahan antara perbuatan dan pembuatan merupakan termasuk aliran/pahal dualistis. Perbuatan pidana yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana dinamakan delik yang dalam sistem KUHP terbagi dalam dua (2) jenis yaitu47: a) Kejahatan (misdrijven), yang disusun dalam Buku II KUHP, kejahatan adalah Criminal-onrecht yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum atau dengan kata lain perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan dan membahayakan kepentingan hukum. Contoh dari kejahatan dalam KUHP yaitu pada pasal 362 tentang pencurian, pasal 378 tentang penggelapan, dan lain-lain. Tapi ada satu catatan bahwa pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda dengan kejahatan menurut ilmu kriminologi. b) Pelanggaran (overtredingen), disusun dalam Buku III KUHP, pelanggaran adalah politie-onrecht adalah perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara atau dengan kata lain perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan dilarang oleh peraturan penguasa Negara. Contoh dari bentuk pelanggaran dalam KUHP adalah: pasal 504 tentang pengemisan, pasal 489 tentang kenakalan, dan lain-lain.

2.

Unsur-unsur Perbuatan pidana Berdasarkan defenisi di atas tentang perbuatan pidana maka dalam hal ini

dapat disimpulkan unsur-unsur yang terkandung dalam perbuatan pidana. tapi46 47

Ibid. Ibid., hlm. 96

dalam hal ini ada berbagai macam perbedaan dari para ahli hukum pidana sendiri terkait dengan unsur yang harus tercantum dalam perbuatan pidana. Ada sebagian pendapat yang membagi unsur perbuatan pidana secara mendasar dan pendapat lain yang membagi secara terperinci. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pendapat para ahli tersebut48: a) Pendapat yang membagi unsur-unsur perbuatan pidana secara mendasar yang terdiri dari: 1) Bagian yang obyektif menunjuk perbuatan pidana terdiri dari perbuatan dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum (onrechtmatig) yang dapat diancam dengan pidana 2) bagian subyektif yang merupakan anasir kesalahan daripada perbuatan pidana Menurut Apeldoorn bahwa elemen delik itu terdiri elemen obyektif yang berupa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subyektif yang berupa adanya seorang pembuat (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu, yang mengikuti rumusan unsur-unsur perbuatan pidana ini disamping Apeldoorn adalah Van Bemmelen b) Pendapat yang memberikan rumusan terperinci terhadap unsur-unsur perbuatan pidana, diantaranya menurut Vos di dalam suatu Strafbaar Feit (perbuatan pidana) dimungkinkan adanya beberapa elemen atau unsur delik, yaitu: 1) elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of een nalaten) 2) elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akibat ini dapat dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan kadang-kadang elemen akibat tidak dipentingkan dalam delik formel, akan tetapi kadang-kadang48

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Nina Aksara, 1987, hlm. 23

elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti dalam delik materiel 3) elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa); 4) elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid); 5) dan sederatan elemen lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi obyektif misalnya di dalam pasal 160 diperlukan elemen dimuka hukum (in het openbaar) dan segi subyektif misalnya pasal 340 diperlukan elemen direncanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad) Disamping itu menurut Hazewinkel Suringa memberikan rumusan mengenai Strafbaar Feit (perbuatan pidana) yaitu: 1) elemen kelakuan orang (een doen of een nalaten) 2) elemen akibat yang ditetapkan dalam rumusan undang-undang karena pembagian delik formel dan matteriel 3) elemen psikis, seperti elemen dengan oogmerk, opzet, dan nalatifheid (dengan maksud, dengan sengaja, dan dengan alpa) 4) elemen obyektif yang menyertai keadaan delik seperti elemen dimuka umum (in het openbaar) 5) syarat tambahan untuk dapat dipidannya perbuatan (bijkomende voorwaarde van strafbaarheid) seperti dalam pasal 164 dan 165 disyaratkan apabila kejahatan terjadi 6) elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai elemen yang memegang peranan penting, seperti dalam pasal 167 dan 406. Dengan melihat berbagai ragam pendapat yang membagi unsur-unsur perbuatan pidana, yang pada intinya adalah sama dan telah mencakup semua yang telah ditetapkan berdasarkan pengertian dari perbuatan pidana. Maka dalam hal in kesemua unsur tersebut dapat diterapkan. Adapun baiknya kita juga melihat rumusan yang diberikan oleh Prof. Moeljatno yang membagi unsur-unsur perbuatan terdiri dari49:49

Ibid., hlm. 60

1. Kelakuan dan akibat 2. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum; 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana, misalnya pada rumusan pasal 340 KUHP, tentang pembunuhan berencana, yang dalam hal ini apabila seorang tersangka terbukti secara sengaja merencanakan suatu perbuatan yang direncanakan, maka disitulah letak pemberatnya 4. Unsur melawan hukum yang obyektif, yaitu menunjukkan keadaan lahir dari pelaku; 5. Unsur melawan hukum subyektif, yaitu menunjukkan sikap batin dari pelaku. Esensi dari unsur-unsur perbuatan pidana adalah yang pokoknya berwujud suatu kelakuan (+ akibat) yang bersifat melawan hukum baik formal maupun material. Unsur melawan hukum dalam hal ini bagi pembentuk undang-undang ada yang menyebutkan melawan hukum ini dalam rumusannya dan ada juga yang tidak disebutkan melawan hukum dalam rumusannya, namun semua berpendapat bahwa melawan hukum adalah selalu menjadi unsur dari delik. Tapi tidak semua berpendapat bahwa melawan hukum merupakan unsur suatu delik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hezewinkel Suringa yang menyatakan unsur melawan hukum merupakan unsur delik apabila undang-undang menyebutkan dengan tegas sebagai unsur delik, tapi bila undang-undang tidak menyebutkan dengan tegas sebagai unsur delik maka melawan hukum hanya sebagai tanda dari suatu delik, menurutnya konstruksi tersebut menguntungkan jaksa karena jaks tidak perlu membuktikan adanya unsur melawan hukum. karena membuktikan unsur melawan hukum merupakan sesuatu yang negatif, yaitu pembuktian yang sukar tentang tidak adanya alasan pembenar, dengan demikian jaksa hanya cukup membuktikan unsur-unsur dari isi delik50.

50

Bambang Poernono, op.cit., hlm. 59

Pendapat yang menyatakan melawan hukum merupakan unsur dari suatu delik atau diam-diam menganggap sebagai unsur delik berarti mempunyai alam pikiran yang luas, yaitu51: 1. Lebih mudah menerima pandangan sifat melawan hukum materiel. 2. Sifat melawan hukum merupakan elemen tetap dari tiaptiap delik meskipun tidak disebutkan dalam rumusan. 3. Dapat mengakui pengecualian sebagai penghapusan sifat melawan hukum di luar undang-undang atau hukum positif tidak tertulis. 4. Untuk mengadakan pembuktian melawan hukum oleh penuntut umum, hanyalah apabila dalam rumusan suatu delik dirumuskan dengan tegas. 5. Apabila elemen melawan hukum tidak dirumuskan dalam suatu delik, maka tidak perlu dibuktikan, kecuali menurut pandangan hakim ada keragu-raguan unsur tersebut sehingga di dalam sidang atas inisiatif pimpinan dicari pembuktiannya elemen melawan hukum tersebut. Dalam hal hakim ragu-ragu maka dalam hal unsur melawan hukum tidak ternyata dalam pembuktian persidangan berarti elemen tidak terpenuhi dan tidak terbukti delik yang dituduhkan, maka tepat jika putusan hakim akan dibebaskan dari segala tuduhan. 3. Bentuk-bentuk Perumusan Perbuatan Pidana Dalam Undang-undang Suatu perbuatan pidana sebelum dinyatakan dalam suatu aturan pidana dalam hal perundang-undangan maka perbuatan tersebut sebelum dinyatakan sebagai perbuatan pidana, ini memenuhi ketentuan yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 KUHP Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan suatu aturan pidana dalam perundang-undangan, sebelum perbuatan dilakukan. Jadi walaupun perbuatan secara unsur yang seperti disebutkan di atas telah terpenuhi tapi tidak51

Moeljatno, op.cit, hlm. 80

dituangkan dalam undang-undang maka tidak mempunyai kekuatan yang mengikat semua pihak. Adapun tujuan dengan dirumuskan dan dituangkan dalam undang-undang adalah sebagai langkah preventif baik secara umum (kepada Masyarakat) dan preventif Khusus (kepada pelaku perbuatan pidana) serat bertujuan refresif kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan yang dicelakakan kepadanya. Dalam undang-undang terdapat beberapa bentuk perumusan delik, yang disebabkan adanya berbagai kesulitan perumusan yang menyangkut segi teknisyuridis, yuridis-sosiologis, dan politis. Adapun bentuk perumusannya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu52: 1. Kategori pertama a) Perumusan formal, yang menekankan pada perbuatan, terlepas dari akibat yang mungkin timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana, contoh: pasal 362 KUHP tentang pencurian yang berbunyi Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Istilah mengambil berarti suatu perbuatan yang tidak lebih, yang mana perbuatan mengambil itu menimbulkan kehilangan milik secara tidak sukarela, yaitu akibat yang tidak dikehendaki yang dimaksud pembentuk undang-undang. b) Perumusan materiel, yaitu yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat tertentu, meskipun perbuatan disini juga penting, sudah terkandung di dalamnya, contoh : pasal 359 KUHP tentang menyebabkan matinya orang lain. c) Perumusan materiel-formil, yaitu antar perbuatan dan akibat dicantumkan dalam rumusan pasal, contoh: pasal 378 KUHP tentang penipuan.52

D. Schaffmeister, N. Keijzer dan PH. Sutorius, op.cit., hlm. 31-32

2. Kategori kedua a) Delik Komisi, adalah apabila pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu atau dalam kata lain pelanggaran terhadap norma yang melarang menimbulkan delik komisi, contoh: pasal 362 KUHP tentang pencurian b) Delik Omisi, adalah kebalikan dari delik komisi dimana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, atau dalam kata lain adalah melanggar norma yang memerintahkan delik omisi c) Delik omisi semu, adalah menyebabkan menimbulkan akibat karena lalai, meskipun rumusan delik yang akan diterapkan tertuju pada berbuat dan berlaku untuk semua orang. Tapi dalam hal ini delik omisi semu harus mempunyai batasanbatasan karena bisa meluas pada delik berbuat dan tidak berbuat, contoh: pasal 338 KUHP terhadap kasus seorang ibu sengaja tidak memberikan makan kepada bayinya dan akhirnya meninggal. Dalam metode perumusan ada beberapa pendapat tentang metode perumusan delik, diantaranya: menurut pendapat Jonkers yang mengenal empat metode rumusan delik di dalam undang-undang, yang terdiri atas53: 1. yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya pasal 279, 281, 286, 242, dan sebagainya dari KUHP. 2. dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan (kualifikasi), seperti pasal 263, 362, 372, 378 dari KUHP

53

Bambang Poernomo, op.cit., hlm. 94

3.

cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya penganiayaan pasal 351, dan pembunuhan pasal 338 dari KUHP

4.

kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya pasal 521 dan pasal 122 ayat (1) dari KUHP.

Adapun Vos yang mempunyai kesamaan pendapat dalam memberikan metode perumusan delik dengan Jonkers, mengenal tiga macam perumusan delik, diantaranya54: 1. Rumusan yang merupakan bagian-bagian dari delik, misalnya pasal 362, 372 dan lain-lain dari KUHP, akan tetapi tentang pencurian, penggelapan dan sebagainya itu mengandung pula rumusan kualifikasi 2. Rumusan yang menyebutkan kualifikasi delik, sebagai contoh: pasal 351 tentang penganiayaan dan pasal 297 tentang perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur, dari KUHP 3. Rumusan yang hanya memuat ancaman pidana, misalnya 122, 564, 566 dari KUHP. Dengan dicantumkan berbagai macam rumusan delik seperti disebutkan di atas, maka sekiranya tidak ada perbedaan karena kesemuan rumusan tersebut dipergunakan dalam rumusan undang-undang khususnya KUHP. Perumusan delik dalam aturan hukum tersebut bersifat umum, yang ditetapkan bukanlah untuk seseorang tertentu, melainkan untuk semua orang dan selanjutnya aturan hukum itu tidak berhenti berlaku apabila ia telah diterapkan karena suatu kejadian tertentu melainkan dapat diterapkan lagi setiap kali ada kejadian-kejadian yang berhubungan dengan aturan hukum tersebut. B. Perbuatan Pidana yang Dilakukan Secara Massal 1. Pengertian perbuatan pidana yang dilakukan secara massal

54

Ibid.

Untuk mendefinisikan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, menurut penulis dibutuhkan ketelitian dan kejelasan yang tegas, karena mengingat kata massal dalam khasanah keilmuan hukum pidana tidak dikenal dan hanya merupakan Bahasa yang timbul dan hidup di masyarakat sebagai realitas sosial. Menurut hemat penulis perbuatan pidana yang dilakukan secara massal terdiri dari dua pengertian yang dirangkaikan menjadi satu yaitu pengertian perbuatan pidana dan pengertian massal. Pada bab sebelumnya telah dikemukakan tentang pengertian dari perbuatan pidana (yang mana istilah perbuatan pidana yang digunakan penulis dalam tulisan ini, dan bukan tindak pidana atau peristiwa pidana) yaitu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, dimana larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut dan perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan / kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian ini55. Kata massal menurut kamus ilmiah populer adalah dengan cara melibatkan banyak orang; bersama-sama; secara besar-besaran (orang banyak)56. Jadi berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa massal adalah sekumpulan orang banyak yang terdiri dari satu orang lebih yang tanpa batas berapa banyak jumlahnya. Jadi berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan pidana yang dilakukan secara massal adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang berlaku disertai ancaman sanksi bagi pelanggarnya yang mana perbuatan tersebut dilakukan oleh sekumpulan orang banyak/lebih dari satu orang dimana jumlahnya tanpa batas. Dengan melihat definisi tersebut, menurut analisa penulis perbuatan pidana yang dilakukan secara massal juga dapat dikatakan perbuatan pidana yang dilakukan secara kolektif, karena dalam melakukan perbuatan pidana para pelaku dalam hal ini dengan jumlah yang banyak/lebih dari satu orang dimana secara langsung maupun tidak langsung baik direcanakan ataupun tidak direncanakan telah terjalin55 56

Moeljatno, op.cit, hlm. 54 Ahmad Mulana dkk, Kamus Ilmiah Populer, Ctk. Pertama, Absolut, Yogyakarta, 2003.

kerjasama baik hal tersebut dilakukan secara bersama-sama maupun sendirisendiri dalam satu rangkaian peristiwa kejadian yang menimbulkan perbuatan pidana, atau lebih spesifik menimbulkan/ mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik maupun non fisik. Adapun karena perbuatan pidana yang dilakukan secra massal disyaratkan harus adanya kerjasama baik direncakan ataupun tidak direncanakan tetap jasa dalam melakukan kerjasama tersebut disadari terjadinya dan dikehendakinya perbuatan tersebut, oleh karena itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dapat dikatakan sebagai delik dolus karena dilakukan dengan sengaja. Karena tidak mungkin adanya kerjasama apabila tidak disengaja. Menurut para ahli perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yang mengakibatkan kerusakan fisik maupun non fisik dikatakan sebagai kekerasan yang bertentangan dengan hukum, kekerasan dalam hal ini baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik/mengakibatkan kematian pada seseorang57 (definisi yang sangat luas sekali, karena menyangkut pula mengancam di samping suatu tindakan nyata)58. Dengan melihat definisi tentang kekerasan tersebut maka dalam pidana yang dilakukan secara massal masuk dalam kategori kekerasan kolektif (Collective Violeng). Biasanya tindakan massa tersebut disertai/ditandai dengan ciri-ciri yaitu : 1. Anonimitas adalah memindah identitas dan tanggung jawab individual ke dalam identitas dan tanggung jawab kelompok. 2. Impersonalitas adalah hubungan antara individu di luar massa maupun di dalam massa menjadi sangat impersonal 3. Sugestibilitas adalah sifat sugestif dan menularnya. Dengan mendasarkan ciri-ciri kerumunan massa di atas kemudian dikomparasikan dengan realitas yang ada tidak semua ciri-ciri tersebut mutlak terdapat pada semua57

Definisi yang sangat luas sekali, karena menyangkut pula mengancam disamping suatu tindakan nyata. Lihat keterangan kekerasan dalam pasal 89 KUHP 58 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekte Kriminologi, Ctk. Pertama, Eresco, Bandung, 1992, hlm. 55

gerakan/kerumunan massa lebih dari satu orang dan ciri-ciri tersebut bersifat kumulatif, artinya untuk ciri anonimitas dan sugestibilitas bisa jadi terdapat pada sebuah kelompok massa tapi tidak untuk impersonalitas atau sebaliknya. Adapun yang menjadi catatan bagi penulis dalam hal ini adalah antara perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tidak ada perbedaan yang signifikan dengan perbuatan pidana yang biasa kita kenal (dilakukan) orang seorang, hanya saja yang membedakan adalah subyek dari perbuatan tersebut yang jumlahnya lebih banyak/lebih dari satu orang. Adapun yang selama ini menjadi permasalahan adalah terkait dengan tindakan hukum dan pemberian sanksi yang adil serta efektif terhadap kelompok dan pelaku-pelaku atau sekumpulan orang yang mengalami kesulitan dalam pengaplikasiannya di lapangan59. Pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal untuk menentukan batas maksimal dari jumlah massa sulit, sebagaimana pengertian dari kata massa adalah dua orang untuk minimal dan tidak terbatas untuk maksimal. Jadi massa dalam hal ini ada 2 kategori dari jumlah massa yaitu, massa yang jelas berapa jumlah massanya dan massa yang tidak jelas berapa banyak jumlah massanya Untuk massa yang jelas berapa jumlah massanya adalah dimana massa yang terlibat perbuatan pidana dapat dihitung berapa jumlahnya serta diketahui seberapa besar keterlibatan dalam melakukan perbuatan pidana, sebab hal tersebut sudah diatur dalam hukum pidana yaitu pada delik penyertaan (diuraikan lebih lanjut pada bab III). Sedangkan untuk massa yang tidak jelas berapa banyak jumlah massanya adalah dimana massa banyak serta sulit dihitung dengan nominal, sehingga menyulitkan dalam menentukan apakah semua massa yang banyak terlibat semua atau tidak, atau hanya sebagiannya saja. Jadi dalam tulisan ini fokus pembahasan adalah pada massa yang tidak jelas berapa besar jumlah massa serta nominal dari massa yang terlibat dalam melakukan perbuatan pidana.59

Jangan mempertanyakan yang satu/dua orang saja tapi bagaimana dengan yang betul- betul banyak bisa puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Jadi dalam hal ini penulis berusaha memberikan presepsi bahwa 2, 3, 4, 5 dan seterusnya juga massal bukan yang hanya ratusan bahkan ribuan orang saja

Jadi berdasarkan uraian di atas tentang perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hal ini bukan hanya sebatas pada kerusuhan massal, amuk massa pengeroyokan dan lain-lain yang dilakukan di depan umum tetapi juga mencakup semua rumusan perbuatan pidana/kejahatan tertuang di dalam KUHP diantaranya pembunuhan, pencurian, perkosaan, penipuan dll. 2. Bentuk-bentuk perbuatan pidana yang dilakukan secara massal Dengan mengacu pada definisi perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan dengan perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah dari segi subyek pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh karena itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pembahasan dititik beratkan pada kata massal . Jadi berdasarkan kata massa yang menunjuk pada pelaku pada perbuatan pidana dimaksudkan adalah dua orang lebih dan tidak terbatas maksimalnya. Maka berdasarkan hal tersebut perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir. Massa yang terorganisir adalah dimana dalam melakukan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, massa yang berbuat terbentuk secara terorganisir. Umumnya pada bentuk massa ini dikendalikan oleh operator-operator lapangan yang mengerahkan bagaimana dan sejauhmana massa harus bertindak. Tindakan yang dilakukan ditujukan untuk mencari keuntungan (material) secara kelompok dan dilakukan secara ilegal (melanggar hukum) 60. Pada bentuk yang pertama ini massa berbuat dalam melakukan perbuatan pidana dilakukan dengan kerjasama secara fisik dan non fisik (artinya kerjasama dalam menentukan rencana yang akan dijalankan pada saat beraksi), sertadisadari dan dikehendaki terjadinya. Massa pada bentuk ini bergerak secara sistematis dan terkordinasi satu sama lainnya dan berada dibawah satu komando, yang umumnya memiliki pemimpin atau ketua sebagai motor penggeraknya. Pemimpin atau ketua60

Jatmiko, ..., hlm. 22

mempunyai tanggungjawab yang besar dan penuh terhadap semua anggotanya selama masih dibawah kewenangannya. Pada bentuk massa yang terorganisir dalam pembentukkannya dapat terbentuk melalui 2 cara yaitu: a. Massa yang terbentuk secara terorganisir melalui organisasi, adalah mempunyai ciri-ciri yaitu: memiliki identitas/nama perkumpulan, memiliki struktur organisasi, memiliki peraturan yang mengikat anggotanya, memiliki keuangan sendiri, berkesinambungan dan sosial oriented. b. Massa yang terbentuk secara terorganisir tidak melalui organisasi, adalah massa yang terorganisir hanya untuk jangka pendek atau sementara sifatnya, dan spontan dibentuk untuk melakukan perbuatan pidana, dan apabila sudah selesai apa yang dikerjakan maka langsung bubar. Pada bentuk yang pertama ini dalam melakukan perbuatan pidana menurut Tb Ronny Nitibaskara memiliki 3 (tiga) jenis perbuatan pidana atau bahasa yang sering digunakan adalah kekerasan massa (dapat dipersamakan dengan kekerasan kolektif), adapun jenis tersebut, yaitu: a. Kekerasan massal primitif, adalah yang pada umumnya bersifat nonpolitis, ruang lingkup terbatas pada suatu komunitas lokal, misalnya pengeroyokan, tawuran sekolah. b. Kekerasan massal reaksioner, adalah umumnya merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal, melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan/sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Contoh : ribuan sopir angkot mogok (didukung oleh mahasiswa karena disulut oleh adanya kenaikan retribusi dua kali dari Rp. 400 menjadi Rp. 800 yang terjadi di Bandar Lampung tahun 1996).

c. Sedangkan kekerasan kolektif modern, merupakan alat untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari satu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.61 2. Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir Massa yang terbentuk tidak secara terorganisir adalah massa yang melakukan sebuah reaksi terbentuk secara spontanitas tanpa adanya sebuah perencanaan terlebih dahulu. Pada jenis massa ini jauh lebih gampang berubah menjadi amuk massa (acting mob) (korupsi). Adapun tindakan tentang dilakukan merupakan bentuk dari upaya untuk menarik perhatian dari publik maupun aparat penegak hukum atas kondisi sosial yang kurang memuaskan dengan cara yang ilegal62. Pada bentuk kedua ini walaupun massa dalam melakukan perbuatan pidana dengan bersama-sama yang artinya adanya kerjasama, tapi dalam kerjasama yang dilakukan terjadi dengan tanpa rencana sebelumnya dan kerjasamanyapun hanya sebatas pada kerjasama fisik saja tidak non fisik. Jadi massa yang terbentuk tidak secara terorganisir dalam melakukan perbuatan pidana tergerak untuk bereaksi dikarenakan adanya kesamaan isu dan permasalahan yang dihadapi, dan dalam melakukan aksinyapun tidak memiliki pemimpin atau ketua sebagai sebagai yang mengkordinir bergeraknya massa, dalam hal ini yang menjadi pemimpin adalah diri pribadi masing-masing dari anggota massa yang ada. 3. Faktor penyebab perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.

Dalam kasus-kasus perbuatan pidana yang dilakukan secara massal baik dengan massa yang terbentuk secara terorganisir dan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir, memiliki motif dan maksud yang lebih kompleks. Motif dan maksud memiliki makna yang berbeda, motif hanya menjelaskan tentang latar belakang perbuatan yang dilakukan seseorang. Jadi sifatnya menjawab pertanyaan mengapa pelaku berbuat, sedangkan maksud bermakna menjelaskan tentang apa61

UNAIR: Meningkatnya [email protected]/ 62 Ibid.,

Derajat

Kekerasan

Kolektif,

dalam

http//www.

Mail-

yang hendak dicapai oleh pelaku dengan perbuatannya, jadi lebih menerangkan pada tujuan tertentu dari suatu perbuatan 63. Menurut Romli Atmasasmita dengan melihat fenomena kejahatan, kekerasan khususnya dalam hal ini perbuatan pidana yang dilakukan secara massal cukup banyak terkandung perbedaan dalam motif dan maksudnya. Selain itu, perbuatan pidana massal ini juga melahirkan bentuk-bentuk tindakan/perbuatan yang bervariatif dan kompleks sehingga sangat sulit untuk menentukan kuasa kejahatan64. Jadi karena sulit dan kompleksnya penyebab/faktor yang melatarbelakangi suatu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, sehingga tidak ada yang mutlak atau dapat disamakan antara kasus yang satu dengan kasus yang lain tentang halhal apa yang melatarbelakanginya. Dalam menentukan suatu kausa kejahatan hukum pidana dalam hal ini tidak dapat menyelesaikannya sendiri maka dibutuhkan ilmu-ilmu bantu yang relevan dalam hal ini dari segi sosiologi, kriminologi dan psikologi. Dengan mendasarkan pada ilmu-ilmu tersebut maka faktor penyebab terjadinya perbuatan pidana massal adalah : a. Segi sosiologi Menurut Setiadi (1999) berbagai peneliti sosial seprti Levinson (1994), Segal, Dasery, Berry, Poortinga (1990), dan Triardis (1994), pada umumnya menemukan bahwa kekerasan kolektif disebabkan oleh karena terjadinya ketidakpuasan atau konflik antara kelompok-kelompok dalam suatu bangsa/Negara, dan biasanya berkaitan dengan sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik yang ada65. Pada intinya, ada kelompok yang mengalami relative deprivation, yaitu perasaan tidak puas yang didasari keyakinan bahwa kelompoknya mendapat lebih sedikit dari yang sepantasnya diperoleh. Dalam hal ini bukan kelompok yang paling tertekan yang akan terlibat dalam kekerasan kolektif, tetapi mereka yang yakin bahwa mereka seharusnya dan dapat memperoleh yang lebih baik hal itu kadang63

M. Sholehuddin, Kekerasan dalam Konsep Kriminologi, disampaikan dalam Talk Show Mengurai Kekerasan di Indonesia, Forum Komunikasi Gerakan 98, Elmi Hotel, Surabaya, 15 April 2006, hlm. 1 64 Ibid., hlm. 6 65 UNAIR: Meningkatnya Derajat Kekerasan Kolektif, dalam http//www. Mai-archiv.com/unair.

kadang disertai dengan tidak adanya kepercayaan terhadap sistem hukum yang berlaku.66 b. Kriminologi Dari imu kriminologi perbuatan pidana massal ini, dalam ilmu krimonologi dikenal dengan kekerasan kolektif dapat dijelaskan dengan menggunakan Social Control Theory (Teori Kontrol Sosial). Pengertian Teori Kontrol/Control Theory menunjuk kepada setiap perpektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu pengertian Teori Kontrol Sosial atau Social Control Theory menunjuk kepada pembahasan dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis antara lain keluarga, pendidikan, kelompok dominan.67 Pada dasarnya teori ini tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum/mengapa orang taat kepada hukum.68 Teori ini muncul disebabkan oleh 3 (tiga) ragam perkembangan dalam kriminologi yaitu 1. Adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal, kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai kriminologi baru atau new criminology dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat (criminal). 2. Munculnya studi tentang Criminal Justice dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem. 3. Teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni selfreport survey.

66 67

Ibid. Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 31 68 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Victimologi, Djambatan Jakarta, 2004, hlm. 112

Perkembangan awal teori kontrol sosial dipelopori oleh Durkheim pada tahun 1895. Teori ini dapat dikaji dari 2 perspektif yaitu : 1. Perspektif makro, atau Macrosociological Studies menjelajah sistemsistem format untuk mengontrol kelompok-kelompok, sistem formal tersebut antara lain : a. Sistem hukum, UU, dan penegak hukum b. Kelompok-kelompok kekuatan di masyarakat. c. Arahan-arahan sosial dan ekonomi dari pemerintah/kelompok swasta adapun jenis kontrol ini bisa menjadi positif atau negatif. Positif apabila dapat merintangi orang dari melakukan tingkah laku yang melanggar hukum, dan negatif apabila mendorong penindasan membatasi atau melahirkan korupsi dari mereka yang memiliki kekuasaan. 2. Perspektif mikro atau microsociological studies memfokuskan perhatian pada sistem kontrol secara informal. Adapun tokoh penting dalam pespektif ini adalah Travis Hirschi dengan bukunya yang berjudul Causes of Delingvency, Jackson Toby yang memperkenalkan tentang Individual Commitment sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam kontrol sosial tingkah laku. Salah satu teori kontrol sosial yang paling handal dan sangat populer dikemukakan oleh Travis Hirschi pada tahun 1969. Hirschi, dengan keahlian merevisi teori-teori sebelumnya tentang kontrol sosial, telah memberikan suatu gambaran jelas mengenai konsep social bond. Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan pelbagai ragam pandangan tentang kesusilaan/morality, dan seseorang bebas untuk melakukan kejahatan/penyimpangan tingkah lakunya. Selain menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat.69 Teori kontrol sosial berangkat dari asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi

69

Ibid., hlm. 10

baik atau jahat. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik baik kalau masyarakat membuatnya begitu70. Menurut Travis Hirschi terdapat 4 elemen ikatan sosial (social bord) dalam setiap masyarakat, yaitu 71: a. Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain, dan apabila attachment ini sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Attachment diartikan secara bebas dengan keterikatan, ikatan pertama yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan dengan sekolah (guru) dan dengan teman sebaya. b. Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Karena dengan komitmen akan mendapatkan manfaat bagi orang tersebut dikarenakan kegiatan yang diikutinya. Manfaat tersebut dapat berupa harta benda, reputasi, masa depan dan sebagainya. c. Invoiverment merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka kecil kecenderunagan untuk melakukan penyimpangan. Logika pengertian ini adalah apabila orang aktif disegala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut. d. Belief merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial, dan tentunya berbeda dengan ketiga aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut. c. Segi Psikologi Menurut Soetandyo Wigh Josoebroto luapan emosi massa yang terjadi saat ini disebabkan oleh rasa frustasi. Sikap ini muncul karena gagal terpenuhinya ekspektasi, yang terlanjur dipasang tinggi dalam banyak lapangan kehidupan dan70 71

Ibid., hlm. 116 Ibid., hlm. 117-118

menurutnya karena frustasi orang gampang kehilangan akal, perilaku orang menjadi lebih ekspresif dan brutal serta jauh dari tindakan rasional. Dalam realita yang terjadi di lapangan menurut Soetandyo massa yang mengamuk sulit dikuasai, hal tersebut karena luapan emosi massa itu bekerja dalam suatu proses psikologis yang sirkular dengan efek spiral. Dikatakan sirkular karena ditengah-tengah emosi manusia menular dan menjalar secara berkeliling, berulang-alik dari suatu individu ke individu yang lain. Sedangkan berefek spiral, karena lampiasan emosi para individu yang tengah membiarkan dirinya larut dalam massa, akan menjalar dan menular secara berkeliling dan berulang-ulang dengan efek yang kian lama kian intens. Jadi dengan melihat faktor-faktor yang mendorong terjadi perbuatan pidana massal tersebut baik dari segi ilmu sosiologi, kriminologi dan psikologi tidak merupakan hal yang mutlak dan mengikat untuk diterapkan pada peristiwaperistiwa atau motifnya adalah kekuasaan dan maksud pelakunya adalah keinginan untuk menggantikan kekuasaan dan hal tersebut tentu berbeda dengan konflik horisontal, motifnya tidak jauh dari persoalan kecemburuan sosial. Sedangkan maksudnya bisa bermacam-macam ada yang menginginkan pihak lawan tidak lagi mengganggu kepentingan/keyakinan atau ideologi kelompok yang lain untuk menguasai ladang pekerjaan tertentu. Dalam tulisan ini akan dipaparkan juga faktor-faktor lain dari perspektif lain yang menjadi latar belakang terjadinya perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yaitu menurut Dr. Solehudin dosen dari UBARA Surabaya mengamati kasus perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pada pasca reformasi beberapa tahun terakhir ini, paling sedikit terdapat 5 faktor penentu yang saling terkait. Setiap faktor, bila tidak melibatkan faktor yang lainnya, kemungkinan besar tidak akan melahirkan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, adapun faktorfaktor tersebut antara lain 72: 1. Pendorong struktural

72

M. Sholehuddin, Kekerasan dalam Konsep Kriminologi, disampaikan dalam Talk Show Mengurai Kekerasan di Indonesia, Forum Komunikasi Gerakan 98, Elmi Hotel, Surabaya, 15 April 2006, hlm. 1

Pendorong struktural (structural conduciveness) yaitu kondisi struktural masyrakat yang mempunyai potensi bagi timbulnya kekerasan. Kataklisme dalam bentuk kekerasan, bukan semata-mata akibat lemahnya kesadaran hukum. Beberapa kondisi struktural tersebut yang kini merebak di kalangan masyarakat kita adalah: terjadinya krisis nilai, norma, struktur, sumber daya dan krisis budaya malu. Dalam situasi kekinian Indonesia, tidak hanya hukum yang mengalami krisis wibawa, tapi juga seluruh sistem sedang mengalami disorientasi. Kekerasan kolektif dapat dijelaskan dengan melihat pada kultur dan struktur yang ada dalam masyarakat. Sumber-sumber cultur terletak pada berseminya sub budaya kekerasan antara lain yang mendukung kekerasan 2. Ketegangan struktural Ketegangan struktural (struktural strain) merupakan kondisi ketegangan yang diakibatkan oleh kenyataan struktur masyarakat, seperti ketidakpastian, penindasan, konflik dan kesenjangan yang potensial bagi timbulnya kekerasan kolektif, salah satu yang sering terjadi di Indonesia adalah konflik politik. 3 Penyebaran kepercayaan umum Pertumbuhan dan penyebarluasan kepercayaan umum merupakan proses ketika ketegangan struktural sudah dirasakan sebagai realitas, yang kemudian disebarluaskan menjadi kepercayaan umum. Benang merah dari peristiwa kekerasan kolektif, sedikit banyak terkait dengan proses penularan kekerasan dengan wabah seperti penyakit menular, hal tersebut sebagai berkat media massa yang selain efektif untuk menyebarkan informasi yang mencerdaskan masyarakat, tetapi juga untuk proses pembelajaran kekerasan. 4. Faktor pencetus Merupakan faktor situasional yang menegaskan pendorong struktural, ketegangan struktural dan kepercayaan umum tentang sumber ketegangan yang memicu timbulnya perilaku kolektif. Faktor ini diawali oleh penyebaran kepercayaan umum, yaitu sesuatu yang menunjuk ketegangan. 5. Kesempatan Adalah suatu keadaan yang memudahkan bagi terjadinya kekerasan kolektif, keadaan tersebut meliputi pertemuan fisik (massa berhadap-hadapan pada suatu

area terbuka), mobilisasi peran dan kurangnya pengendalian formal maupun non formal. 4 Dampak terhadap korban perbuatan pidana yang dilakukan secara massal Pada prinsipnya sesuai dengan tujuan hukum pidana sebagai hukum publik tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah untuk melindungi kepentingan masyarakat sebagi suatu kolektivitet dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun sekelompok orang (suatu organisasi). Berbagi kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat73 Jadi yang dilindungi hukum pidana secara spesifik di antaranya jiwa, lebih harta, kehormatan dan lain-lain, yang mana dengan dilanggarnya hukum pidana berarti telah merusak tatanan kehidupan dalam masyarakat sehingga secara logika siapa yang merusak tatanan tersebut maka berkewajiban untuk memperbaiki seperti sedia kala. Dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal baik dengan massa yang terbentuk secara terorganisir dan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir pasti memberikan dampak yang negatif baik yang langsung atau tidak langsung pada korbannya ataupun akibat yang ditimbulkan baik dalam lingkup yang kecil atau luas. Berbicara tentang korban akibat kejahatan merupakan salah satu kajian tentang korban-korban dalam hal ini bukan hanya korban kejahatan saja tetapi juga korban akibat abuse of power, dan lain-lain. Pada awalnya kajiannya terhadap korban diartikan secara luas, baik korban akibat perbuatan manusia maupun yang bukan perbuatan manusia (misalnya bencana alam) sebagi bagian dari tanggung jawab sosial dan dilakukan dalam rangka untuk melakukan penyembuhan (freatment) dan kajian terhadap korban bersifat kemanusiaan (humanistic) oleh73

Abdul Kholiq, Hukum Pidana (Buku Pedoman Kuliah), Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002. hlm. 15

karena itu maka pendekatan dilakukan bersifat lintas disiplin ilmu yang mengkaji tentang manusia74 . Tapi dalam tulisan ini yang menjadi kajian adalah korban akibat kejahatan dari suatu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dan akan ditinjau secara umum oleh penulis. Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri 1 orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita, mereka-mereka disini dapat berarti individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah75 Menurut Muladi korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagi akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah tergantung sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan76. Karena korban kejahatan merupakan orang yang dirugikan dalam hal ini bukan saja secara fisik dan juga mengalami penderitaan sosial psikologik yang tidak ringan. Tidak jarang justru kondisi sosial psikologik ini akan lebih memperberat penderitaan seorang victim meskipun kondidi fisiknya sudah dipulihkan secara medis, tapi secara psikologi hal tersebut bisa menjadi traumatik yang berkepanjangan bagi korban, sebagai contoh korban pemerkosaan.77 Pada kasus perbuatan pidana yang dilakukan secara massal di depan umum, akibat yang ditimbulkan luas bukan saja hanya pada korban langsung tapi juga fasilitas umum yang rusak serta berdampak juga pada masyarakat umum dan hal ni semua membutuhkan perhatian bukan hanya saja dari para pelaku tapi juga negara dan masyarakat itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan secara sosiologis menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat semua warga negara harus berpartisipasi penuh, sebab masyarakat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang melembaga (System of74

Mudzakkir,Viktimologi Makalah disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi XI Tahun 2005, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Forum Pemantau Pemberantas Korupsi, ASPEHUPIKI, Surabaya, 14-16 Maret 2005, hlm. 2-3 75 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hlm. 64 76 Muladi, Perlindungan Korban Melalui Proses Pemidanaan, disampaikan pada Seminar Victimologi, Universitas Air Langga, Surabaya.dalam kumpulan, 28-29 Oktober, hlm.3 77 Makalah, Victim dan Pusat Pelayanannya. hlm. 6

Institutionalized Trust). Tanpa kepercayaan ini maka kehidupan sosial tidak akan berjalan dangan baik sebab tidak ada patokan yang pasti dalam bertingkah laku dan kepercayaan ini terdapat melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur organisasional seperti polisi, jaksa, pengadilan dan sebagainya 78 Argumentasi lain kenapa korban kejahatan dalam hal ini perlu dilindungi karena berdasarkan argumen kontrak sosial (Social Contrack Argument) dan argumen solidaritas sosial (Social Solidarity Argumen). Yang pertama menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tinakan yang bersifat pribadi, oleh karena itu kejahatan terjadi dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Sedangkan argumen kedua menyatakan bahwa negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya, atau apabila warga negaranya mengalami kesulitan, melalui kerjasama dalam masyarakat berdasar/menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.79 Jadi hal tersebut yang salah satunya mendasari kenapa permasalahan korban kejahatan perlu diatur dalam hukum positif khususnya di Indonesia. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung artinya dengan adanya perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini, pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstracto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak korban.80 Dikatakan in abstracto dikarenakan perbuatan pidana dalam hukum pidana positif tidak dilihat sebagi perbuatan menyerang/melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkrit, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggar-pelanggar norma/tertib hukum in abstracto. Akibatnya perlindungan korbanpun tidak langsung dan in concreto tetapi hanya in abstracto, atau78 79

Muladi, Perlindungan Korban Melalaui Proses Pemidanaan....., hlm. 2 Ibid. 80 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan & Pengembangan Hukum Pidana, Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 83

hanya dengan kata lain sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit tetapi hanya perlindungan korban tidak langsung dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkret tetapi lebih tertuju pada pertanggung jawaban yang bersifat pribadi/individual. Dalam hal tertentu, hukum pidana positif (material/formal) memberi perhatian juga kepada korban secara langsung, antara lain terlihat dalam ketentuanketentuan : 1. KUHP, yaitu pada pasal 14 c KUHP dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat. Dalam