PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

22
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020 124 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM Riami Email: [email protected] Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo Sumiati [email protected] Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo Yuliana W [email protected] Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo Rofiatul U. [email protected] Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo Abstrak Pernikahan merupakan suatu perkara yang terpuji, dan tidak sepantasnya dirusak oleh hal-hal yang tidak diiginkan. Setiap perkara yang mengarah terhadap kemudhorotan dalam berumah tangga merupakan perkara yang sangat di benci Allah, yaitu perceraian. Karena perceraian termasuk salah satu perbuatan yang di halalkan akan tetapi sangat dibenci oleh Allah. Pada hakekatnya, apa yang disyariatkan islam tidak diperkanankan adanya perpisahan.Melainkan dianjurkan nabi Muhammad agar menjaga keutuhan, keharmonisan dalam tempat tinggal, dan mampu menyelesaikan setiap perseteruan yang terdapat dengan cara yang damai, sebagai akibat menyebabkan suatu perceraian.Diantaranya faktor yang menyebabkan perceraian yaitu meliputi faktor keturunan, faktor kejiwaan, faktor etika, faktor keuangan,dan faktor lingkungan. Kata Kunci: pernikahan, perceraian, faktor dan dampaknya Abstract: marriage is a commendable thing, and justifiable it is undermined by incorrigible things. Any case that leads to marital uncertainty is god's great hater, divorce. Because divorce was one of the deeds perpetuated but was strongly hated by Allah. In essence, what Islam requires is not a farewell.

Transcript of PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

Page 1: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

124 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI

DAN HUKUM ISLAM

Riami

Email: [email protected]

Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo

Sumiati

[email protected]

Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo

Yuliana W

[email protected]

Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo

Rofiatul U.

[email protected]

Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo

Abstrak

Pernikahan merupakan suatu perkara yang terpuji, dan tidak sepantasnya

dirusak oleh hal-hal yang tidak diiginkan. Setiap perkara yang mengarah

terhadap kemudhorotan dalam berumah tangga merupakan perkara yang

sangat di benci Allah, yaitu perceraian. Karena perceraian termasuk salah satu

perbuatan yang di halalkan akan tetapi sangat dibenci oleh Allah. Pada

hakekatnya, apa yang disyariatkan islam tidak diperkanankan adanya

perpisahan.Melainkan dianjurkan nabi Muhammad agar menjaga keutuhan,

keharmonisan dalam tempat tinggal, dan mampu menyelesaikan setiap

perseteruan yang terdapat dengan cara yang damai, sebagai akibat

menyebabkan suatu perceraian.Diantaranya faktor yang menyebabkan

perceraian yaitu meliputi faktor keturunan, faktor kejiwaan, faktor etika, faktor

keuangan,dan faktor lingkungan.

Kata Kunci: pernikahan, perceraian, faktor dan dampaknya

Abstract:

marriage is a commendable thing, and justifiable it is undermined by

incorrigible things. Any case that leads to marital uncertainty is god's great

hater, divorce. Because divorce was one of the deeds perpetuated but was

strongly hated by Allah. In essence, what Islam requires is not a farewell.

Page 2: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

125

Rather, it was encouraged by the prophet muhammad to maintain unity,

harmony in the home, and be able to resolve every existing feud in a peaceful

way, as a result of causing a divorce. Among the factors that lead to divorce

are heredity, psychological factors, ethics, financial factors, and environmental

factors.

Keywords: marriege, divorce, factors and impact

PENDAHULUAN

Adapun fitrah manusia merupakan adanya keterkaitan antara satu

dengan yang lain. Mengingkari adanya hubungan tarik menarik berarti sama

halnya dengan mengingkari aturan alam yang telah ditetapkan Tuhan Yang

Maha Pencipta, sebagaimana di jelaskan pada al-Qur'an, banyak firman Allah

yang menjelaskan tentang pernikahan atau keturunan,menjadi tujuan

pernikahan.(Yayu Zakiah, 2018)

Kehidupan dalam pernikahan tidak akan selalu berjalan dengan lancar,

jika diantara kedua belah pihak sudah tidak ada keserasian ,bisa saja keputusan

terakhir yang di pilih oleh suami istri tersebut adalah perceraian.karena mereka

berfikir perceraian meSrupakan jalan akhir yang dapat memecahkan

permasalahan mereka, dapat saja menetapkan untuk melakukan perceraian

menjadi jalan terakhir yang mereka pilih.(Mestika Dewi, 2006)

Sebelum dilakukan pemutusan hubungan ini, umumnya telah terjadi

konflik permasalahan yang tidak terselesaikan, saling menyakiti di antara

mereka. Dalam pernikahan, suatu hubungan itu sangat penting yang

memperbolehkan antara laki-laki dan perempuan.Hubungan tersebut terjalin

jika diantara kedua belah pihak saling memahami dan saling menyayangi

,sebaliknya apabila terjadi ketidakcocokan dan tidak saling memahami maka

pernikahan tersebut tidak akan berjalan lancar bahkan akan terjadi sebuah

perceraian.

Keluarga termasuk lingkungan masyarakat pertama bagi anak yang

memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari

keluarga. Salah satunya adalah menghormati orang yang lebih tua serta

membantu menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Orang tua

diharapkan dapat membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan

lingkungannya untuk mengatasi masalah secara realistis dan simpati. Oleh

karena itu, keluarga sebagai tempat untuk mengkondisikan pemberian nilai

positif pada anak. (Ria Syahria, 2017)

Keluarga merupakan suatu unit terkecil pada masyarakat, yang

menurut interaksi pernikahan dan interaksi darah. Keluarga merupakan tempat

pertama bagi anak-anak, lingkungan pertama yang memberi tempat tinggal

Page 3: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

126 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

untuknya, tempat anak akan memperoleh rasa kondusif. Keluarga inti terdiri

dari orang tua dan anak yang merupakan kelompok utama yang terikat satu

sama lain lantaran interaksi keluarga ditandai oleh rasa kasih sayang, perasaan

yang mendalami saling mendukung dan kebersamaan dalam aktifitas

pengusaha..(Karlinawati Silalahi & Eko A. Meinarno, n.d.)

Kehidupan keluarga yang serasi merupakan suatu bentuk keluarga

yang didambakan bagi setiap orang yang membina keluarga, begitupun

sebaliknya setiap orang tidak ingin keluarga yang dibinanya tidak harmonis.

Keluarga tidak harmonis merupakan suatu konflik yang seringkali terjadi di

masyarakat.Banyak faktor yang menyebabkan permasalahan ini. Tidak

mampu dipungkiri, merupakan suatu impian tersendiri bagi setiap wanita agar

mencintai dan dicintai, kemudian mempunyai famili kecilnya sendiri. Akan

tetapi, banyak sekali pasangan yang sudah menikahdan menjalani bahtera

kehidupan yang baru yaitu kehidupan tempat tinggal tangga, dan tidak sedikit

juga yang mengalami kasus keluarga yang tidak harmonis sehingga

menyebabkan terjadinya perceraian.(http://www.sarjanaku.com. diambil

tanggal 16 Desember 2014, pukul 10.35 WITA, n.d.)

Perceraian menjadi suatu perkara yang halal namun sangat dibenci oleh Allah.

Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu

Daud, sebagai berikut:(Al-Iman al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats al-

Sajistani, Sunan Abi Daud, juz II, (Indonesia: Maktabah Dahlan,), h. 154-155.,

n.d.)

Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa talak merupakan suatu hal yang

mana di benci Allah jika dilakukan dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh

Agama. Namun terkadang banyak sekali suami istri yang terpancing emosinya,

kadang kala hanya hal yang sepele, sehingga bisa mengancam keutuhan

keluarganya, yang mana pada akhirnya perceraian di- jadikan menjadi jalan

keluarnya.

Dengan ini untuk lebih memahami persoalan tersebut,Penulis ingin

menjelaskan lebih dalam tentang “Perceraian menurut persepsi psikologi

dan Hukum Islam”

MAKNA KELUARGA

Keluarga merupakan kesatuan terkecil dalam warga yang terdiri

berdasarkan ayah, ibu dan anak. Keluarga bisa menjadi pangkal kehidupan

Page 4: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

127

seseorang, sumber perawatan menggunakan afeksi, taman pendidikan pertama,

terpenting dan terdekat yang sanggup dinikmati lantaran pengajaran mengenai

nilai- nilai kehidupan baik agama juga sosial budaya adalah hal-hal

fundamental yang mampu diperoleh di dalam sebuah keluarga. Ada kalanya

sebuah keluarga dihadapkan dalam sebuah permasalahan rumah tangga

dimana hal ini menganggu keseimbangan dan mencipta-kandisharmonisasi

dalam keluarga. apabila suami istri menjadi orang tua tidak bisa mengatasi

permasalahan rumah tangga yang terjadi maka akan mengakibatkan perkara

berkepanjangan sebagai akibatnya salah satu jalan keluar yang diambil untuk

keluar dari kasus rumah tangga tadi adalah dengan bercerai.(Tia

Ramadhani,Djunaedi, 2016)

Keluarga merupakan kesatuan sosial yang dibentuk oleh ikatan

pernikahan,yang mana unsur unsur dalam keluarga itu meliputi ayah, ibu, dan

anak.Sedangkan rasa kasih sayang ,cinta dalam ikatan pernikahan ,rasa aman

dan nyaman,serta tempat tinggal bagi anggota keluarga termasuk sifat sifat

keluarga.

Dalam keluarga hendaknya antara suami istri wajib terbuka ,tidak

diskomunikasi, saling menghargai, saling menerima baik kelebihan maupun

kekurangan yang ada pada individu pasangan,agar menghadapi suatu konflik

atau permasalahan bisa teratasi dengan baik dan tidak berakhir dengan

perceraian.

Santrock (2007) mengungkapkan bahwa keluarga merupakan suatu

sistem, sistem tersebut artinya suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-

bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan tidak pernah

hanya berlangsung satu arah, misalnya salah satu contoh penting dari interaksi

tersinkronisasi adalah saling tatap atau kontak mata antara ibu terhadap anak.

Hubungan dalam keluarga hendaknya terjalin kontak yang menyeluruh

yakni ada hubungan antara satu dengan yang lain,tidak monoton.Akan

tetapi,harus terjalin secara singkron antara orang tua dan anak.Oleh karena itu

orang tua menjadi peranan penting dalam membentuk suatu keluarga yang

sakinah,mawaddah warohmah.Selain itu keharmonisan dalam keluarga

tentunya yang di idamkan oleh pasangan suami istri adalah keturunan (anak).

Anak merupakan prioritas utama dalam keluarga.Selain saling menyayangi,

menginginkan keturunan yang baik dari seorang istri adalah menjadi impian

yang diidamkan.Karena itu istri dikatakan tidak berhasil menjadi ibu jika tidak

memiliki keturunan.Tidak memiliki keturunan juga bisa menjadi suatu konflik

masalah perpecahan dalam rumah tangga sehingga menimbulkan perceraian.

Mempunyai keluarga yang mini terdiri dari ibu, ayah, serta anak yang

penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan merupakan virtual bagi setiap

pasangan individu yang membangun sebuah keluarga kecil. Keluarga yang

Page 5: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

128 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

diharapkan oleh setiap pasangan individu pada umumnya merupakan keluarga

yang lengkap, serasi, bahagia, sejahtera, dan mempunyai keturunan. Memiliki

buah hati pada pasangan suami istri merupakan hal terpenting bagi

keberlangsungan keturunan dari sebuah keluarga. Keturunan atau anak yang

dimiliki oleh setiap pasangan diharapkan bisa menjadi anak yang sehat secara

fisik dan psikologis, tumbuh cerdas, aktif, tumbuh kembang berjalan dengan

normal sesuai dengan tahap perkembangannya.(Komang Diah Lopita Sari dan

I G.A.P. Wulan Budisetyani, 2016)

Secara umum di Indonesia keluarga yang berdasarkan ayah, ibu,dan

anak.Mereka terikat dalam sebuah pernikahan dan membentuk sebuah rumah

tangga.Pernikahan yang harmonis artinya pernikahan yang anggotanya selalu

merasa nyaman,saling mengasihi , menghormati hak dan kewajiban masing

masing dan saling mendukung , menerima setiap kekurangannya dan kelebihan

masing masing agar rumah tangga sakinah mawaddah dan warohmah.Sakinah

artinya damai dan tentram maksudnya keluarga yang didalamnya mengandung

ketenangan ,ketentraman,keamanan,dan kedamaian diantara anggota

keluarga.Mawaddah maksudnya suatu perasaan yang saling mengasihi, saling

terbuka ,saling jujur antara pasangan suami istri.Sedangkan warohmah artinya

saling menjaga ,melindungi dan memahami akan hak dan kewajiban suami

istri.Terkadang itu semua tidak mampu diwujudkan dengan baik karena

diantara suami istri saling mendurhakai.Diantaranya faktor psikologis dan

biologis seperti kurangnya rasa perhatian ,muncul rasa bosan,kurangnya

perhatian, kurangnya komunikasi.Sedangkan faktor ekonomi seperti

pemenuhan kebutuhan yang begitu banyak sehingga menyebabkan kondisi

ekonomi yang kekurangan dan memicu perselisihan yang artinya menuju

kepada perceraian.

HAKIKAT PERCERAIAN

Cerai atau talak berasal dari bahasa Arab yaitu “thalaq” yang artinya

cerai atau perceraian. Dalam istilah agama, talak artinya melepaskan ikatan

pernikahan. Perceraian tersebut ada bubarnya hubungan pernikahan, ada

pernikahan tentu ada perceraian. Oleh karena itu pernikahan adalah akhir

hayat bersama sebagai suami-istri dan perceraian merupakan akhir hayat

bersama suami-istri.(Ria Syahria, 2017).

Melepaskan ikatan pernikahan merupakan terputusnya hubungan

antara pihak suami dan istri.Dimana diantara ke dua belah pihak sudah tidak

mungkin ada kecocokan lagi baik komitmen dan realisasi antara

mereka,karena itu perceraian terjadi dalam suatu pernikahan.

Allah menetapkan hukum thalaq menjadi suatu cara menanggulangi

perselisihan suami-istri, di saat tidak ada lagi cara lain yang dapat

mengatasinya.menjatuhkan ucapan talak merupakan hak suami, dia bisa

Page 6: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

129

menjatuhkannya jika dia mau. Oleh karena itu Hak diberikan kepada suami,

sebab dia menanggung biaya kebutuhan di rumah tangga, dia juga membayar

mahar ketika akad dan menafkahinya ketika dalam masa menunggu (iddah).

Tetapi menjatuhkan kata talak kepada istri tidak termasuk sikap yang mulia

dan sangat tidak disukai, hal itu termasuk kufur nikmat Allah. Sedangkan kufur

nikmat itu termasuk sikap tercela dan dilarang menurut pendapat Imam Abu

Hanifah dan Ahmad bin Hambal, menjatuhkan talak itu tidak halal, kecuali

dalam keadaan terpaksa (darurat).(Fuad Shalih, 2006)

Jika dalam suatu pernikahan atau dalam menjalin keluarga hanya

terdapat suatu permasalahan yang menimbulkan kemudhorotan dan sudah

tidak bisa dipertahankan kecuali dengan bercerai meskipun dalam islam

perceraian itu termasuk perbuatan yang dilarang dan tidak disukai Allah.

Suatu perkawinan mempunyai tujuan untuk menciptakan kehidupan

suami isteri yang serasi dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang

sejahtera dan bahagia di sepanjang masa. Dalam relasi sebuah rumah tangga

antara suami isteri selalu mendambakan agar ikatan lahir batin yang

berdasarkan dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri sepanjang

hayat masih dikandung badan. Agama Islam telah mengatur sedemikian jelas

tentang hubungan suami isteri agar rumah tangganya penuh dengan

mawaddah wa rahmah.Akan tetapi kenyataan hidup membuktikan bahwa

menjaga kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami isteri itu

bukanlah suatu hal perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak

hal kasih sayang dan kehidupan yang serasi antara suami isteri tidak bisa

diwujudkan.Adapun Faktor-faktor psikologi, biologis, ekonomi, perbedaan

kecenderungan, pandangan hidup, selalu muncul dalam kehidupan rumah

tangga bahkan bisa menimbulkan krisis (kesulitan ekonomi) rumah

tangga.Perceraian dalam istilah fiqh disebut dengan talak atau furqah, kata

talak artinya membuka ikatan, membatalkan perjanjian, sedangkah furqah

artinya bercerai, dalam istilah fiqh diartikan sebagai perceraian antara suami

dan istri.(Hadayati, 2016).

Menurut hukum Islam perceraian mempunyai arti;

a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi keterikatan dengan

ucapan tertentu

b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri

c. Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan ucapan talak atau yang sama

dengan ucapan talak.(Zahri Hamid, 1976)

Adapun perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 117

perceraian merupakan ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang

menjadi salah satu penyebab putusnya ikatan perkawinan.(Kompilasi Hukum

Islam, Pasal 117, n.d.)

Page 7: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

130 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Perceraian tersebut Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 J Undang

Undang Per kawinan.

Jadi Sebelum menjelaskan tentang perceraian dari KHI pasal 116, terlebih

dahulu akan dijelaskan pengertian perceraian menurut hukum Islam.

Perceraian dalam bahasa Arab disebut dengan istilah talaq, sedangkan talak

secara etimologi yaitu:

“Talak secara bahasa adalah melepaskan tali”.(Zainudin ibn Abdu al-Aziz al-

Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Aini, (Surabaya: Bengkulu Indah,

tt), h. 112., n.d.)

Dalam pengertian secara istilah umum, perceraian merupakan putusnya

interaksi atau ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan

(suami-isteri). Sedangkan pada syari’at Islam perceraian dianggap dengan

talak, yang mengandung arti divestasi atau pembebasan (divestasi suami

terhadap isterinya).

Dalam fikih Islam, perceraian atau talak artinya “bercerai lawan kata dari

berkumpul”.

Kemudian istilah ini kata talak dijadikan istilah oleh para ahli fikih yang berarti

perceraian antara suami- isteri.(Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam

Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 6., n.d.)

Sedangkan para ulama memberikanpengertian tentang perceraian (talak) yaitu:

1.Sayyid Sabiq berpendapat bahwa ;

Talak adalah melepaskan ikatan atau bubarnya hubungan perkawinan.(Sayyid

Sabiq, Fiqih Sunnnah, Jilid II, (Mesir: Dǎr al-Fikr, 1983), h. 2006. 8, n.d.)

2. Abdur Rahman al-Jaziri berpendapat bahwa ;

Talak secara istilah adalah melepaskan melepaskan status

pernikahan.(Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqh ala Madzahahibil Arba’ah, Jilid

IV, (Mesir: Dar al-Fikr, 1989), h. 278., n.d.)

Talak dalam pengertian ini merupakan hilangnya ikatan atau membatasi gerak-

nya dengan kata-kata khusus, sedangkan makna adalah hilangnya ikatan

per- kawinan sehingga tidak halal lagi suami- istri bercampur.

3.al-Hamdani berpendapat bahwa ;

Bercerai adalah lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan perkawinan.(Al-

Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 1., n.d.)

Page 8: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

131

PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN

Adapun Faktor-Faktor Penyebab terjadinya perceraian antara suami

istri yaitu ;

a. Menurut George Levinger pada penelitiannya tahun 1966 (Ihromi, 2004:

153) menyusun 12 kategori yang menjadi alasan terjadinya perceraian

yaitu:

1. Lantaran pasangannya sering kali mengabaikan kewajiban terhadap

tempat tinggal dan anak, seperti jarang pulang ke tempat tinggal, tidak

terdapat kepastian waktu berada pada tempat tinggal, dan tidak adanya

kedekatan emosional dengan anak dan pasangan.

2. Masalah ekonomi (tidak cukupnya penghasilan yang diterima buat

menghidupi famili dan kebutuhan rumah tangga).

3. Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan.

4. Pasangannya tak jarang berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar dan

menyakitkan.

5. Tidak setia, seperti selingkuh dan tak jarang berzinah menggunakan

orang lain.

6.Ketidakcocokan dalam perkara hubungan seksual dengan pasangannya

seperti adanya keengganan atau acapkali menolak melakukan senggama,

dan tidak mampu memberikan kepuasan.

7.Sering mabuk.

8. Adanya keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial berdasarkan

pihak kerabat pasangan.

9. Seringnya timbul kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari

pasangannya.

10. Berkurangnya perasaan cinta sebagai akibatnya jarang berkomunikasi,

kurangnya perhatian dan kebersamaan di antara pasangan.

11. Adanya tuntutan yang di percaya terlalu berlebihan sehingga

pasangannya acapkali sebagai tidak sabar, tidak ada toleransi, dan

dirasakan terlalu menguasai.

12. Kategori lain-lain yang tidak termasuk 11 tipe keluhan di atas. (Widi Tri

Estuti, 2013)

b. Setiyanto (2005: 197) menjelaskan terdapat beberapa hal yang bisa

mengakibatkan perceraian, yaitu

(1) tidak terdapat kecocokan,

(2) adanya faktor orang ketiga,

(3) sudah tidak adanya komunikasi.

c. Sedangkan berdasarkan Dariyo(2008:167) menyebutkan terdapat beberapa

faktor yang menyebabkan terjadi perceraian suami-istri diantaranya menjadi

berikut:

Page 9: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

132 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

1) Masalah keperawanan (Virginity)

Bagi seorang individu (laki-laki) yang menduga keperawanan sebagai

sesuatu yang krusial, kemungkinan kasus keperawanan akan mengganggu

proses bepergian kehidupan perkawinan, tetapi bagi pria yang nir

mempermasalahkan tentang keperawanan, kehidupan perkawinan akan bisa

dipertahankan menggunakan baik. Kenyataan pada sebagian akbar masyarakat

daerah Indonesia masih menjunjung tinggi dan menghargai keperawanan

seorang perempuan. Lantaran itu, faktor keperawanan dipercaya menjadi

sesuatu yang kudus bagi wanita yang akan memasuki pernikahan. Itulah

sebabnya, keperawanan sebagai faktor yang menghipnotis kehidupan

perkawinan seorang.

2) Ketidaksetiaan di antara pasangan hayati

Keberadaan orang ketiga (WIL/ PIL) memang akan mengganggu

kehidupan perkawinan (Soewondo, pada Munandar, 2001). Jika diantara

keduanya tidak ditemukan kata setuju buat menyelesaikan dan saling

memaafkan, akhirnya perceraianlah jalan terbaik buat mengakhiri hubungan

pernikahan itu.

3) Tekanan kebutuhan ekonomi keluarga

Sudah sewajarnya, seorang suami bertanggung jawab memenuhi

kebutuhan ekonomi keluarga. Itulah sebabnya, seorang istri berhak menuntut

supaya suami bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Bagi mereka yang

terkena PHK, hal itu dirasakan amat berat. Untuk menyelesaikan kasus itu,

kemungkinan seorang istri menuntut cerai menurut suaminya.

4) Tidak mempunyai keturunan

Kemungkinan karena tidak memiliki keturunan walaupun menjalin

interaksi pernikahan bertahun-tahun dan berupaya kemana-mana untuk

mengusahakannya, tetapi permanen saja gagal. Guna merampungkan perkara

keturunan ini, mereka sepakat mengakhiri pernikahan itu dengan bercerai

danmasing-masing memilih nasib sendiri.

5) Salah satu berdasarkan pasangan hayati meninggal dunia

Global Setelah meninggal dunia dari salah satu pasangan hidup, secara

otomatis keduanya bercerai. Apakah kematian tersebut ditimbulkan faktor

sengaja (bunuh diri) ataupun tidak sengaja (tewas dalam kecelakaan, mangkat

lantaran sakit, mangkat karenabencanaalam)tetap mensugesti terjadinya

perpisahan (perceraian) suami istri.

6) Perbedaan prinsip, ideologi atau kepercayaan

Setelah memasuki jenjang pernikahan dan kemudian mempunyai

keturunan,akhirnya mereka baru sadar adanya perbedaan disparitas itu.

Masalah mulai timbul mengenai penentuan anak wajib mengikuti genre agama

dari pihak siapa, apakah ikut ayah atau ibunya. Rupanya, hal itu tidak bisa

Page 10: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

133

diselesaikan menggunakan baik sebagai akibatnya perceraianlah jalan terakhir

bagi mereka.

d. Menurut Dodi Ahmad Fauzi (Dodi Ahmad Fauzi, 2006: 4), ada beberapa

faktor-faktor penyebab perceraian antara lain merupakan sebagai berikut:

1)Ketidakharmonisan dalam tempat tinggal

Alasan tadi pada atas merupakan alasan yang paling kerap

dikemukakan oleh pasangan suami-istri yang akan bercerai.

Ketidakharmonisan mampu disebabkan sang aneka macam hal diantaranya,

krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain,

istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian

yang lebih mendetail.

2) Krisis moral dan akhlak

Selainketidakharmonisan pada tempat tinggal tangga, perceraian pula

tak jarang memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat

dilalaikannya tanggung jawab baik sang suami ataupun istri, poligami yang

tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan sikap lainnya yang

dilakukan baik sang suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak

kriminal, bahkanutang piutang.

3) Perzinahan

Di samping itu, kasus lain yang bisa mengakibatkan terjadinya

perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang

dilakukan baik oleh suami juga istri.

4) Pernikahan tanpa cinta

Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, buat

mengakhiri sebuah perkawinan merupakan bahwa perkawinan mereka sudah

berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan dampak

sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan wajib merefleksi diri untuk tahu

kasus sebenarnya, pula wajib berupaya buat mencoba menciptakan kerjasama

pada menghasilkan keputusan yang terbaik.

5) Adanya kasus masalah pada perkawinan

Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas menurut yang

namanya kasus. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang

biasa, akan tetapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak bisa didamaikan

lagi secara otomatisakan disusul dengan pisah ranjang.

Dari beberapa faktor-faktor para ahli di atas, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa faktor-faktor penyebab perceraian diantaranya yaitu

adanya disparitas prinsip antara suami dan istri, kekerasan dalam tempat

tinggal, tekanan kebutuhan ekonomi, kematian, perselingkuhan, dan

ketidakharmonisan dalam rumah tangga.(Widi Tri Estuti, 2013)

TAHAP TAHAP PROSES PERCERAIAN

Page 11: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

134 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Paul Bahanon berpendapat (pada Turner &Helms, 1995; Dariyo, 2003;

Soesmaliyah Soewondo, 2001), seorang pakar psikologi famili menyampaikan

bahwa perceraian itu terjadi melalui sebuah proses. Perceraian yang dialami

oleh pasangan suami-istri terjadi melalui beberapa tahap. Oleh karena itu,

perceraian merupakan sebuah akhir dari proses yang diawali dengan peristiwa-

peristiwa tertentu yakni sinkron dengan kondisi hubungan pasangan suami-

istri, misalnya adanya perselingkuhan, apakah perselingkuhan dimulai oleh

pasangan laki- laki atau wanita, maka proses perceraian sedang terjadi, sebagai

akibatnya masing-masing pasangan siap buat berpisah antara satu dengan yang

lain (Satiadarma, 2001). Lebih lanjut, Paul Bahanon menyatakan bahwa

terdapat beberapa tahap pada proses perceraian.(Dariyo, 2004)

Adapun tahapan proses perceraian yang di kemukakan oleh Paul Bahanon

di antaranya yaitu:

1. Perceraian financial

Perpisahan antara pasangan suami- istri sangat krusial pada hal

keuangan (financial divorce), untuk memberi uang belanja keluarga pada

istrinya. Demikian juga, istri tidak mempunyai hak buat meminta jatah uang

belanja keluarga, kecuali masalah keuangan yang dipergunakan buat

memelihara anak- anaknya. Walaupun sudah bercerai, tetapi menjadi ayah, ia

tetap berkewajiban buat merawat, membiayai dan mendidik anak- anak.

Meskipun mereka sudah berstatus menjadi janda atau duda akibat

dampak dari perceraian, mereka permanen adalah orang tua biologis terhadap

anak-anak yang dilahirkan pada sebuah perkawinan yang sah menjadi anggota

keluarga. Adanya realita tadi membawa konsekuensi kewajiban yang melekat

secara alamiah bagi orangtua buat permanen memberikan biaya perawatan dan

proteksi terhadap anak-anak, sampai mereka telah berdikari atau menginjak

usia tertentu (misalnya usia 24 tahun, setelah lulus berdasarkan pendidikan

sarjana).

2. Perceraian koparental [coparetal divorce]

Setelah bercerai, masing-masing bekas pasangan suami-istri tidak lagi

memiliki kebersamaan dalam mendidik anak-anak mereka, lantaran mereka

sudah hidup terpisah dan sendiri , seperti sebelum menikah. Perceraian

koparental (coparental divorce) tidak mensugesti fungsi mereka menjadi

orangtua yang permanen wajib untuk berkewajiban buat mendidik, membina

dan memelihara anak-anak mereka. Mereka tetap berkewajiban buat mengajak

komunikasi dan memberi kasih- sayang pada anak-anak, walaupun tidak

secara utuh. Untuk melaksanakan tugas pengasuhan pasangan yang telah

bercerai, maka mereka akan melakukan perjanjian-perjanjian yang disepakati

bersama, agar anak-anak sahih benar merasakan kasih sayang dan perhatian

menurut orangtuanya.

Page 12: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

135

Dalam kenyataan, banyak sekali orangtua yang merasa kecewa, terluka

dan depressif, akibatnya tidak sanggup melaksanakan tugas koparental secara

utuh dan berkesinambungan. Peristiwa perceraian selalu membayangi pikiran

dan perasaannya, sehingga sulit terlupakan, akibatnya komitmen koparental

terbengkelai sehingga mengakibatkan anak-anak semakin menjadi korban

penelantaran dari orang tua biologis (Satiadarma, dalam Gunarsa, 2004). Hal

ini sudah bisa ditebak akibatnya. Anak-anak pun semakin terluka, kecewa,

sedih dan sakit hati atas perlakuan demikian. Ibaratnya mereka sudah jatuh dari

tangga dan lalu tertimpa tangga lagi, sebagai akibatnya semakin parah

keadaannya. Jadi anak-anak tumbuh dan berkembang dalam suasana dan

situasi yang tidak menguntungkan,sehingga menjadi insan dewasa yang tidak

utuh dan mengalami keterbelahan jiwa (gangguan ekulibrium jiwa).

Keterbelahan jiwa (gangguan ekulibrium jiwa) merupakan gangguan

kejiwaan yang di alami oleh seseorang dalam suatu keluarga yang mengalami

perpisahan. Yang mana akibatnya adalah anak-anak yang akan merasakan

dampak psikisnya.

3. Perceraian Hukum

Perceraian secara resmi ditandai menggunakan sebuah keputusan

hukum melalui pengadilan (law divorce). Bagi mereka yang beragama muslim,

pengadilan agama akan mengeluarkan keputusan talak I, II dan III sebagai

landasan hukum perceraian antara pasangan suami-istri. Sedangkan pasangan

yang non-muslim;seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu maupun Budha),

pengadilan umum negara atau kantor catatan sipil berperan untuk memutuskan

dan mengesyahkan perceraian mereka. Dengan keluarnya keputusan resmi

tadi, maka masing- masing individu mantan pasangan suami- istri, mempunyai

hak yang sama untuk memilih masa depan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi

oleh pihak lain. Kini mereka memiliki status yang baru yaitu sebagai janda atau

duda.

Oleh karenanya, mereka berhak untuk menikah lagi dengan orang lain

yang dianggap cocok dengan dirinya. Mereka tidak perlu merasa takut

terhadap siapapun dalam mengambil keputusan tersebut, lantaran telah

bercerai resmi secara hukum. Dengan demikian, mereka tidak dipercaya

sebagai suatu perselingkuhan apabila berpacaran, bertunangan dan maupun

menikah dengan orang lain. Dengan kata lain mereka bebas bertindak dan

memilih pendamping pasangan hidup sesuai apa yang mereka inginkan.

4. Perceraian Komunitas

Menikah merupakan upaya untuk mengikatkan 2 (dua) komunitas

budaya, adat-kebiasaan, sistem sosial-kekerabatan juga kepribadian yang

berbeda supaya menjadi satu. Mereka bukan lagi menjadi dua orang individu

Page 13: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

136 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

yang berbeda tetapi telah menganggap dirinya menjadi satu- kesatuan yang

utuh dalam keluarga. Apa yang mereka miliki akan menjadi milik bersama.

Tetapi ketika mereka telah resmi bercerai, maka masing-masing individu akan

kembali pada komunitas sebelumnya. Jadi mereka mengalami perpisahan

komunitas (community divorce). Mereka tidak lagi akan berkomunikasi,

berhubungan atau mengadakan kerja-sama dengan bekas pasangan hidupnya,

mertua, atau komunitas masyarakat sebelumnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa perceraian komunitas keluarga juga

mempengaruhi relasi dengan komunitas tempat pekerjaan. Atasan maupun

teman- teman sekerja mempersepsikan hal-hal yang tidak baik terhadap

seseorang yang bercerai yaitu gagal dan tidak mampu mengurus keluarga,

tidak mampu membina rasa cinta dengan pasangan hidup dan tidak dapat

dipercaya untuk mengemban misi perkawinan. Akibatnya komunitas tempat

pekerjaan mengambil sikap atau menjaga jarak selama jangka saat eksklusif,

sampai kemudian terjadi pemahaman yang shahih terhadap konflik yang

mengakibatkan perceraian tersebut, sebagai akibatnya terjadi pemulihan

hubungan komunitas tempat pekerjaan.

5. Perceraian secara psiko-emosional

Sebelum bercerai secara resmi,adakalanya masing-masing individu

merasa jauh secara emosional dengan pasangan hidupnya (psycho-emotional

divorce), walaupun mungkin mereka masih tinggal dalam satu tempat tinggal.

Pertemuan secara fisik, tatap muka, berpapasan atau hidup serumah, bukan

tolok ukur menjadi tanda keutuhan hubungan suami-istri. Masing-masing

mungkin tidak bertegur-sapa, berkomunikasi, acuh tidak acuh, “cuek”, tidak

saling memperhatikan dan tidak memberi kasih-sayang. Kehidupan mereka

terasa hambar, kaku, tidak nyaman, dan tidak bahagia. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwasannya secara fisik berdekatan, akan tetapi mereka merasa

jauh dan tidak ada ikatan emosional menjadi pasangan suami-istri.

Ikatan emosional yang sudah terbentuk semenjak jatuh cinta dan

berkembang dan ketika masing-masing pasangan mengucapkan ikrar kesetiaan

dalam program ritual perkawinan, semenjak terjadi perceraian, maka ikatan

emosional tadi telah hancur dan masing-masing mencoba untuk merepress ke

dalam alam sadar. Seolah-olah mereka tidak pernah melakukan suatu

perkawinan yang resmi, atau menganggap sebagai sebuah mimpi, sehingga

pikiran dan perasaan mereka mencoba untuk meniadakan unsur keterangan

sejarah perkawinan yang pernah dialaminya

6. Perceraian secara fisik

Perpisahan secara fisik (physical divorce) merupakan suatu kondisi di

mana masing-masing individu tidak lagi tinggal dalam satu rumah dan telah

menjauhkan diri dari mantan pasangan hidupnya. Masing-masing tinggal pada

Page 14: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

137

rumah atau tempat yang berbeda. Mereka benar-benar tidak bertemu secara

fisik dan tidak lagi berkomunikasi secara intensif. Dengan demikian, mereka

tidak memperoleh kesempatan untuk melakukan hubungan sexual lagi dengan

bekas pasangan hidupnya. Oleh karena itu, mereka wajib menahan diri untuk

tidak menyalurkan libido sexual dengan siapa pun. Perpisahan fisik terjadi

setelah mereka berpisah secara hukum melalui pengadilan.

Proses perpisahan secara fisik, diawali menggunakan suatu kondisi

psiko- emosional yang tidak seimbang pada diri masing-masing pasangan,

sehingga mensugesti seorang pasangan untuk tidak bertemu muka, tidak

berkomunikasi dan saling mendiamkan dengan partnernya.(Dariyo, 2004)

Dalam hal ini,setiap masing-masing pasangan mengetahui dan

menyadari kondisinya secara psikis akan hasratnya untuk tidak saling bertatap

muka dan tidak saling berkomunikasi.

PENGARUH ATAU DAMPAK PERCERAIAN

Dampak perceraian orang tua berdampak besar terhadap kemampuan

berbicara anak, karena pada saat anak kekurangan kasih sayang dan perhatian

dari yang seharusnya diberikan oleh kedua orang tuanya, maka anak biasanya

dengan sendirinya akan mencari dan mempelajari dari hal-hal yang

membuatnya merasa aman dan nyaman. Sehingga terkadang beberapa bahasa

yang digunakan oleh seorang anak yang orangtuanya bercerai cenderung kasar,

hal tersebut terjadi karena tidak adanya perhatian yang intens yang didapat

anak dari lingkungannya.(Siti Khodijah, 2018)

Anak menjadi faktor penunjang utama dalam

kehidupanberkeluarga,akibat dari perceraian orang tua anak menjadi korban

sehingga dapat menimbulkan rasa kurang aman dan nyaman baik dalam

bergaul dalam lingkungan keluarga,teman dan sekitarnya.mereka lebih

cenderung sendiri dan bertindak arogan.Oleh karena itu, mereka butuh

perhatian penuh dan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang telah

bercerai.Adapun beberapa kemungkinan Pengaruh dan Dampak perceraian

orang tua terhadap anak yaitu:

1) Merasa tidak aman

Perasaan tidak aman (insecurity) ini menyangkut aspek financial dan

masa depan, dikarenakan seorang anak berpikir bahwa masa depannya akan

suram. Alasan ini mulai timbul karena sudah tidak adanya perhatian dari orang

tuanya, baik perhatian yang didapatkan secara materi maupun

immateri,sehingga tidak bisa dipungkiri ketika anak mulai mengalami masa

remaja mereka tidak akan lagi menghiraukan terhadap keluarga dan

lingkungannya. Biasanya anak akan cenderung introvert (menutup diri)

terhadap sosialnya sebab ia tidak lagi merasakan rasa aman saat berada di

Page 15: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

138 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

lingkungan sosial dan menganggap lingkungannya adalah hal-hal yang

negative yang dapat mengancam kehidupannya.(Wasil Sarbini, 2014)

DianeS. Berry and Jane Hansen (1996:806) beranggapan bahwa

melibatkan anak dalam hal positif, bisa mempengaruhi dirinya dan lingkungan

sosialnya pada hal yg positif juga, namun berbeda saat anak melakukan hal

negative, anak tidak akan terpengaruh dalam aktifitas sosialnya, dan lebih

melakukan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya.

2) Adanya rasa penolakan dari keluarga

Anak yang menjadi korban dari sebuah keluarga yang bercerai, akan

merasakan penolakan dari keluarga, penyebabnya adalah sikap orang tua yang

mulai berubah dikarenakan orang tuanya sudah memiliki pasangan yang baru.

Sehingga anak akan merasakan penolakan dan kehilangan orang tua aslinya.

Di sini pasikologi anak terganggu oleh tindakan orang tuanya yang bercarai.

Keceriannya sudah mulaihilang dan hanya kesedihan yang dirasakan.

Papalia Olds & Feldman (2008:41) menggambarkan, perceraian

bukanlah satu satunya kejadian melainkan runtutan dari proses yang dimulai

sebelum perpisahan fisik dan anak akan berpotensi mengalami pengalaman

stress dan menimbulkan efek psikologi yang buruk bagi anak.

3) Marah

Dengan adanya sebuah perceraian, emosi anak sering kali tidak

terkontrol dengan baik dan mereka marah yang tidak karuan, terkadang banyak

teman dekatnya yang menjadi sasaran amarahnya. Hal ini berdampak pada

psikologis anak yang memiliki sifat temperamen; lebih mudah marah karena

emosinya tidak terkontrol. Penyebabnya adalah anak sering melihat ayah dan

ibunya bertengkar, pada saat masa proses perceraian.

Amarah dan agresif adalah reaksi yang lazim dalam perceraian,

penyebabnya adalah orang tua marah di depan anaknya. Akibatnya, anak akan

menumpahkan amarahnya kepada orang lain, karena seorang anak akan

mengikuti tingkah laku orang tuanya. Bukan hanya jiwanya yang terganggu

tetapi perilakunya juga akan ikut berubah, ini akan mengakibatkan si anak suka

mengamuk dan tindakanya akan menjadi pendiam, agresif, tidak lagi ceria,

suka murung dan tidak suka bergaul dengan teman-temannya.

Menurut Papalia Olds & Feldman (2008:45) sifat marah pada anak

yang menjadi korban perceraian akan selalu terekam oleh pikiran bawah

sadarnya, disebabkankebiasaan orang tuanya yang sering bertengkar di

depannya, dan berakibat anak akan memiliki sifat temperamen yang tidak

mudah untuk dikendalikan.

4) Sedih

Page 16: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

139

Anak akan merasakan rasa nyaman dengan orang tuanya yang

harmonis, namun sebaliknya,ia akan merasa tidak nyaman jika orang tuanya

berpisah, dan saat anak sudah menginjak masa remaja mereka akan merasakan

kehilangan kasih sayang sebuah keluarga. Anak yang orangtuanya bercerai

akan menampakkan gejala fisik dan stres akibat perceraian tersebut seperti

sulit tidur, kehilangan nafsu makan,hal tersebut terjadi karena kesedihan yang

yang dialaminya. Sebab fase anak yang berusia 6-17 tahun merupakan fase

belajar menyesuaikan diri dan lingkungan hidupnya. Namun, perceraian

orangtua tetap memberikan luka batin yang menyakitkan bagi anak. Sehingga

anak berpotensi menjadi anak yang ‘penyedih’ atas perceraian yang dilakukan

oleh orang tuanya.

Bird dan Melville (1994:65), orang tua yang bercerai mengakibatkan anak

akan merasa malu bahkan bersedih dengan perceraian orang tuanya, ia merasa

berbeda dari teman-temannya yang lain. Keadaan tersebut bisa merusak

konsep pribadi anak yang sering diikuti dengan depresi, marah, sedih yang

berkepanjangan, merasakan adanya penolakan, merasa rendah diri, tidak patuh

dan cenderung agresif terhadap sosialnya.

5) Kesepian

Seorang anak tentunya akan merasa kesepian dengan tidak adanya

belaian kasih sayang dari orang tuanya, anak sangat membutuhkan bimbingan

orang tuanyauntuk masa depannya. Misalnya, anak yang baru menempuh

pendidikan sekolah dasar, akan membutuhkan bimbingan orang tuanya dalam

mengerjakan tugas. Tetapi berbeda dengan mereka yang ditinggalkan kedua

orang tuanya yang bercerai, anak tersebut akan merasakan kesepian, meskipun

telah di asuh oleh saudaranya dari pihak ayah atau ibu, atau diasuh oleh salah

satu pihak: orang tuanya sebagai single parent.

Faktor-faktor yang menjadikan anak sebagai korban perceraian menurut

Papalia, Olds & Feldman (2008:54) antara lain:

I. Sikap dari pihak ayah/ibu yang tidak lagi menghiraukan perilaku

dan perkembangan anaknya, sebab mereka lebih mementingkan

egonya mencari pasangan hidup yang akan datang.

II. Tidak adanya perhatian yang didapatkan dari orang tua oleh

seorang anak, alasannya adalah mereka disibukkan dengan urusan

perceraian.

III. Orang tua Mulai mendiskreditkan anak dari hasil hubungan

sebelumnya, mereka berfikir untuk bisa mendapatkan pengganti

anak dengan pasangan yang baru

6) Menyalahkan diri sendiri

Page 17: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

140 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Menyalahkan diri sendiri merupakan gejala awal disorder personality,

dimana faktor tersebut telah dipengaruhi oleh rasa tidak aman, adanya

penolakan dari keluarga, mudah marah/temperamen, sedih yang

berkepanjangan dan merasa kesepian. Faktor tersebut berasal dari pola asuh

yang salah. Sebab dalam pola asuh ada tiga golongan yang menentukan

karakter anak, salah satunya adalah significant others yaitu orang tua dan

saudara adalah faktor utama dalam pola pengasuhan anak.(Wasil Sarbini,

2014)

Taylor(1998:64) anak yang menyalahkan dirinya sendiri akan

berakibat pada gangguan psikologinya, sebab menyalahkan diri sendiri (badly

image) merupakan awal mula gangguan psikologi yang berbahaya.Di antara

dampak negatif dari perceraian terhadap pendidikan dan perkembangan anak

antara lain:

1. Anak kurang perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan dari orang

tua, kurangnya tuntutan pendidikan dari orangtua dikarenakan sibuk

dengan permasalahan mereka masing-masing

2. Kebutuhan fisik maupun psikis anak tidak terpenuhi, keinginan anak tidak

sesuai dengan apa yang di harapkan,

3.Mereka tidak dibiasakan disiplin dan mengontrol diri dengan baik, sehingga

anak tidak siap secara mental ataupun fisik menghadapi kehidupan

sosialnya.

4.Perceraian orang tua dapat mempengaruhi prestasi belajar anak, baik dalam

bidang studi agama maupun dalam bidang studi yang lain. Fungsi dasar

orang tua adalahbertanggung jawab terhadap pendidikannya anak dengan

serius.,bukan hanya sebatas memenuhi perlengkapan belajar anak ataupun

biaya yang dibutuhkan, melainkan bimbingan serta motivasi kepada anak,

supaya anak berprestasi dalam belajar. jika yang terjadi pada kedua orang

tua anak tersebut, maka perhatian terhadap pendidikan anak akan

terabaikan.

5.Apabila anak diasuh oleh ayah atau ibunya, kemudian ayah atau ibunya

menikah lagi dan disibukkan dengan keluarga barunya, maka anak bisa jadi

dalam hal pendidikan terabaikan, seperti seorang anak yang masih ingin

melanjutkan sekolah tidak dapat terpenuhi dikarenakan orang tuanya tidak

bisa membiayai,karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk

keluarga barunya.

6.Menurut Sanchez kenakalan akan meningkat pada anak yang orang tuanya

bercerai, semakin banyaknya anak-anak yang mengalami gangguan

emosional dan mental, selain itu penyalahgunaan obat bius dan alkohol di

kalangan anak-anak belasan tahun, serta banyakknya angka kehamilan

diluar nikah.

Page 18: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

141

7. Pengaruh terbentuknya kepribadian anak (Hadayati, 2016)

Perceraian dalam sebuah keluarga akan berdampak besar bagi kehidupan anak

secara umum. Rifa’i mengklasifikasikan dampak perceraian terhadap anak

menjadi tiga, antara lain:

a) Dampak psikologis yang membuat anak menyalahkan diri sendiri, tidak

percara diri, merasa tidak diinginkan orang tuanya serta tidak merasa aman

dan kesepian,

b) Dampak sosial yang membuat anak mengalamim perubahan perilaku yanng

cenderung ke arah negatif karena efek traumatis pasca perceraian, dan

c) Dampak pendidikan yang mencakup

d) Tidak terpenuhinya kebutuhan pendidikan, baik biaya maupun fasilitas

karena orang tua kurangnya perhatian yang serius terhadap pendidikan

anak;

a) Perceraian orang tuadapat mempengaruhi prestasi belajar anak yang

sebelumnya selalu mendapat kontrol dari orang tua sebelum terjadi konflik;

b) Anak menjadi stres akibat menanggung beban yang terlalu berat dari

perceraian orang tuanya sehingga bisa mengakibatkan putusnya

pendidikan.(Lihat Muhammad Rifa’i, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Ar-

Ruzz Media, 2011), 67, 2011)

Cohen dan Wills (1985 dalam Bishop, 1994, h. 170)bahwasannya

dukungan sosial sebagai penolong, dan dukungan yang didapatkan seseorang

dari interaksinya dengan orang lain. Dukungan sosial muncul oleh adanya

persepsi bahwa ada orang-orang yang akan membantu jika terjadi suatu

keadaan atau peristiwa yang dapat memunculkan masalah, dan pertolongan

tersebut bisa meningkatkan perasaan positif serta mengangkat harga diri.

Sehingga mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu dan

berpengaruh terhadap kesejahteraan perorangan secara umum.

Secara keseluruha dukungan sosial dapat mempengaruhi mental dan fisik

melalui emosi, kognisi, dan tingkah laku (S. Cohen, 1983 dalam Gottlieb,

2000).

Menurut Cohen dan Mc Kay; Wills (1984, dalam Sarafino, 1994, h.103)

perbedaan jenis dukungan sosial dibagi menjadi lima diantaranya;

(1) Dukungan Emosional. Mencakup ungkapan empati, peduli dan perhatian

terhadap orang di sekitarnya. Dukungan emosional ini memberikan rasa

aman, nyaman, danrasa dicintai oleh seseorang yang mendapatkannya.

(2) Dukungan Penghargaan. Terjadi melalui ungkapan positif untuk individu

tersebut, dengan memberikan dukungan atau persetujuan dan

perbandingan positif terhadap orang lain.

Page 19: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

142 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

(3) Dukungan Instrumental. Mencakup bantuan langsung berupa jasa, waktu

dan uang.

(4) Dukungan informatif. Seperti memberi nasihat,beberapa saran, petunjuk,

informasi, dan umpan balik.

(5) Dukungan jaringan sosial. Memiliki rasa keanggotaan. Melalui jaringan

sosial, saling berbagi kebahagiaan dan kegiatan sosial.(Seffany Rulinda,

2016)

Beberapa Akibat Hukum Perceraian (Cerai Gugat)

Adanya penyebab Hukum perceraian antara lain:

1.Harta benda dalam perkawinan.

Di dalam pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa:

a. Harta benda diperoleh selama per- kawinan menjadi harta bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagaimana hadiah atau warisan, adalah dibawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pada pasal 37 disebutkan, jika perkawinan putus karena perceraian, harta ber-

sama diatur menurut hukumnya masing- masing.

2.Kedudukan Anak

Berdasarkan ketentuan yang ada bahwa pemeliharaan anak, ditentukan

atas keturunan yang sah sebagai anak kandung.Sebagaimana pasal 42 Undang-

undang perkawinan, “anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai

akibat perkawinan yang sah”. Sedangkan anak yang dilahirkan

diluarpernikahan, hanya mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan

keluarga ibunya sesuai dengan pasal 43 ayat 1.

Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat

perceraian (cerai gugat). Hal ini diungkapkan sebagai berikut:

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah ibunya,

kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya diganti oleh:

a) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu.

b) Ayah

c) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah

d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah

dari ayah atau ibunya.

3. Apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani

dan rohani anak,meskipun biaya telah tercukupi, maka atas permintaan

kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah

kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula.

Page 20: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

143

4. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut

kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan

dapat ngurus diri sendiri (21tahun).

5. Bila terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan

agama menganai putusannya berdasarkan undang-undang hak asuh anak.

6. Pengadilan dapat pula dengan mengikat kemampuan ayahnya menetapkan

jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak

turut padanya.(Azizah, 2012)

KESIMPULAN

Keluargaterdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga bisa menjadi pangkal

kehidupan seseorang, sumber kasih sayang, taman pendidikan pertama, paling

penting dan dekat yang bisa dirasakan. Di dalam sebuah keluarga ada

pembelajaran tentang nilai- nilai kehidupan sosial budaya maupun agama,.

Keluarga merupakan kesatuan sosial yang dibentuk oleh ikatan

pernikahan.Interaksi dalam keluarga harus terjalin kontak yang menyeluruh

dengan adanya timbal balik antara satu dengan yang lain, dan harus terjalin

secara singkron.

Kehidupan didalam sebuah keluarga yang harmonis, merupakan suatu

bentuk keluarga yang diidamkan oleh setiap orang. Banyak pasangan yang

sudah berhasil menikah dan memiliki kehidupan yang harmonis, tidak sedikit

pula keluarga yang tidak harmonis sehingga terjadilah perceraian.Dalam

hukum islam Allah menghalalkan perceraian namun juga sangat dibenci oleh

Allah. Perceraian merupakan melepaskan ikatan pernikahan yang mana

terputusnya interaksi antara pihak suami dan istri.Dalam hukum Islam,

perceraian akan menghilangkan ikatan sebuah perkawinan dan melepaskan

ikatan akad perkawinan.Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 117

perceraian merupakan janji suami pada sidang Pengadilan dan menjadikan

putusnya sebuah ikatan perkawinan.Percraian itu sendiri terjadi karena di

dasari berbagai faktor diantaranya adalah adanya ketidakcocokan dalam

hubungan. Ada berbagai tahap dalam proses perceraian seperti, Perceraian

koparental, Perceraian Hukum, Perceraian financial, Perceraian Komunitas,

Perceraian secara psiko-emosional, dan Perceraian secara fisik.

Sedangkan dampak dari perceraian itu sendiri juga sangat banyak

terutama bagi sang anak.Akibat dari perceraian orang tua anak menjadi korban

baik secara fisik maupun psikis sehingga dapat menimbulkan rasa tidak aman

dan nyaman baik dalam bergaul dalam lingkungan keluarga, teman dan

sekitarnya. Adapun kemunngkinan dampak perceraian terhadap anak itu

sendiri adalah merasa tidak aman, penolakan yang dirasakan anak dari

keluarganya,menyalahkan diri sendiri,marah, sedih dan Kesepian.

Page 21: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

144 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

REFERENSI

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqh ala Madzahahibil Arba’ah, Jilid IV, (Mesir:

Dar al-Fikr, 1989), h. 278. (n.d.).

Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 1. (n.d.).

Al-Iman al-Hafiz Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats al- Sajistani, Sunan Abi

Daud, juz II, (Indonesia: Maktabah Dahlan,), h. 154-155. (n.d.).

Azizah, L. (2012). Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam. AL-

’ADALAH,10(4), 415–422.

http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah%0Ahttp://moraref.or.id

/record/view/53488

Dariyo, A. (2004). Memahami Psikologi Perceraian dalam Kehidupan

Keluarga. Jurnal Psikologi, 2(2), 94–100.

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=62924&val=4564

Fuad Shalih. (2006). Fuad Shalih. (2006). Untukmu yang Akan Menikah dan

Telah Menikah. Jakarta. hlm. 424. 10.

Hadayati, R. (2016). Perceraian orang tua dan implikasinya terhadap

pendidikan anak dalam islam. Tarbiyah Islamiyah, 1(1), 77–87.

http://www.sarjanaku.com. diambil tanggal 16 Desember 2014, pukul 10.35

WITA,. (n.d.).

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1993), h. 6. (n.d.).

Karlinawati Silalahi & Eko A. Meinarno. (n.d.). Karlinawati Silalahi & Eko

A. Meinarno, Keluarga Indonesia. ( Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2010),.

Komang Diah Lopita Sari dan I G.A.P. Wulan Budisetyani. (2016). Konsep

Diri Pada Anak Dengan Orangtua Yang Bercerai. Jurnal Psikologi

Udayana, 3(2), 283–291. https://doi.org/10.24843/jpu.2016.v03.i02.p10

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 117. (n.d.).

Lihat Muhammad Rifa’i, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Ar-Ruzz Media,

2011), 67. (2011).

Mestika Dewi. (2006). GAMBARAN PROSES MEMAAFKAN PADA

REMAJA YANG ORANG TUANYA BERCERAI. Psikologi, 4(1), 1–

13.

Ria Syahria. (2017). DAMPAK PERCERAIAN TERHADAP PERILAKU

ANAK. Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 5(10), 787–810.

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnnah, Jilid II, (Mesir: Dǎr al-Fikr, 1983), h. 2006. 8.

(n.d.).

Seffany Rulinda. (2016). Studi mengenai Social Support pada Anak Usia 10-

Page 22: PERCERAIAN MENURUT PERSEPSI PSIKOLOGI DAN HUKUM ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

145

12 Tahun Pasca Perceraian Orang Tua di SD M Bandung. Psikologi,

2(2), 410–416.

Siti Khodijah. (2018). Dampak Perceraian Orangtua Terhadap Kemampuan

Berbicara Pada Anak Usia 6 Tahun. Program Studi Pendidikan Anak

Usia Dini, 7(2).

Tia Ramadhani,Djunaedi, A. S. S. (2016). KESEJAHTERAAN

PSIKOLOGIS ( PSYCHOLOGICAL WELL- BEING ) SISWA YANG

ORANGTUANYA BERCERAI. Bimbingan Konseling, 5(1), 108–115.

Wasil Sarbini. (2014). KONDISI PSIKOLOGI ANAK DARI KELUARGA

YANG BERCERAI. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasswa, 1–5.

Widi Tri Estuti. (2013). DAMPAK PERCERAIAN ORANG TUA TERHADAP

TINGKAT KEMATANGAN EMOSI ANAK KASUS PADA 3 SISWA

KELAS VIII SMP NEGERI 2 PEKUNCEN BANYUMAS.

YAYU ZAKIAH, M. S. (2018). Pengaruh perceraian orang tua terhadap

akhlak anak. Pendidikan Agama Islam, 5(2), 155–164.

Zahri Hamid. (1976). Zahri Hamid. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam

dan Undang-undang Perkawinan Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta,

1976), h.5.

Zainudin ibn Abdu al-Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-

Aini, (Surabaya: Bengkulu Indah, tt), h. 112. (n.d.).