PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM...

125
PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh LAYLI YUSNIA ADHANI NIM : 21211015 JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016

Transcript of PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM...

PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

(Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

LAYLI YUSNIA ADHANI

NIM : 21211015

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2016

PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

(Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

LAYLI YUSNIA ADHANI

NIM : 21211015

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2016

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga

Di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi,

maka naskah skripsi mahasiswa :

Nama : Layli Yusnia Adhani

Nim : 21211015

Judul : PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI

INDONESIA (Studi Kasus Di KUA Kecamatan Tingkir

Kotamadya Salatiga)

dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diajukan dalam sidang

munaqosyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan dipergunakan

sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 6 Januari 2016

Pembimbing,

Luthfiana Zahriani, M.H

NIP. 19760827 20003 2007

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Layli Yusnia Adhani

NIM : 21211015

Jurusan : Ahwal Al-Syakhshiyyah

Fakultas : Syari’ah

Judul Skripsi : PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI

INDONESIA (Studi Kasus Di KUA Kecamatan Tingkir

Kotamadya Salatiga)

Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan

jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat

dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 6 Januari 2016

Layli Yusnia Adhani

NIM : 21211015

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“THERE IS A WILL THERE IS A WAY”

DIMANA ADA KEMAUAN DISITU PASTI ADA JALAN

PERSEMBAHAN

Untuk Orang tuaku tercinta, adik-adiku tersayang

suami yang setia mendampingiku dan bayi yang

ada di dalam kandunganku yang selalu menjadi

motivasiku sehingga skripsi ini bisa terselesaikan

Untuk Almamater Tercinta Fakultas Syari’ah IAIN

Salatiga dan teman-teman AS NR 2011

KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-

Nya Skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yang diharapkan.Penulis juga

bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis

dapat menyusun skripsi ini.

Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW

beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa’at beliau sangat penulis

nantikan di hari pembalasan nanti.

Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan guna

memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) dalam ilmu syari’ah, Fakultas Syari’ah.

Dengan judul:“Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Perkawinan Di Indonesia (Studi kasus di KUA Kecamatan Tingkir

Kotamadya Salatiga)”. Penulis mengakui bahwa dalam menyusun skripsi ini tidak

dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan

penghargaan yang setinggi-tingginya, dan ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN Salatiga.

3. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M, selaku Ketua Jurusan S1 Ahwal Al-

Syakhshiyyah IAIN Salatiga.

4. Ibu Luthfiana Zahriani, M.H, selaku Dosen Pembimbing dan juga selaku Kepala

Lab. Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmunya dan selalu

meberikan saran, pengarahan, pemahaman serta masukan berkaitan penulisan

skripsi sehingga dapat selesai dengan tepat waktu dan maksimal sesuai yang

diharapkan.

5. Bapak Imam Talmisani Selaku ketua KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya

Salatiga yang telah berkenan memberikan informasi berkaitan dengan penulisan

skripsi.

6. Para pihak yang membuat pejanjian pra nikah yang tidak dapat penulis sebutkan

identitasnya.

7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi Fakultas

Syari’ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu memberikan

ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan apapun.

8. Kedua Orang tuaku, Bapak Purwadi dan Ibu Yuliati tercinta, Suamiku dan

anakku tersayang, yang telah memotivasi, mendoakan dan memberi kasih sayang

serta semangat kepadaku selama ini.

9. Teman-teman Jurusan S1 Ahwal Al-Syakhshiyyah Non Reguler 2011 di IAIN

Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan di

IAIN Salatiga.

10. Serta semua pihak yang telah ikut serta dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak

mungkin disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan

yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa

mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisanya.

Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada

umumnya

Salatiga, 6 Januari 2016

Penulis

ABSTRAK

Adhani, Layli Yusnia. 2016. Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam

Dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus KUA Kecamatan Tingkir

Kotamadya Salatiga) Skripsi. Fakultas Syari’ah Jurusan S1 Ahwal Al-

Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing :

Luthfiana Zahriani, M.H

Kata Kunci : Perjanjian Pra Nikah, Hukum Islam, Hukum Perkawinan Indonesia

Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan

dilangsungkan, yang isinya mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan dan

apa saja selama perjanjian tersebut tidak melanggar hukum, agama, dan kesusilaan.

Di Indonesia perjanjian pra nikah merupakan hal yang tabu dan masih jarang di

temui, berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan

judul “Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan

di Indonesia (Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”.

Dengan pokok permasalahan atau tujuan penelitian ingin mengetahui bagaimana isi

perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir dan bagaimana perspektif hukum

Islam dan hukum perkawinan di Indonesia terhadap perjanjian tersebut.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis

normative, yaitu penulis mendeskripsikan perjanjian pra nikah dalam hukum Islam

dan hukum perkawinan di Indonesia kemudian menganalisinya terhadap isi perjanjian

perkawinan yang terdapat di KUA Tingkir. Sedangkan jenis penelitian yang

digunakan adalah penelitian kualitatif dimana untuk memperoleh data penulis

langsung terjun ke lokasi untuk mewawancarai kepala KUA Tingkir Salatiga.

Dari hasil penelitian di KUA Tingkir Salatiga, selama ini baru ada satu

pasangan yang membuat perjanjian pra nikah, perjanjian itu berupa salinan akta yang

dibuat oleh notaris dan sudah disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Isi dari

perjanjian tersebut mengatur tentang pembagian harta dalam perkawinan, kewajiban

suami, pembagian harta gono-gini, pemeliharaan anak, mendirikan usaha bersama

dan pembagian warisan. Dalam perpektif hukum Islam keseluruhan perjanjian

tersebut merupakan syarat yang tidak menyimpang dari hukum Islam, Maka dari itu

para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut hukumnya wajib untuk memenuhi

persyaratan tersebut. Sedangkan dari sisi Hukum perkawinan di Indonesia, perjanjian

tersebut sudah sesuai dengan UU No.1 Th.1974 dan Kompilasi hukum Islam.

Perjanjian tersebut juga memiliki kekuatan hukum yang sah, yang dicatat oleh akta

notaris dan disahkan pegawai pencatat perkawinan.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................

NOTA PEMBIMBING.......................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………

I

ii

iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...................................... iv

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAHAN……………..……………… v

KATA PENGANTAR.........................................................................................

ABSTRAK...........................................................................................................

vi

ix

DAFTAR ISI....................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1

B. Rumusan Masalah...………………………………………….... 7

C. Tujuan Penelitian.........................................................................

D. Kegunaan Penelitian....................................................................

E. Penegasan Istilah.........................................................................

F. Kajian Pustaka............................................................................

7

7

8

9

G. Metode Penelitian........................................................................ 12

H. Sistematika Penulisan.................................................................. 15

BAB II

PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Islam.................................

1. Perjanjian.................................……………………………..

2. Perjanjian Pra Nikah...........………………………………..

3. Akad Nikah dan Konsekuensinya dalam Kehidupan Rumah

Tangga...................................................................................

4. Konsep Harta Dalam Islam....................................................

17

17

23

34

45

BAB III

BAB IV

BAB V

B. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia.

1. Perjanjian Pra Nikah dalam UU No.1 Th.1974.......………..

2. Perjanjian Pra Nikah dalam KHI........………………….…..

3. Bentuk dan Isi Perjanjian Pra Nikah......……………………

4. Syarat-syarat Perjanjian Pra Nikah.....……………………...

5. Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Perjanjian Pra Nikah…

PERJANJIAN PRA NIKAH DI KUA KECAMATAN TINGKIR

KOTAMADYA SALATIGA

A. Hasil Wawancara Dengan Kepala KUA Tingkir Salatiga ..........

B. Perjanjian Pra Nikah di KUA Tingkir Salatiga............................

ANALISIS TERHADAP ISI PERJANJIAN PRA NIKAH DI

KUA KECAMATAN TINGKIR KOTAMADYA SALATIGA…..

PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................

B. Saran...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

49

57

61

69

73

77

80

91

107

108

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan wanita

yang sama akidah akhlak dan tujuannya di samping cinta dan ketulusan hati. Di

bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan tentram, penuh cinta

dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Dalam

Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan di artikan sebagai “ Ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam

ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum

Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan

ghalizhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.(Anshary, 1994:1)

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Al-Quran dan Al-

Hadist, yang kemudian di tuangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-

Undang No.1 Th 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Th

1991 Mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut :

1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan

spiritual dan material.

2. Asas keabsahan perkawinan

Didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang

melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang.

3. Asas monogami terbuka

Jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari

satu orang maka cukup seorang istri saja. Hal tersebut di jelaskan dalam Al-

Quran surat An-Nisa’ ayat 3.

4. Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan

pernikahan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.

5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.

6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena

itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan

bersama oleh suami istri.

7. Asas pencatatan perkawinan

Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah

menikah atau melakukan ikatan perkawinan.(Zainuddin, 2006:8)

Hukum Perkawinan sendiri dibagi dalam dua bagian, yaitu Hukum

Perkawinan dan Hukum Kekayaan dalam Perkawinan. Hukum Perkawinan

adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu

perkawinan. Sedangkan hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan

peraturan-peratuan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di

dalam perkawinan. Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang

luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri, dengan perkawinan itu

timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban contohnya seperti kewajiban

untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk

memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Suatu hal yang sangat

penting ialah bahwa dengan perkawinan itu istri tidak dapat bertindak sendiri.

(Berhubung dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963, karena Pasal

108 dan Pasal 110 B.W. dianggap tidak berlaku lagi, sekarang ini seorang

perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan dapat bertindak sendiri).

Perkawinan berpengaruh besar kepada kekayaan suami istri, ikatan hukum yang

terjadi antara mereka dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Bagi pihak

ketiga perkawinan itu penting karena perlu di perhatikan juga perjanjian

perkawinan antara suami istri, di dalam hubungan dengan utang-piutang.(Afandi,

1997:94)

Berdasarkan uraian diatas, pernikahan bukan hanya menyangkut

keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan

tetapi juga melibatkan harta kekayaan suami istri di dalam perkawinan. Hal

tersebut juga termasuk harta bawaan maupun urusan utang-piutang antara suami

istri, dimana untuk melindungi harta masing-masing dan demi kenyamanan

kedua belah pihak perlu adanya surat perjanjian Pra Nikah. Apalagi di era

sekarang ini banyak pernikahan yang tidak mengindahkan nilai-nilai

agama,hukum,kesusilaan,norma dan etika yang berlaku di masyarakat, dimana

rasa cinta sudah tidak lagi menjadi landasan utama suatu pernikahan. Tak jarang

suatu pernikahan di latar belakangi oleh suatu kepentingan tertentu, seperti

status,jabatan,kekayaan dan lain sebagainya.

Perjanjian Pra Nikah atau sering disebut juga Perjanjian Perkawinan

(Prenuptial Agreement) adalah perjanjian yang dibuat antara calon suami istri

sebelum pernikahan dilangsungkan dan isinya tidak boleh melanggar

hukum,agama dan norma-norma adat kesusilaan yang berlaku. Perjanjian tersebut

dibuat dan disahkan dihadapan pengacara atau notaris kemudian dicatatkan di

Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil.(Nasution, 2004:42)

Putusnya hubungan perkawinan tidak hanya menjadi klimaks dalam perceraian

melainkan akan timbul juga problem mengenai pembagian harta bersama (harta

yang di peroleh suami istri selama perkawinan berlangsung) dan mengenai hak

asuh anak. Dalam suatu kasus perceraian, tidak sedikit pasangan suami istri yang

mempermasalahkan hal-hal tersebut, dampaknya tak hanya hubungan antar suami

istri yang semakin tidak baik tapi juga akan membuat proses perceraian akan

semakin memakan biaya dan waktu yang lama. Di Indonesia masih banyak

masyarakat yang tidak mengetahui apa yang di maksud dengan perjanjian pra

nikah itu sendiri. Banyak pro dan kontra mengenai perjanjian tersebut, banyak

yang berpendapat bahwa perjanjian pra nikah merupakan hal yang tabu dan tidak

sesuai dengan hakekat tujuan pernikahan karena identik dengan

“ketidakpercayaan” sehingga perjanjian tersebut menjadi tidak perlu di buat.

Tetapi mengingat zaman yang semakin maju dan masyarakatnya yang semakin

kritis dimana kini kesetaraan kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah

sama, perempuan tidak lagi menjadi kaum yang lemah tetapi perempuan juga

dapat mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki. Seperti mendapatkan

pendidikan,pekerjaan,jabatan dan lain sebagainya. Tentunya untuk melindungi

kepentingan masing-masing calon suami istri dari hal-hal yang tidak di inginkan

selama pernikahan berlangsung dari kemungkinan terburuk seperti perceraian,

maka perjanjian pra nikah dapat menjadi pertimbangkan ketika sebelum menuju

gerbang pernikahan.

Di Indonesia terdapat 3 (tiga) peraturan tentang perjanjian pra nikah atau

sering disebut juga perjanjian perkawinan,yaitu Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Sejak berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP),

maka di negara Indonesia telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum

Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum/tidak diatur dalam undang-undang

tersebut, maka peraturan lama dapat di pergunakan (Pasal 66 UU Nomor 1/1974).

Secara spesifikasi perjanjian Pra Nikah atau Preneptual Agreement di atur dalam

Pasal 29 UU No 1 Th 1974 dan Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

(Hazairin, 1982:3)

Berdasarkan landasan atau sumber hukum perjanjian pra nikah maka

seyogyanya bagi pasangan yang ingin menikah dapat menjadi pertimbangan

sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, tidak hanya untuk melindungi harta

benda masing-masing tetapi perjanjian pra nikah dapat mengatur apapun yang

ingin calon suami dan istri sepakati sepanjang isinya tidak bertentangan dengan

hukum,agama dan kesusilaan. Berdasarkan hal tersebut pula, maka penulis

tertarik untuk membuat penelitian dengan judul “Perjanjian Pra Nikah dalam

Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus di

KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar berlakang masalah yang telah di jelaskan, pokok

masalah yang akan di bahas dalan penelitian ini dapat di rumuskan sebagai

berikut :

1. Bagaimana isi perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir Salatiga?

2. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia

terhadap perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir Salatiga?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui bagaimana isi naskah perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA

Tingkir Salatiga.

2. Mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di

Indonesia terhadap perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir

Salatiga.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, diharapkan penelitian dapat

memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis dalam dunia pendidikan

maupun masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Akademis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,

sebagai penambah wacana tentang hukum Islam terkait perjanjian pra

nikha dan bagaimana hukumnya dalam Islam dan undang-undang di

Indonesia.

b. Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan referensi dalam bidang perkawinan dan keIslaman

sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan.

c. Bagi Peneliti Berikutnya

Dapat dijadikan bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut,

serta referensi terhadap penelitian yang sejenis.

2. Manfaat Non Akademis

a. Dapat memberikan wacana baru, khususnya bagi yang belum menikah

tentang perjanjian pra nikah. Sehingga untuk kedepannya nanti dapat

menjadi pertimbangan sebelum memasuki gerbang pernikahan.

b. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang isi perjanjian pra

nikah yang terdapat di KUA Tingkir Salatiga.

E. Penegasan Istilah

Perjanjian Pra Nikah atau sering di sebut juga Perjanjian Perkawinan yaitu

perjanjian yang mengatur akibat suatu perkawinan di dalam bidang harta

kekayaan.(Afandi, 1997:172)

Perspektif dalam kamus bahasa Indonesia yang artinya yaitu pandangan

dari sudut satuan bahasa sebagai unsur yang lepas (pandangan statis).

Hukum Islam (syari’at Islam) hukum syara’ menurut ulama ushul ialah

doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf

yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau

diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama

fiqh hukum syara’ ialah efek yang di kehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan

seperti wajib,haram dan mubah.

Hukum perkawinan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu dasar

hukum yang mengatur tentang perjanjian perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun

1974 dan KHI.

Jadi dalam penelitian ini, penulis membahas tentang perjanjian yang

dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan yang mengatur akibat suatu

perkawinan dibidang harta kekayaan dipandang dari hukum Islam atau syara’ dan

menurut hukum perkawinan di Indonesia yaitu UU No.1 Th 1974 dan KHI

dengan studi kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga.

F. Kajian Pustaka

Penelitian tentang perjanjian pra nikah sejauh ini penulis tidak

menemukan tulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi pada Jurusan Ahwal Al-

Syakhshiyyah atau Hukum Keluarga Islam di IAIN Salatiga. Dalam penelitian

sebelumnya sudah banyak yang mengangkat tema tentang harta gono-gini,

perceraian dan beberapa kasus pernikahan yang tidak sesuai dengan syari’at

Islam, tetapi belum ada yang membahas lebih lanjut mengenai perjanjian pra

nikah dan bagaimana menurut perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di

Indonesia. Penulis telah menelusuri di internet beberapa judul penelitian

terdahulu yang mirip dengan yang akan penulis teliti.

Penelitian Fanani (2007) dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta Fakultas Syari’ah berjudul “Pengingkaran Perjanjian Perkawinan

Sebagai Alasan Perceraian” dalam penelitian tersebut mengkaji bagaimana

pengingkaran terhadap perjanjian perkawinan bisa dijadikan dasar atau alasan

percerain suami istri. Dari penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa

perjanjian pra nikah sendiri tidak dapat dijadikan sebagai alasan perceraian

melainkan apabila terjadi pengingkaran salah satu pihak dapat masuk dalam

perkara perdata. Tetapi dalam perjanjian tersebut terdapat satu perjanjian yang

isinya apabila ada salah satu pihak mengingkari perjanjian tersebut menjadi kasus

perdata bila tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah atau kekeluargaan

dapat dijadikan sebagai salah satu alasan perceraian, dan salah satu pihak yang

dirugikan dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Agama setempat.

Selanjutnya yaitu skripsi dari Relawati (2006) yang juga berasal dari

Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah berjudul “Urgensi

Perjanjian Perkawinan Atas Harta Gono-Gini Menurut Pandangan Dosen

Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” Fokus Pembahasan Skripsi

adalah bagaimana pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga

terhadap urgensi perjanjian perkawinan atas harta gono-gini. Penelitian ini

berkesimpulan bahwa ada dosen yang setuju adanya perjanjian perkawinan yang

mengatur harta gono-gini. Mereka menilai perjanjian ini bermanfaat bagi kedua

pasangan agar lebih terbuka dalam hal keuangan dan lebih memberikan

perlindungan hak wanita, sementara dosen yang tidak setuju dengan adanya

perjanjian bertolak bahwa dasar pernikahan merupakan hal yang sakral dan

bukan semata-mata tentang harta benda.

Kemudian skripsi dari Akmah (2013) dari Universitas Mulana Malik

Ibrahim Malang Tahun 2013 dengan judul “Perjanjian Dalam Perkawinan

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (Perspektif

Fiqh dan Hukum Perkawinan Indonesia)”. Penelitian tersebut lebih fokus pada isi

perjanjian pra nikah. Dan mengetahui dasar hukum perjanjian perkawinan

menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia. Penelitian

tersebut dapat berkesimpulan, isi dalam perjanjian perkawinan mahasiswa UIN

Maulana Malik Ibrahim Malang menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan

Indonesia hukumnya “mubah” atau boleh, melihat dari isi perjanjian tersebut.

Pihak perempuan meminta agar setelah menikah tetap diizinkan pihak laki-laki

untuk meneruskan pendidikannya dan menurut pandangan Islam hal tersebut

termasuk dalam mahar pernikahan sehingga sah-sah saja diaplikasikan. Isi

perjanjian ini juga tidak menyimpang dari Hukum Perkawinan di Indonesia.

Beda penelitian penulis dengan penelitian Fanani adalah fokus dan tujuan

permasalan yang terdapat dalam penelitian. Sedangkan dengan penelitian

Relawati terletak pada isi perjanjian dan perspektif perjanjian tersebut, apabila

dalam penelitiannya mengkaji peneelitian tersebut menurut pandangan dosen

fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta disini penulis mengkaji

perjanjian pra nikah dalam perspektif hukum Islam dan Hukum Perkawinan di

Indonesia. Dan yang membedakan dengan penelitian Akmar terletak pada lokasi

penelitian dimana dalam penelitiannya dilakukan studi kasus di Malang

sedangkan dalam penelitian lokasi penelitian terletak di kota salatiga.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis penelitian

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis normatif. Yaitu suatu penelitian yang secara deduktif menganalisa

terhadap hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia mulai dari pasal-

pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur perjanjian pra

nikah. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu

pada dokumen ataupun terhadap data skunder yang digunakan. Bersifat

normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan memperoleh

pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan

peraturan lain dan praktek penerapan. Menganalisa perjanjian pra nikah

dalam hukum Islam dan hukum perkawinan serta perjanjian pra nikah yang

terdapat di KUA Tingkir Salatiga.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu penelitian

yang bertujuan memberikan gambaran tentang suatu gejala/suatu masyarakat

tertentu.(Sukandarrumidi, 2006:104)

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dijadikan objek penelitian oleh peneliti hanya

terbatas pada lingkup perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir

Salatiga yang terletak di Jalan Marditomo No. 37 Kecamatan Tingkir,

Kotamadya Salatiga.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang diolah dalam penelitian ini adalah jenis kualitatif. Data

kualitatif lebih bersifat deskriptif-analitik, karena menjelaskan tentang

kenyataan empiris non-numerik. Sedangkan, sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dari sumber

utama, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.(Marzuki, 2000:55)

Dengan demikian maka data primer dalam penelitian ini adalah data yang

dihimpun pertama berupa salinan akta perjanjian pra nikah yang terdapat

di KUA Tingkir yang dianggap tepat untuk dijadikan informan dan

diambil informasinya.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri

pengumpulannya oleh peneliti,akan tetapi berasal dari tangan kedua,

ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan

peneliti sendiri yang berupa buku, jurnal, dokumen perjanjian.(Marzuki,

2000:56)

4. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam merencanakan suatu penelitian, maka tahap awal sebelum

mengolah dan menganalisis data yaitu merencanakan metode pengumpulan

data. Pengumpulan data ini memudahkan untuk lanjut pada tahapan

penelitian berikutnya. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Wawancara

Penelitian melakukan mewawancara dengan kepala KUA Tingkir

Salatiga sebagai narasumber. Untuk mengetehui tentang berapa

perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir dan bagaimana isi

perjanjian tersebut.

b. Dokumentasi

Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan dokumen perjanjian

pra nikah yang berupa salinan akta perjanjian yang dibuat oleh notaris.

5. Analisis Data

Dari hasil penelitian data yang telah terkumpul kemudian dianalisis

dengan menghubungkan dan menafsirkan fakta-fakta yang telah ditemukan

terkait perjanjian pra nikah di KUA Tingkir dengan konsep perjanjian pra

nikah menurut hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia. Tentunya

dalam melakukan analisa ini peneliti membahasnya menurut rumusan

masalah yang telah ditentukan, sehingga menjadi sistematis dan lebih terarah.

6. Tahap-tahap Penelitian

Tahap yang di lakukan dalam proses pelaksanaan penelitian ini yaitu

peneliti mengumpulkan data tentang perjanjian pra nikah dalam hukum

Islam dan hukum perkawinan di Indonesia kemudian melakukan penelitian di

KUA Tingkir terkait dengan perjanjian pra nikah, selanjutnya menganalisis

kedua data tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam menyusun penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang memuat Latar Belakang Masalah,

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah,

Kajian Pustaka, Metode Penelitian.

Bab kedua , berisi tentang landasan konseptual Perjanjian Pra Nikah Dalam

Hukum Islam, dan Hukum Perkawinan di Indonesia (UU No.1 Tahun 1974, dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI))

Bab ketiga berisi tentang Paparan Data dan Penemuan Peneliti. Dalam bab ini

memuat tentang hasil penelitian perjanjian pra nikah di KUA Tingkir Salatiga.

Bab keempat, berisi analisis terhadap isi perjanjian pra nikah di KUA Tingkir

Salatiga dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia

Bab kelima,merupakan bab penutup berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Islam

1. Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Secara etimologis perjanjian dalam bahasa arab adalah

mu’ahadah, ittifaq, akad atau kontrak. Secara terminologis menurut Yan

Pramadya Puspa, Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.

Sedangkan menurut WJS, Poerwadarminto, Perjanjian adalah persetujuan

tertulis atau lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana

berjanji akan menaati apa yang tersebut di persetujuan itu.(Chairuman,

2004:1)

Dalam hukum, perjanjian tergolong sebagai perbuatan hukum

karena perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak

yang terlibat di dalamnya.

b. Asas Hukum Dalam Perjanjian

Asas berasal dari bahasa Arab yang berarti dasar, basis, fondasi

dan kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir serta bertindak.

Apabila kata asas ini dihubungkan dengan kata hukum maka dapat

diartikan sebagai kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir

dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan

hukum.(Ali, 2000:50-52)

Dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yang sekaligus

merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah asas

keabsahan dalam mengadakan perjanjian, asas konsensualisme, asas

pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas kepribadian. Yang

kesemua teori ini diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

akan tetapi asas-asas ini berlaku karena universal dalam setiap bentuk

perjanjian. Asas keabsahan dalam mengadakan perjanjian merupakan

salah satu asas dalam hukum yang berlaku di dunia. Asas ini memberi

kebebasan kepada setiap warga Negara untuk mengadakan perjanjian

tentang apa saja, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan, kepatutan dan ketertiban umum.

Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang

member kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian

untuk:

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.

4) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis.

5) Menerima atau menyimpang dari perundang-undangan yang bersifat

opsional,

(Marbun, 2009:5)

Selama isi perjanjian memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian,

maka perjanjian tersebut berlaku bagi pembuatnya dengan ketentuan

yang sama seperti undang-undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas

untuk membuat perjanjian dengan siapa saja di dalam sebuah perjanjian,

tentunya dengan memperhatikan batasan-batasan hukum yang berlaku.

Adapun berdasarkan asas konsensualisme maka perjanjian

merupakan kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak. Namun, ada

yang mengartikan juga bahwa asas konsensualisme ini menetapkan

bahwa untuk sahnya maka perjanjian harus dilakukan secara tertulis,

sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang.(Marbun, 2009:5)

Selain itu, dasar fundamental lainnya dalam hukum perjanjian yang

banyak dianut di berbagai Negara adalah suatu asas yang berbunyi pacta

sunt servenda yang berarti janji harus ditepati dan mengikat sebagaimana

undang-undang bagi pihak yang terlibat didalamnya.

Selain keempat asas tersebut, sebenarnya masih ada beberapa hal

mendasar (asas) yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan

perjanjian, diantaranya asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas

keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas

kebiasaan dan asas perlindungan. Namun yang perlu diingat adalah asas

hukum yang masih bersifat abstrak karena tidak selalu dapat diterapkan

secara langsung dalam peristiwa konkrit.(Artadi, 2010:50)

Beberapa asas-asas hukum dalam perjanjian yang diadopsi dari

kitab undang-undang hukum perdata yang telah dijelaskan diatas juga

sejalan dengan asas hukum perjanjian dalam hukum Islam. Namun dalam

hukum Islam asas-asas perjanjian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

1) Asas-asas dalam perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya

umum. Beberapa asas yang termasuk di dalamnya, antara lain : asas

ilahiyah, asas kebolehan (mabda al-ibahah) bahwa pada dasarnya

segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang

melarangnya, asas keadilan dalam memenuhi tanggung jawabnya

masing-masing, asas persamaan/kesetaraan tanpa memandang status

sosial atau yang lainnya, asas tertulisnya setiap transaksi muamalah,

asas i’tikad baik (kepercayaan antara masing-masing pihak) dan asas

kemanfaatan atau kemaslahatan yang terkandung dalam suatu

perjanjian.

2) Asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus.

Beberapa asas yang termasuk didalamnya, antara lain: asas

konsensualisme (QS. An-Nisa : 29), asas kebebasan dalam membuat

perjanjian, asas perjanjian itu mengikat, asas keseimbangan yakni

menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan

perjanjian yang disepakati, dan asas kepastian hukum yang berkaitan

dengan konsekuensi dari suatu perjanjian.

(Rahmani, 2008:96-105)

Berdasarkan pengklasifikasian asas perjanjian dalam Hukum

Islam ini, maka apabila kita melihat asas-asas yang berakibat hukum dan

sifatnya khusus, maka asas-asas tersebut sudah sejalan dengan asas-asas

hukum dalam perjanjian yang diadopsi dari Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata tersebut diatas.

c. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Terdapat beberapa syarat dalam perjanjian yaitu sebagai berikut

(Sabiq, 2006:83) :

1) Tidak menyalahi hukum syari’ah, artinya bahwa perjanjian yang

diadakan bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau

perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab perjanjian yang

bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah adalah tidak sah, dan

dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak

untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut karena

melawan hukum syari’ah. Sebagaimana dalam Sabda Rasulullah

SAW :

بب ط ا ى ا شتز ط هب ئة شز ط كل شز ط خب لف كتب ة ا هلل ف ل

“Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka adalah

batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734).

2) Harus sama ridha dan berdasarkan pada kesepakatan bersama.

Perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak didasarkan pada

kesepakatan kedua belah pihak, yakni masing-masing ridha atau rela

akan isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain perjanjian dibuat

harus atas kehendak bebas masing-masing pihak.(Chairuman,

2004:2). Pemaksaan dalam suatu perjanjian menafikan kemauan,

sehingga tidak ada penghargaan terhadap akad yang menafikan

kebebasan seseorang.(Sabiq, 2006:83)

3) Harus jelas dan gamblang, artinya bahwa apa yang diperjanjikan oleh

para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian,

sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara

para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian

hari.(Chairuman, 2004:2) Oleh karena itu, dalam pelaksanaan

perjanjian pra nikah memiliki interprestasi yang sama tentang apa

yang mereka perjanjikan para pihak memiliki interprestasi yang sama

tentang apa yang mereka perjanjikan. Perjanjian harus jelas dan tidak

samar sehingga tidak mengundang berbagai interprestasi yang bisa

menimbulkan salah paham dalam penerapannya.(Sabiq, 2006:83)

2. Perjanjian Pra Nikah

a. Pengertian Perjanjian Pra Nikah

Perjanjian secara etimologi dalam bahasa arab sering disebut

dengan al-mu’ahadah (janji), al-ittifaq (kesepakatan) dan al-aqdu

(ikatan). Sedangkan secara terminologi, perjanjian adalah janji setia

kepada Allah SWT, atau suatu perjanjian yang dibuat oleh manusia

lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

Menepati janji asalnya adalah diperintahkan, sebagaimana yang

dinyatakan Allah dalam firman-Nya:

فا ببلعقد ب الذيي آها أ يب أي

“Hai oramg-orang yang beriman hendaklah kamu sempurnakan janjia-

janji kamu.”(QS Al-Maaidah 5: 1)

د كب ى هسء لا د إ ى الع ف ا بب لع أ

“Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta pertanggung

jawabannya”.(QS Al-Isra’ 17:34)

Sedangkan, Abdul Rahman Ghazali dalam bukunya Fiqh

Munakahat mendefinisikan perjanjian pra nikah sebagai persetujuan yang

dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu sebelum perkawinan

berlangsung, dan masing-masing berjanji akan mentaati apa yang

tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat

nikah.(Ghazaly, 2006:119)

Dalam literatur fiqh klasik tidak ditemukan bahasan khusus

dengan nama perjanjian pra nikah. Yang ada dalam bahasa fiqh dan

diteruskan dalam sebagian kitab fiqh dengan maksud yang sama yaitu

“persyaratan dalam perkawinan”. Bahasan tentang syarat dalam

perkawinan tidak sama dengan syarat perkawinan yang dibicarakan

dalam semua kitab fiqh karena yang dibahas dalam kitab fiqh dalam

syarat-syarat untuk sahnya perkawinan.(Syarifuddin, 2007:145)

Sedangkan syarat yang terdapat dalam perjanjian pra nikah yang dibahas

disini adalah syarat-syarat yang tidak mempengaruhi sahnya suatu

perkawinan.

Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian dalam

perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak

yang berjanji memenuhi syarat yang ditentukan. Namun perjanjian itu

tidak sama dengan sumpah, karena sumpah dimulai dengan ucapan

seperti : wallahi, billahi dan tallahi, dan membawa akibat dosa bagi yang

tidak memenuhinya.

Syarat atau perjanjian yang dimaksud dilakukan diluar prosesi

akad perkawinan, meskipun dalam suasana atau majelis yang sama. Oleh

karena perjanjian dalam perkawinan terpisah dari akad nikah, maka tidak

ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilakukan secara sah dengan

pelaksanaan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal ini berarti

bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah

yang telah sah. Meskipun demikian pihak-pihak yang dirugiakan tidak

memenuhi perjanjian itu berhak meminta pembatalan nikah.(Syarifuddin,

2007:146)

b. Hukum Membuat Perjanjian Pra Nikah dan Pemenuhannya Dalam

Hukum Islam

Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya

boleh seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak

membuatnya.(Syarifuddin, 2007:146) Namun kalau sudah dibuat

bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian pra

nikah itu menjadi perbincangan oleh para ulama. Jumhur ulama

berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk

perjanjian itu hukunnya wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian

lainnya, bahkan syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak

untuk dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW :

ج الفز فى بب هب استحللتن ب ط أ ى ي ز أ حق ا لش

“Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah

persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan

(perempuan)”.(HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim No.1418)

Al-Syaukaniy juga menjelaskan bahwa alasan syarat perkawinan

menjadi yang paling berhak dipenuhi sebagaimana hadist diatas yaitu

karena urusan pernikahan itu sebagai perkara yang paling hati-hati dan

pintunya yang paling sempit.(Mustafa, 1994:535)

Al-Kaththabi menjelaskan bahwa syarat-syarat dalam pernikahan

berbeda-beda, diantaranya ada yang wajib dipenuhi karena cara yang

ma’ruf, dan diantaranya ada yang tidak perlu ditepati.(Ibnu, 2008:403)

Oleh karena itu, kewajiban dalam memenuhi persyaratan yang terdapat

dalam perjanjian perkawinan tergantung kepada persyaratan yang ada

dalam perjanjian itu sendiri. Dalam hal ini ulama membagi syarat itu

menjadi tiga, yakni sebagai berikut :

1) Syarat yang wajib dipenuhi

Syarat yang wajib dipenuhi adalah syarat yang langsung

berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami istri dalam

perkawinan, merupakan tuntutan dari perkawinan itu sendiri, sesuai

dengan maksud akad dan misi syariat. Artinya syarat-syarat yang

diberikan termasuk dalam rangkaian dan tujuan pernikahan, tidak

mengurangi hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan Rasul-

Nya.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami istri bergaul secara baik,

isteri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan istri harus

memelihara anak yang lahir dari perkawinan itu.

Ulama sepakat mengatakan bahwa syarat-syarat dalam bentuk

pertama ini wajib dilaksanakan. Pihak yang berjanji terikat dengan

persyaratan tersebut. Namun apabila pihak yang berjanji tidak

memenuhi persyaratan tersebut, tidak menyebabkan batalnya

perkawinan dengan sendirinya.(Syarifuddin, 2007:147)

2) Syarat yang tidak wajib dipenuhi

Syarat yang tidak wajib dipenuhi adalah syarat-syarat yang

bertentangan dengan hakikat perkawinan atau yang secara khusus

dilarang untuk dilakukan atau memberi mudharat kepada pihak-

pihak tertentu, bertentangan dengan maksud akad serta melanggar

hukum Allah dan syariat-Nya. Syarat-syarat ini semuanya batal

dengan sendirinya, sebab menyalahi hukum-hukum pernikahan dan

mengurangi hak-hak suami isteri.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami

tidak memberikan nafkah, tidak mau bersetubuh, tidak memberikan

mahar, memisahkan diri dari istrinya atau istri yang harus memberi

nafkah, atau istri mempersyaratkan tidak akan beranak, isteri

mensyaratkan suami menceraikan isteri-istreinya terlebih dahulu,

suami mempersyaratkan membayar mahar atau nafkah, atau suami

meminta isterinya mencari nafkah yang tidak halal.

Dalam hal syarat bentuk ini maka para ulama sepakat bahwa

perjanjian itu tidak wajib dipenuhi dalam arti tidak berdosa orang

yang melanggar perjanjian, meskipun menepati perjanjian itu asalnya

adalah diperintahkan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat

Al-Ma’idah ayat 1. Adapun akadnya sendiri tetap sah karena syarat-

syarat tadi berada diluar ijab qabul yang menyebutnya tidak berguna

dan tidak disebutkanpun tidaklah merugikan. Oleh karena itu, secara

umum dapat dijelaskan bahwa perjanjian pra nikah mempunyai

syarat yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan

syari’at Islam atau hakikat perkawinan. Maka apapun bentuk

perjanjian itu bertentangan dengan syari’at, maka hukum perjanjian

tidak boleh (tidak sah).(Ghazaly, 2006:120-121)

3) Syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak

ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara’

untuk dilakukan (Syarifuddin, 2007:147), artinya bahwa syarat ini

tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah serta persyaratan ini

mengandung kemaslahatan bagi salah satu pasangan.(Abu,

2007:241)

Misalnya isteri mempersyaratkan bahwa suami tidak akan

memadunya, hasil pencarian dalam rumah tangga milik bersama, istri

tidak mau pergi bersama suaminya, atau suami tidak boleh menyuruh

istri keluar rumah atau kampung. Mengenai wajib atau tidaknya

pemenuhan perjanjian bentuk ini para ulama berbeda pendapat.

Menurut Imam Abu Hanifat, Syafi’I dan sebagian besar ulama

berpendapat bahwa syarat-syarat tersebut tidak berlaku dan suami

tidak harus memenuhinya. Pendapat ini didasarkan pada beberapa

dalil, yaitu :

a) Rasulullah bersabda :

ن إل شزطاب ط ى على شز الوسلو ب أحل حزاها م حاللا أ حز

“Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka

(tidak menyelisihnya), kecuali persyaratan yang mengharamkan

perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang

haram”.(H.R At-Thirmidzi No.1352 dan Abu Dawud No.3596

dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Menurut mereka, syarat yang mengharamkan yang halal tersebut

diantaranya yaitu bermadu, melarang keluar rumah dan pergi

bersama, yang semua dihalalkan oleh agama.

b) Rasulullah berssabda :

ا ى ا شتز ط هب ئة شز ط كل شز ط خب لف بب طل كتب ة ا هلل ف

“Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka itu

adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734)

Menurut para ulama yang berpendapat tidak wajib melaksanakan

perjanjian tersebut, dikarenakan syarat tersebut tidak ada

didalam kitab Allah karena memang tidak ada ketentuannya

dalam agama.(Afandi, 1997:53)

Sedangkan beberapa ulama yang berpendapat bahwa syarat

tersebut wajib dipenuhi diantaranya Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi

Waqash, Mu’awiyah, Amru bin Ash, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin

Zaid, Thawus, Auza’i, Ishaq dan golongan mazhab Ahmad bin

Hambal. Pendapat ini didasarkan pada beberapa argument,(Sabiq,

2006:536-537) yaitu :

1) Allah SWT berfirman :

ب فا ببلعقد يب أي الذيي آها أ

“Hai oramg-orang yang beriman hendaklah kamu sempurnakan

janjia-janji kamu.”(QS Al-Maaidah 5: 1)

2) Rasulullah bersabda :

ن ط ى على شز ا لوسلو

“orang islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian)

mereka”.(HR. Tirmidzi:2498)

3) Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lain-lain

dari Uqba bin Amir bahwa Rasulullah SAW bersabda :

ج الفز فى بب هب استحللتن ب ط أ ى ي ز أ حق ا لش

“Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan

adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan

kemaluan (perempuan)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim

No.1418)

4) Diriwayatkan oleh Atsram dengan sanadnya sendiri, ada seorang

laki-laki menikah dengan seorang perempuan dan berjanji untuk

tetap tinggal di rumahnya (istri). Kemudian suaminya bermaksud

mengajaknya pindah lalu mereka (keluarganya) mengadukannya

kepada Umar nim Khattab, maka Umar memutuskan bahwa

perempuan itu berhak atas janji suaminya (disini hak suami atas

istri batal karena adanya perjanjian).

5) Karena janji-janji yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada

calon isterinya mengandung manfaat dan maksud, asalkan tidak

menghalangi pernikahan, maka hukumnya sah, sebagaimana

kalau perempuan mensyaratkan agar calon suaminya mau

membayar maharnya lebih tinggi lagi.

Pendapat yang mewajibkan dipenuhinya perjanjian ini

semakin dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, yang pendapatnya

melemahkan pendapat yang pertama. Ia berkata bahwa perjanjian/

syarat tersebut bukan mengharamkan yang halal, akan tetapi

memberikan kepada perempuan hak untuk meminta cerai jika suami

tidak dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya. Selain itu, hal

ini merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuan karena apa yang

bisa menjadi suatu maslahat bagi suatu pihak yang mengadakan

akad, berarti pula menjadi suatu kemaslahatan didalam

akadnya.(Sabiq, 2006:537-538)

Ibnu Rusyd pun sependapat dengan pendapat kedua,

kemudian menjelaskan bahwa perbedaan pendapat dikarenakan

mempertentangkan antara dalil yang umum dan yang khusus, yang

dimaksud dalil yang umum adalah hadist Rsulullah SAW yang

bersabda dalam suatu khotbahnya :

ا ى ا شتز ط هب ئة شز ط بب طل كل شز ط خب لف كتب ة ا هلل ف

“Syarat (persyaratan) yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka

itu adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734).

Adapun dalil yang khusus adalah hadist dari Uqba bin Amir, sabda

Rasulullah SAW :

ج الفز فى بب هب استحللتن ب ط أ ى ي ز أ حق ا لش

“Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah

persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para

wanita)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim No.1418)

Kedua hadist ini shahih, tetapi menurut para ahli ushul fiqh,

yang termasyur dipakai adalah memenangkan dalil yang khusus dari

yang umum, yang dalam hal ini adalah memenuhi janji-janji yang

diadakan dalam pernikahan.(Sabiq, 2006:538)

Adapun pendapat Ibnu Taimiyah dalam perjanjian ini,

mengatakan bahwa bagi orang yang sehat akalnya, apabila

mengadakan perjanjian mengandung kebaikan dari tujuan yang

hendak dicapainya, tidaklah ia mau undur atau menghianatinya.

Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna daripada dibiarkan

tanpa syarat, atau lebih berguna lagi daripada kalau tidak diberi

syarat sama sekali.(Sabiq, 2006:538)

Secara lebih terperinci ulama Hanabilah berpendapat bahwa

hukumnya wajib dipenuhi, karena dikatakan hal ini sangat relevan

untuk mengurangi terjadinya poligami yang tidak

bertanggungjawab.(Syarifuddin, 2007:149) Sedangkan untuk perkara

yang secara khusus tidak ditemukan larangan maupun perintahnya

dalam nash-nash syara’, maka dibuka kesempatan untuk hal itu.

Akan tetapi, dalam literature yang berbeda dalam kitab Shahih Fiqih

Sunnah karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim menjelaskan

bahwa perjanjian pra nikah yang tergolong perjanjian yang tidak

dilarang atau diperintahkan oleh Allah ini hukum pemenuhannya

adalah mubah, sehingga boleh dilakukan (ditaati) dan boleh juga

ditinggalkan.(Kamal, 2007:246)

3. Akad Nikah dan Konsekuensinya dalam Kehidupan Rumah Tangga

Dengan dilangsungkannya akad nikah antara mempelai laki-laki dan

perempuan, maka terjalinlah hubungan suami istri yang kemudian

berpengaruh pada timbulnya hak dan kewajiban bagi keduanya. Kewajiban

suami merupakan hak bagi seorang istri, sedangkan kewajiban istri

merupakan hak bagi seorang suami. Kewajiban dan hak merupakan suatu

pola hubungan timbal balik antara suami istri. Misalnya kewajiban seorang

suami adalah memberi nafkah dan pakaian kepada istri, maka nafkah dan

pakaian tersebut merupakan hak yang harus diperoleh seorang istri. Selain

itu, kewajiban istri adalah taat kepada perintah suami, maka hal ini menjadi

hak yang harus diperoleh suami atas isterinya.(Abu, 2007:335)

Jika akad nikah telah sah, maka menimbulkan akibat hukum yang

harus ditanggung oleh suami istri yakni berupa hak serta kewajiban. Hak dan

kewajiban ini ada tiga macam yaitu hak bersama suami isteri yang berarti

kewajiban yang dikenai bagi keduanya, hak istri (kewajiban bagi suami) dan

hak suami (kewajiban bagi istri).

a. Hak bersama suami isteri (kewajiban bagi keduanya)

Hak bersama suami istri yang harus ditanggung keduanya, antara

lain :

1) Kehalalan bersenang-senang (bersetubuh)

Suami istri diperbolehkan saling menikmati hubungan

seksual. Perbuatan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbal balik.

Masing-masing mereka berhak menikmati kesenangan dengan

pasangannya karena dorongan fitrah dan mencari keturunan

merupakan tujuan yang tinggi dari hubungan sakral tersebut, yakni

perkawinan. Haram salah satu dari mereka yang mengharamkan

pasangannya melakukan hal ini.(Azzam,2009:231) Sesuai dengan

firman Allah yang artinya

“dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-

isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka

sesungguhnya mereka tidak tercela”.(QS Al-Mu’minun 23:5-6)

2) Istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakek, anaknya dan

cucunya. Begitu juga bagi ibu istrinya, anak perempuannya dan

seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.

3) Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah.

Istri berhak menerima waris atas peninggalan suami, begitupun

sebaliknya.

4) Keturunan dan sandaran keturunan kepada kedua orang tua.

Ketika akad nikah sah, maka ditetapkan masing-masing

mereka dalam melahirkan keturunan, membesarkan anak-anak dan

menisbatkan keturunannya.(Basyir, 1999:53) Anak yang lahir dari

istri bernasab kepada suaminya.

Adapun hak untuk memiliki keturunan menurut Ulama

Hanafiah menjadi hak bersama suami istri, tidak boleh salah satu dari

mereka mencegah tanpa seizin yang lain. Pendapat ini menjadi

pendapat mayoritas para ulama. Namun yang menjadi perdebatan

para ulama adalah terkait hukumnya mencegah kelahiran anak.

Mayoritas ulama, diantaranya Abu Bakar, Umar dan Ibnu Mas’ud

berpendapat bahwa mencegah kelahiran anak adalah makruh karena

melihat hak umat dan karena adanya pengecilan keturunan,

sedangkan Rasulullah menganjurkan kita agar memperbanyak

keturunan.

5) Bergaul dengan baik antara suami isteri, sehingga tercipta kehidupan

yang harmonis dan damai. Wajib bagi suami istri untuk saling

mempergauli pasangannya dengan baik, sebagaimana firman Allah

yang artinya

“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut”.(QS An-

Nisa 4:19)

b. Kewajiban suami (Hak istri)

Para ulama sepakat bahwa kewajiban suami terhadap istrinya,

yang sekaligus merupakan hak istri atas suaminya adalah nafkah dan

pakaian.(Rusyd, 2007:107)

Berdasarakan pada firman Allah yang artinya

“Dan kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka (anak

dan ibu/istri) dengan cara yang patut”.(QS al-Baqarah 2:233)

Dan hadist shahih dari sabda Nabi SAW

“kalian wajib menafkahi dan memberi pakaian dengan cara yang

baik”.(HR.Muslim :1218)

Kewajiban suami yang menjadi hak-hak istri ini secara terperinci

dijelaskan oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dalam buku Fiqh

Munakahat, bahwa hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah

sebagi berikut :

1) Mahar

Mahar merupakan simbol kesanggupan suami untuk memikul

kewajiban-kewajiban sebagai suami dalam hidup perkawinan yang

akan mendatangkan kemantapan dan ketentraman hati istri. Menurut

syara’ mahar adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur

yakni berupa sesuatu yang ada nilainya atau harganya sah dijadikan

mahar. Dasar hukum disyariatkannya mahar yaitu :

ي حلةا آ ت ا السب ء صد قب ت

“Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.(QS An-Nisa 4:4)

2) Pemberian suami kepada istri karena berpisah (mut’ah)

Maksudnya disini adalah sejumlah materi yang diserahkan

suami kepada istri yang dipisah dari kehidupannya sebab talak atau

semakna dengannya dengan beberapa syarat. Mut’ah ini wajib

diberikan kepada setiap wanita yang dicerai sebelum bercampur dan

sebelum kepastian mahar.

3) Nafkah, tempat tinggal dan pakaian

Para ulama sepakat mengenai kewajiban nafkah kepada istri

yang dimaksud nafkah istri adalah tuntutan terhadap suami karena

perintah syariat untuk istrinya berupa makanan, minuman, pakaian,

tempat tinggal, ranjang, pelayanan dan yang lainnya, sesuai dengan

tradisi di tempat selama masih dalam lingkaran kaidah

syariat.(Yaqub, 2007:47)

Adapun kewajiban nafkah didasarkan firman Allah yang

artinya

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun

penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban

ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang

patut”.(QS. Al-Baqarah 2.2233)

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang beberapa

hal, yaitu waktu kewajibannya, ukurannya, siapakah yang berhak

menerimanya dan siapakah yang wajib memberikannya.

Adapun yang berkaitan dengan perjanjian pra nikah yaitu

mengenai waktu kewajiban nafkah tersebut dikenakan kepada

seorang suami. Waktu wajibnya seorang suami memberikan nafkah

kepada istri, yaitu :

(a) Malik mengatakan, suami tidak wajib memberikan nafkah

hingga dia menggauli istrinya atau diajak untuk menggaulinya

dan istrinya termasuk orang yang dapat digauli dan suami juga

sudah dewasa.

(b) Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum

dewasa wajib memberikan nafkah jika istri telah dewasa.

(c) Adapun jika suami sudah dewasa, sedangkan istri belum dewasa,

dalam hal ini Syafi’i memiliki dua pendapat, yaitu: pertama,

seperti pendapat Malik dan kedua, bahwa dia berhak

mendapatkan nafkah secara mutlak.

(Rusyd, 2007:107)

Imam Syafi’i menjelaskan dalam Kitab al-Umm bahwa

seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, baik si istri

berkecukupan (kaya) ataupun membutuhkan (miskin), karena suami

telah mengkungkung istrinya untuk kesenangannya dirinya secara

khusus. Oleh karena itu, selama istri tidak menolak untuk dicampuri

oleh suaminya, maka suami berkewajiban memberi nafkah kepada

istri dalam keadaan bagaimanapun. (Abu, 2007:430) Kalangan ulama

madzhab Hanafi berpendapat bahwa suami wajib memberi nafkah

kepada istri karena ruang gerak istri telah terbatasi untuk mengabdi

kepada suami. Sedangkan menurut jumhur, alasannya adalah karena

ia menjadi istri.

Adapun seorang suami diwajibkan menafkahi istri apabila

istrinya telah memenuhi syarat-syarat berikut: (Sabiq, 2006:57)

(1) Ikatan perkawinan yang sah.

Adapun perkawinan dianggap sah adalah ketika rukun dan syarat

dari perkawinan itu terpenuhi menurut hukum Islam, sehingga

nikah siri sebagai perkawinan sah yang disembunyikan juga

masuk didalamnya. Hal ini dikarenakan nikah siri sebagai

perkawinan sah yang disebunyikan juga telah memenuhi rukun

dan syarat perkawinan dianggap sah menurut hukum

Islam.(Djubaidah, 2010:345-350) Sedangkan alasan

disembunyikan perkawinan tersebut kesemuanya bukan dalam

rangka menentang hukum Allah dan Rasul-Nya, bukan

bermaksud melecehkan hukum Allah.(Djubaidah, 2010:348)

Misalnya disembunyikan karena masih terikat dengan perjanjian

tertentu yang mengharuskan untuk tidak melakukan perkawinan

dalam jangka waktu tertentu.

(2) Menyerahkan dirinya kepada suaminya.

(3) Suaminya dapat menikmati dirinya.

(4) Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki

suaminya.

(5) Kedua-duanya dapat saling menikmati.

Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, ia tidak

wajib diberi nafkah. Begitu juga bagi istri yang enggan pindah ke

tempat yang dikehendaki suami, dalam keadaan seperti itu tidak ada

kewajiban nafkah. Hal ini dimungkinkan karena pemahaman yang

dimaksud sebagai dasar hak penerimaan nafkah tidak dapat

diwujudkan. Hal ini sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang

menikah dengan Aisyah dan baru tinggal setelah dua tahun

kemudian. Beliau tidak memberi nafkah kecuali setelah beliau

tinggal serumah dengannya.

Adapun kewajiban bagi istri untuk serumah dengan suaminya

berdasarkan pada firman Allah al-Qur’an surat ath-Thalaq ayat 6

yang artinya sebagai berikut:

“tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal

menurut kemampuanmu”.(QS. Ath-Thalaq 65:6)

Allah mewajibkan suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi

istrinya. Sebaliknya, Allah mewajibkan istri untuk tinggal bersama

suaminya di rumah yang ia tinggali dan ia persiapkan untuknya.

Imam Ibnu Quddamah al-Maqdisi juga berkata bahwa istri berhak

mendapat tempat tinggal dari suaminya berdasarkan firman Allah

surat ath-Thaliq tersebut.(Mahmud, 2010:31)

Jika wanita yang diceraikan saja berhak mendapatkan tempat tinggal,

apalagi wanita yang masih berstatuskan istri sah. Hal ini merupakan

bentuk pergaulan yang patut dilakukan kepada istri, yakni berupa

tempat tinggal sebab, ia sangat membutuhkannya untuk melindungi

diri dari pandangan orang, berhubungan intim dan menjaga harta

benda. Selain itu, karena tempat tinggal termasuk mashlahat dan

kebutuhan tetap seorang istri.

4) Adil dalam pergaulan dengan istri, baik mu’amalah maupun

mu’asyarah. Hal ini khususnya bagi pelaku poligami dan

keluarganya.

Selain itu, kewajiban-kewajiban suami lainnya oleh Abu Malik

dalam Kitab Shahih Sunnahnya, antara lain :

a) Memelihara dan menjaga istri dari segala hal yang menghilangkan

kehormatannya atau mengotori kehormatannya atau merendahkan

derajatnya dan atau memalingkan pendengarannya karena dicela.

b) Memuaskan istri dalam berhubungan seksual.

c) Bersikap lembut terhadap istri, bercengkrama dengannya, dan

menghargai usianya yang belia.

d) Bercengkrama dan berbincang-bincang dengan istri serta

mendengarkan ceritanya.

e) Mengajarkan perkara-perkara agama kepada istrinya dan

memotivasinya untuk taat beragama.

f) Tidak menyakitinya dengan memukulnya dibagian wajah atau

mencelanya dengan buruk.

g) Tidak mendiamkan kecuali di rumah.

h) Menjaga kesucian istri.

i) Tidak membocorkan rahasia istri dan membeberkan aib kepada

orang lain.

c. Kewajiban isteri (hak suami)

Kewajiban istri yang wajib dipenuhi sebagai tuntutan hak bagi

suami hanya merupakan hak-hak yang bukan kebendaan, sebab menurut

Hukum Islam istri tidak dibebani kebendaan yang diperlukan untuk

mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.(Basyir, 1999:61)

Hak-hak suami pada intinya adalah hak untuk ditaati mengenai

hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran

kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedudukan suami

istri.(Basyir, 1999:61) Hal ini kemudian oleh abdul Aziz Muhammad

Azzam dalam Fiqh Munakahat dijelaskan secara terperinci, kewajiban

istri terhadap suami antara lain (Azzam, 2009:221-230) :

1) Mematuhi suami dengan taat dan tidak durhaka kepadanya

2) Memelihara kehormatan dan harta suami

3) Berhias untuk suami

4) Menjadi partner suami

5) Istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami

6) Istri harus tinggal bersama suami. Allah mewajibkan suami

menyediakan tempat tinggal bagi istrinya. Sebaliknya, Allah

mewajibkan istri untuk tinggal bersama suaminya dirumah yang ia

tinggali.(Al-Mashri, 2010:31)

7) Istri melayani suami, baik dalam hubungan seksual maupun

keperluan rumah tangga. Dalam hal melayani urusan rumah tangga,

para ulama jumhur berpendapat bahwa hal tersebut merupakan suatu

kewajiban. Alasannya adalah karena suami sebagaimana ketentuan

dalam kitab Allah adalah pemimpin istri, sementara istri menurut

ketentuan Sunnah Rasulullah adalah pembantu (tawanan) suami.

Oleh karena itu, tawanan yang baik adalah yang melayani dengan

baik.(Kamal, 2007:307-308)

Adapun firman Allah yang menjadi dasar hukum kewajiban istri

yaitu terdapat dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34 yang artinya

“laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah

telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain

(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah

dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka

yang ta’at (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,

karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuam-perempuan yang

kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada

mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan

(kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu janganlah

kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah

Maha Tinggi, Maha Besar”.(QS An-Nisa 4:34)

4. Konsep Harta Dalam Islam

Didalam Islam terdapat beberapa pengertian harta dalam rumah

tangga:

a. Pertama, harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga,

sebagaimana firman Allah SWT :

ب لكن قيبها الكن التي جعل للا فبء أه ل تؤتا الس

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum

sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai Pokok

Kehidupan”.(QS An-Nisa :5)

b. Kedua, kewajiban suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai

berikut :

1) Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :

ي حلةا آتا السبء صدقبت

“Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai

bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan)”. (QS An-Nisa :4)

2) Memberikan nafkah kepada istri dan anak sebagaimana firman Allah

SWT :

تي ببلوعزف كس لد ل رسقي على الو

“ Dan kepada ayah berkewajiban memberi nafkah dan pakaian yang

layak kepada istrinya”.(QS Al-Baqarah : 233)

c. Ketiga, suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan

ridhonya, sebagaimana firman Allah SWT :

ب فكل يئاب هزيئاب فئى طبي لكن عي شيء ه فسا

“Jika mereka (istri-istrimu) menyerahkan dengan penuh kerelaan

sebagian mas kawin merekan kepadamu, maka terimalah pemberian

tersebut harta yang sedap dan baik akibatnya”.(QS An-Nisa :4)

d. Keempat, jika terdapat perceraian antara suami istri, maka ketentuannya

sebagai berikut :

1) Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan intim

dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut

meninggal dunia dan mahar telah ditentukan, dalam hal ini Allah

SWT berfirman yang artinya

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan istri yang lain,

sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka

harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil dari padanya

barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali

dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa

yang nyata ? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,

padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain

sebagai suami istri. (QS An-Nisa 20-21)

2) Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan

intim dengan suaminya dan mahar telah ditentukan, sebagaimana

firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 237 yang artinya

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur

dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan

maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu

tentukan itu”.

3) Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan

hubungan intim dengan suaminya dan mahar belum ditentukan,

sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah

ayat 236

“tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu

menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan

mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya, dan hendaklah

kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang

mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut

kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang

demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat

kebajikan.

Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta

gono-gini. Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum didalam

menyelesaikan masalah bersama.

Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami-istri. Kesepakatan

ini di dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu perjanjian untuk

melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka

berselisih. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 128

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari

suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian

sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”.

Ayat diatas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami isteri setelah

mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-

haknya, pada ayat diatas istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan

antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah SAW

“Perdamaian adalah boleh diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang

mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram”.

Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau

kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian haknya demi untuk mencapai suatu

kesepakatan. Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri

memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik

bersama. Biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun

masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja maka dalam hal ini tidak

terdapat harta gono-gini dan pada dasarnya semua dibeli oleh suami adalah milik

suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi hak

istri.

B. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia

1. Perjanjian Pra Nikah dalam UU No.1 Th 1974

Istilah “perjanjian” dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan

sebagai persetujuan (tertulis/lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,

masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan

itu. Perjanjian pra nikah atau biasa di sebut juga dengan prenuptial

agreement menurut asalnya merupakan terjemahan dari kata

“Huwelijksevoorwaarden” yang ada dalam Burgerlijk wetboek (BW). Istilah

ini terdapat dalam KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Huwlijk sendiri menurut bahasa berarti

perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan

Voorwaard berarti syarat. Dalam aspek hukum, perkawinan merupakan suatu

akad, yaitu perikatan dan perjanjian yang luhur antara suami-istri untuk

membina rumah tangga bahagia. Sebagai ikatan dan perjanjian, kedua belah

pihak terikat dengan janji yang dibuatnya, karena itu, dengan akad nikah

menimbulkan hak dan kewajiban suami istri. Dan sebagai unit terkecil dari

masyarakat, juga akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan

anak, anak dengan orang tuanya, sebagai ikatan yang luhur dan kuat.

Sebaimana dijelaskan dalam Q.S Al-Nisa’ ayat 4 yang artinya “Bagaimana

kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul

(bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu)

telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.(Anshary,1994:46)

Belum ada definisi secara baku mengartikan perjanjian pra nikah baik

menurut bahasa maupun istilah. Namun dari masing-masing kata dalam

kamus bahasa dapat diartikan:

a. Perjanjian : persetujuan, syarat, tenggang waktu, kesepakatan baik lisan

maupun tertulis yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih untuk

ditepati.

b. Pra Nikah : Pra (sebelum) Nikah/Pernikahan, hal-hal yang berhubungan

dengan kawin. Secara umum, perjanjian pra nikah berisi tentang

pengaturan harta kekayaan calon suami istri.(Susanto,2008:78)

Pada prinsipnya pengertian perjanjian pra nikah sama dengan

perjanjian pada umumnya, yaitu suatu perjanjian antara dua orang calon

suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang

dibuat menjelang perkawinan, serta disahkan oleh pegawai pencatat nikah.

(Damanhuri, 2007:7)

Di Indonesia Perjanjian Pra Nikah diatur dalam UU No.1 Th 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berikut akan di jelaskan lebih lanjut

mengenai perjanjian pra nikah dalam Undang-Undang No.1 Th 1974

Perjanjian Pra Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Th

1974 diatur dalam Bab V dan pasal 29 yang terdiri dari 4 ayat, sebagai

berikut :

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang di sahkan

oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersanngkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat di sahkan bilamana melanggar batas-batas

hukum, agama, dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan di langsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat di rubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan

perubahan tidak mengikat pihak ketiga.

Penjelasan Pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam

pasal ini tidak termasuk ta’lik talak. Namun Pasal 11 dalam Peraturan

Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 menyebutkan suatu peraturan yang

bertentangan. Hal itu diungkapkan sebagai berikut :

a. Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak

bertentangan dengan Hukum Islam.

b. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu

diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah

dilangsungkan.

c. Sighat ta’lik talak ditentukan oleh Menteri Agama.(Zainuddin, 2006:41)

Isi Pasal 11 tersebut, dirinci oleh Pasal 45 sampai 52 KHI, yaitu kedua

calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk

ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, perjanjian dalam Pasal 29 ini

jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi “Verbintenissen” yang

bersumber pada persetujuan saja (overenkomsten), dan perbuatan yang tidak

melawan hukum, jadi tidak meliputi “Verbintenissen uit de wet allen”

(perikatan yang bersumber pada undang-undang).(Martiman, 2002:29)

Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang

ini tidak termasuk di dalamnya ta’lik talak sebagaimana yang termuat dalam

surat nikah. Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan

pra nikah namun dapat diberikan batasan, sebagai suatu hubungan hukum

mengenai harta kekayaan mengenai kedua belah pihak, dalam mana satu

pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak

untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut. Lebih jelasnya dapat

dikatakan bahwa perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat oleh

calon suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan, perjanjian dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh

pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga

sepanjang diperjanjikan.(Martiman, 2002:39)

Selanjutnya menurut Henry Lee A Weng di dalam disertasinya

menyatakan perjanjian pra nikah lebih luas dari “Huwelijksche

Voorwaarden” seperti yang di atur dalam hukum perdata. Perjanjian pra

nikah bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan,

melainkan juga meliputi syarat-syarat / keinginan-keinginan yang harus di

penuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas

hukum,agama dan kesusilaan.(Henry, 1990:5)

Sama halnya dalam UU No.1 Tahun 1974 Bab V menyangkut tentang

perjanjian pra nikah, disebutkan bahwa calon suami istri sebelum perkawinan

dilangsungkan atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian pra

nikah (Huwelyke Voorwaarden). Selanjutnya diatur :

1. Persetujuan perkawinan itu dibuat secara tertulis

2. Perjanjian Pra Nikah tertulis tersebut disahkan oleh pegawai pencatat

perkawinan

3. Sejak pengesahan oleh pegawai pencatat, isi ketentuan perjanjian itu

menjadi sah kepada pihak suami-istri dan juga terhadap pihak ketiga

sepanjang isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga (ayat 1 Pasal 29)

4. Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan

dilangsungkan (ayat 3, Pasal 29)

5. Perjanjian pra nikah tidak dapat diubah selama perkawinan. Jika

perubahan itu dilakukan secara sepihak, perubahan unilateral tidak boleh.

Akan tetapi jika perubahan itu atas kehendak bersama (secara bilateral)

perubahan di maksud dapat di lakukan (ayat 4,pasal 29)

6. perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan

perjanjian itu melanggar batas-batas hukum,agama dan kesusilaan.

Dalam setiap perkawinan tidak terlepas oleh adanya harta benda, baik

yang diperoleh sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung

maupun yang diperoleh selama menjadi suami istri dalam suatu ikatan

perkawinan. Undang-undang perkawinan membedakan harta benda dalam

perkawinan yang diatur dalam Pasal 35, bahwa :

a. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

b. Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan

adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain

Dengan adanya perbedaan jenis harta benda dalam perkawinan

tersebut mempengaruhi cara melakukan pengurusannya. Harta bersama

diurus secara bersama-sama oleh suami istri. Dalam melakukan pengurusan

harta bersama tersebut, mereka dapat bertindak dengan adanya persetujuan

kedua belah pihak. Artinya suami atau istri jika melakukan perbuatan hukum

terhadap harta bersama berdasarkan kesepakatan bersama. Berbeda dengan

harta bawaan, pengurusannya dilakukan oleh masing-masing pihak, suami

atau istri, kecuali apabila mereka telah menentukan lain. Masing-masing

pihak suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap harta bawaannya masing-masing. Suami atau istri

dapat bertindak atas persetujuan mereka. Akan tetapi persetujuan itu

bukanlah suatu kewajiban. Dengan demikian pula penguasaan dan perlekatan

hak kepemilikan atas 2 jenis harta dalam perkawinan yang telah jelas

dipisahkan oleh UUP. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 36 Undang-

Undang No.1 Th. 1974 yang berbunyi :

1. Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak.

2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya.

Ditinjau dari ketentuan undang-undang yang diatur dalam pasal 147

BW dst., pada rasionanya perjanjian pra nikah dibuat untuk menghindari

peraturan sistem yang di atur oleh BW, yang menganut sistem percampuran

harta kekayaan dalam perkawinan. Segala harta baik harta bawaan suami-istri

dengan sendirinya menurut hukum bersatu menjadi harta kekayaan milik

bersama. Maka Huwelyks Voorwaarden ini dimaksudkan untuk menghindari

atau mengecualikan atas percampuran kekayaan bersama (Pasal 199 BW).

Dari saat berlangsungnya pernikahan menurut hukum terwujudlah

penggabungan harta benda secara keseluruhan antara suami istri sekedar hal

itu tidak dibuat ketentuan pada waktu terjadi akad nikah. Jadi perjanjian

perkawinan itu penyimpangan dari ketentuan hukum tentang milik bersama

dalam perkawinan. Sebab seperti disebutkan diatas tanpa adanya Huweylyk

Voorwaarden dengan sendirinya menurut hukum akan terjadi percampuran

harta kekayaan bersama secara keseluruhan.(Anshary, 1994:56)

Perjanjian Pra Nikah dalam Pasal 29 UU No.1 Th 1974 yaitu

persetujuan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan, atau perjanjian

yang mengatur sampai dimana batas-batas tanggung jawab pribadi masing-

masing seperti yang disebut pada ayat 2 Pasal 35 terhadap hutang-hutang

yang dibuat oleh suami terhadap pihak istri terhadap pihak ketiga. Dengan

adanya pasal ini banyak menolong pihak istri dan suami atas tindakan-

tindakan yang merugikan, misalnya dengan membuat perjanjian bahwa atas

tindakan suami dalam hutang, harta istri tidak ikut bertanggung jawab atas

pelunasannya, harta pusaka bawaan istri ikut dilelang atas hutang suami

sekalipun si istri tidak tahu menahu tentang hutang tersebut. Penting untuk di

catat, ada dua hal penting mengenai perjanjian ini, perjanjian pra nikah ini

bukan merupakan sebuah keharusan, tanpa ada perjanjian pun, perkawinan

itu dapat dilaksanakan. Dengan kata lain perjanjian pra nikah hanya sebuah

lembaga yang dipersiapkan bila ada pihak-pihak yang merasa perlu untuk

membuat perjanjian, untuk menghindarkan terjadinya perselisihan antara

harta pribadi dan harta bersama. Menurut K. Wantjik saleh ruang lingkup

perjanjian perkawinan tidak di tentukan perjanjian tersebut mengenai apa,

umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada pembatasan itu, maka

dapat di simpulkan bahwa perjanjian tersebut luas sekali, dapat mengenai

berbagai hal selama tidak beretntangan dengan hukum dan kesusilaan dapat

dituangkan dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan

sesudah perkawinan atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak,

tamggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian

nama, pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan larangan

melakukan kekerasan, masginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi

(pembakuan) dll. Dalam penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa yang

dimaksud dengan “perjanjian” itu tidak termasuk “ta’lik talak”.

(Anshary,1994:58)

2. Perjanjian Pra Nikah Dalam Kompilasai Hukum Islam (KHI)

Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perjanjian pra nikah

diatur pada Bab VII Pasal 45 sampai 52 tentang perjanjian perkawinan.

Pasal 45 KHI menyatakan bahwa “kedua calon mempelai dapat mengadakan

perjanjian perkawinan dalam bentuk:

a. Ta’lik talak

b. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dalam pasal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 29 UUP yang

menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak

termasuk ”ta’lik talak”. Dan bisa dalam bentuk perjanjian lain yang tidak

bertentangan dengan Hukum Islam. Perjanjian pra nikah yang di jelaskan

oleh Pasal 29 UUP telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa ta’lik talak

termasuk salah satu perjanjian perkawinan dalam pasal Kompilasi Hukum

Islam seperti dijelaskan di bawah ini :

Pasal 46 KHI

1. Isi ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam.

2. Apabila keadaan yang di syaratkannya dalam ta’lik talak betul-betul

terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya jatuh talak. Supaya talak

sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke

Pengadilan Agama.

3. Perjanjian ta’lik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap

perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat

dicabut kembali.

Ayat 3 KHI di atas bertentangan dengan Pasal 29 ayat 4 Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 yang mengungkapkan bahwa selama perkawinan

berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua

belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah maka dalam

penjelasannya di lampirkan dalam salinan akta nikah yang sudah di tanda

tangani oleh suami. Oleh karena itu, perjanjian ta’lik talak tidak dapat di

cabut kembali. Dapat dipahami bahwa sebelum pelaksanaan akad nikah

pegawai pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian pra nikah

yang di buat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi

perjanjian itu, maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati

mereka bersama. Selama perjanjian itu berupa ta’lik talak, Menteri Agama

telah mengaturnya.(Hazairin, 1982:63)

Selain itu perjanjian pra nikah dapat juga dibuat oleh kedua belah

pihak mengenai harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan

dengan hukum Islam. Perjanjian pra nikah yang berkaitan dengan masalah

harta bersama yang di dapat selama perkawinan di terangkan dalam Pasal 47

KHI :

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon

mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang di sahkan pegawai

pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

b. Perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi percampuran harta

pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal

itu tidak bertentangan dengan Islam.

c. Di samping ketentuan dalam ayat 1 dan 2 di atas, boleh juga isi

perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk

mengadakan ketetapan hipotik atas harta pribadi atau harta bersama atau

harta syarikat.

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa “Perjanjian Pra Nikah”

menurut KHI bukan hanya terbatas pada harta yang di dapat selama

perkawinan, akan tetapi mencakup harta bawaan masing-masing suami istri.

Sedangkan yang di maksud dengan perjanjian pra nikah terhadap harta

bersama yaitu perjanjian tertulis yang di sahkan oleh pegawai pencatat nikah,

perjanjian tersebut dibuat oleh calon suami istri untuk mempersatukan atau

memisahkan harta kekayaan pribadi masing-masing selama perkawinan

berlangsung, tergantung dari apa yang di sepakati oleh para pihak yang

melakukan perjanjian. Isi perjanjian tersebut berlaku pula bagi pihak ketiga

sejauh pihak ketiga tersangkut.

Perjanjian pra nikah yang dibuat antara calon suami istri tentang pemisahan

harta bersama atau harta syarikat tidak boleh menghilangkan kewajiban

suami untuk tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apabila setelah

dibuat perjanjian tidak memenuhi ketentuan kewajiban suami untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga, menurut Pasal 48 ayat 2 KHI “Apabila

dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat 1

dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan

kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga” dianggap

tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban

suami tetap menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.

Ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 47, bahwa

perjanjian pra nikah dapat dibuat sepanjang tidak bertentangan dengan

hukum Islam misalnya perjanjian pra nikah yang mengatur tentang harta

pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, serta menetapkan

kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik (perjanjian

dengan pihak bank, misalnya) atas harta pribadi dan harta bersama.

3. Bentuk Dan Isi Perjanjian Pra Nikah

Perjanjian pra nikah merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu

perkawinan di dalam bidang harta kekayaan. Adapun mengenai bentuk-

bentuk perjanjian pra nikah telah di atur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPer) yang menganut sistem percampuran harta

kekayaan antara suami-istri (Alghele Gemeenscchap Van Goerderen) ketika

perkawinan terjadi.(Anshary, 1994:172)

Dalam Pasal 147 KUH Perdata disebutkan “Perjanjian Pra Nikah

harus dibuat dengan akta notaris dan harus dibuat sebelum dilangsungkannya

perkawinan. Perjanjian pra nikah mulai berlaku pada saat perkawinan

dilangsungkan. Tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu” dengan demikian

maka akta notaris itu adalah syarat mutlak tentang adanya perjanjian pra

nikah. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974

Pasal 29 ayat 1 tentang perkawinan yang menyatakan “Pada waktu

perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat

mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat

perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang

pihak ketiga tersangkut”, maka keabsahan perjanjian pra nikah tersebut

cukup dihadapan pencatat nikah. Perbedaan yang terdapat pada Bab VII

KUH Perdata dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal 29 terletak pada keabsahan

dan kekuatan mengikatnya pihak ketiga. Terhadap pihak ketiga sebagaimana

di jelaskan dalam Pasal 152 Bab VII KUH Perdata tentang perjanjian pra

nikah bahwa tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di

kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya itu atau

jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta

perkawinan dibukukan. Maka dari itu agar perjanjian dianggap sah dalam

hukum maka harus dibuat oleh akta notaris terlebih dahulu kemudian

disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Perjanjian pra nikah tidak boleh

diartikan sebagai alat pembuktian, jika perjanjian dibuat setelah

dilangsungkannya pernikahan dalam hal antara suami dan istri ada

pengakuan tentang adanya suatu perjanjian perkawinan, maka itu tidak dapat

diterima.

Setelah dilangsungkannya perkawinan perjanjian pra nikah tidak dapat

diubah lagi dengan cara bagaimanapun juga (Pasal 149 KUHPer). Jika terjadi

perceraian dan kemudian kawin lagi, hal itu tidak boleh dipakai alasan untuk

merubah perjanjian pra nikah dahulu.(Yanggo, 1994:173)

Hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian pra nikah dalam

KUH Perdata meliputi hal-hal seperti berikut:

a. Pasal 139

Para calon suami istri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dan

peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak

bertentangan dengan tata tertib umum dan diindahkan pula ketentuan-

ketentuan berikut.

b. Pasal 140

1. Tidak boleh melanggar hak marital dari suami yaitu hak suami di

dalam statusnya sebagai suami yaitu umpamanya suami yang harus

menetapkan di mana suami-istri harus bertempat tinggal.

2. Tidak boleh juga melanggar hak kekuasaan orang tua. Menurut pasal

300, kekuasaan orang tua dilakukan oleh si suami.

3. Tidak boleh melanggar hak yang diberikan undang-undang kepada

suami atau istri yang hidup paling lama. Ini yang mengenai hak waris

dari suami atau istri (852 a). suami istri yang hidup paling lama demi

hukum menjadi wali (845).

4. Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala

persatuan suami istri. Umpamanya tidak boleh diperjanjikan bahwa

si istri dapat bertindak sendiri jika mengenai harta persatuan.

c. Pasal 141

Tidak boleh melepaskan haknya atas legitieme portie (hak mutlak) atas

warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari

ketururannya. Pasal ini sebetulnya tidak perlu, karena soal legitieme

portie tidak dapat diatur lain daripada menurut undang-undang. Dan

pengaturan warisan dari anak keturunannya harus dengan wasiat.

d. Pasal 142

Tidak boleh diperjanjikan bahwa bagian hutang yang jatuh kepada salah

satu pihak, ditentukan lebih besar dari bagian keuntungannya.

e. Pasal 143

Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata umum bahwa ikatan

perkawinan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan di luar negeri, adat

kebiasaan atau peraturan daerah.

Tentang siapa yang dapat mengadakan perjanjian pra nikah hal ini

tunduk pada ketentuan umum yaitu harus cakap untuk bertindak menurut

hukum, kecuali tentang anak yang belum dewasa, ia dapat mengadakan

perjanjian perkawinan, jika telah berusia 18 tahun (lelaki) atau 15 tahun

(perempuan) asal dibantu oleh orang-orang yang harus memberikan izin

untuk perkawinannya (pasal 151). Jika diadakan perjanjian pra nikah, maka

akan ada 3 jenis kekayaan, yaitu :

1. Harta persatuan

2. Harta suami pribadi

3. Harta istri pribadi

(Anshary, 1994:173,174)

Di dalam Undang-Undang Perkawinan diatur sesuai pola yang dianut

hukum adat maupun Islam yaitu harta bawaan dan harta yang diperoleh

sebagai hadiah atau warisan tetap dikuasai masing-masing suami-istri, sedang

yang menjadi harta bersama hanyalah harta benda yang diperoleh selama

perkawinan, (Pasal 35 UUP) melalui perjanjian pra nikah suami istri dapat

menyimpang dari ketentuan undang-undang perkawinan diatas dan bila

dikehendaki dapat membuat perjanjian percampuran harta pribadi, sebagai

berikut:

a. Seluruh harta pribadi baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun

selama perkawinan berlangsung.

b. Hanya sebatas pada harta pribadi saat perkawinan dilangsungkan (harta

pribadi yang diperoleh selama perkawinan tetap menjadi milik masing-

masing-masing pihak). Atau sebaliknya percampuran harta benda pribadi

hanya saat perkawinan berlangsung (harta bawaan/harta pribadi sebelum

perkawinan dilangsungkan menjadi milik masing-masing).

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang sudah

disebutkan dalam Pasal 29 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal tersebut tidak

termasuk ta’lik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama No.3 Th 1975

Pasal 11 menyebutkan satu aturan yang bertolak belakang:

1. Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian perkawinan sepanjang

tidak bertentangan dengan hukum Islam.

2. Perjanjian yang berupa ta’lik talak dianggap sah kalau perjanjian itu

diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah

dilangsungkang.

3. Sighat ta’lik talak ditentukan oleh Menteri Agama.

Selain bentuk perjanjian perkawinan taklik-talak Kompilasi Hukum

Islam juga mengatur bentuk perjanjian perkawinan yang menyangkut

percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian.(pasal 47 ayat 2)

Adapun mengenai isi perjanjian pra nikah merupakan hal yang sangat

penting untuk kebaikan bersama antara kedua belah pihak, baik berdasarkan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun berdasarkan Kompilasi

Hukum Islam, isi perjanjian pra nikah dapat menyangkut segala hal yang

tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian secara umum, hanya

perjanjian disahkan di depan pegawai pencatat nikah.(Damanhuri, 2007:16)

Isi perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, menurut Abdul Kadir Muhammad dapat mengenai

segala hal, asal tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Adapun isi perjanjian perkawinan itu meliputi :

a. Penyatuan harta kekayaan suami istri

b. Penguasaan, pengawasan dan perawatan harta kekayaan istri oleh suami.

c. Istri atau suami melanjutkan kuliah bersama.

d. Dalam perkawinan suami istri sepakat untuk melaksanakan keluarga

berencana.(Damanhuri, 2007:17,18)

Mengenai bidang (spesialisasi) apa saja secara kongkrit bisa

diperjanjikan, dalam hal ini Djuhaedah Hasan mengisyaratkan “Supaya

kembali kepada aturan hukum perundang-undangan sebelumnya, yaitu KUH

Perdata. Sebab menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak

mengatur kelanjutan dari ketentuan perjanjian ini, kecuali hanya menjelaskan

bahwa perjanjian tersebut tidak termasuk ta’lik talak”. Menurut Martiman

prodjohamidjojo ”Perjanjian Pra Nikah menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 adalah memuat tentang perolehan harta kekayaan suami istri

yang diperoleh selama perkawinan, dan atau benda di lapangan hukum

kebendaan serta tidak termasuk ta’lik talak”.

Berdasarkan beberapa pendapat dapat disimpulkan, bahwa isi

perjanjian perkawinan itu adalah berupa tata aturan untuk mengurus

pengendalian harta kekayaan suami istri secra langsung dilakukan oleh calon

suami istri berdasarkan musyawarah mufakat. Sehubungan dengan itu

perumusan isi perjanjian diharuskan menjiwai hak dan kewajiban suami istri

yang telah diberikan oleh hukum, agama, dan adat. KUH Perdata yang telah

mengatur perjanjian pra nikah secara konkrit tidak secara tegas dihapus oleh

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi sebagai pedoman untuk

mengadakan perjanjian perkawinan, sejauh tidak bertentangan dengan

ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Bab VII

Kompilasi Hukum Islam.(Damanhuri, 2007:19)

Isi dari perjanjian yang dilarang adalah:

1. Mengurangi hak suami baik sebagai suami maupun kepala (persatuan)

rumah tangga, menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan

sebagai orang tua, mengurangi hak-hak yang diperlukan UU kepada yang

hidup terlama antara suami istri.(pasal 140 KUH Perdata)

2. Melepaskan haknya sebagai ahli waris menurut hukum dalam warisan

anak-anaknya atau keturunannya.(pasal 141 KUH Perdata)

3. Menetapkan bahwa salah satu pihak menaggung hutang lebih banyak

dari pada bagiannya dalam keuntungan (pasal 142 KUH Perdata).

Bila hal ini dilanggar maka apa yang diperjanjikan itu dianggap sebagai tidak

tertulis, sehingga masing-masing akan menerima setengah bagian dari

keuntungan dan memikul setengah bagian dari kerugian.

4. Syarat-syarat Perjanjian Pra Nikah

Persyaratan dalam Perjanjian Pra Nikah ialah prosedur yang harus dipatuhi

agar sebuah perrjanjian dapat dianggap sah karena sesuai dengan syarat dan ketentuan

yang telah diatur dalam undang-undang. Untuk itu, perhatian terhadap aspek ini

penting agar kekuatan hukum dari perjanjian perkawinan itu bisa

dipertanggungjawabkan. Perjanjian pra nikah sebagai persetujuan atau perikatan

antara calon suami istri pada prinsipnya sama dengan perjanjian-perjanjian pada

umumnya, sebab satu sama lain saling terikat pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang

syarat-syarat sahnya perjanjian-perjanjian, dimana dalam pasal tersebut berbunyi

antara lain :

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Menurut Pasal 147 KUH Perdata bahwa perjanjian pra nikah harus

dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan perjanjian tersebut harus

dibuat di hadapan notaris, jika tidak dilakukan dihadapan notaris, maka

perjanjian tersebut batal dan menurut Pasal 149 KUH Perdata bahwa setelah

perkawinan berlangsung dengan cara bagaimanapun perjanjian pra nikah

tidak boleh diubah. Berdasarkan subtansi Pasal 147 KUH Perdata tersebut

diatas sudah jelas bahwa perjanjian pra nikah dibuat pada waktu sebelum

atau sesaat sebelum perkawinan dilangsungkan dengan kata lain perjanjian

pra nikah tidak dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung.(Susanto,

2008:97)

Di dalam Islam syarat yang sejalan dengan tujuan akad nikah,adalah

syarat yang tidak mengandung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan

Rasul. Contoh : Pihak wanita mensyaratkan harus diberi belanja, di pergauli

dengan baik, tidak akan mencemarkan nama suaminya, tidak puasa sunnah

kecuali ada izin suaminya, dll. Dalam hal ini wajib dipenuhi karena sesuai

dengan tujuan nikah.(Afandi, 1997:55)

Persyaratan pra nikah yang dibuat dalam akad nikah, seperti yang

diuraikan di atas, berbeda dengan perjanjian perkawinan yang dimuat dalam

UU No.1 Th 1974 Bab V. karena dalam undang-undang ini yang menyangkut

tentang perjanjian perkawinan, disebutkan bahwa calon suami istri sebelum

perkawinan dilangsungkan atas persetujuan bersama dapat memngadakan

perjanjian perkawinan (Huwelyke Voorwaarden). Perjanjian pra nikah tidak

dapat diubah selama perkawinan berlangsung, kecuali apabila kedua belah

pihak saling menyetujui untuk mengubahnya, dan perubahan itu tidak

merugikan pihak ketiga jika perjanjian pra nikah itu mengikat kepada pihak

ketiga. Perubahan serta pencabutan itu wajib didaftarkan di kantor pencatat

nikah tempat perkawinan dilangsungkan, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 50 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. (Afandi, 1997:56)

Menurut Damanhuri HR, mengenai tata cara perjanjian pra nikah

menurut Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan

Pasal 45 sampai 52 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian perkawinan dilakukan atas persetujuan calon suami istri.

2. Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis.

3. Perjanjian perkawinan disahkan oleh pencatat pernikahan.

4. Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-

batas hukum, agama dan kesusilaan.

5. Perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah kecuali atas persetujuan

bersama suami istri dan tidak merugikan pihak ketiga.

6. Perjanjian perkawinan dapat dicabut atas persetujuan suami istri dan

wajib mendaftarkannya di kantor pencatat nikah tempat perkawinan

dilangsungkan dan pendaftaran tersebut diumumkan oleh suami istri

dalam suatu surat kabar setempat dan apabila dalam tempo enam bulan

pengumuman tidak dilakukan oleh bersangkutan, pendaftaran dengan

sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.(Susanto,

2008:23,24)

Selama perjanjian belum berakhir isi dari perjanjian akan terus

berlaku. Berakhirnya perjanjian pra nikah dapat terjadi karena beberapa hal

sebagai berikut :

a. Putusnya Perkawinan

Perjanjian pra nikah bersifat accessoir dengan lembaga perkawinan itu

sendiri yakni adanya perjanjian karena adanya perkawinan. Ketika

perkawinan putus/berakhir, maka dengan sendirinya perjanjian itu

berakhir.

b. Pencabutan Bersama

Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, jika suami-istri tidak

menghendaki isi perjanjian pra nikah, mereka dapat secara bersama-sama

mencabut dan mendaftarkan pencabutan tersebut di Kantor Pegawai

Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.(KHI Pasal 50 ayat 2)

Yang perlu ditekankan disisni adalah pencabutan perjanjian perkawinan

tidak berlaku surut, artinya tidak boleh merugikan perjanjian yang telah

dibuat dengan pihak ketiga sebelum dilakukan pencabutan oleh suami-

istri.

c. Putusan Pengadilan

Perjanjian pra nikah yang dapat dibatalkan dengan putusan pengadilan

adalah perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan

oleh undang-undang, baik yang bersifat subyektif maupun yang bersifat

obyektif.

5. Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Perjanjian Pra Nikah

Pada umumnya, setiap perjanjian yang disepakati mengikat bagi

pihak-pihak yang terlibat didalamnya, baik dalam bentuk tertulis maupun

tidak tertulis. Akan tetapi yang membedakan adalah ketika suatu perjanjian

yang dibuat hanya bentuk lisan, maka tidak ada acuan yang dapat dijadikan

pembuktian bahwa perjanjian tersebut pernah disepakati. Meskipun

perjanjian yang tidak tertulis tetap mengikat dan tikad menghilangkan baik

hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat didalamnya.

Dalam hukum juga dikenal asas pacta sunt servanda bahwa perjanjian

itu mengikat bagi pihak-pihak yang bersepakat didalamnya. Namun yang

perlu dicermati lagi yaitu asas hanya bersifat abstrak sebagai dasar atau

pedoman yang tidak mengikat secara langsung. Oleh karena itu, apabila suatu

perjanjian pra nikah yang telah disepakati itu dilanggar oleh salah satu pihak

yang turut menyepakatinya, maka secara hukum tidak ada sanksi yang dapat

diterapkan kepada pelanggar sebagai konsekuensi atas pelanggaran perjanjian

yang telah dilakukan olehnya. Akan tetapi pelanggaran tersebut hanya dapat

dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan

Agama. Hal ini sebagaimana dalam KHI Pasal 51 yang menyebutkan bahwa:

“pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri

untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukan sebagai alasan gugatan

perceraian ke Pengadilan Agama”

Namun, pasal ini berlaku hanya ketika perjanjian pra nikah yang disepakati

dicatatkan oleh notaris dan disahkan secara legal oleh Pegawai Pencatat

Nikah. Sehinga dapat dijadikan sebagai alasan dalam mengajukan perceraian.

Atau bisa juga masuk ke dalam perkara perdata karena hal tersebut termasuk

wanprestasi atau pengingkaran salah satu pihak.

Sedangkan, apabila dilihat dalam konsep fiqh konsekuensi hukum

yang dapat diberikan kepada seseorang yang melanggar perjanjian pra nikah

yang telah disepakati, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Perjanjian yang syarat-syaratnya sesuai dengan maksud akad dan misi

syarat. Misalnya : pemberian nafkah dan persetubuhan. Maka para ulama

sepakat syarat-syarat ini hukumnya sah dan wajib dipenuhi. Adapun

apabila perjanjian tersebut dilanggar, berarti sama halnya dengan

seseorang melanggar syariat yang telah ditentukan oleh Allah SWT

dalam firman-firmanNya. Sehingga, apabila perjanjian pra nikah yang

termasuk dalam klasifikasi ini dilanggar, maka konsekuensinya mendapat

dosa dari Allah SWT, karena telah menelantarkan istrinya dan tidak

menjalankan perintah Allah SWT. Namun hal ini tidak menyebabkan

batalnya perkawinan dengan sendirinya.

b. Perjanjian yang syarat-syaratnya bertentangan dengan maksud akad dan

melanggar hukum Allah dan syariat-Nya (syarat yang illegal).(Kamal,

2007:238)

Misalnya: dalam perjanjian sepakat untuk tidak menyetubuhi istrinya,

tidak memiliki keturunan. Tidak menafkahi istrinya dan memberi syarat

agar istri kedua dari calon suami diceraikan terlebih dahulu. Maka dalam

hal ini para ulama sepakat bahwa syarat ini tidak sah sebab mengandung

unsur memerintahkan apa yang dilarang Allah dan melarang apa yang

diperintahkan-Nya, sehingga syaratnya gugur, dan harus dilanggar.

Artinya bahwa perkawinan tersebut tetap mengimplikasikan pengaruh-

pengaruh syariat berupa penghalalan senggama, kewajiban nafkah, dan

kepastian nasab.(Kamal, 2007:238) Oleh karena itu, dalam perjanjian

jenis ini pelanggaran yang dilakukan tidak berkonsekuensi apapun

terhadap seseorang yang melanggar suatu perjanjian, karena sama halnya

menjalankan perintah Allah SWT.

c. Perjanjian yang tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah dan

persyaratan ini mengandung kemashlahatan yang ingin dicapai oleh salah

satu pasangan. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yakni ulama

Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat syarat-syarat tersebut batal.

Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa syarat tersebut sah dan wajib

dipenuhi berdasarkan hadist khusus dari Uqba bin Amir serta keumuman

dari firman Allah untuk menepati janji. Maka, dalam kitab Shahih Fiqh

as-Sunnah dijelaskan oleh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim bahwa

pendapat yang paling rajah adalah pengajuan syarat mubah menurut

syariat (maksudnya boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan) dan tidak

ada ketentuan dalam syariat yang melarangnya diperbolehkan dalam

konteks perkawinan, juga mengingat kebutuhan manusia dalam beberapa

kondisi pada syarat-syarat tersebut, sehingga apabila salah satu pihak

melanggar syarat ini, maka pihak lain berhak membatalkan akad atau

perjanjian tersebut.(Kamal, 2007:246)

BAB III

PERJANJIAN PRA NIKAH DI KUA KECAMATAN TINGKIR

KOTAMADYA SALATIGA

A. Hasil Wawancara Dengan Kepala KUA Tingkir Salatiga

Penelitian wawancara dilaksanakan pada tanggal 10 November 2015

dengan narasumber Kepala KUA Tingkir yaitu Bapak Imam Talmisani.

Menurut pendapat beliau perjanjian pra nikah yaitu perjanjian yang dibuat

sebelum perkawinan dilangsungkan, dan biasanya lebih cenderung kepada

perjanjian harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Dalam hukum

Islam perjanjian pra nikah diperbolehkan selama tidak melanggar syari’at Islam

dan undang-undang serta sah menurut Agama dan Negara. Perjanjian pra nikah

harus dibuat dengan akta notaris terlebih dahulu setelah itu baru disahakan oleh

pegawai pencatat nikah, dan sebelum perkawinan dilangsungkan pegawai

pencatat nikah terlebih dahulu meneliti isi dari perjanjian dan kemudian

membacakannya agar semua pihak yang hadir mengetahui perjanjian tersebut,

apabila sudah terpenuhi semua barulah akad nikah dilaksanakan. Tetapi apabila

dalam perjanjian pra nikah isinya tidak sesuai dengan Syari’at Islam dan Undang-

Undang pegawai pencatat nikah tidak mau mengesahkannya walaupun sudah

disahkan oleh akta notaris. Pendapat tersebut menegaskan bahwa didalam Pasal

147 KUH Perdata dan UU No.1 Tahun 1974 Pasal 29 tidak bertolak belakang

melainkan saling berkaitan. Dimana perjanjian perkawinan harus dibuat oleh akta

notaris barulah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Apabila tidak

melalui akta notaris terlebih dahulu maka perjanjian tersebut hanya di anggap

perjanjian biasa dan tidak memiliki akibat hukum, maka jika suatu hari nanti di

dalam perkawinan ada salah satu pihak yang melanggar isi perjanjian tidak dapat

menjadi perkara perdata. Karena itu, perjanjian pra nikah harus dibuat melalui

akta notaris terlebih dahulu kemudian disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan

isinya tidak boleh bertentangan dengan hukum agama dan negara. Dan apabila

perjanjian pra nikah diketahui oleh pegawai pencatat nikah setelah perkawinan

dilangsungkan maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Walaupun dalam agama perjanjian pra nikah diperbolehkan, beliau sendiri

tidak setuju dengan hal tersebut. Menurut beliau dengan adanya perjanjian

tersebut seolah-olah pernikahan hanya keperluan biologis semata, karena pada

umumnya perjanjian pra nikah berisi tentang harta benda. Dengan kata lain

pasangan yang membuat perjanjian pra nikah hanya ingin melindungi harta

mereka masing-masing dan tidak dilatarbelakangi dengan rasa cinta dan

kepercayaan, serta untuk mengantisipasi terjadinya perceraian di kemudian hari.

Bagi beliau didalam pernikahan cukup dengan dengan rasa saling percaya

perhadap pasangan dan segala sesuatunya dapat dengan kesepakatan bersama. Di

Indonesia juga masih jarang yang membuat perjanjian pra nikah, di KUA

Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga selama ini baru ada satu pasangan yang

membuat perjanjian pra nikah.

“Di dalam hukum Islam tidak ada perjanjian pra nikah tetapi adanya ta’lik

talak,tetapi perjanjian pra nikah ada dalam fiqh munakahat atau hukum

perkawinan” , dari keterangan Pak Imam tersebut menjelaskan bahwa perjanjian

pra nikah tidak termasuk ta’lik talak, tetapi masuk dalam Pasal 45 KHI ayat 2

yaitu perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Beliau juga

menjelaskan bahwa perjanjian pra nikah ada dalam fiqh munakahat sepanjang

perjanjian itu sesuai dengan hukum Islam maka dalam hukum perkawinan

diperbolehkan.

Dalam Pasal 45 KHI ta’lik talak termasuk dalam perjanjian perkawinan

dimana isinya sudah ditentukan oleh Menteri Agama. Ta’lik talak dibuat untuk

melindungi hak perempuan. Apabila dalam perkawinan suami memiliki hak

penuh untuk menceraikan istri tetapi dengan adanya ta’lik talak istri dapat

mengajukan talak apabila suami melanggar ta’lik talak. Perlu diperhatikan bahwa

perjanjian pra nikah tidak dapat menjadi alasan istri mentalak suami, istri hanya

dapat menggugat cerai suaminya apabila suami mengingkari ta’lik talak, apabila

dalam hubungan pernikahan ada salah satu pihak yang mengingkari perjanjian

pra nikah yang sudah di sepakati maka hal tersebut menjadi perkara perdata.

Selama beliau menjadi kepala KUA baru ada satu pasangan yang

membuat perjanjian pra nikah. Dokumen tersebut berupa salinan akta perjanjian

pranikah yang sudah disahkan oleh akta notaris dan pegawai pencatat nikah.

Dokumen tersebut bersifat rahasia, karena itu penulis tidak diperkenankan

mewawancarai langsung pihak yang membuat perjanjian tersebut, menurut

keterangan kepala KUA yang melatar belakangi pasang tersebut membuat

perjanjian pra nikah karena kedua pihak merupakan orang hukum (bekerja di

bidang hukum), karena itu mereka mereka sudah lebih mengerti tentang menfaat

perjanjian pra nikah, berdasarkan itu pula mereka sepakat untuk membuat

perjanjian pra nikah.

B. Perjanjian Pra Nikah di KUA Tingkir Salatiga

File perjanjian pra nikah ini sebenarnya bersifat rahasia dan tidak boleh

untuk dipublikasikan, tetapi karena keperluan akademis kepala KUA berkenan

untuk memberikan dokumen tersebut. Demi keamanan file dokumen tersebut

maka penulis menyamarkan identitas pihak-pihak yang bersangkutan dalam

perjanjian tersebut. Berikut adalah isi dari perjanjian tersebut :

PERJANJIAN KAWIN

Nomor 07

- Pada hari ini senin, tanggal dua puluh sembilan Desember, Tahun dua ribu

empat belas ( 29-12-2014 ), pukul sepuluh kosong-kosong Waktu Indonesia

bagian Barat (10:00 W.I.B)

- Berhadapan dengan Saya Shodik Hermato Sarjana Hukum. Spesialis

Notariat: yang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C - 1551.HT.03.01 – TH 2002,

tanggal dua puluh delapan Oktober tahun dua ribu dua ( 28- 10-2002 ).

Diangkat sebagai Notaris di Salatiga, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang

saya, Notaris kenal, dan yang nama-namanya akan disebutkan pada bagian

akhir akta ini.

1. Tuan Alfin Alghifahri lahir di Magelang, pada tanggal dua puluh tujuh

juli tahun seribu Sembilan ratus delapan puluh lima ( 27-07-1985 ).

Warga Negara Indonesia Wiraswasta,bertempat tinggal di Kabupaten

Magelang Kecamatan Muntilan, Desa Blangkunan. Rukun Tetangga 003,

Rukun Warga 001 pemegang Kartu Tanda Penduduk dengan Nomor

Induk Kependidikan (NIK) : 3255322707850093. Demikian berdasarkan

Kartu Tanda Penduduk yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten

Magelang. Pada tanggal delapan oktober tahun dua ribu dua belas ( 08-

10-2012 ). Yang berlaku sampai dengan tanggal dua puluh tujuh juli

tahun dua ribu tujuh belas ( 27-07-2017 ). Untuk sementara waktu berada

di Salatiga.

Untuk selanjutnya disebut sebagai : PIHAK PERTAMA

2. Nona Alia Humaira lahir di Semarang, pada tanggal enam belas April

tahun seribu Sembilan ratus delapan puluh enam ( 16-04-1986 ), Warga

Negara Indonesia, Pengacara, bertempat tinggal di Kota Salatiga,

Kecamatan Tingkir, Kelurahan Banyu urip, Jalan Mawar No 09, Rukun

Tetangga 008, Rukun Warga 006, pemegang Kartu Tanda Penduduk

dengan Nomor Kependudukan (NIK) 33789840680069: demikian

berdasarkan Kartu Tanda Penduduk yang dikeluarkan oleh Pemerintah

Kota Salatiga, pada tanggal dua puluh Sembilan Maret tahun dua ribu

dua belas ( 29-03-2012 ) yang berlaku sampai dengan tanggal enam belas

April tahun dua ribu tujuh belas ( 16-04-2017)

Untuk selanjutnya disebut sebagai : PIHAK KEDUA

- Para penghadap Saya, Notaris Kenal

- Para penghadap terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa para penghadap bermaksud akan melangsungkan perkawinan

pada tanggal tiga Januari tahun dua ribu lima belas ( 03-01-2015)

2. Bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan diantara para penghadap

tersebut masing-masing untuk perkawinan yang pertama kalinya.

- Sehubungan dengan perkawinan yang akan para penghadap langsungkan,

mengenai harta benda/kekayaan para penghadap sebagai akibat hukum dari

perkawinan yang akan dilangsungkan. Para penghadap telah setuju dan

sepakat mengatur harta benda / kekayaan para penghadap sebagai berikut :

Pasal 1

Antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau sebutan

apapun juga, baik persekutuan harta benda menurut hukum atau persekutuan untung

dan rugi maupun persekutuan hasil pendapatan.

Pasal 2

Harta bawaan dari masing-masing pihak dan harta benda yang diperoleh

masing-masing pihak sebagai hadiah dan / atau warisan adalah dibawah

penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan

lain.

Pasal 3

Semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa oleh para pihak dalam

perkawinan atau yang diperolehnya selama perkawinan karena pembelian

pihak yang membawa atau yang memperolehnya.

Pasal 4

Barang-barang bergerak dan atau barang-barang tidak bergerak yang oleh

para pihak didapat dari dan oleh sebab apapun juga sesudah perkawinan

dilangsungkan wajib dibuktikan dengan bukti kepemilikan dengan tidak

mengurangi hak pihak kedua, untuk membuktikan adanya barang-barang atau

hartanya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 166 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

Pasal 5

Barang-barang yang diperoleh sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 4

perjanjian ini, yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti kepemilikan atau

surat-surat lainnya oleh salah satu pihak, maka keterangan para saksi dan

atau pengetahuan umum dianggap cukup untuk dianggap sebagai bukti.

Pasal 6

1. Kekayaan dan hutang dari para pihak yang terjadi sebelum atau sesudah

perkawinan dilangsungkan tetap menjadi hak atau kewajiban masing-

masing.

2. Pihak kedua dapat mengurus dan mempertahankan haknya baik dalam

tindakan pengurusan maupun dalam tidakan pemilikan untuk mengurus

menguasai sendiri harta bendanya, baik yang bergerak maupun yang

tidak bergerak dan penikmatan secara bebas dari penghasilannya.

3. Untuk mengurus hartanya itu pihak kedua tidak memerlukan bantuan

atau kekuasaan dari pihak pertama dan dengan ini pihak pertama

memberikan kuasanya yang tetap dan tidak dapat dicabut lagi kepada

kedua untuk melakukan segala tindakan pengurusan harta pribadi pihak

kedua itu tanpa diperlukan bantuan dari pihak pertama.

Pasal 7

1. Biaya-biaya untuk keperluan rumah tangga, untuk mendidik anak dan

memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka dipikul

oleh pihak pertama.

2. Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan tersebut diatas yang dilakukan

oleh pihak kedua dianggap telah dilakukan dengan persetujuan dari pihak

pertama.

3. Hutang-hutang maupun tagihan-tagihan dari pihak lain yang timbul dari

biaya-biaya tersebut diatas harus ditanggung dan wajib dibayar oleh

pihak pertama. Dan pihak kedua tidak dapat ditagih atau digugat

mengenai hal tersebut.

Pasal 8

1. Pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan yang ada pada para pihak, pada

saat berakhirnya perkawinan atau pada waktu diadakna perhitungan

menurut hukum, dianggap sebagai milik pihak yang memakainya atau

dianggap dimiliki oleh yang biasa memakai barang-barang tersebut.

Sehingga terhadap barang-barang tersebut tidak akan diadakan

perhitungan.

2. Segala macam barang-barang untuk keperluan rumah tangga, termasuk

pula perabot-perabot makan, minum, tidur yang ada di dalam rumah

kedua belah pihak pada saat berakhirnya perkawinan atau pada saat

diadakan perhitungan menurut hukum, dianggap miliknya pihak kedua,

sehingga terhadap barang-barang tersebut tidak akan diadakan

perhitungan.

Pasal 9

Kedua belah pihak telah saling setuju dan sepakat untuk mendidik dan

memberi perhatian yang baik terhadap tumbuh kembang anak-anak yang

akan dilahirkan, serta akan memberikan waktu yang seimbang kepada anak-

anak yang akan dilahirkan. Serta akan menerapkan prinsip-prinsip umum

sebagaimana diatur dalam konvensi Hak Anak dan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2012 tentang Undang-Undang

Perlindungan Anak

Pasal 10

Apabila pihak pertama atau pihak kedua mendirikan suatu usaha baik Badan

Usaha ataupun Badan Hukum maka hasil usaha tersebut bukan merupakan

harta bersama melainkan harta masing-masing pihak.

Pasal 11

Menyimpang dari apa yang sudah diatur dalam pasal 1 perjanjian ini, apabila

kedua belah pihak melakukan usaha bersama, maka hasil usaha tersebut

merupakan harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan.

Pasal 12

1. Apabila pihak pertama melakukan poligami maka harta bersama

sebagaimana disebut dalam pasal 12 perjanjian ini sepenuhnya menjadi

milik dari pihak kedua.

2. Selama perkawinan berlangsung masing-masing pihak tidak boleh

melakukan perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

baik secara phisik maupun psikis, serta harus tunduk pada Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan

Dalam Rumah Tangga.

3. Apabila salah satu pihak melakukan hal-hal sebagaimana disebut dalam

ayat (2) pasal ini, maka pihak yang melakukan tersebut akan dikenakan

denda sebesar Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah ) yang harus

dibayar secara tunai dan sekaligus.

Pasal 13

Apabila perkawinan putus karena para pihak meninggal dunia maka seluruh

harta benda akan jatuh kepada anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan

Pasal 14

Apabila perkawinan putus karena para pihak meninggal dunia dan dalam

perkawinan tidak dilahirkan anak, maka :

1. Harta bersama sebagaimana disebut dalam pasal 11 tersebut diatas akan

diatur menurut peraturan perundangan yang berlaku.

2. Harta masing-masing pihak sebagaimana diatur dalam pasal 2,3,4 dan 5

serta dengan mengingat pasal 6 ayat (1) : Harta milik pihak pertama akan

jatuh pada orang tua pihak pertama dan atau saudara-saudara kandung

pihak pertama, demikian juga harta milik pihak kedua akan jatuh pada

orang tua pihak kedua dan atau saudara-saudara kandung pihak kedua

Pasal 15

Para pihak dalam akta ini serta keluarga masing-masing pihak (orang tua,

kakak dan atau adik ) wajib menghormati hak-hak azasi manusia. Serta taat

kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik

Indonesia.

Pasal 16

Apabila timbul perbedaan perndapat atau perselisihan antara para pihak

dalam akta ini mengenai pelaksanaan perjanjian perkawinan yang dimaksud

dalam akta ini, maka para pihak dengan ini memilih prosedur penyelesaian

sengketa atau beda pendapat melalui prosedur penyelesaian di luar

pangadilan, dengan cara musyawarah untuk mufakat antara lain dengan cara

konsultasi negosiasi, mediasi dengan cara menunjuk mediator yang

berjumlah ganjil sekurang-kurangnya satu (1) orang mediator dan sebanyak-

banyaknya lima (5) orang mediator konsultasi atau penilaian ahli. Sesuai

dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku tentang alternatif

penyelesaian sengketa.

Pasal 17

1. Tentang perjanjian ini dengan segala akibat hukum dan pelaksanaannya

para pihak dengan ini memilik tempat kedudukan (domisili) yang umum

dan tidak berubah di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Slatiga.

2. Pada akhirnya, para pihak menerangkan, bahwa kedalam perkawinan

yang akan mereka langsungkan pada tanggal tiga januari dua ribu lima

belas ( 03-01-2015 ) tersebut para pihak penghadap tidak membawa harta

apapun juga.

3. Akhirnya para penghadap menyatakan dengan ini, menjamin akan

kebenaran identitas para penghadap sesuai dengan tanda pengenal yang

disampaikan kepada saya, Notaris dan bertanggung jawab sepenuhnya

atas hal tersebut dan selanjutnya para penghadap juga menyatakan telah

mengerti dan memahami isi akta ini

UNTUK MENJADI BUKTI YANG SAH

MAKA AKTA INI

Dibuat sebagai minit dan dilangsungkan di salatiga pada hari ini tanggal dan

tahun sebagaimana disebutkan pada awal akta ini, dengan dihadiri oleh :

1. Nyonya Aisyah lahir di Kabupaten Semarang, pada tanggal dua puluh

delapan Oktober tahun seribu Sembilan ratus delapan puluh tujuh ( 28-10-

1987), bertempat tinggal di Kabupaten Semarang, Kecamatan Tuntang,

Karang Tengah Tlawongan, Rukun Tetangga 008, Rukun Warga 009,

Pemegang Kartu Tanda Penduduk 3210997893400003. Untuk sementara

waktu berada di Salatiga.

2. Nyonya Fiona lahir di Salatiga, Pada tanggal lima Agustus tahun seribu Sembilan

ratus tujuh puluh dua (05-08-1972). Bertempat tinggal di Salatiga, Kecamatan

Sidomukti, Kelurahan Kecandran, Karang Padang, Rukun Tetangga 05, Rukun

Warga 09, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 339207708790006

- Kedua-duanya Pegawai Kantor Notaris sebagai saksi-saksi

- Segera setelah akta ini saya, Notaris bacakan dihadapan para penghadap dan

saksi-saksi : Maka seketika itu juga ditandatangani oleh para penghadap,

saksi-saksi dan oleh saya, Notaris.

- Dilangsungkan dengan memakai tiga (3) perubahan yaitu satu (1) karena

pencoretan dan dua (2) karena pencoretan dengan penggantiannya.

- Minit akta ini telah ditanda tangani sebagaimana mestinya

- Diberikan sebagai SALINAN yang sekata demi sekata sama bunyinya.

Notaris di salatiga

Sodik Hermanto, SH,SpN

BAB IV

ANALISIS TERHADAP ISI PERJANJIAN PRA NIKAH DI KUA

KECAMATAN TINGKIR KOTAMADYA SALATIGA

(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia)

Dalam bab ini, peneliti akan menganalisis lebih lanjut seputar isi perjanjian

pra nikah dari hasil penelitian di KUA Tingkir Salatiga dalam Hukum Islam dan

Hukum Perkawinan di Indonesia. Berikut uraiannya :

A. Pembagian Harta

Pasal 1

Antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau

sebutan apapun juga, baik persekutuan harta benda menurut hukum atau

persekutuan untung dan rugi maupun persekutuan hasil pendapatan.

Pasal 2

Harta bawaan dari masing-masing pihak dan harta benda yang diperoleh masing-

masing pihak sebagai hadiah dan / atau warisan adalah dibawah penguasaan

masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 3

Semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa oleh para pihak dalam

perkawinan atau yang diperolehnya selama perkawinan karena pembelian pihak

yang membawa atau yang memperolehnya.

Pasal 4

Barang-barang bergerak dan atau barang-barang tidak bergerak yang oleh para

pihak didapat dari dan oleh sebab apapun juga sesudah perkawinan

dilangsungkan wajib dibuktikan dengan bukti kepemilikan dengan tidak

mengurangi hak pihak kedua, untuk membuktikan adanya barang-barang atau

hartanya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 166 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

Pasal 5

Barang-barang yang diperoleh sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 4

perjanjian ini, yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti kepemilikan atau surat-

surat lainnya oleh salah satu pihak, maka keterangan para saksi dan atau

pengetahuan umum dianggap cukup untuk dianggap sebagai bukti.

Pasal 6

1. Kekayaan dan hutang dari para pihak yang terjadi sebelum atau sesudah

perkawinan dilangsungkan tetap menjadi hak atau kewajiban masing-masing.

2. Pihak kedua dapat mengurus dan mempertahankan haknya baik dalam

tindakan pengurusan maupun dalam tidakan pemilikan untuk mengurus

menguasai sendiri harta bendanya, baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak dan penikmatan secara bebas dari penghasilannya.

3. Untuk mengurus hartanya itu pihak kedua tidak memerlukan bantuan atau

kekuasaan dari pihak pertama dan dengan ini pihak pertama memberikan

kuasanya yang tetap dan tidak dapat dicabut lagi kepada kedua untuk

melakukan segala tindakan pengurusan harta pribadi pihak kedua itu tanpa

diperlukan bantuan dari pihak pertama.

Dalam isi perjanjian pra nikah yang terdapat dalam pasal 1 sampai 6

diatas, mengatur mengenai harta bawaan dan harta bersama.

Di dalam Islam hal tersebut termasuk kedalam syarat yang tidak menyalahi

tuntutan perkawinan dan tidak ada larangan secara khusus namun tidak ada

tuntutan dari syara’ untuk dilakukan, artinya bahwa syarat bahwa ini tidak

diperintahkan maupun dilarang oleh Allah serta persyaratan ini mengandung

kemashlahatan bagi salah satu pasangan. Seperti penjelasan sebelumnya, tidak

ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini. Islam hanya

memberikan rambu-rambu secara umum didalam menyelesikan masalah

bersama. Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan

istri. Kesepakatan ini dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu

perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri).

Hal tersebut diperkuat dengan firman Allah dalam Qur’an surat An-Nisa’ ayat

128. Serta dalam pelaksanaannya perjanjian tersebut wajib hukumnya untuk

ditaati, hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW

“Syarat yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang

dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)”.

(HR Al-Buhari No.2721 dan Muslim No.1418)

Sedangkan didalam Hukum Perkawinan di Indonesia, mengenai harta

bawaan atau harta bersama telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Th.1974

Pasal 36, dimana mengenai harta bersama dan harta bawaan masing-masing

suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dan mempunyai

hak sepenuhnya melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dan

Kompilasi Hukum Islam Pasal 47, yang membolehkan adanya perjanjian pra

nikah yang mana isinya dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan

harta pencaharian masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum

Islam, boleh isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk

mengadakan ketetapan hipotik atas harta bersama atau harta syarikat. Dan pada

Pasal 85 KHI juga dijelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta

suami dan harta istri dalam perkawinan, harta istri tetap menjadi hak istri dan

dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami. Maka jelas dalam isi

perjanjian pra nikah diatas yang mengatur tentang harta bawaan dan harta

bersama tidak melanggar hukum perkawinan di Indonesia.

B. Kewajiban Suami

Pasal 7

1. Biaya-biaya untuk keperluan rumah tangga, untuk mendidik anak dan

memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka dipikul oleh

pihak pertama.

2. Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan tersebut diatas yang dilakukan

oleh pihak kedua dianggap telah dilakukan dengan persetujuan dari pihak

pertama.

3. Hutang-hutang maupun tagihan-tagihan dari pihak lain yang timbul dari

biaya-biaya tersebut diatas harus ditanggung dan wajib dibayar oleh pihak

pertama. Dan pihak kedua tidak dapat ditagih atau digugat mengenai hal

tersebut.

Dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2 diatas mengatur tentang kewajiban suami yang

harus menanggung biaya keperluan rumah tangga, didalam Hukum Islam sendiri

nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya, sebagaimana dijelaskan

dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233 yang artinya

“Dan kewajiban ayah menanggung makan dan minum pakaian mereka (anak

dan ibu/istri) dengan cara yang patut”.

Dalam hukum perkawinan tentang kewajiban suami diatur dalam UU No.1 Th

1974 Pasal 34 ayat 1 dan KHI Pasal 80 ayat 3 yang mana isinya menyebutkan

bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Sedangkan dalam Pasal 7 ayat 3 yang mengatur tentang utang-piutang

mengandung kemashlahatan bagi kedua belah pihak, dimana Dengan perjanjian

utang-piutang tersebut dapat menolong pihak istri atau suami atas tindakan-

tindakan yang merugikan. Jelas didalam islam syarat tersebut diperbolehkan serta

tidak melanggar hukum perkawinan di Indonesia.

C. Pembagian Harta Ketika Terjadi Perceraian

Pasal 8

1. Pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan yang ada pada para pihak, pada saat

berakhirnya perkawinan atau pada waktu diadakan perhitungan menurut

hukum, dianggap sebagai milik pihak yang memakainya atau dianggap

dimiliki oleh yang biasa memakai barang-barang tersebut. Sehingga terhadap

barang-barang tersebut tidak akan diadakan perhitungan.

2. Segala macam barang-barang untuk keperluan rumah tangga, termasuk pula

perabot-perabot makan, minum, tidur yang ada di dalam rumah kedua belah

pihak pada saat berakhirnya perkawinan atau pada saat diadakan perhitungan

menurut hukum, dianggap miliknya pihak kedua, sehingga terhadap barang-

barang tersebut tidak akan diadakan perhitungan.

Di dalam hukum Islam untuk pembagian harta gono-gini tergantung

kepada kesepakatan suami dan isteri, seperti telah dijelaskan sebelumnya

kesepakatan ini didalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu

perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri)

setelah mereka berselisih, hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS An-

Nisa ayat 128 yang artinya

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari suaminya,

maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang

sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”.

Sedangkan dalam hukum perkawinan di Indonesia Tentang harta gono-

gini dalam perceraian telah diatur dalam pasal 37 Undang-Undang Perkawinan,

yang menyebutkan, apabila perkawinan putus karena perceraian, harta benda

diatur menurut hukumnya masing-masing, dalam hal tersebut maka apabila

dalam pasangan yang membuat perjanjian pra nikah bercerai maka pembagian

harta sudah ditentukan dalam perjanjian pra nikah.

D. Pemeliharaan Anak

Pasal 9

Kedua belah pihak telah saling setuju dan sepakat untuk mendidik dan memberi

perhatian yang baik terhadap tumbuh kembang anak-anak yang akan dilahirkan,

serta akan memberikan waktu yang seimbang kepada anak-anak yang akan

dilahirkan. Serta akan menerapkan prinsip-prinsip umum sebagaimana diatur

dalam konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2012 tentang Undang-Undang Perlindungan Anak.

Dalam hukum Islam memelihara dan mendidik anak dengan baik

merupakan syarat yang wajib dipenuhi karena langsung berkaitan dengan

pelaksanaan kewajiban suami istri dalam perkawinan, sebagaimana dalam sabda

Rasulullah yang artinya “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang

tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik”.(HR Al Hakim : 7679) dimana

dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa kedua orangtua wajib memberikan

pendidikan yang baik untuk anaknya.

Selain bertumpu pada Undang-Undang Repubik Indonesia No.23 Th

2012, tentang mendidik anak juga diatur dalam Pasal 45 UUP ayat 1 yang

menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

mereka sebaik-baiknya. Maka dari itu syarat yang terdapat dalam pasal 9 diatas

selain tidak bertentangan dengan hukum Islam dan hukum perkawinan di

Indonesia juga merupakan syarat yang wajib dipenuhi kedua belah pihak dan

apabila ada yang mengingkari maka pihak tersebut akan berdosa.

E. Mendirikan Usaha

Pasal 10

Apabila pihak pertama atau pihak kedua mendirikan suatu usaha baik Badan

Usaha ataupun Badan Hukum maka hasil usaha tersebut bukan merupakan harta

bersama melainkan harta masing-masing pihak.

Pasal 11

Menyimpang dari apa yang sudah diatur dalam Pasal 1 perjanjian ini, apabila

kedua belah pihak melakukan usaha bersama, maka hasil usaha tersebut

merupakan harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan.

Dari kedua pasal diatas didalam hukum Islam sama halnya dengan

perjanjian yang mengatur tentang harta bersama yang sudah dijelaskan

sebelumnya dalam sabda Rasulullah saw yang artinya

“Perdamaian adalah boleh diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang

mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang

haram”(HR At-Tirmidzi)

Dalam perjanjian diatas tidak melangggar syari’at Islam maka hukumnya

diperbolehkan dan dalam hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 36

ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan mengenai harta bersama,

suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Dan Pasal 47

KHI yang menyatakan bahwa perjanjian pra nikah boleh juga isinya menetapkan

kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi

dan harta bersama atau harta syarikat. Maka jelas dalam pasal 10 dan 11 diatas

tidak melanggar hukum Islam maupun hukum perkawinan di Indonesia.

F. Tentang Poligami dan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Pasal 12

1. Apabila pihak pertama melakukan poligami maka harta bersama

sebagaimana disebut dalam pasal 12 perjanjian ini sepenuhnya menjadi milik

dari pihak kedua.

2. Selama perkawinan berlangsung masing-masing pihak tidak boleh

melakukan perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik

secara phisik maupun psikis, serta harus tunduk pada Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.

3. Apabila salah satu pihak melakukan hal-hal sebagaimana disebut dalam ayat

(2) pasal ini, maka pihak yang melakukan tersebut akan dikenakan denda

sebesar Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah ) yang harus dibayar secara

tunai dan sekaligus.

Dalam Islam sendiri suami istri diwajibkan agar bergaul dengan baik,

supaya dapat tercipta kehidupan yang harmonis dan damai, wajib bagi suami istri

untuk saling mempergauli pasangannya dengan baik, sebagaimana firman Allah

dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 19 yang artinya

“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut”.

Dan dari Pasal 12 ayat 1 dan 3 diatas termasuk kedalam syarat yang diajukan

pihak istri kepada calon suami dan pihak suamipun menyetujuinya, karena hal

tersebut mengandung manfaat dan maksud untuk kemashlahatan pihak

perempuan serta tidak menghalangi pernikahan, maka hukumnya sah dan wajib

di penuhi oleh pihak laki-laki. Sedangkan dalam ayat 2 diatas perjanjian tersebut

telah didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia, dimana hal tersebut

dibuat untuk mencegah adanya kekerasan dalam rumah tangga dan jelas

hukumnya dalam Islam maupun hukum perkawinan di Indonesia sangat

diperbolehkan.

G. Pembagian Harta Warisan

Pasal 13

Apabila perkawinan putus karena para pihak meninggal dunia maka seluruh harta

benda akan jatuh kepada anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan.

Pasal 14

Apabila perkawinan putus karena para pihak meninggal dunia dan dalam

perkawinan tidak dilahirkan anak, maka :

1. Harta bersama sebagaimana disebut dalam pasal 11 tersebut diatas akan

diatur menurut peraturan perundangan yang berlaku.

2. Harta masing-masing pihak sebagaimana diatur dalam pasal 2,3,4 dan 5 serta

dengan mengingat Pasal 6 ayat (1) : Harta milik pihak pertama akan jatuh

pada orang tua pihak pertama dan atau saudara-saudara kandung pihak

pertama, demikian juga harta milik pihak kedua akan jatuh pada orang tua

pihak kedua dan atau saudara-saudara kandung pihak kedua

Dalam hal waris dalam hukum Islam sebagaimana yang dijelaskan dalam

Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12 dimana dalam ayat tersebut telah

dijelaskan lebih detail tentang bagian-bagian dari ahli waris.

Dalam hukum di Indonesia sebagimana telah diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata tentang penetapan pembagian harta warisan bila orang

meninggal dunia tidak membuat testment, yang pertama berhak mendapat

warisan yaitu suami atau istri dan anak-anak, masing-masing berhak mendapat

bagian yang sama jumlahnya(pasal 852), tetapi apabila tidak ada orang

sebagaimana tersebut diatas maka yang kemudian berhak mendapat warisan

adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan

ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat

seperempat dari warisan. Begitu juga didalam Islam apabila suami istri

meninggal maka hartanya jatuh kepada anak-anak yang ditinggalkan dari hasil

perkawinan, sedangkan apabila tidak ada anak maka ahli warisnya adalah

keluarga dari masing-masing pihak suami istri. Jelas bahwa dalam pasal 13 dan

14 diatas tidak ada yang menyimpang dari ketentuan hukum Islam dan hukum

perkawinan di Indonesia. Hanya saja dalam pasal tersebut tidak disebutkan

tentang bagaimana pembagian harta warisan apabila salah satu pihak meninggal

dunia. Menurut kepala KUA Tingkir Salatiga, apabila ada hal yang tidak diatur

dalam perjanjian pra nikah tersebut maka untuk pengaturannya sesuai dengan

hukum yang berlaku di Indonesia yaitu hukum Islam dan undang-undang. Maka

dari itu untuk pembagian harta warisan apabila salah satu pihak meninggal dunia

maka pembagiannya disesuaikan dengan hukum Islam dan hukum di Indonesia.

H. Hak Azasi

Pasal 15

Para pihak dalam akta ini serta keluarga masing-masing pihak (orang tua, kakak

dan atau adik ) wajib menghormati hak-hak azasi manusia. Serta taat kepada

hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Dalam pasal tersebut diatas para pihak ingin perjanjian yang telah mereka

sepakati harus dihormati oleh pihak lain seperti keluarga. Dimana hukum di

Indonesia sendiri sangat menjunjung tinggi hak azasi manusia, sebagaimana

dalam Undang-undang No.39 Th.1999 Pasal 1 ayat 1, yang menyebutkan bahwa

hak azasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh

Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

pertindungan harkat dan martabat manusia.

I. Apabila Terjadi Sengketa

Pasal 16

Apabila timbul perbedaan perndapat atau perselisihan antara para pihak dalam

akta ini mengenai pelaksanaan perjanjian perkawinan yang dimaksud dalam akta

ini, maka para pihak dengan ini memilih prosedur penyelesaian sengketa atau

beda pendapat melalui prosedur penyelesaian di luar pangadilan, dengan cara

musyawarah untuk mufakat antara lain dengan cara konsultasi negosiasi, mediasi

dengan cara menunjuk mediator yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya satu

(1) orang mediator dan sebanyak-banyaknya lima (5) orang mediator konsultasi

atau penilaian ahli. Sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku

tentang alternatif penyelesaian sengketa.

Dalam hukum Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat

Al-Isra’ ayat 34 yang artinya “Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta

pertanggungjawabannya”, ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban

melaksanakan perjanjian yang telah dibuat, dan apabila terjadi permasalahan

dalam perjanjian tersebut maka penyelesaiannya juga sesuai dengan perjanjian

yang sudah disepakati, seperti dalam pasal 16 diatas.

Dari pasal 16 tersebut, para pihak telah mengantisispasi apabila terjadi

perselisihan mereka telah menunjuk pihak-pihak untuk menyelesaikan masalah

yang muncul akibat perjanjian tersebut. Hal tersebut jelas sangat diperlukan dan

bermanfaat bagi adanya perjanjian pra nikah itu sendiri. Sesuai dengan ketentuan

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

menyebutkan bahwa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata

diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang brsengketa. Dan juga pada Pasal 1339 ayat 2

KUH Perdata yang mengatur tentang asas kebebasan berkontrak dimana para

pihak bebas untuk membuat isi suatu perjanjian dan perjanjian tersebut dapat

berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut.

J. Pernyataaan Hukum

Pasal 17

1. Tentang perjanjian ini dengan segala akibat hukun dan pelaksanaannya para

pihak dengan ini memiliki tempat kedudukan (domisili) yang umun dan tidak

berubah di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Slatiga.

2. Pada akhirnya, para pihak menerangkan, bahwa kedalam perkawinan yang

akan mereka langsungkan pada tanggal tiga januari dua ribu lima belas ( 03-

01-2015 ) tersebut para pihak penghadap tidak membawa harta apapun juga.

3. Akhirnya para penghadap menyatakan dengan ini, menjamin akan kebenaran

identitas para penghadap sesuai dengan tanda pengenal yang disampaikan

kepada saya, Notaris dan bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut

dan selanjutnya para penghadap juga menyatakan telah mengerti dan

memahami isi akta ini.

Pasal 17 diatas merupakan suatu pernyataan dari notaris untuk

memperkuat hukum perjanjian pra nikah, yang menerangkan bahwa pada saat

dilangsungkannya perkawinan para pihak tidak membawa harta apapun, dan

perjanjian tersebut sudah sah dicatat oleh akta notaris serta dihadiri oleh saksi-

saksi yang tersebut dibawahnya. Hal tersebut juga sesuai dalam pasal 147 KUH

Perdata, dimana dalam pembuatan perjanjian pra nikah harus dicatatkan oleh akta

notaris.

Dari hasil analisis isi perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir

Salatiga diatas, dapat disimpulkan bahwa dari segi Hukum Islam maupun Hukum

Perkawinan di Indonesia tidak ada yang menyimpang, maka untuk pelaksanaannya

para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut (Suami-Istri) hukumnya wajib untuk

melaksanakan perjanjian tersebut, selain itu perjanjian tersebut juga merupakan

kesepakatan kedua belah pihak yang apabila diingkari akan menimbulkan dosa.

Perjanjian tersebut juga memiliki kekuatan hukum yang kuat, karena telah dicatatkan

oleh akta notaris dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka dari itu

harus dilaksanakan sebaik-baiknya oleh para pihak yang bersangkutan.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan atas apa yang telah dipaparkan secara menyeluruh dan

mendetail yang berhubungan dengan penelitian ini, selanjutnya penulis akan

memberikan kesimpulan sebagai hasil akhirnya :

1. Isi perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir Salatiga antara lain :

mengatur tentang pembagian harta sebelum dan sesudah terjadinya

perkawinan, kewajiban suami terhadap istri dan anaknya, pembagian harta

ketika terjadi perceraian, pemeliharaan anak-anak secara bersama-sama

dengan baik, pembagian hasil usaha keluarga,syarat poligami dan ketentuan

bila terjadi KDRT, pembagian harta warisan, hak azasi membuat perjanjian

pra nikah, antisipasi apabila terjadi perselisihan dalam perjanjian pra nikah

dan pernyataan hukum yang menguatkan adanya perjanjian pra nikah

2. Menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia

(Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan KHI) isi dari perjanjian pra nikah

yang terdapat di KUA Tingkir Salatiga tidak ada yang menyimpang dari

hukum Islam maupun undang-undang di Indonesia. Perjanjian tersebut

merupakan kesepakatan bersama kedua belah pihak yang wajib untuk ditaati.

B. Saran-saran

1. Pembuatan perjanjian pra nikah harus disesuaikan peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia dan tidak bertentangan dengan prinsip-

prinsip syari’at Hukum Islam.

2. Perlu adanya sosialisasi tentang nilai-nilai positif perjanjian pra nikah

sehingga mereka yang akan berumah tangga mengetahui manfaat membuat

perjanjian pra nikah.

3. Pasangan yang ingin membuat perjanjian pra nikah sebaiknya isinya

berkonsultasi dengan pihak yang memahami hal tersebut, agar perjanjian

tersebut dapat bermanfaat kedepannya.

.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta:

Rineka Cipta.

Akmah Zahir Nurdiati. 2013. Perjanjian Dalam Perkawinan Mahasiswa Universitas

Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (Perspektif Fiqh dan Hukum

Perkawinan Indonesia). Malang

Ali, Muhammad Daud. 2000. Hukum Islam : Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar. 2008. Fathul Baari Syarah Shahih Al-

Bukhari. Terj. Amiruddin Jilid XXV. Jakarta : Pustaka Azzam.

Al-Mashri, Mahmud. 2010. Az-Zawaj al-Islami as-Sa’id. Terj. Imam Firdaus. Jakarta

: Qisthi Press.

Anshary Hafiz, & Yanggo T.Chuzaimah. 1994. Problematika Hukum Islam

Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Artadi, I Ketut & I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra. 2010. Implementasi Ketentuan-

ketentuan : Hukum Perjanjian Dalam Perancangan Kontrak. Bali : Udayana

University Press.

Asy-Syaukani, Al-Imam Mahmud. 1994. Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar

min Ahadits Sayyid al-Akhyar. Juz VI. Terj. Adib Bisri Mustafa dkk. Cet I.

Semarang : Asy-Syiafa’.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Al-Usrotu

wa Ahkamuhaa ti At-Tasyri’ Al-Islamiy. Terj. Abdul Majid Khon. Jakarta :

Amzah.

Basyir, Ahmad Azhar. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta : UII Press.

Bisri, Cik Hasan. 2004. Model Penelitian Fiqh : Paradigma Penelitian fiqih dan

Fiqih Penelitian. Jilid I. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Bungin, Burhan. 2001. Metologi Penelitian Sosial : Format Kuantitatif dan kualitatif.

Surabaya : Airlangga University Press.

Chairuman & Suhrawardi, Lubis. 2004. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta :

Sinar Grafika.

Damanhuri, HR. 2007. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama.

Bandung: Mandar Maju.

Djubaidah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan perkawinan Tidak Dicatat

Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.

Fanani Faiz M. 2007. Pengingkaran Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan

Perceraian. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ghazaly, Abd.Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana.

Hazairin, Saleh k.Watjik. 1982. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Kamal bin As-Sayyid Salim & Abu, Malik. 2007. Shahih Fiqh As-Sunnah Wa

Adillatuhu wa Tauhid Madzahib Al-A’immah. Terj. Khairul Amru Harahap dan

Faisal Saleh. Jilid III. Jakarta : Pustaka Azzam.

Marbun, BN. 2009. Membuat Perjanjian yang Aman dan Sesuai Hukum. Jakarta :

Puspa Swara.

Martiman, Prodjohamidjodjo. 2002. Hukum Perkawinan Di Indonesia. (Indonesia

Legal Center Publishing).

Marzuki. 2000. Metodologi Riset. Yogyakarta : Prasetia Widia Pratama Yogyakarta.

Moloeng, Lexy. 2000. Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Putra Ria.

Muhammad bin Idris & Abu Abdullah. 2007. Al-Umm. Terj.Muhammad Yasir Abdul

Muthalib. Jilid 2. Cet. III. Jakarta : Pustaka Azzam.

Nasution, Khoirudin. 2004. Islam Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum

Perkawinan I). Yogyakarta: Academica dan Tazzafa.

Rahmani, Timorita Yuliani. 2008. “Asas-asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum

Kontrak Syariah”, Jurnal Ekonomi Islam La_Riba 1 juli.

Relawati Hena. 2006. Urgensi Perjanjian Perkawinan Atas Harta Gono-Gini

Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Yogyakarta.

Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. Terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman.

Jakarta: Pustaka Azzam.

Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqhus Sunnah. Terj. Noe Hasanuddin. Juz I. Cet I. Jakarta :

Pena Pundi Askara.

Sukandarrumidi. 2006. Metodologi Penelitian : Petunjuk Praktis untuk Peneliti

Pemula. Cet III. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Susanto, Happy. 2008. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian.

Jakarta: Visimedia.

Syarifuddin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana.

Ubaidi, Muhammad Yaqub Thalib. 2007. Ahkam An-Nafaqah Az-Zaujiyah. Terj. M.

Ashim. Jakarta : Darus Sunnah.

Weng, Henry Lee A. 1990. Beberapa Segi Hukum Dalam Perjanjian Perkawinan.

Medan: Rimbow.

Zainuddin Ali, H. 2006. Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Referensi Internet

Abu Abdilmuhsin Firanda. Nikahilah Aku Tapi Dengan Syarat Tidak Berpoligami.

https://firanda.com/index.php/konsultasi/keluarga/161-nikahilah-aku-tapi-

dengan-syarat-tidak-berpoligami, akses 14 November 2015.

Grace Giovani. Perjanjian Kawin. http://notarisgracegiovani.com/index2.php/option-

com_content &do_pdf-1&id-20, akses 11 oktober 2015.

Http://fact%20-%20perjanjian htm, Akses Desember 2015.

http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/232/harta-gono-gini-dalam-islam/

Akses 17 desember 2015.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Download Internet)

Kompilasi Hukum Islam (Download Internet)

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (Download Internet)