PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM...
Transcript of PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM...
PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
(Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh
LAYLI YUSNIA ADHANI
NIM : 21211015
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
(Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh
LAYLI YUSNIA ADHANI
NIM : 21211015
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi,
maka naskah skripsi mahasiswa :
Nama : Layli Yusnia Adhani
Nim : 21211015
Judul : PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI
INDONESIA (Studi Kasus Di KUA Kecamatan Tingkir
Kotamadya Salatiga)
dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diajukan dalam sidang
munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 6 Januari 2016
Pembimbing,
Luthfiana Zahriani, M.H
NIP. 19760827 20003 2007
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Layli Yusnia Adhani
NIM : 21211015
Jurusan : Ahwal Al-Syakhshiyyah
Fakultas : Syari’ah
Judul Skripsi : PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI
INDONESIA (Studi Kasus Di KUA Kecamatan Tingkir
Kotamadya Salatiga)
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan
jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat
dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 6 Januari 2016
Layli Yusnia Adhani
NIM : 21211015
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“THERE IS A WILL THERE IS A WAY”
DIMANA ADA KEMAUAN DISITU PASTI ADA JALAN
PERSEMBAHAN
Untuk Orang tuaku tercinta, adik-adiku tersayang
suami yang setia mendampingiku dan bayi yang
ada di dalam kandunganku yang selalu menjadi
motivasiku sehingga skripsi ini bisa terselesaikan
Untuk Almamater Tercinta Fakultas Syari’ah IAIN
Salatiga dan teman-teman AS NR 2011
KATA PENGANTAR
Rasa syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya Skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yang diharapkan.Penulis juga
bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis
dapat menyusun skripsi ini.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa’at beliau sangat penulis
nantikan di hari pembalasan nanti.
Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) dalam ilmu syari’ah, Fakultas Syari’ah.
Dengan judul:“Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Perkawinan Di Indonesia (Studi kasus di KUA Kecamatan Tingkir
Kotamadya Salatiga)”. Penulis mengakui bahwa dalam menyusun skripsi ini tidak
dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan
penghargaan yang setinggi-tingginya, dan ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M, selaku Ketua Jurusan S1 Ahwal Al-
Syakhshiyyah IAIN Salatiga.
4. Ibu Luthfiana Zahriani, M.H, selaku Dosen Pembimbing dan juga selaku Kepala
Lab. Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmunya dan selalu
meberikan saran, pengarahan, pemahaman serta masukan berkaitan penulisan
skripsi sehingga dapat selesai dengan tepat waktu dan maksimal sesuai yang
diharapkan.
5. Bapak Imam Talmisani Selaku ketua KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya
Salatiga yang telah berkenan memberikan informasi berkaitan dengan penulisan
skripsi.
6. Para pihak yang membuat pejanjian pra nikah yang tidak dapat penulis sebutkan
identitasnya.
7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi Fakultas
Syari’ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu memberikan
ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan apapun.
8. Kedua Orang tuaku, Bapak Purwadi dan Ibu Yuliati tercinta, Suamiku dan
anakku tersayang, yang telah memotivasi, mendoakan dan memberi kasih sayang
serta semangat kepadaku selama ini.
9. Teman-teman Jurusan S1 Ahwal Al-Syakhshiyyah Non Reguler 2011 di IAIN
Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan di
IAIN Salatiga.
10. Serta semua pihak yang telah ikut serta dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak
mungkin disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan
yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa
mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisanya.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya
Salatiga, 6 Januari 2016
Penulis
ABSTRAK
Adhani, Layli Yusnia. 2016. Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam
Dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus KUA Kecamatan Tingkir
Kotamadya Salatiga) Skripsi. Fakultas Syari’ah Jurusan S1 Ahwal Al-
Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing :
Luthfiana Zahriani, M.H
Kata Kunci : Perjanjian Pra Nikah, Hukum Islam, Hukum Perkawinan Indonesia
Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan
dilangsungkan, yang isinya mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan dan
apa saja selama perjanjian tersebut tidak melanggar hukum, agama, dan kesusilaan.
Di Indonesia perjanjian pra nikah merupakan hal yang tabu dan masih jarang di
temui, berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan
judul “Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan
di Indonesia (Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”.
Dengan pokok permasalahan atau tujuan penelitian ingin mengetahui bagaimana isi
perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir dan bagaimana perspektif hukum
Islam dan hukum perkawinan di Indonesia terhadap perjanjian tersebut.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normative, yaitu penulis mendeskripsikan perjanjian pra nikah dalam hukum Islam
dan hukum perkawinan di Indonesia kemudian menganalisinya terhadap isi perjanjian
perkawinan yang terdapat di KUA Tingkir. Sedangkan jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian kualitatif dimana untuk memperoleh data penulis
langsung terjun ke lokasi untuk mewawancarai kepala KUA Tingkir Salatiga.
Dari hasil penelitian di KUA Tingkir Salatiga, selama ini baru ada satu
pasangan yang membuat perjanjian pra nikah, perjanjian itu berupa salinan akta yang
dibuat oleh notaris dan sudah disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Isi dari
perjanjian tersebut mengatur tentang pembagian harta dalam perkawinan, kewajiban
suami, pembagian harta gono-gini, pemeliharaan anak, mendirikan usaha bersama
dan pembagian warisan. Dalam perpektif hukum Islam keseluruhan perjanjian
tersebut merupakan syarat yang tidak menyimpang dari hukum Islam, Maka dari itu
para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut hukumnya wajib untuk memenuhi
persyaratan tersebut. Sedangkan dari sisi Hukum perkawinan di Indonesia, perjanjian
tersebut sudah sesuai dengan UU No.1 Th.1974 dan Kompilasi hukum Islam.
Perjanjian tersebut juga memiliki kekuatan hukum yang sah, yang dicatat oleh akta
notaris dan disahkan pegawai pencatat perkawinan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
NOTA PEMBIMBING.......................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………
I
ii
iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...................................... iv
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAHAN……………..……………… v
KATA PENGANTAR.........................................................................................
ABSTRAK...........................................................................................................
vi
ix
DAFTAR ISI....................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Rumusan Masalah...………………………………………….... 7
C. Tujuan Penelitian.........................................................................
D. Kegunaan Penelitian....................................................................
E. Penegasan Istilah.........................................................................
F. Kajian Pustaka............................................................................
7
7
8
9
G. Metode Penelitian........................................................................ 12
H. Sistematika Penulisan.................................................................. 15
BAB II
PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Islam.................................
1. Perjanjian.................................……………………………..
2. Perjanjian Pra Nikah...........………………………………..
3. Akad Nikah dan Konsekuensinya dalam Kehidupan Rumah
Tangga...................................................................................
4. Konsep Harta Dalam Islam....................................................
17
17
23
34
45
BAB III
BAB IV
BAB V
B. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia.
1. Perjanjian Pra Nikah dalam UU No.1 Th.1974.......………..
2. Perjanjian Pra Nikah dalam KHI........………………….…..
3. Bentuk dan Isi Perjanjian Pra Nikah......……………………
4. Syarat-syarat Perjanjian Pra Nikah.....……………………...
5. Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Perjanjian Pra Nikah…
PERJANJIAN PRA NIKAH DI KUA KECAMATAN TINGKIR
KOTAMADYA SALATIGA
A. Hasil Wawancara Dengan Kepala KUA Tingkir Salatiga ..........
B. Perjanjian Pra Nikah di KUA Tingkir Salatiga............................
ANALISIS TERHADAP ISI PERJANJIAN PRA NIKAH DI
KUA KECAMATAN TINGKIR KOTAMADYA SALATIGA…..
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................
B. Saran...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
49
57
61
69
73
77
80
91
107
108
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan wanita
yang sama akidah akhlak dan tujuannya di samping cinta dan ketulusan hati. Di
bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan tentram, penuh cinta
dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Dalam
Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan di artikan sebagai “ Ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam
ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum
Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan
ghalizhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.(Anshary, 1994:1)
Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Al-Quran dan Al-
Hadist, yang kemudian di tuangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-
Undang No.1 Th 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Th
1991 Mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut :
1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.
2. Asas keabsahan perkawinan
Didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang
melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang.
3. Asas monogami terbuka
Jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari
satu orang maka cukup seorang istri saja. Hal tersebut di jelaskan dalam Al-
Quran surat An-Nisa’ ayat 3.
4. Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan
pernikahan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena
itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan
bersama oleh suami istri.
7. Asas pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah
menikah atau melakukan ikatan perkawinan.(Zainuddin, 2006:8)
Hukum Perkawinan sendiri dibagi dalam dua bagian, yaitu Hukum
Perkawinan dan Hukum Kekayaan dalam Perkawinan. Hukum Perkawinan
adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu
perkawinan. Sedangkan hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan
peraturan-peratuan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di
dalam perkawinan. Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang
luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri, dengan perkawinan itu
timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban contohnya seperti kewajiban
untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk
memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Suatu hal yang sangat
penting ialah bahwa dengan perkawinan itu istri tidak dapat bertindak sendiri.
(Berhubung dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963, karena Pasal
108 dan Pasal 110 B.W. dianggap tidak berlaku lagi, sekarang ini seorang
perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan dapat bertindak sendiri).
Perkawinan berpengaruh besar kepada kekayaan suami istri, ikatan hukum yang
terjadi antara mereka dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Bagi pihak
ketiga perkawinan itu penting karena perlu di perhatikan juga perjanjian
perkawinan antara suami istri, di dalam hubungan dengan utang-piutang.(Afandi,
1997:94)
Berdasarkan uraian diatas, pernikahan bukan hanya menyangkut
keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan
tetapi juga melibatkan harta kekayaan suami istri di dalam perkawinan. Hal
tersebut juga termasuk harta bawaan maupun urusan utang-piutang antara suami
istri, dimana untuk melindungi harta masing-masing dan demi kenyamanan
kedua belah pihak perlu adanya surat perjanjian Pra Nikah. Apalagi di era
sekarang ini banyak pernikahan yang tidak mengindahkan nilai-nilai
agama,hukum,kesusilaan,norma dan etika yang berlaku di masyarakat, dimana
rasa cinta sudah tidak lagi menjadi landasan utama suatu pernikahan. Tak jarang
suatu pernikahan di latar belakangi oleh suatu kepentingan tertentu, seperti
status,jabatan,kekayaan dan lain sebagainya.
Perjanjian Pra Nikah atau sering disebut juga Perjanjian Perkawinan
(Prenuptial Agreement) adalah perjanjian yang dibuat antara calon suami istri
sebelum pernikahan dilangsungkan dan isinya tidak boleh melanggar
hukum,agama dan norma-norma adat kesusilaan yang berlaku. Perjanjian tersebut
dibuat dan disahkan dihadapan pengacara atau notaris kemudian dicatatkan di
Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil.(Nasution, 2004:42)
Putusnya hubungan perkawinan tidak hanya menjadi klimaks dalam perceraian
melainkan akan timbul juga problem mengenai pembagian harta bersama (harta
yang di peroleh suami istri selama perkawinan berlangsung) dan mengenai hak
asuh anak. Dalam suatu kasus perceraian, tidak sedikit pasangan suami istri yang
mempermasalahkan hal-hal tersebut, dampaknya tak hanya hubungan antar suami
istri yang semakin tidak baik tapi juga akan membuat proses perceraian akan
semakin memakan biaya dan waktu yang lama. Di Indonesia masih banyak
masyarakat yang tidak mengetahui apa yang di maksud dengan perjanjian pra
nikah itu sendiri. Banyak pro dan kontra mengenai perjanjian tersebut, banyak
yang berpendapat bahwa perjanjian pra nikah merupakan hal yang tabu dan tidak
sesuai dengan hakekat tujuan pernikahan karena identik dengan
“ketidakpercayaan” sehingga perjanjian tersebut menjadi tidak perlu di buat.
Tetapi mengingat zaman yang semakin maju dan masyarakatnya yang semakin
kritis dimana kini kesetaraan kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah
sama, perempuan tidak lagi menjadi kaum yang lemah tetapi perempuan juga
dapat mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki. Seperti mendapatkan
pendidikan,pekerjaan,jabatan dan lain sebagainya. Tentunya untuk melindungi
kepentingan masing-masing calon suami istri dari hal-hal yang tidak di inginkan
selama pernikahan berlangsung dari kemungkinan terburuk seperti perceraian,
maka perjanjian pra nikah dapat menjadi pertimbangkan ketika sebelum menuju
gerbang pernikahan.
Di Indonesia terdapat 3 (tiga) peraturan tentang perjanjian pra nikah atau
sering disebut juga perjanjian perkawinan,yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Sejak berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP),
maka di negara Indonesia telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum
Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum/tidak diatur dalam undang-undang
tersebut, maka peraturan lama dapat di pergunakan (Pasal 66 UU Nomor 1/1974).
Secara spesifikasi perjanjian Pra Nikah atau Preneptual Agreement di atur dalam
Pasal 29 UU No 1 Th 1974 dan Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
(Hazairin, 1982:3)
Berdasarkan landasan atau sumber hukum perjanjian pra nikah maka
seyogyanya bagi pasangan yang ingin menikah dapat menjadi pertimbangan
sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, tidak hanya untuk melindungi harta
benda masing-masing tetapi perjanjian pra nikah dapat mengatur apapun yang
ingin calon suami dan istri sepakati sepanjang isinya tidak bertentangan dengan
hukum,agama dan kesusilaan. Berdasarkan hal tersebut pula, maka penulis
tertarik untuk membuat penelitian dengan judul “Perjanjian Pra Nikah dalam
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus di
KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar berlakang masalah yang telah di jelaskan, pokok
masalah yang akan di bahas dalan penelitian ini dapat di rumuskan sebagai
berikut :
1. Bagaimana isi perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir Salatiga?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia
terhadap perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui bagaimana isi naskah perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA
Tingkir Salatiga.
2. Mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di
Indonesia terhadap perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir
Salatiga.
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, diharapkan penelitian dapat
memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis dalam dunia pendidikan
maupun masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,
sebagai penambah wacana tentang hukum Islam terkait perjanjian pra
nikha dan bagaimana hukumnya dalam Islam dan undang-undang di
Indonesia.
b. Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai bahan referensi dalam bidang perkawinan dan keIslaman
sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan.
c. Bagi Peneliti Berikutnya
Dapat dijadikan bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut,
serta referensi terhadap penelitian yang sejenis.
2. Manfaat Non Akademis
a. Dapat memberikan wacana baru, khususnya bagi yang belum menikah
tentang perjanjian pra nikah. Sehingga untuk kedepannya nanti dapat
menjadi pertimbangan sebelum memasuki gerbang pernikahan.
b. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang isi perjanjian pra
nikah yang terdapat di KUA Tingkir Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Perjanjian Pra Nikah atau sering di sebut juga Perjanjian Perkawinan yaitu
perjanjian yang mengatur akibat suatu perkawinan di dalam bidang harta
kekayaan.(Afandi, 1997:172)
Perspektif dalam kamus bahasa Indonesia yang artinya yaitu pandangan
dari sudut satuan bahasa sebagai unsur yang lepas (pandangan statis).
Hukum Islam (syari’at Islam) hukum syara’ menurut ulama ushul ialah
doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf
yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau
diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama
fiqh hukum syara’ ialah efek yang di kehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan
seperti wajib,haram dan mubah.
Hukum perkawinan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu dasar
hukum yang mengatur tentang perjanjian perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun
1974 dan KHI.
Jadi dalam penelitian ini, penulis membahas tentang perjanjian yang
dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan yang mengatur akibat suatu
perkawinan dibidang harta kekayaan dipandang dari hukum Islam atau syara’ dan
menurut hukum perkawinan di Indonesia yaitu UU No.1 Th 1974 dan KHI
dengan studi kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga.
F. Kajian Pustaka
Penelitian tentang perjanjian pra nikah sejauh ini penulis tidak
menemukan tulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi pada Jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyyah atau Hukum Keluarga Islam di IAIN Salatiga. Dalam penelitian
sebelumnya sudah banyak yang mengangkat tema tentang harta gono-gini,
perceraian dan beberapa kasus pernikahan yang tidak sesuai dengan syari’at
Islam, tetapi belum ada yang membahas lebih lanjut mengenai perjanjian pra
nikah dan bagaimana menurut perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di
Indonesia. Penulis telah menelusuri di internet beberapa judul penelitian
terdahulu yang mirip dengan yang akan penulis teliti.
Penelitian Fanani (2007) dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta Fakultas Syari’ah berjudul “Pengingkaran Perjanjian Perkawinan
Sebagai Alasan Perceraian” dalam penelitian tersebut mengkaji bagaimana
pengingkaran terhadap perjanjian perkawinan bisa dijadikan dasar atau alasan
percerain suami istri. Dari penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa
perjanjian pra nikah sendiri tidak dapat dijadikan sebagai alasan perceraian
melainkan apabila terjadi pengingkaran salah satu pihak dapat masuk dalam
perkara perdata. Tetapi dalam perjanjian tersebut terdapat satu perjanjian yang
isinya apabila ada salah satu pihak mengingkari perjanjian tersebut menjadi kasus
perdata bila tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah atau kekeluargaan
dapat dijadikan sebagai salah satu alasan perceraian, dan salah satu pihak yang
dirugikan dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Agama setempat.
Selanjutnya yaitu skripsi dari Relawati (2006) yang juga berasal dari
Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah berjudul “Urgensi
Perjanjian Perkawinan Atas Harta Gono-Gini Menurut Pandangan Dosen
Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” Fokus Pembahasan Skripsi
adalah bagaimana pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga
terhadap urgensi perjanjian perkawinan atas harta gono-gini. Penelitian ini
berkesimpulan bahwa ada dosen yang setuju adanya perjanjian perkawinan yang
mengatur harta gono-gini. Mereka menilai perjanjian ini bermanfaat bagi kedua
pasangan agar lebih terbuka dalam hal keuangan dan lebih memberikan
perlindungan hak wanita, sementara dosen yang tidak setuju dengan adanya
perjanjian bertolak bahwa dasar pernikahan merupakan hal yang sakral dan
bukan semata-mata tentang harta benda.
Kemudian skripsi dari Akmah (2013) dari Universitas Mulana Malik
Ibrahim Malang Tahun 2013 dengan judul “Perjanjian Dalam Perkawinan
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (Perspektif
Fiqh dan Hukum Perkawinan Indonesia)”. Penelitian tersebut lebih fokus pada isi
perjanjian pra nikah. Dan mengetahui dasar hukum perjanjian perkawinan
menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia. Penelitian
tersebut dapat berkesimpulan, isi dalam perjanjian perkawinan mahasiswa UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan
Indonesia hukumnya “mubah” atau boleh, melihat dari isi perjanjian tersebut.
Pihak perempuan meminta agar setelah menikah tetap diizinkan pihak laki-laki
untuk meneruskan pendidikannya dan menurut pandangan Islam hal tersebut
termasuk dalam mahar pernikahan sehingga sah-sah saja diaplikasikan. Isi
perjanjian ini juga tidak menyimpang dari Hukum Perkawinan di Indonesia.
Beda penelitian penulis dengan penelitian Fanani adalah fokus dan tujuan
permasalan yang terdapat dalam penelitian. Sedangkan dengan penelitian
Relawati terletak pada isi perjanjian dan perspektif perjanjian tersebut, apabila
dalam penelitiannya mengkaji peneelitian tersebut menurut pandangan dosen
fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta disini penulis mengkaji
perjanjian pra nikah dalam perspektif hukum Islam dan Hukum Perkawinan di
Indonesia. Dan yang membedakan dengan penelitian Akmar terletak pada lokasi
penelitian dimana dalam penelitiannya dilakukan studi kasus di Malang
sedangkan dalam penelitian lokasi penelitian terletak di kota salatiga.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis penelitian
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif. Yaitu suatu penelitian yang secara deduktif menganalisa
terhadap hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia mulai dari pasal-
pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur perjanjian pra
nikah. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu
pada dokumen ataupun terhadap data skunder yang digunakan. Bersifat
normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan memperoleh
pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan
peraturan lain dan praktek penerapan. Menganalisa perjanjian pra nikah
dalam hukum Islam dan hukum perkawinan serta perjanjian pra nikah yang
terdapat di KUA Tingkir Salatiga.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu penelitian
yang bertujuan memberikan gambaran tentang suatu gejala/suatu masyarakat
tertentu.(Sukandarrumidi, 2006:104)
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dijadikan objek penelitian oleh peneliti hanya
terbatas pada lingkup perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir
Salatiga yang terletak di Jalan Marditomo No. 37 Kecamatan Tingkir,
Kotamadya Salatiga.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diolah dalam penelitian ini adalah jenis kualitatif. Data
kualitatif lebih bersifat deskriptif-analitik, karena menjelaskan tentang
kenyataan empiris non-numerik. Sedangkan, sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dari sumber
utama, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.(Marzuki, 2000:55)
Dengan demikian maka data primer dalam penelitian ini adalah data yang
dihimpun pertama berupa salinan akta perjanjian pra nikah yang terdapat
di KUA Tingkir yang dianggap tepat untuk dijadikan informan dan
diambil informasinya.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri
pengumpulannya oleh peneliti,akan tetapi berasal dari tangan kedua,
ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan
peneliti sendiri yang berupa buku, jurnal, dokumen perjanjian.(Marzuki,
2000:56)
4. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam merencanakan suatu penelitian, maka tahap awal sebelum
mengolah dan menganalisis data yaitu merencanakan metode pengumpulan
data. Pengumpulan data ini memudahkan untuk lanjut pada tahapan
penelitian berikutnya. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Wawancara
Penelitian melakukan mewawancara dengan kepala KUA Tingkir
Salatiga sebagai narasumber. Untuk mengetehui tentang berapa
perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir dan bagaimana isi
perjanjian tersebut.
b. Dokumentasi
Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan dokumen perjanjian
pra nikah yang berupa salinan akta perjanjian yang dibuat oleh notaris.
5. Analisis Data
Dari hasil penelitian data yang telah terkumpul kemudian dianalisis
dengan menghubungkan dan menafsirkan fakta-fakta yang telah ditemukan
terkait perjanjian pra nikah di KUA Tingkir dengan konsep perjanjian pra
nikah menurut hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia. Tentunya
dalam melakukan analisa ini peneliti membahasnya menurut rumusan
masalah yang telah ditentukan, sehingga menjadi sistematis dan lebih terarah.
6. Tahap-tahap Penelitian
Tahap yang di lakukan dalam proses pelaksanaan penelitian ini yaitu
peneliti mengumpulkan data tentang perjanjian pra nikah dalam hukum
Islam dan hukum perkawinan di Indonesia kemudian melakukan penelitian di
KUA Tingkir terkait dengan perjanjian pra nikah, selanjutnya menganalisis
kedua data tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam menyusun penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang memuat Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah,
Kajian Pustaka, Metode Penelitian.
Bab kedua , berisi tentang landasan konseptual Perjanjian Pra Nikah Dalam
Hukum Islam, dan Hukum Perkawinan di Indonesia (UU No.1 Tahun 1974, dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI))
Bab ketiga berisi tentang Paparan Data dan Penemuan Peneliti. Dalam bab ini
memuat tentang hasil penelitian perjanjian pra nikah di KUA Tingkir Salatiga.
Bab keempat, berisi analisis terhadap isi perjanjian pra nikah di KUA Tingkir
Salatiga dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia
Bab kelima,merupakan bab penutup berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Islam
1. Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Secara etimologis perjanjian dalam bahasa arab adalah
mu’ahadah, ittifaq, akad atau kontrak. Secara terminologis menurut Yan
Pramadya Puspa, Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.
Sedangkan menurut WJS, Poerwadarminto, Perjanjian adalah persetujuan
tertulis atau lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana
berjanji akan menaati apa yang tersebut di persetujuan itu.(Chairuman,
2004:1)
Dalam hukum, perjanjian tergolong sebagai perbuatan hukum
karena perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya.
b. Asas Hukum Dalam Perjanjian
Asas berasal dari bahasa Arab yang berarti dasar, basis, fondasi
dan kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir serta bertindak.
Apabila kata asas ini dihubungkan dengan kata hukum maka dapat
diartikan sebagai kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir
dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan
hukum.(Ali, 2000:50-52)
Dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yang sekaligus
merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah asas
keabsahan dalam mengadakan perjanjian, asas konsensualisme, asas
pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas kepribadian. Yang
kesemua teori ini diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
akan tetapi asas-asas ini berlaku karena universal dalam setiap bentuk
perjanjian. Asas keabsahan dalam mengadakan perjanjian merupakan
salah satu asas dalam hukum yang berlaku di dunia. Asas ini memberi
kebebasan kepada setiap warga Negara untuk mengadakan perjanjian
tentang apa saja, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kepatutan dan ketertiban umum.
Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang
member kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian
untuk:
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
4) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis.
5) Menerima atau menyimpang dari perundang-undangan yang bersifat
opsional,
(Marbun, 2009:5)
Selama isi perjanjian memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian,
maka perjanjian tersebut berlaku bagi pembuatnya dengan ketentuan
yang sama seperti undang-undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas
untuk membuat perjanjian dengan siapa saja di dalam sebuah perjanjian,
tentunya dengan memperhatikan batasan-batasan hukum yang berlaku.
Adapun berdasarkan asas konsensualisme maka perjanjian
merupakan kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak. Namun, ada
yang mengartikan juga bahwa asas konsensualisme ini menetapkan
bahwa untuk sahnya maka perjanjian harus dilakukan secara tertulis,
sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang.(Marbun, 2009:5)
Selain itu, dasar fundamental lainnya dalam hukum perjanjian yang
banyak dianut di berbagai Negara adalah suatu asas yang berbunyi pacta
sunt servenda yang berarti janji harus ditepati dan mengikat sebagaimana
undang-undang bagi pihak yang terlibat didalamnya.
Selain keempat asas tersebut, sebenarnya masih ada beberapa hal
mendasar (asas) yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan
perjanjian, diantaranya asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas
keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas
kebiasaan dan asas perlindungan. Namun yang perlu diingat adalah asas
hukum yang masih bersifat abstrak karena tidak selalu dapat diterapkan
secara langsung dalam peristiwa konkrit.(Artadi, 2010:50)
Beberapa asas-asas hukum dalam perjanjian yang diadopsi dari
kitab undang-undang hukum perdata yang telah dijelaskan diatas juga
sejalan dengan asas hukum perjanjian dalam hukum Islam. Namun dalam
hukum Islam asas-asas perjanjian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1) Asas-asas dalam perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya
umum. Beberapa asas yang termasuk di dalamnya, antara lain : asas
ilahiyah, asas kebolehan (mabda al-ibahah) bahwa pada dasarnya
segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang
melarangnya, asas keadilan dalam memenuhi tanggung jawabnya
masing-masing, asas persamaan/kesetaraan tanpa memandang status
sosial atau yang lainnya, asas tertulisnya setiap transaksi muamalah,
asas i’tikad baik (kepercayaan antara masing-masing pihak) dan asas
kemanfaatan atau kemaslahatan yang terkandung dalam suatu
perjanjian.
2) Asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus.
Beberapa asas yang termasuk didalamnya, antara lain: asas
konsensualisme (QS. An-Nisa : 29), asas kebebasan dalam membuat
perjanjian, asas perjanjian itu mengikat, asas keseimbangan yakni
menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang disepakati, dan asas kepastian hukum yang berkaitan
dengan konsekuensi dari suatu perjanjian.
(Rahmani, 2008:96-105)
Berdasarkan pengklasifikasian asas perjanjian dalam Hukum
Islam ini, maka apabila kita melihat asas-asas yang berakibat hukum dan
sifatnya khusus, maka asas-asas tersebut sudah sejalan dengan asas-asas
hukum dalam perjanjian yang diadopsi dari Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut diatas.
c. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Terdapat beberapa syarat dalam perjanjian yaitu sebagai berikut
(Sabiq, 2006:83) :
1) Tidak menyalahi hukum syari’ah, artinya bahwa perjanjian yang
diadakan bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah adalah tidak sah, dan
dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak
untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut karena
melawan hukum syari’ah. Sebagaimana dalam Sabda Rasulullah
SAW :
بب ط ا ى ا شتز ط هب ئة شز ط كل شز ط خب لف كتب ة ا هلل ف ل
“Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka adalah
batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734).
2) Harus sama ridha dan berdasarkan pada kesepakatan bersama.
Perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak didasarkan pada
kesepakatan kedua belah pihak, yakni masing-masing ridha atau rela
akan isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain perjanjian dibuat
harus atas kehendak bebas masing-masing pihak.(Chairuman,
2004:2). Pemaksaan dalam suatu perjanjian menafikan kemauan,
sehingga tidak ada penghargaan terhadap akad yang menafikan
kebebasan seseorang.(Sabiq, 2006:83)
3) Harus jelas dan gamblang, artinya bahwa apa yang diperjanjikan oleh
para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian,
sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara
para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian
hari.(Chairuman, 2004:2) Oleh karena itu, dalam pelaksanaan
perjanjian pra nikah memiliki interprestasi yang sama tentang apa
yang mereka perjanjikan para pihak memiliki interprestasi yang sama
tentang apa yang mereka perjanjikan. Perjanjian harus jelas dan tidak
samar sehingga tidak mengundang berbagai interprestasi yang bisa
menimbulkan salah paham dalam penerapannya.(Sabiq, 2006:83)
2. Perjanjian Pra Nikah
a. Pengertian Perjanjian Pra Nikah
Perjanjian secara etimologi dalam bahasa arab sering disebut
dengan al-mu’ahadah (janji), al-ittifaq (kesepakatan) dan al-aqdu
(ikatan). Sedangkan secara terminologi, perjanjian adalah janji setia
kepada Allah SWT, atau suatu perjanjian yang dibuat oleh manusia
lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Menepati janji asalnya adalah diperintahkan, sebagaimana yang
dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
فا ببلعقد ب الذيي آها أ يب أي
“Hai oramg-orang yang beriman hendaklah kamu sempurnakan janjia-
janji kamu.”(QS Al-Maaidah 5: 1)
د كب ى هسء لا د إ ى الع ف ا بب لع أ
“Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta pertanggung
jawabannya”.(QS Al-Isra’ 17:34)
Sedangkan, Abdul Rahman Ghazali dalam bukunya Fiqh
Munakahat mendefinisikan perjanjian pra nikah sebagai persetujuan yang
dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu sebelum perkawinan
berlangsung, dan masing-masing berjanji akan mentaati apa yang
tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat
nikah.(Ghazaly, 2006:119)
Dalam literatur fiqh klasik tidak ditemukan bahasan khusus
dengan nama perjanjian pra nikah. Yang ada dalam bahasa fiqh dan
diteruskan dalam sebagian kitab fiqh dengan maksud yang sama yaitu
“persyaratan dalam perkawinan”. Bahasan tentang syarat dalam
perkawinan tidak sama dengan syarat perkawinan yang dibicarakan
dalam semua kitab fiqh karena yang dibahas dalam kitab fiqh dalam
syarat-syarat untuk sahnya perkawinan.(Syarifuddin, 2007:145)
Sedangkan syarat yang terdapat dalam perjanjian pra nikah yang dibahas
disini adalah syarat-syarat yang tidak mempengaruhi sahnya suatu
perkawinan.
Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian dalam
perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak
yang berjanji memenuhi syarat yang ditentukan. Namun perjanjian itu
tidak sama dengan sumpah, karena sumpah dimulai dengan ucapan
seperti : wallahi, billahi dan tallahi, dan membawa akibat dosa bagi yang
tidak memenuhinya.
Syarat atau perjanjian yang dimaksud dilakukan diluar prosesi
akad perkawinan, meskipun dalam suasana atau majelis yang sama. Oleh
karena perjanjian dalam perkawinan terpisah dari akad nikah, maka tidak
ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilakukan secara sah dengan
pelaksanaan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal ini berarti
bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah
yang telah sah. Meskipun demikian pihak-pihak yang dirugiakan tidak
memenuhi perjanjian itu berhak meminta pembatalan nikah.(Syarifuddin,
2007:146)
b. Hukum Membuat Perjanjian Pra Nikah dan Pemenuhannya Dalam
Hukum Islam
Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya
boleh seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak
membuatnya.(Syarifuddin, 2007:146) Namun kalau sudah dibuat
bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian pra
nikah itu menjadi perbincangan oleh para ulama. Jumhur ulama
berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk
perjanjian itu hukunnya wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian
lainnya, bahkan syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak
untuk dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW :
ج الفز فى بب هب استحللتن ب ط أ ى ي ز أ حق ا لش
“Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah
persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan
(perempuan)”.(HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim No.1418)
Al-Syaukaniy juga menjelaskan bahwa alasan syarat perkawinan
menjadi yang paling berhak dipenuhi sebagaimana hadist diatas yaitu
karena urusan pernikahan itu sebagai perkara yang paling hati-hati dan
pintunya yang paling sempit.(Mustafa, 1994:535)
Al-Kaththabi menjelaskan bahwa syarat-syarat dalam pernikahan
berbeda-beda, diantaranya ada yang wajib dipenuhi karena cara yang
ma’ruf, dan diantaranya ada yang tidak perlu ditepati.(Ibnu, 2008:403)
Oleh karena itu, kewajiban dalam memenuhi persyaratan yang terdapat
dalam perjanjian perkawinan tergantung kepada persyaratan yang ada
dalam perjanjian itu sendiri. Dalam hal ini ulama membagi syarat itu
menjadi tiga, yakni sebagai berikut :
1) Syarat yang wajib dipenuhi
Syarat yang wajib dipenuhi adalah syarat yang langsung
berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami istri dalam
perkawinan, merupakan tuntutan dari perkawinan itu sendiri, sesuai
dengan maksud akad dan misi syariat. Artinya syarat-syarat yang
diberikan termasuk dalam rangkaian dan tujuan pernikahan, tidak
mengurangi hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan Rasul-
Nya.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami istri bergaul secara baik,
isteri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan istri harus
memelihara anak yang lahir dari perkawinan itu.
Ulama sepakat mengatakan bahwa syarat-syarat dalam bentuk
pertama ini wajib dilaksanakan. Pihak yang berjanji terikat dengan
persyaratan tersebut. Namun apabila pihak yang berjanji tidak
memenuhi persyaratan tersebut, tidak menyebabkan batalnya
perkawinan dengan sendirinya.(Syarifuddin, 2007:147)
2) Syarat yang tidak wajib dipenuhi
Syarat yang tidak wajib dipenuhi adalah syarat-syarat yang
bertentangan dengan hakikat perkawinan atau yang secara khusus
dilarang untuk dilakukan atau memberi mudharat kepada pihak-
pihak tertentu, bertentangan dengan maksud akad serta melanggar
hukum Allah dan syariat-Nya. Syarat-syarat ini semuanya batal
dengan sendirinya, sebab menyalahi hukum-hukum pernikahan dan
mengurangi hak-hak suami isteri.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami
tidak memberikan nafkah, tidak mau bersetubuh, tidak memberikan
mahar, memisahkan diri dari istrinya atau istri yang harus memberi
nafkah, atau istri mempersyaratkan tidak akan beranak, isteri
mensyaratkan suami menceraikan isteri-istreinya terlebih dahulu,
suami mempersyaratkan membayar mahar atau nafkah, atau suami
meminta isterinya mencari nafkah yang tidak halal.
Dalam hal syarat bentuk ini maka para ulama sepakat bahwa
perjanjian itu tidak wajib dipenuhi dalam arti tidak berdosa orang
yang melanggar perjanjian, meskipun menepati perjanjian itu asalnya
adalah diperintahkan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat
Al-Ma’idah ayat 1. Adapun akadnya sendiri tetap sah karena syarat-
syarat tadi berada diluar ijab qabul yang menyebutnya tidak berguna
dan tidak disebutkanpun tidaklah merugikan. Oleh karena itu, secara
umum dapat dijelaskan bahwa perjanjian pra nikah mempunyai
syarat yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan
syari’at Islam atau hakikat perkawinan. Maka apapun bentuk
perjanjian itu bertentangan dengan syari’at, maka hukum perjanjian
tidak boleh (tidak sah).(Ghazaly, 2006:120-121)
3) Syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak
ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara’
untuk dilakukan (Syarifuddin, 2007:147), artinya bahwa syarat ini
tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah serta persyaratan ini
mengandung kemaslahatan bagi salah satu pasangan.(Abu,
2007:241)
Misalnya isteri mempersyaratkan bahwa suami tidak akan
memadunya, hasil pencarian dalam rumah tangga milik bersama, istri
tidak mau pergi bersama suaminya, atau suami tidak boleh menyuruh
istri keluar rumah atau kampung. Mengenai wajib atau tidaknya
pemenuhan perjanjian bentuk ini para ulama berbeda pendapat.
Menurut Imam Abu Hanifat, Syafi’I dan sebagian besar ulama
berpendapat bahwa syarat-syarat tersebut tidak berlaku dan suami
tidak harus memenuhinya. Pendapat ini didasarkan pada beberapa
dalil, yaitu :
a) Rasulullah bersabda :
ن إل شزطاب ط ى على شز الوسلو ب أحل حزاها م حاللا أ حز
“Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka
(tidak menyelisihnya), kecuali persyaratan yang mengharamkan
perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang
haram”.(H.R At-Thirmidzi No.1352 dan Abu Dawud No.3596
dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Menurut mereka, syarat yang mengharamkan yang halal tersebut
diantaranya yaitu bermadu, melarang keluar rumah dan pergi
bersama, yang semua dihalalkan oleh agama.
b) Rasulullah berssabda :
ا ى ا شتز ط هب ئة شز ط كل شز ط خب لف بب طل كتب ة ا هلل ف
“Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka itu
adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734)
Menurut para ulama yang berpendapat tidak wajib melaksanakan
perjanjian tersebut, dikarenakan syarat tersebut tidak ada
didalam kitab Allah karena memang tidak ada ketentuannya
dalam agama.(Afandi, 1997:53)
Sedangkan beberapa ulama yang berpendapat bahwa syarat
tersebut wajib dipenuhi diantaranya Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi
Waqash, Mu’awiyah, Amru bin Ash, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin
Zaid, Thawus, Auza’i, Ishaq dan golongan mazhab Ahmad bin
Hambal. Pendapat ini didasarkan pada beberapa argument,(Sabiq,
2006:536-537) yaitu :
1) Allah SWT berfirman :
ب فا ببلعقد يب أي الذيي آها أ
“Hai oramg-orang yang beriman hendaklah kamu sempurnakan
janjia-janji kamu.”(QS Al-Maaidah 5: 1)
2) Rasulullah bersabda :
ن ط ى على شز ا لوسلو
“orang islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian)
mereka”.(HR. Tirmidzi:2498)
3) Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lain-lain
dari Uqba bin Amir bahwa Rasulullah SAW bersabda :
ج الفز فى بب هب استحللتن ب ط أ ى ي ز أ حق ا لش
“Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan
adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan
kemaluan (perempuan)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim
No.1418)
4) Diriwayatkan oleh Atsram dengan sanadnya sendiri, ada seorang
laki-laki menikah dengan seorang perempuan dan berjanji untuk
tetap tinggal di rumahnya (istri). Kemudian suaminya bermaksud
mengajaknya pindah lalu mereka (keluarganya) mengadukannya
kepada Umar nim Khattab, maka Umar memutuskan bahwa
perempuan itu berhak atas janji suaminya (disini hak suami atas
istri batal karena adanya perjanjian).
5) Karena janji-janji yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada
calon isterinya mengandung manfaat dan maksud, asalkan tidak
menghalangi pernikahan, maka hukumnya sah, sebagaimana
kalau perempuan mensyaratkan agar calon suaminya mau
membayar maharnya lebih tinggi lagi.
Pendapat yang mewajibkan dipenuhinya perjanjian ini
semakin dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, yang pendapatnya
melemahkan pendapat yang pertama. Ia berkata bahwa perjanjian/
syarat tersebut bukan mengharamkan yang halal, akan tetapi
memberikan kepada perempuan hak untuk meminta cerai jika suami
tidak dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya. Selain itu, hal
ini merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuan karena apa yang
bisa menjadi suatu maslahat bagi suatu pihak yang mengadakan
akad, berarti pula menjadi suatu kemaslahatan didalam
akadnya.(Sabiq, 2006:537-538)
Ibnu Rusyd pun sependapat dengan pendapat kedua,
kemudian menjelaskan bahwa perbedaan pendapat dikarenakan
mempertentangkan antara dalil yang umum dan yang khusus, yang
dimaksud dalil yang umum adalah hadist Rsulullah SAW yang
bersabda dalam suatu khotbahnya :
ا ى ا شتز ط هب ئة شز ط بب طل كل شز ط خب لف كتب ة ا هلل ف
“Syarat (persyaratan) yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka
itu adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734).
Adapun dalil yang khusus adalah hadist dari Uqba bin Amir, sabda
Rasulullah SAW :
ج الفز فى بب هب استحللتن ب ط أ ى ي ز أ حق ا لش
“Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah
persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para
wanita)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim No.1418)
Kedua hadist ini shahih, tetapi menurut para ahli ushul fiqh,
yang termasyur dipakai adalah memenangkan dalil yang khusus dari
yang umum, yang dalam hal ini adalah memenuhi janji-janji yang
diadakan dalam pernikahan.(Sabiq, 2006:538)
Adapun pendapat Ibnu Taimiyah dalam perjanjian ini,
mengatakan bahwa bagi orang yang sehat akalnya, apabila
mengadakan perjanjian mengandung kebaikan dari tujuan yang
hendak dicapainya, tidaklah ia mau undur atau menghianatinya.
Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna daripada dibiarkan
tanpa syarat, atau lebih berguna lagi daripada kalau tidak diberi
syarat sama sekali.(Sabiq, 2006:538)
Secara lebih terperinci ulama Hanabilah berpendapat bahwa
hukumnya wajib dipenuhi, karena dikatakan hal ini sangat relevan
untuk mengurangi terjadinya poligami yang tidak
bertanggungjawab.(Syarifuddin, 2007:149) Sedangkan untuk perkara
yang secara khusus tidak ditemukan larangan maupun perintahnya
dalam nash-nash syara’, maka dibuka kesempatan untuk hal itu.
Akan tetapi, dalam literature yang berbeda dalam kitab Shahih Fiqih
Sunnah karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim menjelaskan
bahwa perjanjian pra nikah yang tergolong perjanjian yang tidak
dilarang atau diperintahkan oleh Allah ini hukum pemenuhannya
adalah mubah, sehingga boleh dilakukan (ditaati) dan boleh juga
ditinggalkan.(Kamal, 2007:246)
3. Akad Nikah dan Konsekuensinya dalam Kehidupan Rumah Tangga
Dengan dilangsungkannya akad nikah antara mempelai laki-laki dan
perempuan, maka terjalinlah hubungan suami istri yang kemudian
berpengaruh pada timbulnya hak dan kewajiban bagi keduanya. Kewajiban
suami merupakan hak bagi seorang istri, sedangkan kewajiban istri
merupakan hak bagi seorang suami. Kewajiban dan hak merupakan suatu
pola hubungan timbal balik antara suami istri. Misalnya kewajiban seorang
suami adalah memberi nafkah dan pakaian kepada istri, maka nafkah dan
pakaian tersebut merupakan hak yang harus diperoleh seorang istri. Selain
itu, kewajiban istri adalah taat kepada perintah suami, maka hal ini menjadi
hak yang harus diperoleh suami atas isterinya.(Abu, 2007:335)
Jika akad nikah telah sah, maka menimbulkan akibat hukum yang
harus ditanggung oleh suami istri yakni berupa hak serta kewajiban. Hak dan
kewajiban ini ada tiga macam yaitu hak bersama suami isteri yang berarti
kewajiban yang dikenai bagi keduanya, hak istri (kewajiban bagi suami) dan
hak suami (kewajiban bagi istri).
a. Hak bersama suami isteri (kewajiban bagi keduanya)
Hak bersama suami istri yang harus ditanggung keduanya, antara
lain :
1) Kehalalan bersenang-senang (bersetubuh)
Suami istri diperbolehkan saling menikmati hubungan
seksual. Perbuatan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbal balik.
Masing-masing mereka berhak menikmati kesenangan dengan
pasangannya karena dorongan fitrah dan mencari keturunan
merupakan tujuan yang tinggi dari hubungan sakral tersebut, yakni
perkawinan. Haram salah satu dari mereka yang mengharamkan
pasangannya melakukan hal ini.(Azzam,2009:231) Sesuai dengan
firman Allah yang artinya
“dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-
isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka
sesungguhnya mereka tidak tercela”.(QS Al-Mu’minun 23:5-6)
2) Istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakek, anaknya dan
cucunya. Begitu juga bagi ibu istrinya, anak perempuannya dan
seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.
3) Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah.
Istri berhak menerima waris atas peninggalan suami, begitupun
sebaliknya.
4) Keturunan dan sandaran keturunan kepada kedua orang tua.
Ketika akad nikah sah, maka ditetapkan masing-masing
mereka dalam melahirkan keturunan, membesarkan anak-anak dan
menisbatkan keturunannya.(Basyir, 1999:53) Anak yang lahir dari
istri bernasab kepada suaminya.
Adapun hak untuk memiliki keturunan menurut Ulama
Hanafiah menjadi hak bersama suami istri, tidak boleh salah satu dari
mereka mencegah tanpa seizin yang lain. Pendapat ini menjadi
pendapat mayoritas para ulama. Namun yang menjadi perdebatan
para ulama adalah terkait hukumnya mencegah kelahiran anak.
Mayoritas ulama, diantaranya Abu Bakar, Umar dan Ibnu Mas’ud
berpendapat bahwa mencegah kelahiran anak adalah makruh karena
melihat hak umat dan karena adanya pengecilan keturunan,
sedangkan Rasulullah menganjurkan kita agar memperbanyak
keturunan.
5) Bergaul dengan baik antara suami isteri, sehingga tercipta kehidupan
yang harmonis dan damai. Wajib bagi suami istri untuk saling
mempergauli pasangannya dengan baik, sebagaimana firman Allah
yang artinya
“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut”.(QS An-
Nisa 4:19)
b. Kewajiban suami (Hak istri)
Para ulama sepakat bahwa kewajiban suami terhadap istrinya,
yang sekaligus merupakan hak istri atas suaminya adalah nafkah dan
pakaian.(Rusyd, 2007:107)
Berdasarakan pada firman Allah yang artinya
“Dan kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka (anak
dan ibu/istri) dengan cara yang patut”.(QS al-Baqarah 2:233)
Dan hadist shahih dari sabda Nabi SAW
“kalian wajib menafkahi dan memberi pakaian dengan cara yang
baik”.(HR.Muslim :1218)
Kewajiban suami yang menjadi hak-hak istri ini secara terperinci
dijelaskan oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dalam buku Fiqh
Munakahat, bahwa hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah
sebagi berikut :
1) Mahar
Mahar merupakan simbol kesanggupan suami untuk memikul
kewajiban-kewajiban sebagai suami dalam hidup perkawinan yang
akan mendatangkan kemantapan dan ketentraman hati istri. Menurut
syara’ mahar adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur
yakni berupa sesuatu yang ada nilainya atau harganya sah dijadikan
mahar. Dasar hukum disyariatkannya mahar yaitu :
ي حلةا آ ت ا السب ء صد قب ت
“Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.(QS An-Nisa 4:4)
2) Pemberian suami kepada istri karena berpisah (mut’ah)
Maksudnya disini adalah sejumlah materi yang diserahkan
suami kepada istri yang dipisah dari kehidupannya sebab talak atau
semakna dengannya dengan beberapa syarat. Mut’ah ini wajib
diberikan kepada setiap wanita yang dicerai sebelum bercampur dan
sebelum kepastian mahar.
3) Nafkah, tempat tinggal dan pakaian
Para ulama sepakat mengenai kewajiban nafkah kepada istri
yang dimaksud nafkah istri adalah tuntutan terhadap suami karena
perintah syariat untuk istrinya berupa makanan, minuman, pakaian,
tempat tinggal, ranjang, pelayanan dan yang lainnya, sesuai dengan
tradisi di tempat selama masih dalam lingkaran kaidah
syariat.(Yaqub, 2007:47)
Adapun kewajiban nafkah didasarkan firman Allah yang
artinya
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun
penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban
ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang
patut”.(QS. Al-Baqarah 2.2233)
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang beberapa
hal, yaitu waktu kewajibannya, ukurannya, siapakah yang berhak
menerimanya dan siapakah yang wajib memberikannya.
Adapun yang berkaitan dengan perjanjian pra nikah yaitu
mengenai waktu kewajiban nafkah tersebut dikenakan kepada
seorang suami. Waktu wajibnya seorang suami memberikan nafkah
kepada istri, yaitu :
(a) Malik mengatakan, suami tidak wajib memberikan nafkah
hingga dia menggauli istrinya atau diajak untuk menggaulinya
dan istrinya termasuk orang yang dapat digauli dan suami juga
sudah dewasa.
(b) Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum
dewasa wajib memberikan nafkah jika istri telah dewasa.
(c) Adapun jika suami sudah dewasa, sedangkan istri belum dewasa,
dalam hal ini Syafi’i memiliki dua pendapat, yaitu: pertama,
seperti pendapat Malik dan kedua, bahwa dia berhak
mendapatkan nafkah secara mutlak.
(Rusyd, 2007:107)
Imam Syafi’i menjelaskan dalam Kitab al-Umm bahwa
seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, baik si istri
berkecukupan (kaya) ataupun membutuhkan (miskin), karena suami
telah mengkungkung istrinya untuk kesenangannya dirinya secara
khusus. Oleh karena itu, selama istri tidak menolak untuk dicampuri
oleh suaminya, maka suami berkewajiban memberi nafkah kepada
istri dalam keadaan bagaimanapun. (Abu, 2007:430) Kalangan ulama
madzhab Hanafi berpendapat bahwa suami wajib memberi nafkah
kepada istri karena ruang gerak istri telah terbatasi untuk mengabdi
kepada suami. Sedangkan menurut jumhur, alasannya adalah karena
ia menjadi istri.
Adapun seorang suami diwajibkan menafkahi istri apabila
istrinya telah memenuhi syarat-syarat berikut: (Sabiq, 2006:57)
(1) Ikatan perkawinan yang sah.
Adapun perkawinan dianggap sah adalah ketika rukun dan syarat
dari perkawinan itu terpenuhi menurut hukum Islam, sehingga
nikah siri sebagai perkawinan sah yang disembunyikan juga
masuk didalamnya. Hal ini dikarenakan nikah siri sebagai
perkawinan sah yang disebunyikan juga telah memenuhi rukun
dan syarat perkawinan dianggap sah menurut hukum
Islam.(Djubaidah, 2010:345-350) Sedangkan alasan
disembunyikan perkawinan tersebut kesemuanya bukan dalam
rangka menentang hukum Allah dan Rasul-Nya, bukan
bermaksud melecehkan hukum Allah.(Djubaidah, 2010:348)
Misalnya disembunyikan karena masih terikat dengan perjanjian
tertentu yang mengharuskan untuk tidak melakukan perkawinan
dalam jangka waktu tertentu.
(2) Menyerahkan dirinya kepada suaminya.
(3) Suaminya dapat menikmati dirinya.
(4) Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki
suaminya.
(5) Kedua-duanya dapat saling menikmati.
Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, ia tidak
wajib diberi nafkah. Begitu juga bagi istri yang enggan pindah ke
tempat yang dikehendaki suami, dalam keadaan seperti itu tidak ada
kewajiban nafkah. Hal ini dimungkinkan karena pemahaman yang
dimaksud sebagai dasar hak penerimaan nafkah tidak dapat
diwujudkan. Hal ini sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang
menikah dengan Aisyah dan baru tinggal setelah dua tahun
kemudian. Beliau tidak memberi nafkah kecuali setelah beliau
tinggal serumah dengannya.
Adapun kewajiban bagi istri untuk serumah dengan suaminya
berdasarkan pada firman Allah al-Qur’an surat ath-Thalaq ayat 6
yang artinya sebagai berikut:
“tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu”.(QS. Ath-Thalaq 65:6)
Allah mewajibkan suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi
istrinya. Sebaliknya, Allah mewajibkan istri untuk tinggal bersama
suaminya di rumah yang ia tinggali dan ia persiapkan untuknya.
Imam Ibnu Quddamah al-Maqdisi juga berkata bahwa istri berhak
mendapat tempat tinggal dari suaminya berdasarkan firman Allah
surat ath-Thaliq tersebut.(Mahmud, 2010:31)
Jika wanita yang diceraikan saja berhak mendapatkan tempat tinggal,
apalagi wanita yang masih berstatuskan istri sah. Hal ini merupakan
bentuk pergaulan yang patut dilakukan kepada istri, yakni berupa
tempat tinggal sebab, ia sangat membutuhkannya untuk melindungi
diri dari pandangan orang, berhubungan intim dan menjaga harta
benda. Selain itu, karena tempat tinggal termasuk mashlahat dan
kebutuhan tetap seorang istri.
4) Adil dalam pergaulan dengan istri, baik mu’amalah maupun
mu’asyarah. Hal ini khususnya bagi pelaku poligami dan
keluarganya.
Selain itu, kewajiban-kewajiban suami lainnya oleh Abu Malik
dalam Kitab Shahih Sunnahnya, antara lain :
a) Memelihara dan menjaga istri dari segala hal yang menghilangkan
kehormatannya atau mengotori kehormatannya atau merendahkan
derajatnya dan atau memalingkan pendengarannya karena dicela.
b) Memuaskan istri dalam berhubungan seksual.
c) Bersikap lembut terhadap istri, bercengkrama dengannya, dan
menghargai usianya yang belia.
d) Bercengkrama dan berbincang-bincang dengan istri serta
mendengarkan ceritanya.
e) Mengajarkan perkara-perkara agama kepada istrinya dan
memotivasinya untuk taat beragama.
f) Tidak menyakitinya dengan memukulnya dibagian wajah atau
mencelanya dengan buruk.
g) Tidak mendiamkan kecuali di rumah.
h) Menjaga kesucian istri.
i) Tidak membocorkan rahasia istri dan membeberkan aib kepada
orang lain.
c. Kewajiban isteri (hak suami)
Kewajiban istri yang wajib dipenuhi sebagai tuntutan hak bagi
suami hanya merupakan hak-hak yang bukan kebendaan, sebab menurut
Hukum Islam istri tidak dibebani kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.(Basyir, 1999:61)
Hak-hak suami pada intinya adalah hak untuk ditaati mengenai
hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran
kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedudukan suami
istri.(Basyir, 1999:61) Hal ini kemudian oleh abdul Aziz Muhammad
Azzam dalam Fiqh Munakahat dijelaskan secara terperinci, kewajiban
istri terhadap suami antara lain (Azzam, 2009:221-230) :
1) Mematuhi suami dengan taat dan tidak durhaka kepadanya
2) Memelihara kehormatan dan harta suami
3) Berhias untuk suami
4) Menjadi partner suami
5) Istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami
6) Istri harus tinggal bersama suami. Allah mewajibkan suami
menyediakan tempat tinggal bagi istrinya. Sebaliknya, Allah
mewajibkan istri untuk tinggal bersama suaminya dirumah yang ia
tinggali.(Al-Mashri, 2010:31)
7) Istri melayani suami, baik dalam hubungan seksual maupun
keperluan rumah tangga. Dalam hal melayani urusan rumah tangga,
para ulama jumhur berpendapat bahwa hal tersebut merupakan suatu
kewajiban. Alasannya adalah karena suami sebagaimana ketentuan
dalam kitab Allah adalah pemimpin istri, sementara istri menurut
ketentuan Sunnah Rasulullah adalah pembantu (tawanan) suami.
Oleh karena itu, tawanan yang baik adalah yang melayani dengan
baik.(Kamal, 2007:307-308)
Adapun firman Allah yang menjadi dasar hukum kewajiban istri
yaitu terdapat dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34 yang artinya
“laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah
dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka
yang ta’at (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuam-perempuan yang
kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada
mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan
(kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu janganlah
kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi, Maha Besar”.(QS An-Nisa 4:34)
4. Konsep Harta Dalam Islam
Didalam Islam terdapat beberapa pengertian harta dalam rumah
tangga:
a. Pertama, harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga,
sebagaimana firman Allah SWT :
ب لكن قيبها الكن التي جعل للا فبء أه ل تؤتا الس
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai Pokok
Kehidupan”.(QS An-Nisa :5)
b. Kedua, kewajiban suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai
berikut :
1) Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :
ي حلةا آتا السبء صدقبت
“Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai
bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan)”. (QS An-Nisa :4)
2) Memberikan nafkah kepada istri dan anak sebagaimana firman Allah
SWT :
تي ببلوعزف كس لد ل رسقي على الو
“ Dan kepada ayah berkewajiban memberi nafkah dan pakaian yang
layak kepada istrinya”.(QS Al-Baqarah : 233)
c. Ketiga, suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan
ridhonya, sebagaimana firman Allah SWT :
ب فكل يئاب هزيئاب فئى طبي لكن عي شيء ه فسا
“Jika mereka (istri-istrimu) menyerahkan dengan penuh kerelaan
sebagian mas kawin merekan kepadamu, maka terimalah pemberian
tersebut harta yang sedap dan baik akibatnya”.(QS An-Nisa :4)
d. Keempat, jika terdapat perceraian antara suami istri, maka ketentuannya
sebagai berikut :
1) Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan intim
dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut
meninggal dunia dan mahar telah ditentukan, dalam hal ini Allah
SWT berfirman yang artinya
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan istri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil dari padanya
barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali
dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa
yang nyata ? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami istri. (QS An-Nisa 20-21)
2) Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan
intim dengan suaminya dan mahar telah ditentukan, sebagaimana
firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 237 yang artinya
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu”.
3) Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan
hubungan intim dengan suaminya dan mahar belum ditentukan,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah
ayat 236
“tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya, dan hendaklah
kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang
demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta
gono-gini. Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum didalam
menyelesaikan masalah bersama.
Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami-istri. Kesepakatan
ini di dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu perjanjian untuk
melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka
berselisih. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 128
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian
sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”.
Ayat diatas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami isteri setelah
mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-
haknya, pada ayat diatas istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan
antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah SAW
“Perdamaian adalah boleh diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram”.
Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau
kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian haknya demi untuk mencapai suatu
kesepakatan. Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri
memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik
bersama. Biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun
masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja maka dalam hal ini tidak
terdapat harta gono-gini dan pada dasarnya semua dibeli oleh suami adalah milik
suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi hak
istri.
B. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia
1. Perjanjian Pra Nikah dalam UU No.1 Th 1974
Istilah “perjanjian” dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan
sebagai persetujuan (tertulis/lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan
itu. Perjanjian pra nikah atau biasa di sebut juga dengan prenuptial
agreement menurut asalnya merupakan terjemahan dari kata
“Huwelijksevoorwaarden” yang ada dalam Burgerlijk wetboek (BW). Istilah
ini terdapat dalam KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Huwlijk sendiri menurut bahasa berarti
perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan
Voorwaard berarti syarat. Dalam aspek hukum, perkawinan merupakan suatu
akad, yaitu perikatan dan perjanjian yang luhur antara suami-istri untuk
membina rumah tangga bahagia. Sebagai ikatan dan perjanjian, kedua belah
pihak terikat dengan janji yang dibuatnya, karena itu, dengan akad nikah
menimbulkan hak dan kewajiban suami istri. Dan sebagai unit terkecil dari
masyarakat, juga akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak, anak dengan orang tuanya, sebagai ikatan yang luhur dan kuat.
Sebaimana dijelaskan dalam Q.S Al-Nisa’ ayat 4 yang artinya “Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.(Anshary,1994:46)
Belum ada definisi secara baku mengartikan perjanjian pra nikah baik
menurut bahasa maupun istilah. Namun dari masing-masing kata dalam
kamus bahasa dapat diartikan:
a. Perjanjian : persetujuan, syarat, tenggang waktu, kesepakatan baik lisan
maupun tertulis yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih untuk
ditepati.
b. Pra Nikah : Pra (sebelum) Nikah/Pernikahan, hal-hal yang berhubungan
dengan kawin. Secara umum, perjanjian pra nikah berisi tentang
pengaturan harta kekayaan calon suami istri.(Susanto,2008:78)
Pada prinsipnya pengertian perjanjian pra nikah sama dengan
perjanjian pada umumnya, yaitu suatu perjanjian antara dua orang calon
suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang
dibuat menjelang perkawinan, serta disahkan oleh pegawai pencatat nikah.
(Damanhuri, 2007:7)
Di Indonesia Perjanjian Pra Nikah diatur dalam UU No.1 Th 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berikut akan di jelaskan lebih lanjut
mengenai perjanjian pra nikah dalam Undang-Undang No.1 Th 1974
Perjanjian Pra Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Th
1974 diatur dalam Bab V dan pasal 29 yang terdiri dari 4 ayat, sebagai
berikut :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang di sahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersanngkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat di sahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan di langsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat di rubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak mengikat pihak ketiga.
Penjelasan Pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam
pasal ini tidak termasuk ta’lik talak. Namun Pasal 11 dalam Peraturan
Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 menyebutkan suatu peraturan yang
bertentangan. Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
a. Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak
bertentangan dengan Hukum Islam.
b. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu
diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah
dilangsungkan.
c. Sighat ta’lik talak ditentukan oleh Menteri Agama.(Zainuddin, 2006:41)
Isi Pasal 11 tersebut, dirinci oleh Pasal 45 sampai 52 KHI, yaitu kedua
calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk
ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, perjanjian dalam Pasal 29 ini
jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi “Verbintenissen” yang
bersumber pada persetujuan saja (overenkomsten), dan perbuatan yang tidak
melawan hukum, jadi tidak meliputi “Verbintenissen uit de wet allen”
(perikatan yang bersumber pada undang-undang).(Martiman, 2002:29)
Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang
ini tidak termasuk di dalamnya ta’lik talak sebagaimana yang termuat dalam
surat nikah. Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan
pra nikah namun dapat diberikan batasan, sebagai suatu hubungan hukum
mengenai harta kekayaan mengenai kedua belah pihak, dalam mana satu
pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak
untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut. Lebih jelasnya dapat
dikatakan bahwa perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat oleh
calon suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, perjanjian dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh
pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang diperjanjikan.(Martiman, 2002:39)
Selanjutnya menurut Henry Lee A Weng di dalam disertasinya
menyatakan perjanjian pra nikah lebih luas dari “Huwelijksche
Voorwaarden” seperti yang di atur dalam hukum perdata. Perjanjian pra
nikah bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan,
melainkan juga meliputi syarat-syarat / keinginan-keinginan yang harus di
penuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas
hukum,agama dan kesusilaan.(Henry, 1990:5)
Sama halnya dalam UU No.1 Tahun 1974 Bab V menyangkut tentang
perjanjian pra nikah, disebutkan bahwa calon suami istri sebelum perkawinan
dilangsungkan atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian pra
nikah (Huwelyke Voorwaarden). Selanjutnya diatur :
1. Persetujuan perkawinan itu dibuat secara tertulis
2. Perjanjian Pra Nikah tertulis tersebut disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan
3. Sejak pengesahan oleh pegawai pencatat, isi ketentuan perjanjian itu
menjadi sah kepada pihak suami-istri dan juga terhadap pihak ketiga
sepanjang isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga (ayat 1 Pasal 29)
4. Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan
dilangsungkan (ayat 3, Pasal 29)
5. Perjanjian pra nikah tidak dapat diubah selama perkawinan. Jika
perubahan itu dilakukan secara sepihak, perubahan unilateral tidak boleh.
Akan tetapi jika perubahan itu atas kehendak bersama (secara bilateral)
perubahan di maksud dapat di lakukan (ayat 4,pasal 29)
6. perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan
perjanjian itu melanggar batas-batas hukum,agama dan kesusilaan.
Dalam setiap perkawinan tidak terlepas oleh adanya harta benda, baik
yang diperoleh sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung
maupun yang diperoleh selama menjadi suami istri dalam suatu ikatan
perkawinan. Undang-undang perkawinan membedakan harta benda dalam
perkawinan yang diatur dalam Pasal 35, bahwa :
a. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
b. Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain
Dengan adanya perbedaan jenis harta benda dalam perkawinan
tersebut mempengaruhi cara melakukan pengurusannya. Harta bersama
diurus secara bersama-sama oleh suami istri. Dalam melakukan pengurusan
harta bersama tersebut, mereka dapat bertindak dengan adanya persetujuan
kedua belah pihak. Artinya suami atau istri jika melakukan perbuatan hukum
terhadap harta bersama berdasarkan kesepakatan bersama. Berbeda dengan
harta bawaan, pengurusannya dilakukan oleh masing-masing pihak, suami
atau istri, kecuali apabila mereka telah menentukan lain. Masing-masing
pihak suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap harta bawaannya masing-masing. Suami atau istri
dapat bertindak atas persetujuan mereka. Akan tetapi persetujuan itu
bukanlah suatu kewajiban. Dengan demikian pula penguasaan dan perlekatan
hak kepemilikan atas 2 jenis harta dalam perkawinan yang telah jelas
dipisahkan oleh UUP. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 36 Undang-
Undang No.1 Th. 1974 yang berbunyi :
1. Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Ditinjau dari ketentuan undang-undang yang diatur dalam pasal 147
BW dst., pada rasionanya perjanjian pra nikah dibuat untuk menghindari
peraturan sistem yang di atur oleh BW, yang menganut sistem percampuran
harta kekayaan dalam perkawinan. Segala harta baik harta bawaan suami-istri
dengan sendirinya menurut hukum bersatu menjadi harta kekayaan milik
bersama. Maka Huwelyks Voorwaarden ini dimaksudkan untuk menghindari
atau mengecualikan atas percampuran kekayaan bersama (Pasal 199 BW).
Dari saat berlangsungnya pernikahan menurut hukum terwujudlah
penggabungan harta benda secara keseluruhan antara suami istri sekedar hal
itu tidak dibuat ketentuan pada waktu terjadi akad nikah. Jadi perjanjian
perkawinan itu penyimpangan dari ketentuan hukum tentang milik bersama
dalam perkawinan. Sebab seperti disebutkan diatas tanpa adanya Huweylyk
Voorwaarden dengan sendirinya menurut hukum akan terjadi percampuran
harta kekayaan bersama secara keseluruhan.(Anshary, 1994:56)
Perjanjian Pra Nikah dalam Pasal 29 UU No.1 Th 1974 yaitu
persetujuan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan, atau perjanjian
yang mengatur sampai dimana batas-batas tanggung jawab pribadi masing-
masing seperti yang disebut pada ayat 2 Pasal 35 terhadap hutang-hutang
yang dibuat oleh suami terhadap pihak istri terhadap pihak ketiga. Dengan
adanya pasal ini banyak menolong pihak istri dan suami atas tindakan-
tindakan yang merugikan, misalnya dengan membuat perjanjian bahwa atas
tindakan suami dalam hutang, harta istri tidak ikut bertanggung jawab atas
pelunasannya, harta pusaka bawaan istri ikut dilelang atas hutang suami
sekalipun si istri tidak tahu menahu tentang hutang tersebut. Penting untuk di
catat, ada dua hal penting mengenai perjanjian ini, perjanjian pra nikah ini
bukan merupakan sebuah keharusan, tanpa ada perjanjian pun, perkawinan
itu dapat dilaksanakan. Dengan kata lain perjanjian pra nikah hanya sebuah
lembaga yang dipersiapkan bila ada pihak-pihak yang merasa perlu untuk
membuat perjanjian, untuk menghindarkan terjadinya perselisihan antara
harta pribadi dan harta bersama. Menurut K. Wantjik saleh ruang lingkup
perjanjian perkawinan tidak di tentukan perjanjian tersebut mengenai apa,
umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada pembatasan itu, maka
dapat di simpulkan bahwa perjanjian tersebut luas sekali, dapat mengenai
berbagai hal selama tidak beretntangan dengan hukum dan kesusilaan dapat
dituangkan dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan
sesudah perkawinan atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak,
tamggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian
nama, pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan larangan
melakukan kekerasan, masginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi
(pembakuan) dll. Dalam penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan “perjanjian” itu tidak termasuk “ta’lik talak”.
(Anshary,1994:58)
2. Perjanjian Pra Nikah Dalam Kompilasai Hukum Islam (KHI)
Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perjanjian pra nikah
diatur pada Bab VII Pasal 45 sampai 52 tentang perjanjian perkawinan.
Pasal 45 KHI menyatakan bahwa “kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk:
a. Ta’lik talak
b. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pasal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 29 UUP yang
menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak
termasuk ”ta’lik talak”. Dan bisa dalam bentuk perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan Hukum Islam. Perjanjian pra nikah yang di jelaskan
oleh Pasal 29 UUP telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa ta’lik talak
termasuk salah satu perjanjian perkawinan dalam pasal Kompilasi Hukum
Islam seperti dijelaskan di bawah ini :
Pasal 46 KHI
1. Isi ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam.
2. Apabila keadaan yang di syaratkannya dalam ta’lik talak betul-betul
terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya jatuh talak. Supaya talak
sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke
Pengadilan Agama.
3. Perjanjian ta’lik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali.
Ayat 3 KHI di atas bertentangan dengan Pasal 29 ayat 4 Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 yang mengungkapkan bahwa selama perkawinan
berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua
belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah maka dalam
penjelasannya di lampirkan dalam salinan akta nikah yang sudah di tanda
tangani oleh suami. Oleh karena itu, perjanjian ta’lik talak tidak dapat di
cabut kembali. Dapat dipahami bahwa sebelum pelaksanaan akad nikah
pegawai pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian pra nikah
yang di buat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi
perjanjian itu, maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati
mereka bersama. Selama perjanjian itu berupa ta’lik talak, Menteri Agama
telah mengaturnya.(Hazairin, 1982:63)
Selain itu perjanjian pra nikah dapat juga dibuat oleh kedua belah
pihak mengenai harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Perjanjian pra nikah yang berkaitan dengan masalah
harta bersama yang di dapat selama perkawinan di terangkan dalam Pasal 47
KHI :
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang di sahkan pegawai
pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
b. Perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi percampuran harta
pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal
itu tidak bertentangan dengan Islam.
c. Di samping ketentuan dalam ayat 1 dan 2 di atas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk
mengadakan ketetapan hipotik atas harta pribadi atau harta bersama atau
harta syarikat.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa “Perjanjian Pra Nikah”
menurut KHI bukan hanya terbatas pada harta yang di dapat selama
perkawinan, akan tetapi mencakup harta bawaan masing-masing suami istri.
Sedangkan yang di maksud dengan perjanjian pra nikah terhadap harta
bersama yaitu perjanjian tertulis yang di sahkan oleh pegawai pencatat nikah,
perjanjian tersebut dibuat oleh calon suami istri untuk mempersatukan atau
memisahkan harta kekayaan pribadi masing-masing selama perkawinan
berlangsung, tergantung dari apa yang di sepakati oleh para pihak yang
melakukan perjanjian. Isi perjanjian tersebut berlaku pula bagi pihak ketiga
sejauh pihak ketiga tersangkut.
Perjanjian pra nikah yang dibuat antara calon suami istri tentang pemisahan
harta bersama atau harta syarikat tidak boleh menghilangkan kewajiban
suami untuk tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apabila setelah
dibuat perjanjian tidak memenuhi ketentuan kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga, menurut Pasal 48 ayat 2 KHI “Apabila
dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat 1
dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan
kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga” dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban
suami tetap menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 47, bahwa
perjanjian pra nikah dapat dibuat sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum Islam misalnya perjanjian pra nikah yang mengatur tentang harta
pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, serta menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik (perjanjian
dengan pihak bank, misalnya) atas harta pribadi dan harta bersama.
3. Bentuk Dan Isi Perjanjian Pra Nikah
Perjanjian pra nikah merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu
perkawinan di dalam bidang harta kekayaan. Adapun mengenai bentuk-
bentuk perjanjian pra nikah telah di atur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer) yang menganut sistem percampuran harta
kekayaan antara suami-istri (Alghele Gemeenscchap Van Goerderen) ketika
perkawinan terjadi.(Anshary, 1994:172)
Dalam Pasal 147 KUH Perdata disebutkan “Perjanjian Pra Nikah
harus dibuat dengan akta notaris dan harus dibuat sebelum dilangsungkannya
perkawinan. Perjanjian pra nikah mulai berlaku pada saat perkawinan
dilangsungkan. Tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu” dengan demikian
maka akta notaris itu adalah syarat mutlak tentang adanya perjanjian pra
nikah. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Pasal 29 ayat 1 tentang perkawinan yang menyatakan “Pada waktu
perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut”, maka keabsahan perjanjian pra nikah tersebut
cukup dihadapan pencatat nikah. Perbedaan yang terdapat pada Bab VII
KUH Perdata dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal 29 terletak pada keabsahan
dan kekuatan mengikatnya pihak ketiga. Terhadap pihak ketiga sebagaimana
di jelaskan dalam Pasal 152 Bab VII KUH Perdata tentang perjanjian pra
nikah bahwa tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di
kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya itu atau
jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta
perkawinan dibukukan. Maka dari itu agar perjanjian dianggap sah dalam
hukum maka harus dibuat oleh akta notaris terlebih dahulu kemudian
disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Perjanjian pra nikah tidak boleh
diartikan sebagai alat pembuktian, jika perjanjian dibuat setelah
dilangsungkannya pernikahan dalam hal antara suami dan istri ada
pengakuan tentang adanya suatu perjanjian perkawinan, maka itu tidak dapat
diterima.
Setelah dilangsungkannya perkawinan perjanjian pra nikah tidak dapat
diubah lagi dengan cara bagaimanapun juga (Pasal 149 KUHPer). Jika terjadi
perceraian dan kemudian kawin lagi, hal itu tidak boleh dipakai alasan untuk
merubah perjanjian pra nikah dahulu.(Yanggo, 1994:173)
Hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian pra nikah dalam
KUH Perdata meliputi hal-hal seperti berikut:
a. Pasal 139
Para calon suami istri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dan
peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak
bertentangan dengan tata tertib umum dan diindahkan pula ketentuan-
ketentuan berikut.
b. Pasal 140
1. Tidak boleh melanggar hak marital dari suami yaitu hak suami di
dalam statusnya sebagai suami yaitu umpamanya suami yang harus
menetapkan di mana suami-istri harus bertempat tinggal.
2. Tidak boleh juga melanggar hak kekuasaan orang tua. Menurut pasal
300, kekuasaan orang tua dilakukan oleh si suami.
3. Tidak boleh melanggar hak yang diberikan undang-undang kepada
suami atau istri yang hidup paling lama. Ini yang mengenai hak waris
dari suami atau istri (852 a). suami istri yang hidup paling lama demi
hukum menjadi wali (845).
4. Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala
persatuan suami istri. Umpamanya tidak boleh diperjanjikan bahwa
si istri dapat bertindak sendiri jika mengenai harta persatuan.
c. Pasal 141
Tidak boleh melepaskan haknya atas legitieme portie (hak mutlak) atas
warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari
ketururannya. Pasal ini sebetulnya tidak perlu, karena soal legitieme
portie tidak dapat diatur lain daripada menurut undang-undang. Dan
pengaturan warisan dari anak keturunannya harus dengan wasiat.
d. Pasal 142
Tidak boleh diperjanjikan bahwa bagian hutang yang jatuh kepada salah
satu pihak, ditentukan lebih besar dari bagian keuntungannya.
e. Pasal 143
Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata umum bahwa ikatan
perkawinan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan di luar negeri, adat
kebiasaan atau peraturan daerah.
Tentang siapa yang dapat mengadakan perjanjian pra nikah hal ini
tunduk pada ketentuan umum yaitu harus cakap untuk bertindak menurut
hukum, kecuali tentang anak yang belum dewasa, ia dapat mengadakan
perjanjian perkawinan, jika telah berusia 18 tahun (lelaki) atau 15 tahun
(perempuan) asal dibantu oleh orang-orang yang harus memberikan izin
untuk perkawinannya (pasal 151). Jika diadakan perjanjian pra nikah, maka
akan ada 3 jenis kekayaan, yaitu :
1. Harta persatuan
2. Harta suami pribadi
3. Harta istri pribadi
(Anshary, 1994:173,174)
Di dalam Undang-Undang Perkawinan diatur sesuai pola yang dianut
hukum adat maupun Islam yaitu harta bawaan dan harta yang diperoleh
sebagai hadiah atau warisan tetap dikuasai masing-masing suami-istri, sedang
yang menjadi harta bersama hanyalah harta benda yang diperoleh selama
perkawinan, (Pasal 35 UUP) melalui perjanjian pra nikah suami istri dapat
menyimpang dari ketentuan undang-undang perkawinan diatas dan bila
dikehendaki dapat membuat perjanjian percampuran harta pribadi, sebagai
berikut:
a. Seluruh harta pribadi baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun
selama perkawinan berlangsung.
b. Hanya sebatas pada harta pribadi saat perkawinan dilangsungkan (harta
pribadi yang diperoleh selama perkawinan tetap menjadi milik masing-
masing-masing pihak). Atau sebaliknya percampuran harta benda pribadi
hanya saat perkawinan berlangsung (harta bawaan/harta pribadi sebelum
perkawinan dilangsungkan menjadi milik masing-masing).
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang sudah
disebutkan dalam Pasal 29 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal tersebut tidak
termasuk ta’lik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama No.3 Th 1975
Pasal 11 menyebutkan satu aturan yang bertolak belakang:
1. Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian perkawinan sepanjang
tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2. Perjanjian yang berupa ta’lik talak dianggap sah kalau perjanjian itu
diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah
dilangsungkang.
3. Sighat ta’lik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Selain bentuk perjanjian perkawinan taklik-talak Kompilasi Hukum
Islam juga mengatur bentuk perjanjian perkawinan yang menyangkut
percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian.(pasal 47 ayat 2)
Adapun mengenai isi perjanjian pra nikah merupakan hal yang sangat
penting untuk kebaikan bersama antara kedua belah pihak, baik berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam, isi perjanjian pra nikah dapat menyangkut segala hal yang
tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian secara umum, hanya
perjanjian disahkan di depan pegawai pencatat nikah.(Damanhuri, 2007:16)
Isi perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, menurut Abdul Kadir Muhammad dapat mengenai
segala hal, asal tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Adapun isi perjanjian perkawinan itu meliputi :
a. Penyatuan harta kekayaan suami istri
b. Penguasaan, pengawasan dan perawatan harta kekayaan istri oleh suami.
c. Istri atau suami melanjutkan kuliah bersama.
d. Dalam perkawinan suami istri sepakat untuk melaksanakan keluarga
berencana.(Damanhuri, 2007:17,18)
Mengenai bidang (spesialisasi) apa saja secara kongkrit bisa
diperjanjikan, dalam hal ini Djuhaedah Hasan mengisyaratkan “Supaya
kembali kepada aturan hukum perundang-undangan sebelumnya, yaitu KUH
Perdata. Sebab menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengatur kelanjutan dari ketentuan perjanjian ini, kecuali hanya menjelaskan
bahwa perjanjian tersebut tidak termasuk ta’lik talak”. Menurut Martiman
prodjohamidjojo ”Perjanjian Pra Nikah menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 adalah memuat tentang perolehan harta kekayaan suami istri
yang diperoleh selama perkawinan, dan atau benda di lapangan hukum
kebendaan serta tidak termasuk ta’lik talak”.
Berdasarkan beberapa pendapat dapat disimpulkan, bahwa isi
perjanjian perkawinan itu adalah berupa tata aturan untuk mengurus
pengendalian harta kekayaan suami istri secra langsung dilakukan oleh calon
suami istri berdasarkan musyawarah mufakat. Sehubungan dengan itu
perumusan isi perjanjian diharuskan menjiwai hak dan kewajiban suami istri
yang telah diberikan oleh hukum, agama, dan adat. KUH Perdata yang telah
mengatur perjanjian pra nikah secara konkrit tidak secara tegas dihapus oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi sebagai pedoman untuk
mengadakan perjanjian perkawinan, sejauh tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Bab VII
Kompilasi Hukum Islam.(Damanhuri, 2007:19)
Isi dari perjanjian yang dilarang adalah:
1. Mengurangi hak suami baik sebagai suami maupun kepala (persatuan)
rumah tangga, menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan
sebagai orang tua, mengurangi hak-hak yang diperlukan UU kepada yang
hidup terlama antara suami istri.(pasal 140 KUH Perdata)
2. Melepaskan haknya sebagai ahli waris menurut hukum dalam warisan
anak-anaknya atau keturunannya.(pasal 141 KUH Perdata)
3. Menetapkan bahwa salah satu pihak menaggung hutang lebih banyak
dari pada bagiannya dalam keuntungan (pasal 142 KUH Perdata).
Bila hal ini dilanggar maka apa yang diperjanjikan itu dianggap sebagai tidak
tertulis, sehingga masing-masing akan menerima setengah bagian dari
keuntungan dan memikul setengah bagian dari kerugian.
4. Syarat-syarat Perjanjian Pra Nikah
Persyaratan dalam Perjanjian Pra Nikah ialah prosedur yang harus dipatuhi
agar sebuah perrjanjian dapat dianggap sah karena sesuai dengan syarat dan ketentuan
yang telah diatur dalam undang-undang. Untuk itu, perhatian terhadap aspek ini
penting agar kekuatan hukum dari perjanjian perkawinan itu bisa
dipertanggungjawabkan. Perjanjian pra nikah sebagai persetujuan atau perikatan
antara calon suami istri pada prinsipnya sama dengan perjanjian-perjanjian pada
umumnya, sebab satu sama lain saling terikat pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang
syarat-syarat sahnya perjanjian-perjanjian, dimana dalam pasal tersebut berbunyi
antara lain :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Menurut Pasal 147 KUH Perdata bahwa perjanjian pra nikah harus
dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan perjanjian tersebut harus
dibuat di hadapan notaris, jika tidak dilakukan dihadapan notaris, maka
perjanjian tersebut batal dan menurut Pasal 149 KUH Perdata bahwa setelah
perkawinan berlangsung dengan cara bagaimanapun perjanjian pra nikah
tidak boleh diubah. Berdasarkan subtansi Pasal 147 KUH Perdata tersebut
diatas sudah jelas bahwa perjanjian pra nikah dibuat pada waktu sebelum
atau sesaat sebelum perkawinan dilangsungkan dengan kata lain perjanjian
pra nikah tidak dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung.(Susanto,
2008:97)
Di dalam Islam syarat yang sejalan dengan tujuan akad nikah,adalah
syarat yang tidak mengandung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan
Rasul. Contoh : Pihak wanita mensyaratkan harus diberi belanja, di pergauli
dengan baik, tidak akan mencemarkan nama suaminya, tidak puasa sunnah
kecuali ada izin suaminya, dll. Dalam hal ini wajib dipenuhi karena sesuai
dengan tujuan nikah.(Afandi, 1997:55)
Persyaratan pra nikah yang dibuat dalam akad nikah, seperti yang
diuraikan di atas, berbeda dengan perjanjian perkawinan yang dimuat dalam
UU No.1 Th 1974 Bab V. karena dalam undang-undang ini yang menyangkut
tentang perjanjian perkawinan, disebutkan bahwa calon suami istri sebelum
perkawinan dilangsungkan atas persetujuan bersama dapat memngadakan
perjanjian perkawinan (Huwelyke Voorwaarden). Perjanjian pra nikah tidak
dapat diubah selama perkawinan berlangsung, kecuali apabila kedua belah
pihak saling menyetujui untuk mengubahnya, dan perubahan itu tidak
merugikan pihak ketiga jika perjanjian pra nikah itu mengikat kepada pihak
ketiga. Perubahan serta pencabutan itu wajib didaftarkan di kantor pencatat
nikah tempat perkawinan dilangsungkan, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 50 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. (Afandi, 1997:56)
Menurut Damanhuri HR, mengenai tata cara perjanjian pra nikah
menurut Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
Pasal 45 sampai 52 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian perkawinan dilakukan atas persetujuan calon suami istri.
2. Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis.
3. Perjanjian perkawinan disahkan oleh pencatat pernikahan.
4. Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan.
5. Perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah kecuali atas persetujuan
bersama suami istri dan tidak merugikan pihak ketiga.
6. Perjanjian perkawinan dapat dicabut atas persetujuan suami istri dan
wajib mendaftarkannya di kantor pencatat nikah tempat perkawinan
dilangsungkan dan pendaftaran tersebut diumumkan oleh suami istri
dalam suatu surat kabar setempat dan apabila dalam tempo enam bulan
pengumuman tidak dilakukan oleh bersangkutan, pendaftaran dengan
sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.(Susanto,
2008:23,24)
Selama perjanjian belum berakhir isi dari perjanjian akan terus
berlaku. Berakhirnya perjanjian pra nikah dapat terjadi karena beberapa hal
sebagai berikut :
a. Putusnya Perkawinan
Perjanjian pra nikah bersifat accessoir dengan lembaga perkawinan itu
sendiri yakni adanya perjanjian karena adanya perkawinan. Ketika
perkawinan putus/berakhir, maka dengan sendirinya perjanjian itu
berakhir.
b. Pencabutan Bersama
Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, jika suami-istri tidak
menghendaki isi perjanjian pra nikah, mereka dapat secara bersama-sama
mencabut dan mendaftarkan pencabutan tersebut di Kantor Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.(KHI Pasal 50 ayat 2)
Yang perlu ditekankan disisni adalah pencabutan perjanjian perkawinan
tidak berlaku surut, artinya tidak boleh merugikan perjanjian yang telah
dibuat dengan pihak ketiga sebelum dilakukan pencabutan oleh suami-
istri.
c. Putusan Pengadilan
Perjanjian pra nikah yang dapat dibatalkan dengan putusan pengadilan
adalah perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
oleh undang-undang, baik yang bersifat subyektif maupun yang bersifat
obyektif.
5. Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Perjanjian Pra Nikah
Pada umumnya, setiap perjanjian yang disepakati mengikat bagi
pihak-pihak yang terlibat didalamnya, baik dalam bentuk tertulis maupun
tidak tertulis. Akan tetapi yang membedakan adalah ketika suatu perjanjian
yang dibuat hanya bentuk lisan, maka tidak ada acuan yang dapat dijadikan
pembuktian bahwa perjanjian tersebut pernah disepakati. Meskipun
perjanjian yang tidak tertulis tetap mengikat dan tikad menghilangkan baik
hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat didalamnya.
Dalam hukum juga dikenal asas pacta sunt servanda bahwa perjanjian
itu mengikat bagi pihak-pihak yang bersepakat didalamnya. Namun yang
perlu dicermati lagi yaitu asas hanya bersifat abstrak sebagai dasar atau
pedoman yang tidak mengikat secara langsung. Oleh karena itu, apabila suatu
perjanjian pra nikah yang telah disepakati itu dilanggar oleh salah satu pihak
yang turut menyepakatinya, maka secara hukum tidak ada sanksi yang dapat
diterapkan kepada pelanggar sebagai konsekuensi atas pelanggaran perjanjian
yang telah dilakukan olehnya. Akan tetapi pelanggaran tersebut hanya dapat
dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama. Hal ini sebagaimana dalam KHI Pasal 51 yang menyebutkan bahwa:
“pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri
untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukan sebagai alasan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama”
Namun, pasal ini berlaku hanya ketika perjanjian pra nikah yang disepakati
dicatatkan oleh notaris dan disahkan secara legal oleh Pegawai Pencatat
Nikah. Sehinga dapat dijadikan sebagai alasan dalam mengajukan perceraian.
Atau bisa juga masuk ke dalam perkara perdata karena hal tersebut termasuk
wanprestasi atau pengingkaran salah satu pihak.
Sedangkan, apabila dilihat dalam konsep fiqh konsekuensi hukum
yang dapat diberikan kepada seseorang yang melanggar perjanjian pra nikah
yang telah disepakati, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Perjanjian yang syarat-syaratnya sesuai dengan maksud akad dan misi
syarat. Misalnya : pemberian nafkah dan persetubuhan. Maka para ulama
sepakat syarat-syarat ini hukumnya sah dan wajib dipenuhi. Adapun
apabila perjanjian tersebut dilanggar, berarti sama halnya dengan
seseorang melanggar syariat yang telah ditentukan oleh Allah SWT
dalam firman-firmanNya. Sehingga, apabila perjanjian pra nikah yang
termasuk dalam klasifikasi ini dilanggar, maka konsekuensinya mendapat
dosa dari Allah SWT, karena telah menelantarkan istrinya dan tidak
menjalankan perintah Allah SWT. Namun hal ini tidak menyebabkan
batalnya perkawinan dengan sendirinya.
b. Perjanjian yang syarat-syaratnya bertentangan dengan maksud akad dan
melanggar hukum Allah dan syariat-Nya (syarat yang illegal).(Kamal,
2007:238)
Misalnya: dalam perjanjian sepakat untuk tidak menyetubuhi istrinya,
tidak memiliki keturunan. Tidak menafkahi istrinya dan memberi syarat
agar istri kedua dari calon suami diceraikan terlebih dahulu. Maka dalam
hal ini para ulama sepakat bahwa syarat ini tidak sah sebab mengandung
unsur memerintahkan apa yang dilarang Allah dan melarang apa yang
diperintahkan-Nya, sehingga syaratnya gugur, dan harus dilanggar.
Artinya bahwa perkawinan tersebut tetap mengimplikasikan pengaruh-
pengaruh syariat berupa penghalalan senggama, kewajiban nafkah, dan
kepastian nasab.(Kamal, 2007:238) Oleh karena itu, dalam perjanjian
jenis ini pelanggaran yang dilakukan tidak berkonsekuensi apapun
terhadap seseorang yang melanggar suatu perjanjian, karena sama halnya
menjalankan perintah Allah SWT.
c. Perjanjian yang tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah dan
persyaratan ini mengandung kemashlahatan yang ingin dicapai oleh salah
satu pasangan. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yakni ulama
Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat syarat-syarat tersebut batal.
Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa syarat tersebut sah dan wajib
dipenuhi berdasarkan hadist khusus dari Uqba bin Amir serta keumuman
dari firman Allah untuk menepati janji. Maka, dalam kitab Shahih Fiqh
as-Sunnah dijelaskan oleh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim bahwa
pendapat yang paling rajah adalah pengajuan syarat mubah menurut
syariat (maksudnya boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan) dan tidak
ada ketentuan dalam syariat yang melarangnya diperbolehkan dalam
konteks perkawinan, juga mengingat kebutuhan manusia dalam beberapa
kondisi pada syarat-syarat tersebut, sehingga apabila salah satu pihak
melanggar syarat ini, maka pihak lain berhak membatalkan akad atau
perjanjian tersebut.(Kamal, 2007:246)
BAB III
PERJANJIAN PRA NIKAH DI KUA KECAMATAN TINGKIR
KOTAMADYA SALATIGA
A. Hasil Wawancara Dengan Kepala KUA Tingkir Salatiga
Penelitian wawancara dilaksanakan pada tanggal 10 November 2015
dengan narasumber Kepala KUA Tingkir yaitu Bapak Imam Talmisani.
Menurut pendapat beliau perjanjian pra nikah yaitu perjanjian yang dibuat
sebelum perkawinan dilangsungkan, dan biasanya lebih cenderung kepada
perjanjian harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Dalam hukum
Islam perjanjian pra nikah diperbolehkan selama tidak melanggar syari’at Islam
dan undang-undang serta sah menurut Agama dan Negara. Perjanjian pra nikah
harus dibuat dengan akta notaris terlebih dahulu setelah itu baru disahakan oleh
pegawai pencatat nikah, dan sebelum perkawinan dilangsungkan pegawai
pencatat nikah terlebih dahulu meneliti isi dari perjanjian dan kemudian
membacakannya agar semua pihak yang hadir mengetahui perjanjian tersebut,
apabila sudah terpenuhi semua barulah akad nikah dilaksanakan. Tetapi apabila
dalam perjanjian pra nikah isinya tidak sesuai dengan Syari’at Islam dan Undang-
Undang pegawai pencatat nikah tidak mau mengesahkannya walaupun sudah
disahkan oleh akta notaris. Pendapat tersebut menegaskan bahwa didalam Pasal
147 KUH Perdata dan UU No.1 Tahun 1974 Pasal 29 tidak bertolak belakang
melainkan saling berkaitan. Dimana perjanjian perkawinan harus dibuat oleh akta
notaris barulah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Apabila tidak
melalui akta notaris terlebih dahulu maka perjanjian tersebut hanya di anggap
perjanjian biasa dan tidak memiliki akibat hukum, maka jika suatu hari nanti di
dalam perkawinan ada salah satu pihak yang melanggar isi perjanjian tidak dapat
menjadi perkara perdata. Karena itu, perjanjian pra nikah harus dibuat melalui
akta notaris terlebih dahulu kemudian disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan
isinya tidak boleh bertentangan dengan hukum agama dan negara. Dan apabila
perjanjian pra nikah diketahui oleh pegawai pencatat nikah setelah perkawinan
dilangsungkan maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Walaupun dalam agama perjanjian pra nikah diperbolehkan, beliau sendiri
tidak setuju dengan hal tersebut. Menurut beliau dengan adanya perjanjian
tersebut seolah-olah pernikahan hanya keperluan biologis semata, karena pada
umumnya perjanjian pra nikah berisi tentang harta benda. Dengan kata lain
pasangan yang membuat perjanjian pra nikah hanya ingin melindungi harta
mereka masing-masing dan tidak dilatarbelakangi dengan rasa cinta dan
kepercayaan, serta untuk mengantisipasi terjadinya perceraian di kemudian hari.
Bagi beliau didalam pernikahan cukup dengan dengan rasa saling percaya
perhadap pasangan dan segala sesuatunya dapat dengan kesepakatan bersama. Di
Indonesia juga masih jarang yang membuat perjanjian pra nikah, di KUA
Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga selama ini baru ada satu pasangan yang
membuat perjanjian pra nikah.
“Di dalam hukum Islam tidak ada perjanjian pra nikah tetapi adanya ta’lik
talak,tetapi perjanjian pra nikah ada dalam fiqh munakahat atau hukum
perkawinan” , dari keterangan Pak Imam tersebut menjelaskan bahwa perjanjian
pra nikah tidak termasuk ta’lik talak, tetapi masuk dalam Pasal 45 KHI ayat 2
yaitu perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Beliau juga
menjelaskan bahwa perjanjian pra nikah ada dalam fiqh munakahat sepanjang
perjanjian itu sesuai dengan hukum Islam maka dalam hukum perkawinan
diperbolehkan.
Dalam Pasal 45 KHI ta’lik talak termasuk dalam perjanjian perkawinan
dimana isinya sudah ditentukan oleh Menteri Agama. Ta’lik talak dibuat untuk
melindungi hak perempuan. Apabila dalam perkawinan suami memiliki hak
penuh untuk menceraikan istri tetapi dengan adanya ta’lik talak istri dapat
mengajukan talak apabila suami melanggar ta’lik talak. Perlu diperhatikan bahwa
perjanjian pra nikah tidak dapat menjadi alasan istri mentalak suami, istri hanya
dapat menggugat cerai suaminya apabila suami mengingkari ta’lik talak, apabila
dalam hubungan pernikahan ada salah satu pihak yang mengingkari perjanjian
pra nikah yang sudah di sepakati maka hal tersebut menjadi perkara perdata.
Selama beliau menjadi kepala KUA baru ada satu pasangan yang
membuat perjanjian pra nikah. Dokumen tersebut berupa salinan akta perjanjian
pranikah yang sudah disahkan oleh akta notaris dan pegawai pencatat nikah.
Dokumen tersebut bersifat rahasia, karena itu penulis tidak diperkenankan
mewawancarai langsung pihak yang membuat perjanjian tersebut, menurut
keterangan kepala KUA yang melatar belakangi pasang tersebut membuat
perjanjian pra nikah karena kedua pihak merupakan orang hukum (bekerja di
bidang hukum), karena itu mereka mereka sudah lebih mengerti tentang menfaat
perjanjian pra nikah, berdasarkan itu pula mereka sepakat untuk membuat
perjanjian pra nikah.
B. Perjanjian Pra Nikah di KUA Tingkir Salatiga
File perjanjian pra nikah ini sebenarnya bersifat rahasia dan tidak boleh
untuk dipublikasikan, tetapi karena keperluan akademis kepala KUA berkenan
untuk memberikan dokumen tersebut. Demi keamanan file dokumen tersebut
maka penulis menyamarkan identitas pihak-pihak yang bersangkutan dalam
perjanjian tersebut. Berikut adalah isi dari perjanjian tersebut :
PERJANJIAN KAWIN
Nomor 07
- Pada hari ini senin, tanggal dua puluh sembilan Desember, Tahun dua ribu
empat belas ( 29-12-2014 ), pukul sepuluh kosong-kosong Waktu Indonesia
bagian Barat (10:00 W.I.B)
- Berhadapan dengan Saya Shodik Hermato Sarjana Hukum. Spesialis
Notariat: yang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C - 1551.HT.03.01 – TH 2002,
tanggal dua puluh delapan Oktober tahun dua ribu dua ( 28- 10-2002 ).
Diangkat sebagai Notaris di Salatiga, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang
saya, Notaris kenal, dan yang nama-namanya akan disebutkan pada bagian
akhir akta ini.
1. Tuan Alfin Alghifahri lahir di Magelang, pada tanggal dua puluh tujuh
juli tahun seribu Sembilan ratus delapan puluh lima ( 27-07-1985 ).
Warga Negara Indonesia Wiraswasta,bertempat tinggal di Kabupaten
Magelang Kecamatan Muntilan, Desa Blangkunan. Rukun Tetangga 003,
Rukun Warga 001 pemegang Kartu Tanda Penduduk dengan Nomor
Induk Kependidikan (NIK) : 3255322707850093. Demikian berdasarkan
Kartu Tanda Penduduk yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten
Magelang. Pada tanggal delapan oktober tahun dua ribu dua belas ( 08-
10-2012 ). Yang berlaku sampai dengan tanggal dua puluh tujuh juli
tahun dua ribu tujuh belas ( 27-07-2017 ). Untuk sementara waktu berada
di Salatiga.
Untuk selanjutnya disebut sebagai : PIHAK PERTAMA
2. Nona Alia Humaira lahir di Semarang, pada tanggal enam belas April
tahun seribu Sembilan ratus delapan puluh enam ( 16-04-1986 ), Warga
Negara Indonesia, Pengacara, bertempat tinggal di Kota Salatiga,
Kecamatan Tingkir, Kelurahan Banyu urip, Jalan Mawar No 09, Rukun
Tetangga 008, Rukun Warga 006, pemegang Kartu Tanda Penduduk
dengan Nomor Kependudukan (NIK) 33789840680069: demikian
berdasarkan Kartu Tanda Penduduk yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kota Salatiga, pada tanggal dua puluh Sembilan Maret tahun dua ribu
dua belas ( 29-03-2012 ) yang berlaku sampai dengan tanggal enam belas
April tahun dua ribu tujuh belas ( 16-04-2017)
Untuk selanjutnya disebut sebagai : PIHAK KEDUA
- Para penghadap Saya, Notaris Kenal
- Para penghadap terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa para penghadap bermaksud akan melangsungkan perkawinan
pada tanggal tiga Januari tahun dua ribu lima belas ( 03-01-2015)
2. Bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan diantara para penghadap
tersebut masing-masing untuk perkawinan yang pertama kalinya.
- Sehubungan dengan perkawinan yang akan para penghadap langsungkan,
mengenai harta benda/kekayaan para penghadap sebagai akibat hukum dari
perkawinan yang akan dilangsungkan. Para penghadap telah setuju dan
sepakat mengatur harta benda / kekayaan para penghadap sebagai berikut :
Pasal 1
Antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau sebutan
apapun juga, baik persekutuan harta benda menurut hukum atau persekutuan untung
dan rugi maupun persekutuan hasil pendapatan.
Pasal 2
Harta bawaan dari masing-masing pihak dan harta benda yang diperoleh
masing-masing pihak sebagai hadiah dan / atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
Pasal 3
Semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa oleh para pihak dalam
perkawinan atau yang diperolehnya selama perkawinan karena pembelian
pihak yang membawa atau yang memperolehnya.
Pasal 4
Barang-barang bergerak dan atau barang-barang tidak bergerak yang oleh
para pihak didapat dari dan oleh sebab apapun juga sesudah perkawinan
dilangsungkan wajib dibuktikan dengan bukti kepemilikan dengan tidak
mengurangi hak pihak kedua, untuk membuktikan adanya barang-barang atau
hartanya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 166 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.
Pasal 5
Barang-barang yang diperoleh sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 4
perjanjian ini, yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti kepemilikan atau
surat-surat lainnya oleh salah satu pihak, maka keterangan para saksi dan
atau pengetahuan umum dianggap cukup untuk dianggap sebagai bukti.
Pasal 6
1. Kekayaan dan hutang dari para pihak yang terjadi sebelum atau sesudah
perkawinan dilangsungkan tetap menjadi hak atau kewajiban masing-
masing.
2. Pihak kedua dapat mengurus dan mempertahankan haknya baik dalam
tindakan pengurusan maupun dalam tidakan pemilikan untuk mengurus
menguasai sendiri harta bendanya, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak dan penikmatan secara bebas dari penghasilannya.
3. Untuk mengurus hartanya itu pihak kedua tidak memerlukan bantuan
atau kekuasaan dari pihak pertama dan dengan ini pihak pertama
memberikan kuasanya yang tetap dan tidak dapat dicabut lagi kepada
kedua untuk melakukan segala tindakan pengurusan harta pribadi pihak
kedua itu tanpa diperlukan bantuan dari pihak pertama.
Pasal 7
1. Biaya-biaya untuk keperluan rumah tangga, untuk mendidik anak dan
memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka dipikul
oleh pihak pertama.
2. Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan tersebut diatas yang dilakukan
oleh pihak kedua dianggap telah dilakukan dengan persetujuan dari pihak
pertama.
3. Hutang-hutang maupun tagihan-tagihan dari pihak lain yang timbul dari
biaya-biaya tersebut diatas harus ditanggung dan wajib dibayar oleh
pihak pertama. Dan pihak kedua tidak dapat ditagih atau digugat
mengenai hal tersebut.
Pasal 8
1. Pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan yang ada pada para pihak, pada
saat berakhirnya perkawinan atau pada waktu diadakna perhitungan
menurut hukum, dianggap sebagai milik pihak yang memakainya atau
dianggap dimiliki oleh yang biasa memakai barang-barang tersebut.
Sehingga terhadap barang-barang tersebut tidak akan diadakan
perhitungan.
2. Segala macam barang-barang untuk keperluan rumah tangga, termasuk
pula perabot-perabot makan, minum, tidur yang ada di dalam rumah
kedua belah pihak pada saat berakhirnya perkawinan atau pada saat
diadakan perhitungan menurut hukum, dianggap miliknya pihak kedua,
sehingga terhadap barang-barang tersebut tidak akan diadakan
perhitungan.
Pasal 9
Kedua belah pihak telah saling setuju dan sepakat untuk mendidik dan
memberi perhatian yang baik terhadap tumbuh kembang anak-anak yang
akan dilahirkan, serta akan memberikan waktu yang seimbang kepada anak-
anak yang akan dilahirkan. Serta akan menerapkan prinsip-prinsip umum
sebagaimana diatur dalam konvensi Hak Anak dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2012 tentang Undang-Undang
Perlindungan Anak
Pasal 10
Apabila pihak pertama atau pihak kedua mendirikan suatu usaha baik Badan
Usaha ataupun Badan Hukum maka hasil usaha tersebut bukan merupakan
harta bersama melainkan harta masing-masing pihak.
Pasal 11
Menyimpang dari apa yang sudah diatur dalam pasal 1 perjanjian ini, apabila
kedua belah pihak melakukan usaha bersama, maka hasil usaha tersebut
merupakan harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan.
Pasal 12
1. Apabila pihak pertama melakukan poligami maka harta bersama
sebagaimana disebut dalam pasal 12 perjanjian ini sepenuhnya menjadi
milik dari pihak kedua.
2. Selama perkawinan berlangsung masing-masing pihak tidak boleh
melakukan perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
baik secara phisik maupun psikis, serta harus tunduk pada Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
3. Apabila salah satu pihak melakukan hal-hal sebagaimana disebut dalam
ayat (2) pasal ini, maka pihak yang melakukan tersebut akan dikenakan
denda sebesar Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah ) yang harus
dibayar secara tunai dan sekaligus.
Pasal 13
Apabila perkawinan putus karena para pihak meninggal dunia maka seluruh
harta benda akan jatuh kepada anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan
Pasal 14
Apabila perkawinan putus karena para pihak meninggal dunia dan dalam
perkawinan tidak dilahirkan anak, maka :
1. Harta bersama sebagaimana disebut dalam pasal 11 tersebut diatas akan
diatur menurut peraturan perundangan yang berlaku.
2. Harta masing-masing pihak sebagaimana diatur dalam pasal 2,3,4 dan 5
serta dengan mengingat pasal 6 ayat (1) : Harta milik pihak pertama akan
jatuh pada orang tua pihak pertama dan atau saudara-saudara kandung
pihak pertama, demikian juga harta milik pihak kedua akan jatuh pada
orang tua pihak kedua dan atau saudara-saudara kandung pihak kedua
Pasal 15
Para pihak dalam akta ini serta keluarga masing-masing pihak (orang tua,
kakak dan atau adik ) wajib menghormati hak-hak azasi manusia. Serta taat
kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik
Indonesia.
Pasal 16
Apabila timbul perbedaan perndapat atau perselisihan antara para pihak
dalam akta ini mengenai pelaksanaan perjanjian perkawinan yang dimaksud
dalam akta ini, maka para pihak dengan ini memilih prosedur penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur penyelesaian di luar
pangadilan, dengan cara musyawarah untuk mufakat antara lain dengan cara
konsultasi negosiasi, mediasi dengan cara menunjuk mediator yang
berjumlah ganjil sekurang-kurangnya satu (1) orang mediator dan sebanyak-
banyaknya lima (5) orang mediator konsultasi atau penilaian ahli. Sesuai
dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku tentang alternatif
penyelesaian sengketa.
Pasal 17
1. Tentang perjanjian ini dengan segala akibat hukum dan pelaksanaannya
para pihak dengan ini memilik tempat kedudukan (domisili) yang umum
dan tidak berubah di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Slatiga.
2. Pada akhirnya, para pihak menerangkan, bahwa kedalam perkawinan
yang akan mereka langsungkan pada tanggal tiga januari dua ribu lima
belas ( 03-01-2015 ) tersebut para pihak penghadap tidak membawa harta
apapun juga.
3. Akhirnya para penghadap menyatakan dengan ini, menjamin akan
kebenaran identitas para penghadap sesuai dengan tanda pengenal yang
disampaikan kepada saya, Notaris dan bertanggung jawab sepenuhnya
atas hal tersebut dan selanjutnya para penghadap juga menyatakan telah
mengerti dan memahami isi akta ini
UNTUK MENJADI BUKTI YANG SAH
MAKA AKTA INI
Dibuat sebagai minit dan dilangsungkan di salatiga pada hari ini tanggal dan
tahun sebagaimana disebutkan pada awal akta ini, dengan dihadiri oleh :
1. Nyonya Aisyah lahir di Kabupaten Semarang, pada tanggal dua puluh
delapan Oktober tahun seribu Sembilan ratus delapan puluh tujuh ( 28-10-
1987), bertempat tinggal di Kabupaten Semarang, Kecamatan Tuntang,
Karang Tengah Tlawongan, Rukun Tetangga 008, Rukun Warga 009,
Pemegang Kartu Tanda Penduduk 3210997893400003. Untuk sementara
waktu berada di Salatiga.
2. Nyonya Fiona lahir di Salatiga, Pada tanggal lima Agustus tahun seribu Sembilan
ratus tujuh puluh dua (05-08-1972). Bertempat tinggal di Salatiga, Kecamatan
Sidomukti, Kelurahan Kecandran, Karang Padang, Rukun Tetangga 05, Rukun
Warga 09, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 339207708790006
- Kedua-duanya Pegawai Kantor Notaris sebagai saksi-saksi
- Segera setelah akta ini saya, Notaris bacakan dihadapan para penghadap dan
saksi-saksi : Maka seketika itu juga ditandatangani oleh para penghadap,
saksi-saksi dan oleh saya, Notaris.
- Dilangsungkan dengan memakai tiga (3) perubahan yaitu satu (1) karena
pencoretan dan dua (2) karena pencoretan dengan penggantiannya.
- Minit akta ini telah ditanda tangani sebagaimana mestinya
- Diberikan sebagai SALINAN yang sekata demi sekata sama bunyinya.
Notaris di salatiga
Sodik Hermanto, SH,SpN
BAB IV
ANALISIS TERHADAP ISI PERJANJIAN PRA NIKAH DI KUA
KECAMATAN TINGKIR KOTAMADYA SALATIGA
(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia)
Dalam bab ini, peneliti akan menganalisis lebih lanjut seputar isi perjanjian
pra nikah dari hasil penelitian di KUA Tingkir Salatiga dalam Hukum Islam dan
Hukum Perkawinan di Indonesia. Berikut uraiannya :
A. Pembagian Harta
Pasal 1
Antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau
sebutan apapun juga, baik persekutuan harta benda menurut hukum atau
persekutuan untung dan rugi maupun persekutuan hasil pendapatan.
Pasal 2
Harta bawaan dari masing-masing pihak dan harta benda yang diperoleh masing-
masing pihak sebagai hadiah dan / atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 3
Semua harta benda yang bersifat apapun yang dibawa oleh para pihak dalam
perkawinan atau yang diperolehnya selama perkawinan karena pembelian pihak
yang membawa atau yang memperolehnya.
Pasal 4
Barang-barang bergerak dan atau barang-barang tidak bergerak yang oleh para
pihak didapat dari dan oleh sebab apapun juga sesudah perkawinan
dilangsungkan wajib dibuktikan dengan bukti kepemilikan dengan tidak
mengurangi hak pihak kedua, untuk membuktikan adanya barang-barang atau
hartanya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 166 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Pasal 5
Barang-barang yang diperoleh sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 4
perjanjian ini, yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti kepemilikan atau surat-
surat lainnya oleh salah satu pihak, maka keterangan para saksi dan atau
pengetahuan umum dianggap cukup untuk dianggap sebagai bukti.
Pasal 6
1. Kekayaan dan hutang dari para pihak yang terjadi sebelum atau sesudah
perkawinan dilangsungkan tetap menjadi hak atau kewajiban masing-masing.
2. Pihak kedua dapat mengurus dan mempertahankan haknya baik dalam
tindakan pengurusan maupun dalam tidakan pemilikan untuk mengurus
menguasai sendiri harta bendanya, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak dan penikmatan secara bebas dari penghasilannya.
3. Untuk mengurus hartanya itu pihak kedua tidak memerlukan bantuan atau
kekuasaan dari pihak pertama dan dengan ini pihak pertama memberikan
kuasanya yang tetap dan tidak dapat dicabut lagi kepada kedua untuk
melakukan segala tindakan pengurusan harta pribadi pihak kedua itu tanpa
diperlukan bantuan dari pihak pertama.
Dalam isi perjanjian pra nikah yang terdapat dalam pasal 1 sampai 6
diatas, mengatur mengenai harta bawaan dan harta bersama.
Di dalam Islam hal tersebut termasuk kedalam syarat yang tidak menyalahi
tuntutan perkawinan dan tidak ada larangan secara khusus namun tidak ada
tuntutan dari syara’ untuk dilakukan, artinya bahwa syarat bahwa ini tidak
diperintahkan maupun dilarang oleh Allah serta persyaratan ini mengandung
kemashlahatan bagi salah satu pasangan. Seperti penjelasan sebelumnya, tidak
ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini. Islam hanya
memberikan rambu-rambu secara umum didalam menyelesikan masalah
bersama. Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan
istri. Kesepakatan ini dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu
perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri).
Hal tersebut diperkuat dengan firman Allah dalam Qur’an surat An-Nisa’ ayat
128. Serta dalam pelaksanaannya perjanjian tersebut wajib hukumnya untuk
ditaati, hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW
“Syarat yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang
dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)”.
(HR Al-Buhari No.2721 dan Muslim No.1418)
Sedangkan didalam Hukum Perkawinan di Indonesia, mengenai harta
bawaan atau harta bersama telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Th.1974
Pasal 36, dimana mengenai harta bersama dan harta bawaan masing-masing
suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dan mempunyai
hak sepenuhnya melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 47, yang membolehkan adanya perjanjian pra
nikah yang mana isinya dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan
harta pencaharian masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum
Islam, boleh isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk
mengadakan ketetapan hipotik atas harta bersama atau harta syarikat. Dan pada
Pasal 85 KHI juga dijelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta
suami dan harta istri dalam perkawinan, harta istri tetap menjadi hak istri dan
dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami. Maka jelas dalam isi
perjanjian pra nikah diatas yang mengatur tentang harta bawaan dan harta
bersama tidak melanggar hukum perkawinan di Indonesia.
B. Kewajiban Suami
Pasal 7
1. Biaya-biaya untuk keperluan rumah tangga, untuk mendidik anak dan
memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka dipikul oleh
pihak pertama.
2. Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan tersebut diatas yang dilakukan
oleh pihak kedua dianggap telah dilakukan dengan persetujuan dari pihak
pertama.
3. Hutang-hutang maupun tagihan-tagihan dari pihak lain yang timbul dari
biaya-biaya tersebut diatas harus ditanggung dan wajib dibayar oleh pihak
pertama. Dan pihak kedua tidak dapat ditagih atau digugat mengenai hal
tersebut.
Dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2 diatas mengatur tentang kewajiban suami yang
harus menanggung biaya keperluan rumah tangga, didalam Hukum Islam sendiri
nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya, sebagaimana dijelaskan
dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233 yang artinya
“Dan kewajiban ayah menanggung makan dan minum pakaian mereka (anak
dan ibu/istri) dengan cara yang patut”.
Dalam hukum perkawinan tentang kewajiban suami diatur dalam UU No.1 Th
1974 Pasal 34 ayat 1 dan KHI Pasal 80 ayat 3 yang mana isinya menyebutkan
bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Sedangkan dalam Pasal 7 ayat 3 yang mengatur tentang utang-piutang
mengandung kemashlahatan bagi kedua belah pihak, dimana Dengan perjanjian
utang-piutang tersebut dapat menolong pihak istri atau suami atas tindakan-
tindakan yang merugikan. Jelas didalam islam syarat tersebut diperbolehkan serta
tidak melanggar hukum perkawinan di Indonesia.
C. Pembagian Harta Ketika Terjadi Perceraian
Pasal 8
1. Pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan yang ada pada para pihak, pada saat
berakhirnya perkawinan atau pada waktu diadakan perhitungan menurut
hukum, dianggap sebagai milik pihak yang memakainya atau dianggap
dimiliki oleh yang biasa memakai barang-barang tersebut. Sehingga terhadap
barang-barang tersebut tidak akan diadakan perhitungan.
2. Segala macam barang-barang untuk keperluan rumah tangga, termasuk pula
perabot-perabot makan, minum, tidur yang ada di dalam rumah kedua belah
pihak pada saat berakhirnya perkawinan atau pada saat diadakan perhitungan
menurut hukum, dianggap miliknya pihak kedua, sehingga terhadap barang-
barang tersebut tidak akan diadakan perhitungan.
Di dalam hukum Islam untuk pembagian harta gono-gini tergantung
kepada kesepakatan suami dan isteri, seperti telah dijelaskan sebelumnya
kesepakatan ini didalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu
perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri)
setelah mereka berselisih, hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS An-
Nisa ayat 128 yang artinya
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”.
Sedangkan dalam hukum perkawinan di Indonesia Tentang harta gono-
gini dalam perceraian telah diatur dalam pasal 37 Undang-Undang Perkawinan,
yang menyebutkan, apabila perkawinan putus karena perceraian, harta benda
diatur menurut hukumnya masing-masing, dalam hal tersebut maka apabila
dalam pasangan yang membuat perjanjian pra nikah bercerai maka pembagian
harta sudah ditentukan dalam perjanjian pra nikah.
D. Pemeliharaan Anak
Pasal 9
Kedua belah pihak telah saling setuju dan sepakat untuk mendidik dan memberi
perhatian yang baik terhadap tumbuh kembang anak-anak yang akan dilahirkan,
serta akan memberikan waktu yang seimbang kepada anak-anak yang akan
dilahirkan. Serta akan menerapkan prinsip-prinsip umum sebagaimana diatur
dalam konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2012 tentang Undang-Undang Perlindungan Anak.
Dalam hukum Islam memelihara dan mendidik anak dengan baik
merupakan syarat yang wajib dipenuhi karena langsung berkaitan dengan
pelaksanaan kewajiban suami istri dalam perkawinan, sebagaimana dalam sabda
Rasulullah yang artinya “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang
tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik”.(HR Al Hakim : 7679) dimana
dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa kedua orangtua wajib memberikan
pendidikan yang baik untuk anaknya.
Selain bertumpu pada Undang-Undang Repubik Indonesia No.23 Th
2012, tentang mendidik anak juga diatur dalam Pasal 45 UUP ayat 1 yang
menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya. Maka dari itu syarat yang terdapat dalam pasal 9 diatas
selain tidak bertentangan dengan hukum Islam dan hukum perkawinan di
Indonesia juga merupakan syarat yang wajib dipenuhi kedua belah pihak dan
apabila ada yang mengingkari maka pihak tersebut akan berdosa.
E. Mendirikan Usaha
Pasal 10
Apabila pihak pertama atau pihak kedua mendirikan suatu usaha baik Badan
Usaha ataupun Badan Hukum maka hasil usaha tersebut bukan merupakan harta
bersama melainkan harta masing-masing pihak.
Pasal 11
Menyimpang dari apa yang sudah diatur dalam Pasal 1 perjanjian ini, apabila
kedua belah pihak melakukan usaha bersama, maka hasil usaha tersebut
merupakan harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan.
Dari kedua pasal diatas didalam hukum Islam sama halnya dengan
perjanjian yang mengatur tentang harta bersama yang sudah dijelaskan
sebelumnya dalam sabda Rasulullah saw yang artinya
“Perdamaian adalah boleh diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang
haram”(HR At-Tirmidzi)
Dalam perjanjian diatas tidak melangggar syari’at Islam maka hukumnya
diperbolehkan dan dalam hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 36
ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan mengenai harta bersama,
suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Dan Pasal 47
KHI yang menyatakan bahwa perjanjian pra nikah boleh juga isinya menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi
dan harta bersama atau harta syarikat. Maka jelas dalam pasal 10 dan 11 diatas
tidak melanggar hukum Islam maupun hukum perkawinan di Indonesia.
F. Tentang Poligami dan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Pasal 12
1. Apabila pihak pertama melakukan poligami maka harta bersama
sebagaimana disebut dalam pasal 12 perjanjian ini sepenuhnya menjadi milik
dari pihak kedua.
2. Selama perkawinan berlangsung masing-masing pihak tidak boleh
melakukan perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik
secara phisik maupun psikis, serta harus tunduk pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
3. Apabila salah satu pihak melakukan hal-hal sebagaimana disebut dalam ayat
(2) pasal ini, maka pihak yang melakukan tersebut akan dikenakan denda
sebesar Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah ) yang harus dibayar secara
tunai dan sekaligus.
Dalam Islam sendiri suami istri diwajibkan agar bergaul dengan baik,
supaya dapat tercipta kehidupan yang harmonis dan damai, wajib bagi suami istri
untuk saling mempergauli pasangannya dengan baik, sebagaimana firman Allah
dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 19 yang artinya
“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut”.
Dan dari Pasal 12 ayat 1 dan 3 diatas termasuk kedalam syarat yang diajukan
pihak istri kepada calon suami dan pihak suamipun menyetujuinya, karena hal
tersebut mengandung manfaat dan maksud untuk kemashlahatan pihak
perempuan serta tidak menghalangi pernikahan, maka hukumnya sah dan wajib
di penuhi oleh pihak laki-laki. Sedangkan dalam ayat 2 diatas perjanjian tersebut
telah didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia, dimana hal tersebut
dibuat untuk mencegah adanya kekerasan dalam rumah tangga dan jelas
hukumnya dalam Islam maupun hukum perkawinan di Indonesia sangat
diperbolehkan.
G. Pembagian Harta Warisan
Pasal 13
Apabila perkawinan putus karena para pihak meninggal dunia maka seluruh harta
benda akan jatuh kepada anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
Pasal 14
Apabila perkawinan putus karena para pihak meninggal dunia dan dalam
perkawinan tidak dilahirkan anak, maka :
1. Harta bersama sebagaimana disebut dalam pasal 11 tersebut diatas akan
diatur menurut peraturan perundangan yang berlaku.
2. Harta masing-masing pihak sebagaimana diatur dalam pasal 2,3,4 dan 5 serta
dengan mengingat Pasal 6 ayat (1) : Harta milik pihak pertama akan jatuh
pada orang tua pihak pertama dan atau saudara-saudara kandung pihak
pertama, demikian juga harta milik pihak kedua akan jatuh pada orang tua
pihak kedua dan atau saudara-saudara kandung pihak kedua
Dalam hal waris dalam hukum Islam sebagaimana yang dijelaskan dalam
Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12 dimana dalam ayat tersebut telah
dijelaskan lebih detail tentang bagian-bagian dari ahli waris.
Dalam hukum di Indonesia sebagimana telah diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tentang penetapan pembagian harta warisan bila orang
meninggal dunia tidak membuat testment, yang pertama berhak mendapat
warisan yaitu suami atau istri dan anak-anak, masing-masing berhak mendapat
bagian yang sama jumlahnya(pasal 852), tetapi apabila tidak ada orang
sebagaimana tersebut diatas maka yang kemudian berhak mendapat warisan
adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan
ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat
seperempat dari warisan. Begitu juga didalam Islam apabila suami istri
meninggal maka hartanya jatuh kepada anak-anak yang ditinggalkan dari hasil
perkawinan, sedangkan apabila tidak ada anak maka ahli warisnya adalah
keluarga dari masing-masing pihak suami istri. Jelas bahwa dalam pasal 13 dan
14 diatas tidak ada yang menyimpang dari ketentuan hukum Islam dan hukum
perkawinan di Indonesia. Hanya saja dalam pasal tersebut tidak disebutkan
tentang bagaimana pembagian harta warisan apabila salah satu pihak meninggal
dunia. Menurut kepala KUA Tingkir Salatiga, apabila ada hal yang tidak diatur
dalam perjanjian pra nikah tersebut maka untuk pengaturannya sesuai dengan
hukum yang berlaku di Indonesia yaitu hukum Islam dan undang-undang. Maka
dari itu untuk pembagian harta warisan apabila salah satu pihak meninggal dunia
maka pembagiannya disesuaikan dengan hukum Islam dan hukum di Indonesia.
H. Hak Azasi
Pasal 15
Para pihak dalam akta ini serta keluarga masing-masing pihak (orang tua, kakak
dan atau adik ) wajib menghormati hak-hak azasi manusia. Serta taat kepada
hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal tersebut diatas para pihak ingin perjanjian yang telah mereka
sepakati harus dihormati oleh pihak lain seperti keluarga. Dimana hukum di
Indonesia sendiri sangat menjunjung tinggi hak azasi manusia, sebagaimana
dalam Undang-undang No.39 Th.1999 Pasal 1 ayat 1, yang menyebutkan bahwa
hak azasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
pertindungan harkat dan martabat manusia.
I. Apabila Terjadi Sengketa
Pasal 16
Apabila timbul perbedaan perndapat atau perselisihan antara para pihak dalam
akta ini mengenai pelaksanaan perjanjian perkawinan yang dimaksud dalam akta
ini, maka para pihak dengan ini memilih prosedur penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur penyelesaian di luar pangadilan, dengan cara
musyawarah untuk mufakat antara lain dengan cara konsultasi negosiasi, mediasi
dengan cara menunjuk mediator yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya satu
(1) orang mediator dan sebanyak-banyaknya lima (5) orang mediator konsultasi
atau penilaian ahli. Sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
tentang alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam hukum Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat
Al-Isra’ ayat 34 yang artinya “Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya”, ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban
melaksanakan perjanjian yang telah dibuat, dan apabila terjadi permasalahan
dalam perjanjian tersebut maka penyelesaiannya juga sesuai dengan perjanjian
yang sudah disepakati, seperti dalam pasal 16 diatas.
Dari pasal 16 tersebut, para pihak telah mengantisispasi apabila terjadi
perselisihan mereka telah menunjuk pihak-pihak untuk menyelesaikan masalah
yang muncul akibat perjanjian tersebut. Hal tersebut jelas sangat diperlukan dan
bermanfaat bagi adanya perjanjian pra nikah itu sendiri. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
menyebutkan bahwa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang brsengketa. Dan juga pada Pasal 1339 ayat 2
KUH Perdata yang mengatur tentang asas kebebasan berkontrak dimana para
pihak bebas untuk membuat isi suatu perjanjian dan perjanjian tersebut dapat
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut.
J. Pernyataaan Hukum
Pasal 17
1. Tentang perjanjian ini dengan segala akibat hukun dan pelaksanaannya para
pihak dengan ini memiliki tempat kedudukan (domisili) yang umun dan tidak
berubah di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Slatiga.
2. Pada akhirnya, para pihak menerangkan, bahwa kedalam perkawinan yang
akan mereka langsungkan pada tanggal tiga januari dua ribu lima belas ( 03-
01-2015 ) tersebut para pihak penghadap tidak membawa harta apapun juga.
3. Akhirnya para penghadap menyatakan dengan ini, menjamin akan kebenaran
identitas para penghadap sesuai dengan tanda pengenal yang disampaikan
kepada saya, Notaris dan bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut
dan selanjutnya para penghadap juga menyatakan telah mengerti dan
memahami isi akta ini.
Pasal 17 diatas merupakan suatu pernyataan dari notaris untuk
memperkuat hukum perjanjian pra nikah, yang menerangkan bahwa pada saat
dilangsungkannya perkawinan para pihak tidak membawa harta apapun, dan
perjanjian tersebut sudah sah dicatat oleh akta notaris serta dihadiri oleh saksi-
saksi yang tersebut dibawahnya. Hal tersebut juga sesuai dalam pasal 147 KUH
Perdata, dimana dalam pembuatan perjanjian pra nikah harus dicatatkan oleh akta
notaris.
Dari hasil analisis isi perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir
Salatiga diatas, dapat disimpulkan bahwa dari segi Hukum Islam maupun Hukum
Perkawinan di Indonesia tidak ada yang menyimpang, maka untuk pelaksanaannya
para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut (Suami-Istri) hukumnya wajib untuk
melaksanakan perjanjian tersebut, selain itu perjanjian tersebut juga merupakan
kesepakatan kedua belah pihak yang apabila diingkari akan menimbulkan dosa.
Perjanjian tersebut juga memiliki kekuatan hukum yang kuat, karena telah dicatatkan
oleh akta notaris dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka dari itu
harus dilaksanakan sebaik-baiknya oleh para pihak yang bersangkutan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan atas apa yang telah dipaparkan secara menyeluruh dan
mendetail yang berhubungan dengan penelitian ini, selanjutnya penulis akan
memberikan kesimpulan sebagai hasil akhirnya :
1. Isi perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir Salatiga antara lain :
mengatur tentang pembagian harta sebelum dan sesudah terjadinya
perkawinan, kewajiban suami terhadap istri dan anaknya, pembagian harta
ketika terjadi perceraian, pemeliharaan anak-anak secara bersama-sama
dengan baik, pembagian hasil usaha keluarga,syarat poligami dan ketentuan
bila terjadi KDRT, pembagian harta warisan, hak azasi membuat perjanjian
pra nikah, antisipasi apabila terjadi perselisihan dalam perjanjian pra nikah
dan pernyataan hukum yang menguatkan adanya perjanjian pra nikah
2. Menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia
(Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan KHI) isi dari perjanjian pra nikah
yang terdapat di KUA Tingkir Salatiga tidak ada yang menyimpang dari
hukum Islam maupun undang-undang di Indonesia. Perjanjian tersebut
merupakan kesepakatan bersama kedua belah pihak yang wajib untuk ditaati.
B. Saran-saran
1. Pembuatan perjanjian pra nikah harus disesuaikan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia dan tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syari’at Hukum Islam.
2. Perlu adanya sosialisasi tentang nilai-nilai positif perjanjian pra nikah
sehingga mereka yang akan berumah tangga mengetahui manfaat membuat
perjanjian pra nikah.
3. Pasangan yang ingin membuat perjanjian pra nikah sebaiknya isinya
berkonsultasi dengan pihak yang memahami hal tersebut, agar perjanjian
tersebut dapat bermanfaat kedepannya.
.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta:
Rineka Cipta.
Akmah Zahir Nurdiati. 2013. Perjanjian Dalam Perkawinan Mahasiswa Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (Perspektif Fiqh dan Hukum
Perkawinan Indonesia). Malang
Ali, Muhammad Daud. 2000. Hukum Islam : Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar. 2008. Fathul Baari Syarah Shahih Al-
Bukhari. Terj. Amiruddin Jilid XXV. Jakarta : Pustaka Azzam.
Al-Mashri, Mahmud. 2010. Az-Zawaj al-Islami as-Sa’id. Terj. Imam Firdaus. Jakarta
: Qisthi Press.
Anshary Hafiz, & Yanggo T.Chuzaimah. 1994. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Artadi, I Ketut & I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra. 2010. Implementasi Ketentuan-
ketentuan : Hukum Perjanjian Dalam Perancangan Kontrak. Bali : Udayana
University Press.
Asy-Syaukani, Al-Imam Mahmud. 1994. Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar
min Ahadits Sayyid al-Akhyar. Juz VI. Terj. Adib Bisri Mustafa dkk. Cet I.
Semarang : Asy-Syiafa’.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Al-Usrotu
wa Ahkamuhaa ti At-Tasyri’ Al-Islamiy. Terj. Abdul Majid Khon. Jakarta :
Amzah.
Basyir, Ahmad Azhar. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta : UII Press.
Bisri, Cik Hasan. 2004. Model Penelitian Fiqh : Paradigma Penelitian fiqih dan
Fiqih Penelitian. Jilid I. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Bungin, Burhan. 2001. Metologi Penelitian Sosial : Format Kuantitatif dan kualitatif.
Surabaya : Airlangga University Press.
Chairuman & Suhrawardi, Lubis. 2004. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta :
Sinar Grafika.
Damanhuri, HR. 2007. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama.
Bandung: Mandar Maju.
Djubaidah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Fanani Faiz M. 2007. Pengingkaran Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan
Perceraian. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ghazaly, Abd.Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana.
Hazairin, Saleh k.Watjik. 1982. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Kamal bin As-Sayyid Salim & Abu, Malik. 2007. Shahih Fiqh As-Sunnah Wa
Adillatuhu wa Tauhid Madzahib Al-A’immah. Terj. Khairul Amru Harahap dan
Faisal Saleh. Jilid III. Jakarta : Pustaka Azzam.
Marbun, BN. 2009. Membuat Perjanjian yang Aman dan Sesuai Hukum. Jakarta :
Puspa Swara.
Martiman, Prodjohamidjodjo. 2002. Hukum Perkawinan Di Indonesia. (Indonesia
Legal Center Publishing).
Marzuki. 2000. Metodologi Riset. Yogyakarta : Prasetia Widia Pratama Yogyakarta.
Moloeng, Lexy. 2000. Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Putra Ria.
Muhammad bin Idris & Abu Abdullah. 2007. Al-Umm. Terj.Muhammad Yasir Abdul
Muthalib. Jilid 2. Cet. III. Jakarta : Pustaka Azzam.
Nasution, Khoirudin. 2004. Islam Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum
Perkawinan I). Yogyakarta: Academica dan Tazzafa.
Rahmani, Timorita Yuliani. 2008. “Asas-asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum
Kontrak Syariah”, Jurnal Ekonomi Islam La_Riba 1 juli.
Relawati Hena. 2006. Urgensi Perjanjian Perkawinan Atas Harta Gono-Gini
Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Yogyakarta.
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. Terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman.
Jakarta: Pustaka Azzam.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqhus Sunnah. Terj. Noe Hasanuddin. Juz I. Cet I. Jakarta :
Pena Pundi Askara.
Sukandarrumidi. 2006. Metodologi Penelitian : Petunjuk Praktis untuk Peneliti
Pemula. Cet III. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Susanto, Happy. 2008. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian.
Jakarta: Visimedia.
Syarifuddin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana.
Ubaidi, Muhammad Yaqub Thalib. 2007. Ahkam An-Nafaqah Az-Zaujiyah. Terj. M.
Ashim. Jakarta : Darus Sunnah.
Weng, Henry Lee A. 1990. Beberapa Segi Hukum Dalam Perjanjian Perkawinan.
Medan: Rimbow.
Zainuddin Ali, H. 2006. Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Referensi Internet
Abu Abdilmuhsin Firanda. Nikahilah Aku Tapi Dengan Syarat Tidak Berpoligami.
https://firanda.com/index.php/konsultasi/keluarga/161-nikahilah-aku-tapi-
dengan-syarat-tidak-berpoligami, akses 14 November 2015.
Grace Giovani. Perjanjian Kawin. http://notarisgracegiovani.com/index2.php/option-
com_content &do_pdf-1&id-20, akses 11 oktober 2015.
Http://fact%20-%20perjanjian htm, Akses Desember 2015.
http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/232/harta-gono-gini-dalam-islam/
Akses 17 desember 2015.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Download Internet)
Kompilasi Hukum Islam (Download Internet)
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (Download Internet)