PESISIR PEM 2.pdf

66
KAJIAN PERANAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT WILAYAH PESISIR DI SUMATERA UTARA O l e h : BIDANG PEMERINTAHAN DAN KEMASYARAKATAN BALITBANG PROVINSI SUMATERA UTARA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN 2008 LAPORAN PENDAHULUAN

Transcript of PESISIR PEM 2.pdf

Page 1: PESISIR PEM 2.pdf

KAJIAN PERANAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA

UTARA DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

WILAYAH PESISIR DI SUMATERA UTARA

O l e h :

BIDANG PEMERINTAHAN DAN KEMASYARAKATAN

BALITBANG PROVINSI SUMATERA UTARA

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PROVINSI SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

LAPORAN PENDAHULUAN

Page 2: PESISIR PEM 2.pdf

i

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................... iii

Daftar Tabel ............................................................................................... vii

Daftar Gambar ............................................................................................ xi

I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 4

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5

1.4. Sasaran dan Manfaat Kajian ............................................................. 6

1.5. Ruamg Lingkup Kajian dan Sasaran Lokasi ...................................... 7

II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 8

2.1. Pembangunan Wilayah ............................................................... 8

2.1.1. Konsep Pembangunan dalam Arti Luas ............................. 10

2.1.2. Pengertian Paradigma Pembangunan Masyarakat .............. 12

2.2. Pembangunan Masyarakat Suatu Tinjauan Partisipasi ................. 15

2.3. Pembangunan yang Mengacu pada Partisipasi Masyarakat .......... 19

2.4. Memahami Konsep Desentralisasi Versus Sentralisasi ............... 24

2.4.1. Penerapan Desentralisasi dalam Konteks Evolusi

Pelaksanaan Pembangunan di Indonesia ........................... 24

2.4.2. Implementasi Desentralisasi setelah Reformasi ................. 26

2.4.3. Penerapan Konsep Good Governance

(Ketatapemerintahan yang Baik) dalam Pembangunan

Daerah ................................................................................ 27

2.4.4. People Empowerment (Pemberdayaan Masyarakat)

dalam Pembangunan Daerah ............................................. 29

2.4.5. Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan .................. 31

2.5. Model Kerangka Proses Berfikir ................................................ 33

2.6. Keragka Konseptual ................................................................... 34

2.7. Hipotesis .................................................................................... 36

III. METODE PENELITIAN ............................................................... 37 3.1. Jenis Penelitian ............................................................................ 37

3.2. Lokasi Penelitian ......................................................................... 37

3.3. Populasi dan Sampel .................................................................... 37

3.4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 38

3.4.1. Sumber Data ...................................................................... 38

3.4.2. Metode Pengumpulan Data ................................................. 39

3.5. Teknik Analisis Data .................................................................... 39

IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ............................................ 40

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Langkat ........................................ 40

4.2. Gambaran Umum Kabupaten Deli serdang .................................. 45

4.3. Gambaran Umum Kabupaten Serdang Bedagai ..................... 48 Daftar Pustaka ............................................................................................. 57

Page 3: PESISIR PEM 2.pdf

ii

DAFTAR TABEL

No.

Tabel

Judul Tabel Halaman

2.1 Gambaran Evolusi Pelaksanaan Pembangunan di Indonesia 25

2.2 Perbandingan Kharakter Paradigma Pembangunan………… 32

3.1 Distribusi Sampel Menurut Data, Lokasi/ Lembaga............... 38

4.1 Penduduk Kabupaten Langkat Menurut Golongan Usia dan

Jenis Kelamin………………………………………………... 41

4.2. Wilayah Pembangunan dan Administrasi Kabupaten

Langkat……………………………………………………… 44

4.3. Kecamatan dan Ibukota Kecamatan di Kabupaten Deli

Serdang……………………………………………………… 46

4.4. Luas Wilayah dan Rasio Terhadap Luas Kabupaten Serdang

Bedagai menurut Kecamatan.................................................. 54

Page 4: PESISIR PEM 2.pdf

iii

DAFTAR GAMBAR

No.

Tabel

Judul Gambar Halaman

2.1. Interaksi Diantara Keempat Elemen Partisipasi...........................

18

2.2. Kerangka Fikir Hubungan Desentralisasi Dan Pembangunan

Masyarakat Berkelanjutan............................................................ 33

2.3. Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan Desentralisasi

Dan Pembangunan Masyarakat Pesisir......................................... 35

4.1. Peta Kabupaten Langkat………………………………………... 43

4.2. Peta Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten Langkat…………….. 43

4.3. Lambang Kabupaten Serdang Bedagai........................................ 48

4.4. Peta Kabupaten Serdang Bedagai................................................. 52

DAFTAR GRAFIK

4.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai .. 53

Page 5: PESISIR PEM 2.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara sosial ekonomi, wilayah pesisir memiliki arti penting bagi

Indonesia karena sekitar 140 juta (60%) penduduk bermukim di wilayah pesisir

(Dahuri 2000). Apalagi Indonesia adalah merupakan negara kepulauan terbesar di

dunia yang terdiri atas 17.528 pulau, dimana teritorial darat dan laut seluas 7,7

juta km2

dan lebih 75 % wilayahnya adalah perairan laut, pantai dan pesisir

(Dahuri). Wilayah ini mengandung potensi kekayaan alam yang cukup besar.

Berbagai jenis flora dan fauna laut, serta potensi keindahan alam yang

seharusnya dapat mensejahterakan masyarakat terutama masyarakat daerah

pesisir, namun, keadaannya ”paradoksial”.Besarnya potensi wilayah pesisir,

dengan teknologi dan manajemen pengelolaan sumber daya alam yang semakin

berkembang, tidak diikuti dengan tingkat kesejahteraan masyarakat wilayah

pesisir dan bahkan di sisi lain lingkungan semakin rusak (Nikijuluw, 2005).

Faktor lain yang juga perlu mendapat perhatian dalam persoalan ini,

bahwa orientasi pembangunan kita selama ini lebih cenderung ke wilayah

daratan. Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki wilayah pesisir dan laut

yang luas, tetapi perhatian pemerintah ke sektor ini baru dimulai tahun 1988, yaitu

sejak dideklarasikannya studi yang berjudul” Indonesia’s Marine Environment: A

Summary of Policies, Strategies, Actions and Issues” sebagai kerja sama

Page 6: PESISIR PEM 2.pdf

2

BAPPENAS dan lembaga CIDA (Bengen; 2004). Sejak inilah sektor kelautan dan

pesisir mulai mendapat perhatian.

Pada sisi lain, tahun 1999 pemerintah juga telah melakukan perubahan

besar tentang sistem pemeritahan daerah sebagaimana diatur sebelumnya pada UU

No. 5 Tahun 1974 diganti dengan UU No. 22 tahun 1999.Pada tahun 2004

kembali direvisi dan diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi

daerah. Perubahan aturan ini memaknai akan perubahan kebijakan pengelolaan

sumber daya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat yang dapat digaris bawahi

dari kelahiran UU tersebut adalah desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan

laut kepada wilayah otonom.

Dengan demikian kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 serta kelahiran DKP

diharapkan dapat menjadi modal dasar bagi pengelolaan sumber daya pesisir yang

berkelanjutan melalui suatu pola manajemen kelautan yang profesional dan

berbasis masyarakat. Karena pembangunan dengan dasar otonomi daerah, akan

dapat lebih fokus kepada upaya pembangunan pedesaan melalui program-program

penyedian prasarana, pembangan agribisnis, industri kecil dan kerajian,

pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber

daya alam (Nugroho, 2004).

Selain masalah kemiskinan di wilayah pesisir juga terjadi berbagai

masalah lain, seperti; masalah eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan

pelestariannya, masalah kesehatan, pendidikan dan lain-lain seperti budaya

pesisir yang diwarnai dengan sifat tunduk pada alam fisik (Saadah dkk, 2004).

Page 7: PESISIR PEM 2.pdf

3

Keadaan masyarakat pesisir di lokasi penelitian ini juga mengalami

persoalan kemiskinan. Hal ini dapat ditunjukkan dari indikator Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2001 dan BPS Provinsi Sumatera Utara

menunjukkan posisi indikator pertumbuhan ekonomi Kabupaten Langkat berada

pada ranking dua terakhir di antara kabupaten/kota se-provinsi Sumatera Utara.

Hal ini secara signifikan tergambar pada kodisi umum masyarakat pesisir yang

masih miskin (Hasil observasi 2006). Demikian juga indikator Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) Perkapita berada pada Rangking 10, sedangkan indeks

daya beli berada pada rangking 13. Keadaan ini menunjukkan bahwa IPM

Langkat khususnya bagi masyarakat wilayah pesisir berada pada kategori

buruk,dengan penghasilan nelayan perhari hanya rata-rata Rp. 10.000 (Jala, 2002).

Kebijaksanaan otonomi daerah melalui undang-undang No 32 tahun 2004

memberikan otonomi seluas-luasnya dalam arti, daerah diberikan kewenangan

mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam

undang-undang (UU No 32 tahun 2004). Seiring dengan prinsip otonomi tersebut,

penyelengaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi

yang tumbuh dalam masyarakat.

Hal ini ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat

masyarakat di daerah, memberikan ruang politik yang lebih luas, peningkatan

kualitas demokrasi, peningkatan efisiensi pelayanan publik, peningkatan

percepatan pembangunan, penanggulangan kemiskinan dan diharapkan juga untuk

meningkatkan kualitas kepemerintahan dalam wujud kepemerintahan yang baik.

Page 8: PESISIR PEM 2.pdf

4

Akan tetapi implementasi sebuah kebijaksanaan bukanlah hal yang

sederhana, karena implementasi akan menyangkut interpretasi, organisasi,

komitmen, kesiapan aparat dan masyarakat secara sinergis untuk melakukan

pembangunan. Pemerintah daerah harus kreatif dan senantiasa menghidupkan

inisiatif, dan prakarsa masyarakat, melalui berbagai strategi yang dapat dilakukan.

Persoalannya adalah apakah pemerintah daerah dalam hal ini mampu

menggunakan peluang dan sekaligus tantangan yang diberikan oleh Undang-

Undang No 32 tahun 2004 tersebut. Untuk menelusuri persoalan pembangunan

masyarakat pesisir Provinsi Sumatera Utara yang begitu kompleks dan luas, maka

pada kesempatan penelitian kali ini akan lebih diarahkan untuk memahami

persoalan pembangunan masyarakat pesisir khususnya wilayah pantai timur.

1.2. Perumusan Masalah

Dari alur permasalahan yang telah diuraikan maka fokus penelitian yang

akan dilakukan adalah untuk mengidenifikasi berbagai kebijakan dan perilaku

birokrasi pemerintah, kreasi dan invensi kebijakan pembangunan masyarakat

wilayah pesisir yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Langkat sejak

era otonomi daerah melalui implementasi UU. No. 22/1999 Tentang Pemerintah

Daerah yang telah direvisi dengan UU. No. 32/2004 serta bagaimana wajah

pembangunan masyarakat wilayah pesisir apakah lebih baik atau malah lebih

buruk atau tidak terpengaruh sama sekali. Rumusan masalah penelitian ini lebih

difokuskan lagi pada beberapa pertanyaan mendasar sebagai berikut;

1 Apakah desentralisasi mempengaruhi kesiapan otonomi daerah,

kepemerintahan yang baik (Good Governance), perencanaan

Page 9: PESISIR PEM 2.pdf

5

partisipatif, kekokohan masyarakat sipil dan hubungan harmonis

dengan pemerintah yang lebih tinggi.

2 Seberapa besar pengaruh yang nyata Otonomi Daerah menurut UU

No.32 Tahun 2004 terhadap : Ketatapemerintahan yang baik,

Perencanaan Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat Wilyah Pesisir

Provinsi Sumatera Utara.

3 Bagaimanakah pengaruh kepemerintahan yang baik, Perencanaan

Partisipatif, Pemberdayaan Masyarakat dan Hubungan harmonis

dengan Pemerintah yang lebih tinggi terhadap Pembangunan Wilayah

Masyarakat Pesisir Provinsi Sumatera Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilaksanakannya kajian ini adalah:

1 Untuk mengetahui bagaimana implementasi desentralisasi dalam

pembangunan masyarakat wilayah pesisir Provinsi Sumatera Utara

yang mencakup:

1. Kesiapan Birokrasi Pemerintah;

2. Pola Desentralisasi Kebijakan;

3. Kesiapan Aparatur;

2 Untuk dapat memahami bagaimana implementasi Otonomi Daerah

menurut UU No. 32 Tahun 2004. Di wilayah pesisir Provinsi

Sumatera Utara yang mencakup:

Page 10: PESISIR PEM 2.pdf

6

1) Implikasinya terhadap upaya mewujudkan ketata pemerintahan

yang baik.

2) Kinerja perencanaan partisipatif.

3) Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan

3. Untuk mengetahui pola pengaruh: kepemerintahan yang baik,

Perencanaan Partisipatif, Pemberdayaan Masyarakat dan Hubungan

harmonis dengan pemerintah yang lebih tinggi terhadap

pembangunan masyarakat wilayah pesisir di Provinsi Sumatera

Utara.

1.4. Sasaran dan Manfaat Kajian

Sasaran dan Manfaat dari pelaksanaan kajian adalah :

1) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah di

tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dalam praktik implementasi

otonomi daerah, terutama di bidang pembangunan masyarakat wilayah

pesisir.

2) Sebagai bahan masukan bagi pimpinan daerah dalam memberikan

referensi pemikiran reorientasi pembangunan yang selama ini lebih

fokus kepada daratan. Sebaiknya dalam pelaksanaan pembangunan

perhatian terhadap daratan maupun pengembangan wilayah pesisir dan

laut haruslah seimbang.

3) Memberikan gambaran tentang faktor-faktor pendukung dan

penghambat pembangunan masyarakat wilayah pesisir, dan tantangan

Page 11: PESISIR PEM 2.pdf

7

implementasi desentralisasi pada pengembangan masyarakat wilayah

pesisir.

1.5. Ruang lingkup Kajian dan Sasaran Lokasi

Adapun ruang lingkup kajian ini adalah untuk melihat Peranan Pemerintah

Provinsi Sumatera Utara dalam melaksanaan pembangunan khususnya

pengembangan masyaraat di wilayah pesisir Sumatera Utara. Lokasi Penelitian ini

adalah Provinsi Sumatera Utara dengan sampel daerah Kabupaten / Kota,

khususnya wilayah pesisir timur.

Page 12: PESISIR PEM 2.pdf

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Wilayah

Di Indonesia, pengertian wilayah didefinisikan dalam Undang-Undang

No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, sebagai ruang yang merupakan satuan

geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya

ditetukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sejalan

dengan batasan tersebut wilayah juga dapat diartikan sebagai luasan geografis

beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang mempunyai batasan-batasan

sesuai dengan lingkup pengamatan tertentu. Dengan kata lain pengertian atau

batasan wilayah sangat ditentukan oleh tujuan dan kepentingan pendefinisian

wilayah itu sendiri.

Secara fungsional pendefenisian itu dapat dilihat dari sudut administrasi,

yang bermakna sebagai pembagian wilayah provinsi, kabupaten, kota dan

sebagainya. Sedangkan dari sudut lain adalah fungsi yang bermakna kawasan

lindung, kawasan budi daya, kawasan pertanian, perumahan dan lain-lain.

Demikian juga dari sudut kegiatan ekonomi. Oleh karena itu berbicara tentang

pembangunan wilayah haruslah dimaknai oleh berbagai substansi yang

terkandung dalam definisi wilayah (Miraza, 2005).

Dalam kajian ini wilayah pesisir akan dilihat dari ketiga sudut pandang

tersebut secara komprehensif, baik dari batasan administrasi pemerintahan,

kawasan tempat tinggal masyarakat pesisir, maupun kegiatan ekonomi.

Page 13: PESISIR PEM 2.pdf

9

Menurut Nugroho (2004) dalam konsep pembangunan wilayah tersimpan

maksud-maksud :

1. Perlindungan sosial-ekonomi sebagai akibat dari kemiskinan dan

ketimpangan serta sumber daya alam yang mengalami tekanan dan

perlindungan itu lebih ditekankan pada pihak yang lemah.

2. Adanya perhatian terhadap mekanisme pasar yang efisien serta

sustanibilitas pengelolaan sumber daya alam.

3. Pembangunan wilayah merupakan implementasi kebijakan-kebijakan

yang berbasis pada bagian-bagian ilmiah.

4. Pembangunan wilayah merupakan kerangka pembangunan yang

menyeluruh termasuk aspek kelembagaan.

Anwar (2001) menyatakan bahwa tujuan pembangunan wilayah

seharusnya diarahkan pada pencapaian: (1). Pertumbuhan ekonomi (Growth); (2)

Pemerataan sosial; (3) Keberlanjutan (Sustainability) ekosistem. Pandangan ini

menyangkut penanggulangan kemiskinan, kesenjangan maupun pengangguran.

Pernyataan Anwar ini, diarahkan untuk melengkapi pernyataan Winarto (1998)

yang mengatakan pergeseran paradigma pembangunan di Indonesia memberi

penekanan pada peningkatan kapasitas masyarakat (Capacity Building),

peningkatan keadilan distribusi (Equality and Equity), pemberdayaan

(Empowerment) dan keberdayaan (Sustainability). Mengapa hal ini perlu

diperhatikan, karena setiap wilayah memiliki keunikan, demikian dengan wilayah

pesisir memiliki keunikan (1) ekosistem pesisir yang sangat kompleks, dinamis

dan mudah mengalami kerusakan/ rentan apabila dimanfaatkan manusia. (2)

Page 14: PESISIR PEM 2.pdf

10

Sumber daya pesisir yang kaya dimanfaatkan berbagai pihak untuk berbagai

kepentingan sehingga berpotensi menimbulkan konflik. (3) Perairan pesisir

terdapat pemahaman sistem pengelolaan terbuka sehingga yang kuat sering lebih

menguasai sumber daya dan akan membatasi akses bagi masyarakat pesisir dalam

pemanfaatannya.

2.1.1. Konsep Pembangunan dalam Arti luas

Pembangunan dirumuskan sebagai proses perubahan dari situasi nasional

yang satu ke situasi nasional yang dinilai lebih tinggi (Frank dalam Arif Budiman

1984). Dengan kata lain pembangunan menyangkut proses perbaikan. Akan tetapi

untuk lebih luas, pembangunan itu dapat dipandang dari dua segi :

1. Pembangunan sebagai suatu fenomena sosial yang mencerminkan proses

perkembangan suatu masyarakat dari suatu tingkat peradaban tertentu ke

tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian proses pembangunan itu telah

terjadi sejak peradaban manusia.

2. Pembangunan sebagai suatu perubahan sosial masyarakat yang terencana.

Ditinjau dari hal ini (planned social change) merupakan fenomena

pembangunan dalam abad dua puluh (sebelumnya didahului planned

ekonomi 117 sesudah Perang Dunia kedua dengan lahirnya negara-negara

baru).

Pada tahun 70-an dalam literatur internasional diadakan suatu pembedaan

antara development di satu pihak sebagai “pertumbuhan” dalam arti yang lebih

teknis dan di lain pihak “perkembangan” sebagai suatu pengertian kualitatif

(Nordholt, 1987), walaupun pada umumnya para ahli ekonomi memberikan arti

Page 15: PESISIR PEM 2.pdf

11

yang sama kepada kedua istilah tersebut. Akan tetapi apabila ditelusuri lebih

mendalam, sebenarnya kedua istilah itu menunjuk aspek yang berlainan.

Para ahli ilmu sosial saat ini, sangat membedakan pengertian

pembangunan ekonomi seperti yang disampaikan Sukirno;

“Kecendrungan yang membedakan kedua istilah tersebut, mengartikan

pembangunan ekonomi sebagai : (i) peningkatan dalam pendapatan

perkapita masyarakat, yaitu tingkat, yaitu tingkat pertambahan GDP pada

satu tahun tertentu melebihi dari tingkat pertambahan penduduk atau (ii)

perkembangan GDP yang berlaku dalam masyarakat dibarengi oleh suatu

perombakan dan modernisasi dalam struktur ekonominya, yang pada

umumnya masih bercorak tradisional. Sedang pertumbuhan ekonomi

diartikan sebagai kenaikan dalam GDP, tanpa memandang kenaikan itu

apakah lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertambahan penduduk, atau

apakah perubahan dalam struktur ekonomi berlaku atau tidak” (Sukirno,

1982 hal:8)

Dengan singkat dikatakan bahwa, pertumbuhan atau “growth”

menyangkut pertumbuhan dalam konteks sistem yang ada. Sedang pembangunan

atau development menyangkut proses perubahan struktural yang merubah sistem

itu. Sebagai bahan perbandingan berikut ini dikutip pendapat Milton:

“Development denotes a major societal transformation a change in

system status, a long the continuum from peasant and pastoral to industrial

organization of modern physical social technology are critical ingredients.

These qualitative changes affect values, behavior, social structure,

economic organization and political process” (Milton dalam Montgomery,

1966)

Dalam pembangunan, kemajuan ekonomi adalah suatu komponen yang

esensial walaupun bukan satu-satunya. Hal ini disebabkan karena pembangunan

itu tidak semata-mata merupakan fenomena ekonomi. Todaro (1983) menegaskan:

”Dalam pengertian yang paling mendasar pembangunan itu haruslah mencakup

masalah-masalah materi dan finansial dalam kehidupan orang”. Karena itu

Page 16: PESISIR PEM 2.pdf

12

pembangunan haruslah diselidiki sebagai multidimensional yang melibatkan

reorganisasi reorientasi dari semua sistem ekonomi sosial.

Identifikasi terhadap istilah”Development” di atas adalah sangat penting,

terutama karena sosok yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah masalah

pembangunan itu sendiri.

Kompleksitas dan multidimensionalitas proses pembangunan nasional

telah mendorong timbulnya berbagai paradigma pembangunan yang menjadi

kerangka teori referensi pembangunan itu. Menurut Budiman (1995), itu semua

dapat diletakkan pada dua kutub paradigma yang berbeda secara diametral.

Paradigma modernisasi yang lebih dikenal dengan modernization theory

menduduki posisi pada kutub yang satu, sedang pada kutub paradigma yang lain

terletak posisi paradigma strukturalis atau paradigma dependensi. Di antara kedua

kutub ini terdapatlah berbagai paradigma pembangunan yang dapat ditelusuri

dengan tinjauan perspektif diakronis.

2.1.2. Pengertian Paradigma Pembangunan Masyarakat

Dari perspektif diakronis pada dua kutub paradigma yang berhadapan

secara diametris telah dijelaskan di atas, terdapat sejumlah paradigma, yaitu:

paradigma pertumbuhan, paradigma kebutuhan pokok, paradigma redistribusi

dengan pertumbuhan, paradigma neoekonomi, paradigma yang berpusat pada

manusia. Keseluruhan jenis paradigma itu, secara umum dapat dikelompokkan

kepada tiga kategori, yaitu: paradigma pertumbuhan, paradigma kebutuhan pokok,

dan paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia.

Page 17: PESISIR PEM 2.pdf

13

Paradigma pertumbuhan memandang pembangunan nasional identik

dengan pembangunan ekonomi. Seperti pendapat Alfonso (1981) mengatakan

terhadap paradigma ini:

”The growth strategy seek to achieve rapid increase in the economic

value of agriculture out put by channeling resources to those farmers who

area easiest to reach in both psychological and administrative sense, the

large, modern farmer with acces to credit, capital-insentive technologies

and markets. Emphasis is on the promotion of those crops which will

produce the largest profit marginal often those for export or elite

consumption” (Alfonso 1981)

Dalam hal ini pembangunan dapat dipandang sebagai rangkaian terhadap

pertumbuhan keluaran produksi yang berteknologi modern. Dan kunci

pengembangan ini adalah terciptanya prasyarat untuk tahap tinggal landas”.

Dengan paradigma pembangunan ini, pemerintah berperan untuk memperbesar

saving ratio, artinya: mengefisiensikan proses-proses produksi nasional. Dan

sehingga, pemberantasan kemiskinan dipandang sebagai prioritas sekunder yang

dicapai melalui trickle down effect (Moeljarto, 1989). Akibatnya teori ini banyak

mengandung kelemahan.

Berbeda dengan paradigma pertumbuhan, paradigma kebutuhan pokok

perhatiannya terutama pada pemenuhan pokok minimal, baik yang menyangkut

konsumsi untuk keluarga (sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya)

maupun public services bagi komunitas sebagai keseluruhan (sumber air bersih,

transportasi, listrik dan sebagainya) (John Friedman dalam Sjahrir, 1988). Dengan

penegasan ini, pendekatan kebutuhan pokok pada hakekatnya adalah program

kesejahteraan atau bantuan pada orang tidak mampu.

Page 18: PESISIR PEM 2.pdf

14

Dalam paradigma ini fungsi negara adalah sebagai pemberi pelayanan

sehingga keberhasilan pemerintah memberi pelayanannya akan sangat tergantung

pada dukungan aparat dan kemampuan anggaran. Paradigma yang merefleksikan

strategi charity ini juga banyak mendapat kritik karena sifatnya yang

dehumanizing karena asumsi utama pendekatan ini ”The poor is not competent

either to determine what their own needs are or to make more then a token

contribution toward meeting them”. Dengan kata lain sosok manusia sebagai

pelaksana pembangunan menjadi kabur dalam strategi pembangunan ini.

Setelah paradigma pertumbuhan dan paradigma kebutuhan pokok

dianggap tidak memuaskan yang ditandai dengan meluaskan ketidakseimbangan

dalam aspek-aspek kehidupan baik struktur ekonomi, struktur politik dan struktur

sosial pada dekade 70-an (Alfonso, 1988). Maka tuntutan mengenai perlunya

mengutamakan wajah-wajah manusia di dalam proses pembangunan semakin

mendapat tempat. Tokoh-tokoh seperti Paul Freire (1985), Korten (1981),

Soedjatmoko (1983), dari fokus perhatiannya masing masing mereka mencoba

mengartikulasikan aspirasi kemanusiaan tersebut.

Unsur-unsur yang paling inti dan sangat mendasar terhadap minat manusia

dan perwujudan potensi manusia menurut tokoh–tokoh tersebut, dapat

dirumuskan dalam tiga nilai inti utama, yaitu: kelestarian hidup yang merupakan

suasana memungkinkan setiap manusia dapat mewujudkan potensinya sebagai

manusia, harga diri dan kebebasan.

Page 19: PESISIR PEM 2.pdf

15

2.2. Pembangunan Masyarakat; Suatu Tinjauan Partisipasi Masyarakat

dalam Pembangunan

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa, pembangunan yang merupakan

upaya perbaikan dari situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lebih baik,

akan tercapai malaui perumusan dan pelaksanaan berbagai kebijaksanaan,

program-program pembangunan yang konsisten dan dengan rasioanalitas urutan

prioritas. Namun demikian berhasilnya pencapaian pembangunan memerlukan

keterlibatan aktif dari masyarakat pada umumnya.

Konsep pembangunan Desa menjelaskan : pembangunan masyarakat

adalah suatu gerakan untuk memajukan suatu kehidupan yang lebih baik bagi

seluruh masyarakat, dengan partisipasi aktif, bahkan jika mungkin dengan

swakarsa (inisiatif) masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu bagaimana menggugah

dan menumbuhkembangkan partisipasi sangatlah diperlukan untuk proses

pembangunan masyarakat itu sendiri (DEPDAGRI, DIRJEN, BANGDES, 1981).

Dalam kamus Bahasa Inggris, ditemui kata ”participation”, sebagai kata

benda yang berarti :pengambilan bagian dan pengikutsertaan. Kemudian

”participate” sebagai kata kerja yang artinya mengikutsertakan, mengambil

bagian. Pada era pembangunan akhir-akhir ini penggunaan kata partisipasi ini

sangat populer, digunakan untuk menjelaskan: keikutsertaan seseorang atau

masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. B. Davis, seorang ahli sosiologi

(Dalam Huneryager dan Heckman, 1967) menjelaskan :

”Participations, is defined as an individuals mental and emotional

involvement in a group situation that encourages him to contribute to group

goal and to share responsibility for them”. (Huneryager dan Heckman,

1967)

Page 20: PESISIR PEM 2.pdf

16

Pengertian ini mencakup keterlibatan mental dan emosi, yang harus

diwujudkan dalam suasana kerjasama, dengan demikian masing-masing didorong

untuk bersama-sama dengan keikutsertaan dalam tanggungjawab. Dalam

tulisannya Cohen dan Uphoff (1977) mencoba memberi uraian yang mendalam

tentang hakekat dan perlunya partisipasi. Penyajian maupun penalaran dilakukan

dengan menelusuri partisipasi tersebut dari berbagai dimensi antara lain dengan

mengajukan dan menjawab pertanyaan: what, who, whom, how dan lain-lain.

Dengan demikian suatu gambaran dan uraian tentang partisipasi dapat

diadakan dengan lebih sistematis dan lebih baik. Hal ini dianggap lebih penting

dari pada mendefenisikan kata partisipasi itu sendiri (Nordholt, 1987). Oleh

karena terlalu mefokuskan perhatian terhadap defenisi justru bisa membuat

kekaburan.

Cohen dan Uphoff (1997) dalam analisanya memberi kesan bahwa, ada

perbedaaan pokok antara partisipasi dalam politik dan partisipasi dalam

pembangunan pedesaaan. Perbedaaan itu tercermin dari faktor kekuasaan, dimana

pada ketegori kedua seolah-olah tidak berperan. Untuk menunjukkan perbedaaan

ini dapat kita lihat pendapat Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (1976).

Berkenaan dengan partisipasi politik:

”We define political participation simply as activity by private citizens

designed to influence fovernmental decisions making....wide spread

participation in polities thus does not necessarily imply democratic,

responsible, or representative goverment”.

Dan apabila dilanjutkan telaah ini dalam uaraian, selanjutnya diperoleh

pengertian yang lebih spesifik:

”We define political participation to include not only activity that is

designed by the actor him self to influence govermental decision making, but

Page 21: PESISIR PEM 2.pdf

17

also activity is designed by some one other than the actor to influence

govermental decisions making” (Huntington dan Nelson 1976).

Jadi partisipasi bentuk pertama dalam defenisi ini dikategorikan sebagai

bentuk autonomous participations dan terakhir sebagai mobilized participations.

Pengertian Huntington ini akan sangat jauh berbeda, apabila kita bandingkan pada

penjelasan yang lebih menitikberatkan pada partisipasi dalam pembangunan

pedesaan.

”We saw, participation including peoples involment in decisons making

process about what would be done and how, their involvement in

implementing programs and decisions by contributing various resources or

cooperatif sharing in the benefits of development prograns : and /or their

involvement in effrots to evaluate such programs”. (Cohen dan Uphoff,

1977).

Dari penjelasan itu kita dapat dilihat, adanya empat macam keterlibatan

yang berhubungan pada partisipasi, yaitu: keterlibatan dalam pengambilan

keputusan (decision making), keterlibatan dalam implementasi (implementing

programs), keterlibatan dalam menikmati hasil (sharing in the benefits), dan

keterlibtan dalam evaluasi (evaluating programs). Memahami perbedaaan

pengertian, akibat perbedaaan fokus perhatian dalam defenisi, seperti dua defenisi

yang sangat berbeda di atas mencerminkan kesan bahwa, kekuasaaan sebagai

faktor utama dalam defensisi yang pertama dan untuk defenisi kedua kurang

berperan. Nordholt (1987), dalam hal ini dengan tegas sangat berkeberatan. Malah

dikatakan proyek atau program pembangunan pedesaaan senantiasa bersangkut

paut dengan kekuasaan apakah kekuasaan ekonomi ataukah menurut kacamata

barat dan kacamata politik yang lebih formal. Program itu mengubah hubungan

Page 22: PESISIR PEM 2.pdf

18

A

Decisions

making

yang ada dalam bentuk yang dapat memperkuat kedudukan pemegang kekuasaan,

atau dapat merupakan ancaman terhadap kedudukan mereka sendiri.

Terlepas dari masalah defenisi, mungkin pola ataupun sistematika sebagai

upaya untuk menelusuri masalah partisipasi ini lebih mendalam, yakni dengan

memulai pertanyaan : what participation are concerned with? Cohen dan Uphoff

(1977) dalam hal ini, mengidentifikasi empat jenis partisipasi. Adapun jenis

partisipasi itu lebih terinci adalah :

”a. Partisipasi dalam decision making; b. Partisipasi dalam

implementasi, dan c. Partisipasi dalam benefits serta yang perlu

ditambahkan kata Cohen dan Uphoff point d. Seperti berikut; d. Partisipasi

dalam evaluation” (Cohen dan Uphoff 1977).

Interaksi di antara keempat elemen partisipasi itu dapat di gambar sebagai

berikut ini.

Gambar 2.1.

Interaksi di antara Keempat Elemen Partisipasi

D

Evaluation

B

Implementation

C

Benefits

Page 23: PESISIR PEM 2.pdf

19

2.3. Pembangunan yang Mengacu pada Partisipasi Masyarakat.

Secara teoritik masyarakat telah lama ditempatkan sebagai subjek

pembangunan, akan tetapi dalam realitanya mereka senantiasa hanya diposisikan

sebagai objek. Masyarakat sebagai salah satu komponen dalam pembangunan

seharusnya diberdayakan bukan saja hanya sebagai stakeholder tetapi harus dapat

menjadi shareholder dalam pembangunan. Sangat banyak yang dapat diperoleh

dalam pembangunan yang mengacu kepada partisipasi masyarakat, seperti

dijelaskan oleh Islamy menyatakan secara politis partisipasi masyarakat dapat

memperkuat proses demokratisasi, karena dengan partisipasi masyarakat berarti

(1). Memberi kesempatan yang nyata kepada mereka untuk mempengaruhi

pembuatan keputusan tentang masalah kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari

dan memperkecil jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat (2). Memperluas

pendidikan politik sebagai landasan bagi demokrasi, dengan demikian mereka

akan terlatih dalam menyusun prioritas-prioritas kebutuhan melalui suatu pola

kompromi yang sehat (3) Akan memperkuat solidaritas komunitas masyarakat

lokal. (Islamy, 2004)

Untuk itulah menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan perlu mendapat perhatian. Menumbuhkan partisipasi masyarakat

bukanlah pekerjaan yang mudah, membutuhkan kesabaran dan waktu. Para

penggerak pembangunan dalam rangka memberdayakan masyarakat lokal agar

mau berpartisipasi dalam proses pembangunan haruslah dimulai dari pemahaman

ketidakberdayaan masyarakat. Dari sanalah penggerak pembangunan memulai

proses pemberdayaan menuju teciptanya self sustaining capacity. Untuk itu perlu

Page 24: PESISIR PEM 2.pdf

20

memperhatikan konsep yang pernah dikemukakan oleh tokoh gerakan

pembangunan masyarakat Cina Y.C. Yen seperti telah dijelaskan terdahulu dalam

(Moelyarto 1987), di dalam pendekatan pembangunan yang terbaru, partisipasi

telah dianggap menjadi sarana yang ampuh untuk menanggulangi persoalan-

persoalan kemiskinan. Asumsi dasar pendekatan baru ini adalah bahwa

pembangunan termasuk di dalamnya penanggulangan kemiskinan, akan berhasil

bila masyarakat dilibatkan dalam prosesnya.

2.4. Memahami Konsep Desentralisasi versus Sentralisasi.

Wujud pemerintah daerah dapat dilihat dari kewenangan yang dimilikinya

mencakup kewenangan politik untuk mengambil keputusan, kewenangan

pengelolaan keuangan dan ekonomi serta administratif dalam berbagai kebijakan

publik yaitu : (1) apakah telah lebih mengutamakan kepentingan masyarakat

daerah, (2) apakah telah mampu mensinkronkan berbagai kebijakan pusat daerah

untuk kepentingan daerah dan masyarakat, (3) apakah telah mampu mewujudkan

perencanaan partisipatif yang dilandasi dengan ketata pemerintahan yang baik.

Hal ini tidak akan dapat diwujudkan tanpa kewenangan desentralisasi.

Desentralisasi merupakan sistem pengelolaan pemerintahan yang berkebalikan

dengan sentralisasi. Jika sentralisasi adalah pemusatan pengelolaan, maka

desentralisasi adalah pembagian dan pelimpahan. Rondinelli dan Cheema (dikutip

Riant Nugroho, 2002), desentralisasi adalah ...the transfer of planning, decisions

making, or administrative authority from the central government to its field

organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal

organizations”.

Page 25: PESISIR PEM 2.pdf

21

Imawan (2002) menyatakan, desentralisasi (devolusi) sebagai salah satu

azas penyelenggaraan pemerintahan yang sering di pertentangkan dengan

sentralisasi, mewujudkan pemerintahan lokal atau otonomi daerah, merupakan

konsekuensi dari demokrasi untuk mengujudkan good governance. Hal ini

ditandai dengan adanya pembagian kewenangan yang jelas serta ruang gerak

kewenangan yang memaknai kewenangan yang diberikan. Secara umum ada dua

tujuan utama desentralisasi yaitu Eficiency Value dan Governance Value.

Efisiensi didefenisikan sebagai maksimasi kesejahteraan sosial, agar terdapat

maksimasi kesejahteraan yang merata, maka preferensi individu harus dapat

ditangkap secara maksimal. Argumentasi ini mengatakan bahwa dengan

desentralisasi, keinginan individu di daerah akan lebih terakomodasi dibanding

dengan pendekatan sentralisasi. Sementara Governance Value sebagai sisi lain,

melihat bahwa dengan desentralisasi yang menempatkan pemerintah lebih dekat

dengan masyarakat akan lebih baik dari pada sentralisasi, karena tanggung jawab

dan akuntabilitas akan lebih jelas dan nyata, demikian dengan pengenalan

keinginan masyrakat partisipasi politik masyarakat dan kepemimpinan juga lebih

baik sebab dengan desentralisasi kekusaan masyarakat lebih mengental dan

mereka merasa memiliki (Imawan, 2002).

Akibat langsung dari penerapan azas desentralisasi adalah kesiapan

pemerintah daerah untuk menata keseluruhan perangkat organisasi dan

manajemen serta kemampuan adaptasi terhadap perkembangan, perubahan

eksternal agar mampu melaksanakan amanat yang diberikan rakyat kepadanya.

Page 26: PESISIR PEM 2.pdf

22

Dalam mengemban tugas tanggung jawab tersebut “birokrasi” menjadi alat

penting (Juliantara dkk, 2006).

Sebagaimana dikutip dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. “Otonomi”

berasal dari kata yunani yang terdiri dari suku kata Autos dan Nomos yang

mengandung arti; autos adalah “sendiri” dan nomos adalah “perintah” hal ini

bermakna sebagai memerintah sendiri. Artinya adalah kewenangan yang dimiliki

oleh daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri. UU Nomor 32

Tahun 2004 menegaskan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Oleh sebab itu otonomi dapat disebut sebagai derivat dari desentralisasi. Daerah

otonom adalah daerah yang mandiri. Tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat

desentralisasi yang diselenggarakan. Semakin tinggi tingkat desentralisasi

semakin tinggi tingkat otonomi daerah (Nugroho: 2000).

Dalam praktiknya desentralisasi kerap tidak ketemu dengan kepentingan

rakyat, sehingga desentralisasi hanya dipandang sebagai transfer kewenangan dari

pusat ke tangan pejabat di daerah. Dengan demikian, guna pemenuhan terhadap

sebuah pemerintahan yang demokratis-desentralisasi dibutuhkan beberapa prinsip

yang harus dipenuhi terlebih dahulu: (1) Pengakuan terhadap kepentingan

individual masyarakat, termasuk kepentingan hakiki masyarakat untuk terlibat

dalam setiap proses pengambilan kebijakan, (2) Penghormatan negara terhadap

persamaan kedudukan setiap warga negara dalam pemerintahan, di depan hukum

dan dalam bidang ekonomi, (3) Adanya kontrak kepentingan (necessity of

Page 27: PESISIR PEM 2.pdf

23

compromise) antara negara dengan warga negara, (4) Mekanisme/ cara rakyat

meminta dengan tegas pengembalian kebebasan individualnya (insistence of

individual freedom). Artinya peranan civil society sangat penting. Keberhasilan

negara Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Kanada menjalankan sistem

desentralisasi ini sangat diikuti oleh peranan yang kuat dari lembaga non

pemerintah (Juliantara dkk, 2006).

Sedangkan di Indonsia, untuk memahami konsep desentralisasi dalam

rangka otonomi daerah secara utuh, haruslah memahami sistem ketatanegaraan

yang terkandung dan di tetapkan dalam UUD’45 sebagai dasar negara RI.

Isi dan jiwa yang terkadung dalam pasal 18 UUD’45 beserta penjelasannya

menjadi pedoman bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pokok-pokok

pikiran yang dapat di tarik dari UUD tersebut :

1. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian-

pembagian kewenangan berdasarkan asas dekonsentrasi dan asas

desentralisasi dalam kerangka negara kesatuan RI.

2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi

adalah daerah provinsi, sedangka daerah yang dibentuk berdasarkan asas

desentralisasi adalah daerah kabupaten dan kota. Daerah yang dibentuk

dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanaka

kebijaka atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

3. Pembagian daerah di luar daerah provinsi di bagi habis kedalam daerah

otonom.

Page 28: PESISIR PEM 2.pdf

24

4. Kecamatan yang menurut UU lama yaitu UU No.5 Tahun 1974 sebagai

wilyah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU yang baru

yaitu UU No.32 Tahun 2004, kedudukannya di ubah menjadi perangkat

darah kabupaten atau daerah kota.

2.4. Memahami Konsep Desentralisasi Versus Sentralisasi

2.4.1. Penerapan Desentralisasi dalam Konteks Evolusi Pelaksanaan

Pembangunan di Indonesia

Sejak awal berdirinya negara Indonesia, para pendiri negara ini telah

menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam

penyelenggaraan pemerintahan (Thoha, 2003). Cita desentralisasi ini senantiasa

menjadi bagian penting dalam praktek pemerintahan sejak UUD 1945. Sekalipun

ada perbedaan variasi maupun intensitasnya.

Pada awal penerapan desentralisasi sebagai pelaksanaan pasal 18 UUD

1945 yang mengatur pemerintahan di daerah telah diterapan dalam UU No.1

Tahun 1945. Undang-undang ini dikenal dengan otonomi luas asalkan dalam

prakteknya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Namun tidak

lama kemudian pada masa Republik Indonesia Serikat, dengan aturan konstitusi

RIS UUDS 1950, dan dasar penyelenggaraan desentralisasi diterbitkan UU No.1

Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini

dalam menjelaskan urusan pemerintah daerah adalah sisa dari pada urusan pusat

dan kepentingan umum.

Akibat pergolakan politik pada waktu demokrasi liberal, RIS yang hampir

membawa RI ke jurang perpecahan dan kehancuran. Oleh karena ini, presiden RI

menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD

Page 29: PESISIR PEM 2.pdf

25

1945. Dalam penyelenggaraan desentralisasi hanya melakukan penyesuaian-

penyesuaian.

Setelah memasuki masa pemerintahan orde baru pada pemerintahan

Soeharto menggantikan orde lama, dalam penyelengaraan pemerintahan daerah

diterbitkan suatu undang-undang yang sangat populer dan mewarnai

kepemerintahan pada masa tersebut yaitu UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam prateknya otonomi daerah lebih bertumpu

ke pusat dalam artian sentralistik ketimbang pada daerah.

Seiring dengan keruntuhan kekuasaan orde baru dengan masuknya masa

reformasi, pengaturan tentang otonomi daerah pun diganti dengan UU No. 22

tahun 1999 dan telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Undang-undang

baru ini, baik secara konseptual maupun normatif dapat dikatakan lebih bernuansa

desentalistis. Akan tetapi dalam praktik, tidaklah semudah membalikkan telapak

tangan, berbagai faktor haruslah dipersiapkan dan digerakkan dengan baik, agar

supaya otonomi daerah dimaksud dapat diaktualisasikan demi mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Apa yang dapat ditarik dari pengalaman latar belakang

sejarah perkembangan praktek desentralisasi tersebut dalam hubungannya dengan

pembangunan, apabila digambarkan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1.

Gambaran Evolusi Pelaksanaan Pembangunan di Indonesia

Masa

Pemerintahan

Orde lama, orde baru

UU No.1/1945 → UU No.1/1957 UU

→ No.5/1974,

Reformasi

UUNo.22/1999 →

UU No.32 2004

kekuatan Pusat Daerah rakyat

pendekatan Sektoral regional masyarakat

perencanaan top-down bottom-up participatory

OTDA

Page 30: PESISIR PEM 2.pdf

26

Pada masa-masa orde lama maupun orde baru, praktek desentaralisasi

masih lebih ditempatkan pada pendekatan sektoral dan regional dengan

perencanaan Top-Down ataupun gabungan Top-Down dengan Bottom-Up. Tentu

model yang ideal adalah bertumpu pada masyarakat dengan mengembangkan

perencanaan partisipatif (Muluk, 2007), (Mardiasmo, 2002), (Nugroho, 2002).

2.4.2. Implementasi Desentralisasi setelah reformasi

Para ahli di bidang pembangunan pada saat ini sepakat mengatakan bahwa

pembangunan yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan spesifikasi wilayah

dan sosial masyarakat setempat akan lebih bermanfaat dibanding dengan

pembangunan yang dilaksanakan dengan mengacu pada model-model

pembangunan tertentu (Winarno, 2005), (Korten, 1981), (Mochtar, 2005). Untuk

dapat melakukan hal ini dibutuhkan adanya desentralisasi kewenangan (otonomi)

yang fungsional.

Bersamaan dengan era reformasi tahun 1998 di Indonesia, pada dasarnya

daerah telah memiliki kewenangan tersebut, dan menjadi peluang besar untuk

melakukan reorientasi dan percepatan pelaksanaan pembangunan di berbagai

bidang.

Pemberian kewenangan yang lebih desentralistik dibanding antara. UU

Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah dengan UU

Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004,

maka dapat dikatakan desain manajemen kepemerintahan daerah telah bertumpu

ke daerah daripada ke pusat seperti pada sebelumnya.

Page 31: PESISIR PEM 2.pdf

27

Dengan latar belakang peluang dan potensi daerah yang ada pada saat ini

daerah dapat mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan yang lokal spesifik dan

memanfaatkan potensi daerah.

Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 pada bagian menimbang (butir a)

ditegaskan :

... Pemerintahan Daerah yang mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut azas otonomi dan tugas perbantuan diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing

daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia (UU Nomor 32 tahun 2004).

Dasar kebijakan ini sekaligus menegaskan bahwa selain perlunya

mengwujudkan ketatapemerintahan (good governance) yang baik, juga perlu

perhatian pemberdayaan masyarakat (empowering people) dalam upaya

penyelenggaraan pembangunan yang berbasis kewilayahan.

2.4.3. Penerapan Konsep Good Governance (Ketatapemerintahan yang baik)

dalam Pembangunan Daerah.

Menurut World Bank, kata good governance diartikan sebagai “the way

state power is used in managing economic and social resources for development

society”. Dari pengertian ini diperoleh gambaran bahwa “governance” adalah

cara bagaimana kekuatan negara digunakan untuk mengelola sumber daya,

ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat Mardiasmo (2002). Lebih

operasional pendapat World Bank diatas diuraikan oleh UNDP dengan

memberikan defenisi governance sebagai: “The exercise of political, economic

and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”, dengan

Page 32: PESISIR PEM 2.pdf

28

demikian kata governance berarti penggunaan atau pelaksanaan yaitu penggunaan

wewenang politik ekonomi dan administratif untuk mengelola masalah nasional

untuk semua tingkatan pemerintah termasuk pemerintah daerah. Menurut UNDP

ini, governance harus didukung oleh tiga pilar utama yaitu politik, ekonomi dan

administrasi.

Pilar yang pertama bidang politik dimaksudkan sebagai proses-proses

pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan publik baik dilakukan birokrasi

sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan politisi. Dalam

ketatapemerintahan yang baik, partisipasi masyarakat dalam setiap proses

kebijakan menjadi suatu keharusan mulai dari tahap analisis, formulasi,

implementasi dan bahkan evaluasi.

Pilar yang kedua adalah bidang ekonomi menyangkut pembuatan

keputusan dan aktivitasnya. Dalam konsep ketata pemerintahan yang baik,

pemerintah akan muncul sebagai fasilisator yang baik, dan komit dengan

pengembangan suasana kondusif pada kegiatan dan mekanisme sosial ekonomi

masyarakat, serta antisipatif terhadap gejala-gejala dan masalah ekonomi seperti

ketimpangan pendapatan, pengangguran dan persoalan kemiskinan lainnya.

Sedangkan pilar yang ketiga adalah bidang administrasi yang berisi

tanggung jawab implementasi kebijakan yang telah ditetapkan untuk

dilaksanakan.

Sejalan dengan pandangan UNDP, governance memiliki tiga domain yaitu

: 1. Negara dan pemerintah, 2. Sektor swasta atau dunia usaha, 3. Masyarakat.

Page 33: PESISIR PEM 2.pdf

29

Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat diharapkan tiga domain itu

memainkan peranan yang saling mendukung sinergis.

Berkaitan dengan good governance UNDP mengajukan 9 prinsip: (1)

Participation (2) Rule of law (3) Transparency (4) Responsiveness (5) Concensus

orientation (6) Equity (7) Effectiveness and Efficiency (8) Acountability (9)

Stategic Vision.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa, kalau desentralisasi untuk

menggambarkan transfer kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah

daerah, maka konsepsi good governance adalah untuk menjelaskan bagaimana

transfer kewenangan dari sektor pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat

diberikan kewenangan untuk ikut serta dalam proses-proses pembangunan

(Thoha, 2003 Hal 61), (Prasojo, 2005 Hal 123).

2.4.4. People Empowerment (Pemberdayaan Masyarakat) dalam

Pembangunan

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan masyarakat terutama dalam

menghadapi persoalan kemiskinan sangat menuntut perhatian yang lebih khusus,

kalau tidak demikian masyarakat miskin akan senantiasa berada dalam posisi sulit

pada setiap proses pembangunan. Penanganan khusus ini bukan berarti charity

atau program-program pemberian yang malah membuat masyarakat makin

tergantung, akan tetapi haruslah dilakukan secara terencana, berkesinambungan

melalui pemahaman karakter kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat.

Dalam penanganan ini partisipasi masyarakat bukan hanya meningkatkan

emansipasi ekonomi dan politik tetapi menjadi wahana transformasi budaya,

Page 34: PESISIR PEM 2.pdf

30

sehingga masyarakat memiliki keyakinan atas kemampuan dirinya. Hareuman

(1997), melihat permasalahan pembangunan masyarakat senantiasa berhubungan

dengan ketimpangan partisipasi ketenaga kerjaan (employment gap), ketimpangan

akses dan kesempatan terhadap faktor produksi (homogenity gap), dan

ketimpangan informasi yang berkaitan dengan pasar (information gap)

(Hareuman, 1997 hal 36). Ketiga ketimpangan itulah yang kemudian

menimbulkan berbagai permasalahan yaitu kemiskinan, kesenjangan, kegagalan

transpormasi dan merosotnya kelembagaan lokal masyarakat (social capital).

Tujuan utama memberdayakan masyarakat adalah agar masyarakat mampu

dalam mengikuti proses pembangunan. Chambers (1995), mengatakan

pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan yang merangkum

nilai-nilai sosial, mencerminkan paradigma baru pemangunan yaitu bersifat

people centered, participatory, empowering, and sustainable. Proses

pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu (1) kecenderungan primer

yaitu pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau

mengalihkan sebagian keuasaan, keuatan atau kemampuan kepada masyarakat

agar individu menjadi lebih berdaya, (2) kecenderungan sekunder yaitu

pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau

meotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk

menetukan apa yang menjadi pilihan hidupnya (Prijono, 1996). Hal ini

mengekspresikan perlunya Civil Society yang kuat, dan menjadi elemen penting

untuk mencapai pemerintahan yang demokratis, dan membuat demokrasi bekerja

mewujudkan pembangunan masyarakat. Menurut UMP (2001) semakin banyak

Page 35: PESISIR PEM 2.pdf

31

grup/forum non government stakeholder (NGS) yang berpartisipasi, semakin

sukses good governance yang dijalankan. Dengan civil society dapat menguatkan

artikulasi kepentingan masyarakat berhadapan dengan institusi pemerintah. Civil

society yang kuat adalah institusi sosial yang berakar dalam masyarakat yang

mampu untuk melawan kontrol yang merugikan mereka termasuk yang dilakukan

oleh pemerintah.

2.4.5. Perencanaan Partisipatif Dalam Pembangunan

Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai upaya menghubungkan

pengetahuan atau teknik yang dilandasi kaidah-kaidah ilmiah ke dalam praksis

(praktik-praktik yang dilandasi oleh teori) dalam perspektif kepentingan orang

banyak atau publik (Nugroho & Dahuri, 2004). Karena berlandaskan ilmiah, maka

perencanaan pembangunan haruslah tetap mempertahankan dan bahkan

meningkatkan validitas keilmuan (scientific validity) dan relevansi kebijakannya.

Didorong oleh motif ini, perencanaan pembangunan mengalami perkembangan

yang cukup dinamis baik secara teoritik maupun paradigmatik. Perkembangan itu

dapat dilihat sebagai berikut:

Page 36: PESISIR PEM 2.pdf

32

Tabel 2.2.

Perbandingan Kharakter Paradigma Pembangunan

Kharakter Paradigma

Pertumbuhan

(growth)

Kebutuhan Pokok

(basic needs)

Humanis

(People centred dev.)

Fokus

Peran Pemerintah

Sumber Utama

Struktur Adm.

(Birokrasi)

Proses Perencanaan

Partisipasi

Kendala

Industri

Enterpreneur

Modal

Vertikal

Sentral

Objek

Marginalisasi

Pelayanan

Service provider

Anggaran/Administratif

Vertikal

Sentral/Desentral

Objek

Keterbatasan Anggaran

Manusia

Enabler/facilitator

Kreatifitas/komitmen

Horizontal

Desentral (Bottom up)

Partisipatif subjek

Struktur dan prosedur attitude

perlu dirubah.

Sumber: Modifikasi dari (Moeljarto, 2004, hal 41)

Page 37: PESISIR PEM 2.pdf

33

2.5. Model Kerangka Proses Berfikir

Dari uraian landasan teoritis yang telah diuraikan secara sederhana hubungan

keterkaitan antara desentralisasi dengan pembangunan masyarakat wilayah pesisir

secara berkelanjutan dapat digambarkan secara berikut:

Gambar 2.2.

Kerangka Fikir Hubungan Desentralisasi

Dan Pembangunan Masyarakat Berkelanjutan

Desentralisasi

Otonomi

Daerah

Pembangunan Masyarakat

Wilayah Pesisir Berkelanjutan

Good Governance (GG)

Perencanaan Partisipatif

(PP)

Pemberdayaan Civil

Society (PCS) / Pengemb.

Kondisi Ekternal Desentralisasi (KEDP)

Hubungan dengan pemerintah yang lebih

Page 38: PESISIR PEM 2.pdf

34

2.6. Kerangka Konseptual

Otonomi daerah adalah perwujudan desentralisasi yaitu yang merupakan

penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam

hal ini Pemerintah Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara, untuk mengatur

dan mengurusi urusan rumah tangganya, mulai dari kebijakan perencanaan,

implementasi dan evaluasi di berbagai bidang seperti: keuangan, kepegawaian,

kelembagaan untuk mewujudkan pelayanan dan demokrasi.

Dari konsep organisasi dan manajemen hakikat desentralisasi dan otonomi

daerah adalah efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu faktor

kesiapan otonomi daerah yang tercermin dari kesiapan birokrasi (X1),

desentralisasi kebijakan (X2), kesiapan aparatur (X3), dapat dipandang sebagai

faktor utama untuk menggerakkan otonomi yang responsif, cepat, efektif, inovatif

terhadap tuntutan masyarakat yang selalu berubah dan kompleks melalui active

administration. Wujud penyelenggaraan otonomi daerah seperti itu akan

menciptakan Good Governance (X4); perencanaan partisipatif (X5),

pemberdayaan masyarakat (X6), secara sinergis mempengaruhi pembangunan

masyarakat wilayah pesisir (Y).

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, prinsip penyelenggaraan

pemerintahan daerah dilaksanakan, selain asas desentralisasi dilaksanakan dengan

asas dekonsentrasi dan tugas perbantuan (medebewind). Asas desentralisasi secara

utuh dilaksanakan di daerah dan kota. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan

pada daerah provinsi, sedang asas tugas perbantuan dapat di laksanakan di daerah

provinsi, kabupaten kota dan desa. Oleh karena itu kondisi eksternal dalam hal ini

hubungan p`emerintah daerah kabupaten dengan pemerintah yang lebih tinggi

(X7), sudah barang tentu tidak dapat di abaikan. Secara bersama-sama dengan X4,

X5, X6, mempengaruhi keberhasilan Y.

Page 39: PESISIR PEM 2.pdf

35

Keterangan :

= Variabel Eksogen atau Variabel X; Kesiapan Birokrasi (X1),

Desentralisasi Kebijakan (X2) dan Kesiapan Aparatur (X3).

= Varabel Endogen terdiri dari variabel Good Governance

(X4), Variabel Perencanaan Partisipatif (X5), Variabel

Pembangunan Masyarakat

Wilayah Pesisir Berkelanjutan

(PMWP)

Variabel X4

Good Governance (GG)

Variabel X5

Perencanaan Partisipatif

Variabel X6

Pemberdayaan Civil Society (PCS)

/ Pengemb kelembagaan

Budaya

Participation

Rule of law

Transparancy

Concencus orientation

Acountability

Strategic vision

Kemandirian

Aspiratif

Otorisasi

Keterlibatan

Kelembagaan

Otonom/ mandiri

Akses masyarakat

Solidaritas

Toleransi

- Pendapatan

- Keadaan Sosial Ekonomi

- Sarana prasarana Sektor Pesisir - Pemerataan

- Kelestarian Lingkungan

Variabel X7

Kondisi Ekternal Desentralisasi (KEDP)

Hubungan dengan pemerintah yang lebih tinggi

Administrasi

Kebijakan

Keuangan

Responsiveness Equity

Effectiveness and efficiency

Kreatifitas

Perilaku

Kerjasama

KESIAPAN BIROKRASI

DESENTRALI

SASI

KEBIJAKAN

(X2)

KESIAPAN

APARATUR

Gambar 2.3.

Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan Desentralisasi

Dan Pembangunan Masyarakat Pesisir

Page 40: PESISIR PEM 2.pdf

36

Pemberdayaan Civil Society (X6) dan Variabel Kondisi

Ekternal (X7).

= Variabel Endogen Utama yaitu Variabel Y.

= Dimensi/ Indikator yang dianalisis melalui pendekatan

kualitatif.

Dari diagram di atas dapat dilihat model hubungan antar variabel melalui

arah-arah panah dengan dimensi atau indikator masing-masing. Pada tiap kotak

terdapat klasifikasi dimensi/indikator dalam hal ini dimensi/ indikator warna putih

(tidak berwarna) adalah dimensi/ indikator yang termasuk dalam penelitian namun

tidak dianalisis dengan pendekatan kuantitatif melainkan dengan pendekatan

kualitatif.

2.7. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka

hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan Otonomi Daerah melalui : Kepemerintahan yang baik (GG),

Perencanaan Partisipatif(PP), Kekokohan Masyarakat Sipil (PCS),dan

Kondisi Eksternal Desentralisasi (KEDP), mempengaruhi Pembangunan

Masyarakat Wilayah Pesisir.

2. Ada pengaruh signifikan antara otonomi daerah terhadap Good

Governance (kepemerintahan yang baik), perencanaan partisipatif dan

pemberdayaan masyarakat.

3. Ada pengaruh yang signifikan antara Good Governance, Perencanaan

Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat terhadap Pembangunan

Masyarakat Pesisir.

Page 41: PESISIR PEM 2.pdf

37

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Adapun Kajian Penelitian Peranan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

dalam Pengembangan Masyarakat Wilayah Pesisir dilakukan dengan metode

deskriptif dengan pendekatan kombinasi antara kuantitatif dan kualitatif yang

akan mengkaji Peranan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam melaksanaan

pembangunan khususnya pengembangan masyaraat di wilayah pesisir Sumatera

Utara

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatra Utara

khususnya di wilayah Pesisir di Pantai Timur Sumatera Utara, yakni Kabupaten

Langkat, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini terdiri dari masyarakat pesisir di wilayah pesisir

Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai

serta instansi pemerintah dan aparatur yang terkait dengan masalah penelitian.

Masyarakat pesisir dalam hal ini adalah masyarakat yang berdiam pada wilayah

pesisir ditandai dengan adanya interaksi faktor-faktor sosial, ekonomi dan

lingkungan seperti; masyarakat nelayan, interaksinya dengan sumber daya pesisir

dan laut dan ketergantungannya dengan musim; petani/petambak yang juga

Page 42: PESISIR PEM 2.pdf

38

dipengaruhi oleh karakteristik wilayah, seperti juga pada masyarakat lainnya

antara lain pedagang, industri, dan lain-lain.

Atas dasar pendekatan ini dapat ditetapkan jumlah sampel sebagai berikut:

Tabel 3.1.

Distribusi Sampel Menurut Data, Lokasi/ Lembaga

DATA LOKASI SAMPEL

LOKASI/LEMBAGA RESPONDEN Teknik Sampel

1. Persepsi

Masyarakat

pesisir Pemkab Langkat, Deli Serdang dan

Serdang Bedagai

1. Desa (1 desa tiap

kecamatan).

2. 36 LSM

160 orang (10

Orang masy- arakat

pesisir tiap desa)

36 Orang

Area Cluster

Sampling

dan

Proportionate

2. Kesiapan

Aparatur dan

Birokrasi

Pemkab Langkat,

Deli Serdang dan

Serdang Bedagai

1. Kecamatan

2. desa

3. DPRD

4. Dinas Perikanan & Kelautan

5. Dinas Terkait

6. Bappeda dan Sekda

8 orang

16 orang

7 orang

5 orang

12 orang

6 orang

Jumlah=50 org

Proportionate

Stratified Random Sampling

dan

Purposive Sampling

3. Pengaruh Eksternal

1. Pemkab Langkat Deli

Serdang dan

Serdang

Bedagai

2. Dinas Kelautan

dan Perikanan

Pemprovsu

3. BPS

SDA

1 orang

1 orang

Purposive Sampling

JUMLAH RESPONDEN 248 Responden

Sumber: Penelitian, 2007

3.4. Teknik Pengumpulan Data

3.4.1. Sumber Data

1. Sumber data yang akan digunakan adalah “3P” yaitu Person, Place and

Paper, yang dimaksud.

1) Person adalah pamong praja. Bupati, Kadis, Camat, Kades dan

masyarakat pesisir.

2) Place adalah wilayah pesisir kabupaten Langkat yang terdiri dari 8

kecamatan pesisir atau 16 desa pesisirnya.

Page 43: PESISIR PEM 2.pdf

39

3) Paper adalah sumber data dokumen untuk melengkapi dan

mengarahkan data primer

3.4.2. Metode Pengumpulan Data

1) Wawancara

2) Kuesioner yaitu daftar pertanyaan yang disusun dengan

menggunakan 5 kategori jawaban (likert scale).

3.5. Teknik analisis data :

1) Metode analisis yang digunakan dalam penelitian menggunakan

pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif lebih untuk

mendukung proses berfikir rasional. Sedangkan Pendekatan kualitatif

digunakan untuk memahami kompleksitas sistem dan untuk mendukung

proses berfikir intuitif-dialogis.

2) Analisis data kuantitatif dilakukan dengan bantuan komputer SPSS Versi

12,0. Data primer yang diperoleh dari kuesioner (ordinal) diolah serta

dikonversi menjadi data interval, sebagai persyaratan jenis data dalam

analisis regresi dengan menggunakan methode of succesive interval

(MSI).

3) Model teknik analisis data yang digunakan adalah; Analisis deskriptif,

baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan Analisis Statistika Regresi

Ganda dan Analisis Jalur (path analysis).

Page 44: PESISIR PEM 2.pdf

40

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Langkat

Menurut sejarah, Langkat dahulunya merupakan sebuah kesultanan

Melayu di pulau Sumatera, yang berdiri tanggal 17 Januari 1750 yang masih

diperingati setiap tahun sampai dengan saat ini. Kabupaten Langkat adalah salah

satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki kawasan pesisir yang

terletak di pantai timur Pulau Sumatera dan perairan Selat Malaka. Kabupaten

Langkat terletak pada koordinat 30-14` sampai 4

0-13` Lintang Utara serta 97

0-52`

sampai 980-45` Bujur Timur, dengan letak ketinggian 0-300 meter di atas

permukaan laut dengan ibukota kabupaten sejak 1981 terletak di Stabat

(sebelumnya ibukota Kabupaten Langkat berada di Binjai, dan sejak tahun 1981,

Binjai telah berdiri sendiri menjadi Pemerintah Kota). Luas wilayah Kabupaten

Langkat adalah 6.263 km2 atau 626.329 Ha, terdiri dari 20 kecamatan, 210 desa,

dan 34 kelurahan dengan jumlah penduduk 926.069. jiwa (data statistik 2002),

yang terdiri dari suku Melayu sebagai penduduk asli (Host Population) dan suku-

suku lain seperti Jawa, Batak Toba, Karo, Mandailing, Banjar, Minang dan

Masyarakat keturunan Tionghoa, Arab dan India. Mayoritas penduduk di

Kabupaten Langkat beragama Islam (86,97%) dan selebihnya beragama Kristen

Protestan (7,18%), Katholik (2,22%), Hindu (0,18%), Budha (1,48%), dan aliran

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (1,97%), meskipun terdiri dari

berbagai latar belakang sosial dan agama yang berbeda, kerukunan hidup antar

Page 45: PESISIR PEM 2.pdf

41

ummat beragama tetap terpelihara dengan baik selama ini. Gambaran penduduk

Kabupaten Langkat menurut usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1.

Penduduk Kabupaten Langkat Menurut Golongan Usia dan Jenis Kelamin

No. Golongan

Usia

Jenis Kelamin Jumlah

(Jiwa) Laki-laki Perempuan

1.

2.

3.

0-14 Tahun

14-49 tahun

50 Tahun

178.886

240.734

47.056

171.489

243.082

44.842

350.375

483.816

91.898

Jumlah 466.656 (50,39%) 459.413 (49,61%) 926.069 (100%)

Sumber: BPS Kabupaten Langkat, 2002.

Secara Geografis dan admininstratif wilayah Kabupaten Langkat

berbatasan dengan:

1. Di sebelah Utara: Selat Malaka serta Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh

timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

2. Di sebelah Selatan dengan Kabupaten Karo.

3. Di sebelah Timur dengan Kabupaten Deli Serdang

4. Dan di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Nanggroe

Aceh Darusalam.

Kondisi fisik kabupaten Langkat:

a. Topografi:

Pesisir Pantai : 0-4 meter di atas permukaan laut

Dataran rendah : 0-30 meter di atas permukaan laut

Dataran Tinggi : 3- 1.200 meter di atas permukaan laut

b. Iklim : Tropis

Suhu rata-rata : 280

C

Curah hujan rata-rata : 3.268 mm/tahun

Page 46: PESISIR PEM 2.pdf

42

Hari hujan rata-rata : 112-168 hari/tahun.

Potensi ekonomi masyarakat yang utama adalah di bidang pertanian,

perkebunan, peternakan, perdagangan, industri dan usaha berskala kecil dan

menengah, sektor jasa dan pariwisata serta perikanan dan kelautan. Selain itu,

Kabupaten Langkat juga memiliki kawasan hutan hujan tropis di Taman Nasional

Gunung Leuser yang membentang sampai ke Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam

yang merupakan paru-paru dunia sekaligus habitat bagi hewan dan tumbuhan

yang dilindungi yang secara administratif berada di Kecamatan Bahorok dan

Kecamatan Batang Serangan.

Dalam melaksanakan pembangunan khususnya dalam era otonomi dan

desentralisasi sekarang ini, Pemerintah Kabupaten Langkat memiliki visi

“Terwujudnya masyarakat Langkat yang maju dan sejahtera” dan misi

antara lain:

1. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good

Governance).

2. Mewujudkan kehidupan sosial, budaya politik yang sehat, stabil dan

demokratis.

3. Meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan daerah yang

berwawasan lingkungan.

4. Meningkatkan pemanfaatan seluruh sumber daya daerah menuju

ekonomi kerakyatan.

Page 47: PESISIR PEM 2.pdf

43

Gambar 4.1.

Peta Kabupaten Langkat

Sumber: Microsoft Encarta, 2008

Gambar 4.2.

Peta Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten Langkat

Sumber: Microsoft Encarta, 2008

Page 48: PESISIR PEM 2.pdf

44

Tabel 4.2.

Wilayah Pembangunan dan Administrasi Kabupaten Langkat

Wilayah

Pembangunan Kecamatan Ibukota Jumlah Luas wilayah

(Ha) Desa Kel

Wilayah I

(Langkat Hulu)

Wilayah II

(Langkat Hilir)

Wilayah III

(Teluk Aru)

1. Bahorok

2. Salapian

3. Kuala

4. Sei Bingai

5. Selesai

6. Binjai

7. Stabat

8. Sei Wampu

9. Batang Serangan

10. Sawit Seberang

11. Padang Tualang

12. Hinai

13. Secanggang

14. Tanjung Pura

15. Gebang

16. Babalan

17. Sei Lepan

18. Brandan Barat

19. Pangkalan Susu

20. Besitang

Bahorok

Tanjung Langkat

Kuala

Namu Ukur

Selesai

Kuala Begumit

Stabat

Stabat Lama

Batang Serangan

Sawit Seberang

Tanjung Selamat

Tanjung Beringin

Hinai Kiri

Tanjung Pura

Gebang

Pangkalan

Brandan

Alur Dua

Tangkahan Durian

Pangkalan Susu

Besitang

19

21

16

14

12

6

6

12

6

4

8

11

14

17

8

4

4

8

6

6

1

1

1

1

1

1

4

1

1

1

1

1

1

1

1

4

2

3

5

1

102.398,8

50.710,7

34.290,8

20.626,7

15.757,2

6.865,5

10.681,4

19.196,5

69.160,2

33.552,7

28.887,5

10.929,5

23.951,4

17.376,3

17.521,3

12.790,8

28.294,1

12.983,2

29.990,6

77.825,5

Sumber: BPS Kabupaten Langkat 2008

Dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Langkat, 8 kecamatan

diantaranya memilki kawasan pesisir karena sebagian wilayahnya berada di tepi

pantai, yaitu Besitang, Pangkalan Susu, Sei Lepan, Berandan Barat, Babalan,

Gebang, Tanjung Pura dan Secanggang. Hal ini menyebabkan Kabupaten Langkat

memiliki sumber daya potensial di bidang perikanan dan kelautan. Kondisi pantai

di Kabupaten Langkat sangat beragam, mulai dari pantai berpasir (putih dan

hitam) dan pantai berlumpur. Komoditas hasil laut unggulan daerah pesisir yang

ada di Kabupaten Langkat antara lain produk bahan segar seperti: ikan kerapu

lumpur, udang, kepiting sangkak (lembek), rajungan dan produk olahan seperti

Page 49: PESISIR PEM 2.pdf

45

terasi dan ikan asin yang tidak hanya dipasarkan di daerah Kabupaten Langkat

dan Provinsi Sumatera Utara tetapi juga diekspor ke luar negeri seperti Singapura,

Malaysia, Jepang Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa. Disamping itu

Kabupaten Langkat juga memiliki kekayaan sumber daya alam yang sudah

dieksploitasi maupun yang masih merupakan potensi sumber daya masa depan

seperti minyak bumi dan gas di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan Sei

Lepan yang merupakan tambang minyak tertua di Indonesia (Telaga Said di Sei

Lepan) yang telah beroperasi sejak masa kolonialisme Hindia Belanda yakni pada

tanggal 15 juni 1885, dan berdasarkan proyeksi diperkirakan terdapat pula deposit

Gas Alam Cair (LNG) potensial yang ada di Pulau Sembilan. Di Kecamatan

Bahorok dan Salapian terdapat deposit kapur untuk pembuatan semen yang cukup

besar dan potensial untuk di jadikan industri pabrik semen.

4.2. Kabupaten Deli Serdang.

Latar belakang sejarah berdirinya Kabupaten Deli Serdang hampir sama

dengan sejarah Kota Medan. Hal ini disebabkan bahwa Kabupaten Deli Serdang

merupakan penggabungan kesultanan Deli dan Serdang yang dahulunya berpusat

di Medan.

Secara administratif pusat pemerintahan dan ibukota Kabupaten Deli

Serdang berada di Lubuk Pakam. Luas wilayah kabupaten Deli Serdang adalah

2.498,2 km². Jumlah penduduknya adalah sekitar 2.000.000 jiwa. Rencana

Pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu sebagai pengganti Bandara

Polonia Medan yang telah tidak memungkinkan lagi untuk melayani padatnya

jadwal penerbangan, terletak di kabupaten ini.

Page 50: PESISIR PEM 2.pdf

46

4.2.1. Administrasi Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Deli Serdang terbagi atas 22 kecamatan, seperti yang tertera

dalam Tabel 4.3

Tabel 4.3.

Kecamatan dan Ibukota Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang

No. Kecamatan Ibukota Luas Wilayah (Ha)

1. Gunung Meriah Gunung Meriah 7,665

2. STM Hulu Tiga Johor 22,338

3. Sibolangit Sibolangit 17,492

4. Kutalimbaru Kutalimbaru 17,996

5. Pancur Batu Pancur Batu 12,253

6. Namorambe Namorambe 6,230

7. Biru-Biru Biru-Biru 8,969

8. STM Hilir T. Kenas 19,050

9. Bangun Purba Bangun Purba 18,460

10. Galang Galang 18,727

11. Tanjung Morawa Tanjumg Morawa 13,175

12. Patumbak Patumbak 4,679

13. Deli Tua Deli Tua 0,936

14. Sunggal Sunggal 9,252

15. Hamparan Perak Hamparan Perak 23,015

16. Labuhan Deli Helvetia 12,723

17. Percut Sei Tuan Tembung 19,079

18. Batang Kuis Batang Kuis 4,034

19. Pantai Labu Pantai Labu 8,185

20. Beringin Karang Anyer 5,269

21. Lubuk Pakam Lubuk Pakam 3,119

22. Pagar Merbau Pagar Merbau 6,289

Luas Wilayah Kabupaten (Ha) 258,935

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, 2004

Kabupaten Deli Serdang memiliki perbatasan:

1) Di sebelah Utara dengan Kabupaten Langkat dan Selat Malaka

2) Di sebelah Barat dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo

3) Di sebelah Selatan dengan Kabupaten Karo, Kabupaten Serdang Bedagai

Page 51: PESISIR PEM 2.pdf

47

(pemekaran Deli Serdang) dan Kabupaten Simalungun.

4) Di sebelah Timur dengan Kabupaten Serdang Bedagai (pemekaran Deli

Serdang) dan Kabupaten Simalungun

Lokasi Kabupaten Deli Serdang sangat strategis karena mengelilingi Kota

Medan menjadikan Kabupaten Deli Serdang merupakan daerah yang termasuk

dalam Konsep Kota Mebidang Metropolitan. Kondisi tersebut sangat strategis dan

memiliki berbagai keuntungan, yaitu Kabupaten Deli Serdang dapat menjadi

penyalur kebutuhan Kota Medan, penyedia bahan baku industri, penghasil produk

pertanian, kerajinan, jasa, tenaga kerja dan kawasan Industri yang dekat dengan

Kota Medan. Selain itu, penduduk yang berada di wilayah perbatasan dapat

menjadi peluang pasar bagi produk Kabupaten Deli Serdang.

Saat ini tengah dilaksanakan rencana Pembangunan Bandara Internasional

Kuala Namu sebagai pengganti Bandara Polonia Medan yang telah tidak

memungkinkan lagi untuk melayani padatnya jadwal penerbangan,

memungkinkan Kabupaten Deli Serdang menjadi satelit Kota Medan yang sangat

strategis

Page 52: PESISIR PEM 2.pdf

48

4.3. Kabupaten Serdang Bedagai

Gambar 4.3.

Lambang Kabupaten Serdang Bedagai

Sumber: Kabupaten Deli Serdang Dalam Angka, BPS, 2007

4.3.1. Dasar Hukum Pemekaran/Pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai

Perjalanan panjang proses pemekaran Kabupaten Deli Serdang secara

hukum dimulai dari ditetapkannya Keputusan DPRD Kabupaten Deli Serdang

Nomor : 13/KP/Tahun 2002 tanggal 2 Agustus 2002 tentang Persetujuan

Pembentukan/Pemekaran Kabupaten Deli Serdang. Selanjutnya DPRD Propinsi

Sumatera Utara melalui keputusan Nomor : 18/KP/2002 tanggal 21 Agustus 2002

menetapkan Persetujuan Pemekaran Kabupaten Deli serdang.

DPRD Kabupaten Deli Serdang melalui Keputusan Nomor:

26/K/DPRD/2003 tanggal 10 Maret 2003 menetapkan Persetujuan Usul Rencana

Pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten

Deli Serdang sebagai Kabupaten Induk dan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai

Kabupaten Pemekaran dengan ibukota Sei Rampah.

Pertimbangan nama Kabupaten Serdang Bedagai disasarkan pada sejarah

dimana wilayah ini dahulu berada dalam wilayah Kesultanan Serdang dan

Kesultanan Bedagai.

Page 53: PESISIR PEM 2.pdf

49

Menindaklanjuti Keputusan yang ada, Gubernur Sumatera Utara melalui

Surat Nomor : 136/6777 tanggal 30 Agustus 2002 meneruskan usul Pemekaran

Kabupaten Deli Serdang, Nias dan Toba Samosir kepada Menteri Dalam Negeri

di Jakarta.

Berdasarkan Persetujuan DPR RI, Presiden Republik Indonesia

menerbitkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan

Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Propinsi Sumatera Utara.

Tanggal 6 Januari 2004 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan

Nomor 131.21-26 Tahun 2004 tentang Pengangkatan Pejabat Bupati Serdang

Bedagai Propinsi Sumatera Utara dan Mengangkat Bapak Drs. Chairullah, S.IP,

M.AP sebagai Pejabat Bupati Serdang Bedagai.

Atas nama Menteri Dalam Negeri Tanggal 15 januari 2004 Gubernur

Sumatera Utara Bapak T. Rizal Nurdin melantik Bapak Drs. Chairullah, S.IP,

M.AP sebagai Pejabat Bupati Serdang Bedagai. Setelah Masa Transisi 1 (satu)

tahun diangkat kembali Pejabat Bupati Drs. H. Kasim Siyo, M.Si pada tanggal 3

Maret 2005 yang ditugaskan untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah

(Pilkada) secara langsung maka terpilihlah Ir. H. T. Erry Nuradi, MBA menjadi

Bupati Serdang Bedagai masa bakti 2004 – 2009.

Kabupaten Serdang Bedagai pada saat didirikan terdiri dari 11 kecamatan

sebagai berikut:

1. Kecamatan Kotarih

2. Kecamatan Dolok Masihul

3. Kecamatan Sipispis

Page 54: PESISIR PEM 2.pdf

50

4. Kecamatan Dolok Merawan

5. Kecamatan Tebing Tinggi

6. Kecamatan Bandar Khalipah

7. Kecamatan Tanjung Beringin

8. Kecamatan Sei Rampah

9. Kecamatan Teluk Mengkudu

10. Kecamatan Perbaungan

11. Kecamatan Pantai Cermin

Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2006 dan Perda No. 10 Tahun 2006 tanggal

17 Oktober 2006, Kabupaten Serdang Bedagai dimekarkan menjadi 17 kecamatan

sebagai berikut:

1. Kecamatan Kotarih

2. Kecamatan Dolok Masihul

3. Kecamatan Sipispis

4. Kecamatan Dolok Merawan

5. Kecamatan Tebing Tinggi

6. Kecamatan Bandar Khalipah

7. Kecamatan Tanjung Beringin

8. Kecamatan Sei Rampah

9. Kecamatan Teluk Mengkudu

10. Kecamatan Perbaungan

11. Kecamatan Pantai Cermin

12. Kecamatan Silinda

Page 55: PESISIR PEM 2.pdf

51

13. Kecamatan Bintang Bayu

14. Kecamatan Serbajadi

15. Kecamatan Tebing Syahbandar

16. Kecamatan Sei Bamban

17. Kecamatan Pegajahan

4.3.2. Letak Geografis dan Iklim

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu Kabupaten yang berada

di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Serdang

Bedagai terletak pada posisi 2°57” Lintang Utara, 3°16” Lintang Selatan, 98°33”

Bujur Timur, 99°27” Bujur Timur dengan ketinggian berkisar 0 – 500 meter di

atas permukaan laut.

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki area seluas 1.900,22 Km2 yang

terdiri dari 17 Kecamatan dan 243 Desa/Kelurahan Definitif. Wilayah Kabupaten

Serdang Bedagai di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan

dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Batu Bara dan

Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan Kabupaten Deli Serdang.

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis dimana kondisi

iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk.

Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembaban udara per bulan

sekitar 79 %, curah hujan berkisar antara 120 sampai dengan 331 mm perbulan

dengan periodik tertinggi pada bulan September 2006, hari hujan per bulan

berkisar 8-20 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Mei - Juni

Page 56: PESISIR PEM 2.pdf

52

2006. Rata-rata kecepatan angin berkisar 0,42 m/dt dengan tingkat penguapan

sekitar 3,9 mm/hari. Temperatur udara per bulan minimum 22,2° C dan

maksimum 31,9° C.

Batas-batasnya/Boundary

a. Utara/North Selat Malaka

b. Selatan/South Kabupaten Simalungun

c. Barat / West Kabupaten Deli Serdang

d. Timur/East Kabupaten Batu Bara dan Kabupaten Simalungun

Gambar 4.4

Peta Kabupaten Serdang Bedagai

Sumber : Badan Pusat Statsitik Kabupaten Serdang Bedagai, 2007

Pantai Cermin

Perbaun gan

Kec. Panta i Cermin

Kec. Perb aun gan

Kec. Dolo kma sihul

Dolokmasihul

Kec. Sipispis

Kec. Dolo kme rawan

Dolokmerawa nSip isp is

Kec. Teb ing Ting gi

Tebing Tin ggi

KODYA TEBING T INGGI

Bandarka lipah

Kec. Tanjun g Beri ngin

Tanjung Ber in gin

Sei Rampah

Kec. Sei Rampah

Kec. Tel ukme ngku du

Sia la ng Buah

Kec. Gala ng

Kec. Kot arih

Kotarih

Kec. Ban gun Pu rba

Kec. Sipispis

SELAT MALAKA

KAMPUNG

HUTAN SEJENIS

SAWAH 2–-- PADI

PERKEBUNAN RAKYAT

KEBUN CAMPURAN

DANAU/SITU/TELAGA

SUNGAI

BATAS KECAMATAN

BATAS KABUPATEN/KOTAMADYA

JALAN ASPAL

JALAN BEBATU

JALAN TANAH

IBUKOTA KECAMATAN

KETERANGAN :

KERETA API

U

S

B T

SKALA 1 : 20000

KAB. SIMALUNGUN

KE KISARAN

KE P

EM

AT AN

G S

IANTA

R

KE DELI SERDAN

G

Page 57: PESISIR PEM 2.pdf

53

Grafik 4.1.

Luas Wilayah menurut Kecamatan

78,024

56,740

95,586

237,417

50,690

145,259

120,600

182,291

120,297

116,000

74,170

198,900

72,260

66,950

111,620

93,120

80,296

0,000 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000

Kotarih

Silinda

Bintang Bayu

Dolok Masihul

Serbajadi

Sipispis

Dolok Merawan

Tebing Tinggi

Tebing Syahbandar

Bandar Khalipah

Tanjung Beringin

Sei Rampah

Sei Bamban

Teluk Mengkudu

Perbaungan

Pegajahan

Pantai Cermin

Sumber : Badan Pusat Statsitik Kabupaten Serdang Bedagai, 2007

Page 58: PESISIR PEM 2.pdf

54

Tabel 4.4.

Luas Wilayah dan Rasio Terhadap Luas Kabupaten Serdang Bedagai

menurut Kecamatan

KECAMATAN

District

Luas / Area

(Km2)

Rasio terhadap Luas Total

Ratio on Total

(%)

(1) (2) (3)

01. Kotarih 78,024 4,11

02. Silinda 56,740 2,99

03. Bintang Bayu 95,586 5,03

04. Dolok Masihul 237,417 12,49

05. Serbajadi 50,690 2,67

06. Sipispis 145,259 7,64

07. Dolok Merawan 120,600 6,35

08. Tebing Tinggi 182,291 9,59

09. Tebing Syahbandar 120,297 6,33

10. Bandar Khalipah 116,000 6,10

11. Tanjung Beringin 74,170 3,90

12. Sei Rampah 198,900 10,47

13. Sei Bamban 72,260 3,80

14. Teluk Mengkudu 66,950 3,52

15. Perbaungan 111,620 5,87

16. Pegajahan 93,120 4,90

17. Pantai Cermin 80,296 4,23

Jumlah / Total 1.900,220 100,00

Sumber : Bagian Pemerintahan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai, 2007

Page 59: PESISIR PEM 2.pdf

55

4.3.3. Administrasi

a. Pemerintahan

Wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17 kecamatan

dan 237 desa dan 6 kelurahan. Kecamatan yang paling banyak jumlah

desa/kelurahan adalah kecamatan Perbaungan dan Dolok Masihul yaitu sebanyak

28 desa/kelurahan dan kecamatan yang paling sedikit jumlah desa/kelurahannya

adalah kecamatan Bandar Khalipah sebanyak 5 desa/kelurahan. Kabupaten

Serdang Bedagai didiami oleh penduduk dari beragam etnis/suku bangsa, agama

dan budaya. Suku-suku tersebut antara lain Melayu sebagai penduduk asli, Karo,

Tapanuli, Simalungun, Jawa dan lain-lain.

b. DPRD

Pemilihan umum tahun 2004 menghasilkan 45 orang anggota DPRD

Kabupaten Serdang Bedagai yang terdiri dari 10 orang dari fraksi Golkar, 9 orang

dari fraksi PDIP, 5 orang dari fraksi PPP, 5 orang dari fraksi PAN, 3 orang dari

fraksi PKS, 2 orang masing-masing dari fraksi PBB, Demokrat, PBR dan fraksi

PDS, serta 1 orang masing-masing dari fraksi Patriot Pancasila, PIB, PNBK, PKPI

dan fraksi PKB.

c. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Jumlah PNS Otonomi daerah di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak

6.418 orang. Jika dirinci menurut golongan, sebagian besar merupakan golongan

III yaitu sebesar 64,93 persen dan yang terkecil adalah golongan I yaitu sebesar

1,32 persen. Dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar adalah tamatan

SLTA dan S1 (Sarjana).

Page 60: PESISIR PEM 2.pdf

56

d. Keamanan rakyat

Dalam mewujudkan keamanan rakyat semesta di wilayah Serdang Bedagai

telah dilakukan serangkaian pembinaan di dalam satuan masyarakat diantaranya

satuan Pertahanan sipil (Hansip), Perlawanan Rakyat (Wanra), dan Keamanan

Rakyat (Kamra) yang berjumlah sekitar 5.452 personil yang tersebar di seluruh

desa dan kecamatan dengan rincian 2.568 personil hansip, 1.455 personil Wanra,

dan 1.429 personil Kamra yang terlatih.

Page 61: PESISIR PEM 2.pdf

57

DAFTAR PUSTAKA

Abipraja, Soedjono, 2002, Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Konsep

Model, Kebijaksanaan, Instrumen Serta Strategi.

Abidin, Said Zainal, 2004, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.

Albrow, Martin, 1989, Birokrasi, Tiara Wacana, Yogjakarta.

Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.

Arndt, H. W, 1980, Pembangunan dan Pemerataan; Indonesia di Masa Orde

Baru, LP3ES, Jakarta.

Arsyad, Lincolin, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi

Daerah, PT. BPFE, Yogyakarta.

Basri, Faisal H, 2003, Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan harkat

Bangsa, Jakarta.

Bardach, Eugene, 1979, The Implementation Game: What Happens After a Bill

Becomes a Law, MIT-Press, Cambridge.

,1980, Implementation Studies and The Study of Implements, American

Political Science Association, Washington.

Bengen, Dietrech, 2004, Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan

Berbasis Eko-Sosial Sistem, Pusat Pembelajaran, Makasar.

Blau, Peter M, 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern (Edisi Indonesia), UI-

Press, Jakarta.

Budiman, Arief, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Cernea, Michael M, 1988, Mengutamakan Manusia Di Dalam Pembangunan

(Edisi Indonesia), UI Press, Jakarta.

Cohen dan Uphoff, 1977, Rural Development Participation; Concept and

Measurement for Project Design Implementation, and Evaluation, Cornell

University, New York.

Dewanta, Awangta Setya dkk, 1995, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia,

Aditya Media.

Page 62: PESISIR PEM 2.pdf

58

Dye, Thomas, R. 1981, Understanding Public Policy, (fourth edition), Prentice

Hall Inc, USA.

Effendi, Sofyan, Pelayanan Publik, Pemerataan dan Administrasi Negara Baru,

Prisma No. 12, 1986.

Edwards III, George C, 1980, Implementating Public Policy, Congressional

Quartely, USA.

Eka, Chandra, Dkk, 2003, Membangun Forum Warga, Akatiga.

Faza, Soraya, 2004, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.

Frank, Andre, Gunder, 1984, Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan

Sosiologi (Kata Pengantar Arief Budiman), Pustaka Pulsar, Indonesia.

Freire Paulo, 1985. Pendidikan Kaum Tertindas (edisi Indonesia), LP3ES,

Jakarta.

Gunawan, Jamil, Dkk, 2005, Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal,

LP3ES, Jakarta.

Hariyoso, S, H, 2002, Pembaruan Birokrasi dan Kebijaksanaan Publik,

Peradaban, Bandung.

Haris, Syamsudin, 2005, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI-Press, Jakarta.

Henry, Nicholas, 1980, Public Administration and Public Affairs (second edition),

Prentice-Hall, Inc, USA.

Hidayat, Syaraif, Dkk, 2001, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pustaka Quantum,

Jakarta.

Hossein, Bhenjamin dkk, 2005, Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan

Pemerintah Pusat dan Daerah, FISIP UI, Jakarta

Hunneryager, S.G. dan Heckman, 1987. Human Relation in Management. Sourth

Western, New York.

Huntington, Samuel P. and Joan M. Nelson, 1976. No Easy Choise; Political

Participation in Developing Countries, Harvard University Press, USA.

Ibrahim, Amin, 2004, Pokok-pokok Analisis Kebijakan Publik, Mandar Maju,

Bandung.

Imawan Riswanda, 2002, Hakekat Desentralisasi, Makalah Seminar.

Page 63: PESISIR PEM 2.pdf

59

Indradi, Syamsiar Syamsudin, 2006, Mewirausahakan Birokrasi Untuk

Mensejahterkan Masyarakat, Brawijaya Press, Malang.

Ire, 2003, Pembaharuan Pemerintah Desa, Ire Pres.yogyakarta

Islamy, M Irfan, 2001, Upaya Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat dalam

Pemerintahan dan Pembangunan di Daerah.

Jaka, 2002, Masyarakat Pinggiran Yang Kian Terlupakan, Khopalindo, Jakarta

Juliantara, dkk, 2006, Desentralisasi Kerakyatan, Gagasan dan Praksys, Pondok

Edukasi, Bantul

Kabul, Arid, 2006, Implementasi Kebijakan Publik dalam Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir, Humas Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

Jakarta.

Karim, Abdul, Dkk, 2003, Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka

Pelajar, Yogjakarta.

Keban, Yeremias T, 2004, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Gava

Media, Yogyakarta.

Kotter, John P, 1997, Leading Change, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Korten, D.C. & Sjahrir, 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan (Edisi

Indonesia), Yayasan Obor, Jakarta.

, 1984, Pembangunan Yang Memihak Rakyat; Kupasan Tentang Teori dan

Metode Pembangunan, LSP, Jakarta.

_____, 2002, Menuju Abad Ke-21, Tindakan Suka Rela dan Agenda Global,

Yayasan Obor, Jakarta.

Kunarjo, 2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan, UI-

Press, Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Erlangga,

Jakarta.

Mardiasmo, 2002, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta

Miraza, Bachtiar Hassan, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, ESEI,

Bandung.

Mochtar, MS Hilwy, 2005, Politik Lokal dan Pembangunan, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta

Page 64: PESISIR PEM 2.pdf

60

Muluk, Khairul, 2007, Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan

Daerah, FIA Unibraw, Malang

_____________, 2006, Desentalisasi Pemerintahan Daerah, Bayu Media,

Malang.

Nasution, M. Arif, 2006, Ekonomi Pinggiran Dinamika Konseptual Sektor

Informal di Perkotaan, USU Press. Medan.

Nordholt, Nico Schulte, 1987, Ojo Dumeh; Kepemimpinan Lokal Dalam

Pembangunan, Sh, Jakarta.

Nugroho, Iwan dan Roehim, Dahuri, 2004. Pembangunan Wilayah Prespektif

Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta.

Nugroho, Riant, 2002. Desentralisasi Tanpa Revolusi, PT. Alex Media, Jakarta

Pranoto, Aris Kabul, 2006, Implementasi Kebijkan Publik Dalam Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir, Humas Ditjen BP3K.

Prasojo, Eko, 2005. Demokrasi di Negeri Mimpi, Departemen Ilmu Administrasi

FISIP-UI. Jakarta.

Purwanto, Agus E, Dkk, 2007, Metode Penelitian Kuantitaif Untuk Administrasi

Publik dan Masalah-Masalah Sosial, Penerbit Gava Media, Yogjakarta.

Rachbini, Didik, J, 2001. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi,

Grasindo, Jakarta.

Ramli, 2006, Pengkajian Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat terhadap

Degradasi Hutan Bakau, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Ridwan, Kuncoro, 2006, Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis Jalur,

Alfabeta, Bandung

Rudito, Bambang, Dkk, 2003. Akses Peran Serta Masyarakat, ICSD, Jakarta.

Saadah, Dkk, 2004, Dampak Pariwisata Terhadap Pola Pemukiman Penduduk

Cipanas-Garut, Jawa Barat, Depdiknas, Jakarta.

Sajogyo, 1982, Bunga Rampai Perekonomian Desa, Yayasan Agro Ekonomika,

Bogor.

Sarundajang, 1997, Pemerintah Daerah di Berbagai Negara, Sinar Harapan,

Jakarta.

Page 65: PESISIR PEM 2.pdf

61

Sasono, Adi., Arif, Sritua., 1981, Ketergantungan dan Keterbelakangan, Sinar

Harapan, Jakarta.

Sugiono, 1992, Metode Penelitian Administrasi, Penerbit Alfabeta, Bandung.

----------, 2004, Statistik Nonparametris, Penerbit Alfabeta, Bandung.

Suryono, Agus, 2006, Ekonomi Politik Pembangunan dalam Perspektif Ilmu

Sosial, Unibraw Malang.

Suyanto, Bagong, dan Sutinah, 2005. Metode Penelitian Sosial, Prenada Media,

Jakarta.

Sutanto, Jusuf, Dkk, 2006, Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban,

Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Tangkilisan, Nagi, S, 2005. Manajemen Publik, Grasindo, Jakarta.

Thoha, Miftach, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Grafindo, Jakarta.

Tjokrowinoto, Moeljarto, 2003. Pembangunan Dilema dan Tantangan, Pustaka

Pelajar, Jakarta.

,1981. Metodologi Penelitian, Lembaga Pendidikan Doktor UGM.

__,1987. Strategi Pembangunan Desa, Simposium Sehari, Dies Natalis

Universitas Slamet Riyadi, Surakarta.

Tjokroamidjojo, 1987. Perencanaan Pembangunan, CV Mas Agung, Jakarta.

Todaro, Michael, P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (edisi

Indonesia), Ghalia Indonesia.

Triyono, Urip, 2003, Pengembangan Koperasi Desa Pantai untuk Menunjang

Pembangunan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan, Desertasi IPB, Bogor.

Wahab, Solichin, 1999, Ekoomi Politik Pembangunan, Brawijaya University

Press, Malang.

Wijaya, Mahendra, 2001, Prospek Indutrialisasi Pedesaan, Pustaka Cakra

Surakarta, Surakarta.

Winarno, Budi, 2003, Komparasi Organisasi Pedesaan Dalam Pembangunan

Indonesia Vis-a-vis Taiwan, Thailand, dan Philipina, Presindo, Yogjakarta.

Page 66: PESISIR PEM 2.pdf

62

______, 2004, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam

Pembangunan, Tajidu Press, Yogyakarta.

Winarso, Pardono, Haryo, Dkk, 2002. Pemikiran dan Praktek Perencanaan,

Dalam Era Transformasi di Indonesia, Departemen Teknik Planologi ITB,

Bandung.

Wiratha, I Made, 2005, Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi, Andi. Yogyakarta

BPS (Badan Pusat Statistik), 2006, Sumatera Utara Dalam Angka, Katalog BPS,

Medan.

BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Langkat, 2006, Kabupaten Langkat

Dalam Angka.

BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Langkat, 2006, Kecamatan Dalam Angka.

BPS Kabupaten Langkat, 2006, PDRB Kabupaten Langkat