Prinsip Kerja CT-Scan Dan Aplikasi Dalam Forensik

download Prinsip Kerja CT-Scan Dan Aplikasi Dalam Forensik

of 25

description

Fisika Forensik

Transcript of Prinsip Kerja CT-Scan Dan Aplikasi Dalam Forensik

TUGAS MATA KULIAHFISIKA FORENSIK

Penggunaan Computed Tomography Scanning Sebagai Alternatif Autopsi

Oleh :FAIZAL ARIEF NUROKHMAN091414653001

UNIVERSITAS AIRLANGGASEKOLAH PASCASARJANAMAGISTER IMU FORENSIKSURABAYA

2015

DAFTAR ISI

Halaman Judul1Daftar Isi2BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang31.2. Permasalahan41.3. Tujuan & Manfaat4BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA2.1. Pengertian CT-Scan52.2. Sejarah CT-Scan62.3. Prinsip Kerja Secara Fisika CT-Scan102.3. Kelebihan dan Kekurangan CT-Scan192.4. Aplikasi Dalam Forensik 19BAB 3 PENUTUP - Simpulan24

Daftar Pustaka

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangDalam beberapa yursidiksi di seluruh dunia, kegiatan patologi forensik mengalami banyak perubahan. Untuk beberapa tahun angka autopsi di beberapa rumah sakit mengalami penurunan. Pada beberapa rumah sakit pendidikan besar kegiatan pemeriksaan autopsi konvensional dengan diseksi pada tiap-tiap sistem organ dan pemeriksaan neuropatologis otak mulai berkurang. Alasan perubahan ini masih belum banyak dipahami. Pada sebagian departamen patologi di rumah sakit tindakan autopsi kurang dianggap penting dibandingkan dengan pelayanan rutin operasi patologi. Beberapa alasan kenapa autopsi mulai dihindari karena faktor emosi, beberapa karena alasan agama, dan sebagian lagi dengan alasan logistical (misal, pada umat muslim setiap jenazah harus segera dimakamkan menurut aturan agama dan adat).Alternatif autopsi secara konvensional sudah beberapa kali diajukan dalam dunia medikolegal. Salah satu teknologi yang diusulkan dan digunakan adalah penggunaan alat CT-Scan (Computed tomography scanning). CT-Scan merupakan alat kedokteran yang digunakan untuk menampilkan penampang tubuh yang dideteksi menggunakan Sinar-X yang hasil pencitraannya diolah dalam sebuah komputer. Hasil gambar yang didapat memungkinkan seorang ahli radiologi untuk melihat bagian dalam tubuh pasien tanpa melakukan sayatan bedah. Organ yang sering dievaluasi menggunakan CT-Scan antara lain otak, leher, tulang belakang, dada, perut, panggul, dan sinus. Penggunaan CT-Scan makin lazim dalam dunia kedokteran saat ini.Post Mortem Computed Tomography (PMCT) telah memberikan peran dalam proses penyelidikan suatu kematian tidak wajar. Juga sudah diusulkan dalam penanganan kematian massal. PMCT dapat diaplikasikan pada manusia, hewan dan material lingkungan. PMCT dapat digunakan sebagai pemeriksaan tambahan, atau dalam beberapa kasus, sebagai pengganti autopsi. Beberapa rekomendasi yang dapat menggunakan PMCT antara lain: 1) Mengidentifikasi penyebab kematian, 2) DVI, 3) Mengidentifikasi material berbahaya yang ada dalam tubuh dan 4) Membantu mengumpulkan bukti dalam prosedur penegakan hukum (Morgan, et al., 2014).

Adanya teknologi ini sangat membantu bidang medis karena dimungkinkan seorang dokter melihat penyakit di masa lalu, yang seringkali hanya bisa ditemukan di meja operasi atau dengan autopsi setelah pasien meninggal. Sifat pemeriksaan CT-Scan yang non-invasif, aman, dan dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh sangatlah menguntungkan.Teknologi CT-Scan juga semakin berkembang, generasi terbarunya yaitu MSCT-Scan 64 Slice (Multi Slice Computed tomography scanning 64 Slice), mampu menghasilkan gambar lebih rinci dari bagian tubuh manusia seperti kepala, dada, perut, pembuluh darah dan sebagainya. MSCT-Scan 64 Slice merupakan peningkatan kecepatan yang secara signifikan dari generasi terdahulu, sehingga penegakkan diagnosis dapat lebih akurat.Penggunaan CT-Scan sudah makin marak di dunia kedokteran, mendorong penulis untuk mengetahui lebih dalam bagaimana prinsip kerja secara fisika dan pengaplikasian alat tersebut dalam dunia forensik.

1.2. Permasalahana) Apa yang dimaksud dengan CT-Scan?b) Bagaimana prinsip kerja secara fisika CT-Scan? c) Bagaimana pengaplikasian penggunaan CT-Scan dalam dunia forensik?1.3. Tujuan dan Manfaata) Mengetahui tentang CT-Scanb) Mengetahui prinsip kerja secara fisik CT-Scanc) Mengetahui pengaplikasian CT-Scan pada proses pembuktian forensik.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian CT-ScanCT-Scan (computed tomography scan) adalah proses penggunaan komputer untuk memperoleh gambaran tiga-dimensional dari ribuan gambar sinar-X dua-dimensional. CT-Scan dapat menghasilkan gambar-gambar yang sangat akurat dari objek-objek di dalam tubuh seperti tulang, organ, dan pembuluh darah. Gambar-gambar ini sangat berguna dalam mendiagnosa berbagai penyakit, seperti kanker, penyakit jantung, stroke, kelainan organ reproduktif, dan kelainan gastrointestinal. Citra yang dihasilkan CT-Scan jauh lebih detail dibanding citra yang diperoleh sinar-X biasa (Corno & Festa, 2009).Mesin CT-Scan berbentuk pipa dengan tempat pasien berbaring di tengahnya. Pemroses citra (scanner) sendiri terdapat dalam frame pipa tersebut. Saat mesin bekerja, pipa pemroses citra itu berputar sambil menembakkan sinar rontgen ke arah pasien dari berbagai sudut. Untuk setiap putaran, sekitar 1.000 gambar bagian dalam pasien diambil. Gambar-gambar ini kemudian diproses oleh komputer sehingga menghasilkan gambar cross-sectional bagian dalam tubuh pasien yang dapat digunakan dalam menganalisa dan mendiagnosa pasien.Prinsip dasar CT-Scan mirip dengan perangkat radiografi yang sudah lebih umum dikenal. Kedua perangkat ini sama-sama memanfaatkan intensitas radiasi terusan setelah melewati suatu obyek untuk membentuk citra/gambar. Perbedaan antara keduanya adalah pada teknik yang digunakan untuk memperoleh citra dan pada citra yang dihasilkan. Tidak seperti citra yang dihasilkan dari teknik radiografi, informasi citra yang ditampilkan oleh CT-Scan tidak overlap (tumpang tindih) sehingga dapat memperoleh citra yang dapat diamati tidak hanya pada bidang tegak lurus berkas sinar (seperti pada foto rontgen), citra CT-Scan dapat menampilkan informasi tampang lintang obyek yang diinspeksi. Oleh karena itu, citra ini dapat memberikan sebaran kerapatan struktur internal obyek sehingga citra yang dihasilkan oleh CT-Scan lebih mudah dianalisis daripada citra yang dihasilkan oleh teknik radiografi konvensional.CT-Scanner menggunakan penyinaran khusus yang dihubungkan dengan komputer berdaya tinggi yang berfungsi memproses hasil scan untuk memperoleh gambaran panampang-lintang dari badan. Pasien dibaringkan diatas suatu meja khusus yang secara perlahan lahan dipindahkan ke dalam cincin CT-Scan. Scanner berputar mengelilingi pasien pada saat pengambilan sinar rontgen. Waktu yang digunakan sampai seluruh proses scanning ini selesai berkisar dari 45 menit sampai 1 jam, tergantung pada jenis CT-Scan yang digunakan( waktu ini termasuk waktu check-in nya).Proses scanning ini tidak menimbulkan rasa sakit . Sebelum dilakukan scanning pada pasien, pasien disarankan tidak makan atau meminum cairan tertentu selama 4 jam sebelum proses scanning. Bagaimanapun, tergantung pada jenis prosedur, adapula prosedur scanning yang mengharuskan pasien untuk meminum suatu material cairan kontras yang mana digunakan untuk melakukan proses scanning khususnya untuk daerah perut.CT-Scan memiliki beberapa kelebihan dibanding sinar-X biasa: citra yang diperoleh CT-Scan beresolusi lebih tinggi, sinar rontgen dalam CT-Scan dapat difokuskan pada satu organ atau objek saja, dan citra perolehan CT-Scan menunjukkan posisi suatu objek relatif terhadap objek-objek di sekitarnya sehingga dokter dapat mengetahui posisi objek itu secara tepat dan akurat. Kelebihan-kelebihan tersebut telah membuat CT-Scan menjadi proses radiografis medis yang paling sering direkomendasikan oleh dokter dan, dalam banyak kasus, telah menggantikan proses sinar-X biasa secara total (Bushong, 2012).

Gambar 2.1.1 Contoh alat CT-Scan (Bushong, 2012).

2.2. Sejarah CT-ScanAwal perkembangan CT-Scan bermula dari tanggal 11 Agustus 1895, yaitu dengan ditemukannya radiasi Sinar-X oleh seorang ahli fisika berkebangsaan Jerman yang bernama Wilhem Conrad Rontgen (1845-1923) (Gambar 2.2.1). Gambar Sinar-X tubuh manusia pertama yang pernah diambil dan paling terkenal yakni gambar tangan istri Roentgen (Gambar 2.2.2). Meskipun kekuatan Sinar-X bertumpu pada kemampuan mereka untuk menembus bahan padat dan punya karakteristik redaman tergantung bahan yang dilewati, tidak mungkin untuk memvisualisasikan struktur tertentu sepanjang jalur yang dilewati tanpa mempertimbangkan pelemahan yang disebabkan oleh struktur lain sepanjang jalur tersebut. Tumpang tindih ini diilustrasikan dalam hasil gambar Tangan Mrs. Roentgen, di mana bayangan cincin kawin tumpang tindih dengan struktur tulang di dalam cincin. Keinginan untuk menghapus dampak dari struktur tumpang tindih tersebut menjadi awal perkembangan tomografi konvensional (Hendee, 2014).

Gambar 2.2.1 Wilhem C. Roentgen (Hendee, 2014).

Gambar 2.2.2 Hasil citra Sinar-X tangan istri Roentgen (Hendee, 2014).

Sinar-X adalah merupakan gelombang electromagnet yang mempunyai panjang gelombang berkisar antara 10 nm 100 pm (Gambar 2.2.3). Sinar-X mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Kartawiguna, 2014): Memiliki daya tembus yang besar. Dapat diserap oleh materi (tergantung nomor atomnya). Memiliki efek fotografi (dapat menghitamkan film). Dapat menimbulkan efek fluorosensi (memendarkan fosfor). Dapat dibelokkan / dihamburkan (difraksi Sinar-X) Menimbulkan ionisasi.

Gambar 2.2.3 Spektrum elektromagnetik umumnya dibagi menjadi tujuh area, dalam proses penurunan panjang gelombang dan peningkatan energi dan frekuensi: gelombang radio, gelombang mikro, inframerah, cahaya tampak, ultraviolet, sinar-X dan sinar gamma. (Lucas, 2015)

Oleh karena sinar-X memiliki daya tembus yang besar dan dapat menghitamkan kertas atau plat foto maka sinar ini banyak diaplikasikan dalam teknik radiologi konvensional. Sinar-X memungkinkan orang pertama kali untuk melihat struktur dari tubuh manusia bagian dalam tanpa melakukan operasi / pembedahan. Namun Sinar-X pada masa ini juga memiliki keterbatasan, yaitu, gambar yang dihasilkan merupakan superimposisi (overlap) dari obyek yang diamati dan juga tidak dapat menggambarkan jaringan lunak. Selain itu ada juga masalah lainnya yaitu, pada teknik radiografi konvensional, jika dua buah obyek yang memiliki besar yang berbeda, dapat tampak sama besar jika hanya dilhat dari satu sudut pandang saja. Dan masalah lainnya, jika dua buah obyek yang berbeda ukuran dan terletak dalam satu garis lurus Sinar-X, maka organ yang kecil tidak dapat terlihat, karena tertutup obyek yang lebih besar (Kartawiguna, 2014). Solusi dari 2 masalah ini adalah dengan teknik pemeriksaan tomografi. Gambar tomogram yang dihasilkan oleh peralatan sinar-X konvensional diperoleh dengan tomografi bergerak. Tomogram adalah sebuah gambar dari bidang atau irisan bagian tubuh.Salah satu pelopor tomografi konvensional adalah E. M. Bocage (1922). Pada awal tahun 1921, Bocage melakukan suatu teknik yang berusaha memisahkan gambaran overlapping dari suatu organ yang diperiksa yang dinamakan Tomografi. Komponen utama dari penemuannya mencakup tabung sinar-X, sebuah film sinar-X, dan koneksi mekanik untuk memastikan gerakan sinkron dari tabung dan film (Gambar 2.2.4). Teknik yang dikembangkan adalah dengan menggerakkan tabung Sinar-X dan film dalam kaset secara bersamaan, dan menggunakan fulcrum sebagai titik focus dari organ yang akan diperiksa. Organ yang ada di bagian atas dan bawah obyek yang diperiksa akan tampak blur (samar) sedangkan objek yang diperiksa akan tampak lebih jelas. Teknik Tomografi ini digunakan pertama kali pada tahun 1935.Namun demikian teknik ini masih mempunyai beberapa kekurangan, yaitu hanya area tertentu saja yang berada pada bidang focus yang dapat terlihat jelas, dan bidang-bidang lainnya yang tidak berada pada bidang focus tidak dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan dunia ilmu pengetahuan terus berkembang dengan pesat. Ilmu kedokteran modern membutuhkan gambaran yang mampu menampilkan organ dengan lebih jelas tidak hanya pada organ yang diperiksa, melainkan juga organ lain disekitarnya (Hendee, 2014).

Gambar 2.2.4 Ilustrasi prinsip tomografi konvensional. (a) Pada waktu tertentu, objek A (terletak pada bidang fokus) dan objek B (terletak di atas bidang fokus) menghasilkan bayangan A'dan B' masing-masing pada film. (b) Pada waktu Sesaat kemudian, sumber kedua sinar-X dan film yang bergerak dalam arah berlawanan dengan kecepatan tertentu sehingga bayangan A" dipindahkan oleh objek A tumpang tindih dengan bayangan A'. Bayangan B" dari benda B tidak tumpang tindih dengan B'.

Perkembangan aplikasi medis Sinar-X Computed Tomography pertama kali dikembangkan pada tahun 1963 oleh Godfrey N. Hounsfield dan A. M. Cormack (Gambar 2.2.5 a dan b) yang bekerja di Central Research Lab of EMI, Ltd di Inggris menghasilkan Gambar klinis pertama dengan CT-Scan (Computed tomography scan). Dan merupakan tanda awal dari dimulainya era baru perkembangan diagnostic imaging.Pada tahun 1974, enam puluh unit CT terpasang. Awalnya pemeriksaan yang dilakukan hanya terbatas pada CT kepala saja. Dan pada tahun 1975 diperkenalkan pertama kali sebuah Whole Body scanner (CT-Scan seluruh tubuh) yang digunakan untuk penunjang klinis . Pada tahun 1979, Hounsfield dan Cormack dianugerahi hadiah nobel.Pada tahun 1989, W.A. Kalender dan P. Vock melakukan pemeriksaan klinis pertama dengan menggunakan Spiral CT. Dan pada tahun 1998 mulailah diperkenalkan alat Multi Slice CT (MSCT) dengan 4 slice. Pada tahun 2000 dikembangkan PET/CT sistem, kemudian di tahun 2001 telah dikembangkan CT-Scan 16 slice. Pada tahun 2004 dikembangkan teknik CT-Scan 64 slice dan telah lebih dari 40000 instalasi CT untuk aplikasi klinik (Hsieh, 2014).

Gambar 2.2.5 Penemu CT Sinar-X pertama; Godfrey N. Hounsfield (a) dan AllanM. Cormack (b).

Teknik pencitraan CT sama sekali berbeda dengan teknik pencitraan radiologi biasa (konvensional). Computed Tomography atau CT adalah sebuah proses radiologi untuk menghasilkan gambaran dari potongan melintang (trans-axial) tubuh pasien. Dua buah karakteristik baru yang ada pada gambar yang dihasilkan pada CT adalah peralatan digital yang menghasilkan gambaran digital dan gambar irisan mempresentasikan volume / informasi 3 Dimensi.Namun pencitraan CT-Scan juga masih mengalami kendala terhadap organ organ yang mempunyai densitas hampir sama. Misalnya adalah kasus tumor pada jaringan, dimana gambaran tumor sulit dibedakan dengan jaringan sekitarnya. Demikian juga pencitraan sistem peredaran darah, sistem urinaria (saluran kencing), dan masih banyak lagi kasus kasus pemeriksaan CT-Scan yang sulit divisualisasikan secara baik dengan pemeriksaan CT-Scan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka mulailah dilakukan penelitian untuk memperoleh hasil pencitraan CT-Scan yang dapat membedakan suatu organ yang diperiksa dengan organ lain disekitarnya dengan menambahkan suatu zat yang dianggap mampu memvisualisasikan organ organ yang mempunyai densitas hampir sama. Zat tersebut dinamakan Contrast Media atau Bahan Kontras (Kartawiguna, 2014).

2.3. Prinsip Kerja Secara Fisika CT-Scan2.3.1. Teori AtenuasiPada prinsipnya, tomografi komputer mengukur distribusi spasial (ruang) suatu kuantitas fisik yang akan diamati dari arah yang berbeda-beda dengan tujuan untuk merekonstruksi gambar yang bebas dari superimposisi dari data tersebut. Kuantitas fisik yang diukur adalah koefisien atenuasi () dari obyek yang menyebabkan pelemahan intensitas sinar-X oleh obyek yang ditembus oleh sinar-X tersebut.Teori Atenuasi ini adalah prinsip dasar yang membedakan CT-Scan dengan peralatan radiografi yang konvensional yang juga memanfaatkan radiasi sinar-X. Berkas sinar-X yang menembus suatu obyek akan mengalami pelemahan (kehilangan energi) yang diakibatkan oleh: Penyerapan oleh obyek Penghamburan oleh obyekPenyerapan radiasi sinar-X oleh jaringan adalah sebanding dengan densitas jaringan yang ditembus. Jaringan tubuh dengan kepadatan yang tinggi akan memberikan perlemahan yang lebih besar. Sedangkan jaringan tubuh dengan kepadatan yang rendah akan memberikan perlemahan yang kecil. Berdasarkan ilmu fisika, terjadinya atenuasi lokal dari suatu jaringan yang disinari sinar-X disebabkan oleh sejumlah proses interaksi antara sinar-X dengan hal lain, misalnya Efek fotolistrik dan Hamburan Compton. Masing-masing proses fisika tersebut dapat mempengaruhi fungsi dari energi radiasi karena sinar-X yang dihasilkan oleh tabung sinar-X tersebut terdiri atas spektrum-spektrum energi. Dengan demikian jelaslah bahwa masing-masing karakteristik atenuasi yang dimiliki oleh suatu jaringan, disebut koefisien atenuasi linier , adalah suatu fungsi kompleks yang memiliki nilai berbeda-beda bergantung pada energi radiasi yang menyinarinya. Fungsi dari energi radiasi terhadap koefisien atenuasi dapat dilihat pada gambar di bawah, dimana nilai besar untuk energi radiasi yang kecil dan akan terus berkurang bila energi radiasinya semakin besar. Pada CT-Scan masing-masing atenuasi sinar-X untuk tiap-tiap bagian dari suatu jaringan dibuat rekonstruksi gambarnya secara diskrit, sedangkan pada radiografi konvensional dilakukan proses superposisi terlebih dahulu terhadap informasi atenuasi tersebut (Kartawiguna, 2014).

2.3.2. Cara Kerja CT-ScanTabung sinar-X sebagai sumber radiasi yang akan menghasilkan radiasi sinar-X yang terkolimasi (terarah) dan diarahkan ke pasien untuk menembus tubuh pasien (dalam gambar adalah kepala pasien). Kemudian berkas sinar-X yang telah menembus tubuh pasien tersebut ditangkap oleh detektor menghasilkan satu proyeksi. Susunan tabung sinar-X dan detektor ini akan bergerak mengelilingi tubuh pasien dan menghasilkan proyeksi dari obyek yang ditembus tersebut. Hasil proyeksi ini yang kemudian diolah oleh komputer sehingga membentuk gambar potongan melintang dari jaringan tubuh/obyek tersebut.

Gambar 2.3.1 Prinsip kerja CT-Scan (Kartawiguna, 2014).

Berikut ini adalah diagram blok dari keseluruhan kerja sistem CT-Scan, mulai dari sistem pembangkit radiasi Sinar-X beserta sistem kontrolnya sampai didapatkan gambar yang diinginkan pada selembar film atau disimpan dalam cakram magnetik.

Gambar 2.3.2 Diagram Blok sistem CT-Scan secara keseluruhan (Kartawiguna, 2014).

2.3.3. Akuisisi Data dan Rekonstruksi Gambar pada CT-ScanAkusisi data berarti kumpulan hasil penghitungan transmisi Sinar-X setelah melalui tubuh pasien. Sekali Sinar-X menembus pasien, berkas tersebut diterima oleh detektor khusus yang menghitung nilai transmisi atau nilai atenuasi (penyerapan).Penghitungan transmisi yang cukup atau data harus terekam sebagai syarat proses rekonstruksi. Pada skema kumpulan data yang pertama kali tabung Sinar-X dan detektor bergerak pada garis lurus atau translasi melewati kepala pasien, mengumpulkan hasil penghitungan transmisi selama pergerakan dari kiri ke kanan. Lalu Sinar-X berotasi 1 derajat dan mulai lagi melewati kepala pasien, kali ini dari kanan ke kiri. Proses gerak translasi-rotasi-stop-rotasi ini dinamakan scanning yang berulang 180 kali.Permasalahan dasar yang muncul dengan metode pengambilan data ini adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapat data yang cukup untuk rekonstruksi gambar. Berikutnya, diperkenalkan skema scanning pasien yang lebih efisien. Sebagai tambahan, sinyal dari detektor harus dikonversikan menjadi data yang dapat dipakai oleh komputer untuk menghasilkan gambar.Tahap pertama pada akuisisi data adalah proses scanning. Selama scanning tabung Sinar-X dan detektor berputar mengelilingi pasien untuk mendapatkan data atenuasi pasien. Detektor menangkap radiasi yang diteruskan melalui pasien dari beberapa lokasi dan dari beberapa sudut. Sebagai hasilnya, nilai transmisi relatif atau pengukuran atenuasi dapat dihitung sebagai berikut:

Transmisi relatif=log I0IdenganI0=Intensitas Sinar-X pada tabungI=Intensitas Sinar-X pada detektor

Metode akuisisi data CT-Scan ada dua, yaitu :a. Metode konvensional slice by slice atau metode aksial. Prinsipnya, tabung sinarx dan detektor bergerak mengelilingi pasien dan mengumpulkan data proyeksi pasien. Saat pengambilan data proyeksi, posisi meja berhenti. Kemudian meja pasien bergerak untuk menuju posisi kedua dan dilakukan proses scanning berikutnya. Demikian seterusnya. b. Metode spiral atau helical. Pada metode ini tabung sinarX bergerak mengelilingi pasien yang juga bergerak. Pada metode ini, berkas Sinar-X membentuk pola spiral atau helical. Data untuk rekonstruksi citra pada setiap slice diperoleh dengan interpolasi. Teknik ini memiliki kelebihan dalam waktu yang relatif cepat.

Gambar 2.3.3 Skema dasar Akuisisi Data pada CT-Scan (Kartawiguna, 2014).

Sinar-X yang mengalami atenuasi setelah menembus objek akan ditangkap oleh detektor yang berhadapan dengan sumber sinar dan terletak di belakang objek. Pada saat yang bersamaan detektor menerima berkas Sinar-X yang langsung berasal dari sumber, berkas radiasi tersebut oleh detektor diubah dalam bentuk sinyal listrik yang akhirnya oleh analog digital converter diubah dalam bentuk digital. Selanjutnya data tersebut dikirim ke komputer dan melalui proses matematis data-data tersebut direkonstruksi dan ditampilkan kembali pada layar monitor berupa citra dengan skala keabuan.

Gambar 2.3.4 Prinsip CT-Scan Spiral

Dasar teori matematika yang digunakan untuk rekonstruksi gambar hasil proyeksi pada CT-Scan adalah Transformasi Radon. Informasi yang diperoleh dari pengukuran yang dilakukan adalah sekumpulan nilai proyeksi dari distribusi koefisien atenuasi (x,y) yang tidak diketahui, yang disebut sebagai transformasi Radon dari gambar atau obyek. Untuk mendapatkan masing-masing nilai (x,y) maka harus dilakukan tranformasi balik dari data ini.

Gambar 2.3.5 Proyeksi obyek yang diperoleh dari satu putaran penuh (Kartawiguna, 2014).

Gambar 2.3.6 Rekonstruksi gambar dari data mentah menjadi gambar CT-Scan (Kartawiguna, 2014).

Hasil akuisisi seluruh proyeksi dari obyek disebut sebagai data mentah (raw data). Bila data mentah ini ditampilkan akan membentuk suatu pola yang disebut sebagai sinogram atau raw data. Sinogram ini sesungguhnya merupakan transformasi Radon dari obyek.Ada beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk melakukan tranformasi balik dari data ini, diantaranya adalah:1) Teknik Rekonstruksi Aljabar atau Algebraic Reconstruction Techniques (ART)2) Metode Fourier3) Proyeksi Balik Tertapis (Filtered Backprojection)4) Prosedur Proyeksi Balik dengan Konvolusi (Convolution-Backprojection Procedure).

Metode back projection banyak digunakan dalam bidang kedokteran. Metode ini menggunakan pembagian pixel-pixel yang kecil dari suatu irisan melintang. Pixel didasarkan pada nilai absorbsi linier. Kemudian pixel-pixel ini disusun menjadi sebuah profil dan terbentuklah sebuah matrik. Rekonstruksi dilakukan dengan jalan saling menambah antar elemen matrik.Untuk mendapatkan gambar rekonstruksi yang lebih baik, maka digunakan metode konvolusi. Proses rekonstruksi dari konvolusi dapat dinyatakan dalam bentuk matematik yaitu transformasi Fourier.Dengan menggunakan konvolusidan transformasi Fourier, maka bayangan radiologi dapat dimanipulasi dan dikoreksi sehingga dihasilkan gambar yang lebih baik.Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari picture element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar. Rekonstruksi matriks ini merupakan salah satu struktur elemen dalam memori komputer yang berfungsi untuk merekonstruksi gambar. Jumlah ukuran matriks yang dapat digunakan yaitu 80 x 80, 128 x 128, 256 x 256, 512 x 512 dan 1024 x 1024. Rekonstruksi matriks ini berpengaruh terhadap resolusi gambar yang akan dihasilkan. Semakin tinggi matriks yang dipakai, maka semakin tinggi resolusi yang akan dihasilkan.Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis (algorithma) yang digunakan dalam merekonstruksi gambar. Ada 3 rekonstruksi dasar algoritma yang digunakan pada CT kepala, cervikal dan tulang belakang. Yaitu sebagai berikut (Li, et al., 2014):a. Algoritma standarStandar algoritma menyediakan resolusi kontras yang baik dan oleh sebab itu algoritma ini menjadi pilihan untuk pemeriksaan brain. Selain itu juga berguna untuk soft tissue pada kepala, wajah, dan tulang belakang.b. Bone algoritmaBone algoritma membantumeningkatkan spatial resolusi tetapi menghasilkan resolusi kontras yang buruk. Akibatnya, jenisalgoritma ini hanya digunakan pada area dengan densitas jaringan yang tinggi seperti Sinus paranasal atau tulang temporal.c. Detail algoritmaDetail algoritma memberikan cukup resolusi kontras dengan batas tepi yang baik. Oleh karena itu dapat digunakan untuk memperoleh definisi yang lebih baik antar jaringan, terutama pada leher dan wajah.

2.3.4. Penampilan GambarIrisan dari suatu obyek terbagi dalam elemen volume yang kecil yang disebut dengan voxel. Masing-masing voxel memiliki suatu nilai tertentu yang menyatakan atenuasi rata-rata sinar-X oleh obyek pada posisi tersebut. Sedangkan, elemen gambar dalam bidang 2 dimensi disebut pixel. Satu bagian volume dari gambar yang direkonstruksi (= voxel) diwakili oleh ukuran pixel di bidang (x, y) dan ketebalan irisan (s) dalam sumbu-z. Teknik rekonstruksi gambar CT kemudian dapat dilakukan dengan membagi-bagi irisan jaringan yang disinari menjadi beberapa pixel dimana masing-masing pixelmewakili CT Number-nya masing-masing. Nilai koefisien pelemahan radiasi diukur kemudian dikodekan dan ditransfer ke komputer. Oleh komputer akan ditampilkan dalam gambar 2 dimensi yang disebut dengan matriks. Kumpulan CT Number dari pixel-pixel tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk matriks untuk keperluan rekonstruksi dan penampilan gambar.Nilai-nilai CT Number tersebut akan ditampilkan pada layar monitor dengan cara mengkonversikannya ke dalam skala dari hitam ke putih (grey scale). CT Number yang tinggi (jaringan keras, tulang) akan ditampilkan menjadi putih dan CT Number yang rendah (lemak, udara) akan ditampilkan hitam. Karena untuk jaringan lunak (Soft tissue) memiliki range tertentu yang kemudian masih dibagi-bagi lagi menjadi beberapa jaringan, maka khusus untuk jaringan lunak ini dipakai teknik degradasi warna dari hitam ke putih sesuai skala grey level agar jaringan-jaringan lunak dengan skala range kecil dapat ditampilkan dalam warna yang berbeda satu dan lainnya (Kartawiguna, 2014).Gambar CT dapat disimpan dalam pita magnetik dan cakram magnetik. Saat ini, teknologi penyimpanan optik telah menambah dimensi penyimpanan informasi dari CT-Scan. Pada penyimpanan optik, data yang terekam dibaca oleh sinar laser. Pada kasus ini penyimpanannya biasa disebut laser storage. Media penyimpanan optik seperti disket, pita kaset dan kartu. Pada CT, komunikasi bermakna transmisi elektronik data berupa tulisan dan gambar dari CT-Scan ke alat lain seperti laser printer, diagnostic workstation, layar monitor di radiologi, ICU, kamar operasi dan trauma di RS; dan komputer di luar RS. Komunikasi elektronik pada CT perlu protokol standar yang memungkinkan koneksitas (networking) antar modalitas (CT, MRI, digital radiography danfluoroscopy) dan peralatan multivendor.

2.4. Keunggulan dan Kekurangan CT-Scan1) Kelebihan CT-Scan a. Gambar yang dihasilkan memiliki resolusi yang baik dan akurat. b. Tidak invasive (tindakan non bedah). c. Waktu perekaman cepat. d. Gambar yang direkontruksi dapat dimanipulasi dengan komputer sehingga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. 2) Kekurangan CT-Scan a. Paparan radiasi akibat sinar X yang digunakan yaitu sekitar 4% dari radiasi sinar X saat melakukan foto rontgen. Jadi ibu hamil wajib memberitahu kondisi kehamilannya sebelum pemeriksaan. b. Munculnya artefak (gambaran yang seharusnya tidak ada tapi terekam). Hal ini biasanya timbul karena pasien bergerak selama perekaman, pasien menggunakan tambal gigi amalgam atau sendi palsu dari logam, atau kondisi jaringan tubuh tertentu. c. Reaksi alergi pada zat kontras yang digunakan untuk membantu tampilan gambar.

2.5. Aplikasi Dalam Forensik dan MedikolegalPada tahun 1895, Wilhelm Conrad Roentgen (1845-1923) memperkenalkan citra pertama X-ray manusia. Dia menunjukkan gambar kerangka tangan istrinya. Pada tahun yang sama, pemeriksaan X-ray juga diperkenalkan sebagai alat bukti di pengadilan, berupa gambar yang menunjukkan peluru di kaki, yang ditembakan oleh seseorang, tetapi dokter bedah tidak dapat menemukan proyektilnya. Peluru itu terlokalisasi di kaki bagian bawah antara tibia dan fibula. Gambar itu dihadirkan di Pengadilan, dan pelaku dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. Tiga tahun kemudian teknik ini digunakan dalam pemeriksaan mayat. Banyak pemeriksaan X-ray sehubungan dengan forensik dalam autopsi, telah terbatas pada kasus-kasus tertentu seperti luka tembak peluru, sindrom battered child dan tenggelam, serta untuk tujuan identifikasi, dll.Sejak awal tahun 1970 computed tomography telah dikembangkan, yang dimungkinkan untuk membuat citra radiologi cross-sectional dari seluruh tubuh. Pada tahun 1998, CT-Scanner generasi baru diperkenalkan. Alat ini mampu untuk menghasilkan berbagai citra cross-sectional dari tubuh yang lengkap dalam waktu kurang dari 1 menit. Teknik ini, bersama-sama dengan multi slice computed tomography (MSCT), telah diterapkan dalam beberapa kasus-kasus tertentu dan sukses besar selama beberapa tahun terakhir. Institute of Forensik Medicine di Copenhagen pada bulan April 2002 memperoleh Spiral CT-Scanner, dan dari Desember 2002 telah menjadi prosedur rutin di Departemen Patologi forensik untuk melakukan scanning pada seluruh tubuh dari semua mayat sebelum dilakukan pemeriksaan post-mortem (Poulsen & Simonsen, 2007).Menurut Thalia, et al. (2003), penggunaan CT-scan dapat menjadi alat alternatif dalam proses identifikasi selain menggunakan metode baku seperti DNA, Sidik jari, dan Odontologi. Misalnya pada proses pencarian anak peluru, benda asing dalam tubuh, dan pencitraan pada mayat yang sudah mengalami dekomposisi.

(a) (b)Gambar 2.5.1 (a) Potongan axial computed tomography menunjukkan citra adanya fragmen tulang dan otak mengalami kolaps akibat pembusukan dalam. (b) Penampakan sepert keju Swiss otak akibat adanya gas dekomposisi (panah) (Thalia, et al., 2003).

Penelitian oleh Kawasumia et al (2013) pada kasus tenggelam yang dilakukan dengan jumlah sekitar 250 kasus dilakukan post-mortem CT. Pemeriksaan post-mortem CT menemukan hasil, kurangnya peningkatan konsentrasi bidang paru, pembekuan darah di jantung, aorta toraks atau paru arteri, dan urin retensi di kandung kemih ditemukan lebih sering dalam kasus kematian hipotermia daripada non-hipotermia kasus kematian.Poulsen & Simonsen (2007) di Copenhagen melakukan penelitian kasus-kasus trauma yang dilakukan pemeriksaan CT-Scan sebelum diperiksa post-mortem (autopsi). Hasilnya menunjukan bahwa CT-scanner sangat berguna untuk bukti dan dokumentasi, yang sulit didapatkan sebelumnya. Pemeriksaan CT telah menunjukkan sangat berguna dalam kasus perdarahan intrakranial, memar otak dan edema, splenomegali, patah tulang panggul dan ekstremitas fraktur dan aneurisma, baik intrakranial serta aorta.

Gambar 2.5.2 Topogram menunjukkan fraktur bilateral pada pelvis (Poulsen & Simonsen, 2007).

Korelasi antara pematangan klavikula dan usia individu telah lama dipelajari dari tulang kering dan spesimen autopsi. Studi terbaru mengungkapkan penggunaan alat pencitraan seperti radiografi, ultrasonografi, CT, dan magnetic resonance imaging (MRI) dalam mengevaluasi pematangan klavikularis. Di antaranya, CT memiliki keuntungan tertentu termasuk resolusi gambar yang tinggi, akurasi dalam mendeteksi pusat osifikasi, kurangnya jaringan lunak yang tumpang tindih, dan potensi untuk digunakan baik individu hidup atau post mortem (Pattamapaspong, et al., 2015). Penelitian oleh Pattamapaspong et al., menilai perkembangan klavikularis pada populasi Thailand menggunakan thin-slice computed tomography. Status penulangan dari epiphysis klavikularis medial ditentukan pada 409 pasien yang menggunakan klasifikasi 5 tahap dengan metode Schmeling et al. Hasil dari penelitian ini dapat membantu hasil penilaian lebih akurat untuk memperkirakan usia.Pencitraan menggunakan CT-Scan selain estimasi usia juga dapat menilai perkiraan tinggi badan (stature) seseorang. Penelitian oleh Torimitsu et al. (2014) menilai estimasi tinggi badan pada kadaver orang jepang yang diukur tulang sacral dan coccygeal menggunaak alat Multi-Slice Computed Tomography. Dua ratus enam belas subyek dari populasi Jepang (110 laki-laki dan 106 perempuan) yang menjalani postmortem CT dengan autopsi forensik berikutnya antara Januari 2010 dan Agustus 2013 diukur. Sebuah gambar penampang sagital dari sakrum dan tulang ekor digunakan. Hasilnya setiap parameter secara signifikan dan positif berkorelasi dengan estimasi tinggi antara laki-laki dan perempuan. Disimpulkan bahwa panjang sacrococcygeal atau sakral diukur dengan MSCT adalah berpotensi berguna sebagai alat untuk estimasi tinggi badan, terutama dalam kasus di mana prediktor yang lebih baik seperti tulang panjang tidak tersedia.

Gambar 2.5.3 Pengukuran panjang tulang dari gambar yang sudah diformat ulang yang terdapat kedua end points; pengukuran ini digunakan untuk estimasi tinggi badan pada mayat terdekomposisi. (a) Humerus, (b) radius, (c) femur and (d) tibia (Sidler, et al., 2007).Pada kasus yang melibatkan hilangnya banyak nyawa (Mass Fatality Incidents), sangat penting untuk mengidentifikasi para korban dengan cepat dan akurat, berhubungan dengan urusan hukum dan agar keluarga korban bisa segera memakamkan dengan layak. Proses identifikasi ini mengacu pada protokol Interpol Disaster Victim Idenfication Guideline yang membagi dalam beberapa fase. Metode identifikasinya dibagi menjadi dua bagian yakni primary identifiers (DNA, Sidik jari dan Rekam Gigi) dan secondary identifiers (Properti, Fotografi, Rekam Medis, dll.) (Sidler, et al., 2007). Untuk beberapa waktu ke belakang, penggunaan metode pencitraan belum banyak digunakan, hal ini mungkin disebabkan salah satunya terkendala alat yang sulit untuk dibawa ke wilayah terpencil atau medan terjal dan juga belum banyak fasilitas kesehatan yang mempunyai alat tersebut.Sebuah studi awal dilakukan oleh Morgan, et al. (2014), memberikan pendapat bahwa dalam kondisi darurat bisa digunakan PMCT mobile (lorry based) yang ditempatkan dalam kamar jenazah atau fasilitas medis sementara. Bila tidak ada sumber listrik bisa digunakan generator listrik. Protokol pencitraan bergantung dan ditentukan pada kondisi insiden dan modalitas radiologi yang tersedia. PMCT bisa dilakukan pada jenazah yang terbungkus dalam kantong mayat, namun perlu prosedur tambahan untuk mengakses tubuh jenazah. Perlu dilakukan tindakan penarikan bagian tangan ke samping tubuh, mengurangi rigor mortis atau membuka jaringan lunak atau bahkan melepas tulang pada kasus kebakaran, agar tubuh bisa masuk ke dalam pintu masuk alat pemindai. Petugas yang melakukan prosedur PMCT idealnya seorang ahli forensik atau dokter spesialis radiologi yang sudah dilatih DVI, atau radiographer yang sudah menjalani pelatihan. Data-data radiologikal ante-mortem (misal radiograf, fluoroskopi, CT atau dental radiologi) sangat berguna untuk membantu proses identifikasi agar bisa dicocokan dengan hasil gambar PMCT.

BAB 3PENUTUP

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:1) CT atau CAT-Scan merupakan alat kedokteran yang digunakan untuk menampilkan gambar penampang tubuh yang dideteksi menggunakan sinar X-Ray dengan bantuan komputer. 2) Penerapan prinsip fisika pada CT Scan menggunakan teori Atenuasi dan mempunyai cara kerja terdiri dari akuisisi data, pengolahan data, rekonstruksi, representasi dan penyimpanan. 3) Kelebihan CT Scan adalah cepat, akurat, tidak invasive, resolusinya tinggi dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sedangkan kekurangan CT Scan adalah dosisnya tinggi, biasanya terjadi movement unsharpness dan resiko alergi media kontras. 4) Aplikasi penggunaan CT-Scan pada forensic sudah sangat berkembang luas. Penggunaan yang sudah diteliti antara lain penentuan perkiraan usia, perkiraan tinggi badan, penentuan penyebab kematian, dan membantu proses identifikasi pada kematian korban massal dengan prosedur Interpol DVI.

DAFTAR PUSTAKA

Bushong, S. C., 2012. Radiologic Science for Technologists: Physics, Biology, and Protection. 10th ed. Missouri: Mosby.

Corno, A. & Festa, P., 2009. Congenital Heart Defects: Decision Making for Cardiac Surgery. 3rd ed. Jerman: Steinkopff Verlag.

Hendee, W. R., 2014. IMAGING IN MEDICAL DIAGNOSIS AND THERAPY. 1st ed. Florida: Taylor & Francis Group.

Hsieh, J., 2014. History of x-ray computed tomography. In: W. R. Hendee, ed. Cone Beam Computed Tomography. Florida: CRC Press, p. 1.

Kartawiguna, D., 2014. Pemindai Tomografi Komputer. 1st ed. Jakarta: Binus University Press.

Kawasumia, Y., Onozuka, N., Kakizakia, A. & Usui, A., 2013. Hypothermic death: Possibility of diagnosis by post-mortem computed tomography. European Journal of Radiology, Volume 82, p. 361 365.

Li, L., Chen, Z. & Wang, G., 2014. Reconstruction algorithms. In: W. R. Hendee, ed. Cone Beam Computed Tomography. Florida: CRC Press, p. 21.

Lucas, J., 2015. Live Science. [Online] Available at: http://www.livescience.com/32344-what-are-x-rays.html[Accessed 12 06 2015].

Morgan, B. et al., 2014. Use of post-mortem computed tomography in Disaster Victim Identification.. Journal of Forensic Radiology and Imaging, Volume 2, pp. 114-116.

Pattamapaspong, N., Madla, C., Mekjaidee, K. & Namwongprom, S., 2015. Age estimation of a Thai population based on maturation of the medial clavicular epiphysis using computed tomography. Forensic Science International, Volume 246, pp. 123 e1 - e5.

Poulsen, K. & Simonsen, J., 2007. Computed tomography as routine in connection with medico-legal autopsies. Forensic Science International, Volume 171, pp. 190-197.

Sidler, M. et al., 2007. Use of multislice computed tomography in disaster victim identificationAdvantages and limitations. Forensic Science International, Volume 169, pp. 118-128.

Thalia, M. et al., 2003. Into the decomposed bodyforensic digital autopsy using multislice-computed tomography. Forensic Science International, Volume 134, pp. 109-114.

Torimitsu, S. et al., 2014. Stature estimation in Japanese cadavers using the sacral and coccygeal length measured with multidetector computed tomography. Legal Medicine, Volume 16, pp. 14-19.