Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

414

Transcript of Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

Page 1: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf
Page 2: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

Prosiding

SEMINAR NASIONAL

BIOLOGI Medan, 9 April 2016

Tema :

Implementasi Riset Hayati

dan Pengembangannya

di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

Editor :

Dr. Erni Jumilawaty, M.Si. (Biologi USU) Dr. Fitmawati, M.Si. (Biologi UNRI) Dr. It Jamilah, M.Sc. (Biologi USU)

Prof. Dr. Manihar Situmorang, M.Sc. (Kimia UNIMED) Dr. Salomo Hutahaean, M.Si. (Biologi USU)

2016

Page 3: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

ii

USU Press

Art Design, Publishing & Printing

Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU

Jl. Universitas No. 9

Medan 20155, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

usupress.usu.ac.id

© USU Press 2016

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian atau

seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 979 458 904 7

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Prosiding Seminar Nasional Biologi: Implementasi Riset Hayati dan Pengembangannya di Era

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) / Editor: Erni Jumilawaty [et.al.] – Medan: USU Press, 2016.

x, 402 p.: ilus.; 29 cm

ISBN: 979-458-904-7

1. Riset Hayati I. Judul

Dicetak di Medan, Indonesia

Page 4: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

iii

LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 2016

Assalamu‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Seminar Nasional Biologi USUtanggal 9 April 2016 di Medan, merupakan seminar rutin

tahunan yang diadakan oleh Departemen Biologi FMIPA USU, yang pada tahun ini

mengusung Tema : "Implementasi riset hayati dan pengembangannya di era masyarakat

ekonomi Asean (MEA)".Tema ini kami pilih sehubungan dengan diterapkannya MEA oleh

pemerintah tahun 2015 ini. Oleh karena itu perlu adanya stategi dalam mengimplmentasikan

dan mengembangkan hasil riset hayati supaya dapat bersaing dengan produk lainnya di era

MEA ini.

Seminar berlangsung selama satu hari dan dibagi atas dua sesi yaitu sesi plenari dan

parallel. Sesi plenari disampaikan oleh 4 orang pembicara utama sementara sesi parallel

disampaikan oleh beberapa orang pemakalah yang dikelompokkan atasdalam 5 topik dari

bidang Biologi yaitu

Kenekaragaman hayati,

Lingkungan,

Mikrobiologi dan Biologi Molekuler,

Struktur Dan Fungsi Tumbuhan,

Struktur Dan Fungsi Hewan, Biofarmaka Dan Biomedis

Kegiatan Seminar Nasional Biologi dihadiri oleh kurang lebih 250 orang peserta, dan

66 orang diantaranya adalah peserta pemakalah. Peserta Seminar datang dari berbagai daerah

di wilayah tanah air terutama Sumatera dan Pulau Jawa yaitu antara lain Aceh, Sumatera

Barat, Riau, Palembang, Bandung, Bogor dan Sumatera Utara sendiri yaitu (Medan dan P.

Sidempuan).

Tujuan dari seminar ini adalah memfasilitasi sharing pengalaman dan informasi

ilmiah dalam berbagai bidang penelitian hayati di era MEA serta membangun jejaring dan

kerjasama penelitian antar lembaga pendidikan tinggi, peneliti, pemerhati dan stakeholders di

era MEA.

Panitia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung

terselenggaranya kegiatan seminar Nasional Biologi hingga selesainya Prosiding khususnya

kepada Rektor USU, Dekan FMIPA USU, pemakalah oral dan peserta, sponsor, dan seluruh

panitia. Setulusnya kami mohon maaf jika ada kekurangan di sana sini, dimana semua itu

bukanlah suatu kesengajaan tetapi karena kelemahan dan keterbatasan kami.

Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Medan, 09 April 2016

Dr. Yurnaliza, M.Si

Page 5: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

iv

SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PADA PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL BIOLOGI TAHUN 2016

(SABTU, 09 APRIL 2016)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua.

Hadirin yang saya hormati. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena

atas Berkah dan Karunia-Nya, kita dapat hadir pada Seminar Nasional Biologi tahun 2016.

Rektor Universitas Sumatera Utara mengucapkan selamat kepada Dekan FMIPA-

USU, Ketua Departemen Biologi FMIPA-USU dan Panitia Seminar Nasional Biologi, atas

terselenggaranya seminar yang merupakan hasil kerjasama yang solid.

Universitas Sumatera Utara memperoleh kehormatan menjadi tuan rumah seminar ini,

kususnya Biologi FMIPA. Seminar dengan tema “Implementasi Riset Hayati dan

Pengembangannya di Era Masyarakat Ekonomi Asean” menjadi satu momen penting

bagi para Peneliti, Akademisi, Praktisi, Mahasiswa Strata dan Pasca Sarjana, juga pemerhati

ilmu pengetahuan pada umumnya, baik bidang Biologi Biofarmasi, dan Biomedik

khususnya. Kita bertemu disini untuk menyampaikan dan berbagi informasi tentang hasil-

hasil Penelitian Biologi, dan Perkembangan ilmu biologi. Seminar ini pasti banyak

memberikan kontribusi hasil-hasil Riset Biologi. Optimalisasi Terapannya untuk membangun

Bangsa ini menjadi Mandiri di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Riset Biologi

selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan keilmuan di bidang Biologi sesuai dengan

perkembangannya secara nasional maupun internasional.

Kekayaan hayati Indonsia sangat banyak dan beragam sudah dikenal dunia

diharapkan tidak hanya menjadi semboyan dan senandung para ilmuwan. Kekayaan hayati

tersebut merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia yang diamanahkan Sang Pencipta untuk

dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kejayaan bangsa. Riset dan

implementasinya di bidang Biologi harus lebih didorong untuk maju, ditingkatkan baik

kualitas maupun kuantitasnya dan dilakukan berkesinambungan. terutama dalam menghadapi

persaiangan terbuka di era MEA yang sudah dimulai sejak Desember 2015. Hasil dari Riset

tersebut selanjutnya dapat diAplikasikan dalam kehidupan untuk membangun kemandirian

masyarakat untuk siap menjadi tenaga ahli, sehingga Sumber Daya Manusia Indonesia

menjadi komoditi unggulan.

Semoga seminar seperti ini dapat berkesinambungan baik di Biologi FMIPA-USU

maupun di Perguruan Tinggi daerah-daerah lain di Indonesia.

Kami mengucapkan “Selamat Datang Sumatra Utara Medan” kepada Tamu

Undangan, Pembicara Kunci, Penyampai Makalah dan Peserta Seminar yang hadir,

khususnya yang berasal dari luar Medan semoga mendapatkan Ilmu dan Pengalaman yang

berguna selama berada di sini dan Saya ucapkan selamat mengikuti Seminar Nasional

Biologi.

Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa semoga Seminar Nasional Biologi Tahun 2016

memberikan manfaat bagi kita semua.

Selamat pagi, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Medan, 09 April 2016

Rektor Universitas Sumatera Utara

Page 6: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

v

DAFTAR ISI

LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 2016 ............................ iii

SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS SUMATERA UTARA .......................................... iv

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. v

PEMBICARA UTAMA

BIOLOGI BARU DAN PENGEMBANGANNYA DI ERA MASYARAKAT

EKONOMI ASEAN (MEA)

Adi Pancoro ............................................................................................................................... 3

MIKROBIOTA MANUSIA DAN PERANNYA YANG BERAGAM BAGI

INANGNYA

Diana E. Waturangi ................................................................................................................... 7

KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU SUMATERA DAN PEMANFAATANNYA

UNTUK TUJUAN EKOWISATA

Dahelmi ..................................................................................................................................... 8

MIKROBA SEBAGAI AGEN REMEDIASI DAN PENGELOLAAN HAYATI

RAMAH LINGKUNGAN

Erman Munir ............................................................................................................................ 19

LINGKUNGAN

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KULIT DAN DAGING BUAH P

ALA (Myristica fragrans Houtt.) TERHADAP MORTALITAS LARVA Aedes

aegypti INSTAR III

Abdullah, Lisda Arwadeni dan Safrida ................................................................................... 23

AKTIVITAS EKSTRAK DAUN LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata)

TERHADAP PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH

Arief Rachmawan, Andi Wijaya dan Cici Indriani Dalimunthe ............................................. 35

KAJIAN MORFOLOGI, MORFOMETRI, DAN STATUS KONSERVASI PARI

DI SUMATERA BAGIAN UTARA)

Fretty Juniarti dan Mufti Sudibyo ........................................................................................... 41

AKTIVITAS MAKAN PADA GAJAH SUMATERA (Elephas maximus sumatranus)

TERHADAP KERENTANAN BUDIDAYA PERTANIAN DI PROVINSI ACEH

Kaniwa Berliani, Hadi S.Alikodra, Burhanuddin Masy‘ud, Mirza Dikari Kusrini ................. 48

PERKEMBANGAN ANAKAN KUNTUL BESAR (Egretta alba) DAN CANGAK

ABU (Ardea cinerea) DI AREAL BREEDING SITE DESA TANJUNG REJO

Karina Adelia, Erni Jumilawaty, Nursal .................................................................................. 62

Page 7: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

vi

JENIS –JENIS IKAN DI SUNGAI ASAHAN DESA MARJANJI ACEH DAN DESA

LUBU ROPA KABUPATEN ASAHAN

Mayang Sari Yeanny ................................................................................................................ 70

POLA DISTRIBUSI SPASIAL DAN HABITAT PREFERENSIAL Rusa timorensis

DI PULAU PEUCANG TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Mufti Sudibyo, Yanto Santosa, Burhanuddin Masy‘ud, Toto Toharmat ................................. 75

KAJIAN MORFOLOGI, MORFOMETRI, DAN STATUS KONSERVASI HIU

DI SUMATERA BAGIAN UTARA

Puput Rahayu dan Mufti Sudibyo ............................................................................................ 84

PERILAKU PEMBENTUKAN PASANGAN BURUNG KUNTUL KERBAU

(Bubulcus ibis L.) DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA TANJUNG REJO,

KECAMATAN PERCUT SEI TUAN, KABUPATEN DELI SERDANG,

SUMATERA UTARA

Ristia Diani, Erni Jumilawaty .................................................................................................. 91

HUBUNGAN ANTARA KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DENGAN

PARAMETER FISIKA KIMIAWI AIR SUNGAI EMPAYANG KASAP-

SUKAJADI-KABUPATEN LAHAT

Saleh Hidayat, Susi Dewiyeti, Desven Hecca .......................................................................... 96

KEHATI

STUDI ETNOBOTANI TUMBUHAN OBAT PADA MASYARAKAT SUKU NIAS

KECAMATAN GUNUNG SITOLI ALO‘OAKOTA GUNUNG SITOLI

Asaaro Telaumbanua, Alief Aththorick, Nursahara Pasaribu ................................................ 107

KAJIAN LIKEN SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA

DI KAWASAN TERMINAL PINANG BARIS KOTA MEDAN

Ashar Hasairin ........................................................................................................................ 113

KEANEKARAGAMAN JENIS MAKROZOOBENTHOS DI STASIUN RISET

YAYASAN GAJAH SUMATERA (YAGASU) ACEH DESA TANJUNG REJO

KEC. PERCUT SEI TUAN KAB. DELI SERDANG SUMATERA UTARA

Hanifah Mutia ZNA, Ferdinand Susilo, Ida Fauziah ............................................................. 121

METAPOPULASI MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809)

DI PULAU JAWA BAGIAN BARAT

Hendra Gunawan, Vivin S. Sihombing dan Robby Wienanto ............................................... 130

KERAGAMAN DAN HUBUNGAN KEKERABATAN FAMILI

DICROGLOSSIDAE (AMFIBI : ORDO ANURA) BERDASARKAN

MORFOMETRIK DI KAWASAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG,

SUMATERA UTARA

Junaydy Michael Angelo Ginting, Arlen Hanel John, Saleha Hannum ................................. 141

Page 8: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

vii

KEANEKARAGAMAN NEPENTHES DI SUMATERA UTARA

Nurmaini Ginting ................................................................................................................... 150

EKOLOGI DAN DISTRIBUSI KEPUNDUNG (Baccaurea racemosa Muell. Arg)

DI SUMATERA UTARA BAGIAN SELATAN

Rumini Sukarwati, Nursahara Pasaribu dan Saleha Hannum ................................................ 160

PERAN KEBUN RAYA SAMOSIR SEBAGAI PUSAT KONSERVASI FLORA

PEGUNUNGAN SUMATERA BAGIAN UTARA DAN PENDUKUNG WISATA

DANAU TOBA

Sugiarti ................................................................................................................................... 170

KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA:

RHOPALOCERA) PADA BEBERAPA HABITAT DI LEUPUNG ACEH BESAR

Suwarno, Muhammad Toha Putra, Irvianty .......................................................................... 181

POPULASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax sp.) DI PERAIRAN DANAU TOBA,

DESA MARLUMBA, KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR,

SUMATERA UTARA

Villa Tamora T. purba, Ternala Alexander Barus, Hesti Wahyuningsih .............................. 189

MIKROBIOLOGI DAN MOLEKULER

MARKA POLIMORFIK UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK

KELAPA SAWIT (Elaies guineensis Jacq.)DENGAN MENGGUNAKAN RANDOM

AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA (RAPD)

Arnen Pasaribu dan Lollie Agustina P.Putri .......................................................................... 201

KEMAMPUAN ISOLAT BAKTERI LAUT DALAM MENGHAMBAT

PERTUMBUHAN BAKTERI E.coli DAN S. aureus PENYEBAB INFEKSI

SECARA IN VITRO

Diva Utami Anggraini, Fuji Astuti Febria dan Nasril Nasir .................................................. 207

SCREENING BAKTERI DARI PERAIRAN LAUT PARIAMAN PENGHASIL

ENZIM PROTEASE

Fitri Hepnita, Fuji Astuti Febria dan Anthoni Agustien ........................................................ 210

KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL SINBIOTIK BAKTERI ASAM LAKTAT

ISOLAT PG7 YANG DIENKAPSULASI DENGAN ALGINAT, SUSU SKIM DAN

INULIN

Harnisya Nasution, It Jamilah, Nunuk Priyani ...................................................................... 214

POTENSI ISOLAT KAPANG ANTIBIOTIK DARI ―KABUTO‖ SEBAGAI INOKULUM YANG

MENINGKATKAN KADAR PROTEIN PANGAN LOKAL

Jendri Mamangkey, Nurhayani, Nur Arfa Yanti ................................................................... 222

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN Colubrina asiatica (L.)

TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus

Munira, Nora Suraiya, Muhammad Nasir ............................................................................. 235

Page 9: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

viii

PENAPISAN BAKTERI HALOFILIK DARI PERAIRAN LAUT KOTA

PARIAMAN

Rahmadani Marniyelita, Fuji Astuti Febria dan Anthoni Agustien ....................................... 241

KARAKTERISASI MIKROKAPSUL SINBIOTIK BAKTERI ASAM LAKTAT

ISOLAT UM1 YANG DIENKAPSULASI DENGAN ALGINAT, TEPUNG

KACANG ARAB DAN INULIN

Ria Yelvi Ningsih, It Jamilah, Dwi Suryanto ........................................................................ 244

TEST QUALITY FRESH VEGETABLES LETTUCE (Lactuca sativa) AND

CABBAGE (Brassica oleracea) IN SOME TRADITIONAL MARKET IN MEDAN

CITY SEEN FROM CONTENT THE BACTERIA Escherichia coli

Sri Natalia Silaen, Herkules Abdullah ................................................................................... 252

PENGARUH SUPLEMENTASI BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT UM 1 DAN

INULIN TERHADAP KULTUR BENIH IKAN NILA (Oreochromisniloticus)

Virza Ratika Inneke Putri, It Jamilah, Nunuk Priyani ........................................................... 259

APLIKASI ISOLAT Bacillus cereus dan Pseudomonas aeruginosa TERHADAP

Pyriculariagrisea PENYEBAB PENYAKIT BLAST PADA PADI CIHERANG

Zuraidah, Marjulia Ukhra ....................................................................................................... 268

STRUKTUR DAN FUNGSI HEWAN DAN BIOMEDIS

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI RESISTENSI INSEKTISIDA SINTETIK PADA

Aedes aegypti VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA

PADANG

Hasmiwati, Djong Hon Tjong and Eka Novita ...................................................................... 277

EFEK PETIDIN TERHADAP PSIKOMOTORIK DAN FUNGSI KOGNITIF PADA

MENCIT (Mus musculusL.) CEMAS DENGAN MENGGUNAKAN ALAT SISTEM

OTOMATIS INTELLICAGE

Putri Febriani Hasibuan, Syafruddin Ilyas, Salomo Hutahaean ............................................. 285

EFEK ALPRAZOLAM TERHADAP PERILAKU KOGNITIF DAN

PSIKOMOTORIK PADA MENCIT (Mus musculus L.) DENGAN

MENGGUNAKAN ALAT SISTEM OTOMATIS INTELLICAGE

Rinda Febriananda, Syafruddin Ilyas, Salomo Hutahaean ..................................................... 292

PENGARUH EKSTRAK METANOL DAUN SUREN (Toona sureni BL Merr)

TERHADAP SGPT DAN JUMLAH ERITROSIT TIKUS (Rattus norvegicus)

WISTAR JANTAN YANG DIPAPARI KARBON TETRAKLORIDA (CCl4)

Sera Wida Simatupang, Salomo Hutahaean, Masitta Tanjung .............................................. 302

PENGARUH MUSIK KLASIK MOZART TERHADAP PERILAKU MENCIT (Mus

musculus L.) YANG DIINDUKSI OLEH OBAT KLORPROMAZIN DENGAN

MENGGUNAKAN ALAT OTOMATIS INTELLICAGE

Siska Renata Sembiring, Syafruddin Ilyas, Emita Sabri ........................................................ 307

Page 10: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

ix

UJI PATOGENITAS Beauveria bassiana PADA BEBERAPA MEDIA CAIR

BUATAN TERHADAP MORTALITAS LARVA Aedes aegypti

Yulia Sari Ismail, Yekki Yasmin, Nina Anggraini ................................................................ 317

STRUKTUR DAN FUNGSI TUMBUHAN

KARAKTERISTIK LATEKS BEBERAPA KLON KARET (Hevea brasiliensis)

PADA PERIODE BULAN KERING

Andi Wijaya, Arief Rachmawan dan Sayurandi ................................................................... 325

HUBUNGAN KONSENTRASI STIMULAN ETEPON DAN PARAMETER

PRODUKSI PADA BEBERAPA KLON TANAMAN KARET

Atminingsih dan Tumpal H.S. Siregar .................................................................................. 331

PENGARUH 2,4 D, NAA dan KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN

EKSPLAN BIJI BALAKA (Phyllanthus emblica L.)

Boby Pranoto, Firda Novita, Aditiya Bungsu, Dwi Febrina, Isnaini Nurwahyuni ................ 339

DAYA HAMBATASAM SALISILAT TERHADAP BEBERAPA PENYAKIT

PENTING TANAMAN KARET

Cici Indriani Dalimunthe dan Radite Tistama ....................................................................... 344

EMBRIOGENESIS SOMATIK DARI SALAK PADANGSIDEMPUAN (Salacca

sumatrana) DENGAN PENAMBAHAN LISIN

Khairiyah Khairuddin, Elimasni, Isnaini Nurwahyuni .......................................................... 351

UJI POTENSI HASIL PADI SALIBU DENGAN PEMBERIAN BOOSTER

ORGANIK DAN BIOCHAR PUPUK KANDANG

Martos Havena ....................................................................................................................... 358

POTENSI KAYU, BIOMASSA DAN MASSA KARBON POHON KARET (Hevea

brasiliensis Muell Arg) KOLEKSI PLASMA NUTFAH IRRDB 1981

Muhamad Rizqi Darojat dan Syarifah Aini Pasaribu ............................................................ 364

KADAR KLOROFIL DAN KERAPATAN STOMATA MAHONI (Swietenia

macrophylla, King) PADA BEBERAPA LOKASI DI KOTA MEDAN

Rani Apriyani Raharja, Isnaini Nurwahyuni, Riyanto Sinaga ............................................... 372

HUBUNGAN ANTAR KARAKTER KUANTITATIF DAN ANALISIS

KEMIRIPAN GENETIK HASIL PERSILANGAN TETUA KARET BERKERABAT

JAUH

Sayurandi dan M. Rizqi Darojat ............................................................................................ 379

ANATOMI DAUN DAN PENYAKIT COLLETOTRICHUM PADA TANAMAN

KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) IRR SERI 400

Syarifah Aini Pasaribu dan Cici Indriani Dalimunthe ........................................................... 386

Page 11: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

x

ANALISIS KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER PADA BEBERAPA

KOLEKSI GANDARIA (Bouea sp.) YANG BERASAL DARI SUMATRA, JAWA,

KALIMANTAN, DAN AMBON

Tri Harsono, Yusran E Ritonga, Desy Arwita ....................................................................... 397

Page 12: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

1

Pembicara Utama

Page 13: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

2

Page 14: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

3

BIOLOGI BARU DAN PENGEMBANGANNYA DI ERA

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

Adi Pancoro

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati – Institut Teknologi Bandung

Disampaikan pada kegiatan Seminar Nasional Biologi FMIPA USU 2016

Dalam seminar ini disampaikan hal-hal yang berkaitan apa yang dimaksud dengan

MEA, masih banyak dari masyarakat kita yang belum atau sudah sadar bahwa tahun akhir

2015 negara ASEAN sudah memasuki era MEA. Hal-hal apa yang perlu kita ketahui dan

diantispasi dalam MEA khususnya yang berkaitan dengan daya saing produk dan jasa

teknologi & hayati yang dikembangkan dari R&D dan inovasi serta kepemilikan intelektual

(HKI) yang berbasis hayati. Kita harus mengetahui produk dan jasa hayati yang akan

dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan 600 juta penduduk ASEAN dan upaya apa untuk

kesiapan sumber daya manusia (SDM), khususnya lulusan perguruan tinggi atau tenaga

profesi yang siap berdaya saing dengan lulusan diantara ASEAN yang bekerja di industri,

lembaga penelitian, tenaga pengajar di PT/ Universitas dll. Pada kesempatan ini secara umum

dan khusus disampaikan bagaimana peran ilmu hayati (Life Science) dalam menciptakan

perannya mulai dari penelitian dasar, penelitian terapan sampai menjadi produk teknologi

yang berdaya saing.

Pada tahun 2007, para pemimpin ASEAN memutuskan untuk mempercepat

pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015. Dalam cetak biru MEA

disebutkan, ada empat elemen kunci dari AEC yang dituangkan : (1) Sebuah pasar tunggal

dan basis produksi, (2) Sebuah kawasan ekonomi kompetitif, (3) pembangunan ekonomi

yang adil dan (4) Integrasi ke dalam ekonomi global. Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi

ASEAN yang dimulai tahun 2015 secara substansial meliputi antara lain, (1)menghilangkan

tarif dan memfasilitasi perdagangan; (2)memajukan agenda liberalisasi jasa perdagangan;

(3)liberalisasi dan memfasilitasi investasi; (4)merampingkan dan harmonisasi modal pasar

kerangka regulasi dan platform; (5)memfasilitasi mobilitas tenaga kerja terampil;

(6)mempromosikan pengembangan kerangka regional di kebijakan persaingan, hak

perlindungan konsumen dan kekayaan intelektual; (7)mempromosikan konektivitas;

(8)mempersempit kesenjangan pembangunan; (9)dan memperkuat hubungan ASEAN dengan

pihak eksternal. Mengapa ASEAN sangat penting sebagai pasar tunggal dan pusat produksi ?

ada sekitar 600 juta penduduk, ratusan juta konsumen kelas menengah dengan potensi

ekonomi sekitar $2.3 trilliun dan $5.3 trilliun dalam perdagangan global. Oleh sebab itu

banyak negara negara maju seperti USA dan Eropa tertarik ke ASEAN. Produk barang dan

jasa yang dibutuhkan di ASEAN sangat besar merupakan daya tarik yang luar biasa bagi

negara produsen barang dan jasa teknologi/ hayati.

Dalam dokumen cetak biru MEA 2025 salah satunya disebutkan membidani

pertumbuhan produktivitas yang kuat melalui inovasi, teknologi dan pengembangan sumber

daya manusia, dan riset regional intensif dan pembangunan yang dirancang untuk aplikasi

komersial untuk meningkatkan keunggulan kompetitif ASEAN dalam bergerak wilayah

tersebut sampai rantai nilai global ke teknologi yang lebih tinggi dan pengetahuan-intensif

manufaktur dan jasa industri. Dalam penjelasan disebutkan bahwa Daya saing jangka panjang

ASEAN bertumpu pada signifikan meningkatkan produktivitas tenaga kerja negara anggota

ASEAN dan produktivitas faktor total kinerja jika ASEAN akan bergerak ke rantai nilai

global, produktivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor total, pada gilirannya, ditentukan

oleh efisiensi dalam penggunaan input, dan kemajuan pengetahuan, inovasi dan teknologi

kemajuan. Mengingat peran penting adaptasi teknologi dan difusi, serta inovasi dalam

Page 15: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

4

pertumbuhan produktivitas dan jangka panjang daya saing ASEAN, negara-negara Anggota

ASEAN perlu mengambil upaya bersama untuk meningkatkan mereka inovasi dan

kemampuan teknologi. Tantangan ke arah yang lebih inovatif ASEAN adalah dalam hal

investasi dalam penelitian dan pengembangan (R & D) dan pengembangan modal manusia,

dan penguatan kebijakan dan lingkungan kelembagaan (misalnya rezim HKI) untuk kualitas

jaminan, difusi teknologi dan inovasi. Upaya langkah-langkah strategis perlu dilakukan untuk

meningkat daya saing diantara anggota negara ASEAN antara lain :

1. Mempromosikan kemitraan strategis antara akademisi, penelitian lembaga dan sektor

swasta terhadap kemampuan berkembang dan menciptakan saluran yang efektif untuk

transfer teknologi dan komersialisasi;

2. Memperkuat daya saing sektor UKM di ASEAN melalui penerapan ilmu pengetahuan

dan teknologi (S & T) alat dan metodologi; dan

3. Meningkatkan sistem dukungan dan lingkungan yang kondusif untuk memelihara

yang sangat mobile, cerdas dan kreatif sumber daya manusia yang tumbuh subur pada

penciptaan pengetahuan dan aplikasi.

Dituliskan dalam dokumen MEA bahwa untuk mempromosikan inovasi, perhatian

lebih perlu diberikan kepada pengembangan mekanisme nasional dan lintas batas yang

mempromosikan berikut langkah-langkah strategis:

I. Berbagi informasi dan jaringan untuk merangsang ide-ide dan kreativitas di

universitas dan bisnis;

II. Fokus lebih besar pada kewirausahaan, dan pengembangan program inkubator bisnis

untuk komersialisasi;

III. Kebijakan untuk teknologi transfer, adaptasi dan inovasi, termasuk peningkatan

tingkat sebagai kebijakan fiskal dan non-fiskal serta mendukung untuk R & D.

IV. Memfokuskan dukungan pada pengembangan riset dan teknologi-park, bersama

perusahaan, pemerintah dan / atau penelitian universitas laboratorium, R & D pusat,

dan ilmu pengetahuan dan teknologi;

V. Mengembangkan dan memperkuat hubungan ASEAN ke global dan regional jaringan

R & D;

VI. Mempromosikan perlindungan HKI yang kuat di wilayah tersebut; dan

VII. Mempromosikan program-program yang meningkatkan partisipasi ASEAN dalam

dunia dan nilai rantai dan jaringan produksi, termasuk program dan promosi bersama

yang menarik teknologi terkemuka perusahaan untuk mendirikan toko di kawasan,

mengembangkan klaster industri dan dukungan industri, dan konektivitas fisik dan

kelembagaan ditingkatkan di kawasan ini dan dengan seluruh dunia.

Dari point-point diatas dapat dilaksanakan jika kesiapan sumber daya manusia dari

setiap anggoata ASEAN yang berdaya saing. Pemerintah secara nasional difokuskan pada

peningkatan jumlah lulusan di STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) lulusan dari

perguruan tinggi dan universitas kita. Setiap upaya harus dilakukan untuk memastikan bahwa

siswa/lulusan dipersiapkan untuk kerja ilmiah. Lulusan di bidang teknik dan ilmu komputer

misal harus memiliki keterampilan dan kompetensi yang diakreditasi oleh lembaga akreditasi

eksternal. Setidaknya untuk lulusan life sciences - hayati harus memiliki kompetensi dibidang

life science.

Lulusan life science/Hayati setidaknya memiliki spesifik Kompetensi yang

diperlukan:

1. Biology Knowledge : pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh untuk

mendapatkan posisi profesional atau pelatihan profesional dalam biologi.

2. Research skills : Memahami dan menggunakan prinsip-prinsip metode ilmiah dan

penerapan teknik eksperimental untuk memecahkan masalah tertentu.

Page 16: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

5

3. Field Skills : Menggunakan teknik praktis dan aman untuk melakukan penelitian di

lingkungan.

4. Laboratory Skills : Menggunakan teknik praktis dan aman dalam pengaturan

laboratorium.

Tantangan yang dihadapi manusia di bumi dimana jumlah penduduk dunia yang

bertambah sangat terkait dengan (1)pangan, (2)lingkungan,(3) energi dan (4)kesehatan.

Dalam kaca mata ahli biologi perlu berpikir merubah mindset menjadi BIOLOGI BARU

maka terjemahan ke empat kebutuhan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Menghasilkan tanaman pangan untuk beradaptasi dan tumbuh secara

berkelanjutan di lingkungan yang berubah.

Biologi baru bisa memberikan pendekatan secara dramatis lebih efisien untuk

mengembangkan varietas tanaman yang dapat tumbuh secara berkelanjutan dalam

kondisi lokal. Hasil usaha yang terfokus dan terintegrasi ini akan menjadi tubuh

pengetahuan, alat-alat baru, teknologi, dan pendekatan yang akan memungkinkan untuk

beradaptasi segala macam tanaman tanaman untuk produksi yang efisien dalam kondisi

yang berbeda, kontribusi penting terhadap sehingga memungkinkan untuk memberi

makan orang di seluruh dunia dengan berlimpah, makanan sehat, disesuaikan dengan

tumbuh efisien di banyak lingkungan lokal yang berbeda dan selalu berubah.

2. Memahami dan mempertahankan fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati

dalam menghadapi perubahan yang cepat.

Kemajuan mendasar dalam pengetahuan dan generasi baru alat dan teknologi yang

diperlukan untuk memahami bagaimana ekosistem fungsi, mengukur jasa ekosistem,

memungkinkan pemulihan ekosistem yang rusak, dan meminimalkan dampak berbahaya

dari aktivitas manusia dan perubahan iklim. Apa yang dibutuhkan adalah biologi baru,

menggabungkan basis pengetahuan ekologi dengan orang-orang dari biologi organisme,

evolusi dan perbandingan biologi, klimatologi, hidrologi, ilmu tanah, dan lingkungan,

sipil, dan sistem rekayasa, melalui bahasa pemersatu matematika, pemodelan, dan ilmu

komputer. Integrasi ini memiliki potensi untuk menghasilkan terobosan dalam

kemampuan kita untuk memantau fungsi ekosistem, mengidentifikasi ekosistem yang

berisiko, dan mengembangkan intervensi yang efektif untuk melindungi dan

mengembalikan fungsi ekosistem.

3. Memperluas alternatif berkelanjutan untuk bahan bakar fosil.

Pendayagunaan bahan tanaman biomassa untuk membuat biofuel merupakan tantangan

sistem, dan ini adalah contoh lain dari daerah di mana biologi baru dapat memberikan

kontribusi penting. Pada sederhana, sistem terdiri dari tanaman yang berfungsi sebagai

sumber selulosa dan proses industri yang mengubah selulosa menjadi produk yang

berguna. Ada banyak poin dalam sistem yang dapat dioptimalkan. Biologi New

menawarkan kemungkinan memajukan pengetahuan dasar, peralatan, dan teknologi yang

dibutuhkan untuk mengoptimalkan sistem dengan mengatasi tantangan secara

komprehensif.

4. Memahami kesehatan individual.

Tujuan dari pendekatan Biologi New kesehatan adalah untuk memungkinkan untuk

memantau kesehatan masing-masing individu dan mengobati kerusakan apapun dengan

cara yang disesuaikan dengan individu tersebut. Dengan kata lain, tujuannya adalah

untuk memberikan pengawasan prediksi secara individual dan perawatan. Antara titik

awal urutan genom individu dan titik akhir dari kesehatan yang individu adalah web

Page 17: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

6

berinteraksi jaringan kompleksitas mengejutkan. Biologi baru dapat mempercepat

pemahaman mendasar dari sistem yang mendasari kesehatan dan pengembangan alat-alat

dan teknologi yang pada gilirannya akan menyebabkan pendekatan yang lebih efisien

untuk mengembangkan terapi dan memungkinkan individual, obat prediktif.

Pendekatan atau Tools seperti biologi molekuler, bioteknologi, komputasi,

bioinformatika dll memberikan cara pandang yang sedikit berbeda atau baru untuk masuk

dalam pola pikir sebagai BIOLOGI BARU. Kita harus bisa mengaktualisasi diri dengan

kemajuan zaman untuk menghadapi tuntutan industri yang dapat menjalankan roda ekonomi

dinegara kita. Konsep keberlanjutan, produk unggul dan kompetitif sudah harus menjadi

pemikiran kita dalam BIOLOGI BARU.

Tantangan yang dihadapi dalam MEA tidak kecil tetapi kita optimis untuk bersaing

diantara negara ASEAN. Selain itu kita tidak hanya berhenti dalam memahami MEA tetapi

badan dunia (United Nations) telah merumuskan apa yang kita sebut Sustainable

Development Goals (SDGs). Ada 17 goals yang dituliskan dalam dokumen SDGs. Banyak

goals yang dicantumkan berkaitan dengan life science dan ilmu-ilmu lainnya yang harus

disinergikan.

REFERENSI

ICSU, ISSC (2015): Review of the Sustainable Development Goals: The Science Perspective.

Paris: International Council for Science (ICSU).

A New Biology for the 21st Century. www.nap.edu

ASEAN Economic Community Blueprint 2025. Jakarta: ASEAN Secretariat, November

2015

Page 18: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

7

MIKROBIOTA MANUSIA DAN PERANNYA

YANG BERAGAM BAGI INANGNYA

Diana E. Waturangi

Fakultas Teknobiologi, Unika Atma Jaya Jakarta

Mikrobiota manusia merupakan bakteri yang hidup secara alami pada beberapa area

di tubuh manusia, sebagian besar tidak bersifat patogen atau tidak berbahaya malahan

kehadirannya sangat menguntungkan kita. Area pada tubuh manusia yang paling banyak

menjadi tempat tinggal bakteri ialah saluran pencernaan. Keberadaan dari mikrobiota usus ini

bukan hanya sebagai penumpang pasif pada usus kita, namun mikrobiota usus ini bahkan

berperan penting dalam pengembangan dan fungsi dari sistem imunitas/ pertahanan diri kita.

Hasil riset terakhir menunjukkan bahwa mikrobiota pada usus berperan penting dalam

berbagai aspek fisiologi termasuk diantaranya perannya dalam melakukan komunikasi antara

usus dan otak manusia; bahkan perannya dalam mempengaruhi perilaku

seseorang. Komunikasi dua arah antara otak dan usus manusia terjadi karena keberadaan

mikrobiota usus. komunikasi dari otak terjadi saat kortisol yang dikeluarkan otak dapat

mempengaruhi populasi mikrobiota pada usus kita,

selain itu stres ataupun semua aktivitas yang mempengaruhi fungsi hipotalamus pada otak

juga dapat mempengaruhi populasi mikrobiota pada usus kita.

Selain bakteri usus, mikrobiota pada area lain di tubuh kita juga berperan penting.

Salah satunya adalah bakteri metilotrof, yaitu bakteri yang mampu memanfaatkan komponen

berkarbon tunggal sebagai sumber karbonnya. Kemampuan ini dimungkinkan karena bakteri

ini memiliki enzim methanol dehidrogenase yang membuat bakteri ini mampu melakukan

metabolism karbon tunggal. Karbon tunggal yang biasa digunakan oleh bakteri ini ialah

senyawa volatile atau senyawa yang mengandung sulfide yang umumnya mengeluarkan bau

tidak sedap. Beberapa riset menunjukkan bahwa bakteri ini dapat juga ditemukan di beberapa

area pada tubuh manusia, seperti mulut, telapak kaki serta ketiak. Dalam penelitian ini kami

melakukan studi bakteri metilotrof yang ada pada habitat mulut, kaki, serta ketiak manusia.

Sebanyak 55 isolat bakteri metilotrof yang berasal dari ketiak manusia telah berhasil

didapatkan, dan dari kaki sebanyak 21 isolat serta 37 isolat dari mulut manusia. Seluruhnya

telah dilakukan uji biokimia serta deteksi secara molekuler keberadaan gen mxaF yang

menyandikan methanol dehidrogenase. Isolat dari kaki dan mulut telah dilanjutkan untuk

melihat aktivitas enzim methanol dehidrogenase,beberapa isolat menunujukkan aktivitas

tertinggi yaitu isolat K25-3 (74.444 U/ml), K33-6 (79.815 U/ml), and K43-5 (69.259 U/ml)

dari kaki manusia dan isolat M41L3 (135.926 U/ml), M27G2 (85.556 U/ml), M51G1

(103.333 U/ml) dari mulut.Pada riset bakteri yang ada di ketiak manusia kami baru sampai

pada isolasi bakteri dan menemukan 55 isolat dari 40 responden laki-laki serta 65 isolat dari

40 responden perempuan. Beberapa isolate diidentifikasi lebih lanjut dan diketahui sebagai

Micrococus luteus, Rosemonas gilardii, Afipia felis, Klebsiella serta Enterobacter.

Keberadaan bakteri ini sangat penting karena adanya enzim methanol dehidrogenase

yang dihasilkan yang bermanfaat mengurai senyawa metantiol yang berbau, sehingga bakteri

ini berperan penting mengurangi senyawa berbau pada area-area tersebut. Riset yang lebih

mendalam sangat diperlukan terhadap berbagai mikrobiota manusia mengingat perannya

yang sangat penting bagi bagi inangnya.

Page 19: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

8

KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU SUMATERA DAN

PEMANFAATANNYA UNTUK TUJUAN EKOWISATA

Dahelmi

Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Padang

E-mail: [email protected]

Abstrak

Kupu-kupu hanya menjadi bagian kecil yaitu 17.500 spesies dari 155.000 spesies Lepidoptera

yang ada di dunia. Bagian yang terbesar adalah ngengat atau dikenal juga dengan kupu-kupu

malam. Walau jumlah spesiesnya jauh lebih sedikit dari pada ngengat, kupu-kupu lebih lebih

dikenal umum karena sifatnya yang aktif pada siang hari (diurnal) dan warnanya yang cerah

dan menarik. Di Sumatera diperkirakan terdapat sekitar 890 spesies kupu, namun dari

penelitian dan koleksi yang telah dilakukan selama 20 tahun terakhir, telah tercatat sekitar

516 spesies. Khusus kupu-kupu ekor wallet (Swallowtail butterflies, famili Papilionidae)

merupakan salah satu famili yang menarik, dari 121 spesies yang ada di Indonesia, 47

diantaranya tersebar di Sumatera. Kupu-kupu dapat dijumpai hampir di semua habitat

asalkan ada tumbuhan pakan yang cocok bagi spesies kupu-kupu tersebut. Hutan primer,

hutan sekunder, hutan produksi dan kebun manjadi habitat bagi banyak spesies kupu-kupu.

Selain di hutan, kita dapat juga dapat melihat kupu-kupu di sekitar rumah kita. Jika kita

menanam berbagai tumbuhan berbunga dan tumbuhan yang menjadi pakan larva, maka

halaman rumah dapat dikunjungi berbagai spesies kupu-kupu. Kupu-kupu memiliki peran

penting dalam beberapa aspek seperti membantu penyerbukan, menyediakan nilai estetika,

sebagai mangsa di rantai makanan dan jaring makanan. Kupu-kupu dapat bertindak sebagai

sumber pendapatan melalui konsep yang muncul disebut ekowisata (ecotourism). Karena

memberikan nilai yang lebih tinggi di ekowitasa, kebun kupu-kupu (butterfly garden) dan

taman kupu-kupu (butterfly park) dibangun di berbagai negara untuk menarik banyak pecinta

alam yang pada akhirnya akan menghasilkan devisa bagi negara.

Kata kunci: kupu-kupu, keanekaragaman, bunga, butterfly gardens, ekotwisata.

PENDAHULUAN

Kupu-kupu hanya menjadi bagian kecil yaitu 17.500 spesies atau < 12 % dari 155.000

spesies Lepidoptera yang ada di dunia. Bagian yang terbesar adalah ngengat atau dikenal juga

dengan kupu-kupu malam. Walau jumlah spesiesnya jauh lebih sedikit dari pada ngengat,

kupu-kupu lebih lebih dikenal umum karena sifatnya yang aktif pada siang hari (diurnal) dan

warnanya yang cerah dan menarik (Peggie, 2014).

Diantara beberapa negara dengan biodiversitas tinggi, Indonesia dikenal sebagai

negara dengan kekayaan kupu-kupu terutama Papilionidae (121 spesies) dan tingkat

endemisitas yang tinggi yaitu 53 spesies (Collins & Smith, 1995). Mereka sangat sensitif

dengan kerusakan habitat dan telah digunakan secara umum sebagai takson indikator untuk

riset ekologi (Kremen, 1994; Koh & Sodhi, 2004). Beberapa kupu-kupu Asia Tenggara

adalah endemik untuk berbagai daerah dan mereka terancam punah bila kehilangan hutan

(deforestation) masih berlanjut (Koh, 2007). Sumatera yang memiliki biodiversitas yang

tinggi, akhir-akhir ini biodiversitasnya terancam akibat kehilangan hutan yang cepat.

Penebangan hutan (logging) merupakan penyebab utama dari kerusakan habitat tersebut.

Penelitian tentang kupu-kupu di Sumatera pernah dilakukan sejak 20 tahun terakhir.

Sebanyak 10 famili telah tercatat dari berbagai daerah, spesies yang paling banyak tercatat

Page 20: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

9

umumnya berasal dari famili Nymphalidae. Khusus untuk famili Papilionidae telah tercatat

43 spesies yang merupakan kompilasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Salmah dkk.,

(1997, 1999; 2006), Dahelmi (2010), Dahelmi & Salmah (2011), Dahelmi & Suwarno

(2014) dan Rusman (2015). Di pulau Sumatera sendiri terdistribusi 47 spesies kupu-kupu

dari famili Papilionidae ini (Holloway, Kibby and Peggie, 2001).

Kupu-kupu berperan penting dalam ekosistem hutan. Kupu-kupu merupakan bagian

dari rantai makanan (Kassarov, 2001) dan penyerbuk tumbuhan (Sharma & Sharma, 2013).

Pada tulisan ini akan diuraikan tentang keanekaragaman kupu-kupu Sumatera,

interakasi kupu-kupu dengan tumbuhan penghasil nektar, kreasi kebun kupu-kupu

(butterfly garden) dan taman kupu-kupu (butterfly park) untuk tujuan ekowisata. Dari

sekian banyak kupu-kupu yang ada di Indonesia, sebagian telah dipelihara dalam areal

tertutup yang dapat digunakan untuk tujuan pendidikan dan ekowisata.

Keanekaragaman Kupu-kupu di Sumatera

Kupu-kupu digolongkan kedalam superfamili Hesperoidea dan Papilionoidea.

Hesperoidea hanya memiliki satu famili yaitu Hesperiidae. Papilionoidea terdiri dari

beberapa famili yaitu Papilionidae, Pieridae, Nymphalidae, Lycaenidae, Satyride, Danaidae,

Amathusiidae, Libytheidae dan Riodinidae (lihat D‘Abera, 1990, Corbert & Pendlebury,

1990). Kupu-kupu superfamili Papilionoidea memiliki tubuh relatif ramping dengan antena

kiri dan kanan berdekatan serta membesar di ujung. Superfamili Hesperioidea memiliki tubuh

relatif lebih gemuk dengan antena kiri dan kanan berjauhan serta bersiku di ujung (Peggie dan

Amir 2006).

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak memiliki kupu-kupu yang

endemik di pulau-pulau tertentu saja. Dari 17.500 spesies kupu-kupu sedunia, sekitar 2.000

spesies terdapat di Indonesia. Di Sumatera diperkirakan terdapat 890 spesies, di Jawa sekitar

640 spesies, di Kalimantan sekitar 800 spesies, di Sulawesi hampir 560 spesies, di Maluku

sekitar 400 spesies dan di Papua tercatat lebih dari 500 spesies. Angka-angka tersebut belum

mencerminkan keadaan sesungguhnya karena masih banyak area yang belum tersenntuh

penelitian di kawasan Timur Indonesia (Peggie, 2014).

Kupu-kupu dapat dijumpai hampir di semua habitat asalkan ada tumbuhan pakan

yang cocok bagi spesies kupu-kupu tersebut. Hutan primer, hutan sekunder, hutan produksi

dan kebun manjadi habitat bagi banyak spesies kupu-kupu. Selain di hutan, kita dapat juga

dapat melihat kupu-kupu di sekitar rumah kita. Jika kita menanam berbagai tumbuhan

berbunga dan tumbuhan yang menjadi pakan ulat, maka halaman rumah dapat dikunjungi

berbagai spesies kupu-kupu.

Dari hasil penelitian 20 tahun terakhir dan hasil koleksi kupu-kupu dari penulis yang

semuanya tersimpan di laboratorium Taksonomi Hewan FMIPA Universitas Andalas, telah

tercatat sebanyak 477 spesies kupu-kupu. Luk et al., (2011) dalam penelitiannya di pulau

Siberut mendapatkan 20 spesies kupu-kupu pemakan buah, empat spesies diantaranya belum

ditemukan pada penelitian sebelumnya di Sumatera. Baru-baru ini Rusman (2015) meneliti

kupu-kupu di kawasan Gunung Sago, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, yang mana telah

didapatkan sebanyak 184 spesies. Famili Nymphalidae memiliki jumlah spesies yang paling

banyak yaitu 93 spesies. Sebanyak 35 spesies kupu-kupu belum didapatkan pada penelitian

sebelumnya sehingga di Sumatera telah tercatat sebanyak 516 spesies kupu-kupu. Jumlah

spesies masing-masing famili dapat dilihat pada Table 1.

Kupu-kupu dapat terdistribusi di berbagai habitat dan ketinggian tempat. Hasil

penelitian Vu & Decheng (2003) di Vietnam menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan keanekaragaman kupu-kupu diantara perbedaan tipe habitat dan antara area

ketinggian rendah dan tinggi. Keanekaragaman, kekayaan spesies dan kepadatan spesies

di habitat elevasi rendah lebih tinggi dibanding di habitat elevasi tinggi. Hasil penelitian

Page 21: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

10

Rusman (2015) mendapatkan distribusi spesies kupu-kupu pada masing-masing habitat

juga bervariasi. Kupu-kupu yang dapat ditemukan di empat tipe habitat yaitu sebanyak 184

spesies. Hutan karet, hutan sekunder dan lahan pertanian memiliki jumlah spesies yang tinggi

masing-masing 112 spesies, 95 spesies dan 94 spesies. Famili

Tabel 1. Jumlah spesies kupu masing-masing famili yang didapatkan di Sumatera.

No. Famili Total spesies

1 Amathusiidae 14

2 Danaidae 39

3 Hesperiidae 56

4 Libytheidae 1

5 Lycaenidae 116

6 Nymphalidae 146

7 Papilionidae 43

8 Pieridae 46

9 Riodinidae 9

10 Satyridae 46

TOTAL 516

Nymphalidae memiliki jumlah spesies yang paling banyak yaitu 93 spesies. Berdasarkan

waktu pengamatan, jumlah spesies dan individu kupu-kupu lebih banyak ditemukan pada

waktu pagi hari (08.00 sampai 11.59) dibanding siang hari (12.00 sampai 16.00). Jumlah

spesies yang ditemukan di empat lokasi penelitian pada pagi hari yaitu sebanyak 172 spesies

sedangkan pada siang hari sebanyak 142 spesies.

Interaksi Kupu-kupu Dengan Tumbuhan

Kupu-kupu umumnya memanfaatkan nektar sebagai sumber pakan utama. Nektar

adalah senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar tumbuhan dalam bentuk larutan

gula. Komposisi utama nektar adalah glukosa, fruktosa dan sukrosa. Nektar juga

mengandung asam amino (Galetto & Bernardello, 2004) dan lipid. Selain mengisap nektar,

beberapa jenis kupu-kupu juga memakan serbuk sari (Gilbert 1972; Hikl & Krenn 2011).

Kupu-kupu aktif mengunjungi bunga terutama untuk memperoleh nektar. Nektar

merupakan sumber pakan penting bagi serangga polinator, termasuk kupu-kupu. Pada saat

mengisap nektar, serbuk sari akan menempel pada probosis atau tungkai kupu-kupu dan akan

akan menempel pada kepala putik bunga berikut yang dikunjunginya (Peggie, 2014).

Satu jenis tumbuhan dapat dikunjungi oleh satu jenis kupu-kupu atau beberapa

jenis dalam famili yang sama atau jenis-jenis dari famili yang berbeda. Kupu-kupu yang

teramati mengunjungi bunga di empat lokasi penelitian di Gunung Sago, Sumatera

Barat yaitu sebanyak 51 spesies, dimana 12 diantaranya merupakan kupu-kupu famili

Papilionidae (Rusman, 2015). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi preferensi pakan

kupu-kupu, yaitu habitus, bentuk bunga, panjang tabung mahkota dan warna bunga (Tiple et

al., 2009), nektar, serbuk sari dan rewardslainnya (Faheem et al., 2004).

Nimbalkar et al., (2011) melaporkan bahwa bunga yang sering dikunjungi kupu-kupu

adalah bunga yang memiliki corolla seperti tabung (tubular) dibanding berbentuk non tubular.

Kupu-kupu juga lebih sering mengunjungi bunga berwarna merah, kuning, biru dan ungu

dibanding bunga berwarna putih dan pink. Tumbuhan semak seperti Lantana camara lebih

sering digunakan kupu-kupu sebagai sumber makanan (sumber nektar), tanaman ini

berbunga sepanjang tahun. Dari penelitian Mukherjee et al., (2015) didapatkan setidaknya 25

spesies kupu-kupu berkunjung ke bunga Lantana camara. Kelimpahan kupu-kupu didalam

area yang ada Lantana camara lebih tinggi dibanding area tanpa tanaman tersebut,

Page 22: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

11

memberikan indikasirelatif nilai sumber daya yang kuat dari tanaman dalam hal pengelolaan

kupu-kupu. Hasil yang mirip juga didapatkan dari penelitian Mathew & Anto (2017) dimana

kebanyakan kupu-kupu berkunjung dan mencari nektar pada bunga Lantana camara, Cuphea

sp. dan Ixora sp. Sedangkan Sharma & Sharma (2013) melaporkan sekitar 19 spesies kupu-

kupu telah tercatat berasosiasi dengan bunga Lantana camara dibanding bunga lainnya

Ascepias syriaca, Tamarindus indica Diospyros melanoxylon dan Ixora arborea. Pieris (2016)

mendapatkan sekitar 15 spesies kupu berkunjung ke bunga Stachytarpheta jamaecensis,

umumnya dari famili Nymphalidae (6 spesies). Umumnya kupu-kupu datang berkunjung

antara jam 0.800 – 9.30. Duara & Kalita (2014) menyatakan bahwa kupu-kupu berperan

sebagai pollinator utama pada bunga Ixora coccinea. Kupu-kupu yang berkunjung ke bunga

ini adalah dari faimili Papilionidae (6 species), Pieridae (3 species) and Nymphalidae (2

species). Frekuensi kunjungan kupu-kupu tinggi antara pukul 09:00-13.00 pada bulan April

sampai Agustus. Warna bunga berhubungan positif terhadap jumlah kunjungan.

Sebanyak 50 spesies kupu-kupu telah tercatat mengunjungi berbagai bunga di kebun,

spesies dari famili Nymphalidae merupakan kupu-kupu yang dominan dibanding dengan

famili lainnya. Peningkatan yang stabil dalam jumlah populasi kupu-kupu di antara semua

famili kupu-kupu menunjukkan pentingnya kebun tersebut dalam menarik

danmempertahankan populasi kupu-kupu. Kebun kupu-kupu membantu dalam populasi

kupu-kupu liar peduli dan menjaga keanekaragaman hayati dalam ekosistem alami, yang

pada gilirannya, dapat meningkatkan eksistensi manusia (Revathy & Mathews, 2014). Hasil

penelitian Kumar (2014) mendapatkan 38 spesies kupu-kupu pada habitat urban. Spesies dari

famili Nymphalidae lebih dominan didapatkan (11 spesies), diikuti Pieridae (10 spesies),

Lycaenidae (6 spesies), Danaidae (4 spesies), Hesperiidae (4 spesies) dan Papilionidae (3

spesies).

Sebanyak 25 spesies kupu-kupu yang tergolong kedalam famili Papilionidae,

Pieridae, Nymphalidae, Lycaenidae dan Hesperiidae telah tertarik berkunjung ke bunga

Chromolaena odorata (Asteraceae). Spesies yang paling banyak berkunjung adalah dari

famili Nymphalidae (14 spesies), hal ini menunjukkan bahwa kupu-kupu famili Nymphalidae

berperan penting dalam polinasi tumbuhan Chromolaena odorata (Lakshmi & Raju, 2011).

Kupu-kupu dan larva mereka tergantung pada tanaman inang spesifik untuk dedaunan, nektar

dan serbuk sari sebagai makanan mereka. Jadi keragaman kupu-kupu mencerminkan

keanekaragaman tanaman secara keseluruhan, khususnya, bahwa dari tumbuh-tumbuhan dan

semak-semak di daerah tertentu (Nimbalkar et al., 2011).

Kupu-kupu Pemakan Buah (Fruit Feeding Butterflies)

Selain mengisap nektar, kupu-kupu juga terlihat memakan buah busuk. Kupu-kupu

dewasa dari famili Nymphalidae yang tertarik memakan buah-buahan membusuk

digolongkan sebagai kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah (De Vries, Debra & Russell,

1997). Kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah di dalam hutan ada yang terbang di

permukaan tanah (understory) dan kanopi (De Vries, Debra & Ressell, 1997; Fermon,

Waltert & Muhenberg, 2003; Luk et al., 2011).

Selain itu, beberapa kupu-kupu juga teramati berkumpul mengisap pasir, lumpur dan

tanah yang lembab, di sekitar sungai di hutan sekunder dan hutan karet. Sebagian lagi terlihat

mengisap kotoran hewan dan keringat manusia. Perilaku kupu-kupu tersebut umumnya

dilakukan oleh kupu-kupu jantan, meskipun kupu-kupu betina, Charaxes bernardus (Beck et

al., 1999) Hypolimnas bolina dan Hypolimnas missipus juga melakukannya (Nimbalkar et

al., 2011). Perilaku kupu-kupu tersebut dikenal dengan istilah “puddling” (Nimbalkar et al.,

2011, Beck et al., 1999, Molleman et al., 2005).

Salmah & Abbas (2006) telah melakukan penelitian di Hutan Pendidikan dan

Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas yang mana telah ditemukan 36 spesies

Page 23: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

12

Nymphalidae pemakan buah. Dari penelitian Sitompul (2008) di hutan Rimbo Panti,

Pasaman, Sumatera Barat ditemukan kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah sebanyak 47

spesies. Kupu-kupu Nymphalidae tertinggi didapatkan pada lokasi hutan kanopi tertutup

dibandingkan dengan lokasi yang ada gap. Luk et al., (2011) melakukan penelitian

Nymphalidae di Pulau Siberut Mentawai menemukan 20 spesies kupu-kupu pemakan buah

yang termasuk kedalam 14 genera. Spesies Dichorragia nesimaschus, Mycalesis maianeas,

Mycalesis oresis dan Neorina lowii memiliki tingkat tangkapan yang berbeda signifikan

diantara jenis hutan dan stratifikasi vertikal

Dari penelitian Gulo (2015) di pulau Nias didapatkan 16 spesies kupu-kupu pemakan

buah pada strata understory dan 13 spesies pada kanopi. Sedangkan di pulau Enggano,

Pasaribu (2015) menemukan 9 spesies kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah, mereka

terdistribusi di dua strata yaitu di strata permukaan tanah (understory) sebanyak 9 spesies dan

pada strata kanopi sebanyak 6 spesies. Dari 9 spesies kupu-kupu Nymphalidae pemakan

buah yang ditemukan di Pulau Enggano tersebut, Amathuxidia amythaonmemiliki jumlah

individu yang berbeda signifikan pada strata understory dan kanopi. Dari kompilasi hasil

penelitian kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah di Sumatera, telah tercatat sebanyak 75

spesies. Umumnya mereka ditemukan pada strata permukaan tanah (understory).

Penelitian di Sabah, Malaysia telah tercatat 17 spesies kupu-kupu pemakan buah

hanya pada pada level bawah (understory), sementara 3 spesies hanya ditemukan pada level

menengah dan 4 spesies pada level atas (canopy). Sebanyak 31 spesies lebih umum pada

level bawah sementara 23 spesies lebih umum pda level medium dan level atas (Tangah et

al., 2004). Penelitian lain menunjukkan kupu-kupu pemakan buah lebih tinggi diversitasnya

pada level bawah dibanding dengan kanopi (Hughes et al., 1998). Hal ini mungkin

disebabkan karena buah busuk umumnya jatuh ke permukaan tanah.

Kebun Kupu-kupu (Butterfly Garden), Taman Kupu-kupu (Butterfly Park) dan

Ekowisata

Kupu-kupu memiliki peran penting dalam beberapa aspek seperti membantu

penyerbukan, menyediakan nilai estetika, sebagai mangsa di rantai makanan dan jaring

makanan. Kupu-kupu berkontribusi dalam menyeimbangkan ekosistem tetap menjaga

keanekaragaman hayati. Dan juga kupu-kupu bertindak sebagai sumber pendapatan melalui

konsep yang muncul disebut ekowisata (ecotourism). Karena memberikan nilai yang lebih

tinggi di ecotourism, kebun kupu-kupu yang dibangun di berbagai negara untuk menarik

banyak pecinta alam yang pada akhirnya akan menghasilkan devisa bagi negara. Dengan

demikian, mereka memainkan peran berharga dalam menjaga keanekaragaman hayati (Peiris,

2016). Namun, jelas bahwa beberapa spesies tanaman eksotis dan invasif seperti Lantana

camara yang digunakan untuk kebun kupu-kupu karena bunga berwarna-warni menarik dan

sebagai sumber nektar.

Di beberapa negara seperti Singapore, Malaysia, UK, USA dan Jepang, sejumlah

kebun kupu-kupu khusus tertutup telah diciptakan. Kebun kupu-kupu yang sama juga

didapatkan di India, seperti di Bangalore. Namun di sini adalah sebuah taman unik yang

direncanakan yang akan menjadi jenis yang terbuka dan desain adalah sedemikian rupa

sehingga akan menarik sejumlah besar kupu-kupu dan wisatawan (Alaka & Pejaver, 2010) .

Shetler (1990) menyatakan bahwa alasan di balik pengembangan taman kupu-kupu adalah

untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya kebutuhan untuk menyimpan kupu-kupu

dan hewan lainnya dan tanaman dengan menyimpan habitat alami mereka (Pyle, 1995).

Baru-baru ini, kebun kupu-kupu dan rumah kupu-kupu telah menjadi populer di

beberapa negara Asia, Eropa dan Amerika. Pameran kupu-kupu pertama dibuka pada tahun

1960 di Inggris (Hughes & Bennett, 1991). Tujuan utama dari pengaturan kebun kupu-kupu

adalah untuk konservasi kupu-kupu, pendidikan lingkungan, penelitian dan hiburan. Kebun

Page 24: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

13

kupu-kupu telah menyediakan nektar, ketersediaan tanaman yang lebih baik, habitat yang

cocok dansesuaikondisi iklim mikro untuk memfasilitasi pembentukan populasi kupu-kupu.

Kebun kupu-kupu juga menarik pengunjung terutama anak-anak dan siswa dan dengan

demikian menawarkan kesempatan untuk menghasilkan kesadaran tentang konservasi

keanekaragaman hayati. Informasi yang berkaitan dengan keane-karagaman, kelimpahan,

pola musiman dan habitat asosiasi kupu-kupu telah dipelajari di tempat yang berbeda dan

dilaporkan oleh berbagai peneliti seperti Kunte (1998), Arun (2008) dan Ramesh et al.,

(2010).

Alaka &Pajever (2016) menyatakan bahwa peran kupu-kupu dalam ekowisata antara

lain:

a. Taman akan menjadi koloni padat untuk banyak spesies kupu-kupu

b. Seiring dengan kupu-kupu ini, taman bunga akan berkembang.

c. Tata letak dan rencana taman khusus akan menjadi area yang indah

d. Kupu-kupu berwarna-warni akan membuat sebuah area indah akan menarik banyak

wisatawan (ecotourists)

e. Informasi yang disampaikan oleh suku-suku di jalan akan membuat mereka peduli

terhadap kupu-kupu dalam rantai makanan dan pentingnya menyelamatkan warisan

alam negara kita

f. Aliran kontinyu wisatawan akan memberikan pekerjaan masyarakat setempat sebagai

pemandu serta mendorong mereka untuk memulai usaha pariwisata berorientasi untuk

menambah penghasilan

g. Para siswa dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang mengunjungi taman ini

akan mendapatkan pengetahuan tangan pertama tentang kehidupan kupu-kupu

h. Kedatangan wisatawan akan menyediakan pekerjaan bagi penduduk lokal sebagai

pemandu serta mendorong mereka memulai usaha berorientasi wisata dalam

menambah penghasilan mereka.

Disain utama untuk penciptaan butterfly garden adalah sebaiknya lokasi penuh

dengan cahaya, tanam tumbuhan sebagai penghalang angin (shelter) sehingga mencegah

angin yang kencang memasuki kebun, tumbuhan nektar yang kaya, tumbuhan inang larva,

adanya area yang basah atau mud untuk puddling dan adanya batu datar (flat rock) untuk

berjemur (Knodel, Fauske & McGinnis, 2016; Garland, 2016). Penggunaan insektisida

sebaiknya dihindari karena akan berpengaruh terhadap populasi kupu-kupu baik dewasa

maupun larva. Khusus untuk tanaman penghasil nektar, sebaiknya pilih tanaman yang dapat

menghasilkan bunga sepanjang tahun. Salah satu tanaman tersebut adalah Lantana camara

yang memiliki warna bunga bermacam-macam. Hasil kunjungan penulis ke Bali Buterfly

Park (Tabanan Bali), Hiroshima City Forest Park dan Ishikawa Insect Museum di Jepang

yang memiliki taman kupu-kupu, tumbuhan Lantana camara merupakan tanaman penghasil

nektar yang paling sering dikunjungi kupu-kupu. Beberapa penelitian sebelumnya memang

menunjukkan Lantana camara paling banyak dan sering dikunjungi kupu-kupu untuk

memperoleh nektar (lihat Nimbalkar et al., 2011; Sharma & Sharma, 2013; Mukherjee et al.,

2015). Tumbuhan penghasil nektar lain yang patut dipilih untuk ditanam pada butterfly

garden dan butterfly park adalah Caesalpinia spp. Eupatorium odoratum. Hibiscus rosa

sinensis, Ixora javanica, Stachytarpheta jamaicensis dan Clerodendron paniculatum.

Karakterisstik tumbuhan di atas dapat dilihat pada Tabel 2.

Salah satu taman kupu-kupu di Indonesia yang sudah lama dibuka untuk umum

adalah Bali Butterfly Park yang berlokasi di Tabanan Bali. Hasil penelitian Syaputra (2011),

di dalam taman telah dipelihara sebanyak 14 spesies kup-kupu, 8 spesies tergolong famili

Papilionidae, famili Nymphalidae 3 spesies dan Danaidae sebanyak 2 spesies (Tabel 3). Dari

kunjungan penulis ke Bali Butterfly Park, masih ada satu spesies yang dipelihara yaitu Idea

Page 25: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

14

leuconoe (Danaidae). Kupu-kupu ini cukup menarik, ukuran besar dan terbangnya lambat.

Spesies yang sama juga didapatkan di Hiroshima City Forest Park dan

Tabel 2. Tumbuhan penghasil nektar yang patut dipertimbangkan untuk ditanam dalam

Butterfly Garden dan Butterfly Park

No. Spesies Famili Habit Warna

bunga

Tipe bunga

1 Lantana camara* Verbenaceae Semak kuning,

merah

Tubular

2 Caesalpinia

pulcherrima Caesalpiniaceae Semak merah

Non tubular

3 Eupathorium odoratum Asteraceae Semak purple NonTubular

4 Hibiscus rosa sinensis Malvaceae Semak merah Non Tubular

5 Bougainvillea

spectabilis Nyctaginaceae Semak merah

Tubular

6 Ixora javanica* Rubiaceae Semak merah Tubular

7 Stachytarpheta

jamaicensis Verbenaceae Herba violet

Tubular

8 Clerodendron

paniculatum Lamiaceae Semak merah

Tubular

9 Asistasia spp.** Acanthaceae Herba putih Tubular

Ket. * prioritas utama, ** juga sebagai tanaman inang larva

Tabel 3. Kupu-kupu yang dipelihara dalam area Butterfly Park di Tabanan Bali dan

Ishikawa Insect Museum yang keduanya berlokasi di Jepang.

No Spesies Famili Tanaman inang

Spesies Famili

1 Graphium

agamemnon Papilionidaae Annona muricata

Annonaceae

2 Ornithoptera priamus Papilionidaae Aristolochia tagala Aristolochiaceae

3 Pachliopta

aristolochiae

Papilionidaae Aristolochia tagala

Aristolochiaceae

4 Papilio demolion Papilionidaae Melicope latifolia Rutaceae

5 Papilio helenus Papilionidaae Melicope latifolia Rutaceae

6 Papilio memnon Papilionidaae Citrus grandis Rutaceae

7 Papilio peranthus Papilionidaae Zanthoxylum rhetsa Rutaceae

8 Papilio polytes Papilionidaae Murraya koenigii Rutaceae

9 Troides helena Papilionidaae Aristolochia tagala Aristolochiaceae

10 Chetosia hypsea Nymphalidae Passiflora foetida Passifloraceae

11 Doleschalia bisaltide Nymphalidae Pseuderanthemum

reticulatum

Passifloraceae

12 Moduza procris Nymphalidae Mussaenda pubescens Rubiaceae

13 Euploea phaenareta Danaidae Cerbera manghas Apocynaceae

14 Euploea core Danaidae Aganosma sp. Apocynaceae

Spesies lain yang didapatkan di kedua lokasi ini adalah Papilio polytes, Ideopsis dan

Euploea yang semuanya berasal dari daerah tropika.

Dari sekian banyak spesies kupu-kupu Sumatera, beberapa diantaranya dapat

dipelihara dalam taman untuk tujuan ekowisata. Kebanyakan kupu-kupu yang memiliki

warna sayap menarik adalah dari famili Papilionidae sehingga sering dimanfaatkan dan

Page 26: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

15

dipelihara dalam Butterfly Park. Agar wisatawan tertarik berkunjung ke Butterfly Park untuk

melihat kupu-kupu, maka sangat dianjurkan memasukan spesies kupu-kupu yang berwarna

indah, terbangnya lambat, memiliki sifat puddling dan hidupnya lama dalam areal tertutup

ini. Beberapa spesies kupu Sumatera yang memiliki peluang untuk dipelihara dalam areal

tertutup antara lain Pachliopta aristolochiae, Papilio memnon, Papilio polytes, Papilio

demoleus, Troides amphrysus (Papilionidae), Cethosia hypsea

(Nymphalidae) dan Idea leuconoe (Danaidae). Kupu-kupu Idea leucone telah menjadi favorit

pengunjung dan mascot di Hiroshima City Forest Park dan Ishikawa Insect Museum, karena

terbangnya lambat, bisa bertahan hidup lama dalam area tertutup.

PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa informasi penting. Spesies kupu-kupu

yang ada di Sumatera ada sekitar 890 spesies, sedangkan yang telah tercatat dari beberapa

penelitian 20 tahun terakhir ada sekitar 516 spesies. Kupu-kupu banyak yang tertarik kepada

bunga sehingga perannya sebagai pollinator tidak diragukan lagi. Dengan menciptakan kebun

kupu-kupu (Butterfly Garden), akan banyak kupu-kupu yang berkunjung untuk memperoleh

nektar sekaligus meningkatkan populasinya di alam. Beberapa spesies kupu-kupu berpeluang

untuk dipelihara dalam Butterfly Park sehingga menarik pengunjung/wisatawan untuk

berkunjung sehingga kupu-kupu bertindak sebagai sumber pendapatan melalui konsep yang

muncul disebut ekowisata (ecotourism). Kupu-kupu dari famili Papilionidae memiliki

peluang yang besar untuk dipelihara dalam area Butterfly Park karena kebanyakan dari

mereka memiliki warna menarik.

REFERENSI

Alaka, B & M. Pajever. 2010. Role of Butterfly Garden in Ecotourism. Proc. Seminar ―

Ecotourism-An Indian Perspective‖ 13, Feb. 2010.

Arun, P. R. 2008. Seasonality of swallowtail butterfly community (Lepidoptera: Papilionidae)

of Siruvani forest, Western Ghats, Southern India. Pro.Sem.Wonderful World of

Insects, Dec 2008: pp 66-71.

Beck. J., E. Muhlenberg & K. Fiedler. 1999. Mudpudlling behavior in tropical butterflies: in

search of proteins or mineral?. Oecologia. 119:140-148.

Corbet, A. S & H. M. Pendlebury. 1956. The Butterflies of the Malay Peninsula. Oliver

Boyd. Edinburgh and London.

Collins, N. M & H. M. Smith. 1995. Threats and priorities in conserving swallowtails. In

Scriber, J. M.., Y. Tsubaki and R. C. Lederhouse (eds.). Swallowtail Butterflies:

Their Ecology and Evolutionary Biology. 345-357. Scientific Publishers, Gainesville.

Dahelmi., S. Salmah dan H. Herwina. 2009. Diversitas Kupu-kupu (Butterflies) Pada

Beberapa Taman Nasional di Sumatera. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional.

Universitas Andalas. Padang.

Dahelmi, 2010. Inventory of Swallowtail Butterflies (Lepidoptera: Papilionidae), Their host

Plants and Parasitoids at Several National Parks in Sumatra, Indonesia. Final Report.

NEF. Japan.

Dahelmi & S. Salmah. 2011. Peningkatan Populasi Kupu-kupu Ekor Walet (Lepidoptera:

Papilionidae) Melalui Pengayaan Habitat: Implikasinya Terhadap Ekowisata.

Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional. Universitas Andalas. Padang

Page 27: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

16

Dahelmi dan Suwarno. 2014. Diversitas Kupu-kupu Pada Beberapa Pulau Terluar di

Sumatera dan Bioekologinya Untuk Beberapa Spesies. Laporan Tahun I. Hibah

Penelitian Pascarajana. Universitas Andalas. Padang.

D‘ Arbera, B. 1990. Butterflies of Australian Region. 3 rd edition. Hill House, Melbourne &

London.

De Vries, P. J., M. Debra & L. Russell. 1997. Species Diversity in Vertical, Horizontal, and

Temporal Dimensions of a Fruit-feeding Butterfly Community in an Ecuadorian

Rainforest. Journal of the Linnean Society62: 343–364.

Duara, P & J. Kalita. 2004. Butterfly as Pollinating Insects of Flowering Plants. Global

Journal of Science Frontier Research 14(1C): 1-5

Faheem, H.M., M. Aslam & M. Razak. 2003. Polliantion Ecology With Special Reference to

Insect. A Review. Journal of Research (Science) 15(4): 395-409.

Fermon, H., M. Waltert & M. Muhlenberg. 2003. Movement and Vertical Stratification of

Fruit-feeding Butterflies in Amanaged West African Rainforest. Journal of Insect

Conservation7: 7–19.

Galetto L, Bernardello. 2004. Floral Nectaries, Nectar Production Dynamics and Chemical

Composition in Six Ipomoea Species (Convolvulaceae) in Relation to Pollinators.

Annals Botany. 94:269–280.

Garland, K. 2016. Fluttering Through Gardening. Creating a Butterfly Habitat. Web site:

www.georgiaconservancy.org. Diakses tgl 28 Maret 2016.

Gilbert, L.E. 1972. Pollen fFeeding and Reproductive Biology of Heliconius Butterflies.

Proc. Na.t Acad. Sci. 69(6):1403-1407.

Gulo, H. 2015. Diversitas dan Pergerakan Serta Stratifikasi Vertikal Kupu-kupu Nympha-

lidae Pemakan Buah di Hutan baruzo dan Hutan Onolari, Pulau Nias. Tesis S2.

Program Pascasarjana. FMIPA Universitas Andalas. Padang

Hikl, A.L & H.W. Krenn. 2011. Pollen processing behavior of Heliconius butterflies: A

derived grooming behavior. J Insect Scienc. 11:1-13.

Holloway, J. D., G. Kibby & D. Peggie. 2001. The families of Malesian moths andbutterflies.

Brill. Leiden. Boston. Koln.

Hughes D.G. & P.M. Bennett. 1991. Captive Breeding and the Conservation of Invertebrates.

International Zoo Yearbook 30: 45-51

Hughes, J.B., G.C. Daily. & Ehrlich, P.R. (1998). Use of Fruit Bait Traps for Monitoring of

Butterflies (Lepidoptera: Nymphalidae). Revista De Biologia Tropical 46(3): 697–

704.

Kassarov. L. 2001. Is Aposematism a Valid Concept in Predator-prey Relationships Between

Birds and Butterflies? a Different Point of View. Tropical Lepidop. 12(1-2):1-15

Knodel, J.J., G.M. Fauske & E.E. McGinnis. 2016. Butterfly Gardening in North Dakota.

North Dakota State University Fartgo, North Dakota. http://www.ag.ndsu.edu

Koh, L. P. 2007. Impacts of Land use Change on South-east Asian forest Butterflies: a

Review. Journal of AppliedEcology 44: 703–713

Koh, L. P & N. S. Sodhi, 2004. Importance of Reserves, Fragments, and Parks for Butterfly

Conservation in a Tropical Urban Landscape. Ecological Application 14(6): 1695-708

Page 28: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

17

Kremen, C., 1994. Biological Inventory Using Target Taxa: a Case Study of the Butterflies of

Madagascar. Ecological Applications 4, 407–422.

Kumar, A. 2014. Butterfly Abundance and Species Diversity in Some Urban Habitats.

International Journal of Advanced Research Volume 2 (2): 367-374

Kunte, K. 1998. Seasonal Patterns in Butterfly Abundance and Speciesdiversity in Four

Tropical Habitats in Northern Western Ghats. Journal of Bioscience 22:593-603.

Lakshmi, P.V & A.J.S. Raju. 2011. Chromolaena odorata (L.) Kiing & H.E. Robins

(Asteraceae), an Important Nectar Source for Adult Butterflies. Journal of Threatened

Taxa 3(2): 1542-1547.

Luk, C. L., K. H. Upik., Z. Thomas & W. Matthias. 2011. Vertical and Horizontal Habitats of

Fruit-feeding Butterflies (Lepidoptera) on Siberut, Mentawai Islands, Indonesia.

Journal Ecotropica17: 79–90.

Mathew, G & M. Anto. 2007. In Situ Conservation of Butterflies Through Establishment of

Butterfly Gardens: A Case Study at Peechi, Kerala, India. Current Science 93 (3):

337-347.

Molleman. F., R.H.A Grunsven., M. Liefting ., B.J. Zwaan., & P.M. Brakefield. 2005. Is

Male Puddling Behaviour of Tropical Butterflies Targeted at Sodium for Nuptial Gifts

or Activity?. Biol J Linnean Socie. 86:345-361

Mukherjee, S., S. Banerjee., P. Basu., G. G. Saha & G. Aditya. 2015. Lantana camara and

Butterfly Abundance an Urban Landscape: Benefits for Conservation or Species

Invasion?. Ekologia 34(4): 209-328.

Nimbalkar, R.K., S.K. Chandekar & S.P. Khunte. 2011. Butterfly Diversity in Relation to

Nectar Food Plants from Bor Tahsil, Pune District, Maharashtra, India. Journal of

Threatened Taxa 3(3): 1601-1609.

Parsons, M. J. 1999. The butterflies of Papua New Guinea: Their systematics and biology.

Academic Press. London. 736pp+136 plates.

Pasaribu, R. 2015. Diversitas dan Pergerakan Serta Stratifikasi Vertikal Kupu-kupu

Nymphalidae Pemakan Buah (Fruit Feeding Nymphalid Butterflies) di Pulau

Enggano. Tesis S2. Program Pascasarjana. FMIPA Universitas Andalas. Padang.

Peggie. D & M. Amir. 2006. Practical guide to the butterflies of Bogor Botanic Garden.

Cibinong (ID): Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Pieris, P.U.S. 2016. Study on Butterfly Visitation Patterns of Stachytarpheta jamacensis as a

Beneficial Plant for Butterfly Conservation. International Scholary and Scientific

Research & Innovation 10(2): 74-72.

Peggie, D. 2014. Mengenal Kupu-kupu. Pandu Aksara Publishing. Jakarta

Pyle, R. M. 1995. A history of Lepidoptera conservation, with special reference to its

Remingtonian Debt. Journal of the Lepidopterists‘Society 49(4): 397-411.

Raju, A.J.S., A. Bahattacharya & S. P. Rao. 2004. Nectar Host Plant of Some Butterfly

Spesies at Visakhapatnam. Science and Culture 70 (4-5): 187-190.

Ramesh, T., Jahir Hussian, K., Selvanayagam, M., Satpathy, K. K. and Prasad M. V. R. 2010.

Patterns of diversity, abundance and habitat associations of butterfly communities in

heterogenous landscape of the department of atomic energy campus at Kalppakam,

South India. International Journal of Biodiversity and Conservation 2(4): 75-85

Page 29: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

18

Revathy, V.S & G. Mathew. 2014. Seasonal Fluctuation of Butterfly Population: A Study in

Butterfly Garden at Peechi, Kerala, India. International Journal of Agiculture,

Environment & Biotechnology 7(1): 29-35.

Rusman, R. 2015. Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) di Gunung Sago, Sumatera Barat:

Keanekaragaman dan Preferensi Kunjungan Pada Bunga. Tesis S2. Sekolah

Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Salmah, S., K. Nakamaura., I. Abbas., Dahelmi & S. Nakano. 1997. Fluctuation of Butterflies

in Sipisang Area, Kayu Tanamm West Sumatra. Annual Report of FBRT Project No.

3. Japan International Cooperation Agency (JICA). Andalas University, Indonesia:

63-74.

Salmah, S., I. Abbas dan Dahelmi. 1999. Keanekaragaman Kupu-kupu (Butterflies) dan

Tanaman Pakan dari Beberapa Jenis Famili Papilionidae di Taman Nasional Kerinci

Seblat.Laporan Penelitian BBI. Universitas Andalas. Padang.

Salmah, S., I. Abbas, Dahelmi, 2002. Kupu-kupu Papilionidae di Taman Nasional Kerinci

Seblat. KEHATI. Departemen Kehutanan. Taman Nasional Kerinci Seblat.

Salmah, S., dan I. Abbas. 2006.Stratifikasi Vertikal dan Pergerakkan Kupu-kupu

Nymhalidae Pemakan Buah (Fruit-Feeding Nymphalid Butterflies) di Hutan dengan

Elevasi yang Berbeda. Laporan TPSDP Batch III. Jurusan Biologi, FMIPA.

Universitas Andalas. Padang

Salmah, S., K. Nakamura., I. Abbas., Dahelmi and S. Nakano.1997. Fluctuation of butterflies

in Sipisang area, Kayu Tanam, West Sumatra. Annual Report of FBRT Project 3.

Field Biology and Training Project. Japan International Cooperation Agency (JICA),

Andalas University: 261-270.

Sharma, M & N. Sharma. 2013. Nectar Resource Use by Butterflies in Gir Wildlife

Sanctuary, Sasan Gujarat. Biological Forum-An International Journal 5(2): 56-63

Shetler, S.G. Butterfly Gardening and Conservation, Butterfly Gardening, Siera ClubBooks.

San Francisco: 107-109

Sitompul, A. F. 2008. Keanekaragaman dan Pergerakan Serta Stratifikasi Kupu Kupu

Nymphalidae Pemakan Buah (Fruit-feeding Butterflies) di Hutan Cagar Alam Rimbo

Panti Kabupaten Pasaman. Tesis Biologi. Universitas Andalas Padang.

Spitzer, K., V. Novotny., M. Tonner & J. Leps. 1993. Habitat preferences, distribution and

seasonality of the butterflies (Lepidoptera, Papilionidae) in a montane tropical

rainforest, Vietnam. Journal Biogeography 20: 109-121.

Spitzer, K., J. Jaros., J. Havelka & J. Leps. 1997. Effects of Small-Scale Disturbance on the

Butterfly Communities of an Indochine Montane Rain-forest. Biological Conservation

80: 9-15.

Syaputra, M. 2011. Pengelolaan Penangkaran Kupu- Kupu di PT Ikas Amboina dan Bali

Butterfly Park Tabanan Bali. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata. Fakultas Kehutan. Institut Pertanian Bogor.

Tiple, A.D., A.M. Khurada., L.H. Roger & R.L.H. Dennis. 2009. Adult butterfly feeding–

nectar flower associations: constraints of taxonomic affiliation, butterfly, and nectar

flower morphology. J Natural History. 43:855-884.

Page 30: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

19

MIKROBA SEBAGAI AGEN REMEDIASI DAN PENGELOLAAN

HAYATI RAMAH LINGKUNGAN

Erman Munir

Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara

Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU, Medan 20155

Abstrak

Kupu-kupu hanya menjadi bagian kecil yaitu 17.500 spesies dari 155.000 spesies Lepidoptera

yang ada di dunia. Bagian yang terbesar adalah ngengat atau dikenal juga dengan kupu-kupu

malam. Walau jumlah spesiesnya jauh lebih sedikit dari pada ngengat, kupu-kupu lebih lebih

dikenal umum karena sifatnya yang aktif pada siang hari (diurnal) dan warnanya yang cerah

dan menarik. Di Sumatera diperkirakan terdapat sekitar 890 spesies kupu, namun dari

penelitian dan koleksi yang telah dilakukan selama 20 tahun terakhir, telah tercatat sekitar

516 spesies. Khusus kupu-kupu ekor wallet (Swallowtail butterflies, famili Papilionidae)

merupakan salah satu famili yang menarik, dari 121 spesies yang ada di Indonesia, 47

diantaranya tersebar di Sumatera. Kupu-kupu dapat dijumpai hampir di semua habitat

asalkan ada tumbuhan pakan yang cocok bagi spesies kupu-kupu tersebut. Hutan primer,

hutan sekunder, hutan produksi dan kebun manjadi habitat bagi banyak spesies kupu-kupu.

Selain di hutan, kita dapat juga dapat melihat kupu-kupu di sekitar rumah kita. Jika kita

menanam berbagai tumbuhan berbunga dan tumbuhan yang menjadi pakan larva, maka

halaman rumah dapat dikunjungi berbagai spesies kupu-kupu. Kupu-kupu memiliki peran

penting dalam beberapa aspek seperti membantu penyerbukan, menyediakan nilai estetika,

sebagai mangsa di rantai makanan dan jaring makanan. Kupu-kupu dapat bertindak sebagai

sumber pendapatan melalui konsep yang muncul disebut ekowisata (ecotourism). Karena

memberikan nilai yang lebih tinggi di ekowitasa, kebun kupu-kupu (butterfly garden) dan

taman kupu-kupu (butterfly park) dibangun di berbagai negara untuk menarik banyak pecinta

alam yang pada akhirnya akan menghasilkan devisa bagi negara.

Kata kunci: kupu-kupu, keanekaragaman, bunga, butterfly gardens, ekotwisata.

Page 31: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

20

Page 32: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

21

Lingkungan

Page 33: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

22

Page 34: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

23

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KULIT DAN

DAGING BUAH PALA (Myristica fragrans Houtt.) TERHADAP

MORTALITAS LARVA Aedes aegypti INSTAR III

Abdullah, Lisda Arwadeni dan Safrida

Prodi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

e-mail: [email protected]

Abstract

The research about “effect of etanol extracted of fruit skin and content of Myristica fragans

Houtt. to larva mortality of Aedes aegypti Instar III” was aimed to know the effect etanol

extracted of fruit skin and content of Myristica fragans Houtt to larva mortality and to know

efective consentration of etanol extracted of fruit skin and content. This reseach was

conducted in September 2014. Data analized using ANAVA and Duncan. Reasearch resulted

the most effective consentration of etanol extracted of skin Myristica fragans Houtt. to larva

mortality of Aedes aegypti Instar III was 1500 ppm with larva mortality was 93,33% in 24

hours observation. This research also conducted that the most effective consentration of

etanol extracted of content of Myristica fragans Houtt. to larva mortality of Aedes aegypti

Instar III was 1000 ppm and 1500 ppm with larva mortality was 100% in 18 hours

observation and 15 hours obaseration. We resumed that etanol extracted of fruit skin

Myristica fragans Houtt was more effective to larva mortality of Aedes aegypti Instar III than

etanol extracted of fruit content of Myristica fragans Houtt.

Kata kunci : fruit content of Myristica fragans Houtt.), larva Aedes aegypti and Larva

mortality

PENDAHULUAN

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya

semakin luas. Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang terutama menyerang anak-

anak. Di Indonesia penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan karena masih banyak

daerah yang endemik. Daerah endemik DBD pada umumnya merupakan sumber penyakit ke

wilayah lainnya. Setiap kejadian luar biasa (KLB) DBD umumnya dimulai dengan

peningkatan jumlah kasus di wilayah tersebut (Widoyono, 2008). Tercatat 24.362 kasus

dengan 196 kematian di Indonesia dan Provinsi Aceh sampai bulan Agustus 2011 yang

merupakan daerah urutan ketiga tertinggi angka kesakitan demam berdarah di Indonesia

(Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Penyakit DBD adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang ditularkan melalui

gigitan nyamuk Aedes aegypti, dengan ciri demam tinggi mendadak disertai manifestasi

perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan (shock) dan kematian. Sampai sekarang

penyakit DBD belum ditemukan obat maupun vaksinnya, sehingga satu-satunya cara untuk

mencegah terjadinya penyakit ini dengan memutuskan rantai penularan yaitu dengan

pengendalian vektor (Fathi dkk, 2005).

Penggunaan insektisida dalam kesehatan ditujukan antara lain untuk membasmi lalat,

nyamuk vektor malaria dan demam berdarah. Akan tetapi penggunaan insektisida yang tidak

tepat sering kali memberi dampak buruk terhadap

kesehatan dan dampak negatif terhadap lingkungan. Semua insektisida adalah toksik, yang

berbeda hanya derajat toksisitasnya. Pajanan terhadap insektisida yang berlebihan, dalam

Page 35: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

24

jangka panjang dapat berakibat buruk pada kesehatan. Pada rumah tangga, insektisida yang

digunakan secara terus menerus, dalam ruangan tertutup, memungkinkan terjadinya

akumulasi. Terjadinya akumulasi ini tergantung antara lain dari formulasi insektisida,

rute/jalan masuk pajanan insektisida, sikap/perilaku pengguna insektisida (Mariana, 2009).

Oleh karena itu, penggunaan insektisida dirasa kurang tepat untuk memutus mata rantai

nyamuk Aedes aegypti tersebut.

Salah satu cara pengendalian yaitu dengan menggunakan bahan tanaman sebagai

insektisida nabati. Cara ini lebih aman dan murah bila dibandingkan dengan penggunaan

insektisida sintetik yang memiliki risiko dengan residu yang tertinggal di tanaman yang

cukup besar bila penggunaannya kurang tepat. Sifat dari insektisida nabati umumnya tidak

berbahaya bagi manusia ataupun lingkungan serta mudah terurai dibandingkan dengan

insektisida sintetik (John, 2011).

Salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai insektisida nabati adalah tanaman

pala. Tanaman pala mengandung minyak atsiri. Menurut Baliadi dan Bedjo (2011) minyak

atsiri pala mengandung metil eugenol dan metil isoeugenol, kedua senyawa ini banyak

digunakan oleh petani untuk mengatasi serangga hama, selain itu minyak atsiri pala juga

bersifat antifeedant yaitu mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot

dengan minyak atsiri pala. Minyak atsiri terdapat pada bagian kulit buah dan daging buah

pala.

Selain itu Kulit buah dan Daging buah pala mengandung myristicin, pinen, kamfen

(zat membius), dipenten, pinen safrol, eugenol, iso-eugenol, alkohol, gliseda (asam-

miristinat, asam-oleat, borneol, giraniol), protein, lemak, pati, gula, vitamin A, B1 dan C

(John, 2009). Hal tersebut mendasari pemilihan kulit buah dan daging buah pala sebagai

objek dalam penelitian ini dan diharapkan dapat diterapkan daya insektisida nabatinya pada

larva Aedes aegypti.

Penelitian di Indonesia menggunakan tanaman pala sudah dilakukan oleh Made dkk

(2012) yang melaporkan bahwa minyak atsiri pala mempunyai sifat sebagai larvasida

terhadap mortalitas ulat bulu gempinis, pemanfaatan ekstrak kulit buah dan daging buah pala

yang bersifat larvasida khususnya larva Aedes aegypti belum dilaporkan maka perlu

dilakukan penelitian mengenai ―Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit buah dan Daging

Buah Pala (Myristica fragrans Houtt) terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti Instar III‖.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental. Teknik

pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menghitung kematian larva Aedes aegypti

Instar III sebagai data primer yang diamati pada setiap jenis konsenterasi (500, 1000, dan

1500) ppm yang diamati setiap 1 jam sekali. Bahan yang digunakan adalah ekstrak kulit buah

dan daging buah pala, larva Aedes aegypti instar III, air, kertas saring, abate dan etanol 96%.

Pembuatan ekstrak kulit buah pala dan daging buah pala menggunakan pelarut etanol 96%

Kulit buah pala yang sudah dipisahkan dari dagingnya ditimbang sebanyak 1 kg. kulit

buah pala yang diambil adalah kulit buah yang berasal dari buah pala siap panen yang kulit

buahnya masih utuh, tidak keriput dan tidak kering. Buah pala ini di peroleh dari Desa Alue

Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa, Aceh Barat Daya. Setelahbuahnya dicuci bersih,

kemudian buah pala dikupas untuk diambil kulit buahnya saja dan diperoleh 95 g.

Selanjutnya kulit buah pala dikeringan dengan cara diangin-anginkan dengan kipas angin

selama ± 3 hari dan tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Setelah kering kemudian di

blender sampai halus. Kulit buah pala yang telah diblender selanjutnya direndam dengan

menggunakan pelarut etanol 96% dengan perbandingan pelarut 1:3 selama 48 jam untuk

menarik senyawa yang terkandung dalam kulit buah pala.

Page 36: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

25

Selanjutnya sediaan disaring sampai terpisah dari ampasnya. Larutan yang diperoleh

didestilasi untuk memperoleh ekstrak, kemudian ekstrak diuapkan menggunakan rotary

evaporator untuk memperoleh ekstrak murni yang dianggap mempunyai konsentrasi 100%

dan suhu yang digunakan selama evaporasi adalah 72ºC dengan tekanan 182 psi, ekstrak

yang diperoleh 25,06 g (Semua perlakuan sama terhadap pembuatan ekstrak daging buah

pala).

Data yang telah terkumpul ditabulasi ke dalam bentuk tabel. Jumlah larva yang mati

dihitung dengan menggunakan rumus Abbot, yaitu:

Keterangan :

P0 = Presentase mortalitas A. aegypti

r = Banyaknya A. aegypti yang mati

n = Jumlah keseluruhan larva

Data kematian larva dengan berbagai konsentrasi dianalisis dengan analisis probit

untuk menentukan nilai LC50 dan untuk melihat apakah ada pengaruh dari ekstrak etanol

kulit buah dan daging buah pala terhadap kematian larva Aedes aegypti dilakukan

menggunakan Analisis Varian (ANAVA).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Ekstraksi Kulit Buah dan Daging Buah Pala (Myristica fragrans Houtt.)

Ekstrak etanol kulit buah dan daging buah pala (Myristica fragrans Houtt.) diperoleh

dengan metode ekstraksi yang dilakukan di laboratorium Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan FKIP Unsyiah. Sebanyak 1 kg buah pala utuh yang di pisahkan dari biji dan

diambil bagian kulit buah dan daging buahnya menghasilkan 95 g kulit buah pala dan 602,5 g

daging buah pala yang kemudian dikeringkan selama 3 hari dan dimaserasi dengan pelarut

etanol. Hasil Ekstraksi tersebut menghasilkan ekstrak kulit buah pala sebanyak 25,06 g dan

daging buah pala sebanyak 34,26 g.

Proses ekstraksi pada penelitian ini menggunakan pelarut etanol, karena etanol mudah

menembus membran sel tumbuhan untuk menarik senyawa aktif dalam intrasel. Etanol

dipilih karena bersifat pelarut universal yang dapat menarik semua jenis zat aktif metabolit

sekunder yang ada pada tumbuhan, baik yang bersifat polar semi polar maupun non polar

serta absorbsinya baik dan kadar toksisitasnya relatif rendah terhadap makhluk hidup (Tiwari

dkk, 2011). Selanjutnya pelarut dipisahkan dari larutan dengan menggunakan Rotary

evaporator (Arifin dkk, 2010). Rotary evaporator yang berfungsi sebagai alat untuk

menguapkan pelarut dari ekstrak diputar dengan kecepatan 182 rpm dan suhu yang digunakan

72ºC.

Hasil Uji Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti

Secara deskriptif persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti setelah paparan

ekstrak kulit buah pala selama 24 jam yang diberikan perlakuan disajikan dalam Tabel 1.

P0= 𝑟

𝑛 x 100%

Page 37: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

26

Tabel 1. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Buah Pala Terhadap Mortalitas Larva Aedes

aegypti Selama 24 jam

No

Perlakuan

Konsentrasi

Ekstrak Kulit

Buah Pala

Pengulangan

Jumlah

total

Rata-

rata

Persen

I II III

1 KB1 500 ppm 6 5 5 16 5,33 53,33%

2 KB2 1000 ppm 8 8 9 25 8,33 83,33%

3 KB3 1500 ppm 10 8 10 28 9,33 93,33%

4 KP 0% 10 10 10 30 10 100%

5 KN 0% 0 0 0 0 0 0,00%

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi esktrak kulit

buah pala maka semakin besar persentase kematian larva Aedes aegypti. Pengamatan yang

telah dilakukan selama 24 jam pada ulangan I, II, dan III masing-masing 10 ekor sehingga

jumlah kematian larva pada kontrol positif sebanyak 30 ekor atau 100% kematian larva.

Kematian larva pada kontrol positif mencapai 100% pada jam kedua setelah paparan.

Konsentrasi 500 ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 6 ekor,

ulangan II sebanyak 5 ekor, ulangan III sebanyak 5 ekor, sehingga jumlah kematian larva

sebanyak 16 ekor atau 53,33% kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Konsentrasi 1000

ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 8ekor, ulangan II sebanyak 8 ekor,

ulangan III sebanyak 9 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 25 ekor atau 83,33%

kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Konsentrasi 1500 ppm pada ulangan I

menyebabkan kematian sebanyak 10 ekor, ulangan II sebanyak 8 ekor, ulangan III sebanyak

10 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 28 ekor atau 93,33% kematian larva

dalam 24 jam pengamatan.

Hasil pengamatan untuk ekstrak kulit buah pala pada konsentrasi 500 ppm (KB1)

menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan

2 jam pertama sebanyak 3,33%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24

jam sebesar 16 ekor larva dengan rata-rata 53,33%. Pada perlakuan KB1 ini jumlah kematian

larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol negatif (KN). Pemberian ekstrak kulit

buah pala 500 ppm belum mampu membunuh semua larva dalam waktu 24 jam.

Hasil pengamatan untuk ekstrak kulit buah pala pada konsentrasi 1000 ppm (KB2)

menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan

2 jam pertama sebanyak 3,33%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24

jam sebesar 25 ekor larva dengan rata-rata 83,33%. Pada perlakuan KB2 ini jumlah kematian

larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi 500 ppm (KB1). Pemberian ekstrak

kulit buah pala 500 ppm belum mampu membunuh semua larva dalam waktu 24 jam.

Hasil pengamatan untuk ekstrak kulit buah pala pada konsentrasi 1500 ppm (KB3)

menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan

1 jam pertama sebanyak 3,33%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24

jam sebesar 28 ekor dengan rata-rata 93,33%. Pada perlakuan KB3 ini jumlah kematian larva

lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2 konsentrasi ekstrak yang lebih rendah sebelumnya

yaitu KB1 dan KB2 sebanyak 500 ppm dan 1000 ppm. Pemberian ekstrak kulit buah pala

1500 ppm belum mampu membunuh semua larva dalam waktu 24 jam namun tingkat

kematian yang didapat hampir mendekati 100 persen.

Pada kontrol yang berisi air sumur tidak ada mortalitas larva sampai dengan paparan

selama 24 jam. Hal ini mengindikasi bahwa air sumur pada kontrol negatif bukanlah

penyebab mortalitas pada larva nyamuk Aedes aegypti dan berdasarkan pengamatan air

sumur tidak mengganggu pertumbuhan larva. Sedangkan pada kontrol positif (KP) yang

berisi abate 0,01g kematian larva nyamuk Aedes aegypti terjadi pertama kali pada 1 jam

pertama pengamatan sebanyak 83,33% . Kontrol positif abate menunjukkan mortalitas

Page 38: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

27

keseluruh larva pada 2 jam pertama pengamatan selama 24 jam sebanyak 100%. Berdasarkan

hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kulit pala ini memberikan pengaruh yang

berbeda-beda pada tiap konsentrasi. Jumlah larva Aedes aegypti yang mati setelah diberikan

ekstrak kulit buah pala pada setiap jam selama 24 jam pengamatan tersaji dalam Gambar 1.

Gambar 1. Rataan Jumlah Larva Aedes aegypti yang Mati pada Setiap Jam Pengamatan

Selama 24 jam. Kn : Kontrol negatif (air sumur), Kp : Kontrol positif (100 ml

air sumur + abate 0,01 g), KB1 : Ekstrak kulit buah pala konsentrasi 500 ppm,

KB2 : Ekstrak kulit buah pala konsentrasi 1000 ppm, KB3 : Ekstrak kulit buah

pala konsentrasi 1500 ppm

Hasil analisa statistik dengan uji ANAVA menunjukkan bahwa nilai F hitung > F

Tabel dan nilai P < 0,05 yang menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah pala berpengaruh

terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti, dengan demikian hipotesis penelitian

diterima.

Tabel 2. Analisis Varian (ANAVA) Pengaruh Ekstrak Kulit Buah Pala Terhadap Mortalitas

larva Aedes aegypti SK Db JK KT Fh F(0,05)

Perlakuan 4 1911,66 40,1 8,87 3,48*

Galat 10 45,2 4,52

Total 14 1956,86

Keterangan :

* = Berbeda nyata pada taraf 0,05

SK = Sumber Keragaman

DB = Derajat Bebas

JK = Jumlah Kuadrat

KT = Kuadrat Tengah

Pada analisis varian diperoleh koefisien keragaman (KK) ekstrak kulit pala 96,64%

maka uji lanjutan yang digunakan adalah uji Jarak Nyata Duncan (Tabel 3).

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa Kontrol negatif (KN) berbeda nyata

dengan KB1 (500 ppm ekstrak kulit buah pala). KB1 berbeda nyata dengan KB2 (1000 ppm

ekstrak kulit buah pala). KB2 berbeda nyata dengan KB3 (1500 ppm ekstrak kulit buah pala)

Sedangkan KB3 sama dengan kontrol positif (KP).

Kemampuan ekstrak kulit buah pala membunuh larva Aedes aegypti juga dianalisis

menggunakan Analisis Regresi Probit sehingga diketahui nilai LC50 dan LC90 yaitu nilai

konsentrasi zat uji yang dibutuhkan untuk membunuh larva sebanyak 50% dan 90%

ditetapkan berdasarkan hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan persentase kematian

larva Aedes aegypti. Semakin kecil LC50 dan LC90, maka akan semakin besar efektifitas

ekstrak terhadap kemampuannya membunuh larva Aedes aegypti.

Page 39: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

28

Tabel 3. Hasil Analisis Jarak Nyata Duncan (JNTD) Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Buah

Pala Terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti Instar III Perlakuan Rata-rata Beda Real Pada Jarak Perlakuan BJND

(0,05) 2 3 4 5

KN 0 - A

KB1 5,33 5,33 - B

KB 2 8,33 3 8,33 - C

KB3 9,33 1 4 9,33 - Cd

KP 10 0,67 1,67 4,67 10 D

P0,05 (p,10) 3,15 3,30 3,37 3,43 3,15

JNTD0,05(p-10) śy

Pα (p.v) . S‘y

42,08 44,08 45,02 45,82 42,08

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak

memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil Analisis regresi probit menunjukkan perhitungan konsentrasi ekstrak kulit buah

pala yang menyebabkan kematian 50% (LC50) adalah 325 ppm dan perhitungan konsentrasi

ekstrak kulit buah pala yang menyebabkan kematian 90% (LC90) adalah 1325 ppm. Nilai

LC50 yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan ekstrak kulit buah pala bersifat aktif

sebagai larvasida karena nilai LC50 dibawah 500 ppm (Wijayanti dkk, 2007).

Secara deskriptif persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti setelah paparan

ekstrak daging buah pala selama 24 jam yang diberikan perlakuan disajikan dalam Tabel 4

Tabel 4. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daging Buah Pala Terhadap Mortalitas Larva Aedes

aegypti Selama 24 jam

No

Perlakuan

Konsentrasi

Ekstrak Kulit

Buah Pala

Pengulangan

Jumlah

total

Rata-

rata

Persen

1 2 3

1 DB1 500 ppm 7 6 6 19 6,33 63,33%

2 DB2 1000 ppm 10 10 10 30 10 100%

3 DB3 1500 ppm 10 10 10 30 10 100%

4 KP 0% 10 10 10 30 10 100%

5 KN 0% 10 10 10 0 0 0,00%

Hasil pengaruh ekstrak daging buah pala terhadap larva Aedes aegypti yang terlihat

dari Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi esktrak daging buah pala maka

semakin besar persentase kematian larva Aedes aegypti. Pengamatan yang telah dilakukan

selama 24 jam pada ulangan I, II, dan III masing-masing 10 ekor sehingga jumlah kematian

larva pada kontrol positif sebanyak 30 ekor atau 100% kematian larva. Kematian larva pada

kontrol positif mencapai 100% pada jam kedua setelah paparan.

Konsentrasi 500 ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 7 ekor,

ulangan II sebanyak 6 ekor, ulangan III sebanyak 6 ekor, sehingga jumlah kematian larva

sebanyak 19 ekor atau 63,33% kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Konsentrasi 1000

ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 10ekor, ulangan II sebanyak 10 ekor,

ulangan III sebanyak 10 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 30 ekor atau 100%

kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Konsentrasi 1500 ppm pada ulangan I

menyebabkan kematian sebanyak 10 ekor, ulangan II sebanyak 10 ekor, ulangan III sebanyak

10 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 30 ekor atau 100% kematian larva dalam

24 jam pengamatan.

Hasil pengamatan untuk ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 500 ppm (DB1)

menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan

Page 40: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

29

1 jam pertama sebanyak 3,33%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24

jam sebesar 19 ekor larva dengan rata-rata 63,33%. Pada perlakuan DB1 ini jumlah kematian

larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol negatif (KN). Pemberian ekstrak daging

buah pala 500 ppm belum mampu membunuh semua larva dalam waktu 24 jam.

Hasil pengamatan untuk ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 1000 ppm (DB2)

menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan

1 jam pertama sebanyak 6,66%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24

jam sebesar 30 ekor larva dengan rata-rata 100%. Pada perlakuan DB2 ini jumlah kematian

larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi 500 ppm (DB1). Hal ini memberikan

arti bahwa ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 1000 ppm sama ampuhnya dengan

abate 10% karena mampu membunuh larva nyamuk Aedes aegypti mencapai 100%. Abate

sendiri adalah senyawa sintetis yang telah direkomendasikan digunakan sebagai larvasida

(Gandahusada, 2006).

Hasil pengamatan untuk ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 1500 ppm (DB3)

menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan

2 jam pertama sebanyak 10%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24

jam sebesar 30 ekor larva dengan rata-rata 100%. Pada perlakuan DB3 ini jumlah kematian

larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi 500 ppm (DB1) dan 1000 ppm

(DB2). Hal ini memberikan arti bahwa ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 1000 ppm

sama ampuhnya dengan abate 10% karena mampu membunuh larva nyamuk Aedes aegypti

mencapai 100%.

Pada kontrol yang berisi air sumur tidak ada mortalitas larva sampai dengan paparan

selama 24 jam. Hal ini mengindikasi bahwa air sumur pada kontrol negatif bukanlah

penyebab mortalitas pada larva nyamuk Aedes aegypti dan berdasarkan pengamatan air

sumur tidak mengganggu pertumbuhan larva. Sedangkan pada kontrol positif (KP) yang

berisi abate 0,001g kematian larva nyamuk Aedes aegypti terjadi pertama kali pada 1 jam

pertama pengamatan sebanyak 83,33% . Kontrol positif abate menunjukkan mortalitas

keseluruh larva pada 2 jam pertama pengamatan selama 24 jam sebanyak 100%. Berdasarkan

hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daging buah pala ini memberikan pengaruh yang

berbeda-beda pada tiap konsentrasi. Jumlah larva Aedes aegypti yang mati setelah diberikan

ekstrak daging buah pala pada setiap jam selama 24 jam pengamatan tersaji dalam Gambar 2.

Gambar 2. Rataan Jumlah Larva Aedes aegypti yang Mati pada Setiap Jam Pengamatan

Selama 24 jam. Kn : Kontrol negatif ( air sumur ), Kp : Kontrol positif (100 ml air

sumur + abate 0,01 g), DB1 : Ekstrak daging buah pala konsentrasi 500 ppm, DB2

: Ekstrak daging buah pala konsentrasi 1000 ppm, DB3 : Ekstrak daging buah pala

konsentrasi 1500 ppm

Page 41: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

30

Hasil analisa statistik dengan uji ANOVA menunjukkan bahwa nilai F hitung > F

Tabel dan nilai P < 0,05 yang menunjukkan bahwa daging buah pala berpengaruh terhadap

mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti, dengan demikian hipotesis penelitian diterima (Tabel

5).

Tabel 5. Analisis Varian (ANAVA) Pengaruh Ekstrak Daging Buah Pala Terhadap

Mortalitas larva Aedes aegypti

SK Db JK KT Fh F(0,05)

Perlakuan 4 228,72 57,18 43,31 3,48*

Galat 10 13,22 1,32

Total 14 241,94 Keterangan :

** = Berbeda sangat nyata pada taraf 0,05

SK = Sumber Keragaman

DB = Derajat Bebas

JK = Jumlah Kuadrat

KT = Kuadrat Tengah

Pada analisis varian diperoleh koefisien keragaman (KK) ekstrak kulit pala 96,64%

dan ekstrak daging buah pala 47,47% maka uji lanjutan yang digunakan adalah uji Jarak

Nyata Duncan (Tabel 6).

Tabel 6. Hasil Analisis Jarak Nyata Duncan Pengaruh (JNTD) Pemberian Ekstrak Daging

Buah Pala Terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti instar III

Perlakuan Rata-rata Beda Real Pada Jarak Perlakuan BJND

(0,05) 2 3 4 5

KN 0 - A

DB1 6,33 6,33 - B

DB 2 10 3,67 10 - C

DB3 10 0 3,67 10 - C

KP 10 0 0 3,67 10 C

P0,05 (p,10) 3,15 3,30 3,37 3,43 3,15

JNTD0,05(p-10) śy

Pα (p.v) . S‘y

4,81 5,04 5,15 5,24 4,81

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti

tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa Kontrol negatif (KN) berbeda nyata

dengan DB1 (500 ppm ekstrak daging buah pala). DB1 berbeda nyata dengan DB2 (1000

ppm ekstrak daging buah pala). DB2 sama dengan DB3 (1500 ppm ekstrak kulit buah pala)

dan kontrol positif (KP).

Kemampuan ekstrak daging buah pala membunuh larva Aedes aegypti juga dianalisis

menggunakan Analisis Regresi Probit sehingga diketahui nilai LC90 yaitu nilai konsentrasi zat

uji yang dibutuhkan untuk membunuh larva sebanyak 90% ditetapkan berdasarkan hubungan

antara konsentrasi ekstrak dengan persentase kematian larva Aedes aegypti. Hasil Analisis

regresi probit menunjukkan perhitungan konsentrasi ekstrak daging buah pala yang

menyebabkan kematian 90% (LC90) adalah 975 ppm.

Page 42: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

31

Uji Larvasida Ekstrak Etanol Kulit Buah dan Daging Buah Pala Terhadap Larva Nyamuk

Aedes aegypti instar III

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan ANAVA didapatkan bahwa terdapat

pengaruh dari pemberian ekstrak etanol kulit buah dan daging buah pala terhadap mortalitas

larva Aedes aegypti. Pemberian ekstrak etanol kulit buah dan daging buah pala terhadap

mortalitas larva Aedes aegypti juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak

kulit buah dan daging buah pala maka akan semakin besar persentase kematian larva Aedes

aegypti. Hal ini sesuai dengan pendapat Arneti (2012) bahwa semakin tinggi konsentrasi

yang diberikan akan semakin banyak toksin yang akan dikeluarkan sehingga dapat

menyebabkan tingginya tingkat kematian serangga.

Hasil tersebut dilanjutkan dengan uji lanjutnya berdasarkan nilai keragaman koefisien

total. Nilai keragaman koefisien total dari ekstrak kulit buah pala didapatkan sebesar 96,64%

dan ekstrak daging buah pala didapatkan sebesar 47,47% sehingga dilanjutkan dengan uji

Jarak Nyata Duncan (JNTD). Hasil Uji JNTD menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti pada berbagai konsentrasi. Pada konsentrasi ekstrak

kulit buah pala, mortalitas larva Aedes aegypti tertinggi terdapat pada konsentrasi 1500 ppm

atau 93,33% yang berarti bahwa konsentrasi tersebut paling mendekati dengan kontrol

positif (KP) yang menggunakan abate. Sedangkan pada ekstrak daging buah pala, mortalitas

larva Aedes aegypti tertinggi terdapat pada konsentrasi 1000 ppm dan 1500 ppm atau pada

DB1 dan DB2 perlakuan dengan jumlah kematian 100% atau setara dengan kontrol positif

(KP), yang berarti pada konsentrasi tersebut memiliki efektivitas yang sama dengan kontrol

positif, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi 1000 ppm dan 1500 ppm dapat

menggantikan senyawa sintetik yang terdapat pada bubuk abate.

Mekanisme kematian larva Aedes aegypti yang terpapar oleh senyawa bioaktif yang

terkandung di dalam larutan ekstrak kulit buah pala dan daging buah pala yang berupa

alkaloid, steroid, terpenoid, minyak atsiri, saponin dan tanin adalah melalui dinding tubuh

larva atau mulut pada saat larva mengambil makanan dari tempat hidupnya. Senyawa bioaktif

tersebut yang masuk kedalam tubuh larva pada kadar tertentu dapat berperan sebagai racun

kontak, racun perut, dan racun pernafasan sehingga merusak seluruh sistem tubuh larva Aedes

aegypti (Djojosumarto, 2008).

Minyak atsiri merupakan senyawa kimia buah pala yang dapat bekerja sebagai

inhibitor kuat pernapasan atau sebagai racun pernapasan. Minyak atsiri mempunyai cara kerja

yaitu dengan masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem pernapasan. Ketika udara dan

oksigen masuk melalui trakea secara difusi dengan bantuan pergerakan abdomen. Zat toksik

masuk kedalam tubuh larva melalui sistem pernafasan yang berupa spirakel dipermukaan

tubuh yang kemudian akan menimbulkan kelayuan pada syaraf serta kerusakan pada spirakel

yang mengakibatkan larva tidak bisa bernapas dan akhirnya mati (Ratih dkk, 2010)

Alkaloid yang terkandung didalam ekstrak kulit buah pala dan daging buah pala dapat

menghambat proses metamorfosis larva Aedes aegypti. Alkaloid dapat merangsang kelenjar-

kelenjar endokrin untuk menghasilkan hormon edikson sehingga menyebabkan kegagalan

metamorfosis pada serangga (Harbone, 1987). Alkaloid juga menyebabkan rasa pahit

sehingga menghambat aktifitas makan larva dan bersifat neurotoksin sehingga berperan

dalam kematian larva Aedes aegypti (Wink, 2010).

Terpenoid dan steroid bersifat toksik terhadap larva Aedes aegypti dengan berperan

sebagai antifeedant. Terpenoid dan steroid mempunyai toksisitas yang rendah terhadap

mamalia dan molekul terpenoid serta steroid tergradasi baik di lingkungan sehingga dapat

dijadikan bahan pembuat insektisida alami (Ashour dkk, 2010). Larva Aedes aegypti dapat

menahan lapar diperkirakan selama 24 jam (WHO, 2005), sehingga diduga bersifat

antifeedant dari senyawa golongan terpenoid dan steroid kurang berperan jika berkerja secara

terpisah. Hal ini dikarenakan, ada beberapa senyawa golongan metabolit sekunder yang

Page 43: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

32

berkerja lebih efektif ketika bersamaan dengan senyawa metabolit sekunder lainnya. Jadi,

terpenoid dan steroid tetap berperan dalam menyebabkan kematian larva Aedes aegypti.

Saponin dan tanin memiliki sifat sebagai insektisida dengan berbagai cara, yaitu

sebagai penolak serangga, merusak saluran pencernaan, dan mengganggu proses pergantian

kulit melalui toksisitas tingkat seluler (Geyter, 2007). Selanjutnya Fatna (2010)

menambahkan bahwa saponin sebagai bahan yang mirip deterjen mempunyai kemampuan

untuk merusak membran tubuh larva. Bahan deterjen dapat meningkatkan senyawa toksik

karena dapat melarutkan bahan-bahan lipofilik dalam air. Deterjen tidak hanya mengganggu

lapisan lipoid dari epikutikula tetapi juga mengganggu lapisan endokutikula sehingga

senyawa toksik dapat masuk dengan mudah ke dalam tubuh larva. Saponin dapat

menyebabkan destruksi saluran pencernaan larva dengan cara menurunkan tegangan

permukaan sehingga selaput mukosa saluran pencernaan menjadi korosif. Selanjutnya tanin

menekan konsumsi makan, tingkat pertumbuhan dan kemampuan bertahan. Tanin dan

saponin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat menyebabkan mekanisme penghambatan

makan pada larva uji. Hal tersebut akan menyebabkan menurunnya aktivitas enzim

pencernaan dan penyerapan makanan karena rasa yang pahit menyebabkan larva tidak mau

makan sehingga larva akan kelaparan dan akhirnya mati.

Penyebab kelayuan pada saraf adalah senyawa saponin, ini dikarenakan senyawa

saponin dapat menghambat kerja enzim asetilkolinesterase. Asetilkolin yang dibentuk oleh

sistem saraf pusat berfungsi untuk menghantarkan impuls dari sel saraf ke sel otot. Setelah

impuls dihantarkan, prosesnya di hentikan oleh enzim asetilkolinesterase yang memecah

asetilkolin menjadi asetil ko-A dan kolin. Adanya senyawa insektisida (alkaloid dan saponin)

akan menghambat bekerjanya enzim ini sehingga terjadi penumpukan asetilkolin yang akan

menyebabkan terjadinya kekacauan pada sistem penghantaran impuls ke otot yang dapat

berakibat otot kejang, terjadi kelumpuhan (paralysis) dan berakhir ke kematian (Rita : 2009).

Oleh karena itu, senyawa ini berperan sebagai racun kontak dan racun perut sehingga

akhirnya mengganggu saluran pernafasan dan sistem saraf larva Aedes aegypti. Hal ini

terbukti dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Chapagain (2008) bahwa terdapat korelasi

antara senyawa saponin dan tanin yang diuji terhadap tingkat mortalitas Aedes aegypti.

Berdasarkan uraian diatas, diduga kematian larva Aedes aegypti terjadi karena ekstrak

kulit buah pala dan daging buah pala mengandung senyawa metabolit sekunder berupa

alkaloid, terpenoid, steroid, minyak atsiri, saponin dan tanin yang masuk baik dari kulit dan

mulut yang selanjutnya mengganggu secara sinergis seluruh sistem pertahanan hidup larva

Aedes aegypti hingga menyebabkan kematian.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Pemberian ekstrak kulit buah pala berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva Aedes

aegypti instar III. Pemberian ekstrak kulit buah pala yang menunjukkan jumlah kematian

terbesar terdapat pada dosis 1500 ppm dengan jumlah kematian 93,33% selama 24 jam

pengamatan.

2. Pemberian ekstrak daging buah pala berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva Aedes

aegypti instar III. Pemberian ekstrak daging buah pala yang menunjukkan jumlah

kematian terbesar terdapat pada dosis 1000 ppm dan 1500 ppm dengan jumlah kematian

100% selama 18 jam dan 15 jam pengamatan.

3. Pemberian ekstrak kulit buah dan daging buah pala menyebabkan larva Aedes aegypti

menunjukkan respon kegelisahan (anxiety), menggulungkan badannya, terjadinya

perubahan warna tubuh menjadi lebih transparan serta gerakan tubuh larva yang selalu

membengkokkan badan yang kemudian diikuti dengan menurunnya jumlah kemunculan

larva kepermukaan.

Page 44: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

33

UCAPAN TERIMAKASIH

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam

penelitian ini terutama kepada pihak Laboratorium Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala

yang telah memberikan fasilitas penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arneti. 2012. Bioaktivitas ekstrak buah Piper aduncum L. (Piperaceae) terhadap

Crocidolomia pavonana (f.) (Lepidoptera :Crambidae) dan formulasinya sebagai

insektisida botani. Skripsi. Universitas Andalas, Padang.

Arifin; Helmi; Heppy; Elka. 2010. Efek Ekstrak Etanol Biji Pinang Muda (Areca catechu L.)

terhadap Aktifitas Sistem Saraf Pusat Mencit Putih. Jurnal Sains dan Teknologi

Farmasi. Vol 15 No 1.

Ashour; Rinker; Sandall. 2010. Biochemistry of Terpenoids : Monoterpenes, Sequiterpenes

and Diterpenes. 2nd

edition. Blackwell Publishing Ltd. USA. Vol 40 No 3.

Baliadi dan Bedjo. 2011. Serangan ulat bulu di Probolinggo. Seminar Badan Litbang

Pertanian, (online), 18 April 2011, (http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/924/fil

e/Ulat-Bulu-yang-mudah-diken.pdf , diakses 04 Januari 2014).

Chapagain. 2008. Larvasidal Activity of Saponin and Tanin from Balanites aegyptiaca callus

Againts Aedes aegypti Mosquito. Biotechnology. Vol 99 No 5.

Djojosumarto. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta: Kaninus.

Fathi; Soedjajadi; Chatarina. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap

Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan

Lingkungan. Vol 2 No 1.

Fatna. 2010. Pengaruh air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium) Terhadap Tingkat

Kematian Larva Aedes aegypti Instar III In Vitro. Skripsi. Universitas sebelas maret

Fakultas Kedokteran, Surakarta.

Gandahusada, Illahude, Pribadi. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.

Geyter. 2007. Advances with plants as natural insecticides to control pest insect. Pest

technology. Vol 1 No 2.

Harborne. 1987. Metode Fitokimia Terbitan Kedua. Terjemahan Padmawita dan Sudiro.

Bandung: Penerbit ITB.

Jhon. 2009. Isolasi Senyawa Alkaloida dari Biji Buah Pala. Skripsi. Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan.

John. 2011. Pengujian Beberapa Jenis Insectisida Nabati Terhadap Kumbang Sitophylus

oryzae L, Pada Beras. Jurnal Agroforestri. Vol 6 No 1.

Kementrian Kesehatan RI . 2011. Informasi Umum Demam Berdarah Dengue 2011. Ditjen

PP dan PL. Indonesia. Kementrian Kesehatan RI.

Made; Ketut; I Wayan; Gusti; I Putu. 2012. Efikasi Minyak Atsiri Tanaman Cengkeh

(Syzygium aromaticum (L.) Meer. & Perry), Pala (Myristica fragrans Houtt), dan

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Terhadap Mortalitas Ulat Bulu Gempinis Dari Famili

Lymantriidae. Jurnal Agricultural Science and Biotechnology. Vol 1 No 1.

Mariana. 2009. Toksologi Insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan Keracunan. Media

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Vol 21 No 2.

Page 45: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

34

Ratih; Mifbakhuddin; Kiky. 2010. Pengaruh Kosnsentrasi Ekstrak Daun Temblekan (Lantana

camara) Terhadap Kematian LarvaAedes aegypti. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol

6 no 2.

Tiwari; Agarwal; Shankar. 2011. Phytochemical screening and extraction : A Review.

Internationale Pharmaceutica Sciencia. Vol 1 No 1.

WHO. 2005. Guidelines for laboratory and field testing Of Mosquito Larvacidies.

Hal 11-12. (online), (http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_CDS_WHOPES_GCD

PP_2005.13.pdf. diakses pada tanggal 10 November 2014)

Widiyanti dan Mulyadiharje. 2004. Uji Toksitas Jamur Materliizium anisopliae Terhadap

Larva Nyamuk Aedes aegypti. Media Litbang Kesehatan. Vol 14 No 3.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &

Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.

Wijayanti; Yulfi; Perry. 2007. Minyak Atsiri Dari Kulit Batang Cinnamomum burmannii

(Kayu Manis) Dari Famili Lauraceae Sebagai Insektisida Alami, Antibakteri dan

Antioksidan. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol 17 No 1.

Wink, M. 2010. Annual Plant Reviews : Biochemistry of Plant Secondary Metabolism.

Blackwell Publishing Ltd. USA. Volume 39.

Page 46: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

35

AKTIVITAS EKSTRAK DAUN LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata)

TERHADAP PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH

THE ACTIVITY OF Sansevieria trifasciata LEAF EXTRACTS

ON WHITE ROOT DISEASE

Arief Rachmawan, Andi Wijaya dan Cici Indriani Dalimunthe

Balai Penelitian Sungei Putih, Sungei Putih, Galang, Deli Serdang

PO. Box. 1415 Medan 20001, Indonesia

Telp/faksimile: 061-7980045/061-7980046

Email: [email protected]

Abstract

The Utilization of antagonistic plant is an alternative to control diseases that are cheaper,

easier and can be applied in the rubber plantations. Among the many antagonistic plants,

Sansevieria trifasciata has the potential to inhibit the activity of white root disease. These

plants can produce exudate around the root system, thus altering the physical-biochemical

properties of soil and suppressing the development of the disease. This study aims to

determine the activity of Sansevieria trifasciata leaf extracts on rubber plant white root

disease. The experimental design was completely randomized factorial design with 2 factors,

12 treatment combinations and three replications. The first factor is the extracting solvents

(water, methanol and phenolic acid), while the second one is the concentration of the extracts

(2.5%, 5%, 7.5% and 10%). The results showed that the phenolic acid extract with a

concentration of 7.5% and 10% had the highest inhibitory activity on white root disease with

the same value i.e. 94.06%. Thisvalue is significantly different from the other extracting

solvents.

Keywords: Hevea brasiliensis, Sansevieria trifasciata, white root disease, leaf extract

PENDAHULUAN

Penyakit jamur akar putih (Rigidoporus microporus) merupakan penyakit penting di

perkebunan karet. Penyakit ini menyerang seluruh stadia pertumbuhan tanaman dan

mengakibatkan kematian tanaman serta rendahnya produktivitas. Sampai saat ini, teknik

penanggulangan penyakit jamur akar putih (JAP) yang dianjurkan adalah dengan pencegahan

dan pengobatan. Pengolahan lahan merupakan teknik yang terbukti efektif, namun dengan

biaya mahal. Aplikasi belerang merupakan alternatif yang lebih murah untuk mengendalikan

penyakit JAP. Alternatif lain yang lebih ramah lingkungan adalah penggunaan tanaman

antagonis. Tanaman antagonis adalah tanaman lokal yang tumbuh di sekitar dan mempunyai

kemampuan menghambat perkembangan penyakit.

Situmorang et al. (2007) meneliti sembilan macam tanaman antagonis yang

berpotensi untuk menghambat pertumbuhan penyakit jamur akar putih (JAP). Dari

kesembilan tanaman tersebut, empat diantaranya, yaitu lidah mertua (Sansevieria trifasciata),

lengkuas (Alpinia galanga), kunyit (Curcuma domestica), dan cocor bebek (Kalanchoe

pinnata) dilaporkan mempunyai potensi untuk mengontrol pertumbuhan jamur akar putih.

Penanaman tanaman antagonis tersebut di sekitar tanaman karet sangat dianjurkan untuk

mencegah dan mengatasi penyakit jamur akar putih. Tanaman tersebut diduga mengeluarkan

eksudat di sekitar sistem perakaran sehingga mengubah sifat biokimia-fisik tanah dan

Page 47: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

36

menyebabkan terhambatnya perkembangan jamur akar putih. Selanjutnya, Febbiyanti (2012)

melakukan eksplorasi jamur dan bakteri antagonis terhadap JAP dari rizosfer tanaman lidah

mertua. Tanaman lidah mertua dipilih karena merupakan tanaman antagonis yang paling

efektif dalam mengendalikan JAP serta tahan terhadap kondisi lingkungan ekstrim. Hasil

penelitian menunjukkan adanya 4 jenis isolat jamur yang merupakan jamur antagonis

terhadap JAP.

Selain dugaan adanya eksudat yang bersifat antibiotik, serta ditemukannya jamur

antagonis terhadap JAP, dalam tanaman lidah mertua diduga juga terkandung senyawa kimia

yang mempunyai aktivitas menghambat JAP. Sampai saat ini, laporan mengenai pemanfaatan

ekstrak tanaman lidah mertua untuk mengendalikan penyakit JAP masih terbatas. Penelitian

lebih banyak melaporkan tentang penggunaan ekstrak tanaman tersebut untuk keperluan

medis. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa ekstrak tanaman lidah mertua memiliki

aktivitas antidiare (Adeyemi et al., 2009), antialergi (Andhare et al., 2012), antioksidan (Said

et al., 2015), antimikroba (Sikder et al., 2011; Komala et al., 2012) serta antidiabetes (Dey et

al., 2014; Laimeheriwa et al., 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas dari

ekstrak daun lidah mertua terhadap perkembangan JAP.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Maret 2016 di Laboratorium Proteksi

Balai Penelitian Sungei Putih dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

faktorial dengan 12 perlakuan kombinasi dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah pelarut

pengekstrak (akuades, metanol dan asam fenolik) dan faktor kedua adalah konsentrasi ekstrak

(2,5%; 5%; 7,5% dan 10%). Adapun tahapan kegiatan yang dilakukan adalah:

Persiapan sampel

Sampel daun lidah mertua dipanen dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei

Putih. Sebanyak 11.800 gram sampel dipotong-potong kecil dengan ukuran sekira 3 x 3 cm.

Sampel tersebut kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50°C selama 5 hari. Bobot

kering sampel daun lidah mertua adalah 882 gram atau 7,47% dari bobot basah. Sampel yang

telah kering dihaluskan menjadi serbuk, dan selanjutnya diekstrak dengan beberapa macam

pelarut.

Proses ekstraksi

Pada proses ekstraksi sampel daun lidah mertua, digunakan tiga macam pelarut yaitu

air, metanol dan asam fenolik. Untuk proses ekstraksi dengan air, sebanyak 50 gram serbuk

lidah mertua ditambah dengan 800 ml air. Larutan tersebut kemudian dididihkan sampai

tersisa sekira setengah dari volume awal. Filtrat disaring (selanjutnya disebut dengan ekstrak

air), dan digunakan untuk uji penghambatan jamur akar putih. Ekstraksi serbuk daun lidah

mertua dengan asam fenolik dilakukan dengan cara perendaman. Sebanyak 100 gram serbuk

daun ditambah dengan 800 ml asam fenolik dan direndam selama 3 hari. Filtrat hasil

penyaringan (selanjutnya disebut dengan ekstrak asam fenolik) digunakan untuk uji

penghambatan jamur akar putih. Proses ekstraksi serbuk daun lidah mertua menggunakan

metanol, juga dilakukan dengan cara perendaman. Sebanyak 100 gram serbuk daun ditambah

dengan 800 ml metanol dan direndam selama 3 hari. Proses pengadukan dilakukan beberapa

kali selama proses perendaman tersebut. Filtrat dievaporasi pada suhu 80°C sehingga

diperoleh padatan/gel (selanjutnya disebut dengan ekstrak metanol). Padatan dilarutkan

dalam 50 ml akuades dan digunakan untuk uji penghambatan JAP.

Page 48: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

37

Uji penghambatan ekstrak daun lidah mertua terhadap JAP

Uji penghambatan JAP dilakukan dalam petridish dengan media PDA menggunakan

metode peracunan (poisoning food). Pengamatan terhadap luas areal perkembangan JAP

dilakukan pada 2, 4 dan 6 hari setelah inokulasi (hsi).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Filtrat yang diperoleh dari proses perendaman daun lidah mertua dengan beberapa

pelarut mempunyai warna yang berbeda-beda. Pelarut asam fenolik menghasilkan filtrat

dengan warna coklat tua, sedangkan pelarut metanol dan air masing-masing menghasilkan

filtrat berwarna hijau tua dan hijau pudar. Warna hijau diduga merupakan warna klorofil dari

daun, sedangkan warna coklat pada filtrat dari asam fenolik diduga akibat sifat asam yang

sudah merusak struktur klorofil daun. Setelah filtrat dievaporasi, diperoleh padatan gel

berwarna hijau kehitaman dengan bau khas daun lidah mertua. Padatan tersebut larut dalam

akuades. Andhare et al. (2012) melaporkan bahwa ekstrak daun lidah mertua mempunyai

sifat fisik semipadat dengan warna coklat kehitaman serta berbau khas. Ekstrak tersebut larut

dalam pelarut polar (air, etanol dan metanol), serta tidak larut dalam pelarut aseton, benzen

dan toluen. Berdasarkan analisis fitokimia (Tabel 1), daun lidah mertua (Sansevieria

trifasciata) yang diekstrak dengan pelarut etanol mengandung kelompok senyawa saponin,

steroid, triterpenoid dan flavonoid. Saponin ditemukan dalam kadar tinggi, flavonoid dalam

kadar sedang, sementara steroid dan terpenoid hanya ada pada konsentrasi rendah. Tanaman

famili Agavaceae memang banyak dikenal sebagai tanaman yang kaya kandungan steroidal

saponin. Mimaki et al. (1996) telah berhasil mengisolasi dan menentukan struktur kimia 12

macam steroidal saponin dari ekstrak metanol tanaman Sansevieria trifasciata. Selain

kelompok senyawa tersebut, Dey et al. (2014) menyebutkan adanya alkaloid, tannin dan

glikosida di dalam ekstrak metanol daun lidah mertua.

Tabel 1. Sifat fisik dan kimia daun lidah mertua (Andhare et al., 2012)

Parameter Karakteristik

Sifat fisik Semipadat, coklat tua kehitaman dengan bau khas

Kelarutan Larut (air, etanol, metanol); tidak larut (aseton, benzen, toluen)

Nilai Rf 0,75 dalam fase gerak kloroform: metanol: air = 7:4:1 (v/v)

UV MeOH

(λmax)

280, 360

IR spektra

Vmax, KBr

Lidah mertua ~ IR cm: 3366 (–OH Stretch), 2925 (–CH stretch), 1733 (–

C=O stretch), 1053

Steroidal saponin ~ IR cm: 3450 (–OH stretch), 2920 (–CH stretch), 1740

(–C=O stretch), 1445, 1375, 1260, 1140, 1045, 980

Fitokimia Saponin (+++), steroid (+), terpenoid (+), flavonoid (++)

keterangan: +++= tinggi; ++=sedang; +=rendah

Hasil uji penghambatan penyakit JAP yang dilakukan di laboratorium menunjukkan

bahwa dari ketiga macam ekstrak daun lidah mertua, ekstrak asam fenolik mempunyai

aktivitas penghambatan yang paling potensial. Ekstrak asam fenolik pada konsentrasi 7,5%

dan 10% mampu menghambat perkembangan JAP dengan persen penghambatan yang sama

yaitu sebesar 94,06%. Pada konsentrasi yang lebih rendah, yaitu 2,5% dan 5%, ekstrak asam

fenolik memiliki persen penghambatan JAP masing-masing sebesar 57,05% dan 79,35%.

Ekstrak air dan ekstrak metanol memiliki aktivitas penghambatan yang lebih rendah, dan

kurang potensial untuk menghambat perkembangan JAP. Pada konsentrasi 10%, kedua

ekstrak tersebut memiliki persen penghambatan masing-masing sebesar 52,56% dan 41,52 %.

Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak daun lidah mertua selengkapnya disajikan pada

Page 49: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

38

Tabel 2, sedangkan visualisasi penghambatan JAP dalam petridisk disajikan pada Gambar 1

dan Gambar 2.

Tabel 2.Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak daun lidah mertua

No Pengekstrak Konsentrasi (%)

0 2,5 5,0 7,5 10

1 Air 0,00 34,36 47,42 45,94 52,56

2 Metanol 0,00 15,63 26,65 39,78 41,52

3 Asam fenolik 0,00 57,05 79,35 94,06 94,06

Gambar 1.Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak asam fenolik daun lidah mertua

Gambar 2.Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak metanol daun lidah mertua

Berdasarkan uji Anova dua faktor, maka secara keseluruhan terdapat perbedaan yang

signifikan (taraf kepercayaan 95%) antar perlakuan, yaitu konsentrasi dan pelarut

pengekstrak. Namun, hal tersebut tidak menggambarkan efektivitas penghambatan yang

optimal. Daya penghambatan JAP dinilai efektif jika persentase penghambatannya lebih

besar dari 80%. Secara umum, sampai konsentrasi 10%, crude ekstrak daun lidah mertua

kurang efektif dalam menghambat perkembangan JAP. Hanya ekstrak asam fenolik daun

lidah mertua yang dinilai efektif. Aktivitas tersebut diduga bukan disebabkan oleh ekstrak

daun lidah mertua, tetapi lebih disebabkan oleh faktor keasaman media. Pada ekstrak air dan

metanol, keasaman media berada pada kisaran pH netral, sedangkan pada ekstrak asam

fenolik, pH media lebih asam yaitu pada kisaran 4 – 5. Pada media pembanding, yaitu media

yang mengandung asam fenolik tanpa ekstrak daun lidah mertua, ternyata perkembangan JAP

juga terhambat dengan persen penghambatan yang tidak berbeda nyata (Tabel 3). Pengaruh

pH media tumbuh terhadap pertumbuhan jamur patogen telah banyak dilaporkan. Maharshi et

al. (2012) melaporkan bahwa jamur Fusarium sp., Curvularia intermedia dan Antrodia

sitchensis lebih menyukai pH netral sampai agak basa untuk pertumbuhannya, sedangkan

Aspergillus niger tumbuh lebih baik pada pH asam. Neto et al. (2009) menyatakan bahwa

jamur Lentinus crinitus dan Psilocybe castanella dapat memodifikasi keasaman media

tumbuhnya sehingga mencapai pH optimal mendekati 4,5.

Page 50: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

39

Tabel 3.Pengaruh asam fenolik terhadap persentase penghambatan JAP

No Kandungan Media Konsentrasi (%)

0 2,5 5,0 7,5 10

1 Ekstrak asam feolik daun lidah mertua 0,00 57,05 79,35 94,06 94,06

2 Asam fenolik tanpa ekstrak daun lidah mertua 0,00 65,95 68,81 92,16 92,16

KESIMPULAN

Pada ekstrak air dan metanol, penghambatan JAP kurang efektif, sebaliknya pada

ekstrak asam fenolik penghambatan berlangsung lebih optimal. Konsentrasi optimal ekstrak

asam fenolik untuk menghambat JAP adalah 7,5% dan 10%,dengan aktivitas penghambatan

sebesar 94,06%. Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak asam fenolik lidah mertua tersebut

tidak berbeda nyata dengan aktivitas asam fenolik tanpa ekstrak lidah mertua.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet yang telah

memfasilitasi penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adeyemi, O.O., A.J. Akindele, E.A. Ogunleye. 2009. Evaluation of the antidiarrhoeal effect

of Sanseviera libericaGerome & Labroy (Agavaceae) root extract. Journal of

Ethnopharmacology 123: 459–463.

Andhare, R.N., M.K. Raut, S.R. Naik. 2012. Evaluation of antiallergic and antianaphylactic

activity of ethanolic extract of Sanseveiria trifasciata leaves (EEST) in rodents.

Journal of Ethnopharmacology 142: 627–633.

Dey, B., R. Bhattacharjee, A. Mitra, R.K. Singla, A. Pal. 2014. Mechanistic Explorations of

Antidiabetic Potentials of Sansevieria trifasciata.Indo Global Journal of

Pharmaceutical Sciences, 4(2): 113-122.

Febbiyanti, T.R. 2012. Penapisan jamur dan bakteri antagonis terhadap jamur akar putih

(Rigidoporus microporus) dari rizosfer tanaman lidah mertua (Sansevieria trifasciata

Prain). Jurnal Penelitian Karet, 30(1): 1-11.

Komala, O., I. Yulia dan R. Pebrianti. 2012. Uji efektivitas ekstrak etanol daun lidah mertua

(Sansevieria trifasciata Prain) terhadap khamir Candida albicans. Fitofarmaka, 2(2):

146-152.

Laimeheriwa, C., A.C. Wullur dan W.A. Lolo. 2014. Uji efek ekstrak etanol daun lidah

mertua (Sansevieria trifasciata Prain) terhadap penurunan kadar gula darah tikus

putih jantan galur wistar (Rattus norvegicus L.) yang diinkubasi sukrosa. Pharmacon,

3(3): 255-262.

Maharshi, A.R. and V.S. Thaker. 2012. Growth and Development of Plant Pathogenic Fungi

in Define Media. European Journal of Experimental Biology, 2(1): 44-54.

Mimaki, Y., T. Inove, M. Kuroda and Y. Sashida. 1996. Steroidal saponins from Sanvevieria

trifasciata. Phytochemistry, 43(6): 1325-1331.

Neto, S.L.M., D.R. Matheus and K.M.G. Machado. 2009. Influence of pH on the growth,

Laccase activity and RBBR decolorization by tropical basidiomycetes. Brazilian

Archives of Biology and Technology, 52(5): 1075-1082.

Page 51: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

40

Said, A., E.A. Aboutabl, F.R. Melek, G.A.R.A Jabeel, M. Roslan. 2015. Steroidal saponins

and homoisoflavanone from the aerial parts of Sansevieria cylindrica Bojer ex Hook.

Phytochemistry Letters, 12: 113–118.

Sikder, M.A., A.K.M.N. Hossian, A.B. Siddique, M. Ahmed, M.A. Kaisar and M.A. Rashid.

2011. In Vitro Antimicrobial Screening of Four Reputed Bangladeshi Medicinal

Plants. Pharmacognosy Journal, 3(24): 72-76.

Situmorang, A., H. Suryaningtyas, and T.R. Febbiyanti. 2007. Control of white root disease

using antagonistic plant on rubber plantation. Proc. Int. Workshop on White Root

Disease of Hevea Rubber. IRRDB. Salatiga, Indonesia.

Page 52: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

41

KAJIAN MORFOLOGI, MORFOMETRI, DAN STATUS KONSERVASI

PARI DI SUMATERA BAGIAN UTARA)

THE STUDY OF MORPHOLOGY, MORPHOMETRY AND

CONSERVATION STATUS OF RAYS IN NORTH AREA OF SUMATERA

Fretty Juniarti dan Mufti Sudibyo

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate

Kode Pos 20221 Telp.(061) 6625970

email: [email protected]

Abstract

Rays has a high economic value, especially on their broader body and a pair of pectoral fins

that attach on the left and right side of their head. The objective of this research is to

analyzed the morphology, morphometry and conservation status of rays in the North area of

Sumatera. The sample was taken from the Central Fish Market that located on Cemara Street

Sampali Medan. There was found 7 samples of rays, where 4 of them were analyzed using

multiple regression by stepwise method. The parameter that be measured was the length size

against the body weidth. The result showed that based on morphology, there was found

Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii, Himantura jenkinsii, Rhinoptera javanica, Taeniura

lymma, Gymnura japonica, and Himantura undulata. Based on morphometry, the length size

that contributing in the body weidth was the body length (r= 0,985), gap between the snout to

the fifth gill (r= 0,993) and gap between the snout to the cloaca (r= 0,993). The conservation

status based on Red list IUCN 2012, showed that Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii and

Himantura jenkinsii, Gymnura japonica, and Himantura undulata was not evaluated (NE)

while the Rhinoptera javanica was vulnerable (VU) and Taeniura lymma was Near

threathened (NT).

Key word : Morphology of rays, morphometry of rays, conservation status of rays

PENDAHULUAN

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memanfaatkan sumber daya ikan

bertulang rawan (Elasmobranchii) terbesar di dunia, dengan dugaan hasil tangkapan sebesar

105.000 ton pada tahun 2002 dan 118.000 ton pada tahun 2003 (White et al., 2006).

Elasmobranchii saat ini sedang menghadapi masalah terhadap tingginya laju kepunahan

akibat pengambilan berlebih (over fishing) yang dipicu oleh tingginya permintaan pasar akan

daging dan kulit pari. Menurut Red List spesies terancam berdasarkan International Union

for the Conservation of Nature (IUCN), memperkirakan 562 spesies Hiu dan Pari (53,9%

total) dalam kondisi terancam (Dulvy et al., 2014). Disamping over fishing, ikan bertulang

rawan juga memiliki karakteristik berbeda terhadap ikan bertulang sejati dari strategi

reproduksinya yang relatif lebih rendah sehingga dalam perkembangannya memiliki strategi

hidup yang berbeda (Steven et al., 2000).

Meskipun Indonesia tercatat sebagai negara dengan produksi perikanan pari terbesar

dan diyakini memiliki kekayaan jenis pari tertinggi di dunia, namun hampir tidak ada kajian

atau pun publikasi mengenai aspek biologi maupun komposisi jenis pari dari negara ini.

Pengetahuan mengenai pengenalan jenis pari yang ada di Indonesia amatlah dibutuhkan

Page 53: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

42

seiring dengan tingkat pemanfaatan yang amat tinggi terhadap populasi jenis ini, serta untuk

memperoleh data yang akurat dalam penentuan kebijakan terhadap pengelolaan sumber daya

tersebut (White et al., 2006). Selama ini Indonesia tidak memiliki data statistik hasil

tangkapan pari menurut spesies, yakni data yang sangat diperlukan untuk mengetahui

kecenderungan jumlah dan komposisi spesies hasil tangkapan yang didaratkan. Data dan

informasi ini sangat berguna sebagai indikator status perikanan pari di Indonesia. Kepedulian

mengenai penangkapan berlebih dan kehancuran (collapse) dari sejumlah stok pari telah

mendorong berbagai upaya untuk mengelola dan melestarikan pari. Keberhasilan mengelola

dan melestarikan pari sangat ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain berupa pemahaman

yang lebih baik tentang perikanan pari dan efek yang ditimbulkannya, termasuk efek biologi

dari spesies target, sehingga pengumpulan data biologi yang bersifat spesifik spesies dari

perikanan pari sangat diperlukan (Pralampita, 2006).

Sampai saat ini jenis pari apa saja yang sering ditangkap dan dikonsumsi terutama yang

penangkapannya berasal dari Sumatera Bagian Utara dan apakah Pari yang tertangkap

tersebut berstatus dilindungi atau tidak belum ada data. Oleh karena itu penelitian ini

mengkaji temuan Pari yang sering tertangkap yang dilakukan pengukuran dan disesuaikan

dengan status konservasinya pada IUCN tahun 2012.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel dilakukan di Pusat pasar ikan Sumatera Utara di Jl. Cemara pada

bulan Desember 2015 – Bulan Februari 2016. Sampel dalam penelitian ini mencakup 7 jenis

pari yaitu Himantura gerrardi (30 spesies), Dasyatis kuhlii (30 spesies), Himantura jenkinsii

(30 spesies), Rhinoptera javanica (30 spesies), Taeniura lymma (4 spesies), Gymnura

japonica (2 spesies) dan Himantura undulata (1 spesies).

Ikan Pari yang didapatkan diidentifikasi dan dilakuan pengukuran menurut Serena

(2005) dan Akhilesh et al (2011) seperti tertera pada gambar di bawah ini. Status konservasi

pari dilakukan berdasarkan kajian pustaka, pari yang ditemukan di diselaraskan dengan

daftar red list IUCN 2012.

(a)

Page 54: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

43

(b)

Gambar 1. Teknik morfometri pada Pari (a) Dorsal, (b) Ventral (Serena, 2005)

Parameter utama dalam penelitian ini mencakup faktor dependen (Y) = lebar badan, dan

faktor independen yang meliputi X1= Panjang total/PT (cm), X2= Panjang badan/PB (cm),

X3= Panjang pre orbital/PPO (cm), X4= Jarak inter orbital/JIO (cm), X5= Jarak pre

spirakel/JPS (cm), X6= Jarak pre narial/JPN (cm), X7= Jarak inter narial/JIN (cm), X8= Jarak

pre oral/JPO (cm), X9= Lebar mulut/LM (cm), X10= Jarak dari ujung moncong ke pembukaan

celah insang pertama/JMP (cm), X11= Jarak dari ujung moncong ke pembukaan celah insang

kelima/JML (cm), X12= Jarak dari ujung moncong ke kloaka/JMK (cm), X13= Jarak dari

kloaka ke ujung ekor/JKE (cm), X14= Panjang ekor/PE (cm).

Analisis statistik menggunakan analisis regresi linear berganda dengan metode

Stepwise yang diolah dengan bantuan software IBM SPSS Statistics 20 mengikuti formulasi:

Y= b0 + b1X1+ b2X2+ b3X3+ b4X4+..........bqXq + ε

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Morfologi

Berdasarkan identifikasi morfologi pada pari bintang memiliki bentuk moncong

lancip serta bentuk badan persegi dengan warna badan coklat dipenuhi bintik putih yang

bervariasi. Pari karang memiliki bentuk moncong lancip dan pendek serta terdapat garis lebar

berwarna hitam melintang diatas mata. Pada pari duri memiliki bentuk badan bulat telur dan

bagian tengah tubuh terdapat duri kecil hingga ekor. Pari elang memiliki bentuk moncong

tumpul serta memiliki celah dalam di tengahnya hingga membentuk dua buah cuping dengan

warna coklat kehitaman. Pari kunyit memiliki bentuk badan bulat telur dengan bintik biru

cerah pada bagian ventral dan berwarna kuning pada bagian dorsal. Pari sayap memiliki

moncong tumpul dan bentuknya menyerupai burung elang. Sedangkan pada pari harimau

bagian atas tubuhnya didominasi oleh corak menyerupai macan tutul.

Ikanpari(rays) termasuk ikan bertulang rawan dalam grup Cartilaginous. Ikan pari

mempunyai bentuk tubuh gepeng melebar (depressed), sepasang sirip dada (pectoral fins)

melebar dan menyatu dengan sisi kiri-kanan kepalanya, sehingga tampak atas atau tampak

bawahnya terlihat bundar atau oval. Ikan pari umumnya mempunyai ekor yang sangat

berkembang (memanjang) menyerupai cemeti (Last dan Stevens, 2009).

Berdasarkan identifikasi menggunakan acuan Akhilesh et al (2011) Pari yang

ditemukan adalah Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii, Himantura jenkinsii, Rhinoptera

javanica, Taeniura lymma, Gymnura japonica dan Himantura undulata. Secara umum, pari

Page 55: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

44

yang ditemukan tidak memiliki ciri spesifik dari Pari yang telah diberi nama sebelumnya,

dengan demikian belum memungkinkan adanya nama subspecies. Gambar pari yang di

temukan di Pusat Pasar Ikan Sumatera Utara tertera pada gambar 2 dibawah ini.

Page 56: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

45

Karakteristik Morfometri

Menurut Enjah Rahmat (2011) morfometrik merupakan salah satu cara untuk mendeskripsikan jenis ikan dan menentukan unit stok pada suatu perairan dengan berdasarkan atas perbedaan morfologi spesies yang diamati. Morfometri terhadap 15 parameter terukur pada Pari yang ditemukan tertera pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Pengukuran Morfometri Pari yang ditemukan di Pusat Pasar Ikan Sumatera Utara

No. Morfometri Jenis Pari

Pari Karang Pari Bintang Pari Duri Pari Elang

1. LB 25,2±5,3 35,4±6,6 45,2±10,2 46,6±16,6 2. PT 46,7±12,7 80,6±33,7 88,5±16,4 72,4±5,0 3. PB 18,6±4,4 27,8±6,4 34,5±6,0 27,9±7,8 4. PPO 3,9±1,6 5,9±1,7 9,1±2,7 1,5±0,5

5. JIO 1,9±0,6 2,8±1,3 5,7±2,5 3,1±1,3 6. JPS 5,7±1,6 7,8±1,6 11,9±3,4 6,1±2,1 7. JPN 3,3±1,1 4,4±1,2 7,4±2,6 3,8±1,6 8. JIN 2,1±0,6 2,5±0,8 4,7±2,1 3,1±1,0 9. JPO 4,5±1,6 5,8±1,3 9,8±3 5,9±2,0

10. LM 1,9±0,8 2,0±0,6 4,7±2,2 1,8±0,5 11. JMP 4,4±1,9 8,8±1,9 13,6±3,1 8,6±2,3 12. JML 11,5±2,7 13,5±2,7 18,5±4,7 12,5±3,5 13. JMK 21,3±5,6 25,3±3,9 33,9±6,1 27,4±8,5 14. JKE 29,9±8 68±25,3 55,3±11,6 43,9±4,7

15. PE 28,8±7,8 66±25,1 51,3±11,6 41,8±4,8

Analisis regresi berganda menggunakan metode stepwise yang dilakukan terhadap empat jenis pari yang memenuhi syarat dalam analisis statistik memiliki karakteristik yang berbeda-beda berdasarkan kontribusinya terhadap lebar badan. Pada Pari bintang terdapat tiga faktor independen yang berkontribusi terhadap lebar badan yakni PB 95%, JML 97%, JMK 97%, LM 98%, JPS 98%, dan JPO 99%. Pada Pari karang yang berkontribusi terhadap lebar badan adalah PB 96%, JMK 97%, dan JMP 97%. Pada Pari duri yang berkontribusi terhadap lebar badan adalah JPS 94%, PB 97%, JML 98%, dan LM 99%. Pada Pari elang yang berkontribusi terhadap lebar badan adalah JML 97%, JIN 98%, dan JMK 98%. Persamaan regresi berdasarkan analisis tertera di dalam tabel 2. Dibawah ini

Jenis Pari Persamaan regresi

Pari Bintang Y = 0,41 X2 + 0,54 X12 +0,92 X9 + 0,71 X5 + 0,55 X8 - 0,49

Pari Karang Y= 0,81 X2 + 0,11 X12 + 0,69 X10 - 4,64

Pari Duri Y= 0,79 X2 + 1,40 X11 - 0,56 X9 - 5,45

Pari Elang Y = 3,10 X11 - 1,88 X7 + 0,78 X12 - 7,93

Status Konservasi dan Sebaran Pari Hampir seperempat chondrichthyes di dunia dalam kondisi terancam, didasarkan pada

pengamatan tingkat ancaman jenis yang dikombinasikan dengan model estimasi jumlah data spesies defisien yang mungkin terancam. Dari 1.041 jenis yang dikenal 181 (17,4%) digolongkan terancam (treatern), 25 (2,4%) dinilai berstatus sangat berbahaya (Critically Endangered/CR), 43 (4,1%) berbahaya (Endangered/EN), dan 113 (10,9%) berstatus rentan (Vulnirable/VU) (Dulvy et al., 2014). Selanjutnya 132 (12,7%) dikatagorikan mendekati terancam (near threatern/NT). Chondrichthyes memiliki persentase terendah 23,2% paling sedikit mendapatkan perhatian dari semua kelompok hewan vertebrata dari taksa laut yang dinilai (Hoffmann et al., 2010).

Page 57: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

46

Last dan Stevens (2009) menyatakan bahwa Ikan pari (famili Dasyatidae) mempunyai

variasi habitat yang sangat luas dengan pola sebaran yang unik. Daerah sebaran ikan pari

adalah perairan pantai dan kadang masuk ke daerah pasang surut. Ikan pari biasa ditemukan

di perairan laut tropis. Di perairan tropis Asia Tenggara (Thailand, Indonesia, Papua Nugini)

dan Amerika Selatan (Sungai Amazon). Status Konservasi dan sebaran pari yang ditemukan

tertera pada Tabel 3 di bawah ini.

No Nama Spesies Sebaran Status Konservasi

1. Himantura

gerrardi

Di perairan Indonesia-Pasifik Barat

mulai dari India sampai Papua

Nugini dan Taiwan

Red list IUCN 2012 :

Belum dievaluasi (NE)

2. Dasyatis kuhlii Di perairan Indonesia-Pasifik Barat

sampai Melanisia termasuk Jepang

dan Australia

Red list IUCN 2012 :

Belum dievaluasi (NE)

3. Himantura

jenkinsii

Di perairan Indonesia-Pasifik Barat Red list IUCN 2012 :

Belum dievaluasi (NE)

4. Rhinoptera

javanica

Di perairan Indonesia-Pasifik Barat Red list IUCN 2012 :

Rentan Mengalami

kepunahan (VU)

5. Taeniura lymma Di perairan Indonesia-Pasifik Barat

mulai Afrika Selatan sampai

Kepulauan Solomon

Red list IUCN 2012 :

Hampir Terancam (NT)

6. Gymnura japonica Di perairan Pasifik Utara sebelah

barat mulai dari Thailand hingga

Jepang

Red list IUCN 2012 :

Belum dievaluasi (NE)

7. Himantura

undulata

Di perairan Indonesia-Pasifik Barat

mulai dari India sampai Jepang dan

bagian Selatan Australia

Red list IUCN 2012 :

Belum dievaluasi (NE)

KESIMPULAN

1. Pari yang ditemukan di perairan Sumatera Bagian Utara adalah Himantura gerrardi,

Dasyatis kuhlii, Himantura jenkinsii, Rhinoptera javanica, Taeniura lymma, Gymnura

japonica, dan Himantura undulata.

2. Faktor morfometri yang paling berpengaruh terhadap lebar badan pada jenis pari bintang

yakni PB 95%, JML 97%, JMK 97%, LM 98%, JPS 98%, dan JPO 99%. Pada Pari

karang yakni PB 96%, JMK 97%, dan JMP 97%. Pada Pari duri yakni JPS 94%, PB

97%, JML 98%, dan LM 99%. Pada Pari elang yakni JML 97%, JIN 98%, dan JMK

98%.

3. Status konservasi pari di Sumatera Bagian Utara Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii,

dan Himantura jenskinsii, Gymnura japonica, dan Himantura undulata termasuk dalam

status Belum dievaluasi (NE) sedangkan Rhinoptera javanica termasuk dalam status

Rentan mengalami kepunahan (VU) dan Taeniura lymma termasuk dalam status Hampir

terancam (NT).

DAFTAR PUSTAKA

Akhiles K.V., U. Ganga, N.G.K., Pillari, E.,Vivekanandan,, K.K Bineesh., C.P.R Shanis and

Hasyim., (2011), Deep-Sea fishing for chondrichtyan resources and sustainability

concerns a case study from southwest coast of India, Indian journal of Geo-Marine

Sciences 40 (3): 347- 355.

Page 58: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

47

Allen, G. 2000. Marine Fishes of South and East Asia. A Field Guide for Anglers and

Diversi. Western Australia.

Dudley, S. F. J. and C. A. Simpfendorfer, (2006), Population status of 14 shark spesies

caught in the protective gillnets off KwaZulu-Natal beaches, South Africa, 1978-

2003, Marine and Freshwater Research, 57:225-240.

Fahmi dan Darmadi, (2005) Status perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya, Jurnal Oseana

30 :1-8.

Hoffmann M., Hilton-Taylor C., Angulo A., Butchart HM., Carpenter KE., Chanson J.,

Collen B., and Cox NA., (2010), The impact of conservation on the status of the

world's vertebrates,Science, 33:1503-1509.

Hutchings, J.A., (2000), Collapse and recovery of marine fishes. Nature, 406, 882-885.

Last, P.R. & J.D. Stevens, (2009), Sharks and Rays of Australia Second Edition, CSIRO,

Victoria Australia.

Lotze H.K., H.S. Lenihan, B.J. Bourque, R.H. Bradbury, R.G. Cooke, M.C. Kay, S.M.

Kidwell, M.X. Kirby, C.H. Peterson, and J.B.C. Jackson., (2006), Depletion,

degradation,and recovery potential of estuaries and coastal seas, Science, 312:1806-

1809.

Neubauer, P., O.P. Jensen, J.A. Hutchings, and J.K. Baum., (2013), Resilience and recovery

of overexploited marine populations. Science, 340:347-349.

Patterson H.M and M. J. Tudman., (2009), Chondrichthyan guide for fisheries managers. A

practical guide for mitigating chondrichthyan bycatch.Bureau of Rural Sciences and

Australian Fisheries Management Authority, Canberra ACT (www.afma.gov.au &

www.brs. gov.audi akses tanggal 28 November 2015).

Pralampita, W A., Mardijah, S., (2006), Aspek Biologi Pari Mondol (Himantura gerrardi)

family Dasyatidae dari Perairan Laut Jawa, Jurnal Lit.Perikanan 12 (1): 69-75.

Rahmat, E., (2011), Teknik Pengukuran Morfometrik pada Ikan Cucut di Perairan Samudera

Hindia, Jurnal BTL9(2): 2-3.

Serena F.,(2005), Field identification guide to the Sharks and Rays of the mediterranean and

Black Sea,Food and agriculture organization of the united nations, Rome.

Stevens, J. D., R. Bonfil., N. K Dulvy., and P. A. Walker., (2000), The effects of fishing on

sharks, rays, and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine

ecosystems, ICES Journal of Marine Science, 57: 476–494.

Sri, J., dan Kasijan Romimohtarto, (2009), Biologi Laut, Djambatan, Jakarta.

Sulak K.J., P.D. MacWhirter., K.E. Luke., A.D. Norem., J.M. Miller., J.A. Cooper and L.E.

Harris.,(2009), Identification guide to skates (Family Rajidae) of the Canadian

Atlantic and adjacent regions, Canadian Technical Report of Fisheries and Aquatic

Sciences, New Brunswick.

White, W.T., P. R. Last., J. D. Stevens., G. K. Yearsley., Fahmi, Dharmadi.,(2006),

Economically Important Shark and Rays Indonesia (Hiu dan Pari yang bemilai

ekonomis penting Indonesia), CSIRO, Murdoch University, Aciar,Perth.

Page 59: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

48

AKTIVITAS MAKAN PADA GAJAH SUMATERA

(Elephas maximus sumatranus) TERHADAP KERENTANAN

BUDIDAYA PERTANIAN DI PROVINSI ACEH

SUMATRAN ELEPHANT (Elephas maximus sumatranus)

FEEDING BEHAVIOUR ON SUSCEPTIBITY

OF AGRICULTURE COMMODITY IN ACEH

Kaniwa Berliani1.2

, Hadi S.Alikodra3, Burhanuddin Masy’ud

3, Mirza Dikari Kusrini

3

1. Fakultas Pascasarjana, Program Konservasi Biodiversitas Tropika,Fakultas Kehutanan IPB.

Email: [email protected] 2. Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Departemen Biologi,

Universitas Sumatera Utara 3. Program Konservasi Biodiversitas Tropika, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Abstrak

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) sangat selektif memilih jenis tanaman dan

bagian tanaman tertentu untuk dikonsumsi. Penelitian tentang aktivitas makan pada gajah

bertujuan mendefinisikan perilaku makan pada gajah terhadap jenis tanaman komoditi

pertanian masyarakat yang berbeda secara bersamaan, menganalisis perilaku aktivitas makan

pada gajah terhadap jenis tanaman dan menganalisis perilaku aktivitas makan pada gajah

sumatera terhadap kerentanan kerusakan jenis tanaman komoditi yang dibudidayakan

masyarakat di daerah konflik manusia-gajah. Penelitian telah dilakukan pada bulan Desember

2014 di Pusat Konservasi Gajah Saree Provinsi Aceh. Metode yang digunakan adalah

observasional deskriptif dilakukan dengan metode focal animal samplingdengan

mengkombinasikandengan continuous sampling pada lima ekor gajah betina dewasa dan lima

ekor gajah jantan dewasa terhadap 10 jenis pakan yang merupakan jenis tanaman komoditi

masyarakat di daerah konflik manusia-gajah. Data dianalisis menggunakananalisis deskripsi

sehingga memberi gambaran secara khusus tentangperilaku aktivitas makan pada gajah

terhadap jenis tanaman yang dirusak dan yang tidak dirusak oleh gajah. Hasil penelitian

diperoleh bahwa perilaku aktivitas makan pada gajah didefinisikan dengan perilaku

mengamati, mengambil, memeriksa, mengolah, menggigit, mengunyah, menelan dan

membuang pakan. Aktivitas makan pada gajah merupakan aktivitas yang paling besar, diikuti

aktivitas lokomos, aktivitas defekasi dan aktivitas urinasi. Pada perilaku pemilihan jenis

pakan yang dikonsumsi, gajah paling sering menunjukkan perilaku memilih tanaman padi

(Oryza sativa) dan tanaman pisang (Musasp) sedangkan jenis pakan yang paling sedikit

dipilih adalah tanaman coklat (Theobroma cocoa). Disamping, empat jenis pakan yang

sedikitpun tidak dikonsumsi gajah betina maupun jantan, namun memperlihatkan perilaku

mengamati, perilaku memeriksa dan perilaku membuang. Tanaman tersebut adalah cabai

(Capsicum frutescens), kemiri (Aleurites moluccana), kopi (Coffea arabica), dan nilam

(Pogostemon cablin). Perilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman tertentu

dan kerentanan tanaman komoditas terhadap kerusakan oleh gajah akan memperkuat alasan

untuk mengatur suatu strategi mengurangi konflik manusia-gajah di propinsi Aceh.

Kata Kunci: perilaku, gajah, memilih, jenis tanaman, aktivitas makan.

Page 60: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

49

PENDAHULUAN

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa bersifat browser

(pemakan semak), folivora (pemakan daun), frugivora (pemakan buah), pemakan biji dan

pemakan bagian lain dari tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan mineral.Satwa

megaherbivora ini mengkonsumsi lebih dari 400 spesies tumbuhan yang berbeda dan sangat

bervariasi memakan bagian-bagian tanaman, misalnya daun, buah, umbut, pelepah, batang

muda, bunga, kulit dan juga liana, tergantung pada daerah, cuaca dan ekosistem (Poole 1996;

Sukumar 2003; Abdullah et al. 2005; Fowler dan Susan 2006; Sarmah 2009; Abdullah et al.

2010). Akan tetapi gajah juga sangat selektif dalam memilih pakannya (Blake 2002; Fowler

dan Susan 2006) dan dipengaruhi oleh tipe vegetasinya (Tehamba 1996).

Perilaku satwa merupakan segala tindak tanduk, respon atau ekspresi yang terlihat

akibat adanya stimulus dalam (sekresi hormon, faktor motivasi, dorongan alat insentif

sebagai akibat aktivitas) dan stimulus luar (suara, pandangan, tenaga mekanis dan kimiawi)

yang mempengaruhinya. Jadi perilaku merupakan suatu aktivitas yang melibatkan

penerimaan stimulus melalui panca indera, perubahan stimulus ini menjadi aktivitas neural,

aksi integrasi susunan syaraf dan akhirnya aktivitas berbagai organ motorik, baik internal

maupun eksternal (Tanudimadja dan Kusumamihardja 1985; Mukhtar 1986). Setiap hewan

mempunyai banyak macam perilaku yang memungkinkan hewan merespon terhadap segala

stimulus yang datang dan berkembang sesuai dengan perkembangan dari proses belajar.

Namun perilaku yang utama dan penting dalam kehidupan seekor hewan adalah perilaku

makan atau ingestive behaviour (Hafez 1969; Alikodra 1990).

Perilaku makan satwasecara mendasar dapat diketahui padabagian anatomi dan

adaptasi fisiologis satwa tersebut. Gajah memiliki struktur gigi dan saluran pencernaan yang

menentukan jenis tanaman yang dimakannya. Selain itu, kebutuhan terhadap pakan

dipengaruhi oleh ukuran tubuh, semakin besar maka diperlukan makanan yang lebih banyak

(Sukumar (2003). Mamalia besar ini membutuhkan hijauan dalam jumlah banyak yaitu

sekitar 200 – 300 kg biomassa per hari untuk gajah dewasa atau 5 – 10% dari berat badannya

(Shoshani dan Eisenberg, 1982),sedangkan gajah dewasa dengan berat 3000 – 4000 kg

membutuhkan jumlah pakan yang banyak, yaitu 200 – 300 kg hijauan segar per hari pada

kondisi alami. Besarnya konsumsi makanan gajah disebabkan karena sistem pencernaannya

kurang sempurna bila dibandingkan dengan hewan herbivora lain karena tidak memamah

biak, memiliki lambung tunggal dan rata-rata waktu mencerna yang rendah. Alasan inilah

yang menyebabkan gajah menampakkan perilaku makan yang terus menerus (Lekagul dan

Mcneely 1977; WWF 2005).

Berdasarkan informasi umum dari masyarakat, laporan dari beberapa hasil penelitian

maupun pengamatan penggiat konservasi gajah bahwa perilaku gajah menunjukkan adanya

fenomena preferensi terhadap tanaman komoditi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya

faktor selektifitas gajah dalam memilih jenis pakan yang dikonsumsinya.Tingkat preferensi

gajah yang tinggi mengindikasikan adanya kesukaan gajah terhadap jenis tanaman komoditi

tertentu. Akan tetapi, menurut Sukumar 2003 bahwa kesukaan gajah terhadap tanaman dapat

diketahui saat aktivitas makan, yaitu gajah dihadapkan pada beberapa jenis tanaman yang

berbeda yang disediakan secara bersamaan. Jadi, berdasarkan aktivitas makan tersebut diduga

kuat adanya perilaku makan yang berbeda saat mengkonsumsi tanaman yang disukai dan

yang tidak disukai. Meskipun demikian sejauh ini belum ada data dan informasi yang

konfrehensif berdasarkan aktivitas makan pada gajah yang menunjukkan bagaimana

mendefinisikan perilaku makan dan cara mengolah pakan pada gajah, berapa besar proporsi

perilaku gajah pada aktivitas makan, dan bagaimana menganalisis perilaku aktivitas makan

pada gajah terhadap kerentanan jenis tanaman. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini

dilakukan dengan tujuan : (1) mendefinisikan perilaku makan pada gajah terhadap jenis

tanaman komoditi pertanian masyarakat yang berbeda secara bersamaan, (2) menganalisis

Page 61: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

50

perilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman (3) menganalisis perilaku

aktivitas makan pada gajah sumatera terhadap kerentanan kerusakan jenis tanaman komoditi

yang dibudidayakan masyarakat di daerah konflik manusia-gajah.

BAHAN DAN METODE

Hewan penelitian yang diamati yaitu 10 ekor gajah (Elephas maximus sumatranus),

masing-masing lima ekor betina dewasa (Butet, Johana, Mega, Ida, Isabella) dan lima ekor

jantan dewasa (Abu, Bunta, Lilik, Midok, Ollo). Bahan pakan yang diberikan berupa 10 jenis

tanaman komoditi pertanian/perkebunan masyarakat yang diperkirakan dirusak dan tidak

dirusak gajah berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu pinang (Areca catechu), pisang

(Musa sp), kelapa sawit (Elais gueenensis), padi (Oryza sativa), karet (Havea brassiliensis),

coklat (Theobroma cocoa), kopi (Coffea Arabica), cabe (Capsicum frutescens), kemiri

(Aleurites moluccana), dan nilam (Pogostemon cablin). Peralatan yang digunakan adalah

termohigrometer (untuk mengukur suhu dan kelembaban udara), jam (untuk membatasi

interval pengamatan), alat tulis, tally sheet (untuk mencatat data pengamatan), dan kamera

video (untuk mengamati perilaku gajah).

Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2014 di Pusat Konservasi Gajah Aceh, Saree

Provinsi Aceh (05o44‘41,65‖LU – 95

o72‘47,17‖BT), berada pada ketinggian 436 mdpl

dengan tipe iklim B dengan suhu rata-rata setiap pagi hari adalah 19oC sampai 24

oC,

sedangkan sore hari mencapai 28oC sampai 30.1

oC. Disamping itu kelembaban udara rata-

rata setiap pagi berkisar 78% sampai 84% dan sore hari mencapai 54% sampai 69%. Kisaran

suhu dan kelembaban udara tersebut berfluktuasi namun tidak mempengaruhi aktivitas gajah.

Keadaan tersebut masih bisa ditolerir, sehingga secara keseluruhan gajah masih dapat

beradaptasi terhadap faktor lingkungan tersebut.

Pengumpulan data penelitian observasional deskriptif dilakukan dengan metode focal

animal samplingdengan mengkombinasikandengan continuous sampling(Martin dan Bateson,

1993). Pengamatan aktivitas makan dilakukan pada pagi hari pukul 07.00 WIB sampai 08.00

WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB sampai 17.00 WIB selama tujuh kali pengamatan

sebagai ulangan selama 60 menit (1 jam).Seekor gajah dilepaskan pada jarak 5 meter

menghadap tumpukan pakan. Pengujian ini tidak memberikan perlakuan pemuasaan terhadap

rasa kenyang pada gajah.Selain itu diupayakan suasana yang tenangsaat perlakuan, karena

suasana yang tidak biasa kemungkinan dapat mempengaruhi pola makan gajah, seperti

penonton yang terlalu banyak dan mendekati gajah dengan suara bising, dan lain lain.

Pengolahan data dilakukan dengan analisis deskripsi sehingga memberi gambaran secara

khusus tentangperilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman yang dirusak dan

yang tidak dirusak oleh gajah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perilaku Aktivitas Makan pada Gajah Sumatera

Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas makan pada 10 ekor gajah selama 140 kali

pengamatan diperoleh sebanyak 12.484 titik sampel dengan durasi 504.000 detik. Selama

pengambilan data, kondisi gajah dalam keadaan baik dan sehat, karena pemberian pakan yang

normal tetap diberikan setelah durasi pengamatan untuk mencegah shock pencernaan akibat

perubahan diet. Disamping itu tidak ada pembatasan dan perubahan kegiatan dari kegiatan

normal gajah diluar masa pengamatan perilaku terhadap pakan yang diuji coba.

Aktivitas makan pada gajahdiawali dengan mendekati pakan kemudian

memperhatikan pakan. Setelah itu menunjukkan perilaku memeriksa pakan yaitu menciumi

dan menyentuh pakan menggunakan belalainya. Selanjutnya gajah melakukan pemilihan

jenis pakan. Gajah menunjukkan perilaku sangat selektif dalam memilih berbagai jenis pakan

yang diberikan secara bersamaan. Dengan demikian dari pemilihan tersebut diketahui gajah

Page 62: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

51

menyukai jenis pakan tertentu. Sesuai dengan Sukumar (2003) menyatakan bahwa kesukaan

atau ketidaksukaan pada tanaman atau bagian tanaman tertentu diketahui saat aktivitas makan

yang dihadapkan dengan ketersediaan beberapa jenis tanaman yang berbeda secara

bersamaan. Pakan yang dipilih diambil menggunakan belalai, kemudian diolah sebelum di

masuk ke dalam mulut untuk dikunyah dan ditelan. Jenis tanaman yang palatable akan segera

dimakan sedangkan jenis tanaman yang tidak palatable akan dibuang atau hanya menciumi

pakan, tidak menyentuhnya bahkan menghindari pakan tersebut. Jadi gajah akan memakan

habis jenis pakan yang disukai dan tidak akan memakan pakan yang tidak disukai dan akan

menghindari pakan pada jenis tanaman tertentu (Blake 2002; Sukumar 2003).

Perilaku yang ditunjukkan gajah selama pengamatan aktivitas makan dapat didefinisikan

sebagai berikut:

1. Mengamati pakan, yaitu perilaku gajah sebelum mengambil pakan maupun setelah

mengambil pakan, kemudian memegang dengan menggunakan belalai.

2. Mengambil pakan, yaitu perilaku gajah saat memilih pakan, kemudian memegang dengan

menggunakan belalai, menarik atau membawa pakan tidak jauh dari tempat pakan.

3. Memeriksa pakan, yaitu perilaku gajah mencium-cium, memilah-milah, membolak-balik

dan mencari-cari pakan dengan menggunakan belalai.

4. Mengolah pakan, yaitu perilaku gajah untuk membersihkan kotoran pada pakan,

mengupas pakan yang berkulit keras, membuang bagian tanaman yang tidak palatable

atau mematahkan dan membelah pakan menjadi lebih kecil dengan menggunakan belalai,

salah satu kaki depan dan gading.

5. Menggigit pakan yaitu perilaku gajah saat memasukkan pakan ke dalam mulut dengan

tujuan untuk memotong pakan menjadi bagian yang lebih kecil, menyesuaikan dengan

ukuran mulut gajah atau membawa pakan dengan menggunakan gigi.

6. Mengunyah pakan, yaitu perilaku gajah saat mengkonsumsi, menghaluskan pakan dengan

menggunakan gigi.

7. Menelan pakan, yaitu perilaku gajah saat memasukkan pakan ke dalam perut.

8. Membuang pakan,yaitu perilaku gajah terhadap pakan yang tidak disukai, pakan dipegang

terlebih dahulu kemudian dibuang menggunakan belalai.

Khusus perilaku gajah mengolah pakan terdapat perbedaan antara gajah betina dan

jantan dalam menangani pakan sebelum dimasukkan ke dalam mulut. Perilaku ini dilakukan

dengan menggunakan belalai dibantu dengan salah satu kaki depan atau gading tergantung

kepada jenis kelamin gajah dan pakan yang akan dikonsumsi. Pada tanaman pinang, bagian

tanaman yang dikonsumsi adalah bagian dalam batang pinang. Gajah betina mengolah pakan

diawali dengan menginjak batang pinang kemudian membelah dan mengambil bagian dalam

batang untuk dikonsumsi, tetapi gajah jantan sering menggunakan gading untuk membelah,

menusuk, memecah batang pinang kemudian menggigit, mengunyah dan menelan pakan

tersebut.

Pada tanaman pisang, hampir seluruh bagian tanaman di konsumsi gajah. Akan tetapi

berdasarkan pengamatan, ada perbedaan pengolahan pakan yang dilakukan untuk setiap

bagian tanaman yang akan dikonsumsi. Pada saat mengkonsumsi buah pisang, gajah

mengambil pakan dengan belalai kemudian langsung mengunyah dan menelan pakan tersebut

tanpa melakukan pengolahan pakan. Akan tetapi bila gajah akan mengkonsumsi daun pisang

maka dengan menggunakan belalai, gajah akan mengambil bagian pelepah yang ada daunnya

kemudian mengoyak daun dari pangkal sampai ujung daun secara bersamaan selanjutnya

dimasukkan ke dalam mulut. Saat mengkonsumsi pelepah pisang, gajah betina sering

menggunakan salah satu kaki depannya untuk memijak, membelah dan mengupas pelepah,

sedangkan gajah jantan menggunakan gading untuk menusuk dan membelah pelepah untuk

memperoleh bagian dalam pelepah kemudian dikunyah dan ditelan.

Page 63: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

52

Gajah mengolah bagian pelepah dari tanaman kelapa sawit dengan belalai dan salah

satu kaki bagian depan sebelum pakan tersebut dikonsumsi. Dalam hal ini, tidak ada

perbedaan dalam pengolahan pakan yang dilakukan oleh gajah betina maupun gajah jantan.

Gajah juga mengkonsumsi daun muda pada bagian ujung-ujung pelepah sedangkan daun

yang tua dibuang karena tidak dikonsumsi. Selain itu buah kelapa sawit juga merupakan

bagian tanaman yang dikonsumsi gajah dengan bantuan belalai untuk mengambil,

mengumpulkan dan memasukkan ke dalam mulut.

Seluruh bagian tanaman padi dikonsumsi oleh gajah, mulai dari bagian akar sampai

buah. Untuk mengkonsumsi tanaman padi, gajah juga memperlihatkan perilaku mengolah

pakan terlebih dahulu, yaitu mengambil dan mengumpulkan tanaman padi, memegang pada

bagian batang keatas menggunakan belalai kemudian memukul bagian akar dan batang ke

kaki kiri atau kaki kanan depan berulang kali. Kadang kala memukulkan ke bagian depan

badan selanjutnya dimasukkan ke dalam mulut untuk dikunyah dan ditelan. Perilaku ini

dilakukan gajah untuk membersihkan bagian tanaman padi dari lumpur, tanah bahkan

serangga. Berdasarkan pengamatan diketahui perilaku gajah menggigit antara bagian akar

dan batang padi kemudian membuang bagian akar yang masih banyak terdapat lumpur atau

tanah.

Gajah mengkonsumsi bagian ranting dan kulit batang tanaman karet. Perilaku

mengolah pakan diawali dengan mengambil dan mengumpulkan ranting-ranting yang muda

kemudian menggigit dan menahan ranting-ranting didalam mulut untuk membuang daun-

daun karet yang tua menggunakan belalai. Gajah juga mengkonsumsi kulit batang namun

menurut Blake (2002) bahwa hanya kulit batang tertentu saja yang dipilih gajah sebagai

bahan pakan. Diketahui, gajah memilih kulit batang karet untuk dkonsumsi. Ketika gajah

akan mengkonsumsi kulit batang karet maka gajah menarik batang karet setelah itu mengolah

pakan dengan memijak batang tersebut dengan salah satu kaki depan, selanjutnya

mematahkan dan mengupas kulit batang menggunakan belalai kemudian dikunyah dan

ditelan.

Pada tanaman coklat, gajah hanya mengkonsumsi buah yang sudah masak saja.

Perilaku gajah makan diawali dengan mengamati tanaman coklat, memeriksa dengan

mencium-cium dan membolak-balikkan tanaman coklat untuk mencari buahnya

menggunakan belalai. Setelah gajah menemukan buah coklat, belalai mengambil dan

memasukkan kedalam mulut untuk dikunyah kemudian ditelan. Dalam hal ini, gajah tidak

menunjukkan perilaku mengolah pakan saat akan mengkonsumsi buah coklat karena pakan

yang akan dikonsumsi tidak memerlukan penanganan berlebih.

Gajah tidak mengkonsumsi bagian manapun dari tanaman cabai, kemiri, kopi dan

nilam. Hal ini diketahui dari perilaku aktivitas makan yang hanya menunjukkan perilaku

mengamati pakan, memeriksa, kemudian membuang pakan. Pada saat mendekati tanaman

tersebut, gajah memeriksa bagian-bagian tanaman dengan mencium-cium dan menyentuh

bagian tanaman menggunakan belalai, bahkan menginjak-injak tanaman tersebut dengan kaki

belakang. Jadi dari perilaku aktivitas makan dapat diketahui bahwa gajah tidak menyukai

tanaman cabai, kemiri, kopi dan nilam, bahkan menunjukkan perilaku menghindar untuk

mengkonsumsinya.

Ketika gajah melakukan aktivitas makan, belalainya selalu berperan melakukan

aktivitas makan atau membantu proses aktivitas tersebut. Hal ini diketahui saat

mendefinisikan perilaku aktivitas makan selama pengamatan. Sebahagian besar, gajah

memperlihatkan peran belalai mulai dari perilaku mengamati, mengambil, memeriksa,

mengolah, menggigit, mengunyah, menelan dan membuang pakan. Belalai akan bergerak

secara konstan ketika gajah bergerak pindah ataupun kondisi berdiri. Ujung belalai selalu

bergerak menjulur kebagian depan tubuhnya atau kearah sekeliling seperti mencium-cium

jenis tanaman selama aktivitas. Menurut McKay (1990) bahwa gajah memperlihatkan

Page 64: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

53

perilaku menciumi lingkungan sekitarnya seperti itu untuk mendeteksi objek apa saja yang

ditemukan dan akan memungut benda-benda berukuran kecil yang dianggap berpotensi

sebagai pakan sampai habis kemudian dimasukkan ke dalam mulut.

Perilaku Aktivitas Makan pada Gajah Sumatera Terhadap Jenis Pakan

Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas makan pada gajah di Pusat Konservasi Gajah

Aceh dapat dikelompokkan menjadi dua aktivitas yaitu yang berhubungan langsung dengan

pola makan diantaranya aktivitas makan, aktivitas defekasi dan aktivitas urinasi, sedangkan

aktivitas yang tidak berhubungan langsung dengan pola makan adalah aktivitas lokomosi.

Pada Gambar1, secara keseluruhan aktivitas makan pada gajah merupakan aktivitas yang

paling besar yaitu sebesar 90.84%, diikuti aktivitas lokomosi 7.36%, aktivitas defekasi 7.36%

dan aktivitas urinasi 0.72%. Tinggi rendahnya pola makan gajah selama pengamatan akan

dipengaruhi oleh aktivitas makan, defeksi dan urin.

Gambar 1. Persentase aktivitas makan pada gajah

Hasil pengamatan perilaku makan pada gajah menunjukkan bahwa gajah betina dan

jantan memiliki pola perilaku yang hampir sama pada pagi dan sore hari. Perilaku makan

pada gajah betina pada pagi hari mencapai frekuensi 29.09% dan sore hari mencapai

28.60%. Seperti halnya pada gajah jantan, frekuensi perilaku makan pada pagi hari 16.25%

dan sore hari mencapai 16.96%. Disamping itu, aktivitas defekasi dan urinasi pada gajah

dilakukan beberapa kali pada pagi dan sore hari. Aktivitas defekasi dan urinasi lebih tinggi

dilakukan pada gajah betina daripada gajah jantan. Hal ini mungkin disebabkan kecernaan

gajah betina lebih rendah daripada kecernaan gajah jantan, selain itu disebabkan akumulasi

bahan pakan yang tidak dapat dicerna secara sempurna oleh organ pencernaan. Lagi pula jika

aktivitas makan tinggi dengan kadar air dalam pakan maka akan mempengaruhi tingginya

aktivitas urinasi. Jadi tinggi rendahnya aktivitas defekasi dan urinasi tergantung pada

kecernaan, metabolisme tubuh dan konsumsi pakan. Aktivitas lokomosi gajah ditunjukkan

saat gajah mendekati pakan untuk mengamati, mengambil atau memeriksa pakan. Untuk

lebih jelas mengenai frekuensi perilaku makan pada gajah dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah

ini.

Page 65: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

54

Tabel 1. Frekuensi perilaku makan pada gajah pada pagi dan sore

Frekuensi perilaku pada gajah (%)

Pagi Sore

Betina Jantan Betina Jantan

Defekasi 0.35 0.21 0.23 0.29

Lokomosi 2.27 1.27 2.64 1.18

Makan 29.02 16.25 28.60 16.96

Urinasi 0.29 0.11 0.17 0.15

Aktivitas makan pada gajah menunjukkan beberapa perilaku saat mengkonsumsi

pakan yaitu perilaku mengamati pakan, mengambil pakan, memeriksa pakan, mengolah

pakan, mengunyah pakan, menelan pakan, dan membuang pakan. Perilaku ini terlihat pada

gajah jantan dan betina, tetapi ada perbedaan frekuensi perilaku pada masing-masing

perilaku. Pada perilaku mengolah pakan terlihat unik dan berbeda dalam menangani pakan

yang akan dikonsumsi. Gajah betina sering menggunakan kaki depan untuk menginjak pakan

dengan bantuan belalai sehingga pakan patah, terbelah atau pecah, sedangkan gajah jantan

sering menggunakan gading dan bantuan belalai untuk menusuk dan membelah pakan

sebelum dikonsumsi. Aktivitas makan gajah betina lebih tinggi frekuensinya daripada gajah

jantan (Gambar 2). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pola makan, gajah jantan

lebih cepat memakan habis beberapa jenis pakan, sedangkan gajah betina tidak langsung

memakan habis beberapa jenis pakan pada saat itu juga, tetapi sedikit demi sedikit sambil

sesekali diselingi dengan aktivitas lokomosi dan aktivitas lainnya.

Gambar 2. Perilaku yang ditunjukkan saat aktivitas makan

Bila dilihat dari perilaku pemilihan jenis pakan yang dikonsumsi secara keseluruhan,

gajah betina paling sering menunjukkan perilaku memilih tanaman padi (Oryza sativa)

sebesar 16.92% dan tanaman pisang (Musasp) 13.02% sedangkan jenis pakan yang paling

sedikit dipilih adalah tanaman coklat (Theobroma cocoa) 1.59% (Gambar 3). Seperti halnya

pada gajah jantan juga menunjukkan perilaku yang sama terhadap pemilihan jenis pakan yang

diberikan, lebih sering memilih tanaman padi (11.18%) dan tanaman pisang (7.18%),

sedangkan yang paling sedikit dipilih adalah tanaman coklat (1.35%). Disamping itu

diketahui empat jenis pakan yang sedikitpun tidak dikonsumsi gajah betina maupun jantan,

namun memperlihatkan perilaku mengamati, perilaku memeriksa dan perilaku membuang.

Page 66: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

55

Tanaman tersebut adalah cabai (Capsicum frutescens), kemiri (Aleurites moluccana), kopi

(Coffea arabica), dan nilam (Pogostemon cablin).

Perilaku pemilihan jenis pakan ini menjelaskan bahwa gajah sangat selektif dalam

memilih jenis pakannya. Hal ini sesuai dengan Fowler dan Susan (2006); Blake (2002) bahwa

gajah bisa sangat selektif dalam memilih makanannya dan akan memakan beberapa taxa dari

tumbuhan yang sangat berbeda. Jadi, setelah proses perilaku memilih, gajah menampakkan

kesukaannya terhadap jenis pakan berdasarkan banyaknya frekuensi memilih dan jumlah

pakan yang dikonsumsi saat di hadapkan pada beberapa jenis pakan secara bersamaan.

Sebaliknya, bila gajah tidak mengkonsumsi bahkan menghindari untuk mengkonsumsi pakan

tertentu berarti gajah tidak menyukai pakan tersebut.

Gambar 3. Persentase perilaku memilih terhadap jenis tanaman pakan

Sifat selektif terhadap pakan akan menunjukkan kesukaan gajah terhadap jenis pakan

yang palatable. Jadi, walaupun semua jenis pakan mengandung kadar protein, karbohidrat,

lemak, mineral dan vitamin, namun gajah menghindar mengkonsumsi jenis pakan yang

mengandung senyawa kimia yang berbahaya pada pencernaannya. Adanya sifat selektif

terhadap pakan merupakan salah satu mekanisme untuk dapat memperoleh zat-zat makanan

yang dibutuhkan menyusun ransumnya sendiri. Hal ini sesuai dengan Parakkasi (1999)

bahwa sifat selektif dalam memilih pakan yang tersedia, mempunyai sensasi terhadap bahan

makanan sebelum dan selama makan, sehingga ada bahan makanan tertentu yang lebih

disukai daripada bahan makanan lainnya. Seperti halnya menurut Sentra informasi IPTEK

(2005) menambahkan bahwa Palatabilitas merupakan sifat performans bahan-bahan pakan

sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan-bahan pakan yang

dicerminkan oleh organoleptikya seperti kenampakan, warna, bau, rasa (hambar, asin, manis,

pahit), tekstur dan temperaturnya. Hal inilah yang menumbuhkan daya tarik dan merangsang

hewan untuk mengkonsumsi beberapa jenis pakan.

Dari hasil pengamatan aktivitas makan, durasi yang paling lama yang digunakan gajah betina

untuk memilih jenis pakan adalah saat memilih tanaman padi selama 96773 detik dan

tanaman pisang selama 52530 detik. Seperti halnya pada gajah jantan, durasi paling lama

memilih tanaman padi selama 92160 detik dan tanaman pisang selama 54065 detik. Dengan

demikian durasi yang digunakan gajah tersebut dapat menjadi ukuran kemampuan gajah

dalam memilih jenis pakan yang disukainya. Karena itu tanaman padi dan tanaman pisang

secara berurutan merupakan tanaman yang disukai gajah. Hal ini disebabkan tanaman

tersebut mengandung kadar gizi dan air yang cukup tinggi, sehingga gajah lebih lama

Page 67: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

56

menghabiskan waktu untuk menghabiskan pakan tersebut.Sesuai dengan pendapat Stokke

dan duTroit (2000) bahwa, gajah akan memilih kualitas dan kuantitas jenis-jenis pakan yang

berhubungan dengan kadar serat kasar dan kandungan nutrisi tertentu yang palatable dan

dapat mudah dicerna gajah. Dalam kondisi alami gajah juga menyukai tanaman padi dan

tanaman pisang ( Nyhus et al 2000; Sitompul 2004; Azmi et al. 2012). Untuk lebih jelas

mengenai proporsi durasi yang digunakan gajah dalam memilih jenis pakan dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Durasi dalam memilih jenis pakan

Durasi memilih pakan (detik)

Betina Jantan

Cabe (Capsicum frutescens) 2464 4580

Coklat (Theobroma cocoa) 4654 4670

Karet (Havea brassiliensis) 32702 23255

K Sawit (Elais gueenensis) 24254 27060

Kemiri (Aleurites moluccana) 1744 3225

Kopi (Coffea Arabica) 2391 3040

Nilam (Pogostemon cablin) 2146 3040

Padi (Oryza sativa) 96773 92160

Pinang (Areca catechu) 18842 19405

Pisang (Musa sp) 52530 54065

Gerak tidak makan 13095 17905

Berdasarkan pengamatan perilaku aktivitas makan ternyata walaupun gajah sudah

memilih jenis tanaman sebagai pakan, akan tetapi belum tentu seluruh bagian tanaman

tersebut dikonsumsi oleh gajah. Gajah juga akan memilih bagian dari tanaman yang akan

dikonsumsinya (Tabel 3). Terdapat perbedaan dalam mengkonsumsi bagian tanaman bahkan

gajah tidak mengkonsumsi bagian manapun dari jenis tanaman yang diberikan. Hal ini sesuai

dengandengan Abdullah et al. (2005) bahwa gajah sangat bervariasi dalam memakan bagian-

bagian tanaman, misalnya daun, buah, umbut, pelepah, batang muda dan bunga.

Tabel 3. Bagian-bagian tanaman dari beberapa jenis tanaman yang dikonsumsi gajah Jenis Pakan Bagian tanaman yang dikonsumsi

Batang Ranting Kulit

batang

Pelepah Daun Buah

Cabe (Capsicum frutescens) - - - - - -

Coklat (Theobroma cocoa) - - - - - +

Karet (Havea brassiliensis) Muda +++ + - + -

K Sawit (Elais gueenensis) - - - ++ + +

Kemiri (Aleurites moluccana) - - - - - -

Kopi (Coffea Arabica) - - - - - -

Nilam (Pogostemon cablin) - - - - - -

Padi (Oryza sativa) +++ - +++ +++ +++ +++

Pinang (Areca catechu) Bagian dalam - - - - -

Pisang (Musa sp) +++ - +++ +++ +++ +++

Keterangan : +++: bahan pakan yang dikonsumsi paling banyak

++ : bahan pakan yang dikonsumsi sedang

+ : bahan pakan yang dikonsumsi sedikit

- : bahan pakan yang tidak dikonsumsi

Page 68: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

57

Gambar 4. Frekuensi dalam memilih bagian tanaman

Pada saat memilih bagian dari tanaman yang akan dikonsumsi, gajah lebih banyak

memilih tanaman yang seluruh bagiannya dapat dikonsumsi dibandingkan bagian yang lain

dari tanaman (Gambar 4). Akan tetapi gajah betina lebih banyak memilih seluruh bagian

tanaman yang dapat dikonsumsi sebesar 23.14% daripada gajah jantan 15.68%. Tanaman

tersebut adalah jenis tanaman padi dan tanaman pisang. Disamping itu bagian yang paling

sedikit dikonsumsi adalah bagian daun, karena gajah hanya memilih bagian ujung daun yang

muda saja untuk dikonsumsi, sedangkan pakan yang diberikan tidak semua daunnya muda.

Dalam hal ini, gajah betina lebih banyak 1.20% memilih bagian daun daripada gajah jantan

sebesar 0.36%. Perilaku memilih bagian tanaman ini disebabkan karena adanya bagian-

bagian tanaman yang palatable yang tekstur bagian tanaman tersebut sesuai dengan

organoleptik pada gajah (Sentra Informasi IPTEK 2005). Jadi, jenis tanaman yang seluruh

bagian tanamannya dikonsumsi gajah menunjukkan seluruh bagian tanaman tersebut

mengandung gizi, kadar air dan tidak mengandung senyawa kimia yang berbahaya pada

pencernaannya. Selain itu gajah juga memilih batang karet untuk dikonsumsi dengan cara

mengupas kulit batang, kemudian memakannya. Hal ini menurut Sukumar (2003) bahwa

kulit batang yang dikonsumsi oleh gajah tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

mineral dalam tubuhnya.

Perilaku Aktivitas Makan pada Gajah Sumatera Terhadap Kerentanan Kerusakan

Jenis Tanaman Komoditi yang Dibudidayakan Masyarakat

Perilaku aktivitas makan pada gajah dapat menentukan kesukaan dan ketidaksukaan

jenis tanaman yang diberikan sebagai pakan secara bersamaan. Hal ini disebabkan karena

frekuensi dan durasi waktu yang digunakan dalam menghadapi jenis tanaman tertentu lebih

lama bila dibandingkan pada jenis tanaman yang lain. Jadi, dari 10 macam jenis tanaman

yang diberikan, pakan yang disukai gajah secara berurutan adalah jenis tanaman padi,

tanaman pisang, tanaman karet, tanaman kelapa sawit dan tanaman pinang. Disamping itu,

jenis tanaman yang kurang disukai gajah adalah tanaman coklat, sedangkan tanaman yang

tidak disukai gajah adalah tanaman cabe, tanaman kemiri, tanaman kopi dan tanaman nilam.

Gajah akan melakukan perilaku yang berbeda pada saat menghadapi jenis pakan yang

diberikan. Bila gajah menghadapi jenis dan bagian tanaman yang disukai maka gajah akan

memperlihatkan perilaku mengamati, mengambil, memeriksa, mengolah, menggigit,

mengunyah dan menelan pakan. Akan tetapi bila gajah tidak menyukai jenis dan bagian

Page 69: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

58

tanaman tertentu maka secara berurutan gajah akan memperlihatkan perilaku mengamati,

memeriksa dan membuang pakan yang diberikan, bahkan terkadang menghindari jenis

tanaman tersebut.

Mengacu pada penelitian sebelumnya di daerah konflik manusia-gajah dapat

diketahui fenomena umum yang menggambarkan bahwa tinggi rendahnya kategori

kerentanan tanaman komoditas masyarakat terhadap kerusakan yang dilakukan oleh gajah

(Tabel 4). Karena itu setidaknya ada tiga jenis tanaman yang memiliki kerentanan tinggi

(15%) yakni pinang, pisang dan kelapa sawit, sedangkanpadi, karet dan coklat termasuk

kerentanan sedang (5-14%), selanjutnya 14 jenis termasuk kerentanan rendah (<5%).

Kategori kerentanan tanaman ini kemungkinan karena perilaku aktivitas makan yang berubah

dari perilaku makan jenis-jenis tanaman alami di habitatnya menjadi memakan jenis-jenis

tanaman komoditi masyarakat. Hal ini disebabkan karena fragmentasi dan degradasi habitat

di wilayah jelajah gajah diperkirakan makin meningkat sehingga menurunkan ketersediaan

sumber pakan gajah.Untuk mengoptimalkan pencarian makan dan kebutuhan jelajahnya,

gajah tersebut keluar dari habitat aslinya kemudian masuk ke perkebunan-perkebunan dan

akan memakan berbagai jenis tanaman komoditi pangan masyarakat dan menyebabkan

gangguan pada tanaman atau rumah masyarakat (Sukumar 1990; Nyhus et al. 2000; Nyhus

dan Tilson 2004; Linkie et al. 2007; Rood dan Singh 2008). Dengan demikian perilaku

gajahdapat berubah akibat tingginya kerusakan hutan di Sumatera yang mengakibatkan

hilangnya sebagian besar hutan dataran rendah yang juga habitat potensial bagi gajah

sumatera (Holmes, 2001). Jadi, dengan mengetahui perilaku aktivitas makan pada gajah jenis

tanaman tertentu dan kerentanan tanaman komoditas terhadap kerusakan oleh gajah akan

memperkuat alasan untuk mengatur suatu strategi mengurangi konflik manusia-gajah di

propinsi Aceh.

Tabel 4. Kategori kerentanan jenis tanaman oleh gangguan gajah di wilayah konflik manusia

gajah Propinsi Aceh. No Jenis Tanaman Nama Ilmiah Dirusak gajah menurut

penilaian Responden

(%)

Kategori Kerentanan

Tinggi Sedang Rendah

1 Pinang Areca catechu 18,82 √

2 Pisang Musa sp 17.45 √

3 Kelapa Sawit Elais gueenensis 16.34 √

4 Padi Oryza sativa 12.74 √

5 Karet Havea brassiliensis 10.80 √

6 Coklat Theobroma cocoa 5.54 √

7 Durian Durio zibethinus 3.88 √

8 Kacang tanah Arachis hipogea 2.49 √

9 Nangka Arthocarpus

heterophyllus 2.22

10 Kelapa Cocos nucifera 1.66 √

11 Tebu Sacharum officinarum 1.66 √

12 Cabe Capsicum frutescens 1.39 √

13 Sagu Metroxylon sago 1.39 √

14 Kopi Coffea arabica 1.11 √

15 Jagung Zea mays 0.83 √

16 Mangga Mangifera indica 0.55 √

17 Ketela pohon Manihot esculenta 0.55 √

18 Timun Cucumis sativus 0.55 √

19 Kacang kuning Glicyne max 0.28 √

20 Sengon Albizia chinensi 0.28 √

Sumber : Berliani et al (2016)

Page 70: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

59

Berdasarkan peningkatan konflik dan kerugian ekonomi yang besar maka dengan

mengatur jenis tanaman, baik dalam sistem budidaya monokultur maupun polikultur dapat

memperkecil dampak tersebut. Sebagai alternatif, dengan mengacu pada hasil penelitian

seperti diuraikan di atas dan untuk memperkecil resiko kerusakan oleh gajah, baik itu berupa

kerusakan akibat perilaku mobilitas gajah untuk mencari makan, memakan, mematahkan atau

menginjak pakan, maka dapat dikembangkan sistem budidaya monokultur dengan

menjadikan jenis-jenis yang tidak dirusak atau kerentanan rendah sebagai komoditas

unggulan yang ditanam, seperti coklat, kopi, kemiri, cabe dan nilam. Akan tetapi dalam

pengembangan sistem budidaya polikultur dapat dilakukan dengan kombinasi pengaturan

jenis-jenis yang tidak dirusak gajah dengan jenis-jenis komoditas yang memiliki kerentanan

rendah sampai sedang. Dengan demikian diharapkan jenis tanaman komoditi tersebut dapat

mengurangi ganggun atau kerusakan oleh gajah yang sering terjadi didaerah perkebunan atau

pertanian yang berbatasan dengan habitat Gajah Sumatera.

KESIMPULAN

Perilaku aktivitas makan pada gajah dapat didefinisikan dengan beberapa perilaku

yaitu perilaku mengamati pakan, mengambil pakan, memeriksa pakan, mengolah pakan,

menggigit pakan, mengunyah pakan, menelan pakan dan membuang pakan. Bila gajah

menghadapi jenis dan bagian tanaman yang disukai maka gajah akan memperlihatkan

perilaku mengamati, mengambil, memeriksa, mengolah, menggigit, mengunyah dan menelan

pakan. Akan tetapi bila gajah tidak menyukai jenis dan bagian tanaman tertentu maka secara

berurutan gajah akan memperlihatkan perilaku mengamati, memeriksa dan membuang pakan

yang diberikan, bahkan terkadang menghindari jenis tanaman tersebut.

Aktivitas makan merupakan aktivitas yang paling besar yaitu sebesar 90.84%, diikuti

aktivitas lokomosi 7.36%, aktivitas defekasi 7.36% dan aktivitas urinasi 0.72%. Bila dilihat

dari perilaku pemilihan jenis pakan yang dikonsumsi, gajah paling sering menunjukkan

perilaku memilih paling banyak pada tanaman padi (Oryza sativa) dan tanaman pisang

(Musasp) sedangkan jenis pakan yang paling sedikit dipilih adalah tanaman coklat

(Theobroma cocoa). Disamping itu diketahui empat jenis pakan yang sedikitpun tidak dipilih

untuk dikonsumsi gajah betina maupun jantan, namun memperlihatkan perilaku mengamati,

perilaku memeriksa dan perilaku membuang. Tanaman tersebut adalah cabai (Capsicum

frutescens), kemiri (Aleurites moluccana), kopi (Coffea arabica), dan nilam (Pogostemon

cablin).

Perilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman tertentu dan kerentanan

tanaman komoditas terhadap kerusakan oleh gajah akan memperkuat alasan untuk mengatur

suatu strategi mengurangi konflik manusia-gajah di propinsi Aceh. Cara yang dikembangkan

adalah membudidayakan sistem monokultur dengan menjadikan jenis-jenis yang tidak

dirusak atau kerentanan rendah sebagai komoditas unggulan yang ditanam, seperti coklat,

kopi, kemiri, cabe dan nilam. Sedangkan dalam sistem budidaya polikultur dapat dilakukan

dengan kombinasi pengaturan jenis-jenis yang tidak dirusak gajah dengan jenis-jenis

komoditas yang memiliki kerentanan rendah sampai sedang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Djufri, Asiah MD. 2010. Analisis kesesuaian habitat dan pemetaan kawasan

perlindungan gajah (Elephant Sanctuary) di Hutan terganggu sebagai upaya

menyelesaikan konflik gajah dengan manusia. Unsyiah. Banda Aceh. Indonesian,

Unpublish

Abdullah, DN. ChoesinA, Sjarmidi. (2005). Estimasi Daya Dukung Pakan Gajah Sumatera

(Elephas maximus sumatranus temmick) di Kawasan Hutan Tessonilo, Prov Riau..

Jurnal Ekologi dan Bio diversitas,ITB. Bandung. Vol.4 NO.2.(HAL.37-41)

Page 71: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

60

Alikodra, HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar dalam Rangka Mempertahankan

Keanekaragaman Hayati Indonesia. IPB Pres. Bogor (ID).

Alikodra, HS. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Azmi W, Hasballah, Trysani F, Kholis M, Kiswayadi D, Linkie M. 2012. Conservation

Response Unit in Aceh. Annual proggres report. FFI. Banda Aceh. Tidak diterbitkan.

Baruah KK dan BJ Das. 2009. Management of nutrition incaptive elephants. Elephant

managers Resource Guide. Directorate of Praject Elephant Ministry of Environment

and Forest Government of India.New Delhi.5: 50-60

Berliani K, Alikodra HS, Masy‘ud B, Kusrini MD. 2016. Susceptibility of Cultivated Plants

to Sumatran Elephant (Elephas maximus Sumatranus)in the HumanElephants

Conflict Area in Aceh Province. JMHT Vol 22 (1)(submit)

Blake S. 2002. The ecology of forest elephant distribution and its implication

forconservation. A thesis submitted for the degree of PhD University of Edinburgh.

Fowler ME, Mikota SK. 2006.Biology, Medicineand Surgery of Elephants. Blackwell

publishing professional. Iowa. USA.

Hafez ESE. 1969. Animal Growth and Nutrition. Lea Febiger. Philadelphia.

Holmes DA. 2001. Deforestation in Indonesia. in E. Wickramanayake, E. Dinerstein, and D.

Olson editors. Teresterial ecoregions of the Indo-Pacific: a conservation assessment.

Island Press. Washington D.C.

Lekagul B, Mcneely JA. 1977. Elephants in Thailand: importance, status and

conservation.Tigerpaper 4(3): 22-25

Linkie M, Dinata Y, Nofrianto A, Leader Williams N. (2007) Patterns and perceptions of

wildlife crop raiding in and around Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Animal

Conservation10: 127-135.

Martin P, Bateson P. 1993. Measuring Behaviour, An introducing guide. 2nd Ed. Cambridge

University Press. Cambridge.

Mckey GM. 1990. Behaviour and Ecology of the Asiatic Elephant in Southerastern Ceylon.

Asian Elephants. Washington DC

MukhtarAS (1986).Vegetasi Habitat dan Tumbuhan Pakan Gajah Sumatera (Elephas

maximus sumatranus Temminck) Serta Beberapa Permasalahan Konservasinya di

Suaka Satwa Liar Padang Sugihan Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Kehutanan

Pusat 67 Penelitian dan Pengembangan Hutan.Bogor.pp.1-16.

Nyhus PJ, Sumianto,Tilson R. 2000. Crop raiding elephant and conservation implication at

Way Kambas National Park, Sumatera Indonesia. J. of Oryx vol. 34 no. 4. 262-274.

Nyhus PJ, Tilson R. 2004. Agroforestry, elephants, and tigers: balancing conservation theory

and practice in human-dominated landscapes of Southeast Asia. Agriculture

Ecosystems & Environment 104: 87-97.

RoodJ, Singh R. 2008. Asian elephant (Elephas maximus) in the Rajaji National Park. The

Journal of Amerika Science 4: 34-48.

Parakkasi A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Jakarta: UI-Press.

Page 72: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

61

Poole JH. 1996. Coming of age with elephants. Hyperion Press, New York; Hodder &

Stoughton, London.

Sarmah BC. 2009. Physiological Consideration in Clinical Evaluation of Elephants. Elephant

Managers Resource Guide. Ministry of Environment and Forest. New Delhi.

ShoshaniJ, Eisenberg JF. 1982. Elephas maximus. Mammalian Species 182: 1 – 8

Sitompul AF. 2004. Conservation implication of human-elephant Interaction in two Nasional

Park in Sumatra. Master of Science. Thesis. University of Georgia, Athens, GA, USA.

Stokke S, du Toit JK. 2000. Sex and size related differences in the dry season feeding

patterns of elephant in Chobe. National Park. Bostwana. Ecography. 23. Inpress.

Sukumar R. (1990) Ecology of the asian elephant in southern India. 2. Feeding-habits and

crop raiding patterns. J. of Trop. Ecology 6: 33-53.

Sukumar R. (2003). The Living Elephants: Evolutionary ecology, behavior and conservation.

Oxford University Press, New York.

Tanudimadja K, Kusumamiharja.1985. Perilaku Hewan Ternak. Jurusan Anatomi. Fakultas

Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

TehambaMT.1996. Seosonal forage utilisation by elephant in the Waza-Logone region.,

Cameroon.in M.Tehamba,T.,editor. Elephant and Their Interaction with People and

Vegetation in the Waza-Logone Region, Cameroon. Ponson and Looyeen.

Wageningen.

[WWF] World Wide Fund for Nature. 2005. Human Wildlife Conflict Manual. Wildlife

Management Series. WWF, Southern African Regional Programme Office (SARPO).

Harare. Zimbabwe.

Page 73: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

62

PERKEMBANGAN ANAKAN KUNTUL BESAR (Egretta alba)

DAN DI AREAL BREEDING SITE DESA TANJUNG REJO

CHILD GROWTH OF GREAT EGRET (Egretta alba)

AND GREY HERON (Ardea cinerea) AT BREEDING SITE AREA

TANJUNG REJO VILLAGE

Karina Adelia1, Erni Jumilawaty

2, Nursal

2

1Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara

2Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara

Jln. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155

Email :[email protected]

Abstrak

Penelitian mengenai perkembangan anakan Kuntul Besar (Egretta alba)dan Cangak Abu

(Ardea cinerea)di area tambak ikan desa Tanjug Rejo, Sumatera Utara telah selesai

dilaksanakan pada Oktober 2014 sampai Januari 2015, dengan menggunakan metode

pengamatan langsung. Penelitian menunjukan bahwa kedua spesies memiliki kemampuan

survival yang rendah. 14 dari 17 telur Cangak Abu (82,35%) yang berhasil menetas, hanya 3

anakan (21,42%) yang survive, sedangkan dari 11 telur Kuntul Besar (100%) hanya 7 anakan

(63,63%) yang survive. Anakan Cangak Abu yang seluruhnya bertahan hidup berasal dari

sarang 1 dengan 3 anakan, sedangkan anakan Kuntul Besar yang seluruhnya bertahan hidup

berasal dari sarang 3 dengan 2 anakan. Perkembangan tarsus merupakan yang paling pesat

jika dibandingkan dengan perkebangan culmendan ulnar kedua jenis burung tersebut. Berat

rata-rata anakan Cangak Abu yang telah meninggalkan sarang berkisar 300 sampai 400 g,

sedangkan berat rata-rata anakan Kuntul Besar yang telah meninggalkan sarang berkisar 100

sampai 200 g.

Kata Kunci:Cangak Abu, Kuntul Besar, Anakan, Tanjung Rejo, Mangrove

PENDAHULUAN

Desa Tanjung Rejo merupakan salah satu desa yang memiliki luas areal pertambakan

sekitar 147,12 Ha dari luas total 310,50 Ha tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan. Tambak

yang aktif dan tidak memiliki vegetasi mangrove didalamnya sekitar 50% dari jumlah tambak

yang telah dibuka(BPS Deli Sedang, 2014).

Kehadiran burung air dapat dijadikan sebagai indikator keanekaragaman hayati pada

kawasan hutan mangrove. Hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai yang dapat

mengurangi dan mencegah terjadinya pengikisan daerah pantai. Hutan ini juga berperan

dalam mendukung kehidupan fauna di daerah pesisir dan lautan (Elfidasari & Junardi, 2008).

Kuntul Besar dan Cangak membangun sarangnya secara primitif. Sarang dangkal

berbentuk datar dan tipis, hanya terdiri dari beberapa lapis ranting, sehingga telur dapat

terlihat dari bagian bawah sarang. Umumnya menggunakan material sederhana seperti

ranting dan daun tanaman (Rukmi, 2002).

Keberhasilan berbiak sangat dipengaruhi oleh sarang, pemangsa, dan lokasi.

Perkembangan kelompok burung sangat ditentukan oleh kemampuan bertahan dari

pemangsa. Sarang yang terletak pada populasi yang padat lebih terhalangi dari predasi (Govi

& Pandav, 2011). Ada banyak jenis burung air yang mempergunakan Tanjung Rejo sebagai

Page 74: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

63

lokasi berbiak dengan populasi yang banyak. Hal ini diduga akan mempengaruhi

perkembangan anakan burung Kuntul Besar dan Cangak Abu, sehingga perlu dilakukan

penelitian untuk melihat keberhasilan perkembangan anakan Kuntul besar dan Cangak abu.

BAHAN DAN METODE

Berat anak ditimbang setiap dua hari sekali. Anak diturunkan dengan menggunakan

kantong kain. Bagian tubuh yang diukur adalah panjang tarsus, panjang ulnar (sayap), dan

panjang culmen (paruh) dengan menggunakan jangka sorong. Panjang culmen dihitung mulai

dari ujung paruh bagian atas hingga ke pangkalnya (Rukmi, 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari Data yang telah ditemukan anakan Cangak Abu yang berhasil hidup sampai

dapat meninggalkan sarang adalah anakan pada sarang 1, sementara untuk anakan yang lain

mati pada kisaran usia yang berbeda (Tabel. 1 dan 2). Jika dilihat dari Ukuran berat, anakan

Cangak Abu lebih besar pada anak pertama dan diikuti oleh anakan selanjutnya, kecuali pada

anakan Cangak Abu sarang 1 dimana anak ke-2 lebih besar dari anak pertama. Begitu juga

yang terjadi pada anakan Kuntul Besar dimana anakan nomor 1 lebih menonjol dalam ukuran

berat badan dan panjang anggota tubuh, kecuali anak ke-2 sarang nomor 2 yang lebih

menonjol dibanding anakan pertama.

Tabel 1. Nilai Rata-Rata Pertumbuhan dan Perkembangan Anakan Cangak Abu Di Desa

Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera

Utara

Sarang Anak Ukuran

Culmen (cm) Tarsus (cm) Ulnar (cm) Berat (g)

1 I 3,71 16,74 14,16 402,30

II 4,03 19,40 16,54 440,27

III 3,89 18,30 14,09 385,27

2 I 2,3 8,87 6,35 63,71

II 2,55 8,36 6,1 59,12

3 I 3,77 14,18 10,38 251,14

II 2,92 12,20 8,49 212,70

III 2,79 11,04 7,84 169,37

IV 2,69 8,72 6,09 157,84

4 I 2,76 11,24 7,37 154,45

II 2,63 10,47 7,28 146,13

III 2,68 9,95 7,18 110,49

5 I 1,80 6,94 4,82 83,28

II 1,67 6,44 3,89 71,12

Jika diamati selama penelitian, berat anak pertama dari masing-maing burung lebih

berat jika dibandingkan dengan anak ke-2 dan seterusnya. Induk umumnya memberi makan

anak pertama lebih banyak dari anak-anak lainnya. Menurut Kim dan Koo (2009), penetasan

telur yang tidak serentak (Asynchronus hatcing) pada jenis Kuntul dan Cangak akan

mengakibatkan anak yang pertama lahir lebih unggul dibandingkan dengan adik-adiknya

dalam hal penanganan makanan, dan interaksi agresifitas menyebabkan terjadinya kompetisi

Page 75: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

64

antara saudara yang dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah untuk adik-

adiknya. Sedangkan menurut Perins & Birkhead (1983), dijelaskan bahwa penetasan

Asynchronus adalah usaha induk dalam mengantisipasi ketersedian pangan yang berfluktuasi.

Jika persediaan makanan cukup berlimpah induk dapat memelihara seluruh anakan sama

baiknya, namun jika persediaan makanan tiba-tiba menjadi buruk diharapkan masih ada satu

anakan yang dapat dibesarkan oleh induknya.

Tabel 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anakan Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo,

Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Sarang Anak Ukuran

Culmen (cm) Tarsus (cm) Ulnar (cm) Berat (g)

1 I 3,46 17,72 14,13 226,63

II 2,05 10,06 6,53 69,804

III 1,24 5,06 3,35 23,62

2 I 2,51 12,77 9,62 166,43

II 2,79 14,34 10,46 132,58

III 1,45 6,73 4,70 34,03

3 I 3,42 18,52 15,14 237,04

II 3,32 16,47 14,64 204,21

4 I 2,29 10,83 8,14 113,6

II 2,16 10,5 7,11 67,5

5 I 2,39 12,45 9,54 125,57

Perbedaan berat badan kedua jenis burung tersebut dapat dikaitkan dengan ukuran

tubuh dan kebutuhan asumsi makanan. Semakin besar burung maka semakin banyak

makanan yang dibutuhkan. Menurut Rumeu (2007), adapun makanan Cangak dan Kuntul

adalah sebagai berikut, Lepidoptera dan Hymenoptera dalam jumlah kecil, Oligochaeta

(31,7% pada musim semi, dan 6, 3% pada musim dingin), Odonata, (85,1%), Pisces, Amfibi,

Reptil, dan Mamalia.

Seleksi makanan tidak hanya terjadi pada sesama jenis, akan tetapi juga terjadi pada

jenis burung yang berbeda. Menurut Young (1981), seleksi makanan tergantung pada spesies

berdasarkan pola karakteristik pergerakan dan struktur, yang penggunaannya dapat bervariasi

sesuai keadaan. Biasanya ada sedikit persaingan antar spesies terhadap hal makanan, bahkan

ketika mereka tinggal berdekatan.

Pertumbuhan anakan Cangak Abu sarang 1 dan Kuntul Besar sarang 3 disajikan

dalam bentuk grafik (Gambar. 1 sampai10). Grafik ditampilkan berdasarkan urutan anakan.

Page 76: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

65

Gambar 1. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Pertama Sarang Ke-1 Cangak

Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli

Serdang, Sumatera Utara

Gambar 2. Pertumbuhan Berat Anak Pertama Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung

Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Gambar 3. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Kedua Sarang Ke-1 Cangak Abu

Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang,

Sumatera Utara

Page 77: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

66

Gambar 4. Pertumbuhan Berat Anak Kedua Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung

Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Gambar 5. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Ketiga Sarang Ke-1 Cangak Abu

Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang,

Sumatera Utara

Gambar 6. Pertumbuhan Berat Anak Ketiga Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung

Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Page 78: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

67

Gambar 7. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Pertama Sarang Ke-3 Kuntul

Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli

Serdang, Sumatera Utara

Gambar 8. Pertumbuhan Berat Anak Pertama Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung

Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Gambar 9. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Kedua Sarang Ke-3 Kuntul Besar

Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang,

Sumatera Utara

Page 79: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

68

Gambar 10. Pertumbuhan Berat Anak Kedua Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung

Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Dari gambar 1 sampai10 dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan tarsus dan ulnar

merupakan pertumbuhan yang paling cepat dibandingkan dengan culmen, dikarenakan tarsus

dan ulnar merupakan organ tubuh yang penting dalam pergerakan. Menurut Sulistiani (1991),

pertumbuhan kaki (tarsus) dan sayap (ulnar) lebih cepat dibandingkan pertumbuhan paruh

(culmen), hal ini berhubungan dengan fungsi kaki dan sayap yang sangat penting untuk

mempertahankan diri dari predator. Sedangkan Menurut Rukmi (2002), ukuran panjang

tarsus, culmen, ulnar meningkat secara serentak, hanya kemudian terjadi peningkatan yang

lebih pesat pada bagian ulnar, diasumsikan berhubungan dengan kemampuan burung untuk

terbang.

Dari Tabel. 1 dan 2, dijumpai beberapa anakan Kuntul Besar yang mati pada sarang

satu, dua, empat, dan lima dan anakan Cangak Abu yang mati pada sarang dua, tiga, empat,

dan lima. Diduga karena pada bulan Desember 2014 sering terjadi hujan sehingga

menyebabkan anakan banyak yang mati. Diperkuat dari data BMKG (2014) yang

menunjukan bahwa curah hujan tertinggi berada pada bulan Desember 2014 sebesar 427 mm,

dan curah hujan terendah berada pada bulan Februari 2014 sebesar 44 mm.

KESIMPULAN

Perkembangan anakan Kuntul Besar dan Cangak Abu di Desa Tanjung rejo,

Kecamatan Percut Sei Tuan terbilang masih rendah. Dari 11 anakan Cangak Abu yang

berhasil menetas, hanya 7 anakan (63,63%) yang bertahan hidup. Sementara dari 14 anakan

Cangak Abu yang berhasil menetas, hanya 3 anakan (21,42%) yang bertahan hidup. Berat

rata-rata anakan Cangak Abu lebih berat jika dibandingkan dengan berat anakan Kuntul

Besar. Pertumbuhan tarsus keduanya lebih pesat jika diandingkan dengan pertumbuhan

culmen dan ulnar.

UCAPAN TERIMAKASIH

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dalam

memberi dana Penelitian Hibah Fundamental 2015. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan

Geofisika (BMKG) Balai Besar Wilayah I Medan yang telah memberikan data sekunder

stasiun pengamatan Sampali.

Page 80: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

69

DAFTAR PUSTAKA

BPS [Badan Pusat Statistik] Deli Serdang. 2014. Deli Serdang Dalam Angka 2014. ISBN:

0215.2347

Elfidasari, D., Junardi. 2006. Keragaman Burung Air Dikawasan Hutan Mangrove Peniti,

Kabupaten Pontianak. Biodiversitas, 7(1):63-66

Govi, G. V., Pandav, B. 2011. Net Space Partitioning Among Colonial Nesting Waterbirds at

Bhitarkanika Mangroves, India. World Journal ofZoology 6(1):61-71

Kim, J., Koo, T. H. 2009. Nest Site Characteristics and Reproductive Parameters of Grey

Herons Ardea Cinerea in Korea. Zoological Studies, 48(5):657-664

Perrins, C. M., Birkhead, T. R. 1983. Avian Ecology. Blackie & Son: London

Rukmi, D. S. 2002. Perilaku dan kompetisi Interspesifik Kuntul Besar (Egretta alba Linnaeus

1766) dan Cangak Merah (Ardea purpurea Linnaeus 1766) di Suaka Margasatwa

Pulau Rambut Jakarta. Institut Pertanian Bogor: Bogor. [Tesis]

Rumeu, B., Nogales, M., Rodriguez, A., Rodriguez, B. 2007. Seasonal Diet of the Grey

Heron Ardea cinerea on an Oceanic Island (Tenerif, Canary Island): Indirect

Interaction with Wild Seed Plants. Acta Ornithologica, 42(01)

Sulistiani, E. 1991. Beberapa Aspek Biologi Perkembang-biakan Kuntul Kecil (Egretta

garzetta Linaeus 1766) Di Cagar Alam Pulau Rambut. [Skripsi]

Young, J. Z. 1981. the Life of Vertebrates. Oxford University Press: New York.

Page 81: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

70

JENIS –JENIS IKAN DI SUNGAI ASAHAN

DESA MARJANJI ACEH DAN DESA LUBU ROPA

KABUPATEN ASAHAN

Mayang Sari Yeanny

Departemen Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Medan - 20154 Telp. 061-8223564

Email : [email protected]

Abstrak

Sungai Asahan banyak terdapat berbagai macam aktivitas masyarakat menyebabkan kondisi

perairan tersebut menurun sepanjang tahun. Penurunan kondisi perairan juga diakibatkan

rencana pembangunann PLTA IV yang berada dilokasi tersebut. Pendekatan dilakukan

dengan mengidentifikasi jenis-jenis ikan, dan Pengukuran kualitas air yaitu, suhu, penetrasi

cahaya, intensitas cahaya, pH, DO, BOD5, COD, mengunakan metode Purposive Random

Sampling dengan 3 stasiun. Hasil penelitian yang didapatkan ada 13 jenis ikan yaitu Tor sp,

Pangasius pangasius, Macrones nemurus, Puntius javanicus, Rasbora sp, Puntius Wandersii,

Macrobranchium rosenbergii, Hampala macrolipidota, Cyptopterus sp, Tilapia mosambica,

Clarias batracus, Gambusia sp, Cyperinus carpio.

Kata kunci:Ikan, Kualitas Air, Sungai Asahan, Kabupaten Asahan

PENDAHULUAN

Sungai Asahan berada di provinsi Sumatera Utara. Sungai Asahan menpunyai hulu di

Danau Toba sebagai pusat utamanya. Panjang Sungai Asahan = 147 km, dengan enam anak

sungai utama dan masih banyak lagi aliran yang dilalui oleh anak sungai hingga mencapai ke

pemukiman masyarakat yang ada di kota maupun di perkampungan . Luas Sungai Asahan

mencapai 3.741 km2. Danau toba sebagai hulu dan mengalir hingga sampai ke teluk Nibung

selat malaka. Rata- rata curah hujan yang ada di sungai asahan berkisar 2.112 mm per tahun.

Kota utama yang di lalui oleh Sungai Asahan adalah Parapat, Porsea, Balige, Kisaran dan

Tanjung balai. Ketinggian tertinggi adalah gunung dolok sibutan dengan tinggi 2.457 mdpl

sedangkan yang terendah ada di tanjung jumpul dengan tinggi 0 mdpl.

http://uniqpost.com/29829/11-sungai-di-indonesia-untuk-arung-jeram/

Sungai Asahan pada saat ini merupakan sungai yang mengalami penurunan

keseimbangan ekosistem, yang ditandai terjadinya penurunan tangkapan ikan bagi nelayan di

daerah ini. Hal ini karena kawasan ini telah mengalami perkembangan pemanfaatannya oleh

berbagai aktifitas manusia, seperti areal pemukiman, pabrik, PLTA dan potensi parawisata.

Sungai Asahan di Desa Marjanji Aceh dan Lubu Ropa Kabupaten Asahan merupakan

daerah yang akan dibangun PLTA Asahan IV. Dengan adanya aktivitas tersebut akan

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairannya. Pemanfaatan sungai sebagai

tempat pembangunan PLTA tersebut merupakan dampak dari aktivitas masyarakat terhadap

lingkungan yamg dapat menyebabkan perubahan faktor lingkungan sehingga akan berakibat

buruk bagi kehidupan biota air. Berubahnya kualitas suatu perairan sangat mempengaruhi

kehidupan biota yang hidup di perairan tersebut.

Biota di sungai Asahan seperti ikan yang dapat digunakan untuk bioindikator

lingkungan. Dengan sifat demikian, perubahan lingkungan mempengaruhi kepadatan dan

Page 82: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

71

keanekaragaman biota air. Kepadatan dan keanekaragaman ini sangat tergantung pada

toleransi dan sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan.

Perubahan terhadap kualitas perairan erat kaitannya dengan potensi perairan ditinjau dari

kepadatan ikan. Keberadaan ikan disuatu perairan dapat memberikan informasi mengenai

kondisi perairan. Ikan dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi kualitas suatu perairan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat jenis-jenis ikan dan kualitas air di Sungai

Asahan dengan berbagai pendekatan yaitu :

(1) mengetahui jenis – jenis ikan yang terdapat di Sungai Asahan

(2) mengetahui kualitas air sungai Asahan.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel dilakukan pada bulan 12-13 Juli 2014. Dalam penentuan daerah

sampling diambil 3 lokasi dengan 3 kali ulangan, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Lokasi penelitian di Sungai Asahan

Lokasi Penelitian Nama Desa

Stasiun 1 Desa Marjanji Aceh

Stasiun 2 Perbatasan Desa Marjanji Aceh dan Desa Lubu Ropa

Stasiun 3 Desa Lubu Ropa

1. Pengambilan Sampel Ikan

Pengambilan sampel ikan dilakukan di 3 (tiga) lokasi yang telah ditentukan

berdasarkan aktivitas masyarakat. Pada pengambilan sampel ikan mengunakan metode

purposive random sampling. Selanjutnya pada setiap titik sampel dilakukan pengambilan

sampel menggunakan jala/jaring ikan dengan mata jaring 1 cm. Pengambilan sampel ikan

secara kualitatif. Sampel ikan yang diperoleh dimasukkan dalam kantung plastik, diawetkan

dengan formalin 4 % dan diberi label. Di laboratorium, sampel dicuci dari formalin, direndam

dalam air selama lebih kurang satu hari satu malam untuk kemudian dimasukkan dalam botol

yang sudah diisi alkohol 70 % selanjutnya dilakukan identifikasi. Identifikasi ikan dilakukan

berdasarkan Kottelat et al. (1993).

2. Pengambilan Sampel Kualitas Air

Dari kualitas air yang diukur dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kualitas air, alat yang digunakan dan tempat pengukuran.

No Kualitas Air Alat Tempat Pengukuran

1. Temperatur Termometer In-situ

2. Kecepatan Arus Bola pingpong In-situ

3. Penetrasi Cahaya Keping Seechi In-situ

4. Intensitas Cahaya Luxmeter In-situ

5. pH pH air In-situ

6. DO {Oksigen Terlarut) Metode Winkler In-situ

7. BOD Metode Winkler & inkubasi Laboratorium

8. COD Metode Refluks Laboratorium

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Jenis –jenis ikan yang ditemukan di Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa

Sungai Asahan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan jenis-jenis ikan di Sungai Asahan Desa

Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa pada dilihat pada Tabel 1.

Page 83: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

72

Tabel 3. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di desa Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu

Ropa

No Nama Daerah Nama Ilmiah St I St II St III

1. Jurung Tor sp + + -

2. Patin Pangasius pangasius + - -

3. Baung putih Macrones nemurus + - -

4. Tawes Puntius javanicus + + +

5. Pora-pora Rasbora sp + + +

6. Lembeduk/Kafiat Puntius Wandersii + - +

7. Hampala, Sembarau Hampala macrolipidota + - +

8. Lais Cyptopterus sp + - -

9. Mujair Tilapia mosambica + + +

10. Lele Clarias batracus + - +

11. Gobi Gambusia sp + + +

12. Ikan Mas Cyperinus carpio - + - Stasiun I : Tidak ada aktivitas

Stasiun II : Aktivitas domestik

Stasiun III : Pariwisata

Dari Tabel 3 dilihat bahwa ditemukan 12 jenis ikan yang hidup di sungai Asahan

hamper semua ikan yang ditemukan di Sungai Asahan Marjanji Aceh dan di Desa Lubu

Ropa Sungai Asahan adalah ikan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat sekitarnya kecuali

ikan Gobi (Gambusia sp).

Dari jenis-jenis ikan yang ditemukan di sungai Asahan ada 4 jenis ikan yang terdapat

di ketiga stasiun yaitu ikan Tawes (Puntius javanicus), Ikan Pora-pora (Rasbora sp), ikan

Mujair (Tilapia mosambica), ikan Gobi (Gambusia sp). Keberadaan ikan tersebut berada

disemua stasiun karena makanan ikan tersebut sangat banyak di lokasi penelitian karena ikan-

ikan tersebut termasuk ikan omnivore yaitu ikan pemakan segalanya.

Jenis ikan yang hanya ditemukan di satu stasiun yaitu stasiun II adalah ikan mas

(Cyperinus carpio), dimana stasiun II merupakan stasiun yang mempunyai aktivitas domestik

sehingga sehingga banyak terdapat bahan-bahan organik yang merupakan sumber makanan

ikan tersebut.

Jenis ikan yang paling banyak ditemukan adalah stasiun I yaitu ikan Tor sp,

Pangasius pangasius, Macrones nemurus, Puntius javanicus, Rasbora sp, Puntius Wandersii,

, Hampala macrolipidota, Cyptopterus sp, Tilapia mosambica, Clarias batracus, Gambusia

sp, Cyperinus carpio, dimana stasiun ini tidak ada aktivitas masyarakat dan kualitas air

sungai seperti temperatur 26 o

C, kecepatan arus 24 dtk/m, pH 7,1, Do 7,8 mg./l danlain-lain

masih menunjukkan kondisi yang baik, sehingga ikan lebih memilih untuk berdiam dilokasi

tersebut.

2. Pengambilan Sampel Kualitas Air

Berdasarkan hasil penelitian kualitas air di Sungai Asahan Desa Marjanji Aceh dan di

Desa Lubu Ropa pada dilihat pada Tabel 4.

Page 84: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

73

Tabel 4. Nilai rata-rata kualitas air di sungai Asahan.

No Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III

1. Temperatur ( o C) 26 26 28

2. Kecepatan Arus (dtk/m) 24 71 24

3. Intensitas Cahaya (Cd) 244 267 228

4. Penentrasi Cahaya (cm) 51 74 62

5. pH 7,1 7,1 7,5

6. DO (Mg/l) 7,8 9,3 8,6

7. BOD5 (Mg/l) 1,58 1,76 1,70

8. COD(Mg/l) 5,58 6,43 10,34

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa Temperatur air di keempat stasiun berkisar 26-

280C, dengan suhu tertinggi pada stasiun III , namun secara keseluruhan suhu relatif sama.

Kecepatan arus berkisar 24-71 dtk/m. Intensitas cahaya berkisar 244-267 Candela dengan

intensitas cahaya tertinggi di stasiun II, hal ini karena kemampuan cahaya untuk

mengabsorbsi cukup tinggi.Penetrasi cahaya berkisar 51-74 cm dengan penetrasi cahaya

tertinggi di stasiun II, hal ini disebabkan daerah tersebut lebih terbuka (sedikit ditumbuhi

tumbuhan), yang mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya lebih mudah masuk ke

badan air. pH berkisar 7,1 – 7,5 dengan pH yang tertinggi distasiun III yang namun secara

keseluruhan pH hampir sama.

Oksigen terlarut (DO) berkisar 7,8 – 9,3 mg/l dengan oksigen terlarut tertinggi di

stasiun II, hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang cukup mendukung sehingga

fotosintesis berjalan baik untuk menyumbangkan banyak oksigen di perairan tersebut.

Biologycal Oxygen Demand (BOD)5 berkisar 1,58 – 1,76 mg/l dengan BOD5 tertinggi di

stasiun II yang merupakan daerah pemukiman padat penduduk banyak mengeluarkan limbah

domestik berupa bahan organik sehingga oksigen digunakan mikroorganisme untuk

menguraikan bahan organik tersebut. Chemycal Oxygen Demand (COD) berkisar5,58-

10,34 mg/l dengan COD tertinggi di Stasiun III merupakan tempat berkumpulnya substrat

dari hulu sungai menyebabkan kandungan organik lebih tinggi sehingga oksigen untuk

menguraikan organik tersebut secara kimia juga tinggi.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan tentang Jenis-jenis ikan di Sungai Asahan Desa

Marjanji Aceh dan Lubu Ropa Kabupaten Asahan, dapat disimpulkan bahwa :

1.Jenis-jenis ikan yang ditemukan adalah sebanyak 12 jenisyaitu Tor sp, Pangasius

pangasius, Macrones nemurus, Puntius javanicus, Rasbora sp, Puntius Wandersii,

Hampala macrolipidota, Cyptopterus sp, Tilapia mosambica, Clarias batracus,

Gambusia sp, Cyperinus carpio.

2.Kualitas air Sungai Asahan masih dalam kondisi yang baik

DAFTAR PUSTAKA

Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ke-2 UGM Press,

Yogyakarta. 10-14.

http://uniqpost.com/29829/11-sungai-di-indonesia-untuk-arung-jeram/, Kamis, 8 November

2012

Kottelat, M., A.J. Whiterrn, S.N. Kartikasari, dan S. Wirjoatmodjo.1993. Ikan Air Tawar

Indonesia Bagian Darat dan Sulawesi. Dwi Bahasa Inggris Indonesia: Periplus

Editions (HK) Ltd.

Page 85: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

74

Lalli,C.M. & T.R. Persons. 1993. Biological Oceanographi : An Introduction. Pergamon

Press, New York. pp.186-187

Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta. 373,397.

Rudiyanti, S., 2009. Kualitas Perairan Sungai Banger Pekalongan Berdasarkan Indikator

Biologis. Jurnal Saintek Perikanan. Vol. 4, No.2, 2009 : 46-52.

Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta. 35,83-87.

Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I dan II. Bogor: Bina Cipta.

Whitten, A. J, N. Hisyam, J. Anwar & S. J. Damanik. 1987. The Ecology of Sumatera.

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 192,209.

Page 86: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

75

POLA DISTRIBUSI SPASIAL DAN HABITAT PREFERENSIAL Rusa

timorensis DI PULAU PEUCANG TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

SPATIAL DISTRIBUTION PATTERNS AND PREFERENTIAL

HABITAT OF Rusatimorensis INPEUCANG ISLAND

UJUNG KULON NATIONAL PARK

Mufti Sudibyo1, Yanto Santosa

2, Burhanuddin Masy’ud

2 , Toto Toharmat

3

1Departement of Biology State University of Medan

2Department of Ecotourism and Forest Resource Conservation, Faculty of Forestry IPB

3Department of Nutrition Science and Feed Technology, Faculty of Animal

Science, IPB

E-mail : [email protected]

Abstract

Rusa timorensis in Peucang island isn‟t fully wild and have unique in behavior. Objective of

reseach to observe the spatial distribution patterns and preferential habitat of Timor deer in

Peucang Ujung Kulon National Park by Gender and Age Class. The data includes the

frequency of attendance deer (Y) altitude msl (X1), slope (X2), the distance from the Strip

Patrol m (X3), the distance from the back water m (X4), the distance from pasture m (X5), the

distance from beach m ( X6), temperature 0C (X7),% moisture (X8), soil pH (X9), and soil

salinity (X10). Geographical position deer uploaded into the data base file (* .dbf) to ArcGIS

9.3. the distance is measured by Euclidean distance. Physical factors in situ measurements.

Results showed that the distribution pattern of the Timor deer on Peucang island the doe, the

fawn male and female are grouped λ² ≥ λ²0,025. the number of individuals in a meadow in the

evening reaches 20-36 individuals. The stag in velvet antler phase spread randomly, being

stag with antler hard phase clustered in lowland habitat. The deciding factor presence of

deer were humidity, altitude, distance from the Strip patrol, distance from the pasture, and

temperature with the equation Y = - 6.61 + 1,74 X8 – 1.40 X1 – 0.32 X3 + 0.17 X5 + 1,56 X7

with correlation (r = 0,897) R2 = 80.4% , p < 0.05.

Keywords: Rusa timorensis, spatial distribution patterns, habitat preferences, Peucang

island

PENDAHULUAN

Rusatermasuk satwa generalis dalam penggunaan habitat(Nagarkoti & Thapa 2007),

namun beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa jenis rusa memiliki

kekhasan dalam pemilihan habitatnya. Bello et al. (2001) menyatakan rusa ekor putih

(Odocoileus virginianus) jantan lebih memilih habitat tertutup sementara betina cenderung

memilih daerah terbuka. Borkowski (2004) dan Borkowski &Ukalska (2008) menyatakan

bahwa rusa Roe kurang bergantung pada tutupan dibanding dengan rusa merah karena

ukurannya yang lebih kecil, sehingga lebih mudah mendapatkan tempat berlindung dibanding

rusa merah yang memiliki ukuran lebih besar. Pada rusa merah cenderung lebih menyukai

atau memilih habitat dengan kondisi tutupan yang lebih rapat.

Lawrence (1995) melaporkan bahwa rusa mule (Odocoileus hemionus crooki) juga

menunjukkan kecenderungan dalam pemilihan habitatnya. Rusa jantan cenderung menyukai

habitat dengan ketinggian dan kelerengan yang rendah serta jauh dari sumber air, sedang rusa

Page 87: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

76

betina lebih menyukai daerah yang lebih rendah dan lebih dekat dengan sumber air.Purnomo

(2010) melaporkan bahwa di hutan Wanagama kehadiran rusa timor di suatu habitat

dipengaruhi oleh variabel jumlah spesies pohon, kelerengan dan jarak dari sumber air,sedang

Spaggiari & Garin-Wichatitsky (2006) melaporkan bahwa rusa timor di New Zealand lebih

menyukai dataran banjir dan hutan sclerophyll. Kencana (2000) melaporkan bahwa rusa

timor di Pulau Rumberpon Papua menyukai habitat berupa padang rumput yang sekitarnya

terdapat hutan untuk tempat berlindung.

Beberapa penelitian tersebut menunjukkan secara umum ada perbedaan pola sebaran

spatial dan habitat preferensial jenis-jenis rusa termasuk rusa timor di suatu kawasan hutan.

Salah satu daerah sebaran rusa timor di Indonesia adalah kawasan Pulau Peucang Taman

Nasional Ujung Kulon (TNUK). Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan adanya pola

atau bentuk sebaran spatial dan habitat yang disukai rusa timor di Pulau Peucang, sehingga

timbul pertanyaan penelitiannya bagaimana pola sebaran spatialdan gambaran habitat

preferensial rusa timor di Pulau Peucang TNUK

Berkaitan dengan kepentingan pengembangan pemanfaatan rusa secara langsung dari

dalam kawasan hutan, terutama di kawasan konservasi, maka informasi yang berhubungan

dengan bentuk sebaran spatial dan habitat preferensialnya menjadi penting, karena informasi

tersebut akan dijadikan sebagai dasar didalam menetapkan manajamen habitat dan

pengaturan pemanfaatan populasi secara tepat sesuai pola sebarannya. Nolan dan Walsh

(2005) menyatakan bahwa salah satu manajemen efektif pada rusa adalah pendataan

kesehatan populasi rusa sesuai daya dukung habitatnya agar tetap terjamin keseimbangan

antara kebutuhan pakan dengan jumlah populasi satwa, sehingga tidak terjadi peningkatan

tingkat kerusakan lingkungan habitat.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang sebaran spatialdan habitat preferensial

rusa timor di Pulau Peucang TNUK penting dilakukan. Adapun tujuan dari penelitian ini,

adalah mempelajari bentuk sebaran spatial rusa timor dan mengidentifikasi habitat yang

disukai (habitat preferensial) rusa timor di Pulau Peucang TNUK.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Pulau Peucang Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK),

memiliki luas 450 ha terletak pada 6044‘23‖ S dan 105

015‘30‖ E. Sebagian besar kawasan

memiliki topografi berupa dataran rendah sampai landai, dan di bagian tengahnya terdapat

bukit yang membentang dari barat daya ke arah tenggara dengan puncak tertinggi 71 m

(Goegle Earth image@ 2012 Digital globe, TerraMetrics). Penelitian dilakukan pada bulan

September 2011 - bulan Juli 2012.

Pengumpulan Data

Berdasarkan observasi pendahuluan ditetapkan lima wilayah pengamatan (1) daerah

padang rumput Pasanggrahan (PSG), (2) dataran rendah Kiara (KIA), (3) Calingcing (CLC),

(4) Karang Copong (KCP), dan (5) dataran tinggi Gunung calling (GNC). Pengamatan

dilakukan pada jam 14.00 – 21.00. Pengamatan sebaran populasi rusa dilakukan dengan

metode sensus concentration count.

Habitat Preferensial

Pengumpulan data untuk menentukan habitat yang disukai (preferensial) dilakukan

dengan prinsip pendekatan kehadiran rusa di suatu tempat (Y) sebagai peubah tergantung

(dependent variabel) dipengaruhi oleh peubah-peubah (variabel) lingkungannya (X) baik

biotik maupun abiotik sebagai peubah bebas (independent variabel). Adasepuluh peubah

lingkungan (X), meliputi ketinggian mdpl (X1), kelerengan (X2), jarak dari jalur patroli m

Page 88: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

77

(X3), jarak dari kubangan m (X4), jarak dari padang rumput m (X5), jarak dari pantai m (X6),

suhu 0C(X7), kelembaban % (X8), pH tanah (X9), salinitas tanah (X10). Di setiap tempat

ditemukan rusa, semua data tentang peubah-peubah X dicatat. Posisi geografis rusa

dimasukkan (upload) ke dalam file database (*.dbf) ke ArcGis 9.3. jarak diukur dengan

euclidian distance. Faktor fisik dilakukan pengukuran insitu.

Analisis data untuk menentukan bentuk sebaran (distribusi) rusa timor dilakukan

dengan Indeks Penyebaran (IP) menurut Ludwig dan Reynold (1988), dengan rumus: IP =

, S2 = dimana S

2= keragaman jenis, X= rata-rata jenis, n= plot unit contoh.

Penentuan bentuk sebaran diuji dengan chi square, n = jumlah plot contoh,

dengan kriteria uji sebagai berikut:

(a) Jika : pola sebaran seragam (uniform).

(b) Jika : pola sebaran random (acak), dan

(c) bila : pola sebaran mengelompok

Analisis data penentuan perbedaan penggunaan habitat dengan analisis varians (ANOVA)

satu arah menurut Nagarkoti & Thapa (2007), penentuan habitat disukai (habitat

preferensial) dilakukan dengan membandingkan proporsi luas daerah pengamatan dengan

proporsi habitat yang digunakan rusa timor dan diuji dengan uji Chi square – Х2 (Neu et al.

1974 ; Sokal & Rahlf 1998). Perbandingan luas daerah pengamatan dengan areal yang

digunakan oleh rusa ditentukan berdasarkan standar selang kepercayaan 95% (Neu et al.

1974; Bayers et al. 1984). Faktor penentu kehadiran rusa di suatu tempat dianalisis dengan

regresi metode Stepwise dengan sofware PASW Statistics 18.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola persebaran rusa

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada perbedaan pola sebaran dan jumlah

populasi rusa di setiap lokasi pengamatan. Di wilayah PSG (Pasanggrahan) dan KRC

(Karang Copong) pada sore hingga malam hari (14.00-21.00 WIB) rusa timor memiliki pola

sebaran populasi yang relatif sama.

Tabel 1. Hasil uji X2pola sebaran spasial populasi rusa timor di Pulau Peucang berdasarkan

tempat dan waktu (14.00 – 21.00 WIB)

PSG KIA CLC KRC GNC

Chi square 11.33 18.00 46.67 16.09 34.24

df 18 8 10 19 6

Asymp sig 0,880 0,021 0,000 0,651 0,000

Di daerah PSG merupakan daerah paling banyak ditemukan rusa berkumpul pada

waktu sore hingga malam hari sehingga menjadi pembanding dengan daerah lain.

Menggunakan uji Chi square, diketahui bahwa wilayah PSG dan KRC menunjukkan pola

sebaran rusa yang sama (p > 0.05) dengan jumlah populasi rusa relatif stabil.

Hal ini memberi indikasi bahwa rusa timor di Pulau Peucang pada sore hingga malam

hari lebih terkonsentrasi memanfaatkan areal padang rumput (PSG) dan hutan pantai (KCP)

dibandingkan daerah lain. Apabila dibandingkan dengan wilayah lain yakni KIA, CLC, dan

GNC, hasil uji X2menunjukkan bahwa pola sebaran rusa timor di dua kelompok wilayah

tersebut berbeda nyata (P <0.05).wilayahKIA, CLC dan GNC lebih digunakan rusa timor

sebagai tempat untuk mencari makan pada siang hari dan menjadi daerah lintasan rusa pada

sore hari untuk menuju daerah PSG dan KCP sebagai tempat istirahat pada malam hari.

Page 89: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

78

Selain itu ketiga daerah tersebut juga diperkirakan sebagai daerah overlap dari kelompok

populasi rusa PSG dan KCP dalam mencari makan. Dilihat dari pola sebaran rusa timor di

Pulau Peucang menurut ruang (spatial) dan waktu, maka secara keseluruhan hasil

pengamatan tersebut gambaran singkat dari pola sebarannya dapat direkap seperti disajikan

padaTabel 2.

Tabel 2. Bentuk sebaran spasial rusa timor di Pulau Peucang di lima wilayah pengamatan

Populasi χ²hitung χ²tabel

Ekosistem Frek ẍ S² IP χ² λ²=IP(n-

1)

λ²0.02

5

λ²0.97

5

Bentuk

Sebaran

PSG 33 12,1 132 10,9 11,3 348.44 31,5 8,2 Mengelompok

KIA 33 4,1 6,9 1,7 18,0 53,3 17,5 2,2 Mengelompok

CLC 33 4,4 41,8 9,5 46,7 304,.5 20,5 3,3 Mengelompok

KRC 33 12 40,8 3,4 16,1 109,2 32,9 8,9 Mengelompok

GNC 33 1,9 5,7 3,0 34,2 96,6 14,5 1,2 Mengelompok

PSG=Pasanggrahan, KIA=kiara, CLC=Calingcing, KRC=Karang copong, GNC= Gunung

calling

Gambar 1. Peta sebaran rusa dan pembagian wilayah lapangan (1. Pasanggrahan (PSG), 2.

Kiara (KIA), 3. Cihanda rusa (CHR), 4. Calingcing (CLC), 5. Karang copong

(KRC), 6.Gunung Calling (GNC),7. Legon Madura (LGM), 8. Legon kobak

(LGK), 9. Ciapus (CIA), 10. Kapuk (KPK), 11. Cangcuit (CCU). Garis pantai

warna merah curam, hijau landai berpasir putih, kuning pasir dan karang, hitam

berkarang).

Berdasarkan bentuk sebaran spasialnya, hasil analisis data dengan uji Chi scuare (X2)

menunjukkan bahwa secara umum bentuk sebaran spasial rusa timor Pulau Peucang di lima

lokasi pengamatan adalah mengelompok. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Santosa (2008) di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP)

Habitat Preferensial Rusa Timor

Hasil analisis habitat preferensial rusa timor di Pulau Peucang berdasarkan frekuensi

kehadiran rusa timor di suatu tempat menggunakan analisis regresi beerganda dengan

metode Stepwise menunjukkan bahwa faktor-faktor penentu tersebut adalah kelembaban

udara (X8), ketinggian (X1), jarak dari jalur patroli (X3), jarak dari padang rumput (X5), dan

temperatur (X7) dengan persamaan regresi Y= -6.61+1.74(X8) - 1.40 (X1) – 0.32(X3) +

0.17(X5) + 1.56(X7), dan nilai koefisien korelasi Pearson (r) sebesar 0.897 dan koefisien

Page 90: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

79

determinan (R2) sebesar 0.804 (p < 0.05). Hasil ini mengindikasikan bahwa rusa timor

menyukai habitat dengan kelembaban yang lebih tinggi, dekat dengan jalur patroli, jauh dari

padang rumput (menuju kawasan KRC), suhu tinggi dan daerah datar atau daerah dengan

ketinggian rendah.

Rusa timor di Pulau Peucang menyukai habitat yang memiliki kelembaban dan suhu

udara tinggi. Padawaktu pagi rusa timor cenderung mendekati daerah pantai sebagai habitat

dengan kondisi suhu udara lebih hangat, dan pada siang hari bergerak menuju ke tengah

pulau dan berteduh di bawah pohon berkanopi lebar dengan kondisi kelembaban udara relatif

tinggi (lebih sejuk). Kesukaan rusa timor menempati habitat dengan pohon berkanopi lebar

ini serupa dengan kesukaan rusa merah (Cervus elaphus), namun tidak sama dengan rusa roe

(Bokorwski 2004). Menurut Welch et al. (1990) habitat semak belukar lebih banyak

digunakan oleh rusa merah dari pada rusa roe, sedangkan habitat dengan tumbuhan berkanopi

lebar lebih banyak digunakan oleh rusa roe karena kaya tanaman herba.

Pengukuransuhu dan kelembaban udara 28-31 oC, dan kelembaban udara sekitar 50-

80%. Suhu udara ini termasuk dalam sebaran suhu yang toleran untuk rusa timor. Tuckwell

(1998) menyatakan rusa timor kurang tahan terhadap udara dingin, sehingga rusa timor

memerlukan shelter yang memadai untuk berlindung dan habitat yang memiliki sumber

pakan berenergi tinggi agar dapat bertahan di habitat bercuaca dingin. Pada malam hari rusa

timor banyak ditemukan beristirahat di padang rumput (grazing area) + 0.5 ha dengan

kondisi yang lebih hangat karena telah menerima paparan sinar matahari sepanjang hari.

Rusa timor tidak menggunakan seluruh wilayah ketinggian di Pulau Peucang sebagai

habitatnya, namun hanya memilih daerah datar sampai ketinggian tertentu sebagai habitat

preferensialnya. Hasil uji statistik (Chi Square - χ2) menunjukkan bahwa perbedaan

ketinggian tempat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap keberadaan rusa (nilai χ2

χ2

hitung =

15.50 > χ2

(0.05,2) = 5.99). Rekapitulasi hasil perhitungan X2 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rekapitulasi perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara kehadiran rusa dengan

ketinggian tempat

Ketinggian

(m)

Luas

(Ha)

Proporsi

(%)

Frekuensi

observasi

(Oi)

Frekuensi

harapan

(Ei)

(Oi-Ei)2/Ei

1 2 3 4 5 6

0 - 20 m 74 0.17 15 11.98 0.76

20 - 40 m 252 0.58 52 40.85 3.05

>40 m 106 0.25 3 17.17 11.69

Jumlah 432 70 70.00 15.50

Frekuensi harapan rusa (Ei) = kolom 3 x jumlah kolom 4 (Gaspersz 1994), χ2

hitung = 15.50 >

χ2

(0.05,2) = 5.99.

Rusatimor lebih menyukai daerah datar sebagai habitatnya terutama untuk tempat

istirahat pada malam hari, dan tidak menyukai daerah dengan ketinggian lebih dari 40 m.

Hasil perhitungan menunjukkan perbedaan ketinggian tempat berpengaruh nyata (P<0.05)

terhadap keberadaan rusa timor di Pulau Peucang (Tabel 4).

Secaraumum rusa timor diakui sebagai satwa yang memiliki kemampuan adaptasi

tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan termasuk toleransinya terhadap perbedaan

ketinggian tempat hingga mencapai 2600 m (Padmala et al. 2003) namun fakta di Pulau

Peucang menunjukkan bahwa umumnya rusa timor cenderung lebih menyukai daerah dengan

ketinggian 20-40 m.

Page 91: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

80

Tabel 4. Indeks Neu preferensi habitat rusa terhadap ketinggian tempat

Kelas Lereng

Ketersediaan Perjumpaan rusa Indeks

Luas

(Ha)

Proporsi

(a)

Tercatat

(n)

Proporsi

(r)

Seleksi

(w)

Terstandar

(b)

0 - 20 m 74 17 15 21 1.235 0.46

20 - 40 m 252 58 52 74 1.276 0.48

>40 m 106 25 3 4 0.160 0.06

432 100 70 2.671 1.00

Rusatimor di Pulau Peucang hanya menyukai daerah dengan ketinggian 0 – 20 m

sampai 20 – 40 m, dan tidak menyukai daerah yang lebih tinggi meskipun bebas dari

gangguan manusia. Fenomena ini berbeda dengan rusa merah dalam penggunaan habitatnya

selama musim panas dan dingin sesuai dengan pernyataan Palmer dan Truscott (2003)

bahwa rusa merah selama musim dingin lebih cenderung menyukai habitat berketinggian

rendah, lebih terlindungi dan memiliki tutupan tajuk yang tinggi.

Jalur patroli diketahui mempengaruhi keberadaan rusa timor terutama pada siang

hingga malam hari. Hasil uji statitik (Chi square – X2) menunjukkan bahwa rusa timor

memiliki perbedaan tingkat kesukaan habitat dengan jarak tertentu dari jalur patroli ditandai

dengan nilai χ2

hitung = 27.68 ≥ χ2

(0.05,3) = 7.81. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa semakin

jauh jarak suatu tempat sebagai habitat rusa dengan jalur patroli maka semakin sedikit

dijumpai rusa timor.

Keberadaanrusa di sekitar jalur patroli paling banyak ditemukan pada jarak 0 sampai

100 m. Rusa timor cenderung memilih habitat yang lebih dekat dengan manusia dengan jarak

kurang dari 100 m dari jalur patroli. Kondisi ini menunjukkan bahwa rusa timor di Pulau

Peucang justru merasa aman dan nyaman didekat orang dan merasa kurang aman apabila

berada di tengah hutan. Rusa timor di Pulau Peucang dapat dikatakan sudah adaptif dengan

manusia sehingga menunjukkan perilaku ―jinak‖ bila berada di daerah jalur patroli, namun

sangat agresif bila ditemukan di wilayah yang jauh dari jalur patroli (dalam hutan) karena

cenderung lebih peka (sensitif) dengan menunjukkan perilaku agresif kemudian lari menjauh

dari manusia.

Perilaku adaptif atau jinak yang ditunjukkan oleh rusa timor di habitat yang dekat

dengan jalur patroli tersebut di atas dapat dimengerti karena jalur patroli tersebut juga

merupakan jalur perjalanan wisatawan dengan frekuensi kunjungan yang cukup tinggi.

Melalui proses pembiasaan (habituasi) dari intensitas interkasi rusa timor dengan wisatawan

yang melewati jalur itu secara terus menerus akhirnya berdampak pada perubahan perilaku

rusa menjadi adaptif dan lebih jinak terhadap manusia, bahkan pada jarak sekitar 10 m rusa

timor tetap terlihat tenang dan cenderung memberikan respon mendekat apabila ada orang

yang melewati jalur patroli tersebut. Berbeda halnya dengan rusa-rusa yang ada di dalam

hutan, umumnya menunjukkan perilaku agresif, waspada dan menghindar apabila bertemu

dengan manusia. Diperkirakan rusa timor di dalam hutan cenderung menghindari manusia

sampai mencapai jarak lebih dari 50 m dari jalur patroli.

Keberadaan rusa di padang rumput Pasanggrahan umumnya hanya terlihat pada waktu

sore hingga pagi dini hari (jam 14.00 – 04.00 WIB). Sebelum waktu-waktu tersebut rusa

timor di Pulau Peucang cenderung menjauh dari padang rumput. Rusatimor menyukai habitat

dengan jarak dari padang rumput sekitar 0 – 1000 m dan lebih dari 2000 m, namun tidak

menyukai habitat yang berjarak 1000-2000 m dari padang rumput.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa rusa timor di Pulau Peucang memiliki dua arah

pergerakan secara berlawanan didalam memanfaatkan suatu habitat sebagai area padang

rumput (grazing area) untuk mencari makan. Kelompok rusa timor yang berada di suatu

habitat dengan jarak 0-1000 m dari padang rumput cenderung bergerak menuju areal padang

Page 92: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

81

rumput di Padangsanggrahan (PSG) untuk istitrahat pada malam hari, namun apabila

keberadaan rusa timor tersebut berjarak >2000 m dari areal padang rumput maka cenderung

bergerak mengarah ke areal padang rumput di Karang Copong (KRC). Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa kelompok-kelompok rusa timor di kedua habitat tersebut (PSG dan

KRC) terlihat sudah adaptif dengan kehadiran manusia, sehingga ketika berada di areal

padang rumput dari kedua habitat tersebut, rusa tidak lagi menunjukkan perilaku agresif atau

menghindar, melainkan rusa tampak tenang dan terus melakukan kegiatan memamahbiak

sambil berisitirahat tanpa merasa terganggung dengan kehadiran aktivitas manusiadi

sekitarnya.

Secara umum rusa timor digolong sebagai pemakan rumput (grazer) seperti halnya rusa

sika (Hofmann 1985) meskipun dalam kondisi tertentu dapat bersifat browser atau pemakan

semak tergantung pada ketersediaan tumbuhan pakannya di suatu habitat. Hasil pengamatan

di Pulau Peucang juga menunjukkan bahwa rusa timor terutama rusa betina dewasa, betina

remaja, anak, dan jantan remaja lebih dominan berkumpul dan melakukan aktivitas makan di

padang rumput, sehingga dapat menjadi indikasi bahwa rusa timor tersebut tergolong sebagai

pemakan rumput (grazer).

Berbeda halnya dengan rusa timor berkelamin jantan dewasa pada fase ranggah muda,

ternyata diketahui di lapangan cenderung ditemukan terbatas di habitat berupa hutan sehingga

lebih bersifat pemakan semak (browser). Fakta menunjukkan bahwa rusa timor jantan fase

ranggahh muda sampai ranggahh keras di Pulau Peucang ternyata lebih memilih areal habitat

di Cihanda, Calingcing, dan Karang Copong, dan sangat jarang ditemukan di areal Gunung

Calling ataupun di Kiara. Fenomena soliter (menyendiri) dari rusa timor jantan fase ranggahh

muda ini diduga untuk menghindari dari serangan jantan dewasa yang telah memiliki

ranggahh keras, karena kalah bersaing. Memang ada beberapa pengecualian terutama rusa-

rusa jantan yang telah adaptif, maka pada fase ranggah muda mereka masih tetap terlihat

berada di areal padang rumput dengan aman dan merasa tidak terganggu baik dengan rusa

jantan lain maupun dengan manusia. Fenomena persaingan (kompetisi) antar pejantan lebih

terlihat pada saat musim kawin (September-Desember). Rusa jantan dewasa pada fase

ranggah keras biasanya keluar menuju areal padang rumput dan terjadi perkelahian antar

pejantan untuk memperebutkan betina. Biasanya pejantan yang menang menunjukkan

penguasaan wilayah (teritorialitas) sementara pejantan yang kalah dan/atau yang berada pada

fase ranggah muda cenderung menghindar dan bergerak ke dalam hutan atau daerah ekoton

diantara hutan dan padang rumput.

Gambaran kondisi tersebut di atas mengharuskan setiap pengelola untuk dapat

mengidentifikasi persebaran kelompok populasi atau individu-individu rusa jantan fase

ranggah muda dan menentukan teknik pengelolaan habitatnya agar lebih memungkinkan

ketersediaan tumbuhan pakan yang cukup dan berkualitas baik sehingga dapat digunakan

oleh rusa-rusa tersebut. Hal ini terutama apabila dikaitkan dengan kepentingan pengaturan

pemanfaatan rusa timor sebagai komoditas ekonomi khususnya untuk menghasilkan ranggah

muda (velvet antler) sebagai produk utamanya.

KESIMPULAN

1. Bentuk sebaran spasial rusa timor di Pulau Peucang adalah mengelompok dengan

konsentrasi pengelompokan pada malam hari adalah di daerah pantai dari wilayah Karang

Copong dan di padang rumput Pasanggrahan.

2. Preferensi habitat rusa dipengaruhi oleh kelembaban, ketinggian, jarak dari jalur patroli,

jarak dari padang rumput, dan suhu dengan persamaan regresi Y (frekeuensi kehadiran) =

- 6.611 + 1.743X (kelembaban) – 1.402 X (ketinggian) – 0.317 X (jarak dari jalur patroli)

+ 0.170 X (jarak dari padang rumput) + 1.563 X (suhu). Koefisienditerminasi R2=80.4%,

p < 0,05.

Page 93: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

82

DAFTAR PUSTAKA

Bayers CR, Steinhorst RK, Krausman PR. 1984. Clarification of a technique for analysis of

utilization-availability data. Journal of Wildlife Management 48: 1050-1053.

Bello J, Gallina S and Equihua M. 2001. Characterization and Habitat Preferences by White-

Tailed Deer in Mexico. Journal of Range Management 54(5): 537-545

Borkowski J and Ukalska J. 2008. Winter Habitat use by red and roe deer in pine-dominated

forest. Forest Ecology and Management 255 (2008) 468-475

Borkowski J. 2004. Distribution and habitat use by red and roe deer following a large forest

fire in South-western Poland. Forest Ecology and Management 201:287–293.

Hofmann RR. 1985. Digestive physiology of deer: their morphophysiological specialisation

and adaptation. Royal Society of New Zealand, Bulletin 22, 393–407

http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts /information / Cervidae.html.

Kencana S. 2000. Habitat Rusa Timor (Cervus timorensis) dan kapasitas Tampung Padangan

Alam Taman Buru Pulau Rumberpon Manokwari. [Skripsi] Fakultas Pertanian

Universitas Cendrawasih Manokwari.

Lawrence RK. 1995. Population Dynamics and Habitat use of desert Mule Deer in The Trans

Pecos Region of Texas. [Disertation] The Graduate Faculty of Texas Tech University

178p.

Ludwig, J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Method and

Computing. A Wiley - Inter Science Publication. John Wi-ley and Sons, Inc. New

York

Nagarkoti A &Thapa T B. 2007. Distribution pattern and habitat prefference of barking deer

(Muntiacus muntjac Zimmermann) in Nagarjun forest Kathmandu. Himalayan

Journal of Sciences 4(6): 70-74

Neu CW, Byers CR, Peek JM, Boy V 1974. A Technique for analysis of utilization-

availability data. Journal of Wildlife Management 38: 541-545.

Nolan LM, & Walsh JT. 2005. Principles of deer management. Wild deer management in

Irland : Stalker training manual. © L. M. Nolan, J. T. Walsh & Deer Alliance HCAP

Assessment Committee, 2005

Padmalal UKGK, Takatsuki S and Jayasekara P. 2003. Food habits of sambar Cervus

unicolor at the Horton Plains National Park, Sri Lanka. Ecological Research 18 : 775

– 782

Palmer SCF and Truscott AM. 2003. Seasonal habitat use and browsing by deer in

Caledonian pinewoods. Forest Ecology and Management 174: 149 - 166

Purnomo DW. 2010. A habitat selection model for Javan deer (Rusa timorensis) in

Wanagama I Forest, Yogyakarta. Bioscience 2(2): 84 – 89.

Santosa Y, Auliyani D, Priyono A. 2008. Pendugaan Model Pertumbuhan dan Penyebaran

Spasial Populasi Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville, 1822) di Taman

Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Media Konservasi 13(1): 1 – 7.

Sokal RR, Rohlf FJ 1998. Biometry: the principles and practice of statistics in biological

research. 4th ed. New York, USA, W. H. Freeman and Company. 850 p. 65

Spaggiari J & de Garin-Wichatitsky M. 2006. Home range habitat use of introduced rusa deer

(Cervus timorensis russa) in a mosaic of savannah and native sclerophyll forest of

Page 94: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

83

New Caledonia. New Zealand Journal of Zoology 33(3): 175 -183. DOI:

10.1080/03014223.2006.9518442

Tuckwell, C. 1998 Australian Deer Industry Manual, Part 3, Classification and Species

Selection. Barton, ACT

Welch D, Staines BW, Catt DC, Scott D, 1990. Habitat usage by Red (Cervus elaphus) and

Roe (Capreolus capreolus) deer in a Scottish sitka Spruce Plantation. Journal of

Zoologyi 221(3): 453 – 476

Page 95: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

84

KAJIAN MORFOLOGI, MORFOMETRI, DAN STATUS KONSERVASI

HIU DI SUMATERA BAGIAN UTARA

THE STUDY OF MORFHOLOGY, MORFHOMETRY

AND CONSERVATION STATUS OF SHARK

IN NORTH AREA OF SUMATERA

Puput Rahayu dan Mufti Sudibyo

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahua Alam Universitas Negeri MedanJl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate

Kode Pos 20221 Telp.(061) 6625970

email: [email protected]

Abstract

This objectiveof this research is to analyzed the morphology, morphometry and conservation

status of shark in the North area of Sumatera. The sample was taken from the Central Fish

Market that located on Jln. Cemara Sampali Medan. There was found 7 samples of shark,

where 4 of them were analyzed using multiple regression by stepwise method. The parameter

that be measured was the body length against the total length. The result showed that based

on morphology, there was found Sphyrna lewini, Squalus megalops, Carcharinus

melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium punctatum,Triaenodon obesus, dan

Hemigaleus microstoma. Based on morphometry, the body length that contributing in the

total length was the length of pectoral fin (r = 0,999), pre pelvic length (r = 0,998) and fork

length ( r = 0,991). The conservation status based on Red list IUCN 2010, showed that

Carcharinus melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium punctatum,

Triaenodon obesus was near threatened (NT), Squalus megalops was date deficient

(DD),Hemigaleus microstomawas vulnerable (VU) and Sphyrna lewini was endangered

(EN).

Keyword : Morphology of shark, morphometry of shark, conservation status of shark.

PEDAHULUAN

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memanfaatkan sumber daya ikan

bertulang rawan (hiu) terbesar di dunia. dengan dugaan hasil tangkapan sebesar 105,000 ton

pada tahun 2002 dan 118,000 ton pada tahun 2003 (White et al., 2006). Beberapa alat

tangkap yang digunakan antara lain adalah jaring insang apung (drift gill net), rawai

permukaan (surface longline), rawai dasar (bottom longline) dan jaring hiu (dahulu dikenal

sebagai jaring trawl) (Fahmi dan Dharmadi, 2005). Meskipun Indonesia tercatat sebagai

negara dengan produksi perikanan hiu terbesar dan diyakini memiliki kekayaan jenis hiu

tertinggi di dunia, namun hampir tidak ada kajian atau pun publikasi mengenai aspek biologi

maupun komposisi jenis hiu dari negara ini. Pengetahuan mengenai pengenalan jenis hiu

yang ada di Indonesia amatlah dibutuhkan seiring dengan tingkat pemanfaatan yang amat

tinggi terhadap populasi jenis ini, serta untuk memperoleh data yang akurat dalam penentuan

kebijakan terhadap pengelolaan sumber daya tersebut (White et al., 2006). Hiu hidup di

lautan tropis maupun subtropis. Hiu hidup di perairan yang sangat bervariasi salinitasnya, di

laut dekat pantai dan laut lepas (Mahiswara dan Agustinus, 2007).

Page 96: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

85

Penangkapan ikan berlebihan dan degradasi habitat menyebabkan populasi hewan laut

sangat berubah (Lotze et al, 2006), terutama hiu dan pari (Dudley dan Simpfendorfer 2006),

yang menjadi permasalahan apakah penurunan populasi spesies terdistribusi secara global

yang bersifat reversibel secara lokal atau memang merupakan gejala erosi ketahanan dan

akumulasi kronis risiko kepunahan spesies laut secara global (Jackson, 2010). Identifikasi

secara umum berdasarkan kriteria International Union for Conservation of Nature (IUCN)

pada sejarah kehidupan dan ekologi spesies (famili taksonomi) yang membuat hewan laut

rentan terhadap kepunahan dan lokasi geografis dengan jumlah spesies yang besar yang

membutuhkan perhatian konservasi yang tinggi (Dulvy et al., 2014).

Beberapa jenis hiu di Indonesia juga sudah masuk dalam daftar appendix CITES

(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

CITES pada bulan maret 2013 telah memasukan empat spesies hiu ke dalam daftar Appendik

II CITES yaitu : Carcharhinus Longimanus (hiu koboy atau Oceanic WHitetip), Sphyrna

Lewini (Hammerhead shark), Sphyrna mokarran (Great hammerhead shark) dan

SphyrnaZygaena (smooth hammerhead shark). Kemudian pada 24 april 2013 CITES kembali

mengeluarkan daftar 12 jenis hiu yang masuk dalam appendix I, II dan III, yaitu sebagai

appendix I meliputi enam jenis Pristidae spp (Sawfishes). Appendix II meliputi: (1) Pristidae

microdon (Sawfish); (2) Cetorhinus maximum (Basking shark); (3) Cachodon carcharias

(Great white shark) dan (4) Rhincodon typus (whale shark). Appendix III meliputi: Sphyrna

Lewini (Hammerhead shark) di Kosta Rika dan Lamma nasus (Porbeagle) di beberapa negara

Eropa (Anonim, 2015).

Sampai saat ini jenis Hiu apa saja yang sering ditangkap dan dikonsumsi terutama yang

penangkapannya berasal dari Sumatera bagian Utara dan apakah Hiu yang tertangkap

tersebut berstatus dilindungi atau tidak belum ada data. Oleh karena itu penelitian ini

mengkaji temuan Hiu yang sering tertangkap yang dilakukan pengukuran dan disesuaikan

dengan status konservasinya pada IUCN tahun 2010.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel dilakukan di Pusat pasar ikan Sumatera Utara di Jl. Cemara pada

bulan Desember 2015 – Bulan Februari 2016. Sampel Hiu adalah semua jenis yang

ditemukan di pusat pasar. Alat yang digunakan kamera 16,2 mega pixel, pita meter dan alas

foto berskala Hiu yang didapatkan diidentifikasi dan dilakuan pengukuran menurut Rahmat

(2011) dan Ahmad dan Lim (2012) seperti tertera pada gambar di bawah ini. Status

konservasi Hiu dilakukan berdasarkan kajian pustaka, Hiu yang ditemukan di diselaraskan

dengan daftar red list IUCN 2010.

Gambar 1. Teknik morfometri pada Hiu (Ahmad and Lim 2012)

Page 97: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

86

Parameter utama dalam penelitian ini mencakup faktor dependen (Y) = panjang total,

dan faktor independen yang meliputi X1 =Panjang standart/PCL (cm),X2= Panjang

sebelum sirip punggung pertama/PD1 (cm), X3= Panjang sebelum sirip punggung kedua/

PD2 (cm), X4= Panjang kepala/HL (cm), X5= Panjang sebelum kepala/PGI (cm), X6=Panjang

sebelum spirakel/PSP (cm), X7= Panjang sebelum orbital mata/POB (cm), X8= Jarak antara

sirip punggung pertama dan kedua/IDS (cm), X9= Jarak antara sirip dada dan sirip perut /PPS

(cm), X10= Panjang sebelum sirip perut/PPL (cm), X11= Panjang sirip perut (cm), X12=

Panjang preoral (cm),X13= Panjang moncong (cm), X14= Lebar mulut (cm), X15 = Panjang

sirip punggung pertama (cm), X16= Panjang sirip punggung kedua (cm), X17= Panjang sirip

dada (cm), X18= Panjang ekor (cm)

Analisis statistik menggunakan analisis regresi linear berganda dengan metode

Stepwise yang diolah dengan bantuan software IBM SPSS Statistics 20 mengikuti formulasi:

Y= b0 + b1X1+ b2X2+ b3X3+ b4X4+..........bqXq + ε

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Morfologi

Sampel yang ditemukan adalah Hiu martil ditemukan sejumlah 30 ekor, Hiu duri pasir

30 ekor, Hiu sirip hitam 30 ekor, Hiu tokek 30 ekor, Hiu cicak insang putih 5 ekor, Hiu sirip

putih 5 ekor, dan Hiu bintik putih 5 ekor. Berdasarkan identifikasi morfologi pada hiu martil

memiliki bentuk kepala melebar kesamping, Hiu duri pasir pada sirip punggung pertama dan

kedua memiliki duri, pada hiu sirip hitam di setiap ujung siripnya berwarna hitam, pada hiu

tokek di seluruh tubuhnya di penuhi bintik-bintik berwarna abu-abu muda dan putih, pada hiu

cicak insang putih kedua sirip punggung hampir sama besar, pada hiu sirip putih di bagian

ujung sirip punggung pertama dan sirip ekor berwarna putih, dan pada hiu bintik putih

terdapat beberapa tumpukan kecil berwarna putih pada badan. Berdasarkan identifikasi

menggunakan acuan Ahmad dan Lim (2012) Hiu yang ditemukan adalah Sphyrna lewini,

Squalus megalops, Carcharinus melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium

punctatum,Triaenodon obesus, dan Hemigaleus microstoma. Secara umum Hiu yang

ditemukan tidak memiliki ciri spesifik dari Hiu yang telah diberi nama sebelumnya, dengan

demikian belum memungkinkan adanya nama subspecies. Gambar hiu yang di temukan di

Pusat pasar ikan Sumatera Utara tertera pada Gambar 2 dibawah ini.

Page 98: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

87

Gambar 2. Hiu yang ditemukan di Pusat pasar ikan Sumatera Utara

Karakteristik Morfometri

Menurut Enjah Rahmat (2011) morfometrik merupakan salah satu cara untuk

mendeskripsikan jenis ikan dan menentukan unit stok pada suatu perairan dengan

berdasarkan atas perbedaan morfologi spesies yang diamati. Pengukuran morfometrik dapat

dilakukan antara lain panjang total, panjang standar, panjang ekor atau panjang sirip

punggung. Morfometri terhadap 21 parameter terukur pada Hiu yang ditemukan tertera pada

Tabel 1 di bawah ini.

Page 99: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

88

Tabel 1. Morfometri terhadap jenis Hiu yang ditemukan di Pusat Pasar ikan Sumatera Utara

No. Morfometri Jenis Hiu

Sphyrna lewini Squalus

megalops

Carcharinus

melanopterus

Atelomycterus

marmoratus

1. PT (cm) 65,9 ± 10,5 58,5 ± 9,7 54,1 ± 10,0 56,8 ± 4,1

2. FL (cm) 46,6 ± 6,6 48,1 ± 8,9 44,3 ± 9,0 -

3. PCL (cm) 41,5 ± 6,4 44,1 ± 8,3 38,7 ± 7,5 44,7 ± 2,4

4. PD1 (cm) 18,3 ± 2,1 18,8 ± 4,1 16,6 ± 2,8 25,0 ± 1,6

5. PD2(cm) 36,9 ± 5,2 37,5 ± 5,5 32,4 ± 6,0 37,7 ± 2,3

6. HL (cm) 14,7 ± 1,5 12,6 ± 1,1 11,9 ± 2,0 10,7 ± 0,6

7. PGI(cm) 10,6 ± 1,5 9,3 ± 0,6 9,1 ± 1,7 7,6 ± 0,7

8. PSP(cm) - 6,0 ± 0,9 - 5,2 ± 0,4

9. POB(cm) 2,0 ± 0,4 2,8 ± 0,4 3,9 ± 0,5 3,2 ± 0,2

10. IDS(cm) 14,5 ± 2,1 18,6 ± 3,2 14,0 ± 2,3 11,0 ± 0,7

11. PPS (cm) 12,8 ± 2,1 14,4 ± 1,9 13,3 ± 2,5 11,0 ± 1,0

12. PPL(cm) 27,9 ± 3,3 29,3 ± 4,8 26,0 ± 4,8 23,3 ± 1,1

13. PSP (cm) 3,7 ± 0,5 3,7 ± 0,5 3,2 ± 0,8 3,7 ± 0,6

14. PP (cm) 4,4 ± 0,4 3,9 ± 0,8 3,6 ± 0,4 2,3 ± 0,2

15. PM (cm) 4,8 ± 0,8 4,5 ± 0,6 4,4 ± 1,1 4,2 ± 0,1

16. LM (cm) 0,4 ± 0,1 0,5 ± 0,0 0,3 ± 0,1 0,4 ± 0,1

17. PSPP (cm) 8,9 ± 1,7 5,8 ± 1,1 7,4 ± 1,3 6,1 ± 0,5

18. PSPK (cm) 2,4 ± 0,4 4,4 ± 1,1 3,3 ± 0,6 5,8 ± 0,6

19. PSD (cm) 7,9 ± 1,2 7,8 ± 1,8 9,1 ± 1,4 5,6 ± 0,4

20. PE (cm) 19,0 ± 2,6 13,0 ± 3,2 13,9 ± 2,6 9,7 ± 0,6

21. PSE(cm) 7,3 ± 1,3 6,3 ± 1,8 5,6 ± 1,2 -

Analisis regresi berganda menggunakan metode stepwise yang dilakukan terhadap

empat jenis hiu yang memenuhi syarat dalam analisis statistik memiliki karakteristik yang

berbeda-beda berdasarkan kontribusinya terhadap panjang total. Pada Hiu Martil terdapat tiga

faktor independen yang berkontribusi terhadap panjang total yakni PGI 92%, PD2 97% dan

PSE 97,7%. Pada Hiu duri pasir yang berkontribusi terhadap panjang total adalah FL 92%,

PPL 98%, PPL 98%, PSD 98% dan PPS 99%. Pada Hiu sirip hitam FL 98,3%, PPL 99,6%,

dan PSD adalah 99%. Pada Hiu tokek PD2 89%, PP 93%, dan PSP 95%. Persamaan regresi

berdasarkan analisis tertera di dalam tabel 2. Dibawah ini.

Tabel 2. Persamaan regresi berdasarkan metode Stepwise terhadap empat jenis Hiu yang

ditemukan di Sumatera Utara.

Jenis Hiu Persamaan regresi

Hiu Martil Y = 3,65 X6 + 0,62 X4 -1,82 X19– 8,99

Hiu Duri Pasir Y= 0,67 X1 + 0,74 X11 + 0,38 X19 – 0,89 X18 + 0,71 X10 – 3,36

Hiu Sirip Hitam Y= 0,80 X1 + 1,05 X10 – 1,48 X17 + 4,65

Hiu Tokek Y = 1,40 X3 + 9,25 X12 – 2,02 X11 -9, 63

Sebaran dan Konservasi

Di dalam daftar merah (red list) IUCN, terdapat beberapa status yang diberikan

terhadap jenis-jenis ikan sesuai dengan kondisi sumberdayanya di dunia ataupun di negara-

negara tertentu yang memberikan status tersebut. Beberapa status konservasi ikan dalam red

list tersebut, disesuaikan dengan kategori sebagai berikut (IUCN-SSC 2001):

1. Punah (Extinct, EX)

Kategori ini diberikan kepada jenis yang telah benar-benar tidak ada lagi di dunia. Jenis

yang dikatakan punah didasarkan pada tidak ditemukannya jenis tersebut di habitatnya,

Page 100: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

89

berdasarkan hasil penelitian yang menyeluruh dan cukup lama pada habitat yang diduga

menjadi tempat hidup jenis tersebut.

2. Punah di alam (Extinct in the wild, EW)

Kategori ini diberikan pada jenis yang tidak ditemukan lagi di alam bebas, tapi masih

ditemukan di tempat penangkaran ataupun lokasi-lokasi yang sudah dilindungi, seperti

cagar alam, suaka margasatwa dan sebagainya.

3. Sangat terancam (Critically endangered, CR)

Kategori ini diberikan kepada jenis yang diyakini mendekati kepunahan di alam.

4. Terancam (Endangered, EN)

Jenis ini diyakini memiliki resiko kepunahan di alam yang sangat tinggi.

5. Rawan (Vulnerable,VU)

Kategori ini diberikan kepada jenis ini dikhawatirkan memiliki resiko tinggi terhadap

kepunahan di alam.

6. Hampir terancam (Near threatened, NT)

Kategori ini diberikan kepada jenis yang diyakini akan terancam keberadaannya di masa

mendatang, apabila tidak ada usaha pengelolaan terhadap jenis tersebut.

7. Tidak mengkhawatirkan (Least concern, LC)

Kategori ini diberikan kepada jenis-jenis yang tidak termasuk ke dalam kriteria di atasnya.

Umumnya diberikan kepada jenis-jenis yang mempunyai sebaran yang luas dan

kelimpahan yang tinggi.

8. Minim informasi (Data deficient, DD)

Kriteria ini diberikan kepada jenis yang belum mempunyai informasi dan data-data yang

cukup untuk bisa dimasukkan dalam kriteria terancam. Untuk itu, masih memerlukan

penelitian yang lebih lanjut, baik mengenai kelimpahan maupun sebarannya.

9. Belum dievaluasi (Not evaluated, NE)

Diberikan pada jenis-jenis yang belum dievaluasi untuk ditentukan kriterianya.

Berdasarkan acuan Fahmi dan Dharmadi (2005) hiu yang diambil dari pusat pasar

Sumatera bagian Utara status dan sebaran dari 7 hiu yang ditemukan tertera di tabel 3. Di

bawah ini

Tabel 3. Status dan sebaran Hiu yang ditemukan di Pusat Pasar ikan Sumatera Utara

No Nama Hiu Sebaran Status Konservasi

1. Hiu martil Di seluruh perairan tropis dan subtropis yang

bersuhu hangat

Red List IUCN 2010:

Terancam (EN)

2. Hiu duri pasir Di perairan kepulauan Indonesia-Malaya,

perairan hangat subtropis dan tropis di

Australia

Red List IUCN 2010: Minim

informasi (DD)

3. Hiu sirip hitam Di daerah tropis lautan Hindia, Sentral

Pasifik bagian barat dan bagian timur laut

Mediterania

Red List IUCN 2010: Hampir

Terancam (NT)

4. Hiu tokek Di perairan Indonesia-Pasifik Barat dari

Pakistan hingga Papua Nugini dan Selatan

cina

Red List IUCN 2010 :

Hampir Terancam (NT)

5. Hiu cicak

insang putih

Di perairan Indonesia sampai Pasifik Barat Red List IUCN 2010:

Hampir Terancam (NT)

6. Hiu sirip putih Diseluruh perairan Indonesia sampai Pasifik Red List IUCN 2010: Hampir

Terancam (NT)

7. Hiu bintik putih diseluruh perairan tropis Indo–Pasifik Barat,

tidak dijumpai di utara Australia

Red List IUCN 2010: Rawan

(VU)

Page 101: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

90

KESIMPULAN 1. Hiu yang ditemukan di perairan Sumatera bagian utara adalah Sphyrna lewini, Squalus

megalops, Carcharhinus melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium punctatum, Triaenodon obesus dan Hemigaleus microstoma.

2. Faktor morfometri yang paling berpengaruh terhadap panjang total pada jenis Hiu martil yakni PGI 92%, PD2 97% dan PSE 97,7%. Pada Hiu duri pasir yang FL 92%, PPL 98%, PSD 98%, PSD 98% dan PPS 99%. Pada Hiu sirip hitam FL 98%, PPL 99%, dan PSD adalah 99%. Pada Hiu tokek PD2 89%, PP 93%, dan PSP 95%.

3. Status konservasi hiu di Sumatera bagian Utara Carcharinus melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium punctatum, Triaenodon obesus adalah hampir terancam (NT), Squalus megalops adalah minim informasi (DD), Hemigaleus microstoma adalah rawan (VU) dan Sphyrna lewini adalah terancam (EN).

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A., dan A.P.K. Lim., (2012), Field Guide to Shark of The Southeast Asian Region,Journal of Seafdec/Merdmd/SP/18:16-20

Anonim, (2015), Hiu dan Usaha Konservasi, (file://c:/users/win 7/download/tulisan hiu dan konservasi.pdf.

Dharmadi dan Fahmi, (2005), Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya,JurnalOseana30 (1): 1-8.

Dudley, S. F. J. and C. A. Simpfendorfer, (2006), Population status of 14 shark spesies caught in the protective gillnets off KwaZulu-Natal beaches, South Africa, 1978-2003, Marine and Freshwater Research, 57. 225-240.

Dulvy, K. N., S.L. Flowler, J.A. Musick, R.D.Cavanagh, P. M. kyne, L.R. Harrison, J. K. Carlson (2014), Extinction Risk and Conservation of the World's Sharks and Rays." eLife.

Hoffmann et al., (2010), The Impact of Conservation on the Status of the World's Vertebrates. Science, 330 :1503-1509.

Jackson J.B.C., (2010), The Future of the Oceans Past. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 365:3765-3778.

Lotze H.K., H.S. Lenihan, B.J. Bourque, R.H. Bradbury, R.G. Cooke, M.C. Kay, S.M. Kidwell, M.X. Kirby, C.H. Peterson, and J.B.C. Jackson, (2006), Depletion, Degradation, and Recovery Potential of Estuaries and Coastal Seas, Science, 312:1806-1809.

Mahiswara, dan Agustinus, A, W, (2007), Sumberdaya Ikan Cucut (Hiu) yang Tertangkap Nelayan di Perairan Laut Jawa, Jurnal Iktiologi Indonesia7 (1):15.

Rahmat, E., (2011), Teknik Pengukuran Morfometrik pada Ikan Cucut diPerairan Samudera Hindia, JurnalBTL9 (2): 2-3.

Patterson H.M and M. J. Tudman, (2009), Chondrichthyan Guide for Fisheries Managers. A practical guide for mitigating chondrichthyan bycatch.Bureau of Rural Sciences and Australian Fisheries Management Authority, Canberra ACT

Sri, J., dan Kasijan, R., (2009), Biologi Laut, Djambatan, Jakarta.

Sudjana, (1992), Teknik Analisis Regresi dan Korelasi, Tarsito, Bandung.

White, W.T, P. R. Last, J. D. Stevens, G. K. Yearsley, Fahmi, Dharmadi, (2006), Economically Important Shark and Rays Indonesia (Hiu dan Pari Yang bemilai Ekonomi penting Indonesia). CSIRO, Murdoch University, Aciar. Lamb Print, Perth.1 pp

Page 102: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

91

PERILAKU PEMBENTUKAN PASANGAN BURUNG KUNTUL

KERBAU (Bubulcus ibis L.) DI KAWASAN HUTAN MANGROVE

DESA TANJUNG REJO, KECAMATAN PERCUT SEI TUAN,

KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA

BEHAVIOR PAIR FORMATION BUFFALO EGRETS (Bubulcus ibisL.)

IN THE MANGROVE FOREST, TANJUNG REJO VILLAGE, DISTRIC

PERCUT SEI TUAN, DELI SERDANG, NORTH SUMATRA.

Ristia Diani1, Erni Jumilawaty

2

1Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara

2 Staf Pengajar Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara

Jl. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155

Email : [email protected]

Abstract

Bubulcus ibis is one of the birds that use nesting habitat at fish ponds area of Tanjung Rejo

by utilizing the wetlands in taking food. The ponds now are filled by fishing, so the existence

and breeding of this species become threaten. This research has been studied from March

until May 2015 using the Focal Animal Sampling. This research relevated that the behavior

of the formation couple has been with the inviting couple consisting of a stand while making

the sound beautiful, enforced plumae scapula and formed a fan, swung the body, opened one

of the wings, tugging primary feathers, straightened the neck and head, degraded the body

with bending the legs and swung the body with the starting position.

Keywords: Behavior, Bubulcus ibis, Tanjung Rejo, Mangrove

PENDAHULUAN

Desa Tanjung Rejo yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli

Serdang Provinsi Sumatera Utara, adalah salah satu desa yang letaknya berada di wilayah

pesisir pantai timur Sumatera. Luas wilayah Tanjung Rejo 310,50 Ha, dengan jumlah

penduduk 9.848 orang. Penduduk desa Tanjung Rejo rata-rata bekerja sebagai petani dan

nelayan. Desa Tanjung Rejo sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan pesisir dan laut,

yang memiliki potensi besar di bidang perikanan, pariwisata, kawasan hutan mangrove dan

sumberdaya alam lainnya (BPS Deli Serdang, 2014). Kawasan hutan mangrove dimanfaatkan

oleh burung air sebagai habitat dan berbagai aktivitas diantaranya perilaku harian.

Burung-burung yang melakukan aktivitas mengundang pasangan di Desa Tanjung

Rejo salah satunya adalah burung Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis). Saat musim berbiak tiba

yang ditandai dengan musim panen ikan dan padi di Desa Tanjung Rejo, Bubulcus ibis sangat

mudah dibedakan dengan burung lainnya dengan melihat perubahan warna bulu. Perubahan

warna bulu diawali dengan perubahan bulu pada bagian kepala, leher, dada dan punggung

burung tersebut. Ayat (2011) menyatakan saat berbiak, warna putih pada bagian kepala,

leher, dada dan punggung menjadi jingga pupus sedangkan pada kaki menjadi merah terang.

Lahan basah Desa Tanjung Rejo sangat berperan penting dalam masa berbiak burung

Bubulcus ibis sebagai habitat, tempat berlindung, tempat membesarkan anakan dan berbiak

burung tersebut. Pada saat ini sebagian lahan basah di Desa Tanjung Rejo digunakan sebagai

tempat pemancingan massal setiap hari libur dan hari besar. Keadaan ini secara langsung

Page 103: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

92

akan mengganggu aktivitas perilaku harian burung-burung di Desa Tanjung Rejo, salah

satunya perilaku pembentukan pasangan saat berbiak.

Status konservasi burung Bubulcus ibis adalah Least concern dan habitat burung

Bubulcus ibis di Desa Tanjung Rejo telah terganggu karena lahan yang berkurang akibat

dijadikannya tempat pemancingan umum. Untuk mengetahui perilaku pembentukan pasangan

di kawasan tambak Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli

Serdang, Sumatera Utara maka dilakukan penelitian bagaimana perilaku pembentukan

pasangan burung Bubulcus ibis saat musim berbiak tiba.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku pembentukan pasangan di

kawasan hutan mangrove Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli

Serdang, Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2015 di Kawasan Hutan Mangrove Desa

Tanjung Rejo Sumatera Utara. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera

semi SLR, handycam, tallysheet, jam tangan, papan ujian dan alat tulis. Metode yang

digunakan dalam penelitian adalah metode Focal Animal Sampling. Penentuan burung

Bubulcus ibis dilakukan secara acak pada lokasi penelitian dengan mengambil 5 sampel

pasangan burung Bubulcus ibis yang sedang berbiak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perilaku pembentukan pasangan burung

kuntul terdiri dari perilaku mengundang pasangan.

1. Perilaku Mengundang Pasangan

Perilaku mengundang pasangan oleh burung Bubulcus ibis jantan terjadi di ranting-

ranting pohon Rhizopora apiculata ataupun ranting-ranting semak di kawasan mangrove

seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Burung Bubulcus ibis yang sedang melakukan pengundangan pasangan di

Kawasan Hutan Mangrove Desa Tanjung Rejo.

Proses mengundang pasangan diawali dengan pembuatan sarang setengah jadi yang

dibuat oleh Bubulcus ibis jantan. Selanjutnya jantan akan mencari pasangan untuk kawin dan

meneruskan generasinya.

Proses mengundang pasangan oleh Bubulcus ibis jantan terjadi selama 5-10 menit.

Proses mengundang pasangan diawali dengan beberapa gerakan tertentu agar menarik

perhatian betina diantaranya yaitu berdiri tegak di dahan pohon dengan posisi tubuh tegak

menghadap betina kemudian mengeluarkan suara-suara indah seperti (koak-koak-koak)

dengan nada pendek dan terputus-putus kemudian disusul dengan mengepakkan bulu sayap

Page 104: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

93

sebanyak 6 kali. Setelah itu Bubulcus ibis melakukan goyangan kepala dengan cara

menggoyang-goyangkan kepala ke kanan dan ke kiri secara teratur sebanyak 10 kali. Setelah

itu Bubulcus ibis jantan memekarkan bulu indahnya seperti burung merak dengan menaikkan

bulu-bulunya yang diawali dengan bulu kepala kemudian disusul dengan bulu punggung dan

ekor.

Perilaku memekarkan bulu ini dilakukan dengan tujuan agar Bubulcus ibis betina

tertarik saat melihat Bubulcus ibis jantan. Bulu jantan yang sedang berbiak saat dimekarkan

tampak sangat indah dibandingkan bulu betina. Gerakan selanjutnya adalah jantan

merendahkan tubuh dengan setengah duduk kira-kira setengah dari tinggi tubuhnya dengan

tujuan menghormati dan menghargai Bubulcus ibis betina.

Hasil analisis deskriptif terhadap perilaku mengundang pasangan terdiri dari 1)

Mengeluarkan suara-suara indah 2) goyangan kepala yang dilakukan dengan cara

menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan ke kanan, 3) Menegakkan tubuh, 4)

Mengepakkan bulu sayap 5) Memekarkan bulu-bulu indah, 6) Merendahkan tubuh. Dari

pengamatan yang dilakukan perilaku yang paling dominan burung Bubulcus ibis adalah

Berdiri sambil mengeluarkan suara indah sekitar 25% atau 600 menit dalam sehari. Perilaku

yang paling rendah aktivitasnya yaitu Mengayunkan tubuh untuk kembali ke posisi semula

sekitar 10%. Mengeluarkan suara sering dilakukan Bubulcus ibis karena untuk menarik

perhatian burung betina. Persentase perilaku mengundang pasangan dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Persentase Perilaku Mengundang Pasangan

Keterangan:

A: Berdiri tegak sambil mengeluarkan suara indah

B:Menegakkan dan membentuk kipas dengan plumae scapulanya

C: Mengayunkan tubuh

D: Membuka salah satu sayapnya

E: Menelisik atau menarik-narik bulu primer

F: Leher dan kepala ditegakkan

G: Merendahkan tubuh dengan menekuk kaki

H:Mengayunkan tubuh untuk kembali ke posisi semula

Secara umum perilaku pengundangan pasangan semua jenis Kuntul hampersama

salah satunya perilaku pengundangan pasangan pada Bubulcus ibis. Menurut Rukmi (2002),

burung-burung jantan yang siap untuk berbiak akan menentukan teritori terlebih dahulu, yang

kemudian digunakan sebagai tempat atraksi (display). Jantan berdiri tegak, menegakkan dan

membentuk kipas dengan plumae scapularnya, kemudian mengayun-ayunkan tubuh.

Dilanjutkan dengan membuka salah satu sayap, menyentuh, menelisik atau menarik-narik

bulu sayap primer. Setelah itu biasanya diikuti dengan stretch display (leher dan kepala

ditegakkan) dengan gerakan menusuk vertikal, merendahkan tubuh dengan menekuk kaki

Page 105: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

94

tetapi leher dan kepala tetap vertikal, tubuh sedikit diayun untuk kemudian kembali ke posisi

semula. Adapun Bubulcus betina yang menolak dijadikan pasangan oleh Bubulcus jantan

karena Bubulcus betina tidak tertarik dengan ritual pengundangan pasangan yang dibuat oleh

Bubulcus jantan. Bubulcus betina yang menolak Bubulcus jantan akan pergi meninggalkan

jantan saat ritual pengundangan pasangan berlangsung setengah ritual.

Menurut Korlandt (1995) dalam Jumilawaty (2006), courtship (percumbuan) dan

pembentukan pasangan dimulai dengan mempertunjukkan gerakan–gerakan mengundang

pasangannya oleh jantan berupa gerakan sayap yang teratur (wing-waving). Selanjutnya

betina akan memilih untuk menerima atau menolak jantan berdasarkan tarian yang

dipertunjukannya, karena setiap gerakan yang ditunjukkan oleh jantan memiliki arti khusus

yang dimengerti dan dikenal oleh betina.

Bubulcus jantan yang sudah menemukan pasangan akan membawa pasangannya ke

sarang setengah jadi yang dibuat oleh dirinya sebelum mengundang pasangan untuk

meneruskan pembuatan sarang sampai jadi. Proses pembangunan sarang dilakukan seperti

pada Gambar 3.

Gambar 3. Sepasang Bubulcus ibis yang sedang meneruskan membangun sarang setengah

jadi di Kawasan Hutan Mangrove Desa Tanjung Rejo.

Menurut Hoyo et al., 1992 dalam Jumilawaty (2004), jantan akan mencari tempat

yang sesuai untuk membangun sarang yang akan digunakan selama musim berbiak dan akan

melakukan display untuk mengundang pasangannya.

Menurut Rukmi (2002), pasangan yang terbentuk membutuhkan sarang untuk

meletakkan telurnya. Kedua individu (pasangan) sama-sama berada di tempat sarang akan

dibangun. Diasumsikan bahwa jantanlah yang mencari bahan sarang dan mengoperkannya

pada betina dari paruh ke paruh. Setelah itu jantan akan pergi lagi, terkadang setelah berdiri

beberapa saat. Bahan sarang biasa berupa ranting yang segar (baru dipatahkan) maupun

ranting dari sarang lain yang ditinggalkan. Dalam satu hari jantan biasa pulang-pergi

beberapa kali. Terkadang betina juga mencari bahan sarang sendiri yang terletak tidak jauh

dari sarang.

KESIMPULAN

Perilaku mengundang pasangan burung Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis) terdiri dari;

1. Mengeluarkan suara-suara indah, Goyangan kepala yang dilakukan dengan cara

menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan ke kanan,Menegakkan tubuh,Mengepakkan

bulu sayap,Memekarkan bulu-bulu indah,Merendahkan tubuh.

2. Perilakuyang paling dominan burung Bubulcus ibis adalah berdiri sambil mengeluarkan

suara indah sekitar 25% atau 600 menit dalam sehari. Perilaku yang paling rendah

aktivitasnya yaitu Mengayunkan tubuh untuk kembali ke posisi semula sekitar 10%.

Page 106: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

95

UCAPAN TERIMA KASIH

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dalam

memberi dana Penelitian Hibah Fundamental 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Ayat, A. 2011. Burung-burung Agroforest di Sumatera. In: Mardiastuti A, eds. Bogor,

Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 112 p.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Daerah Deli Serdang.

Jumilawaty, E. 2004. Karakteristik Perkembangan Dan Kurva Pertumbuhan Anakan Pecuk

Hitam (Phalacrocoras sulcirostris) dan Pecuk Kecil (Phalacrocoras niger) Di Suaka

Margasatwa Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Jurnal Komunikasi Penelitian 16 (5).

Jumilawaty, E. 2006. Perilaku Harian Pecuk Hitam (Phalacrocoras sulcirostris) Saat Musim

Berbiak Di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Jakarta. Jurnal Biologi Sumatera. 1 (1).

FMIPA USU Medan.

Mardiastuti, A. 1999. Habitat and Nest-Site Characteristic of Waterbirds in Pulau Rambut

Nature Reserve, Jakarta Bay, Indonesia. [Disertasi]. Michigan State University:

Amerika Serikat.

Rukmi, D. S. 2002. Perilaku dan kompetisi Interspesifik Kuntul Besar (Egretta alba Linnaeus

1766) dan Cangak Merah (Ardea purpurea Linnaeus 1766) di Suaka Margasatwa

Pulau Rambut Jakarta. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Page 107: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

96

HUBUNGAN ANTARA KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS

DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIAWI AIR SUNGAI EMPAYANG

KASAP-SUKAJADI-KABUPATEN LAHAT

RELATIONSHIP BETWEEN DIVERSITY MACROZOOBENTHOS

WITH PARAMETERS EMPAYANG KASAP RIVER WATER

CHEMICAL PHYSICS SUKAJADI LAHAT

Saleh Hidayat, Susi Dewiyeti, Desven Hecca

Program Studi Pendidikan Biologi

FKIP Universitas Muhammadiyah Palembang Telp. (0711-513) (+0620711513022)

e-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]

Abstract

Empayang Kasap river has an important role in the life of local communities. People used

the river for the needs of everyday life, but accidentally or not, they who did various activities

of the river utilization could have an impact for water quality degradation. The river that had

a constituent component, namely biotic and abiotic that formed a river ecosystem. If there

were a decrease of water quality, then the ecosystem would be disturbed, one of biotic

component was macrozoobenthos. Macrozoobenthos was organism that existence was

depend on evironmental factors. The research was aimed: Knowing the relationship between

the diversity of macrozoobenthos with physical and chemical parameter of water in the river

Empayang Kasap Sukajadi Lahat. Research method: research design was done by using

Experiment design with descriptive method (Quantitative and Qualitative) through taking

sample technique was survey and observation. The conclusion of this research: (1) Based on

the research result was found three classes namely: Gastropods, Crustaceans, Insecta with

15 species and 455 individuals; (2) Diversity in the river had a diversity index was on

medium average, with the relationship between diversity macrozoobenthos toward the

parameters physical and chemical of the river had strong correlation to the width of the river

and BOD, then the relationship beetween diversity macrozoobenthos with brightness,

temperature, and substrate (C-organic) had a strong correlation, then the relationship of

diversity with speed, depth, pH, DO and COD had enough correlation. Very weak correlation

was on the relationship between diversity macrozoobenthos with ammonia and phosphate;

(3) Diversity, uniformity, dominance and distribution of macrozoobenthos in the Empayang

Kasap Sukajadi river influenced by physical and chemical parameters of the river.

Keywords: Diversity, Macrozoobenthos, Empayang Kasap river

PENDAHULUAN

Sungai Empayang Kasap merupakan salah satu anak Sungai Kikim. Sungai ini

terletak di Desa Sukajadi Kecamatan Pseksu Kabupaten Lahat. Sungai Empayang Kasap

memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat setempat: seperti keperluan rumah

tangga, pertanian, perkebunan, perikanan, dan industri. Masyarakat yang secara terus

menerus melakukan kegiatan tersebut tanpa melihat dampak yang terjadi pada lingkungan

perairan. Apabila sungai telah mengalami penurunan kualitas air maka ekosistem suatu

sungai dapat terganggu (Maruru, 2012).

Page 108: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

97

Sungai yang memiliki komponen biotik dan abiotik sehingga membentuk suatu

ekosistem, dapat terganggu bila salah satu di antara komponen tidak stabil. Salah satu

komponen biotik sungai yaitu makrozoobentos yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh

kondisi fisik dan kimia sungai. Makrozoobentos adalah hewan yang bisa hidup di dasar

perairan dan menempel pada dasar substrat sungai yang berupa batu, pasir, dan lumpur.

Lingkungan tempat tinggal mereka menentukan jumlah, keberadaan, kehadiran dan

keanekaragaman makrozoobentos yang sesuai dengan kondisi suatu perairan sungai (Lubis,

2013).

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, peneliti bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara keanekaragaman makrozoobentos dengan parameter fisika kimiawi air

Sungai Empayang Kasap Sukajadi Kabupaten Lahat. Manfaat dari penelitian ini untuk

memberikan informasi mengenai hubungan keanekaragaman makrozoobentos dengan

kondisi lingkungan serta melihat gambaran keadaan kondisi Sungai Empayang Kasap

Sukajadi.

BAHAN DAN METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif melalui survei dan

observasi. Penentuan lokasi sampling menggunakan metode purposive random sampling

pada 5 stasiun dengan 3 substasiun pengambilan sampel. Penelitian dilakukan pada bulan

Oktober—November 2015, di Sungai Empayang Kasap Sukajadi, Lahat. Identifikasi

makrozoobentos dilakukan di laboratorium FKIP Biologi Universitas Muhammadiyah

Palembang dan analisis kimia air dilakukan di laboratorium Badan Lingkungan Hidup (BLH)

Provinsi Sumatera Selatan. Alat yang digunakan: termometer, keping Secchi, galah panjang,

botol plastik, benang nilon, bola pimpong, kertas label, tali rapia, baki, icebox, stopwatch,

tisu, ember, gayung, sekop, tanggok, jaring, pinset, jarum pentol, kertas karton putih, sarung

tangan, kantong plastik, selotif, gunting, kamera, dan alat tulis. Bahan yang digunakan:

formalin, alkohol 70%, akuades.

Sampel makrozoobentos diambil dengan menggunakan alat buatan peneliti yang

dimodifikasi sendiri, serta menggunakan sekop dan saringan. Pengambilan sampel dengan

alat modifikasi dibantu dengan sekop, kemudian disaring, lalu dipindahkan ke kantong

sampel berlabel, kemudian beri pengawet formalin berkonsentrasi 4%. Sampel dibawa ke

laboratorium untuk diidentifikasi.

Indeks Keanekaragaman

Odum (1971), menyatakan untuk melihat keanekaragaman jenis dapat ditentukan

dengan indeks Shannon-Wiener sebagai berikut:

Keterangan: H' adalah Indeks Diversitas Shannon-Wiener, S adalah jumlah spesies,

pi= ni/N adalah proporsi individu spesies i dalam komunitas. Nilai indeks Shannon-Wiener

mempunyai kisaran nilai tertentu yaitu: a) H' < 1 : Keanekaragaman rendah, b) 1 ≤ H' ≥ 3:

Keanekaragaman sedang, c) H' > 3: Keanekaragaman tinggi.

Indeks Keseragaman

Indeks keseragaman (Evenness Index) yang digunakan berdasarkan fungsi Shannon-

Wiener untuk mengetahui sebaran tiap jenis makrozoobentos dalam luasan area pengamatan

(Krebs, 1985 dalam Fitriana, 2005).

Page 109: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

98

Keterangan: E adalah indeks keseragaman, Hmax adalah keanekaragaman maksimum,

Hmax adalah ln S, S adalah jumlah spesies. Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0—1.

Nilai Indeks keseragamannya rendah, karena ada jenis yang mendominansi. Bila nilai

mendekati 1, maka keseragamannya tinggi dan menggambarkan tidak adanya jenis yang

mendominansi sehingga pembagian jumlah individu pada masing-masing jenis sangat

seragaman atau merata.

Indeks Dominansi

Menurut Odum (1971), dominansi pada setiap stasiun yang berbeda. Nilai Dominansi

pada setiap stasiun dapat ditentukan dengan indeks dominansi Simpson sebagai berikut:

Keterangan: C adalah Indeks Dominansi Simpson, ni adalah Jumlah individu setiap spesies,

N adalah Jumlah total individu. Kriteria dominansi sebagai berikut: 1) Jika nilai C mendekati

0 (< 0,5), maka tidak ada spesies yang mendominasi. 2) Jika nilai C mendekati 1 (≥ 0,5),

maka ada spesies yag mendominasi.

Indeks Pola Penyebaran

Pola distribusi dihitung dengan menggunakan rumus indeks Morista:

Keterangan: Id adalah Indeks Morista, ni adalah jumlah Individu tiap plot, n adalah jumlah

individu, N adalah banyak plot. Kriteria ketentuan sebagai berikut Id = 1 pola distribusi

adalah acak, Id > pola distribusi adalah mengelompok, dan Id < pola distribusi adalah teratur

(Poole, 1983 dalam Riyanto, 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 15 spesies makrozoobentos yang tergolong ke

dalam 3 kelas dengan jumlah total individu 455 individu dapat dilihat pada Gambar 1. Pada

stasiun II memiliki jumlah spesies yang paling tinggi dibandingkan dengan keempat stasiun

lainnya. Hasil penelitian yang sudah dilakukan perhitungan data keanekaragaman,

keseragaman, dominansi, dan pola penyebaran makrozoobentos dapat dilihat pada Tabel 1.

Hasil penelitian di Sungai Empayang Kasap Kabupaten Lahat teridentifikasi 15

spesies makrozoobentos yang tersebar pada lima stasiun penelitian, ke 15 spesies tersebut

terdiri dari 8 spesies dari kelas Gastropoda, 2 spesies dari Crustaceae, dan 5 spesies dari kelas

Insekta. Jumlah spesies yang paling banyak ditemukan dalam lokasi penelitian berada pada

daerah pemukiman masyarakat (stasiun II) dimana terdapat 130 individu dari 13 spesies

makroozoobentos dimana yang paling dominan adalah spesies Gerris remigis dengan jumlah

26 individu dan spesies yang paling sedikit yaitu spesies Macrobrachium resenbergii dan

spesies Parathelpusa convexa sebanyak 2 individu. Selanjutnya jumlah spesies sedikit

ditemukan pada lokasi terakhir pengambilan sampel daerah aktivitas pengerukan pasir dan

pembuangan limbah kopi (stasiun V) memiliki 8 spesies dengan jumlah 62, spesies dominan

Page 110: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

99

spesies Gerris remigis sebanyak 21 individu dan spesies paling sedikit ditemukan Pantala

flavescens dan Pomecea canaliculata dengan masing-masing 3 individu.

Gambar 1: Jumlah Total Individu Makrozobentos Setiap Stasiun Penelitian

Tabel 1: Distribusi Spesies, Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, Dominansi dan

Pola Penyebaran Makrozoobentos di Sungai Empayang Kasap Sukajadi Kabupaten

Lahat No

Taksa Jumlah Indivdu pada Stasiun

I II III IV V ∑

Kelas Gastropoda

1. Melanoides granifera 14 20 9 13 8 64

2. Elimia acuta 14 21 4 9 4 52

3. Brotia Tetudinaria 4 1 11 4 8 28

4. Lymnaea stagnalist 12 19 12 26 10 79

5. Lymnaea rubiginosa 1 15 4 11 5 40

6. Pomecea canaliculata 0 5 10 0 3 18

7. Pila polita 0 0 0 1 0 1

8. Menetus sp. 1 0 2 2 0 5

Kelas Crustaceae

9. Macrobrachium resenbergii 0 2 0 0 0 2

10. Parathelpusa convexa 0 2 0 0 0 2

Kelas Insecta

11. Gerris remigis 16 26 5 48 21 116

12. Rhyacophila dorsalis 4 4 0 1 0 9

13. Simlium damnosum 5 2 1 0 0 8

14. Chironomus plumosus 3 3 0 2 0 8

15. Pantala flavescens 4 10 2 4 3 23

∑ 82 130 60 121 62 455

∑ Spesies 11 13 10 11 8 15

H' (Indeks Keanekaragaman) 2,90 3,14 2,99 2,52 2,68 14,23

E (Keseragaman) 1,21 1,22 1,30 1,05 1,29 1,16

C (Dominansi) 0,13 0,13 0,14 0,23 0,19 0,14

Id (Pola Penyebaran) 1,30 1,26 1,40 2,21 1,79 1,10

Keterangan:

Stasiun I : Hulu Desa Sukajadi

Stasiun II : Sungai Lubuk Tama Pusat Pemukiman Warga

Stasiun III : Sungai Lubuk Panjang Hilir Desa Sukajadi

Stasiun IV : Sungai Lubuk Mekam Desa Talang Tinggi

Stasiun V : Jembatan Penyeberangan Desa Talang Tinggi dan Desa Batu Niding

Page 111: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

100

Berdasarkan Tabel 1 hasil penelitian yang telah dianalisis, diperoleh nilai indeks

keanekaragaman kelima stasiun antara (2,52—3,14) tergolong sedang dan tinggi dengan

stasiun II yang memiliki indeks keanekaragaman tertinggi. Keanekaragaman yang tinggi

menunjukkan penyebaran jumlah individu tiap jenis yang tinggi dan kestabilan juga tinggi.

Berdasarkan Tabel 2 hasil pengukuran faktor fisik-kimia Sungai Empayang Kasap pada

kelima stasiun tidak begitu berbeda. Pada kelima stasiun pengamatan, stasiun II yang

memiliki nilai indeks tertinggi (3,14) hal ini dikarenakan stasiun II memiliki kondisi atau

habitat hidup makrozoobentos yang lebih baik diantara stasiun lain. Sedangkan stasiun IV

yang memiliki nilai indeks keanekaragaman terendah (2,52). Rendahnya keanekaragaman

disebabkan oleh zona perairan yang menampung bahan pencemaran dari aktivitas sekitar

aliran sungai.

Pada Tabel 1 hasil penelitian indeks keseragaman (E) kelima stasiun memiliki indeks

keseragaman tinggi atau merata, sehingga tidak adanya spesies yang mendominasi. Indeks

keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun III (1,30) dan terendah ada stasiun IV (1,05).

Pada stasiun III indeks keseragamannya lebih tinggi dibandingkan stasiun I, II dan V namun

juga tetap terdapat jumlah masing-masing jenis yang sangat seragam atau merata, sehingga

tidak ada spesies yang mendominasi. Sedangkan pada stasiun IV jumlah masing-masing jenis

sangat seragam tetapi lebih rendah dibandingkan stasiun lain. Sedangkan nilai indeks

dominansi (C) dari kelima stasiun tidak mendekati 0 (0 < 5), maka tidak ada spesies yang

mendominasi dari seluruh stasiun atau bisa dikatakan nilai indeks dominansi rendah. Indeks

dominansi tertinggi terdapat pada stasiun IV dan terendah pada stasiun I dan II. Stasiun IV

memiliki indeks dominansi (0,23) tidak mendekati nilai 0 (< 0,5), maka tidak ada spesies

yang mendominasi namun nilainya lebih tinggi dari stasiun lain. Sedangkan stasiun I dan II

juga memiliki indeks dominansi sama (0,13), maka tidak ada juga spesies yang mendominasi

tetapi nilainya paling rendah dibandingkan stasiun lain. Sedangkan nilai indeks pola

penyebaran di lokasi penelitian memiliki nilai Id > 1, pola penyebaran di Sungai Empayang

Kasap Sukajadi termasuk mengelompok. Hal ini menandakan adanya penyebaran

sumberdaya untuk mendukung kehidupan makrozoobentos yang mengelompok pada lokasi-

lokasi pengamatan. Hasil penelitian kondisi lingkungan pada Sungai Empayang Kasap dapat

dilihat pada Tabel 2.

Hasil penelitian pada Tabel 2 di kelima stasiun tempat dilakukannya penelitian terlihat

bahwa yang banyak berpengaruh adalah kedalaman, kecerahan, panjang dan lebar sungai,

kecepatan arus, DO dan Fosfat. Sedangkan faktor yang kurang berpengaruh suhu, BOD,

COD, dan amonia. Hal ini karena berdasarkan pengukuran pada setiap stasiun memiliki nilai

yang relatif sama dan masih dalam ambang batas untuk kehidupan mahkluk hidup.

Secara umum setiap stasiun penelitian tidak memiliki kisaran suhu yang berbeda,

kisaran suhu yang terdapat pada semua stasiun penelitian merupakan kisaran yang mampu

untuk mendukung kehidupan makrozoobentos. Darojah (2005), mengatakan bahwa keadaan

suhu yang mempu untuk ditolerir oleh makrozoobentos dalam hidup dan kehidupannya

berkisar antara 25–310C, nilai kisaran ini mampu mendukung hidup yang layak dalam

ekosistem dimana mereka hidup.

Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman dan kecerahan stasiun penelitian di dalam

Tabel 2 diperoleh kisaran kedalaman stasiun I (32,34 cm), II (33,56 cm), III (21,22 cm), IV

(37 cm) dan V (31,78 cm), sedangkan untuk kisaran kecerahan stasiun I (23,11 cm), II (26,89

cm), III (17,89 cm), IV (33,56 cm) dan V (27,78 cm). Secara kisaran kedalaman dan

kecerahan tidak terlalu tinggi pada stasiun penelitian, habitat yang ditempati oleh

makrozoobentos sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan kecerahan suatu perairan. Menurut

Syamsulrizal (2011), kecerahan dipengaruhi oleh partikel tersuspensi di dalamnya, semakin

kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin tinggi. Penetrasi cahaya

suatu perairan akan semakin rendah apabila kedalamannya meningkat, sehingga cahaya yang

Page 112: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

101

dibutuhkan untuk fotosintesis oleh tumbuhan berkurang. Oleh sebab itu interaksi antara

faktor kekeruhan dengan kedalaman akan mempengaruhi cahaya yang masuk ke perairan,

sehingga berpengaruh langsung pada kecerahan yang selanjutnya mempengaruhi

pertumbuhan fauna makrozoobentos yang hidup didalamnya.

Tabel 2: Kondisi Lingkungan di Lima Stasiun Penelitian di Sungai Empayang Kasap

Sukajadi Kabupaten Lahat

Faktor Lingkungan

Pengambilan pada Stasiun ke- Kreteria Mutu Air

Berdasarkan Kelas II

(Pergub No. 16 Tahun

2005)

I II III IV V

Fisika

Kecepatan Arus (m/s) 0,33 0,29 0,37 0,27 0,39 -

Kedalaman (cm) 32,34 33,56 21,22 37 31,78 -

Kecerahan (cm) 23,11 26,89 17,89 36,67 27,77 -

Suhu (0C) 25,9 26,44 26,22 26,77 26,67 -

Panjang Sungai (m) 200 400 500 400 300 -

Lebar Sungai (m) 7,90 7,20 6,90 11,2 7,8 -

Kimia

pH (unit) 6,30 6,85 6,43 6,48 6,56 6-9

DO (mg/L) 6,04 6,10 6,27 6,27 6,25 6

BOD (mg/L) 1,54 1,53 1,57 1,87 1,52 2

COD (mg/L) 7,73 7,82 6,33 7,65 8,66 10

Amonia (mg/L) 0,007 0,004 0,012 0,007 0,133 0,5

Fosfat (mg/L) 1,1 0,6 0,37 0,47 0,27 0,2

Keterangan:

Stasiun I : Hulu Desa Sukajadi

Stasiun II : Sungai Lubuk Tama Pusat Pemukiman Warga

Stasiun III : Sungai Lubuk Panjang Hilir Desa Sukajadi

Stasiun IV : Sungai Lubuk Mekam Desa Talang Tinggi

Stasiun V : Jembatan Penyeberangan Desa Talang Tinggi dan Desa Batu Niding

Hasil pengukuran kecepatan arus pada Tabel 2 berada pada kisaran 0,27–0,39 m/s

pada 5 lokasi penelitian. Pada kelima stasiun penelitian, kecepatan arus deras yaitu pada

stasiun V (0,39 m/det) dan kecepatan arus lambat pada stasiun IV (0,27). Menurut Juju

(2012), arus tergantung pada alur sungai, lokasi arus tercepat dapat berada di tengah atau

pinggiran sungai. Pada arus sungai lurus, arus tercepat berada pada tengah sungai. Sedangkan

menurut Apriyani (2010), arus merupakan faktor pembatas utama pada aliran deras, tetapi

dasar yang keras terutama bila terdiri dari batu, dapat menyediakan perubahan yang cocok

untuk organisme (flora dan fauna) menempel dan melekat serta membedakan antara perairan

tergenang dan perairan mengalir. Kecepatan arus sangat berpengaruh pada substrat dasar

tempat habitat makrozoobentos, apabila substrat dalam bentuk pasir dapat menyebabkan

makrozoobentos bergeser dan bergerak terbawa arus air ke tempat yang lain.

Kisaran pH dari hasil pengukuran pada Tabel 2 yaitu 6,30 – 6,85 untuk semua lokasi

penelitian. Darojah (2005), menyatakan bahwa dalam kondisi pH yang masih di bawah

ambang batas tersebut masih merupakan rentang pH yang dapat ditoleransi oleh

kelangsungan hidup makrozoobentos yaitu data rentang 4,5–8,5. Keadaan suatu perairan

dengan pH yang di luar batas ambang toleransi dapat menyebabkan menurunnya daya tahan

tubuh makrozoobentos, sehingga dapat terjadi tekanan/stres pada makrozoobentos.

Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 2 kisaran BOD 1,52–1,87 mg/l masih

dalam batas kisaran toleransi (< 2) dalam kriteria baku mutu air kelas II Pergub no. 16 tahun

2005. Menurut Hidayat (2011), BOD adalah kebutuhan oksigen biokimia yang menunjukkan

Page 113: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

102

jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi oksidasi oleh bakteri. Sehingga makin banyak

bahan organik dalam air, makin besar BOD-nya sedangkan DO akan semakin rendah.

Hasil pengukuran COD terdapat pada kisaran 6,33–8,66 mg/l. Keadaan perairan

dengan kandungan COD harus di bawah nilai 10 sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas II

Pergub no. 16 tahun 2005. Kandungan COD kelima stasiun penelitian masih di bawah nilai

10, jadi kondisinya masih di bawah ambang batas. Menurut Juju (2012), besarnya nilai COD

mengindikasikan banyaknya senyawa kimiawi yang ada di dalam perairan dan sebaliknya

rendahnya nilai COD mengindikasikan rendahnya senyawa kimiawi yang ada di dalam

perairan.

Kondisi kisaran DO pada Tabel 2 yaitu 6,04–6,27 mg/l masih sesuai dengan nilai DO

= 6 pada kriteria baku mutu air kelas II Pergub no. 16 tahun 2005. Oksigen diperlukan oleh

semua makhluk yang hidup di air seperti ikan, udang, kerang, dan hewan lain yang termasuk

mikroorganisme seperti bakteri. Hidayat (2011), menyatakan apabila suatu sungai menjadi

tempat pembuangan limbah yang mengandung bahan organik, sebagian besar oksigen terlarut

digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik

menjadi karbondioksida dan air, sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan cepat

dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan kerang akan mati.

Berdasarkan penelitian hasil pengukuran amonia didapatkan kisaran 0,004–0,133

mg/l, kandungan amonia yang ada diperairan masih di bawah batas ambang kisaran normal.

Nilai kandungan amonia tertinggi terdapat pada stasiun V (0,133 mg/l) dan terendah pada

stasiun II (0,004). Amoniak dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja, maupun oksidasi

senyawa organik oleh mikroba. Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan pada areal

persawahan turut berkontribusi pada peningkatan kadar amoniak di aliran sungai. Sesuai

dengan kriteria baku mutu air kelas II Pergub no. 16 tahun 2005 kandungan amonia di

perairan tidak boleh melebihi 0,5 mg/l. Menurut Aldya (2013), konsentrasi amoniak yang

tinggi pada permukaan air sungai dapat menyebabkan kematian pada biota kecil misal ikan.

Pada pH tinggi, amoniak dengan konsentrasi kecil sudah bersifat racun karena sifat toksisitas

tersebut, kandungan amoniak pada air minum harus nol dan pada air sungai di bawah 0,5

mg/L.

Tabel 3: Korelasi Keanekaragaman Makrozoobentos dengan Faktor Fisik dan Kimia di

Perairan Sungai Empayang Kasap

No Variabel X

(Dependent)

Variabel Y

(Independent)

Nilai

R

R

Square Keterangan

1

Keanekaragaman

Kecepatan arus 0,457 0,208 Korelasi Cukup

2 Kedalaman sungai 0,366 0,134 Korelasi Cukup

3 Kecerahan air 0,726 0,527 Korelasi Kuat

4 Suhu 0,518 0,629 Korelasi Kuat

5 Lebar sungai 0,826 0,682 Korelasi Sangat Kuat

6 Substrat C-Organik 0,613 0,376 Korelasi Kuat

7 pH 0,388 0,150 Korelasi Cukup

8 DO 0,424 0,179 Korelasi Cukup

9 BOD 0,937 0,878 Korelasi Sangat Kuat

10 COD 0,493 0,243 Korelasi Cukup

11 Amonia 0,093 0,009 Korelasi Sangat Lemah

12 Fosfat 0,119 0,014 Korelasi Sangat Lemah

Selanjutnya hasil penelitian kandungan fosfat pada Tabel 2 didapatkan dengan kisaran

0,27–1,1 mg/l, kandungan fosfat yang ada di lokasi penelitian tidak cukup baik untuk didiami

oleh makrobiota. Kandungan fosfat di perairan sudah melebihi kisaran batas ambang (0,2)

Page 114: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

103

yang sesuai dalam kriteria baku mutu air kelas II Pergub no. 16 tahun 2005. Hal ini sejalan

dengan pendapat Hardiansyah (2014), yang menyatakan bahwa setiap senyawa fosfat tersebut

terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air.

Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan

fosfat organik. Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap

keseimbangan ekosistem perairan.

Selanjutnya setelah diadakan uji regresi, maka diketahui ada hubungan antara

keanekaragaman makrozoobentos terhadap kondisi fisik dan kimia Sungai Empayang Kasap.

Korelasi yang terjadi berkisar antara sangat lemah sampai sangat kuat. Korelasi antara

keanekaragaman dan kondisi fisik-kimia sungai dapat dilihat pada Tabel 3.

KESIMPULAN

1. Hasil penelitian makrozoobentos pada Sungai Empayang Kasap Sukajadi Kabupaten

Lahat ditemukan 3 kelas yaitu: Gastropoda, Crustaceae, Insecta, dengan 15 spesies dan

455 individu. Nilai indeks keanekaragaman (H‘) sedang dan tinggi dengan kisaran 2,52—

3,14, terendah terdapat di stasiun IV dan tertinggi di stasiun II. Sedangkan nilai indeks

keseragaman (E) tinggi, terendah pada stasiun IV dan tertinggi pada stasiun III. Nilai

indeks keseragaman semuanya (E > 1) sehingga tidak adanya spesies yang mendominasi

sehingga jumlah masing-masing jenis sangat seragamam. Nilai dominansi (C)

menunjukkan tidak adanya jenis yang mendominansi. Sedangkan nilai indeks pola

penyebaran (Id > 1), hal ini menunjukkan pola penyebaran makrozoobentos secara

mengelompok.

2. Secara umum kondisi fisik-kimia Sungai Empayang Kasap masih dapat mendukung

untuk pertumbuhan makrozoobentos. Sehingga keberadaan makrozoobentos sangat

dipengaruhi oleh lingkungan sekitar sungai. Hasil uji regresi antara keanekaragaman dan

kondisi fisik-kimia sungai yang dilakukan menunjukkan bahwa kedua komponen tersebut

saling berhubungan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini kami mengucapka terima kasih kepada:

1. Kepala Desa Sukajadi Kecamatan Pseksu Kabupaten Lahat

2. Kepala Laboratorium Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan

3. Kepala Laboratorium Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Palembang.

DAFTAR PUSTAKA

Aldya, Sari. 2013. Pengaruh Debit Alir dan Konsentrasi Amoniak Terhadap Reduksi Limbah

Amoniak Pada Aliran Sungai, Skripsi. (Online), (http//Litbag.

Patikab.go.id///index/2013/11/24/Pengaruh Debit Alir dan Konsentrasi Amoniak

Terhadap Reduksi Limbah Amoniak Pada Aliran Sungai.html, diakses 13 Juni 2015).

Apriyani, Raini Dwi Putri. 2010. Pola Longitudinal Ekosistem Sungai. (Online),

(http//Rainadpa.blogspot.com./2010/01/20/PolaLongitudinalEkosistemSungai.html,

diakses 13 Juni 2015).

Darojah, Yuyun. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan

Rawapening Kabupaten Semarang. Skripsi Jurusan Biologi MIPA. Universitas Negeri

Semarang. (Online), (http///lib.Unnes.ac.id/pdf, diakses tanggal 14 April 2015).

Fitriana, Rahma Yulia. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan

Mangrove Hasil Reabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. ISSN: 1412-033X.

Page 115: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

104

Biodiversitas Vol. 7, No 1. (Online),

(http//biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0701/D070117.pdf, diakses 14 April 2015).

Hardiansyah, Seto. 2014. Analisis Kandungan Nitrat dan Fosfat Perairan Akibat dari

Aktivitas Pertanian Dikawasan Pertanian Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu

Raya Kalimantan Barat. (Online),(http//Setohardiansyah.blogspot.com/20/

2014/01/20//Analisis-Kandungan-Nitrat-dan-Fosfat-Perairan-Akibat-dari-Aktivi

tas-Pertanian-Dikawasan-Pertanian-Kecamatan-Sungai-Kakap-Kabupaten-Kubu -Raya-

Kalimantan-Barat.html, diakses 13 Juni 2015).

Hidayat, Saleh. 2011. Buku Ajar Limnologi. Palembang: Pendidikan Biologi FKIP

Universitas Muhammadiyah Palembang.

Juju, Bandung. 2012. Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Air. (Online),

(http:///blogspot.com//2012/06/04/Makrozoobentos-sebagai-bioindikator-kualitas-air-

jujubandung.html, diakses 14 April 2015).

Lubis, Melinda, Sari dkk. 2013. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di

Sungai Naborsahan Kabupaten Toba Samosir Sumatra Utara. Universitas Sumatra

Utara. (Online), (http://reseptory.usu.ac.id/bitstrem/123456789/3894/7/

Keanekaragaman-dan-kelimpahan-makrozoobentos-di-sungai-naborsahan-kabupaten-

toba-samosir-sumatra-utara/Cover.pdf, diakses 14 April 2015)

Maruru, Mardiani M, Stevi. 2012. Studi Air Sungai Bone dengan Metode Biomontoring.

Penelitian Deskriptif. Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan. Universitas

Negeri Gorontalo. (Online),

(http://download.portugal.org/articel.phparticel=55951&val=6926&title=////Studi-

kualitas-air-sungai-bone-dengan-metodebiomontoring-suatu-penelitian-deskriftif-yang-

dilakukan-di-sungai-bone-29, diakses 14 April 2015).

Odum, Eugene P. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelphia: W. B. Sauders Company.

Riyanto. 2004. Pola Distribusi Keong Mas (Pomaceae canaliculata L.) di Kecamatan

Belitang Oku. ISSN 0126-4680. Majalah Sriwijaya, Volome 37, Nomer 1, April 2004.

(Online), (http//eprints.unsri.ac.id//pola-distribusi-keongmas-dikecamatan-belitang-

oku.pdf, diakses 30 November 2015).

Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobentos di Hutan Mangrove

Kelurahan Coppo Kabupaten Baru. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan

Jurusan Perikanan Universitas Hasanudin Makasar. (Online),

(http;//reseptory,unhas.ac.id/bitstream/handle/pdf, diakses 29 Agustus 2015).

Page 116: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

105

Kehati

Page 117: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

106

Page 118: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

107

STUDI ETNOBOTANI TUMBUHAN OBAT PADA MASYARAKAT

SUKU NIAS KECAMATAN GUNUNGSITOLI ALO’OA

KOTA GUNUNGSITOLI

Asaaro Telaumbanua

1), Alief Aththorick

2), Nursahara Pasaribu

3)

1Mahasiswa Pascasarjana Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara

1, 2 Dosen Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara

Telepon : 081361329201

E-mail : [email protected]

Abstract

A study on the utilization of medicinal plants to community of Nias, Gunungsitoli Alo‟oa

subdistrict, Gunungsitoli city have been done. The purpose of this study was to determine the

types of medicinal plants used by tribal people of Nias of subdistrict Gunungsitoli Alo'oa,

Gunungsitoli city. The data were collected by semi-structured interviews, and depth

interviews on different ages. The research result showed that there were 30 families of 51

species. The most widely used familyis Asteraceae consisting of 5 species, Acanthaceae and

Myrtaceae 4 species, while Convolvulaceae, and Lauraceae 3 species each. The plant organs

most widely used in the treatment are the leaves as many as 38 species, all parts of the plant

4 species, the rhizome and fruit the 2 species while the other 1 species each.

Keywords: Ethnobotany, medicinal plants, subdistrict of Gunungsitoli Alo'oa.

Pendahuluan

Flora Indonesia diperkirakan berjumlah 100 sampai dengan 150 famili tumbuh-

tumbuhan, dari jumlah tersebut sebagian dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari dan juga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Para peneliti etnobotani

di berbagai suku di Indonesia telah banyak menemukan berbagai jenis tumbuhan berkhasiat

untuk obat serta aman untuk kesehatan.

Ancaman berbagai jenis penyakit manusia yang timbul dewasa ini akibat pola hidup

dan pola makan yang tidak sesuai, sehingga mendorong berbagai kalangan termasuk para

ilmuan dibidang etnofarmakologis untuk memproduksi berbagai jenis obat yang berasal dari

tumbuhan. Kondisi ini turut dipengaruhi hasrat masyarakat yang semakin tinggi untuk

memanfaatkan tumbuhan sebagai sumber pengobatan. Berbagai informasi tumbuhan obat

yang diperoleh membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam (back

to nature) dengan memanfaatkan obat-obat alami (Djauhariya dan Hernani, 2004).

Letak geografis pulau Nias yang terpisah dari dataran pulau Sumatera dipastikan

memiliki kekayaan sumber daya genetik tumbuhan mulai dari rerumputan, herba, perdu, dan

pepohonan untuk dimanfaatkan sebagai obat-obatan namum belum banyak diketahui oleh

masyarakat luas. Hasil penelitian di beberapa daerah di Indonesia seperti Kampung Nansfori

Kabupaten Supiori-Papua, ditemukan sebanyak 48 jenis dari 32 famili (Sada & Tanjung,

2010), di Kabupaten Klungkung 54 jenis dari 31 famili (Hanun et al., 2006), di Kabupaten

Sumenep Jawa Timur 119 jenis dari 48 famili (Zaman et al.,2013).

Mengingat luasnya hutan dan tersebarnya suku-suku bangsa di Indonesia maka

penelitian etnobotani dan etnofarmakologis hendaknya perlu pengidentifikasian dan

pengkajian, (Agoes, 2002). Temuan jenis-jenis tumbuhan obat di berbagai suku di Indonesia

baik melalui riset maupun dari pengalaman seseorang adalah merupakan aset bangsa yang

bernilai tinggi sehingga perlu dikoleksi dan dilestarikan (Hariana, 2008). Tujuan penelitian

Page 119: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

108

ini adalah untuk mengetahui jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat suku

Nias Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa untuk mengobati berbagai jenis penyakit.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan November-Desember 2014 s/d Januari 2015.

Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa, Kota Gunungsitoli, Propinsi

Sumatera Utara. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur

dan open ended menggunakan informan kunci dengan memakai alat perekam. Selanjutnya

data dicatat pada lembaran wawancara, data jenis tumbuhan selanjutnya didokumentasikan

dalam bentuk koleksi spesimen dan foto guna pengidentifikasian.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui 30 famili dari 51 spesies tumbuhan obat dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa untuk mengobati 25 jenis

penyakit seperti tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Jenis Tumbuhan Obat berdasarkan Manfaat dan Organ yang digunakan serta Cara

Pemanfaatan.

No Spesies Nama

Umum Nama Lokal

Organ yang

digunakan Manfaat

Cara

Pemanfaa

tan

Dosis

1 Apium

graveolens

Siladri Siladiri Daun Obat hipertensi Diperas Di minum 1

kali sehari

2 Andrographis

paniculata

Kanine Daun Obat malaria Direbus Di minum 1

kali sehari

Obat ginjal Direbus Di minum 3

kali sehari

3 Barleria

rionitis

Afore hili Daun Obat penawar

racun

Diperas Di minum 1

kali sehari

4 Graptophylu

m pictum

Wungu Nazalõ‟u Daun Obat maag Diperas Di minum 3

kali sehari

Obat bengkak Dipepes

dibara api

5 Justicia

gendarussa

Gandra

rusa

Lio-lio Daun Obat demam Diperas Di minum 2

kali sehari

Obat asam urat Diperas Di minum 1

kali sehari

6 Cocos

nucifera

Kelapa Ohi Buah Obat hipertensi Bahan

larutan

7 Ageratum

conyzoides

Babando

tan

Sõfõ – Sõfõ Akar, batang

dan daun

Obat demam Diperas Di minum 2

kali sehari

Obat sakit mata Diperas

8 Blumea

balsamifera

Sembung Gomboyu Daun Obat malaria Diperas Di minum 3

kali sehari

9 Elephantopus

scaber

Tapak

liman

Ambala

danõ

Akar, batang

dan daun

Obat ginjal Direbus Di minum 3

kali sehari

10 Eupatorium

odoratum

Kono-kono Daun Obat mencret Diperas Di minum 2

kali sehari

11 Gynura

segetum

Zini-zini Daun Obat bisul Digiling Di minum 3

kali sehari

12 Angiopteris

evecta

Paku-

pakuan

Gezero Daun Obat sakit perut Diperas Di minum 2

kali sehari

13 Ananas

comosus

Nenas Gõna Buah Obat ginjal Direbus Di minum 1

kali sehari

Page 120: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

109

14 Carica

papaya

Pepaya Bala Daun Obat malaria Diperas Di minum 3

kali sehari

Obat bisul Digiling

15 Laurentia

longiflora

Kitolod Katara Daun Obat katarak

mata

Diperas

16 Aniseia

biflora

Susu gi‟a Daun Obat bisul Digiling

17 Ipomoea

batatas

Ubi jalar Bulu gowi Daun Obat diare Diperas Di minum 2

kali sehari

18 Ipomea

triloba

Giti-iti Daun Obat diare Diperas Di minum 3

kali sehari

19 Excoecaria

cochinchinens

is

Sambang

darah

Bale-bale

angi

Daun Obat demam Diperas Di minum 2

kali sehari

20 Manihot

esculenta

Singkong Gowirio Daun Obat mencret Diperas Di minum 2

kali sehari

21 Flacourtia

rukam

Manaze Daun Obat cacar air Direbus

22 Saccharum

officinarum

Tebu

hitam

Tewu saitõ Batang Obat penawar

racun

Diperas Di minum 1

kali sehari

23 Cinnamomum

burmannii

Languwato Daun Obat terkilir Digiling

Obat penawar

racun

Diperas Di minum 3

kali sehari

24 Cinnamomum

partenoxylon

Selasihan Afo,a Daun Obat

memperlancar

kelahiran

Diperas Di minum 1

gelas pada

pagi dan sore

hari

25 Persea

Americana

Alpukat Foka Daun Obat ginjal Diseduh Di minum 3

kali sehari

26 Orthosiphon

aristatus

Kumis

kucing

Sogambi

mao

Akar, batang

dan daun

Obat ginjal Direbus Di minum 3

kali sehari

27 Leea indica Mali-mali Daun Obat luka bakar Digiling

Obat menjaga

kehamilan

Direbus Di minum 3

kali sehari

28 Allium sativum Bawang

putih

Bawa safusi Umbi Obat ginjal Direbus Di minum 1

kali sehari

29 Hibiscus rosa

sinensis

Kembang

sepatu

Sõma- soma Bakal bunga Obat batuk Diperas Di minum 1

kali sehari

30 Urena lobata Pulutan Hefuyu,a Daun Obat penawar

racun

Diperas Di minum 3

kali

seminggu

Obat batuk Diperas Di minum 3

kali

seminggu

31 Khaya

sinegalensis

Lanang Boli Akar, kulit,

dan batang

Obat Demam Diperas Di minum 2

kali sehari

Obat hipertensi Diperas Di minum 2

kali sehari

Obat malaria Direbus Di minum 1

kali sehari

Obat ginjal Direbus Di minum 3

kali sehari

32 Lansium

parasiticum

Langsat Lase Kulit batang Obat diabetes Direbus Di minum 3

kali sehari

33 Melastoma

candidum

Senggani Nduru-nduru Daun Obat penawar

racun

Diperas Di minum 3

kali sehari

Page 121: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

110

34 Moringa

oleifera

Daun kelor Bulu muru Daun Obat menjaga

kehamilan

Direbus Di minum 3

kali sehari

35 Artocarpus

communis

Sukun Suku Daun Obat diabetes Direbus Di minum 3

kali sehari

36 Artocarpus

heterophyllus

Nangka Na‟a Daun Obat Diabetes Direbus Di minum 3

kali sehari

37 Syzygium

aqueum

Jambu air Samba Daun Obat sakit mata Diperas Di minum 3

kali sehari

Obat serak Diperas Di minum 3

kali sehari

38 Psidium

guajava

Jambu biji Maziambu Daun Obat mencret Diperas Di minum 3

kali sehari

39 Syzygium

jambos

Jambu

mawar

Maufa Daun Obat serak Diperas Di minum 1

kali sehari

40 Syzygium

polyanthum

Wewe usõ Daun Obat lever Direbus Di minum 3

kali sehari

41 Averrhoa

blimbi

Belimbing Malimbi Daun Obat hipertensi Diperas Di minum 1

kali sehari

43 Peperomia

pellucida

Suruhan Tima-tima Akar, batang

dan daun

Obat hipertensi Diperas Di minum 2

kali sehari

43 Piper betle Sirih Tawuo Daun Obat bisul Digiling

44 Axonopus

compressus

Rumput

gajah

paitan

Soi-soi Daun Obat luka Dikunyak Di minum 3

kali sehari

Obat mencret Diperas Di minum 2

kali sehari

Obat penawar

racun

Diperas Di minum 3

kali

seminggu

45 Imperata

cylindrical

Ilalang Go.o Daun Obat demam Diperas Di minum 2

kali sehari

Obat luka Dibakar

46 Uncaria

gambir

Gambir Gambe Daun Obat mencret Diperas Di minum 2

kali sehari

47 Selaginella

doederleinii

Cakar

ayam

Lagaene Daun Obat luka Digiling

Obat penawar racun

Diperas Di minum 3 kali seminggu

48 Datura suaveolens

Kecubung Sikaso Daun Obat menjaga kehamilan

Direbus Di minum 3 kali sehari

49 Vitex pinnata. Laban Manawa danõ

Daun Obat luka Digiling

50 Curcuma

domestica

Kunyit Undre Rimpang Obat demam Dioleskan

Obat sesak

nafas

Diparut Di minum 3

kali

seminggu

Obat batuk Diparut Di minum 3

kali

seminggu

51 Curcuma

xanthoriza

Temu

lawak

Undre gaza Rimpang Obat sesak

nafas

Diparut Di minum 3

kali

seminggu

Obat batuk Diparut Di minum 3

kali

seminggu

Page 122: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

111

Berdasarkan tabel diatas maka famili yang paling banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa adalah Asteraceae terdiri atas 5 spesies, diikuti

dengan Acanthaceae danMyrtaceae4 spesies, sedangkan Convolvulaceae, Lauraceae 3

spesies. Menurut informan kunci bahwa tumbuhan yang tergolong dalam famili Asteraceae,

Acanthaceae, Myrtaceae, Convolvulaceae, dan Lauraceae merupakan tumbuhan yang

sebagian besar dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit-penyakit umum seperti demam,

malaria, mencret, diare, bisul, terkilir, dan bengkak. Selanjutnya cara pengolahan tumbuhan

obat yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat untuk pemanfaatan tumbuhan obat

diketahui 30 dengan cara diperas, 14 dengan cara direbus, 8 dengan cara digiling. dan 2

dengan cara diparut. Pengolahan dengan cara diperas, direbus dan digiling menurut informan

kunci adalah cara yang cepat, mudah dan paling sederhana untuk melakukan pengobatan

penyakit-penyakit umum.

Pengolahan dengan diperas dan digiling umumnya pada organ daun sedangkan cara

merebus umumnya organ akar, kulit batang, daun dan buah, walaupun pengobatan keduanya

diperuntukkan untuk obat dalam (diminum), sedangkan yang digiling diperuntukkan untuk

obat luar. Menurut Kusuma dan Zaky (2005) ada dua cara membuat ramuan obat dari

tumbuhan yaitu dengan cara direbus dan ditumbuk (diperas), sedangkan penggunaannya ada

tiga cara yaitu diminum, ditempelkan, atau dibasuhkan dengan air pencuci. Penggunaan

dengan cara diminum biasanya untuk pengobatan organ tubuh bagian dalam, sedangkan dua

cara lainnya untuk pengobatan tubuh bagian luar. Selanjutnya pemanfaatan organ tumbuhan

yang paling banyak digunakan adalah daun sebanyak 38 spesies, seluruh bagian tumbuhan

yang digunakan 4 spesies, sedangkan bagian rimpang dan buah 2 spesies dan yang lainnya

masing-masing 1 spesies.

Menurut hasil wawancara dengan informan kunci bahwa organ daun pada tumbuhan

paling mudah didapat dan tidak tergantung pada perubahan musim, selain itu cara meramu

juga sangat sederhana bila dibandingkan dengan organ akar dan kulit batang. Penelitian yang

sama oleh Sada & Tanjung (2010) di kampung Nansfori Kabupaten Supiori-Papua bahwa

52,08 %, masyarakatnya menggunakan organ daun untuk pengobatan, sedangkan organ

lainnya seperti akar, kulit batang, dan buah sangat sedikit. Jenis tumbuhan obat yang

ditemukan di Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa dapat dimanfaatkan untuk mengobati 25 jenis

penyakit dengan kategori : Penyakit umum antara lain : demam, malaria, mencret, sakit perut,

diare, batuk, bengkak, dan terkilir.Penyakit paru antara lain : sesak nafas.Penyakit THT

antara lain serak.Penyakit kulit dan kelamin antara lain : bisul, luka,luka bakar, cacar air.

Penyakit mata antara lain : sakit mata, dan mata katarak. Penyakit kandungan antara lain :

menjaga kehamilan dan memperlancar kelahiran.Penyakit dalam antara lain : hipertensi,

ginjal, penawar racun, maag, diabetes, asam urat, dan lever. Kategori jenis penyakit yang

sering muncul dan paling banyak membutuhkan tumbuhan obat adalah penyakit umum

seperti demam, malaria, mencret, sakit perut, diare, batuk, bengkak, dan terkilir.

Kesimpulan

Masyarakat Nias di Kecamatan Gunung Sitoli Aloa Kota Gunung Sitoli

memanfaatkan 51 jenis tumbuhan obat yang termasuk ke dalam 30 famili. Spesies yang

paling banyak dimanfaatkan berasal dari famili Asteraceae sebanyak 5 spesies, diikuti

dengan Acanthaceae danspesies, dan yang lainnya masing-masing 1 spesies.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui metabolik sekunder yang dikandung

tiap-tiap tumbuhan dengan harapan dapat dikembangkan menjadi obat nasional yang

bermanfaat untuk bangsa.

Page 123: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

112

Daftar Pustaka

Agoes. 2002. Inventarisasi Tumbuhan Obat TNKS : Kajian dalam prespektif

Etnofarmakologis dan Budaya. Jurnal Bahan Alam Indonesia. Fakultas Kedokteran

Universitas Sriwijaya / SP3T. Sumatera Selatan, 1 (1) : 1-5

Djauhariya, E. dan Hernani. 2004. Gulma Berkhasiat Obat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hanun. S.F., Nada. I.N. dan Arnawa. I.B. 2006. Inventarisasi dan Eksplorasi Tumbuhan

Usada Bali. Laporan Teknik Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya

Alam Kebun Raya ―Eka Karya‖ Bali. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun

raya―Eka Karya‖ Bali-LIPI, 193-203

Hariana. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Cetakan Kelima. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kusuma, F.R., dan Zakky. B.M. 2005. Tumbuhan Liar Berkhasiat Obat. PT. AgroMedia

Pustaka.

Sada, J. dan Tanjung, H.R. 2010. Keragaman Tumbuhan Obat Tradisional di Kampung

Nansfori Distrik Supiori Utara, Kabupaten Supiori–Papua. Jurnal Biologi Papua, 2

(2) : 39-46.

Zaman. Q., Hariyanto. S., Purnobasuki. H. 2013.Etnobotani Tumbuhan Obat di Kabupaten

Sumenep Jawa Timur.Jurnal Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam / Sains dan

Teknologi, Universitas Airlangga,16 (1) : 1-47.

Page 124: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

113

KAJIAN LIKEN SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA

DI KAWASAN TERMINAL PINANG BARIS KOTA MEDAN

STUDY LICHENES AS BIOINDIKATOR CONTAMINATION AIR

IN TERMINAL PINANG BARIS MEDAN CITY

Ashar Hasairin

Mahasiswa S3 Program Studi Biologi FMIPA USU

Dosen Program Studi Biologi, FMIPA Universitas Negeri Medan

[email protected]

Abstract

This research aimed to know the diversity species of lichenes in Pinang Baris Terminal

Medan. This research was conducted or 3 months starting in May until July 2015. This

research descriptive study, with purposive sampling method. The result of research is

obtained by lichenes at strightened of mahoni trees 253 samples thallus that consist of 5

families, 6 genus from 6 spesies with 2 is thallus types (foliose and crustose). Results of this

researh showed that Lichenes diversity with diversity index values (H ') in Pinang Baris

Terminal (1.00572) were moderate. Lichenes distribution pattern in Pinang Baris Terminal

3 types Lichenes have clumped distribution pattern with the highest value of 12.96 in Graphis

scripta and 3 species Lichenes with uniform distribution pattern 0.43 on species Ochrolechia

tartarea and Opegraphaatra. Physic-chemical habitats conditons that support the growth

and development Lichenes in Pinang Baris Terminal Medan is at an average temperature (30

° C), humidity average (73.25% ), light intensity (500J) and wind speed (2,1 m/s).

Keyword : Diversity, Lichenes, Terminal

PENDAHULUAN

Liken merupakan salah satu bagian dari keanekaragaman hayati yang belum banyak

mendapat perhatian. Liken merupakan gabungan antara fungi dan alga, sehingga secara

morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Tubuh liken dinamakan talus yang secara

vegetatif mempunyai kemiripan dengan alga dan jamur. Liken ini hidup secara epifit pada

pohon-pohonan, di atas tanah, di atas batuan dikenal sebagai tumbuhan perintis. Liken

memiliki warna yang bervariasi seperti putih, hijau keabu-abuan, kuning, oranye, coklat,

merah dan hitam [1]; [2].

Liken di Indonesia berjumlah 40.000 spesies, namun belum banyak peneliti di

Indonesia yang menekuni penelitian ini, sehingga peluang untuk meneliti lichenes di

Indonesia masih terbuka luas dan berpotensi. Kenyataan yang diketahui dan ditampilkan

dalam buku-buku biologi memperlihatkan bahwa hanya beberapa spesies saja yang dikenal.

Selain jenis, manfaat lichenes juga belum banyak diulas. Adapun manfaat liken yang

diketahui diantaranya sebagai tumbuhan obat, bahan makanan dan pakan ternak, bahan

pembuat parfum, mendeterminasi umur bebatuan, bahan/preparat pewarnaan dan lain-lain

[3]. Manfaat lain lichen dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara dan dapat

mengakumulasi polutan. Hal ini disebabkan lichen sangat sensitif terhadap pencemaran

udara. Liken terkenal akan kepekaannya akan kondisi alam tempat hidupnya, apabila terdapat

gas polusi maka liken tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik [1].

Page 125: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

114

Berdasarkan hasil penelitian Soedaryanto yang menemukan 3 jenis liken pada daerah

yang relatif tercemar dan 7 jenis pada daerah kontrol di Denpasar, Bali [4]. Hasil penelitian

di kota Pekanbaru menemukan 20 jenis liken di daerah dengan kepadatan kendaraan tinggi,

sedang dan rendah [5]. Kenyataan di Kota Medan belum banyak dilakukan penelitian tentang

liken, sehingga berpeluang untuk dilakukan. Berdasarkan uraian di atas maka perlu

dilakukan penelitian tentang ―Keanekaragaman Liken sebagai bioindikator pencemaran udara

di Kawasan Terminal Pinang Baris Kota Medan‖.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kawasan Terminal Terpadu Pinang Baris (TTPB) Medan.

Penentuan lokasi dilakukan secara purposive sampling. Metode yang digunakan deskriptif

dengan cara survey eksploratif dan inventarisasi terhadap jenis liken pohon mahoni. Jumlah

tegakan pohon mahoni sebanyak 10 pohon. Teknik pengambilan sampel dengan metode

“Transek Vertikal” ke atas setinggi satu meter. Untuk 50 cm pertama dibuat sebagai plot

satu dan 50 cm ke-2 sebagai plot dua. Jumlah plot pohon tegakan mahoni pada ke dua lokasi

sebanyak 10 x 2 x 2 = 40 plot. Setiap jenis liken dikoleksi untuk keperluan identifikasi dan

dokumentasi. Untuk pelaksanaan identifikasi menggunakan rujukan ―Key to the lichen

genera of Bogor, Cibodas and Singapore‖ [6]. Ditambah dengan buku rujukan ―Grasses,

Ferns, Mosses & Liken” [7]; laporan-laporan, catatan-catatan yang berhubungan dengan

liken. Parameter yang diamati tipe morfologi talus secara makroskopis, mikroskopis dan

karakteristik habitat. Mengukur kondisi fisik-kimia lingkungan (suhu, kelembaban, intensitas

cahaya dan kecepatan angin). Selanjutnya menghitung jumlah talus, persentase kehadiran,

indeks keanekaragaman menggunakan rumus dari Shannon – Wienner [8]; Pola distribusi

setiap jenis lichens menggunakan rumus rasio varians dengan nilai tengah [9]; [10].

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Terminal Terpadu Pinang Baris (TTPB) adalah salah satu dari 2 terminal terpadu

perhubungan darat di Kota Medan.Terminal ini khusus menampung bus-bus antar provinsi

dan dalam provinsi yang masuk ke Kota Medan dari sebelah barat dalam hal ini terutama

bus-bus dari Nangro Aceh Darussalam (NAD).Terminal ini terletak di Kelurahan Sunggal,

Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan. Terminal Terpadu Pinang Baris memiliki luas

lahan ±4 ha (40.000 m2) dengan jumlah bus dan mobil pengangkutan umum angkot yang

keluar dan masuk setiap hari yaitu 3540 unit [11].

2. Jenis dan Indeks Keanekaragaman Liken di Lokasi Penelitian

Keanekaragaman yang diperoleh melalui data hasil penelitian pada lokasi penelitian

dapat diambil dari keanekaragaman pada seluruh penarikan plot (sebanyak 20 plot) karena

dianggap telah mewakili seluruh komunitas di lokasi penelitiaan. Jenis dan nilai indeks

keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Indeks Keanekaragaman dan Pola Distrbusi Liken di TTPB Medan

No. Spesies Tipe

Talus ∑Talus (% K) H’ Varians

Pola

Distribusi

1. Graphis scripta Crustose 172 67,98 0,26233 12,96 Berkelompok

2. Opegrapha atra Crustose 6 2,37 0,08869 0,43 Seragam

3. Ochrolecia tartarea 6 2,37 0,08869 0,43 Seragam

4. Parmelia saxatilis Foliose 45 17,79 0,30706 3,39 Berkelompok

5. Pertusaria amara Foliose 3 1,19 0,05238 0,2 Seragam

6. Solenosphora candicans 21 8,30 0,20657 1,58 Berkelompok

Total Talus 253 - 1,00572

Rata-rata Talus 36,14 - -

Keanekaragaman 7 - -

Keterangan: TPBB = Terminal Terpadu Pinang Baris H‘ = Indeks keanekaragaman;(% K) = persentase kehadiran.

Page 126: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

115

Gambar 1. Morfologi dari a) Graphis scripta; b) Opegrapha atra;

c) Ochrolechia tartarea; d) Parmelia saxatilis;

e) Solenosphora candicans; f) Pertusaria amara

Kunci Identifikasi

Berdasarkan atas ciri-ciri yang diperoleh dari setiap jenis liken yang ditemukan dari

kedua lokasi penelitian, maka dapat disusun kunci identifikasi sebagai berikut :

1. a. Tipe talus crustose --------------------------------------------------------------------- 3

b. Tipe talus foliose ------------------------------------------------------------------------ 2

2. a. Talus berwarna hijau tua -------------------------------------------------------------- 4

b. Talus berwarna hijau muda ---------------------------------------------------------- 6

3. a. Talus berwarna hijau pucat ---------------------------------------------------------- 7

b. Talus berwarna hijau gelap ---------------------------------------------------------- 4

4. a. Permukaan talus halus --------------------------------------------------------------- 6

b. Permukaan talus kasar --------------------------------------------------------------- 5

5. a. Talus berkerut-kerut ------------------------------------------------------------------ 10

b. Talus tidak berkerut ------------------------------------------------------------------- 12

6. a. Talus seperti bertepung –------------------------------------------------ Pertusaria amara

b. Talus tidak bertepung ---------------------------------------------------------------- 7

7. a. Talus tebal ------------------------------------------------------------------------------ 9

b. Talus tidak tebal ----------------------------------------------------------------------- 8

8. a. Memiliki garis melintang berwarna hitam –----------------------------Opegrapha atra

b. Tidak memiliki garis melintang berwarna hitam ------------------------------- 11

9. a. alus berlekuk-lekuk –------------------------------------------------- Ochrolecia tartarea

b. Talus tidak berlekuk-lekuk ---------------------------------------------------------- 10

10. a. Talus bertumpuk-tumpuk ----------------------------------------------------------- 11

b. Talus tidak bertumpuk-tumpuk ------------------------------- Solenosphora candicans

11. a.Talus bergelombang ------------------------------------------------------Parmelia saxatilis

b. Talus tidak bergelombang -------------------------------------------------------- 12

12. a.Terdapat bintil hitam ------------------------------------------------------- Graphis scripta

b. Tidak terdapat bintil hitam --------------------------------------------------------- 20

Page 127: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

116

Tabel : Deskripsi dan Identifikasi Jenis Liken Pada Tegakan Pohon Mahoni di Lokasi

Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di kawasan Terminal Pinang Baris,

Medan terdapat 6 jenis liken pada tegakan pohon mahoni dengan proporsi jumlah yang

berbeda di setiap jenis. Jenis yang ditemukan diantaranya Graphis scripta, Opegrapha atra,

Ochrolechia tartarea, Parmelia saxatilis, Pertusaria amara dan Solenosphora candicans.

Kawasan Terminal Pinang Baris memiliki keanekaragaman jenis liken yang tergolong

sedang. Tinggi rendahnya tingkat keanekaragaman ini dapat memberi gambaran tentang

kedewasaan organisasi komunitas tumbuhan disekitarnya [12]. Semakin rendah

keanekaragaman liken menunjukkan makin rendahnya organisasi di dalam komunitas

tersebut. Kondisi seperti ini muncul sebagai akibat faktor ekologis di kedua lokasi relatif

tercemar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sumber polutan di sekitar lokasi penelitian.

Pada kawasan Terminal Pinang Baris sekitar ± 3540 unit kendaraan bermotor yang keluar-

masuk terminal. Hal ini bertentangan dengan pendapat Panjaitan yang mengatakan bahwa

tingkat kepadatan lalu lintas berpengaruh terhadap keanekaragaman lichen yang

ditemukan di kulit pohon peneduh jalan di setiap lokasi pengamatan [5]. Semakin rendah

tingkat kepadatan lalu lintas, maka akan semakin tinggi keanekaragaman jenis lichen

yang ditemukan di suatu lokasi. Pada penelitian ini. Kawasan terminal pinang baris memiliki

kepadatan lalu lintas yang lebih tinggi, sehingga mengalami perubahan kondisi lingkungan

karena adanya pencemaran udara akibat emisi buangan yang berasal dari transportasi berupa

CO2, SO2, NO2, dan debu [13]. Unsur-unsur tersebut secara langsung maupun tidak

langsung dapat menyebabkan beberapa hal yang dapat menghambat pertumbuhan,

perkembangan maupun keberadaan liken.

4. Karakteristik Habitat Liken

Pengamatan karakteristik habitat atau kondisi fisik-kimia lingkungan yang dilakukan

pada penelitian ini adalah suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Pengukuran ini dilakukan

hanya sekali pengukuran. Kondisi fisik-kimia lingkungan di lokasi penelitian dapat dilihat

pada Tabel 3 di bawah ini.

Warna Talus Lobus Permukaan atas Permukaan

bawah Cilia

Rhizines Medula Nama spesies

Hija

u ku

ning

Hija

u

Hita

m

Hija

u A

bu-a

bu

Abu

-abu

Lini

er

Mem

bula

t

Ber

atur

an a

tau

berp

ola

Kon

sent

ris

Hal

us

Pse

docy

phel

lae

Cok

lat g

elap

Hita

m

Tep

i ber

gais

put

ih

Ada

Sed

erha

na

Bul

bate

Tid

ak a

da

Sed

erha

na

Tun

ggal

tida

k

bera

tura

n

Ber

caba

ng d

ua

(dik

otom

)

Tid

ak b

erw

arna

Ber

war

na

√ √ √ √ √ √ √ Parmelia saxatilis

√ √ √ √ √ √ √ Solenosphora candicans

√ √ √ √ √ √ √ √ Ochrolecia tartarea

√ √ √ √ √ Graphis scripta

√ √ √ √ √ Opegrapha atra

√ √ √ √ √ √ √ Pertusaria amara

Page 128: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

117

Tabel 3. Kondisi Fisik-Kimia Lingkungan di Terminal Terpadu

Pinang Baris (TTPB) Medan

Faktor Lingkungan Hasil

Pengukuran

Alat

Pengukur Keterangan

Suhu (°C) 30 Thermometer Diukur jam

14.00 siang

Intensitas Cahya

(Joule) 500 Luxmeter

Diukur jam

14.00 siang

Kelembaban (%) 73,25 Hygrometer Diukur jam

14.00 siang

Kecepatan Angin (m/s) 2,1 Anemometer Diukur jam

14.00 siang

Berdasarkan hasil pengukuran kelembaban udara rata-rata pada lokasi penelitian

sebesar 73,25%. Hal ini mendukung pendapat dari Noer (2004) dalam Pratiwi (2006) yang

menyatakan bahwa liken menyukai tempat yang kering dengan kelembaban 40% – 69%.

Kelembaban udara rata-rata di pinang baris rata-ratanya mendekati kisaran yaitu 73,25%,

sehingga jenis liken yang tumbuh lebih banyak. Pertumbuhan dan perkembangan liken pada

lokasi penelitian juga dipengaruhi oleh kandungan polutan di udara. Pendapat ini diperkuat

dalam penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa tingkat pencemaran berupa gas emisi

buang Pb berpengaruh terhadap kelimpahan jenis liken, di mana semakin dekat dengan jalan

raya maka semakin sedikit kelimpahan liken yang ditemukan.

Pada lokasi penelitian terlihat bahwa liken dengan tipe morfologi talus crustose

memiliki rata-rata luas talus yang relatif lebih tinggi dibanding dengan foliose. Sedang tipe

fructicose dan squamulose tidak ada ditemukan. Hasil yang sama juga didapati di Riau

menemukan bahwa tipe talus crustose merupakan tipe yang lebih mendominasi dari pada tipe

talus foliose [4]; [5]. Hal ini menggambarkan bahwa tipe talus crustose mudah tumbuh. Tipe

talus crustose merupakan tipe talus yang paling resisten dibandingkan dengan tipe talus

lainnya [4]. Hal tersebut karena liken dengan tipe morfologi talus crustose terlindung dari

potensi kehilangan air dengan bertahan pada substratnya, mengingat tipe ini memiliki sifat

melekat erat pada substratnya dan tipe jaringan talus homoimerous, yaitu keadaan dimana

alga berada disekitar hifa. Tipe crustose memiliki struktur talus seperti lapisan kerak yang

melekat erat pada substrat. Pada lokasi penelitian terlihat bahwa liken dengan tipe talus

crustose lebih banyak dari foliose.

3. Pola Distribusi Liken di KIM dan Terminal Pinang Baris

Untuk mengetahui pola distribusi setiap jenis liken di kedua lokasi penelitian

digunakan rumus rasio varians dengan kriteria jika S2/ =1: berdistribusi acak (random), >1:

berkelompok (clumed); <1 : berdistribusi seragam (uniform). Pola distribusi liken dari kedua

lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Pola Distribusi Liken di Terminal Terpadu Pinang Baris (TTPB) Medan

No Nama Spesies Varians Pola Distribusi Keterangan

1 Graphis scripta 12,96 Berkelompok

2 Opegrapha atra 0,43 Seragam

3 Ochrolecia tartarea 0,43 Seragam

4 Parmelia saxatilis 3,39 Berkelompok

5 Pertusaria amara 0,2 Seragam

6 Solenosphora candicans 1,58 Berkelompok

Page 129: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

118

Liken yang ditemukan di terminal pinang baris memiliki pola penyebaran yang

berbeda-beda. 3 jenis liken memiliki pola penyebaran berkelompok dan 3 jenis liken

memiliki pola penyebaran beragam. Spesies yang paling tinggi penyebarannya untuk pola

penyebaran berkelompok adalah Graphis scripta (12,96) dan untuk pola penyebaran seragam

Opegrapha atra dan Ochrolechia tartarea (0,43). Pola penyebaran liken disebabkan oleh

beberapa faktor ekologis yang mendukung. Dimulai dari faktor suhu, kelembaban, intensitas

cahaya dan keterkaitannya dengan faktor lainnya yang masih belum ada dalam parameter

terukur yang turut mempengaruhi distribusi liken. Misalnya curah hujan, kepadatan tajuk

pohon induk, arah angin dan lain-lain.

3. Liken Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara

Liken berpotensi sebagai bioindikator pencemaran udara. Kehadiran liken dapat

dijadikan sebagai penduga terjadinya pencemaran. Liken sangat sensitif terhadap pencemaran

udara, memiliki sebaran geografis yang luas. Sifatnya yang peka pada liken sering dipakai

sebagai penunjuk adanya pencemaran udara di suatu daerah [19].

Hasil penelitian jenis liken yang memiliki talus terbesar jumlahnya yaitu Graphis

scripta diikuti jenis Parmelia saxatilis. Kehadiran jenis liken ini pada dua lokasi yang

memiliki keadaan ekologis yang berbeda menunjukkan bahwa liken ini memiliki penyebaran

yang cukup luas, mampu untuk tumbuh dengan opitmal pada tegakan pohon mahoni. Liken

yang paling sedikit muncul di kedua lokasi adalah Parmelia saxatilis dan Pertussaria amara.

Kehadiran Parmelia saxatilis ini di kedua lokasi penelitian menunjukkan bahwa liken jenis

ini merupakan jenis liken yang resisten terhadap pencemaran udara dan juga dapat

menunjukkan bahwa kedua lokasi tersebut tergolong tercemar, karena Parmelia saxatilis

biasanya tumbuh di kulit-kulit pohon yang telah mengalami pengasaman karena adanya

polutan dari polusi udara [14]. Namun Parmelia saxatilis kurang peka terhadap polutan sulfur

dioksida tinggi.

Pada lokasi penelitian ditemukan liken dengan tipe foliose memiliki tipe jaringan talus

heteromerous, sehingga talus ini terdiri dari beberapa lapisan. Tipe talus ini dapat memelihara

kelembaban, yang dilakukan pada lapisan medula. Meskipun liken tidak dapat

mengendalikan kadar air, seperti tumbuhan tingkat tinggi namun tidak berarti bahwa tidak

ada variasi dalam genus dan spesies liken yang berbeda dalam mengabsorbsi dan melepaskan

air [15]. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab yang memungkinkan tipe talus ini

mampu hidup dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Hal tersebut juga didukung oleh

hasil penelitian menunjukan liken dengan tipe morfologi talus foliose dapat mengabsorbsi

kation-kation logam dengan senyawa kimia yang berbeda. Hal ini diperkuat dengan faktor

fisik-kimia lingkungan yang diukur pada penelitian ini. Kawasan terminal pinang baris yang

memiliki kelembaban udara rata-rata 73,25%. Kelembaban udara menjadi salah satu faktor

yang berhubungan dengan adanya Parmelia glabratula hanya di Kawasan terminal pinang

baris Medan.

Hasil pengamatan di Kawasan Terminal Pinang Baris paling banyak di temukan liken

jenis Graphis scripta. Perbedaan jenis atau keanekaragaman jenis ini dapat dipengaruhi oleh

beberpa hal. Salah satu faktor yang mempengaruhi nya adalah kelembaban udara, seperti

yang telah dijelaskan di atas. Faktor lainnya yaitu pH kulit pohon. Efek toksik dari

pemaparan belerang dioksida dipengaruhi oleh nilai dari pH substrat dimana liken tersebut

tumbuh [17]. Pohon-pohon yang tumbuh di tanah asam yang terbentuk dari batuan vulkanik,

kulit kayunya memiliki nilai pH berkisar antara 2-4. Spesies liken yang hidup pada kulit

pohon dengan pH di bawah 7 dapat dianggap sebagai indikator biologis. Lichen yang hidup

pada kulit pohon yang asam jauh lebih peka pada efek beracun dari belerang dioksida.

Page 130: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

119

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa :

1. Kawasan Industri Medan di temukan 2 jenis liken dengan indeks keanekaragaman

tergolong rendah (H‘ = 0,13904) dan di Terminal Pinang Baris ditemukan 6 jenis liken

dengan indeks keanekaragaman yang sedang (H‘ = 1,00572).

2. Tipe talus crustose lebih banyak dibandingkan dengan tipe foliose, sedang tipe

fructicosedan squamulose tidak ditemukan.

3. Kehadiran jenis Parmelia saxatilis terdapat pada kedua lokasi yang memiliki keadaan

ekologis berbeda. Liken yang paling sedikit muncul di kedua lokasi adalah Parmelia

saxatilis dan Pertussaria amara merupakan jenis liken yang resisten terhadap

pencemaran udara.

4. Seluruh jenis liken yang ditemukan di Kawasan Industri Medan memiliki pola

penyebaran mengelompok. Untuk kawasan Terminal Pinang Baris 3 jenis liken

memiliki pola penyebaran mengelompok; sedang 3 jenis lain pola penyebaran seragam.

5. Kondisi fisik-kimia habitat di Kawasan Industri Medan dan Terminal Pinang Baris

Medan adalah suhu rata-rata 30,75°C dan 30°C dengan kelembaban rata-rata 75,75%

dan 73,25% , intensitas cahaya 371 Jooule dan 500 Joule serta kecepatan angin 1,6 m/s

dan 2,1 m/s.

Saran-saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan liken sebagai bioindikator pencemaran udara

dengan mengukur akumulasi polutan.

2. Faktor fisik-kimia lingkungan masih perlu ditambah untuk melihat faktor-faktor lainnya

yang memiliki pengaruh yang nyata terhadap kehadiran liken, diantaranya curah hujan,

arah angin, ketinggian tempat, pH tanah dan pH kulit pohon.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Hawksworth, D., L., The Lichen-Forming Fungi. New York. Champman and Hall

Publisher, 1984.

[2] Tjitrosoepomo, G., „Taksonomi Tumbuhan , Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

1989.

[3] Dube, H., C., An Introduction to Fungi, Third Edition, New Delhi, Department of Life

Sciences Bhavnagar University, Vicas Publishing House PVT LTD. 2006,

[4] Pratiwi, M. E., Kajian Liken Sebagai Bioindikator Kualitas Udara, Skripsi,

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Bogor.

Institut Pertanian Bogor, 2006..

[5] Panjaitan, D.M., Fitmawati, Atria, M., (2012), Keanekaragaman Lichen Sebagai

Bioindikator Pencemaran Udara Di Kota Pekanbaru Provinsi Riau, FMIPA Universitas

Riau, Riau.

[6] Sipman, H.J.M., Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and Singapore. 2003.

http://www.bgbm.org/sipman/keys/Javagenera.htm.(Diakses Maret 2013)

[7] Phillips, R. Grasses, Ferns, Mosses & Lichens. Oxford University Press. 1990.

[8] Juwana, S. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Laut. Jakarta Penerbit Djambatan.

2001.

[9] Odum, E. P. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta. UGM Press. 1993.

Page 131: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

120

[10] Hasairin Ashar; Nursahara Pasaribu; Lisdar I. Sudirman; Retno Widhiastuti . 2014

Biodiversity and Distribution Liken at The Corticoleus of Mahoni (Swietenia

Macrophylla) as Walke in Field on Medan. Prosiding Conferensi International

Multidisiplin Research. 2014.

[11] Maria, F., Analisis Sanitasi Lingkungan Terminal Kendaraan Bermotor Di Kota Medan

Tahun 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Medan. USU, 2013,

[12] Lubis, S.R., Keanekaragaman Dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku Di Hutan Wisata

Alam Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara, Medan.

FMIPA, USU. 2009.

[13] Istam, Y.C., Respon Liken Pada Vegetasi Pohon Sebagai Indikator Pencemaran Udara

Di Kebun Raya Bogor Dan Hutan Manggala Wana Bhakti., Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Bogor. IPB. 2007.

[14] Anonim, Parmeliacea, (internet) 2010.http://www.dorsetnature.co.uk/pages-lichen/lch-

29. html (diakses Juli 2013)

[15] Baron, G., Understanding Lichens, England. The Richmond Publishing Co.ltd. 1999,

[16] Prasetyo, T.I., Hastuti , U.S., Lichens sebagai salah satu alternatif dalam

penanggulangan polusi logam berat, Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA IKIP,

Malang. Makalah disajikan pada pertemuan ilmiah tahunan perhimpunan Mikrobiologi

Indonesia.Bandung. 1992,

[17] Wijaya, A., Penggunaan Tumbuhan Sebagai Bioindikator Dalam Pemantauan

Pencemaran Udara, Teknik Lingkungan, Surabaya. ITS, 2012.

[18] Noer, I. S., Bioindikator Sebagai Alat Untuk Menengarai Adanya Pencemaran Udara,

Forum Komunikasi Lingkungan III, Bandung Kamojang. 2004,

[19] Bold, H. C., C. J. Alexopoulus, T. Delevoryas, Morphology of Plants and Fungi. Fifth

edition. New York. Harper and Row Publishers. 1987.

Page 132: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

121

KEANEKARAGAMAN JENIS MAKROZOOBENTHOS DI STASIUN

RISET YAYASAN GAJAH SUMATERA (YAGASU) ACEH DESA

TANJUNG REJO KEC. PERCUT SEI TUAN KAB. DELI SERDANG

SUMATERA UTARA

Hanifah Mutia ZNA, Ferdinand Susilo,Ida Fauziah 1. Staf pengajar universitas Pembangunan Panca Budi Medan,

2 dan

3. Staf Pengajar

Universitas Medan Area

Abstrak

Penelitian keanekaragaman jenis makrozoobenthos di stasuin riset YAGASU ACEH Desa

Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang Sumatera Utara dilakukan untuk

mengetahui struktur komunitas makrozoobenthos di stasiun riset YAGASU yang merupakan

ekosistem mangrove. Pengumpulan sampel dilakukan dengan membuat plot pengambilan

sampel sebanyak 5 plot dengan ukuran 30x30cm di dalam plot pengamatan yang berukuran

20x20m. Sampel makrozoobentos dipisahkan dari sedimen menggunakan saringan yang

selanjutnya sampel diawetkan dengan alkohol 70%.Tujuan penelitian ini secara khusus

adalah memperoleh data tentang jenis-jenis makrozoobenthos yang terdapat di Stasiun Riset

YAGASU ACEH. Sedangkan untuk tujuan jangka panjang, dari hasil penelitian ini, adalah

sebagai dasar dalam pengelolaan dan konservasi ekosistem mangrove berbasis potensi

ekologi di Stasiun Riset YAGASU ACEH khususnya dan Sumatera Utara umumnya.Hasil

penelitian diperoleh 13 jenis makrozoobenthos yang terdiri dari tiga kelas yang berbeda, yaitu

polychaeta, Bivalvia dan Gastropoda. Jenis yang terbanyak dari kelas Gastropoda yaitu

sebanyak 11 jenis, Bivalvia 1 jenis dan Polychaeta satu jenis. Kelimpahan tertinggi dijumpaii

pada jenis Nereis sp dan Glycera sp dengan kelimpahan masing-masing sebesar 111,111

individu/m2

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Estuari merupakan daerah yang ekstrim, disamping sebagai lokasi pertemuan antara air

tawar dan air laut, juga merupakan daerah yang rawan terhadap pemasukan material terlarut

yang berasal dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar daerah tersebut. Dewasa ini daerah

Estuari Percut Sei Tuan mengalami berbagai masalah yang diakibatkan adanya pemanfaatan

di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada daerah Percut terdapat berbagai aktivitas

penduduk, seperti pemukiman, pertambakan, areal pertanian dan lalu lintas perairan yang

cukup ramai. Selain itu juga terjadi pendangkalan pada muara sungai karena adanya

pertemuan/penggabungan aliran Sungai Deli dan Sungai Percut sehingga mengakibatkan

pendangkalan pada Muara Sungai Percut (Sinar Indonesia Baru Tanggal 5 September 2005).

Pembukaan dan konversi lahan hutan mangrove yang berada di sekitar estuari

menjadi lahan pertanian, pemukiman, pertambakan, perkebunan dan pengambilan batang

pohon sebagai sumber bahan baku arang tidak hanya menyebabkan pengurangan areal hutan,

tetapi juga menyebabkan pemasukan bahan-bahan terlarut seperti nitrogen dan bahan organik

yang berasal dari aktivitas pertambakan dan aktivitas lainnya. Masuknya berbagai bahan

terlarut ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan, seperti perubahan

sifat-sifat fisika dan kimia perairan yang dapat berpengaruh pada kondisi sedimen dan pada

akhirnya akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang berada di lingkungan

tersebut, baik itu di badan maupun di dasar perairan. Salah satu ancaman yang serius terhadap

Page 133: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

122

kualitas lingkungan estuari adalah berlangsungnya proses pelumpuran dan turbiditas dari

daerah sungai (Prasetyo et al. 2000).

Pelumpuran dan turbiditas yang tinggi serta didukung oleh berbagai faktor

lingkungan, seperti kecepatan arus, akan sangat mempengaruhi proses sedimentasi di daerah

estuari yang pada akhirnya akan mempengaruhi berbagai organisme yang berada di dasar

perairan (sedimen). Pengaruh penurunan berbagai parameter lingkungan akan sangat jelas

terlihat pada struktur komunitas bentos. Hewan-hewan bentos dapat dianggap lebih

mencerminkan adanya perubahan-perubahan faktor lingkungan pada suatu ekosistem

perairan (Prasetyo et al. 2000). Oleh karena itu dipandang perlu dilakukannya suatu

penelitian untuk mengetahui kondisi habitat pada perairan estuari di daerah Percut Sei Tuan

dengan melakukan pengukuran terhadap faktor-faktor fisika, kimia dan biologi.

BAHAN DAN METODE

Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di ekosistem mangrove stasiun riset YAGASU ACEH yang terletak

di Desa Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang Sumatera Utara selama 6

(enam) bulan yang terdiri dari penentuan plot pengamatan, pengambilan sampel, identifikasi,

dan analisis data. Pengambilan sampel dilakukan pada 5 titik pengamatandengan membuat

plot dengan ukuran 30x30cm dan kedalaman 30cm sebanyak 5 plot (Gambar 1). Pengambilan

sampel dan pengukuran faktor fisik, kimia dan biologi dilaksanakan saat surut.

Gambar 1. Titik Pengamatan dan Plot Pengambilan Sampel Makrozoobenthos

1

2 3

Page 134: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

123

Metode Pengambilan Sampel/Makrozoobenthos

Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan pada setiap plot pengambilan sampel

dengan membuat plot 30x30x30 cm. Sampel makrozoobentos dipisahkan dari substrat

menggunakan saringan bertingkat. Selanjutnya sampel dimasukan ke dalam botol contoh dan

diawetkan dengan alkohol 70%, kemudian dihitung jumlah individunya dan diidentifikasi

menggunakan buku acuan Azoukskyet al (2000), Barnes RD (1987), Dance SP. (1977),

Gosner KL (1990), Sowerbys (1996).

Analisis Data Struktur Komunitas Makrozoobentos

Komposisi dan Kelimpahan

Komposisi jenis makrozoobentos menggambarkan kekayaan jenis yang terdapat

dilingkungannya. Kelimpahan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu

persatuan luas (Brower et al. 1990).

b

a10000K

dengan:

K = kelimpahan makrozoobentos

a = jumlah individu

b = luas plot pengambilan sampel (cm2)

10000 = konversi cm2 ke m2

Keanekaragaman

Keanekaragamanmakrozoobentos yang berada di perairan estuari dihitung dengan

menggunakan formula yang dikemukakan oleh Shannon-Winner (Krebs 1989).

pilnpiΗ '

dengan:

H' = indeks keanekaragaman jenis

pi = ni/N

ni = jumlah total individu ke-i

N = jumlah total individu

Berdasarkan nilai konversi basis logaritma oleh Brower et al.(1990) kisaran nilai

Indeks Keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

H' < 3.32 = keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap

spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah.

3.32 < H' < 9.96 = keanekaragaman sedang, penyebaran individu tiap spesiesnya

sedang dan kestabilan komunitas sedang.

H' > 9.96 = keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap

spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.

Keseragaman

Untuk mengetahui keseragaman (equitabilitas) makrozoobentos yaitu penyebaran

individu antar spesies yang berbeda digunakan indeks equitabilitas (Krebs 1989).

max'

'

dengan:

E = indeks keseragaman jenis

H' = indeks keanekaragaman

H' max = log2 S

S = jumlah spesies

Page 135: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

124

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi dan Kelimpahan Makrozoobenthos Makrozoobentosyang didapat selama penelitian sebanyak 13 jenis, yang terdiri atas 1

jenis Bivalvia, 11 jenis Gastropoda dan 1 jenis Polychaeta (Tabel 1). Jumlah individu makroozoobentos yang didapat pada masing-masing stasiun menunjukan nilai yang berbeda-beda. Hampir seluruh stasiun didominasi oleh jenis Gastropoda, dengan persentase masing-masing pada stasiun pengamatan yaitu 81 % di stasiun I, 60% di Stasiun II dan 87% di Stasiun III (Gambar 3).

Tabel 1. Komposisi Makrozoobenthoas di stasiun pengamatan

No Spesies Family Class

1 Nereis sp Nereidae Polychaeta 2 Tellina sp Tellinidae Bivalvia 3 Assiminaea sp Assimineidae

Gastropoda

4 Glycera sp Glyceridae 5 Littoria melanostoma

Littorinidae 6 Littorina conica 7 Nerita sp Neritidae 8 Cerithidea quadrata

Potamididae 9 Cerithidea cingulata 10 Terebralia 11 Cerithidea obtusa 12 Phascolosoma arcuatum Sipunculids 13 Turbo cidaris Turbinidae

Jenis Gastropoda merupakan jenis yang paling banyak didapat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan jenis sedimen, Jenis sedimen pada lokasi penelitian berupa lumpur berpasirdan dapat menopang kehidupan makrozoobentos dari jenis Gastropoda. Menurut Barnes (1987) bahwa jenis Gastropoda biasa hidup pada substrat berpasir. Selain itu hal ini juga berhubungan dengan sifat Gastropoda yang lebih toleran terhadap perubahan berbagai parameter lingkungan sehingga penyebarannya bersifat kosmopolit.

Gambar 3. Persentase jumlah jenisGastropoda (■),Bivalvia (■)dan Polychaeta (■)di masing-masing stasiun penelitian

Page 136: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

125

Polychaeta merupakan jenis paling sedikit dijumpai, hal ini sangat erat hubungannya

dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Rendahnya kelimpahan Polychaeta diduga karena

nilai salinitas pada lokasi penelitian masih tergolong payau baik pada surut maupun saat

pasang. Sanusi et al. (2005) melaporkan bahwa Polychaeta terutama jenis Nereis sp. ditemui

melimpah pada kandungan bahan organik tinggi dan salinitas berkisar antara 22-33 ‰.

Kelimpahan makrozoobentos pada Stasiun Riset cukup bervariasi. Kelimpahan

makrozoobentos di masing-masing stasiun dapat dilihat pada gambar 4.Rata-rata kelimpahan

makrozoobenthos di Stasiun I sebesar 4,444 individu/m2, Stasiun II 6,667 individu/m

2 dan di

Stasiun III 6,667 individu/m2. Tinggi atau rendahnya nilai kelimpahan makroozoobentos

pada suatu perairan sangat tergantung pada kandungan bahan organik yang ada pada substrat.

Pearson dan Rosemberg dalam Lardicci et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan bahan

organik dalam substrat akan mempengaruhi struktur dari komunitas makrozoobentos yang

dapat ditandai dengan meningkatnya jumlah spesies yang diikuti dengan meningkatnya

biomassa dan selanjutnya peningkatan kelimpahan.

Gambar 4. Rata-rata kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian

Keanekaragaman Makrozoobenthos

Indeks keanekaragaman makrozoobentos pada Stasiun Riset berkisar antara 1,24 – 2,22

(Gambar 5). Nilai keanekaragaman tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 yaitu sebesar 2.22, hal

ini erat kaitannya dengan banyaknya jenis makrozoobentos yang didapat yaitu sebanyak 10

jenis.

Kondisi suatu lingkungan perairan dapat ditentukan melalui nilai keanekaragaman.

Lardicci et al. (1997) mengemukakan bahwa dengan menentukan nilai keanekaragaman kita

dapat menentukan tingkat stress atau tekanan yang diterima oleh lingkungan. Stirn (1981)

dalamBasmi (2000) yang dikonversi dengan logaritma basis dua juga menjelaskan antara

nilai Indeks Shannon (H') dengan stabilitas komunitas biota, yaitu bila H' < 3 maka

komunitas biota dinyatakan tidak stabil, bila H' berkisar antara 3-9 maka stabilitas komunitas

biota adalah moderat (sedang) sedangkan bila H' > 9 maka stabilitas komunitas biota

bersangkutan berada dalam kondisi prima (Stabil). Dahuri et al. (2004) menambahkan bahwa

nilai keanekaragaman yang berada dibawah 3.32 tergolong rendah dan penyebaran individu

Page 137: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

126

tiap spesies rendah dan stabilitas komunitas rendah. Namun untuk menentukan apakah

keanekaragaman pada Stasiun Riset tergolong rendah atau tinggi perlu ditelaah lebih lanjut,

karena sampai saat ini belum ada standar baku untuk indeks keanekaragaman bagi biota di

Indonesia.

Gambar 5. Indeks Keanekaragaman makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian

Keseragaman Makrozoobenthos

Keseragaman jenis pada Estuari Percut diperoleh kisaran nilai 1,208 – 1,844 (Gambar

6). Nilai keseragaman ini menggambarkan keseimbangan ekologis pada suatu komunitas,

dimana semakin tinggi nilai keseragaman maka kualitas lingkungan semakin baik. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa lingkungan Stasiun Riset berada dalam kisaran baik, karena

secara keseluruhan nilai keseragaman pada setiap stasiun pengamatan tidak jauh berbeda.

Gambar 6. Indeks Keseragaman makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian

Page 138: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

127

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Jumlah Makrozoobenthos yang dijumpai pada stasiun penelitian sebanyak 13 jenis yang

terdiri dari kelas Gastropoda, Bivalvia dab Polychaeta

2. Indeks keanekaragaman tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dengan nilai 2,22

3. Indeks Keseragaman tertinggi di jumpai pada Stasiun 1 yaitu sebesar 1,844

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Data Monografi Kecamatan Percut Sei Tuan.

Azouksky AI. Chertoprous MV. Kucheruk NV. Rybnikov PV. Sapozhnikov FV. 2000.

Fractal Properties of Spation Distribution of Intertidal Benthic Communities.Marine

Biology. No. 136. pp: 581 – 590.

Badan Pusat Statistik. 2004. Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka 2003. Badan Pusat

Statistik Kabupaten Deli Serdang.

Barnes RD. 1987. Invertebrate Zoology. 5th

Edition. Philadelphia.

Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip

Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

Bogor

Brower JE. Zar JH. Ende CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology.

Edisi Ketiga. Wm C. Brown Publishers. United States of Amerika.

Dahuri R. Rais J. Ginting SP. Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir

dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan ketiga. PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Dance SP. 1977. The Encyclopedia of Shells. Bland Ford Press. London.

Day J W., Hall CAS. Daan Arancibia AY. 1989. Estuarine Ecology. John Wiley and Sons.

New York.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Google Earth. 2007. Citra Satelit Kecamatan Percut Sei Tuan. http://www.maps.google.com.

(20 Maret 2007).

Gosner KL. 1990. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. Wiley-

Interscience. Division of John Wiley and Sons Inc. New York.

Holme NA. McIntyre AD. 1971. Methods for the Study of Marine Benthos. International

Biological Programme Blackwell Scientific Publication. Philadelphia.

Krebs C. J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row. New York.

Mann KH. 2000. Ecology of Coastal Water with Implication for Management. 2nd

Edition.

Blackwell Science Inc.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. PT Djambatan. Jakarta

Odum E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Jilid 3. Penerjemah Samingan T. Gajah Mada

University Press. Jogjakarta.

Odum E.P. 1997. Ecology a Bridge between science and society. Sinauer Associates Inc.

Canada.

Page 139: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

128

Parsons T R. Takahashi M. Hargrave B. 1977. Biological Oceanographic Processes. Second

edition. Pargamon Press. New York.

Prasetyo Y. Saraswati R. Sukanta D. 2000. Persebaran Bentos dari Jenis Periglypta di

Perairan Teluk Jakarta. Di dalam: Ekosistem Pantai Indonesia; Depok: Departemen

Kelautan RI dan Jurusan Geografi UI. Hlm 17-33

Razak A. 2002. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimiawi Sedimen dan Hubungannya Dengan

Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Bandar

Bakali Padang. Thesis Pascasarjana IPB. Bogor.

Sastrawijaya AT. 1991. Pencemaran Lingkungan. PT Rineka Cipta. Jakarta

Sowerbys, 1996. Book of Shells. Crown Publisher, Inc. New York.

Sinar Indonesia Baru. 2005. Seratus Massa BPD Percut Sei Tuan Unjuk Rasa ke DPRD

Sumut. Sinar Indonesia Baru (SIB) tanggal 5 September 2005. Medan.

Sumich JL. 1979. An Introduction to The Biology of Marine Life. WM C Brown Company

Publisher. USA.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir

Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tomaszek JA.1995. Relationship between Denitrification and Redox Potential in Two

Sediment-Water Systems. Marine Freshwater Research. 46. pp:27-32.

Whilm J L. 1975. Biology Indicators of Pollution dalamWhitton B A. 1975. River Ecology.

Vol 2. Blackwell cientific Publication. Oxford.

Yulianda F dan Damar A. 1994. Penuntun Praktikum Ekologi Perairan (Pengenalan Dasar,

Metoda dan Analisis Dasar). Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan. Bogor.

Ziegelmeier E. 1972. Bottom Living Animals Macrobenthos. Dalam; Research Methods in

Marine Biology. Sidgwick & Jackson. London; pp 104-141.

Page 140: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

129

Tellina sp Assiminaea sp

Littorina conica Turbo cidaris

Nerita sp Terebralia sp

Page 141: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

130

METAPOPULASI MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas

Cuvier 1809) DI PULAU JAWA BAGIAN BARAT

Metapopulations of Javan Leopard (Panthera pardus melas Cuvier 1809)

in the Western Part of the Island of Java

Hendra Gunawan1, Vivin S. Sihombing

2 dan Robby Wienanto

3

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Alamat: Jln. Gunung Batu 5 Bogor; Hp:

085286643529-082123070720; Email: [email protected] 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Alamat: Jln. Gunung Batu 5 Bogor; Hp.

085273381907; Email: [email protected] 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Alamat: Jln. Gunung Batu 5 Bogor; Hp:

081287529686; Email: [email protected]

Abstract

Javan leopards (Panthera pardus melas Cuvier 1809) in the western part of Java have

evolved in fragmentary metapopulations that face a high risk of extinction. The objective of

the research described here was to identify and study the metapopulations of the javan

leopard in West Java and Banten Provinces. Data of leopard distribution were obtained

through GPS surveys. The distribution pattern of the javan leopard was identified and

categorised into classic metapopulations, mainland-island metapopulations, non equilibrium

metapopulations, and patchy populations. The research results showed that the population of

javan leopard in the western part of Java has been fragmented into five mainland-islands

metapopulations; nine classic metapopulations; four patchy populations; and seven non

equilibrium metapopulations. Big mountains are the cause of the mainland-island

metapopulations, which have become the source of colonization for surrounding habitats.

Non-equilibrium metapopulations face higher risk of local extinction than do mainland island

metapopulations, patchy populations and classic metapopulations due to their small size and

isolation. It is predicted that classic metapopulations will survive if there is exchange of

individuals between patches which occurs if there are few obstacles and barriers to

movement, and if there are adequate connecting corridors. For managing javan leopards in

this wide but highly fragmented home range, a landscape scale of management involving all

stakeholders is essential. Moreover, coordination and collaboration between conservation

area managers and with managers of protection forests, protected forests, plantations and

other land users is required.

Keywords: leopard, Panthera pardus, metapopulation, local extinction.

PENDAHULUAN

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) status keterancamannya terus

meningkat dari status Vulnerable pada tahun 1978, menjadi menjadi Threatened (1988),

Indeterminate (1994) Endangered (1996) dan menjadi critically endangered pada tahun 2008

(IUCN-The World Conservation Union, 1996; Cat Specialist Group. 2002; Ario et al., 2008).

Hal ini dikarenakan populasinya yang terus menurun akibat kehilangan habitat, degradasi

habitat dan fragmentasi habitat yang diperparah oleh perburuan, baik terhadap macan tutul

maupun satwa mangsanya (Gunawan, 2010).

Page 142: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

131

Perusakan habitat yang menyebabkan hilangnya habitat, degradasi kualitas dan

fragmentasi habitat merupakan penyebab paling signifikan kepunahan populasi dan spesies

(Hanski, 1998). Perusakan habitat banyak disebabkan oleh kegiatan manusia yang mengubah

tutupan lahan (land cover) atau penggunaan lahan (land use) seperti pengembangan pertanian,

pemukiman, industri, jaringan tranportasi, jaringan listrik dan lain-lain. Hal tersebut

kemudian menyebabkan degradasi habitat (habitat degradation), kehilangan habitat (habitat

loss) dan fragmentasi habitat (habitat fragmentation) (Bureau of Land Management, 2004)

Fragmentasi habitat terjadi secara evolusi pada suatu lansekap yang dicirikan oleh

pengurangan jumlah total ketersediaan habitat yang sesuai dan isolasi kantong-kantong

habitat yang tersisa (McGarigal & Marks, 1995). Fragmentasi dapat menyebabkan

pemecahan suatu populasi menjadi sub-sub populasi dalam pulau-pulau habitat (habitat

islands) kecil yang lebih rawan tarhadap kepunahan lokal. Suatu model dinamika populasi

pada habitat yang terfragmentasi pertama dikemukakan oleh Levins (1969b) sebagai teori

metapopulasi yaitu suatu populasi yang tersusun atas populasi-populasi lokal yang dianggap

akan mati dan dikolonisasi lagi secara lokal. Hanski dan Gilpin (1991), mendefinisikan

metapopulasi sebagai sekumpulan populasi-populasi lokal yang berinteraksi melalui

perpindahan individu antar populasi-populasi tersebut. Sementara menurut Hanski dan

Simberloff (1997) metapopulasi merupakan sekumpulan populasi-populasi lokal di dalam

beberapa area yang lebih besar yang ditandai migrasi dari satu populasi lokal ke beberapa

patch lain yang memungkinkan.

Metapopulasi umumnya terjadi ketika kondisi lingkungan dan karakteristik spesies

memberikan pertukaran yang kurang sempurna dari sumber individu dan genetik di antara

sub populasi. Ini terjadi khususnya ketika habitat berada pada kondisi heterogen di suatu

wilayah, provinsi atau lansekap yang menyebabkan isolasi parsial individu yang

berkembangbiak (Morrison et al., 1992).

Fragemntasi yang terjadi di hutan-hutan Pulau Jawa dalam 20 tahun terakhir telah

menyebabkan populasi macan tutul jawa terpecah-pecah membentuk metapopulasi

(Gunawan, 2010). Sub-sub populasi yang terbentuk akibat fragmentasi memiliki kerentanan

yang bervariasi terhadap peluang kepunahan lokal, tergantung pada tipe metapopulasi yang

terbentuk. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mempelajari metapopulasi macan

tutul jawa, khususnya di wilayah Jawa Bagian Barat, yaitu Provinsi Jawa Barat dan Banten.

BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2015 di kawasan hutan

Provinsi Jawa Barat dan Banten. Provinsi Jawa Barat dan Banten memiliki kawasan hutan

daratan seluas 1.018.389,70 Ha, dimana hampir separuhnya (46,1%) merupakan Hutan

Produksi (HP) yang dikelola oleh Perum Perhutani, 29,8% Hutan Lindung (HL) yang

dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten dan 14,1% Hutan Konservasi (HK) yang terdiri

atas Cagar Alam (CA) 50.316,78 Ha, Suaka Margasatwa (SM) 13.6117,50 Ha, Taman Wisata

Alam (TWA) 4.060,39 Ha dan Taman Buru (TB) 12.420,70 Ha yang dikelola oleh Balai

Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat-Banten; Taman Nasional (TN)

271.383 Ha yang dikelola oleh Balai Taman Nasional yaitu TN Ujung Kulon (TNUK, TN

Gunung Gede-Pangrango (TNGGP), TN Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dan TN Gunung

Ciremai (TNGC), serta Taman Hutan Raya (TAHURA) 631,81 Ha yang dikelola oleh Dinas

Kehutanan Provinsi.

Page 143: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

132

B. Peralatan dan Bahan

Peralatan yang dipergunakan antara lain GPS, camera trap, kamera foto, binocular dan

PC/Laptop. Bahan-bahan yang digunakan meliputi peta kawasan hutan, peta tutupan lahan,

kuesioner dan panduan wawancara.

C. Metode

Sebaran populasi macan tutul jawa diperoleh melalui data sekunder dan data primer.

Data sekunder diperoleh melalui wawancara serta kuesioner yang kemudian di-ground check

menggunakan GPS untuk konfirmasi kebenarannya. Data primer diperoleh melalui survei

populasi menggunakan GPS ke beberapa kawasan hutan yang diduga masih dihuni oleh

macan tutul jawa, berdasarkan informasi awal dari pengelola kawasan hutan (Perhutani,

BKSDA, BTN dan Dinas Kehutanan).

Data GPS sebaran macan tutul jawa kemudian di-overlay-kan dengan peta tutupan

lahan dan peta kawasan hutan untuk mengahasilkan peta sebaran macan tutul jawa di

poligon-poligon kawasan hutan. Poligon kawasan hutan yang berisi populasi macan tutul

disebut patch habitat dan didefinisikan sebagai sub populasi. Pola sebaran patch sub populasi

macan tutul jawa kemudian diidentifikasi pola hubungannya antara sub populasi yang satu

dengan sub populasi yang lain dan antar sub populasi dengan poligon kawasan hutan yang

kosong di dekatnya. Hasilnya dicocokkan kemiripannya dengan tipe-tipe metapopulasi yang

dibuat oleh Hanski & Simberloff (1997) serta (Harrison & Taylor 1997) yaitu classic

metapopulation, mainland-island metapopulation, nonequilibrium metapopulation, patchy

population yang digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tipe-tipe metapopulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tipe Metapopulasi

Hasil inventarisasi menemukan 75 titik indikasi keberadaan macan tutul jawa di Pulau

Jawa Bagian Barat (Provinsi Jawa Barat dan Banten). Sebagian besar (63%) habitat macan

tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten merupakan hutan tanaman yang dikelola

dengan intensif oleh Perum Perhutani Divisi Jawa Barat dan Banten. Sementara sekitar 37%

berada di hutan alam yang dikelola sebagai hutan konservasi dan hutan lindung. Sisanya

sekitar 5% berada hutan alam primer di puncak-puncak gunung yang sulit dijangakau

manusia (Gunawan & Wiennanto, 2015).

Populasi macan tutul jawa di Jawa Barat dan Banten telah terpecah-pecah dan

terdistribusi dalam kelompok-kelompok metapopulasi yang dapat dikelompokkan ke dalam

empat tipe metapopulasi seperti disajikan pada Tabel 1. Metapopulasi terbentuk secara

evolusi seiring perubahan tutupan lahan (land cover) yang mengikuti perubahan penggunaan

lahan (land use) di wilayah ini. Hal ini terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

“Classic” (Levins)

metapopulation Mainland – Island

metapopulation

Nonequilibrium

metapopulation Patchy Population

Keterangan : patch hitam berpenghuni,

patch putih kosong

Sumber: Hanski&Simberloff (1997);

Harrison & Taylor (1997)

Page 144: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

133

(RTRWP) dan Kabupaten (RTRWK). Fragmentasi hutan terjadi akibat perubahan

peruntukan atau konversi menjadi lahan non hutnanan, seperti jaringan jalan, jaringan irigasi,

pemukiman, pertanian, perkebunan dan industri.

Tabel/Table 1. Tipe metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan

Banten/Metapopulation types of javen leopard in West Java dan Banten

Provinces.

No. Tipe Metapopulasi

(Metapopulation

Types)

Jumlah

(Number)

Kelompok Populasi Utama (Group of Main

Population)

1 Mainland-Islands

metapopulation

5 Mainland G. Halimun-Gn. Salak; mainland G.

Gede-G. Pangrango; mainland G. Papandayan-

G. Malabar; mainland G. Patuha-G. Kendeng;

mainland G. Galunggung-G. Cikuray

2 Classic metapopulatin 9 Kelompok Gn. Karang-G. Pulasari-G. Aseupan-

Mandalika; kelompok Padarincang-Pabuaran;

Cikepuh-Jampang; kelompok

Leuweungsancang; kelompok Pangandaran;

kelompok Selajambe-Lebakwangi-Ciwaru;

kelompok Cijambe; kelompok Bojongpicung;

kelompok G. Calancang-Wado.

3 Patchy population 4 Ujung Kulon, G. Burangrang, G. Ciremai, G.

Syawal

4 Non Equilibrium

metapopulation

7 Cikalong, Cipatujah, G. Sangkur, G.

Cakrabuana, G. Malang, Cibarusah, G.

Tampomas

1. Mainland-islands metapopulation

Wilayah Pulau Jawa Bagian Barat (Provinsi Jawa Barat dan Banten) memiliki banyak

gunung-gunung besar yang masih terhubung satu dengan lainnya sehingga membentuk

mainland yang menjadi populasi sumber (source). Pusat-pusat Mainland-islands

metapopulation di Jawa Barat dan Banten adalah:

Gunung Halimun – Gunung Salak

Gunung Gede – Gunung Pangrango

Gunung Papandayan – Gunung Malabar

Gunung Patuha – Gunung Kendeng

Gunung Galunggung - Gunung Cikuray

Gunung-gunung besar tersebut merupakan mainland atau populasi sumber (source) yang

setiap saat akan mengkolonisasi kantong-kantong habitat (patches) kosong di sekitarnya.

Mainland Gunung Halimun-Gunung Salak dan mainland Gunung Gede-Gunung Pangrango

merupakan kawasan hutan konservasi berstatus taman nasional. Sementara mainland

Gunung Papandayan-Gunung Malabar, mainland Gunung Patuha-Gunung Kendeng dan

mainland Gunung Galunggung-Gunung Cikuray sebagian besar merupakan kawasan hutan

dengan status hutan lindung.

Page 145: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

134

Gambar 1. Tipe-tipe metapopulasi macan tutul jawa di Jawa Barat dan Banten.

2. Classic metapopulation

Classic metapopulation umumnya terbentuk ketika hutan terfragmentasi oleh

penggunaan non kehutanan secara masif dan ekstensif, namun masih menyisakan koridor-

koridor alami yang dapat menghubungkan antara satu fragmen hutan dengan fragmen hutan

lainnya, meskipun sulit ditempuh. Classic metapopulation telah terbentuk selama puluhan

tahun dan cenderung semakin meningkat. Pasca reformasi dan diberlakukannya otonomi

daerah tahun tahun 2000, banyak terjadi pemekaran wilayah dengan pembentukan provinsi

dan kabupaten baru. Pemekaran wilayah berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan ruang

untuk pembangunan wilayah. Pada tahap awal umumnya didahului dengan pembangunan

infrastruktur seperti jaringan jalan, jaringan listrik, jaringan irigasi, pemukiman, sentra-sentra

produksi pertanian dan perkebunan, industri dan pusat-pusat pemerintahan. Pembangunan

fasilitas-fasilitas tersebut seringkali menggunakan kawasan hutan melalui mekanisme

konversi atau pinjam pakai kawasan. Hal ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan

(habitat loss) dan fragmentasi hutan (fragmentation).Pembangunan pemukiman, pertanian

dan jalan raya yang memotong kawasan hutan telah memecah-mecah kawasan hutan yang

luas menjadi fragmen–fragmen (potongan-potongan) hutan yang sempit dan saling

terpisahkan satu sama lain sehingga sulit untuk terjadi perpindahan individu macan tutul jawa

dari satu fragmen hutan ke fragmen hutan lainnya. Akibatnya populasi macan tutul jawa

yang tersisa menjadi sulit bereproduksi karena tidak mendapatkan pasangan, atau mati

dibunuh karena tersesat masuk pemukiman dalam perjalanannya pindah ke fragmen hutan

lain.

Page 146: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

135

Gambar/Figure 2. Perubahan vegetasi hutan menjadi kebun kopi dengan pengelolaan

intensif dan pembangunan jalan tol melewati kawasan hutan

menciptakan fragmentasi habitat/Land cover change into intensive coffea

plantation and highway development through forested area create

habitat fragmentation in West Java.

3. Patchy population

Patchy population umumnya berada di kawasan konservasi yang besar. Meskipun tidaik

terhubungkan dengan populasi lain, namun populasi patchy ini dapat melangsungkan

hidupnya karena jumlah individunya cukup banyak. Adanya sungai besar, lahan kosong tak

berhutan atau garapan illegal seolah memisahkan individu-individu macan tutul dalam sub-

sub populasi, padahal mereka masih terhubungkan satu dengan lainnya dan merupakan satu

populasi besar. Individu-individu jantan yang bersifat teritorial seperti membentuk sub

populasi tersendiri dengan betina-betina yang ada di dalam ruang jelajahnya. Dengan

demikian dalam satu kawasan hutan seolah terdepat beberapa sub populasi, padahal

merupakan satu populasi besar. Patchy population terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon,

Taman Nasional Gunung Ciremai, Suaka Margasatwa Gunung Syawal dan Hutan lindung

Gunung Burangrang.

4. Non equilibrium metapopulation

Non equilibrium metapopulation terjadi ketika suatu populasi macan tutul jawa

berangsur terfragmentasi dan menyisakan luasan hutan yang sempit dan tidak terhubungkan

dengan kawasan hutan lainnya. Akibatnya populasi macan tutul jawa menjadi terisolasi dan

sama sekali tidak dapat berhubungan atau berpindah ke patch lain atau kawin dengan

individu dari populasi lain. Populasi yang terisolasi lama kelamaan akan mengalami

kepunahan lokal karena gagal bereproduksi atau terjadi inbreeding akibat perkawinan antar

kerabat dekat, akibatnya individu-individu yang lahir kualitas genetiknya buruk, misalnya

lemah sehingga mudah terserang penyakit dan mati. Populasi-populasi dalam keadaan non

equilibrium terdapat di komplek hutan Cikalong, Cipatujah, Cibarusah, G. Sangkur, G.

Cakrabuana, G. Malang dan G. Tampomas.

B. Prediksi Peluang Kepunahan Lokal

Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992) ada empat cara fragmentasi dapat

menyebabkan kepunahan lokal:

(1) Spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi;

(2) Kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya

heterogenitas internal;

Page 147: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

136

(3) Fragmentasi menciptakan populasi lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih

besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi

sosial;

(4) Fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat

menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh

merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect).

Cara pertama - spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi, telah terjadi

dengan diindikasikan semakin banyaknya macan tutul yang keluar dari kantong habitatnya.

Gunawan & Wienanto (2015) mencatat kasus keluarnya macan tutul dari kantong habitatnya

di Jawa Barat sejak tahun 2001 hingga tahun 2012 cenderung meningkat, dari satu kasus pada

tahun 2001 menjadi 16 kasus di tahun 2011. Sedangkan sampai Bulan Desember tahun 2012

baru dilaporkan 5 kasus gangguan macan tutul. Kasus terbanyak macan tutul jawa keluar

dari kantong habitat terlindungi terjadi di Suaka Margasatwa Gunung Syawal yaitu 30 kasus

sejak tahun 2001 (Gunawan & Wienanto, 2015).

Cara kedua - kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau

hilangnya heterogenitas internal, tampaknya terjadi bersamaan dengan cara pertama terjadi di

Suaka Margasatwa Gunung Syawal. Gunung Syawal merupakan satu kesatuan lanskap

dengan hutan lindung dan hutan produksi di sekitarnya. Ketika hutan lindung dan hutan

produksi masih bervegetasi hutan alam dan hutan tanaman rasamala dan pinus, populasi

macan tutul di suaka margasatwa tersebut memiliki habitat yang luas karena hutan lindung

dan hutan produksi menjadi bagian habitatnya terutama untuk mencari mangsa. Ketika hutan

lindung dan hutan produksi di sekitarnya digarap oleh masyarakat menjadi kebun kopi rakyat

dengan cara menebang habis vegetasi hutan dan tumbuhan bawahnya, maka otomatis habitat

macan tutul jawa di Suaka Margasatwa Gunung Syawal menjadi berkurang, karena areal

perburuannya menjadi kebun kopi yang sama sekali tidak bisa menjadi habitat satwa-satwa

mangsanya yang umumnya herbivora.

Cara ketiga - fragmentasi menciptakan populasi lebih kecil dan terisolasi sudah terjadi pada

populasi-populasi non equilibrium seperti di Cikalong, Cipatujah, Cibarusah, G. Sangkur, G.

Cakrabuana, G. Malang dan G. Tampomas. Populasi-populasi di Cikalong, Cipatujah,

Cibarusah memiliki resiko lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik,

kemunduran genetik atau disfungsi sosial karena populasinya benar-benar telah mengecil dan

terisolasi. Populasi-populasi ini berada di hutan produksi yang sangat rentan gangguan

aktifitas manusia. Sementara populasi-populasi di G. Sangkur, G. Cakrabuana, G. Malang

dan G. Tampomas, meskipun terisolasi naumn berada di hutan lindung yang relatif lebih

aman dari gangguan manusia.

Cara keempat - Fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga

dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh

merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect), dapat dilihat pada kasus Suaka

Margasatwa Gunung Syawal. Adanya kegiatan pembuatan kebun kopi dengan mengkonversi

hutan alam dan hutan tanaman rasamala dan pinus telah menimbulkan gangguan ekologis,

seperti hilangnya beberapa satwa mangsa yang menjadi kunci eksistensi macan tutul jawa di

suaka margasatwa tersebut. Kebun kopi rakyat ini juga dikelola dan dijaga secara intensif

sehingga aktifitas manusia di dalamnya cukup sering. Hal ini secara tidak langsung juga

telah menciptakan efek tepi bagi hutan yang tersisa di Suaka Margasatwa Gunung Syawal.

Dengan mempertimbangkan empat cara populasi menuju kepunahan lokal tersebut

maka populasi-populasi yang tergabung dalam mainland-islands metapopulation

Page 148: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

137

diperkirakan akan bertahan dalam jangka waktu yang panjang ke depan, karena setiap ada

kekosongan habitat akibat kematian atau migrasi akan diisi oleh individu-individu baru dari

“mainland” yang biasanya merupakan habitat luas dengan populasi besar dengan pusatnya

merupakan gunung-gunung yang tinggi dan besar. Populasi besar di mainland yang

umumnya relatif aman kaena terlindungi dalam status kawasan hutan konservasi dan hutan

lindung akan menjamin kelestarian populasi-populasi yang tergabung dalam tipe mainlan

island metapopulatiom.

Patchy population jika dilihat secara lanskap, sebenarnya merupakan populasi

terisolasi dari populasi lain, namun ukurannya besar sehingga diperkirakan masih akan

bertahan dalam beberapa tahun yang akan datang, jika tidak terjadi penyusutan, fragmentasi

dan degradasi habitat lebih lanjut.Patchy population yang berada di kawasan konservasi yang

cukup luas, dapat menjamin keberlangsungan populasi macan tutul jawa dalam jangka

panjang, seperti di Taman Nasional Ujung Kulon, meskipun mungkin populasinya tidak

bertambah.

Non equilibrium metapopulation merupakan populasi-populasi yang benar-benar

terisolasi dan dikelilingi oleh pemukiman dan penggunaan lahan non kehutanan sehingg

menjadi penghalang (barrier) bagi perpindahan macan tutul jawa yang ada di populasi-

populasi tersebut. Disamping terisolasi, populasi-populasi non equilibrium tersebut juga

kecil, sehingga lebih rentan terhadap kepunahan lokal. Populasi non equilibrium yang

terdapat di hutan-hutan produksi dikhawatirkan akan segera punah dalam satu atau dua

generasi yang akan datang (8-16 tahun), dengan asumsi umura tertua macan tutul di alam

adalah delapan tahun.

Classic metapopulation dalam kondisi tidak ada fragmentasi lebih lanjut, mungkin

akan bertahan dalam satu atau dua dekade mendatang. Masalahnya adalah beberapa sub

populasi dalam jaringan classic metapopulation menghadapi ancaman penyusutan habitat

hingga sampai hilang akibat penggarapan illegal atau eksploitasi kayu di hutan produksi.

Disamping itu, dengan semakin banyaknya jaringan jalan dibangun melewati kawasan hutan

akan mengundang aktifitas manusia lainnya seperti pemukiman dan budidaya pertanian yang

akan menambah intensif pengaruh tepi sehingga mempercepat proses kepunahan lokal.

C. Implikasi Manajemen

Fragmentasi memberikan pengaruh negatif karena ada habitat yang hilang;

menghasilkan kantong habitat lebih kecil sehingga mendorong pada kepunahan lokal dan

isolasi; menyebabkan habitat-habitat tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi

disebabkan oleh aktifitas non kehutanan; dan jumlah edge meningkat sehingga merugikan

spesies interior (Barnes, 2000). Spesies interior adalah spesies yang menyukai tinggal di

bagian tengah (core) habitat dengan vegetasi hutan yang relatif utuh dan jauh dari pinggiran

hutan yang biasanya berbatasan dengan tutupan lahan selain hutan, misalnya pertanian lahan

kering, sawah, pemukiman, jalan atau perkebunan. Macan tutul jawa termasuk satwa interior

dan cenderung menjauhi daerah tepi hutan dan aktifitas manusia. Menurut Gunawan (2016 in

press), macan tutul jawa menyukai hutan alam primer di daerah pegunungan dengan elevasi

di atas 1000 m dpl dan bertopografi curam dan sangat curam. karena aman dari gangguan

aktifitas manusia.

Mekanisme dan proses fragmentasi menghasilkan tiga tipe pengaruh, yaitu : (1)

pengaruh ukuran patch; (2) pengaruh tepi (edge effect); dan (3) pengaruh isolasi (Fahrig,

2003). Pengelola satwaliar harus memperhatikan semuanya karena ketiganya biasanya

terjadi bersama-sama seiring dengan fragmentasi habitat dan masing-masing memerlukan

penanganan yang berbeda (Franklin et al., 2002; Fahrig, 2003).

Implikasi bagi manajemen adalah agar fragmentasi hutan tidak menyebabkan

penyusutan habitat terlalu besar, tidak memberikan efek tepi terlalu luas dan tidak

Page 149: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

138

menciptakan isolasi yang terlalu berat dengan cara mencegah terjadinya perubahan tutupan

hutan menjadi non kehutanan di sekitar jalan atau infrastruktur lain yang membelah kawasan

hutan. Oleh karena itu, pembangunan jalan atau infrastruktur lain melalui kawasan hutan

yang menjadi habitat satwa penting, diusahakan agar tidak mengubah status fungsi kawasan

hutan menjadi penggunaan lain. Dengan demikian, perijinan pembuatan jalan atau

infrastruktur lainnya yang melalui kawasan hutan sebaiknya dilakukan dengan skema ijin

pinjam pakai kawasan atau melalui mekanisme kerjasama kolaborasi dengan pengelola

kawasan hutan.

Implikasi manajemen dari pengaruh ukuran patch yang mengecil akibat fragmentasi

adalah melakukan rehabilitasi atau restorasi habitat-habitat yang terdegradasi di sekitar patch

yang berisi macan tutul jawa atau menetapkan daerah penyangga (buffer) di sekitar patch

yang kecil untuk memperluas habitat. Menurut Gunawan (2010) home range seekor macan

tutuo jawa jantan adalah sekitar 600 Ha yang overlap dengan home range betina-betina

pasangan kawinnya. Dengan demikian, untuk satu sub populasi diperlukan lebih dari 600 Ha.

Oleh karena itu apabila terjadi degradasi atau fragmentasi hutan diusahakan agar tidak sampai

menciptakan patch dengan luas kurang dari 600 Ha. Apabila telah terlanjur ata sub populasi

acan tutul jawa yang berada pada habitat dengan luasan 600 Ha atau kurang, maka harus

dilakukan upaya penyelamatan berupa pengkayaan habitat, perluasan habitat atau translokasi

ke lokasi lain.

Implikasi manajemen dari isolasi habitat akibat fragmentasi adalah mencegah

terjadinya isolasi atau menghubungkan kembali sub-sub populasi yang terisolasi melalui

pembangunan koridor perpindahan (movement corridor). Koridor-koridor perlu dibangun

untuk menghubungkan sub-sub populasi dalam classic metapopulation maupun dalam non

equlibrium metapopulation.

Koridor memiliki peranan yang sangat strategis terutama jika antar patch habitat

dipisahkan oleh bukan saja jalan raya tetapi juga oleh penggunaan lahan lainnya seperti

pemukiman, lahan pertanian, jaringan irigasi dan lain-lain sehingga jarak antar patch habitat

cukup jauh (Gunawan, 2014). Menurut Meret (2007) koridor perlu dibuat karena

memberikan manfaat:

(1) Meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara keragaman,

meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan kepunahan dan

menghindarkan inbreeding.

(2) Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah yang luas.

(3) Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran dan

gangguan lainnya.

Sebaran populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten sebagian besar

(63%) di hutan tanaman produksi, artinya 63% populasi tersebut menghadapi ancaman

akibat penebangan, penggarapan lahan, konversi dan pinjam pakai kawasan serta gangguan

oleh berbagai aktifitas manusia lainnya. Hal ini membawa konsekuensi perlunya upaya

manajemen populasi macan tutul jawa di hutan produksi, yang pasti membutuhkan perlakuan

berbeda dari hutan konservasi. Manajemen khusus ini diperlukan untuk menjaga agar proses

penebangan, penggarapan, konversi dan pinjam pakai kawasan tidak sampai menimbulkan

degrafasi habitat, kehilangan habitat dan fragmentasi habitat.

Karnivora besar seperti macan tutul jawa memiliki wilayah jelajah luas hingga

melintasi beberapa kabupaten atau provinsi serta meliputi berbagai tipe dan status

penggunaan lahan. Oleh karena itu manajemen populasinya harus berbasis lanskap atau

bentang alam yang bisa mencakup beberapa kabupaten atau provinsi. Hal ini tentu

memerlukan adanya koordinasi antar pengelola lahan seperti pengelola hutan konservasi,

pengelola hutan lindung, pengelola hutan konservasi dan pengelola perkebunan serta pihak-

pihak lainnya yang terkait.

Page 150: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

139

KESIMPULAN DAN SARAN

Fragmentasi hutan di Jawa Barat dan Banten telah menyebabkan populasi-populasi

macan tutul jawa terdistribusi dalam empat tipe metapopulasi, yaitu: lima mainland-islands

metapopulation; sembilan classic metapopulation; empat patchy population; dan tujuh non

equilibrium metapopulation. Gunung-gunung besar di wilayah ini menjadi pusat-pusat

mainland-islands metapopulation dan menjadi populasi sumber kolonisasi pulau-pulau habitat

(habitat islands) di sekitarnya.

Populasi-populasi non equilibrium memiliki resiko kepunahan tertinggi dibanding

populasi-populasi dalam mainland island, patchy dan classic metapopulation karena dalam

jumlah kecil dan terisolasi. Populasi-populasi dalam kelompok classic metapopulation masih

bisa bertahan jika pertukaran individu antar patch tidak menghadapi rintangan berat atau

dibantu dengan pembuatan koridor perpindahan.

Untuk manajemen populasi macan tutul jawa yang memiliki daerah jelajah luas

namun telah banyak terfragmentasi diperlukan manajemen dalam skala lanskap yang

melibatkan banyak stakeholders. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi dan kerjasama

antar pengelola hutan konservasi, pengelola hutan produksi, pengelola hutan lindung,

pengelola perkebunan dan pengelola lahan lainnya yang terkait.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat –

Banten; Seluruh KPH Perum Perhutani di wilayah Jawa Barat dan Banten; Balai Besar

Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat-Banten; Taman Nasional Ujung Kulon, TN.

Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Ciremai; Conservation

International (CI, Indonesia) dan Taman Margasatwa Cikembulan, Garut yang telah

berkontribusi data. Terima kasih juga disampaikan kepada Graham Eagleton yang telah

memberikan koreksi bahasa Inggris dan saran perbaikan umum pada naskah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ario, A., S. Sunarto & J. Sanderson. 2008. Panthera pardus ssp. melas. In: IUCN 2008 Red

List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org. Diakses Tanggal 13 Januari

2009.

Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems Management. Cooperative

Extension Services, University of Kentucky, College of Agriculture. UK.

http://www.ca.uky.edu. Diakses Tangal 24 Februari 2007.

Bureau of Land Management. 2004. Share the Adventure; Tracking Habitat Change.

Educator‘s guide: Electronic Field Trip. U.S. Department of the Interior, Bureau of

Land Management, Environmental Education and Volunteers Group, Washington, DC.

39p.

Cat Specialist Group. 2002. Panthera pardus. In 2006 IUCN Red List of Threatened Species.

IUCN 2006. Diakses 12 Mei 2006.

Fahrig, L. 2003. Effects of Habitat Fragmentation on Biodiversity. Annual Reviews of

Ecology & Systematics 34:487–515.

Franklin, A.B., B.R. Noon & T. L.George. 2002. What Is Habitat Fragmentation? Studies in

Avian Biology No. 25:20-29. http://www.humboldt.edu/tlg2/

publications/what_is_habitat_fragmentation. pdf . Diakses Tanggal 11 Mei 2007.

Page 151: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

140

Gunawan, H. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas

Cuvier, 1809) Di Lanskap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor,

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Gunawan, H. 2014. Dampak Rencana Pembangunan Jalan Melintasi Kawasan Lindung

Terhadap Keseimbangan Ekosistem Dan Habitat. Makalah disampaikan pada National

Inception Workshop dengan tema ―Membangun Ketahanan Hutan Hujan Tropis

Sumatera untuk Mitigasi Perubahan Iklim and Keanekaragaman Hayati‖, Di Hotel

Santika Dyandra, Medan, Tanggal 23-24 September 2014.

Gunawan, H. 2016. Preferensi Habitat Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier

1809) Di Jawa Bagian Barat. In press.

Gunawan, H. & R. Wienanto. 2015. Sebaran Ekologis dan Ancaman Kepunahan Lokal

Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) Di Jawa Bagian Barat.

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional menyambut Hari Cinta Puspa dan Satwa

Nasional Tahun 2015 dengan tema Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan

Berkelanjutan. Bogor, 24 November 2015.

Hanski, I. 1998. Metapopulation Dynamics. Nature, Vol 396, 5 November 1998.

Macmillan Publishers Ltd. www.nature.com. Diakses tanggal 09 Mei 2008.

Hanski, I. & D. Simberloff. 1997. The Metapopulation Approach, Its History, Conceptual

Domain, and Application to Conservation. pp. 5–26. In I. A. Hanski and M. E. Gilpin

(eds.), Metapopulation Biology. Academic Press, San Diego, Californina.

Hanski, I. & M. Gilpin. 1991. Metapopulation Dynamics: Brief History and Conceptual

Domain. Biological Journal of the Linnean Society 42:3–16.

Harrison, S. & Taylor, A. D. 1997. Empirical Evidence for Metapopulation Dynamics. In:

Hanski, I. and Gilpin, M. E. (Eds.) Metapopulation Biology: Ecology, Genetics, and

Evolution. Academic Press, San Diego. pp. 27-42.

IUCN - The World Conservation Union. 1996. The IUCN Redlist of Threatened Species.

Leopard Panthera pardus Linnaeus 1758. http://www.iucnredlist. org. Diakses

Tanggal 2 Mei 2007.

Levins, R. 1969. Some Demographic and Genetic Consequences of Environmental

Heterogeneity for Biological Control. Bulletin of the Entomological Society of

America, 15, 237-240

McGarigal, K. & B. J. Marks. 1995. Fragstats: Spatial Pattern Analysis Program for

Quantifying Landscape Structure. USDA For. Serv. Gen. Tech. Rep. PNW-351.

http://www.innovativegis.com/basis/Supplements/BM_Aug_99/ FRAG_expt.htm.

Diakses Tanggal 12 April 2006.

Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. http://www.science.

mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-2007.

Morrison, M.L., B.G. Marcot & R.W. Mannan. 1992. Wildlife-Habitat Relationships.

The University of Wisconsisn. Madison, Wisconsin.

Page 152: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

141

KERAGAMAN DAN HUBUNGAN KEKERABATAN FAMILI

DICROGLOSSIDAE (AMFIBI : ORDO ANURA)

BERDASARKAN MORFOMETRIK DI KAWASAN SIBOLANGIT

KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA

Junaydy Michael Angelo Ginting

1, Arlen Hanel John

2, Saleha Hannum

2

1Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara

2 Staf Pengajar Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara

Jl. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155

Email : [email protected]

Abstract

The research of diversity and relationship of Family Dicroglossidae (Amphibian : Order

Anura) based on morphometrics in Sibolangit, Deli Serdang District has been conducted

from January to July 2015 with seven sampling area (Sibolangit Nature Park, Bandar Baru,

Sibolangit, Bingkawang, Batu Mbelin, Sembahe and Timbang Lawan village). Survey and

direct collection methods were used in this study. Measurement was carried out for 31

morphometrics characters using caliper digital. The result showed that 5 species diversity

coefficients was below 20%, because small populations, endemic species, pollutions and

food. Dicroglossidae‟s morphometrics relationship for all varieties depend on body size and

morphometrics. The similarity of characters could be caused by food related habitat and food

habit.

Keywords: Amphibi, Dicroglossidae, morphometrics, relationship, Sibolangit

PENDAHULUAN

Dicroglossidae (Anderson, 1871) merupakan salah satu famili dari Ordo Anura yang

memiliki persebaran yang cukup luas (Iskandar, 1998; Mistar, 2003). Famili ini menyebar di

seluruh Asia Tenggara, India, Jepang Selatan, hingga Papua Nugini. Kelompok yang dulu

pernah disatukan dengan Ranidae ini memiliki mempunyai tubuh menggembung serta tidak

adanya lipatan dorsolateral yang memisahkan famili ini dengan Dicroglossidae. Jari-jari tidak

melebar dan tidak membentuk lekuk sirkum marginal (Iskandar, 1998).

Penyebaran Dicroglossidae yang sangat luas kemungkinan menyebabkan terjadinya variasi

morfologi pada masing-masing spesiesnya. Sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai

morfometrik.

Pengamatan morfometrik dapat menduga ukuran populasi spesies yang berpengaruh

pada keragaman genetik, sehingga dapat menduga kemungkinan populasi tersebut mengalami

kepunahan atau terancam (Kamariah, 2011). Selain itu Warwick et al. (1995) menyatakan

bahwa ukuran-ukuran tubuh berguna untuk menelusuri asal-usul dan hubungan filogenetik

antar hewan yang diamati.

Penelitian mengenai morfometrik dan hubungan kekerabatan Amfibi di Sumatera

Utara masih sangat minim, khususnya Dicroglossidae. Hanya terbatas pada inventarisasi dan

eksplorasi jenis-jenis, seperti kawasan Leuser (Mistar, 2003), TWA Sibolangit dan Sembahe

(Siregar, 2010), Desa Batu Mbelin (Pradana, 2012), dan Batang Toru (Handayani, 2014).

Penelitian tentang morfometrik di kawasan Sumatera lain, seperti Sumatera Barat telah

dilakukan oleh beberapa peneliti. Gusman (2003) melaporkan bahwa secara morfometri

beberapa genus dari Famili Ranidae dan Bufonidae. Fauzan (2009) juga telah melaporkan

Page 153: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

142

mengenai Fejervarya limnocharis danNesty (2013) mengenai variasi Duttaphrynus

melanostictus.

Sumatera Utara merupakan bagian dari pulau Sumatera memiliki kondisi alam yang

menarik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Salah satu kawasan ekosistem yang

memiliki tingkat keanekaragaman satwa tinggi adalah kawasan Sibolangit, yang merupakan

satu kesatuan dengan hutan Tahura Bukit Barisan, serta memiliki biodiversitas yang sangat

tinggi, diantaranya adalah amfibi Berdasarkan kondisi alamnya, Sibolangit merupakan daerah

yang memiliki topografi alam berupa pegunungan, sungai, berbukit-bukit, hutan wisata dan

pemukiman. Selain itu, kawasan ini merupakan salah satu tempat tujuan objek wisata

(Siregar, 2010; Pradana, 2012; Widodo, 2003).

Kondisi alam Sibolangit yang bervariasi tersebut menjadi alasan untuk mengetahui

variasi morfometrik dan hubungan kekerabatan Dicroglossidae untuk melihat kemungkinan

terjadinya variasi morfologi, yang berhubungan dengan status konservasi dan hubungan

kekerabatan famili tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman dan

hubungan kekerabatan Dicroglossidae berdasarkan morfometrik di hutan kawasan Kecamatan

Sibolangit, Kabupaten Deli Srdang, Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai Juli 2015 di hutan Kawasan

Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Metode yang digunakan

yaitu pencarian aktif (Survey Eksploratif) dan koleksi langsung pada lokasi di 7 area

sampling (TWA Sibolangit, hutan desa Bandar Baru, Sibolangit, Bingkawang, Batu Mbelin,

Sembahe dan Timbang Lawan). Pengamatan di masing-masing lokasi dilakukan pada malam

hari (jam 19.00-23.00 WIB). Sampel yang diambil maksimal 5 individu per spesies pada

masing-masing lokasi. Pengukuran karakter morfometrik dilakukan terhadap 31 karakter

morfometrik menurut Nesty (2013) (Gambar 1.) dengan digital caliper, kemudian

diidentifikasi dengan buku panduan lapangan Amfibi Kawasan ekosistem Leuser (Mistar,

2003), lalu dilepas kembali di habitatnya. Apabila sampel tidak mencukupi dapat dilakukan

pengukuran yang sama pada spesimen di laboratorium yang berasal dari lokasi yang sama.

Gambar 1.PB: Panjang badan, PK: Panjang kepala, LK: Lebar kepala, JMT: Jarak dari

moncong sampai tympanum, PM: Panjang moncong, JHM: Jarak dari hidung sampai

moncong, JMM: Jarak dari mata sampai moncong, JHT: Jarak dari hidung sampai

tympanum, JMH: Jarak dari mata sampai hidung, JMTi: Jarak dari mata sampai tympanum,

DT: Diameter tympanum, JMHi: Jarak dari mandibula sampai hidung, JMMD: Jarak dari

mandibula sampai mata bagian depan, JMMB: Jarak dari mandibula sampai mata bagian

belakang, JIN: Jarak Inter Nares, DM: Diameter mata, JIO: Jarak Inter Orbital, PKM:

Panjang kelopak mata, PMD: Panjang manus sampai digiti, PBr: Panjang branchium, PAb:

Page 154: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

143

Panjang Antebranchium, PKB: Panjang kaki belakang, PF: Panjang Femur, PT: Panjang

Tibia, PMTJ4: Panjang dari metatarsus sampai ujung jari ke empat kaki belakang, PTJ4:

Panjang dari tarsus sampai jari ke empat kaki belakang, PJ3KD: Panjang jari ke tiga kaki

depan, PJ1KD: Panjang jari pertama kaki depan, PJ4KB: Panjang jari ke empat kaki

belakang, PJ1KB : Panjang jari pertama kaki belakang, dan PTM : Panjang tuberkulum

metatarsal.

Analisis Data Morfometrik

Data-data morfometrik yang didapat dianalisis menggunakan Statistik deskriptif yang

meliputi rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman, yang dihitung berdasarkan rumus

Standsfield (1983), sebagai berikut:

Rataan

n

xx

n

i i 1

Keterangan :

x : nilai rataan

n : jumlah seluruh sampel pengamatan

ix

: data ke-i

Simpangan Baku

n

i

i

n

xxs

1

2

1

)(

Keterangan :

s : simpangan baku

ix

: data ke-i

x : rataan data pengamatan

n : jumlah seluruh sampel pengamatan

Koefisien Keragaman (KK)

%100x

SKK

Keterangan:

KK : koefisien keragaman (%)

S : simpangan baku

x : rataan data pengamatan

Analisis Hubungan Kekerabatan

Untuk mengetahui hubungan kekerabatan berdasarkan morfometrik, rata-rata

morfometrik setiap karakter morfometrik dikelompokkan ke dalam interval menurut

Distribusi Frekuensi. Data disusun ke dalam bentuk kelompok mulai dari yang terkecil

sampai yang terbesar berdasarkan kelas-kelas interval dan kategori tertentu. Penentuan

interval untuk memudahkan rentang ukuran tubuh katak, dimulai dari nilai 0, yang berarti

ukuran sangat kecil/pendek, 1 = ukuran kecil/pendek, 2= ukuran sedang (medium), 3= ukuran

besar/panjang, dan 4= ukuran sangat besar/panjang. Pengkodean karakter tersebut mengikuti

Amat et al. (2013) namun dimodifikasi terhadap nilai kuantitatif morfometrik. Hasil notasi

Page 155: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

144

yang ditemukan di masukkan ke dalam program software Mega 6. dengan metode UPGMA

dalam mengkonstruksi filogeninya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan koefisien keragaman morfometrik dan

hubungan kekerabatan jenis-jenis Dicroglossidae di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli

Serdang berdasarkan morfometrik.

Koefisien Keragaman Morfometrik

Famili Dicroglossidae yang ditemukan terdiri dari 4 spesies. Pengukuran dan analisis

morfometrik Dicroglossidae yang ditemukan di Kecamatan Sibolangit didapatkan kisaran

koefisien keragaman dan rata-rata koefisien keragaman yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kisaran Koefisien Keragaman dan Rata-rata Koefisien Keragaman

No. Spesies Kisaran KK Rata-rata KK (%)

1.

Katak Hijau,

Fejervarya cancrivoraGravenhorst,

1829 2,5 ± 33,6 13,2

2.

Katak Tegalan,

Fejervarya limnocharisBoie, 1835 0,9 ± 38,5 10,3

3.

Katak Panggul,

Limnonectes blythiBoulenger, 1920 0,7 ± 21,4 4,6

4.

Bangkong Tuli,

Limnonectes kuhliiTschudi, 1833 1,9 ± 66,2 17,7

5.

Bancet Sumatra,

Occidozyga sumatranaPeters, 1877 2,5 ± 31,9 10,4

Berdasarkan hasil analisis Statistik Deskriptif dapat dilihat bahwa terdapat variasi

kisaran dan rataan KK pada masing-masing spesies. Koefisien keragaman (KK) tertinggi

ditemukan pada spesies Limnonectes kuhlii mencapai 17,7%, selanjutnya disusul spesies

Fejervarya cancrivora yang mencapai 13,2%, berikutnya spesies Occidozyga sumatrana

yang berkisar 10,4%, kemudian spesies Fejervarya limnocharis yang mencapai KK sekitar

10,3%, serta nilai KK paling rendah, ditemukan pada spesies Limnonectes blythi sebesar

4,6%.

Kamariah (2011) menjelaskan bahwa koefisien keragaman dapat mengindikasikan

bahwa spesies tersebut memiliki status konservasi yang masih dapat dipertahankan maupun

yang terancam. Koefisien keragaman yang tinggi mengindikasikan bahwa spesies tersebut

memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi pula. Syahid (2009) menjelaskan bahwa

koefisien keragaman yang mencapai lebih dari 20% merupakan koefisien keragaman yang

tinggi, sedangkan apabila kurang dari 20%, maka koefisien keragaman tergolong rendah.

Dari seluruh spesies yang ditemukan koefisien keragaman yang didapat tergolong

rendah karena lebih rendah dari 20%. Menurut Kamariah (2011) koefisien keragaman yang

rendah mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki keragaman genetik yang cukup

rendah dan dapat terancam di masa yang akan datang.

Rendahnya koefisien keragaman morfometrik memperlihatkan differensiasi karakter

pada masing-masing spesies, mengindikasikan bahwa telah terjadi faktor-faktor internal

maupun eksternal yang mempengaruhinya. Salamena et al. (2007) menjelaskan bahwa

keragaman dalam suatu populasi dapat menurun karena adanya seleksi alam, perubahan

lingkungan dan kematian. Hal tersebut dapat mengurangi jumlah populasi, sehingga

keragaman genetik rendah dan menunjukkan semakin besar kemungkinan spesies tersebut

punah. Selain itu Kurniati (2007) menjelaskan kawasan hutan Sumatera, khususnya Sumatera

Page 156: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

145

bagian utara, termasuk kawasan Sibolangit tengah mengalami ancaman seperti penurunan

habitat alami, dan konversi hutan menjadi lahan pertanian, ekowisata dan perkebunan,

menjadikan Dicroglossidae terancam keberadaannya.

Faktor lain yang menyebabkan keragaman rendah pada suatu spesies, yaitu karena populasi

kecil. Fejervarya limnocharis mengalami ancaman karena disebabkan populasi.

Spesies ini jauh lebih sedikit di Sibolangit. Menurut IUCN (2015), perambahan

(logging) hutan tidak memberikan pengaruh serius bagi spesies ini, namun populasi di

Kecamatan Sibolangit dapat menjadi ancaman, sebab deforestasi dapat mengancam populasi

yang sedikit. Pada umumnya berkurangnya populasi akan mempengaruhi ukuran populasi

dan merujuk kepada ancaman kepunahan, yang akan menyebabkan jenis-jenis di dalamnya

akan mulai punah (Pounds & Crumps, 1994; Pounds et al., 1999). Di samping itu jenis katak

ini sering diburu untuk dijadikan sebagai makanan ikan hias.

Selain karena populasi yang kecil, spesies endemik juga menjadi ancaman karena

memiliki koefisien keragaman yang cukup rendah, seperti Occidozyga sumatrana. Spesies

endemik memiliki penyebarannya yang terbatas pada suatu wilayah tertentu. Meskipun

secara keseluruhan spesies ini tersebar luas di Sumatera, namun tidak sepenuhnya wilayah

Sumatera bisa ditemukan spesies-spesies ini. Spesies endemik biasanya memiliki

karakteristik-karakteristik tertentu dalam memilih tipe habitatnya (Fiesta-Bianchet &

Appolonio, 2003). Kondisi lingkungan yang spesifik dan tertentu menentukan hidup jenis

endemik. Spesies endemik umumnya terbentuk dari fragmentasi habitat yang menyebabkan

populasi terisolasi. Hal ini juga dipengaruhi variasi cuaca dan iklim yang dimiliki lingkungan

secara spesifik (Kruckeberg & Rabinowitz, 1985; Gentry, 1986, dan Major, 1988)

Ancaman spesies Dicroglossidae yang menyebabkan keragaman rendah dapat

disebabkan oleh beberapa gangguan. Gangguan yang ada di lokasi penelitian antara lain

pencemaran air. Katak memerlukan air untuk siklus hidupnya, karena memiliki kulit yang

permiabel dan lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dibandingkan reptil, burung,

mamalia (Darmawan, 2008).

Gangguan-gangguan tersebut dapat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas telur

dan perkembangan telur amfibi (Carey et al. 2003), diantaranya terjadinya malformasi

(kecacatan). Kecacatan ditemukan pada 1 jenis. Jenis Limnonectes kuhlii merupakan jenis

yang memiliki kecacatan. Kecacatan yang di temukan yaitu jenis Hemimelia (bagian ujung

kakinya/jarinya tidak ada) (Gambar 1).

Gambar 1. Kecacatan yang ditemukan pada Dicroglossidae; (A) Jenis Limnonectes kuhlii

yang mengalami kecacatan; (B) Hemimelia pada jenis Limnonectes kuhlii

Lokasi ditemukannya jenis yang cacat yaitu lokasi Bumi Perkemahan Sibolangit.

Lokasi ini memang sedikit tercemar dengan adanya limbah-limbah produk makanan,

shampoo, sabun dan bahan kimia aktif lainnya yang bersentuhan langsung dengan sungai.

Pencemaran air seperti ini dapat menyebabkan kecacatan (malformasi) pada perkembangan

telur katak yang rentan terhadap polusi lingkungan. Selain itu, penduduk menggunakan

Page 157: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

146

pestisida untuk tanaman di sekitar sungai dan sisa-sisa sampah wisatawan juga mengambil

peran dalam pencemaran di lingkungan tersebut.

Tingkat kecacatan masih dianggap normal jika persentase masih kurang dari 5%

(Johnson et al.2003). Persentase di lokasi kurang dari 5% karena kecacatan yang ditemukan

hanya terjadi pada 1 individu saja, sehingga masih wajar. Namun ini bisa menjadi ancaman

dan tingkat kecacatan menjadi meningkat di masa akan datang apabila pencemaran tidak

diperhatikan. Apabila keadaan ini akan terus meningkat, tentu saja akan menimbulkan

kegagalan reproduksi katak tersebut. Stewart (1995) mengatakan bahwa kegagalan

reproduksi terjadi dalam setahun dapat menyebabkan populasi menurun untuk spesies-spesies

yang memiliki siklus hidup singkat. Apabila populasi menurun akan sangat mudah terancam

apabila terjadi deforestasi hutan di masa yang akan datang.

Sementara ancaman lain juga menyerang spesies Dicroglossidae, seperti Limnonectes

kuhlii, Fejervarya cancrivora,dan Limnonectes blythi. Penurunan keragaman morfometrik

spesies ini disebabkan karena turunnya populasi di alam bebas. Spesies-spesies ini

merupakan spesies yang sering dikonsumsi oleh masyarakat (Iskandar, 1998; Nurmainis,

2000; Pratomo, 2002). Pemanfaatan berlebihan juga dapat mengurangi populasi spesies di

lingkungan (Cadman, 2007). Biasanya daging katak yang sering dimanfaatkan yaitu katak

berukuran besar. Pemilihan individu-individu yang berukuran besar dalam penggunaannya

sebagai makanan secara komersil akan meninggalkan populasi yang berukuran kecil. Selain

itu pengambilan individu yang berukuran besar dikhawatirkan secara keseluruhan merupakan

individu betina yang matang akan reproduksi (siap untuk bertelur). Ini akan sangat

mempengaruhi kelangsungan populasi spesies itu sendiri nantinya.

Koefisien keragaman yang rendah sangat sesuai dengan spesies Limnonectes blythi

yang menurut IUCN berstatus Near Threatened. Near Threatened adalah kategori IUCN yang

diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi dan spesies tersebut mendekati persyaratan

kategori terancam (kritis, genting dan rentan) dalam waktu dekat (IUCN, 2015). Oleh karena

itu, koefisien keragaman yang kecil pada spesies ini menunjukkan bahwa kemungkinan

spesies ini akan terancam punah. Kamariah (2011) yang menyatakan bahwa semakin kecil

ukuran populasi suatu spesies, maka semakin kecil keragaman genetik, sehingga semakin

besar kemungkinan populasi tersebut mengalami kepunahan.

Hubungan Kekerabatan Dicroglossidae Berdasarkan Morfometrik

Hubungan kekerabatan dilakukan pada 7 spesies yang ditemukan di Kawasan

Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang berdasarkan nilai interval dari masing-

masing parameter morfometrik. Hubungan kekerabatan berdasarkan famili tersebut disajikan

dalam bentuk kladogram (Gambar 2). Kladogram yang disajikan menampilkan jarak genetik

pada masing-masing spesies. semakin jauh jarak genetik suatu spesies, maka semakin tinggi

perbedaan karakter morfometriknya, dengan kata lain semakin jauh hubungan

kekerabatannya.

Pada jarak 0,40 memisahkan kelompok Dicroglossidae menjadi dua bagian utama

klaster. Bagian klaster pertama, pada jarak 0,35 membagi Dicroglossidae menjadi dua spesies

pada cabang 0,05, yaitu Fejervarya cancrivora dan Limnonectes blythi. Pengelompokan

kedua spesies ini disebabkan karena ukuran rata-rata kedua spesies ini jauh lebih besar

dibandingkan dengan spesies lain.

A B

Page 158: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

147

Gambar 2. Hubungan Kekerabatan Famili Dicroglossidae berdasarkan Morfometrik.

Pada claster kedua, yaitu pada jarak 0,22, membagi Dicroglossidae menjadi dua

bagian. Pada bagian pertama, pada jarak 0,19 terdapat spesies Limnonectes kuhlii. Pada

cabang berikutnya, yaitu jarak 0,16 terdapat dua spesies, yaitu Fejervarya limnocharis dan

Occidozyga sumatrana. Pengelompokan kedua spesies ini disebabkan ukuran tubuh kedua

spesies ini cenderung lebih kecil dibandingkan spesies Dicroglossidae yang lain, hingga

menjadikan dua spesies ini sangat dekat kekerabatannya. Sibuea et al. (1995) menyatakan

bahwa persamaan karakteristik dapat disebabkan habitat yang berkaitan dengan makanan dan

tingkah laku makan di masing-masing habitatnya. Kedua spesies ini memiliki habitat yang

sama, yaitu sungai berarus deras maupun lambat, genangan-genangan air maupun kolam.

Setiap spesies Dicroglossidae memiliki variasi berbeda-beda, namun memiliki

hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Variasi morfometrik yang terjadi pada suatu spesies

dengan satu spesies lain dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kondisi habitat,

jarak antar populasi dan isolasi geografis. Semakin jauh jarak antar populasi semakin tinggi

perbedaan karakter fenotipnya. Di samping itu, Wibowo (2008) terjadinya diferensiasi

karakter morfometri disebabkan oleh adanya isolasi geografis, pengaruh lingkungan dan

habitat populasi. Perbedaan spesies satu dengan spesies yang lainnya juga disebabkan karena

barier ekologi.

Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan morfologi antara spesies dengan yang

lainnya, yaitu faktor lingkungan seperti kondisi habitat dan perbedaan ekosistem

(Jumilawaty, 2002). Ekosistem suatu spesies sangat mendukung perubahan morfologi dan

adaptasi suatu spesies, perbedaan jenis makanan, mekanisme pertahanan dan evolusi spesies.

Hal ini menyebabkan perbedaan famili dengan famili lainnya

Pengelompokan Dicroglossidae yang diamati pada penelitian ini memberikan hasil

yang agak berbeda. Pengelompokkan tersebut terlihat mengelompok berdasarkan ukuran;

tidak pada kesamaan ciri dan karakter morfologi.

Hasil ini membuktikan bahwa ukuran morfometrik suatu spesies dengan yang lainnya

bukan hanya dipengaruhi oleh kesamaan habitat, melainkan perbedaan fisiologis dan

morfologis yang tentunya mempengaruhi ukuran tubuh. Thompson & Thoday (1979)

menyatakan bahwa variasi kuantitatif pada bobot badan yang dibentuk oleh variasi dalam gen

memberikan pengaruh terhadap ukuran dan rata-rata pembelahan sel, susunan otot, fungsi

endokrin, panjang tulang nilai metabolisme, asupan nutrisi dan angka kecernaan, yang secara

otomatis akan menimbulkan persamaan ukuran tubuh.

Page 159: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

148

Daftar pustaka

Amat, F., Wollenberg, K. C., Vences., M. 2013. Correlates of Eye Colour and Pattern in

Mantellid Frog. Salamandra 49 (1) : 7-17.

Cadman, M. 2007. Consuming Wild Life: The Illegal Exploitation of Animal In South Africa

Zimbabwe and Zambia. A Preliminary Report for animal Right africa and Xwe

African Wild Life.

Carey, C., Corn, P.S., Jones, M.S., Livo, L.J., Muths, E. & Loeffler, C.W. (2003)

Environmental and life history factors that limit recovery. In: Southern Rocky

Mountain populations of borealtoads (Bufo boreas). Status and conservation of North

American amphibians (ed. by M. Lanoo), pp. 00–00. University of California Press,

Berkeley, CA

Darmawan, B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe habitat : Studi Kasus di Eks-

HPH PT. Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. [Skripsi]. Bogor:

Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana.

Fauzan. 2009. Differensiasi Morfometri Fejervarya limnocharis (Gravenhorst, 1829) Di

Sumatera Barat. [Skripsi]. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang.

Fiesta-Bianchet, M. & Apollonio, M. 2003. Animal Behaviour and Wildlife Conservation.

Island Press: Washington DC, USA

Gentry A.H. 1986. Endemism in tropical versus temperate communities. In: Soule´ M.E. (ed)

Conservation Biology: The Science of Scarcity and Diversity. Sinauer Associates,

Sunderland, Massachusetts, pp. 153–181.

Gusman, D. 2003. Morfometri Spesies Katak dari Famili Bufonidae dan Dicroglossidae di

Sumatra Barat. [Sripsi]. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang.

Handayani, S. 2014. Struktur dan Komunitas Amfibi di Stasiun Penelitian Batang Toru.

[Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Program Sarjana.

IUCN. 2015. IUCN Redlist Species Threatened. www.iucnredlist.org. 12 Juli 2015.

Iskandar, D.T. 1998. Seri Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang. Biologi LIPI:

Bogor.

Jumilawaty, E. 2002. Morfometri dan Kompetisi Interspesifik antara Pecuk Hitam

(Phalacrocorax sulcirostris) dan Pecuk kecil (Phalacrocorax niger) di Kolonia Utara

dan Barat Suaka Margasatwa Pulau Rambut. [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor,

Program Pascasarjana.

Kamariah. 2011. Analisis Morfometrik Kepala Pada Beberapa Burung Dara Laut (Laridae).

[Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana.

Kruckeberg A.R. & Rabinowitz D. 1985. Biological Aspects of Endemism inHigher Plants.

Annual. Review of Ecology Systematics 16: 447–479.

Kurniati, H. 2007. The Herpetofauna of The Gold Mining Project Area in North Sumatera:

Species Rischness Before Exploitation Activities. Zootaxa. 16(1): 1-11.

Major J. 1988. Endemism: A Botanical Perspective. In: Myers A.A. and Giller P.S. (eds)

Analytical Biogeography, An Integrated Approach to the Study of Animal and Plant

Distributions. Chapman & Hall, London.

Mistar, 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Cetakan Pertama. The

Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement: Bogor.

Page 160: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

149

Nesty, R. Djong, H.T, Henny, H. 2013. Variasi Morfometrik Duttaphrynus melanostictus

(Schneider, 1999) (Anura: Bufonidae) di Sumatera Barat yang Dipisahkan Bukit

Barisan. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2(1) 37-42.

Nurmainis, 2000. Kebiasaan Makanan Kodok Sawah Rana cancrivora di Kabupaten Bogor

Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana.

Pounds, J.A. & Crump, M.L. 1994. Amphibian Declines and Climate Disturbance: The Case

of The Golden Toad and Harlequin Frog. Conservation Biology 8, 72–85.

Pounds, J.A., Fogden, M.P.L. & Campbell, J.H. 1999. Biological Response to Climate

Change on A Tropical Mountain. Nature 398, 611–614.

Pradana, T.G. 2012. Struktur dan Komunitas Amfibi di Batu Mbelin Kecamatan Sibolangit

Kabiupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Program

Sarjana.

Pratomo, H. 2002. Kemampuan Makan Rana limnocharis dan Rana cancrivora di Persawahan

Jawa Barat Sebagai Predator Hama Padi dalam Proyek Pengkajian Dan Penelitian

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 9 April 2002. Jakarta.

Salamena, J. F., R. R. Noor, C. Sumantri, & I. Inounu. 2007. Hubungan genetik, ukuran

populasi efektif dan laju silang dalam per generasi populasi domba di Pulau Kisar. J.

Indon. Trop. Anim. Agric. 32 (2) 71-75.

Siregar, A. J. 2010. Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar

Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang

Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Sarjana.

Sibuea, T. T., Y. R. Noor, M. J. Silvius, & A. Susmianto. 1995. Burung Bangau, Pelatuk Besi

dan Paruh Sendok di Indonesia. Panduan untuk Jaringan Kerja. Perlindungan Hutan

dan Pengawetan Alam dan Wetlands International- Indonesia Programme, Jakarta.

Stewart, M. M. 1995. Climate Driven Population Fluctuations in Rain Forest Frogs. Journal

of Herpetology. 29: 437–446.

Syahid, A. 2009. Koefisien keragaman (KK). www. abdulsyahid-

forum.com/2009/04/koefisienkeragaman-kk.html. Diakses 6 Februari 2011

Thompson, Jr. J. N. & J. M. Thoday. 1979. Quantitative Genetic Variation. Academic Press:

New York.

Warwick, E. J., J. M. Astuti & W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Widodo. 2003. Identifikasi Obyek dan Lokasi Pendidikan Konservasi di Taman Wisata Alam

(TWA) Sibolangit. Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA)

Sumatera Utara: Medan

Wibowo, A. 2008. Identifikasi Struktur Stok Ikan Belida (Chitala spp.) dan Implikasinya

Untuk Manajemen Populasi Alami. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14: 31-44.

Page 161: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

150

KEANEKARAGAMAN NEPENTHES DI SUMATERA UTARA

Diversity of Nepenthes in North Sumatera

Nurmaini Ginting1, Nursahara Pasaribu

2 dan Suci Rahayu

2

1Prodi Pendidikan Biologi,FMIPA, Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan, Jl. Sutan

Mohd. Arief No. 32, Padangsidimpuan 2 Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara

Abstract Taxonomic study of Nepenthes in North Sumatra has been studied from Februari until August 2011 using survey method. Anatomical variation was studied using technique scraping simple method. There are 32 species of Nepenthes has recorded at ten (10) Sub-Province in North Sumatera, that can be differentiated based an morphological variation (habit, bar, leaf, pitcher, infloresence) and anatomical variaton (stomata). Found anomositik stomata type at Nepenthes. N. lingulata and N. mirabilis have guardian cell and epidermis cell have crystal, while at N. ampullaria, Nepenthes sp. and N. pectinata found surging guardian cell and epidermis cell. Phenetik analysis on morphological and anatomical variations suggest that Nepenthes in North Sumatera are divided into three (3) group with similarity varies from 63-94%. Ecological study indicated that most species of Nepenthes are found in Mandailing Natal Sub-province and Center Tapanuli sub-province with 13 species and most Nepenthes type occupy mountain area which is its top represent moss forest and marshy coastal edge area. Keywords: Nepenthes, North Sumatra, Stomata

PENDAHULUAN Nepenthes atau lebih dikenal dengan nama kantong semar merupakan salah satu flora

unik dan menarik (Bailey, 1992). Nama Nepenthes diambil dari sebuah nama gelas anggur. Di Indonesia, disebut sebagai kantong semar, dengan sebutan beragam di berbagai daerah, periuk monyet (Riau), kantong beruk (Jambi), ketakung (Bangka), sorok raja mantri (Jawa Barat). ketupat napu (Dayak Katingan), telep ujung (Dayak Bakumpai), dan selo begongong (Dayak Tunjung) (Hernawati, 2001). Di Sumatera Utara, Nepenthes biasanya disebut dengan tahul-tahul, terutama di daerah Tapanuli dan Toba Samosir.

Sekitar 200 jenis Nepenthes telah teridentifikasi di seluruh dunia. Lebih dari separuhnya terdapat di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Pulau Kalimantan dijuluki sebagai surganya Nepenthes. Sebenarnya Nepenthes banyak terdapat di hutan pantai dan di dataran tinggi, namun seiring terjadinya pembalakan hutan, Nepenthesmenjadi barang langka yang berharga mahal (Suprayandi, 2007).

Dari penelitian yang telah dilakukan ditemukan 82 jenis Nepenthes yang kebanyakan tersebar di Malesia (Indonesia, Malaysia dan Filipina) dengan daerah penyebaran utama di Borneo dengan 34 jenis (Rischer, 2001). Sumatera adalah pulau kedua setelah Borneo yang memiliki kekayaan Nepenthes terbesar yaitu 29 jenis yang tersebar di Sumatera (Clarke, 2001).

Daun juga merupakan bagian yang penting pada Nepenthes yang digunakan untuk identifikasi dalam taksonomi selain kantung karena keragaman bentuk, warna struktur dan ukurannya (Yusmad, 2008). Daun Angiospermae memiliki struktur anatomi dan morfologi yang amat beragam.

Nepenthes saat ini sudah mulai terancam keberadaannya di alam, akibat konversi

ataurusaknya habitat alamnya maupun eksploitasi yang berlebihan. Jenis-jenis Nepenthes

Page 162: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

151

alam sudah mulai diperjual belikan di Indonesia, terutama di Jawa (Baturraden, Jakarta,

Bandung, Jawa Timur, dsb). Dari Sumatera atau Kalimantan penduduk lokal sering

mendapat pesanan pemanenan di alam untuk dijual ke Jawa. Hal ini juga dapat menyebabkan

terkikisnya populasi Nepenthes di alam bila usaha budidaya tidak dilakukan. Oleh sebab itu

pengungkapan informasi tentang keragaman jenis suatu taxa di suatu kawasan penting dan

perlu dilakukan sebelum benar-benar punah di alamnya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juni2009, dengan melakukan eksplorasi ke

10 Kabupaten di Sumatera Utara. Metode jelajah acak serta mengumpulkan informasi dari

penduduk lokal. Inventarisasi dilakukan secara eksploratif. Jenis-jenis Nepenthes yang

dijumpai diamati morfologinya dengan metode deskriptif. Warna, aroma bila ada, akan

menjadi catatan khusus untuk kepentingan identifikasi. Selain itu karakter morfologi yang

dapat membedakan antar jenis akan digunakan sebagai kunci identifikasi. Identifikasi

dilakukan dengan cara menggunakan acuan spesimen herbarium di Herbarium Medanense

maupun penelusuran pustaka. Untuk pengamatan ciri anatomi dengan pembuatanpreparat

semi-permanent untuk permukaan epidermis daun (lapisan paradermal) merupakan gabungan

Simple Scraping Technique.

PEMBAHASAN

Dari pengamatan selama penelitian seluruh lokasi pengambilan spesimen umumnya

merupakan lahan terbuka, dataran tinggi, tebing-tebing batu yang memiliki tanah yang miskin

hara, berupa tanah merah dan tanah berbatu. Habitat berupa semak, rawa dan hutan

pegunungan atas.

Berdasarkan hasil penelitian telah ditemukan 26 jenis Nepenthes dan 6 jenis hibrid

alami yang tersebar pada 10 kabupaten di Propinsi Sumatera Utara. Jumlah ini lebih banyak

jika dibandingkan dengan Propinsi Sumatera Barat yang hanya memiliki 20 jenis dan juga

mengalami peningkatan jumlah jenis jika dibandingkan dengan hasil penelitian Clarke tahun

1997 yang hanya menemukan 9 jenis Nepenthes di Sumatera Utara. Sumatera sendiri

memiliki 29 jenis dan 26 diantaranya terdapat di Sumatera Utara. Hal ini mengindikasikan

Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki keanekaragaman Nepenthes yang sangat

tinggi.

Tabel 1. Jenis-jenis Nepenthes pada 10 Kabupaten di Sumatera Utara

No Lokasi

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 N. ampullaria √ √ - √ - - - - - √

2 N. beccariana - √ - - - - - - - -

3 N. densiflora - - - - - √ - - - -

4 N. diatas - - - - - √ - - - -

5 N. dubia - - - - - - - - √ -

6 N. eustachya √ √ √ - - - - - - -

7 N. flava √ - - - - - - - - -

8 N. gracilis √ √ - - - - - - - √

9 N. izumiea - - - - - - - - √ -

10 N. jamban - - - - - - - - √ -

11 N. jacquelineae - - - - - - - - √ -

12 N. lingulata - - - - - - - - √ -

13 N. mikei - - - √ - √ - - √ -

14 N. mirabilis √ √ - - - - - - - √

15 N. naga - - - - - - - - √ -

16 N. ovata √ - √ √ - - - - √ -

Page 163: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

152

No Lokasi

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

17 N. pectinata - - √ - √ - - - √ -

18 N. rafflesiana √ √ - - - - - - - -

19 N. reinwardtiana √ - - - - - - √ - -

20 N. rhombicaulis √ - √ √ - - √ √ √ -

21 N. spectabilis - - √ √ √ √ - √ √ -

22 N. sumatrana √ √ - - - - - - - -

23 Nepenthes sp. - - - - - - - - √ -

24 N. tobaica √ - √ √ √ √ √ √ - -

25 N. x hookeriana - √ - - - - - - - -

26 N. x trichocarpa - √ - - - - - - - -

27 N. eustachya x N. ampullaria - √ - - - - - - - -

28 N. eustachya x N. beccariana - √ - - - - - - - -

29 N. eustachya x N. gracilis - √ - - - - - - - -

30 N. sumatrana x N. mirabilis - √ - - - - - - - -

31 N. spectabilis x N. diatas - - - - - √ - - - -

32 N. spectabilis x N. mikei - - - - - - - - √ -

11 13 6 6 3 6 2 4 13 3

Keterangan : 1. Kabupaten Tapanuli

Selatan

7. Kabupaten Pakpak Bharat

2. Kabupaten tapanuli Tengah 8. Kabupaten Dairi

3. Kabupaten Tapanuli Utara 9. Kabupaten Mandailing Natal

4. Kabupaten Toba Samosir 10. Pemerintahan kota Sibolga

5. Kabupaten Karo √ = Ditemukan

6. Kabupaten Langkat - = Tidak ditemukan

Berdasarkan Tabel 1 dapat kita lihat bahwa Kabupaten Tapanuli Tengah dan

Mandailing Natal memiliki jumlah jenis tertinggi. Hal ini dikarenakan ditemukan daerah-

daerah eksplorasi baru di kedua daerah tersebut. Jenis di kedua Kabupaten sangat berbeda.

Pada Kabupaten Tapanuli Tengah di dominasi oleh jenis-jenis dataran rendah, seperti N.

ampularia, N. beccariana, N. eustachya, N. gracilis, N. mirabilis, N. rafflesiana, N.

sumatrana, N, x hookeriana, N. x trichocarpa dan beberapa jenis hibrid alami. Hal ini

dikarenakan Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan daerah yang dekat dengan pinggiran

pantai dan masih banyak daerahnya yang masih merupakan rawa-rawa.

Kabupaten Mandailing Natal memiliki banyak daerah pegunungan yang puncaknya

merupakan hutan lumut yang sangat cocok untuk tempat hidup berbagai jenis Nepenthes

highland. Selain itu, pegunungan dan hutannya yang berbatasan langsung dengan Propinsi

Sumatera barat menyebabkan banyaknya kemiripan jenis Nepenthes yang ditemukan seperti

N. dubia, N. izumiae dan N. jacquelineae. Jenis-jenis tersebut sebelumnya diketahui endemik

di Propinsi Sumatera Barat. Menurut Hernawati & Akhriadi (2006) menyatakan bahwa N.

dubia, N. izumiae dan N. jacquelineae endemik di Sumatera barat.

Di Langkat juga ditemukan dua jenis yang sebelumnya dilaporkan sebagai jenis yang

endemik di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kita ketahui bahwa Langkat merupakan

Kabupaten yang langsung berbatasan dengan daerah Aceh dan termasuk ke dalam daerah

Taman Nasional Gunung Leuser. Sesuai dengan penelitian Nasution (2005), yang telah

menemukan N. densiflora, N. diatas dan silangan alami antara N. diatas dan N. spectabilis.

Hernawati (2001), menyebutkan bahwa 20 jenis Nepenthes termasuk dua hibrid

alami telah dijumpai di Propinsi Sumatera Barat. Lima diantaranya adalah N. dubia, N.

inermis, N. izumiea, N. singalana dan N. talangensis. Clarke (1997), melaporkan sedikitnya 9

jenis Nepenthes yang ditemukan Sumatera Utara yaitu N. rhombicaulis, N. ovata, N. tobaica,

N. ampullaria, N. rosulata (N. gymnamphora), N. Sumatrana, N. gracilis, N. alata dan N.

reinwardtiana. Clarke (2001) juga melaporkan bahwa Sumatera memiliki 29 jenis dan banyak

hibrid alami.

Page 164: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

153

Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa daerah yang memiliki jumlah jenis yang tertinggi

adalah Kabupaten Mandailing Natal. Nepenthes tersebut ditemukan di daerah pegunungan

yang memiliki hutan lumut pada ketinggian 2000 m dpl. Jenis-jenis Nepenthes yang terus

bertambah jumlahnya di Sumatera khususnya Sumatera Utara dikarenakan semakin

banyaknya daerah yang dieksplorasi. Daerah yang paling banyak ditemukan Nepenthes

adalah hutan lumut di pegunungan, hal ini dikarenakan lumut terestrial dan lumut epifit

merupakan habitat yang sangat baik untuk Nepenthes. Menurut Clarke (2001), hampir

seluruh Nepenthes jenis higland menggunakan lumut sebagai habitat dan media tumbuhnya.

Rischer (2001), mengemukakan bahwa jumlah jenis Nepenthes Sumatera telah

bertambah menjadi 26 jenis. Cheek & Jebb (2001), melaporkan bahwa telah ditemukan dua

jenis hibrid alami di Sumatera, yakni N. x hookeriana (N. ampullaria x N. rafflesiana) dan N.

x trichocarpa (N. ampullaria x N. gracilis). Clarke (1997), mengemukakan bahwa Sumatera

merupakan tempat yang potensial bagi penemuan jenis-jenis baru. Eksplorasi pada kawasan-

kawasan yang diduga sebagai habitat Nepenthes sangat perlu untuk dilakukan.

Distribusi Nepenthes di Sumatera Utara

Lokasi pengamatan merupakan kawasan semak, lahan terbuka dan daerah rawa yang selalu

basah (ketinggian 0-1200 mdpl), pegunungan (ketinggian 1200-2200 mdpl).

Tabel 2.Distribusi Jenis-jenis Nepenthes di Sumatera Utara berdasarkan ketinggian dan

habitat.

No Jenis Lokasi

0 – 1000 mdpl 1001 – 2200 mdpl

1 N. ampullaria(*)(**) √ -

2 N. beccariana** √ -

3 N. densiflora*** - √

4 N. diatas*** - √

5 N. dubia*** - √

6 N. eustachya** √ √

7 N. flava*** - √

8 N. gracilis* √ √

9 N. izumiea*** - √

10 N. jamban*** - √

11 N. jacquelineae*** - √

12 N. lingulata*** - √

13 N. mikei*** - √

14 N. mirabilis(*)(**) √ -

15 N. naga*** - √

16 N. ovata*** - √

17 N. pectinata - √

18 N. rafflesiana(*)(**) √ -

19 N. reinwardtiana** √ √

20 N. rhombicaulis*** - √

21 N. spectabilis*** - √

22 N. sumatrana** √ -

23 Nepenthes sp.*** - √

24 N. tobaica** √ √

25 N. x hookeriana** √ -

26 N. x trichocarpa(*)(**) √ -

27 N. eustachya x N. ampullaria** √ -

28 N. eustachya x N. beccariana** √ -

29 N. eustachya x N. gracilis** √ -

30 N. sumatrana x N. mirabilis** √ -

Page 165: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

154

No Jenis Lokasi

0 – 1000 mdpl 1001 – 2200 mdpl

31 N. spectabilis x N. diatas*** - √

32 N. spectabilis x N. mikei*** - √

Jumlah 15 21 Keterangan:

* = habitat rawa *** = habitat pegunungan - = tidak ditemukan

** = habiat semak √ = ditemukan

Dari Tabel 2 dapat dilihat jenis-jenis Nepenthes yang termasuk ke dalam jenis dataran

tinggi adalah N. densiflora, N. diatas, N. dubia, N. eustachya, N. flava, N. izumiea, N. jamban, N. jacquelineae, N. lingulata, N. mikei, N. naga, N. ovata, N. pectinata, N. rhombicaulis, N. spectabilis, Nepenthes sp., N. spectabilis x N. diatas dan N. spectabilis x N. mikei dengan kisaran ketinggian 1000 – 2200 mdpl. Jenis-jenis dataran rendah adalah N. ampullaria, N. beccariana, N. gracilis, N. mirabilis, N. rafflesiana, N. sumatrana, N. x hookeriana, N. x trichocarpa, N. eustachya x N. beccariana, N. eustachya x N. gracilis dan N. sumatrana x N. mirabilis dengan kisaran ketinggian 0 – 1000 mdpl. Terdapat juga dua jenis yang digolongkan ke dalam jenis intermediate karena terdapat pada dataran tinggi dan dataran rendah yaitu jenis N. reinwardtiana dan N. tobaica yaitu antara ketinggian 200 – 1800 mdpl.

Jenis-jenis umum yang merupakan jenis dataran rendah adalah N. ampullaria, N. gracilis, N. mirabilis dan N. rafflesiana. Keempat jenis tersebut dapat di jumpai di Sumatera, Borneo dan Jawa. Populasi yang merupakan jenis intermediate dengan penyebaran mulai dari dataran rendah sampai ketinggian di atas 1000 mdpl antara lain N. longifolia, N. reinwardtiana dan N. tobaica (Clarke, 2001). Jenis Nepenthes yang berada pada hutan pegunungan memiliki jenis yang sangat bervariasi, namun hanya di jumpai pada daerah tertentu saja. Clarke (1997), mengatakan bahwa Nepenthes yang hidup di dataran tinggi memiliki penyebaran yang sangat terbatas. Sebaliknya, jenis Nepenthes yang hidup pada dataran rendah memiliki penyebaran geografis yang lebih luas.

Berdasarkan dengan perbedaan kisaran penyebaran Nepenthes pada dataran rendah dan dataran tinggi, Zezza (2003), menyatakan bahwa beberapa taksonom dan ekolog yang secara khusus berkonsentrasi pada jenis-jenis ini, telah mengkategorikan Nepenthes kepada jenis lowland (dataran rendah) yang dijumpai pada ketinggian 0 mdpl sampai dengan 1000 mdpl, jenis highland (dataran tinggi) yang dijumpai pada ketinggian 1000 mdpl, sedangkan jenis yang dapat bertahan hidup pada dataran rendah dan dataran tinggi di sebut dengan jenis intermediate.

Pembagian Nepenthes berdasarkan kategori lowland-highland tidak menjadi hal yang mutlak. Hal ini dikarenakan setiap kawasan memiliki level zonasi hutan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kategori jenis Nepenthes pada suatu kawasan eksplorasi, bisa mengikuti aturan klasifikasi hutan yang telah ditentukan bagi kawasan tersebut.

Anwar et al., (1984) mengkategorikan hutan di Sumatera berdasarkan ketinggian ke dalam empat kelompok sebagai berikut:

1. 0 – 1200 mdpl merupakan hutan dataran rendah 2. 1200 – 2100 mdpl merupakan hutan pegunungan bawah 3. 2100 – 3000 mdpl adalah hutan pegunungan atas 4. > 3000 mdpl merupakan hutan subalpin

Pada hutan pegunungan ditemukan efek Massenerhebung, yaitu semakin tinggi suatu gunung maka zonasinya semakin luas, begitu juga sebaliknya, semakin rendah suatu gunung maka zonasinya semakin sempit (Anwar et al., 1984). Hal ini dapat kita jumpai pada hutan Gunung Sinabung dimana pembagian zonasinya adalah sebagai berikut; (1) Hutan

Page 166: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

155

pegunungan bawah: 1400-1900 m dpl, (2) Hutan pegunungan atas: 1900-2250 m dpl, dan (3) Subalpin: 2250-2470 m dpl.Disamping itu dalam menentukan zona subalpin dapat juga dilihat dengan tidak ditemukannya lagi tumbuhan Coniferae. Hal ini sesuai dengan Schaik et al., (1996) dalam Ginting (2008) bahwa daerah subalpin ditandai dengan tumbuhan yang semakin kerdil, banyak dijumpai jenis Ericaceae, Orchidaceae, Nepenthaceae, serta tidak dijumpainya tanaman pinus-pinusan.

Pengamatan anatomi dilakukan dengan cara melihat bentuk sel penutup dan sel pengiring pada stomata, menghitung jumlah stomata dan sel epidermis serta menghitung panjang dan lebar dari stomata. Dari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa tipe stomata berdasarkan jumlah sel pengiring pada Nepenthes adalah anomositik (Gambar 1), yaitu memiliki sel epidermis dan sel pengiringnya tidak mudah untuk dibedakan. Dari hasil pengamatan juga diketahui bahwa stomata hanya terdapat pada bagian permukaan bawah daun. Menurut Yusmad (2008), stomata hanya terdapat pada bagian abaksial daun (hipostomatik) dan memiliki tipe anomositik. Fahn (1982) menambahkan, secara morfologi tipe stomata terhadap sel epidermis yang berdekatan dengan sel pengiring ada tipe anomositik, yaitu stomata yang sel pengiringnya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran.

(a) (b)

Gambar 11. Tipe stomata anomositik dengan pada Nepenthes, (a) N. diatas, (b) N. diatas x

N. spectabilis, (1) Porus, (2) Sel penutup, (3) Sel pengiring, (4) Sel

epidermis(Perbesaran 10 x 40)

Beberapa jenis memiliki sel epidermis dan sel pengiring yang dinding selnya

bergelombang. Jenis-jenis tersebut adalah Nepenthes sp. (Gambar 2a), N. rhombicaulis, N.

pectinata dan N. ampullaria. Sebagian jenis yang lainnya memiliki kristal yang terdapat

pada sel pengiring dan sel epidermis seperti pada N. lingulata (Gambar 2b) dan N. mirabilis.

Menurut Stone (1976), pendekatan anatomi dapat menunjukkan adanya korelasi antara

karakter anatomi dan karakter-karakter yang lain. Secara umum telah terbukti bahwa karakter

anatomi merupakan dasar yang dapat digunakan untuk membedakan kelompok jenis.

Sebagian besar data anatomi mempunyai pengaruh yang penting pada taksonomi.

1

2

3 4

1 2

3 4

Page 167: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

156

(a) (b)

Gambar 2. Sel epidermis dan sel penutup (a) Nepenthes sp. memiliki sel yang bergelombang,

(b) N. lingulata, (1) Porus, (2) Sel penutup, (3) Sel pengiring, (4) Sel epidermis,

(5) Kristal ( Perbesaran 10 x 40)

Ukuran stomata sangat bervariasi di antara seluruh jenis yang ditemukan. N.

rafflesiana memiliki ukuran yang paling kecil yaitu 34,43 µm2, sementara ukuran yang

terbesar dapat ditemukan pada jenis N. ovata dengan 165,78 µm2 dan jenis N. spectabilis x N.

diatas. Secara umum diketahui daun dengan stomata yang lebih banyak mempunyai ukuran

stomata yang lebih kecil dan sebaliknya. Frekuensi stomata per unit area juga bervariasi dan

memperlihatkan adanya korelasi antara ukuran stomata dan frekuensi. N. x hookeriana dan N.

x trichocarpa adalah dua jenis dengan frekuensi stomata yang paling besar sementara

Nepenthes sp. mempunyai frekuensi yang paling kecil.

Menurut Pasaribu (2010) dapat diinterpretasikan bahwa frekuensi stomata

cendrung lebih tinggi pada jenis-jenis yang tumbuh di daerah terbuka seperti hutan sekunder

jika dibandingkan dengan di daerah ternaung atau tertutup. Willmer (1983) dalam Pasaribu

(2010) mengatakan jenis- jenis yang tumbuh pada tanah kering dan daerah dengan

kelembaban rendah ummya mempunyai frekuensi stomata yang lebih tinggi dibandingkan

dengan jenis-jenis yang tumbuh di tanah-tanah basah dengan kelembaban tinggi. Teori ini

sejalan dengan hasil-hasil yang diperolah pada penelitian ini.

Kunci Determinasi

1. a. Epifit ................................................................................................................................ 2

b. Teresterial ........................................................................................................................ 6

2. a. Kantung atas berbentuk cawan piala ............................................................................... 3

b. Kantung atas berbentuk kendi atau terompet .................................................................. 4

3. a. Tepi tutup kantung atas bergelombang ................................................................. N. flava

b. Tepi tutup kantung atas rata ................................................................................. N. dubia

4. a. Kantung atas berbentuk kendi .............................................................................. N. mikei

b. Kantung atas berbentuk terompet ................................................................................... 5

5. a. Tonjolan tunggal pada permukaan bawah tutup kantung .................................... .N. ovate

b. Tonjolan bercabang pada permukaan bawah tutup kantung ................................. N. naga

6. a. Kantung bawah berbentuk gelas tambun atau cawan piala ........................................... 27

b. Kantung bawah berbentuk kendi ..................................................................................... 7

7. a. Bentuk batang bersegi ..................................................................................................... 8

b. Bentuk batang bulat ...................................................................................................... 12

8. a. Zona lilin memiliki spot mata ................................................................ N. reinwardtiana

1 2 3

4

1 2 3

5

4

Page 168: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

157

b. Zona lilin polos ................................................................................................................ 9

9. a. Tepi daun berbulu ...................................................................... N. spectabilis x N. diatas

b. Tepi daun rata ............................................................................................................... 10

10. a. Taji tunggal .................................................................................................................... 11

b. Taji bercabang .............................................................................................. N. densiflora

11. a. Kantung atas jarang muncul ................................................................... .N. rhombicaulis

b. Kantung atas sering muncul ................................................................................ N. diatas

12. a.Peristome bercorak ......................................................................................................... 13

b. Peristome polos ............................................................................................................. 20

13. a. Tepi peristome bergelombang ....................................................................................... 14

b. Tepi peristome rata ........................................................................................................ 15

14. a. Tutup kantung orbicular................................................................................ N. eustachya

b. Tutup kantung ovate ................................................................................... N. beccariana

15. a. Permukaan batang berbulu............................................................................................. 16

b. Permukaan batang licin ................................................................................................. 17

16. a. Kantung atas berbentuk terompet ramping .................................................. N. spectabilis

b. Kantung atas berbentuk kendi ramping ...................................... N. spectabilis x N. mikei

17. a. Mulut kantung orbicular ................................................................................................ 18

b. Mulut kantung ovate ............................................................. N. sumatrana x N. mirabilis

18. a. Kantung atas berbentuk terompet tambun atau tabung .................................................. 19

b. Kantung atas berbentuk kendi berpinggang ............................. N. eustachya x N. gracilis

19. a. Kantung atas berbentuk terompet tambun .......................... N. eustachya x N. beccariana

b. Kantung atas berbentuk tabung .......................................... N. eustachya x N. ampullaria

20. a. Kelenjar nektar pada permukaan bawah tutup kantung tersebar ................................... 21

b. Kelenjar nektar pada permukaan bawah tutup kantung hanya pada ujung

tonjolan ........................................................................................................... N.lingulata

21. a. Perbungaan berbulu ....................................................................................................... 22

b. Perbungaan licin ............................................................................................................ 25

22. a. Anak tangkai bunga dengan brakteola ........................................................... N. pectinata

b. Anak tangkai bunga tanpa brakteola ............................................................................. 23

23. a. Sel pengiring dan sel epidermis bergelombang ........................................... Nepenthes sp.

b. Sel pengiring dan sel epidermis rata .............................................................................. 24

24. a. Anak tangkai bunga tunggal ............................................................................ .N. izumiae

b. Anak tangkai bunga bercabang dua .......................................................... N. xtrichocarpa

25. a. Pucuk muda ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna perak ............................... N. mirabilis

b. Pucuk muda licin ........................................................................................................... 26

26. a. Panjang perbungaan ≥ 25 cm ............................................................................ N. tobaica

b. Panjang perbungaan ≤ 25 cm ............................................................................ N. gracilis

27. a. Permukaan bagian bawah tutup kantung bercorak ........................................................ 28

b. Permukaan bagian bawah tutup kantung polos ............................................................. 30

28. a. Panjang gigi pada peristome ≥ 0,1 cm ......................................................... N. rafflesiana

b. Panjang gigi pada peristome ≤ 0,1 cm ........................................................................... 29

29. a. Panjang sulur 50-70 cm ............................................................................... N. sumatrana

b. Panjang sulur 15-30 cm ............................................................................ N. xhookeriana

30. a. Cairan kantung kental .................................................................................................... 31

b.Cairan kantung encer .................................................................................... N. ampullaria

31. a.Lebar peristome ≥ 0,5 cm .......................................................................... N. jacquelineae

b. Lebar peristome ≤ 0,5 cm ........................................................................................ N. jamban

Page 169: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

158

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut ditemukan

32 jenis Nepenthes pada 10 Kabupaten di Sumatera Utara dimana diantaranya terdapat 6 jenis

hibrid alami. Kabupaten yang memiliki keanekaragaman jenis tertinggi adalah Kabupaten

Tapanuli Tengah dan Kabupaten Mandailing dengan masing-masing 13 jenis. Kabupaten

dengan jumlah jenis terendah adalah Kabupaten Pakpak Bharat dengan jumlah 2

jenis.Nepenthes yang ditemukan memiliki tipe stomata anomositik dan hanya terdapat pada

bagian abaksial. Pada N. lingulata dan N. mirabilis terdapat kristal pada bagian sel epidermis

dan sel pengiring, sedangkan pada N. ampullaria, N. rhombicaulis dan Nepenthes sp.

memiliki sel pengiring dan sel epidermis yang bergelombang.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, J., J. Damanik. N Hisyam & A. J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera.

Yogyakarta: UGM Press.

Bailey, L.H. 1929. The Standard Cyclopedia of Horticulture. Vol. II. The Macmillan

Company. New York.

Clarke, C. 1997. Another Nice Trip to Sumatra. International Carnivourus Plant Society

(ICPS). www.carnivorousplants.org. Diakses 16 Januari 2011.

. 2001. Nepenthes of Sumatra and Peninsular Malaysia . Kota Kinabalu, Sabah,

Malaysia:Natural Publication (Borneo).

Fahn, A. 1982. Anatomi Tumbuhan. Edisi Ketiga. Yogyakarta. Gadjah Mada University

Press.

Ginting, N. 2008. Keanekaragaman Tumbuhan pada Zona Subalpin di Hutan Gunung

Sinabung Kabupaten Karo Sumatera Utara. Skripsi Mahasiswa Departemen Biologi

FMIPA USU. Tidak dipublikasi.

Hernawati. 2001. A Preliminary Research to Conserve Nepenthes spp. In West Sumatera.

Final Report Nepenthes Project 2001. Supported by BP Conservation. Padang:

Nepenthes Team.

Hernawati, & P. Akhriadi. 2006. A Field Guide to The Nepenthes of Sumatra, Padang: PILI-

NGO Movement, Nepenthes Team, BP Conservation Programme, Conservation

International-Indonesia.

Nasution, M. Arifsyah. 2005. Inventarisasi Nepenthes spp. di Kawasan Hutan Tangkahan.

Taman Nasional Gunung Lauser. Kabupaten langkat. Penelitian Mahasiswa Biologi

S1 Universitas Sumatera Utara. Skripsi Tidak Dipublikasi.

Pasaribu, N. 2010. Freycinetia (Pandanaceae) of Sumatra. Disertasi Doktor. InstitutPertanian

Bogor.

Rischer, H. 2001. A Nepenthes Introducting. www.schaben.de/home/schmidt/

nepenthes/nepintro.htm. Diakses tanggal 12 Nopember 2009

Stone, B.C. 1976. The Morphology and Systematic of Pandanus Today (Pandanaceae).

International Botanical Congress Leningrad.

Suprayandi, 2007. Nepenthes spp., Tumbuhan Penangkap Serangga. (On-Line).

http://pesanantar.wordpress.com/2007/03/17/Nepenthes spp./. Diakses tanggal 11

Oktober 2009.

Page 170: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

159

Yusmad, R. 2008. Struktur Anatomi Daun dan Sulur serta Perkembangan Kantung pada

Kantung Semar (Nepenthes reinwardtiana Miq.). Tesis Pascasarjana Universitas

Andalas. Padang. Diakses 23 Januari 2011

Zezza, F. 2003. Introducing the Genus Nepenthes. www.malawicichlid homepage.com.

Diakses tanggal 12 Nopember 2009.

Page 171: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

160

EKOLOGI DAN DISTRIBUSI KEPUNDUNG

(Baccaurea racemosa Muell. Arg) DI SUMATERA UTARA

BAGIAN SELATAN

ECOLOGICAL AND DISTRIBUTION OF KEPUNDUNG (Baccaurea

Racemosa Muell. Arg) IN SOUTHERN NORTH SUMATERA

Rumini Sukarwati

1), Nursahara Pasaribu

2) dan Saleha Hannum

1) Pascasarjana Biologi FMIPA USU 2) Dosen Pascasarjana Biologi FMIPA USU

Abstract

The ecological and distribution of kepundung (Baccaurea racemosa Muell Arg) in southern

of North Sumatera had been studied from December 2014 to April 2015. The collection of

data were carried out in four locations (South Tapanuli, Mandailing Natal, Padang Lawas

and Padangsidimpuan). Physical and chemical analysis of soil (N, P, and K) showed

different results for each location. The nitrogen level was 0,17–1,61%, phosphor 11,68–15,47

ppm, and potassium 0,577–0,735 m.e/100 g. The result of ecological study indicates that

Kepundung in southern of North Sumatra occupy various types of habitats. Nevertheless, it

generally inhabits mix dry land farming on lowland at altitudes 5-908 m above sea level with

annual rainfall ranging from 3500-4000 mm/year. Fluvisols is the most common type of soil

that was preferred by this species.

Kata Kunci: Baccaurea racemosa, distribusi, ekologi, kepundung,

PENDAHULUAN

Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang memiliki hutan tropika terbesar kedua

didunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai salah satu dari 7 (tujuh)

negara ―megabiodiversity‖kedua setelah Brazilia. Distribusi tumbuhan yang terdapat dihutan

tropika Indonesia lebih dari 12%(30.000 tumbuhan tingkat tinggi) dari yang terdapatdi

mukabumi(250.000 tumbuhan tingkat tinggi) (Ersam, 2004). Hingga saat ini masih banyak

jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui pemanfaatannya dan jenis-jenis tersebut masih

tumbuh liardi berbagai kawasan hutan di Indonesia termasuk jenis tumbuhan sebagai penghasil

buah-buahan (Uji, 2005).

Baccaurea racemosa mempunyai nama yang sangat beragam. Di negara Malaysia

dikenal dengan nama asam tambun, kapundung, jinteh merah, rambi, tamut, tampoi

sedangkan di Borneo-Brunai Darussalam disebut dengan kokonau (dusun), engkumi, kayu

masam, kunau, kunyi, longkumo, moho liox, tunding undang, umbarian. Di Indonesia

tumbuhan ini dikenal dengan nama daerah tangkilang, kapundung (Bali), haoundung,

ninggih, roesip, kisip, menteng, rambai, tampui (Sumatera), menteng, kapundung, jerek, jirek

(Jawa), kokonau (dusun), engkumi, kayu masam, kunau, kunyi, longkumo, moho liox, tunding

undang, umbarian (Kalimantan), menteng, rambai, tampui (Lampung), modung (Madura),

kapundueng (Minangkabau), bowo (Nias), bencoi, menteng, (Sunda), kapundung, kepundung

(Singkep) (Lim, 2012).

Tumbuhan ini dimanfaatkan masyarakat sebagai makanan berupa buah. Buah

dikonsumsi segar, difermentasi untuk minuman anggur. Daun sebagai obat diare dan peluruh

Page 172: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

161

haid. Kayu sebagai kayu bangunan dan untuk perahu serta furniture, kulit batang sebagai

pewarna ungu kain, namun tumbuhan ini sudah jarang ditemukan di pasaran.

Faktor menurunnya populasi kepundung (Baccaurea racemosa) karena keberadaan

areal ruang hijau yang menyempit akibat alih fungsi lahan lebih banyak dimanfaatkan untuk

pemukiman, perkantoran, dan industri (Aprilianti, 2009).

Baccaurearacemosa adalah tumbuhan berbunga anggota dari suku Phyllanthaceae,

menyebar di India, Asia Tenggara dan kawasan Indomalaya hingga Pasifik. Penyebaran

marga ini terpusat di sekitar wilayah Malesia bagian barat, yakni Semenanjung Malaya,

Sumatera dan Kalimantan (Haegens, 2000).

Salah satu daerah penyebaran kepundung di Sumatera Utara antara lain di daerah

Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal dan Gunung Sitoli.

Tumbuhan ini merupakan jenis tumbuhan liar di daerah dataran rendah. Pohon-pohonnya

dijumpai pada berbagai jenis tanah pasir yang kering.

Sejauh ini penelitian terkait dengan Baccaurea racemosa belum banyak diketahui

khususnya di Sumatera Utara bagian selatan. Kurangnya informasi tentang tumbuhan ini

diperkirakan akan dapat menyebabkan penurunan jumlah populasi kepundung dan

dikhawatirkan lama kelamaan akan dapat mengalami kepunahan. Oleh sebab itu perlu

dilakukan penelitian terhadap tumbuhan ini untuk mendapatkan informasi dari segi

taksonomi dan ekologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data tentang ekologi

dan distribusi kepundung (Baccaurea racemosa Muell. Arg) di Sumatera Utara bagian

selatan.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2014 sampai April 2015. Lokasi

penelitian dilaksanakan di Sumatera Utara pada kota Padangsidimpuan dengan 6 kecamatan

yaitu kecamatan Padangsidimpuan Utara, Padangsidimpuan Selatan, Padangsidimpuan

Angkola Julu, Padangsidimpuan Hutaimbaru, Padangsidimpuan Utara dan Padangsidimpuan

Batunadua, kabupaten Tapanuli Selatan dengan 7 kecamatan, yaitu Batang Angkola, Sayur

Matinggi, Arse, Batangtoru, Angkola Barat, Angkola Timur dan Sipirok. Kabupaten

Mandailing Natal di 5 kecamatan yaitu Kotanopan, Siabu, Panyabungan Utara, Kota

Panyabungan dan Panyabungan Timur dan tumbuh di kabupaten Padanglawas di kecamatan

Ulu Barumun.

Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 173: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

162

Pelaksanaan Penelitian

a. Di Lapangan

Eksplorasi dilakukan di beberapa lokasi di Sumatera Utara dengan mencatat

variabel-variabel biofisik setiap jenisnya. Titik berat lokasi yang akan dikunjungi adalah

lokasi yang diyakini memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi.

Dilakukan pengukuran faktor fisik dan kimia lingkungan berupa suhu tanah, pH

tanah, intensitas cahaya, dan ketinggian. Pengamatan faktor kimia tanah adalah pengambilan

sampel tanah dengan menggunakan bor tanah, tanah sampai kedalaman 20 cm. tekstur tanah

yang diamati dihomogenkan, kemudian diambil cuplikan tanah sebanyak 1 kg untuk

dianalisis berupa kandungan hara N (Nitrogen), P (Posfor), dan K (Kalium).

b. Di Laboratorium

Analisa Tanah. Dalam analisis tanah, pengambilan contoh harus mewakili suatu areal

tertentu. Pengambilan contoh tanah untuk mengetahui status hara (kesuburan tanah)

menggunakan system composite sample, yaitu percampuran contoh yang diambil dari areal

yang dikehendaki. Pengambilan contoh tanah umumnya dengan berjalan sambil mengambil

contoh tanah berupa irisan sedalam sekitar 20 cm (daerah perakaran). Proses analisis dan

perhitungan kandungan unsur hara Nitrogen (N), Posfor (P), dan Kalium (K) pada tanah

mengacu pada Mukhlis (2007). Sampel tanah dikeringkan di ruang berfentilasi dan tidak

terkena sinar matahari secara langsung. Pengeringan di ruang terbuka dapat dilakukan dengan

menempatkan sampel tanah pada wadah yang luas permukaannya, misalnya baki (talam).

Wadah dilapisi dengan plastik agar tidak terkontaminasi. Sampel tanah ditabur secara merata

agar lebih cepat kering. Temperatur udara tidak lebih dari 35o C selanjutnya sampel tanah di

anaisis di laboratorium.

Penetapan Nitrogen (N) dengan Metode Kjeldhal

Pengukuran kandungan nitrogen pada tanah ada beberapa tahap, destruksi, dan titrasi.

Pada tahapan destruksi dimulai dengan menimbang 2 g sampel tanah dan ditempatkan pada

tabung digester, ditambahkan 2 g katalis campuran (sebanyak sampel tanah) dan ditambahkan

10 ml H2O, ditambahkan 10 ml H2SO4-asam salisilat dan dibiarkan selama 24 jam.

Didestruksi secara bertahap hingga larutan menjadi jernih (temperatur < 200oC), setelah

larutan jernih suhu dinaikkan dan dilanjutkan selama 30 menit, didinginkan dan diencerkan

dengan menambahkan 15 ml H2O.

Pada tahapan destilasi, ditempatkan tabung destruksi pada alat destilasi, ditambahkan

25 ml H3BO3 4% yang ditempatkan pada erlenmeyer 250 cc dan ditambahkan 3 tetes

indikator campuran, yang ditempatkan sebagai penampung hasil destilasi. Ditambahkan 25

ml NaOH 40% ke tabung destilasi dan langsung didestilasi. Amoniak hasil destilasi

ditampung pada erlenmeyer yang berisi H3BO3, destilasi dihentikan jika larutan pada

erlenmeyermenjadi berwarna hijau dan volumenya mencapai ± 75 ml. Pada tahapan titrasi,

dipindahkan erlenmeyer hasil destilasi dan dititrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi

ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi merah.

Penetapan P dengan Metode Bray II

Sampel tanah ditimbang 2 g lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 cc,

ditambahkan larutan Bray II sebanyak 20 ml dan digoncang dengan shaker selama 30 menit

lalu disaring. Diambil filtrat sebanyak 5 ml dan ditempatkan pada tabung reaksi, tambahkan

pereaksi fosfat B sebanyak 10 ml, dibiarkan selama 5 menit lalu diukur transmitan pada

spectronic dengan panjang gelombang 660 nm. Pada saat yang bersamaan tambahkan

masing-masing 5 ml larutan standar P 0-0, 5-1, 0-2, 0-3, 0-4, 0 dan 5, 0 ppm P ke tabung

Page 174: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

163

reaksi lalu ditambahkan 10 ml pereaksi fosfat B lalu ukur transmitan pada spectronic dengan

panjang gelombang 660 nm.

Penetapan Kalium Tukar Tanah

Hasil per lokasi (perkolat) dari penetapan kapasitas tukar kation pada Erlenmeyer

ditampung dan diukur absorban perkolat pada Flamephotometer atau Atomic Absorbtion

Spectrophometer (AAS). Diukur larutan standar K dengan konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, ppm

K pada Flamephotometer atau Atomic Absorbtion Spectrophometer (AAS).

b. Morfologi Tanah

(1). Perhitungan kandungan Nitrogen (N)

N% =

(2). Perhitungan Kandungan Posfor (P)

P avl (ppm) = P lrt x Faktor Pengencer

Ket: P lrt: P larutan

(3). Perhitungan Kandungan Kalium (K)

K tukar = K lrt x Faktor Pengencer

Ket : K lrt: K larutan

Ekologi dan Distribusi Kepundung

Untuk menampilkan data dalam bentuk peta harus melalui beberapa tahapan berikut:

(1). Persiapan data ordinat menggunakan MicrosoftExcel [ ver 2007]

Dibuka Excel dan dibuat lembar kerja baru

Dimasukkan data pada masing-masing kolom

Data lintang dan bujur yang tercatat dalam GPS adalah data dalam bentuk derajat,

menit, dan detik.

Dilakukan perubahan data tersebut ke dalam bentuk desimal dengan cara: (Derajat) +

(Menit/ 60) + (Detik/3600), kemudian data akan berubah ke dalam bentuk desimal.

Untuk dapat dipergunakan dalam perangkat lunak ArcView 3.3 data ordinat harus

tersimpan dalam bentuk ―(DBF)‖. Untuk itu pada Microsoft Excel harus ditambahkan

Extension DBFIV.

Dilakukan penyimpanan dengan mengklik Save As, lalu pilih extension DBF, lalu OK.

Maka file akan tersimpan dalam bentuk ―DBF‖, dan data siap digunakan pada

ArcView 3.3.

(2). Membuat Peta dengan ArcView3.3

Dibuka ArcView 3.3 kemudian klik OK pada ―Open a New Project‖, ―Open a New

View‖ kemudian pilih add theme dan buat ―layer‖ dengan nama Sumatera. Shp.

Diinput data ordinat ke dalam ArcView dengan cara, minimize view dan buka Table

lalu pilih Add dan klik OK, pada file ―(DBF)‖ dengan nama Kepundung.

Page 175: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

164

Lalu beri tanda centang pada Layer Kepundung dan Layer Sumatera, lalu akan

terlihat daerah persebaran kepundung sesuai data yang ada pada GPS.

Dilakukan OverLay pada masing-masing peta dengan titik ordinat. OverLay Sumatera

curah hujan dengan Kepundung DBF, Sumatera Land cover dengan Kepundung

DBF, dan Sumatera Soil FAO dengan Kepundung DBF.

Dilakukan perubahan warna peta mengikuti ketentuan yang berlaku, untuk peta

tutupan lahan curah hujan, pilih warna sesuai dengan jenis warna yang dikeluarkan

BAKOSURTANAL, untuk peta jenis tanah pilih warna sesuai dengan FAO-

UNESCO Soil Map.

Di-LayOut masing-masing peta, klik menu View dan pilih sub menu LayOut. LayOut

Sumatera curah hujan dengan Kepundung DBF. Eksport dalam format JPEG, dan

LayOut Sumatera Soil FAO dengan Kepundung DBF. Eksport dalam format JPEG.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Koleksi Kepundung

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 131 koleksi di berbagai kecamatan (Tabel 1).

Jumlah koleksi terbanyak berasal dari kecamatan Sayur Matinggi yaitu berjumlah 61 dan

jumlah koleksi terendah yaitu berjumlah 1 pada kecamatan Padangsidimpuan Selatan,

Padangsidimpuan Batunadua, Batang Angkola, Angkola Barat, Angkola Timur, Sipirok,

Panyabungan Utara, Kota Panyabungan, Panyabungan Timur dan Ulu BarumunTabel 1.

Jumlah Koleksi Kepundung dari Beberapa Kecamatan.

No Kabupaten/

Kota Kecamatan Jumlah Koleksi

1 Padangsidimpuan Padangsidimpuan Utara 2

2 Padangsidimpuan Selatan 1

3 Padangsidimpuan Angkola Julu 8

4 Padangsidimpuan Hutaimbaru 2

5 Padangsidimpuan Batunadua 1

6 Mandailing Natal Kotanopan 3

7 Siabu 2

8 Panyabungan Utara 1

9 Kota Panyabungan 1

10 Panyabungan Timur 1

11 Tapanuli Selatan Sayur Matinggi 61

12 Batang Angkola 1

13 Arse 20

14 Batang Toru 23

15 Angkola Barat 1

16 Angkola Timur 1

17 Sipirok 1

18 Padang Lawas Ulu barumun 1

Jumlah 131

Habitat

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, kepundung tumbuh pada berbagai ketinggian

dan faktor lingkungan. Pada ketinggian 5-908 mdpl pada berbagai kecamatan ditemukan

habitat berupaperkebunan masyarakat, pemukiman penduduk, hutan sekunder, dan lahan

Page 176: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

165

kering campuran, dengan tipe tanah Humic Acrisol dan Distric Fluvisol dengan kelembaban

18-96%. Beberapa gambar habitat kepundung dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2.Habitat Kepundung di (A) Kotanopan, (B) Angkola Julu, (C) Padangsidimpuan

Utara,dan(D)PadangsidimpuanSelatan Pohon kepundung pada umumnya tumbuh

liar di hutan sekunder, areal kebun dan pemukiman penduduk. Persebaran

kepundung di Sumatera Utara khususnya di wilayah kota Padangsidimpuan,

Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, dan Padang Lawas

berada pada dataran rendah di wilayah dataran dan perbukitan. Hal ini sesuai

dengan Lim, (2012) mengatakan bahwa kepundung adalah tumbuhan yang hidup

di hutan tropis dan beranekaragam hutan dipterocarp primer hutan sekunder,

hutan sungai, hutan rawa air tawar dan hutan pegunungan pada ketinggian sampai

1500 mdpl.

Gambar 3. Peta Distribusi Kepundung (Baccaurea racemosa Muell Arg) Berdasarkan Curah

Hujan di Sumatera Utara.

Berdasarkan peta jenis tanah (Gambar 4), kepundung tumbuh pada jenis tanah yaitu

Humic Acrisols, Dystric fluvisols 2/3a, dan Dystric fluvisols 2/3b. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 64 individu kepundung tumbuh pada tanah Acrisols dan 67 individu

tumbuh pada tanah Fluvisol (Aluvial). FAO (2014), menjelaskan bahwa tanah Acrisol

(Podsolik) merupakan tanah sangat tercuci yang berwarna abu-abu muda sampai kekuningan

Page 177: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

166

pada horison permukaan sedang lapisan bawah berwarna merah atau kuning dengan kadar

bahan organik dan kejenuhan basa yang rendah serta reaksi tanah yang masam sampai sangat

masamstruktur tanah gumpal dengan permeabilitas rendah. Tanah mempunyai bahan induk

batu endapan bersilika, napal, batu pasir dan batu liat. Tanah ini dijumpai pada ketinggian

antara 50–350 m dengan curah hujan antara 2500–3500 mm/tahun. Hal ini sesuai dengan

jenis tanah di Kabupaten Tapanuli Selatan berjenis acrisols dengan warna kuning, pada

ketinggian 5-905 mdpl dan daerah ini memiliki curah hujan rata-rata 1500-2500 mm/thn.

Rachim dan Arifin, (2011), mengatakan bahwa Podzolik merupakan tanah merah

kuning yang sangat tercuci, lapisan atas berwarna abu-abu muda sampai kekuningan, lapisan

bawah merah atau kuning. Terdapat akumulasi liat hingga tekstur relatif berat, struktur

gumpal, permeabilitas rendah, stabilitas agregat rendah, bahan organik rendah, kejenuhan

basa rendah dan pH rendah (4,2-4,8). Horizon eluviasi tidak selalu jelas. Bahan induk

mempunyai karatan kuning, merah dan abu-abu. Bahan induk adalah batuan endapan

bersilika, napal, batu pasir, batu liat. Ditemukan pada ketinggian 50-350 mdpl, iklim tropika

basah, curah hujan antara 2500-3500 mm/tahun.

Tanah Fluvisol (Aluvial) merupakan tanah yang berasal dari endapan alluvial atau

koluvial muda dengan perkembangan profil tanah lemah sampai tidak ada. Sifat tanah

beragam tergantung dari bahan induk yang diendapkan serta penyebarannya tidak

dipengaruhi oleh ketinggian maupuniklim. Rismunandar ( 1993), menjelaskan bahwa tanah

aluvial atau tanah endapan, banyak terdapat di dataran rendah, di sekitar muarasungai, rawa-

rawa, lembah-lembah, maupun kanan kirialiran

sungai besar. Profilnya biasanya belum jelas. Pada umumnya banyak mengandung pasir

dan hat. Tidak banyak mengandung unsur-unsur zat hara. Kesuburannya sedang hingga

tinggi. Di seluruh Indonesia tanah-tanah ini merupakan tanah pertanian yang baik dan

dimanfaatkan untuk tanaman pangan musim hingga tahunan.

Lim, (2012) mengatakan kepundung adalah spesies tropis tumbuh liar pada

Dipterocarpaceae primer dan hutan hujan sekunder, hutan sungai, atau hutan rawa air tawar

ke hutan sub-montana sampai 1500 mdpl. Tumbuhan ini umum tumbuh pada aluvial kering

(di lereng bukit dan pegunungan). Tumbuh pada berbagai jenis tanah, dari tanah berpasir

sampai tanah liat (granit kekuningan atau tanah liat merah berpasir) untuk rawa gambut.

Berdasarkan peta tutupan lahan (Gambar 5) kepundung mempunyai persebaran yang

cukup luas, tumbuh pada berbagai habitat seperti pertanian lahan kering campuran, tanah

terbuka, sawah, semak belukar, dan perkebunan. Kepundung tumbuh di persawahan di

Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan. Pada lahan kering campuran di

Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal. Pada daerah terbuka di

Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada kawasan semak belukar tumbuh di Kabupaten Tapanuli

Selatan. Pada kawasan perkebunan masyarakat tumbuh di KabupatenTapanuli Selatan dan

Padang Lawas. Dari peta tutupan lahan koleksi kepundung sebahagian besar tumbuh di

persawahan dan paling sedikit tumbuh di perkebunan masyarakat.

Page 178: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

167

Gambar 4. Peta Distribusi Kepundung (Baccaurea racemosa Muell Arg) Berdasarkan Jenis

Tanah di Sumatera Utara.

Gambar 5. Peta Distribusi Kepundung (Baccaurea racemosa Muell Arg) Berdasarkan Peta

Tutupan Lahan di Sumatera Utara.

Unsur Hara Tanah

Hasil analisis tanah menunjukkan adanya perbedaan kandungan ketiga unsur dari

masing-masing daerah penelitian (Tabel 2). Kandungan unsur hara nitrogen (N) tertinggi di

kecamatan Kotanopan dengan nilai 1,61 %, dan yang terendah di kecamatan Ulu Barumun

dengan nilai 0,16%. Kandungan unsur posfor (P) yang diperoleh juga berbeda di setiap

daerah penelitian dimana nilai P tertinggi diperoleh pada kecamatan Sipirok dengan nilai

15,47 ppm dan terendah pada kecamatan Ulu barumun dengan nilai 9,18 ppm. Kadar kalium

Page 179: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

168

(K) tertinggi diperoleh pada kecamatan Ulu Barumun dengan nilai 0,735 m.e/100g dan

terendah pada daerah Angkola Julu dengan nilai 0,577 m.e/100g.

Tabel 2. Kandungan Unsur Hara Makro Tanah pada Lokasi Penelitian

Asal Daerah/ Kecamatan Parameter

N (%) P (ppm) K (m.e/100g)

Kotanopan 1,61 12,00 0,589

Sipirok 0,33 15,47 0,670

Angkola Timur 0,30 12,32 0,580

Angkola Julu 0,65 11,68 0,577

Arse 0,17 12,16 0,640

Ulu Barumun 0,16 9,18 0,735

Tabel 3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah

SifatTanah Sangat

Rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat

Tinggi Nitrogen(%) <0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 >0,75

P-avlBray-II(ppm) <8,0 8,0-15 16-25 26-35 >35

SusunanKation

K-tukar(me/100) <0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 >1,0

Sangat

Masam

Masam

Agak

Masam

Netral

Agak

Alkalis

Alkalis

pH (H2O) <4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5

Sumber : (Hardjowigeno,1995).

Kandungan unsur hara makro nitrogen di kecamatan Kotanopan sangat tinggi,

kecamatan Sipirok dan Angkola Timur tergolong sedang, di kecamatan Angkola Julu

tergolong tinggi sedangkan pada kecamatan Arse dan Ulu Barumun tergolong rendah. Unsur

hara K dari hasil analisa di setiap lokasi penelitian tergolong tinggi, yaitu berada pada kisaran

0,580-0,735 m.e/100g. Unsur hara P diperoleh dari hasil analisis menunjukkan adanya

perbedaan pada masing-masing lokasi penelitian. Kandungan P tersedia tergolong sedang di

kecamatan Sipirok yaitu 15,47 ppm, sedangkan kadar posfor di kecamatan Kotanopan,

Angkola Timur, Angkola Julu, dan Ulu Barumun tergolong rendah berkisar 11,68-12,16 ppm.

Sutejo, (2002) mengatakan fungsi N bagi tumbuhan sebagai penyusun protein,

pertumbuhan pucuk dan menyuburkan pertumbuhan vegetatif. Fungsi posfor P sebagai salah

satu unsur penyusun protein, dibutuhkan untuk pembentukan bunga, buahdan biji,

merangsang pertumbuhan akar menjadi memanjang dan tumbuh kuat sehingga tanaman akan

tahan kekeringan. Kekurangan P akan menyebabkan tanaman tumbuh kerdil, pembungaan

dan pembentukan biji terhambat, serta tanaman menjadi lemah sehingga mudah roboh. Unsur

Kberperan dalam proses metabolism seperti fotosintesis dan respirasi yang merupakan hal

penting dalam pertumbuhan.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Kepundung terdistribusi di dataran rendah pada daerah pertanian lahan kering campuran,

tanah terbuka, sawah, semak belukar, dan perkebunan. ketinggian 5-908 mdpl,

Page 180: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

169

2. Kepundung tumbuh pada kisaran curah hujan 1500-5000 mm/tahun, pada tanah humic

acrisol dan distric fluvisol, pada habitat pertanian lahan kering campuran, tanah terbuka,

sawah, semak belukar, dan perkebunan.

3. Kadar nitrogen berkisar 0,17–1,61%, posfor 11,68–15,47 ppm, dan kalium 0,577–0,735

m.e/100 g

DAFTAR PUSTAKA

Aprilianti,P. ReniL.,WindaU.P., 2009. Potensi Baccaureaspp.: Studi Kasus Di Kebun Raya

Bogor. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI.

Ersam, T., 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia Dalam Merekayasa

Model Molekul Alami.Seminar Nasional Kimia VI,F-MIPA. ITS. Surabaya.

FAO (Food and Agriculture Organization), 2014. World Reference Base For Soil Resources.

International Soil Classification System For Naming Soils and Cerating Legends For

Soil Maps.191p.

Haegens, R.M.A.P., 2000. Taxonomy, Phylogeny, and Biogeography of Baccaurea

racemosa, Distichirhops, and Nothobaccaurea (Euphorbiaceae). Blumue. 12:1-216.

(Petikan) http://www.nationaalherbarium.nl/euphorbs/ specB/Baccaurea. Htm.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. IPB. Bogor.

Lim, T.K., 2012. Edible Medicinal And Non-Medicinal Plants. Volume 4. Fruits. DOI

10.1007/978-94-007-4053-2-34. Springer Science-Business Media B.V.

Mukhlis, 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.

Rachim, D.A. dan Arifin, M., 2011. Klasifikasi Tanah di Indonesia. Pustaka Reka Cipta.

Bandung.

Rismunandar, 1993.Tanah dan Seluk Beluknya bagi Pertanian. Sinar Baru

Algensindo.Bandung.

Sutejo,M. 2002. Pupukdan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.

Uji, T. 2005. Keanekaragaman Jenis dan Sumber Plasma Nutfah Durio (Durio spp) di

Indonesia. Buletin Plasma Nutfah11(1) : 28– 33.

Page 181: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

170

PERAN KEBUN RAYA SAMOSIR SEBAGAI PUSAT KONSERVASI

FLORA PEGUNUNGAN SUMATERA BAGIAN UTARA

DAN PENDUKUNG WISATA DANAU TOBA

THE ROLE OF SAMOSIR BOTANIC GARDEN AS A CENTER

FOR NORTH SUMATERAN MOUNTAIN FLORA CONSERVATION

AND IN SUPPORT OF ECOTOURISM IN LAKE TOBA

Sugiarti

Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI. Jl.Ir.H.Juanda no.13, Bogor, telp/fax 0251-

8322187, Email: [email protected], Hp 0811111595

Abstract

In the last two decades, Sumateran tropical rain forest has been severely damaged by

changing land-use, illegal logging, encroachment and forest fires. The rate of extinction of

flora and fauna is very difficult to measure but is certainly on the rise. Ex-situ conservation is

one of the ways to save species from extinction, especially if the conservation activities are

carried out at a location nearby the original habitats. Such a location is likely to have

ecological conditions that match those of the original flora. Accordingly, the government has

launched the development of new botanic gardens in various regions of Indonesia. One

example of these newly established regional botanic gardens is Samosir Botanic Garden

(KRS), which is representative of the ecoregion of Northern Sumatera. The development of

Samosir Botanical Garden aims to save various species of north Sumateran mountain flora

from extinction, in particular species found on the large inland island of Samosir in Lake

Toba and its surrounding areas. The method for development of the Samosir Botanic Garden

includes planning; infrastructure development; plant exploration; establishment and

management of collections; promotion; and cooperation with relevant stake-holders. By the

end of2015,Samosir Botanical Garden alreadyhad acollection of99speciesof flora planted out

in the Garden. Another 155speciesarecurrently being preparedin the nursery. The planting

concept for Samosir Botanic Garden is to combine elements of modern plant taxonomy with

Batak ethnic understanding of the local flora and its uses. Samosir Botanic Garden has also

been established as a new tourist attraction to complement Lake Toba ecotourism and the

Geopark Toba which is being proposed as a world heritage location.

Keywords: botanic garden, Samosir, flora, conservation, ecotourism

PENDAHULUAN

Dalam dua dekade terakhir, hutan hujan tropis Sumatera paling parah mengalami

degradasi akibat konversi, pembalakan liar, perambahan dan kebakaran hutan. Sehingga pada

tahun 2011 UNESCO menempatkan hutan hujan tropis Sumatera kedalam daftar In Danger

World Heritage atau Warisan Dunia yang Terancam. Sumatera telah kehilangan lebih dari

setengah hutan alam karena perkebunan untuk produksi kertas dan minyak sawit, dan hutan

yang tersisa pun sudah terfragmentasi parah. Secara global, penyebab utama deforestasi

adalah perluasan area pertanian termasuk ternak komersial, minyak sawit dan kedelai,

perambahan oleh petani skala kecil, penebangan yang tidak berkelanjutan dan pengumpulan

kayu bakar. Selain itu pertambangan, pembangkit listrik tenaga air dan proyek infrastruktur

Page 182: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

171

lainnya yang menyediakan jalan baru dengan membuka hutan untuk pemukiman dan

pertanian dapat pula menjadi penyebab deforestasi. (www.wwf.or.id) .

Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan sebagai habitat flora, fauna dan

mikroba, laju kepunahan spesies pun terus meningkat.Tercatat 327 species flora Sumatera

yang dikelompokkan menjadi 54 famili termasuk dalam kategori terancam punah berdasarkan

Red list IUCN 2013. Species tumbuhan terancam punah tersebut terutama berasal dari famili

Dipterocarpaceae, Orchidaceae, Nepenthaceae, Podocarpaceae, Myristicaceae, Leguminosae,

Anacardiaceae, Zibiberaceae dan Meliaceae (http://www.iucnredlist.org). Selain itu terdapat

flora endemik yang sangat populer si Sumatera yaitu Rafflesia arnoldi (Puspa Langka

Indonesia), Johannesteijsmannia altifrons, Amorphophallus titanum, Vanda Sumtrana dan

Cymbidium hartinahianum (Hartini, S dan Puspitaningtyas, DM. 2005).

Berdasarkan data di atas maka upaya penyelamatan keanekaragaman hayati di habitat

asalnya (in situ) melalui penetapan kawasan dilindungi saja tidaklah cukup, diperlukan upaya

lain yang secara paralel dan sinergi dapat menyelamatkan keanekaragaman hayati dari

kepunahan melalui pembangunan kawasan konservasi ex situ dalam bentuk kebun raya.

Kebun Raya adalah kawasan konservasi tumbuhan secara ex situ yang memiliki koleksi

tumbuhan terdokumentasi dan ditata berdasarkan pola klasifikasi taksonomi, bioregion,

tematik, atau kombinasi dari pola-pola tersebut untuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian,

pendidikan, wisata dan jasa lingkungan (Butir 1, Pasal 1 Perpres No 93 Tahun 2011). Kebun

Raya Samosir adalah salah satu dari 7 kebun raya di Sumatera yang dikelola oleh pemerintah

daerah dibawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melalui Pusat Konservasi

Tumbuhan Kebun Raya Bogor. UPT Kebun Raya Samosir seluas 100 hektare dikukuhkan

melalui Peraturan Bupati Samosir Nomor 19 Tahun 2010 dengan mengusung tema

konservasi flora pegunungan Sumatera Utara. (Sugiarti. 2012). Sejalan dengan pembangunan

Kebun Raya Samosir, Danau Toba dan sekitarnya telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis

Pariwisata Nasional (KSPN).KSPN adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata

atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh

penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya,

pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan

keamanan.(Peraturan Pemerintah RI No.50 Tahun 2011).

Pembangunan Kebun Raya Samosir bertujuan mengkonservasi jenis-jenis tumbuhan

pegunungan Sumatera Utara dalam bentuk Kebun Raya Samosir melalui tahapan

pembangunan serta penataan koleksi tumbuhan berdasarkan taman-taman tematik yang

memadukan prinsip taksonomi dan etnik Suku Batak yang mendukung pengembangan

ekowisata Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional dan Geopark Kaldera

Toba.

BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi

Kebun Raya Samosir dibangung sejak Tahun 2008 dan sampai sekarang masih terus

dilakukan. Terletak di Pailit Desa Tomok, Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Provinsi Sumatera Utara dengan posisi koodinat geografis 2°37‘54‖LU dan 98°52‘07‖BT.

Page 183: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

172

Sumber gambar: Masterplan KR Samosir. 2008

Gb 1. Pulau Samosir di Provinsi Sumatera Utara (kiri) dan lokasi Kebun Raya Samosir

(kanan)

Metode

Metode pembangunan Kebun Raya Samosir meliputi tahapan perencanaan,

pembangunan infrastruktur, eksplorasi, penanaman dan pengelolaan koleksi tumbuhan,

promosi serta kerjasama. sesuai Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2011 tentang Kebun

Raya. Eksplorasi flora ke hutan alam pegunungan di Sumatera Utara merupakan salah satu

metode untuk mendapatkan bahan tanaman koleksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Aspek Perencanaan

Perencanaan Kebun Raya Samosir sesuai ketentuan Pasal 7 Perpres Nomor 93 Tahun

2011 meliputi kegiatan : (a) studi kelayakan lokasi, paling kurang meliputi status lahan,

kesesuaian lahan, penentuan lokasi yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan aksesibilitas lokasi; (b)

inventarisasi dan analisis sumberdaya yang ada; (c). inventarisasi kebutuhan infrastruktur

pendukung; dan (d) penyusunan Rencana Induk (master plan).

Berdasarkan konsep pola pemanfaatan ruang wilayah nasional sesuai dengan Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRWN), lokasi Kebun Raya Samosir ditetapkan sebagai Kawasan

Hutan Lindung dan Hutan Konservasi, hal ini sangat mendukung dalam pelaksanaan

pembangunan Kebun Raya Samosir sebagai fungsi konservasi flora(vegetasi) dan fungsi

penelitian. Status lahan seluas 100 hektar merupakan hibah dari masyarakat marga Sidabutar

kepada Pemerintah Kabupaten Samosir untuk dikelola sebagai sebuah kebun raya.

Kegiatan pengukuran batas kawasan, topografi dan situasi (existing) pada wilayah Kebun

Raya Samosir dilakukan untuk memberikan informasi akurat mengenai kondisi batas-

batastanah di sekitarkawasan, relief permukaan (elevasi/ beda tinggi) (DPU. 2008)

Page 184: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

173

Gb.2 Pengukuran batas wilayah, topografi dan situasi (existing)

Rencana Induk (master plan) Kebun Raya Samosir disusun bersama antara

Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Kabupaten Samosir dan Pusat Konservasi

Tumbuhan Kebun Raya-LIPI (Pasal 6 Perpres Nomor 93 Tahun 2011). Rencana Induk

meliputi: kondisi eksisting, analisis tapak,analisis sosial dan budaya, zonasi Kebun Raya,

rencana tapak dan rencana utilitas, pentahapan pembangunan dan rencana pembiayaan.

Kebun Raya Samosir memiliki Tema ―Konservasi Flora Pegunungan Sumatera Utara‖.

Tema-tema tersebut diimplementasikan dalam penataan ruang (zonasi). Tema Kebun Raya

Samosir dimaksudkan untuk membuat keanekaragaman pola lanskap (landscape pattern).

Semakin beragam pola lanskap maka semakin baik bagi keanekaragaman hayati (Dale, et al.,

1994). Kebun Raya Samosir dikelola dengan sistem zonasi (blok) menurut tema tanaman

sebagaimana Gambar.3

Gb.3. Rencana zonasi Kebun Raya Samosir(atas,) design infrastruktur yang akandibangun

(bawah)

Unit Pelaksana Teknis Kebun Raya Samosir & Arboretum Aek Natonang ditetapkan

oleh Bupati Samosir melalui Peraturan Bupati Nomor 19 Tahun 2010 sebagai organisasi

Page 185: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

174

pengelola Kebun Raya Samosir yang berada di bawah Dinas Kehutanan & Perkebunan

Kabupaten Samosir. Dipimpin oleh seorang Kepala UPT eselon IV, saat ini pengelola Kebun

Raya Samosir terdiri dari 6 orang PNS dan 10 pegawai honorer.

Gb.4. Struktur organisasi pengelola Kebun Raya Samosir

B. Implementasi Pembangunan Fisik (Infrastruktur)

Pembangunan fasilitas kebun raya yang telah dilaksanakan oleh pemkab Samosir

sampai saat ini masih terbatas pada ruang kerja pengelola, pembibitan, embung (kolam

penampungan air) dan jalan masuk menuju Kebun Raya Samosir. Bantuan pembangunan

infrastruktur yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan

masih diprioritaskan bagi kebun raya yang terletak di area perkotaan (Roadmap Kebun Raya

Indonesia 2015-2019). Namun penyusunan Detil Engineering Design (DED) akses jalan,

jembatan, pagar, kolam penyiraman (embung) dan fasilitas perkantoran telah dilaksanakan

Tahun 2014 oleh Kementerian PUPR. Berdasarkan SK Kepala LIPI Nomor 2/F/2015 telah

ditetapkan bahwa Kebun Raya Samosir akan diresmikan pada Tahun 2017.ditetapkan bahwa

Kebun Raya Samosir akan diresmikan pada Tahun 2017.

Gb.5 Beberapa sarana fisik yang sudah terbangun di Kebun Raya Samosir :Kolam

penampungan air/embung dan pembibitan (atas), kantor pengelola dan jalan menuju

KRS (bawah)

Page 186: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

175

C. Eksplorasi Sumber Koleksi & Pengelolaan Koleksi Tumbuhan

Pengadaan dan peningkatan jenis koleksi tumbuhan di kebun raya dilakukan melalui

kegiatan eksplorasi, pertukaran spesimen dan sumbangan material tumbuhan.(Pasal 10,

Perpres RI Nomor 93 Tahun 2011). Beberapa kawasan lindung dan hutan alam di Sumatera

Utara yang pernah dijadikan lokasi eksplorasi flora tim peneliti PKT Kebun Raya LIPI

adalah: Cagar alam Sibolangit, Hutan Lindung Sibayak, Taman Hutan Raya Bukit Barisan,

TWA Lau Debuk-debuk, TWA Deleng Lancuk, Hutan Lindung Sinabung, TWA Sicikeh-

cikeh, Suaka Margasatwa Siranggas, Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Cagar Alam Dolok

Sipirok, Cagar Alam Dolok Tinggi Raja, Suaka Margasatwa Dolok Surungan, Suaka

Margasatwa Barumun, Dusun Baniara Desa Partu Kuna Ginjang Toba Samosir (Hartini S,

2005), Hutan Alam Luban Julu Toba Samosir (Rahayu S, 2012), Simalungun Toba Samosir

dan hutan-hutan di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir (Junaedi DI, 2013).

Hingga akhir tahun 2015 Kebun Raya Samosir telah memiliki 99 species koleksi

flora yang telah ditanam dan 155 species yang masih dipersiapkan di pembibitan. Data

koleksi tumbuhan meliputi : asal-usul koleksi, nomor akses, tanggal dan lokasi tanam di

kebun serta nama jenis. Anggrek adalah salah satu koleksi Kebun Raya Samosir yang banyak

diperoleh dari hasil eksplorasi, yaitu 134 nomor akses yang terdiri dari 118 jenis anggrek

termasuk sub species. Sekitar 75% dari anggrek yang dikumpulkan adalah epifit dan 25%

adalah terestrial. Genera dominan adalah Bulbophyllum 20 jenis, Eria 15 jenis, Liparis 10

jenis. Ada 21 jenis endemis dan sub jenis Phalaenopsis sumatera, Ceratostylis crassipetala,

Cleisostoma callosilabum, Coelogyne salmonicolor, C. speciosa subsp. Fimbriata,

Dendrochilum ovatum, D. krauseanum dan Gastrochilus sumatranus. Jenis anggrek terestrial

yang jarang ditemukan adalah Calanthe chrysoglossoides dan C. taenioides. (Metusala,D dan

Fijriyanto I.A. 2015)

Gb 6. Pendataan tanaman hasil eksplorasi (kiri), bibit-bibit tanaman hasil eksplorasi di

pembibitan (kanan).

Contoh Tabel pendataan hasil eksplorasi

Formulir : A1 Tanaman Umum

Kolektor : Decky Indrawan Junaedi, Tatang Usin,Rosita

Lokasi : Simalungun, Tobasa, Samosir

Tanggal : 3-22 September 2013

No. Nomor

Kolektor

Nama

Ilmiah Suku Habitus

Altitude

(m dpl)

Koordinat

(Latitude &

Longitude)

Habitat,

pH, RH,

dll. 21 DQ 336 Weinnmania

blumei

Cunon. T 1467 N

02039‘05.0‖ E

098059‘59.2‖

pH=6.5,

RH=84%,

T=220C, hs

22 337 Huperzia sp. Ep. 1467 N

02039‘05.0‖ E

098059‘59.2‖

pH=6.5,

RH=84%,

T=220C, hs

23 338 Pinus

merkusii

Pinac. T 1479 N

02039‘03.6‖ E

09900001.4‖

pH=6.9,

RH=70%,

T=260C, hs

24 339 Polyalthia

sp.

Annon. T 1479 N

02039‘03.6‖ E

09900001.4‖

pH=6.9,

RH=70%,

T=260C, hs

25 340 Styrax

benzoin

Styrac. T 1434 N

02038‘55.9‖ E

098059‘42.8‖

pH=6.1,

RH=86%,

T=220C, hs

a

Page 187: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

176

No. Nomor

Kolektor

Nama

Ilmiah Suku Habitus

Altitude

(m dpl)

Koordinat

(Latitude &

Longitude)

Habitat,

pH, RH,

dll. 26 341 GENDUB Laur. T 1434 N

02038‘55.9‖ E

098059‘42.8‖

pH=6.1,

RH=86%,

T=220C, hs

27 342 Flacourtia

rukam

Flac. T 1434 N

02038‘55.9‖ E

098059‘42.8‖

pH=6.1,

RH=86%,

T=220C, hs

28 343 Quercus sp. Faga. T 1434 N

02038‘55.9‖ E

098059‘42.8‖

pH=6.1,

RH=86%,

T=220C, hs

29 344 Eurya sp. Theac. Sh. 1434 N

02038‘55.9‖ E

098059‘42.8‖

pH=6.1,

RH=86%,

T=220C, hs

30 345 Eurya sp. Theac. Sh. 1434 N

02038‘55.9‖ E

098059‘42.8‖

pH=6.1,

RH=86%,

T=220C, hs

31 346 Pyrenaria

sp.

Theac. Sh. 1434 N

02038‘55.9‖ E

098059‘42.8‖

pH=6.1,

RH=86%,

T=220C, hs

32 347 Trevesia sp. Aral. T 1474 N

02038‘56.2‖ E

098059‘44.7‖

pH=6.5,

RH=92%,

T=190C, hs

33 348 Syzygium

sp.

Myrt. T 1474 N

02038‘56.2‖ E

098059‘44.7‖

pH=6.5,

RH=92%,

T=190C, hs

34 349 Castanopsis

sp.

Faga. T 1474 N

02038‘56.2‖ E

098059‘44.7‖

pH=6.5,

RH=92%,

T=190C, hs

35 350 Turpinia sp. Staph. T 1474 N

02038‘56.2‖ E

098059‘44.7‖

pH=6.5,

RH=92%,

T=190C, hs

36 351 GENDUB Myrt. T 1474 N

02038‘56.2‖ E

098059‘44.7‖

pH=6.5,

RH=92%,

T=190C, hs

37 352 Anthurium

sp.

Ara. Sh 1474 N

02038‘56.2‖ E

098059‘44.7‖

pH=6.5,

RH=92%,

T=190C, hs

38 353 Syzygium

sp.

Myrt. T 1481 N

02038‘53.7‖ E

098059‘47.4‖

pH=6.8,

RH=92%,

T=190C, hs

39 354 Impatiens

sp.

Balsam. Sh. 1481 N

02038‘53.7‖ E

098059‘47.4‖

pH=6.8,

RH=92%,

T=190C, hs

40 355 Schima

wallichii

Theac. T 1482 N

02038‘52.7‖ E

098059‘46.1‖

pH=7,

RH=90%,

T=200C, hs

Keterangan: Habitus (Perawakan) Material

T= Pohon (Tree) S= Biji (Seed)

Lokasi = Desa, kecamatan, tempat persis mis. Taman Nasional Kerinci Seblat

Sh.= Semak (Shrub) C= Setek (Cutting)

Habitat = Mis. hutan primer (hp), hutan sekunder (hs), rawa, tepi sungai, jurang,tebing, dll.

Cl.= Merambat (Climber) R= Rhizoma (Rhizome)

W.Cl.= Merambat (Woody Climber) B= Umbi (Bulb) A= Semusim (Annual)

P= Tanaman (Plant)

P = Lebih dari satu tahun (Perennial) H= Herbarium Aq.= Tanaman air (Aquatic)

Sp= Spora (Spore)

Habitat Anggrek/Paku

Ep. = Epifit

Tr. = Terestrial Sr. = Saprofit

Selain eksplorasi untuk memperoleh material tumbuhan, pendataan untuk

memperoleh informasi manfaatnya pun dilakukan melalui wawancara masyarakat maupun

pemuka adat suku Batak. Salah satunya adalah wawancara di pusat pembuatan tenun ulos

dengan pewarna alami dari tumbuhan Merdi Sihombing di Desa Lumban Suhisuhi Toruan,

Kec.Pangururan dan wawancara bumbu khas Batak di Pajak Balerong di Balige (Muadz S,

2015)

Page 188: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

177

Sumber foto: Muadz. 2015

Gb.7 Jenis-jenis ulos yang menggunakan bahan pewarna alami

Keterangan Foto :a) Hasil perebusan Salaon (Indigofera sp) menghasilkan warna biru tua

sebagai bahan pewarna benang ulos, selain itu kunyit (kuning), putri malu (hijau), kulit kayu

Jabi-jabi (pitch), kulit kayu angsana (merah), akar mengkudu (merah), kulit kayu manga

(hijau tua), daun Gambir (merah), akar kayu kuning (abu-abu), alpukat, lidah mertua, pacar

cina, buah sukun, daun melinjo, kulit pohon Mindi;b) Limbah hasil perebusan tumbuhan

Salaon (Indigofera); c) Benang hasil pewarnaan alami dari tumbuh-tumbuhan;. d-e) Kain

tenun Ulos dengan menggunakan pewarna alami; f) Buku Perjalanan Tenun Ulos karya

desainer Merdi Sihombing.

Gb.8 Wawancara menggali informasi pemanfaatan bumbu khas Batak di Pajak Balerong,

Balige

Keterangan Foto :a-b) wawancara pedagang yang menjual Mobe. Buah Mobe memiliki rasa

asam & digunakan untuk membuat arsik; c-d)Wawancara pedagang yang menjual Antarasa.

Buah Antarasa digunakan sebagai lalapan, berbuah setahun sekali.

Tumbuhan hasil eksplorasi yang memiliki fungsi khusus seperti pewarna ulos alami

dan bumbu masakan Suku Batak seperti disampaikan di atas kemudian ditanaman dan ditata

di area taman tematik Ethnobotani Suku Batak. Sedangkan jenis-jenis kantong semar dan

anggrek ditanam mengisi taman tematik hias.

a b c

d e f

a b c

d

Page 189: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

178

Gb.9 Jenis- jenis Nepenthes dan anggrek hasil eksplorasi di Kebun Raya Samosir

Salah satu tantangan yang dihadapi Kebun Raya Samosir adalah kurangnya tutupan

kanopi untuk naungan. Solusi yang telah dilakukan adalah penanaman jenis fast growing tree

species (FGPT) untuk memenuhi kebutuhan naungan dalam waktu relatif singkat. Jenis

FGPT eksotis invasif yang terpilih kemudian dianalisis resiko invasifnya berdasarkan Weed

Risk assessment. Diperoleh beberapa jenis tumbuhan FGPT yang potensial untuk Kebun

Raya Samosir, yaitu: Samanea saman, Annona squomosa dan Cedrella odorata, Acacia spp,

Albizia, Falcataria dan Leucaena. (Junaedi, D.I dan Sugiarti. 2015)

D. Sumber Daya Manusia

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola Kebun Raya Samosir

dilakukan melalui Diklat Perkebunrayaan yang diselenggarakan secara berkala setiap

tahunnya di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI. Diklat terbagi menjadi dua jenis,

yaitu tingkat manajemen bagi para pimpinan kebun raya daerah dan tingkat teknis bagi para

tenaga kerja lapangan pengelola kebun raya. Materi diklat meliputi perkembangan kebun raya

di dunia dan Indonesia, strategi konservasi flora Indonesia, teknik eksplorasi, pengelolaan

koleksi data base koleksi, teknik pembibitan dan perbanyakan tanaman, penyelenggaraan

program pendidikan lingkungan serta promosi.

Selain melalui rangkaian pelatihan, upaya pengembangan kapasitas SDM pengelola

Kebun Raya Samosir juga dilakukan melalui pendampingan tenaga Pegawai Tidak Tetap

(PTT) yang khusus diseleksi oleh PKT Kebun Raya-LIPI untuk ditempatkan di Kebun Raya

Samosir sejak Tahun 2015.

Gb.10.Diklat perkebunrayaan pengelola kebun raya daerah (kiri), pendampingan PTT di KR

Samosir (kanan).

Page 190: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

179

E. Promosi dan Kerjasama

Untuk mensosialisasikan keberadaan kebun Raya Samosir diperlukan program

promosi dan kerjasama sehingga memperoleh dukungan masyarakat, pemerintah pusat

maupun daerah, universitas, NGO serta swasta. Informasi koleksi tumbuhan dan kegiatan

konservasi flora di Kebun Raya Samosir telah disebarluaskan melalui berbagai media seperti

website, newsletter, brosur dan penyelenggaraan event-event lingkungan. Mahasiswa dari

beberapa universitas di Sumatera telah melakukan penelitian flora dan memanfaatkan data

koleksi flora Kebun Raya Samosir, seperti Orchidaceae, Nepenthaceae, Rafflesia dan

tanaman obat.

Gb.11. Informasi Kebun Raya Samosir melalui media cetak maupun online

Kerjasama dengan berbagai pihak seperti Kementerian PUPR, LIPI, WWF Indonesia,

Bank Mestika dan perusahaan-perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility

bertujuan untuk mempercepat pembangunan Kebun Raya Samosir.

Gb.11. Event penanaman di KRS (kiri), display herbarium koleksi tumbuhan KRS di Pusat

InformasiGeopark Kaldera Toba (tengah dan kanan)

KESIMPULAN

Kebun Raya Samosir yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir

cukup efektif untuk konservasi berbagai spesies flora pegunungan Sumatera Utara. Lokasi

Kebun Raya Samosir berada di jalur wisata Pulau Samosir – Danau Toba, sejalan dengan

program dan kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah yang menetapkan Danau Toba sebagai

Kawasan Strategis Nasional, daerah tujuan wisata dan usulan sebagai Geopark.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Mangindar Simbolon (Bupati Samosir 2005-2015), Kepala UPT

Kebun Raya dan Arboretum Aek Natonang beserta staf (Elman Silalahi, Reinheart

Simarmata, Eva Erika Hutagalung, Ridho Siahaan cs), Pemilik lahan yang menghibahkan

tanahnya seluas 100 ha untuk Kebun Raya Samosir (Victor Sidabutar, Raja Muda Sidabutar

Page 191: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

180

dan seluruh keluarga besar), rekan-rekan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI

yang pernah bersama-sama menjadi pendamping pembangunan KR Samosir sejak tahun 2008

hingga saat ini (Irawati, Lugrayasa, Mustaid Siregar, Joko Ridho Witono, Rismita Sari,

Yayan K, Sri Rahayu dan Mujahidin), Pegawai PTT yang pernah dan sedang bertugas di

Kebun Raya Samosir (Hendra Nughara, Sahal Muadz, Apri Wijaya dan Han Prasetya Adhi)

serta sahabat yang senantiasa membantu dalam penyusunan makalah ini (Hendra Gunawan

dan Graham Eagleton)

DAFTAR PUSTAKA

Hartini, S dan Puspitaningtyas, DM. 2005. Flora Pegunungan Sumatera Utara. PKT Kebun

Raya-LIPI. Bogor

IUCN 2013. http://www.iucnredlist.org. Red list data book.

Junaedi, D.I dan Sugiarti. 2015. Analisis Risiko Penggunaan Tumbuhan Eksotis Dalam

Pengembangan Kebun Raya Samosir. Prosiding Ekspose dan Seminar Pembangunan

Kebun Raya Daerah. Lipi Press. Jakarta.

Metusala D dan Fijriyanto IA.2015. Keragaman Jenis Anggrek Orchidaceae dari Kawasan

Hutan Dolok Pinapan dan Dolok Partangisan, Kab Samosir Sumatera Utara. Prosiding

Ekspose dan Seminar Pembangunan Kebun Raya Daerah. Lipi Press. Jakarta.

Muadz, S dan Nughara H. 2015. Laporan Pendampingan PTT di Kebun Raya Samosir.

Peraturan Presiden RI Nomor 93 Tahun 2011 Tentang Kebun Raya

Peraturan Pemerintah RI No.50 Tahun 2011 Tentang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

WWF Indonesia. http://www.wwf.or.id/en/news_facts/?uNewsID=38842. Lebih dari 80%

Deforestasi Terkonsentrasi pada 11 Wilayah di Dunia, 28 April 2015 diunduh pada 3

April 2016.

Page 192: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

181

KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU

(LEPIDOPTERA: RHOPALOCERA) PADA BEBERAPA HABITAT

DI LEUPUNG ACEH BESAR

THE COMPOSITION AND BIODIVERSITY OF BUTTERFLIES

(LEPIDOPTERA: RHOPALOCERA) AT SOME HABITATS

IN LEUPUNG ACEH BESAR

Suwarno

1, Muhammad Toha Putra

2, Irvianty3

1,2,3,4 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala,

Jl. Syekh Abdur Rauf No.3 Darussalam Banda Aceh, 23111, Indonesia,

telp. 082161906994 e-mail: [email protected]

Abstract

This study aims to determine the composition and biodiversity of butterflies in Leupung Aceh

Besar. An exploratory method was conducting in this study. The butterflies were collected on

three habitats, there were the secondary forest, farm and the bush, every week for two

months. The butterflies were captured by using the insect net, from 8:00 am to 5:00 pm. The

result showed that there were four families (Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae and

Lycaenidae), 35 species 473 of individuals found during the study. The highest number of

species was found in the farm (32 species), meanwhile lowest were in the bush (14 species).

Nymphalidae was the most family (the number of species and individuals) in all of habitats.

Keywords: butterflies, biodiversity, composition, habitat

PENDAHULUAN

Kupu-kupu merupakan kelompok fauna yang memiliki keanekaragaman sangat tinggi.

Diperkirakan terdapat sebanyak 4.000-5.000 jenis kupu-kupu di Indonesia, namun baru 50%

yang teridentifikasi (Tsukada dan Nishiyama, 1982). Keanekaragaman kupu-kupu

dipengaruhi oleh penyebaran dan kelimpahan tumbuhan inang (host plant) (Suwarno et al,

2013). Kerusakan habitat saat ini merupakan ancaman terbesar bagi serangga di daerah tropis,

namun demikian perubahan iklim global dewasa ini juga akan memberikan efek yang serupa

(Chen et al., 2009)

Keanekaragaman kupu-kupu juga dipengaruhi oleh ketinggian (altitude), suhu,

kelembaban, intensitas cahaya, cuaca, musim, dan ketersediaan nektar tumbuhan (Rizal,

2007). Kupu-kupu tersebar dari dataran rendah sampai ketinggian 750 meter di atas

permukaan laut (mdpl). Serangga ini dapat ditemukan pada habitat hutan, pinggiran hutan,

ladang, semak belukar, dan di sepanjang aliran air (Corbet dan Pendlebury, 1992). Perbedaan

habitat akan mempengaruhi komposisi dan keanekaragaman jenis kupu-kupu yang ditemukan

(Salmah et al., 2002).

Kupu-kupu memainkan peranan penting fungsi ekologi seperti siklus nutrien dan

penyerbukan (Bonebrake et al., 2010). Kupu-kupu juga dapat digunakan sebagai indikator

kerusakan atau perubahan lingkungan (Koh dan Sodhi, 2004).Kupu-kupu menyukai tempat-

tempat yang bersih, sejuk dan tidak terpolusi oleh insektisida, asap, bau yang tidak sedap dan

lain-lain (Odum, 1993). Kerusakan alam seperti berubahnya ekosistem hutan, dan semak

yang menjadi habitat bagi kupu-kupu, dapat menyebabkan penurunan jumlah maupun jenis

kupu-kupu di alam (Suwarno et al., 2013).

Page 193: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

182

Hasil penelitian Suwarno et al. (2013), di Kawasan Wisata Sungai Sarah, Aceh Besar

mendapatkan sebanyak 60 jenis kupu-kupu yang tergolong ke dalam lima family yaitu

Hesperidae, Lychaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, dan Pieridae. Sementara itu Aini

(2000) melaporkan 64 jenis kupu-kupu yang tergolong kedalam tujuh famili (Danaidae,

Hesperidae, Lychaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae, dan Satyridae) ditemukan di

Taman Hutan Raya Cut Nyak Dien Seulawah, Aceh Besar.

Kecamatan Leupung merupakan daerah yang memiliki beragam tipe habitat. Habitat

yang terdapat di sekitar kawasan tersebut adalah hutan sekunder, semak, kebun/ladang, dan

persawahan. Kondisi habitat-habitat tersebut di atas sering mengalami perubahan akibat

aktivitas masyarakat di sekitarnya. Terjadinya perubahan kondisi dan daya dukung habitat

akan mempengaruhi kelimpahan dan keragaman kupu-kupu di kawasan tersebut. Hingga saat

ini belum ada informasi tentang keanekaragaman kupu-kupu di Kecamatan Leupung.

BAHAN DAN METODE

PENGKOLEKSIAN KUPU-KUPU

Pengkoleksian kupu-kupu di lapangan dilakukan dengan metode eksploratif

menggunakan jalur transek (Suwarno et al., 2013). Pengkoleksian kupu-kupu dilakukan pada

tiga habitat yaitu hutan sekunder, semak, dan kebun/ladang masing-masing dengan transek

sepanjang 2 km dan lebar 50 m. Pengkoleksian sampel kupu-kupu pada habitat yang sama

dilakukan mulai pukul 08.00 sampai 16.00 wib, setiap minggu selamadua bulan. Kupu-kupu

ditangkap dengan menggunakan jaring seranggaberdiamater 50cm dan panjang

gagang/tangkai 2m(Suwarno et al.,2013; Dahelmi et al., 2009; Salmah et al., 2002).

Kupu-kupu yang tertangkap dikeluarkan dari jaring serangga secara hati-hati.

Selanjutnya, kupu-kupu tersebut dimatikan dengan cara menekan pada bagian dada, sayap

kupu-kupu dilipat ke atas dan dimasukkan ke dalam kertas segitiga. Kertas segitiga yang

sudah berisi sampel kupu-kupu selanjutnya disimpan dalam kotak koleksi supaya tidak rusak

atau patah. Setelah itu sampel yang didapat dibawa ke laboratorium untuk dijadikan spesimen

kering guna keperluan identifikasi.

PEMBUATAN SPESIMEN KUPU-KUPU

Kupu-kupu yang terdapat dalam kertas segitiga dikeluarkan secara hati-hati.

Setelahdikeluarkan, kemudian kupu-kupu ditusuk dadanya dengan jarum serangga.

Selanjutnya sayap kupu-kupu direntangkan diatas papan perentang,dan diatur sedemikian

rupa sehingga sayap ini tidak patah dan menjadi indah.

Kupu-kupu yang sudah siap direntang dan dipin pada papan perentang selanjutnya

dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC selama 5-7 hari. Spesimen kupu-kupu yang sudah

kering selanjutnya diidentifikasi, diberi label dan disimpan dalam kotak koleksi. Guna

mencegah serangan semut dan organisme perusak lainnya ke dalam kotak koleksi diberi

kapur barus sebagai pengawet.

IDENTIFIKASI SAMPEL

Kupu-kupu yang telah dijadikan spesimen kering selanjutnya diidentifikasi dengan

melihat ciri-ciri utama pengidentifikasian seperti bentuk tubuh secara umum, warna, sebaran

warna, bentuk dan venasi sayap serta ciri lainnya. Identifikasi dilakukan di Laboratorium

Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah dengan menggunakan beberapa macam buku

literatur acuan (Otsuka, 2010; Corbet dan Pendlebury, 1992; Fleming, 1975) dan specimen

yang ada di insektarium Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah.

Page 194: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

183

ANALISIS DATA

Data jenis kupu-kupu yang tertangkap, dianalisis terhadap nilai frekuensi relatif,

kelimpahan relatif, dan indeks keragaman Shannon-Wiener dengan rumus sebagai berikut:

Frekuensi Kehadiran

FK = plottotalJumlah

jenissuatuditempatiyangplotJumlah

Kelimpahan Relatif

KR = %100jenisseluruhindividuJumlah

jenissuatuindividuJumlah

Indeks Keanekaragaman

Untuk memperoleh Indeks Keanekaragaman kupu-kupu dihitung dengan

menggunakan rumus Shannon-Wieneryaitu:

H= −∑ Piln Pi

dimana :

H = Indek keanekaragaman spesies

Pi = ni/ N

ni = Jumlah individu panda spesies ke-i

N = Total jumlah individu seluruh spesies

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengkoleksian terhadap kupu-kupu yang telah dilakukan pada tiga macam

habitat di Leupung Aceh Besar tertangkap sebanyak 35 jenis yang tergolong ke dalam empat

famili yaitu Lycaenidae (2 jenis), Nymphalidae (18 jenis), Pieridae (8 jenis)dan Papilionidae

(7 jenis).Jumlah jenis kupu-kupu yang didapat di habitat ladang (32 jenis) lebih banyak

dibandingkan dengan yang ditemukan di hutan sekunder (28 jenis) ataupun di semak (20

jenis) (Tabel 1). Jumlah jenis kupu-kupu dari hasil penelitian ini lebih sedikit dibanding

dengan hasil penelitian sebelumnya Suwarno et al. (2013) di Sungai Sarah Aceh Besar, yang

mendapatkan 60 jenis kupu-kupu, tergolong dalam 10 subfamili dan 5 famili. Namun

demikian, jumlah jenis dan jumlah individu yang tergolong famili Nymphalidae

mendominasi pada kedua lokasi.

Tabel 1. Komposisi kupu-kupu yang terdapat di Leupung Aceh Besar

Familia / Jenis Hutan

Sekunder

Ladang /

Kebun Semak FK KR

LYCAENIDAE

1. Anthene emolus 3 5 6 1.00 2.96

2. Euchrysops cnejus 2 1 3 1.00 1.27

NYMPHALIDAE

3. Cirrochoroa orissa 0 1 0 0.33 0.21

4. Danaus chrysippus 5 6 1 1.00 2.54

5. Danaus gemutia 0 2 0 0.67 0.42

6. Elymnias nesaea 0 1 0 0.33 0.21

7. Euploea eunice 3 2 3 1.00 1.69

8. Euploea eyndhovii 8 7 4 1.00 4.02

9. Euploea mulciber 8 5 6 1.00 4.02

10. Euploea radamanthus 9 6 6 1.00 4.44

Page 195: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

184

Familia / Jenis Hutan

Sekunder

Ladang /

Kebun Semak FK KR

11. Hypolimnias bolina 5 3 1 1.00 1.90

12. Idea stolli 5 3 0 0.67 1.69

13. Ideopsis vulgaris 10 13 9 1.00 6.77

14. Junonia alamanda 0 4 0 0.33 0.85

15. Junonia atlites 0 2 0 0.33 0.42

16. Junonia iphita 3 2 0 0.67 1.06

17. Neptis hylas 8 9 0 1.00 3.59

18. Paraantica agloides 10 8 10 1.00 5.92

19. Paraantica aspasia 11 1 3 1.00 3.17

20. Tanacea iapis 0 1 0 0.33 0.21

PAPILIONIDAE

21.Graphium antiphates 1 0 0 0.33 0.21

22. Graphium doson 5 2 0 0.33 1.48

23. Graphium sarpedon 18 7 2 1.00 5.71

24. Lamproptera curius 4 6 0 1.00 2.11

25. Pachliopta aristolochiae 12 8 6 1.00 5.50

26. Papilio nephelus 0 3 0 0.33 0.63

27. Papilio polytes 8 2 3 1.00 2.75

PIERIDAE

28. Appias libythea 10 3 0 0.67 2.75

29. Appias lyncida 6 0 2 0.67 1.69

30. Appias nero 1 0 0 0.33 0.21

31. Delias hyparete 13 8 4 1.00 5.29

32. Eurema hecabe 18 12 6 1.00 7.61

33. Eurema sari 20 17 8 1.00 9.51

34. Hebomoia glaucippe 13 11 2 1.00 5.50

35. Leptosia nina 4 3 1 1.00 1.69

223 164 86 26.33 100

Perbedaan rona lingkungan di kedua lokasi penelitian merupakan penyebab adanya

variasi jumlah jenis yang ditemukan. Kawasan hutan sekunder di Leupung sudah mengalami

konversi menjadi perkebunan masyarakat dan sudah ditanami tanaman ekonomi seperti

durian (Durio zibethinus), belimbing (Averhoa bilimbii), manggis (Garcinia mangostana),

sirsak (Annona muricata), pala (Myristica fragrans), dan kayu manis (Cinnamomum

burmanii). Menurut Hill et al. (2003), kelimpahan spesies kupu-kupu menurun pada hutan

yang mengalami penebangan. Kurangnya tanaman pakan (food plant) dan tanaman inang

(host plant) bagi kupu-kupu di Leupung akibat konversi lahan diduga menjadi faktor

penyebab kurangnya jumlah jenis yang ditemukan.

Page 196: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

185

Gambar 1. Jumlah spesies pada masing-masing famili

Gambar 1. Persentase jumlah individu pada masing-masing famili

Nymphalidae merupakan kelompok kupu-kupu yang paling banyak tertangkap di

Leupung Aceh Besar baik dalam jumlah jenis (51,43%) (Gambar 1) maupun dari jumlah

individu (43,13%) (Gambar 2). Famili Nymphalidae paling banyak tertangkap pada habitat

kebun/ladang (18 jenis) dibanding hutan sekunder (12 jenis) dan semak (9 jenis) (Tabel 1).

Hal ini karena banyaknya tanaman pakan dan tanaman inang di habitat kebun/ladang.

Menurut Peggy dan Amir (2006) sumber pakan Nymphalidae adalah Leguminoceae dan

Compositae. Banyaknya sumber mineral dan buah busuk yang terdapat dikawasan

kebun/ladang hutan sekunder seperti juga menjadi salah satu faktor banyaknya jumlah jenis

yang didapatkan dari famili Nymphalidae. Menurut Suwarno dan Yusti (2012) kupu-kupu

dari famili Nymphalidae paling banyak melakukan puddling secara berkelompok.

Nymphalidae dilaporkan mendominasi komunitas kupu-kupu di beberapa lokasi, seperti, di

Taman Nasional Gunung Halimun (Amir et al., 2003), dan di Sungai Sarah, Aceh Besar,

Aceh (Suwarno et al., 2013). Nymphalidae merupakan familia kupu-kupu yang mempunyai

anggota paling banyak dan penyebaran lebih luas dibandingkan dengan famili kupu-kupu

lainnya (Corbet dan Pendlebury, 1992).

Page 197: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

186

Jenis kupu-kupu yang paling dominan dari famili Nymphalidae adalah Parantica

agloides dan Ideopsis vulgaris (Tabel 1). Kedua jenis kupu-kupu ini menyukai tempat yang

agak terbuka namun tidak terdedah langsung dengan cahaya matahari.

Kupu-kupu dari familia Pieridae juga banyak ditemukan (Tabel 1, Gambar 1 dan 2).

Tingginya populasi famili Pieridae pada penelitian ini diduga berkaitan dengan berlimpahnya

tumbuhan dari famili Leguminoceae dan Loranthaceae. Tumbuhan dari famili Leguminoceae,

Capparidaceae, dan Loranthaceae merupakan tanaman inang utama bagi famili Pieridae

(Otsuka, 2001). Beberapa jenis juga telah dilaporkan terdapat di Sungai Sarah, Aceh Besar

(Suwano et al., 2013) seperti, Appias libythea, Appias lyncida, Delias hyparate, Eurema

hecabe, Hebomoia glaucippe, dan Leptosia nina.

Sebanyak tujuh jenis kupu-kupu yang tergolong fmilia Papilionidae ditemukan pada

penelitian ini (Tabel 1), enam diantaranya dikoleksi pada habitat hutan sekunder dan

kebun/ladang yang lokasinya berdampingan. Kehadiran enam jenis kupu-kupu dari familia

Papilionidae pada hutan sekunder diduga akibat adanya konversi hutan sekunder menjadi

kebun/ladang. Pada kawasan tepi hutan sekunder banyak terdapat tanaman kayu manis

(Cinnamomum burmanii) dan sirsak (Annona muricata) yang merupakan tanaman inang bagi

beberapa jenis Graphium. Selain itu tanaman jeruk (Citrus sp.) juga banyak terdapat di

habitat kebun/ladang yang merupakan tanaman inang dari Papilio spp. Menurut Salmah et al.

(2002) tanaman pakan dari jenis Graphiumsarpedon, G. doson, dan G. evemon adalah dari

famili Lauraceae dan Annonaceae. Semua jenis dari Papilionidae yang terdapat di Leupung

ini juga ditemukan di Sungai Sarah Aceh Besar (Suwarno et al., 2013).

Famili Lycaenidae merupakan kelompok kupu-kupu yang paling sedikit tertangkap

baik dalam jumlah jenis (5,71%) (Gambar 1) maupun dari jumlah individu (4,23%) (Gambar

2). Jenis yang ditemukan jenis yaitu Anthene emolus dan Euchrysops cnejus (Tabel 1).Kupu-

kupu dari familia Lycaenidae yang didapatkan umumnya ditemukan pada pagi hari

sedangkan pada siang hari yang panas jarang ditemukan famili ini,karena ukuran tubuh yang

kecil menyebabkan jenis dari suku ini tidak tahan terhadap panas yang menyengat. Menurut

Peggie dan Amir (2006) kupu-kupu ini umumnya dijumpai pada hari yang cerah dan di

tempat yang terbuka.

Frekuensi kehadiran jenis-jenis kupu-kupu yang terdapat di Leupung ini tergolong

tinggi, hanya beberapa jenis saja yang frekuensi kehadirannya rendah (Tabel 1). Hal ini

diduga jenis-jenis yang ditemukan merupakan kelompok kupu-kupu yang menyukai kawasan

terbuka dan tersedianya tanaman inang dan tanaman pakan pada semua tipe habitat. Beberapa

jenis yang mendominasi seperti Ideopsis vulgaris dan Parantica agloides (Nymphalidae),

Delias hyparete, Eurema sari dan Eurema hecabe (Pieridae). Menurut Yamamoto et al.

(2007) kehadiran spesies kupu-kupu yang tinggi didukung oleh tersedianya tumbuhan sebagai

sumber pakan.

Hasil analisis keanekaragaman kupu-kupu pada masing-masing habitat di Leupung

menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman kupu-kupu di hutan sekunder (H‘=3.13) dan

kebun/ladang (H‘=3.19) tergolong dalam kategori tinggi, sedangkan semak (H‘=2.81)

tergolong dalam kategori sedang (Tabel 2). Kategori ini sesuai dengan pendapat Odum

(1993),yang menyatakan bahwa apabila H' ≤ 2.0 maka indeks keanekaragaman rendah,

apabila 2.0 < H' < 3.0 maka indeks keanekaragaman sedang, dan apabila H' ≥ 3.0 maka

indeks keanekaragaman tinggi. Secara keseluruhan indeks keanekaragaman kupu-kupu

(ketiga habitat) di Leupung adalah H‘= 3.21 termasuk dalam kategori tinggi.

Page 198: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

187

Tabel 2. Indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu yang terdapat di Leupung A. Besar

Habitat Indeks Keanekaragaman

Hutan Sekunder 3.18

Ladang / Kebun 3.12

Semak Belukar 2.81

Tinggi rendahanya nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H), sangat

ditentukan oleh jumlah spesies (species richness), kelimpahan individu setiap spesies

(abundance) dan jumlah total individu. Rona lingkungan menjadi faktor penentu perbedaan

jumlah spesies dan jumlah total individu sehingga mempengaruhi nilai indeks

keanekaragaman. Adanya perbedaan rona lingkungan menyebabkan keanekaragaman

organisme yang tidak toleran menurun, sebaliknya organisme yang toleran akan tinggi.Hal ini

terlihat pada perbedaan keanekaragaman kupu-kupu antara hutan sekunder dan kebun/ladang.

Suwondo et al. (2004), menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara

keanekaragaman dengan kualitas lingkungan. Keanekaragaman banyak dipakai untuk

mengindikasikan kondisi lingkungan suatu ekosistem. Odum (1993) menyatakan bahwa

keanekaragaman identik dengan kestabilan suatu ekosistem, yaitu jika keanekaragaman suatu

ekosistem relatif tinggi maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil.

KESIMPULAN

Hutan sekunder di Leupung Aceh Besar sudah mengalami konversi dan fragmentasi,

namun masih cukup sesuai bagi kehidupan kupu-kupu, terlihat dari nilai indeks

keanekaragamannya yang masih tergolong tinggi (H‘ = 3.13). Kupu-kupu yang tertangkap

sebanyak 35 jenis yang tergolong ke dalaam empat famili (Nymphalidae, Papilionidae,

Pieridae and Lycaenidae). Kupu-kupu dari famili Nymphalidae mendominasi baik dari segi

jumlah jenis maupun dari jumlah individu.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih ditujukan kepada Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah yang

sudah memberikan izin pemakaian alat-alat laboratorium dan fasilitas lainnya. Kepada

masyarakat Leupung juga diucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang telah

diberikan selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, L. 2000. Keanekaragaman Rhopalocera Diurnal di Taman Hutan Raya Cut Nyak Dhien

Seulawah, Aceh Besar. Skripsi. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Amir, M., Noerdjito, W.A., dan Kahono, S. 2003. Kupu (Lepidoptera). Di dalam: Amir, M.,

dan Kahono, S., editor. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian

Barat. Bogor: Biodiversity Conservation Project LIPI-JICA.

Bonebrake, T. C. Ponislo, I. C. Boggs, C. I. and Erlich P. R. (2010). More than just

indicators: a review of tropical butterfly and conservation. Biological Conservation.

Vol 143, p. 1831-1841

Chen, L-C. Shiu, H-J. Benedick, S. Holloway J. D., Chey, V. K. Barlow, H. S.. Hill J. K and

Thomas, C. D (2009). Elevation increases in moth assemblages over 24 years on a

tropical mountain. Proceeding of the National Academy of Sciences USA, Vol. 106 p.

1479-1483

Corbet, A.S., dan Pendlebury, H.M. 1992. The Butterflies of The Malay Peninsula 2nd

ed.

British Museum. Tweeddale Court. Edinburgh, London.

Page 199: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

188

Dahelmi., Salmah, S., dan Primaldavi, I. 2009. Kupu-kupu di Pulau Marak, Kabupaten

Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Proc. Seminar dan Rapat Tahunan BKS-BTN Wilayah

Barat ke-21. Padang.

Fleming, W.A. 1975. Butterflies of West Malaysia and Singapore. Volume Two. Second

Edition. Longeman, Kuala Lumpur.

Hill, J.K., Hamer, K.C., Dawood, M.M., Tangah, J., dan Chey, V.K. 2003. Rainfall but not

selective logging affect changes in abundance of a tropical forest butterfly in Sabah,

Borneo. J Trop Ecol 19: 35-42.

Koh L. P. and Sodhi, N. S. (2004). Importance of reserves, pfragments and parks for butterfly

conservation in a tropical urban landscape. Ecological Application Vol. 14, p. 1695-

1708

Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Terjemahan dari Fundamental of

Ecology Third Edition, oleh Tjahjono Samingan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Otsuka, K. 2001. A fiel Guide to the Butterflies of Borneo and South East Asia. Hornbill

books- adivision of iwase bookshop Sdn. Bhd, Malaysia.

Peggie dan Amir, M. 2006. Practical Guide to the Butterflies of Bogor Botanic Garden –

Panduan Praktis Kupu-kupu di Kebun Raya Bogor. Bidang Zoologi, pusat penelitian

biologi, LIPI Cibinong dan Nagao Natural Environment Foundation. Tokyo.

Rizal, S. 2007. Populasi kupu-kupu di kawasan wisata Lubuk Minturun Sumatera Barat.

Mandiri 9: 170-184.

Salmah, S., Abbas, I., dan Dahelmi. 2002. Kupu-kupu Papilionidae di Taman Nasional

Kerinci Seblat. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta.

Sodhi, N.S., Koh, L.P., Brook, B.W., dan Peter, K.L. 2004. Southeast asian biodiversity: an

impending disaster. Trends in Ecol Evol 19: 654-660.

Suwarno dan Yusti, E. 2012. Puddling Behaviour Kupu-kupu di Kawasan Wisata Sungai

Sarah Kecamatan Leupung Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Hasil Riset dan

Standarisasi Industri, Balai Riset dan Standarisasi Industri Aceh, 228-241, ISBN: 978-

602-19327-0-4.

Suwarno, Fuadi, S dan Mahmud, A.H. 2013. Keragaman dan Kelimpahan Kupu-kupu Pasca

Tsunami di Kawasan Sungai Sarah Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional BKS-PTN

Barat. Universitas Lampung, 10-12 Mei 2013, hlmn. 123-133.

Suwondo, Elya Febrita, Dessy dan Mahmud Alpusari. 2004. Kualitas Biologi Perairan

Sungai Senapelan, Sago Dan Sail di Kota Pekanbaru Berdasarkan Bioindikator

Plankton dan Bentos. Biogenesis. 1 (1) : 15-20.

Tsukada, E., dan Nishiyama, Y. 1982. Butterflies of the South East Asian Island. Vol. 1,

Papilionidae. Translate into English by Morishita, K and Kaneko, M. Plapac co.ltd.

Tokyo, Japan.

Yamamoto, N., Yokoyama, J., dan Kawata, M. 2007. Relative resources abundance explains

butterfly biodiversity in island communities. PNAS 104: 10524-10529.

Page 200: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

189

POPULASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax sp.) DI PERAIRAN

DANAU TOBA, DESA MARLUMBA, KECAMATAN SIMANINDO,

KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA

Villa Tamora T. purba

1, Ternala Alexander Barus

2, Hesti Wahyuningsih

2

1Mahasiswa Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara

2Staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara

Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Sumatera utara

Jln. Bioteknologi No.1 Kampus USU, Medan-20155

E-mail: [email protected]

Abstrak

Populasi lobster air tawar (Cherax sp.) di periaran Danau Toba, khususnya di Desa Marlumba

telah dilakukan penelitian pada Februari 2016. Penentuan titik lokasi penelitian menggunakan

metode ―Purposive Sampling‖ dengan menentukan tiga stasiun. Alat yang digunakan dalam

penangkapan lobster adalah bubu. Banyaknya individu lobster yang diperoleh dari hasil

tangkapan ketiga stasiun adalah sebanyak 54 ekor. Kepadatan lobster tertinggi ditemukan

pada stasiun II dengan nilai 0,033 ind/m2. Pola pertumbuhan dapat diketahui dari hubungan

panjang-berat lobster air tawar. Berdasarkan hasil penelitian pada ketiga stasiun, pola

pertumbuhan lobster air tawar bersifat allometrik positif (stasiun I dan II), yang berarti

pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan dengan panjang, sedangkan stasiun II

bersifat allometrik negatif yang berarti pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan

berat. Suhu dan kelarutan oksigen (DO) dasar berkorelasi sangat kuat terhadap kepadatan

lobster air tawar di perairan Danau Toba.

Keywords: Cherax sp.,Danau Toba, Lobster Air Tawar

PENDAHULUAN

Lobster air tawar (Cherax sp.), termasuk jenis udang-udangan (crustacea), bagian

tubuh lobster air tawar terdiri atas tiga bagian yaitu kepala dan dada yang disebut

(chepalothorax), bagian badan (abdomen) serta bagian ekor (telson). Bagian kepala lobster

ditutupi oleh kulit yang keras atau disebut cangkang kepala (carapace), di bagian kepala

bagian depan disebut (rostrum)berbentuk meruncing (Mulis, 2012).

Menurut Iskandar (2003), di Indonesia belum banyak orang yang mengetahui

keberadaan lobster air tawar. Awalnya benih lobster yang dibudidayakan didatangkan dari

Australia dan Cina. Lobster air tawar mempunyai prospek yang cukup cerah dalam sektor

perikanan, selain harga jualnya yang lebih tinggi dibanding dengan produk perikanan

airtawar lainnya, lobster air tawar juga mudah dibudidayakan, tidak mudah terserang

penyakit, bersifat omnivor, pertumbuhan cepat dan memiliki daya bertelur tinggi. Bila dilihat

dari aspek teknis budidaya dan potensi pasar, lobster air tawar layak dikembangkan secara

luas di masyarakat sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dan tetap terjaga

kelestariannya.

Danau Toba merupakan sumberdaya alam akuatik yang mempunyai nilai yang sangat

penting ditinjau dari fungsi ekologi serta fungsi ekonomis. Pemanfaatan danau memberikan

imbas terhadap penurunan kualitas air akibat berbagai aktivitas masyarakat di mana Danau

Toba juga digunakan sebagai tempat membuang berbagai jenis limbah yang dihasilkan dari

Page 201: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

190

kegiatan pertanian di sekitar Danau Toba, limbah domestik dari pemukiman dan perhotelan,

limbah nurtrisi dari sisa pakan ikan yang tidak habis dikonsumsi oleh ikan yang

dibudidayakan dalam keramba jaring apung, limbah pariwisata dan limbah transportasi air.

Berbagai penelitian di Danau Toba memberikan indikasi telah terjadi penurunan kualitas air

dilokasi-lokasi yang terkena dampak kegiatan masyarakat (Barus, 2007).

Demikian banyaknya aktivitas yang terjadi di sekitar wilayah danau, termasuk

banyaknya transportasi air dan kapal-kapal penumpang yang beroperasi di wilayah perairan

danau, maka tentu kualitas air danau akan mengalami perubahan. Akibat berbagai kegiatan

yang terjadi di sekitar wilayah Danau Toba, maka perairan danau akan menerima suatu

dampak lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia di sekitarnya dan kehidupan

organisme akuatik yang ada dalam badan air danau. Kehidupan akuatik yang dipengaruhi

sangat komplek yaitu terhadap rantai makanan (food chain) dan jaring makanan (foodweb)

dalam ekosistem perairan (Parlindungan, 2012).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi lobster air tawar (Cherax sp.) serta

menganalisis hubungan faktor lingkungan (fisik kimia air) dengan populasi lobster air tawar

(Cherax sp.) di Desa Marlumba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODE

1.Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilakukan selama bulan Februari 2016 di daerah perairan Danau Toba,

Desa Marlumba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara dan

Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL) Universitas

Sumatera Utara, Medan.

2. Pengambilan Sampel Lobster

Pengambilan sampel lobster dilakukan menggunakan jaring bubu yang luasnya

57,336 m2. Sampel lobster diambil dari 3 stasiun

Masing-masing stasiun dibagi menjadi 3 plot, jarak antar plot adalah 5 m. Setiap plot

diletakkan bubu masing-masing 5 buah. Umpan yg digunakan dalam penangkapan lobster

adalah potongan kelapa yang telah dibakar. Pengambilan sampel lobster ini dilakukan selama

2 hari yaitu, hari pertama pemasangan jaring bubu dilakukan pada pukul 09.00 WIB dan

diambil kembali pada hari berikutnya pada pukul 08.00 WIB. Sampel lobster yang diperoleh

dimasukkan kedalam toples yang telah disediakan dan dibawa ke laboratorium untuk

diidentifikasi.

3. Hubungan Panjang-Bobot

Sampel lobster yang telah diperoleh, diukur panjangnya dengan menggunakan

penggaris dan bobotnya dengan menggunakan timbangan digital. Dicatat hasil pengukuran

setiap individu sampel.

4. Rasio Kelamin

Jenis kelamin masing-masing lobster dilihat dari ciri-ciri morfologinya dengan

menggunakan kaca pembesar.

5. Suhu (˚C)

Suhu (temperatur) diukur dengan menggunakan termometer air raksa berskala 0-

1000C yang dimasukkan pada perairan kira-kira 3 menit atau sampai penunjuk pada skala

konstan. Diamati dan dibaca berapa suhu yang tertera pada termometer.

Page 202: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

191

6. pH (Potential of Oxygen)

Pengukuran pH menggunakan pH-meter yang telah dikalibrasi, kemudian dimasukkan

pH meter ke dalam air lalu dibaca skala yang tertera pada pH meter tersebut. Sedangkan pH

substrat diukur menggunakan pH meter tanah, dimasukkan pH meter tanah ke dalam substrat

yang telah diambil dari dasar perairan dan dibaca skala yang tertera pada pH meter tersebut.

7. DO (Dissolved Oxygen)

Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode Winkler.

Kandungan oksigen di dasar perairan di ukur dengan mengambil sampel air dari ketinggian 1

meter diatas substrat perairan dengan menggunakan lamnot.

8. BOD5 atau Biochemical Oxygen Demand (mg/L)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan metode Winkler. Sampel air yang diambil dari

ketinggian 1 meter diatas substrat perairan, diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20oC. Diukur

nilainya dengan menggunakan metode winkler dimana nilai BOD5 didapat dari pengurangan

DO awal – DO akhir.

9. Jenis Substrat

Substrat diambil dari dasar perairan sebanyak 500 gr dengan menggunakan Ekman

Grap, dimasukkan kedalam plastik. Kemudian dibawa ke Laboratorium Tanah Jurusan

Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk dianalisis jenis substratnya.

10. Analisis dan Pengolahan Data

Kepadatan Lobster

Dihitung jumlah lobster yang diperoleh per luas bubu dengan menggunakan rumus:

K (ind/m2) =

A

ni

Dimana ni: jumlah individu suatu spesies,

A: Luas bubu (57,336 m2).

Kepadatan Relatif Lobster

KR =Ktotal

spesiessetiapdalamKjumlah

x100 %

Apabila KR > 10 % maka suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi

perkembangan suatu organisme.

Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = %100xplottotalJlh

jenissuatuditempatiygplotJlh

Apabila nilai FK : 0-25%= kehadiran sangat jarang, 25-50%= kehadiran jarang, 50-75%=

kehadiran sering, 75 - 100%= kehadiran absolut (sangat sering).

Hubungan Panjang-Bobot

Hubungan Panjang-Bobot lobster dapat dilakukan untuk melihat pola pertumbuhan

lobster di alam, yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

W= aLb

Dimana: W: Bobot tubuh lobster (g), L: Panjang total lobster (cm), a: Konstanta, b: Koefisien

pertumbuhan.

Page 203: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

192

Pendekatan regresi linier dilakukan untuk melihat hubungan kedua parameter

tersebut. Nilai b digunakan untuk menduga laju pertumbuhan kedua parameter yang

dianalisis. Hipotesis yang digunakan adalah:

Jika b=3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan

berat).

Jika b≠3 disebut allometrik yaitu:

a. Jika b>3 disebut allometrik positif (pertumbuhan berat lebih dominan)

b. Jika b<3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan.

Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang

berkorelasi terhadap nilai kepadatan lobster. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis

Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver. 21.00.

Keterangan:

0,00-0,199 : Sangat rendah

0,20-0,399 : Rendah

0,40-0,599 : Sedang

0,60-0,799 : Kuat

0,80-1,00 : Sangat kuat

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Lingkungan Biotik Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran

Lobster

Nilai kepadatan, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran lobster yang diperoleh di

setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Data kepadatan (ind/m2), kepadatan relatif (%) dan frekuensi kehadiran (%) lobster

pada setiap stasiun pengamatan.

Spesies Stasiun I Stasiun II Stasiun III

K FK K FK K FK

Cherax sp. 0,018 100 0,033 100 0,010 66,66

Total 0,018 100 0,033 100 0,010 66,66

Tabel 2. diatas menunjukkan bahwa nilai kepadatan dan frekuensi kehadiran yang

paling tinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu, pada daerah keramba. Hal ini dapat disebabkan

substrat dasar perairan yang mengandung pasir, bebatuan dan lumpur dimana ketiga substrat

tersebut mendukung lobster untuk tetap hidup. Selain itu pada daerah keramba juga

mengandung bahan organik yang cukup dari sisa pelet yang diberikan pada ikan sebagai

bahan makanan.

Kepadatan dan frekuensi kehadiran yang paling rendah terdapat pada stasiun 3, yaitu

pada daerah pemukiman. Hal ini dapat disebabkan karena sisa pembuangan limbah rumah

tangga yang mengandung bahan organik maupun non-organik yang mencemari perairan

tersebut. Sehingga memungkinkan lobster tidak cocok untuk hidup pada daeran pemukiman

tersebut. Kepadatan relatif ketiga stasiun memiliki nilai rata-rata 100%.

Pada habitat asalnya, lobster ini suka berdiam diri di sela-sela bebatuan di dasar

sungai yang berfungsi sebagai tempat pelindungan dari cahaya matahari yang berlebihan dan

menghindari dari predator. Selain itu habitatnya di danau, rawa atau sungai yang berlokasi di

daerah pegunungan. Di samping itu dalam melaksanakan siklus hidup lobster inimemiliki

ciri-ciri khusus pada habitatnya yaitu tepi relatif dangkal dilengkapi dasar yang terdiri dari

campuran lumpur, pasir dan batuan (Jones, 1990).

Page 204: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

193

Di tempat budidaya lobster menyukai pakan buatan berupa pelet. Lobster

memanfaatkan antena panjangnya untuk mendeteksi makanan, kemudian menangkapnya

dengan menggunakan capit selanjutnya dipegang dengan menggunakan kaki jalan pertama

dan di belakang di dekat mulut untuk di konsumsi secara perlahan–lahan hingga habis

(continous feeder) (Iskandar, 2003).

Habitatalami lobster di perairan dangkal, termasuk hewannocturnal artinyahewan

yang melaksanakan aktivitas pada malam hari (makan pada malam hari). Pakan adalah salah

satu faktor input produk untuk mencapai peningkatan produksi. Pakan yang baik adalah

pakan yang mengandung unsur–unsur seperti protein, lemak, karbohidrat serta asam amino

esensial (Ekawati dkk, 1998).

Parameter kualitas air ada beberapa parameter antara lain suhu, derajat keasamanan

(pH), Oksigen terlarut (DO), kesadahan (hardness), gas asam arang (CO) maupun amonia

sebagai parameter kunci dalam kualitas air memang harus diupayakan optimal atau paling

tidak nilainya masih ada di bawah batas ambang. Kualitas air memiliki peranan yang cukup

penting dalam pertumbuhan lobster. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa air memiliki

karakter tertentu terhadap faktor-faktor lingkungan tempat hidup lobster, respon lobster

terhadap kualitas air tergantung dari jenisnya (Iskandar, 2006).

Hubungan Panjang-Berat Lobster

Hubungan panjang-berat lobster digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan lobster pada

masing-masing stasiun. Hubungan panjang-berat lobster dapat dilihat pada Tabel 3 berikut

ini.

Tabel 3. Data hubungan panjang-berat lobter

No Stasiun B Pola Pertumbuhan

1 I 3,132 Allometrik (+)

2 II 2,680 Allometrik (-)

3 III 3,739 Allometrik (+)

Hubungan panjang-berat lobster dapat dilihat keeratannya pada Tabel 3 yaitu lobster

air tawar (Cherax sp.)pada stasiun I dan III memiliki nilai b 3,132 dan 3,739 yang bersifat

allometrik positif artinya pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan dengan panjang.

Apabila nilai b>3 maka hubungan panjang-berat lobster bersifat allometrik positif yang

artinya pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan dengan panjang. Sedangkan stasiun

II memiliki nilai b 2,680 yang bersifat allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang

lebih dominan dibandingkan berat. Apabila nilai b<3 maka hubungan panjang-berat lobster

bersifat allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan

berat. Hal ini dapat disebabkan oleh keberadaan lobster yang lebih dominan untuk diam tanpa

melakukan banyak pergerakan. Adanya perbedaan hubungan panjang-berat lobster di atas

dapat disebabkan oleh tersedianya bahan makanan di daerah tersebut, suhu perairan, dan

faktor kimia perairan.

Pertumbuhan dalam istilah sederhana dapat dirumuskan sebagai penambahan ukuran

panjang dan berat dalam suatu waktu sedangkan pertumbuhan dalam populasi diartikan

sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang komplek dengan

berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor ini dapat digolongkan menjadi 2 bagian

besar, yaitu faktor dalam (intrinsik) dan luar (ekstrinsik) Faktor dalam antara lain meliputi

keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan

utamanya adalah makanan dan suhu perairan (Effendi, 2002).

Pakan merupakan pemasok energi bagi organisme untuk pertumbuhannya, energi dari

pakan digunakan untuk kegiatan metabolisme tubuh, pertumbuhan dan pembentukan gonad.

Page 205: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

194

Setiap bagian tubuh organisme memerlukan energi yang berbeda dan tergantung pada stadia

serta jenis organismenya (Rejeki, 2001 dalam Priyono, 2009).

Stasiun I. Daerah Bebas Aktivitas Stasiun II. Daerah Keramba

Stasiun III. Daerah Pemukiman

Gambar 3. Pola pertumbuhan Lobster air tawar (Cherax sp.) yang diperoleh pada ketiga

stasiun.

Lobster air tawar (Cherax sp.) pada stasiun I, II dan III memiliki nilai R2 yaitu antara

0,945-0,975 yang artinya apabila nilai R2 mendekati atau sama dengan 1 (100%) hubungan

panjang dan berat lobster sangat kuat.

Proses pertumbuhan pada bangsa crustacea menurut Asbar (1994) adalah: 1.

crustacea berganti kulit dengan melepaskan diri dari kulit luarnya yang keras, 2. air diserap

sehingga ukuran udang menjadi lebih besar, 3. kulit luar yang baru tumbuh, 4. secara

bertahap diganti oleh jaringan baru.

Menurut Holdich dan Lowery (1988) pertumbuhan crustaseae adalah pertambahan

berat dan panjang tubuh yang terjadi secara berkala saat setelah pergantian kulit (molting).

Jadi pertambahan bobot dan panjang tubuh tidak akan terjadi tanpa didahului proses molting.

Frekuensi ganti kulit udang tergantung pada umur dan makanan, yaitu jumlah dan mutu

makanan yang diserap.

Rasio Kelamin

Perbandingan jenis kelamin jantan dan betina lobster air tawar selama penelitian dapat dilihat

pada tabel 4.

Page 206: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

195

Tabel 4. Data perbandingan jenis kelamin lobster air tawar pada setiap stasiun

No Stasiun Jantan Betina

1 I 6 10

2 II 12 16

3 III 4 5

Total 22 31

Dari tabel 4 diatas diperoleh jumlah total lobster air tawar berjenis kelamin jantan

sebanyak 22 ekor dan 31 ekor berjenis kelamin betina. Lobster air tawar berjenis kelamin

betina lebih banyak dibandingkan dengan lobster air tawar berjenis kelamin jantan, hal ini

kemungkinan disebabkan telur yang berhasil saat penetasan kebanyakan berjenis kelamin

betina. Pada umumnya Cherax quadricarinatus betina memiliki lajupertumbuhan yang

lambatdibandingkandengan yang jantan pada umur yang samakarena mengalami fase dalam

menghasilkan telur dimana untuk aktifitas tersebut dibutuhkan energi, namun peluang

teluruntuk menetas menjadi jantan kurang dari50% (Carman dkk, 2008).

Affandi dan Tang (2006) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi

rendahnya kelulusan hidup organisme adalah faktor biotik antara lain kepadatan populasi,

umur dan kemampuan organisme untuk beradaptasi dengan lingkungan, serta factor abiotik

lingkungan pemeliharaan.

2. Faktor Abiotik Lingkungan

Pengukuran faktor fisik kimia di perairan Danau Toba selama penelitian dapat dilihat pada

Tabel 5.

Tabel 5. Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Danau Toba pada setiap stasiun

No Parameter Satuan Stasiun I Stasiun II Stasiun III

A Fisika

1 Suhu 0C 26 27 27

2 Jenis substrat _

P Lp Lp

B Kimia

3 Oksigen Terlarut

(DO) dasar mg/L 6,6 6,3 6,2

4 Derajat Keasaman

(pH) - 7,4 7,7 7,5

5 BOD dasar mg/L 3,8 4,2 4

Keterangan: P : Pasir

Lp: Lempung berpasir

Parameter Fisika

Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata parameter fisika di setiap stasiun. Suhu berkisar

antara 26-27oC dan merupakan suhu perairan yang baik bagi lobster. Suhu terendah terdapat

pada stasiun I yaitu sebesar 26oC dan suhu tertinggi terdapat pada stasiun II dan III yaitu

27oC. Variasi suhu tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan waktu saat pengukuran suhu

di setiap stasiun tersebut. Setiawan (2006) menyatakan bahwa temperatur yang ideal dalam

pemeliharaanlobster air tawar adalah 24-310C, temperatur dibawah atau diatas angka tersebut

sangat membahayakan kehidupan lobster air tawar.

Substrat juga memiliki peranan yang cukup penting bagi kehidupan lobster. Jenis

substrat yang dihasilkan pada stasiun I adalah Pasir, sedangkan pada stasiun II dan III adalah

Lempung berpasir. Lobster air tawar biasanya hidup di danau, rawa atau sungai air tawar

yang terletak di kawasan perairan Papua, Papua Nugini, dan Australia. Umumnya, tempat

Page 207: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

196

hidup (habitat) lobster air tawar memiliki ciri-ciri khusus, seperti sungai yang tepinya

dangkal dan bagian dasarnya terdiri atas campuran lumpur, pasir dan bebatuan. Selain itu,

lobster air tawar juga mudah ditemukan di sungai atau danau yang banyak ditumbuhi

tanaman air atau tanaman darat yang akar atau batangnya terendam air, sedangkan daunnya

berada di atas permukaan air (Setiawan, 2010).

Parameter Kimia

Tabel 4 menunjukkan nilai rata-rata parameter kimia di setiap stasiun. Nilai oksigen

terlarut dasar perairan berkisar 6,2-6,6 mg/L. nilai oksigen terlarut tersebut masih bagus

untuk untuk lobster. Menurut Wetzel dan Likens (1979) dalam Siagian (2009), tinggi

rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan juga dipengaruhi oleh faktor

temperatur, tekanan dan konsentrasi berbagai ion yang terlarut dalam air pada perairan

tersebut. Nilai oksigen terlarut pada ketiga stasiun dianggap masih ideal untuk pertumbuhan

lobster.

Kadar oksigen terlarut sangat mempengaruhi metabolisme tubuh lobster, dalam

repirasi selalu dibutuhkan oksigen sehingga untuk kelangsungan hidup lobster perlu sarana

oksigen yang cukup. Oksigen yang terlarut dalam air sangat dibutuhkan lobster untuk

respirasi berkisar antara 4-8 mg/l, jika kebutuhan oksigen terpenuhi maka pertumbuhan dan

aktifitas lobster akan lebih baik (priyono, 2009). Derajat keasaman (pH) di setiap stasiun

berkisar antara 7,4-7,7. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 2 dan yang terendah di

stasiun 1. Menurut Cole (1983) dalam Siagian (2009), bahwa adanya perbedaan nilai pH pada

suatu perairan disebabkan penambahan atau kehilangan CO2 melalui proses fotosintesis yang

akan menyebabkan perubahan pH di dalam air. Nilai pH yang didapat di setiap stasiun masih

bagus untuk mendukung kehidupan organisme di dalam perairan, sesuai dengan pendapat

(Bachtiar, 2006), pH optimal untuk pemeliharaan lobster adalah 7,2-8,5.

Nilai BOD merupakan salah satu indikator pencemaran perairan. Nilai BOD

dasar perairan berada pada kisaran 3,8-4,2. Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan

jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau

mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang

ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen ¬terlarut di dalam air, maka berarti

kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi.

3. Nilai Analisis Korelasi Pearson

Analisis korelasi Pearson diperoleh dengan menganalisi hubungan kepadatan lobster

dan faktor fisik-kimia perairan Danau Toba dengan menggunakan metode pearson. Nilai

indeks korelasi (r) dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Nilai korelasi Pearson antara kepadatan lobster dengan sifat fisik-kimia perairan

Danau Toba.

No Parameter Nilai Korelasi

A Fisika

1 Suhu 1

B kimia

2 Oksigen terlarut (DO) dasar -0,971

3 Derajat keasaman (pH) 0,756

4 BOD dasar -0,415

Tabel 6 menunjukkan hasil uji analisis korelasi antara parameter fisik-kimia perairan

dengan kepadatan lobster di perairan Danau Toba tidak berbeda nyata pada tingkat korelasi dan signifikansinya. Nilai suhu dan DO dasar berpengaruh sangat kuat terhadap kepadatan

Page 208: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

197

lobster yaitu 0,971 dan 1. Nilai pH berpengaruh kuat terhadap kepadatan lobster yaitu 0,756. Nilai BOD dasar kurang mempengaruhi kepadatan lobster di perairan Danau Toba yaitu 0,415.

Suhu berperan dalam menentukan keberadaan lobster. Suhu air berpengaruh sangat kuat terhadap proses pertukaran metabolisme lobster di perairan yang mempengaruhi tingkat populasinya. Selain suhu, DO juga sangat berpengaruh kuat terhadap keberadaan lobster, khususnya DO dasar perairan, karena lobster merupakan hewan yang hidup di dasar perairan, sehingga membutuhkan asupan oksigen yang cukup untuk melakukan proses pertukaran metabolisme.

Menurut Widodo (2005) dalam Priyono (2009), Suhu optimal untuk pertumbuhan lobster adalah antara 26

0-32

0Clebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh

lobster akan berlangsung cepat imbasnya kebutuhan oksigen terlarut meningkat, ini berarti harus ada penambahan aerasi. Menurut Widha (2003) lobster memerlukan oksigen untuk pembakaran makanan sehingga terbentuk energi untuk pertumbuhan, reproduksi dan beraktivitas. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air. Kontak udara dengan air, luas permukaan air dan senyawa senyawa yang terdapat di dalam air. KESIMPULAN a. Populasi lobster yang diperoleh dari ketiga stasiun berjumlah 54 ekor dan yang paling

banyak ditemukan di stasiun 2 yaitu daerah keramba. b. Suhu dan kelarutan oksigen dasar perairan berpengaruh sangat kuat terhadap kepadatan

lobster di perairan Danau Toba khususnya di Desa Marlumba. DAFTAR PUSTAKA Affandy, R., dan Tang, U. 2006. Fisiologi Hewan Air. Universitas Riau. Riau. 217p.

Asbar. 1994. Hubungan Tingkat Eksploitasi dengan Struktur Populasi dan Produksi Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) di Segara Anakan. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Bachtiar, Y. 2006. Usaha Budidaya Lobster Air Tawar di Rumah. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press: Medan. Darsono, V. 1992. Pengantar Ilmu Lingkungan. Penerbit Universitas Atmajaya. Yogyakarta.

Barus, T.A. 2007. Keanekaragaman Hayati Ekosistem Danau Toba dan Upaya Pelestariannya. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UniversitasSumatera Utara. Medan.

Carman, O., Jamal, M.Y., dan Alimuddin. 2008. Pemberian 17a Metiltestosteron Melalui Pakan Meningkatkan Persentase Kelamin Jantan Lobster Air TawarCherax Quadricarinatus. Jurnal Akuakultur Indonesia. 7(1): 25-32.

Effendi, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.

Effendi, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor.

Ekawati, A.W., Rustidja dan Maleno.1998. Studi tentang Pertumbuhan udang (Penaeus Mondom Fab. ) Pada Tambak Tradisionel Plus da Sidoarjo Jawa Timur. Buletin Ilmiah Perikanan. Edisi V. Fakultas Perikanan UniversitasBrawijaya, Malang.

Holdich, D. M. & R. S. Lowery. 1988. Freshwater Crayfish: Biology Management, and Exploitation. Croom

Page 209: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

198

Page 210: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

199

Mikrobiologi dan Molekuler

Page 211: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

200

Page 212: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

201

MARKA POLIMORFIK UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN

GENETIK KELAPA SAWIT (Elaies guineensis Jacq.)

DENGAN MENGGUNAKAN RANDOM AMPLIFIED

POLYMORPHISM DNA (RAPD)

Arnen Pasaribu

1) dan Lollie Agustina P.Putri

2)

1)Mahasiswa Program Magister Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara, Jalan Prof. A. Sofyan No.3, Medan 20155 2)

Dosen Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

Jalan Prof. A. Sofyan No.3, Medan 20155

Corresponding author : [email protected]

Abstract

Identification of variation genetic is the first step to find how much genetic variation

contained in genotype. Now, the genetic material of palm oil has an inbreeding depression

so the genetic identification in moleculer level is important. The use of RAPD can be used as

an alternative to identifiying the moleculer level diversity. The main problem at the moleculer

level identification are primers was used are not compatibel with the composition of the

target base nucleotide. The objective of this experiment was to find genetic variation in palm

oil (E. guineensis Jacq.) by using three RAPD primers. The results of this experiment only

two informative RAPD primers showed genetic variation they are OPH-16 and OPH-13.

PCoA analysis showed that the moleculer varian were 43.05%.

Keywords : Genetic Variation, Palm oil, RAPD

PENDAHULUAN

Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang bernilai ekonomi yang tinggi karena

kelapa sawit dapat dijadikan keberbagai produk, bahan baku dalam pembuatan bahan pangan

dan produk kosmetik. Informasi genetik sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan

konservasi dan pemuliaan tanaman. Besarnya keragaman mencerminkan sumber genetik

yang diperlukan untuk kegiatan seleksi dalam memperbaiki sifat agronomi dari aksesi atau

genotipe tertentu harus didasarkan pada perkiraan determinasi genetik yang lebih akurat

sehingga penentuan individu tanaman dalam perbaikan genetik dapat dilakukan dengan

tepat (Rahayu dan Handayani, 2010).

Weishing et al. (2005) menjelaskan bahwa akhir-akhir ini pengamatan di tingkat

molekuler terus berkembang termasuk pada jenis teknologi dan peralatannya sehingga

pengamatan ditingkat DNA pada tanaman akan terus dilakukan. Hal yang penting dalam

analisis keragaman genetik adalah pemilihan primer yang akan digunakan, dimana primer

tersebut harus polimorfik dan kualitas pita DNA yang dihasilkan tajam sehingga

memudahkan interpretasi dan keakuratan data (Prana dan Hartati, 2003). Polimorfisme yang

muncul sebagai hasil teknik RAPD menggambarkan adanya variasi pada situs pelekatan

primer dan dari perbedaan panjang DNA antar situs pelekatan primer. Fenotip dengan

fragmen DNA yang muncul pada marka RAPD bersifat dominan (Liu, 1998). Keragaman

suatu individu tanaman ditentukan oleh cetak biru yang terdapat dalam setiap

selnya yaitu informasi genetik yang terkandung dalam inti, kloroplas dan mitokondria (Sobir

dan Syukur, 2015). Marka RAPD merupakan salah satu marka yang bersifat dominan, pita

Page 213: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

202

yang muncul menunjukkan genotipe homozigot dominan (AA) sedangkan pita yang tidak

muncul menunjukkan genotipe homozigot resesif (aa) (Zulfahmi, 2013).

Dalam penyusunan program persilangan pada tanaman kelapa sawit, marka RAPD

dapat digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman. Penggunaan marka RAPD untuk

tanaman kelapa sawit telah diterapkan oleh penelitian terdahulu diantaranya penelitian yang

dilakukan oleh Setiyo (2001), Satish dan Mohankumar (2007), Thawaro (2009) dan Odenore

et al. (2015). Seleksi primer RAPD sangat mempengaruhi keberhasilan proses amplifikasi

DNA target. Primer yang digunakan dalam teknik RAPD merupakan DNA pendek yang

terdiri atas beberapa nukleotida sebagai pemula pada proses sintesis DNA sehingga tidak

membutuhkan primer forward dan reverse (Surahman et al. 2007).

Oleh sebab itu, pemilihan primer yang dapat menunjukkan adanya polimorfisme pada

marka RAPD merupakan langkah awal untuk mempelajari adanya keragaman genetik

tanaman yang sudah mengalami proses inbreeding. Keberhasilan dalam memperoleh primer

polimorfik dapat dijadikan sebagai marka untuk menunjukkan adanya keragaman dalam

suatu genotipe tertentu.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Agustus sampai dengan Desember 2015 di

Laboratorim Terpadu Fakultas Kedokteran USU, Medan. Bahan tanaman yang digunakan

pada penelitian ini adalah daun berusia tiga Minggu Setelah Tanam (MST) yang berasal dari

benih kelapa sawit DxP Unggul Socfindo La Me. Jumlah tanaman yang dijadikan sebagai

sampel sebanyak 30 tanaman. Bahan lain seperti N2 cair, buffer CTAB, buffer TAE, buffer

TE, choloroform isoamilalkohol (KIAA) perbandingan (24:1) , β-mercaptoethanol, agarose-

promega V3121, dan master mix (promega M7122). Alat yang digunakan pada penelitian ini

terdiri atas mesin PCR-AB Applied Biosystem Veriti 96 thermal cycler, gel documentation-

UV Cambridge dan seperangkat alat elektroforesis-biorad,

Identifikasi genetik tanaman kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan tiga jenis

primer yaitu OPD-16 (5‘-GGTGACTGTG-3‘),OPH-13 (5‘–CTGGGGCTGA-3‘) dan OPH-9

(5‘-CTGACGTCAC-3‘). Prosedur isolasi DNA diadaptasi dengan metode CTAB oleh

Orozco-Castilo (1994) yang dimodifikasi. Jumlah daun yang diisolasi sebanyak 30 sampel

dengan berat 0.2-0.7 g. Setelah dilakukan proses isolasi DNA langkah selanjutnya adalah

melakukan proses PCR pada masing-masing primer RAPD. Tahapan dari proses PCR

mengikuti prosedur berdasarkan Setiyo (2001) yang terdiri atas predenaturasi 94°C selama 2

menit, denaturasi 94°C selama 1 menit, anneling 34°C selama 1 menit dan ekstensi 72°C

selama 2 menit dan final ekstension 72°C selama 10 menit.

Setelah dilakukan proses PCR, langkah selanjutnya adalah proses elektroforesis

menggunakan gel agarose dengan pewarna ethidium bromida, larutan TAE1X, dan DNA

Bench Top 1kb DNA ladder. Hasil elektroforesis kemudian didokumentasikan dengan

menggunakan Gel doc. Pita DNA hasil dokumentasi diubah kedalam data biner dimana jika

pita muncul di beri kode (1) dan jika tidak muncul diberi kode (0) dengan menggunakan

microsoft excel 2007, kemudian dihitung nilai PIC dengan menggunakan rumus :

PIC=2fi (1-fi)

Keterangan : PIC : Polymorphic Information Content

fi : frekuensi dari pita yang muncul

1-fi : frekuensi dari pita yang tidak muncul

Nilai PIC untuk dominan marker seperti RAPD memiliki nilai maksimum yaitu 0.5

untuk fi = 0.5 (Ma et al. 2013). Pengelompokkan terhadap keragaman genetik berdasarkan

analisis factorial Principal Coordinates Analysis (PCoA) dengan menggunakan DARwin

Softwere Versi 6 (Perreira dan Jacquemoud-Collet, 2014).

Page 214: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

203

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil peelitian yang dilakukan telah diperoleh amplifikasi primer OPD-

16, OPH-13 dan OPH-9 pada 30 DNA kelapa sawit Varietas DxP Socfindo La Mê. Primer-

primer tersebut digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman genetik pada tanaman yang

diuji. Amplifikasi DNA pada masing-masing genotipe berbeda yang menunjukkan adanya

variasi genetik. Hasil amplifikasi DNA pada masing-masing primer dapat dilihat pada

Gambar 1.

Pada Gambar 1. dapat diketahui bagaimana pola pita yang dihasilkan pada masing-

masing primer. Ketiga primer yang digunakan yang terdiri atas OPH-16, OPH-13 dan OPH-9

telah mampu menunjukkan adanya keragaman genetik pada kelapa sawit Varietas DxP

Socfindo La Mê. Primer yang dapat dijadikan sebagai marka untuk menunjukkan keragaman

dapat menunjukkan adanya pita yang terampifikasi pada masing-masing genotipe yang diuji.

Pada Gambar 1. dapat diketahui bahwa primer yang menunjukkan jumlah pita terbanyak

adalah primer OPH-13 dengan jumlah pita teramplifikasi sebanyak 6 pita, semakin banyak

jumlah pita yang dihasilkan maka akan semakin berpotensi primer tersebut menunjukkan

tingkat keragaman. Hal inilah yang menjadi salah satu kelebihan dari RAPD dimana RAPD

dapat menunjukkan adanya keragaman genetik, Gunereen et al. (2010) menyatakan bahwa

primer RAPD merupakan salah satu marka yang dapat menunjukkan adanya diversitas

genetik pada setiap individu.

Pada Gambar 1. juga dapat diperhatikan bahwa primer OPH-9 belum dapat

teramplifikasi pada hampir seluruh sampel yang diuji, hal ini dapat dibuktikan dari 30 sampel

tanaman yang diuji hanya 6 sampel yang dapat teramplifikasi. Hal ini disebabkan oleh

primer OPH-9 tidak sesuai dengan DNA target sehingga hasil gel dokumentasi tidak

memperlihatkan adanya pita. Ariani (2014) menjelaskan bahwa primer yang tidak sesuai

dengan sequence DNA-nya tidak akan mampu menghasilkan produk amplifikasi, hal serupa

juga terdapat dinyatakan oleh Irawan (2008) yang menyatakan bahwa primer akan dapat

mengamplifikasi DNA pada situs yang komplemen.

1 kb

3000 bp

1000 bp

250 bp

M 5 18 23 21 15 20 29 27 8 16 11 44 26 38 35 31 36 9 40 2 47 6 42 45 3 48 30 37 24 12

M 5 18 23 21 15 20 29 27 8 16 11 44 26 38 35 31 36 9 40 2 47 6 42 45 3 48 30 37 24 12

1 kb

300

0 bp

1000 bp

250 bp

M 5 18 23 21 15 20 29 27 8 16 11 44 26 38 35 31 36 9 40 2 47 6 42 45 3 48 30 37 24 12

1 kb

3000 bp

1000 bp

250 bp

B

C

A

Gambar 1. Elektroforegram amplifikasi 30 DNA Kelapa Sawit Varietas DxP Socfindo La Mê

Keterangan : A= Primer OPD-16, B= Primer OPH-13 dan C=Primer OPH-9

Page 215: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

204

Pada Gambar 1. juga dapat dipahami dari 30 individu tanaman yang telah diuji

berarti bahwa hanya ada 6 sampel yang menunjukkan adanya perbedaan dengan 24 individu

lain pada primer OPH-9. Zulfahmi (2013) menyebutkan bahwa RAPD merupakan marka

yang berisifat dominan sehingga berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa 6 individu yang

teramplifikasi menunjukkan sifat dominan sedangkan 24 individu lainnya menunjukkan sifat

resesif. Jika diperhatikan lagi bahwa 6 individu tersebut menunjukkan adanya perbedaan

dimana nomor individu #38 menunjukkan adanya perbedaan dengan kelima individu lain.

Pita no. #38 pada 429 bp. Hal ini berarti bahwa primer OPH-9 dapat dijadikan sebagai marka

dominan spesifik untuk individu #38. Hasil analisis genetik 30 DNA Kelapa Sawit Varietas

DxP Socfindo La Mê selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel. 1. Hasil Analisis Genetik pada DNA Kelapa Sawit Varietas DxP Socfindo La Mê

No. Primer

Susunan

Oligonukleutida

5‘→ 3‘

Panjang Pita (bp) Jumlah Pita PIC

1. OPD-16 -GGTGACTGTG- 274 – 1810 4 0.480

2. OPH-13 –CTGGGGCTGA- 1740 – 12.884 6 0.484

3. OPH-9 -CTGACGTCAC- 328 – 854 5 0.064

Pada Tabel 1. dapat diketahui bahwa nilai PIC pada tiga primer ini berada pada

kisaran 0.064 sampai dengan 0.484. Ma et al. (2013) menjelaskan bahwa PIC

menggambarkan tingkat keinformatifan dari primer yang digunakan, nilai maksimum PIC

pada RAPD marker yaitu 0.5. Diantara primer-primer yang telah diuji tersebut primer yang

dapat menunjukkan adanya keragaman terdapat pada primer OPH-16 dan OPH-13. Liu

(1998) menyatakan bahwa polimorfisme yang muncul sebagai hasil teknik RAPD

menggambarkan adanya variasi pada situs pelekatan primer dan dari perbedaan panjang DNA

antar situs pelekatan primer sehingga berdasarkan hal ini maka primer OPH-16 dan OPH-13

merupakan primer yang informatif untuk menunjukkan adanya keragaman.

Pengelompokkan terhadap keragaman genetik berdasarkan analisis factorial Principal

Coordinates Analysis (PCoA) dapat dilihat berdasarkan Gambar 2.

Gambar 2. Analisis faktorial Principal Coordinates Analysis (PCoA) aksis 3 (Horizontal)

dan aksis 4 (Vertikal) yang dianalisis berdasarkan matrix dissimilarity simple

matching

Page 216: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

205

Pada Gambar 2. dapat diketahui bagaimana kemampuan primer OPD-16, OPH-13 dan

OPH-9 dalam menjelaskan keragaman. Hasil analisis PCoA menunjukkan bahwa

kemampuan primer untuk menunjukkan adanya keragaman molekuler berdasarkan jarak

dissimiliarity adalah sebesar 43.05%. Hal ini juga menjelaskan bahwa tingkat ketidakmiripan

antar 30 individu kelapa sawit Kelapa Sawit Varietas DxP Socfindo La Mê adalah sebesar

43.05%.

KESIMPULAN

Dua primer informatif yaitu OPD-16 dan OPH-13 untuk menunjukkan keragaman

pada kelapa sawit Varietas DxP Socfindo La Mê dengan tingkat keragaman molekuler

sebesar 43.05%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada PT Socfin Indonesia yang telah bersedia membantu

penulis dengan memberikan benih kelapa sawit sebagai bahan genetik untuk penelitian ini.

Selain itu juga, selanjtunya ucapan terima kasih kepada UPT.BIBD Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara, Medan atas izin dalam penggunaan nitrogen cair.

Selain itu, ucapan terima kasih juga kepada pihak-pihak yang telah terlibat dalam

penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Gunereen, G., Akyuz, B., and Ertgrul, O., 2010. Use of RAPD-PCR for Genetik Analyses

The Native Catle Breefs in Turkey. Journal of Ankara Univ Vet Derg 57:167-168.

Irawan, B., 2008. Genetika Molekuler. Airlangga University Press. Surabaya.

Liu, B.H.1998. Strategical Genomic : Linkage, Mapping, and QTL analysis. CRC Press LCC.

United State of America.

Odenore, V.D., Eke, C.R., Asemoto, O., and Shittu, H.O. 2015. Determination of

Phylogenetic Relationship among Oil Palm (Elaeis guineensis) Varieties With

Random Amplified Polymorphic DNA. European International Journal of Science

and Technology. Vol. 4.No.2. 155-160.

Omar, W.S.W., Laura, B.W., Chokyun, R., Anthony, J.S., Umi, S.R., Abdul, M.M.Y.,

Ghulam, K.A.P., and Ravigadevi, S., 2008. Isolation and Utilization Acetyl-CoA

Carboxylase from Oil Palm (Elaeis guineensis) Mesocarp. Journal of Oil Palm

Research Special Issue on Malaysia-MIT Biotechnology Partnershpi Program.

Vol.2.-Oil Palm Metabolic Engineering. 97-107.

Prana , T.K. dan Hartati, S.N., 2003. Identifikasi Sidik Jari DNA Talas (Colocasia esculenta

L. Schoot) Indonesia dengan Teknik RAPD. Jurnal Natur Indonesia 5 (2) :107-112.

Perreira dan Jacquemoud-Collet, 2014. Softwere DARwin (Dissimiliarity Analysis

Representation for Windows). Diakses dari: http://darwin.cirad.fr Last update

2014/10/20.

Rahayu, E.S. dan Handayani, S., 2010. Kergaman Genetik Pandan Asal Jawa Barat

berdasarkan Penanda Inter Simple Sequence Repeat. Markara Sains. 14 :158-162.

Setiyo, I.E. 2001. Pemetaan dan keragaman genetik RAPD pada kelapa sawit sungai pancur

(RISPA). Tesis S2. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Sobir dan Syukur, M., 2015. Genetika Tanaman. IPB Press. Bogor.

Page 217: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

206

Surahman M, Muhamad S, Toding T. 2007. Perakitan Varietas Semangka (Citrullus lanatus

(Thunberg) Matsum & Nakai) Banpa biji Tahan Terhadap Penyakit Layu Fusarium

dengan Memanfaatkan Marka RAPD [laporan penelitian hibah bersaing]. Bogor :

Institut Pertanian Bogor.

Thawaro, S., 2009. Screening and Detection of Hybrid Oil Palms by DNA Markers and Their

Propogation. [Dissertation]. A Thesis Submitted in Partial Fufilment of

Requirenment for the Degree of Doctor of Philosophy in Plant Science. Prince of

Songkla University. Thailand.

Weising, K., Hilde, N., Kristen, W., and Gunter, K., 2005. DNA Fingerprinting in Plants,

Principles, Methods, and Application. Second Edition. CRC Press. Taylor & Francis

Group.

Zulfahmi, 2013. Penanda DNA untuk Analisis Genetik Tanaman. Jurnal Agroteknologi.

3:41-42.

Page 218: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

207

KEMAMPUAN ISOLAT BAKTERI LAUT DALAM MENGHAMBAT

PERTUMBUHAN BAKTERI E.coli DAN S. aureus PENYEBAB INFEKSI

SECARA IN VITRO

ABILITY OF MARINE BACTERIA TO INHIBIT THE GROWTH

OF E. coli AND S. aureus CAUSE INFECTION IN VITRO

Diva Utami Anggraini

*), Fuji Astuti Febria dan Nasril Nasir

Laboratorium Riset Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang, 25163 *)

email : [email protected]

Abstract

Research on the ability of marine bacteria to inhibit the growth of E. coli and S. aureus cause

infection in vitro carried out from August to November 2015 in the Research Laboratory of

Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,

University of Andalas, Padang. This study aims to determine the ability of marine bacteria to

inhibit the growth of E. coli and S. aureus causes infections invintro. This research uses

experimental method and the data were analyzed descriptively. The research on antagonist

test showed that all isolates can inhibit bacterial growth test with the formation of inhibition

zone from the scratched areas.

Keywords : Isolates, Infection, Inhibition Zone, Invitro

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi merupakan jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk

di negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab penyakit infeksi yaitu

bakteri. Penyakit infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi yang disebabkan oleh Escherichia

coli dan Staphylococcus aureus (Darmadi, 2008).

Bakteri Escherichia coli termasuk bakteri yang berbentuk batang, Gram negatif,

fakultatif anaerob dan tak mampu membentuk spora (Hogg, 2005). Penyakit pada manusia

akibat E. coli terjadi ketika adanya kontaminasi dari air yang digunakan. Infeksi E. coli juga

dapat terjadi karena memakan makanan yang belum matang, kontaminasi pada daging,

maupun pada susu yang belum dipasteurisasi (Belk dan Maier, 2010). Staphylococcus aureus

merupakan bakteri Gram positif yang dapat penyebabkan infeksi (membentuk nanah) dan

bersifat toksik bagi manusia. Sehingga dapat menyebabkan berbagai masalah pada kulit

seperti bisul, hordeolum, bahkan masalah serius seperti pneumonia, mastitis, meningitis, dan

infeksi saluran kemih (Todar, 2001).

Penelitian terdahulu Febria dan Zakaria (2015) menemukan 85 isolat bakteri laut di

kawasan kota Pariaman. Namun, belum diketahui kemampuan isolat bakteri laut dalam

menghambat bakteri penginfeksi secara invitro. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian

untuk mengetahui kemampuan isolat bakteri laut dalam menghambat pertumbuhan bakteri

E.coli dan S.aureus penyebab penyakit infeksi secara invitro.

Page 219: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

208

BAHAN DAN METODA

Metoda Penelitian

Metoda yang digunakan dalam penelitian adalah metoda eksperimen. Data yang diperoleh

berupa tabel dan gambar disajikan secara deskriptif. Tahap penelitian meliputi uji antagonis.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah inkubator, autoklaf, cawan petri, sentrifugator, labu

Erlemeyer, gelas ukur, jarum Ose, lampu spiritus, lemari pendingin, tabung reaksi, timbangan

analitik dan kamera digital.

Adapun bahan yang digunakan adalah isolat bakteri koleksi Dr. Fuji Astuti Febria dan

Dr. Indra Junaidi Zakaria yang diisolasi dari kawasan Pariaman, air laut, spiritus, kapas, kasa,

tissue, karet gelang, kertas label, Medium Marine Agar (MA) dan Medium Plate Count Agar

(PCA).

Persiapan Kultur Bakteri

Sebelum digunakan dalam penelitian, isolat bakteri dilakukan peremajaan bakteri

dengan cara menginokulasikan isolat bakteri kedalam medium marine agar (MA) dengan

metoda streak plat dan diinkubasi selama 24 jam.

Uji Antagonis

Uji antagonis dilakukan untuk melihat aktivitas bakteri laut terhadap organisme uji.

Pengerjaannya dilakukan dengan membagi cawan petri menjadi 2 area. Pada area pertama

ditumbuhkan kultur cair isolat bakteri laut dengan metoda spread plate. Area kedua

ditumbuhkan kultur cair bakteri uji dengan metoda spread plate, dan diinkubasi selama 48

jam. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya zona bening atau tidak menyebarnya isolat

bakteri dari daerah goresan (Naid et al., 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Antagonis Bakteri Laut

Uji antagonis isolat bakteri laut dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat

bakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji Escherichia coli dan Staphylococcus

aureus yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kemampuan isolat Bakteri laut dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji

Kode

Isolat

Escherichia coli Staphylococcus aureus

Zona bening Pertumbuhan

Isolat Zona bening

Pertumbuhan

isolat

I2A3 (S) + Tidak menyebar + Tidak menyebar

I3A3 (S) - Menyebar + Tidak menyebar

I7A3 (S) + Tidak menyebar - Menyebar

I9A3(S) - Menyebar - Menyebar

I5K3(S) + Tidak menyebar + Tidak menyebar

I7K2 (S) + Tidak menyebar - Menyebar

I11K3(S) + Tidak menyebar - Menyebar

I7T (A) - Menyebar - Menyebar

I9T2 (S) - Menyebar - Menyebar

Keterangan : (+) = Positif, (-) = Negatif, (S) = Sedimen, (A)= Air laut

Page 220: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

209

Tabel 1. menunjukan lima isolat bakteri laut (I2A3, I7A3, I5K3, I7K2, I11K3) dapat

menghambat pertumbuhan bakteri uji E. coli dan tiga isolat bakteri laut (I2A3, I3A3, I5K3)

dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji S. aureus yang ditunjukan denganterbentunya

zona bening atau tidak menyebarnya isolat bakteri disekitar goresan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Naid et al., (2013) yang mengatakan bahwa hasil positif ditandai dengan

terbentuknya zona bening atau tidak menyebarnya isolat bakteri dari daerah goresan.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang kemampuan isolat bakteri laut

dalam menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan S. aureus penyebab infeksi secara invitro

maka dapat disimpulkan bahwa sembilan isolat bakteri laut dapat menghambat pertumbuhan

bakteri uji E.coli dan S.aureus dengan terbentuknya zona bening dari daerah goresan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Fuji Astuti Febria, Dr. Nasril Nasir, Dr.

Anthoni Agustien, Dr. phil. Nat. Nurmiati dan Dr. Indra Junaidi Zakaria atas bantuan dan

masukan dalam kesempurnaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Belk, C. and Maier V.B. 2010. Biology: Science for Life with Physiology. Ed ke-3. San

Francisco: Pearson/Benjamin Cummings.

Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial:Problematika dan pengendaliannya. Jakarta: Salemba

Medika.

Febria, F.A. dan Zakaria, I.J. 2015. Eksplorasi Bakteri Laut Asal Perairan Laut Pariaman.

Jurusan Biologi FMIPA Unand. Padang. Unpublished

Hogg, S. 2005. Essential Microbiology. John Wiley dan Son, Cichestes.

Naid, T., Syaharuddin, K., Asnah, M. dan Sumarheni. 2013. Produksi Antibiotika Secara

Fermentasi dari Biakan Mikroorganisme Simbion Rumput Laut Eucheuma

cottonii.Laboratorium Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin,

Makassar

Todar, Kenneth, 2001. Biological identity of Procaryotes.www.bact.wisc.edu.Departement of

Baceriology University of Wisconsin-Madison.USA.

Page 221: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

210

SCREENING BAKTERI DARI PERAIRAN LAUT PARIAMAN

PENGHASIL ENZIM PROTEASE

Fitri Hepnita*, Fuji Astuti Febria dan Anthoni Agustien

1)Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas

*Koresponden: [email protected]

Abstract

The research on Screening Bacteria of Pariaman Sea Waters Producing Protease enzyme

had been done in August until November 2015 in Microbiology Research Laboratory,

Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Andalas,

Padang. This study aims to determine the potential of bacterial isolates ocean to produce

extrasellular enzymes protease. This study uses method of experiment and data were

analyzed descriptively. The result showed 4 isolates is proteolytic and index value proteolitic

highest found in isolates each I1.T3 an index value of each 0.64.

Keyword :Screening, Protease and Marine Periaman

PENDAHULUAN

Enzim memiliki peranan yang sangat besar dalam perkembangan bidang industri. Saat

ini enzim yang banyak digunakan dan diaplikasikan secara komersial dalam proses industri

adalah kelompok enzim hidrolase. Beberapa enzim hidrolase yang banyak digunakan dalam

proses industri adalah enzim protease. Dalam proses industri enzim protease memegang

peranan penting seperti berperan dalam pengolahan pangan (Pastor et.al. 2001), penenunan

(Helmann, 1995), penyamakan kulit, deterjen, textil dan pengolahan limbah cair. Pada tahun

2000, penjualan enzim merupakan peringkat yang tinggi dalam bidang bioteknologi dan

diperkirakan mencapai US$ 1,6 milyar (Pawiroharsono, 2008).

Enzim dapat diperoleh dari berbagai sumber, salah satunya enzim dari

mikroorganisme. Mikroorganisme merupakan sumber untuk menghasilkan enzim yang

potensial karena mampu berkembang dengan cepat, mempunyai berbagai jenis aktivitas

enzim dan hidup pada kondisi-kondisi ekstrim seperti pada sedimen dan perairan laut (Gray

dan Elliott, 2009).

Beberapa penelitian tentang bakteri penghasil enzim dari laut telah banyak dilakukan,

diantaranya Rani (2013) melaporkan 10 isolat bakteri dari perairan Pantai Bandealit

Kabupaten Jember yang memiliki aktivitas enzim protease dan 1 isolat yang memiliki

aktivitas fibrinolitik. Yulianti (2012) mengisolasi dan melakukan penapisan bakteri dari

perairan laut Sangihe Talaud dan mendapatkan 7 isolat yang menghasilkan enzim L-

glutaminase.

Isolat bakteri dari sedimen dan perairan laut kota Pariaman ditemukan sebanyak 85

isolat bakteri (Febria dan Zakaria, 2015) namun belum diketahui kemampuan isolat tersebut

dalam menghasilkan enzim protease, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menyeleksi

bakteri yang mampu menghasilkan enzim protease ekstraseluler.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 isolat bakteri dari laut Pariaman

koleksi laboratorium yang diisolasi oleh Dr. Fuji Astuti Febria dan Dr. Indra Junaidi Zakaria,

Page 222: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

211

air laut, spiritus, kapas, kasa, tissue, karet gelang, kertas label, medium Marine Agar,Marine

Broth, Skim milk, plastik wrap, aluminium foil.

Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, vortex, autoklaf,hot

plate, shaker, kertas saring Whatman, effendorf, stirer, cawan Petri,Erlenmeyer, gelas ukur,

jarum ose, mikropipet, bunsen, spatula, masker, sarung tangan, kamera digital, timbangan

digitaldan mikroskop.

Persiapan Kultur Bakteri

Isolat bakteri yang selanjutnya akan digunakan dalam penelitian diremajakan dengan

cara memindahkan masing-masing isolat ke dalam media agar miring MA pada tabung reaksi

dengan teknik goresan.

PenapisanBakteri Penghasil Enzim Protease

Penapisan dilakukan berdasarkan kemampuan mendegradasi polisakarida, protein,

selulosa dan lipid. Penapisan bakteri penghasil amilase dilakukan berdasarkan prosedur

Bairagi et al. (2002). Kultur masing-masing isolat bakteri diremajakan ke dalam kultur cair

yang ditambahkan skim milk (1%) kemudian diinkubasi selama 24 jam. Setelah diinkubasi,

sebanyak 5 ml kultur cair isolat tersebut dipindahkan kedalam Erlenmeyer yang berisi

medium Marine Broth yang telah diperkaya dengan skim milk (1%) lalu di shaker selama 24

jam.

Isolat yang telah di shaker diambil sebanyak 1,5 ml, dimasukkan kedalam affendorf

dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Diambil supernatant,

diteteskan diatas ke paper disc blank kemudian diangkat dengan pinset steril dan

dikeringanginkan, setelah itu diletakan pada media MA yang telah dimodifikasi. Inkubasi

selama 24 jam dan amati zona bening di sekitar paper disc blank. Selanjutnya dilakukan

pengukuran zona bening yang terbentuk dengan mengukur diameternya (Setyati, 2012).

Zona bening yang terbentuk dari masing-masing isolat dihitung nilai indeksnya. Indeks

dihitung mengacu pada indeks proteolitik yang dilakukan (Agustien, 2005)dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

Indeks Proteolitik = Diameter Zona Bening – Diameter Koloni

Diameter Koloni

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penapisan Bakteri Penghasil Enzim Protease

Penapisan dilakukan terhadap 10 isolat bakteri laut yang berasal dari 3 lokasi pulau

yang berbeda di Pariaman yaitu pulau Kasiak, pulau Angso Duo dan pulau Tangah.

Kementrian Perikanan dan Kelautan (2015) menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut

termasuk kawasan konservasi perairan daerah Pariaman dimana pulau Kasiak merupakan

kawasan bertelurnya penyu langka belimbing sedangkan pulau Angso Duo dan pulau Tangah

merupakan kawasan konservasi terumbu karang.

Hasil penapisan bakteri penghasil enzim protease terhadap 10 isolat bakteri dari

perairan laut Pariaman diperoleh empat isolat bakteri yang terindikasi sebagai bakteri

proteolitik. Indeks masing-masing enzim disajikan dalam Tabel 1.

Page 223: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

212

Tabel 1. Indeks enzim ekstraseluler hidrolase isolat bakteri laut kota Pariaman

No. Lokasi Isolat Indeks Proteolitik

IP

1.

I

I1. K2.1 0,29

2. I11.K2 -

3. I9.K2 -

4. I10.K1 0,29

5 I6. K1 -

6.

II

I6.A2 -

7. I8.A 0,57

8. I12.A -

9. III

I1. T3 0,64

10. I1.T2 -

Ket: Lokasi I = Pulau Kasiak, Lokasi II = Pulau Angso II, Lokasi III = Pulau TangaH

Pada tabel 1 juga dapat diamati bahwa isolat I1.T3 memiliki nilai indeks proteolitik

terbesar yaitu 0.64. Pengujian enzim protease diamati dari zona bening yang terbentuk oleh

bakteri yang mensekresikan protease kedalam medium yang ditambahkan dengan susu skim,

sehingga protein susu akan terhidrolisis dan menyebabkan adanya zona bening disekitar

koloni. Dirnawan (2000) menyebutkan bahwa zona bening terbentuk akibat adanya sekresi

enzim protease pada medium susu skim sehingga akan menghidrolisis kasein yang terdapat

pada susu dan menyebabkan medium menjadi lisis (Gambar 1)..

Gambar 1. Zona bening Proteolitik

Berdasarkan nilai indeks yang terdapat pada tabel 1 dapat dilihat nilai indeks yang

dihasilkan oleh masing-masing isolat berbeda. Hal ini disebabkan oleh besarnya zona bening

atau zona presipitasi yang terbentuk oleh bakteri. Besarnya zona bening yang dihasilkan

disebabkan oleh jumlah dan aktifitas enzim dari masing-masing isolat yang disekresikan pada

medium berbeda. Aktifitas enzim tersebut ditentukan oleh konsentrasi enzim, konformasi

enzim, urutan asam amino pembentuk enzim dan jenis asam amino pembentuk enzim

(Agustien, 2005).

Berdasarkan tabel 1 isolat I11.K2; I9.K2; I6. K1; I6.A2; I12.A; I1.T2 yang diujikan tidak

menghasilkan enzim protease, hal ini disebabkan karena isolat bakteri laut yang diujikan

tidak mampu menghidrolisis medium yang ditambahkan dengan komponen makromolekul

organik (skim milk) menjadi molekul yang lebih sederhana atau juga dikarenakan bakteri

tersebut kemungkinan tidak memiliki gen penghasil enzim atau memiliki gen penghasil

enzim tetapi tidak terekspresikan (Suhartono, 1998).

Page 224: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

213

KESIMPULAN

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa

dari sepuluh isolat yang diuji, empat isolat bakteri terindikasi sebagai bakteri proteolitik yaitu

isolat I10.K1, I1.K2.1, I1.T3 dan I8.A dengan indeks tertinggi 0.64.

DAFTAR PUSTAKA

Agustien, A. 2005. Isolasi dan Karakterisasi Enzim Amilase Termostabil dari Bakteri Isolat

Sumbar. 4: 18

Bairagi, A., K. Ghosh, S. Kumarsen,& A. K. Ray. 2002. Enzyme producing bacterial flora

isolated from fish digestive tracts. Aquaculture International.10: 109-121

Dirnawan, H. A. Suwanto dan T. Purwadaria. 2000. Eksplorasi Bakteri Penghasil Enzim

Hidrolitik Ekstraseluler dari Sumber Air Panas Gunung Pancar. Hayati. 7:52-55

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. 2015. Data Kawasan Konservasi.

Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Febria, F. A dan Zakaria, I. J. 2015. Eksplorasi Bakteri Laut Asal Perairan Laut Pariaman.

Jurusan Biologi FMIPA UNAND. Padang. (Unpublished)

Gray J. S dan Elliott M. 2009. Ecology of Marine Sediments Ed ke-2. New York: Oxford

Press

Pawiroharsono, S. 2008. Penerapan enzim untuk penyamakan kulit Ramah lingkungan.Pusat

Teknologi Bioindustri-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta

Rani, D. E. P. 2013. Skrining Agen Fibrinolitik Isolat Bakteri Pantai Bandealit Kabupaten

Jember. Skripsi. Jurusan Biologi. Universitas Jember

Setyati, W. A dan Subagiyo. 2012. Isolasi dan Seleksi BakteriPenghasil Enzim Ekstraseluler

(Proteolitik, Amilolitik, Lipolitik dan Selulolitik) yang Berasal dari Sedimen Kawasan

Mangrove. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Diponegoro. Semarang

Suhartono, M. T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Antar Universitas, Bioteknologi, IPB. Bogor

Yulianti, Tanti., Ekowati Chasanah.,dan Usman Sumo Friend Tambunan. 2012. Screening

And Characterization Of L-Glutaminase Produced By Bacteria Isolated From

Sangihe Talaud Sea. Research and Development Center for Marine and Fisheries

Product Processing and Biotechnology. Jakarta.

Page 225: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

214

KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL SINBIOTIK BAKTERI ASAM

LAKTAT ISOLAT PG7 YANG DIENKAPSULASI DENGAN ALGINAT,

SUSU SKIM DAN INULIN

Harnisya Nasution1, It Jamilah

1, Nunuk Priyani

1

1) Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Sumatera Utara, Jln. Bioteknologi No.1, Kampus. USU, Padang Bulan, Medan 20155,

Indonesia

e-mail: [email protected]

Abstract

The application of probiotics in aquaculture represents an alternative way for fish disease

prevention. However, low viability and survival in application of probiotic still being an

obstacle. Encapsulation has been used to maintain probiotic viability during storage and

application. In the present study, combination of alginate-skim milk and inulin prebiotic were

used to encapsulate lactic acid bacteria PG7 isolated from digestive tract of tilapia fish

(Oreochromis niloticus) from previous study. Encapsulation ha been prepared by extrusion

method, then the encapsulated bacteria were tested for its survival during storage time,

simulated gastointestinal condition, drying process, contaminant and release speed. The

result obtained indicated that encapsulation effectively protected the probiotic from drying

process, simulated gastointestinal condition and storage. The spherical microcapsule was

obtained with size of 1.91±0,27 mm and encapsulation efficiency was 92.96%. Encapsulated

probiotic could be completely released from microspheres in simulated intestinal fluid (pH

6.8). The viability of encapsulated probiotic retained around 7.19 log CFU/g when stored at

4 °C for 4 weeks. The survival of encapsulated probiotic in simulated gastric fluid (pH 2; 2 h)

was 85.75%. Total yeast contamination in microsphere after 4 weeks of storage were about

2.48-2.77 log CFU/g. This synbiotic microcapsule showed good characteristic and efficient

in maintaining viability of bacteria, therefore it might be usefull to be applied in aquaculture.

Keywords : Encapsulation, lactic acid bacteria, probiotic, viability.

PENDAHULUAN

Pengembangan budi daya ikan tawar sering terkendala penyakit yang disebabkan oleh

bakteri patogen. Dalam upaya mengatasi serangan patogen, petani dan pengusaha ikan

banyak menggunakan bahan-bahan kimia maupun antibiotik yang dapat meningkatkan

resistensi bakteri patogen dan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, ikan yang

bersangkutan dan manusia yang mengkonsumsinya. Oleh sebab itu, diperlukan langkah

antisipatif untuk pengendalian penyakit pada ikan yang berpedoman pada kaidah

keseimbangan ekosistem salah satu-nya adalah penggunaan bakteri probiotik sebagai agen

kontrol mikroba (Khasani, 2007).

Probiotik didefinisikan sebagai sel mikroba yang jika dikonsumsi dalam jumlah yang

cukup akan memberikan manfaat kesehatan. Probiotik pada sistem akuakultur dapat

memberikan pengaruh meng-untungkan bagi inang melalui modifikasi bentuk asosiasi

dengan inang atau bagi komunitas mikroba lingkungan hidupnya, meningkatkan respon

kekebalan inang terhadap patogen, meningkatkan nilai nutrisi pakan, dan meningkatkan

kualitas air (Verschuere et al. 2000).

Aplikasi probiotik akuakultur untuk mengendalikan patogen pada budi daya ikan telah

banyak dilakukan. Akan tetapi, viabilitas dan kelangsungan hidup probiotik yang rendah

Page 226: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

215

selama penyimpanan dan aplikasi masih menjadi kendala. Ketika probiotik masuk ke dalam

saluran pencernaan, viabilitas probiotik dapat mengalami penurunan karena pengaruh pH saat

kontak dengan asam lambung dan garam empedu. Selain itu kondisi selama masa

penyimpanannya (oksidasi, perubahan suhu, kadar air, kontaminasi) dapat mempengaruhi

ketahanan hidup probiotik, sehingga diperlukan pertahanan fisik bagi sel probiotik untuk

menghadapi kondisi lingkungan yang kurang mengun-tungkan, salah satunya dengan metode

enkapsulasi.

Enkapsulasi merupakan proses penyalutan suatu substansi, dalam hal ini probiotik

sebagai bahan inti dengan menggunakan bahan enkapsulasi tertentu yang berperan sebagai

membran pelindung untuk memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga material

tersebut terlepas (release) ke lingkungan. Beberapa metode untuk menyiapkan bakteri

terenkapsulasi telah dikembangkan, misalnya penjeratan sel mikroba dalam kalsium-alginat.

Enkapsulasi menggu-nakan kalsium-alginat untuk melindungi probiotik dalam kondisi

saluran pencernaan menunjukkan viabilitas yang lebih tinggi dibanding sel bakteri bebas.

(Sheu & Marshall, 1993). Penggunakan kalsium-alginat ini relatif lebih praktis, murah, dapat

terurai dalam tubuh serta tidak beracun sehingga aman bila digunakan.

Enkapsulasi menggunakan alginat biasa ditambahkan dengan berbagai jenis bahan

tambahan yang berfungsi sebagai bahan pengisi atau sebagai penyalut (coating) untuk

meningkatkan ketahanan mekanik kapsul. Penggunaan bahan tambahan untuk enkapsulasi

perlu dipertim-bangkan, karena masing-masing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan

belum tentu sesuai dengan bahan inti yang dienkapsulasi. Dari beberapa penelitian,

penggunaan bahan penyalut berbasis protein memberikan hasil ketahanan yang lebih baik.

Salah satunya adalah susu skim (Adrianto, 2011; Hsio et al., 2014; García, 2011; Fritzen-

Freire., 2013). Selain bahan enkapsulan, proses enkapsulasi juga disertai dengan

penambahan prebiotik untuk meningkatkan viabilitas sel bakteri seperti inulin. Kombinasi

antara probiotik dan prebiotik sering disebut dengan sinbiotik.

Pada penelitian ini, campuran alginat-susu skim dan prebiotik inulin digunakan untuk

mengenkapsulasi bakteri asam laktat isolat PG7 yang diisolasi dari saluran pencernaan ikan

nila (Oreochromis niloticus). Karakteristik mikrokapsul akan dikaji melalui parameter

kualitatif meliputi bentuk dan ukuran kapsul, kontaminasi dan viabilitas bakteri

terenkapsulasi terhadap pengaruh suhu, masa simpan, lama pengeringan, dan kondisi saluran

pencernaan ikan serta kecepatan release (pembebasan) sel yang terperangkap di dalam

kapsul.

METODE PENELITIAN

Pemeriksaan dan Persiapan Kultur BAL PG 7

Bakteri asam laktat isolat PG 7 merupakan hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan

nila (Sitinjak, 2015)terlebih dahulu disubkultur dalam 10 ml MRSB dan diinkubasi pada suhu

37 °C selama 24 jam. Pemanenan kultur dilakukan dengan menum-buhkan kembali BAL PG

7dalam 10 ml MRSB selama 24 jam pada suhu 37 °C. Satu ml dari kultur diinokula-sikan

pada 100 ml MRSB, yang digunakan sebagai kultur antara. Sebanyak 10 ml kultur antara

ditumbuhkan pada 1000 ml MRSB (1:100) yang digunakan untuk produksi biomassa.

Selanjutnya biomasa dipanen pada akhir fase logaritmik (kultur berumur 18 jam). Sel dipanen

dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 5000 xg selama 10 menit pada 4 °C, dan dicuci

dengan PBS sebanyak 2 kali.

Enkapsulasi Sinbiotik dengan Teknik Ekstrusi Pelet bakteri yang diperoleh dilarutkan ke dalam 100 ml campuran susu skim 2%

(b/v), gliserol 5% (v/v), inulin 2% (b/v) dan CaCO3 0,1% (b/v), diperangkap selama 45 menit

di dalam 100 ml larutan alginat steril dengan konsentrasi 3% (b/v). Campuran tersebut

Page 227: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

216

diteteskan pada CaCl2 (0,1 M) steril menggunakan syringe 23G x 1¼ (0,60 x 32 mm) dengan

jarak tetes ±10 cm dan dilakukan pengadukan 150-200 rpm menggunakan magnetic stirrer.

Pengerasan mikrokapsul dilakukan selama satu jam. Mikrokapsulyang dihasilkan dibilas

dengan NaCl (0,85%) steril Penghitungan jumlah sel yang terenkapsulasi dalam

mikrokapsulmengacu pada metode Sheu dan Marshal (1993). Sebanyak 1 gram mikrokapsul

basah disus-pensikan ke dalam PBS (0,1 M; pH 7,1) dan dicukupkan volumenya hingga 10

ml, lalu dihomogenkan dengan vorteks selama 30 menit dan diencerkan berseri menggunakan

garam fisiologis. Sebanyak 1 ml dari pengenceran diinokulasikan pada MRS agar dengan

metode tuang, diinkubasi pada suhu 37 °C selama 48 jam dan dihitung jumlah koloni bakteri

yang tumbuh. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan ukuran dan bentuk mikrokapsul.

Penghitungan efisiensi enkapsulasi adalah sebagai berikut:

EE = Efisiensi Enkapsulasi (%)

Xt = Jumlah sel bakteri terenkapsulasi (log CFU g-1

)

Xi = Jumlah sel bakteri inisial yang akan dienkapsulasi (log CFU g-1

)

Pengeringan Mikrokapsul

Pengeringan dilakukan dengan metode hot air oven pada suhu 40 °C. Mikrokapsul

disebarkan ke dalam cawan petri steril kemudian dimasukkan ke dalam oven bersuhu 40 °C.

Setiap 30 menit dilakukan penghitungan jumlah sel yang bertahan di dalam kapsul.

Uji Viabilitas Sinbiotik Terenkapsulasi pada Suhu dan Masa Simpan Pengujian viabilitas terhadap suhu dan masa simpan dilakukan dengan cara

menyimpan kapsul dalam wadah steril selama 4 minggu pada suhu 4 °C dan suhu ambient.

Penurunan viabilitas sel dihitung setiap 1 minggu.

Analisis Total Kapang Khamir Mikrokapsul

Mikrokapsul yang telah disimpan selama 1, 2, 3, dan 4 minggu pada suhu 4°C dan

suhu ambient dihitung jumlah kapang khamir yang mengkontaminasi dengan metode

hitungan cawan setelah diinkubasi pada suhu 25 °C selama 48 jam..

Uji Viabilitas Sel Bebas dan Sinbiotik Terenkapsulasi dalam Simulasi pH Lambung dan

Cairan Usus Ikan

Bakteri asam laktat isolat PG7merupakan hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan

Nila, sehingga untuk melakukan uji ketahanannya disesuaikan dengan kondisi saluran

pencernaan ikan Nila. Sel bebas dalam larutan NaCl fisiologis dan 1 gram kapsul dimasukkan

ke dalam 9 mL garam fisiologis pH 2 (simulasi pH lambung) diinkubasi selama 120 menit

pada suhu 37 oC. Kemudian kapsul ditransfer ke dalam larutan PBS pH 6,8 (simulasi cairan

intestinal), diinkubasi selama 180 menit pada suhu 37 °C (Rodrigues et al. 2006; Li et al.

2009). Populasi sel yang bertahan di dalam kapsul dihitung setiap 30 menit dengan cawan

hitung pada media MRS agar lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam.

Analisis Kecepatan Pembebasan (Release) Sel Terenkapsulasi

Sebanyak 1 gram kapsul dimasukkan ke dalam PBS pH 6,8 (disesuaikan dengan pH

cairan intestinal) dan dicukupkan volumenya hingga 10 ml, diinkubasi pada suhu 37 °C

dengan kecepatan 100 rpm. Jumlah sel bakteri yang terbebas (release) dihitung setiap 30

menit dengan metode hitungan cawan pada media MRS agar setelah diinkubasi pada 37 °C

selama 48 jam.

Page 228: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

217

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran, Morfologi dan Efisiensi Enkapsulasi Mikrokapsul

Enkapsulasi probiotik menggunakan campuran alginat, susu skim, dan inulin dengan

teknik ekstrusi menghasilkan mikrokapsul dengan diameter rata-rata 1,91±0,27 mm dan

memiliki struktur yang kompak berbentuk bola (spherical) (Gambar. 1).

Gambar 1. Mikrokapsul sinbiotik isolat BAL PG7 hasil enkapsulasi metode ekstrusi

Pada penelitian ini, diperoleh efisiensi enkapsulasi sebesar 92,69% yang

menunjukkan bahwa mikrokapsul memiliki efektivitas yang tinggi dalam menjerat sel.

Tingginya tingkat efisiensi pada mikrokapsul ini dipengaruhi oleh konsentrasi bahan peng-

kapsul. Penelitian Castilla et al. (2010) menemukan bahwa efisiensi enkapsulasi meningkat

secara signifikan dengan meningkatnya konsentrasi biopolimer.

Viabilitas Mikrokapsul Setelah Pengeringan

Dari hasil yang didapatkan menunjukkan adanya penurunan jumlah bakteri

terenkapsulasi seiring dengan lamanya waktu pengeringan (Gambar 2).

Gambar 2. Grafik pengaruh lama pengeringan terhadap viabilitas BAL isolat PG7

terenkapsulasi

Jumlah sel bakteri cenderung stabil hingga jam ke-5, dan mulai mengalami penurunan

yang signifikan pada jam ke-6. Selama pengeringan terjadi penurunan 1,1 log CFU g-1

pada

jam ke-7. Hingga jam ke-10, populasi bakteri terenkapsulasi menurun2,63 log CFU g-1

.

Penurunan jumlah sel bakteri ini disebabkan karena kadar air mikrokapsul yang semakin

berkurang, akan tetapi penurunan populasi bakteri dinilai lambat karena penurunan yang

terjadi kurang dari 1 log per jam nya.

Ketahanan mikrokapsul sela-ma pengeringan juga dipengaruhi oleh bahan pengisi

yang digunakan, yaitu susu skim. Ketersediaan laktosa dan protein susu pada susu skim akan

berinteraksi dengan membran sel bakteri untuk mencegah kerusakan membran selama proses

penghilangan air (Hsio et al. 2011).

Page 229: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

218

Viabilitas Mikrokapsul Selama Penyimpanan

Viabilitas bakteri terenkapsulasi menurun seiring dengan mening-katnya masa simpan

(Gambar 3). Pada suhu 4 °C, penurunan jumlah sel bakteri mikrokapsul setelah 4 minggu

adalah 0,88 log CFU g-1

dengan viabilitas sebesar 89,10%, secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan pada suhu ambient dimana terjadi penurunan 2,06 log CFU g-1

dan viabilitas

mikrokapsul sebesar 74,47%.

Gambar 3. Grafik viabilitas BAL isolat PG7 terenkapsulasi selama penyimpanan pada suhu 4

°C dan suhu ambient

Dalam hal ini penyimpanan mikrokapsul pada suhu 4 °C lebih baik dibandingkan

suhu ruang karena pada suhu 4 °C pertumbuhan bakteri lebih lambat sehingga nutrisi dapat

tersedia untuk pertumbuhan dalam waktu yang lebih panjang, oleh karena itu sel bakteri

dapat bertahan hidup dalamwaktu yang lebih lama. Pada penelitian ini, viabilitas mikrokapsul

masih cukup tinggi pada suhu 4 °C hingga minggu ke-4 yakni 1,6 x 107 CFU g

-1. Jumlah ini

masih layak digunakan karena jumlah minimal probiotik yang baik untuk digunakan menurut

WHO adalah 107 CFU g

-1.

Analisis Total Kapang Khamir Mikrokapsul

Setelah penyimpanan ditemukan adanya kontaminasi khamir pada mikrokapsul tetapi

tidak ditemukan kapang. Total khamir pada mikrokapsul yang disimpan pada suhu 4 °C dan

suhu ambien hingga minggu ke-4 berturut-turut ialah2,48 dan 2,77 log CFU g-1

(Gambar 4.4).

Gambar 4. Grafik jumlah kontaminasi khamir pada mikrokapsul BAL isolat PG7 selama

penyimpanan

Page 230: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

219

Viabilitas Sel Bebas dan Mikrokapsul dalam Kondisi Simulasi pH Lambung dan

Cairan Usus

Dalam menjalankan perannya, sel probiotik harus bertahan hidup pada sistem

pencernaan untuk dapat memberikan manfaat bagi inang. Simulasi asam lambung dan usus

halus dilakukan untuk menguji ketahanan bakteri dalam bentuk sel bebas dan terenkapsulasi

terhadap kondisi pH lambung dan usus. Hasil penelitian menunjukkan sel probiotik dalam

bentuk terenkapsulasi memberikan ketahanan yang lebih baik terhadap pH

lambungdibandingkan dalam bentuk sel bebas (Gambar 5). Setelah inkubasi selama 2 jam

pada simulasi asam lambung, penurunan populasi sel terenkapsulasi hanya sebesar 1,09 log

CFU g-1

dengan persentase ketahanan 85,75%,sedangkan penurunan populasi pada sel bebas

lebih besar yakni 3,97 log CFU ml-1

dengan persentase ketahanan 67,62%. Ketahanan

mikrokapsul yang tinggi berkaitan dengan sifat bahan enkapsulan yaitu alginat yang tidak

larut pada pH rendah dan membentuk struktur gel yang kompak.

Penambahan prebiotik inulin pada proses enkapsulasi juga turut memberikan

pengaruh ketahanan yang tinggi pada mikrokapsul. Inulin berperan dalam menghalangi pori

pada matriks mikrokapsul sehingga, mencegah difusi asam ke dalam mikrokapsul. Iyer dan

Kailasapathy (2005) juga melaporkan bahwa ko-enkapsulasi probiotik dengan prebiotik hi-

maize memberikan ketahanan yang lebih tinggi pada simulasi gastrointestinal dibandingkan

dengan enkapsulasi bakteri tanpa prebiotik. Selama simulasi pH cairan usus, populasi sel

bebas tetap stabil dan tidak mengalami penurunan jumlah sel yang signifikan. Hal ini

disebabkan karena pH simulasi cairan usus adalah pH netral yang merupakan kondisi yang

sesuai bagi sel bakteri untuk tetap hidup. Sedangkan pada sel terenkapsulasi, jumlah sel di

dalam mikrokapsul berangsur-angsur menurun diduga karena sel keluar dari mikrokapsul

menuju cairan usus. Pada cairan simulasi usus, struktur mikrokapsul mengembang,

menyebabkan pori-pori mikrokapsul semakin membesar sehingga sel yang terperangkap

dalam kapsul keluar menuju cairan usus (Kailasapathy et al. 2002). Hasil yang hampir sama

juga diperoleh Annan et al. (2008), dimana populasi B. adolescentis dalam bentuk sel bebas

tetap stabil pada simulasi cairan usus hingga 4 jam diduga karena sel bakteri melakukan

pemulihan (recovery) setelah kerusakan akibat terpapar pH rendah.

0

2

4

6

8

10

12

0 1 2 3 4 5Jum

lah S

el B

akte

ri (

log

CF

U g

-1)

Lama Inkubasi (jam)

Sel Bebas Sel Terenkapsulasi

simulasi pH cairan usus

simulasi pH lambung

Gambar 5. Grafik populasi sel bebas dan sel terenkapsulasi BAL isolat PG 7 pada kondisi

simulasi pH lambung dan cairan usus

Kemampuan Pelepasan (Release) Sel Terenkapsulasi

Kemampuan sel untuk keluar dari mikrokapsul setelah direndam pada PBS

(PhosphateBufferSaline) pH 6,8 meningkat secara signifikan seiring dengan meningkatnya

waktu inkubasi. Pada 30 menit pertama persentase jumlah sel yang keluar sebesar 43,67%

Page 231: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

220

dari jumlah sel awal kemudian meningkat hingga 98,09% setelah 3 jam. Setelah diinkubasi

selama 4-5 jam, kemampuan sel release berturut-turut sebesar 98,65% dan 99,91% (Gambar

6).

Gambar 6. Kemampuan sel terenkap-sulasi isolat PG7 release pada pH netral

Kecepatan sel release ini diduga dipengaruhi oleh konsentrasi alginat. Semakin

rendah konsentrasi alginat yang digunakan, akan mempercepat pelepasan sel dari

mikrokapsul. Alginat digunakan sebagai penyalut dikarenakan oleh sifatnya yang tidak larut

pada pH rendah, namun dapat larut pada pH netral atau basa. Pada penelitian ini, sifat

biopolimer alginat yang bergantung pada pH digunakan untuk menjaga penurunan sel

probiotik dan melepaskannya pada kondisi pH netral.

KESIMPULAN

Probiotik air tawar yang dienkapsulasi dengan alginat-susu skim dan penambahan

prebiotik inulin memiliki ketahanan tinggi selama proses pengeringan, lama penyimpanan,

dan kondisi pH saluran pencernaan. Viabilitas probiotik air tawar terenkapsulasi secara

signifikan lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk sel bebas pada simulasi pH saluran

pencernaan. Probiotik air tawar juga mampu keluar dari mikrokapsul secara keseluruhan pada

pH netral selama 3 jam. Mikrokapsul probiotik air tawar dengan penambahan prebiotik inulin

inimenunjukkan karakteristik yang cukup baik dan efisien dalam mempertahankan viabilitas

probiotik pada kondisi pH saluran pencernaan, lama penyimpanan, pengeringan, tingkat

kontaminasi, serta mampu keluar pada pH netral sehingga cukup baik untuk diaplikasi pada

budi daya ikan air tawar.

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, A. 2011. Enkapsulasi Lactobacillus casei dengan Teknik Ekstrusi Sebagai Starter

untuk Pembuatan Dadih Susu Sapi. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Annan, N.T., Borza, A.D., Hansen, L.T., 2008. Encapsulation in Alginate–coated Gelatin

Microspheres Improves Survival of The Probiotic Bifidobacterium adolescentis

15703T during Exposure to Simulated Gastrointestinal Condition. Food Research

International. 41: 184–193.

Castilla, O. S., Calleros, C. L., Galindo, H. S. G., Ramirez, J. A. and Carter, E. J. V. 2010.

Textural Properties of Alginate–Pectin Beads and Survivability of Entrapped

Lactobacillus casei in Simulated Gastrointestinal Condition and in Yoghurt. Food

Research International. 43: 111–117.

Fritzen–Freire, C.B., Prudêncio, E.S., Pinto, S.S., Muñoz I.B. and Amboni R.D.M. C. 2013.

Effect of Microencapsulation on Survival of Bifidobacterium BB–12 Exposed to

Page 232: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

221

Simulated Gastrointestinal Conditions and Heat Treatments. Food Science

Technology. 50: 39–44.

Hsio, H. C., Lian, W. C. and Chou, C. C. 2004. Effect of Packaging Conditions and

Temperature on

Viability of Micro-encapsulated Bifidobacteria During Storage. Journal of the Science of

Food and Agriculture. 84(2): 134–139.

Kailasapathy, K. 2002. Micro-encapsulation of Probiotic Bacteria: Technology and Potential

Applications. Current Issues Interest of Microbiology. 3(2): 39–48.

Khasani, I. 2007. Aplikasi Probiotik Menuju Sistem Budi Daya Perikanan Berkelanjutan.

Media Akuakultur. 2(2): 86–90.

Li, X. Y., Chen, X. G., Cha, D. S., Park, H. J. and Liu, C. S. 2009. Microencapsulation of A

Probiotic Bacteria with Alginate–Gelatin and Its Properties. Journal of

Microencapsulation. 26(4): 315–324.

Rodrigues, A. P., Hirsch, D., Figueiredo, H. C. P., Logato, P. V. R. and Moraes, A. M. 2006.

Production and Characterisation of Alginate Microparticle Incorporating Aeromonas

hydrophila Designed for Fish Oral Vaccination. Process Biochemistry. 41: 638–643.

Sheu, T. Y. and Marshall, R. T. 1993. Microencapsulation of Lactobacilli in Calcium

Alginate Gels. Journal of Food Science.54: 557 – 561.

Sitinjak, T. P. 2015. Pengendalian Biofilm Edwardsiella tarda pada Permukaan Sisik Ikan

dan Plastik PVC dengan Senyawa Antimikroba yang Dihasilkan oleh Bakteri Asam

Laktat (BAL). [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara.

Verschuere, L., Rombaut, G., Sorgeloos, P. and Verstraete, W. 2000. Probiotic Bacteria as

Biological Control Agents in Aquaculture. Microbiology and Molecular Biology

Reviews. 64: 655–671

Page 233: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

222

POTENSI ISOLAT KAPANG ANTIBIOTIK DARI “KABUTO”

SEBAGAI INOKULUM YANG MENINGKATKAN KADAR PROTEIN

PANGAN LOKAL

Jendri Mamangkey1*, Nurhayani

2

, Nur Arfa Yanti3

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Halu Oleo, Kendari

*[email protected]

Abstract Kabuto is a Southeast Sulawesi fermented food made traditionally through natural

fermentation from cassava (Manihot esculenta Crantz). The local mold isolates have

previously been isolated and tested for antibiotic by Budadana (2014). Four types of local

mold isolates were used: K03 isolate, K23 isolate, K31 isolate, and K1C isolate.

Antimicrobial activity was tested using well diffusion method. The number of spore ineach

mold isolate was first counted by using haemocytometer in order to obtain 106spore/mL. The

mold isolates were injected to cassava roots to determine their capacity in increasing the

content of protein in ―Kabuto‖withinthe periods of 0, 2, 4, and 6 days. Biuret method was

used to measure the content of protein. The data were then analyzed by using SAS (Statistical

Analysis System) software. The result of applying local mold isolates on cassava showed that

the four types of isolates and fermentation time have a real effect on the change in the content

of protein in ―Kabuto‖. Sequentially percentage of proteincontent for each isolate on the

6th

were Aspergillus niger K23 (7.93%),Aspergillus niger K1c (8.65%), Aspergillus niger

K03 (9.35%), Aspergillus terreus K31 (10.60%). K31 isolate on the 6th

day of fermentation

was the best treatment that increased the content of protein in ―Kabuto‖, compared to the

other three treatment and controlled.

Keywords: Local mold, fermentation, protein, Kabuto.

PENDAHULUAN

Umbi ubi kayu merupakan salah satu bahan pangan dengan sumber energi yang

mengandung karbohidrat tinggi, Harris and Koomson (2011), menyatakan bahwa kandungan

karbohidrat umbi ubi kayu 80 hingga 90%, sedangkan kandungan proteinnya sangat rendah.

Menurut Charles et al. (2005), kandungan protein umbi ubi kayu hanya berkisar 1 hingga 2%

dalam 100 gr.

Aplikasi teknologi pengolahan umbi ubi kayu perlu dilakukan dalam upaya perbaikan

mutu gizi pangan lokal. Salah satu teknologi pengolahan yang dilakukan yaitu melalui

fermentasi. Proses fermentasi digunakan untuk meningkatkan kadar protein umbi ubi

kayu, sehingga dapat dibuat menjadi ―Kabuto‖ yang memiliki nilai gizi yang lebih baik dari

sebelumnya. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi pada umbi ubi kayu merupakan

substrat yang baik untuk pertumbuhan kapang, karena kapang memanfaatkan karbohidrat

sebagai sumber C bagi pertumbuhannya.

Perlakuan pemberian isolat kapang lokal ke dalam bahan pangan tradisional merupakan

salah satu bagian fermentasi. Isolat kapang yang digunakan dalam penelitan ini adalah isolat

K03, K23, K31 dan K1C, keempat isolat kapang tersebut merupakan jenis isolat terpilih

yang berpotensi menghasilkan antibiotik. Keempat isolat kapang diisolasi langsung dari

―Kabuto‖ hasil pengolahan oleh masyarakat Sulawesi Tenggara (Budadana,2014).

Page 234: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

223

Salah satu makanan tradisional di Sulawesi Tenggara adalah ―Kabuto‖. ―Kabuto‖

merupakan salah satu produk pangan yang dibuat secara tradisional melalui proses

fermentasi alami. ―Kabuto‖ berbahan dasar umbi ubi kayu yang telah dikeringkan, kemudian

disimpan hingga umbi tertutupi oleh koloni mikroorganisme yaitu kapang. Produk ini biasa

dikonsumsi sebagai pelengkap makan masyarakat suku Muna dan Buton Sulawesi Tenggara.

Berbagai hasil penelitian telah berhasil mengungkapkan bahwa melalui fermentasi, bahan-

bahan makanan akan mengalami perubahan fisik dan kimia yang sangat berguna untuk

perbaikan dan menambah nilai gizi makanan.

Mirwandhono dkk. (2006), melaporkan bahwa setiap variasi konsentrasi inokulum

kapang Aspergillus niger selama 4 hari fermentasi pada tepung kulit ubi kayu mampu

meningkatkan kadar protein terutama pada jumlah inokulum kapang Aspergillus niger 2,00

gr/100gr bahan. Peningkatan protein kasar pada fermentasi selama 2 hari dan fermentasi

selama 4 hari sangat tinggi bila dibandingkan dengan protein kasar kulit ubi kayu tanpa

fermentasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ―pengaruh isolat kapang lokal dan

waktu fermentasi terhadap perubahan kadar protein dan asam sianida ―Kabuto‖ makanan

fermentasi tradisional Sulawesi Tenggara‖ menjadi penting untuk dilakukan.

BAHAN DAN METODE

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf bertekanan 1 atm/1210C yaitu

alat sterilisasi, alat yang digunakan untuk pengerjaan secara aseptik adalah Laminar air flow,

alat yang digunakan untuk mengamati struktur

kapang adalah mikroskop serta alat instrumen, alat-alat gelas lainnnya sebagai penunjang

penelitian. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan ―Kabuto‖ dengan pemberian

isolat kapang lokal adalah umbi ubi kayu yang langsung diambil di Kabupaten Muna, empat

isolat kapang lokal (K03, K23, K31, dan K1C) hasil isolasi dan pengujian antibiotik

sebelumnya dari ―Kabuto‖ serta media-media pertumbuhan kapang. Bahan kimia yang

digunakan untuk analisis protein adalah Aquades, CuSO4.5H2O, NaOH 0,2 N, Na-K-Tartrat,

BSA (Bovine SerumAlbumin).

Prosedur Penelitian Sterilisasi Alat dan Media

Peralatan dan bahan yang akan digunakan pada penelitian, terlebih dahulu disterilkan

dengan metode pemanasan basah. Sterilisasi dengan pemijaran digunakan untuk sterilisasi

ose.

Penyiapan dan PembuatanMedia

Media PDA (Potato DextroAgar)

Proses pembuatan media yaitu, mencampurkan ekstrak kentang sebanyak 1000 mL, dengan

20 gr dextrosa, dan 15 gr agar kemudian dipanaskan serta dihomogenkan menggunakan

stirrer magnetic. Media PDA (Potato Dextro Agar) selanjutnya disterilkan dengan

menggunakan autoklaf (Fardiaz, 1993; Joetono dkk., 1973; Lay, 1994; Waluyo, 2010).

Media PDB (Potato Dextro Broth)modifikasi

Media PDB akan digunakan sebagai media inokulum kapang yang siap diinokulasikan pada

ubi kayu. Proses pembuatan media yaitu, mencampurkan tepung ubi kayu dengan PDB

(Potato Dextro Broth), kemudian dipanaskan dan dihomogenkan menggunakan stirrer

magnetic. Media PDB (Potato Dextro Broth)modifikasi selanjutnya disterilkan dengan

menggunakan autoklaf (Fardiaz, 1993; Joetono dkk., 1973; Lay, 1994; Waluyo, 2010).

Perbanyakan/Peremajaan Isolat Kapang Lokal

Isolat kapang lokal diremajakan yaitu dengan menginokulasikan 1 ose kultur murni ke

dalam PDA miring pada masing-masing tabung reaksi sebanyak 2 tabung reaksi, 1 tabung

Page 235: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

224

reaksi sebagai stok kultur murni dan 1 tabung reaksi sebagai biakan kultur murni,

kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 3-

4hari.

Penyiapan Substrat Umbi Ubi Kayu

Umbi ubi kayu (Manihot utilissima) yang digunakan sebagai substrat untuk fermentasi

―Kabuto‖ dengan inokulum kapang lokal berasal dari Kabupaten Muna. Tahapan

selanjutnya dilakukan sterilisasi UV pada Laminar Air Flow selama 2 x 45 menit (Buamah

et al.,1997).

Preparasi Inokulum dan Enumerasi Spora Kapang

Kultur kapang yang berumur 96 jam dalam media PDA modifikasi, kemudian

pemisahan spora kapang lokal pada media PDA miring menggunakan jarum inokulasi dan

dimasukkan dalam erlenmeyer 100 mL, kemudian mengambil isolat kapang dalam

erlenmeyer tersebut sebanyak 10 mL kedalam botol balsem steril. Jumlah spora dihitung

dengan haemocytometer untukmendapatkan

106

spora/mL yang akan digunakan sebagai inokulum. Menurut Jutono dkk.

(1973) perhitungan jumlah sel dilakukan berdasarkan rumus berikut:

Keterangan : n =Jumlah sel dalam kotak yang dipilih

5 x 16

Inokulasi Inokulum Pada Umbi Ubi Kayu

Inokulum yang telah disiapkan sebelumnya sebanyak 10 mL, dengan jumlah spora

106spora/mL dan diinokulasikan pada umbi ubi kayu tersterilisasi UV. Kemudian inokulum

dicampur secara merata dalam umbi ubi kayu.Selanjutnya dilakukan proses fermentasi

didalam ruangan.

Fermentasi

Fermentasi dilakukan menggunakan wadah toples plastik kecil, penutup toples

menggunakan kain kasa. Fermentasi dilakukan selama 6 hari, pengamatan dilakukan dengan

selang waktu 2hari.

Pengukuran Kadar Air “Kabuto”

Prosedur kerja yang dilakukan yaitu menimbang 1 gr ubi ―Kabuto‖, kemudian

memasukkan ke dalam oven dengan suhu 1050C, selama 4 jam.Setelah

4 jam mengeluarkan ―Kabuto‖ dari oven, kemudian timbang kembali, selanjutnya

menggunakan timbang analitik, kemudian menghitung kadar air denganrumus.

Berat bobot

% kadar air =x 100%

Berat awal sampel

Metode Pengukuran Kadar Protein (Sudarmadji, 1984)

Penentuan kadar protein pada penelitian ini menggunakan metode Biuret, larutan diukur nilai

absorbansnya menggunakan spetrofotometer UV pada panjang gelombang 645 nm.

Selanjutnya menghitung kadar protein denganrumus.

Jumlah sel = n x 4x106 x faktor pengencer (sel/mL)

Page 236: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

225

Berat bobot

% kadar Protein = x4 x 100%

Berat awal sampel

Analisis Data

Data yang diperoleh dari masing-masing perlakuan dianalisis dengan analisis varians

(Anava) dua faktorial. Selanjutnya apabila perlakuan berpengaruh nyata (F hitung >F tabel)

terhadap parameter yang diamati maka dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan

95% (Steel, 1993). Analisis data dilakukan menggunakan software SAS (Statistical

AnalysisSystem).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Kapang Selama Fermentasi

Pertumbuhan kapang diketahui dengan menghitung jumlah koloni yang tumbuh pada

media Potato Dextrose Agar (PDA) menggunakan metode hitungan cawan. Jumlah kapang

untuk masing-masing perlakuan yang tumbuh pada ―Kabuto‖ selama fermentasi ditampilkan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Pertumbuhan Kapang Selama Fermentasi ―Kabuto‖ (CFU/gr)

Kode isolat Waktu Fermentasi 0 2 4 6

K03 4,0 x 101 1,7 x 102 2,0 x 105 9,3 x 106

K23 2,0 x 101 1,9 x 102 2,7 x 105 2,6 x 106

K31 6,0 x 101 2,0 x 102 8,5 x 105 2,1 x 107

K1C 7,5 x 101 2,3 x 102 9,8 x 105 9,7 x 106

Kontrol 8,0 x 101 1,6 x 102 2,3 x 105 3,7 x 106

Berdasarkan data Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi ―Kabuto‖

jumlah pertumbuhan kapang yang tumbuh semakin meningkat. Fermentasi hari kedua pada

perlakuan pemberian isolat K03 pertumbuhan kapang masih sedikit, yaitu 1,7 x 102CFU/gr.

Peningkatan jumlah kapang dimulai hari keempat yaitu 2,0x105CFU/gr hingga mencapai

9,3x106CFU/gr pada fermentasi hari keenam, kemudian fermentasi hari kedua pada

perlakuan pemberian isolat K23 pertumbuhan kapang yakni 1,9 x 102

CFU/gr. Peningkatan

jumlah sel pada hari keempat yaitu 2,7x105CFU/gr, hingga fermentasi hari keenam jumlah

kapang meningkat menjadi 2,6x106CFU/gr.

Jumlah kapang pada perlakuan pemberian isolat K31 pertumbuhan kapang yaitu

2,0x102CFU/gr dihari kedua, mulai mengalami peningkatan jumlah pertumbuhan pada hari

keempat yaitu 8,5x105CFU/gr. Jumlah kapang setelah fermentasi hari keenam meningkat

menjadi 2,1x107CFU/gr. Selanjutnya fermentasi pada perlakuan pemberian isolat kapang

K1C pertumbuhan kapangyaitu 2,3x102CFU/gr pada hari kedua, mulai mengalami

peningkatan jumlah sel pada hari keempat yaitu 9,8x105CFU/gr. Fermentasi hari keenam

jumlah kapang meningkat menjadi 9,7x106CFU/gr.

Jumlah kapang pada kontrol (tanpa perlakuan pemberian isolat kapang) mulai

mengalami peningkatan jumlah sel pada hari keempat yaitu 2,3x105CFU/gr.

Fermentasi hari keenam jumlah kapang meningkat menjadi 3,7x106CFU/gr. Berbeda dengan

perlakuan pemberian isolat kapang, pertumbuhan kapang pada kontrol diawal fermentasi

lebih banyak, hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadi pertumbuhan secara spontan

kapang tanpa melakukan adaptasi media terhadap umbi ubi kayu sebagai bahan dasar

pembuatan ―Kabuto‖, hal ini berbeda dengan perlakuan pemberian isolat kapang. Perlakuan

dengan pemberian isolat kapang menggunakan media PDB (Potato Dextrose Broth)

modifikasi yaitu PDB ditambahkan tepung umbi ubi kayu sebagai inokulum, sehingga

Page 237: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

226

kapang perlu melakukan adaptasi terlebih dahulu terhadap umbi ubi kayu sebagai bahan dasar

pembuatan ―Kabuto‖ diawal fermentasinya.

Waktu fermentasi ―Kabuto‖ sangat mempengaruhi kepadatan jumlah kapang yang

tumbuh, selama nutrisi kapang masih terpenuhi maka pertumbuhan akan tetap terjadi. Hal ini

sesuai dengan penelitian Tetchi et al. (2012), menyatakan

bahwa sebelum fermentasi jumlah kapang yang tumbuh pada ―Attieke‖ (produk fermentasi

umbi ubi kayu dari afrika) sangat rendah yaitu 3x103CFU/gr, setelah dilakukan fermentasi

jumlah kapang yang tumbuh menjadi 2,5x107CFU/gr pada hari ketiga.

Umbi ubi kayu sebagai bahan dasar pembuatan ―Kabuto‖ mengandung karbohidrat

tinggi, sehingga kapang dapat dengan mudah tumbuh. Karbohidrat merupakan salah satu

nutrien yang sangat diperlukan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan kapang. Gupta et al.

(2010), menyatakan bahwa pati merupakan sumber karbon terbaik terhadap kerja produksi

amilase oleh Aspergillus niger. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Unakal et al. (2014),

bahwa sumber karbon paling optimal untuk pertumbuhan dan menunjang kerja enzim kapang

yakni glukosa dan fruktosa, sehingga kedua jenis monosakarida tersebut sangat penting

keberadaannya dalam media pertumbuhan kapang. Pertumbuhan kapang selama fermentasi

menjadi ―Kabuto‖ disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pertumbuhan pada masing-masing isolat kapang selama fermentasi

Kurva pertumbuhan isolat kapang pada Gambar 1, menunjukkan bahwa masing-masing

perlakuan dengan pemberian isolat kapang dan lama fermentasi, memberikan pengaruh yang

nyata terhadap pertumbuhan kapang. Hari keenam fermentasi, jumlah pertumbuhan kapang

pada perlakuan dengan pemberian isolat K31 lebih banyak yaitu 2,1x107CFU/g

dibandingkan dengan perlakuan pemberian isolat K03, K23 dan K1C. Menurut Fardiaz

(1992), aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme pada proses fermentasi melalui 6 fase

berturut-turut yaitu fase adaptasi (fase lag), fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan

logaritmik (fase log), fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap dan fase kematian.

Data pertumbuhan kapang pada Tabel 1 menunjukkan jumlah kapang yang tumbuh paling

sedikit terjadi diawal fermentasi. Sel-sel kapang pada fase ini masih dalam fase adaptasi

terhadap lingkungan atau disebut dengan fase lag. Ingraham et al. (2007), menyatakan bahwa

fase lag merupakan fase dimana mikroorganisme masih beradaptasi dengan media

pertumbuhannya.

Fermentasi hari kedua memasuki fase pertumbuhan awal, dimana kapang tumbuh

dengan kecepatan rendah karena sel-sel kapang sebagian besar juga masih melakukan

adaptasi. Menurut Waluyo (2007), fase pertumbuhan awal merupakan fase setelah sel

Page 238: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

227

mikroorganisme melewati fase adaptasi, sel kapang mulai tumbuh dalam jumlah yang relatif

sedikit, karena sebagian sel masih dalam tahap adaptasi. Selanjutnya waktu fermentasi hari

keempat, sel-sel kapang berada pada fase pertumbuhan logaritmik, ditandai dengan tingkat

pertumbuhan kapang tinggi. Selkapang pada fase ini menggunakan energi yang berasal dari

media pertumbuhan dengan maksimal. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Thiel (1999),

fase logaritmik fase dimana kecepatan pertumbuhan paling tinggi dan waktu generasinya

sangat singkat. Selama fase ini metabolisme akan berlangsung terus sampai salah satu atau

beberapa nutrien habis.

Fermentasi pada hari keenam, laju pertumbuhannya mulai melambat. Pertumbuhan

kapang pada fase ini mulai menurun karena nutrisi penting bagi pertumbuhan kapang telah

berkurang (Hidayat dkk., 2006). Menurut Hajoeningtijas (2012), mikroorganisme sama

dengan makhluk hidup lainnya, memerlukan suplai nutrisi sebagai sumber energi dan

pertumbuhan selnya. Kekurangan atau ketiadaan sumber-sumber nutrisi ini dapat

mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Novianti dkk. (2004), produksi spora

penghasil β-karoten dari kapang Neurospora sitophila dipengaruhi oleh jumlah nutrisi yang

terkandung dalam substrat, akan terjadi kompetisi pada media fermentasi karena tiap spora

Neurospora sitophila membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhannya, sehingga semakin lama

waktu fermentasi mengakibatkan jumlah nutrisi tidak cukup seimbang untuk memenuhi

kebutuhan dari tiap spora yang akan tumbuh.

Rendahnya pertumbuhan kapang pada fermentasi lebih dari 4 hari disebabkan karena

kapang tersebut telah melampaui waktu optimumnya. Menurut Melgar et al. (2013),

pertumbuhan mikroorganisme akan semakin menurun seiring dengan penggunaan media

sebagai pertumbuhan dan metabolisme sel mikroorganisme. Selanjutnya pada waktu

fermentasi hari keenam jumlah kapang yang tumbuh tidak terlalu tinggi, kemungkinan

setelah ini sel-sel kapang akan memasuki pertumbuhan tetap/fase stasioner, dimana jumlah

sel yang hidup sama dengan jumlah sel yang mati.

Hasil Analisis Kadar Protein “Kabuto” Pengukuran kadar protein ―Kabuto‖ dilakukan untuk mengetahui seberapa besar

sumbangsih protein yang diberikan oleh keempat jenis kapang pada ―Kabuto‖ setelah terjadi

fermentasi. Pengukuran kadar protein ―Kabuto‖ dilakukan dengan menggunakan metode

biuret. Selanjutnya data dianalisis menggunakan Rancangan Acak Langkap (RAL), dan data

hasil persentase protein di analisis melalui Analisis varians (Anava), menggunakan software

SAS (Statistical Analysis System), jika hasilnya menunjukkan perbedaan nyata, dilakukan

uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan95%.

Analisis varians (anava) dua arah dilakukan untuk mengetahui nilai F hitung lebih besar

atau lebih kecil F tabel pada taraf kepercayaan 95%, dalam menentukan berpengaruh dan

tidaknya kedua faktor yang telah ditentukan yaitu jenis isolat kapang dan waktu fermentasi

terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Hasil analisis varians (data tidak ditunjukkan),

bahwa secara umum perlakuan isolat kapang dan waktu fermentasi berpengaruh nyata

terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Diperoleh F hitung: 33,55> F tabel : 2,02 pada

taraf kepercayaan 95%, maka hipotesis H1 diterima dan H0 ditolak, sehingga ada pengaruh

penggunaan isolat kapang lokal dan waktu fermentasi terhadap perubahan kadar protein

―Kabuto‖, selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan mandiri untuk

variabel jenis isolat kapang terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖dapat dilihat pada

Tabel 2.

Page 239: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

228

Tabel 2. Hasil uji Duncan untuk pengaruh pemberian isolat kapang terhadap perubahan kadar

protein ―Kabuto‖ Kode Isolat Kadar Protein “Kabuto”

(%)

Notasi

K31 5,88667 a K1C 5,40000 b

K03 5,12750 c

K23 4,54917 d

Kontrol 3,53333 e

Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata

pada uji Duncan α 0,05

Hasil uji analisis secara mandiri untuk perlakuan menggunakan beberapa isolat kapang

adalah berbeda nyata pada setiap perlakuannya. Selanjutnya hasil uji lanjut Duncan mandiri

untuk variabel waktu fermentasi terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖ dapat dilihat

pada Tabel3.

Tabel 3. Hasil uji Duncan pengaruh waktu fermentasi (hari) terhadap perubahan kadar

protein ―Kabuto‖

Hari Kadar Protein “Kabuto” (%) Notasi

6 8,84800 a

4 5,60467 b

2 3,40333 c

0 1,74133 d

Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada uji Duncan α 0,05

Hasil uji analisis secara mandiri untuk perlakuan waktu fermentasi pada masing-masing

perlakuan berbeda nyata terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Selanjutnya hasil uji

lanjut Duncan untuk interaksi jenis isolat kapang dan waktu fermentasi terhadap perubahan

kadar protein ―kabuto‖ dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji Duncan interaksi jenis isolat kapang dan waktu fermentasi terhadap

perubahan kadar protein ―Kabuto‖

Isolat kapang Waktu fermentasi (Hari)

0 2 4 6

K31 2.3567 as 4.0833 ar 6.5100 bq 10.5967 ap

K1C 1.5967 bs 4.2233 ar 7.1333 aq 8.6467 cp

K03 2.2667 as 3.4900 br 5.4000 cq 9.3533 bp

K23 1.3767 bcs 3.5533 br 5.3333 cq 7.9333 dp

Kontrol 1.1100 cs 1.6667 cr 3.6467 dq 7.7100 dp

Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbedanyata pada uji

Duncan α 0,05

Tabel 4 menunjukkan bahwa pengamatan 0 hari pada perlakuan isolat K31 dan K03 tidak

berbeda nyata, namun berbeda nyata pada perlakuan dengan isolat K1C dan K23.

Page 240: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

229

a. b. 8

7

6

5

4

3

2

1

0

12

10

8

6

4

2

0

0 2 4 6 0 2 4 6 Waktu fermentasi (Hari)

K03 K23 K31 K1C Kontrol

Waktu Fermentasi (Hari) K03 K23 K31 K1C Kontrol

Pengamatan hari kedua pada perlakuan K1C dan K31 tidak berbeda nyata, dan perlakuan

K23 dan K03 juga tidak berbeda nyata, namun semua perlakuan menggunakan isolat kapang

dihari kedua berbeda nyata dengan kontrol. Selanjutnya pengamatan hari keempat pada

perlakuan isolat K23 dan K03 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata perlakuan dengan

isolat K1C dan K31. Sedangkan dihari keenam perlakuan isolat K23 dan kontrol tidak

berbeda nyata, namun untuk semua perlakuan pada masing-masing jenis isolat kapang

berbeda nyata terhadap perubahan kadar protein―Kabuto‖.

Hasil interaksi menunjukkan bahwa perlakuan dengan isolat K31 hari keenam

fermentasi dapat meningkatkan kadar protein ―Kabuto‖ paling tinggi. Perubahan kadar

protein ―Kabuto‖ berhubungan dengan pertumbuhan kapang, kapang sangat berkontribusi

positif terhadap peningkatan kadar protein―Kabuto‖.

Hubungan antara jumlah kapang yang tumbuh dengan perubahan kadar protein

―Kabuto‖ dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram jumlah isolat kapang dan kadar protein pada kabuto selama

fermentasi oleh 4 isolat kapang. (a) Log jumlah kapang (CFU/g), (b) Kadar

protein(%)

Data pada Gambar 2, menggambarkan bahwa hasil fermentasi ―Kabuto‖ menggunakan

isolat K03 mulai mengalami peningkatan kadar protein pada hari kedua sampai hari keempat

yaitu 3,49% menjadi 5,40% dan peningkatan kadar protein tertinggi hari keenam mencapai

9,35%. Kemudian fermentasi ―Kabuto‖ menggunakan isolat K23 mengalami peningkatan

kadar protein pada hari kedua sampai hari keempat yaitu 3,55% menjadi 5,33% dan

peningkatan kadar protein tertinggi dihari keenam mencapai 7,93%. Selanjutnya hasil

fermentasi ―Kabuto‖ menggunakan isolat K31 mengalami peningkatan kadar protein cukup

tinggi pada hari kedua sampai hari keempat yaitu 4,08% menjadi 6,51% dan peningkatan

kadar protein tertinggi dihari keenam mencapai 10,60%.

Data pada Gambar 2, menunjukkan hasil fermentasi ―Kabuto‖ menggunakan isolat K1C

mengalami peningkatan kadar protein cukup tinggi pada hari kedua sampai hari keempat

yaitu 4,22% menjadi 7,13% dan peningkatan kadar protein tertinggi dihari keenam mencapai

8,65%. Selanjutnya hasil fermentasi ―Kabuto‖ tanpa menggunakan isolat kapang juga

mengalami peningkatan kadar protein, peningkatan protein mulai hari keempat sampai hari

keenam yaitu 3,65% menjadi 7,71%. Peningkatan kadar protein ―Kabuto‖ pada masing-

masing perlakuan menggunakan keempat jenis isolat kapang terpilih semuanya sangat

dipengaruhi oleh lamanya waktu fermentasi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian

Log.

Jum

lah

Kap

ang(

CFU

/g)

Kad

arP

rote

inK

abu

to(%

)

Page 241: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

230

Pothiraj and Eyini (2007), bahwa kandungan protein berangsur-angsur meningkat setelah

melewati waktu fermentasi, dimana perlakuan menggunakan Aspergillus niger pada substrat

ampas umbi ubi singkong setelah fermentasi hari keempat protein meningkat dari 44,8 mg/g

menjadi 58,2 mg/g.

Semakin lama waktu fermentasi maka cenderung protein ―Kabuto‖ mengalami

peningkatan, hal ini dikarenakan kapang genus Aspergillus dapat meningkatkan kandungan

protein yang ada dalam bahan ―Kabuto‖ disebabkan oleh lamanya waktu fermentasi dapat

memberikan kesempatan Aspergillus untuk tumbuh dan berkembang sehingga akan

meningkatkan massa mikrobial yang kaya protein. Sesuai dengan hasil penelitian Wardoyo

(1992) yang menyatakan bahwa tepung singkong yang difermentasi 3–5 hari dengan

menggunakan kapang Aspergillus niger dapat meningkatkan protein tepung singkong dari

3% menjadi 18 – 40%. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rahman (1992), bahwa selama

terjadinya proses fermentasi kandungan asam amino akan meningkat. Selanjutnya asam

amino ini menjadi penyusun terbentuknya protein.

Berdasarkan data pada Gambar 2, menunjukkan bahwa isolat kapang terpilih yaitu K31,

K23, K03 dan K1C memberikan pengaruh berbeda terhadap meningkatkan kadar protein

―Kabuto‖. Melalui data diagram batang tersebut, dapat ditentukan isolat yang lebih unggul

dalam meningkatkan kadar protein. Isolat K31 merupakan isolat yang meningkatkan kadar

protein ―Kabuto‖ paling tinggi pada hari keenam yaitu 10,60% dibandingkan dengan isolat

kapang lainnya. Menurut Budadana (2014), isolat K31 identik memiliki kemiripan yang

tinggi dengan Aspergillusterreus.

Meningkatnya kadar protein ―Kabuto‖diikuti oleh peningkatan jumlah kapang, sebab

kontributor utama terhadap peningkatan kadar protein ini bersumber dari biomassa sel

kapang. Peningkatan jumlah biomassa mikroorganisme berimplikasi terhadap perubahan

kandungan nutrisi produk fermentasi, dimana kandungan protein merupakan representatif

dari jumlah biomassa mikroorganisme (Raimbault, 1998). Menurut Sharma (2012), bahwa

selama waktu fermentasi 5 hari diamati bahwa ada peningkatan biomassa Aspergillus niger

setelah diamati nilai OD (optical dencity) pada spektrofotometer UV. Hasil penelitian ini juga

didukung Pothiraj et al. (2006), menyatakan bahwa perlakuan fermentasi padat pada ampas

umbi ubi singkong menggunakan Aspergillus terreus dapat meningkatkan protein dimulai

hari kedua yakni sebesar4.5 %, dan hari keempat 7,6%. Winarno (1991), juga mengemukakan

adanya pertumbuhan dan perkembangan Aspergillus niger yang merupakan sel tunggal,

sehingga semakin banyak pertumbuhan Aspergillus niger akan meningkatkan kadar protein

kasar. Selama proses fermentasi kapang akan tumbuh dan berkembang pada substrat organik

yang sesuai.

Perubahan kadar protein produk fermentasi mengindikasikan terjadinya fluktuasi

pertumbuhan mikroorganisme. Kadar protein yang tinggi mengindikasikan proses

pertumbuhan kapang berjalan dengan baik karena sumber nutrisi pada umbi ubi singkong

terpenuhi selama pertumbuhan. Proses fermentasi kapang akan menghasilkan enzim yang

akan mendegradasi senyawa- senyawa kompleks menjadi lebih sederhana, sehingga kapang

mampu mengkonversi bahan menjadi protein. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

Chancharoonpong et al. (2012), fermentasi substrat padat (Solid Substrate Fermentation)

sangat cocok untuk pertumbuhan kapang, karena kadar air yang rendah miselium kapang

dapat melakukan penetrasi hingga substrat yangpadat.

Menurut Prescott et al. (2005), enzim terdapat pada setiap sel hidup, dan ada dalam

semua sel mikroorganisme. Masing-masing strain mikroorganisme menghasilkan sejumlah

besar enzim yang menghidrolisis, mengoksidasi atau mengurangi, dan semuanya

berhubungan dengan metabolisme secara alami. Volk dan Wheeler (1993), menyatakan

bahwa semua reaksi metabolisme sel dikatalisis oleh enzim yang terbuat dari protein.

Page 242: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

231

Menurut Yusak (2004), kapang bergenus Aspergillus dikenal sebagai salah satu jenis

mikroorganisme yang memiliki kemampuan tinggi untuk menghasilkan berbagai enzim

penting untuk penerapannya dalam industri pangan seperti amilase. Sukara (1988),

menyatakan bahwa selama fermentasi singkong yang dilakukan oleh kapang Aspergillus

niger terjadi penguraian pati yang terkandung pada singkong oleh enzim hidrolisis yaitu

amilase.

Enzim amilase berfungsi menyediakan gula sederhana (glukosa) sebagai bahan dasar

untuk sintesis protein. Menurut Varalakshmi et al. (2008), amilase menghidrolisis ikatan

glikosidik pati dan molekul glikogen, amilase enzim penting yang bekerja menghidrolisis

pati menjadi glukosa. Glukosa merupakan sumber dari asam piruvat, yang merupakan

komponen utama untuk pembentukan asam amino. Glukosa yang terbentuk akan digunakan

oleh kapang Aspergillus niger untuk pertumbuhannya. Anto et al. (2006), menyatakan

bahwaamylase adalah suatu kelompok enzim hidrolisis secara spesifik dapat memutuskan

ikatan glikosidik dalam amilum, ada dua kelompok penting amilase yaitu glukoamilase dan

α-amilase. Menurut Alva et al. (2007), aktivitas enzim amilase kapang Aspergillus sp. akan

meningkat setelah proses fermentasi dan terjadi penurunan kembali aktivitas enzim jika

waktu fermentasi diperpanjang.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian isolat kapang

lokal berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Pemberian isolat K31

memberikan hasil yang terbaik dalam meningkatkan kadar protein ―Kabuto‖. Waktu

fermentasi berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Hasil terbaik

dalam meningkatkan kadar protein ―Kabuto‖ ditunjukkan fermentasi selama enam hari,

sehingga interaksi dengan pemberian isolat kapang dan waktu fermentasi berpengaruh nyata

pada peningkatan kadar protein―Kabuto‖.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada Ibu Wa Ode Ati telah bersedia membuatkan ―Kabuto‖ yang

digunakan sebagai sumber isolat dalam penelitian ini, dan Ibu Iswati, M.P. selaku kepala

Laboratorium Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo atas segala

bantuan selama analisis di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Abeer, A., Foukia, E., Mouafi, Kahil, T., Fadel, M., and Abedo, A.A., 2014, Hyper

Production of Glucoamylase by Aspergillus oryzae FK-923 Under Solid State

Fermentation, World Applied Sciences Journal, 30(11), 1447- 1461.

Alva, et al., 2007, Production and Characterization of Fungal Amylase Enzyme Isolated from

Aspergillus sp. JGI 12 in Solid State Culture, African Journal of Biotechnology,6(5).

Anto, H., Trivedi U.B., and Patel, K.C., (2006), Glucoamylase Production by Solid State

Fermentation using Rice Flake Manufacturing Waste Products as Substrate, Bioresour

Technol., 97(10),1161-1166.

Buamah, R., Dzogbefia V.P., Oldham, J.H., 1997, Pure Yeast Culture Fermentation of Cocoa

(Theobroma cacao L) Effect on Yield of Sweatings and Bean Quality,World J.

Microbiol. Biotech., 13(4), 457-462.

Page 243: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

232

Budadana, W.D.C., 2014, Isolasi dan Karakterisasi Kapang Penghasil Antibiotik selama

Fermentasi ―Kabuto‖ Khas Sulawesi Tenggara, Skripsi, Universitas Halu

Oleo,Kendari.

Chancharoonpong, C., Hsieh, C.P., and Sheu, C.S., 2012, Production of Enzyme and Growth

of Aspergillus oryzae on Soybean Koji, International Journal of Bioscience, 2(4), 106.

Charles, A.L., Sriroth, K., and Huang, T.C., 2005, Proximate composition, mineral contents,

hydrogen cyanide and phytic acid of 5 cassava genotypes, J. Food Chemistry, 92(1).

Fardiaz, S., 1993, Analisis Mikrobiologi Pangan, PT Raja Grafindo Persada Jakarta.

Fardiaz, S., 1992, Mikrobiologi Pangan I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gupta, A., Gautam, N., and Modi, R.D., 2010, Optimization of α- AmylaseProduction

from Free and Immobilized Cells of Aspergillus niger, Journalof Biotechnology and

Pharmaceutical, 1(1).

Hajoeningtijas, D.O., 2012, Mikrobiologi Pertanian, Graha Ilmu, Yogyakarta. Harris, M.A.,

and Koomson, C.K., 2011, Moisture Pressure CombinationTreatments for

Cyanide Reduction in Grated Cassava,Journalof Food Science,76(1).

Hidayat, N., Padaga, C.M., dan Suhartini, S., 2006, Mikrobiologi Industri, CV Andi Offset,

Yogyakarta.

Ingraham, L.J., Maaloe, O., and Neidhardt, C.F., 2007, Microbial Growth, Thomson Brooks

Cole, Canada.

Joetono, J.S., Hartadi, S., Kabirun, Suhadi dan Soesanto, 1973, Pedoman Praktikum

Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Lay, B.W., 1994, Analisis Mikroba di Laboratorium, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Melgar, Z.G., Assis, Rocha, Fanti, C.S., Sette, D.L., and Porto, M.L.A., 2013, Growth Curves

of Filamentous Fungi for Utilization in Biocatalytic Reduction of Cyclohexanones,

Global Journal of Science Frontier Research Chemistry,13(1).

Mirwandhono, E., Bachari, I., dan Situmorang, D., 2006, Uji Nilai Nutrisi Kulit Ubi Kayu

yang Difermentasi dengan Aspergillus niger, Jurnal Agribisnis Perternakan,2(3).

Novianti, T., Wignyanto, dan Nurika, I., 2004, Optimasi Produksi Spora Penghasil β-karoten

dari Kapang Neurospora sitophila menggunakan Metode Permukaan Respon (Kajian :

Lama Fermentasi dan Konsentrasi Starter), Jurnal Teknologi Pertanian, 5(2), 64-75.

Pothiraj, C., and Eyini, M., 2007. Enzyme Activities and Substrate Degradation by Fungal Isolates on

Cassava Waste During Solid State Fermentation, Journal of Microbiology, 35(4),196-204.

Pothiraj, C., Balaji, P., Eyini, M., 2006, Enhanced Production of Cellulases by Various Fungal

Cultures in Solid State Fermentation of Cassava Waste, African Journal of Biotechnology,

5(20).

Page 244: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

233

Prescott, L.M., Harley, J.R., and Klein, D.A., 2005. Microbiology. Mc Graw Hill, New York Press,

Florida.

Rahman, A., 1992, Pengantar Teknologi Fermentasi, Departemen pendidikan dan

Kebudayaan, Pusat Antar Universitas.

Raimbault, M., 1998, General and Microbiological Aspects of Solid Substrate Fermentation,

Electronic Journal of Biotechnology, 1(3).

Sastramihardja, I., 1989, Prinsip Dasar Mikrobiologi Industri, PAU, ITB, Bogor.

Schlegel, 1994, Mikrobiologi Umum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sudarmadji, S., 1984, Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian.Edisi

Ketiga, Liberty, Yogyakarta.

Sharma, N., Kausal, R., Gupta, R., and Kumar, S., 2012, A biodegradation study of forest

biomass by Aspergillus niger F7: correlation between enzymatic activity, hydrolitic

percentage and biodegradation index, Braz J. Microbial, 43 (2).

Steel, R.G.D., 1993, Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik,

Penerjemah B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suryani, Y., 2013, Optimization of Cassava Waste from Bioethanol Post Production Through

Bioactivity Process Consortium of Saccharomyces cerevisiae, Trichoderma viride

and Aspergillus niger, Asian Journal of Agriculture and Rural Development,

3(4),154-162.

Tetchi, A.F., Solomen, W.O., Celah, A.K., 2012, Effect Of Cassava Variety and Fermentation

Time On Biochemical and Microbiological Characteristics of Raw Artisanal Starter

for Attiéké Production, Journal Innovative Romanian Food Biotechnology,10.

Thiel, T., 1999, Micobes in action, Department of biology, University of Missouri- St.Louis.

Unakal, C., Sadashiv, S.O., Bhairappanavar, S., Sindagi, A., 2014, Screening of Endophytic

Fungus Aspergillus sp. for Amylase Production, International Journal of

Pharmaceuticals and Health care Research, 2(2),40-45.

Varalakshmi, N.K., Kumudini, S.B., Nandini, N.B., Solomon, J., Suhas, R., Mahesh, B., and

Kavitha, P.A., 2008, Production and Characterization of α-Amilase from Aspergillus

niger JGI 24 Isolated in Bangalore, Journal of Microbiology, 58(1),29-36.

Volk, W.A, and Wheeler, M.F., 1993, Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima Jilid 1, Penerbit

Erlangga, Jakarta.

Waluyo, 2010, Teknik Metode Dasar Mikrobiologi, Universitas Muhammadiyah Malang,

Malang.

Waluyo, 2007, Mikrobiologi Umum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.

Page 245: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

234

Wardoyo, 1992, Pengaruh Pemberian Fermentasi Tepung Singkong menggunakan Kapang

Aspergilus niger dalam Ransum terhadap Penampilan Produksi Ayam Broiler, Skripsi,

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yusak, Y., 2004, Pengaruh Suhu dan pH Buffer Asetat terhadap Hidrolisa CMC oleh Enzim

Selulase dari Ekstrak Aspergillus niger dalam Media Campuran Ongkok dan

Dedak,Jurnal sain.

Page 246: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

235

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN Colubrina asiatica (L.)

TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus

ANTIBACTERIAL ACTIVITY EXTRACT OFLEAVESOF Colubrina

asiatica (L.) ON THE GROWTH Staphylococcus aureus

Munira

1, Nora Suraiya

1, Muhammad Nasir

2

1Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Aceh, 23352, Indonesia

2Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 23111, Indonesia

Email: [email protected]

Abstract

This study was conducted to determine the effect of the juice and water extract of leaves of

Colubrina asiatica (L.) to inhibit the growth of Staphylococcus aureus. This study used a

completely randomized design (CRD) which is divided into 3 treatments and 5 replications

consisting of distilled water as a control, juice of the leaves of Colubrina asiatica (L.) and

water extract of leaves of Colubrina asiatica (L.). Tests on the growth of Staphylococcus

aureus is done using the disc diffusion method on media Nutrient Agar.Microbiological test

is done by measuring the diameter of inhibition zone is formed. Phytochemical test results

showed that the juice and water extract of leaves of Colubrina asiatica (L.) contains

antibacterial compounds are alkaloids, saponins, polyphenols and flavonoids. Based on the

results of ANOVA test showed that the extract of leaves of Colubrina asiatica (L.) influence

on the growth of Staphylococcus aureus (P = 0.000). Duncan test showed that the juice (9,80

mm) was not significantly different from the water extract (10,52 mm) of leaves of Colubrina

asiatica (L.). Results of this study can be concluded that the extract of leaves of Colubrina

asiatica (L.) is can inhibit the growth of Staphylococcus aureus.

Keywords:Colubrina asiatica (L.), juice, water extract, antibacterial,Staphylococcus aureus

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi merupakan penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat.

Infeksi dapat disebabkan oleh jamur, virus dan bakteri. Bakteri merupakan mikroorganisme

yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi hanya dapat dilihat dengan bantuan

mikroskop (Yuwono, 2012). Ada beberapa bakteri patogen yang dapat menyebabkan infeksi

dan mudah ditularkan seperti Staphylococcus aureus.

Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi pada jaringan yang ada di saluran

pernapasan, saluran kemih, mata dan kulit. Biasanya berupa abses, yaitu nanah atau cairan

dalam jaringan. Infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus dapat terjadi secara

langsung maupun tak langsung. Sumber utama penyebab infeksi bakteri ini adalah luka

terbuka dan benda-benda (seperti kapas dan debu) yang dapat menyebabkan

terkontaminasinya luka tersebut (Jawetz et al.,1995). Luka dapat ditandai dengan hilang atau

terputusnya kontinuitas jaringan, membran mukosa dan tulang atau organ yang lain (Kozier,

2004).

Secara umum, penyakit infeksi dapat disembuhkan dengan menggunakan antibiotik.

Penggunaan antibiotik untuk infeksi lokal telah dikurangi karena kecenderungan

menimbulkan hipersensitivitas secara lokal pada kulit atau membran mukosa

(Ganiswara,1995). Antibiotik juga sering menyebabkan terjadinya resistensi bakteri terhadap

Page 247: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

236

zat antibiotik (Zaraswati, 2004). Di samping obat-obatan modern yang berkembang di pasar,

berbagai obat tradisional dipercaya memiliki khasiat untuk penyakit tertentu dan digunakan

sebagai salah satu alternatif pengobatan karena sifatnya yang alami, murah, mudah

terjangkau dan sedikit menimbulkan efek samping dibandingkan dengan obat kimia (Susanty,

2003).

Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional adalah daun peria laut.

Tumbuhan ini memiliki khasiat untuk mengobati gangguan pencernaan, kudis, tonik,

pencahar, obat penurun panas, dan penyakitkulit (Austin, 1999). Menurut pengalaman

masyarakat Aceh, daun peria laut dapat digunakan sebagai obat bisul dengan caradiperas

kemudian dioleskan pada bisul atau bagian yang sakit.

Hasil penelitian Nivas danGaikwad (2014) menunjukkan bahwa daun peria laut

mengandung senyawa kimia di antaranya flavonoid, saponin dan polifenol. Senyawa-

senyawa tersebut memiliki peran sebagai antiinflamasi dan antibakteri. Sejauh ini belum ada

penelitian tentang aktivitas antibakteri daun peria laut dengan menggunakan metode perasan

dan maserasi ekstrak air. Oleh karenaitu, perlu dilakukan uji daya hambat daun peria laut

dengan menggunakan metode tersebut terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun peria laut dalam

menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bersifat eksperimental. Penelitian ini telah dilakukan di

LaboratoriumMikrobiologi Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Aceh pada bulan Januari-

Februari 2016. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang dibagi ke

dalam 3 kelompok perlakuan yaitu, aquades sebagai kontrol, perasan dan ekstrak air daun

peria laut dengan masing-masing 5 ulangan.Parameter yang diamati dalam penelitian ini

adalah diameter zona hambat. Data dianalisa menggunakan uji Anova.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, timbangan digital, toples

kaca bertutup, gelas ukur, vakum rotary evaporator, pipet ukur, hot plate, beaker glass,

erlenmeyer, cawan petri, kertas pH, tabung reaksi, rak tabung, labu ukur, spatula, corong

kaca, batang bengkok, ose bulat, lampu bunsen, pinset, spidol, autoklaf, inkubator dan

penggaris. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun peria laut (Colubrina

asiatica (L.) Brong.) yang diperoleh dari Desa Lamtengoh,Ingin Jaya, Aceh Besar, aquades,

NaCl 0,9%, Asam sulfat 1% (v/v), Barium klorida 1% (b/v), bakteri Staphylococcus aureus,

media Nutrien Agar (NA), kapas, kertas saring, kertas label dan kertas buram.

Penyiapan simplisia daun peria laut

Daun peria laut terlebih dahulu dilakukan identifikasi di Laboratorium Biologi

FMIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Selanjutnya dicuci dengan air mengalir hingga

bersih. Kemudian dikering anginkan. Lalu diserbukkan atau dihaluskan dengan blender.

Ekstraksidaun peria laut dengan metode maserasi

Serbuk daun peria laut ditimbang sebanyak 100 gram. Kemudian dimasukkan

kedalam wadah tertutup. Lalu direndam dengan air sebanyak 1000 mL lalu ditutup dan

disimpan selama 2 hari terlindung dari cahaya dan sesekali diaduk.Setelah 2 hari, hasil

rendaman disaring melalui corong kaca yang dilapisi kertas saring, sehingga ampas dan sari

terpisah.Kemudiandiuapkan dengan vacum rotary evaporator.Dihidupkan alat dan diatur

pada suhu 40-50°C hingga diperoleh ekstrak kental.

Page 248: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

237

Uji fitokimia

a. Uji Alkaloid

Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dibasahi dengan ammonia

10%, selanjutnya ditambahkan kloroform secukupnya dan diaduk. Setelah dilakukan

pengadukan, lapisan kloroform dipisahkan dan ditempatkan ke dalam tabung reaksi.

Kemudian tambahkan larutan HCl 2N, dikocok jangan terlalu kuat dan di diamkan.

Selanjutnya dipisahkan larutan ke dalam 3 tabung dan tambahkan pereaksi Mayer, Hager dan

Bouchardat masing-masing 2 tetes. Alkaloid positif dalam sampel ditandai dengan

terbentuknya endapan dengan sekurang-kurangnya pada 2 pereaksi yaitu pereaksi Mayer

terbentuknya larutan berwarna putih keruh dan pereaksi Hager ditandai dengan perubahan

warna. Pereaksi Bouchardat terbentuknya larutan berwarna coklat jingga.

b. Saponin

Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan air panas dan

dipanaskan selama 5 menit dan diambil bagiannya. Dikocok vertikal selama kurang lebih 1

menit, adanya pembentukan busa (buih) yang stabil selama 10 menit dan tidak hilang setelah

penambahan 1 tetes HCl 0,1 N menunjukkan bahwa sampel positif mengandung saponin.

c. Polifenol

Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan 10 mL

air panas.Ditambahkan 1-2 tetes FeCl31%. Polifenol dalam sampel positif ditandai dengan

timbulnya warna biru kehitaman atau hijau kehitaman.

d. Flavonoid

Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan sedikit larutan

HCl 2% dan propanol. Kemudian didiamkan selama 15-30 menit, apabila terlihat

pembentukan warna coklat pada sampel maka sampel positif mengandung flavonoid.

Pembuatan cakram

Kertas saring dibentuk bulat dengan pelubang kertas ukuran ± 5 mm.Kertas saring

dimasukkkan ke dalam wadah kaca dan ditutup.Kertassaring disterilkan dalam autoklaf

dengan suhu 121°C selama 15 menit.

Pembuatan media Nutrient Agar (NA)

Serbuk media NA ditimbangsebanyak 3 gram.Ditambahkan aquades sebanyak 150

mL dan dipanaskan sampai larut.Dilakukan pemeriksaan pH kemudian disterilkan di dalam

autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.Setelah steril dibiarkan temperaturnya turun

hingga ± 45°C.Media siap dituangkan dalam petri disk.

Pembuatan suspensi standar 0,5 Mc. Farland

Larutan Asam sulfat 1% sebanyak 9,95 mL dimasukkanke dalam tabung

reaksi.Ditambahkan larutan Barium klorida 1% sebanyak 0,05 mL.Dikocok hingga homogen.

Pembuatan suspensi bakteri

Staphylococous aureus diambil dari stok kultur dengan menggunakan ose.

Disuspensikan masing-masing ke dalam 5 mL NaCl 0,9%.Dikocok hingga membentuk

kekeruhan yang setara dengan standar 0,5 Mc. Farland.

Page 249: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

238

Uji mikrobiologi

Media NA dituangkan sebanyak 15-20 mL ke dalam masing-masing lima cawan petri

dan didiamkan hingga mengeras.Diinokulasi suspensi bakteri Staphylococcus aureus

sebanyak 0,1 mL diatas permukaan media, lalu diratakan dengan menggunakan batang

bengkok.Dibagi masing-masing media menjadi 3 daerah (P0, P1, P2). P0 diletakkan cakram

yang berisi aquades sebagai kontrol.P1 diletakkan cakram yang telah dicelupkan ke dalam

perasan daun peria laut. P2 diletakkan cakram yang telah dicelupkan ke dalam ekstrak air

daun peria laut. Semua spetri diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 x 24 jam dengan posisi

petri dibalik.Diamati pertumbuhan bakteri pada setiap perlakuan.Diukur diameter zona

hambat dengan menggunakan penggaris.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil uji fitokimia yang telah dilakukan di Laboratorium Kimia FKIP

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, diperoleh hasil bahwa perasan dan ekstrak air daun

peria laut mengandung senyawa alkaloid, saponin, polifenol, dan flavonoid. Berdasarkan

hasil uji mikrobiologi menunjukkan bahwa perasan dan ekstrak air daun peria laut dapat

menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus. Hal ini ditandai dengan terbentuknya zona

bening di sekitar cakram. Rata-rata diameter zona hambat yang terbentuk pada perasan dan

ekstrak air daun peria laut masing-masing adalah 9,8 mm dan 10,52 mm. Berdasarkan analisa

data dengan menggunakan uji Anova menunjukkan bahwa perasan dan ekstrak air daun peria

laut sangat berpengaruh (P=0,000) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus (Tabel 1).

Hal ini disebabkan karena adanya senyawa antibakteri yang terkandung di dalam perasan dan

ekstrak air daun peria laut. Berdasarkan hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa perasan dan

ekstrak air daun peria laut positif mengandung senyawa alkaloid, saponin, polifenol dan

flavonoid Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nivas danGaikwad (2014),

di mana hasil uji fitokimia daun peria laut juga mengandung senyawa yang sama yaitu

alkaloid, saponin, polifenol dan flavonoid.

Tabel 1. Hasil uji anova perasan dan ekstrak air daun peria laut terhadap pertumbuhan

Staphylococcus aureus

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 345,381 2 172,691 105,150 ,000

Within Groups 19,708 12 1,642

Total 365,089 14

Senyawa alkaloid yang terkandung di dalam perasan dan ekstrak daun peria laut

berfungsi sebagai antibakteri dengan menghambat pertumbuhan bakteri yang menyebabkan

lisis sel dan perubahan morfologi sel (Karou, 2006). Pada uji alkaloid dengan menggunakan

pereaksi Mayer hasil positif ditandai dengan terbentuknya larutan berwarna putih keruh. Hal

ini disebabkan karena nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari Kalium

Tetraiodomerkurat (II) membentuk komplek kalium-alkaloid yang mengendap (Marliana et

al., 2005 ; Sangi et al., 2008).

Senyawa saponin berfungsi sebagai antibakteri yang bekerja dengan cara merusak

membran plasma (Retnowati, 2011). Saponin merupakan senyawa yang mempunyai gugus

hidrofilik dan hidrofob. Hasil uji saponin positif ditandai dengan terbentuknya busa yang

cukup stabil sampai lebih dari 10 menit. Hal ini disebabkan karena pada saat dikocok gugus

hidrofilik akan berikatan dengan air sedangkan gugus hidrofob akan berikatan dengan udara

sehingga membentuk buih.

Senyawa polifenol bekerja sebagai antibakteri dengan cara mendenaturasi protein sel

dan menghambat sintesis asam nukleat (Bachtiar, 2012). Hasil polifenol positif ditandai

Page 250: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

239

dengan terbentuknya warna biru kehitaman pada sampel setelah dilakukan penambahan FeCl3

1%. Hal ini sesuai dengan pendapai Sangi et al (2008) yang menyatakan bahwa polifenol

ditandai dengan perubahan warna yang terjadi ketika penambahan FeCl3 yang bereaksi

dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa polifenol dan senyawa tersebut

akan membentuk kompleks dengan ion Fe3+

.

Senyawa flavonoid berfungsi sebagai antibakteri yang bekerja dengan cara

menyebabkan koagulasi atau penggumpalan protein sehingga menyebabkan denaturasi dan

protein tidak berfungsi lagi (Dwijoseputro, 2005). Flavonoid bersifat polar sehingga lebih

mudah menembus lapisan peptidoglikan yang juga bersifat polar pada bakteri. Hasil positif

flavonoid ditandai dengan terbentuknya larutan berwarna coklat.

Setelah dilakukan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa adanya perbedaan antar

perlakuan. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji lanjut rata-rata diameter zona hambat perasan dan ekstrak air daun peria

laut terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus

Perlakuan Rata-rata Diameter Zona Hambat Kategori

Aquades 0,00a ± 0,00 Lemah

Perasan 9,80b ± 1,64 Sedang

Ekstrak air 10,52b ± 1,49 Kuat

Keterangan : Superscript huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

(P<0,05)

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Tabel 2) menunjukkan bahwa rata-rata diameter

zona hambat untuk kontrol berbeda nyata (P<0,05) dengan perasan dan ekstrak air daun peria

laut. Tetapi rata-rata diameter zona hambat perasan tidak berbeda nyata dengan ekstrak air

daun peria laut. Hal ini disebabkan karena perasan dan ekstrak air daun peria laut

mengandung senyawa antibakteri yang sama yaitu alkaloid, saponin, polifenol dan flavonoid.

Perasan daun peria laut dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus

termasuk kategori sedang dengan rata-rata diameter zona hambat yang terbentuk sebesar 9,8

mm, sedangkan ekstrak air daun peria laut termasuk dalam kategori kuat dengan rata-rata

diameter zona hambat yang terbentuk sebesar 10,52 mm. Hal ini sesuai dengan pendapat

Morales et al (2003) yang menyatakan bahwa kategori diameter zona hambat bakteri dapat

digolongkan menjadi 4 kategori yaitu dikategorikan sangat kuat jika memiliki diameter

daerah hambatan >20-30 mm, kuat jika memiliki diameter zona hambatan >10-20 mm,

sedang jika memiliki diameter zona hambatan 5-10 mm, dan lemah jika memilki diameter

zona hambatan <5 mm.

KESIMPULAN

Perasan dan ekstrak air daun peria laut sangat berpengaruh dalam menghambat

pertumbuhan Staphylococcus aureus (P=0,000). Rata-rata diameter zona hambat perasan

daun peria laut adalah 9,8 mm dan tidak berbeda nyata dengan rata-rata diameter zona

hambat ekstrak air daun peria laut yaitu10,52 mm.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Jurusan Farmasi Poltekkes Aceh dan

semua pihak yang telah banyak membantu demi selesainya penelitian ini.

Page 251: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

240

DAFTAR PUSTAKA

Austin, D.F. 1999. Ethnobotany of Florida‘s Weedy Vines. Proceedings of the 1998 joint

symposium of the Florida Exotic Pest Plant Council and the Florida Native Plant

Society. Edited by David T. Jones and Brandon W. Gamble. Florida ExoticPest Plant

Council.

Bachtiar, D.J, Tjahjaningsih, W, Sianita, N. 2012. Pengaruh Ekstrak Alga Cokelat

(Sargassum sp.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli. Journal of Marine

and Coastal Science. 1 (1). P 53-60

Dwijoseputro, D. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jembatan, Malang.

Ganiswara, G. S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Fakultas Kedokteran Bagian

Farmakologi, Jakarta.

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston. 1995.

Mikrobiologi Kedokteran.Edisi ke-20. (Alih bahasa : Nugroho & R.F. Maulany).

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Karou, D. 2006. Antibacterial activity of alkaloids from sida acuta. African J. of

Biotechnology. 5 (2) : 195- 200.

Kozier, B., Erb., and Oliver, R. 2004. Fundamental of nursing; consept, process and

practice, (fourth edition) California: Addison-Wesley Publishing CO.

Marliana, S.D., Suryanti, V. dan Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis

Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechiumedule Jacq.

Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi. 3 (1) : 26-31.

Morales, G., Sierra, P., Mancilla., Paredes, A., loyola, L.A., Gallardo, O., Borquez, J. 2003.

Secondary Metabolites from Four Medical Plant from North Chile. Antimicrobial

Activity and Biotoxcity againt Artemia Salina. J Chile Chem. 48 (2) : 13-8

Nivas, D and Gaikwad, D.K. 2014. Phytochemical screening and in-vitro antioxidant

activities of Colubrina asiatica Brong. J. Chem. Pharm. Res., 6 (9) : 282-288

Retnowati Y, Bialangi N, Posangi NW. 2011. Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus

Pada Media yang Diekspos dengan Infus Daun Sambiloto (Andrographis paniculata).

Saintek. Universitas Negeri Gorontalo. Vol 6 (2)

Sangi, M. S., Runtuwene, M.R.J., Simbala, H.E.I. dan Makang, V.M.A. 2008. Analisis

Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara. Chem.Prog, 1 (1) : 47-53.

Susanty, D.W. 2003. Cara Bijak Menggunakan Obat Herbal. MajalahKedokteran. Fakultas

Kedokteran Universitas Kedokteran Krida Wacana. Vol 11 (29), Jakarta.

Yuwono dan Biomed, M. 2012. Mikrobiologi Penyakit Infeksi, Departemen Mikrobiologi FK

Unsri, Palembang.

Zaraswati, 2004. Dasar-dasar Mikrobiologi. UNHAS, Makassar.

Page 252: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

241

PENAPISAN BAKTERI HALOFILIK DARI PERAIRAN LAUT

KOTA PARIAMAN

Rahmadani Marniyelita*)

, Fuji Astuti Febria dan Anthoni Agustien

Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Andalas, Padang

Koresponden*)

: [email protected]

Abstract

Research on Screening Bacteria halophilic of Aquatic Sea at Pariaman city was held in

November 2015 - January 2016 in the Laboratory of Microbiology, Department of Biology,

Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Andalas, Padang. This study

aims to select halophilic bacteria by using 2 treatments NaCl concentrations (2.5% and 5%)

based on the turbidity (OD). The method used in this study is an experiment and the data

were analyzed descriptively. The results showed that nine isolates of marine bacteria can

grow well at a concentration of 5% NaCl and the bacteria are included into the group of

moderate halophilic bacteria.

Keywords: Screening, marine bacteria, halophilic, Optical Density (OD)

PENDAHULUAN

Bakteri halofilik merupakan kelompok mikroorganisme ekstrimofil yang dapat

tumbuh secara optimal di lingkungan dengan konsentrasi garam tinggi, mikroorganisme

halofilik membutuhkan kadar garam tinggi untuk dapat tumbuh secara optimal (Ventosa,

Nieto, dan oren,1998). Bakteri halofilik dapat ditemukan di air laut, danau berkadar garam

tinggi, tanah atau gurun berkadar garam tinggi, kolam-kolam pemanenan garam dan makanan

yang diasinkan. Menurut Kushner (1989) kelebihan dari bakteri halofilik adalah

kemampuannya yang dapat tumbuh di kadar garam yang tinggi, sehingga dapat mengurangi

resiko kontaminasi dan mudah tumbuh dengan kebutuhan nutrisinya yang sederhana.

Kelebihan ini membuat bakteri halofilik memiliki potensi yang tinggi untuk dimanfaatkan.

Menurut Madigan dan Martinko (2006) mikroorganisme halofiliktumbuh di media

dengan kandungan 1%-5% NaCl dan hal inilah yang membedakannya dengan

mikroorganisme halotoleran yang dapat tumbuh optimal di lingkungan tanpa kadar garam

ataupun di lingkungan dengan kadar garam yang tinggi. Bakteri halofilik dapat dibagi

menjadi dua kelompok dominan yaitu, bakteri halofilik moderat yang tumbuh optimal pada

media dengan konsentrasi antara 7%-15% NaCl dan bakteri halofilik ekstrim yang tumbuh

optimal pada media yang mengandung 15%-30% NaCl.

Beberapa peneliti tentang bakteri halofilik yang telah ditemukan dari beberapa

penelitian diisolasi dari habitat yang berbeda. Vilhelmsson et al.(1996) dan Barat et al.(2002)

mengisolasi bakteri halofilik dari ikan cod (bachalao) yang diawetkan denganpenggaraman.

Penelitian lain, Pangastuti et al.(2002) menemukan bakteri halofilik dari kolam berlumpur

yang memiliki kadar garam tinggi (Bledug Kuwu, Jawa Tengah)danFebria dan Zakaria

(2015) mengisolasi bakteri dari sedimen dan perairan laut kota pariaman dan menemukan

sebanyak 85 isolat bakteri. Namun belum diketahui isolat bakteri tersebut termasuk kelompok

bakteri halofik, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah isolat bakteri

tersebut termasuk halofilik atau tidak.

Page 253: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

242

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 9 isolat bakteri laut

Pariaman pada tiga titik lokasi sampling (Pulau Kasiak, Pulau Tangah dan Pulau Angso Duo)

koleksi Dr. Fuji Astuti Febria dan Dr. Indra Junaidi Zakaria, air laut, spiritus, Medium

Merine Broth,aquadest, NaCl dan Alat yang digunakan adalah jarum oce, autoklaf,

erlemeyer, cuved, test tube, shaker dan spektrofotometer.

Persiapan Kultur Bakteri

Peremajaan bakteri menggunakan Medium MA. Komposisi medium MA dibuat

dengan melarutkan 5 g peptone, 1 g yeast ekstrak dan 15 g bacto agar kemudian dilarutkan

dalam 1 L air laut. Medium di homogenkan dan didihkan dengan hot plate dan disterilisasi

dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC tekanan 15 lbs selama 15 menit

(Setyati,2012).Isolat bakteri diremajakan yang digunakan selanjutnya dalam penelitian

dengan cara memindahkan masing-masing isolat ke dalam media agar miring MA pada

cawan petri dengan teknik goresan dengan menggunakan jarum oce.

Penapisan Bakteri Halofilik

Pada penapisan bakteri halofilik menggunakan medium cair Marine Broth (MB)

dengan komposisi medium dengan melarutkan 5 g peptone, 1 g yeast ekstrak yang dilarutkan

dengan aquadest steril dan konsentrasi NaCl 2,5% dan 5%. Selanjutnya masukkan 3 oce

masing-masing isolat bakteri laut kedalam erlemeyer untuk selanjutnya dishaker slama 1 x 24

jam hinga berubah warna dan terlihat keruh. Selanjutnya diukur tingkat

kekeruhannya/Optical Density (OD) dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang

gelombang 600 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penapisan bakteri halofilik terhadap 9 isolat bakteri laut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penapisan Bakteri Halofilik Berdasarkan Tingkat Kekruhan (OD)

No Kode Isolat Optical Density (OD)

NaCl 2.5% NaCl 5%

1. I11.T1 0,910 1,013

2. I1.A 0,380 0,910

3. I3.K2 0,613 0,839

4. I7.T2 0,827 0,865

5. I11.T 0,714 0,921

6. I11.K 0,697 0,928

7. I12.K1 0,618 0,903

8. I4.A 1,071 0,996

9. I1.T1 0,996 0,959

Hasil penapisan bakteri halofilik terhadap 9 isolat (I4.A, I1.T1, I11.T1, I1.A, I3.K2, I7.T2,

I11.T, I11.K, I12.K1) dari perairan laut pariaman berdasarkan nilai OD pada masing-masing

perlakuan dapat tumbuh pada kedua perlakuan berdasarkan nilai OD berkisar dari 1,013-

0,839 dan nilai OD tersebut ditemukan lebih tinggi pada perlakuan NaCl 5% yang tergolong

bakteri halofilik moderat. Hal ini sesuai dengan Buckle et al, (1987) yang menyatakan bahwa

bakteri halofilik dapat bertahan hidup sampai tingkat penggaraman yang tinggi. Bakteri

halofilik membutuhkan konsentrasi NaCl minimal tertentu untuk pertumbuhannya (Srikandi

Page 254: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

243

F, 1992). Bakteri laut tergolong kedalam kelompok bakteri halofilik yaitu kelompok bakteri

yang membutuhkan kadar garam sebagai media pertumbuhannya (savitri, 2006).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penapisan bakteri halofilik dari perairan laut kota Pariaman

menunjukkan bahwa sembilan isolat bakteri laut dapat tumbuh baik pada konsentrasi NaCl

5% dan bakteri tersebut termasuk kedalam kelompok bakteri halofilik moderat.

DAFTAR PUSTAKA

Barat, J.M., Barona, S.R., Andres, A. dan Fito, P.. 2002. Influence of Increasing Brine

Concentration in the Cod-Salting Process. J. Food Science 67(5): 1922-1925

Buckle, K.A, R.A. Edwards, G.H. Fleet, and M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan

Oleh Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia. Jakarta.

Pangastuti, A., Wahjuningrum, D. dan Suwanto, A. 2002. Isolasi, Karakterisasi, dan Kloning

gen Penyandi α-Amilase Bakteri Halofilik Moderat asal Bledug Kuwu. J.Hayati.

9(1):10-14

Savitri, S. D. N. 2006. Isolasi dan karakterisasi bakteri halotoleran pada peda ikan kembung

(Rastrelliger sp.). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Setyati, W. A Dan Subagiyo. 2012. Isolasi dan Seleksi Bakteri Penghasil Enzim Ekstraseluler

( Proteolitik, Amilolitilk, Lipolitik, Dan Selulolitik) yang Berasal dari Sedimen

Kawasan Mangrove. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Universitas Doponegoro. Semarang.

Srikandi, F., 1992, ―Mikrobiologi Pangan I‖, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Vilhelmsson, O., Hafsteinsson, H., dan Kristjsnsson, J.K.. 1996. Isolation and

Characterization of Moderately Halophilic Bacteria from Fully Cured Salted Cod

(Bachalao). J. Appl. Bacteriology81(1) : 95-103

Page 255: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

244

KARAKTERISASI MIKROKAPSUL SINBIOTIK BAKTERI ASAM

LAKTAT ISOLAT UM1 YANG DIENKAPSULASI DENGAN ALGINAT,

TEPUNG KACANG ARAB DAN INULIN

Ria Yelvi Ningsih1, It Jamilah

1, Dwi Suryanto

1

1) Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Sumatera Utara, Jln. Bioteknologi No.1, Kampus. USU, Padang Bulan, Medan 20155,

Indonesia

e-mail: [email protected]

Abstract

The addition of probiotics in various food products have been known to provide beneficial

health for consumers. In the application of probiotics, its cell viability is often decreased as

influenced by the environmental factors such as temperature and pH. The purpose of this

research was to maintain the viability of lactic acid bacteria (LAB) isolate UM1 from

unfavorable environmental conditions. UM1 was encapsulated by the double coating

extrusion technique with alginate, arabic bean flour and inulin as prebiotic, then dried by hot

air oven at 40 oC. The microcapsules were spherical in shape, diameter of 1.92±0.23 mm and

brownish white colour, with cell viability was about 90.86%. LAB cell viability encapsulated

were able to survive up to 107 CFUg

-1 (90.19%) after 4 weeks of storage at 4

oC. Synbiotic

microcapsules were incubated in simulated gastric acid liquid (pH=2) for 2 hours and

simulated intestinal fluid (pH=6.8) for 3 hours at 37 °C. Encapsulated UM1 Isolate

maintained cell viability in simulated gastric acid liquid ±94%, followed by releasing cells in

simulated intestinal fluid. Isolate UM1 has been released from microcapsule after 30 minutes

at simulated fish gut pH (pH=6.8) as much as 40.44%, continued to increase up to 94.67%

after 150 minutes, and tend to be stable until 300 minutes (97.45%). Therefore, synbiotic

microcapsules in this study has the ability as a probiotic in the gastrointestinal.

Keywords: alginate-arabic bean flour; encapsulation; inulin; lactid acid bacteria; synbiotic

PENDAHULUAN

Pengembangan dan kelangsungan budi daya ikan air tawar sering menghadapi

kendala, salah satunya terjadi serangan penyakit baik penyakit infeksi maupun non infeksi.

Serangan patogen seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, maupun parasit merupakan

golongan penyakit infeksi. Penyakit non infeksi meliputi penyakit yang diakibatkan oleh

lingkungan, pakan, genetik dan tumor (Aryani et al., 2004).

Sebagian besar pelaku budi daya ikan menggunakan bahan kimia seperti antibiotik

untuk mengatasi penyakit akibat bakteri, namun penggunaan antibiotik secara terus-menerus

dan tidak terkontrol dapat menyebabkan timbulnya resistensi bakteri patogen terhadap bahan

kimia tersebut. Selain itu, antibiotik juga dapat menjadi residu pada daging ikan dan udang,

serta dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Salah satu alternatif untuk mengatasi

penyakit bakterial pada organism akuakultur adalah penggunaan probiotik (Farzanfar, 2006)

Probiotik adalah bakteri hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan. Bakteri ini

sangat menguntungkan bagi kesehatan inang, karena dapat menyeimbangkan mikrobiota

intestinal inang. Umumnya bakteri probiotik yang digolongkan sebagai bakteri asam laktat

adalah yang memproduksi asam laktat terutama dari golongan Lactobacilli dan

Bifidobacteria (Antarini, 2011). Keuntungan lainnya dari penggunaan probiotik antara lain

Page 256: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

245

ialah meningkatkan imunitas inang, produksi senyawa-senyawa penghambat patogen dan

merangsang pertumbuhan inang (Farzanfar, 2006).Bakteri probiotik UM1 yang digunakan

pada penelitian ini didapat dari penelitian yang telah dilakukan oleh Hutagaol (2015). Bakteri

ini diisolasi dari usus ikan mas dan memiliki karakteristik sebagai berikut: Bentuk koloni

kokkus, gram positif, mampu menguraikan H2O2 menjadi H2O dan ½O2.Viabilitas bakteri

probiotik sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu dan bahan kimia. Salah

satu cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan viabilitasnya, yaitu dengan cara

enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan yang

disalut dapat dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut enkapsulan

sedangkan yang disalut/dilindungi disebut inti (Young et al., 1995). Enkapsulasi dapat

mempertahankan viabilitas bakteri probiotik dibandingkan dengan sel bebas tanpa

enkapsulasi (Chandramouli et al., 2003). Cara ini dapat dilakukan pada bakteri probiotik

untuk memberikan perlindungan dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti

suhu dan pH lambung (Widodo et al., 2003). Selain itu, enkapsulasi juga dilakukan untuk

memperpanjang masa simpan dan mempermudah dalam penggunaan (Krasaekoopt et al.,

2003).

Probiotik dan prebiotik apabila digabung akan menjadi sinbiotik. Salah satu contoh

prebiotik yaitu inulin. Enkapsulasi sinbiotik yang ditambahkan bahan enkapsulan seperti

alginat dapat menghasilkan viabilitas tertinggi dari probiotik (Chen et al., 2005). Menurut

penelitian Purba (2015) komposisi enkapsulan yang paling efektif dalam menjaga viabilitas

sel ialah alginat-susu skim-inulin (ALSI) dan alginat-tepung kedelai-inulin (ALTI). Sama

halnya dengan Natalia (2015) melaporkan bahwa BAL sinbiotik dengan inulin sebagai

prebiotik, bahan pengkapsul alginat-tepung kacang hijau dan alginat-tepung gram

memberikan perlindungan yang cukup baik pada simulasi asam lambung dan simulasi usus

tiruan, dengan persentase sel bakteri hidup 92% dan 97% pada simulasi asam lambung.

Berdasarkan alasan diatas peneliti tertarik mempelajari cara untuk mempertahankan

viabilitas bakteri asam laktat UM1 dengan melakukan enkapsulasisinbiotik menggunakan

bahan penyalut alginat dan tepung kacang arab (Cicer arietinum)dan uji viabilitasnya dalam

variasi suhu, lama pengeringan, kadar air, lama penyimpanan dan pH pada saluran

pencernaan. Sehingga didapatkan UM1 terenkapsulasi yang memiliki daya simpan panjang

dan viabilitas yang tinggi.

BAHAN DAN METODE

Persiapan kultur bakteri asam laktat UM1

Pemanenan biomassa sel UM1 dilakukan dengan menumbuhkan kembali bakteri

asam laktat UM1dalam 10 ml MRSB (deMan Ragosa Sharp Broth) selama 24 jam pada suhu

37 °C. Satu ml dari kultur diinokulasikan pada 100 ml MRSB yang digunakan sebagai kultur

antara. Sebanyak 10 ml kultur antara ditumbuhkan pada 1000 ml MRSB (1:100) yang

digunakan untuk produksi biomassa sel. Selanjutnya biomassa sel dipanen pada akhir fase

logaritmik, kultur berumur 21 jam (Hutagaol, 2015). Sel dipanen dengan cara disentrifugasi

pada kecepatan 4500 xg selama 15 menit pada suhu 4 °C, dan dicuci dengan PBS (Phospate

Buffered Saline) pH 7,3 sebanyak 3 kali (Li et al., 2009 yang telah dimodifikasi).

Enkapsulasi sinbiotik dengan teknik ekstrusi

Sel bakteri yang diperoleh dari hasil sentrifugasi dilarutkan pada 100 ml campuran

yang terdiri atas tepung kacang arab 2% (b/v), gliserol 5% (v/v), inulin 2% (b/v), dan CaCO3

0,1% (b/v), diperangkap selama 45 menit di dalam 100 ml larutan alginat steril dengan

konsentrasi 3% (b/v). Campuran tersebut diteteskan pada CaCl2 (0,1 M) dengan

menggunakan syringe 23G×1 (0,60×32mm) dengan jarak tetes ±15 cm dan dilakukan

pengadukan 150-200 rpm menggunakan magnetic stirrer. Pengerasan gel dilakukan selama

Page 257: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

246

satu jam (Li et al., 2009). Gel yang terbentuk dipindahkan dalam larutan NaCl fisiologis

(0,85%) untuk mendapatkan struktur gel yang kompak. Mikrokapsul yang

terbentukselanjutnya dimasukkan ke air destilasi dan diputar secara perlahan selama satu jam

untuk menghilangkan residu CaCl2, kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel yang

terenkapsulasi dalam mikrokapsul.

Pengeringan mikrokapsul

Pengeringan dilakukan dengan metode hot air oven pada suhu 40 °C. Mikrokapsul

disebarkan ke dalam cawan petri steril kemudian dimasukan ke dalam oven bersuhu 40 °C.

Setiap 15 menit dilakukan penghitungan jumlah sel dan penimbangan mikrokapsul.

Uji Viabilitas Sinbiotik Terenkapsulasi pada Suhu dan Masa Simpan

Pengujian viabilitas terhadap suhu dan masa simpan dilakukan dengan cara

menyimpan kapsul dalam wadah steril selama 4 minggu pada suhu 4 °C dan suhu ambient.

Penurunan viabilitas sel dihitung setiap 1 minggu.

Analisis Total Kapang Khamir Mikrokapsul

Mikrokapsul yang telah disimpan selama 1, 2, 3, dan 4 minggu pada suhu 4 °C dan

suhu ambient dihitung jumlah kapang khamir yang mengkontaminasi dengan metode

hitungan cawan setelah diinkubasi pada suhu 25 °C selama 48 jam.

Uji Viabilitas Sel Bebas dan Sinbiotik Terenkapsulasi dalam Simulasi pH Lambung dan

Cairan Usus Ikan

Bakteri asam laktat isolat PG7merupakan hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan

Nila, sehingga untuk melakukan uji ketahanannya disesuaikan dengan kondisi saluran

pencernaan ikan Nila. Sel bebas dalam larutan NaCl fisiologis dan 1 gram kapsul dimasukkan

ke dalam 9 mL garam fisiologis pH 2 (simulasi pH lambung) diinkubasi selama 120 menit

pada suhu 37 oC. Kemudian kapsul ditransfer ke dalam larutan PBS pH 6,8 (simulasi cairan

intestinal), diinkubasi selama 180 menit pada suhu 37 °C (Rodrigues et al. 2006; Li et al.

2009). Populasi sel yang bertahan di dalam kapsuldihitung setiap 30 menit dengan cawan

hitung pada media MRS agar lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam.

Analisis Kecepatan Pembebasan (Release) Sel Terenkapsulasi

Sebanyak 1 gram kapsul dimasukkan ke dalam PBS pH 6,8 (disesuaikan dengan pH

cairan intestinal) dan dicukupkan volumenya hingga 10 ml, diinkubasi pada suhu 37 °C

dengan kecepatan 100 rpm. Jumlah sel bakteri yang terbebas (release) dihitung setiap 30

menit dengan metode hitungan cawan pada media MRS agar setelah diinkubasi pada 37 °C

selama 48 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil enkapsulasi sinbiotik dengan metode ekstrusi menggunakan jarum syringe 23G

x 1¼ (0,60 x 32 mm) diamati dengan menggunakan mikroskop stereo. Diameter

mikrokapsulberkisar 1,92±0,23 mm, memiliki struktur yang kompak dan berbentuk bola

(spherical), serta berwarna putih kecoklatan (Gambar 1.).

Page 258: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

247

Gambar 1. Mikrokapsul sinbiotik isolat BAL PG7 hasil enkapsulasi metode ekstrusi

Viabilitas kultur bakteri asam laktat setelah melalui proses enkapsulasi dengan bahan

penyalut alginat dan tepung kacang arab sangat baik yaitu sekitar 90,86 %. Rata-rata jumlah

bakteri sebelum enkapsulasi yaitu 10,28 log CFU/mL dan setelah dienkapsulasi turun

menjadi 9,34 log CFU/mL, berarti hanya terjadi penurunan populasi sebesar 0,94 log

CFU/mL.

Penurunan jumlah sel kemungkinan disebabkan oleh sel terbawa dalam larutan CaCl2

dan mengalami kematian atau kehilangan viabilitasnya selama di dalam beads (Castilla et al.

2010). Faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas enkapsulasi probiotik adalah konsentrasi

sel awal sebelum dienkapsulasi (initial cell concentration). Peningkatan konsentrasi sel di

dalam suspensi bahan pengkapsul akan meningkatkan jumlah sel di dalam beads sehingga

akan meningkatkan efisiensi enkapsulasi (Mortazavian et al. 2007).

Pengaruh Lama Pengeringan terhadap Viabilitas Mikrokapsul

Pengeringan mikrokapsul dilakukan dengan metode hot air oven menggunakan suhu

40 oC. Rata-rata jumlah sel awal bakteri asam laktat terenkapsulasi sebelum melalui proses

pengeringan yaitu sebesar 9,34 log CFU/g. Pengeringan selama 5 jam pertama menunjukkan

bahwa viabilitas bakteri asam laktat terenkapsulasi masih cenderung stabil yaitu di atas log 9,

dan ketika pengeringan diperpanjang selama 6 sampai 7 jam viabilitas BAL terenkapsulasi

masih relatif tinggi. Rata-rata jumlah bakteri pada jam ke-6 dan ke-7 relatif sama yaitu 8,76

log CFU/g dan 8,26 log CFU/g (Gambar 2.).

Gambar 2. Grafik hubungan viabilitas bakteri probiotik isolat UM1 terenkapsulasi

dengan lama pengeringan.

Pengeringan selama 8-10 jam mengakibatkan viabilitas BAL terenkapsulasi sedikit

mengalami penurunan. Rata-rata jumlah sel bakteri pada jam ke-8, ke-9 dan ke-10 masing-

masing yaitu 7,61 log CFU/g, 6,94 log CFU/g dan 6,46 log CFU/g dengan kadar air berturut-

turut sebesar 94,49%, 93,68% dan 91,02%, meskipun mengalami sedikit penurunan rata-rata

jumlah sel bakteri masih menunjukkan jumlah di atas standar minimum yaitu di atas 106

CFU/g.

Penurunan jumlah sel BAL setelah hot air oven (40 oC) kemungkinan diakibatkan

karena hilangnya air yang merupakan komponen utama sel yang sangat dibutuhkan pada

proses metabolisme. Menurut Adrianto (2011), jumlah sel BAL terenkapsulasi mengalami

penurunan yang kecil setelah hot air oven, hal ini dikarenakan suhu pertumbuhan BAL 15-45

Page 259: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

248

oC, sehingga pada suhu pengeringan tersebut masih memungkinkan bakteri yang

dienkapsulasi tetap hidup. Pengeringan dengan cara ini lebih baik dibandingkan dengan cara

spray drying dan freez drying. Pada pengeringan menggunakan freeze drying, penurunan

jumlah sel disebabkan karena pembekuan air yang menyebabkan kesetimbangan sel

terganggu. Sedangkan penurunan sel pada pengeringan menggunakan spray drying terjadi

karena penggunaan suhu inlet yang terlalu tinggi (100-175 oC). Pengurangan kadar air yang

terlalu cepat pada spray drying menyebabkan kerusakan membran sel. Ketika spray drying

digunakan untuk pengawetan kultur probiotik, banyak aktivitas spesifik yang dimiliki

probiotik hilang setelah beberapa minggu penyimpanan pada suhu ruang (Anal and Singh,

2007).

Uji Viabilitas Mikrokapsul Selama Masa Penyimpanan

Rata-rata jumlah populasi bakteri asam laktat terenkapsulasi sebelum penyimpanan

yaitu sebesar 8,26 log CFU/g (Pengeringan selama 7 jam). Setelah disimpan selama 1

minggu rata-rata jumlah sel BAL terenkapsulasi pada suhu 4 oC menjadi 8,05 log CFU/g,

sedangkan pada suhu ambient sebesar 7,68 log CFU/g. Pada minggu ke-4 rata-rata jumlah

populasi bakteri asam laktat terenkapsulasi pada suhu 4 oC sebesar 7,45 log CFU/g,

sedangkan pada suhu ambient sebesar 6,32 log CFU/g (Gambar 3.).

Gambar 3. Grafik populasi bakteri probiotik UM1 terenkapsulasi selama penyimpanan

Viabilitas bakteri setelah disimpan selama satu bulan pada suhu 4 oC mengalami

penurunan sebesar 0,81 log sehingga viabilitas bakteri tinggal 107

CFU/g, sedangkan pada

suhu ambient mengalami penurunan yang lebih tinggi yaitu sebesar 1,94 log sehingga

viabilitas bakteri tinggal 106

CFU/g. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyimpanan pada

suhu 4 oC lebih baik dibandingkan penyimpanan pada suhu ambient. Meskipun jumlah

bakteri mengalami penurunan selama masa simpan, namun rata-rata jumlah populasi bakteri

probiotik isolat UM1 terenkapsulasi pada penyimpanan suhu 4 oC dan suhu ambient masih di

atas 106 CFU/g.

Uji Ketahanan Sel Bebas dan Sinbiotik Isolat BAL UM1 Terenkapsulasi dalam

Simulasi pH Saluran Pencernaan Ikan

Pada 2 jam pertama dilakukan uji viabilitas sel bebas bakteri asam laktat dan bakteri

asam laktat terenkapsulasi pada kondisi simulasi pH lambung (pH=2). Pada 3 jam berikutnya

dilakukan uji viabilitas sel bebas BAL dan sel BAL terenkapsulasi pada kondisi simulasi pH

usus (pH=6,8), diharapkan pada kondisi ini banyak sel yang terlepas (release) dari

mikrokapsul, agar dapat melaksanakan fungsinya di dalam usus.

Page 260: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

249

Setelah melalui simulasi pH lambung selama 2 jam, viabilitas sel BAL terenkapsulasi

tetap terjaga, hanya terjadi penurunan jumlah sel bakteri sebesar 0,56 log CFU/g (6,78%),

sedangkan sel bebas tanpa enkapsulasi mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu

sebesar 4,68 log CFU/g (45,53%). Hal ini menandakan bahwa enkapsulasi dapat

mempertahankan viabilitas sel BAL terhadap simulasi pH lambung dibandingkan sel bebas

tanpa enkapsulasi. Pada 3 jam berikutnya yaitu simulasi pH usus (pH=6,8) didapatkan bahwa

sel bakteri asam laktat terenkapsulasi telah terlepas (release) dari mikrokapsul dalam jumlah

yang cukup tinggi yaitu sebesar 5,3 log CFU/g (64,17%), sedangkan sel bebas yang mampu

mencapai usus yaitu sebesar 4,2 log CFU/g (40,85%), dapat dilihat pada (Gambar 4.).

Gambar 4. Penurunan jumlah bakteri asam laktat UM1 selama inkubasi pada pH 2 selama 2

jam dan pH 6,8 selama 3 jam ( ) sel bebas dan ( ) sel terenkapsulasi.

Bakteri asam laktat isolat UM1 terenkapsulasi mampu mempertahankan viabilitasnya

dalam simulasi lambung (pH=2). Hal ini dikarenakan BAL UM1 yang dienkapsulasi dengan

dua bahan penyalut memiliki struktur mikrokapsulyang kompak dengan pori-pori yang kecil

pada permukaan mikrokapsul, sehingga dapat mengurangi efek merusak dari larutan simulasi

asam lambung terhadap sel bakteri. Ketahanan mikrokapsul mengalami penurunan setelah

memasuki pH 6,8. Penurunan ketahanan mikrokapsul ini kemungkinan dipengaruhi oleh

ketidaksesuaian antara bahan pengkapsul dengan kondisi pH usus, dimana bahan gelatinasi

alginat lebih resisten pada pH 2-5 selanjutnya kemampuan gelatinasi sedikit menurun pada

pH>5, sehingga mengakibatkan pori-pori mikrokapsul membesar dan sel BAL yang ada di

dalam mikrokapsul mampu terlepas (release).

Penelitian ini membuktikan bahwa enkapsulasi probiotik dengan penambahan

prebiotik (sinbiotik) terbukti mampu mempertahankan viabilitas probiotik, dengan

melindungi sel probiotik dari pengaruh suhu, lama pengeringan dan pH rendah dibandingkan

dengan sel bebas tanpa enkapsulasi.

Analisis Kecepatan Pelepasan Sel Probiotik dari Mikrokapsul

Bakteri asam laktat UM1 terenkapsulasi telah terlepas (release) sebesar 40,44% dalam

simulasi pH usus ikan atau pH netral (6,8) pada menit ke-30, terus mengalami peningkatan

mencapai 94,67% setelah 150 menit, selanjutnya cenderung stabil hingga menit ke-300

(97,45%), (Gambar 5.).

Page 261: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

250

Gambar 5. Grafik kecepatan pelepasan (release) sel bakteri asam laktat UM1 terenkapsulasi

Terlepasnya BAL dari mikrokapsul dikarenakan matriks kalsium alginat sangat

berpori, dimana pada pH netral akan memungkinkan terjadinya difusi air keluar dan masuk

dalam mikrokapsul melalui pori tersebut.Menurut Vidhyalakshmi et al. (2009), material yang

dienkapsulasi dapat keluar (release) dengan beberapa cara seperti pemecahan dinding bahan

pengkapsul, pelarutan bahan pengkapsul, dan difusi melewati bahan pengkapsul (Rokka and

Rantamaki, 2010). Kemampuan isolat UM1 release pada pH netral menandakan bahwa isolat

UM1 tersebut mampu release di dalam air, sehingga mampu memberikan efek positif bagi

akuakultur. Irianto (2003) menyatakan bahwa probiotik selain untuk perbaikan pakan,

dimaksudkan juga untuk perbaikan lingkungan hidup ikan.

KESIMPULAN

Mikrokapsul sinbiotik bakteri asam laktat UM1 lebih mampu mempertahankan

viabiltasnya terhadap pengaruh suhu, lama pengeringan dan masa simpan. Suhu 4 oC

merupakan suhu terbaik untuk penyimpanan mikrokapsul dibandingkan dengan suhu

ambient. Bakteri asam laktat isolat UM1 terenkapsulasi dapat mempertahankan viabilitasnya

pada simulasi saluran pencernaan lambung (pH=2), dan usus (pH= 6,8) dibandingkan dengan

sel bebas tanpa enkapsulasi. Bakteri asam laktat UM1 terenkapsulasi telah terlepas (release)

sebesar 40,44% di pH usus ikan (pH=6,8) pada menit ke-30, terus mengalami peningkatan

mencapai 94,67% setelah 150 menit, selanjutnya cenderung stabil hingga hingga menit ke-

300 (97,45%).

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, A. 2011. Enkapsulasi Lactobacillus casei dengan Teknik Ekstrusi sebagai Starter

untuk Pembuatan Dadih Susu Sapi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor.

Anal, A. K. and Singh, H. 2007. Recent Advances in Microencapsulation of Probiotics for

Industrial Applications and Targeted Delivery. Trends in Food Science & Technology.

18: 240-251.

Antarini, A. A. N. 2011. Sinbiotik antara Prebiotik dan Probiotik. Jurnal Ilmu Gizi. 2(2):148-

155.

Aryani, N., Henny S., Iesje L. and Morina R. 2004. Parasit dan Penyakit Ikan. UNAI Press.

Pekanbaru.

Castilla, O. S., Calleros, C. L., Galindo, H. S. G., Ramirez, J. A. and Carter, E. J. V. 2010.

Textural Properties of Alginate-Pectin Beads and Survivability of Entrapped

Lactobacillus casei in Simulated Gastrointestinal Condition and in Yoghurt. Food

Research International. 43: 111-117.

Page 262: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

251

Chandramouli, V., Kailasapathy, K., Peiris, P. and Jones, M. 2003. An Improved Method of

Microencapsulation and Its Evaluation to Protect Lactobacillus spp. in Simulated

Gastric Condition. Journal of Microbiological Methods. 56: 27-35.

Chen, K., Chen, M., Liu, J., Lin, C. and Chiu, H. 2005. Optimization of Incorporated

Probiotics as Coating Materials for Probiotic Microencapsulation. Journal of Food

Science. 70: 260-266.

Farzanfar, A. 2006. The Use of Probiotics in Shrimp Aquaculture. FEMS Immunoligy

Medical Microbiology. 48: 149–158.

Hutagaol, N. 2015. Potensi Senyawa Antimikrob Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar dalam

Pengendalian Biofilm Aeromonas salmonicida pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik

PVC. [skripsi]. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Sumatera Utara.

Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Krasaekoopt, W., Bhandari, B. and Deeth, H. C. 2003. Evaluation of Encapsulation

Techniques of Probiotics for Yogurt. International Dairy Journal. 13: 3-13.

Li, X. Y., Chen, X. G., Cha, D. S., Park, H. J. and Liu, C. S. 2009. Microencapsulation of A

Probiotic Bacteria with Alginate-Gelatin and Its Properties. Journal of

Microencapsulation. 26(4): 315-324.

Mortazavian, A., Razavi, S. H., Ehsani, R. M. and Sohrabvandi, S. 2007. Principles and

Methods of Microencapsulation of Probiotic Microorganisms. Iranian Journal of

Biotechnology. 5(1): 1-18.

Rodriges, A. P., Hirsch, D., Figueiredo, H. C. P., Logato, P. V. R. and Moraes, A. M. 2006.

Production and Characterisation of Alginate Microparticle Incorporating Aeromonas

hydrophila Designed for Fish Oral Vaccination. Process Biochemistry. 41: 638-643.

Vidhyalaksmi, R., Bhakyaraj, R. and Subhasree, R. S. 2009. Encapsulation ―The Future of

Probiotic‖-A Review. Advance in Biological Research. 3(3-4): 96-103.

Widodo, S. and Wahyuni, E. 2003. BioenkapsulasiProbiotik (Lactobacillus casei) dengan

Pollard dan Tepung Terigu serta Pengaruhnya Terhadap Viabilitas dan Laju

Pengasaman. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 14: 98-106.

Young, S. L., Sarda, X. and Rosenberg, M. 1995.Microencapsulating Properties of Whey

Proteins with Carbohydrate. Journal of Diairy Science. 76: 2878-2885.

Page 263: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

252

TEST QUALITY FRESH VEGETABLES LETTUCE (Lactuca sativa)

AND CABBAGE (Brassica oleracea) IN SOME TRADITIONAL

MARKET IN MEDAN CITY SEEN FROM CONTENT

THE BACTERIA Escherichia coli

Sri Natalia Silaen, Herkules Abdullah

Pascasarjana Biologi USU, Dosen Biologi UNIMED

Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Medan, Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate

Email : [email protected]

ABSTRACT

The aims of research is to determine the content of Escherichia coli were found in samples of

lettuce and cabbage vegetables by the maximum limit microbial contamination in food.

Samples studied were fresh lettuce and cabbage from 3 sources and markets market in the

city of Medan . The results showed 8 samples of fresh vegetables that were tested can be seen

that all the samples tested positive for Escherichia coli with the average value of 1 is on the

distributor APM 9.2/g. The existence of Escherichia coli indicates that vegetable lettuce was

contaminated by pathogenic bacteria.

Keywords : Vegetables lettuce, Vegetables cabbage, Escherichia coli.

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang agraris memiliki banyak jenis sayuran segar yang

beranekaragam. Sayuran merupakan kelompok komoditas pangan yang pada umumnya

sangat banyak dikonsumsi oleh masyarakat, baik sebagai sayuran mentah (lalapan)

ataupun dengan cara dimasak terlebih dahulu. Mengonsumsi sayuran memberi sumbangan

terutama vitamin A dan C, serta serat yang sangat penting bagi tubuh. Sayuran

diklasifikasikan sebagai tanaman hortikultura karena jenis-jenis sayuran yang sering dengan

mudah dijumpai, baik di pasar-pasar tradisional maupun di pasar swalayan meliputi: wortel,

tomat, sawi hijau dan putih, kangkung, buncis, bayam, seledri, daun bawang, labu siam,

selada, terong (Sri, 2010). Vitamin yang banyak terdapat pada sayuran adalah vitamin C dan

B komplek. Beberapa sayuran juga merupakan sumber bagi vitamin A, D, dan E. Karotenoid

(prekursor vitamin A), vitamin C, dan vitamin E merupakan antioksidan alami, yang sangat

berguna untuk melawan serangan radikal bebas penyebab penuaan dini dan berbagai penyakit

kanker. Mineral yang banyak terdapat pada sayuran adalah zat besi, seng, mangan, kalsium,

dan fosfor.Dibandingkan dengan sumber serat yang lain, sayuran merupakan sumber yang

paling baik dan utama. Kandungan serat pada sayuran sangat bermanfaat dalam pencegahan

berbagai penyakit. Sayuran menjadi penangkal kanker usus besar, aterosklerosis dan penyakit

jantung, kencing manis (diabetes melitus), penyakit batu empedu, dan lain-lain (Made, 2010).

Masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi lalapan. Lalapan

bermanfaat untuk kesehatan karena mengandung zat gizi relatif tinggi yang sangat

dibutuhkan tubuh, yaitu vitamin dan mineral. Hampir semua jenis vitamin dan mikronutrien

(terutama mineral) yang penting bagi tubuh terdapat di dalam lalapan. Vitamin dan mineral

penting berguna untuk menjaga metabolisme tubuh. Selain vitamin dan mineral, lalapan

memiliki kandungan serat yang tinggi. Serat sering kali disebut sebagai the forgotten nutrient

(zat gizi yang dilupakan) karena pada awalnya tidak diketahui fungsinya (Sudjana, 1991).

Page 264: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

253

Populasi dan Sampel

a. Populasi

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sayuran selada dan kol

yang dipasarkan di beberapa Pasar Tradisional di Kota Medan.

b. Sampel

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah selada dari 3 distributor sayuran

dari pasar tradisional yang mana dari ketiganya diambil 1 jenis sayuran baik itu selada dan

kol dan dari lokasi pasar modern juga diambil satu sampel yang sama dari 1 sumber, sehingga

jumlah sampel yang diteliti berjumlah 9 sampel dari 3 lokasi pasar tradisional tempat sampel

dipasarkan dan 1 sampel dari pasar modern, sehingga jumlah seluruh sampel ada 10 sampel.

Alat dan Bahan

Pengujian Escherichia coli

Adapun peralatan yang digunakan yaitu : incubator 44°C ±1°C, inkubator 35° ± 1°C,

stomacher, botol schoot, tabung durham, cawan petri ukuran 15 mm x 90 mm, tabung reaksi,

timbangan dengan ketelitian 0,0001 g, pipet atau pipetor 1 ml, 5ml, 10ml, Erlenmeyer,

spatula, plastic steril, hot plate dan stirrer, autoklaf, laminar air flow dan oven, mikroskop,

alat tulis.

Adapun media/bahan yang digunakan yaitu : sampel sayur selada, sampel sayur kol,

larutan Butterfield‘s phosphate Buffered (BF), media Lauryl Tryptose Broth (LTB), Brilliant

Green Lactose Bile (BGLB), media Levine‘s Eosin Methylen Blue (L-EMB), media Plate

Count Agar (PCA), MEDIA Tryptone broth (Indole), media MR-VP Broth, media Simmon

Citrate Agar (SCA), Pereaksi kovacs, pereaksi VP, indicator MR.

Prosedur Penelitian

Uji Escherichia coli

Persiapan sampel

Menimbang sampel sebanyak 25 gram

a) Menuangkannya ke dalam 225 ml larutan BFP (pengenceran 10-1

) dan

menghomogenkannya.

Tahap analisa

a) Menyiapkan pengenceran 10-2

dengan cara melarutkan 1 ml larutan 10-1

kedalam 9 ml

larutan pengencer Butterfield‘s phosphate Buffered. Melakukan pengenceran selanjutnya

sampai ke pengenceran 10-3

. Kemuadian melakukan pengocokan agar koloni bakteri

tersebut merata.

b) Memindahkan dengan menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml larutan dari setiap

pengenceran kedalam 3 seri tabung Lauryl Tryptose Brith (LTB) yang berisi tabung

durham.

c) Menginkubasi tabung-tabung tersebut selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35°C±1°C.

Memperhatikan gas yang terbentuk. Tabung positif ditandai dengan kekeruahn dan

terbentuknya gas didalam tabung durham.

Uji pendugaan Escherichia coli

a) Menginokulasi tabung-tabung LTB ysng positif kedalam tabung Brilliant Green

Lactose Bile (BGLB) yang berisi tabung durham dengan menggunakan jarum ose.

Kemudian menginkubasinya di inkubator selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 44 °C±1°C.

b) Memeriksa tabung BGLB yang positif (ditandai dengan kekeruhan dan adanya gas

didalam tabung durham).

Page 265: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

254

c) Dari tabung-tabung BGLB yang positif dengan menggunakan jarum ose,lalu

menggoreskannya media LEMB. Menginkubasinya selama 24 jam ± 2 jam pada suhu

35°C±1°C.

d) Koloni Escherichia coli terduga memberikan ciri yang khas (typical) yaitu hitam pada

bagian tengah atau tanpa hijau metalik.

e) Ambil lebih dari satu koloni (typical) Escherichia coli dari masing-masing cawan

LEMB dan goreskan ke media PCA miring dengan menggunakan jarum tanam. Inkubasi

selama 24 jam± 2 jam pada suhu 35°C±1°C.

UJI MORFOLOGI

a) Melakukan uji morfologi dengan pewarnaan gram dari setiap kolonu Escherichia coli

terduga. Biakan diambil dari PCA miring. Dengan menggunakan mikroskop, bakteri

Escherichia coli termasuk bakteri gram negative, berbentuk batang pendek atau coccus.

Uji BIOKIMIA

a) Produksi Indol (I)

b) Uji Voges Proskauer (VP)

c) Uji Methyl Red (MR)

d) Uji Sitrat (C)

Metode dan Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu dengan menyajikannya

dalam bentuk table dan gambar. Untuk Escherichia coli dilakukan dengan metode APM dan

di cocokkan dengan table APM (Angka Paling Mungkin). Data kualitas selada dianalisis dan

dibandingkan dengan SNI (Standart Nasional Indonesia) tentang batas maksimum cemaran

mikroba dalam pangan, yaitu pada sayuran untuk konsumsi langsung (selada).

Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini dilakukan analisis mutu mikrobiologi selada segar yang

didistribusikan di Pasar Sentral, Petisah dan Sei Sikambing Medan. Sampel diambil diatas

jam 3 pagi saat distribusi antara pedagang dan agen terjadi. Sampel yang diambil baik itu

selada dan kol diambil dalam keadaan dan warna yang masih segar dan hijau. Agar

mengetahui mutu dan kualitas selada dan kol yang diambil, maka dilakukanlah analisis

bakteri Escherichia coli sebagai indikator pencemaran. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan tentang kualitas sayuran segar selada dan kol segar dari beberapa sumber diperoleh

hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1. Escherichia coli positif (+) dan nilai APM/g tiap sampel

KodeSampel Sumber sampel Nilai APM/25g

Distributor 1 Pasar Sentral >300koloni/25g

Distributor 1 Pasar Petisah >30 koloni/25g

Distributor 1 Pasarseisekambing >30 koloni/25g

Hasil pengujian sebelumnya yang dilakukan oleh Sembiring (2005), menunjukkan

bahwa dari 3 sampel yang diambil dari 3 pasar tradisional semuanya positif Escherichia coli

dengan jumlah koloni yang berbeda-beda. Tingkat kontaminasi Escherichia coli pada sayuran

selada yang diambil dari pasar tardisional dan rumah makan di Medan, yaitu 1500 koloni di

pasar Pringgan, pasar Sambu sebanyak 3433 koloni, pasar Sukaramai sebanyak 3000 koloni,

jumlah Escherichia coli tersebut melebihi batas maksimum cemaran Escherichia coli dalam

sayuran mentah atau lalapan, yaitu sekitar 102

koloni. kebanyakan sampel yang diambil

Page 266: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

255

mengandung bakteri Escherichia coli karena bakteri tersebut lebih tahan terhadap perubahan

lingkungan dibandingkan bakteri pathogen lainnya.

Selada (Lactuca sativa) ditimbang sebanyak 25 gr dimasukkan kedalam plastik steril

dan diblender bersama larutan BF untuk menghomogenkannya. Homogenat ini merupakan

larutan dengan pengenceran 10-1

. Setelah itu menyiapkan pengenceran 10-2

dengan cara

melarutkan 1 ml larutan 10-1

ke dalam 9 ml larutan pengencer BF, dan selanjutnya adalah

pengenceran 10-3

dengan cara melarutkan 1 ml larutan 10-2

ke dalam 9 ml larutan pengencer

BF. Dengan menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml larutan sampel selada (Lactuca sativa)

dari setiap pengenceran ke dalam 3 seri tabung yang berisi larutan LB yang berisi tabung

durham.

Kemudian menginkubasi tabung-tabung selama ± 48 jam dan ± 2 jam pada suhu 35

⁰C ±1. Hasil positif ditandai dengen kekeruhan dan gas dalam tabung durham.

(A) (B) (C)

Gambar 4.1. (a). Sampel selada dan kol; (b). Sampel yang telah ditimbang sebanyak 25 gr;

(c). Sampel yang telah dimixer menggunakan media LB (tahap pra

pengkayaan).

Gambar 4.2 (a) LB sebelum diinkubasi; (b) LB setelah diinkubasi incubator 37°C.

Gambar 4.3 (a) LB positif

Page 267: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

256

Hasil yang positif (+) dari proses pengujian yang menggunakan media LB

diinokulasikan ke dalam media BGLB, yang berisi tabung durham dengan menggunakan

jarum ose, dan menginkubasi BGLB dalam incubator selam 48 jam ± 2 jam pada suhu 44°C.

Hasil positif ditandai dengan kekeruhan dan terdapat gas pada tabung durham.

Gambar 4.4. Media BGLB dan BGLB (+)

Fermentasi Glukosa oleh bakteri Escherichia coli

Glukosa Asam piruvat + Asam Asetat + CO2

Hasil fermentasi glukosa oleh bakteri menghasilkan gas CO2, sehingga membentuk

gelembung udara di dalam tabung reaksi yang berisi media Lactosa Broth (LB) dan emdia

BGLB yang sama-sama mengandung glukosa (Koneman et al.,1983). Hasil yang positif dari

media BGLB dengan menggunakan jarum ose kemudian digores ke LEMB agar dan

diinkubasi selama 24 jam ± 2 jam pada suhu 37°C ± 1°C. Koloni Escherichia coli terduga

memiliki ciri yang khas yaitu hitam pada bagian tengan dengan atau tanpa metalik kehijauan.

Gambar 4.5 LEMB positif

Hasil yang positif dari LEMB Agar diambil dan digoreskan ke media PCA miring

dengan menggunakan jarum tanam, dan menginkubasinya selama 24 jam ± 2 jam pada suhu

37°C±1°C. Dari media PCA miring dilanjutkan dengan Uji Biokimia (IMVIc). Uji IMVIc

merupakan sebuah uji biokimia yang berguna dalam mengidentifikasi bakteri

enterobacteriaceae. Dalam reaksi ini metabolism yang terjadi pada medium agar akan

menjadi indicator positif atau negatifnya suatu reaksi yang akan diinterpretasikan sesuai

dengan sifat biokimia bakteri sehinggan akan membantu dalam menentukan klasifikasi dari

bakteri yang diidentifikasi tersebut (Azharou,2013). IMViC terdiri dari Produksi Indol (I);

Uji Voges Proskauer (VP); Uji METHYL Red (MR); Uji Sitrat (C) dan semuanya menjadi

standart baku dalam menentukan sifat biokimiawi bakteri Escherichia coli.

Reaksi Escherichia coli negatif :

Indol : Setelah ditetesi reagen Kovacs terbentuk cincin kuning

MR : Setelah ditetesi indicator Methyl Red terjadi perubahan warna menjadi

kuning atau oranye

Page 268: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

257

VP : Setelah penambahan alpha neptol dan KOH akan mengalami perubahan

warna dari kuning muda menjadi kuning eosin

Sitrat : Setelah diinkubasi selama 96 jam akan terjadi perubahan warna pada

media dari hijau menjadi biru

Reaksi Escherichia coli negatif

Indol : Setelah ditetesi reagent Kovacs terbentuk cincin merah

MR : Setelah ditetesi indikator Methyl Red terbentuk warna merah

VP : Setelah penambahan alpha naptol dan KOH tidak terjadi perubahan warna

(kuning muda)

Sitrat : Setelah proses inkubasi selama 96 jam tidak terjadi perubahan warna pada

media hijau

Uji Indol dinyatakan positif ditandai dengan terbentuknya cincin yang berwarna merah

cerry di permukaan biakan apabila ditambahkan beberapa tetes pereaksi Kovac‘s yang terdiri

dari p-dimetilaminobenzaldehid, butanol, dan asam. Uji ini menggunakan media Tryptone

Broth yang mengandung substrat triptofan. Bakteri Escherichia coli dapat memproduksi

indol dari pemecahan asam amino triptofan dengan menggunakan enzim tryptophanase.

Produksi indol akan dideteksi dengan menggunakan pereaksi Erlich atau reagen Kovacs.

Indol akan bereaksi dengan aldehyde dalam reagen dan menberikan warna merah. Sebuah

lapisan alcohol merah akan terbentuk seperti cincin di bagian atas menandakan indol positif.

Reaksi positif terjadi karena reaksi tryptofan dikonversi menjadi indol (Azharou,2013).

Uji Methyl Red positif ditandai dengan biakan yang berwarna merah jika ditambahkan

5 tetes larutan methyl merah dan dikocok. Warna merah terjadi karena fermentasi glukosa

menghasilkan asam. Uji ini digunakan untuk menentukan adanya fermentasi asam campuran.

Beberapa bakteri fermentasi glukosa dan menghasilkan berbagai produk bersifat asam

sehingga dapat menurunkan pH media pertumbuhannya menjadi 5,0 atau lebih rendah.

Penambahan indicator pH methyl red dapat menunjukkan adanya perubahan pH menjadi

asam. Uji ini sangat berguna dalam identifikasi kelompok bakteri yang menempati saluran

pencernaan termasuk Escherichia coli.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari 3 pasar tradisional di kota Medan,

maka diperolehlah beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1) Hasil uji Escherichia coli pada sampel selada (Lactuca sativa) dan kol segar dari

masing – masing sumber yang telah diuji dapat diketahui bahwa semua sampel

positif mengandung Escherichia coli.

2) Hasil pengujian menunjukkan rata-rata APM Escherichia coli pada sumber 1 adalah

7,3 APM/g; sumber 2 adalah 12,7 APM/g dan pada sumber yang ke3 adalah 13.9

SPM/g Sedangkan batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan, yaitu pada

sayuran untuk konsumsi langsung untuk APM Escherichia coli<3/g, Sehingga, dari

penelitian ini diketahui bahwa sayuran selada yang didistribusikan di pasar Sentral,

Petisah dan Sei-Sikambing Medan belum layak untuk dikonsumsi, karena kandungan

mikrobanya melebihi batas maksimum.

DAFTAR PUSTAKA

Dasipah, Budiyono dan Julaeni, 2010.Sayuran segar sebagai lalapan. Pustaka

Media.Bandung

Haryanto dkk,1996.Sayuran Lalapan yang baik untuk dikonsumsi.Penebar Swadaya.Jakarta

Page 269: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

258

Isyanti, M. 2001. Mutu Mikrobiologi Sayuran Lalap dari Pasar Tradisional di Daerah

Bogor dan Pengaruh Pascapanen Minimal untuk Menjamin Keamanannya. Skripsi,

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian

Bogor.

Made Astawan.2010.Pencegahan penyakit pada sayuran segar.Pustaka.Semarang

Rukmana, Rahmat. 1994. Budidaya Selada dan Andewi. Kanisius. Yogyakarta.

Rahadi, F,Palungkun R, Budiarti A. 1999. Agribisnis Tanaman sayuran. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Sudjana,1991.Kandungan serat dalam lalapan.Bina Media.Surabaya.

Rini,Sri.,(2010),http://www.crayonpedia.org/mw/Hasil_Pertanian_Tanaman_Pangan(diakses

Desember 2013)

Page 270: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

259

PENGARUH SUPLEMENTASI BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT

UM 1 DAN INULIN TERHADAP KULTUR BENIH IKAN NILA

(Oreochromisniloticus)

Virza Ratika Inneke Putri1, It Jamilah

2, Nunuk Priyani

2

1Mahasiswa Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU

2Staf Pengajar Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU

Departemen Biologi, FMIPA Universitas Sumatera Utara

Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Padang Bulan, Medan- 20155

Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemberian pakan berupa probiotik Bakteri Asam

Laktat (BAL) Isolat UM 1 dan prebiotik (Inulin) pada sintasan, laju pertumbuhan spesifik,

dan efisiensi pakan dari benih ikan nila (Oreochromis niloticus). Perlakuanterdiri ataskontrol

(kontrol positif dan kontrol negatif), probiotik, prebiotikdansinbiotik. Masing-masingp

erlakuan terdiri atas 10 ekor benih ikan nila.Penelitian inidilakukanpadaakuarium (40 x 25 x

28 cm)selama21hari.Ikan tersebut diberi pakan perlakuan selama 15 hari sebelum diuji

tantang. Setelah itu, ikan diuji tantang dengan disuntik Aeromonas hydrophila. Hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik dan

efisiensi pakan ikan nila selama masa suplementasi tidak memberikan efek yang signifikan

pada semua perlakuan. Namun, tingkat kelangsungan hidup ikan setelah diinfeksi Aeromonas

hydrophilamemberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan sintasan benih ikan nila,

yaitu pada perlakuan A (kontrol +) sebesar 42%, perlakuan C (probiotik) sebesar 89%,

perlakuan D (prebiotik) sebesar 85% dan perlakuan E (sinbiotik) sebesar 96%. Penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik pada pakan ternyata dapat meningkatkan tingkat

kelangsungan hidup ikan akibat infeksi Aeromonas hydrophila.

Kata Kunci: ikannila, probiotik, prebiotik, sinbiotik, Aeromonas hydrophila

Pendahuluan

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki paparan perairan yang sangat luas. Luas

perairan Indonesia merupakan terbesar keduasetelah Amerika Serikat. Besarnya luas perairan

ini membuat potensi perikananIndonesia menjadi sangat besar (Bank Indonesia, 2008).Ikan

nila merupakan salah satu komoditas ikanair tawar yang mendapat perhatian besar bagi

usahaperikanan terutama dalam usaha peningkatan gizi masyarakat di Indonesia.

Perkembangan ikan nila di Indonesia cukup pesat, hal ini ditandai dengan adanya

peningkatan produksi ikan nila dari tahun 1996 –2005 (Gustiano et al., 2008). Hal ini

dikarenakan ikan nila memiliki sifat-sifat yang menguntungkan, yaitu mudah berkembang

biak, tumbuh cepat, dagingnya tebal dan kompak, toleran terhadap lingkungan yang kurang

baik, dapat hidup dan berkembang biak di airpayau serta mempunyai respon yang luas

terhadap makanan(Yuliati et al., 2003).

Masalah penyakitdapatmenjadikendala utamakarenadapat merugikan usaha budidaya

ikan seperti penurunan produksi, penurunan kualitas air, bahkan kematian total.Penyakit

dapat disebabkan oleh beberapa jenis patogen seperti, virus, parasit, jamur, dan bakteri.Salah

satu jenis penyakit bakterial yang menyerang ikan-ikan budidaya air tawar adalah Motile

Aeromond Septicemia (MAS) atau Haemorrhagic Septicemia (Post, 1987; Austin dan Austin,

1993). Penyakit ini memperlihatkan gejala-gejala seperti kehilangan nafsu makan, luka-luka

Page 271: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

260

pada permukaan tubuh, pendarahan pada insang, perut membesar berisi cairan, sisik lepas,

sirip ekor lepas, jika dilakukan pembedahan akan terlihat pembengkakan dan kerusakan pada

jaringan hati, ginjal dan limfa. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila

(Post, 1987; Austin dan Austin,1993). Biasanya bakteri ini menyerang ikan Mas, Gurami,

Mujair (Pasaribu,dkk, 1990), serta ikan Nila (Arie, 2000). Kamiso (1993) melaporkan bahwa

penyakit ini menyebabkan kematian diatas 80% dalam waktu relatif singkat. Hal ini

dikarenakan tingkat keganasan bakteri A. hydrophila sangat tinggi (Afrianto dan liviawaty,

1992).

Permasalahan kesehatan ikan, nutrisi danefisiensi pakan dapat diatasi

denganprobiotik, prebiotik, dan sinbiotik.Menurut Khalwan (2012),penggunaan probiotik

dalam bidang akuakulturbertujuan untuk menjaga keseimbangan mikrobadan pengendalian

patogen dalam saluranpencernaan, dan lingkungan perairan melalui proses biodegradasi,

sedangkan penambahan prebiotik pada pakan akan menstimulasi perbaikan mikroflora

normal di dalam saluran pencernaan ikan. Prebiotik pun menjadi sumber energi bagi

keberadaan probiotik. Pemberian probiotik yang diiringi oleh pemberian prebiotik (sinbiotik)

diharapkan akan mampu menstimulir keberadaan bakteri probiotik yang akan

menguntungkan bagi inangnya (Farouq, 2011).

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 sampai November 2015 di

Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah akuarium dengan ukuran 40 x 25 x 28

cm sebanyak 15 buah, neraca analitik, aerator, sentrifuse, syringe, dan spektrofotometer.

Bahan yang digunakan adalah benih ikan nila dengan ukuran5-8 cm yang berumur 45-60 hari

sebanyak 150 ekor, media TSB (Tryptic Soy Broth), biakan bakteri Aeromonas hydrophila,

probiotik Bakteri Asam Laktat (BAL) isolat UM1,prebiotik inulin, dan media MRSA (de

Man Sharpe Rogose Agar).

Penelitian dilakukan secara deskriptif yang terdiri atas 5 perlakuan dengan 3 kali

ulangan dengan menguji pengaruh suplementasi probiotik, prebiotik, dan sinbiotik terhadap

benih ikan nila yang kemudian dilakukan pengamatan dengan parameter pengukuran tingkat

kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, dan efisiensi pakan pada benih ikan nila.

Setelah itu, benih ikan diinfeksikan dengan Aeromonas hydrophila kemudian diamati tingkat

kelangsungan hidup benih ikan nila.

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu persiapan wadah,

pemeliharaan ikan, penyediaan probiotik, prebiotik, dan sinbiotik, pembuatan pakan ikan,

pemberian pakan ikan,penyedian kultur Aeromonas hydrophila,serta uji tantang.

Persiapan Wadah

Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah akuarium yang berukuran 40x25 x 28 cm

sebanyak 15 buah. Sebelum digunakan, akuarium dicuci bersih dan diisi dengan air kemasan

isi ulang lalu diaerasi penuh.

Pemeliharaan Ikan

Ikan dipelihara pada tiap akuarium sebanyak 10 ekor, pada suhu stabil yakni antara 28-

30 °C dalam ruangan tertutup selama 21 hari.

Page 272: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

261

Penyediaan Probiotik, Prebiotik,dan Sinbiotik

Probiotik yang digunakan adalah Bakteri Asam Laktat (BAL) UM 1 diisolasi dari

saluran pencernaan ikan, prebiotik yang digunakan adalah inulin, sedangkan sinbiotik yang

digunakan adalah gabungan antaraBAL UM 1 dan inulin.

Pembuatan pakan ikan

Pakan yang diberikan adalah pakan komersial yang dibeli di pasar dengan merk

dagang Agaru. Pakan tersebut dicampurkan dengan kultur cair probiotik, larutan prebiotik,

dansinbiotik. Pencampuran terhadap pakan dilakukan dengan penambahan kuning telur

sebanyak 2% (v/v) secara merata yang berfungsi sebagai binder (pengikat) (Wang, 2007).

Pemberian pakan ikan

Sebelum perlakuan dimulai ikan dipuasakan selama 24 jam guna menghilangkan sisa

pakan dalam saluran pencernaan. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation sebanyak 3

kali sehari yaitu pada pukul: 09.00, 12.00, & 16.00 WIB.

Pakan perlakuan yang diberikan ke ikan uji pada masa suplementasi yaitu :

Perlakuan A (kontrol), perlakuan B (pakan + probiotik), perlakuan C (pakan +

prebiotik), dan perlakuan D (pakan + sinbiotik).

Perlakuan pakan yang diberikan ke ikan uji setelah uji tantang denganAeromonas

hydrophilayaitu :

Perlakuan A : Pakan uji dan diinfeksi Aeromonas hydrophila (kontrol positif).

Perlakuan B : Pakan uji (kontrol negatif).

Perlakuan C : Pakan uji dengan penambahan probiotik 1% (w/w) dari bobot pakan

dan diinfeksi Aeromonas hydrophila (Farouq, 2011).

Perlakuan D : Pakan uji dengan penambahan prebiotik 2% (w/w) dari bobot pakan

dan diinfeksi Aeromonas hydrophila.

Perlakuan E : Pakan uji dengan penambahan sinbiotik (probiotik 1% dan prebiotik

2%) dari bobot pakan dan diinfeksi Aeromonas hydrophila.

Penyediaan Kultur Aeromonas hydrophila

Satu ose penuh biakan Aeromonas hydrophila dikultur dalam 10 ml mediaTSB

(Tripticase Soy Broth). Setelah 24 jam, diambil sebanyak 1 ml media biakan untuk dikultur

kembali ke dalam 24 ml media TSB yang baru. Setelah 24 jam, media tersebut dipanen dan

digunakan sebagai bakteri uji tantang. Setelah itu dilakukan pengecekan isolat dengan

pewarnaan Gram dan pengujian karakter biokimia.

Uji Tantang

Ikan diuji tantang selama kurun waktu 5 hari dengan menyuntikkan biakan Aeromonas

hydrophila dengan kepadatan 109 CFU/ml. Ikan disuntik di bagian dorsal dengan dosis

suntikan 0,1 ml/10 gram bobot ikan. Pengamatan tingkat kelangsungan hidup ikan dilakukan

setiap hari selama 5 hari.

Parameter Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan tingkat kelangsungan hidup(Survival

Rate), laju pertumbuhan spesifik, & efisiensi pakan.

Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan

Tingkat kelangsungan hidup ikan (Survival Rate) dihitung dari persentase jumlah ikan

yang hidup di akhir masa pemeliharaan dibanding dengan jumlah ikan pada saat tebar awal,

dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Page 273: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

262

SR= x 100%

Keterangan:(Effendie, 1979)

SR : Survival Rate (%)

Nt : Populasi saat t (ekor)

t : waktu

N0 : Populasi awal (ekor)

Laju Pertumbuhan Spesifik Ikan

Ikan disampling bobot rutin setiap 5 hari sekali. Pertumbuhan spesifik ikan (Specific

Growth Rate) adalah besarnya laju pertumbuhan harian ikan. SGR dapat dihitung dengan

menggunakan rumus:

SGR = x 100%

Keterangan : (Huisman, 1987)

SGR : Laju pertumbuhan spesifik (%/hari)

Wt : Berat rata-rata ikan pada saat akhir (gram)

W0 : Berat rata-rata ikan pada saat awal (gram)

T : Lama pemeliharaan (hari)

Efisiensi Pakan Ikan

Efisiensi pemberian pakan dihitung dari persentase jumlah biomassa ikan yang

dihasilkan dibanding dengan jumlah pakan yang diberikan, dihitung dengan menggunakan

rumus:

EP = x 100%

Keterangan : (Takeuchi, 1988)

EP : Efisiensi Pakan (%)

Bd : Bobot ikan mati (gram)

Bt : Bobot ikan akhir (gram)

F : Jumlah pakan (gram)

Bo : Bobot ikan awal (gram)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Masa Suplementasi

Tingkat kelangsungan hidup ikan pada perlakuan A dan B sama-sama menunjukkan

angka 93,3%, pada perlakuan C sebesar 90%, dan perlakuan D sebesar 96,6% (Gambar 1).

Perlakuan C (prebiotik) memberikan hasil tingkat kelangsungan hidup terendah dibandingkan

dengan perlakuan lainnya, hal ini diduga karena benih ikan yang digunakan masih terlalu

muda yang saluran pencernaannya masih sangat sederhana dan belum memliki mikroflora

Page 274: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

263

normal dalam jumlah yang cukup banyak untuk mencerna inulin, sehingga membutuhkan

penyesuaian yang lebih untuk dapat beradaptasi dengan pakan prebiotik dibanding dengan

pakan perlakuan yang lain, Hal ini yang diduga menjadi penyebab pakan prebiotik belum

maksimal dimakan oleh benih ikan, belum maksimalnya pakan yang dimakan benih ikan,

menyebabkan kondisi benih ikan makin melemah.Menurut Rustikawati et al. (2004), kondisi

ketahanan tubuh ikan yang berukuran benih masih lemah dan sangat rentan terhadap

perubahan lingkungan.

Keterangan :

* A (kontrol ), B (probiotik), C (prebiotik) dan D (sinbiotik)

Gambar 1. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila setelah suplementasi pakan

Perlakuan D (sinbiotik) memberikan hasiltingkat kelangsungan hidup tertinggi

diantara perlakuan lainnya diduga karena bakteri asam laktat (BAL)akan bekerja lebih baik

jika diberikan bersamaan dengan prebiotik (sinbiotik), prebiotik akan dicerna oleh bakteri

probiotik dan akan memperbanyak jumlah bakteri probiotik dalam saluran pencernaan ikan.

Meningkatnya jumlah bakteri probiotik pada saluran pencernaan ikan, diduga akan membuat

sistem imun ikan menjadi lebih baik. Menurut Saputra et al. (2013), probiotik yang diberikan

bersama prebiotik mampu tumbuh dan memanfaatkan prebiotik pada usus ikan serta diduga

dapat menstimulasi sistem imun ikan.

Laju Pertumbuhan Spesifik Ikan

Laju pertumbuhan spesifik ikan pada perlakuan A menunjukkan angka 2,35%, pada

perlakuan B 2,19%, pada perlakuan C 1,97%, dan pada perlakuan D sebesar 2,3% (Gambar

2).Ikan yang diberi pakan perlakuan memiliki nilai laju pertumbuhan spesifik yang hasilnya

tidak lebih baik dibandingkan kontrol. Hal ini diduga karena pakan dengan perlakuan

memiliki rasa yang sedikit berbeda dengan pakan tanpa perlakuan, sehingga benih ikan

membutuhkan adaptasi terhadap pakan yang diberi perlakuan yang menyebabkan ikan lebih

banyak memakan pakan tanpa perlakuan (kontrol), yang kemudian hal iniberdampak pada

laju pertumbuhan spesifik ikan. Menurut Effendie (1979), pertumbuhan adalah pertambahan

ukuran panjang atau berat dalam satuan waktu yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti

keturunan, seks, umur, parasit, pakan, dan kondisi perairan.

Page 275: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

264

Keterangan :

* A (kontrol), B (probiotik), C (prebiotik) dan D (sinbiotik)

Gambar 2. Laju pertumbuhan spesifik ikan nila setelah suplementasi pakan

Perlakuan C (prebiotik) menunjukkan angka laju pertumbuhan spesifik terendah jika

dibandingkan dengan perlakuan lain, hal ini mungkin dikarenakan pemberian pakan

prebiotik, diperlakukan terhadap benih ikan yang memiliki saluran pencernaan yang masih

sangat sederhana dan belum memiliki mikroflora usus dalam jumlah yang cukup untuk

mencerna prebiotik sementara prebiotik tidak dapat dicerna oleh inang. Ahmadi et al. (2012)

menyatakan bahwaenzim dalam saluran pencernaanbenih ikan belum tersedia dalam

jumlahyang memadai karena saluranpencernaannya belum sempurna. Olehkarena itu,

pakandengan kandungankarbohidrat dan serat kasar yang tinggitidak dapat dicerna dengan

baik.

Efisiensi Pakan Ikan

Efisiensi pakan ikan pada perlakuan A menunjukkan angka 18,27%, pada perlakuan B

menunjukkan angka sebesar 17,03%, perlakuan C menunjukkan angka 16,54%, dan pada

perlakuan D menunjukkan angka 19,51% (Gambar 3).Perlakuan C (prebiotik) menunjukkan

hasil efisiensi pakan ikanterendah dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini diduga karena

prebiotik yang digunakan (inulin) memiliki rasa manis yang menyebabkan ikan cenderung

enggan memakan pakan yang diberikan. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya jumlah pakan

yang dimakan ikan, yang juga menyebabkan rendahnya nilai efisiensi pakan ikan.Menurut

Franck (2002), inulin standar memiliki rasa manis yang sangat ringan (10% kemanisan

dibanding dengan gula).

* A (kontrol), B (probiotik), C (prebiotik) dan D (sinbiotik)

Gambar 3. Efisiensi pakan ikan nila setelah suplementasi pakan

Perlakuan B (probiotik) menunjukkan hasilefisiensi pakan ikan yang lebih rendah

daripada perlakuan A (kontrol), hal ini diduga karena benih ikan yang digunakan masih

terlalu kecil dengan sistem pencernaan yang masih sangat sederhana, sehingga probiotik yang

diberikan pada masa suplementasi belum memberi hasil yang signifikan dalam meningkatkan

Page 276: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

265

nilai efisiensi pakan ikan.Handayani (2006) menyatakan bahwa kemampuan ikan dalam

mencerna pakan sangat bergantung pada kelengkapan organ pencernaan dan ketersediaan

enzim pencernaan. Perkembangan saluran pencernaan berlangsung secara bertahap dan

setelah ikan mencapai ukuran atau umur tertentu maka saluran pencernaannya akan mencapai

kesempurnaan. Perkembangan struktur pencernaan tersebut diikuti pula oleh perkembangan

enzim pencernaan.PerlakuanE(sinbiotik)menunjukkan hasil tertinggi pada parameter ini, hal

ini dikarenakan pemberian probiotik yangdiiringi dengan prebiotik (sinbiotik) mampu

memaksimalkan penyerapan nutrisi pada pakan. Prebiotik pada pakan akan merangsang

pertumbuhan probiotik yang terdapat pada pakan dan pada saluran pencernaan benih ikan,

sehingga jumlah probiotik akan mengalami peningkatan yang pesat. Bakteri probiotik juga

mampu mensekresikan enzim-enzim pencernaan yang akan membantu benih ikan dalam

mencerna pakan.Menurut Daniels et al. (2010) penelitian tentang sinbiotik telah

menunjukkan keuntungan dalam penggunaanya untuk peningkatan laju pertumbuhan,

konversi pakan, dan kondisi tubuh ikan.

Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan setelah Uji Tantang

Uji tantang dilakukan setelah 15 hari masa suplementasi pakan. Ikan diuji tantang

selama kurun waktu 5 hari dengan menyuntikkan biakan Aeromonas hydrophila. Tingkat

kelangsungan hidupikan setelah diinfeksi Aeromonas hydrophila pada perlakuan A (kontrol

positif) menunjukkan angka sebesar 42,56%, perlakuan B (kontrol negatif) sebesar 100%,

perlakuan C (probiotik) sebesar 89,6%, perlakuan D (prebiotik) sebesar 85,13%, dan E

(sinbiotik) sebesar 96,6% (Gambar 4).

Hasil tingkat kelangsungan hidup ikan setelah uji tantang dengan Aeromonas

hydrophilayang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan B (kontrol negatif) menunjukkan

hasil tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain dalam mempertahankan

kelangsungan hidup ikan, hal ini karena pada perlakuan B (kontrol negatif), ikan hidup

padakeadaan lingkungan perairan yang normal tanpa terinfeksi dengan bakteri

patogen.Perlakuan sinbiotik menunjukkan hasil tertinggi setelah kontrol negatif. Hal ini dapat

saja dikarenakan oleh pemberian probiotik yang diiringi dengan prebiotik (sinbiotik) dapat

menekan dengan baik pertumbuhan bakteri patogen yang ada pada ikan, sehingga ikan pada

perlakuan sinbiotik memilki kemampuan bertahan hidup paling baik dibandingkan dengan

perlakuan yang lain. Irianto (2003) menyatakan bahwa probiotik dapat mengatur lingkungan

mikrobia pada usus, menghalangi mikroorganisme patogen dalam usus dengan melepas

enzim-enzim yang membantu proses pencernaan makanan.Menurut Ringo et al. (2010),

prebiotik oligosakarida dapat meningkatkan kesehatan dan keberadaan bakteri usus yang

menguntungkan serta menekan bakteri yang berpotensi merusak, sehingga kelangsungan

hidup ikan meningkat. Sehingga jika probiotik dan prebiotik diberikan secara bersamaan

(sinbiotik), daya tahan ikan akan lebih tinggi terhadap serangan bakteri patogen.

Page 277: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

266

* A (kontrol +), B (kontrol -), C (probiotik), D (prebiotik) dan E (sinbiotik)

Gambar 4. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila setelah diuji tantang dengan Aeromonas

hydrophila

Hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan penelitian Farouq (2011) yang

menggunakan ikan nila dewasa serta di uji tantang dengan bakteri Streptococcus agalactiae

yang menunjukkan hasil pada masing-masing perlakuan yaitu kontrol positif 50%, kontrol

negatif 90%, probiotik 73%, prebiotik 76%, dan sinbiotik 80%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pakan perlakuan dengan penambahan sinbiotik menunjukkan hasil tertinggi pada

tingkat kelangsungan hidup ikan dan efisiensi pakan ikansaat masa suplementasi. Perlakuan

dengan penambahan prebiotik menunjukkan hasil terendah pada parameter tingkat

kelangsungan hidup ikan saat masa pemeliharaan,dan laju pertumbuhan spesifik ikan.

Perlakuan kontrol menunjukkan hasil tertinggi pada parameter laju pertumbuhan spesifik

ikan. Penambahan sinbiotik dapat mengurangi tingkat kematian pada kondisi perairan yang

stabil dan dapat meningkatkan efisiensi pakan. Sementara ikan yang diberi pakan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik dan diinfeksi patogen Aeromonas hydrophila memiliki tingkat

kelangsungan hidup yang lebih tinggi (berturut-turut sebesar 89,6%, 85,13% dan 96,6%)

dibandingkan dengan ikan kontrol positif (sebesar 42,56%).Penambahan probiotik, prebiotik

dan sinbiotik pada pakan dapat mengurangi tingkat kematian ikan akibat infeksi Aeromoas

hydrophila.

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh waktu masa pemeliharaan yang lebih

lama, dan penggunaan ikan yang lebih banyak, serta proses pembuatan pakan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik yang lebih efisien dan penelusuran lebih lanjut akan manfaat BAL

UM 1 terhadap ikan dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, H., Iskandar, & Kurniawati, N. 2012. Pemberian probiotik dalam pakan terhadap

pertumbuhan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) pada pendederan II. Jurnal

Perikanan dan Kelautan. 3 (4): 99-107.

Afrianto E, Liviawaty E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius,

Jogjakarta.

Page 278: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

267

Austin B, Austin DA. 1993. Bacterial Fish Pathogens. In Disease in Farmed and wild fish.

Ellis Horwood Ltd, Publisher,Chichester, England.

Daniels CL, Merrifield DL, Boothoryd DP, Davies SJ, Factor JR, Arnold KE. 2010. Effect of

dietary Bacillus spp. and mannan oligosaccharides (MOS) on European Lobster

Homarus gammarus L. larvae growth performance, gut morphology and gut

microbiota. Aquaculture 304: 49–57.

Effendie, M.I., 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri Bogor, Bogor.

Farouq, A. 2011. Aplikasi probiotik, prebiotik, dan sinbiotikdalam pakanuntuk meningkatkan

responimun dan kelangsunganhidup ikan nilaOreochromis niloticus yang

diinfeksiStreptococcus agalactiae. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Franck, A. 2002. Technological Functionality of Inulin and Oligofructose in British. Journal

of Nutrition. Volume 87. CABI Publishing, UK.

Gustiano, R., O. Z. Arifin, E. & Nugroho. 2008. Perbaikan pertumbuhan ikan nila

(Oreochromis niloticus) dengan seleksi famili. Media Akuakultur. 3 (2): 98-106.

Handayani, S. 2006. Studi efisiensi pemanfaatan karbohidrat pakan bagi pertumbuhan ikan

gurame (Osphronemus gouramy Lac.) sejalan dengan perubahan enzim pencernaan

dan insulin. Institut Pertanian Bogor.

Huisman, E.A., 1987. Principles of Fish Production. Departement of Fish Culture and

Fisheries, Wageningen Agricultural University, Nedherland.

Irianto, A. 2003. Probiotik akuakultur. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Khalwan., Irianto, A., Rachmawati, F.N. 2012. Pengaruh suplementasi Bacillus sp. melalui

perifiton terhadap jumlah total mikroba intestinal dan gambaran darah ikan gurami

(Osphronemus gouramy). Bioteknologi. 9 (2): 35-40.

Pasaribu HF, Dalimunthe N, Poeloengan M. 1990. Pengobatan Pencegahan Penyakit Ikan

Bercak Merah. Prosiding Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan Udang. Editor

A.Rukyani dkk. Bultkanwar Bogor.

Post G. 1987 . Bacterial Disease of Fish Health. T. F H. Publication Inc., New York.

Ringo E, Olsen RE, Gifstad TO, Dalmo RA, Amlund H, Hemre GI. 2010. Prebiotic in

aquaculture: a review. Aquaculture Nutrition. 16 (2): 117–136.

Rustikawati, I., Rostika, R., Iriana, D., & Herlina, E. 2004. Intensitas dan Prevalensi

Ektoparasit pada Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio l.) yang Berasal dari Kolam

Tradisional dan Longyam di Desa Sukamulya Kecamatan Singaparna Kabupaten

Tasikmalaya. Jurnal Akuakultur Indonesia.3 (3) : 33-39.

Saputra, D.A., Sukenda., & Widanarni. 2013.Aplikasi sinbiotik dengan dosis probiotik

berbeda untuk pencegahan penyakit vibriosis pada ikan kerapu bebek Cromileptes

altivelis.Jurnal Akuakultur Indonesia. 12 (2): 170–178.

Takeuchi, 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutriens. P.179-233, in

Watanabe (Ed) Fish Nutrition and Mariculture. Kanagawa International Fisheries

Training. Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan.

Wang Y., 2007. Effect of probiotics on growth performance and digestive enzyme activity of

the shrimp Panaeus vannamei. Aquaculture 269, 259-264.

Yuliati, P., Kadarini, T., Rusmaedi., & Subandiyah, S. 2003. Pengaruh padat penebaran

terhadap pertumbuhan dan sintasan dederan ikan nila gift (Oreochromis niloticus) di

kolam. Jurnal Iktiologi Indonesia. 3 (2): 63-66.

Page 279: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

268

APLIKASI ISOLAT Bacillus cereus dan Pseudomonas aeruginosa

TERHADAP Pyriculariagrisea PENYEBAB PENYAKIT

BLAST PADA PADI CIHERANG

Zuraidah

*, MarjuliaUkhra

JurusanPendidikanBiologiFakultasTarbiyahdanKeguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh,

Kompleks UIN Ar-Raniry, 23111, Darussalam,Banda Aceh *Email: [email protected]

Abstrak

Penelitiana plikasi bakteri Bacilluscereus dan Pseudomonas aeruginosa dalam menghambat

penyakit blast yang disebabkan oleh cendawan patogen Pyricularia grisea pada tanaman padi

varietas Ciherang telah dilakukan di lahan milik BPTP Aceh. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui kemampuan bakteri Bacillus cereus dan Pseudomonas aeruginosa serta

konsorsium dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen Pyricularia grisea

penyebab penyakit blast pada tanaman padi varietas Ciherang. Rancangan penelitian yang

digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 5 perlakuan dan tiga

ulangan. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam pada taraf

kepercayaan 95% (ANAVA) dan dilanjutkan dengan menggunakan Duncan Multiple Range

Test (DMRT) pada taraf 5% (α = 0,05) dengan menuggunakan SPSS 16.0. Prosedur kerja

dalam penelitian ini dimulai dengan menyiapkan bibit tanaman padi varietas Ciherang

menggunakan tanah yang telah dicampur dengan tanah dan campuranpupuk (3:1:1),

peremajaan cendawan patogen, peremajaan isolat bakteri, uji reaksi hipersensitif isolat uji

serta isolat patogen Pyricularia grisea terhadap tanaman tembakau, dan aplikasi bakteri

terhadap Pyricuraia grisea secara in vivo. Pengamatandilakukan pada panjang dan lebar lesio

tanaman padi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya penghambatan miselia

Pyricularia grisea yang terbentuk pada perlakuan dengan isolat bakteri biokontrol. Isolat

bakteri endofit yang juga mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen Pyricularia

grisea adalah: konsorsium, Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus cereus.

Kata Kunci: Pyricularia grisea, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, konsorsium,

tanaman padi varietas Ciherang, daya hambat, dan penyakit blast

PENDAHULUAN

Varietas Ciherang dengan umur tanaman 121 hari dapat mencapai hasil 8 t/ha sementara

varietas lokal hanya mampu menghasilkan rata-rata 4 t/ha.Padi Ciherang termasuk dalam

padi Indica. Padi indica adalah padi yang tidak lengket dan berbulir panjang.Padi ini

merupakan kelompok padi sawah yang sangat cocok ditanam di lahan sawah irigasidataran

rendah. Padi ini dapat ditanam pada musim hujan dan kemarau dengan ketinggian di bawah

500 m2 dari permukaan laut. Padi varietas Ciherang merupakan hasil persilangan antara

varietas padi IR18dengan varietas padi IR19 (Agust 2003).

Hasil wawancara dengan pihak BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) ,

diperoleh informasi bahwa di daerah Aceh, petani pada umumnya menggunakan varietas

padi Ciherang. Selain itu, penggunaan padi varietas Ciherang karena padi ini memiliki mutu

beras yang baik dan produktivitas yang tinggi dibandingkan padi Indica yang lain seperti

IR64. Selain itu, biji padi varietas Ciherang juga memiliki daya regenerasi yang tinggi yaitu

69% dibandingkan dengan padi varietas Inpari. Padi Ciherang disukaipara petani dan

Page 280: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

269

sebagian masyarakat karena sebagian sifat IR64 juga dimilikioleh Ciherang seperti tekstur

nasinya yang pulen, bentuk beras panjang danramping, warna gabah kuning bersih dengan

tingkat kerontokan sedang sehingga relatif memudahkan petani dalam proses

perontokan.Varietas Ciherang akhir-akhir ini dilaporkan sering terserang penyakit blast yang

disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea.

Penyakit blast merupakan salah satu faktor kendala budidaya padi, yang disebabkan oleh

cendawan Pyricularia grisea. Di Indonesia serangan penyakit blast dapat mencapai luas1.285

juta ha atau sekitar 12% dari totalluas areal pertanaman padi diIndonesia. Penyakit tanaman

muncul karena adanya kultivar yang pekaterhadap patogen, dan peka terhadappengaruh

lingkungan. Praktek budidayadapat menyebabkan timbulnyapenyakit, seperti halnya

pemupukannitrogen dengan dosis yang tinggidapat mempengaruhi perkembanganpenyakit

blast. Penyakit ini dapatmerusak daun, malai, dan batang padi (Sheila, et al.2013).

Pyricularia griseapenyebabpenyakitblas yang dapatmenginfeksitanamanpadasemua stadium

tumbuhdanmenyebabkantanamanpuso (Deptan 2009).

Penyakit pada tanaman padi yang disebabkan oleh cendawan atau bakteri, seperti hawar

pelepah padi (Rhizoctonia solani), blas (Pyricularia oryzae), dan hawar daun bakteri

(Xanthomonas oryzae pv oryzae) dapat menurunkan produksi padi. Penggunaan konsorsium

bakteri sebagai agens biokontrol berperan melindungi tanaman dari serangan patogen dan

menjadi alternatif untuk menggantikan pengendali dari bahan kimia. Dari hasil konsorsium

bakteri A5 (Bacillus firmus E 65, Pseudomonas aeruginosa C32b), A6 (B.firmus E 65, P.

aeruginosa C32b, B.cereus II 14), dan A8 (B.firmus E 65, Serratia marcescens E31, P.

aeruginosa C32b, B. cereus II 14) secara signifikan menunjukkan daya hambat terhadap

pertumbuhan patogen pada tanaman padi (Nisa 2012). Penggunaan alternative biokontrol

dengan aplikasi mikrob mampu menghasilkan zat anti mikrob tanpa mencemari lingkungan.

Pseudomonassp. Mampu memproduksi metabolit sekunder seperti antibiotik, pyocianin,

sideroforpengkelat besi, amonia, dansianida.Sedangkan bakteri Bacillus cereus sangat

resisten terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan, tidak tahan terhadap udara terbuka,

aerobik atau aerobik fakultatif. Di antara berbagai jenis probiotik, genus Bacillus memiliki

keuntungan bahwa, kapasitas mereka untuk bersporulasi, bertahan hidup pada suhu

lingkungan (Nisa 2012). MenurutNunung 2013 bahwa perlakuan kombinasi Psedomonas sp.

DanBacillus sp. (konsorsium) paling baik dalam menekan penyakit yang disebabkan oleh

cendawan patogen yakni sbesar F. oxysporum 55,56%. Hal ini menunjukkan bahwa

penggunaan kombinasi dua isolat sebagai agens biokontrol saling kompatibel dalam

mengendalikan cendawan patogen. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan

bakteri Bacillus cereusdan Pseudomonas aeruginosa, serta kemampuan isolat ekonsorsium

dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen Pyricularia grisea penyebab penyakit

blas pada tanaman padi varietas Ciherang.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga Agustus 2015 di lahan milik BPPTP

(Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian) Aceh dan Laboratorium

Mikrobiologi, Prodi Pendidikan Biologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Peremajaan Isolat Bakteri

Semua isolat bakteri Bacillus cereus yang digunakan diremajakan pada media NA dan

bakteri Pseudomonas aeruginosa yang diremajakan pada media King‘s Bdiinkubasi selama

24-48 jam pada suhuruang.

Page 281: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

270

Uji Reaksi Hipersensitif isolat Uji serta Isolat patogen Pyricularia grisea terhadap

Tanaman Tembakau Uji reaksi hipersensitif dilakukan pada daun tembakau (Nicotiana tobacum.) Isolat

Pseudomonas aeruginosa diperbanyak pada medium King‘s B cair dan Bacillus cereus di dalam media cair NB. Sedangkan cendawan Pyricularia grisea ditumbuhkan pada media Potato. Masing-masing inokulum diinjeksi sebanyak 1 ml menggunakan syringe steril berukuran 1ml tanpa jarum pada bagian belakang helaian daun tembakau yang sehat. Sebagai kontrol negatif digunakan akuades steril. Daun tembakau diberi label sesuai isolat yang diinjeksi. Respon tanaman diamati dalam jangka waktu 24-48 jam. Pengamatan pada daun tembakau terjadi nekrosis (kematian patologis satu atau lebih sel atau sebagian jaringan atau organ, yang dihasilkan dari kerusakan ireversibel berupa bintik-bintik atau bercak-bercak hitam pada tanaman) atau tidak. Isolat-isolat yang tidak menimbulkan reaksi hipersensitif dipilih untuk diuji daya hambatnya terhadap cendawan patogen.

Aplikasi Bakteri terhadap Pyricularia grisea secara in vivo Bibit padi ditanam pada pot-pot berdiameter 30 cm yang berisi campuran tanah

sawah, pupuk kompos, dan pupuk kandang. Isolat Bacillus cereus,Pseudomonas aeruginosa, dankonsorsiumditumbuhkanpada media cair. Aplikasi penyemprotan terhadap tanaman padi dilakukan secara kuratif pada padi yang terdapat pada pot-pot. Semua pot yang berjumlah 15 dengan lima perlakuan dan tiga ulangan, setiap perlakuan disemprot pada masing-masing pot sebanyak 40 ml. Perlakuan penyemprotan bakteri dilakukan dengan selang 5 hari, penyemprotan pertama setelah tanaman padi berumur 14 hari. Selanjutnya penyemprotan kedua dilakukan pada hari ke- 19 (hst), dan penyemprotan ketiga dilakukan pada hari ke- 24 (hst). Dua hari kemudian (yaitu hari ke- 26 hst) dilakukan pengolesan Pyricularia grisea pada daun dan batang padi yang ditanam pada pot. Kemudian dilakukan penyemprotan dengan perlakuan isolat bakteri yang sama, berselang 5 hari demikian seterusnya sampai pada penyemprotan ketiga. Perlakuan kontrol positif dilakukan menggunakan penyemprotan senyawa kimia fungisida (merek Trymenyl dengan bahan aktif mancozeb) dan kontrol negatif menggunakan air steril.

Pengamatan terhadap penyakit blast diamati selang 2 hari setelah inokulasi Pyricularia grisea. Tanaman padi yangdiamati gejala/pertumbuhannya yaitu terdapat pada helaian daun dan batang padi yang sudah diinokulasi dengan cendawan patogen. Pengukuran gejala penyakit blast dengan pengukuran lebar dan panjangnya lesio yang terbentuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

KarakterPyricularia grisea Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop setelah dilakukan pewarnaan

menunjukkan bahwa spora cendawan Pyricularia grisea mempunyai karakteristik konidiaberbentuk bulat, lonjong, tembus cahaya, dan bersekat dua (3 ruangan)seperti terlihat pada Gambar 1 di bawahini.

Gambar 1. Spora Pyricularia grisea

Page 282: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

271

Uji Reaksi Hipersensitif Isolat Uji serta Isolat Patogen Pyricularia grisea Terhadap Tanaman

Tembakau

Pengujian reaksi hipersensitif pada tanaman tembakau setelah 48 jam di injeksi inokulum

P1 (Bacillus cereus), P2 (Psidomonas aeruginosa) dan P3 (konsorsium) menunjukkan ciri-

ciri tidak terjadi perubahan terhadap warna daun tembakau dan tidak menyebabkan nekrosis

(Gambar2) artinya bakteri biokontrol tidak patogenik terhadap tanaman tembakau sehingga

tidak menyebabkan jaringan kolaps dan mati.

Gambar 2. Uji Hipersensitif pada Daun Tembakau

Injeksi perlakuan kontrol dengan aquades steril dan fungisida tidak terjadi nekrosis.

Semua bakteri biokontrol tidak menimbulkan reaksi hipersensitif terhadap tanaman tembakau

sehingga dapat dilanjutkan dengan pengujian daya hambat isolat-isolat tersebut terhadap

tanaman padi varietas Ciherang secara in vivo di lahan BPPTP.

Aplikasi Bakteri Terhadap Pyricularia grisea secara in vivo

Panjang lesio dan lebar lesio

Pengamatan intensitas penyakit blas yang disebabkan oleh Pyricularia grisea dilakukan

empat kali setiap minggu dimulai pada saat tanaman berumur 14 hari setelah inokulasi (hsi).

Bercak pertama timbul sangat kecil di bagian inokulasi yang dilakukan. Bercak mula-mula

berwarna hitam kecoklatan, berbentuk satu titik kecil dengan panjang 1–2 cm, setelah

beberapa hari pengamatan titik kecil tersebut membesar dan sedikit memanjang dan

membentuk seperti belah ketupat dan berwarna coklat seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Daun Padi yang Terserang Penyakit Blas

Pengukuran intensitas perkembangan penyakit blast dengan mengukur lebar dan panjang

daun yang terserang penyakit blas serta mengukur panjang dan lebar lesio yang muncul pada

daun. Penyemprotan dengan perlakuan menggunakan konsorsium (isolat bakteri Bacillus

cereus dan Pseudomonas aeruginosa) merupakan perlakuan terbaik dalam menekan

intensitas penyakit blas pada tanaman padi varietas Ciherang dengan nilai presentase 0,04 %

(Gambar 4).

Page 283: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

272

Grafik 4. Luas Lesio pada Daun Padi

Isolat bakteri yang paling baik menghambat cendawan pathogen penyebab penyakit blast

dimulai dari urutan yang paling baik adalah konsorsium, fungisida, dan Pseudomonas

aeruginosa, Bacillus cereus, dan air steril. Penggunaan konsorsium bakteriP.aeruginosa dan

B. cereus sebagai agens biokontrol berperan melindungi tanaman dari serangan patogen dan

menjadi alternatif untuk menggantikan pengendali dari bahan kimia.Isolat bakteri P.

aeruginosa menghasilkan indeks glukanolitik tertinggi. Sedangkan bakteri B.cereus

mempunyai senyawa alkaloida, fenol, flavonoida, glikosida dan fitoaleksin yang berfungsi

dapat meningkatkan produksi dan ketahanan terhadap stres lingkungan pada beberapa

tanaman. Kemampuan B.Cereus dan P. aeruginosa menghasilkan IAA yang dapat memicu

pertumbuhan tanaman kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang dapat

menguatkan sistem pertahanan tanaman terhadap serangan patogen. Menurut Hanudin et al.

2010 bahwa adanya induksi ketahanan system ikoleh bakteri yaitu adanya sumbangan

lipopolisakarida oleh bakteri dan asam salisilat.

Tinggi tanaman padi

Tinggi tanaman padi pada minggu 9 mst masing-masing perlakuan diikuti oleh huruf

yang sama (a) dengan angka pada perlakuan berturut-turut P3, P2, KP, KN, dan P1 adalah

75.3, 75.0, 73.6, 72.7, dan 70.5 dengan demikian pada minggu 9 mst tidak terdapat perbedaan

yang nyata pada setiap perlakuan.

Gambar 5. Tinggi Tanaman Padi

Page 284: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

273

Panjang daun padi

Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa pada masing-masing perlakuan terlihat

perbedaan pertumbuhan pada setiap minggu. Secara keseluruhan minggu ke-2, 3, 4, 5, 6

perlakuan dengan menggunakan isolat bakteri P. aeruginosa terdapat kesecendrungan

panjang daun tanaman padi. Minggu ke-7, 8, dan 9 perlakuan dengan menggunakan

konsorsium terdapat kecendrungan panjang daun pada tanaman padi. Perlakuan dengan

menggunakan fungisida berada pada titikpaling rendah pada minggu ke-2, 3, 4, dan 5

sedangkan pada minggu ke-7, 8, dan 9 perlakuan dengan menggunakan air steril berada pada

titik paling rendah.

Gambar 6. Panjang Daun Padi

Jumlah anakan padi

Berdasarkan gerafik di atas terlihat bahwa secara keseluruhan pertumbuhan jumlah

anakan terdapat perbedaan pada setiap minggunya berdasarkan perlakuan yang dilakukan.

Minggu ke-1, 2, dan 3 terlihat pada grafik masing-masing perlakuan berada pada titik yang

sama. Minggu ke-3, 4 dan 5 terdapat kecendrungan jumlah anakan menggunakan perlakuan

isolat bakteri P. aeruginosa sedangkan pada minggu ke- 6 dan 7 perlakuan dengan

menggunakan isolat bakteri B. cereus terletak pada titik tertinggi. Minggu ke-8 dan 9 juga

terdapat kencendrungan jumlah anakan menggunakan P. aeruginosa. Perlakuan dengan

menggunakan fungisida pada minggu ke-4, 5, 6, dan 7 terletak pada titik terendah pada

jumlah anakan padi. Sedangkan perlakuan dengan menggunakan air steril berada pada titik

terendah yaitu pada minggu ke-8 dan 9.

Gambar 7. Jumlah Anakan Padi

Page 285: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

274

Jumlah malai

Jumlah malai pada tanaman padi dilakukan saat 9 mst perlakuan penyemprotan dengan

isolat P1, P2, P3, fungisida dan akuades steril pada tanaman padi yang terserang penyakit

blas tidak berbeda nyata. Masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda dilihat

dari pertumbuhan malai pada masing-masing perlakuan. Secara berturut-turut pertumbuhan

malai yang bagus pada masing-masing perlakuan yaitu dimulai dari perlakuan dengan

menggunakan Pseudomonas aeruginosa, fungisida, airsteril, Bacillus cereus, dan

konsorsium.

Gambar 8. Jumlah Malai Padi

DAFTAR PUSTAKA

AbdelS, 2005. Antagonistic interactions between fungal patogen and leaf surface fungi of

onion (Allium cepa L.). Pakistan Journal of Biological Science Juni,4:838-842.

August P, 2003. Kajian beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah diKabupaten

Minahasa,Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Utara, hlm. 130-131.

Bambang S, et al. 2009. Deskripsi Varietas Padi, Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman

Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, hlm. 109-

110.

Bourett, T.M. and R.J. Howard. 2010. In Vitro Development of Penetration Structure in the

Rice Blast Fungus Magnaporthe grisea. Can. J. Bot, 68: 329–342.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Ciherang varietas fenomenal, diakses

padatanggal 10 Maret 2015 dari situs

https://wongtaniku.wordpress.com/2009/05/21/deskripsi-varietas-ciherang/

Nisa R, 2012. Formula Konsorsium Mikrob Ramah Lingkungan untuk Pengendali Penyakit

Blast, Hawar Daun Bakteri, dan Hawar Pelepah Padi dalam Upaya Meningkatkan

Produktivitas Tanaman Padi Organik, Skripsi, Bogor: IPB, hlm. 11-12.

Nunung S, 2013. Pengendalian Cendawan Patogen Akar Kedelai secara Koinokulasi Strain

Psedomonas sp. Dan Bacillus cereus sp. Dengan Bradyrhizobiumjaponicum, Jurnal

Penelitian Saintek, Vol.18, Nomor 1, hlm. 10-13.

Sheila D, et al. 2013. Ketahanan Beberapa Genotipe Padi Hibrida (Oryza sativaL.) Terhadap

Pyricularia oryzae Cav. Penyebab Penyakit Blas Daun Padi,Jurnal HPT, Vol.1, No.2,

Juni, hlm. 13-15.

Page 286: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

275

Struktur dan fungsi Hewan

dan Biomedis

Page 287: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

276

Page 288: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

277

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI RESISTENSI INSEKTISIDA SINTETIK

PADA Aedes aegypti VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

DI KOTA PADANG

Detection and Identification of Synthetic Insecticide Resistance in Aedes

aegypti Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Vector in Padang

Hasmiwati1, Djong Hon Tjong

2 and Eka Novita

1

1Parasitology Division, Medical Faculty, Andalas University, Padang,

Email: [email protected]. 2Biology Department, Mathematics and Science Faculty,

Andalas University, Padang

Abstract

One of a genetically effort of Ae.aegypti as Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) vector is by

using a synthetic insecticide that is an effective way to break the chain of transmission of

dengue. However, the use of insecticides intensively for a long time could cause resistance.

Some ways to detect synthetic resistance are susceptibility test (bioassay) according to the

WHO, biochemistry, and molecular detection. The purpose of this study was to detect

mutations at codon 989 and codon 1016 of VGSC genes, associated with vector resistance to

insecticide temephos. Detection of VGSC gene mutations was performed by susceptibility test

according to WHO, DNA of mosquito larvae which were still alive (resistance) then were

extracted and amplified with Aed3 and Aed2 primers, and obtained DNA was sequenced. The

results of this study showed >80% of mortality rate, while based on the confirmation of

sequencing, mutation was detected at codon 1016 of valine to glycine, and codon 989 of

serine to prolin of Aedes aegypti which derived from Pasar Ambacang village of Padang,

related to insecticide resistance temephos that used to larvae control. The conclusion of this

study was the occurrence of point mutation in S989P and V1016G of VGSC gene Aedes

aegypti larvae, as a target site resistance marker on synthetic of organophospat in Padang.

Keywords: Aedes aegypti, insecticide resistance, Voltage Gated Sodium Chanel (VGSC),

point mutation.

PENDAHULUAN

Setiap tahun kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di kota Padang selalu meningkat

yang merupakan salah satu indikasi bahwa program pengendalian nyamuk vektor Ae.aegypti

belum berhasil. Pada tahun 2012 jumlah kasus DBD di kota Padang sebanyak 1.626 kasus

dengan Case Fatality Rate (CFR) 0,6% atau setara dengan 10 kematian. Selanjutnya pada

tahun 2013 terjadi penurunan hingga tahun 2014 dengan jumlah 998 kasus menjadi sebanyak

666 kasus. Namun pada tahun 2015 jumlah tersebut kembali meningkat menjadi sebanyak

1126 kasus. Sehubungan dengan tersebut Dinkes Sumatera Barat mencatatbahwa kota

Padang merupakan daerah dengan kasus DBD tertinggi dibandingkan dengan 18

kota/kabupaten endemik lainnya sejak tahun 2006 hingga 2015 (DKK Padang, 2015).

Di Indonesia telah dilakukan berbagai program untuk pengendalian vektor DBD,

yaitu dengan manajemen lingkungan, partisipasi masyarakat, perlindungan individu,

pengendalian biologis dan pengendalian kimiawi. Pengendalian kimiawi dapat berupa

fogging untuk nyamuk dewasa dan penggunaan larvasida atau abatisasi untuk larva nyamuk

(Kemenkes RI, 2010).

Page 289: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

278

Abatisasi merupakan salah satu tindakan pengendalian nyamuk Ae. Aegypti yang

masih dilaksanakan hingga saat ini. Abatisasi adalah suatu tindakan pengendalian kimiawi

yang dilakukan terhadap larva nyamuk Aedes sp. Di Indonesia, tindakan abatisasi dilakukan

dengan menggunakan temephos 1% dengan dosis 1 ppm. Kandungan bahan aktif dari

Temephos adalah Tetramethyl Thiodi, P-Phenylene, Phasporothioate 1%, dan inert

ingredient 99%. Walaupun usaha pencegahan DBD telah dilakukan dengan pengendalian

vektornya, namun masih terjadi peningkatan kasus DBD, karena resistensi vektor DBD

terhadap insektisida (Dinkes, 2013;WHO, 2012)

Lima et al., (2008) melaporkan pada beberapa kota di negara Brazil bahwa nyamuk

vektor Ae.aegypti telah resistensi terhadap insektisida temephos. Mulyanto et al., (2012)

juga melaporkan adanya resistensi larva Ae. aegypti terhadap temephos di kota Surabaya,

dengan kematian larva beragam dari 20% hingga 60%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

strain nyamuk di kota Surabaya telah resisten terhadap temephos yang digunakan untuk

abatisasi.

Penggunaan insektisida dengan dosis, obat, sasaran dan cakupan yang tepat akan

mampu mengendalikan vektor DBD. Sebaliknya, jika insektisida digunakan secara tidak tepat

dan dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan resistensi vektor (Kemenkes RI, 2010).

Penggunaan temephos yang telah lebih dari 30 tahun juga memungkinkan terjadinya

perkembangan resistensi (Setiawan dan Fikri, 2014). Penentuan resistensi bergantung kepada

bioassay, konsentrasi insektisida yang tetap dan menghitung waktu pemaparan dan data

dilaporkan sebagai persentase kematian serangga atau efek Knock Down (KD). WHO telah

menetapkan dosis diagnosis standar untuk setiap insektisida (Corbel dan N‘Guessan, 2013).

Jika mortalitas, serangga uji <80% pada suatu populasi serangga tersebut dinyatakan telah

resisten, sehingga tidak bisa lagi digunakan jenis insektisida tersebut untuk pengendalian

vektor (IRAC, 2011).

Munculnya resistensi vektor terhadap insektisida yang semakin meluas menambah

sulit untuk menanggulangi penyakit yang ditularkan vektor. Mekanisme resistensi terhadap

insektisida mempunyai dasar secara biokimia. Dua bentuk mekanisme utama resistensi secara

biokimia adalah : 1). Target site resistance yang terjadi apabila insektisida tidak lagi dapat

mengikat target/ sasaran. 2). Detoxification enzyme-based resistance yang terjadi karena

peningkatan aktivitas enzym esterase, oxidase, atau glutathione- S-transferase (GST) untuk

degradasi insektisida sebelum mencapai tempat sasaran (target site) (Brogdon et al., 1998).

Deteksi dini status kerentanan vektor terhadap insektisida dapat bermanfaat sebagai

informasi program untuk pemilihan insektisida yang tepat dalam pengendalian vektor secara

lokal spesifik. Deteksi resistensi vektor terhadap insektisida dapat dilakukan dengan berbagai

cara yaitu : 1. Deteksi secara konvensional dengan metode standart WHO susceptibility test,

2. Deteksi secara biokimia atau enzimatis menggunakan mikroplate, dan 3. Deteksi secara

molekuler.

Prinsip dasar deteksi resistensi pada vektor secara molekuler adalah mengidentifikasi

mutasi gen yang menjadi target kelompok insektisida secara konvensional, yang salah

satunya adalah gen voltage gated sodium channel (VGSC) akibat penekanan secara selektif

insektisida kelompok Organofosfat dan Pyrethroid serta gen Acetylcholin esterase

(AceI)(French- Costant, 2004). Pada serangga yang telah resisten terhadap insektisida

perytroit dan organofosfat mekanisme resistensi penting diketahui untuk mendeteksi

perubahan atau mutasi pada gen VGSC. Secara molekuler pada gen VGSC terjadi perubahan

satu basa nukleotida pada asam amino yang berkaitan dengan resistensi. Berdasarkan uraian

diatas tujuan penelitian ini untuk mendeteksi dan identifikasi mutasi pada kodon V1016G

dan kodon S989P gen VGSC yang berkaitan dengan resistensi vektor Aedes aegypti terhadap

insektisida temephos di kota Padang.

Page 290: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

279

BAHAN DAN METODE

A.Uji Resistensi dengan metode standar WHO Susseptibility test

Metode uji kerentanan melalui metode bioassay. Biassay larva dilakukan menggunakan

temephos pestanal 250 mg 97,5% (Sigma-Aldrich) pada larva instar III atau awal instar IV

yang ditempatkan pada gelas eksperimen. Konsentrasi temephos yang digunakan adalah

sesuai standar WHO (1981) yaitu standar diagnostik 0,02 mg/l dilakukan pada 20 ekor larva

dan kontrol. Pengamatan dilakukan pada jumlah kematian larva setelah pengamatan selama

24 jam. Uji resistensi dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali untuk meminimalisasi

kesalahan pengukuran. Kriteria dilakukan menurut Herath : (i). kematian sebesar 99- 100% =

Rentan. (ii) kematian 80-98% = toleran/perlu verifikasi. (iii) kematian < 80% resisten.

B. Uji Molekuler

Metode molekuler yang digunakan meliputi beberapa langkah seperti berikut : Isolasi

DNA dari larva nyamuk Ae.aegypti hasil uji bioassay dengan menggunakan kit Isolasi dari

Invitrogen protokol sesuai dengan yang direkomendasikan pabrik. Selanjutnya PCR

(Amplifikasi) menggunakan sepasang primer Aed3 F ; 5ʼ ACT ACA TCG GAA TGT GGA

TCG 3ʼdan Aed2 R: 5ʼ TTG TTG GTG TGC GTT GTC GGC CGT CGG 3ʼ, Marcombe et

al., (2012). DNA hasil amplifikasi dipurifikasi sebelum disekuensing di Macrogen Korea.

Pengeditan hasil sekuensing dilakukan dengan program Bioedit software yang diakses secara

online pada situs: NCBI:http://www.mbio.ncsu.edu/bioedit/. Selanjutnya dilakukan analisiss

SNP menggunakan program Geneious versi 5.5.7 untuk mengetahui adanya mutasi kodon

pada gen VGSC.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Bioassay

Hasil bioassay uji resistensi standar WHO susceptibility test beberapa sampel nyamuk

Aedes aegypti di Kota Padang menunjukan adanya resisten terhadap temephos dengan

konsentrasi diagnostik 0,02 mg/l (kelompok Organopofosfat). Hasil uji resistensi tersebut

digunakan untuk menyeleksi nyamuk yang telah resisten yang akan digunakan untuk

mendeteksi dan mengidentifikasi mutasi gen VGSC yang berperan dalam resistensi

insektisida.

Hasil susceptibility test menggambarkan bahwa larva nyamuk yang tidak mati atau

masih hidup dengan kematian <80% dinyatakan resisten. Bioassay sussuptibility test yang

juga dilakukan oleh Litbangkes RI (2015) melaporkan bahwa di Sumatera Barat nyamuk

Ae.aegypti telah resisten di kota Bukittinggi dan Kabupaten Pesisir Selatan sedangkan di kota

Padang masih kisaran toleran terhadap temephos (Komonikasi Pribadi). Perbedaan hasil uji

bioassay yang dilakukan di kota Padang mungkin disebabkan oleh perbedaan lokasi karena

penggunaan larvasida di masing-masing lokasi dengan intensitas yang berbeda.

Temephos merupakan gologan insektisida organofosfat yang banyak digunakan oleh

masyarakat dan juga digunakan oleh pemerintah untuk program pengendalian nyamuk namun

penggunaannya tidak terkontrol sehingga menyebabkan resistensi pada vektor nyamuk

tersebut. Mekanisme resistensi yang terjadi akibat insektisida golongan organofosfat adalah

metabolik resisten yaitu adanya enzim-enzim yang dapat mendegradasi insektisida sebelum

mencapai sasaran atau target site. Data resistensi nyamuk yang didapatkan dari lokasi

berbeda dan dari waktu kewaktu sangat diperlukan untuk pengembangan strategi manejemen

pengendalian vektor . Selanjutnya dengan konfirmasi data sekuensing dideteksi dan

diidentifikasi terjadinya mutasi pada gen VGSC nyamuk Aedes aegypti dari kelurahan Pasar

Ambacang Kuranji Padang.

Page 291: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

280

Uji Molekuler

Isolasi DNA larva menggunakan kit Invitrogen dan di amplifikasi dengan

menggunakan primer Aed3 F dan Aed2R menghasilkan fragmen gen VGSC sesuai dengan

sekuen target dengan panjang 579 bp. Hasil PCR tersebut pada beberapa larva Ae.aegypti di

elektroforesis pada gel agarose 1,5% diperlihatkan pada Gambar 1. Hasil PCR tersebut

kemudian di sekuensing yang menghasilkan 579 pasangan basa nukleotida.

Gambar 1 : Elektroforegram hasil Amplifikasi Fragmen DNA gen VGSC

Hasil analisis sekuen DNA tersebut menunjukan adanya 2 titik mutasi pada kodon

989 pengkode Serin (TCA) berubah menjadi Prolin (CCA) dan mutasi pada titik 1016 kodon

pengkode Valin (GTA) berubah menjadi Glysin GGA). Hasil analisis dapat dilihat pada

Gambar 2 dan Gambar 3..

Mutasi titik yang didapatkan pada penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian

sebelumnya yaitu di Martique Perancis oleh Marcombe et al., (2012) di India 2013 oleh

Kuswah et al., (2015) di Amerika Latin, Asia Tenggara dan Cina Chun Xiau Li (2015).

Namun hasil penelitian ini berbeda dengan Widiarti et al.,. (2011) di kelurahan Simongan

Kota Semarang yang mendeteksi mutasi kodon 1014 Leusin (TTA) berubah menjadi

Fenilallanin (TTT) serta oleh Ghiffari et al.,(2013) di Palembang yang berhasil mendeteksi

mutasi 1016 Valin menjadi Isoleusin. Hal ini diduga karena penggunaan primer dan target

sekuen yang berbeda. Mutasi- mutasi yang terjadi pada gen VGSC. Sampai saat ini telah di

temukan beberapa mutasi titik yang berbeda pada beberapa serangga. Pada Ae.aegypti di

ketahui mutasi gen terjadi pada titik : 1) I1011M (ATA menjadi ATG) (Daborn et al., 2002),

2) I1011V (ATA menjadi GTA) (Yanola et al., 2011), 3) F1552C (TTC menjadi

TGC)(Kawada et al.,2009), 4) F1534C (TTC menjadi TGC) (Yanola et al., 2010),5) V1023G

(GTA menjadi GGA) (Lima et al., 2008), V1016G (Srisawat et al., 2010 dan Kasai et al.,

2011) dan 6) F1023C (TTC menjadi TGC (Kasai et al., 2011).

Hasil penelitian ini mengkonfirmasikan bahwa mutasi titik gen VGSC yang berbeda

beda sesuai dengan jenis insektisida yang digunakan, desain primer serta lokasi pengoleksian

larva Ae.aegypti.

Page 292: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

281

Gambar 2 : Hasil analisis data sekuensing adanya mutasi pad kodon S989P Ae. aegypti

Gambar 3 : Hasil analisis data sekuensing adanya mutasi pad kodon V1016G Ae. aegypti

Page 293: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

282

Pada saat ini pengendalian vektor larva Ae.aegypti yang dilakukan pemerintah adalah

dengan menggunakan temephos terutama di kota dan didaerah daerah endemik DBD

termasuk di kota Padang. Pada pertemuan tekhnis dari The National Resistance Monitoring

of Ae. aegypti ( MoReNAa ) tahun 2006 di tentukan bahwa program pengendalian vektor di

kota-kota dengan rasio resistensi Ae.aegypti lebih besar dari 3 harus menggunakan insektisida

lain dengan mekanisme kerja yang berbeda agar mengurangi tekanan seleksi terpajan

(Ministerio da Saude, 2006).

Disamping penggunaan insektisida alternative, populasi harus di pantau terus menerus

untuk mengetahui resistensi terhadap temephos sampai insektisida ini bisa dipakai kembali.

Selain itu perlu terjadi perubahan budaya didalam masyarakat agar mengenadlikan Ae aegypti

secara terus menerus dan secara keseluruhan daerah dengan efektif.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan nyamuk Aedes aegypti sebagai

vektor DBD di kelurahan Pasar Ambacang Kuranji di Kota Padang telah resisten terhadap

temephos yang di gunakan sebagai larvisida, Deteksi dan identifikasi resistensi secara

molekuler juga mendapatkan mutasi pada kodon S989P (Serin berubah menjadi Prolin) dan

Kodon V1016G (Valin berubah menjadi Glysin).

DAFTAR PUSTAKA

Brogdon, W.G. and. J.C.McAllister. 1998. Insecticide Resistance and Vector

Control. Emerging Infectious Diseases. Vol 4: 605-61 3.

Corbel, V., R. N‘Guessan. 2013. Distribution, mechanism, impact, and management of

insecticide resistance in malaria vectors: a pragmatic review. Diakses dari

http://www.intechopen.com/books/anopheles-mosquitoes-new-insights-into-malaria-

vectors/distribution-mechanisms-impact-and-management-of-insecticide-resistance-

in-malaria-vectors-a-pragmat pada tanggal 26 Desember 2015.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. 2013. Profil kesehatan Provinsi Sumatera

Barattahun2013. Diakses dari

https://dinkeskotapadang1.files.wordpress.com/2014/08/profil-tahun-2013-

edisi2014.pdf pada tanggal 21 Desember 2015.

Page 294: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

283

Daborn ,P.J., Yen, Bogwitz,J.L., Le Goff, M.R., Feil, E., Jeffers, S., Tijet, N., Perry,

T., D.Heckel,., P. Batterham.2002. A single P450 alleleassociatewith

insecticide resistance in Drosophila. Science. ;297:2253-2256

Ffrench - Constant, R. H.; Philip J. Daborn and Gaelle Le Goff.2004. The genetics and

genomics of insecticide resistance. TRENDS in Genetics. Vol. 20 (3): 163-170.

Ghiffari, A., Fatimi, H., Anwar, C. 2013. Detection of Insecticide Synthetic Pyrethroid

Resistance on Dengue Vector Aedes aegypti (L.)in Palembang using Polymerase

Chain Reaction. Aspirator vol 5. P:37-44

Herath, P.R.J. Insecticide Resistance Status in Disease Vectors and

itsPracticalImplications Intercountray Workshop on Insecticide Resistance of

Mosquito

Insecticide Resistance Action Committee. 2011. Prevention and management of resistance in

vectors of public health importance 2nd

edition. Diakses dari http://www.irac-

online.org /content /uploads /VM-Layout-v2.6_LR.pdf pada tanggal 24 Desember

2015.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Buletin jendela epidemiologi volume 2. Diakses dari

http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/p usdatin/buletin/buletin-

dbd.pdf pada tanggal 22 Desember 2015.

Kasai S, Ching, L. Lam-Phua, S.G., Tang,C.S., Itokawa, K., Komagata, O.,

Kobayashi,M. and Tomita, T. 2011. First Detection of a Putative Knockdown

Resistance Gene in Major Mosquito Vector, Aedes albopictus. Jpn. J. Infect.

Dis. 2011; 64:217-221.

Kawada, H., Higa, Y., Komagata, O. 2009. Widespread Distribution of A

Newly Found Point Mutation in Voltage-Gated Sodium Channel in Pyrethroid

Resistant Aedes aegypti Populations in Vietnam. PloS Neglected Tropical

Diseases. Vol. 3, 5271-5277

Kuswah, R. B.S., Dykes, C. L., Kapoor, N., Adak, T. and Sing, O.P. 2015.Pyrethroid-

Resistance and Presence of Two Knockdown Resistance (kdr) Mutations, F1534C

and a Novel Mutation T1521I, in Indian aedes aegypti. Plos Necleted Tropical

Deseases.Vol. ((1):1-8.

Lima, E.P., Paiva, M.H.S., de Araújo, A.P., da Silva, É.V.G, da Silva, U.M., de Oliveira, et

al. 2008. Insecticide Resistance in Aedes aegypti Populations from Ceará, Brazil.

Parasites & Vectors. Vol 4(5): 1-12.

Marcombe, S.,Mathieu, R.B.,Pocquet, N., Riaz, M. A.,Poupardin, R.,Seilor, S.,Darriet,

F.,Reynaud, S.,Yebakima, A., Corbel, V., David, J.P and Chandre, F. 2012.Insecticide

Resistance in the dengue Vector aedes aegypti from Martinique:

Distribution,Mechanisms and Relathions with Envirotmental Factors. Plos One. Vol.

7 (2):1-10.

Mulyanto, K.C., Yamanaka, A., Ngandino, Konishi, E. 2012. Resistance of Ades aegypti (L.)

larvae to temephos in Surabaya, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public

Health,43(1):29-33.

Ministerio de Saude. 2006. Secretaria de Vigilância em Saúde, Coordenação Geral do

Programa Nacional de Controle da Dengue. Reunião técnica para discutir status de

resistência de Aedes aegypti a inseticidas. Brasília, Ministério da Saúde

Page 295: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

284

Srisawat R, Komalamisra, N.and Eshita, Y. 2010. Point Mutations in Domain II of the

Voltage Gated Sodium Channel Gene in Deltamethrin Resistant Aedes

aegypti(Diptera: Culicidae). Appl. Entomol. Zool. Vol. 45: 275-282.

Setiawan, Y.D., Fikri, Z. 2014. Efektifitas larvasida temephos (abate 1G) terhadap nyamuk

Aedes aegypti Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul DIY Tahun 2013. Media Bina

Ilmiah, 8(4):33-36

Suroso, T. 1996. Dengue haemorrhagic fever in Indonesia: Epidemiological trend

anddevelopment of control policy. Dengue Buletin, 20:35-40.

Chun-Xiao Li, Kaufman, P.E., Rui-De Xue, Ming-Hui Zhao, Wang, G., Yan, T., Xiao-

Xia Guo, Ying-Mei Zhang, Yan-De Dong, Xing, D., Heng-Duan Zhang and

Tong-Yan Zhao1*

Relationship between insecticide resistance and kdr mutationsin

the dengue vector. Aedes aegyptiin Southern China. Parasites & Vectors. Vol 8

:325 : 1-9

Yanola J, Somboon, P., Walton, C., Nachaiwieng, W.,Somwang, P., Prapanthadara, L.

2011. High Throughput Assays for Detection of The F 1 534C Mutation in The

Voltage Gated Sodium Channel Gene in Permethrin Resistant Aedes aegypti and The

Distribution of This Mutation Throughout Thailand. Tropical Medicine and

International Health. Vol. 16(4): 501- 509.

Widiarti, Boewono, D.T., Garjito, T. A.,Tunjungsari,R., Asih, P.B.S.dan Syafruddin, D.2012.

Identifikasi mutasi Noktah Gen Voltage Gated Sodium Channel Aedes aegypti

Resisten terhadap Insektisida Pyretroid di Semarang Jawa Tengah. Bul. Penelit.

Kesehat, vol.40 (1)

World Health Organization. 1981. Instruction for determining the susceptibility or resistance

of mosquito larvae to insecticides. Diakses dari

http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69615/1/WHO_VBC_81.807_eng.pdf pada

tanggal 26 Desember 2015.

World Health Organization. 2012. Global strategy for dengue prevention and control.

Diakses dari http://apps.who.int/iris/ bitstream/10665

/75303/1/9789241504034_eng.pdf pada tanggal 21 Desember 2015.

Page 296: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

285

EFEK PETIDIN TERHADAP PSIKOMOTORIK DAN FUNGSI KOGNITIF PADA MENCIT (Mus musculusL.) CEMAS DENGAN

MENGGUNAKAN ALAT SISTEM OTOMATIS INTELLICAGE

THE EFFECT OF PETHIDINE ON PSYCHOMOTORIC AND

COGNITIVE FUNCTION ANXIOUS MICE ( Mus musculusL.)

USING AUTOMATIC SYSTEM INTELLICAGE

Putri Febriani Hasibuan1, Syafruddin Ilyas

2, Salomo Hutahaean

2

1Mahasiswa Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara;

2Departemen Biologi

FMIPA Universitas Sumatera UtaraJln. Bioteknologi No.1 Kampus USU, Medan-20155 E-mail: [email protected]

Abstract

Pethidine is a narcotic analgesic drug that works on the central nervous system that is center of the coordination and behavior. This Research aims to determine the effect of petidhine on psycomotoric and cognitive functionsof anxious mice (Mus musculus L.) using automatic IntelliCage system. The reasearch has been conducted from May to September 2015. The variable used to determine the behavior were duration and the number of visit, the duration and number of nosepoke, the duration and number of lick. The sample used were male miceweighting (25-30 grams) with a total of 12 mice. Mice were deprived for 24 hours and observed for 6 hours with provision of air-puff as anxious stimulation. The provision of LED is used to form a tendency to move at every corner of IntelliCage. Pethidine testing was done by dividing the 12 mice into 3 groups: blank control, saline control, petidhine treatment. Using One Way ANOVA test, the group of petidin had showed an increase in psychomotoric function in mice based on duration of visit while it decreased the psychomotoric fuction based on number of visit, number of nosepoke and number of lick. Pethidine also affected the cognitive function of mice which was showen by changing in tendency to move at every corner of IntelliCage. Keywords: Air-puff, Anxious, IntelliCage, Mice, Pethidine PENDAHULUAN

Kecemasanmerupakan efek fisiologis tubuh terhadap stimuli yang mengancam.Kecemasan dapat dihasilkan dari berbagai macam stressor yaitu berupa stressor psikologis.Stressor dapat menyebabkan perubahan tingkah laku.Dibutuhkan adaptasi untuk menyesuaikan diri agar mampu menanggapi stress. Apabila penyesuaian diri tidak dapat dilakukan, stressor dapat dengan mudah melahirkan keadaan yang bersifat patologi (Pasiak, 2005). Ada banyak yang cara digunakan untuk menanggulangi rasa cemas, penggunaan obat narkotika dan golongan obat opioid seringkali menjadi solusi untuk mengurangi kecemasan dan menciptakan perasaan bahagia (Dhabhar & McEwen, 2001). Petidin atau meperidin merupakan golongan obat opioid.Istilah opioid meliputi keseluruhan senyawa yang memiliki hubungan dengan opium suatu produk alami yang dihasilkan dari poppy (Bruton & Keith, 2006).Petidin atau meperidin merupakan golongan obat opioid sintetik turunan fenilpiperidin yang pertama kali disintesis dengan tujuan untuk studi sifat spasmolitik, tetapi memiliki sifat analgesik dengan derajat yang jauh lebih tinggi dan memiliki kecenderungan adiksi (Wilson and Gisvold‘s, 1982).Petidin yang penggunannya paling banyak dewasa ini memberikan efek euphoria (Siswandono, 1995).Sasaran reseptor yang bekerja obat ini terdapat pada somastostatin yang berfungsi sebagai neurotransmitter dengan efek masukan sensorik,

Page 297: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

286

aktifitas psikomotrik, fungsi kognitif dan menunjukkan perubahan perilaku secara signifikan (Ganong, 2008). Mencit dan tikus merupakan hewan coba yang dapat mewakili semua jenis model

kecemasan dan studi perilaku akibat induksi obat(Bourin, 1997).Safi et al., (2006), pada

penelitiannya telah melakukan penelitian efek farmakologik obat dengan metode kecemesan

pada mencit betina dengan obat turunan benzodiazepine lainnya yaitu diazepam dengan

menggunakan alat intelliCage. Hewan diberi kecemasan berupa semburan angin (air-puff).

Untuk mendapatkan hasil yang akurat dengan menggunakan IntelliCage, model kecemasan

hewan di modifikasi dengan Vogel Water-lick Conflict,yaitu dengan tidak memberi akses

minum kepada mencit (puasa) selama minimal 18 jam sebelum pemberian obat

diazepam.Setiap mencit yang melakukan kunjungan dihitung durasi dan jumah kunjungan,

hendusan dan jilatan didalam sistem intelliCage. Hasilnya obat turunan benzodiazepine

terbukti berpengaruh jilatan, hendusan dan aktivitas motorik yang dapat dilihat secara

kuantitas.

Dalam penelitian ini digunakan paparan LED sebagai stimulasi pada setiap corner

yang telah tersedia pada alatIntelliCage. Sekitar 90% dari mamalia mampu menangkap

adanya perubahan cahaya karena adanya pengolahan sinyal pada fotoreseptor mencit (Puller,

2011).IntelliCageadalah sistem otomatis yang lengkap, untuk pemantauan dan pengujian

lokomotor dan perilaku sosial mencit dan dapat mendeteksi perubahan pola harian serta

ingatan mencakup durasi dan jumlah kunjungan, hendusan dan jilatan mencit selama berada

didalam sudut. Alat ini memiliki beberapa warna lampu (LED), auditory systemhukuman

berupa Air puff (semburan angin) sebagai stressor(Safi et al., 2006).

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bersifat eksperimental. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium

Terpadu, Laboratorium Ilmu Dasar (LIDA) Universitas Sumatera Utara bulan Juli-September

2016. Penelitian ini menggunakan sistem otomatis IntelliCage. Sampel dibagi ke dalam 3

kelompok perlakuan yaitu, hewan tanpa injeksi sebagai kontrol, pemberian saline sebagai

kontrol negatif dan pemebrian petidin sebagai perlakuan. Parameter yang diamati dalam

penelitian ini adalah durasi dan jumlah kunjungan, durasi dan jumlah jilatan setra durasi dan

jumlah hendusan. Data dianalisa menggunakan uji ANOVA dan menggunakan data otomatis

pada IntelliCage.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Digital Camera, Transponder,

Injector khusustrasnponder, Timbangan Digital, Generator,serangkaian alatIntelliCage,

Hand Scanner, Personal Computer (PC). bahan yang digunakan adalah mencit (Mus

musculusL.)jantan, air, pakan mencit,tissue, sekam padi, obat anti nyeri (analgesik-

narkotika), petidin 10 mg/ml, garam fisiologis 0,9%, ketamin 10 mg/ml, spuit 1ml.

Persiapan hewan coba

Mencit (Mus musculusL.) jantan yang berusia 5-7 minggu dengan berat badan 20-30

gram, sebanyak 12 ekor. Mencit diaklimatisasi selama beberapa hari di dalam IntelliCage

guna penyesuain terhadap suhu lingkungan. Dosis normal petidin pada manusia adalah 70-

100 mg (Siswandono, 1995), dosis yang setara adalah 0,26 mg/20gBB mencit setelah

dihitung dengan faktor konvesi (Paget and Barnes, 1946).

Anastesi dan Implantasi Transponder

Setelah dua hari periode aklimatisasi (habituasi), semua mencit diimplan dengan

micro-transponder. Implantasi dilakukan setelah pemberian zat anastesi (ketamin 1,18 mg/20

g BB; im). Transponder diinjeksikan melalui subkutan dengan injector khusus

transponderuntuk sekali pemakain pada masing-masing mencit. Proses ini berlangsung ± 60

menit sebelum efek anastesi yang digunakan hilang.

Page 298: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

287

Adaptasi di dalam IntelliCage

Dua belas ekor mencit yang telah di implan micro-transponderdi scan untuk mendapatkan nomor setiap mencit yang akan dimasukkan kedalam data pada komputer (setiap micro-transponder memiliki nomor seri yang berbeda-beda) guna membedakan mencit satu dengan lainnya dan setiap aktivitas mencit selama di dalam IntelliCagedapat di deteksi oleh komputer. Mencit dimasukkan kedalam IntelliCage dan beradaptasi selama 2 hari. Bebas minum kesemua sudut pada IntelliCage yang setiap sudutnya dilengkapi dengan 2 botol air minum.

Metode Pembelajaran (Learning Phase) Mencit yang berjumlah 12 ekor dibagi menjadi 3 kelopmpok K1, K2 dan K3. Setelah

beradaptasi secara bebas di dalam IntelliCage, dilanjutkan dengan metode pembelajaran, metode pembelajaran ini terdiri dari 2 periode, dimana 1 periode terdiri dari masa puasa selama 24 jam dan masa pengamatan selama 6 jam. Disebut masa puasa karena sudut (yang merupakan akses ke air ditutup) dan disebut masa pengamatan karena sudut (yang merupakan akses ke air dibuka) setelah mencit masuk kedalam sudut dan minum selama 3 detik mencit akan menerima semburan angin (air puff) selama 3 detik. Data yang digunakan adalah data selama pengamatan. Metode Pengenalan (Conditioning Phase)

Setelah mencit menerima efek kecemasan akibat semburan angin (air puff) yang diterimanya sebagai hukuman pada setiap sudut mencit berlanjut menerima fase berikutnya yaitu metode pengenalan (Conditioning Phase). Pada fase ini menggunakan LED yang terdapat pada alat IntelliCage. Lampu akan menyala disetiap sudut. sama seperti fase sebelumnya fase ini terdiri dari atas 2 periode. 1 periode terdiri dari masa puasa 24 jam dan masa pengamatan selama 6 jam. Pada masa puasa semua pintu pada sudut yang merupakan akses ke air ditutup selama 24 jam kemudian setelah masa puasa habis berlanjut ke masa pengamatan yang berlangsung selama 6 jam, pada masa ini semua pintu pada sudut yang merupakan akses ke air dibuka Ketika mencit masuk kedalam sudut dan minum selama 3 detik mencit akan menerima semburan angin selama 3 detik. Lampu akan menyala baik pada masa puasa maupun masa pengamatan (waktu dilanjutkan dari learning phase).

(a) (b)

(a) (b) Gambar 1.4. Pola stimulus LED pada IntelliCage (a) pola warna periode 1 pada fase

pengenalan (b) pola warna periode 2 pada fase pengenalan; angka pada gambar menunjukan penomoran sudut (corner).

3.3.6 Metode Pengujian (Treatment Phase) Pada metode pengujian mencit diberi perlakuan:

a. Kelompok K1 sebagai kontrol blank (tanpa injeksi) b. Kelompok K2 diberi injeksi larutan saline sebagai kontrol negatif c. Kelompok K3 diberi injeksi dengan petidin sebagai perlakuan

Corner 4

Corner3 Corner2

Corner1

Corner2 Corner3

Corner1 Corner 4

Page 299: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

288

Fase uji ini dilanjutkan dari fase sebelumnya yang juga terdiri dari 2 periode yaitu

masa puasa 24 jam dan masa pengamatan 6 jam. Setelah mencit dibagi menjadi kelompok

diatas, mencit akan menerima perlakuan berdasarkan kelompoknya, pemberian zat perlakuan

dilakukan 30 menit sebelum masa puasa berakhir. Injeksi dilakukan secara intramuscular.

Masa puasa dan masa pengamatan sama dengan fase pengenalan (Conditioning Phase)

sebelumnya yaitu dibuka, ditutupnya pintu, pemberian air puff serta lampu yang menyala

sesuai warna setiap periode pada fase conditioning.

3.3.8 Variabel Pengujian

Berbagai variabel variasi yang telah ditunjukkan pada setiap kelompok:

Jumlah kunjungan: Frekuensi mencit untuk kembali ke corner.

Durasi kunjungan: total waktu yang dihabiskan mencit didalam corner

Jumlah jilatan: jumlah semua jilatan selama masa mencit minum.

Durasi jilatan: waktu yang dihabiskan mencit untuk minum.

Jumlah Hendusan: total jumlah yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air

pada botol di dalam sudut dengan hendusan.

Durasi hendusan: Total waktu yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air

pada botol di dalam sudut dengan hendusan.

3.3.9 Analisis Data

Data yang didapat dari setiap parameter uji diuji dengan bantuan SPSS ver-22 untuk

melihat korelasi data antara sebelum dan sesudah pemberian obat, kemudian digunakan uji

parametrik one way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji bootsrapping untuk melihat korelasi

data antara sebelum dan sesudah pemberian obat dan menggunakan data otomatis yang

direkam pada AnalyzerIntelliCage.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan masing masing parameter uji didapatkan bahwa rata-rata durasi

kunjungan yang paling lama terdapat pada mencit yang telah diberikan obat petidin. Hal ini

menunjukkan bahwa petidin mampu meningkatkan aktifitaspsikomotorik mencit selama di

dalam corner. walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok

kontrol. Petidin merupakan analgesik opioid kuat turunan sintetik morfin (fenil piperidin)

yang penggunaannya paling banyak dewasa ini. Golongan ini umumnya menimbulkan

euphoria (Siswandono, 1995). rata-rata jumlah kunjungan dari kontrol saline dan kelompok

perlakuan petidin lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol blank. Hal ini menunjukkan

bahwa petidin sedikit nya mengurangi frekuensi mencit kembali berkunjung ke dalam corner.

Somastostatin tempat bekerja obat ini ditemukan dibagian otak, yang tampaknya berfungsi

sebagai neurotransmiter dengan efek pada masukan sensorik, aktivitas lokomotrik (Ganong,

2008).

Perbedaan berdasarkan parameter durasi hendusan mencit menunjukkan hasil yang

signifikan antara kelompok kontrol blank dan kontrol saline tetapi tidak terdapat perbedaan

antara kontrol blank dan perlakuan petidin. Hal ini dikarenakan dosis petidin yang digunakan

belum memberikan pengaruh terhadap durasi hendusan mencit sedangkan pemberian saline

dengan penambahan stressor memberikan efek penurunan perilaku sedangkan, rata-rata

jumah hendusan dari masing-masing kelompok lebih rendah namun tidak berbeda secara

signifikan. Rata-rata dari kelompok perlakuan petidin lebih rendah dibandingkan kelompok

kontrol blank. Hal ini menunjukkan pemberian obat petidin sedikitnya menurunkan jumlah

hendusan mencit meskipun tidak signifikan. Obat petidin merupan analgesik narkotik yang

langsung bekerja pada sistem saraf pusat yang memengaruhi sistem saraf otonom sehingga

menyebabkan perubahan pergerakan psikomotorik mencit menghendus corner/sudut.

Page 300: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

289

Hendusan mencit sedikitnya berkaitan dengan pernafasan mencit. Petidin berpengaruh pada

sistem saraf pernafasan yang menyebabkan depresi pernafasan.

Durasi jilatan mencit pada kelompok kontrol blank dan kontrol saline menunjukkan

hasil yang signifikan. Sedangkan kontrol blank dan perlakuan petidin tidak menunjukkan

hasil yang signifikan. Hal ini dikarenakan dosis petidin yang digunakan belum memberikan

pengaruh terhadap durasi jilatan mencit dan pemberian obat satu kali dalam masa pengamtan

6 jam belum efektif dalam memberikan pengaruh terhadap durasi jilatan mencit. jumlah

jilatan mencit pada kelompok kontrol saline terdapat perbedaan yang signifikan dengan

kelompok kontrol blank dan kelompok perlakuan petidin. Tetapi dapat dilihat berdasakan

rata-rata pada setiap kelompok Kelompok perlakuan petidin lebih rendah dibandingkan

kelompok kontrol blank. Hal ini menunjukkan petidin dapat menurunkan frekuensi mencit

untuk kembali menjilat pada setiap corner. Variabel jumlah jilatan pada mencit sedikit

banyak nya dihubungkan dengan perilaku mencit mencari minum dan melakukan aktivitas

minum. Zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf

pusat dan menimbulkam kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya ganguguan fisiologis,

gangguan berfikir, perubahan perasaan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) (www.

Narkoba-metro.org).

Tabel 1. Persentase Kunjungan Mencit pada masing-masing Corner/Sudut IntelliCage

dengan Pemaparan LED Sebelum dan Sesudah Pemberian Petidin

Corner/

Sudut

IntelliCage

Conditioning 1 Treatment 1 Conditioning 2 Treatment 2

Pemaparan

LED

Pemaparan

LED + petidin

Pemaparan LED Pemaparan LED +

Petidin

1 0% 0% 0% 3%

2 0% 0% 10% 36%

3 40% 17% 52% 25%

4 60% 83% 38% 36%

Pada Tabel 1. diatas dapat dilihat bahwa pada conditioning 1, treatment 1 dan paa

conditioning 2 menunjukkan persentasi kunjungan yang dominan ke corner/sudut 3 dan 4.

Tetapi masa treatment 2 menunjukkan persentasi yang berbeda atau hampir merata di setiap

sudut/corner dan tidak lagi menunjukkan kecendrungan sudut ke 3 dan ke 4.Hal ini

dikarenakan oleh, pemberian LED sebelumnya telah membentuk rangsangan pada mencit

untuk bergerak kearah corner 3 dan 4. Menurut Vainino et al., (1995), Walter et al., (2001),

farmakodinamik obat ini dapat menimbulkan efek berlanjut sedasi, perubahan mood, pusing,

mengaburkan mental, dan hilangnya keterampilan motorik. Efek samping jangka panjang

dapat dilihat dalam proses belajar yang memerlukan persepsi, perhatian, memori serta

pengambilan keputusan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa golongan obat opioid

merusak fungsi kognitif individu.

Tabel 4.2. Persentase Hendusan Mencit pada masing-masing Corner/Sudut IntelliCage

dengan Pemaparan LED Sebelum dan Sesudah Pemberian Petidin

Corner/

Sudut

IntelliCage

Conditioning 1 Treatment 1 Conditioning 2 Treatment 2

Pemaparan

LED

Pemaparan

LED + petidin

Pemaparan LED Pemaparan LED

+Petidin

1 0% 0% 0% 12%

2 0% 0% 3% 31%

3 14% 22% 42% 28%

4 86% 78% 55% 29%

Page 301: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

290

Pada Tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa pada conditioning 1 treatment 1 dan

conditioning menunjukkan persentasi mencit menghendus yang dominan ke sudut/corner 3

dan 4, Tetapi masa treatment 2 menunjukkan persentasi yang berbeda atau hampir merata di

setiap sudut/corner dan tidak lagi menunjukkan kecendrungan menghendus ke sudut/corner

ke 3 dan ke 4. %. Menurut Dahlstrom et al., (1975), Blomm et al., (1976), Eidelberg &

Erspamer (1975), baikopioidendogendaneksogenmenyebabkan perubahangerakpada tikus.

Hal ini, menunjukkanbahwapeptidaendogenmemainkanperanpentingdalamregulasiperilaku.

Tabel 4.3. Persentase Jilatan Mencit pada masing-masing Corner/Sudut IntelliCage dengan

Pemaparan LED Sebelum dan Sesudah Pemberian Petidin

Corner/

Sudut

IntelliCage

Conditioning 1 Treatment 1 Conditioning 2 Treatment 2

Pemaparan

LED

Pemaparan

LED + petidin

Pemaparan LED Pemaparan

LED+Petidin

1 0% 0% 0% 0%

2 0% 0% 6% 73%

3 0% 11% 78% 3%

4 100% 89% 16% 24%

Pada Tabel 3. dapat dilihat bahwa pada conditioning 1 yang hanya diberi paparan

LED menunjukkan persentasi mencit menjilat atau minum ke sudut/corner 4, pada masa

treatment 1 yang dipapari dengan LED dan pemberian petidin masih menunjukkan

kecendrungan ke corner 4 Pada masa conditioning 2 yang hanya diberi paparan LED, masih

kembali kecendrungan sudut/corner menjadi tinggi pada corner 3. Pada masa treatment 2

menunjukkan persentasi yang berbeda, yaitu mencit melakukan jilatan yang cenderung ke

sudut/corner 2 Tidak ada angka yang jelas untuk membandingkan kecendrungan sudut.tetapi

jelas terlihat bahwa terjadi perubahan aktivitas mencit menjilat dan minum pada conditioning

1 dan treatment 2. Menurut Kalechstein et al., (2007),beberapa gangguan kognitif pada

pengguna berbagai macam jenis opioid dapat menyebabkan gangguan memori, kemampuan

belajar, kecepatan psikomotor, transmisi dan respon untuk menahan diri.

KESIMPULAN

Obat petidin meningkatkan psikomotorik mencit cemas berdasarkan durasi

kunjungan pada perhitungan rata-rata namun tidak menunjukkan hasil yang signifikan, Efek

obat petidin menurunkan psikomotorik mencit cemas berdasarkan jumlah kunjungan dengan

perhitungan rata-rata namun tidak tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Efek obat petidin

menurunkan psikomotorik mencit cemas berdasarkan jumlah hendusan. Efek obat petidin

menunjukkan hasil perbedaan psikomotorik yang signifikan berdasarkan durasi jilatan dan

jumlah jilatan.Obat petidin dapat mengganggu fungsi kognitif (ingatan) mencit cemas

berdasarkan persentase kecenderungan kunjungan, hendusan, jilatan mencit pada masing-

masing sudut/corner IntelliCage.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih banyak TSE sebagai pencipta alat New Behavior

IntelliCage Plus Manual dan kepada laboraturium terpada LIDA (USU) Universitas Sumatera

Utara.

DAFTAR PUSTAKA

Bourin, M., 1997. Animal models of anxiety are they suitable for predicting drug action in

humans. Pol. J. Pharmacol. 49: 79–84.

Page 302: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

291

Bloom, F., Segal, D and Guillemin, R. 1976. Endorphins: Profound Behavioral Effect in Rats

Suggest New Etiological Factors in Mental Illness. 194: 130-133.

Dahlstrom, B., Paalzow, G & Palzow, L. 1975. A Pharmacokinetic Appoarch to Morphine

Analgesia and Its Relation to Regional Turn Over of Rat Brain Catecholamines. Life

Sci. 17: 11-15.

Dhabhar, F. S., & McEwen, B. S. (2001). Bidirectional effects of stress and glucocorticoid

hormones on immune function: Possible explanations for paradoxical observations. In

R. Ader, D. L. Felten, & N. Cohen (Eds.), Psychoneuroimmunology (3rd ed., pp. 301–

338). San Diego, CA: Academic Press.

Eidelberg, E. and Ersparmer, R. 1975. Dopaminergic Mechanisms of Opiate Action in Brain.

J. Pharmacil. Exp Ther. 192:50-55.

Ganong, W.F. 2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC. hal. 116-117.

Ghodse And Hamid. 2002. Drugs and Addictive Behaviour. New York. Camridge University

Press.page: 95.

Kalechstein, A. De La Garza, R. Mahoney, J. Fantegrossi, W. And Newton, T. F. 2007.

MDMA Use and Neurocognition: a Meta-analytic Review. Psychopharmacology.

189 (4): 531.

Lumbantobing, S. M. 2007. Serba Serbi Narkotika. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal. 150-

153.

Pasiak, T., Aswin, S., Susilowati, R. 2005. Hubungan reseptor dopamin D1 di cortex

prefrontalis tikus ( Rattus norvegicus ) dengan memori kerja setelah stres kronik. BNS .

6(3):155 -165.

Puller, C. Haverkamp, S. 2011. Bipolar cell pathways for color vision in nonprimate

dichromats. Vis Neurosci 28: 51–60.

Wilson and Gisvold, 1982.Textbook of Organic Medicinal and Phormaceutical Chemistry.

JB Lippicont Company East Washington Square. Philadephia.

Safi, K., Wespy, F. N., Welzl, H. dan Lipp, H. P. 2006. Mouse Anxiety Models an Example

of Experimental Setup Using Unconditioned Voidance in an Automated System-

Intellicage. Romanian Associated for Cognitive Science. 4: 475-488.

Siwandono, dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya. Airlangga University

Press.hal: 531-535.

Vainio A, Ollila J, Matikainen E, Rosenberg P, Kalso E. 1995.Driving ability in Cancer

Patients Receiving Long-term Morphine Analgesia.Lancet; 346:667-670. 39.

Way, E.L., and Shen, F. H. 1969. Simultaneous Quantitative Assessment Of Morphine

Tolerance And Physical Dependence. J. Pharmac. 167: 1-8.

Page 303: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

292

EFEK ALPRAZOLAM TERHADAP PERILAKU KOGNITIF

DAN PSIKOMOTORIK PADA MENCIT (Mus musculus L.) DENGAN

MENGGUNAKAN ALAT SISTEM OTOMATIS INTELLICAGE

Rinda Febriananda1, Syafruddin Ilyas

2, Salomo Hutahaean

2

1Mahasiswa Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara

2Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera UtaraJln. Bioteknologi No.1 Kampus

USU, Medan-20155 E-mail: [email protected]

Abstract

Alprazolam is an effective medicine that acts as anxiolytic and additional drugs in the

treatment depression, but it has adverse side effects, including cognitive and psychomotoric

impairments. This research aims to determine the effect of drugs on cognitive behavioral

(memory) and psychomotoric mice (Mus musculus) using IntelliCage. The variable covered

the number and duration of the visits, number and duration of nosepokes, as well as the

number and duration of lickings on learning corner. Twelve mice were divided into four

groups: blank control groups, saline control groups, treatment of alprazolam and saline

groups, and treatment of saline and alprazolam groups. Mice have beendeprived for 18

hours, then they were observed for six hours later by directing them only to one corner. They

were given access to drink and punishment in the form of air-puff. The result showed that

alprazolam impaired cognitive function (memory) and there was significant difference in the

number of visits and nosepoke at the learning corner (p<0,05). Alprazolam could cause

interference damages on cognitive and psychomotoric function of mice (Mus musculus).

Keywords: Alprazolam, anxiety drug effects, IntelliCage, neurosaince, Mus musculus L.

PENDAHULUAN

Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang

ditandai dengan perasaan takut atau khawatir yang mendalam dan berkelanjutan (Hawari,

2001). Kecemasan merupakan gangguan mental terbesar (Gail, 2002) dan sebanyak 47,7 %

remaja sering mengalami cemas (Haryadi, 2007). Kecemasan sangat mengganggu

homoestasis dan fungsi individu, kerena itu perlu dihilangkan dengan berbagai macam cara

penyesuaian (Maramis, 2005).

Salah satu cara untuk menghilangkan kecemasan yang berkelanjutan adalah dengan

mengkonsumsi obat penenang. Obat penenang yang biasanya digunakan merupakan dari

benzodiazepine, salah satu diantaranya ialah obat penenang alprazolam. Alprazolam

mempunyai daya kerja yakni khasiat anxiolitik (menghalau rasa takut dan kegelisahan),

antikonvulsi, sedatif-hipnotik, dan relaksasi otot (Gavish et al., 1999).

Alprazolam bersifatsedatif-hipnotik.yang menekan susunan saraf pusat (Rahadian, 2009).

Sedatif berfungsi menurunkan aktifitas, mengurangi ketegangan dan

menenangkanpenggunanya (Tjay & Rahardja, 2007).Sedasi merupakan suatu keadaan di

mana terjadi penurunan kecemasan, aktifitas motorik dan ketajaman kognitif (Rosenfeld &

Loose, 2007).

Fungsi kognitif adalah kemampuan berpikir dan rasionalisasi, termasuk proses

belajar, mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan. Gangguan fungsi kognitif

erat kaitannya dengan fungsi otak karena kemampuan untuk berpikir akan dipengaruhi oleh

otak. Gangguan fungsi kognitif adalah suatu gangguan fungsi otak berupa gangguan

orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual (Freidl et al.,

Page 304: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

293

1996).Pada saat tercapai dosis maksimal dalam plasma, benzodiazepine dalam dosis hipnotik

dapat menyebabkan kehilangan koordinasi motorik, gangguan fungsi mental dan psikomotor

(Charney et al., 2001).

Alprazolam memiliki efek samping, yaitu mengantuk, kelemahan otot, ataksia,

gangguan mental, amnesia, ketergantungan, depresi pernapasan, kepala terasa ringan hari

berikutnya, dan bingung. Masih banyak keluhan yang disampaikan oleh para pengguna obat

ini. Keluhan tersebut antara lainhangover yaitu efek sisabenzodiazepin di dalam plasma darah

seperti kurang konsentrasi, daya reaksi, kehilangan ingatan untuk sementara,gangguan

pernafasan dan masih banyak lagi (Tjay & Rahardja, 2007; Mantooth, 2001).

IntelliCage merupakan alat otomatis yang dilengkapi dengan komputer yang dapat

merekam tingkah laku mencit secara otomatis.Design atau parameter yang ingin diketahui

bisa dirancang pada program tersendiri pada IntelliCage, dan hasilya dapat dilihat pada

program yang disebut controller dan data yang didapatkan langsung dianalisis oleh program

analyzer pada IntelliCage untuk selanjutnya dapat diolah lebih lanjut.

Bahan dan Metoda Penelitian

a. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah digital camera, transponder (sebagai

pendeteksi keberadaan mencit), injektor khusus trasnponder, alat handscanner transponder,

PC (Personal Computer), serangkaian alat IntelliCage.

Bahan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus L.) jantan, air, pakan mencit,

obat anticemas alprazolam kemasan 1 mg, garam fisiologis 0,9%, ketamin 5 ml, spuit 1 ml,

dan tissue.

b. Persiapan hewan coba

Mencit (Mus musculus) jantan yang berusia 5-7 minggu dengan berat badan 20-30

gram, sebanyak 12 ekor.Masukkan ke dalam IntelliCage selama dua hari untuk periode

aklimatisasi (habituasi) dengan pemberian akses minum yang bebas dan pemberian makanan

secara ad-libitum (secara melimpah).

c. Anastesi dan Implantasi Transponder

Mencit diimplan dengan microtransponder. Implantasi dilakukan setelah pemberian zat

anestesi (ketamin 0,3 mg) secara intramuskular terlebih dahulu. Transponder diinjeksikan

melalui subkutan leher bagian atas dengan injektor khusus transponder untuk sekali

pemakaian pada masing-masing mencit.

d. Adaptasi di dalam IntelliCage

Dua belas ekor mencit yang telah di implan micro-transponder di scan untuk

mendapatkan nomor setiap mencit yang akan dimasukkan kedalam data pada komputer

(setiap micro-transponder memiliki nomor seri yang berbeda-beda) guna membedakan

mencit satudengan lainnya dan setiap aktifitas mencit selama di dalam IntelliCage dapat di

deteksi oleh komputer. Mencit dimasukkan kedalam IntelliCage dan beradaptasi selama 2

hari. Bebas minum kesemua sudut pada IntelliCage yang setiap sudutnya dilengkapi dengan

2 botol air minum.

e. Tahap pembelajaran

Mencit dipuasakan (tidak diberikan minum) selama 18 jam kemudian mencit diberikan

akses ke air secara ad-libitum ke-satu sudut (corner) pada IntelliCage. Setelah mencit masuk

dan 3 detik minum didalam sudut (corner), mencit akan menerima semburan angin yang

disebut hukuman.Waktu pemberian minum yang diberikan hanya 6 jam (yaitu sisa waktu 24

Page 305: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

294

jam dikurangi 18 jam waktu puasa pada mencit) proses ini disebut 1 periode. Periode ini

dilakukan selama 2 hari.

f. Perhitungan Dosis

Faktor konversi untuk mencit yang beratnya ± 20 g adalah 0,0026 (Paget and Barnes,

1946). Berdasarkan konversi dosis tersebut, maka diperoleh dosis alprazolam untuk mencit

adalah 2mg x 0,0026 = 0,0052 mg/ 20 g BB.

g. Tahap Pengujian

Dua belas ekor mencit dibagi menjadi 3 kelompok yang terdiri dari 4 ekor di setiap

kelompoknya:

(a) Kelompok kontrol saline (KS) di cekok dengan garam fisiologis 0,9% pada hari ketiga

dan keenam.

(b) Kelompok perlakuan alprazolam dan saline (P1) di cekok dengan alprazolam pada hari

ketiga dan garam fisiologis 0,9 % (saline) pada hari keenam.

(c) Kelompoksaline dan alprazolam (P2) di cekok dengan garam fisiologis (saline) 0,9 %

pada hari ketiga dan alprazolam pada hari keenam.

Pencekokan hanya diberikan satu kali selama satu periode dan pemberian obat

diberikan 30 menit sebelum masa puasa berakhir (Safi et al., 2006).Periode ini berlangsung

selama tiga hari (pada hari kedua dan keiga hanya dilakukan pengamatan tanpa ada

penambahan pemberian obat). Setiap kelompok perlakuan akan diuji dengan semburan angin

yang disebut hukuman seperti metode pembelajaran sebelumnya guna untuk mendapatkan

perbandingan berdasarkan variabel yang akan diuji. Berdasarkan prosedur yang telah

dirancang terdapat 4 kelompok:

(a) Kelompok kontrol blank (KB), yaitu tanpa pencekokan obat dan saline.

(b) Kelompok kontrol saline (KS), yaitu pencekokan garam fisiologis 0,9 % (saline) pada

hari ketiga dan keenam.

(c) Kelompok perlakuan pertama (P1), yaitu pencekokan alprazolam pada hari ketiga dan

garam fisiologis 0,9 % (saline) pada hari ke-enam.

(d) Kelompok perlakuan kedua (P2), yaitu pencekokan garam fisiologis 0,9 % (saline) pada

hari ketiga, dan alprazolam pada hari ke-enam.

h. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini dirancang untuk mengaktifkan sistem pada IntelliCage

mengunakan software Design khusus IntelliCage.Rancangan penelitian dijalankan setelah

masa puasa berakhir agar variabel uji didapatkan dengan baik.

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian. Pada rancangan di atas terdapat visit yaitu kunjungan

mencit. Setiap kali mencit berkunjung, pintu akan terbuka. Timer berguna

mengaktifkan hembusan pada kunjungan mencit setelah 3 detik minum.

Page 306: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

295

i. Variabel Pengujian

Berbagai variabel yang telah ditunjukkan pada kelompok kontrol yang dicekokkan

dengan garam dan pada kelompok perlakuan yang dicekokkan dengan alprazolam. Variabel

tersebut adalah:

(a) Jumlah kunjungan: jumlah kunjungan mencit ke sudut selama pengamatan.

(b) Durasi kunjungan: jumlah total lamanya waktu yang duhabiskan mencit di

dalamsudut selama pengamatan.

(c) Jumlah jilatan: jumlah jilatan mencit pada saat minum selama pengamatan.

(d) Durasi jilatan: waktu yang dihabiskan mencit untuk minum selama pengamatan.

(e) Jumlah hendusan: banyaknya jumlah hendusan mencit pada saat berkunjung ke sudut

selama pengamatan.

(f) Durasi hendusan: lamanya waktu pada saat mencit menghendus pada saat berkunjung

ke sudut selama pengamatan. Variabel ini dapat diperoleh dari total waktu yang

digunakan mencit untuk berusaha mencari air pada botol di dalam sudut dengan

hendusan selama pengamatan (berhasil atau tidak berhasil) (Safi et al., 2006).

j. Analisis Data

Data yang didapat dari setiap parameter uji (variabel), pengamatan dicatat dan disusun

ke dalam bentuk tabel.Data kuantitatif (variabel dipenden) yang didapatkan diuji kemaknaan

terhadap kelompok perlakuan (variabel independen) dengan bantuan program statistik SPSS

ver-22 untuk melihat korelasi data antara masing-masing kelompok dengan menggunakan uji

parametrik one way ANOVA.Data yang signifikan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Multiple

Comparison Bonferroni Bootstrapping untuk melihat korelasi data antara masing-masing

kelompok.

Hasil dan Pembahasan

a. Hasil Deskriptif Pengaruh Alprazolampada Fungsi Kognitif

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil pengaruh alprazolam terhadap perilaku

kognitif mencit (Mus musculus) (Gambar 1). Pada hari pertama dan kedua disebut

pembelajaran atau kontrol blank (KB). Pada hari pertama dan kedua, mencit tidak diberi

alprazolam ataupun saline.Mencit hanya diajarkan menuju sudut ke-2 untuk menguji

ingatannya, tetapi hukuman diberikan berupa air-puff ketika minum lebih 3 detik. Sudut

yang terbuka dan terdapat minuman hanya sudut dua.Pada hari pertama dan kedua, sudut

yang paling banyak dikunjungi adalah sudut yang kedua. Pada hari ketiga, masing- masing

kelompok telah diberikan perlakuan.Kelompok KS diberikan saline, kelompok P1 diberikan

alprazolam, dan kelompok P2 diberikan saline.Setelah pemberian perlakuan obat, kelompok

perlakuan pertama (P1) lebih banyak mengunjungi sudut ketiga.Berbeda dengan hewan yang

hanya diberikan saline atau larutan garam fisiologi secara oral yang masih lebih sering

mengunjungi sudut yang kedua yang telah diarahkan pada saat pembelajaran. Hal ini terjadi

karena alprazolam dapat menurunkan fungsi kognitif untuk sementara pada dosis terapi dan

pengobatan dalam jangka waktu yang pendek. Pada pengamatan selanjutnya mencit kembali

ke sudut dua lagi seperti pembelajaran awal.

Alprazolam menyebabkan gangguan fungsi kognitif (daya ingat), sehingga pada efek

lanjutnya dapat menyebabkan gangguan ingatan sementara.Hasil penelitian yang didapatkan

mencit yang diberikan alprazolam dapat merusak memori atau ingatan mencit sementara pada

hari ketiga.Kelompok hewan uji P1 yang biasanya lebih banyak mengunjungi sudut dua,

setelah diberikan alprazolam lebih bnyak mengujungi sudut tiga.Alpazolam merupakan

turunan benzodiazepin yang bekerja langsung pada sistem saraf pusat.Benzodiazepin

meningkatkan kerja neurotransmiter GABA (Gamma-aminobutyric acid) sebagai inhibitor

sehingga menurunkan aktivitas neuron.Oleh sebab itu, terjadi gangguan kognitif dan

Page 307: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

296

ingatan.Pada pemberian alprazolam di hari keenam, tidak ditemukan perubahan fungsi

kognitif seperti pada hari ke tiga.Kelompok hewan uji tetap lebih banyak mengujungi sudut

dua sesuai dengan metode pembelajaran.

Gambar 1.Data pengamatan jumlahkunjungan pada setiap sudut selama 8 hari pengamatan.

Menurut MDL Information System (1997), efek alprazolam adalah mengganggu

ingatan jangka pendek dan anterograde amnesia (tidak dapat mengingat apapun yang baru

terjadi), serta nyeri sendi dan nyeri pada dada. Block & Berchou (1984) telah menemukan

penurunan memori pada tikus yang telah diinduksi benzodiazepine.Penelitian lebih lanjut

dilakukan oleh Borde et al., (1997), yang menginjeksi tikus dengan diazepam, lalu

mengujinya dengan menggunakan labirin berbentuk T. Hasilnya, tikus yang diinjeksikan

tidak melewati labirin dengan baik dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan

tikus yang tidak di injeksi.

b. Psikomotorik Berdasarkan JumlahKunjungan ke Sudut Pembelajaran (Corner)

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji

dengan Analisis Varians (ANOVA), jumlah kunjungan memiliki perbedaan signifikan antara

mencit yang diberi saline dan alprazolam dengan mencit kelompok kontrol. Dilakukan uji

lanjut menggunakan metode Bonferroni dan Bootstrapping, maka didapatkan perbandingan

jumlah kunjungan antara masing-masing kelompok(Gambar 2).

Berdasarkan Gambar 2, hasil uji lanjutan untuk variabel jumlah kunjungan dengan uji

perbandingan Berganda (Multiple Comparison Test) menggunakan Metode Uji Bonferroni,

dapat dilihat perbedaan jumlah kunjungan yang signifikan antara kelompok KB dan P1, KB

dan P2, dan KB dan KS, namun tidak didapatkan berbedaan yang signifikan antara KS, P1,

dan P2. Pada perlakuan P1, didapatkan jumlah rata-rata kunjungan yang paling rendah

dibandingkan semua kelompok meskipun tidak signifikan.KS merupakan kontrol negatif,

karena pemberian perlakuan non farmakologik dapat menyebabkan perubahan tingkah

laku.Pada penelitian ini, jumlah kunjungan diharapkan mewakili aktifitas motorik dari hewan

uji.Sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian sesuai dengan hipotesis, yaitu pemberian obat

alprazolam dapat menurunkan fungsi psikomotorik dari mencit (Mus musculus).Penurunan

tersebut berpengaruh pada terganggunnya neurotransmiter GABA yang bekerja sebagai

inhibitor.Obat alprazolam yang merupakan turunan dari benzodiazepin, apabila dikonsumsi

dapat menyebabkan peningkatan daya kerja GABA.Peningkatan kerja GABA menyebabkan

Page 308: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

297

penurunan kerja saraf motorik, sehingga menyebabkan penurunan aktivitas motorik yang

signifikan.

Gambar 2. Rata-rata jumlah kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 8

hari (pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank; KS: Kontrol

Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam.

c. Psikomotorik Berdasarkan Durasi Kunjungan ke Sudut Pembelajaran (Corner)

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji

dengan Metode Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa durasi kunjungan

memiliki perbedaan yang tidak signifikan (Gambar 3).

Gambar 3. Rata-rata durasi kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 8 hari

(pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank; KS: Kontrol Saline;

P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam; s: second (detik).

Pada Gambar 3, rata-rata durasi kunjungan dari tiap kelompok yang paling rendah

adalah pada kelompok P1. Hal ini menunjukkan alprazolam menurunkan fungsi psikomotorik

berupa durasi kunjungan, namun perbedaannya tidak signifikan dibandingkan dengan

Page 309: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

298

perlakuan lainnya.Alprazolam dapat mengakibatkan efek sedatif yang dapat menurunkan

aktifitas motorik mencit apabila diberikan pada dosis rendah di siang hari, sehingga

menurunkan rata-rata kunjungan dan durasi kunjungan mencit.Hasil data yang didapatkan

dapat disimpulkan bahwa pemberian alprazolam dalam dosis rendah pada siang hari dapat

menurunkan fungsi psikomotorik pada mencit (Mus musculus).

Pemberian obat-obat seperti hipnotik-sedatif menyebabkan penurunan koordinasi

motorik karena depresi sistem saraf pusat (Salan, 1998).Secara umum gangguan aktivitas

motorik adalah berupa melambatnya gerakan, ataksia, dan akinesia, atetosis, dan lain-lain

(Ganong, 2002).

d. Psikomotorik Berdasarkan Jumlah Hendusan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji

dengan Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa jumlah hendusan memiliki

perbedaan yang signifikan (Lampiran 1.3). Dilakukan uji lanjutan menggunakan metode

Bonferroni dan Bootstrapping, maka didapatkan perbandingan jumlah hendusan antara

kelompok kontrol dan perlakuan (Gambar 4).

Gambar 4. Rata-rata mencit pada saat berkunjung kesudut pembelajaran (Corner) selama 8

hari (pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank; KS: Kontrol

Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam.

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat hasil uji perbandingan berganda untuk variabel

jumlah hendusan dengan Uji Perbandingan Berganda (Multiple Comparison Test)

menggunakan Metode Bonferroni dan Bootstrapping, dapat dilihat perbedaan jumlah

hendusan yang signifikan antara KB dan P1. Pada kelompok KS, P1, dan P2 tidak ditemukan

perbedaan yang signifikan.Pemberian alprazolam dapat menurunkan jumlah hendusan

mencit.Perilaku menghendus dideteksi dan dicatat secara otomatis oleh IntelliCage selama

mencit berkunjung disetiap sudut.Alprazolam dapat mengganggu perilaku yaitu pada fungsi

psikomotorik, sehingga terjadi penurunan perilaku menghendus pada mencit (Mus

musculus).Hal ini masih berhubungan dengan neurotransmitter GABA sebagai

inhibitor.Kerja GABA semakin meningkat apabila mengkonsumsi benzodiazepin, sehingga

terjadi gangguan penghantaran impuls pada saraf dan terjadi gangguan psikomotorik.

Page 310: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

299

e. Psikomotorik Berdasarkan Durasi Hendusan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji

dengan Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa durasi hendusan menurun namun

tidak signifikan.

Gambar 5. Rata-rata durasi hendusan mencit pada saat berkunjung kesudut pembelajaran

(Corner) selama 8 hari (pengamatan 6 jam/hari).Keterangan KB: Kontrol Blank;

KS: Kontrol Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam; s:

second (detik).

Berdasarkan Gambar 5 rata-rata durasi hendusan masing-masing kelompok meningkat

namun tidak signifikan.Kelompok P2 lebih tinggi dibandingkan kelompok KB, KS dan

P1.Hal ini menunjukkan pemberian obat alprazolam meningkatkan lamanya perilaku

menghendus pada mencit yang diberikan saline dan alprazolam (P2).Pada variabel jumlah

hendusan didapatkan rata-rata yang lebih rendah antara perlakuan dan kontrol, namun pada

durasi didapatkan rata-rata yang lebih lama antara perlakuan dan control.

Safi et al., (2006), menyatakan bahwa mencit yang diberikan diazepam memiliki rata-

rata durasi hendusan yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Pada penelitiannya, Safi tidak

memasukkan parameter jumlah hendusan dalam penelitiannya, melainkan hanya durasi

hendusan yang diketahui meningkat.Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah terjadi

penurunan jumlah pernafasan yang signifikan (p<0.05), tetapi terjadi peningkatan jumlah

hendusan, tetapi tidak signifikan.Dinyatakan pemberian obat sedatif-hipnotik dapat

memengaruhi fungsi psikomotorik mencit (Mus musculus).

f. Psikomotorik Berdasarkan JumlahJilatan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji

dengan Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa jumlah jilatan memiliki perbedaan

yang tidak signifikan. Rata-rata jumlah jilatan pada perlakuan lebih tinggi dibandingkan

kontrol (Gambar 6).

Pada Gambar 6, rata-rata jumlah jilatan dari masing-masing kelompok perbedaan

namun tidak signifikan. Pada kelompok P2 terjadi peningkatan perilaku jumlah jilatan yang

tinggi dibandingkan kelompok KS dan P1.Pemberian alprazolam setelah pemberian saline

(P2) dapat menyebabkan peningkatan jumlah jilatan dibandingkan pemberian alprazolam

sebelum saline (P1). Pada P1 rata-rata jumlah jilatan yang didapatkan hampir sama seperti

kontrol blank (KB). Berdasarkan hasil diatas, alprazolam dapat meningkatkan fungsi

psikomotorik dalam perilaku menjilat pada sudut pembelajaran

Page 311: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

300

Gambar 6. Rata-rata jumlah jilatan mencit pada saat berkunjung kesudut pembelajaran

(Corner) selama 8 hari (pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank;

KS: Kontrol Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam.

g. Psikomotorik Berdasarkan Durasi Jilatan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji

dengan Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa durasi jilatan memiliki perbedaan

yang tidak signifikan. Rata-rata durasi jilatan pada perlakuan lebih lama dibandingkan

dengan kontrol (Gambar 7).

Gambar 7. Rata-rata durasi jilatan mencit pada saat berkunjung kesudut pembelajaran

(Corner) selama 8 hari (pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank;

KS: Kontrol Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam; s;

second (detik).

Berdasarkan Gambar 7 rata-rata durasi jilatan dari masing-masing kelompok terlihat

perbedaan namun tidak signifikan.Durasi jilatan pada kelompok perlakuan lebih lama

dibandingkan kelompok kontrol.Durasi jilatan paling lama terdapat pada kelompok

pemberian alprazolam dan saline (P1).Berdasarkan data yang didapatkan, alprazolam

meningkatkan jumlah dan durasi jilatan.Perilaku menjilat merupakan salah satu dari fungsi

psikomotorik.Alprazolam meningkatkan fungsi psikomotorik dalam perilaku durasi jilatan.

Menurut Giriwijoyo (2005), tubuh melakukan metabolisme untuk menghasilkan

energi didalam tubuh, diantaranya kerja syaraf, kelenjar, otot, membentuk zat-zat baru dan

mempertahankan suhu tubuh. Penggunaan obat-obatan seperti obat diuretika, sedativa

Page 312: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

301

(penenang), dan anticholinergik juga dapat meningkatkan metabolisme tubuh.Diperlukan

asupan air yang cukup agar tubuh dapat melakukan metabolisme dengan baik.

Daftar Pustaka

Block, R. I. and Berchou, R. 1984. Alprazolam and Lorazepam Effects on Memory

Acquisition and Retrieval Processes. Pharmacol.Biochem.Behav.20: 233–241.

Borde, N., Krazem, A., Jaffard, R., and Beracochea, D. 1997. Memory deficits following

diazepam administration inmice: evidence for retrieval memory impairments.

Psychobiology.25: 202–209.

Charney, D. S., Mihic, S. J., and Harris, R. A. 2001.Hypnotics and Sedatives. In Hardman

JG, Gilman GA, and Limbird LE eds: Goodman & Gilman‟s The Pharmacological

Basic of Therapeutics. 10th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc. Pages: 399-

424.

Freidl, W., Schimdt, R., Stronegger, W. J. 1996. MMSE: Influence of Sociodemographic

Environmental and Behaviour Factors and Vascular Risk Factors. J Clin Epidemiol.

48 (1): 73-8.

Gail, S. W. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. ECG. Jakarta. Hal: 144.

Ganong. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta. Hal: 255-256, 259, 261.

Gavish, M., Bachman, L., Shoukrun, R., Katz, Y., Veenman, L. Weisinger, G., and Weizman,

A. 1999. Enigma of The Peripheral Benzodizepine Reseptor. J Pharmaco Rev. 51 (4):

629-650.

Giriwijoyo, S. 2005. Manusia dan Olahraga. Penerbit ITB. Bandung.

Haryadi,D. 2007. Perilaku bermasalah remaja muncul lebih

dini.http://www.duniaguru.com.(19 Oktober 2015).

Hawari, D. 2001. Manajemen Stres Cemas dan Depresi.Edisi ke-1.Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Mantooth, R. 2001. Toxicity,

Benzodiazepine.www.emedicine.com.http//www.emidicene.com.emerg/topic58.htm.(

5 Oktober 2015).

Maramis, W. F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press. Surabaya.

Hal: 38, 107.

MDL Information System. 1997. http: //fscimage.fishersci.com/ msds/ 81384.htm. (19

September 2016).

Rahadian, D. D. 2009.Pengaruh Ekstrak Biji Pala (Myristica fragrans Houtt.) Dosis7,5

mg/25 grBB Terhadap Waktu Induksi Tidur dan Lama Waktu Tidur Mencit BALB/c

yang Diinduksi Thiopental. [Skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro Semarang.

Rosenfeld, G. C. and Loose, D.S. 2007.Pharmacology.4th edition.Lippincott Williams &

Walkins. USA. Hal: 101.

Safi, K., Wespy, F. N., Welzl, H. dan Lipp, H. P. 2006. Mouse Anxiety Models an Example

of Experimental Setup Using Unconditioned Voidance in an AutomatedSystem-

IntelliCage. Romanian Associated for Cognitive Science. 4: 475-488.

Page 313: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

302

PENGARUH EKSTRAK METANOL DAUN SUREN

(Toona sureni BL Merr) TERHADAP SGPT DAN JUMLAH ERITROSIT

TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN YANG DIPAPARI

KARBON TETRAKLORIDA (CCl4)

Sera Wida Simatupang1, Salomo Hutahaean

2, Masitta Tanjung

2

1Mahasiswa Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara;

2Departemen Biologi

FMIPA Universitas Sumatera UtaraDepartemen BiologiJln. Bioteknologi No.1 Kampus

USU, Medan-20155E-mail: [email protected]

Abstrak

Penyakit hati tergolong salah satu penyakit yang merupakan problema di Indonesia dan

penderita kanker hati datang mencari pertolongan dokter atau kerumah sakit dalam keadaan

klinis yang buruk. Oleh sebab itu penelitian ―Pengaruh ekstrak metanol daun suren (Toona

sureni BL Merr) terhadap kadar SGPT dan jumlah eritrosit (Rattus norvegicus) wistar jantan

yang dipapari oleh Karbon tetraklorida (CCl4)‖ telah dilakukan dengan menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL). Masing-masing kelompok terdiri dari empat hewan uji

yang dibagi ke dalam 6 kelompok yaitu 2 kontrol positif, kontrol normal, 3 perlakuan yaitu

pemberian ekstrak suren dengan konsentrasi berbeda 100, 150 dan 200 mg/Kg/BB /oral.

Perlakuan di papari CCl4 selama 10 hari kemudian diberi pemulihan ekstrak suren selama 14

hari dan darah diambil dari jantung. Hasil menunjukkan pemberian ekstrak daun suren

menurunkan kadar SGPT dan meningkatkan jumlah eritrosist secara signifikan pada dosis

100 mg/ Kg BB/oral.

Kata Kunci : Eritrosit, Jumlah eritrosit, SGPT, Toona sureni Bl Merr.

PENDAHULUAN

Penyakit hati tergolong salah satu penyakit yang merupakan problema di Indonesia, baik

negara berkembang, bahkan negara yang sudah maju (Hadi, 2000).Penderita kanker hati

datang mencari pertolongan dokter atau kerumah sakit dalam keadaan klinis yang buruk

(Suswono et al., 1994).Kerusakan sel hati akan memengaruhi kadar enzim-enzim hati,

meningkatkan kadar bilirubin total, alanin aminotransferase (ALT) dan alkalin phosfatase

(ALP), dan sebaliknya menurunkan kadar protein total dalam serum (Rao et al., 2006 dalam

Panjaitan, 2006). Oleh sebab itu diperlukan cara atau sarana yang dapat digunakan untuk

mengobati kerusakan hati.

Suren belum banyak diteliti. namun menurut masyarakat suren berpotensi untuk

menyembuhkan penyakit hati (liver). Suren mengandung senyawa-senyawa aktif yang dapat

menjadi tumbuhan obat potensial untuk mengurangi radikal bebas yang terdapat dalam tubuh.

Menurut Antira (2013), ekstrak metanol daun suren mengandung alkaloid, flavonoid,

polifenol dan terpenoid.

Dalam penelitian ini sampel yang diambil dari hewan percobaan adalah darah dan

serum. Menurut Saputra dan Dwisang (2009), darah merupakan sejenis jaringan cair yang

mengisi tubuh manusia. Kandungan darah terdiri daripadat 45% terdiri atas sel darah, dan

cairan 55% plasma darah. Sel darah merah yang sudah tua atau rusak dihancurkan di dalam

limpa. Zat besi yang dihasilkan dari perombakan tersebut disimpan di dalam hati dan limpa

untuk kemudian digunkan kembali dalam pembentukan sel darah merah yang baru.

Page 314: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

303

Perombakan sel darah merah menghasilkan empedu di hati. Fungsi sel darah merah adalah

mengangkut oksigen yang berikatan dengan hemoglobin.

Rancangan penelitian

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah ulangan

sebanyak 4 ekor dengan dan dibagi ke dalam 6 kelompok dan darahnya diambil melalui

jantung.

Tabel 3.3.1. Taraf Pembagian Perlakuan

2. Kelompok Pembagian Perlakuan

3. Kontrol

4. positif

5.

6. CS10H : diberi larutan CCl4 (0,7 mL/200 g/ BB selama 10

hari) dibedah hari ke 11

7. CS24H : diberi larutan CCl4 (0,7 mL/200 g/ BB selama 10

hari) dibedah hari ke 25

8. Normal 9. Akuades selama (24 hari)

10. Perlakuan

11. CS100 : diberi larutan CCl4 + ekstrak suren 100 mg/ Kg/BB

14 hari, dibedah hari ke 25

12. CS150 : diberi larutan CCl4 + ekstrak suren 150 mg/ Kg/BB

14 hari dibedah hari ke 25

13. CS200 : diberi larutan CCl4 + ekstrak suren 200 mg/ Kg /BB

14 hari dibedah hari ke 25

Pembuatan Ekstrak Daun Suren

Serbuk daun suren dimasukan ke dalam wadah dan dimaserasi dengan menggunakan

metanol selama 3 hari sesekali diaduk. Setelah itu disaring dan dilakukan berulang kali

hingga perendaman sampai reaksi uji flavonoid negatif. Lalu tanin dipisahkan dengan cara

melarutkan ekstrak metanol dengan etil asetat. Lalu filtrat etil asetat diuapkan sampai habis,

kemudian ekstrak kering dilarutkan dengan metanol. Filtrat metanol diekstrak dengan n-

heksan. Bagian metanol pada lapisan bawahditampung, lalu diuapkan sampai kering dan

diperoleh flavonoid total.

Pembuatan Larutan CCl

Menurut Haki (2009), dosis CCl4 yang menunjukkan efek kerusakan hati adalah (7 x

10-3

mL CCl4 dalam 0,1 mL minyak kelapa/20 g pada mencit. Setelah dikonversikan untuk

tikus diperoleh dosis 0,049 mL/200 g untuk membuat stok larutan dibutuhkan sebanyak 4,9

mL CCl4 dicampur dengan 70 mL minyak kelapa. Dosis larutan yang diberikan kepada tikus

sebanyak 0,7 mL/tikus.

Penentuan kadar SGPT

Darah tikus disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit hingga

didapatkan serum. Serum sampel dimasukkan 100 µ/L ke dalam tabung bersih dan

ditambahkan working reagent SGPT reagent 1 Tris, pH 7,5, L-alanin, LDH), reagent 2 (2-

oxaglutarate, NADH) sebanyak 1.000 µ/L, kemudian di baca pada alat spektrofotometer

mikrolab 300 dan di catat hasilnya (Subrata, 1988).

Hitung Jumlah Eritrosit

Sebanyak 1.990 µL larutan hayem (pengencer) dimasukkan kedalam tabung,

ditambahkan 10 µL darah EDTA, lalu dihomogenkan. Bilik hitung diletakkan dibawah

mikroskop dan ditutup dengan cover glass, kemudian darah diambil dengan menggunakan

Page 315: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

304

pipet tetes, lalu diteteskan dibilik hitung eritrosit, kemudian dihitung jumlahnya pada 5 bilik

hitung daerah R.

Analisis Data

Data yang didapat dari setiap parameter (variabel) pengamatan dicatat dan disusun ke

dalam bentuk tabel. Data kuantitatif (variabel dependen) yang didapatkan, diuji dengan

bantuan program statistik komputer yakni program SPSS release 20untuk melihat korelasi

data antara masing-masing kelompok dengan menggunakan uji parametrik one way ANOVA.

Data yang signifikan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Multiple Comparison

BonferroniBootsrapping untuk melihat korelasi data antara masing-masing kelompok.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ekstrak Suren Terhadap Fungsi Hati KadarSGPT

Hasil penelitian perlakuan ekstrak suren terhadap kadar SGPT tikus dapat dilihat pada

Gambar 4.1.1. hasil uji bonfferoni menunjukkan perlakuan ekstrak suren 100 mg/Kg/BB

memberikan hasil yang signifikan terhadap C24H danmendekati kontrol normal, sehingga

dapat disimpulkan CS100 memiliki efek proteksi terhadap disfungsi hati, dengan ditandai

menurunnya kadar SGPT.Hal ini disebabkan adanya flavonoid yang terdapat pada suren yang

berperan sebagai antioksidan yang mampu mengikat radikal bebas yang terdapat pada tikus,

sehingga ada perbaikan fungsi hati dari antioksidan tersebut.

Gambar 4.1.1. Kadar SGPT tikus putih yang diberi ekstrak metanol daun suren dengan

konsentrasi berbeda. C10H (kontrol positif), C24H (kontrol positif dibiarkan

hidup selama 14 hari), K (kontrol normal), CS100, CS150 dan CS200

(kontrol perlakuan, pemberian ekstrak suren dengan konsentrasi berbeda 100

mg, 150 mg dan 200 mg).

Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik menghambat banyak reaksi oksidasi,

baik secara enzim maupun nonenzim. Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik

radikal hidroksi dan superoksida dan dengandemikian melindungi lipid membran terhadap

reaksi yang merusak. Aktivitas antioksidannya mungkin dapat menjelaskan mengapa

flavonoid tertentu dapat mengobati gangguan fungsi hati (Robinson, 1995). Menurut Antira

(2013) ekstrak daun suren Toona sureni (Blume) Merr mempunyai respon yang besar

terhadap penghambatan radikal bebas.

Hasil kadar SGPT pada CS150 dan CS200 lebih tinggi dibandingkan kontrol normal dan

sama dengan C10H, menyimpulkan bahwa CS150 dan CS200 tidak effektif untuk

memperbaiki fungsi hati. Hal ini mungkin terjadi karena dosis diatas 150 sudah menjadi

racun dan pro-oksidan bagi hati tikus. Kemungkinan hal ini diduga karena senyawa fenolik

Page 316: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

305

dan triterpenoid yang bertanggung jawab sebagai antioksidan jumlahnya sangat tinggi,

sehingga aktivitasnya bukan lagi sebagai antioksidan, tetapi berubah menjadi pro-oksidan,

demikian juga vitamin C, yang merupakan antioksidan.

Menurut (Julian 1969; Yomes 2000 dalam Indarto 2013), mengatakan vitamin C dengan

kadar yang tinggi dapat bersifat racun bagi tubuh. Vitamin C dapat berfungsi sebagai

antioksidan jika kadarnya dalam serum sebesar 5 mg/mL. Sedangkan pada konsentrasi

maksimum 50 mg/mL, vitamin C berfungsi sebagai pro-oksidan sehingga dapat membunuh

sel kanker, tetapi dapat juga membunuh sel normal.

Menurut penelitian Suhatri (2012), mengatakan bahwa senyawa hasil isolasi dari fraksi

etil asetat suren dapat memproteksi disfungsi sel endotel hanya dosis 5 mg/kg/BBdaun Suren

dan efek berkurang bila dosis ditingkatkan.

Pengaruh Ekstrak Suren Terhadap Fungsi Hati Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)

Hasil penelitian menunujukkan bahwa ekstrak suren berpengaruh signifikan terhadap

Jumlah sel darah merah (gambar 4.2). Hasil uji bofferoni menunjukkan CS100 signifikan

terhadap kontrol positif dan kontrol normal, yaitu menaikkan jumlah eritrosit dalam keadaan

normal. Demikian juga kontrol positif dan kontrol normal tidak menunjukkan perbedaan

yang signnifikan.

Dengan demikian CCl4 tidak berpengaruh dalam merusak eritrosit, namun kenaikan

jumlah eritrosit pada CS100 dimungkinkan memiliki kemampuan yang baik dalam

meningkatkan jumlah eritrosit meskipun dalam rentang normal jumlah eritrosit. Peningkatan

jumlah sel diduga karena ada senyawa-senyawa yang terdapat pada daun suren yang

berhubungan dengan pembentukan dan pematangan eritrosit atau daun suren mungkin

memiliki efek yang dapat memberikan nutrisi bagi proliferasi eritrosit. Dari hasil uji skirining

fitokimia yang dilakukan ekstrak suren memiliki kandungan flavonoid, alkaloid, steroid dan

saponin, yang memungkinkan sel darah merah menjadi lebih banyak.

Gambar 4.2. Jumlah eritrosit tikus putih yang diberi ekstrak metanol daun suren dengan

konsentrasi berbeda. C10H (kontrol positif), C24H (kontrol positif dibiarkan

hidup selama 14 hari), K (kontrol normal), CS100, CS150 dan CS200 (kontrol

perlakuan, pemberian ekstrak suren dengan konsentrasi berbeda 100 mg, 150

mg dan 200 mg).

Sundaryono (2011), mengatakan dalam keadaan normal, jumlah eritrosit yang

berstimulasi dipertahankan dalam keadaan seimbang antara produksi yang berlangsung

disumsum tulang dan peristiwa kematian eritrosit pada sistem aliran darah. Dalam keadaan

sehat, setiap 24 jam akan dihancurkan 1 % dari jumlah eritrosit yang bersirkulasi dan diganti

Page 317: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

306

oleh sel yang baru dalam jumlah yang sama. Hal ini didukung oleh penelitian (Gultom, 2003

dalam Widyawati, 2007) yang mengatakan bahwa flavonoid mampu meningkatkan sjumlah

hematokrit, hemoglobin, dan eritrosit pada tikus yang diinduksi CCl4.Penelitian yang

dilakukan Sundaryono (2011), Pemberian ektrak etanol daun G. segetum yang di dalamnya

terkandung senyawa flavonoid dapat menaikan jumlah eritrosit pada mencit.

DAFTAR PUSTAKA

Antira, B., Hazli, N., Adlis, S. 2013. Isolasi Dan Karakterisasi Senyawa Triterpenoid Dan Uji

Antioksidan Dari Ekstrak Daun Surian (Toona sureni (Blume) Merr). Jurnal Kimia

Unand. 2 (1).

Asmaliyah. 2010. Pengembangan Biofarmaka di Sumatera Selatan. Palembang.

Hadi, S. 2000. Hepatologi. Bandung. Penerbit Mandar Maju.

Haki, M. 2009. Efek Ekstrak Daun Talok (Muntingia calabura L) Terhadap Aktivitas Enzim

SGPT Pada Mencit Yang Diinduksi Karbon Tetraklorida[Skripsi]. Surakarta. Universitas

Sebelas Maret.

Panjaitan, R. 2011. Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Metanol Akar PasakBumi dan Fraksi-

Fraksi Turunannya. Jurnal Veteriner. 12 (4). 319-325.

Indarto, M. D. 2013. Aktivitas Enzim Transaminase Dan Gambaran Histopatologi Hati Tikus

(Rattus norvegicus) Wistar Jantan Yang Diberi Fraksi N-heksan Daun Kesum

(Polygonum minus Huds.). Pasca Induksi Sisplatin. [Skripsi]. Pontianak: Universitas

Tanjung Pura.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam. Bandung: Penerbit

ITB..

Saputra, L dan Dwisong, L. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Perawat dan Paramedis.

Tanggerang Selatan: Binarupa Aksara.

Seattle Treatment Education Project. 2000.

Subrata, G. 1988. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.

Suhatri, Yanwirasti, Dachriyanus, dan Ellyza. 2012. Aktivitas Senyawa Isolasi Daun Surian

terhadap Disfungsi Sel EndotelHiperkholesterolemia. Jurnal Farmasi Indonesia. 6 (2).

Sundaryono, A. 2011.Uji Aktivitas Senyawa Flavonoid Total Dari Gynura segetum (Lour)

Terhadap Peningkatan Eritrosit Dan Penurunan Leukosit Pada Mencit (Mus musculus).

Jurnal Exacta. 9 (2).

Supriasa, I., Bakri, B., Fajar, I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran. 145.

Suswono. 1994. Suplemen Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker.

Widyawati, W. 2007 Efek Ekstrak Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour)

Merr.) Terhadap Kadar Metil Merkuri Darah Dan Karakteristik Eritrosit Tikus Putih

(Rattus norvegicus L.) Paska Pemaparan Metil Merkuri Klorida. [Skripsi] :Universitas

Sebelas Maret. Surakarta.

Yuhernita dan Juniarti, 2011. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder Dari Ekstrak Metanol

Daun Surian Yang Berpotensi Sebagai Antioksidan. Makara Sains. 15 (1).

Page 318: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

307

PENGARUH MUSIK KLASIK MOZART TERHADAP PERILAKU

MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIINDUKSI OLEH OBAT

KLORPROMAZIN DENGAN MENGGUNAKAN

ALAT OTOMATIS INTELLICAGE

Siska Renata Sembiring1, Syafruddin Ilyas

2, Emita Sabri

2

1Mahasiswa Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara

2Staf Departemen Biologi, FMIPA , Universitas Sumatera Utara

Jl. Bioteknologi No. 1, Medan, 20155, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini telah dilakukan untuk mengamati dan menganalisis pengaruh musik klasik

Mozart terhadap perilaku mencit (Mus musculus L.) yang diinduksi oleh obat Klorpromazin

dengan alat otomatis IntelliCage. Mencit diberikan obat Klorpromazin secara oral sebagai

penginduksi kecemasan. Mencit dianestesi menggunakan Ketamin secara intramuskular

untuk dilakukan pengimplanan microtransponder melalui subkutan. Tahapan yang dilakukan

pada penelitian ini adalah tahap adaptasi, tahap pembelajaran, tahap pengujian dan tahap

perlakuan. Mencit dipuasakan selama ± 24 jam, kemudian akses minum secara ad-libitum

ke empat sudut selama 6 jam. Lama suatu tahapan adalah dua periode, satu periode terdiri

atas 2 hari. Musik klasik diperdengarkan selama masa pengamatan dan masa puasa. Melalui

hasil penelitian ini, diketahui bahwa pemberian obat Klorpromazin memengaruhi secara

nyata dengan rendahnya aktivitas pernafasan dan aktivitas minum (p< 0,05) sehingga

kecemasan meningkat. Musik klasik mozart tidak memengaruhi secara nyata dengan

meningkatnya aktivitas motorik dan aktivitas pernafasan (p> 0,05).

Kata Kunci: IntelliCage, Kecemasan, Klorpromazin, Mencit, Musik Klasik Mozart.

PENDAHULUAN

Kecemasan adalah suatu wujud tingkah laku yang rumit dari interaksi dinamis antara

organisme dan lingkungan sekitar. Hal ini diperantarai oleh sistem limbik, talamus, korteks

frontal dan sistem hormonal (Tomb 2004). Salah satu jenis hormon yang memengaruhi

kecemasan pada suatu organisme adalah hormon dopamin.

Hormon ini penting pada otak mamalia karena mengontrol fungsi lokomotorik, kognisi,

emosi dan mengatur fungsi organ faal di dalam tubuh (Ikawati 2006). Kadar hormon dopamin

apabila mengalami penipisan pada bagian saraf pusat dan saraf tepi maka akan terjadi

berbagai respon negatif bagi tubuh tersebut, diantaranya kekakuan anggota gerak, kurangnya

mobilitas, postur tidak stabil dan rasa acuh terhadap lingkungan (Kruger 2003). Salah satu

induksi obat yang dapat menghambat pelepasan dopamin adalah Klorpromazin.

Begitu banyak studi tentang hewan yang difokuskan untuk melihat tingkah laku

seperti kecemasan dengan pemberian obat, tetapi penelitian tentang tingkah laku akibat

pajanan musik klasik yang diterima, hanya mendapatkan sedikit perhatian (Cruz et al., 2010).

Musik juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan telah diketahui mempunyai

efek secara langsung dan tidak langsung terhadap fungsi fisiologis tubuh (Rauscher et al.,

1993).

Musik yang digunakan dalam hal ini adalah musik klasik oleh Mozart. Den‘etsu

Sutoo dan Akiyama (2004) menyatakan bahwa musik Mozart bekerja secara efektif dalam

Page 319: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

308

memperbaiki gejala penyakit akibat gangguan hormonal dopamin. Hal ini diperkirakan

karena musik Mozart yang terdiri atas nada-nada yang rumit dapat memperlancar pola-pola

saraf sehingga kembali mengaktifkan fungsi hormonal pada otak (Campbell 2002).

IntelliCage digunakan untuk menguji penelitian fenotip dan genotip, kemampuan kognitif

hewan coba seperti pola dan frekuensi aktifitas. Hal ini digunakan pada bidang Biomedis dan

dasar tingkah laku, neurobiologi, dan genetika (TSE, 2013).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati dan menganalisis pengaruh musik

klasik Mozart terhadap aktivitas motorik, aktivitas pernapasan dan aktivitas jilatan pada

mencit (Mus musculus L.) dan untuk mengamati dan menganalisis obat Klorpromazin

terhadap aktivitas motorik, aktivitas pernapasan dan aktivitas jilatan pada mencit.

BAHAN DAN METODE

1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah serangkaian alat IntelliCage,

Personal Computer (PC), Multimedia Speaker 2.0 Mini Channel dan Compact Disc Mozart

Effect for Children (CD), kamera digital, microtransponder, jarum gavage, injector khusus

transponder, hand scanner transponder. Bahan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus

L.) jantan, air, pakan mencit, Obat antipsikotik Klorpromazin (CPZ) kemasan 100 mg,

larutan ringer NaCl murni (saline), Ketamin 10 mg/ml, spuit 1 ml, tissue gulung.

2. Pelaksanaan Percobaan

a. Persiapan hewan coba

Mencit (Mus musculus L.) jantan berusia 5-7 minggu dengan berat badan 25-30 g

sebanyak dua belas ekor dipelihara serta diberi makan dan minuman secara ad-libitum di

dalam kandang selama ± satu minggu.

b. Penentuan Dosis Obat dan Zat Anestesi

Dosis Klorpromazin (CPZ) pada manusia adalah 200-600 mg/hari (Siswandono

&Soekardjo, 1995). Faktor Konversi untuk mencit dengan berat20 g adalah 0,0026 (Paget &

Bornes, 1964). Jadi, dosis CPZ untuk mencit adalah 200 mg x 0,0026 = 0,52 mg/ 20g BB

mencit.

Dosis Ketamin pada manusia adalah 6,5 mg/ 70 kg BB manusia secara intramuskular

(Siswandono & Soekardjo, 1995). Faktor Konversi untuk mencit dengan 20 g adalah 0,0026

(Paget & Bornes, 1946). Jadi dosis Ketamin untuk mencit adalah 6,5 mg x 70 kg BB manusia

= 455 mg x 0,0026 =1,18 mg/ 20 g BB mencit.

c. Anestesi dan Implantasi Transponder

Setelah dua hari periode aklimatisasi (habituasi). Semua mencit diimplan dengan

microtransponder. Implantasi dilakukan setelah pemberian zat anestesi (ketamin 1,18 mg)

secara intramuskular terlebih dahulu. Transponder diinjeksikan melalui subkutan dengan

injector khusus transponder untuk sekali pemakaian pada masing-masing mencit. Proses ini

berlangsung selama ± 60 menit sebelum efek anestesi hilang (Safi et al., 2006).

d. Adaptasi di dalam IntelliCage (Adapting Phase)

Dua belas ekor mencit yang telah diimplan microtransponder, discan untuk

mendapatkan nomor seri setiap mencit yang akan dimasukkan ke dalam data pada komputer.

Hal ini dilakukan untuk membedakan mencit satu dengan yang lainnya dan setiap aktivitas

mencit selama di dalam IntelliCage dapat dideteksi oleh komputer. Mencit dimasukkan ke

dalam IntelliCage dan beradaptasi selama beberapa hari. Akses minum ke sudut pada

Page 320: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

309

IntelliCage dibebaskan dimana setiap sudutnya telah dilengkapi dengan 2 botol air minum

(Safi et al., 2006).

e. Tahap Pembelajaran (Learning Phase)

Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, dimana setiap kelompok terdiri atas 4 ekor

mencit. Metode pembelajaran ini terdiri dari 2 periode, dimana 1 periode terdiri dari masa

puasa selama ± 24 jam dan masa pengamatan selama 6 jam. Disebut masa puasa karena sudut

(yang merupakan akses menuju ke air) akan ditutup, dan masa pengamatan karena sudut

dibuka. Mencit masuk ke dalam sudut dan minum, mencit akan menerima semburan

angin(air puff) selama 3 detik. Data pengamatan akan disimpan di dalam program Analyzer

pada PC (Safi et al., 2006).

f. Tahap Pengujian (TestingPhase)

Pada fase ini dimana setiap kelompok akan mendapat perlakuan yang berbeda:

KB atau Kontrol Blank (tanpa injeksi).

KS atau Kontrol Saline, dimana mencit diberikan saline.

PO atau Perlakuan Obat, dimana mencit diberikan obatKlorpromazin.

Pemberian senyawa perlakuan dilakukan 30 menit sebelum masa puasa berakhir.

Mencit dipuasakan (tidak diberi minum) selama ± 24 jam dan semua pintu akan ditutup.

Setelah masa puasa berakhir, semua sudut akan dibuka selama 6 jam. Mencit akan diarahkan

ke semua sudut sebagai akses menuju air secara ad-libitum. Setiap mencit yang melakukan

kunjungan ke sudut akan menerima semburan angin selama 3 detik. Tahap pengujian ini

dilakukan selama 2 periode. Data pengamatan akan disimpan di dalam Analyzer pada PC

(Safi et al., 2006).

g. Stimulasi Audio Musik Klasik

Jarak antara komputer dan kandang adalah 1 meter (rata-rata tingkat pendengaran 65

dB sampai 75 dB) dengan range frekuensi 100-16.000 Hz (Cruz et al., 2010). Musik yang

digunakan adalah Mozart Effect for Children Vol. 2, dimana musik ini bertujuan untuk

memberikan pengaruh ketenangan dengan total durasi 46 menit yang dimainkan secara

berulang selama tahap perlakuan berlangsung (masa puasa dan pengamatan).

h. Tahap Perlakuan (Treating Phase)

Selama tahap ini diberikan musik klasik Mozart. Mencit dipuasakan (tidak diberi

minum) selama ± 24 jam dan semua pintu akan ditutup. Setelah masa puasa berakhir, semua

sudut akan dibuka selama 6 jam. Mencit akan diarahkan ke semua sudut sebagai akses

menuju air secara ad-libitum. Setiap mencit yang melakukan kunjungan ke sudut akan

menerima semburan angin selama 3 detik. Tahap pengujian ini dilakukan selama 2 periode.

Data pengamatan akan disimpan di dalam Analyzer pada PC (Safi et al., 2006).

i. Variabel Pengujian

Berbagai variasi parameter yang telah ditunjukkan pada kelompok kontrol yang telah dicekok

dengan larutan saline dan kelompok perlakuan yang dicekok dengan Klorpromazin.

Jumlah kunjungan: jumlah kunjungan ke setiap sudut masing- masing hewan selama enam

jam.

Durasi kunjungan: variabel dalam mengamati jumlah total waktu yang dihabiskan oleh

hewan percobaan di dalam sudut selama memiliki akses ke air.

Jumlah jilatan: jumlah semua jilatan selama mencit minum.

Durasi jilatan: waktu yang dihabiskan mencit untuk minum.

Page 321: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

310

Jumlah hendusan: variabel ini dapat diperoleh dengan jumlah yang digunakan mencit

untuk berusaha mencari air pada botol di dalam sudut dengan hendusan (berhasil atau

tidak)

Durasi hendusan: waktu yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air (Safi et al.,

2006).

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh Pemberian Klorpromazin

1. Efek Obat Pemberian Klorpromazin Terhadap Aktivitas Motorik Berdasarkan

Jumlah Kunjungan dan Durasi Kunjungan

Berdasarkan Gambar 4.1.1.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah kunjungan

kelompok mencit KB adalah 3,375; KS adalah 2 dan PO adalah 1,25. Rata-rata jumlah

kunjungan mencit setelah pemberian obat Klorpromazin mengalami pengurangan

dibandingkan dengan kelompok mencit KB dan KS

Gambar 1.a. Rata-rata jumlah kunjungankelompok mencit ke sudut pembelajaran selama

fase pengujian.

Berdasarkan Gambar 1.b, dapat dilihat bahwa durasi kunjungan pada kelompok

mencit KB adalah 8,235 detik; KS adalah 5,030 detik dan PO adalah 3,103 detik. Uji yang

dilakukan dengan metode ANOVA Oneway menyatakan bahwa jumlah kunjungan dan durasi

kunjungan memiliki perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok mencit perlakuan dan

kelompok mencit kontrol.

Gambar 1.b. Rata-rata durasi kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama

fase pengujian.

Rata-rata durasi kunjungan mencit menunjukkan bahwa pemberian obat dapat

mengakibatkan kunjungan yang dilakukan mencit lebih singkat dibandingkan kelompok

Page 322: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

311

mencit KB dan KS.Pemberian obat ini membuat mencit cenderung lebih kaku dan tidak ingin

melakukan aktivitas sosial seperti menggaruk dan berlari.

Menurut Yoganingrum (1996),Klorpromazin menimbulkan efek menidurkan yang

disertai rasa acuh tak acuh terhadap rangsangan dan lingkungan. Ini dikarenakan menurunnya

sekresi dopamin pada ujung-ujung saraf dopaminergik atau menurunkan efek dopamin pada

neuron yang selanjutnya (Guyton, 1997).

2. Efek Pemberian Klorpromazin Terhadap Aktivitas Pernafasan Berdasarkan

Jumlah Hendusan dan Durasi Hendusan

Berdasarkan Gambar 2.a, dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah hendusan kelompok mencit

KB adalah 3,5; KS adalah 1,5 dan PO adalah 0,75.

Gambar 2.a. Rata-rata jumlah hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase

pengujian.

Berdasarkan Gambar 2.b, dapat dilihat bahwa durasi hendusan pada kelompok mencit

KB adalah 3,213 detik; KS adalah 0,914 detik dan PO adalah 0,6 detik. Uji yang dilakukan

dengan metode ANOVA Oneway-Bonferroni menyatakan bahwa jumlah hendusan dan durasi

hendusan memiliki perbedaan yang signifikan.

Gambar 2.b. Rata-rata durasi hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaranselama fase

pengujian (pengamatanselama 6 jam).

Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa kelompok mencit yang diberikan obat

Klorpromazin melakukan hendusan pada sudut yang paling singkat. Jika suatu kondisi

memengaruhi pernafasan, hal itu dipastikan bahwa suatu subyek merasakan kecemasan

secara berlebihan (Anonim, 2013). Klorpromazin adalah reseptor blocker di sinapsis

dopamin, artinya bahwa Klorpromazin mengikatkan diri pada reseptor-reseptor dopamin

tanpa mengaktifkannya (Pinel, 2009).

Page 323: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

312

3. Efek Pemberian Klorpromazin Berdasarkan Aktivitas Minum Berdasarkan Jumlah

Jilatandan Durasi Jilatan

Berdasarkan Gambar 3.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah jilatan kelompok

mencit KBadalah 4,875; KS adalah 2,375 dan PO adalah 0,875. Uji yang dilakukan dengan

metode Oneway ANOVA-Bonferroni menyatakan bahwa jumlah jilatan memiliki perbedaan

yang signifikan. Berdasarkan uji statistik, mencit yang diberikan obat menjadi lebih rendah

keinginannya untuk minum karena kelompok mencit PO memiliki jumlah jilatan yang paling

rendah dibandingkan kelompok KB dan KS. Klorpromazin mampu menurunkan keinginan

untuk konsumsi air sehingga mencit mengalami kecemasan.

Gambar 3.a. Rata-rata jumlah jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase

pengujian (pengamatan selama 6 jam).

Gambar 3.b. Rata-rata durasi jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase

pengujian (pengamatan selama 6 jam).

Berdasarkan Gambar 3.b, dapat dilihat bahwa rata-rata durasi jilatan pada kelompok

mencit KB adalah 3,36 detik; KS adalah 1,13 detik dan PO adalah 0,25 detik. Uji yang

dilakukan dengan metode ANOVA Oneway menyatakan bahwa durasi jilatan memiliki

perbedaan yang tidak signifikan.Rata-rata durasi jilatan mencit PO memiliki durasi yang

paling singkat untuk menjilat dibandingkan dengan kelompok mencit KB dan KS. Ini

dikarenakan jumlah jilatan yang dilakukan juga rendah sehingga dapat membuktikan bahwa

efek obat Klorpromazin mampu menurunkan keinginan mencit untuk melakukan aktivitas

menjilat. Hal ini menyebabkan mencit mengalami kecemasan akibat pemberian obat.

Page 324: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

313

Cemas akan mengganggu sistem keseimbangan tubuh dengan mengaktifkan sistem saraf dansistem endokrin yaitu Hipotalamus-Pituitari-Adrenal. Hipotalamus merupakan daerah pengatur sistem limbik yang mengatur emosi dan tingkah laku, osmolalitas cairan tubuh, dorongan konsumsi makan danminum serta mengatur berat badan (Guyton, 1997). Pengaruh Musik Klasik Mozart 1. Pengaruh Musik Klasik Mozart Terhadap Aktivitas Motorik Berdasarkan Jumlah

Kunjungan dan Durasi Kunjungan Berdasarkan Gambar 1.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah kunjungan kelompok KB mencit adalah 2,215; KS adalah 0,875 dan PO adalah 4,5.

Gambar 1.a. Rata-rata jumlah kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama

fase pengujian (pengamatan selama 6 jam). Keterangan KB: Kontrol Blank ; KS: Kontrol Saline ; PO: Perlakuan Obat.

Berdasarkan Gambar 1.b., dapat dilihat bahwa rata-rata durasi kunjungan pada kelompok mencit KB adalah 8,580 detik; KS adalah 1,145 detik dan PO adalah 12,33 detik. Uji yang dilakukan dengan metode ANOVA Oneway menunjukkan bahwa jumlah kunjungan dan durasi kunjungan memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Namun, aktivitas motorik mencit menunjukkan bahwa jumlah kunjungankelompok mencit PO lebih tinggi dari kelompok mencit KB dan KS.

Gambar 1.b. Rata-rata durasi kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase

pengujian (pengamatan selama 6 jam).

Umumnya musik yang bertempo lambat, titik nada yang rendah dan tidak memiliki lirik digunakan untuk mengurangi stres dan kecemasan serta menggiatkan kerja sistem saraf. Musik dapat berperan sebagai penenang dan memberikan pengaruh positif bagi (Chanda & Levitin, 2013).

Page 325: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

314

2. Pengaruh Musik Klasik Mozart Terhadap Aktivitas Pernafasan Berdasarkan

Jumlah Hendusan dan Durasi Hendusan

Berdasarkan Gambar 2.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah hendusan kelompok mencit

KB adalah 3,5; KS adalah 1 dan PO adalah 3,5.

Gambar 2.a. Rata-rata jumlah hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase

perlakuan (pengamatan selama 6 jam).

Berdasarkan Gambar 2.b, durasi hendusan pada kelompok mencit KB adalah 3,02

detik; KS adalah 0,15 detik dan PO adalah 5,35 detik. Uji yang dilakukan dengan metode

ANOVA Oneway menyatakan bahwa jumlah hendusan dan durasi hendusan memiliki

perbedaan yang tidak signifikan.

Gambar 2.b. Rata-rata durasi hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase

perlakuan (pengamatan selama 6 jam).

Ini menunjukkan bahwa mencit pada kelompok pemberian obat mengalami

ketenangan sehingga aktivitasnya meningkat dari kelompok lain. Periode waktu musik klasik

dengan segera mengawali perasaan tenang ketika bergabung dengan hormon dopamin yang

dilepaskan oleh kaudatus (Chanda & Levitin, 2013).

3. Pengaruh Musik Klasik Mozart Terhadap Aktivitas Minum Berdasarkan Jumlah

Jilatan dan Durasi Jilatan

Berdasarkan Gambar 3.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah jilatan kelompok mencit

KB adalah 24,25; KS adalah 0,57 dan PO adalah 3,87. Uji yang dilakukan dengan metode

ANOVA Oneway-Bonferroni menyatakan bahwa jumlah jilatan memiliki perbedaan yang

signifikan antara kelompok mencit PO dan KB terhadap KS. Kelompok mencit PO lebih

rendah jika dibandingkan kelompok mencit KB dikarenakan pengaruh musik klasik tidak

Page 326: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

315

memberikan efek yang begitu besar terhadap aktivitas minum mencit.Penelitian yang

dilakukan oleh Xu et al., (2009), menyatakan bahwa stimulasi audio musik dapat

meningkatkan jumlah jilatan dan durasi jilatan pada mencit setelah pemajanan selama 4 hari.

Pada penelitian ini musik klasik diperdengarkan hanya selama 2 hari secara bertahap,

sehingga pengaruhnya tidak begitu terlihat. Musik klasik harus diperdengarkan selama 4 hari

agar mendapatkan hasil yang lebih berarti.

Gambar 3.a. Rata-rata jumlah jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase

perlakuan (pengamatan selama 6 jam).

Gambar 3.b. Rata-rata durasi jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase

perlakuan (pengamatan selama 6 jam).

Berdasarkan Gambar 3.b, dapat dilihat bahwa rata-rata durasi jilatan pada kelompok

mencit KB adalah 1,663 detik; KS adalah 0,361 detik dan PO adalah 0,55 detik. Uji yang

dilakukan dengan metode ANOVA Oneway menyatakan bahwa durasi jilatan memiliki

perbedaan yang tidak signifikan. KS melakukan aktivitas minum yang paling rendah, dimana

jumlah jilatan yang dilakukan lebih rendah dan durasi jilatan yang lebih singkat dibandingkan

kelompok KB dan PO. Suatu cairan dikatakan sebagai cairan isotonis apabila osmolalitasnya

sama dengan plasma sel sebagai cairan fisiologis NaCl yang dapat mencegah dehidrasi

(Kurniawan, 2010).

Kesimpulan dan Saran

a. Obat Klorpromazin mampu memengaruhi secara nyata terhadap jumlah hendusan dan

durasi hendusan, serta jumlah jilatan mencit.

Page 327: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

316

b. Musik Klasik Mozart tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas motorik

dan aktivitas pernafasan berdasarkan durasi hendusan mencit.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih penulis ucapkan kepada LIDA Terpadu Universitas Sumatera Utara, dr.

Bob, Sp.U, TSE Germany, Don Campbell dan Kimia Farma atas bantuan berupa alat, bahan

utama penelitian (zat anastesi dan musik klasik) serta kesempatan dan tempat sehingga

penelitian ini dapat terselesaikan.

Daftar Pustaka

Anonim. 2013. Anxiety and Depression. Manchester. United Kingdom.

Campbell, D. 2002. Efek Musik Mozart: Memanfaatkan Kekuatan Musik Untuk

Mempertajam Pikiran, Meningkatkan Kreativitas dan Menyehatkan Tubuh. Gramedia

Pustaka.

Jakarta.

Chanda, M.L and Levitin, D. 2013. The Neurochemistry Of Music. Psychology. 4: 180-185.

Cruz, J. N, Lima, D. D., Magro, D and Cruz, J. G. P. 2010. Effect of Classic Music As Part of

Environtmental Enrichment in Captive Mus musculus (Rodentia: Muridae). Biotemas.

23: 191.

Guyton, A. C and Hall, J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku

Kedokteran: ECG. Jakarta.

Ikawati, Z. 2006. Pengantar Farmakologi Molekuler. Universitas Gadjah Mada Press.

Yogyakarta.

Kruger, R. 2003. Parkinson Disease Genetic Types. Departement of General Neurology and

Hertie Institute for Clinical Brain Research. University Tuebingen. Germany.

Kurniawan, 2010. Cairan dan Elektrolit Tubuh. Universitas Dipenogoro. Semarang.

Pinel, J. 2009. Biopsikologi. Edisi Ke tujuh. Pustaka Belajar. Yogyakarta.

Rauscher, F.H. 1993. Prelude or Requim for The Mozzart Effer. Reply. Nature, 30: 400.

Safi, K., Wespy, F.N., Welzl, H and Lipp, H.P. 2006. Mouse Anxiety Models And An

Example Of An Experimental Setup Using Unconditioned Avoidance In An

Automated System Intellicage. Journal Cognition, Brain and Behavior. 10: 478-479,

483-484.

Sutoo, D and Akiyama, K. 2004. Music Improves Neurotransmission: Demonstration Based

On The Effect Of Music On Blood Pressure Regulation. Brain Res. 2: 255-262.

Siswandono dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga Universitas. Surabaya.

Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedokteran: ECG.

Jakarta.

TSE. 2013. New Behavior Intellicage Plus Manual. Zurich. Switzerland, pp. 1.

Xu, J., Yu, L., Cai, R., Zhang, J and Sun, X. 2009. Early Auditory Enrichment With Music

Enhances Auditory Discrimination Learning And Alters NR2B Protein Expression In

Rat Auditory Cortex. Behav Brain Res. 1: 49-54

Page 328: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

317

UJI PATOGENITAS Beauveria bassiana PADA BEBERAPA MEDIA

CAIR BUATAN TERHADAP MORTALITAS LARVA Aedes aegypti

PATHOGENICITY TEST OF Beauveria bassianaIN SOME ARTIFICIAL

LIQUID MEDIATO MORTILITY OF Aedes aegypti LARVAE

Yulia Sari Ismail*, Yekki Yasmin*, Nina Anggraini*

*Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Syiah Kuala,

Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia

Email : [email protected]

Abstract

This research aimed to examine the pathogenicity of Beauveria bassiana that were

reproduced in some kind of liquid media. The research was conducted to June 2015 in

Microbiology Laboratory and Zoology Laboratory of Mathematics and Natural Sciences

Faculty of Syiah Kuala University. Experimental method using Completely Randomized

Designed (CRD) Factorial which consists of dilution level of B. bassiana suspension

treatments and artificial liquid media treatments with 72 units combined was used in this

research. Dilution level of B. bassiana suspension used were 10-1

,10-2

,10-3

,10-4

,10-5

, and 10-

6. Potato, cassava, and maize used as the media. The result obtained that dilution level were

significantly different toward mortality of Aedes aegypti larvae instar III. Dilution level of

10-1

of B. bassiana suspension caused 43,07% mortality during five days of observation. The

artificial liquid media were also significantly different toward mortality of A. aegypti larvae

instar III. The artificial liquid media were different with control toward the mortality of

mosquito larvae.

Keywords : Aedes aegypti, Beauveria bassiana, artificial liquid media, dilution level

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh

virus. Virus ini dikategorikan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kematian pada

penderitanya dalam waktu yang singkat. Demam berdarah dengue (DBD) terjadi karena

adanya vektor yang mengantarkan virus tersebut masuk ke dalam tubuh manusia. Vektor

utama DBD adalah nyamukAedes aegypti (Yasmin dan Fitri, 2010).

Nyamuk A. aegypti merupakan nyamuk cosmo tropis yaitu nyamuk yang berada di

daerah tropis dan berfungsi sebagai vektor paling penting dalam membawa penyakit.

Distribusi dan densitas A. aegypti dipengaruhi oleh beberapa faktor pembatas yaitu

ketinggian, suhu, curah hujan, kelembaban, musim, habitat dan penyebarannya. Aedes

aegypti sering ditemukan berkembang biak pada wadah alami seperti lubang pohon dan

perkembangbiakannya selalu berada disekitar kediaman manusia (Abdalmagid and Alhusein,

2008).Nyamuk A. aegypti merupakan ancaman yang sangat mematikan di Indonesia. Oleh

karena itu, keberadaannya pada berbagai tempat harus diminimalisir atau dikurangi.

Penyebaran nyamuk yang telah meluas menyebabkan semua daerah di Indonesia beresiko

terjangkit penyakit DBD, kecuali daerah yang memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di

atas permukaan laut.Penyakit DBD dapat dicegah dengan melakukan penyuluhan dan

memperbaiki perilaku masyarakat dengan cara kegiatan pemberantasan sarang nyamuk

Page 329: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

318

(PSN), fogging, pelaksanaan 3M (menguras, menutup,dan mengubur), dan abatisasi (Fathi et

al., 2005).

Penanganan yang perlu dilakukan untuk mencegah kehadiran nyamuk A. aegypti

dilakukan dengan cara menggunakan pestisida kimiawi. Tetapi penggunaan pestisida kimiawi

yang terus menerusakan menyebabkan resistensi bagi serangga pengganggu dan

menimbulkan masalah bagi lingkungan. Salah satu upaya lain yang dapat digunakan untuk

mengendalikan nyamuk A. aegypti yaitu dengan menggunakan pengendalian hayati. Menurut

Yasmin dan Fitri (2010), pengendalian hayati yang sering digunakan adalah pemanfaatan

jamur entomopatogen yang dapat menginfeksi larva nyamuk (larvasida).Salah satu

entomopatogen yang dapat dimanfaatkan sebagai pengendalian hayati adalah jamur

Beauveria bassiana. Jamur ini menyerang inang melalui kontak langsung. Penempelan B.

bassiana pada serangga dibantu oleh angin, hujan dan oleh serangga lainnya yang telah

terinfeksi. Setelah terjadi kontak langsung, B. bassiana akan melakukan penetrasi melalui

kutikula serangga. Selanjutnya akan bereproduksi, keluarnya propagul patogen dari inang,

penyebaran dan persistensi propagul patogen di lingkungan (Purnomo, 2010).

Beauveria bassiana telah banyak digunakan dalam penelitian untuk mengendalikan

serangga hama. Umumnya B. bassiana diperbanyak dengan menggunakan media padat

seperti tepung jagung (Yasmin dan Fitri, 2010), Potato Dextrose Agar (PDA) (Tenrirawe dan

Pabbage, 2013), dan beras (Herlinda et al., 2008). Selain media padat, perbanyakan B.

bassiana dapat pula menggunakan media cair buatan.Bahan yang dapat digunakan untuk

pembuatan media cair buatan yaitu kentang (Solanum tuberosum), jagung (Zea mays), dan

ketela (Ipomoea batatas). Kentang (Solanum tuberosum), jagung (Zea mays), dan ketela

(Ipomoea batatas) mengandung nutrisi yang diperlukan oleh B. bassiana. Kentang

mengandung vitamin C dan B1, kalsium, karbohidrat, protein, lemak, fosfor, besi dan air

(Setiadi, 2009). Jagung memiliki kandungan gizi utama berupa pati yaitu amilosa dan

amilopektin, selain itu terdapat pula protein, asam lemak, serta vitamin A dan E sebagai

antioksidan alami. Jagung juga mengandung mineral esensial seperti K, Na, P, Ca dan Fe

(Suarni dan Widowati, 2007). Ketela mengandung karbohidrat, protein, lemak, kalsium,

fosfor, zat besi, vitamin A, B1, B2, dan C serta air (Suprapti, 2003).

Beauveria bassiana adalah mikroorganisme yang mudah didapat dan memiliki harga

yang ekonomis. Keuntungan mengembangbiakkan B. bassiana padamedia cair ialah

menghasilkan koloni jamur yang lebih banyak. Penelitian mengenai patogenitas B. bassiana

yang diperbanyak pada media cair buatan kentang (Solanum tuberosum), jagung (Zea mays),

dan ketela (Ipomoea batatas) untuk mengendalikan nyamuk A. aegypti sampai saat ini masih

sangat kurang. Penelitian ini bertujuan untuk menguji patogenitas jamur B. bassiana yang

diperbanyak pada beberapa jenis media cair.

BAHAN DAN METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental

dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Jamur Beauveria bassiana

dikembangbiakkan pada beberapa media cair buatan (kentang, jagung dan ketela). Jamur B.

bassiana yang telah diperbanyak di media cair buatan kemudian diencerkan sebanyak 6 kali

pengenceran, sehingga didapat tingkat pengenceran 10-1

, 10-2

, 10-3

, 10-4

,10-5

, dan10-6

. Larva

nyamuk Aedes aegypti yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dikembangbiakkan di

Laboratorium. Ketika larva memasuki instar III, larva dapat digunakan sebagai hewan target

pengaplikasian jamur B. bassiana. Larva nyamuk yang digunakan yaitu sebanyak 20 individu

dalam 20 ml akuadest, sementara itu koloni jamur yang dimasukkan yaitu sebanyak 20 ml ke

dalam cawan petri yang terdapat larva nyamuk. Pengamatan dilakukan selama lima hari

dengan melihat mortalitas per hari dan melihat kerusakan tubuh larva nyamuk.

Page 330: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

319

Pembuatan Media

Proses pembuatan media diawali dengan mempersiapkan terlebih dahulu bahan-bahan

yang akan digunakan seperti jagung, kentang dan ketela. Bahan yang akan digunakan

ditimbang terlebih dahulu sebanyak 195 g. Setiap bahan yang digunakan, proses

pembuatannya dilakukan secara terpisah. Pembuatan media kentang dan ketela selanjutnya

dimasukkan ke dalam wadah kemudian dicuci bersih dengan menggunakan air. Setelah

bersihbahan dikupas hingga tak ada kulit yang tertinggal. Bahan kentang dan ketela yang

telah bersih kemudian dipotong dadu dan direndam di dalam air agar tidak terjadi oksidasi

pada bahan.Bahan dicuci kembali dengan menggunakan air hingga air cucian menjadi

bening. Pembuatan media jagung agak sedikit berbeda dari pembuatan media kentang dan

ketela. Pembuatan media dengan menggunakan bahan jagung tidak melalui proses

pengupasan karena jagung yang digunakan adalah jagung pipil. Gelas erlenmeyer disiapkan

sebagai tempat perebusan media kemudian dimasukkan kentang, ketela dan jagung pada

tempat terpisah dan ditambahkanakuades sebanyak 650 ml.Akuades dan bahan yang telah

bercampur kemudian ditambahkan gula sebanyak 32,5 g. Campuran tersebut kemudian

direbus dengan suhu 100oC di atas penangas hingga air mendidih dan dibiarkan 15-20 menit

kemudian penangas dimatikan. Air rebusan dan bahan dipisahkan, selanjutnya air rebusan

(media cair) dimasukkan ke dalam erlenmeyer lainnya. Setelah selesai direbus kemudian

dilakukan sterilisasi media dengan menggunakan autoklaf dan selanjutnya disinari dengan

UV selama 15 menit untuk mengurangi kontaminasi.

Inokulasi dan fermentasi isolat ke media cair

Isolat B. bassiana dimasukkan ke dalam 100 ml media cair sebanyak satu inokulum

jarum ose. Isolat tersebut diambil dari inokulum yang tersedia. Sebelum media cair ditutup

rapat terlebih dahulu ditambahkan minyak untuk mengurangi gas yang diproduksi oleh

mikroorganisme.Minyak yang digunakan yaitu sebanyak satu sendok makan kemudian media

yang telah berisi isolat ditutup rapat. Setelah itu, erlenmeyer yang telah berisi B. bassiana

diletakkan pada shaker selama proses inkubasi. B. bassiana yang telah diinkubasi selama dua

hari, kemudian disimpan di dalam lemari pendingin agar B. bassiana itu tidak terus

mengalami perkembangbiakkan. B. bassiana ini yang nantinya akan digunakan untuk setiap

perlakuan.

Pengenceran Beauveria bassiana

Sebanyak 10 ml suspensi B. bassiana yang diambil dari biakan awal dimasukkan ke

dalam 90 ml akuadesdan diperoleh pengenceran 10-1

. Selanjutnya disiapkan erlenmeyer

lainnya yang telah diisi dengan 90 ml akuades. Ke dalam akuades tersebut dimasukkan 10 ml

B.bassiana dari pengenceran 10-1

, kemudian dikocok hingga larutan homogen maka larutan

itu menjadi pengenceran 10-2

. Pengenceran dilanjutkan dengan cara yang sama hingga

diperoleh pengenceran 10-3

, 10-4

,10-5

, dan10-6

.

Pengaplikasian

Dipersiapkan cawan petri yang telah berisi akuades sebanyak 20 ml dengan larva

nyamuk sebanyak 20 ekor untuk setiap perlakuan. Wadah yang telah berisi larva nyamuk

kemudian dimasukkan suspensi B. bassiana sebanyak 20 ml. Jumlah kematian larva nyamuk

A. aegypti diamati pada 1 hingga 5 hari untuk melihat kelainan fisiknya setelah diaplikasikan

Beauveria bassiana. Selanjutnya kematian larva nyamuk A. aegypti dilihat setelah lima hari

setelah pengaplikasian.

Page 331: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

320

Parameter Penelitian

Parameter yang diamati dalam penelitian ini yaitu:

1. Mortalitas larva

Pengamatan terhadap kematian larva dilakukan dengan menghitung persentase larva Aedes

aegypti yang telah mati setelah lima haripengaplikasian yang dilakukan terhadap larva.

Mortalitas larva dapat dihitung dengan menggunakan rumus Abbot menurut Shinta et al.

(2008) :

2. Jumlah konidiospora dalam masing-masing konsentrasi perlakuan

Perhitungan jumlah konidiospora dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Jumlah konidiospora= rata-rata konidiospora x 250.000 (konstanta)

Analisis Data

Data persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti selanjutnya dianalisis dengan

menggunakan analisis varian (ANAVA) berdasarkan uji F taraf 5%.Terdapat beda nyata,

maka dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur)pada taraf 5% menggunakan program

SPSS. Hasil persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti sebelum diolah dengan

analisis varian (ANAVA) terlebih dahulu ditransformasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti instar III

menggunakan jamur Beauveria bassiana pada beberapa media cair buatan menunjukkan

bahwa tingkat pengenceran yang digunakan berbeda nyata terhadap mortalitas larva nyamuk.

Tingkat pengenceran yang digunakan sebagai faktor pertama adalah pengenceran 10-1

, 10-2

,

10-3

, 10-4

, 10-5

, dan 10-6

. Pengenceran 10-1

menunjukkan mortalitaslarva nyamuk A. aegypti

paling banyak terjadi dibandingkan tingkat pengenceran yang lainnya. Tabel 1. menunjukkan

persentase mortalitas larva nyamuk A. aegypti yang diamati selama lima hari. Dapat dilihat

bahwa pada tingkat pengenceran 10-1

persentase mortalitas mencapai 43,07%, sedangkan

pada tingkat pengenceran lainnya tidak menunjukkan mortalitas yang berbeda nyata antara

satu dengan lainnya.

Tabel 1. Persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti pada beberapa perlakuan aplikasi

jamur Beiveria bassiana pada setiap hari pengamatan

Tingkat Pengenceran Mortalitas Larva (%)

10-1

43.07b ± 17.44

10-2

25.24a ± 13.04

10-3

25.15a ± 10.57

10-4

24.73a ± 12.79

10-5

27.14a ± 15.34

10-6

24.37a ± 12.69

Keterangan: huruf-huruf yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf kepercayaan 5%.

Page 332: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

321

Banyaknya larva nyamuk yang mati pada pengenceran 10-1

karena memiliki jumlah

konidiospora jamur yang lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pengenceran yang

lainnya. Menurut Adhi et al. (2013), kerapatan konidiospora tergantung pada kemampuan

jamur B. bassiana untuk bertahan. Kemampuan bertahan jamur yang semakin baik maka

kerapatan konidiosporanya juga semakin tinggi. Kerapatan konidiospora yang tinggi pada

jamur B. bassiana mampu menghasilkan enzim dan toksin yang cukup tinggi pula hingga

dapat menguraikan dan menghancurkan struktur tubuh serangga.

Larva nyamuk yang dipelihara pada pengenceran 10-1

telah mengalami mortalitas

pada hari pertama pengaplikasian. Terlihat pada tabel 2. persentase mortalitas larva nyamuk

per harinya. Larva nyamuk yang dipelihara pada semua tingkat pengenceran pada umumnya

telah mengalami kematian mulai dari hari pertama pengaplikasian jamur B. bassiana. Tingkat

pengenceran 10-1

pada hari pertama pengamatan persentase rata-rata mortalitas adalah

sebanyak 15,18%. Setiap hari mortalitas larva nyamuk mengalami peningkatan sampai pada

hari kelima pengamatan. Akan tetapi, pada tingkat pengenceran lainnya pada hari pertama

pengamatan mortalitas larva nyamuk lebih sedikit dibandingkan dengan pengenceran 10-

1,kemudian pada pengamatan hari berikutnya mortalitas larva nyamuk A. aegypti tidak

mengalami peningkatan jumlah yang banyak.

Tabel 2. Persentase (%) mortalitas larva nyamuk A. aegypti pada tingkat pengenceran jamur

per hari

No Pengenceran Hari Pengamatan Ke-

1 2 3 4 5

1 10-1

15,18 20,46 27,50 34,68 43,07

2 10-2

5,75 10,33 18,05 20,77 25,24

3 10-3

10,23 13,54 16,72 19,43 25,15

4 10-4

6,11 12,02 16,74 20,20 24,73

5 10-5

8,91 13,78 18,30 21,93 27,14

6 10-6

9,54 14,04 16,45 19,00 24,37

Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa mortalitas larva nyamuk A. aegypti terjadi

secara perlahan-lahan. Hal ini karena pertumbuhan jamur B. bassiana memerlukan waktu

yang lebih lama untuk proses pertumbuhan yang lebih baik. Menurut Utami et al. (2014),

bahwa mortalitas larva memerlukan waktu beberapa hari setelah jamur entomopatogen (B.

bassiana) diaplikasikan. Lebih lanjut menurut Herlinda et al. (2008) bahwa waktu yang

dibutuhkan untuk menyebabkan kematian serangga uji bervariasi tergantung pada virulensi

patogen, sifat resistensi inang dan kondisi lingkungan mikro di tubuh inang. Wilyus dan

Yudiawati (2005) juga mengemukakan bahwa semakin tinggi konsentrasi dari larutan jamur

B. bassiana maka akan semakin cepat pula waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan

infeksi dan mortalitas terhadap serangga uji. Selain itu, semakin tinggi konsentrasi jamur B.

bassiana, akan semakin banyak pula jumlah konidiospora yang terkandung di dalam setiap

mililiter larutan, sehingga penyebaran konidiospora pada permukaan tubuh larva akan lebih

merata. Dengan demikian, bidang penyerangan semakin luas dan peluang konidiospora untuk

tumbuh dan menembus kutikula juga semakin besar, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk

menimbulkan infeksi dan kematian larva juga semakin pendek.

Page 333: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

322

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu:

1. Mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti instar III menggunakan jamur Beauveria

bassiana pada beberapa media cair buatan menunjukkan bahwa perlakuan dengan

menggunakan tingkat pengenceran berbeda nyata.

2. Pada tingkat pengenceran 10-1

mengalami tingkat mortalitas larva yang mencapai 43,07%

mortalitas pada hari kelima pengaplikasian.

DAFTAR PUSTAKA

Abdalmagid, M.A. and Alhusein. 2008. Entomological Investigation of Aedes aegypti in

Kassala and Elgadarief State, Sudan. Sudanese Jornal of Public Health. 3 (2): 77-80.

Adhi, E. P., Wignyanto dan Sakunda, A. 2013. Pengaruh Suhu dan Substrat Terhadap

Produksi Konidia Beauveria bassiana. Teknologi Industri Pertanian, Brawijaya.

Fathi, Keman, S., dan Chatarina, U.W. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap

Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan.

2 (1):1-10.

Herlinda, S., Hartono dan Irsan, C. 2008. Efikasi Bioinsektisida Formulasi Cair Berbahan

Aktif Beauveria bassiana(BALS.) VUILL. dan Metharizium sp. Pada Wereng

Punggung Putih (Sogatella furcifera HORV.). Seminar Nasional dan Kongres PATPI

2008 hal1-15.

Purnomo, H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. ANDI, Yogyakarta.

Setiadi. 2009. Budidaya Kentang. Penebar Swadaya, Jakarta.

Shinta, Sukowati, S. dan Asri, F. 2008. Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti di Daerah

Khusus Ibukota Jakarta dan Bogor Terhadap Insektisida Malathon Dan

Lambdacylothrin. Jurnal Ekologi Kesehatan. 7(1): 722-731.

Suarni dan Widowati, S. 2007. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. Jagung: Teknik

Produksi dan Pengembangan. Hal 410-426

Suprapti, L. 2003. Tepung Ubi Jalar Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta.

Tenrirawe, A. dan Pabbage, M.S. 2013. Isolasi dan Identifikasi Jamur Entomopatogen Yang

Menginfeksi Hama Penggerek Tongkol Jagung (Helicoverpa armigera). Seminar

Nasional Serealia. Hal 461-471.

Utami, S. R., Isnawati dan Reni, A. 2014. Eksplorasi dan Karakterisasi Cendawan

Entomopatogen Beauveria bassiana dari Kabupaten Malang dan Magetan.

LenteraBio. 3 (1): 59–66.

Wilyus dan Yudiawati, E. 2005. Kemangkusan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin

dalam Menghambat Perkembangan Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera:

Noctuidae). Jurnal Agronomi. 9(2): 103-106.

Yasmin, Y. dan Fitri, L. 2010. The Effect Of Metharizium anisopliae Fungi on Mortality of

Aedes aegypti Larvae. Jurnal Natural. 10 (1): 31-35.

Page 334: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

323

Struktur dan Fungsi

Tumbuhan

Page 335: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

324

Page 336: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

325

KARAKTERISTIK LATEKS BEBERAPA KLON KARET

(Hevea brasiliensis) PADA PERIODE BULAN KERING

LATEX CHARACTERISTICS OF SOME RUBBER CLONES

(HEVEA BRASILIENSIS) IN DRY MONTH PERIOD

Andi Wijaya, Arief Rachmawan dan Sayurandi

Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet

PO BOX 1415 Medan 20001 Telp/Faksimilie: 061-7980045/061-7980046

Email : [email protected]

Abstract

Dry months in North Sumatra generally occurred in January to April. Based on data from the

last ten years, the average amount of rainfall in those months is less than 100 mm/month.

According to Oldeman classification, the condition belongs to the dry season (autumn). In

response to this condition, rubber trees shed their leaves periodically as an effort to reduce

transpiration rate. This leaf fall conditions will affect the photosynthetic activity of plants, so

it‟s assumed that latex characteristics will also change. This study aims to provide

information about latex properties of four clones i.e., IRCA 230, RRIM 2020, IRR 104 and

PB 260 in dry months. Latex was taken from rubber trees which had a d/2 tapping

frequency. The Results showed that dry rubber content (DRC) ranged from 25.26 to 43.25%;

total solid content (TSC) ranged from 27.18 to 45.44%; volatile matter content ranged from

0.35 to 0.43%; dirt content ranged from 0.42 to 0.78%; Po ranged from 32-52% and the PRI

ranged from 18.75 to 69.23%. The latex properties of all clones are qualified to SNI

standards of SIR 10, except the dirt content and the PRI of PB 260.

Keywords : Hevea brasiliensis, latex properties, clones, dry months, SNI standard

PENDAHULUAN

Tanaman karet berasal dari daerah tropika di lembah Amazon, Brazil dengan curah

hujan 2.000-3.000 mm/tahun dan hari hujan antara 120-170 hari/tahun (Sutardi, 1981).

Sebagian besar areal perkebunan karet Indonesia terletak di Sumatera dan Kalimantan dengan

curah hujan 1.500-4.000 mm/tahun dengan rata-rata bulan kering 0-4 bulan per tahun dan

terletak pada elevasi kurang dari 500 m di atas permukaan laut (Wijaya, et.al., 2009).Pada

umumnya bulan kering (musim kemarau) di Sumatera Utara terjadi pada bulan Januari

sampai dengan bulan April. Berdasarkan data sepuluh tahun terakhir, pada bulan-bulan

tersebutrata-rata jumlah curah hujan di bawah 100 mm/bulan. Menurut klasifikasi Oldeman

curah hujan di bawah 100 mm/bulan tergolong pada bulan kering (musim kemarau).

Oldeman mengklasifikasikan iklim menjadi bulan basah dengan curah hujan di atas 200

mm/bulan, bulan lembab dengan curah hujan 100-200 mm/bulan, dan bulan kering dengan

curah hujan di bawah 100 mm/bulan (Bayong, 2004).

Page 337: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

326

Gambar 1. Grafik curah hujan 10 tahun terakhir di Sumatera Utara

Pada saat musim kemarau ketersediaan air berkurang sehingga air menjadi faktor

pembatas bagi pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Pengaruh ketersediaan air terhadap

produksi karet sangat besar karena sekitar 60-70% dari lateks adalah air (Cahyo, et.al., 2011).

Menurut Chang (1968) kekurangan air akan mempengaruhi laju fotosintesis karena dehidrasi

fotoplasma. Dalam penelitian Syamsu, et al. (2009) dilaporkan bahwa lateks kebun yang

dikumpulkan dari pohon karet pada kondisi pohon yang normal lebih stabil dibandingkan

dengan lateks kebun yang berasal dari pohon karet pada kondisi gugur daun. Namun,

penelitian tersebut belum dijelaskan secara kuantitatif maupun kualitatif terhadap besarnya

nilai mutu lateks yang dihasilkan oleh tanaman yang sedang mengalami gugur daun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik mutu lateks beberapa klon,

yaitu IRCA 230, RRIM 2020, IRR 104 dan PB 260 pada kondisibulan kering. Diduga pada

kondisi bulan kering, lateks yang dihasilkan dari tanaman karet Hevea akan menurun

mutunya, baik kadar karet kering maupun sifat teknis lainnya terhadap nilai standar SNI

untuk diolah menjadi SIR 10.

BAHAN DAN METODE

Sampel lateks dianalisis di Laboratorium Teknologi Karet Balai Penelitian Sungei

Putih. Sampel lateks diambil dari tanaman karet sesuai klon dengan frekuensi penyadapan d/2

dan posisi panel BO-1 dengan jumlah tanaman masing masing sebanyak 15-20 pohon dengan

tiga kali ulangan. Metode analisis lateks untuk kadar karet kering dan total solid content

sesuai ASTM-D 1076-88, sedangkan untuk analisis kadar kotoran, kadar zat menguap, Po

dan PRI sesuai dengan metode SNI 1903-2011.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik mutu lateks yang meliputi KKK, TSC, kadar zat menguap, kadar

kotoran, Po dan PRI ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik mutu lateks beberapa klon tanaman karet

Klon

Parameter Analisis

KKK

(%) TSC (%)

Zat Menguap

(%)

Kotoran

(%)

Po

(%) PRI (%)

RRIM 2020 43,25 45,44 0,39 0,78 48 64,58

IRR 104 32,10 34,71 0,43 0,75 52 69,23

IRCA 230 29,12 31,52 0,43 0,47 32 56,25

PB 260 25,26 27,18 0,35 0,42 32 18,75

SNI/SIR 10 - - 0,80 0,08 30 50

0

100

200

300

400

500

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Cu

rah

hu

jan

(m

m b

ula

n-

1)

Bulan

RerataMinimumMaksimum

Page 338: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

327

Lateks kebun yang dihasilkan oleh tanaman karet dari beberapa klon memiliki warna

yang berbeda-beda pada saat diolah menjadi karet remah (crumb rubber). Hal ini

menunjukkan bahwa masing-masing klon memiliki komposisi senyawa karoten yang

berbeda-beda di dalam lateks (sifat genetik tanaman), sehingga warna karet berubah menjadi

kuning kecoklatan. Seperti yang dilaporkan Darussamin, et al. (1990) bahwa adanya reaksi

polifenoloksidase dengan oksigen atau karoten dari fraksi Frey Wyssling di dalam lateks

menyebabkan warna karet berubah menjadi coklat atau kehitaman. Pada klon PB 260 dan

IRCA 230 memiliki karet remah berwarna putih cerah, sementara klon RRIM 2020 dan IRR

104 memiliki warna kuning kecoklatan. Penampakan warna pada lateks yang diolah menjadi

karet remah dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Penampakan warna karet masing-masing klon

Kadar Karet Kering dan Total Solid Content (TSC)

Kadar karet kering dan total solid content/TSC(kadar jumlah padatan) lateks kebun

masing-masing klon memiliki variasi yang tinggi. Nilai kadar karet kering bervariasi antara

25,26-43,25% dan TSC sebesar 27,18-45,44%. Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa

klon PB 260 mempunyai KKK yang paling rendah (25,26%), sedangkan klon RRIM 2020

memiliki KKK paling tinggi (43,25%). Hal ini menunjukkan bahwa pada klon PB 260 yang

memiliki KKK rendah sangat responsif terhadap perubahan kondisi tanaman dan lingkungan

khususnya gugur daun, di samping itu juga dengan penyadapan d/2 (penyadapan dilakukan

setiap dua hari sekali) memberikan indikasi bahwa metabolisme tanaman pada klon PB 260

tidak berjalan dengan baik, dikarenakan adanya eksploitasi yang berlebih (d/2) sehingga

sukrosa dan fosfat anorganik di dalam tanaman tidak digunakan untuk mensintesis isoprene

(partikel karet) melainkan untuk pertumbuhan tanaman dalam kondisi gugur daun. Seperti

yang dijelaskan oleh Lynen (1969) bahwa fosfat anorganik berperan dalam proses

penyediaan energi anabolisme dan sintesis isoprena melalui ikatan adenosin fosfat dan

pirofosfat.

Gambar 3. Grafik nilai KKK dan TSC masing-masing klon

43.25

32.10 29.12

25.26

45.44

34.71 31.52

27.18

-

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

RRIM 2020 IRR 104 IRCA 230 PB 260

Nil

ai

KK

K&

TS

C (

%)

Klon

KKK

TSC

Page 339: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

328

Kadar Zat Menguap dan Kotoran

Kadar zat menguap menggambarkan adanya uap air dan zat-zat lain yang mudah

menguap yang masih terkandung di dalam karet remah. Penentuan ini dimaksudkan untuk

memastikan bahwa karet telah mengalami pengeringan yang sempurna. Nilai kadar zat

menguap yang dihasilkan bervariasi antara 0,35-0,43%. Semakin rendah nilai kadar zat

menguap maka sampel karet semakin baik. Semua sampel dari masing-masing klon telah

memenuhi standar SNI (1903:2011) tentang karet spesifikasi teknis untuk diolah menjadi

SIR10.

Analisis kadar kotoran merupakan parameter yang mengindikasikan adanya bahan

pengotor yang tidak larut dan tidak dapat lolos melalui saringan 325 mesh. Dari data tersebut

nilai kadar kotoran bervariasi antara 0,42-0,78%. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat

proses pencucian selama penggilingan tidak terjadi dengan baik, sehingga masih adanya

bahan pengotor yang masih tertinggal di dalam lateks. Dalam proses pengolahan menjadi

barang jadi karet, kadar kotoran yang tinggi akan merusak mutu karena akan berpengaruh

terhadap ketahanan retak lentur dan umur pakai barang jadi karet (Suparto, et al. 2009).

Semua sampel dari masing-masing klon tidak memenuhi standar SNI (1903:2011) untuk

diolah menjadi SIR 10.Hal ini diduga karena pada proses pencucian saat penggilingan karet

remah tidak dilakukan dengan baik, sehingga masih adanya bahan pengotor berupa pasir atau

tanah yang masih tertinggal.

Gambar 4. Grafik nilai kadar zat menguap dan kotoran masing-masing klon

Po dan PRI

Nilai plastisitas awal (Po) masing-masing klon bervariasi antara 32-52%. Dari data

tersebut terlihat bahwa nilai plastisitas awal tertinggi diperoleh pada klon IRR 104 (52%),

sedangkan terendah diperoleh pada klon IRCA 230 dan PB 260 (32%). Hal ini diduga bahwa

klon IRR 104 memiliki metabolisme yang lebih stabil dalam mensintesis partikel karet

dengan rantai molekul yang panjang dibandingkan dengan ketiga klon lainnya, yaitu RRIM

2020, IRCA 230 dan PB 260. Rachmawan et al. (2007) menyatakan bahwa plastisitas awal

mempunyai korelasi dengan viskositas Mooney dan panjang rantai molekul karet (isoprene)

yang disintesis oleh tanaman.

Nilai PRI karet masing-masing klon juga bervariasi antara 18,75-69,23%. Nilai PRI

tertinggi diperoleh pada klon IRR 104 (69,23%), sedangkan terendah diperoleh pada klon PB

260 (18,75%). Nilai PRI mengindikasikan ketahanan karet terhadap oksidasi pada suhu

tinggi. Semakin tinggi nilai PRI maka semakin baik pula tingkat ketahanan karet terhadap

pemanasan. Nilai PRI karet ditentukan oleh penanganan bahan olah karet selama

penyimpanan. Hal ini dijelaskan pada penelitian yang dilakukan Suwardin, et al. (1996)

bahwa bahan olah karet yang disimpan dalam perendaman selama beberapa hari memiliki

0.39 0.43 0.430.35

0.78 0.75

0.470.42

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

RRIM 2020 IRR 104 IRCA 230 PB 260

Nil

ai

Za

t M

eng

ua

p d

an

Ko

tora

n (

%)

Klon

Zat Menguap

Kotoran

Page 340: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

329

nilai PRI yang rendah. Selain itu, faktor lain yang dapat menurunkan nilai PRI adalah proses

pengeringan karet mentah yang terlalu panas dan bahan olah karet terkena sinar matahari

langsung dalam jangka waktu yang lama.

Gambar 4. Grafik nilai Po dan PRI masing-masing klon

KESIMPULAN

Secara umum semua klon tersebut memenuhi standar SNI untuk diolah menjadi SIR

10. Karakteristik mutu lateks yang dihasilkan pada tanaman saat gugur daun tidak

sepenuhnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai standar SNI. Untuk nilai

yang tidak memenuhi dapat dilakukan pencampuran dengan bahan olah karet lain, sehingga

dapat diolah menjadi SIR 10 atau 20.

DAFTAR PUSTAKA

ASTM-D 1076-88.1989. Annual Book of ASTM Standards. Philadelphia, USA.

Bayong, T. 2004. Klimatologi. Penerbit ITB, Bandung.

Cahyo, A.N., R. Ardika, dan T. Wijaya. 2011. Konsumsi Air dan Produksi Karet Pada

Berbagai Sistem Pengaturan Jarak Tanam dalam Kaitannya Dengan Kandungan Air

Tanah. Jurnal Penelitian Karet, 29(2) : 110-117.

Chang, J.H. 1968. Climate and Agriculture. University of Hawaii. Hlm.303

Darussamin, A., T. Chaidamsari dan Y. Syamsu. 1990. Sifat Lateks Beberapa Klon Anjuran

1988-1990. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet. pp. 216-239

Lynen, F. 1969. Biochemical Problems of Rubber Synthesis. Journal Rubb. Research.

Malaya.21:851-853

Rachmawan, A. dan Sumarmadji. 2007. Kajian Fisiologi dan Sifat Karet Klon PB 260

Menjelang Buka Sadap. Jurnal Penelitian Karet. 25(2):59-70

SNI 1903:2011. Karet Spesifikasi Teknis. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Suparto, D., Y. Syamsu, A. Cifriadi, dan S. Honggokusumo. 2009. Sifat Teknis Karet Remah

dengan Viskositas Mooney dan Kadar Gel Rendah. Prosiding Lokakarya Nasional

Pemuliaan Tanaman Karet. hlm:368-373.

Sutardi. 1981. Faktor Ekologi Daerah Budidaya Karet di Jawa dan Beberapa Pengembangan

di Luar Jawa. Pertemuan Teknis Perkebunan II, Research Center Getas, Salatiga.

4852

32

32

64.5869.23

56.25

18.750

10

20

30

40

50

60

70

80

RRIM 2020 IRR 104 IRCA 230 PB 260

Nil

ai

Po

&P

RI

(%)

Klon

Po

PRI

Page 341: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

330

Suwardin, D., A. Anwar, S. Honggokusumo, A.M. Santosa, dan A.F.S. Budiman. 1996. Studi

Hubungan Ketebalan sebagai Parameter Mutu Bokar Dengan Mutu Teknis Karet

Remah. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Gabungan Pengusaha Karet Indonesia

(GAPKINDO) dengan Pusat Penelitian Karet.

Syamsu, Y., S. Woelan, dan A. Rachmawan. 2009. Kesesuaian Lateks Klon IRR Seri 100 dan

200 Untuk Pengolahan Lateks Pekat. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan

Tanaman Karet. hlm:356-358.

Wijaya, T., M.J. Rosyid, Sudiharto, dan M. Lasminingsih. 2009. Adaptasi Klon dan Tindakan Kultur

Teknis Untuk Penanaman Karet di Lahan Sub-Optimal. Prosiding Lokakarya Nasional

Pemuliaan Tanaman Karet.

Page 342: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

331

HUBUNGAN KONSENTRASI STIMULAN ETEPON

DAN PARAMETER PRODUKSI PADA BEBERAPA KLON

TANAMAN KARET

Concentration of Ethepon Stimulant and Yield Parameters Correlation on

Several Clones of Rubber Tree

Atminingsih dan Tumpal H.S. Siregar

Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet

PO BOX 1415 Medan 20001 Sumatera Utara

Email:[email protected]

Abstrak

Produktivitas tanaman karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg) di Indonesia. masih rendah.

Salah satu upaya peningkatan produksi yang selama ini banyak dilakukan adalah penggunaan

stimulan etepon. Respon terhadapstimulan etepon berbeda tiap klonnya, sehingga perlu

diketahui respon pada klon-klon harapan sebelum direkomendasikan kepada pekebun.

Diharapkan dengan diketahui respon tersebutsejak awal perakitan klon,maka dapat digunakan

sebagai pedoman pencapaian produksi yang optimal.Penelitian ini dilaksanakan pada areal

tanaman karet plot promosi (PP/07/03) tahun tanam 2004 di Balai Penelitian Sungei Putih.

Rancangan yang digunakan adalah rancangan petak tersarang (nested design) dengan dua

perlakuan. Perlakuan pertama adalah klon tanaman karet yang terdiri dari 6 jenis yaitu: IRR

412, IRR 417, PB 260, BPM 24, IRR 420, dan IRR 406.Perlakuan kedua adalah konsentrasi

stimulan yang terdiri dari 3 taraf yaitu: Kontrol (S0): tanpa perlakuan stimulan, S1: ethepon

2,5%, dan S2 :ethepon 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon dan kosentrasi

stimulan nyata mempengaruhi parameter produksi, indeks penyumbatan, dan kadar karet

kering. Sementara interaksi keduanya hanya berpengaruh terhadap indeks penyumbatan.

Hubungan korelasi antar parameter nyata terlihat antara parameter kadar karet kering dan

indeks penyumbatan. Pengamatan terhadap parameter produksi perlu dikaji lebih dalam

dikombinasikan dengan beberapa sistem sadap sehingga diperoleh hasil yang optimal pada

setiap klon.

Kata kunci: Hevea brasiliensis, stimulan etepon, produksi, klon

PENDAHULUAN

Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muel Arg) merupakan salah satu komoditas

perkebunan yang dibudidayakan secara luas di Indonesia.Pada tahun 2012, areal perkebunan

karet di Indonesia merupakan yang terluas di dunia yaitu mencapai 3,48 juta ha dengan

produksi karet alam mencapai 3,04 juta ton tetapi produktivitas nasional hanya 1.080

kg/ha/tahun (Ditjenbun, 2013).Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produksi karet

alam Indonesia dibandingkan dengan Thailand yang memiliki luas areal yang lebih sedikit.

Salah satu faktor penyebab rendahnya produksi adalah kurangnya penggunaan bahan tanam

klonal terutama pada perkebunan rakyat dan penerapan sistem penyadapan yang tidak sesuai

sehingga penggalian produksi tidak optimal.Upaya peningkatan produktivitas tanaman karet

sudah banyak dilakukan yaitu dengan beberapa teknik penyadapan termasuk penggunaan

stimulan. Salah satu stimulan yang umum digunakan di indonesia adalah stimulan berbasis

etepon. Sejak penggunaan ethepon diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1970-an

Page 343: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

332

mengalami perkembangan yang pesat sehingga hampir semua perkebunan menggunakan

stimulan tersebut hingga saat ini. Penggunaan stimulan secara komersial berpedoman pada

dua hal yaitu memperpanjang lamaaliran lateks dan penurunan biaya penyadapan melalui

penurunan intensitas penyadapan (Tistama dan Siregar, 2010).

Pada prinsipnya penggunaan stimulan dapat memperpanjang aliran lateks sehingga

semakin banyak lateks yang keluar dari pembuluh lateks.Dalam jaringan pembuluh latek

ethepon akan terhidrolisis menghasilkan hormon berupa gas etilen (C2=H4). Gas etilen

merupakan bahan aktif yang dapat mendorong stabilitas lateks untuk mengalir lebih lama

(misalnya dari 3 - 4 jam menjadi 9 -10 jam), sehingga produksi lateks harian meningkat,

khususnya pada klon yang responsif (Sumarmadji dan Atminingsih.,2010).Pengaruh stimulan

berbeda pada setiap klon tanaman karet yang ditandai dengan banyak sedikitnya produksi

lateks yang dihasilkan. Pada klon yang responsif terhadap stimulan peningkatan produksi

lateks signifikan dibandingkan tanpa penggunaan stimulan etepon. Sementara pada klon yang

tidak responsif terhadap stimulan peningkatan produksi tidak signifikan. Pengetahuan respon

terhadap stimulan penting untuk diketahui terutama sejak awal perakitan klon dalam hal ini

adalah klon harapan.Oleh karena itu pengaruh tingkat kosentrasi stimulan etepon pada

beberapa klon harapan (IRR seri 400) perlu dilakukan sehingga dapat diketahui respon

tersebutsejak awal. Hal tersebut dapat dijadikan dasar dalam penggalian produksi nantinya,

sehingga produksi yang dihasilkan optimal sesuai dengan kapasitas setiap klonnya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian inidilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih, pada areal

plot promosi (PP) tahun tanam 2004.Areal ini merupakan salah satu tahapan dari tahap

perakitan klon yaitu Plot Promosi (PP/07/03) di Blok 31 dan 32 KP Balai Penelitian Sungei

Putih. Penelitian berlangsung dari bulan Juli 2014 hingga Februari 2015, yakni pada saat

kondisi daun sempurna dan tidak mengalami gugur daun. Posisi panel sadap berada di kulit

basal yang kedua (BO-2) dengan sistem sadap sebelum perlakuan 1/2S d/3 ET

2.5%.18/y(2w).

Penelitian disusun berdasarkan rancangan petak tersarang (nested design) dengan dua

perlakuan, dimana faktor kedua dan ulangan tersarang pada faktor pertama.Faktor pertama

adalah perlakuan klon tanaman karet terdiri dari 6 jenisyaitu: (1). IRR 412, (2). IRR 417, (3).

PB 260, (4). BPM 24, (5). IRR 420, dan (6). IRR 406.Faktor kedua merupakan konsentrasi

stimulan (ethepon) yang terdiri dari 3 taraf yaitu (1). Kontrol atau tanpa stimulan(S0), (2).

Konsentrasi stimulan ethepon 2,5% (S1), (3). Konsentrasi stimulan etepon 5% (S2).

Tahap awal pelaksanaan penelitian adalah ploting areal penelitian. Ploting dilakukan

untuk menentukan pohon sampel yang digunakan agar memiliki posisi bidang sadap dan

morfologi yang seragam. Keseragaman morfologi dilakukan dengan pendekatan keseragaman

lilit batang dengan koefisien keragaman lebih kecil dari 15%.

Parameter yang diamati antara lain:

Produksi (gram/pohon/sadap)

Pengamatan terhadap produksi tanaman karet dilakukan setiap penyadapan kemudian

ditabulasi tiap bulannya terhitung sejak aplikasi stimulan (bulan setelah aplikasi).

Pengamatan dilakukan dengan menimbang lateks dari setiap satuan percobaan pada hari

sadap dan lump mangkok yang dilakukan 1-2 hari setelah penyadapan. Nilai produksi

diperoleh dengan menjumlahkan produksi lateks dan lump dikalikan dengan nilai kadar karet

kering latek dan kadar karet kering lump.

Page 344: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

333

Indeks penyumbatan (IP) Indeks penyumbatan merupakan perbandingan dari laju pengaliran lateks per menit dengan volume lateks total dikalikan 100 (Milford, et al.,1969). Indeks penyumbatan dapat mengambarkan aliran lateks dan lama aliran dalam pembuluh. Pengamatan dilakukan sekali dalam sebulan dan diamati pada saat mulai penyadapan (pukul 5.30 WIB) diukur voleme lateks pada 5 menit pertama dan volume lateks pada akhir atau total dengan gelas ukur pada setiap sampel di satuan percobaan.

Kadar karet kering (%). Pengukuran KKK dilakukan dengan mengambil 100 g sampel lateks dari setiap satuan percobaan dan dilakukan satu kali sebulan. Sebanyak 10 g ditimbang dari 100 g sampel yang diambil, kemudianditambahkan asam format 10% hingga lateks membeku. Latek yang membeku digiling di mesin penggiling lump yang dialiri air hingga membentuk lembaran tipis.Setelah itu dikeringkan di oven 2 x 24 jam dengan suhu 65°C hingga berat konstan. Nilai KKK diperoleh menggunakan metode gravimetri dengan membandingkan bobot kering karet dengan bobot basah karet dikali 100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi (g/p/s)

Produksi merupakan respon terpenting dari setiap klon tanaman karet yang diberi perlakuan stimulan ethepon. Produksi nyata dipengaruhi oleh konsentrasi stimulandanklon (Tabel 1).Pengaruh tertinggi terdapat padakonsentrasi S2 yang mencapai 79,7% di atas kontrol (41,72 g/p/s) yaitu sebesar 74,98 g/p/s. Peningkatan konsentrasi stimulan memberikan pengaruh peningkatan produksi yang lebih tinggi. Hal ini terbukti perlakuan konsentrasi stimulan S1 hanya mencapai produksi 40,5% di atas kontrol.Produksi tertinggi terdapat pada IRR 406 yaitu mencapai 85,57 g/p/s. Produksi IRR 412 dan PB 260 berturut-turut mencapai 80,58 g/p/s dan 54,69 g/p/s. Sedangkan produksi terendah terdapat padaIRR 417 yang hanya mencapai 36,11 g/p/s.Produksi semua klon berbedanyatakecualiantara BPM 24 dan IRR 420

Tabel 1. Pengaruh klon dan konsentrasi stimulan terhadap produksi tanaman karet selama penelitian.

Perlakuan Produksi (g/p/s)

Konsentrasistimulan: S0 (Kontrol) 41,72 C S1 (ET 2,5%) 58,61 B S2 (ET 5%) 74,98 A

Klon: IRR 412 80,58 B

IRR 417 36,11 E PB 260 54,69 C

Page 345: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

334

Perlakuan Produksi (g/p/s)

BPM 24 47,68 D IRR 420 46,00 D IRR 406 85,57 A

Interaksi Tidak nyata

Catatan:Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dankelompokperlakuanmenunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT(Duncan Multiple Range Test) dengan taraf P0,01.

Secara umum terjadi peningkatan produksi pada keenam klon yang diuji dengan

pemberian konsentrasi stimulan yang berbeda (Gambar 1). Akan tetapi, besarnya pengaruh

perubahan produksi bervariasi pada tiap klon. Sebagian klon menunjukkan bahwa

peningkatan konsentrasi dari kontrol ke perlakuan ethepon 2,5% dan 5 % memberikan

pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan produksi. Respon produksi lateks oleh

perlakuan penyadapan di samping dibandingkan dalam satuan g/p/s, juga dibandingkan

dalam satuan kg/ha/tahun sebagai koreksi untuk pembandingan yang seimbang dalam satuan

luas areal dan jangka waktu yang sama (Sumarmadji, 1999; Siregar, 2001).

Gambar 1. Rerata produksi (g/p/s) setiap klon pada ketiga taraf konsentrasi selama

penelitian

Bila dibandingkan dengan produksi kontrol, peningkatan produksi tertinggi akibat

perlakuan stimulan terdapat pada klon IRR 412 dan IRR 406. Peningkatan ini

mengindikasikan bahwa kedua klon mempunyai respon peningkatan produksi yang tinggi

terhadap pemberian stimulan. Sementara peningkatan produksi pada klon IR 420, IRR 417,

dan PB 260 tidak signifikan, hal ini mengindikasikan bahwan klon tersebut memiliki respon

yang rendah terhadap stimulan.

Sejalan dengan penelitian ini, Sumarmadji (2002) melaporkan bahwa respon pada

klon AVROS 2037 dan BPM 24 terhadap pemberian stimulan dengan konsentrasi yang

berbeda (0, 2,5% dan 5%) dapat meningkatkan produksi rata-rata 80-84% di atas kontrol

(0%). Peningkatan produksi pada klon BPM 24 selama penelitian tergolong tinggi (69% dan

109%) meskipun mempunyai nilai produksi (g/p/s) dibawah peningkatan produksi klon IRR

412 dan IRR 406. Pada klon yang responsif terhadap ethepon, perlakuan stimulasi

Page 346: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

335

berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi lateks akibat perubahan IP dan KKK yang

berkaitan dengan lama aliran lateks (Sumarmadji, et al. ,2004b).

Stimulasi ethephon pada tanaman karet pada dasarnya adalah proses dari luar

(eksogenus) yang digunakan untuk meningkatkan produksi di atas normal pada saat

penyadapan (Priyadarshan, 2012). Sumarmadji (2000) menyebutkan ada dua jalur utama

peran etilen meningkatkan produksi yaitu meningkatkan biosintesis karet dan memperpanjang

lama aliran lateks. Secara seluler aplikasi etilen eksogenos meningkatkan etilen endogenus di

dalam sel-sel pembuluh lateks, Induksi ini berkaitan dengan peningkatan biosintesis etilen

(Wang et al., 2002).

Indeks Penyumbatan (IP)

Indeks penyumbatan nyata dipengaruhi oleh klon, stimulan, dan interaksi keduanya .

Peningkatan konsentrasi stimulan dari S0 ke S1 dan S2 berpengaruh terhadap penurunan

IP.Indeks penyumbatan tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol (S0) dan terendah pada

perlakuan konsentrasi stimulan ethepon 5% (S2). Penurunan IP pada perlakuan S2

mencapai 56% dibanding kontrol yaitu dari 3,4 menjadi 1,5. Sedangkan penurunan IP pada

perlakuan S1 mencapai 50% dibandingkan kontrol (Gambar 2).Indeks penyumbatan

tertinggi terdapat pada klon IRR 412, dan berturut-turut selanjutnya BPM 24 dan IRR 406,

IRR 417, PB 260, serta terendah pada IRR 420.

Gambar 2. Rerata nilai indeks penyumbatan (IP) tiap klon pada ketiga taraf konsentrasi

stimulan selama penelitian.

Gunaseraka, et al (2007) mengemukakan bahwa pemberian stimulan ethepon (2,5%)

pada beberapa genotipe tanaman karet memberikan pengaruh penurunan IP. Indeks

penyumbatan sangat erat berkaitan dengan produksi karena mencerminkan lama aliran lateks.

Jika indeks penyumbatan tinggi berarti aliran lateks dapat berlangsung lebih lambat. Sejalan

dengan Jacob, et al., (1998) yang menyatakan bahwa faktor pembatas produksi lateks adalah

lamanya aliran lateks setelah sadap dan regenerasi lateks diantara dua penyadapan.

Penggunaan ethepon diduga meningkatkan influks air dalam sistem pembuluh lateks

(Pakiananthan et. al., 1989), menstabilkan lutoid (Jacob et al.,1989) dan menyebabkan lateks

mengalir lebih lama setelah penyadapan. Aliran lateks ditentukan oleh besarnya tekanan

turgor, transfer air dari floem ke pembuluh lateks, dan proses koagulasi lateks (Jacob et.al,

1989). Stimulan ethepon dapat menyebabkan sitosol menjadi alkalin dan berpengaruh

terhadap stabilitas karet sehingga karet tidak cepat menggumpal jika dikombinasikan suplai

air yang memadai menyebabkan aliran lateks lebih lama (Tistama, 2013).

Page 347: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

336

Kadar Karet Kering Lateks (%)

Kadar karet kering (KKK) mencerminkan jumlah padatan karet yang terkandung di

lateks. Lateks mengandung bahan padatan sebesar 25-50% dan sebanyak 90% merupakan

partikel karet (Priyadarshan, 2011). Nilai rata-rata KKK semua klon mencapai 31,47-

44,48%. Kadar karetkering nyata dipengaruhi oleh konsentrasi stimulandan klon (Tabel 2).

Peningkatankonsentrasi stimulandari 0, 2,5%, dan 5% terlihat menurunkan nilai

KKK pada hampirsemua klon yang diamati. Kadar karet kering pada S2 lebih rendah

dibandingkan dengan S1 dan kontrol.Rerata penurunan KKK akibat perlakuan stimulan S1

mencapai 11% yaitu dari nilai KKK sebesar 39,61% pada kontrol menjadi 35,43%.

Sedangkan penurunan KKK pada perlakuan S2 mencapai 13% (Tabel2).

Tabel 2. Pengaruh klon dan konsentrasi stimulan terhadap kadar karet kering lateks (%)

selama penelitian

Perlakuan Kadar karetkering (%)

Konsentrasistimulan:

S0 (Kontrol) 39,61 A

S1 (ET 2,5%) 35,43 B

S2 (ET 5%) 34,56 C

Klon:

IRR 412 36,30 C

IRR 417 32,58 E

PB 260 37,22 B

BPM 24 36,60 C

IRR 420 34,28 D

IRR 406 42,22 A

Interaksi

Tidaknyata

Catatan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dankelompokperlakuan

menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT (Duncan Multiple Range Test)

dengan taraf P0,01.

Kadar karet kering tertinggi terdapat pada klon IRR 406 dengan sedikit penurunan

KKK yaitu 6% (S1) dan 10% (S2)dibandingkan perlakuan kontrol. Bila dibandingkan dengan

perlakuan kontrol pada masing masing klon,tertinggi penurunan KKK terdapat pada klon

BPM 24 dan IRR 412. Dimana perlakuan S1 pada BPM 24 menurunkan KKK hingga 14%

dan 21% (S2). Sedangkan pada klon IRR 412, perlakuan S1 dan S2 menurunkan KKK hingga

18%.

Gambar 3. Hubungan korelasi antara peubah Indeks penyumbatan dan kadar karet kering

Page 348: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

337

Pemberian stimulan pada keenam klon tanaman karet menurunkan KKK pada semua

klon dengan tingkat penurunan nilai yang berbeda. Sumarmadji dan Tistama(2004a)

menyatakan bahwa nilai IP dan KKK berkaitan dengan lama aliran lateks. Pernyataan ini

sejalan dengan hasil penelitian, dimana KKK dan IP mempunyai korelasi yang nyata dengan

r = 0,59.Hal ini terbukti pada klon yang memiliki respon penurunan KKK tinggi yaitu BPM

24 dan IRR 412 juga memberikan nilai penurunan IP yang tinggi. Aplikasi stimulan

merangsang terjadinya penurunan KKK dalam lateks menyebabkan aliran lateks lebih lancar

sehingga indeks penyumbatan menjadi rendah.

KESIMPULAN

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon dan kosentrasi stimulan nyata

mempengaruhi parameter produksi, indeks penyumbatan, dan kadar karet kering

2. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi stimulan yang diaplikasikan pada

tanaman, maka semakin tinggi peningkatan produksi dan semakin rendah nilai

indeks penyumbatan dan kadar karet kering.

3. Respon setiap klon terhadap stimulan berbeda-beda, secara umum klon yang

responsif antara lain IRR 406, IRR 412, dan BPM 24, sedangkan yang kurang

responsif adalah IRR 420, IRR 417 dan PB 260.

4. Pengamatan terhadap parameter produksi perlu dikaji lebih dalam dikombinasikan

dengan beberapa sistem sadap sehingga diperoleh hasil yang optimal pada setiap

klon.

DAFTAR PUSTAKA

[Ditjenbun]. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Produksi dan produktivitas karet di

Indonesia. http/:www.dirjenbun.go.id, di akses 7 Januari 2014.

Gunaseraka, H.K.L.K, E.A. Nugawela, W.A.J.M. De Costa, and D.P.S.T.G. Attanayake.

2007. Possibility of early commencement of tapping in rubber (Hevea brasiliensis)

using different genotypes and tapping system. Expl. Agric Vol 43. Cambridge

University Press. Pp.201-221

Jacob, J.L, J.C. Prevot, and R.G.O. Kekwick. 1989, General metabolism Hevea brasiliensis

latex, p.102-141. In J.d‘Auzac and H. Chrestin (eds). Physiology of Rubber Tree

Latex, CRC Press. Boca Raton.

Jacob, J.L., J.C. Prevot, R. Lacrote, E. Gohet, A. Clement, R Gallois, T. Joet, V. Pujade-

Renaud, and J. d‘Auzac 1998. Les mecanimes biologiques de la production de

cautchouc par Hevea brasiliensis p 8-17 in Plantation, recherche and developpment.

Milford, G.FJ., E.C. Paarderkooper, and H.C. Yee. 1969. Latex vessel plugging: its

importance to yeild ang clonal behaviour. J.Rubb.Res.Inst. Malaya 21, 274-282.

Pakianathan, S.W., G. Haridas and J d‘Auzac. 1989. Water relation on latex flow. P 233-

256. In J. d‘Auzac, J.L. Jacob and H. Chrestin (eds) Physiology of Rubber Tree

Latex, CRC Press. Boca Raton.

Priyadarshan, P.M. 2011. Biologi of Hevea Rubber. CAB International. United Kingdom.

p.224

Siregar, T.H.S. 2001. Tanggap Produksi dan Karakteristik Fisiologi Lateks terhadap Sistem

Eksploitasi pada Beberapa Klon Karet IRR Seri 100. Tesis. Program Pasca Sarjana.

Institut Pertanian Bogor. 60h

Sumarmadji.2000. Sistem Ekploitasi Tanaman Karet yang Spesifik Diskriminatif. Warta

Pusat Penelitian Karet 19(1-3): 31-39

Page 349: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

338

Sumarmadji. 1999. Respon Karakter Fisiologi dan Produksi lateks beberapa klon tanaman

karet terhadap stimulasi etilen. Disertasi Doktor.Program Pacasarjana, IPB.123h

Sumarmadji. 2002. Aplikasi Etefon pada tanaman karet dilihat dari segi produksi lateks dan

pembentukan etilen jaringan kulit. Jurnal Penelitian Karet. 20 (1-3): 43-45

Sumarmadji, dan Radite Tistama. 2004a. Deskripsi Klon Karet Berdasarkan Karakter

Fisiologi Lateks untuk Menetapkan Sistem Eksploitasi yang Sesuai. Jurnal Penelitian

Karet Vol 22 (1): 27-40

Sumarmadji, Siswanto, dan Sudirman Yahya. 2004b. Penggunaan parameter fisiologi lateks

untuk penentuan sistem eksploitasi tanaman karet. Jurnal Penelitian Karet. Vol. 22

(1): 41-52.

Sumarmadji, dan Atminingsih. 2010. Falsafah Penyadapan Tanaman Karet dan Metabolisme

Lateks. Kumpulan makalah Workshop Optimalisasi Produksi Melalui Teknik

Eksploitasi Tanaman Karet. Medan 4-7 Oktober 2010Tistama dan Siregar, 2010

Tistama, R.. 2013. Peran Seluler Etilen Eksogenus terhadap peningkatan produksi lateks pada

tanaman karet (Hevea brasiliensis L). Warta Perkaretan Vol 32(1), h. 25-37

Wang, K.L.C., H. Li, and J.R. Ecker. 2002. Ethylene Biosynthesis and Signaling Networks.

The Plant Cell: 131-151

Page 350: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

339

PENGARUH 2,4 D, NAA dan KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN

EKSPLAN BIJI BALAKA (Phyllanthus emblica L.)

Boby Pranoto*, Firda Novita, Aditiya Bungsu, Dwi Febrina, Isnaini Nurwahyuni

Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara

E-mail: [email protected]

Abstrak

Balakka umumnya tumbuh di daerah tropis dan subtropis termasuk China, India, Indonesia

dan Semenanjung Malaysia. Potensi balakka di Sumatera Utara belum banyak diketahui.

Tanaman ini mengandung polifenol pada buah, daun dan akar, di samping itu daun dan

akarnya mengandung flavonoida dan daun juga mengandung saponin. Keberhasilan

penyebaran dan pertumbuhan tanaman balakka secara alami masih sangat rendah, karena

masa dormansi yang panjang dan sulit untuk dipatahkan. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui perlakuan yang tepat untuk mempercepat pemecahan dormansi dan komposisi

ZPT yang tepat dalam mendukung pertumbuhan balakka dengan tehnik kultur jaringan.

Perlakuan yang diberikan adalah perendaman biji dengan dan tanpa testa pada H20, H2SO4(P)

dan larutan Ethrel. Secara kultur jaringan, ZPT yang diberikan MS0, MS+2,4-D, MS+Kinetin

1mg/L, MS + 2,4-D + Kinetin 1mg/L, MS+NAA 2mg/L, MS+Kinetin 2mg/L, MS + NAA 2

mg/L + Kinetin 2 mg/L. Hasil percobaan menunjukkan proses pematahan dormansi dapat di

percepat dengan perendaman Ethrel dan air selama satu malam dalam kondisi tanpa testa,.

sedangkan pemberian ZPT terbaik MS + 2,4-D + Kinetin 1mg/L dengan rerata tinggi akhir

kultur mencapai 10 cm setelah 6 minggu penanaman.

Kata Kunci : Phyllanthus emblica, Balakka, ZPT, dormansi

PENDAHULUAN

Balakka umumnya tumbuh di daerah tropis dan subtropis termasuk China, India,

Indonesia dan Semenanjung Malaysia (Summanen, 1999; Liu et al., 2007). Nama umum

Phyllanthus emblica di Indonesia adalah kimalaka, kemlokoatau balakka (Uji, 2006).Potensi

balakka di Sumatera Utara belum mendapat perhatian, baik kandungan, budidaya bahkan

keragaman individu belum diketahui keberadaannya. Sejauh ini tumbuhan ini lebih banyak

dikenal hanya sebatas campuran bumbu masakan tradisional khususnya ikan Mas.

Habitus Balakka adalah pohon dengan tinggi 10-16 m. Batang Kemloko memiliki

sistem percabangan monopodial, warna coklat keputihan, tegak dan bulat (Gambar 1).

Komposisi daun majemuk, berbentuk lonjong, pangkal dan ujung runcing, panjang 14-22

mm, lebar 3,5 mm, pertulangan daun menyirip dan berwarna hijau. Bunga Balakka memiliki

komposisi tunggal, berbentuk bulat, terletak di ketiak daun dengan panjang 5-6 mm.

Benangsari berjumlah tiga, berwarna putih, tangkai putik berlekatan berwarna hijau pucat.

Mahkota bunga berwarna merah keunguan buah kemloko berbentuk bundar, beruang tiga dan

berwarna kuning pucat. Rasa dari buah Kemloko adalah sepat, asam-asam pahit. Biji buah

berbentuk lonjong pipih, keras dan berwarna coklat. Kemloko memiliki perakaran tunggang,

berwarna putih kotor, dan memiliki waktu pertumbuhan sangat lambat. Kemloko ini hidup

liar di hutan, di ladang-ladang dan tempat lainnya yang memiliki hawa panas.Buah, daun dan

akar kemloko mengandung polifenol. Daun dan akar mengandung flavanoida dan khusus

daun mengandung saponin. Buah kemloko mengandung vitamin C dan kulitnya mengandung

zat warna yang dapat digunakan sebagai zat pewarna biru bagi kain( Khoiriyah, 2015). Daun

dan akar mengandung flavanoida dan khusus daun mengandung saponin. Buah kemloko

Page 351: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

340

mengandung vitamin C dan kulitnya mengandung zat warna yang dapat digunakan sebagai

zat pewarna biru bagi kain( Khoiriyah, 2015).

Balakkamengandung polifenolpada buah, daun dan akar, di samping itu daun dan

akarnya juga mengandung flavonoida dan daunnya juga mengandung saponin. Fungsi

aktivitas senyawa flavonoid adalah sebagai antimikroba (Leo et al. 2004).Saponin yang

umumnya larut dalam air beracun bagi ikan dan kebanyakan jenis tumbuhan beracun

mematikan seperti Atropa belladonna L. mengandung racun golongan senyawa saponin.

Fungsi aktifitas senyawa saponin menurut Hostettman dan Marston (1995) adalah sebagai

antimikroba, fungisida, antibakteri, antivirus, molluscisida dan insektisida (Khoiriyah, 2015).

BAHAN DAN METODE

a. Pembuatan Media

Media yang digunakan adalah media MS (Murashige&Skoog, 1962) yang diberi

perlakuan tanpa penambahan Zat Pengatur Tumbuh untuk MS0 dan dengan penambahan Zat

Pengatur Tumbuh dengan konsentrasi: 2,4D 1 mg/L, Kinetin 1 mg/L, 2,4D 1 mg/L + Kinetin

1 mg/L, NAA 2 mg/L, Kinetin 2 mg/L, dan NAA 2 mg/L + Kinetin 2 mg/L. Tahap awal

pembuatan media adalah pembuatan larutan Stok terlebih dahulu. Unsur-unsur lain seperti

sukrosa dan agar ditimbang sesuai kebutuhan dalam pembuatan media. Media yang dibuat

sebanyak 250 ml. Media diautoklaf dengan suhu 121ºC dengan tekanan 2 atm selama 15

menit, media disimpan diruang kultur lebih kurang selama 1 minggu sebelum digunakan.

b. Treatment Pemecahan Dormansi

Perlakuan pecah dormansi yang diberikan meluputi perendaman dengan H2SO4 10%

selama 10 menit, perendaman dengan menggunakan Ethrel dan air selama 1 malam dengan

kondisi eksplan yang terbungkus testa dan tanpa testa. Selanjutnya, masing-masing eksplan

yang telah mendapat perlakuan disterilisasi dengan tehnik yang sama sebelum ditanam

kedalam media kultur. Penanaman eksplan untuk perlakuan pecah dormansi dilakukan

dengan menggunakan medium MS0 untuk mengurangi bias pemberian ZPT dalam

pertumbuhan eksplant.

c. Sterilisasi Eksplan

Sterilisasi eksplan berdasarkan metode Zulkarnain (2009) yang dimodifikasi. Biji

Balakka (Phyllanthus emblica L.) diambil dan dibersihkan dengan air mengalir. Lalu dicuci

dengan deterjen selama kurang lebih 5 menit lalu dibilas dengan akuades steril. Eksplan

dimasukkan ke dalam larutan NaOCl 1 % selama kurang lebih 5 menit lalu dibilas dengan

akuades steril. Tahap selanjutnya eksplan direndam dalam HgCl2 0,5 % selama ± 5 menit,

bilas 3 kali dengan akuades steril masing-masing 5 menit. Eksplant dikeringkan diatas cawan

peri yang berisi kertas saring steril.

d. Pemeliharaan Kultur

Eksplan yang telah ditanam di dalam botol kultur diletakkan pada rak pemeliharaan

dengan suhu 25ºC ± 27ºC. Botol-botol yang berisi eksplan tersebut disusun dengan rapi

sehingga memudahkan dalam pengamatan. Untuk mengurangi tingkat kontaminasi, dilakukan

penyemprotan alkohol 70 %. Penyemprotan botol dilakukan setiap harinya sampai eksplan

berbentuk kalus atau organ. Eksplanyang terkontaminasi segera dikeluarkan dari rak kultur

agar tidak mengkontaminasi kultur yang lainnya.

Page 352: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

341

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Perlakuan Pecah Dormansi

Data perlakuan pematahan dormansi biji Balakka dapat dilihat padatabel berikut:

Tabel. 4.1

Tanggal

Penana

man

Perlakuan

Media MSO (Minggu ke-)

Keterangan

I II III IV V VI VII VIII

18 Maret

2015

Perendama

n HS2O4

10%

SELAMA

10 Menit

_ _ _ MP MB TM T T

Perkecambahan epikotil,

kotiledon terangkat keatas. Daun

muda muncul 2 helai

20 Maret

2015

Perendama

n dengan

air tanpa

testa

MP MB TM T T T T T

Perkecambahan epikotil,

kotiledon terangkat keatas. Daun

muda muncul 2 helai

Perendama

n dengan

air ada testa

_ MP MB TP T T T T

Perkecambahan epikotil,

kotiledon terangkat keatas. Daun

muda muncul 2 helai

Perendama

n dengan

ethrel tanpa

testa

MP MB TM T T T T T

Perkecambahan epikotil,

kotiledon terangkat keatas. Daun

muda muncul 2 helai

Perendama

n dengan

Ethrel ada

testa

_ MP MB TM T T T T

Perkecambahan epikotil,

kotiledon terangkat keatas. Daun

muda muncul 2 helai

Kerterangan: MP : Mulai Pecah, MB: Mulai

Berkecambah, TM: Tunas Muncul, T:Tumbuh

Dari Tabel 4.1 didapatkan data bahwa perlakuan pecah dormansi terbaik adalah

dengan perendaman Ethrel dan air selama satu malam dalam kondisi tanpa testa. Hal ini

ditunjukkan dengan pada pengamatan minggu pertama (Hari Ke-3) pasca tanam dormansi

eksplan sudah mulai pecah. Disamping itu, pada perlakuan dengan perendaman Ethrel dan

air selama satu malam dalam kondisi dengan testa mulai mengalami pecah dormansi pada

minggu ke kedua (Hari ke-8) pasca tanam.

Menurut Maksum (2010), imbibisi merupakan awal dari perkecambahan dan salah

satu proses difusi yang terjadi pada tanaman. Imbibisi merupakan masuknya air pada ruang

interseluler dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Proses imbibisi tidak melibatkan

membran seperti pada peristiwa osmosis.

Menurut Sumarmadji et al (2004), etefon atau ethrel adalah senyawa 2-chloro-

ethylposphonic acid atau sering disingkat CEPA yang digunakan sebagai stimulan atau

perangsang untuk meningkatkan produksi hormon etilenendogen pada tanaman. Oleh sebab

adanya hormon etilen pada biji yang direndam akan dapat memacu perkecambahan dan

pertumbuhan tanaman.

Hal yang berbeda terjadi pada eksplant yang diperlakukan dengan perendaman H2SO4

10% selama 10 menit, pecah dormansi baru terjadi pada minggu keempat (Hari ke-32) pasca

tanam. Menurut Sadjad et al. (1975), perlakuan kimia seperti H2SO4 pada prinsipnya adalah

membuang lapisan lignin pada kulit biji yang keras dan tebal sehingga biji kehilangan lapisan

yang permiabel terhadap gas dan air sehingga metabolisme dapat berjalan dengan baik.

Sagala (1991) diacu dalam Rozi (2003) mengatakan bahwa perlakuan dengan menggunakan

Page 353: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

342

H2SO4 pada benih biasanya bertujuan untuk merusak kulit benih, akan tetapi apabila terlalu

berlebihan dalam hal konsentrasi atau lama waktu perlakuan dapat menyebabkan kerusakan

pada embrio. Dalam hal ini benih tersebut akan rusak dan tidak dapat tumbuh.

b. Pertumbuhan Kultur Phyllanthus emblica L (Tabel. 4.2) No Media Pengamatan (Minggu Ke-) Keterangan

I II III IV V VI

1 MS0 - MB TM T T* T* Rerata tinggi akhir kultur

4 cm

2 MS + 2,4-D - MB TM T T* T* Rerata tinggi akhir kultur

2,6 cm

3 MS + Kinetin 1mg/L - MB TM T T* T* Rerata tinggi akhir kultur

7 cm

4 MS + 2,4-D + Kinetin

1mg/L

- MB TM T T* T* Rerata tinggi akhir kultur

10 cm

5 MS + NAA 2mg/L - MB TM T T* T* Rerata tinggi akhir kultur

1 cm

6 MS + Kinetin 2 mg/L - MB TM T T* T* Rerata tinggi akhir kultur

3.5 cm

7 MS + NAA 2 mg/L +

Kinetin 2 mg/L

- MB TM T T* T* Rerata tinggi akhir kultur

3 cm

Keterangan : MB : Mulai Berkecambah, TM :

Tunas Muncul, T: Tumbuh, T: Tumbuh dan Terjadi Pertambahan Tinggi.

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa komposisi media terbaik dalam kultur

Balakkaadalah MS + 2,4-D + Kinetin 1mg/L dengan rerata tinggi akhir kultur mencapai 10

cm. Hasil terendah didapatkan pada kultur dengan media tanam MS + NAA 2mg/L yang

hanya mencapai rerata tinggi akhir kultur 1 cm setelah 6 minggu pengamatan.

Sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah BAP dan Kinetin

(George dan Sherrington, 1984 dalam Nurjanah, 2009). BAP adalah sitokinin yang sering

digunakan karena paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, lebih stabil dan tahan

terhadap oksidasi serta paling murah diantara sitokinin lainnya (Bhojwani dan Razdan, 1983

dalam Nurjanah, 2009)

Menurut Santoso (2013), pengaruh sitokinin dipengaruhi oleh konsentrasi auksin.

Adanya meristem apikal, maka auksin menekan pertumbuhan tunas aksilar. Meristem apikal

dibuang, konsentrasi sitokinin meningkat, merangsang pertumbuhan tunas aksilar. Sitokinin

berperan dalam menghambat pertumbuhan akar melalui peningkatan konsentrasi etilen.

Sitokinin menghambat pembentukan akar lateral melalui pengaruhnya pada sel periskel dan

memblok program pengembangan pembentukan akar lateral.Menurut Sumarsono

(1999),konsentrasi ZPT yang ditambahkan kedalam media kultur menjadi perhatian utama

untuk memperoleh hasil yang baik. Sebab ZPT akan bekerja baik pada konsentrasi yang

cukup atau sedikit.

KESIMPULAN

Perlakuan pecah dormansi terbaik didapatkan pada perlakuan perendaman biji tanpa

testa pada air dan larutan ethrel selama 1 malam. Perkecambahan terjadi pada hari ke 3 pasca

penanaman. Pemberian ZPT pada media dalam kultur Phyllanthus emblica L adalah MS +

2,4-D + Kinetin 1mg/L dengan rerata tinggi akhir kultur mencapai 10 cm. Sedangkan hasil

terendah di dapatkan pada kultur dengan media tanam MS + NAA 2mg/L yang hanya

mencapai rerata tinggi akhir kultur 1 cm setelah 6 minggu pengamatan. Pada perlakuan

lainnya didapatkan hasil yang cukup beragam, diataranya perlakuan MS + 2,4-D

menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 2,6 cm, perlakuan dengan MS + Kinetin 1mg/L

Page 354: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

343

menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 7 cm, perlakuan dengan MS + Kinetin 2 mg/L

menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 3,5 cm, perlakuan dengan MS + NAA 2 mg/L +

Kinetin 2 mg/L menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 3 cm dan pada perlakuan kontrol

dengan menggunakan media MS0 mampu menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 4 cm.

DAFTAR PUSTAKA

Khoiriyah, U. 2015. Taksonomi dan Distribusi Balakka (Phyllanthus emblica L.) di Sumatera

Utara Bagian Selatan. Tesis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Universitas Sumatera Utara.

Dalimoenthe, S.L., 1987. Kultur Jaringan Sebagai Sarana untuk Menghasilkan Metabolit

Sekunder. Risalah Seminar nasional Metabolit Sekunder. PAU Bioteknologi UGM.

Yogyakarta

Gunawan L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan.Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU

Bioteknologi. IPB Bogor.

Santoso, B, B. 2013. Zat Pengatur Tumbuh Dalam Pertumbuhan dan Perkembangan

Tanaman. Universitas Sam Ratulangi.

Nurjanah, E. 2009. Pengaruh Kombinasi NaCl dan ZPT IBA Pada Media MS Terhadap

Pertumbuhan Galur Mutan Padi Secara Invitro. Skripsi. Prodi Biologi.Fakultas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah.

Mahadi, I. 2011. Pematahan Dormansi Biji kenerak (Goniothalamus umbrosusu)

Menggunakan hormon 2,4-D dan BAP Secara Mikropropagasi. Vol 10 (20)

Intan, R, D, A. 2008. Peranan dan Fungsi fitohormon Bagi Pertumbuhan Tanaman. Makalah.

Fakultas Pertanian. Universitas Pajajaran. 43 hal.

Hoesen; D.; S. Hazar; Priyono & H. Sumarnie. 2000. Peranan zat pengatur tumbuh IBA,

NAA, dan IAA pada perbanyakan Amarilis Merah (Amaryllidaceae). Prosiding

Seminar HariCinta Puspa dan Satwa Nasional. LabTreub Balitbang Botani

PuslitbangBiologi, LIPI Bogor.

Sylvia, I. (2009). Pengaruh IBA dan NAA terhadap stek Aglonema Var. Donna Carmen

dengan perendaman. Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

Riyadi, I. 2014. Media Tumbuh : Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh dan Bahan-bahan Lain.

Materi disampaikan pada Pelatihan Kultur Jaringan Tanaman Perkebunan. BPBPI

Bogor 19 – 23 Mei 2014

Kartasapoetra, A.G., 2003. Teknologi Benih, Pengolahan Benih dan Tuntunan

Praktikum.Cetakan keempat. Rineka Cipta. Jakarta. Harjadi, S. S. 1994. Dormansi

Benih. Dalam Prosidding Kursus Singkat Pengujian Benih.Institut Pertanian Bogor.

Sutopo, L. 2004. Teknologi Benih. CV Rajawali. Jakarta.

Page 355: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

344

DAYA HAMBAT ASAM SALISILAT TERHADAP BEBERAPA

PENYAKIT PENTING TANAMAN KARET

Salicylic Acid Inhibitoryagainst Several Major Disease of Rubber Plant

Cici Indriani Dalimunthe dan Radite Tistama

Balai Penelitian Sungei Putih, PO BOX 14 15 Medan 20001

Email: [email protected]

Abstract

Salicylic acid is one of the plant chemical defense. It was formattedas adefense response to

pathogenic attack. The purpose of this study was to determine concentrations of salicylic acid

to inhibit the growth of several major disease of rubber plant. This study designed

byCompletely Ranzomized Design (CRD) non factorial with four treatments and three

replications. The treatments were salicylic acid consentrations of 0%, 0.5%, 1% and 2%. The

testing method used the food poisoning. The diseases tested are white root disease

(Rigidoporus microporus), mouldy rot (Ceratocystic fimbriata) andleaf fall diseases

(Colletotrichum gloeosporioides and Corynespora cassiicola). The results showed that

Salicylic acid concentration of 0,5%can inhibit the growthof white root disease(Rigidoporus

microporus) about92.12%.Salicylic acid concentration of 1% can inhibit the growth of

mouldy rot (Ceratocystic fimbriata) about 94,20%. Salicylic acid concentration of 2% can

inhibit the growthof Colletotrichum gloeosporioides dan Corynespora cassiicola leaf fall

diseases about 87,09% and 93,07%. It was describesignificantly different between range of

salicylic acid consentrations to several major disease of rubber plant.

Keywords: Hevea brasiliensis, salicylic acid, white root disease, mouldy rot, Colletotrichum

and Corynespora leaf fall diseases.

PENDAHULUAN

Pada perkebunan karet terdapat beberapa jenis penyakit yang sering menyebabkan

kerusakan seperti penyakit akar, batang/bidang sadap dan penyakit daun.Penyakit jamur akar

putih yang disebabkan oleh Rigidoporus microporus dapat mengakibatkan kerugian

mencapai 40% pada kasus serangan berat yang pada umumnya terjadi pada tanaman karet

muda berumur 3-5 tahun (Sujatno dan Pawirosoemardjo, 2001). Serangan JAP di Propinsi

Kalimantan Barat pada enam tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan dari luas

serangan 14.335 Ha pada tahun 2000 menjadi seluas 26.981 Ha pada tahun 2006 (Hanis et

al., 2007). Kerugian finansial yang dihitung secara nasional mencapai 300 miliar setiap

tahunnya (Situmorang et al., 2007).

Pada bidang sadap, mouldy-rot (Ceratocystis fimbricata) merupakan penyakit yang

umum ditemukan. Penyakit ini sering timbul pada musim hujan, terutama di areal pertanaman

karet yang lembab dan gelap. Penyakit ini menimbulkan kerusakan kulit yang sedang

mengalami pemulihan setelah disadap. (Soekirman et al. 1992).Kehilangan produksi yang

disebabkan oleh mouldy-rot dapat mencapai 250-500 kg karet kering/ha/tahun. Penyakit

mouldy-rot menyerang bidang sadap, terutama kulit sadap yang luka baru (segar) akibat

penyadapan, tepatnya diatas alur sadap. Gejala awal serangan mouldy-rot ditandai dengan

adanya jalinan benang jamur yang berwarna kelabu muda tepat diatas alur sadap. Gejala

Page 356: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

345

penyakit pada tingkat lanjut ditandai dengan adanya warna kelabu kehitaman, yang terdiri

dari jamur patogen dan jamur sekunder (Dalimunthe, 2011).

Penyakit gugur daun disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides, Oidium heveae

dan Corynespora cassiicola menyerang tanaman karet baik di pembibitan, tanaman muda,

tanaman menghasilkan dan tanaman entres. Pada tanaman menghasilkan, penyakit ini dapat

merugikan karena daun-daun yang berguguran mengakibatkan pertumbuhan tanaman

terhambat sehingga produksi lateks menurun. Untuk penyakit Colletotrichumgloeosporioides

mengakibatkan penurunan produksi 7 – 45%, tergantung dari intensitas serangan yang terjadi

(Pawirosoemardjo dan Suryaningtyas, 2008). Sedangkan penyakit gugur daun Corynespora

cassiicoladapat mengakibatkan penurunan produksi 30 – 40 %. Bahkan pada klon-klon yang

rentan, serangan penyakit ini dapat mengakibatkan kematian.

Upaya pengendalian yang banyak dilakukan yaitu pengendalian penyakit dengan

menggunakan fungisida. Cara ini mahal, tidak efektif, dan mempunyai dampak negatif

terhadap lingkungan, manusia, dan sumber daya hayati. Mengaktifkan gen pertahanan dari

tanaman merupakan salah satu cara pengendalian penyakit secara hayati dan mempunyai

kelebihan dibandingkan pengendalian dengan menggunakan pestisida. Dalam evolusi

tanaman terbentuk mekanisme pertahanan secara alami yang membantu tanaman melindungi

dirinya sendiri dari serangan penyakit.

Asam salisilat merupakan senyawa penting bagi tanaman berperan dalam proses

pertahanan terhadap patogen. Menurut Viot et al. (2009), asam salisilat diketahui merupakan

sinyal endogenous pada ketahanan sistemik. Menurut Gautam & Stein (2011), asam salisilat

merupakan komponen kunci dari jalur sinyal transinduksi yang mengaktivasi gen ketahanan

terhadap berbagai macam jamur, bakteri dan virus secara sistemik. Ketahanan sistemik yang

diperoleh tersebut memberikan sinyal pertahanan pada tempat patogen berada. Sinyal ini

bersifat sistemik dan bergerak dalam floem. Pada tempat terjadinya infeksi, asam salisilat dan

PR-Protein (pathogenesis related protein) terakumulasi sangat banyak. Peran asam salisilat

adalah sebagai penghambat pergerakan sistemik penyakit secara tidak langsung melalui

pembuluh tanaman inang sehingga sifatnya hanya menunda gejala penyakit (Gunaeni et al,

2014).

Tujuan penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui konsentrasi asam salisilat

dalam menghambat pertumbuhan beberapa penyakit penting tanaman karet yakni Jamur Akar

Putih (Rigidoporus microporus), Mouldy Rot (Ceratocystic fimbriata), Penyakit Gugur Daun

Colletotrichum gloesporioidesdan Penyakit Gugur Daun Corynespora cassiicola.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Balai Penelitian Sungei Putih

pada bulan Januari - Maret 2016. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

isolat Rigidoporus microporus, isolat Ceratocystic fimbriata, isolat Colletotrichum

gloeosporioides dan Corynespora cassiicolasebagai patogen yang diuji aktivitas dengan asam

salisilat, selanjutnya media potato dextrose agar (PDA) untuk pertumbuhan jamur, aquades,

spiritus, alkohol 70%, petridish, autoklaf, oven, cork borer, jarum ose, Bunsen,aluminium

foil, laminar air flow, planimeterdan bahan/alat pendukung lainnya.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non factorial dengan

empat perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi asam

salisilat yakni 0%, 0,5%, 1% dan 2%. Metode pengujian menggunakan teknik umpan beracun

(food poisoning). Tahapan pertama dari kegiatan penelitian ini adalah isolasi jamur patogen

dari setiap tanaman dilakukan dengan metode Radu & Kqueen (2002) yang dimodifikasi.

Jaringan tanaman (akar, batang dan daun karet) yang terserang penyakit dipotong sepanjang

± 1 cm dan dicuci dengan air mengalir selama 20 menit. Selanjutnya permukaan akar

tanaman disterilisasi dengan merendam secara berurutan dalam: etanol 75% selama 2 menit,

Page 357: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

346

sodium hipoklorit 5,3% selama 5 menit dan etanol 75% selama 30 detik, selanjutnya dibilas

dengan akuades steril sebanyak 2 kali, lalu dikeringanginkan. Kemudian ditanam di media

Potato Dextrose Agar (PDA). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama ± 3 hari dan

selanjutnya diuji antagonis dengan asam salisilat.

Selanjutnya inokulumpatogen yang berumur 6 hari diambil dari biakan murni dan

ditumbuhkan pada media PDA yang telah dicampur dengan asam salisilat. Inokulum yang

berbentuk bulat dengan diameter 0,5 cm diletakkan di tengah cawan petri. Selanjutnya

perlakuan disimpan dalam incubator dengan suhu kamar 280C. Penyakit yang diujiantara lain

penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporusmicroporus), penyakit mouldy rot

(Ceratocysticfimbriata) dan penyakit gugur daun (Colletotrichumgloeosporioides dan

Corynesporacassiicola. Perlakuan secara terpisah pada setiap penyakit dengan tujuan agar

lebih detail dalam mengetahui pengaruh setiap konsentrasi asam salisilat yang diuji.

Parameter yang diamati adalah luas pertumbuhan jamur (cm) yang diukur setiap 2, 4,

6 dan 8 hari setelah inokulasi (hsi). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat

planimeter pada kertas transparan yang telah terpola berdasarkan luas pertumbuhan jamur di

setiap pengamatan. Parameter selanjutnya adalah persentase penghambatan jamur terhadap

asam salisilat dengan menggunakan rumusdalamFairuzahet al (2014):

x – y

TE = x 100%

x

Keterangan :

TE = Daya Hambat (Tingkat Efikasi)

x = Luas pertumbuhan jamur pada kontrol

y = Luas pertumbuhan jamur pada perlakuan ekstrak akar Bangun-Bangun

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan jamur/patogen

Asam salisilat (SA) berperan sebagai molecule system signal yang menginduksi

pembentukan pathogenesis related (PR) protein dan meningkatkan ketahanan tanaman

terhadap infeksi patogen (Chen et al. 2010). Hasil pengamatan di Laboratorium menunjukkan

bahwa jamur akar putih tidak dapat berkembang dengan pemberian asam salisilat konsentrasi

0,5%. Hal ini berbeda nyata dengan kontrol (tanpa perlakuan) di mana jamur akar putih dapat

tumbuh baik di medium PDA (potato dextrose agar) (Tabel 1). Beda halnya dengan penyakit

Mouldy Rot yang menunjukkan bahwa pemberian asam salisilat dengan konsentrasi 0,5%

jamur masih dapat tumbuh sebesar 12,75 cm sedangkan pada konsentrasi 1 dan 2% jamur

Ceratocystic fimbriata tidak dapat tumbuh (Tabel 2). Hal ini disebabkan asam salisilat yang

diberikan tersebut berperan dalam sistem pertahanan tanaman terhadap serangan beberapa

penyakit (Khaosaad et al. 2007).

Tabel 1. Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan penyakit Jamur Akar Putih

(Rigidoporus microporus) skala laboratorium

No Perlakuan Luas pertumbuhan jamur (cm) pengamatan ke ...

Rataan 2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi

1 SA 0,5 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a

2 SA 1 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a

3 SA 2 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a

5 Kontrol 1,9b 13,3b 45,7b 63,5b 31,12b

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata

pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Page 358: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

347

Dalam kondisi yang demikian serta tidak aktifnya gen pertahanan apabila tidak ada

rangsangan patogen (infeksi) maka manipulasi buatan terhadap sistem pertahanan tersebut

diharapkan akan menginduksi timbulnya pertahanan tanaman. Gen pertahanan mengatur

sintesis senyawa-senyawa metabolit sekunder, yang hanya efektif jika ada serangan patogen.

Gen-gen pertahanan sering terlambat berfungsi atau produk yang disintesisnya tidak

mencapai jumlah yang cukup untuk melawan patogen. Supaya efektif gen-gen pertahanan

memerlukan waktu yang cukup untuk mengekspresikan diri. Gen pertahanan untukmenjadi

aktif perlu adanya faktor penginduksi.

Tabel 2. Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan penyakit Mouldy Rot

(Ceratocystic fimbriata) skala laboratorium

No Perlakuan Luas pertumbuhan jamur (cm) pengamatan ke ...

Rataan 2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi

1 SA 0,5 % 1,1b 5,1b 15,9b 28,9b 12,75b

2 SA 1 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a

3 SA 2 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a

4 Kontrol 3,1c 11,9c 29,1c 52,0c 23,99c

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata

pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Pada Tabel 3 dan 4 dapat dilihatpengaruh asam salisilat terhadap pertumbuhan jamur

Colletotrichum gloeosporioides dan Corynespora cassiicolamenunjukkan daya hambat

terbaik ada pada konsentrasi 2%. Sedangkan pada konsentrasi 0,5 dan 1% jamur masih dapat

tumbuh pada kisaran rataan 2,64–4,93cm (Colletotrichum gloeosporioides) dan 1,09– 3,18

cm (Corynespora cassiicola). Sedangkan bila dibandingkan dengan kontrol terdapat

perbedaan yang nyata antar perlakuan. Colletotrichum gloeosporioides dapat tumbuh baik

pada medium PDA (potato dextrose agar) dengan rataan luas sebesar 13,70 cm sedangkan

Corrynespora cassiicola memiliki rataan luas sebesar 24,17 cm (kontrol).

Tabel 3. Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan penyakit Gugur Daun

Colletotrichum gloeosporioides skala laboratorium

No Perlakuan Luas pertumbuhan jamur (cm) pengamatan ke ...

Rataan 2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi

1 SA 0,5 % 0,6b 1,5c 5,9c 11,7c 4,93c

2 SA 1 % 0,7c 0,8b 1,8b 7,2b 2,64b

3 SA 2 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a

4 Kontrol 1,3d 6,5d 18,8d 28,3d 13,70d

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata

pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Menurut Suganda et al. (2002), penginduksi ketahanan dengan berbagai perlakuan

eksternaltidak menjadikan tanaman menjadi imun atau tidak terserang sama sekali, tetapi

hanya meningkatkanderajat ketahanan, yaitu menghambat perkembangan penyakit. Keempat

jenis patogen masingmasing memberikan kemampuan yang berbeda dalam merespon

pemberian asam salisilat. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa respon

asam salisilat terkuat terdapat pada penyakit jamur akar putih karena jamur Rigidoporus

microporus pada umumnya tidak menyukai kondisi masam. Hasil pengujian di petridish

dengan metode umpan beracun (food poisoning) dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 359: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

348

Tabel 4. Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan penyakit Gugur Daun

Corynespora cassiicola skala laboratorium

No Perlakuan Luas pertumbuhan jamur (cm) pengamatan ke ...

Rataan 2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi

1 SA 0,5 % 0,8b 1,2c 3,7c 7,1c 3,18c

2 SA 1 % 0,7b 0,8b 1,4b 1,6b 1,09b

3 SA 2 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a

4 Kontrol 2,4d 12,7d 29,6d 52,1d 24,17d

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata

pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Gambar 1. Uji asam salisilat terhadap penyakit JAP (a), Mouldy Rot (b), Penyakit Gugur

Daun Colletotrichum (c) dan Penyakit Gugur Daun Corynespora (d) dengan

metode umpan beracun (food poisoning)

Daya hambat asam salisilat terhadap beberapa penyakit penting tanaman karet

Daya hambat asam salisilat terhadap penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus

microporus), Mouldy Rot (Ceratocystic fimbriata), penyakit Gugur Daun Colletotrichum

gloeosporioides dan Corynespora cassiicola dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa asam salisilat dapat menghambat perkembangan jamur akar putih (JAP)

sebesar 92,12%, Mouldy Rot dengan kisaran 52,92-94,20%, Penyakit Gugur Daun (PGD)

Colletotrichum dengan kisaran 63,55-87,09% dan Penyakit Gugur Daun (PGD) Corynespora

dengan kisaran 82,75-93,07%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa keempat patogen tersebut

memiliki respon yang berbeda-beda terhadap asam salisilat.

Tabel 5. Daya hambat asam salisilat terhadap beberapa penyakit penting tanaman karet skala

Laboratorium

No Perlakuan

Rataan Persentase Daya hambat (%)

JAP Mouldy

Rot

PGD

Colletotrichum

PGD

Corynespora

1 SA 0,5 % 92,12b 52,92b 63,55b 82,75b

2 SA 1 % 92,12b 94,20c 74,79c 89,54b

3 SA 2 % 92,12b 94,20c 87,09d 93,07c

5 Kontrol 0,00a 0,00a 0,00a 0,00a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata

pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

a

b

c

d

Page 360: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

349

Asam salisilat pada konsentrasi 0,5% dapat menghambat pertumbuhan penyakit jamur

akar putih (Rigidoporus microporus). Sedangkan daya hambat asam salisilat terhadap

Mouldy Rot (Ceratocystic fimbriata) dan penyakit gugur daun (Colletotrichum

gloeosporioides dan Corynespora cassiicola) masing-masing terdapat pada konsentrasi 1 dan

2% (Gambar 2).

Gambar 2. Grafik Persentase Daya Hambat Asam salisilat terhadap beberapa penyakit

penting tanaman karet

KESIMPULAN

Asam salisilat dapat menghambat pertumbuhan Jamur Akar Putih (Rigidoporus

microporus), Mouldy Rot (Ceratocystic fimbriata), Penyakit Gugur Daun Colletotrichum

gloeosporioides dan Corynespora cassiicoladengan kisaran persentase daya hambat > 85%

pada konsentrasi tertentu. Perlu dilakukan penelitian lanjutan skala lapangan untuk

mengetahui lebih detail mengenai respon asam salisilat terhadap keempat patogen tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini disampaikan terima kasih kepada Balai Penelitian Sungei Putih,

Pusat Penelitian Karet atas fasilitas yang diberikannya untuk kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dalimunthe, C.I. 2010. Pengujian fungisida berbahan aktif azoxystrobin 200g/l,

difenokonazol 125 g/l untuk mengendalikan penyakit mouldy rot (ceratocystic

fimbriata) pada tanaman karet. Laporan Orientasi. Balai Penelitian Sungei Putih, 1-20.

Fairuzah, Z., C.I. Dalimunthe, Karyudi, S. Suryaman, dan W.E. Widhayati. 2014. Keefektifan

Beberapa Fungi Antagonis (Trichoderma sp.) dalam biofungisida Endohevea terhadap

penyakit jamur akar putih (Rigidoporus microporus) di Lapangan, Jurnal Penelitian

Karet, 32(2), 198-205.

Gautam, P and Stein, J. 2011. Induction of systemic acquiredresistance to Puccinia sorghi in

corn,International Journalof Plant Pathology, 2(1),43-50.

Gunaeni, AW. Wulandari dan A. Hudayya. 2015. Pengaruh Bahan Ekstrak Tanaman terhadap

Pathogenesis Related Protein dan Asam Salisilat dalam Menginduksi Resistensi

Tanaman Cabai Merah terhadap Virus Kuning, Jurnal Hortikultura, 25(2), 160-170.

Page 361: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

350

Hanis, I., Sajarwadi, S. Hardiati, & E. Taviana. 2007. Serangan JAP pada Tanaman Karet di

Kalimantan Barat. In: Hadi, H., Sudiharto, Setiono, Soekirman P., & B. Setyawan

(eds.), Pros. Lok. Nas. JAP pada Tanaman Karet 2006. Balai Penelitian Getas, Pusat

Penelitian Karet, Salatiga, 33-42.

Khaosaad T., Garcia-Garrido J.M., Steinkellner S., Vierheilig H. 2007. Take-all disease is

systemically reduced in roots of mycorrhizal barley plants. Soil Biol. and Bichem.

39(3), 727-734.

Pawirosoemardjo, S dan H. Suryaningtyas. 2008. Strategi pengendalian penyakit gugur daun

dan pencegahan penyakit hawar daun amerika selatan pada tanaman karet di Indonesia.

Prosiding Lokakarya Nasional Agribisnis Karet 2008, Yogyakarta, 20-21 Agustus

2008, 194-212.

Radu, S dan CY Kqueen. 2002. Preliminary screening of endophytic fungi from medicinal

plants in Malaysia for antimicrobial antitumor activity. Malaysian J Med Sci, 9(2),

23-33.

Situmorang, A., H. Suryaningtyas & T.R. Febyanti. 2007. Pengendalian Penyakit Akar Putih

dengan Pemanfaatan Tumbuhan Antagonis pada Perkebunan Karet. In: Hadi, H.,

Sudiharto, Setiono, Soekirman P., & B. Setyawan (Eds.). Pros. Lok. Nas. JAP pada

Tanaman Karet 2006, Balai Penelitian Getas, Salatiga, 69-87.

Soekirman P., H. Soepena & A. Situmorang. 1992. Sebaran Penyakit Utama Tanaman Karet.

Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1992,Medan, 7-9 Desember 1992, 209-

216.

Suganda, T, Rismawati, E, Yulia, E & Nasahi, C 2002. Pengujian bahan kimia dan air

perasan daun tumbuhan dalammenginduksi resistensi tanaman padi terhadap penyakit

bercak daun Cercospora,Jurnal. Biologi,4, 17 - 20.

Sujatno & S. Pawirosoemardjo. 2001. Pengenalan dan Teknik Pengendalian Penyakit Jamur

Akar Putih pada Tanaman Karet secara Terpadu. Warta Pusat Penelitian Karet, 20(1-3),

64-75.

Vlot, AC, Dempsey, DA & Klessig, DF 2009, Salicylic acid, a multifacated hormone to

combat disease. Journal Phytopathology, 47, 177-206.

Page 362: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

351

EMBRIOGENESIS SOMATIK DARI SALAK PADANGSIDEMPUAN

(Salacca sumatrana) DENGAN PENAMBAHAN LISIN

Khairiyah Khairuddin

1, Elimasni

2, Isnaini Nurwahyuni

2

1Mahasiswa Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU

2Staf Pengajar Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU

Departemen Biologi, FMIPA Universitas Sumatera Utara

Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Padang Bulan, Medan- 20155

Email: [email protected]

Abstract

A research of Somatic Embryogenesis From Salak Padangsidempuan (Salacca sumatrana)

With Adding Of Lysine has been conducted at the Laboratory of Physiology and Plant Tissue

Culture, Faculty of Mathematics and Natural Science USU, Medan On June 2015 – January

2016. This study aimed at determining the effect of lysine treatment on the growth and

development of somatic embryos in salak padangsidempuan. The experimental used sample

salak with adding of amino acid lysine six levels to medium, concentrations: 0 mg/L; 10

mg/L; 20 mg/L; 30 mg/L; 40 mg/L and 50 mg/L. The result statistical analysis design

randomized. The results showed the best lysine concentration 10 mg/L for survival rate and

wet weight, the best lysine concentration 40 mg/L to form somatic embryo. The histological

analysis showed that somatic embryos formed at globular and heart phase.

Keywords: Lysine, Salak, Salacca sumatrana, Somatic Embryogenesis.

PENDAHULUAN

Buah-buahan Indonesia mempunyai gizi yang tinggi dan juga dapat dimanfaatkan

sebagai terapi kesehatan, salah satunya adalah salak. Salak merupakan tanaman asli Indonesia

(Soetomo, 2001). Indonesia terdapat 2 jenis salak yang mempunyai nilai ekonomis yang

relatif tinggi yaitu spesies Salacca sumatrana Becc dan Salacca zalacca (Ashari, 2005).

Budidaya salak di masyarakat masih sederhana sehingga produksi buah masih rendah

(Soetomo, 2001). Salah satu teknik perbanyakan alternatif yang tepat adalah teknik kultur

jaringan (Husain, 2012). Embriogenesis somatik merupakan teknik in vitro yang paling

menguntungkan untuk spesies yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Blanc et al. 1999).

Keberhasilan teknik embriogenesis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1)

genotip tanaman, (2) kondisi fisiologis tanaman (Jimenez, 2001), (3) jenis dan kondisi fisik

medium, (4) zat pengatur tumbuh dan (5) lingkungan kultur (Utami et al. 2007). Faktor

lingkungan kultur seperti media pertumbuhan. Media merupakan campuran air, pemadat,

gula, zat pengatur tumbuh dan asam amino (Gunawan 1995).

Asam amino umumnya ditambahkan untuk meningkatkan induksi kalus, regenerasi

dan pertumbuhan tunas (Winarto, 2011). Penambahan asam amino pada media dapat

meningkatkan keberhasilan pembentukan kalus embriogenik (Gunawan, 1988).

Asam amino dalam konsentrasi yang tepat dapat memberikan pengaruh positif

terhadap keberhasilan kultur. Beberapa jenis asam amino seperti alanin, arginin, asparaginin,

sistein, glutamin, glisin, leusin, isoleusin, lisin, metionin, ornitin, fenilalanin, prolin, serin,

treonin, triptofan, tirosin dan valin. Lisin dapat membantu dalam ikatan hidrogen dan sebagai

untuk mengubah kecepatan reaksi kimia (Winarto, 2011). Hasil penelitian Ruangsak dan

Dheeranupattana (2014), produksi alkaloid tertinggi pada kultur Stemona sp. pada

konsentrasi 20 mg/l untuk 1 mingggu.

Page 363: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

352

Produksi buah salak masih rendah, karena tidak berasal dari bibit atau benih yang

unggul sehingga perlu dilakukan penelitian ini. Teknik embriogenesis somatik dengan

penambahan lisin dipercaya dapat menghasilkan bibit yang unggul dalam waktu singkat

sangat cocok dalam menangani masalah masyarakat.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan embrio salak padangsidempuan, dimana keunggulan dari

salak jenis ini yaitu mempunyai ukuran daging buah yang besar dan rasa yang manis.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 sampai dengan Januari 2016 di

Laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Induksi dan Multiplikasi Embrio Somatik

Kalus embriogenik diinduksi dari eksplan embrio salak padangsidempuan. Sterilisasi

eksplan berdasarkan Zulkarnain (2009), dilakukan dengan mencuci biji salak yang diperoleh

dari lapangan, kemudian merendam biji salak Natrium hipoklorit 1% dan ditambah 4 tetes

Tween 80 selama 30 menit. Biji dibilas dengan akuades steril 5 menit kemudian direndam

dalam larutan HgCl2 0,1% selama 30 menit dan dibilas akuades steril sebanyak tiga kali yang

masing-masing 5 menit.

Eksplan embrio diisolasi dari biji salak dan dikulturkan ke media MS (Murashige dan

Skoog, 1962) yang ditambah 2,4-D dan Kinetin 1 mg/l dan lisin (0, 10, 20, 30, 40, 50 mg/l).

Kultur yang terbentuk selama 3 bulan kemudian disubkultur pada media yang baru. Kultur

diinkubasi pada suhu 25oC selama 2 bulan.

Analisa Histologi

Embrio somatik yang terbentuk selanjutnya diamati fase embriogenesisnya, dengan

melakukan analisis histologi menggunakan metode paraffin Johansen (1940) dalam Meilvana

(2014) yang terdiri dari (1) fiksasi, (2) dehidrasi, (3) infiltrasi, (4) penanaman, (5)

penyayatan, (6) penjernihan, (7) pewarnaan dan (8) pengamatan di mikroskop.

Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan metode Rancangan Acak Lengkap

menggunakan uji ANOVA pada taraf 5%. Jika perlakuan berpengaruh nyata maka

dilanjutkan dengan Uji Duncan pada taraf 5% memakai bantuan software SPSS versi 22.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik kultur jaringan tanaman mempunyai berbagai parameter untuk mengamati setiap

pertumbuhan yang terjadi. Parameter yang diamati yaitu waktu tumbuh kultur, tipe proliferasi

kultur, berat basah kultur dan pembentukan embrio somatik.

Awal Pertumbuhan Kultur (Survival Rate) HST

Awal pertumbuhan kultur dihitung dan diamati secara manual, dimulai dari hari

setelah tanam (HST) hingga hari ke-90. Rata-rata waktu tumbuh kultur yang paling cepat

adalah konsentrasi lisin 10 mg/L, sedangkan konsentrasi 50 mg/L merupakan yang

tumbuhnya paling lama hingga memasuki minggu ke-3 (Tabel 4.1).

Page 364: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

353

Tabel 4.1 Rata-rata Waktu Pertumbuhan Kultur Salak pada Beberapa Tingkat

Konsentrasi Lisin

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata- Rata

Lisin 1 2 3 4 5 6 7

0 mg/L 10 - 8 20 14 20 20 92 15,3

10 mg/L 8 - 9 8 9 8 20 62 10,3

20 mg/L 14 12 10 14 12 14 15 91 13

30 mg/L 12 15 9 12 8 10 10 76 10,85

40 mg/L 10 17 8 8 12 - 20 75 12,5

50 mg/L 12 20 14 12 20 - 20 98 15,6

Jumlah 66 64 58 74 75 52 105 494 77,5

Rata-rata 13,2 16 9,67 12,3 12,5 13 17,5 82,3 13

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa, pada awal minggu ke-2 kultur sudah

mulai terlihat pertumbuhan untuk beberapa kelompok perlakuan. Hasil analisis sidik ragam

terhadap awal pertumbuhan kultur menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hal ini bahwa

variasi konsentrasi lisin yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap waktu tumbuh

kultur salak padangsidempuan.

Hasil pengamatan terlihat bahwa kultur hanya mengalami pembengkakan tidak

menghasilkan kalus. Bentuk pertumbuhan kultur pada minggu kedua diperlihatkan pada

(Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Kultur Salak pada Minggu Ke-2

Awal pertumbuhan kultur dimulai pada bagian yang bersentuhan dengan media dan

selanjutnya meluas keseluruh eksplan. Menurut Suryowinoto (1996), kultur akan mulai

terbentuk pertumbuhan dari bagian pelukaan eksplan atau bagian tepi irisan eksplan, karena

kalus merupakan jaringan penutup luka yang bersifat meristematis. Hal ini juga

dimungkinkan karena adanya salah satu bentuk respon tumbuhan terhadap terjadinya

pelukaan pada jaringan ataupun selnya.

Kultur salak yang telah terbentuk kemudian disubkultur ke media dengan komposisi

yang sama agar didapatkan jumlah kalus yang banyak. Menurut Herwinaldo (2010), Kultur

yang dihasilkan perlu disubkultur untuk menjaga kehidupan dan perbanyakan yang

berkesinambungan. Gunawan (1988) menambahkan bahwa subkultur juga berfungsi

memperbanyak kalus, sebab media baru berarti menjaga kalus tetap pada fase eksponensial.

Eksplan

Pembengkakan

Page 365: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

354

Tipe Proliferasi Kultur

Tipe proliferasi pada penelitian kultur salak ini diamati secara visual. Hasil kultur merupakan

hasil dari subkultur pada perlakuan yang sama, ini bertujuan untuk mendapatkan kalus friabel

dan noduler yang berkembang menjadi kalus embriogenik (Gambar 4.2).

embriogenik (Gambar 4.2).

Kalus Embriogenik

Eksplan

Gambar 4.2 Kalus Embriogenik dari Hasil Subkultur pada Minggu Ke-8

Data pada kultur salak yang membentuk kalus seperti gambar diatas hanya 11,

sedangkan jumlah paling tinggi terbentuk yaitu 20 kultur yang hanya mengalami

pembengkakan dari berbagai perlakuan (Tabel 4.2). Dalam hal ini tunas dan akar terdapat

juga dalam media kultur walaupun hanya berjumlah 3 pada tunas dan 4 pada akar.

Tabel 4.2 Data Tipe Proliferasi Kultur

Perlakuan

Lisin

Tipe Proliferasi

Membengkak Akar Tunas Kalus

L0 2 - 2 2

L1 2 1 1 2

L2 5 1 - 1

L3 5 - - 2

L4 2 1 - 3

L5 4 1 - 1

Jumlah 20 4 3 11

Tunas dan akar yang muncul merupakan kecambah yang berasal dari embrio. Hasil

yang sama pada penelitian Purwito et al. (2014), bahwa eksplan yang berasal dari biji

memiliki potensi untuk berkecambah pada media. Proses pembentukan organ-organ tanaman

seperti akar dan tunas maupun tanaman yang lengkap dari jaringan yang didapatkan pada

penelitian ini tidak diharapkan. Menurut Yuwono (2006), kalus yang berakar ini tidak

diharapkan karena lebih sulit diregenerasikan menjadi tanaman.

Pertumbuhan tunas dan akar di dalam kultur untuk beberapa kondisi menunjukkan hal

yang baik. Dari hasil yang diperoleh bahwa akar yang tumbuh pada media yang mengandung

lisin berjumlah 4 akar, pada perlakuan L1, L2, L4 dan L5. Tunas yang tumbuh hanya

berjumlah 3 yaitu pada perlakuan L0 yang mempunyai jumlah pertumbuhan tunas yang tinggi

dan disusul dengan perlakuan L1. Tunas dan akar yang tumbuh dalam media kultur

diperlihatkan pada Gambar 4.3.

Page 366: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

355

Gambar 4.3 A. Tunas dan B. Akar yang Tumbuh pada Media Kultur

Berat Basah Kultur

Berat basah kultur diperoleh dengan menimbang kultur menggunakan timbangan

digital pada akhir pengamatan yang kemudian dianalisis secara statistika. Hasil analisis sidik

ragam terhadap berat basah kultur menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hal ini bahwa

variasi konsentrasi lisin yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap berat basah kultur

salak padangsidempuan. Rata-rata berat basah kultur salak dengan beberapa tingkat

konsentrasi lisin dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Rata-rata Berat Basah pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Lisin

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-

rata Lisin 1 2 3 4 5 6 7

0 mg/L 0,20 - 0,12 0,14 0,17 0,11 0,14 0,88 0,14

10 mg/L 0,30 - 0,28 0,14 0,47 0,22 0,29 1,77 0,28

20 mg/L 0,14 0,15 0,19 0,11 0,14 0,18 0,11 1,02 0,15

30 mg/L 0,22 0,26 0,30 0,14 0,15 0,21 0,20 1,48 0,21

40 mg/L 0,21 0,43 0,22 0,46 0,12 - 0,10 1,54 0,25

50 mg/L 0,12 0,11 0,14 0,46 0,10 - 0,21 1,14 0,19

Jumlah 1,19 0,95 1,25 1,45 1,15 0,72 1,05 7,76 1,22

Rata-rata 0,19 0,23 0,2 0,24 0,19 0,18 0,175 1,29 0,2

Tabel diatas menjelaskan bahwa, perlakuan dengan konsentrasi lisin 10 mg/L

memberikan hasil tertinggi dengan nilai rata-rata berat basah kalus sebesar 0,28 g. Perlakuan

dengan konsentrasi lisin 0 mg/L memberikan hasil terendah dengan nilai rata-rata berat basah

kalus sebesar 0,14 g. Ukuran berat basah kultur yang sangat beragam dikarenakan ukuran

kultur ketika disubkultur tidak diseragamkan. Menurut Kasli (2009), perbedaan bobot kultur

menunjukkan bahwa adanya perbedaan proses pertumbuhan. Faktor yang mempengaruhi

diantaranya adalah sumber eksplan dan media yang mencakup komponen penyusun media

seperti zat pengatur tumbuh.

Kultur yang Membentuk Embrio Somatik

Kultur diamati secara visual setiap hari selama sebulan untuk mengamati ada atau

tidaknya terbentuk kalus embrio somatik. Berdasarkan karakteristik pada semua perlakuan

hanya ditemukan 8 kalus embriogenik dan 3 kalus non-embriogenik (Lampiran 6). Tiga kalus

dari perlakuan lisin 40 mg/L, 2 kalus pada perlakuan lisin 30 mg/L dan masing-masing 1

kalus pada konsentrasi 10, 20 dan 50 mg/L (Tabel 4.4).

A B

Page 367: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

356

Tabel 4.4. Data Kalus Embriogenik

Konsentrasi Lisin Jumlah Kalus Embriogenik

0 mg/L 1

10 mg/L 1

20 mg/L 1

30 mg/L 2

40 mg/L 3

50 mg/L 1

Eksplan yang tumbuh tidak seluruhnya memberikan respon yang sama, walaupun

ditanam pada media yang sama. Hal ini diduga karena faktor pengambilan eksplan, ataupun

faktor fisiologi sebagai sumber eksplan (Hadi et al. 2014).

Menurut Jimenez (2005), jaringan atau bagian organ tertentu tanaman dalam genotip

yang sama juga dapat berbeda kemampuan embriogenesisnya. Kalus yang diperoleh bersifat

embriogenik dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar dan vakuola

kecil-kecil (Purnamaningsih, 2002).

Kalus embriogenik di analisis histologi dengan metode Johansen yang diawali dari

fiksasi, dehidrasi hingga pewarnaan menggunakan Safranin dan Fast-Green. Tahapan

perkembangan embrio somatik yang diperoleh dari kultur salak mencakup fase globular dan

fase berbentuk hati (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Hasil Mikroskop dari Analisis Histologi. A. Fase Globular dan B. Fase

Hati.

Jumlah embrio somatik yang diperoleh dalam penelitian ini sangat sedikit. Embrio

fase globular dan fase hati pada minggu kelima mengalami perkembangan ke fase

selanjutnya, yaitu membentuk kotiledon dan kecambah. Menurut Sumaryono et al. (2006),

jumlah embrio somatik sagu bentuk hati yang terbentuk selama periode kultur cukup rendah.

Tanaman monokotil pada umumnya memang jarang dijumpai embrio bentuk-torpedo.

KESIMPULAN

Pertumbuhan kalus embriogenik salak padangsidempuan frekuensinya masih rendah.

Kombinasi media dasar MS + 2,4-D dan Kinetin 1 mg/L + Lisin 40 mg/L memberikan respon

kalus embriogenik terbaik. Hasil gambaran histologi dari kalus embriogenik somatik pada

kultur salak melalui pengamatan mikroskop yang didapatkan adalah tahap fase globular dan

fase hati.

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, S. 2005. Meningkatkan Keunggulan Bebuahan Tropis Indonesia. Edisi Pertama.

Andi. Yogyakarta.

Blanc, G.N., Michaux, F., Teisson, C., Larder, L and Carron M.P. 1999. Effects of

Carbohydrate Addition on the Induction of Embryogenesis in Havea brasiliensis.

Plant Cell Tissue and Organ Culture. 59: 103-110.

A B

Page 368: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

357

Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan. IPB. Bogor.

Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Holtikultura. IPB. Bogor.

Hadi, H., Indrianto, A dan Admojo, L. 2014. Perkembangan Penelitian Induksi Kalus

Embriogenik pada Jaringan Vegetatif Tanaman Karet Klonal (Heveabrasiliensis

Muell. Arg). Warta Perkaretan. 33(1): 20-26.

Herwinaldo, D.C. 2010. Pengaruh Variasi Konsentrasi Sukrosa terhadap Pertumbuhan dan

Induksi Embriogenesis Somatik Kultur Kalus Tapak Dara (Catharanthus roseus G.

Don). [Skripsi]. Surakarta. Universitas Sebelas Maret, Program Sarjana.

Husain, I. 2012. Induksi Protocorm pada Eksplan Bawang Putih pada Media MS minim Hara

Makro dan Mikro yang ditambahkan Air Kelapa. JATT. 1(1): 28.

Jimenez, V.M. 2001. Regulation of In Vitro Somatic Embryogenesis with Emphasis on the

Role of Endogenous Hormones. R. Bras Physiol Veg. 13(2): 196-223.

Jimenez, V.M. 2005. Involvement Of Plant Hormones And Plant Growth

Regulators on in Vitro Somatic Embryogenesis. Plant Growth Regulation. 47: 110.

Kasli. 2009. Upaya Perbanyakan Tanaman Krisan (Chrysanthemum sp.) secara in vitro.

Jerami. 2(3): 122-124.

Meilvana, N.T. 2014. Analisis Histologi Embriogenesis Somatik dari Apikal Bud Kelapa

Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) var. Tenera. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera

Utara, Program Pascasarjana.

Purnamaningsih. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa

Gen yang Mengendalikannya. Buletin Agro Bio. 5(2): 51-58.

Purwito, A., Husni, A dan Rivai, R.R. 2014. Induksi Kalus dan Embrio Somatik Tanaman

Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.). Bul. Agrohorti. 2(1): 50.

Ruangsak, J and Dheeranupattana, S. 2014. Effects of L-Ornithine and L-Lysine on Alkaloid

Production from in vitro Stemona sp. Chiang Mai J. Sci. 41(2): 334.

Soetomo, A.H.M. 2001. Teknik Bertanam Salak. Sinar Baru Algesido. Bandung.

Sumaryono., Riyadi I., Kasi P.D., Ginting G. 2007. Pertumbuhan dan Perkembangan Kalus

Embriogenik dan Embrio Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) pada Sistem

Perendaman Sesaat. Menara Perkebunan. 75(1): 40.

Suryowinoto, M. 1996. Prospek Kultur Jaringan dalam Perkembangan Pertanian Modern.

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Utami, E.S.W., Sumardi, I., Taryono dan Semiarti, E. 2007. Pengaruh α-Naphtaleneacetic

Acid (NAA) Terhadap Embriogenesis Somatik Anggrek Bulan Phalaenopsis amabilis

(L.) Bl. Biodiversitas. 8(4): 295-296.

Winarto, B. 2011. Pengaruh Glutamin dan Serin terhadap Kultur Anter Anthurium

andraeanum cv. Tropical. J. Hort. 21(4): 295-296.

Yuwono, T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta

Page 369: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

358

UJI POTENSI HASIL PADI SALIBU DENGAN PEMBERIAN

BOOSTER ORGANIK DAN BIOCHAR PUPUK KANDANG

Potential Test of Salibu Rice Results by Giving Booster and Biochar

Organic Fertilizer

Martos Havena

Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Pancabudi (Jl. Gatot

Subroto KM 4,5 20122)

Email : havena. [email protected]

Abstract

Indonesia is the 4th most widely population country in the world. It reflects the magnitude of

this country challenges in achieving food security. One of the innovations in technology is

increasing rice production by the system of salibu rice cultivation. This research uses split-

split plots design with plot areal 1m X 1m, where as the main plot is Booster formula of

organic rice that given before the primordial (BSP) and after primordial (BPP). Biochar of

cow organic fertilizer (B1), biochar of goat organic fertilizer (B2), and biochar of chicken

organic fertilizer (B3) as subplots while the three varieties of rice that is Ciherang,

Mekongga and Inpara as sub sub plot. The parameters observed potential of each variety

production in each plot of all treatments (ton / ha). The highest potential product is Ciherang

with biochar of cow organic fertilizer (B1) and given formula of organic rice booster after

primordial (BPP). While the lowest potential product is Inpara with biochar of chicken

organic fertilizer (B3) and given formula of organic rice booster after primordial.

Keywords: organic fertilizer, booster formula, rice cultivation, salibu, biochar.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia.

Hal tersebut mencerminkan besarnya tantangan Negara ini dalam mencapai ketahanan

pangan. Ketahanan pangan yang kuat dan berkesinambungan dapat mendorong pertumbuhan

ekonomi serta mengurangi angka kemiskinan. Di Indonesia, laju peningkatan produktivitas

padi sebagai bahan pangan pokok bagi masyarakat tidak mengalami peningkatan. Salah satu

inovasi tekhnologi dalam meningkatkan produksi padi sawah adalah dengan sistem budidaya

padi salibu.

Teknologi Salibu merupakan ratun yang dimodifikasi dengan memanfaatkan batang

bawah padi setelah panen sebagai penghasil tunas atau anakan yang dapat dipelihara dan

dibudidayakan. Hasil pengamatan di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat yang telah

banyak menerapkan teknologi ini dengan pemupukan dan pemeliharaan yang tepat,

produktivitas padi salibu dapat mencapai 9,3 ton /ha, dengan rerata 6,5 s/d 8 ton /ha. Dari segi

peningkatan indeks pertanaman (IP) sangat dimungkinkan karena tidak memerlukan

pengolahan tanah, pembibitan dan penanaman sehingga dapat menghemat waktu, tenaga,

biaya pengusahaan secara nyata (Harahap, 2014).

Budidaya padi salibuadalah salah satu inovasi teknologi untuk memacu produktivitas

padi sawah sebagai bahan pangan pokok masyarakat. Faktor yang berpengaruh dalam

budidaya padi salibuantara lain tinggi pemotongan batang sisa panen, varietas, kondisi air

tanah setelah panen, dan pemupukan. Padi Salibumerupakan tanaman padi yang tumbuh lagi

Page 370: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

359

setelah batang sisa panen ditebas atau dipangkas, tunas akan muncul dari buku yang ada

didalam tanah. Tunas ini akan mengeluarkan akar baru sehingga pasokan hara tidak lagi

tergantung pada batang lama, tunas ini bisa membelah atau bertunas lagi seperti padi tanaman

pindah biasa, inilah yang membuat pertumbuhan dan produksinya sama atau lebih tinggi

dibanding tanaman pertama (ibunya). Padi salibuberbeda dengan padi ratun,ratun adalah padi

yang tumbuh dari batang sisa panen tanpa dilakukan pemangkasan batang, tunas akan muncul

pada buku paling atas, pasokan hara tetap dari batang lama. Budidaya ini secara tidak

langsung juga dapat menanggulangi keterbatasan varietas unggul, karena pertumbuhan

tanaman selanjutnya terjadi secara vegetative maka mutu varietas tetap sama dengan tanaman

pertama (Erdiman, 2012).

Upaya peningkatan produktivitas tanaman padi yang lainnya adalah dengan

mencukupkan kebutuhan haranya. Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara yang

dibutuhkan oleh tanaman sebab unsur hara yang terdapat di dalam tanah tidak selalu

mencukupi untuk memacu pertumbuhan tanaman secara optimal (Salikin, 2003). Selama ini

petani cenderung menggunakan pupuk anorganik secara terus menerus. Pemakaian pupuk

anorganik yang relatif tinggi dan terus-menerus dapat menyebabkan dampak negatif terhadap

lingkungan tanah, sehingga menurunkan produktivitas lahan pertanian. Kondisi tersebut

menimbulkan pemikiran untuk kembali menggunakan bahan organik sebagai sumber pupuk

organik. Penggunaan pupuk organik mampu menjaga keseimbangan lahan dan meningkatkan

produktivitas lahan serta mengurangi dampak lingkungan tanah. Pupuk organik merupakan

hasil dekomposisi bahan-bahan organik yang diurai (dirombak) oleh mikroba, yang hasil

akhirnya dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Pupuk organik sangat penting artinya sebagai penyangga sifat fisik,

kimia, dan biologi tanah sehingga dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas

lahan(Suparthaet. al., 2012).

Produktivitas lahan juga dapat ditingkatkan dengan penggunaan karbon hitam dari

pembakaran tak sempurna berbagai biomassa atau biochar. Biochar merupakan butiran halus

dari arang kayu yang berpori (porous), bila digunakan sebagai suatu pembenah tanah dapat

mengurangi jumlah CO2 dari udara. Dalam jangka panjang biochar tidak mengganggu

keseimbangan karbon-nitrogen, tapi bisa menahan dan menjadikan air dan nutrisi lebih

tersedia bagi tanaman. Bila digunakan sebagai pembenah tanah bersama pupuk organik dan

inorganik, biochar dapat meningkatkan produktivitas, serta retensi dan ketersediaan hara bagi

tanaman. Apliksasi biochar (arang kayu atau karbon hitam yang didapat dari biomassa) ke

tanah dianggap sebagai suatu pendekatan yang baru dan unik untuk menjadikan suatu

penampung (sink) bagi CO2 udara dalam jangka panjang pada ekosistem darat. Di samping

efek positifnya untuk mengurangi emisi dan menambah pengikatan gas rumah kaca, aplikasi

biochar ke tanah akan memberikan keuntungan melalui peningkatan produksi tanaman dan

kesuburan tanah. Biochar dapat dihasilkan dari sistem pirolisis atau gasifikasi. Pada sistem

pirolisis, biochar yang dihasilkan sebagian besar dalam keadaan tanpa oksigen dan paling

sering dengan sumber panas dari luar, sedangkan pada sistem gasifikasi hanya sedikit biochar

yang dihasilkan. Produksi biochar yang optimal adalah dalam keadaan tanpa oksigen (Gani,

2009).

Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian mengenai Uji Potensi Hasil Padi

Salibu dengan Pemberian Booster Organik dan Biochar Pupuk Kandang untuk meningkatkan

produktivitas padi dan menambah informasi dalam mencapai ketahanan pangan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Paluh Merbau, Desa Tanjung Rejo, Kecamatan

Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian 15 m

Page 371: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

360

dari permukaan laut dan jarak dari pantai 1,5-2,0 km dan berlangsung dari bulan Agustus

2015 sampai Oktober 2015

Bahan dan alat yang digunakan ialah :

a. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas padi dengan evaluasi

potensi hasil yaitu Ciherang, Mekongga, Inpara. Bahan untuk formula booster organik

yaitu telur bebek, susu kambing, gula merah dan bahan lain yang melengkapi

penelitian ini. Sedangkan bahan untuk membuat biochar pupuk organik yaitu kotoran

hewan, sekam dan jerami padi, bakteri eM4 dan bahan lainnya sebagai pelengkap.

b. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jetor, cangkul, sprayer, patok,

elektrokonduktiviti, ph Meter, meteran, alat tulis dan alat-alat lain yang mendukung

penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok petak-petak terbagi dengan

waktu pemberian formula booster padi organik sebagai petak utama yang terdiri dari

pemberian sebelum primordial (BSP) dan setelah primordial (BPP) sedangkan pemberian

biochar pupuk kandang sebagai anak petak yang terdiri dari biochar pupuk kandang sapi

(B1), biochar pupuk kandang kambing (B2) dan biochar pupuk kandang ayam (B3)

selanjutnya varietas yang terdiri dari Ciherang (V1), Mekongga (V2) dan Inpara (V3) adalah

sebagai anak-anak petak dan terdiri dari 2 ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian budidaya padi salibu dengan pengaruh waktu pemberian

formula booster organik dan pemberian biochar pupuk kandang, varietas Ciherang

merupakan varietas padi yang paling baik digunakan dan berpotensi menghasilkan jumlah

padi yang tertinggi. Sedangkan biochar pupuk kandang yang paling baik digunakan adalah

biochar pupuk kandang sapi dan waktu pemberian yang optimal adalah pemberian setelah

primordial. Hasil dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Tabel 1. Rataan potensi produksi padi salibu (ton/ha) berdasarkan waktu pemberian booster

Tabel 1 memperlihatkan potensi hasil padi salibu tertinggi adalah varietas Ciherang

dengan pemberian booster padi organik setelah primordial yaitu sebanyak 8,3 ton/ha,

sedangkan potensi hasil padi salibu terendah adalah varietas Inpara dengan pemberian

booster setelah primordial yaitu sebanyak 4,95 ton/ha. Menurut Sembiring, dkk. (2001),

varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang andal dan cukup besar

sumbangannya dalam meningkatkan produksi padi nasional, baik dalam kaitannya dengan

ketahanan pangan maupun peningkatan pendapatan petani. Varietas unggul telah memberikan

kontribusi besar terhadap peningkatan produksi padi nasional. Hingga saat ini varietas unggul

Page 372: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

361

tetap lebih besar sumbangannya dalam peningkatan produktivitas dibandingkan dengan

komponen teknologi lainnya.

Tabel 2. Rataan produksi padi salibu(ton/ha) berdasarkan pemberian biochar pupuk organik

Tabel 2 memperlihatkan potensi hasil padi salibu tertinggi adalah varietas Ciherang

dengan pemberian biochar pupuk kandang sapi yaitu sebanyak 8,38 ton/ha, sedangkan

potensi hasil padi salibu terendah adalah varietas Inpara dengan pemberian biochar pupuk

kandang ayam yaitu sebanyak 4,68 ton/ha. Produktivitas lahan juga dapat ditingkatkan

dengan penggunaan karbon hitam dari pembakaran tak sempurna berbagai biomassa atau

biochar. Biochar merupakan butiran halus dari arang kayu yang berpori (porous), bila

digunakan sebagai suatu pembenah tanah dapat mengurangi jumlah CO2 dari udara. Dalam

jangka panjang biochar tidak mengganggu keseimbangan karbon-nitrogen, tapi bisa menahan

dan menjadikan air dan nutrisi lebih tersedia bagi tanaman. Bila digunakan sebagai pembenah

tanah bersama pupuk organik dan inorganik, biochar dapat meningkatkan produktivitas, serta

retensi dan ketersediaan hara bagi tanaman (Gani, 2009). Menurut Halliday et al. (1998)

menyatakan bahwa tanaman yang dibudidayakan saat ini umumnya membutuhkan unsur hara

dari berbagai jenis dan dalam jumlah relatif banyak, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa

tanpa dipupuk tanaman tidak mampu memberikan hasil seperti yang diharapkan. Oleh karena

itu, upaya peningkatan produksi dan produktivitas padi dapat dilakukan melalui perbaikan

teknologi budidaya, antara lain melalui pemupukan berimbang berdasarkan status hara dan

kebutuhan tanaman (Wasito et al., 2010).

Page 373: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

362

Tabel 3. Rataan Potensi Hasil Padi Salibu (Ton/Ha) Berdasarkan Booster Padi Organik,

Biochar Pupuk Kandang dan Varietas Padi

Tabel 3 memperlihatkan potensi hasil padi salibu tertinggi adalah varietas Ciherang

dengan pemberian biochar pupuk kandang sapi yaitu sebanyak 8,38 ton/ha, sedangkan

potensi hasil padi salibu terendah adalah varietas Inpara dengan pemberian biochar pupuk

kandang ayam yaitu sebanyak 4,68 ton/ha. Pemupukan atau pengelolaan hara spesifik lokasi

atau penerapan pupuk berimbang adalah upaya menyediakan hara yang dibutuhkan tanaman

agar tanaman tumbuh optimal. Langkah-langkah dalam pendekatan pemupukan spesifik

lokasi adalah dengan (a) menetapkan tingkat hasil di suatu lokasi dan musim, bergantung

pada iklim, varietas padi, dan pengelolaan tanaman, (b) memanfaatkan hara tanaman yang

berasal dari sumber alami seperti dari dalam tanah, perombakan bahan organik, residu

tanaman, pupuk kandang, dan air irigasi, dan (c) menggunakan pupuk kimia untuk mengisi

kekurangan antara jumlah hara yang diperlukan tanaman sesuai tingkat hasil dengan hara

yang secara alami tersedia. Manfaat dan dampak penerapan pupuk spesifik lokasi, yaitu tepat

takaran, tepat waktu, dan jenis pupuk yang diperlukan sesuai, maka pemupukan akan lebih

efisien, hasil tinggi, dan pendapatan petani meningkat. Pencemaran lingkungan dapat

dihindari, kesuburan tanah tetap terjaga, dan produksi padi lestari. Selain itu dapat

mengurangi biaya 15 – 20% (Kartaatmadja et al., 2009).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uji analisis statistik, tekhnik budidaya padi salibu sangat

dipengaruhi oleh jenis varietas padi dan jenis biochar pupuk kandang yang diberikan, akan

tetapi waktu pemberian booster tidak berpengaruh terhadap potensi produksi padi salibu.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih ini saya berikan kepada Bapak Rektor Universitas Pembangunan

PancaBudi Medan, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan PancaBudi Medan

beserta staff., Ketua LP3M Universitas Pembangunan PancaBudi, Kepada semua pihak yang

membantu terlaksananya kegiatan ini. Semoga laporan kegiatan ini ada manfaatnya bagi

Page 374: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

363

pihak-pihak yang ingin mempergunakannya. Semoga segala bentuk bantuan dan kebaikan

para Bapak dan Ibu mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Erdiman. 2012. Teknologi Salibu Meningkatkan Produktivitas Lahan (3-6 Ton/Ha/Tahun)

dan Pendapatan Petani (Rp.15-25 Juta/Tahun). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Sumatera Barat.

Gani, A. 2009. Potensi Arang Hayati (Biochar) sebagai Komponen Teknologi Perbaikan

Produktivitas Lahan Pertanian. IPTEK Tanaman Pangan 4(1).

Harahap,A.2014. Tiga Cara Optimalisasi Lahan Sawah. Badan Penyuluhan dan

Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian.Riau.

Halliday DJ, Trenkel ME. 1998. IFA World Fertilizer Use Manual. Paris: International

Fertilizer Industry Association

Kartaatmadja, S., E. Suhartatik, I.G. Ismail, E. Jamal, Sunihardi, A. Kasno, A. Subaedi dan

R. Buresh. 2009. Piranti Lunak Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Salikin, K. A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Sembiring H, A. Hippi, dan L. Wiraja swadi, 2001. ―Jurnal‖ Pengaruh Umur dan Jumlah

Bibit Terhadap Produksi Padi Sawah Pada Tanah Entisol Dan Inseptisol Di Nusa

Tenggara Barat. Balaj Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Lombok

Barat.

Supartha, I. Wijana, G. Adnyana, G. 2012. Aplikasi Jenis Pupuk Organik pada Tanaman Padi

Sistem Pertanian Organik. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika1(2).

Wasito, M. Sarwani, dan E.E. Ananto. 2010. Persepsi dan adopsi petani terhadap teknologi

pemupukan berimbang pada tanaman padi dengan indeks pertanaman 300. Penelitian

Pertanian Tanaman Pangan 29(3).

Page 375: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

364

POTENSI KAYU, BIOMASSA DAN MASSA KARBON POHON KARET

(Hevea brasiliensis Muell Arg) KOLEKSI PLASMA

NUTFAH IRRDB 1981

POTENCY OF WOOD, BIOMASS, AND CARBON MASS OF RUBBER

TREE (Hevea brasiliensis Muell Arg) FROM GERMPLASM IRRDB 1981

Muhamad Rizqi Darojat* dan Syarifah Aini Pasaribu

Balai Penelitian Sungei Putih

POBOX 1415 Medan 20001

[email protected]

Abstract

Recently, one of the breeding program goals in rubber tree (Hevea brasiliensis) is to create

latex-timber clones with high in latex productivity and wood volume. Germplasm IRRDB

1981 collections can be used as a genetic resource for Hevea breeding program. This study

aims to determine the potential of wood, biomass and carbon mass of germplasm 1981

collections. Potential biomass and carbon mass are calculated by using allometric equation,

formulated by Elias and Jaya (2014), namely W= 0.2661D with R2= 0.968 and C= 0.0661D

with R2= 0,892. The wood volume, biomass, and carbon mass are 1,68 m

3/phn, 541,19

ton/ha, and 120,60 ton/ha, respectively. The highest biomass and carbon mass were

generated by Rondonia i.e. 669,69 ton/ha and 156,07 ton/ha, followed by Acre and Matto

Grasso, respectively. The carbon mass contained in germplasm 1981 ranged between 20% -

23% of total biomass. This result was lower than other reports which ranged between 30% -

50% of total biomass. The result from this study suggests that germplasm 1981 collections

have high potential in wood, biomass and carbon mass and it can be planted to sequester

carbon over long time period.

Keywords: Hevea brasiliensis, wood volume, biomass, carbon mass

PENDAHULUAN

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditas perkebunan

yang memberikan nilai devisa cukup besar bagi Indonesia. Badan Pusat Statistik (2014)

melaporkan bahwa komoditas ini telah menghasilkan devisa ekspor sebesar US$ 6,9 milyar

pada tahun 2013. Namun dari segi produktivitas, Indonesia menduduki peringkat ke tujuh

dengan nilai 1.104 kg/ha/th (IRSG, 2015). Pengembangan perkebunan karet masih memiliki

peluang besar walaupun saat ini harga karet alam sedang mengalami penurunan. Menurut

Aidi-Daslin (2014) tanaman karet mempunyai keunggulan komparatif dan keunggulan

kompetitif jika dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya. Selain itu tanaman karet

memiliki karakter khusus yang berkaitan dengan ekonomi dan lingkungan. Karakter tersebut

meliputi kemampuan adaptasi yang baik, kesinambungan produksi 20 – 30 tahun, ramah

lingkungan, dan memiliki potensi kayu yang tinggi.

Sejak diperkenalkan pada awal abad ke 20, sasaran utama program pemuliaan

tanaman karet berorientasi untuk menghasilkan klon baru dengan potensi produksi lateks

yang tinggi (Priyadarshan et al., 2009). Sejalan dengan berkembangnya kondisi ekonomi dan

lingkungan, saat ini arah program pemuliaan tidak hanya berfokus pada produksi lateks saja

namun juga untuk menghasilkan klon dengan sifat kayu tinggi dan bersifat ramah terhadap

Page 376: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

365

lingkungan. Oleh karena itu klon-klon unggul generasi ke-4 hasil pemuliaan di Indonesia

dibagi menjadi dua jenis berdasarkan potensi hasilnya yaitu klon penghasil lateks dan klon

penghasil lateks-kayu (Aidi-Daslin et al., 2009). Selain itu dikembangkan juga tipe klon

penghasil kayu yang diarahkan untuk keperluan hutan tanaman industri. Aidi-Dasli (2014)

menyatakan bahwa sasaran program pemuliaan saat ini tidak hanya untuk menghasilkan klon

unggul yang memiliki produktivitas tinggi tetapi juga memiliki potensi biomassa kayu yang

tinggi.

Beberapa sumber genetik tanaman karet diketahui memiliki sifat sebagai penghasil

kayu maupun lateks-kayu diantaranya adalah koleksi plasma nutfah IRRDB 81. Hevea

spesies, dan klon hasil persilangan buatan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kayu karet

memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan para pekebun karet.

Woelan et al., (2012) melaporkan satu hektar kebun karet dapat menghasilkan pendapatan

sekitar 10 juta dengan lilit batang tanaman minimal 60 cm dan populasi 180 phn/ha. Hal ini

membuktikan bahwa kayu tanaman karet berpotensi dikembangkan menjadi alternatif

pemenuhan bahan baku industri kayu melalui hutan tanaman industri (Lasminingsih et al.,

1998). Kayu karet diketahui dapat dipergunakan sebagai bahan substitusi kayu ramin, agathis,

meranti putih, pinus, dan jenis kayu lainnya. Klon unggul karet penghasil lateks dan kayu

diharapkan dapat dimanfaatkan pada program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sehingga

prospek perkebunan karet dapat menjadi lebih baik.

Balai Penelitian Sungei Putih memiliki materi genetik plasma nutfah IRRDB 81 hasil

ekspedisi antar negara yang tergabung dalam International Rubber Research Development

Board (IRRDB). Materi genetik tersebut sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan

penelitian dalam memperoleh klon unggul baru. Suhendry et al., (1994) melaporkan

walaupun memiliki produktivitas yang rendah, namun materi genetik plasma nutfah memiliki

ketahanan yang baik terhadap penyakit gugur daun Colletotrichum. Selain itu, sebagian besar

tanaman memiliki sifat pertumbuhan cepat dan jagur dengan potensi kayu yang tinggi

(Gambar 1). Tanaman plasma nutfah karet IRRDB 81 telah dimanfaatkan sebagai tetua

persilangan sejak tahun 1991 untuk mendapatkan klon penghasil lateks-kayu. Hasil seleksi

terhadap populasi plasma nutfah memperoleh 10 klon yang termasuk ke dalam tipe klon

penghasil kayu (Aidi-Daslin et al., 2001) dan klon penghasil lateks-kayu IRR seri-00 dan

seri-100 (Suhendry et al., 2000). Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi

berkaitan dengan potensi kayu, biomassa dan serapan karbon pada koleksi populasi plasma

nutfah IRRDB 1981.

Gambar 1. Tegakan Tanaman Plasma Nutfah Karet di KP BPSP

Page 377: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

366

BAHAN DAN METODE

Pengamatan dilakukan pada tahun 2015 di areal Plasma Nutfah IRRDB 1981, Kebun

Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih (KPSP). Populasi tanaman yang digunakan

merupakan tahun tanam 1984 yang berasal dari tiga wilayah yaitu Mato Grosso, Acre, dan

Rondonia. Setiap tegakan pohon diukur lilit batangnya setinggi 100 cm dari atas permukaan

tanah menggunakan meteran kain. Sedangkan tinggi pohon dan tinggi batang cabang pertama

(TCP) diestimasi nilainya menggunakan penggaris ukur pohon ―alumi staff‖. Parameter yang

diamati adalah potensi kayu, biomassa pohon, dan massa karbon. Seluruh data diolah

menggunakan program Microsoft Office Excel 2007.

Potensi Kayu

Potensi produksi kayu dihitung menggunakan metode Wan Razali et al., (1983) dengan

formulasi: 3,14 (lilit batang x 0,01)2 x tinggi cabang

6,28

Biomassa pohon

Potensi biomassa tajuk masing-masing pohon dihitung menggunakan persamaan

alometrik biomassa pohon karet hasil penelitian Elias dan Jaya, (2014) yakni W =

0.2661D2.1438

dengan R2 = 0.968. Sedangkan potensi biomassa akar dihitung berdasarkan

nilai terpasang (default) nisbah tajuk: akar, yaitu 4:1 (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Cadangan Karbon

Penghitungan potensi massa karbon dari tiap-tiap pohon dengan menggunakan

persamaan alometrik massa karbon pohon karet hasil penelitian Elias dan Jaya (2014) yakni

C = 0.0661D2.1863

dengan R2 = 0.892.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Inventarisasi dan Karakter Agronomi

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa populasi plasma nutfah IRRDB 1981 tahun

tanam 1984 memiliki rata-rata lilit batang 101,11 cm dan rata-rata tinggitanaman sebesar

20,24 m (Tabel 1). Tegakan pohon dari seluruh negara bagian mengalami penurunansebesar

24% - 41%. Hal ini disebabkan oleh faktor alam (cuaca, usia, dan serangan penyakit) maupun

faktor manusia (pencurian). Usia dan serangan penyakit merupakan faktor pembatas utama

pertumbuhan tanaman plasma nutfah. Secara alami tanaman karet dapat tumbuh lebih dari

100 tahun dengan tinggi tanaman mencapai 40 m. Priyadashan (2011) menyatakan bahwa

tanaman karet di perkebunan memiliki usia lebih rendah yaitu berkisar 30 – 35 tahun. Hal ini

terjadi karena tanaman karet di perkebunan berasal dari perbanyakan okulasi dengan usia

entres telah mencapai dewasa. Selain itu proses pertumbuhan tanaman karet dibatasi dengan

kegiatan penyadapan sehingga terjadi kompetisi antara pertumbuhan dan produksi lateks.

Tabel 1. Karakter Agronomis Tanaman Plasma Nutfah Karet Tahun Tanam 1984

Asal

Tanaman

Jumlah Tegakan Persen

penurunan

Rata-rata

LB (cm)

Rata-rata

TT (m)

Rata-rata

TCP (m) 1993* 2015

Acre 165 127 23% 97,31 23,57 20,57

Mato

Grosso 310 206 34% 94,37 16,68 13,68

Rondonia 725 432 40% 111,65 20,48 17,48

Rata-rata

101,11 20,24 17,24

LB: Lilit batang; TT: Tinggi tanaman; TCP: Tinggi cabang pertama

*Suhendry et al., (1994)

Page 378: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

367

Tanaman plasma nutfah memiliki karakter agronomi dengan pertumbuhan yang cepat

dan jagur. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan lilit batang tanaman dapat mencapai

lebih dari 1 meter dan tinggi cabang pertama mencapai 17 meter (Tabel 1). Koleksi plasma

Nutfah IRRDB 1981 merupakan tanaman original hasil ekpedisi negara-negara anggota

IRRDB berkerjasama dengan pemerintah Brasil pada tahun 1981 (Onokpise, 2004).

Eksplorasi sumber genetik dilakukan di tiga wilayah negara bagian Brasil yaitu Acre, Mato

Grosso, dan Rondonia. Ekspedisi tersebut bertujuan untuk meningkatkan keragaman sumber

genetik sebagai bahan untuk merakit klon unggul baru. Beberapa penelitian telah dilakukan

dengan menggunakan material plasma nutfah berkaitan dengan seleksi (Aidi-Daslin et al.,

2006), uji resistensi (Aidi-Daslin et al., 2011), dan identifikasi kekerabatan (Aidi-Daslin,

2012).

Potensi Kayu

Saat ini sasaran program pemuliaan tidak lagi hanya berfokus pada produksi lateks

saja, namun juga memperbaiki sifat sekunder lainnya yang bernilai ekonomi. Salah satu

sasaran yang sedang dikembangkan adalah menghasilkan klon karet lateks-kayu. Klon

tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi pekebun selain dari produksi lateks.

Koleksi plasma nutfah karet asal seluruh wilayah memiliki potensi kayu yang cukup tinggi

(Tabel 2). Volume kayu log yang dihasilkan oleh seluruh tanaman berada pada kisaran 1,19 –

2,02 m3/phn. Tanaman asal Rondonia memiliki nilai volume kayu log tertinggi yaitu 2,02

m3/phn. Nilai tersebut berada diatas rata-rata volume kayu log yang dihasilkan oleh klon yang

beradar saat ini. Menurut Aidi-Daslin et al., (2007) secara umum klon lateks-kayu

menghasilkan volume kayu log sebesar 1 m3/phn dengan kisaran diameter tanaman 60 – 80

cm.

Tabel 2. Potensi Kayu Tanaman Plasma Nutfah IRRDB 1981

Wilayah

Jumlah

genotipe

Lilit Batang

(cm)

Volume Kayu Log (m3/phn)

Minimal Maksimal Rataan

Acre 33 97,31 0,27 8,25 1,83

Mato Grosso 62 94,37 0,03 6,8 1,19

Rondonia 145 111,65 0,03 7,08 2,02

Rata-rata

101,11 0,11 7,38 1,68

Nilai potensi kayu sangat dipengaruhi oleh diameter batang dan tinggi cabang

pertama. Semakin besar nilai diameter dan tinggi cabang pertama maka akan semakin tinggi

volume kayu yang dihasilkan. Shorrocks et al., (1965) melaporkan bahwa terdapat hubungan

korelasi sangat dekat antara berat tajuk dengan diameter batang. Selain itu usia tanaman juga

menjadi faktor penentu nilai potensi volume kayu pada tanaman karet. Woelan et al., (2009)

melaporkan bahwa nilai potensi kayu akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya usia

tanaman. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan tanaman karet mengakibatkan lilit batang

tanaman semakin besar sehingga volume kayu juga semakin tinggi.

Potensi Biomassa

Biomassa diartikan sebagai jumlah total bahan organik yang terdapat dalam tegakan

pohon baik diatas maupun dibawah permukaan tanah dan dinyatakan dalam berat kering per

unit area. Menurut Suhendang (2002) nilai biomassa tanaman dalam populasi diketahui dari

selisih antara produksi melalui fotosintesis dan konsumsi melalui respirasi. Perhitungan

biomassa telah berhasil dirumuskan oleh Elias dan Jaya (2014) pada tanaman karet rakyat

dengan persamaan W = 0.2661D2.1438

dengan R2 = 0.968. Hasilperhitungan biomassa pada

asal tanaman yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 379: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

368

Tabel 3. Potensi Biomassa Tegakan Tanaman Plasma Nutfah IRRDB 1981

Asal

Tanaman

Luas

(m2)

Jumlah

Pohon

Rata-rata

Diameter

(cm)

Biomassa

Tajuk

(ton/ha)

Biomassa

Akar

(ton/ha)

Total

Biomassa

(ton/ha)

Acre 1556 127 30,99 420,20 105,05 525,25

Mato

Grosso 2524 206 30,05 342,90 85,73 428,63

Rondonia 5292 432 35,56 535,75 133,94 669,69

Rata-rata

32,20 432,95 108,23 541,19

Potensi biomassa masing-masing asal tanaman pada plasma nutfah IRRDB 1981

memiliki nilai yang bervariasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata potensi

biomassa tanaman plasma nutfah IRRDB 1981 sebesar 541,19 ton/ha dengan tanaman asal

Rondonia memiliki nilai biomassa tertinggi sebesar 669,69 ton/ha. Nilai biomassa

dipengaruhi oleh faktor dari dalam maupun dari luar tanaman. Kusumah (2015) melaporkan

bahwa nilai potensi biomassa dipengaruhi oleh dua faktor yaitu diameter dan jumlah pohon

pada tiap-tiap plot ukur di lapang. Menariknya, tanaman asal Acre memiliki potensi biomassa

lebih besar dibandingkan dengan Mato Grosso, namun Acre memiliki jumlah tanaman yang

lebih sedikit. Hasil tersebut mengemukakan bahwa diameter tanaman lebih berpengaruh

terhadap biomassa jika dibandingakan dengan jumlah tanaman. Shorrocks et al., (1965)

menyatakan bahwa terdapat hubungan korelasi sangat dekat antara berat tajuk dengan

diameter batang. Faktor lain yang mempengaruhi nilai biomassa tegakan pohon adalah usia

pohon. Terdapat titik puncak kandungan biomassa pada fase pertumbuhan tanaman karet.

Sone et al., (2014) melaporkan tanaman karet klon PB 260 memiliki puncak pertumbuhan

biomassa pada usia 8 tahun dan setelahnya mengalami penurunan.

Potensi Massa Karbon

Massa karbon didefinisikan sebagai jumlah unsur karbon yang diserap dari atmosfer

oleh vegetasi melalui proses fotosintesis yang kemudian disimpan di dalam biomassa. Proses

sekuestrasi karbon dalam tumbuhan dapat secara langsung menggambarkan jumlah C di

atmosfer yang diserap. Potensi massa karbon dihitung dengan menggunakan persamaan hasil

penelitian Elias dan Jaya (2014), C = 0.0661D2.1863

dengan R2 = 0.892. Hasil perhitungan

potensi massa karbon pada masing-masing asal tanaman disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. Potensi massa karbon tegakan plasma nutfah IRRDB 198

Asal Tanaman

Potensi Karbon

(ton/ha) Persentase

Acre 120,73 23%

Mato Grosso 85,00 20%

Rondonia 156,07 23%

Rata-rata 120,60 22%

Nilai rata-rata potensi karbon tegakan plasma nutfah IRRDB 1981 sebesar 120,60

ton/ha. Potensi massa karbon tertinggi terdapat pada Rondonia yaitu sebesar 156,07 ton/ha

dan terendah terdapat pada Mato Grosso sebesar 85,00 ton/ha. Potensi massa karbon yang

terdapat pada tegakan tanaman karet sangat dipengaruhi oleh biomassa. Secara umum nilai

biomassa yang tinggi akan menghasilkan massa karbon yang tinggi juga (Gambar 2). Hairiah

dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa potensi massa karbon suatu pohon dapat diketahui

dari nilai biomassa yang terkandung di dalam tegakan pohon tersebut.

Page 380: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

369

Secara umum potensi biomassa dan massa karbon tanaman karet dapat diukur dengan

menggunakan persamaan regresi. Parameter utama yang digunakan untuk menyusun model

regresi yaitu diameter tanaman. Berdasarkan hasil perhitungan potensi massa karbon hasil

penelitian ini berada pada kisaran 20% - 23% (Tabel 4). Hasil ini lebih rendah dibandingkan

dengan hasil penelitian Kusumah (2015) sebesar 28,32% dan Nanda (2014) sebesar 29,18%

dengan menggunakan persamaan alometrik yang sama. Cesylia (2009) melaporkan bahwa

kadar karbon di perkebunan karet Bojong Datar PTPN VIII sebesar 28,25%. Fakta-fakta

tersebut menunjukkan bahwa persamaan alometrik bersifat spesifik terhadap karakteristik

populasi tanaman di lapangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasi pengukuran

menggunakan persamaan alometrik yaitu kondisi agroklimat dan tipe klon yang digunakan.

Chaudhuri et al., (1995) menyatakan bahwa persamaan alometrik bersifat spesifik terhadap

diameter, agroklimat dan klon. Namun beberapa hasil penelitian lain hanya menggunakan

persentase terhadap biomassa untuk keperluan praktis pengkuran massa karbon (Hairiah dan

Rahayu, 2007; Sone et al., 2014).

Gambar 2. Potensi biomassa dan massa karbon pada plasma nutfah IRRDB 1981

KESIMPULAN

Tegakan pohon plasma nutfah IRRDB 1981 memiliki rata-rata potensi kayu,

biomassa, dan massa karbon yang tinggi yaitu 1,68 m3/phn, 541,19 ton/ha, dan 120,60

ton/ha. Nilai tertinggi untuk seluruh parameter terdapat pada tanaman Rondonia dan terendah

pada Matto Grasso. Selain itu tanaman karet plasma nutfah IRRDB 1981 berpotensi dapat

dimanfaatkan sebagai tanaman penghasil kayu untuk industri sekaligus digunakan sebagai

tanaman pengikat karbon pada hutan tanaman industri maupun perkebunan di Induonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Aidi-Daslin, S Woelan, M Lasminingsih, I Suhendry, R Azwar. 2001. Kemajuan Pemuliaan

Dalan Mendukung Produktivitas Karet Nasional. Pros.Lok.Nas Pemuliaan Karet: 41 –

53.

Aidi-Daslin, Sayurandi, SA Pasaribu. 2006. Genotipe Terpilih Sebagai Penghasil Lateks Dan

Kayu Dari Plasma Nutfah Karet Irrdb 1981. Pros.Lok.Nas Budidaya Tanaman Karet.

Pp 346 – 352.

Aidi-Daslin, S Woelan, M Lasminingsih, H Hadi. 2006. New Recommended Clones For

Indonesian Rubber Plantation. Proc.Intl.Rubb.Conf.Exh.Pp 97 – 104.

Page 381: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

370

Aidi-Daslin, S Woelan, P Lasminingsih. 2009. Rumusan Lokakarya Nasional Pemuliaan

Tanaman Karet 2009. Pros.Lok.Nas Pemuliaan Tanaman Karet.

Aidi-Daslin, Z Fairuzah, CI Dalimunthe. 2011. Uji Resistensi Genotipe Terpilih Dari Plasma

Nutfah Irrdb Terhadap Penyakit Gugur Daun Corynespora Dengan Metode Cakram

Daun. Jurnal Penelitian Karet 29 (1) : 16 -24.

Aidi-Daslin. 2012. Kekerabatan Genetik 15 Aksesi Plasma Nutfah Karet Hasil Ekspedisi

1981 Berdasarkan Penanda Molekuler. Agrium 17 ( 3): 186 – 191.

Aidi-Daslin. 2014. Perkembangan Penelitian Klon Karet Unggul Irr Seri 100 Sebagai

Penghasil Lateks Dan Kayu. Warta Perkaretan, 33 (1): 1 – 10.

Badan Pusat Statistik. 2014. Statistika Karet Indonesia 2013. Jakarta: Bps.

Cesylia L. 2009. Cadangan Karbon Pada Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis) Di Perkebunan

Karet Bojong Datar Ptp Nusantara Viii Kabupaten Pandeglang Banten. [Tesis]. Bogor

(Id): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Chaudhuri D, KK Vinod, SN Potty, MR Sethuraj, J Pothen, YAN Reddy. 1995. Estimation

Of Biomass In Hevea Clones By Regression Method: Relation Between Girth And

Biomass. Indian Journal Of Natural Rubber Research, 8(2), 113 – 116.

Elias Dan Jaya INS. 2014. Inovasi Metode Dan Model Estimasi Biomassa Dan Massa

Karbon Hutan Karet Rakyat Dengan Kombinasi Cara Terestrial Dan Aerial.Penelitian

Stranas Dikti. Bogor (Id). Fakultas Kehutanan Institutpertanian Bogor.

Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran ‗Karbon Tersimpan‘ Diberbagai Macam

Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - Icraf, Sea Regional Office,

University Of Brawijaya, Unibraw, Indonesia. 77 P.

Kusumah. 2015. Studi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Pohon Karet (Hevea

Brasiliensis Muell Arg) Di Hutan Karet Rakyat Desa Bungku Provinsi Jambi [Skripsi].

Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Lasminingsih M, G Wibawa, I Boerhendhy, A Suhaimi. 1998. Evaluasi Klon Penghasil

Lateks-Kayu Dan Integrasi Tanaman Kehutanan Pada Perkebunan. Pros Lok Pemuliaan

1998. 73 – 87.

Nanda R. 2014. Studi Root To Shoot Ratio Biomassa Dan Massa Karbon Pohon Karet Di

Hutan Karet Rakyat Desa Bungku, Provinsi Jambi [Skripsi]. Bogor (Id). Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Onokpise OU. 2004. Natural Rubber, Hevea Brasiliensis (Willd. Ex A. Juss.) Mull. Arg.,

Germplasm Collection In The Amazon Basin, Brazil: A Retrospective 1. Economic

Botany 58(4) Pp. 544-555.

Priyadarshan PM, PS Goncalves, And KO Omokhafe. 2009. Breeding Hevea Rubber. SM

Jain, PM Priyadarshan (Eds.), Breeding Plantation Tree Crops: Tropical Species,

Springer Science.

Priyadarshan PM. 2011. Biology Of Hevea Rubber. Mpg Group Books. UK.

Shorrocks VM, JK Templeton, GC Iyer. 1965. Mineral Nutrition, Growth, And Nutrient

Cycle Of Hevea Brasiliensis Iii. The Relationship Between Girth And Shoot Dry

Weight. Jor Rub Res 19 (2): 85 – 92.

Page 382: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

371

Sone K, N Watanabe, M Takase, T Hosaka, K Gyokusen. 2014. Carbon Sequestration, Tree

Biomass Growth And Rubber Yield Of Pb 260 Clone Of Rubber Tree (Hevea

Brasiliensis) In North Sumatera. J Rubb Res 17(2), 115 – 127.

Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Suhendry I, Nong Alwi, A Soedarsan. 1994. Koleksi, Konservasi, Dan Evaluasi Plasma

Nutfah Karet. Warta Perkaretan 13 (1): 43 – 49.

Suhendry I, S Woelan, Aidi-Daslin. 2000. Rubber Clones As Timber-Latex Yielder. Proc

Indonesian Rubber Conf. And Irrdb Symp. Pp 564 – 576.

Wan Razali Mohd, R Maidin, A Surjan, JM Zain. 1983. Double Entry Volume Table

Equations For Source Rrim 600 Series Clone Of Rubber. The Malaysia Forester, 46 (1):

46 – 59.

Woelan S, N Siagian, Sayurandi, SA Pasaribu. 2012. Potensi Kayu Karet Hasil Peremajaan

Di Tingkat Perusahaan Perkebunan. Warta Perkaretan, 31 (2): 75 – 84.

Woelan S, Aidi-Daslin, M Lasminingsih, I Suhendry. 2009. Evaluasi Keragaan Klon Karet

IRR Seri 200 dan 300 Pada Tahap Pengujian. Pros.Lok.Nas Pemuliaan Tanaman Karet.

Pp 84 – 106.

Page 383: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

372

KADAR KLOROFIL DAN KERAPATAN STOMATA MAHONI

(Swietenia macrophylla, King) PADA BEBERAPA LOKASI

DI KOTA MEDAN

Rani Apriyani Raharja1, Isnaini Nurwahyuni

2, Riyanto Sinaga

2

1Mahasiswa Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU

2Staf Pengajar Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU

Departemen Biologi, FMIPA Universitas Sumatera Utara

Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Padang Bulan, Medan- 20155

Email: [email protected]

Abstract

The research about Chlorophyll Content and Stomata Density Of Mahoni (Swietenia

macrophylla, King) At Some Location In Medan was conducted since August 2015 until

February 2016. The objective of this research was to observe chlorophyll content and

stomata density of Mahoni (Swietenia macrophylla, King) at some location in Medan.

Variables observed were chlorophyll content and stomata density. The result showed

chlorophyll content from highest to lowest at Kawasan Industri Medan 1 (23,41 mg/l), Jl HM

Yamin(19,95 mg/l), Bumi Perkemahan Sibolangit (14,57 mg/l), and Hutan Tri Dharma

(12,90 mg/l), and stomata density from highest to lowest were at Bumi Perkemahan

Sibolangit (59,85 stomata/mm2), Kawasan Industri Medan 1 (50,72 stomata/mm

2), Jl HM

Yamin (48,58 stomata/mm2), and Hutan Tri Dharma (46,86 stomata/mm

2).

Keywords: Chlorophyll Content, Stomata density, Swietenia macrophylla King.

PENDAHULUAN

Perkembangan pembangunan disegala bidang di Indonesia saat ini meningkat sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini seiring dengan meningkatnya pembangunan

fisik di perkotaan seperti pembangunan pusat perkantoran, pemukiman dan kegiatan lainnya

yang menuntut mobilitas tinggi, sehingga berdampak pada peningkatan volume kendaraan.

Perkembangan ini selain memberi pengaruh positif terhadap kehidupan masyarakat, tetapi

juga memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan (Satolom, 2013).

Jalur hijau merupakan salah satu alternatif yang terbaik dalam mengurangi emisi

yang berasal dari kendaraan bermotor karena adanya tanaman yang ditanam di sisi jalan

yang dilaluiolehkendaraan bermotor. Kota Medan yang merupakan salah satu kota yang

memiliki penduduk cukup padat, yaitu mencapai 7.913 jiwa/km2 (BPS, 2011) dan memiliki

tingkat transportasi yang tinggi sangat penting memiliki jalur hijau. Tanaman yang ditanam

di jalur hijau cukup baik dalam menyerap emisi karbon yang dikeluarkan oleh kendaraan

bermotor dan industri yang letaknya didekat jalan (Purwasih, et al. 2013).

Mahoni tergolong kedalam famili Meliaceae. Tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan

jati dan tempat-tempat lain yang dekat dengan pantai. Ada juga yang ditanam di tepi-tepi

jalan sebagai pohon perindang. Hasil Penelitian Purwasih, et al. (2013), menunjukkan bahwa

jenismahoni daun lebar (Swieteniamacrophylla) merupakan jenis tanaman terbanyak kedua

yang ditanam pada jalur hijau kota Medan, dengan jumlah total sebanyak 3.346 individu atau

sekitar 31,77%.

Mahoni memiliki akar dan cabang yang kuat serta tidak mudah patah sehingga

menyebabkan rasa aman bagi pengguna jalan, menurut Lestari, et al. (2013), menyatakan

Page 384: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

373

bahwa persyaratan utama yang perlu diperhatikan dalam memilih jenis tanaman lansekap

jalan antara lain, perakaran tidak merusak konstruksi jalan, mudah dalam perawatan, batang

atau cabang tidak mudah patah, dan daun tidak mudah rontok atau gugur.

Selain sebagai tumbuhan peneduh Mahoni juga diharapkan dapat berfungsi sebagai

tumbuhan penyuplai oksigen sekaligus sebagai agen bioremediasi zat-zat pencemar berupa

gas buangan dari kendaraan bermotor dan industri (Aminarti, 2012). Menurut Dahlan (1989),

mahoni merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai potensi tinggi sebagai

pereduksi timbal, oleh sebab itu tanaman tersebut dapat digunakan dalam penanggulangan

timbal udara dari emisi kendaraan bermotor. Ningrum (2016), berdasarkan hasil

penelitiannya, menyatakan bahwa Swietenia macrophylla King mampu menyerap Pb

sebanyak 1.16 μg/g, serta menurut Sedi (2014) rata-rata kandungan timbal yang terserap pada

daun Mahoni (Swietenia macrophylla) adalah 40,28 ppm.

Suatu tanaman dapat disebut sebagai agen bioremediasi apabila mampu menyerap zat

pencemar namun tidak menunjukkan gejala kerusakan yang signifikan. Gejala kerusakan

secara morfologis seperti jumlah stomata, kerapatan stomata dan index klorofil (Fathia,

2015). Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini bertujuan mengetahui kadar klorofil dan

kerapatan stomata daun Mahoni berhubungan dengan fungsinya sebagai tumbuhan peneduh

jalan yang di tanam di beberapa lokasi di Kota Medan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan, yaitu dari bulan Agustus 2015 sampai

dengan bulan Februari 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Medan, untuk pengujian

kandungan Pb dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan

sedangkan pengujian kandungan klorofil dan pengamatan kerapatan stomata daun Mahoni

dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan Tumbuhan, Departemen Biologi,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel bersifat purposive sampling, yang diambil dari 4 lokasi yang

berbeda berdasarkan tingkat kepadatan aktivitas di lingkungan pertumbuhan pohon Mahoni

(Swietenia macrophylla), yaitu Jalan Menuju Air Terjun Dwi Warna Bumi Perkemahan

Sibolangit sebagai kontrol, Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara dengan tingkat

aktivitas sedang, Jalan HM Yamin dengan tingkat aktivitas tinggi dan Kawasan Industri

Medan 1 dengan tingkat aktivitas sangat tinggi.

Untuk pengambilan sampel daun dari setiap lokasi maka dipilih 4 pohon Mahoni

(Swietenia macrophylla) dan dari setiap pohon diambil 9 sampel daun untuk dianalisis. Daun

yang diambil adalah yang terletak pada lapisan ranting bawah 3 helai daun, lapisan ranting

tengah 3 helai daun dan lapisan atas 3 helai daun, daun yang diambil yang berwarna hijau tua.

Penetuan Kadar Klorofil

Pengukuran kadar klorofil total dilakukan dengan metode Arnon (1949), yaitu dengan

cara menimbang sampel daun segar sebanyak 1 gram dipotong-potong, ditambah aseton 80%

dan digerus dengan mortar. Supernatannya disaring dan dimasukkan kedalam labu takar 100

ml. Sisa supernatan ditambah dengan aseton80%, digerus dan disaring kembali. Ditambahkan

pelarut yang sama sehingga larutan menjadi 100 ml. Larutan yang diperoleh dimasukkan

pada tabung cuvet spektrofotometer sampai garis batas yang ditentukan. Absorbansi diukur

dengan menggunakan optical density menggunakan pelarut aceton 80% dan mengukur

absorbansi (A) larutan klorofil pada panjang gelombang (λ) = 663 dan 645. Kandungan

klorofil total dihitung dengan rumus:

Pelarut aseton 80% (Arnon, 1949)

Page 385: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

374

Klorofil a : 12,7 A663 – 2,69 A645 (mg/l) x Faktor Pengenceran

Klorofil b : 22,9 A645 – 4,68 A663 (mg/l) x Faktor Pengenceran

Total klorofil : 20,2 A645 + 80,2 A663 (mg/l) x Faktor Pengenceran

Kerapatan Stomata

Metode pembuatan preparat untuk mengukur kerapatan stomata adalah metode

replika (Haryanti, 2010), yaitu diambil sampel daun, dibersihkan permukaan atas dan

bawahnya dengan dilap menggunakan tisu untuk menghilangkan debu/kotoran. Permukaan

daun yang sudah bersih, diolesi dengan kutek dan dibiarkan selama 5 menit, hingga kering.

Olesan yang sudah kering ditempeli isolasi dan diratakan. Isolasi dikelupas/diambil pelan-

pelan, lalu tempelkan pada gelas benda. Diratakan dan diberi label pada sebelah kiri dengan

keterangan tanamannya. Pengamatan jumlah stomata per bidang pandang menggunakan

mikroskop dengan perbesaran yang sama (10x). Kemudiankerapatan stomata dihitung dengan

Rumus: Kerapatan Stomata = (Jumlah Stomata)/(Luas Bidang Pandang)

Kandungan Timbal

Dilakukan pengukuran timbal yang terkandung dalam tanaman menggunakan alat

AAS, dengan cara di timbang 2 gram sampel daun, di abukan dalam tanur 5500C,

dipindahkan abu kedalam beaker glass 250 ml, ditambahkan 30 ml HNO3 pekat, dipanaskan

hingga larutan tersisa 10 ml, dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml, kemudian dibaca

dengan AAS. Kandungan timbal (Pb) diukur dengan rumus: Pb = c x 100

Ket: w = Berat Sampel (g)

C = Pembacaan AAS (ppm)

100 = Volume labu takar terakhir (ml)

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Kadar Klorofil

Hasil pengukuran kadar klorofil Mahoni yang diambil dari masing-masing lokasi

penelitian menunjukan bahwa kadar klorofil a, b dan total tertinggi yaitu 12,28 mg/l, 11,13

mg/l, dan 23,41 mg/l terdapat pada Mahoni di KIM 1, selanjutnya kadar klorofil a, b dan

total dari Jalan HM Yamin yaitu 9,95 mg/l, 9,99 mg/l dan 19,95 mg/l, diikuti dengan kadar

klorofil a, b dan total dari Hutan Tri Dharma Kampus USU yaitu 5,95 mg/l, 7,38 mg/l dan

14,57 mg/l kadar klorofil a, b dan total yang paling sedikit terdapat di jalan menuju air terjun

Dwi Warna Sibolangit yaitu 6,20 mg/l, 6,98 mg/l dan 12,90 mg/l.

Grafik 1. Kadar Klorofil pada Daun Mahoni dari beberapa lokasi di kota Medan

0

5

10

15

20

25

Klorofil a Klorofil b Klorofil Total

Ka

da

r K

loro

fil

(mg

/l)

Jalan Hm Yamin

KIM 1

Hutan Tri Dharma Kampus USU

Page 386: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

375

Berdasarkan grafik 1. Diketahui kadar klorofil total tertinggi terdapat di KIM 1 yaitu

23,41mg/l sedangkan kadar klorofil total terendah terdapat di Bumi Perkemahan Sibolangit

yaitu 12,90 mg/l.

Kadar Klorofil adalah salah satu faktor internal selain gen, hormon, struktur anatomi

dan morfologi organ tumbuhan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

tumbuhan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan klorofil antara lain gen,

cahaya, dan unsur N, Mg, Fe sebagai pembentuk dan katalis dalam sintesis klorofil.

(Sumenda, et al. 2011).

Berdasarkan grafik 1. Juga diketahui pada lokasi Jalan HM. Yamin, Tri Dharma dan

Bumi perkemahan Sibolangit memiliki kadar klorofil b lebih tinggi dibandingkan kadar

klorofil a nya. Hal ini mengindikasikan tanaman Mahoni pada ke 3 lokasi tersebut

mendapatkan naungan. Daun yang mengalami naungan umumnya mempunyai klorofil lebih

banyak, khususnya klorofil b, terutama karena tiap kloroplas mempunyai lebih banyak grana

dibandingkan dengan daun sun plants. Peningkatan klorofil b dilakukan oleh tanaman sebagai

upayapenyesuaian secara fisiologis dengan kondisi naungan guna mengoptimalkan

penangkapan cahaya, sebab klorofil b berperan langsung sebagai antena pemanen cahaya.

Sementara klorofil a berpartisipasi dalam pengubahan energi radiasi yang ditangkap oleh

klorofil b menjadi energi kimia. Cahaya yang bekerja lewat fotosintesis mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Sirait, 2008).

b. Kerapatan Stomata

Hasil pengamatan kerapatan stomata daun Mahoni yang diambil dari masing-masing

lokasi penelitian menunjukan bahwa kerapatan stomata tertinggi yaitu 59,85 stomata/mm2

terdapat pada Mahoni di Bumi Perkemahan Sibolangit , selanjutnya kerapatan stomata dari

KIM 1 yaitu 50,72 stomata/mm2, diikuti dengan kerapatan stomata dari Jalan HM Yamin

yaitu 48,58 stomata/mm2, Kerapatan stomata terendah terdapat di Hutan Tri Dharma Kampus

USU 46,86 stomata/mm2.

Grafik 2. Kerapatan stomata Daun Mahoni dari beberapa lokasi dikota Medan

Hal ini dikarenakan suhu udara di bumi perkemahan sibolangit rendah sehingga

kelembapan udaranya tinggi, kelembapan udara yang tinggi menyebabkan jumlah stomata

meningkat dan kerapatan stomata juga meningkat. Menurut Croxdale (2000) menyatakan

0

10

20

30

40

50

60

70

Jl Hm Yamin KIM 1 Hutan Tri Dharma Kampus USU

Bumi Perkemahan Sibolangit

Ke

rap

atan

Sto

mat

a (s

tom

ata/

mm

2)

Page 387: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

376

bahwa kerapatan stomata tiap tumbuhan akan berbeda-beda tergantung faktor lingkungan

yang memengaruhinya, terutama intensitas cahaya matahari dan kelembaban. Tumbuhan

yang tumbuh di daerah dingin dan mendapatkan cahaya matahari yang cukup akan

mempunyai kerapatan stomata yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh

di daerah panas dan kekurangan cahaya matahari. Kondisi penyinaran yang cukup,

kelembaban tanah yang tinggi disertai dengan temperatur yang rendah akan meningkatkan

frekuensi stomata.

Sedangkan kerapatan stomata di Kawasan Industri Medan 1 cukup tinggi hal ini

dikarenakan kawasan tersebut berada dilingkungan pabrik dan banyak dilalui oleh kendaraan

berat sehingga tanaman melakukan adaptasi dengan cara memperbanyak jumlah stomatanya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Satolom, et al. (2013), kadar stomata pada

daun meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas kendaraan. Stomata pada daun

tanaman meningkat dikarenakan luas daun cenderung mengecil. Tanaman tersebut memiliki

stomata yang lebih banyak namun ukuran stomata juga lebih kecil.

Pada penelitian ini stomata hanya ditemukan terdapat pada permukaan bawah daun

saja. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Karliyansyah, Mulyani, Satolom et

al (1997, 2010, 2013) yaitu stomata pada mahoni dan agsana hanya terdapat pada epidermis

bawah daun saja. Pada umumnya stomata terdapat pada sisi atas dan bawah daun, atau hanya

terdapat pada bagian bawah daun saja.

c. Kandungan Timbal

Grafik 3. Kadar Timbal Pada Daun Mahoni dari beberapa lokasi di kota Medan

Berdasarkan Grafik 3. Diketahui bahwa kandungan timbal tertinggi terdapat pada

daun mahoni dari Jalan HM Yamin yaitu 4,25 hal ini dikarenakan intensitas kendaraan di

jalan tersebut lebih banyak daripada intensitas di lokasi lainnya. Menurut Sunarya et al.

(1991) kandungan Pb lebih banyak pada tanaman tepi jalan yang padat kendaraan bermotor

dibandingkan dengan kandungan Pb pada tanaman sejenis dari lokasi yang jauh dari pinggir

jalan.

Emisi Pb masuk dalam atmosfir bumi dapat berbentuk gas dan partikel, emisi Pb yang

masuk dalam bentuk gas terutama berasal dari buangan gas kendaraan bermotor. Emisi

tersebut merupakan hasil samping pembakaran yang terjadi dalam mesin-mesin kendaraan

yang berasal dari senyawa tetrametyl Pb dan tetraethyl Pb yang selalu ditambahkan dalam

bahan bakar kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai antiknock pada mesin-mesin

kendaraan. Masuknya Pb dalam peristiwa pembakaran pada mesin akan menyebabkan jumlah

Pb yang dibuang ke udara melalui asap buangan kendaraan menjadi sangat tinggi.

Berdasarkan perkiraaan sekitar 80 – 90 % Pb di udara berasal dari pembakaran bensin dan

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

Jalan HM Yamin KIM 1 Hutan Tri Dharma Kampus USU

Bumi Perkemahan Sibolangit

Ka

da

r T

imb

al

pa

da

da

un

(pp

m)

Page 388: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

377

tidak sama antara satu tempat dengan tempat lainnya karena tergantung dari kepadatan

kendaraan bermotor (Setiawan,2009 dalam Aminarti 2012).

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan kadar klorofil yang tertinggi adalah kadar klorofil daun

Mahoni yang diambil dari Kawasan Industri Medan 1 yaitu sebesar 23,41 mg/l sedangkan

kadar klorofil terendah adalah kadar klorofil daun mahoni yang terdapat di Hutan Tri Dharma

Kampus USU yaitu sebesar 12,90 mg/l, sedangkan kerapatan stomata daun Mahoni, yang

tertinggi adalah kerapatan stomata daun Mahoni yang diambil dari Bumi Perkemahan

Sibolangit yaitu sebesar 59,85 stomata/mm2, sedangkan Kerapatan Stomatan terendah adalah

kerapatan stomata daun Mahoni yang diambil dari Hutan Tri Dharma Kampus USU yaitu

sebesar 46,86 stomata/mm2. Hal ini berarti meskipun tanaman Mahoni tumbuh dilingkungan

dengan aktivitas manusia yang sangat tinggi (KIM 1) namun tidak menunjukkan gejala

kerusakan yang signifikan sehingga Mahoni dapat digunakan sebagai agen bioremediasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aminarti, S. 2013. Akumulasi Timbal (Pb) Dan Struktur Daun Angsana (Pterocarpus indicus

Willd ) Sebagai Tumbuhan Peneduh Jalan Di Kota Banjarmasin. Jurnal

WahanaBio.1-2(9): 11-27.

Arnon, D. I. 1949. Cooper Enzyme In Isolated Chloroplast Polyphenoloxidase In Beta

vulgaris. Plant Physiology. 24(1): 1-16.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Medan. 2011. Kota Medan Dalam Angka 2011.

http://sumut.bps.go.id/. [16 Maret 2015].

Croxdale, J. (2000). Stomatal Patterning in Angiosperm. American Journal of Botany. 87 :

1069-1080.

Dahlan, E.N., Ontaryo, Y dan Umasda. 1989. Kandungan Timbal Pada Bebema Jenis Pohon

Pinggir Jalan Di Jalan Sudirman, Bogor. Media Konservasi . II (4): 45 – 50.

Dwidjoseputro. 1983. Pengantar Fisiologi tumbuhan. PT Gramedia. Jakarta. Hlm. 18-19.

Fathia, L. A., Baskara, M., dan Sitawati. 2015. Analisis Kemampuan Tanaman Semak Di

Median Jalam Dalam Menyerap Logam Berat Pb. Jurnal Produksi Tanaman. 7(3):

528-534.

Haryanti, S. 2010. Jumlah dan Distribusi Stomata Pada Daun Beberapa Spesies Tanaman

Dikotil dan Monokotil. Jurnal Buletin Anatomi dan Fisiologi. 18(2): 20-28.

Hidayati, S. R. 2009. Analisis Karakteristik Stomata, Kadar Klorofil dan Kandungan Logam

Berat Pada Daun Pohon Pelindung Jalan Kawasan Lumpur Porong Sidoarjo. [Skripsi].

Malang: Universitas Islam Negeri Malang. Hlm 1-64.

Karliansyah, N. S. W. 1997. Kerusakan Daun Tanaman sebagai Bioindikator Pencemaran

Udara (Studi Kasus Tanaman Peneduh Jalan Angsana dan Mahoni dengan Pencemar

Udara NO dan SO). [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Lestari, I., Yanuwiadi, B., dan Sumarno. 2013. Analisis Kesesuaian Vegetasi Lokal Untuk

Ruang Terbuka Hijau Jalur Jalan Di Pusat Kota Kupang. J-PAL. 4(1): 1-10.

Megia, R., Ratnasari dan Hadisunarso. 2015. Karakteristik Morfologi dan Anatomi serta

Kandungan Klorofil Lima Kultivar Tanaman Penyerap Polusi Udara Sansevieria

trifasciata. Jurnal Sumberdaya Hayati. 1(1): 34-40.

Page 389: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

378

Ningrum, I. S., Yoza, D. dan Tuti A. 2016. Kandungan Timbal (Pb) Pada Tanaman Peneduh

Di Jalan Tuanku Tambusai Kota Pekanbaru. Jom Faperta UR 3 (1): 1-7.

Purwasih, H., Latifah, S., dan Asep, S. 2013. Identifikkasi Jenis Tanaman Di Beberapa Jalur

Hijau Di Kota Medan. Peronema Forest Science Journal. 2(2): 108-116.

Rahmayunita, A., Widjajanti, W. W., dan Ika, R. Desain Kreatif Hutan Kota Surabaya Tema

Arsitektur Berwawasan Lingkungan. Di Dalam: Peranan Akademisi dan Praktisi

Sebagai Inovtor Teknologi Bangsa Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan

Persaingan Global. Seminar Nasional, Sains Dan Teknologi Terapan II; Surabaya, 7

Oktober 2014. Surabaya: Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya. Hlm. 1-6.

Satolom, A. W. 2013. Analisis Kadar Klorofil, Indeks Stomata Dan Luas Daun Tumbuhan

Mahoni (Swietenia macrophylla, King.) Pada Beberapa Jalan Di Kota Gorontalo.

[Skripsi]. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo. Hlm. 1, 27-28.

Sirait, J. 2008. Luas Daun, Kandungan Klorofil dan Laju Pertumbuhan Rumput padaNaungan

dan Pemupukan yang Berbeda. JITV . 13(2): 109-116

Sitepu, M. P. 2007. Pengaruh Arang Sebagai Campuran Media Tumbuh Dan Intensitas

Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Mahoni (Swietenia macrophylla, King.).

[Skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Hlm. 4.

Sumenda, M. P., Rampe, H. L., dan Feky, R. M. 2011. Analisis Kandungan Klorofil Daun

Mangga (Mangifera indica, L.) Pada Tingkat Perkembangan Daun Yang Berbeda.

Jurnal Bioslogos. 1(1): 20-28.

Sunarya, W. I. R., Kusmadji, A., Djalil, E., Nurdin, W., Wardhana dan I. M. Idil. 1991.

Tumbuhan Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Oleh Timbal Prosi. Direktorat

Pembinaan Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat. Depdikbut. Jakarta.

Page 390: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

379

HUBUNGAN ANTAR KARAKTER KUANTITATIF DAN ANALISIS

KEMIRIPAN GENETIK HASIL PERSILANGAN TETUA KARET

BERKERABAT JAUH

Sayurandi dan M. Rizqi Darojat

Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet

P.O. Box 1415, Medan 20001

e-mail : [email protected]

Abstract

Rubber plant breeding and selection progress are very dependent by plant genetic variability.

Rubber plant genetic variability can be generated through crossing between rubber parental

clones. Crossing of clone IAN 873 X PN 3760 have been done at Hand Pollination Garden,

Sungei Putih Research Centre in 2001. Clone IAN 873 which was used as female parents had

high latex yield. This clone was a clone generation of Wickham 1876 population. Clone PN

3760 which was used as male parent had growth vigorous. This clone was derived from

IRRDB exploration in Matogroso district-Brazil in 1981. The clones have long genetic

distance. The objectives of the research were to determine the correlation among quantitative

characters and genetic similarity analysis of F1 genotypes crossing result of IAN 873 X PN

3760 rubber parental clones. The quantitative characters of 35 genotypes was done in

January – September 2013 such as girth, plant height, number of main branches, high main

branch, barkthickness, number of latex vessels, diameter of latex vessels, timber volume and

latex yield. The research results showed that girth, plant height, number of latex vessels,

diameter of latex vessels, and timber volume had positive correlation and significantly effect

to latex yield, while the number of main branches, high main branch and barkthickness were

not significantly effect to latex yield. Based on genetic similarity analysis showed that almost

genotypes had near genetic similarity with male parent PN 3760 than female parent IAN 873.

Keywords: Hevea brasiliensis, quantitative characters, correlation, genetic similarity.

PENDAHULUAN

Aktifitas pemuliaan tanaman karet di Indonesia telah berjalan selama 4 generasi sejak

tahun 1910 dan menghasilkan sejumlah klon unggul dengan peningkatan produktivitas lima

kali lebih tinggi dari bahan tanaman asal semaian (seedling) dengan rata-rata produktivitas

hanya ±500 kg/ha/th. Klon konvensional AVROS 2037, GT 1, RRIM 600, PB 235, PB 260

dan klon unggul baru IRR 5, IRR 112, IRR 118, IRR 220 merupakan bahan tanaman anjuran

skala komersial, dan disamping itu terdapat sejumlah klon harapan seri IRR lain yang masih

dalam tahap pengujian lanjutan/adaptasi (Aidi-Daslin et al., 2009). Penanaman klon-klon

karet unggul di perkebunancukup menggembirakan namun pencapaian produktivitas optimal

selalu bervariasi dan bahkan tidak tercapai (Aidi-Daslin et al., 2000). Perbedaan produktivitas

tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan respon klon pada berbagai lingkungan

(Suhendry et al., 1999).

Pengkajian dan pemilihan tetua tanaman karet sebagai bahan persilangan merupakan

salah satu tahapan penting dalam perakitan klon karet unggul. Tetua selain harus memiliki

karakter yang diinginkan seperti memiliki produktivitas karet tinggi, mutu hasil baik, tahan

terhadap penyakit, namun harus memiliki daya gabung tinggi serta memiliki hubungan

kekerabatan genetik jauh. Potensi untuk menghasilkan genotipe karet unggul dari persilangan

Page 391: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

380

berkerabat jauh akan lebih besar dibandingkan dengan kerabat dekatnya (Liyanage, 1974).

Analisis kekerabatan genetik merupakan salah satu upaya untuk melihat gambaran hubungan

antar genotipe tanaman karet. Untuk melihat kemiripan genetik antar genotipe yang diamati

dapat dilakukan dengan cara mengamati karakter masing-masing tanaman, kemudian dari

data pengamatan tersebut digunakan sebagai dasar klasifikasi tanaman yang akan

mengambarkan tingkat variabilitas genetik.

Analisis kemiripan genetik berdasarkan fenotipik walaupun mempunyai beberapa

kelemahan seperti pengaruh faktor lingkungan yang cukup besar, dan interaksi gen dominan

– resesif tetapi setidaknya analisis ini dapat menggambarkan adanya variabilitas genetik yang

dihasilkan dari persilangan (Wendel 1990). Analisis kemiripan genetik pada tanaman karet

dapat dilakukan berdasarkan karakter morfologi tanaman, anatomi kulit, dan hasil lateks.

Karakter agronomi suatu tanaman merupakan karakter kuantitatif yang menentukan

besarnya produksi, sehingga perlu dikaji hubungan antar beberapa karakter dengan

produksinya. Khusus untuk tanaman karet, pemuliaan tanaman tidak hanya bertujuan

menghasilkan klon penghasil lateks saja tetapi juga diharapkan menghasilkan kayu yang

tinggi. Pengkajian terhadap karakter agronomi seperti pertumbuhan tanaman (lilit batang,

tebal kulit), anatomi kulit (jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks), fisiologi

lateks (sukrosa, fosfat anorganik, tiol, indeks penyumbatan, indeks produksi) dan hasil lateks

perlu dikaji lebih mendalam. Korelasi antar karakter kuantitatif maupun kualitatif merupakan

dasar dalam program dan perencanaan pemuliaan yang lebih efisien. Tidak jarang dalam

melakukan seleksi terhadap sifat-sifat tertentu akan merubah sifat lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa antara sifat-sifat tersebut terdapat hubungan, baik secara positif maupun

negatif. Berdasarkan beberapa hasil pecobaan dengan melihat komponen hasil, tidak ada

varietas yang superior dalam semua sifat. Keunggulan yang dihasilkan merupakan hasil

gabungan antara berbagai komponen hasil yang dapat diperoleh melalui persilangan dan

setiap komponen hasil bersifat poligenik dalam keturunannya (Lasminingsih, 1993). Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antar karakter kuantitatif dan analisis

kemiripan genetik hasil persilangan tetua karet berkerabat jauh.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan dan Laboratorium Penelitian

Agrofisiologi Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet yang terletak di

Kabupaten Deli Serdang - Propinsi Sumatera Utara. Lokasi penelitian berada pada

ketinggian ± 54 m di atas permukaan laut (dpl). Penelitian dilakukan pada bulan Januari

sampai dengan September 2013. Genotipe yang digunakan pada penelitian ini adalah 35

genotipe hasil persilangan antara IAN 873 X PN 3760 yaitu G32, G33, G36, G37, G39, G80,

G79, G76, G75, G74, G73, G69, G68, G67, G57, G56, G55, G54, G53, G52, G50, G48, G47,

G41, G81, G82, G83, G115, G120, G150, G146, G136, G135, G130, G128 serta dua klon

sebagai tetua yaitu IAN 873 dan PN 3760. Pengamatan dilakukan pada masing-masing

genotipe dengan peubah-peubah sebagai berikut: 1) lilit batang, 2) tinggi tanaman, 3) tinggi

batang bebas cabang, 4) jumlah cabang primer, 5) tebal kulit, 6) jumlah ring pembuluh lateks,

7) diameter sel pembuluh lateks, 8) volume kayu, 9) hasil lateks.

Derajat kemiripan genetik dari 35 genotipe hasil persilangan IAN 873 X PN 3760

berdasarkan karakter kuantitatif dianalisis menggunakan sidik gerombol (cluster analysis)

yang dihitung dengan cara berhierarki memakai metode pautan rata-rata (average linkage).

Perhitungan sidik gerombol menggunakan program UPGMA. Hasil analisis tersebut

menghasilkan kelompok dengan keragaman yang relatif kecil dan homogen dengan cara

mendefenisikan jarak antara dua kelompok berdasarkan rata-rata semua pasangan karakter

dalam satu kelompok dengan kelompok lainnya (Charles 1990). Untuk mengetahui keeratan

Page 392: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

381

hubungan antar karakter maka dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi (Singh dan

Chaudary 1979).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Tanaman dan Hasil Lateks

Gambar 1 menunjukkan sebaran populasi tanaman berdasarkan karakter ukuran lilit

batang tanaman (cm). Rata-rata ukuran lilit batang tanaman pada populasi tanaman F1 hasil

persilangan klon IAN 873 X PN 3760 sebesar 42,31 cm dengan simpangan baku sebesar

11.64 cm. Genotipe-genotipe memiliki ukuran lilit batang berkisar antara 21,50 – 64,50 cm.

Gambar 1. Histogram ukuran lilit batang tanaman (cm) hasil persilangan

tetua berkerabat jauh

Gambar 2 menunjukkan sebaran populasi tanaman berdasarkan karakter ukuran hasil

lateks (g/p/s). Rata-rata hasil lateks pada populasi tanaman F1 hasil persilangan klon IAN 873

X PN 3760 sebesar 13,21 g dengan simpangan baku sebesar 2.337 g. Genotipe-genotipe

memiliki ukuran lilit batang berkisar antara 10,45 – 20,71 g.

Gambar 1. Histogram hasil lateks (g/p/s) hasil persilangan tetua berkerabat jauh

Terdapatnya keragaman genetik yang tinggi pada hasil persilangan tetua IAN 873 X

PN 3760 diduga lebih diakibatkan oleh faktor genetik. Hal ini dapat dipahami mengingat

tetua betina dan tetua jantan memiliki kekerabatan genetik yang jauh (Oktavia et al. 2010).

Klon IAN 873 merupakan tetua betina hasil pemuliaan tanaman asal populasi Wickham pada

6050403020

6

5

4

3

2

1

0

Lilit batang (cm)

Fre

kuensi

Mean

42.31

StDev

11.64

N

35

21.019.518.016.515.013.512.010.5

14

12

10

8

6

4

2

0

Hasil Lateks (g/p/s)

Frek

uen

si

Mean 13.21

StDev 2.337

N 35

Page 393: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

382

tahun 1876, sedangkan klon PN 3760 merupakan hasil ekspedisi IRRDB pada tahun 1981.

Selain itu diduga juga diakibatkan oleh sifat heterozigot heterogen pada tanaman karet,

sehingga gen-gen yang terlibat pada penampilan suatu karakter tanaman akan bersegregasi

pada populasi turunan pertama (Novalina, 2009: Sayurandi dan Aidi-Daslin, 2011).

Gambar 2 memperlihatkan bahwa nilai tengah ukuran lilit batang dan hasil lateks

menunjukkan hasil jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai tengah kedua tetua.

Berdasarkan kedua karakter tersebut memperlihatkan belum diperoleh segregan-segregan

yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Jika dilihat dari potensi hasil lateks ternyata

genotipe hasil persilangan populasi Wickham 1876 dan plasma nutfah IRRDB 1981

menunjukkan potensi hasil karet kering masih jauh dibawah potensi hasil karet kering pada

klon-klon yang sudah dibudidayakan saat ini.

Rendahnya hasil lateks pada genotipe hasil persilangan selain dipengaruhi faktor

genetik diduga juga dipengaruhi oleh kondisi jarak tanam yang lebih sempit yang digunakan

pada pengujian populasi semaian F1 yaitu dengan menggunakan jarak tanam berukuran 2 x 2

m yang disebabkan oleh keterbatasan areal penanaman, sedangkan jarak tanam anjuran pada

pertanaman budidaya yaitu berukuran 6 x 3 m.

Genotipe hasil persilangan yang ditanam pada jarak tanam yang sempit akan

menyebabkan terjadinya kompetisi tinggi antar tanaman, baik terhadap penyerapan hara dan

air tanah maupun kompetisi ruang untuk pertumbuhan tanaman. Dijkman (1951) menyatakan

bahwa tanaman karet yang ditanam pada jarak tanam yang lebih jarang akan memiliki hasil

lateks lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang ditanam dengan jarak tanam yang

sempit. Jarak tanam yang sempit menyebabkan kompetisi antar pohon sehingga mekanisme

fisiologi pembentukan lateks dan aliran lateks saling mempengaruhi satu sama lain (Schmole,

1940). Populasi tanaman yang tinggi akan mengakibatkan kompetisi terhadap hara dan ruang

tumbuh, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman (Siagian et al. 2005).

Dengan demikian, genotipe F1 hasil seleksi pada pengujian di populasi semaian perlu

dilakukan pengujian lanjutan dengan menggunakan jarak tanam yang dianjurkan dengan

harapan akan dihasilkan kandidat klon dengan potensi hasil lateks dan pertumbuhan yang

lebih baik.

Korelasi antar Karakter Kuantitatif

Karakter kuantitatif pada tanaman karet merupakan komponen yang menentukan

besarnya hasil lateks, sehingga perlu dikaji hubungan antara beberapa karakter terutama pada

karakter agronomi dengan hasil lateksnya. Nilai hubungan antar karakter tanaman merupakan

dasar seleksi pada program pemuliaan tanaman karet. Sebab tidak jarang dalam melakukan

seleksi terhadap karakter tertentu akan merubah karakter lainnya. Hal ini memberikan

gambaran bahwa karakter-karakter tersebut memiliki hubungan antara satu dengan lainnya,

baik bersifat positif maupun negatif. Hasil analisis korelasi antara karakter agronomi

terhadap hasil lateks (g/p/s) disajikan pada Tabel 1.

Page 394: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

383

Tabel 1. Matriks koefisien korelasi antara sembilan karakter agronomi pada 35 genotipe hasil

persilangan klon IAN 873 X PN 3760

Karakter LB TT JCP TCU TK JPL DPL VK HL

LB 1 0.792**

-0.162 0.087 -0.031 0.291 0.134 0.765**

0.618**

TT 1 -0.135 0.315 -0.103 0.323 0.100 0.747**

0.492**

JCP 1 0.362* 0.163 -0.031 0.199 0.051 -0.062

TCU 1 0.109 0.122 0.086 0.629**

0.145

TK 1 -0.255 -0.033 0.033 0.082

JPL 1 0.230 0.296 0.311*

DPL 1 0.193 0.489*

VK 1 0.581**

HL 1

Keterangan: lilit batang (LB), tinggi tanaman (TT), jumlah cabang pertama (JCP), tinggi

cabang utama (TCU), tebal kulit (TK), jumlah pembuluh lateks (JPL),

diameter pembuluh lateks (DPL), volume kayu (VK), hasil lateks (HL);*, ** :

menunjukkan berpengaruh nyata pada uji t.05 dan t.01

Tabel 1 menunjukkan bahwa karakter lilit batang, tinggi tanaman, jumlah pembuluh

lateks, diameter pembuluh lateks, dan volume kayu berkorelasi nyata dan bersifat positif

terhadap hasil lateks, sedangkan jumlah cabang utama, tinggi cabang utama dan tebal kulit

tidak berbeda nyata terhadap hasil lateks. Hubungan yang bersifat nyata dan positif pada

beberapa karakter agronomi menunjukkan bahwa karakter-karakter tersebut sangat

mempengaruhi hasil lateks. Nilai korelasi lilit batang, tinggi tanaman, dan volume kayu yaitu

masing-masing sebesar 0.618, 0.492, 0.581. Nilai korelasi tersebut memperlihatkan bahwa

semakin tinggi dan besarnya karakter tersebut maka akan menyebabkan hasil lateks semakin

tinggi.

Karakter jumlah cabang pertama menunjukkan nilai korelasi bersifat negatif (-0.062).

Hal ini menandakan bahwa semakin banyak jumlah cabang maka hasil lateks semakin

rendah. Karakter jumlah pembuluh dan diameter pembuluh lateks memiliki nilai sebesar

0.311 dan 0.489 terhadap hasil lateks. Menurut Henon dan Nicholas (1989), karakter jumlah

pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks memiliki korelasi bersifat positif terhadap

hasil lateks yang disadap.

Analisis Kemiripan Genetik Berdasarkan Karakter Kuantitatif

Keragaman genotipe hasil persilangan yang dianalisis dinyatakan ekspresi fenotipe

dalam bentuk karakter agronomi/ kuantitatif. Analisis kemiripan genetik dilakukan dengan

menggunakan analisis gerombol. Analisis ini bertujuan untuk mengelompokkan genotipe ke

dalam beberapa kelas sehingga anggota dalam satu kelas lebih homogen (mirip)

dibandingkan dengan anggota di dalam kelas lain. Kriteria pengelompokkan dapat

didasarkan pada kemiripan. Kemiripan ini dapat diukur menggunakan sebuah indeks dengan

makna tertentu seperti euclidean (akar ciri) atau jarak lain, sejenis indeks peluang atau yang

lainnya. Semakin kecil jarak akar ciri antar dua genotipe maka semakin mirip genotipe

tersebut satu sama lainnya (Yunianti et al. 2007).

Analisis gerombol ini dilakukan berdasarkan karakter kuantitatif pada 35 genotipe

hasil persilangan klon IAN 873 X PN 3760. Pengelompokkan didasarkan pada pengamatan

pertumbuhan lilit batang, tinggi tanaman, jumlah cabang pertama, tinggi cabang utama, tebal

kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, volume kayu, dan hasil lateks.

Gambar 1 memperlihatkan dendogram hasil analisis 35 genotipe hasil persilangan klon IAN

873 X PN 3760 berdasarkan karakter kuantitatif.

Page 395: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

384

Hasil analisis gerombol 35 genotipe dan 2 tetua persilangan menunjukkan bahwa terdapat lima kelompok berkerabat dekat dengan nilai koefisien kemiripan genetik antar genotipe tanaman karet antara 0,01 – 0,56 (Gambar 1). Kelompok pertama berjumlah 26 genotipe yaitu G32, G74, G80, G33, G79, G67, G47, G128, G39, G68, G146, G136, G53, G48, G134, G41, G130, G76, G55, G36, G54, G56, G69, G81, G52, dan G82; kelompok kedua yaitu G37, G115, G50, G83, dan PN3760; kelompok keempat yaitu G120; serta kelompok kelima hanya terdapat klon IAN 873 yang merupakan tetua betina. Jika dilihat dari hasil tersebut maka memperlihatkan seluruh genotipe lebih memiliki kemiripan genetik dengan klon PN 3760 (tetua jantan) dibandingkan dengan tetua betina (IAN 873). Namun tetua jantan memiliki kemiripan genetik lebih dekat dengan G75, G57, G150, dan G73 yang seluruhnya masuk ke dalam kelompok ketiga. Pada kelompok pertama terdapat dua genotipe yang memiliki kemiripan sangat dekat yaitu G146 dan G136. Kedua genotipe tersebut tidak dapat digunakan sebagai tetua persilangan walaupun memiliki sifat yang unggul.

Coefficient

0.01 0.14 0.28 0.42 0.56

G32 G74 G80 G33 G79 G67 G47 G128 G39 G68 G146 G136 G53 G48 G135 G41 G130 G76 G55 G36 G54 G56 G69 G81 G52 G82 G37 G115 G50 G83 G75 G57 G150 G73 PN3760 G120 IAN873

Gambar 1. Dendogram hasil analisis 35 genotipe hasil persilangan klon IAN 873 X PN 3760

berdasarkan karakter kuantitatif. Pengelompokkan berdasarkan sifat kuantitatif merupakan pengelompokkan berdasarkan tampilan sifat yang dihasilkan akibat adanya interaksi faktor genotipe dengan faktor lingkungan. Dengan adanya interaksi kedua faktor tersebut maka diharapakan keragaman genetik semakin tinggi. Tingginya keragaman genetik pada populasi persilangan akan memudahkan para pemulia tanaman untuk menyeleksi suatu karakter yang diinginkan dalam upaya memperoleh genotipe karet unggul. Faktor genetik tetua khususnya kisaran variabilitas genetik sangat menentukan keberhasilan dalam program persilangan. Semakin jauh jarak genetik antar tetua persilangan, maka semakin besar terbentuknya klon yang potensial. Pada Gambar 1 menunjukkan adanya ketidakmiripan antara tetua dengan progeninya. Hal ini menunjukkan bahwa kisaran variabilitas genetik di antara kelompok tersebut cukup luas sehingga diharapkan jika dilakukan persilanga tidak terjadi depresi inbreeding, malah sebaliknya diharapkan akan terjadinya heterosis.

Page 396: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

385

KESIMPULAN

Karakter lilit batang, tinggi tanaman, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh

lateks, dan volume kayu memiliki korelasi nyata dan bersifat positif terhadap hasil lateks,

sedangkan jumlah cabang utama, tinggi cabang utama dan tebal kulit tidak berbeda nyata

terhadap hasil lateks. Berdasarkan analisis kemiripan genetik memperlihatkan tiga puluh lima

genotipe dan dua tetua persilangan dikelompokkan menjadi lima kelompok. Terdapat empat

genotipe yang memiliki kemiripan dekat dengan tetua jantan PN 3760 yaitu G75, G57, G150,

dan G73. Namun, seluruh genotipe hasil persilangan cenderung memiliki kemiripan genetik

lebih dekat dengan tetua jantan klon PN 3760.

DAFTAR PUSTAKA

Aidi-Daslin, I. Suhendry and R. Azwar. 2000. Growth characteristic and yield performance

of recommended clones in commercial planting. Proc. Indonesian Rubb. Conf. and

IRRDB Symp.2000, hal : 150-158.

Aidi-Daslin, S.Woelan, M.Lasminingsih dan H. Hadi. 2009. Kemajuan pemuliaan dan seleksi

tanaman karet di Indonesia. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 2005, hal :

50-59.

Charles HRB. 1990. Cluster Analysis for Researcher. Robot E. Triger Pub. Comp. Malabar.

Florida. 120p

Dijkman MJ. 1951. Hevea. Thirty Years of Research In the Far East. University Of Miamy.

Press Coral Gables. Florida. 320 p.

Henon F and Nicholas L. (1989). Early evaluation in hevea: growth and yield at the juvenile

phase. Indian Journal of Natural Rubber Research.6(2): 19-23.

Lasminingsih M, Situmorang A. 1990. Evaluasi pengujian lanjutan klon karet di Puslitbun

Sembawa. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 1990. p 240-252

Liyanage DV. 1974. Memproduksi bibit unggul kelapa dengan cara hibridisasi. Pemberitaan

Lembaga Penelitian Tanaman Industri Bogor.

Novalina. 2009. Deteksi Marka Genetik yang Terpaut dengan Komponen Produksi Lateks

pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) melalui Pemetaan QTL.

Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sayurandi dan Aidi-Daslin. 2011. Heterosis dan Heritabilitas pada Progeni F1 Hasil

Persilangan Kekerabatan Jauh Tanaman Karet. Jurnal Penelitian Karet 29(1): 1-15

Schmole, J. F. 1940. Kort Verslag Tot Ultimo 1939 Van de Toetstuinen Van Cloonen an

Zaailing Families in Polonia. Arch Rubbercult. In Ned Indie 24: 455-470

Siagian, N, I. Suhendry dan H. Munthe. 2005. Keragaan pertumbuhan beberapa klon anjuran

pada system tanam populasi tinggi dan berbagai dosis pupuk. Pros. Lok. Nas.

Pemuliaan Tanaman Karet 2005. Medan 22-23 Nopember 2005

Suhendry, I., Aidi-Daslin dan Zahari Husny. 1999. Optimasi produktivitas tanaman karet.

Jurnal Penelitian Karet 18(103): 52.63.

Wendel JF. 1990. Genetics of Plant Isozymes. In Soltis ED and Soltis PS. (Eds). Isozymes in

Plant Biology. Chapman & Hall Ltd.

Yunianti R, Satrosumarjo S, Sujiprihati S, Surahman M, Hidayat SH. 2007. Ketahanan 22

genotipe cabai (Capsicum spp) terhadap Phytoptora capsici Leonian dan keragaman

genetiknya. Bul. Agron. 35 (2): 103-111.

Page 397: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

386

ANATOMI DAUN DAN PENYAKIT COLLETOTRICHUM PADA

TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) IRR SERI 400

LEAFANATOMY & COLLETOTRICHUM DISEASE OF RUBBER

(Hevea brasiliensis Muell.Arg) IRR 400 SERIES

Syarifah Aini Pasaribu dan Cici Indriani Dalimunthe

Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet

PO BOX 1415 Medan 20001

Telp.(061) 7980045, Fax. (061)7980046

Email: [email protected]

Abstract

Colletotrichum leaf fall disease is one of the important diseases in rubber caused by the

fungus Colletotrichumgloeosporioides. Disruption of this disease can reduce productivity,

delay time of grafting in the nursery, and in severe attacks resulting in defective seeds, dwarf

even die. This research was conducted in SungeiPutih Research Center, Indonesia Rubber

Research Institute,sub district Galang, distric Deli Serdang, North Sumatra, at elevation of ±

54 m above sea level, in the laboratory and scion garden toward 22 clonesof IRR 400 series

PB 260 as control. Parameterobserved is intensity of the attacks in scion garden, cuticle thick

(µm), and number of stomata.Results showed that cuticles thick and stomata number can‟t be

used as a variable to distinguish the level of resistance IRR 400 series. Selective eight clones

of IRR 400 series are selected as resistant inscion garden (21 dai). Viz: IRR 428, IRR 429,

IRR 440 , IRR 446, IRR 449, IRR 450, IRR 451 and IRR 452. It should be carried out

enrichment character of the observed variables associated with stomata, such as broad

stomata and stomatal characteristics and structure of the epidermallayer of leaves that are

moderate by resistant.

Keywords: IRR 400 series, Colletotrichum, leaf anatomy

PENDAHULUAN

Penyakit gugur daun Colletotrichum merupakan salah satu penyakit penting pada

tanaman karet. Serangan penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan dipembibitan, tanaman

belum menghasilkan, dan tanaman menghasilkan. Penyakit ini disebabkan oleh jamur

Colletotrichum gloesporioides yang merupakan jamur fakultatif ordo Melanconiales

(Febbiyanti dan Kusdiana, 2012).

Patogen Colletotrichum masuk melalui daun yaitu dengan menembus kutikula,

menghancurkan dinding sel dan di dalam jaringan berada di inter maupun intraseluler.

Selama proses infeksi, patogen mengeluarkan enzim poligalakturonase, selulase dan pektin

metilesterase dan toksin. Organel sel yang dirusak awalnya adalah kloroplas, mitokondria dan

akhirnya seluruh sel (Pawirosoemardjo dan Suwarto, 1996).

Spora colletotrichum menyerang daun muda yang berwarna coklat dan baru

membuka, dan serangan berat akan mengakibatkan daun muda coklat tersebut akan berubah

warna menjadi kehitaman dan akhirnya gugur sebelum berkembang menjadi hijau. Namun

untuk daun yang dapat melewati fase warna coklat muda tersebut maka daun akan mampu

bertahan sampai fase hijau muda dengan adanya bintik hitam bekas serangan yang akhirnya

akan terus berkembang sempurna menjadi daun yang berwarna hijau tua dan bintik-bintik

Page 398: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

387

hitam yang sebelumnya ada juga hilang. Berdasarkan fenomena tersebut maka akan dilihatlah

hubungan antara anatomi daun diantaranya tebal kutikula dan jumlah stomata terhadap

ketahanan daun klon IRR seri 400 terhadap infeksi colletotrichum yang dilakukan di kebun

entres.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di kebun entres dan Laboratorium Proteksi Balai Penelitian

Sungei Putih. Bahan yang digunakan adalah klon IRR seri 400 (22 klon)dan klon

pembanding PB 260 dengan cabang umur 2 bulan, sudan III 5%, KOH 3%, alkohol 96 %

dan gliserin. Alat yang digunakan antara lain haemocitometer, mikroskup okuler, hand

spayer, plastik sungkup, object glass, deck glass, gunting, pinset dan lain-lain.

Rancangan yang digunakan adalah rancangan petak tersarang (nested design) dengan

23 kombinasi perlakuan dan tiga ulangan. Spora patogen diproduksi pada media PDA (potato

dextrose agar), kemudian dihitung kerapatan jamur sebesar 4 x 10-4

dengan menggunakan

haemocitometer dibawah mikroskop. Larutan konidia yang telah dibuat tersebut dimasukkan

kedalam botol semprot (hand sprayer). Kemudian disemprotkan ke permukaan bawah daun

karet muda yang masih berwarna kecoklat-coklatan dengan jarak 25 cm ke tengah-tengah

daun sebanyak dua kali semprot. Satu klon terdiri dari tiga pohon, dimana satu pohon

dijadikan sebagai ulangan. Dari satu pohon diambil tiga cabang (diambil tiga tangkai daun

tengah) yang masih berwarna merah kecoklatan. Setelah disemprot, bungkus dengan plastik

transparan. Inkubasikan selama 2 hari. Beri label tiap plastik sesuai dengan perlakuan.

Setelah dua hari plastik pembungkus dibuka dengan tetap melabeli setiap tangkai perlakuan.

Kemudian dilakukan pengamatan pada 7, 14 dan 21 hari setelah inokulasi (hsi).

Parameter pengamatan adalah:

a. IntensitasSeranganPenyakit

Skala bercak daun

Pengukuran skala bercak daun karet terserang Colletotrichum di lapangan dilakukan

menurut metode Pawirosoemardjo (1984) yang telah dimodifikasi, maka skala bercak daun

ditetapkan 0 - 6 yaitu:

Skala 0 = tidak terdapat bercak pada daun

Skala 1 = terdapat 1 sampai 8 bercak pada daun

Skala 2 = terdapat 9 sampai 12 bercak pada daun

Skala 3 = terdapat 13 sampai 16 bercak pada daun

Skala 4 = terdapat 17 sampai 20 bercak pada daun

Skala 5 = terdapat 21 sampai 24 bercak pada daun

Skala 6 = terdapat lebih dari 24 bercak pada seluruh permukaan daun

Skala Cacat Daun

Skala 0 = tidak terdapat daun yang cacat

Skala 1 = terdapat 1/16 bagian daun yang cacat

Skala 2 = terdapat 1/8 bagian daun yang cacat

Skala 3 = terdapat 1/4 bagian daun yang cacat

Skala 4 = terdapat 1/2 bagian daun yang cacat

Skala 5 = terdapat lebih dari 1/2 bagian daun yang cacat

Skala 6 = terdapat seluruh daun yang cacat atau daunnya gugur

Hasil pengukuran skala bercak dan cacat daun di lapangan digunakan untuk

menghitung nilai intensitas serangan klon tanaman karet. Pengamatan keparahan penyakit

dilakukan 7, 14 dan 21 hsi. Daun yang diamati adalah 9 helai anak daun dari 3 tangkai daun.

Page 399: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

388

Menurut Pawirosoemardjo (1979) nilai intensitas serangan penyakit dinyatakan dengan

rumus: IS = %100 x

)(x

NZ

nxv

Dimana : IS = Intensitas serangan

n = Jumlah daun tiap kategori serangan

v = Nilai skala dari setiap kategori serangan

Z = Nilai skala dari kategori yang tertinggi

N = Jumlah daun yang diamati (Pawirosoemardjo, 1979)

Klasifikasi penilaian intensitas serangan penyakit Colletotrichum adalah:

Resisten : 0 - 20%

Agak Resisten : 21 - 40%

Moderat : 41 - 60%

Agak Rentan : 61 - 80%

Rentan : 81 - 100%

Gambar 1. Metode penentuan skala bercak dan cacat daun

b. Tebal Kutikula (µm)

Tebal kutikula (µm) diamati dengan mengambil daun tengah pada payung kedua. Daun

diiris secara melintang dengan menggunakan pisau silet. Irisan tersebut dimasukkan ke dalam

tabung reaksi yang berisi KOH 3% dan direndam selama 2 - 3 menit, kemudian dicuci

dengan alkohol 96% dan diwarnai dengan merendam irisan daun dalam sudan III 5% selam 2

- 3 menit. Kemudian letakkan permukaan daun bagian atas di atas object glass yang

sebelumnya telah ditetesi dengan gliserin dan ditutup dengan deck glass. Irisan penampang

melintang daun tersebut dilakukan pada 3 sampel daun tengah sebagai ulangan. Selanjutnya

amati tebal kutikula (µm) masing-masing sampel diamati di bawah mikroskop binokuler

dengan perbesaran 10 x 10. Bila dalam pengujian sidik ragam diperoleh perlakuan berbeda

nyata, maka dilakukan uji jarak Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Montgomery, 2001).

c. Jumlah Stomata

Jumlah stomata daun diamati dengan mengambil daun tengah pada payung kedua.

Daun tersebut digunting dengan ukuran 1 x 1 cm dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi

yang berisi KOH 3%, kemudian dipanasi di atas lampu spiritus selama 2 - 3 menit. Setelah

dipanasi ambil epidermis bagian bawah dan direndam dalam alkohol 96%, lalu diwarnai

dengan sudan III 5% selama 2 - 3 menit. Setelah diwarnai dicuci dengan aquades dan

diletakkan di atas object glass yang sebelumnya telah ditetesi dengan gliserin dan ditutup

dengan deck glass. Kemudian hitung jumlah stomata di bawah mikroskup binokuler dengan

menggunakan lensa ukuran 1 x 1 mm pada perbesaran 40 x 10. Total stomata yang diamati di

Page 400: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

389

bawah mikroskup dikalikan dengan luas sampel daun yang telah diukur. Luas daun diukur

dengan menggunakan planimeter. Pengamatan dilakukan pada tiga sudut pandang yang

berbeda yang digunakan sebagai ulangan. Bila dalam pengujian sidik ragam diperoleh

perlakuan berbeda nyata, maka dilakukan uji jarak Duncan Multiple Range Test (DMRT)

(Montgomery, 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Resistensi Klon IRR Seri 400 terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum (%)

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, resistensi klon IRR seri 400 dan klon

pembanding PB 260 berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan Colletotrichum pada

pengamatan hari ke 7 dan 14, dan 21 hsi yang di amati di kebun entres. Hasil pengamatan

tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Resistensi klon IRR seri 400 terhadap penyakit gugur daun Colletotrichum (%) di

kebun entres

Klon (K)

Intensitas serangan (%)

Resistensi klon 21

hsi 7 hsi 14 hsi 21 hsi

IRR 425 16,7 hi

18,5 efg

21,6 fgh

Agak resisten

IRR 428 12,4 k 15,4

h 16,7

ij Resisten

IRR 429 14,8 ij 15,4

h 16,1

ij Resisten

IRR 431 37,7 c 37,7

c 43,8

bc Moderat

IRR 434 19,1 fg

20,9 e 20,9

ghi Agak resisten

IRR 437 13,6 jk

19,1 ef

19,1 hi

Agak resisten

IRR 440 15,4 hij

16,7 fgh

16,7 ij Resisten

IRR 443 38,9 a 50,6

a 50,6

a Moderat

IRR 444 17,3 gh

28,4 d 28,4

e Agak resisten

IRR 445 19,8 f 25,9

d 25,9

ef Agak resisten

IRR 446 14,2 jk

16,7 fgh

16,7 ij Resisten

IRR 447 28,4 c 42,6

b 45,7

b Moderat

IRR 448 20,4 ef

27,2 d 27,2

e Agak resisten

IRR 449 16,7 hi

17,9 fgh

17,9 hij

Resisten

IRR 450 14,8 ij 15,4

h 16,7

ij Resisten

IRR 451 8,0 l 14,8

h 15,4

j Resisten

IRR 452 16,7 hi

17,9 fgh

17,9 hij

Resisten

IRR 453 12,9 jk

20,9 e 21,6

fgh Agak resisten

IRR 454 20,9 ef

25,3 d 25,3

ef Agak resisten

IRR 455 20,9 ef

35,8 c 38,9

c Agak resisten

IRR 456 21,6 d 26,5

d 40,1

c Moderat

IRR 457 20,9 ef

35,8 c 32,1

d Agak resisten

PB 260 9,9 l 16,1

gh 16,1

ij Resisten

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).

Tabel 1 memperlihatkan bahwa perlakuan klon terhadap intensitas serangan memiliki

variasi ketahanan antara 8,02%-50,62%.Di mana semua klon yang diuji tergolong ke dalam

kelompok resisten sampai moderat.Namun demikian, bila dibandingkan dengan klon PB 260

(9,88%) terlihat bahwa pada pengamatan 7 hsi hanya klon IRR 451 yang memiliki sifat

ketahanan yang lebih tinggi walaupun secara statistik dianalisis sama yaitu sebesar 8,02%.

Pengamatan 14 hsi ada dua klon yang memiliki tingkat resistensi lebih tinggi dibandingkan

Page 401: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

390

dengan klon PB 260 (16,05%) yaitu klon IRR 450 (15,43%%) dan IRR 451 (14,81%).

Pengamatan 21 hsi juga ada satu klon yang tingkat resistensinya lebih tinggi dengan klon PB

260 (16,05%), yaitu klon IRR 451 yaitu sebesar 15,43%.

Tingginya tingkat resistensi di kebun entres di duga karena daun tanaman di kebun

entres memiliki morfologi tanaman yang kuat dengan terbentuknya penguatan dinding sel

melalui proses lignifikasi (Dixon et al., 1994). Atau dapat juga dikatakan memiliki hambatan

struktural seperti jumlah dan kualitas lilin serta kutikula yang menutupi sel epidermis

(Agrios, 2005). Waktu yang berbahaya terhadap infeksi Colletotrichum adalah saat daun

muda dan saat muncul bunga yang sebelumnya didahului oleh musim penghujan, sehingga

menyebabkan infeksi dan penyebaran epidemi penyakit. Pada tanaman jambu mete, diketahui

bahwa daun muda lebih rentan dari pada daun tua (Lopez & Lucas, 2010). Demikian juga

pada tanaman karet, di mana saat pembentukan daun muda baru (flush) setelah tanaman

menggugurkan daun secara alami yang diikuti dengan jumlah hari hujan yang tinggi dan

merata akan menyebabkan daun lebih rentan. Febbiyanti dan Kusdiana (2012) menyatakan

bahwa semakin muda stadia daun maka intensitas serangan semakin tinggi dan daun semakin

rentan. Oleh karena itu, klon IRR seri 400 yang bersifat tahan diduga mampu melewati masa

kritis tersebut. Awalnya jaringan daun muda yang berwarna kemerahan tersebut lebih tipis

permukaannya tapi seiring dengan bertambahnya umur daun maka jaringan daun akan

semakin tebal yang dapat diidentifikasi melalui kaku atau tidaknya daun. Untuk daun-daun

yang mampu melewati masa krisis (0-14 hari setelah inokulasi) maka daun tanaman tersebut

akan mampu bertahan sehingga tumbuh dan berkembang menjadi daun yang utuh.

Tebal Kutikula (µm)

Hasil analisis sidik ragam klon IRR seri 400 dan klon pembanding PB 260

berpengaruh nyata terhadap tebal kutikula yang diamati Hasil pengamatan tersebut dapat

dilihat pada Tabel 2.Tabel 2 memperlihatkan bahwa tebal kutikula dari klon IRR seri 400 dan

klon pembanding PB 260 adalah 50,03 - 72,53 µm. Hasil pengamatan mikroskupis terhadap

tebal kutikula dilihat pada Lampiran 1. Terseleksi enam klon yang memiliki tebal kutikula

yang lebih tebal dari klon pembanding PB 260, yaitu IRR 425 (60,86 µm), IRR 431 (65,43

µm), IRR 443 (61,27 µm), IRR 449 (57,93 µm), IRR 450 (62,93 µm) dan IRR 453 (72,53

µm). Untuk melihat hubungan antara tebal kutikula dengan nilai intensitas serangan dapat

diketahui dengan nilai korelasi. Nilai korelasi tersebut adalah 0,2; 0,02 dan 0,05 masing-

masing untuk, 7, hsi, 14 hsi dan 21 hsi.

Page 402: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

391

Tabel 2. Rata-rata tebal kutikula permukaan daun bagian atas (µm) klon IRR seri 400 dan

klon pembanding PB 260

Klon Tebal kultikula (µm) Tingkat resistensi 21 hsi

IRR 425 (K1) 60,86 ab

Agak resisten

IRR 428 (K2) 52,10 b Resisten

IRR 429 (K3) 54,20 b Resisten

IRR 431 (K4) 65,43 ab

Moderat

IRR 434 (K5) 50,87 b Agak resisten

IRR 437 (K6) 52,10 b Agak resisten

IRR 440 (K7) 52,93 b Resisten

IRR 443 (K8) 61,27 ab

Moderat

IRR 444 (K9) 54,20 b Agak resisten

IRR 445 (K10) 56,70 b Agak resisten

IRR 446 (K11) 56,70 b Resisten

IRR 447 (K12) 52,03 b Moderat

IRR 448 (K13) 48,77 b Agak resisten

IRR 449 (K14) 57,93 ab

Resisten

IRR 450 (K15) 62,93 ab

Resisten

IRR 451 (K16) 52,10 b Resisten

IRR 452 (K17) 55,03 b Resisten

IRR 453 (K18) 72,53 a Agak resisten

IRR 454 (K19) 53,77 b Agak resisten

IRR 455 (K20) 53,77 b Agak resisten

IRR 456 (K21) 50,03 b Moderat

IRR 457 (K22) 50,03 b Agak resisten

PB 260 (K23) 54,16 b Resisten

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).

Kutikula yang tebal terdiri dari sel-sel yang berdinding gabus tebal segera setelah

patogen memasuki jaringan tanaman atau adanya produksi bahan-bahan toksik di dalam

jaringan yang cukup banyak sebelum atau sesudah patogen memasuki jaringan tanaman

sehingga patogen mati sebelum dapat berkembang lebih lanjut dan gagal menyebabkan

penyakit (Wiratama et al., 2013). Idealnya tanaman yang memiliki kutikula yang tebal akan

memiliki sifat ketahanan dari pada tanaman yang memiliki kutikula tipis.Pada Penelitian ini

tanaman yang diuji memiliki tebal kutikula yang berbeda setelah diukur dengan tingkat

resistensi yang berbeda pula. Namun tanaman yang memiliki kutikula yang tebal tidak

mencerminkan tingkat ketahanan yang tinggi. Misalnya klon IRR 453 memiliki tebal kutikula

paling tinggi (72,53 µm) dengan nilai intensitas serangan agak resisten dan hal yang sama

juga terlihat pada klon IRR 448 dengan tebal kutikula 48,77 µm dengan nilai intensitas

serangan juga agak resisten. Artinya tebal kutikula tidak dapat menentukan tingkat ketahanan

klon. Pawirosoemardjo (1979) menyatakan bahwa tebal kutikula tidak menentukan ketahanan

klon karet terhadap serangan penyakit gugur daun C. gloeosporioides. Hasil pengamatan

dengan menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM) menunjukkan bahwa proses

infeksi tabung kecambah C. gloeosporioides masuk melalui kutikula. Setelah itu

menghancurkan dinding sel dan di dalam jaringan berada interseluler dan intraseluler.

Organel sel yang rusak diawali dari kloroplas, mitokondria dan akhirnya seluruh sel rusak

(Pawirosoemardjo dan Suwarto, 1996). Hal lain yang mendukung adalah dengan melihat nilai

korelasi di antara tebal kutikula dengan tingkat keparahan penyakit. Nilai korelasi yang

Page 403: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

392

diperoleh tergolong rendah artinya kecil hubungan antara tebal kutikula dan tingkat

keparahan sehingga pada tanaman karet tebal kutikula bukan merupakan karakter yang

menjadi tolak ukur tahan atau tidaknya suatu klon terhadap penyakit gugur daun C.

gloeosporioides.

Jumlah Stomata

Hasil pengamatan jumlah stomata terhadap klon IRR seri 400 dan klon PB 260

sebagai pembanding dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis terhadap jumlah stomata

tersebut menunjukkan perbedaan nyata antara klon IRR seri 400 maupun klon PB 260. Tabel

3 memperlihatkan bahwa jumlah stomata klon IRR seri 400 dan klon pembanding PB 260

adalah 13.296 – 40.038. Diperoleh sebanyak tiga klon yang memiliki jumlah stomata yang

lebih sedikit dari klon pembanding PB 260 (24.995 stomata), yaitu IRR 457 (20.838

stomata), IRR 429 (17.385 stomata) dan IRR 454 (13.296 stomata). Hasil pengamatan

mikroskupis jumlah stomata dapat dilihat pada Lampiran 2. Selanjutnya untuk melihat

hubungan antara peubah jumlah stomata dengan nilai intensitas serangan dilakukan dengan

mengetahui nilai korelasi, dan diperoleh nilai korelasinya yaitu -0,1; -0,07 dan -0,10 masing-

masing untuk 7 hsi, 14 hsi dan 21 hsi.

Tabel 3. Rata-rata jumlah stomata persatuan luas daun bagian bawah klon IRR seri 400 dan

klon pembanding PB 260

Klon Jumlah stomata Tingkat Resistensi 21 hsi

IRR 425 (K1) 30.394 abcde

Agak resisten

IRR 428 (K2) 25.912 bdce

Resisten

IRR 429 (K3) 17.385 de

Resisten

IRR 431 (K4) 26.199 bcde

Moderat

IRR 434 (K5) 24.270 bcde

Agak resisten

IRR 437 (K6) 30.096 abcde

Agak resisten

IRR 440 (K7) 27.240 bcde

Resisten

IRR 443 (K8) 29.150 bcde

Moderat

IRR 444 (K9) 42.643 a Agak resisten

IRR 445 (K10) 33.231 abcd

Agak resisten

IRR 446 (K11) 40.038 ab

Resisten

IRR 447 (K12) 26.468 bcde

Moderat

IRR 448 (K13) 34.985 abcd

Agak resisten

IRR 449 (K14) 29.900 abcde

Resisten

IRR 450 (K15) 35.990 abcd

Resisten

IRR 451 (K16) 27.357 bcde

Resisten

IRR 452 (K17) 37.402 abc

Resisten

IRR 453 (K18) 28.573 bcde

Agak resisten

IRR 454 (K19) 13.296 e Agak resisten

IRR 455 (K20) 29.735 abcde

Agak resisten

IRR 456 (K21) 24.509 bcde

Moderat

IRR 457 (K22) 20.838 cde

Agak resisten

PB 260 (K23) 24.995 bcde

Resisten

Keterangan:Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada taraf 5 % menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range

Test).

Pengamatan mikroskupis yang dilakukan untuk menghitung jumlah stomata

memperlihatkan adanya perbedaan ukuran stomata, luas bukaan stomata serta susunan sel

Page 404: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

393

epidermisnya. Hal ini yang diduga dapat dijadikan sebagai karakter pembeda antara klon yang satu dengan lain dari sisi anatomi daun. Namun, pada penelitian ini katakter stomata yang diamati hanya jumlah stomata. Tanaman yang memiliki stomata daun lebih sedikit idelanya akan lebih tahan dari pada tanaman yang memiliki jumlah stomata daun yang lebih banyak. Terlihat pada bebarapa klon IRR seri 400 yang memiliki tingkat ketahanan yang sama dengan jumlah stomata yang berbeda. Klon IRR 425 memiliki jumlah stomata 30.394 tergolong agak resisten sedangkan klon IRR 454 memiliki jumlah stomata 13.296 juga tergolong agak resisten. Artinya tidak ada konsistensi antara jumlah stomata dengan tingkat ketahanan. Bukti lainnya untuk melihat konsitensi dicarilah nilai korelasi. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai korelasi antara jumlah stomata dengan tingkat keparahan penyakit rendah sehingga tidak dapat dijadikan sebagai karakter yang menjadi tolak ukur tahan atau tidaknya suatu klon terhadap penyakit gugur daun C. gloeosporioides. Pawirosoemardjo, (1979) menyatakan bahwa panjang, lebar, dan keragaan stomata tidak menentukan ketahanan klon karet terhadap serangan C. gloeosporioides.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Tebal kutikula dan jumlah stomata tidak dapat dijadikan sebagai peubah untuk membedakan tingkat ketahanan klon IRR seri 400.Terseleksi delapan klon IRR seri 400 yang bersifat resisten di pengujian kebun entres setelah 21 hsi., yaitu IRR 428, IRR 429, IRR 440, IRR 446, IRR 449, IRR 450, IRR 451 dan IRR 452.

Saran

Pengamatan anatomi daun lainnya perlu dilakukan untuk melihat perbedaan ketahanan yang lebih berhubungan seperti luas bukaan stomata, tebal epidermis antara tanaman yang rentan dan resisten. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G. N. 2005. Plant pathology second edition. Academic Press. A Subsidiary of

harcourt Brace Jovanovich, Publisher. New York. p. 272.

Dixon, R. A., Harrison, M. J., Lamb, C. J. 1994. Early events in the activation of plant defense respons. Annu.Rev. Phytopathol, 32:479-501.

Febbiyanti, T. R. dan A. P. J. Kusdiana. 2012. Pengaruh infeksi jamur Colletotrichum gloeosporioides terhadap kerusakan daun tanaman karet. Prosiding Konferensi Nasional Karet. Pusat Penelitian Karet. Yogyakarta, 19-20 September. hlm 251-258.

Lopez, A. M. Q. and J. A. Lucas. 2010. Reaction of dwarf cashew to Colletotrichumgloesporioides isolates in controlled environment. Sci.Agric.(Piracicaba,Braz.), 67 (2): 228-235.

Montgomery, Douglas. C. 2001. Design and analysis of experiments-5th

edition. Arizona State University. pp: 170-211.

Pawirosoemardjo, S. 1979. Aspek-aspek biologi Colletotrichum gloeosporioides Penz. dan respon beberapa klon karet terhadap penyakit yang ditimbulkan. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 76 hal.

Pawirosoemardjo, S. 1984. Beberapa aspek hubungan patogen-inang dalam penyakit gugur daun Colletotrichum pada Hevea brasiliensis Muell. Arg. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. hlm 15-18.

Pawirosoemardjo, S. dan Suwarto. 1996. Pengendendalian terpadu penyakit gugur daun

Colletotrhicum pada tanaman karet. Warta Pusat Penelitian Karet, 15(3): 175 hlm.

Page 405: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

394

Wiratama, I. D. M. P., I. P. Sudiarta, I. M. Sukewijaya, K. Sumiartha dan M. S. Utama. 2013.

Kajian ketahanan beberapa galur dan varietas cabai terhadap serangan antraknosa di

desa abang Songan Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. E-Jurnal

Agroekoteknologi tropika, 2 (2): 71-81.

Page 406: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

395

Page 407: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

396

Page 408: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

397

ANALISIS KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER PADA

BEBERAPA KOLEKSI GANDARIA (Bouea sp.) YANG BERASAL

DARI SUMATERA, JAWA, KALIMANTAN, DAN AMBON

Tri Harsono, Yusran E Ritonga, Desy Arwita

Biologi FMIPA Universitas Negeri [email protected]

Abstrak

Identifikasi metabolit sekunder Gandaria (Bouea sp.)asal Sumatera, Jawa, Ambon dan Kalimantan dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Unimed. Paramater yang digunakan yaitu uji alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid dan steroid. Hasil analisis menunjukkan alkaloid, flavonoid dan saponin sangat banyak terdapat pada semua sampel. Hasiluji triterpenoid seluruh sampel diperoleh hasil sangat banyak kecuali Gandaria asal Kalimantan 1 yang hanya mengandung steroid yang diindikasikan dengan rasa buah manis. Disimpulkan bahwa metabolit sekunder yang ditemukan pada ekstrak daun Gandaria (Bouea sp.) antara lain alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid dan steroid. Pada sampel asal Kalimantan 1 hanya didapatkansteroid dan tidak ditemukan triterpenoid, hal ini dikaitkan dengan karakter rasa manis pada buah. Key word : Uji Metabolit Sekunder, Bouea sp., Sumatra, Jawa, Kalimantan, Ambon

Abstract

The identification of metabolite secondary in Gandaria (Bouea sp) from Sumatra, Java, Ambon, and Kalimantan conducted at Biology Laboratory in Faculty of Mathematics and Natural Science University of Medan. Parameter tests are used: Alkaloid, Flavonoid, Saponin, Triterpenoid, and Steroid. The result of analysis shows are using Alkaloid, Flavonoid, Saponin very much and Triterpenoid test with total sample very muchexcept Gandaria from Kalimantan there was only Steroid that is indicated with a fruity taste sweet. The concluded that is metabolite secondary was discovered of extract leaves in Gandaria (Bouea sp) among others are Alkaloid, Flavonoid, Saponin, Triterpenoid, and Steroid. The sample from Kalimantan there was only Steroid and not found Triterpenoid, it is connected with the character a sweet taste of fruit. Keywords: Secondary Metabolite Test, Bouea sp, Sumatra, Java, Kalimantan, Ambon PENDAHULUAN

Gandaria (Bouea) adalah salah satu marga dalam suku Anacardiaceae yang memiliki persebaran di kawasan Malesia, suatu kawasan (region) yang terbentang antara Benua Asia dan Australia dan di dalamnya tercakup sejumlah flora dan fauna yang sangat khas dan hampir tidak ditemukan di wilayah lainnya. Gandaria merupakan tumbuhan asli Indonesia yang juga tersebar di semenanjung Malaysia dan Thailand. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Gandaria tumbuh di daerah beriklim tropis basah. Secara alami, tumbuhan yang menjadi flora identitas provinsi Jawa Barat ini tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 300 meter dpl, namun gandaria terbudidaya mampu tumbuh dengan baik hingga ketinggian 850 meter dpl (Rifai, 1992). Laporan lain menyebutkan bahwa gandaria merupakan tanaman endemik khas Maluku (Rehatta, 2005; Papilaya, 2007).

Pemanfaatan tanaman Gandaria masih sangat terbatas seperti di provinsi Aceh, gandaria atau disebut dengan merinya dan polam hanya digunakan untuk dimakan begitu saja

Page 409: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

398

karena rasanya yang asam-manis yang dapat melepaskan dahaga pada saat mereka beraktivitas di dalam hutan. Namun fungsi tersebut bergeser di daerah Sumatera Selatan dimana selain sebagai bahan pangan tidak tetap, juga dimanfaatkan sebagai manisan dan sambal Gandaria. Di Jawa Barat dan Kalimantan, gandaria dijadikan campuran sambal (Sambal gandaria dan sambal ramania) untuk mendapatkan rasa asam pada sambal tersebut. Menurut (Fitrya, dkk. 2010) Gandaria sebagai sumber buah-buahan, kayu yang digunakan untuk membuat alat-alat pertanian, daun muda untuk lalap, buah yang muda dapat langsung dimakan, bahan rujak, asinan dan sari buah-buahan. Kandungan komposisi buah gandaria setiap 100 g bagian yang dapat dimakan adalah 85 g air, 12 mg protein, 600 mg serat, 230 mg abu, 6 mg kalsium, 10,8 mg fosfor, 0,31 mg besi, 0,043 mg karotena, 0,031 mg tiamina, 0,025 mg riboflavin, 0,286 mg niasina, dan 75 mg vitamin. Kandungan vitamin A dan C dari gandaria menduduki urutan kedua setelah mangga dan jambu mente. (Tanasale, 2011). Dari berbagai komposisi buah gandaria tersebut terdiri dari bebagai sumber vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh makhluk hidup. Protein yang terkandung didalam buah gandaria berbentuk enzim yang berfungsi sebagai pembentuk sel-sel tubuh yang mati. Senyawa kimia yang berikatan dengan metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid dan sebagainya banyak sekali terdapat didalam tumbuhan yang sangat berpotensi untuk diteliti dan dikembangkan dalam rangka pencarian obat atau bahan baku obat. Penggunaan daun gandaria dalam penelitian ini untuk megetahui kandungan metabolit sekunder yang nantinya akan dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan serta memperkenalkan kepada masyarakat kandungan metabolit serta komposisi nutrisi yang terdapat pada daun gandaria (Bouea sp.).

Bouea macrophylla adalah salah satu anggota marga Bouea yang berkerabat dekat dengan Boueaoppositifolia. Sebagian besar masih tumbuh liar dan tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Semenanjung Malaysia. Tanaman Gandaria tumbuh dengan habitus pohon dengan ketinggian hingga 27 m dengan tajuk rapat. Daunnya tunggal, berbentuk bundar telur-lonjong sampai bentuk lanset atau jorong. Waktu muda berwarna putih, kemudian berangsur ungu tua, lalu menjadi hijau tua. Perbungaannya malai, muncul di ketiak daun. Buahnya bertipe buah batu, berbentuk agak bulat, berdiameter 2,5-5 cm, berwarna kuning sampai jingga, daging buahnya mengeluarkan cairan kental, buahnya tidak berbulu, rasanya asam sampai manis, dengan bau yang khas agak mendekati bau terpentin Keping biji berwarna lembayung. Gandaria adalah tumbuhan tropik basah dan dapat tumbuh pada tanah yang ringan dan subur. Tumbuh liar di hutan dataran rendah di bawah 300 m dpl., tetapi dalam pembudidayaan telah berhasil ditanam pada ketinggian sekitar 850 m dpl (Harsono, 2012).

Metabolit sekunder adalah senyawa- senyawa kimia yang merupakan hasil metabolisme primer, kelanjutan dari metabolit primer sebagai penangkis serangan hama atau sebagai daya tarik dari tumbuhan tersebut. Umumnya metabolit sekunder yaitu : flavonoid, steroid, terpenoid, saponin, alkaloid, dan lain-lain. (Silitonga, 2009).

Senyawa kimia yang berikatan dengan metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid dan sebagainya banyak sekali terdapat didalam tumbuhan yang sangat berpotensi untuk diteliti dan dikembangkan dalam rangka pencarian obat atau bahan baku obat. Penggunaan daun gandaria dalam penelitian ini untuk megetahui kandungan metabolit sekunder yang nantinya akan dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan serta memperkenalkan kepada masyarakat kandungan metabolit serta komposisi nutrisi yang terdapat pada daun gandaria (Bouea sp.).

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan,

dan berlangsung pada April sampai Juni 2013. Bahan penelitian meliputi :

Page 410: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

399

SpesimenGandaria (Bouea sp.)yang berhasil dikoleksi dari beberapa lokasi di : Sumatra (Aceh Utara, Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak, Tanah Datar, dan Palembang), Jawa (Banten dan Bogor), Kalimantan (Kalimantan 1 dan Kalimantan 2) dan Ambon.

Identifikasi senyawa metabolit sekunder golongan alkaloid dilakukan dengan tiga uji

yaitu Pereaksi Mayer, Dragendrorf, Wagner, flavonoid (serbuk Mg), terpenoid dan steroid

(CH3COOH (asetat anhidrida), H2SO4 pekat), saponin (HCl pekat).

Analisis data yang dilakukan yaitu mengkaji ada tidaknya kandungan metabolit

sekunder (alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid) pada bagian daun dari koleksi

Gandaria (Bouea sp.) Sumatera (Aceh Utara, Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara,

Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak, Tanah Datar, dan Palembang), Jawa

(Bogor dan Banten), Kalimantan (Kalimantan 1, Kalimantan 2), dan Ambon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Metabolit Sekunder Gandaria (Bouea sp.) dilakukan di Laboratorium

Biologi FMIPA Unimed. Uji yang dilakukan mencakup Uji Alkaloid, Flavonoid, Saponin,

Triterpenoid, dan Steroid. Yang diamati yaitu : Alkoloid (pereaksi Mayer ditandai adanya

endapan putih, pereaksi Dragendorf ditandai adanya endapan merah dan pereaksi Wagner

ditandai adanya endapan coklat), Flavonoid terjadinya perubahan warna menjadi merah tua

dalam waktu 3 menit, Saponin ditandai adanya busa stabil, Triterpenoid ditandai adanya

perubahan warna menjdi merah atau ungu dan Steroid ditandai dengan perubahan warna

menjadi hijau atau hijau biru (Harborne, 1987).

Dari hasil pengujian Laboratorium pada daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari

Sumatera (Aceh Utara, Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Sutan

Syarif Kasim Minas, Siak, Tanah Datar, Palembang), Jawa (Bogor dan Banten), Kalimantan

(Kalimantan 1 dan Kalimantan 2), dan Ambon diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 3.1. Data hasil analisis kandungan Metabolit Sekunder menggunakan daun gandaria

(Bouea sp.) yang berasal dari Sumatera, Jawa, Ambon, dan Kalimantan.

Nama

Sampel

Kandungan metabolit sekunder

Alkloid Flavo

noid

Saponi

n

Steroid Triterp

enoid Maye

r

Drage

ndorff

Wagn

er

Gandaria Kalimantan 1 + ++ _ +++ +++ + _

Gandaria Kalimantan 2 _ ++ _ +++ +++ _ +++

Gandaria Ambon + ++ + +++ +++ _ +++

Gandaria Bogor + +++ ++ +++ +++ _ +++

Gandaria Banten + ++ _ +++ ++ _ +++

Gandaria Aceh Utara _ +++ _ +++ ++ _ +++

Gandaria Lhok Seumawe _ ++ _ ++ + _ +++

Gandaria Padang Lawas

Utara

_ +++ _ ++ +++ _ +++

Gandaria Bengkalis _ +++ +++ +++ ++ _ +++

Gandaria TAHURA SSK _ +++ _ ++ ++ _ +++

Gandaria Tanah Datar _ ++ _ +++ ++ _ +++

Gandaria Palembang _ +++ _ +++ + _ +++

Keterangan :

(-) = tidak ada (++) = ada banyak

(+) = ada sedikit (+++) = ada sangat banyak

Page 411: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

400

1. Gandaria(Bouea sp.) Sumatera

Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Sumatera terdapat di daerah Aceh Utara, Lhok

Seumawe, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak,

Tanah Datar, dan Palembang. Hasil analisis kandungan metabolit sekunder pada beberapa

daerah di Sumatera menunjukkan tidak semua sampel daun Gandaria (Bouea sp.) memiliki

kadar yang sama. Pada uji senyawa alkaloid dengan menggunakan pereaksi Mayer semua

daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari sumatera tidak ada, dengan menggunakan

pereaksi Dragendorff didapat hasil positif pada daerah Aceh Utara, Padang Lawas Utara,

Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim, dan Palembang memiki kandungan senyawa

alkaloid yang ditandai dengan terbentuknya endapan merah sangat banyak, sedangkan

menggunakan pereaksi Wagner didapatkan hasil positif hanya pada daerah Bengkalis ada

sangat banyak.

Hasil analisis kandungan senyawa Flavonoid daun Gandaria (Bouea sp.) Sumatera

menunjukkan hasil positif dengan ditandai adanya warna merah, tetapi tidak semua sampel

daun gandaria pada setiap daerah memiliki kadar yang sama. Gandaria (Bouea sp.) yang

berasal dari Aceh Utara, Bengkalis, Tanah Datar, dan Palembang memiliki kandungan

flavonoid sangat banyak, Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Lhok Seumawe, Padang

Lawas Utara, dan TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak memiliki kandungan senyawa

flavonoid ada banyak.

Senyawa saponin terkandung pada semua daun gandaria (Bouea sp.) dari Sumatera

tapi memiliki kadar yang berbeda. Gandaria (Bouea sp.) dari Padang Lawas Utara memiliki

kandungan saponin sangat banyak, gandaria (Bouea sp.) dari daerah Aceh Utara, Bengkalis,

TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak, dan Tanah Datar memiliki kandungan saponin

dengan jumlah kandungan banyak, sedangkan gandaria (Bouea sp.)dari Lhok Seumawe dan

Palembang memiliki kandungan saponin sedikit.

Untuk hasil analisis kandungan Triterpenoid pada daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal

dari Aceh Utara, Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Suatan Syrif

Kasim Minas, Siak, Tanah Datar, dan Palembang menunjukkan hasil positif yang ditandai

dengan warna coklat sangat banyak, sedangkan untuk senyawa steroid tidak ada.

2. Gandaria (Bouea sp.) Jawa

Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Jawa yaitu meliputi daerah Bogor dan Banten.

Hasil analisis kandungan metabolit pada daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Bogor

menunjukkan adanya kandungan alkaloid dengan menggunakan pereaksi Mayer ditandai

adanya endapan putih dengan sedikit, pereaksi Dragendorff ditandai terbentuknya endapan

merah sangat banyak, sedangkan dengan pereaksi Wagner ditandai dengan adanya endapan

coklat ada banyak. Untuk hasil analisis kandungan metabolit sekunder pada daun Gandaria

(Bouea sp.) yang berasal dari Banten menunjukkan adanya kandungan senyawa alkaloid,

dengan menggunakan pereaksi Mayer ditandai dengan adanya endapan putih sedikit, dengan

pereaksi Dragendorff ditandai adanya endapan merah ada banyak, sedangkan dengan

pereaksi wagner tidak ada. Senyawa saponin pada daun gandaria Bogor sangat banyak dan

Banten ada banyak yang ditandai dengan terbentuknya busa stabil selama 15 menit.

Hasil analisis senyawa metabolit sekunder pada daun Gandaria (Bouea sp.) yang

berasal dari Bogor, dan Banten menunjukkan adanya senyawa flavonoid ditandai adanya

warna merah pada ekstrak ada sangat banyak, serta adanya senyawa triterpenoid ditandai

dengan terbentuk warna coklat tua sangat banyak, sedangkan untuk senyawa steroid tidak

ada.

Page 412: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

401

3. Gandaria(Bouea sp.) Kalimantan

Gandaria (Bouea sp.) yang bersal dari Kalimantan terbagi menjadi 2 yaitu Kalimantan

1 dan Kalimantan 2. Hasil analisis kandungan metabolit sekunder pada daerah Kalimantan 1

mengandung senyawa alkaloid yang diuji dengan pereaksi Mayer ditandai adanya endapan

putih ada sedikit, pereaksi Dragendorff ditandai adanya endapan merah banyak, pereaksi

Wagner tidak ada. Pada Kalimantan 2 mengandung senyawa alkaloid yang hanya terdapat

pada pereaksi Dragendorff ditandai adanya endapan putih ada banyak, sedangkan pada

pereaksi Mayer dan Wagner tidak ada.

Hasil analisis kandungan flavonoid pada daerah Kalimantan 1 dan Kalimantn 2

menunjukkan hasil positif dengan ditandai adanya warna merah pada ekstrak etanol ada

sangat banyak. Senyawa saponin pada gandaria (Bouea sp.) positif dengan terbentuknya busa

yang stabil sangat banyak. Untuk senyawa steroid hanya ada pada daun gandaria (Bouea sp.)

Kalimantan 1 yang ditandai terbentuknya warna hijau ada sedikit, sedangkan senyawa

triterpenoid hanya ada pada daun gandaria (Bouea sp.) Kalimantan 2 yang ditandai

terbentuknya warna coklat tua ada sangat banyak.

4. Gandaria (Bouea sp.) Ambon

Hasil analisis kandungan metabolit sekunder pada daun gandaria (Bouea sp.) yang

berasal dari Ambon memiliki kandungan alkaloid yang diuji dengan pereaksi Mayer ditandai

dengan endapan putih ada sedikit, pereaksi Dragendorff ditandai adanya endapan merah

banyak, dan pereaksi Wagner ditandai adanya endapan coklat sedikit. Untuk hasil analisis

daun gandaria (Bouea sp.) mengandung senyawa flavonoid, Saponin, dan triterpenoid sangat

banyak, sedangkan senyawa steroid tidak ada.

Simpulan dan Saran

Disimpulkan bahwa metabolit sekunder yang ditemukan pada ekstrak daun Gandaria

(Bouea sp.) antara lain Alkaloid, Flavonoid, Saponin, Triterpenoid dan Steroid. Pada sampel

asal Kalimantan 1 hanya ada Steroid dan tidak ditemukan Triterpenoid, hal ini dikaitkan

dengan karakter rasa manis pada buah. Penelitian ini masih bersifat awal untuk mendeteksi

kandungan metabolit sekunder golongan alkaloid,flavonoid, saponin, steroid, dan

triterpenoid. Untuk itu disarankan untuk dilakukannya penelitian lanjutan terhadap tanaman-

tanaman yang telah dianalisis ini, baik itu isolasi, pemurnian, maupun uji hayati terhadap

senyawa aktifnya sehingga nantinya dapat diaplikasikan pada bidang-bidang ilmu lain seperti

kedokteran, pertanian, farmasi dan lain-lain.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih dihaturkan kepada Laboran di Lab Biologi dan Lab Kimia

Universitas Negeri Medan atas semua bantuan selama melaksanakan penelitian. Juga kepada

Sdr Muslim Nasution, S Si atas bantuan spesimen Bouea asal Kalimantan.

DAFTAR PUSTAKA

Erlikasna, (2010), Inventarisasi Dan Uji Metabolit Sekunder Tumbuhan Obat Yang

Digunakan Masyarakat Karo Pada Pengobatan Penyakit Dalam, Skripsi, FMIPA,

Unimed, Medan.

Fitrya., Lenny.A., Novitasari, E., (2010), Isolasi Senyawa Fenolat Dari Fraksi Etil Asetat

Kulit Batang Tumbuhan Gandaria, Jurnal Penelitian Sains, Jurusan Kimia FMIPA,

Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.

Harborne, J,B., (1987) , Metode Fitokimia :Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan,

Institute Teknologi Bandung Press, Bandung.

Page 413: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

402

Harris JG, Harris MW. 1994. Plant Identification Terminology: An Ilustrated

Glossary. Spring Like Publishing. USA.

Harsono, T. 2012. Urgency penyelamatan Plasma Nutfah Tumbuhan Langka di Sumatera :

Studi Kasus Pada Tumbuhan Gandaria. Journal Sains Indonesia. Vol. 36 No. 1

Januari-Juni 2012. FMIPA Unimed.

Harsono, T. 2013. Marga Bouea (Anacardiaceae) di Malesia. Makalah Seminar Nasional

Biologi Tanggal 13 April 2013 di FMIPA USU

Heyne K. 1927. De Nuttige Planten Van Nederlanch Indie. Volume 2:967- 969. Gedruke

By ruygrok & Co. Batavia.

Papilaya, P.M. 2007. Kajian Ekologi Gandaria (Boueamacrophylla) hubungannya dengan

produksi dan kualitas buah pada ketinggian dari permukaan laut yang berbeda di

pulau Ambon (Suatu analisis tentang tumbuhan endemik daerah Maluku). Disertasi.

Prodi Biologi. UM-Malang

Rehatta, H. 2005. Potensi dan pengembangan tanaman gandaria (Bouea macro phylla

Griffith) di desa Soya Kecamatan Sirimau, Kota Ambon. Laporan Hasil Penelitian.

Lemlit. Universitas Pattimura. Ambon

Rifai MA. 1976. Sendi-Sendi Botani Sistematika. Lembaga Biologi Nasional. LIPI.

Bogor. Mimeograf

Rifai, M.A. 1991. Bouea macrophylla Griffith In: Verheij, E.W.M. and Coronel, R.E.

(Editors). Plant Resources of South-East Asia No. 2: Edible fruits and nuts. Pudoc,

Wageningen, The Netherlands, pp. 104-105

Rudini, 1990. Daftar Identitas flora dan fauna daerah. Jakarta. Depdagri.

Silitonga, M, (2009), Biokimia Untuk Biologi, Universitas Negeri Medan, Medan.

Vogel EA de. 1987. Guideline for the preparation of Revision. Di dalam Vogel E A de, 9

edisi. Manual Herbarium Theory and Practice. UNESCO. Jakarta. hlm.76.

Page 414: Prosiding Seminar Nasional Biologi USU 2016.pdf

9 789794 589045 00009