Prosiding SSA 2013

358
i

Transcript of Prosiding SSA 2013

Page 1: Prosiding SSA 2013

i

Page 2: Prosiding SSA 2013

i

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Prosiding

Makalah dalam prosiding ini telah dipresentasikan di Seminar Sains Atmosfer 2013

Bandung, 28 Agustus 2013

Editor:

1. Prof. Dr. Eddy Hermawan

2. Dr. Ninong Komala

3. Dr. Didi Satiadi

4. Dr. Laras Tursilowati

5. Asif Awaludin, MT

6. Risyanto, SSi

7. Farid Lasmono, ST

8. Emmanuel Adetya, SKom

Dipublikasikan oleh :

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Jl. Pemuda Persil No.1 Rawamangun, Jakarta Timur, Indonesia

Tel : +62 21 489 2802

Fax: +62 21 489 4815

ISBN : 978-979-1458-73-3

KATALOG DALAM TERBITAN Perpustakaan Nasional RI Jl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta Pusat

Hasil ISBN Th. 2014 - Prosiding Seminar Sains Atmosfer

ISBN: 978-979-1458-73-3 Jakarta, 12 Januari 2014

Editor ISBN/KDT

Page 3: Prosiding SSA 2013

ii

KATA PENGANTAR

Sidang pembaca yang kami hormati,

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, sehingga

Seminar Sains Atmosfer 2013 dapat diselenggarakan dengan baik pada tanggal 28 Agustus

2013 di Auditorium LAPAN Bandung. Seminar ini dihadiri oleh para peneliti di bidang

sains dan teknologi atmosfer, instansi pemerintah terkait, dan mahasiswa.

Para pemakalah Seminar Sains Atmosfer 2013 sebelum mengirimkan makalah lengkap,

terlebih dahulu mengirimkan ringkasan makalah yang ditelaah dan diseleksi oleh tim

penelaah untuk menentukan makalah yang dapat dipresentasikan dalam seminar. Setelah

acara seminar, makalah lengkap ditelaah oleh tim penelaah. Kemudian pemakalah

melakukan perbaikan berdasarkan saran dan masukan dari penelaah. Hasil perbaikan

selanjutnya ditelaah kembali oleh tim penelaah, dan makalah yang masih mendapatkan

saran perbaikan diperbaiki kembali oleh pemakalah. Hasil perbaikan terakhir diperiksa

kembali oleh tim penelaah, apabila sudah benar maka makalah kemudian dimasukkan

dalam prosiding seminar.

Ringkasan makalah yang diterima oleh panitia pada tanggal 6 Juli 2013 adalah sebanyak

55 ringkasan makalah. Dari jumlah tersebut, berdasarkan hasil seleksi tim reviewer,

terdapat sebanyak 44 makalah dipresentasikan dalam Seminar Sains Atmosfer tanggal 28

Agustus 2013, yang terdiri dari 5 presentasi oral (presenter oral lainnya adalah invited

speaker) dan 39 presentasi poster. Setelah makalah-makalah tersebut melalui proses

penelaahan sebanyak dua kali, masing-masing tanggal 2 September dan 4 November 2013,

diperoleh 33 makalah yang kemudian dimuat dalam prosiding Seminar Sains Atmosfer

2013 yang terbit pada bulan Januari 2014.

Akhir kata, terima kasih kami sampaikan kepada para pemakalah yang telah

mempresentasikan dan memperbaiki makalahnya sesuai saran penelaah, serta seluruh

panitia yang telah membantu terselenggaranya proses penerimaan makalah, penelaahan

dan penerbitan prosiding ini. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi pembaca semua dan

memberikan sumbangsih bagi peningkatan peran sains dan teknologi atmosfer bagi

pembanguan berkelanjutan di Indonesia. Amin.

Bandung, Januari 2014

Team Editor

Page 4: Prosiding SSA 2013

iii

SAMBUTAN KETUA PANITIA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera bagi kita semua

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, atas segala nikmat dan karunianya

Seminar Sains Atmosfer 2013 adalah forum yang difasilitasi oleh LAPAN untuk

mempertemukan para pakar dan peneliti dari berbagai instansi dan perguruan tinggi serta

pengguna terkait untuk saling berdiskusi bersama-sama membangun kerjasama dan sinergi

terkait sains dan teknologi atmosfer serta pemanfaatannya. Untuk itu diharapkan seminar

ini akan dapat memacu kualitas penelitian dan pengembangan sains dan teknologi atmosfer

sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan nasional.

Prosiding Seminar Sains Atmosfer merupakan kumpulan makalah yang telah

dipresentasikan oleh para pemakalah dan melewati proses penelaahan oleh tim penelaah

sebanyak dua kali. Sehingga prosiding diharapkan merupakan prosiding berkualitas yang

mampu memberikan sumbangsih bagi peningkatan peran sains dan teknologi atmosfer bagi

pembanguan berkelanjutan di Indonesia.

Akhir kata, kami selaku Panitia Pelaksana Seminar Sains Atmosfer 2013 mohon maaf

apabila masih terdapat kekurangan dalam seminar dan prosiding ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, Januari 2014

Asif Awaludin, MT

Ketua Panitia SSA 2013

Page 5: Prosiding SSA 2013

iv

SUSUNAN PANITIA SEMINAR SAINS ATMOSFER 2013

Pengarah/Penanggung Jawab : Drs. Afif Budiyono, MT (Kepala PSTA)

Ketua Panitia : Asif Awaludin, MT

Wakil Ketua : Trismidianto, MSi

Sekretaris : Ria Fitria Ritonga, SE

Anggota : Rizka Aulia, SE

: Risyanto, SSi

: Soni Aulia Rahayu, ST

: Farid Lasmono, ST

: Emmanuel Adetya, SKom

: Dyah Aries Tanti, Amd

Editor/Reviewer Prosiding : Prof. Eddy Hermawan

: Dr. Ninong Komala

: Dr. Didi Satiadi

: Dr. Laras Tursilowati

Page 6: Prosiding SSA 2013

v

SUSUNAN ACARA SEMINAR SAINS ATMOSFER 2013

Waktu Acara

08:00 - 08:45 Registrasi

08:45 - 08:50 Sambutan Ketua Panitia SSA 2013

08:50 - 09:00 Pembukaan : Drs. Afif Budiyono, MT (Kepala Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer)

Sesi I : Keynote Speaker Moderator : Prof Eddy Hermawan

09:00 - 09:20 Prof. Dr. Manabu D. Yamanaka (Kobe University, JAMSTEC)

“Atmosphere-ocean-island interactions over Indonesian maritime continent”

09:20 - 09:40 Prof. Dr. Liong, Shie-Yui (National University of Singapore)

“Does Ensemble of Dynamically Downscaled Climate Models Add Values?”

09:40 - 10:00 Diskusi

Sesi II : Invited Speaker Moderator : Halimurrahman, MT

10:00 - 10:15 Prof. Dr. Ahmad Bey (IPB)

“Pemodelan Atmosfer dalam perspektif konseptual dan praktis”

10:15 - 10:30 Prof. Dr. Eddy Hermawan (LAPAN)

“Anomali Monsun Sebagai Penyebab Utama Terjadinya Kondisi Curah Hujan Ekstrim”

10:30 - 10:50 Diskusi

Sesi III : Sains Atmosfer I Moderator : Dr. Didi Satiadi

10:50 - 11:05 Dr. Armi Susandi (ITB)

“Model Penentuan Masa Tanam Padi dan Palawija di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara

Timur”

11:05 - 11:20 Dr. Laras Tursilowati (LAPAN)

“Skenario Landuse pada model WRF untuk mengamati Planetary Boundary Layer (PBL)

dan Urban Heat Island (UHI)”

11:20 - 11:45 Diskusi

Sesi IV : Sesi Poster dan Ishoma

11:45 - 13:00 Sesi Poster dan Ishoma

Sesi V : Sains Atmosfer II Moderator : Waluyo Eko C, MIL

13:00 - 13:15 Halimurrahman, MT (LAPAN)

“Simulasi Angin Dan Curah Hujan Area Bandung Dan Sekitarnya Dengan Asimilasi

Data Radar Doppler”

13:15 - 13:30 Ir. Asril Umar, MT

Kepala Bagian Adaptasi Perubahan Iklim, Deputi Urusan Mitigasi dan Adaptasi

Perubahan Iklim – Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat

13:30 - 13:55 Diskusi

Sesi VI : Sains Atmosfer III Moderator : Dr. Laras Tursilowati

13:55 - 14:10 Ardhi Ardary Arbain, MT (BPPT)

“Intraseasonal Variation Automonitoring Program in the Indonesia Maritime Continent”

14:10 - 14:25 Dr. Rahmat Hidayat (IPB)

“El Nino Modoki Dan Variabilitas Curah Hujan Indonesia”

14:25 - 14:40 Faiz Rohman Fajary, S.Si (IPB)

“Characteristic Of Atmospheric Equatorial Kelvin Waves Under Influence Of El Niño-

Southern Oscillation”

14:40 - 15:05 Diskusi

Sesi VII : Sains Atmosfer IV Moderator : Dr. Ninong Komala

15:05 - 15:20 Tuti Budiwati, MT (LAPAN)

“Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Aerosol Dan Ozon Total Di Sumatera

Berdasarkan Musiman”

15:20 - 15:35 Dra. Rosida (LAPAN)

"Analisis Hubungan Aerosol Dengan CO Dan Pengaruhnya Terhadap Ukuran Partikel

Awan Es di Indonesia"

15:35- 15:40 Eko Suryanto (IPB)

Page 7: Prosiding SSA 2013

vi

“Evapotranspirasi Tanaman Dengan Pengamatan Satelit Berdasarkan Konsep Fluks

Pemanasan Laten”

15:40 - 16:05 Diskusi

Sesi VIII : Penutupan

16:05 - 16:15 Kesimpulan dan Penutup : Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN

16:15 Pembagian sertifikat dan door prize

Page 8: Prosiding SSA 2013

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii

SAMBUTAN KETUA PANITIA ................................................................................................ iii

DAFTAR PANITIA ..................................................................................................................... iv

JADWAL ACARA ...................................................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................................................ vii

Teknik Pengujian Situs FTP LAPAN Bandung Dengan Metode Black Box Untuk

Menemukan Error ..................................................................................................................... 1

Alhadi Saputra, Yoga Andrian

Identifikasi Jenis Awan Dari Citra Satelit MTSAT IRL Menggunakan Logika Fuzzy

(Studi Kasus : Banjir 5-6 April 2013 Di Kabupaten Aceh Barat Dan Nagan Raya) ........... 13

Anjasman

Analisa Bencana Banjir Di Kota Padang (Studi Kasus Intensitas Curah Hujan Kota

Padang 1980 – 2009 dan Aspek Geomorfologi) ....................................................................... 24

Aprizon Putra, Triyatno dan Semeidi Husrin

Pemanasan Global Dan Keterkaitannya Dengan Kondisi Ekstrem Hujan Beberapa

Daerah Di Jawa Dan Sumatera ................................................................................................. 34

Arief Suryantoro

Desain Muatan Roket Sonda Eksperimen Berbasis Roket RX-100 Untuk Pengukuran

Profil Vertikal Parameter Atmosfer ......................................................................................... 46

Asif Awaludin, Halimurrahman, Rachmat Sunarya, Soni Aulia R

Pengaruh Konsentrasi Ion NH4+ Dan Ca2+

Terhadap Netralisasi Hujan Asam Di Daerah

Cipedes, Kebon Kalapa, Soreang Dan Cikadut ....................................................................... 55

Asri Indrawati, Dyah Aries Tanti

Analisis Curah Hujan Terkait Dengan Kuantifikasi Fluktuasi Level Muka Air Situ

Cileunca ....................................................................................................................................... 63

Dadang Subarna

Pengaruh Pegunungan Malabar Terhadap Peningkatan Curah Hujan Di Daerah

Tangkapan Air Cisangkuy Kabupaten Bandung .................................................................... 73

Dadang Subarna

Simulasi Trayektori Dan Dispersi Asap Menggunakan Model HYSPLIT 4.9 (Studi

Kasus Tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013) ....................................................................................... 80

Danang Eko Nuryanto

Analisis Data Komposisi Kimia Air Hujan Menggunakan Metode Analisis Diskriminan . 87

Dessy Gusnita

Interkoneksi Monsun Dan El-Niño Terkait Dengan Curah Hujan Ekstrem ....................... 97

Eddy Hermawan dan Edward Rendra

Estimasi Evapotranspirasi Acuan Dengan Pengamatan Satelit Berdasarkan Fluks

Pemanasan Laten ....................................................................................................................... 114

Eko Suryanto

Karakteristik Gelombang Kelvin Ekuatorial Atmosferik Dibawah Pengaruh

El Niño-Osilasi Selatan .............................................................................................................. 123

Faiz Rohman Fajary, Sandro Wellyanto Lubis, Sonni Setiawan

Analisis Dan Pemetaan Sambaran Petir Wilayah Bali Dan Sekitarnya Tahun 2012 .......... 136

I Putu Dedy Pratama

Page 9: Prosiding SSA 2013

viii

Analisis Parameter Meteorologi Terhadap Konsentrasi PM10 Di Kota Surabaya ............... 143

Iis Sofiati dan Dessy Gusnita

Deviasi Temperatur Virtual Dalam Proses Evaporasi Dan Kondensasi Di Atmosfer

Kototabang Pada Campaign Period .......................................................................................... 153

Ina Juaeni

Peluang Terjadinya Awan Rendah Dan Awan Menengah Saat terjadi La Nina ............... 163

Juniarti Visa dan Iis Sofiati

Identifikasi Kejadian Monsun Ekstrim Di Pulau Jawa Dan Sekitarnya .............................. 172

Lely Qodrita Avia

Rancang Bangun Sistem Manajemen Basis Data Satelit Dan Implementasinya ................. 186

Mahmud, Edi Maryadi, Muzirwan, Emanuel A, Ria Fitri Yulianti R, Lamartomo

Simulasi Suhu Permukaan Laut Bulanan Berbasis Model CSIRO MK3L .......................... 196

Martono

Analisis Pengaruh Liputan Awan Terhadap Indeks UV Di Sumatera Utara ...................... 203

Ninong Komala

Pengamatan Awan Dan Variasi Cuaca Harian Menggunakan Transportable X-Band

Radar ........................................................................................................................................... 217

Noersomadi, Sinta Berliana Sipayung, Krismianto, Soni Aulia Rahayu, Ginaldi Ari Nugroho,

Rachmat Sunarya, Safrudin, Edy Maryadi dan Halimurrahman

Koreksi Estimasi Data Curah Hujan Satelit TRMM Produk Level 3B31 Dan 3B43 Di

Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Selama Periode 2003-2012 ........................................... 226

Novvria Sagita

Analisis Diurnal Parameter Cuaca Mikro Di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Emal

Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi ................................................................................... 234

Radyan Putra Pradana, Kadarsah

Identifikasi Tipe Awan Isccp Menggunakan Data Modis Terra/Aqua ................................. 246

Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung

Aplikasi Pengolah Informasi Diseminasi Sains Atmosfer Pada Situs Web LAPAN

Bandung ...................................................................................................................................... 258

Siti Maryam

Peran Radiasi Matahari Dalam Proses Pembersihan SO2 Dan NOX Di Troposfer ............. 264

Sumaryati

Prediksi Pengasaman Provinsi Jambi Dan Sekitarnya Akibat Deposisi Sulfur Tahun

2015 .............................................................................................................................................. 272

Toni Samiaji

Identifikasi Curah Hujan Ekstrem Menggunakan Metode Analisis Mesoscale Convective

Complexe (MCC) Dari Data MTSAT IR1 ................................................................................ 283

Trismidianto

Karakteristik Harian Dan Distribusi Musiman Dari Kompleks Konvektif Skala Meso Di

Samudera Hindia Selama 10 Tahun (Periode 2000-2009) ...................................................... 296

Trismidianto

Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Aerosol Dan Ozon Total Di Sumatera

Berdasarkan Musiman .............................................................................................................. 309

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati

Page 10: Prosiding SSA 2013

ix

Distribusi Spasial dan Temporal Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan

Lahan di Wilayah Sumatera dan Kalimantan Hasil Pengamatan Aqua/Terra MODIS

Tahun 2004-2012 ........................................................................................................................ 322

Wiwiek Setyawati

Roles Of Relative Humidity On Songda Typhoon 2011 Intensity ......................................... 334

Yopi Ilhamsyah, Ahmad Bey, Edvin Aldrian

Page 11: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 1 ~

TEKNIK PENGUJIAN SITUS FTP LAPAN BANDUNG

DENGAN METODE BLACK BOX UNTUK MENEMUKAN

ERROR

Alhadi Saputra, Yoga Andrian

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

e-mail : [email protected]

Abstract

Software testing is an investigation to get the quality of product or service information

that is being tested (under test). Software testing also provides insights on software

objectively and independently. The purpose of software testing is used in the operation

of the site in order to avoid the failure to access the site. Tested software can be a

fraction of a sub routine or application program can also overall information system.

Testing techniques are not only limited to the process of executing a program or a part

of the overall application but the goal is to find bugs of software or information system

is being tested. Software testing is a review of the peak of the requirements

specification, design and programming. Successful testing is that managed to find the

hidden error. There are two techniques in software testing is black box testing and white

box testing. In this article that will be discussed is a black box testing and has been used

on the FTP site Lapan Bandung. Multistep process of testing performed on the

application module user data administration and user management process for

administrators on the FTP server Lapan Bandung result is no error or bug in the

application module.

Keyword : Software Testing, Site, Error, Black Box Testing.

Abstrak

Pengujian perangkat lunak merupakan suatu investigasi untuk mendapatkan kualitas

dari produk atau layanan informasi yang sedang diuji (under test). Pengujian perangkat

lunak juga memberikan pandangan mengenai perangkat lunak secara obyektif dan

independen. Tujuan Pengujian perangkat lunak ini digunakan dalam operasional situs

agar tidak terjadi kegagalan untuk mengakses situs tersebut. Perangkat lunak yang diuji

dapat berupa sebagian kecil dari satu sub routine program aplikasi atau dapat juga

keseluruhan dari sistem informasi. Teknik-teknik pengujian tidak hanya terbatas pada

proses mengeksekusi suatu bagian program atau keseluruhan aplikasi akan tetapi

mempunyai tujuan untuk menemukan bug dari perangkat lunak atau sistem informasi

yang sedang diuji. Pengujian perangkat lunak merupakan review puncak terhadap

spesifikasi kebutuhan, desain dan pembuatan program. Pengujian yang sukses adalah

yang berhasil menemukan error yang tersembunyi. Terdapat dua teknik dalam

pengujian perangkat lunak yaitu pengujian black box dan pengujian white box. Pada

tulisan kali ini yang akan dibahas adalah pengujian black box dan telah digunakan pada

situs FTP Lapan Bandung. Proses tahapan pengujian dilakukan pada modul aplikasi

administrasi data user dan proses manajemen user untuk administrator pada FTP server

Lapan Bandung yang hasilnya adalah tidak ada error atau bug dalam modul aplikasi

tersebut.

Page 12: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 2 ~

Kata Kunci : Pengujian Perangkat Lunak, Situs, Error, Pengujian Black Box

1. PENDAHULUAN

Secara keseluruhan aplikasi perangkat lunak menjalankan hampir seluruh

pekerjaan yang dibebankan pada komputer. Pengguna komputer menghabiskan

sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dengan aplikasi perangkat lunak bukan

dengan perangkat lunak sistem. Definisi dari perangkat lunak sistem adalah suatu

program yang dibuat untuk mengatur kinerja perangkat lunak dan perangkat keras agar

dapat saling bekerjasama sehingga para pemakai komputer dapat mengoperasikan

komputer dengan mudah. Sedangkan aplikasi perangkat lunak yaitu suatu program yang

ditulis secara khusus untuk membuat atau menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu

(Nugroho, 2006).

Sistem informasi tidak jauh-jauh dari program aplikasi perangkat lunak yang

terdiri dari beberapa sub routine program aplikasi yang dikumpulkan menjadi satu

sehingga membentuk aplikasi sistem informasi secara keseluruhan.

Sistem informasi memiliki komponen berupa elemen-elemen yang lebih

kecil yang membentuk sistem informasi, misalnya bagian input, proses, output. Sebagai

contoh bagian input adalah user memasukkan data registrasi, maka di sana terdapat user

yang melakukan pekerjaan input, dengan menggunakan perangkat keras yaitu keyboard,

dan menggunakan antarmuka sebuah aplikasi registrasi user yang sudah disediakan

oleh sistem informasi tersebut.

Sistem informasi tersebut dikatakan terpakai apabila hal pokok yang mendasari

pembuatan sistem informasi tersebut telah sesuai dengan kebutuhan spesifikasi user

baik perangkat lunak maupun perangkat keras yang diinginkan.

Sistem informasi dibangun dengan tahapan-tahapan yang dikenal dengan

System Development Life Cycle (SDLC). SDLC yang merupakan siklus hidup

pengembangan sistem dalam rekayasa sistem informasi dan rekayasa perangkat lunak.

SDLC adalah proses pembuatan dan pengubahan system

serta model dan metodologi yang digunakan untuk mengembangkan sistem-sistem

tersebut. Konsep ini umumnya merujuk pada sistem komputer atau informasi. SDLC

juga merupakan pola yang diambil untuk mengembangkan sistem perangkat lunak, yang

terdiri dari tahap-tahap : rencana (planning), analisa (analysis), desain (design),

implementasi (implementation), pengujian (testing) dan pengelolaan (maintenance)

(Bahrami, 1999).

Page 13: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 3 ~

Pengujian adalah proses pelaksanaan suatu aplikasi dengan tujuan menemukan

suatu kesalahan. Pengujian perangkat lunak dan implikasinya sangat penting dilakukan

karena mengacu pada kualitas perangkat lunak. Pengujian melibatkan sederetan

aktivitas produksi, dimana peluang terjadinya kesalahan oleh manusia sangat besar.

Oleh sebab itu pengembangan perangkat lunak harus diiringi dengan aktivitas jaminan

kualitas dan pengujian.

Meningkatnya visibilitas (kemampuan) perangkat lunak sebagai suatu elemen

sistem, serta biaya yang muncul akibat kegagalan perangkat lunak dapat memotivasi

dilakukannya perencanaan yang baik setelah dilakukannya proses pengujian dengan

tingkat ketelitian yang tinggi. Proses pengujian tersebut sangat mempengaruhi biaya

yang akan dikeluarkan untuk memperbaiki kesalahan. Suatu kasus pengujian yang baik

atau sukses adalah apabila pengujian tersebut mempunyai kemungkinan menemukan

sebuah kesalahan yang tidak terungkap dan tidak diketahui sebelumnya.

Tulisan ini dibuat untuk memaparkan penggunaan teknik pengujian black box

untuk menguji error aplikasi yang diterapkan pada situs FTP Lapan Bandung. Tujuan

akhirnya adalah menemukan suatu kesalahan baik dari desain, coding, serta demi

mencapai kepuasan user agar situs yang dibangun sesuai dengan sasaran akhir yang

ingin dicapai, salah satunya agar situs yang dibuat dapat diakses tanpa ada error atau

bugs. Karena situs ini masih dalam tahap pengembangan, penulis membatasi pengujian

hanya untuk halaman registrasi peneliti, pengguna umum, serta halaman administrator

untuk proses aktivasi, non-aktifkan, dan hapus data user, sehingga pengujian belum

dikatakan sukses atau baik secara keseluruhan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pengujian perangkat lunak adalah proses mengoperasikan perangkat lunak

dalam suatu kondisi yang dikendalikan, untuk (1) verifikasi : apakah telah berlaku

sebagaimana telah ditetapkan (menurut spesifikasi), (2) mendeteksi error, dan (3)

validasi : apakah spesifikasi yang telah ditetapkan sudah memenuhi keinginan atau

kebutuhan dari pengguna yang sebenarnya (Nugroho, 2010).

Pengujian merupakan aktifitas pengumpulan informasi yang dibutuhkan untuk

melakukan evaluasi efektifitas dari perangkat lunak dengan mengukur suatu atribut

perangkat lunak, termasuk di dalamnya review, walk-through, inspeksi, penilaian dan

analisa yang ada selama proses pengembangan.

Page 14: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 4 ~

Tahap pengujian merupakan suatu komponen dari keseluruhan metodologi. Pada

prakteknya, pengujian sangat kurang dideskripsikan dan telah dengan cepat bergerak ke

titik dimana kebanyakan prosedur pengujian organisasi cepat tertinggal dan tidak

efektif. Pada awalnya pengujian merupakan salah satu sub fase dari fase pengembangan

(development), setelah fase coding (Belzer, 1990). Sistem didisain, dibangun dan

kemudian diuji dan didebug. Sejalan dengan kemapanan pengujian secara praktis,

secara bertahap bahwa sudut pandang pengujian yang tepat adalah dengan menyediakan

suatu siklus hidup pengujian secara lengkap, yang merupakan suatu bagian dan menjadi

satu kesatuan didalam siklus hidup perangkat lunak secara keseluruhan (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Siklus Hidup Perangkat Lunak dan Pengujian

Disain pengujian untuk perangkat lunak dan rekayasa produk lainnya akan

sangat menantang seperti layaknya disain produk itu sendiri. Berdasarkan pada

obyektifitas pengujian, pengembang harus melakukan disain pengujian yang memiliki

kemungkinan tertinggi dalam menemukan error yang kebanyakan terjadi, dengan waktu

dan usaha yang minimum. Variasi-variasi metode disain pengujian kasus untuk

perangkat lunak telah berkembang. Metode-metode ini menyediakan pengembang

dengan pendekatan semantik terhadap pengujian. Metode-metode ini menyediakan

mekanisme yang dapat membantu untuk memastikan kelengkapan dari pengujian dan

menyediakan kemungkinan tertinggi untuk mendapatkan error pada perangkat lunak.

Tiap produk hasil rekayasa dapat diuji dalam dua cara, yaitu (1) dengan

berdasarkan pada fungsi yang dispesifikasikan. Pengujian dapat dilakukan dengan

Page 15: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 5 ~

mendemonstrasikan tiap-tiap fungsi apakah telah beroperasi secara penuh sesuai dengan

yang diharapkan, dan pada saat yang bersamaan dilakukan pencarian error pada tiap

fungsi. Pendekatan metode ini disebut dengan pengujian black box. (2) Dengan

mengetahui operasi internal dari produk perangkat lunak tersebut. Pengujian dapat

dilakukan untuk memastikan apakah semua komponen berjalan sebagaimana mestinya,

operasi internal berlaku berdasarkan pada spesifikasi dan semua komponen internal

telah cukup untuk diperiksa. Pendekatan metode ini disebut dengan pengujian white box

(Braude, 2000).

Pengujian kasus merupakan suatu pengujian yang dilakukan berdasarkan pada

suatu inisialisasi, masukan, kondisi ataupun hasil yang telah ditentukan sebelumnya.

Kegunaan dari pengujian kasus ini adalah untuk melakukan pengujian kesesuaian suatu

komponen terhadap spesifikasi (pengujian black box) serta untuk melakukan pengujian

kesesuaian suatu komponen terhadap disain (pengujian white box). Hal yang perlu

diingat bahwa pengujian tidak dapat membuktikan kebenaran semua kemungkinan

eksekusi dari suatu program. Namun dapat didekati dengan melakukan perencanaan dan

disain pengujian kasus yang baik sehingga dapat memberikan jaminan efektifitas dari

perangkat lunak sampai pada tingkat tertentu sesuai dengan yang diharapkan.

Pengujian black box dilakukan tanpa pengetahuan detil struktur internal dari

sistem atau komponen yang diuji. Pengujian black box berfokus pada kebutuhan

fungsional pada perangkat lunak, berdasarkan pada spesifikasi kebutuhan dari perangkat

lunak. Dengan adanya pengujian black box, perekayasa perangkat lunak dapat

menggunakan sekumpulan kondisi masukan yang dapat secara penuh memeriksa

keseluruhan kebutuhan fungsional pada suatu program. Pengujian black box bukan

teknik alternatif dari pengujian white box Pengujian black box merupakan pendekatan

pelengkap dalam mencakup error dengan kelas yang berbeda dari metode pengujian

white box (Britton et al., 2001).

Pengujian black box dilakukan berdasarkan pada fungsi yang dispesifikasikan

dari produk, pengujian dapat dilakukan dengan mendemonstrasikan tiap fungsi telah

beroperasi secara penuh sesuai dengan yang diharapkan. Pada saat yang bersamaan,

dilakukan pencarian error pada tiap fungsi. Kategori error yang akan diketahui melalui

pengujian black box adalah fungsi yang hilang atau tidak benar, error interface, error

struktur data atau akses eksternal database, error kinerja atau tingkah laku, dan error

inisialisasi dan terminasi.

Page 16: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 6 ~

Pada akhirnya pengujian black box berfokus pada domain informasi. Pengujian

didesain untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut :

Bagaimana validasi fungsi yang akan diuji, bagaimana tingkah laku dan

kinerja sistem diuji?

Kategori masukan apa saja yang bagus digunakan untuk pengujian

kasus?

Apakah sebagian sistem sensitif terhadap suatu nilai masukan tertentu?

Bagaimana batasan suatu kategori masukan ditetapkan?

Sistem mempunyai toleransi jenjang dan volume data apa saja?

Apa saja akibat dari kombinasi data tertentu yang akan terjadi pada

operasi sistem?

3. DATA DAN METODE

Situs FTP Lapan Bandung mempunyai alamat http://ftp.bdg.lapan.go.id. Situs

ini merupakan kumpulan dari data hasil observasi peralatan yang ada di loka atau balai

pengamatan dirgantara. Data spasial yang dihasilkan mempunyai ragam format dan

struktur data yang unik. Data yang sudah tersimpan saat ini dihasilkan dari berbagai

macam peralatan, dimana proses perolehan dan penyimpanannyapun berbeda-beda

karena menggunakan sistem operasi yang berbeda serta spesifikasi perangkat keras yang

berbeda juga. Situs FTP ini sudah terbangun dengan sistem web base yang didalamnya

terdapat fasilitas-fasilitas untuk memudahkan pengaksesan ke situs tersebut.

Proses pengujian yang akan dibahas adalah pengujian menggunakan metode

pengujian black box yang membagi domain input dari program menjadi beberapa kelas

data dengan menemukan sejumlah kesalahan misalnya : kesalahan pemrosesan dari

seluruh data yang merupakan syarat dari suatu modul yang dieksekusi.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian yang pertama adalah melakukan pengujian black box pada program

yang mengelola tabel user untuk menyimpan data peneliti Lapan. Setiap peneliti yang

ingin mendownload data mempunyai syarat yaitu melakukan proses registrasi, dengan

cara mengisi data-data peneliti Lapan pada halaman registrasi, setelah mengisi data-data

yang diminta seharusnya data tersebut masuk ke tabel tbluser secara otomatis.

Algoritmanya adalah bahwa data peneliti Lapan akan disimpan ke dalam tabel user

Page 17: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 7 ~

setelah user melakukan submit kirim. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka user

tersebut tidak dapat melakukan download data karena data user mengalami kegagalan

penyimpanan. Berikut ini akan disajikan proses pengujiannya dalam bentuk Tabel 4.1.

Pengujian yang kedua dilakukan pada program yang mengelola tabel user lain

untuk menyimpan data pengguna umum. Pada situs ini user dibedakan menjadi dua tipe

yaitu peneliti internal Lapan Bandung dan peneliti eksternal (pengguna umum). Setiap

pengguna umum yang ingin mendownload data pada situs ini diharuskan juga

melakukan proses registrasi dengan melengkapi data-data yang dibutuhkan pada

halaman registrasi lain, setelah mengisi data yang diminta seharusnya data tersebut

masuk ke tabel tbluserlain secara otomatis, algoritmanya adalah bahwa data pengguna

umum akan disimpan kedalam tabel tbluserlain setelah user melakukan submit kirim.

Berikut ini akan disajikan proses pengujiannya dalam bentuk Tabel 4.2.

Tabel 4.1. Proses Pengujian Pertama

No. Skenario Pengujian Pengujian

Kasus

Hasil yang di Harapkan Hasil

Pengujian

Kesimpulan

1. Mengosongkan semua

isian data registrasi, lalu

langsung mengklik tombol

„Kirim‟.

Nama Depan

: -

Nama

Belakang: -

Dst.

Sistem akan menolak

akses registrasi dan

menampilkan pesan

“Mohon semua data

harus diisi dengan

benar”

Sesuai

harapan

Valid

2. Hanya mengisi data

username (email) dan

mengosongkan semua

isian data registrasi yang

lain, lalu langsung

mengklik tombol “kirim”

Username :

alhadi_putra

@yahoo.com

Sistem akan menolak

akses registrasi dan

menampilkan pesan

“Mohon data username

(email) harus diisi

dengan benar”

Sesuai

harapan

Valid

Setelah dilakukan pengujian, hasilnya adalah data berhasil disimpan pada tabel

tbluser yang dijelaskan pada Gambar 4.1.

Page 18: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 8 ~

(a) (b)

Gambar.4.1 Pengujian Black Box Pada Registrasi Peneliti Lapan, (a) Antarmuka

Aplikasi dan (b) Antarmuka Database internal

Tabel 4.2. Proses Pengujian Kedua

No. Skenario Pengujian Pengujian

Kasus

Hasil yang di

Harapkan

Hasil

Pengujian

Kesimpulan

1. Menginputkan tampilan

data validasi yang tidak

sesuai, lalu langsung

mengklik tombol

„Kirim‟.

Validasi

yang muncul

: abcdk

Validasi:

abkcd

Sistem akan

menolak akses

registrasi dan

menampilkan

pesan “Mohon

data validasi

harus diisi

dengan benar”

Sesuai

Harapan

Valid

2. Menginputkan semua

data registrasi yang

benar, lalu langsung

mengklik tombol “Kirim”

Nama

depan:teguh

Nama

belakang

:wiharko

Dst.

Sistem akan

membuka akses

registrasi dan

data

registrasinya

akan disimpan

ke dalam

database.

Sesuai

harapan

Valid

Setelah dilakukan pengujian hasilnya adalah data berhasil disimpan pada

tbluserlain yang terlihat pada Gambar 4.2.

Page 19: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 9 ~

(a) (b)

Gambar 4.2 Pengujian Black Box Pada Registrasi Pengguna Umum (a) Antarmuka

Aplikasi dan (b) Antarmuka Database Internal

Pengujian yang ketiga melibatkan kasus uji yang diulang-ulang dengan jumlah

tertentu dengan tujuan untuk mengevaluasi program apakah sesuai dengan spesifikasi

kebutuhan yang telah ditetapkan. Pengujian yang ketiga adalah melakukan pengujian

black box pada halaman administrator untuk aktifasi, non aktifasi dan penghapusan user

FTP server Lapan khusus user peneliti Lapan. Setelah peneliti berhasil melakukan

registrasi maka selanjutnya yang bertugas adalah administrator. Administrator

mempunyai hak veto untuk mengkonfirmasi, mengaktifasi atau menghapus pengguna

yang telah terdaftar. Algoritmanya adalah data peneliti Lapan akan disimpan pada tabel

tbladm. Ketika administrator menekan link “Aktifkan” maka peneliti yang diaktifkan

akan dapat melakukan login pada halaman login yang disediakan, begitu juga ketika

administrator menekan link “Tidak Aktifkan”, maka peneliti tersebut tidak akan dapat

melakukan login, sedangkan ketika administrator menekan link “hapus” maka peneliti

tersebut akan dihapus dari database user. Berikut ini akan disajikan proses

pengujiannya dalam bentuk Tabel 4.3.

Page 20: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 10 ~

Tabel 4.3. Proses Pengujian Ketiga

No. Skenario Pengujian Pengujian

Kasus

Hasil yang di Harapkan Hasil

Pengujian

Kesimpulan

1. Pengujian fungsionalitas

untuk proses “aktifkan”

pada halaman

administrator

Mengklik

fasilitas

“aktifkan”

pada halaman

administrator

Sistem akan mengaktifkan

user yang melakukan

proses registrasi dengan

benar, kemudian sistem

akan mengirimkan aktivasi

link ke email user tersebut.

Sesuai

harapan

Valid

2. Pengujian fungsionalitas

untuk proses “tidak

aktifkan” pada halaman

administrator

Mengklik

fasilitas “tidak

aktifkan” pada

halaman

administrator

Sistem akan menolak akses

user apabila user

melakukan proses login

Sesuai

harapan

Valid

3. Pengujian fungsionalitas

untuk proses “hapus”

pada halaman

administrator

Mengklik

fasilitas “tidak

aktifkan” pada

halaman

administrator

Sistem akan menghapus

seluruh item data user pada

database, tidak muncul

pada halaman

administrator

Sesuai

harapan

Valid

Sebelum dilakukan pengujian terlihat pada Gambar 4.3 berikut ini :

Gambar 4.3. Sebelum dilakukan Aktivasi, Tidak Aktifkan dan Hapus User

Dari hasil pengujian diatas bahwa tidak adanya fungsi algoritma program yang

hilang atau tidak benar, tidak adanya error antarmuka, tidak adanya error struktur data

atau akses eksternal database, tidak adanya error kinerja atau tingkah laku, dan tidak

adanya error inisialisasi dan terminasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya keterangan

status bernilai 0 dan 1, dimana status bernilai 1 mengindikasikan bahwa user tersebut

Page 21: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 11 ~

aktif, sedangkan 0 mengindikasikan bahwa status user tersebut non aktif atau tidak aktif

lagi, dan apabila user tersebut telah dihapus dari sistem maka user tersebut tidak akan

ada dalam halaman manajemen user karena sudah terhapus, hasil tersebut terlihat

dengan Gambar 4.4 sebagai berikut ini :

Gambar 4.4 Sesudah Proses Aktifkan, Non Aktifkan dan Hapus User

5. KESIMPULAN

Telah dibuat situs FTP Lapan Bandung yang beralamat

http://ftp.bdg.lapan.go.id, yang telah dilakukan pengujian perangkat lunak dengan

menggunakan metode pengujian black box. Berdasarkan hasil pengujian yang telah

dilakukan, situs FTP ini sudah memenuhi kriteria unjuk kerja yang telah ditetapkan.

Pengujian terhadap fungsionalitas pada modul (1) halaman registrasi peneliti, (2)

pengguna umum, serta (3) halaman administrator untuk proses aktivasi, non-aktifkan,

dan hapus data user, menunjukkan hasil yang siknifikan. Ketiga modul yang dibuat

dapat bekerja sesuai dengan perencanaan dan perancangan, bahwa tidak adanya fungsi

yang hilang atau tidak benar, tidak adanya error antarmuka, tidak adanya error struktur

data atau akses eksternal database, tidak adanya error kinerja atau tingkah laku, dan

Page 22: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 12 ~

tidak adanya error inisialisasi dan terminasi. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga modul

aplikasi ini sudah layak untuk diimplementasikan dalam situs FTP server.

UCAPAN TERIMA KASIH

Bapak Suwardi, S.Kom, Bapak Dr. Teguh Harjana, Yoga Andrian, S.Kom, dan Para

Peneliti Sistem Informasi Lapan Bandung

DAFTAR RUJUKAN

Bahrami, A., “Object Oriented System Development”, Singapore: McGraw-Hill, Inc.,

Pressman, Roger S.,The 5th edition of Software Engineering: A Practitioner's

Approach,McGraw-Hill, 1999.

Belzer, B.,Software Testing Techniques, 2nd Edition, New York : Van Nostrand

Roinhold, 1990.

Braude, E.J, ”Software Engineering: An Object Oriented Perspective”, United State of

America: John Wiley & Sons,Inc, 2000.

Britton, C., Doake, J.,“Object - Oriented System Development: A gentle Introduction” ,

Singapore: McGraw-Hill, Inc, 2001.

Nugroho, A., Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Menggunakan Metodologi

Berorientasi Objek. Bandung: Penerbit INFORMATIKA, 2006.

Nugroho, A., Rekayasa Perangkat Lunak Berorientasi Objek dengan Metode USDP.

Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010.

Page 23: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 13 ~

IDENTIFIKASI JENIS AWAN DARI CITRA SATELIT

MTSAT IR1 MENGGUNAKAN LOGIKA FUZZY (STUDI KASUS : BANJIR 5-6 APRIL 2013 DI KABUPATEN ACEH BARAT

DAN NAGAN RAYA)

Anjasman

STASIUN METEOROLOGI TJUT NYAK DHIEN MEULABOH

email : [email protected]

Abstract

Flooding that occurred on 5-6 April 2013 in West Aceh and Nagan Raya caused by

heavy rain (105.2 mm and 41.2 mm). To identify the types of clouds from satellite

imagery MTSAT IR1 used fuzzy logic. Temperature of the cloud tops of analysis results

indicate that the state of the atmosphere at the time, before and after the incident are

very unstable. These results were confirmed by comparison of cloud type identification

using fuzzy logic and observations indicate that the type of clouds at the time of the

incident is a cloud-convective cumulus and cumulonimbus that can lead to rain

accompanied by thunderstorm.

Keywords: fuzzy logic, flood, cloud type.

Abstrak

Banjir yang terjadi pada tanggal 5-6 April 2013 di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan

Raya disebabkan oleh hujan lebat (105,2 mm dan 41,2 mm). Untuk mengidentifikasi

jenis awan dari citra satelit MTSAT IR1 digunakan logika fuzzy. Hasil analisa suhu

puncak awan menunjukkan bahwa keadaan atmosfer pada saat, sebelum dan sesudah

kejadian sangat labil. Hasil ini diperkuat dengan perbandingan identifikasi jenis awan

menggunakan logika fuzzy dan hasil observasi yang menunjukkan bahwa jenis awan

pada saat kejadian adalah awan konvektif cumulus dan cumulonimbus yang dapat

menimbulkan hujan yang disertai thunderstorm.

Kata Kunci : Logika fuzzy, banjir, jenis awan.

1. PENDAHULUAN

Secara geografis Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya merupakan daerah

pesisir yang sebelah baratnya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Karena

kondisi geografis tersebut, daerah Aceh Barat dan Nagan Raya sering dilanda kejadian

cuaca ekstrim seperti hujan lebat, banjir dan angin kencang. Curah hujan yang terjadi di

daerah tropis pada umumnya terjadi dalam bentuk sistem konvektif skala meso yang

terorganisir yang dikenal sebagai Mesoscale Convective System (MCSs). Sistem ini

ditandai oleh adanya 2 komponen yang berbeda yakni komponen konvektif dan

stratiform, dimana untuk komponen konvektif ditandai dengan kisaran skala luas

Page 24: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 14 ~

tutupan yang kecil sekitar beberapa kilometer (Km) hingga 30 Km dan memiliki updraft

dan downdraft yang kuat (gerakan vertikal udara yang kuat) serta dikaitkan dengan

intensitas hujan yang tinggi (Endarwin, 2012).

Awan terbentuk jika uap air mengalami kondensasi menjadi partikel-partikel

kecil. Partikel-partikel di awan dapat berupa cair atau padat. Partikel-partikel cair di

dalam atmosfer disebut “cloud-droplet”, dan partikel-partikel padat disebut kristal es

(Barry&Chorley, 1998). Ketika sejumlah volume udara tak jenuh mengalami

pendinginan, kelembapan relatif (RH)nya meningkat. Jika telah cukup dingin, RH

menjadi 100%, temperaturnya menjadi sama dengan titik embun. Potensi terbentuknya

awan dan presipitasi tergantung pada jumlah uap air di atmosfer. Ketika sebuah parcel

udara naik, uap air di dalamnya akan mendingin dan mengembun ke dalam partikel-

partikel debu yang kecil yang disebut “inti kondensasi” (cloud condensation nuclei)

hingga terbentuk suatu awan.

Kejadian banjir yang terjadi di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya pada

tanggal 5-6 April 2013 banyak menimbulkan kerugian materi, harta dan benda bagi

penduduk yang daerahnya tergenang banjir. Hujan lebat yang melanda dua Kabupaten

tersebut selama dua hari menyebabkan meluapnya beberapa sungai dan menggenangi

beberapa daerah pemukiman penduduk dengan curah hujan yang terukur pada tanggal 6

dan 7 April pukul 07.00 wib adalah sebesar 105.2 mm dan 41.2 mm.

Banjir adalah suatu peristiwa terjadinya peluapan air yang berlebihan di suatu

tempat. Kejadian banjir sendiri dapat terjadi karena kombinasi berbagai faktor yang

kompleks tetapi di daerah-daerah sekitar khatulistiwa dimana kontribusi hujan monsoon

dianggap cukup besar (Harsa&dkk, 2011). Untuk menganalisa kejadian cuaca ekstrim

disuatu wilayah pada umumnya menggunakan analisa model, interpretasi citra awan

satelit dan radar sehingga penyebab kejadian cuaca ekstrim dapat diketahui (Anjasman,

2011). Dalam menganalisa data citra awan satelit, banyak metode yang sering

digunakan oleh para prakirawan, baik dengan cara menggelompokkan jenis awan

berdasarkan visual tekstur, menggunakan nilai ambang temperatur kecerahan

(brightness thersold temperature) TIR1 versus selisih temperatur kecerahan antara IR1

dan IR2 (∆TIR1-IR2) ataupun warna piksel dari citra tersebut.

Pengelompokkan jenis awan berdasarkan selisih temperatur channel (IR1 dan

IR2) dan selisih rata-rata temperatur channel IR1 dengan water vapour (WV) per luasan

piksel telah dilakukan oleh Tokuna dan Tsuchiya. Menggunakan algoritma tersebut,

jenis awan dapat dikelompokkan menjadi enam kelompok awan yaitu Cumulunimbus

Page 25: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 15 ~

(Cb), Cirrus (Ci), awan tebal, Stratocumulus (Sc), Cumulus (Cu), Stratus (St)/fog dan

clear (tanpa ada awan) (Tokuno&Tsuchiya, 1994).

Pengelompokkan jenis awan berdasarkan selisih nilai temperatur kecerahan

antara IR1 dan IR2 juga dilakukan oleh Suseno dan Yamada. Pengelompokkan ini

menggunakan algoritma split window antara kanal IR1 dan IR2 dari MTSAT dan Multi

Spectral Classification. Jenis awan dengan metode ini akan dibagi menjadi delapan

kelompok yaitu Cb, Cb dewasa (MCB), Cirrus tebal (TkCi), Cirrus tipis (TiCi), awan

menengah (MC), awan rendah (LC), daratan dan lautan (Suseno&Yamada, 2012).

Aplikasi kecerdasan buatan dalam mengelompokkan jenis awan juga sering

digunakan dalam menganalisa data citra, seperti penggelompokkan jenis awan dengan

menggunakan metode jaringan syaraf tiruan oleh Sanju Kuril, dkk. Pengelompokkan

jenis awan dari citra satelit yang diolah dibagi berdasarkan tiga kelompok yaitu awan

rendah, menengah dan tinggi (Kuril&Saini, 2013).

Pengelompokkan jenis awan dengan menggunakan pendekatan logika fuzzy

telah dilakukan oleh Baum. B, dkk. Pengelompokkan tersebut menggunakan data dari

citra satelit global AVHRR NOAA-11. Pengelompokkan tersebut dibagi ke dalam 8

(delapan) kelas yaitu clear sky, broken low-level cloud, uniform low-level cloud, broken

midle-level cloud, uniform midle-level cloud, broken high-level cloud, uniform high-

level cloud dan uniform thick high-level cloud. Pemisahan jenis awan berdasarkan fraksi

dan tinggi awan dan hanya satu lapisan (single layer) awan yang bisa didefinisikan

(Baum&Titlow, 1997).

Untuk mengidentikasi jenis awan dari citra satelit MTSAT IR1 pada saat

kejadian banjir 5-6 April 2013 di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya akan

digunakan metode logika fuzzy. Konsep logika fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh

Professor Lotfi A. Zadeh dari Universitas California, pada bulan Juni 1965. Logika

fuzzy merupakan generalisasi dari logika klasik yang hanya memiliki dua nilai

keanggotaan, yaitu 0 dan 1. Dalam logika fuzzy, nilai kebenaran suatu pernyataan

berkisar dari sepenuhnya benar sampai dengan sepenuhnya salah. Dengan teori

himpunan fuzzy, suatu objek dapat menjadi anggota dari banyak himpunan dengan

derajat keanggotaan yang berbeda dalam masing-masing himpunan (Arhami, 2004).

Pada umumnya untuk menghasilkan suatu kesimpulan output dari masing-masing

himpunan input sering digunakan sistem inferensi Tsukamoto. Pada Metode

Tsukamoto, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF-Then harus

direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan yang

Page 26: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 16 ~

monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan diberikan secara

tegas (crisp) berdasarkan α-predikat (fire strength). Hasil akhirnya diperoleh dengan

menggunakan rata-rata terbobot (Kusumadewi, 2003).

2. DATA DAN METODE

Data yang akan digunakan untuk mengidentifikasi jenis awan adalah data citra

satelit MTSAT kanal IR1 per jam tanggal 27 Maret hingga 6 April 2013. Data tersebut

diperoleh dari website kochi weather archive dengan resolusi piksel 1800x1800 yang

mencakup daerah 70o-160

o BT/20

o LS-70

o LU. Koordinat lokasi yang akan

diidentifikasi jenis awannya adalah radius 10 Km dari Stasiun Meteorologi Tjut Nyak

Dhien Meulaboh (04.0487 LU, 096.247867 BT). Koordinat lokasi ini dipilih karena

Stasiun Meteorologi Tjut Njak Dhien berada diperbatasan antara kedua kabupaten

tersebut dan lokasi banjir terparah berada di dalam radius tersebut. Hasil pengolahan

citra tersebut kemudian akan dibandingkan dengan sinoptik jenis awan dan present

weather 27 Maret hingga 6 April 2013 selama 18 jam operasional stasiun.

Data citra satelit tersebut kemudian akan diolah dengan menggunakan software

Cloud-IT versi 1.0 (Anjasman, 2012). Software tersebut berfungsi untuk menganalisa

suhu, tinggi puncak awan dan menghasilkan suatu kesimpulan jenis awan dengan

pendekatan logika fuzzy. Secara garis besar, data suhu dan tinggi puncak awan akan

digunakan sebagi inputan untuk menghasilkan suatu kesimpulan jenis awan dengan

menggunakan sistem inferensi Tsukamoto. Pengelompokkan jenis awan dengan metode

fuzzy dapat dibedakan menjadi delapan (8) jenis awan yaitu clear (tidak ada awan),

Stratus (St)/Fog, Stratocumulus (Sc), Nimbostratus, Altostratus/Altocumulus , Cumulus

(Cu), Cirrus/Cirrustratus/Cirruscomulus dan Cumulunimbus (Cb). Rata-rata terbobot

metode Tsukamoto yang diaplikasikan dalam menentukan jenis awan dapat ditulis

sebagai berikut:

)/()( THTxCHxCawan TH

dengan :

µH : derajat keanggotaan tinggi puncak awan

µT : derajat keanggotaan suhu puncak awan

CH : jenis awan berdasarkan tinggi puncak awan

CT : jenis awan berdasarkan suhu puncak awan.

Page 27: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 17 ~

Software tersebut telah diuji dan dibandingkan dengan data jenis awan

pengamatan sinoptik pada beberapa lokasi yaitu Stasiun Meteorologi Polonia Medan,

Cengkareng Jakarta, Juanda Surabaya dan Ngurah Rai Bali tanggal 6-15 Maret 2010.

Persentase nilai kebenaran jenis awan menggunakan metode fuzzy terhadap data awan

sinoptik dari masing-masing stasiun adalah 53,2% hingga 84,7%. Nilai kebenaran

53,2% diperoleh dari Stasiun Metorologi Ngurah Rai Bali, dimana kondisi cuaca pada

tanggal 6-15 Maret sebagian besar cerah hingga berawan. Nilai kebenaran 84,7%

diperoleh dari Stasiun Meteorologi Cengkareng, dimana kondisi cuaca pada tanggal 6-

15 Maret sebagian besar berawan dan hujan (Anjasman&Swarinoto, 2010).

Gambar 1 : Software Cloud-IT versi 1.0

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2 : Grafik suhu puncak awan 27 Maret hingga 6 April 2013

Suhu puncak

awan 3-6 april

Page 28: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 18 ~

Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa pada tanggal 27 Maret hingga 2 April

keadaan suhu puncak awan bervariasi tidak seperti keadaan tanggal 3-6 April (grafik

yang dilingkaran biru). Pada pagi hingga siang hari suhu puncak awan hangat tetapi

pada sore hingga malam hari suhunya dingin. Keadaan atmosfer yang labil ini memicu

pertumbuhan awan-awan konvektif yang mencapai tahap pertumbuhan matangnya pada

sore hingga malam hari. Hal ini diperkuat oleh hasil pengamatan sinoptik 27 Maret

hingga 2 April yang menunjukkan bahwa rata-rata terjadinya hujan dan thunderstorm

pada sore hingga malam hari dan jenis awan hasil pengamatan rata-rata adalah awan

konvektif cumulus dan cumulunimbus.

Hasil analisa suhu puncak tanggal 3 April 2013 (lihat grafik 1), pada umumnya

keadaan atmosfer dari pagi hingga malam hari adalah labil. Hal ini ditandai dengan

terbentuknya awan-awan konvektif cumulonimbus dan cumulus baik dari hasil

pengamatan observer maupun hasil dari identifikasi jenis awan menggunakan logika

fuzzy (lihat tabel 1). Awan-awan konvektif tersebut menyebabkan hujan dengan

intensitas ringan yang terjadi pada pagi dan malam hari dengan curah hujan yang

terukur selama 24 jam adalah 8 mm .

Hasil analisa suhu puncak awan 4 April (lihat grafik 2), dapat dilihat bahwa

keadaan atmosfer dari pagi hingga sore hari adalah labil. Hal ini juga dapat dilihat dari

jenis awan yang tumbuh dari hasil pengamatan sinoptik secara umum adalah awan

konvektif cumulus dan dari hasil pengolahan citra, jenis awan yang tumbuh adalah

awan konvektif cumulonimbus (lihat tabel 2). Keadaan ini berlanjut dengan adanya

lightning pada tengah malam hingga pagi hari, hal ini menandakan keadaan atmosfer

tidak stabil

Hasil analisa suhu puncak awan tanggal 5 April (lihat grafik 3), keadaan

atmosfer yang labil pada tanggal 4 April berlanjut pada pagi hari tanggal 5 april. Pada

pagi hari, keadaan cuaca yang dicatat oleh observer adalah precipitation in sight, terjadi

hujan tetapi tidak jatuh di sekitar stasiun. Suhu puncak awan terus menurun

dibandingkan dengan profil suhu puncak awan tanggal 3-4 April. Penurunan suhu

puncak awan berlanjut hingga pagi hari berikutnya (6 April) dengan terbentuknya awan-

awan konvektif cumulus/cumulonimbus baik dari hasil observasi maupun hasil

identifikasi (lihat tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa keadaan atmosfer sangat labil.

Thunderstorm mulai terjadi pada pukul 08.00 UTC dan terus berlanjut dengan turunnya

hujan dengan intensitas ringan-lebat disertai thunderstorm hingga pagi hari. Curah

Page 29: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 19 ~

hujan yang tercatat pada tanggal 6 April pukul 00.00 UTC adalah sebesar 105,2 mm.

Hujan lebat yang terjadi dari sore (08.00 UTC) hingga pagi hari 6 April menyebabkan

meluapnya beberapa sungai di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya, sehingga

menyebabkan terjadinya banjir.

Hasil analisa suhu puncak awan tanggal 6 April (lihat grafik 4), keadaan

atmosfer masih labil Hal ini ditandai dengan curah hujan yang terukur sebesar 41,2 mm

pada pagi hari 7 April. Jenis awan yang dicatat oleh observer dan hasil identifikasi citra

satelit menggunakan logika fuzzy (lihat tabel 4) secara umum masih menunjukkan

adanya awan-awan konvektif cumulonimbus.

4. KESIMPULAN

Hasil dari analisa profil suhu puncak awan 3,4,5 dan 6 April menunjukkan

bahwa keadaan atmosfer pada saat kejadian banjir adalah sangat labil. Jenis awan yang

diidentifikasi menggunakan logika fuzzy adalah awan konvektif cumulus dan

cumulonimbus yang dapat menyebabkan terjadinya hujan disertai thunderstorm.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih disampaikan oleh Penulis kepada semua pihak yang telah berkontribusi

dalam penyiapan naskah ini.

DAFTAR RUJUKAN

Anjasman. (2012). Identifikasi Jenis Awan Pada Saat Kejadian Cuaca Ekstrim Squall

Line Di Kabupaten Aceh Barat dan Nagan Raya Menggunakan Software Cloud-

IT Versi 1.0. Prosiding Workshop Cuaca Ekstrim BMKG, Vol.1 No.19 November

2012. ISSN 2302-8289. Jakarta.

Anjasman dan Swarinoto Y.S. (2010). Identifikasi Jenis Awan Menggunakan Metode

Piksel-Fuzzy. Buletin MKG, Vol. 6 No.1 Maret 2010, Jakarta. ISSN 0215-1952.

Arhami, M. (2004). Konsep Dasar Sistem Pakar. Yogyakarta: Andi Offset.

Baum. B.A, Tovinkere. V & Titlow. J. (1997). Automated Cloud Classification of

Global AVHRR Data Using A Fuzzy Logic Approach. Journal of Applied

Meteorology. November Vol.36 hal: 1519-1539.

Barry R.G & Chorley R.J. 1998. Atmosphere, Weather, and Climate. Seventh Ed.

Penerbit Routlege, London, ISBN 0-415-16019-7, 409 hal.

Page 30: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 20 ~

Endarwin. (2012) Analisis Objektif Terhadap Kejadian Cuaca Ekstrim di Indonesia

Memanfaatkan Data Satelit Cuaca,. Prosiding Workshop Cuaca Ekstrim BMKG,

Vol.1 No.19 November 2012. ISSN 2302-8289. Jakarta.

Harsa. H, Kurniawan. R, Linarka, U.A&Noviati.S. (2011). Pemanfaatan SATAID

(Satellite Animation And Interactive Diagnosis) untuk Analisa Banjir dan Angin

Putting Beliung Studi Kasus Jakarta dan Yogyakarta. Jurnal Meteorologi dan

Geofisika Vol.12 No.2 September 2011.

Kuril. S, Saini. I & Saini.B.S. (2013). Cloud Classification for Weather Information by

Artificial Inteligence Neural Network, International Journal of Applied Physics

and Mathematics, Vol.3 , No 1, January 2013.

Kusumadewi, S. (2003). Artificial Inteligence.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suseno, DPY & Yamada, TJ. (2012). Two Dimensional, Thresold-Based Cloud Type

Classification Using MTSAT Data. Remote Sensing Letters, Vol.3,No 8, 20

December 2012.

Tokuna, M & Tsuchiya, K. (1994). Classification of Cloud Types Based on Data of

Multiple Satellite Sensors. Advances in Space Research, Vol.14, Issue 3, p. 199-

206, March 1994.

Page 31: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 21 ~

LAMPIRAN TABEL DAN GRAFIK

Jam/UTC 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00

Fuzzy Cb Cb Cb Cb Cb,Ci Cb,Ci Cc,Cs Cc,Cs Cu,Cs

Obs Sc,Ac,

As,Ci

Cb,Ac

As,Ci

Cb,Ac

As,Ci

Cb,Ac

As,Ci

Cb,Ac

As,Ci

Cb,Ac

As,Ci

Sc,As Cu,Sc

Cc

Cu,Sc,

Ci

Weather Mist Mist RERA C.unch RA RA RERA C.decr C.unch

09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00

Cu,Cs Cs,Ci Cb Cb Cb,Ci Ci Cb Cb Ci,Cc Cc

Cu,Sc,

Ac,Ci

Cu,Sc,

Ac,Ci

Cu,Ac

As,Ci

Sc,As

Ci

Sc,Ac

As,Cc

Sc,Ac

As,Cc

Sc,Ac

As,Cc

Sc,Ac

As,Cc

Sc,Ac

As,Cc

Sc,Ac

As,Cc

C.decr C.Incr C.Unch C.Unch C.Unch/RA RA RERA RA RA RERA

Jam/UTC 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00

Fuzzy Cb Cc,Cs Cb,Ci,Cc Cb Cb

Tabel 1 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi logika fuzzy 3 April 2013

Jam/UTC 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00

Fuzzy Cb Cb Cb Cb Cb Cb Ci,Cc Cb Cb,Ci

Obs Sc,Ac Cu,Ac Cu,Ac Cu,Ac Sc,Ac Sc,Ac Sc,Ci Sc,Ac Sc,Ci

Weather Haze C.unc C.unc C.Unc C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc

09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00

Cb,Cu Cb,Ci Cc,Cs Cu,Cs Cc,Cs Cc,Cs Cu,Cc Cc Cc Cu,Cs

Cu,Ac Cu,Ci Cu,Ci Cu,Ci Cu,Ci Sc,Ci Sc,Ci Sc,Ci Sc,Ci Cb,Ci

C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc C.dcr C.inc C.unc C.dcr lightning

Jam/UTC 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00

Fuzzy Cu,Cs Cc,Cs Cb,Ci,Cc Cb Cu,Cs

Tabel 2 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi logika fuzzy 4 April 2013

Jam/UTC 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00

Fuzzy Cu,Cs Cu Cu Cs,Cc Cs Cb,Ci Cb Cb Cb,Ci

Obs Cb,Cc Cu, Cu Cu,Cc Cu,cc Cu,cc Cu,Ci Cu,Ci Cb,Ci

Weather Prc.ins

ight

C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc Ts

09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00

Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb

Cb,Ci Cb Cb Sc Sc Sc Cb CB CB CB

Ts TS RA TS RA RA RA RA TSRA TSRA TSRA TSRA

Jam/UTC 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00

Fuzzy Cb Cb Cb Cb Cb

Tabel 3 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi logika fuzzy 5 april 2013

Jam/UTC 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00

Fuzzy Cb Cb Cb,Ci Cb Cb Cb Cb Cb Cb

Obs Cb Cb Cb Cb Cb Cb Sc Sc Sc

Weather Mist RA RERA C.unch Pr.ins Pr.ins RA RA RA

09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00

Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb Cb

Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As Sc,As

RA RA RA RA RERA C.unc C.unc C.unc C.unc C.unc

Page 32: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 22 ~

Jam/UTC 19.00 20.00 21.00 22.00

Fuzzy Ci Ci,Cc Cb Ci

Tabel 4 : Present weather, jenis awan observasi dan hasil identifikasi 6 April 2013

Grafik 1 : Suhu puncak awan 3 April 2013

Grafik 2 : Suhu puncak awan 4 April 2013

Page 33: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 23 ~

Grafik 3 : Suhu puncak awan 5 April 2013

Grafik 4 : Suhu puncak awan 6 April 2013

Page 34: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 24 ~

ANALISA BENCANA BANJIR DI KOTA PADANG (Studi Kasus Intensitas Curah Hujan Kota Padang 1980 – 2009 dan Aspek

Geomorfologi)

Aprizon Putra1, Triyatno

2 dan Semeidi Husrin

1

1 Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP,

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Jl. Raya Padang- Painan Km 16 Padang, Sumatera Barat 2Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

Jl. Prof. Dr. Hamka Air Tawar Padang - Sumatera Barat

email: [email protected]

Abstract

Flood in Padang is a routine problem which takes place every year at the same locations

and cannot be resolved yet by the local government. Current research has an objective

to obtain data of flood-affected areas (i.e. location and geomorphological conditions)

based on landform analysis. The mapping unit is landform unit which was obtained by

the interpretation of satellite data, topography and geological map. The sampling was

carried out using the Purposive Sampling Method. Based on rainfall statictics from 1980

- 2009, the average rainfall of 3583 mm/yr which implies that Padang has significantly

high rainfall. Padang climate has been classified as type A or extremely wet with Q

value equals 3,90% according to the analysis‟ result using Schmidt-Ferguson climate

classification. The geomorphology of flood-affected areas in Padang is the combination

of central fluvial landform and western marine landform. The central fluvial and

western marine landforms are passed by 6 drainage basins which have about 23 rivers

with total length of 155.40 km.

Keywords: Flood, Padang, Rainfall, Geomorphology and River.

Abstrak

Masalah banjir di Padang merupakan hal yang biasa, dimana hampir setiap tahun terjadi

banjir. Bahkan daerah banjir merupakan daerah yang sama dari tahun ke tahun dan

belum teratasi oleh masyarakat dan lembaga terkait. Penelitian ini bertujuan untuk

mendapatkan data mengenai wilayah terkena bencana banjir dan mendapatkan data

kondisi geomorfologi berdasakan analisa satuan bentuklahan. Satuan pemetaan adalah

satuan bentuklahan yang diperoleh dari interpretasi citra satelit, peta topografi dan peta

geologi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda Purposive Sampling.

Berdasarkan data curah hujan tahun 1980-2009, Rerata curah hujan mencapai 3583

mm/th ini berarti Padang mempunyai curah hujan yang sangat besar. Hasil analisa

dengan klasifikasi iklim menurut Schmidt–Ferguson, menunjukkan bahwa Padang

memiliki tipe iklim A dengan kategori iklim sangat basah, dengan nilai Q = 3,90%.

Geomorfologi daerah banjir di Padang merupakan perpaduan antara bentuklahan fluvial

bagian tengah dan bentuklahan marin bagian barat. Bentuklahan fluvial dan marin

dilalui oleh 6 sungai (DAS) dan 23 aliran dengan total panjang 155,40 km.

Kata Kunci : Banjir, Padang, Curah hujan, Geomorfologi dan Sungai

Page 35: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 25 ~

1. PENDAHULUAN

Umumnya masalah banjir disebabkan oleh; a) akibat dari aktifitas manusia,

berupa; 1) timbulnya pemukiman baru di daerah bantaran sungai, 2) perubahan tataguna

lahan baik di daerah hulu maupun hilir, 3) kurangnya pemeliharaan bangunan

pengendalian banjir, 4) pembuangan sampah di saluran drainase, 5) kerusakan hutan di

daerah hulu, dan 6) pemadatan serta penutupan permukaan tanah oleh bangunan.

sedangkan b) akibat dari kondisi alam, berupa; 1) curah hujan yang tinggi, 2) aliran

anak sungai tertahan oleh aliran induk sungai atau back water, dan 3) pembendungan

muara sungai akibat air pasang surut (Asdak, 1995).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wilayah terkena banjir dan

mengetahui kondisi geomorfologi berdasakan analisa satuan bentuklahan di Kota

Padang, sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah untuk dapat mencari solusi dalam

mengatasi masalah banjir yang selalu datang di wilayah yang sama, tidak saja secara

periodik tetapi juga bisa datang apabila intensitas curah hujan melampaui daya.

Sehingga dari hasil penelitian ini masyarakat akan mendapatkan pengetahuan dan

langkah-langkah untuk tindakan preventif dan kuratif bila banjir akan datang.

Selain itu penelitian juga merupakan acuan dalam pengembangan penelitian

khususnya penelitian yang terkait dengan sumber daya dan kerentanan pesisir, di mana

Kota Padang merupakan salah kota pesisir pantai yang memiliki kerentanan tinggi

terhadap bencana di pesisir Barat pulau Sumatera (Husrin, 2012).

2. METODOLOGI

Satuan pemetaan yang digunakan adalah satuan bentuklahan, yang diperoleh dari

interprestasi citra satelit, peta topografi dan peta geologi. Interpretasi ketiga data

tersebut menghasilkan peta satuan bentuklahan sementara (tentatif). Pengambilan

sampel dilakukan dengan metoda Purposive Sampling (Putra, 2012).

2.1 Analisa Curah Hujan

Dalam penelitian ini diperlukan data curah hujan kawasan yang diperoleh dari

nilai curah hujan di beberapa stasiun penakar. Metode dalam menentukan variasi

distribusi curah hujan yaitu:

Page 36: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 26 ~

a) Metode Aljabar

Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai

pengaruh yang setara. Cara ini cocok untuk kawasan dengan topografi datar. Hasil

perhitung curah hujan dengan metode ini diperoleh dengan persamaan.

R = 1 / n (R1 + R2 + . . . . . . +Rn )

Ket.

R = Curah hujan

N = Jumlah titik alat penakar hujan

R1. R2...........................Rn = Curah hujan tiap titik pengamatan

b) Metode Isoyhet

Cara kerja metode ini adalah dengan menggambarkan peta topografi dengan

perbedaan 10 mm - 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik pengamatan. Luas

bagian daerah antara 2 garis ishoyet yang berdekatan diukur dengan planimeter. Variasi

distribusi curah hujan dengan metode ishoyet di hitung dengan persamaan.

R = R1 . A1 + R2 . A2 +...............R8. A8

A1 + A2 + A3

Ket.

R = Curah hujan

R1. R2 = Curah Hujan tiap titik Pengamatan (stasiun)

A1. A2 = Bagian daerah yang diwakili antara dua garis isohyet

c) Iklim

Klasifikasi iklim yang digunakan adalah dengan penentuan nilai Q, yaitu

perbandingan antara bulan kering (BK) dan bulan basah (BB). BK dan BB pada

klasifikasi Schmidt-Ferguson ditentukan tahun demi tahun selama periode pengamatan

yang kemudian dijumlahkan dan dihitung rata-ratanya dengan kriteria klasifikasi

sebagai berikut.

Bulan Basah (BB) = Bulan dengan curah hujan > 100 mm

Bulan Lembab (BL) = Bulan dengan curah hujan antara 60 – 100 mm

Bulan Kering (BK) = Bulan dengan curah hujan < 60 mm

Q : Banyak Bulan Kering x 100%.................

Banyak Bulan Basah

Page 37: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 27 ~

2.3 Analisa Data

Untuk menentukan kerentanan bahaya banjir digunakan beberapa parameter seperti

yang telah diuraikan di atas. Penilaian dari masing-masing parameter setiap satuan

bentuklahan yang diteliti diberi skor. Nilai skor pada satuan bentuklahan dijumlahkan

guna menentukan tingkat bahaya banjir. Tingkat kerentanan ditentukan dengan

persamaan.

I = (Htt – Htr) / K.............(Yeni, 2010)

Ket :

I = Interval kelas

Htt = Jumlah nilai tertinggi

Htr = Jumlah nilai terendah

K = Jumlah kelas yang diinginkan

Frekuensi banjir adalah jumlah peristiwa banjir pada daerah yang sama dalam

satuan waktu tertentu. Peristiwa banjir secara periodik tidak dapat diperhitungkan secara

matematis, karena banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir (tabel 1).

Tabel 1: Klasifikasi Pengukuran Kondisi Banjir

1) Frekuensi Banjir

No Frekuensi Banjir Kriteria Harkat

1 > 20 Tahun sekali Kecil 1

2 10 – 12 Tahun sekali Sedang 2

3 < 10 Tahun sekali Tinggi 3

2) Lama Genangan Banjir

No Lama banjir Kriteria Harkat

1 < 1 Hari Kecil 1

2 1 – 14 Hari Sedang 2

3 < 15 Hari Tinggi 3

3) Kedalaman Banjir

No Kedalaman Banjir Kriteria Harkat

1 > 70 cm Tinggi 1

2 20 – 70 cm Sedang 2

3 10 – 20 cm Agak rendah 3

Sumber: BNPB, 2008.

Page 38: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 28 ~

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Curah Hujan

Data curah hujan yang digunakan diambil dari 9 stasiun hujan, yaitu St. Tabing

(+ 2 mdpl), St. Kasang (+ 2 mdpl) St. Komp. PU (+ 3 mdpl), St. Simp. Alai (+ 5 mdpl),

St. Ladang Padi (+ 350 mdpl), St. Batu Busuk (+ 130 mdpl), St. Gunung Sarik (+ 100

mdpl) dan St. Teluk Bayur (+2 mdpl). Hasil dengan klasifikasi iklim menurut Schmidt–

Ferguson, menunjukkan bahwa Kota Padang memiliki tipe iklim A dengan kategori

iklim sangat basah dengan nilai Q = 3,90%, Untuk menentukan rata - rata distribusi

curah hujan di Kota Padang digunakan metode isohyet. Nilai intensitas curah hujan

dapat dilihat pada grafik (gambar 1) dan peta distribusi curah hujan (gambar 2).

Gambar 1: Grafik Curah Hujan Kota Padang (1980 – 2009)

3.2 Geomorfologi

Geomorfologi Kota Padang merupakan perpaduan antara bentuklahan pebukitan

vulkanik bagian Timur, bentuklahan fluvial bagian Tengah dan bentuklahan marin

bagian Barat. Daerah bagian Timur merupakan perbukitan vulkanik yang lebih tinggi

dari daerah bagian Tengah dan Barat, sehingga daerah bentuklahan fluvial dan marin

dilalui oleh beberapa DAS, yaitu DAS Air Dingin, DAS Air Timbalun, DAS Bt. Arau,

DAS Bt. Kandis, DAS Bt. Kuranji, dan DAS Sungai Pisang. Terdapat tidak kurang dari

23 aliran sungai yang mengalir dengan total panjang mencapai 155.40 km (10 sungai

besar dan 13 sungai kecil). Umumnya sungai besar dan kecil di Kota Padang

ketinggiannya tidak jauh berbeda dengan tinggi permukaan laut. Kondisi ini

mengakibatkan cukup banyak bagian wilayah di Kota Padang yang rawan terhadap

banjir. Hal ini didukung lagi bahwa Kota Padang merupakan daerah tropis mempunyai

curah hujan yang cukup tinggi rata-rata 3583 mm/th dengan rata-rata hari hujan 16 hari

perbulan.

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Jan,

250

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Feb,

251

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Mar,

300

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Apr,

315

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Mei,

244

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Jun,

222

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep

Okt Nov Des, Jul, 281

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Agu,

239

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Sep,

336

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Okt,

380

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Nov,

422

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des, Des,

342

Rata - rata Curah Hujan Bulanan Kota Padang (Tahun 1980 - 2009)

Page 39: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 29 ~

Berdasarkan interpretasi citra satelit, peta topografi, dan peta geologi diperoleh

14 satuan bentuklahan (Verstappen, 1983). Ke-15 satuan bentuklahan tersebut

dikelompokkan menjadi kelompok bentuklahan daratan dan perbukitan. Kelompok

bentuklahan daratan yaitu marin dan fluvial sedangkan kelompok bentuklahan

perbukitan yaitu bentuklahan vulkanik dan bentuklahan solusional (tabel 2).

Tabel 2: Geomorfologi Kota Padang

No. Jenis Morofologi Luas (Ha)

1 Bura Pasir 943.48

2 Aluvial Pantai 1386.94

3 Depresi Antar Beting 738.65

4 Beting Gisik 509.39

5 Kipas Aluvial 1776.73

6 Tanggul Alam 2643.53

7 Rawa Belakang 4160.82

8 Dataran Banjir 684.3

9 Gosong Sungai 363.54

10 Kipas Fluvial - Vulkanik 6313.72

11 Teras Aliran Piroklastik 1877.07

12 Perbukitan Karst 1029.94

13 Pegunungan Volkan 45483.44

14 Perbukitan Vulkanik 743.13

15 Perubahan Manusia* 841.32

Kota Padang 694.96

Sumber: Analisa data, 2011 .

*) Bentuk lahan alami tidak terlihat, karena telah ada campur tangan manusia.

Berdasarkan analisa data pada peta satuan bentuklahan, kejadian banjir di

Padang, umumnya berada pada satuan bentuklahan dataran Aluvial pantai, Depresi

antar beting, Rawa belakang, Dataran banjir dan Gosong sungai yang berada pada

bagian Tengah dan bagian Hilir DAS.

Berdasarkan tabel 3 terlihat ada 5 satuan bentuklahan yang ditandai, satuan

bentuklahan yang ditandai tersebut merupakan satuan bentuklahan yang sangat rentan

terkena banjir, satuan bentuklahan yang rentan terkena banjir tersebut yaitu; 1) satuan

bentuklahan lagun dan lagun yang masih aktif secara spasial berada pada topografi datar

dan daerah ini dikategorikan kelas tinggi - sedang terhadap banjir, 2) satuan

Page 40: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 30 ~

bentuklahan depresi antar beting terdapat memanjang antara beting gisik di belakang

pantai, mulai dari satuan bentuklahan bura pantai arah ke darat, satuan bentuklahan ini

secara spasial berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas tinggi

terhadap banjir, 3) satuan bentuklahan rawa belakang (backswamp) terdapat di

belakang satuan bentuklahan tanggul alam (Natural levee), satuan bentuklahan ini

secara spasial berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas tinggi -

sedang terhadap banjir, 4) satuan bentuklahan dataran banjir (floodplain) terdapat di

kiri kanan aliran sungai, satuan bentuklahan ini secara spasial berada pada topografi

datar dan daerah ini dikategorikan kelas sedang terhadap banjir dan 5) satuan

bentuklahan gosong sungai yang terdiri dari satuan bentuklahan point bar dan channel

bar. Point bar biasanya terdapat pada tikungan dalam meander, sedangkan channel bar

merupakan sebuah pulau di tengah aliran sungai, satuan bentuklahan ini secara spasial

berada pada topografi datar dan daerah ini dikategorikan kelas sedang terhadap banjir

(Tabel 3).

Dari tabel 3 dapat dilihat tingkat bahaya banjir terbesar terdapat pada Kecamatan

Koto Tangah dengan luas daerah 8.90 km₂ dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan

Lubuk Begalung dengan luas daerah 0.05 km₂. Tingkat bahaya banjir sedang yang

terbesar terdapat pada Kecamatan Kuranji dengan luas daerah 8.02 km₂ sedangkan

tingkat bahaya banjir sedang terendah terdapat pada Kecamatan Padang utara dengan

luas daerah 1.46 km₂. Tingkat bahaya banjir terendah terdapat pada Kecamatan Koto

tangah dengan luas daerah 250.59 km₂. Tingginya tingkat bahaya banjir di Kota Padang

umumnya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kejadian pasang-surut air laut.

Pasang-surut di Kota Padang memiliki tipe pasang-surut ganda campuran, dalam artian

dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali mengalami surut air laut. Kejadian

banjir di Kota padang sering bertepatan dengan kejadian pasang naik, sehingga air yang

akan mengalir ke laut terhambat karena bertemunya dua massa air yaitu massa air tawar

dan massa air laut ini yang sering menyebabkan banjir.

Informasi terbaru mengenai bencana banjir di Kota Padang yaitu peristiwa banjir

bandang tanggal 24 Juli 2012 di Kecamatan Pauh akibat kegiatan illegal logging di

kawasan penyangga perbukitan yang menyebabkan topografi bagian hulu mengalami

degradasi. Selain itu bantaran sungai juga mengalami sedimentasi. Kerusakan hutan

pada bagian hulu sungai mengalami erosi dan penumpukan material pada daerah

bantaran sungai.

Page 41: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 31 ~

Tabel 3: Luas Bahaya Banjir secara Administrasi di Kota Padang

No Kecamatan Luas (km₂) Bahaya Banjir Luas Bahaya Banjir (km

₂)

1 Koto Tangah

232.25

Tinggi 8.90

Rendah 250.59

Sedang 6.45

2

Pauh

146.29

Rendah 116.90

Sedang 2.63

3 Kuranji 57.41

Tinggi 0.87

Rendah 49.05

Sedang 8.02

4 Nanggalo 8.07

Tinggi 1.60

Rendah 4.20

Sedang 5.32

5 Padang Utara 8.08

Tinggi 5.03

Rendah 0.68

Sedang 1.46

6 Lubuk Kilangan 85.99 Rendah 83.43

Sedang 1.20

7

Padang Timur

8.15

Tinggi 2.60

Rendah 3.28

Sedang 1.51

8

Padang Barat

7

Tinggi 4.29

Rendah 0.79

9

Lubuk Begalung

30.91

Tinggi 0.05

Rendah 22.89

Sedang 4.17

10

Padang Selatan

10.03

Tinggi 1.80

Rendah 8.79

Sedang 1.59

11

Bungus Tl Kabung

100.78

Tinggi 1.14

Rendah 97.29

Luas Sedang 1.33

694.96

Sumber: Analisa data, 2011.

Page 42: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 32 ~

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan hasil penelitian adalah Padang memiliki 6 DAS dan terdapat tidak

kurang dari 23 aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota Padang dengan total

panjang mencapai 155.40 km. Curah hujan di Padang yang cukup tinggi rata-rata 3583

mm/th dengan rata-rata hari hujan 16 hari perbulan. Kondisi Geomorfologi yang rawan

terkena banjir di Kota Padang berada pada satuan bentuklahan dataran Aluvial pantai,

Depresi antar beting, Rawa belakang, Dataran banjir dan Gosong sungai. Kecamatan

Koto tangah merupakan kecamatan terluas terkena banjir di Utara Kota Padang 8.90

km₂ dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan Lubuk Begalung dengan luas daerah

0.05 km₂.

Gambar 3: Peta Hasil Analisa Data

A) distribusi Curah Hujan, B) Geomorfologi

dan C) Peta Bahya Banjir)

A

B

C

Page 43: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 33 ~

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka saran yang dapat di kemukakan adalah

masyarakat sebaiknya tidak mendirikan bangunan-bangunan permanen pada sempadan-

sempadan sungai, yaitu pada radius tertentu dari tubuh sungai (biasanya 100-200 m).

Kawasan ini umumnya merupakan daerah limpah banjir sehingga sebaiknya dihindari.

Pemerintah daerah setempat sebaiknya selalu melakukan monitoring di kawasan yang

berpotensi banjir untuk antisipasi kemungkinan terjadinya bencana banjir.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada anggota tim peneliti Kerentanan

Pesisir Satker LPSDKP Bungus Padang, khusus kepada Bpk. Gunardi Kusumah selaku

Kepala dan penyarah dalam kajian hidrologi. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan

untuk Bpk. Helfia Ideal dan Bpk. Sutarman Karim selaku pembimbing penulis dan tak

lupa kepada sdr. Azhari Syarief selaku editor dalam pemetaan yang telah membantu

serta civitas akademis Jurusan Geografi Universitas Negeri Padang yang telah banyak

membantu penulis dalam menyiapkan data – data pada tulisan ini.

DAFTAR RUJUKAN

Asdak, C., Hidrologi dan Daerah Aliran Sungai, UGM Press., Yogyakarta, 1995.

BNPB., Peraturan BNPB KEP.02/BNPB/2008., Pedoman Umum Pengkajian Risiko

Bencana di Indonesia, 2008.

Husrin, S., and Putra, A., Tsunami vulnerability of critical infrasrtuctures in the city of

Padang', Research Report LPSDKP, Ministry Of Marine Affairs And Fisheries,

Jakarta, 2013.

Syarief, A., Rapid Built-up Cover Changes on Flood Innudation Areas in Padang City,

Thesis IPB., Bogor, 2010.

Putra, A., Studi Erosi Lahan Pada DAS Air Dingin Bagian Hulu di Kota Padang,

Skripsi UNP., Padang, 2012.

Yeni, A., Analisa Permasalahan Banjir di Nagari Pasar Muara Labuh Kec. Sungai Pagu

Kab. Solok Selatan, Skripsi UNP., Padang, 2010.

Verstappen, H., Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys for Environment

Development. Elsivier Sci. Publ. Comp; Amsterdam, 1983.

Page 44: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 34 ~

PEMANASAN GLOBAL DAN KETERKAITANNYA

DENGAN KONDISI EKSTREM HUJAN BEBERAPA

DAERAH DI JAWA DAN SUMATERA

Arief Suryantoro

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN

ariefsurya61@gmail

Abstract.

Variation and trends in extreme rainfall events alleged as one of the effects of global warming phenomenon started to get a lot of attention. Global warming and its association with the extreme conditions of rain in some areas of Java and Sumatra are discussed in this paper. The main data used in this study consisted of global air temperature data published by the Australian BoM and monthly rainfall data published by BMKG Jakarta. The main criteria used to determine the threshold value of rainfall extremes is a percentile criterion that includes the 90th percentile (P90), 95th percentile (P95), and 99th percentile (P99). The results obtained showed that the apparent global warming happening, especially since 1980, not simultaneously followed extreme rainfall events in Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Bandar Lampung and Solok. Before the era of global warming (before 1980) is precisely the number of extreme rainfall events far more from those of global warming era (after 1980) in the region of interest in this study. Keywords: Template, Full Paper, SNSAA 2012

Abstrak

Variasi dan kecenderungan dalam kejadian ekstrem hujan yang diduga sebagai

salah satu dampak dari fenomena pemanasan global mulai mendapat banyak perhatian.

Pemanasan global dan keterkaitannya dengan kondisi ekstrem hujan beberapa daerah di

Jawa dan Sumatera dibahas dalam makalah ini. Data utama yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari data suhu udara global yang dipublikasikan oleh BoM

Australia, dan data curah hujan bulanan yang dipublikasikan oleh BMKG Jakarta.

Kriteria utama yang digunakan untuk menentukan nilai ambang ekstrem hujan adalah

kriteria persentil yang meliputi persentil 90 (P90), persentil 95 (P95), dan persentil 99

(P99). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemanasan global yang tampak jelas

terjadi, terutama sejak tahun 1980, tidak secara serentak diikuti kejadian ekstrem hujan

di Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung. Sebelum era pemanasan

global (sebelum tahun 1980) justru jumlah kejadian ekstrem hujan jauh lebih banyak

dibandingakan dengan era pemanasan global (sesudah tahun 1980) di daerah yang

ditinjau dalam penelitian ini. Kata Kunci : pemanasan global, ekstrem hujan, Jawa dan Sumatera

1. PENDAHULUAN

Pemanasan global dapat dikatakan sebagai kejadian meningkatnya suhu rata-rata

udara (atmosfer), lautan dan daratan bumi. Saat ini, bermakna sebagai ekspresi yang

berkaitan dengan gejala pemanasan dari dampak kegiatan manusia. Meningkatnya suhu

udara (atmosfer) global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang

Page 45: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 35 ~

lain seperti naiknya permukaan air laut, perubahan jumlah dan pola curah hujan sampai

pada tingkat yang ekstrem, (Thompson, 2007). Variasi dan kecenderungan dalam

kejadian iklim ekstrem yang diduga sebagai salah satu dampak dari fenomena

pemanasan global pun mulai mendapat banyak perhatian. Peningkatan secara

eksponensial kerugian ekonomi, ditambah dengan peningkatan kematian akibat

peristiwa ini, telah menggiring opini dan perhatian pada kemungkinan bahwa frekuensi

peristiwa iklim ekstrem ini memang meningkat signifikan. Kejadian ekstrem juga dapat

didefinisikan oleh dampak peristiwa di masyarakat. Dampak tersebut mungkin

melibatkan hilangnya kehidupan yang berlebihan, kerugian ekonomi atau moneter yang

berlebihan, atau keduanya (Easterling et al., 2000).

Selain kenaikan suhu rata-rata global pada permukaan bumi, istilah yang sering

digunakan untuk menggambarkan fenomena pemanasan global adalah adanya

kenaikkan konsentrasi gas karbondioksida (CO2) di atmosfer. Hal ini diawali dari

anggapan para ilmuwan di tahun 1896, bahwa membakar bahan bakar fosil akan

mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Dan

anggapan ini mendapatkan konfirmasi yang bernilai benar, ketika di tahun 1957

sekelompok peneliti mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di

Hawaii dalam rangka program penelitian global International Geophysical Year. Hasil

pengukurannya menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi gas

karbondioksida (CO2) di atmosfer, demikian pula halnya hasil analisis kelompok

peneliti lainnya dalam rentang yang lebih lama, (Morita T. et al., 2001 dari Suryantoro,

2007).

Identifikasi fenomena pemanasan global ini diperoleh dari pengumpulan

pengukuran suhu rata-rata permukaan daratan, lautan maupun udara permukaan yang

dilakukan oleh berbagai negara di dunia, terutama negara-negara anggota WMO (World

Meteorological Organization). Dalam makalah ini digunakan data anomali suhu

permukaan rata-rata global yang dipublikasikan oleh BoM (Bureau of Meteorology)

Australia selama pengamatan 1850 – 2010 untuk menunjukkan adanya fenomena

pemanasan global tersebut, sebagaimana disajikan dalam gambar (1) berikut. BoM,

(2013).

Page 46: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 36 ~

Gambar 1 : Anomali suhu permukaan rata-rata global 1850 – 2010. BoM, (2013).

Secara lebih kuantitatif, identifikasi fenomena pemanasan global ini adalah :

”Suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 1,4 ° F (0.8 ° C) selama 100 tahun

terakhir, dengan sekitar dua per tiga dari pemanasan ini terjadi selama hanya tiga

dekade terakhir sejak tahun 1980”. (America's Climate Choices, 2011). UNFCCC

(United Nations Framework Convention on Climate Change), telah sepakat bahwa

pengurangan emisi dan pemanasan global di masa depan harus dibatasi di bawah 2,0 ° C

(3.6 ° F) relatif terhadap tingkat pra-industri, (UNFCCC, 2011). Meskipun dari laporan

yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh UNEP (United Nations Environment

Programme) dan Badan Energi Internasional menunjukkan bahwa upaya pada awal

abad ke-21 untuk menurunkan emisi mungkin tidak memadai untuk memenuhi ambang

pemanasan global sebesar 2 ° C, sebagaimana target yang dicanangkan UNFCCC

tersebut.

Benua Maritim Indonesia (BMI) yang terdiri dari 17.500 pulau, yang diapit oleh

2 samudera luas yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang memiliki garis

pantai terpanjang di dunia yaitu 81.000 km dan secara geografis terletak di daerah

tropis, merupakan wilayah yang rawan bencana hidrometeorologis, khususnya bila

dikaitkan dengan pemanasan global dan perubahan iklim ekstrem. Dengan demikian,

penelitian tentang identifikasi kejadian ekstrem hujan di beberapa daerah di Jawa dan

Sumatera dalam kaitannya dengan fenomena global merupakan hal yang penting untuk

dilaksanakan. Apakah fenomena pemanasan global memainkan peranan yang signifikan

terhadap kejadian hujan ekstrem di lingkup area yang jauh lebih kecil (misalnya Jawa

dan Sumatera) merupakan hal utama yang ingin diketahui gambaran rincinya. Tujuan

yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan

Page 47: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 37 ~

fenomena pemanasan global dengan kejadian ekstrem hujan di beberapa daerah di Jawa

dan Sumatera (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Lampung).

2. DATA DAN METODE

Data suhu rata-rata permukaan daratan, lautan maupun udara permukaan yang

dikenal sebagai data suhu global, yang merupakan hasil pengumpulan pengukuran suhu

rata-rata permukaan daratan, lautan maupun udara permukaan oleh berbagai negara di

dunia, terutama negara-negara anggota WMO (World Meteorological Organization),

yang dipublikasikan oleh BoM (Bureau of Meteorology) Australia selama pengamatan

1850 – 2010 digunakan sebagai data utama untuk memperoleh gambaran fenomena

pemanasan global. Sedang data curah hujan bulanan beberapa daerah di Jawa dan

Sumatera (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Lampung) selama pengamatan

1901 – 2002 digunakan sebagai data yang dicari nilai / kondisi ekstremnya dan dicari

keterkaitannya dengan fenomena pemanasan global tersebut. Sumber data curah hujan

bulanan beberapa daerah di Jawa dan Sumatera ini adalah BMKG (Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika) Jakarta.

Penentuan nilai ambang batas kondisi ekstrem hujan dalam penelitian ini

menggunakan kriteria persentil, baik persentil 90 (P90), persentil 95 (P95) dan persentil

99 (P99) yang mengacu pada hal serupa, yang dilakukan oleh Haylock dan Nicholls,

(2000) maupun Zhang, Chen dan Stefan (2011). Selanjutnya, dilakukan analisis

frekuensi kejadian dan intensitas ataupun akumulasi hujan ekstrem selama rentang

waktu pengamatan (Januari 1901 – Desmber 2002) dan penelusuran keterkaitannya

dengan fenomena pemenasan global.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Pola bulanan curah hujan (mm) Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata

klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; Cilacap (108,35 °BT;

7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002;

Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata

sentenial 1901 – 2002; Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata klimatologis 1971 – 2000

dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; dan Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS) rata-rata

klimatologis 1971 – 2000 dan rata-rata sentenial 1901 – 2002; masing-masing disajikan

dalam gambar (1), (3), (5), (7) dan (9). Sedang nilai ambang batas kondisi ekstrem

Page 48: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 38 ~

hujan menggunakan kriteria persentil, baik persentil 90 (P90), persentil 95 (P95)

maupun persentil 99 (P99) untuk masing-masing daerah yang sama yang diperoleh

dalam penelitian ini disajikan dalam (2), (4), (6), (8) (10) berikut.

Gambar 1 : Pola bulanan curah hujan (mm) Ciamis

(108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.

Gambar 2 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)

Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.

Gambar 3 : Pola bulanan curah hujan (mm) Cilacap

(109,0 °BT; 7,73 °LS) 1901 – 2002.

Gambar 4 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)

Cilacap (109,0 °BT; 7,73 °LS) 1901 – 2002.

Gambar 5 : Pola bulanan curah hujan (mm)

Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.

Gambar 6 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)

Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS)

1901 – 2002.

408

336350

303

243

145

95 94109

256

305

343

369 362346

286

241

143

9283

112

232

300 301

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

waktu (bulan)

Ciamis (108,35 BT; 7,33 LS)

rata-rata-sentenial-1901-2002 rata-rata-klimatologis-1971-2000 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2002)

408

336 350303

243

14595 94 109

256305

343369 362 346

286241

143

92 83112

232

300 301

0

200

400

600

800

1000

1200

jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des

Cu

ra

h H

uja

n (m

m)

Ciamis ambang ekstrem (P90), (P95) (P99)

rata-rata-sentenial-1901-2002

rata-rata-klimatologis-1971-2000

Persentil 90-(P90)

Persentil 95-(P95)

Persentil 99-(P99)

300

259

288 282 289271

181

153168

376

457

383

320

231

289

261279

226

118

83

152

272

444

369

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Waktu (bulan)

Cilacap (109 BT; 7,73 LS)

rata-rata-sentenial-1901-2012 rata-rata-klimatologis-1981-2010 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2012)

300259

288 282 289 271

181153 168

376

457

383

318

231

289261 279

226

11883

152

272

444

369

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

jan feb mar apr mei jun jul aug sep okt nop des

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Cilacap ambang ekstrem (P90), (P95) (P99)

rata-rata-sentenial-1901-2005

rata-rata-klimatologis-1981-2010

Persentil 90-(P90)

Persentil 95-(P95)

Persentil 99-(P99)

221

183

155

8984

7167

48 47

64

93

155

225

188

158

95 97

6559

43

5954

102

172

0

50

100

150

200

250

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

waktu (bulan)

Banyuwangi (8,22 LS; 114,37 BT)

rata-rata-sentenial-1901-2003 rata-rata-klimatologis-1971-2000 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2003)

221

183155

89 8471

51 49 4764

93

155

225

188

158

95 97

6548 43

59 54

102

172

0

100

200

300

400

500

600

700

jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des

Cu

ra

h H

uja

n (m

m)

Banyuwangi ambang ekstrem (P90), (P95), (P99)

rata-rata-sentenial-1901-2002

rata-rata-klimatologis-1971-2000

Persentil 90-(P90)

Persentil 95-(P95)

Persentil 99-(P99)

Page 49: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 39 ~

Gambar 7 : Pola bulanan curah hujan (mm) Solok

(108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.

Gambar 8 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)

Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS) 1901 – 2002.

Gambar 9 : Pola bulanan curah hujan (mm)

Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS)

1901 – 2002.

Gambar 10 : Ambang ekstrem curah hujan (mm)

Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS)

1901 – 2002.

Pola bulanan curah hujan (mm) dengan akumulasi hujan rata-rata tertinggi dan

terrendah, ambang ekstrem P90, P95 dan P99; rata-rata klimatologis 1971 – 2000; dan

rata-rata sentenial 1901 – 2002 daerah Ciamis (108,35 °BT; 7,33 °LS) disajikan dalam

gambar (11) dan (12). Hal yang serupa untuk daerah Cilacap (108,35 °BT; 7,33 °LS)

disajikan dalam gambar (13) dan (14); untuk daerah Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33

°LS) disajikan dalam gambar (15) dan (16); untuk daerah Solok (108,35 °BT; 7,33 °LS)

disajikan dalam gambar (17) dan (18); dan untuk daerah Bandar Lampung (108,35 °BT;

7,33 °LS) disajikan dalam gambar (19) dan (20) berikut.

Gambar 11 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Ciamis Januari

1901 – 2002.

Gambar 12 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Ciamis

Agustus 1901 – 2002.

223

175

209218

147

10392

115

157

188

224

248

218

169

222 219

163

10899

123

152 148

170

221

0

50

100

150

200

250

300

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

waktu (bulan)

Solok (0,82 LS; 100,67 BT)

rata-rata-sentenial-1901-2003 rata-rata-klimatologis-1971-2000 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2003)

223

175

209218

147

10392

115

78

179

129

229218

169

222 219

163

10899

123133

148

170

221

0

100

200

300

400

500

600

jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Solok ambang ekstrem (P90), (P95), (P99)

rata-rata-sentenial-1901-2002

rata-rata-klimatologis-1971-2000

Persentil 90-(P90)

Persentil 95-(P95)

Persentil 99-(P99)

289

274

254

162

145

10694 100

109

132

169

255

302

263251

134 138

97

82 86

107

92

156

240

0

50

100

150

200

250

300

350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

waktu (bulan)

Bandar Lampung (5,45 LS; 105,25 BT)

rata-rata-sentenial-1901-2003 rata-rata-klimatologis-1971-2000 Poly. (rata-rata-sentenial-1901-2003)

223

175

209218

147

10392

115105

179

201

229218

169

222 219

163

10899

123107

148

170

221

0

100

200

300

400

500

600

700

jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Solok ambang ekstrem (P90), (P95), (P99)

rata-rata-sentenial-1901-2002

rata-rata-klimatologis-1971-2000

Persentil 90-(P90)

Persentil 95-(P95)

Persentil 99-(P99)

1039 mm;(1916)

653 mm;(1919)

737mm;(1930)

811 mm;(1931)

659 mm;(1956)

902 mm;(1968)

764 mm;1969)

793 mm;1991)

0

200

400

600

800

1000

1200

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Ciamis Januari 1901-2002 (P90=176.1%; P95=211.9%; P99 = 260.4% thd rata-rata 1971-2000)

hujan-obsv (mm)

rata-rata (1971-2000)=369.2 mm

ekstr-P90=650.0 mm

ekstr-P95=782.2 mm

ekstr-P99=961.3 mm

Linear (hujan-obsv (mm))

567 mm;(1904)

210 mm;(1916)

322 mm;(1917)

413 mm;(1920)

214 mm;(1933)

383 MM;(1943)

446 mm;(1955)

331 mm;(1956)

1199 mm;(1957)

459 mm;(1968)

310 mm;(1974)

309 mm;(1998)

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Ciamis Agustus 1901-2002 (P90=228.0%; P95=337.1%; P99 = 432.9% thd rata-rata 1971-2000)

hujan-obsv (mm)

rata-rata (1971-2000)=83.0 mm

ekstr-P90=189.2 mm

ekstr-P95=279.8 mm

ekstr-P99=359.3 mm

Page 50: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 40 ~

Gambar 13 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

curah hujan (mm) Cilacap Nopember

1901 – 2002.

Gambar 14 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

curah hujan (mm) Cilacap Agustus 1901 – 2002.

Gambar 15 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Banyuwangi

Januari 1901 – 2002.

Gambar 16 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

P90, P95 dan P99 curah hujan (mm) Banyuwangi

Agustus 1901 – 2002.

Gambar 17 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

curah hujan (mm) Solok Desember

1901 – 2002.

Gambar 18 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

curah hujan (mm) Solok Juli

1901 – 2002.

Gambar 19 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

P90, P95 dan P99 curah hujan (mm)

Bandar Lampung Januari 1901 – 2002.

Gambar 20 : Pola bulanan dan ambang ekstrem

P90, P95 dan P99 curah hujan (mm)

Bandar Lampung Juli 1901 – 2002.

886 mm;(1901)

757 mm;(1918)

954 mm;(1935)

873 mm;(1952)

850 mm;(1954) 756 mm;

(1974)756 mm;

(1980)752 mm;

(1983)

799 mm;(2005)

853 mm;(2007)

0

200

400

600

800

1000

1200

19

01

19

03

19

05

19

07

19

09

19

11

19

13

19

15

19

17

19

19

19

21

19

23

19

25

19

27

19

29

19

31

19

33

19

35

19

37

19

39

19

41

19

43

19

45

19

47

19

49

19

51

19

53

19

55

19

57

19

59

19

61

19

63

19

65

19

67

19

69

19

71

19

73

19

75

19

77

19

79

19

81

19

83

19

85

19

87

19

89

19

91

19

93

19

95

19

97

19

99

20

01

20

03

20

05

20

07

20

09

20

11

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Cilacap Nopember 1901-2012 (P90=167.6%; P95=187.6%; P99 = 214.6% thd rata-rata 1981-2010)

hujan-obsv (mm)

rata-2-(1981-2010)=443.5 mm

ekstr-P90=743.4 mm

ekstr-P95=831.8 mm

ekstr-P99=951.8 mm

631 mm;(19016)

695 mm;(1908)

903 mm;(1920)

955 mm;(1938)

741 mm;(1943)

598 mm;(1954)

983 mm;(1955)

539 mm;(1956)

492 mm;(1958)

913 mm;(1974)

0

200

400

600

800

1000

1200

19

01

19

03

19

05

19

07

19

09

19

11

19

13

19

15

19

17

19

19

19

21

19

23

19

25

19

27

19

29

19

31

19

33

19

35

19

37

19

39

19

41

19

43

19

45

19

47

19

49

19

51

19

53

19

55

19

57

19

59

19

61

19

63

19

65

19

67

19

69

19

71

19

73

19

75

19

77

19

79

19

81

19

83

19

85

19

87

19

89

19

91

19

93

19

95

19

97

19

99

20

01

20

03

20

05

20

07

20

09

20

11

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Cilacap Agustus 1901-2012 (P90=580.0%; P95=820.8%; P99 = 1202.7% thd rata-rata 1981-2010)

hujan-obsv (mm)

rata-2-(1981-2010)=83.2 mm

ekstr-P90=476.8 mm

ekstr-P95=674.7 mm

ekstr-P99=988.6 mm

617 mm;(1902)

383 mm;(1906)

526 mm;(1913)

413 mm;(1938) 411 mm;

(1940)

447 mm;(1994)

377 mm;(2002)

462 mm;(2003)

0

100

200

300

400

500

600

700

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Banyuwangi Januari 1901-2003

(P90=162.6%; P95=183.2%; P99 = 255.1% thd rata-rata 1971-2000)

hujan-obsv (mm)

rata-rata (1971-2000)=225.4 mm

ekstr-P90=366.4 mm

ekstr-P95=412.9 mm

ekstr-P99=575.0 mm

306 mm;(1901)

246 mm;(1909)

185 mm;(1917)

147 mm;(1921)

145 mm;(1930) 135 mm;

(1939)

260 mm;(1951)

194 mm;(1986) 183 mm;

(1988)

130 mm;(2000)

0

50

100

150

200

250

300

350

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Banyuwangi Agustus 1901-2003 (Q6=260.1%; P90=299.1%; POT=340.9%; P92=343.7%; P93=365.8%; P95=421.4%; P96=450.9%; P99 = 671.9% thd rata-rata 1971-2000)

hujan-obsv (mm)

rata-rata (1971-2000)=43.0 mm

ekstr-P90=128.6 mm

ekstr-P95=181.2 mm

ekstr-P99=288.9 mm

534 mm;(1904)

575 mm;(1912) 545 mm;

(1925)

473 mm;(1931)

503 mm;(1935)

562 mm;(1963)

448 mm;(1973)

458 mm;(1982)

536 mm;(1994)

479 mm;(2003)

0

100

200

300

400

500

600

700

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Solok Desember 1901-2003

(P90=201.0%; P95=234.6%; P99 = 269.8% thd rata-rata 1971-2000)

hujan-obsv (mm)

rata-rata (1971-2000)=220.5 mm

ekstr-P90=443.1 mm

ekstr-P95=517.4 mm

ekstr-P99=594.9 mm

261 mm;(1907) 245 mm;

(1910) 238 mm;(1953)

246 mm;(1960)

389 mm;(1963)

327 mm;(1979)

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Solok Juli 1901-2003

(P90=242.0%; P95=234.7%; P99 = 381.1% thd rata-rata 1971-2000)

hujan-obsv (mm)

rata-rata (1971-2000)=98.6 mm

ekstr-P90=238.6 mm

ekstr-P95=231.4 mm

ekstr-P99=375.8 mm

698 mm;(1914)

478 mm;(1934)

923 mm;(1956)

507 mm;(1960)

483 mm;(1987)

468 mm;(1988)

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Bandar Lampung Januari 1901-2003

(P90=210.0%; P95=227.3%; P99 = 245.5% thd rata-rata 1971-2000)

hujan-obsv (mm)

rata-rata (1971-2000)=202.0 mm

ekstr-P90=424.2mm

ekstr-P95=459.2 mm

ekstr-P99=495.9 mm

223 mm;(1922)

256 mm;(1951)

244 mm;(1955)

278 mm;(1960)

422 mm;(1975)

274 mm;(1995)

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

Cu

ra

h H

uja

n (

mm

)

Pola bulanan dan ambang ekstrem curah hujan (mm) kriteria Persentil 90, 95 dan 99; Bandar Lampung Juli 1901-2003 (P90=273.2%; P95=314.7%; P99 = 408.4% thd rata-rata 1971-2000)

hujan-obsv (mm)

rata-rata (1971-2000)=70.2 mm

ekstr-P90=191.8 mm

ekstr-P95=220.9 mm

ekstr-P99=286.7 mm

Page 51: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 41 ~

3.2. Pembahasan

Dari gambar (1), (5), (7) dan (9) terlihat secara umum bahwa pola utama curah

hujan bulanan di daerah yang ditinjau dalam penelitian ini, baik itu di daerah Ciamis

(108,35 °BT; 7,33 °LS); Banyuwangi (108,35 °BT; 7,33 °LS); dan Solok (108,35 °BT;

7,33 °LS) maupun Bandar Lampung (108,35 °BT; 7,33 °LS), baik rata-rata sentenial

selama seratus tahun lebih (1901 – 2002) maupun rata-rata klimatologis selama 30

tahun (1971 – 2000) memberikan pola utama yang serupa. Secara umum menunjukkan

adanya pola curah hujan monsunal (pola curah hujan bulanan yang memiliki akumulasi

puncak curah hujan satu kali dalam satu tahun, dan memiliki akumulasi lembah curah

hujan satu kali dalam satu tahun. Secara kasar, dapat dianalogikan dengan pola serupa

huruf “V”). Dengan mengacu pada kajian yang dilakukan dalam BoM (2013) maupun

America's Climate Choices, (2011) di atas, yang menyatakan bahwa “sekitar dua per

tiga dari pemanasan global ini terjadi selama hanya tiga dekade terakhir sejak tahun

1980”, maka dapat diungkapkan pemanasan global tidak mempengaruhi secara

signifikan terhadap pola utama curah hujan bulanan di daerah Ciamis, Banyuwangi dan

Bandar Lampung.

Sedang untuk dua daerah lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini yaitu

Cilacap (108,35 °BT; 7,33 °LS), sebagaimana disajikan dalam gambar (3) di atas,

memiliki pola utama curah hujan yang sedikit berbeda. Di daerah Cilacap ini memiliki

akumulasi puncak curah hujan dua kali dalam satu tahun (Mei dan Nopember), dan

memiliki akumulasi lembah curah hujan satu kali dalam satu tahun (Agustus). Pola

seperti ini dikenal sebagai pola curah hujan ekuatorial. Namun demikian, dalam

kaitannya dengan fenomena pemanasan global maka dapat diungkapkan bahwa, sama

seperti daerah lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini (Ciamis, Banyuwangi dan

Bandar Lampung), pemanasan global tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap

pola utama curah hujan bulanan di daerah Cilacap ini.

Dari gambar (2), (4), (6) dan (10) terlihat secara umum bahwa nilai ambang

ekstrem hujan yang diperoleh secara umum juga mengikuti pola nilai-nilai maksimum

akumulasi hujan sentenial maupun klimatologisnya. Nilai ambang ekstrem hujan

berdasar kriteria persentil 90 (P90) sudah dapat mencerminkan kondisi ekstrem hujan di

daerah yang ditinjau, karena sudah jauh berada di atas ambang batas keadaan di atas

normal, jika mengacu pada kriteria ambang batas di atas normal yang ditetapkan oleh

BMKG selama ini. Untuk kasus bulan Januari selama 1901 – 2002, di semua daerah

yang ditinjau dalam penelitian ini memiliki nialai ambang ekstrem hujan P90 >137,0%

Page 52: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 42 ~

terhadap nilai rata-rata klimatologi 1971-2000. Secara lengkap, di daerah Ciamis

memiliki nilai ambang ekstrem hujan P90 > 176,1% terhadap nilai rata-rata klimatologi

1971-2000. Di daerah Cilacap memiliki nilai P90 > 137,2%; di Banyuwangi memiliki

nilai P90 > 162,6%; di Solok memiliki nilai P90 > 164,4% dan di Bandar Lampung

memiliki nilai P90 > 210,0%. Sebagaimana diketahui, bahwa jika hujan yang terjadi

memiliki nilai perbandingan > 115,0% terhadap rata-rata 30 tahunnya, maka hujan pada

saat tersebut digolongkan sebagai di atas normal (BMKG, 2013).

Nilai ambang ekstrem hujan berdasar kriteria persentil 95 (P95) dan persentil 99 (P99)

memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai ambang ekstrem hujan P90

di semua daerah yang ditinjau dalam penelitian ini.

Sedang dari gambar (11) sampai (20), yang secara umum menunjukkan pola

bulanan curah hujan (mm) dengan akumulasi hujan rata-rata tertinggi dan terrendah,

ambang ekstrem P90, P95 dan P99; rata-rata klimatologis 1971 – 2000; dan rata-rata

sentenial 1901 – 2002 di semua daerah yang ditinjau dalam penelitia ini (Ciamis,

Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung) diperoleh gambaran bahwa dalam

sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) jumlah kejadian ekstrem hujan

jauh lebih banyak dibandingakan dengan era pemanasan global (sesudah tahun 1980).

Secara lebih rinci, untuk daerah Ciamis selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total

kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 (dan yang lebih tinggi yaitu P95 dan P99)

ada 74 kejadian, dengan rincian 62 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global

(sebelum tahun 1980) dan 12 kejadian terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun

1980). Hal serupa, untuk daerah Cilacap, selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total

kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 ada 124 kejadian, dengan rincian 99

kejadian terjadi sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 25 kejadian

terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun 1980). Sedang untuk daerah

Banyuwangi, selama rentang pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan

berdasar kriteria P90 ada 116 kejadian, dengan rincian 80 kejadian terjadi sebelum era

pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 36 kejadian terjadi di era pemanasan

global (sesudah tahun 1980). Untuk daerah Solok selama rentang pengamatan 1901 –

2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria P90 (dan yang lebih tinggi yaitu

P95 dan P99) ada 115 kejadian, dengan rincian 92 kejadian terjadi sebelum era

pemanasan global (sebelum tahun 1980) dan 23 kejadian terjadi di era pemanasan

global (sesudah tahun 1980). Terakhir, untuk daerah Bandar Lampung, selama rentang

pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar kriteria ≥ P90 ada 141

Page 53: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 43 ~

kejadian, dengan rincian 114 kejadian terjadi sebelum era pemanasan global (sebelum

tahun 1980) dan 27 kejadian terjadi di era pemanasan global (sesudah tahun 1980).

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sekaligus mengindikasikan bahwa

pemanasan global tidak serta-merta (simulataneously) diikuti kejadian ekstrem hujan di

daerah yang memiliki skala jauh di bawah ukuran global, seperti daerah ditinjau dalam

penelitian ini (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung). Bahkan

untuk skala daerah yang sama pun (misalnya global), pola pemanasan global juga tidak

selalu diikuti dengan kejadian hujan dengan pola ataupun kecenderungan yang sama.

Hal ini tampak jelas jika membandingkan pola ataupun kecenderungan pemanasan

global di BBU dan BBS dengan pola ataupun kecenderungan curah hujan global di

BBU dan BBS, sebagaimana disajikan dalam gambar (21.a; 21.b; 22.a dan 22.b)

berikut.

Gambar 21.a : Anomali suhu permukaan

rata-rata BBU 1850 – 2010. BoM, (2013).

Gambar 21.b : Anomali curah hujan rata-

rata BBU 1850 – 2010. BoM, (2013).

Gambar 22.a : Anomali suhu permukaan rata-rata

BBS 1850 – 2010. BoM, (2013).

Gambar 22.b : Anomali curah hujan rata-rata

BBS 1850 – 2010. BoM, (2013).

Page 54: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 44 ~

4. KESIMPULAN

Pemanasan global yang tampak jelas terjadi, terutama sejak tahun 1980, tidak serta-

merta (simulataneously) diikuti kejadian ekstrem hujan di daerah yang ditinjau dalam

penelitian ini (Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok dan Bandar Lampung). Diperoleh

gambaran yang cukup berbeda dengan anggapan (hipotesa) yang digunakan pada awal

penelitian ini, yang mengacu pada kajian Thomson (2007), yang menyatakan bahwa

meningkatnya suhu udara (atmosfer) global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-

perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, perubahan jumlah dan pola

curah hujan sampai pada tingkat yang ekstrem. Hasil penelitian ini justru menunjukkan

bahwa sebelum era pemanasan global (sebelum tahun 1980) jumlah kejadian ekstrem

hujan jauh lebih banyak dibandingakan dengan era pemanasan global (sesudah tahun

1980). Perbedaan yang mencolok terjadi di wilayah kajian Bandar Lampung (108,35

°BT; 7,33 °LS). Selama pengamatan 1901 – 2002, total kejadian ekstrem hujan berdasar

kriteria ≥ P90 ada 141 kejadian, dengan 114 kejadian terjadi sebelum era pemanasan

global dan 27 kejadian terjadi di era pemanasan global.

UCAPAN TERIMA KASIH.

Diucapkan terimakasih kepada Drs. Afif Budiyono, M.T. dan Dr. Didi Satiadi atas

masukan, saran dan diskusi yang konstruktif dalam penelitian ini. Penelitian ini

merupakan bagian dari Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi yang ada di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Tahun anggaran

2013.

DAFTAR RUJUKAN

America's Climate Choices, Washington, D.C., The National Academies Press.

ISBN 978-0-309-14585-5., pp.15, 2011 dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Global_warming. Diakses 18 September 2013.

BMKG, Prakiraan Hujan Bulan Maret, Apri dan Mei 2013; dari :

http://www.bmkg.go.id/ImagesData/prash0513.jpg, 2013. Diakses 4 April 2013.

BoM, About the Climate Extremes Analyses dari

http://www.bom.gov.au/climate/change. Diakses 9 Januari 2013.

Haylock, M and N.Nicholls, Trends in Extreme Rainfall Index for an Updated High

Quality Data Set for Australia, 1910 – 1998, Int. J. Climatol., 20, pp. 1533–1541,

2000.

Page 55: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 45 ~

Easterling, D.R., J.L. Evans, P. Ya. Groisman, T.R. Karl, K.E. Kunkel, P. Ambenje.

Observed Variability and Trends in Extreme Climate Events : A Brief Review,

Bulletin of the American Meteorological Society, vol.81, 417-425, 2000.

Morita, T. et al. (2001). Greenhouse Gas Emission Mitigation Scenarios and

Implications. In: Climate Change 2001: Mitigation. Contribution of Working Group

III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate

Change [B. Metz et al. Eds.]. Cambridge University Press, Cambridge, U.K., and

New York, N.Y., U.S.A.. Retrieved on 2010-01-10.

Suryantoro, Arief, Pro dan Kontra Dunia Menyikapi Perubahan dan Pemanasan Global,

Media Dirgantara, vol.2 no.4, Desember 2007, 6-10.

Thompson, Andrea, 2007, NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes,

Storms, Fox News, September 04, 2007, dari

http://www.foxnews.com/story/0,2933,295272,00.html. Diakses 22 Januari 2009.

Zhang, Q., X. Chen, and B. Stefan, 2011, Spatio-Temporal Variations of Precipitation

Extremes in the Yangtze River Basin (1960-2002), China, Atmospheric and Climate

Sciences, 2011, 1, pp. 1-8, doi:***** Published Online January 2011 dari :

http://www.SciRP.org/journal/acs. Diskses 15 Maret 2012.

Page 56: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 46 ~

DESAIN MUATAN ROKET SONDA EKSPERIMEN

BERBASIS ROKET RX-100 UNTUK PENGUKURAN

PROFIL VERTIKAL PARAMETER ATMOSFER

Asif Awaludin, Halimurrahman, Rachmat Sunarya, Soni Aulia R

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN

Email : [email protected]

Abstract

Sounding rocket is ones of instruments used for atmospheric vertical profile

measurement. This paper describe about payload design for Sounding Rocket

Experiment based on RX-100 rocket which consist of rocket aerodynamics payload and

atmospheric parameter payload. The design was created by considering RX-100 rocket

technical specification and vertical profile of atmospheric parameter being measured.

Based on analysis result to the design, it is expected that initial acceleration of the

rocket flight carrying 6 kg payload is about 5.35 g, and its last acceration is about 8,02

g. Signal power expected to be received by the receiver system, which has receiving

sensitivity -118 dBm, from a 1 watt rocket payload transmitter at 8 km height is -73,29

dBm.

Keywords : Sounding Rocket Experiment, payload, atmospheric parameter.

Abstrak

Salah satu instrumen untuk pengukuran profil vertikal atmosfer adalah roket sonda.

Dalam tulisan ini dibuat desain muatan Roket Sonda Eksperimen berbasis roket RX-100

yang terdiri dari muatan aerodinamika roket dan muatan parameter atmosfer.

Pembuatan desain dilakukan dengan mempertimbangkan spesifikasi teknis roket RX-

100 dan profil vertikal parameter atmosfer yang akan diukur. Berdasarkan analisis

terhadap hasil desain, diharapkan percepatan awal terbang roket dengan total berat

muatan 6 kg adalah sekitar 5,35 g dan percepatan akhirnya adalah sekitar 8,02 g. Daya

sinyal yang diharapkan diterima oleh sistem penerima telemetri roket dengan

sensitivitas penerimaan -118 dBm dan daya transmisi muatan 1 watt pada ketinggian

maksimum 8 km adalah sebesar -73,29 dBm.

Kata Kunci : Roket Sonda Eksperimen, muatan, parameter atmosfer.

1. LATAR BELAKANG

Pengukuran profil vertikal parameter atmosfer sangat penting dilakukan untuk

memahami iklim dan cuaca yang sedang terjadi atau bahkan untuk memprediksi kondisi

cuaca dan iklim di waktu yang akan datang. Instrumen yang dapat digunakan untuk

melakukan pengukuran tersebut antara lain satelit pengamat cuaca, roket sonda,

radiosonda dan radar. Dalam tulisan ini dilakukan desain eksperimen roket sonda

Page 57: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 47 ~

berbasis roket RX-100. Desain ini akan digunakan sebagai panduan pembuatan roket

sonda yang akan dilakukan selanjutnya.

Pembuatan desain dilakukan dengan mempertimbangkan spesifikasi teknis roket

RX-100 dan kondisi parameter atmosfer yang akan diukur oleh Roket Sonda

Eksperimen. Parameter atmosfer yang akan diukur meliputi tekanan udara, suhu udara,

dan kelembaban udara. Hasil desain kemudian akan dianalisis prediksi kinerjanya

meliputi prediksi kinerja roket setelah ada muatan, prediksi kinerja sistem transmisi

data, dan prediksi kinerja sistem sensor.

2. PERTIMBANGAN DESAIN

Roket yang digunakan untuk Roket Sonda Eksperimen adalah roket RX-100

yang diproduksi oleh Pusat Teknologi Roket LAPAN. Roket ini mempunyai spesifikasi

seperti ditunjukkan dalam Tabel 2-1 (Satrya dan Simorangkir, 2013). Bentuk roket hasil

foto kamera ditunjukkan dalam Gambar 2-1. Berdasarkan spesifikasi roket tersebut

kemudian dibuat kriteria bahan pertimbangan untuk pembuatan desain muatan roket

yang meliputi pertimbangan dimensi dan berat muatan, sistem transmisi data, dan

sistem sensor aerodinamika roket yang akan digunakan. Sensor akselerasi yang

digunakan mempunyai kisaran hingga 10g dan sensor kecepatan sudut mempunyai

kisaran hingga 300 o/s (Widada, 2005 dan Wahyudi et al, 2009).

Selain itu, untuk bahan pembuatan desain sensor-sensor muatan atmosfer yang

akan dipasang pada muatan roket, digunakan bahan pertimbangan berupa data profil

vertikal tekanan udara, temperatur udara, dan kelembaban udara daerah Surabaya

tanggal 13 Juli 2012 jam 07.00 WIB yang grafiknya ditunjukkan dalam Gambar 2-2.

Data tersebut diperoleh dari data Radiosonda University of Wyoming. Kriteria-kriteria

pertimbangan desain untuk muatan Roket Sonda Eksperimen secara keseluruhan

tercantum dalam Tabel 2-2.

Page 58: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 48 ~

Gambar 2-1. Foto RX-100.

Tabel 2-1. Spesifikasi Roket RX-100.

Spesifikasi Spesifikasi

Tipe 1110 Akselerasi max 10 g

Panjang 195 cm Gaya Dorong 289 kgf

Berat 34,845 kg Tekanan Rata-rata 43 kg/cm3

Kisaran vertikal 6,83 km Massa motor roket 45,36 kg

Kisaran horizontal 8,77 km Massa propelan 20 kg

Diameter dalam 107 mm Kecepatan pembakaran 3,33 kg/s

Diameter luar 114,3 mm

Sumber : Satrya dan Simorangkir, 2013.

Gambar 2-2. Profil vertikal tekanan, temperature, dan kelambaban daerah Surabaya

tanggal 13 Juli 2012.

Page 59: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 49 ~

Tabel 2-2. Pertimbangan desain

Kriteria Nilai Kriteria Nilai

Range vertikal max 8 km Tekanan Udara Luar 350 s/d 1015 mbar

Massa muatan max 6 kg Temperatur Luar -25 s/d 40 oC

Daya transmisi 1 watt Kelembaban Luar 0 – 100 %

Akselerasi max 10 g Metode separasi Teknik Pyro

Kecepatan Sudut Max 300 o/s Kecepatan turun 3 m/s

Sumber : Hasil perancangan

3. HASIL DESAIN

Berdasarkan kriteria pertimbangan desain tersebut, dibuat desain muatan Roket

Sonda Eksperimen. Pada desain ini dibuat dua macam muatan roket yang terpisah, yaitu

muatan aerodinamika roket dan muatan parameter atmosfer. Spesifikasi lengkap hasil

desain kedua muatan tersebut ditunjukkan dalam Tabel 3-1. Susunan muatan dalam

tubuh roket ditunjukkan dalam Gambar 3-1.

Tabel 3-1. Spesifikasi muatan roket hasil desain.

Spesifikasi Muatan Aerodinamika Roket Muatan Parameter Atmosfer

Massa Total 3000 gram 3000 gram

Diameter 94 mm 94 mm

Tinggi 300 mm (nosecone)

200 mm (isi muatan)

200 mm (isi muatan)

100 mm (parasut)

Sensor • IMU (Inertial Measurement

Unit), 3-axis Acelero, 3-axis

Gyro

• GPS

• Tekanan

• Temperatur

• Kelembaban

• Posisi (GPS)

Frekuensi 900 MHz 433 MHz

Daya Transmisi 1 watt 1 watt

Sumber : Hasil perancangan

Page 60: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 50 ~

Gambar 3-1. Desain susunan muatan untuk Roket Sonda Eksperimen.

Sesuai dengan susunan muatannya, mekanisme separasi Roket Sonda

Eksperimen direncanakan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 3-2. Roket Sonda

Eksperimen diluncurkan ke atas dengan sudut elevasi peluncuran 80o. Bersamaan

dengan mulai meluncurnya roket, timer untuk separasi roket dijalankan. Setelah timer

mencapai 5 detik, berdasarkan hasil perhitungan massa propelan dibagi dengan

kecepatan pembakaran propelan, diprediksi bahwa bahan bakar propelan motor roket

telah habis. Sehingga tepat pada saat tersebut roket diseparasi menjadi dua, yaitu motor

roket dipisahkan dari bagian muatan. Metode separasi yang sering digunakan adalah

menggunakan teknik Pyro (Mariani, 2010). Motor roket terbuang ke bawah dan bagian

muatan masih meluncur ke atas memanfaatkan gaya dorong yang tersisa.

Sesaat setelah bagian muatan mencapai ketinggian maksimum, muatan

parameter atmosfer akan dilontarkan keluar dari bagian muatan roket. Begitu muatan

parameter atmosfer keluar, parasunya akan langsung mengembang, sehingga ia akan

turun pelan dengan kecepatan 3 m/s. Selama meluncur, kedua muatan akan terus

melakukan pengukuran. Hasil pengukuran akan disimpan dalam memori SD Card

payload dan juga ditransmisikan ke sistem penerima di ruas bumi.

Page 61: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 51 ~

Gambar 3-2. Mekanisme separasi Roket Sonda Eksperimen.

4. PEMBAHASAN

Berdasarkan spesifikasinya, gaya dorong roket RX-100 adalah sebesar 289 kgf,

massa roket tanpa muatan sekitar 50 kg, massa muatan roket total 6 kg, dengan

menggunakan hukum Newton pada persamaan 4-1, dimana a adalah percepatan, F

adalah gaya, dan m adalah masa benda, didapatkan percepatan awal roket saat terbang

adalah sebesar 5,35 g (1 g = 9.80665 m/s2).

(4-1)

Karena adanya penyusutan massa bahan bakar propelan hingga massa terakhir

saat habis adalah sebesar 0 kg, sehingga massa roket berkurang 20 kg, maka percepatan

akhirnya adalah sebesar 8,02 g. Dengan demikian range percepatan awal hingga akhir

roket masih dapat terpantau dengan baik menggunakan sensor accelerometer 10 g. Hal

ini sesuai dengan hasil desain.

Dalam analisis hasil desain sistem transmisi data radio analog, terdapat tiga

parameter penting, yaitu Effective Isotropic Radiated Power (EIRP), free space loss,

dan sensitivitas radio penerima. EIRP merupakan daya yang dipancarkan oleh antena.

Free space loss merupakan salah satu rugi transmisi yang terjadi karena gelombang

elektromagnetik menjalar melalui ruang terbuka. Dalam analisis ini, rugi-rugi yang lain

misalnya rugi karena redaman gas, hujan, dan multipath fading akan diabaikan dengan

Page 62: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 52 ~

asumsi terjadi kondisi atmosfer ideal dan tidak ada penghalang atau pantulan yang

signifikan antara pemancar dan penerima. Sensitivitas radio penerima merupakan level

daya minimal sinyal radio yang dapat ditangkap dan diolah dengan baik oleh radio

penerima.

Pada hasil desain sistem radio pemancar muatan roket, daya keluaran system

pemancar adalah 1 watt, panjang kabel diasumsikan 0 m karena antenna langsung

terpasang pada printed circuit board (PCB) rangkaian radio, dan gain antenna adalah 1,

maka besarnya EIRP berdasarkan persamaan 4-2 (dalam Simanjuntak , 1993) adalah

sebesar 0 dB.

(4-2)

Dimana adalah daya keluaran sistem pemancar, adalah panjang kabel antara

sistem pemancar dengan antena pemancar, dan adalah gain antena pemancar.

Dengan frekuensi pemancar dan penerima adalah 433 MHz dan jarak maksimum

antara pemancar dengan penerima adalah 8 km, maka didapatkan nilai free space lost

menggunakan persamaan 4-3 (dalam Simanjuntak , 1993) adalah sebesar 103,29 dB

atau 73,29 dBm.

(4-3)

Dimana Ladalah free space lost dalam dB, adalah D adalah pemancar ke penerima

dalam km, dan f adalah frekuensi kerja pemancar dan penerima dalam MHz.

Dengan gain antena penerima adalah 1, panjang kabel diasumsikan 0 m karena

antena langsung terpasang pada PCB rangkaian radio, maka berdasarkan persamaan 4-4

(dalam Simanjuntak , 1993) didapatkan daya yang diterima sekitar -73,29 dBm.

(4-4)

Page 63: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 53 ~

Dimana adalah daya yang diterima oleh sistem penerima, adalah panjang

kabel antara sistem peenerima dengan antenna penerima, adalah gain antenna

penerima.

Karena sensitivitas radio penerima adalah -118 dBm, maka sinyal yang masuk dengan

daya sebesar -73,29 dBm akan dapat diterima dengan baik oleh sistem radio penerima.

Namun karena terdapat noise yang muncul, maka sinyal masukan dapat diterima dengan

baik oleh penerima dengan syarat signal to noise ratio (SNR) minimal 70 dBm (Kraus,

1988). Dengan kata lain, noise yang muncul tidak boleh melebihi -143,29 dBm.

Sensor-sensor parameter atmosfer hasil desain mempunyai range pengukuran

yang mencakup kisaran nilai profil vertikal tekanan, temperatur, dan kelembaban yang

ditunjukkan dalam Gambar 2-2. Hasil pengukuran nanti diharapkan mempunyai nilai

mendekati nilai profil-profil vertikal tersebut dengan asumsi tidak terjadi suatu kondisi

cuaca yang ekstrim.

5. KESIMPULAN

Telah dibuat desain Roket Sonda Eksperimen berbasis roket RX-100 yang meliputi

desain muatan aerodinamika roket dan muatan parameter atmosfer. Berdasarkan analisis

terhadap hasil desain, diharapkan percepatan awal terbang roket dengan total berat

muatan 6 kg adalah sekitar 5,35 g dan percepatan akhirnya adalah sekitar 8,02 g. Daya

sinyal yang diharapkan diterima oleh sistem penerima telemetri roket dengan

sensitivitas penerimaan -118 dBm dan daya transmisi muatan 1 watt pada jarak

maksimum 8 km adalah sebesar -73,29 dBm.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Laras Tursilowati atas dukungan terhadap

penelitian ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Herma Yudhi, MT, Lilis

Mariani, MT, dan teman-teman Pustek Roket LAPAN atas diskusi dan masukannya.

DAFTAR RUJUKAN

Satrya, E dan Simorangkir H. 2013. Kajian Tentang Rancangan Motor Roket Rx100

Menggunakan Pendekatan Gaya Dorong Optimal. Jurnal Matematika dan

Statistik, Vol 13, No 1, Hal 63 – 69.

Kraus, JD. 1988. Antennas. Mc Graw Hill. ISBN 0-70-035422-7.

Page 64: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 54 ~

Mariani L. 2010. Sistim Separasi Tingkat Roket. Laporan Akhir Riset Insentif Ristek –

Dikti 2010.

Simanjuntak, T. 1993. Dasar Dasar Telekomunikasi. Penerbit Alumni. ISBN 979-414-

481-9. Bandung.

Widada, W. 2005. Aplikasi Digital Exponential Filtering Untuk Embedded Sensor

Payload Rocket. Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta

Aplikasi.

Wahyudi, Susanto, A, Pramono, S, Widada, W. 2009. Design and Application of The

Exponential Filter on Rotation Estimation Using The Angular RateSensor

(Gyroscope). Proceedings of The 3rd Asian Physics Symposium 2009. Bandung

Page 65: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 55 ~

PENGARUH KONSENTRASI ION NH4+ DAN Ca

2+

TERHADAP NETRALISASI HUJAN ASAM DI DAERAH

CIPEDES, KEBON KALAPA, SOREANG DAN CIKADUT

Asri Indrawati, Dyah Aries Tanti

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

[email protected]; [email protected]

Abstract

Neutralization of acid rain is influenced by cation ion concentration contained in rain

water, especially NH4 + and Ca

2 + ions. From neutralization factor calculations, it was

found that neutralization of rainwater acidity in Cipedes area affected by NH4+ ions by

neutralization factor values from 0.3 to 1.4, whereas for the area Kb. Kalapa, Soreang

and Cikadut, more influenced by Ca2+

ions with a range of values of the neutralization

factor from 0.1 to 3.4. This indicated also by the new pH value which takes into account

the concentration of NH4+ ions in rainwater pH calculation.

Keywords : neutralization factor, rainwater, pH, NH4+, Ca

2+

Abstrak

Netralisasi hujan asam di pengaruhi oleh konsentrasi ion kation yang terkandung dalam

air hujan, terutama ion NH4+ dan ion Ca

2+. Dari perhitungan faktor netralisasi,

didapatkan bahwa netralisasi keasaman air hujan di daerah Cipedes dipengaruhi oleh

ion NH4+ dengan nilai faktor netralisasi sebesar 0,3 – 1,4. Untuk daerah Kebon Kalapa,

Soreang dan Cikadut, lebih banyak dipengaruhi oleh ion Ca2+

dengan rentang nilai

faktor netralisasi sebesar 0,1 – 3,4. Hal ini ditunjukkan pula oleh nilai pH baru (pH

kalkulasi) yang memperhitungkan konsentrasi ion NH4+ dalam perhitungan pH air

hujan.

Kata Kunci : faktor netralisasi, air hujan, pH, NH4+, Ca

2+

1. PENDAHULUAN

Sumber basa di atmosfer mempunyai pengaruh dalam penetralan keasaman air

hujan. Sumber basa yang utama adalah NH3 dan CaCO3 (Wang, et al 2002). Amonia

dalam bentuk gas (NH3) berhubungan erat dengan kehadiran amonium (NH4+) di

atmosfer, yang pada gilirannya amonium ini bertindak sebagai senyawa penetral di

atmosfer dan juga berkontribusi terhadap masalah pengasaman atmosfer (Wameck,

1999). Kalsium, Magnesium dan Natrium dalam air hujan berasal dari garam-garam

lautan dan dari tanah (Carroll, 1962). Wang (Wang et al., 2002 dalam GAO et al 2010)

mengungkapkan bahwa ion Ca2+

yang terkandung dalam aerosol tanah di kawasan Asia

Page 66: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 56 ~

Timur memiliki pengaruh netralisasi yang kuat pada pH curah hujan dan dapat

menaikkan pH rata-rata tahunan (0,8 – 2,5) di Cina Utara dan Korea.

Perhitungan faktor netralisasi digunakan untuk melihat pengaruh kation terhadap

netralisasi keasaman air hujan. Dilakukan pula perhitungan nilai pH baru dengan

memperhitungkan konsentrasi H+ dan konsentrasi ion NH4

+ untuk mengetahui seberapa

besar pengaruh netralisasinya terhadap nilai keasaman air hujan. Perhitungan faktor

netralisasi dan pH baru digunakan untuk melihat sumber basa mana yang paling

mempengaruhi nilai keasaman air hujan di suatu daerah (Possanzini et al, 1988 dan

GAO et al 2010).

Tujuan dari penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh NH4+ dan Ca

2+ pada

penetralan keasaman air hujan untuk daerah Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut,

yang nantinya dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya mengenai penetralan

keasaman air hujan dan dapat juga digunakan untuk mendeteksi apakah terjadi

perubahan kondisi lingkungan pada daerah tersebut.

2. DATA DAN METODE

Data yang digunakan yaitu data konsentrasi kation dan anion air hujan daerah

Cipedes, Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut – Bandung kurun waktu 2007 – 2011.

Dengan menggunakan data rata-rata bulanan konsentrasi ion NH4+ dan Ca

2+ untuk

setiap daerah dari tahun 2007 -2011 dilakukan perhitungan faktor netralisasi (NFs)

dengan menggunakan persamaan berikut (Possanzini et al 1988).

[ ]

⌈ ⌉ [ ] (1)

Dimana Xi adalah konsentrasi kation yang diinginkan, dalam penelitian ini adalah NH4+

dan Ca2+

. Semua ion dinyatakan dalam µeq/l.

Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai pH baru (pH kalkulasi) dengan

memperhitungkan nilai konsentrasi H+ dan NH4

+ dengan menggunakan persamaan

berikut (Wang et al 2002 dalam GAO et al, 2010).

pH =-log ([H +] + [NH4

+]) (2)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pengaruh Nilai Faktor Netralisasi NH4+ dan Ca

2+.

Secara teoritis penurunan pH dalam air hujan terutama disebabkan oleh larutnya

polutan SO42-

dan NOx, sedangkan peningkatan pH disebabkan oleh terlarutnya kalsium

Page 67: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 57 ~

(Ca2+

) dan amonia (NH3) dalam air hujan (Sari dkk, 2007). Peningkatan pH yang terjadi

pada air hujan mengindikasikan telah terjadinya proses netralisasi keasaman air hujan

oleh sumber basa utama yang ada di atmosfer, yaitu kalsium dan amonia (Wameck,

1999).

Untuk melihat hubungan antara konsentrasi NH4+ dan Ca

2+ yang terlarut di

dalam air hujan terhadap proses penetralan keasaman air hujan tersebut dilakukan

perhitungan faktor netralisasi (NFs) masing-masing untuk NH4+ dan Ca

2+ di setiap

daerah. Faktor netralisasi digunakan untuk mengevaluasi penetralisir keasaman air

hujan oleh lapisan kerak dan amonia. Semakin tinggi nilai faktor netralisasi,

menunjukkan bahwa ion tersebut memiliki kemampuan netralisasi yang kuat terhadap

keasaman air hujan (Possanzini et al 1988).

Hasil yang diperoleh pada perhitungan faktor netralisasi untuk masing-masing

daerah memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2007 - 2011daerah Cipedes

penetralan keasaman air hujan lebih dipengaruhi oleh NH4+ dengan rentang nilai antara

0,3 – 1,4. Sedangkan untuk daerah Kb. Kalapa, Soreang dan Cikadut terjadi perubahan

pengaruh penetralan. Pada tahun 2007 – 2008 penetralan keasaman air hujan

dipengaruhi oleh ion NH4+, namun pada tahun 2009 – 2011 penetralan keasaman air

hujan lebih banyak dipengaruhi oleh Ca2+

yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

0

1

2

3

4

Jan

-07

May

-07

Sep

-07

Jan

-08

May

-08

Sep

-08

Jan

-09

May

-09

Sep

-09

Jan

-10

May

-10

Sep

-10

Jan

-11

May

-11

Sep

-11

Nila

i Fak

tor

Ne

tral

isas

i

Tahun

Cipedes

Nilai NF NH4+

Nilai NF Ca2+

( a )

Page 68: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 58 ~

Gambar 1 : Nilai faktor netralisasi antara ion NH4+ dan ion Ca

2+ daerah Cipedes (a),

Kebon Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).

0

1

2

3

4

Jan

-07

May

-07

Sep

-07

Jan

-08

May

-08

Sep

-08

Jan

-09

May

-09

Sep

-09

Jan

-10

May

-10

Sep

-10

Jan

-11

May

-11

Sep

-11

Nila

i Fak

tor

Ne

tral

isas

i

Tahun

Kb. Kalapa

Nilai NF NH4+

Nilai NF Ca2+

( b )

0

1

2

3

4

Jan

-07

May

-07

Sep

-07

Jan

-08

May

-08

Sep

-08

Jan

-09

May

-09

Sep

-09

Jan

-10

May

-10

Sep

-10

Jan

-11

May

-11

Sep

-11

Nila

i Fak

tor

Ne

tral

isas

i Soreang

Nilai NF NH4+

Nilai NF Ca2+

( c )

0

1

2

3

4

Jan

-07

May

-07

Sep

-07

Jan

-08

May

-08

Sep

-08

Jan

-09

May

-09

Sep

-09

Jan

-10

May

-10

Sep

-10

Jan

-11

May

-11

Sep

-11

Nila

i Fak

tor

Ne

tral

isas

i

Tahun

Cikadut

Nilai NF NH4+

Nilai NF Ca2+

( d )

Page 69: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 59 ~

Hal tersebut sejalan dengan berubahnya kondisi lingkungan di daerah Kebon

Kalapa, Soreang dan Cikadut. Di daerah Soreang terjadi perubahan penggunaan lahan

dimana lahan persawahan berubah menjadi pemukiman penduduk. Kemudian bukit-

bukit yang ditumbuhi pepohonan sekarang telah habis terkikis karena digunakan sebagai

penambangan pasir. Keadaan ini membuat NH4+ yang teremisikan dari penggunaan

pupuk berkurang dengan semakin sedikitnya lahan pertanian, digantikan dengan

teremisikannya Ca2+

ke udara yang berasal dari penambangan pasir.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang (Wang et al, 2002 dalam GAO

2010) di daerah Cina Utara dan Republik Korea, konsentrasi Ca2+

dan nilai pH dalam

air hujan jauh lebih tinggi dibandingkan Cina Selatan dan Jepang. Kondisi ini

disebabkan oleh tingginya Ca2+

yang terdapat dalam aerosol tanah, sehingga

kemampuan netralisasi oleh NH4+ tidak menonjol di daerah tersebut.

3.2 Nilai pH air hujan dan pH kalkulasi.

Pada amonium, tingginya nilai faktor netralisasi tidak langsung menunjukkan

bahwa ion tersebut memiliki kemampuan netralisasi yang kuat dan memiliki pengaruh

yang kuat terhadap keasaman air hujan. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh

amonia terhadap netralisasi pH air hujan, maka dilakukan analisis perhitungan pH

kalkulasi antara ion amonium dengan nilai pH hujan. Perhitungan pH kalkulasi tidak

hanya memperhitungkan nilai H+ tapi juga memasukkan konsentrasi ion NH4

+ ke dalam

perhitungan nilai pH. Ion amonium di produksi oleh amonia dalam kombinasi dengan

H+. Jika tidak ada amonia di atmosfer, maka konsentrasi H

+ harus meningkat, sehingga

perlu dimasukkannya konsentrasi NH4+ dalam perhitungan nilai pH (GAO, et al., 2010).

Dari hasil perhitungan pH kalkulasi yang dapat dilihat pada gambar 2 dibawah

ini didapatkan bahwa amonia tidak secara signifikan mempengaruhi penetralan

keasaman air hujan di daerah Cipedes. Tingkat signifikasi yang diperoleh hanya 40%

saja. Kondisi ini menandakan bahwa keberadaan kation lain seperti Natrium dan

Magnesium selain Amonium yang terlarut dalam air hujan mempunyai pengaruh yang

besar terhadap penetralan keasaman air hujan daerah Cipedes.

Page 70: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 60 ~

3

4

5

6

7

8

Jan

-07

Ap

r-0

7

Jul-

07

Oct

-07

Jan

-08

Ap

r-0

8

Jul-

08

Oct

-08

Jan

-09

Ap

r-0

9

Jul-

09

Oct

-09

Jan

-10

Ap

r-1

0

Jul-

10

Oct

-10

Jan

-11

Ap

r-1

1

Jul-

11

Oct

-11

Nila

i pH

Tahun

Cipedes

pH hujan

pH kalkulasi

3

4

5

6

7

8

Jan

-07

Ap

r-0

7

Jul-

07

Oct

-07

Jan

-08

Ap

r-0

8

Jul-

08

Oct

-08

Jan

-09

Ap

r-0

9

Jul-

09

Oct

-09

Jan

-10

Ap

r-1

0

Jul-

10

Oct

-10

Jan

-11

Ap

r-1

1

Jul-

11

Oct

-11

Nila

i pH

Tahun

Soreang

pH hujan

pH kalkulasi

( c )

3

4

5

6

7

8

Jan

-07

Ap

r-0

7

Jul-

07

Oct

-07

Jan

-08

Ap

r-0

8

Jul-

08

Oct

-08

Jan

-09

Ap

r-0

9

Jul-

09

Oct

-09

Jan

-10

Ap

r-1

0

Jul-

10

Oct

-10

Jan

-11

Ap

r-1

1

Jul-

11

Oct

-11

Nila

i pH

Tahun

Kb. Kalapa

pH hujan

pH kalkulasi

( b )

( a )

Page 71: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 61 ~

Gambar 2 : Perbandingan pH air hujan dengan pH kalkulasi daerah Cipedes (a),

Kebon Kalapa (b), Soreang (c) dan Cikadut (d).

4. KESIMPULAN

Ion amonium dan ion kalsium mempunyai pengaruh yang besar terhadap

penetralan keasaman air hujan yang ditunjukkan dengan nilai faktor netralisasi yang

cukup besar, yaitu daerah Cipedes dengan rentang 0,3 – 1,4 untuk NH4+; 0,04 – 0,9

untuk Ca2+.

Kb. Kalapa dengan rentang 0,005 – 3,4 untuk NH4+; 0,18 – 2,9 untuk Ca

2+.

Soreang dengan rentang 0,01 – 0,9 untuk NH4+; 0,09 – 0,9 untuk Ca

2+. Cikadut dengan

rentang 0,01 – 0,8 untuk NH4+; 0,1 – 2,0 untuk Ca

2+.

Dari perhitungan pH kalkulasi diperoleh bahwa penetralan di daerah Cipedes

tidak hanya dipengaruhi oleh amonium, namun juga dipengaruhi oleh kation lain seperti

Natrium dan Magnesium.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih untuk Laboratorium Kimia Lapan Bidang Komposisi Atmosfer

untuk data yang digunakan dalam pembuatan makalah ini, serta Ir. Tuti Budiwati,

M.Eng atas bimbingannya.

DAFTAR RUJUKAN

Carroll Dorothy, 1962. Rainwater as a Chemical Agent of Geologic Process – A

Review.Geological Survey Water-Supply Paper 1535-G.

3

4

5

6

7

8

Jan

-07

Ap

r-0

7

Jul-

07

Oct

-07

Jan

-08

Ap

r-0

8

Jul-

08

Oct

-08

Jan

-09

Ap

r-0

9

Jul-

09

Oct

-09

Jan

-10

Ap

r-1

0

Jul-

10

Oct

-10

Jan

-11

Ap

r-1

1

Jul-

11

Oct

-11

Nila

i pH

Tahun

Cikadut

pH hujan

pH kalkulasi

( d )

Page 72: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 62 ~

GAO chao, et al. 2010. Ammonium Variational Trends and the Ammonia Neutralization

Effect on Acid Rain over East Asia. ATMOSPHERIC AND OCEANIC

SCIENCE LETTERS, VOL. 3, NO. 2, 120−126.

Possanzini, M., P. Buttini, and V. D. Palo, 1988: Characterization of a rural area in

terms of dry and wet deposition, Sci. Total Environ.,74,111-120.

Sari, R. Puripuspita, Siti Badriyah R., Hermawan R., 2007. Hujan Asam Pada Beberapa

Penggunaan Lahan di Kabupaten dan Kota Bogor. Media Konservasi Vol XII, No

2, 77 - 79

Wang, Z., H. Akimoto, and I. Uno, 2002: Neutralization of soil aerosol and its impact

on the distribution of acid rain over east Asia: Observations and model results, J.

Geophys. Res, 107, D19, 4389, doi: 10.1029/2001JD001040

Warneck, P., 1999. Chemistry of the Natural Atmosphere. International Geophysical

Series 71, Academic Press Inc., San Diego.

Page 73: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 63 ~

ANALISIS CURAH HUJAN TERKAIT DENGAN

KUANTIFIKASI FLUKTUASI LEVEL MUKA AIR SITU

CILEUNCA

Dadang Subarna

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Email:[email protected]

Abstract

Identification of the relation between rainfall and water surface level in lake of a

watershed is importance for the efficiency of water resources management and a

measure of prevention action for potential disaster mitigation. Has been analyzed

rainfall and water surface level data over Cileunca lake in Cisangkuy watershed which

is Sub-Watershed of Upper Citarum Basin which is located between 06o 59'24" - 07

o

13'51" LAT and 107o 28'55" - 107

o 39'84" LON. Rainfall and water surface level

periodogram values are obtained by using spectrum analytical method. Cross correlation

method are applied to know how far contribution of rainfall to fluktuations water

surface level. Results of the this research shows that rainfall over Cileunca lake in

Cisangkuy Watershed shows the bimodal regime matching with seasonal. Dominant

period for both of time series data is 12 months showing the annual oscillation. There is

a significant correlation between rainfall time series and water surface level at Cileunca

lake with a lag time between rainfall periods and peak of water surface level. In this

study found that the relation between rainfall and water surface level at Cileunca lake is

hardly significant at period lag time 3 month of with rainfall has impact around 55,2%.

The rest equal to 55,8% is other factor having contribution to water surface level of

Cileunca lake such as antrophogenic and natural factors like overflow, evaporation,

inflow and outflow processes.

Keywords: Fluctuation, Rainfall, Water Surface Level, Periodogram, Cileunca lake

Abstrak

Identifikasi hubungan antara curah hujan dan level muka air di danau suatu daerah

tangkapan air sangat penting dalam rangka efisiensi pengelolaan sumberdaya air dan

ukuran dalam melakukan tindakan pencegahan untuk mitigasi potensi bencana. Telah

dianalisis data curah hujan dan level muka air Situ Cileunca di daerah tangkapan air

Cisangkuy yang merupakan Sub-DAS Citarum Hulu yang terletak antara 06o 59‟24” –

07o 13‟51” LS dan 107

o 28‟55” – 107

o 39‟84” BT. Dengan menggunakan metode

analisis spektrum diperoleh nilai periodogram dari curah hujan dan level muka air

masing-masing. Metode korelasi silang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh

kontribusi curah hujan terhadap fluktuasi level muka air. Hasil penelitian

memperlihatkan bahwa Curah hujan di atas Situ Cileunca dan di DTA Cisangkuy

menunjukkan regim bimodal yang sesuai dengan musiman. Periode dominan untuk

kedua data deret waktu tersebut adalah 12 bulan yang menunjukkan osilasi tahunan.

Terdapat korelasi yang signifikan antara deret waktu curah hujan dan level muka air

Situ Cileunca dengan suatu lag time antara periode curah hujan dan puncak level muka

air. Dalam studi ini ditemukan bahwa hubungan antara curah hujan dan level muka air

di Situ Cileunca sangat signifikan pada periode lag time 3 bulan dengan curah hujan

Page 74: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 64 ~

mempunyai dampak sekitar 55,2%.Sisanya sebesar 55,8% merupakan faktor lain yang

berkontribusi terhadap level muka air Situ Cileunca seperti faktor antropogenik dan

faktor alam seperti limpasan, evaporasi, proses inflow dan outflow.

Kata Kunci: Fluktuasi, Curah hujan, level muka air, periodogram, Situ Cileunca

1. PENDAHULUAN

Level muka air (LMA) di Situ Cileunca Kabupaten Bandung telah menjadi

perhatian dalam beberapa tahun terakhir ini dikarenakan beberapa kejadian bencana

hidrometeorologi di daerah aliran sungai Cisangkuy dan adanya isu-isu akan jebolnya

bendungan. Naik dan turunnya level muka air dalam suatu Situ atau bendungan

merupakan suatu proses dinamik yang dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim dan aktivitas

manusia. Terdapat banyak sekali variabel yang mempengaruhi level air di suatu Danau

atau Situ, akan tetapi kontributor yang paling besar adalah presipitasi dan limpasan yang

menambah volume air ke danau dan evaporasi serta aliran keluar yang mengurangi air

dari danau. Ketika pasokan neto air tinggi maka level situ atau danau akan naik dan

sebaliknya ketika pasokan rendah dan keputusan pengelolaan pelepasan debit untuk

pembangkitan listrik maka level air akan turun.

Pertumbuhan populasi dan pembangunan di DTA (daerah tangkapan air) yang

tidak terkontrol telah menimbulkan peningkatan dalam penggunaan lahan dan

perubahan tutupan lahan. Perubahan tersebut akan merubah rasio curah hujan terhadap

limpasan dan meningkatkan erosi serta sedimentasi terhadap Situ atau Danau yang

mengurangi volumenya. Sementara itu untuk mempertahankan produksi listrik maka

debit harus tetap dipertahankan sesuai kebutuhan guna pencapaian target pembangkitan.

Oleh karena itu terdapat pertanyaan dalam penelitian ini bahwa seberapa besar faktor

curah hujan mempengaruhi level muka air di Situ Cileunca disamping faktor-faktor

lainnya. Oleh karean itu penting untuk meneliti apakah fluktuasi level muka air Situ

Cileunca merupakan hasil variabilitas hidroklimat atau pelepasan air yang berlebih atau

faktor-faktor lainnya yang terkait dan seberapa kontribusi curah hujan terhadap fluktuasi

tersebut.

Identifikasi hubungan antara curah hujan dan level muka air di danau suatu

daerah tangkapan air sangat penting dalam efisiensi pengelolaan sumberdaya air dan

ukuran dalam melakukan tindakan pencegahan untuk mitigasi potensi bencana alam

(Elias and Ierotheos, 2006). Pendekatan pemodelan yang sangat umum digunakan

adalah model terdistribusi, model konseptual dan model kotak hitam (black box).

Page 75: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 65 ~

Beberapa model hidrologi kotak hitam telah berhasil diterapkan di masa lalu untuk

mensimulasikan proses-proses seperti pelepasan air tanah dalam batuan kars dan

hubungan curah hujan-limpasan dalam area berstruktur geologi sangat heterogen ketika

model distribusi sulit beroperasi dengan efisien (Jukic et al., 2003). Keuntungan yang

signifikan dalam model fungsi transfer kotak hitam adalah model-model tersebut sangat

sederhana. Model tersebut bergantung pada data masukan yang terbatas dan

komprehensif pada sistem yang memudahkan dalam analisis deret waktu parameter

yang ber-autokolerelasi dengan derajat yang tinggi. Oleh karena itu terdapat percobaan

yang cukup signifikan untuk menggambarkan aliran air tanah pada kondisi geologi yang

kompleks dengan menerapkan model-model terdistribusi, tetapi hasil menunjukkan

bahwa masalah kelebihan parameterisasi dan kesulitan dalam tahap kelibrasi (Barret dan

Charbeneau, 1997). Model konseptual telah dikembangkan untuk menggambarkan

hubungan antara faktor iklim dan elevasi muka air pada badan air tawar, umumnya

dengan menggunakan model kesetimbangan air (Asmar da Erenzinger, 2002).

Situ Cileunca yang terletak pada ketinggian 1400 m di atas permukaan laut

merupakan salah satu tandon penting dalam usaha pengelolaan sumberdaya air di

Cekungan Bandung. Situ Cileunca dan aliran sungai Cisangkuy sangat berperan penting

dalam memasok kebutuhan air baku untuk konsumsi penduduk kabupaten dan kota

Bandung masing-masing sebesar 500 l/s dan 1800 l/s (UPTD, 2011). Kondisi pasokan

tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh variabilitas curah hujan yang menjadi

imbuhan utama dalam suatu daerah aliran sungai. Fase ekstrim variabilitas curah hujan

pada musim basah akan menyebabkan kondisi hujan dan debit sungai yang berlebih di

Cekungan Bandung dibandingkan kondisi logaritma normal atau sebaliknya kondisi

kemarau yang jauh lebih kering dari kondisi logaritma normalnya (Subarna et al., 2012).

Oleh karena itu, studi ini sangat penting dan ditujukan untuk menemukan apakah

terdapat hubungan antara curah hujan dan level muka air Situ Cileunca di DTA Hulu

Citarum, seberapa besar kontribusinya diantara faktor-faktor lain yang terkait seperti

limpasan, resapan, evaporasi dan lain-lain di daerah tersebut.

2. DATA DAN METODE

Data yang diolah dan dianalisis merupakan data sekunder yang diperoleh dari

Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Jawa Barat dan PT. Indonesia Power Unit

Pembangkitan Plengan pada periode pengukuran 2007-2011. Lokasi yang diteliti

meliputi DTA (Daerah Tangkapan Air) Cisangkuy yang merupakan Sub-DAS Citarum

Page 76: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 66 ~

Hulu terletak antara 06o 59‟24” – 07

o 13‟51” LS dan 107

o 28‟55” – 107

o 39‟84” BT.

Topografi DTA Cisangkuy bervariasi dari ketinggian 2.054 m dari permukaan laut di

puncak Gunung Malabar, hingga 658 m di pertemuannya dengan sungai induk, yaitu

Sungai Citarum. Kondisi sebaran curah hujan tahunan pada DTA Cisangkuy bervariasi

dari 3.500 mm/tahun hingga 2.000 mm/tahun. Di dalam DTA tersebut terdapat Situ

Cileunca yang merupakan danau buatan untuk pemenuhan kebutuhan listrik perkebunan

pada masa kolonial. Situ Cileunca di bangun pada tahun 1924 dengan kapasitas

tampung sebesar 11,3 juta m3

(PLN PLENGAN, 2010). Di sebelah selatan Situ Cileunca

terdapat Situ Cipanunjang yang mendapat air dari kali Cilaki, Cibolang, Cihurangan,

Cikuningan dan Citambaga. Situ Cileunca mendapat air dari situ Cipanunjang, Sungai

Cilaki Beet dan Sungai Cibuniayu, ditunjukkan pada Gambar 2-1. Beberapa data deret

waktu dalam klimatologi, khususnya curah hujan, secara statistik memperlihatkan

perilaku yang non-stasioner dan sinyal ini berubah baik amplitudo maupun

frekuensinya, serta ada juga kemungkinan mengandung sinyal periodik tersisip yang

dominan.

Gambar 1 : Lokasi penelitian yang merupakan bagian dari daerah Kabupaten Bandung

bagian Selatan (sumber: Subarna, et al., 2012)

Metode yang digunakan adalah analisis spektral yang digambarkan dalam suatu

grafik periodogram untuk curah hujan (CH) dan level muka air (LMA). Suatu deret

waktu dapat diungkapkan sebagai suatu kombinasi dari gelombang sinus atau kosinus

dengan periode yang berbeda-beda. Berapa lama gelombang tersebut akan menjadi

sebuah siklus secara penuh dan berapa amplitudo akan bernilai maksimum atau

minimum selama siklus tersebut. Analisis gelombang tersebut dapat bermanfaat untuk

Page 77: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 67 ~

menguji perilaku siklus periodil dalam deret waktu CH dan LMA. Periodogram

digunakan untuk mengidentifikasi periode dominan dalam suatu deret waktu. Metode

ini dapat menjadi piranti yang bermanfaat dalam mengidentifikasi perilaku siklus dalam

suatu deret CH dan LMA. Untuk waktu diskrit (dimana waktu t adalah bilangan bulat)

maka definisi ini bermanfaat untuk gelombang kosinus dan sinus dengan periode T yang

merupakan jumlah periode waktu yang diperlukan untuk membuat suatu siklus tunggal

fungsi kosinus dengan frekuensi f=1/T. Dalam analisis spektrum, deret waktu CH dan

LMA dipandang sebagai suatu jumlah gelombang kosinus dengan amplitudo dan

frekuensi yang bervariasi. Tujuan analisis ini adalah untuk mengidentifikasi frekuensi

atau periode penting dalam deret CH atau LMA yang penting. Piranti untuk melakukan

indentifikasi tersebut adalah periodogram. Grafik periodogram merupakan ukuran nilai

periode atau frekuensi yang penting yang dibawa oleh pola osilasi dari data CH atau

LMA. Data CH dan LMA yang digunakan dari tahun 2007-2011 yang mempunyai 60

titik data. Sehingga untuk mengidentifikasi frekuensi atau periode yang penting dan

dominn maka persamaan untuk deret CH dan LMA ditulis dalam komponen-komponen

frekuensi harmonisnya sebagai

∑ (

)

Dimana j=1,2...60/2 dan b1(j/60) dan b2(j/60) adalah parameter regresi.

Jumlah kuadrat dari parameter regresi adalah nilai periodogram dari CH atau LMA

masing-masing yaitu

(

)

(

)

Metode lain yang digunakan adalah metode cross correlation (korelasi silang). Metode

korelasi silang merupakan meode standar untuk mengestimasi derajat korelasi dari dua

data deret waktu. Bila dua data deret waktu yaitu CH dan LMA Situ Cileunca

diungkapkan dalam x(i) dan y(i) masing-masing, dimana i=0,1,2,3...N-1, maka korelasi

silang r (koefisien korelasi) pada lag time d didefinisikan sebagai

Dimana mx dan my merupakan deret yang bersesuaian. Jika persamaan di atas dihitung

untuk semua time lag d=0,1,2,3,..N-1 maka hasilnya dalam deret korelasi silang kedua

panjang sebagai deret asal adalah

2.3

2.1

2.2

Page 78: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 68 ~

Terdapat dua permasalahan ketika indek pada deret waktu kurang dari 0 atau lebih

besar dari atau sama dengan titik-titik bilangan (i-d<0 atau i-d>=N). Pendekatan yang

umum adalah mengabaikan titik-titk tersebut atau dengan asumsi deret x dan y nol

untuk i<0 dan i>=N. Dalam beberapa penerapan pengolahan sinyal maka deret

diasumsikan sirkular dimana indek-indek yang diluar jangkauan di kemas ulang ke

dalam jangkauan yaitu x(-1)=x(N-1), x(N+5)=x(5) dan seterusnya.

Jangkauan lag time d dan panjang deret korelasi silang dapat menjadi kurang dari N

untuk mgnuji korelasi pada lag time yang cukup pendek. Pembagi pada persamaan (2.2)

dapat berfungsi sebagai normalisasi koefisien korelasi sehingga -1<=r(d)<=1 yang

membatasi korelasi maksimum dan nilai 0 yang menunjukkan tidak berkorelasi.

Korelasi negatif tinggi menunjukkan bahwa kedua data deret waktu berkorelasi tetapi

salah satu kebalikannya dari yang lain.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ploting data curah hujan selama data pengamatan 2007-2011 di daerah

tangkapan air dataran tinggi menunjukkan pola bimodal seperti ditunjukkan pada

Gambar 1. Bentuk ini merupakan akibat dari dua kali dilalui oleh Intertropical

Convergence Zone (ITCZ) yang bergerak relatif mengikuti pergerakan Matahari Utara-

Selatan atau sebaliknya.

Gambar 1 : Bentuk bimodal curah hujan bulanan pada periode pengamatan 2007-2011

di daerah tangkapan air dataran tinggi.

Langkah awal untuk untuk membuat periodogram adalah estimasi parameter

regresi dengan mengunakan FFT (Fast Fourier Transform). Setelah parameter regresi

0

100

200

300

400

500

600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

CH

(m

m)

indeks waktu (Bulan)

2007

2008

2009

2010

2011

2.4

Page 79: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 69 ~

didapat maka jumlah kuadrat keduanya [b1(j/60) dan b2(j/60)] yang menunjukkan

intensitas daya [P(j/60) ] dibuat grafiknya terhadap ( j/60) dimana j=1,2...60/2. Untuk

data CH dan LMA dengan menggunakan persamaan (2.1) dan (2.2) didapat grafik

periodogram dan densitas spektrum yang ditunjukkan pada Gambar 2 (A) dan Gambar2

(B) masing-masing. Nilai intensitas daya yang relatif besar menunjukkan periode yang

penting dan dominan dari osilasi harmonis dalam data. Intensitas daya ini sebanding

dengan korelasi kuadrat antara data deret waktu CH atau LMA dengan gelombang

kosinus dengan periode tertentu. Periode dominan digunakan untuk mencocokan

gelombang kosinus atau sinus terhadap data atau mungkin secara sederhananya

digunakan untuk menggambarkan periodisitas yang penting dalam data.

Gambar 2 : Grafik periodogram dan densitas spektrum masing-masing untuk curah

hujan (A) dan level muka air (B).

Dari Gambar 1(A) dan Gambar 1(B) tampak bahwa periode dominan untuk

kedua data deret waktu adalah 12 bulan yang menunjukkan osilasi tahunan. Hal ini

menunjukkan bahwa pengaruh osilasi tahunan (annual) merupakan pengaruh yang

dominan pada CH dan LMA di daerah tangkapan air Cisangkuy. Hasil ini sesuai dengan

(A). Grafik periodogram dan densitas

spektrum curah hujan.

(B). Grafik periodogram dan densitas

spektrum level muka air.

Page 80: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 70 ~

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Subarna et al. 2012 dengan metode wavelet

bahwa pengaruh monsun dan ENSO merupakan dua fenomena yang sangat

mempengaruhi curah hujan dan debit aliran sungai di daerah tersebut.

Untuk mengatahui hubungan antara CH dan LMA maka digunakan metode

korelasi silang. Korelasi merupakan teknik analisis untuk melihat kecenderungan pola

dalam satu variabel berdasarkan kecenderungan pola dalam variabel yang lain. Ketika

variabel curah hujan hasil memiliki kecenderungan untuk naik atau turun maka terlihat

kecenderungan dalam variabel level muka air Situ Cileunca apakah naik atau turun. Jika

kecenderungan dalam curah hujan selalu diikuti oleh kecenderungan dalam level muka

air Situ Cileunca maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki

hubungan atau korelasi. Korelasi bermanfaat untuk mengukur similaritas antara dua

variabel (kadang lebih dari dua variabel) dengan skala-skala tertentu, misalnya Pearson

(data harus berskala interval atau rasio), Spearman dan Kendal (menggunakan skala

ordinal), Chi Square (menggunakan data nominal). Kuat-lemah hubungan atau

similaritas diukur dengan nilai koefisien antara 1 sampai dengan -1. Kekuatan

hubungan atau tingkat similaritas antara curah hujan dengan level muka air Situ

Cileunca terungkap dalam nilai koefisien korelasi maksimum sebesar 0,55 pada nilai lag

time 3 bulan (Lihat Gambar 3).

Gambar 3 : Bentuk fungsi korelasi silang antara curah hujan dan level muka air di Situ

Cileunca Kabupaten Bandung

Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa 6,2% (r=0,062) variasi dalam level muka

air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh kebalikan fluktuasi curah hujan di atas Situ

tersebut pada lag time 0 bulan karena korelasi berharga negatif, seperti ditunjukkan

pada Gambar 4.

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

-20 -18 -16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Ko

efi

sie

n K

ore

lasi

(r)

Lag time (d)

fungsi…

Page 81: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 71 ~

Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa 29,4% (r=0,294) variasi dalam level

muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh fluktuasi curah hujan di atas Situ tersebut

pada lag time 1 bulan.

Dari Gambar 6 dapat ditunjukkan bahwa 49,4% (r=0,494) variasi dalam level

muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh fluktuasi curah hujan di atas Situ tersebut

pada lag time 2 bulan. Dari Gambar7 dapat ditunjukkan bahwa 55,2% (r=0,552)

variasi dalam level muka air Situ Cileunca dapat diterangkan oleh fluktuasi curah hujan

di atas Situ tersebut pada lag time 3 bulan. Kontribusi curah hujan terhadap pengisian

sampai tercapai puncak level muka air Situ Cileunca mempunyai lag time 3 bulan.

Gambar4: Fluktuasi curah hujan dan elevasi

muka air di atas Situ Cileunca

pada periode lag time 0 bulan.

Gambar 5: Fluktuasi curah hujan dan elevasi

muka air di atas Situ Cileunca

pada periode lag time 1 bulan.

Gambar 6 : Fluktuasi curah hujan dan elevasi

muka air di atas Situ Cileunca

pada periode lag time 2 bulan.

Gambar 7 : Fluktuasi curah hujan dan elevasi

muka air di atas Situ Cileunca

pada periode lag time 3 bulan.

Page 82: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 72 ~

4. KESIMPULAN

Curah hujan di atas Situ Cileuneca dan di DTA Cisangkuy menunjukkan regim

bimodal yang sesuai dengan musiman. Level muka air di Situ Cileunca sangat sensitif

terhadap perubahan dalam curah hujan di atas danau dari pada di curah hujan di tempat

DTA lainnya. Periode dominan untuk kedua data deret waktu adalah 12 bulan yang

menunjukkan osilasi tahunan. Terdapat korelasi yang signifikan antara deret waktu

curah hujan dan level muka air Situ Cileunca dengan suatu lag time antara periode curah

hujan dan puncak level muka air. Dalam studi ini ditemukan bahwa hubungan antara

curah hujan dan level muka air di Situ Cileunca sangat signifikan pada periode lag time

3 bulan dengan curah hujan mempunyai dampak sekitar 55,2%. Sisanya sebesar 55,8%

merupakan faktor lain yang berkontribusi terhadap level muka air Situ Cileunca seperti

faktor antropogenik dan faktor alam seperti limpasan, evaporasi, proses inflow dan

outflow.

DAFTAR PUSTAKA

Asmar, N. B. and Ergenzinger, P. Prediction of the Dead sea dynamic behaviour with

the Dead Sea–Red Sea Canal, Advances in Water Resources 25(7), 783–791. 2002

Barrett, M. E. and Charbeneau, R. J. A parsimonious model for simulating flow in a

karst aquifer , Journal of Hydrology 196, 47–65. 1997

Denic-Jukic, V. and Jukic, D.Composite transfer functions for karst aquifers‟, Journal

of Hydrology 274, 80–94. 2003

Elias, D and Ierotheos, Z. Environmental Monitoring and Assessment. Vol. 119, Issue

1-3, pp 491-506. 2006.

Subarna, D M. Y. J. Purwanto, K. Murtilaksono, Wiweka. Prakiraan Curah Hujan di

Wilayah Situ Cileunca Kabupaten bandung Dengan metode Statistik Non-Linear

(tahap review JSD) 2012.

UPTD [Unit Pelaksanan teknis Daerah] sub DAS Cisangkuy, 2011. PEMDA

Kabupaten Bandung.

PLN PLENGAN [Perusahaan Listrik Negara PLENGAN], 2010.”Sejarah Cileunca”.

PLN

Page 83: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 73 ~

PENGARUH PEGUNUNGAN MALABAR TERHADAP

PENINGKATAN CURAH HUJAN DI DAERAH

TANGKAPAN AIR CISANGKUY KABUPATEN

BANDUNG

Dadang Subarna 1Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Email: [email protected]

Abtract

The research on the relationship between rainfall and elevation in Cisangkuy Watershed

Bandung Regency has been conducted to be used in estimation of rainfall at certain

elevation for the agenda of water resources management and disaster mitigation. Spatial

monthly rainfall from WorldClim for 50 years and Digital Elevation Model (DEM)

from CGIAR-CSI have been studied and analyzed in Cisangkuy watershed to

understand the relationship between rainfall and elevation. The study was based on the

derivation of rainfall profile to elevation from 700 m mean sea level (msl) which is

valley of Malabar Mountain till 2600 m msl which is top of Malabar Mountain by using

GIS (CD line) profile. Regression analysis showed strong linear relationships between

monthly rainfall and elevation which mean coefficient of correlation is 77%. The

increase of monthly rainfall with elevation is averaged 8,95 mm every 100 m increase

on elevation. The average of decreasing at quasi-rain shadow of equal - 1,87 mm every

the decrease of 100 m.

Keywords: Rainfall, Elevation, Linear Regression, Malabar Mountain, Watershed

Abstrak

Penelitian tentang hubungan antara curah hujan dan elevasi di daerah tangkapan air

Cisangkuy kabupaten Bandung telah dilakukan untuk digunakan dalam pendugaan

curah hujan pada elevasi tertentu dalam rangka pengelolaan sumberdaya air dan

mitigasi bencana. Data curah hujan spasial bulanan dari WorldClim selama 50 tahun

(1950-2000) dan Digital Elevation Model (DEM) dari CGIAR-CSI telah dikaji dan

dianalisis untuk mengatahui hubungan antara curah hujan dengan elevasi. Pengkajian

didasarkan pada penurunan profil curah hujan terhadap elevasi dengan menggunakan

sistem informasi geografi (SIG) dari elevasi 700 m di atas permukaan laut (dpl) yaitu

lembah terendah pegunungan Malabar sampai 2600 m dpl di kawasan puncaknya di

daerah tangkapan air Cisangkuy wilayah Citarum Hulu (Garis CD). Analisis regresi

menunjukkan hubungan yang kuat antara curah hujan bulanan dan elevasi dengan rata-

rata koefisien korelasi sebesar 77%. Peningkatan curah hujan dengan elevasi

mempunyai nilai rata-rata 8,95 mm setiap 100 m kenaikan elevasi. Penurunan pada

daerah semi bayang-bayang hujan (semi -rain shadow) rata-rata sebesar -1,87 mm

setiap penurunan 100 m.

Kata Kunci: Curah hujan, Elevasi, Regresi linear, Pegunungan Malabar, Daerah

Tangkapan Air.

Page 84: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 74 ~

1. PENDAHULUAN

Curah hujan menunjukkan perilaku spasial dan temporal yang kompleks. Perilaku

spasial yang kompleks sering terkait dengan topografi. Dengan menentukan skala

interaksi curah hujan hasil pengamatan dengan topografi maka munculah analisis

spasio-temporal curah hujan, sehingga dapat diperkirakan proses-proses alam yang

terlibat dalam pembentukan curah hujan. Secara khusus, pengetahuan tentang skala dari

kebergantungan curah hujan pada topografi dapat digunakan untuk optimasi metode

interpolasi yang terkait pada kebergantungannya pada topografi untuk estimasi kuantitas

distribusi spasial curah hujan (Sharples et al., 2005). Interaksi antara topografi dan

atmosfer dapat menghasilkan pola-pola curah hujan. Skala spasial dari pola-pola ini

dapat bervariasi dari ukuran pegunungan sampai pada lembah dan punggungan bukit.

Daly et al. (1994) menggunakan Precipitation–Elevation Regressions on Independent

Slopes Model (PRISM) untuk memodelkan curah hujan bulanan dan tahunan di atas

berbagai sub-daerah di negara Amerika. PRISM pada prinsipnya menggunakan konsep

elevasi orografi untuk interpolasi nilai curah hujan stasiun cuaca.

Secara geografis Indonesia terletak di wilayah tropis yang mengalami dua musim

secara bergantian yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan

secara normal berlangsung pada bulan-bulan Desember, Januari dan Pebruari sedangkan

musim kamarau berlangsung pada bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus. Bulan-bulan

lainnya merupakan bulan-bulan transisi dari musim penghujan ke musim kemarau atau

sebaliknya. Pola hujan di wilayah Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk

pola menurut deret waktunya yaitu pola monsunal, ekuatorial dan lokal (Haylock and

McBride, 2001; Aldrian and Susanto, 2003; Hendon, 2003).

Selain pola-pola temporal maka pola spasial juga penting untuk dikaji berkenaan

dengan disparitas topografi wilayah Indonesia yang bervariasi dari permukaan laut

sampai puncak es di Jaya Wijaya Papua. Perbedaan-perbedaan spasial dalam curah

hujan ini dapat mempengaruhi geomorfologi secara langsung dengan merubah laju

proses-proses erosi atau secara tak langsung melalui pengaruhnya pada ekosistem-

ekosistem pegunungan (Ander et al., 2006). Penelitian dampak pola curah hujan pada

geomorfologi pegunungan merupakan kajian yang sedang berlangsung sampai saat ini.

Dengan demikian, pengetahuan proses-proses atmosfer yang menghasilkan pola-pola

curah hujan di daerah aliran sungai dataran tinggi merupakan hal yang sangat penting

dalam hidrologi dan pengelolaan sumberdaya air. Gunung-gunung menutupi 25%

permukaan bumi dan dihuni oleh 26% dari populasi global serta menghasilkan 32%

Page 85: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 75 ~

limpasan (Meybeck et al., 2001). Pegunungan dan dataran tinggi menempati 21%

permukaan daratan, 20% populasi dan 19% dari limpasan (Meyer et al., 2003). Tipe

hujan orografik dianggap sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan dan sungai

karena berlangsung di daerah hulu (Asdak, 2007). Salah satu cara yang secara langsung

topografi mempengaruhi cuaca adalah pada kukuatannya mengontrol distribusi curah

hujan lokal.Tujuan penelitian ini adalah merumuskan persamaan regresi antara elevasi

dan curah hujan di pegunungan Malabar serta gradien dan perubahannya karena

pengaruh musim.

2. DATA DAN METODE

Data curah hujan spasial rata-rata bulanan dari WorldClim selama 50 tahun dapat

di unduh dari http://www.worldclim.org/, sedangkan data DEM diperoleh dari

Consultative Group on International Agricultural Research-Consortium for Spatial

Information (CGIAR-CSI) yang dapat diunduh dari http://www.cgiar-csi.org/. Data

curah hujan dan DEM diolah dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi).

Aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola,

profil, hubungan dan pemodelan spasialnya. Data curah hujan dan DEM diolah dengan

menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi). SIG merupakan sistem informasi

berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

geografis (Aronoff, 1989). SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan

berbagai data pada suatu titik tertentu di Bumi, menggabungkannya, menganalisis dan

akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial

yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki

sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Aplikasi SIG dapat menjawab

beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola, profil, hubungan dan

pemodelan spasialnya. Diagram alir metodologi pengolahan data curah hujan dan DEM

serta hubungan keduanya dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 86: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 76 ~

Gambar 1: Diagram alir pengolahan data

curah hujan spasial dan DEM dengan

SIG untuk mendapatkan profilnya

masing-masing.

Gambar 2: Daerah aliran sungai

Cisangkuy (A) yang merupakan sub-DAS

dari DAS Citarum hulu yang terletak di

Kabupaten Bandung (B)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Digital Elevation Model (DEM) adalah model data raster yang bisa diolah

dengan SIG seperti dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3: Digital Elevation Model

(DEM) daerah aliran sungai Cisangkuy

Kabupaten Bandung.

Gambar 4: Profil ketinggian yang

diinginkan seperti pada garis CD di Gambar

3.

DEM memuat informasi tinggi permukaan tanah yang akan digunakan untuk

menurunkan peta kelas ketinggian dan lereng. DEM yang digunakan dalam makalah ini

merupakan hasil dari misi penginderaan jauh dengan sensor satelit aktif sekitar tahun

2000 dengan nama SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). Misi internasional ini

menghasilkan produk DEM dengan resolusi 90 m. Ketinggian dan kelerengan

menggambarkan karakteristik fisis suatu daerah. Ketinggian tersebut diukur tepat di atas

permukaan laut dengan satuan meter. Untuk ukuran suatu daerah aliran sungai maka

SIG

DEMCURAH

HUJAN

DISTRIBUSI

SPASIAL CURAH

HUJAN

ELEVASI

REGRESI

LINEAR

D

C D

C

Page 87: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 77 ~

data DEM di masking dengan data delineasi daerah aliran sungai dengan menggunakan

SIG, sehingga diperoleh lokasi kajian, seperti pada Gambar 3. Dengan menggunakan

analisis spasial pada SIG diperoleh profil ketinggian yang diinginkan seperti pada garis

CD (lihat Gambar 4). Hubungan linear curah hujan dan elevasi dihitung tiap bulan untuk rata-

rata curah hujan bulanan selama 50 tahun periode 1950-2000 dari data Worldclim, sehingga

didapat kemiringan, koefisien korelasi Pearson (r) untuk setiap bulan. Koefisien korelasi untuk

hubungan curah hujan bulanan dan elevasi (r) didapat bervariasi antara 17% sampai 95%

dengan rata-rata 77%. Kemiringan juga bervariasi dari jangkauan 2,7 sampai 15,3 setiap 100 m

dengan rata-rata 8,95 mm, kecuali pada bulan April, Mei, Juni, Julu, Agustus, Oktober,

Nopember terjadi penurunan terhadap ketinggian yang bervariasi rata-rata kemiringan -1,87

mm (Lihat Gambar 5 dan Gambar 6).

Gambar 5: Estimasi regresi linear beserta

gradien (slope) curah hujan bulanan

terhadap elevasi

Gambar 6: Estimasi regresi linear beserta

gradien (slope) curah hujan bulanan

terhadap elevasi

Skala efek orografi yang teramati merupakan hal yang sangat penting dalam

analisis pada makalah ini yang didasarkan pada penggunaan data elevasi DEM bergrid

90x90 m. Terdapat ketidaksesuain secara implisit dalam skala ketika menggunakan

hubungan elevasi dan curah hujan antara titik stasiun pada sel-sel grid DEM. Elevasi di

pusat sel grid DEM tidak menggambarkan elevasi pada titik tersebut tetapi

menggambarkan rata-rata atau elevasi diperhalus yang menggambarkan sel grid

keseluruhan. Dengan demikian elevasi sel DEM jarang tepat dengan elevasi stasiun

seandainya stasiun berada tepat di pusat sel grid. Secara umum resolusi DEM yang

semakin halus maka semakin tepat elevasi sel grid akan cocok pada titik stasiun

tersebut. Sharples et al. (2005) meneliti tentang resolusi spasial minimum dimana

pengaruh kebergantungan curah hujan pada topografi nampak jelas di kontinen

Australia berada pada kisaran 5-10 km. Pada penampang profil garis CD (Gambar 4),

dengan analisis spasial menggunakan SIG maka diperoleh data curah hujan yang

Page 88: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 78 ~

mempunyai 13 grid sedangkan data DEM mempunyai 136 grid. Pendekatan hubungan

nilai grid ke grid adalah 1 grid curah hujan bersesesuai dengan 10 grid DEM. Persamaan

regresi setiap bulan, kemiringan dan koefisien korelasi dapat diringkas seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 : Estimasi regresi linear beserta gradien (slope) curah hujan bulanan

terhadap elevasi dan koefisien korelasi Pearson dengan 700 <x<2600

4. KESIMPULAN

Analisis regresi linear antara curah hujan rata-rata bulanan dari data WorldClim

dengan elevasi dari data DEM di daerah tangkapan air Cisangkuy wilayah Citarum Hulu

kabupaten Bandung selama periode 1950-2000 telah dianalisis dan diteliti. Analisis

regresi menunjukkan hubungan yang kuat antara curah hujan bulanan dan elevasi

dengan rata-rata koefisien korelasi sebesar 77%. Peningkatan curah hujan dengan

elevasi mempunyai nilai rata-rata 8,95 mm setiap 100 m kenaikan elevasi. Penurunan

pada daerah semi bayang-bayang hujan rata-rata sebesar -1,87 mm setiap penurunan

100 m.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., and R.D. Susanto.(2003). Identification of Three Dominat rainfall Regions

Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface temperature . Int. J.

Climatology. 23: 1435–1452.

Page 89: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 79 ~

Anders, A.M., Roe, G.H, Hallet, B, D.R, Montgomery, D.R, N.J, Finnegen and J,

Putkonen. (2006). Spatial patterns of precipitation and topography in the

Himalaya Geological Society of America Special Paper 398, 39–53.

Aronoff, S. (1989). Geographic Information System Management Perspective WDL

Publication,Ottawa-Canada

Daly, C., R.P. Nelson, and D.L. Phillips. (1994). A Statistical-Topographic Model for

Mapping Climatological Precipitation over Mountainous Terrain. J. of Appl.

Meteorology 33 : 140-158

Haylock, M and J.L. McBride. (2001). Spatial Coherence and Predictability of

Indonesian West Season Rainfall. Journal of Climate 14:3882-3887.

Hendon, H. (2003). Indonesian Rainfall Variability: Impact of ENSO and Local Air-

Sea Interaction. Journal of Climate 16, 1775-1790.

WorldClim (2012) http://www.worldclim.org/ Diakses 23 November 2012

Consultative Group on International Agricultural Research-Consortium for

Spatial Information http://www.cgiar-csi.org/. Diakses 2 Desember 2012

Meybeck, M., P. Green, and C. Vörösmarty, (2001). A new typology for

mountains and other relief classes: an application to global continental

water resources and population distribution. Mountain Research and

Development 21, 34-45.

Meyers, M.P., J.S. Snook, D.A. Wesley, and G.S. Poulos, (2003). A Rocky Mountain

storm. Part II: The forest blowdown over the West Slope of the northern

Colorado mountains - Observations, analysis, and modeling. Wea. Forecasting,

18, 662-674.

Sharples, J.J., M. F. Hutchinson, and D.R. Jellett. (2005). On the Horizontal Scale of

Elevation Dependence of Australian Monthly Precipitation. J. of Appl.

Meteorology 44, 1850-1865

Page 90: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 80 ~

SIMULASI TRAYEKTORI DAN DISPERSI ASAP

MENGGUNAKAN MODEL HYSPLIT 4.9

(Studi Kasus Tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013)

Danang Eko Nuryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

[email protected]

Abstract

The trajectory and dispersion simulation of fires smoke has been done with June 30,

2013 using Hysplit 4.9 with the input data from the output model of WRF EMS which

run by the Research and Development Center of BMKG using 27 km resolution. These

simulation using June 30, 2013 at 12 UTC data initiation. Hotspot data taken from the

Ministry of Forestry of Indonesia on June 30, 2013. Simulated by using 3 source height:

10 m, 500 m and 1000 m above ground level. From the simulation results show that for

the height of 10 m smoke move to mainland Malaysia at 6 UTC, and at 18 UTC on June

1, 2013 which is on the same property is crossed by the South China Sea. For dispersion

seen also at 6 UTC on June 1, 2013 smoke began to enter mainland Malaysia.

Dispersion seen leaving the mainland of Malaysia finished at 18 UTC on June 2, 2013.

In this case the smoke passing through Malaysia in less than 30 hours.

Keywords: hysplit, trajectory, dispersion

Abstrak

Telah dilakukan simulasi trayektori dan dispersi asap kebakaran lahan tanggal 30 Juni

2013 menggunakan Hysplit 4.9 dengan data input dari keluaran model WRF-EMS yang

dijalankan oleh Puslitbang BMKG dengan resolusi 27 km. Pada simulasi ini

menggunakan data inisiasi tanggal 30 Juni 2013 jam 12 UTC. Untuk data hotspot

diambil dari Kementerian Kehutanan RI tanggal 30 Juni 2013. Disimulasikan dengan

menggunakan 3 ketinggian sumber yaitu 10 m, 500 m dan 1000 m di atas permukaan

tanah. Dari hasil simulasi memperlihatkan bahwa untuk ketinggian 10 m asap sampai

daratan Malaysia pada pukul 6 UTC tanggal 1 Juni 2013, dan pada pukul 18 UTC

tanggal yang sama asap sudah menyeberang hingga Laut China Selatan. Untuk

dispersinya terlihat juga pada pukul 6 UTC tanggal 1 Juni 2013 asap mulai memasuki

daratan Malaysia. Terlihat dispersi habis meninggalkan daratan Malaysia pada pukul 18

UTC tanggal 2 Juni 2013. Dalam hal ini asap tersebut melewati Malaysia dalam waktu

kurang lebih 30 jam.

Kata Kunci : hysplit, trayektori, dispersi

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki luas hutan tropis basah

terbesar di dunia. Baru-baru ini fenomena asap kebakaran lahan telah menjadi isu

nasional dengan dampak hingga ke negara tetangga (Singapore dan Malaysia). Untuk

itu diperlukan suatu perangkat untuk mensimulasikan pergerakan lintasan asap yang

Page 91: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 81 ~

bersumber dari lokasi tertentu. Pemodelan kualitas udara adalah teknologi standar yang

dipergunakan untuk membuat simulasi maupun prediksi yang telah dikembangkan di

berbagai negara maju di dunia.

Banyak model prakiraan untuk aplikasi kualitas udara yang telah dikembangkan

secara gratis oleh para ahli dengan pendekatan perhitungan yang cukup bervariasi, baik

untuk skala global maupun regional. Informasi mengenai kualitas udara yang reliable

(dapat diandalkan) dan akurat sangat diperlukan untuk menunjang kebutuhan di

berbagai sektor kehidupan. Model HYbrid Single-Particle Lagrangian Integrated

Trajectory (HYSPLIT) dengan menggunakan data meteorologi untuk mensimulasikan

pergerakan lintasan dan konsentrasi baik maju atau mundur dalam jangka waktu dan

interval yang teratur (Draxler, et. al., 1998). Model ini adalah sistem yang lengkap

untuk menghitung lintasan atmosfer, dispersi dan simulasi kompleks menggunakan

partikel puff atau lagrangian (Draxler, et. al., 2007).

Model HYSPLIT ini dapat dijalankan secara interaktif di internet melalui website

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) di

http://www.arl.noaa.gov/HYSPLIT.php atau dengan single PC. Model ini sudah dalam

bentuk Graphic User Interface (GUI) untuk kemudahan dalam pengaturan lintasan,

konsentrasi atau simulasi deposisi. GUI utama meliputi kemampuan untuk men-

download data model input dari server File Transfer Protocol (FTP), mengkonversi data

ke format ARL, membuat lintasan atau model konsentrasi, dan pasca-proses output

grafis. Model ini juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan output untuk aplikasi

Sistem Informasi Geografis (SIG). Lebih jauh tentang contoh aplikasi model HYSPLIT

dapat dipelajari pada Predetti (2004) dan Yerramilli, dkk. (2011)

Dengan menggunakan model HYSPLIT penelitian ini akan mensimulasikan

pergerakan asap kebakaran tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013 dari sumber titik api di wilayah

Sumatera (satu sumber) untuk melihat apakah lintasan asap dari Sumatera mencapai

daratan Malaysia dan atau Singapura.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pada model Hysplit ini menurut Draxler (1997) menggunakan persamaan

trayektori dasar yaitu suatu partikel adveksi dihitung dari rata-rata vektor kecepatan tiga

dimensi pada posisi awal P(t) dan posisi dugaan awal P‟(t+∆t). Vektor kecepatan

tersebut diinterpolasi secara linear baik secara spasial maupun temporal.

Page 92: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 82 ~

Persamaan posisi dugaan awal adalah sebagai berikut :

ttPVtPttP ),()()( .....................................................................................................(1)

Persamaan posisi final adalah sebagai berikut :

tttPVtPVtPttP ),(),(5.0)()(

................................................................(2)

Dispersi polutan dihitung dengan mengasumsikan baik lintasan atau partikel yang

dilepaskan ke udara. Dalam model ini, jangkauan lintasan dapat lebih luas dari grid

yang telah ditetapkan untuk input meteorologi dan kemudian dipecah menjadi beberapa

lintasan baru, masing-masing dengan massa polutan. Dalam model partikel, jumlah

partikel digerakkan oleh angin baik secara horisontal dan vertikal maupun turbulent.

3. DATA DAN METODE

Pada penelitian ini menggunakan data keluaran model WRF-EMS dengan

resolusi 27 km, yang dijalankan dengan menggunakan data inisial dari Global Forecast

System (GFS) 6 jam-an resolusi 0.5o x 0.5

o pada

tanggal 30 Juni 2013 pukul 12.00 UTC

selama 3 hari. Sedangkan proses untuk mendapatkan data keluaran model WRF-EMS

tersebut ada 3 tahap. Pertama, proses download data GFS tanggal 30 Juni 2013 pukul

12.00 UTC. Kedua, proses running model WRF-EMS untuk mendapatkan model

meteorologinya. Pada proses kedua ini menggunakan domain wilayah seluruh Indonesia

dengan resolusi 27 km. Terakhir ketiga, proses konversi menjadi data berformat .BIN

untuk bisa dibaca model HYSPLIT.

Untuk simulasi trayektori dan dispersi dipergunakan model HYSPLIT versi 4.9

berbasis PC yang cukup mudah instalasinya. Dalam simulasi ini dilakukan setting

lamanya emisi kebakaran adalah 6 jam dimulai dari pukul 12.00 UTC. Domain yang

dipakai dalam simulasi ini akan menyesuaikan sampai batas mana trayektori atau

dispersi asap tersebut mencapai titik terjauh.

Untuk data titik api, penulis menggunakan data sebaran titik api yang secara

resmi dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan RI, dimana dapat diunduh pada alamat

www.indofire.org. Sedangkan untuk membandingkan hasil simulasi dengan kondisi

lapangan dipergunakan data citra satelit Terra-Modis yang terekam pada tanggal 1 juli

2013 pukul 03.55 UTC dan tanggal 2 juli 2013 pukul 03.00 UTC.

Page 93: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 83 ~

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk menentukan lokasi sumber asap, penulis menggunakan salah satu titik

panas dari peta sebaran titik panas yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan RI

(Gambar 1). Penulis memilih lokasi yang lebih mendekati Malaysia dan Singapura

untuk menunjukkan pergerakan lintasan dari sumber tersebut. Pada peta Gambar 1

lingkaran hijau menunjukkan lokasi titik api (100 BT dan 2.3 LU) yang dipilih sebagai

sumber asap kebakaran.

Hasil simulasi lintasan asap dengan sumber titik api pada 100 BT dan 2.3 LU

menggunakan 3 ketinggian yang berbeda: 10 m (merah), 500 m (biru) dan 1 km (hijau)

dapat diperhatikan pada Gambar 2. Dipilih 3 ketinggian sumber yang berbeda untuk

melihat jika ada asap yang bergerak ke atas pada posisi sumber dengan ketinggian

tertentu apakah mempunyai arah lintasan yang sama.

Gambar 1. Lokasi titik api tanggal 30 Juni 2013. Sumber yang dipakai dilingkari

hijau. Sumber gambar dari Kementerian Kehutanan RI.

Untuk ketinggian sumber 10 m arah lintasan cenderung agak ke Utara sedangkan

dua posisi ketinggian lainnya (0.5 km dan 1 km) menunjukkan arah agak ke Selatan

dahulu baru ke arah Timur Laut. Terlihat bahwa lintasan asap mulai memasuki

Malaysia pada pukul 06 UTC tanggal 1 Juli 2013, dan pada pukul 12 UTC memasuki

Laut China Selatan dilihat dari sumber dengan ketinggian 10 m. Sedangkan jika dilihat

dari sumber dengan ketinggian 0.5 km dan 1 km, terlihat bahwa lintasan asap berada di

Page 94: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 84 ~

atas daratan Malaysia pada pukul 18 UTC tanggal 1 Juli 2013 (ketinggian sumber 0.5

km) dan pada pukul 00 UTC tanggal 2 Juli 2013 (ketinggian sumber 1 km).

Pengaruh secara signifikan terlihat pada sumber dengan ketinggian 10 m

memberikan dampak yang jelas dilihat dari tinggi lintasannya dibanding pada sumber

dengan ketinggian 0.5 km atau 1 km. Secara umum lintasan asap bergerak ke arah

Timur/Tenggara lalu bergerak ke arah Timur Laut dimana melewati Malaysia.

Gambar 2. Hasil simulasi trayektori asap kebakaran lahan dengan titik api pada 100

BT dan 2.3 LU. Garis merah menunjukkan litasan dari sumber dengan

ketinggian sumber 10 m, garis biru menunjukkan lintasan dengan

ketinggian sumber 500 m dan garis hijau menunjukkan lintasan dengan

ketinggian sumber 1 km. Kiri (tampilan asli keluaran Hysplit), kanan

(tampilan google earth)

Hasil simulasi dispersi asap (Gambar 3) terlihat juga pada pukul 06 UTC tanggal

1 Juni 2013 asap mulai memasuki daratan Malaysia dan dispersi habis meninggalkan

daratan Malaysia pada pukul 18 UTC tanggal 2 Juni 2013. Dalam hal ini asap tersebut

melewati Malaysia dalam waktu kurang lebih 30 jam.

Gambar 1. Lokasi titik api tanggal 30 Juni 2013. Sumber yang dipakai dilingkari hijau. Gambar dari Kementerian Kehutanan RI.

Page 95: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 85 ~

Gambar 3. Hasil simulasi dispersi asap kebakaran hasil keluaran model, kiri (awal

masuk-nya asap ke daratan Malaysia) dan kanan (asap memasuki daratan

Malaysia).

Gambar 4. Hasil citra satelit Modis-Terra menunjukkan dispersi asap kebakaran (kotak

merah), kiri (citra pukul 03.55 UTC tgl 1 Juli 2013) dan kanan (citra pukul

03.00 UTC tgl 2 Juli 2013).

Untuk menguji kemampuan model HYSPLIT, digunakan hasil citra satelit

Modis-Terra (Gambar 4) untuk dibandingkan dengan hasil model pada Gambar 3.

Secara visual memang agak sulit untuk membedakan antara awan dengan asap.

Sehingga untuk membedakan antara awan dan asap penulis memberikan definisi yaitu

awan lebih pekat dan menggerombol sedangkan asap lebih tipis dan mudah

diterbangkan oleh angin. Dengan definisi sederhana tersebut pada pukul 03.55 UTC

tanggal 1 Juli 2013 hasil citra satelit memperlihatkan kumpulan asap di atas Pulau

Sumatera, artinya belum memasuki daratan Malaysia. Sedangkan pada pukul 03.00

UTC tanggal 2 Juli 2013 hasil citra satelit memperlihatkan kumpulan asap berada di

Citra satelit Jam 03.55 UTC tgl 1 juli 2013 Citra satelit Jam 03.00 UTC tgl 2 juli 2013

Page 96: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 86 ~

atas daratan Malaysia (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan hasil model pada Gambar 3 di

atas.

5 KESIMPULAN

Telah dilakukan simulasi trayektori dan dispersi asap kebakaran lahan pada

tanggal 30 Juni – 3 Juli 2013 menggunakan Hysplit 4.9. Dari hasil simulasi

memperlihatkan bahwa lintasan asap bergerak ke arah Timur/Tenggara lalu bergerak ke

arah Timur Laut dimana melewati Malaysia.

Model Hysplit 4.9 cukup baik merepresentasikan trayektori dan dispersi asap

kebakaran lahan dari sumber titik api pada 100 BT dan 2.3 LU. Hal ini terlihat dari citra

satelit persebaran asap yang sesuai dengan keluaran model Hysplit. Harus diakui bahwa

asap yang asalnya dari wilayah Indonesia menyebar ke arah negara tetangga (Singapura

dan Malaysia).

UCAPAN TERIMA KASIH.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada panitia seminar sains atmosfer 2013 sudah

diberikan kesempatan untuk mengirimkan makalah ini.

DAFTAR RUJUKAN

Draxler, R.R., 2007, HYSPLIT 4 User's Guide, NOAA Technical Memorandum

[http://www.arl.noaa.gov/HYSPLIT.php]

Draxler, R.R., and Hess, G. D. 1998. An Overview of the Hysplit_4 Modelling System

for Trajectories, Dispersion, and Deposition. USA : NOAA Air Resources

Laboratory, Silver Spring, Maryland.

Draxler, R. R. 1997. Description of The HYSPLIT_4 Modeling System. NOAA Air

Resources Laboratory, Silver Spring, Maryland.

Pedretti S. (Thesis, 2004); Monthly pollen rain sampling at the Modena Botanic garden,

2002: first example of the application NOAA Hysplit 4 Model for November."

Universita' di Modena e Reggio Emilia. Modena, Italy.

Yerramilli, A., V.B.R. Dodla, V.S. Challa, L. Myles, W.R. Pendergrass, C.A. Vogel,

H.P. Dasari, and others. 2011. An integrated WRF/HYSPLIT modeling approach for

the assessment of PM2.5 source regions over the Mississippi Gulf Coast region, Air

Qual Atmos Health, DOI 10.1007/s11869-010-0132-1.

Page 97: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 87 ~

ANALISIS DATA KOMPOSISI KIMIA AIR HUJAN

MENGGUNAKAN METODE ANALISIS DISKRIMINAN

Dessy Gusnita

Bidang Komposisi Atmosfer-LAPAN

Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung

email: [email protected]

Abstracts

Data analysis of rain water composition in Bandung basin was carried out in five

locations that are Lembang, Soreang, Cipatik, Tanjungsari and Padalarang consist of 5

variables: rainfall, SO4, NO3, NH4 and Cl concentration. The data period was used from

2003 to 2005. Whereas the analysis method used discriminant method with steps:

separated variables to the dependent variable that consisted of 3 groups: rain season, the

transition and dry season, whereas independent variable consist of: pH, rainfall, ion SO4

concentration, ion NO3, ion NH4 and ion Cl, coefficient discriminant count as well as

tested the significance of the discriminant function. From the discriminan function was

formed then the variable that was influential in the Lembang area was Ammonium and

SO4, in Padalarang area the variable that influenced was NH4 compound, in Soreang

area NO3 and Cl compound, in Cipatik area the variable that influenced discriminan

function was NH4 and SO4. Whereas in the Tanjungsari area, was not formed the

function for this area, in the other words from 5 variable was not variable that was

influential against.

Keywords: rain water, discriminant method, independent variable, dependent variable

Abstrak

Analisa data komposisi kimia air hujan di cekungan Bandung dilakukan di lima lokasi

pengukuran yaitu Lembang, Soreang, Cipatik, Tanjungsari dan Padalarang. Data

Komposisi kimia air hujan yang di analisa terdiri dari 6 variabel yaitu: pH, curah hujan,

ion SO4, NO3, NH4 dan Cl. Periode data air hujan yang digunakan dari tahun 2003

hingga tahun 2005. Sedangkan metode analisa menggunakan metode analisis

diskriminan dengan langkah-langkah: memisah data menjadi variabel tak bebas yang

terdiri atas 3 kelompok yaitu: musim hujan, peralihan dan musim kering, serta variabel

bebas yang terdiri dari: curah hujan, ion SO4, ion NO3, ion NH4 dan ion Cl, menghitung

koefisien diskriminan serta menguji signifikansi fungsi diskriminan. Dari fungsi

diskriminan yang terbentuk maka variabel yang berpengaruh di daerah Lembang adalah

senyawa amonium dan ion SO4, daerah Padalarang variabel yang mempengaruhi

pengelompokan suatu data adalah variabel NH4, di daerah Soreang variabel yang

berpengaruh adalah senyawa NO3 dan Cl, dan di Cipatik variabel yang mempengaruhi

fungsi diskriminan adalah NH4 dan SO4. Sedangkan di daerah Tanjungsari, dari keenam

variabel bebas yaitu: pH, curah hujan, SO4, NO3, NH4 dan Cl, berdasarkan proses

pengelompokan menggunakan metode diskriminan tidak terbentuk fungsi untuk daerah

tersebut, dengan kata lain dari ke-lima variabel tersebut tidak ada variabel yang

berpengaruh terhadap pembentukan fungsi diskriminan.

Kata kunci: air hujan, metode diskriminan, variabel bebas, variabel tak bebas.

Page 98: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 88 ~

1. PENDAHULUAN

Polusi udara memberikan dampak yang signifikan bagi kota Bandung dan

wilayah-wilayah kabupaten disekitarnya. Dampak dari perkembangan kota Bandung

ternyata memberikan pengaruh yang signifikan terhadap polutan pencemar baik yang

berasal dari aktivitas masyarakat, industri, transportasi serta faktor alami wilayah

Bandung itu sendiri (Budiwati, 1999). Kondisi cekungan Bandung ini diperparah pula

dengan terjadinya peningkatan jumlah kendaraan pribadi, tumbuh dan berkembangnya

pusat keramaian kota, serta manajemen lalulintas yang kurang baik. Sementara itu

konsentrasi polutan yang semakin besar tidak mampu lagi diserap dengan baik oleh

tanaman yang ada, karena berkurangnya ruang terbuka hijau dan berubahnya taman kota

menjadi bangunan. Bandung sebagai kota pariwisata, jasa, industri serta perdagangan

hal ini tentunya akan menghidupkan perekonomian di Kabupaten Bandung dan

sekitarnya. Kota-kota di tepi cekungan Bandung seperti Lembang, Soreang, Padalarang,

Tanjungsari dan Cililin menjadi lokasi yang dipilih dalam pengukuran ini. Adanya

kejadian hujan asam adalah suatu fenomena yang menunjukkan terpolusinya atmosfer di

suatu wilayah.

Makalah ini bertujuan untuk menganalisis data komposisi kimia air hujan yang

berasal dari 5 daerah di sekitar kota Bandung yaitu Lembang, Soreang, Cipatik,

Tanjungsari dan Padalarang. Data yang akan dianalisis adalah curah hujan, ion-ion SO4,

NO3, NH4 dan Cl. Dari 5 parameter data tersebut selanjutnya dilakukan analisis

menggunakan metode analisis Diskriminan. Metode analisis diskriminan berguna untuk

mengetahui variabel yang paling berperan di suatu wilayah, sehingga dapat dipelajari

faktor dominan yang berpengaruh terhadap keasaman air hujan di suatu wilayah yang

didasarkan atas pengelompokan musim kering, musim hujan dan musim peralihan

(Giovana, 1993).

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hujan Asam

Hujan asam disebabkan oleh oksida asam yaitu SO2 dan NO2, yang dengan

adanya uap air akan bereaksi membentuk hujan yang bersifat asam yaitu H2SO4 maupun

HNO3. Hal ini terjadi apabila asam di dalam udara larut ke dalam butir-butir air di

awan. Jika kemudian turun hujan dari awan itu, air hujannya akan bersifat asam (J.

Finlayson, 1986).

Page 99: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 89 ~

Menurut (Anonim, 1993) masalah deposisi asam/hujan asam terjadi di lapisan

atmosfer terendah, yaitu di troposfer. Asam yang terkandung didalam deposisi asam

ialah asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3). Keduanya merupakan asam yang

sangat kuat. Asam sulfat berasal dari gas SO2 dan asam nitrat, terutama dari gas NOx

yang melalui proses fisik dan kimia di udara membentuk keasaman. Proses yang terjadi

sangatlah kompleks yang melibatkan proses transportasi dan transformasi. Kontribusi

air hujan untuk mengikat zat-zat polutan tersebut membentuk keasaman dalam bentuk

senyawa H2SO4 dan HNO3 (Narita, 2000) . Hal ini bisa terjadi di daerah perkotaan,

karena adanya pencemaran udara dari lalu lintas yang berat dan daerah yang langsung

terkena udara yang tercemar dari pabrik. Dapat pula terjadi di daerah perbukitan yang

terkena angin yang membawa udara yang mengandung asam. Deposisi kering biasanya

terjadi di tempat dekat sumber pencemaran. (Seinfeld J.H & Pandis, 1999).

2.2 Analisis Data menggunakan analisis Diskriminan

Tujuan dari analisis diskriminan adalah mengelompokkan data ke dalam

kelompok masing-masing, penelitian ini kelompok (variabel tak bebas) dibagi menjadi

tiga yaitu:

1. Kelompok Musim Kering,

2. Kelompok Musim Peralihan

3. Kelompok Musim hujan

Sedangkan data yang akan dikelompokkan terdiri dari enam (5) variabel bebas

yaitu: curah hujan, konsentrasi SO4, NO3, NH4 dan Cl, yang akan diuji yaitu apakah ada

perbedaan yang nyata dari variabel bebas terhadap ketiga kelompok tersebut.

Selanjutnya semua Variabel bebas dan variabel tak bebas tersebut secara simultan

dianalisis untuk menghasilkan persamaan regresi, yang disebut Fungsi Diskriminan.

Secara umum analisis multivarians atau metode multivarians berhubungan dengan

metode statistik yang secara bersama-sama (simultan) melakukan analisis terhadap lebih

dari 2 variabel pada setiap objek. Analisis Diskriminan pada prinsipnya bertujuan

melakukan ”pembedaan” data, dan mempelajari sifat tingkat pembedaan dalam bentuk

bobot vartiabel yang terlibat dalam terjadinya pembedaan (Sudjana, 2003).

3. DATA DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari curah hujan, ion SO4, ion

NO3, ion NH4 dan ion Cl, dengan periode data selama tahun 2003- 2005. Tahapan untuk

Page 100: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 90 ~

memperoleh data komposisi kimia air hujan dilakukan dengan menganalisa sampel air

hujan yang diambil dari 5 lokasi pengamatan, selanjutnya dilakukan analisa pH air

hujan, serta analisa komposisi kimianya menggunakan Ion kromatografi dan

spektrofotometer. Sedangkan metode yang digunakan untuk menganalisis data tersebut

di atas menggunakan analisis statistik metode diskriminan. Langkah- langkah yang

dilakukan untuk menganalisis data menggunakan analisis diskriminan adalah:

- memisah variabel-variabel menjadi variabel tak bebas yang terdiri atas 3 kelompok

yaitu: musim hujan, peralihan dan musim kering serta variabel bebas yang terdiri dari:

curah hujan, ion SO4, ion NO3, ion NH4 dan ion Cl,

- menghitung koefisien diskriminan

- serta menguji signifikansi fungsi diskriminan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Daerah Lembang

Dari data komposisi kimia air hujan yang terdiri dari pH, curah hujan, SO4, NO3,

NH4 dan Cl yang di analisa pada musim hujan, peralihan dan musim kering maka di

daerah Lembang dilakukan pengolahan data dengan menggunakan SPSS 17. Hasil yang

diperoleh sebagai berikut:

Hasil uji variabel

Tabel diatas berfungsi untuk menguji apakah ada perbedaan yang signifikan

antar grup untuk setiap variabel. Sebagai pedoman adalah lihat besaran angka yang

terdapat dalam kolom sig.

Jika sig. > 0.05 berarti tidak ada perbedaan antar group

Jika sig. <= 0.05 berarti ada perbedaan antar grup

Dalam prosesnya fungsi diskriminan akan memberikan nilai-nilai yang sedekat

mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok. Ternyata dari enam

variabel diatas yang signifikan (<=0.05) hanya variabel SO4 dan NH4 saja sedangkan

Tests of Equality of Group Means

,985 1,841 2 248 ,161

,982 2,215 2 248 ,111

,983 2,164 2 248 ,117

,937 8,373 2 248 ,000

,999 ,114 2 248 ,892

,968 4,056 2 248 ,018

pH

Rain fall [mm]

NO3(mmol/l)

SO4 (mmol/ l)

Cl- (mmol/l)

NH42+ (mmol/l)

Wilks'

Lambda F df 1 df 2 Sig.

Page 101: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 91 ~

yang lainnya tidak signifikans karena nilai sig>0,05. dari nilai ini dapat diambil

penjelasan bahwa ada perbedaan antar grup yaitu musim hujan, musim kering dan

peralihan dimana perbedaan ini dipengaruhi oleh besarnya SO4 dan NH4. Begitu juga

bahwa tidak ada perbedaan antar grup musim kering, hujan dan peralihan oleh variabel

pH, curah hujan, N03 dan Cl.

Variabel yang membentuk fungsi diskriminan

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa ada dua variabel yang akan membentuk

fungsi diskriminan, yaitu SO4 dan NH4, sedangkan variabel lainnya tidak masuk

kedalam fungsi diskriminan yang terbentuk. Jadi Fungsi diskriminan yang terbentuk

adalah persamaan regresi ganda dengan sebuah variabel tak bebas yang mencerminkan

keanggotaan kelompok (Sudjana, 2003)

Proses pemasukkan variabel dari angka wilk’s Lambda

Pada langkah 1, jumlah variabel yang dimasukkan kedalam fungsi ada satu yaitu

SO4 dengan angka wilk‟s lambda sebesar 0.937. Hal ini berarti 93.7% varians

(keberagaman faktor-faktor yang tidak bisa dijelaskan) belum bisa dijelaskan dengan

hanya memasukkan satu variabel saja yaitu SO4. Ini berarti harus dimasukkan variabel

lain selain SO4 yaitu NH4. Lalu langkah berikutnya adalah memasukkan variabel NH4

ternyata didapat angka wilk‟s lambda sebesar 0.902 atau 90.2% varians tidak bisa

dijelaskan oleh fungsi yang terbentuk. Dapat dilihat ternyata terjadi penurunan angka

Variables Entered/Removeda,b,c,d

SO4

(mmol/l),104

Peralihan

and Hujan5,252 1 248,000 ,023

NH42+

(mmol/l),165

Peralihan

and Hujan4,145 2 247,000 ,017

Step

1

2

Entered Stat ist ic

Between

Groups Stat ist ic df 1 df 2 Sig.

Exact F

Min. D Squared

At each step, the v ariable that maximizes the Mahalanobis distance between the two closest

groups is entered.

Maximum number of steps is 12.a.

Maximum signif icance of F to enter is .05.b.

Minimum signif icance of F to remove is .10.c.

F lev el, tolerance, or VIN insuf f icient f or further computation.d.

Wilks' Lambda

1 ,937 1 2 248 8,373 2 248,000 ,000

2 ,902 2 2 248 6,512 4 494,000 ,000

Step

1

2

Number of

Variables Lambda df 1 df 2 df 3 Stat ist ic df 1 df 2 Sig.

Exact F

Page 102: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 92 ~

wilks lambda seiring dengan telah dilakukannya langkah kedua. Penurunan angka

wilk‟s lambda tentu baik bagi model diskriminan, karena varians yang tidak bisa

dijelaskan juga semakin kecil dari 93,7% menjadi 90,2% (Singgih Santoso, 2002).

Analisis Perbedaan antar Grup Musim Kering, Musim peralihan dan Musim Hujan

Tabel di atas berkaitan dengan penjelasan wilk‟s Lambda sebelumnya dimana

ada dua tahapan proses yang menghasilkan dua variabel pada pembentukan fungsi

diskriminan. Pada langkah kedua dari tabel diatas (yang merupakan step akhir) terlihat

jarak (distance) antara grup musim kering dengan musim hujan mempunyai jarak lebih

besar (9,3) dibandingkan jarak antara peralihan dengan hujan (4,1) maupun dengan

kering dan peralihan (7.6).

Menguji Perbedaan antar Grup

Sebuah fungsi diskriminan berfungsi untuk menempatkan sebuah kasus masuk pada

satu grup atau grup yang lain. Karena tulisan ini ada 3 grup yang berfungsi sebagai

variabel tak bebas yaitu musim kering, peralihan dan musim hujan maka akan terbentuk

2 fungsi diskriminan dengan kriteria:

Fungsi Diskriminan 1 untuk memilah mana yang masuk ke grup kering atau ke

grup peralihan.

Fungsi Diskriminan 2 untuk memilah mana yang masuk ke grup peralihan atau

ke grup hujan.

Pairwise Group Comparisonsa,b

6,585 16,433

,011 ,000

6,585 5,252

,011 ,023

16,433 5,252

,000 ,023

7,602 9,317

,001 ,000

7,602 4,145

,001 ,017

9,317 4,145

,000 ,017

F

Sig.

F

Sig.

F

Sig.

F

Sig.

F

Sig.

F

Sig.

musim

Kering

Peralihan

Hujan

Kering

Peralihan

Hujan

Step

1

2

Kering Peralihan Hujan

1, 248 degrees of f reedom f or step 1.a.

2, 247 degrees of f reedom f or step 2.b.

Eigenvalues

,077a 72,3 72,3 ,267

,029a 27,7 100,0 ,169

Function

1

2

Eigenvalue % of Variance Cumulat iv e %

Canonical

Correlation

First 2 canonical discriminant functions were used in the

analysis.

a.

Fungsi 1 Fungsi 2

Kering Peralihan Hujan

Page 103: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 93 ~

Dari tabel eigen value di atas terlihat keeratan antara 2 fungsi diskriminan yang

terbentuk. Angka 0.267 menunjukkan keeratan yang rendah dengan ukuran skala

asosiasi antara 0 sampai dengan 1. Pada fungsi kedua walaupun angka canonical

correlation untuk fungsi kedua ini lebih kecil yaitu 0.169, namun kedua fungsi tetap

digunakan untuk interpretasi selanjutnya. Hal ini bisa dilihat pada keterangan tabel

wilk‟s Lambda berikut:

Tabel diatas menguji penggunaan fungsi diskriminan yang telah terbentuk

dengan hipotesa sebagai berikut:

Tes uji pertama (1 through 2)

Ho: Tidak ada perbedaan rata-rata (Centroid) dari kedua fungsi diskrminan

H1: Ada perbedaan rata-rata (centroid) yang jelas dari kedua fungsi diskriminan.

Terlihat angka signifikansi adalah sebesar 0.000 nilai ini ada di bawah 0.05 yang

berarti tolak Ho, atau terdapat perbedaan rata-rata (centroid) yang jelas dari kedua

fungsi diskriminan. Oleh karena ada perbedaan, maka grup untuk musim ini memang

berbeda.

Tes uji kedua (2)

Ho: Tidak ada perbedaan rata-rata (centroid) dari fungsi diskriminan kedua

H1: ada perbedaan rata-rata yang jelas dari fungsi diskriminan kedua

Membuat fungsi diskriminan 1 dan 2

fungsi diskriminan 1 yaitu:

, dimana nilai:

Z = skore diskriminan

W = koefisien/bobot diskriminan

Wilks' Lambda

,902 25,437 4 ,000

,971 7,175 1 ,007

Test of Function(s)

1 through 2

2

Wilks'

Lambda Chi-square df Sig.

Canonical Discriminant Function Coefficients

,044 ,012

-,019 ,039

-,503 -1,022

SO4 (mmol/l)

NH42+ (mmol/l)

(Constant)

1 2

Function

Unstandardized coef f icients

Page 104: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 94 ~

X = variabel prediktor

Sedangkan fungsi diskriminan kedua adalah

Pada persamaan diskriminan diatas, parameter yang berperan adalah ion SO4

dan NH4. Senyawa SO4 di daerah ini diduga berasal dari sumber lokal yaitu Gunung

Tangkuban Perahu yang secara alami mengeluarkan senyawa SO2. Sedangkan

Amonium diduga berasal dari daerah pertanian dan peternakan sapi yang mendominasi

daerah Lembang (Narita, 2000).

4.2 Daerah Padalarang

Dengan cara yang sama dengan pengolahan data di atas, maka analisa data

komposisi kimia air hujan dilakukan pula untuk daerah Padalarang. Hasil analisis

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara musim hujan, musim kering

dan peralihan dimana perbedaan ini dipengaruhi oleh besarnya NH4. Dengan fungsi

diskriminan yaitu:

Z

4.3 Daerah Soreang

Hasil pengolahan data di daerah Soreang berdasarkan kategori data terdapat

perbedaan antar grup musim hujan, musim kering dan musim peralihan dipengaruhi

oleh besarnya konsentrasi NO3 dan Cl. Dari nilai korelasi yang terbentuk dapat dilihat

baik NO3 maupun Cl memiliki korelasi paling besar pada fungsi diskriminan kedua.

Dengan fungsi diskriminan 1:

Fungsi Diskriminan kedua adalah:

Soreang sebagai daerah di kabupaten Bandung arus transportasinya mulai ramai,

maka perlu diwaspadai dari kemungkinan terkena hujan asam. Sesuai dengan fungsi

diskriminan menunjukkan bahwa daerah Soreang ini parameter yang mempengaruhi

terhadap keasaman air hujan adalah senyawa Nitrat.

4.4 Daerah Cipatik

Hasil analisis data daerah Cipatik menunjukkan ada perbedaan yang jelas antara

data yang tergolong kedalam musim kering, musim hujan atau musim peralihan.

Page 105: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 95 ~

Variabel yang membedakan sebuah kasus masuk kategori musim hujan, musim

peralihan atau musim kering adalah ion SO4 dan NH4. Fungsi diskriminan yang

terbentuk adalah:

Jika dilihat dari wilayah Cipatik/Cililin yang didominasi daerah persawahan,

maka hal ini mendukung fungsi diskriminan diatas yang menyatakan bahwa variabel

yang menentukan pada masing-masing musim adalah ion NH4. Sedangkan senyawa

sulfat yang juga merupakan variabel penentu dalam pengelompokan musim di daerah

Cipatik ini diduga berasal dari sumber lokal yaitu gunung yang berada dekat lokasi

tersebut.

4.5 Daerah Tanjungsari

Ternyata dari lima variabel yang dianalisa yaitu: curah hujan, SO4, NO3, Cl, dan

NH4 tidak ada satupun yang signifikan (<=0.05). Dari nilai ini dapat diambil penjelasan

bahwa tidak ada perbedaan antar grup yaitu musim hujan, musim kering dan peralihan

jika dihubungkan dengan variabel-variabel diatas. Sehingga bisa disimpulkan bahwa

untuk daerah Tanjungsari, dengan ditelitinya variabel curah hujan, NO3, SO4, Cl, dan

NH4 tidak ada satupun yang bisa membedakan untuk sebuah kasus masuk kedalam

musim hujan, musim kering dan musim peralihan. Tidak terbentuk fungsi diskriminan.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa data komposisi kimia air hujan di lima wilayah cekungan

Bandung maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: di Lembang fungsi diskriminan

yang terbentuk adalah: dan

; daerah Padalarang fungsi diskriminan yang terbentuk

adalah: Z ; daerah Soreang fungsi diskriminan yang terbentuk

dan

daerah Cipatik fungsi diskriminan yang terbentuk:

dan ; di Tanjungsari tidak terbentuk

fungsi diskriminan.

Page 106: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 96 ~

DAFTAR RUJUKAN

Anonim, Acid rain in Canada http://esa.org./education acid rainrevisited.htm [Maret,

2007] didownload Maret 2007

Barbara J. Finlayson-Pitts, James N Pitts, Jr. Atmospheric Chemistry. Fundamental and

Experimental Techniques, second edition, John Wiley & Sons, 1986.

Budiwati, Siti Asiati dan Nanang Effendi AR, 1991, Komposisi Kimia Air Hujan di

Bandung, Proceeding Program Penelitian Dirgantara LAPAN, 1991.

Giovana Vinzi, Alberto, An Application of Multivariate analysis to Acid rain data in

Northen Italy to discriminate naturale and man made compound, Enal Centro

Italy, 1993

Narita Y., Satoh K., Hayashi Keiichi., Iwase T., Tanaka S., Dokiya Y., Hosoe M.,and

Hayashi Kazuhiko, Long term of Chemical Constituents in Tokyo Metropolitan

area in Japan, Acid Rain, Proceeding from the 6 th

International Conference on

Acidic Deposition, Vol. III, 1649-1654, 2000

Seinfeld, John H. Pandis, Spyros N, Atmospheric Chemistry and Physics, second

edition, John Wiley & Sons, 998-1027, 2006

Singgih Santoso. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat, Elex media Komputindo.

Jakarta, 2002.

Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi, Tarsito Bandung, 2003.

Page 107: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 97 ~

INTERKONEKSI MONSUN DAN EL-NiñO TERKAIT

DENGAN CURAH HUJAN EKSTREM

Eddy Hermawan1)

dan Edward Rendra2)

1)

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN, Jalan Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 2)

Geofisika dan Meteorologi (GFM), IPB, Bogor

Email: [email protected]

Abstract

This study is mainly concerned to investigate the interaction or interconnection or

teleconnections between Monsoon and El-Niño coming simultaneously near real time period.

This is as a continuously of an earlier study that examines the interconnections between the

Dipole Mode with El-Niño. During normal conditions, the anomalous Monsoons almost did not

significantly affect rainfall anomalies. However, when conditions are abnormal, anomalous

Monsoon rainfall anomalies causing serious as it did in 1982/83 and 1997/98. Not only the

joining of two forces Monsun (Monsoon Asia and Australia), but also the presence of other

forces, namely the El-Niño events. On this basis, the research was conducted with the main

objective would like to know the interconnection between events Monsoon and El-Niño on

rainfall anomalies that occurred in some parts of Indonesia, such as Lampung, Sumbawa Besar,

Indramayu, Banjar Baru, and Pandeglang, respectively for period of 1976 to 2000. Although the

obtained correlation coefficient (R2) is relatively small (about 0.5) and CCF (Cross Correlation

Function) is relatively large (above 0.6), but each region has turned out a different response or a

response to the impact caused by the merging of events Monsoon and El-Niño above. In order to

obtain optimal results, it is necessary to better analysis of the main focus during the Monsoon

and the El-Niño was well above the normal threshold, especially in the period of 1996-1999.

Keywords: Interconection between Monsoon, El-Niño and extreme rainfall

Abstrak

Studi ini menekankan pentingnya penelitian interaksi atau interkoneksi atau telekoneksi

yang terjadi antara Monsun dengan El-Niño di saat keduanya bertemu dalam satu kurun yang

hampir bersamaan (simultan). Ini merupakan kelanjutan dari studi sebelumnya yang mengkaji

interkoneksi antara Dipole Mode dengan El-Niño. Pada saat kondisi normal, anomali Monsun

hampir tidak berpengaruh nyata terhadap anomali curah hujan. Namun, pada saat kondisi yang

tidak normal, anomali Monsun menimbulkan anomali curah hujan yang cukup serius seperti

yang terjadi pada tahun 1982/83 dan 1997/98. Tidak hanya bergabungnya dua kekuatan Monsun

(Monsun Asia dan Australia), namun juga adanya kekuatan lain, yakni kejadian El-Niño. Atas

dasar itulah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama ingin mengetahui interkoneksi

yang terjadi antara kejadian Monsun dan El-Niño terhadap anomali curah hujan yang terjadi di

beberapa kawasan Indonesia, masing-masing Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar

Baru, dan Pandeglang periode 1976 hingga 2000. Walaupun diperoleh nilai koefisien korelasi

(R2) yang relatif kecil (sekitar 0.5) dan CCF (Cross Correlation Function) yang relatif besar (di

atas 0.6), namun masing-masing kawasan ternyata memiliki tanggap atau respon yang berbeda

terhadap dampak yang ditimbulkan akibat bersatunya kejadian Monsun dan El-Niño di atas.

Agar diperoleh hasil yang optimal, maka diperlukan analisis yang lebih tajam dengan fokus

utama pada saat Monsun dan El-Niño berada jauh di atas ambang normal, yakni periode 1996-

1999.

Kata Kunci : Interkoneksi Monsun, El-Niño, dan curah hujan ekstrem

Page 108: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 98 ~

1. PENDAHULUAN

Kajian tentang El-Niño di LAPAN telah dirintis bersama ITB sejak tahun 2002

melalui riset RUK (Riset Unggulan Kemitraan) yang menghasilkan satu model prediksi

El-Niño berbasis Space-Time (Sutawanir, D, dkk, 2002). Karena fenomena El-Niño

tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan fenomena lain, khususnya Dipole

Mode (DM), maka pada tahun 2003 dilakukanlah satu kajian tentang karakteristik DM

(Hermawan, 2003). Kajian secara intensif tentang dua fenomena di atas, walaupun

belum sepenuhnya dilakukan secara optimal, telah dilakukan bersama tim peneliti dari

Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang memfokuskan pada kajian model time-series

data indeks suhu permukaan laut global dan indeks Osilasi Selatan (SOI) (Nurani, B,

dkk, 2003).

Di tahun yang sama dilakukan kajian dampak DM terhadap perilaku curah hujan

di kawasan barat Indonesia (Hermawan, dkk, 2003). Walaupun belum menunjukkan

hasil yang cukup signifikan pada waktu itu, namun ini merupakan cikal bakal

berkembangnya kajian tentang DM melalui teknik analisis spektrum berbasis FFT (Fast

Fourier Transform) terhadap kenormalan curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan

di Sumetera Barat dan Selatan (Hermawan, 2006). Pada saat yang sama dikembangkan

pula model prediksi ENSO menggunakan data ESPI (ENSO Precipitation Index)

(Hermawan, 2006).

Hingga akhir tahun 2007, kajian tentang bersatunya dua fenomena atmosfer El-

Niño dan DM belum mencapai titik temu, dan baru tahun 2008, ditemukanlah adanya

osilasi baru yang kemudian dikenal sebagai osilasi 15 tahunan sebagai hasil

interkoneksi antara fenomena El-Niño dan DM (Hermawan, 2008). Tahun 2009

merupakan awal dimulainya penggunaan data penginderaan jauh, khususnya data satelit

TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) untuk mengkaji fenomena El-Niño dan

La-Niña di Indonesia (Hermawan, 2009).

Jika disimak dengan seksama, kajian yang menyeluruh tentang kompleksitas

dinamika atmosfer Indonesia belum terlihat dengan jelas, khususnya interaksi atau

interkoneksi atau telekoneksi yang terjadi di saat El-Niño dan Dipole Mode bersatu,

walaupun itu sudah dimulai oleh Harjono (2009). Gagasan untuk mengkaji interkoneksi

berbagai fenomena atmosfer di Indonesia lebih mendalam tidak lain untuk

menindaklanjuti rekomendasi sidang IPCC (Intergovernmental Panel on Climate

Change) ke-31 tanggal 26-29 Oktober 2009 di Bali, GEOSS (Global Earth System to

System) ke-4 tanggal 10-12 Maret 2010 juga di Bali, dan terakhir di acara United

Page 109: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 99 ~

Nations/Indonesia International Conference on Integrated Space Technology

Application To Climate Change pada tanggal 2-4 September 2013 di Jakarta, mengingat

dampak serius yang ditimbulkannya.

Hal ini dapat dimengerti mengingat posisi Indonesia yang sangat unik dan

spesifik, diapit oleh dua Benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan

Hindia) yang merupakan satu-satunya kawasan yang didominasi oleh lautan dikenal

sebagai Indonesian Maritime Continent (IMC) atau kita kenal sebagai Benua Maritim

Indonesia (BMI) (Ramage, 1968). Hal inilah yang menjadi motivasi utama untuk terus

dilakukan pengembangan model interaksi antara fenomena Monsun, Dipole Mode dan

ENSO dalam mengkaji perilaku curah hujan di Indonesia (Hermawan, 2010).

Melalui kegiatan RIK (Riset Intensif Kedirgantaraan) LAPAN 2010, Hermawan,

dkk (2010) mengembangkan satu sistem pakar (expert system) berbasis indeks ENSO,

DMI, Monsun dan MJO untuk penentuan awal musim. Selain itu, dikembangkan pula

analisis parameter Monsun, ENSO, DM, dan MJO sebagai prekursor iklim di Indonesia

(Hermawan, 2010), selain analisis interkoneksi fenomena atmosfer di atas kawasan

Indonesia terkait dengan proyeksi iklim di masa mendatang (Hermawan, 2010). Lebih

jauh, melalui skema kegiatan IPKPP (Intensif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan

Perekayasa) tahun 2011 dari Kementrian Ristek dan Teknologi, dilakukanlah

pengembangan model interkoneksi berbagai fenomena atmosfer global sebagai indikasi

awal (precursor) datangnya kejadian iklim esktrem (khususnya curah hujan) di kawasan

sentra produksi tanaman pangan (Hermawan, dkk, 2011), yang kemudian diikuti oleh

analisis perilaku curah hujan di Pulau Jawa disaat fenomena El-Niño dan Dipole Mode

terjadi secara simultan (Hermawan, 2011).

Atas dasar itulah maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama mengetahui

interkoneksi yang terjadi antara fenomena Monsun dengan El-Nino dan dampak yang

ditimbulkannya terhadap curah hujan ekstrem di beberapa wilayah Indonesia.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Interkoneksi umumnya terkait erat dengan hubungan timbal balik (sering disebut

sebagai kopel atau couple) yang terjadi antara fenomena atmosfer satu dengan

fenomena atmosfer lainnya, walaupun kedua fenomena tersebut berada dalam jarak atau

ruang yang relatif cukup jauh. Ciri khas utama terjadinya interkoneksi biasanya ditandai

dengan terjadinya dua/lebih fenomena dalam kurun waktu yang hampir sama (near real

time) atau simultan seperti kasus tahun 1997/98. Hal ini ditandai oleh kenaikan Suhu

Page 110: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 100 ~

Permukaan Laut (SPL) atau lebih dikenal dengan istilah SST (Sea Surface

Temperature) di kawasan Niño 3.4 yang terletak di tengah (central) Lautan Pasifik di

atas batas ambang normal mencapai 2o, yang kemudian diikuti dengan naiknya SST di

Lautan Hindia yang kemudian dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif, disingkat

menjadi DM (+).

Dampak dari perubahan tersebut hampir sembilan puluh persen kawasan

Indonesia mengalami musim kering panjang, dan hanya beberapa kawasan saja yang

tidak terpengaruh dampak bersatunya dua fenomena alam di atas, yakni kawasan

Sumatera Utara bagian utara, seperti Aceh dan Medan yang relatif basah sepanjang

tahun (Harijono, 2008). Kondisi ini tidak jauh berbeda, disaat keduanya bertemu

kembali, namun dalam fase yang berbeda. Jika di tahun 1997 keduanya bertemu dalam

satu fase positif yang berdampak musim kering panjang, maka di tahun 1998 keduanya

bertemu dalam satu fase negatif, yang menyebabkan musim basah berkepanjangan,

sehingga muncullah istilah Dipole Mode Negatif atau DM (-), yang diikuti dengan

hadirnya La-Niña.

Hal terpenting terkait dengan anomali iklim adalah adanya fakta empiris yang

menunjukkan adanya interkoneksi yang kuat antara gejala alam El-Niño di sepanjang

Samudera/Lautan Pasifik dengan variabilitas curah hujan di sebagian besar wilayah

Indonesia. Keterkaitan yang erat antara El-Niño dengan Monsun dan curah hujan di

daerah tropis telah dibahas secara rinci oleh Yasunari (1990). Selain El-Niño, terdapat

gejala iklim lain yang juga dapat diidentifikasikan dengan pendefinisian indeks iklim,

yang diduga mempunyai interkoneksi kuat dengan curah hujan di Indonesia, yakni

Indian Ocean Dipole Mode (IODM) kemudian disingkat menjadi Dipole Mode (DM)

yang tidak lain merupakan fenomena interaksi timbal balik atmosfer-laut (air and sea

interaction) di Samudera Hindia (Saji, et.al., 1999). Akibat adanya interkoneksi, maka

tidak menutup kemungkinan jika pada akhirnya DM terkait dengan proses pembentukan

Pacific Decadal Oscillation (PDO) yang hingga kini masih belum banyak dikaji orang

(Mantua, et.al., 1997).

Pada saat terjadinya El-Niño kuat, variasi indeks iklim sering kali dianalisis dari

segi keterkaitannya dengan kejadian iklim ekstrem, khususnya musim kering ataupun

basah panjang, seperti kejadian El-Niño 1997 yang menyebabkan terjadinya musim

kering panjang di Indonesia pada saat itu. Sebaliknya, pada saat kejadian El-Niño yang

tidak kuat, justru faktor lokal setempat yang diduga berperan aktif (Dupe, dkk, 2002).

Oleh karena itu, maka sifat keterkaitan indeks iklim global dengan variasi curah hujan

Page 111: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 101 ~

lokal perlu dikaji secara seksama sebelum indeks iklim tersebut dapat digunakan

sebagai indikator curah hujan.

3. DATA DAN METODE ANALISI

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (a). Data curah hujan rata-

rata bulanan, masing-masing untuk kawasan Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu,

Banjar Baru, dan Pandeglang periode 1976-2000, (b). Data SST Ninño 3.4 yang

diperoleh dari (http://www.cpc.noaa.gov/data/indices/nino34.mth.ascii.txt), periode

1950 – 2009, dan (c). Data Monsun Index periode 1950 – 2009 yang terdiri dari data

Australian Monsoon Index (AUSMI), Western North Pasific Monsoon Index (WNPMI),

dan Indian Summer Monsoon Index (ISMI). Ketiga indeks data tersebut diperoleh dari

http://iprc.soest.hawaii.edu/users/ykaji/monsoon/realtime-monidx.html.

Sementara metode penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap yang diawali

dengan mengubah data curah hujan bulanan menjadi suatu data anomali dengan formula

sebagai berikut:

Formula diatas digunakan dengan tujuan agar sifat monsunal pada data curah

hujan bulanan tidak dihilangkan. Setelah data curah hujan berbentuk anomali, maka

dapat dilakukan tahap penelitian selanjutnya. Diawali dengan analisis spektral untuk

mengetahui osilasi dominan daripada data anomali curah hujan rata-rata bulanan di atas.

Salah satu metode analisis spektral yang banyak digunakan orang adalah teknik FFT

(Fast Fourier Transform) sebagaimana dijelaskan oleh (Mulyana, 2004).

Sementara teknik lain yang juga masih tergolong analisis spektral adalah teknik

wavelet (Tang, 2009). Kedua teknik tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan,

seperti teknik FFT misalnya, ia dengan tepat akurat dapat mengetahui osilasi dominan

dalam satu data time-series, namun dapat mengetahui dengan pasti bila osilasi dominan

itu muncul. Sementara teknik WL, walaupun dengan nilai ketepatan energi spektral

yang agak sulit untuk ditentukan, namun dapat diketahui bila osilasi dominan itu

muncul. Oleh karena itu, umumnya digunakan keduanya dalam satu kali analisis.

Terakhir adalah analisis statistik, khususnya analisis korelasi silang berbasis CCF

(Cross Correlation Function).

Page 112: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 102 ~

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Data Anomali Curah Hujan Bulanan

Berikut disajikan data time-series anomali curah hujan bulanan masing-masing

untuk kawasan/wilayah Sumbawa Besar, Indramayu, Banjar Baru, Pandeglang, dan

Lampung selama 24 tahun pengamatan periode 1976-2000 sebagaimana ditunjukan

pada Gambar 4.1-1 berikut.

Gambar 4.1-1: Time-series data anomali curah hujan bulanan berbagai wilayah yang

ditinjau periode 1976–2000.

Dari gambar di atas, terlihat adanya pola Monsunal yang tegas/jelas yang

ditandai dengan perubahan fase positif dan negatif yang teratur selama kurun waktu

tertentu (sekitar 12 bulanan). Fase positif merupakan suatu fase dimana dalam tersebut

mengalami hujan atau kondisi basah yang umumnya selama periode DJF (Desember,

Januari, Februari) dengan nilai puncak maksimum pada bulan Januari, sedangkan untuk

fase negatif (-) merupakan suatu fase dimana dalam periode tertentu pada suatu wilayah

tidak turun hujan dan mengalami kondisi yang kering yang biasanya terjadi pada bulan

JJA (Juni, Juli, Agustus) dengan nilai puncak minimum pada bulan Juli.

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa wilayah Lampung, Sumbawa

Besar, Indramayu, Banjar Baru, dan Pandeglang memiliki tipe hujan Monsunal yang

dicirikan oleh distribusi curah hujan bulanan berbentuk huruf V dengan jumlah curah

hujan musiman terendah terjadi pada bulan kering (JJA) dan tertinggi pada bulan basah

(DJF). Wilayah dengan pola curah hujan Monsunal memiliki perbedaan yang jelas

antara periode musim hujan dan periode musim kering.

Berdasarkan hasil deret waktu curah hujan yang telah diperoleh dapat dilihat

bahwa wilayah-wilayah yang memiliki hujan tipe Monsunal antara puncak yang satu

dengan yang lain baik puncak maksimum maupun puncak minimum memiliki periode

atau osilasi 12 bulanan. Berbeda dengan wilayah kajian yang memiliki hujan tipe

equatorial dalam satu tahun terdapat dua puncak maksimum dengan osilasi yang nyata

Jan-76 Jan-77 Jan-78 Jan-79 Jan-80 Jan-81 Jan-82 Jan-83 Jan-84 Jan-85 Jan-86 Jan-87 Jan-88 Jan-89 Jan-90 Jan-91 Jan-92 Jan-93 Jan-94 Jan-95 Jan-96 Jan-97 Jan-98 Jan-99 Jan-00-400

-200

0

200

400

600

800

1000

1200

Waktu

Ano

mal

i

SUMBAWA BESAR

INDRAMAYU

BANJARBARU

PANDEGLANG

LAMPUNG

Page 113: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 103 ~

terlihat antara 6 bulan. Untuk mengkaji adanya osilasi yang nyata terhadap data curah

hujan di wilayah Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang

selain menggunakan analisis deret waktu, dapat juga dilakukan analisis PSD (Power

Spectral Density) seperti Gambar 4.1-2.

Gambar 4.1-2: Power Spektral Density (PSD) curah hujan periode 1976 – 2000

Analisis PSD (Power Spectral Density) merupakan salah satu metode yang

digunakan untuk mengetahui periodesitas dari suatu data deret waktu. Dari Gambar di

atas dapat dilihat bahwa wilayah-wilayah kajian yang bertipe curah hujan Monsunal

(Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang) menunjukkan

pola osilasi dominan 12 bulanan (dikenal dengan istilah AO, Annual Oscillation). Hal

ini terlihat dari puncak energi spektral masing-masing wilayah kajian berada pada

periode 12 bulanan, artinya kejadian kuat akan berulang dalam selang waktu 12

bulanan. Wilayah Indramayu dan Banjarbaru memiliki puncak yang lebih tinggi

dibandingkan wilayah Lampung, Sumbawa Besar, dan Pandeglang. Hal ini berarti

kekuatan Monsun di wilayah Indramayu dan Banjar Baru relatif lebih kuat

dibandingkan wilayah lainnya.

4.2. Analisis Data Indeks Monsun Asia dan Australia serta Data SST Niño 3.4

Monsun merupakan siklus tahunan yang membedakan secara tegas keadaan

atmosfer ketika musim basah dan musim kering. Menurut Webster (1987) Monsun juga

merupakan suatu fenomena yang kuat dan luas, sehingga suatu sistem Monsun dapat

mempengaruhi suatu wilayah yang luas. Fenomena ini juga sangat berpengaruh

terhadap penentuan awal musim hujan dan musim kering.

Bhalme (1991) menyatakan bahwa El-Niño merupakan anomali suhu permukaan

laut yang terjadi di daerah khatulistiwa bagian tengah dan timur, yaitu menghangatnya

permukaan laut hingga mencapai suhu satu derajat di atas standar deviasi rata – rata

1 6 12 180

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

5x 10

8

Periode (bulan)

En

erg

i Sp

ektr

al

SUMBAWA BESAR

INDRAMAYU

BANJAR BARU

PANDEGLANG

LAMPUNG

Page 114: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 104 ~

bulanan selama empat bulan berturut – turut. Secara umum hubungan antara Monsun

dengan SST Niño 3.4 adalah berbanding terbalik, artinya apabila Monsun melemah,

maka SST Niño 3.4 akan menguat, dan begitupun sebaliknya sebagaimana nampak pada

Gambar 4.2-1 berikut.

Gambar 4.2-1: Sama dengan Gambar 4.1-1, tetapi untuk Data Indeks Monsun Global

dan SST Nino 3.4

Berdasarkan Gambar 4.2-1 di atas, terlihat bahwa tidak selamanya kedua

fenomena tersebut berbanding terbalik. Monsun Asia yang masing-masing diwakili oleh

ISMI dan WNPMI, berbanding terbalik dengan monsun Australian yang diwakili oleh

AUSMI. Artinya, ketika data AUSMI menguat, maka Monsun Asia melemah,

begitupun sebaliknya. Namun ketika ketiganya digabungkan dengan SST Nino 3.4, ada

kalanya Monsun Asia maupun Monsun Australia, sama sama menguat dengan SST

Nino 3.4, begitupun sebaliknya. Terkait dengan itu pulalah, maka dipandang perlu

untuk dilakukan analisis spektral terhadap ketiga indeks Monsun global di atas, dan satu

untuk indeks SST Niño 3.4.

4.3. Analisis Spektral Monsun dan Nino 3.4

Analisis spektral menggunakan teknik wavelet masing-masing untuk indeks

Monsun ISMI, WNPMI, dan AUSMI dapat dilihat pada Gambar 4.3-1, 4.3-2, dan 4.3-3.

Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa mereka memiliki osilasi dominan sekitar 12

bulanan, walaupun ada juga terlihat osilasi 6 bulanan (dikenal dengan istilah SAO, Semi

Annual Oscillation). Sementara pada Gambar 4.3-4 menunjukkan osilasi dominan untuk

data SST Nino 3.4.

Jan-76 Jan-77 Jan-78 Jan-79 Jan-80 Jan-81 Jan-82 Jan-83 Jan-84 Jan-85 Jan-86 Jan-87 Jan-88 Jan-89 Jan-90 Jan-91 Jan-92 Jan-93 Jan-94 Jan-95 Jan-96 Jan-97 Jan-98 Jan-99 Jan-00-15

-10

-5

0

5

10

15

Waktu

Ind

eks

ISMI WNPMI AUSMI NINO3.4

Page 115: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 105 ~

Gambar 4.3-1: The global wavelet spctrumuntu data AUSMI periode 1976 – 2000

Gambar 4.3-2: Sama dengan Gambar 4.3-1, tetapi untuk Data Indeks Monsun WNPMI

Gambar 4.3-3: Sama dengan Gambar 4.3-1, tetapi untuk Data Indeks Monsun ISMI

Gambar 4.3-4: Sama dengan Gambar 4.3-1, tetapi untuk Data Indeks SST Nino 3.4

Dari Gambar tersebut terlihat bahwa hampir semua indeks Monsun global

berosilasi 12 bulanan (sekitar 1 tahunan). Hal yang amat sangat berbeda dengan indeks

SST Nino 3.4, dengan osilasi dominan sekitar 60 bulanan (sekitar 5 tahunan). Terlihat

sedikit komplikatit untuk dijeaskan satu per satu, apalagi terkait dengan interkoneksi

yang terjadi didalamnya. Oleh karena itu, dipandang perlu dilakukan analisis bila

keempat indeks tadi menunjukkan pola yang sama. Dengan menggunakan teknik

wavelet, tepatnya teknik variansi, maka ditemukanlah bahwa keempat indeks di atas

ternyata memiliki pola yang sama saat 1997/98, sebagaimana nampak pada Gambar 4.3-

76 77 78 79 80 81 82 83-2

0

2

4

Time Observation

Ind

ex

a) The Time Series of AUSMI for Period Jan 1976 to Dec 2000

76 77 78 79 80 81 82 830

2

4

6

8

Time Observation

Mean

varia

ns (

m/s

)2 d) The Average Time Series

Time Observation

Pe

rio

d (

mo

nth

)

The Wavelet Power Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00

4

8

16

32

64

128

256 -4

-2

0

2

4

0 50 100 150 200 250

4

8

16

32

64

128

256

The Global Wavelet Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83-2

0

2

4

Time Observation

Ind

ex

a) The Time Series of WNPMI for Period Jan 1976 to Dec 2000

76 77 78 79 80 81 82 830

5

10

15

20

Time Observation

Mean

varia

ns (

m/s

)2 d) The Average Time Series

Time Observation

Perio

d (

mo

nth

)

The Wavelet Power Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00

4

8

16

32

64

128

256 -4

-2

0

2

4

0 200 400 600

4

8

16

32

64

128

256

The Global Wavelet Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83-2

-1

0

1

2

Time Observation

Ind

ex

a) The Time Series of ISMI for Period Jan 1976 to Dec 2000

76 77 78 79 80 81 82 830

5

10

15

20

Time Observation

Mean

varia

ns (

m/s

)2 d) The Average Time Series

Time Observation

Pe

rio

d (

mo

nth

)

The Wavelet Power Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00

4

8

16

32

64

128

256 -4

-2

0

2

4

0 200 400 600

4

8

16

32

64

128

256

The Global Wavelet Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00-4

-2

0

2

4

Time Observation

Ind

ex

a) The Time Series of NINO 3.4 for Period Jan 1976 to Dec 2000

Time Observation

Peri

od

(m

on

th)

The Wavelet Power Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00

4

8

16

32

64

128

256 -4

-2

0

2

4

0 5 10 15 20

4

8

16

32

64

128

256

c) The Global Wavelet Spectrum

76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 000

0.2

0.4

0.6

0.8

Time Observation

Mean

vari

an

s

d) The Average Time Series

b

b

b

Page 116: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 106 ~

5. Hasil ini ternyata konsisten dengan hasil sebelumnya yang menyatakan adanya

anomali indeks Monsun global dan juga SST Nino 3.4 (Harijono, 2008)

Gambar 4.3-5: Mean varians indeks Monsun dan SST Nino 3.4 periode 1976 – 2000

Analisis varians pada Gambar 4.3-5 di atas menunjukkan nilai rata-rata sebaran

data deret waktu. Mean varians (rata-rata varians) merupakan suatu kisaran nilai rata-

rata data menyimpang dari kondisi normalnya. Jika diperhatikan dengan seksama, maka

nampak jelas keempat indeks di atas menunjukkan pola yang sama, khususnya periode

1996-1999, dimana terjadi kenaikan SST Nino 3.4 yang cukup signifikan pada tahun

1997 (dikenal dengan nama Strong El-niño), lalu diikuti dengan penurunan SST Nino

3.4 (dikenal dengan nama Strong La-Niña), tanpa ada waktu jeda sedikitpun. Oleh

karena itu, pada pembahasan selanjutnya mengenai pemodelan untuk memprediksi

curah hujan monsunal wilayah kajian maka dapat menggunakan variabel AUSMI,

WNPMI dan SST Nino 3.4, yakni disepanjang tahun 1996-1999.

4.4. Analisis Interkoneksi antara Data Anomali Curah Hujan dan Data Iklim

Global (Indeks Monsun dan SST Niño 3.4)

Hal yang perlu dipahami disini adalah dari ketiga indeks global di atas, hanya

indeks ISMI, WNPMI dan AUSMI yang akan dianalisis lebih lanjut. Hal ini disebabkan

ISMI dan WNPMI memiliki pengaruh yang relatif besar terhadap wilayah Indonesia,

terutama disaat musim penghujan. Sebaliknya, indeks AUSMI merupakan indeks

Monsun Australia yang cukup berpengaruh kuat disaaat musim kemarau. Sementara

indeks SST Niño 3.4 lebih nyata di saat musim kemarau dan penghujan. Kombinasi

ketiga indeks itulah apalagi disaat ketiganya bertemu (beriteraksi) seperti kejadian di

tahun 1997/98, merupakan hal yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Berikut

disajikan rangkaian data time-series ketiga indeks di atas sepanjang tahun 1996-1999.

Page 117: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 107 ~

Gambar 4.3-5: Anomali data indeks AUSMI, WNPMI, dan SST Niño 3.4 periode

1996-1999

Dengan demikian, maka besarnya anomali curah hujan (dilambangkan dengan ∆CH)

merupakan fungsi dari besaran indeks ISMI, WNPMI, dan AUSMI yang bila

disederhanakan menjadi :

∆CH = f (AUSMI, WNPMI, SST Niño 3.4)

Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa didapat formula dengan rumusan :

∆CH = AUSMI – WNPMI – SST Niño 3.4

Hal ini nampak lebih jelas bila diperhatikan dengan seksama Gambar 4.3-6 berikut:

Page 118: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 108 ~

Gambar 4.3-6: Diagram batang fenomena interkoneksi berbagai indeks global dengan

anomali curah hujan di beberapa kawasan Indonesia periode 1996 –

1999

Gambar 4.3-6 di atas menjelaskan kondisi pada tahun 1996 - 1999 baik dari segi

interkoneksinya maupun dari anomali curah hujan. Dari gambar tersebut terlihat jelas

secara keseluruhan curah hujan mengalami kondisi ekstrim akibat terjadi interkoneksi

antara Monsun dan El-Niño. Pada gambar dapat dilihat bahwa pola curah hujan seluruh

wilayah kajian mengikuti pola interaksi antara Monsun dan El-Niño 3.4. Akibat dari

interkoneksi kedua fenomena tersebut menyebabkan terjadinya curah hujan ekstrem,

yakni kemarau panjang dan basah panjang pada tahun 1997 dan 1998. Sehubungan

dengan adanya response atau tanggap yang berbeda masing-masing kawasan yang

ditinjau terhadap dampak interkoneksi yang ditimbulkan oleh ketiga indeks iklim global

di atas, maka dipandang perlu untuk dilakukan analisis korelasi silang (Cross

Correlation Analysis).

4.5. Korelasi Silang Berbasis CCF (Cross Correlation Function) Analysis

Asumsi dasar yang digunakan ketika berbicara masalah interkoneksi adalah

besarnya anomali curah hujan yang terjadi atau turun di suatu wilayah dipengaruhi oleh

iklim global yang jika disederhanakan menjadi ∆CH = f (AUSMI, WNPMI, Nino3.4)

(Hermawan, 2010). Dari asumsi tersebut didapatkan sebuah persamaan regresi

multivariate (Tabel 1) dari masing-masing wilayah, dimana nilai X1 menunjukkan nilai

AUSMI, nilai X2 nilai WNPMI, dan nilai X3 nilai SST Niño 3.4.

Persamaan regresi multivariate menjelaskan peranan masing-masing fenomena

iklim dalam mempengaruhi curah hujan wilayah kajian. Persamaan multivariate (Tabel

1) digunakan untuk membuat curah hujan model yang akan dipakai untuk membuat

model prediksi. Keeratan antara curah hujan model dengan curah hujan pengamatan

dijelaskan melalui nilai koefisien korelasi (r). Korelasi merupakan teknik analisis yang

termasuk dalam salah satu teknik pengukuran hubungan mengenai ada atau tidaknya

Page 119: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 109 ~

hubungan antara dua fenomena atau lebih (Hasan, 2003). Wilayah Banjarbaru memiliki

nilai korelasi (r) yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah kajian lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa wilayah Banjarbaru menunjukkan respon yang lebih besar pada

telekoneksi yang menurunkan curah hujan di daerah tersebut.

Analisis Cross Correlation Fungtion (CCF) digunakan untuk mengetahui waktu

tunda atau time lag antara fenomena interaksi (AUSMI dan El-Nino) terhadap curah

hujan. Tanda positif dan negatif pada nilai CCF menunjukkan arah hubungan terhadap

dua variabel. Jika nilai CCF memiliki tanda (+) berarti kedua variabel memiliki

hubungan yang berbanding lurus dan sebaliknya, apabila nilai CCF memiliki nilai

negatif (-) maka kedua variabel memiliki hubungan yang berbanding terbalik.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa seluruh wilayah kajian (Lampung, Sumbawa

Besar, Indramayu, Banjarbaru dan Pandeglang) memiliki nilai CCF yang positif (+), hal

ini menunjukkan bahwa fenomena interaksi antara monsun dan El-Nino terhadap curah

hujan memiliki hubungan yang berbanding lurus. Artinnya apabila fenomena interaksi

menguat maka curah hujan di wilayah kajian akan meningkat, begitu juga sebaliknya

semakin melemahnya fenomena interaksi maka curah hujan di wilayah kajian akan

semakin menurun.

Selain mengetahui nilai CCF, pada Tabel 4.5-1 dapat dilihat juga seberapa lama

lag time atau waktu tunda di beberapa wilayah kajian. Lag time atau waktu tunda ini

merupakan waktu yang dibutuhkan oleh fenomena interaksi Monsun dan El-Niño untuk

dapat mempengaruhi curah hujan di wilayah kajian. Pada Tabel dapat dilihat bahwa

seluruh wilayah kajian (Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan

Pandeglang) memiliki lag time 0 bulan. Artinya antara kejadian interaksi Monsun dan

El-Nino tidak memiliki waktu tunda untuk mempengaruhi curah hujan di wilayah tadi.

Tabel 4.5-1: Kaitan Interaksi atau Interkoneksi antara dua Fenomena (AUSMI -

WNPMI - Nino3.4) dengan Curah Hujan Bulanan Periode 1976 - 2000.

KOTA CCF Lag time

(bulan) Error R

2 Persamaan Multivariant

Sumbawa

Besar

0.692 0 78.23 0.53 Y = 16.267X1 - 3.940X2 - 6.790X3 + 6.819

Indramayu 0.642 0 124.86 0.45 Y = 20.549X1- 5.976X2 -15.042X3+ 10.883

Banjarbaru 0.76 0 84.99 0.59 Y = 8.195X1-12.388X2 - 25.964X3 + 7.408

Pandeglang 0.695 0 74.67 0.54 Y = 15.923X1 - 3.445X2 - 5.264X3 + 6.509

Page 120: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 110 ~

Lampung 0.694 0 75.64 0.49 Y = 9.954X1 - 6.721X2 - 2.913X3 + 6.593

Catatan : X1 = AUSMI, X2 = WNPMI, dan X3 = SST Nino3.4.

5. KESIMPULAN

Bersatunya dua fenomena alam dalam satu kurun waktu yang hampir bersamaan

(simultan), masing-masing Monsun dan El-Niño yang lebih dikenal dengan istilah

interaksi atau interkoneksi atau telekoneksi ternyata memiliki dampak yang serius

(severe) terhadap anomali curah hujan rata-rata bulanan yang terjadi di beberapa

kawasan Indonesia. Berbasis kepada hasil analisis korelasi silang (Cross Correlation

Analysis) periode 1976-2000, walaupun diperoleh nilai koefisien korelasi (R2) yang

relatif kecil (sekitar 0.5), namun memiliki nilai CCF (Cross Correlation Function) yang

relatif besar (raat-rata di atas 0.6). Kawasan Banjar Baru yang ada di Kalimantan

Selatan ternyata memiliki nilai R2 dan CCF yang paling besar, masing-masing 0.59 dan

0.76. Sementara kawasan Indramayu, memiliki niali R2 dan CCF yang paling kecil,

masing-masing 0.45 dan 0.64. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masing-

masing kawasan memiliki respon atau tanggap yang berbeda pada saat terjadinya

interaksi antara Monsun dan El-Niño. Hal ini diduga akibat periode analisis yang

digunakan relatif panjang 1976-2000 yang mestinya hanya fokus ke periode 1996-1999.

Satu hal lagi yang dapat disimpulkan adalah hampir tidak adanya jeda watu (time-lag),

sehingga dapat dipastikan bahwa fenomena Monsun Australia (yang diwakili AUSMI)

lah yang sebenarnya dominan dalam mempengaruhi kompleksitas dinamika atmosfer,

khsusnya anomali curah hujan yang ada di Indonesia, khususnya kawasan barat.

UCAPAN TERIMA KASIH.

Ucapan terima kasih disampikan dengan tulus dan ikhlas kepada Sdri. Naziah Madani

yang telah membantu mengedit paper ini.

DAFTAR RUJUKAN

Bhalme HN. 1991. El-Niño-Southern Oscillation (ENSO) – Onset, Growth, and

Decay.WMO/TD. 496 : 84-87.

Dupe, Z. L., T. W. Hadi, and A. Lubis. 2002. El-Niño/La-Niña Forcasting Using

Adaptive Neuro-Fuzzy Interference System (ANFIS), Seminar Nasional

Pengembangan dan Aplikasi Teknik Prediksi Cuaca dan Iklim, LAPAN, Bandung,

30 Juli 2002, hal. 15-20.

Page 121: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 111 ~

Hasan, M. Iqbal. 2003. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Iterensif) Edisi Kedua.

Jakarta: Bumi Aksara.

Harijono, S.W.B. 2008. Analisis Dinamika Atmosfer di Bagian Utara Ekuator Sumatera

Pada Saat Peristiwa El-Niño dan Dipole Mode Positif Terjadi Bersamaan, Jurnal

Sains Dirgantara (JSD), 5(2), 130 – 148.

Hermawan, E. 2003. Characteristics of Indian Ocean Dipole as the Preliminary Study

of Monsoon Variability in the Western Part of Indonesia Region, Jurnal Sains

Dirgantara (JSD), 1(1), 23-31, ISSN: 1412-808X.

Hermawan, E., M.A. Ratag, A. Suryantoro, dan F. Renggono. 2003. Kajian Awal

Dampak Fenomena Indian Ocean Dipole Mode Terhadap Perilaku Curah Hujan di

Kawasan Indonesia Barat Hasil Analisis Data Radar Atmosfer Khatulistiwa,

Prosiding Workshop Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Pertanian di Sumatera

Barat, Fakultas Perikanan Universitas Bung Hattta, Padang, Suumatera Barat, 12-

14 Agustus 2003.

Hermawan, E. 2006. Penggunaan FFT dalam Analisis Kenormalan Curah Hujan di

Sumatera Barat dan Selatan, Khususnya Saat Kejadian Dipole Mode, Prosiding 31th

Annual Scientific Meeting (PIT) HAGI-Geophysics for Sustainable Development,

Semarang 13-15 November 2006. ISBN: 979-98933-2-1.

Hermawan, E dan N.R. Budi. 2006. Prediksi ENSO di Masa Mendatang Berbasis Hasil

Analisis data ESPI dengan Teknik Wavelet, Prosiding Seminar Perubahan Iklim

Nasional dan Lingkungan di Indonesia, diselenggarakan oleh LAPAN, Bandung 9

November 2006, hal:32-37, ISBN: 978-979-8554-99-5.

Hermawan, E. 2008. Pengaruh Siklus Lima Belas Tahunan Terhadap Estimasi

Kekeringan di Indonesia Berbasis Hasil Analisis Data ESPI, GPCP, dan Siklus ke 24

Matahari, Procceding Agriculture Meteorology Symposium VII Increasing National

Capacity of Adaptation for Climate Change Through Cross Sectoral and Regional

Cooperation, Jakarta 15-16 January 2008, 273-279, ISBN:978-979-546-012-1.

Hermawan, E. 2009. Role of TRMM Satellite Data on Investigation of El-Niño and La-

Niña Signal in Indonesia, Jurnal Lingkungan Tropis (JLT), Edisi Khusus Agitus

2009, hal: 433-446. ISSN: 1978-2713

Hermawan, E., J. Visa, Trismidianto, Krismianto, I. Fathrio, dan I. Sunarsih. 2010.

Pengembangan Expert System Berbasis Indeks ENSO, DMI, Monsun dan MJO

untuk Penentuan Awal Musim, Prosidng Pertemuan Ilmiah XXIV 2010, HFI Jateng

dan DIY, 10 April 2010 di UNDIP, Semarang, hal: 19-26, ISSN: 0853-0823.

Page 122: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 112 ~

Hermawan, E. 2010. Analisis Parameter Monsun, ENSO dan Dipole Mode dan MJO

Sebagai Precursor Iklim, Prosidng Seminar Nasional Sains Atmosfer 2010,

Pusfatsatklim, 16 Juni 2010, hal: 1-10, ISBN: 978-9779-1458-38-2.

Hermawan, E. 2010, Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di atas Kawasan

Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang, Prosiding Seminar

Perubahan Iklim di Indonesia, Mitigasi dan Strategi Adaptasi dari Tinjauan Multi

Displin, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, hal: 67-84, ISBN: 978-602-8683.

Hermawan, E. 2011. Analisis Perilaku Curah Hujan di Pulau Jawa disaat Fenomena

El-Niño dan Dipole Mode Terjadi Secara Bersamaan (Simultan), Seminar Nasional

Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA UNY, Yogyakarta, 14 Mei

2011.

Hermawan, E. 2010. Pengembangan Model Interaksi antara Fenomena Monsun,

Dipole Mode dan ENSO dalam Mengkaji Perilaku Curah Hujan di Indonesia,

Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA

UNY, Yogyakarta, 15 Mei 2010, hal: F63-F86, ISBN: 978-979-99314-4-3.

Hermawan, E., J. Visa, Noersomadi, W. Setyawati, dan D. Gusnita, 2011.

Pengembangan Model Interkoneksi Berbagai Fenomena Global Sebagai Indikasi

Awal (Precursor) Datangnya Kejadian Iklim Ekstrem (Khususnya Curah Hujan) di

Kawasan Sentra Produksi Tanaman Pangan, Seminar Nasional Fisika 2011, P2F

LIPI, 12-13 Juli 2011.

Mantua, N. J., S. R. Hare, Y. Zhang, J. M. Wallace, and R. C. Francis. 1997. A Pacific

decadal climate oscillation with impacts on salmon. Bulletin of the American

Meteorological Society, 78, 1069-1079.

Mulyana. 2004. Analisis Spektral untuk Menelaah Periodesitas Tersembunyi dari Data

Deret Waktu. Bandung: Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran.

Nurani, B., E. Hermawan, M.A. Ratag, dan F. Renggono. 2003. Kajian Model Time

Series Data Suhu Permukaan Laut Global dan Indeks Osilasi Selatan dalam Prediksi

Datangnya ENSO di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya,

Jurusan Fisika, FMIPA, ITS, Surabaya, ISBN: 979-97932-0-3.

Ramage, C. S. 1968. Role of Tropical “Maritime Continent” in the Atmospheric

Circulation. Monthly Weather Review, 96, 365-370.

Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinaychandran, and T. Yamagata. 1999. A Dipole

Mode in the Tropical Indin Ocean. Nature, 401, 360-363.

Page 123: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 113 ~

Sutawanir, D., S.P. Udjianna, N.R. Budi, dan E. Hermawan. 2002. Forecasting El-Niño

Based on Space-Time Models, Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim

Nasional, ISBN: 979-8554-65-5.

Tang Y. 2009. Wavelet Theory Approach to Pattern Recognition 2nd Edition.

Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.

Webster PJ. 1987. The Variable and Interactive Monsoon. Dalam Fein JS and Stephen

PL, (eds) Monsoon. John Wiley and son: New York; 269-330.

Yasunari, T. 1990. Impact of Indian Monsoon on the Coupled Atmosphere/Ocean

System in the Tropical Pacific. Meteorology and Atmospheric Physics, 44, 29-41.

Page 124: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 114 ~

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI ACUAN DENGAN

PENGAMATAN SATELIT BERDASARKAN FLUKS

PEMANASAN LATEN

Eko Suryanto

Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor

[email protected]

Abstract Spatial evapotranspiration (ET) is needed advanced information in terms of land and

crop evaporation. Several statistical techniques can be used to produce them, with input

multiple points of observation stations that have been able to represent spatial regions.

Station density is still a problem leading the use satellite data in representing the

atmospheric parameters. Evapotranspiration models for considerable spatial region can

be generated by using the equation

. The results

showed an average percentage error is only 4% and an average value comes close to the

ET FAO-56 PM. Interval values and standard deviation which resulting ET models is

smaller than the ET FAO-56 PM, however has been able to representing

evapotranspiration of study area. ET Remote Sensing models are good enough to use to

generate the ET reference with spatially extensive.

Keywords: Remote sensing, evapotranspiration reference, latent heat flux

Abstrak Evapotranspirasi (ET) spasial menjadi kebutuhan lanjutan dalam hal informasi

penguapan lahan dan tanaman. Beberapa teknik stastistik dapat digunakan untuk

menghasilkannya, dengan input beberapa titik stasiun pengamatan yang telah dapat

mewakili spasial wilayah tersebut. Kerapatan stasiun yang masih menjadi kendala

mendorong pemanfaatan data satelit dalam merepresentasikan parameter atmosfer

tersebut. Model evapotranspirasi untuk wilayah spasial yang cukup besar dapat

dihasilkan dengan menggunakan persamaan

.

Hasil menunjukkan rata-rata persentase galat hanya sebesar 4% dengan nilai rata-rata

yang mampu mendekati ET FAO-56 PM. Selang nilai dan standar deviasi yang

dihasilkan ET model lebih kecil dibandingkan ET FAO-56 PM, namun telah mampu

merepresentasikan evapotranspirasi wilayah kajian. Model ET penginderaan jauh sudah

cukup baik digunakan untuk menghasilkan ET acuan dengan spasial yang luas.

Kata Kunci : Penginderaan jauh, evapotranspirasi acuan, fluks pemanasan laten

1. PENDAHULUAN

Komponen cuaca memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Hal ini yang mendorong adanya klasifikasi iklim dalam dunia

Page 125: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 115 ~

pertanian, karena suatu tanaman tidak selalu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik

di semua kondisi cuaca. Beberapa parameter cuaca input bagi tanaman ialah curah hujan

dan radiasi yang memiliki pengaruh terhadap suhu udara. Tanaman akan memanfaatkan

masukan tersebut sebagai bahan dalam menjaga dan mencukupi kebutuhan metabolisme

tanaman. Selain itu komponen keluaran (kehilangan) seperti evapotranspirasi juga

memiliki peran penting dalam menjaga kadar air tanah dan manajemen air tanaman.

Besar evapotranspirasi harian di stasiun pengamatan meteorologi hanya

mewakili radius beberapa meter dari stasiun. Keragaman nilai dimungkinkan akan kecil

jika kondisi wilayah bersifat homogen. Topografi juga menjadi faktor yang dapat

mempengaruhi cakupan wilayah yang direpresentasikan oleh stasiun. Pemasangan alat

pengukur lebih banyak dan rapat dibutuhkan agar keragaman nilai evapotranspirasi

dapat direpresentasikan dengan baik. Metode interpolasi menjadi penghubung titik-titik

pengamatan agar nilai evapotranspirasi skala spasial yang lebih luas dapat dihasilkan.

Beberapa metode yang sering digunakan ialah interpolasi dengan pembobotan jarak

stasiun (Ni et al., 2006) dan regresi linier berganda (Gurtz et al., 1999). Wilayah dengan

topografi yang beragam harus diikuti dengan peningkatan kerapatan stasiun

pengamatan. Wilayah Indonesia masih memiliki kendala dalam hal ini.

Pengamatan satelit menjadi salah satu pilihan dalam pendugaan evapotranspirasi

dengan cakupan spasial yang luas. Satelit memanfaatkan pantulan dan pancaran energi

dari permukaan bumi untuk mengidentifikasi komponen atmosfer permukaan. Oleh

karena itu, konsep neraca energi menjadi kajian wajib dalam pemanfaatan data satelit.

Kajian evapotranspirasi melalui konsep neraca energi dilakukan dalam penelitian ini

untuk mendapatkan formulasi evapotranspirasi spasial dengan menggunakan data

penginderaan jauh.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Evapotranspirasi diartikan sebagai proses hilangnya air melalui proses

penguapan dari badan air atau lahan (evaporasi) dan tanaman (transpirasi). Besarnya

nilai evapotranspirasi diperoleh dari hasil pengukuran lisimeter, dengan menggunakan

metode timbang maupun drainase (Handoko, 1994). Asumsi yang harus dipenuhi oleh

alat tersebut ialah tidak adanya aliran permukaan (run off) atau semua air hujan diserap

oleh tanaman dan tanah. Penggunaan asumsi menjadikan proses evapotranspirasi

bersistem tertutup tanpa ada input massa seperti air hujan dan limpasan.

Page 126: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 116 ~

Stasiun meteorologi Indonesia tidak memasukkan evapotranspirasi dalam daftar

pengamatan, namun dalam daftar perhitungan. Model evapotranspirasi berkembang

dengan baik dan telah mengalami modifikasi, diantaranya model Thornthwaite

(Thornthwaite, 1948), Hargreaves (Hargreaves et al., 1985), Makkink (de Bruin, 1987),

dan FAO-56 Penman-Monteith (Allen et al., 1998). Model ET FAO-56 PM telah

melalui pengujian pada beberapa kondisi iklim yang berbeda dan dibandingkan dengan

data observasi (Allen et al., 1998). Pengujian menunjukkan bahwa model tersebut dapat

mengestimasi evapotranspirasi acuan dengan baik di berbagai lokasi. Pernyataan yang

sama juga muncul dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Itensifu et al. (2003) yang

membandingkan pendugaan ET dengan data iklim 49 posisi di Amerika Serikat.

Model evapotranspirasi remote sensing dikembangkan dalam penelitian ini

dengan input fluks bahang laten penguapan. Persamaan yang digunakan ialah:

(2.1)

(2.2)

Keterangan, ET Remote Sensing = Model pendugaan evapotranspirasi spasial menggunakan

data penginderaan jauh (mm hari-1

), sedangkan ET LEN = Nilai evapotranspirasi spasial

sebelum menggunakan pembobotan. λLE = Kerapatan fluks bahang laten penguapan

(Watt m-2

), λ = Panas laten penguapan (J kg-1

), N = Lama penyinaran (detik), C1 dan C2

merupakan konstanta spesifik yang dihasilkan dari analisis regresi polinomial sederhana

(y = a . x + b). Konstanta ini merupakan faktor pembobotan yang akan diperoleh dari

penelitian ini.

3. DATA DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data meteorologi stasiun Muara

Bogor, Cimanggu Bogor, dan Pakuwon Sukabumi yang bersumber dari Balai Penelitian

Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat). Selain itu, data penginderaan jauh berupa data

satelit Landsat bersumber dari United States Geological Survey (USGS) tanggal 2 Juli

2005, 6 Agustus 2009, 24 Juni 2010, 12 Agustus 2011, dan 28 Juni 2012. Data stasiun

yang digunakan telah mencakup dua ketinggian, yaitu 246 meter (Muara dan

Cimanggu) dan 400 meter (Pakuwon). Pemilihan waktu yang beragam tersebut

dimaksudkan agar pengamatan yang dilakukan mencakup variasi bulanan yang dapat

dipengaruhi oleh aktivitas MJO (Madden Julian Oscillation) maupun interaksi lainnya.

Page 127: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 117 ~

Data meteorologi yang didapatkan berupa data suhu udara (minimum dan

maksimum), kelembaban udara (minimum, maksimum, dan rata-rata), kecepatan angin,

curah hujan, dan radiasi gelombang pendek masuk. Data-data tersebut diolah dengan

menggunakan model evapotranspirasi acuan FAO-56 PM yang merupakan hasil

pengembangan model evapotranspirasi oleh Allen et al. (1998). Persamaan tersebut

ialah:

E P 0.408 ( n - )

900

273 u es- e

1 0.34 u (3.1)

Keterangan, Rn = Radiasi netto di atas tajuk tanaman (MJ m-2

hari-1

), G = Kerapatan

fluks bahang tanah (MJ m-2

hari-1

), T = Suhu udara rata-rata pada ketinggian 2 meter

(oC), u2 = Kecepatan angin pada ketinggian 2 meter (m s

-1), ∆ = Kemiringan kurva

tekanan uap air (kPa oC

-1), = Konstanta psikometrik (kPa

oC

-1), es = Tekanan uap air

jenuh (kPa), ea = Tekanan uap air aktual (kPa) dan (es – ea) = defisit tekanan uap air

jenuh (kPa).

Data citra satelit Landsat diolah dengan menggunakan konsep kesetimbangan

energi yang masuk ke permukaan. Radiasi netto dihasilkan dari radiasi gelombang

pendek masuk yang telah dikurangi dengan pemantulan permukaan dan pengemisiannya

dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Persamaan neraca energi yang digunakan

yaitu:

(3.2)

Keterangan, Rn = Radiasi netto (Watt m-2

), G = Kerapatan fluks bahang tanah (Watt

m-2

), H = Kerapatan fluks bahang terasa (Watt m-2

), dan λLE = Kerapatan fluks bahang

laten penguapan (Watt m-2

). Komponen λLE yang akan lebih dikaji dan dijadikan

sebagai input dalam model evapotranspirasi remote sensing, agar dihasilkan nilai ET

untuk cakupan spasial yang lebih luas.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penyusunan Model

Nilai ET FAO-56 PM memiliki selang nilai yang berkisar dari 2.67 mm hingga

5.62 mm (Tabel 1). Keragaman evapotranspirasi dipengaruhi oleh adanya perbedaan

waktu dan ketinggian tempat pengamatan. ET bernilai 2.67 mm terjadi di Pakuwon pada

24 Juni 2010 dengan ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Nilai ET Pakuwon

selalu lebih rendah dibandingkan dengan ET di stasiun lain. Ini merupakan respon dari

adanya perbedaan ketinggian yang berpengaruh pada kondisi suhu yang semakin rendah

Page 128: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 118 ~

(ElNesr et al., 2011). ET dengan nilai 5.62 mm terjadi di Cimanggu pada 6 Agustus

2009. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh suhu udara rata-rata dan kecepatan angin yang

mencapai 27.75ᵒC dan 1.5 ms-1

di wilayah Cimanggu pada waktu pengamatan.

Tabel 1 : Perbandingan evapotranspirasi FAO-56 PM dengan model ET LEN dan ET

Remote Sensing (yang telah diberi faktor pembobot)

Waktu Stasiun ET FAO-56

PM (mm)

Model Error (%)

ET LEN ET RS

2 Juli 2005

Muara

Cimanggu 4.52 42.7 -1.6

Pakuwon

6 Agustus 2009

Muara

Cimanggu 5.62 57.3 10.6

Pakuwon 4.71 33.1 29.3

24 Juni 2010

Muara 4.45 36.5 8.6

Cimanggu 3.31 20.4 -35.7

Pakuwon 2.67 -18.0 -24.6

12 Agustus

2011

Muara 5.48 53.9 13.8

Cimanggu

Pakuwon

28 Juni 2012

Muara 4.85 47.1 4.0

Cimanggu 4.71 50.4 -9.8

Pakuwon 2.72 -11.3 -32.1

Rata-rata 31.2 -3.8

Data satelit menghasilkan nilai fluks bahang laten pada sawah dan ladang yang

posisi dan luasnya disesuaikan dengan posisi stasiun meteorologi. Fluks bahang laten

rata-rata masing-masing wilayah dijadikan sebagai input dalam persamaan model ET

LEN. Model ET LEN merepresentasikan model ET remote sensing tanpa pembobotan.

Model ini cenderung memberikan hasil dengan penyimpangan cukup besar, yaitu

dengan rata-rata penyimpangan 31% dari data ET FAO-56 PM (Tabel 1).

Penyimpangan terkecil terjadi di wilayah Pakuwon dibandingkan dengan dua wilayah

lainnya, karena Pakuwon berada di dataran yang lebih tinggi (400 mdpl) dengan variasi

Page 129: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 119 ~

suhu yang lebih kecil (Suharsono, 1982), sehingga keragaman nilai ET semakin kecil

dengan penyimpangan yang lebih kecil pula.

Gambar 1 : Hubungan dan tren nilai evapotranspirasi LEN dengan FAO-56 PM

Fluks bahang laten satelit memberikan respon negatif atau penurunan nilai

terhadap evapotranspirasi, yaitu ketika fluks bahang laten meningkat maka nilai

evapotranspirasi akan menurun. Respon ini mendorong pola garis menurun yang

ditandai pula oleh nilai negatif pada slope persamaan regresi yang bernilai -2.25

(Gambar 1). Nilai intersep persamaan tersebut sebesar 10.42 yang mengisyaratkan

bahwa ET maksimum yang dapat dihasilkan model yaitu 10.42 mm/hari, karena nilai

fluks bahang laten tidak mungkin mencapai negatif. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan

ET maksimum yang dihasilkan oleh Sivaprakasam et al. (2011) yaitu sebesar 10.82

mm/hari di Tamilnadu, India. Penguapan yang relatif tinggi disebabkan oleh kondisi

meteorologi wilayah Tamilnadu yang panas dan lembab. Koefisien slope dan intersepsi

tersebut merupakan faktor pembobot C1 dan C2 dalam model ET Remote Sensing.

4.2 Pengujian Model

Pengujian model dilakukan sebagai langkah dalam menilai kualitas pendugaan

yang dihasilkan oleh model. Parameter pengujian yang digunakan ialah persentase galat,

sebaran nilai, dan keragaman data yang dihasilkan.

Persentase galat (error) membandingkan besarnya penyimpangan ET Remote

Sensing terhadap ET FAO-56 PM. Tanda negatif hanya menunjukkan arah

penyimpangan, ke atas atau bawah, sedangkan besarnya penyimpangan dilihat dari titik

Page 130: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 120 ~

setimbangnya, pada angka nol. Tabel 1 menunjukkan adanya penurunan persentase

galat sekitar 10 kali sebagai efek dari faktor pembobotan. Galat pada model tanpa

pembobotan mencapai 31.2%, sedangkan pada model dengan pembobotan hanya

sebesar 3.8%. Penurunan persentase galat dinilai sebagai peningkatan kualitas estimasi

ET, karena kemungkinan adanya galat dalam proses perhitungan ET Remote Sensing

akan semakin kecil. Hal ini mendorong penggunaan model ET Remote Sensing yaitu

untuk menghasilkan nilai

evapotranspirasi spasial harian dengan data penginderaan jauh. Nilai persentase galat

terbesar dan terkecil pada ET LEN ialah 57.3% dan 11.3%, sedangkan pada ET Remote

Sensing sebesar 35.7% dan 1.6%. Informasi tersebut menunjukkan bahwa penurunan

persentase galat berbeda-beda untuk masing-masing pengamatan. Perbedaan ini

disebabkan oleh analisis regresi polinomial dan dipengaruhi oleh perbedaan nilai pada

pengamatan lainnya.

Gambar 2 : Perbandingan sebaran nilai evapotranspirasi FAO-56 PM dengan ET

Remote Sensing sebelum dan setelah diberi faktor pembobot

Page 131: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 121 ~

Sebaran nilai ET FAO-56 PM dan ET hasil penginderaan jauh sebelum diberi

pembobotan (ET LEN) menunjukkan pola yang sama, yaitu mengikuti sebaran normal.

Nilai ET FAO-56 PM menyebar normal dengan rata-rata 4.3 mm dan standar deviasi

1.05. Nilai ET LEN yang terdapat pada Gambar 3a (kiri) memiliki rata-rata dan standar

deviasi yang lebih kecil, yaitu 2.72 mm dan 0.30. Kedua nilai tersebut mengindikasikan

bahwa nilai pendugaan ET LEN akan lebih kecil dari ET FAO-56 PM. Gambar 3b

(kanan) merupakan ET hasil pembobotan (ET Remote Sensing) dengan rata-rata 4.297

mm atau mendekati rata-rata sebaran nilai ET FAO-56 PM. Keragaman ET Remote

Sensing belum dapat menyamai keragaman ET FAO-56 PM, dikarenakan keterbatasan

data yang digunakan. Grafik tersebut sudah menunjukkan bahwa model ET Remote

Sensing dapat diterapkan dengan baik untuk mendapatkan nilai evapotranspirasi spasial

dengan menggunakan data satelit.

5. KESIMPULAN

Nilai evapotranspirasi spasial dapat dihasilkan dari pengamatan satelit dengan

memanfaatkan informasi fluks bahang laten permukaan dalam model

. Model ini telah mampu menghasilkan nilai evapotranspirasi

dengan persentase galat sebesar 4% dari hasil ET FAO-56 Penman-Monteith. Sebaran

statistik ET Remote Sensing telah mendekati sebaran nilai ET FAO-56 PM, dengan tingkat

keragaman 67% dari keragaman nilai ET FAO-56 PM.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami ucapkan terima kasih kepada staf Balitklimat, khusunya Ibu Karmila dan Ibu Tuti

yang telah memberikan akses data meteorologi.

DAFTAR RUJUKAN

Allen, R. G., Pereiro, L. S., Raes, D., and Smith, M., Crop Evapotranspiration:

Guidelines for Computing Crop Requirements, FAO Irr. Drain. paper 56, 1–300,

1998.

de Bruin, H., From penman to makkink. In: Hooghart, C. (Ed.). Evaporation and

Weather: Proceedings and Information, TNO Comm. Hydro. Res.: The Hague, 28,

5–30, 1987.

Page 132: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 122 ~

ElNesr, M., Alazba, A., and Amin, M., Estimation Of Shortwave Solar Radiation In The

Arabian Peninsula; A New Approach, Solar Radiation, Under review, 2011.

Gurtz, J., Baltensweiler, A., and Lang, H., Spatially Distributed Hydrotope-Based

Modeling of Evapotranspiration and Runoff in Mountainous Basins, Hydro. Proc.,

13 (17), 2751–2768, 1999.

Handoko, Klimatologi Dasar, Bogor, IPB Pr., 1994.

Hargreaves, G. H. and Allen, R. G., History And Evaluation Of Hargreaves

Evapotranspiration Equation, J. Irr. Drain. Eng., 129 (1), 53–63, 2003.

Hargreaves, L. G., Hargreaves, G. H., and Riley, J. P., Irrigation Water Requirements

for Senegal River Basin, J. Irr. Drain. Eng., 129(1), 53–63, 1985.

Itensifu, D., Elliott, R. L., Allen, R. G., and Walter, I. A., Comparison of Reference

Evapotranspiration Calculations as Part of the ASCE Standardization Effort, J. Irr.

Drain. Eng., 129 (6), 440–448, 2003.

Ni, G., Li, X., Cong, Z., Sun, F., and Liu, Y., Temporal and Spatial Characteristics of

Reference Evapotranspiration in China, Nongye Gongcheng Xuebao/Transaction of

the Chinese Soc. Agri. Eng., 22 (5), 1–4, 2006.

Sivaprakasam, S., Murugappan, A., and Mohan, S., Modified Hargreaves Equation for

Estimation of ET0 in a Hot and Humid Location in Tamilnadu State India, Inter. J.

Eng. Scien. Tech., 3(1), 592–600, 2011.

Suharsono, H., Beberapa aspek iklim Bogor, Skripsi, Jurusan Agrometeorologi

Departemen Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor,

1982.

Thornthwaite, C. W., An Approach Toward a Rational Classification of Climate, Geogr.

Rev., 38(1), 55–94, 1948.

Page 133: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 123 ~

KARAKTERISTIK GELOMBANG KELVIN

EKUATORIAL ATMOSFERIK DIBAWAH PENGARUH

EL NIÑO-OSILASI SELATAN

*Faiz Rohman Fajary1,2

, Sandro Wellyanto Lubis1,3

, Sonni Setiawan1

1Department of Geophysics and Meteorology, Bogor Agricultural University (IPB), Indonesia

2Earth Sciences, Institut Teknologi Bandung (ITB), Indonesia

3Physics of the Atmosphere, GEOMAR Helmholtz Centre for Ocean Research Kiel , Germany

*[email protected]

Abstract The purpose of this research is to qualitatively analyze characteristics of atmospheric

equatorial Kelvin waves using space-time spectral analysis (STSA) of zonal wind

perturbation at the 100-hPa level (tropopause) in Normal (1990), La Niña (1988–1989),

and El Niño (1997–1998) conditions. Kelvin waves propagate eastward with an implied

phase velocity of ~17.4 m/s and are predominantly excited in the tropopause by deep

tropical convections. Energy of Kelvin waves during the Normal, the El Niño, and the

La Niña events is strongly observed in tropopause of Indonesia, however the existing

energy during the La Niña becomes stronger than in the Normal. As for the El Niño

event, the existing energy of the waves in tropopause of central and eastern Pasific is

significantly stronger than to those in the Normal and the La Niña.

Keywords: ENSO, Kelvin Waves, STSA, Tropopause

Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara kualitatif karakteristik

gelombang Kelvin ekuatorial atmosferik dengan menggunakan STSA (space-time

spectral analysis) pada angin zonal level 100-hPa (tropopause) pada kondisi Normal

(1990), La Niña (1988–1989), dan El Niño (1997–1998). Gelombang Kelvin merambat

dengan kecepatan fase ~17.4 m/s ke arah timur dan secara dominan dibangkitkan di

tropopause oleh konvektif tropis kuat. Energi gelombang Kelvin pada kondisi Normal,

El Niño, dan La Niña sama-sama menguat di tropopause kepulauan Indonesia, tetapi

pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin di tropopause kepulauan Indonesia lebih

kuat dibandingkan dengan kondisi Normal. Pada kondisi El Niño energi gelombang

Kelvin di tropopause Samudra Pasifik bagian tengah dan timur lebih kuat dibandingkan

dengan kondisi Normal dan La Niña.

Kata Kunci : ENSO, Gelombang Kelvin, STSA, Tropopause

1. PENDAHULUAN

Gelombang Kelvin ekuatorial atmosferik merupakan gelombang skala planeter

yang terdapat di atmosfer ekuator. Gelombang ini merambat ke arah timur dan

mempunyai kecepatan zonal dan perturbasi geopotensial [tidak terdapat perturbasi angin

meridional] yang meluruh secara Gaussian terhadap lintang dan berpusat di ekuator

Page 134: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 124 ~

(Matsuno 1966, Wallace & Kousky 1968, Holton 2004, Randel & Wu 2005, Setiawan

2010). Gelombang atmosfer di wilayah ekuator memiliki peran dalam interaksi antara

troposfer dan stratosfer, khususnya transfer momentum zonal dan ozon (Yang et al

2011). Di samping itu, gelombang tersebut mempengaruhi QBO (quasi-biennial

oscillation) (Wallace & Kousky 1968, Maruyama 1969, Yang et al 2011, Yang et al

2012) dan osilasi setengah tahunan di stratosfer atas (Lindzen & Holton 1968).

Secara teoritis, gelombang Kelvin dapat dipahami dengan cara menurunkan

persamaan-persamaan gerak atmosfer yang dilinierkan pada bidang-β ekuator (Matsuno

1966, Holton & Lindzen 1968, Wallace & Kousky 1968, Lubis & Setiawan 2011).

Aproksimasi bidang-β digunakan untuk menyelesaikan permasalahan osilasi linear baik

di ekuator maupun lintang menengah (Lindzen 1967). Observasi terhadap gelombang

Kelvin dilakukan oleh Wallace dan Kousky (1968) dengan menggunakan data

radiosonde di stratosfer ekuatorial, Maruyama (1969) dengan menggunakan analisis

spektrum pada data angin atas dan suhu di stratosfer-bawah ekuatorial, dan Randel dan

Wu (2005) dengan menggunakan data suhu di troposfer-atas dan stratosfer-bawah

ekuatorial.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji karakteristik gelombang Kelvin pada

kondisi El Niño, La Niña, dan Normal. Pada kondisi El Niño awan konvektif dominan

terbentuk di atas wilayah Pasifik tropis bagian tengah dan timur (Murphree & Reynolds

1995), sedangkan saat terjadi La Niña awan konvektif terbentuk lebih dominan di atas

wilayah Indonesia. Salah satu sumber pemicu gelombang Kelvin adalah pelepasan

panas laten oleh awan konvektif terutama awan jenis cumulonimbus (Lane 2000, Holton

2004, Randel & Wu 2005). Hipotesis awal pada penelitian ini adalah pada kondisi El

Niño energi gelombang Kelvin akan kuat teramati di atas wilayah Samudra Pasifik

bagian tengah dan timur, sedangkan pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin

kuat di atas wilayah Indonesia.

2. DATA DAN METODE

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data angin zonal (U) dan OLR

(outgoing longwave radiation) dalam satu pita ekuator (15o

LU–15o

LS) dengan resolusi

2.5o x 2.5

o. Data U adalah data harian dengan interval pengamatan enam jam yang

diperoleh dari NCAR/NCEP Reanalysis I untuk kondisi Normal (Des 89–Feb 90 [DJF-

N] & Sep 90–Nop 90 [SON-N]), La Niña (Des 88–Feb 89 [DJF-L] & Sep 88–Nop 88

[SON-L]), dan El Niño (Des 97–Feb 98 [DJF-E] & Sep 97–Nop 97 [SON-E]) di level

Page 135: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 125 ~

ketinggian 100-hPa (tropopause). El Niño 1997/1998 merupakan salah satu peristiwa El

Niño paling kuat yang dimulai sekitar pada pertegahan tahun 1997 dan menghilang pada

akhir musim gugur 1998 (Trenberth 1997, Barnston et al 1999). La Niña 1988/1989

dimulai pada bulan Mei 1988 dan berakhir pada bulan Juni 1989 (Trenberth 1997).

Tabel 1 : Episode hangat (merah) dan dingin (biru) berdasarkan ambang batas ±0.5oC

rata-rata tiga bulan berjalan anomali SST di wilayah Niño 3.4 pada tahun

1988/1989 (La Niña), 1990 (Normal), dan 1997/1998 (El Niño) (Sumber:

NOAA 2012).

Tahun DJF MAM JJA SON

1988 0.7 -0.2 -1.3 -1.6

1989 -1.7 -0.8 -0.3 -0.3

1990 0.1 0.2 0.3 0.3

1997 -0.4 0.4 1.7 2.4

1998 2.3 1 -0.5 -1.1

Berdasarkan Tabel 1, ONI (Oceanic Niño Index) minimum pada kondisi La Niña

(1988/1989) terjadi pada periode SON dan DJF dan ONI maksimum pada kondisi El

Niño (1997/1998) terjadi pada periode SON dan DJF. Oleh karena itu, untuk mengkaji

karakteristik gelombang Kelvin pada tiga kondisi ini (Normal, La Niña, dan El Niño),

periode dominan yang akan digunakan adalah SON dan DJF pada masing-masing

kondisi, dengan kontrol adalah kondisi Normal (SON-N & DJF-N).

Data rata-rata harian OLR diperoleh dari NOAA (National Oceanic &

Atmospheric Administration). Data OLR dapat digunakan untuk mengestimasi lokasi

dan intensitas pusat awan konvektif tropis dan panas laten. Nilai anomali OLR

diperoleh dengan cara menghilangkan efek seasonal dan tren pada data, menggunakan

teknik pemulusan FFT. Semakin rendah nilai anomali OLR, menunjukkan semakin

tebal dan besar tutupan awan, sehingga energi pelepasan panas laten akan semakin

tinggi terjadi.

Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah STSA (Space-Time

Spectral Analysis). Metode ini digunakan untuk mempelajari gelombang yang

merambat secara zonal dan mendekomposisikan medan data kedalam komponen ruang

dan waktu (bilangan gelombang dan frekuensi) yang merambat ke arah barat dan timur

(Hayashi 1982, Wheeler & Kiladis 1999 [selanjutnya disebut WK99]). Perbedaan

penelitian ini dengan WK99 terletak pada penggunaan data, dimana data utama yang

Page 136: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 126 ~

kami gunakan befokus pada komponen angin yang akhirnya akan dikombinasikan

dengan variasi nilai OLR anomali.

Untuk menghindari aliasing; tren dan siklus musiman pada data angin zonal

dihilangkan. Proses kompleks FFT (Fast Fourier Transform) dilakukan pada medan

data dalam bujur untuk mendapatkan koefisien-koefisien Fourier pada masing-masing

waktu dan lintang. Kemudian, dilakukan proses kompleks FFT lanjut dalam waktu

terhadap koefisien-koefisien Fourier tersebut untuk merekonstruksi spektrum dalam

fungsi bilangan gelombang dan frekuensi pada masing-masing lintang. Spektrum daya

(power spectrum) angin zonal dirata-ratakan selama waktu kajian dan dijumlahkan

dalam lintang (150

LU–150

LS) (WK99). Panjang temporal window (nDayWin) yang

digunakan dalam STSA adalah 80 hari, sedangkan panjang hari untuk melewati antar

temporal windows (nDaySkip) adalah 30 hari.

Dalam struktur horizontal, gelombang ekuatorial linier dapat dibagi menjadi tipe

simetris dan asimetris terhadap ekuator dalam fungsi lintang ( ). Secara matematis

dapat dituliskan sebagai berikut: , dimana

merupakan komponen asimetris, dan merupakan

komponen simetris (WK99). Dimana, untuk gelombang dengan mode meridional (n)

ganjil (genap), struktur horizontal dari medan perturbasi adalah simetris (asimetris)

terhadap ekuator (WK99). Gelombang Kelvin memiliki n = –1 (ganjil) (Matsuno 1966)

sehingga medan data dari gelombang Kelvin adalah simetris terhadap ekuator.

Dalam penelitian ini, produk utama dari STSA adalah spektrum daya angin zonal

dalam domain bilangan gelombang (k)-frekuensi (ω), dimana bilangan gelombang

maksimum adalah 15 dan frekuensi (nyquist) adalah 0.5 siklus per hari. Selain itu,

dalam penelitian ini, kami hanya menggunakan komponen simetris, mengingat struktur

horizontal gelombang Kelvin memiliki karakteristik simetris relatif terhadap lintang.

Proses filtrasi pada gelombang Kelvin dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:

bilangan gelombang (k) adalah 1–14, kedalaman ekuivalen (equivalent depth [H])

adalah 8–90 m, dan periode (T) adalah 2.5–20 hari.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Gelombang Kelvin pada Kondisi Normal, El Niño, dan La Niña

Setelah melakukan invers terhadap spektrum kuasa bilangan gelombang-

frekuensi dengan k=1–14, H=8–90 m, dan T=2.5–20 hari, nilai rekontruksi perturbasi

angin zonal yang berasosiasi kuat dengan gelombang Kelvin dapat diperoleh.

Page 137: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 127 ~

Berdasarkan Gambar 1, ciri-ciri utama yang terlihat dari gelombang Kelvin yang telah

diisolasi adalah bahwa perturbasi angin zonal bersifat simetris dan memiliki puncak di

sekitar ekuator. Nilai modulasi angin zonal meluruh secara eksponensial dengan

bertambahnya posisi lintang. Arah fasa perambatan adalah timuran, mengikuti fungsi

kurva dispersif teoritik gelombang Kelvin, dan dengan laju perambatan berkisar pada

~17.4 m/s. Karateristik gelombang Kelvin yang diperoleh ini bersesuaian dengan

konsep pemodelan linear gelombang Kelvin yang diturunkan dalam basis persamaan

perairan dangkal barotropik (Matsuno 1966, Wallace &Kousky 1968, Holton 2004,

Randel & Wu 2005, Setiawan 2010).

Gambar 2a–7a menunjukkan distribusi spasial varians angin zonal untuk

gelombang Kelvin pada masing-masing kondisi kajian. Secara umum nilai varians

perturbasi angin zonal yang berasosiasi dengang gelombang Kelvin memiliki pucak di

sekitar ekuator, dan meluruh dengan bertambahnya posisi lintang . Pola yang diperoleh

ini secara umum bersesuaian dengan nilai osilasi perturbasi OLR gelombang Kelvin

yang ditemukan sebelumnya oleh WK99 (Gambar 7e dan 7f dalam WK99).

Pada periode SON-N (Gambar 2a), energi gelombang Kelvin menguat di

tropopause benua Afrika, dan Samudra Pasifik bagian barat sampai dengan Samudra

Atlantik. Nilai maksimum amplitudo gelombang pada kondisi normal SON-N berada di

tropopause kepulauan Indonesia. Kuatnya energi gelombang Kelvin pada periode kajian

ini bersesuaian dengan semakin rendahnya nilai varians anomali OLR yang teramati

(Gambar 2b), khususnya di sekitar kepulauan Indonesia. Hal ini mengindikasikan

bahwa gelombang Kelvin pada periode ini umumnya dipicu oleh pelepasan panas laten

dari aktivitas pertumbuhan awan-awan konvektif. Pada periode DJF-N (Gambar 3a),

energi yang teramati relatif lebih kuat dan menyebar cukup seragam di sepanjang pita

ekuator. Perluasan nilai varians ini bersesuaian dengan perluasan secara garis bujur

distribusi keawanan yang diindikasikan oleh penyebaran nilai anomali OLR yang lebih

rendah dibandingkan pada periode SON-N

Page 138: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 128 ~

Gambar 1 : Gelombang Kelvin ekuatorial dengan bilangan gelombang 1–14, periode

2.5–20 hari, dan kedalaman ekuivalen 8–90 m. Arah propagasi adalah

timuran.

a)

b)

Gambar 2 : Periode SON-N a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi

spasial anomali OLR.

Page 139: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 129 ~

a)

b)

Gambar 3 : Periode DJF-N a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi

spasial anomali OLR.

.

a)

b)

Gambar 4 : Periode SON-E a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi

spasial anomali OLR.

a)

Page 140: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 130 ~

b)

Gambar 5 : Periode DJF-E a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi

spasial anomali OLR.

Pada periode El-Niño SON-E (Gambar 4a), energi gelombang Kelvin yang

teramati umumnya lebih kuat dibandingkan pada kondisi Normal. Tingginya sabuk

keawanan yang terbentuk di atas Samudra Pasifik menjadi sumber dinamo utama

pemicu bangkitnya gelombang ini. Proses pelepasan panas laten yang ditandai dengan

tingginya nilai SST pada tahun-tahun El-Niño menyediakan energi yang substansial

untuk mengeksitasi perambatan vertikal dan horizontal gelombang ini hingga mencapai

lintang tengah. Selain itu, rendahnya sabuk keawanan pada bagian timur Pasifik, yang

diindikasikan dengan rendahnya nilai OLR anomali, dapat digunakan juga untuk

menspekulasi energi pemicu gelombang Kelvin via panas laten yang dilepaskan oleh

proses mikrofisik awan-awan konvektif. Selanjutnya, pada periode DJF-E, nilai varians

menjadi dua kali lebih kuat dan lebih meluas ke timur Samudra Atlantik. Tingginya

aktivitas pada DJF-E ini, merupakan impilikasi dari penguatan aktivitas gelombang

Kelvin di kepulauan maritim dan Samudra Hindia, yang pada akhirnya merambat ke

timur dan membawa energi hingga ke tropopause Samudra Pasifik bagian tengah dan

barat (hasil kalkulasi energi kinetik tidak ditampilkan disini).

a)

Page 141: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 131 ~

b)

Gambar 6 : Periode SON-L a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi

spasial anomali OLR.

a)

b)

Gambar 7 : Periode DJF-L a) distribusi spasial varians gelombang Kelvin b) distribusi

spasial anomali OLR.

Pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin di tropopause mengalami

pergeseran ke arah barat, dimana varians aktivitas gelombang pada kepulauan Indonesia

dan Samudra Hindia memiliki amplitudo yang lebih tinggi dibandingkan dengan

wilayah lainnya dalam satu pita ekuator (Gambar 6a & Gambar 7a). Sama halnya

dengan periode El-Niño, penguatan aktivitas ini disebabkan oleh awan konvektif hasil

transfer massa uap air dari proses kesetimbang kontinuitas masa udara pada kondisi La-

Niña. Hasilnya, aktivitas gelombang Kelvin cenderung lebih dominan terbentuk di atas

kepulauan Indonesia dibandingkan di wilayah timur Samudra Pasifik. Energi

gelombang Kelvin pada kondisi Normal dan La Niña terlihat sama-sama menguat di

tropopause kepulauan Indonesia. Tetapi pada kondisi La Niña energi gelombang Kelvin

di atas Indonesia teramati jauh lebih kuat dibandingkan saat kondisi Normal.

3.2 Spektrum Bilangan Gelombang-Frekuensi pada Kondisi Normal, El Niño, dan

La Niña

Eksistensi gelombang Kelvin dengan menggunakan STSA ditunjukkan pada

Gambar 8. Berdasarkan hasil STSA, terdapat aktivitas gelombang Kelvin pada semua

waktu kajian pada kondisi Normal, El Niño, dan La Niña. Namun, aktifitas gelombang

Page 142: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 132 ~

Kelvin pada periode El-Niño DJF-E (Gambar 8d) cenderung lebih kuat dibandingkan

dengan periode-periode lainnya. Hal ini memberikan konfirmasi terhadap tingginya

nilai distibusi varians yang telah kami temukan sebelumnya. Distribusi spasial varians

gelombang Kelvin (Gambar 2a–7a) juga menunjukkan bahwa aktifitas gelombang

Kelvin pada periode DJF-E (Gambar 5a) memiliki aktivitas yang terkuat.

a) b)

c) d)

Page 143: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 133 ~

e) f)

Gambar 8 : Komponen simetris spektrum daya (m2/s

2) bilangan gelombang-frekuensi

angin zonal di level 100-hPa untuk a) SON-N b) DJF-N c) SON-E d)

DJF-E e) SON-L f) DJF-L.

Secara teoritik, laju gelombang (c) dapat diperoleh dengan menggunakan nilai

kedalaman ekuivalen (H) berdasarkan persamaan gelombang perairan dangkal

barotropik dalam bidang beta, √ , dimana g adalah percepatan gravitasi. WK99

mengisolasi gelombang Kelvin pada kisaran nilai H=8–90 m, dimana sinyal varians

gelombang Kelvin dominan terletak di sekitar H=25 m (Gambar 6b dalam WK99),

sedangkan dalam penelitian ini nilai maksimum spectra daya umumnya menempati

posisi H=8–150 m, dengan sinyal varians gelombang Kelvin dominan terletak di sekitar

H=50 m (Gambar 8b dan 8d). Nilai ini menunjukkan bahwa laju perambatan gelombang

Kelvin yang termati pada penelitian ini memiliki laju fasa yang lebih cepat

dibandingkan yang ditemukan oleh WK99. Hal ini disebabakan karena gelombang

Kelvin yang termatai pada level 100-hPa merupakan fase transisi dari gelombang yang

bersifat lembab “moist” menuju gelombang yang bersifat kering “dry”. Gelombang

yang ter-couple secara kuat dengan proses konvektif cenderung memiliki bilangan

gelombang vertikal dan kedalaman ekuivalen yang relatif lebih rendah dibandingkan

dengan gelombang kering, dan hal ini akhirnya akan berimplikasi pada perlambatan laju

fasa gelombang.

Page 144: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 134 ~

4 KESIMPULAN

Gelombang Kelvin merambat dengan kecepatan fasa sekitar ~17.4 m/s ke arah

timur. Tingginya sabuk keawanan yang terbentuk di atas Samudra Hindia dan Pasifik

menjadi sumber dinamo utama pemicu bangkitnya gelombang Kelvin. Pada kondisi El-

Niño (La-Niña), aktivitas gelombang Kelvin bermigrasi ke arah timur (barat), mengikuti

proses pertumbuhan awan konvektif dan pelepasan panas laten di atas samudra. Proses

pelepasan panas laten yang ditandai dengan nilai SST yang tinggi pada tahun-tahun El-

Niño menyediakan energi yang substansial untuk mengeksitasi perambatan vertikal dan

horizontal gelombang Kelvin hingga mencapai lintang tengah. Analisis STSA

menunjukkan bahwa eksistensi gelombang Kelvin pada periode El-Niño DJF-E

memiliki nilai spektrum yang paling dominan dibandingkan dengan periode-periode

lainnya. Tingginya laju fasa pada penelitian ini menunjukan bahwa gelombang Kelvin

yang teramati merupakan gelombang transisi dari lembab „moist’ menuju kering „dry’.

DAFTAR RUJUKAN

Barnston, A. G., Glantz, M. H., and He, Y., Predictive Skill of Statistical and

Dynamical Climate Models in SST Forecasts during the 1997–98 El Niño Episode

and the 1998 La Niña Onset, Bull. Amer. Meteor. Soc., 80(2), 217–243, 1999.

Hayashi, Y., Space-Time Spectral Analysis and Its Applications to Atmospheric Waves,

J. Meteorol. Soc. Jpn., 60(1), 156–171, 1982.

Holton, J. R., An Introduction to Dynamics Meteorology, Ed ke–4, Burlington: Elsevier,

2004.

--------------- and Lindzen, R. S., A Note on Kelvin Waves in the Atmosphere, Mon.

Wea. Rev., 96(6), 385–386, 1968.

Lane, T. P., Reeder, M. J., and Clark. T. L., Numerical Modeling of Gravity Wave

Generation by Deep Tropical Convection, J. Atmos. Sci., 58, 1249–1274, 2000.

Lindzen, R. S., Planetary Waves on Beta-Planes, Mon. Wea. Rev., 95(7), 441–451,

1967.

-------------- and Holton, J. R., A Theory of the Quasi-Biennial Oscillation, J. Atmos.

Sci., 25, 1095–1107, 1968.

Lubis, S. W. and Setiawan. S., Theoretical Simulation of Free Atmospheric Planetary

Waves on an Equatorial Beta-Plane, J. Theor. Comput. Stud., 1–17, 2011.

Maruyama, T., Long-Term Behavior of Kelvin Waves and Mixed Rossby-Gravity

Waves, J. Meteorol. Soc. Jpn., 47(4), 245–254, 1969.

Page 145: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 135 ~

Matsuno, T., Quasi-geostrophic Motions in the Equatorial Area, J. Meteorol. Soc. Jpn.,

44(1), 25–42, 1966.

Murphree, T. and Reynolds, C., El Niño and La Niña Effects on the Northeast Pacific:

The 1991–1993 and 1988–1989 Events, CalCOFl., 36, 45–56, 1995.

[NOAA] National Oceanic & Atmospheric Administration, Cold and warm episodes by

season, [terhubung berkala], http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/

analysis_monitoring/ensostuff/ensoyears.shtml, [17 Nov 2012], 2012.

Randel, W. J. and Wu, F., Kelvin Wave Variability near the Equatorial Tropopause

Observed in GPS Radio Occultation Measurements, J. Geophys. Res., 110, 1–13,

2005.

Setiawan, S., Perumusan Struktur Horizontal dan Struktur Vertikal Gelombang

Atmosfer Ekuatorial Planeter. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2010.

Trenberth, K. E., The Definition of the El Niño, Bull. Amer. Meteor. Soc., 78(12),

2771–2777, 1997.

Wallace, J. M. and Kousky, V. E., Observational Evidence of Kelvin Waves in the

Tropical Stratosfer, J. Atmos. Sci., 25, 900–907, 1968.

Wheeler, M. and Kiladis, G. N., Convectively Coupled Equatoril Waves: Analysis of

Clouds and Temperature in the Wavenumber-Frequency Domain, J. Atmos. Sci., 56,

374–399, 1999.

Yang, G. Y., Hoskins, B. J., and Slingo, J. M., Equatorial Waves in Opposite QBO

Phases, J. Atmos. Sci., 68, 839–862, 2011.

---------------------------, and Gray, L., The Influence of the QBO on the Propagation of

Equatorial Waves into the Stratosphere. J. Atmos. Sci., 69, 2959–2982, 2012.

Page 146: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 136 ~

ANALISIS DAN PEMETAAN SAMBARAN PETIR

WILAYAH BALI DAN SEKITARNYA TAHUN 2012

I Putu Dedy Pratama

BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Stasiun Geofisika Denpasar

e-mail: [email protected]

Abstract

Lightning services in Denpasar Geophysics Station is quite important for the region Bali

and surrounding areas since this area is prone to lightning hazard. This area has

topography that allows the growth of convective clouds in the southern waters around

Bali and also the mountains in the area Batukaru, Batur, and Besakih. Recorded this

area has reached 91 days of thunder per day per year. In the year 2012 Denpasar

Geophysics Station received six reports from public and one person killed by lightning

strikes reported by Bali Post. The news and the reports used as a comparatorbetween

position and time event of actual strike with therecord of the Lightning Detector. Based

on the analysis of data processing and mapping of density strikes vary by region

depending on the season, topography, evaporation, and the upward movement of air

masses. Areas with a high strike occurred in waters south of Tabanan, the island of

Nusa Penida, Padang Bay bay, and the mountains to the topography of 200-1000 m

AMSL. Highest lightning activity occurs in the rainy season in December 2012.

Distribution pattern of daily lightning strikes has two peaks with the semi-diurnal

pattern in which an increase in lightning activity at 14:00 and 02:00 local time.

Keywords: lightning, Lightning Detector, topography, density strikes

Abstrak

Pelayanan jasa petir di Stasiun Geofisika Denpasar cukup penting bagi wilayah Bali dan

sekitarnya karena daerah ini merupakan daerah rawan bencana petir. Daerah ini

mempunyai topografi yang memungkinkan tumbuhnya awan-awan konvektif di sekitar

perairan selatan Bali dan juga pegunungan di wilayah Batukaru, Batur, dan Besakih.

Tercatat daerah ini memiliki hari guruh mencapai 91 hari per tahun. Dalam tahun 2012

Stasiun Geofisika Denpasar mendapat laporan sambaran petir dari masyarakat sebanyak

enam laporan dan tercatat dua korban tewas akibat sambaran petir menurut media Bali

Post dan Fajar Bali. Dari laporan dan berita tersebut digunakan sebagai pembanding

antara posisi dan waktu kejadian sambaran aktual dengan rekaman alat Lightning

Detector. Berdasarkan analisa pengolahan data dan pemetaan kerapatan sambaran petir

bervariasi setiap wilayah tergantung pada musim, topografi, penguapan, dan pergerakan

naik massa udara. Daerah dengan sambaran tinggi terjadi di perairan selatan Tabanan,

Pulau Nusa Penida, teluk Padang Bay, dan wilayah pegunungan dengan topografi 200-

1000m DPL. Aktivitas petir tertinggi terjadi pada musim penghujan yaitu pada bulan

Desember 2012. Pola distribusi sambaran petir memiliki dua puncak dengan pola

semidiurnal dimana terjadi peningkatan aktivitas petir pada pukul 02.00 dan 14.00

waktu lokal.

Kata kunci : Petir, Lightning Detector, topografi, kerapatan sambaran

Page 147: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 137 ~

1. PENDAHULUAN

Bali merupakan daerah potensi rawan petir. Daerah ini mempunyai topografi yang

memungkinkan tumbuhnya awan-awan konvektif dan di sekitar lereng pegunungan dengan

bentuk geomorfologi yang landai dan curam selain itu perairan selatan Bali juga menyuplai

uap air yang tinggi memungkinkan pertumbuhan awan konvektif dan arus konveksi (Dedy,

2013).

Dengan daerah padat penduduk dan keunggulan pariwisata menjadikan Bali

sebagai citra Indonesia di mata dunia dalam pelayanan jasa petir. Seringkali ada laporan

dari masyarakat termasuk dunia pariwisata akan adanya sambaran petir. Untuk itu dipasang

alat pemantau petir secara real time untuk mendeteksi dan merekam kejadian petir wilayah

Bali dan sekitarnya. Selanjutnya dibuat pemetaan kerapatan petir untuk mengetahui

daerah-daerah yang rawan terhadap aktivitas petir.

Stasiun Geofisika Denpasar adalah Unit pelaksana Teknis Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di wilayah Bali dan sekitarnya yang melakukan

pengamatan petir (listrik udara) untuk wilayah Bali dan sekitarnya. Alat pendeteksi petir

tersebut adalah Lightning Detector (LD).

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Petir

Petir merupakan pelepasan muatan elektrostatis berasal dari badai guntur.

Pelepasan muatan ini disertai dengan pancaran cahaya dan radiasi elektromagnetik lainnya.

Pada musim hujan petir perlu diwaspadai, petir biasanya muncul pada saat akan hujan atau

ketika hujan sudah turun. Namun, bukan berarti setiap hujan dan mendung akan selalu

disertai petir dan hanya terjadi jika ada awan Cumulonimbus (Cb). Awan Cumulonimbus

adalah awan yang terjadi sangat cepat akibat pemanasan tinggi di permukaan Bumi.

Pemanasan di permukaan Bumi ini mendorong uap air naik ke atas dengan cepat. Oleh

karena itu, ciri-ciri awan Cumulonimbus adalah bentuknya yang menggumpal seperti

kapas dan membubung tinggi di langit (Husni, 2002).

2.2. Lightning Detector

Prinsip kerja dari Storm Tracker adalah mendeteksi sinyal radio yang dihasilkan

oleh sambaran petir. Storm Tracker mendeteksi sinyal radio frekuensi rendah (low

frequency) yang dihasilkan oleh lecutan kilat (10 kHz sampai 200 kHz) dan menggunakan

Direction Finding antena untuk menentukan arah darimana kilat datang. Setiap antena

memiliki radius jangkauan potensial dengan radius mencapai 300 mil. Analisa software

Page 148: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 138 ~

menyaring gangguan dan membuat informasi sambaran lebih akurat

(http://www.boltek.com/stormtracker.html).

Gambar 1 : Antena luar dan bagian hardware Boltek Storm Tracker (Boltek, 2013)

3. DATA DAN METODE

3.1. Data

Data yang digunakan adalah data petir periode tahun 2012 Stasiun Geofisika

Denpasar, peta rupa bumi dan kontur topografi wilayah Bali dan sekitarnya. Pemetaan dan

analisa kerapatan meliputi wilayah Bali dan sekitarnya dengan batasan daerah 7,680 LS –

9,680 LS dan 114,21

0 BT – 116,21

0 BT. Lokasi sensor berada di Stasiun Geofisika

Denpasar di koordinat 8,680 LS dan 115,21

0 LS.

3.2. Metode

Pengolahan data menggunakan Lightning/2000 dengan merubah ekstensi .ldc ke

format .kml, selanjutnya konversi data petir harian format .kml menjadi .xlsx dengan

Microsoft Excel 2007, kemudian disimpan dengan format .csv (comma delimited).

Clustering kejadian petir dengan pembagian tiap kluster 40 x 40 grid, dan perhitungan

kejadian petir per grid dengan menggunakan software Lightning Data Processing. Proses

pemetaan selanjutnya dilakukan menggunakan Surfer 10.

Secara garis besar, penelitian dilakukan berdasarkan pemetaan petir yang di-

overlay dengan kontur topografi wilayah Bali, pembandingan sampel citra satelit NOAA

serta laporan masyarakat dan media, dan pembuatan grafik distribusi petir per jam.

Page 149: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 139 ~

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Produk dan layanan data petir yang dilakukan oleh Stasiun Geofisika Denpasar

dibuat dalam bulletin tahunan dan bulanan stasiun, buletin Balai Besar BMKG Wilayah 3,

serta tujuan penelitian maupun skripsi mahasiswa. Permintaan data petir juga digunakan

untuk klaim asuransi masyarakat maupun lembaga. Laporan masyarakat dan data citra

satelit NOAA dijadikan pembanding apakah alat bekerja dengan baik dalam penentuan

posisi dan waktu kejadian ditambah dengan laporan sambaran petir dari media. Berikut

adalah daftar laporan kejadian petir dari masyarakat dan berita media :

Tabel 1 : Laporan kejadian petir tahun 2012 daerah Bali

Sumber Lokasi Tanggal Kejadian Waktu (WITA)

PT. Tower Bersama Group Unggasan-Badung 4 Februari 2012 23.00-24.00

Chedi Club Tengkulak-Gianyar 1 Maret 2012 15.00-16.00

PT. BCA Tbk. KCU Denpasar Denpasar 17 Maret 2012 22.00-23.00

Eddy Sagita Gianyar 8 Desember 2012 22.00-24.00

Alit Artama Payangan-Gianyar 10 Desember 2012 01.00-02.00

Four Seasons Resort Jimbaran-Badung 13 Desember 2012 -

Bali Post Kintamani-Bangli 21 Desember 2012 -

Fajar Bali Penatih-Denpasar 30 Desember 2012 Sekitar 15.00

Gambar 2 : (a) Berita sambaran petir daerah Kintamani (Bali Post 23 Desember 2012) dan

(b) Analisa waktu kejadian dan lokasi petir dengan LD 2000 (c) Citra satelit

NOAA-16 mencitrakan jenis awan Cb (titik merah) yang terjadi pada 28

Maret 2013 pukul 01:28 UTC (d) Plot kejadian petir satu jam sebelum dan

sesudah pukul 01:28 UTC tanggal 28 Maret 2013.

Aktivitas petir umumnya meningkat pada musim penghujan dan pancaroba. Untuk

tahun 2012 di wilayah Bali dan sekitarnya aktivitas petir tinggi terjadi pada musim

a b c d

Page 150: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 140 ~

penghujan yaitu bulan Januari s.d. Maret dan November s.d. Desember terlihat dari

perbandingan strong stroke pada Grafik 1.

Grafik 1 : Jumlah stong stroke dalam persen tahun 2012 dengan aktifitas tertinggi terjadi

pada bulan Desember mencapai 41%

Gambar 2 : Perbandingan frekuensi sambaran terhadap waktu per jam Stasiun Geofisika

Denpasar tahun 2012

Wilayah yang memiliki aktivitas petir tinggi untuk perairan berada di daerah

selatan kabupaten Tabanan mencapai kerapatan hingga di atas 1500 kali sambaran. Ini

menunjukkan daerah tersebut memiliki pemanasan dan penguapan yang cukup tinggi.

Sedangkan pada wilayah daratan, aktivitas tertinggi terjadi pada wilayah pegunungan

Batukaru, Batur, dan Agung, Pulau Nusa Penida dan teluk Padang Bay (Gambar 3).

Hubungan antara kerapatan petir dan ketinggian mengindikasikan korelasi positif.

Kerapatan petir cenderung konstan pada ketinggian 100-700 m DPL dan terjadi

peningkatan pada ketinggian 700-1200 m DPL (Bavika, 2007). Untuk wilayah daratan Bali

petir umumnya terjadi pada daerah ketinggian 200-1000 m DPL dengan topografi lereng

pegunungan selatan dengan kemiringan curam. Namun, pada sisi utara lereng pegunungan

Page 151: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 141 ~

kerapatan petirnya lebih rendah karena udara lembab tertahan pada sisi selatan sehingga

sisi utara memperoleh udara kering (Gambar 3).

Gambar 3 : Peta kerapatan petir di-overlay dengan peta topografi wilayah Bali dan

sekitarnya

Berdasarkan Grafik 1 sambaran petir maksimum terjadi pada pukul 14.00 dan

terendah pada pukul 09.00 waktu lokal. Terjadi 2 puncak maksimum aktivitas petir yaitu

pukul 02.00 dan 14.00 waktu lokal. Grafik semi diurnal ini menyerupai dengan penelitian

petir yang dilakukan oleh Xie, dkk (2013).

Pada pukul 14.00 aktivitas petir meningkat karena pengaruh dari pengangkatan

massa udara akibat dari pengaruh orografi dimana pada siang hari dengan puncaknya pukul

12.00 terjadi angin lembah yang bertiup dari lereng ke gunung atau bukit. Perlu waktu bagi

uap air untuk membentuk awan Cumulonimbus (Cb). Pada wilayah perairan maksimum

pukul 14.00 karena adanya pengaruh panasnya permukaan daerah perairan yang memicu

peningkatan uap air dan pergerakan massa udara ke atas sehingga terbentuk awan

konvektif.

Pada pukul 02.00 aktivitas petir terjadi karena desakan massa udara dingin dari angin

darat yang bertemu dengan massa udara hangat di lautan pada malam hari menimbulkan

naiknya massa udara hangat yang mengandung uap air. Pengangkatan ini menimbulkan

pembentukan awan cumulonimbus meningkat pada malam hari, dimana tahap matang dan

proses terjadinya petir terjadi pada dini hari.

Page 152: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 142 ~

5. KESIMPULAN

Data sambaran petir cukup akurat untuk memperhitungkan posisi dan waktu

kejadian sambaran petir pada suatu daerah. Pada pemetaan dengan overlay kontur

topografi menunjukkan hubungan antara kerapatan petir dan ketinggian mengindikasikan

korelasi positif hingga batas ketinggian tertentu. Untuk wilayah dataran rendah, aktivitas

petir cenderung konstan. Pola distribusi sambaran petir memiliki dua puncak semi diurnal

dengan pengaruh lokal akibat adanya pemanasan perairan dan orografi pada siang hari

serta pertemuan dua massa udara yang berbeda di wilayah perairan pada malam hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada kepala dan seluruh staf Stasiun Geofisika

Denpasar atas kerjasamanya dalam pengumpulan data petir harian maupun bulanan serta

diskusi dalam penyusunan buletin tahunan.

DAFTAR RUJUKAN

Bali Post. 2013. Merta Tewas Tersambar Petir, 23 Desember 2012.

Bavika, Bhika. 2007. The Infulence of Terrain Elevation on Lighning Density in South

Africa, Depatmen of Geography, Environtmental Management and Energy Studies

University of Johanenesburg.

Boltek. 2013. Boltek Storm Tacker, http://www.boltek.com/stormtrastor.html (diakses

Januari 2013).

Dedy Pratama, I Putu. 2013. Kawentenan Tatit ring Bali, Bali Post, 3 Maret 2013.

Fajar Bali. 2012. Bajak Sawah, Warga Banyuwangi Tewas Tersambar Petir, 30 Desember

2012.

Husni, M. 2002. Mengenal Bahaya Petir. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol 3. No. 4

Oktober – Desember 2002. Jakarta.

Pusdiklat BMKG. 2013. Materi Diklat Geofisika Potensial dan Tanda Waktu, Depok.

Xie, Yiran, Kai Xu, Tengfei Zhang, Xuetao Liu. 2013.Five-year Study of Cloud-to-ground

Lightning Activity in Yunnan Province, China. Atmospheric Research 129-130, 49-

57

Page 153: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 143 ~

ANALISIS PARAMETER METEOROLOGI TERHADAP

KONSENTRASI PM10 DI KOTA SURABAYA

Iis Sofiati dan Dessy Gusnita

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN

Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173

Email: [email protected]

Abstract

The influences of meteorological parameters such as wind speed and direction very well to

the concentration of pollutants, including PM10. Meanwhile PM10 was an important

element in determining of air quality in an area. The purpose of this study was to analyze

the influence of meteorological parameters on the PM10 concentration. The data used is

three hourly-data meteorological parameters (wind speed and direction, temperature,

pressure, and relative humidity) and the concentration of PM10 daily data from 2009 to

2011. Processing of data by the method of statistical averaging is done by using Fortran 77

software. From the results obtained that the maximum concentration of PM10 of

approximately 38.36 μg/m3 occured during transition season (March-April-May) with the

smallest wind speed average of 6 km/h, and the wind direction comes from the west and

east alternately. At the same time, the average temperature reaches 29°C, the average

pressure of 1009 hPa and an average relative humidity of 78%. While minimum

concentrations of PM10 on averaged about 32.82 μg/m3 occured during the dry season

(June-July-August) with the smallest wind speed average of 5 km/h, and the wind direction

comes from the east. At the same time, other results showed an average temperature of

28°C, the average pressure of 1011 hPa and an average relative humidity of 73%.

Meteorological parameters that most significantly affect to PM10 concentration was the

wind direction and speed.

Keywords: Wind direction and speed, temperature, pressure, relative humidity, PM10.

Abstrak

Pengaruh parameter meteorologi seperti arah dan kecepatan angin cukup besar terhadap

konsentrasi polutan, diantaranya PM10. Sementara itu PM10 merupakan unsur penting

dalam penentuan kualitas udara pada suatu daerah. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisa pengaruh parameter meteorologi terhadap konsentrasi PM10. Data yang

digunakan adalah data tiga-jam-an parameter meteorologi (arah dan kecepatan angin, suhu,

tekanan, dan kelembaban relatif) dan data harian konsentrasi PM10 dari tahun 2009 sampai

2011. Pengolahan data dengan metoda perata-rataan secara statistik dan dikerjakan dengan

menggunakan software Fortran 77. Dari hasil didapat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata

maksimum 38.36 µg/m3 terjadi pada saat musim transisi (Maret-April-Mei) dengan

kecepatan angin terkecil rata-rata 6 km/jam, dan arah angin berasal dari arah Barat dan

Timur secara bergantian. Pada saat yang sama, suhu rata-rata mencapai 29°C, tekanan rata-

rata 1009 hPa dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 78%. Sedangkan konsentrasi PM10

rata-rata minimum 32.82 µg/m3 terjadi pada saat musim kering (Juni-Juli-Agustus) dengan

kecepatan angin terkecil rata-rata terbesar 8.5 km/jam, arah angin berasal dari arah Timur.

Pada saat yang sama, hasil lain menunjukkan suhu rata-rata 28°C, tekanan rata-rata 1011

hPa dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 73%. Parameter meteorologi yang paling

signifikan berpengaruh terhadap konsentrasi PM10 adalah arah dan kecepatan angin.

Page 154: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 144 ~

Kata kunci: Arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, kelembaban relatif, PM10.

1. PENDAHULUAN

Parameter meteorologi seperti curah hujan, arah dan kecepatan angin, suhu,

tekanan, dan kelembaban relatif merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi

proses tranformasi dan transportasi polutan di atmosfer. Suhu udara vertikal dapat

menentukan stabilitas atmosfer dan lapisan inversi suhu yang berpengaruh pada kualitas

udara di lingkungan industri (Barmpadimos, I., 2011). Perubahan suhu dan hunungannya

dengan musim yang sedang terjadi juga berpengaruh terhadap konsentrasi polutan terutama

PM10 (Sait E., et al., 2007; Proias T., et al., 2010). Inversi berbahaya, yaitu lapisan dengan

konsentrasi pencemar di permukaan tanah sangat tinggi (Pey J., et al., 2013). Kelembaban

dapat memberi gambaran mengenai kemampuan udara di sekitar sumber dalam kaitannya

dengan kemampuan terjadinya proses pencucian oleh air hujan dan kemungkinan

terbentuknya bermacam-macam kabut (Suharsono, 1985). Secara tidak langsung

kelembaban akan mempengaruhi karakteristik buoyancy dan momentum yang terjadi pada

proses plume rise atau naiknya kepulan asap dari cerobong industri (Ana, S, et al., 2013,

Unal, Y, S., et al., 2011). Parameter meteorologi angin bertindak sebagai media yang dapat

memperbesar dan memperkecil penyebaran pencemar terutama PM10 di atmosfer (Holst,

J., et al., 2008). Kecepatan dan arah angin menentukan transportasi horizontal dan vertikal

dari dispersi polutan. Tetapi pada kasus lain Proias T., et al, 2010 menyebutkan arah angin

tidak berkorelasi secara signifikan terhadap nilai rata-rata harian konsentrasi PM10.

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kecepatan angin berkorelasi secara signifikan

terhadap nilai rata-rata harian konsentrasi PM10, karena itu digunakan kecepatan angin

rata-rata per jam untuk memprediksi nilai konsentrasi rata-rata harian PM10.

Sementara itu parameter meteorologi berperan aktif tehadap konsentrasi polutan

(Unal, Y, S. et al, 2011; Doreena, D., et al., 2012) dan PM10 merupakan salah satu unsur

penting dalam penentuan kualitas udara pada suatu daerah. Oleh karena itu dalam

penelitian ini akan dianalisa pengaruh parameter meteorologi terhadap PM10.

2. DATA DAN METODE

Peneltian ini menggunakan data sekunder berupa data tiga-jam-an parameter

meteorologi (arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, dan kelembaban relatif) dan data

Page 155: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 145 ~

harian konsentrasi PM10 dari tahun 2009 sampai 2011. Pengolahan data dengan metoda

perata-rataan secara statistik dan dikerjakan dengan menggunakan software Fortran 77.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter meteorologi seperti arah dan kecepatan angin, suhu, tekanan, dan

kelembaban relatif memegang peranan dalam proses penyebaran bahan pencemar udara

(Suharsono, 1985). Dalam penelitian ini akan dianalisa sejauh mana pengaruh parameter

meteorologi terhadap salah satu pencemar udara yaitu PM10.

Gambar 1 menunjukkan distribusi konsentrasi PM10 dan suhu pemukaan, dan dari

hasil terlihat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata maksimum yaitu 38.36 (µg/m3) terjadi pada

pengamatan bulan Maret-April-Mei. Dalam waktu yang sama dapat dilihat distribusi suhu

rata-rata mencapai 29.1oC.

Gambar 1. Distribusi konsentrasi PM10 (µg/m3) rata-rata harian (kiri) dan distribusi suhu

(oC) rata-rata harian (kanan) bulan Maret-April-Mei tahun 2009-2011.

Gambar 2. Distribusi kecepatan angin (m/det) rata-rata harian (kiri) dan distribusi arah

angin (o) rata-rata harian (kanan) bulan Maret-April-Mei tahun 2009-2011.

Page 156: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 146 ~

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0 10 20 30

Juni-09

Jun-10

Jun-11

Jul-09

Jul-10

Jul-11

Agus-09

Gambar 3. Distribusi tekanan (hPa) rata-rata harian (kiri) dan distribusi kelembaban relatif

(%) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.

Gambar 4. Distribusi konsentrasi PM10 (µg/m3) rata-rata harian (kiri) dan distribusi suhu

(oC) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.

Gambar 5. Distribusi kecepatan angin (m/det) rata-rata harian (kiri) dan distribusi arah

angin (o) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.

Page 157: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 147 ~

Gambar 6. Distribusi tekanan (hPa) rata-rata harian (kiri) dan distribusi kelembaban relatif

(%) rata-rata harian (kanan) bulan Juni-Juli-Agustus tahun 2009-2011.

Konsentrasi PM10 rata-rata maksimum terjadi pada saat kecepatan angin mencapai

rata-rata minimum sebesar 6 m/det, dan arah angin dominan berasal dari arah 250o

dan

350o, atau dari arah nol derajat dan 100

o, secara bergantian yang terjadi pada bulan Maret-

April-Mei seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.

Pada bulan Maret-April-Mei terjadi konsentrasi maksimum dari PM10, pada saat

yang sama nilai tekanan rata-rata sebesar 1009 hPa dan kelembaban relatif mencapai

78.1% seperti yang terlihat pada Gambar 3. Nilai tekanan pada musim transisi (Maret-

April-Mei) lebih besar dibandingkan pada musim hujan (Desember-Januari-Februari),

tetapi lebih kecil dibandingkan pada musim kemarau (Juli-Juli-Agustus), hasil lengkap

dapat dilihat pada Tabel 1.

Hasil sebaliknya untuk konsentrasi PM10 rata-rata minimum terjadi pada

pengamatan bulan Juni-Juli-Agustus seperti yang terlihat pada Gambar 4. Dari hasil

didapat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata minimum yaitu 32.8 (µg/m3), sedangkan

konsentrasi minimumnya sebesar 8.2 (µg/m3). Pada waktu yang sama dapat dilihat

distribusi suhu rata-rata mencapai 28.9oC, lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi

pada bulan Maret-April-Mei sebesar 29.1oC.

Hasil lengkap untuk konsentrasi PM10 dan suhu rata-rata tiga bulanan berturut-turut

dapat dilihat pada Tabel 1, dimana nilai rata-rata untuk bulan Desember-Januari-Februari

adalah 34.8 (µg/m3) dan suhu 28.3

oC, Maret-April-Mei sebesar 38.4 (µg/m

3) dan suhu

29.1oC, Juni-Juli-Agustus 32.8 (µg/m

3) dan suhu 28.9

oC, sementara September-Oktober-

November sebesar 36.9 (µg/m3) dengan nilai suhu sebesar 29.4

oC.

Pada musim kemarau yaitu bulan Juni-Juli-Agustus disaat konsentrasi PM10

mencapai nilai minimum, parameter meteorologi untuk kecepatan angin justru mencapai

Page 158: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 148 ~

maksimum sebesar 8.5 m/det, dengan arah angin dominan rata-rata dari arah Timur atau

dari sekitar (50-150)o seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Hasil lengkap untuk kecepatan dan arah angin rata-rata tiga bulanan berturut-turut

dapat dilihat pada Tabel 2, dimana nilai rata-rata untuk bulan Desember-Januari-Februari

adalah 7.1 m/det dan kecepatan angin terbanyak berasal dari arah 250o dan 350

o, untuk

Maret-April-Mei sebesar 6.0 m/det dengan kecepatan angin berasal dari 250o dan 350

o

atau berasal dari nol derajat dan 150o, Juni-Juli-Agustus 8.5 m/det dengan arah angin

dominan dari arah 50o

sampai 100o, dan September-Oktober-November sebesar 8.3 m/det

dengan arah angin dominan dari arah nol derajat dan 150o.

Nilai tekanan dan kelembaban relatif mencapai rata-rata maksimum sebesar 1011

hPa dan 73.4% berturut-turut seperti yang terlihat pada Gambar 6. Keadaan tersebut terjadi

pada musim kemarau yaitu bulan Juni-Juli-Agustus pada saat konsentrasi PM10 mencapai

nilai minimum. Hasil lengkap untuk konsentrasi PM10 terlihat pada Tabel 3.

Dengan demikian dari keseluruhan diperoleh hasil yang signifikan bahwa

konsentrasi PM10 rata-rata maksimum 38.36 µg/m3 terjadi pada saat musim transisi (Maret-

April-Mei) dengan kecepatan angin minimum rata-rata 6 km/jam, dan arah angin berasal

dari arah Barat Laut dan Timur secara bergantian. Pada saat yang sama, suhu rata-rata

mencapai 29°C, tekanan rata-rata 1009 hPa dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 78%.

Sementara konsentrasi PM10 rata-rata minimum 32.82 µg/m3 terjadi pada saat musim

kering (Juni-Juli-Agustus) dengan kecepatan angin rata-rata maksimum 8.5 km/jam, arah

angin berasal dari arah Timur, dengan suhu rata-rata 28°C, tekanan rata-rata 1011 hPa, dan

kelembaban relatif rata-rata sebesar 73%. Untuk melengkapi analisa dihitung korelasi

antara paramater meteorologi (kecepatan dan arah angin, tekanan, kelembaban dan suhu)

dengan konsentrasi PM10, dan hasil lengkap pada Tabel 4.

Dalam penelitian ini parameter meteorologi yang paling berpengaruh terhadap

konsentrasi PM10 adalah kecepatan angin, karena dari hasil didapat konsentrasi PM10

maksimum terjadi pada saat kecepatan angin minimum.

Kesimpulan yang sama telah dinyatakan sebelumnya oleh Proias T., et al, 2010,

dimana disebutkan bahwa arah angin tidak berkorelasi secara signifikan terhadap nilai rata-

rata harian konsentrasi PM10, dan disimpulkan hanya kecepatan angin yang berkorelasi

secara baik seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 7. Itulah sebabnya dalam penelitian

tersebut digunakan kecepatan angin rata-rata per jam untuk memprediksi nilai konsentrasi

rata-rata harian PM10.

Page 159: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 149 ~

022.5 45

67.5 90112.5 135

157.5 180202.5 225

247.5 270292.5 315

337.5 360

WIND DIRECTION (0)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

PERC

ENTA

GE (%

)

0 22.545 67.5

90 112.5135

157.5180

202.5225

247.5270

292.5315

337.5360

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Gambar 7. Presentasi dari hari untuk tahun 2001-2003 dalam hubungannya dengan arah

angin pada saat munculnya konsentrasi PM10 maksimum (Sumber: Papanastasiou D. K., et

al., 2003)

Hasil lain dalam penelitian ini menunjukkan bahwa parameter suhu dan tekanan

tidak begitu banyak berpengaruh terhadap konsentrasi PM10. Meskipun dalam penelitian

lain perubahan suhu dapat menjelaskan bagian penting dari varians konsentrasi PM10.

Diperoleh hasil bahwa suhu udara berhubungan dengan tekanan udara dan akan

berpengaruh terhadap dinamika atmosfer yang selanjutnya mengakibatkan perubahan

kestabilan atmosfer dalam sistem pergerakan udara, baik dalam kondisi tetap ataupun

berubah. Semua ini berkontribusi terhadap konsentrasi PM10, sehingga suhu dapat

dianggap sebagai salah satu prediktor konsentrasi PM10 (Holst, J., et al., 2008; Van der

Wal, et al., 2000). Dalam penelitian tersebut ditemukan hasil bahwa perbedaan antara nilai

suhu maksimum dan minimum berkorelasi secara signifikan terhadap konsentrasi PM10

rata-rata harian dan sehari sebelumnya.

KESIMPULAN

Dari hasil keseluruhan dapat dilihat bahwa konsentrasi PM10 rata-rata maksimum

terjadi pada saat musim transisi (Maret-April-Mei) dengan kecepatan angin mencapai

minimum, dan arah angin berasal dari arah Barat Laut dan Timur secara bergantian.

Sedangkan konsentrasi PM10 rata-rata minimum terjadi pada saat musim kering (Juni-Juli-

Agustus) dengan kecepatan angin rata-rata maksimum, dan arah angin berasal dari arah

Timur, Parameter meteorologi yang paling signifikan berpengaruh terhadap konsentrasi

PM10 adalah kecepatan angin.

Page 160: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 150 ~

DAFTAR RUJUKAN

Ana, S., Roberto M., Alejandro, V, F., Juan, C. G. H., María, T, Z. Meteorological factors

for PM10 concentration levels in Northern Spain, Geophysical Research Abs. Vol. 15,

EGU2013-13746, 2013.

Barmpadimos, I., C. Hueglin, J. Keller, S. Henne, and A. S. H. Prevot. Influence of

meteorology on PM10 trends and variability in Switzerland from 1991 to 2008,

Atmos. Chem. Phys., 11, 1813–1835, 2011.

Doreena, D., Mohd, Talib L., Hafizan, J., Ahmad Zaharin A., and Sharifuddin M. Z. An

assessment of influence of meteorological factors on PM10 and NO at selected

stations in Malaysia, Sustain. Environ. Res., 22 (5), 305-315, 2012.

Holst, J., Mayer, H., Holst, T. Effect of meteorological exchange conditions on PM10

concentration, Meteorologische Zeitschrift, Vol. 17, No. 3, pp. 273-282, 2008.

Papanastasiou D.K., Melas D., Zerefos C.F. Relationship of Meteorological Variables and

Pollution with PM10 Concentrations in an Urban Area. 7th International Conference

on Applications of Natural, Technological and Economical Sciences. Szombathely,

Hungary. 2003.

Proias T., Nastos, P. T., Larissi, I. K., Paliatsos, A. G. PM10 Concentrations Related to

Meteorology in Volos, Organized By The Hellenic Physical Society with The

Cooperation of The Physics Departments of Greek Universities: 7th

International

Conference of The Balkan Physical Union. AIP Conference Proceedings, Greece,

Vol., 1203, pp. 1091-1096, 2010.

Pey, J., Querol, X., Alastuey, A., Forastiere, F., Stafoggia, M. African dust outbreaks over

the Mediterranean Basin during 2001-2011: PM10 concentrations, phenomenology

and trends, and its relation with synoptic and mesoscale meteorology, Atmospheric

Chemistry and Physics, Vol. 13, Issue 3, pp.1395-1410, 2013.

Suharsono, H. Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Polusi Udara. Thesis, Fakultas Pasca

Sarjana Institut Pertanian Bogor. 1985.

Sait E., Baysal, A., Akba O., Merdivan M., and Hamamci C. Relationship Between

Wintertime Atmospheric Particulate Matter and Meteorological Conditions in

Diyarbakir (Turkey), Asian Journal Of Chemistry, Vol. 19, No. 3, 1703-1708, 2007.

Unal, Y, S., Toros, H., Deniz, A., Incecik, S. Influence of Meteorological Factors and

Emission Sources on Spatial and Temporal Variations of PM10 Concentrationsi in

Page 161: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 151 ~

Istanbul Metropolitan Area, Atmospheric Environment, Vol. 45, Issue 31, P. 5504-

5513, 2011.

Van der Wal J.T., Janssen L.H. Analysis of spatial and temporal variations of PM10

concentrations in the Netherlands using Kalman filtering. Atmospheric Environment,

34, 3675 – 3687, 2000.

Page 162: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 152 ~

Lampiran

Tabel 1. Konsentrasi PM10 (µg/m3) rata-rata tiga bulanan (kiri) dan suhu rata-rata tiga

bulanan (kanan) tahun 2009-2011.

Tabel 2. Kecepatan angin (m/det) rata-rata tiga bulanan (kiri) dan arah angin (0) rata-rata

tiga bulanan (kanan) tahun 2009-2011.

Tabel 3. Tekanan (hPa) rata-rata tiga bulanan (kiri) dan kelembaban relatif (%) rata-rata

tiga bulanan (kanan) tahun 2009-2011.

Tabel 4. Nilai koefisien korelasi antara kecepatan angin (KA), arah angin (AA), tekanan

(P), kelembaban relatif (RH), dan suhu (T) dengan konsentrasi PM10 (Kons), rata-rata tiga

bulanan tahun 2009-2011.

KA-Kons AA-Kons P-Kons RH-Kons T-Kons

DJF 0,5 0,4 0,3 -0,2 0,5

MAM 0,7 0,6 -0,4 -0,4 0,2

JJA -0,6 0,5 -0,3 -0,2 0,4

SON 0,4 0,5 0,2 0,3 -0,3

DJF MAM JJA SON

Max 84.9 121.4 81.3 106.1

Min 12.5 4.7 8.2 4.1

Rata-

rata

34.8 38.4 32.8 36.9

DJF MAM JJA SON

Max 30.7 31.2 30.7 31.5

Min 26.3 25.9 26.0 26.5

Rata-

rata

28.3 29.1 28.9 29.4

DJF MAM JJA SON

Max 23.6 25.3 20.4 27.1

Min 1.6 2.0 1.7 1.6

Rata-

rata

7.1 6.0 8.5 8.3

DJF MAM JJA SON

Arah

terbanyak

250-

350

250-

350 dan

0-150

50-

100

0-

150

DJF MAM JJA SON

Max 1012 1014 1013 1016

Min 1004 1006 1009 1005

Rata-

rata

1009 1009 1011 1010

DJF MAM JJA SON

Max 87.6 89.7 89.9 87.3

Min 65.9 66.1 64.2 57.9

Rata-

rata

79.1 78.1 73.4 74.4

Page 163: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 153 ~

DEVIASI TEMPERATUR VIRTUAL DALAM PROSES

EVAPORASI DAN KONDENSASI DI ATMOSFER

KOTOTABANG PADA CAMPAIGN PERIOD

Ina Juaeni

Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer LAPAN

Jl. dr.Junjunan 133, Bandung, 40173 Telp. (022)6037445, 6012602; Fax. (022)6037443

e-mail : [email protected]

Abstract

Good and thorough knowledge of every stage of the water cycle in the atmosphere will be

very meaningful for the development of atmospheric science itself and for the development

of various methods of weather/climate prediction. In line with the above statement, this

research have a major focus on two important stages in the water cycle on Earth such as

the process of evaporation and condensation that occurs in Kototabang. Evaporation and

condensation processes associated with the formation of clouds and rain related with

changes in temperature. Meanwhile the real temperature (T) is proportional to the virtual

temperature (Tv) then the convection activity can be monitored via the virtual temperature

changes. Under period study (November 2002, April-May 2004 and November-December

2005) virtual temperature deviation (positive or negative) are not positive linearly

correlated with the rainfall. The correlation coefficient between rainfall and virtual

temperature deviation generate a value of -0.33. This is presumably because there are

convection cells that had formed earlier. Rain produced the first cell occurs during the

process of evaporation and condensation takes place on the second cell.

Keywords: virtual temperature, evaporation, condensation, convection cell

Abstrak

Pengetahuan yang baik dan menyeluruh terhadap setiap tahapan dalam siklus air di

atmosfer akan sangat berarti bagi pengembangan sains atmosfer itu sendiri maupun

sebagai input pengembangan berbagai metode prediksi cuaca/iklim. Sejalan dengan

pernyataan di atas, dilakukan penelitian ini dengan penekanan pada dua tahap penting

dalam siklus air di bumi yaitu proses evaporasi dan kondensasi yang terjadi di

Kototabang. Proses evaporasi dan kondensasi yang berkaitan dengan pembentukan awan

dan hujan berkaitan dengan perubahan temperatur. Sementara itu temperatur ril (T )

sebanding dengan temperatur virtual (Tv) maka aktivitas konveksi dapat dipantau melalui

perubahan temperatur virtual. Pada periode yang diteliti (November 2002, April-Mei 2004

dan November-Desember 2005) deviasi temperatur virtual (positif atau negatif) tidak

berkorelasi linier positif dengan hujan. Koefisien korelasi antara curah hujan dengan

deviasi temperatur virtual menghasilkan nilai sebesar -0,33. Hal ini diduga karena ada sel

konveksi yang sudah terbentuk sebelumnya. Hujan yang dihasilkan sel pertama terjadi

pada saat proses evaporasi dan kondensasi sel kedua berlangsung.

Kata kunci: temperatur virtual, evaporasi, kondensasi, sel konveksi

Page 164: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 154 ~

1. PENDAHULUAN

Ada empat proses yang terlibat dalam siklus air di atmosfer. Yang pertama adalah

evaporasi (termasuk didalamnya evapotranspirasi yaitu evaporasi dari tanaman),

kondensasi, presipitasi dan koleksi. Evaporasi atau penguapan terjadi ketika air di

permukaan sungai, danau atau lautan yang dipanasi matahari berubah wujud menjadi uap.

Uap hasil evaporasi terangkat ke udara, lalu mengalami penurunan suhu, mengalami

perubahan wujud lagi menjadi cair. Proses ini disebut kondensasi. Kumpulan tetes air hasil

kondensasi membentuk awan. Presipitasi akan terjadi jika jumlah air yang terkondensasi

sudah cukup jumlahnya sehingga udara tidak dapat menahannya lagi. Air yang jatuh

kembali ke bumi akan berbentuk hujan, butiran es atau salju. Air hujan akan kembali

ketempat berkumpulnya semula (kolisi) yaitu sungai, danau atau laut. Siklus air seperti

diuraikan di atas sangat besar peranannya dalam mengontrol kondisi cuaca dan iklim di

bumi. Gangguan yang terjadi terhadap salah satu tahapan siklus akan berpengaruh, baik

besar atau kecil terhadap tahap lainnya. Dengan demikian pengetahuan yang baik dan

menyeluruh terhadap setiap tahapan tersebut akan sangat berarti bagi pengembangan sains

atmosfer itu sendiri maupun sebagai input pengembangan berbagai metode prediksi

cuaca/iklim. Sejalan dengan pernyataan di atas, dilakukan penelitian dengan penekanan

pada dua tahap penting dalam siklus air di bumi yaitu proses evaporasi dan kondensasi.

RASS yang berada di Kototabang mempunyai kemampuan untuk mendukung penelitian

ini, karena menghasilkan data profil temperatur virtual.

Pada beberapa dekade terakhir, radio acoustic sounding systems (RASS) telah

berkembang menjadi piranti yang diperhitungkan dalam mengukur profil vrtikal

temperature. RASS memperoleh profil temperatur virtual dengan menggunakan radar

Doppler yang mengukur penjalaran kecepatan gelombang suara sebagai fungsi dari

temperatur. Sistem yang pertama kali digunakan oleh Marshall et al. (1972) dan Frankel

et al. (1977) berdasarkan radar yang beroperasi hanya pada panjang gelombang beberapa

meter. Dilanjutkan oleh May et al. (1990), Carter et al. (1995) dan Angevine et al.

(1998) dengan radar angin UHF dalam pengamatan lapisan batas atmosfer. RASS

kemudian dikembangkan dengan menambahkan sumber akustik yang tersebar sehingga

memperluas area pengukuran temperatur. Pengaruh angin dan gradien temperatur pada

struktur spasial pantulan radar juga telah diperhitungkan.

Page 165: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 155 ~

2. TINJAUAN PUSTAKA

Dua proses dalam siklus air di atmosfer yaitu evaporasi dan kondensasi

diidentifikasi melalui profil temperatur. Data profil temperatur banyak digunakan untuk

memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang fenomena meteorologis atau untuk

mengidentifikasi gangguan temperatur akibat gelombang gravitas atau dapat juga

digunakan untuk mengamati lapisan inversi yang berkaitan dengan terperangkapnya

beberapa unsur kimia.

Teknik observasi untuk memeperoleh data profil temperatur terbagi menjadi dua

jenis, yaitu teknik pengukuran langsung atau pengukuran insitu. Untuk teknik ini biasanya

digunakan Radiosonde. Teknik kedua adalah teknik penginderaan jauh. Untuk teknik ini

biasanya digunakan Radiometer atau Radio Acoustic Sounding System (RASS). RASS

merupakan gabungan antara teknik radio dan akustik untuk memperoleh pengamatan profil

temperatur yang kontinu.

Gambar 1: Prinsip dasar RASS

Page 166: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 156 ~

Gelombang suara dengan kecepatan tertentu dipancarkan oleh radar di permukaan.

Gelombang suara tersebut dipantulkan kembali ke permukaan oleh acoustic wave front.

Kecepatan gelombang suara (Ca) yang diterima kembali oleh radar sebanding dengan

temperatur virtual (Tv). Pada pendekatan pertama digunakan persamaan:

2aC

γR

MvT

Dengan R adalah konstanta gas, M adalah berat molekul udara kering dan γ =

Cp/Cv adalah perbandingan panas spesifik pada tekanan tetap dan panas spesifik pada

volume tetap (Görs-dorf and Lehmann, 2000). Untuk memperoleh temperature RASS

biasanya digunakan 2

21

047,20 ,)(047,20

CaTvTvCa untuk M =28,96 g/mol

dan γ = 1,4 (meskipun konstanta ini tidak konstan).

3. DATA DAN METODE

3.1 Data dan spesifikasi peralatan

Untuk keperluan penelitian ini digunakan data temperatur virtual (oK) dari RASS

(Radio Acoustic Sounding System) setiap 9 menit 11 detik dan setiap beda ketinggian 150

m. Untuk melengkapi analisis digunakan juga data angin vertikal dari EAR (Equatorial

Atmosphere Radar) dan data curah hujan dari AWS. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data-data untuk Kototabang (100,32oBT; 0,20

oLS, 865 m di atas

permukaan laut) pada 2 sampai 28 November 2002, 10 April sampai 5 Mei 2004 dan 24

November sampai 23 Desember 2005. Data AWS tersedia di http://www.rish.kyoto-

u.ac.jp/ear. Periode data tidak kontinu karena disesuaikan dengan ketersediaan data RASS

yang memang hanya dioperasikan pada saat-saat tertentu.

RASS yang dioperasikan dengan EAR dapat mengukur profil temperatur dengan

resolusi yang sangat tinggi. Sistem RASS terdiri dari beberapa buah speaker dan radar

profiling EAR. Speaker mentransmisikan gelombang akustik pada frekuensi 100 Hz.

Karena temperatur virtual sebanding dengan kecepatan gelombang akustik, maka

temperatur virtual dapat ditentukan dengan persamaan 1 (Angevine et al. , 1998 dan

Angevine, 2000):

2

21

047,20 ,)(047,20

CaTvTvCa (1)

Page 167: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 157 ~

dengan: Ca adalah kecepatan udara dan Tv adalah temperatur virtual

3.2 Metodologi

Dari studi pustaka di atas dinyatakan bahwa proses evaporasi dan kondensasi yang

berkaitan dengan pembentukan awan dan hujan juga berkaitan dengan perubahan

temperatur. Dengan demikian maka aktivitas konveksi di atas Kototabang dapat dipantau

melalui perubahan temperatur (T) terhadap waktu. Karena RASS hanya memberikan data

temperatur virtual (Tv) maka investigasi terhadap aktivitas konveksi dilakukan melalui Tv.

Adapun relasi antara Tv dan T adalah:

)61.01( wTTv (Bailey, 2000) (2)

Dengan ur virtual temperatvT

r temperatuT

iomixing ratw

Dari persamaan di atas nampak bahwa temperatur virtual berbanding lurus dengan

temperatur udara ril. Artinya bahwa temperatur virtual bisa digunakan sebagai indikator

terjadinya perubahan temperatur udara ril akibat aktivitas mikrofisika

(evaporasi/kondensasi). Dari temperatur virtual ditentukan deviasi temperatur virtual.

Deviasi positif berkaitan dengan proses kondensasi sedangkan deviasi negatif berkaitan

proses evaporasi. Deviasi adalah simpangan data terhadap rata-ratanya yang dihitung

dengan:

)(),( zTtzTDeviasiTv (3)

Data temperatur virtual tersedia sampai ketinggian ~ 30 km, tetapi untuk keperluan

penelitian ini, uraian dan gambar temperatur virtual dibatasi sampai ketinggian ~ 10 km

karena aktivitas konveksi terbesar terjadi dalam rentang ketinggian tersebut.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Aktivitas konveksi diidentifikasi dari temperatur virtual melalui deviasi terhadap

rata-ratanya. Untuk periode 2002, deviasi temperatur virtual ditampilkan pada Gambar 2

kiri dan Gambar 2 kanan. Gambar 2 kiri untuk profil deviasi temperatur virtual dari

permukaan sampai ketinggian 10 km dan Gambar 2 kanan untuk profil deviasi temperatur

virtual dari permukaan sampai ketinggian 5 km. Pada dua gambar tersebut tampak ada

deviasi yang positif (kuning sampai merah) dan ada deviasi yang negatif (hijau sampai

Page 168: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 158 ~

biru), namun deviasi positif lebih dominan. Deviasi positif artinya terjadi pelepasan panas

dari kolom konveksi ke lingkungan atau berkaitan dengan aktifnya proses kondensasi.

Ketika profil deviasi di fokuskan pada lapisan permukaan sampai 5 km (Gambar kanan),

selain deviasi positif pada tanggal 10 sampai 19 November dan 23 sampai 28 November

tampak juga adanya deviasi negatif atau proses evaporasi pada tanggal 2 s/d 7 November

pada ketinggian 1,5 s/d 5 km , 9 s/d 10 November dan 19 s/d 23 November pada

ketinggian 1,5 s/d 2,5 km.

Gambar 2: Deviasi temperatur virtual pada 2 sampai 28 November 2002

untuk ketinggian 1,5 km s/d 10 km (kiri) dan untuk ketinggian 1,5 km

s/d 5 km (kanan)

Identifikasi aktivitas konveksi dari deviasi temperatur virtual untuk tahun 2004

ditunjukkan pada Gambar 3 kiri dan Gambar 3 kanan. Pada periode April dan Mei 2004,

deviasi negatif lebih dominan dibandingkan deviasi positif atau proses evaporasi lebih

dominan dibandingkan proses kondensasi (Gambar 3 kiri). Tetapi pada Gambar 3 kanan,

deviasi positif tampak pada tanggal 12 sampai 13 dan 24 sampai 29 April di ketinggian 1,5

sampai ~5 km.

Gambar 3: Deviasi temperatur virtual pada 10 April-5 Mei 2004 untuk ketinggian

1,5 km s/d 10 km (kiri) dan untuk ketinggian 1,5 km s/d 5 km (kanan)

Page 169: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 159 ~

Kasus terakhir yaitu data 24 November sampai 23 Desember 2005, proses

evaporasi dan kondensasi terkonsentrasi pada periode tertentu (Gambar 4 kiri dan Gambar

4 kanan).

Gambar 4: Deviasi temperatur virtual pada 10 November sampai 9 Desember 2005

untuk ketinggian 1,5 km s/d 10 km (kiri) untuk ketinggian 1,5 km s/d 5 km

(kanan)

Dari Gambar 4, deviasi temperatur virtual yang terjadi di lapisan 5 km lebih

sampai ketinggian 10 km, juga nampak di ketinggian < 5 km. Terjadi deviasi positif pada

tanggal 2 Desember sampai 5 Desember dan tanggal 14 sampai 23 Desember 2005.

Deviasi temperatur virtual pada periode ini baik yang positif maupun yang negatif lebih

tinggi dibandingkan dua periode yang lain.

4.2 Pembahasan

Pada kasus tahun 2002 dan 2004, pada saat terjadi deviasi (positif atau negatif) Tv,

tidak bersesuaian dengan kejadian hujan. Sedangkan pada kasus tahun 2005, pada deviasi

negatif curah hujannya lebih kecil dibandingkan pada deviasi positif. Ini menunjukkan

deviasi temperatur virtual (positif atau negatif) tidak berkorelasi linier positif dengan

hujan. Hal ini diduga karena terbentuk lebih dari satu sel konveksi. Koefisien korelasi

antara curah hujan dengan deviasi temperatur virtual menghasilkan nilai sebesar -0,33.

Hujan yang dihasilkan sel pertama terjadi pada saat proses evaporasi dan kondensasi sel

kedua berlangsung (atau sesuai periode pengamatan di atas).

Pada kasus November tahun 2002 dan April-Mei 2004, pada semua deviasi (positif

atau negatif) Tv, tercatat ada hujan dengan pola yang tidak teratur (Gambar 5, kiri dan

tengah). Sedangkan pada kasus tahun 2005 (Gambar 5, kanan), pada deviasi negatif

curah hujannya lebih kecil dibandingkan pada deviasi positif.

Page 170: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 160 ~

Gambar 5: Intensitas curah hujan di Kototabang berdasarkan AWS pada November

2002, April-Mei 2004 dan November-Desember 2005

Analisis di atas dikonfirmasi dengan angin vertikal (Gambar 6) dari

http://www.rish.kyoto-u.ac.jp/ear. Angin vertikal menunjukkan bahwa di Kototabang pada

November 2002 didominasi oleh updraft yang lemah (0,0 - 0,6 m/detik) terutama dari 1,5

km sampai 9 km, pada ketinggian > 9 km nampak downdraft yang cukup intensif tetapi

dengan kekuatan lemah. Angin vertikal menunjukkan bahwa di Kototabang pada April-

Mei 2004 didominasi oleh updraft yang lemah (1 m/detik) dan downdraft yang lemah (1

m/detik). Kondisi yang sama juga diperlihatkan oleh data angin vertikal tahun 2005.

Perbandingan pola spasial deviasi temperatur virtual dengan angin vertikal tidak

menunjukkan konsistensi. Pada saat deviasi Tv mengindikasikan adanya evaporasi, angin

vertikal tidak selalu menunjukkan adanya updraft. Demikian pula ketika deviasi Tv

mengindikasikan terjadi kondensasi, angin vertikal kadang positif kadang negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa pengurangan Tv atau evaporasi terjadi bukan dalam arah vertikal.

Ini semakin menguatkan dugaan bahwa ada sel konveksi yang tumbuh dan berkembang

serta menghasilkan hujan pada saat evaporasi dan kondensasi sel konveksi kedua

berlangsung.

(a) (b) (c)

Gambar 6: Angin vertikal pada ketinggian 1500 sampai 5000 m pada (a) November

2002, (b) April- Mei 2004 dan (c) November-Desember 2005

W: Angin vertikal

November 2002

Keti

ng

gia

n (

m)

1 6 11 16 21 261500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

W: Angin vertikal

April-Mei 2004

Keti

ng

gia

n (

m)

10 April 14 19 24 29 4 Mei 91500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

W: Angin vertikal

Nov-Des 2005

Keti

ng

gia

n (

m)

29 Nov. 4 9 14 19 Des.1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

-0.4

-0.3

-0.2

-0.1

0

0.1

0.2

0.3

0.4

Page 171: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 161 ~

Penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian yang menyangkut sistem konveksi bukan

penelitian yang sederhana. Hasil penelitian ini merupakan gambaran umum proses

pembentukan awan dan hujan di Kototabang. Kompleksitas analisis pembentukan awan

dan hujan memerlukan intensifikasi penelitian proses serupa.

5. KESIMPULAN

Aktivitas konveksi dapat diidentifikasi melalui perubahan temperatur virtual.

Akantetapi pada periode yang diteliti (November 2002, April-Mei 2004 dan November-

Desember 2005) deviasi temperatur virtual (positif atau negatif) tidak berkorelasi linier

positif dengan hujan. Koefisien korelasi antara curah hujan dengan deviasi temperatur

virtual menghasilkan nilai sebesar -0,33. Hujan terjadi pada saat evaporasi dan

kondensasi masih berlangsung. Ini menunjukkan bahwa terbentuk lebih dari satu sel

konveksi yang menghasilkan hujan. Sel konveksi sebelumnya yang menghasilkan hujan

pada saat sel konveksi kedua mengalami evaporasi dan kondensasi. Jika periode

pengamatan diperpanjang bisa saja teridentifikasi sel-sel konveksi sebelumnya atau

berikutnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Drs. Sri Kaloka dan Prof. T. Tsuda yang telah membuka

kesempatan penggunaan data-data di Kototabang oleh tim penelitian ini pada tahun 2010.

Selanjutnya, terima kasih kepada PSTA, staf EAR di RISH Kyoto serta pimpinan dan staf

EAR di Kototabang atas dukungannya.

DAFTAR RUJUKAN

Angevine, W.M., A.W. Grimsdell, L.M. Hartten and A.C. Delany. The Flatland boundary

layer experiments. Bull. Amer. Meteor. Soc., 79, 419-31, 1998.

Angevine, W. M., P. S. Bakwin, and K. J. Davis. Wind profiler and RASS measurements

compared with measurements from a 450-m-tall tower. J. Atmos. Oceanic Technol.,

15, 818–825, 1998.

Page 172: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 162 ~

Angevine, W.M. Radio acoustic sounding system (RASS) applications and limitations.

Geoscience and Remote Sensing Symposium, Proceedings IGARSS, IEEE

Conference Publications Volume: 3, 2000.

Bailey, Desmond T. Upper-air Monitoring, Meteorological Monitoring Guidance for

Regulatory Modeling Applications. John Irwin, Research Triangle Park, NC: United

States Environmental Protection Agency. pp. 9–14. EPA-454/R-99-005, 2000.

Carter, D. A., K. S. Gage, W. L. Ecklund, W. M. Angevine, P. E. Johnston, A. C. Riddle, J.

Wilson, and C. R. Williams. Developments in UHF lower tropospheric wind

profiling at NOAA‟s Aeronomy Laboratory. Radio Sci., 30, 977–1001, 1995.

Emmanouil N. Anagnostou. A convective/stratiform precipitation classification algorithm

for volume scanning weather radar observations, Meteorological Applications

(Cambridge University Press) 11, 2004.

Frankel, M. S., N. J. F. Chang, and M. J. Sanders. A highfrequency Radio Acoustic

sounder for remote measurement of atmospheric winds and temperature. Bull. Amer.

Meteor. Soc.,58, 928–934, 1977.

Görs-dorf, U., and V. Lehmann, 2000: Enhanced accuracy of RASS measured

temperatures due to an improved range correction. J. Atmos. Oceanic Technol., 17,

406–416.

Marshall, J. M., A. M. Peterson, and A. A. Barnes. Combined radar-acoustic sounding

system. Appl. Opt., 11, 108–112, 1972.

May, P. T. The accuracy of RASS temperature measurements. J. Appl. Meteor., 28, 1329–

1335, 1989.

Page 173: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 163 ~

PELUANG TERJADINYA AWAN RENDAH

DAN AWAN MENENGAH SAAT TERJADI LA NINA

Juniarti Visa dan Iis Sofiati

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN Bandung

Jl. dr. Djundjunan 133, Telp:022-6037445 Fax:022-6037443, Bandung-40173

e-mail: [email protected] ; [email protected]

Abstrack

In this paper carried out research on the possibility of low clouds and high clouds during a

La Nina in Kototabang-region of West Sumatra. The data analysis is used as the data of the

tool that generates the data cloud Ceilometer low and medium-scale cloud 2010-2012

daily. SOI and data to determine the incidence of La Nina. From the analysis of the data

obtained by low clouds that occur in the wet season (DJF = Dec, Jan, Feb) during the years

2010 to 2012 obtained an average chance of occurrence of low cloud at 32.13%. Then to

the average incidence of low cloud opportunities in transitional seasons (MAM = Mart,

Apr, May) of 33.3%. And in the dry season the average chance of occurrence of low

clouds and 33.33% in the transitional seasons (SON = Sept, Oct., Nov.) also amounted to

33.3%. Further to medium clouds in the wet season (DJF), transitional season (MAM), dry

season (JJA) and the transitional seasons (SON) have an average chance of occurrence at

middle cloud by 33.3% The results showed the current La Nina there are lots of low clouds

and high clouds in Kototabang

Keyword: La-Nina, Low clouds, middle clouds, season and SOI

Abstrak

Dalam tulisan ini dilakukan penelitian mengenai peluang terjadinya awan rendah dan awan

menengah saat terjadi La Nina di daerah Kototabang-Sumatra Barat. Data yang digunakan

sebagai bahan analisis adalah data dari alat Ceilometer yang menghasilkan data awan

rendah dan awan menengah skala harian tahun 2010-2012. Dan data SOI untuk

mengetahui kejadian La Nina. Awan rendah yang mempunyai ketinggian dasar awan

kurang dari 2 km, dan awan menengah mempunyai ketinggian dasar awan antara 2 sampai

6 km. Sedangkan untuk menentukan peluang terjadinya awan rendah dan awan menengah

dilakukan dengan melihat frekuensi dan peluang kemunculan terjadinya awan rendah dan

awan menengah. Dari hasil analisis data diperoleh awan rendah yang terjadi pada musim

basah (DJF=Des, Jan, Feb) selama tahun 2010 – 2012 diperoleh rata-rata peluang kejadian

awan rendah sebesar 32.13 %. Kemudian untuk rata-rata peluang kejadian awan rendah

pada musim peralihan (MAM= Mart, Apr, Mei) sebesar 33.3 %. Dan pada musim kering

rata- rata peluang kejadian awan rendah 33.33 % dan pada musim peralihan (SON= Sept,

Okt, Nov) juga sebesar 33.3 %. Selanjutnya untuk awan menengah pada musim

basah(DJF), musim peralihan (MAM), musim kering(JJA) dan musim peralihan(SON)

mempunyai rata-rata peluang kejadian awan menegah sama sebesar 33.3%. Hasil

penelitian menunjukan pada saat La Nina banyak terdapat awan rendah dan awan

menengah di Kototabang.

Kata kunci: Awan rendah, awan menengah, La-Nina, musim dan SOI.

Page 174: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 164 ~

1. PENDAHULUAN

Atmosfer terdiri dari banyak lapisan. Tiap lapisan mempunyai karakteristik yang

berbeda-beda. Demikian juga halnya atmosfer diatas wilayah Indonesia memiliki

karakteristik yang bebeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa lainnya. Hal ini

dimungkinkan karena letak geografisnya yang unik, diapit antara dua samudera luas

(Pasifik dan Hindia) yang dikenal sebagai benua maritim. Wilayahnya yang dua pertiga

terdiri dari lautan dan tersebar diantara kurang lebih 17.000 pulau (sebagai suatu kawasan

kepulauan) memungkinkan kawasan ini sebagai penyimpan panas baik berupa panas

sensibel maupun laten terbesar bagi pembentukan awan-awan raksasa yang dikenal sebagai

awan Cb. (Sofiati, 2012)

Menurut BMKG, terjadinya penyimpangan iklim yang memicu terjadinya cuaca

ekstrim di musim kemarau tidak lepas dari beberapa faktor pengendali curah hujan seperti

memanasnya suhu muka laut di perairan Indonesia. Meningkatnya suhu muka laut di

perairan Indonesia menyebabkan semakin intensifnya proses penguapan dan pembentukan

awan yang menyebabkan terjadinya banyak hujan. Selain suhu permukaan laut, kondisi

cuaca ekstrem di sebagian besar wilayah Indonesia akhir-akhir ini terjadi akibat adanya

fenomena faktor global La Nina. La Nina menyebabkan penumpukan massa udara yang

banyak mengandung uap air di atmosfer Indonesia, sehingga potensi terbentuknya awan

hujan menjadi semakin tinggi. Akibatnya pada bulan-bulan di pertengahan tahun 2010

yang seharusnya berlangsung musim kemarau kini justru turun hujan deras di berbagai

daerah.

Menurut Tjasyono 1999, awan dibedakan berdasarkan ketinggian dasar awan.

1. awan rendah mempunyai ketinggian dasar awan kurang dari 2 km, biasanya dipakai kata

„Strato‟ atau Stratus‟, misalnya Nimbustratus (Ns), Stratuscumulus (Sc) dan Stratus(St).

2. awan menengah mempunyai ketinggian dasar awan antara 2-6 km biasanya di awali dengan

kata „Alto‟, misalnya Altocumulus (Ac) dan Altostratus (As).

3. awan tinggi mempunyai ketinggian dasar awan diatas 6 km, biasanya ditandai dengan awalan

„Cirrus‟, misalnya Cirrostratus (Cs), Cirrocumulus (Cs) dan Cirrus (Ci).

Hasil prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan

sejumlah lembaga pemantau cuaca dunia seperti NOAA (USA), BOM (Australia), Jamstec

(Jepang) menunjukkan adanya anomali suhu muka laut negatif. Pada bulan Agustus hingga

September 2010 diprediksi terjadi fenomena La Nina moderat, sedangkan pada Oktober

2010 hingga Januari 2011 akan terjadi fenomena La Nina kuat.

Page 175: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 165 ~

Untuk menentukan kejadian La Nina diantaranya dengan melihat nilai SOI yang

dihitung dari perbedaan tekanan udara permukaan bulanan antara Tahiti dan Darwin. Nilai SOI

berkisar antara (-35) dan 35. (BOM, 2011) Nilai SOI positif hingga positif kuat menunjukkan

kejadian dari La Nina, sedangkan nilai SOI negatif hingga negatif kuat menunjukkan kejadian

El Nino (Kirono dalam Prabowo, 2002).

Data SOI dapat diunduh melalui web: http://www.ncdc.noaa.gov/ sehingga dapat

diketahui saat terjadi fenomena La Nina. (Gambar 1). Disini terlihat La Nina terjadi mulai tahun

2010 - Mart 2012. Namun Fadli Syamsuddin dari BPPT mengatakan, bahwa fenomena La

Nina diprediksi berlangsung hingga Juni 2012. La Nina mempengaruhi hujan di wilayah

Indonesia bagian barat. (Kompas.com, 14 Maret 2012). Sedangkan Dodo Gunawan dari

BMKG berpendapat bahwa La Nina sudah berjalan selama 12 bulan dan sudah mencapai

akhir dari periode umum suatu kejadian anomali cuaca. Indikasi berakhirnya La Nina, kata

Dodo, terlihat dari indeks ENSO (El Nino-Southern Oscillation), yaitu penyimpangan suhu

permukaan laut (SST) dan indeks osilasi selatan (SOI) yang menuju ke arah normal. Bulan

Mei 2011 merupakan musim pancaroba atau titik awal perubahan dari kondisi La Nina ke

kondisi normal. Akan tetapi Manajer Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan

Mitigasi Bencana (Geotech) pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Fadli Syamsudin menyampaikan hal yang berbeda. Berdasarkan riset simulasi untuk model

prakiraan cuaca bekerja sama dengan Japan Agency for Marine-Earth Science and

Technology (Jamstec), kondisi La Nina akan terlahir kembali pada Juli 2011. ”Akan terjadi

fenomena reborn, terlahirnya kembali La Nina dalam waktu yang cukup singkat.

(Kompas.com, 17 Juni 2011)

Penelitian (Sofiati,2012) menemukan bahwa kemunculan awan hujan di Kototabang

(0.20°LS, 100.32°BT) ditandai dengan pertumbuhan awan hujan. Dan hujan terjadi rata-

rata pada awan rendah atau awan pada ketinggain dibawah 2 km. Tujuan dari penelitian ini

yakni untuk mengetahui dan menganalisa seberapa besar pengaruh fenomena La Nina

terhadap pertumbuhan awan rendah dan awan menengah di daerah Kototabang – Sumbar

2. DATA DAN METODA

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data awan rendah dan awan menengah

skala harian periode 2010 – 2012, hasil pengamatan dari alat Ceilometer Alat ini berfungsi untuk

mendapatkan ketinggian awan. Diukur mulai dari permukaan sampai dengan dasar awan,

beroperasi secara otomatis dan terus menerus. Di instal di SPD Kototabang (0,2° LS;

100,32° BT) Sumatera Barat. Awan yang dideteksi hingga jangkauan 13 km (43.000 ft). Alat

Page 176: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 166 ~

ini handal untuk diopersikan di segala cuaca, kinerjanya sangat baik dalam visibilitas

vertikal dan deteksi awan saat curah hujan.

Gambar 1: Data dari alat Ceilometer, untuk awan rendah pada ketinggian (0-2) km

Gambar 1, contoh awan rendah pada ketinggian (0-2) km, pada tanggal 13 Desember

2010. Dengan sumbu X menyatakan waktu (local time) dan sumbu Y menyatakan

ketinggian. Pada gambar 1 ini terlihat banyak awan rendah yang cukup tebal terjadi

sepanjang hari.

Gambar 2, Data Ceilometer untuk awan menengah pada ketinggian (2-6) km.

Gambar 2, contoh data yang memperlihatkan awan menengah yang terjadi pada

ketinggian (2-6) km, dimana sumbu X menyatakan waktu (local time) dan sumbu Y

menyatakan ketinggian (height) pada tanggal 11 Januari 2011.

Tahapan dalam penulisan penelitian ini yang pertama difokuskan pada musim

basah(DJF), musim peralihan(MAM), musim kering(JJA) dan musim peralihan(SON).

Dengan menggunakan metoda statistik, mengenai frekuensi dan peluang.

Untuk menentukan frekuensi dan peluang terlebih dahulu dicari :

Page 177: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 167 ~

1. Dalam penelitian ini di fokus pada musim basah (DJF), musim peralihan (MAM)

dan (SON) dan musim kemarau (JJA).

2. Hitung dalam 1 bulan berapa kali awan rendah dan awan menengah

3. Hitung jumlah hari pada musim basah, musim peralihan dan musim kering.

4. Peluang adalh jumlah frekuensi dibagi jumlah hari permusim.

3. HASIL

Dari gambar 3, yang memperlihatkan kejadian La Nina, pokus penelitian kejadian

La Nina pada tahun 2010-2012 dengan nilai SOI rata-rata diatas +20. Pada saat kejadian

La Nina ini di lakukan analisis data dari alat Ceilometer berupa awan rendah dan awan

menengah. Untuk menentukan peluang terjadinya awan rendah dan awan menengah saat

terjadinya fenomena La Nina (lih. gambar 4).

Gambar 3. Kurva SOI, yang memperlihat kejadian La Nina.

Sumber http://www.ncdc.noaa.gov/

Pada tahun 2010 terlihat peluang kejadian awan rendah berkisar antara 30 – 37 %.

Diperoleh dengan cara menjumlahkan berapa kali muncul awan rendah dalam satu bulan

pada musim basah (DJF) kemudian dibagi dengan jumlah hari pada saat musim basah

selama tiga bulan (DJF), sehingga diperoleh peluang setiap bulan pada musim basah.

Dapat dilhat pada gambar 4, selama tahun 2010 kejadian awan rendah berada antara (30 –

37) %. Hal yang sama dilakukan untuk tahun 2011 dan 2012 pada setiap musim.

Sedangkan untuk tahun 2011 peluang kejadian awan rendah maksimum pada bulan

Agustus 2011 sebesar 44.28% dan untuk November 2011 peluang kejadian awan rendah

Page 178: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 168 ~

minimum sebesar 19 %. Tahun 2012 peluang kejadian awan rendah berkisar antara 22%

sampai 37% yang terdapat pada bulan Februari dan bulan Desember.

Gambar 4. Peluang Awan Rendah di Kototabang Saat Terjadi La Nina

Selanjutnya Gambar 5, menunjukkan peluang kejadian awan menengah saat terjadi La

Nina pada tahun 2010 sampai 2012. Proses penentuan peluang kejadian awan menengah

sama dengan proses awan rendah. Sehingga dipoleh peluang kejadian awan menengah

tahun 2010 berkisar antara 27 % sampai 39 %, sedangkan tahun 2011 berkisar dari 16 %

sampai 50% . Untuk tahun 2012 peluang kejadian awan menengah minimum 25 % dan

maksimum 43 % yang terjadi pada bulan Agustus dan November.

Gambar 5. Peluang Awan Menengah di Kototabang Saat Terjadi La Nina

15

20

25

30

35

40

45

50

Des Jan Feb Mar April Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov

Waktu(bulan)

Pelu

an

g(%

)2010

2011

2012

15

20

25

30

35

40

45

50

55

Des Jan Feb Mar April Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov

Waktu(bulan)

Pelu

an

g(%

)

2010

2011

2012

Page 179: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 169 ~

4. PEMBAHASAN

Hasil analisis data diperoleh awan rendah (gambar 4) yang terjadi pada musim

basah (DJF=Des, Jan, Feb) yang terdiri dari 90 hari, dengan frekuensi kemunculan awan

rendah sebanyak 85 kali, untuk musim basah (DJF). Kemudian untuk musim peralihan

(MAM= Mart, Apr, Mei) selama 92 hari, frekuensi kemunculan awan rendah sebanyak 89

kali. Kemudian untuk musim kering (JJA=Jun, Jul, Agt) yang terdiri dari 92 hari dengan

frekuensi kemunculan awan rendah sebanyak76 kali. Selanjutnya musim pealihan (SON=

Sept, Okt, Nov) yang terdiri dari 91 hari dengan frekuensi kemunculan awan rendah

sebanyak 67 kali, peluang kejadian awan rendah dapat dilihat pada tabel 1.

Untuk analisa awan menengah (gambar 5) pada musim basah tahun 2010, sebanyak

90 hari yang terdiri dari bulan Desember 2009, Januari dan Februari 2010. Dan ternyata

awan menengah yang muncul selama bulan basah (DJF) mempunyai frekuensi kemunculan

awan menengah sebanyak 75 kali. Selanjutnya untuk musim peralihan (MAM=Mart, Apr,

Mei) ada sebanyak 92 hari dengan kemunculan awan menengahnya sebanyak 65 kali. Dan

untuk musim kering (Jun, Jul, Agt) selama 92 hari dengan frekuensi kemunculan awan

menengah sebanyak 68 kali. Musim peralihan berikutnya (SON=Sept, Okt, Nov).

Frekuensi awan menengah pada musim peralihan ini terjadi sebanyak 52 kali, sedangkan

pada musim peralihan(SON) ini terdiri dari 91 hari. Uraian kejadian awan menengah dapat

dilihat pada tabel 2

Pada bulan September peluang kejadian awan menengah sebanyak 32.69 %, begitu juga

untuk bulan Oktober sama sebesar 32.69 %, sedangkan untuk bulan November peluang

kejadian awan menengah terjadi sebanyak 34.61 %.

Tabel 1: Peluang Awan Rendah Pada Setiap Musim

Musim Basah (DJF) M. Peralihan (MAM) M. Kering (JJA) M. Peralihan

(SON)

Jml hr 90 Jml hr 92 Jml hr 92 Jml hr 91

Frek 85 kali Frek 89 kali Frek 76 kali Frek 67 kali

Peluang Peluang Peluang Peluang

Des 32.9 % Mart 34.8 % Juni 36.8 % Sept 34.32 %

Jan 34.1 % April 32.58 % Juli 30.26 % Okt 32.83 %

Feb 32.9 % Mei 32.58 % Agt 32.89 % Nov 32.83 %

Page 180: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 170 ~

Tabel 2: Peluang Awan Menengah Pada Setiap Musim

Musim Basah (DJF) M. Peralihan (MAM) M. Kering (JJA) M. Peralihan

(SON)

Jml hr 90 Jml hr 92 Jml hr 92 Jml hr 91

Frek 75 kali Frek 65 kali Frek 68 kali Frek 52 kali

Peluang Peluang Peluang Peluang

Des 36 % Mart 38.46 % Juni 35.29 % Sept 32.69 %

Jan 33.3 % April 22.84 % Juli 26.47 % Okt 32.69 %

Feb 30.6 % Mei 27.69 % Agt 38.23 % Nov 34.61 %

5. KESIMPULAN.

Dari hasil penelitian selama periode 2010 – 2012 pada saat terjadi fenomena La

Nina, menghasilkan banyak awan-awan rendah yang menghasilkan hujan juga awan-awan

menengah. Disebabkan La Nina terjadi saat permukaan laut di pasifik tengah dan timur

suhunya lebih rendah dari biasanya pada waktu-waktu tertentu. Dan tekanan udara

kawasan pasifik barat menurun yang memungkinkan terbentuknya awan. Sehingga tekanan

udara di pasifik tengah dan timur tinggi, yang menghambat terbentuknya awan. Sedangkan

di bagian pasifik barat tekanan udaranya rendah yaitu di Indonesia yang memudahkan

terbentuknya awan cumulus nimbus, awan ini menimbulkan turun hujan lebat yang juga

disertai petir. Karena sifat dari udara yang bergerak dari tekanan udara tinggi ke tekanan

udara rendah. Menyebabkan udara dari pasifik tengah dan timur bergerak ke pasifik barat.

Hal ini juga yang menyebabkan awan konvektif di atas pasifik tengah dan timur bergeser

ke pasifik barat.

UCAPAN TERIMAKASIH.

Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada teman-teman di Bidang

Pemodelan Atmosfer yang telah memberikan masukan dan partisipasinya dalam penulisan

makalah ini.

Page 181: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 171 ~

DAFTAR PUSTAKA.

BOM (Bureau of Meteorology). 2011. El Nino, L Nin d n Austr li ’s Clim te. (Diakses

dari www.bom.gov.au pada tanggal 9 September 2011).

Gunawan, D., 2007, Cuaca dan Iklim Indonesia, http:// www. dirgantara-lapan. or.

id/moklim/

http://www.bmkg.go.id/bbmkg_wilayah_2/Lain_Lain/Artikel/

http://www.ncdc.noaa.gov/

Kirono, D.G.C., Hadi, M.P., Nurjani, E.. 2004. Laporan Komprehensif Hasil Penelitian

Hibah Bersaing XI Tahun Anggaran 2003-2004 Pengembangan Sistem Prakiraan

Penyimpangan

Prabowo, M. dan Nicholls, N. (2002) Kapan Hujan Turun ? Dampak Osilasi Selatan di

Indonesia. Brisbane : Publishing Services.

Sofiati. I, 2012. Korelasi Parameter Fisis Awan dengan Curah Hujan di Kototabang-

Sumatera Barat. Laporan program penelitian PSTA 2012.(Tidak dipublikasikan).

Page 182: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 172 ~

IDENTIFIKASI KEJADIAN MONSUN EKSTRIM

DI PULAU JAWA DAN SEKITARNYA

Lely Qodrita Avia

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN

Jl. Dr. Djundjunan - Bandung

email : [email protected]

Abstract

Rainfall is elements of climate in Indonesia has the highest variability compared to the

other climatic elements. The main factors causing seasonal climate variations at Jawa

island is monsoon phenomenon. Comparison between the amount of rainfall in the Asian

monsoon for period of December,January,and February relatively is larger than the

Australian monsoon for period of June, July, and August in Java island. The TRMM

3B43v6 satellite data over the period 1998-2010 as the main data is used in this study.

While ONI (Oceanic Nino Index) and DMI (Dipole Mode Index) data is used as

supporting data. This research was conducted to investigate the characteristics of the

distribution of rainfall during the monsoon period, and to identify the extreme monsoon

events at Java island. The results showed that the incidence of extreme looks the same

between the Asian monsoon and the Australian monsoon in Java occurred in the period

1999, 2002, 2006 and 2008. The results also showed that the incidence of extreme

monsoon seems related to the global phenomenon of ENSO events in the equatorial Pacific

Ocean and the IOD phenomenon in the equatorial Indian Ocean.

Keywords: rainfall, TRMM, monsoon, extreme

Abstrak

Curah hujan sebagai unsur iklim di wilayah Indonesia memiliki variabilitas paling tinggi

dibanding unsur-unsur iklim lainnya. Faktor utama penyebab variasi iklim musiman di

pulau Jawa adalah fenomena monsun. Perbandingan antara jumlah curah hujan di pulau

Jawa pada periode monsun Asia (Desember, Januari, dan Februari) relatif lebih besar

daripada periode monsun Australia (Juni, Juli, dan Agustus). Data satelit TRMM 3B43v6

selama periode 1998-2010 sebagai data utamapada penelitian ini. Sedangkan data ONI

(Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index) digunakan sebagai data pendukung.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik spasial distribusi

curah hujan monsun dan melakukan identifikasi kejadian monsun ekstrim di pulau Jawa

selama periode tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampak kejadian ekstrim

yang bersamaan antara monsun Asia dan monsun Australia di pulau Jawa terjadi pada

periode tahun 1999, 2002, 2006 dan 2008 . Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

kejadian monsun ektrim ini tampak berkaitan dengan berlangsungnya fenomena global

ENSO di Samudera Pasifik ekuator dan fenomena IOD di Samudera Hindia ekuator.

Kata kunci : curah hujan, trmm, monsun, ekstrim

Page 183: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 173 ~

1. PENDAHULUAN

Wilayah Indonesia yang dikenal sebagai negara benua maritim. Sekitar 70% bagian

wilayahnya berupa lautan. Daratan Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau besar dan

pulau-pulau kecil dengan topografi yang terdiri dari banyak pegunungan. Posisi wilayah

Indonesia juga diapit oleh dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta diapit dua

lautan yang besar yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain dari itu wilayah

Indonesia juga dilalui oleh dua sirkulasi atmosfer global yaitu sirkulasi zonal dan

meridional yang dikenal dengan sirkulasi Walker dan sirkulasi Hadley. Karena keunikan

posisi, kondisi geografis dan topografi Indonesia tersebut menjadikan kondisi iklim di

wilayah Indonesia yang juga sangat beragam.

Monsun sebagai fenomena cuaca yang besar di bumi, dimana wilayah Indonesia

termasuk wilayah yang dipengaruhinya (Webster 1987). Monsun Asia menunjukkan

variabilitas antar tahun yang kuat (Webster et al.,1998). Fenomena monsun merupakan

interaksi langsung antara udara dan lautan. Fenomena monsun adalah salah satu dari

fenomena atmosfer yang terjadi di daerah ekuator dengan osilasi sekitar 6-12 bulan

(Krishnamurti-Bhalme,1976). Monsun merupakan angin yang bertiup sepanjang tahun dan

berganti arah sebanyak dua kali dalam satu tahun. Chao et al (2001) mengemukakan

bahwa monsun adalah perbedaan tegas awal musim basah (hujan) dan musim kering

(kemarau) karena perubahan arah dan kecepatan angin akibat gradient tekanan. Monsun

Asia dipengaruhi oleh WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index) dan ISMI (Indian

Summer Monsoon Index). Sedangkan monsun Australia dipengaruhi oleh AUSMI

(Australia Monsoon Index).

Daerah monsun ditandai dengan (a) perubahan arah angin utama sekurang-

kurangnya 120 derajat dari bulan Januari dan Juli; (b) rata-rata frekuensi angin utama

dalam bulan Januari dan Juli lebih dari 40%; (c) sekurang-kurangnya sebulan, rata-rata

resultan angin dalam sebulan lebih dari 3m/detik; (d) sekurang-kurangnya satu siklon-

antisiklon terjadi bergantian di daerah 5 derajat lintang dan bujur. Monsun merupakan

suatu fenomena cuaca besar di bumi. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Ramage

tersebut maka daerah yang disebut kawasan monsun adalah daerah yang terletak antara

35oLU dan 25

oLS serta antara 30

oBT dan 170

oBT. Wilayah tersebut mencakup sebagian

Asia (Asia bagian timur dan selatan), Indonesia, sebagian Australia (Australia bagian

utara), Ramage (1971). Monsun dapat juga didefinisikan sebagai pembalikan angin

permukaan tahunan, termasuk pembalikan perpindahan kelembaban tahunan dan distribusi

presipitasi tahunan yang kontras antara musim panan dan musim dingin. Pusat musim

Page 184: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 174 ~

panas menyebabkan musim hujan, sementara musim kering terjadi disaat musim dingin,

Wang and Ding (2006).

Ramage (1971) juga menyatakan bahwa ada dua sistem monsun di Asia, yaitu

Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsoon) atau angin monsun

barat Asia yang dikenal juga dengan sebutan monsun Asia dan Monsun Musim Panas Asia

Selatan (the South Asian Summer Monsoon) atau angin monsun timur yang dikenal juga

dengan sebutan monsun Australia. Angin monsun barat atau monsun Asia yang

berlangsung sekitar bulan Oktober sampai April. Pada saat ini matahari berada di belahan

bumi selatan yang menyebabkan Benua Australia mengalami musim panas sehingga

bertekanan rendah. Sedangkan Benua Asia lebih dingin sehingga bertekanan tinggi.

Menurut hokum Buys Ballot, angin akan bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.

Sehingga angin akan bertiup dari benua Asia menuju ke benua Australia, karena menuju ke

Selatan ekuator maka angin akan dibelokkan ke arah kiri. Angin ini melewati lautan luas di

bagian utara samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan dengan membawa banyak massa uap

air sehingga menyebabkan di Indonesia akan mengalami musim hujan. Sedangkan angin

monsun timur atau monsun Australia adalah angin yang berlangsung sekitar bulan April

sampai Oktober. Pada saat ini matahari berada di belahan bumi utara, sehingga

menyebabkan benua Australia mengalami musim dingin dan bertekanan tinggi. Sedangkan

benua Asia lebih panas dan bertekanan rendah. Angin akan bertiup dari benua Australia

menuju benua Asia. Karena menuju ekuator maka angin akan dibelokkan ke arah kanan.

Pada periode ini Indonesia akan mengalami musim kemarau akibat angin tersebut melalui

gurun pasir di bagian utara Australia yang kering dan hanya melalui lautan sempit.

Oleh karena itu, identifikasi periode monsun di Indonesia selain dengan

menggunakan data angin, dapat digunakan data curah hujan karena jelas sangat signifikan

perbedaan distribusi curah hujan yang terjadi pada kedua periode monsun tersebut.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan pertama untuk mengetahui karakteristik spasial

distribusi curah hujan selama periode monsun Asia dan monsun Australia berbasis data

satelit dan tujuan kedua melakukan identifikasi kejadian monsun ekstrim di pulau Jawa

selama periode 1998-2010 berdasarkan prosentase anomali curah hujan yang terjadi pada

masing-masing periode monsun tersebut.

Penelitian ini dilakukan secara spasial dengan menggunakan data curah hujan yang

diperoleh dari satelit TRMM 3B43v6 yang memiliki resolusi spasial dan temporal yang

tinggi. Hal ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan keterbatasan stasiun hujan, data

curah hujan dari stasiun hujan yang kosong atau tidak lengkap. Data satelit TRMM

Page 185: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 175 ~

3B43v6 ini digunakan dengan pertimbangan data tersebut menunjukkan pola curah hujan

yang umumnya dapat mengikuti pola curah hujan observasi permukaan dengan baik. Hal

ini ditunjukkan oleh nilai korelasi yang kuat yaitu 63.66%, 66.85% dan 72.94% untuk

lokasi sekitar stasiun Lhokseumawe Aceh, stasiun Simpang Tiga Pekanbaru dan stasiun

Bengkulu Bengkulu. Bahkan tampak nilai korelasi yang sangat kuat yaitu 83.05%, 80.44%,

85.08%, dan 84.88% untuk stasiun Polonia Medan, stasiun.Tabing Padang, stasiun

Banyuasin Sumsel dan stasiun Raden Inten Lampung (Avia dan Bambang, 2012). Begitu

juga untuk stasiun Supadio Pontianak, stasiun Kayuwatu Manado, stasiun Sicincin Padang

dan stasiun Kemayoran Jakarta yang tampak memiliki korelasi sangat kuat yaitu sekitar

80% (Suryantoro et al, 2008).

Suatu indikator umum yang dikemukakan BMKG tentang salah satu kriteria cuaca

ekstrim terjadi jika curah hujan lebih dari 50 mm/hari atau masuk dalam kategori intensitas

hujan lebat. Namun untuk prediksi potensi banjir atau tanah longsor bulanan digunakan

indikator jika curah hujan lebih dari 400 mm/bulan. Indikator 400 mm/bulan tersebut

termasuk dalam kriteria distribusi curah hujan bulanan sangat tinggi, yang tampak

prosentasenya lebih tinggi sekitar 33% dari distribusi curah hujan dengan kriteria

menengah (mendekati rata-ratanya). Dengan memperhatikan beberapa kriteria tersebut

diatas sehingga penulis pada penelitian ini menentukan kriteria monsun ekstrim terjadi jika

prosentase anomali curah hujan pada masing-masing periode monsun tersebut lebih tinggi

40% dari kondisi rata-ratanya mengingat data periode monsun tersebut merupakan

akumulasi dari data bulanan.

Secara umum, sistem monsun juga dapat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi lain

seperti interaksi dengan jets stream, IOD (Indian Ocean Dipole), osilasi selatan (Ashok et

al. 2001, Li et al, 2003). Fenomena monsun terjadi secara periodik, akan tetapi awal

musim hujan dan musim kemarau tidak selalu sama sepanjang tahun di Indonesia. Hal ini

disebabkan musim di Indonesia juga dipengaruhi oleh fenomena global seperti El Nino/La

Nina, Osilasi Selatan, dan IOD. El Nino/La Nina adalah fenomena anomali panas/dingin

Samudera Pasifik Ekuatorial Tengah dan Timur, sedangkan IOD adalah beda temperatur

permukaan laut Pantai Timur Afrika dan Pantai Barat Sumatera (Yamagata et al., 2002).

Pada penelitian ini juga dianalisis penyebab kondisi ekstrim tersebut dengan

memperhatikan pengaruh fenomena global tersebut terhadap peningkatan atau penurunan

curah hujan yang terjadi.

Page 186: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 176 ~

2. DATA DAN METODOLOGI

2.1 Data

Untuk mengetahui karakteristik curah hujan pada suatu daerah sangat diperlukan

data yang cukup panjang dan kontinyu. Karena keterbatasan jumlah stasiun observasi

curah hujan dan kesinambungan data curah hujan permukaan secara spasial maka pada

peneliti ini sebagai data utama digunakan data satelit TRMM 3B43v6. Data TRMM

3B43v6 ini memiliki resolusi temporal bulanan dan resolusi spasial 0,25 x 0,25 derajat

lintang bujur. Adapun periode data TRMM 3B43v6 yang digunakan pada penelitian ini

merupakan data curah hujan periode monsun Asia (Desember, Januari, dan Februari) dan

monsun Australia (Juni, Juli, dan Agustus) sejak 1998 sampai 2010. Sedangkan data

lainnya yang digunakan sebagai data pendukung pada penelitian ini untuk mengetahui

penyebab kondisi ekstrim tersebut adalah data ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole

Mode Index) yang mengindikasikan fenomena ENSO (El Nino and Southern Oscillation

Index) dan fenomena IOD (Indian Ocean Dipole), juga data MJO (Maden-Julian

Oscillation).

2.2 Metodologi

Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini dengan melakukan pengolah data

menggunakan software McExcell dan GrADS (Grid Analysis and Display System) adalah

untuk mengetahui karakteristik curah hujan pada periode monsun Asia dan monsun

Australia di pulau Jawa dilakukan kroping data satelit TRMM untuk wilayah Jawa dengan

batasan geografis 5,75oLS sampai 9,00

oLS dan 105,00

oBT sampai 114,75

oBT. Selanjutnya

data untuk data terpilih dilakukan perhitungan akumulasi data setiap tahunnya untuk

masing-masing periode monsun. Selanjutnya dilakukan perata-rataan selama periode

penelitian yaitu 1998-2010 yang dapat merepresentasikan karakteristik curah hujan pada

periode monsun tersebut. Sedangkan untuk mengetahui kondisi ekstrim dilakukan

pengolahan data prosentase anomalinya yang merupakan prosentase perbedaan curah hujan

periode monsun untuk setiap tahunnya terhadap kondisi rata-rata curah hujan monsun,

secara matematis dapat ditulis

(((

) ) ), dimana Pi adalah prosentase anomali curah hujan monsun

tahun ke-i, adalah curah hujan pada periode monsun tahun ke-i, adalah curah hujan

rata-rata periode monsun selama 1998-2010, dan i adalah tahun penelitian. Hal ini

dilakukan untuk masing-masing periode monsun, sehingga dapat dianalisis jika prosentase

anomali curah hujan pada periode tersebut lebih dari 40% dapat merepresentasikan

Page 187: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 177 ~

kondisi monsun ekstrim. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh dan

juga analisis terhadap data pendukung lainnya guna mengetahui penyebab terjadinya

kondisi esktrim tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik curah hujan periode monsun Asia dan monsun Australia di pulau

Jawa

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa pada periode sekitar

bulan Oktober sampai April,bertiup angin monsun barat atau monsun Asia, dimana

periode tersebut matahari berada di belahan bumi selatan, sehingga menyebabkan di benua

Australia musim panas dan bertekanan rendah. Sedangkan kondisi sebaliknya terjadi yaitu

angin monsun timur atau monsun Australia yang bertiup sekitar bulan April sampai

Oktober, dimana periode tersebut matahari berada di belahan bumi utara, sehingga

menyebabkan benua Australia musim dingin dan bertekanan tinggi. Gambar 1

menunjukkan pola rata-rata arah angin bulanan selama periode monsun Asia dan monsun

Australia berlangsung.

Gambar 1. Rata-rata arah angin bulanan pada periode monsun Asia(a) dan periode monsun

Australia (b) (sumber : BMKG)

Berdasarkan hasil pengolahan data selama periode penelitian ini diperoleh

karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa sebagaimana yang terlihat

pada Gambar 2. Pada penelitian ini dapat dikatakan karakteristik curah hujan periode

monsun Asia karena merupakan hasil olahan data rata-rata selama periode monsun Asia

yang cukup panjang yaitu sekitar 13 tahun pengamatan atau dapat dikatakan sebagai

kondisi rata-ratanya. Sejalan dengan keterangan diatas tampak karakteristik curah hujan

yang besar di pulau Jawa terjadi pada periode monsun Asia ini. Pada Gambar 2 tersebut

Page 188: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 178 ~

tampak bahwa karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa bervariasi

antara 600 mm sampai 1300 mm, dimana curah hujan terbesar antara 1100 mm sampai

1300 mm terjadi pada dua lokasi yaitu satu di daerah Jawa Tengah dan satu lagi di daerah

Jawa Timur yang tampak merupakan daerah dengan topografi dataran tinggi. Selain itu

daerah tersebut juga tampak pada Gambar 1 merupakan daerah pertemuan angin yang

bertiup dari utara dan dari selatan. Sedangkan daerah sekitar pantai barat dan tenggara

pulau Jawa tampak memiliki karakteristik curah hujan monsun Asia yang relatif kecil yaitu

antara 600 mm sampai 800 mm.

Gambar 2. Karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa

Berdasarkan hasil pengolahan data selama periode penelitian ini diperoleh

karakteristik curah hujan pada periode monsun Australia di pulau Jawa sebagaimana

ditunjukkan pada Gambar 3. Sama halnya dengan periode monsun Asia, pada periode

monsun Australia ini dapat dikatakan karakteristik curah hujan periode monsun Australia

karena merupakan hasil olahan data rata-rata selama periode monsun Australia yang

cukup panjang yaitu sekitar 13 tahun pengamatan atau juga disebut sebagai kondisi rata-

ratanya. Karakteristik curah hujan periode monsun Australia di pulau Jawa yang memiliki

curah hujan yang kecil dimana hanya bervariasi antara 50 mm sampai 400 mm.

Karakteristik daerah di bagian timur pulau Jawa tampak lebih kering dimana curah hujan

hanya sekitar 50 mm sampai 150 mm yang dibandingkan daerah bagian tengah dan barat

pulau Jawa tampak relatif lebih besar umumnya antara 150 mm sampai 300 mm. Hanya

Page 189: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 179 ~

sebagian daerah di Jawa Barat yang memiliki curah hujan antara 300 mm sampai 400 mm

seperti yang tampak pada Gambar 3.

Gambar 3. Karakteristik curah hujan periode monsun Australia di pulau Jawa

3.2 Identifikasi Kondisi Ekstrim Monsun Asia di pulau Jawa

Berdasarkan data curah hujan dari satelit TRMM 3B43v6 telah diperoleh rata-rata

curah hujan selama periode monsun Asia seperti yang telah dijelaskan pada point 3.1

sebagai karakteristik curah hujan periode monsun Asia. Untuk mengetahui kondisi monsun

ektrim telah dilakukan pengolahan data anomali curah hujan pada periode monsun Asia

setiap tahunnya di pulau Jawa dalam bentuk prosentase. Sehingga diperoleh hasil

sebagaimana yang tampak pada Gambar 4 merupakan variasi anomali curah hujan

periode monsun Asia setiap tahun selama periode penelitian ini. Pada Gambar 5 tersebut

diketahui bahwa selama periode penelitian dapat diidentifikasi kejadian monsun Asia yang

cukup ekstrim yaitu pada tahun 1999, 2002, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010

yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan intensitas curah hujan yang sangat besar di

beberapa daerah di pulau Jawa. Prosentase anomali curah hujan selama periode monsun

tampak umumnya antara 40% sampai 60% dibanding kondisi rata-ratanya. Dari Gambar 4

tersebut juga tampak bahwa lokasi daerah monsun ekstrim yang tidak konsisten atau tidak

selalu sama hal ini sangat terkait dengan kondisi pergeseran pusat awan-awan konvektif

yang sangat dinamis.

Page 190: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 180 ~

Gambar 4. Variasi anomali curah hujan periode monsun Asia tahun 1998-2010

Berdasarkan kondisi global fenomena ENSO dan fenomena IOD yang dapat dilihat

dari indikasi nilai ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index). Tampak

bahwa adanya kaitan antara peningkatan curah hujan yang menjadikan kondisi periode

monsun ekstrim tersebut terhadap berlangsungnya fenomena La Nina di Samudera Pasifik

terutama tahun 1999, 2007, 2010 dengan intensitas kuat dan tahun 2005, 2008 dengan

intensitas sedang. Sedangkan tahun 2002, 2006 dan 2009 tampak pada Gambar 5 indikasi

dari ONI menunjukkan berlangsungnya fenomena El Nino di Samudera Pasifik namun

data curah hujan di pulau Jawa tampak juga menunjukkan anomali positif yang cukup

tinggi 40% sampai 60% dari kondisi normalnya terutama untuk Jawa bagian timur. Oleh

karena itu tampak adanya faktor lain yang mempengaruhi peningkatan curah hujan di

pulau Jawa pada periode tersebut. Pada periode ini tampak adanya fenomena MJO

(Maden-Julian Oscillation) yang berada dalam status aktif dan kuat di kawasan Benua

Maritim Indonesia dan samudera India pada tahun 2002 bulan Desember, sedangkan tahun

2006, bulan Desember sampai Februari, serta tahun 2009 bulan Desember dan Januari

sebagaimana yang tampak pada Gambar 6.

Page 191: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 181 ~

Gambar 5. Ocean Nino Index (ONI) bulan Desember-Februari (a) dan Dipole Mode

Index bulan Desember-Februari (b) selama periode penelitian

Gambar 6. Diagram fase Madden-Julian Oscillation untuk bulan Desember-Maret

3.3 Identifikasi Kondisi Ekstrim Monsun Australia di pulau Jawa

Berdasarkan data curah hujan dari satelit TRMM 3B43v6 juga telah diperoleh rata-

rata curah hujan selama periode monsun Australia seperti yang telah dijelaskan pada point

3.1 sebagai karakteristik curah hujan periode monsun Australia. Untuk mengetahui kondisi

monsun ektrim juga telah dilakukan pengolahan data anomali curah hujan pada periode

monsun Australia setiap tahunnya di pulau Jawa dalam bentuk prosentase. Sehingga

diperoleh hasil sebagaimana yang tampak pada Gambar 7 merupakan variasi anomali

curah hujan periode monsun Asia setiap tahun selama periode penelitian ini.

Tampak pada Gambar 7 tersebut untuk periode monsun Australia (JJA) selama

periode penelitian ini telah teridentifikasi kejadian monsun ekstrim yaitu pada tahun 1998,

1999, 2001, 2002, 2003, 2006, 2008, 2010. Diantara waktu tersebut tampak kejadian curah

hujan monsun yang sangat ekstrim pada tahun 1998 dan 2010 dimana tampak anomali

positif curah hujan periode monsun Australia ini yang sangat tinggi yaitu lebih dari 80%

Page 192: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 182 ~

dibanding kondisi rata-ratanya. Pada Gambar 8 dapat menjelaskan hal tersebut sangat

berkaitan erat dengan berlangsungnya fenomena La Nina dengan intensitas sedang dan

pada waktu yang bersamaan ditambah dengan berlangsungnya fenomena IOD negatif di

Samudera Hindia sehingga tampak telah memberikan dampak yang nyata pada

peningkatan curah hujan yang luar biasa di pulau Jawa. Sementara pada tahun 1999

tampak La Nina masih berlangsung dengan intensitas melebihi tahun 1998 namun di

samudera Hindia tampak IOD dalam kondisi normal sehingga dampak peningkatan curah

hujan di pulau Jawa tidak sebesar pada tahun 1998. Pada tahun 2001 tampak peningkatan

curah hujan yang lebih dari 60% dari rata-ratanya terutama tampak di pulau Jawa bagian

tengah dan timur. Hal ini tampak merupakan akibat dari berlangsungnya IOD negatif di

Samudera Pasifik. Namun pada tahun 2002 dan 2003 tampak kondisi yang sebaliknya

dimana tampak kondisi pulau jawa yang kering karena adanya penurunan curah hujan 60%

sampai 100% dibanding rata-ratanya. Hal ini disebabkan tahun 2002 berlangsung

fenomena El Nino namun tampak diredam oleh fenomena IOD negatif. Sedangkan pada

tahun 2003 tampak IOD positif tampak berpengaruh kuat pada pengurangan jumlah curah

hujan di pulau Jawa yang hampir merata. Sama halnya dengan kondisi pada monsun Asia,

pada periode monsun Asutralia ini juga tampak adanya fenomena lain yang dominan

mempengaruhi atmosfer. Pada tahun 2006 dan 2008 dari indeks ENSO maupun indeks

IOD tidak menunjukkan kondisi anomali di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia,

namun terlihat dari data curah hujan untuk periode ini juga menunjukkan kondisi yang

kering dimana anomali curah hujan negatif cukup tinggi yaitu 60% sampai 80% dari rata-

ratanya. Tampak selama periode Juni sampai Juli 2006 tersebut kondisi MJO yang dalam

kondisi tidak aktif untuk wilayah Indonesia, yang baru maenjadi aktif pada bulan

September. Sehingga kondisi di wilayah Indonesia menjadi kering dan tampak bebas dari

awan-awan konvektif seperti yang ditunjukkan Gambar 9.

Page 193: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 183 ~

Gambar 7. Variasi anomali curah hujan periode monsun Australia tahun 1998-2010

Gambar 8. Ocean Nino Index (ONI) bulan Juni-Agustus (a) dan Dipole Mode Index bulan

Juni-Agustus (b) selama periode penelitian

Page 194: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 184 ~

Gambar 9. Diagram fase Madden-Julian Oscillation untuk bulan Juni-September 2006

4. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu telah

teridentifikasi periode tahun dimana terjadi kondisi monsun ekstrim yang bersamaan antara

monsun Asia dan monsun Australia yang memberikan dampak terhadap peningkatan

ataupun penurunan curah hujan yang cukup besar di pulau Jawa yaitu mencapai 60% -

100% lebih dari kondisi rata-ratanya atau sebaliknya 60%-100% kurang dari kondisi rata-

ratanya yaitu pada tahun 1999, 2002, 2006 dan 2008. Dari beberapa kejadian ektrim

tersebut tampak tidak konsisten terjadi pada lokasi yang selalu sama, namun tampak

daerah yang rentan umumnya terjadi di bagian timur pulau Jawa. Hasil penelitian juga

menunjukkan bahwa kejadian monsun ekstrim ini tampak sangat berkaitan dengan

berlangsungnya fenomena global ENSO di Samudera Pasifik ekuator dan fenomena IOD

di Samudera Hindia ekuator yang mempengaruhi distribusi curah hujan di pulau Jawa.

Selain fenomena tersebut juga tampak fenomena MJO juga cukup berperan dalam indikasi

keberadaan awan-awan konvektif di pulau Jawa dan wilayah Indonesia pada umumnya

DAFTAR RUJUKAN

Ashok, K., Z. Guan, and T. Yamagata, 2001: Impact of the Indian Ocean dipole on the

relationship berween the Indian Monsoon rainfall and ENSO, eophys. es. Lett.,

28, 4499-4502

Avia, L. Q. dan Bambang S., 2012: Pembandingan Data Curah Hujan Bulanan Estimasi

Satelit TRMM Terhadap Data Curah Hujan Observasi di Sumatera, Prosiding

Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, ISSN 2088-4818, 389 – 399

Chao, W.C. and B. Chen, 2001. The Origin of Monsoons. J. Atmos. Sci.,58, 3497-3507.

Page 195: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 185 ~

Li, T., B. Wang, C.P.Chang, and Y.Zhang, 2003: A theory for the Indian Ocean dipole-zonal

mode. J.Atmos.Sci., 60, 2119-2135

Krishnamurti, T. N., H. N. Bhalme, 1976: Oscillations of a Monsoon System. Part I.

Observational Aspects. J. Atmos. Sci., 33,1937–1954

Ramage, C. S., 1971. onsoon eteorology, Academic Press, New York.

Suryantoro, A., T. Harjana, Halimurrahman, 2008 : Variasi Spasio Temporal Curah Hujan

Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Workshop Aplikasi Sains

Atmosfer : Sains Atmosfer Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan, ISBN

978-979-1458-25-2. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN,

Bandung, 1 Desember 2008, 175-186

Wang, B., and Q. Ding, 2006. Changes in global monsoon precipitation over the past 56

years. Geophys. Res. Lett., 33, L06711, doi:10.1029/2005GL025347.

Webster, P.J., 1987 : The elementary monsoon. Monsoon, J. S. Frein and P.L,. Stephens,

eds., John Wiley and Sons, 3-32.

Webster, P.J., V.O. Magana, T.N. Palmer, J. Shukla, R.A. Tomas, M.Yanai, and T.

Yasunari,1998: Monsoons: processes,

predictability, and the prospects for prediction. J. Geopys. Res., 193,14,451-14,510

Yamagata, T., S. K. Behera, S. A. Rao., Z. Guan, K. Ashok, and H.N. Saji, 2002: The

Indian Ocean dipole: a physical entity, CLIVAR

Exchanges, 24, 15–18

Page 196: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 186 ~

RANCANG BANGUN SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA

SATELIT DAN IMPLEMENTASINYA

Mahmud, Edi Maryadi, Muzirwan, Emanuel A, Ria Fitri Yulianti R, Lamartomo

Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer, Jl. Dr. Junjunan No. 133 Bandung, 40173, LAPAN,

[email protected]

Abstract

The abundance of data without proper management, will be difficult for users to implement

all existing data, therefore, required the development of a system that can manage the

receipt and data collection system that integrates monitoring, network systems and

software that has the ability to automatically insert, modify, delete, manipulate, and display

data and information with practical and efficient. The design of a data base management

system implemented by identify and inventory data, while development activities database

management system implemented in stages of analysis and identification of needs,

gathering and documenting requirements, global design and detail, followed by the

implementation or activity programming or coding of results design, and testing /

integration testing of inter-module Based on the above process has awakened data

transmission network between the Bandung – Balai/ Loka using Fiber Optics, and database

management systems Indonesian atmosphere, that contain Indonesian atmosphere data and

scientific papers atmospheric science that can be accessed online

Keyword : management systems, fiber optics, atmosphere database

Abstrak

Melimpahnya data tanpa pengelolaan yang baik, akan menyulitkan pengguna dalam

mengimplementasikan semua data yang ada, oleh karena itu diperlukan pengembangan

sistem yang dapat mengelola penerimaan dan pengkoleksian data yang mengintegrasikan

sistem monitoring, sistem jaringan dan perangkat lunak yang mempunyai kemampuan

secara otomatis memasukkan, mengubah, menghapus, memanipulasi, dan menampilkan

data dan informasi dengan praktis dan efisien. Perancangan sistem manajemen basis data

dilaksanakan berdasarkan identifikasi dan inventarisasi data, sedangkan kegiatan

pengembangan sistem manajemen basis data dilaksanakan berdasarkan tahapan kegiatan

analisis dan identifikasi kebutuhan, pengumpulan dan pendokumentasian kebutuhan,

rancangan detail dan global , dilanjutkan dengan implementasi atau aktifitas pemograman

atau coding dari hasil desain; dan pengetesan/ pengujian integrasi antar modul.

Berdasarkan proses diatas telah terbangun jaringan transmisi data antara Bandung dengan

Balai/Loka menggunakan Fiber Optics, dan sistem manajemen basis data atmosfer

Indonesia, yang memuat data atmosfer Indonesia dan makalah ilmiah sains atmosfer yang

dapat diakses secara online

Kata kunci : sistem manajemen, fiber optics, basis data atmosfer

Page 197: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 187 ~

1. PENDAHULUAN

Koleksi data yang lengkap serta memuat semua data atmosfer, baik bersifat data

insitu ataupun data spasial dari sensor satelit, yang dapat diperoleh dengan cepat, tepat dan

akurat adalah merupakan suatu keinginan yang ditunggu-tunggu oleh setiap para pemakai.

Data yang dikelola dalam suatu sistem disebut sistem manajemen basis data, karena

sistem tersebut merupakan suatu tempat penyimpanan data dan sekumpulan program untuk

mengkases data tersebut (Silberschatz, dkk, 2009), atau suatu program komputer yang

digunakan untuk memasukkan, mengubah, menghapus, memanipulasi, dan memperoleh

data dan informasi dengan praktis dan efisien (Kadir, 2003; Connolly dkk, 2005 ).

Sedangkan basis data adalah sekumpulan data yang terhubung (interrelated data) yang

disimpan secara bersama-sama pada suatu media, mudah di update dan dapat digunakan

oleh satu atau lebih program aplikasi tanpa ada ketergantungan pada program yang

menggunakannya (Martin, 1975). Tujuan sistem basis data menurut Courtney dan Paradice

(1988) meliputi penyediaan sarana akses yang fleksibel, pemeliharaan integritas data,

proteksi data dari kerusakan dan penggunaan yang tidak legal, penyediaan sarana untuk

penggunaan bersama (share) dan keterhubungan data, pengurangan / minimalisasi

kerangkapan data, menghilangkan ketergantungan data pada program-program aplikasi,

menstandarkan definisi-definisi rinci data (data item) dan meningkatkan produktivitas

personal sistem informasi

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) telah mempunyai sistem basis data

Atmosfer Indonesia yang memuat data insitu stasiun, teledeteksi lidar dan radar, data

satelit Aqua, Terra, TRMM, GMS-MTSAT; data spasial RBI, land use, NCEP, data

pertanian, hidrologi; dan makalah publikasi ilmiah . Data-data tersebut masih tersebar di

beberapa tempat yang berbeda, metadata dan kemampuan pencarian datanya masih belum

lengkap dan masih bersifat intern bidang.

Dengan tersebarnya keberadaan posisi Balai/Loka yang secara rutin melakukan

monitoring, serta data hasil dari sistem pengamatan atmosfer memiliki ukuran rata-rata

setiap bulannya sebesar 165.713 Mb, maka jumlah data berkembang terus, begitu juga

dengan peralatannya. Oleh karena itu diperlukan pengembangan sistem yang dapat

mengelola penerimaan dan pengoleksian data yang mengintegrasikan sistem monitoring,

sistem jaringan dan perangkat lunak yang mempunyai kemampuan secara otomatis

memasukkan, mengubah, menghapus, memanipulasi, dan menampilkan data dan informasi

dengan praktis dan efisien.

Page 198: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 188 ~

2. METODOLOGI.

Perancangan sistem manajemen basis data dilaksanakan dalam dua kegiatan utama,

yaitu kegiatan inventarisasi dan koleksi data dan kegiatan pengembangan sistem

manajemen basis data.

Kegiatan utama kelompok inventarisasi dan koleksi data adalah melakukan

identifikasi dan inventarisasi data, inventarisasi makalah terbit dan melakukan penindaian

data dari bentuk hardcopy menjadi softcopy, backup data dan meng-inputkan file data pada

sistem basisdata.

Kegiatan pengembangan sistem manajemen basis data (Pressman, 1997)

dilaksanakan dalam tahapan kegiatan sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.1,

Gambar 2.1. Flowchart pengembangan sistem manajemen basis data dan sistem informasi web.

Tahapan analisis adalah identifikasi dan pengumpulan kebutuhan elemen-elemen

perangkat lunak (software requirement analysis) dan data, yang bersifat spasial maupun

numerik. Dalam tahap ini harus dihasilkan dihasilkan spesifikasi sistem, domain data dan

informasi yang berupa fungsi, prosedur, desain dari interface nya dan kebutuhan perangkat

lunak.

Tahapan desain, mengacu pada kebutuhan atau spesifikasi data dan perangkat

lunak yang dihasilkan dalam tahap analisis akan ditransformasikan ke dalam bentuk

arsitektur perangkat lunak yang memiliki karakteristik mudah dimengerti dan tidak sulit

Start

Analisis

Implementasi

Desain

Pengetesan

Penginstalan

End

Page 199: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 189 ~

untuk diimplementasikan. Tahapan ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu preliminary

design dan detailed design. Preliminary design menghasilkan rancangan global,

sedangkan detailed design menghasilkan rancangan detil hingga semua modul, tipe data,

fungsi, metode dan prosedur dapat terdefinisi.

Tahapan implementasi merupakan suatu aktifitas pemrograman atau coding dari

hasil perancangan ke dalam baris/bahasa kode yang dapat dibaca oleh komputer.

Tahapan pengetesan, yaitu proses pengujian dilakukan pada hasil implementasi.

Tahapan awal dalam pengujian adalah menguji modul, setelah itu menguji integrasi antar

modul, dan yang terakhir adalah pengujian pada tingkat perangkat lunak setelah modul-

modul yang terintegrasi tersebut dikompilasi. Pengujian pada tingkat perangkat lunak

ditekankan pada logika internal, fungsi eksternal dan potensi error.

Tahapan penginstalan, Pengistalan semua modul dan setiap perangkat lunak yang

telah melewati tahapan pengujian dibuatkan standar operasional atau manual guide yang

didalamnya berisi panduan pengeoperasian, error handling, pemeliharaan dan potensi

pengembangan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan utama menitik beratkan pada pengembangan sistem manajemen basis

data, sedangkan muatannya didapat dari hasil Inventarisasi dan koleksi data berupa data

dari semua balai/Loka, data makalah terbit dan data hasil penindaian.

Kegiatan analisi yang melingkupi kegiatan identifikasi, pengumpulan,

dokumentasi dan analisis kebutuhan yaitu berupa domain data dan informasi, fungsi,

prosedur, desain dari interface nya dan kebutuhan perangkat lunak dalam bentuk

spesifikasi kebutuhan perangkat lunak (Software requirement Specification, SRS) yaitu

untuk perencanaan pembuatan aplikasi.

Pada SRS terdapat dua aktor utama, pertama adalah administrator yang berperan

melakukan pengintegrasian pengelolaan data atmosfer, monitoring karya ilmiah,

keberadaan jaringan transmisi data dan pengelolaan pengguna. Kedua adalah pengguna

yaitu yang akan menggunakan data yang telah dikoleksikan. Kasus-kasus proses aplikasi

terdiri dari proses pencarian, penyimpanan, pengaksesan, penampilan, update,

pengambilan dan transfer data atmosfer.

Aplikasi untuk Administrator terdiri dari :

• Use case login, update akun, update info data (metadata) dan update makalah.

• Use case user untuk digunakan untuk memverifikasi user yang masuk, berisi

Page 200: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 190 ~

aplikasi login nama User dan password nya

• Use case transfer data atmosfer berisi aplikasi otentifikasi, verifikasi, transfer

data, penerimaan dan penyimpanan pada file sistem, pembuatan log transfer, dan

sistem penerima

• Use case Pencarian data atmosfer dan makalah (internal dan eksternal), berisi

aplikasi pencarian data yang dapat dilakukan berdasarkan sumber data, nama

peralatan, nama variabel atau dengan key, sedangkan untuk pencarian makalah

aplikasi pencariannya berdasarkan nama peneliti, atau topik makalah atau dengan

key, setelah itu dilakukan pembuatan aplikasi veifikasi, tampilan, pemilahan

spesifik unduh data dan verifikasi, dan unduh.

Fitur/modul yang dibangun adalah Pencarian Data Atmosfer dan makalah, Update

akun/username, Update info data, Update makalah dan Transfer data atmosfer.

Hasil dari pada proses desain adalah berupa tabel pustaka dan hubungan antar

entitas. Tabel pustaka terdiri dari :

T_sumber_data = (sumber_data_id, nama_sumber, resolusi temporal,

nama_lokasi, lokasi_lat_awal, lokasi_lon_awal,

lokasi_lat_akhir, lokasi_lon_akhir, resolusi _spasial,

format_file, keterangan, jenis_observasi,

teknologi_observasi, instansi,

metoda_mendapatkan_data, metoda_mengolah_data,

dokumentasi_mengolah_data,

tanggal_mulai_beroperasi).

T_data_atmosfer = (data_id, nama_data, deskripsi, katagori).

T_data_hasil = ( data_id, sumber_data, keterangan, satuan, nama_file,

tanggal_data, path_file).

T_karya_tulis = (karya_tulis_id, judul, abstrak, kata_kunci, kategori,

tanggal_terbit, penerbit).

T_membuat = (karya_tulis_id, nip).

T_pegawai = (nip, nama, alamat, email, no_hp, jabatan,

pangkat_golongan, titel_depan, titel_belakang).

T_referensi = ( referensi_id, nama_referensi).

T_acuan = (referensi_id, karya_ilmiah_id).

Page 201: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 191 ~

Terdapat dua diagram utama pada sistem manajeman basis data satelit yang akan

dibangun, yaitu diagram hubungan entitas untuk data atmosfer dan diagram hubungan

entitas untuk karya ilmiah

Skema database menunjukkan diagram hubungan relasi antar entitas untuk entitas

t_sumber data dengan entitas t_data_hasil mempunyai hungan entitas satu ke banyak,

sedangankan entitas t_data_hasil dengan t_data atmosfer mempunyai relasi banyak ke satu.

Diagram kedua menunjukkan hubungan relasi antar entitas untuk entitas t_karya_tulis

dengan entitas t_membuat mempunyai hubungan satu ke banyak; entitas t_membuat

dengan t_pegawai mempunyai hubungan banyak ke satu; entitas t_karya tulis dengan

t_mengacu mempunyai relasi satu ke banyak; dan entitasa t_mengacu dengan entitas

t_referensi mempunyai relasi banyak ke satu (Gambar 3.1)

Gambar 3.1. Diagram hubungan entitas pada database satelit

Jaringan komunikasi data dari Pare-pare ke Bandung dan dari Rumpin ke Bandung

menggunakan media fiber Optics (FO), dengan topologi Metronet Icon+, untuk

komunikasi dengan internet menggunakan jaringan Internet Icon+ ( Gambar 3.2),

komunikasi dengan balai-balai yang ada di LAPAN menggunakan jaringan VPN, dan

jaringan lokal menggunakan intranet.

Kemampuan jaringan yang ada adalah jaringan FO Metronet Icon+ (5 Mbps),

Jaringan VPN Lintas Arta (128 Kbps), Jaringan Internet Icon+(1 Mbps), dan Jaringan

Intranet Bandung(1 Mbps)

Page 202: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 192 ~

Gambar 3.2 Topologi jaringan transmisi dan komunikasi data antar dan inter Balai/ Loka

Spesifikasi teknis jaringan komunikasi data dan jaringan internet dengan ratio

bandwidth 1:1 , yaitu kapasitas uplink dan downlink sama, dedicated dan Full Duplex

System. Interface yang digunakan untuk jaringan komunikasi data dan jaringan internet

adalah Fast ethernet ready to 100 Mbps.

Service Level Agreement (SLA) untuk jaringan komunikasi data sebagai berikut :

a. SLA sebesar 99%

b. Troughput Bandwith minimal 90%

c. Latency < 125 ms

d. Packet Loss < 1%

e. Response Time terhadap setiap gangguan 30 menit

f. Mean Time To Repair setiap gangguan 6 jam

g. Dapat diakses dalam monitoring MRTG

Hasil kegiatan implementasi berupa skrip antarmuka sistem database atmosfer

Indonesia dan Antarmuka Monitoring Karya Ilmiah, yang memuat proses transfer data

atmosfer, pengintegrasian data, pencarian data atmosfer dan makalah, update info data,

update makalah, skrip download

Antarmuka sistem database atmosfer Indonesia disimpan pada situs

http://202.162.218.234/dai. (Gambar 3.3). Sedangkan antarmuka monitoring karya ilmiah

http://202.162.218.234/monitoring (Gambar 3.4)

Page 203: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 193 ~

Tampilan keluaran Database atmosfer Indonesia, terdiri dari 3 halaman utama, yaitu index

, detail data dan data.

– Index berisi daftar data yang ada berserta informasi pendukungnya, memuat

featur ; searching dan paging;

– Detail data berisi penampilan data yang dipilih oleh user meliputi info data dan

list file yang bisa di download, memuat feature searching, paging dan

download.

– Data berisi penampilan dari data yang di download

Gambar 3.3 sistem database atmosfer Indonesia.

Page 204: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 194 ~

Gambar 3.4 sistem database karya ilmiah

4. KESIMPULAN.

Dengan telah terbangun jaringan transmisi data antara Bandung dengan Balai/Loka

secara online menggunakan FO dan Sistem Manajemen Basis Data Atmosfer Indonesia,

maka data atmosfer Indonesia dan makalah ilmiah sains atmosfer dapat diakses secara

online.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami sampaikan ucapan terima kasih, kepada semua pihak yang telah membantu

terwujudnya Sistem Manajemen Basis Data Atmosfer Indonesia, khusunya kepada Ka

Balai Pengindraan Jauh Parepare dan Ka. Bidang Ruas Bumi - Pusteksat yang telah

membantu memfasilitasi kamunikasi data Modis.

DAFTAR RUJUKAN.

Kadir, A., Dasar Pemrograman Web Dinamis Menggunakan PHP, Andi, Yogyakarta.,

2003

Connolly, Thomas dan Begg, Carolyn, Database Systems: A Practical Approach to Design,

Implementation, and Management, Fourth Edition. Addison-Wesley Publishing

Company, United States of America, 2005.

Courtney, J. F. Jr., dan Paradice, D.B., Database Systems for Management, 1st edition,

USA: Times Mirror/ Mostby College Publishing., 1988.

Page 205: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 195 ~

Martin, J. , Database Organization, Parth I, New Jersey: Practice-Hall Inc., 1975.

Pressman, R. S., Rekayasa Perangkat Lunak : Pendekatan Praktisi (Edisi Satu), Penerbit :

Andi, Yogyakarta, 1997.

Silberschatz, A., Korth, H, dan Sudarshan, S., Database System Concepts, 6th

edition.

McGraw - Hill, New York.2009

Page 206: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 196 ~

SIMULASI SUHU PERMUKAAN LAUT BULANAN

BERBASIS MODEL CSIRO MK3L

Martono

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN

[email protected]

Abstract Sea surface temperature has an important role in the interaction between the atmosphere and the ocean. The important role relates to energy exchange between the atmosphere and ocean. Sea surface temperature changes will affect the atmospheric conditions on it. This research was conducted to understand the distribution of sea surface temperature in the Indian Ocean and the Pacific Ocean based numerical model. The method used in this research was three-dimensional modeling using the CSIRO Mk3L Climate System Model V1.2. This model was consist of atmospheric general circulation model that has zonal and meridional resolution 5.625

O x 3.18

O with 18 vertical levels and ocean general circulation

model has zonal and meridional resolution 2.8125O x1.59

O with 21 vertical levels.

Simulation done for 10 years from 1990-1999. Simulation results show that the sea surface temperature in the Indian Ocean north of the equator and west Pacific Ocean reaches maximum during the east season and minimum during the the first transition and west season. In general, the sea surface temperature of the western Pacific Ocean is warmer than the waters of the Indian Ocean. Keywords: simulation, sea surface temperature, csiro mk3l

Abstrak

Suhu permukaan laut mempunyai peranan penting dalam interaksi antara atmosfer dan

laut. Peranan penting ini berkaitan dengan pertukaran energi antara atmosfer dan laut.

Perubahan suhu permukaan laut akan mempengaruhi kondisi atmosfer di atasnya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi suhu permukaan laut Samudera

Hindia dan Samudera Pasifik berbasis model numerik. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pemodelan tiga dimensi dengan menggunakan The CSIRO Mk3L

Climate System Model V1.2. Model ini merupakan model kopel yang terdiri atas model

sirkulasi umum atmosfer yang mempunyai resolusi zonal and meridional 5.625O x 3.18

O

dengan 18 level vertikal dan model sirkulasi umum laut mempunyai resolusi zonal and

meridional 2.8125O x1.59

O dengan 21 level vertikal. Simulasi model selama 10 tahun

dengan periode waktu 1990-1999. Hasil simulasi menunjukkan bahwa suhu permukaan

Samudera Hindia utara ekuator dan Samudera Pasifik barat mencapai maksimum saat

musim timur dan minimum terjadi pada saat musim peralihan pertama dan musim barat.

Secara umum suhu permukaan Samudera Pasifik bagian barat lebih hangat daripada

perairan Samudera Hindia.

Kata Kunci : simulasi, suhu permukaan laut, csiro mk3l

1. PENDAHULUAN

Laut mempunyai peranan penting dalam sistem iklim di bumi. Peranan ini

berkaitan dengan sifat-sifat fisis laut antara lain berupa fluida, mempunyai albedo yang

rendah dan mempunyai kapasitas panas yang besar. Berupa fluida, maka arus laut akan

Page 207: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 197 ~

menggerakan massa air dalam skala besar. Laut mempunyai albedo yang rendah, karena

laut sebagai penyerap yang sempurna sehingga lebih dari setengah jumlah radiasi matahari

yang sampai ke permukaan bumi diserap oleh laut. Laut mempunyai kapasitas panas yang

besar, laut akan menerima dan melepaskan panas lebih lama sehingga laut merupakan

tandon panas yang besar (Prawirowardoyo, 1996; Deser dkk, 2010).

Suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter oseanografi yang banyak

mendapat perhatian tidak hanya dalam masalah kelautan saja, tetapi juga dalam masalah

atmosfer (Nontji, 1987). Dinamika laut dan suhu permukaan laut mempunyai peranan

penting terhadap iklim (Qu dkk, 2005). El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian

Ocean Dipole (IOD) dan upwelling merupakan beberapa beberapa contoh fenomena

oseanografi yang berhubungan dengan perubahan suhu permukaan laut. Perubahan suhu

permukaan laut akan mempengaruhi suhu udara, dan suhu udara akan mempengaruhi

sirkulasi angin, dan sirkulasi angin akan mempengaruhi arus dan gelombang laut, dan

proses ini akan berulang terus (Ningsih, 2003).

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai pola sebaran suhu permukaan

laut penting dilakukan dalam rangka mendukung program penelitian mengenai proses

interaksi antara laut dan atmosfer. Dengan berkembangnya teknologi komputer maka

pemanfaatan pemodelan laut dan pemodelan atmosfer (model kopel) merupakan salah satu

alternatif yang baik untuk mengetahui pola dan proses interaksi antara laut dan atmosfer.

2. DATA DAN METODE

Daerah penelitian mencakup perairan Samudera Hindia, Benua Maritim Indonesia

dan Samudera Pasifik bagian barat yang meliputi 20O LU – 20

O LS dan 40

O BT – 180

O BT.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan tiga dimensi dengan

menggunakan model kopel atmosfer dan laut. Model yang digunakan adalah The CSIRO

Mk3L Climate System Model V1.2. Model ini terdiri dari model sirkulasi umum atmosfer

yang mempunyai resolusi zonal and meridional 5.625O x 3.18

O dengan 18 level vertikal

dalam koordinat sigma dan model sirkulasi umum laut mempunyai resolusi zonal and

meridional 2.8125O x1.59

O dengan 21 level vertikal dalam koordinat sigma. Simulasi

model dijalankan selama 10 tahun untuk periode waktu 1990-1999.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Januari dan Februari diperlihatkan pada

Gambar 1 dan Gambar 2. Pada bulan Januari suhu permukaan di utara dan selatan ekuator

Page 208: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 198 ~

Samudera Hindia sekitar 25,50 OC dan 26,88

OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,26

OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 26,80

OC dan 28,09

OC.

Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada

Samudera Hindia. Pada bulan Februari suhu permukaan di utara dan selatan ekuator

Samudera Hindia sekitar 25,91 OC dan 27,29

OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,15

OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 26,40

OC dan 27,96

OC.

Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada

Samudera Hindia.

Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Maret dan April diperlihatkan pada

Gambar 3 dan Gambar 4. Pada bulan Maret suhu permukaan di utara dan selatan ekuator

Samudera Hindia sekitar 26,97 OC dan 27,65

OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,52

OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 26,67

OC dan 27,91

OC.

Rata-rata suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih rendah daripada

Samudera Hindia. Pada bulan April suhu permukaan di utara dan selatan ekuator Samudera

Hindia sekitar 28,09 OC 27,39

OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,82

OC serta di

utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 27,18 OC dan 27,66

OC. Rata-rata suhu

permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih rendah daripada Samudera Hindia.

Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Mei dan Juni diperlihatkan pada Gambar

5 dan Gambar 6. Pada bulan Mei suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator sekitar

28,81 OC dan 26,42

OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,67

OC serta di utara dan

selatan ekuator Samudera Pasifik 27,73 OC dan 27,08

OC. Rata-rata suhu permukaan laut

Samudera Pasifik bagian barat lebih rendah daripada Samudera Hindia. Pada bulan Juni

suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 28,79 OC dan

24,50 OC, di Benua Maritim Indonesia yaitu sekitar 27,45

OC serta di di utara dan selatan

ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,11 OC dan 28,09

OC. Secara umum suhu permukaan

laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia.

Gambar 1. Pola suhu permukaan laut

bulan Januari

Gambar 2. Pola suhu permukaan laut

bulan Februari

Page 209: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 199 ~

Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Juli dan Agustus diperlihatkan pada

Gambar 7 dan Gambar 8. Pada bulan Juli suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator

Samudera Hindia sekitar 27,99 OC dan 24,29

OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 27,05

OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,31

OC dan 25,99

OC.

Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada

Samudera Hindia. Pada bulan Agustus suhu permukaan laut di utara dan selatan ekuator

Samudera Hindia sekitar 27,60 OC dan 24,04

OC, di Benua Maritim Indonesia sekitar 26,87

OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,38

OC dan 25,94

OC.

Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada

Samudera Hindia.

Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan September dan Oktober diperlihatkan

pada Gambar 9 dan Gambar 10. Pada bulan September suhu permukaan laut di utara dan

selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 27,48 OC dan 24,43

OC, di Benua Maritim

Indonesia sekitar 26,88 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar

28,37 OC dan 26,25

OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat

lebih tinggi daripada Samudera Hindia. Pada bulan Oktober suhu permukaan laut di utara

dan selatan sekitar 27,32 OC dan 25,06

OC, di Benua Maritim sekitar 27,14

OC serta di

utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,27 OC dan 26,70

OC. Secara umum

suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Samudera

Hindia.

Gambar 3. Pola suhu permukaan laut

bulan Maret

Gambar 4. Pola suhu permukaan laut

bulan April

Gambar 5. Pola suhu permukaan laut

bulan Mei

Gambar 6. Pola suhu permukaan laut

bulan Juni

Page 210: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 200 ~

Pola suhu permukaan laut rata-rata bulan Nopember dan Oktober diperlihatkan

pada Gambar 11 dan Gambar 12. Pada bulan Nopember suhu permukaan laut di utara dan

selatan ekuator Samudera Hindia sekitar 28,79 OC 25,85

OC, di Benua Maritim Indonesia

sekitar 27,59 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 28,09

OC dan

27,35 OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi

daripada Samudera Hindia. Pada bulan Desember suhu permukaan laut di utara dan selatan

ekuator Samudera Hindia sekitar 26,01 OC dan 26,46

OC, di Benua Maritim Indonesia

sekitar 27,53 OC serta di utara dan selatan ekuator Samudera Pasifik sekitar 27,49

OC dan

27,91 OC. Secara umum suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi

daripada Samudera Hindia.

Dari analisis hasil simulasi model di atas diketahui bahwa sumber utama suhu

permukaan laut adalah radiasi matahari yang diterima baik secara langsung maupun tidak

langsung melalui refleksi dan skatering dari awan dan atmosfer. Karena laut bersifat fluida,

maka suhu permukaan laut akan didistribusikan dari satu tempat ke tempat yang lain. Oleh

karena itu, pola distribusi suhu permukaan laut dipengaruhi oleh pergerakan matahari dan

letak geografis.

Gambar 7. Pola suhu permukaan laut

bulan Juli

Gambar 8. Pola suhu permukaan laut

bulan Agustus

Gambar 9. Pola suhu permukaan laut

bulan September

Gambar 10. Pola suhu permukaan laut

bulan Oktober

Page 211: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 201 ~

Saat musim barat antara bulan Desember-Februari suhu permukaan laut di bagian

utara ekuator Samudera Hindia paling rendah yaitu sekitar 25,81 OC dan paling tinggi

terjadi pada saat musim timur antara bulan Juni-Agustus yaitu sekitar 28,13 OC. Sedangkan

di bagian selatan ekuator paling rendah terjadi pada saat musim timur antara bulan Juni-

Agustus yaitu sekitar 24,28 OC dan paling tinggi pada saat musim peralihan pertama antara

bulan Maret-Mei yaitu sekitar 27,15 OC. Pada saat musim barat posisi matahari berada di

selatan ekuator sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara

ekuator minimal dan sebaliknya pada saat musim timur posisi matahari berada di utara

ekuator sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator

mencapai maksimal.

Pada saat musim barat antara bulan Desember-Februari suhu permukaan laut di

bagian utara ekuator Samudera Pasifik barat paling rendah yaitu sekitar 26,90 OC dan

paling tinggi terjadi pada saat musim timur antara bulan Juni-Agustus yaitu sekitar 28,27

OC. Sedangkan di bagian selatan ekuator paling rendah terjadi pada saat musim timur

antara bulan Juni-Agustus yaitu sekitar 26,09 OC dan paling tinggi pada saat musim barat

yaitu sekitar 27,99 OC. Pada saat musim barat posisi matahari berada di selatan ekuator

sehingga radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator minimal

dan sebaliknya pada saat musim timur posisi matahari berada di utara ekuator sehingga

radiasi matahari yang sampai di permukaan laut bagian utara ekuator mencapai maksimal.

4 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan model CSIRO MK3L maka dapat

disimpulkan bahwa simulasi menunjukkan hasil yang konsisten dengan pola umum

distribusi suhu permukaan laut berdasarkan posisi matahari. Pada saat musim barat antara

bulan Desember-Februari posisi matahari berada di selatan ekuator sehingga suhu

permukaan laut di belahan bumi bagian selatan ekuator lebih hangat dan di belahan bumi

bagian utara ekuator lebih dingin. Sebaliknya pada saat musim timur antara bulan Juni-

Gambar 11. Pola suhu permukaan laut

bulan Nopember

Gambar 12. Pola suhu permukaan laut

bulan Desember

Page 212: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 202 ~

Agustus posisi matahari berada di utara ekuator sehingga suhu permukaan laut di belahan

bumi bagian selatan ekuator lebih dingin dan di belahan bumi bagian utara ekuator lebih

hangat. Suhu permukaan laut bagian utara ekuator Samudera Hindia dan Samudera Pasifik

barat mencapai maksimum terjadi pada saat musim timur. Di perairan Indonesia suhu

maksimum terjadi pada saat musim peralihan. Secara rata-rata suhu permukaan perairan

Samudera Pasifik barat lebih hangat daripada Samudera Hindia.

UCAPAN TERIMA KASIH.

Diucapkan terima kasih kepada Drs. Bambang Siswanto, M.Si yang telah mengijinkan

saya untuk menggunakan data suhu permukaan laut bulanan hasil simulasi untuk keperluan

seminar ini.

DAFTAR RUJUKAN

Prawirowardoyo, S, 1996. Meteorologi. Institut Teknologi Bandung.

Deser, C., Alexander, M, A., Xie, S, P., Philips, A, S. 2010. Sea Surface Temperature

Variability: Patterns and Mechanisms. Annu. Rev. Marine. Sci. 2010.2:115-143

Nontji, A, 1987. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

Qu, T., Du, Y., Strachan, J., Meyers, G., Slingo, J. 2005. Sea Surface Temperature and Its

Variability In The Indonesian Region. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.

Ningsih, N.S, 2003. Peranan Iklim Pada Studi-Studi Kelautan. Prosiding Seminar dan

lokakarya Kajian Aspek Klimatologi dan Lingkungan Serta Pemanfaatannya,

LAPAN, Bandung.

Page 213: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 203 ~

ANALISIS PENGARUH LIPUTAN AWAN TERHADAP

INDEKS UV DI SUMATERA UTARA

Ninong Komala

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN

Jl.Dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173

Telp. (022) 6037445, 6012602; Fax. (022)6037443

e-mail: [email protected];

Abstract

Research on the analysis of the effect of cloud cover on the index of Ultra Violet (UV

index) is important to do because the cloud cover will affect the UV radiation reaching the

earth's surface. For coverage of the research was done and the UV index as well as the

relationship between cloud cover with UV index in North Sumatra-based AURA OMI data

is from 2005 to 2012. Results of spatial variation analysis of UV indices of North Sumatra

in 2005-2012 is between 9.9 up to 12. UV Index of North Sumatra has an annual pattern

with a maximum in March and minimum in December. Spatial variation of cloud cover

varies between 0.28 to 0.55 with a maximum annual pattern in November and minimum in

June. The result of statistical analysis of cloud cover and UV index linkage spatially

obtained a negative correlation results as an increase in cloud cover will decrease the UV

index with correlation coefficients between 0.90 to 0.96. Temporally correlation between

cloud cover with UV index also showed a negative correlation, the highest correlation is

achieved in the JJA season with a correlation coefficient of 0.7.

Keywords: AURA-OMI, cloud cover, UV index, North Sumatera

Abstrak

Penelitian tentang analisis pengaruh liputan awan terhadap indeks Ultra Violet (indeks

UV) penting untuk dilakukan karena liputan awan akan berpengaruh pada radiasi UV yang

sampai ke permukaan bumi. Untuk itu dilakukan penelitian liputan awan dan indeks UV

serta keterkaitan antara liputan awan dengan indeks UV di wilayah Sumatera Utara

berbasis data OMI-AURA tahun 2005 sampai dengan 2012. Hasil analisis variasi spasial

indeks UV dan liputan awan Sumatera Utara tahun 2005-2012 adalah indeks UV antara

9,9 sampai dengan 12. Indeks UV Sumatera Utara mempunyai pola tahunan dengan

maksimum pada bulan Maret dan minimum pada Desember. Variasi spasial liputan awan

bervariasi antara 0,28 – 0,55 dengan pola tahunan maksimum pada bulan November dan

minimum pada bulan Juni. Dari hasil analisis statistik keterkaitan liputan awan terhadap

indeks UV di Sumatera utara secara spasial diperoleh hasil korelasi negatif, yaitu

peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks UV dengan koefisien korelasi antara

0,90 sampai dengan 0,96. Korelasi liputan awan dengan indeks UV secara temporalpun

menunjukkan korelasi negatif, korelasi tertinggi dicapai pada musim JJA dengan koefisien

korelasi 0,7.

Kata kunci : liputan awan, indeks UV , AURA-OMI, Sumatera Utara

Page 214: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 204 ~

1. PENDAHULUAN

Penelitian radiasi UV matahari dan parameter atmosfer Sumatera Utara merupakan

bagian dari rangkaian penelitian yang merupakan salah satu langkah untuk menunjang dan

merealisir penelitian pengembangan komposisi atmosfer di Pusat Sains dan Teknologi

Atmosfer LAPAN (Komala, N. dkk, 2009, Komala, N. dkk, 2010).

Awan memiliki pengaruh besar terhadap radiasi ultra violet yang sampai ke

permukaan bumi. Untuk mengetahui pengaruh awan terhadap radiasi ultra violet yang

sampai ke permukaan bumi, bisa digunakan data liputan awan.Liputan awan atau jumlah

awan adalah luas langit yang tertutup awan berdasarkan pengamatan dari satelit. Liputan

awan yang digunakan bisa dalam perdelapanan, persepuluh atau persen dan dalam

penelitian ini digunakan persen.

Indeks UV adalah ukuran kulit manusia yang relevan dengan intensitas radiasi UV di

permukaan bumi. Indeks UV berupa unit tanpa satuan yang berhubungan linier terhadap

laju dosis erythema. 1 indeks UV sama dengan 25 mW/m2. Karena radiasi ultra violet yang

sampai ke permukaan bumi terkait dengan kondisi liputan awan. Hal lain penyebab

terjadinya perubahan radiasi UV-B yang sampai ke permukaan bumi tergantung juga

kepada beberapa faktor seperti posisi matahari yang berubah secara siklus harian dan

musiman, kondisi awan lokal, ketinggian lokasi, jumlah tutupan es atau salju dan jumlah

aerosol di atmosfer di atas lokasi tersebut. Perubahan kondisi awan dan aerosol yang

terkait dengan kondisi polusi udara dan emisi GRK dari aktivitas manusia.

Data dari satelit mengenai komposisi atmosfer memegang peranan penting

untuk menunjang kelengkapan data yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini.

Lengkapnya data liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara akan sangat berguna

bagi basis data atmosfer Indonesia. Pertanyaan penelitian tentang variasi liputan awan dan

indeks UV matahari (UV indeks) di Sumatera Utara serta seberapa besar keterkaitan

kondisi liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara dapat dijawab dan diselesaikan

dengan melakukan penelitian ini sehingga dapat menginformasikan variasi liputan awan,

indeks UV dan parameter atmosfer di Sumatera Utara.

Hasil dari UNEP pada tahun 2010, membahas hasil pengamatan dan pemantauan

dalam jangka panjang menunjukkan bahwa radiasi ultra violet yang mencapai permukaan

bumi mengalami peningkatan sebagai respons terhadap variasi lapisan ozon. Jumlah

radiasi UV B yang mencapai permukaan bumi di lokasi tertentu sangat tergantung kepada

kondisi lapisan ozon di daerah tersebut. Molekul ozon di stratosfer dan di troposfer

mengabsorbsi radiasi UV-B, sehingga secara signifikan mengurangi jumlah radiasi yang

Page 215: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 205 ~

akan mencapai permukaan bumi. Bila kondisi pengurangan ozon ini terjadi di stratosfer

atau di troposfer, maka jumlah total ozonnya berkurang dan jumlah radiasi ultra violet

yang mencapai permukaan bumi akan meningkat secara proporsional. Hubungan antara

total ozon dan radiasi UV-B telah dibuktikan di banyak lokasi dengan melakukan

pengukuran ozon dan radiasi UV-B secara langsung.

Richard L. McKenzie (2007), membahas tentang distribusi global radiasi UV dan

perubahan musimannya dibandingkan dengan perubahan dalam jangka panjang karena

terjadinya perubahan komposisi atmosfer. Diperoleh hasil korelasi yang signifikan antara

time series ozon total dan indeks UV yaitu penurunan ozon total akan mengakibatkan

peningkatan indeks UV di New Zealand.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakter liputan awan dan

indeks UV di Sumatera Utara serta keterkaitan antara liputan awan dengan indeks UV

yang terdeteksi di permukaan. Pertanyaan penelitian tentang variasi liputan awan dan

indeks UV matahari (UV indeks) di Sumatera Utara serta seberapa besar keterkaitan

kondisi liputan awan dan indeks UV di Sumatera Utara dapat dijawab dan diselesaikan

dengan melakukan penelitian ini. Dari hasil penelitian ini dapat diinformasikan kondisi,

karakter dan keterkaitan variabilitas liputan awan dengan indeks UV yang terdeteksi di

Sumatera Utara, serta penyebarluasan data dan informasi agar dapat meminimalkan

dampak buruk terpapar radiasi UV berlebih.

2. DATA DAN METODE

Data dari satelit AURA-OMI yang digunakan dalam penelitian adalah data liputan

awan dan indeks UV untuk wilayah Sumatera Utara jadi tidak dibahas metoda cara

memperoleh data liputan awan dan indeks UV tersebut. Data yang digunakan adalah data

harian liputan awan dan data UV Indeks di Sumatera Utara tahun 2005 sampai dengan

2012 (OMI home page: http://toms.gsfc.nasa.gov/omi). Data harian liputan awan dan

indeks UV dengan ukuran grid sel 1 derajat lintang x 1 derajat bujur kemudian dirata-rata

dijadikan data bulanan dan musiman DJF, MAM, JJA dan SON. Data liputan awan dan

indeks UV tidak mempunyai satuan. Data yang diperoleh dari AURA-OMI adalah data

dalam skala global. Data liputan awan dan indeks UV dengan 1° x 1° grid sel ini

cakupannya dari -180.0° sampai +180.0° bujur dan dari lintang -90.0° sampai + 90.0°.

Dilakukan ekstrak data liputan awan dan indeks UV untuk wilayah Sumatera Utara dengan

cakupan 1 ° LS sampai 4 °LU dan 98° BT sampai 100° BT, dengan periode data yang

dianalisis adalah data dari tahun 2005 sampai dengan 2012.

Page 216: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 206 ~

Metoda untuk menganalisis data adalah dengan melakukan analisis variasi spasial

tahunan dan rata-rata spasial selama periode penelitian. Juga dilakukan analisis variasi

temporal untuk menganalisis karakter variasi tahunan dan musiman liputan awan dan

indeks UV. Dilakukan pula analisis statistik untuk menganalisis keterkaitan antara liputan

awan terhadap variasi indeks UV di Sumatera Utara secara spasial dan temporal.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis variasi spasial liputan awan Sumatera Utara

Rata-rata spasial liputan awan Sumatera Utara 2005 sampai 2012 ada pada range

0,29 sampai dengan 0,52. Nilai ini diartikan bahwa di Sumatera utara liputan awannya

adalah antara 29 % sampai dengan 52 %. Kondisi liputan awan yang cukup tinggi di

Sumatera Utara sesuai dengan yang diungkap NASA (2012) bahwa daerah yang paling

berawan adalah daerah tropis dan daerah beriklim sedang, daerah subtropis dan daerah

kutub memiliki awan 10%-20% lebih sedikit.

Dengan membandingkan pengamatan satelit variasi awan dengan data meteorologi,

dimungkinkan bagi kita untuk membangun korelasi sifat awan dan kondisi atmosfer.

Gambar 1: Variasi spasial rata-rata liputan awan dari tahun 2005 sampai dengan 2012 di

Sumatera Utara dalam skala standar 0 sampai dengan1 (a) dan skala yang sesuai

dengan kondisi di Sumatera Utara (b).

Hasil analisis memperlihatkan pola spasial liputan awan di daerah dekat Danau

Toba mempunyai liputan awan tertinggi yaitu sekitar 0,52 atau liputan awan di lokasi

tersebut adalah 52% dibandingkan dengan liputan awan di bagian lain di Sumatera Utara

yang menunjukkan liputan awan lebih kecil. Perbedaan liputan awan sekitar 0.24 atau 24

%.

Page 217: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 207 ~

Tabel 1. variasi spasial liputan awan tahun 2005 sampai 2012

Tahun

Liputan awan

Rata-rata st deviasi maksimum minimum

2005 0.38 0.07 0.52 0.28

2006 0.40 0.08 0.52 0.29

2007 0.38 0.08 0.52 0.30

2008 0.40 0.08 0.54 0.31

2009 0.39 0.07 0.51 0.30

2010 0.38 0.07 0.49 0.28

2011 0.40 0.07 0.55 0.32

2012 0.38 0.07 0.52 0.29

Pada tabel 1 ditampilkan variasi spasial tahunan liputan awan Sumatera Utara dari

tahun 2005 sampai dengan tahun 2012 berupa nilai rata-rata, standar deviasi, maksimum

dan nilai minimum.

Gambar 2: Grafik variasi spasial liputan awan Sumatera Utara dari 2005 sampai 2012 (a) dan

variasi spasial rata-rata 2005 sampai 2012 (b).

.

Pada gambar 2 (a) dapat dilihat hasil analisis spasial tahunan liputan awan di

Sumatera Utara dari tahun 2005 sampai dengan 2012. Liputan awan di Sumatera Utara

pada tahun 2010 terdeteksi paling rendah sedangkan pada tahun 2011 liputan awannya

paling tinggi. Analisis pola spasial rata-rata 2005 sampai dengan 2012 liputan awan di

Sumatera Utara menunjukkan liputan awan rata-rata 0,39 dengan standar deviasi 0,07,

liputan awan maksimum 0,52 dan liputan awan minimum 0,29.

Analisis variasi temporal liputan awan Sumatera Utara

Hasil analisis variasi temporal liputan awan di Sumatera Utara dapat dilihat pada

gambar 3 (a). Hasil analisis menunjukkan bahwa liputan awan Sumatera Utara 2005-2012

mempunyai range antara 0,24 sampai dengan 0,56 atau liputan awan di Sumatera Utara

antara 24 % sampai dengan 56 %.

Page 218: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 208 ~

Gambar 3 : Variasi temporal liputan awan Sumatera utara (a) dan pola tahunan rata-rata 2005

sampai dengan 2012 (kanan).

Pada gambar 3 (a) pola tahun 2005 dan 2007 menunjukkan puncak liputan awan

yang lebih besar dari pola rata-rata tahunan 2005 sampai dengan 2012. Pada pola tahunan

2009 dan 2012 nilai minimum liputan awan lebih kecil dari pola rata-rata. Pola tahunan

rata-rata liputan awan tahun 2005 sampai 2012 menunjukkan maksimum pada bulan

November dan minimum pada bulan Juni seperti diperlihatkan pada gambar 3 (b).

Pola variasi musiman liputan awan untuk bulan-bulan Desember, Januari, Februari (DJF),

Maret, April, Mei (MAM), Juni, Juli, Agustus (JJA) dan September, Oktober, November

(SON) pada tahun 2005-2012, dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4 : Pola musiman liputan awan Sumatera Utara tahun 2005 sampai dengan 2012

(a) dan pola musiman rata-rata 2005 sampai dengan 2012 (b).

Pola musiman liputan awan Sumatera Utara pada musim DJF range liputan awan

antara 0,39 sampai dengan 0,43. Liputan awan terrendah terjadi pada DJF tahun 2007

yaitu 39,3 % dan tertinggi pada tahun 2006 yaitu 43 %. Musim MAM range liputan awan

Page 219: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 209 ~

antara 0,33 sampai dengan 0,395. Liputan awan tertendah terjadi pada MAM tahun 2009

yaitu 33 % dan tertinggi pada tahun 2008 yaitu 39,5 %. Untuk musim JJA range liputan

awan antara 0,328 dan 0,359. Liputan awan tertendah terjadi pada JJA tahun 2012 yaitu

32,8 % dan tertinggi pada tahun 2007 yaitu 35,9%. Liputan awan pada musim SON range

antara 0,402 sampai dengan 0,48, dengan liputan awan terrendah terjadi pada tahun 2010

yaitu 40,2 % dan tertinggi terjadi pada SON tahun 2006 yaitu 48%.

Pola variasi musiman liputan awan di Sumatera Utara secara umum menunjukkan

pada musim SON liputan awan terdeteksi paling tinggi khususnya pada tahun 2006 dengan

liputan awan 48% dan liputan awan terrendah pada JJA tahun 2012 dengan liputan awan

32,8%.

Analisis variasi spasial dan temporal indeks UV Sumatera Utara

Analisis variasi spasial indeks UV Sumatera Utara

Variasi spasial Indeks UV Sumatera Utara 2005 sampai 2012 ada pada range 9,9

sampai dengan 12,2. Kondisi indeks UV yang cukup tinggi di Sumatera Utara adalah

sebagai konsekwensi dari tempat atau lokasi yang terletak di daerah tropis seperti

Indonesia yang mendapat limpahan radiasi matahari sepanjang tahun.

Gambar 5: Variasi spasial rata-rata indeks UV dari tahun 2005 sampai dengan 2012 di Sumatera

Utara dalam skala standar 6 sampai dengan 14 (a) dan skala yang sesuai dengan

kondisi di Sumatera Utara (b).

Hasil analisis memperlihatkan pola spasial indeks UV di daerah dekat Danau Toba

mempunyai indeks UV terrendah yaitu sekitar 9,9 dibandingkan dengan indeks UV di

bagian lain di Sumatera Utara yang menunjukkan indeks UV lebih besar. Perbedaan indeks

UV sekitar 2,3.

Page 220: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 210 ~

Tabel 1. variasi spasial indeks UV tahun 2005 sampai 2012

Tahun

Indeks UV

Rata-rata st deviasi maksimum minimum

2005 11.3 0.4 12.0 10.6

2006 10.6 0.5 11.3 10.0

2007 11.4 0.5 12.2 10.6

2008 10.6 0.5 11.3 9.9

2009 11.3 0.5 12.0 10.4

2010 11.2 0.4 11.9 10.4

2011 10.9 0.4 11.5 10.1

2012 11.3 0.4 11.8 10.5

Pada tabel 1 ditampilkan variasi spasial tahunan indeks UV Sumatera Utara dari tahun

2005 sampai dengan tahun 2012 berupa nilai rata-rata, standar deviasi, maksimum dan

nilai minimum.

Gambar 6: Variasi spasial tahunan indeks UV dari tahun 2005 sampai dengan 2012 nilai rata-

rata, maksimum dan minimumnyadi Sumatera Utara (a) dan variasi spasial rata-rata

indeks UV tahun 2005 sampai dengan 2012 (b).

Pada gambar 6 dapat dilihat hasil analisis spasial tahunan indeks UV di Sumatera

Utara dari tahun 2005 sampai dengan 2012. Indeks UV di Sumatera Utara pada tahun 2006

paling rendah sedangkan 2007 paling tinggi. Analisis pola spasial rata-rata indeks UV di

Sumatera Utara menunjukkan rata-rata 11,1 dengan standar deviasi 0,5, maksimum 12,2

dan minimum 9,9.

Variasi Temporal Indeks UV Sumatera Utara

Data variasi temporal indeks UV Sumatera Utara tahun 2005 sampai 2012 di buat

pola tahunannya kemudian dibandingkan dengan pola tahunan rata-rata 2005-2012. Variasi

temporal indeks UV Sumatera Utara 2005 sampai dengan 2012 juga memperlihatkan

Page 221: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 211 ~

terjadinya pola tahunan seperti pada gambar 7 (a). Hasil perbandingan pola tahunan indeks

UV Sumatera Utara setiap tahun terhadap rata-rata pola tahunan indeks UV tahun 2005

sampai dengan 2012, diperoleh bahwa pola tahunan indeks UV tahun 2007, tahun 2010

dan 2012 lebih tinggi dari tahun lainnya sedangkan pola tahunan tahun 2006 dan 2008

lebih rendah dari pola tahunan rata-rata 2005-2012. Pola tahunan indeks UV tahun 2010

dan 2012 menunjukkan puncak yang paling tinggi sedangkan pola tahunan tahun 2011

menunjukkan puncak dan minimum paling rendah.

Pada periode 2005 sampai dengan 2012, indeks UV di Sumatera Utara bervariasi

antara 8,96–13,46. Tahun 2005 indeks UV bervariasi antara 9,75–12,92 , tahun 2006 antara

9,16-11,96, tahun 2007 antara 9,97 -13,25 , tahun 2008 antara 8,96–11,46 , tahun 2009

antara 10,29–12,57, tahun 2010 antara 9,23–13,46, tahun 2011 antara 9,59-11,96 dan tahun

2012 indeks UV di Sumatera Utara bervariasi antara 9,94–12,48. Indeks UV terendah

terjadi pada bulan Juni 2008 yaitu 8,96 dan tertinggi terjadi pada bulan Maret 2010 dengan

indeks UV 13,46.

Pada periode 2005 sampai dengan 2012, seperti terlihat pada gambar 7 (b), pola

rata-rata tahunan indeks UV Sumatera Utara mencapai maksimum pada bulan Maret dan

minimum pada bulan Desember.

Gambar 7: Pola variasi temporal indeks UV Sumatera Utara tahun 2005 sampai dengan

Desember 2012 (a) dan pola tahunan rata-rata 2002 sampai dengan 2012

beserta standard deviasinya (b).

Pola variasi musiman indeks UV Sumatera Utara

Pola variasi musiman untuk bulan-bulan Desember,Januari, Februari (DJF), Maret,

April, Mei (MAM), Juni, Juli, Agustus (JJA) dan September, Oktober, November (SON)

Pada gambar 6 dapat dilihat pola musiman dan perbandingan pola musimannya dengan

pola musiman rata-rata 2005-2012. Pola musiman indeks UV Sumatera Utara dalam deret

Page 222: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 212 ~

waktu dari 2005 sampai dengan Desember 2012 mempunyai pola musiman demikian juga

pada nilai deviasinya. Pola variasi musiman indeks UV Sumatera Utara secara umum

menunjukkan musim SON mempunyai nilai indeks UV tertinggi dalam setiap tahunnya.

Variasi musiman indeks UV Sumatera Utara mencapai maksimum pada musim MAM dan

minimum pada musim DJF.

Gambar 8. Pola variasi musiman (DJF, MAM, JJA dan SON) untuk indeks UV di

Sumatera Utara pada tahun 2005-2012 (a) dan rata-rata pola musiman indeks

UV tahun 2005 sampai dengan 2012 (b).

Dari analisis variasi musiman indeks UV Sumatera Utara pada gambar 8, pola

variasi musiman indeks UV menunjukkan pada tahun 2005, 2007 dan 2010 variasi

musimannya lebih tinggi dari tahun yang lainnya, sedangkan tahun 2006 dan 2008 lebih

rendah khususnya untuk musim JJA. Variasi musiman indeks UV Sumatera Utara untuk

DJF antara 9,4-10,4. Indeks UV terendah terjadi pada DJF tahun 2011 yaitu 9,4 dan

tertinggi pada tahun 2012 yaitu 10,4. Musim MAM indeks UV antara 10,5-12,0. Indeks

UV tertendah terjadi pada MAM tahun 2008 yaitu 10,5 dan tertinggi pada tahun 2012

yaitu 12,0. Pada musim JJA range indeks UV antara 9,3-10,8. Indeks UV tertendah terjadi

pada JJA tahun 2008 yaitu 9,3 dan tertinggi pada tahun 2005 yaitu 10,8. Sedangkan indeks

UV pada musim SON mempunyai range 9,5-11,3, dengan indeks UV terendah terjadi pada

tahun 2010 yaitu 9,5 dan tertinggi terjadi pada SON tahun 2012 yaitu 11,3.

Keterkaitan liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara

Korelasi Spasial liputan awan dengan indeks UV

Keterkaitan liputan awan terhadap indeks UV di Sumatera utara secara spasial dari

tahun 2005 sampai dengan 2012 diperoleh dengan melakukakan analisis statistik. Hasil

Page 223: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 213 ~

yang diperoleh menunjukkan korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan

menurunkan indeks UV dengan koefisien korelasi antara 0,90 sampai dengan 0,96.

Gambar 9. Keterkaitan liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara pada tahun

2006 yang menunjukkan korelasi negatif.

Tabel 2. Persamaan regresi linier keterkaitan liputan awan dengan indeks UV

Tahun Persamaan regresi Koef determinasi Koef korelasi

2005 y = - 5,2923 x +13,343 0,8513 0,922659

2006 y = - 5,5377 x +12,821 0,9194 0,958853

2007 y = - 5,8073 x +13,652 0,8539 0, 924067

2008 y = - 5,8863 x +12,952 0,9115 0,954725

2009 y = - 5,8198 x +13,580 0,8302 0,911153

2010 y = - 5,3752 x +13,264 0,8076 0,898666

2011 y = - 5,2940x +13,037 0,8525 0,923309

2012 y = - 5,3510 x +13,320 0,8552 0,92477

Korelasi variasi musiman liputan awan dengan indeks UV

Korelasi liputan awan dengan indeks UV secara temporal dilakukan dengan

mengkorelasikan secara musiman (DJF, MAM, JJA dan SON), hasil yang diperoleh juga

menunjukkan korelasi negatif. Korelasi tertinggi dicapai pada musim JJA dengan koefisien

korelasi 0,7.

Page 224: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 214 ~

Gambar 10. Scatter plot variasi musiman liputan awan dengan indeks UV Sumatera Utara

untuk musim JJA.

Keterkaitan variasi musiman liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara

berdasarkan scatter plot pada gambar 10, menghasilkan persamaan regresi linier.

Persamaan yang dihasilkan dari plot liputan awan dan indeks UV dapat dilihat pada Tabel

3.

Persamaan yang diperoleh untuk musim DJF adalah y = -0,0145 x + 0,5519, y

adalah liputan awan dan x adalah indeks UV. Koefisien determinasi yang diperoleh adalah

0,1159 dan koefisien korelasi antara liputan awan dengan indeks UV adalah 0,34. Dari

persamaan yang diperoleh diartikan bahwa 11,59 % variabel liputan awan dapat dijelaskan

oleh variabel indeks UV pada persamaan tersebut, sedangkan sisanya tidak bisa dijelaskan

oleh indeks UV karena tergantung pada variabel yang lainnya. Untuk musim yang lainnya

yaitu MAM, JJA dan SON variabel ozon total yang dapat dijelaskan oleh variabel indeks

UV adalah 41,95 %, 49,69 %, dan 0.16 %. Koefisien korelasi yang diperoleh untuk musim

DJF, MAM, JJA dan SON adalah 0,34, 0,65, 0,70 dan 0,04. Dari hasil analisis statistik

keterkaitan variasi musiman liputan awan dengan indeks UV di Sumatera Utara diperoleh

hasil korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks UV, atau

sebaliknya semakin tipis liputan awan, semakin tinggi indeks UV. Koefisien korelasi yang

diperoleh antara 0,04 sampai dengan 0,70. Korelasi tertinggi terjadi pada musim JJA

dengan koefisien korelasi 0,70.

Tabel 3. Korelasi musiman liputan awan dan indeks UV Sumatera Utara

Musim Persamaan regresi Koef determinasi Koef korelasi

DJF y = -0,0145 x + 0,5519 0,1159 0,34

MAM y = -0,023 x + 0,6194 0,4195 0,65

JJA y = -0,0173 x + 0,5156 0,4969 0,70

SON y = 0,0016 x + 0.4336 0,0016 0,04

Page 225: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 215 ~

UNEP (2010), menyatakan bahwa faktor musim atau posisi matahari di atas suatu

wilayah berpengaruh terhadap indeks UV. Faktor liputan awan, partikulat, aerosol dan

pencemar udara juga dapat menyerap dan menyebarkan sebagian radiasi UV dan dengan

demikian dapat mengurangi jumlah radiasi UV yang dapat mencapai permukaan bumi. Hal

ini dipengaruhi juga oleh faktor lokasi dan musim. Pola variasi tahunan indeks UV

Sumatera Utara yang diperoleh mempunyai pola yang berbeda dengan yang diperoleh

McKenzie (2007) dan Komala (2012).

Dari hasil analisis nilai indeks UV Sumatera Utara pengamatan 2005 sampai

dengan 2012 adalah antara 8,96 sampai dengan 13,46. Nilai indeks UV di Sumatera Utara

ini sudah tergolong ekstrem (sesuai dengan standar indeks UV yang dikeluarkan oleh

EPA. Menurut US EPA dan WHO (2002), semakin tinggi Indeks UV, semakin besar laju

dosis kulit dan mata dirusak oleh radiasi UV. Akibatnya, semakin tinggi Indeks UV,

semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk kulit atau mata terjadi kerusakan.

4. KESIMPULAN

Telah dilakukan analisis variasi spasial dan temporal liputan awan dan indeks UV

di Sumatera Utara serta keterkaitannya. Hasil analisis menujukkan range indeks UV di

Sumatera Utara sudah tergolong ekstrem dan diperoleh korelasi negatif secara spasial

maupun temporal yang membuktikan bahwa meningkatnya liputan awan akan

menurunkan indeks UV atau semakin kecil liputan awan akan semakin tinggi indeks UV

yang terdeteksi berdasarkan hasil analisis terhadap data selama tahun 2005 sampai 2012.

Hasil analisis variasi spasial indeks UV dan liputan awan Sumatera Utara tahun

2005-2012 adalah indeks UV antara 9,9 sampai dengan 12. Indeks UV Sumatera Utara

mempunyai pola tahunan dengan maksimum pada bulan Maret dan minimum pada

Desember. Variasi spasial liputan awan bervariasi antara 0,28 – 0,55 dengan pola tahunan

maksimum pada bulan November dan minimum pada bulan Juni. Dari hasil analisis

statistik keterkaitan liputan awan terhadap indeks UV di Sumatera utara secara spasial

diperoleh hasil korelasi negatif, yaitu peningkatan liputan awan akan menurunkan indeks

UV dengan koefisien korelasi antara 0,90 sampai dengan 0,96. Korelasi liputan awan

dengan indeks UV secara temporal juga menunjukkan korelasi negatif, korelasi tertinggi

dicapai pada musim JJA dengan koefisien korelasi 0,7.

Page 226: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 216 ~

DAFTAR RUJUKAN

OMI home page: http://toms.gsfc.nasa.gov/omi.

Komala, N., A. Budiyono, N. Ambarsari, Thohirin, H. Suherman dan E. Adetya,

Karakteristik ozon total dan parameter atmosfer Indonesia dari Satelit AURA,

Program Penelitian Pusfatsatklim, 2009.

Komala, N., A. Budiyono, N. Ambarsari, D. Y. Risdianto, H. Suherman dan E. Adetya,

Kondisi ozon total dan parameter atmosfer Indonesia keterkaitannya dengan iklim,

Program Penelitian Pusfatsatklim, 2010.

Komala, N, Variabilitas Ozon dan UV Indeks di Pulau Jawa, dalam Buku Fisika, Dinamika

dan Kimia Atmosfer Berbasis Data Satelit dan Insitu, hal: 124-137, Penerbit CV

Andira Bandung, ISBN:978-979-1458-58-0. 2012.

NASA, 2012, Cloud climatology at http://isccp.giss.nasa.gov

Richard L. McKenzie, UV Radiation Climatology and Trends, National Institute of Water

& Atmospheric Research (NIWA), Lauder, Central Otago, New Zealand , Presented

at PMOD/WRC Meeting, Davos, 18-20 September 2007.

UNEP, Laporan Tahunan, 2010.

US EPA (Environmental Protection Agency), at http://http.epa.gov/sunwise/

World Health Organization (WHO), Global Solar UV Index, A Practical Guide, 2002.

Page 227: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 217 ~

PENGAMATAN AWAN DAN VARIASI CUACA HARIAN

MENGGUNAKAN TRANSPORTABLE X-BAND RADAR

Noersomadi, Sinta Berliana Sipayung, Krismianto, Soni Aulia Rahayu, Ginaldi Ari Nugroho,

Rachmat Sunarya, Safrudin, Edy Maryadi dan Halimurrahman

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN

Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung, 40173

[email protected] / [email protected]

Abstract

Weather observation campaign using Transportable X-band radar has been done during

March 13 to 19, 2013 around Bandung, West Java. The observation for detecting cloud

expansion has been done through two fundamental methods of radar scanning, there were

Plan Position Indicator (PPI) and Range Height Indicator (RHI). The results showed cloud

expansion over Bandung area especially during March 14 to 18, 2013. The result from PPI

scan at 3 km, so called Constant Altitude Plan Polar Position (CAPPI) observation depicted

that convective activity reach its maximum at 09 UTC. RHI observation scan showed

cloud expansion that growth reach over 10 km. The diurnal variation that described from

observation data indicated that cloud expansions over Bandung area were generally

influenced by the orographic topography around the location.

Keywords : X-band radar, PPI, RHI, diurnal variation

Abstrak

Telah dilakukan pengamatan cuaca di wilayah Bandung, Jawa Barat dan sekitarnya selama

periode 13 – 19 Maret 2013 menggunakan Transportale X-band Radar. Observasi untuk

mendeteksi pertumbuhan awan dilakukan melalui dua metode dasar pengamatan radar,

yaitu Plan Position Indicator (PPI) dan Range Heigt Indicator (RHI). Hasil observasi

mampu menunjukkan pertumbuhan awan konvektif di sekitar cekungan Bandung terutama

pada periode 14-18 Maret 2013. Berdasarkan hasil pengamatan menggunakan metode PPI,

pada ketinggian 3 km atau Constant Altitude Plan Position Indicator (CAPPI) tampak

bahwa puncak aktivitas konvektif sekitar pukul 09 UTC. Adapun berdasarkan metode RHI,

pertumbuhan awan konvektif yang terekam hingga mencapai ketinggian di atas 10 km.

Variasi cuaca harian yang ditunjukkan oleh data pengamatan radar selama periode

observasi mengindikasikan bahwa pertumbuhan awan dipengaruhi oleh faktor topografi

pegunungan di sekitar wilayah Bandung.

Kata kunci : X-band radar, PPI, RHI, variasi harian

1. PENDAHULUAN

Wilayah Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat yang berada di 760 m di

atas permukaan laut, memiliki karakteristik cuaca yang unik. Terutama berkaitan dengan

kondisi topografi pegunungan yang ada disekitarnya. Seperti diketahui bahwa salah satu

jenis pertumbuhan awan konvektif adalah pertumbuhan akibat orografis yang memaksa

Page 228: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 218 ~

udara naik ke atas sehingga terjadi kondensasi sebagai inisial adanya pertumbuhan awan

(Markowski et.al., 2010).

Diawali dengan motivasi untuk pemanfaatan teknologi X-band radar (9.4 GHz) yang dapat

dipindahkan (transportable), telah dilakukan observasi awan yang berpotensi hujan di

wilayah Bandung, Jawa Barat. Gambar 1 menunjukkan titik lokasi pengamatan radar.

Tercatat bahwa koordinat lokasi pengamatan adalah 107,69o BT dan 6,89

o LS. Gambar 2

memperlihatkan foto instrumen X-band radar yang dibawa oleh bus dan ditempatkan di

suatu area sehingga tidak ada penghalang disekitarnya untuk melakukan pengamatan awan.

Eksperimen ini bertujuan untuk mengamati pertumbuhan awan dan variasi cuaca harian di

wilayah Bandung dan sekitarnya. Periode pengamatan adalah darri tanggal 13 Maret 2013

pukul 18 UTC atau dinihari pukul 01.00 WIB tanggal 14 Maret 2013 sampai dengan 19

Maret 2013 pukul 07 UTC atau pukul 14.00 WIB.

Gambar 3 Lokasi titik pengamatan radar di daerah Gedebage, Bandung,

Jawa Barat. Koordinat titik pengamatan adalah 107,69o BT dan

6,89o LS.

Page 229: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 219 ~

Gambar 4. Instrumen Transportable X-band radar yang ditempatkan di wilayah Gedebage,

Bandung untuk pengamatan awan dan variasi cuaca harian.

2. DATA DAN METODE

Data yang digunakan dalam makalah ini adalah hasil eksperimen pengamatan

Transportable X-band Radar selama periode observasi sebagaimana disebutkan pada bab

sebelumnya. Parameter dasar hasil pengamatan radar meliputi besaran reflektivitas

(reflectivity) dalam satuan desibell (dB atau dBz), lebar spektrum (spectral width) yang

merepresentasikan banyaknya objek yang terekam oleh radar dalam satu elemen volume,

dan kecepatan (radial velocity) atau kecepatan gerak objek terhadap radar.

Observasi awan menggunakan Transportable Xband Radar didasarkan pada skedul yang

dirancang. Skedul yang dimaksud meliputi Plan Position Indicator (PPI) dan Range

Height Indicator (RHI). Pengamatan PPI mencakup satu lingkaran penuh (360o) atau

disebut juga sebagai surveillance (Fang et.al., 2004) yang diatur mulai dari elevasi 0o

hingga 50o untuk kenaikan setiap 1

o. Adapun pengamatan RHI mencakup hingga elevasi

80o untuk azimuth tiap 30

o.

Page 230: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 220 ~

Gambar 5. Skedul pengoperasian X-band radar selama periode pengamatan (13 – 19

Maret 2013) untuk observasi cuaca di wilayah Bandung dan sekitarnya.

Gambar 3 di atas memperlihatkan skedul pengoperasian radar selama periode

pengamatan. Warna cyan menunjukkan skedul PPI, dan warna magenta menunjukkan

skedul RHI. Warna putih dalam interval waktu 00 – 24 UTC menunjukkan tidak ada

pengamatan karena instrumen radar dihentikan sementara untuk menghindari panas yang

berlebih pada sistem generator. Pada awal pengamatan hanya dilakukan dengan skedul

RHI. Kemudian pada hari kedua telah dicoba untuk pengamatan kontinu dengan skedul

PPI. Setelah mengevaluasi hasil kedua metode pengamatan tersebut, skedul observasi

dilanjutkan dengan selang-seling antara PPI dan RHI.

Dalam makalah ini hanya dibatasi pada analisis data reflektivitas dari kedua skedul

pengamatan. Oleh karena radar hanya mendeteksi tetes awan yang berpotensi hujan

(sebagaimana bergantung pada besar frekuensi yang dipancarkan), maka dari hasil

perekaman tidak terlihat data signifikan apabila kondisi cuaca cerah pada saat observasi.

Data yang tidak signifikan tercatat pada waktu dini hari hingga pagi hari selama periode

observasi.

Page 231: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 221 ~

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Observasi radar berbasis pemindaian volume (volume scan) yang meliputi skedul

PPI dan RHI mampu mengamati suatu volume atmosfer di sekeliling radar. Hasil skedul

PPI untuk ketinggian tertentu disebut Constant Altitude Plan Polar Indicator (CAPPI).

Artinya, dari semua hasil pemindaian dalam satu skedul data yang dicuplik hanya pada

ketinggian yang sama. Gambar 4 mendeskripsikan data reflektivitas di ketinggian 3 km

pada tanggal 14 Maret 2013 pukul 09 UTC. Tercatat bahwa radar mampu mengamati

atmosfer hingga mencapai 82 km jarak horizontal dari titik lokasi radar. Warna abu-abu

dalam gambar menunjukkan bahwa kondisi atmosfer di atas wilayah tersebut cerah atau

tidak terdapat pertumbuhan awan yang berpotensi hujan.

Gambar 6 Data reflektivitas di ketinggian 3 km (CAPPI) pada tanggal 14 Maret 2013

pukul 09 UTC.

Semakin tinggi nilai reflektivitas yang ditampilkan pada pemantauan radar cuaca,

memberi arti bahwa pada wilayah tersebut terdapat awan konvektif yang berpotensi hujan

(Steiner et.al., 1995). Gambar 4 diatas menunjukkan adanya aktifitas konvektif untuk nilai

reflektivitas lebih dari 35 dBz di sekitar wilayah utara radius 25 – 50 km dan wilayah

selatan radius 25 km atau berada di atas pegunungan di sekeliling wilayah Bandung (peta

Page 232: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 222 ~

topografi pada Gambar 1). Berdasarkan kriteria yang dikategorikan oleh (Anagnostou,

2004) dalam mengklasifikasikan presipitasi jenis konvektif dan stratus (stratiform), maka

dapat dilihat pula bahwa awan konvektif terlihat lebih tebal yang ditunjukkan oleh nilai

reflektivitas > 45 dBz di wilayah barat.

Hasil pengamatan pada tanggal 15 Maret 2013 sekitar pukul 09 UTC atau pada sore hari

(16.00 WIB) memperlihatkan kondisi cuaca yang dipenuhi oleh aktifitas konvektif di

sekitar Bandung (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan adanya variasi cuaca harian

berdasarkan hasil observasi selama kurun waktu 5 – 6 hari. Tampak jelas bahwa aktifitas

konvektif dipengaruhi oleh faktor topografi di sekitar wilayah Bandung.

Gambar 7 Data reflektivitas di ketinggian 3 km pada tanggal 15 Maret 2013 pukul 09

UTC.

Selain pertumbuhan awan konvektif, hasil dari observasi dengan skedul RHI juga

menampilkan awan stratus atau awan tinggi yang dicirikan oleh nilai reflektivitas < 30 dBz

(Matyas, 2008). Gambar 6 dan Gambar 7 memperlihatkan contoh hasil rekaman RHI

berturut-turut pada tanggal 15 dan 16 Maret 2013 sekitar pukul 08 – 10 UTC atau 15.00 –

17.00 WIB. Gambar 6 menunjukkan di arah barat daya (azimut 330o) dari titik pengamatan

terdapat awan stratus dalam radius 20 km dengan ketinggian awan 10 km, dan awan

kumulonimbus yang menjulang tinggi hingga 15 km dalam radius 30 – 80 km.

Page 233: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 223 ~

Gambar 8 Data reflektivitas pada tanggal 15 Maret 2013 pukul 09.55 UTC arah barat

daya (azimut 330o).

Hasil observasi pada tanggal 16 Maret 2013 (Gambar 7) memperlihatkan terdapat

pertumbuhan awan konvektif di radius 30 km dan 50 km arah utara dari titik pengamatan.

Apabila diperhatikan kembali peta topografi di sekitar wilayah Bandung dimana terdapat

gunung Tangkuban Perahu, maka semakin jelas bahwa faktor orografik mempengaruhi

pertumbuhan awan konvektif. Selain hal tersebut yang diatas, tercatat pula bahwa secara

rata-rata puncak pertumbuhan awan terjadi sekitar pukul 09 UTC (16.00 WIB).

Page 234: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 224 ~

Gambar 9 Data reflektivitas pada tanggal 16 Maret 2013 pukul 08.47 UTC arah utara

(azimut 0o).

Hasil eksperimen ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam menganalisisi lebih lanjut

terkait fenomena fisis yang terdapat dalam awan seperti turbulensi dalam awan

cumulonimbus. Selain hal tersebut dapat pula dilakukan pembandingan data reflektivitas

terhadap data pengamatan curah hujan permukaan guna mencari persamaan empirik

seperti yang dilakukan oleh (Bhattacharya et.al., 2011; Hagen dan Yuter, 2003). Data

eksperimen ini juga dapat dimanfaatkan untuk validasi simulasi model numerik

pertumbuhan awan.

4. KESIMPULAN

Observasi Transportable X-band Radar menunjukkan bahwa radar cuaca tersebut

mampu mengamati awan yang berpotensi hujan di sekitar titik pengamatan melalui dua

metode dasar obsevasi, yakni PPI dan RHI. Secara rata-rata tercatat bahwa radar mampu

mengamati atmosfer hingga 82 km jarak horizontal. Puncak aktivitas konvektif terjadi

sekitar pukul 09 UTC (16 LT) atau pada waktu sore hari. Observasi RHI tidak hanya

menampilkan pertumbuhan awan konvektif yang ditandai oleh nilai reflektivitas > 35 dBz,

namun mengindikasikan pula adanya awan stratus di ketinggian 10 km (nilai reflektivitas <

30 dBz). Variasi harian pertumbuhan awan konvektif di sekitar titik pengamatan

Page 235: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 225 ~

dipengaruhi oleh faktor topografi pegunungan. Analisis awal hasil eksperimen ini dapat

menjadi dasar untuk analisis lanjutan terkait fenomena fisis pertumbuhan awan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer yang

mendukung pelaksanaan eksperimen pengamatan menggunakan Transportable X-band

Radar. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam

pelaksanaan observasi.

DAFTAR RUJUKAN

Anagnostou, E.N., A convective/stratiform precipitation classification algorithm for

volume scanning weather radar observations, Meteor.Appl.11,291-300, 2004.

Battacharya, A.B., D.K. Tripathi, A. Nag, dan M. Debnath, Measurement of Rain Drop

Size Distribution from Radar Reflectivity and Associated Rain Attenuation of Radio

Waves, International Journal of Engineering Sciences and Technology (IJEST), 3,

4171-4179, 2011.

Fang, M., Doviak, R.J., dan Melnikov, V., Spectrum Width Measured by WSR-88D: Error

Sources and Statistics of Various Weather Phenomena, J. Atmos. Sci. 21, 888-904,

2004.

Hagen, M., dan S.E., Yuter, Relations between Radar Reflectivity, Liquid Water Content,

and Rainfall Rate during MAP SOP, Q.J.R. Meteorol. Soc., 129, 477-493, 2003.

Markowski, P., dan Y. Richardson, Mesoscale Meteorology in Midlatitudes, Wiley-

Blackwell Pub., ISBN: 978-0-470-74213-6, 2010.

Matyas, C.J., A Spatial Analysis of Radar Reflectivity Regions within Hurricane Charley

(2004), Journal of Appl. Meteor. And Clim., 48, 130-142, 2008.

Steiner, M., Houze Jr., R.A., and Yuter, S.E., Climatological Characterization of Three-

Dimensional Storm Structure from Operational Radar and Rain Gauge Data, J. Appl.

Meteor., 34, 1978-2007, 1995.

Page 236: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 226 ~

KOREKSI ESTIMASI DATA CURAH HUJAN SATELIT

TRMM PRODUK LEVEL 3B31 DAN 3B43 DI STASIUN

METEOROLOGI SAM RATULANGI

SELAMA PERIODE 2003-2012

Novvria Sagita

Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi

[email protected]

Abstract TRMM satellite has one function which is to estimate rainfall. The function of estimating

rainfall is use to obtain rainfall data in an area with no rainfall measurements, but in some

previous research shows that there are significant deviations between observation rainfall

data and TRMM estimation. This research compares rainfall data in Sam Ratulangi

Manado Meteorological Stations with data of TRMM satellite level product 3B31 and

3B43 to obtain corrected estimations of TRMM to approaches the data values of surface

rainfall observation. The index multiplied with TRMM estimation level product of 3B31 is

2.91 to obtain TRMM rainfall estimation corrected level product o3B31. The index

multiplied with TRMM estimation level product 3B43 is 1.59 to obtain TRMM rainfall

estimation corrected level product 3B43. Estimation of TRMM rainfall corrected product

level 3B31 and 3B43 are able to reduce the deviation with surface rainfall observation

data.

Keywords: TRMM satellite, Rainfall estimation, 3B31, 3B43.

Abstrak Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) memiliki salah satu fungsi yaitu

untuk estimasi curah hujan. Fungsi estimasi curah hujan inilah yang bisa digunakan untuk

mendapatkan data curah hujan di suatu wilayah yang tidak ada pengukuran curah hujan,

tapi beberapa penelitian sebelumnya menunjukan bahwa terdapat selisih yang besar antara

data observasi curah hujan di permukaan dengan estimasi TRMM. Penelitian ini

membandingan data curah hujan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi dengan data

estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B31 dan 3B43 agar diperoleh estimasi

TRMM yang terkoreksi mendekati nilai observasi curah hujan di permukaan. Indeks yang

dikalikan dengan estimasi TRMM produk level 3B31 adalah 2.91 agar memperoleh

estimasi curah hujan TRMM produk level 3B31 terkoreksi dan Indeks yang dikalikan

dengan estimasi TRMM produk level 3B43 adalah 1.59 agar memperoleh estimasi curah

hujan TRMM produk level 3B43 terkoreksi. Estimasi curah hujan TRMM produk level

3B31 dan 3B43 yang telah terkoreksi mampu memperkecil selisih dengan data observasi

curah hujan di permukaan.

Kata Kunci : Satelit TRMM, Estimasi curah hujan, 3B31, 3B43

Page 237: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 227 ~

1. PENDAHULUAN

Manado merupakan kota yang terletak di 1o 25' 88" - 1

o 39' 50" LU dan 124

o 47'

00" - 124 o

56' 00" BT. Kota Manado masuk dalam dalam tipe pola hujan Mosunal[1]

.

Pengamatan curah hujan biasanya menggunakan penakar hujan observasi yang manual

atau yang otomatis seperti penakar hujan Hellman atau penakar hujan yang terdapat di

AWS (Automatic Weather System).

Pada era ini dikenal satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) adalah

satelit milik NASA (National Aeoronautics And Space Administration). Satelit TRMM

berguna untuk mendeteksi curah hujan di wilayah yang tidak ada pos pengamatan sinoptik

. Penelitian tentang estimasi curah hujan TRMM produk level 3B43 sebelumnya di

Indonesia menunjukkan bahwa hubungan antara TMPA dengan data lapangan dari Badan

Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) adalah tinggi khususnya terhadap pola

hujan bulanan [2]

. Vernimmen et al. (2012) melakukan kajian tentang estimasi curah hujan

satelit TRMM produk level 3B42 di Indonesia dengan mengambil contoh wilayah di

Jakarta, Bogor, Bandung, Lampung, Jawa Timur dan Banjar Baru dan menghasilkan

estimasi curah hujan TRMM produk level 3B42 yang terkoreksi yang bisa mengurangi

relatif bias terhadap data observasi curah hujan dipermukaan[3]

. Penelitian ini dibatasi

hanya mengetahui nilai koreksi estimasi akumulasi curah hujan bulanan satelit TRMM

produk level 3B31 dan produk level 3B43 dengan pengamatan pengangkar curah hujan

dari tahun 2003 – 2012. Penelitian ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui nilai

koreksi estimasi curah hujan TRMM produk level 3B31 dab 3B43 agar mendekati data

observasi curah hujan di permukaan.

Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi, yaitu suatu unsur hidrometeor yang

jatuh ke permukaan bumi yang memiliki diameter 0,5 mm atau lebih. Tidak semua unsur

hidrometeor tesebut sampai ke permukaan bumi [4]

.

Alat untuk observasi curah hujan disebut pengangkar hujan. Tipe pengangkar

hujan ada 2 tipe yaitu observasi (manual) dan otomatis. Penakar hujan observasi

mengukur curah hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang memiliki satuan mm. 1 mm

curah hujan berarti tinggi curah hujan pada luasan 1 m2. Satelit TRMM (Tropical Rainfall

Measuring Mission) adalah program kerjasama antara NASA (National Aeoronautics And

Space Administration) dan NASDA (National Space Development Agency). Tujuan

program ini untuk mengukur curah hujan dan energi (seperti contoh panas laten dari

kondensasi uap air) di wilayah tropis dan subtropics[5]

.

Page 238: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 228 ~

Data 3B31 merupakan gabungan dari data 2B31 yang merupakan produk sensor PR

didasarkan teknik yang dikembangkan Haddad et al. [1997a, 1997b] dan data 2A12 yang

merupakan hasil produk TMI. Resolusi dari data 3B31 adalah 0.5o X 0.5

o[6]. Data 3B43

adalah data gabungan data harian 3B42 dengan data GPCC (Global Precipitation

Climatology Centre). Hasil data 3B43 merupakah akumulasi curah hujan bulanan dengan

resolusi 0.25 o x 0.25

o[7].

3. DATA DAN METODE

Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data total curah hujan bulanan di

stasiun meteorologi Sam Ratulangi dan Produk data estimasi curah hujan bulanan 3B31

dan 3B43 periode 2003 sampai 2012.

Data estimasi curah hujan satelit TRMM dalam produk 3B31 dan 3B43 dalam

bentuk grib yang diolah dengan software Matlab 10 dengan script yang kami lampirkan.

Data yang estimasi curah hujan satelit TRMM diambil adalah data grid yang terdekat

dengan lokasi tempat observasi curah hujan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi Manado.

Langkah – langkah yang dilakukan pada penelitian ini meliputi :

1. Download produk data satelit TRMM 3B31 dan 3B43 dalam format Netcdf dari tahun

2003 sampai 2012[8]

.

2. Mengumpulkan data observasi total curah hujan bulanan di stasiun meteorologi Sam

Ratulangi Manado dari tahun 2003 sampai 2012.

3. Menghitung total curah hujan tahunan data observasi penakar hujan, estimasi curah

hjan satelit TRMM produk level 3B31 dan 3B43.

4. Menghitung nilai korelasi antara estimasi curah hujan produk level 3B31 dan produk

level 3B43 dengan data penakar hujan:

Keterangan :

= nilai korelasi estimasi curah hujan produk level 3B31 dan produk level 3B43.

= variabel estimasi curah hujan produk level 3B31 atau produk level 3B43.

= variabel data penakar hujan.

5. Menghitung :

a. Relatif bias (%) =

b. Root Mean Square Error (RMSE)

Page 239: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 229 ~

=√

Keterangan :

= data curah hujan penakar hujan.

=estimasi curah hujan produk level 3B31 atau 3B43.

6. Mencari indeks koreksi (K) TRMM level 3B31 dan 3B43

TRMMterkoreksi=K.TRMM

(

)

7. Membuat grafik perbandingan rata-rata curah hujan bulanan data observasi penakar

hujan, TRMM dan TRMM terkoreksi.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4.1. Grafik data curah hujan bulanan observasi permukaan, TRMM produk level

3B31 dan 3B43

Gambar 4.1,menunjukan data TRMM produk level 3B31 memiliki selisih yang lebih

tinggi dari data estimasi TRMM produk level 3B43, hal ini disebabkan karena resolusi data

3B43 lebih tinggi yaitu 0.25o X 0.25

o (25 km), sedangkan 3B31 memiliki resolusi data 0.5

o

X 0.5o (50 km).

0

200

400

600

800

1000

1 6

11

16

21

26

31

36

41

46

51

56

61

66

71

76

81

86

91

96

10

1

10

6

11

1

11

6

Data curah hujan bulanan observasi permukaan, TRMM produk level 3B31 dan 3B43

Observasi 3B31 3B43

Page 240: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 230 ~

Tabel 4.1. Tabel korelasi observasi penakar curah hujan dengan TRMM produk level 3B31

dan 3B43.

Korelasi

Observasi

3B31 0.637723698

3B43 0.886664486

Tabel 4.1 menunjukan nilai korelasi produk level 3B31 dan 3B43 terhadap data

penakar hujan yang lebih dari 0.5 menunjukan bahwa data 3B43 dan 3B31 memiliki

keterkaitan yang tinggi terhadap data curah hujan observasi penakar curah hujan.

Tabel 4.2. Relatif bias dan RMSE data curah hujan tahunan penakar hujan dan estimasi

TRMM produk level 3B31.

Tahun Penakar

hujan

3B31

terkoreksi

3B31 R.Bias RMSE R.BIAS

terkoreksi

RMSE

terkoreksi

2003 3387.8 3333.12 1143.465 66.25% 225.9778 1.61% 153.5467

2004 2857.05 2497.05 856.64 70.02% 201.6694 12.60% 120.4335

2005 3665 3050.65 1046.56 71.44% 236.5226 16.76% 180.6056

2006 2954.6 2454.56 842.065 71.50% 250.4814 16.92% 119.6172

2007 3581 3355.92 1151.285 67.85% 236.8123 6.29% 189.8328

2008 3789.14 4320.98 1482.36 60.88% 234.9997 -14.04% 160.3821

2009 3063.1 4293.74 1473.015 51.91% 155.1781 -40.18% 183.6197

2010 3555.5 4541.84 1558.13 56.18% 215.1001 -27.74% 271.6125

2011 3665 3920.76 1345.06 63.30% 223.0873 -6.98% 164.7007

2012 3775.2 3563.72 1222.575 67.62% 248.2164 5.60% 144.0087

Pada tabel 4.2 menggambarkan bahwa produk level 3B31 memiliki selisih nilai

curah hujan yang tinggi karena ditunjukan nilai relatif bias yang tinggi yaitu rata-rata

kisaranan lebih dari 60% dan nilai root mean square error (RMSE) untuk data estimasi

curah hujan produk level 3B31 memiliki nilai kisaran lebih dari 200. Indeks koreksi untuk

produk level 3B31 adalah 2.91. Relatif bias data 3B31 yang telah terkoreksi terhadap data

penakar hujan lebih rendah dari relatif bias data 3B31 yang belum terkoreksi. Nilai RMSE

rata-rata mengalami penurunan setelah data 3B31 terkoreksi Hal itu dapat dilihat pada

Page 241: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 231 ~

gambar 4.2. Produk level 3B31 yang telah terkoreksi memiliki nilai hampir mendekati data

penakar hujan.

Gambar 4.2. Curah hujan rata-rata bulanan penakar hujan obs (AV obs), TRMM 3B31

(AV TRMM), dan TRMM 3B31 terkoreksi (AV TRMMC) periode tahun 2003 - 2012

Tabel 4.3. Relatif bias dan RMSE data curah hujan tahunan penakar hujan dan estimasi

TRMM produk level 3B43.

Tahun Penakar

hujan

3B43 3B43

terkoreksi

R.Bias R.BIAS

terkoreksi

RMSE

RMSE

terkoreksi

2003 3387,8 2154,995 3.430,38 36,39% -1% 131,0573 49,17

2004 2857,05 1333,575 2.628,94 53,32% 8% 123,0782 47,96

2005 3665 2154,995 3.430,38 41,20% 6% 127,8105 137,31

2006 2954,6 1763,345 2.806,94 40,32% 5% 135,9872 136,02

2007 3581 2186,425 3.480,41 38,94% 3% 143,4018 76,50

2008 3789,14 2456,815 3.910,82 35,16% -3% 396,8086 57,42

2009 3063,1 1896,625 3.019,10 38,08% 1% 126,771 60,76

2010 3555,5 2731,075 4.347,40 23,19% -22% 105,2777 121,76

2011 3665 2950,985 4.697,45 19,48% -28% 89,04075 138,22

2012 3775,2 2347,235 3.736,39 37,82% 1% 141,1584 51,52

Pada tabel 4.3 menunjukan selisih yang besar antara estimasi curah hujan TRMM

produk level 3B43 dengan penakar hujan. Nilai RMSE produk level 3B43 terhadap

penakar hujan kisran 105 hingga 397. Indeks koreksi untuk produk level 3B43 yaitu 1,59.

Tabel 4.3 menunjukan relatif bias estimasi produk level 3B43 terkoreksi terhadap data

penakar hujan lebih rendah dari relatif bias produk level 3B43 yang belum terkoreksi.

Produk level 3B43 yang telah terkoreksi memiliki nilai hampir mendekati data penakar

0

100

200

300

400

500

JAN

FEB

MA

R

AP

R

MEI

JUN

JUL

AG

ST

SEP

T

OK

T

NO

V

DES

AV OBS

AV TRMM

AV TRMMC

Page 242: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 232 ~

hujan, sehingga indeks koreksi bisa digunakan untuk meminimalisir perbedaan antara data

curah hujan penakar hujan dengan estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B43.

Gambar 4.3 Curah hujan rata-rata bulanan penakar hujan obs (AV obs), TRMM 3B43

(AV TRMM), dan TRMM 3B43 terkoreksi (AV TRMMC) periode tahun 2003 – 2012.

5. KESIMPULAN

Uraian perbandingan data curah hujan penakar hujan dengan estimasi satelit

TRMM produk level 3B31 dan produk level 3B43 dapat ditarik keimpulan bahwa Estimasi

curah hujan satelit TRMM memiliki korelasi yang tinggi dengan data penakar hujan yaitu

untuk produk level 3B31 memiliki nilai korelasi 0.64 dan pada produk level 3B43

memiliki nilai korelasi 0.89. Indeks koreksi estimasi produk level 3B31 sebesar 2.91 dan

produk level 3B43 sebesar 1.59 untuk data hujan di stasiun meteorologi Sam Ratulangi.

Nilai RMSE yang besar antara data estimasi curah hujan satelit TRMM dengan data

observasi permukaan disebabkan posisi grid yang diamati satelit TRMM tidak tepat

dengan grid observasi permukaan, sehingga terjadi perbedaan besar antara data curah hujan

observasi permukaan dengan estimasi curah hujan satelit TRMM. Indek koreksi

menghasilkan estimasi curah hujan satelit TRMM produk level 3B31 yang telah dikoreksi

dan dan produk level 3B43 yang telah terkoreksi. Produk level 3B31 dan 3B43 yang telah

dikoreksi mempunyai nilai RMSE rata-rata 50% lebih rendah dari nilai RMSE produk

level 3B31 dan 3B43 yang belum dikoreksi dan produk level 3B31 dan 3B43 memiliki

nilai relaif bias rata-rata 90% lebih rendah dari data estimasi yang belum dikoreksi. Saran

untuk penelitian ini kedepannya adalah perlu adanya penelitian untuk wilayah lain dan

dalam periode waktu yang lebih lama dan produk level yang lain yang berisi data

akumulasi curah hujan.

0

100

200

300

400

500

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEPT OKT NOV DES

AV obs

AV TRMM

AV TRMMc

Page 243: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 233 ~

UCAPAN TERIMA KASIH.

Ucapan terimkasih kepada bapak Samsul Arifin ST dan Ratih Prasetya S.Si yang memberi

saran masukan untuk penelitian ini hingga selesainya penilitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

[1] Aldrian and Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within

Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. Wiley Interscience.

23: 1435 – 1452.

[2] Suryantoro et al. (2008). Annual and Interannual Variability of Precipitation Based on

3B43 TRMM Data Analysis. International Symposium on Equatorial Monsoon

System, 16-17 September 2008, pg. 105-113. Jakarta: Puslitbang BMKG

[3] Vernimmen, R. R. E.; Hooijer, A.; Mamenun; Aldrian, E. (2011). Evaluation and bias

correction of satellite rainfall data for drought monitoring in Indonesia. Volume 8,

Issue 3, pp.5969-599.Hydrology and Earth System Sciences Discussions.

[4] Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. Penerbit ITB. Bandung.

[5] About TRMM.(2013).(http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/about/history/history_e.htm),

diakses pada tanggal 25 Mei 2013.

[6] Produl level 3B31. (2013).

(http://rain.atmos.colostate.edu/CRDC/datasets/TRMM_3B31.html), diakses pada

tanggal 25 Mei 2013.

[7] Produl level 3B43. (2013).

(http://rain.atmos.colostate.edu/CRDC/datasets/TRMM_3B43.html), diakses pada

tanggal 25 Mei 2013.

[8] download produk level 3B31 dan 3B43.(2013).(http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-

bin/G3/gui.cgi?instance_id=TRMM_Monthly), diakses pada tanggal 25 Mei 2013.

Page 244: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 234 ~

ANALISIS DIURNAL PARAMETER CUACA MIKRO DI

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. EMAL

KABUPATEN SAROLANGUN PROVINSI JAMBI

Radyan Putra Pradana, Kadarsah

Puslitbang BMKG Jakarta. Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran 10720

Email : [email protected]

Abstract

Diurnal analysis of micro weather were conducted by considering the influence of the oil

palm canopy cover of the meteorological parameters. The research was done by comparing

the results of measurements of Portable Weather Station (PWS) I and II. Measurements

PWS I placed under the palm canopy with PWS II were placed in an open area. Conditions

showed that the palm canopy affect micro weather which has level differences fluctuation,

and the difference level getting more widening after 16.00 pm. Temperature difference of

about 0.5 - 30

C, with a significant reduction occurs in PWS I due to the influence of the oil

palm canopy. Diurnal moisture also shows a difference of 1 - 5 %, diurnal pressure

difference of 0.5 - 1 mb. In addition, wind speed PWS I fluctuate but not as much

fluctuation in PWS II. Wind direction that occurs in PWS I was more focused on one way

and not spread out like that happened in PWS II. The wind direction due to the spread of

PWS II position in an open area.

Keywords : diurnal analysis, micro weather, Portable Weather Station

Abstrak

Analisis diurnal cuaca mikro dilakukan dengan memperhatikan pengaruh tutupan tajuk

kelapa sawit terhadap parameter meteorologi. Penelitian ini dilakukan dengan cara

membandingkan hasil pengukuran Portable Weather Station (PWS) I dan PWS II.

Pengukuran (PWS) I yang ditempatkan dibawah tajuk kelapa sawit dengan PWS II yang

ditempatkan di area terbuka. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa tajuk kelapa sawit

mempengaruhi cuaca mikro dengan tingkat perbedaan yang berfluktuasi dan perbedaan

tersebut makin membesar setelah pukul 16.00 WIB. Perbedaan temperatur sekitar 0.5 - 30

C, dengan penurunan yang signifikan terjadi pada PWS I akibat pengaruh tajuk kelapa

sawit. Kelembapan diurnal juga menunjukkan perbedaan sebesar 1-5 %, perbedaan

tekanan diurnal sebesar 0.5 - 1 mb. Selain itu, kecepatan angin PWS I berfluktuasi tetapi

tidak sebesar fluktuasi di PWS II. Arah angin yang terjadi di PWS I lebih terfokus pada

salah satu arah dan tidak tersebar seperti yang yang terjadi pada PWS II. Tersebarnya arah

angin tersebut akibat posisi PWS II yang di area terbuka.

Kata Kunci : analisis diurnal, cuaca mikro, Portable Weather Station

1. Pendahuluan

1.1. Kondisi Geografis

Kabupaten Sarolangun adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi, Indonesia

(Gambar 1.1). Luas wilayahnya 6.174 km² dengan populasi 246.245 (sensus penduduk

Page 245: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 235 ~

2010. Ibu kotanya ialah Sarolangun. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang

Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo,

Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur

(http://id.wikipedia.org/wiki/Sarolangun, diakses tanggal 01 oktober 2012). Sebelumnya,

kabupaten ini bersama-sama dengan Kabupaten Merangin membentuk Kabupaten

Sarolangun-Bangko. Secara geografis, Kabupaten Sarolangun terletak antara 01°53‟39‟‟

sampai 02°46‟02‟‟ Lintang Selatan dan antara 102°03´39‟‟ sampai 103°13´17‟‟ Bujur

Timur dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 10 sampai dengan 1000

meter dari permukaan laut. Luas wilayah administratif Kabupaten Sarolangun meliputi

6.174 Km2, terdiri dari Dataran Rendah 5.248 Km

2 (85%) dan dataran tinggi 926 Km

2

(15%). Secara administratif pada awal berdirinya Kabupaten Sarolangun terdiri atas 6

kecamatan, 4 kelurahan dan 125 desa. sampai dengan tahun 2010 Kabupaten Sarolangun

terdiri dari 10 kecamatan, 9 kelurahan dan 134 desa dengan jumlah penduduk pada tahun

2008 sebanyak 214.036 jiwa dengan kepadatan penduduk 32 jiwa/Km2, rata-rata

pertumbuhan penduduk pertahun mencapai 2,48 persen.

Gambar 1.1. Peta lokasi Kabupaten Sarolangun (warna merah) dengan koordinat: 01°53‟39‟‟-

02°46‟02‟‟ LS 102°03´39‟‟-103°13´17‟‟ BT.

Peningkatan luas lahan kelapa sawit selalu meningkat dari tahun ke tahun sehingga

perlu diketahui pengaruh peningkatan tutupan kelapa sawit tersebut terhadap parameter

meteorologi. Fokus penelitian ini adalah mengenali pengaruh tutupan tajuk kelapa sawit

terhadap parameter meteorologi sehingga dapat diketahui kondisi cuaca mikro dibawah

tajuk kelapa sawit. Kondisi cuaca mikro di bawah tajuk kelapa sawit belum banyak

dilakukan oleh peneliti di Indonesia (Purba, 2007 dan Ridwan, 2009). Penelitian ini

dilakukan di perkebunan kelapa sawit PT. EMAL Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi

dengan menggunakan Portable Weather Station (PWS) I dan PWS II. Pengukuran PWS I

Page 246: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 236 ~

ditempatkan di bawah tajuk kelapa sawit, sedangkan PWS II ditempatkan di area terbuka.

Hasilnya kemudian dibandingkan sehingga diketahui perbedaan hasil pengukuran tersebut.

1.2. Deskripsi PWS

Pengamatan kondisi atmosfer menggunakan PWS Vaisala tipe WXT520 di

Provinsi Jambi dilakukan di perkebunan PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL). Pengamatan

ini dilakukan untuk mengetahui kondisi mikro khususnya di daerah perkebunan kelapa

sawit. PWS Vaisala tipe WXT520 merupakan alat pengukur parameter cuaca yang terdiri

dari enam sensor (Gambar 1.2).

Gambar 1.2. Sensor-sensor PWS Vaisala WXT520. Sensor yang terdiri dari 1). Kecepatan

Angin dan Arah Angin 2). Presipitasi 3). Tekanan Atmosfer terdapat di dalam modul 4).

Suhu dan Kelembapan terdapat di dalam modul

Kelebihan alat pengukur cuaca ini adalah sangat mudah dioperasikan,

ringan/mudah dibawa dan memiliki enam buah sensor dalam satu paket. Pada bagian

sensor kecepatan dan arah angin terdapat teknologi sonic dimana sensor angin memiliki

sebuah array dari tiga transducer ultrasonik yang sama pada bidang horizontal. Kecepatan

angin dan arah angin ditentukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan ultrasound

untuk perjalanan dari masing-masing transduser dengan dua lainnya. Sensor angin

mengukur waktu transit (di kedua arah) sepanjang tiga jalur yang ditetapkan oleh array

transducer. Waktu transit ini tergantung pada kecepatan angin sepanjang jalur ultrasonik.

Untuk kecepatan angin nol, baik waktu transit menuju dan kembali adalah sama.

Page 247: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 237 ~

Gambar 1.3. Sensor arah angin dan kecepatan angin dalam vektor

Gambar 1.4. Waktu perjalanan gerak sonic dari transducer pengirim ke transducer penerima

yang arahnya telah ditentukan.

Gambar 1.5. Konfigurasi dari segitiga sama sisi dari tiga transduser

Rumus yang digunakan untuk kecepatan angin adalah :

Vw = 0.5 x L x 1 (tf – 1 tr)

dimana,

Page 248: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 238 ~

Vw = Kecepatan Angin

L = Jarak diantara dua transduser

tf = Waktu transit arah menuju

tr = Waktu transit arah membalik

Gambar 1.6. Desain lokasi pengamatan PWS

. Gambar 1.7. Unit bagian bawah PWS WXT520

Untuk menentukan arah utara terdapat tulisan “NORTH” pada unit bagian bawah

PWS WXT520. Software aplikasi untuk menampilkan dan menyimpan data parameter

cuaca pada PWS Vaisala WXT520 menggunakan weather display versi 10.37P. Pada

software aplikasi ini terdapat beberapa parameter-parameter cuaca yang dapat ditampilkan

secara real time diantaranya : kecepatan angin, arah angin, suhu, kelembapan, presipitasi

dan tekanan. Data-data parameter cuaca tersebut dapat disimpan dalam rentang waktu

setiap satu menit secara kontinyu dalam format excel.

Page 249: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 239 ~

Gambar 1.8. Offset arah angin

2. Metodologi

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil pengukuran PWS I

yang ditempatkan dibawah tajuk kelapa sawit dengan PWS II yang ditempatkan di area

terbuka. Hasil yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui pengaruh tajuk kelapa sawit

terhadap cuaca mikro di lingkungan tersebut. Penempatan PWS I dan II serta lingkungan

daerah penelitian ditunjukkan Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 menunjukkan kondisi di

perkebunan kelapa sawit. Waktu pengukuran, dilakukan selama tanggal 11-17 Juli 2012.

Gambar 2.1. Aplikasi weather display untuk menampilkan parameter meteorologi secara real

time dengan menggunakan PWS

Page 250: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 240 ~

Gambar 2.2. Lokasi penempatan PWS I dan PWS II di PT. EMAL

Gambar 2.3. Sensor PWS yang diletakkan dibawah tajuk kelapa sawit

3. Hasil dan Pembahasan

Hasil pengamatan pada PWS I dan II dibandingkan dalam satu grafik seperti

Gambar 3.1 yang menunjukkan grafik perbedaan temperatur diurnal PWS I dan II. Kondisi

tersebut memperlihatkan bahwa tajuk kelapa sawit mempengaruhi cuaca mikro dengan

tingkat perbedaan yang berfluktuasi dan perbedaan tersebut makin membesar setelah pukul

16.00 WIB. Perbedaan temperatur sekitar 0.5 - 3 0

C, dengan penurunan yang signifikan

terjadi pada PWS I akibat pengaruh tajuk kelapa sawit. Selain itu, grafik kelembapan

(Gambar 3.2) juga menunjukkan hal yang sama bahwa tajuk kelapa sawit mempengaruhi

kondisi kelembapan dengan perbedaan 1-5 %. Kelembapan yang tinggi diakibatkan

kondisi yang lembap akibat tutupan tajuk kelapa sawit. Grafik tekanan (Gambar 3.3) juga

Page 251: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 241 ~

menunjukkan hal yang sama bahwa terdapat perbedaan tekanan diurnal antara PWS I dan

PWS II (0.5-1 mb). Tekanan yang tinggi pada PWS I akibat temperatur yang rendah dan

kelembapan tinggi yang terjadi di bawah tajuk kelapa sawit. Kondisi tersebut dapat

dipahami bahwa tajuk kelapa sawit akan mempengaruhi kondisi cuaca mikro sehingga

akan berbeda dengan cuaca sekitarnya.

Gambar 3.1. Plot rata-rata diurnal temperatur PWS I dan II

Gambar 3.2. Plot rata-rata diurnal kelembapan PWS I dan II

Gambar 3.3. Plot rata-rata diurnal tekanan PWS I dan II

Page 252: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 242 ~

Parameter cuaca mikro lain yang terlihat jelas terpengaruh adalah kecepatan angin

(Gambar 3.4). Kecepatan angin di bawah tajuk kelapa sawit (PWS I) berfluktuasi tetapi

tidak sebesar fluktuasi PWS II. Kedua PWS menunjukkan fluktuasi yang tinggi saat

menjelang siang hari. Hal tersebut akibat turbulensi yang terjadi di permukaan bumi oleh

sinar matahari melalui proses pemanasan. Tajuk kelapa sawit berfungsi untuk mengurangi

turbulensi serta menghambat kecepatan angin yang terjadi di lokasi tersebut. Analisis arah

angin PWS I (Gambar 3.5) dan PWS II (Gambar 3.6) berupa windrose yang

memperlihatkan arah angin dominan yang terjadi di sekitar lokasi pengukuran. Arah

angin yang terjadi di PWS I lebih terfokus pada salah satu arah dan tidak tersebar seperti

yang yang terjadi pada PWS II. Tersebarnya arah angin tersebut akibat posisi PWS II di

area terbuka.

Gambar 3.4. Plot rata-rata diurnal kecepatan angin PWS I dan II

Gambar 3.5. Windrose di lokasi pengamatan PWS I

Page 253: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 243 ~

Gambar 3.6. Windrose di lokasi pengamatan PWS II

Penelitian tentang cuaca mikro harus terus ditingkatkan dengan mempertimbangkan

morfologi permukaan dan penempatan alat pengamatan meteorologi. Selain itu, analisis

struktur vertikal atmosfer dengan memasukkan efek cuaca mikro masing-masing tipe dan

kekasaran permukaan yang terjadi dekat dengan sumber kekasaran berupa perkebunan

kelapa sawit. Hal ini berlaku untuk profil vertikal, fluks turbulensi energi spektrum

keseimbangan energi dan spektrum turbulensi. Analisis lebih dalam dapat dilakukan

dengan menggunakan konsep Urban Climate Zone (UCZ) (Gambar 3.7) seperti yang

dilakukan oleh Oke (2006). Jika konsep UCZ diterapkan untuk analisis cuaca mikro maka

daerah pengamatan tadi merupakan daerah dengan tipe UCZ 7 dengan karakteristik daerah

semi-rural dengan pemukiman yang tersebar dalam area perkebunan. Kekasaran tipe UCZ

ini berkategori 4, aspek rasio lebih besar dari 0.05 dengan kurang dari 10 % bangunan.

Kondisi di atas akan ikut membantu analisis cuaca mikro di sekitar perkebunan kelapa

sawit. Nilai-nilai di atas harus terus diteliti lebih jauh mengingat aspek rasio yang

tergantung dari tanaman yang berada di area tersebut. Sehingga aspek-aspek lainnya dapat

dipertimbangkan dengan lebih lengkap. Sebaliknya, jika pengamatan dilakukan di antara

gedung, di dalam kanopi perkotaan, hanya akan mewakili sebuah area yang lebih kecil dari

skala mikro. Hal tersebut akan sesuai, misalnya, untuk pengukuran urban heat island

(UHI). Lapisan kekasaran perkotaan bisa memberikan pemahaman yang lebih baik dalam

proses yang terjadi pada lapisan yang komplek tersebut (Oke, 2002, 2006). Penempatan

sensor meteorologi/klimatologi, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.3, dilakukan dengan

mempertimbangkan berbagai faktor meteorologi, klimatologi serta aspek lainnya seperti

topografi. Panduan lengkap tentang penempatan alat pengamatan meteorologi tersebut

dapat dilihat di Oke (2002).

Page 254: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 244 ~

Kondisi cuaca mikro di bawah tajuk kelapa sawit serta struktur vertikal atmosfer di

atasnya dipengaruhi oleh Planetary Boundary Layer (PBL). Ketinggian PBL atau disebut

Atmospheric Boundary Layer (ABL) (Todd and Glickman, 2000) merupakan bagian

terendah dari atmosfer dan karakteristiknya secara langsung dipengaruhi oleh kontak

dengan permukaan bumi (Todd and Glickman, 2000). Sehingga tingkat kekasaran dan

aktivitas yang berlangsung di area perkebunan kelapa sawit sangat mempengaruhi tinggi

PBL. Ketinggian yang rendah terjadi saat pagi dan malam hari sedangkan menjelang siang

hari ketinggian PBL mengalami kenaikan.

Gambar 3.7. Tipe Urban Climate Zones (UCZ) (Oke, 2006)

4. Kesimpulan

Kesimpulan berdasarkan pengamatan dan analisis yang telah dilakukan adalah

Sinar matahari yang terhalang tajuk kelapa sawit mengakibatkan proses pemanasan

permukaan bumi menjadi lambat dan tidak sekuat di area terbuka sehingga mempengaruhi

keenam parameter cuaca yang diamati, yaitu temperatur, tekanan, presipitasi, kelembapan,

kecepatan dan arah angin. Perbedaan temperatur didaerah pengamatan antara 0.5 - 30 C,

tekanan antara 0.5 - 1 mb, kelembapan 1 - 5 %, sedangkan arah angin sangat berfluktuasi.

Analisis cuaca mikro sangat memerlukan konsep Urban Climate Zone (UCZ) dan

Planetary Boundary Layer (PBL untuk analisis udara vertikal akibat tingkat kekasaran tipe

vegetasi berupa kelapa sawit.

Page 255: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 245 ~

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini tidak dapat dilakukan tanpa bantuan DIPA Penelitian Klimatologi dan

Kualitas Udara 2012 PUSLITBANG BMKG, terima kasih yang sebesar-besarnya

diucapkan kepada rekan – rekan personil lapangan : Eko Heriyanto, Ratna Satyaningsih,

Danang Eko Nuryanto, Endarwin, Jose Rizal atas kerjasama tim.

Daftar Pustaka

Glickman, Todd:2000; ed. Glossary of Meteorology. American Meteorological Society:

Boston, Massachusetts

http://id.wikipedia.org/wiki/Sarolangun, diakses tanggal 01 oktober 2012

Kanda, M., R. Moriwaki, M. Roth & T.R. Oke. 2002: Area-averaged sensible heat flux

and a new method to determine zero-plane displacement length over an urban

surface using scintillometry. Boundary-Layer Meteorology, 105, 177-193.

Lagouarde, J.-P., M. Irvine, J.-M. Bonnefond, C.S.B. Grimmond, T.R. Oke, J. Salmond &

B. Offerle, 2006: Monitoring the sensible heat flux over urban areas using large

aperture scintillometry: case study of Marseille city during the ESCOMPTE

experiment. Boundary-Layer Meteorology, 118, 449-476.

Oke, T.R. 2006: Initial Guidance to Obtain Representative Meteorological Observations at

Urban Sites. World Meteorological Organization, Instruments and Observing

Methods, IOM Report No. 81, WMO/TD-No. 1250

Purba, F. F. 2007. Intersepsi Hujan Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit

Usaha Rejosari PTPN VII Lampung). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas

Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Ridwan, B. M. 2009. Penerapan Model Gash Untuk Pendugaan Intersepsi Hujan Pada

Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN VII

Lampung). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut

Pertanian Bogor.

Page 256: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 246 ~

IDENTIFIKASI TIPE AWAN ISCCP MENGGUNAKAN

DATA MODIS TERRA/AQUA

Risyanto dan Sinta Berliana Sipayung

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

email:[email protected]

Abstract

International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP) has established criteria for

satellite-based cloud classification using two parameters, namely cloud top pressure

(CTP) and cloud optical thickness (COT). The criteria was built based on climatological

data relationship between optical parameter of satellite measurements and cloud type data

observations The purposes of this study are to identify the ISCCP cloud-type criteria using

MODIS Terra and Aqua satellites data, and to verify the results with cloud-type image of

MTSAT products. Research study area is western part of Indonesia, especially Java,

Sumatra and Kalimantan, with a data period of 13 to 19 March 2013. Cloud parameters

(CTP and COT) are products of Level-2 MOD06/MYD06 algorithm. The results of study

showed that Terra and Aqua MODIS data can be used to obtain cloud classification data

in accordance to ISCCP criteria. Based on verification, by comparing MODIS ISCCP and

MTSAT cloud-type image, the MODIS cloud-type have similar pattern to MTSAT image at

around 79,8% of similarity. There are still some differences between the two images, which

are caused by the different of cloud-type naming between MODIS and MTSAT products.

Overall, based on this study, identification of cloud-type using ISCCP criteria can be

applied in Indonesia with consideration on its advantages and disadvantages. Keywords: ISCCP, Satellite, Cloud-type, MODIS, Terra and Aqua

Abstrak International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP) telah menetapkan kriteria tipe

awan berbasis satelit yang didasarkan pada dua parameter awan, yaitu cloud top pressure

(CTP, tekanan puncak awan) dan cloud optical thickness (COT, ketebalan optik awan).

Kriteria ini dibangun berdasarkan data klimatologi hubungan antara parameter optik hasil

pengukuran satelit dengan tipe awan hasil pengamatan di permukaan. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengidentifikasi tipe awan kriteria ISCCP menggunakan data MODIS satelit

Terra dan Aqua, serta memverifikasi hasilnya dengan data tipe awan dari produk satelit

MTSAT. Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia bagian barat, terutama Pulau

Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan periode data penelitian tanggal 13-19 Maret 2013.

Data parameter awan (CTP dan COT) merupakan produk algoritma MOD06/MYD06 level

dua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data MODIS Terra dan Aqua dapat

dimanfaatkan untuk memperoleh data tipe awan sesuai dengan kriteria ISCCP. Verifikasi

secara visual kemudian dilakukan dengan cara membandingkan data tipe awan MODIS

ISCCP dengan tipe awan MTSAT. Berdasarkan verifikasi, tipe awan yang dihasilkan

MODIS memiliki pola yang hampir sama dengan tipe awan MTSAT dengan persentase

kemiripan sebesar 79,8%. Masih terdapat beberapa perbedaan antara keduanya, meskipun

tidak terlalu besar, yang lebih disebabkan oleh penamaan tipe awan yang berbeda antara

produk MODIS dan MTSAT. Secara keseluruhan, berdasarkan penelitian ini, identifikasi

Page 257: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 247 ~

tipe awan menggunakan kriteria ISCCP dapat diterapkan di Indonesia dengan

mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya. Kata Kunci : ISCCP, Satelit, Tipe Awan, MODIS, Terra dan Aqua

1. PENDAHULUAN

Teknologi pengamatan atmosfer melalui satelit penginderaan jauh saat ini telah

berkembang sedemikian pesat. Pemantauan atmosfer kini dapat dilakukan dengan skala

yang sangat luas dalam waktu yang bersamaan, bersifat kontinyu dan seragam serta

mampu menjangkau tempat-tempat terpencil yang sulit untuk diakses jika melalui

pengukuran di permukaan. Meskipun demikian, data satelit juga memiliki beberapa

kekurangan, terutama dalam hal tingkat akurasi produk serta diperlukannya penguasaan

teknik pengolahan data yang baik untuk memperoleh parameter yang diinginkan. Beberapa

perangkat lunak (software) pengolah data satelit telah dilengkapi dengan algoritma

penurunan parameter atmosfer secara otomatis, sehingga pengolahan data lanjutannya

menjadi lebih mudah.

Salah satu informasi tentang awan yang sering diperlukan bagi penelitian atmosfer

adalah tipe (jenis) awan. Deteksi awan dan klasifikasinya berdasarkan data satelit secara

otomatis dan akurat akan bermanfaat untuk beragam aplikasi iklim, hidrologi dan atmosfer

(Liu et al., 2009). Pengamatan tipe awan melalui data satelit memiliki perbedaan prinsip

dibandingkan pengamatan dari permukaan. Satelit mengamati perilaku/kondisi puncak

awan jauh dari atas permukaan bumi, sedangkan di permukaan, pengamat mendapatkan

gambaran dasar awan yang dilakukan secara visual menggunakan mata. Resolusi sensor

satelit juga relatif lebih rendah dibandingkan mata manusia sehingga klasifikasi tipe awan

yang diamati dari permukaan bumi tidak sepenuhnya dapat dilakukan melalui data satelit.

Dengan demikian, tipe awan yang dapat diidentifikasi oleh satelit berbeda secara mendasar

dengan tipe awan yang diidentifikasi oleh pengamat di permukaan (JMA, 2002).

Berbeda dengan pengamatan dari permukaan yang mengklasifikasi tipe awan

berdasarkan bentuk dan ketinggian, klasifikasi tipe awan menggunakan satelit dapat

dilakukan dengan memanfaatkan parameter-parameter awan yang diturunkan berdasarkan

nilai spektral radians pada kanal-kanal tertentu yang diterima sensor satelit. Seperti

misalnya International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP) yang telah

menetapkan kriteria tipe awan berdasarkan dua parameter awan, yaitu Cloud Top Pressure

(CTP, tekanan puncak awan) dan Cloud Optical Thickness (COT, ketebalan optik awan).

Kriteria ini dibangun berdasarkan data klimatologi hubungan antara parameter optik hasil

Page 258: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 248 ~

pengukuran satelit dengan tipe awan hasil pengamatan di permukaan, sehingga tipe awan

yang dihasilkan diharapkan sama dengan pengamatan dari permukaan.

Identifikasi tipe awan pada penelitian ini dilakukan menggunakan data Moderate-

resolution Imaging Spektroradiometer (MODIS) dari satelit Terra dan Aqua. Keuntungan

dari penggunaan data MODIS ini adalah telah tersedianya algoritma serta program

pengolah data sampai dengan level dua termasuk penurunan data parameter awan

(menggunakan algoritma MOD06/MYD06) seperti cloud surface temperature, cloud top

pressure, cloud phase, serta cloud optical thickness. Dengan tersedianya data-data tersebut,

identifikasi tipe awan menggunakan kriteria ISCCP dengan data MODIS akan lebih mudah

diterapkan. Meskipun demikian, evaluasi dari penerapan metode tipe awan ISCCP tersebut

belum pernah dilakukan untuk wilayah Indonesia. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi tipe awan ISCCP di Indonesia dan memverifikasi hasilnya dengan data

tipe awan dari produk satelit Multi-functional Transport Satellite (MTSAT). Wilayah yang

dijadikan kajian penelitian adalah Indonesia bagian barat, yaitu Pulau Sumatera, Jawa dan

Kalimantan. Wilayah tersebut dipilih untuk kemudahan pengolahan data MODIS dimana

ketiganya sering kali berada dalam satu scene data, yang diterima dalam satu waktu yang

sama.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Satelit Terra/Aqua diluncurkan pada tahun 2000 (Terra) dan 2002 (Aqua),

merupakan satelit meteorologi dengan orbit polar dengan resolusi spasial 250 m – 1 km.

MODIS merupakan salah satu instrumen penting yang terpasang pada satelit Terra dan

Aqua, yang berfungsi untuk meningkatkan pemahaman tentang dinamika global dan proses

yang terjadi di darat, laut dan atmosfer. Dengan resolusi spasial yang cukup baik

ketersediaan data MODIS cukup membawa kemajuan positif bagi penelitian dan

pengembangan bidang atmosfer dan lingkungan. Hal ini dikarenakan MODIS memiliki 36

kanal spektral yang bekerja pada kisaran gelombang visibel dan infra merah (1-19 dan 26)

dan termal pada kanal-kanal selebihnya. Instrumen MODIS menghasilkan sensitivitas

radiometrik (12 bit) untuk 36 kanal spektral dengan panjang gelombang 0,4 µm sampai

14,4 µm. Dua kanal dengan resolusi 250 m di nadir, lima kanal 500 m, dan sisanya 29

kanal beresolusi 1 km. Dengan pola sapuan ±55 derajat pada ketinggian orbit 705 km,

lebar sapuan 2330 km dan menghasilkan cakupan global setiap 1 – 2 hari (NASA, 2013a).

Page 259: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 249 ~

ISCCP didirikan pada tahun 1982 sebagai bagian dari World Climate Research

Program (WCRP) yang diinisiasi oleh NASA. Proyek ini mengelola data-data atmosfer

dari satelit dan melakukan analisa mengenai distribusi global awan, propertinya, serta

variasi harian, musiman dan tahunan. Hasil kajian ISCCP bertujuan untuk memberikan

pemahaman mengenai klimatologi awan termasuk dampaknya terhadap pertukaran energi

radiatif dan perannya dalam siklus air global (NASA, 2013b). Salah satu produk yang

dihasilkan ISCCP adalah data tipe awan klimatologi yang dibangun berdasarkan parameter

CTP dan COT.

Gambar 2.1. Klasifikasi tipe awan ISCCP (Rossow dan Schiffer, 1999)

CTP merupakan tekanan dimana puncak awan berada, yaitu titik tertinggi dari

bagian awan yang dapat dilihat secara kasat mata. CTP juga dapat dijadikan sebagai

indikator tinggi puncak awan. Parameter ini ditentukan dari nilai suhu puncak awan,

dimana satelit dapat mengukurnya secara langsung, menggunakan profil atmosfer suhu

terhadap tekanan. Parameter COT merepresentasikan ketebalan optik awan pada panjang

gelombang visibel (sekitar 0.6 mikron). Nilai COT satelit didapat berdasarkan reflektifitas

matahari kanal visibel dari objek yang telah teridentifikasi sebagai awan. Penurunan nilai

COT bergantung pada asumsi ukuran dan bentuk partikel awan (NASA, 2013b).

3. DATA DAN METODE

Daerah kajian penelitian adalah wilayah Indonesia bagian barat, terutama Pulau

Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan periode data penelitian tanggal 13-19 Maret 2013.

Page 260: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 250 ~

Data MODIS diperoleh dari situs penyedia data satelit Terra/Aqua yang dimiliki oleh

NASA (http://ladsweb.nascom.nasa.gov/data/). Data MODIS yang dipilih adalah data

produk atmosfer level dua MOD06/MYD06 (cloud product). Sebagai data pembanding,

digunakan citra tipe awan wilayah Indonesia produk satelit MTSAT yang tersedia di situs

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)

(http://satelit.bmkg.go.id/satelit/OCAI).

Pengolahan data dimulai dengan melakukan ekstraksi dan eksport data

MOD06/MYD06 (parameter CTP, COT serta posisi lintang dan bujur) dalam bentuk hdf

menjadi file ascii, menggunakan program HDFView. Resolusi antara kedua parameter

awan tersebut tidak sama (CTP = 1 x 1 km; COT = 5 x 5 km), sehingga perlu dilakukan

penyamaan resolusi menjadi 5 km menggunakan program ENVI 4.5. Proses

pengklasifikasian CTP dan COT menjadi citra tipe awan dan visualisasinya dilakukan

dengan bantuan program ArcView 3.3. Kriteria ISCCP digunakan untuk membedakan tipe

awan menjadi Cumulus, Stratocumulus, Stratus (awan rendah), Altocumulus, Altostratus,

Nimbostratus (awan menengah), Cirrus, Cirrostratus, dan deep convection (awan tinggi).

Hasil identifikasi tipe awan dari citra MODIS ini kemudian diverifikasi secara visual

dengan citra tipe awan keluaran satelit MTSAT.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Contoh hasil pengolahan data parameter COT dan CTP MODIS Terra dan Aqua

yang menghasilkan tipe awan dengan kriteria ISCCP disajikan pada Gambar 4.1 dan

Gambar 4.2. Pada gambar tersebut juga disertakan citra tipe awan MTSAT sebagai

pembandingnya. Berdasarkan perbandingan kedua gambar, terlihat bahwa klasifikasi tipe

awan yang dihasilkan MODIS memiliki persamaan pola dengan citra tipe awan MTSAT.

Masih terdapat beberapa perbedaan antara keduanya, meskipun tidak terlalu besar, yang

lebih disebabkan oleh penamaan tipe awan yang berbeda antara produk MODIS ISCCP

dan MTSAT.

Page 261: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 251 ~

Gambar 4.1. Klasifikasi tipe awan kriteria ISCCP dengan data MODIS Aqua (kiri), dan citra tipe

awan produk satelit MTSAT (kanan), data tanggal 15 maret 2013 pukul 06.30 UTC

ISCCP dengan data MODIS Aqua (kiri), dan citra tipe awan produk satelit MTSAT (kanan)

Gambar 4.2. Klasifikasi tipe awan ISCCP dengan data MODIS Terra (kiri), dan citra tipe awan

produk satelit MTSAT (kanan), data tanggal 15 maret 2013 pukul 03.30 UTC

Perbedaannya adalah pada penamaan tipe awan level menengah, yaitu Altocumulus

(Ac), Altostratus (As) dan Nimbostratus (Ns) pada MODIS, sedangkan dalam citra

MTSAT ketiganya masuk ke dalam tipe Middle Clouds (CM). Perbedaan lainnya adalah

penamaan pada level tinggi, yaitu Cirrus (Ci) dan Cirrostratus (Cs) pada MODIS,

sedangkan pada MTSAT disebut sebagai tipe High Clouds (CH). Tipe awan konvektif

tebal (deep convection) pada MODIS dalam penelitian ini diasumsikan identik dengan tipe

awan Cumulonimbus (Cb) pada citra MTSAT. Berdasarkan hasil pengolahan, tipe awan

jenis deep convection pada data MODIS lebih sering muncul dengan ukuran yang lebih

Page 262: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 252 ~

luas dibandingkan tipe awan Cb pada citra MTSAT. Sebaliknya, untuk tipe awan Stratus,

hampir tidak pernah muncul pada hasil pengolahan data MODIS selama periode

pengamatan. Sehingga kriteria ISCCP khusus untuk tipe awan jenis konvektif tebal dan

Stratus masih perlu dievaluasi.

Berdasarkan hasil perhitungan, dalam skala propinsi di Sumatera, Jawa dan

Kalimantan, persentase kemiripan nama tipe awan yang dihasilkan MODIS dengan

MTSAT adalah sebesar 79,8%. Hasil ini mengindikasikan bahwa kriteria ISCCP dengan

data MODIS secara baik mampu menghasilkan klasifikasi awan untuk wilayah Indonesia

terutama di wilayah bagian barat. Meskipun demikian, evaluasi metode secara menyeluruh

serta validasi dengan data observasi permukaan yang lebih akurat masih diperlukan untuk

mendapatkan hasil yang optimal.

Pada dasarnya, nilai batasan parameter COT dan CTP untuk klasifikasi tipe

awan dapat berubah sesuai kondisi atmosfer di masing-masing wilayah. Hahn et al. (2001)

telah mengevaluasi metode tipe awan yang dikembangkan ISCCP berdasarkan Rossow dan

Schiffer (1991), yaitu dengan membandingkan COT dan CTP yang diperoleh dari data

satelit dengan tipe awan hasil observasi permukaan. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-

rata CTP hasil observasi permukaan tidak selalu sama dengan nilai yang tertera pada

klasifikasi ISCCP terutama untuk tipe awan tinggi, yaitu Cirrus, Altocumulus dan

Cumulonimbus.

Hasil dalam penelitian ini merupakan studi awal yang menyajikan penggunaan

salah satu metode klasifikasi awan yang secara praktis dan mudah dapat diterapkan untuk

wilayah Indonesia. Informasi tipe awan bagi masyarakat umum, terutama awan konvektif

tebal seperti Cumulonimbus, sangat diperlukan mengingat kaitannya yang cukup erat

dengan kejadian bencana seperti hujan ekstrim yang berpotensi banjir dan longsor, serta

kecelakaan pesawat terbang. Sayangnya, pemantauan dengan menggunakan data MODIS

memiliki keterbatasan dalam hal resolusi temporal. Untuk keperluan skala jam-jaman dan

harian, informasi atmosfer dari data satelit penginderaan jauh akan lebih tepat bila

menggunakan data satelit geostasioner seperti MTSAT.

5. KESIMPULAN

Klasifikasi tipe awan dari data satelit menggunakan kriteria ISCCP merupakan

salah satu alternatif metode yang cukup praktis dan mudah untuk digunakan. Secara umum

berdasarkan hasil penelitian, identifikasi tipe awan menggunakan kriteria ISCCP dengan

Page 263: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 253 ~

data MODIS Terra dan Aqua dapat diterapkan di Indonesia dengan mempertimbangkan

kelebihan dan kekurangannya. Klasifikasi awan MODIS dengan kriteria ISCCP cenderung

menghasilkan tipe awan deep convection dengan luasan yang relatif lebih luas

dibandingkan citra MTSAT, sebaliknya tidak terlalu baik dalam menghasilkan tipe awan

Stratus. Oleh karena itu, evaluasi metode secara menyeluruh serta validasi dengan data

observasi permukaan yang lebih akurat masih diperlukan untuk mendapatkan hasil yang

optimal.

DAFTAR RUJUKAN

Hahn C. J., Rossow W. B., Warren S. G., ISCCP Cloud Properties Associated with

Standard Cloud Types Identified in Individual Surface Observations, AMS Journal of

Climate Vol.14, 2001.

Japan Meteorological Agency (JMA), 2002, Analysis and Use of Meteorological Satellite

Images, First Edition, Meteorological Satellite Center, JMA 2002.

Liu Y., Xia J., Shi C.X., Hong Y., An Improved Cloud Classification Algorithm for

China‟s FY-2C Multi-channel Images Using Artificial Neural Network, Sensor, 9,

5558–5579, 2009.

NASA, Moderate-resolution Imaging Spektroradiometer (MODIS),

http://modis.gsfc.nasa.gov/about/, 2013a. [diakses pada tanggal 3 September 2013]

NASA, International Satellite Cloud Climatology Project (ISCCP),

http://isccp.giss.nasa.gov/ISCCP.html, 2013b. [diakses pada tanggal 3 September

2013].

Rossow W. B., Schiffer R. A., ISCCP Cloud Data Products, Bull. Amer. Meteor. Soc., 72,

2–20, 1991.

Rossow W. B., Schiffer R. A., Advances in Understanding Clouds from ISCCP, Bull.

Amer. Meteor. Soc., 80, 2261–2257, 1999.

Page 264: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 254 ~

LAMPIRAN 1.

Hasil pengolahan klasifikasi awan data MODIS menggunakan kriteria ISCCP

dibandingkan dengan citra tipe awan MTSAT

MODIS Aqua MTSAT

Page 265: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 255 ~

Page 266: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 256 ~

MODIS Terra MTSAT

Page 267: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 257 ~

Page 268: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 258 ~

APLIKASI PENGOLAH INFORMASI DISEMINASI SAINS

ATMOSFER PADA SITUS WEB LAPAN BANDUNG

Siti Maryam

Pusat Sains Antariksa, Lapan

[email protected], [email protected]

Abstract

Lapan Bandung website www.bdg.lapan.go.id contains information dissemination of

atmospheric sciences. Sources of information come from the activities and utilization of

atmospheric science research wich consist of two types of text and images with sizes above

4MB. Web servers limit the size of any image information to be loaded does not exceed 50

KB. This paper describes the dissemination of information processing stages atmospheric

sciences through the application of image processing software and text so that the

information could be loaded on the main page of the website LAPAN Bandung.

Keywords : Dissemination of Atmospheric Sciences, Application

Abstrak

Situs web Lapan Bandung www.bdg.lapan.go.id memuat informasi diseminasi sains

atmosfer. Sumber informasi berasal dari kegiatan dan pemanfaatan hasil penelitian sains

atmosfer, terdiri dari dua jenis, yaitu teks dan gambar dengan ukuran diatas 4MB. Web

server membatasi ukuran setiap informasi gambar yang akan dimuat, tidak melebihi 50

KB. Tulisan ini menjelaskan tahapan pengolahan informasi diseminasi Sains Atmosfer

melalui aplikasi perangkat lunak pengolah gambar dan teks sehingga informasinya

diseminasi berhasil dimuat pada halaman utama situs web LAPAN Bandung.

Kata Kunci : Diseminasi Sains Atmosfer, Aplikasi

1. PENDAHULUAN

Jaringan internet lebih mempercepat penyebaran informasi dibandingkan media

tradisional (Kun Li dkk, 2012). Perkembangan pesat penyebaran informasi di era internet

telah mengubah cara orang untuk memperoleh pengetahuan dan jasa layanan berbagai

berita dan laporan paling cepat dan otentik. Sebagai salah satu lembaga pemerintah, Lapan

ikut berperan dalam melakukan penelitan dan pengembangan dalam bidang sains atmosfer

dan iklim serta pemanfaatannya. Inilah yang menjadi visi dari Pusat Sains dan Teknologi

Atmosfer. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi serta dalam

memenuhi misi meningkatkan penyediaan, pemasyarakatan dan pelayanan data dan

informasi dalam bidang sains atmosfer dan iklim, situs web Lapan Bandung

Page 269: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 259 ~

www.bdg.lapan.go.id ikut berupaya agar setiap informasi hasil penelitian di bidang sains

atmosfer dapat disampaikan ke masyarakat.

Salah satu tantangan utama saat ini yang dihadapi oleh sistem informasi di

perpustakaan atau di web adalah mengelola secara efisien sejumlah besar dokumen yang

dimiliki (Morales-del-Castillo dkk, 2009). Lapan memanfaatkan teknologi sistem operasi

windows, open source Linux Debian, HTML, basis data PHP MySQL serta perangkat

lunak aplikasi Browser, Paint, ACDSee Photo Manager untuk mengolah setiap informasi

diseminasi sains atmosfer. Teknologi ini akan mengolah setiap informasi diseminasi sains

atmosfer agar dapat disampaikan pada halaman utama situs web Lapan Bandung.

2. METODE

Metode aplikasi pengolah informasi diseminasi sains atmosfer terdiri dari dua

tahap, yaitu tahap modifikasi dan pemroses back office. Tahap modifikasi (gambar 2.1)

meliputi kegiatan penataan format informasi yang akan dibagi menjadi informasi teks dan

gambar. Tahap ini melibatkan aplikasi sistem operasi Windows,Linux dan Paint. Informasi

gambar yang bercampur dengan informasi teks diproses dengan aplikasi Capture dan

diolah dengan aplikasi Paint. Informasi gambar diseminasi sains atmosfer yang masih utuh

akan dimodifikasi menggunakan aplikasi ACDSee Photo Manager melalui menu modify

dan resize dengan ukuran tidak lebih dari 50 KB (http://www.acdsee.com).

Gambar 2.1 : Skema Aplikasi Modifikasi

Tahap kedua metode aplikasi pengolah informasi diseminasi sains atmosfer adalah

tahap pemroses back office (Gambar 2.2). Tahap ini meliputi semua kegiatan yang

dilakukan pada situs web Lapan Bandung dan hanya dikerjakan oleh administrator yang

berwenang. Tahap Pemroses back office melibatkan sistem operasi Linux Debian, aplikasi

Page 270: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 260 ~

Browser, HTML, PHP MySQL dan FCK Editor dengan urutan kegiatan otorisasi dan

otentifikasi, pemilihan modul basis data informasi, pengunggahan informasi teks,

penggabungan informasi teks dan gambar hasil modifikasi serta pengiriman informasi

diseminasi sains atmosfer ke halaman utama situs web Lapan Bandung.

Gambar 2.2 : Skema Aplikasi Pemroses Back Office

News adalah modul basis data yang digunakan untuk menata informasi diseminasi

sains atmosfer pada situs web Lapan Bandung. Aplikasi FCK Editor akan mengolah dan

menyimpan informasi teks dan gambar pada modul news. Aplikasi FCK Editor akan

menggabungkan dan menata informasi teks dan gambar hasil modifikasi

(http://www.sourceforge.net). Sebagai tahap ahir adalah pengiriman hasil penataan

gabungan informasi teks dan gambar diseminasi sains atmosfer ke halaman utama situs

web Lapan Bandung.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3.1. Hasil penataan Informasi diseminasi sains atmosfer menggunakan sistem

operasi Windows7 dibagi menjadi informasi teks dan gambar. Setiap informasi diseminasi

menyertakan file gambar yang berukuran rata-rata diatas 4MB.

Gambar 3.1 : Penataan Sumber Informasi Diseminasi Sains Atmosfer

Page 271: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 261 ~

Proses modifikasi informasi diseminasi Sains Atmosfer. Informasi teks tidak

mengalami perubahan. Informasi gambar dimodifikasi menggunakan ACDSee 10 Photo

Manager dari ukuran 4 MB diperkecil hingga 45.4 KB dan diberi nama file baru

(DSC_0082res).

Gambar 3.2 : Penataan informasi diseminasi sains atmosfer. Terdapat satu buah file

teks dan 2 buah file gambar hasil modifikasi yaitu DSC_0082res dan DSC_0031res. Situs

web Lapan Bandung membatasi informasi gambar diseminasi hanya berjumlah dua file.

Pemeriksaan spesifikasi file gambar yang akan dimuat pada situs web Lapan Bandung

dilakukan dengan menggunakan menu properties.

Gambar 3.2 : Hasil Modifikasi Informasi Diseminasi Sains Atmosfer Hasil Modifikasi

Setelah melewati tahap otorisasi dan otentifikasi, informasi diseminasi sains

atmosfer siap disimpan pada basis data modul news (Gambar 3.2). Untuk mulai

menggunggah informasi diseminasi sains atmosfer, dipilih menu tambah news. Menu ini

akan menampilkan form aplikasi untuk memulai kegiatan pengisian informasi diseminasi

baik berupa teks atau gambar hasil modifikasi. Terdapat dua pilihan penempatan informasi

teks yaitu ringkasan dan uraian informasi. Pada modul news tersedia ikon-ikon untuk

mengatur ragam informasi teks. Untuk mengatur informasi gambar digunakan ikon

insert/edit image dengan ketentuan ukuran 250 x168 DPI (Dot Per Inch). Informasi

gambar dapat diatur sesuai kebutuhan baik dengan posisi rata kiri, tengah ataupun rata

kanan.

Page 272: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 262 ~

Gambar 3.3 : Modul News Untuk Penataan Informasi diseminasi Sains Atmosfer

(http://www.dirgantara-lapan.or.id)

Tampilan basis data informasi gambar hasil modifikasi. Ini merupakan kumpulan

file gambar informasi diseminasi yang sudah dimodifikasi dengan kapasitas tidak melebihi

50 KB (Gambar 3.4). Pemeriksaan basis data informasi gambar hasil modifikasi dilakukan

untuk meyakinkan bahwa informasi yang akan disampaikan telah berada pada server web

Lapan Bandung.

Gambar 3.4 Basis Data Informasi Gambar Hasil Modifikasi

Gambar 3.5 : Integrasi informasi gambar dan teks diseminasi sains atmosfer yang

telah diproses dan dikirim kehalaman utama situs web Lapan Bandung. Inilah sebagai hasil

akhir dari rangkaian proses pengolahan informasi diseminasi sains atmosfer

Page 273: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 263 ~

Gambar 3.5 : Hasil Submitting Informasi Diseminasi Sains Atmosfer Pada Situs Web

Lapan Bandung (http://www.bdg.lapan.go.id).

4. KESIMPULAN

Telah dibangun aplikasi pengolah informasi diseminasi sains atmosfer yang

disesuaikan dengan standar aturan kapasitas web server Lapan Bandung. Berdasarkan hasil

pengolahan melalui sistem operasi windows dan open source Linux Debian, aplikasi

ACDSee Photo manager, Paint dan FCK Editor, kapasitas informasi gambar diatur,

diintegrasikan dan ditampilkan pada halaman utama situs web Lapan Bandung.

DAFTAR RUJUKAN

Kun Li, dkk, A CA Model of Culture Information Dissemination in the Network Era and

the Simulation of Its Dynamic Character, Journal of Theoretical and Applied

Information Technology, 31st December 2012. Vol. 46 No.2, ISSN: 1992-8645, E-

ISSN: 1817-3195.

Morales-del-Castillo dkk, E. Information Technology and Libraries,March 2009, Vol 28

Issue 1, p21-30,10p, 6 Diagrams, ISSN 07309295.

Internet, http://www.sourceforge.net/, diakses 5 Juni 2013

Internet, http://www.acdsee.com/, diakses 27 Juni 2013

Internet, http://www.bdg.lapan.go.id/, diakses 15 Juli 2013

Internet, http://www.dirgantara-lapan.or.id/, diakses 20 Juli 2013

Page 274: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 264 ~

PERAN RADIASI MATAHARI DALAM

PROSES PEMBERSIHAN SO2 DAN NOx DI TROPOSFER

Sumaryati

Bidang Komposisi Atmosfer – LAPAN

[email protected]

Abstract

SO2 and Nox (NO and NO2) compounds are important air pollutants in urban area where transportation and industry activities are high intensity. The compounds can be removed from the troposphere through the deposition and chemical reactions. This paper is studied the role of solar radiation in the chemical reaction that cleans SO2 and NOx in the troposphere, when the day was no rain. The data in this paper are the daily average concentration of SO2, NO, NO2, and daily solar radiation energy in Bandung, from 2008 to 2010. Results showed that there is a negative correlation between the energy of solar radiation by SO2, NO, and NO2, respectively, -0.09, 0.34, and 0.20. They mean that increasing of 1 MJ/m

2hari solar radiation cause of decreasing the concentration of SO2,

NO, and NO2 of 0.09 ppm, 0.34 ppm, and 0.20 ppm. The correlation coefficient of the relationship between the energy of solar radiation and SO2, NO, and NO2 in this study is very weak, ie less than 0.2 because it this study the wind direction and local emissions is neglected.

Keywords: SO2, NOx, solar radiation, removal

Abstrak

Senyawa SO2 dan NOx (NO dan NO2) merupakan polutan udara yang penting di daerah

perkotaan, dengan mana kegiatan transportasi dan industri tinggi. Senyawa tersebut dapat

dibersihkan dari troposfer melalui proses deposisi dan reaksi kimia. Dalam makalah ini

dikaji peran radiasi matahari dalam reaksi kimia yang membersihkan SO2 dan NOx di

troposfer, pada waktu tidak ada hujan. Data yang digunakan adalah rata-rata harian

konsentrasi SO2, NO, NO2, serta energi radiasi matahari harian dari tahun 2008 – 2010 di

Bandung. Hasil menunjukkan korelasi negatif antara energi radiasi matahari dengan SO2,

NO, dan NO2 sebesar masing-masing -0,09, 0,34, dan 0,20. Itu berarti bahwa setiap

kenaikan 1 MJ/m2hari menurunkan konsentrasi SO2, NO, dan NO2 sebesar 0,09 ppm, 0,34

ppm, dan 0,20 ppm. Koefisien korelasi dari hubungan antara energy radiasi matahari

dengan SO2, NO, dan NO2 dalam kajian ini sangat kecil, yaitu kurang dari 0,2 karena tidak

diperhitungkan perubahan arah angin dan emisi lokal.

Kata kunci: SO2, NOx, radiasi matahari, pembersihan

1. PENDAHULUAN

Gas SO2 dan NOx (NO dan NO2) merupakan masalah polutan udara di kota-kota

besar karena dampaknya langsung di lingkungan udara dan dampak tidak langsung sebagai

hujan asamnya. Baik SO2 maupun NOx di daerah perkotaan banyak dihasilkan dari

aktifitas kendaraan bermotor, yang mana jumlah kendaraan bermotor meningkat cukup

pesat di Indonesia dengan laju pertambahan kendaraan bermotor dari tahun 2000 sampai

Page 275: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 265 ~

2011 sekitar 6,3 juta kendaraan per tahun (BPS, 2013). Kontribusi lain selain dari

tranpsortasi adalah dari industri dan domestik.

Gas SO2 dan NOx hilang dari troposfer melalui proses deposisi dan reaksi kimiawi,

yang merubah senyawa SO2 dan NOx menjadi senyawa lain. Dalam reaksi kimia tersebut

energi radiasi matahari terlibat dalam proses reaksinya, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Beberapa reaksi kimia di troposfer melibatkan hidroksil OH, yang mana

hidroksil OH ini terbentuknya membutuhkan ketersediaan ozon, dan uap air di troposfer

serta radiasi matahari.

Hidroksil OH sering dikatakan sebagai detergen bagi polutan di troposfer karena

berperan penting dalam mengoksidasi senyawa kimia di troposfer (Crutzen, 1999). Daerah

tropik sebagai daerah dengan konsentrasi OH tinggi karena intensitas radiasi dan

kelembaban yang tinggi sering dikatakan sebagai mesin cucinya bagi polutan di troposfer.

Dalam makalah ini akan dikaji peran radiasi matahari di Bandung sebagai daerah tropik

dalam proses pembersihan senyawa polutan SO2 dan NOx (NO dan NO2), dengan melihat

korelasi antara energi radiasi martahari harian dengan konsentrasi rata-rata harian SO2 dan

NOx.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Jumlah senyawa X dalam suatu lokasi bisa didekati dengan model box

sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Jumlah senyawa X (QX) nilainya dapat

dituliskan seperti pada persamaan (1). Nilai QX dibagi dengan volume box merupakan

konsentrasi senyawa X (CX) yang terukur oleh instrumentasi kualitas udara seperti system

AQMS (air quality monitoring system).

clcpDEoutinX QQQQQQQ (1)

Dengan

Qin : besarnya senyawa X yang memasuki lokasi

Qout : besarnya senyawa yang meninggalkan lokasi

QE : besarnya emisi senyawa X pada lokasi yang ditinjau

QD : besarnya deposis senyawa X pada lokasi yang ditinjau

Qcp : besarnya senyawa X yang dihasilkan oleh reaksi kimia

Qcl : besarnya senyawa X yang lenyap karena reaksi kimia

Page 276: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 266 ~

Dengan volume box yang ditinjau konstan, maka persamaan (1) yang menyatakan jumlah

senyawa X dapat diubah menjadi besarnya konsentrasi X (CX) berikut:

clcpDEoutinX CCCCCCC (2)

Dengan huruf C melambangkan konsentrasi.

Jika diasumsikan bahwa arus massa yang masuk sama dengan yang keluar atau

dengan kata lain arah angin dari manapun membawa konsentrasi X yang sama, emisi dan

deposisi besarnya konstan sama maka konsentrasi senyawa X hanya dipengaruhi oleh

reaksi kimia, baik pembentukan maupun peruraiannya.

Gambar 1: Box model untuk menggambarkan besarnya senyawa X

(http://acmg.seas.harvard.edu/people/faculty/djj/book/bookchap3.html)

Proses reaksi yang ditinjau dalam penelitian ini adalah proses reaksi kimia

fotokimia, yaitu reaksi kimia yang menggunakan radiasi matahari sebagai energi reaksinya

dan reaksi yang melibatkan senyawa lain yang mana senyawa tersebut keberadaannya di

troposfer melalui reaksi fotokimia. Oleh karena itu besarnya energi radiasi matahari akan

mempengaruhi besarnya konsentrasi senyawa SO2 dan NOx.

Hidroksil OH merupakan radikal adalah unsur penting dalam oksidasi beberapa

polutan di troposfer. Hidroksil OH terbetuk melalui reaksi berikut (Monks, 2005).

O3 + hυ O2 + O ( < 320 nm) (R1)

O + H2O 2 OH (R2)

Hidroksil OH berperan dalam mengoksidasi gas SO2 di troposfer melalui beberapa

rangkaian reaksi berikut,

Page 277: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 267 ~

OH + SO2 + M HOSO2 + M (R3)

HOSO2 + O2 HO2 + SO3 (R4)

SO3 + H2O H2SO4 (R5)

-----------------------------------------------------

Net: OH + SO2 + O2 + H2O HO2 + H2SO4

Antara NO dan NO2 di toposfer terjadi reaksi yang timbal balik berikut Crutzen 1999,

Logan 1983)

NO2 + h NO + O ( < 420 nm) (R6)

RO2 + NO RO + NO2 (R7)

Dimana R adalah: H, CH3, dan radikal organoperoksi lainnya.

Reaksi lain yang merubah NO menjadi NO2 terjadi melalui reaksi berikut (R8) dan

pembersihan NO2 dari atmosfer terjadi ketika terkonversi menjadi asam nitrat melalui

reaksi (R9) berikut,

NO + O3 NO2 + O2 (R8)

NO2 + OH HNO3 + M (R9)

Reaksi (R8) dalam memusnahkan NO melibatkan O3, yang mana O3 sendiri

terbentuk karena senyawa-senyawa CO, NOx, VOC di troposfer dan adanya sinar matahari

(Science daily, 2013). Peruraian NO2 jelas memerlukan sinar matahari secara langsung

dengan panjang gelombang kurang dari 420 nm dan pada pembentukan OH. Sedangkan

peran radiasi matahari dalam pembersihan NO dari atmosfer ketika NO teroksidasi

membentuk NO2.

Jadi peran matahari dalam peruraian senyawa-senyawa polutan di atmosfer,

khususnya SO2 dan NOx dapat secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung,

radiasi matahari berperan sebagai energi reaksi peruraian NO2, dan peran tidak langsung

berperan sebagai energi reaksi yang membentuk senyawa lain (OH dan RO2) yang akan

mengurai polutan tersebut SO2 dan NOx.

3. DATA DAN METODOLOGI

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi konsentrasi SO2, dan NOx (NO

dan NO2) per 30 menit diamati dengan AQMS (air quality monitoring system) dan

intensitas radiasi global erta curah hujan yang diamati dengan AWS (automatic weather

Page 278: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 268 ~

station). Kedua system peralatan dipasang di kantor LAPAN Bandung, pada koordinat

(6°54` LS; 107°35`BT). Data dianalisa dari tahun 2008 – 2010.

Data polutan SO2 dan NOx dalam pengamatan per 30 menit dikompilasi dalam

rata-rata harian. Rata-rata harian SO2 dan NOx tersebut dipilih pada hari ketika tidak ada

hujan, untuk mengeliminer deposisi oleh hujan. Energi radiasi matahari (Eh) dihitung dari

pengamatan intensitas radiasi matahari global dengan persamaan berikut,

2

1

t

t iih tIE (3)

Dengan t1 adalah waktu matahari terbit dan t2 adalah waktu matahari terbenam, Ii adalah

intensitas radiasi global dalam selang waktu i (W/m2), dan ti adalah selang waktu

pengamatan ke-i (detik).

Analisis dilakukan terhadap keterkaitan antara energi radiasi matahari global harian

dengan rata-rata konsentrasi harian SO2, NO, NO2, dan NO/NO2, dengan mengasumsikan

bahwa tidak ada perubahan konsentrasi akibat dari efek tranpotasi dan emisi SO2 dan NOx

pada lokasi yang ditinjau.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Spektrum radiasi matahari mayoritas tersusun pada cahaya tampak (visible) yaitu

pada panjang gelombang sekitar 380 - 780 nm, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1. Dari

spektrum tersebut panjang gelombang yang digunakan pada reaski kimia dalam kaitannya

dengan peruraian SO2 dan NOx, sebagaimana diuraikan di atas adalah radiasi dengan

panjang gelombang kurang dari 420 nm, yang mana panjang gelombang tersebut masuk

dalam kategori spektrum visible pada warna ungu (violet) dan ultra violet.

Energi radiasi yang terukur dalam penelitian ini adalah radiasi global yang berarti

mencakup seluruh spektrum radiasi matahari. Tetapi pada kondisi umum di Bandung, yaitu

kondisi langit yang berawan antara radiasi global dengan radiasi ultraviolet terkorelasi

linear (Sumaryati, 2012). Oleh karena itu besarnya energi radiasi global yang terukur dapat

mewakili radiasi ultraviolet yang berpengaruh terhadap reaksi kimiawi di troposfer

Page 279: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 269 ~

Gambar 1: Spektrum radiasi matahari

(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Sunlight)

Analisis ini hanya membahas pengaruh radiasi matahari yang mempengaruhi

konsentrasi polutan SO2, NO dan NO2, sedangkan pengaruh transportasi (Qin dan Qout)

serta emisi dan deposis (QE dan QD) diasumsikan tidak ada . Antara radiasi matahari dan

polutan udara, termasuk SO2 dan NOx ada hubungan yang saling mendukung. Polutan

udara juga menghamburkan dan menyerap intensitas radiasi matahari untuk reaksi kimia,

sehingga mengurangi intensitas radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi

(Jauragui dan Luyando, 1999). Intensitas radiasi matahari yang terhalang awan atau karena

sudut zenithnya kecil menyebabkan intensitas radiasi matahari yang sampai ke troposfer

berkurang, sehingga menyebabkan reaksi kimia polutan di troposfer berjalan lambat.

Data dipilih pada hari ketika tidak ada hujan, sehingga tidak ada pengaruh

pembersihan polutan melalui proses rain out, yang mempercepat proses deposisi. Gambar

2 di bawah merupakan diagram pencar antara energi radias global matahari setiap luasan 1

m2 (MJ/hari) dan rata-rata harian konsentrasi SO2, NO, NO2, serta NO/NO2 pada hari

ketika tidak ada hujan.

Gambar 2.a menunjukkan persamaan yang menghubungkan antara energi radiasi

matahari dan konsentrasi SO2 yang memiliki gradien negatif. Hal itu berati semakin tinggi

energi radiasi matahari semakin cepat semakin kecil konsentrasi SO2, karena semakin

tinggi energi radiasi matahari semakin banyak hidroksil OH yang terbentuk di toposfer

untuk menguraikan SO2. Oleh karena itu semakin tinggi energi radiasi matahari semakin

cepat SO2 terurai menjadi senyawa lain, sesuai dengan penelitian Lee et al.(2010) yang

menyatakan bahwa pada musim panas lifetime SO2 lebih pendek dari pada musim dingin.

Dengan asumsi bahwa arah angin tidak mempengaruhi konsentrasi dan dan emisi dianggap

tidak konstan, ada penurunan konsentrasi SO2 sebesar 0,09 ppm setiap kenaikkan energi

radiasi matahari sebesar 1 MJ/m2hari

Page 280: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 270 ~

a)

b)

c)

d)

Gambar 2: Diagram pencar antara energi radiasi matahari terhadap:

a). SO2, b). NO, c). NO2, dan d). NO/NO2

Demikian juga untuk senyawa NO dan NO2 (Gambar 2.b dan 2.c), terkorelasi

negatif terhadap energi radiasi matahari dengan koefisien korelasi yang sangat kecil. Hal

itu diduga karena variabilitias arah angin dan emisi tidak diperhitungkan.

Antara NO dan NO2 (Gambar 2.d) ada reaksi timbal balik (R6) dan (R7). Korelasi

negatif antara energi radiasi matahari dengan perbandingan NO terhadap NO2 (NO/NO2)

itu menunjukkan bahwa reaksi NO menjadi NO2 (R6) lebih cepat dari pada NO2 menjadi

NO (R7). Dalam Gambar 2.d terpisah terilihat kecepatan pemusnahan setiap kenaikan

energi radiasi matahari sebesar 1 MJ/m2hari untuk NO dan NO2 masing-masing adalah

0,344 ppm dan 0,198 ppm.

Koefisien korelasi (r) dari hubungan di atas sangat kecil, yaitu kurang dari 0,1

kecuali korelasi antara energi radiasi matahari terhadap NO2 yang hampir 0,2. Lemahnya

korelasi tersebut karena pengaruh transport (Cin dan Cout) dianggap tidak ada ataupun arah

Page 281: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 271 ~

angin dari manapun membawa konsenrasi yang samg serta emisi lokal SO2 yang dianggap

kontinyu dalam titik yang ditinjau.

5. KESIMPULAN

Ada pengaruh yang teramati dari korelasi negatif antara energi radiasi matahari

terhadap pelenyapan SO2 dan NOx di troposfer Bandung, meskipun koefisien korelasinya

sangat kecil, yaitu kurang dari 0,2. Koefisein yang kecil diduga karena pengaruh arah

angin dan emisi lokal yang tidak tidak diperhitungkan dalam kajian. Korelasi negatif

berarti semakin tinggi energi radiasi matahari akan mempercepat pelenyapan SO2 dan NOx

di troposfer, yang masing-masing besarnya penurunan konsentrasi untuk SO2, NO, dan

NO2 adalah sebagai berikut: 0,09 ppm, 0,34 ppm, dan 0,20 ppm untuk setiap kenaikan

energi radiasi matahari sebesar 1 MJ/m2hari.

DAFTAR RUJUKAN

Crutzen, P.J. M.G. Lawrence, dan U. Poschl. On the Background Photochemistry of

Tropospheric Ozone. Tellus series, Vol 51, no 1 (1999).

Lee C., et al. SO2 Emission and Life times: Estimates from inverse modeling using in Situ

and Global, Space-based (SCIAMACHY and OMI) Observation 2010,

Jauregui, E., dan E. Luyando, 1999. Global Radiation Attenuation by Air pollution and Its

Effect on Thermal Climate in Mexico City. International Journal Climatology, 19: 638

– 694

Logan, J.A., Nitrogen oxides in the troposphere: Global and Regional Budgets. Journal of

Geophysical Research Vol. 88 10785-10805, 1983

Monks, P.S. 2005. Gas-phase radical chemistry in the troposphere, journal of Chem. Soc.

Rev., 2005, 34, 376–395, DOI: 10.1039/b307982c

Sumaryati, S. Hamdi, dan Suparno. Keterkaitan radiasi global, radiasi ultraviolet dan

indeks ultraviolet. Prosiding Seminar Nasional LAPAN 2012.

Simple models: http://acmg.seas.harvard.edu/people/faculty/djj/book/bookchap3.html

Science daily, http://www.sciencedaily.com/articles/t/tropospheric_ozone.htm

2013

BPS, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=17&notab=12, 2013

Page 282: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 272 ~

PREDIKSI PENGASAMAN PROVINSI JAMBI DAN

SEKITARNYA AKIBAT DEPOSISI SULFUR TAHUN 2015

Toni Samiaji

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN, Gedung LAPAN,

Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung – Indonesia

Email : [email protected] & [email protected]

Abstract

Sulfur when fused with elements of oxygen is one of the main components in acid

deposition. In addition to sulfur is produced naturally also resulted from anthropogenic

activities of the energy consumption. While the energy consumption is proportional to the

gross regional domestic product (GRDP). Research the question here is when the rate of

growth of GDP of a province is the highest in the region whether in the future will result in

the relevant province experiencing the most severe acidification in the region? To answer

this question, then as a case study in this study is taken Jambi Province and surrounding

areas since Jambi Province is the province with the highest GRDP growth rate in Sumatra

from 2009 until 2011, i.e. from 6.39 to 8.54 %. The methods used in this study is by using

the model Rains Asia with B2 scenario. As a result of this study showed that the Jambi

province with the highest GRDP growth rate from 2009 until 2011 in Sumatra in 2015 is

not a province that will emit, deposit extreme SOx gas and has the highest SO2 gas

concentration, also will not suffer the most severe acidification in Sumatra but Riau.

Keywords : Deposition, sulfur, acidification, Jambi, 2015

Abstrak

Sulfur ketika bersenyawa dengan unsur oksigen merupakan salah satu komponen utama

dalam deposisi asam. Sulfur selain dihasilkan secara alami juga dihasilkan dari kegiatan

antropogenik yakni dari pemakaian energi. Sedangkan pemakaian energi berbanding lurus

dengan pendapatan domestik regional bruto (PDRB). Yang menjadi pertanyaan penelitian

di sini adalah bila laju pertumbuhan PDRB suatu daerah adalah paling tinggi di suatu

wilayah apakah pada waktu yang akan datang akan mengakibatkan daerah yang

bersangkutan mengalami pengasaman yang paling parah di wilayah tersebut? Untuk

menjawab pertanyaan ini, maka pada penelitian ini sebagai studi kasus diambil Provinsi

Jambi dan sekitarnya karena Provinsi Jambi adalah provinsi dengan laju pertumbuhan

PDRB paling tinggi di Sumatera dari tahun 2009 hingga tahun 2011 yakni dari 6,39

hingga 8,54 %. Metoda yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan

model Rains Asia dengan skenario B2. Sebagai hasil dari penelitian ini diperoleh bahwa

Provinsi Jambi sebagai provinsi dengan laju pertumbuhan PDRB paling tinggi di

Sumatera dari tahun 2009 hingga tahun 2011 pada tahun 2015 adalah bukanlah provinsi

yang mengemisikan, mendeposisikan gas SOx tertinggi dan mempunyai konsentrasi gas

SO2 yang paling tinggi juga tidak mengalami pengasaman yang paling parah di Sumatera

melainkan Riau.

Kata kunci : Deposisi, sulfur, pengasaman, Jambi, 2015

Page 283: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 273 ~

1. PENDAHULUAN

Sulfur berada di alam dalam bentuk S2 atau bersenyawa dengan unsur lain. Sulfur

selain dihasilkan secara alami juga dihasilkan dari kegiatan antropogenik. Secara alami

dihasilkan dari letusan gunung api, kebakaran hutan, dari laut sedangkan dari kegiatan

antropogenik dihasilkan dari pemakaian energi. Sulfur ketika bersenyawa dengan unsur

oksigen merupakan salah satu komponen utama dalam deposisi asam. Karena senyawa

sulfur bersifat korosif, maka perlu dilakukan prediksi baik itu emisinya, konsentrasinya

maupun deposisinya.

Tabel 1 : Laju pertumbuhan PDRB dalam persen

Provinsi 2009 2010 2011

1 Aceh 5.51 2.79 5.02

2 Sumatera Utara 5.07 6.35 6.58

3 Sumatera Barat 4.28 5.93 6.22

4 Riau 2.97 4.18 5.01

5 Jambi 6.39 7.35 8.54

6 Sumatera Selatan 4.11 5.63 6.50

7 Bengkulu 5.62 6.06 6.40

8 Lampung 5.26 5.85 6.39

9 Kep. Bangka Belitung 3.74 5.93 6.40

10 Kepulauan Riau 3.52 7.19 6.67

Sumber data : BPS, 2013.

Emisi sulfur sebagai hasil dari kegiatan antropogenik berbanding lurus dengan

tingkat ekonomi suatu negara yang dinyatakan dengan Produk Domestik Bruto(PDB),

dengan kata lain PDB yang meningkat akan menyebabkan emisi gas SO2 meningkat [Toni

S. Dkk, 2006]. Demikian juga untuk ekonomi suatu daerah yang dinyatakan dengan

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah berbanding lurus dengan emisi gas SO2

dari daerah tersebut. Lalu apabila laju pertumbuhan PDRB suatu daerah/provinsi yang

paling tinggi di suatu wilayah akan menyebabkan emisi gas SO2 yang paling tinggi pula di

wilayah tersebut? Karena gas SO2 merupakan salah satu penyebab deposisi asam , apakah

provinsi dengan laju pertumbuhan PDRB yang paling tinggi di suatu wilayah akan

menyebabkan provinsi tersebut mengalami pengasaman yang paling parah dan paling luas

dibanding provinsi lain di wilayah tersebut ? Sebagai contoh pada Tabel 1 diperlihatkan

Page 284: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 274 ~

Laju pertumbuhan PDRB tahun 2009 hingga 2011 di Sumatera dari Badan Pusat Statistik.

Dari tabel 1 ini kita bisa melihat bahwa Provinsi Jambi adalah provinsi dengan laju

pertumbuhan PDRB paling tinggi di Sumatera. Lalu untuk tahun yang akan datang

misalnya tahun 2015, apakah Provinsi Jambi pada tahun 2015 mengalami pengasaman

yang paling parah dan paling luas dibanding provinsi lain di Sumatera? Untuk menjawab

pertanyaan ini maka penelitian ini dilakukan.

2. DATA DAN METODE

Data yang digunakan adalah proyeksi intensitas energi, pemakaian energi tiap

sektor, pertumbuhan GDP dan konsumsi energi biomasa sejak tahun 1990 hingga 2030

dari IEA (International Energy Agency).

Untuk pemetaan pengasaman dan lain-lain digunakan model Rains Asia 7.5 yang

mempunyai resolusi spasial / grid 1 x 1 derajat dengan langkah kerja seperti diperlihatkan

pada Gambar 1. Pada gambar ini proyeksi energi (energy projections) yang dipakai ada 3

macam yakni khusus untuk Cina, khusus untuk India sedangkan yang lainnya termasuk

Indonesia adalah dengan skenario B2 (dinamika seperti biasa) dari IPCC. Yang dimaksud

dengan dinamika seperti biasa adalah pemakaian energi di Indonesia seperti sekarang ini

mengikuti laju pembangunan seperti biasanya. Sedangkan skenario B2 ini berisikan

penekanan pada solusi lokal daripada solusi global untuk ekonomi,sosial dan ketahanan

lingkungan, peningkatan populasi global yang lebih rendah dari A2, tingkat

pengembangan ekonomi yang intermediate, perubahan teknologi lebih lambat dan lebih

bermacam-macam dibanding Skenario B1 dan A1, skenario berorientasi pada proteksi

lingkungan dan kekayaan sosial, yang berfokus pada tingkat lokal dan regional, dunia

lebih terbagi-bagi, tetapi ramah secara ekologi [IPCC, 2013]. Pada pilihan untuk

mengontrol emisi (emission control options) pada rains asia versi 7.5 ini digunakan

teknologi pengurangan emisi sulfur misalnya dalam bentuk FGD (Flue Gas

Desulfurization) dan pemakaian bahan bakar dengan kadar sulfur yang rendah. Setelah itu

dihitung emisi sulfur dan biaya yang diperlukan untuk pengurangan emisi sulfur tersebut.

Kemudian emisi SOx dipetakan per grid, sedangkan konsentrasi SO2 dan deposisi SOx

dipetakan melalui atmospheric dispersion, yaitu suatu model dispersi yang perhitungannya

berdasarkan matrik transfer polutan yang dikembangkan bersamaan dengan model

ATMOS di Universitas Iowa [Arndt et al, 1995, 1998]. Selanjutnya dengan model ini di

dalam modul environmental impact dipikirkan bilamana suatu daerah kelebihan sulfur

sekian miligram per meter persegi per tahun maka berapa persen ekosistim yang akan

Page 285: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 275 ~

rusak di daerah tersebut, sehingga kita bisa mengtargetkan kerusakan lingkungan

(environmental targets) yang diakibatkan pemilihan teknologi pengurangan emisi sulfur

pada opsi kontrol emisi (emission control option) dengan cara optimisasi (optimization)

emisi yang dihasilkan dan biaya yang diperlukan.

Gambar 1 : Bagan langkah kerja dalam Rains Asia

Untuk menganalisis hasil simulasi dibuat gambar administrasi wilayah sumatera

dengan cara mengkrop dari peta rupa bumi Indonesia yang diperoleh dari Bakosurtanal

dengan skala 1 : 250.000 menggunakan software arc view, hasilnya ditampilkan pada

Gambar 2. Di sini karena masih menggunakan peta dasar yang lama maka Kepulauan

Riau masih bersatu dengan Provinsi Riau.

Gambar 2 : Gambar administrasi wilayah Sumatera

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 286: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 276 ~

Gambar 3 : Prediksi emisi SOx dalam kiloton/grid per tahun dan konsentrasi gas SO2

dalam mikrogram/m3 tahun 2015 di Sumatera

Dari simulasi dengan menggunakan model Rains Asia versi 7.52 diperoleh

Gambar 3 yang menampilkan prediksi emisi gas SOx dan konsentrasi gas SO2 tahun 2015

di Sumatera. Dari gambar ini terlihat bahwa emisi gas SOx Provinsi Jambi (1407 – 7003

ton/grid-th) lebih kecil dibanding Provinsi Sumatera selatan (3688 – 13351 ton/grid-th),

kepulauan Riau (2531 - 435254 ton/grid-th) dan Lampung ( 9000 – 23089 ton/grid-th).

Padahal pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi tahun 2009 hingga 2011 adalah paling

tinggi (lihat tabel 1) [BPS, 2013], tetapi tahun 2015 tidak mengemisikan gas SOx terbesar

di Sumatera. Masih pada Gambar 3 konsentrasi SO2 Jambi (0,4 – 1,4 mikrogram/m3)

lebih kecil daripada Riau (0,7 – 6,5 mikrogram/m3), Sumatera Selatan (0,5 – 1,9

mikrogram/m3) dan Lampung (0,6 – 15,5 mikrogram/m

3). Demikian juga kalau dilihat

dari deposisi SOx-nya seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4,

Gambar 4 : Prediksi deposisi SOx dalam miligram per meter persegi per tahun dan

persentase pengasaman oleh deposisi sulfur dengan asumsi deposisi nitrogen

dianggap tetap tahun 2015 di Sumatera

Page 287: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 277 ~

bahwa deposisi SOx provinsi Jambi ( 187,6 – 600,2 mg/m2-th) lebih kecil dari Riau (286,8

-1918 mg/m2-th) dan Lampung (732,6 – 2158,5 mg/m

2-th). Lalu bagaimana dengan

tahun yang sudah lewat yakni tahun 2010? Menurut Gambar 6 tahun 2010 menunjukkan

pola yang sama yakni deposisi SOx di Jambi (163,5 – 551,1 miligram/m2-th) adalah lebih

kecil dibanding di Riau (285,8 – 1789,4 miligram/m2-th), di Sumatera Selatan (201,4 –

609,2 miligram/m2-th) dan di Lampung (385,4 – 2442,7 miligram/m

2-th). Kemudian

gambar sebelah kanannya yang menunjukkan emisi SOx tahun 2010, emisi SOx Jambi

(1215 – 6049 ton/grid-th) adalah lebih kecil daripada yang di Riau (1892 – 14559 ton/grid-

th) dan Sumatera Selatan (3186 – 11248 ton/grid-th). Jadi provinsi dengan pertumbuhan

ekonomi yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu akan menjadikan provinsi

tersebut mengemisikan, mendeposisikan gas SOx atau mempunyai konsentrasi gas SO2

tertinggi di wilayah tersebut. Maka pertanyaan penelitian yang pertama yang ada di

pendahuluan terjawab di sini. Ini mengapa bisa terjadi demikian, bukankah dari

penelitian sebelumnya dikatakan bahwa PDB yang meningkat akan menyebabkan emisi

gas SO2 meningkat ? Bila dikaji lebih jauh hasil penelitian ini sebenarnya tidak

bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya, karena daerah dengan pertumbuhan

ekonomi yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu menggambarkan tingkat ekonomi

daerah tersebut adalah paling tinggi di wilayah tersebut, lihat Gambar 5. Dari gambar ini

terlihat bahwa Provinsi Jambi dari tahun 2007 hingga 2011 bukanlah provinsi dengan

PDRB yang paling tinggi di Sumatera akan tetapi Provinsi Riau yang paling tinggi.

Kemudian untuk menjawab pertanyaan berikutnya yaitu tentang pengasaman adalah

dengan melihat Gambar 4 sebelah kanan. Dari gambar ini diperoleh bahwa Provinsi Jambi

tahun 2015 mengalami pengasaman dari 0 hingga 56,8 % (pengasaman itu meliputi

pengasaman tanah, tumbuh-tumbuhan dan kolam) adalah lebih kecil dibanding dengan

provinsi Sumatera Utara dari 0 hingga 71 %, Riau dan kepulauan Riau dari 0 hingga 98

%, Sumatera Selatan dan Lampung dari 0 hingga 63 %. Demikian pula untuk tahun 2010

seperti diperlihatkan Gambar 7, persentase pengasaman yang dialami provinsi Jambi (0 –

56,4 %) adalah lebih kecil daripada Provinsi Riau (0 – 97,8 %), Kepulauan Riau (0 – 97,8

%), Sumatera Selatan (0 – 62,4 %), Lampung (0 – 65,7 %) dan Sumatera Utara (0 – 71,3

%). Dengan demikian menurut model, provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang

paling tinggi di suatu wilayah belum tentu mengalami dan akan mengalami pengasaman

yang paling parah di wilayah tersebut. Jadi di sini pertanyaan penelitian yang kedua pada

pendahuluan terjawab di sini. Dan yang mengalami pengasaman paling parah tahun

2015 adalah Provinsi Riau.

Page 288: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 278 ~

Gambar 5 : Produk domestik regional bruto berdasarkan harga pasar yang berlaku di

Sumatera. Sumber data : BPS, 2013.

Gambar 6 : Deposisi dan emisi SOx tahun 2010 di Sumatera

Gambar 7 : Persentase pengasaman di Sumatera tahun 2010

Ysu = 3E+07x - 6E+10 R² = 0.9848

Yr= 4E+07x - 9E+10 R² = 0.9825

Yj = 6E+06x - 1E+10 R² = 0.9764 0

100

200

300

400

500

600

2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015

PD

RB

[Tr

iliu

n r

up

iah

]

Aceh

Sumatera Utara

Sumatera Barat

Riau

Jambi

Sumatera Selatan

Bengkulu

Page 289: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 279 ~

Gambar 8 : Deposisi kelebihan sulfur tahun 2015 sehingga ekosistim menjadi rusak, P5

adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 5 % ekosistem akan rusak dan

P25 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 25 % ekosistem akan rusak

Kalau melihat Gambar 5 diperlihatkan pada gambar ini garis kecenderungan dan

persamaan regresi linear PDRB Provinsi Riau, Sumatera Utara dan Jambi. Dari beberapa

garis kecenderungan ini terlihat bahwa pada tahun 2015 garis kecenderungan yang paling

tinggi adalah milik Riau sehingga dengan persamaan

.........(1)

maka diperoleh PDRB paling tinggi di Sumatera adalah PDRB Provinsi Riau, sehingga

pengasaman paling parah tahun 2015 adalah yang terjadi di Provinsi Riau.

Pada Gambar 8 diperlihatkan deposisi kelebihan sulfur tahun 2015 sehingga

ekosistim menjadi rusak, P5 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 5 % ekosistem

akan rusak dan P25 adalah kelebihan sulfur yang menyebabkan 25 % ekosistem akan

rusak. Jadi ketika 5 % ekosistem provinsi Jambi mengalami kerusakan tahun 2015 maka

provinsi Jambi mengalami kelebihan deposisi sulfur sebesar 200 mg/m2-th. Beda dengan

Provinsi Lampung yakni ketika 5 % ekosistem Provinsi Lampung mengalami kerusakan

tahun 2015 maka Provinsi Lampung mengalami kelebihan deposisi sulfur sebesar 240

hingga 1759 mg/m2-th dengan luas ekosistim yang rusak jauh lebih luas daripada provinsi

Jambi. Jadi beban pencemaran sulfur dalam bentuk deposisi terhadap sensifitas ekosistim

tiap provinsi adalah berbeda-beda. Sehingga agar Provinsi Jambi terbebas dari kerusakan

5 % pada daerah yang bukan berwarna abu-abu harus mengurangi deposisi sulfur sebesar

200 mg/m2-th tentunya dengan cara penerapan teknologi pengurangan emisi sulfur yang

tepat guna. Pertanyaannya provinsi mana yang harus menggunakan teknologi

Page 290: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 280 ~

pengurangan emisi sulfur yang tepat guna itu ? Apakah hanya provinsi Jambi saja ?

Dengan model Rains Asia ini kita bisa menelusuri asal sulfur yang terdeposisikan di

provinsi Jambi ini. Yaitu deposisi SOx tahun 2015 yang sebesar 375,1 eq/Ha-yr setara

dengan 600.2 mg/m2-th di Jambi pada lintang selatan 1 derajat dan 103 bujur timur berasal

dari negara Singapura 248,3 eq/ha-yr, dari jalur laut 36,8 eq/ha-yr, dari negara Malaysia

14,1 eq/ha-yr, dari Sumatera 70,2 eq/ha-yr, dari Jawa 1,9 eq/ha-yr, dari pembangkit

tenaga listrik di Sumatera Selatan 1,1 eq/ha-yr dan dari yang lainnya. Jadi di sini banyak

daerah yang terkait untuk menurunkan deposisi sulfur di Provinsi Jambi. Di sini kontribusi

terbesar adalah dari Negara Singapura yang mana negara ini tahun 2010 PDB per kapita-

nya ($56,532) paling tinggi di dunia [The wall street Journal, 2013]. Selanjutnya saat

ekosistem yang rusak bertambah dari 5 % (Gambar 7 sebelah kiri) menjadi 25 % (gambar

7 sebelah kanan), kelebihan deposisi sulfur di Provinsi Jambi adalah tetap yakni 0 – 200,2

mg/m2-th, tetapi kelebihan deposisi sulfur di Provinsi Sumatera Selatan menjadi

bertambah dari 0 – 240,1 mg/m2-th menjadi 0 – 332,6 mg/m

2-th sedangkan kelebihan

deposisi sulfur di provinsi Lampung menjadi berkurang dari 0 – 1758,5 mg/m2-th menjadi

0 – 1598,5 mg/m2-th. Jadi tiap provinsi berbeda-beda ini dikarenakan beban kritis (critical

load) tiap provinsi ada yang sama ada yang berbeda tergantung dari jenis tanah, jenis

vegetasi dan air permukaan selain itu daya dukung lingkungan seperti presipitasi,

penguapan, aliran air dan unsur kimia yang ada di provinsi tersebut ikut menjadi

penyangga keasaman di provinsi tersebut [Hettelingh et al., 1995]. Yang dimaksud beban

kritis (critical load) adalah deposisi sulfur yang diperkenankan agar tidak merusak

ekosistim. Misalnya beban kritis 5 % adalah deposisi sulfur yang

Gambar 9 : Beban kritis deposisi sulfur yang diperkenankan di Sumatera agar tidak

merusak 5 dan 25 % ekosistim

Page 291: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 281 ~

diperkenankan agar tidak merusak 5 % ekosistim. Sebagian besar deposisi Sulfur yang

diperkenankan agar tidak merusak 5 % ekosistem di Sumatera adalah 400 mg/m2-th.

Namun ketika yang diinginkan tidak merusak 25 % ekosistim maka terjadi perubahan

deposisi sulfur yang diperkenankan. Misalnya Provinsi Jambi ketika berubah beban

kritisnya dari 5 % menjadi 25 % maka deposisi sulfur yang diperkenankan berubah dari

400 mg/m2-th menjadi 400 – 2078 mg/m

2-th seperti yang diperlihatkan Gambar 9 dari

gambar sebelah kiri ke sebelah kanan. Demikian juga provinsi yang lain mengalami

perubahan misalnya Lampung dari 400 – 560 mg/m2-th menjadi 400 – 2992 mg/m

2-th dan

lain-lain yang umumnya terjadi kenaikan deposisi sulfur yang diperkenankan. Ini wajar

karena terjadi kerusakan ekosistim yang semakin meningkat.

Dari uraian di atas meskipun pembangunan ekonomi di suatu daerah berdampak

terhadap kerusakan ekosistim, tetapi kesehatan manusia harus diutamakan, oleh karena itu

perlu diupayakan pengurangan emisi sulfur, dan karena pengurangan emisi sulfur itu

memerlukan biaya yang cukup besar, maka menurut Jitendra dan kawan kawan

menggunakan energi yang efisien adalah lebih menghemat biaya [Jitendra J. Shah et al,

2001].

4. KESIMPULAN

Dari hasil running model diperoleh bahwa provinsi dengan pertumbuhan ekonomi

yang paling tinggi di suatu wilayah belum tentu akan menjadikan provinsi tersebut

mengemisikan, mendeposisikan gas SOx yang paling tinggi dan mempunyai konsentrasi

gas SO2 tertinggi demikian juga belum tentu akan mengalami pengasaman yang paling

parah di wilayah tersebut. Hasil ini berdasarkan Provinsi Jambi dengan laju pertumbuhan

PDRB dari tahun 2009 hingga tahun 2011 adalah paling tinggi di Sumatera tetapi yang

mengalami pengasaman paling parah di Sumatera tahun 2015 adalah Provinsi Riau dan

Kepulauan Riau.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Tuti Budiwati MEng. yang telah

membawa model ini dari Thailand tahun 2003 yang lalu, juga kepada Panitia SSA2013

yang telah mengadakan seminar ini dan mencetak poster ini tanpa dipungut biaya.

Page 292: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 282 ~

DAFTAR RUJUKAN

Arndt R..L., and Carmichael G.R., (1995), Long-Range transprot and deposition of sulfur

in Asia. Water, Air and Soil Pollution 85, 2283 - 2288.

Arndt R. L., Carmichael G.R., Roorda J.M., (1998), Seasonal Source- Receptor

Relationships in Asia. Atmospheric Environment 31 1553 - 1572.

BPS, 2013. Ekonomi dan Perdagangan,

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=52&n

otab=3 , diakses tanggal 19 Agustus 2013.

Hettelingh J.-P., Chadwick M.J., Sverdrup H., Zhao D. (eds.) (1995) Assessment of

Environmental Effects of Acidic Deposition. Chapter 6 of the Report on the World

Bank Sponsored Project "RAINS-ASIA: An Assessment Model for Air Pollution in

Asia". (http://www.iiasa.ac.at/~rains/asia1/).

IPCC, 2013. IPCC Special Report on Emissions Scenarios,

http://www.grida.no/publications/other/ipcc_sr/?src=/climate/ipcc/emission/096.htm

diakses 19 Agustus 2013.

Jitendra J. Shah, Tanvi Nagpal, Todd Johnson, Jia Li dan C. Peng. Rains-Asia Model

Application to China : Policy Implication for Sulfur Control, Journal of Water, Air

and Soil Pollution, Vol. 130, Issue 1-4, pp. 235-240, Kluwer Academic Publishers,

Printed in the Netherlands, August 2001.

The RAINS 7.52 Model of Air Pollution, 2013. dalam file:///C:/RAINS-

ASIA/docAsia/manual/intro.HTM

The wall street Journal, 2013. http://realtime.wsj.com/indonesia/2012/08/16/negara-

terkaya-di-dunia/, akses tanggal 23 Agustus 2013.

Toni S. Dkk, 2006. Pengaruh jumlah penduduk, pemakaian energi dan pertumbuhan

ekonomi terhadap emisi gas SO2, Prosiding Seminar Nasional Basic Science III 2006,

Universitas Brawijaya, Malang, 25 Februari 2006, ISBN 979-25-6030-0.

Page 293: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 283 ~

IDENTIFIKASI CURAH HUJAN EKSTREM

MENGGUNAKAN METODE ANALISIS MESOSCALE

CONVECTIVE COMPLEXE (MCC) DARI DATA MTSAT IR1

Trismidianto

Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

email: [email protected]

Abstract

Identification of Mesoscale Convective Complexes (MCC) was done using infra-red image

data (IR1) of the Multi-functional Transport Satellite (MTSAT) to create algorithms for

use in the detection of MCC from IR1 image data which built by combining multiple

criteria of the extent of cloud cover, eccentricity and lifetimes. The linkage for MCC with

extreme rainfall is done spatial analysis to analyze the evolution of the development of

MCC at each phase is the initial phase, maximum phase and the dissipation phase of

MCC. In this study, we also use surface wind from CCMP data to analyze the movement

of MCC with seen the surface vectors wind anomaly at each phase of the MCC. And we

use also TRMM rainfall data to analyze the influence of MCC on extremes rainfall. MCC

can produce extreme rainfall through the mechanism of cold pool with a new convection

cell formation system that induces the growth of convection around it so as to make the

growth of significant convective clouds around it so that it can lead to extreme rainfall.

Keyword: MCC, extremes rainfall, wind vector anomaly.

Abstrak

Identifikasi Mesoscale Convective Complexes (MCC) dilakukan menggunakan data citra

infra-red (IR1) dari Multi-functional Transport SATellite (MTSAT) dengan membuat

algoritma untuk digunakan dalam mendeteksi MCC dari data citra IR1 yang dibangun

dengan menggabungkan beberapa kriteria dari luasan tutupan awan, tingkat kelonjongan

dan lama masa hidupnya. Keterkaitan MCC dengan curah hujan ekstrem dilakukan dengan

analisis spasial dengan menganalisis evolusi perkembangan MCC pada setiap fasenya yaitu

fase awal, fase maksimum dan fase punah dari MCC. Pada penelitian ini juga digunakan

data angin permukaan CCMP untuk menganalisis pergerakan MCC dengan melihat

anomali vektor angin permukaan pada setiap fase MCC. Dan digunakan data curah hujan

TRMM untuk menganalisis pengaruhnya terhadap curah hujan ekstrem. MCC bisa

menghasilkan curah hujan ekstrem melalui mekanisme cold pool dengan sistem

pembentukan sel konveksi baru yang menginduksi pertumbuhan konveksi disekitarnya

sehingga membuat pertumbuhan awan konveksi yang cukup signifikan disekitarnya

sehingga bisa menyebabkan curah hujan ekstrem.

Kata kunci: MCC, Curah Hujan Ekstrem, Anomali vektor angin.

Page 294: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 284 ~

1. PENDAHULUAN

Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting bagi kehidupan di bumi,

karena hujan berdampak secara langsung terhadap kehidupan manusia. Kejadian hujan di

daerah tropis, seperti Indonesia berpengaruh pada cuaca dan iklim global. Selain itu

perubahan iklim global, dampaknya untuk wilayah Indonesia akan berbeda di setiap

daerah. Hal ini disebebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dinamika atmosfer di atas Benua

Maritim Indonesia memiliki tingkat nonlinieritas yang sangat tinggi sebagai akibat dari

sangat beragamnya topografi dan vegetasi. Namun cuaca dan iklim daerah tropis lebih

didominasi oleh organisasi konveksi (Sherwood and Wahrlich, 1999) yaitu mesoscale

convective systems (MCS), gelombang timuran skala sinoptik, sistem supercluster, dan

Madden-Julian Oscillation (MJO). Proses-proses skala meso tersebut antara lain adalah

konveksi, sirkulasi lokal akibat topografi, siklus diurnal (harian), aliran jet, interaksi

permukaan-atmosfer, gangguan yang terperangkap di daerah pantai dan ketidakstabilan

skala meso.

Kompleks Konvektif Skala Meso (KKSM) atau Mesoscale Convective Complexes

(MCC) merupakan populasi MCS yang hidup terbesar dan terpanjang. MCC merupakan

salah satu hasil perkembangan dari deep convective, dan bahkan MCC bisa menjadi

pemicu kejadian siklon tropis. Seperti ilusterasi pada gambar 1.1.

Gambar 1.1 Skema ilusterasi perkembangan awan konvektif

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena ini dapat menghasilkan

cuaca buruk dan hujan yang terus menerus (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly

dan Cotton, 1989). Hujan seperti ini diketahui telah menyebabkan bencana banjir di

berbagai tempat seperti: Asia Timur (Ninomiya dkk,1981; Chen dan Li, 1995), Amerika

Selatan Subtropis (Durkee dan Mote, 2009) dan Amerika Serikat (Maddox,1981). Menurut

Yuan dan Houze (2010), Benua Maritim Indonesia (BMI) merupakan area munculnya

Page 295: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 285 ~

MCC, dan sering muncul di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, kondisi lautan di

BMI merupakan tempat yang sangat cocok untuk tumbuhnya MCC dengan ukuran yang

besar.

Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa MCC

bisa menjadi pemicu curah hujan ekstrem dan dapat dipakai sebagai acuan dalam

menentukan curah hujan ekstrem, namun dari beberapa penelitian sebelumnya tersebut,

belum ada penelitian secara rinci tentang analisis curah hujan ekstrem di Indonesia

mengggunakan analisis MCC. Curah hujan ekstrem sering terjadi di Indonesia, dan sudah

banyak juga metode yang dilakukan untuk menentukan curah hujan ekstrem, baik

menggunakan statistik ataupun menggunakan meodel dinamik, namun belum banyak

bahkan belum ada yang menentukan curah hujan ekstrem di Indonesia, dengan melihat

kejadian MCC, Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana mengidentifikasi

kejadian curah hujan ekstrem menggunakan analisis kejadian MCC.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Curah hujan ekstrem adalah kondisi curah hujan yang cukup tinggi/rendah dari

rata-rata kondisi normalnya. Secara garis besar, curah hujan ekstrim dapat dibedakan

menjadi curah hujan ekstrim basah yang mengakibatkan banjir, dan curah hujan ekstrim

kering yang berdampak kekeringan. Menurut Supriatna dalam BMKG (2011) curah hujan

dengan intensitas > 100 mm/hari menjadi parameter terjadinya hujan ekstrim. Hujan

ekstrim pada peneliti ini juga didefinikan dari analogi kejadian hujan yang menyebabkan

banjir pada tanggal 6-7 Januari dan 10-11 Februari tahun 1996 di daerah aliran sungai

Ciliwung (Rachmawati et al. 2004). Dampak dari curah hujan ekstrim seringkali

menimbulkan permasalahan yang serius bagi kehidupan manusia. Informasi terjadinya

perubahan curah hujan dalam perioda klimatologis penting bagi sektor yang membutuhkan

data curah hujan harian untuk menjalankan kegiatannya (misalnya: pertaninan,

perkebunan, pariwisata dll), sehingga jika terjadi perubahan curah hujan harian dapat

segera menyesuaikan kegiatannya.

Menurut Maddox (1998), ada tiga karakteristik yang digunakan untuk menentukan

apakah badai kompleks adalah MCC. Karakteristik tersebut adalah suhu awan bagian atas

pada pencitraan satelit inframerah. Suhu awan atas -32oC atau kurang perlu untuk

menutupi area seluas 100.000 km2 atau lebih besar bersama dengan suhu terdingin atas

awan yang kurang dari atau sama dengan -52oC seluas minimal 50.000 km

2. Karakteristik

kedua adalah bahwa bentuk puncak awan dingin kompleks perlu melingkar atau hampir

Page 296: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 286 ~

bundar. Hal ini untuk membedakan MCC dari squall lines dan kompleks badai lainnya.

Panjang (panjang terpendek) dari MCC harus setidaknya 70% dari lebar (panjang tegak

lurus terpanjang dengan panjang lebih pendek). Dengan demikian, MCC akan memiliki

bentuk tipe elips atau melingkar dengan eksentrisitasnya (sumbu minor/sumbu utama)

lebih besar dari atau sama dengan 0,7 pada batas maksimum. Ketiga, MCC harus

berlangsung setidaknya 6 jam. Karakteristik dari lingkungan meteorologi dari

pembentukan MCC adalah adveksi udara hangat kuat ke dalam pembentukan lingkungan

oleh aliran jet tingkat rendah selatan (angin maksimum), adveksi kelembaban yang kuat

meningkatkan kelembaban relatif dari pembentukan lingkungan, konvergensi udara di

dekat permukaan, dan divergensi udara tinggi.

MCC terbentuk melalui proses layer lifting, yang memiliki kecocokan dengan

proses pembentukan sistem konvektif menurut Ahrens (2001). Proses layer lifting adalah

proses konveksi yang merupakan gabungan dari konveksi mekanis dan termal dan / atau

proses konveksi karena fron yang akan menghasilkan suatu fenomena yang biasa disebut

deep convection (konveksi tebal) sedangkan menurut Ahrens (2001) menyebutnya sebagai

severe thunderstorm. Deep convection / severe thunderstorm pada keadaan tertentu

memiliki area antara ratusan hingga ribuan kilometer sehingga termasuk fenomena-

fenomena cuaca skala meso (Houze, 2004). Proses ini berawal ketika awan konvektif

(awan Cb) mencapai saat fase matang/maksimum dimana downdraft sangat dominan

membawa endapan turun hingga mencapai permukaan dan mendinginkan massa udara

yang ada. Keadaan ini berlangsung terus hingga massa udara yang dingin semakin melebar

di sekitar sistem awan, sehingga ada dua massa udara yang berbeda saling bertemu. Massa

udara dingin pada bagian bawah sistem dan terus melebar dan massa udara hangat disekitar

sistem awan, pada kondisi ini massa udara dingin semakin menyebar berfungsi seperti

pengganjal memaksa massa udara hangat dan lembab naik masuk ke dalam sistem

(Ahrens, 2001).

Pemaksaan naik ini kemungkinan menyebabkan suatu aliran angin kuat sporadis

pada lapisan bawah troposfer yang biasa disebut low level jet. Jika keadaan ini terus

berulang sebagai hubungan sebab akibat, downdraft mendinginkan massa udara -

menyebabkan naiknya massa udara hangat disekitarnya - sehingga awan tumbuh – semakin

besar pula downdraft dan endapan yang turun, maka sistem konveksi ini akan semakin

berkembang terus menjadi sebuah MCC. Naiknya massa udara hangat disekitar batas dari

sistem skala meso akibat downdraft yang membawa massa udara dingin ini bisa memicu

semakin meluasnya area konvektif skala meso dari keadaan awalnya, dan merupakan salah

Page 297: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 287 ~

satu hipotesa penyebab pergerakan MCC (Houze, 2004), massa udara dingin pada wilayah

downdraft yang tersebar secara horizontal di bawah awan hujan tersebut biasa disebut cold

pool (Engerer dkk. 2008) dan cold pool juga merupakan bagian penting dalam

pembentukan sel-sel konvektif baru (Wilson dan Schreber, 1986), (lihat Gambar 2.1). Di

satu pihak, cold pool akan memutuskan pasokan udara lembab dari lapisan bawah ke

dalam sistem awan konvektif dan menyebabkan matinya awan hujan tetapi di pihak lain,

cold pool memberikan kontribusi penting dalam pembentukan awan-awan konvektif baru.

Gambar 2.1 Ilustrasi perkembangan cold pool yang menghasilkan konveksi baru.

(The COMET Program, 2011).

3. DATA DAN METODE

Studi ini dimulai dengan terlebih dahulu mengidentifikasi dan mendokumentasikan

MCC di Samudera Hindia menggunakan data citra infra merah (IR) MTSAT. Untuk

mengidentifikasi dan mendokumentasikan MCC tersebut dilakukan dengan analisa

pertama yaitu mengidentifikasi seluruh awan yang menembus di atas lapisan 450 mb

(bagian tengah troposfer), sekitar (altitude) 6 – 9 km ketinggian dari permukaan bumi,

Kemudian menggunakan karakteristik MCC yang ditentukan oleh Maddox (1980) dengan

threshold suhu -33ºC sekitar 241 K sebagai selimut awan yang mewakili area stratus dan

inti awan digunakan -53ºC sekitar 221 K sebagai area konvektif, batas suhu ini digunakan

untuk menentukan sistem MCC. Secara detail, berikut algoritma / prosedur yang harus

dilakukan :

1. Data citra satelit IR1 yang mempunyai nilai suhu puncak awan dalam Kelvin dipilih

yang mempunyai nilai lebih kecil dari 241 º K sebagai selimut awan (SA) dan 221 º K

sebagai inti awan dingin (IA). Tiap grid yang memenuhi nilai suhu puncak awan

tersebut diganti dengan “1” dan yang tidak memenuhi diganti dengan angka “0”, proses

ini merubah data satelit dalam suhu menjadi data biner.

2. Data biner kemudian dicari luasan area yang memenuhi syarat suhu (prosedur 1, pixel

yang mempunyai nilai “1” ) dengan menghitung jumlah piksel yang saling terhubung

dengan 4 koneksi grid disekitarnya.

Page 298: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 288 ~

3. Seleksi selanjutnya hanya dipilih area yang memiliki luasan SA ≥ 100.000 km² sekitar

3305 piksel , IA ≥ 50.000 Km² sekitar 1652 piksel.

4. Mencari titik pusat dari area yang terpilih, titik pusat merupakan pusat massa dari area

yang saling terkoneksi. Untuk mencari titik pusat dapat dilakukan dengan rumus

(Carvhalo dan Jones, 2001).

N

Y

YdanN

X

X

N

i

o

N

i

o

11 ; (3.1)

Dimana Xi=posisi piksel ke-i pada sumbu X;Yi= posisi piksel ke-i pada sumbu Y; X0

dan Y0 = centroid; N = luasan area / total piksel.

5. Dalam kriteria MCC menurut Maddox (1980) harus mempunyai Eksentrisitas ≥ 0,7,

dalam kajian ini dilakukan pengujian untuk menghitung Eksentrisitas atau tingkat

kelonjongan dengan Metode Emperical Ortogonal Function (EOF). Dari hasil

penelitian Ismanto (2011), metode EOF lebih bagus dibanding metode lain yaitu

Machado dan Ellips Fitting, eksentrisitas merupakan salah satu alat untuk menentukan

bentuk kelonjongan dari suatu gambar (sistem awan). Eksentrisitas ini memiliki nilai

antara 0 hingga 1, untuk metode EOF nilai “0” menunjukkan bahwa benda tersebut

lebih berbentuk lonjong demikian sebaliknya nilai ”1” benda tersebut adalah bulat /

lingkaran.

Setelah diidentifikasi, terlebih dahulu dilakukan studi kasus untuk menganalisis

MCC saat fase awal, fase maksimum, dan fase punah serta untuk mengidentifikasi adanya

cold pool pada saat kejadian MCC tersebut berdasarkan analisis pertumbuhan konveksi

baru dari sistem MCC dan analisis spasial indek konvektif dan anomali vektor angin, lalu

menganalisis pergerakan MCC, serta kemudian menganalisis keterkaitan MCC terhadap

curah hujan ekstrem tersebut, dan terkahir melakukan analisis komposit MCC dan curah

hujan.

Data angin permukaan dipergunakan untuk melihat pengaruh MCC terhadap angin

permukaan dan menganalisis aktivitas konvektif. Data angin permukaan yang digunakan

yaitu Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) yang merupakan penggabungan antara

data angin permukaan yang diturunkan sumber konvensional (pengamatan kapal) dan in

situ (buoys) dan beberapa satelit ke dalam analisis global yang mendekati konsisten dengan

resolusi 25 km setiap 6 jam-an.

Page 299: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 289 ~

Untuk mengetahui derajat aktivitas konveksi di tiap titik grid pengamatan,

digunakan suatu parameter indek konvektif (Ic) berdasarkan data tbb dengan perumusan

sebagai berikut :

Ic =255 – TBB ; untuk TBB < 255 K (3.2)

Ic = 0 ; untuk TBB ≥ 255 K

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada studi kasus yaitu tanggal 27–28 Oktober 2007, telah diidentifikasi adanya

MCC yang terjadi di Samudera Hindia. Identifikasi ini menggunakan data black body

temperature (tbb) dari data MTSAT IR1 dengan berdasarkan karakteristik MCC dari

Maddox (1980). Evolusi pertumbuhan MCC dari fase awal sampai fase punah pada kasus

ini diperlihatkan pada gambar 4.1. MCC pertama muncul sebagai kumpulan awan-awan

skala kecil saat pukul 15.00 UTC tanggal 27 Oktober 2007 pada garis bujur 93-98 oBT

dan garis lintang 4-8 oS (lihat Gambar 4.1.a), kemudian karena keadaan termodinamis dan

fisis yang sangat mendukung sehingga menghasilkan sistem awan skala meso dan

berkembang menjadi MCC fase awal (inisiasi) sekitar pukul 18.00 UTC tanggal 27

Oktober 2007 pada bujur 94-98 oBT dan garis lintang 4-6

oS (lihat Gambar 4.1.b). Secara

luasan MCC ini mencapai keadaan maksimum saat pukul 00.00 UTC tanggal 28 Oktober

2007 pada garis bujur 94-102 oBT dan 2-6

oS (lihat gambar 4.1.d), dan pada fase

maksimum ini, terlihat inti awan menjadi lebih besar. MCC mencapai fase punah setelah

pukul 06.00 UTC tanggal 28 Oktober 2007 (lihat Gambar 4.1.f), pada fase ini, terlihat inti

awannya pecah dan kembali membentuk awan-awan skala kecil dan selimut awannya

membesar.

Kasus ini menarik dilakukan karena evolusi pertumbuhan MCC dari fase awal

sampai fase punah pada kasus ini terlihat jelas dan konsisten dengan hasil penelitian

Cotton, dkk (1989) dan Maddox (1980) yang menyatakan bahwa pada fase awal terlihat

adanya awan-awan skala kecil dan pada fase maksimum, awan-awan skala kecil tersebut

menjadi inti awan skala besar dan maksimum, lalu pada fase punah, inti awannya pecah

dan kembali membentuk awan-awan skala kecil dan selimut awannya membesar. MCC

pada kasus ini juga menarik karena memiliki masa hidup yang cukup panjang yaitu 15 jam.

Hal yang juga menarik dari kasus ini adalah terlihat adanya pergerakan awan-awan

konvektif saat dimulainya fase punah MCC pada pukul 06:00 UTC dari area teerjadinya

MCC di Samudera Hindia menuju pulau Sumatera, hal ini mengidentifikasikan adanya

pengaruh dari MCC terhadap aktivitas konvektif disekitarnya, untuk memperkuat asumsi

Page 300: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 290 ~

itu, dilakukan juga analisis terhadap angin permukaan saat kejadian MCC tersebut, seperti

terlihat pada gambar 4.2.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)

(h)

Gambar 4.1. TBB dari data MTSAT IR1 yang menunjukkan evolusi perkembangan

MCC di Samudera Hindia, dari fase awal sampai fase punah. Lingkaran merah

menunjukkan area terjadinya MCC.

Gambar 4.2 menunjukkan anomali angin permukaan dan indek konvekti pada saat

fase awal, fase maksimum dan fase punah dari MCC. Pada saat fase awal (lihat gambar

4.2.a) terlihat bahwa adanya konvergensi angin permukaan yang diperkirakan membawa

massa udara dari segala arah menuju suatu area disekitar 98oE-102

oE dan 2

oS-4

oS,

konvergensi angin ini terus berlanjut sehingga membentuk awan konvektif dengan skala

besar, dan awan konvektif pada kondisi ini disebut fase maksimum pada sistem MCC

dengan area sekitar 94oE-102

oE dan 1

oS -6

oS, pukul 00.00 UTC (Lihat gambar 4.2.b),

MCC mulai punah pada pukul 06.00 UTC, saat kondisi ini, sudah terlihat adanya

divergensi angin/penyebaran angin di area MCC, angin ini diestimasi sebagai angin yang

terjadi dari mekanisme cold pool, hal ini juga diperkuat dengan adanya sel konvektif baru

di sekitar area MCC yang sudah mulai mengalami kepunahan (Lihat gambar 4.2.c) , Pada

pukul 12.00 UTC, MCC sudah benar mengalami fase punah, dan sudah terlihat adanya

pergerakan awan konevktif dari area MCC menuju pulau Sumatera. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa adanya pengaruh MCC terhadap awan konvektif disekitarnya.

Page 301: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 291 ~

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 4.2. Indek konvektif dan anomaly vector angin permukaan pada a) fase awal

dari MCC pada 18.00 UTC 27 Oktober 2007. b) Fase maksimum MCC pada 00.00 UTC

28 Oktober 2007, c dan d) fase punah MCC pada 06.00 UTC sampai 12.00 UTC.

Gambar 4.3 menunjukkan estimasi curah hujan menggunakan data TRMM,

estimasi curah hujan pada saat fase awal dari MCC pada tanggal 27 oktober 2007, pukul

18.00 UTC diperlihatkan pada gambar 4.3.a, dimana curah hujan yang terjadi membentuk

pola yang sama seperti gambar 4.1.a pada area garis bujur 93-98 oBT dan garis lintang 4-8

oS, hal ini menunjukkan bahwa sudah terjadinya curah hujan di area terbentuknya MCC.

Curah hujan tinggi di area MCC pada garis bujur 94-102 oBT dan 2-6

oS terlihat ketika

terjadinya fase maksimum MCC, seperti terlihat pada gambar 4.3.b. Curah hujan tinggi

terlihat di atas Sumatera ketika terjadinya fase punah MCC pada tanggal 28 Oktober 2007,

pukul 12.00 UTC, hal ini memperkuat analisis sebelumnya pada gambar 4.2.d bahwa

adanya pergerakan awan konvektif dari area MCC pada saat fase punah menuju pulau

Sumatera, sehingga adanya pengaruh MCC terhadap awan konvektif disekitarnya yang

mengakibatkan curah hujan tinggi di sekitarnya yaitu pulau Sumatera.

Page 302: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 292 ~

Gambar 4.3 Estimasi curah hujan dari data TRMM (3 jaman) ketika terjadinya MCC

pada saat; a) Fase awal MCC, b) Fase maksimum MCC, c) Fase punah MCC.

Gambar 4.4 Curah hujan dan suhu permukaan di Bengkulu saat terjadinya MCC.

Gambar 4.4 memperkuat analisis gambar 4.3, dimana terlihat bahwa adanya curah

hujan tinggi di daerah Bengkulu pada saat fase punah MCC tanggal 28 Oktober 2007,

pukul 06.00 UTC sampai pukul 12.00 UTC, dan curah hujan meningkat tajam pada pukul

09.00 UTC. Suhu permukaan di Bengkulu juga mengalami penurunan drastis terutama

pukul 09.00 – 11.00 UTC, kejadian penurunan suhu permukaan yang drastis tersebut

disebabkan adanyak mekanisme cold pool yang terjadi pada saat adanya MCC.

Untuk menguji konsistensi pengaruh MCC di Samudera Hindia terhadap aktivitas

konvektif disekitarnya, maka dilakukan proses komposit untuk masing-masing kejadian

MCC yang muncul pada area yang sering terjadinya MCC. Area yang dikaji dimisalkan area A,

seperti terlihat pada lingkaran biru dalam gambar 4.5.a yang terjadi pada area sekitar 94-

99oBT dan 0-4

oLU, analisis komposit kejadian MCC dilakukan pada fase maksimum pukul

00.00 UTC, pengambilan waktu ini dikarenakan frekuensi kejadian fase maksimum dari

KKSM tersebut lebih banyak terjadi pada pukul 00.00 UTC. Gambar 4.5.b menunjukkan

bahwa adanya MCC pada area A.

Page 303: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 293 ~

(a)

(b)

Gambar 4.5 a) Sebaran kejadian KKSM/MCC di Samudera Hindia selama 10 tahun

(2000-2009), lingkaran biru menunjukkan area A (area MCC). b) Komposit

KKSM/MCC fase maksimum pada area A selama 10 tahun (2000-2009)

Dari Analisis komposit kejadian MCC pada area A di Samudera Hindia (Gambar

4.6) menunjukkan konsisten dengan hasil studi kasus, dimana adanya pengaruh besar dari

MCC pada aktivitas konvektif di sekitarnya sehingga menyebabkan curah hujan tinggi di

atas wilayah Sumatera. Dan juga teridentifikasinya cold pool pada saat kejadian MCC

dengan adanya konveksi baru di sekitar MCC dan pola anomali angin yang tidak

merepresentasikan angin darat/laut. Dimana cold pool adalah area pendinginan secara

evavorasi dari downdraft udara yang menyebar horizontal dibawah awan MCC, dan cold

pool ini bisa menjadi fokus penting bagi perkembangan sel konvektif baru, karena

beberapa lingkungan udara yang mendekati cold pool diangkat ke atas, Wilson dan

Schreiber (1986).

Page 304: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 294 ~

Gambar 4.6 Analisis komposit untuk indek konvektif dan anomali vektor angin ketika

terjadi MCC di area A.

Gambar 4.7 memperlihatkan pengaruh MCC pada area A terhadap curah hujan di

atas Kototabang, Sumatera Barat. Curah hujan terjadi sejak pukul 06.00 UTC dan

berlangsung terus menerus sampai pukul 21.00 UTC. Hasil ini konsisten dengan hasil

penelitian (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly dan Cotton, 1989) bahwa

fenomena KKSM ini dapat menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang terus menerus.

Dimana hujan seperti ini diketahui telah menyebabkan bencana banjir di berbagai tempat

seperti: Asia Timur (Ninomiya dkk,1981; Chen dan Li, 1995), Amerika Selatan Subtropis

(Durkee dan Mote, 2009) dan Amerika Serikat (Maddox,1981).

Gambar 4.7 Analisis komposit curah hujan di Kototabang Sumatera Barat saat terjadinya

MCC di area A

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

waktu (UTC)

Komposit Curah Hujan di Atas Kototabang Pada Saat Kejadian

KKSM di Area A (Data AWS)

Page 305: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 295 ~

5. KESIMPULAN

MCC bisa menghasilkan curah hujan ekstrem melalui mekanisme cold pool dengan

sistem pembentukan sel konveksi baru yang menginduksi pertumbuhan konveksi

disekitarnya sehingga membuat pertumbuhan awan konveksi yang cukup signifikan

disekitarnya sehingga bisa menyebabkan curah hujan ekstrem.

UCAPAN TERIMA KASIH:

Penulis mengucapkan terimakasih pada Dr. Tri Wahyu Hadi sebagai dosen sains kebumian

ITB dan Ass Prof. Dr. Yasumasa Kodama (Hirosaki University – Japan) yang telah

bersedia berdiskusi dengan penulis tentang penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

Ashley, W. S. (2003) : A Distribution of Mesoscale Convective Complexe Rainfall in the

United State. Monthly weather Review, 131, 3003 – 301.

Durkee, J. D., Mote, T. L. dan Shepherd, M. J. (2009): The Contribution of Mesoscale

Convective Complexes to Rainfall across, Subtropical South America. Journal of

Climate.,vol 22.

Fritsch, J. M., Kane, R. J. dan Chelius, C. R. (1986) : The Contribution of Mesoscale

Convective Weather System to the Warm Season Precipitation in the United States.

Journal of Climate., 25, 1333 - 1345.

Houze, R. A. Jr. (2004) : Mesoscale Convective System, Review of Geophisics, American

Geophisical Union, 43 pp.

Laing, A. G. dan Fritsch, J. M. (1993a) : Mesoscale Convective Complexes Over the

Indian Monsoon Region. Monthly Weather Review, 121, 2254 – 2263.

Ismanto, H. (2011): Karakteristik Kompleks Konvektif Skala Meso di Benua Maritim,

Tesis Magister, FITB, ITB.

Maddox, R. A. (1980) : Mesoscale Convective Complexes, Bulletin American Meteorology

Society. 61, 1374 - 1387.

Miller, D. dan Fritsch, J. M. (1991): Mesoscale Convective Complexe in Western

Pasific Region. Monthly Weather Review., 119, 2978 – 2992.

Takahashi, C., Uyeda, H., Maki, M., Iwanami, K., Misumi, R. (2008) : Relationship among

Structure, Development Processes, and Heating Profiles for Two Mesoscale

Convective Systems in Inactive Phase of a Large-Scale Disturbance over Northern

Australia during the Southern Summer in 1998-1999. Journal of the

Meteorological Society of Japan, 86, 81 – 117.

Page 306: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 296 ~

KARAKTERISTIK HARIAN DAN DISTRIBUSI MUSIMAN

DARI KOMPLEKS KONVEKTIF SKALA MESO DI

SAMUDERA HINDIA SELAMA 10 TAHUN

(PERIODE 2000-2009)

Trismidianto

Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

email: [email protected]

Abstract

Effects of Mesoscale Convective Complexes (MCC) in Indian Ocean on convections over

Sumatera Island have been investigated using Multi-functional Transport SATellite

(MTSAT) infrared (IR1) imageries, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) rainfall

data, and Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) surface wind data of 10-year period

(2000-2009). Occurrences of MCC were identified using an algorithm that combines

criteria of cloud coverage, eccentricity, and cloud lifetime. Then, we do analyze of the

spatial and temporal characteristics of daily and seasonal distribution of MCC in the

Indian Ocean for 10 years. And also study the relationship MCC against convective index

and surface wind anomalies. From this study, we found about a number of 553 MCC

events have been identified over western Indian Ocean or there are about 55 MCC events

per year in average. However, it is of interest to note MCC events tend to occur with

significantly higher frequency during the monsoon transition season of March- April-May

(MAM) period. Available data suggest that the life cycle of MCCs over western Indian

Ocean is about 12 to 15 hours. The daily characteristics of MCC in the Indian Ocean

shows that the initial phase of MCC common in 17:00 UTC, and the maximum phase of

MCC dominant occurred at 00:00 UTC, while the dissipation phase of MCC dominant

occurs at 12:00 UTC. And we also found a strong linkage between MCC with the

convective index, especially in DJF and JJA seasons, and MCC affecting the convective

clouds in the surrounding area for every season. Distribution of convective index during

dissipation phase of MCC every season of DJF, MAM, JJA and SON shows the number of

distribution of convective cloud over the Sumatra island, which had not previously seen in

the maximum phase of MCC, it indicates that there are movement of the convective cloud

when the dissipation phase of MCC.

Keyword: MCC, Convective Index, Indian Ocean

Abstrak

Pengaruh konvektif komplek skala meso (KKSM) atau Mesoscale Convective Complexes

(MCC) di Samudera Hindia terhadap konveksi di atas pulau sumatera sudah diinvestigai

menggunakan data citra satelit Multi-functional Transport SATellite (MTSAT), data curah

hujan dari Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dan data angin permukaan

Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) selama 10 tahun (2000-2009). Kejadian MCC

diidentifikasi menggunakan sebuah algoritma yang mengkombinasikan criteria tutupan

awan, eksentrisitas dan lama hidup awan. Dan kami melakukan analisis spasial dan

temporal terhadap karakteristik harian dan distribusi musiman dari KKSM di Samudera

Page 307: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 297 ~

Hindia selama 10 tahun. Dan juga kajian keterkaitan KKSM terhadap indek konvektif dan

anomali angin permukaan. Dari penelitian ini diperoleh sekitar 553 kejadian KKSM dan

rata-rata 55 kejadian MCC per tahunnya. Oleh karena itu, meanrik ditulis KKSM

cenderung terjadi dengan frekuensi tinggi yang signifikan pada musim transisi yaitu Maret,

April dan Mei (MAM). Diperolehnya data yang menunjukkan bahwa KKSM mempunyai

siklus hidup yang cukup panjang sekitar 12-15 jam. Karakteristik harian KKSM di

Samudera Hindia menunjukkan bahwa fase awal KKSM sering terjadi pada pukul 17:00

UTC, dan fase maksimum KKSM dominan terjadi pada pukul 00:00 UTC, sedangkan fase

punah dominan terjadi pada pukul 12:00 UTC. Dan dihasilkan juga bahwa adanya

keterkaitan yang cukup kuat antara kejadian KKSM dengan indek konvektif terutama pada

musim DJF dan JJA, serta KKSM mempengaruhi awan konvektif disekitarnya untuk setiap

musim. Distribusi indek konvektif pada saat fase punah KKSM setiap musim DJF, MAM,

JJA dan SON memperlihatkan banyaknya distribusi awan konvektif di atas pulau sumatera,

yang sebelumnya tidak terlihat pada fase maksimum KKSM, hal ini menunjukkan bahwa

adanya pergerakan awan konvektif saat terjadinya fase punah dari KKSM.

Kata Kunci: KKSM, Indek konvektif, Samudera Hindia

1. PENDAHULUAN

Fenomena Kompleks Konvektif Skala Meso (KKSM) atau yang biasa juga disebut

Mesoscale Convective Complexes (MCC) ini telah dikaji banyak peneliti dalam kurun

waktu lebih dari tiga dekade, namun penelitian-penelitian tersebut banyak dilakukan di

Asia Timur, Amerika Selatan Subtropis, Amerika Serikat. Belum ada yang meneliti secara

rinci di Benua Maritim Indonesia (BMI). Salah satu penelitian KKSM yang dimulai di

Benua Maritim adalah oleh Laing dan Fritsch (1997), Namun hasil kajian Laing dan

Fritsch menunjukkan bahwa Samudera Hindia bukan merupakan tempat munculnya

KKSM (Lihat Gambar 1.1.a, Kemudian tahun 2010, Yuan dan Houze juga melakukan

penelitian KKSM di BMI. (Lihat Gambar 1.1.b). Menurut Yuan dan Houze (2010), BMI

merupakan area munculnya KKSM, dan sering muncul di Samudera Hindia dan Samudera

Pasifik, kondisi lautan di BMI merupakan tempat yang sangat cocok untuk tumbuhnya

KKSM dengan ukuran yang besar. namun penelitian Yuan dan Houze ini, hanya

memperlihatkan bahwa KKSM juga terjadi di Samudera Hindia, namun belum secara rinci

membahas karakteristik KKSM di Samudera Hindia.

Page 308: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 298 ~

(a)

(b)

Gambar 1.1 a) Distribusi spasial KKSM menurut Laing dan Fritsch (1997), dan

b) Distribusi spasial KKSM menurut Yuan dan Houze (2010).

Ismanto H dan Hadi TW (2011) dalam penelitian tesisnya menunjukkan hasil yang

konsisten dengan hasil yang telah dilakukan Yuan dan Houze 2010, dimana KKSM sering

muncul di BMI terutama muncul di wilayah lautan luas (Samudera Hindia Barat Sumatera

dan Samudera Pasifik Utara Papua), dan di daratan luas Di benua maritim (Pulau Papua,

Pulau Kalimantan, beberapa di Sumatera). Namun, penelitian ini juga belum secara rinci

membahas distribusi KKSM di Samudera Hindia. Kenapa KKSM ini penting dikaji karena

hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa fenomena ini dapat menghasilkan cuaca

buruk dan hujan yang terus menerus (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly dan

Cotton, 1989). Hujan seperti ini diketahui telah menyebabkan bencana banjir di berbagai

tempat seperti: Asia Timur (Ninomiya dkk,1981; Chen dan Li, 1995), Amerika Selatan

Subtropis (Durkee dan Mote, 2009) dan Amerika Serikat (Maddox,1981). Menurut Yuan

dan Houze (2010) dan Yuan dan Houze (2011) serta diperkuat oleh Ismanto (2011), Benua

Maritim merupakan area munculnya sistem konveksi skala meso besar yang terpisah-pisah

(individu) ataupun yang saling terkoneksi (termasuk didalamnya adalah KKSM). Oleh

karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana karakteristik harian dan distribusi

musiman dari KKSM di Samudera Hindia.

2. TINJAUAN PUSTAKA

KKSM merupakan populasi Mesoscale Convective System (MCS) yang hidup

terbesar dan terpanjang, sedangkan MCS secara luas dapat didefinisikan sebagai sistem

awan terkait dengan ansambel dari badai dengan curah hujan daerah berdekatan. biasanya,

skala horisontal mereka dapat memperpanjang 100 km atau lebih dalam satu arah, dan

siklus hidup mereka dapat berlangsung dari beberapa jam selama 2-3 hari (Houze, 1993).

KKSM terbentuk melalui proses layer lifting, yang memiliki kecocokan dengan proses

pembentukan sistem konvektif menurut Ahrens (2001). Proses layer lifting adalah proses

konveksi yang merupakan gabungan dari konveksi mekanis dan termal dan / atau proses

Page 309: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 299 ~

konveksi karena fron yang akan menghasilkan suatu fenomena yang biasa disebut deep

convection (konveksi tebal) sedangkan menurut Ahrens (2001) menyebutnya sebagai

severe thunderstorm. Deep convection / severe thunderstorm pada keadaan tertentu

memiliki area antara ratusan hingga ribuan kilometer sehingga termasuk fenomena-

fenomena cuaca skala meso (Houze, 2004).

Gambar 2.1 (a) Skema ideal melintang pembalikan suatu lapisan konvektif. Garis bentuk

awan adalah batas awan, garis kontur utuh setiap 4 K menunjukkan

temper ture potenti l equiv lent θe , garis utuh tebal menunjukkan zona

fron, arsiran terang menunjukkan area θe rendah, arsiran gelap

menggambarkan lapisan lembab labil (Bryan dan Fritsch, 2000 dalam

Houze, 2004).

(b) Mekanisme fron skala kecil di daerah tropis (Ahrens, 2001).

Menurut Laing (2003), ada beberapa keadaan lingkungan skala luas yang secara

khas muncul sebagai bagian proses layer lifting antara lain (Gambar 2.1.a dan b): adanya

angin kecepatan tinggi di bagian bawah troposfer yang sporadis (low level jet) yang

memiliki temperatur potensial ekivalen yang tinggi (θe) menyusup / masuk ke daerah

pembentukan yang memaksa suatu kumpulan massa udara (lapisan) terangkat naik secara

dangkal diantara lapisan dasar permukaan yang relatif udaranya lebih dingin. Nampak jelas

bahwa adveksi hangat disertai pembelokan troposfer bawah yang sangat kuat menutupi

lapisan dasar permukaan yang lebih dingin. Kondisi maksimum lokal dari kelembaban

relatif (relative humidity) merupakan tanda dari area favorit pembentukan dari sistem

konvektif ini.

Menurut Maddox (1998), ada tiga karakteristik yang digunakan untuk menentukan

apakah badai kompleks adalah KKSM. Karakteristik tersebut adalah suhu awan bagian

atas pada pencitraan satelit inframerah. Suhu awan atas atau selimut awan adalah -32oC

atau kurang perlu untuk menutupi area seluas 100.000 km2 atau lebih besar bersama

dengan suhu terdingin atas awan atau inti awan yang kurang dari atau sama dengan -52oC

Page 310: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 300 ~

seluas minimal 50.000 km2. Karakteristik kedua adalah bahwa bentuk puncak awan dingin

/ inti awan kompleks perlu melingkar atau hampir bundar. Hal ini untuk membedakan

KKSM dari squall lines dan kompleks badai lainnya. Panjang (panjang terpendek) dari

KKSM harus setidaknya 70% dari lebar (panjang tegak lurus terpanjang dengan panjang

lebih pendek). Dengan demikian, KKSM akan memiliki bentuk tipe elips atau melingkar

dengan eksentrisitasnya (sumbu minor/sumbu utama) lebih besar dari atau sama dengan

0,7 pada batas maksimum. Ketiga, KKSM harus berlangsung setidaknya 6 jam.

Karakteristik dari lingkungan meteorologi dari pembentukan KKSM adalah adveksi udara

hangat kuat ke dalam pembentukan lingkungan oleh aliran jet tingkat rendah selatan (angin

maksimum), adveksi kelembaban yang kuat meningkatkan kelembaban relatif dari

pembentukan lingkungan, konvergensi udara di dekat permukaan, dan divergensi udara

tinggi.

3. DATA DAN METODE

Identifikasi KKSM dilakukan menggunakan data citra infra-red (IR1) dari Multi-

functional Transport SATellite (MTSAT) dengan membuat algoritma untuk digunakan

dalam mendeteksi KKSM dari data citra IR1 yang dibangun dengan menggabungkan

beberapa kriteria dari luasan tutupan awan, tingkat kelonjongan dan lama masa hidupnya,

seperti terlihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Kriteria Penentuan KKSM (Maddox, 1980)

Kriteria Karakteristik Fisik

Ukuran SA - Mempunyai suhu SA ≤ -32oC yang menutupi area

seluas ≥ 100.000 km2

IA - Mempunyai suhu IA ≤ -52oC yang menutupi area

seluas ≥ 50.000 km2

Inisiasi/Awal KKSM berawal dengan terpenuhinya ukuran SA dan IA

Masa Hidup Masa hidupnya ≥ 6 Jam

Batas Maksimum Batas fase maksimum KKSM dinyatakan ketika IA

mencapai luas maksimum

Bentuk Mempunyai eksentrisitas/kelonjongan (sumbu minor/sumbu

mayor) ≥ 0.7 pada waktu mencapai batas maksimum

Terminasi/Akhir KKSM berakhir dengan mengecilnya ukuran SA dan IA

Setelah KKSM teridentifikasi lalu dilakukan analisis spasial dan temporal terhadap

karakteristik harian dan distribusi musiman dari KKSM di Samudera Hindia selama 10

tahun. Dilakukan juga kajian keterkaitan KKSM terhadap indek konvektif dan anomali

angin permukaan.

Page 311: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 301 ~

Data angin permukaan dipergunakan untuk melihat pengaruh KKSM terhadap

angin permukaan dan menganalisis aktivitas konvektif. Data angin permukaan yang

digunakan yaitu Cross-Calibrated Multi-Platform (CCMP) yang merupakan

penggabungan antara data angin permukaan yang diturunkan sumber konvensional

(pengamatan kapal) dan in situ (buoys) dan beberapa satelit ke dalam analisis global yang

mendekati konsisten dengan resolusi 25 km setiap 6 jam-an, sehingga data angin

permukaan menjadi lengkap secara global di seluruh wilayah bumi. Data angin permukaan

ini tersedia dari tahun 1987–2008 dan dapat diunduh melalui

http://dss.ucar.edu/datasets/ds744.9. Namun pada penelitian ini hanya digunakan periode

data dari tahun 2000 sampai 2009.

Untuk mengetahui derajat aktivitas konveksi di tiap titik grid pengamatan,

digunakan suatu parameter indek konvektif (Ic) berdasarkan data tbb dengan perumusan

sebagai berikut :

Ic =255 – TBB ; untuk TBB < 255 K (3.1)

Ic = 0 ; untuk TBB ≥ 255 K

Dimana 255 K ini secara umum dapat disamakan temperatur atmosfer pada level

ketinggian sekitar 400 hPa, sehingga nilai Ic ini menunjukkan suatu indek awan-awan

konveksi yang puncak awannya mencapai level ketinggian di atas 400 hPa. Dalam

penelitian ini, untuk menghitung Ic digunakan persamaan (III.1) tersebut, dengan

pertimbangan bahwa penggunaan nilai batas 255 K sudah dapat mencirikan aktivitas

konveksi yang kuat, dan sudah dapat mereduksi pengaruh variasi temperatur permukaan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi kejadian KKSM di wilayah Samudera Hindia sudah dilakukan

menggunakan data MTSAT IR1 dan mengacu pada karakteristik KKSM yang ditentukan

oleh Maddox (1980), dan secara rinci karakteristik tersebut dibuat algoritma dalam

pemrograman menggunakan Software Matlab serta divalidasi secara manual sehingga

sudah diperoleh hasil bahwa terdapat sekitar 553 KKSM yang terjadi di daerah Samudera

Hindia selama 10 tahun periode Januari – Desember (2000-2009). MCS yang terjadi

merupakan MCS besar yang terpisah-pisah (individu) ataupun yang saling terkoneksi

termasuk KKSM, hal ini sesuai dengan Yuan dan Houze (2010) serta Ismanto (2011)

bahwa BMI merupakan area munculnya MCS besar yang terpisah-pisah (individu) ataupun

yang saling terkoneksi (termasuk didalamnya adalah KKSM) terutama di daerah Samudera

Hindia. (Lihat Gambar 4.1).

Page 312: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 302 ~

Gambar 4.1 Distribusi kejadian KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun

(2000-2009)

Pada umumnya sistem KKSM dikenal sebagai sistem nocturnal yang mana fase

awal /tumbuh sekitar sore hingga malam hari sekitar pukul 22.00 (waktu lokal), dan saat

fase maksimumnya terjadi antara pukul 23.00-05.00 (waktu lokal), lalu dilanjutkan fase

akhir (menghilangnya KKSM) sekitar pukul 08.00-10.00 (waktu lokal) dengan lama hidup

secara rata-rata sekitar 11-12 jam. Hal ini berbeda dengan KKSM yang diperoleh pada

hasil penelitian ini dimana secara umum KKSM di Samudera Hindia dominan muncul

lebih awal pada fase awal terjadi menjelang pagi hingga pagi hari pukul 16.00 – 20.00

UTC, fase maksimumnya terjadi sekitar pukul 22.00 – 00.00 UTC dan yang paling

mencolok bahwa KKSM di Samudera Hindia sedikit mengalami keterlambatan dalam

mencapai fase punah yang mencapai hingga pukul 10.00-12.00 UTC (Lihat Gambar 4.2.a).

Sehingga secara umum siklus hidup KKSM di Samudera Hindia lebih lama yang

berkisar 12-15 jam (Lihat Gambar 4.2.b), hal ini bisa disebabkan karena keadaan lautan

dan atmosfer Samudera Hindia sangat mendukung untuk terbentuknya konveksi yang tebal

dan di lautan luas siklus diurnal dalam kondisi lemah sehingga membuat sistem KKSM ini

mencapai keadaan maksimum, hasil ini konsisten dengan hasil dari Mori dkk (2004)

mengungkapkan bahwa puncak hujan konvektif terjadi antara pukul 15.00-20.00 di darat

sedangkan pada pagi hari di sekitar laut, komposisi hujan merupakan perpaduan antara tipe

stratiform dan konvektif.

Page 313: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 303 ~

(a)

(b)

Gambar 4.2. a) Karakteristik harian KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun (2000-

2009). b) Lama fase KKSM selama 10 tahun (2000-2009)

Berdasarkan gambar 4.3.a) terlihat bahwa KKSM yang muncul di Samudera

Hindia banyak terjadi pada tahun 2004 dan 2005, dan dari seluruh kejadian KKSM yang

terjadi di Samudera Hindia selama 10 tahun, persentase kejadian KKSM banyak terjadi

pada musim transisi yaitu bulan Maret, April, Mei (MAM) (Lihat Gambar 4.3.b).

(a)

(b)

Gambar 4.3 a) Jumlah kejadian KKSM di Samudera Hindia selama 10 tahun (2000-

2009), b) Persentase kejadian KKSM pada saat bulan DJF, MAM, JJA, dan SON.

Gambar 4.4 memperlihatkan keterkaitan distribusi kejadian KKSM di Samudera

Hindia dan indek konvektif serta anomali vektor angin permukaan untuk setiap musim di

Indonesia selama 10 Tahun (2000-2009), dari area lingkaran merah pada gambar 4.4 kiri

dan kanan terlihat adanya indek konvektif yang cukup kuat pada area tersebut, dimana

pada saat itu terjadi banyak KKSM di area tersebut, Namun musim DJF dan JJA yang

memperlihatkan hubungan kuat antara kejadian KKSM dengan indek konvektif, sedangkan

pada musim MAM dan SON tidak memperlihatkan keterkaitan yang cukup kuat sehingga

walaupun menurut gambar 4.3.b bahwa MCC lebih banyak terjadi pada musim MAM,

namun MCC yang terjadi pada bulan tersebut tidak terlalu mempengaruhi curah hujan

disekitarnya karena tidak memperlihatkan keterkaitan yang cukup kuat dengan indek

Jum

lah

Ke

jad

ian

Jam (UTC)

Karakteristik Harian Komplek Konvektiv Skala

Meso di Samudera … FaseAwal

Jum

lah

Ke

jad

ian

KK

SM

Lama Fase KKSM (Jam)

Lama Fase KKSM (2000-2009)

Jum

lah

Ke

jad

ian

KK

SM

Bulan

Jumlah Kejadian KKSM di Wilayah Samudera Hindia dan

Sekitarnya (2000-2009) 2000

2001

Pe

rse

nta

se K

eja

dia

n

Bulan

Persentase Kejadian KKSM pada saat bulan DJF, MAM,

JJA, SON(2000-2009)

Page 314: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 304 ~

konvektif, sedangkan angin permukaan memperlihatkan keterkaitan yang cukup kuat pada

musim JJA dan SON, dimana adanya konvergensi angin permukaan pada area lingkaran

merah tersebut yang menandakan adanya pembentukan KKSM.

Page 315: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 305 ~

Gambar 4.4 kiri: Distribusi KKSM pada saat fase maksimum saat musim DJF, MAM,

JJA dan SON selama 10 tahun di Samudera Hindia. Kanan: Distribusi indek konvektif dan

anomaly vector angin pada saat fase maksimum KKSM saat musim DJF, MAM, JJA dan

SON selama 10 tahun di Samudera Hindia.

Gambar 4.5 memperlihatkan distribusi indek konvektif pada saat fase punah

KKSM, dimana terlihat bahwa pada saat fase punah KKSM, terjadi banyaknya distribusi

awan konvektif di atas pulau sumatera, yang sebelumnya tidak terlihat pada fase

maksimum KKSM seperti terlihat pada gambar 4.4 (kanan). Hal ini menunjukkan bahwa

adanya pergerakan awan konvektif saat terjadinya fase punah dari KKSM.

Page 316: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 306 ~

Gambar 4.5 Distribusi indek konvektif pada saat fase punah KKSM saat musim DJF,

MAM, JJA dan SON di Samudera Hindia selama 10 tahun (2000-2009).

5. KESIMPULAN

Terdapat sekitar 553 kejadian KKSM selama 10 tahun di Samudera Hindia dengan

siklus hidup yang cukup panjang sekitar 12-15 jam dan KKSM di Samudera Hindia sering

terjadi pada musim transisi yaitu Maret, April dan Mei (MAM), serta adanya keterkaitan

yang cukup kuat antara kejadian KKSM dengan indek konvektif terutama pada musim DJF dan

JJA, serta KKSM mempengaruhi awan konvektif disekitarnya untuk setiap musim. Distribusi indek

konvektif pada saat fase punah KKSM setiap musim DJF, MAM, JJA dan SON memperlihatkan

banyaknya distribusi awan konvektif di atas pulau sumatera, yang sebelumnya tidak terlihat pada

fase maksimum KKSM, hal ini menunjukkan bahwa adanya pergerakan awan konvektif saat

terjadinya fase punah dari KKSM.

Page 317: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 307 ~

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih pada Dr. Tri Wahyu Hadi sebagai dosen sains kebumian

ITB dan Ass Prof. Dr. Yasumasa Kodama (Hirosaki University – Japan) yang telah

bersedia berdiskusi dengan penulis tentang penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

Ahrens, C. D. (2001): Cloud Development and Precipitation. Essentials of Meteorology –

An Invitation to the Atmosphere, 504 pp.

Anderson, C. J. dan Arrit, R. W. (1998) : Mesoscale Convective Complexes and Persistent

Elongated Convective Systems over theUnited state during 1992 and 1993.

Monthly weather Review., 126, 578 – 599.

Ashley, W. S. (2003) : A Distribution of Mesoscale Convective Complexe Rainfall in the

United State. Monthly weather Review, 131, 3003 – 301.

Durkee, J. D., Mote, T. L. dan Shepherd, M. J. (2009): The Contribution of Mesoscale

Convective Complexes to Rainfall across, Subtropical South America. Journal of

Climate.,vol 22.

Fritsch, J. M., Kane, R. J. dan Chelius, C. R. (1986) : The Contribution of Mesoscale

Convective Weather System to the Warm Season Precipitation in the United States.

Journal of Climate., 25, 1333 - 1345.

Houze, R. A. Jr. (2004) : Mesoscale Convective System, Review of Geophisics, American

Geophisical Union, 43 pp.

Houze, R. A. Jr. (2011): Orographic Effect on Precipitating Clouds, Review of Geophisics,

American Geophisical Union, 47 pp.

Ismanto, H. (2011): Karakteristik Kompleks Konvektif Skala Meso di Benua Maritim,

Tesis Magister, FITB, ITB.

Laing, A. G. dan Fritsch, J. M. (1997) : The Global Population of Mesoscale Convective

Complexes. Q. Journal of Meteorological Society. , 123, 389-405.

McAnelly, R. L. dan Cotton, W. R. (1989) : The Precipitation life cycle of Mesoscale

Convective Complexes over the Central United States. Monthly Weather

Review.,117, 784 - 808.

Maddox, R. A. (1980) : Mesoscale Convective Complexes, Bulletin American Meteorology

Society. 61, 1374 - 1387.

Miller, D. dan Fritsch, J. M. (1991): Mesoscale Convective Complexe in Western

Pasific Region. Monthly Weather Review., 119, 2978 – 2992.

Page 318: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 308 ~

Takahashi, C., Uyeda, H., Maki, M., Iwanami, K., Misumi, R. (2008) : Relationship among

Structure, Development Processes, and Heating Profiles for Two Mesoscale

Convective Systems in Inactive Phase of a Large-Scale Disturbance over Northern

Australia during the Southern Summer in 1998-1999. Journal of the

Meteorological Society of Japan, 86, 81 – 117.

Yuan, J dan Houze, R. A. Jr. (2010): Global Variability of Mesoscale Convective System

Anvil Structure from A-Train Satellite Data. Journal of Climate, 23, 5864-5888.

Page 319: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 309 ~

PENGARUH KEBAKARAN HUTAN TERHADAP AEROSOL

DAN OZON TOTAL DI SUMATERA BERDASARKAN

MUSIMAN

Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati

Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim-LAPAN

Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung, e-mail; [email protected]

Abstract

Total ozone (O3) concentration distributions and hotspot were high during dry season June-

July-August (JJA). In the other hand aerosol concentration distributions indicated by

Aerosol Optical Depth (AOD483.5nm) was high during transition dry to wet season

September-October-November (SON). Maximum total ozone and aerosol (AOD483.5nm)

during August and September. High concentration value was correlated well with hotspot

indicating forest fires in Sumatera, that was high number of hotspot followed by high

concentration during JJA and SON. Total O3 and aerosol data were obtained from Aura-

OMI sensor (Observation Monitoring Instrument) from NASA from January 2005 to

December 2010 for Sumatera region (6.210 S - 6.270 S; 94.580 E - 109.080 E),

0.2500.25

0 resolution. Hotspot data were obtained from MODIS Aqua/Terra. The data

were then plotted by using ARC View/GIS version 3.3. Forest fires occured in 2005-2010

in Sumatera were sources of aerosol and CO and gave impact on total ozone. Results

showed that aerosol and cloud formations during DJF had influenced ozone concentration

in Indonesia. In the other hand forest fires during SON were correlated well with

AOD483.5nm and ozone by 0.522 and significance p< 0.05; hotspot with AOD483.5nm by

0.831 and significance p<0.01 and hotspot with ozone by 0.529.

Keywords: Aerosol Optical Depth (AOD), hotspot, total ozone, Sumatera

Abstraks

Distribusi konsentrasi ozon (O3) total dan titik api adalah tinggi pada saat musim kemarau

Juni Juli Agustus (JJA). Sedangkan aerosol yang diindikasikan dengan Aerosol Optical

Depth (AOD483,5 nm ) adalah tinggi saat musim peralihan kemarau ke hujan September

Oktober Nopember (SON). Konsentrasi maksimum O3 total dan aerosol (AOD 483,5nm)

pada bulan Agustus dan September. Nilai konsentrasi yang tinggi terkorelasi dengan baik

dengan jumlah titik api yang menandakan adanya kebakaran hutan di wilayah Sumatera,

yaitu konsentrasi tinggi jumlah titik api juga banyak pada musim JJA dan SON. Data O3

total, dan aerosol diambil dari sensor Aura-OMI (Observation Monitoring Instrument) dari

NASA dari Januari 2005 sampai Desember 2010 untuk wilayah Sumatera (6,210 LS-6,270

LS; 94,580 BT-109,080 BT), dengan resolusi 0,25ox0,25

o. Data titik api berasal dari

MODIS AQUA/TERRA. Kemudian data-data tersebut digambarkan dengan menggunakan

ARV VIEW/GIS versi 3.3. Kebakaran hutan yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun

2010 di Sumatera merupakan sumber dari aerosol dan CO yang berdampak pada O3 total.

Hasilnya menunjukkan bahwa terbentuknya aerosol dan awan pada pada DJF telah

mempengaruhi konsentrasi ozon di Indonesia. Sebaliknya kebakaran hutan pada musim

SON berkorelasi dengan baik yaitu AOD dengan O3 sebesar 0,522 dengan signifikasi

p<0,05; titik api dengan AOD sebesar 0,831 dengan signifikansi p<0,01dan titik api

dengan O3 sebesar 0,529.

Page 320: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 310 ~

Kata kunci: Aerosol Optical Depth (AOD), titik api, ozon total, Sumatera

1. PENDAHULUAN

Pembakaran biomasa merupakan sumber dari gas-gas telusur yang reaktif seperti

NOx, NMHC, CO dan kurang reaktif seperti CO2, CH4 di daerah tropis selama musim

kemarau hasil penelitian Crutzen et al., (1979). Crutzen dan Andreae (1990) menghitung

emisi dari oksida karbon (CO2, CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen (NOx, N2O), metan

(CH4), metil clorida (CH3Cl), hidrogen (H2) dan aerosol dari pembakaran biomasa di

tropik. Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera terjadi hampir setiap tahun seiring dengan

datangnya musim kemarau. Dampak dari kebakaran hutan adalah turunnya jarak pandang

dan meningkatnya gas-gas hasil pembakaran biomass seperti CO2, CO, SO2, NH3, NOx,

CH4, CH3Cl, hidrokarbon lainnya dan aerosol ke udara.

Gas-gas dan aerosol ini berperanan dalam kimia atmosfer dan iklim global. Gas-gas

seperti CO2, CH4, N2O sebagai gas rumah kaca mempunyai peranan meningkatkan

temperatur. Selain itu terbentuknya CO akan memicu terbentuknya O3 di atmosfer yang

berperanan sebagai oksidator SO2 dan NO2 untuk membentuk asam sulfat dan nitrat yang

berdampak terjadinya hujan asam. Karbonmonoksida dan metan bereaksi dengan radikal

OH dan bersama-sama dengan non-methane hidrocarbons (NMHC) dan nitrogen oksida

(NOx) yang reaktif akan memproduksi O3 (Crutzen and Andreae,1990; Langmann et al.,

2009; Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998).

Konsentrasi CO dan O3 memperlihatkan korelasi linear yang baik sekali. Sehingga

mengesankan bahwa O3 yang diamati selama musim kering diproduksi secara fotokimia

dengan oksidasi hidrokarbon dan NOx yang diemisikan dari pembakaran biomasa.

Produksi O3 di daerah net boundary layer dari semua kebakaran daerah savana tropis

Amerika diperhitungkan antara 0,28 dan 0,36 Tmol per tahun, yaitu 3 kali lebih besar dari

produksi O3 dari sumber polusi di Amerika Serikat bagian timur selama musim panas

(Sanhueza et al., 1999).

Dampak kebakaran hutan (pembakaran biomasa) di Kalimantan Indonesia telah

menimbulkan penurunan kualitas udara di wilayah tropik Asia Tenggara. Dari total titik

api 10173 yang dipantau oleh satelit MODIS Aqua selama Agustus 2004 telah

menyebabkan peningkatan konsentrasi PM10 di enam stasiun kualitas udara di Sarawak, di

Malaysia Timur, yang berada disebelah Barat Laut Kalimantan (Mahmud, 2012). Selain

itu didapatkan AOD (aerosol) yang tinggi lebih dari 0,9 selama minggu terkhir Agustus

Page 321: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 311 ~

2004 saat terjadi kebakaran hutan di Kalimantan bagian barat, tengah dan utara (Mahmud,

2012).

Masalah kebakaran hutan tidak disengaja atau pembukaan lahan perkebunan

dengan cara membakar atau pembakaran biomasa telah menimbulkan penurunan kualitas

udara di wilayah Sumatera dan sekitarnya. Maka pada penelitian ini dikaji pengaruh

kebakaran hutan terhadap aerosol dan O3 berdasarkan musim secara statistik, untuk

mengetahui optimasi distribusinya. Kajian tren titik api sebagai indikasi terjadinya

kebakaran, aerosol dan O3 untuk menjelaskan lebih detil adanya pengaruh musiman.

2. DATA DAN METODOLOGI

Data ozon (O3) total, dan AOD untuk aerosol pada panjang gelombang 483,5 nm

(AOD483,5nm) diambil dari satelit Aura-NASA sensor OMI (The Ozone Monitoring

Instrument) dan diunduh dari website Giovanni-NASA

(http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni/overview/index.html), selama 6 tahun dari Januari

2005 sampai Desember 2010 untuk wilayah Sumatera (6,210 LS -6,270 LS; 94,580 BT-

109,080 BT), dengan resolusi 0,25ox0,25

o. Kemudian data-data tersebut diolah menjadi

rata-rata bulanan dan musiman DJF, MAM, JJA dan SON yang dipetakan dengan

menggunakan Arc View/GIS versi 3.3. Satuan untuk O3 total adalah Dobson Unit yaitu

ketebalan lapisan 0,01 mm diatas permukaan bumi pada tekanan standar 1013,25 hPa dan

temperatur standar 0,0oCelsius. Atau 1 Dobson Unit (DU) adalah 2,686710

20 molekul per

meter2

atau 4,461510-04

mol per meter2. Dibuat variasi rata-rata bulanan dan musiman dari

ozon (O3) total, dan AOD untuk Sumatera.

Data titik api hasil olahan data AQUA/TERRA MODIS diunduh dari website Fire

Information for Resource management System (FIRMS, 2012)

http://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/firms. Data yang digunakan adalah data

titik api dari bulan Januari 2005-Desember 2010 untuk wilayah Sumatera (6,210 LU,

94,580 BT; -6,27

0 LS, 109,08

0 BT), yang merupakan titik koordinat lintang bujur dimana

diduga telah terjadi kebakaran lahan atau hutan. Selanjutnya data dengan nilai kepercayaan

lebih besar atau sama dengan 90 dipilih untuk digunakan pada analisis total bulanan dan

total musiman titik api mengggunakan metode statistic deskriptif, musiman yaitu DJF,

MAM, JJA dan SON berdasarkan ruang. Data musiman titik api ditumpangkan (overlay)

pada peta aerosol (AOD483,5nm), dan O3 total dengan perangkat lunak Arc View/GIS ver. 3.3

dengan grid= 0,01ox0,01

o. Data titik api diolah bulanan dan musiman secara time series di

lokasi Sumatera (satu titik) untuk mengetahui variasi bulanan dan musiman.

Page 322: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 312 ~

Data luas hutan dan lahan terbakar Sumatera tahun 2006 sampai 2010 dari

Departemen Kehutanan RI dibuat grafik untuk diketahui wilayah yang mengalami

pembakaran biomasa. Selain itu dibuat korelasi titik api terhadap aerosol dan O3 total

untuk mengetahui pengaruh dari kebakaran hutan terhadap pembentukan aerosol dan O3

dengan nilai koefisien kepercayaan yang dalam perhitungan ini digunakan (alpha) 0,05

atau tingkat kepercayaan 95% (Seni, 2005).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.2 Hutan dan lahan terbakar di Sumatera

Gambar 1: Luas hutan dan lahan serta kebun yang terbakar berdasarkan bulan dari 2006

sampai 2010 (atas) dan pengelompokan wilayah (bawah) di Sumatera

(sumber data Departemen Kehutanan RI)

Berdasarkan data luas hutan dan lahan terbakar yang diperoleh dari Departemen

Kehutanan RI, ternyata kabakaran hutan terjadi pada bulan-bulan kering di Sumatera

Utara, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Luas hutan yang terbakar terbanyak pada bulan

-500

1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 5.000

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10

2006 2007 2008 2009 2010

Lu

as

(Ha

)

Waktu

Lahan TerbakarA C E HSUMATERA UTARASUMATERA BARATR I A UJ A M B IBENGKULUSUMATERA SELATANBANGKA BELITUNGLAMPUNG

-

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

5.000

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10

2006 2007 2008 2009 2010

Lu

as

(Ha

)

Waktu

Hutan Terbakar A C E HSUMATERA UTARASUMATERA BARATR I A UJ A M B IBENGKULUSUMATERA SELATANBANGKA BELITUNGLAMPUNG

-

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

Lu

as

(ha

/ta

hu

n)

Lahan Terbakar2005

2006

2007

2008

2009

2010

-

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

Lu

as

(ha

/ta

hu

n) Hutan Terbakar 2005

2006

2007

2008

2009

2010

Page 323: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 313 ~

Agustus 2006 di Riau dan Jambi yaitu 1.105,50 ha dan 1.222,50 ha (Gambar 1 atas).

Kebakaran pada tahun tersebut hampir meliputi seluruh Sumatera dikarenakan pula adanya

lahan dan perkebunan yang terbakar. Ternyata dari data Departemen Kehutanan, jumlah

lahan yang terbakar lebih luas pada bulan Agustus 2006 di wilayah Riau dan Jambi yaitu

2.339,00 ha dan 4.862,00 ha. Secara total tahun 2006 lahan dan kebun yang terbakar di

Sumatera terbanyak Riau diikuti Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat yaitu 6204

ha; 4866 ha; 3767,25 ha dan 1922,10 ha, berurutan.

Adapun kebakaran hutan di wilayah tersebut lebih kecil dibandingkan lahan yang

terbakar seperti yang terjadi di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan seluas 1106,70 ha;

1726,80 ha dan 1726 ha (Gambar 1 bawah). Tahun 2008 terjadi kebakaran hutan yang luas

di Lampung 2950 ha, sedang lahan dan kebun yang terbakar luas adalah Riau, Sumatera

Selatan, dan Sumatera Utara yaitu 4587,75 ha; 655,50 ha dan 313 ha, berurutan.

Tahun 2009 di Sumatera didapati wilayah kebakaran hutan dan lahan di Riau sejak

Januari sampai Februari, dan selanjutnya terjadi pula pada bulan Mei sampai Oktober.

Wilayah yang mengalami kebakaran lahan dan kebun tahun 2009 adalah Sumatera Utara,

Riau dan Sumatera Barat yang cukup luas yaitu total 1489,75 ha; 7637,90 ha dan 393,90

ha. Sedangkan dari hutan yang terbakar tahun 2009 maka Riau dan Sumatera Utara yang

terluas yaitu total 275,30 ha dan 847,50 ha, berurutan.

Di Riau pada Januari 2009 lahan terbakar mencapai 1.671,00 ha, demikian pula

pada Februari 2009 seluas 1.073,00 ha dan bertambah luas pada bulan Juni yaitu 3.280,00

ha. Daerah Sumatera Utara pada bulan Mei 2009 terjadi kebakaran lahan seluas 1.234,00

ha. Maka perlu perhatian penyebabnya, mengingat terjadi lahan-lahan terbakar pada bulan

basah.

3.2 Jumlah titik api

Dari Gambar 2 memperlihatkan bahwa rata-rata bulanan dan musiman jumlah titik

api (sumber data dari MODIS AQUA/TERRA) di Sumatera terbanyak terdapat pada bulan

Agustus sampai Oktober dan musim kemarau JJA diikuti musim peralihan kemarau ke

hujan SON. Maksimum jumlah titik api mencapai 471 pada bulan Agustus dan rata-rata

musiman JJA mencapai maksimum pula yaitu 8731, selanjutnya DJF dan terkecil musim

MAM. Dan didapati rata-rata bulanan pada Februari tinggi pula yaitu 409. Sedangkan pada

musim SON kondisi titik api masih belum padam, karena pengaruh El Nino maka kemarau

bisa lebih panjang seperti tahun 2006.

Page 324: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 314 ~

2a 2b

Gambar 2: Variasi bulanan (2a) dan musiman (2b) jumlah (Sum) titik api di Sumatera

dari 2005 sampai 2010 (sumber data titik api berasal dari MODIS

AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)

Gambar 3: Tren (kecenderungan) jumlah titik api di Sumatera dari 2005 sampai 2010

(sumber data titik api berasal dari MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)

Gambar 3 memperlihatkan kecenderungan jumlah titik api yang menurun selama

periode 2005 sampai 2010. Maksimum total titik api di Sumatera terjadi pada Februari

2005 sejumlah 2636 dan Oktober 2006 sejumlah 2641, dimana terjadi peningkatan titik api

dari Juli sampai Oktober. Secara umum puncak peningkatan titik api terjadi pada musim

kemarau dan peralihan kemarau ke hujan. Dan ternyata terlihat adanya korelasi yang

signifikan dengan luas lahan dan kebun yang terbakar saat musim kemarau (Gambar 1).

Jumlah titik api adalah indikasi kejadian kebakaran hutan dan lahan tersebut. Maka

musim kemarau adalah sangat rawan dalam menimbulkan kebakaran selain faktor

lingkungan yang lebih kering dibandingkan musim basah. Berdasarkan data jumlah titik

api dari 2005 sampai 2010 di Sumatera dari Kementerian Kehutanan maka wilayah dengan

jumlah titik api terbanyak adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Utara.

Jumlah tertinggi didapati di Riau tahun 2005 sejumlah 22.630, dan pada tahun 2006 masih

Page 325: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 315 ~

tinggi yaitu 11.526 dan telah menimbulkan luas hutan dan lahan terbakar cukup luas di

wilayah ini. Tahun 2006 jumlah titik api yang tertinggi terdapat di Sumatera Selatan

sebesar 21.734 titik api, diikuti Riau 11.526 titik api. Jumlah titik api tinggi pula pada

tahun 2009 terdapat di Riau sejumlah 7.756 dan tahun tersebut didapati tinggi di Sumatera

Selatan sebesar 3.891. Jadi daerah yang mempunyai titik api terbanyak di Sumatera

berturut-turut adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Utara.

Kondisi jumlah titik api yang tinggi pada tahun 2006 berkorelasi dengan luas lahan

dan hutan yang terbakar secara signifikan. Hal tersebut telah menimbulkan hutan dan

lahan terbakar di Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan

Aceh.

3.3 Aerosol dan Ozon (O3)

Tren aerosol dan ozon

Gambar 4: Tren (kecenderungan) AOD483,5nm di Sumatera dari 2005 sampai 2010 (sumber

Aura OMI, Giovanni NASA, 2012)

Gambar 5: Tren (kecenderungan) O3 total di Sumatera dari 2005 sampai 2010 (sumber

data Aura OMI /Giovanni NASA, 2012)

y = -3E-05x + 1,967

0,000

0,200

0,400

0,600

0,800

1,000

1,200

1,400

1,600

1,800

2,000

Jan-0

5

Mei

-05

Sep

-05

Jan-0

6

Mei

-06

Sep

-06

Jan-0

7

Mei

-07

Sep

-07

Jan-0

8

Mei

-08

Sep

-08

Jan-0

9

Mei

-09

Sep

-09

Jan-1

0

Mei

-10

Sep

-10

AO

D4

83

.5n

m

y = 0,000x + 234,9

220

230

240

250

260

270

280

Jan-0

5

Mei

-05

Sep

-05

Jan-0

6

Mei

-06

Sep

-06

Jan-0

7

Mei

-07

Sep

-07

Jan-0

8

Mei

-08

Sep

-08

Jan-0

9

Mei

-09

Sep

-09

Jan-1

0

Mei

-10

Sep

-10

O3to

tal (D

U)

Page 326: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 316 ~

Dari Gambar 4 terlihat puncak ADO483,5nm (arosol) tinggi pada musim kemarau JJA

dan SON. Demikian pula puncak maksimum O3 total terjadi pada musim kemarau JJA

(Gambar 5). Hal ini terkorelasi dengan jumlah titik api yang tinggi pada bulan Agustus

seperti diperlihatkan pada Gambar 2. Jumlah titik api yang rendah pada bulan April dan

Mei terkorelasi dengan tingkat aerosol (AOD483,5nm ) yang rendah pula (Gambar 4). Jumlah

titik api yang titik pada bulan Oktober 2006 telah menimbulkan AOD483,5nm dan O3 total

yang tinggi pula yaitu mencapai 1,400 dan 258 DU. Dari Gambar 2 memperlihatkan

jumlah titik api tinggi pada Agustus 2008 mencapai 661 dan Agustus 2009 mencapai 931.

Dampak yang ditimbulkan adalah ADO483,5nm tinggi mencapai 1,150 dan 1,286 pada

September 2008 dan September 2009 (Gambar 4). Nilai AOD di Sumatera tersebut telah

melebihi nilai AOD (aerosol) di Kalimantan dan (Mahmud, 2012) saat terjadi kebakaran

hutan di Kalimantan bagian barat, tengah dan utara dan Sumatera selama minggu ketiga

dan keempat (akhir) Agustus 2004 yang tinggi antara 0,58 sampai 0,9 di Kalimantan Barat

dan Tengah, tetapi AOD rendah di Sumatera. Dampak kebakaran hutan dan lahan adalah

konsentrasi O3 total tinggi pada Agustus 2008 dan 2009 berturut-turut sebesar 267 DU dan

251 DU.

Gambar 6: Maksimum (Maks), minimum (Min), rata-rata dan Standar deviasi (Stdev)

musiman AOD483,5nm (kiri) dan Ozon (O3) total (kanan) di Sumatera dari

2005 sampai 2010 (sumber Aura OMI, Giovanni NASA, 2012)

Dari 2005 sampai 2010 didapati kecenderungan ADO483,5nm menurun signifikan

dengan penurunan jumlah titik api. Sedangkan O3 total berfluktuasi yaitu tinggi pada

kemarau dan rendah pada musim hujan menunjukkan kecenderungan tidak naik maupun

DJF MAM JJA SON

Maks 247 255 262 259

Min 235 247 248 249

Rata-rata 241 251 255 253

Stdev 2 1 3 1

0

50

100

150

200

250

300

Ozo

n t

ota

l (D

U)

Ozon total di Sumatera 2005-2010

DJF MAM JJA SON

Maks 4,45 4,78 3,45 4,43

Min 0,23 0,34 0,11 0,02

Rata-rata 1,03 1,04 1,02 1,17

Stdev 0,52 0,61 0,55 0,52

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

AO

D48

3.5n

m

AOD483.5 nm di Sumatera 2005-2010

Page 327: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 317 ~

menurun selama 2005-2010. O3 total berasal dari O3 stratosfer dan O3 troposfer yang

merupakan hasil dari reaksi fotokimia karbonmonoksida dan metan bereaksi dengan

radikal OH dan bersama-sama dengan non-methane hidrocarbons (NMHC) dan nitrogen

oksida (NOx) yang reaktif, yang banyak diemisikan dari pembakaran biomasa.

Nilai musiman AOD483,5nm didapati tinggi pada musim SON yaitu mencapai 1,17

dan nilai musiman O3 total tinggi sebesar 255 DU pada musim JJA (Gambar 6). Perbedaan

ini terkait dengan sumber atau pembentukan yang mempengaruhi keduanya. Terjadinya

kebakaran lahan dan hutan yang tinggi di musim kemarau Juni Juli Agustus (JJA) sampai

bulan Oktober akan memberikan kontribusi emisi aerosol yang maksimum tentunya.

Jumlah titik api berkorelasi dengan baik pada pada musim kemarau JJA dengan

koefissien korelasi cukup baik 0,660 dengan nilai signifikan p < 0,01 demikian pula pada

musim SON dengan koefissien korelasi yang semakin kuat yaitu 0,831 dengan nilai

signifikansi p < 0,01 (Tabel 1). Jumlah titik api berkorelasi dengan bagus untuk O3 total

didapati pada musim peralihan kemarau ke hujan SON dengan nilai korelasi 0,529 dan

signifikansi p < 0,05. Hubungan yang bagus antara AOD483,5nm dan O3 total terjadi pada

musim SON pula dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,522 dan signifikansi p < 0,05.

Tabel 1: Matrik korelasi AOD, O3 dan titik api pada musim SON (sumber data titik api

berasal dari MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012).

*Korelasi dengan signifikansi pada level 0,05

**Korelasi dengan signifikansi pada level 0,01

Nilai konsentrasi yang tinggi terkorelasi dengan baik dengan jumlah titik api

(hotspot) dalam musim seperti diperlihatkan pada Tabel 1 yang menandakan adanya

kebakaran hutan di wilayah Sumatera. Dan konsentrasi O3 dan aerosol tinggi ditandai oleh

jumlah titik api juga banyak pada musim JJA dan SON yaitu 8731 dan 7906 dibandingkan

musim hujan (DJF) dan peralihan hujan ke kemarau (MAM) sebesar 6209 dan 3825.

DJF AOD O3 Titik api

AOD 1

O3 0,385 1

Titik api 0,207 0,367 1

MAM AOD O3 Titik api

AOD 1

O3 -0,415 1

Titik api 0,445 0,002 1

JJA AOD O3 Titik api

AOD 1 O3 0,211 1

Titik api 0,660(**) 0,148 1

SON AOD O3 Titik api

AOD 1 O3 0,522(*) 1

Titik api 0,831(**) 0,529(*) 1

Page 328: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 318 ~

Kebakaran hutan yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun 2010 di Sumatera merupakan

sumber dari aerosol dan CO yang berdampak pada O3 total. Proses pembentukan O3 dari

CO pada musim kemarau tidak dihambat oleh H2O akibatnya konsentrasi ozon terlihat

tinggi. Pada musim DJF dan MAM terdapat penurunan ozon total dengan rata-rata 241 DU

dan 251 DU dibandingkan musim JJA dan SON yaitu 255 DU dan 253 DU.

Gambar 7: Distribusi aerosol (AOD483,5nm) dan tititk api (merah) di Sumatera (2005-2010)

{sumber Aura OMI, Giovanni NASA, 2012; sumber data titik api berasal dari

MODIS AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)}

Sedangkan mekanisme pembentukan O3 dipengaruhi oleh sinar matahari di daerah

tropis dan prekursornya seperti CO, metan (CH4) dan NOx (Crutzen and Andreae,1990;

Langmann et al., 2009; Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and

Pandis, 1998). Pulau Sumatera terletak di daerah tropis dan dilewati garis ekuator, dan

kelembapan udara adalah rendah pada bulan-bulan JJA, maka pembentukan O3 lebih

maksimal dibandingkan saat musim basah atau hujan. Mekanisme ini tentunya bisa dilihat

dari proses pembentukan dan pengrusakan ozon (Anderson and Herschbach, 1985;

Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998), mengingat pengrusakan O3 terjadi karena

H2O yang banyak pada musim penghujan.

Page 329: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 319 ~

Pada musim kemarau JJA didapati jumlah titik api adalah terbanyak di Riau, Jambi

sampai Sumatera Selatan (Gambar 2), dan dampaknya nilai AOD483,5nm dan O3 total tinggi

pada musim JJA dan SON (Gambar 7 dan 8). Nilai emisi AOD483,5nm terkonsentrasi di

Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan sampai Lampung yang tinggi di wilayah

Sumatera dibandingkan Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darusalam. Berbeda dengan

hasil dari Budiyono dan Samiaji (2010) yang telah melakukan proyeksi emisi polutan NOX,

CO, SOX, SPM dan VHC untuk tahun 2005, 2010 dan 2015. Proyeksi emisi polutan

dihitung berdasarkan perhitungan emisi dari hasil data proyeksi konsumsi energi di

Indonesia, data proyeksi pertambahan penduduk Indonesia dan koefisien emisi polutan.

Hasil proyeksi didapati beberapa wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,

Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, berturut turut menunjukkan nilai emisi dari tingkat

tinggi ke rendah. Wilayah yang disebut tadi mempunyai nilai emisi yang lebih besar

dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya, hal ini disebabkan bahwa wilayah tersebut

mempunyai nilai kepadatan penduduk yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

wilayah-wilayah lainnya. Jumlah penduduk yang lebih banyak akan mempergunakan

energi yang lebih banyak pula, sehingga polutan-polutan yang diemisikan akan lebih besar

pula. Proyeksi emisi aerosol atau partikulat (SPM) adalah tinggi di Sumatera Utara. Hal

tersebut terkait dengan jumlah penduduk di Sumatera Utara (Shankar, 2003) adalah

terpadat dibandingkan provinsi lainnya di Sumatera. Maka pengaruh kebakaran hutan dan

lahan cukup luas di Sumatera dibandingkan aktivitas manusia dilihat dari distribusinya.

Dari Gambar 8 terlihat bahwa konsentrasi musiman O3 total di Sumatera sangat

berbeda sekali dalam hal nilainya dan distribusi penyebarannya dibandingkan dengan

AOD483,5nm. Hal ini disebabkan karena prekursor ozon seperti CO yang meningkat tajam

pada saat kebakaran hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan, contohnya tahun 2006

(Setyawati dan Budiwati, 2008). Pada musim JJA, konsentrasi O3 total di bagian utara

Sumatera tinggi dibandingkan bagian selatan. Pengaruh angin yang bertiup dari tenggara

berperanan dalam penyebaran polutan prekursor O3 sehingga menaikkan konsentrasi O3 di

bagian utara pulau Sumatera. Berbeda saat musim hujan atau basah DJF, konsentrasi O3

total tinggi di bagian selatan Sumatera. Musim hujan angin berasal dari barat atau utara

dan tentunya menyebabkan polutan menyebar ke arah selatan Sumatera (Mc. Gregor and

Nieuwolt, 1998)..

Page 330: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 320 ~

Gambar 8: Distribusi O3 total dan titik api (merah) di Sumatera (2005-2010) {sumber

Aura OMI, Giovanni NASA, 2012; sumber data titik api berasal dari MODIS

AQUA/TERRA (FIRMS, 2012)}

4. KESIMPULAN

Hasilnya menunjukkan bahwa terbentuknya aerosol dan awan pada DJF telah

mempengaruhi konsentrasi ozon yang rendah di Sumatera. Dan musim DJF, konsentrasi

O3 total tinggi di bagian selatan Sumatera dibandingkan utara berbeda saat musim JJA.

Sebaliknya kebakaran hutan dan lahan pada musim SON berkorelasi dengan baik yaitu

AOD dengan O3 sebesar 0,522 dengan signifikasi p<0,05; titik api dengan AOD sebesar

0,831 signifikansi p<0,01 dan titik api dengan O3 sebesar 0,529 dan signifikasi p<0,05.

Tingginya konsentrasi O3 total disebabkan prekursor yang terbentuk saat pembakaran

biomasa. Perlu kewaspadaan terbentuknya deposisi asam pada musim JJA dan SON karena

peningkatan aerosol dan O3.

DAFTAR RUJUKAN

Budiyono, A., dan Samiaji, T., Proyeksi emisi polutan, deposisi SOX dan konsentrasi SO2

dari pemakaian energi, Prosiding Seminar Nasional Proyeksi Iklim dan Kualitas

Page 331: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 321 ~

Udara 2010-2014, ISBN: 978-979-1458-33-7, kerjasama LAPAN dan PERHIMPI,

2009.

Crutzen, P.J., Andreae, M.O., Biomass burning in the tropics: impact on atmospheric

chemistry and biogeochemical cycles. Science 250, 1669-1678, 1990.

Crutzen, P.J., Heidt, L.E., Krasnec, J.P., Pollock, W.H., Seiler, W., Biomass burning as a

source of atmospheric gases CO, H2, N2O, NO, CH3Cl and COS. Nature 282, 253-

256, 1979.

Langmann, B., Duncan, B., Textor, C., Trentmann, J., Van derWerf, G.R., Vegetation fire

emissions and their impact on air pollution and climate, Atmospheric Environment

43, 107e116, 2009.

Mahmud, M., Assessment of atmospheric impacts of biomass open burning in Kalimantan

Borneo during 2004, Atmospheric Environment, Contents lists available at SciVerse

ScienceDirect, journal homepage: www.elsevier.com/locate/atmosenv, 1-8, 2012.

Mc. Gregor, G.R. and Nieuwolt, S., Tropical Climatology: An Introduction To The

Climates Of The Low Latitudes, second edition, John Wiley & Sons, pp. 125-133,

1998.

Seni, M. S., Tugas makalah: Analisis Multiregresi, STT Telkom Bandung,

http://www.stttelkom.ac.id, 2005.

Anderson J.G. and Herschbach D.R., Atmospheric Ozone 1985 Volume I, World

Meteorology Organization Global Ozone Research and Monitoring Project-Report

No. 16, NASA, 117-119, 1985.

Meszaros E., Atmospheric Chemistry, Fundamental Aspects, Studies in Environmental

Science 11, Elsevier Scientific Publishing Company, 61, 1981.

Seinfeld J.H. and Pandis S.N., Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to

Climate Change, John Wiley and Sons. INC., New York, 85-95, 1998.

Setyawati, W., dan Budiwati, T., Peningkatan konsentrasi karbon monoksida pada saat

kebakaran hutan tahun 2006 di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Kimia XVIII,

FMIPA UGM, Yogyakarta, ISSN: 1410-8313, 10 Juli 2008.

Sanhueza, E., Paul J. Crutzen, P. J., and FernaHndez, E., Production of boundary layer

ozone from tropical American Savannah biomass burning emissions, Atmospheric

Environment 33, 4969-4975, 1999.

Shankar, K. R., Smoke haze from biomass burning in South East Asia and estimation of

associated particulate emissions, Proc Indian Natn Sci Acad, 69, A, No. 6, 759-774,

November 2003.

Page 332: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 322 ~

DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL TITIK PANAS

SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN HUTAN DAN

LAHAN DI WILAYAH SUMATERA DAN KALIMANTAN

HASIL PENGAMATAN AQUA/TERRA MODIS TAHUN

2004-2012

Wiwiek Setyawati Bidang Komposisi Atmosfer –LAPAN

Jl. dr. Djundjunan 133, Bandung 40173

Telp/fax: (022) 6037 445/6037 443

Email: [email protected]

Abstract

Forest and land fires occurred frequently every year in Indonesia especially during dry

season in Sumatera and Kalimantan regions. Smoke produced resulted in negative impact

to human health and also distributed to neighboring countries such as Malaysia and

Singapore. Therefore information regarding forest and land fires is important for

adaptation and mitigation. Fire Information for Resource Management System (FIRMS)

provides information regarding hotpot location that can be used as indicator of forest and

land fires by using MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) sensor

installed in Aqua and Terra satellites belong to NASA. During period 2004-2012 majority

of hotspots in Sumatera region were found in Riau, South Sumatera and Jambi provinces

i.e. 50%, 25% and 10%, respectively. Majority of hotspots in Kalimantan region were

found in Central and West Kalimantan provinces i.e. 53% and 31%, respectively. These

provinces were known to have relatively very large peatland and also palm plantation

areas. Fires in peatland areas were relative very difficult to extinguish, therefore high

precaution must be taken. Significant increase of hotspot was found during dry months

(June-August) and transition months from dry to wet (September to October).

Keywords: Forest and land fires, hotspot, FIRMS, Sumatera, Kalimantan

Abstrak

Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahunnya terutama pada

musim-musim kering di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Asap yang ditimbulkannya

selain memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan juga menyebar hingga ke negara-

negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Oleh sebab itu diperlukan informasi

mengenai kebakaran hutan dan lahan guna melakukan adaptasi dan mitigasi. Fire

Information for Resource Management System (FIRMS) menyediakan informasi

mengenai lokasi titik panas yang dapat digunakan sebagai indikator kebakaran hutan dan

lahan menggunakan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer)yang terpasang pada satelit Aqua dan Terra milik NASA. Selama kurun

waktu 2004-2012 mayoritas titik panas di Sumatera ditemukan di Provinsi Riau, Sumatera

Selatan dan Jambi yaitu masing-masing 50%, 25% dan 10%, sedangkan di Kalimantan

ditemukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing

sebesar 53% dan 31%. Provinsi-provinsi tersebut diketahui memiliki lahan gambut dan

perkebunan kelapa sawit yang relatif sangat luas. Hal ini perlu diwaspadai karena

kebakaran pada lahan gambut relatif sangat susah untuk dipadamkan. Peningkatan titik

Page 333: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 323 ~

panas yang signifikan ditemukan pada bulan-bulan kering (Juni-Agustus) dan musim

peralihan kering ke basah (September-November).

Kata kunci: Kebakaran hutan dan lahan, titik panas, FIRMS, Sumatera, Kalimantan

1. PENDAHULUAN

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terutama disebabkan oleh kegiatan

pembukaan lahan oleh masyarakat atau perusahaan perkebunan (WWF, 2007). Definisi

hutan dan lahan adalah lahan dengan tutupan tajuk pohon lebih dari 10%, termasuk juga

lahan dimana tutupan tajuk pohonnya telah berkurang hingga kurang dari 10% namun

belum beralih fungsi (NASA, 1996). Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan

wilayah yang paling sering mengalami kebakaran hutan dan lahan yang memberikan

dampak negatif terhadap kesehatan (Betha dkk., 2012), penurunan jarak pandang dan

kontribusi yang besar terhadap pemanasan global (Page dkk., 2002). Selain itu asap yang

ditimbulkannya telah mengakibatkan dampak sosial-politik terhadap negara-negara

tetangga seperti Malaysia dan Singapura (WWF, 2007).

Informasi mengenai distribusi titik panas terutama di wilayah Sumatera dan

Kalimantan sangat diperlukan untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terkait kebakaran

hutan dan lahan. Fire Information For Resource management System (FIRMS, 2013)

menyajikan informasi mengenai lokasi titik panas/api menggunakan instrumen Moderate

Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang terpasang pada satelit Aqua dan

Terra milik NASA. Informasi yang diberikan berupa koordinat lintang dan bujur (pusat

titik lokasi), brightness (brightness temperature diukur dalam Kelvin), scan dan track

(resolusi spasial dari scanned pixel, tanggal akuisisi, waktu (waktu satelit lewat), satelit

(Terra atau Aqua), dan confidence (quality flag dari tiap individual titik panas yang masih

bersifat eksperimen lapangan. Validasi data titik panas MODIS untuk wilayah Thailand

menunjukkan nilai akurasi sebesar 91,84% - 97,53% (Tanpipat dkk., 2009). Hal ini

menunjukkan bahwa data titik panas dari MODIS dapat digunakan sebagai indikator

kebakaran hutan dan lahan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui distribusi spasial dan temporal titik panas di Indonesia terutama

di wilayah Sumatera dan Kalimantan dimana kebakaran hutan dan lahan sudah rutin

terjadi.

2. METODOLOGI

Tahapan metodologi yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Page 334: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 324 ~

Mengunduh data titik panas untuk wilayah Indonesia (60 LU, 92,5

0 BT, -11

0 LS,

1410 BT) selama rentang waktu tahun 2004-2012 dari situs EOSDIS-NASA

(FIRMS, 2013). Data yang memiliki nilai confidence 90 dipilih untuk digunakan

dalam analisis selanjutnya.

Melakukan penentuan lokasi titik panas berdasarkan koordinat lintang-bujur

menggunakan software Arc/GIS ver. 10. Data titik panas yang berada di wilayah

Sumatera dan Kalimantan dipilih untuk digunakan dalam analisis selanjutnya.

Analisis statistik deskriptif menggunakan software Excel dan SPSS ver. 18 untuk

mendapatkan distribusi titik panas musiman, spasial dan temporal.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Tren bulanan dan musiman titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan

Tahun 2004-2012

Tren bulanan titik panas untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan selama periode

tahun 2004-2012 mencapai maksimum pada bulan Oktober 2006 dan bulan September

2009 dengan jumlah titik panas masing-masing 7.114 dan 5.007 seperti ditunjukkan pada

gambar 1. Pembukaan hutan dan lahan (land clearing) untuk perkebunan ataupun pertanian

dengan cara dibakar merupakan salah satu cara termurah yang banyak dilakukan oleh

masyarakat maupun pihak pengusaha perkebunan pada saat itu, dimana saat ini hal tersebut

sudah dilarang dengan keluarnya UU kehutanan no 41 tahun 1999 yang menerapkan

hukum pidana bagi siapa saja yang melakukan pembakaran hutan atau lahan dengan

sengaja. Kejadian El Nino selama bulan Agustus 2006 - Februari 2007 dan bulan Juni 2009

- Mei 2010 (NOAA, 2013) seperti ditunjukkan pada tabel 1 berdampak pada kekeringan di

wilayah basah seperti Indonesia (Wiratno, 1998) sehingga menyebabkan kebakaran hutan

dan lahan semakin parah.

Berdasarkan total musiman titik panas yaitu nilai kumulatif tiap musim dari tahun

2004-2012 untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan diketahui bahwa peningkatan total

titik panas yang signifikan terjadi pada musim kering (Juni-Agustus) dan musim peralihan

dari kering ke basah (September-November) masing-masing sebesar 24.059 dan 31.245

seperti ditunjukkan pada gambar 2. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan musim

dimana petani atau pemilik kebun mulai menyiapkan lahannya untuk mulai ditanami

terhadap banyaknya titik panas yang muncul di kedua wilayah tersebut.

Page 335: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 325 ~

Gambar 1. Tren total bulanan titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan selama

bulan Januari 2004-Desember 2012

Gambar 2. Total musiman titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan selama 9

tahun (tahun 2004-2012).

Berdasarkan total tahunan titik panas dari tahun 2004-2012 untuk wilayah Sumatera dan

Kalimantan diketahui bahwa jumlah titik panas yang signifikan terjadi pada tahun 2004,

2005, 2006 dan 2009 yaitu masing-masing sebesar 9.658, 10.303, 19.038 dan 10754 titik

panas seperti ditunjukkan pada gambar 3.

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

Jan

-04

May

-04

Sep

-04

Jan

-05

May

-05

Sep

-05

Jan

-06

May

-06

Sep

-06

Jan

-07

May

-07

Sep

-07

Jan

-08

May

-08

Sep

-08

Jan

-09

May

-09

Sep

-09

Jan

-10

May

-10

Sep

-10

Jan

-11

May

-11

Sep

-11

Jan

-12

May

-12

Sep

-12

Tota

l tit

ik p

anas

Bulan

DJF MAM JJA SON

Total titik panas 7052 5020 24059 31245

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

Tota

l tit

ik p

anas

Page 336: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 326 ~

Gambar 3. Total tahunan titik panas di wilayah Sumatera dan kalimantan selama 9

tahun (2004-2012).

3.2. Distribusi titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan tahun 2004-2012

Berdasarkan hasil olahan data total titik panas selama kurun waktu 9 tahun

diketahui bahwa distribusi titik panas terbesar di wilayah Sumatera ditemukan di provinsi

Riau (50%), Sumatera Selatan (25%) dan Jambi (10%) dari total titik panas sebesar 37.643

seperti ditunjukkan pada gambar 4a. Ketiga provinsi ini memiliki lahan gambut terluas

yaitu masing-masing sekitar 60%, 20% dan 10% dari total 6.436.649 ha luas lahan gambut

yang ada di wilayah Sumatera (Kementerian Pertanian, 2011). Lahan gambut menjadi

sangat rentan terbakar akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh adanya pembukaan hutan

dan lahan terutama di wilayah lahan gambut untuk pengusahaan perkebunan dan pertanian

(Paige, 2002).

Untuk wilayah Kalimantan diketahui bahwa distribusi titik panas terbesar

ditemukan di provinsi Kalimantan Tengah (53%) dan Kalimantan Barat (31%) dari total

titik panas sebesar 29.733 seperti ditunjukkan pada gambar 4b. Kedua provinsi ini juga

memiliki lahan gambut terluas yaitu masing-masing sekitar 56% dan 35% dari total luas

lahan gambut sebesar 4.778.000 ha yang ada di Kalimantan (Kementerian Pertanian,

2011).

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

20000

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Tota

l tit

ik p

anas

Tahun

Page 337: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 327 ~

Gambar 4. Distribusi frekuensi total titik panas di a) Sumatera dan b) Kalimantan

selama periode 9 tahun (2004-2012)

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2011) perkebunan kelapa sawit terbesar

di Sumatera ditemukan di wilayah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi

masing-masing sekitar 35%, 18%, 14% dan 10% dari total 5.176.883 ha seperti

ditunjukkan pada gambar 5a. Sedangkan di Kalimantan perkebunan kelapa sawit terbesar

ditemukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing

sekitar 44% dan 22% dari total 2.413.757 ha seperti ditunjukkan pada gambar 5b.

0% 10% 2%

3%

2%

50% 3%

25%

5%

BENGKULU JAMBI

KEP BANGKA BELITUNG LAMPUNG

NAD RIAU

SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN

SUMATERA UTARA

31%

7%

53%

9%

KALIMANTAN BARAT

KALIMANTAN SELATAN

KALIMANTAN TENGAH

KALIMANTAN TIMUR

b

a

Page 338: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 328 ~

Gambar 5. Distribusi luas perkebunan kelapa sawit di wilayah a) Sumatera dan b)

Kalimantan (Kementerian Pertanian, 2011)

Tabel 1. Kejadian El Nino dan La Nina berdasarkan nilai ONI (Oceanic Nino Index)

dimana El Nino jika nilai ONI +0,5 0C dan La Nina jika ONI 0,5

0C

selama periode tahun 2002-2012 (NOAA, 2013)

El Nino Nilai ONI

tertinggi

La Nina Nilai ONI

terendah

AMJ 2002 – JFM 2003 1,3 ND 2005 – FMA 2006 -0,9

JJA 2004 – DJF 2004/05 0,7 JAS 2007 – MJJ 2008 -1,5

ASO 2006 – DJF 2006/07 1,0 OND 2008 – FMA 2009 -0,8

JJA 2009 – MAM 2010 1,6 JJA 2010 – MAM 2011 -1,5

ASO 2011 – FMA 2012 -1,0

3.2.1. Distribusi titik panas di Riau, Sumatera Selatan dan Jambi

Berdasarkan data olahan total titik panas selama kurun waktu 9 tahun (2004-2012)

diketahui bahwa distribusi titik panas di wilayah Provinsi Riau terbesar ditemukan di

wilayah Kabupaten Bengkalis (29%), Rokan Hilir (20%) dan Pelalawan (14%) dari total

titik panas sebesar 18.889 seperti ditunjukkan pada gambar 6. Provinsi Riau memiliki

sekitar 1.781.900 ha perkebunan kelapa sawit atau yang terluas di wilayah Sumatera dan di

Indonesia. Berdasarkan data kepemilikan perkebunan kelapa sawit yang ada di Provinsi

Riau diketahui bahwa di Kabupaten Bengkalis sebagian besar pengusahaannya dikelola

oleh rakyat 70% dan swasta 30%, Kabupaten Rokan Hilir 61% oleh rakyat, 4% oleh negara

dan 36% oleh swasta, sedangkan Kabupaten Pelalawan 67% oleh swasta dan 33% oleh

rakyat (Kementerian Pertanian, 2011).

35%

18% 14%

10%

7% 6%

4% 3%

3%

0%

RIAU

SUMUT

SUMSEL

JAMBI

SUMBAR

NAD

BENGKULU

LAMPUNG

BABEL

KEPRI

44%

23%

20%

13% KALTENG

KALBAR

KALTIM

KALSEL

b a

Page 339: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 329 ~

Di Provinsi Sumatera Selatan mayoritas titik api ditemukan di wilayah Kabupaten

Ogan Komering Ilir (54%) dan Musi Banyuasin (17%) dari total titik api sebesar 9.417

seperti ditunjukkan pada gambar 7. Berdasarkan data Kementerian pertanian (2011)

diketahui bahwa Provinsi Sumatera Selatan memiliki perkebunan kelapa sawit seluas

717.551 ha atau terbesar ketiga di Sumatera dan keempat di Indonesia. Adapun

pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Ogan Komering Ilir sekitar 53%

dikuasai oleh rakyat dan 47% oleh swasta, sedangkan di Kabupaten Musi Banyuasin

sekitar 48% oleh swasta, 31% oleh rakyat dan 21% oleh negara.

Untuk Provinsi Jambi distribusi titik panas mayoritas ditemukan di wilayah

Kabupaten Muaro Jambi (46%) dan Tebo (16%) dari total titik api sebesar 3.928 seperti

ditunjukkan pada gambar 8. Dari total 465.265 ha luas areal perkebunan kelapa sawit yang

ada di Provinsi Jambi atau terluas kedua di Sumatera dan keenam di Indonesia, sekitar

28% berada di Kabupaten Muaro Jambi dan 9% di Kabupaten Tebo. Pengusahaan

perkebunan kelapa sawit di kabupaten Muaro Jambi sekitar 91% dikuasai oleh rakyat, 24%

oleh swasta dan 6% oleh negara. Sedangkan di Kabupaten Tebo sekitar 64% perkebunan

kelapa sawit dikelola oleh masyarakat, 20% oleh swasta dan 17% oleh negara

(Kementerian Pertanian, 2011)

Gambar 6. Distribusi titik panas di provinsi Riau selama kurun waktu 9 tahun (tahun

2004-2012).

29%

4% 7%

4% 0%

0% 0%

8%

0%

0% 1% 1%

14%

20%

6% 6% Bengkalis

Indragiri Hilir

Indragiri Hulu

Kampar

Karimun

Kepulauan Riau

Page 340: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 330 ~

Gambar 7. Distribusi titik panas di provinsi Sumatera Selatan selama kurun waktu 9

tahun (tahun 2004-2012).

Gambar 8. Distribusi titik panas di Provinsi Jambi selama kurun waktu 9 tahun (tahun

2004-2012)

3.2.2. Distribusi titik panas di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat

Di Provinsi Kalimantan Tengah, mayoritas titik api ditemukan di wilayah

Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas masing-masing sekitar 21% dan 16% dari total titik

api sebesar 15.948 seperti ditunjukkan pada gambar 9. Berdasarkan data Kementerian

Pertanian (2011) Provinsi Kalimantan Tengah memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar

di wilayah Kalimantan dan kedua di Indonesia yaitu sekitar 1.037.525 ha. Dari total luas

wilayah perkebunan kelapa sawit tersebut, sekitar 1% berada di wilayah Kabupaten Pulang

Pisau dan 3% berada di Kabupaten Kapuas. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di

Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas keseluruhannya dikuasai oleh swasta.

4% 0%

0% 0%

2%

9%

17%

9% 54%

5%

Banyuasin

Kota Lubuk Linggau

Kota Palembang

Kota Prabumulih

Lahat

Muara Enim

Musi Banyuasin

Musi Rawas

Ogan Komering Ilir

Ogan Komering Ulu

6%

5% 0% 5%

46%

10%

4%

8%

16%

Batanghari

Bungo

Kerinci

Merangin

Muaro Jambi

Sarolangun

Tanjung Jabung Barat

Tanjung Jabung Timur

Tebo

Page 341: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 331 ~

Gambar 9. Distribusi titik panas di Provinsi Kalimantan Tengah selama kurun waktu 9

tahun (tahun 2004-2012)

Distribusi titik panas di wilayah Kalimantan Barat sebagian besar ditemukan di

wilayah Kabupaten Ketapang dan Sintang masing-masing sebesar 34% dan 15% dari total

9.166 seperti ditunjukkan pada gambar 10. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2011)

diketahui bahwa wilayah Provinsi Kalimantan Barat memiliki luas lahan perkebunan

kelapa sawit sekitar 540.835 ha atau terluas kedua di wilayah Kalimantan dan kelima di

Indonesia. Dari total luas wilayah perkebunan kelapa sawit tersebut sekitar 26% berada di

wilayah Kabupaten Ketapang dan 10% di Kabupaten Sintang. Pengelolaan perkebunan

kelapa sawit di Kabupaten Ketapang sekitar 64% di pihak swasta dan 36% berada di

tangan rakyat. Sedangkan untuk wilayah Kabupaten Sintang sekitar 63% oleh pihak

swasta dan 37% oleh rakyat.

Gambar 10. Distribusi titik panas di Provinsi Kalimantan Barat selama kurun waktu 9

tahun (tahun 2004-2012)

4% 1% 4% 3%

16%

10%

2%

8% 14%

2%

1%

21%

10%

4% Barito Selatan

Barito Timur

Barito Utara

Gunung Mas

Kapuas

Katingan

Kota Palangka Raya

Kota Waringin Barat

Kota Waringin Timur

Lamandau

Murung Raya

Pulang Pisau

Seruyan

Sukamara

11% 8%

34%

0%

0% 5%

8%

11%

8%

15% Bengkayang

Kapuas Hulu

Ketapang

Kota Pontianak

Kota Singkawang

Landak

Pontianak

Sambas

Sanggau

Sintang

Page 342: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 332 ~

4. Kesimpulan

Tren bulanan titik panas untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan selama periode

tahun 2004-2012 mencapai maksimum pada bulan Oktober 2006 dan bulan September

2009 dengan jumlah titik panas masing-masing 7.114 dan 5.007. Berdasarkan total

musiman titik panas dari tahun 2004-2012 untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan

diketahui bahwa peningkatan total titik panas yang signifikan terjadi pada musim kering

(Juni-Agustus) dan musim peralihan dari kering ke basah (September-November) masing-

masing sebesar 24.059 dan 31.245. Distribusi titik panas terbesar di wilayah Sumatera

ditemukan di provinsi Riau (50%), Sumatera Selatan (25%) dan Jambi (10%) dari total

titik panas sebesar 37.643, sedangkan Untuk wilayah Kalimantan diketahui bahwa

distribusi titik panas terbesar ditemukan di Provinsi Kalimantan Tengah (53%) dan

Kalimantan Barat (31%) dari total titik panas sebesar 29.733. Semua Provinsi tersebut

diketahui memiliki lahan gambut dan juga perkebunan kelapa sawit yang relatif sangat

luas. Hal ini perlu diwaspadai karena wilayah lahan gambut yang dijadikan perkebunan

kelapa sawit menjadi rentan terhadap kebakaran.

Daftar Pustaka

Berha, R., Pradani, M., lestari, P., Man Joshi, U., Reid, J. S., Balasubramanian, R. (2012).

Chemical Speciation of Trace Metals Emitted from Indonesian Peat fires for health

Risk Assessment. Atmos. Res, doi:10.1016/j.atmosres.2012.05.024

NASA. (1996). Sustainable Development Indicator Group.

http://www.hq.nasa.gov/iwgsdi/Forest_Land.html

Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J. O., Boehm, H. D. V.,Jaya, A., Limin, S. (2002). The

amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997,

Nature, 420 (6911), 61-65.

WWF, (2012). Laman: http://www.wwf.or.id

FIRMS, (2013). Laman: https://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/firms

NOAA, (2013), ENSO Cycle: Recent Evolution, current status and prediction,

http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/lanina/enso_evolution

-status-fcsts-web.pdf

Tanpipat, V., Honda, K., Nuchaiya, P. (2009). MODIS hotspot validation over Thailand.

Remote Sensing, 1, 1043-1054; doi: 10.3390/rs1041043

Page 343: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 333 ~

Wiratno, J. (1998). Sudah benarkah pemahaman anda tentang La Nina dan El Nino?.

Penerbit ITB, Bandung

Kementerian Pertanian. (2011). Peta Potensi dan sebaran areal perkebunan kelapa sawit di

Indonesia: Sistem Integrasi Sapi-kelapa sawit (SISKA)

Kementerian Pertanian. (2011): Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000, Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Edisi Desember

2011

Page 344: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 334 ~

ROLES OF RELATIVE HUMIDITY ON SONGDA

TYPHOON 2011 INTENSITY

Yopi Ilhamsyah1*

, Ahmad Bey2, Edvin Aldrian

3

1Department of Marine Sciences Syiah Kuala University,

2Department of Geophysics and

Meteorology Bogor Agricultural University, 3Center for Climate Change and Air Quality BMKG

Jakarta *[email protected]

Abstract The objectives of the research were to investigate the influences of relative humidity as

well as its changes on Songda Typhoon intensity. Advanced Research of Weather

Research and Forecasting (AR-WRF) with three scenarios were implemented in the

research, i.e., by performing AR-WRF standard-release along with its initial data and by 10

% to 20 % decrease of relative humidity initial data at 850-700 hPa. From AR-WRF

standard-release, it was shown that in the early development relative humidity in the

middle level were about 80 % and even drier at 600 hPa. As ocean temperature continued

to warm, it provided large supplies of moist air into the middle level which led to increase

relative humidity above 90 % and further affect to intensify the storm. As it turned into

Extratropical Storm, relative humidity concentration in the middle level had dispersed as

the structure was no longer axisymmetric due to the presence of Jet Stream in the upper

troposphere. Relative humidity at 850-700 hPa had reduced to less than 80 %. Thus,

insufficient moist environment eventually led to weaken the storm. In various stages of the

storm, it was found that 20 % decreasing scenario played a significant role in reducing

storm intensity. In the vertical levels, 20 % decreasing scenario showed lower wind speeds

than 10 % decreasing scenario where significant wind intensity reduction mainly occurred

at 850-700 hPa, which further affected to weaken storm intensity in the lower levels.

Meanwhile, the reduction of moisture supply at 850-700 hPa resulting from 20 %

decreasing scenario played a major role in the weakening of wind intensity. Thus, it further

affected to reduce the mechanical energy of the cycle process as much as 300 J kg-1

. Keywords: relative humidity, Songda Typhoon, AR-WRF, wind intensity

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki pengaruh kelembapan nisbi serta

perubahannya terhadap intensitas Topan Songda. Advanced Research of Weather Research

and Forecasting (AR-WRF) dengan tiga skenario, yaitu dengan menjalankan keluaran

standar AR-WRF disertai data awalnya dan pengurangan 10 % hingga 20 % data awal

kelembapan nisbi pada tingkat 850-700 hPa diaplikasikan pada penelitian ini. Berdasarkan

keluaran standar WRF terlihat bahwa pada tahap awal pembentukan, kelembapan nisbi

pada tingkat menengah adalah sebesar 80 % dan bahkan lebih kering pada 600 hPa.

Peningkatan suhu permukaan laut memasok udara lembab pada tingkat menengah sehingga

meningkatkan kelembapan nisbi di atas 90 % dan selanjutnya berpengaruh terhadap

penguatan intensitas badai. Pada saat berubah menjadi badai Ekstratropis, konsentrasi

kelembapan nisbi di tingkat menengah telah menyebar karena struktur tidak lagi simetrik

akibat kehadiran Arus Jet di troposfer atas. Kelembapan nisbi pada 850-700 hPa telah

berkurang menjadi 80%. Dengan demikian, ketidakcukupan lingkungan yang lembab

akhirnya menyebabkan badai melemah. Pada berbagai tahapan badai ditemukan bahwa

penurunan skenario 20 % berperan penting dalam mengurangi intensitas badai. Pada

Page 345: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 335 ~

tingkat vertikal, skenario penurunan 20% menunjukkan kecepatan angin yang lebih rendah

daripada penurunan skenario 10% dimana penurunan intensitas angin secara signifikan

terutama terjadi pada 850-700 hPa yang selanjutnya berpengaruh terhadap melemahnya

intensitas badai pada tingkat yang lebih rendah. Sementara itu, pengurangan suplai

kelembapan pada tingkat 850-700 hPa yang dihasilkan dari skenario penurunan

kelembapan nisbi sebesar 20 % berperan penting dalam melemahkan intensitas angin

sehingga berpengaruh terhadap pengurangan energi mekanik dari proses siklus sebesar 300

J kg-1

. Kata Kunci : kelembapan nisbi, Topan Songda, AR-WRF, intensitas angin 1. INTRODUCTION

Western North Pacific (WNP) Ocean is well-known for the most dynamical basin

to Tropical Cyclone (TC) occurrences (Lin et al., 2008). The frequent occasion of TC lies

from 10˚N to 26˚N and 121˚E to 170˚E (Holliday and Thompson, 1979). TC over WNP is

locally called as Typhoon. Sources of TC development come from warm ocean

temperature where latent heat is released during condensation processes. The moisture

sources are then subsequently concentrated in the boundary layer. Sufficient moisture in

the middle troposphere layer (850-700 hPa) is considered to have a major influence in

supplying heat to drive TC intensity. Schade and Emanuel (1999) found that relative

humidity at 850-700 hPa layer is responsible to produce the most intense storm. Thus, the

increase of humidity in the middle troposphere is one of thermal characteristics that can be

taken into account. The humid environment leads the themal energy to increase and start

circulating from warm to cold environment in a closed process, known as Carnot cycle.

Emanuel (1986) constructed a simple energy balance model to explain the corresponding

role of TC heat engine as a Carnot cycle. Moist entropy from the lower level is the primary

energy in the cycle. It allows air to flow inward the boundary layer. At that moment, the air

rises and releases heat at lower temperature in the upper troposphere which further

converts it from thermal to mechanical energy.

The uses of simulation model had been conducted to investigate moisture changes

and their implications on TC intensity, e.g., Frank and Ritchie (1999), and Wong and Chan

(2004). However, their study was based on full idealized physics simulation. In the present

study, the influences and moisture changes on TC intensity was examined by using three-

dimensional numerical model by varying its initial condition.

Songda Typhoon (ST) was the fourth named TC of the 2011 NH tropical season.

ST was the most devastating storm that striked WNP Ocean for the period of 2011. It

lasted from May 18th

to 30th

, 2011 for two continuous weeks and strengthened to boost

peak activity of powerful Super Typhoon stages between May 24th

and 27th

. Long curving

Page 346: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 336 ~

track and the exhibition of all sequences of TC life cycle, ST was then considered as an

ideal case of TC. Its development and intensification, however, still remained questions.

The fact that ST is not a subject of exploration yet soon motivates the present research. The

purposes of the research with a case of ST presented herein will investigate the influences

of thermal characteristic on ST intensity and its changes effect on ST intensity as well as

mechanical energy of the Carnot cycle. The primary point of emphasis is relative humidity

as mentioned earlier. The research is expected to provide a better understanding on roles of

relative humidity and its changes effect on TC intensity which is useful to assist

operational weather forecaster to produce good short-range forecasts in terms of TC

intensities.

2. MATERIAL AND METHOD

2.1. Model Performance

The research was carried out by performing Advanced Research of Weather

Research and Forecasting model (AR-WRF) version 3.3. AR-WRF is a non-hydrostatic

three-dimensional numerical model with terrain-following in the vertical-sigma coordinate.

Two domains were employed in the model. The first domain situated from 02˚N to 40˚N

and 118˚E to 149˚E consisted of 103 x 138 horizontal grids and covered spatial resolutions

( ) of 33.1 km. The second domain situated from 09˚N to 27˚N and 119˚E to 132˚E

consisted of 133 x 190 horizontal grids at 11 km in spatial resolution (Figure 2-1). The two

domains were utilized to analyze the result. Timestep of the model ( ) was 120 seconds.

In addition, 28 pressure levels ranging from 1000 to 10 hPa were employed in the model.

i.e., Yonsei University Scheme (YSU) in the Planetary Boundary Layer (PBL), Kain-

Fritsch scheme (KF) in the Cumulus, and WRF Single-Moment 3-class scheme in the

microphysics.

2.2. The initial condition and Experimental Design

The data applied in the initial boundary conditions of the model were (a) 2-minutes

resolution of USGS terrain height data, (b) 2-minutes resolution of global 24-category

USGS land use/cover data, and (c) 1.0˚ latitude x 1.0˚ longitude grids NCEP Final

Analysis (NCEP FNL) data with grib2 format.

The description of the NCEP FNL dataset are as follows: (a) 6-hourly in temporal

resolution, i.e., 0000, 0600, 1200, and 1800 UTC, (b) pressure levels are available from

1000 to 10 hPa, and (c) consist of meteorological variables such as: surface pressure, Sea

Page 347: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 337 ~

Figure 2-1 : Geographical location and domains of WRFSRL over WNP Ocean. D01

and D02 are the first and second domain, respectively

Level Pressure (SLP), geopotential height, temperature, evaporation, relative and

specific humidity, zonal and meridional velocity, vertical velocity, etc. The information as

well as the data is available online through

http://rda.ucar.edu/datasets/ds083.2/#description. The initial data applied in the initial

condition of AR-WRF model hereafter refer to WRF standard-release model initial data (or

WRFSRL).

The research was implemented by performing WRFSRL and by adjusting thermal

characteristics of ST in terms of relative humidity. The adjustment of the thermal

characteristics of ST was carried out by decreasing 10 % to 20 % of WRFSRL NCEP FNL

relative humidity initial data at 850-700 hPa. Once the initial data had been adjusted, the

model was ready to be tested, the steps were as follows:

Running WRFSRL along with its initial data. The wind intensity and track of ST

resulting from WRFSRL was then evaluated by comparing them with those of Joint

Typhoon Warning Center (JTWC), Japan Meteorological Agency (JMA), and

Reanalysis data and also by checking the Root Mean Square Error (RMSE) and

Coefficient of Determination (R2) between the intensity of WRFSRL and JTWC.

WRFSRL was then used to analyze the influence of relative humidity on ST intensity

prior to implementing the adjustment scenario. The result was also compared with

satellite images. JTWC and JMA best track and intensity data can be found in

http://weather.unisys.com/hurricane/w_pacific/2011H/index.php and

Page 348: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 338 ~

http://www.jma.go.jp/jma/jma-eng/jma-center/rsmc-hp-pub-eg/besttrack.html while

Reanalysis data was taken from NCEP/NCAR NOAA through

http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.html with spatial

coverages of 2.5° latitude x 2.5° longitude which is further interpolated into 33 km in

accordance with the first domain of the model.

Implementing 10 % and 20 % decreasing scenarios of relative humidity at levels 850-

700 hPa into WRFSRL initial data (hereafter refer to RHM10 and RHM20), re-

running the model, and discussed the intensity changes and changes of mechanical

energy of Carnot cycle at mature stage.

Paired T-test was used to determine significant intensity differences of maximum

wind speeds for each stages. The selected simulation days were from May 18th

to 30th

,

2011 during ST lifetime. Hence, the entire life cycles of ST from early disturbance until

reaching the mature, and decaying stage could be well-observed. In addition, model needed

to perform a warm-start simulation in the first day of simulation in order to adjust the

initial boundary condition as well as physical parameters in the model. Thus, analysis

focussed on the second day on May 19th

, 2011.

3. RESULT AND DISCUSSION

3.1. ST intensity

Figure 3-1 showed time-series of ST maximum wind speeds of WRFSRL and its

comparison to maximum wind speeds originated from JTWC, JMA, and Reanalysis data. It

was shown that WRFSRL was not well-coincided with those of JTWC, JMA and even

Reanalysis data. Reanalysis data showed much lower intensity compared to JTWC, JMA,

and WRFSRL which presented poor-indication of the Typhoon event. The maximum wind

speeds of Reanalysis data of about 30 ms-1

occurred on May 29th

which indicated a time-

lag in reaching peak intensity of Typhoon. Much lower intensity from Reanalysis data

might be due large spatial coverage of the data which was 2.5°. Even though, it has been

interpolated into 30 km which was similar to spatial resolution given in the first domain,

however, it did not give significant increase of wind speeds which resulted in a poor-

description to the Typhoon development and intensification. The WRFSRL showed that

stronger maximum wind speeds was found as soon as ST reached Typhoon 1 on May 23rd

at 0000 UTC. The stronger maximum wind speeds was still observed until ST had changed

into the decaying stage in the final simulation. It was also shown that the strongest wind

Page 349: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 339 ~

0

20

40

60

80

Max

.Win

d S

pee

ds

(ms-

1)

Date and Time (UTC)

WRFSRL JTWC JMA Reanalysis Data

speeds occurred on May 27th

at 0000 UTC rather than on May 26th

at 1800 UTC as given

by JTWC. Thus, WRFSRL had 6-hour time-lag in simulating the peak intensity of ST. The

maximum wind speeds between WRFSRL and JTWC during mature stage were 74 ms-1

and 72 ms-1

, respectively. In addition, the lower maximum wind speeds was found at some

points during Tropical Depression and Tropical Storm from May 20th

at 0000 UTC to May

22nd

at 1200 UTC. At this stage, the wind only reached 22 ms-1

in speeds compared to 28

ms-1

on magnitude of JTWC. In the development stages from May 23rd

to 25th

, wind speed

of WRFSRL showed a rapid increase compared to JTWC and JMA. The reason behind this

still remains question. As discussed before that YSU and KF scheme was essential in

obtaining better intensity. However, in this research, the selections of appropriate PBL and

Cumulus scheme to obtain better TC intensity still need to be further investigated.

Figure 3-2 : Comparison of time-series of maximum wind speeds (ms-1

) of ST from May

20th

to 30th

for WRFSRL (blue line), JTWC (red line), JMA (green line),

and Reanalysis data (violet line)

On the contrary, JMA showed much lower maximum wind speeds than JTWC

mostly during the mature stage on May 26th

. The reasonable explanation might be due to

the model resolution used by JMA. Based on Angove and Falvey (2011), JTWC applied

many leading operational models with highest resolution to forecast short-term (72-hour)

ongoing events of TC intensity and track. Numerous model outputs that had been evaluated

and compared with satellite images and radar were then fitted by means of a certain

statistical technique developed by JTWC to improve and to achieve best track and

intensity. Davis et al. (2008) found that different resolution used by the models could

influence the position and intensity of TC. Thus, the model resolution was behind the

reason for the emergence of intensity differences in terms of maximum wind speeds among

Page 350: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 340 ~

WRFSRL, JTWC, and JMA. Tory and Frank (2010) reported that the chosen of physical

parameterization in the model configuration could also influence differences on intensity

simulation. On the other hand, based on the calculation of RMSE and R2 between

WRFSRL and JTWC, it was found that RMSE and R2 values were 12.45 ms

-1 and 0.53,

respectively. It further implied that the model was moderate-performed since small

deviation found in the model. Besides, the model was able to capture the maximum wind

speeds during mature stage. For that reason, WRFSRL was then utilized to explain the

influences of relative humidity on ST intensity.

Figure 3-2 : Time-series of (a) maximum wind speed (ms-1

) of WRFSRL and (b) scenario

deviation from WRFSRL (ms-1

) for RHM10 (red line) and RHM20 (green

line) from May 20th

to 30th

3.2. The influences of relative humidity on ST intensity

Moisture supply represented by relative humidity in the middle troposphere at 850-

700 hPa was one of the requirements which played significant role in strengthening ST

intensity. Appendix 1c showed that at Super Typhoon stage, relative humidity of more than

90 % was concentrated in the middle level of the eye wall while at Tropical Storm stage

where the intensity still developed, it showed no concentration of high relative humidity in

the inner structure but relative humidity of more than 80 % was found at 850-700 hPa

(Appendix 1a). This result was consistent with Montgomery et al. (2006) and Hidalgo

(2008) who found that in the early development, relative humidity in the middle level were

Page 351: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 341 ~

about 80 % and even drier at 600 hPa. As ocean temperature continued to warm, it

provided large supplies of moist air into the middle level which led to increase relative

humidity above 90 %. The increase of cyclonic rotation driven by the acceleration of upper

level vorticity then helped to concentrate relative humidity in the inner structure which led

to intensify the storm (Appendix 1a and c). This agreed with Nolan (2007) who found that

the simulation of intense TC with warm core vortex was not well-performed until relative

humidity in the middle level increased to more than 90 %. Previous study by Bister (2001)

also the supported this result. As it turned into Extratropical Storm, relative humidity

concentration in the middle level had dispersed as the structure was no longer

axisymmetric due to the presence of Jet Stream in the upper troposphere. Relative humidity

at 850-700 hPa had reduced to less than 80 %. Thus, insufficient moist environment

eventually led to weaken ST (Appendix 1e).

In the present study, it was also shown that in the early development, the warm core

arose from lower level and gradually increased until 600 hPa at Super Typhoon stage. At

this stage, the temperature anomaly at the warm core was 6˚C between 300 and 600 hPa

(Appendix 1b and d). It was lower than Halverson et al. (2006) who in their observational

study found that maximum temperature anomaly at the core near 500 hPa was 11˚C with

minimum SLP and wind speeds of 969 hPa and 54 m s-1

, respectively. However, these

findings were lower than energetic TC shown in Hawkins and Imbembo (1976). In field

study conducted by them to investigate TC Inez (a category 5 Hurricane) in 1966, the

maximum temperature anomaly at the same level was 16˚C with SLP of 927 hPa. These

differences might refer to the differences of size distribution on TC. Meanwhile, at

Extratropical Storm, due to the convergence with cold front in the middle latitude,

temperature advection altered the warm core formation and made the warm core to

concentrate in the upper level (Appendix 1e).

3.3. The influences of relative humidity changes on ST intensity

Figure 3-2 showed maximum wind speeds differences of ST for RHM10 and

RHM20. It was shown that RHM20 had weaker wind speeds than the others. Statistically

significant differences between WRFSRL and RHM20 were found in the development of

Typhoon 1 to Typhoon 4 with speed reductions of 6 ms-1

on averages. However, it showed

no statistically significant differences at Super Typhoon stage. Besides, it showed weaker

wind intensity than WRFSRL mainly in the peak intensity on May 27th

at 0000 UTC with

speed reduction of 5 ms-1

. Weaker wind intensity was still observed in the decaying stage

Page 352: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 342 ~

until Typhoon underwent into Extratropical Storm with averages speed reduction of about

2 ms-1

even though statistically it was not significant.

RHM10 scenario also revealed weaker wind speeds without significant differences

(P > 0.05) compared to WRFSRL. Although it was shown that during Super Typhoon

stage, it had the weakest wind speeds than WRFSRL and RHM20; statistically there were

no significant differences found in this stage. The average speed reduction of RHM10

compared to WRFSRL and RHM20 were about 2.4 ms-1

and 0.3 ms-1

, respectively. In

various stages of the storm, it was found that RHM20 played a significant role in reducing

storm intensity.

The reduction of wind speeds resulting from both decreasing scenarios agreed with

Nolan et al. (2007). By setting drier relative humidity in the middle troposphere, they

found that the experiment had little impact on TC genesis which implied relative humidity

tended to reduce TC intensity during experiment. Moreover, in a simulation carried out by

Nong and Emanuel (2003) by adding moisture in the middle level, they found there were

no significant increase of TC intensity. Thus, moisture sources in particular relative

humidity, one of the requirements to the development of TC, was questionable. The

increasing scenarios of relative humidity could not be carried out in the present research

since the air was saturated in the middle level. Tory and Frank (2010) commented that the

use of relative humidity in diagnosing TC formation still could not be well-explained yet.

3.4. Relative humidity scenarios in the vertical level

In the vertical level, it was also shown that weaker wind speeds were found in

RHM20 (Appendix 2b and c). which further affected to weaken ST intensity in the lower

levels. The decline of wind speeds were caused by the reduction of moisture supply at 850-

700 hPa in large quantities resulting from RHM20 which was important to drive the

intensification of ST. It was also noted that the increasing scenario adjustment of relative

humidity was impossible to carry out since it had already reached saturated condition with

100 % relative humidity in the levels.

3.5. Entropy and mechanical energy

Entropy as well as the description of Carnot cycle of ST and scenario deviation

from RHM10 and RHM20 were shown in appendix 3. Appendix 3 describes the lower

entropy was found in RHM20 which indicated that the reduction of relative humidity at

850-700 had an effect on reducing the thermal energy of ST. Thus, it caused to decrease

Page 353: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 343 ~

ST intensity. Mechanical energy found in RHM10 and RHM20 were 1,603 and 1,331 J kg-

1, respectively. These results were reliable since relative humidity play important role in

driving ST intensity. In addition, heat engine in the Carnot cycle could be represented by

its efficiency. The efficiency is the fraction of cold air temperature in the upper level to

warm temperature in the bottom where energy was extracted and converted into

mechanical energy. In all scenarios, the efficiency was 21 % since there were no vertical

level differences of air temperature in all scenarios. The temperatures of 22˚C and -40˚C at

900 hPa and 200 hPa were found at all scenarios, respectively. Michaud (1995) found that

the average temperature of 22˚C in the surface and -18 ˚C in the upper level gave the

Carnot efficiency of 15 %. Thus, vertical structures of temperature were important to

determine the Carnot efficiency. The efficiency is helpful to find the limit of transporting

heat upward that can be used to do work in a reversible system. The Carnot efficiency in

ST that could be used to do work as obtained in the present research was lower than

Emanuel (1988) who found that 33 % of heat carried upward was converted to work. The

possibly reason might be due to the use of surface temperature at 900 hPa instead of 1000

hPa.. As already mentioned, the temperature of 22 ˚C was colder to be used as warm

source in the surface compared to 28 ˚C. Thus, it resulted in smaller efficiency in ST than

in ideal TC provided in Emanuel (1988). Carnot cycle efficiency in all relative humidity

scenarios were 21 %.

4. CONCLUSION

The significant reduction of ST intensity resulting from moisture environment

scenario gave an indication that moisture played an important role in strengthening and

weakening TC intensity and structures. Thus, future research can focus on moisture and its

implication on TC structure and intensity by setting much drier moisture in a Super

Typhoon or adding moisture in a Tropical Storm category, and also the influence of

moisture with different schemes of physical parameterization on TC intensity.

REFERENCES

Angove, M.D. and Falvey, R.J., Annual Tropical Cyclone Report, USA: Joint Typhoon

Warning Center, 2011.

Bister, M., Effect of Peripheral Convection on Tropical Cyclone Formation, J. Atmos. Sci.,

33, 1008-1020, 2001.

Page 354: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 344 ~

Davis, C., Wang, W., Chen, S.S., Chen, Y-S., Corbosiero, K., DeMaria, M., Dudhia, J.,

Holland, G., Klemp, J., Michalakes, J., Reeves, H., Rotunno, R., Snyder, C., and Xiao,

Q., Prediction of Landfalling Hurricanes with the Advanced Hurricane WRF Model,

Mon. Wea. Rev., 136, 1990-2005, 2008.

Emanuel, K.A., An Air-Sea Interaction Theory for Tropical Cyclones. Part I: Steady-State

Maintenance, J. Atmos. Sci., 43, 585-604, 1986.

Emanuel, K.A., Toward a General Theory of Hurricanes, Am. Sci.,76: 370-379, 1988.

Frank, W.M. and Ritchie, E.A., Effects of Vertical Wind Shear on the Intensity and

Structure of Numerically Simulated Hurricanes, Mon. Wea. Rev., 129(9), 2249-2269,

2001.

Halverson, J.B., Simpson, J., Heymsfield, G., Pierce, H., Hock, T., and Ritchie, L., Warm

Core Structure of Hurricane Erin Diagnosed from High Altitude Dropsondes during

CAMEX-4, J. Atmos. Sci., 63, 309-324, 2006.

Hawkins, H.F. and Imbembo, S.M., The Structure of a Small, Intense Hurricane-Inez 1966.

Mon. Wea. Rev.,104, 418–442, 1976.

Hidalgo, J.M., Vertical Hot Towers, Their Aggregate Effects and Their Resolution

Dependence in the Formation of Hurricane Diana (1984), [Ph.D Thesis]. Colorado

(USA): Colorado State University, 2008.

Holliday, C.R. and Thompson, A.H., Climatological Characteristics of Rapidly

Intensifying Typhoons, Mon. Wea. Rev., 107, 1022-1034, 1979.

Lin, I.I., Wu, C.C, Pun, I.F., and Ko, D.S., Upper Ocean Thermal Structure and the

Western North Pacific Category-5 Typhoons: Part I. Ocean Features and Category-5

Typhoons‟ Intensification, Mon. Wea. Rev., 136, 3288–3306, 2008.

Michaud, L.M., Heat to Work Conversion during Upward Heat Convection Part I: Carnot

Engine Method. Atmos. Res., 39, 157-178, 1995.

Montgomery, M.T., Nicholls, M.E., Cram, T.A., and Saunders, A., A Vertical Hot Tower

Route to Tropical Cyclogenesis, J. Atmos. Sci., 63, 355-386, 2006.

Nolan, D.S., What is the Trigger for Tropical Cyclogenesis?, Aus. Met. Mag., 56, 241-266,

2007.

Nolan, D.S., Rappin, E.D., and Emanuel, K.A., Tropical Cyclogenesis Sensitivity to

Environmental Parameters in Radiative–Convective Equilibrium, Quart. J. Roy. Meteor.

Soc., 133, 2085–2107, doi: 10.1002/qj.170, 2007.

Nong, S. and Emanuel, K., A Numerical Study of the Genesis of Concentric Eyewalls in

Hurricanes. 2002, Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 129, 3323–3338, 2003.

Page 355: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 345 ~

Schade, L.R. and Emanuel, K.A., The Ocean‟s Effect on the Intensity of Tropical

Cyclones: Results from a Simple Coupled Atmosphere-Ocean Model, J. Atmos. Sci.,

54, 642-651, 1999.

Tory, K.J. and Frank, W.M., Tropical Cyclone Formation. In Global Perspectives on

Tropical Cyclones from Science to Mitigation, J.C.L. Chan, J.D. Kepert, editors. World

Scientific Publishing, Singapore, pp. 55-91, 2010.

Wong, M.L.M. and Chan, J.C.L., Tropical Cyclone Intensity in Vertical Wind Shear, J.

Atmos. Sci., 61(15), 1859-1876, 2004.

Page 356: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 346 ~

Appendix 1 : West-East vertical structures of ST for temperature (˚C) in shaded and

relative humidity (%) in contour line (figures in the left side) and

temperature anomaly (˚C) in shaded (figures in the right side), (a and b) at

Tropical Storm on May 22nd

(c and d) at Super Typhoon on May 27th

, (e and

f) at Extratropical Storm on May 30th

at 0000 UTC

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Page 357: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 347 ~

Appendix 2 : West-East vertical structures of maximum wind speeds (shaded and barb) in

ms-1

of ST and scenario deviation at Super Typhoon stage on May 27th

at

0000 UTC, (a) WRFSRL, (b) RHM10, and (c) RHM20

(a) (b)

(c)

Page 358: Prosiding SSA 2013

Seminar Sains Atmosfer 2013 Bandung, 28 Agustus 2013 ISBN : 978-979-1458-73-3

~ 348 ~

Appendix 3 : West-East vertical structures of entropy (J kg-1

K-1

) as well as the

description of Carnot cycle of ST and scenario deviation at Super Typhoon

stage on May 27th

at 0000 UTC, (a) WRFSRL, (b) RHM10, and (c)

RHM20

(a) (b)

(c)