Prosiding Workshop National MAPPI

72
PROSIDING WORKSHOP NASIONAL MASYARAKAT PEMANTAU PERADILAN INDONESIA FHUI BEKERJASA SAMA DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI MSI/SIAP 1 USAID 2013 PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT LINGKUNGAN HIDUP

Transcript of Prosiding Workshop National MAPPI

ð  

PROSIDING  WORKSHOP  NASIONAL  

MASYARAKAT  PEMANTAU  PERADILAN  INDONESIA  FHUI                                                                                                                                                                                                                                            BEKERJASA  SAMA  DENGAN                                                                                                                                                                                            

KOMISI  PEMBERANTASAN  KORUPSI                                                                                                                                                MSI/SIAP  1  -­‐  USAID      

         

2013    

PENANGANAN  PERKARA  TINDAK  PIDANA  KORUPSI  TERKAIT  LINGKUNGAN  HIDUP  

  1  

DAFTAR ISI KERANGKA ACUAN KEGIATAN ............................................................................... 2 A. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 2 B. TUJUAN ........................................................................................................................ 2 C. JADWAL DAN WAKTU KEGIATAN ..................................................................... 2 D. PESERTA ..................................................................................................................... 3 E. PEMBICARA ............................................................................................................... 3 F. KERANGKA ACUAN SUBTEMA ........................................................................... 3

1. Subtema: Penafsiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan ............................................................................... 3

2. Subtema: Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup ...................................................................................... 5

3. Subtema: Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang lingkungan hidup ......................................................................................... 6

NOTULENSI KEGIATAN ............................................................................................... 8

BAHAN PRESENTASI WORKSHOP NASIONAL ................................................... 47 A. BAHAN PRESENTASI MAPPI-FHUI ................................................................... 47 B. BAHAN PRESENTASI SUBTEMA PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA

49 C. BAHAN PRESENTASI SUBTEMAPENGENAAN UANG PENGGANTI ........ 61 D. BAHAN PRESENTASI SUBTEMA TANGGUNG JAWAB KORPORASI ....... 62

LAMPIRAN ..................................................................................................................... 67 A. DAFTAR HADIR ...................................................................................................... 67 B. FOTO-FOTO ............................................................................................................. 69

  2  

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

A. PENDAHULUAN

Saat ini tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime, karena kejahatan ini sudah meliputi berbagai sektor penyelenggaraan negara dan menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, salah satunya korupsi di bidang lingkungan hidup seperti sektor kehutanan. Kejahatan korupsi di bidang lingkungan berbeda dengan kejahatan korupsi di bidang lainnya. Karena di dalam korupsi yang dilakukan di bidang ini kerugian negara yang timbul atas perbuatannya bisa berakibat hingga beberapa generasi ke depan. Untuk mendukung pemberantasan korupsi di bidang ini, maka MaPPI mengangkat tema beberapa isu terkait Penanganan Perkara Korupsi di Lingkungan Hidup untuk dibahas dalam Workshop Nasional. Terdapat beberapa sub tema yang akan didiskusikan dalam Workshop ini. Sub tema tersebut adalah: 1. Penafsiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di

Bidang Lingkungan. 2. Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang

Lingkungan Hidup. 3. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang

lingkungan hidup.

B. TUJUAN Penyelenggaraan Workshop Nasional bertujuan untuk: 1. Menggali perkembangan terkini terkait perkara korupsi di lingkungan hidup. 2. Menyebarluaskan peningkatan penanganan anti korupsi di lingkungan hidup 3. Sebagai forum dari stakeholder yang dapat mendorong penanganan anti korupsi di

lingkungan hidup 4. Menyuarakan rekomendasi dan kontribusi pemikiran terkait penanganan perkara

korupsi di perkara lingkungan hidup kepada pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pengadilan, penuntut umum, kepolisian, pemerintah, dan lain sebagainya.

C. JADWAL DAN WAKTU KEGIATAN Workshop Nasional diadakan di Hotel Atlet Century pada tanggal 3 September 2013, dengan susunan acara sebagai berikut: 09.00 – 09.15 Sambutan dari Pjs Ketua Harian MaPPI FHUI 09.15 – 09.30 Prolog oleh Moderator

  3  

09.30 – 10.00 Pembicara Tema 1 10.00 – 10.30 Pembicara Tema 2 10.30 – 11.00 Pembicara Tema 3 11.00 – 12.30 Tanya Jawab 12.30 ISHOMA

D. PESERTA Adapun peserta terdiri dari perwakilan pengadilan, kejaksaan, kepolisian, LSM, wartawan, akademisi, dan lain sebagainya.

E. PEMBICARA Pembicara adalah pakar dibidangnya sesuai dengan tema yang akan dibawakan, yakni:

1. Sub tema “Penafisiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” adalah Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.

2. Sub tema “Pengenaan uang pengganti” adalah Chandra Hamzah, SH., LLM 3. Sub tema “Tindak Pidana Korporasi” adalah Dr. Yunus Husein, SH., LLM

F. KERANGKA ACUAN SUBTEMA

1. Subtema: Penafsiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan

Saat ini tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime, karena

kejahatan ini sudah meliputi berbagai sektor penyelenggaraan negara dan menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, salah satunya korupsi di bidang lingkungan hidup seperti sektor kehutanan. Kejahatan korupsi di bidang lingkungan berbeda dengan kejahatan korupsi di bidang lainnya. Karena di dalam korupsi yang dilakukan di bidang ini kerugian negara yang timbul atas perbuatannya bisa berakibat hingga beberapa generasi ke depan. Sehingga perlu adanya suatu perhitungan kerugian akibat dari perusakan lingkungan yang disebabkan oleh para pelaku koruptor atas perbuatannya kepada lingkungan hidup.

Sehingga dalam melihat kerugian negara akibat kerusakan dari para pelaku koruptor lingkungan hidup perlu melihat kerugian negara dari sisi ekologisnya, yaitu kerugian negara berdasarkan kerusakan alam yang dibuat dari para pelaku perusak lingkungan. Di dalam negara kita juga tidak lepas dari masalah kerusakan lingkungan yang begitu besar dan masif. Berdasarkan hasil peta paduserasi TGHK – RTRWP pada

  4  

tahun 1999 misalnya, dari luas kawasan hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha, diperkirakan sudah terjadi degradasi hingga mencapai 50 juta ha (Haeruman, 2003). Hasil penafsiran citra satelit pun menguatkan bukti kerusakan itu. laju perusakan hutan alam tahun 1985 - 1997 tercatat 1,6 juta ha per tahun, tahun 1997 - 2000 tercatat 2,8 juta ha per tahun, tahun 2000 - 2003 laju kerusakan semakin tidak terkendali (Purnama, 2003). Akibat hilangnya hutan alam seluas 50 juta ha itu, Jika dinilai kerugian kayu nya saja, Indonesia diperkirakan sudah mengalami kerugian sebesar Rp 30.000 Triliun. Bahkan pada tahun 2008 lalu saja diperkirakan kawasan lahan negara yang terdegradasi bertambah luas sebesar 77,8 juta ha.1

Menurut Kepala Seksi Hubungan Masyarakat dan Informasi Perum Perhutani Unit 1 Jateng, Dadang Ishardianto, ia menyatakan “kerugian material akibat penebangan pohon memang tidak seberapa namun kerugian secara ekologis sebenarnya sangat besar, beliau menambahkan setiap pohon terutama yang berukuran besar memiliki nilai ekologis yang relatif tinggi karena mampu menampung air dua kali lipat ketimbang luas tajuk dan perakarannya”.2 Sehingga saat musim hujan, apabila satu pohon saja bisa menampung air yang sangat besar dan mencegah potensi banjir, bisa dibayangkan bagaimana efek dari banyaknya pohon terhadap mencegah potensi banjir yang sering melanda di negara ini. Korupsi di sektor lingkungan hidup tentu saja akan menyebabkan kerugian ekologis yang bersifat jangka panjang. Kerugian ini mungkin tidak terasa saat ini, namun bisa dibayangkan apabila lingkungan hidup semakin rusak, tentu saja akan banyak kerugian yang diderita oleh manusia secara keseluruhan, bisa saja alam rusak, bencana alam terjadi, manusia kehabisan sumber daya alam, efek rumah kaca dan kerugian-kerugian itu akan berdampak jauh lebih besar dibandingkan kerugian ekonomis yang diderita akibat kerusakan di sektor lingkungan hidup. Berdasarkan hal tersebut maka materi ini “Kerugian Negara atas Tindak Pidana Korupsi di Sektor Lingkungan” akan dibahas lebih lanjut di Workshop Nasional ini, dengan pokokbahasan sebagai berikut:

a. Apakah ada perbedaan kerugian negara yang disebabkan dari tindak pidana korupsi di sektor lingkungan dengan tindak pidana korupsi di sektor lainnya?

b. Bagaimana menghitung kerugian negara yang disebkan kerusakan pada sektor lingkungan.

c. Bagaimana menerapkan kerugian negara di sektor lingkungan ke dalam sistem pembuktian di sistem hukum negara Indonesia

                                                                                                               1 Basuki Wasis, Scientific Evidence Dalam Perkara Kerusakan Lingkungan Hidup (Perusakan

Akibat Pertambangan dan Ilegal Loging), (Kementerian Lingkungan Hidup dan Mahkamah Agung RI, 2011) hlm. 3

2 http://www.bumn.go.id/perhutani/id/publikasi/berita/banyak-kerugian-ekologis-dialami-2 http://www.bumn.go.id/perhutani/id/publikasi/berita/banyak-kerugian-ekologis-dialami-

perhutani/ diunduh pada tanggal 14 November 2012 pada pukul 20.57 WIB  

  5  

2. Subtema: Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup

Uang pengganti yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) bertujuan untuk memperkuat pidana pokok penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan bersamaan. Selain itu terlihat jelas bahwa pembuat undang-undang membuka peluang yang seluas-luasnya bagi para koruptor untuk mendapatkan hukuman terberat dengan harapan timbulnya efek jera dan terselamatkannya kerugian negara yang hilang akibat tindak korupsi tersebut.

Berbeda halnya dengan pidana pokok penjara dan denda yang memiliki ancaman pidana minimal dan maksimal, Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No 31 Tahun 1999 hanya menyatakan bahwa besar pidana uang pengganti jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Selanjutnya Pasal 18 ayat 2 dinyatakan pula bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Pembuktian unsur dan kalkulasi kerugian negara kemudian menjadi penting untuk menentukan besar uang pengganti yang akan dijatuhkan pada pelaku. Selain itu perlu dibuktikan pula bagian harta terdakwa/pelaku korupsi yang mana yang memang diperoleh dari perbuatan korupsi yang didakwakan. Permasalahan lain juga timbul pada pidana Subsider atau pidana kurungan pengganti yang diatur dapat menggantikan pidana uang pengganti bagi Terdakwa perkara korupsi (Pasal 18 ayat (3)). Parameter penjatuhan Pidana penjara subside yaitu keadaan tertentu terdakwa tidak mampu membayar harus diatur dengan jelas agar tidak kontra produktif denga ntujuan awal dari uang pengganti itu sendiri yaitu memulihkan kerugian Negara.

Sayangnya peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut mengenai penerapan uang pengganti termasuk teknis pengelolaannya hingga masuk ke kas negara belum jelas, sehingga masing-masing instansi penegak hukum memiliki penafsiran yang berbeda. Perbedaan misalnya terlihat pada kasus Probosutedjo yang langsung menyetorkan uangpengganti pada Departemen Kehutanan untuk reboisasi sedangkan Terpidana kasus korupsi lainnya langsung membayarkan padaKejaksaan Negeri yang berwenang. Hal yang lebih kompleks timbul pada korupsi di sektor lingkungan hidup yang menyebabkan kerugian ekologis yang bersifat jangka panjang dan dampak yang lebih

  6  

luas dari kerugian ekonomis semata, seperti bencana alam, manusia kehabisan sumber daya alam, efek rumah kaca, dsb. Proses pemulihannya jelas lebih sulit dari sekedar pemulihan keuangan negarasemata. Terlebih karena teknis pengalokasian uang pengganti tersebut agar langsung dapat digunakan untuk memulihkan kerusakan lingkungan serta potensi kerugian ekologis tersebut tidaklah mudah. Berdasarkan hal tersebut maka materi ini “Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” yangakan dibahas lebih lanjut di Workshop Nasional ini akan membahas poin-poin sebagai berikut:

a. Apakah terdapat perbedaan dalam penetapan besar pidana uang pengganti yang perlu dikenakan dalam kasus korupsi di bidang lingkungan hidup dengan kasus korupsi pada umumnya? Bagaimana penerapannya?

b. Parameter seperti apa yang harusnya digunakan agar penjatuhan pidana penjara subsider sejalan dengan penjatuhan uang pengganti?

c. Mekanisme pembayaran seperti apa yang dapat dilakukan untuk memastikan proses pemulihan lingkungan hidup yang telah rusak akibat korupsi dapat dilakukan menggunakan uang pengganti?

3. Subtema: Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang lingkungan hidup

Pada abad pertengahan, khususnya di Eropa, pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada kelompok, baik kepada keluarga, pemerintah daerah, serikat buruh, dan sebagainya. Akan tetapi, pada periode berikutnya, terjadi pergeseran pemikiran dari konsep pertanggungjawaban secara komunal menjadi pertanggungjawaban secara individu. Seiring dengan berkembangnya kehidupan masyarakat, korporasi mulai dikenal sebagai suatu entitas yang mampu melakukan kejahatan pada abad ke-20. Prof. Nico Keijzer berpendapat bahwa dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana menunjukkan telah terjadi pegeseran tujuan pemidanaan yang semula dianggap sebagai bentuk pembalasan semata (retributif) menjadi sarana untuk mempengaruhi dan menjaga anggota masyarakat agar berada pada jalur yang benar.3 Selanjutnya, perdebatan berkembang pada penentuan unsur kesalahan bagi korporasi yang melakukan tindak pidana dan memunculkan beberapa teori pertanggungjawaban korporasi seperti aggregation theory, vicarious liability, strict liability, identification theory, dan sebagainya. Penentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi pun beragam dengan melihat pada pihak yang bertanggungjawab dalam                                                                                                                

3 Nico Keijzer, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, disampaikan pada kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 24 Mei 2013.

  7  

tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, mulai dari penjatuhan denda hingga penutupan perusahaan selama beberapa waktu tertentu. Hal-hal di atas relevan untuk dibahas ketika membicarakan peran korporasi pada tindak pidana di bidang perekonomian, tak terkecuali pada tindak pidana korupsi di bidang lingkungan hidup. Hingga saat ini, hanya sedikit korporasi yang berhasil dijerat melakukan tindak pidana korupsi di sektor kehutanan dan penegak hukum hanya fokus memproses pejabat yang mengeluarkan izin atas kegiatan yang dilakukan oleh korporasi. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan akibat tindakan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi begitu masif dan meluas. Berdasarkan hasil peta paduserasi TGHK-RTRWP pada tahun 1999, misalnya, dari luas kawasan hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha, diperkirakan sudah terjadi degradasi hingga mencapai 50 juta ha yang diperkuat dengan hasil rekam satelit atas hal tersebut. Selain itu. laju perusakan hutan alam pada periode 1985-1997 tercatat seluas 1,6 juta ha per tahun, tahun 1997-2000 tercatat seluas 2,8 juta ha per tahun, dan pada tahun 2000-2003 laju kerusakan tersebut semakin tidak terkendali. Jika dinilai kerugian kayunya saja, Indonesia diperkirakan sudah mengalami kerugian sebesar Rp 30.000 triliun. Bahkan pada tahun 2008, diperkirakan kawasan lahan negara yang terdegradasi bertambah luas hingga 77,8 juta ha.4 Berdasarkan hal-hal di atas, materi “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” pada Workshop Nasional ini akan diarahkan pada pembahasan hal-hal berikut: 1. Sejarah dan teori-teori yang berkembang mengenai pertanggungjawaban pidana

korporasi 2. Pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana korupsi di bidang

lingkungan hidup dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia 3. Tantangan dan hambatan dalam memproses korporasi yang melakukan korupsi di

bidang lingkungan hidup

                                                                                                               4 Basuki Wasis, Scientific Evidence dalam Perkara Kerusakan Lingkungan Hidup (Perusakan Akibat

Pertambangan dan Illegal Logging), (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011), hal. 3.

  8  

NOTULENSI KEGIATAN Berikut adalah notulensi penyelenggaraan kegiatan:

Pembukaan oleh MC, M. Rizaldi

Ass. Wr. Wb.,

Selamat pagi Bapak dan Ibu sekalian. Selamat datang saya ucapkan di Hotel Atlet

Century Park dalam kegiatan Workshop Nasional MaPPI FHUI dengan judul Penanganan

Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.15,

oleh karena itu kita mulai saja kegiatan pada hari ini. Dan untuk memulai kegiatan pada

hari ini saya mulai dengan memanggil saudara Dio Ashar Wicaksana untuk

menyampaikan sepatah dua patah kata dan sekaligus membukan kegiatan pada pagi hari

ini. Kepada Saudara Dio saya persilahkan.

Kata Sambutan Plt Koordinator Badan Pekerja Harian MaPPI FHUI, Dio Ashar

Ass. Wr. Wb.,

Yang terhormat Bapak perwakilan dari KPK RI dan yang terhormat Bapak perwakilan

dari Pengadilan Tinggi Jakarta, yang terhormat Bapak perwakilan dari Kejaksaan Agung

dan yang terhormat Bapak perwakilan dari MSI, dan yang terhormat Mbak Sari selaku

perwakilan dari FHUI, dan yang terhormat para hadirin sekalian yang saya hormati.

Perkenankan saya mewakili MaPPI FHUI mengucapkan terima kasih atas kedatangan

para hadirin sekalian. Pertama-tama sebelum acara ini dimulai saya ingin menjelaskan

mengenai tujuan dari acara ini. Berhubungan dengan visi dari MaPPI FHUI di mana kami

ingin berperan aktif dalam penegakan hukum dan pembaruan peradilan maka kami

melakukan suatu kegiatan yang bernama bedah kasus perkara-perkara korupsi. Dalam

kegiatan ini kami bekerjasama dengan dua lembaga lainnya yaitu Jikalahari dan LBH

Surabaya, di mana dalam kegiatan bedah kasus ini kami melibatkan para ahli hukum,

praktisi hukum dan para sumber yang independen yang tidak ada hubungannya dengan

perkara yang kami analisis. Salah satunya perkara yang kami analisis yaitu adalah

perkara kasus Burhanuddin Husein yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di

Pekanbaru. Di dalam perkara tersebut, kami melihat ada beberapa isu menarik yang

  9  

mungkin bisa dijadikan suatu tema untuk diskusi hari ini, yaitu pertama di isu perkara

korupsi di lingkungan hidup. Kami melihat perkara yang melibatkan korupsi di

lingkungan hidup ini banyak menimbulkan kerugian tidak hanya kepada negara,

melainkan juga kepada masyarakat luas karena kerugian yang diakibatkan dari kejahatan

ini tidak hanya bersifat ekonomis saja melainkan kerugian sumber daya alam yang akan

berdampak bagi generasi ke depan. Kalau boleh saya mengutip pepatah dari Indian, jika

pohon terakhir ditebang, jika sungai terakhir tercemar, jika ikan terakhir ditangkap maka

dari situ kita menyadari bahwa kita tidak bisa memakan uang. Maka berdasarkan hal

tersebut, kami dari MaPPI FHUI ingin menarik tema Penanganan Perkara Tindak Pidana

Korupsi di Lingkungan Hidup untuk dijadikan tema di suatu workshop nasional ini.

Kurang lebih saya mewakili MaPPI FHUI mengucapkan terima kasih atas kedatangan

kalian dan mohon maaf apabila ada kesalahan kata dan perbuatan yang kami lakukan.

Sekian, Wa’alaikumsalam Wr. Wb.

Pemanggilan para pembicara ke depan panggung oleh MC

Terima kasih Saudara Dio dan tidak mengulur-ulur waktu lagi, langsung saja kita

mulai acara utama kita pada pagi hari ini yang akan dipimpin oleh moderator Saudara

Anugerah Rizki Akabari. Oleh karena itu, saya undang Saudara Anugerah Rizki untuk

maju ke depan dan disusul dengan dua narasumber kita yang sudah hadir di tengah-

tengah kita pada hari ini. Yang pertama, Bapak Prof. Bambang Hero Saharjo, Dekan

Fakultas Kehutanan IPB, kami persilahkan untuk maju ke depan. Yang kedua, Bapak Dr.

Yunus Husein selaku pakar hukum untuk maju ke depan mimbar kita pada pagi hari ini.

Baik, untuk memimpin jalannya diskusi kita pada pagi hari ini saya serahkan

kepada Anugerah Rizki.

Pemaparan Materi oleh Para Narasumber

Moderator:

Selamat pagi, Ass. Wr. Wb.

Terima kasih kepada MC yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk memimpin

diskusi kita pada pagi hari ini. Sebagaimana disampaikan oleh Plt Koordinator MaPPI

bahwa kegiatan kita kali ini adalah rangkaian dari kegiatan bedah kasus yang telah kami

  10  

lakukan selama 5 bulan terakhir dan dari kasus-kasus tersebut, satu tema kami ambil

karena menarik untuk kita bahas yang kebetulan akan kita diskusikan pada pagi hari ini,

yaitu mengenai penanganan tindak pidana korupsi di sektor lingkungan hidup.

Perkara ini menjadi menarik karena kerusakan-kerusakan lingkungan yang

diakibatkan oleh korupsi-korupsi memang akhirnya berdampak sistematis baik dalam hal

kerugian negara yang ditimbulkan, kerusakan lingkungan yang kemudian diakibatkan

serta bagaimana cara untuk upaya pemulihan lingkungan. Bersama kami di sini telah

hadir dua pembicara kita, yang pertama Prof. Bambang Hero Saharjo, beliau lahir di

Jambi, 10 November 1964, dan merupakan guru besar di bidang Perlindungan Hutan

Institut Pertanian Bogor sekaligus Dekan Fakultas Kehutanan IPB. Dan yang kedua ada

Bapak Dr. Yunus Husein S.H. LL.M., beliau pernah menjabat sebagai anggota Satgas

Pemberantasan Mafia Hukum, Ketua PPATK dan tenaga ahli di UKP4 Republik

Indonesia. Dan satu lagi pembicara kita yang masih dalam perjalanan adalah Bang

Chandra M. Hamzah, beliau adalah Wakil Ketua KPK bidang Penindakan dan Informasi

dan Data pada tahun 2007-2011 serta praktisi hukum di Assegaf, Hamzah & Partners.

Pada kesempatan kali ini, kita akan mebagi diskusi menjadi 3 tema penting. Yang

pertama mengenai Penghitungan Kerugian Negara pada Kasus Korupsi di Sektor

Lingkungan. Prof. Bambang di sini akan menjelaskan apakah ada perbedaan dalam hal

menghitung kerugian negara di bidang lingkungan yang disebabkan oleh korupsi.

Kemudian yang kedua adalah mengenai Tanggung Jawab Korporasi di Bidang

Lingkungan yang akan dijelaskan oleh Bapak Dr. Yunus Husein berikut tantangan dan

hambatan untuk memproses korporasi-korporasi yang terkait dengan korupsi di sektor

lingkungan. Dan yang terakhir Bang Chandra akan membahas mengenai Pengenaan

Uang Pengganti pada Kasus Korupsi di Bidang Lingkungan yang berkisar pada

pembahasan apakah uang pengganti dapat menjadi sarana untuk memulihkan kerugian

lingkungan yang diakibatkan oleh korupsi oleh pejabat-pejabat di daerah.

Tanpa bermaksud berpanjang lebar, kami serahkan untuk pertama kalinya diskusi

ini kepada Prof. Bambang Hero Saharjo untuk membahas mengenai Penghitungan

Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi di Bidang Lingkungan. Kepada Prof. Bambang

kami persilahkan.

  11  

Bambang Hero Saharjo:

Terima kasih moderator. Bapak/Ibu yang saya hormati, Ass. Wr. Wb. Kesempatan baik

bagi kami untuk sharing terhadap apa yang telah kami lakukan terkait dengan

penghitungan kerugian negara. Dan apa yang akan saya sampaikan nanti juga sedang

digunakan sekarang untuk kasus yang sedang berjalan di Rawa Tripa, selain kemarin

sudah pemeriksaan setempat dan juga beberapa kasus lain.

Kebetulan saya menulis ini berdua dengan Pak Basuki Wasis. Pak Wasis masih di

TKP kebakaran di Riau. Saya juga baru pulang semalam, pulang duluan untuk bisa

sharing dengan Bapak/Ibu

(sambil memperlihatkan gambar-gambar di slide)

Ini contoh saja, bagaimana asap itu membungkus kota Palembang. Ini seperti

setelah Perang Dunia II, gelap semua. Berikut, ini adalah bagaimana kebakaran itu

menghancurkan tanaman di kawasan lindung di daerah gambut. Jadi, sekarang yang

terjadi itu apakah di Aceh, Kalimantan maupun Sumatera itu sebagian besar ada di daerah

gambut. Berikut, ini adalah kondisi di lapangan, inilah yang terjadi dan berulang terus.

Jadi, jangan pikir bahwa pohon itu tumbuh seperti tiang listrik di tengah lapangan

sepakbola, tapi dia adalah bagian dari suatu ekosistem. Berikut, ini kasus di Kalimantan

Tengah, setelah ditumbangkan, dibakar, kemudian dijadikan seperti itu. Silahkan

Bapak/Ibu tebang dan bakar, setelahnya mau tanam jagung, silahkan dicoba saja.

Alhamdulillah kami menang di kasasi. Berikut, ini di gambut di daerah Kalimantan

Barat, sama kondisinya, hutan itu ditebang, ditumbangkan, kemudian dibakar dan

sebagian dari ini juga masih belum alih fungsi. Sedihnya, ini malah bebas murni sampai

di kasasi Mahkamah Agung. Berikut, ini yang di Riau, dulu hutannya seperti yang di atas

itu, kemudian itulah hasil karyanya, yang di bawah. Ada 14 kasus kami angkat dan SP3.

Sekarang terbongkar lagi. Jadi kalau kita lihat dari kondisi ini, kehadiran pohon itu kan

bukan cuma patung, tapi dia juga hidup, melakkan proses fotosintesis dan sebagainya,

dan sekarang setelah ditumbangkan kapasitas penyerapannya juga berkurang, satwa yang

ada di dalam itu juga tidak tahu pergi ke mana, sementara itu yang busuk dari sisa

penebangan juga mereka terdekomposisi sehingga melepaskan CO2 dan sebagainya.

Nah, kalau kita memang tunduk dengan aturan, seharusnya tidak boleh dibuka itu karena

perkembangan gambutnya itu melebihi 3 meter dan menurut aturan yang ada, Perpres 32

  12  

tahun 1990 dan sebagainya, lebih dari 3 meter itu harus dikonservasi. Temuan kami di

lapangan yang lainnya juga, baik di Aceh maupun di Riau, terjadi juga seperti ini. Jadi,

sekali lagi Bapak/Ibu sekalian, tonggak-tonggak itu tidak berdiri sendiri, dia adalah

bagian dari suatu ekosistem. Berikut, ini di Sumatera Utara, di kiri-kanan dulu ada

pohonnya, saya dulu sempat konsultasi dengan Pak Yunus waktu di Satgas PMH karena

pelakunya itu Kapoldanya sendiri, istrinya dengan BIN. Ini contoh saja. Bukit itu

dibongkar sama mereka supaya ada akses jalan. Sungainya dibendung dan sebagainya.

Berikut, ini akibat pertambangan setelah dibuka jadilah seperti itu. Berikut, ini hasil

karyanya, tambang pasir kuasa, pada kawasan lindung yang tidak berizin. Ini kalau

dilihat dari atas, di daerah Bangka, dulu itu adalah hutan lindung, nah sekarang

pertanyaannya kenapa jadi putih semua? Nah, itu adalah bagian dari upaya perusakan

lingkungan.

Kemudian, kita mulai kembali ke definisi-definisi yang ada supaya menjadi clear.

Ini kadang-kadang sering ditukar antara kebakaran hutan dan lahan. Kalau kebakaran

hutan itu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan

yang menimbulkan tidak hanya kerugian ekonomis tetapi juga yang lain, misalnya

kelemahan ilmu pengetahun dan/atau lingkungan hidup. Begitu juga dengan lahan. Di

kita ini ada yang disebut dengan kawasan hutan, ada yang disebut hutan. Kawasan hutan

itu meskipun tidak ada pohonnya, hanya alang-alang saja, selama itu belum dicabut maka

statusnya tetap kawasan hutan sehingga tidak bisa langsung diubah menjadi kebun sawit.

Tapi fakta di lapangan, begitu tidak ada lagi hutannya, tinggal semak belukar, ya masuk

saja sawit dan sebagainya.

Kemudian, lahan adalah suatu areal atau kawasan hutan baik yang bervegetasi,

alang-alang, semak belukar dan sebagainya yang diperuntukkan bagi pembangunan di

bidang pertanian. Jadi, untuk mengubah dari hutan menjadi lahan itu memang

diperbolehkan menurut Pasal 19 UU 41 tahun 1999, harus melalui tiga, yaitu yang

pertama adalah harus ada tim untuk melakukan evaluasi; yang kedua, persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat; yang ketiga, harus dengan PP. Lucunya, PP itu baru keluar 2010.

Menjadi pertanyaan, kalau sebelum itu apakah sah itu. Kemudian, beda antara

pembakaran dan kebakaran. Kalau pembakaran itu, apinya yang seharusnya bergerak

  13  

normal suka-suka apinya tapi faktanya dia bisa milih. Kalau kita lihat di TKP kemarin,

apinya bisa milih hanya di LC saja.

Berikut, ini beberapa definisi saja. Yang disebut dengan pembalakan liar: untuk di

kawasan hutan, penebangan di luar kawasan, pohon yang dilarang, penebangan oleh

individu. Kemudian berikut, ini beberapa kegiatan yang termasuk pembalakan liar:

penebangan di luar konsesi, pengubahan kawasan untuk kawasan lain, penebangan di luar

kavling, penebangan hutan di kawasan lindung dan sebagainya.

Berikutnya adalah perambahan, yang dimaksud perambahan adalah melakukan

pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Lalu, ini

adalah indikasinya, yang pertama terdapat penebangan pohon, pemusnahan belukar

dengan cara menebang, menebas, membakar. Kemudian ada pengolahan tanah untuk

dijadikan ladang atau kebun jadi kawasannya dulu kawasan hutan tapi kemudian diubah

menjadi ladang atau kebun. Kemudian terdapat benih atau bibit yang akan ditanam.

Berikut, ini definisi pertambangan menurut UU 4 tahun 2009, adalah sebagian atau

seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral

atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,

dan sebagainya. Kemudian wilayah pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi

mineral dan/atau batubara yang tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan

yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Berikut, ini pertambangan illegal;

pertama, pertambangan di luar ijin, kemudian di luar kawasan tambang, kemudian

penambangan tidak memiliki dokumen lingkungan, penambangan pada kawasan lindung,

dan sebagainya. Berikut, kalau kita kembali ke UU 32 tahun 2009, perusakan lingkungan

hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung

terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati sehingga melampaui kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup. Untuk kriteria baku itu mestinya selalu berubah sesuai kondisi

lapangan baik di tingkat nasional maupun di lokasi kejadian.

Kemudian, perusakan dan kerusakan itu beda, termasuk juga kriteria bakunya karena

kriteria baku yang digunakan sekarang itu sudah perlu direvisi seharusnya karena

berdasarkan tahun 2000. Berikut ini contoh saja bagaimana environmental destruction itu

terjadi. Jadi, ini gambut di atas itu, kalau gambutnya utuh (tidak terjadi penurunan mutu

air), maka air itu akan menggenangi gambut. Tapi dengan adanya kanal, maka water table

  14  

turun, di situlah kemudian terjadi aksi dan biasanya sebagian besar itu adalah

pembakaran. Lahan gambut yang terbakar itu melepaskan emisi gas rumah kaca,

mengurangi kapasitas penyimpanan air kemudian juga tidak bisa dia kembali lagi.

Berikut, pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya (sengaja dan tidak sengaja)

makhluk hidup, zat, energi, komponen ke dalam lingkungan hidup dari kegiatan manusia

sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Baku mutunya

ada sendiri. Nah, ini harus hati-hati. Kalau kita tidak paham soal baku mutu ini maka data

itu akan memakan kita sendiri. Pernah kejadian kasus kebakaran, emisi yang dihitung

menggunakan alat itu memang melewati baku mutu. Tapi pertanyaannya adalah apakah

saudara yakin bahwa parameter gas yang didetect oleh alat itu memang berasal dari

sumber karena pada saat itu untuk kasus kebakaran bisa saja dari berbagai tempat masuk.

Jadi kita punya cara penanganannya dengan metode Seiler Crutzen. Crutzen ini peraih

Nobel bidang kimia tahun 1995. Kalau dengan metode dia, clear. Kalau terjadi kebakaran

satu hektar, dengan kondisi bahan bakar sekian, maka segitulah hasilnya.

Berikut, ini contoh kalau kita memang ingin menghitung dampak dari asap.

Kejadian tahun 2006, sumbernya kita semua tahu, kalau tidak Sumsel, Riau, Jambi.

Setelah Pak Presiden minta maaf, kejadian lagi. Ini juga menjadi bahan pertimbangan

kami ketika menghitung kerugian. Bahkan, kemarin itu sudah mendekati, definisinya

sudah mentok, sudah lewat. Mestinya 300-400, itu sudah 900.

Berikut, dalam perhitungan ganti kerugian ada beberapa tahapannya: kita lihat apakah

ada perubahan sumber daya alam yang terjadi, kemudian kita asses, kemudian diassesnya

itu kita harus mengenali karakteristik dari masing-masing sumber daya alam itu,

kemudian berapa lama proses itu berjalan dan kemudian apakah proses kerusakan itu

langsung atau tidak langsung dan seberapa besar proses perusakan itu dan kemudian

setelah itu baru kita breakdown untuk mencari siapa yang paling bertanggungjawab.

Karena biasanya kalau kita ke lapangan, oh itu punya masyarakat pak, atau kadang-

kadang meskipun dia punya HGU-nya, oh itu HGU-nya punya kami pak tapi itu diambil

oleh masyarakat. Jadi dari sana diasses, kita tahu apakah kepemilikan pribadi apakah

kemudian korporasi dan sebagainya. Nah, ini juga ada aturan main, contoh misalnya di

Permentan 26 tahun 2007 yang Pasal 6 itu, 25 hektar saja punya lahan kebun sawit itu

harus memenuhi 13 hal: amdal dan sebagainya. Faktanya di lapangan itu yang punya 200

  15  

hektar sudah banyak, tidak ada yang berani nuntut. Padahal mestinya itu bisa kena proses,

tidak punya ijin, tidak punya apa. Nah, itu yang kita klarifikasi di lapangan.

Berikut, ini beberapa saja berbagai baku mutunya, yang mesti direvisi, misalnya

akibat dari kerusakan itu menyebabkan erosi itu batasannya, untuk tanah 20 cm ambang

kritisnya itu adalah 0,1 ton/hektar/tahun. Berikut, ini untuk yang lahan kering kita lihat

untuk ambang kritisnya dan sebagainya, sehingga tentu saja ketika melakukan sampling

itu kita gunakan kaedah-kaedah ilmiah seperti penelitian kecil. Jadi dari gambaran overall

kemudian kita blocking, dari masing-masing itu kita sampling kemudian kita ambil

sample yang kembali dari sample itu kita masukkan ke lab dan lab lah yang

membunyikan ini. Dari lab itu lah kemudian keluar, itu yang kita berikan. Umpama kita

ke lapangan, kasus kebakaran banyak yang mengatakan, oh itu pak dua bulan yang lalu,

padahal kita sudah tahu ketika alang-alang itu baru 10 cm, itu paling lama 1 minggu.

Ketika alang-alang sudah keluar bulir putih, itu paling lama 1 bulan. Sehingga dengan

data itu kita tidak bisa dibohongi. Kalo kita iya-iya saja, bisa-bisa kita dimakan mereka.

Berikut, ini contoh yang gambut, subsidennya seperti itu, kedalaman liquid, dan

sebagainya. Ini kita gunakan baku mutu yang 150-2000 itu kita bandingkan dengan data

yang kita ambil. Sayangnya, temen-temen di persidangan tidak paham yang seperti ini,

kita jelaskan satu per satu. Berikut, untuk sampling ini kasus di Riau kemarin. Ke

lapangan selain mengukur, kita ambil itu. Itulah yang menjadi kawan kami, itu setelah

disita kita masukan di lab. Hasil analisa lab yang membantu membunyikan fakta

sesungguhnya di lapangan. Jadi, betul-betul seperti penelitian karena dari sini bisa anda

publish juga ke jurnal. Ini studi kasus di Riau, di PP 34 tahun 2002 mengatakan kalau

membangun HP itu lahan kosong, padang alang-alang, semak belukar. Pertanyaannya,

hebat sekali alang-alang di Riau, diameternya sampai hampir 20 meter. Itu dari Dinas

Kehutanannya sendiri tidak tahu. Tapi untuk memastikan dia, dia paham tidak itu.

Bahkan kita temukan, satu perusahaan besar setahun dia mengeluarkan 1,3 juta meter

kubik.

Berikut, ini sama, jadi ketika cek di lapangan juga, oh pak itu kami tanam pak, di

dalamnya kan menurut peraturan menteri dan juga petunjuk teknisnya di dalam lubang

tanam misalnya untuk sawit itu ada pupuk sekian, ada kapur sekian. Kalau kita percaya

saja, lewat. Nah, kalau saya, kita rekonstruksi bangunannya, kita bongkar itu, baru lah di

  16  

lapangan kita tahu. Jadi, secara visual kita bisa lihat kemudian di bawahnya itu kita ambil

sampelnya, kita bawa ke lab. Bisa kita lihat juga, kalau misalnya satu hektar itu perlu

kapur sekian ton, kalau dia buka seribu, maka sekian ribu ton kapur itu harus ada. Lalu,

kita tanya sama mereka, di mana gudangnya. Kita sampai berpikir ke arah situ gitu.

Berikut, inilah yang membuat kewalahan kami tadi untuk mengumumkan siapa yang

bertanggung jawab, yaitu siapa yang membuat kerusakan hutan atau lahan lingkungan

tadi, siapa yang terkena dampaknya, kemudian bagaimana property guidenya, jenis

dampaknya, besaran dampaknya, lamanya, dan jenis sumber daya alam dan lingkungan

yang terkena dampak termasuk wilayah sumber daya alam. Seperti yang saya katakana

tadi juga ketika kita melihat satu pohon itu, janganlah pernah berpikir bahwa pohon itu

seperti tiang listrik di lapangan sepakbola. Tentunya itu adalah bagian dari suatu

ekosistem karena kalau tidak, ini kita akan hilang semua ini.

Berikut, sekarang sebetulnya secara legal formal sudah ada itu di Permen LH

Nomor 13 tahun 2011. Berikut, ini pembuktian tadi, makanya tadi kita turun ke TKP,

kemudian sampling, berdasarkan itu baru kemudian kita menghitung total kerugian yang

terjadi. Berikut, ini yang pertanyaannya: berapa kerugian yang timbul, apakah semua

kerugian yang timbul itu bisa dihitung, bagaimana cara menghitung kerugiannya, data

apa saja yang dibutuhkan dalam penghitungan tersebut, jadi secara scientific ini yang

kami lakukan di lapangan. Berikut, ini ada Metode Prinsip Biaya Penuh, ini mengacu

pada prinsip bahwa penggunaan sumber daya alam harus membayar kerugian negara

yang diakibatkan oleh perubahan pada sistem sumber daya alam dan lingkungan. Berikut,

ini bisa juga pendekatan Nilai Dasar untuk mengestimasi nilai kerugian, karena kita tidak

tahu, misalnya mati gajah di taman nasional, satu ekor itu berapa. Apakah dinilai dari

gadingnya, apakah dinilai dari kilonya, tentu saja bisa.

Berikut, kembali ini hanya mengingatkan saja bahwa pertimbangan yang harus

dilakukan adalah harus menggunakan teknik yang valid, kemudian dapat diterima oleh

institusi, dapat dikuasai pengguna dan yang paling penting yang terakhir, teknik yang

digunakan sederhana dan tidak membutuhkan biaya besar. Apalagi kalau penyidik, JPU

dan sebagainya, kalau sudah melihat angkanya besar kemudian mikir juga, makanya kita

cari yang simple tetapi secara scientific dapat dipertanggungjawabkan.

  17  

Berikut, ini adalah jenis biaya dan kerugian yang menjadi perhatian, yang pertama

adalah biaya kewajiban, kemudian biaya verifikasi dan pengawasan, biaya pemulihan,

kemudian biaya atau nilai kerugian lingkungan, dan yang terakhir adalah nilai kerugian

masyarakat karena masyarakat juga khususnya yang mendapatkan sesuatu tetapi dengan

adanya ini malah tidak mendapat. Ini misalnya di sungai itu dihajar dengan peti, dulu

masyarakat bisa ambil ikan dan sebagainya, sekarang karena itu tidak bisa. Berikut, ini

ganti ruginya itu adalah ini ya, ada kerugian ekologis, ekonomis, pemulihan, kerugian

masyarakat dan biaya yang dikeluarkan selama proses menghitung ganti rugi. Berikut,

pertama, contoh saja ini, kalau lihat kebakaran maka tentu saja kita harus menghitung

waktu kebakarannya. Kalau sehektar dua hektar kita bisa ukur dengan meteran dan

sebagainya tapi kalau sudah seribu hektar tidak mungkin menggunakan meteran, kurang

panjang. Jadi kita harus menggunakan GPS, itu setelah kita pastikan ground check karena

hotspot itu tidak selalu sama dengan di BAP.

Berikut, ini apakah dia gambut atau hutan, apakah dia penetrasinya dalam atau

tidak, konsumsi bahan bakar dan sebagainya, termasuk pada akhirnya kita harus

menghitung emisi gas rumah kaca. Berikut, ini contohnya persamaan Seiler Crutzen, ini

simple tapi sebetulnya sudah jadi yurisprudensi. Ini data wajibnya, berapa karbon yang

dilepaskan, termasuk juga CO2 yang dilepaskan, baik pada gambut maupun non gambut.

Berikut, ini untuk yang jenis lain misalnya NH3, NOx, metan, O3 dan sebagainya.

Berikut, ini untuk menghitung total bahan partikel, kebakaran itu kan menimbulkan

partikel, ini bisa kita hitung. Berikut, barulah kita kemudian menghitung kerugian, jadi

apa yang saya sampaikan di sini ini tidak turun dari langit. Tapi ini adalah hasil penelitian

dari tim, dari ahli ekonominya, sumber daya alamnya, kehutanan, beberapa ahli

lingkungan juga. Misalnya yang pertama kita hitung adalah fungsi tata air, ini

persamaannya. Sebetulnya gampang saja, bisa berhitung pake quick count, selama kita

punya data. Yang membedakan itu adalah di mana kejadian itu.

Berikut, ini adalah pengendalian erosi dan limpasan, kita ke hutan dan sebagainya

itu kita harus memperhitungkan juga bahwa kalau itu terganggu maka akan timbul erosi

dan limpasan. Berikut, ini juga fungsi pengurai limbah, kita tahu biaya pada saat kejadian

itu berapa lalu kita masukkan ke persamaan ini. Berikut, ini kita pake dua juta tujuh ratus,

default, jadi kalau kita punya data yang lebih valid, itu akan lebih bagus. Misalnya kan ini

  18  

tentu saja beda antar asatu areal dengan kawasan yang banyak gajahnya, yang banyak

harimaunya, atau yang cuma alang-alang. Itu tentu saja nilainya akan berbeda. Berikut,

ini pemulihan kinetik, kita tidak pernah tahu bahwa lahan gambut yang dihancurkan tadi

itu sebenarnya menghasilkan sesuatu. Berikut, ini biaya pelepasan karbon, jadi emisi

yang kita lepaskan tadi kita hitung. Ini satu lagi biaya pengurangan kapasitas penyerapan

karbon, jadi itu tadi tinggal dijumlah saja, kerugian ekologisnya. Berikut, ini kerugian

masyarakatnya, tentu saja harga sekarang akan berbeda, tentu saja kita dapatkan setelah

kita turun ke lapangan, itu adalah bagian dari kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan.

Berikut, umur pakai lahan juga kita hitung karena akan beda, kemarin di lapangan juga

terjadi perdebatan. Jadi secara alami khususnya untuk gambut, terjadi subsiden 0,5-0,6

cm per tahun. Itu juga perlu kita pertimbangkan untuk menghitung ini. Berikut, ini yang

pertambangan, prinsipnya sama saja, tinggal ditambahkan berapa katakanlah emas atau

tambang yang keluar dari sana. Berikut, ini jadi betul-betul kita anggap dia merusak itu

betul merusak lingkungan tidak hanya ambil itunya kemudian pergi karena si bahan

tambang yang diambil itu adalah bagian dari ekosistem yang rusak.

Berikut, ini contoh saja di Sumatera Selatan, habis. Kejadiannya bukan kemarin

sore, sudah puluhan tahun lalu pun kejadian cuma pertanyaannya itu dilaporkan atau

tidak. Berikut, ini silahkan Bapak/Ibu bayangkan, untuk pemadaman seperti ini, sama

seperti kemarin itu, di 2006, republik ini pernah sewa BE 200-2009, itu US$ 20 juta, 200

milyar. Pertanyaannya padam ga apinya? Padam. Karena apa? Karena hujan. Sementara

yang 200 milyar tadi ke mana. Kawan-kawan saya di Rusia tertawa. Sebaiknya kalau bisa

ini dihindarkan. Sewa ini per jam US$ 2000 sampai US$ 3000. Berikut, inilah harapan

kita, mudah-mudahan, kalau kita bicara tentang kerusakan itu semua itu seperti itu. Itu

adalah bagian dari ekosistem. Itu saja, terima kasih, Wass. Wr. Wb.

Moderator:

Terima kasih Prof. Bambang atas materinya yang sudah disampaikan. Dari pemaparan

tadi kita dapat melihat bahwa sebetulnya kerugian yang diakibatkan oleh kasus-kasus

kerusakan lingkungan sangat besar. Berikut tadi dijelaskan metode penghitungan

kerugian negara serta gambar-gambar yang menunjukkan rusaknya hutan dan alam kita

karena kasus-kasus korupsi di bidang lingkungan. Selanjutnya, setelah kita tahu kerugian

  19  

ini melebar ke mana-mana menarik untuk kita membahas bagaimana sebanarnya peran

penegak hukum dalam kasus ini. Selanjutnya, Bang Chandra Hamzah selaku Mantan

Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan dan Informasi dan Data, kita ingin tahu

sebenarnya bagaimana waktu itu usaha kita untuk memulihkan kerugian-kerugian yang

ditimbulkan oleh korupsi di sektor lingkungan dan termasuk pengenaan uang

penggantinya karena di Undang-Undang Anti Korupsi disebutkan bahwa uang pengganti

jumlahnya sebanyak-banyak harta benda yang diperoleh oleh terpidana dalam kasus

korupsi. Kita ingin melihat bagaimana peran penegak hukum kemudian pidana tambahan

yang bisa digunakan untuk merestorasi kerugian-kerugian ditimbulkan dari kasus

lingkungan. Kepada Bang Chandra kami persilahkan.

Chandra Hamzah:

Terima kasih, Ass. Wr. Wb., selamat pagi.

Hal yang pertama yang perlu kita pahami adalah bagaimana mengkonstruksikan suatu

tindak pidana di bidang sumber daya alam menjadi korupsi. Apakah tindakan/peristiwa

ini dapat dikategorikan sebagai perkara korupsi atau tidak? Di sini ada beberapa kasus

yang pernah kita tangani, jadi waktu itu salah satu fokus kita adalah sumber daya alam.

Kenapa sumber daya alam? Alasannya sangat sederhana: kalau APBN itu ada batasnya.

Katakanlah APBN kita 1 triliun. Terhitung. Kalau semuanya dikorupsi sama siapapun, ya

1 triliun. Tapi kalau sumber daya alam itu tidak ada batasnya. Siapa yang bisa hitung?

Berapa harga hutan kita? Berapa harga tambang kita? Itu tidak terhitung dan ini jauh

lebih besar dibandingkan korupsi APBN. Bukan APBN menjadi tidak penting, tetap

penting. Berapa korupsi di migas, berapa korupsi di batubara, berapa korupsi di

kehutanan, itu tidak terhitung. Dan sebagian orang merasa ini bukan korupsi, tidak

merugikan negara karena tidak ada uang APBN yang diambil.

Kemudian, bagaimana kita mengkonstruksikan suatu peristiwa kejahatan di bidang

lingkungan hidup atau sumberdaya alam bisa dikategorikan sebagai kasus korupsi. Kita

ambil beberapa contoh. Di sini ada kasus, yang pertama Al Amin Nasution, ini dituntut

dengan Pasal 5. Kemudian Tengku Azmun Jaafar, ini kita tuntut dengan Pasal 3. Pasal 2

dan Pasal 3. Nah, kenapa kita pakai Pasal 2 dan Pasal 3? Jadi, sebenarnya ada sedikit

anomali di UU Korupsi. Anomali itu begini: bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 adalah pasal

  20  

umum. Di dalam Pasal 2 ada melawan hukum, Pasal 3 ada menyalahgunakan

kewenangan. Apa itu melawan hukum? MK sudah bilang, melanggar formal dan

material. Pasal 2 melawan hukum, Pasal 3 menyalahgunakan kewenangan. Ini seharusnya

dapat dikategorikan sebagai pasal umum. Kemudian, pasal-pasal selanjutnya, Pasal 5

penyuapan, pemerasan, penggelapan dan selanjutnya itu harusnya pasal khusus. Tetapi

hukumannya harusnya pasal khusus lebih besar daripada pasal umum. Tetapi ternyata

Pasal 2 dan Pasal 3 hukumannya jauh lebih berat dibandingkan Pasal 5, Pasal 7, Pasal 12.

Itu salah satu anomali. Saya ambil contoh klasik, 338 dan 340. 338 pembunuhan saja, 340

pembunuhan dengan perencanaan, spesifik. 340 lebih berat dibandingkan 338.

Nah, kalau kita lihat Pasal 5, suap, apakah menerima pemberian dalam bentuk

apapun itu adalah melawan hukum? Iya harusnya. Atau memberi, apakah itu melawan

hukum? Iya harusnya. Jadi, Pasal 5 dan selanjutnya sebetulnya terabsorb oleh Pasal 2 dan

Pasal 3. Tetapi kenapa hukuman Pasal 2 dan Pasal 3 lebih berat dibandingkan Pasal 5

atau Pasal 12? Beratnya di mana? Salah satunya indikasinya adalah hukuman penjara.

Pasal 2 dan Pasal 3 bisa 20 tahun. Pasal 5 maksimum cuma 5 tahun. Coba lihat kasus Al

Amin Nasution, penjara 8 tahun. Dia ini tadi Pasal 5, apakah ia bisa dikenakan uang

pengganti atau tidak? Kalau di Pasal 5 tidak ada itu. Jadi, ini anomali konstruksi dari UU

Tipikor.

Coba lihat Pasal 2, unsur paling pentingnya ini melawan hukum. Kemudian Pasal 3,

intinya di Pasal 3 itu penyalahgunaan kewenangan. Kemudian, coba lompat ke Pasal 18

yang a, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud KUHAP, perampasan barang

bergerak, berwujud, yang digunakan atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk

perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi itu dilakukan. Ini belum

pernah dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah uang pengganti itu adalah termasuk yang

ini? Beda kan? Jadi, uang pengganti kerugian itu on top dari yang a. Jadi kalau kita ingin

memaksimalkan si terpidana maka gunakanlah yang a. Ini tidak ada hubungannya dengan

uang pengganti, yang digunakan, instrumen untuk melakukan kejahatan. Ini sesuai

dengan Pasal 39 KUHP, barang-barang yang diperoleh atau digunakan untuk melakukan

tindak kejahatan bisa dirampas.

Yang b, membayar uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta

yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Pertanyaan: apakah yang B ini hanya bisa

  21  

digunakan untuk pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3? Kenapa tidak bisa digunakan untuk

Pasal 5? Di sini tidak disebutkan lho bahwa yang b ini harus cuma Pasal dan Pasal 3.

Sebagian orang bilang karena kerugian negara ada di Pasal dan Pasal 3, maka hanya bisa

digunakan di Pasal 2 dan Pasal 3. Unsur kerugian negara tidak ada di Pasal 5 maka ini

tidak bisa digunakan. Kenapa kita tidak pernah coba Pasal 98 KUHAP? Saya bacakan:

jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di suatu pemeriksaan perkara pidana

oleh pengadilan menimbulkan kerugian bagi orang lain maka hakim ketua sidang atas

permintaan orang tersebut dapat menetapkan menggabungkan perkara gugatan ganti

kerugian kepada perkara pidana. Jadi, kalau JPU perkara pidana menggunakan Pasal 5

untuk pejabat yang menerima suap, maka Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara (JPN)

bilang negara telah dirugikan, masuk Pasal 98 KUHAP, gabungkan, hitung kerugian

negara dengan Pasal 98. Dan ini belum pernah dilakukan. Jadi, pertama, yang a bisa

dimaksimalkan. Yang b uang pengganti, apakah ini bisa digunakan untuk pelanggaran

Pasal 5? Sebagian orang bilang bisa, sebagian lagi tidak bisa. Maka, kalau dianggap tidak

bisa, gunakanlah mekanisme Pasal 98 KUHAP.

Kalau kembali ke yang pertama, seluruh perkara korupsi harusnya, baik suap, baik

pemerasan, menerima atau memberi suap, tuntutan utamanya itu Pasal 2 dan Pasal 3. Jadi

kalau kembali ke kasus Al Amin, harusnya ini jangan dituntut Pasal 5. Pasal 2 atau Pasal

3, subsider baru Pasal 5 karena unsur melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan,

masuk itu. Pasal 2 dan Pasal 3 itu adalah pasal yang mengabsorb seluruh perbuatan

melawan hukum, menyelahgunakan kewenangan yang ada di Pasal 5 dan selanjutnya.

Untuk apa? Supaya ganti kerugian negara bisa diambil. Yang kedua, kalau kembali ke

Pasal 18, maka yang a ini harus dipahami sebagai di luar uang pengganti, ini harta benda

yang digunakan dan hasil instrumen dan benefit dari hasil korupsi. Yang b pemidanaan

uang pengganti, kalau seandainya hakim pengadilan berpendapat Pasal 5 tidak ada uang

pengganti, maka apapun yang terjadi Jaksa JPN bilang bahwa negara telah dirugikan,

masuk lewat mekanisme Pasal 98 KUHAP. Bagaimana tata caranya? Sayangnya,

Mahkamah Agung belum pernah mengatur. Mungkin saya yang salah ya. Kan biasanya

“belum ada hukum acaranya, karena belum ada hukum acaranya tidak bisa dijalankan.”

Itu argumentasi yang nyebelin tetapi valid karena hukum acara bersifat positif, yang

  22  

diatur itu yang dilakukan, yang tidak diatur tidak boleh dilakukan. Beda dengan hukum

material.

Coba kita kembali ke kasus Tengku Azmun Jaafar, ini kita kategorikan sebagai upaya

yang sedikit berputar untuk bilang bahwa ini korupsi. Pertama, penyidik harus tahu yang

namanya industri, kalo ini kan perkebunan ya, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu,

Hutan Tanaman…IUPHHH. Kenapa kasus ini terjadi? Bisa tidak terdeteksi? Karena

begitu IUPHHH, sebutnya IUP saja ya, itu keluar, tahun berikutnya di RKT sudah ada

rencana penebangan sekian banyak pohon. Pertanyaan kita adalah memangnya pohon

umurnya satu tahun? Kemudian, akhirnya kita melakukan penyelidikan. Jadi, karena kita

tahu persis apa yang dinamakan IUP, kemudian yang namanya RKT, yang namanya

nanam pohon kalau di atas tanah yang ilalang itu 5 tahun, tidak mungkin RKT menebang

sekian banyak, berarti ini land clearing. Land clearing ada batasannya. Kalau ini berarti

IUP-nya diterbitkan di atas hutan alam. Kenapa dia bisa bikin RKT satu tahun sekian

banyak kubik kayu. Siapa yang salah? Kalau begitu PT-nya tidak salah dong karena PT-

nya dapat izin. IUP-nya ada? Ada. Dia land clearing boleh? Boleh. Jadi siapa yang salah?

Pemberi izin. Pemberi izin ngasih izin. Karena itulah kita bawa Azmun Jaafar. Tetapi

permasalahannya adalah PT yang melakukan pembersihan itu bilang “saya tidak

mengurus izin, saya beli PT lain, yang mengurus izin bukan saya, saya jangan

disalahkan.” Ternyata PT lain itu adalah PT keponakannya Tengku Azmun Jaafar. Jadi

kita bangun konstruksi Tengku Azmun Jaafar membuat PT-PT sebagai kendaraan dan

Tengku Azmun Jaafar uang masuknya tidak ada tuh yang masuk ke rekening dia. Tengku

Azmun Jaafar membuat PT-PT atas nama supirnya, istrinya, anaknya, keponakan,

keluarganya dan diberikanlah IUP kepada itu dan PT itu dijual kepada si big boss PT

besar itu. Kira-kira begitu. Korupsinya di mana? Korupsinya Pasal 3, Tengku Azmun

Jaafar dengan kewenangan dia selaku Bupati menerbitkan izin kepada PT-PT dan

kemudian untuk mendapatkan keuntungan. PT itu dijual, anaknya dapat uang, supirnya

dapat uang. Jadi, yang pertama perlu dilakukan penyidik adalah penyidik harus tahu

persis business process dari suatu industri. Kalau tidak, izinnya ada? Ada, selesai. SP3.

Tapi kita lihat, tidak mungkin RKT timbul hanya satu tahun semenjak IUP. Tidak

mungkin. Jadi, bukan hal yang mudah membuat suatu peristiwa dan peristiwa itu

peristiwa pidana dan pidana itu adalah pidana korupsi. Kalau ini kita muter otak berkali-

  23  

kali ini akhirnya dapat. Permasalahannya sekarang big bossnya, konglomerasinya itu

belum kena. Kenapa belum kena? Agak susah menjaring dia karena dia beli dari PT,

pembelian beritikad baik.

Jadi, pertama saya boleh sarankan seluruh perkara korupsi itu lebih bagus digunakan

Pasal 2 dan Pasal 3, untuk seluruh perkara korupsi. Subsidernya baru penyuapan dan lain-

lain. Kemudian untuk ganti kerugian, kalau untuk Pasal 2 dan Pasal 3 sudah pasti ada

ganti kerugian. Tetapi kalau dia dikenakan di Pasal 5, maka gunakan Pasal 98 KUHAP,

di mana orang yang dirugikan bisa menggabungkan tuntutan. Itu memang perlu JPN,

siapa dirugikan? Negara harus dinyatakan dirugikan. Berapa jumlah kerugiannya? Prof.

Bambang yang hitung, penyidik tidak akan bisa hitung. Waktu kita hitung Tengku

Azmun Jaafar, kita hitung menggunakan helikopter karena tidak mungkin menggunakan

meteran. Jadi, kondisi sebelum dan kondisi sesudah. Kondisi sebelum, tegakan sekian

jumlahnya dengan tingkat kerapatan sekian, diameternya sekian dari titik sana sampai

titik sana diukur, dikalikan.

Hal yang lain yang perlu saya sampaikan, tadi IUP diberikan di atas kawasan hutan,

pertanyaannya adalah kita tidak punya peta kawasan hutan yang satu. Setiap orang punya

peta. Bupati punya peta, Kehutanan punya peta. Untuk menetapkan suatu kawasan

sebagai kawasan hutan, itu tidak ada peta sehingga Bupati bilang ini bukan kawasan

hutan. Saya bilang: ini kawasan hutan, ada SK Menteri Kehutanan. Jadi, perdebatan-

perdebatan di situ yang tidak pernah selesai. Jadi, kalau ingin menyelamatkan hutan salah

satu proyek yang harus dilakukan adalah adanya peta tunggal mengenai kawasan hutan.

Saya pernah minta di KPK untuk minta donor untuk suatu pilot project di 2 atau 3

provinsi, untuk dilakukan pemotretan udara kemudian minta Menteri Kehutanan untuk

ditetapkan sebagai kawasan hutan. Perdebatannya adalah “Pak, kalau kita nyatakan suatu

kawasan itu kawasan hutan dan memang kawasan hutan, titik koordinatnya kawasan

hutan, tetapi ternyata ini tanah tandus.” Saya bilang saya tidak peduli, yang penting

tetapkan dulu itu kawasan hutan, mau ini sudah jadi ilalang atau apa, saya tidak peduli.

Bahwa ini ilalang, faktual, tidak apa-apa, nanti kita bereskan pelan-pelan, tetapi sudah

ada kepastian ini kawasan hutan, ini bukan. Buat pengusaha ini juga penting, pengusaha

bisa bilang: oh ini jelas bukan kawasan hutan, saya berusaha bukan di kawasan hutan,

jangan salahkan saya.

  24  

Jadi, ini beberapa pandangan untuk mengkonstruksikan suatu perbuatan menjadi

tindak pidana dan tindak pidana itu kita kategorikan sebagai korupsi. Kedua,

memaksimalkan uang pengganti kerugian negara. Mungkin itu sedikit gambaran dari

saya, terima kasih, Ass.Wr. Wb.

Moderator:

Terima kasih Bang Chandra atas pemaparannya yang sangat menarik dan faktual

mengenai rekonstruksi peristiwa pidana menjadi korupsi di bidang lingkungan, kemudian

bagaimana cara kita untuk memaksimalkan penegakan hukum korupsi di sektor

lingkungan. Tadi ada satu statement menarik dari Bang Chandra mengenai sulitnya

memproses korporasi-korporasi yang terlibat dalam sektor lingkungan. Oleh karena itu,

pembicara kita selanjutnya Pak Yunus Husein akan mencoba untuk menggali bagaimana

sebenarnya konsep hukum pidana mengenai pertanggungjawaban korporasi serta

tantangan dan hambatannya dalam penegakan hukum nasional. Kepada Pak Yunus kami

persilahkan.

Yunus Husein:

Terima kasih atas waktu yang diberikan. Selamat pagi, Ass. Wr. Wb.

Senang bisa jumpa pagi ini turut berbincang-bincang mengenai pidana korporasi

terkait dengan tindak pidana yang berkaitan lingkungan hidup. Dalam pembahasan saya

ini saya tidak menyinggung UU Lingkungan Hidup karena kami di UKP4 pernah

meneliti 9 undang-undang yang terkait dengan pelanggaran di bidang lingkungan hidup

dan sumber daya alam, termasuk kehutanan yang UU 41 tahun 1999.

Korporasi ini memang selama ini tidak banyak dikejar. Padahal dalam praktek

internasional, pencucian uang misalnya, itu korporasi sudah banyak dipakai, baik

korporasi yang dicampur untuk kegiatan-kegiatan atau sumber-sumber tidak sah, apalagi

yang sengaja dibuat. Dalam kasus Nazaruddin saja 158 korporasi dipakai untuk tender di

mana-mana. Korporasinya belum pernah dikejar. Dalam kasus, korporasi baru ada satu

saja yang dipidana di Kalimantan Selatan. Dalam bidang lingkungan hidup baru ada satu

atau dua, saya baru dengar ada satu di Kalimantan Tengah, satu lagi di Bekasi. Memang

sudah saatnya bukan saja pelaku natural yang dikejar tetapi juga pelaku korporasi

  25  

walaupun dia memang tidak punya akal, tidak punya kesadaran tetapi bisa mencari

untung, bisa juga berbuat kesalahan melalui orang-orang yang me-manage perusahaan

itu.

Kalau kita lihat perkembangan dalam praktek internasional pun, sejak tahun 1976 sudah

ada, korporasi sangat jelas, kemudian konvensi di Eropa, angket UN Convention Against

Corruption, kemudian UN Convention Against Corruption, semuanya sudah

memperkenalkan korporasi yang bisa dimintai pertanggunjawaban. Di Indonesia ini

penegak hukum itu kurang begitu nafsu mengejar korporasi. Saya kurang tahu, saya

berkali-kali tanya, Pak Ramlan saya pernah tanya, mungkin pemahamannya yang kurang,

mungkin juga karena kalau orang lebih mudah. Memang jarang sekali sehingga ada 2 hal

yang kami coba lihat: pertama, penegakan hukum di beberapa daerah, termasuk mengejar

korporasi ini, di Kalimantan Tengah, di Aceh, Kalimantan Barat, Pak Bambang ini

selalau menjadi ahli bersama Pak Wasis, terus terang tidak gampang menegakkan hukum

di bidang kehutanan. Mencari ahli seperti beliau sangat sangat susah, sangat jarang dan

belum tentu berani kalaupun ada. Harus turun ke lapangan, melihat koordinatnya,

menghitung ganti kerugian dan sebagainya. Celakanya lagi kita ajukan ahli dari sini, dari

instansi pemerintah yang sama memberikan ahli yang mewakili pihak lawan/terdakwa.

Itu terjadi sampai sekarang. Jadi kita ajukan ahli dari sini, dari sana ada ahli dari instansi

pemerintah juga. Ini membuat kita agak susah menegakkan hukum. Jadi, totalnya

kasusnya ada sekitar 27 yang sedang ditangani, itu 5 di Aceh, 1 di Kalimantan Barat, 14

di Kalimantan Tengah, 7 lagi di Riau pembakaran hutan HTI. Kami juga sedang kirim

orang dan memang dari grup-grup besar juga, dia dia juga. Kira-kira kita semua sudah

tahu ya, ada yang pakai sinar-sinar, ada yang pakai garuda. Jadi, kalau dia buat iklan di

TV, Sinar Mas dimulai dengan menanam terus jadi kertas Al-Qur’an segala macam itu

iklan lebih banyak bohongnya itu. Itu menyesatkan itu. Cuma celakanya lagi Sinar Mas

ini selalu jadi sponsor, selalu dilibatkan khusus sponsor utamanya dia di Istana. Makin

lama makin kuat dia.

Sekarang kita coba lihat materi bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam hukum

di Indonesia pada umumnya yang terkait dengan lingkungan hidup pada 9 undang-

undang tadi dan dari sini akan kelihatan sebenarnya politik hukum itu tidak jelas

mengenai pemidanaan korporasi, sangat bervariasi. Pengertian korporasi, di sini saya

  26  

kutip saja dari UU TPPU dan Tipikor, adalah perkumpulan orang atau harta kekayaan

baik berbadan hukum atau tidak. Itu tidak harus bentuknya PT. Terus, ini KUHP kta kan

sudah dari jaman Belanda jadi belum mengatur ini, kebanyakan diatur di luar KUHP.

Terus, ini menurut Pak Remy sebetulnya saya kutip ini, jadi bisa korporasi berbuat

korporasi yang bertanggungjawab, korporasi berbuat pengurus yang bertanggungjawab,

dan dalam UU 41 tahun 1999 pengurus berbuat dia yang bertanggungjawab, bisa juga

korporasi dan pengurus sebagai pelaku dan kedua-duanya dimintai pertanggungjawaban.

Itu beberapa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ini juga mengutip dari buku dan

sebenarnya pernah saya sajikan di seminar Maret yang lalu di Hotel Meridien, ada strict

liability, kalau strict liability ini dia otomatis dianggap bertanggungjawab, tidak perlu

pembuktian segala macam pokoknya kalau terjadi, tanggung jawab. Vicarious liability

artinya orang menggantikan tanggung jawab dari orang lain yang berbuat. Delegation ini

terkait dengan perusahaan-perusahaan karena mendelegasikan sesuatu kepada

pegawainya maka kalau ada apa-apa dia yang mengambil alih tanggung jawab tadi.

Doctrine of identification, teori identifikasi, jadi dilihat siapa yang melakukan, kalau

perusahaan diidentifikasikan dari pelaku fungsionalnya atau direksinya, dari sana bisa

diidentifikasikan bahwa yang bertanggungjawab adalah korporasi. Aggregation ini

melihat culture, melihat tidak hanya satu atau dua yang di atas tetapi lebih banyak

menyeluruh. Kemudian ada gabungan.

Berikutnya, ini bentuk pidana terhadap korporasi, ada pidana pokok. Pidana pokok itu

biasanya denda karena korporasi tidak bisa dipenjara, tidak bisa dikurung. Kemudian

pidana tambahannya macam-macam, tergantung dari undang-undangnya dan sangat

sangat bervariasi. Terus, ada beberapa yang mengatur pidana korporasi di lingkungan

hidup misalnya UU Minerba, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Tata Ruang,

UU Tipikor, UU TPPU, UU Kepabeanan. Ada juga yang tidak mengatur sama sekali,

misalnya UU Perkebunan, padahal di Indonesia itu yang punya kebun justru korporasi,

mereka rata-rata punya di atas 10.000 hektar. Dan kalau tahu siapa yang punya kebun-

kebun sawit itu kita miris ya, yang punya itu banyak konglomerat tadi, Garuda Mas,

Sinar Mas, dia dia juga di seluruh Indonesia itu. Jadi, sangat beragam pengaturan.

Beragamnya baik dilihat dari perumusan deliknya, ada yang pakai penegakan formal,

material, baik mengatur mens rea-nya beda-beda, kemudian mengatur siapa yang

  27  

bertanggung jawab sangat berbeda, persyaratan-persyaratan itu sangat berbeda.

Kemudian yang terkait dengan lingkungan hidup ada 2 kasus di sini, PT Giri Jaladhi

Wana ini tipikor di Kalimantan Selatan, kemudian ada PT Dongwoo Environmental

Indonesia itu di Bekasi, lingkungan hidup ya pakai undang-undang yang lama. Ada 3

orang yang terkena, korporasinya kena, dirutnya kena, sama pelaku di lapangan kena.

Jadi, korporasi kena, pelaku fungsional Presdir sama Direkturnya kena sama pelaku

lapangan, salah satunya supirnya kena, supir yang buang limbah B3 yang mengakibatkan

masyarakat ada yang batuk-batuk, pusing-pusing, mual dan lain sebagainya. Itu terjadi

tahun 2006. Kemudian, ini yang PT Dongwoo Environmental Indonesia tadi, mereka

inkracht di tingkat Mahkamah Agung pada tahun 2010, pelaku lapangannya kena 2 tahun,

sementara Presiden Direktur dan Direkturnya kena cuma 6 bulan saja. Kemudian denda

terhadap korporasi Rp 650.000.000. Kemudian PT itu ditutup, ada perampasan beberapa

keuntungan yang diperoleh dari…katakanlah dia lalai menangani masalah B3 ini.

Terus, ini contohnya beberapa perumusan saja ya. Kalau mau mengejar pelanggaran

terkait lingkungan hidup, jangan hanya pakai UU Lingkungan Hidup, yang lainnya juga

bisa dipakai. Kami juga pernah mengkoordinir, pada bulan Desember yang lalu, membuat

satu MoU antara berbagai instansi untuk menerapkan penegakan yang namanya

multidoor, lebih dari satu undang-undang, bisa secara alternatif, bisa secara kumulatif.

Kemudian sudah ada juklaknya, ditandatangan oleh eselon I. Selain itu, kami buat yang

kedua adalah, bersama-sama Kejaksaan dan Mahkamah Agung, kita membuat pedoman.

Pedoman bagaiamana menuntut korporasi. Sekarang sedang dalam proses untuk

Kejaksaan. Mahkamah Agung juga sudah setuju, saya sudah bicara dengan Pak Artidjo.

Jadi, saat itu Mas BW sempat presentasi, mereka setuju untuk membuat pedoman

bagaimana memidanakan korporasi. Selama ini tidak ada pedoman, sehingga persepsi

sangat berbeda, ada yang bilang bisa, ada yang bilang tidak. Kalau ada yang bilang tidak

bisa, ini seperti aliran Jerman. Katanya di Jerman sekarang ini korporasi tidak bisa

dipidana. Dia tidak punya jiwa, tidak punya kehendak, tidak bisa berbuat salah. Padahal

di negara-negara lain di Eropa, termasuk di Amerika bisa. Nah, ini yang kedua,

pengaturannya seperti ini. Pasalnya, kemudian subjeknya adalah korporasi, pengurus dan

pelaku lapangan. Kemudian bagaimana perbuatan yang dilarang, dirumuskan secara

  28  

formal. Kemudian, kesalahan, mens rea ini hanya kesengajaan saja yang bisa dihukum.

Kalau culpa tidak bisa kena.

Kemudian UU Minerba, ini biasa denda ya, ada pidana pokok, pidana tambahan. Kriteria

implementasinya bagaimana harus diterapkan tidak jelas. Kemudian, ini UU Kehutanan,

dibebankan kepada pengurus, korporasi tidak bisa dipidana sesuai UU 41 tahun 1999.

Undang-undang ini sepertinya harus diubah karena ada putusan MK yang terkait dengan

tanah adat, kira-kira banyak terkait dengan UU 41 tahun 1999 ini. Perumusan sangat

berbeda, kalau kita lihat satu sama lain, ini juga begitu. Kesalahan bisa dolus, bisa culpa.

Rumusan delik ada formal, ada materiil.

Terus, UU Tata Ruang juga mengatur masalah korporasi ini. Cuma pengaturannya ya

seperti tadi, tidak sempurna dan satu dengan yang lain saling tidak sama. Kemudian

Perkebunan, di sini perkebunan tidak ada mengatur korporasi bisa diminta

pertanggungjawaban. Kalau tadi kita lihat yang punya kebun itu kebanyakan korporasi-

korporasi. Terus, ini UU TPPU cukup detail ya, kapan dia bisa kena, persyaratan,

hukumannya cukup berat seratus miliar, deliknya formal, ada hukuman pokok dan

hukuman tambahan, bisa kena korporasi. Termasuk partai juga bisa kena, kalau partai

terima sumbangan uang haram, kalau jaksanya berani jaksa bisa minta menuntut

dibubarkan. Terus, ini persyaratan untuk implementasinya, ada beberapa dipersyaratkan

agar korporasi bisa dimintakan pertanggungjawaban.

Terus, Tipikor tadi sudah disinggung oleh Pak Chandra, pidananya terlalu ringan ya,

cuma 1 M kalau tidak salah. Terus, Kepabeanan tidak ada mengatur khusus, cuma karena

wajib pajak juga adalah juga korporasi, dalam kasus terakhir Asian Agri, yang juga

punya perkebunan sawit yang banyak, kemarin korporasinya disuruh bayar. Terus, ini

UU Kepabeanan ada juga di sana terkait dengan lingkungan hidup, termasuk hasil-hasil

tambang ataupun hasil-hasil hutan yang diselundupkan. Ini terkahir, UU Lingkungan

Hidup yang baru. Ini mendekati aturan di Belanda dan dianggap cukup baik, aturan

mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam UU 32 tahun 2009. Jadi, subjeknya bisa

badan usaha, bisa orang yang melakukan di lapangan, bisa juga pelaku-pelaku yang

mempunyai jabatan. Rumusan deliknya ada yang formal, ada yang materiil. Kesalahan

bisa dolus, bisa culpa. Sanksinya pidana, ada penjara dan denda. Lalu, ada pidana

tambahan: perampasan keuntungan, perbaikan kerusakan, penempatan perusahaan dalam

  29  

pengampuan. Kriteria implementasi ada power and acceptance, ada diatur di Pasal 118.

Pasal 118 itu mengatur bahwa ini bisa diimplementasikan kalau memang ada pelaku

fungsional. Jadi, terkait dengan jabatan, korporasinya bisa kena, pelakunya itu katakanlah

direksinya. Kemudian ada acceptance, menurut Penjelasan Pasal 118 acceptance itu

artinya perbuatan yang dilakukan oleh anak buahnya di lapangan misalnya itu dibiarkan,

tidak ada pengawasan, tidak ada upaya untuk memperbaiki dan sudah diterima sehingga

kalau ada kewenangan (power) tadi, ada penerimaan oleh perusahaan pada perbuatan

orang-orangnya tadi, maka menurut Pasal 118 itu bisa dimintai pertanggungjawaban

korporasi. Bisa kena orangnya, bisa korporasinya. Orangnya itu bisa pelaku lapangan,

bisa pejabat fungsional yang memegang jabatan misalnya sebagai manajemen.

Kembali ke soal penerapan, kami menyarankan kalau mau mengejar para pelaku

lingkungan hidup bukan saja pakai satu undang-undang. Kalau bisa dibuat kumulatif.

Yang dikejar jangan hanya orangnya tetapi juga perusahaannya. Kalau kumulatif lebih

kuat karena bukan hanya hukum materiil yang digabungkan tetapi juga hukum acara, ada

pembuktian-pembuktian terbalik yang bisa dipakai. Terus, ini dilakukan juga oleh

pemerintah. Tadi disebutkan sudah ada proses pemberlakuan KUHAP melalui gugatan.

Kita juga sedang mengajukan gugatan kepada dua perusahaan. Yang pertama digugat, di

Aceh, PT Kalista Alam yang gugat itu KLH, kita rugi 366 M karena dia membakar lahan

di Aceh sana. Kemudian yang kedua Surya Panen Subur, ini sedang dalam proses, belum

putus. Ganti ruginya yang tadi, 366 M, jadi kita kombinasikan. Saya tidak tahu

bagaimana cara menggabung gugatan perdata dengan pidana. Ini sedang dikejar secara

pidana juga Kalista Alam dan Surya Panen Subur. Dan kita ada pertemuan periodik

dengan para penegak hukum, termasuk dengan ahli-ahli, kepolisian, penyidik kehutanan,

penyidik lingkungan hidup, kita kumpulkan, kita koordinir. Karena kalau tidak begitu

susah, nanti jalan sendiri-sendiri. Terakhir saya ke Papua itu melihat kasus Labora

Sitorus, kirim kayu ke Cina, ke beberapa negara, omzetnya besar sekali, tetapi yang disita

cuma 17 juta. Saya tanya kok cuma 17 juta. Kita mendengar dia beberapa tahun yang lalu

menjadi sponsor ulang tahun Bhayangkara itu dia menyumbang 3 miliar itu, sekarang

yang disita cuma 17 juta. Kasus ini mungkin dalam beberapa hari ini sudah P21. Jadi,

yang mengerjakan itu Kapolda Papua dan Bareskrim, Kejaksaan Agung juga turun

tangan.

  30  

Ini rekomendasi yang tadi sudah saya singgung, jadi perlu alat ukur yang jelas bagaimana

mengejar korporasi. Kedua, untuk menutupi kekurangan yang ada, perlu dibuat pedoman

untuk tingkat penyidikan, penuntutan ataupun Mahkamah Agung. Kemudian, persepsi

yang sama diperlukan sehingga perlu sosialisasi dan edukasi kepada penegak hukum.

Mudah-mudahan pedoman yang dibuat bisa selesai dalam waktu tidak terlalu lama. Saya

kira itu saja, terima kasih, Ass. Wr.Wb.

Tanya Jawab

Moderator:

Terima kasih kepada Pak Yunus serta pembicara yang telah memberikan materi, mohon

applause dulu untuk para pembicara kita.

Selanjutnya, kami buka sesi tanya jawab untuk termin pertama mungkin 3 penanya

terlebih dahulu. Satu di belakang, Bapak yang menggunakan baju coklat, kami

persilahkan.

Penanya 1:

Terima kasih. Kami ingin menambahkan atau memberi tanggapan atas penjelasan dari

Bapak Chandra Hamzah mengenai uang pengganti di mana dalam Pasal 17 UU 31 tahun

1999, pasal tersebut menyatakan ‘dapat’. Jadi, pembayaran uang pengganti sebagai

pidana tambahan ini tidak bersifat imperatif, demikian pula dengan jumlah uang

pengganti tidak ekuivalen dengan kerugian negara dan sebanyak-banyaknya sama dengan

harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, apa yang

disampaikan oleh Pak Chandra saya apresiasi sekali dengan memanfaatkan Pasal 98

KUHAP. Namun demikian, ada beberapa hal dari Pasal 98 KUHAP tersebut apabila

digabungkan dengan tuntutan ganti kerugian ada segi positif dan negatifnya. Artinya,

dengan digabungkan gugatan ganti kerugian tersebut, proses akan lebih cepat, namun

demikian titik lemahnya adalah apabila perkara pidana inkracht, maka gugatan tersebut

akan mengikuti juga. Ini juga harus dipertimbangkan dalam arti bahwa apabila ada

langkah dari JPN melakukan tuntutan ganti kerugian ini harus dipersiapkan secara

matang sehingga ganti kerugian negara dapat dicapai secara maksimal. Kemudian,

  31  

praktek yang ada bahwa penggabungan ganti kerugian itu diperbolehkan sebelum

tuntutan dibacakan. Jadi, tentunya ini harus diperhitungkan juga oleh JPN.

Beberapa pasal mengenai gugatan di UU 31 tahun 1999, itu ada satu pasal yang

mungkin saya belum dengar, Pasal 32 itu, tadi Prof. Bambang menyatakan bahwa ada

beberapa perkara lingkungan hidup yang dibebaskan, tentunya dengan Pasal 32 ini JPN

harus jeli karena gugatan itu bisa diajukan walaupun putusannya bebas karena putusan

bebas itu dapat dituntut kerugian terhadap keuangan negara. Pasal tersebut sudah pernah

atau belum pernah digunakan saya belum tahu karena selain Pasal 32, Pasal 33 dan 34 itu

mengenai terdakwa yang sudah meninggal. Jadi saya apresiasi apa yang sudah

disampaikan Bapak Chandra Hamzah dan hanya melengkapi saja. Terima kasih.

Penanya 2, Arsil dari LeIP:

Terima kasih. Saya Arsil dari LeIP. Saya mau bertanya soal kaitannya kerugian negara

dengan uang pengganti. Dalam Pasal 18 ayat (1) b mengatakan bahwa uang pengganti

sebanyak-banyaknya uang yang diperoleh dari tindak pidana, bukan kerugian yang

ditimbulkan. Nah, dalam praktek selama ini saya jarang melihat, paling tidak dari

pemberitaan, itu ada yang menghitung berapa keuntungan yang diperoleh oleh terpidana

tapi kita selama ini fokus pada berapa kerugian yang ditimbulkan, misalnya ada audit

BPK segala macam yang mencari berapa kerugian. Padahal kalau kita mau

mengembalikan kekayaan yang hilang tadi maka yang perlu dihitung itu adalah

keuntungan yang diperoleh karena bisa jadi kerugian yang ditimbulkan misalnya

pengadaan barang 10 miliar tetapi keuntungan yang diperoleh akibat itu berlipat-lipat.

Kalau kita lihat hanya kerugian negaranya, bisa jadi itu kecil. Nah, saya mau tanya

kepada Bang Chandra bagaimana praktek di KPK selama ini? Apakah dalam menentukan

uang pengganti selama ini penuntut di KPK itu yang dihitung adalah kerugian negara

yang ditimbulkan atau keuntungan yang diperoleh dari si pelaku? Terima kasih.

Penanya 3, Faiq dari LBH Surabaya:

Terima kasih, Ass. Wr. Wb. Selamat pagi menjelang sang buat kita semua. Perkenalkan

nama saya Faiq dari LBH Surabaya. Saya tertarik dengan tadi yang disampaikan oleh

Prof. Bambang terkait dengan bagaimana menghitung kerugian negara khususnya di

  32  

bidang lingkungan, baik itu sumber daya alam, hutan, tambang dan seterusnya dikaitkan

dengan bagaimana negara melakukan tuntutan terhadap pelaku atau pihak yang turut

serta melakukan. Kalau tadi disampaikan oleh Prof. Bambang bagaimana cara

menghitungnya, pertanyaan saya seberapa cepat kita dapat menghitung itu, menemukan

nominal kerugian itu, karena itu juga akan dibutuhkan oleh JPN untuk mendapatkan

nominal ketika dia akan melakukan tuntutan terhadap si pelaku. Lalu yang kedua, saya

tadi coba ngecek terkait beberapa pasal dan juga apa yang disampaikan oleh Pak Yunus

terkait bagaimana korporasi bertanggung jawab dalam hal ini. Pertanyaannya adalah

ketika ini digabungkan dengan dakwaan yang disampaikan oleh JPU dalam satu

kelembagaan yang sama apakah bisa itu disampaikan? Karena pada saat dakwaan itu

disampaikan maka harus ada pihak lain untuk meminta bahwa ada kerugian di sini.

Padahal di satu sisi negara sudah diwakili oleh JPU dalam kasus itu. Dalam hukum acara

ini yang agak pening, ini yang harus diluruskan juga. Kemudian yang korporasi, di satu

sisi memang saya setuju ketika kerugian negara itu ditentukan terlebih dahulu maka ini

butuh kecepatan dalam penghitungannya. Kalau digabungkan, menurut saya, ini agak

berat bagi JPN tetapi ketika ini diputus oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum

tetap, kemudian dipisahkan sedemikian rupa, JPU baru melakukan tuntutan ganti

kerugian negara, nah jelas ini. Karena di dalam konsep keperdataan, gugatan ganti

kerugian kan ada yang pelakunya langsung, atau orang melakukan itu menimbulkan

kerugian lain tetapi ini menjadi tanggung jawab korporasi. Menurut saya begitu. Terima

kasih.

Bambang Hero Saharjo:

Terima kasih. Selama datanya ada, 1 bulan itu sudah bisa hadir, tidak perlu lama-lama.

Selama data yang dibutuhkan ada. Kuncinya itu adalah data, jadi kita katakan menurut

peta yang mereka berikan posisinya di sini. Kareana kami pernah hampir dikadali, itu

yang kasus 2006, itu sumbu X dan sumbu Y-nya diganti. Jadi, kita turun yang pertama,

sudah dapat titik, yang kedua, mereka katakan waktu di KLH, data saudara salah, karena

kami tidak menemukan titik itu. Setelah kita utak atik, konfirmasi dengan pihak BPN,

akhirnya tahu bahwa yang north dibikin east, yang east dibikin north. Sehingga itulah

yang agak lama di lapangan itu. Jadi, selama data itu ada, kita punya batas minimal untuk

  33  

menghitung itu, maka paling tidak sebulan itu sudah keluar. Yang kebakaran malah lebih

cepat. Jadi kalau misalnya kita tahu saja data luasan kebakaran itu, dengan konsumsi

bahan bakar, emisinya pun bisa kita hitung, itu tidak sampai 1 bulan. Mau cepat seperti

apa lagi? Karena untuk analisis tanah itu dibutuhkan waktu 2-3 minggu, itu pun kita

bypass, kalau antri bisa 3-4 bulan. Labnya pun tidak bisa sembarangan.

Penanya 3, Faiq dari LBH Surabaya:

Prof. mohon maaf, maksud saya meted-metode seperti ini apakah dikenal di lembaga-

lembaga kementerian? Karena kalau ngomong soal larutan terbakar, itu secara teknis

teori, tapi mau tidak mau harus ada legitimasi secara hukum bahwa iya perhitungan ini

benar.

Bambang Hero Saharjo:

Jadi begini, seperti yang saya katakan tadi secara legal formal, hitungan ini sudah ada di

Permen LH Nomor 13 tahun 2011. Sebelumnya tahun 2006 juga sudah keluar, cuma

tidak legal formal, hanya pedoman saja. Tetapi berdasarkan Permen LH 13 tahun 2011,

itu sudah disahkan. Tinggal masalahnya tadi, yang menghitung siapa? Kalau kami

langsung ditunjuk Menteri LH dengan SKK-nya. Kira-kira begitu.

Moderator:

Selanjutnya Bang Chandra, mengenai mekanisme penentuan ganti kerugian dalam

perkara pidana serta penghitungan keuntungan dalam menghitung uang pengganti yang

bisa dikenakan terhadap terpidana. Silahkan.

Chandra Hamzah:

Di sini saya mencoba menjawab pertanyaannya, rata-rata sama. Pertama, mungkin

pedoman penghitungan kerugian negara. Kalau kita dulu menghitung sesuatu itu rugi atau

tidak rugi itu tergantung dari sudut pandang. Secara akuntansi kita bisa bikin ini rugi dan

ini tidak rugi. Saya ambil contoh begini: adakah pedoman menghitung kerugian import

mobil pemadam kebakaran? Tidak ada. Itu satu contoh. Yang penting adalah kita punya

ahli, ahli itu memang punya keahlian, kemudian ia merumuskan metode

  34  

penghitungannya. Pada saat kasus Tengku Azmun Jaafar, untuk bandingkan antara

sebelum dan sesudah, kan kita tidak mungkin dapatkan kayunya, kayunya kan sudah

berubah bentuk menjadi kertas, sudah masuk rekening. Bahwa ini hutan alam, kita punya

data dan kemudian tingkat kerapatannya sekian, siameter tegakannya rata-rata sekian,

dengan luas sekian maka bisa dapatkan hasil sekian. Jadi, apakah metode ini benar atau

tidak benar, yang penting ini bisa dipertanggungjawabkan dan itu yang perlu

dipertahankan. Jadi, kalau menurut saya, ini metode penghitungan kerugian negara yang

sah atau resmi, kalau buat kami dulu sangat jarang metode untuk menghitung kerugian

negara yang ada SK-nya. Karena itu, tinggal kita menghitung secara masuk akal,

metodenya bisa dipertanggungjawabkan dan ahlinya bisa mempertahankan. Apakah

pernah dihitung keuntungan yang diperoleh si tersangka? Tersu terang tidak pernah. Jadi,

yang kita hitung adalah berapa kerugian negara yang dia nikmati. Mengapa di UU 31

tahun 1999 bilang kerugian negara yang dinikmati? Karena di UU 3 tahun 1971 tidak

begitu, itu lebih sadis, UU 3 tahun 1971 adalah mengganti kerugian negara yang

ditimbulkan. Tetapi, konsekuensinya apa? Konsekuensinya adalah yang dibebankan

mengganti kerugian negara adalah si pegawai negeri saja. Pasal 2 dan Pasal 3 maka

secara logika yang harus disidangkan terlebih dahulu itu adalah si pegawai negeri. Baru

kemudian si pengusaha kena Pasal 55 KUHP. Nah, penuntut umum atau penyidik

mengambil gampangnya, begitu pegawai negerinya diproses, di UU 3 tahun 1971, maka

seluruh uang pengganti kerugian negara dibebankan kepada dia dan itu tidak pernah

kembali, pegawai negeri tidak punya uang. Sebesar-besarnya pejabat kita, tetapi jauh

lebih banyak uang si pengusaha. Nah, karena itu, UU 31 tahun 1999 jadi ‘dinikmati’ dan

pengusahanya bisa dikenakan dengan Pasal 55. Menghitung? Tidak pernah Pak Arsil.

Kenapa tidak pernah menghitung? Karena bunyi pasalnya kerugian negara yang

dinikmati. Bagi para penafsir yang sangat literalis, positifis, terjemahannya ya literalis.

Kerugian negara yang dinikmati, jadi kita tidak menghitung keuntungan.

Kemudian, Mas yang pertama tadi, bahwa itu ‘dapat’ ya memang. Kalau tidak ada

kerugian negara, sifatnya memang tidak mutlak. Kemudian, mengenai penggabungan,

jadi begini, kasus Al Amin ambil contoh. Dia terima uang sekian ratus juta. Kemudian

dia dihukum. Kena Pasal 12. Kemudian, atas perbuatan dia Pasal 5, tentu saja ada

kerugian negara kan karena dia ngasih izin maka ada kerugian negara. Cuma karena

  35  

dituntut Pasal 12A atau Pasal 12B, sementara Pasal 12A atau 12B tidak ada dia harus

mengganti kerugian negara, maka sayang kan. Sementara negara sudah dirugikan dengan

dia menerima suap. Pertanyaannya adalah apakah Pasal 18 huruf b itu bisa dituntut

kepada Al Amin yang dituntut dengan Pasal 12A dan Pasal 12B? Itu pertanyaan yang

belum terjawab sampai sekarang karena Pasal 12A dan 12B tidak mensyaratkan unsur

kerugian negara.

Oleh karena itu, saran saya sekarang kalau ada kasus penyuapan ketahuan dan itu terkait

lingkungan hidup, maka minta ke KPK agar ia dituntut dengan Pasal 2 atau Pasal 3. Pasal

5 atau Pasal 12A atau 12B subsider supaya dapat kerugian negara. Karena apa? Suap ini

kan melawan hukum, masuk Pasal 2. Suap itu kan menyalahgunakan kewenangan. Dia

punya kewenangan, dia lakukan itu, tetapi disalahgunakan. Pasal 3 bisa masuk itu, dia

punya kewenangan, itu kewenangan dia, dia sah menggunakan kewenangan itu tetapi dia

menggunakan kewenangan itu dengan salah agar orang lain untung, dengan itu ia

menerima uang. Nah, kalau Pasal 3 masuk, kerugian itu bisa dihitung. Berapa yang mesti

diganti Al Amin? Sebesar suap yang diterima. Sisanya siapa yang tanggung? Orang yang

menyuap. Atau alternatif lain, oke dia pakai Pasal 5 atau Pasal 12A atau 12B, tetapi JPN

menggabungkan melalui mekanisme Pasal 98.

Ini pertanyaan tadi lagi, bagaimana dengan satu institusi. Pasal 98 tidak secara tegas

menyebutkan itu Jaksa tetapi orang yang dirugikan dapat meminta untuk menggabungkan

tuntutan kepada Penuntut Umum. Yang bermain pada saat penuntutan adalah Penuntut

Umum, bukan Jaksa. Orang yang dirugikan ini siapa? Orang yang dirugikan adalah

dalam hal ini negara. Negara diwakili oleh siapa? Dijelaskan oleh UU Kejaksaan negara

diwakili oleh Kejaksaan, selaku pengacara negara. Beda, yang maju ke pengadilan itu

bukan jaksa, tetapi Penuntut Umum. Penuntut Umum ini siapa? Ya jaksa. Tapi pada saat

sidang dia Penuntut Umum. Katakanlah pada saat itu saya selaku Penuntut Umum.

Kemudian orang yang dirugikan siapa? Negara. Negara itu siapa? Diwakili oleh jaksa

sebagai JPN. Bang Yunus maju sebagai JPN umpamanya. Jadi, itu ada 2 fungsi yang

beda. Satu, orang yang dirugikan, negara yang diwakili JPN. Yang kedua, Penuntut

Umum yang menyidangkan perkara pidana. Tipis, tetapi berbeda. Apakah strategi ini

dapat berdampak positif atau tidak, perlu panduan mengenai penggunaan Pasal 98.

  36  

Bagaimana mekanismenya. Yang kedua, yang perlu dicatat, kalau pidananya gagal maka

tuntutan ganti ruginya dengan sendirinya gagal.

Mengenai waktu penghitungan kerugian negara, untuk Pasal 2 dan Pasal 3 yang ada

kerugian negara menghitungnya juga cukup lama. Tidak semua cepat. Karena ini perlu

koordinasi yang kuat antara jaksa selaku JPN dan jaksa selaku Penuntut Umum agar

waktunya bisa disesuaikan. Kemudian kalau masuk ke Pasal 32 tadi, dalam hal penyidik

menemukan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terbukti

sedangkan dengan nyata ada keuangan negara maka penyidik segera menyerahkan berkas

untuk dituntut. Kalau Pasal 32 ini maksudnya adalah bahwa perbuatannya bukan

perbuatan tindak pidana, tetapi negara dirugikan. Jadi, ini masalah perdata aja. Ini sedikit

komentar saja, saya agak sedikit risih kalau ada pengadilan yang menyatakan

perbuatannya terbukti tetapi ini bukan perbuatan pidana karena pengadilan pidana hanya

membuktikan perbuatan pidananya terbukti atau tidak. Jadi, kalau penyidik bilang

perbuatannya bukan perbuatan pidana, maka digugat ke perdata saja. Beda denga Pasal

98, kalau di 98 perbuatan itu pidana tetapi menimbulkan kerugian. Itu sekedar gambaran

dari saya, terima kasih.

Yunus Husein:

Kayaknya tidak ada yang spesifik ke saya pertanyaannya, tetapi sedikit mengenai tadi

pidana dan perdata, kami selama ini untuk 27 kasus pidananya jalan, perdata juga jalan.

Perdata itu yang maju 3, JPN, inhouse lawyer dan LH dan kita juga pakai professional

lawyer. Kalau JPN karena selama ini jadi jaksa biasanya tidak terlalu profesional ya jadi

ditambah inhouse lawyer LH dan professional lawyer. Kami memang belum berpikir

untuk menggabungkan pidana dan perdata. Tapi ya dua-duanya jalan, pidananya jalan di

locus delictinya, kalau perdatanya jalan sesuai kedudukan si tergugat. Terus terang kami

mengkoordinir saja lebih banyak dan banyak dukungn dari para ahli. Kalau tidak ada ahli

susah. Perkara LH ini memang agak susah. Perlu ahli, perlu keberanian, perlu ke

lapangan, mengukur ini itu, dan sebagainya, tidak sederhana. Ini lah kita sarankan selalu

pakai kombinasi,kalau bisa kumulatif. Jangan hanya pakai undang-undang yang teknis

tetapi juga pakai penegakan lain, tipikor, pajak, TPPU sehingga bisa saling mengisi,

saling menguatkan. Itu saja tambahan sedikit dari saya.

  37  

Chandra Hamzah:

Keuntungan penggabungan adalah begini: kalau perdata tidak ada upaya paksa untuk

menghadirkan saksi. Tetapi kalau digabungkan, melalui mekanisme upaya paksa

menghadirkan saksi, maka kita bisa mendapat keterangan untuk mendukung gugatan

ganti rugi. Ini keuntungannya. Betul, prosesnya akan lama. Satu lagi, korporasi sebagai

tersangka itu sebenarnya udah ada di undang-undang tindak pidana ekonomi di tahun ‘55.

Kedua, korporasi sebagai tersangka unsurnya di undang-undang ’55, UU Terorisme, UU

Tipikor, itu cuma dua syarat. Di UU TPPU 4 syarat, di UU Lingkungan Hidup 4 syarat.

Secara faktual memang sangat sedikit dijalankan. Di Belanda, korporasi sebagai

tersangka sudah mulai juga di tahun ’55 itu. Jadi kita mengadopsi korporasi sebagai

tersangka dari Belanda di tahun ’55. Terima kasih.

Yunus Husein:

Di Belanda kalau saya lihat statistik itu, 2010 saja lebih dari seribu korporasi. Kemudian

success storynya 25%, berarti 1.100 yang bisa dipidana itu. Kita saja baru berapa tadi,

korupsi satu, lingkungan hidup satu. Dua lah ya.

Penanya 4, Made dari Riau:

Ass. Wr. Wb. Saya Made Ali dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau. Saya mau

tanya kepada Pak Chandra, korupsi kehutanan di Riau itu kan ditangani oleh KPK

jamannya Pak Chandra, itu tahun 2008. Lalu, sampai sekarang sudah ada 2 Bupati, 3

Kepala Dinas Kehutanan, 1 Gubernur insya Allah mau sidang. Pertanyaan teman-teman

Riau, KPK ini penakut, dia cuma berani melawan 2 Bupati, 3 Kepala Dinas, 1 Gubernur.

Korporasinya mana? Kebakaran hutan yang terjadi di Riau sekarang banyak atau

tidaknya itu kan juga tanggung jawabnya KPK. Kalau seandainya pasca putusan Tengku

Azmun Jaafar KPK berhenti menangkap pejabat negara, langsung ke korporasi, saya kira

kebakaran lahan yang terjadi hari ini bisa diminimalisir. Itu pesan dari teman-teman di

Riau. Nah, 5 putusan korupsi kehutanan itu kan turut serta, Pasal 55 itu semua terbukti.

Kenapa KPK tidak langsung menangkap korporasi? Yang kedua, pendekatan money

laundering kan bisa dipakai, karena Pasal 55 terbukti, tindak pidana asal terbukti, kenapa

itu tidak dipakai? Misal ada aliran dana uang haram dari kerugian negara yang PSDADR

  38  

itu artinya RKT-nya illegal, masuk ke 20 perusahaan di Pelalawan dan Siak. Kenapa itu

tidak dipakai di jaman Pak Chandra maupun sampai sekarang? Ini jadi pertanyaan besar.

Padahal, laporan kawan-kawan di Riau itu fokus kita dulu korporasinya. Kalau kita lihat

kajian kawan-kawan, bukan menyalahkan hanya mengingatkan, kalau seandainya

korporasi bisa dijadikan tersangka, saya kira mereka akan jera. Mereka akan takut karena

ada efek jera. Ini kita katakan RKT anda ini illegal, mereka tetap saja jalan menebang

hutan alam, membakar lahan, ini secara sosiologis dan kondisi di Riau.

Lalu, misal kenapa KPK menggunakan pendekatan penghitungan PSDADR? Dari 5

kasus ini, kawan-kawan di Riau melihat bahwa KPK tidak punya visi penyelamatan

lingkungan. Kalau di bedah kasus kita, yang Pak Bambang Hero jadi ahlinya,

menggunakan penghitungan ekologis. Dalam kasus Burhanuddin Husin, KPK hanya

menemukan kerugian negara menggunakan pendekatan PSDADR itu cuma 500 milyar.

Kalau pendekatan ekologis-ekonomis, setidaknya 600 triliun. Kenapa ini digunakan? Ini

untuk memberikan efek jera dan keadilan abgi lingkungan yang sudah dirusak.

Lalu, ada 1 putusan yang paling menarik terkait korporasi, misal kasus pajak Asian Agri.

Itu putusan MA di kasasi itu di luar tuntutan dan dakwaan jaksa lho. Di situ majelis

hakim mengatakan bahwa mens rea-nya itu “karena diperintah oleh perusahaan”. Dia

juga mengakui meskipun secara formal menghukum membayar denda korporasi itu di

luar dakwaan, dia bilang menurut perkembangan dari sisi sosiologi hukum,

pertanggungjawaban korporasi bisa dilakukan. Ini saya kira putusan di pajak Asian Agri

itu juga putusan yang hebat saya pikir terkait korporasi. Yang perlu saya tekankan pada

KPK sebenarnya, kapan korporasi ini bisa dijerat money laundering kah, atau dijerat

dengan UU korupsi kah? Karena kalau kita lihat bukan undang-undangnya tidak ada,

memang penegak hukumnya, terutama di KPK. Saya kira itu ya.

Penanya 5, Rosalita:

Terima kasih. Saya ingin bertanya kepada Prof. Bambang mengenai penghitungan ganti

kerugian, saya masih sedikit kurang paham. Mengenai metode penghitungan ganti rugi,

apakah hanya menggunakan metode prinsip biaya penuh atau ada cara yang lain? Dan

kemudian apakah metode ini sudah pernah diterapkan dalam praktek hukum yang

diketahui Prof. Bambang?

  39  

Kemudian yang berikutnya yang ingin saya tanyakan adalah selain kerugian ekologis,

memang ada kerugian negara atau kerugian masyarakat. Dalam kerugian masyarakat ini

apakah termasuk kita mempertimbangkan dampaknya, misalnya ada banjir bandang,

kemudian longsor, sehingga ada kematian dan sebagainya, apakah diperhitungkan sampai

sedemikian? Terima kasih.

Penanya 6, Dio Ashar dari MaPPI FHUI:

Ass. Wr. Wb., saya Dio dari MaPPI FHUI, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan

pertanyaan sebelumnya mengenai kerugian ekologis. Saya ingin menanyakan dalam

perkara korupsi ini sebenarnya apa yang menjadi hambatan ini sulit diterapkan di perkara

korupsi untuk kerugian ekologis ini? Karena seperti Prof. Bambang jelaskan kerugian

ekologis itu bisa dijadikan perhitungan angka. Apakah ada hambatannya dalam perkara

korupsi? Karena seperti yang kita ketahui untuk kerugian ekologis ini hanya sering

dipakai di tindak pidana lingkungan hidup saja. Terus, saya juga ingin menanyakan

masalah uang pengganti kepada Pak Chandra, seperti sebenarnya teknisnya untuk

eksekusi uang pengganti itu bagaimana dan berapa banyak yang bisa dikonversi menjadi

penjara pengganti? Itu saja pertanyaan dari saya. Sekian Wass. Wr. Wb.

Bambang Hero Saharjo:

Terima kasih. Seperti yang disampaikan tadi dan ini ada di Permen LH Nomor 13 tahun

2011, di samping metode tadi itu, ini digabung dengan metode approaching karena kita

tidak bisa, seperti yang disampaikan tadi, menduga misalnya harga seekor gajah. Itu salah

satunya pendekatan juga untuk menghitung. Kemudian, seperti tadi menghitung tata air,

kita juga akhirnya menghitung melalui pendekatan reservoir. Kemudian juga untuk

menghitung pelepasan emisi gas rumah kaca.

Yang kedua, sudah pernahkah digunakan? Sebetulnya tadi menyambung apa yang

disampaikan Pak Chandra, bibitnya itu lahir sejak tahun 2000 ketika kami menangani

kasus Adi Plantation. Memang sempat ditanya itu oleh majelis kerugiannya berapa?

Karena ketua majelisnya adalah hakim agung. Kenapa Pak? Itu harus diungkap supaya

kami bisa membayangkan seberapa dahsyat kerusakan itu. Akhirnya keluarlah angka itu.

Kemudian, 2006 baru disusun pedomannya. Kemudian secara legal formal baru di 2011.

  40  

Sudah kita cobakan di Kalista Alam, minggu lalu baru pemeriksaaan setempat, itu 1.000

hektar, 366 miliar. Begitu juga satu lagi yang di SPS, juga seperti itu.

Apakah juga termasuk menghitung dampak? Tentu saja. Sehingga, kalau dilihat di

rekonstruksinya, semua itu ada, tidak hanya ekonomisnya tapi juga ekologisnya.

Sebelumnya kita masukkan juga imaterial karena begitu kita dianggap sebagai negara

pengekspor asap, berapa nilainya? Kita tidak tahu. Dalam penghitungan itu kita

masukkan. Jadi, semua aspek itu kita perhitungkan. Hanya saja ada yang menarik, ketika

kami di lapangan saat itu, semua investor dan sebagainya mendukung apa yang dilakukan

perusahaan. Tetapi ketika mereka mendapat bagian dari ganti rugi yang mereka terima,

semua berebut menjadi orang yang paling berjasa menangani kasus ini. Jadi lucu ya,

tadinya lawan kita, sekarang merapat. Saya tidak tahu apakah ada pembagiannya,

misalnya untuk negara berapa, untuk provinsi berapa, untuk kabupaten berapa. Ini juga

perlu, ketika terjadi ganti rugi itu misalnya 10 miliar, harus betul-betul hitam di atas putih

ke mana perginya 10 miliar itu. Jadi akan lebih baik kalau ada pedomannya, sehingga kita

juga bisa mengawasi ke mana perginya uang itu.

Chandra Hamzah:

Terima kasih. Jadi begini, tadi saya sampaikan kasus korupsi yang dimulai berdasarkan

Pasal 2 dan Pasal 3 maka penyidikannya dan penuntutannya dimulai dari pegawai negeri,

dari pejabat negara. Kemudian, bagaimana dengan swastanya? Swastanya di-Pasal 55-

kan. Itu tipikal, selalu begitu. Pasal 3 lebih gampang membuktikannya dibandingkan

Pasal 2. Kenapa? Karena Pasal 2 sejak ada putusan MK, selain ada pelanggaran materiil

juga harus ada pelanggaran formal. Kalau Pasal 3, penyalahgunaan kewenangan, tinggal

dicari mens rea-nya. Dia punya kewenangan, kewenangan itu disalahgunakan untuk

kepentingan orang lain. Lebih gampang membuktikan Pasal 3, sekarang. Kemudian

bagaimana pengusahanya? Mesti dibuktikan bersama-sama. Dalam Tengku Azmun

Jaafar, kita bilang dia bersama-sama, ditolak oleh majelis hakim. Konstruksinya begini:

Kalau kebakaran saya tidak tahu ada hubungannya atau tidak, karena yang dilakukan

waktu itu bukan pembakaran tetapi penebangan. Kita tidak bisa menghukum terhadap

perbuatan yang tidak ada. Yang waktu dulu tidak dibakar tetapi ditebang, karena kayunya

bagus. Izin itu diberikan kepada siapa? Kepada PT A, PT B, PT C, PT D. Siapa yang

  41  

memberikan? Tengku Azmun Jaafar. Jadi siapa yang perlu dijadikan pelaku kejahatan

korporasi? PT A, PT B, PT C, PT D. PT A ini PT apa? PT bodong. Yang punya itu siapa?

Anaknya. PT B siapa? Tetangganya, supirnya, istrinya. Mereka kita jadikan tersangka?

PT ini PT kosong, tidak punya aset.

Penanya 4, Made dari Riau:

Cuma 7 perusahaan yang bodong, selebihnya itu…kan ada 15.

Chandra Hamzah:

Ya, ini kan bodong. PT ini milik dari saudara. Kemudian, dijual kepada big boss di

belakang itu. Begitu kan? Big boss ini apa dia mengurus izin? Tidak. Big boss ini

mengambil sesuatu? Tidak. Siapa yang mengambil sesuatu? PT A B C D ini. Dia yang

menipu, memalsukan dokumen. Kita nyatakan dia tersangka? Korporasi ini? Tidak ada

gunanya. Karena ini dijual ke sana, yang melakukan kejahatan itu PT A B C D.

Menyatakan ini sebagai tersangka? Saya pikir tidak ada gunanya.

Penanya 4, Made dari Riau:

Dan yang membeli PT itu, namanya Rosman. Hilang dia. Itu yang tidak pernah diburu

oleh KPK.

Chandra Hamzah:

Siapa bilang? Tidak pernah dan tidak berhasil itu dua hal yang berbeda.

Penanya 4, Made dari Riau:

Tapi faktanya KPK juga tidak memburu. Tidak pernah ada ekspos di media. Beda dengan

Nazaruddin misalnya.

Chandra Hamzah:

Memang waktu kita memburu Nazaruddin kita ekspos kita nguber-nguber ke Kolombia?

Memang waktu kita mau tangkap Nazaruddin kita bilang kita telah investigasi?

  42  

Penanya 4, Made dari Riau:

Tapi kan publik bisa tahu.

Chandra Hamzah:

Publik bisa tahu Nazaruddin di Kolombia setelah Nazaruddin ngomong di Skype.

Kita memburu, publik tidak tahu. Kalau kita biang hari ini kita memburu Rosman, ya

kabur lah dia. Tidak berhasil dengan tidak dilakukan itu dua hal yang berbeda. Karena

saksi kuncinya hilang sampai sekarang. Itu sebabnya.

Sekarang apakah yang di belakangnya mau ditindaklanjuti? Ya pimpinan sekarang, yang

jelas ini sudah dimulai. Saya boleh katakan korupsi di bidang kehutanan, mungkin KPK

sudah banyak memulai. Kita mulai dari pejabat? Ya, karena itu Pasal 2 dan Pasal 3. Tidak

mungkin Pasal 2 dan Pasal 3 dimulai dari swasta. Bagaimana menghukum orang yang

membantu sementara yang dibantu belum dihukum? Logikanya tidak nyambung.

Kenapa kita menghitung kerugian negara seperti itu? Kita tidak masukkan ekologi. Betul.

Karena yang dilakukan mereka apa? Menebang. Mereka tidak membakar.

Penanya 4, Made dari Riau:

Dan mereka juga melanggar amdal. Maksudnya, cantolannya ada. Karena penghitungan

PSDADR juga masuk dalam rangkaian penghitungan ekologis-ekonomis. Kalau hanya

memikirkan kayunya, sementara di dalam izinnya juga ada amdal, amdal inilah

lingkungan itu bisa masuk.

Chandra Hamzah:

Betul. Saya jelaskan dulu ya. Mereka tidak membakar waktu itu, mereka menebang,

memanfaatkan kayu dan mereka dapatkan uang dari kayu itu. Kemudian, kenapa kita

lakukan begitu? Begini, tidak ada penghitungan kerugian negara yang baku. Pasal 18

huruf b sebenarnya semi perdata. Di negara lain konsep 18 huruf b ini tidak ada. Yang

ada apa? Denda. Cuma dendanya berapa? Dendanya bisa seratus juta dolar, dendanya

besar. Konsep ganti rugi 18 huruf b di negara lain nyaris tidak ada. Karena itu mungkin

dalam perubahan UU Tipikor, kalau mau, kalau konsep ganti kerugian kita hilangkan,

kita buat denda lebih besar. Jadi, tidak perlu membuktikan kerugian keuangan negara.

  43  

Sekarang bagaimana membuktikan kerugian negara? Tidak ada dasarnya, sebagian

mungkin ada dasarnya. Tetapi kalau untuk korupsi, ada metodologi ilmiah. Seperti ini,

kita menghitung kerugian negara pembangunan jalan. Menghitungnya? Ajak anak teknik.

Ini bangun sekian, harga sekian. Harga sekian, yang ada sekian. Ini metodologi ilmiah,

sama dengan kita mempersiapkan gugatan perdata. Metodologi itu yang harus kita

pertahankan diterima oleh majelis hakim. Kalau sekarang dianggap bahwa penghitungan

kita minimalis, maka ke depannya boleh kita siapkan metode penghitungan yang lain.

Jadi, tidak ada batasan. Karena itu kalau kita menetapkan suatu keputusan: begini cara

menghitung kerugian negara, ada dua sisi. Satu sisi ada kepastian, sisi yang lain

membatasi. Mana yang kita pilih? Silahkan. KPK tanpa adanya aturan, tanpa adanya

keputusan bagaimana menghitung kerugian negara, kita pakai metode ilmiah menghitung

kerugian negara. Dulu kita lakukan itu karena itu yang kepikiran sama kita. Bahwa ada

perkembangan teori segala macam, oke kita terapkan yang lain.

Kalau mengenai korporasi mana yang bisa dihukum, ya PT A B C D ini. Ada oknum di

situ yang hilang. Begitu lah kondisinya.

Yunus Husein:

Saya tambahkan sedikit saja. Ini memang dari Pekanbaru ya? Satgas memang

sempat ke sana untuk 14 perusahaan itu. SP3 semua seingat saya. Kirim surat ke Kapolri

untuk dibuka lagi. Tapi beliau bilang perlu praperadilan. Kalau mau silahkan. Yang

kedua kirim surat ke Menteri Lingkunga Hidup, tetapi…dua-duanya gagal begitu.

\

Bambang Hero Saharjo:

Menambahkan informasi yang disampaikan Pak Yunus, memang saya ikut tim juga untuk

penggugat yang 14 itu. Kami sudah turun juga kemarin, dan saya dengar itu juga sudah

akan dimajukan Pak, PT MPL itu. Jadi, mudah-mudahan dalam waktu dekat itu akan

maju. Tetapi untuk ke perusakan lingkungannya.

Penanya 4, Made dari Riau:

Pak, satu lagi, ini kan kasus korupsi kehutanan tindak pidana asalnya sudah ini, kenapa

tidak dibawa ke money laundering?

  44  

Chandra Hamzah:

Begini, UU Money Laundering yang baru itu Oktober 2010. Kasus Tengku Azmun Jaafar

2008. Kita punya kewenangan setelah undang-undang yang baru. Terima kasih Mas.

Moderator:

Ada satu pertanyaan, Pak Chandra, yang belum terjawab, bagaimana dengan

eksekusi uang pengganti di korupsi dan berapa banyak yang dikonversi menjadi pidana

penjara pengganti.

Chandra Hamzah:

Oh ya. Ini satu kesalahan pandangan bahwa yang boleh disita itu adalah hanya barang-

barang yang digunakan dan barang-barang hasil korupsi. Sebenarnya bisa disita juga

adalah barang-barang kepunyaan terdakwa untuk uang pengganti. Karena Pasal 18

bunyinya apabila terdakwa tidak membayar satu bulan setelah kekuatan hukum tetap,

kira-kira bunyinya begitu, silahkan baca, maka jaksa dapat merampas aset dan harta

benda milik terdakwa. Harta benda ini apa? Tidak peduli dia hasil korupsi, tidak peduli

digunakan untuk korupsi, yang penting selama harta benda itu milik terdakwa boleh

dirampas. Kapan dia memperolehnya tidak peduli. Jadi, harusnya begitu perkara ini

dijalankan, maka aset-aset milik terdakwa disita sebesar uang pengganti yang akan

digunakan nanti apabila berkekuatan hukum tetap, ini udah diselamatkan dulu, tinggal

dirampas. Jadi, metode yang kita lakukan adalah kita menyita, memblokir aset-aset milik

terdakwa, sehingga pada saat putusannya dia salah, kita tinggal rampas. Penyitaan itu kan

tidak mengalihkan hak. Barang ini tetap milik si terdakwa, cuma kita amankan dulu.

Permasalahannya adalah kebanyakan pegawai negeri itu asetnya tidak banyak. Yang

banyak itu aset di swasta. Tingkat keberhasilannya di jaman saya antara 60%-70%,

eksekusi uang pengganti. Dan uang pengganti terbesar yang berhasil dimasukkan KPK

kepada PNBP itu sebesar 350 sekian miliar, itu di bidang kehutanan. Jadi, dari seluruh

uang pengganti yang pernah dikembalikan KPK yang paling besar adalah di bidang

kehutanan. 350 sekian miliar dan itu uang cash. Matias. Itu yang paling besar. Tidak tahu

ini Djoko Susilo berhasil atau tidak. Caranya bagaimana? Pada saat inkracht maka

  45  

seluruh saham PT-nya dia kita sita. Begitu saham-sahamnya disita kita umumkan di

koran, saham PT A, PT B, PT C milik si Matias disita. Pada saat disita maka holding dia

di Singapura anjlok. Begitu anjlok, akhirnya dibilang daripada anjlok mendingan dia

bayar. Proses sangat cepat. Itu eksekusinya.

Jadi, negara boleh merampas. Permasalahnnya beberapa orang menyarankan langsung

subsidernya, jadi dijadikan satu paket. Pidana penjara 5 tahun, bikin berita acara. Denda

sekian, bikin berita acara. Kemudian, uang pengganti sekian, banyaknya orang

berpendapat pilihannya ada di terdakwa, padahal tidak. Coba baca Pasal 18 hati-hati,

bahwa jaksa yang menentukan mau uang pengganti atau tidak karena apabila satu bulan

tidak dibayar, maka jaksa punya kewenangan merampas. Jadi, optionnya bukan ada di

terdakwa, optionnya ada di jaksa. Jaksa berwenang merampas harta benda milik

terdakwa. Apabila tidak mencukupi baru penjara pengganti, subsider. Jadi salah kalau

optionnya ada di terdakwa. Kalau ada jaksa yang bilang: bapak mau bayar uang

pengganti atau penjara? Itu salah. Jaksa yang tentukan. Karena itu ada beberapa kasus

yang masih kita buru asetnya, belum dieksekusi itu hukuman uang pengganti karena kita

masih menduga: anda masih punya aset lagi. Kita buru, kita sita lagi, kita rampas lagi. Itu

cara eksekusi uang pengganti. Saya kasih garis bawah: option memilih uang pengganti

atau pidan penjara subsider itu ada di jaksa bukan terdakwa. Terima kasih Mas.

Penutupan

Moderator:

Terima kasih Pak Chandra atas jawabannya dan juga para pemateri. Kami

tawarkan kepada narasumber apakah dibuka sesi baru atau kita…Cukup ya? Baiklah

kalau begitu karena waktunya sudah selesai, saya coba review hasil diskusi kita hari ini.

Prof. Bambang Hero menjelaskan mengenai kerugian yang ditimbulkan pada kasus

korupsi lingkungan yang tidak hanya menimbulkan kerugian APBN tetapi juga

menimbulkan kerugian ekologis ekonomis dan sebagainya. Selanjutnya Pak Chandra

Hamzah menjelaskan mengenai konstruksi peristiwa pidana menjadi korupsi dan

kemudian menjadi kasus lingkungan serta pengenaan uang pengganti dan pidana

tambahan dan konstruksi alternatif penegakkan hukum dalam kasus lingkungan. Terima

kasih kepada para narasumber atas kehadirannya dan kesediaan untuk memberikan materi

  46  

pada diskusi hari ini serta kepada para rekan diskusi semoga diskusi kita bermanfaat bagi

kita semua dan untuk penegakkan hukum Indonesia yang lebih baik. Acara saya

kembalikan kepada MC. Wass. Wr. Wb.

MC:

Dengan berakhirnya sesi diskusi pada siang hari ini, maka berakhir pula sesi

utama kita pada kegiatan workshop nasional MaPPI FHUI.

  47  

BAHAN PRESENTASI WORKSHOP NASIONAL

A. BAHAN PRESENTASI MAPPI-FHUI

  48  

  49  

B. BAHAN PRESENTASI SUBTEMA PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA

  50  

  51  

  52  

  53  

  54  

  55  

  56  

  57  

  58  

  59  

  60  

  61  

C. BAHAN PRESENTASI SUBTEMAPENGENAAN UANG PENGGANTI

  62  

D. BAHAN PRESENTASI SUBTEMA TANGGUNG JAWAB KORPORASI

  63  

  64  

  65  

  66  

  67  

LAMPIRAN

A. DAFTAR HADIR

  68  

  69  

B. FOTO-FOTO

  70  

  71