Pusat-pinggiran
-
Upload
della-ananto-kusumo -
Category
Documents
-
view
25 -
download
1
description
Transcript of Pusat-pinggiran
KONSEP PUSAT – PINGGIRAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH: SEBUAH TINJAUAN TEORITIS DALAM PERSPEKTIF POLITIK
PEMBANGUNAN
Oleh : Hafid Setiadi
Pusat dan pinggiran adalah istilah kontroversial; merupakan suatu hal yang tidak biasa mendengar istilah tersebut dilontarkan dalam dunia tanpa batas yang dipenuhi oleh jaringan transnasional; di mana tak ada lagi “pusat” dan “pinggiran”. Apakah memang demikian? Apakah proses-proses yang lebih luas telah merekonfigurasi hubungan-hubungan teritorial pada saat diskusi pusat dan pinggiran semakin kehilangan maknanya? Ataukah dinamika pusat-pinggiran justru tetap bertahan dalam perubahan mutakhir ini, tersusun kembali, dan bahkan menguat? (Ruane & Todd, 2001:2)
1. Pengantar
Layaknya dinamika kehidupan manusia, dinamika wilayah senantiasa terkait dengan
persoalan ‘relasi’. Munculnya persoalan ‘relasi’ tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya
pemahaman bahwa dunia adalah sebuah sistim (the world as a system). Secara tersirat,
pemahaman “dunia sebagai sistim” juga menunjukkan bahwa heteroginitas merupakan suatu
gejala inheren. Dengan kata lain, tak ada satu pun komponen kehidupan di dunia yang saling
identitik dengan komponen lainnya. Namun, menurut konsep sistim, justru heterogenitas
itulah yang memungkinkan sebuah sistim bekerja secara optimal melalui proses-proses saling
melengkapi yang bermuara pada sinergisitas. Dalam hal ini, sinergisitas antara lain terwujud
dalam bentuk aliran dan sirkulasi materi atau energi yang terus menerus dari satu komponen
ke komponen lainnya. Produk ideal yang seharusnya dihasilkan dari proses tersebut adalah
‘penguatan antar komponen’. Dengan demikian, sesuai dengan pemahaman sistim tersebut,
dunia pun dapat dilihat sebagai sebuah totalitas kehidupan yang kompleks. Di dalam totalitas
tersebut, berbagai komponen kehidupan saling terhubung, “berdialog”, dan termodifikasi.
Modifikasi itu senantiasa berorientasi pada pembentukan keseimbangan atau keteraturan baru
baik melalui mekanisme pembaharuan (renewal) maupun pembentukan (generation).
2. Konsep Pusat-Pinggiran dalam Diskursus Teori Pembangunan
Dalam diskursus teori pembangunan, istilah ‘pusat-pinggiran’ pertama kali dimunculkan oleh
para penganut Teori Ketergantungan (Dependency Theory). Teori Ketergantungan itu
sendiri muncul pertama kali di kalangan ahli ekonomi Marxis dari Amerika Latin, seperti Hal | 1
Raul Prebisch, Paul Baran, Andre Gunder Frank, Celso Furtado, Theotonio dos Santos dan F.
H. Cardoso. Secara garis besar, tesis-tesis utama teori ini merupakan reaksi kritis terhadap
pandangan Teori Modernisasi dan Teori Pertumbuhan Ekonomi yang dilandasi oleh aliran
ekonomi Neo-Klasik1. Salah satu asumsi utama Teori Ketergantungan adalah terbaginya
perekonomian dunia menjadi dua kutub yaitu perekonomian negara maju dan negara
terbelakang. Pembagian ini pada dasarnya mengadopsi pandangan Marx tentang struktur
masyarakat yang terpolarisasi pada dua golongan yaitu golongan borjuis dan golongan
proletariat. Andre Gunder Frank membagi perekonomian dunia menjadi negara-negara
metropolis maju dan negara-negara satelit, sedangkan Samir Amin membaginya menjadi
negara-negara maju di pusat dan kelompok negara miskin di pinggiran (Kuncoro, 2000).
Negara-negara maju di pusat dicirikan oleh perekonomian yang modern dengan sistem pasar
yang baik, serta memiliki hubungan sosial yang bersifat individualistik yang mana setiap
hubungan dilakukan melalui kontrak transaksi. Sementara itu, masyarakat di negara
pinggiran masih didominasi oleh sifat paternalistik dan kerjasama sosial yang tinggi, dengan
perekonomian yang bersifat tradisional yang mana sistem pasar belum berjalan dengan baik.
Asumsi pembagian dunia di atas sesungguhnya bukan suatu hal yang benar-benar baru. Teori
Modernisasi yang muncul tahun 1950-an secara tersirat sudah melakukan pembagian serupa
yaitu melalui istilah “dunia maju yang modern” dan “dunia terbelakang yang tradisional”
(Forbes, 1986; Dixon, 1999; Suwarsono & So, 2000). Hal yang membedakan antara kedua
teori tersebut terletak pada bentuk relasi antara pusat-pinggiran dan implikasinya, terutama
bagi pinggiran. Teori Modernisasi percaya bahwa relasi pusat-pinggiran yang didukung oleh
sistim perekonomian kapitalis-terbuka akan mendorong kemajuan (pertumbuhan ekonomi) di
pinggiran melalui efek penjalaran dari pusat. Kekuatan-kekuatan sentripetal dan sentrifugal
dalam mekanisme pasar akan berperan sebagai faktor penyeimbang yang memungkinkan
dunia terbelakang berkembang menurut tahapan linear – sebagaimana digambarkan oleh
W.W Rostow melalui model stages of growth – hingga mencapai masyarakat modern seperti
halnya di dunia maju. Selain itu, Teori Modernisasi berkeyakinan bahwa untuk keluar dari
keterbelakangan ekonomi, satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh dunia terbelakang di
kawasan Asia dan Afrika adalah mengikuti jejak kapitalisme seperti halnya dunia maju di
Eropa Barat dan Amerika Utara
1 Dean K. Forbes (1986). Geografi Keterbelakangan, Sebuah Survai Kritis. Jakarta: LP3ES. Hal 64-73, menyatakan bahwa Teori Modernisasi sesungguhnya lahir dari kajian-kajian sosiologis, bukan kajian ekonomi. Namun demikian ia menyatakan bahwa antara Teori Modernisasi dan Teori Pertumbuhan Ekonomi memiliki tumpang tindih yang sangat lebar, terutama dalam kaitannya dengan proses transisi sosial-ekonomi serta praktek-praktek kapitalisasi pada kegiatan produksi. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam.
Hal | 2
Keyakinan aliran Modernisasi bahwa mekanisme pasar akan menciptakan keseimbangan
segera mendapatkan bantahan dari Teori Ketergantungan. Menurut para penganut Teori
Ketergantungan, mekanisma pasar dan proses kapitalisasi produksi justru dinyatakan sebagai
penghambat pertumbuhan serta penyebab timbulnya kesenjangan dan keterbelakangan2.
Terinspirasi oleh konsep pertentangan kelas Karl Marx, Teori Ketergantungan juga
membantah keyakinan Teori Modernisasi bahwa relasi antara dunia maju (pusat) dan dunia
terbelakang (pinggiran) akan menciptakan simbiosis mutualisme antara keduanya.
Sebaliknya, menurut mereka, relasi pusat-pinggiran, senantiasa diwarnai olehpertentangan
kepentingan yang terus menerus. Pertentangan ini terjadi dalam kondisi di mana pinggiran
tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memperjuangkan kepentingannya. Dalam situasi
ini, pusat akan terus memaksakan kepentingan kepada pinggiran dan berujung pada
eksploitasi pusat terhadap pinggiran (Nepote & Ocelli, 2004). Pertentangan inilah yang
kemudian dijadikan landasan guna menjelaskan “bagaimana krisis ekonomi
berkepanjangan dalam proses akumulasi modal telah merubah pola-pola
geografis dan struktur ekonomi pada sistim dunia yang kapitalistik”
(Frank, 2000:218)
Sehubungan dengan pertentangan pusat-pinggiran, ahli ekonomi asal Brasil, Celso Furtado,
mendefinisikan hubungan pusat-pinggiran “bukan semata-mata sebagai pembagian tak
merata atas manfaat-manfaat pembangunan, tetapi juga merupakan hubungan ketergantungan
yang berkaitan dengan dominasi dan eksploitasi ekonomi oleh pusat terhadap pinggiran”
(Ardnt, 1991 : 142). Sementara itu, sebagaimana dikutip oleh Forbes (1986:104), melalui
studinya di Afrika Selatan, Rogerson menyatakan bahwa pusat telah menjalankan hegemoni
regional sehingga pembangunan di pinggiran lebih berupa pembangunan daerah kantong
ekspor yang terbatas pada pengolahan bahan mentah secara sederhana tanpa dukungan mata
rantai yang cukup besar dan cukup tangguh. Dan oleh karenanya, dalam pandangan
2 Sebenarnya terdapat perbedaan pendapat di antara para penganut Teori Keterbelakangan mengenai keterkaitan antara kapitalisme dan keterbelakangan. Karl Marx berpendapat bahwa kapitalisme adalah suatu tahap yang harus dilalui oleh bangsa-bangsa untuk mencapai cita-cita yang utama, yaitu masyarakat sosialis (feodalisme-kapitalisme-sosialisme). Dalam hal Marx menyatakan bahwa kapitalisme adalah bagian dari dialetika pembangunan ekonomi. Dalam tesis Neo-Marxime, Paul Baran lebih memandang kapitalisme sebagai penghambat pembangunan ekonomi. Sementara itu, Andre Gunder Frank menyatakan bahwa kapitalisme bukan sebagai suatu tahapan menuju sosialisme (seperti dikemukakan Marx), bukan pula sebagai penghambat pertumbuhan (seperti dikemukakan Baran), tetapi sebagai penyebab utama keterbelakangan. Ia berpendapat bahwa negara-negara kapitalis ‘dengan sengaja menerbelakangkan’ negara-negara satelitnya melalui pencaplokan surplus ekonomi dan menggunakannya untuk kemajuannya sendiri. Penjelasan lebih lengkap mengenai pendapat-pendapat di atas dapat diperoleh dalam H.W. Ardnt (1991). Pembangunan Ekonomi : Studi Tentang Sejarah Pemikiran. Jakarta : LP3ES hal 130 – 151. Khusus pendapat Karl Marx juga dapat dibaca dalam W. Ebenstein dan E. Fogelmen, (1985). Isme-isme Dewasa Ini. Terj. Alex Jemadu. Jakarta: Penerbit Erlangga hal 1 - 26.
Hal | 3
Rogerson, fenomena pinggiran merupakan wujud pelestarian ketimpangan dan rasionalisasi
ketidakadilan yang terkandung dalam pembagian kerja yang mapan. Pandangan-pandangan
serupa juga dinyatakan para pengikut aliran Ketergantungan era 1980-an seperti Herbel,
Heinrichs, dan Kraye (1978), Hymer (1975), Perrons (1981), Newfarmer dan Topik (1982),
Taylor dan Thift (1982).3 Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Andre Gunder Frank
menyatakan:
an attempt... to conclude that the historical process of underdevelopment cannot be reversed and turned into economic and social development for the majority of the Latin American people until they destroy the capitalist class structure through revolution and replace it with socialist development (dikutip dari Moles, 1999:3)
Pembahasan terhadap pusat-pinggiran sebagai sebuah ‘struktur dunia’ semakin menguat
seiring dengan kemunculan Teori Sistim-Dunia yang dicetuskan oleh Immanuel Wallerstein
melalui dua tulisannya, yaitu The Rise and Future Demise of the World Capitalist System:
Concepts for Comparative Analysis (1974). dan The Modern World System I: Capitalist
Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century
(1976). Kedua tulisan tersebut muncul pada saat Teori modernisasi sedang mengalami kritik
besar-besaran terutama dari Teori Ketergantungan. Sama halnya dengan para ahli Teori
Ketergantungan, Wallerstein sendiri bertujuan mengkritik asumsi Teori Modernisasi yang
menyatakan bahwa untuk mencapai kemajuan, semua negara hanya bisa mengikuti jalan
perkembangan evolusioner tunggal. Kritiknya juga ditujukan pada pengabaian Teori
Modernisasi terhadap perkembangan sejarah dunia dalam pembentukan struktur
transnasional.
Meskipun sama-sama memiliki akar pada pandangan Marxis, namun terdapat perbadaan
mendasar antara Teori Ketergantungan dan Teori Sistim-Dunia. Perbedaan pertama adalah
pada persoalan unit analisis. Apabila Teori Ketergantungan menekankan negara (state)
sebagai unit analisis dan memandang negara sebagai “sistim dalam dunia”, maka Teori
Sistim Dunia meletakkan analisisnya pada “sistim-dunia”. Melalui tulisan berjudul “World
System versus World-Systems: A Critique,” yang diterbitkan dalam Critique of Anthropology
tahun 1991, Wallerstein menjelaskan perbedaan tersebut sebagai berikut:
3 Dean K. Forbes, op cit, hal 92 – 107. Hal | 4
Note a detail in word usage that distinguishes Frank and Gills from me. They speak of a “world system.” I speak of “world-systems.” I use a hyphen; they do not. I use the plural; they do not. They use the singular because, for them, there is and has only been one world system through all of historical time and space. For me there have been very many world-systems…. The modern world-system” (or the “capitalist world-economy”) is merely one system among many….That brings us to the hyphen. My “world-system” is not a system “in the world” or “of the world.” It is a system “that is a world.” Hence the hyphen, since “world” is not an attribute of the system. Rather the two words constitute a single concept. Frank and Gills’ s system is a World system in an attributive sense, in that it has been tending over time to cover the whole world (disalin sesuai dengan kutipan aslinya dari Frank, 2000: 222-223).
Perbedaan unit analisis di atas berimplikasi pada perbedaan dalam hal fokus perhatian
masing-masing teori. Seperti dinyatakan oleh Andre Gunder Frank, fokus perhatian Teori
Ketergantungan tertuju pada identifikasi siklus dinamik (the cyclical dynamic) sistem
perekonomian dunia; pada sisi lain pembahasan Teori Sistim-Dunia lebih terfokus pada
struktur pusat-pinggiran (Frank, 2000). Sebagaimana dijelaskan oleh Skocpol (1977 dalam
Martinez-Vela, 2001: 2), penekanan pada struktur pusat-pinggiran tersebut tidak lain
ditujukan untuk memberikan “perbedaan konseptual yang jelas dengan teori-teori
modernisasi sekaligus mengembangkan paradigma teoritik baru guna menginvestigasi
kemunculan dan perkembangan kapitalisme, industrialisme dan negara-negara nasional.
Dalam hal ini, formulasi Wallerstein mengenai pusat-pinggiran (core-periphery) diambil dari
Teori Ketergantungan, namun ia menambahkannya dengan satu kategori wilayah lagi, yaitu
semi-pinggiran atau “semi-periphery” (Gunaratne, 2002). Sehingga, secara keseluruhan,
sistim-dunia terbentuk oleh ‘pusat’, ‘pinggiran’, dan ‘semi-pinggiran’.
Dalam hal istilah ‘semi-pinggiran’, hingga saat ini belum terdapat kesepakatan di antara para
ahli tentang pengertiannya. Wallerstein (1976) mendefinisikannya sebagai “pusat yang
sedang mengalami penurunan” atau sebagai “pinggiran yang sedang menuju peningkatan”.
Sebagai sebuah kategori wilayah, menurut Wallerstein, semi-pinggiran terletak di antara dua
kutub ekstrim: pusat dan pinggiran. Ia menambahkan, semi-pinggiran bukanlah sebuah
kategori residu yang bisa ditetapkan secara artifisial dengan pendekatan statistik, namun
sebuah struktur penting dalam sistim-dunia. Sementara itu, Terlow (1992) menyatakan bahwa
semi-pinggiran pada dasarnya bukanlah sebuah kategori deskriptif, melainkan suatu
instrumen analisis untuk mengkaji perubahan agar dapat memberikan pemahaman yang lebih
baik tentang dinamika sistim-dunia.
Hal | 5
Wallerstein menyatakan bahwa secara epistemologis, Teori Sistim-Dunia ini telah
menempatkan konsep “struktur ekonomi-dunia kapitalis” sebagai dasar pemahaman terhadap
sistim-dunia menggantikan konsep “sistim sosial pra-modern”.4 Bersama-sama dengan
konsep “ruang” dan “waktu” sebagai realitas sosial, persoalan epistemologis ini membentuk
elemen dasar Teori Sistim-Dunia5. Sebagai realitas sosial, ruang (space) memiliki batas yang
tidak tetap. Dan dalam konteks ini, sistem-dunia tidak lagi dipandang sebagai a collection of
autonomous state-structures namun lebih sebagai an integrated system of multiple states and
cultures.6 Sementara itu, terkait dengan “waktu sebagai realitas sosial”, Wallerstein
menyatakan bahwa sistim-dunia sesunggunya adalah a historical system. Secara terperinci ia
menguraikan7:
… for any historical system: the time of its coming into being; the time (much longer) of its "normal" functioning and development/evolution; the time of its structural crisis, bifurcation, and demise. The first and third times are quite different from the second (much the longest) time.
The period of a historical system's coming in being and the period of its structural crisis leading to demise are both unique. They can only be analyzed idiographically in terms of the very specific parameters that define them. The social action of a time of creation can malfunction and a stable, equilibrated historical system may fail to come into existence. This happens all the time, although social scientists rarely investigate such abortive attempts at structural creation. The time of structural crisis likewise has no predictable outcome. Its trajectory is intrinsically uncertain. In this way too, world-systems analysis rejects the assumption of inevitable progress. Progress from this perspective is merely possible, but so is regression.
Berdasarkan elemen-elemen dasar di atas, Teori Sistem-Dunia dapat dikatakan sebagai
perspektif makro-sosiologis yang berupaya menjelaskan dinamika “ekonomi dunia kapitalis
sebagai sistem yang bersifat total” (Martinez-Vela, 2001: 1). Menurut Martinez-Vela,
pemikiran Wallerstein ini seringkali diasosiasikan dengan sejarah dan sosiologi interpetatif
yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan Karl Marx dan Max Weber. Dalam konteks dunia
kapitalis tersebut, Teori Sistim-Dunia pada dasarnya memandang dunia sebagai “developed
and underdeveloped states, or zones, the interaction of which, through unequal exchange
4Immanuel Wallerstein, World-System Analysis, hal 9 (tanpa tahun penerbitan). Diunduh dari http://www.eolss.net/ebooks/Sample%20Chapters/C04/E6-94-01.pdf tanggal 23 Desember 2008 pukul 11.17 WIB serta dipublikasikan dalam bentuk sample chapter oleh Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS) sebagai pemegang hak cipta. 5 Immanuel Wallerstein, ibid, hal 36 Immanuel Wallerstein, ibid, hal 67 Immanuel Wallerstein, ibid, hal 6-7
Hal | 6
processes, produces a global core-periphery division of labor” (Bergesen,1990:67)8.
Adapun, asumsi yang mendasari Teori Sistim-Dunia adalah: pertama adanya dominasi pusat
terhadap pinggiran, kedua terdapatnya ketidakseimbangan pertukaran antara pusat dan
pinggiran, dan ketiga aktivitas perdagagangan yang dipercaya sebagai penggerak utama
perkembangan sosial ternyata tidak sepenuhnya berperan dalam masyarakat pra-modern
(Flammini, 2008).
3. Keterkaitan Antara Politik dan Konsep Pusat-Pinggiran
Berdasarkan uraian di atas, pemahaman ‘pusat-pinggiran’ serta relasi antara keduanya tidak
dapat dilepaskan dari ideologi dan kepentingan politik. Zarycky (2002), misalnya,
menyatakan bahwa konsep “pusat-pinggiran” telah lama berkembang dalam tradisi analisis
geopolitik. Dalam geopolitik, Sir Halford J.Mackinder melalui Theory of Heartland,
menyebut istilah “pusat-pinggiran” dengan “heartland-rimland” yang terkait dengan tujuan-
tujuan geostrategi demi penguasaan teritorial (Glassner dan de Blij, 1980; Jones, et.al, 2004).
Menurut pemahaman geopolitik, pengertian “pusat” dapat didasarkan atas perspektif
kronologis (chronological perspective) seperti yang diutarakan oleh Andrew Burghardt9.
Menurut Burghardt, pengertian “pusat” dapat diletakkan baik dalam konteks sejarah
(historically oriented) maupun dalam konteks kontemporer (contemporary core-areas).
Apabila diletakkan dalam konteks sejarah, “pusat” dapat berupa area kecil yang berkembang
menjadi sebuah teritorial politik masa kini yang jauh lebih besar (nuclear zone) atau area
yang menjadi awal terbentuknya gagasan politik (original zone). Adapun dalam konteks
kontemporer, “pusat” lebih diartikan sebagai area yang memainkan peran signifikan karena
kemampuannya yang tinggi baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Sementara itu,
pinggiran dapat didefinisikan sebagai “wilayah di luar pusat yang tidak saja mendapatkan
pancaran pengaruh dari pusat, namun dalam hal-hal tertentu juga memberikan pengaruhnya
kepada pusat”. Melalui definisi ini, hubungan pusat-pinggiran tidak berjalan menurut pola
linear, searah, dan mekanistik. Sebaliknya, pola hubungan antara keduanya berjalan dalam
suatu mekanisme timbal balik yang bersifat sistemik dan kompleks. Sehubungan dengan itu,
8 Diunduh dari http://tcs.sagepub.com/cgi/pdf_extract/7/2/67 tanggal 25 Desember 2008 pukul 13.02 WIB9 Andrew Bughardt merumuskan konsep “pusat” dalam artikelnya berjudul “The Core Concept in Political Geography: A Definition of Term” yang dipublikasikan tahun 1969 dalam jurnal Canadian Geographer Vol. 13. pp. 349 – 353. Penulis mengkutip rumusan Bughardt tersebut dari: Dikshit, R.D. (1982). Political Geography: A Contemporary Perspective. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Limited Company, hal. 82.
Hal | 7
Chase-Dunn dan Hall (1991 dalam Flammini, 2008:51) menyatakan adanya dua bentuk
“pusat-pinggiran”, yaitu core-periphery differentiation dan core-periphery hierarchy.
Bentuk yang pertama mengacu pada sebuah situasi ketika berbagai tingkatan masyarakat
yang kompleks dan saling berbeda menjalin interaksi pada suatu sistim dunia yang sama.
Sementara itu, bentuk yang kedua lebih menekankan pada adanya dominasi politik,
ekonomi, dan ideologi
Keterkaitan antara ‘pusat-pinggiran’ dan kepentingan politik juga dijelaskan oleh Rokkan
Stein melalui Teori Pembelahan Politik (Theory of Political Cleavages). Dalam
pandangannya, pembelahan politik dapat terjadi baik dalam wujud national revolution
maupun industrial revolution (Markus, 1998:3). Wujud yang pertama akan menciptakan
pembelahan politik berupa ‘pusat-pinggiran’ dan ‘gereja (agama)-negara’. Sedangkan wujud
yang kedua akan menciptakan pembelahan politik ‘urban-rural’ dan ‘buruh-pengusaha
(modal)’. Terkait dengan keempat jenis pembelahan tersebut, Stein menyatakan bahwa
konsepsi ‘pusat-pinggiran’ merupakan unsur esensial bagi pembentukan struktur politik
tertentu yang melibatkan proses ekspansi wilayah, sentralisasi kekuasaan politik, dan
pemusatan penduduk (Ruane & Todd, 2001). Atas pendapat Stein tersebut, Ruane dan Todd
menambahkan:
Structures may be economic, political and cultural, with each considered the site of a distinctive set of relationships and practices: economy (urban structure, markets, industrialisation, class cleavages, resources available, land tenure systems, city networks); political (representative institutions, electoral systems, bureaucracies, state building); cultural: language (as mechanism of communication, as resource, as identity), religion (institutional, as world view, significance of the reformation and counterreformation)
Boundary-making is a key political process. Geographical features, distance, frontiers and strategic location can have crucial consequences for political outcomes, eg strategic positions such as at the mouth ofthe Rhine or controlling the Alpine passes; centres needing sizeable blocs of empty land identity, nation building, ethno-linguistic infrastructure). (Ruane & Todd, 2003:4)
Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Peter Flora10, mereka menyatakan,
10 Peter Flora, ed, 1999, State Formation, Nation-Building and Mass Politics in Europe: The Theory of Stein Rokkan, Oxford University Press
Hal | 8
Structures are inherently spatial. We are dealing not simply with the economic, the political and the cultural, but with the geo-economic, the geo-political and the geocultural/geo-ethnic, and particular societies can be seen as a series of ‘regional transposes’ of regionally specific variables (Flora, 1999:126). (hal 4) .
Dengan demikian, bagi Stein, teritorial merupakan konsep penting dalam kancah politik
sebagai refleksi akan bekerjanya tekanan-tekanan kultural dan ekonomi (Markus, 1998).
Tekanan-tekanan tersebut selanjutnya dapat menimbulkan cyclical movement yang mengarah
pada berbagai macam konflik dan dapat berujung pada antara lain: kehancuran kekuasaan
dominan, pembentukan kekuasaan (negara) baru, atau konflik loyalitas.
4. Konsep Pusat-Pinggiran dan Pembangunan Wilayah
Seperti telah diuraikan di atas, asumsi ’penjalaran kemajuan dari pusat ke pinggiran’
senantiasa muncul dalam setiap teori pembangunan, baik Teori Modernisasi, Teori
Ketergantungan, maupun Teori Sistim-Dunia. Mencermati teori-teori tersebut, ditinjau dari
implikasinya, sifat dari penjalaran tersebut secara garis besar dapat dibedakan atas dua pola,
yaitu generatif atau parasitik (Sach & Silk, 1990). Pola hubungan yang bersifat generatif
memiliki keselarasan dengan pemikiran neo-klasik dalam hal keyakinannya bahwa pusat
memiliki peran kunci sebagai motor penggerak bagi perkembangan pinggiran, terutama
melalui mekanisme trickle down effect (Browett, 1980). Pada sisi lain, pola hubungan
parasitik cenderung melihat pusat sebagai kekuatan yang senantiasa mengeksploitasi wilayah
pinggiran. Perilaku eksploitatif tersebut merupakan bagian dari “kesengajaan” pusat untuk
menciptakan keterbelakangan di pinggiran melalui pengalihan keuntungan secara besar-
besaran (Buchanan, 1968; Brenner, 1977; Sorenson, 2001, ). Akibat eksploitas tersebut,
dominasi pusat pada akhirnya hanya akan menciptakan ketergantungan pinggiran kepada
pusat.
Dalam konteks pembangunan wilayah, pola penjalaran generatif dan parasitik tidak terjadi
secara terpisah namun berjalan secara simultan. Pertanyaan yang sering muncul adalah: di
antara kedua pola tersebut, pola manakah yang lebih dominan? Menurut Teori The Law of
Entropy yang dikemukakan oleh B.J. Berry and W.L. Garrison, kemunculan pola-pola
dominan dalam relasi pusat-pinggiran sangat ditentukan oleh kompleksitas politik dan
ekonomi yang akan mendorong berbagai kekuatan untuk bekerja secara acak serta
memberikan pengaruh sistemik terhadap perkembangan sistim pusat-pinggiran itu sendiri
Hal | 9
(Berry dan Horton, 1970). Kemunculan kedua pola tersebut juga dijelaskan oleh para ahli
yang yang termasuk dalam mazhab modernisasi difusionis (Forbes, 1986). Salah satu tesis
utama mazhab ini menyatakan bahwa proses-proses kemajuan akan mengarah pada
terciptanya interegional polarization (Sucháček, 2004). Tokoh utama mazhab ini antara lain
adalah Francois Perroux dengan Teori Pusat Pertumbuhan (1955), John Friedmann dengan
teori Stage of Development Urban System (1966), dan Gunnar Myrdal dengan teori
Cummulative Causation (1957). Dari teori-teori ini kemudian timbul beberapa istilah seperti
trickle down effect dan backwash effect, serta forward linkage dan backward linkage (lihat
Kotak 1, Kotak 2, dan Kotak 3). Kemudian mazhab ini diperkuat pula secara matematis oleh
para ahli Ekonomi Regional Neo-Klasik antara lain dengan Economic Base Analysis dan
Regional/Interegional Input-Output yang mampu menghitung besarnya efek penularan dari
suatu pertumbuhan kegiatan ekonomi. Secara umum, berbagai teori di atas memperlihatkan
adanya gejala aglomerasi dalam pengambilan keputusan lokasi. Hal ini tidaklah
mengherankan karena aglomerasi menciptakan banyak keuntungan baik itu yang berupa
localization economies maupun urbanization economies.
Hal | 10
KOTAK 3. Teori Cummulative Causation
Pada tahun 1957, ahli ekonomi asal Swedia bernama Karl Gunnar Myrdal (1898-1987) melalui karyanya yang berjudul “Economic Theory and Underdeveloped Regions” mempublikasikan Teori Cummulative Causation. Di bawah paradigma ‘keseimbangan ekonomi statis’, teori tersebut memberikan gambaran yang sederhana mengenai penjalaran dampak industrialisasi terhadap proses sosial-ekonomi yang berjalan menurut pola sirkulatif-kumulatif. Myrdal menyatakan bahwa bahwa, apapun alasannya, ekspansi industri yang berawal dari pusat pertumbuhan (growth centre) akan menyebabkan meluasnya keuntungan internal dan eksternal industri bersangkutan sehingga memperkuat pertumbuhannya, namun dengan mengorbankan daerah lain. Menurut pandangannya, ekonomi ini tidak hanya mencakup keahlian tenaga kerja dan modal publik, tetapi juga perasaan positif untuk tumbuh dan semangat dari pengusaha/wiraswasta baru.
Dalam analisisnya, Myrdal juga memperkenalkan konsep backwash effect dan spread effect yang dapat diindentikkan dengan konsep polarization dan trickling down effect milik Albert O. Hirschman. Backwash effect meliputi kegiatan-kegiatan migrasi penduduk, pola perdagangan dan pergerakan modal yang mengarah ke pusat. Migrasi penduduk dari daerah belakang ke pusat pertumbuhan pada kenyataannya terdiri dari orang – orang muda dan menghuni daerah – daerah yang kumuh. Hal yang sama terjadi pada aliran modal ke pusat pertumbuhan karena meningkatnya pendapatan dan permintaan meningkat. Suksesnya pertumbuhan wilayah menarik kelebihan aktivitas ekonomi langsung atau tidak langsung yaitu melalui peningkatan dan inovasi yang logis secara berkelanjutan.
Karya Myrdal lainnya yang terkenal antara lain adalah An American Dilemma: The Negro Problem and Modern Democracy (1944) dan Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nation.(1968). Atas berbagai karya dan pemikirannya, Gunnar Myrdal dinobatkan sebagai peraih penghargaan Nobel bidang ekonomi pada tahun 1974.
http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/1974/myrdal-bio.htmhttp://erc2.soec.nagoya-u.ac.jp/DP/paper147.pdf
KOTAK 1. Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)
Teori ini dicetuskan oleh ahli ekonomi kelahiran Perancis bernama Francois Perroux (1903-1987), yang dikenal juga sebagai penganut aliran ekonomi keseimbangan umum. Kutub pertumbuhan didifinisikan sebagai suatu gugus industri yang mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dalam suatu sistem ekonomi tertentu, mempunyai kaitan yang kuat melalui hubungan input – output di sekitar leading industry (propulsive industry atau industrial matrix).
Gugus ini mempunyai sifat saling keterkaitan antar sektor ekonomi. Sektor ekonomi atau industri yang tumbuh cepat diposiskan sebagai generator pertumbuhan karena mampu menerapkan teknologi yang tinggi, mengembangkan inovasi serta memiliki elastisitas pendapatan terhadap permintaan produk yang dihasilkannya. Kemudian produk ini dijual ke pasar nasional secara luas dan mempunyai mutiplier effect terhadap segmen ekonomi lainnya. Industri-industri yang dominan dan propulsif terdapat di kota-kota kutub pertumbuhan wilayah. Konsentrasi dan saling keterkaitan merupakan dua faktor penting dalam setiap pusat pengembangan karena melalui faktor-faktor tersebut akan dapat diciptakan berbagai bentuk aglomerasi ekonomi yang dapat menunjang pertumbuhan industri yang bersangkutan melalui penurunan ongkos produksi. Keuntungan aglomerasi yang merupakan kekuatan utama pengembangan wilayah dapat berupa scale economies, localization economies, atau urbanization economies.
Teori Kutub Pertumbuhan merupakan teori yang menjadi dasar dalam strategi dan kebijaksanaan pembangunan industri daerah yang banyak dijalankan di berbagai negara. Pada awalnya, konsep ini dianggap penting karena memberikan kerangka rekonsialiasi antara pembangunan ekonomi regional di wilayah pusat (kota) dan hinterland-nya Tetapi dalam praktek tidak seperti yang diharapkan karena wilayah pusat dampak tetesan (trickle down effect) kepada wilayah hinterlandnya ternyata jauh lebih kecil dari pada dampak polarisasi (backwash effect) sehingga pengurasan sumberdaya hinterland oleh pusat menjad sangat menonjol.
http://www.economyprofessor.com/theorists/francoisperroux.phphttp://sites.maxwell.syr.edu/clag/yearbook1972/gauthier.pdf
KOTAK 2. Teori Pusat-Pinggiran
Melalui karyanya yang berjudul Regional Development Policy: A Case Study of Venezuela (1966), John Friedmann menjelaskan pandangannya mengenai transformasi sistim perkotaan di dunia ketiga. Ia menyatakan bahwa bahwa dalam skala regional terdapat hirarki pusat – pusat pertumbuhan adalah sebagai berikut “Pusat Pertumbuhan Primer” yang merupakan pusat utama dari daerah yang dapat merangsang pertumbuhan pusat – pusat yang lebih rendah tingkatannya; “Pusat Pertumbuhan Sekunder” yang berperan memperluas dampak perambatan ke wilayah yang tidak terjangkau oleh pusat pertumbuhan primer; dan “Pusat Pertumbuhan Tersier” sebagai titik pertumbuhan bagi daerah belakangnya.
Melalui hirarki tersebut, perkembangan sistim perkotaan akan berjalan dalam empat tahap. Tahap pertama ditandai dengan tingginya tingkat isolasi masing-masing kota yang ditunjukkan dengan struktur permukiman yang sangat terbatas, kecilnya skala ekonomi, dan rendahnya mobilitas penduduk. Pada tahap berikutnya, kota-kota yang memiliki keuntungan aksesibilitas akan mengalami proses kapitalisasi dan industrialisasi yang lebih cepat sehingga kota-kota tersebut muncul sebagai pusat dominan. Selanjutntya, melalui proses difusi dari pusat dominan, keuntungan industrialisasi disebarkan ke kota-kota sekitarnya sehingga memungkinkan kemunculan pusat-pusat baru yang lebih kecil. Dan, pada tahap terakhir, keseluruhan sistim perkotaan semakin terintegrasi dan seimbang seiring dengan terciptanya spesialsasi ekonomi pada masing-masing kota serta berkembangnya sarana transportasi.
http://people.hofstra.edu/geotrans/eng/ch7en/conc7en/coreperiphery.html
Ketiga teori di atas memperlihatkan bahwa relasi pusat-pinggiran senantiasa berjalan menurut
hirarki keruangan (Gambar 1). Hirarki tersebut dapat berskala lokal hingga global; yang
keduanya pun dapat saling terkait dan saling tumpang-tindih (Sucháček, 2004). Akibat
keterkaitan dan tumpang-tindih tersebut, sebuah titik yang berperan sebagai ‘pusat’ di tingkat
lokal dapat berubah perannya hanya sebagai ‘pinggiran’ di tingkat global. Sebagai contohnya
adalah kota-kota utama di dunia ketiga – seperti Jakarta, Manila, Bangkok, Sao Paolo, dan
Meksiko City – yang pada masing-masing negaranya berperan sebagai penggerak utama
(prime mover), namun pada tingkat global kota-kota tersebut lebih berperan sebagai
pinggiran dan memiliki tingkat ketergantungan eksternal yang tinggi, baik secara politik
maupun ekonomi kepada kota-kota utama di negara maju. Pola ketergantungan kota-kota
dunia ketiga terhadap kota-kota negara maju ini, menurut Evers dan Korff (2002) merupakan
kelanjutan dari tradisi kolonialisme yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Hal | 11
Gambar 1. Hirarki Keruangan Pusat-Pinggiran(Sumber: Ruane dan Todd, 2001:11)
Sesuai konseptual, hirarki keruangan senantiasa terkait dengan persoalan jangkauan pengaruh
dan kemampuan kontrol atas pengaruh tersebut. Dan secara alamiah, setiap titik (kota) yang
termasuk dalam suatu sistim akan berupaya untuk menempati kedudukan tertinggi pada
hirarki dimaksud. Hal inilah yang kemudian melahirkan persaingan antar kota. Menurut
Grofman dan Gray (2000), pola dan intensitas persaingan tersebut ditentukan oleh:
keuntungan komparatif, pola perekonomian, dan rejim politik. Keunggulan komparatif antara
lain akan mencakup aspek lokasi, ukuran kota-kota, dan kondisi fisik. Sementara itu, pola
perekonomian akan ditekankan pada pola perdagangan dan mobilitas sumberdaya. Adapun
aspek rejim politik akan meninjau kehadiran dan pasang surut kekuatan-kekuatan dominan
(hegemonic power) dalam suatu sistim keruangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
konflik dan persaingan kekuasaan (contest of power) akan berujung pada perebutan ruang
(contest of space). Atau, dengan kata lain, kekuasaan politik berperan besar menentukan
konsentrasi teritorial yang berkaitan erat dengan pembentukan wilayah kekuasaan (Butlin,
1993). Oleh sebab itu, penguasaan dan pengendalian teritorial menjadi salah satu isu sentral
baik karena terkait dengan atribut fisiknya, nilai psikologisnya, maupun pengaruhnya pada
reputasi penguasa (Hensel, 2000). Pengendalian teritorial tersebut dapat berorientasi pada
keteraturan ruang yang secara konsentrik mengarah ke pusat kekuasaan (Lombard, 2005) atau
berorientasi pada penguasaan ruang melalui sirkulasi modal dan komoditi, penciptaan nilai
tambah, dan kontrol atas sumberdaya ekonomi (Mendieta, 2001). Atas pemahaman di atas,
maka praktek-praktek pembangunan wilayah seperti ekspansi wilayah, pembuatan sawah-
sawah baru, pembangunan benteng pertahanan, pembangunan kota dan pelabuhan dagang,
serta perluasan jaringan jalan, dapat dilihat sebagai upaya para penguasa memperoleh dan
memperluas kekuasaaan mereka baik secara politik, kultural, maupun ekonomi. Kesemua
praktet tersebut senantiasa melibatkan proses penandaan, pendefinisian, dan pengontrolan
ruang yang antara lain ditujukan untuk menandai kekuasaan, membangun orientasi pada Hal | 12
kekuasaan, serta menempatkan orang atau wilayah lain pada suatu hubungan yang
berkesesuaian atau berlawanan dengan pusat (Smith, 2005).
5. Penutup
Demikianlah uraian singkat tentang konsep pusat-pinggiran dalam konteks pembangunan
wilayah. Dari uraian ini terlihat bahwa meskipun dunia telah mengalami perubahan yang
dramatis dibandingkan ketika pertama kali konsep tersebut muncul, namun konsep pusat-
pinggiran masih tetap relevan tetap menjadi perbincangan hangat di kalangan para akademisi.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan pusat-pinggiran di berbagai negara merupakan salah
satu dalam berbagai praktek pembangunan.
Daftar rujukan
Ardnt, H.W. (1991). Pembangunan Ekonomi : Studi Tentang Sejarah Pemikiran. Jakarta : LP3ES Bergesen, A. (1990). “Turning World-System Theory on Its Head” Theory, Culture & Society Vol. 7/2. Hal 67-
81 Berry, B.J. dan F.E. Horton. (1970). Geographic Perspectives on Urban Systems. Englewood Cliffs: Prentice
Hall, Inc. Brenner, R. (1977). “The Origin of capitalist development: a critique of Neo-Smithian Marxism”. New Left
Review. 104. pp. 25-93. Browett, E.H. (1980). Geography Yesterday and Tomorrow. Oxford: Oxford University PressBuchanan, K. (1968). Out of Asia, Asian Themes 1958-66. Sydney: Sydney University PressButlin, R.A. (1993). Historical Geography: Through Gates of Space and Time. London: Arnold PublisherCaporaso, J.A. dan D.P. Levine. (2008). Teori-Teori Ekonomi Politik. Terjemahan oleh Suraji. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Dikshit, R.D. (1982). Political Geography: A Contemporary Perspective. New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Limited CompanyDixon, S. (1999). The Modernisation of Russia 1676-1825. Cambridge: Cambridge University PressEbenstein, W dan Fogelmen, E. (1985). Isme-isme Dewasa Ini. Terj. Alex Jemadu. Jakarta: Penerbit Erlangga Flammini, R. (2008). “Ancient Core-Periphery Interactions: Lower Nubia During Middle Kingdom Egypt (CA.
2050-1640 B.C.)”. Journal of World-Systems Research, Volume XIV/1, Hal 50-74Forbes, D.K. (1986). Geografi Keterbelakangan, Sebuah Survai Kritis. Jakarta: LP3ESFrank, A.G. (2002). “Immanuel and Me With-Out Hyphen”. Journal of World-Systems Research Vol. VI/II .
Hal 216-231Glassner, I.M., dan H.J. de Blij. (1980). Systematic Political Geography. New York: John Wiley & SonsGroffman, B. dan M. Gray (2000). Geopolitical Influences on Trade Openness in Thirty-One Long-Term
Democracies 1960-1995. Irvine: School of Social Sciences University of CaliforniaGunaratne, S.A. (2002). “An Evolving Triadic World: A Theoretical Framework for Global Communication
Research” Journal of World-Systems Research Vol. VIII/III . Hal 330–365Hensel, P.R. (2000). “Territory: Theory and Evidence on Geography and Conflict” dalam J.A. Vasquez (ed),
What Do We Know about War. Boulder, CO: Rowman and LittlefieldHudson, A. (2000). “Offshoreness, Globalization and Sovereignty:A Postmodern Geo-Political Economy?”
Transactions of the Institute of British Geographers, New Series, Vol. 25/3. Hal. 269-283
Hal | 13
Jones, M., R. Jones, dan M. Woods. (2004). An Introduction to Political Geography, Space, Place, and Politics. London & New York: Routledge
Kuncoro, M. (2000). Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah, dan Kebijakan, Yogyakarta : UUP AMP YKPNLombard, D. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama &
Forum Jakarta-Paris.Markus, G.G. (1998). Party Politics, Party System, and the Dynamics of Political Cleavages in Hunggary .
Budapest: NATIP ProjectMartínez-Vela, C.A. (2001). “World-System Theory”. Enginering System Design 83. Masschussets: MIT Press.
Hal. 1-5Mendieta, E. (2001). “Invisible Cities, A Phenomenology of Globalization from Below”. City. Vol. 5. No. 1.
page. 8-26Moles, D. (1999). Dependencia and Modernization. http://www.chrononaut.org/~dm/papers/dependencia.pdf.
Tanggal 23 Desember pukul 09.28 WIBNepote, D. dan S. Occelli. (2004). Beyond Core-Periphery Relationship in the EU Cooperation. Torino: Istituto
di Ricerche Economico Sociali del PiemontePeschard, K. Rethinking the Semi-Periphery: Some Conceptual
Issues .http://www.ualberta.ca/GLOBALISM/pdf/semi-periphery.lnk.pdf. Tanggal 24 Desember 2008 pukul 10.05 WIB
Ruane, J. dan J. Todd. (2001). “Centre-Periphery Relations in Britain, France and Spain: Theorising the Contemporary Transition”. Centres and Peripheries in a Changing World. Workshop No. 4 ECPR Joint Sessions. Grenoble.
Sachc, I dan D. Silk. (1990). Food and Energy - Strategies for Sustainable Development. Tokyo: The United Nation University Press. http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/80757e/80757E00.htm#Contents Tanggal 24 Desember pukul 10.10 WIB
Smith, L. T. (2005). Dekolonisasi Metodologi. Yogyakarta: Insist Press.Sorenson, L (2001). “Modernization and the Third World”. Global Studies 410 – Gender and Identity
http://the_imperfect_planet.tripod.com/sorensenportfolio/id10.html tanggal 4 Januari 2009 pukul 21.12 WIB
Suwarsono dan A. Y. So (2000). Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta : LP3ESSucháček, J. (2004). Core-Periphery in Czech Republic.
http://147.232.5.246/ekf/nmnc/doc/Suchacek.pdf Tanggal 29 Nopember 2008 pukul 16.32Wallerstein, I. World-System Analysis. http://www.eolss.net/ebooks/Sample%20Chapters/C04/E6-94-01.pdf
Tanggal 23 Desember 2008 pukul 11.17 WIB . UNESCO & Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS)
Zarycki, T. (2002). “Four Dimensions of Center-Periphery Conflict in the Polish Electoral Geography”. Dalam T. Klonowicz dan G.Wieczorkowska (eds.) Social Change. Adaptation and Resistance. Warsaw: Warsaw University Institute for Social Studies. Hal. 19-38.
Hal | 14