Referat ACS

43
1 BAB I PENDAHULUAN Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infact myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen St dan penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis. Yaitu suatu fase akut dari Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable). Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi. Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50 – 70% yang tidak stabil, yakni fibrous cap dinding (punggung) plak‟ yang tipis dan mudah erosi atau ruptur. Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan

description

Referat ACS

Transcript of Referat ACS

Page 1: Referat ACS

1

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan

manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia

miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infact myocard acute

(IMA) yang disertai elevasi segmen St dan penderita dengan infark miokardium

tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri

koroner.

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses

aterosklerosis. Yaitu suatu fase akut dari Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) yang

disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa

gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya

trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable).

Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi.

Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner,

namun lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50 – 70%

yang tidak stabil, yakni fibrous cap dinding (punggung) plak‟ yang tipis dan

mudah erosi atau ruptur. Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama

10 tahun terakhir dan telah digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan

patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus

angina tidak stabil dan infark miokard: baik Angina tidak stabil, infark miokard

tanpa gelombang Q, dan infark miokard gelombang Q mempunyai substrat

patogenik umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri koroner.

Terminologi yang akan sering dipakai pada penderita Angina Pectoris

adalah perasaan “berat”, “sesak”, “ditekan”, “didorong” atau “diremas”. Angina

Pectoris yang khas biasanya akan terasa di tengah dada/belakang sternum

(retrosternal) dan akan menjalar ke dagu dan/atau ke lengan. Angina bisa rasanya

dari nyeri ringan sampai ke paling nyeri dan timbul keringatan dingin dan

perasaan cemas. Kadang kala akan berserta dengan sesak nafas. Angina sering

dipicu dengan aktivitas fisik terutama setelah makan dan pada cuaca yang dingin,

dan kebanyakan dicetus oleh perasaan marah atau gembira. Nyeri akan hilang

Page 2: Referat ACS

2

cepat (biasanya berapa menit) dengan istirahat. Kadang kala perasaan itu akan

hilang sendiri dengan teruskan aktivitas. Istilah ACS banyak digunakan saat ini

untuk menggambarkan kejadian yang gawat pada pembuluh darah koroner. ACS

merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu,

unstable angina, Acute Myocardial Infarction dengan segmen ST elevasi (STEMI)

dan Acute Myocardial Infarction tanpa segmen ST elevasi (NSTEMI), maupun

angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan.

Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena

mekanisme patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak

yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada

akhirnya akan menimbulkan stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau

tanpa emboli. Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-

elevasi ST dan dengan elevasi ST adalah dari jenis thrombus yang menyertainya.

Angina tak stabil dengan trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus

inkomplet/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST adalah trombus komplet/oklusif.

Page 3: Referat ACS

3

BAB II

PEMBAHASAN

I. Anatomi Arteri Koroner Jantung

Jantung manusia normal memiliki dua arteri koroner mayor yang keluar

dari aorta yaitu right coronary arterydan left main coronary artery, dinamakan

koroner karena bersama dengan cabangnya ia melingkari jantung seperti crown

(mahkota corona). Arteri koroner meninggalkan aorta lebih kurang ½ inci di atas

katup semilunar aorta (3,7).

Left main coronary artery bercabang menjadi dua, yaitu left anterior

descendens yang memberikan perdarahan pada area anterior luas ventrikel kiri,

septum ventrikel dan muskulus papillaris anterior, sementara left

circumflexmemberikan perdarahan pada area lateral ventrikel kiri dan area right

coronary artery dominan kiri. Right coronary artery memberikan perdarahan pada

SA node, AV node, atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiri inferior, ventrikel

kiri posterior dan muskulus papillaris posterior(3,7,8).

Page 4: Referat ACS

4

 

 

Page 5: Referat ACS

5

 II.1 Histologi Pembuluh Darah

II.1.1 Arteri dan Vena

Dinding arteri terdiri dari tiga tunika: tunika luar, atau tunika

adventisia, tunika tengah, atau tunika media dan tunika dalam, atau tunika

intima. Arteri dibedakan menjadi arteri kecil, sedang dan besar karena

perbedaan histofisiologisnya. (Eroschenko,2010)

Dinding pembuluh darah mengandung jaringan elastik agar dapat

mengembang dan mengerut. Sebuah arteri dan vena muskular terpotong

melintang dan sediaan dibuat dengan pulasan plastik untuk

memperlihatkan distribusi serat elastik di dindingnya. Serat elastik

berwarna hitam dan serat kolagen berwarna kuning muda. (Eroschenko,

2010)

Gambar 1 Arteri. Dikutip dari: Price, 2006

Dinding arteri jauh lebih tebal dan mengandung lebih banyak serat

otot polos daripada dinding vena. Lapisan terdalam, tunika intima arteri,

terpulas gelap karena lamina elastika interna yang tebal. Lapisan tengah

arteri muskular yang tebal, tunika media, mengandung beberapa lapisan

serat otot polos, tersusun dengan pola sirkular, dan berkas tipis serat

elastik yang gelap. Di bagian perifer dari tunika media terdapat lamina

elastika eksterna yang tidak begitu jelas. Di sekitar arteri terdapat

jaringan ikat tunika adventisia, yang mengandung serat kolagen

terpulas terang dan serat elastik terpulas gelap. (Eroschenko, 2010)

Page 6: Referat ACS

6

Sebuah arteri kecil dengan struktur dindingnya tampak di sudut

kiri bawah gambar. Berbeda dengan vena, arteri memiliki dinding relatif

tebal dan lumen kecil. Pada potongan melintang, dinding sebuah arteri

kecil memiliki lapisan sebagai berikut:

a. Tunika intima adalah lapisan terdalam. Lapisan ini terdiri

atas endotel, stratum subendotheliale, dan lamina

(membran) elastika interna yang memisahkan tunika intima

dari lapisan berikutnya, tunika media.

b. Tunika media terutama terdiri atas serat otot polos sirkular.

Anyaman longgar serat elastik halus terdapat di antara sel-sel

otot polos.

c. Tunika adventisia adalah lapisan jaringan ikat yang

mengelilingi pembuluh. Lapisan ini mengandung saraf

kecil dan pembuluh darah. Pembuluh darah di dalam tunika

adventisia secara kolektif disebut vasa vasorum, atau vas

sanguineum vasis sanguinei (pembuluh darah yang

mendarahi pembuluh darah). Bila sebuah arteri memiliki 25

atau lebih lapisan otot polos di dalam tunika media, arteri ini

disebut arteri muskular (arteria myotypica) atau arteri

distribusi. Serat elastik menjadi lebih banyak di tunika

media namun masih berupa serat dan anyaman halus.

(Eroschenko, 2010)

II.I. Penyakit Pembuluh Darah Arteri

a. Aterosklerotik

Secara sederhana, aliran darah berarti jumlah darah yang mengalir

melalui suatu titik tertentu di sirkulasi dalam periode waktu tertentu.

Biasanya aliran darah dinyatakan dalam mililiterper menit atau liter per

menit, tetapi dapat juga dinyatakan dalam mililiter per detik atau setiap

satuan aliran lainnya. (Guyton, 2005)

Aterosklerosis adalah penyakit yang paling sering menyerang

susunan pembuluh darah arteri. Aterosklerosis mula-mula ditandai oleh

Page 7: Referat ACS

7

deposit lemak pada tunika intima arteri. Selanjutnya, dapat terjadi

kalsifikasi, fibrosis, trombosis dan perdarahan, semuanya itu membantu

terbentuknya suatu plak aterosklerosis yang kompleks, atau ateroma.

Akhirnya, tunika media mulai mengalami degenerasi. Nekrosis pada sel

otot polos yang terisi lemak juga terjadi. Proses patologi ini secara

progresif menyumbat lumen pembuluh darah dan melemahkan dinding

arteri. (Price,2006)

Gambar 5. Aterosklerosis. Dikutip dari: Medicatherapy, 2013

Manifestasi klinis aterosklerosis timbul akibat oklusi vaskular atau

stenosis, disebabkan deposit pada intima atau embolisasi, atau dari

pembentukan aneurisma akibat degenerasi tunika media. Penyebab

tersering penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah perifer adalah

oklusi pembuluh darah, dan aorta lebih sering menjadi tempat terjadinya

aneurisma. (Price,2006)

Setelah membahas proses alamiah aterosklerosis difus dan

progresif, harus juga diingat bahwa penyakit pembuluh darah perifer ini

sering dikaitkan dengan penyakit koroner dan otak. Penatalaksanaan

penyakit pembuluh darah perifer atau aorta tanpa mempertimbangkan

potensi-potensi yang mungkin terjadi akibat gangguan pembuluh darah

koroner atau otak dapat menimbulkan kesalahan fatal. (Price,2006)

b. Penyebab Nonaterosklerotik

Penyebab primer nonaterosklerotik penyakit arteri adalah nekrosis

media kistik, peradangan arteri atau arteritis, gangguan vasospastik, dan

Page 8: Referat ACS

8

displasia fibromuskular. Penyebab lain mencakup infeksi, trauma, dan

anomali kongenital. (Price,2006)

III. Definisi CAD

Coronary Artery Disease (CAD) atau dikenal juga dengan Coronary Heart

Disease (CHD)/Penyakit Jantung Koroner (PJK) didefinisikan sebagai penyakit

jantung dan pembuluh darah yang disebabkan karena penyempitan arteri koroner.

Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis

arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan

penyebab terbanyak (99%), maka pembahasan tentang PJK pada umumny

terbatas pada penyebab tersebut (1,2,4,10,11).

Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas

pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan

yang disebut ateroma yang terdapat di dalam tunika intima dan pada bagian dalam

tunika media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri, tetapi yang paling sering

adalah pada left anterior descendent arteri coronaria, proximal arteri renalis dan

bifurcatio carotis(11).

IV. Epidemiologi

Saat ini penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu di

dunia. Pada tahun 1999 sedikitnya 55,9 juta atau setara dengan 30,3% kematian di

seluruh dunia disebabkan oleh penyakit jantung. Menurut Badan Kesehatan Dunia

(WHO), 60% dari seluruh penyebab kematian penyakit jantung adalah penyakit

jantung koroner (PJK)(4). Di Amerika Serikat diperkirakan 13,7 juta penduduk

mengalami PJK, termasuk di dalamnya 7,2 juta penduduk mengalami infark

miokard. Pada kelompok usia lebih dari 30 tahun, 213 dari 100.000 individu

mengalami PJK. The Centers of Disease Control and Prevention memperkirakan

harapan hidup orang Amerika akan meningkat 7 tahun jika PJK dan

komplikasinya dieradikasi(12).

Page 9: Referat ACS

9

Di Indonesia, penyakit jantung juga cenderung meningkat sebagai

penyebab kematian. Data survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1996

menunjukkan bahwa proporsi penyakit ini meningkat dari tahun ke tahun sebagai

penyebab kematian yaitu urutan ke-11 (1972), menjadi urutan ke-3 (1986) dan

menjadi penyebab kematian utama pada tahun 1992, 1995 dan 2001. Tahun 1975

kematian akibat penyakit jantung hanya 5,9%, tahun 1981 meningkat sampai

dengan 9,1%, tahun 1986 melonjak menjadi 16% dan tahun 1995 meningkat

menjadi 19%. Sensus nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena

penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung koroner adalah sebesar

26,4%(4,13).

Literatur lain menyebutkan, juga berdasarkan survei kesehatan rumah tangga,

angka kematian karena penyakit kardiovaskular semakin meningkat di Indonesia.

Pada tahun 1980 menduduki urutan ketiga (9,9%), tahun 1986 urutan kedua

(9,7%) dan tahun 1992 telah menduduki urutan pertama sebagai penyebab

kematian bagi penduduk usia lebih dari 45 tahun yaitu sebanyak 16,4%. Pada

SKRT tahun 1995, proporsi penyakit sistem sirkulasi ini meningkat cukup pesat

dan pada tahun 2009 akan tetap menduduki urutan pertama sebagai sebab

kematian di Indonesia(5).

 

V. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk penyakit jantung koroner tidak dipublikasikan secara formal

sampai dilakukannya penelitian pendahuluan oleh Framingham Heart Study di

awal tahun 1960(14). Framingham Heart Study berpendapat bahwa PJK bukanlah

penyakit manusia lanjut usia (manula) atau nasib buruk yang tidak dapat

dihindari. Dalam hubungan ini dikenal adanya “Faktor Risiko PJK”, yaitu kondisi

yang berkaitan dengan meningkatnya risiko timbulnya PJK. Faktor risiko tersebut

diantaranya adalah tekanan darah, merokok, lipid, diabetes mellitus, obesitas, dan

riwayat keluarga dengan penyakit jantung (4).

Page 10: Referat ACS

10

Referensi lain meyebutkan bahwa faktor risiko terjadinya PJK dibagi

menjadi faktor risiko konvensional, faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan

faktor risiko non-tradisional. Faktor risiko konvensional terdiri atas: usia >45

tahun pada pria dan >55 tahun pada wanita, riwayat sakit jantung dini pada

keluarga dimana ayah atau saudara laki-laki didiagnosis mengalami sakit jantung

sebelum usia 55 tahun dan ibu atau saudara perempuan didiagnosis mengalami

sakit jantung sebelum usia 65 tahun dan perbedaan ras. Faktor risiko yang dapat

dimodifikasi terdiri atas: kadar kolesterol darah tinggi, hipertensi, merokok,

Diabetes Mellitus, obesitas, kurangnya aktivitas fisik, sindroma metabolik, stress

dan depresi. Sedang faktor risiko non-traditional terdiri atas: peningkatan kadar

CRP di darah, peningkatan lipoprotein a, peningkatan homosistein, aktivator

plasminogen jaringan, fibrinogen, dan berbagai faktor lain seperti end-stage renal

disease (ESRD), penyakit inflamasi kronik yang mempengaruhi jaringan ikat

seperti lupus, rheumatoid arthritis, infeksi human immunodeficiency virus (HIV)

(acquired immunodeficiency syndrome [AIDS] dan highly active antiretroviral

therapy [HAART]. Sebagian faktor risiko konvensional dan modifikasi disebut

juga faktor risiko mayor(14).

Gambar berikut merupakan perbandingan biomarker faktor risiko

tradisional dan non-tradisional untuk PJK. Pada gambar tampak daftar biomarker

nontradisional berkembang lebih banyak daripada faktor risiko tradisional

(standar) untuk memprediksi kejadian kardiovaskular di masa depan, namun tidak

lebih berat jika dibandingkan faktor risiko tradisional dan hanya ditambahkan

pada pasien dengan faktor risiko moderat sampai standar(14).

Page 11: Referat ACS

11

VI. Patogenesis plak aterosklerosis

Struktur arteri koroner jantung yang sehat terdiri atas 3 lapisan, yaitu

intima, media dan adventitia. Intima merupakan lapisan monolayer sel-

sel endotel yang menyelimuti lumen arteri bagian dalam. Sel-sel

endotel menutupi seluruh bagian dalam sistem vaskular hampir seluas

700 m2 dan dengan berat 1,5 kg. Sel endotel memiliki berbagai fungsi,

diantaranya menyediakan lapisan nontrombogenik dengan menutupi

permukaannya dengan sulfat heparan dan melalui produksi derivat

Page 12: Referat ACS

12

prostaglandin seperti prostasiklin yang merupakan suatu vasodilator

poten dan penghambat agregasi platelet(15). Rusaknya lapisan endotel

akan memicu terjadinya aterosklerosis sebagaimana yang akan

dijelaskan kemudian.

 

Ada beberapa hipotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya

aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response

to injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah

mengenai response to injure hypothesis sebagai berikut(11,17):

a. Stage A: Endothelial injure

Endotelial yang intak dan licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran

darah koroner lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien akan memudahkan

masuknya lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke

dalam dinding arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit

dan jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet

(platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit agregation) di tunika

intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup

sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi

melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density

lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons infl amatorik, dan pembentukan

kapsul fi brosis.2,6,8 Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses

aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok.

Page 13: Referat ACS

13

Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel.6,8

Faktorfaktor risiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya

menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting

dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses infl

amasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan

akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak.2,6 Endotel yang mengalami disfungsi

ditandai hal-hal sebagai berikut2 : a. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida

dan produksi endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis

vaskuler b. Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin, molekul

adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular Cell

Adhesion Molecules-1 [VCAM-1])2,8 c. Peningkatan trombogenisitas darah

melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal.

Komponen primer pembentukan plak aterosklerosis karena disfungsi endotel6,8

• Peningkatan adhesivitas endotel

• Peningkatan permeabilitas endotel (memudahkan migrasi LDL dan monosit ke

tunika intima pembuluh darah)

• Migrasi dan proliferasi sel otot polos dan makrofag

• Pelepasan enzim hidrolitik, sitokin, dan faktor pertumbuhan

• Nekrosis fokal dinding pembuluh darah

• Perbaikan jaringan dengan fi brosis

b. Stage B: Fatty Streak Formation (Perkembangan proses aterosklerosis:

peran proses infl amasi)

Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke

lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika

sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami diff erensiasi menjadi

makrofag.2 Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke

dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty

streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan

Page 14: Referat ACS

14

sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor α,

IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini

dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah

(yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak.

Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima,

lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fi brosis yang menstabilisasi plak

dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah.8 Makrofag juga

menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks

ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak 2,8

Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-kolesterol yang

telah dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium arteri. Low Density

Lipoprotein (LDL) dalam darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh

radikal-radikal bebas pada permukaan endotel. Lesi ini mulai tumbuh pada masa

kanak-kanak, makroskopik berbentuk bercak berwarna kekuningan, yang terdiri

dari sel-sel yang disebut foam cells. Sel-sel ini ialah sel-sel otot polos dan

makrofag yang mengandung lipid, terutama dalam bentuk ester cholesterol.

c. Stage C: Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami ruptur

Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan

makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan

untuk mengalami ruptur.2 LDL yang termodifi kasi meningkatkan respons infl

amasi oleh makrofag. Respons infl amasi ini memberikan umpan balik,

menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya

mengalami modifi kasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan

memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain,

sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fi brosis,

merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fi brosis menipis, ruptur plak mudah

terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada

plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinfl amatorik ini

menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinfl

amatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak.

Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi proses infl amasi yang terjadi

Page 15: Referat ACS

15

pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka.

Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah

pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan

menjadi rentan mengalami ruptur8 (Gambar 5).

d. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA

Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring

berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis

lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak

aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari

50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap

stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti

lipid yang besar, kapsul fi brosa yang tipis, dan infl amasi dalam plak merupakan

predisposisi untuk terjadinya ruptur.2,6 Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi

endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini

menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit,

selanjutnya terbentuk trombus.2,3,6,8 Trombosit berperan dalam proses hemostasis

primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi

plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade

koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang

dimediasi trombosit.6 Proses hemostasis primer maupun sekunder bisa dilihat

pada gambar 6. Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk2 : a. Trombus putih:

merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya menyebabkan oklusi sebagian. b.

Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fi brin. Terbentuk karena aktivasi

kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini bersuperimposisi

dengan trombus putih, menyebabkan terjadinya oklusi total.

        

Page 16: Referat ACS

16

Proses terjadinya thrombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias

Virchow; kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah

terganggu. Selanjutnya proses aterosklerosis mulai berlaku, inflamasi, dan formasi

plak di pembuluh darah. Pada suatu saat, terjadi rupture/fissure pada plak dan

akhirnya menimbulkan thrombus yang akan menghambat pembuluh darah.

Apabila pembuluh darah tersumbat 100% maka terjadi STEMI. Namun bila

sumbatan tidak total, tidak terjadi infark, hanya UA atau NSTEMI.

VII. Klasifikasi CAD

Pada patogenesis aterosklerosis telah dijelaskan bahwa di akhir pembentukannya

dalam lumen arteri, dapat bersifat sebagai plak yang stabil

atau plak vulnerable (tak stabil). Oleh karena itu penyakit jantung koroner

Page 17: Referat ACS

17

memberikan dua manifestasi klinis penting yaitu Angina Pektoris Stabil dan

sindrom Koroner Akut.

Sindroma Koroner Akut

Sindroma Koroner Akut merupakan sekumpulan gejala klinis umum sebagai hasil

akhir dari iskemia miokardial akut. Iskemia akut biasanya disebabkan oleh

rupturnya plak aterosklerosis atau ditambah dengan trombosis intrakoroner.

Sindroma koroner akut meliputi Infark Miokard (disertai ST elevasi atau Non-ST

elevasi) dan Angina Pektoris Tak Stabil.

Angina Pektoris Stabil

Angina Pektoris adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium(18).

Iskemia miokardium merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara suplai

oksigen dan kebutuhan oksigen miokard(18). Iskemia miokard dapat disebabkan

oleh stenosis arteri koroner, spasme arteri koroner dan berkurangnya kapasitas

oksigen di darah.

Angina Pektoris Tak Stabil

Istilah angina tidak stabil pertama kali digunakan 3 dekade yang lalu dan

dimaksudkan untuk menandakan keadaan antara infark miokard dan kondisi lebih

kronis angina stabil. Angina tidak stabil merupakan bagian dari sindrom koroner

akut dimana tidak ada pelepasan enzim dan biomarker nekrosis miokard(21).

Angina dari sindrom koroner akut cenderung merasa lebih parah dari angina

stabil, dan biasanya tidak berkurang dengan istirahat beberapa menit atau bahkan

dengan tablet nitrogliserin sublingual. SKA menyebabkan iskemia yang

mengancam kelangsungan hidup dari otot jantung. Kadang-kadang, obstruksi

menyebabkan SKA hanya berlangsung selama waktu yang singkat dan tidak ada

nekrosis jantung yang terjadi.

Non STEMI

Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang

disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur

Page 18: Referat ACS

18

plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi

menyeluruh lumen arteri koroner. Non STEMI memiliki gambaran klinis dan

patofisiologi yang mirip dengan Angina Tidak Stabil, sehingga penatalaksanaan

keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan

manifestasi klinis Angina Tidak Stabil menunjukkan bukti adanya nekrosis

miokard berupa peningkatan biomarker jantung(22).

STEMI

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran

darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak

aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika trombus arteri

koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular.

VIII. Pendekatan Diagnostik CAD

Berikut ini merupakan pendekatan diagnostik CAD yang penulis sajikan dalam

bentuk tabel yang bersumber dari beberapa literatur dengan harapan bisa

mempermudah penulis dan pembaca membandingkan klasifikasi dari CAD baik

ditinjau dari segi anamnesa, pemeriksaan fisik sampai pada pemeriksaan

penunjang.

Anamnesis

Nyeri dada kardiak tipikal atau angina pektoris timbul akibat iskemia atau

infark miocard akut yang disebabkan ruptur plak aterosklerosis pada pembuluh

darah koroner dan menyebabkan sumbatan baik total ataupun subtotal.

Manifestasi klinis nyeri dada tipikal adalah:

Kualitas: nyeri seperti diremas, menhan beban berat, mencekik atau adanya

rasa tidak nyaman di dada. Angina biasanya tidak bersifat begitu tajam

seperti ditusuk atau tidak berubah kualitasnya bila ada perubahan posisi

atau respirasi.

Durasi: episode angina biasanya hilang timbul, berlangsung selama

beberapa menit. Nyeri yang konstan dan berlangsung terus-mensrus selama

beberapa jam biasanya bukan angina.

Page 19: Referat ACS

19

Location: biasanya substernal, sering disertai dengan penjalaran ke leher,

rahang, epigastrium, atau lengan. Nyeri yang berlokasi di atas mandibula,

bahwa epigastrium atau pada daerah lateral dinding dada biasanya bukan

angina.

Pemicu: angina biasanya dicetuskan oleh aktivitas fisik atau stress

emosional dan nyeri akan berkurang dengan istirahat. Nitrat sublingual juga

akan mengurangi nyeri pada angina dalam 30 detik sampai beberapa menit.

The National Heart Attack Alert Program di amerika merekomendasikan

beberapa keluhan pasien yang perlu ditanggapi dengan serius dan harus dibawa

secepatnya ke unit gawat darurat untuk evaluasi lebih lanjut:

Nyeri dada, terasa seperti ditekan, ditimpa beban berat, seperti tercekik,

nyeri menjalar ke leher, rahang, bahu punggung dan salah satu atau

kedua lengan

Rasa panas, mual/muntah yang berhubungan dengan rasa tidak nyaman

di dada

Gejala sesak napas yang persisten

Adanya kelemahan, pusing, perasaan seperti melayang, atau penurunan

kesadaran.

Rekomendasi atau ACC/AHA Guidelines mendeskripsikan karakteristik nyeri

dada yang atipikal atau kemungkinan penyebabnya penyakit jantung koroner

lebih kecil:

Nyeri pleuritik yang bersifat tajam dan dipengaruhi pernapasan antau

pergerakan.

Rassa nyeri atau tidak nyaman pada perut bagian tengah atau bawah

Nyeri yang terlokalisir jelas terutama sebelah lateral atau apex

Nyeri yang biasa timbul kembali dengan pergerakan, palpitasi pada

dinding dada

Nyeri yang konstan selama beberapa jam

Nyeri yang sangat singkat yang berlangsung hanya beberapa detik

Nyeri yang menjalar sampai ke ekstremitas bawah

Page 20: Referat ACS

20

Pemeriksaan Fisik

Pada pasien dengan gejala nyeri dada, pemeriksaan fisik awal harus

difokuskan pada kemungkinan adanya SKA seperti hipotensi, atau hipertensi

yang tidak terkontrol, gangguan hemodinamik, tanda gagal jantung, dan mitral

regurgitasi. Selain itu ada pemeriksaan pembuluh darah perifer seperti adanya

bruit juga penting untuk menyingkirkan kelainan ekstrakardiak. Bila pasien

mempunyai kemungkinan kecil SKA, maka selanjutnya difokuskan untuk

mendeteksi penyebab nyeri dada non koroner yang mengancam nyawa seperti

emboli paru, diseksi aorta. Selanjutnya baru penyebab lain yang tidak

mengancam nyawa seperti perikarditis, refluks esophageal dan sebagainya.

Sesuai dengan rekomendasi ACC/AHA, pasien nyeri dada dengan risiko

kemungkinan SKA rendah harus diobservasi selama 4-8 jam sambil menjalani

pemeriksaan penunjang seperti EKG dan enzim jantung serial. Bila

memungkinkan dan tersedia fasilitas dapat dilakukan pemeriksaan

ekokardiografi.pasien dengan resiko SKA rendah juga dianjurkan untuk

followup dengan stess/exercise test treadmill setelah 48 jam dari timbulnya

keluhan untuk membuktikan adanya PJK.

Pemeriksaan Penunjang

Bila pasien dinilai tidak memerlukan intervansi segera untuk mengatasi

insufisiensi kardiovaskular atau gangguan napas yang mengancam nyawa,

maka dapat dilakukan evaluasi dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang sangat penting untuk menentukan diagnosis dan

etiologi nyeri dada serta penanganan selanjutnya. Pemeriksaan penunjang yang

direkomendasikan dan paling banyak digunakan adalah pemeriksaan EKG dan

enzim jantung.

Pemeriksaan EKG harus dilakukan setidaknya dalam 10 menit pertama sejak

pasien masuk ke IGD dengan keluhan nyeri dada. Gambawan EKG yang khas

untuk ischemia/infark miokard adalah ST elevasi, ST depresi maupun

gelombang T inverted. Bila gambaran EKG sebelumnya diketahui, adanya

Page 21: Referat ACS

21

gambaran Left Bundle Branch Block (LBBB) yang baru juga meningkatkan

kemungkinan terjadinya infark.

Enzim jantung sebagai pertanda adanya cedera miokard yang

direkomendasikan dan banyak tersedia di rumah sakit adalah CKMB dan

troponin. Pemeriksaan CKMB diketahui mempunyai sensitivitas 97 % dan

spesifitas 90% yang diketahui sangat tinggi untuk pertanda injuri miokard.

Kadarnya akan mulai 3 jam setelah onset nyeri dada dan akan menurun selama

48-72 jam berikunya. Kadar troponin meningkat setelah 3 jam dan bertahan

dalam darah sampai 10-14 hari kemudian. Kadar troponin lebih baik

sensitivitasnya dibandingkan CKMB setelah 24 Jam.

Page 22: Referat ACS

22

IX. Penatalaksanaan CAD

IMPLIKASI PADA TERAPI SKA

Patogenesis SKA melibatkan peranan endotel, sel infl amatorik, dan

trombogenisitas darah.2 Dengan memahami patofi siologinya, terapi

SKA mudah dipahami. Pada angina tidak stabil dan NSTEMI, hanya

didapatkan trombus putih. Sedangkan pada STEMI, selain trombus

putih, juga didapatkan trombus merah. Pada angina tak-stabil maupun

NSTEMI, tujuan terapi antitrombotik adalah untuk mencegah

terjadinya trombosis lebih lanjut. Revaskularisasi sering digunakan

untuk meningkatkan perfusi dan mencegah reoklusi atau iskemia

rekuren. Pada STEMI diperlukan reperfusi farmakologi atau dengan

kateter secepatnya, supaya dapat mempertahankan perfusi koroner.2

Terapi fibrinolisis hanya dilakukan pada STEMI dan merupakan

kontraindikasi pada angina tidak stabil maupun NSTEMI. Terapi

aterosklerosis juga berkembang berdasarkan korelasi epidemiologi,

meliputi statin untuk hiperlipidemia, kontrol gula darah pada pasien

diabetes melitus, kontrol berat badan, diet, dan olahraga. Penelitian

membuktikan bahwa terapi tersebut dapat memodifi kasi proses

aterotrombotik dengan mengurangi proses infl amasi. Pada subjek

sehat yang menjalani progam latihan selama 6 bulan, didapatkan

penurunan sitokin aterogenik (IL-1, TNF) sebanyak 58% dan kenaikan

sitokin ateroprotektif (IL-4, TGF-β) sebanyak 35%. Obesitas juga

dianggap bersifat proinfl amatorik. Penurunan berat badan rata-rata 14

kg dalam 14 bulan menurunkan kadar CRP sebanyak 32%. Diet rendah

lemak nampaknya meningkatkan fungsi endotel dan mengurangi

molekul adhesif, seperti Pselektin.8 Inflamasi memegang peranan

sentral dalam patofi siologi SKA. Setelah mengetahui peranan proses

inflamasi dalam patofi siologi SKA, terbuka peluang strategi

diagnostik maupun terapi baru. Dengan begitu, semakin terbuka

peluang untuk menjadikan penanda inflamasi dalam praktik diagnostik

SKA. Pasien dengan kadar CRP tinggi mempunyai risiko tinggi

mengalami SKA dan memerlukan terapi antiinflamasi. Makin terbuka

Page 23: Referat ACS

23

peluang pendekatan diagnostik inflamasi dan iskemia seluler, bukan

hanya nekrosis seperti sekarang, makin dini intervensi dapat diberikan.

Suatu saat, modalitas terapi mungkin akan ditargetkan pada proses

inflamasi yang terjadi, dengan mengintervensi molekul adhesif,

sitokin, sel T, makrofag, dan mediator infl amasi lain yang turut

berperan. Selain itu, dengan memahami peran proses hemostasis dalam

patofi siologi SKA, kita bisa memahami dengan baik pula obat-obatan

yang dapat menghambat proses tersebut pada tingkat yang berbeda.

Aspirin masih merupakan terapi paling efektif sebagai upaya

pencegahan primer maupun sekunder penyakit jantung koroner.

Aspirin mempunyai daya antiplatelet sedang, dan yang juga penting,

mempunyai efek antiinflamasi.

Angina Pektoris Stabil (Kronis Koroner Sindrom)

Tujuan utama pengobatan adalah mencegah kematian dan terjadinya serangan

jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan angina

sehingga memperbaiki kualitas hidup. Pengobatan terdiri dari farmakologis dan

non-farmakologis untuk mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup.

Tindakan lain adalah terapi reperfusi miokardium dengan cara intervensi koroner

dengan balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG (bypass).

Berikut 5 elemen penting untuk penatalaksanaan angina stabil:

A. Aspirin dan anti angina

B. Beta bloker dan pengontrol tekanan darah

C. Cholesterol kontrol dan berhenti merokok

D. Diet dan atasi diabetes

E. Edukasi dan olah raga

Sindrom Koroner Akut Diagnosis; 2 dari 3 dibawah ini

A. Angina (Sensitifitas 70%, Spesifitas 20%)

B. Perubahan EKG (Sensitifitas 50%, Spesifitas 100%)

C. Peningkatan Enzim Jantung (Sensitifitas dan Spesifitas mendekati

100%)

Page 24: Referat ACS

24

Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil

pada prinsipnya sebagai berikut :

a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA

o Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah, berikan nitrat

sublingual

o Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan

o Jika mungkin periksa petanda biokimia

b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA: Kirim pasien ke

fasilitas kesehatan terdekat dimana terapi definitif dapat diberikan

c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA

Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan

Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat

Penanganan di Instalasi Gawat Darurat

Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu

dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan

lebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun

membatasi luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung.

Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:

1) Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,

2) Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,

3) Berikan segera: O2, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,

4) Pasang monitoring EKG secara kontiniu,

5) Pemberian obat:

Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi

(kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (<

50 kpm)

Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti

dengan dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel, dan

Page 25: Referat ACS

25

Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat

diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin

25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.

b. Hasil penilaian EKG, bila:

1) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas

berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial

berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya

IMA maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan:

Terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12

jam, usia < 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.

Streptokinase: BP > 90 mmHg

tPA: BP < 70mmHg Kontraindikasi: Riwayat stroke

hemoragik, active internal bleeding, diseksi aorta.

Jika bukan kandidate reperfusi maka perlakukan sama dengan

NSTEMI/UAP.

Angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga

memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik

atau bila syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi

trombolitik

2) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, inversi T), diberi

terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU

3) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.

Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12

jam pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada

evaluasi selama 12 jam, bila:

EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk

evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan

EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien

di rawat di ICCU.

X. Komplikasi(10)

Page 26: Referat ACS

26

Komplikasi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering memberikan

komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel vibrilasi 95% meninggal sebelum

sampai rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi ventrikel kiri/gagal

jantung dan hipotensi/syok kardiogenik.

X. Prognosis(10)

Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal

yaitu:

Wilayah yang terkena oklusi

Sirkulasi kolateral

Durasi atau waktu oklusi

Oklusi total atau parsial

Kebutuhan oksigen miokard

 Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner:

25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit

Total mortalitas 15-30%

Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%

Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%

Page 27: Referat ACS

27

KEPUSTAKAAN

 

Katz MJ. 2010. Coronary artery disease. Atrain Education [serial online] 2010 [cited 2011 Nov 09]; Available from: URL:(http://www.atrainceu.com/pdf/41_Coronary_Artery_Disease_CAD.pdf)

Bryg RJ. 2009. Coronary artery disease. WebMD [serial online] 2009 [cited 2011 Nov 10]; Available from: URL: http://www.webmd.com/heart-disease/guide/heart-disease-coronary-artery-disease?page=3

Deckelbaum L. 2011. Heart attacks and Coronary artery disease. Chapter 11. [cited 2011 Nov 10]; Available from: URL:(http://www.med.yale.edu/library/heartbk/11.pdf.p.133).

Supriyono M. 2008. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung koroner pada kelompok usia < 45 tahun (studi kasus di RSUP dr. Kariadi dan RS Telogorejo Semarang). Semarang: Undip.

Makmun LH, Alwi I & Ranitya R. 2009. Panduan tatalaksana sindrom koroner akut dengan elevasi segmen ST. Jakarta: Interna Publishing.

Latif Ch. 2011. Buku panduan pendidikan klinik dokter muda laboratorium ilmu penyakit dalam. Samarinda: Lab. Penyakit Dalam FK UNMUL.

Cabin HS. The heart and circulation. Chapter 1. [cited 2011 Nov 12]; Available from: URL: http://www.med.yale.edu/library/heartbk/1.pdf. p.5.

DeLuna B. 2006. The heart walls and coronary circulation. Chapter 1. [cited 2011 Nov 12]; Available from: (URL:http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample_chapter/9781405157865/Bayes9781405157865_4_001.pdf.http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/18/Coronary_arteries.svg/512px-

Page 28: Referat ACS

28

Coronary_arteries.svg.png)

Homoud MK. 2008. Coronary artery disease. New England Medical Center.

Darmawan A. 2010. Penyakit jantung koroner. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah.

Kim MC, Kini AS & Fuster V. 2011. Definitions of acute coronary syndromes. In Hurst’s The Heart. Vol. 2. 13th ed. New York: McGraw-Hill. p.1287.

Asri WS, Vivi S & Primasari. 2006. Profil penyakit jantung koroner (pjk) dan faktor risiko pjk pada penduduk miskin perkotaan di jakarta. Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan.

Boudi FB. Risk factors for coronary artery disease. Medscape [serial online] 2011 [cited 2011 Nov 16]; Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/164163-overview

McPherson JA. Coronary Artery Atherosclerosis. Medscape [serial online] 2011 [cited 2011 Nov 17]; Available from: URL: http://www.acbd.monash.org/atherosclerosis-presentation.pdf

Pratanu S. Regresi aterosklerosis.CDK 102 1995 (15):p.14.

Rahman Muin. 2006. Angina pektoris stabil. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta. p:1611.

Depre C, Vatner SF, Gross GJ. 2011. Coronary blood flow and miocardial ischemia in Hurst’s The Heart. Vol. 2. 13th ed. New York: McGraw Hill. p.1242.

Alaeddini J. Angina pectoris. Medscape [serial online] Oct 2011 [cited 2011 Nov 17]; Available from: URL:http://emedicine.medscape.com/article/150215-overview#showall

Tan WA. Unstabe angina. Medscape [serial online] May 2011 [cited 2011 Nov 17]; Available from: URL:http://emedicine.medscape.com/article/159383-overview#showall

Harun S, Alwi I. 2006. Infak miokard akut tanpa elevasi ST. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. p:1626.

Page 29: Referat ACS

29

Thaler MS. 2009. Satu-satunya buku EKG yang anda perlukan. Editor edisi bahasa indonesia Teuku Istia Muda Perdan, Aryandhito Widhi Nugroho. Ed 5. Jakarta: EGC.