Referat Bell's Palsy Intan
-
Upload
intan-wulansari -
Category
Documents
-
view
175 -
download
5
Transcript of Referat Bell's Palsy Intan
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer,
terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak
menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit
ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-50
tahun. Peluang untuk terjadinya bell’s palsy pada laki-laki sama dengan para
wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya bell’s palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1,2
Para ahli menyebutkan bahwa pada bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, disekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi unilateral. Namun demikian
dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit
ini berulang atau kambuh.1
Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya diabetes melitus, hipertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi,
infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre. Apabila faktor penyebab
jelas maka disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya bell’s palsy.1
Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau
keluarga atau pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita
menyadari bahwa ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai
1
merasa takut, malu, rendah diri, mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya
tertekan terutama pada wanita dan pada penderita yang mempunyai profesi yang
mengharuskan ia untuk tampil di muka umum. Seringkali timbul pertanyaan di
dalam hatinya, apakah wajahnya bisa kembali secara normal atau tidak.2
Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya
masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas
profesi penderita. Sehingga diperlukan terapi secara cepat dan tepat untuk
mencapai pemulihan terbaik fungsi saraf wajah dan penderita dapat kembali
melakukan aktivitas kerja sehari-hari serta bersosialisasi dengan masyarakat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi
secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai
penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan
fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif
primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di
foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.1,2
Gambar 2.1. Bell’s Palsy 6
2.2 Struktur anatomi 3,4
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
3
a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.
levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus
bagian posterior dan stapedius di telinga tengah
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan
mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat
pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu
dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang
dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh
otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius
Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan
sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa
pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus
mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi
pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut
sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial
major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus
abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan
4
melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di
bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan
(jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena
bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam
ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada
sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena
sangat dekat dengan genu.
Gambar 2.2. Anatomi n.fasialis 7
5
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion
genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu
nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi
persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus
fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi
kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah,
m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
2.3 Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per
100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,
dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun
lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur
15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
6
2.4 Etiologi
Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu: 2,5
1. Teori iskemik vaskuler
Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi vasokontriksi
arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh
dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi
transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe
sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan
lebih menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi
iskemik.
2. Teori infeksi virus
Bell’s palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus,
sehingga menurut teori ini penyebab bell’s palsy adalah virus. Juga dikatakan
bahwa perjalanan klinis bell’s palsy menyerupai viral neurophaty pada saraf
perifer lainnya.
3. Teori herediter
Penderita bell’s palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bell’s
palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
7
Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan pengobatan
kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam
kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.
2.5 Patofisiologi 2,5
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear
bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah
di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s
palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN
8
dapat terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis.
Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,
paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui
sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Gambar 2.3. (A) Paralisis n.fasialis perifer (B) Paralisis n. fasialis sentral
9
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak
dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan
platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti
ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di
foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan
serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.
2.6 Manifestasi Klinis 2
Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks,
kerusakan atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak
masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam
akan tetapi gejala-gejala yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris,
kelopak mata tidak bisa menutup dengan sempurna, gangguan pada pengecapan,
serta sensasi mati rasa pada salah satu bagian wajah. Pada kasus yang lain juga
terkadang disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang
berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut
terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi
diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai
infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi
menghilang, Tampak seperti orang letih, hidung terasa kaku terus - menerus, sulit
10
berbicara, sulit makan dan minum, sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi
yang berlebih atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya
rasa kecap, air liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata
bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya.
Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini
yaitu, pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun
tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak
mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan
(lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya maka bola mata akan
tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila
berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi
lesi.
1. Lesi di luar foramen stylomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar
pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang,
lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau
tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di canalis facialis (melibatkan chorda tympani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus,
ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan)
dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada
lidah menunjukkan terlibatnya intermedius nerve, sekaligus menunjukkan lesi
11
di daerah antara pons dan titik di mana chorda tympani bergabung dengan
facial nerve (N.VII) di canalis facialis.
5. Lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen
stylomastoideus, lesi di canalis facialis, ditambah dengan adanya hiperakusis.
6. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi
di canalis facialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di
dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di tympani
membrane dan conchae.
7. Lesi di daerah meatus acusticus interna
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di
canalis facialis, lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang
lebih tinggi lagi, ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya vagus
nerve (N.X).
8. Lesi di tempat keluarnya facial nerve (N.VII) dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya trigeminus nerve (N.V), vagus nerve (N.X), dan kadang-kadang
juga abducens nerve (N.VI), accessory nerve (N.XI), dan hypoglossal nerve
(N.XII).
12
Gambar 2.4. Bell’s Palsy 9
2.7 Diagnosis 1,3
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya
parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat
memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia
juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s
palsy lesinya bersifat LMN.
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa
bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua
keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
13
Nyeri postauricular:
Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid. Nyeri sering
muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata:
Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata mereka. Ini
disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir
hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air
mata tidak dipercepat.
Perubahan rasa:
Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa, empat
per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada
hidung akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang
nervus facialis tidak mengalami gangguan.
14
c. Pemeriksaan neurologi
Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dan
dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu:
1. Pemeriksaan motorik nervus fasialis.4
Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi
yang sehat saja.
Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat
Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit
kelompak mata tidak dapat menutupi bola mata dan
berputarnya bola mata ke atas dapat dilihat. Hal tersebut
dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat dilihat juga bahwa
gerakan kelopak mata yang sakit lebih lambat dibandingkan
dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal
sebagai Lagoftalmus.
Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak
dapat dikembungkan.
Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau
disuruh meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh
tidak dapat diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke
arah sehat. Dan juga sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang
sakit mendatar.
2. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis. 4
15
Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis
diperiksa pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan
rasa asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan bahan asam
sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan pada sisi yang tidak
sehat kurang tajam.
3. Pemeriksaan Refleks. 4
Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bell’s Palsy
adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak
langsung dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada
sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih lambat atau tidak ada
sama sekali. Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra pada
orang sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis
langsung dijawab dengan pemejaman kelopak mata pada sisi,
sedangkan pada paresis facialis jenis perifer terdapat kelemahan
kontraksi m. orbikularis oculi (pemejaman mata pada sisi sakit).
Beberapa pemeriksaan sederhana lain yang dapat dilakukan untuk
membantu penegakkan diagnosa antara lain :
Stethoscope Loudness Test
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi dari
muskulus stapedius. Pasien diminta menggunakan stetoskop
kemudian dibunyikan garpu tala pada membran stetoskop, maka
suara yang keras akan terlateralisasi ke sisi muskulus stapedius
yang lumpuh
16
Schirmer Blotting Test.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi lakrimasi.
Digunakan benzene yang menstimulasi refleks nasolacrimalis
sehingga dapat dibandingkan keluar air mata dapat dibandingkan
antara sisi yang lumpuh dan yang normal.
d. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c
dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut
menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa
dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus
tersebut berasal.
e. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke
diagnose Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi,
karena pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami
perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun
mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI
mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma,
hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka
pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.
2.8 Sistem Klasifikasi Derajat Fasialis Parese House And Brackmann
1. Grade I. Normal
17
Fungsi fasial normal, simetri pada semua area
2. Grade II. Disfungsi Ringan
Kelemahan ringan yang hanya dapat terlihat dengan pemeriksaan
yang teliti.
Dapat menutup mata sempurna dengan sedikit usaha
Asimetris ringan ketika tersenyum dengan usaha maksimal
3. Grade III. Disfungsi Sedang
Jelas terlihat kelemahan, tetapi tidak terlihat mencolok.
Bisa tidak mampu mengangkat alis mata
Dengan usaha keras dapat menutup mata sempurna tetapi gerakan
mulut asimetris.
4. Grade IV. Disfungsi Sedang- Berat
Jelas terlihat kelemahan
18
Tidak dapat mengangkat alis mata
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna meskipun dengan
usaha yang maksimal
5. Grade V. Disfungsi Berat
Hanya sedikit gerakan yang terlihat
Asimetris saat istirahat
6. Grade VI Paralisis Total
Tidak ada gerakan sama sekali
2.9 Diagnosa Banding
19
1. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
Disamping kemungkinan adanya paresis fasialis, maka ditemukan adanya
rasa nyeri di dalam atau di belakang telinga. Pada foto mastroid ditemukan
gambaran infeksi. Pada otitis media terjadi proses radang di dalam kavum
timpani sehingga dinding tulang kanalis fasialis ikut mengalami kerusakan
sehingga terjadi paresis fasialis.
2. Herpes Zoster Oticus
Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum. Di samping
adanya paresis fasialis juga ditemukan adanya tuli persetif dan tampak
vesikel-vesikel yang terasa amat nyeri di daun telinga. Karena adanya proses
inflamasi maka akan menimbulkan pembengkakan, timbunan metabolit di
dalam kanalis Fallopii dan selanjutnya menyebabkan iskemia dan paresis
fasialis. Pada pemeriksaan darah didapatkan adanya kenaikan titer antibodi
terhadap virus varisela-zoster.
3. Trauma kapitis
Paresis fasialis terdapat pada trauma kapitis (misalnya fraktur os temporal,
fraktur basis kranii atau trauma lahir/forceps) atau karena operasi. Pada cedera
kepala sering terjadi fraktura os temporale parspetrosus yang selalu terlihat
pada foto rontgen.
4. Sindroma Guillain – Barre dan Miastenia Gravis
Pada kedua penyakit ini, perjalanan dan gambaran penyakitnya khas dan
paresis hampir selalu bilateral.
5. Tumor Intrakranialis
20
Semua neoplasma yang mengenai sepanjang perjalanan N.VII dapat
menyebabkan paresis fasialis. Tumor intra kranial yang tersering yaitu tumor
sudut serebelo pontis. Di sini selain terdapat paresis N.VII juga biasanya
ditemukan adanya lesi N.V dan N.VIII. tumor yang lain misalnya Ca-
nasofaring (biasanya disertai dengan kelainan saraf kraniales lain) dan tumor
kelenjar parotis.
6. Leukimia
Paresis fasialis disebabkan karena infiltrat sel-sel lekemia. Paresis terjadi
bilateral dan simultan. Diawali dengan rasa nyeri di dalam kepala atau telinga
dan tuli.
2.10 Penatalaksanaan 1,4,5
1. Terapi medikamentosa :
Kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah
prednison atau methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan
diturunkan secara bertahap (tappering off) selama 7 hari.
Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortioksteroid.
Penggunaan Aciclovir 400 mg sebanyak 5 kali per hari P.O selama
10 hari. Atau penggunaan Valacyclovir 500 mg sebanyak 2 kali per
hari P.O selama lima hari, penggunaan Valacyclovir memiliki efek
yang lebih baik.
21
Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatasi peros
dengan ACTH im 40-60 satuan selama 2 minggu dapat dipercepat
penyembuhan.
Analgesic untuk menghilangkan rasa nyeri.
Kortikosteroid oral mengurangi peradangan saraf wajah pada pasien
dengan Bell’s palsy. Tiemstra JD and Khathare N melalui penelitian Meta-
analisis dari tiga uji coba terkontrol secara acak membandingkan
kortikosteroid dengan plasebo ditemukan pengurangan kecil dan secara
statistik tidak signifikan dalam persentase.
Ada Karena Peran Kemungkinan HSV-1 dalam penyebab Bell palsy, obat
antivirus acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex) telah mempelajari
tulang manfaat dalam pengobatan. Asiklovir 400 mg lima kali per hari selama
tujuh hari atau valacyclovir 1 g tiga kali per hari selama tujuh hari. Dua
terakhir uji coba terkontrol plasebo menunjukkan pemulihan penuh dalam
persentase yang lebih tinggi pasien diobati dengan obat antivirus dalam
kombinasi dengan prednisolon dibandingkan dengan prednisolon saja (100
persen dengan 91 persen dan 95 persen dengan 90 persen).
Namun, tidak bermanfaat terlihat Ketika pengobatan tertunda lebih dari
empat hari setelah timbulnya gejala (86 persen dengan 87 persen). Mengingat
profil keamanan kortikosteroid oral asiklovir, valasiklovir, dan jangka pendek.
Pasien yang hadir di dalam-tiga hari dari timbulnya gejala dan yang tidak
harus menentukan kontraindikasi obat harus ditawarkan terapi kombinasi.
Pasien yang datang dengan kelumpuhan saraf wajah lengkap memiliki tingkat
22
lebih rendah pemulihan spontan dan mungkin lebih mungkin memperoleh
manfaat dari pengobatan.
2. Terapi operatif
Indikasi terapi operatif yaitu:2
Produksi air mata berkurang menjadi < 25%
Aliran saliva berkurang menjadi < 25%
Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5
mA.
Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of Neurology saat
ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bell’s palsy.
Komplikasi yang paling umum dari pembedahan adalah pasca operasi yaitu
berkurangnya pendengaran yang mempengaruhi 3 sampai 15 persen pasien.
Berdasarkan potensi yang signifikan untuk kerugian dan kurangnya manfaat
data pendukung, American Academy of Neurology saat ini tidak
merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bell’s palsy.8
McAllister K pada penelitian juga menyimpulkan demikian bahwa ada
bukti kualitas yang sangat rendah dan ini tidak cukup untuk memutuskan
apakah operasi akan bermanfaat atau merugikan pada pengelolaan palsy Bell.
Penelitian ini tidak secara statistik membandingkan kelompok tetapi nilai dan
ukuran kelompok menyarankan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
secara statistik. Studi kedua melaporkan tidak ada perbedaan statistik yang
signifikan antara kelompok mereka dioperasikan dan kontrol. Satu pasien
yang dioperasikan dalam studi pertama memiliki 20 dB kehilangan
pendengaran sensorineural dan vertigo yang persisten. Penelitian lebih lanjut
23
ke dalam peran operasi tidak mungkin dilakukan karena pemulihan spontan
terjadi dalam banyak kasus.
3. Rehabilitasi Medik
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu
dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada
Bell’s palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah
dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita
tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program
yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,
psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi
wicara tidak banyak berperan.
4. Perawatan mata :
Tindakan yang dilakukan antara lain:
Memakai salep mata (golongan artifial tears) 3x sehari dan salep mata.
Mamakai kaca mata untuk mencegah iritasi debu dan cahaya.
Kelopak mata diplaster agar tetap dalam keadaan tertutup.
Bila keadaan terlalu berat maka dilakukan tarsorafi ataupun blefarofati
dengan menjahit dan mendekatkan kedua kelopak atas dengan bawah.
Pada tempat jahit diberikan salep antibiotika.
2.11 Komplikasi 1,4
1. Crocodile tear phenomenon
24
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi
yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi
menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri,
selalu timbul gerakan bersama. Contohnya yaitu:
Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan
(involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya
dahi.
Pada saat meperlihatkan gigi (menyeringai), maka mata penderita pada
sisi sakit manjadi tertutup.
Bila penderita menggerakkan suatu bagian wajahnya, maka semua otot
wajah pada sisi lumpuh manjadi kontraksi.
Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang
mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang
salah/keliru.
3. Clonic fasial spasm (Hemifacial spasm)
Timbul “kedutan” (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) pada wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1 sisi wajah
saja tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya. Bila
mengenai kedua sisi wajah, maka tidak terjadi bersamaan pada kedua sisi
wajah.
25
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi
ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa
bulan atau 1-2 tahun kemudian. Kecuali sebagai komplikasi bell’s palsy, maka
hemifacial spasm dapat disebabkan oleh kompresi N.VII oleh tumor atau
aneurisme pada daerah sudut serebelo pontis atau lengkungan arteri serebeler
antero inferior yang berlebihan atau arteri auditorius internus.
4. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis
lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat.
Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada
waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.
2.12 Prognosis 1,4
Penderita Bell’s Palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
Usia di atas 60 tahun
Paralisis komplit
Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang
lumpuh
Nyeri pada bagian belakang telinga
Berkurangnya air mata.
26
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik yaitu sekitar 80-90% penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tiga bulan tanpa ada kecacatan.
Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh
total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30
tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15% antara sembuh total
dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka
penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita non diabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang
non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s
palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh
ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
BAB III
27
KESIMPULAN
1. Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi
secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak
menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis.
2. Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu teori
iskemik vaskuler, teori infeksi virus, teori herediter, teori imunologi.
3. Gambaran klinis bell’s palsy dapat berupa hilangnya semua gerakan
volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi
akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut
mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini dan
lagoftalmus.
4. Penatalaksanaannya dengan terapi medikamentosa yaitu kortikosteroid,
vitamin B1, B6 dan B12, analgesic, penggunaan obat antiviral (acyclovir).
Juga dilakukan rehabilitasi medik, perawatan mata seperti memakai obat
salap mata (golongan artifial tears), memakai kaca, kelopak mata diplaster
dan jika keadaan terlalu berat pada lagoftalmus dilakukan tarsorafi ataupun
blefaroplasti.
5. Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik yaitu sekitar 80-90% penderita
sembuh sempurna dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tiga bulan
tanpa adanya faktor resiko yang memperberat.
28