Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

36
Patofisiologi Asites pada Sirosis Hepatis

description

sirosis hepatis

Transcript of Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Page 1: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Patofisiologi Asites pada Sirosis Hepatis

Page 2: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Daftar Isi

Daftar Isi ..................................................................................................................... 1

Pendahuluan ............................................................................................................... 2

Isi

Definisi .................................................................................................................... 4

Patofisiologi ............................................................................................................. 5

Manifestasi Klinis .................................................................................................. 14

Diagnosis ............................................................................................................... 14

Penatalaksanaan ..................................................................................................... 16

Prognosis ............................................................................................................... 19

Kesimpulan ............................................................................................................... 20

Daftar Pustaka .......................................................................................................... 21

1

Page 3: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis

hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar

dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis

hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat,

distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.

Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum

adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-

gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari

proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis.

Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.

Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis

menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis), biliaris, kardiak,

dan metabolik, keturunan, dan terkait obat. Di negara barat yang tersering akibat

alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C.

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu

pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain.

Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera

makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-

laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya

dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih

menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta,

meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi.

Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,

gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah

darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar

konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.1

Asites terjadi pada 50% pasien dalam waktu 10 tahun dari diagnosis sirosis

kompensata. Ini merupakan indikator prognosis yang buruk, dengan 50% 2 tahun

2

Page 4: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

kelangsungan hidup, memburuk secara signifikan hingga 20% menjadi 50% pada 1

tahun ketika asites menjadi refrakter terhadap terapi medis. Asites juga merupakan

predisposisi terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa seperti peritonitis bakteri

spontan dan sindrom hepatorenal, dan karena itu merupakan indikasi utama untuk

transplantasi hati.2

Sebagian besar (75%) dari pasien yang hadir dengan asites yang mendasarinya adalah

sirosis, dengan sisanya karena keganasan (10%), gagal jantung (3%), TBC (2%),

pankreatitis (1%), dan penyebab langka lainnya. Di UK kematian karena sirosis telah

meningkat dari 6 per 100.000 penduduk di 1993 menjadi 12,7 per 100.000 penduduk

di tahun 2000. Sekitar 4% dari populasi memiliki fungsi hati yang abnormal atau

penyakit hati, dan sekitar 10-20% dari mereka dengan salah satu dari tiga penyakit

hati kronis yang paling umum (perlemakan hati non-alkoholik, penyakit hati

alkoholik, dan hepatitis C kronis).3

Manajemen yang efektif dari asites memerlukan pemahaman menyeluruh tentang

patofisiologi pembentukan asites dan alasan untuk berbagai modalitas pengobatan.2

3

Page 5: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

BAB II

PEMBAHASAN

Definisi

Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat

disebabkan oleh banyak penyakit.4,5,6 Istilah "asites" berasal dari istilah Yunani

"Askos" yang berarti kantung. Asites merupakan manifestasi yang sangat umum dari

sirosis dekompensata.7

Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui 2

mekaisme dasar yaitu transudasi dan eksudasi:6

Asites eksudatif memiliki kandungan protein tinggi dan terjadi pada

peradangan (biasanya infektif, misalnya TB) atau proses keganasan

Asites transudatif terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan

bersihan (clearance) natrium ginjal. Konstriksi perikardium dan sindrom

nefrotik juga bisa menyebabkan asites transudatif.

Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah

satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme

transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan

tanda prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan

pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites

akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu asites harus

dikelola dengan baik.1

Menurut International Ascites Club, asites diklasifikasikan sebagai kelas 1, 2 dan 3

berdasarkan keparahannya.

4

Page 6: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Tabel 1. Klasifikasi asites8

Grade 1 (mild) Tidak terdeteksi secara klinis, didiagnosis dengan USG

Grade 2 (moderate) Dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik, distensi abdomen

masih proporsional

Grade 3 (severe) Distensi perut terlihat

Patofisiologi

Meskipun manifestasi asites sudah dapat dikenali dengan baik, patogenesis asites

tetap tidak sepenuhnya dipahami dan masih terus berkembang.7

Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori itu

misalnya under-filling, overflow dan periferal vasodilation. Menurut teori underfilling

asites dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan

hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa

ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan

intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air dan

garam melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila volume

cairan intravaskular sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian

selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hati terjadi vasodilatasi

perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume cairan intravaskular dan

curah jantung.4

5

Page 7: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Gambar 1. Patogenesis pembentukan asites berdasarkan teori “underfilling” 9

Teori overflow mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma akibat

reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktivitas

hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormon natriuretik karena

penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan kelanjutan asites

menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan

neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites.4

6

Page 8: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Gambar 2. Patogenesis pembentukan asites berdasarkan teori “overflow”9

Evolusi dari kedua teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini, faktor

patogenesis pembentukam asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang

sering disebut sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut

faktor sistemik.

Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi sistem

porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan

vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan resistensi sitem

porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanchnic bed

menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan

tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan

terkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara

lain: glukagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin,

faktor natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P,

progtaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).

7

Page 9: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Vasodilator endogen pada saatnya akan memengaruhi sirkulasi arterial sistemik.

Terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling relatif.

Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf parasimpatik, sistem

renin-angiotensin-aldosteron dan arginin vasopresin. Akibat selanjutnya adalah

peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.4

Gambar 3. Patogenesis abnormalitas fungsi ginjal dan pembentukan asites

berdasarkan teori vasodilatasi perifer.9

8

Page 10: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Sebuah teori yang saat ini berlaku, muncul setelah teori "overflow" dan "underfill".

Sebuah gambaran singkat dari pandangan ini meliputi:

1. Cedera terus-menerus pada hati karena faktor eksogen, misalnya alkohol

kronis atau virus atau steatohepatitis non-alkohol (NASH)

2. Disposisi genetik

3. Proses inflamasi yang terus-menerus, nekrosis dan deposisi

kolagen/regenerasi, semua bergabung untuk membentuk menjadikan hepar

yang sebelumnya mempunyai resistensi rendah menjadi resistensi tinggi,

misalnya spektrum fibrosis dengan disfungsi otot polos pembuluh darah

Proses-proses ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena porta, yaitu,

hipertensi portal. Vena porta biasanya mempunyai panjang 8 cm dan berdiameter <13

mm. Vena porta dibentuk oleh gabungan vena limpa dan vena mesenterika superior.

Vena mesenterika inferior memasuki salah satu dari pembuluh ini, atau bisa juga pada

pertemuannya, cukup bervariasi. Hipertensi portal didefinisikan pada tekanan 6

mmHg atau lebih. Pembentukan asites biasanya terjadi pada 8 mmHg atau lebih.

Untuk lengkapnya, diketahui bahwa dekompensasi klinis lebih lanjut dalam

pembentukan varises (10 mmHg), peningkatan risiko perdarahan varises (12 mmHg)

dan risiko perdarahan varises berulang (20 mmHg). Urutan klinis ini menandakan

morbiditas dan mortalitas yang signifikan dan dapat terjalin dengan komplikasi lebih

jauh, yaitu ensefalopati hepatik (hepatic encephalopathy/HE), peritonitis bakterialis

spontan (spontaneous bacterial peritonitis/SBP), hepato-hydrothorax (HHT), dan

sindrom hepatorenal (HRS).

Dengan demikian dalam hipertensi portal, aliran balik dan stasis zat vasodilator,

misalnya nitric oxide, mulai menumpuk. Hal ini menyebabkan vasodilatasi splanknik

dengan akibat hipoperfusi (meskipun sebenarnya keadaan euvolemik atau

hipervolemi) dari sistem ginjal. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS)

diaktifkan sehingga menyebabkan retensi cairan agresif. Singkatnya, renin disekresi

dari aparat juxtaglomerular ginjal (JGA) di sekitar nefron proksimal dalam

menanggapi perubahan tekanan pembuluh darah, perubahan natrium serum, dan dari

aktivasi sistem saraf simpatik. Ini pada gilirannya akan mengubah angiotensinogen

(dibuat di hati) menjadi angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II

oleh angiotensin converting enzyme (ACE) di paru-paru. Angiotensin II memiliki

9

Page 11: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

beberapa fungsi penting yang mendorong retensi cairan, termasuk stimulasi rasa haus,

pelepasan aldosteron dari zona glomerulosa korteks adrenal, dan sekresi vasopresin

dari hipofisis posterior. Volume darah yang berlebihan ini akhirnya bocor dari

pembuluh mesenterika. Mekanisme yang terakhir ini terjadi karena peningkatan

hidrostatik dan permeabilitas dinding pembuluh darah, dan secara bersamaan

menurunnya tekanan onkotik (osmotik) cairan dalam bentuk hipoalbuminemia absolut

atau relatif. Ketiga parameter tersebut, seperti yang dijelaskan dalam hukum Starling,

membanjiri kapasitas reabsorpsi dari permukaan peritoneal dan sistem limfatik.

Normalnya, rongga peritoneal memiliki tekanan 5-10 mmHg, mengandung sekitar 25-

50 ml cairan serosa. Cairan ini membuat lapisan dengan resistensi rendah di mana

usus dapat bergerak melewati satu sama lain dan selanjutnya menghidrasi permukaan

serosa untuk menjaga kelenturan dan integritas usus. Penyerapan maksimum cairan

dari peritoneum adalah sekitar 850 ml/hari dalam pengaturan optimal. Absorpsi ini

memberikan teori di mana dialisis peritoneal beroperasi. Hal ini dapat diamati bahwa

perubahan dalam sifat-sifat dari sistem limfatik atau permukaan peritoneal, baik oleh

proses inflamasi, infeksi atau fibrotik dapat mengubah reabsorpsi optimal. Dengan

demikian, disregulasi terus-menerus parameter ini dapat menyebabkan retensi cairan

asites yang lebih lanjut.7

1 Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009: 668-72.2 Yeung E, Wong FS. The management of cirrhotic ascites. Medscape General Medicine. 2002;4(4).3 Moore, K P, G P Athal. Guidelines on management of ascites in cirrhosis. Gut 2006;55;1-12. 4 Hirlan. Asites. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009: 674-6.5 Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jilid 2. Jakarta: EGC; 2012: 498-9.6 Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2006: 47-8.7 Moore CM, Thiel DHV. Cirrhotic ascites review: Pathophysiology, diagnosis and management. World J Hepatol. May 27, 2013; 5(5): 251–263.8 Kashani A, Landaverde C, Medici V, Rossaro L. Fluid retention in cirrhosis: pathophysiology and management. Q J Med 2008; 101:71–85.9 Heneghan MA, Harrison PM. Pathogenesis of ascites in cirrhosis and portal hypertension. Med Sci Monit, 2000; 6(4): 807-816.

10

Page 12: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Pada tahap akhir sirosis, akumulasi air akan lebih berat dan banyak daripada retensi

natrium dan menyebabkan hiponatremia dilusional. Hal ini menjelaskan mengapa

pasien sirosis dengan asites menunjukkan retensi sodium urin, peningkatan natrium

tubuh, dan hiponatremia dilusional. 10

Teori lain mengatakan proses awal dalam pembentukan asites pada pasien sirosis

adalah hipertensi sinusoidal. Pada pasien sirosis, ini merupakan konsekuensi dari

distorsi arsitektur hati dan peningkatan tonus vaskular hepar. Penurunan

bioavailabilitas hepar terhadap nitric oxide (NO), dan peningkatan produksi

vasokonstriktor (misalnya angiotensin, endothelin, cysteinyl-leukotrien, dan

tromboksan) berperan meningkatkan tonus vaskular hati. Portal hipertensi akibat

peningkatan tekanan sinusoidal, mengaktifkan mekanisme vasodilatasi. Mekanisme

ini, sebagian besar dimediasi oleh overproduksi NO, menyebabkan vasodilatasi

splanchnic dan arteriolar perifer. Pada tahap lanjut dari sirosis, vasodilatasi arteriol

menyebabkan underfilling ruang vaskular arteri sistemik. Hal ini, melalui penurunan

volume darah efektif menyebabkan penurunan tekanan arteri. Akibatnya, terjadi

aktivasi baroreceptor yang mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron

(RAAS), sistem saraf simpatik dan pelepasan ADH untuk mengembalikan

homeostasis darah normal. Ini menyebabkan retensi natrium dan air lebih lanjut. Di

sisi lain, vasodilatasi splanchnic meningkatkan produksi getah bening splanchnic

melebihi kapasitas sistem transportasi getah bening dan menyebabkan kebocoran

cairan getah bening ke dalam rongga peritoneal.8

10 Cesario KB, Choure A, Carey WD. Cirrhotic Ascites. Diunduh dari http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/hepatology/complications-of-cirrhosis-ascites/#pathophysiology pada tanggal 20 Juli 2014.

11

Page 13: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Gambar 4. Patofisiologi asites dan sindrom hepatorenal8

Beberapa faktor yang turut terlibat dalam patogenesis asites pada sirosis hati:3,5,9

1. Hipertensi porta

Sirosis menyebabkan perubahan struktural utama dalam hati dan ini

menyebabkan gangguan sirkulasi intrahepatik. Pembentukan nodul dan

sintesis kolagen progresif mengubah pembuluh darah hati yang normal dan

meningkatkan resistensi portal aliran darah. Pengendapan kolagen dalam

ruang Disse dapat menyempitkan sinusoid dan mengurangi distensibilitas

mereka mengakibatkan obstruksi mekanik lebih lanjut pada aliran darah.

Hal ini juga menjadi jelas bahwa selain perlawanan pasif ini, terdapat juga

komponen aktif perlawanan dalam bentuk sel stellata hati yang sering

ditemukan di sekitar sinusoid dalam nodul regeneratif dan venula dalam septa

fibrosa. Dalam kondisi yang berhubungan dengan cedera hati kronis, sel-sel

12

Page 14: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

stellata berkembang biak dan mengalami transformasi yang ditandai oleh

perkembangan sifat kontraktil yang mirip dengan sel-sel otot polos pembuluh

darah. Sementara sel stellata menjadi reseptor untuk zat vasokonstriktor

seperti endotelin, ADH, angiotensin II dan tromboksan A2, sel stellata juga

mampu mensintesis endotelin dan meningkatkan kontraksi seluler. Oleh

karena itu, mekanisme baik pasif dan aktif berperan dalam peningkatan

resistensi vaskular pada sirosis.

Hipertensi portal juga menginduksi perubahan besar dalam sirkulasi

splanknik termasuk vasodilatasi arteriol. Peningkatan volume darah ini

meningkatkan tekanan dalam sirkulasi portal. Oleh karena itu aliran masuk ke

hati tetap tinggi bahkan meningkat, ditandai dengan adanya sirkulasi

kolateral. Hal ini juga menegakkan bahwa vasodilatasi arteriol dapat

mempengaruhi peningkatan filtrasi cairan. Hipertensi portal kronis berefek

pada peningkatan yang lebih besar dalam tekanan kapiler usus dan aliran

getah bening daripada kenaikan akut pada tekanan porta dalam jumlah yang

sama. Hal ini disebabkan hilangnya mekanisme autoregulasi normal

mikrosirkulasi splanknikus.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa hipertensi portal penting dalam

patogenesis asites. Pertama, tekanan portal yang lebih besar dari 12 mmHg

diperlukan untuk pengembangan asites, dan tekanan yang lebih tinggi

berbanding terbalik dengan ekskresi natrium urin. Kedua, pasien dengan

perdarahan varises esofagus yang diobati dengan shunts portasystemic

memiliki kemungkinan lebih rendah mengembangkan ascites dibandingkan

pasien yang diobati dengan teknik penghilangan varises seperti sclerotherapy.

Ketiga, penurunan tekanan portal yang oleh end-to-side atau side-to-side

shunt portacaval adalah cara yang efektif untuk mengurangi ascites refrakter

meskipun morbiditas dan mortalitas tinggi. Terakhir, terdapat perbaikan pada

kelainan fungsi ginjal dan pengurangan volume ascites pada pasien dengan

Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) in situ.

2. Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis yang dihasilkan oleh

sel-sel hati yang terganggu. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya

tekanan osmotik koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang

meningkat dengan tekanan osmotik yang menurun dalam jaringan pembuluh

13

Page 15: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

darah intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang

intravaskular ke ruang interstisial sesuai dengan hukum gaya Starling (ruang

peritoneum dalam kasus asites).

3. Meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati

Hipertensi porta kemudian meningkatkan pembentukan limfe hepatik, yang

“menyeka” dari hati ke dalam rongga peritoneum. Mekanisme ini dapat turut

menyebabkan tingginya kandungan protein dalam cairan asites, sehingga

meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan rongga peritoneum dan

memicu terjadinya transudasi cairan dari rongga intravaskular ke ruang

peritoneum.

4. Retensi natrium dan gangguan ekskresi air

Salah satu peristiwa penting dalam patogenesis disfungsi ginjal dan retensi

natrium pada sirosis adalah berkembangnya vasodilatasi sistemik, yang

menyebabkan penurunan volume darah arteri efektif dan sirkulasi

hiperdinamik. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan fungsi

vaskular tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan peningkatan sintesis nitrit

oksida vaskular, prostasiklin, serta perubahan konsentrasi plasma glukagon,

substansi P, atau gen kalsitonin terkait peptide.

Namun, perubahan hemodinamik bervariasi dengan postur, dan studi telah

menunjukkan perubahan yang nyata dalam sekresi peptida natriuretik atrium

dengan postur tubuh, serta perubahan sistemik hemodinamik. Selain itu, data

menunjukkan penurunan volume arterial efektif pada sirosis telah

diperdebatkan. Hal ini telah disepakati bahwa bagaimanapun dalam kondisi

terlentang dan pada hewan percobaan, terdapat peningkatan curah jantung dan

vasodilatasi.

Perkembangan vasokonstriksi renal pada sirosis adalah sebagian respon

homeostatis yang melibatkan peningkatan aktivitas simpatik ginjal dan

aktivasi sistem renin-angiotensin untuk menjaga tekanan darah selama

vasodilatasi sistemik. Penurunan aliran darah ginjal menurunkan laju filtrasi

glomerulus sehingga pengiriman dan ekskresi fraksional natrium. Sirosis

dikaitkan dengan peningkatan reabsorpsi natrium baik pada tubulus proksimal

dan tubulus distal. Peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus distal adalah

karena peningkatan konsentrasi aldosteron di sirkulasi. Namun, beberapa

pasien dengan asites memiliki konsentrasi aldosteron plasma normal, yang

14

Page 16: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

mengarah ke saran bahwa reabsorpsi natrium di tubulus distal mungkin

berhubungan dengan sensitivitas ginjal yang meningkat tehadap aldosteron

atau mekanisme lain yang tidak diketahui.

Pada sirosis terkompensasi, retensi natrium dapat terjadi pada tidak adanya

vasodilatasi dan hipovolemia efektif. Hipertensi portal sinusoidal dapat

mengurangi aliran darah ginjal bahkan tanpa adanya perubahan hemodinamik

dalam sirkulasi sistemik, menunjukkan adanya hepatorenal reflex. Demikian

pula, selain vasodilatasi sistemik, keparahan penyakit hati dan tekanan portal

juga berkontribusi terhadap abnormalitas penanganan natrium dalam sirosis.

Manifestasi Klinis

Pasien biasanya menyadari peningkatan lingkar perut yang sering disertai dengan

perkembangan edema perifer. Perkembangan asites biasanya perlahan, dan cukup

mengejutkan bahwa beberapa pasien menunggu begitu lama hingga perutnya begitu

buncit sebelum mencari perhatian medis. Pasien biasanya memiliki setidaknya 1-2 L

cairan di perut sebelum mereka sadar bahwa ada peningkatan. Jika cairan asites

sangat besar, fungsi pernafasan akan terganggu, dan pasien akan mengeluh sesak

napas. Hidrothoraks hepatik juga dapat terjadi dalam proses ini, memberikan

kontribusi untuk gejala pernafasan. Pasien dengan asites masif sering kurang gizi,

terjadi pengecilan otot, kelelahan yang berlebihan dan kelemahan.5

Diagnosis

Asites lanjut amat mudah dikenali. Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar

abdomen. Penimbunan cairan yang sangat nyata dapat menyebabkan napas pendek

karena diafragma meningkat.5 Pada inspeksi akan tampak perut membuncit seperti

perut katak, umbilikus seolah bergerak ke arah kaudal mendekati simpisis os pubis.

Dapat terlihat gelombang cairan.5,7 Sering dijumpai hernia umbilikalis akibat tekanan

intraabdomen yang meningkat. Pada perkusi, pekak samping meningkat dan terjadi

shifting dullness. Asites yang masih sedikit belum menunjukkan tanda-tanda fisis

yang nyata. Diperlukan cara pemeriksaan khusus misalnya dengan pudle sign untuk

menemukan asites. Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi untuk

15

Page 17: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

mendeteksi asites adalah ultrasonografi. Untuk menegakkan diagnosis asites,

ultrasonografi mempunyai ketelitian yang tinggi.

Parasentesis diagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites baru.

Pemeriksaan cairan asites dapat memberikan informasi yang amat penting untuk

pengelolaan selanjutnya, misalnya:4,7

1. Gambaran makroskopik

Cairan asites hemoragik, sering dihubungkan dengan keganasan. Warna

kemerahan dapat juga dijumpai pada asites karena sirosis hati akibat ruptur

kapiler peritoneum. Chillous ascites merupakan tanda ruptur pembuluh limfe,

sehingga cairan limfe tumpah ke peritoneum

2. Gradien nilai albumin serum dan asites (serum ascites-to-albumine

gradient/SAAG). Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites

yang ada hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Disepakati

bahwa gradien dikatakan tinggi bila nilainya > 1,1 gram/dL. Kurang dari nilai

itu disebut rendah. Gradien tinggi terdapat pada asites transudasi dan

berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan nilai gradien rendah lebih

sering terdapat pada asites eksudat. Sensitivitas tes ini adalah sebesar 97%.

Konsentrasi protein asites kadang-kadang dapat menunjukkan asal asites,

misalnya: protein asites < 3 gram/dl lebih sering terdapat pada asites transudat

sedangkan konsentrasi protein > 3 gram/dl sering dihubungkan dengan asites

eksudat. Pemeriksaan ini terbukti tidak akurat karena nilai akurasinya hanya

kira-kira 40%.

3. Hitung sel

Peningkatan jumlah sel leukosit menunjukkan proses inflamasi. Untuk menilai

asal infeksi lebih tepat diunakan hitung jenis sel. Sel PMN yang meningkat

lebih dari 250/mm3 menunjukkan peritonitis bakteri spontan, sedangkan

peningkatan MN lebih sering terjadi pada peritonitis tuberkulosa atau

karsinomatosis.

4. Biakan kuman

Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites yang dicurigai

terinfeksi. Asites yang terinfeksi akibat perforasi usus akan menghasilkan

kuman polimikroba sedangkan peritonitis bakteri spontan monomikroba.

16

Page 18: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Metode pengambilan sampel untuk biakan kuman asites sebaiknya disamakan

dengan sampel untuk biakan kuman dari darah yaitu bed side innoculation

blood culture bottle

5. Pemeriksaan sitologi

Pada kasus-kasus karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan sitologi asites

dengan cara yang baik memberikan hasil true positive hampir 100%. Sampel

untuk pemeriksaan sitologi harus cukup banyak (kira-kira 200 ml) untuk

meningkatkan sensitivitas. Harus diingat banyak tumor penghasil asites tidak

melalui mekanisme karsinomatosis peritoneum sehingga tidak dapat

dipastikan melalui pemeriksaan sitologi asites. Tumor-tumor itu misalnya:

karsinoma hepatoselular masif, tumor hati metastasis, limfoma yang menekan

aliran limfe.

Penatalaksanaan

Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi:4,7

Tirah baring

Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien asites

transudat yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika

tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi

glomerulus akibat tirah baring. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas

simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud

dengan tirah baring disini bukan istirahat total di tempat tidur sepanjang hari,

tetapi tidur terlentang, kaki sedikit diangkat, selama beberapa jam setelah

minum obat diuretika.

Diet

Pasien dengan asites yang sedikit biasanya dapat dikelola dengan diet

pembatasan sodium saja. Kebanyakan diet rata-rata di Amerika Serikat

mengandung 6-8 g sodium per hari, dan jika pasien makan di restoran atau

gerai makanan cepat saji, jumlah sodium dalam diet mereka dapat melebihi

jumlah ini. Oleh karena itu, seringkali sangat sulit untuk mendapatkan pasien

untuk mengubah kebiasaan makan mereka untuk menelan <2 g natrium per

17

Page 19: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

hari, yang merupakan jumlah yang disarankan. Seringkali, rekomendasi

sederhana adalah dengan mengonsumsi makanan segar, menghindari makanan

kalengan atau olahan, yang biasanya diawetkan dengan sodium.

Diet rendam garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi

garam (NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 mEq/hari.

Hiponatremia ringan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk

memberikan diet rendah garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites

transudat bersifat relatif. Jumlah total Na dalam tubuh sebenarnya di atas

normal. Biasanya diet rendah garam yang mengandung NaCl kurang dari 40

mEq/hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl yang amat rendah justru dapat

mengganggu fungsi ginjal.

Diuretika

Pada pasien dengan jumlah asites sedang, terapi diuretik biasanya diperlukan.

Secara tradisional, spironolactone 200 mg/hari sebagai dosis tunggal dimulai,

dan furosemide dapat ditambahkan pada 40-80 mg/hari, terutama pada pasien

yang memiliki edema perifer. Pada pasien yang belum pernah menerima

diuretik sebelumnya, kegagalan dosis yang disebutkan di atas menunjukkan

bahwa mereka tidak mematuhi diet rendah sodium. Jika kepatuhan

dikonfirmasi dan cairan asites tidak berkurang, spironolactone dapat

ditingkatkan menjadi 400-600 mg/hari dan furosemide meningkat menjadi

120-160 mg/hari.

Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai

antialdosteron, misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika

hemat kalium, bekerja di tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na.

Sebenarnya potensi natriuretik diuretika distal lebih rendah daripada diuretika

loop bila etiologi peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan

hiperaldosteronisme. Efektivitas obat ini lebih bergantung pada konsentrasinya

di plasma, semakin tinggi semakin efektif.

Diuretika loop sering dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini sebenarnya

lebih berpotensi daripada diuretika distal. Pada sirosis hati, karena mekanisme

utama reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, diuretika loop

menjadi kurang efektif.

Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah garam

dan terapi diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun

18

Page 20: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

400-800 gram/hari. Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan

dapat sampai 1500 gram/hari. Sebagian besar pasien berhasil baik dengan

terapi kombinasi tirah baring, diet rendah garam dan diuretika kombinasi.

Setelah cairan asites dapat dimobilisasi, dosis diuretika dapat disesuaikan.

Biasanya diet rendah garam dan spironolakton masih tetap diperlukan untuk

mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites tidak terbentuk lagi.

Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hati harus diwaspadai. Komplikasi itu

misalnya: gagal ginjal fungsional, gangguan elektrolit, gangguan

keseimbangan asam-basa, dan ensefalopati hepatikum. Spironolakton dapat

menyebabkan libido menurun, ginekomastia pada laki-laki, dan gangguan

menstruasi pada perempuan.

Terapi parasentesis dan TIPS

Jika asites masih ada dengan dosis diuretika di atas, dan pasien sudah

mematuhi diet rendah sodium, maka mereka didefinisikan sebagai asites

refrakter, dan modalitas pengobatan alternatif termasuk parasentesis berulang

bervolume besar, atau prosedur TIPS (Transjugular intrahepatic

portosystemic shunt) harus dipertimbangkan. Studi terbaru menunjukkan

bahwa TIPS tidak meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien ini.

Sayangnya, TIPS sering dikaitkan dengan peningkatan frekuensi ensefalopati

dan harus dipertimbangkan secara hati-hati pada setiap kasus.

Parasentesis sebenarnya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong

kuno. Pada mulanya karena berbagai komplikasi, parasentesis asites tidak lagi

disukai. Beberapa tahun terakhir ini parasentesis kembali dianjurkan karena

mempunyai banyak keuntungan dibandingkan terapi konvensional bila

dikerjakan dengan baik. Untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan

sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin parenteral sebanyak 6-8 gram.

Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap diberikan.

19

Page 21: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

Gambar 4. Penatalaksanaan asites11

Prognosis

Prognosis pada pasien sirosis dengan asites buruk, dan beberapa studi telah

menunjukkan bahwa <50% dari pasien bertahan hidup 2 tahun setelah timbulnya

asites. Dengan demikian, harus ada pertimbangan untuk transplantasi hati pada pasien

dengan timbulnya asites.7

11 (Gambar) Diunduh dari http://www.clinicaloptions.com/

20

Page 22: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

BAB III

KESIMPULAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis

hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar

dan pembentukan nodulus refeneratif. Asites terjadi pada 50% pasien dalam waktu 10

tahun dari diagnosis sirosis kompensata. Ini merupakan indikator prognosis yang

buruk, dengan 50% 2 tahun kelangsungan hidup, memburuk secara signifikan hingga

20% menjadi 50% pada 1 tahun ketika asites menjadi refrakter terhadap terapi medis.

Patogenesis asites dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu hipertensi porta,

hipoalbuminemia, meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati, serta retensi

natrium dan gangguan ekskresi air. Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan fisik,

dapat juga dengan USG dan parasentesis. Penatalaksanannya meliputi tirah baring,

diet rendah sodium, diuretika, parasintesis, hingga TIPS untuk asites refrakter.

21

Page 23: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata

M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna

Publishing; 2009: 668-72.

2. Yeung E, Wong FS. The management of cirrhotic ascites. Medscape General

Medicine. 2002;4(4).

3. Moore KP, Athal GP. Guidelines on management of ascites in cirrhosis. Gut

2006;55;1-12.

4. Hirlan. Asites. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati

S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;

2009: 674-6.

5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi

6. Jilid 2. Jakarta: EGC; 2012: 498-9.

6. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2006: 47-8.

7. Moore CM, Thiel DHV. Cirrhotic ascites review: Pathophysiology, diagnosis and

management. World J Hepatol. May 27, 2013; 5(5): 251–263.

8. Kashani A, Landaverde C, Medici V, Rossaro L. Fluid retention in cirrhosis:

pathophysiology and management. Q J Med 2008; 101:71–85.

9. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s

principles of internal medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012.

10. Heneghan MA, Harrison PM. Pathogenesis of ascites in cirrhosis and portal

hypertension. Med Sci Monit, 2000; 6(4): 807-816.

11. Cesario KB, Choure A, Carey WD. Cirrhotic Ascites. Diunduh dari

http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/

hepatology/complications-of-cirrhosis-ascites/#pathophysiology pada tanggal 20

Juli 2014.

12. (Gambar) Diunduh dari http://www.clinicaloptions.com/

22

Page 24: Referat Patofisiologi Asites Pada Sirosis Hepatis

23