Pujian ialah dugaan dan ujian. Kejian ialah pelajaran baru ...
Referat Penanganan Dugaan Malpraktek Medik_DM 37E
-
Upload
william-sulistyono -
Category
Documents
-
view
81 -
download
3
description
Transcript of Referat Penanganan Dugaan Malpraktek Medik_DM 37E
REFERAT
PENANGANAN DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK
Pembimbing :
Dr .H. Ahmad Yudianto, dr,Sp.F, SH, M.Kes
Penyusun :
Kelompok UHT 37-E
Periode 26 Mei 2014 – 29 Juni 2014
1. Luluk Al Chammidiyah 2007.04.0.0042
2. Gorbi Marindra 2008.04.0.0049
3. Hartanti Tri Priastuti 2009.04.0.0027
4. Nataniel Hadi Putra 2009.04.0.0028
5. Resti Victoria Fanggidae 2009.04.0.0030
6. Grace Devina Kandinata 2009.04.0.0033
7. William Sulistyono Putra 2009.04.0.0034
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2014
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PENANGANAN DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK
Hari : Kamis
Tanggal : 26 juni 2014
Tempat : Ruang Kuliah DM Departemen Instalasi Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
Penyusun :
Kelompok UHT 37-E
Periode 26 Mei 2014 – 29 Juni 2014
1. Luluk Al Chammidiyah 2007.04.0.0042
2. Gorbi Marindra 2008.04.0.0049
3. Hartanti Tri Priastuti 2009.04.0.0027
4. Nataniel Hadi Putra 2009.04.0.0028
5. Resti Victoria Fanggidae 2009.04.0.0030
6. Grace Devina Kandinata 2009.04.0.0033
7. William Sulistyono Putra 2009.04.0.0034
Koordinator Pendidikan Ilmu Pembimbing,
Kedokteran Forensik dan Medikolegal
FK Unair,
drg. Wieke Lutviandari, DFM Dr .H. Ahmad Yudianto, dr,Sp.F, SH, M.Kes
NIP.19600913 198711 2 001 NIP. 19730530 200604 1 019
I
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan tugas baca yang
berjudul “Penanganan dugaan malpraktek medik” dengan baik dan tepat
waktu. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dengan harapan dapat
dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan
penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan
dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. H. Hoediyanto, Sp.F (K) selaku Ketua Departemen Kedokteran
Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
2. Dr. dr. Ahmad Yudianto, Sp.F, SH, M.Kes selaku Kepala Instalasi
Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya
dan pembimbing dalam penulisan dan penyusunan referat ini.
3. drg. Wieke Lutviandari, DFM selaku Koordinator Pendidikan S1 Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UNAIR.
4. Segenap staf pengajar serta karyawan Instalasi Kedokteran Forensik
dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat bagi instansi
terkait, terutama demi kemajuan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya, Juni 2014
Penyusun
II
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................I
KATA PENGANTAR.......................................................................................II
DAFTAR ISI...................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Tujuan...................................................................................................3
1.2.1 Tujuan umum......................................................................….3
1.2.2Tujuan khusus..........................................................................3
1.3 Manfaat.................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................5
2.1 Malpraktek............................................................................................5
2.2 Malpraktek Medik..................................................................................6
2.3 Kelalaian Medik.....................................................................................7
2.3.1 Definisi………………………………………………………………..7
2.3.2 Perbedaan Kelalaian medik dengan malpraktek medik……...…8
2.4 Professionalmisconduct…………………………………………………..10
2.4.1 Definisi………………………………………………………………10
2.4.2 Pembagian………………………………………………………….11
2.5 Macam-macam Malpraktek.................................................................11
2.5,1 Macam-macam malpraktek berdasarkan norma etika dan
hukum………………………………………………………………...11
2.5.2 Macam-macam malpraktek berdasarkan penyebabnya………..17
2.6 Unsur-unsur Malpraktek......................................................................17
2.7 Sanksi pada Malpraktek......................................................................18
2.8 Badan yang berhak menangani kasus pelanggaran etik dan disiplin
kedokteran...........................................................................................31
2.9 Perlindungan hukum bagi dokter dan tenanga kesehatan..................37
III
2.10 Penanganan dugaan malpraktek......................................................39
2.11 Upaya pencegahan malpraktek........................................................41
BAB III PENUTUP........................................................................................43
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………43
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................46
IV
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam era global yang terjadi waktu ini, profesi kedokteran
merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat.
Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan yang
disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia sebagai induk
organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak
maupun media elektronik. Ikatan Dokter Indonesia menganggap sorotan-
sorotan tersebut sebagai suatu kritik yang baik terhadap profesi
kedokteran, agar para dokter dapat meningkatkan pelayanan profesi
kedokterannya terhadap masyarakat. Ikatan Dokter Indonesia menyadari
bahwa kritik yang muncul tersebut merupakan “puncak suatu gunung es”,
artinya masih banyak kritik yang tidak muncul ke pemukaan karena
keengganan pasien atau keluarganya menganggap apa yang dialaminya
tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Bagi Ikatan Dokter Indonesia,
banyaknya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter menggambarkan
bahwa masyarakat belum puas dengan pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh para dokter(Astuti, 2005).
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter
merupakan satu pertanda bahwa saat ini sebagian masyarakat belum
puas terhadap pelayanan medis dan pengabdian profesi dokter di
masyarakat. Pada umumnya ketidakpuasan para pasien dan keluarga
pasien terhadap pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat
dipenuhi oleh para dokter, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan
antara harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien(Astuti, 2005).
Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap
manusia. Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan
tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil makmur. Penyelenggaraan
upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah
dan masyarakat termasuk swasta. Agar penyelenggaraan upaya
1
kesehatan itu berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu
mengatur, membina dan mengawasi baik upayanya maupun sumber
dayanya(Astuti, 2005).
Mula-mula profesi dokter dianggap sebagai suatu profesi yang
sangat disanjung-sanjung karena kemampuannya untuk mengetahui hal-
hal yang tidak tampak dari luar. Bahkan seorang dokter dianggap sebagai
rohaniawan yang dapat menyembuhkan pasien dengan doa-doa(Astuti,
2005).
Dewasa ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan yang
pengetahuannya sangat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai
penyakit. Kedudukan dan peran dokter tetap dihormati, tetapi tidak lagi
disertai unsur pemujaan. Dari dokter dituntut suatu kecakapan ilmiah
tanpa melupakan segi seni dan artistiknya(Astuti, 2005).
Kesenjangan yang besar antara harapan pasien dengan kenyataan
yang diperolehnya menyusul dilakukannya merupakan predisposing
faktor. Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya
masih banyak faktor lain di luar kekuasaan dokter yang dapat
mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium penyakit,
kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan pasien
untuk mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor tadi dapat mengakibatkan
upaya medis (yang terbaik sekalipun) menjadi tidak berarti apa-apa. Oleh
sebab itu, tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya
medis penuh dengan uncertainty dan tidak dapat diperhitungkan secara
matematik(Astuti, 2005).
Di beberapa negara maju seperti United Kingdom, Australia dan
Amerika Serikat, kasus Malpraktek medik juga banyak terjadi bahkan
setiap tahun jumlahnya meningkat. Misalnya, di negara Amerika Serikat
pada tahun 1970-an jumlah kasus Malpraktek medik meningkat tiga kali
lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan keadaan ini terus
meningkat hingga pada tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh
berbeda dengan negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini
kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya Malpraktek medik
2
meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2006
hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medik atau bahasa
awamnya malpraktek yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia.
Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui sidang yang
dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
(Dokter Anak Online. 2013).
Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan Malpraktek ke
konsil kedokteran Indonesia atau KKI tercatat mencapai 183 kasus.
Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya 40
kasus dugaan Malpraktek. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak
mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya berakhir di tengah jalan,
tanpa adanya sanksi atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait.
Dari 183 kasus malpraktek di seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus
dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah, 33 kasus
dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis
anak. Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan
(Dokter Anak Online. 2013).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umumUntuk mengetahui informasi mengenai malpraktek medik
1.2.2 Tujuan khusus1. Memberi penjelasan mengenai perbedaan Malpraktek dan kelalaian
medik.
2. Memberi penjelasan mengenai macam-macam malpraktek medik
3. Memberi penjelasan mengenai unsur-unsur malpraktek medik
4. Memberi penjelasan mengenai sanksi pidana, perdata dan
administrasi terhadap pelanggaran malpraktek medik
5. Memberi penjelasan mengenai penanganan dugaan malpraktek
medik
6. Memberi penjelasan upaya pencegahan malpraktek medik
3
1.3 Manfaat1. Referat ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah dan
memberikan informasi tentang malpraktek dalam praktek
kedokteran.
2. Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukan bagi dokter
dan pasien mengenai malpraktek.
3. Secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan bagi dokter
untuk mengetahui penanganan dugaan malpraktek
4
BAB 2
PEMBAHASAN
1.1.Malpraktek
Malpraktek berasal dari terjemahan bahasa inggris mal-practice
yang diartikan sebagai praktik yang tidak benar atau adanya kesalahan
dalam berpraktik. Belum ada keseragaman untuk menterjemahkan istilah
malpractice ke dalam bahasa Indonesia. Ada beberapa istilah yang
dipergunakan antara lain malapraktek, malpraktek, malapraktik,
Malpraktek, dan sebagainya.
Akan tetapi, istilah yang benar menurut kamus Besar Bahasa
Indonesia Departemen Pendidikan Nasional yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka adalah “malapraktik” sedangkan dunia kedokteran menggunakan
istilah “Malpraktek”
Malpraktek merupakan istilah yang sifatnya sangat umum dan tidak
harus selalu berkonotasi yuridis. Berasal dari kata “mal” yang berarti salah
dan “praktek” yang berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga arti
harfiyahnya adalah “ pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun
arti harfiyahnya demikian, tetapi lazimnya istilah tersebut hanya digunakan
untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi (professional misconduct). Sedangkan profesi
mempunyai makna tersendiri yang tidak sama dan sebangun dengan
pekerjaan atau mata pencaharian, walaupun dalam batas yang wajar
dapat dimanfaatkan untuk mencari nafkah, seperti misalnya profesi medic
ataupun hukum(Dahlan, 2001).
Black’s Law dictionary mendefinisikan Malpraktek sebagai “
malpractice is a professional misconduct or unreasonable lack of skill or
failure of one rendering professional services to exercise that degree of
skill and learning commonly applied under all circumstances in the
community by the average prudent reputable member of the profession
with the result of injury, loss, or damage to the recipient of those services
or to those entitled to rely upon them”. Terjemahannya : pengertian
5
Malpraktek secara umum di atas menyebutkan adanya
kesembronoan( professional misconduct) atau ketidakcakapan yang tidak
dapat diterima( unreasonable lack of skill) yang diukur dengan ukuran
yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah
yang lazimnya dipraktikkan pada setiap situasi dan kondisi di dalam
komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-
rata(Jayanti, 2009).
1.2.Malpraktek medik
Terjadinya Malpraktek selalu dihubungkan dengan pelaksanaan
profesi tertentu, misalnya pengacara, notaries, wartawan, guru, dan
sebagainya. Tindakan dari tenaga kesehatan yang salah dalam rangka
pelaksanaan profesi di bidang kedokteran disebut Malpraktek
medik( Dahlan, 2001).
Malpraktek medis terjadi berawal dari adanya hubungan hukum
antara dokter dengan pasien dapat berjalan dengan baik apanila masing-
masing pihak menyadari hak dan kewajibannya. Namun demikian, tidak
semua hubungan hukum dalam perjanjian terapeutik dapat berjalan sesuai
dengan tujuan dan harapan masing-masing pihak, yaitu dokter dan
pasien/keluarganya(Dahlan, 2001).
Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran di lingkungan yang sama(Hanafiah, 1999).
Malpraktek medik menurut WMA( world medical Association) tahun
1992 adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan
perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien atau adanya
kekurangan ketrampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan
yang menimbulakn cedera pada pasien(Jayanti, 2009).
Malpraktek medik menurut Black’s Law Dictionary adalah setiap
sikap – tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam tingkat yang
tidak wajar. istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap-tindak dari
para dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan
6
pelayananprofesional dan melakukan pada tingkat keterampilan dan
kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-
rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau
kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh
kepercayaan terhadap mereka(Jayanti, 2009).
Malpraktek medik menurut The oxford illustrated dictiionary, 2nd
ed., 1975 adalah sikap tindak yang salah, (hukum) pemberian pelayanan
terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medik; tindakan ilegal untuk
memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi
kepercayaan(Guwandi, 1994).
Dari definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa Malpraktek
dapat terjadi karena:
Tindakan yang disengaja(intentional), seperti pada kelakuan
buruk(misconduct) tertentu
Tindakan kelalaian (negligence)
Ketidakmahiran atau ketidakkompetenan yang beralasan
Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan
hukum(Jayanti, 2009).
1.3.Kelalaian medik
1.3.1. Definisi
Kelalaian medik adalah suatu bentuk dari malpratek medis,
sekaligus merupakan bentuk Malpraktek yang paling sering terjadi. Pada
dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama
pada suatu keadaan dan situasi yang sama(Jayanti 2009).
Kelalaian dapat terjadi dalam tiga bentuk(Jayanti 2009):
a Malfeasance
Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat atau
tidak layak(unlawfull/improper), misalnya: melakukan tindakan
7
medis tanpa indikasi yang memadai( pilihan tindakan medis
tersebut sudah improper)
b Misfeasance
Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat namun dilaksanakan
dengan tidak tepat(improper performa), misalnya: melakukan
tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
c Nonfeasance
Tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika
kelalaian ini tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang
lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “ de
minimis noncurat lex”, yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang
dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi,
mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini
diklasifikasikan sebagai kelalaian berat( culpa lata), serius dan kriminil
(Hanafiah, 1999).
Tolak ukur culpa lata adalah (Hanafiah, 1999):
(1) Bertentangan dengan hukum
(2) Akibatnya dapat dibayangkan
(3) Akibatnya dapat dihindarkan
(4) Perbuatannya dapat dipersalahkan.
Jadi Malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan
pelayanan kedokteran di bawah standar.
1.3.2. Perbedaan kelalain medik dengan malpraktek
Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa sukar untuk
mengadakan pembedaan antara negligence dan malpractice. Menurut
pendapat mereka lebih baik malpractice dianggap sinonim saja dengan
professional negligence. Memang didalam literature penggunaan kedua
8
istilah itu sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya
sama(Guwandi, 1994).
Menururt (Guwandi, 1994), Kelalaian memang termasuk dalam arti
malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu harus terdapat unsur
kelalaian. Jika dilihat beberapa definisi di bawah ini ternyata bahwa:
Malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada negligence.
Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup
tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja(intentional, dolus,
opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan
tersirat ada motifnya( mens rae, guilty mind). Sedangkan arti negligence
lebih berintikan ketidaksengajaan(culpa), kurang teliti, kurang hati-hati,
acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain,
namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya. Harus
diakui bahwa kasus Malpraktek murni yang berintikan
kesengajaan(Malpraktek criminal) dan yang sampai terungkap ke
pengadilan memang tidak banyak. Demikian pula di luar negri yang
tuntutannya pada umumnya bersifat perdata atau pengganti kerugian.
Namun perbedaannya tetap ada. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Malpraktek dalam arti luas dapat dibedakan antara tindakan yang
dilakukan:
a) Dengan sengaja(dolus, vorsatz, willens en wetens handelen,
intentional) yang dilarang oleh peraturan perundang-
undangan, atau malpraktek dalam arti sempit, misalnya dengan
sengaja melakukan abortus provocatus tanpa indikasi medik,
melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medik yang
isinya tidak benar, dan sebagainya.
b) Tidak dengan sengaja(negligence, culpa) atau karena
kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena
lupa atau sembarangan sehingga pasien penyakitnya
bertambah berat dan kemudian meninggal.
9
Perbedaan yang lebih jelas tampak kalau kita melihat pada motif
yang dilakukan(Guwandi, 1994)., yaitu
a) Pada malpraktek(dalam arti sempit): tindakannya dilakukan secara
sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada
akibat yang hendak ditimbulkan atau tak perduli terhadap
akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui
bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.
b) Pada kelalaian: tidak ada motif atau pun tujuan untuk menimbulkan
akibat yang terjadi. Akibatnya yang timbul disebabkan karena
adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.
1.4.Professional misconduct
1.4.1. Definisi
Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat
dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin
profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, misalnya
sengaja melakukan tindakan yang merugikan pasien, penipuan(fraud),
“penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi,
keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran yang belum teruji/diterima, sengaja melanggar standar,
berpraktik tanpa surat izin praktik, berpraktik di luar kompetensinya, dan
lain-lain(Jayanti, 2009).
Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan
hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih kea rah pelanggaran
yang disengaja(deliberate violation) dengan suatu standar
tertentu(berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya berupa
error( berkaitan dengan informasi) (Jayanti, 2009).
10
1.4.2. Pembagian
Professional misconduct dibagi menjadi dua kelompok
yakni(Jayanti, 2009):
a) Tindakan Pelanggaran disiplin profesi
Melakukan Kesengajaan yang merugikan Pasien
Penggunaan IPTEKDOK yang belum teruji
Praktek tanpa SIP
Praktek diluar Kompetensi
Sengaja Melanggar standart,dll
b) Tindakan Pidana Umum
Fraud (Bohong)
Penahanan Pasien
Pelanggaran wajib simpan rahasia dokter
Aborsi Ilegal
Euthanasia
penyerangan seksual
1.5.Macam-macam Malpraktek
1.5.1. Macam-macam malpraktek berdasarkan norma etika dan
hukum
Mengingat di setiap profesi berlaku norma etika dan hukum maka
kesalahan praktek juga dapat diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua
norma tadi. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut Malpraktek etika
dan dari sudut pandang hukum disebut Malpraktek Yuridis/ legal(Jayanti,
2009).
Karena antara etika dan hukum terdapat perbedaan-perbedaan
yang menyangkut substansi, otorita, tujuan dan sanksi; maka ukuran
normative yang dipakai untuk menentukan malpraktek etik dan malpraktek
yuridis dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap
11
malpraktek etik merupakan malpraktek yuridis, tetapi semua bentuk
malpraktek yuridis sudah pasti merupakan Malpraktek etik(Jayanti, 2009).
A. Malpraktek etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan Etika
Kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat
standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan
dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi
kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dn
kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah
menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebih tepat dan lebih akurat
sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek
samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negatif dari kemajuan teknologi
kedokteran tersebut antara lain :
1. Kontak atau komunikasi antra dokter dengan pasien semakin
berkurang
2. Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis
3. Harga pelayanan medis semakin tinggi, dan sebagainya.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran
yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :
1. Di bidang diagnostik
Pemerikaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien,
kadangkala tidak diperlukan bilaman dokter mau memeriksa secara
lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk
memberikan “hadiah” kepada dokter yan mengirimkan pasiennya,
maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan
hadiah tersebut.
2. Di bidang terapi
12
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter
dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau
menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa
mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi
kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat
yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan
pasien juga merupakan malpraktek etik.
Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus selalu
dipergunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil
keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral.
Adapun empat pedoman tersebut adalah :
1. Menentukan indikasi medisnya
2. Mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihomati
3. Mempertimbngkan dampak tindakan yang akan dilakukan
terhadap mutu kehidupan pasien
4. Mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi
kondisi pasien, misalnya aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya
dan sebagainya.
B. Malpraktek Legal/Yuridis
Untuk legal/yuridis malpractice masih dibagi lagi menjadi tiga
kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar(Dahlan, 2001), yaitu
a) Malpraktek Criminal/Pidana
Suatu perbuatan dapat dikategorikan Malpraktek criminal
apabila memenuhi rumusan delik pidana. Pertama, perbuatan
tersebut (baik positive act ataupun negative act) harus merupakan
tercela (actus reus). Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang
salah (mens rea); yaitu berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence)
Contoh dari Malpraktek criminal yang sifatnya intensional
antara lain :
Melakukan aborsi tanpa indikasi medic
Melakukan euthanasialam
13
Membocorkan rahasia kedokteran
Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang
sedang dalam keadan emergensi meskipun tahu bahwa
tidak ada dokter lain yang akan menolongnya(negative act).
Menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar.
Membuat visum et repertum yang tidak benar
Memberikan keterangan yang tidak benar di sidang
pengadilan dalam kapasitasnya sebagai ahli.
Contoh dari Malpraktek criminal yang bersifat recklessness
antara lain :
Melakukan tindakan medik yang tidak lege artis
Melakukan tindakan medik tanpa informed consent
Sedangkan contoh dari Malpraktek criminal yang bersifat
negligence adalah:
Alpa atau kurang hati-hati sehingga meninggalkan gunting
dalam perut pasien.
Alpa atau kurang hati-hati sehingga pasien menderita luka-
luka (termasuk cacat)atau meninggal dunia.
Pada Malpraktek criminal, tanggung jawabnya selalu bersifat
individual (bukan korporasi) dan personal (hanya pada yang
melakukan). Oleh sebab itu dapat dialihkan kepada orang lain atau
kepada rumah sakit.
b) Malpraktek Civil/Perdata
Disebut Malpraktek civil jika dokter tidak melaksanakan
kewajibanya (ingkar janji), yaitu tidak memberikan prestasinya
sebagaimana yang telah disepakati.
Contohnya, seorang dokter ahli kandungan sepakat
menolong sendiri persalinan seorang wanita sesuai keinginan
wanita tersebut di suatu rumah sakit swasta. Mengingat
14
pembukaan jalan lahir baru mencapai satu sentimeter maka dokter
meninggalkanya untuk sesuatu keperluan yang diperkirakan tidak
lama. Ketika dokter tiba kembali di tempat ternyata pasien sudah
melahirkan dalam keadaan selamat dengan bantuan dokter lain.
Dalam kasus seperti ini dokter dapat di gugat atas dasar
Malpraktek civil untuk membayar ganti rugi immateriel, yaitu
perasaan cemas selama menunggu kedatangan dokter yang
sangat dipercayainya.
Tindakan dokter yang dapat di kategorikan Malpraktek civil
antara lain :
Tidak melakukan (negative act)apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan
Melakukan (positive act) apa yang menurut kesepakatan
wajib dilakukan tetapi terlambat
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan tetapi tidak sempurna.
Melakukan apa yang menurut kesepakatanya tidak
seharusnya dilakukan.
Pada Malpraktek civil,tanggung gugat (liability) dapat bersifat
individu atau korporasi. Selain itu dapat pula dialihkan kepada
pihak lain berdasarkan principle of vicarous libility (respondeat
superior, borrowed servant). Dengan prinsip ini maka rumah sakit
dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh
dokter-dokternya (sub-ordinatnya), asalkan dapat dibuktikan bahwa
tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah
sakit.
Doktrin ini sebenarnya baru mulai diterapkan di Amerika
sejak kasus Darling V.Charleston Comumnity Memorial Hospital
tahun 1965. Sebelumnya tak pernah ada rumah sakit dihukum
membayar ganti rugi atas dasar doctrine of charitable immunity,
sebab menghukum rumah sakit sama artinya dengan mengurangi
15
asetnya yang pada giliranya akan mengurangi kemampuanya untuk
menolong masyarakat.
Sejak kasus tersebut pandangan praktisi hukum mulai
berubah, apalagi sekarang ini banyak rumah sakit yang sudah
melupakan fungsi sosialnya serta dikelolah sebagaimana layaknya
sebuah perusahaan. Selain itu, dalam rangka melaksanakan
manajemen risiko banyak rumah sakit yang sudah mulai
memanfaatkan jasa asuransi (malpractice insurence) untuk
melindungi mereka dari kemungkinan gugatan ganti rugi yang
jumlahnya semakin hari semakin spektakuler.
c) Malpraktek administrative
Dikatakan malpraktek administrative jika dokter melanggar
hukum tata-usaha negara. Perlu diketahui bahwa dalam rangka
melaksanakan police power (the power of the state to protect the
health, safety, morals and general welfare of its citizen) yang
menjadi kewenanganya, pemerintah berhak mengeluarkan
berbagai macam peraturan di bidang kesehatan untuk menjalankan
profesi medik, batas kewenangan serta kewajibanya. Apabila
aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan.
Contoh tindakan yang dapat dikatagorikan malpraktek
administrative antara lain :
Menjalankan praktek kedokteran tanpa lisensi atau izin
Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai lisensi atau izin
yang dimiliki.
Melakukan praktek kedokteran dengan menggunakan lisensi
atau izin yang sudah kedaluwarsa.
Tidak membuat rekam medik.
Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus
dan diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh
melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus
lisensi agar supaya memperoleh kewenangan untuk itu. Perlu
16
dipahami bahwa tiap-tiap jenis lisensi memerlukan basic science
dan mempunyai batas kewenangan sendiri-sendiri. Tidak
dibenarkan melakukan tindakan medik melampaui batas
kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun seorang dokter ahli
kandungan mampu melakukan operasi amandel tetapi lisensinya
tidak membenarkan ia melakukan tindakan medik tersebut. Jika
ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap telah
melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi
administratip (misalnya berupa pembekuan lisensi untuk sementara
waktu).
1.1.1. Macam-macam malpraktek berdasarkan penyebabnya
Terbagi menjadi 3(Dahlan, 2001), yaitu
A. Karena tindakan yang disengaja {Intentional}
Contoh : profesionalisme miscoduct
B. Tindakan kelalaian {Negligence} Misal:
Malfeasance : melakukan yang melanggar hukum /tidak
tepat
Misfeasanse : melakukan pilihan tindakan medis yang tepat
tetapi tidak dilaksanakan dengan tepat
Nonfeansance : tidak melakukan tindakan medis yang
merupakan kewajibanya
C. Ketidak Kompetenan {Lack of Skill}
Kompetensi kurang / dibawah standart
Kompetensi di luar areanya
1.6.Unsur-unsur malpraktek
Malpraktek menurut Sukri (2002) dapat terjadi bila sebelumnya
sudah didapatkan adanya suatu informed consent mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien, selain itu juga harus
memenuhi beberapa unsur berikut:
1) adanya kewajiban yang berhubungan dengan kerusakan
2) adanya pengingkaran kewajiban
17
3) adanya hubungan sebab-akibat antara tindakan yang mengingkari
kewajiban dengan kerusakan
4) pengingkaran kewajiban merupakan faktor penyebab yang
substansial (proximate cause)
5) kerusakan itu nyata adanya
Sedangkan menurut Sampurna (2005), dokter dianggap lalai atau
melakukan malpraktek apabila memenuhi empat unsur berikut:
1) duty: dokter memiliki kewajiban karena profesinya dan karena
kontrak terapeutik antara dirinya dengan pasien
2) derilection of duty : seorang dokter tidak melakukan tugas yang
telah diamanahkan kepadanya
3) damage : adanya kerugian yang dialami oleh pasien yang
merupakan sesuatu kejadian yang tidak diinginkan
4) direct causation: kerusakan yang terjadi akibat dokter tidak
melakukan tugasnya
Hal ini menunjukkan bila terdapat pihak yang ingin menggugat ganti
rugi terhadap suatu kelalaian yang dilakukan oleh seorang dokter maka
pihak tersebut harus membuktikan adanya semua unsur tersebut di atas
(Sampurna, 2005)
1.7.Sanksi pada malpraktek
A. Pidana
Untuk mengatasi permasalahan malpraktek di dunia kedokteran,
telah dibuat kebijakan berupa Undang-Undang Tentang Kesehatan Nomor
36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, Kitab Undang-Undang Hukum Pidan, serta Undang-
Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (Bawono, 2011).
18
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 mencakup perihal tindak
pidana di bidang medis dalam pasal 75 sampai dengan pasal 80
(Bawono, 2011).
Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar
atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki
19
surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara
lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan
kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter
atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter
gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana
20
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau
dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
Sedangkan, Undang-Undang Tentang Kesehatan Nomor 36 Tahun
2009 mengatur tindak pidana Malpraktek pada pasal 190 sampai
dengan pasal 201(Bawono, 2011).
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama
terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda,
luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 192
21
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan
rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih
apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
22
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan
rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air
susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2)
dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 201
23
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat
(1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199,
dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192,
Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahanberupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal-pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang berkaitan dengan malpraktek adalah pasal 359, 360, dan 361 KUHP.
Pada KUHP tahun 2008 mengatur tindak pidana seperti penganiayaan,
aborsi dan euthanasia (Bawono, 2011).
Pasal 359 KUHP mengatur tindak pidana terkait kelalaian yang
menyebabkan kematian, cacat atau luka, dimana pasal 359 KUHP
berbunyi:
“ Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya satu tahun.” (Cakreswara, 2012).
Sedangkan pasal 360 terkait kelalaian yang menyebabkan luka,
dimana pasal 360 KUHP ini berbunyi :
(1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau
hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.
24
(2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka
sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak
dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman
kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-
tingginya Rp4.500(Cakreswara, 2012).
KUHP Pasal 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat
ditambah dengan sepertiganya dan si tersalah dapat dipecat dari
pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim
dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan (Cakreswara,
2012).
Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Pasal 62
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan rumah sakit tidak
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Pasal 63
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62
dilakukan oleh korporasi , selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam pasal 62.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha
25
b. pencabutan status badan hukum
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu tahun) atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau
dokter gigi yang:
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)
c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d atau huruf e.
B. Perdata
Sanksi perdata diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) pasal 1366-1371 dan Undang-Undang RI No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan (Kusuma, dkk, 2012).
KUH Perdata
KUH Perdata Pasal 1366
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang
disebabkan karen kelalaian atau kurang hati-hatinya
KUH Perdata Pasal 1367
Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan untuk mengganti
kerugian yang disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan anak buah atau
bawahannya
KUH Perdata Pasal1370
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan
sengaja atau kurang hati-hatinya seseorang, maka suami dan istri yang
26
ditinggalkan, anak atau orang tua korban yang biasanya mendapat
nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti
rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah
pihak serta menurut keadaan.
KUH Perdata Pasal1371
Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau
kurang hati-hati, memberikan hak kepada korban, selain penggantian
biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat tersebut.
Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan gawat darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
C. Administratif
Sanksi administratif diatur dalam Undang-Undang RI No. 36 Tahun
2009 tentang kesehatan, Undang-Undang RI No.29 Tahun 2004 tentang
praktik kedokteran, dan PERMENKES RI NO.:512/MENKES/PER/IV/2007
(Kusuma, dkk, 2012).
27
Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009
Pasal 188
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah nonkementerian, kepala dinas
provinsi, atau kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang
kesehatan.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.
Undang-Undang RI No.29 Tahun 2004
Pasal 66
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas
tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
28
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan
tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat
kerugian perdata ke pengadilan.
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan
memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan
disiplin dokter dan dokter gigi.
Pasal 69
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
PERMENKES RI NO. :512/MENKES/PER/IV/2007
Pasal 21
(1) Menteri, Konsil Kedokteran Indonesia, Pemerintah Daerah, dan
organisasi profesi melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan
peraturan ini sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan pada pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi.
29
Pasal 22
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif
terhadappelanggaran peraturan ini.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa peringatan lisan, tertulis sampai dengan pencabutan SIP.
(3) Dinas kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud ayat (2) terlebih dahulu dapat
mendengar pertimbangan organisasi profesi.
Pasal 23
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIP dokter dan
dokter gigi dalam hal:
a. atas dasar rekomendasi MKDKI
b. STR dokter atau dokter gigi dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia
c. Tempat praktek tidak sesuai dengan SIP nya, dan
d. Dicabut rekomendasinya oleh organisasi profesi melalui sidang yang
dilakukan khusus untuk itu.
Pasal 24
(1) Pencabutan SIP yang dilakukan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota wajib disampaikan kepada dokter dan dokter gigi yang
bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan.
(2) Dalam hal keputusan dimaksud dalam pasal 23 huruf c dan d tidak
dapat diterima, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk diteruskan kepada Menteri
Kesehatan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah keputusan diterima.
30
(3) Menteri setelah menerima keputusan sebagaimana dimaksud ayat (2)
meneruskan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
paling lambat 14 (empat belas) hari.
Pasal 25
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan setiap pencabutan
SIP dokter dan dokter gigi kepada Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran
Indonesia dan Dinas Kesehatan Provinsi, serta tembusannya disampaikan
kepada organisasi profesi setempat.
1.8.Badan yang berhak menangani kasus pelanggaran etik dan
disiplin kedokteran
Badan yang berhak menangani kasus pelanggaran etik dan disipilin
kedokteran di Indonesia meliputi :
1. IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
IDI memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik
profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah, dan cabang,
termasuk Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ditingkat pusat,
wilayah dan cabang. Selain itu ditingkat RS/ Sarana kesehatan, didirikan
komite medis dengan panitia etik didalamnya.
2. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
Pembinaan etika kedokteran di indonesia masih belum memuakan.
Masih banyak juga pelanggaran etika yang tidak ditindak. Salah satu
sebabnya ialah belum jelasnya jalur penanganan pelanggaran etika. Di
negara-negara yang mempunyai semacam Dewan Medis atau Medical
Council, Pembinaan perilaku profesional serta penanggulangan
pelanggarannya diserahkan kepada dewan tersebut. Ikatan Dokter
Indonesia memiliki Majelis Kehormatan Etik Kedokteran(MKEK), dari
pusat sampai ke wilayah-wilayah dan caban-cabang besar. Di cabang-
cabang yang belum mempunyai MKEK ada panitia yang diserahi
pembinaan etika. Dalam kenyataannya, penanggulangan kasus-kasus
baik yang tergolong pelanggaran etika kedokteran murni maupun yang
31
sudah menjurus ke pelanggaran hukum masih belum memuaskan.
Bahkan ada kasus-kasus yang keburu diajukan ke Pengadilan sebelum
ditangani oleh MKEK, mengingat belum lancarnya penanggulangan
pelanggaran etik(Gunawan, 1992).
Kedudukan MKEK dalam organisasi Ikatan dokter Indonesia
memang cukup tinggi. Ketuanya dipilih langsung oleh kongres bersama-
sama dengan pemilihan Ketua Umum IDI. Berdasar Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga IDI, badan ini diberi wewenang untuk
melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian pelaksanaan
etika kedokteran. Selain itu, MKEK juga berkewajiban memperjuangkan
agar etika kedokteran dapat ditegakkan di Republik Indonesia. Tidak jelas
apakah badan ini berwenang untuk menyidangkan dan melakukan
penindakan terhadap anggota IDI yang melanggar etika(Gunawan, 1992)..
Dari tatacara penanggulangan pelanggaran etika kedokteran dapat
disimpulkan, bahwa instansi pertama yang menangani kasus-kasus
pelanggaran etika adalah MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak
dapat diselesaikan oleh MKEK wilayah dirujuk ke P3EK propinsi. Hanya
bilaman P3EK propinsi tidak dapat mengambil keputusan, maka harus
diteruskan ke P3EK pusat. Demikian juga kasus-kasus pelanggaran etika
kedokteran murni yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK wilayah
dirujuk ke MKEK pusat(Gunawan, 1992).
Dengan tatakerja yang telah disepakati tersebut, diharapkan bahwa
kasus-kasus pelanggaran etika dapat diselesaikan secara tuntas.
Pengaduan oleh siapa pun dapat diajukan kepada MKEK. Kasus
pelanggaran etika kedokteran yang dilaporkan kepada polisi diharapkan
dapat diteruskan kepada MKEK cabang atau wilayah untuk dibahas lebih
dahulu. Namun pelanggaran yang jelas merupakan pelanggaran hukum
akan diteruskan ke instansi yang berwenang(Gunawan, 1992).
Tata kerja MKEK dalam menangani tuduhan pelanggaran etika
kedokteran(Gunawan, 1992). :
1. Keanggotaan MKEK
32
Terdiri dari ketua merangkap anggota. Anggota sebanyak 3-7
orang.
2. Materi
Materi diperoleh dari laporan yang datang dari manapun,
termasuk dari MKEK sendiri. Materi itu dikelompokkan dalam :
a. Kesalahpahaman biasa, dan dikembalikan kepada pengurus
IDI setempat dengan disertai petunjuk untuk diberi
penerangan sejelas-jelasnya kepada yang bersangkutan.
b. Kasus perselisihan yang diusahakan untuk diselesaikan
dengan damai atau diajukan ke pengadilan oleh yang
bersangkutan sebagai perkara perdata.
c. Dugaan pelanggaran etika ditangani oleh MKEK.
3. Persidangan
Sidang majelis yang memeriksa pelanggaran etika bersifat
tertutup, dalam pengertian bahwa hanya mereka yang mendapat
undangan tertulis dari MKEK yang berhak hadir dipersidangan
tersebut. Juka dianggap perlu, sidang dapat memanggil saksi
untuk didengar keterangannya. Badan pembelaan anggota
(BPA) wajib mengirimkan wakilnya guna mengikuti sidang.
4. Keputusan
Setiap kasus digolongkan sebagai pelanggaran ringan, sedang,
atau berat dengan memperhatikan :
a. Akibat tindakan tersebut terhadap kehormatan profesi
b. Akibat tindakan tersebut bagi kebaikan penderita
c. Akibat tindakan tersebut bagi kepentingan umum
d. Faktor luar termasuk faktor penderita, yang ikut mendorong
terjadinya pelanggaran
e. Tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku
Sanksi – sanksi yang dijatuhkan dapat berupa :
a. Teguran tertulis dengan tembusan ke Kakanwil Depkes
setempat dan atasan langsung
33
b. Skorsing dari keanggotaan IDI selama-lamanya tiga tahun,
serta tidak berhak menjadi pengurus IDI selama masa
skorsing. Untuk yang bukan anggota IDI dapat dicabut
rekomendasi izin praktiknya selama maksimal satu tahun.
c. Diusulkan dipecat dari keanggotaan IDI dan dicabut
rekomendasi izin praktiknya selama maksimal tiga tahun.
5. Banding
Jika terdapat ketidakpuasan terhadap keputusan MKEK, baik
pengadu maupun tersangka dapat mengajukan banding kepada
MKEK tingkat yang lebih tinggi (tingkat wilayah atau pusat).
Keputusan MKEK Pusat bersifat final dan mengikat sampai
kongres berikutnya.
6. Tatacara administrasi
Setiap surat pengaduan dianggap dan diberlakukan sebagai
surat rahasia. Pemanggilan dapat dilakukan sampai tiga kali.
Jika pada pemanggilan yang ketiga tersangka tetap tidak mau
datang tanpa alasan yang sah, dapat dianggap mengakui
kesalahannya dan dapat dijatuhkan sanksi sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukannya.
7. Barang bukti
MKEK tidak berwenang melakukan penyitaan barang bukti.
MKEK wajib menyerahkan kepada yang berwajib, jika benda itu
dilarang oleh ketentuan perundangan negara. (Gunawan, 1992).
3. Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK)
Masih banyak kasus yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum
ditangani oleh MKEK. Olah karena fungsi MKEK ini belum memuaskan,
maka di bentuk Panitia pertimbangan dan pembinaan etika
kedokteran(Hanafiah, 1999). P3EK merupakan badan resmi yang
dibentuk oleh menteri kesehatan dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 02/BIRHUKMAS/1/1975 dan direvisi dengan peraturan Menteri
Kesehatan No. 554/Menkes/Per/XII/1982 tanggal 14 desember 1982.
34
Panitia pertimbangan dan pembinaan etika kedokteran(P3EK) terdapat di
pusat dan di tingkat propinsi(Soetrisno, 2010).
Tugas P3EK ialah
1) Menangani kasus-kasus Malpraktek etik yang tidak dapat
ditanggulangi oleh MKEK
2) Lembaga P3EK ini tidak mempunyai wewenang untuk menghukum,
akan tetapi mengajukan putusan suatu masalah dalam bentuk
saran untuk tindakan kepada menteri kesehatan yang mempunyai
wewenang untuk mengambil tindakan dan menjatuhkan hukuman
yang bersifat administratif.
3) Melaksanakan upaya peningkatan penghayatan dan pengamalan
etika dengan cara ceramah, penerangan ,seminar, dan lain-
lain(Soetrisno, 2010).
Jadi instansi pertama yang akam menangani kasus-kasus
Malpraktek etik ialah MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak
dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK propinsi dan jika P3EK
propinsi tidak mampu menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke
P3EK pusat(Hanafiah, 1999).
4. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
Adalah majelis yang menyidangkan dugaan/pelanggaran disiplin
kedokteran. Diperkuat oleh Undang-undang No.29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.
Pada waktu dokter dan dokter gigi berpraktek tidak jarang
menimbulkan sengketa dengan pasiennya baik di bidang etika, hukum
perdata maupun hukum pidana. Dengan berlakunya Undang-Undang No.
29 Tahun 2004 Prakter Kedokteran yang selain mengtaur masalah pidana
dari prakter kedokteran, kasus-kasus pelanggaran dispilin dalam
penyelenggaraan praktek kedokteran, juga dapat diadukan ke suatu
lembaga yang dibentuk khusus ialah MKDKI (pasal 55 U.U. No. 29 Tahun
2004). Pengaduaan ke MKDKI dapat dilakukan oleh orang yang merasa
dirugikan kepentingannya, tetapi pelaporan itu dapat juga dilakukan oleh
35
siapa saja yang menngetahui bahwa telaj terjadi pelanggaran disiplin
dalam penyelenggaraan Praktek Kedokteran (pasal 66 ayat 1 U.U No. 29
Tahun 2004) (Soetrisno, 2010).
Yang perlu diecermati lagi bahwa pengaduan masalah disipilin ini,
tidak menghilangkan kesempatan pada seseorang untuk melaporkan
dokter atau dokter gigi tersebut kepihak yang berwenang atas dugaan
pelanggaran etika, dugaan tindak pidana dan gugatan perdata (pasal 66
ayat 3 U.U U.U No. 29 Tahun 2004). Jadi dalam waktu bersamaan dan
pada satu kasus kejadian perkara, seorang dokter atau dokter gig dapat
melenghadapi perkara perdata, pidana, pelanggaran disiplin dan
pelanggaran etika(Soetrisno, 2010).
Atas dasar adanya pengaduan dugaan pelanggaran disiplin, makan
MKDKI akan melakukan pengusutan, pemeriksaan dan membuat putusan
pada dokter atau dokter gigi tersebut. Dan Putusan MKDKI dapat berupa :
Tidak Bersalah atau Pemberian Sanksi Disipilin (pasal 69 ayat 3 U.U No.
29 Tahun 2004) (Soetrisno, 2010).
Putusan MKDKI yang berupa Pemberian Sanksi Disiplin pada
dokter atau dokter gigi yang bermasalah dapat berupa putusan sebagai
berikut:
a. Sanksi Disiplin berupa Rekomendasi Pencabutan STR atau SIP.
b. Sanksi Disiplin berupa kewajiban Mengikuti Pendidikan dan
Pelatiihan di Insitiusi Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran
Gigi.
c. Sanksi Disipilin gabungan (a) dan (b).
Sanksi Disiplin MKDKI akan dicatat oleh KKI dan akan menjadi
pertimbangan dalam penerbitan STR seorang dokter atau dokter gigi.
Sanksi pencabutan STR atau SIP akan memberikan dampak bukan hanya
untuk yang bersangkutan saja, tetapi tentunya akan memberikan efek pula
pada pengaturan kepegawaian dilembaga kesehatan tempat dokter
tersebut bekerja(Soetrisno, 2010).
5. Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi)
36
Ditingkat perhimpunan Rumah sakit didirikan oleh Majelis
kehormatan etik di rumah sakit (Makersi)
6. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
Adalah suatu badan independen yang akan menjalankan fungsi
regulator, yang terkait dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter
gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
Tugasnya yaitu
1) melakukan registrasi terhadap dokter dan dokter gigi yang akan
menjalankan praktik kedokteran,
2) mengesahkan standar pendidikan dokter dan dokter gigi,
3) melakukan pembinaan bersama lembaga terkait lainnya terhadap
penyelenggaraan praktik kedokteran.
1.9.Pelindungan hukum bagi dokter dan tenaga kesehatan
Persoalan yang sering menjadi tanda tanya bagi para dokter adalah
tidak adanya perlindungan hukum yang diberikan secara memadai apabila
dianggap telah melakukan pelanggaran baik etika maupun hukum.
Perlindungan hukum bagi profesi kedokteran sangatlah penting. Hal ini
dikarenakan agar dalam melaksanakan tugasnya, seorang tenaga medis
termasuk seorang dokter dapat menjalankan tugasnya secara profesional
dengan rasa nyaman, tanpa dihantui oleh sanksi hukum. Karena dengan
regulasi yang adil dan seimbang, diharapkan akan tercapai keuntungan di
kedua belah pihak baik pasien maupun dokter. Salah satu hak dokter
adalah mendapatkan perlindungan hukum, yaitu yang diatur dalam:
1. Undang-undang RI No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 53
menjelaskan :
(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas sesuai profesinya.
37
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
(3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat
melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan
memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah
2. Peraturan Pemerintah RI No. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan,
pasal 24 menjelaskan :
(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang
melakukan tugasnya sesuai dengan standart profesi tenaga
kesehatan.
3. Menurut undang-undang RI nomor 29 tahun 2004 Pasal 50 ayat 1
yaitu :
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak
(1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
4. Dalam organisasi profesi (IDI) terdapat badan perlindungan bagi
anggotanya yaitu badan pembinaan dan pembelaan anggota (BP2A),
pembelaan disini tidak bersifat pribadi tetapi menolak untuk dibela.
Pembelaan ini meliputi 4 hal :
1) Hal-hal yang timbul akibat tindakan atas pekerjaan yang langsung
berhubungan dengan profesi.
2) Hal-hal yang dipandang merugikan anggota dalam menjadikan
tugasnya di lingkungan pekerjaannya.
3) Masalah yang timbul antara anggota dengan organisasi profesi.
4) Masalah yang dipandang melanggar ketentuan-ketentuan kode etik
kedokteran Indonesia.
(Suryadi,2005)
38
Bila akhirnya terpaksa ditempuh upaya hukum, maka pembelaan
BP2A hanya dilakukan pada tingkat peradilan.
Jika dokter dilaporkan diduga telah melakukan Malpraktek criminal
maka yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Melakukan Informal defence, yaitu mengajukan bukti-bukti untuk
menyangkal tuduhan yang tidak berdasar atau tidak menunjuk pada
doktrin-doktrin tertentu.
Contohnya ialah mengajukan bukti bahwa apa yang terjadi bukan
sengaja tetapi karena bagian dari resiko medik (defence of accident)
atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
sebagaimana diisyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2. Melakukan formal/legal defence yaitu melakukan pembelaan yang
menunjuk pada legal doctrine.
Contohnya ialah melakukan pembelaan yang berhubungan dengan
penyangkalan tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggungjawaban (Primary defence) atau melakukan pembelaan
untuk membebaskan diri dari pertanggung jawab yang terbukti
(secondary defence) seperti misalnya mengajukan bukti bahwa yang
dilakukannya itu karena pengaruh daya paksa. (Jayanti,2009).
1.1.Penanganan dugaan malpraktek medik
Undang-undang negara, peraturan pemerintah, ketentuan-
ketentuan moral dan etik merupakan batas gerak yang tidak boleh
dilanggar. Pedoman yang memberi arah kepada dokter untuk bersikap
dan berperilaku telah tertuang dalam Lafal Sumpah Dokter dan Kode Etik
Kedokteran indonesia(KODEKI)(Gunawan, 1992).
Bahwa dokter sebagai manusia biasa tetap dapat membuat
kesalahan, baik kesalahan profesi maupun pelanggaran etik. Oleh karena
itu diperlukan adanya hukum disipliner dan badan kusus yang berwenang
untuk mengamankan hukum disipliner tersebut(Soetrisno, 2010). Ada dua
badan yang menangani etik kedokteran, yaitu MKEK(Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran) yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia dan
39
P3EK(Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran) yang
dibentuk oleh pemerintah(Gunawan, 1992).
Selama ini pasien dan atau keluarga mengadukan dokter yang
diduga melakukan Malpraktek ke berbagai instansi dan badan seperti
polisi, jaksa pengacara, IDI/MKEK, Dinas kesehatan, Menteri Kesehatan,
LSM, Komnas HAM, dan media cetak/elektronik(Hanafiah, 1999).
Dengan terbitnya UU R.I No 29 tahun 2009 tentang Praktik
Kedokteran, diharapkan bahwa setiap orang yang merasa kepentingannya
dirugikan atas tindakan dokter dapat mengadukan kasusnya ke Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia(MKDKI) secara tertulis, atau
lisan jika tidak mampu secara tertulis. Pengaduan ini tidak menghilangkan
hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada
pihak berwenang dan atau menggugat kerugian perdata kepada
pengadilan(Hanafiah, 1999).
MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap
pengaduan tersebut. Apabila ditemukan pelanggaran etik, MKDKI
meneruskan pengaduan dimaksud kepada MKEK IDI. Jadi instansi
pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek etik ialah MKEK
cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK
dirujuk ke P3EK propinsi dan jika P3EK propinsi tidak mampu
menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK pusat. Jika
terdapat pelanggaran disiplin oleh dokter, MKDKI dapat memberikan
sanksi disiplin berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan Surat
Tanda Registrasi(STR), atau Surat Izin Praktik(SIP) atau wajib mengikuti
pendidikan/pelatihan kembali di Institusi Pendidikan Kedokteran.
Tujuannya adalah untuk penegakan disiplin dokter, yaitu penegakan
aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam
hubungannya dengan pasien(Hanafiah, 1999).
Jika terdapat bukti-bukti awal adanya dugaan tindak pidana, MKDKI
meneruskan pengaduan tersebut kepada pihak yang berwenang dan/atau
pengadu menggugat kerugian perdata ke pengadilan(Hanafiah, 1999).
40
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengetahuan dan
keterampilan yang baik saja tidak cukup dalam upaya penyembuhan
pasien; upaya tersebut harus diiringi sikap profesional yang baik pula.
Pendekatan hendaknya holistik, dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan berbagai aspek, ekonomi-sosial-budaya dan psikis
pasien. Perbanyak komunikasi dan pemberian informasi kepada pasien
dan/atau keluarganya karena ternyata banyak kasus dugaan Malpraktek
hanya karena salah paham dan dapat diselesaikan di luar
pengadilan(Hanafiah, 1999).
1.2.Upaya pencegahan Malpraktek
Sejak meningkatnya tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak
pasien maka banyak dokter yang kemudian di dalam prakteknya
41
melakukan upaya untuk menghidnarinya. Upaya semacam itu sering
disebut defensive medicine, yang didasarkan pada asumsi (dari pihak
dokter) sebagai berikut:
1. Diagnosis yang akurat akan menurunkan tuntutan hukum.
2. Tes dan prosedur medik akan meningkatkan probabilitas
kebenaran diagnosis.
3. Penggunaan teknologi maju merupakan cerminan pelayanan
medik yang lebih baik(Dahlan, 2001).
Selain defensive medicine, upaya lain yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya kasus malpraktek adalah(Dahlan, 2001):
1. Tidak memberikan garansi kesembuhan karena hal itu dapat
diartikan bahwa dokter telah memilih bentuk perikatan
resultaat verbintenis bukan inspanning verbibtenis.
2. Hati-hati menangani kasus yang berpotensi menimbulkan
medicolegal trouble.
3. Tidak menggunakan metode pengobatan atau obat-obatan
yang sudah ketinggalan zaman.
4. Tidak menggunakan metode pengobatan atau obat-obatan
yang masih bersifat eksperimental, kecuali pasien diberitahu
sebelumnya.
5. Semua prosedur medik hendaknya dilakukan dengan
informed consent.
6. Rekam medik harus dibuat lengkap dan akurat.
7. Bila terjadi keragu-raguan, segera berkonsultasi dengan
dokter lebih ahli.
8. Perlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
9. Jalin komunikasi yang baik dengan pasien maupun
masyarakat sekitarnya.
42
BAB 3
Penutup
1.1. Kesimpulan
1. Malpraktek merupakan istilah yang sifatnya sangat umum dan tidak
harus selalu berkonotasi yuridis. Berasal dari kata “mal” yang
berarti salah dan “praktek” yang berarti pelaksanaan atau tindakan,
sehingga arti harfiyahnya adalah “ pelaksanaan atau tindakan yang
salah”(Dahlan, 2001).
2. Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang
lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama(Hanafiah, 1999).
Dari definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa Malpraktek
dapat terjadi karena:
Tindakan yang disengaja(intentional), seperti pada kelakuan
buruk(misconduct) tertentu,
Tindakan kelalaian (negligence),
Ketidakmahiran atau ketidakkompetenan yang beralasan,
Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan
hukum(Jayanti, 2009).
3. Kelalaian medik adalah suatu bentuk dari malpratek medis,
sekaligus merupakan bentuk Malpraktek yang paling sering terjadi
Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktek, tetapi di dalam
malpraktek tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Jika dilihat
beberapa definisi di bawah ini ternyata bahwa: Malpractice
mempunyai pengertian yang lebih luas daripada
negligence(Guwandi, 1994).
43
4. Macam-macam malpraktek berdasarkan norma etika dan
Hukum(Jayanti, 2009):
a) Malpraktek Etik
b) Malpraktek Yuridis/legal
Malpraktek Criminal/Pidana
Malpraktek Civil/Perdata
Malpraktek Administrative
5. Malpraktek Berdasarkan penyebab(Dahlan, 2001):
Karena tindakan yang disengaja {Intentional}
Tindakan kelalaian {Noqliqence} Misal:
Ketidak Kompetenan {Lack of Skill}
6. Dokter dianggap lalai atau melakukan malpraktek apabila
memenuhi empat unsure berikut(Sampurna,2005):
a) Duty
b) Derilection of duty
c) Damage
d) Direct causation
7. Sanksi yang didapat ketika melakukan malpraktek:
a) Sanksi Pidana
b) Sanksi Perdata
c) Sanksi Administrative
8. Badan-badan yang berhak menangani kasus pelanggaran etik dan
disiplin kedokteran
a) Ikatan dokter Indonesia(IDI)
b) Majelis Kehormatan Etik Kedokteran(MKEK)
c) Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran
(P3EK)
d) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia(MKDKI)
e) Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit(Makersi)
f) Konsil KEdokteran Indonesia(KKI)
9. Upaya penanganaan dugaan malpraktek medik
44
Dengan terbitnya UU R.I No 29 tahun 2009 tentang Praktik
Kedokteran, diharapkan bahwa setiap orang yang merasa
kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dapat mengadukan
kasusnya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia(MKDKI) secara tertulis, atau lisan jika tidak mampu
secara tertulis. MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan
terhadap pengaduan tersebut. Apabila ditemukan pelanggaran etik,
MKDKI meneruskan pengaduan dimaksud kepada MKEK IDI. Jadi
instansi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek
etik ialah MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat
diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK propinsi dan jika P3EK
propinsi tidak mampu menanganinya maka kasus tersebut
diteruskan ke P3EK pusat. Jika terdapat pelanggaran disiplin oleh
dokter, MKDKI dapat memberikan sanksi disiplin berupa peringatan
tertulis, rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi(STR),
atau Surat Izin Praktik(SIP) atau wajib mengikuti
pendidikan/pelatihan kembali di Institusi Pendidikan Kedokteran.
Tujuannya adalah untuk penegakan disiplin dokter, yaitu
penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan
dalam hubungannya dengan pasien. Jika terdapat bukti-bukti awal
adanya dugaan tindak pidana, MKDKI meneruskan pengaduan
tersebut kepada pihak yang berwenang dan/atau pengadu
menggugat kerugian perdata ke pengadilan(Hanafiah, 1999)
,
45
DAFTAR PUSTAKA
Jayanti N., 2009, Penyelesaian hukum dalam malapraktik kedokteran,
Penerbit pustaka yustisia, Yogyakarta
Dahlan S., 2001, Hukum kesehatan rambu-rambu bagi profesi dokter,
edisi III, Badan penerbit universitas diponegoro semarang, Semarang
Guwandi J, 1994, Kelalaian medic, edisi II, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Hanafiah M J, Amir A, 199, etika kedokteran dan hukum kedokteran, edisi
III, Penerbit buku kedokteran EGC, jakarta
Bawono, BT, 2011, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya
Penanggulangan Malpraktek Profesi Medis, Jurnal Hukum, Vol. XXV,
No.1, Hal. 453-473.
Cakreswara, K, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus
Malpraktek, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kusuma, SE, Solichin, S, Hoediyanto, H, Yudianto, A, Mutahal, H, Algozi,
AM, dkk, 2012, Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal, Ed. Ke-8,
Departemen Ilmu KedokteranForensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
Sampurna, B, Syamsu, Z, Siswaja, TD, 2005, Bioetik Dan Hukum
Kedokteran, Ed. Ke-1, Pustaka Dwipar, Jakarta Timur.
46
Sukri, Q, 2002, Kejahatan Oleh Dokter: Suatu Tinjauan Penegakkan
Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 2, No. III, Hal. 57 – 68.
Gunawan,Dr. 1992. Memahami Etika Kedokteran. Kanisius. Jogjakarta
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_23_92.htm
http://www.depkes.go.id/downloads/
UU_No._29_Th_2004_ttg_Praktik_Kedokteran.pdf
Taufik Suryadi, Mistar Ritonga , Majalah Kedokteran Nusantara Volume
38 No. 4 Desember 2005 Praktek Dokter dan Keterkaitannya dengan
Hukum. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15593/1/mkn-
des2005-%20%287%29.pdf
Astuti E K, 2005, Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam
upaya pelayanan medis, Jurnal legality Universitas Muhamadiyah Malang
,vol 13, no 1
Dokter Anak Online. 2013. Malpraktek Kedokteran, Penyebab dan
Dampak Hukumnya , <Diakses dari http://www.dokteranakonline.com
pada 15 Juni 2014>.
Soetrisno S, 2010, Malpraktek Medik dan Mediasi sebagai alternatif
penyelesaian Sengketa, PT. Telaga ilmu indonesia, Tanggerang
47