Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

90
HEMOROID

description

SMF BEDAH

Transcript of Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Page 1: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

HEMOROID

Page 2: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Abstrak

Hemorroid merupakan penyakit yang cukup sering terjadi, walaupun patogenesisnya belum

sepenuhnya difahami tetapi peranan kerusakan penyangga pembuluh darah, hipertrofi sfinkter ani

dan beberapa faktor pemburuk yang menyebabkan peningkatan tekanan intrarektum mempunyai

kontribusi untuk terjadinya hemorroid. Lingkaran setan berupa protrusi pleksus hemorroid yang

akan meningkatkan tekanan sfinkter ani kemudian menambah kongesti aliran darah dan

menambah besar hemorroid. Tujuan terapi untuk mengurangi kongesti pembuluh darah, fiksasi

mukosa pada lapisan otot dan mengurangi ukuran dan jumlah pleksus hemorroidalis. Terapi

medik diberikan terbatas pada hemorroid grade 1 dan 2. Terapi medik nonfarmakologik dengan

mengatur diit dan kebiasaan defekasi,pemberian supplemen serat dan pelunak feses. Obat steroid

topikal sebagai antiinflammasi dapat diberikan pada fase akut, obat flebotonik dapat diberikan

pada fase akut dan kronik. Terapi minimal invasip dengan skleroterapi,ligasi, bedah krio, dilatasi

anus dan koagulasi. Untuk hemorroid yang telah lanjut perlu dilakukan terapi bedah .

Pendahuluan

Hemorroid adalah penyakit yang cukup sering terjadi di masyarakat dan tersebar luas diseluruh

dunia. Prevalensi penyakit ini di USA diperkirakan sekitar 4-5%(1). Hemorroid bukan penyakit

yang fatal, tetapi sangat mengganggu kehidupan. Sebelumnya hemorroid ini dikira hanya timbul

karena stasis aliran darah daerah pleksus hemorroidalis, tetapi ternyata tidak sesederhana

itu.Simptomatologi sering tidak sejalan dengan besarnya hemorroid ,kadang-kadang hemoroid

yang besar tidak/hanya sedikit memberikan keluhan, sebaliknya hemorroid kecil dapat

memberikan gejala perdarahan masip. Karena itu untuk diagnosis hemorroid memerlukan

anamnesis,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan konfirmasi yang teliti serta perlu dievaluasi

dengan seksama agar dapat dicapai pendekatan terapeutik yang sesuai.

Patogenesis

Pleksus hemorroidalis merupakan sistem artereriovenous anastomosis yang terletak didaerah

submukosa kanalis analis. Terdapat dua buah pleksus yaitu pleksus hemorroidalis internal dan

eksternal yang terpisah satu dengan yang lainnya, sebagai batas adalah linea dentata. Ada 3 hal

yang penting untuk diketahui, yaitu pertama adalah mukosa rektum atau mukosa anodermal,

kemudian stroma jaringan yang berisi pembuluh darah, otot polos dan jaringan ikat penunjang serta

Page 3: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

ketiga adalah jangkar (anchor) yang akan melindungi pleksus hemorroid dari mekanisme kerja

sfinkter ani. Dengan bertambah usia dan berbagai faktor pemburuk (seperti bendungan sistim porta,

kehamilan, PPOK, konstipasi kronik, keadaan yang menimbulkan tekanan intrapelvis meningkat)

maka jaringan penunjang dan jangkar tersebut dapat menjadi rusak akibatnya pleksus akan

menonjol dan turun dan akan memberikan simptom.

Page 4: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Teori lain menyatakan bahwa hemorroid ini mirip dengan suatu AV malformation,ini dibuktikan

dengan adanya perdarahan yang berwarna merah (bukan hitam) seperti perdarahan arterial. Teori

terakir menyatakan bahwa defek utama merupakan kombinasi dari lemahnya jaringan penyokong

pleksus hemorroidalis - hipertrofi dari otot sfinkter ani. Pada beberapa individu sfinkter ani

interna hipertrofi sehingga kanalis analis makin menyempit, pada saat mengedan terjadi kongesti,

bolus feses menekan pleksus kebawah melalui sfinkter yang hipertrofi, terjadi kongesti dan

menjadi simptomatik. Dalam hal ini akan terjadi sirkulus vitiosus yaitu; Penonjolan pleksus

submukosa akan menimbulkan kanalis analis menjadi kaku hal ini merangsang sfinkter menjadi

lebih kencang sehingga kongesti aliran darah menjadi semakin berat dan akhirnya penonjolan

semakin besar. Tidak ada bukti bahwa keturunan dan faktor geografi turut berperan. Upaya

pengobatan sebaiknya berdasarkan pada pendekatan bagaimana memotong lingkaran setan tadi.

Diagnosis.

Sebagian besar penderita mengeluh adanya perdarahan per rektal, perdarahan berupa darah

merah segar, menetes sewaktu atau setelah buang air besar. Perdarahan ini tidak disertai rasa

nyeri atau rasa mules. Pada sebagian penderita perdarahan ini tidak diketahui, sehingga tidak

jarang pasien dengan hemorroid ini datang dengan keluhan anemia. Sebagian lagi penderita

mengeluh rasa nyeri. Rasa nyeri ini timbul bila ada trombosis atau strangulasi dari hemorroid.

Sebagian kasus mungkin mengeluh adanya benjolan pada anusnya, atau ada yang keluar

(prolaps) dari anusnya. Keluhan lain mungkin berupa pruritus ani, atau rasa tidak enak daerah

anus atau ada discharge. Kadang-kadang hemorroid ditemukan secara kebetulan(asimptomatik).

Terhadap penderita dengan keluhan seperti diatas hendaknya dilakukan pemeriksaan fisik yang

cermat. Penderita hemorroid derajat 3 dan 4 dengan mudah dapat dilihat pada saat pemeriksaan,

pada hemorroid derajat 2 pasien perlu disuruh mengejan beberapa saat. Harus dilakukan colok

dubur, anoskopi bahkan bila dianggap perlu (pada kasus perdarahan masip) dapat dilakukan

colon inloop, rektosigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk menyingkirkan penyakit lain seperti

malgnansi kolorektal atau inflammatory bowel diseases. Pada beberapa senter dilakukan

pemeriksaan tekanan sfinkter ani. Secara fisik beratnya hemorroid interna dibagi menjadi 4

derajat (grade).

Page 5: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Grade 1: Hemorroid terbatas pada lumen anorektal,tidak menonjol keluar

Grade 2: Hemorroid menonjol keluar saat mengedan dan masuk secara spontan

Grade 3: Hemorroid menonjol keluar dan harus didorong untuk memasukkannya

Grade 4: Hemorroid menonjol dan tidak dapat masuk walaupun didorong.

Lokasi hemorroid interna yaitu lateral kiri,lateroventral kanan dan laterodorsal kanan.

Terapi

Tujuan terapi yaitu memotong lingkaran patogenesis hemorroid dengan berbagai cara:

1.Mengurangi kongesti:

- Manipulasi diit dan mengatur kebiasaan

- Obat antiinflammasi

- Obat flebotonik

- Dilatasi Anus

- Sphingterotomi

Page 6: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

2.Fiksasi mukosa pada lapisan otot: (1). Skleroterapi. (2). Koagulasi infra merah. (3). Diatermi

bipolar

3.Mengurangi ukuran/vaskularisasi dari pleksus hemorroidalis:

1. Ligasi

2. Eksisi

Terapi medik

Terapi medik diberikan pada penderita hemorroid derajat 1 atau 2.

Manipulasi diit dan mengatur kebiasaan.

Diit tinggi serat, bila perlu diberikan supplemen serat atau obat yang memperlunak feses (bulk

forming cathartic). Menghindarkan mengedan berlama-lama pada saat defekasi. Menghindarkan

diare karena akan menimbulkan iritasi mukosa yang mungkin menimbulkan ekaserbasi penyakit.

Obat antiinflammasi seperti steroid topikal jangka pendek dapat diberikan untuk mengurangi

udem jaringan karena inflammasi. Antiinflammasi ini biasanya digabungkan dengan anestesi

lokal, vasokonstriktor, lubricant, emollient dan zat pembersih perianal. Obat - obat ini tidak akan

berpengaruh terhadap hemorroidnya sendiri, tetapi akan mengurangi inflammasi, rasa nyeri/tidak

enak dan rasa gatal. Penggunaan steroid ini bermanfaat pada saat ekaserbasi akut dari hemorroid

karena bekerja sebagai antiinflammasi, antipruritus dan vasokonstriktor. Walaupun demikian

pemakaian jangka panjang malah menjadi tidak baik karena menimbulkan atrofi kulit perianal

yang merupakan predisposisi terjadinya infeksi. Demikian pula obat yang mengandung anestesi

lokal perlu diberikan secara hati-hati karena sering menimbulkan reaksi buruk terhadap

kulit/mukosa.

Sitz bath (bagian anus direndam di waskom/ember dengan air hangat + permanganas kalikus)

sangat bermanfaat karena ada efek memberiesihkan perianal.

Obat flebotonik seperti Daflon atau preparat rutacea dapat meningkatkan tonus vena sehingga

mengurangi kongesti. Daflon merupakan obat yang dapat meningkatkan dan memperlama efek

Page 7: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

noradrenalin pada pembuluh darah. Penelitian double blind placebo-controlled dari Daflon

ternyata memberikan manfaat untuk terapi hemorroid baik pada keadaan non akut maupun pada

saat ekaserbasi akut. Dosis pada saat akut yaitu 3 x 1000 mg selama 4 hari dilanjutkan 2 x 1000

mg selama 3 hari. Ternyata pengobatan dengan cara tersebut lebih baik dari plasebo. Penelitian

lain pada hemorroid non akut dengan dosis 2 x 500 mg selama 2 bulan hasilnya kelompok yang

diobati lebih baik dari plasebo. Obat ini dikatakan aman bahkan pada wanita hamil sekalipun.

Terapi dengan cara "minimal invasive”

Terapi dengan cara ini dlakukan terhadap penderita yang tidak berhasil dengan cara medik atau

penderita yang belum mau dilakukan operasi.Paling optimal cara ini dilakukan pada penderita

hemorroid derajat 2 atau 3.

Skleroterapi:

Cara ini sudah sangat lama digunakan. Sklerosant (morhuat,etoksisklerol dsb) disuntikkan para

varises sehingga terjadi inflammasi dan sklerosis lapisan submukosa. Cara ini bermanfaat untuk

mengatasi hemorroid kecil yang sedang berdarah.

Rubber band ligation:

Dengan memakai aplikator khusus, hemorroid dihisap kemudian rubber band dilepaskan dan

hemorroid terikat. Keadaan ini akan menimbulkan nekrosis lokal dan terjadi fibrosis serta fiksasi

mukosa pada lapisan otot.

Dilatasi anus:

Prosedur sangat simpel bisa dengan lokal anestesi atau neuroleptik.

Bedah krio:

Sebagian dari mukosa anus dibekukan dengan nitrogen cair, dalam beberapa hari terjadi

nekrosis, kemudian sklerosis dan fiksasi mukosa pada lapisan otot.

Page 8: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Foto koagulasi infra merah, Elektrokoagulasi, Diatermi bipolar:

Prinsip dari cara-cara ini hampir sama yaitu nekrosis lokal karena panas, terjadi nekrosis,

fibrosis/sklerosis dan fiksasi mukosa pada jaringan otot dibawahnya.

Page 9: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Terapi bedah.

Terapi bedah dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya Whitehead, Milligan-Morgan atau

Parks.

Pemilihan modalitas terapi

Hemorroid derajat 1 : Terapi medic. Bila kurang baik diganti dengan cara minimal invasive

Hemorroid derajat 2 : Terapi dengan cara minimal invasive. Bila pasen tidak mau dapat dicoba

terapi medic. Bila gagal dengan minimal invasive ganti dengan operasi.

Hemorriod derajat 3 : Terapi dengan minimal invasive atau operasi

Hemorroid derajat 4 : Operasi

Kesimpulan

Penyakit hemorroid walaupun bukan penyakit yang fatal, tetapi cukup mengganggu kehidupan,

patogenesis penyakit ini masih belum sepenuhnya difahami, tetapi faktor kongesti, hipertoni

sfinkter ani dan kelemahan penyangga pleksus hemoroidalis memegang peran utama. Berbagai

macam modalitas terapi. Mana yang akan dipilih hendaknya dipertimbangkan berdasarkan besar

dan derajat hemorroid dan juga tentunya bergantung fasilitas serta pengalaman dari dokternya.

Page 10: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

STRUMA

Page 11: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Defenisi Struma

Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh

karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa

gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.

Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid

yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian

posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat

mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara

sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak

terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila

pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris

atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.

Anatomi Tiroid

Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini

memiliki dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing

berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan

berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme

dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini

memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan

hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul

T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan

oleh kadar hormon perangsang tiroid TSH (thyroid stimulating hormone) yang

Page 12: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 13: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan dasar

pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan minuman yang

mengandung yodium. Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 2.1. Kelenjar Tiroid

Fisiologi Kelenjar Tiroid

Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan

metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan

pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh

dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah

produksi panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa,merangsang pertumbuhan

somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak

adanya hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan

neurologik timbul pada saat lahir dan bayi.

Patogenesis Struma

Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat

pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula

penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut

memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH

Page 14: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 15: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah

yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin

bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan

pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid

dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.

Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang

menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia

(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit

Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan

penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,

sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma

non toksik (struma endemik).

Klasifikasi Struma

1. Berdasarkan Fisiologisnya

Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Eutiroidisme

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang

disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan

kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau

struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada

leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.

b. Hipotiroidisme

Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid

sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar

Page 16: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 17: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien

hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai

kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh

antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah

penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit

berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi

berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.

Gambar penderita hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini.

Gambar 2.2 Hipotiroidisme

c. Hipertiroidisme

Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan

sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon

tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis

antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya

produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.

Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,

keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu

juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas,

Page 18: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 19: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi

otot. Gambar penderita hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.

Gambar 2.3. Hipertiroidisme

2. Berdasarkan Klinisnya

Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi

sebagai berikut :

a. Struma Toksik

Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan

struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada

perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke

jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan

memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan

(struma multinoduler toksik).

Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena

jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.

Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic

Page 20: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 21: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara

hipertiroidisme lainnya.

Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap

selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam

sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid

hiperaktif.

Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan

pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai

hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan

mencegah pembentukanya. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah ber at

dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik

adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara

dan menelan, koma dan dapat meninggal.

b. Struma Non Toksik

Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi

struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik

disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai

simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah

yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang

menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka

pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda

hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya

tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi

Page 22: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 23: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan

karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat

karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien

mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau

trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul

perdarahan di dalam nodul.

Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya

endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan

seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang

diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI

adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang

20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.

Epidemiologi Struma

Distribusi dan Frekuensi

a. Orang

Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005

struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12

%) dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun

259 orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang

diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia

yang terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03 %).

Page 24: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 25: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

b. Tempat dan Waktu

Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau

pemeriksaan benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan 81

anak (8,0%) mengalami struma endemis atau gondok. Penelitian Tenpeny K.E di

Haiti pada tahun 2009 menemukan PR struma endemis 26,3 % yang dilakukan

pemeriksaan pada 1.862 anak usia 6-12 tahun.

Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40

anak yang terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita

gondok menunjukan PR GAKY 31,9 % di Desa Gading (daerah endemik) dan

0,65 % di Desa Mejaya (daerah non endemik).

Determinan Struma

a. Host

Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki

namun dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak

ada. Struma dapat menyerang penderita pada segala umur namun umur yang

semakin tua akan meningkatkan resiko penyakit lebih besar. Hal ini disebabkan

karena daya tahan tubuh dan imunitas seseorang yang semakin menurun seiring

dengan bertambahnya usia.

Berdasarkan penelitian Hemminichi K, et al yang dilakukan berdasarkan

data rekam medis pasien usia 0-75 tahun yang dirawat di rumah sakit tahun 1987-

2007 di Swedia ditemukan 11.659 orang (50,9 %) mengalami struma non toxic,

9.514 orang (41,5 %) Graves disease, dan 1.728 orang (7,54%) struma nodular

Toxic.

Page 26: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 27: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

b. Agent

Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati

yang terdapat dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan. Agent kimia

penyebab struma adalah goitrogen yaitu suatu zat kimia yang dapat menggangu

hormogenesis tiroid. Goitrogen menyebabkan membesarnya kelenjar tiroid seperti

yang terdapat dalam kandungan kol, lobak, padi-padian, singkong dan goitrin

dalam rumput liar. Goitrogen juga terdapat dalam obat-obatan seperti

propylthiouraci, lithium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang

mengandung yodium secara berlebih.

Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang

merupakan salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus

anak-anak yang sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium

radioaktif pada tirotoksikosis berat serta operasi di tempat lain di mana

sebelumnya tidak diketahui. Adanya hipertiroidisme mengakibatkan efek radiasi

setelah 5-25 tahun kemudian.

c. Environment

Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya

kurang sekali mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat

struma endemik adalah di Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes,

Himalaya di mana iodinasi profilaksis tidak menjangkau masyarakat. Di Indonesia

banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi.

Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia

pada tahun 1993 dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah

pesisir, pedalamam serta diantara pantai dan pedalaman. Sebanyak 2.450 orang

Page 28: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 29: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

dengan usia >15 tahun ditemukan PR GAKY 23 % di wilayah pesisir dengan

kelompok usia terbanyak pada usia 36-45 tahun (33,9 %) , 35,9 % di wilayah

pedalaman pada usia 15-25 tahun (39,6 %) dan 44,9 % diantara pedalaman dan

pesisir pantai pada usia 26-35 tahun (54,3 %).

Berdasarakan penelitian Juan di Spanyol pada tahun 2004 terhadap 634

orang yang berusia 55-91 tahun diperiksa ditemukan 325 orang (51,3 %)

mengalami goiter multinodular non toxic, 151 orang (23,8 %) goiter multinodular

toxic, 27 orang (4,3%) Graves disease, dan 8 orang (1,3 %) simple goiter.

Pencegahan

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk

menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat

dilakukan untuk mencegah terjadinya struma adalah :

a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola

perilaku makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium

b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan

laut

c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium

setelah dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum

memasak untuk menghindari hilangnya yodium dari makanan

d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini

memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam

karena dapat terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan

Page 30: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 31: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

dengan yodida diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang

diberikan dalam air yang mengalir, dan penambahan yodida dalam

sediaan air minum.

e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di

daerah endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya

adalah semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk

wanita hamil dan menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan

endemis sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai umur dan

kelamin.

f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan

3 tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6

tahun 1 cc dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,

mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas

penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu :

a. Diagnosis

a.1. Inspeksi

Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang

berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka.

Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen

yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan

Page 32: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 33: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan

pembengkakan.

a.2. Palpasi

Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,

leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid

dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.

a.3. Tes Fungsi Hormon

Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes

fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin

dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum

mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH

plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.

Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid.

Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah

normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat

digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes

ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan

kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.

a.4. Foto Rontgen leher

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau

menyumbat trakea (jalan nafas).

Page 34: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 35: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

a.5. Ultrasonografi (USG)

Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan

tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan

kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu

pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara

lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.

a.6. Sidikan (Scan) tiroid

Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama

technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah

jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa

menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi

dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian tiroid.

a.7. Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.

Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran

sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu

karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan

pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi

oleh ahli sitologi.

b. Penatalaksanaan Medis

Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma

antara lain sebagai berikut :

Page 36: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 37: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

b.1. Operasi/Pembedahan

Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering

dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien

hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak

dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang

dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan.

Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik

atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan

makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan

kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.

Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum

pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat

sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa

mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan

pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu

setelah tindakan pembedahan.

b. 2. Yodium Radioaktif

Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada

kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau

dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50

%. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga

memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak

meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif

diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit,

Page 38: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 39: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian

obat tiroksin.

b.3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid

Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini

diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh

karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4)

ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi

pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini

adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.

3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik

dan sosial penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat

dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan

mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.

b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan

c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik

segar dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya

melalui melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu

dengan rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosia l dan

rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.

Page 40: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

TRAUMA

THORAX

Page 41: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Defenisi

Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau

organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.

Memahami kinematis dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan

identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera.

Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga

abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah leher dapat diraba

incisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus dorsi,

m.trapezius, m.rhomboideus mayor dan minor, m.serratus anterior, dan

m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga dan

skapula. Organ yang terletak di dalam rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas,

esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf dan sistem limfatik.

Epidemiologi

Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan

kondisi sosial ekonomi masyarakat. Data yang akurat mengenai trauma toraks di

Indonesia belum pernah diteliti.

Page 42: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien

trauma mengenai trauma toraks. Di Amerika didapatkan 180.000 kematian

pertahun karena trauma. 25% diantaranya karena trauma toraks langsung.

Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan

adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan

trauma. Pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru dan flail chest dapat

meningkatkan kematian : 38%,42%,56% dan 69%.

Etiologi

Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan

trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan

kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis

tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar dan

terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang

lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma

toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya

yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang dengan

kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma toraks oleh

karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000

kaki per detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang

berlebihan pada paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada

scuba).

Page 43: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 44: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Gangguan anatomi dan fisiologi akibat trauma toraks

Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika yang dapat

menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres. Kompresi terjadi

ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika jaringan kulit

terpisah dan stres merupakan tempat benturan pada jaringan kulit yang bergerak

berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan anatomi yang

terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya

penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding

toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa

fraktur kosta multiple dengan komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio

paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan

trauma langsung pada jantung.

Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat

menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.

Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung

kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi

ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu

penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh

darah.

Page 45: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 46: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Torakostomi

Torakostomi merupakan suatu tindakan membuat lubang pada dinding dada di

daerah interkostal V di anterior garis mid aksila pada sisi toraks yang patologis,

kemudian dipasang tube elastik dan difiksasi, untuk mengeluarkan cairan, darah atau

udara dari kavum pleura, baik secara aktif maupun pasif. Tindakan ini dikerjakan

untuk menangani kasus-kasus pasien dengan efusi pleura, hematotoraks,

pneumotoraks, silotoraks, post operasi torakostomi dan empiema. Bailey (2006),

mendapatkan 54% indikasi pemasangan toraks tube pada pasien trauma oleh karena

pneumotoraks, 20% oleh karena hematotoraks, 18% oleh karena efusi pleura, 2% oleh

karena fraktur kosta multipel dan 6% oleh karena berbagai sebab.

Pada pemasangan chest tube dapat timbul komplikasi. Komplikasi yang

tersering berupa perdarahan dan hemotoraks yang bersumber dari robeknya arteri

interkostal, perforasi organ viseral (seperti: paru-paru, jantung, diafragma, atau organ

intra abdomen), perforasi struktur pembuluh darah besar seperti aorta atau vena

subklavia, neuralgia interkostal oleh karena trauma pada neurovaskuler, subkutaneus

empisema, reekspansi oedem pulmonary, infeksi luka insisi, pneumonia dan empiema.

Disamping itu dapat timbul sumbatan berulang pada chest tube oleh karena bekuan

darah, pus atau debris, atau posisi tube yang tidak benar sehingga fungsi drainase tidak

efektif. Bailey dkk (2006), mendapatkan komplikasi mayor berupa empiema post

torakostomi sebesar 2%.

Page 47: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 48: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Etoch dkk (1995) mendapatkan 16% komplikasi post torakostomi, dan 1,5%

berkembang menjadi empiema. Nichols dkk (1994) melakukan evaluasi tentang

perlunya pemberian antibiotika untuk mengurangi rata-rata komplikasi infeksi post

torakostomi.

Gambar 1 : Lokasi Pemasangan Chest Tube

Gambar 2 : Pasien Post Torakostomi

Torakostomi dikerjakan di kamar operasi atau UGD dengan setting steril.

Dengan menggunakan Povidon Iodin 10 % sebagai desinfektan dan Lidocain 2 %

Page 49: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 50: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

untuk lokal anestesi. Chest tube yang dipakai biasanya berukuran 24 - 32 Fr.

disesuaikan dengan besar badan pasien. Chest tube dipasang pada interkostal 5 atau 6,

di depan garis mid-aksila pada sisi yang patologis. Kemudian difiksasi dengan Silk no :

0 dan dihubungkan dengan mesin WSD. Posisi dan pengembangan paru dievaluasi

dengan kontrol rontgen toraks.

Setelah pemasangan chest tube perlu dilakukan chest fisioterapi dan

perawatan luka torakostomi. Chest fisioterapi bertujuan untuk mempercepat

tercapainya pengembangan dari paru-paru. Dan perawatan luka bertujuan untuk

mencegah infeksi pada luka torakostomi.

Mikrobiologi biofilm

Defenisi

Defenisi biofilm telah berkembang sejak 25 tahun yang lalu. Marshall (1976)

mencatat keterlibatan dari fibril polimer ekstraseluler yang sangat halus yang

membawa bakteri ke permukaannya. Costerton melakukan observasi pada komunitas

bakteri pada sistem akuatik yang ditemukan terperangkap dalam matrik glikokalik

yang didapati pada polisakarida dan matrik ini ditemukan dapat memediasi

penempelan atau proses adesi.

Costerton mengatakan bahwa biofilm terdiri dari sel tunggal dan mikrokoloni,

dimana semuanya terperangkap dalam matrik eksopolimer anion.

Page 51: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 52: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Definisi baru dari biofilm merupakan suatu lapisan tipis bakteri yang menempel

pada permukaan matriks yang lembab dan lengket seperti mukosa dan alat-alat yang

dipasang di dalam tubuh, yang menyebabkan bakteri resisten terhadap proses

fagositosis sel darah putih dan efek antibiotika.

Epidemiologi

Biofilm merupakan masalah besar dan tidak memiliki predominansi lokasi

geografis, jenis kelamin, ras dan etnis dunia. Akan tetapi, terdapat hubungan yang kuat

antara infeksi biofilm dengan pemakaian alat yang dimasukan ke dalam tubuh. Protese

katup jantung memiliki resiko paling tinggi untuk terkena infeksi, diikuti oleh kateter

urin dan terakhir implan gigi, sedangkan khusus tentang biofilm pada chest tube belum

ada publikasinya. Enam puluh lima persen infeksi yang terjadi di negara berkembang

merupakan akibat dari biofilm yang resisten terhadap antimikrobial.

Sebuah penelitian menemukan bahwa, 95% dari pasien dengan infeksi saluran

kencing terjadi akibat pemasangan kateter urin, 87% infeksi hematogen terjadi akibat

pemakaian vaskular kateter, dan 87% pasien dengan pneumonia terjadi akibat ventilasi

mekanik.

Patogenesis

Biofilm merupakan substansi menyerupai perekat yang secara permanen

memfiksasi mikroorganisme pada permukaan padat dan sulit dieradikasi dengan

menggunakan antimikrobial. Mikroorganisme pada biofilm berbeda dengan

Page 53: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 54: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

mikroorganisme yang bergerak bebas karena mikroorganisme biofilm tidak bisa

dieradikasi dengan mudah seperti mikroorganisme yang bergerak bebas. Seluruh

implan buatan pada tubuh manusia akan mengalami resiko untuk infeksi biofilm.

Fiksasi mikroorganisme pada peralatan medis memiliki hubungan yang kuat dengan

media pertumbuhan, permukaan, serta mikroorganisme yang berkaitan.

Gambar 3 : Menunjukkan proses pembentukan Biofilm

Gambar 3. Menunjukkan lima proses perkembangan daripada biofilm. Fase 1

perlengketan awal dari sel terhadap permukaan alat, fase 2 produksi dari pada EPS,

fase 3 pertumbuhan awal dari arsitektur biofilm, fase 4 terjadi maturasi dari arsitektur

biofilm, fase 5 menunjukkan penyebaran dari sel biofilm.

Page 55: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 56: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Biofilm tersusun dari substansi polimer tambahan / Extra Polymeric Substance

(EPS) dan sel-sel mikrobial. Komponen EPS meliputi 50-90% dari biofilm. Biofilm

memiliki hidrasi yang baik karena dapat mengikat air dalam jumlah besar melalui

ikatan hidrogen.

EPS dapat bersifat baik hidrofobik maupun seimbang antara hidrofobik dan

hidrofilik. Mikroorganisme yang berbeda akan menghasilkan kuantitas EPS yang

berbeda dimana kuantitas EPS ini akan bertambah besar seiring dengan usia biofilm.

Perkembangan bakteri yang lambat akan menginduksi pembentukan EPS. EPS

memegang peranan penting di dalam resistensi biofilm terhadap terapi antimikrobial.

Biofilm bersifat heterogen (lebih dari satu macam koloni bakteri), terdiri dari

koloni-koloni bakteri kecil yang dilapisi oleh media EPS dan terpisah dari koloni

lainnya oleh ruang kosong atau saluran air. Aliran cairan di dalam saluran tersebut

memberikan nutrisi, gizi dan zat antimikrobial. Struktur biofilm berubah secara terus-

menerus akibat perubahan eksternal maupun internal. Arsitektur biofilm juga dapat

dipengaruhi oleh interaksi fragmen bagian nonmikrobial host (misalnya eritrosit,

fibrin, atau platelet) dengan lingkungan sekitar. Fibrin yang terbentuk dari biofilm

melindungi biofilm dari leukosit host. Perlekatan bakteri yang berkepanjangan pada

akhirnya akan menyebabkan pembentukan beberapa lapis bakteri pada permukaan.

Sinyal antar sel berperan di dalam fiksasi dan pemisahan sel dari biofilm.

Page 57: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 58: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Pada mikroorganisme dengan tingkat kepadatan tinggi, sinyal antar sel

menjadi sangat kuat dimana hal ini akan menstimulasi diferensiasi biofilm.

Biofilm dapat menyebar dengan cara melepaskan sel yang baru terbentuk dari

sel-sel yang sedang berkembang. Pelepasan ini dapat terjadi akibat faktor nutrisi,

tingkat kepadatan, atau efek aliran pada permukaan alat. Alasan mengapa sel-sel yang

baru terbentuk terlepas dari biofilm adalah karena penurunan sifat hidrofobik biofilm,

dimana sifat ini akan meningkat seiring dengan usia sel pada biofilm. Organisme

dengan penurunan jumlah alginate akan terlepas dengan sendirinya.

Ada tiga mekanisme pelepasan biofilm secara fisik. Yang pertama adalah

pelepasan sebagian kecil dari biofilm secara konstan, pelepasan secara luas dan

mendadak, dan pelepasan akibat gesekan cairan pada permukaan biofilm. Laju

pelepasan biofilm tergantung dari ketebalan dan gesekan pada daerah kontak biofilm

dengan aliran cairan. Pelepasan secara luas dan mendadak terjadi akibat kurangnya

nutrisi atau oksigen. Pelepasan biofilm dapat terjadi secara spesifik pada spesies

mikroorganisme tertentu. Metode ini memberikan kesempatan kepada sel-sel pada

biofilm untuk berpindah tempat dari daerah dengan nutrisi yang rendah menuju daerah

lain yang dapat menunjang pertumbuhan biofilm dengan lebih baik. Metode pelepasan

ini akan mempengaruhi gambaran fenotipe mikroorganisme yang bersangkutan.

Page 59: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
Page 60: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid

Biofilm yang yang terlepas secara luas dan mendadak memiliki sifat resistensi

antimikrobial, dimana sel-sel selalu dilepaskan secara konstan dalam jumlah kecil dan

menjadi organisme.

Terdapat empat sifat biofilm yang memiliki dampak besar pada

perkembangan penyakit infeksi. Yang pertama, pelepasan sel atau biofilm dapat

menyebabkan infeksi sistemik atau saluran kemih atau dapat menyebabkan

pembentukan emboli (berhubungan dengan platelet, fibrin, dan eritrosit). Kedua, sel-

sel pada biofilm memiliki kemampuan untuk mentransfer plasmid untuk resistensi. Hal

ini merupakan penyebab utama mengapa biofilm resisten terhadap sebagian besar

antimikroba dan desinfektan. Ke tiga adalah pembentukan endotoksin oleh bakteri

gram negatif. Endotoksin terbentuk pada saat bakteri mati dan materi intraselulernya

terlepas keluar. Bakteri gram negatif pada biofilm dapat membentuk endotoksin yang

dapat melewati membran dialisis pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis. Hal

ini tentu menjadi masalah. Yang ke empat adalah resistensi biofilm terhadap sistem

imunitas host karena EPS yang dihasilkan oleh bakteri akan menghambat aktivitas

fagositik makrofag.

Bakteri yang melepaskan diri dari biofilm juga memiliki resistensi terhadap

oksigen aktif yang dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear. Perjalanan alamiah

penyembuhan luka akan mengalami hambatan oleh aktivitas mikroorganisme biofilm.

Akan muncul daerah nekrosis serta denaturasi proteinpada luka yang merupakan

tempat ideal bagi proliferasi bakteri dan pembentukan biofilm.

Page 61: Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid