Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
-
Upload
meilki-nanda -
Category
Documents
-
view
60 -
download
0
description
Transcript of Referat Trauma Thorax, Struma dan Hemoroid
HEMOROID
Abstrak
Hemorroid merupakan penyakit yang cukup sering terjadi, walaupun patogenesisnya belum
sepenuhnya difahami tetapi peranan kerusakan penyangga pembuluh darah, hipertrofi sfinkter ani
dan beberapa faktor pemburuk yang menyebabkan peningkatan tekanan intrarektum mempunyai
kontribusi untuk terjadinya hemorroid. Lingkaran setan berupa protrusi pleksus hemorroid yang
akan meningkatkan tekanan sfinkter ani kemudian menambah kongesti aliran darah dan
menambah besar hemorroid. Tujuan terapi untuk mengurangi kongesti pembuluh darah, fiksasi
mukosa pada lapisan otot dan mengurangi ukuran dan jumlah pleksus hemorroidalis. Terapi
medik diberikan terbatas pada hemorroid grade 1 dan 2. Terapi medik nonfarmakologik dengan
mengatur diit dan kebiasaan defekasi,pemberian supplemen serat dan pelunak feses. Obat steroid
topikal sebagai antiinflammasi dapat diberikan pada fase akut, obat flebotonik dapat diberikan
pada fase akut dan kronik. Terapi minimal invasip dengan skleroterapi,ligasi, bedah krio, dilatasi
anus dan koagulasi. Untuk hemorroid yang telah lanjut perlu dilakukan terapi bedah .
Pendahuluan
Hemorroid adalah penyakit yang cukup sering terjadi di masyarakat dan tersebar luas diseluruh
dunia. Prevalensi penyakit ini di USA diperkirakan sekitar 4-5%(1). Hemorroid bukan penyakit
yang fatal, tetapi sangat mengganggu kehidupan. Sebelumnya hemorroid ini dikira hanya timbul
karena stasis aliran darah daerah pleksus hemorroidalis, tetapi ternyata tidak sesederhana
itu.Simptomatologi sering tidak sejalan dengan besarnya hemorroid ,kadang-kadang hemoroid
yang besar tidak/hanya sedikit memberikan keluhan, sebaliknya hemorroid kecil dapat
memberikan gejala perdarahan masip. Karena itu untuk diagnosis hemorroid memerlukan
anamnesis,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan konfirmasi yang teliti serta perlu dievaluasi
dengan seksama agar dapat dicapai pendekatan terapeutik yang sesuai.
Patogenesis
Pleksus hemorroidalis merupakan sistem artereriovenous anastomosis yang terletak didaerah
submukosa kanalis analis. Terdapat dua buah pleksus yaitu pleksus hemorroidalis internal dan
eksternal yang terpisah satu dengan yang lainnya, sebagai batas adalah linea dentata. Ada 3 hal
yang penting untuk diketahui, yaitu pertama adalah mukosa rektum atau mukosa anodermal,
kemudian stroma jaringan yang berisi pembuluh darah, otot polos dan jaringan ikat penunjang serta
ketiga adalah jangkar (anchor) yang akan melindungi pleksus hemorroid dari mekanisme kerja
sfinkter ani. Dengan bertambah usia dan berbagai faktor pemburuk (seperti bendungan sistim porta,
kehamilan, PPOK, konstipasi kronik, keadaan yang menimbulkan tekanan intrapelvis meningkat)
maka jaringan penunjang dan jangkar tersebut dapat menjadi rusak akibatnya pleksus akan
menonjol dan turun dan akan memberikan simptom.
Teori lain menyatakan bahwa hemorroid ini mirip dengan suatu AV malformation,ini dibuktikan
dengan adanya perdarahan yang berwarna merah (bukan hitam) seperti perdarahan arterial. Teori
terakir menyatakan bahwa defek utama merupakan kombinasi dari lemahnya jaringan penyokong
pleksus hemorroidalis - hipertrofi dari otot sfinkter ani. Pada beberapa individu sfinkter ani
interna hipertrofi sehingga kanalis analis makin menyempit, pada saat mengedan terjadi kongesti,
bolus feses menekan pleksus kebawah melalui sfinkter yang hipertrofi, terjadi kongesti dan
menjadi simptomatik. Dalam hal ini akan terjadi sirkulus vitiosus yaitu; Penonjolan pleksus
submukosa akan menimbulkan kanalis analis menjadi kaku hal ini merangsang sfinkter menjadi
lebih kencang sehingga kongesti aliran darah menjadi semakin berat dan akhirnya penonjolan
semakin besar. Tidak ada bukti bahwa keturunan dan faktor geografi turut berperan. Upaya
pengobatan sebaiknya berdasarkan pada pendekatan bagaimana memotong lingkaran setan tadi.
Diagnosis.
Sebagian besar penderita mengeluh adanya perdarahan per rektal, perdarahan berupa darah
merah segar, menetes sewaktu atau setelah buang air besar. Perdarahan ini tidak disertai rasa
nyeri atau rasa mules. Pada sebagian penderita perdarahan ini tidak diketahui, sehingga tidak
jarang pasien dengan hemorroid ini datang dengan keluhan anemia. Sebagian lagi penderita
mengeluh rasa nyeri. Rasa nyeri ini timbul bila ada trombosis atau strangulasi dari hemorroid.
Sebagian kasus mungkin mengeluh adanya benjolan pada anusnya, atau ada yang keluar
(prolaps) dari anusnya. Keluhan lain mungkin berupa pruritus ani, atau rasa tidak enak daerah
anus atau ada discharge. Kadang-kadang hemorroid ditemukan secara kebetulan(asimptomatik).
Terhadap penderita dengan keluhan seperti diatas hendaknya dilakukan pemeriksaan fisik yang
cermat. Penderita hemorroid derajat 3 dan 4 dengan mudah dapat dilihat pada saat pemeriksaan,
pada hemorroid derajat 2 pasien perlu disuruh mengejan beberapa saat. Harus dilakukan colok
dubur, anoskopi bahkan bila dianggap perlu (pada kasus perdarahan masip) dapat dilakukan
colon inloop, rektosigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk menyingkirkan penyakit lain seperti
malgnansi kolorektal atau inflammatory bowel diseases. Pada beberapa senter dilakukan
pemeriksaan tekanan sfinkter ani. Secara fisik beratnya hemorroid interna dibagi menjadi 4
derajat (grade).
Grade 1: Hemorroid terbatas pada lumen anorektal,tidak menonjol keluar
Grade 2: Hemorroid menonjol keluar saat mengedan dan masuk secara spontan
Grade 3: Hemorroid menonjol keluar dan harus didorong untuk memasukkannya
Grade 4: Hemorroid menonjol dan tidak dapat masuk walaupun didorong.
Lokasi hemorroid interna yaitu lateral kiri,lateroventral kanan dan laterodorsal kanan.
Terapi
Tujuan terapi yaitu memotong lingkaran patogenesis hemorroid dengan berbagai cara:
1.Mengurangi kongesti:
- Manipulasi diit dan mengatur kebiasaan
- Obat antiinflammasi
- Obat flebotonik
- Dilatasi Anus
- Sphingterotomi
2.Fiksasi mukosa pada lapisan otot: (1). Skleroterapi. (2). Koagulasi infra merah. (3). Diatermi
bipolar
3.Mengurangi ukuran/vaskularisasi dari pleksus hemorroidalis:
1. Ligasi
2. Eksisi
Terapi medik
Terapi medik diberikan pada penderita hemorroid derajat 1 atau 2.
Manipulasi diit dan mengatur kebiasaan.
Diit tinggi serat, bila perlu diberikan supplemen serat atau obat yang memperlunak feses (bulk
forming cathartic). Menghindarkan mengedan berlama-lama pada saat defekasi. Menghindarkan
diare karena akan menimbulkan iritasi mukosa yang mungkin menimbulkan ekaserbasi penyakit.
Obat antiinflammasi seperti steroid topikal jangka pendek dapat diberikan untuk mengurangi
udem jaringan karena inflammasi. Antiinflammasi ini biasanya digabungkan dengan anestesi
lokal, vasokonstriktor, lubricant, emollient dan zat pembersih perianal. Obat - obat ini tidak akan
berpengaruh terhadap hemorroidnya sendiri, tetapi akan mengurangi inflammasi, rasa nyeri/tidak
enak dan rasa gatal. Penggunaan steroid ini bermanfaat pada saat ekaserbasi akut dari hemorroid
karena bekerja sebagai antiinflammasi, antipruritus dan vasokonstriktor. Walaupun demikian
pemakaian jangka panjang malah menjadi tidak baik karena menimbulkan atrofi kulit perianal
yang merupakan predisposisi terjadinya infeksi. Demikian pula obat yang mengandung anestesi
lokal perlu diberikan secara hati-hati karena sering menimbulkan reaksi buruk terhadap
kulit/mukosa.
Sitz bath (bagian anus direndam di waskom/ember dengan air hangat + permanganas kalikus)
sangat bermanfaat karena ada efek memberiesihkan perianal.
Obat flebotonik seperti Daflon atau preparat rutacea dapat meningkatkan tonus vena sehingga
mengurangi kongesti. Daflon merupakan obat yang dapat meningkatkan dan memperlama efek
noradrenalin pada pembuluh darah. Penelitian double blind placebo-controlled dari Daflon
ternyata memberikan manfaat untuk terapi hemorroid baik pada keadaan non akut maupun pada
saat ekaserbasi akut. Dosis pada saat akut yaitu 3 x 1000 mg selama 4 hari dilanjutkan 2 x 1000
mg selama 3 hari. Ternyata pengobatan dengan cara tersebut lebih baik dari plasebo. Penelitian
lain pada hemorroid non akut dengan dosis 2 x 500 mg selama 2 bulan hasilnya kelompok yang
diobati lebih baik dari plasebo. Obat ini dikatakan aman bahkan pada wanita hamil sekalipun.
Terapi dengan cara "minimal invasive”
Terapi dengan cara ini dlakukan terhadap penderita yang tidak berhasil dengan cara medik atau
penderita yang belum mau dilakukan operasi.Paling optimal cara ini dilakukan pada penderita
hemorroid derajat 2 atau 3.
Skleroterapi:
Cara ini sudah sangat lama digunakan. Sklerosant (morhuat,etoksisklerol dsb) disuntikkan para
varises sehingga terjadi inflammasi dan sklerosis lapisan submukosa. Cara ini bermanfaat untuk
mengatasi hemorroid kecil yang sedang berdarah.
Rubber band ligation:
Dengan memakai aplikator khusus, hemorroid dihisap kemudian rubber band dilepaskan dan
hemorroid terikat. Keadaan ini akan menimbulkan nekrosis lokal dan terjadi fibrosis serta fiksasi
mukosa pada lapisan otot.
Dilatasi anus:
Prosedur sangat simpel bisa dengan lokal anestesi atau neuroleptik.
Bedah krio:
Sebagian dari mukosa anus dibekukan dengan nitrogen cair, dalam beberapa hari terjadi
nekrosis, kemudian sklerosis dan fiksasi mukosa pada lapisan otot.
Foto koagulasi infra merah, Elektrokoagulasi, Diatermi bipolar:
Prinsip dari cara-cara ini hampir sama yaitu nekrosis lokal karena panas, terjadi nekrosis,
fibrosis/sklerosis dan fiksasi mukosa pada jaringan otot dibawahnya.
Terapi bedah.
Terapi bedah dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya Whitehead, Milligan-Morgan atau
Parks.
Pemilihan modalitas terapi
Hemorroid derajat 1 : Terapi medic. Bila kurang baik diganti dengan cara minimal invasive
Hemorroid derajat 2 : Terapi dengan cara minimal invasive. Bila pasen tidak mau dapat dicoba
terapi medic. Bila gagal dengan minimal invasive ganti dengan operasi.
Hemorriod derajat 3 : Terapi dengan minimal invasive atau operasi
Hemorroid derajat 4 : Operasi
Kesimpulan
Penyakit hemorroid walaupun bukan penyakit yang fatal, tetapi cukup mengganggu kehidupan,
patogenesis penyakit ini masih belum sepenuhnya difahami, tetapi faktor kongesti, hipertoni
sfinkter ani dan kelemahan penyangga pleksus hemoroidalis memegang peran utama. Berbagai
macam modalitas terapi. Mana yang akan dipilih hendaknya dipertimbangkan berdasarkan besar
dan derajat hemorroid dan juga tentunya bergantung fasilitas serta pengalaman dari dokternya.
STRUMA
Defenisi Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris
atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini
memiliki dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing
berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan
berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme
dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini
memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan
hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul
T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan
oleh kadar hormon perangsang tiroid TSH (thyroid stimulating hormone) yang
dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan dasar
pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan minuman yang
mengandung yodium. Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah ini.
Gambar 2.1. Kelenjar Tiroid
Fisiologi Kelenjar Tiroid
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan
pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh
dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah
produksi panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa,merangsang pertumbuhan
somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak
adanya hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan
neurologik timbul pada saat lahir dan bayi.
Patogenesis Struma
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut
memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH
kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin
bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid
dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia
(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit
Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan
penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma
non toksik (struma endemik).
Klasifikasi Struma
1. Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan
kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau
struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada
leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar
untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah
penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit
berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi
berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.
Gambar penderita hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
Gambar 2.2 Hipotiroidisme
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon
tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis
antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya
produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,
keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu
juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas,
mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi
otot. Gambar penderita hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.
Gambar 2.3. Hipertiroidisme
2. Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut :
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke
jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan
(struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic
goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara
hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap
selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam
sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid
hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai
hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan
mencegah pembentukanya. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah ber at
dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik
adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara
dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi
struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik
disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai
simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah
yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang
menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya
tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat
karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien
mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan
seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI
adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang
20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.
Epidemiologi Struma
Distribusi dan Frekuensi
a. Orang
Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005
struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12
%) dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun
259 orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang
diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia
yang terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03 %).
b. Tempat dan Waktu
Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau
pemeriksaan benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan 81
anak (8,0%) mengalami struma endemis atau gondok. Penelitian Tenpeny K.E di
Haiti pada tahun 2009 menemukan PR struma endemis 26,3 % yang dilakukan
pemeriksaan pada 1.862 anak usia 6-12 tahun.
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40
anak yang terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita
gondok menunjukan PR GAKY 31,9 % di Desa Gading (daerah endemik) dan
0,65 % di Desa Mejaya (daerah non endemik).
Determinan Struma
a. Host
Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki
namun dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak
ada. Struma dapat menyerang penderita pada segala umur namun umur yang
semakin tua akan meningkatkan resiko penyakit lebih besar. Hal ini disebabkan
karena daya tahan tubuh dan imunitas seseorang yang semakin menurun seiring
dengan bertambahnya usia.
Berdasarkan penelitian Hemminichi K, et al yang dilakukan berdasarkan
data rekam medis pasien usia 0-75 tahun yang dirawat di rumah sakit tahun 1987-
2007 di Swedia ditemukan 11.659 orang (50,9 %) mengalami struma non toxic,
9.514 orang (41,5 %) Graves disease, dan 1.728 orang (7,54%) struma nodular
Toxic.
b. Agent
Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati
yang terdapat dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan. Agent kimia
penyebab struma adalah goitrogen yaitu suatu zat kimia yang dapat menggangu
hormogenesis tiroid. Goitrogen menyebabkan membesarnya kelenjar tiroid seperti
yang terdapat dalam kandungan kol, lobak, padi-padian, singkong dan goitrin
dalam rumput liar. Goitrogen juga terdapat dalam obat-obatan seperti
propylthiouraci, lithium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang
mengandung yodium secara berlebih.
Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang
merupakan salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus
anak-anak yang sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium
radioaktif pada tirotoksikosis berat serta operasi di tempat lain di mana
sebelumnya tidak diketahui. Adanya hipertiroidisme mengakibatkan efek radiasi
setelah 5-25 tahun kemudian.
c. Environment
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya
kurang sekali mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat
struma endemik adalah di Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes,
Himalaya di mana iodinasi profilaksis tidak menjangkau masyarakat. Di Indonesia
banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi.
Berdasarkan penelitian Mafauzy yang dilakukan di Kelantan Malaysia
pada tahun 1993 dari 31 daerah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah
pesisir, pedalamam serta diantara pantai dan pedalaman. Sebanyak 2.450 orang
dengan usia >15 tahun ditemukan PR GAKY 23 % di wilayah pesisir dengan
kelompok usia terbanyak pada usia 36-45 tahun (33,9 %) , 35,9 % di wilayah
pedalaman pada usia 15-25 tahun (39,6 %) dan 44,9 % diantara pedalaman dan
pesisir pantai pada usia 26-35 tahun (54,3 %).
Berdasarakan penelitian Juan di Spanyol pada tahun 2004 terhadap 634
orang yang berusia 55-91 tahun diperiksa ditemukan 325 orang (51,3 %)
mengalami goiter multinodular non toxic, 151 orang (23,8 %) goiter multinodular
toxic, 27 orang (4,3%) Graves disease, dan 8 orang (1,3 %) simple goiter.
Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk
menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya struma adalah :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola
perilaku makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan
laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium
setelah dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum
memasak untuk menghindari hilangnya yodium dari makanan
d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam
karena dapat terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan
dengan yodida diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang
diberikan dalam air yang mengalir, dan penambahan yodida dalam
sediaan air minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di
daerah endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya
adalah semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk
wanita hamil dan menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan
endemis sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai umur dan
kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan
3 tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6
tahun 1 cc dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas
penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu :
a. Diagnosis
a.1. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang
berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka.
Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen
yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan
pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan
pembengkakan.
a.2. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,
leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid
dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.
a.3. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes
fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin
dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum
mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH
plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid.
Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah
normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat
digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes
ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan
kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
a.4. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas).
a.5. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan
tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan
kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu
pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara
lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
a.6. Sidikan (Scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama
technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah
jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa
menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi
dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
a.7. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran
sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu
karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan
pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi
oleh ahli sitologi.
b. Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma
antara lain sebagai berikut :
b.1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering
dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien
hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak
dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang
dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan.
Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik
atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan
makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan
kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat
sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa
mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan
pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu
setelah tindakan pembedahan.
b. 2. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada
kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau
dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50
%. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga
memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak
meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif
diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit,
obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian
obat tiroksin.
b.3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini
diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh
karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4)
ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi
pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini
adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik
dan sosial penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.
b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik
segar dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya
melalui melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu
dengan rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosia l dan
rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.
TRAUMA
THORAX
Defenisi
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau
organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.
Memahami kinematis dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan
identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera.
Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga
abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah leher dapat diraba
incisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus dorsi,
m.trapezius, m.rhomboideus mayor dan minor, m.serratus anterior, dan
m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga dan
skapula. Organ yang terletak di dalam rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas,
esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf dan sistem limfatik.
Epidemiologi
Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Data yang akurat mengenai trauma toraks di
Indonesia belum pernah diteliti.
Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien
trauma mengenai trauma toraks. Di Amerika didapatkan 180.000 kematian
pertahun karena trauma. 25% diantaranya karena trauma toraks langsung.
Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan
adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan
trauma. Pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru dan flail chest dapat
meningkatkan kematian : 38%,42%,56% dan 69%.
Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan
trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan
kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis
tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar dan
terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang
lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma
toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya
yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang dengan
kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma toraks oleh
karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000
kaki per detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang
berlebihan pada paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada
scuba).
Gangguan anatomi dan fisiologi akibat trauma toraks
Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika yang dapat
menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres. Kompresi terjadi
ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika jaringan kulit
terpisah dan stres merupakan tempat benturan pada jaringan kulit yang bergerak
berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan anatomi yang
terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya
penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding
toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa
fraktur kosta multiple dengan komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio
paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan
trauma langsung pada jantung.
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung
kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi
ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu
penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh
darah.
Torakostomi
Torakostomi merupakan suatu tindakan membuat lubang pada dinding dada di
daerah interkostal V di anterior garis mid aksila pada sisi toraks yang patologis,
kemudian dipasang tube elastik dan difiksasi, untuk mengeluarkan cairan, darah atau
udara dari kavum pleura, baik secara aktif maupun pasif. Tindakan ini dikerjakan
untuk menangani kasus-kasus pasien dengan efusi pleura, hematotoraks,
pneumotoraks, silotoraks, post operasi torakostomi dan empiema. Bailey (2006),
mendapatkan 54% indikasi pemasangan toraks tube pada pasien trauma oleh karena
pneumotoraks, 20% oleh karena hematotoraks, 18% oleh karena efusi pleura, 2% oleh
karena fraktur kosta multipel dan 6% oleh karena berbagai sebab.
Pada pemasangan chest tube dapat timbul komplikasi. Komplikasi yang
tersering berupa perdarahan dan hemotoraks yang bersumber dari robeknya arteri
interkostal, perforasi organ viseral (seperti: paru-paru, jantung, diafragma, atau organ
intra abdomen), perforasi struktur pembuluh darah besar seperti aorta atau vena
subklavia, neuralgia interkostal oleh karena trauma pada neurovaskuler, subkutaneus
empisema, reekspansi oedem pulmonary, infeksi luka insisi, pneumonia dan empiema.
Disamping itu dapat timbul sumbatan berulang pada chest tube oleh karena bekuan
darah, pus atau debris, atau posisi tube yang tidak benar sehingga fungsi drainase tidak
efektif. Bailey dkk (2006), mendapatkan komplikasi mayor berupa empiema post
torakostomi sebesar 2%.
Etoch dkk (1995) mendapatkan 16% komplikasi post torakostomi, dan 1,5%
berkembang menjadi empiema. Nichols dkk (1994) melakukan evaluasi tentang
perlunya pemberian antibiotika untuk mengurangi rata-rata komplikasi infeksi post
torakostomi.
Gambar 1 : Lokasi Pemasangan Chest Tube
Gambar 2 : Pasien Post Torakostomi
Torakostomi dikerjakan di kamar operasi atau UGD dengan setting steril.
Dengan menggunakan Povidon Iodin 10 % sebagai desinfektan dan Lidocain 2 %
untuk lokal anestesi. Chest tube yang dipakai biasanya berukuran 24 - 32 Fr.
disesuaikan dengan besar badan pasien. Chest tube dipasang pada interkostal 5 atau 6,
di depan garis mid-aksila pada sisi yang patologis. Kemudian difiksasi dengan Silk no :
0 dan dihubungkan dengan mesin WSD. Posisi dan pengembangan paru dievaluasi
dengan kontrol rontgen toraks.
Setelah pemasangan chest tube perlu dilakukan chest fisioterapi dan
perawatan luka torakostomi. Chest fisioterapi bertujuan untuk mempercepat
tercapainya pengembangan dari paru-paru. Dan perawatan luka bertujuan untuk
mencegah infeksi pada luka torakostomi.
Mikrobiologi biofilm
Defenisi
Defenisi biofilm telah berkembang sejak 25 tahun yang lalu. Marshall (1976)
mencatat keterlibatan dari fibril polimer ekstraseluler yang sangat halus yang
membawa bakteri ke permukaannya. Costerton melakukan observasi pada komunitas
bakteri pada sistem akuatik yang ditemukan terperangkap dalam matrik glikokalik
yang didapati pada polisakarida dan matrik ini ditemukan dapat memediasi
penempelan atau proses adesi.
Costerton mengatakan bahwa biofilm terdiri dari sel tunggal dan mikrokoloni,
dimana semuanya terperangkap dalam matrik eksopolimer anion.
Definisi baru dari biofilm merupakan suatu lapisan tipis bakteri yang menempel
pada permukaan matriks yang lembab dan lengket seperti mukosa dan alat-alat yang
dipasang di dalam tubuh, yang menyebabkan bakteri resisten terhadap proses
fagositosis sel darah putih dan efek antibiotika.
Epidemiologi
Biofilm merupakan masalah besar dan tidak memiliki predominansi lokasi
geografis, jenis kelamin, ras dan etnis dunia. Akan tetapi, terdapat hubungan yang kuat
antara infeksi biofilm dengan pemakaian alat yang dimasukan ke dalam tubuh. Protese
katup jantung memiliki resiko paling tinggi untuk terkena infeksi, diikuti oleh kateter
urin dan terakhir implan gigi, sedangkan khusus tentang biofilm pada chest tube belum
ada publikasinya. Enam puluh lima persen infeksi yang terjadi di negara berkembang
merupakan akibat dari biofilm yang resisten terhadap antimikrobial.
Sebuah penelitian menemukan bahwa, 95% dari pasien dengan infeksi saluran
kencing terjadi akibat pemasangan kateter urin, 87% infeksi hematogen terjadi akibat
pemakaian vaskular kateter, dan 87% pasien dengan pneumonia terjadi akibat ventilasi
mekanik.
Patogenesis
Biofilm merupakan substansi menyerupai perekat yang secara permanen
memfiksasi mikroorganisme pada permukaan padat dan sulit dieradikasi dengan
menggunakan antimikrobial. Mikroorganisme pada biofilm berbeda dengan
mikroorganisme yang bergerak bebas karena mikroorganisme biofilm tidak bisa
dieradikasi dengan mudah seperti mikroorganisme yang bergerak bebas. Seluruh
implan buatan pada tubuh manusia akan mengalami resiko untuk infeksi biofilm.
Fiksasi mikroorganisme pada peralatan medis memiliki hubungan yang kuat dengan
media pertumbuhan, permukaan, serta mikroorganisme yang berkaitan.
Gambar 3 : Menunjukkan proses pembentukan Biofilm
Gambar 3. Menunjukkan lima proses perkembangan daripada biofilm. Fase 1
perlengketan awal dari sel terhadap permukaan alat, fase 2 produksi dari pada EPS,
fase 3 pertumbuhan awal dari arsitektur biofilm, fase 4 terjadi maturasi dari arsitektur
biofilm, fase 5 menunjukkan penyebaran dari sel biofilm.
Biofilm tersusun dari substansi polimer tambahan / Extra Polymeric Substance
(EPS) dan sel-sel mikrobial. Komponen EPS meliputi 50-90% dari biofilm. Biofilm
memiliki hidrasi yang baik karena dapat mengikat air dalam jumlah besar melalui
ikatan hidrogen.
EPS dapat bersifat baik hidrofobik maupun seimbang antara hidrofobik dan
hidrofilik. Mikroorganisme yang berbeda akan menghasilkan kuantitas EPS yang
berbeda dimana kuantitas EPS ini akan bertambah besar seiring dengan usia biofilm.
Perkembangan bakteri yang lambat akan menginduksi pembentukan EPS. EPS
memegang peranan penting di dalam resistensi biofilm terhadap terapi antimikrobial.
Biofilm bersifat heterogen (lebih dari satu macam koloni bakteri), terdiri dari
koloni-koloni bakteri kecil yang dilapisi oleh media EPS dan terpisah dari koloni
lainnya oleh ruang kosong atau saluran air. Aliran cairan di dalam saluran tersebut
memberikan nutrisi, gizi dan zat antimikrobial. Struktur biofilm berubah secara terus-
menerus akibat perubahan eksternal maupun internal. Arsitektur biofilm juga dapat
dipengaruhi oleh interaksi fragmen bagian nonmikrobial host (misalnya eritrosit,
fibrin, atau platelet) dengan lingkungan sekitar. Fibrin yang terbentuk dari biofilm
melindungi biofilm dari leukosit host. Perlekatan bakteri yang berkepanjangan pada
akhirnya akan menyebabkan pembentukan beberapa lapis bakteri pada permukaan.
Sinyal antar sel berperan di dalam fiksasi dan pemisahan sel dari biofilm.
Pada mikroorganisme dengan tingkat kepadatan tinggi, sinyal antar sel
menjadi sangat kuat dimana hal ini akan menstimulasi diferensiasi biofilm.
Biofilm dapat menyebar dengan cara melepaskan sel yang baru terbentuk dari
sel-sel yang sedang berkembang. Pelepasan ini dapat terjadi akibat faktor nutrisi,
tingkat kepadatan, atau efek aliran pada permukaan alat. Alasan mengapa sel-sel yang
baru terbentuk terlepas dari biofilm adalah karena penurunan sifat hidrofobik biofilm,
dimana sifat ini akan meningkat seiring dengan usia sel pada biofilm. Organisme
dengan penurunan jumlah alginate akan terlepas dengan sendirinya.
Ada tiga mekanisme pelepasan biofilm secara fisik. Yang pertama adalah
pelepasan sebagian kecil dari biofilm secara konstan, pelepasan secara luas dan
mendadak, dan pelepasan akibat gesekan cairan pada permukaan biofilm. Laju
pelepasan biofilm tergantung dari ketebalan dan gesekan pada daerah kontak biofilm
dengan aliran cairan. Pelepasan secara luas dan mendadak terjadi akibat kurangnya
nutrisi atau oksigen. Pelepasan biofilm dapat terjadi secara spesifik pada spesies
mikroorganisme tertentu. Metode ini memberikan kesempatan kepada sel-sel pada
biofilm untuk berpindah tempat dari daerah dengan nutrisi yang rendah menuju daerah
lain yang dapat menunjang pertumbuhan biofilm dengan lebih baik. Metode pelepasan
ini akan mempengaruhi gambaran fenotipe mikroorganisme yang bersangkutan.
Biofilm yang yang terlepas secara luas dan mendadak memiliki sifat resistensi
antimikrobial, dimana sel-sel selalu dilepaskan secara konstan dalam jumlah kecil dan
menjadi organisme.
Terdapat empat sifat biofilm yang memiliki dampak besar pada
perkembangan penyakit infeksi. Yang pertama, pelepasan sel atau biofilm dapat
menyebabkan infeksi sistemik atau saluran kemih atau dapat menyebabkan
pembentukan emboli (berhubungan dengan platelet, fibrin, dan eritrosit). Kedua, sel-
sel pada biofilm memiliki kemampuan untuk mentransfer plasmid untuk resistensi. Hal
ini merupakan penyebab utama mengapa biofilm resisten terhadap sebagian besar
antimikroba dan desinfektan. Ke tiga adalah pembentukan endotoksin oleh bakteri
gram negatif. Endotoksin terbentuk pada saat bakteri mati dan materi intraselulernya
terlepas keluar. Bakteri gram negatif pada biofilm dapat membentuk endotoksin yang
dapat melewati membran dialisis pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis. Hal
ini tentu menjadi masalah. Yang ke empat adalah resistensi biofilm terhadap sistem
imunitas host karena EPS yang dihasilkan oleh bakteri akan menghambat aktivitas
fagositik makrofag.
Bakteri yang melepaskan diri dari biofilm juga memiliki resistensi terhadap
oksigen aktif yang dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear. Perjalanan alamiah
penyembuhan luka akan mengalami hambatan oleh aktivitas mikroorganisme biofilm.
Akan muncul daerah nekrosis serta denaturasi proteinpada luka yang merupakan
tempat ideal bagi proliferasi bakteri dan pembentukan biofilm.