Remediasi Tanah.pdf
-
Upload
rizky-setiawan -
Category
Documents
-
view
204 -
download
12
Transcript of Remediasi Tanah.pdf
BAB III REMEDIASI TANAH
3.1 TUJUAN Tujuan remediasi sedimen tanah atau lumpur adalah untuk :
1. Mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan
2. Mengurangi sumber kontaminasi air tanah atau air permukaan
3. Mematuhi peraturan sebelum dibuang ke landfill
3.2. ALTERNATIF REMEDIASI 3.2.1. PENGERUKAN TANAH DAN PENANGANAN BAHAN A. PENGERUKAN Pengerukan (ekskavasi) tanah dapat diilustrasikan pada gambar 4.1.
Gambar 4.1 Pengerukan Tanah
Pengerukan tanah terdiri atas beberapa tahapan, yaitu :
1. Perencanaan Rencana pengerukan limbah tanah untuk limbah B-3 ,meliputi; pengeringan,
pengerukan (apabila tanah jenuh), pengambilan sampel, dan pemenuhan
kemauan dan kesehatan (OSHA)
2. Langkah pengerukan : - Menentukan volume dan area yang dikeruk berdasarkan pada data yang
tersedia dan tingkat pembersihan yang ditentukan
- Jika tanah telah terkontaminasi secara lanjut, maka lapisan di bawah
permukaan tanah juga harus dikeruk, di mana peraturan pemerintah
mengharuskan adanya perlindungan jika bagian dinding berada dalam
kondisi share to collapse, maka sisi tersebut harus disambung atau slope
sisi harus dibuat dengan sudut yang aman untuk meminimalkan volume
tanah bersih yang harus dikeruk
3. Untuk tanah dengan kondisi jenuh, maka diambil langkah pengerukan
dengan pertimbangan sebagai berikut :
- Pengerukan tanah seringkali melebihi level terendah air musiman untuk
mengurangi volume. Pengerukan maksimal tanah tak jenuh pada suatu
bagian bertujuan untuk mengurangi LNAPL residual melalui fluktuasi
permukaan air, apabila remediasi terjadi pada level musiman air tanah
terendah
- Pada beberapa kasus, pengerukan akan bergerak lebih jauh menuju ke
aquifer untuk mengurangi residu LNAPL
4. Peraturan pengambilan sampel mensyaratkan perlu adanya beberapa titik
sampel pengrukan. Titik sampel dikumpulkan dari dasar dan bagian dinding
pengerukan untuk keperluan analisa penentuan ada tidaknya sisa tanah
yang mendekati tingkat pembersihan. Sampling dilakukan pada periode-
periode berikut;
- post excavation (pasca pengerukan)
- confirmation sampling
- progresss
5. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
a. Jalur kegunaan sub surface dan proses perpipaan selalu melintasi area
yang harus dikeruk pada industri atau bagian perumahan. Perlengkapan
pengerukan harus ada di sekitar jalur ini, di mana pada beberapa kasus
harus direlokasi untuk beberapa tipe perlengkapan.
b. Pengerukan di atas jalur listrik bawah tanah akan memerlukan
perlengkapan tambahan.
c. Kontaminasi tanah seringkali ditemukan melebihi letak pondasi gedung.
Pengerukan mendekati lokasi gedung memerlukan pendalaman untuk
mencegah kerusakan pada gedung.
d. Peraturan Pemerintah membatasi pengerukan pada penggunaan tanah
kembali hasil olahan wetland dengan tujuan untuk meminimalkan
kerusakan area dan di samping itu juga akan memerlukan proses perijinan
yang lebih rumit.
e. Gangguan lingkungan, dapat berupa; kebisingan, debu, dsb.
f. Pengoperasian unit harus memiliki jaminan kemanan terhadap kesehatan
dan kemanan pekerja.
g. Jenis perlengkapan yang diperlukan akan tergantung dari ; letak
pengerukan, luas areal pengerukan dan ukuran volume pengerukan.
B. PENANGANAN BAHAN
Tanah yang telah dikeruk harus diolah terlebih dahulu untuk memudahkan
pengangkutan dan pengolahan. Bahan penyerap ditambahkan dengan tujuan untuk
mengurangi kelebihan air atau, dapat pula diatur ukurannya jika terbentur pada alasan
keterbatasan perlengkapan pengolahan.
Tanah yang akan dibuang ke luar lokasi harus “bebas cairan”, di mana untuk keperluan
ini dilakukan paint filter test pada bahan-bahan penyerap, seperti; kayu, debu, dsb.
Perbandingan komposisi antara bahan penyerap dengan sampah berkisar antara :
1 – 2,5 : 1.
4.2.2. TEKNOLOGI IMMOBILISASI 1. LANDFILLING Keuntungan yang dapat diperoleh jika menggunakan teknologi immobilisasi
landfiling adalah efektifitas dan efisiensi yang tinggi sehingga dapat menekan
biaya pengolahan.
Landfill memerlukan penutup yang dirancang dengan tujuan untuk :
- Memberikan panjang minimal dari perpindahan cairan menuju ke landfill tertutup
- Minimalisasi perawatan
- Drainase dan minimalisasi erosi dan abrasi
- Pemeliharaan integrasi penutup
- Memiliki permeabilitas yang lebih kecil dari permeabilitas sistem garis dasar atau
keberadaan subsoil alami
2. CAPPING Capping adalah penutupan sampah atau tanah yang telah terkontaminasi.
Capping bertujuan untuk :
Mencegah terjadinya kontak langsung dengan bahan yang terkontaminasi
Meminimalisasi infiltrasi air hujan ke dalam bahan terkontaminasi sehingga
mengurangi meresapnya lindi ke air tanah
Menghilangkan kontaminasi runoff air permukaan yang dapat memiliki kontak
dengan tanah terkontaminasi, sedimen atau sampah
Konstruksi capping terdiri dari :
a. Bagian dasar ( bottom )
Bagian dasar capping dapat berupa geo membran dan atau tanah liat yang
dipadatkan dengan permeabilitas rendah
b. Bagian tengah ( middle )
Bagian ini berguna untuk melindungimlapsian permeabilitas dari pembekuan 2
lapisan ventilasi gas untuk mengalirkan gas yang dihasilkan. Bahan berpori kasar
ditempatkan di antara sampah dan lapisan permeabilitas rendah yang
mengalirkan gas lewat ventilasi
c. Biobarrier 2 sampai dengan 3 feet cobble : ditempatkan di atas lapisan
permeabilitas rendah untuk mencegah binatang merusak penutup.
d. Geotextille untuk memisahkan bahan penutup yang lain.
Gambar 4.2. Konstruksi Capping
Perawatan dan Pemantauan Capping 1. Pemeriksaan rutin dilakukan untuk menentukan apakah penutup mengalami
kerusakan dan untuk mengecek sistem manajemen air permukaan.
2. Analisa dan pengumpulan sampel air tanah di sumur monitoring di sekitar
penutup dilakukan untuk menentukan elevasi air tanah dan mengetahui ada
tidaknya kontaminan yang merembes dari sampah atau tanah.
3. Pengumpulan dan analisa emisi dari vantilasi garis untuk menentukan ada
tidaknya emisi kandungan B3.
3. ASPHALT BATCHING Asphalt batching dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hot mix process dan cold mix
process.
Pada hot mix process, tanah dikeringkan pada suhu 300º - 600º F. Untuk
mengurangi kelembaban pengering, maka digunakan pengering berputar dalam
desorpsi thermal (termasuk sistem pengontrol polusi udara) untuk mengurangi
partikulat dan organik dari gas buang. Setelah pengeringan, tanah dicampur dengan
aspal cair dalam kondisi panas, yang nantinya akan mengeras bila suhunya turun.
Pada proses ini, ketika minyak mengkontaminasi tanah dan digregat bersih, maka
akan mengering dan kandungan volatilnya akan menguap. Metode primer yang
digunakan di sini yaitu vitrifikasi dan destruksi thermal.
Pada vitrifikasi, setelah tanah selesai dikeringkan maka sisa hidrokarbon berat dalam
tanah akan dikapsulkan dalam aspal dan campuran agregat.
Pada cold mix process, digunakan agregat dan omulsi aspal dalam perlengkapan
mixing yang biasa digunakan untuk operasi konstruksi. Sebagai contoh, adalah pada
saat proses pencampuran semen. Emulsi aspal mengandung partikel aspal terlarut.
Dalam larutan cair, agen pengemulsi digunakan untuk menjaga aspal tetap dalam
larutan pencampuran dengan tanah yang mengakibatkan pecahnya emulsi, atau
dengan cara memisahkannya dalam air dan fase aspal. Tetesan aspal akan melapisi
partikel agregat dengan lapisan fil tipis.
Apabila emulsi aspal diaplikasikan ke area paving dan padatan, air akan berada di
bawah tekanan, kemudian aspal dan agregat akan mengeras menjadi beton
bitumen. Pada saat pengerasan, kelembaban berada dalam level yang tinggi, suhu
rendah dan dapat terjadi hujan.
Batasan-batasan teknik immobilisasi dengan metode asphalt batching yaitu :
1. Sampah yang dapat diolah dengan metode ini haruslah bukan sampah B-3 yang
mengadung TPH.
2. Operasionalnya memakan biaya yang cukup tingggi, dengan kapasitas
pengolahan 30.000 – 60.000 ppm TPH.
3. Proses hot mix tidak dapat dilakukan pada musim dingin.
4. Proporsi partikel halus yang tinggi dapat menghasilkan produk yang tidak
dapat
diterima. Tanah dengan proporsi liat yang tinggi dapat menghasilkan produk
asphalt batching yang diinginkan
5. Batu atau serpihan berukuran 2 – 3 inch harus disaring dari tanah sebelum
dilakukan asphalt batching
6. Periode perencanaan jangka panjang
7. Besarnya volume tanah yang dapat diolah sangat dibatasi oleh kegunaan
produk.
4. SOLIDIFIKASI Proses solidifikasi sampah dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
- Mengganti penanganan dan karakteritik fisik limbah sebagai bahan bebas cairan
yang dapat diserap
- Penurunan permukaan dari massa limbah yang melintas yang mana dapat terjadi
perpindahan atau kehilangan kontaminan
- Membatasi kandungan B-3
- Proses ini menghasilkan blok padat dari bahan limbah dengan integritas
berstruktur tinggi di mana kontaminan tidak akan bereaksi dengan reagen terhadap
matriks yang telah dipadatkan. Sebagai contoh, penambahan lime atau sulfida
pelumpur logam atau presipitasi ion logam.
- Proses ini pada umumnya digunakan untuk mengolah buangan anorganik,
terutama tanah dan lumpur yang mengandung logam.
Mekanisme Pengolahan pada proses solidifikasi adalah sebagai berikut :
- Tanah atau lumpur dikeringkan kemudian dicampur dengan reagen sampah dan
distabilisasi dengan tambahan kimia untuk mengurangi kelarutan kontaminan
sebelum disolidifikasi
- Berdasarkan bahan yang digunakan, solidifikasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu;
solidifikasi dengan dasar semen dan solidifikasi dengan dasar silika.
- Pada proses berdasarkan silika, tanah / lumpur yang dikeringkan ditambahkan
dengan kapur Ca (OH)2 di mana material mengandung asam silika dan selalu
mengandung tingkatan aluminium oksida yang dapat diterima, misalnya ; abu
terbang, kerak, dan abu semen. Sampah logam berat juga menjadi struktur
kalsium silikat dan aluminate. Partikel koloidal menyerap permukaan struktur silika.
Selain itu, pada beberapa kasus, dapat ditambahkan bentonite untuk membuat
lumpur reagen lebih mudah dipompakan dan menurunkan permeabilitas sampah
yang diolah. Tanah liat tertentu terkadang juga ditambahkan untuk menyerap
cairan dan membentuk anion atau kation spesifik.
- Kelebihan dari proses solidifikasi dengan silika antara lain yaitu :
1. Pengolahan abu terbang dengan kapur relatif tidak mahal
2. Penggunaan kapur dapat menciptakan kondisi basa sehingga mengurangi
leading logam.
3. Sampah yang diolah mengandung air tetapi tidak dalam ikatan kimia dan
dimungkinkan akan kehilangan kandungan air beberapa persen setelah
pengolahan
4. Proses pemanfaatan silika lebih mudah diaplikasikan terhadap sampah
organik daripada semen, meskipun minyak dan lemak dapat dilapisi oleh partikel
sampah dan berada dalam formasi ikatan antara kalsium silikat dan aluminium
hydrat. Pada akhirnya, emulsator dan surfaktan dapat ditambahkan agar bisa
bersatu dengan cairan organik sebagai residu minyak. Dosis reagen dan aditif
harus ditentukan melalui bench atau pilot scale testing.
Pada proses solidifikasi dengan bahan dasar semen, diperlukan adanya
pengadukan antara semen portland tipe I dan II. Bahan-bahan lain yang dapat
ditambahkan antara lain yaitu :
1. Bahan silika untuk membantu proses dan mengubah kandungan logam ke
dalam formasi silika gel.
2. Lempung untuk menyerap cairan dan mengikat kandungan spesifik
3. Kapur (CaO) untuk menaikkan pH dan reaksi suhu serta mengubah karakteristik
Sifat pengolahan solidifikasi dengan semen secara umum yaitu :
1. Biaya pengolahan relatif tidak mahal
2. Semen portland sendiri tidak dapat melakukan immobilisasi organik
3. Sebagian besar logam terpresipitasi sebagai hidroksida yang tidak larut atau
pada pH semen
4. Asam kuat dapat merembes pada logam dan merusak semen setelah terjadi
pengerasan
5. Sampah harus mengandung sedikitnya 150 mg/ kg sulfat jika digunakan
semen
portland tipe I, sedangkan untuk semen tipe II dan tipa V dapat menerima
yang lebih tinggi dari sulfat.
6. Pengolahan sampah menciptakan matriks berpori / kontaminar yang tidak
menciptakan ikatan kimia dapat merembes dari matriks meskipun telah
ditambahkan zat aditif untuk menurunkan rembesan.
4.2.3. TEKNOLOGI DESTRUKSI Dalam teknologi destruksi, proses biologis dapat dibedakan menjadi 2, yaitu proses
bioremediasi dan proses phytoremediasi.
1. Bioremediasi Bioremediasi merupakan metode pengolahan yang dirancang untuk menaikkan
kemampuan degradasi jamur dan mikroba alam terhadap kontaminan organik.
Mekanisme bioremediasi dapat diilustrasikan pada gambar 4.3.
Gambar 4.3. Mekanisme bioremediasi
Biodegradasi, dapat berlangsung dalam dalam kondisi aerobik dan anaerobik.
Sebagian besar proses bioremediasi berlangsung dalam kondisi aerobik. Pada
proses aerobik, mikroorganisme memerlukan O2 sebagai akseptor elektron, di
mana senyawa organik sebagai produk tengah diubah menjadi CO2, air, bahan
anorganik dan biomassa disebut mineralisasi jika terjadi secara sempurna.
Pada proses anaerobik, diperlukan adanya akseptor elektron seperti; nitrat, sulfat,
Fe, Mn atau bahan organik lainnya.
Bahan-bahan yang dapat didegradasi dengan metode ini antara lain adalah;
golongan hidrokarbon (termasuk alkana dan hidrokabon aromatik ), lumpur dari
industri minyak, dan bahan untuk mengolah tanah yang mengandung Poly
Aromatic Hidrocarbon (PAH), senyawa-senyawa Volatile Organics Compound
(VOC), benzena / toluena, dan etil benzena zylene (BTX).
Poly Chlorinated Biphenyl (PCB) dengan kandungan klor yang sangat tinggi dan
beberapa senyawa PAH dengan berat molekul yang sangat besar dapat
mengalami proses degradasi yang lambat atau bahkan tidak dapat didegradasikan
sama sekali. Berat molekul yang tinggi merupakan faktor penghambat proses
biodegradasi karena kontaminan yang diserap dalam tanah seharusnya dapat larut
dalam air dan pori tanah agar dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Oleh sebab
itu, proses destruksi secara biologis tidak dianjurkan untuk pemulihan senyawa-
senyawa dengan berat molekul tinggi
Pelarut terklorinasi pada umumnya terdegradasi secara anaerobik, kecuali untuk
PCB yang dapat didegradasi secara aerobik dan menghasilkan CO2, H2O dan
klorida yang ada dalam kometabolisme. Kometabolisme termasuk dalam golongan
senyawa methan dan aromatik.
Proses bioremediasi dapat dibedakan atas : land farming dan land treatment.
Landfarming terutama dilakukan untuk remediasi lumpur industri minyak, di mana
lumpur disebarkan secara merata dan dicangkul. Sedangkan Land treatment lebih
banyak dilakukan untuk remediasi tanah yang terkontaminasi.
Metabolisme tumbuhan, mikroba dan kontaminan memerlukan :
- Fosfor dan Nitrogen ( rasio tipikal C : N : P = 20 : 10 : 1)
- pH = 5,5 – 8,5
- Mikroorganisme aerobik memerlukan > 0,2 mg / L DO dengan jarak minimal
yang terisi udara sama dengan 10%
- Mikroorganism eanaerobik memerlukan 0,2 0,2 mg / L DO dan rans Oksigen <
1% air filled pore space
- Kandungan air dalam antara 25 % - 85 % dari kapasitas tanah. Optimasi
biodegradasi maksimal terjadi pada saat kelembaban 60 % - 80 % dari kapasitas
lapisan yang ada.
Faktor – faktor yang membatasi laju biodegradasi antara lain :
Suhu
Toksisitas kontaminan terkonsentrasi
Batas transpor massa
Biodegradasi dapat terjadi dalam lima proses :
1. Biodegradasi jumlah transformasi kontaminan
2. Tanah yang terkontaminasi senyawa PAH didegradasi oleh sinar
UltraViolet
3. Senyawa dengan berat molekul yang lebih rendah dapat menguap
4. Bahan-bahan tertentu, termasuk pestisida, didegradasi oleh proses
hidrolisa
5. Humifikasi, reaksi polimerisasi dapat terjadi ketika beberapa molekul
termasuk senyawa PAH ditambahkan bahan humus dalam tanah.
A. Land Treatment Berikut ini adalah kriteria desain yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
proses biodegradasi jenis land treatment :
Kedalaman tanah
Kedalaman tanah berkisar antara 1 sampai dengan 3 feet sehingga
memungkinkan pengadukan untuk mencampur nutrien dalam tanah untuk
memastikan terjadinya kontak antara mikroorganisme dengan kontaminan
Pengadukan tidak boleh dilakukan dalam kondisi yang terlalu basah karena
dikhawatirkan akan merusak struktur tanah dan atau mengurangi aktifitas
mikroorganisme. Disampin itu, pengadukan yang berlebihan justru dapat
memmadatkan tanah di bawah zona pengadukan.
Kontrol Kelembaban
Kelembaban harus berada pada kisaran 60% - 80% dari kapasitas total
tanah. Apabila tanah kering maka aktifitas tanah akan berhenti. Jika tanah
berada dalam kondisi jenuh lebih dari 1 jam, makatransfer O2 terbatas dan
aktifitas mikroorganisme aka melambat.
Apabila tanah terkontaminasi lebih dari batas kemampuan peralatan pengadukan,
maka dapat digunakan proses Bioventing. Bioventing adalah proses penyuntikan dan
ekstraksi udara menuju daerah vadose untuk menyediakan O2 yang diperlukan untuk
biodegradasi aerobik. Sistem transport kontaminan dalam proses bioventing tergantung
dari kemampuan penguapan kontaminan itu sendiri. Jika tekanan uapnya lebih
besar dari760 mmHg, maka penguapan akan berjalan dengan lebih cepat.
Sementara, jika tekanan uapnya kurang dari 1 mmHg maka kontaminan tersebut tidak
akan menguap secara substansial.
Efektifitas bioventing tergantung dari kemampuan mikroorganisme dalam
menguraikan kontaminan dan untuk mendistribusikan O2 dalam jumlah yang mencukupi
pada sub surface.
Permeabilitas udara tergantung dari struktur tanah dan ukuran partikel tanah.
Tanah dengan struktur dan ukuran partikel yang seragam merupakan lapisan tanah yang
permeabel sehingga memudahkan pengolahannya. Sebaliknya, tanah dengan kandungan
clay dan silt yang tinggi akan lebih mudah diolah dengan bantuan proses bioventing.
Kelembaban tanah yang tinggi dapat menghambat permeabilitas dan potensial
udara pada proses bioventing. Permeabilitas udara > 10-9 cm2 akan memudahkan
pengolahan tanah terkontaminasi, sedangkan permeabilitas udara < 10-10 cm2 akan
menyebabkan aliran gas meleawati retakan tanah atau material yang lebih permeabel.
Proses bioventing dapat dilakukan dengan injeksi (SUE). Sistem injeksi dapat
dilakukan dengan bantuan; blower, pipa distribusi ataupun sumur penyuntikan. Sistem
injeksi berikut lebih murah dari penerapan proses bioventing secara keseluruhan karena
tidak menggunakan pengolahan fase uap.
Injeksi bertujuan untuk memberikan suplai O2 yang memadai untuk menstimulasi
biodegradasi tanpa menimbulkan emisi ke atmosfer. Injeksi akan lebih mudah dilakukan
jika ditunjang dengan kontaminan yang memiliki titik uap rendah. Injeksi yang diberikan
pada lapisan vadose dapat mengakibatkan :
1. Permukaan air menurun
2. Permebalitas udara dalam tanah meningkat
3. Volume tanah efektif yang tersedia kaan bertambah
4. Bahan yang mudah menguap akan berpindah menuju ke fase gas dan
selanjutnya berpindah ke daerah yang tidak terkontaminasi, demikianlah
yang disebut dengan proses biodegradasi,
Proses Bioventing dapat pula dilakukan dengan ekstraksi udara, meskipun akan
memakan biaya yang relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan injeksi udara.
Kerugian dari proses ekstraksi udara pada bioventing adalah :
1. Biaya yang dikeluarkan lebih besar
2. Menyebabkan naiknya muka air dan capillary fringe, serta bagian atas sumur
dekat titik ekstraksi, di mana efek ini dapat menjenuhkan zona penyebaran.
Akibatnya, tanah dekat zona penyebaran tidak efektif untuk diolah.
3. Adanya upwelling menambah kelembaban tanah pada capillary fringe,
menurunkan permeabilitas udara dan roll dari sumur ekstraksi
Debit udara didasarkan pada jumlah O2 yang diperlukan untuk biodegradasi, yang
dapat diketahui dengan melakukan tes respirasi in-situ.
Prosedur tes respirasi in-situ adalah sebagai berikut:
Perlengkapan diletakkan di dekat titik monitoring penyaring gas tanah yang tidak diolah,
menentukan tingkat CO2 dan O2 dalam gas tanah dan selanjutnya menyuntikkan udara
yang mengandung inert tracer seperti gas Helium 5 tahun, 24 jam perlengkapan aliran gas
dimatikan. Tingkat CO2, O2 dan gas lain ditentukan secara periodik.
Pertambahan tingkat CO2 menandakan terjadinya biodegradasi secara aerobik.
Pengurangan tingkat O2 yang melebihi waktu menandakan laju utilisasi O2 yang
selanjutnya digunakan untuk menghitung kebutuhan debit udara.
Jarak antara sumur injeksi didasarkan pada roll di mana jarak maksimum untuk
ekstraksi udara / sumur injeksi memberikan suplai yang memadai untuk respirasi mikro
organisme. Roll tersebut dipengaruhi oleh ; perlengkapan tanah, konfigurasi injeksi udara /
sumur ekstraksi, debit udara dan laju aktifitas mikroorganisme.
Pada Bioventing excavated soil dengan land treatment, diperlukan persiapan
lapisan pengolahan / lapisan impermeabel yang memiliki kontrol peresapan dari bahan
pengolah yang ada di bawahnya. Disamping itu, perlu adanya kontrol terhadap elemen run
on maupun run off presipitasi. Air dikumpulkan pada titik terendah dan selanjutnya
digunakan untuk mengairi tanah atau diolah untuk kemudian dikeluarkan.
Berikut ini adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan konstruksi
proses bioventing excavated soil dengan land treatmenti :
1. Area pembersihan dan grading
2. Lapisan bersih dan tanah berpasir (geonet) untuk menjamin drainase air
3. Lapisan impermeabeldari tanah liat (geomembran)
4. Tanah yang terkontaminasi disebarkan dengan ketebalan 1,4 ft. Untuk membtasai
transfer O2 ditambahkan 3-4% berat wood chip, swdust untuk suplai karbon
5. Menambahkan kapasitas air yang tertahan pada tanah berpasang untuk
memudahkan pengerjaan tanah liat.
6. Menambah bahan penyerapan pada tanah
7. Dalam kasus tertentu, perlu ditambahkan nutrient, air, dan bahan kimia untuk
mengontrol pH tanah yang diaduk secara periodik untuk mencampur tanah dan
nutrient dan menyediakan O2
Aplikasi Land Treatment dapat diterapkan pada kondisi sebagai berikut :
1. Area yang sangat besar kemungkinan diperlukan untuk mengolah volume tanah
yang sangat besar tetapi memiliki jarak on-site terbatas
2. Emisi udara dari senyawa-senyawa VOC relatif lebih berbahaya
3. Prosentase kontaminan yang sangat tinggi
4. Suhu yang ada terlalu rendah untuk bioremediasi secara efektif
Alternatif-alternatif yang dimiliki dalam land treatment yaitu;
Biopile, Composting dan Slurry Phose Reactor
1. Biopile
Sistem ini telah ditumpukkan di atas sistem perpipaan pensuplai O2 setebal 3 – 10
ft telah ditambahkan bahan yang mengandung karbon dan dapat digunakan untuk
suplai nutrient dan irigasi tanah, di mana suatu blower menghasilkan udara yang
masuk ke sistem pipa pada biopile dengan tekana positif / menarik udara pada pile
dengan tekanan negatif lalu system tersebut mengumpulkan emisis bahan yang
menguap untuk diolah. Pada beberapa kasus, sistem ventilasi untuk suplai O2
yang diperlukan untuk metabolisme aerobik
Keuntungan yang dapat diperoleh dari system ini adalah sebagai berikut:
- Memerlukan tempat yang lebih sedikit
- Memiliki kontrol emisi penguapan yang lebih baik
2. Composting
- Soil / lumpur ditambahkan dengan inert bulking (woodchip, swdust) menyediakan
jarak pori untuk udara di cuaca sehingga lebih mudah masuk ke sampah
- Tanah dapat dikomposkan terlebih dahulu di biopile camp, tanah bulking
ditempatkan dalam windrow dengan lebar 6 – 8 ft untuk pencampuran dan aerasi
tanah.
- Komposting secara aerobik dilakukan dalam suhu mesofilik dan nutrien
yangdiperbolehkan untuk pengolahan sampah dengan kontaminan besar melalui
pengubahan panas yang dihasilkan oleh aktifitas mikroorganisme