Review Organisasi Internasional

8

Click here to load reader

Transcript of Review Organisasi Internasional

Page 1: Review Organisasi Internasional

REVIEW ORGANISASI INTERNASIONALLaras Larasati (0706291325)Bahan: Clive Archer,International Organization Second Ed.,(London:Routledge,2000), p.

Pandangan Perspektif Strukturalis terhadap Organisasi Internasional

Kedudukan organisasi internasional bagi negara dunia ketiga memang bagai

pisau bermata dua. Organisasi internasional bisa dimanfaatkan sebagai agen pembawa

kemajuan bagi negara dunia ketiga, tetapi juga dapat berfungsi sebaliknya. Organisasi

internasional juga dapat dilihat sebagai alat negara maju untuk menguatkan

kedudukannya sebagai pelaku eksploitasi masyarakat dunia ketiga.

Dalam buku International Organization Second Edition, Clive Archer

menjabarkan pandangan beberapa tokoh perspektif strukturalis dalam memandang

posisi negara dunia ketiga dan ’penjajahnya’ dalam struktur ekonomi politik

internasional serta dalam organisasi internasional. Clive Archer menggunakan dua

varian dari perspektif strukturalis, diantaranya adalah teori dependency school dan

developmentalist sebagai dasar dari tulisannya.

Dependency school menjabarkan kondisi negara dunia ketiga yang bergantung

secara ekonomi ke negara maju. Hal ini disebabkan oleh sistem ekonomi politik dunia

yang neo-kolonialis dimana negara maju dan kaum borjuis dari dunia ketiga telah

mengeksploitasi masyarakat tak berdaya dari negara dunia ketiga. Proses alih

teknologi, keahlian (expertise), dan aliran dana hasil perdagangan internasional yang

sangat dibutuhkan negara berkembang membuat negara dunia ketiga sangat

bergantung pada negara maju. Walaupun hubungan ekonomi yang terjalin antara

negara dunia ketiga dan maju bersifat tidak seimbang dan merugikan bagi negara

berkembang, masyarakat negara tersebut tidak memiliki kemampuan untuk

melepaskan diri dari jeratan eksploitasi neo-kolonialisme dan imperialisme.

F.H. Cardosa dalam buku International Organization menyebutkan bahwa

kondisi negara-negara selatan tidaklah seragam. Karena disamping kondisi negara

dunia ketiga yang belum terbangun dan terpinggirkan, adapula negara yang sudah

merasakan sedikit pembangunan dan perkembangan dalam berbagai bidang. Namun,

hal ini dibantah oleh Samir Amin. Amin berpendapat jika pembangunan yang terjadi di

beberapa wilayah tersebut adalah pembangunan semu. Karena pembangunan tersebut

Page 2: Review Organisasi Internasional

hanyalah bukti adanya aliansi kaum borjuis negara selatan dengan utara. Pembangunan

tersebut hanyalah hasil dari eksploitasi kaum proletar tanpa adanya perbaikan

signifikan dalam kehidupan mereka. Organisasi internasional dan dialog utara-selatan

adalah usaha membuat negara dunia ketiga semakin dibawah kontrol kaum kapitalis.

Varian perspektif strukturalis kedua yang dibahas Clive Archer adalah

developmentalist. Kondisi dunia di tengah sistem kapitalis yang kemudian berbuah

menjadi neo-kolonialis dan imperialis telah menghasilkan dua kelas berseberangan,

yakni negara core/center (negara industri) dan negara periphery (berkembang). Tidak

seperti teori dependensi, dimana ketidakseimbangan kelas tidak memiliki solusi, dalam

varian teori ini dibahas mengenai jalan keluarnya.

Raul Prebisch, seorang developmentalist, menyatakan bahwa tindakan politis

dapat menjadi solusi dari ketidakseimbangan kelas ini. Dengan politik, negara utara-

selatan dapat berdialog dan membuat beragam kesepakatan yang mebguntungkan bagi

kedua belah pihak. Organisasi internasional seperti UNCTAD juga membantu

menguatkan dan menyatukan negara dunia ketiga. namun, dalam kenyataannya, posisi

tawar negara selatan masih lemah. Radha Sinha menyatakan bahwa dalam GATT,

IBRD, dan IMF, negara industri memiliki posisi penentu keputusan yang besar. Untuk

itu, diperlukan pengembangan rasa solidaritas dan kepercayaan diri bagi negara-negara

dunia ketiga agar bisa bersatu memperjuangkan kepentingannya di dunia internasional,

terlebih dalam bangku organisasi internasional.

Pandangan strukturalis yang hanya mencakup segi ekonomi politik yang

berujung pada pembagian kelas ekonomi di dunia ini menimbulkan lahirnya

pandangan globalis sebagai jawaban atas permasalahan yang ada di dunia

internasional. Berbeda dengan perpektif strukturalis, pemikrian globalist lebih bersifat

menyeluruh, mencakup segala aspek kehidupan world society, dan bertujuan untuk

perdamaian.

Para pemikir globalis, seperti Richard Sterling, mengakui bahwa masalah dunia

sangat beragam mulai dari isu nuklir, kemiskinan, kesehatan, dan lingkungan. Barbara

Ward dan Rene Dubos dalam persiapannya menuju UN Conference on the Human

Environment menyatakan bahwa kerjasama dalam bentuk aksi dan pembuatan

kebijakan seluruh masyarakat dunia untuk mengentaskan beragam masalah di atas

sangat dibutuhkan. Sedangkan penanganan masalah dalam bentuk kekerasan atau

militer tidak diperlukan. Sudah saatnya negara maju dan berkembang saling

bekerjasama dengan adil dalam mengentaskan masalah dunia. Organisasi internasional

Page 3: Review Organisasi Internasional

seperti INGO dan IGO diperlukan kehadirannya untuk mewadahi kepentingan dan

menemukan solusi yang tepat untuk segala permasalahan yang ada.

Dalam review kali ini, penulis ingin membahas pandangan perpektif

strukturalis terhadap organisasi internasional. Sistem ekonomi dunia kapitalis

membuat setiap negara sangat mementingkan kapital dan berusaha mencari

keuntungan yang sebesar-besarnya melalui perdagangan. Hal ini terutama dilakukan

oleh negara-negara industri yang sudah memiliki modal baik dana dan teknologi yang

maju.

Dalam proses produksi suatu barang, negara utara memerlukan raw materials

dan tenaga kerja yang cukup murah untuk bisa memaksimalkan laba. Barang mentah

dan tenaga kerja murah ini didapatkan negara maju dari negara dunia ketiga. FH

Cardosa dalam tulisan di atas menjelaskan bahwa kondisi demikian menyebabkan

negara dunia ketiga dependen. Perekonomian negara selatan sangat bergantung pada

perdagangannya dengan negara utara.

Proses eksploitasi yang mengakibatkan dependensi ini didukung oleh pendapat

David N. Balaam dan Michael Veseth dalam Introduction to International Political

Economy yang melihat bahwa negara dunia ketiga memiliki ketergantungan terhadap

negara maju dalam empat bidang yakni produksi, keuangan, kemananan, termasuk

pendidikan.

”Imperialist exploitation also works trough the knowledge structure. Capitalist

countries control access to technology, which they use for they own

advantage..because LDCs rarely get advanced technology, they rarely acquire the

resources they need to advance further.”1

Ketergantungan terhadap pemasukan dari asing melalui jalur perdagangan

menguat tatkala negara Less Depeloved Countries hanya mengekspor raw material

saja. Sedangkan untuk barang jadi, negara berkembang masih mengimpornya. Usulan

Economic Commission on Latin America (ECLA) yang menyarankan agar negara

berkembang juga memproduksi barang jadi dalam kenyataannya tidak membawa

kesuksesan. Menurut Paul R.Viotti dan Mark V.Kauppi,

”This policy didn’t result in anticipated amount of success and in fact increased the

influence of foreign multinational corporations brought in to facilitate domestic

production.”2

1 David N.Balaam dan Michael Veseth, Introduction to International Political Economy, (USA:Prentice-Hall Inc, 1996),p.712 Paul R.Viotti dan Mark V.Kauppi, International Relations Theory, (USA:Macmillan Publishing Company,1993),p.456

Page 4: Review Organisasi Internasional

Dependensi dalam berbagai bidang mengakibatkan negara dunia ketiga

memiliki posisi tawar yang lemah dalam hubungan internasionalnya, termasuk juga

dalam organisasi internasional. Sehingga negara selatan kurang memiliki kemampuan

untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan hanya bersifat sebagai pengikut

keputusan yang dikeluarkan organisasi internasional tersebut. Sejatinya, dalam

organisasi internasional kedudukan setiap negara di dunia adalah sama dan adil.

Namun, dalam kasus-kasus tertentu, sangat jelas terasa bahwa perbedaan kelas (core

dan periphery) mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan kepentingan

organisasi tersebut.

Kedudukan negara berkembang dan negara maju dalam organisasi

internasional yang tidak seimbang sangat terlihat dalam World Trade Organization. Di

dalam organsisasi pendukung perdagangan bebas dan adil ini terjadi perbedaan sikap

terhadap negara maju yang kapitalis dengan negara berkembang. Contohnya adalah

dalam proses perundingan untuk menentukan keputusan selama Konferensi Tingkat

Menteri (KTM) berlangsung. Konferensi Tingkat Menteri sebagai badan pembuat

keputusan tertinggi di WTO ternyata tak mampu menghasilkan keputusan yang

menguntungkan semua pihak, baik negara maju dan berkembang. Penyebabnya adalah

ketidakterbukaan informasi saat KTM diadakan. Dalam buku WTO dan Penjajahan

Kembali Dunia Ketiga, Hira Jhamtani menyebutkan bahwa ”Banyak perundingan

dilakukan dalam ruangan tertutup secara ’informal’, tetapi hasilnya dipakasakan

menjadi keputusan formal. Ketika delegasi negara-negara berkembang diberi naskah

deklarasi pada malam hari sebelum penutupan sidang, banyak yang mengeluh akan

proses yang tidak transparan dan tidak demokratis tersebut.”3

Radha Sinha, seorang developmentalis yang pendapatnya dikutip oleh Clive

Archer dalam International Organization Second Edition, berpendapat bahwa posisi

negara industri memiliki kapabilitas lebih dalam menentukan arah kebijakan sebuah

organisasi internasional seperti IMF dan IBRD. Hal ini dibenarkan oleh fakta dimana

dalam KTM I di Singapura, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa,

Jepang, dan Kanada secara tiba-tiba mengusulkan lima klausul baru untuk dibahas

dalam perundingan. Lima klausul yang berisi isu penanaman modal, kebijakan

persaingan, pembelanjaan pemerintah, fasilitasi perdagangan, serta pengaturan tenaga

kerja ini adalah usul baru yang tidak diagendakan sebelumnya dalam KTM Singapura.

Walaupun klausul mengenai tenaga kerja akhirnya tidak dibahas dalam sidang, tetap

3 Hira Jhamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, (Yogyakarta:INSISTPress,2005),p.11

Page 5: Review Organisasi Internasional

saja empat usul lainnya dimasukkan ke dalam agenda kerja WTO. Hira Jhamtani

berpendapat bahwa, ”WTO menjadi alat untuk memajukan agenda globalisasi

korporasi menuju dominasi perusahaan-perusahaan multinasional (Multinational

Corporations-MNC) atas kehidupan masyarakat biasa.”4 Sehingga WTO tak ubahnya

hanya cara baru bagi negara maju untuk mengeksploitasi negara berkembang yang

tidak begitu mengerti maupun diuntungkan oleh organisasi tersebut.

Dari uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa pandangan

strukturalis yang dalam tulisan ini diwakili oleh dependency theory dan

developmentalist relevan dalam melihat perkembangan organisasi internasional dewasa

ini. Kondisi ekonomi politik internasional yang sudah berubah dari era kolonialisme

dan imperialisme tetap menyisakan struktur kelas antara core dan periphery.

4 Ibid,p.9-10