RI - berkas.dpr.go.id · Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan ... G. Undang-Undang Nomor 27 Tahun...

169
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERIKANAN PUSAT PERANCANGAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN DPR RI TAHUN 2017 PUSAT PUU BK DPR RI

Transcript of RI - berkas.dpr.go.id · Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan ... G. Undang-Undang Nomor 27 Tahun...

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERIKANAN

PUSAT PERANCANGAN UNDANG-UNDANG

BADAN KEAHLIAN DPR RI

TAHUN

2017

PUSAT PUU B

K DPR

RI

i

SUSUNAN TIM KERJA PENYUSUNAN

NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG PERIKANAN

Pengarah : K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum.

Penanggung Jawab : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.

Ketua : Laksmi Harundani S.H., M.Kn.

Wakil Ketua : Zaqiu Rahman, S.H., M.H.

Sekretaris : M. Nurfaik, S.H.I.

Anggota 1. Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M.

2. Mohammad Teja, S.Sos., M.Si.

3. Achmad Wirabrata, S.T., M.M.

4. Febri Liany, S.H., M.H.

5. Muhammad Yusuf, S.H.M.H.

6. Meirina Fajarwati, S.H.

7. Dwi Muhammad Dewadji, SSt.Pi., M.Si.

8. Andi Rahman, S.Kel, M.Si

PUSAT PUU B

K DPR R

I

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat

karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Naskah Akademik

Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan.

Badan Keahlian DPR RI sebagai badan baru yang mempunyai

tugas dan fungsi dukungan keahlian kepada DPR RI sebagaimana

diamanatkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42

Tahun 2014, Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2015 Tentang

Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR, Peraturan DPR RI Nomor

1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2015, dan Peraturan Pimpinan DPR RI

Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Tugas Dukungan Keahlian

Badan Keahlian DPR.

Dalam hal legislasi, Badan Keahlian DPR RI memberikan

dukungan keahlian kepada Alat Kelengkapan dan Anggota DPR RI di

antaranya adalah membantu penyiapan Program Legislasi Nasional

Prioritas Tahunan, penyiapan dan penyusunan Naskah Akademik dan

Draf RUU sesuai dengan standar penyusunan RUU sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang- undangan serta dukungan keahlian dalam proses

pembahasan RUU.

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang ini

merupakan usul inisiatif Komisi IV DPR RI dalam daftar Program

Legislasi Nasional 2014-2019, yang selanjutnya diamanatkan kepada

Badan Keahlian DPR RI untuk disusun naskah akademik dan draf RUU-

nya. Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan dalam rangka untuk

memberikan penyesuaian dan penyempurnaan atas dinamika

penyelenggaraan perikanan serta kebutuhan hukum yang berkembang

di masyarakat. Selain dari permasalahan tersebut terdapat juga

disharmonisasi antara UU tentang Perikanan dengan undang-undang

sehingga perlu dilakukan perubahan.

Dalam proses penyusunan Naskah Akademik ini, Tim Penyusun

telah mendapatkan pandangan dan masukan dari pemangku

PUSAT PUU B

K DPR R

I

iii

kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan perikanan, di

antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian

Koordinator Bidang Kemaritiman, Pengadilan Perikanan, akademisi, dan

organisasi kemasyarakatan pemerhati perikanan. Selain itu, Tim

Penyusun juga melakukan

pengumpulan data dan uji konsep ke beberapa provinsi untuk

mendapatkan masukan langsung dari pemangku kepentingan serta

masyarakat, yaitu di Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Kalimantan

Selatan, Provinsi Jawa Timur (Banyuwangi), dan Provinsi Bangka

Belitung.

Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan

Naskah Akademik ini. Oleh karenanya, kami sangat mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar pada

penyusunan Naskah Akademik berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata,

kami harapkan isi dari Naskah Akademik dan Draf RUU tentang

Perikanan dapat menjadi dasar hukum bagi penyelenggaran perikanan di

Indonesia.

Jakarta, Mei 2017

Kepala Badan Keahlian DPR RI,

TTD.

K. JOHNSON RAJAGUKGUK, S.H., M.HUM.

NIP: 195811081983031006

PUSAT PUU B

K DPR R

I

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat

karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Naskah Akademik

dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan.

Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang ini

disusun berdasarkan standar operasional yang telah diberlakukan oleh

Badan Keahlian DPR RI, yang dilakukan oleh Tim yang terdiri dari

Perancang Undang-Undang, Peneliti, Tenaga Ahli, dan Kepala Pusat

Perancangan Undang-Undang sebagai penanggung jawab. Penyusunan

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang ini merupakan usul

inisiatif Komisi IV DPR RI dalam daftar Program Legislasi Nasional

2014-2019, yang selanjutnya diamanatkan kepada Badan Keahlian DPR

RI untuk disusun naskah akademik dan draf RUUnya.

Penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU ini dilakukan

dalam rangka untuk memberikan penyesuaian dan penyempurnaan atas

dinamika penyelenggaraan perikanan serta kebutuhan hukum yang

berkembang di masyarakat. Selain dari permasalahan tersebut

terdapat juga disharmonisasi antara UU tentang Perikanan dengan

undang-undang lainnya sehingga perlu dilakukan perubahan.

Dalam proses penyusunan Naskah Akademik ini, Tim Penyusun

telah mendapatkan pandangan dan masukan dari pemangku

kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan perikanan, di

antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian

Koordinator Bidang Kemaritiman, Pengadilan Perikanan, akademisi, dan

organisasi kemasyarakatan pemerhati perikanan. Selain itu, Tim

Penyusun juga melakukan pengumpulan data dan uji konsep ke

beberapa provinsi untuk mendapatkan masukan langsung dari

pemangku kepentingan serta masyarakat, yaitu di Provinsi Sulawesi

Tenggara, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Jawa Timur

(Banyuwangi), dan Provinsi Bangka Belitung.

Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan

Naskah Akademik dan draf Rancangan Undang-Undang ini. Oleh

karenanya, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari semua pihak agar pada penyusunan Naskah

Akademik berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata, kami harapkan isi

PUSAT PUU B

K DPR R

I

v

dari Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang

Perikanan dapat menjadi dasar hukum bagi penyelenggaran perikanan

di Indonesia.

Jakarta, Mei 2017

Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang

DR. INOSENTIUS SAMSUL, S.H., M.HUM. NIP 196507101990031007

PUSAT PUU B

K DPR R

I

iii

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM .................................................................................... i

KATA PENGANTAR …………………........……….……………………………. ii

DAFTAR ISI ……………………........…………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN …………………….......……………………………… 1

A. Latar Belakang …………………………….....…………………………..... 1

B. Identifikasi Masalah ……………………………………………..………… 7

C. Tujuan dan Kegunaan …..…………………………………………………. 8

D. Metode Penyusunan ..................................….………………….……. 8

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS …………………….. 10

A. Kajian Teoretis ………………………………...….……………………….. 10

1. Ruang Lingkup Perikanan ………………...………………………… 10

2. Wilayah Pengelolaan Perikanan …………...…………………….… 15

3. Pengakuan Pengelolaan Perikanan Masyarakat Hukum Adat dan

Nelayan Kecil Berbasis Masyarakat ............................................ 19

4. Usaha Perikanan ………………………………...………………….... 24

5. Peran Serta Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat/

Tradisional/Kearifan Lokal ..……………………...………………... 28

6. Penegakan Hukum …………………………………...……………….. 36

B. Kajian terhadap Asas/Prinsip dalam RUU Perikanan ……………… 38

C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang ada, serta

Permasalahan yang dihadapi Masyarakat ……………..……………. 40

1. Ruang Lingkup ...................…………………………..…………..…. 40

2. Wilayah Pengelolaan Perikanan ……………………...……..……… 41

3. Usaha Perikanan …………………………………….……....……….... 42

a. Akses Kapal Asing ……………………………………...……..…... 42

b. Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perikanan ……...……….. 43

4. Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan ........................ 44

5. Pungutan Perikanan …………………………………….....………….. 46

6. Penelitian dan Pengembangan Perikanan serta Pendidikan, ....

Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan …………………………..... 50

7. Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan ..................…...... 51

8. Pengawasan Perikanan …………………………………………..…..... 54

9. Peran Serta Masyarakat ...............................................…......... 58

10. Pengadilan Perikanan, Penegakan Hukum, dan Sanksi ……..... 61

a. Pengadilan Perikanan ......................................................... 61

PUSAT PUU B

K DPR R

I

iv

b. Penegakan Hukum .............................................................. 65

c. Sanksi .................................................................................. 67

D. Kajian terhadap Impilkasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur

Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan

Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara ....................... 68

1. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam

Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat ........... 68

2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan Undang-

Undang tentang Jalan terhadap Aspek Beban Keuangan Negara .. 71

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT ..………………….................…………………....……………………….. 73

A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD NRI Tahun 1945) ................................................................ 73

B. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (UU Perikanan) ........... 74

C. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan

Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam

(UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan) ............................. 76

D. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan

(UU Kelautan) ................................................................................. 78

E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (UU Pemda) ....................................................................... 83

F. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU

Pelayaran) ...................................................................................... 87

G. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil

(UU PWP3K) ..................................................................................... 87

H. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K) ............................. 88

I. UU Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 (UU

tentang Pengesahan UNCLOS 1982) ................................................. 89

J. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional

Indonesia (UU TNI) ........................................................................... 93

K. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia .......................................................................... 95

L. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

(UU Perairan) ................................................................................... 96

PUSAT PUU B

K DPR R

I

v

M. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,

Ikan, dan Tumbuhan (UU KHIT) ....................................................... 99

N. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE) .............................. 100

O. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

Ekslusif (UU ZEE) ............................................................................. 102

P. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan

(UU Bagi Hasil Perikanan) .................................................................. 104

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ……………. 107

A. Landasan Filosofis …………………………………………………………… 107

B. Landasan Sosiologis …………………………………………………………. 108

C. Landasan Yuridis …………………………………………………………….. 112

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG ………………………………....…….… 113

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rancangan Undang-

Undang tentang Perikanan …………………………………………………. 113

B. Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Perikanan ………………………. 114

1. Ketentuan Umum ………………………………….....………..….…..… 114

2. Materi yang akan diatur …………………………………………......… 117

a. Perencanaan Perikanan …………………………………..…..…… 117

b. Pengelolaan Perikanan ………………………………………….... 118

c. Usaha Perikanan …………………………………………………… 122

d. Kapal dan Pelabuhan/Kesyahbandaran Perikanan ……….. 128

e. Sistem Data dan Informasi Perikanan ………………….…….. 132

f. Pungutan Perikanan ………………………………………………. 133

g. Konservasi Perikanan …………………………………………….. 134

h. Penelitian dan Pengembangan perikanan ……………………. 134

i. Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan ……..… 136

j. Kerja Sama Internasional ……………..……………………….... 136

k. Pengawasan Perikanan …………………………………..………. 137

l. Larangan ………………………………………………………....…. 139

m. Pengadilan Perikanan ……………………………….………….. 142

n. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang

Pengadilan Perikanan ……………………………………..……… 142

PUSAT PUU B

K DPR R

I

vi

o. Sanksi Administratif …………………………………………….... 147

p. Ketentuan Pidana ……………………………………………….... 147

BAB VI PENUTUP …………………………………………………...........………… 155

A. Kesimpulan ……………………………………………………………............. 155

B. Saran ………………………………………………………...……….........…... 156

DAFTAR PUSTAKA

PUSAT PUU B

K DPR R

I

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia

dengan 17.504 pulau, luas daratan 1.922.570 km2, dan luas perairan

laut 5,8 juta km² terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta km2, luas

perairan kepulauan 2,95 juta km², dan luas Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia (ZEEI) 2,55 juta km2. Secara geo politik, Indonesia memiliki

peran yang sangat strategis karena berada di antara benua Asia dan

Australia, serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia,

yang menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dalam

konteks perdagangan global (the global supply chain system) yang

menghubungkan kawasan Asia Pasifik dengan Australia.1 Sebagai

negara kepulauan terbesar di dunia Indonesia memiliki luas wilayah

laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 yang memiliki

keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat

besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau perairan laut Indonesia

sebesar 7,2 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang

diperbolehkan sebesar 7,0 juta ton/tahun.2

Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, memiliki

kekayaan alam sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya

alam (SDA) terbarukan (perikanan, terumbu karang, padang lamun,

hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), SDA

tak terbarukan3, energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang,

angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-

jasa lingkungan kelautan dan pulau-pulau kecil untuk pariwisata

bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma

nutfah. Kekayaan alam tersebut menjadi salah satu modal dasar yang

harus dikelola dengan optimal untuk mewujudkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat Indonesia.4

1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2015-2019

2 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47/Kepmen-KP/2016 Tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indones

3 Yang dimaksud dengan sumber daya alam tak terbarukan seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya).

4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, Loc. Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

2

Selama berabad-abad ekstraksi sumber daya ikan menjadi

sumber ketahanan pangan, penghidupan, dan budaya masyarakat

kelautan dan pesisir dan kini ikan menjadi komoditas penting dunia.5

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan

kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan

ikan terus menerus meningkat setiap tahunnya.6 Dengan semakin

meningkatnya kebutuhan pangan dari sektor perikanan maka dapat

dikatakan bahwa permintaan produk perikanan meningkat 20 kali

lipat selama 30 tahun terakhir dan diproyeksikan akan terus

meningkat dengan rata-rata 1.5% per tahun sampai dengan tahun

2020.7

Menurut data Food and Agriculture Organization of The United

Nations (FAO) diketahui bahwa total produksi perikanan pada tahun

2014 sebesar 93.4 juta ton, dimana 81.5 juta ton berasal dari laut

Cina dan kemudian diikuti oleh Indonesia, Amerika Serikat, dan

Rusia. Dari data FAO tahun (2016) diketahui bahwa total produksi

perikanan tangkap dunia pada tahun 2014 sebesar 93.4 juta ton,

sedangkan untuk perikanan budidaya sebesar 73.8 juta ton.8 Untuk

konsumsi perikanan tangkap dunia dari Tahun 2013 sampai dengan

tahun 2015 sebesar 50%, sedangkan untuk konsumsi perikanan

budidaya dunia sebesar 50%.9 Dari data diatas maka diketahui

bahwa perikanan tangkap menjadi sumber produksi ikan yang utama

di dunia.

Dari Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kelautan dan

Perikanan Tahun 2015-2019 diketahui bahwa Potensi lestari

sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 7,3 juta ton per

tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI.

Dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut, jumlah tangkapan

yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,8 juta ton per tahun atau sekitar

80 persen dari potensi lestari, dan baru dimanfaatkan sebesar 5,4

juta ton pada tahun 2013 atau baru 93% dari JTB, sementara total

5 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013, Hal 75

6 Johanes Widodo dan Suadi, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008, Hal 1

7 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013, Hal 75

8 Food and Agriculture Organization of The United Nations, In Brief The State Of World Fisheries and Aquaculture, 2016, Hal 8

9 Ibid., hal.20.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

3

produksi perikanan tangkap (di laut dan danau) adalah 5,863 juta

ton.10

Dapat diketahui pula bahwa laut Indonesia memiliki sekitar

8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies biota

terumbu karang. Sumber daya ikan di laut meliputi 37% dari species

ikan di dunia, dimana beberapa jenis di antaranya mempunyai nilai

ekonomis tinggi, seperti tuna, udang, lobster, ikan karang, berbagai

jenis ikan hias, kekerangan, dan rumput laut.11

Selain untuk perikanan tangkap, pengelolaan perikanan

Indonesia juga dipergunakan untuk perikanan budidaya. Dari data

yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan maka

diketahui bahwa budidaya ikan di Indonesia terdiri dari beberapa

jenis yaitu budidaya air tawar, budidaya air payau, budidaya laut,

dan budidaya rumput laut. Untuk potensi luas areal budidaya air

tawar saat ini tercatat 2.830.540 Ha, termasuk potensi di perairan

umum daratan (sungai dan danau), dengan tingkat pemanfaatan

302.130 Ha (10,7%).12 Sedangkan luasan potensial budidaya air tawar

di waduk dan danau sebesar 51.824 Ha. Untuk potensi luas areal

budidaya air payau saat ini tercatat 2.964.331 Ha, dengan tingkat

pemanfaatan 650.509 Ha (21,9%).13 Disamping itu juga diketahui

bahwa potensi luas areal budidaya laut di Indonesia saat ini tercatat

12.123.383 Ha, dengan tingkat pemanfaatan 325.825 Ha (2,7%).

Sedangkan potensi luas areal budidaya rumput laut saat ini tercatat

1,1 juta Ha atau 9% dari seluruh luas kawasan potensial budidaya

laut yang sebesar 12.123.383 Ha. Adapun tingkat pemanfaatannya

diperkirakan baru mencapai 25%.14

10 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, Loc.Cit.

11 Tingkat pemanfaatan rumput laut diperkirakan baru mencapai 25%. Adapun jenis rumput laut yang dimiliki Indonesia tercatat 555 jenis rumput laut. Beberapa kendala dalam pengembangan budidaya rumput laut adalah terkait kualitas bibit rumput laut, penyakit, akses pasar serta tata niaga produk.

12 Kecilnya pemanfaatan potensi budidaya air tawar disebabkan karena belum terkelolanya secara optimal potensi tersebut akibat tumpang tindihnya pemanfaatan potensi lahan budidaya air tawar, serta belum terbukanya secara mudah akses menuju kawasan potensil budidaya air tawar tersebut.

13 Kecilnya pemanfaatan potensi budidaya air payau disebabkan karena pengelolaan kawasan potensial budidaya air payau masih berada/ bersinggungan dengan kawasan mangrove, sehingga pemanfaatan potensi lahan budidaya air tersebut harus sejalan dengan kebijakan pengelolaan hutan mangrove.

14 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/Permen-KP/2015, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

4

Berdasarkan data yang dirilis Food and Agriculture

Organization (FAO) maka diketahui bahwa Asia merupakan produsen

ikan terbesar dunia. Produksi perikanan tangkap terbesar dunia pada

tahun 2014 yaitu Cina, Indonesia, Amerika Serikat, Russia, Jepang,

Peru, India, Vietnam, Myanmar, dan Norwegia. Sedangkan untuk 10

negara dengan produksi perikanan budidaya terbesar pada tahun

2014 yaitu Cina, Indonesia, India, Vietnam, Filipina, Bangladesh,

Korea Selatan, Norwegia, Chile, dan Mesir.15 Dari data di atas

diketahui bahwa Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina

terkait dengan produksi perikanan tangkap terbanyak di dunia

dengan jumlah produksi sebesar 6.016.525 ton pada tahun 2014, dan

perikanan budidaya sebesar 14.330.9 ribu ton pada tahun 2014.16

Untuk produksi perikanan Indonesia pada tahun 2014

mencapai 20,72 juta ton, yang terdiri dari produksi perikanan

tangkap sebesar 6,72 juta ton dan produksi perikanan budidaya

sebesar 14,52 juta ton (termasuk rumput laut).17 Ekspor hasil

perikanan tahun 2014 mencapai USD 4,64 miliar. Capaian nilai

ekspor tersebut didominasi oleh nilai ekspor komoditas udang yang

mencapai USD 2,09 miliar dan diikuti oleh komoditas Tuna Tongkol

Cakalang (TTC) sebesar USD 0,69 miliar pada tahun 2014. Konsumsi

ikan pada tahun 2014 mencapai 37,89 kg/kapita.18 Produk Domestik

bruto (PDB) yang didapatkan dari sektor Perikanan pada tahun 2014

tumbuh sebesar 6,97%. Angka tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan

PDB nasional yang besarnya 5,1%. Jika dilihat dari besaran nilai

ekonominya, PDB Perikanan tahun 2014 mencapai Rp. 340,3 triliun.

Angka ini belum termasuk PDB dari industri pengolahan dan

kegiatan perikanan lainnya disektor hilir.19 Sedangkan pertumbuhan

PDB sektor perikanan pada akhir tahun 2015 mengalami kenaikan

menjadi 8,9 %.20

15 Food and Agriculture Organization of The United Nations, Op. Cit., 10-11. 16 Ibid., hal.9-11. 17 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

25/Permen-KP/2015, Loc. Cit. 18 Ibid. 19 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

25/Permen-KP/2015, Loc. Cit. 20 Antara, PDB Sektor Perikanan Makin Tumbuh pada Triwulan I 2016 ,

https://m.tempo.co/read/news/2016/04/04/090759733/pdb-sektor-perikanan-makin-tumbuh-pada-triwulan-i-2016, diakses tanggal 30 September 2016.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

5

Potensi perikanan yang sangat besar di Indonesia menjadi

modal yang sangat besar untuk mencapai tujuan negara yaitu

memajukan kesejahtaraan bagi masyarakat. Saat ini regulasi yang

mengatur koridor penyelenggaraan perikanan dituangkan dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun

2009 (yang selanjutnya disebut UU Perikanan). Pada dasarnya UU

Perikanan ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya ikan secara

lestari melalui penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengolahan

dan pemasaran hasil perikanan, dan meningkatkan ekspor, serta

meningkatkan taraf hidup nelayan.

Namun dalam praktiknya timbul permasalahan terkait dengan

keberlakuan UU Perikanan yaitu dengan banyaknya praktik-praktik

Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing yang terjadi di

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI),

baik yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan Indonesia (KII)

maupun oleh kapal-kapal perikanan asing menyebabkan kerugian

baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun ekonomi. Namun

saat ini UU Perikanan belum mengakomodir ketentuan mengenai IUU

Fishing sehingga banyak sekali kasus IUU Fishing yang terjadi di

Indonesia.21

Dalam penyelenggaraan perikanan masih banyak terdapat

konflik yang dialami nelayan misalnya seperti konflik yang terjadi di

wilayah perbatasan antara nelayan Indonesia dengan nelayan asing,

konflik yang disebabkan oleh pembagaian wilayah tangkapan dimana

banyak sekali kapal penangkapan ikan dari pihak asing yang

melakukan pemanfaatan perikanan di wilayah perairan Indonesia, hal

ini disebabkan karena belum optimalnya rencana tata ruang dan

rencana zonasi dalam sektor perikanan untuk perikanan tangkap.

Keterbatasan armada penangkapan ikan yang masih

didominasi oleh kapal berukuran kecil menjadi suatu permasalahan

yang dialami oleh nelayan, karena hal ini menyebabkan jangkauan

wilayah penangkapan ikan menjadi terbatas sehingga jumlah

tangkapan yang didapat menjadi sedikit. Permasalahan lain yang

21 Dalam Renstra Kerugian negara akibat dari IUU fishing di perairan Arafura diperkirakan mencapai Rp 11–17 triliun. Estimasi kerugian negara-negara di dunia akibat IUU fishing mencapai US$ 10–23,5 miliar.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

6

sering dihadapi nelayan yaitu dalam proses perizinan baik perizinan

usaha penangkapan ikan maupun perizinan kapal perikanan. Dalam

praktiknya terdapat banyak permasalahan yang dialami oleh

pembudidaya perikanan seperti tumpang tindihnya pemanfaatan

lahan; terbatasnya prasarana saluran irigasi; terbatasnya

ketersediaan serta distribusi induk dan benih unggul; tingginya harga

pakan menyebabkan hasil dari budidaya ikan masih belum

maksimal; serangan hama dan penyakit ikan/udang; adanya

pencemaran yang mempengaruhi kualitas lingkungan perikanan

budidaya.

Jika melihat lingkup pengaturan dalam UU Perikanan saat ini

lebih menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan

pengaturan perikanan budidaya dirasa belum komprehensif.

Sehingga dalam praktiknya perikanan budidaya membutuhkan

pengaturan yang lebih komperhensif mengingat potensi dan

pengembangannya perikanan budidaya ke depan akan semakin

signifikan. Di samping itu penggunaan sumberdaya kelautan dan

perikanan yang belum memperhatikan kearifan lokal menjadi salah

satu dampak yang diakibatkan karena hal tersebut yaitu kerusakan

lingkungan laut dan pencemaran laut, pencurian ikan (illegal fishing)

dan gejala penangkapan ikan yang berlebihan. Lemahnya

kemampuan nelayan dalam melakukan pemasaran produk juga

menjadi salah satu kendala dalam pengembangan usaha nelayan

untuk menjadi usaha yang maju.

Sampai saat ini penyidikan dalam kasus perikanan sebagian

besar terfokus untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan

terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak

pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang

terjadi di perairan territorial. Penjatuhan sanksi pidana yang terdapat

dalam UU Perikanan belum memberikan efek jera terhadap tindak

pidana di bidang perikanan. Sedangkan ketentuan pengaturan

mengenai keterlibatan masyarakat dalam sektor perikanan dalam UU

Perikanan masih sangat terbatas yakni hanya pada pengawasan

perikanan.22

22 Keterlibatan masyarakat dalam Pengawasan Perikanan hanya sebatas melaporkan kepada aparat penegak hukum apabila terdapat dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perikanan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

7

Hal lain yang menyebabkan perlunya dilakukan perubahan

terhadap UU Perikanan yaitu dengan diterbitkannya beberapa

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan maka

perlu dilakukan sinkronisasi kewenangan pemerintah dan

pemerintah daerah dibidang perikanan terkait dengan keberlakuan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan

Daerah, sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016

tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya

Ikan, dan Petambak Garam, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang

Kelautan, dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU

Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil.

Dengan uraian permasalahan di atas, perlu dilakukan

penyempurnaan dalam UU Perikanan. Oleh karena itu, DPR RI

bersama dengan Pemerintah Pusat telah menetapkan RUU tentang

Perubahan Kedua Atas UU Perikanan masuk dalam agenda Program

Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019 dengan nomor urut

68.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat

permasalahan yang dapat diidentifikasi untuk kebutuhan

penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:

1. Bagaimana perkembangan teori tentang penyelenggaraan

perikanan Indonesia serta bagaimana praktik empiris

penyelenggaraan perikanan Indonesia?

2. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

penyelenggaraan perikanan saat ini?

3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,

sosiologis, dan yuridis dari pembentukan RUU tentang

Perikanan?

4. Apa yang menjadi sasaran, jangkauan, arah pengaturan, dan

materi muatan yang perlu diatur dalam RUU tentang Perikanan?

C. Tujuan dan Kegunaan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

8

Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,

tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut:

1. mengetahui perkembangan teori tentang penyelenggaraan

perikanan dan praktik empiris serta urgensi pembentukan

undang undang tentang perikanan dalam menjawab kebutuhan

hukum guna mewujudkan tata kelola perikanan yang lebih baik;

2. mengetahui kondisi peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan penyelenggaraan perikanan saat ini;

3. merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,

yuridis pembentukan RUU tentang Perikanan;

4. merumuskan sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan,

arah pengaturan, dan materi muatan dalam RUU tentang

Perikanan.

Naskah Akademik RUU tentang Perikanan diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan bagi penyusunan draf RUU tentang

Perikanan yang akan menggantikan (seluruh atau sebagian materi

muatan) UU Perikanan.

D. Metode Penyusunan

Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Perikanan

dilakukan melalui studi kepustakaan/literatur dengan menelaah

berbagai data sekunder seperti hasil-hasil penelitian atau kajian,

literatur, serta peraturan perundang-undangan terkait baik di tingkat

undang-undang maupun peraturan pelaksanaan dan berbagai

dokumen hukum terkait.

Guna melengkapi studi kepustakaan dan literatur dilakukan

pula diskusi (focus group discussion) dan wawancara dengan

mengundang beberapa pakar serta kegiatan uji konsep dihadapan

berbagai stakeholder, pakar, akademisi, maupun LSM, serta dengan

melakukan pencarian dan pengumpulan data lapangan ke 4 (empat)

daerah yaitu Provinsi Maluku, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi

Kepulauan Riau, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Adapun

stakeholder yang memberikan masukan dalam penyusunan NA dan

RUU ini adalah:

a. Kementerian Kelautan dan Perikanan,

b. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi;

c. Pelabuhan Perikanan;

PUSAT PUU B

K DPR R

I

9

d. Pengadilan Perikanan;

e. Polisi Perairan;

f. Universitas (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Fakultas

Hukum); dan

g. LSM (HNSI/KIARA/TELAPAK).

Data yang diperoleh dari masukan pakar, maupun data yang

berasal dari pencarian dan pengumpulan data lapangan selanjutnya

diolah dan dirumuskan dalam format Naskah Akademik dan draf

RUU sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya

Lampiran I mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik dan

Lampiran II tentang perancangan peraturan perundang-undangan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

10

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoretis

1. Ruang Lingkup Perikanan

Ruang lingkup perikanan dapat diklasifikasikan menjadi: 1).

Produksi (perikanan tangkap dan perikanan budidaya), dan 2). Pasca

produksi (pengolahan dan pemasaran). Namun yang ditekankan

dalam materi ini adalah aspek produksi perikanan tangkap dan

produksi perikanan budidaya. Kita ketahui bahwa penangkapan ikan

adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam

keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk

kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,

menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau

mengawetkannya.23

Untuk produksi perikanan tangkap Indonesia baik di laut

ataupun di perairan umum daratan menunjukkan kecenderungan

yang stagnasi, dengan total produksi usaha perikanan tangkap masih

memberikan sumbangan produksi yang terbesar, sedangkan sisanya

berasal dari usaha perikanan budidaya. Terlihat produksi perikanan

tangkap di tahun 2015 sebanyak 6,52 juta ton atau 103,51% dari

target sebesar 6,30 juta ton. Dengan komposisi produksi dari perairan

laut sebesar 6.07 juta ton atau 93,02%, dan dari perairan umum

sebesar 0,46 juta ton atau 6,98% dengan jenis ikan hasil tangkapan

di perairan laut sebagian besar adalah jenis ikan cakalang (skipjack

tuna), layang (scad), kembung (short-bodied mackerel), madidihang

(yellowfin tuna) dan tongkol krai (frigate tuna), sedangkan di perairan

umum didominasi oleh ikan jenis gabus (snakehead murrel), baung

(asian redtail catfish), nila (nile tilapia), lele (walking catfish) dan patin

jambal (cat fishes).24

Stagnasi produksi perikanan tangkap diantaranya disebabkan

oleh pemanfaatan sumberdaya ikan yang melebihi daya dukungnya,

penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan

lingkungan khususnya di kawasan pemijahan dan asuhan ikan, serta

kerusakan lingkungan perairan yang diakibatkan oleh pencemaran.

Sementara Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)

23 Menurut UU No. 31 Tahun 2004. 24 Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

11

memperkirakan penangkapan ikan sudah berlebih (overfishing)

hingga 75% dari perikanan laut dunia, dengan stok yang tersisa

hanya 25% dari sumber daya yang masih berada pada kondisi

tangkap kurang (FAO, 2002). Apabila sumber daya perikanan

mengalami penurunan, maka stok ikan membutuhkan waktu yang

cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan

kebijakan penghentian operasi kapal bekas asing sebagaimana dalam

peraturan menteri.

Jika kebijakan pengelolaan perikanan tangkap baik maka

akan memberikan efek domino pada kelestarian sumber daya ikan

(SDI). Namun jika penggunaan teknologi penangkapan modern

dengan teknik pendeteksian tidak dikontrol maka dapat

membahayakan SDI itu sendiri, dengan kata lain generasi yang akan

datang kurang menikmati dan memperoleh manfaat dari SDI

tersebut. Faktor pendorong peningkatan kuantitas dan kualitas

sarana dan prasarana penangkapan ikan menggunakan armada

kapal dan alat tangkapnya mempunyai andil besar. Untuk itu,

Indonesia perlu memegang kode etik perikanan yang bertanggung

jawab (The Code of Conduct for Responsible Fisheries) agar potensi

perikanan tidak rusak dan punah. Hal ini juga sesuai dengan

kesepakatan asas dan standar internasional dalam menjamin

terlaksananya aspek konservasi dan keanekaragaman hayati. Berikut

hal-hal yang melatar belakangi kesepakatan Code of Conduct for

Responsible Fisheries (CCRF) internasional, yaitu:

• keprihatinan para pakar perikanan dunia terhadap SDI yang

tidak terkendali;

• issue lingkungan;

• Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing;

• ikan sebagai sumber pangan dunia;

• pengelolaan SDI tidak berbasis masyarakat dan lingkungan, serta

tidak mencakup konservasi; dan

• dukung konferensi Internasional perikanan.

Untuk itu, pemanfaatan sumber daya ikan harus dilakukan

secara rasional yaitu dengan memperhatikan daya dukungnya

sehingga stok, populasi, dan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE)

dapat terjaga. Mengingat sumber daya perikanan tangkap bersifat

unik dan berbeda dengan sumber daya lainnya karena selalu

PUSAT PUU B

K DPR R

I

12

bergerak (mobile) dan bersifat buruan. Pendekatan potensi lestari

menggunakan metode Maximum Sustainable Yield (MSY), saat ini

dirasa kurang tepat digunakan karena bersifat tidak stabil. Berbeda

dengan penggunaan Maximum Economic Yield (MEY), yang dirasa

lebih tepat karena lebih ramah lingkungan (conservative mainded) dan

dapat dilihat dengan kasat mata, dimana MEY dihitung berdasarkan

jumlah upaya penangkapan (effort) armada penangkapan. Selain

model MEY, model bioekonomi juga merupakan model yang dapat

digunakan dalam penyelesaian pengelolaan perikanan tangkap di

Indonesia. Berdasarkan model ini akan dapat dikeluarkan kebijakan

yang tepat, karena bersifat gabungan atau multispesies. Oleh karena

itu, pendekatan multispesies sangat penting, mengingat potensi

keanekaragaman Indonesia sangat tinggi dan penangkapan perikanan

juga semakin tinggi.

Sementara untuk potensi budidaya laut Indonesia juga tidak

kalah besarnya, diperkirakan dalam 5 km dari garis pantai ke arah

laut, potensi lahan diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi

kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung wilayah barat

Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia, dengan

komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan antara lain ikan

kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan

abalone serta rumput laut.25

Jika melihat dari definisi pembudidayaan ikan, yaitu sebagai

kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan

ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,

termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,

mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,

dan/atau mengawetkannya,26 untuk pemanenan ikan dilakukan

setelah kegiatan penyiapan wadah (pemupukan, pengapuran, dan

pemberantasan hama) penebaran benih, pemberian pakan,

pengelolaan air, penanggulangan/ pemberantasan hama dan

penyakit, serta pemantauan pertumbuhan dan populasi.

Capaian produksi perikanan budidaya di Indonesia di tahun

2015 mencapai 17.467.037 ton atau tercapai 97,58% dari target

25 R. Dahuri, Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui Sektor Perikanan dan Kelautan, LISPI: Jakarta, 2002.

26 Menurut UU No. 31 tahun 2004.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

13

17.900.000 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 121.625 miliar.

Selama kurun waktu 2011-2015, produksi perikanan budidaya

memperlihatkan tren yang positif dengan kenaikan rata-rata sebesar

22,17. Sedangkan jika melihat prosentase kenaikan produksi tahun

2014-2015 sebesar 21,64%. Bahkan pada tahun 2013 capaian

produksi Indonesia sebesar 13.300.906 ton. Capaian tersebut

menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan budidaya terbesar

kedua setelah China (FAO, 2015).27

Perikanan masa depan tampaknya akan banyak menggunakan

pola integrasi, baik antara akuakultur dengan pengolahan maupun

antara akuakultur dengan perikanan tangkap, ataupun integrasi

ketiganya. Integrasi yang sudah dilakukan di masyarakat walaupun

tidak disengaja adalah perikanan tangkap berbasis budidaya,

contohnya benih yang dimasukkan ke dalam perairan adalah benih

yang tidak laku dijual maupun benih yang produksinya berlebih. Hal

ini dilakukan oleh banyak perusahaan pembenihan udang, kerapu,

dan bandeng yang secara sukarela melakukan stocking di perairan

sekitarnya. Contoh lain untuk integrasi antara kegiatan akuakultur

dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restocking dengan cara

menebar benih ikan di perairan (danau, waduk, sungai, teluk, rawa)

yang bertujuan meningkatkan stok (stock enhancement). Penerapan di

Jepang, negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Cina kegiatan

restoking sudah menjadi kegiatan komersial, bukan sekedar kegiatan

konservasi dan sosial. Untuk integrasi budidaya dengan pengolahan,

komoditas patin dan ikan nila yang mencapai ukuran 1 kg/ekor

dapat dipisahkan daging dari tulangnya (deboning) untuk dijadikan

bahan baku industri makanan (fillet).28

Beberapa faktor yang mendukung integrasi pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya, antara lain:

a. Lokasi geografis Indonesia yang strategis, yang memungkinkan

akses jasa, produk perikanan dan kelautan ke berbagai bagian

dunia;

b. Kawasan perairan laut yang sangat luas, serta iklim tropik yang

memungkinkan untuk pengembangan budidaya laut berbagai ikan

dan jenis kehidupan air lainnya;

27 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2015. 28 Effendi, Pengantar Akuakultur, Penebar Swadaya: 2004.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

14

c. Jumlah penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang

relatif banyak merupakan faktor pendukung pengembangan

perikakan tangkap berbasis budidaya;

d. Adanya sistem ekonomi terbuka yang telah memungkinkan

keikutsertaan negara dalam zona perdagangan bebas regional,

sehingga menyediakan peluang yang lebih besar untuk

memasukkan produk perikanan Indonesia ke pasar global dan

regional;

e. Adanya sertifikasi sistem pengendalian mutu yang telah diakui

masyarakat dunia, sehingga dapat menjamin mutu produk

perikanan Indonesia di pasar ekspor;

f. Adanya peningkatan permintaan ikan yang merupakan hasil

perubahan kecenderungan dalam pola konsumsi makanan dunia.

Saat ini perikanan budidaya tidak hanya berperan menopang

pemenuhan kebutuhan bahan pangan berupa protein hewani, akan

tetapi juga dalam menyediakan bahan baku bio-industri, dan upaya

pelestarian spesies ikan yang terancam punah (endangered species).

Dalam pelestarian fungsi lingkungan perairan, para pembudidaya

ikan dapat menjadi ”pengamanan swakarsa” dari ancaman perusak

lingkungan seperti: pengebom dan penggunaan racun dalam kegiatan

penangkapan ikan; pembuangan limbah industri ke perairan;

penambangan karang. Untuk lahan pantai berpasir yang tidak dapat

dimanfaatkan untuk pertanian dapat digunakan untuk tambak

udang dengan konstruksi khusus seperti biocrete dan knock down

concrete.

Model integrasi perikanan telah diadopsi banyak negara

penghasil produk perikanan utama dunia seperti: China, Thailand,

Vietnem, Philipina, Kamboja, Birma, Bangladesh, Laos dan Sri Lanka.

Kegiatan tersebut juga sudah diterapkan di Lebak-Lebung di

Sumatera Selatan, Ikan Larangan di Sumatera Barat, Sasi di Maluku

dan Awik-Awik di Nusa Tenggara Barat dengan pendekatan kearifan

lokal (local wisdom). Namun sebagian kearifan lokal tersebut telah

memudar atau kurang efektif karena pengaruh modernisasi dan

globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan guna

meningkatkan efektivitas pelaksanaanya, dimana model perikanan

tangkap berbasis budidaya dapat menjadi salah satu pilihan untuk

dikembangkan melalui wadah kelembagaan (organisasi) yang

PUSAT PUU B

K DPR R

I

15

merumuskan penetapan wilayah, penentuan jenis ikan yang akan

ditebar, ketersediaan benih ikan, pengendalian penangkapan,

monitoring dan pengawasan.

2. Wilayah Pengelolaan Perikanan

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik

Indonesia atau sering disingkat dengan WPP NKRI merupakan

wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, konservasi,

penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan

pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial, zona tambahan, dan

ZEEI. Awalnya penentuan WPP NKRI didasarkan pada daerah tempat

ikan hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan

menjadi 9 WPP NKRI, sebagai berikut:

1. Selat Malaka meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Riau.

2. Laut Cina Selatan meliputi Provinsi Kepulauan Riau, Jambi,

Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat.

3. Laut Jawa meliputi Provinsi Lampung, Banten, Jakarta, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan.

4. Laut Flores dan Selat Makassar meliputi Provinsi Bali, Nusa

Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Tenggara.

5. Laut Banda meliputi Provinsi Maluku.

6. Laut Arafura meliputi Laut Aru, dan Laut Timur Timor meliputi

Provinsi Papua.

7. Laut Seram dan Teluk Tomini meliputi Teluk Tomini dan Laut

Seram meliputi Provinsi Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan

Papua Barat.

8. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik meliputi Provinsi Gorontalo,

Sulawesi Utara, Papua dan Kalimantan Timur.

9. Samudera Hindia meliputi Provinsi Aceh,Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa

Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara

Barat.

Namun penentuan WPP NKRI berdasarkan metode tersebut

sudah tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan terkait

pemantauan potensi SDI. Hal itu dikarenakan dasar dalam

PUSAT PUU B

K DPR R

I

16

penentuan 9 (sembilan) WPP NKRI berdasarkan tempat pendaratan

ikan. Oleh karena itu, dalam rangka pengelolaan sumberdaya

perikanan yang berkelanjutan, Komisi Nasional Pengkajian

Sumberdaya Ikan (KOMNASJISKAN) melakukan revisi WPP-NRI dari 9

WPP-NRI menjadi 11 WPP-NRI. Penentuan 11 WPP-NRI mengacu

kepada FAO (Food and Agriculture Organization of The United Nations)

dimana penomoran dan pembagian wilayah pengelolaan sudah sesuai

standar internasional FAO.

Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan No.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan

Republik Indonesia telah menetapkan pembagian WPP menjadi 11

WPP yaitu:

1. WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman.

2. WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat

Sumatera dan Selat Sunda.

3. WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan

Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut

Timor bagian Barat.

4. WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan

Laut China Selatan.

5. WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa.

6. WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut

Flores, dan Laut Bali.

7. WPP-RI 714 Meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda.

8. WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut

Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau.

9. WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara

Pulau Halmahera.

10. WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera

Pasifik.

11. WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut

PUSAT PUU B

K DPR R

I

17

Timor bagian Timur.

Gambar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia

Adapun dasar dari penomoran WPP NKRI di Indonesia adalah

mengacu kepada pengaturan “Fisheries Area” dari FAO. Di Indonesia

sendiri, masuk kedalam Fishing Area 57 (Indian Ocean, Eastern) dan

71 (Pacific, Western Central) dari 19 Fishing Areas yang ada di dunia.

Berikut 19 Fishing Areas berdasarkan FAO:

1. Area 18 (Arctic Sea)

2. Area 21 (Atlantic, Northwest)

3. Area 27 (Atlantic, Northeast)

4. Area 31 ( Atlantic, Western Central)

5. Area 34 (Atlantic, Eastern Central)

6. Area 37 (Mediterranean and Black Sea)

7. Area 41 (Atlantic, Southwest)

8. Area 47 (Atlantic, Southeast)

9. Area 48 (Atlantic, Antarctic)

10. Area 51 ( Indian Ocean, Western)

11. Area 57 (Indian Ocean, Eastern)

12. Area 58 (Indian Ocean, Antarctic and Southern)

13. Area 61 (Pacific, Northwest)

14. Area 67 (Pacific, Northeast)

15. Area 71 (Pacific, Western Central)

16. Area 77 (Pacific, Eastern Central)

17. Area 81 (Pacific, Southwest)

18. Area 87 (Pacific, Southeast)

19. Area 88 (Pacific, Antarctic)

Indonesia sendiri tercakup dalam dua fishing areas, yaitu Area

57 dan Area 71. Untuk Major Fishing Area 57, yang terdiri dari

1. Bay of Bengal (Subarea 57.1)

2. Northern (Subarea 57.2)

3. Central (Subarea 57.3)

4. Oceanic (Subarea 57.4)

5. Western Australia (Subarea 57.5)

6. Southern Australia (Subarea 57.6)

Dimana perairan Indonesia termasuk ke dalam Subarea 57.1

dan 57.2.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

18

Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No

45/2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di Wilayah

Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia, maka estimasi potensi

SDI Indonesia adalah 6,520 juta ton dengan distribusi tingkat

eksploitasi yang berbeda-beda menurut WPP, dengan tingkat

eksploitasi terbagi menjadi 4 kategori yaitu over exploited, fully

exploited, moderate, dan moderate-to-fully exploited.29 Berdasarkan

Kepmen tersebut maka dapat dianalisis kategori over exploited SDI di

Indonesia sebagaimana gambar berikut.

Gambar eksploitasi sumberdaya ikan di Indonesia

Dalam konteks ini maka diperlukan strategi yang tepat untuk

memulihkan sumberdaya ikan dan sekaligus menjamin keberlanjutan

perikanan. Hal ini mengingat ekosistem perairan Indonesia baik

perairan laut maupun perairan umum daratan adalah perairan tropis

yang dicirikan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun

volume stoknya relatif tidak banyak. Selain itu, SDI masih menjadi

mata pencaharian masyarakat dalam memenuhi sumber protein

(ketahanan pangan). Untuk itu, dalam pengelolaan perikanan yang

tingkat kompleksitas sistem sosial-ekologis (social-ecological system)

tinggi maka perlu adanya pendekatan yang ramah lingkungan dan

mampu mensejahterakan masyarakat, salah satu contohnya

menggunakan pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF)

atau Ecosystem Appproach to Fisheries Management (EAFM) dalam

menyelesaikan persoalan tersebut.

29 PKSPL IPB 2015, dalam Tata Kelola Kawasan Konservasi Perairan Untuk Perikanan Berkelanjutan di Indonesia Oleh Luky Adrianto

PUSAT PUU B

K DPR R

I

19

3. Pengakuan Pengelolaan Perikanan Masyarakat Hukum Adat

Dan Nelayan Kecil Berbasis Masyarakat

Konstitusi dan undang-undang perikanan mengharuskan

pemerintah mengelola SDI untuk memastikan keberlanjutan

produktifitas perikanan untuk jangka panjang sehingga dapat

menyediakan manfaat sosial, ekonomi dan budaya untuk generasi

saat ini dan yang akan datang. Namun, perikanan Indonesia saat ini

telah mengalami tangkap lebih akibat akses terhadap perikanan yang

relatif terbuka (open access fisheries), kegiatan perikanan illegal (IUU

fishing), dan pengelolaan yang belum memadai. Untuk itu diperlukan

pilihan-pilihan instrumen pengelolaan yang mampu mengatasi

masalah open access, IUU fishing dan permasalahan lainnya yang

selaras dengan budaya yang berkembang di dalam masyarakat

Indonesia. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah tegas dalam

membangun fondasi pengelolaan perikanan. Kementerian Kelautan

dan Perikanan (KKP) telah memperkuat pengawasan untuk

mengurangi terjadinya IUU fishing di perairan Indonesia.

Kelembagaan baru yang mengatur kesebelas Wilayah Pengelolaan

Perikanan (WPP) sedang dikembangkan dan Rencana Pengelolaan

Perikanan (RPP) telah disusun untuk setiap WPP dan jenis atau

kelompok jenis ikan prioritas.30

Dalam berbagai kondisi yang memungkinkan peningkatan

upaya pengelolaan telah tersedia, masih terdapat ketidakpastian

tentang bagaimana Indonesia dapat mengatasai permasalahan

perikanan akses terbuka yang telah umum diketahui di dunia

menyebabkan terjadinya tangkap lebih dan kehilangan keuntungan

ekonomis bagi pelaku perikanan. Dalam hal ini pengelola perikanan

meresponnya dengan membatasi jumlah tangkapan melalui sistem

perizinan, pembatasan alat tangkap dan musim penangkapan ikan.

Pendekatan seperti ini biasanya tidak berhasil karena dalam kondisi

perikanan akses terbuka, nelayan akan berlomba menangkap ikan

sebanyak-banyaknya.31

30 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, hal. 2.

31 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, hal. 2.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

20

Tangkap lebih perikanan bisa terjadi akibat IUU fishing yang

dilakukan baik oleh kapal-kapal ikan luar maupun dalam negeri.

Tangkap lebih bisa terjadi secara legal dalam kerangka pengaturan

perikanan nasional baik skala besar maupun kecil apabila instrumen

pengelolaan yang diterapkan tidak efektif. Pemerintah telah

mengambil langkah-langkah penting seperti mengatasi IUU fishing

khususnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan

menetapkan penataan ruang di wilayah pesisir dan perairan laut.

Langkah ini merupakan permulaan yang baik dalam upaya mengatasi

permasalahan akses terbuka, tetapi belum menyentuh akar masalah

berupa dorongan/motivasi untuk menangkap ikan sebanyak-

banyaknya dan belum menyelaraskan antara dorongan finansial dan

pemenuhan kebutuhan hidup dengan upaya perlindungan dan

pelestarian sumberdaya ikan. Untuk itu, pendekatan pengelolaan

sumberdaya ikan yang mampu menghilangkan akses terbuka

perikanan sangat diperlukan dan mendesak. Telah diketahui dengan

baik bahwa Hak Pengelolaan Perikanan (HPP) bisa membantu

mencapai tujuan tersebut diatas. HPP terbukti32:

• menyumbang terhadap pemulihan populasi ikan dan

keuntungan finansial dari perikanan;

• mengurangi pembiayaan berlebihan (overcapitalization) dan

meningkatkan manfaat ekonomis penangkapan ikan;

• meningkatkan kepatuhan terhadap batasan jumlah tangkapan

dan mengurangi mortalitas penangkapan insidental; dan

• meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam

kegiatan pengelolaan.

Pada dasarnya HPP berfungsi karena pendekatan ini

menyelaraskan dorongan kebutuhan ekonomi nelayan dengan

perlindungan dan pelestarian sumberdaya ikan. Kondisi ini

dimungkinkan apabila nelayan atau kelompok masyarakat memiliki

jaminan untuk mengamankan kesempatannya menangkap ikan dan

mencegah orang lain menangkap dan mengeksploitasi manfaat dari

sumber daya ikan tersebut. Saat ini, nelayan dan kelompok

masyarakat tidak memiliki eksklusifitas ini, sehingga mereka tidak

32 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, hal. 3.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

21

memiliki jaminan untuk dapat terus menerus menangkap ikan dan

memperoleh penghasilan darinya. Dengan adanya HPP, nelayan dan

kelompok masyarakat dapat merasakan langsung kerugian dari

penurunan SDI dan sebaliknya keuntungan ekonomis dari

pelestarian dan perlindungan sumber daya ikan. Keuntungan dari

instrument HPP juga merambat hingga pada rantai pasok produk

makanan dari laut, konsumer dan masyarakat yang memiliki

ketergantungan terhadap populasi ikan yang sehat.33

Pada instrumen pengelolaan berbasis HPP, pemerintah tetap

memiliki otoritas tertinggi terhadap sumber daya ikan dan tanggung

jawab konstitutional untuk mengendalikan dan mengelolanya untuk

sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia. Ini termasuk

otoritas untuk memberikan hak-hak dan tanggung jawab pengelolaan

kepada nelayan, masyarakat, koperasi dan asosiasi perikanan atau

entitas lainnya dengan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.

Dalam pelaksanaannya, pemberian tersebut berbentuk izin yang

dapat dibatalkan oleh pemerinah untuk memanfaatkan dan

mengelola sumber daya secara eksklusif, terjamin dari penguasaan

oleh orang lain dan dalam beberapa contoh dapat dipindah

tangankan.34

Bentuk-bentuk HPP di berbagai negara di dunia berbeda-beda.

Bentuk yang paling umum adalah berbasis wilayah (area-based) dan

berbasis kuota tangkapan (quota-based). HPP berbasis wilayah atau

yang umum dikenal sebagai hak penangkapan ikan pada wilayah

tertentu (territorial use rights in fishing/TURFs) memiliki batas-batas

wilayah yang jelas dan biasanya diimplementasikan untuk mengelola

sumber daya ikan dengan pergerakan terbatas seperti teripang,

abalone, kerapu dan kakap. HPP berdasarkan kuota didasarkan pada

besaran alokasi tangkapan (kuota tangkapan) dan banyak

diterapakan untuk SDI yang berada di laut dalam lepas pantai (deep

sea demersal species, pelagic dan migratory fish) seperti ikan kakap

laut dalam dan tembang (mackerel).35

33 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, Ibid.,

34 Ibid., 35 Ibid., hlm. 4

PUSAT PUU B

K DPR R

I

22

Praktek HPH lokal berkembang di dalam tatanan adat dan

tradisi yang beraneka ragam dengan tujuan dan otoritas kewenangan

yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya. Masyarakat

memiliki hak, tanggung jawab dan mekanisme pengambilan

keputusan dalam mengelola sumber dayanya untuk kepentingan

bersama. Terkait keberadaan HPP ini terdapat keberatan yang

dikemukanan menyangkut alokasi kuota (kepada siapa diberikan dan

berapa besar/banyak wilayah/alokasi yang diberikan) dan apakah

distribusi manfaat sumber daya cukup adil dimata sebagian besar

masyarakat. Tidak ada satu pendekatan yang sesuai untuk semua

jenis dan karakteristik perikanan. Pendekatan yang paling berhasil

adalah yang dikembangkan secara transparan melalui proses yang

inklusif dan sesuai dengan budaya dan karakteristik lingkungan dan

sumberdaya dari perikanan yang hendak dikelola. 36

Pada dasarnya HPP merupakan instrumen pengelolaan yang

tidak berdiri sendiri. HPP harus diterapkan sebagai bagian dari

rencana pengelolaan perikanan yang utuh yang disusun melalui

proses yang transparan dan inklusif, didukung oleh ilmu

pengetahuan terbaik yang tersedia dan kearifan setempat, termasuk

langkah-langkah penegakan aturan dan penyeimbangan pemanfaatan

sumberdaya laut dengan sektor lainnya di wilayah yang sama. Tidak

ada istilah yang baku yang menggambarkan HPP, karena kata ‘hak’

mempunyai definisi dan implikasi hukum yang berbeda-beda

diberbagai negara. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Meksiko,

Belize dan Chili menggunakan istilah ‘managed access’ dan ‘catch

shares’ untuk menghindari kata hak dan selanjutnya didefinisikan

dan diadopsi kedalam berbagai aturan perundangan yang sesuai.37

Penerapan HPP merupakan salah satu dari sekian banyak

langkah yang saling terkait yang harus dilaksanakan di dalam sebuah

siklus pengelolaan perikanan yang adaptif. Seperti tertera pada

gambar dibawah ini, terdapat tujuh langkah pengelolaan perikanan

adaptif yaitu: pelaporan, monitoring, pendugaan, keputusan

pengelolaan, pelaksanaan, penangkapan ikan dan dinamika sumber

daya (Fulton et al., 2011). HPP merupakan salah satu pilihan bentuk

36 Ibid., 37 Ibid., hlm. 5.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

23

intervensi pengaturan penangkapan ikan. Pilihan ini didasarkan pada

informasi status sumber daya ikan dan sistem perikanan yang

menjadi target pengelolaan dan pertimbangan berbagai pilihan

pengelolaan yang tersedia. 38

Gambar diagram siklus pengelolaan perikanan adaptif dan letak Hak

Pengelolaan Perikanan (dimodifikasi dari Fulton et al., 2011).

Terkait dengan status HPP dalam kerangka pengelolaan

perikanan Indonesia, maka dapat diketahui jika HPP harus

ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka

besar Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) dari sebuah WPP.

Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pemerintah provinsi

memiliki otoritas, sesuai dengan wilayah kewenangannya, untuk

mengeluarkan HPP sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RPP di

dalam sebuah WPP. HPP diberikan kepada kelompok yang memenuhi

syarat yaitu (a) berbadan hukum di Indonesia seperti: koperasi,

lembaga adat, asosiasi perikanan, dan yayasan dan/atau (b)

38 Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hlm. 8

PUSAT PUU B

K DPR R

I

24

organisasi masyarakat lokal yang memiliki struktur kepengurusan

dan pengurus yang jelas dan direkomendasikan oleh Kepala Desa

(Lurah) dan Camat (Lembar Informasi #1 yang diperbaharui

berdasarkan hasil diskusi Extended Core Group RBFM Indonesia, 11

Oktober 2016). Kelompok yang mengajukan permohonan HPP harus

menyertakan RPP jenis atau kelompok sumber daya ikan yang

hendak dikelola yang selaras dengan RPP WPP di dalam wilayah yang

dimaksud. Pemerintah atau pemerintah provinsi secara berkala dapat

melakukan evaluasi terhadap HPP yang diberikan sesuai dengan

tujuan dan target capaian pengelolaan yang dimuat didalam RPP jenis

atau kelompok sumber daya ikan tersebut.39

HPP memberikan insentif terhadap pemanfaatan dan konservasi

SDI. Dengan demikian sebuah kawasan HPP, tidak selalu hanya

diperuntukkan untuk wilayah penangkapan saja, tetapi juga perlu

dibentuk kawasan tertutup untuk perbaikan stok ikan. Ovando

mengatakan bahwa fishing cooperative yang memiliki HPP berbasis

wilayah (TURFs), dengan sukarela membentuk kawasan tertutup

disekitar TURFs, karena memberi manfaat perbaikan stok ikan.

Analisis global yang dilakukan oleh Afflerbach, menunjukkan bahwa

wilayah hak penangkapan ikan tidak selalu dibentuk secara

bersamaan dengan wilayah tertutup, yang lebih sering dibentuk

belakangan.40

4. Usaha Perikanan

Berdasarkan Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang

Perikanan, yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan

yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber

daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,

pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam

suatu sistem bisnis perikanan. Dari pengertian tersebut, ternyata

ruang lingkup bidang perikanan sangat luas, yang tidak hanya

39 Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hal. 9.

40 Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hal. 10.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

25

memanfaatkan sumberdaya ikan dan lingkungannya, tetapi juga

mengelolanya. Kata “pemanfaatan” bermakna sekedar

mengeksploitasi, mengeksplorasi dan memanfaatkan sumberdaya

ikan dan lingkungannya tanpa ada upaya perencanaan,

pengendalian, evaluasi, serta konservasi. Oleh karena itu, kajian yang

terkandung dalam kata “perikanan” diperluas dengan adanya kata

“pengelolaan”. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

mendefinisikan pengelolaan sebagai semua upaya, termasuk proses

yang terintegrasi dalam pengumpulkan informasi, analisis,

perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber

daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan

perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh

pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai

kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan

yang telah disepakati.

SDI adalah potensi semua jenis ikan. Ikan adalah segala jenis

organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di

dalam lingkungan perairan. Lingkungan sumber daya ikan adalah

perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan

faktor alamiah sekitarnya. Sumber daya perikanan termasuk kepada

kelompok sumber daya alam yang dapat diperbaruhi (renewable

source). Meskipun demikian dalam pemanfaatan sumber daya ini

harus rasional sebagai usaha untuk menjaga keseimbangan produksi

dan kelestarian sumber daya. Hal ini perlu adanya penegasan karena

sumber daya perikanan merupakan sumber daya milik bersama

(common property resources) dalam artian hak properti atas sumber

daya tersebut dipegang secara bersama-sama sehingga tidak ada

larangan bagi siapapun untuk memanfaatannya.

Pengelolaan SDI dan lingkungan (Resources) menjadi tanggung

jawab bersama antara masyarakat sebagai pengguna sumberdaya

(Users) dan pemerintah sebagai fasilitator dan manager pengelolaan

(Management). Dua komponen yang pertama adalah Resources dan

Users memerlukan komponen ketiga yaitu manager pengelolaan

(Management) agar penggunaan resources oleh users lebih

berdayaguna, bernilai tambah (added value), dan tetap

memperhatikan kelestariannya. Dengan kata lain, agar pemanfaatan

sumberdaya ikan dan lingkungan (resources) oleh users (nelayan,

PUSAT PUU B

K DPR R

I

26

pembudidaya ikan, pedagang, dan komponen masyarakat lainnya)

tidak sekedar berorientasi kepentingan ekonomi semata, maka peran

pemerintah sangat penting untuk membuat berbagai kebijakan untuk

mengatur pemanfaatan dan pengelolaan.

Usaha yang dilakukan oleh users dalam memanfaatkan

sumberdaya ikan dan lingkungannya disebut sebagai usaha

perikanan. Praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat

melalui penangkapan ikan (perikanan tangkap) dan budidaya ikan.

Sehingga usaha perikanan merupakan semua kegiatan yang

dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap

atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan pasca panen mulai

dari menyimpan (storage), mengolah (processing), mendinginkan atau

mengawetkan ikan untuk tujuan komersil dan mendapatkan laba

dari kegiatan yang dilakukan. Menurut UU Perikanan, yang dimaksud

usaha perikanan adalah usaha yang dilaksanakan dalam sistem

bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan

pemasaran. Dengan demikian, usaha perikanan bukan hanya usaha

di bidang produksi (budidaya ikan dan penangkapan ikan), namun

demikian juga usaha pendukung produksi (usaha pra produksi) dan

usaha pasca produksi (pengolahan dan pemasaran) untuk

meningkatkan nilai tambah (added value) hasil-hasil perikanan.

Sedangkan berdasarkan BPS dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha

Indonesia Tahun 2012 Buku I, yang termasuk dalam sektor

perikanan adalah kegiatan usaha yang mencakup penangkapan dan

budidaya ikan, jenis crustacea (seperti udang, kepiting), moluska, dan

biota air lainnya di laut, air payau dan air tawar.41 Dari berbagai

pemahaman di atas, maka usaha perikanan dapat dikelompokkan

sebagai berikut:

a. Usaha pra produksi perikanan merupakan usaha pendukung dan

penyedia sarana, input,saprodi, dan berbagai perbekalan nelayan

maupun pembudidaya ikan, misalnya usaha pembuatan kapal

ikan, usaha penyedia alat tangkap ikan (jaring, pancing,

pelampung, dan lain-lain), usaha produksi mesin penangkapan

ikan (diesel, sparepart, dan lain-lain), usaha penyediaan pupuk,

41Subdirektorat Pengembangan Standardisasi dan Klasifikasi Statistik. 2012. Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I .Badan Pusat Statistik. Jakarta.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

27

pakan ikan, es, keranjang, box, cold box, obat-obatan perikanan,

usaha penyediaan teknologi reproduksi buatan, usaha pertokoan

sembako, makanan dan minuman untuk perbekalan melaut dan

budidaya, sampai usaha jasa penyediaan tenaga kerja produksi

perikanan, dan lain-lain.

b. Usaha pembudidayaan ikan (aquaculture effort) adalah kegiatan

untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan

serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,

termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,

mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,

dan/atau mengawetkannya. Orang yang mata pencahariannya

melakukan pembudidayaan ikan disebut pembudidaya ikan.

c. Penangkapan ikan (fishing effort) adalah kegiatan untuk

memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan

dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan

yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,

menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau

mengawetkannya. Orang yang mata pencahariannya melakukan

penangkapan ikan disebut nelayan (fisherman). Sumber daya

perikanan laut dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok

besar yaitu:42 (1) sumber daya ikan demersal, yaitu jenis ikan

yang hidup di atau dekat dasar perairan; (2) sumber daya ikan

pelagis, yaitu jenis sumber daya ikan yang hidup di sekitar

permukaan perairan; (3) sumber daya ikan pelagis besar, yaitu

jenis ikan oceanik seperti tuna, cakalang, tenggiri dan lain-lain; (4)

sumber daya udang dan biota laut non ikan lainnya seperti kuda

laut.

d. Usaha pengolahan ikan (fish processing effort) merupakan usaha

yang bertujuan menciptakan dan atau menambah kegunaan

(utility) ikan, baik kegunaan waktu (time utility) maupun kegunaan

bentuk (form utility). Orang yang melakukan usaha pengolahan

ikan disebut pengolah ikan (fish processor).

e. Usaha pemasaran ikan (fish marketing effort) merupakan semua

upaya untuk menyampaikan ikan dari produsen ke konsumen.

Orang yang melakukan kegiatan pemasaran ikan disebut

42 Ningsih, 2005. Strategi Mengelola dan Memanfaatkan Sumber Daya Laut dan Perikanan. Majalah Info Kajian Bappenas, Volume 2, 2005.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

28

pedagang atau pemasar ikan (fish middlemen). Menurut Crawford

(1997), kegiatan pemasaran menurut fungsinya ada 3 kelompok,

yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitasi. Dari

ketiga fungsi tersebut terbagi menjadi 9 kegiatan, yaitu buying,

selling, storage, transportation, processing, standardization,

financing, risk bearing, market intelligence.43 Berdasarkan apa

yang ditulis oleh Crawford, ternyata pengolahan (processing)

merupakan bagian kegiatan pemasaran, sedangkan pemerintah RI

melalui UU Perikanan mengklasifikasikan usaha pengolahan

sebagai salah satu usaha mandiri dalam sistem bisnis perikanan

yang meliputi usaha praproduksi, produksi,pengolahan, dan

pemasaran.

f. Sebagai tambahan, ada usaha jasa dan kelembagaan pendukung

keseluruhan usaha perikanan (rantai agribisnis perikanan),

misalnya lembaga keuangan penyedia kredit/permodalan untuk

usaha agribisnis perikanan seperti bank, koperasi, bakul

(pedagang) ikan yang sekaligus meminjami modal ke nelayan, dan

sejenisnya.

Selanjutnya, UU Perikanan juga mengatur setiap orang yang

melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,

pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di

wilayah NKRI wajib memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan). SIUP

adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk

melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi

yang tercantum dalam izin tersebut. SIUP menjadi salah satu tool

pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan dan lingkungannya.

5. Peran Serta Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat/

Tradisional/ Kearifan Lokal

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi sumber

daya laut yang besar dan kaya akan jenis ragam kehidupan lautnya.

Bagi masyarakat pesisir, sektor perikanan masih menjadi andalan

masyarakat. Pentingnya menjaga aset kemaritiman oleh masyarakat

pesisir sebagai wujud warisan budaya leluhur yang menunjukan

identitas budaya merupakan warisan budaya yang harus tetap ada

43 Crawford, I.M. (1997). Agricultural and Food Marketing Management (2), FAO, Rome, pp. 6-10.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

29

sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Ketergantungan masyarakat kepulauan terhadap sumber daya

laut sangat erat hubungannya dengan keberlanjutan dan terjaganya

keberadaan lingkungan di sepanjang garis pantai. Perikanan

Nasional, masih didominasi oleh nelayan tradisional (meskipun di

beberapa daerah sudah tidak lagi ditemukan perahu tanpa motor)

tetapi tipologi masyarakat pesisir yang masih bisa dinyatakan dengan

tingkat perkembangan ekonomi, sistem sosial, dan kondisi

ekosistemnya, berbeda dengan kondisi masyarakat pertanian yang

kegiatannya berada di darat (society), tetapi masyarakat pesisir

terekonstruksi dari basis sumberdaya.44

Pelestarian sumberdaya pesisir dalam pemanfaatannya sering

kali melupakan dampak kelestarian dan keseimbangannya,

eksploitasi secara berlebihan atau perlakuan salah terhadap

lingkungan dan cara penangkapan ikan baik dilakukan oleh

masyarakat ataupun korporasi masih menjadi persoalan di Indonesia.

Kegiatan dan perlakuan salah ini tentunya akan cepat merusak

potensi kekayaan laut kita.

Terumbu karang tempat ikan berkembang biak yang harus

terjaga dengan baik merupakan modal dasar bagi masyarakat untuk

mendapatkan ikan dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pantai.

Masyarakat tradisional/ nelayan tradisional dengan kemampuan daya

jelajah kapal dan alat-alat penangkapan ikan yang masih serba

tradisional tentunya sangat bergantung oleh lingkungan biota laut

yang baik. Aktivitas mereka di laut masih ada yang mengandalkan

pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan penangkapan hasil

laut, seperti pengetahuan tentang musim, jenis ikan, arus serta

gelombang, gejala alam yang diwariskan dari leluhur mereka.45

Pengetahuan tradisional atau sering disebut sebagai kearifan

lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman

44 Arif Satria, 2015, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta

45 lihat Julian J. Pattipeilohy, Sistem Penangkapan Ikan Tradisional Masyarakat Nelayan di Pulau Saparua, Jurnal Penelitian Vol. 7 No.5, Edisi November 2015, hal 3, 4

PUSAT PUU B

K DPR R

I

30

atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun

perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.46

Persoalan yang sering terjadi dalam masyarakat, khususnya

masyarakat pesisir justru kualitas sumberdaya yang kian hari makin

menurun, banyaknya eksploitasi yang terlalu berlebihan berdampak

kepada kerusakan lingkungan laut dan terumbu karang dan pada

akhirnya mengakibatkan kemiskinan dan marjinalisasi komunitas

lokal dalam kehidupan kesehariannya.

Sumberdaya yang dimiliki bersama (common property

resources) termasuk di dalamnya adalah masyarakat pengelola laut

sebagai sumber mata pencahariannya secara komunal (communally

owned resources) dan masuk dalam kategori akses bebas (open

access) yang berujung pada eksplorasi yang berlebihan terhadap

hasil-hasil perikanan dan sumberdaya yang ada di dalamnya.

Kerusakan lingkungan laut berseta isinya membutuhkan waktu yang

tidak sebentar untuk memulihkannya, sementara kebutuhan

masyarakat terus meningkat.

Kerusakan yang terjadai terhadap sumberdaya milik bersama

disebut oleh Hardin sebagai tragedi milik bersama (tragedy of the

common).47 Hardin juga menjelaskan bahwa untuk pengelolaan

sumberdaya milik bersama beberapa pakar memberikan alternatif

solusi yang berbeda-beda, menurut Hardin peranan pemerintah, juga

para ahli ekonomi menawarkan alternatif pelembagaan kepemilikan

pribadi atas sumberdaya milik bersama. Tetapi solusi di atas belum

juga dapat memberikan penyelesaian dan penghentian tindakan

eksploitasi yang berlebihan. Pentingnya penguatan aturan-aturan

yang dimotori oleh komunitas lokal tentunya menjadi solusi yang

membuka peluang pulihnya segala potensi kelautan yang ada.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas

lokal membuat pranata-pranata dan menaruhnya menjadi landasan

pengelolaan eksploitasi sumberdaya mereka dan ditaati bersama

melalui pengembangan institusi dan aturan-aturan yang dapat

46 Keraf, S. A, 2002, Etika Lingkungan,. Pn. Buku Kompas, Jakarta, dalam Stefanus Stanis, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur, Tesis tidak diterbitkan, 2005, Universitas Diponegoro Semarang.

47 Ummanah, Sasi Laut Nelayan di Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, hal 3

PUSAT PUU B

K DPR R

I

31

memberikan batasan terhadap eksploitasi sumberdaya alam.48

Selanjutnya local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia

dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap

terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang

tertentu.49 Potensi kearifan lokal yang ada di Indonesia yang syarat

kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan, khususnya pada

wilayah pesisir tentunya tidak dapat kita kesampingkan begitu saja,

jika terjadi akan habis tergerus waktu dan kebutuhan hidup manusia

yang jumlahnya semakin meningkat setiap harinya.

Tetapi persoalan lain muncul beberapa kasus yang terjadi di

beberapa daerah di Indonesia, seringnya terjadi gesekan antara

kebijakan pemerintah dan kesatuan hukum adat. Seringnya

penguasaan wilayah masyarakat hukum adat oleh

perusahaan/korporasi yang mengantongi ijin dari pemerintah yang

menggunakan teknologi yang sudah maju menyebabkan

terganggunya sumber penghidupan masyarakat yang berada di

wilayah tersebut. Seperti yang terjadi di desa Ety50, Kabupaten Seram

Bagian Barat, wilayah hukum adat dikapling pengusaha mutiara

dengan ijin yang diberikan kepada perusahaan tersebut dan melarang

masyarakat hukum adat untuk memasuki daerah tersebut. Padahal

wilayah itu merupakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat

tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian mereka.

Kasus lainnya lagi, masyarakat di pulau Benjina, Kabupaten

Kepulauan Aru, masyarakat hukum adat tidak lagi mempunyai akses

untuk menyelam mutiara karena laut sekitarnya telah terkontaminasi

dengan buangan sisa-sisa hasil produksi ikan. Kasus seperti ini

membuat masyarakat tidak dapat memperoleh penghasilan yang

biasanya mereka lakukan, dan akhirnya membuat mereka harus

berjuang lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup

keseharian mereka.51

48 Ibid. 49 Ridwan, Nurma A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal STAIN

Purwokerto. Purwokerto. dalam, Juniarta, Susilo dan Primyastanto, Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, 2013, Jurnal ECSOFiM Vol. 1. hal. 12

50 Lili Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam di Wilayah Pesisir laut, diakses 5 Oktober 2016, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-pidana/364-perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-hukum-adat-dalam-pengelolaan-sumber-daya-alam-di-wilayah-pesisir-dan-laut

51 Ibid.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

32

Di Indonesia masih terdapat berbagai bentuk kearifan lokal

dari kelompok masyarakat adat yang mempraktekan cara tradisional

untuk mengelola sumberdaya pesisir.52 Sebagai contoh pada

masyarakat adat di pesisir Pulau Saparua Maluku yang memiliki cara

memelihara kawasan pesisir dengan konsep petuanan Sasi yang

mengatur tentang hal konservasi sumberdaya tertentu agar dapat

memberikan manfaat dan keuntungan secara berkelanjutan. Akan

tetapi sejalan dengan proses dinamika kehidupan masyarakat,

kearifan lokal terdegradasi dengan nilai-nilai dan norma adat yang

memudar, karena perkembangan dan tantangan kehidupan yang

semakin kompleks. Sejumlah substansi kearifan lokal yang pernah

dianut dalam masyarakat tidak lagi menjadi pedoman berperilaku.

Kearifan lokal dalam pelestarian wilayah pesisir misalnya untuk

menjaga dan mengatur sistem penangkapan ramah lingkungan, saat

ini sudah menghilang dan digantikan dengan sistem eksploitasi

berlebihan.

Melemahnya posisi kearifan lokal akibat derasnya arus

kapitalisasi yang lebih mengedepankan analisa untung rugi membuat

memudarnya warisan budaya lokal. Proses kemunduran kearifan

lokal/tradisional ditandai dengan perubahan tatanan sosial,

kurangnya nilai humanis, kemiskinan moral, sifat ketergantungan

dan kurangnya kemandirian masyarakat dan terdegradasinya

sumberdaya alam dan lingkungan yang justru mendukung kehidupan

mereka.53

Memudarnya keyakinan masyarakat lokal, khususnya

masyarakat tradisional untuk menggunakan metode atau cara

tradisional dalam pengelolaan hasil laut kembali bukan perkara

mudah untuk dilakukan. Membangun kembali pentingnya kelestarian

alam dengan kondisi kekinian oleh masyarakat pesisir yang

kebanyakan kondisi kehidupan kesehariannya sulit, baik secara

ekonomi ataupun sosial mendorong mereka untuk selalu mengambil

lebih dari apa yang tersedia di sekitar mereka. Kondisi ini tentu perlu

52 Prijono, S.N. 2000a. Laporan Pendukung No 1: Sejarah dan Latar Belakang Proyek. dalam Zulkarnain, Asdi Agustar, Rudi Febriamansyah, 2008, Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir (Studi Kasus di Desa Panglima Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau), Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Vol. 1 Juli, hal 70.

53 Husni Thamrin, 2013, Kearifan Lokal dalam Pelestarian lingkungan , Kutubkhanah, Vol. 16 No. 1 Januari, hal. 46

PUSAT PUU B

K DPR R

I

33

campur tangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang tepat,

dan yang tak kalah penting adalah peran serta masyarakat asli dan

masyarakat di luar komunitas tersebut baik secara perseorangan

maupun kelompok.

Kearifan lokal merupakan suatu gagasan masyarakat,

kebiasaan yang baik yang diikuti oleh kelompok masyarakatnya.54

Meskipun begitu kearifan lokal cenderung sudah banyak dilupakan

kebanyakan masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Di sisi lain,

masyarakat yang sudah sadar atau mulai sadar akan pentingnya

kelestarian lingkungan dalam menjaga sumberdaya kelautan

khususnya di wilayah tempat mereka tinggal mulai membangun,

merekonstruksi dan menata kebiasaan/perlakuan buruk mereka

terhadap lingkungan ke arah pemulihan dan pemeliharaan sumber

potensi kelautannya.

Kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian

lingkungannya kembali tentu perlu keterlibatan dari semua pihak,

disamping kemauan masyarakat itu sendiri yang kuat dan konsisten.

Untuk merekonstruksi kearifan lokal itu kembali, sangat penting

untuk menimbulkan kesadaran yang tinggi terhadap

ketergantungannya kepada perubahan kondisi lingkungan alam,

diikuti oleh kemampuan manusianya terhadap teknologi yang mampu

diciptakan untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan, bukan

malah merusaknya.

Harapan terbesar masyarakat pesisir agar pemerintah

memberikan akses kepada masyarakat adat untuk mencari

penghidupan mereka di wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil serta

pengelolaannya. Masyarakat tradisional/adat perlu diberikan wilayah

penangkapan ikan secara tradisional di dalam RZWP-3-K (Rencana

Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) dan memberikan

pengelolaan wilayah tersebut sesuai dengan hukum adat daerah yang

bersangkutan selama tidak bertentangan dengan ketentuan

perundang-undangan.

Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut

Community-Based Management, menurut Nikijuluw55, merupakan

54 Lihat., Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. (Yogyakarta: Kepel Press), hal. 9.

55 Latama, Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, Bogor: 2002.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

34

pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan

pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai

dasar pengelolaanya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya

yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion).

Carter56 memberikan defenisi pengelolaan berbasis masyarakat

sebagai: “A strategy for achieving a people-centered development where

the focus of decision making with regard to the sustainable use of

natural resources in an area lies with the people in the communities of

that area” atau sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan

yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan keputusan

mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu

daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di

daerah tersebut.57

Masyarakat dalam melibatkan dirinya untuk berperan serta

disyaratkan untuk ikut hadir memecahkan persoalan-persoalan

masyarakatnya sendiri, termasuk aktif untuk memikirkan,

merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan yang

dilakukannya secara bersama.

Untuk menjaga ketersediaan ikan dan ekosistem laut,

tentunya peran masyarakat luas tidak dapat dipandang sebelah mata,

banyak kasus-kasus pencurian dan perusakan terumbu karang yang

dilakukan oleh nelayan asing maupun lokal. Beberapa jenis

pelanggaran pidana yang sering terjadi dan tercatat di Pengadilan

Negeri Ambon adalah58, mengoperasikan kapal penangkapan ikan

berbendera asing di ZEEI tidak dilengkapi Surat Ijin Penangkapan

Ikan, penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai,

pengangkutan ikan tidak memiliki Surat Keterangan Berlayar dari

Syahbandar perikanan dan melanggar ketentuan persyaratan atau

standard operasional penangkapan ikan.

Selain itu, kegiatan pengawasan sumber daya perikanan

terutama di laut, pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan juga dilakukan oleh TNI-AL, Bakamla dan

Polair, yang dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing

56 Ibid. 57 Op. Cit., Stefanus Stanis, hal. 24. 58 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon dalam Kegiatan

Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

35

instansi ataupun melalui operasi bersama (tetapi jarang terjadi)59.

Persoalan yang terjadi di lapangan adalah kendala sarana kapal

pengawas/patrol yang tidak memadai, baik kapasitas, jarak jelajah

dan sudah usangnya kapal patrol tersebut. Luasnya perairan di

Indonesia ini, termasuk di dalamnya Maluku, dengan keterbatasan

sarana yang ada pengawasan tersebut belum maksimal untuk

menjangkau perairan di wilayah tersebut.

Guna menunjang kegiatan pengawasan oleh instansi terkait,

dengan keterbatasan yang telah disebutkan di atas peran serta

masyarakat sebagai pengawas terhadap wilayah dan kekayaan

sumber daya perikanan di wilayah tangkap mereka, masyarakat

nelayan dapat berpartisipasi dan aktif memberikan informasi di

lapangan jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal

nelayan asing ataupun lokal (nelayan lokal di kepulauan Maluku

ataupun nelayan berbendera Indonesia yang sedang melakukan

penangkapan ikan di kawasan Maluku).

Pelibatan masyarakat dalam pengawasan tentu menjadi hal

yang krusial dan penting diikutsertakan terutama dalam

pembahasan-pembahasan program pemerintah yang terkait dengan

nelayan. Bantuan kapal dari pemerintah misalnya, disesuaikan

dengan kebutuhan nelayan lokal dan diberikan sesuai data nelayan

yang benar-benar membutuhkannya, alih-alih bantuan malah jatuh

kepada orang atau kelompok orang yang bukan nelayan, akibatnya

kapal bantuan tidak dapat digunakan dengan maksimal.60

Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan, kebutuhan

program terletak pada pengambilan keputusan menyangkut

kebutuhan terpenting bagi mereka sesuai dengan perubahan kondisi

lingkungan dan perubahan sosial, ini berkaitan dengan ketahanan

adaptasi nelayan terhadap persoalan-persoalan tertentu yang

berhubungan dengan persoalan pesisir ketidakpastian hasil

tangkapan serta kerusakan lingkungan/ sumberdaya perikanan yang

menyebabkan penurunan hasil tangkapan mereka.

59 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.

60 Diskusi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

36

6. Penegakan Hukum

Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak

pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di

dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap

tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup.61

Menurut pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo, penegakan

hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide yang

adalah pula sebagai hakekat penegakan hukum.62 Dalam

pemahaman umum, penegakan hukum adalah menerapkan dan/atau

menjalankan perintah/larangan yang telah dirumuskan dalam

undang-undang atau hukum positif suatu negara. Mewujudkan apa

yang telah dirumuskan menjadi kaidah perundang-undangan itulah,

sebuah kerja penegakan hukum.63

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan

perundang-undangan, namun dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu:64

a. Faktor hukumnya itu sendiri yang mencakup peraturan

perundang-undangan.

Penegakan hukum terhadap undang-undang dapat terganggu

karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,

belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan

untuk menerapkan undang-undang, dan ketidakjelasan arti

kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan

kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan

peranan (role) dan sebagaimana halnya dengan warga

masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan

61 Soerjono Soekanto, “Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum”, Makalah pada Seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta, 1979.

62 Satjipto Rahardjo, Masalah penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis, Bandung: CV. Sinar Baru, hal. 15.

63 Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Laporan Penelitian “Penegakan Hukum Pidana Illegal Fishing”, Jakarta, 2012, hal. 79.

64 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal 8.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

37

dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil,

bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik

(status conflict dan conflict of roles).

Selain itu, dalam penegakan hukum diskresi menjadi sangat

penting, oleh karena:

1) Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian

lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku

manusia.

2) Adanya kelambatan untuk menyesuaikan perundang-

undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam

masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian.

3) Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan

sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-

undang.

4) Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan

penanganan secara khusus.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum.

Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga

mausia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,

peralatan yang memadai, keuangan yang cukup.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan

untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena

itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat

mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Seorang penegak

hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan

masyarakat yang ada di lingkungan tersebut, beserta tatanan

status/kedudukan dan peranan yang ada. Selain itu, hal lain

yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-

lembaga sosial yang hidup, serta yang sangat diharagai oleh

bagian terbesar warga masyarakat setempat.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan

hidup.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

38

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-

nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang

merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang

dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk

(sehingga dihindari).

B. Kajian terhadap Asas/Prinsip Dalam RUU Perikanan

Dalam penyelenggaraan perikanan di Indonesia terutama bagi

semua warga masyarakat termasuk Pemerintah yang

menyelenggarakan perikanan harus berlandaskan asas-asas sebagai

berikut:

1. Asas manfaat.

Pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan

serta manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran

dan kesejahteraan rakyat.

2. Asas keadilan.

Pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluang dan

kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga

tanpa kecuali.

3. Asas kebersamaan.

Pengelolaan perikanan dilakukan secara bersama-sama oleh

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, nelayan, nelayan kecil,

pembudidaya ikan, pembudidaya ikan kecil, masyarakat, dan

pihak lain yang terkait pengelolaan perikanan.

4. Asas kemandirian.

Kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Ikan dari

dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan

Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan

memanfaatkan potensi sumber daya Perikanan secara

bermartabat.

5. Asas pemerataan.

Pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata,

dengan memperhatikan pelaku utama perikanan yaitu nelayan,

nelayan kecil, pembudi daya ikan, pembudidaya ikan kecil, dan

petambak garam.

6. Asas keterpaduan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

39

Pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu

sampai hilir dalam upaya meningkatkan produktivitas dan

efesiensi.

7. Asas keterbukaan.

Pengelolaan perikanan dilakukan dengan ketersediaan akses

informasi dan memberikan informasi oleh masyarakat, asas

keterbukaan diperlukan karena pengelolaan perikanan tidak

dapat dilakukan secara sepihak yang melibatkan hanya satu

instansi namun harus didukung oleh semua instansi serta

pengawasannya dilakukan oleh masyarakat.

8. Asas efisiensi.

Pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat,

terkonteksi (pendistribusian/pemasaran hasil pengolahan ikan)

dan berdaya saing maksimal, untuk masalah efisiensi dalam

pengelolaan perikanan sebenarnya sudah tercakup di dalam asas

keterpaduan diatas, namun keterpaduan tidak dapat dilepaskan

dari efisiensi.

9. Asas kelestarian lingkungan.

Pengelolaan perikanan dilakukan dengan cara memperhatikan

aspek kelestarian lingkungan, baik secara nasional ataupun

internasional, hal ini termasuk dalam kaidah pokok perikanan

yakni Code Of Conduct For Responsible Fisheris (CCRF) yang

didalamnya menyatakan bahwa negara harus memberlakukan

pendekatan terhadap konversi pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya ikan serta negara harus dapat mengembangkan alat

penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan, dan

memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.

10. Asas pembangunan yang berkelanjutan.

Pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana, terpadu dan

mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan

masyarakat dengan mengutamakan kelestarian lingkungan

hidup untuk masa kini dan masa depan baik secara Nasional

dan Internasional.

11. Asas kearifan lokal.

pengelolaan perikanan dilakukan dengan cara memperhatikan

aspek kearifan lokal/budaya lokal setempat baik cara

penangkapan ikan dan pengolahan ikan, yang mampu

PUSAT PUU B

K DPR R

I

40

meningkatkan kesejaheraan dari pelaku utama perikanan yaitu

nelayan, nelayan kecil, pembudi daya ikan, pembudidaya ikan

kecil, dan petambak garam.

12. Asas kedaulatan.

Negara Indonesia sebagai negara kepulauan melakukan

pengelolaan perikanan dalam bentuk perlindungan dan

pengawasan terhadap sumber daya laut khususnya perikanan

terhadap penangkapan ikan secara illegal oleh warga asing

dan/atau perusahaan asing dengan tujuan mewujudkan sumber

daya laut yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi kesejahteraan

rakyat.

C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada,

serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat

1. Ruang Lingkup

Lingkup pengaturan di UU Perikanan saat ini lebih

menitikberatkan kepada perikanan tangkap, adapun perikanan

budidaya sampai saat ini pengaturannya masih dirasa belum

komprehensif. Secara umum, UU Perikanan belum banyak mengatur

tentang perikanan budidaya. Di antaranya, belum diatur mengenai

pemanfaatan wilayah pesisir antara industri budidaya dengan

masyarakat lokal yang menggunakan ruang yang sama untuk

kegiatan penangkapan dan aktivitas lain. Belum ada ketentuan

tentang kepemilikan pulau-pulau kecil oleh perorangan atau

korporasi untuk kepentingan budidaya, yang tidak merugikan

kepentingan masyarakat lokal.

Selain itu beberapa substansi yang belum terakomodir adalah

mengenai tata ruang ruang bagi pembudidaya perikanan agar tidak

terjadi pencemaran dan perebutan lahan petambak yang mencakup

perikanan lahan petambak dan pesisir; belum adanya kebijakan yang

jelas mengenai roadmap riset-riset strategis dibidang rekayasa

teknologi budidaya; pembinaan dan penguatan ekonomi masyarakat

pesisir melalui pengembangan usaha budidaya laut termasuk

pemberian pelatihan teknologi budidaya terapan dan pelatihan

manajemen keuangan; akses permodalan/pembiayaan bagi

pembudidaya; sertifikasi kompetensi para pembudidaya ikan; dan

kewenangan pemerintah dan/atau pemerintah daerah terkait

PUSAT PUU B

K DPR R

I

41

pengelolaan perikanan budidaya, pembagian tugas dan tanggung

jawab antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana

amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah. Belum adanya pengaturan mengenai perijinan budidaya

perikanan yang dilaksanakan di atas 3 mil laut (budidaya tuna) dan

tidak melintasi wilayah kabupaten lainnya, karena sesuai UU 23

Tahun 2014 batas kewenangan kabupaten/kota adalah 2 mil laut,

sementara kewenangan Provinsi jika usaha perikanan budidaya

tersebut lintas kabupaten/kota.

2. Wilayah Pengelolaan Perikanan

Wilayah pengelolaan perikanan dalam UU Perikanan belum

mengakomodir ketentuan mengenai pengelolaan perikanan tangkap

dan perikanan budidaya di wilayah perairan umum sehingga

kedepannya perlu ditambahkan mengenai wilayah pengelolaan

perikanan di perairan umum.

Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Perikanan diketahui

bahwa nelayan kecil bebas melakukan penangkapan ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dan hal ini dapat

menimbulkan potensi konflik antara nelayan lokal dan nelayan

pendatang dalam melakukan pengelolaan perikanan. Persoalan lain

yang sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan yaitu dimana

terdapat nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan di wilayah

territorial pada waktu tertentu padahal jika melihat ketentuan dalam

UU Perikanan diketahui bahwa nelayan asing hanya dapat

melakukan penangkapan ikan di ZEEI.

Permasalahan mengenai pengelolaan perikanan di wilayah

perairan Indonesia oleh nelayan asing, maka kedepannya perlu

pengaturan pembatasan yang ketat bagi nelayan asing yang

melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia dan juga

sanksi yang tegas bagi nelayan asing yang tetap melakukan

penangkapan ikan di wilayah yang bukan wilayah penangkapannya

agar sumber daya perikanan yang seharusnya diperuntukan untuk

memajukan kesejahteraan rakyat dapat dimanfaatkan secara

maksimal untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan

meningkatkan kesejahteraan nelayan serta masyarakat indonesia.

Permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya ikan yaitu tumpang

PUSAT PUU B

K DPR R

I

42

tindih pemanfaatan lahan yang terus terjadi sebagai akibat dari

belum optimalnya penyusunan tata ruang dan pengendaliannya,

akibat belum sinkronnya peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah

(RTRW) antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Diharapkan jika peta

Rencana Tata Ruang dan Wilayah sudah sinkron maka tidak akan

terjadi pemanfaatan lahan baik untuk nelayan pembudidaya maupun

nelayan perikanan tangkap.

3. Usaha perikanan

a. Akses Kapal Asing

Akses kapal asing yang dapat menangkap ikan di wilayah

perairan Indonesia ditengarai banyak merugikan kepentingan Negara

dan nelayan Indonesia. Kondisi inilah yang menyebabkan

dikeluarkannya kebijakan moratorium untuk kapal ikan asing.

Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri KP Nomor:

56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium)

Perizinan Usaha Perikanan Tangkap Di WPPNRI pada bulan

November 2014 memang ada fenomena menarik terkait dengan

kondisi perikanan di beberapa wilayah Indonesia.

Moratorium di satu sisi memberikan dampak positif dimana

potensi ikan di wilayah perairan Indonesia meningkat cukup tinggi

sehingga para nelayan kecil dan nelayan tradisional mendapatkan

kemudahan mendapatkan hasil tangkapan ikan di wilayah yang tidak

terlalu jauh ke tengah laut. Di sisi lain, moratorium menyebabkan

turunnya pendapatan daerah dari sektor perikanan mengingat

turunnya jumlah kapal yang mengajukan izin penangkapan dan

pengangkutan.

Moratorium hakikatnya hanya terkait usaha perikanan yang

berasal dari ikan yang ditangkap di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

(ZEEI) sebagai wilayah yang diizinkan menjadi wilayah operasional

dari kapal-kapal asing dan eks asing yang merupakan kapal dengan

ukuran besar.

Mekanisme penangkapan ikan di dalam Zona ZEEI dilakukan

berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa usaha perikanan

di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPPNRI)

hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau

badan hukum Indonesia (ayat 1). Kondisi ini dikecualikan kepada

PUSAT PUU B

K DPR R

I

43

orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan

ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara

Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau

ketentuan hukum internasional yang berlaku (ayat 2).

WPPNRI merupakan WPP untuk kegiatan penangkapan ikan,

konservasi, penelitian dan pengembangan, yang meliputi : perairan

pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan

ZEEI

Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United

Nation on The Low of The Sea/Unclos) Indonesia harus dapat

menetapkan kemampuannya dalam memanfaatkan sumberdaya ikan

di ZEEI. Bila belum memiliki kemampuan untuk memanfaatkan

seluruh jumlah tangkapan yang dibolehkan, maka berilah

kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan surplus

sumberdaya ikan yang ada di ZEEI melalui perjanjian dan ketentuan

yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia.

b. Pengelolaan dan Pemasaran hasil perikanan

Dalam hal pengelolaan dan pemasaran hasil perikanan belum

ada suatu master plan atau perencanaan yang terpadu baik yang

berlaku nasional maupun tiap daerah yang disesuaikan dengan

kondisi, potensi, dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing

daerah. Besarnya potensi dan hasil tangkap maupun budidaya

perikanan tidak akan cukup menghidupi nelayan dan memajukan

masyarakat nelayan dan sekitanya jika aspek pengolahan dan

pemasaran hasil perikanan belum ditata dengan baik.

Terdapat banyak kendala atau hambatan yang dihadapi dari

aspek pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang harus segara

dibenahi dan ditanggulangi seperti: banyaknya kegaitan

penyelundupan; kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan

pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan

standar mutu produk secara internasional (seperti HACCP,

persyaratan sanitasi, dll); lemahnya kemampuan pemasaran produk

perikanan karena lemahnya market intelegence (penguasaan

informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera konsumen),

serta belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi

dan komunikasi untuk mendukung distribusi produk perikanan dari

PUSAT PUU B

K DPR R

I

44

produsen ke konsumen secara tepat waktu; terbatasnya sarana dan

prasarana pemasaran (bangunan pasar, TPI); lemahnya koordinasi

antara unsur terkait; terbatasnya kebijakan tentang kredit murah

dan lunak bagi nelayan; sistem hukum dan kelembagaan perikanan

yang masih Lemah; iklim usaha yang belum kondusif (seperti adanya

berbagai pungutan dan proses perizinan yang masih birokratis;

lemahnya posisi tawar nelayan, pembudidaya dan pengolah rendah

terhadap pasar/penjual (keterikatan kepada pengijon); tidak stabilnya

harga-harga faktor produksi; belum optimalnya sertifikasi produk;

sentra produksi yang tersebar sehingga sulit mencapai skala

ekonomi; dan harga BBM yang mahal.

4. Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan

Sistem informasi dan data statistik perikanan merupakan hal

yang sangat penting dalam bidang perikanan. Data dan informasi

yang akurat dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan untuk

perencanaan pembangunan, penentuan kebijakan, dan indikator

dalam menilai keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan.

Selanjutnya, data statistik dan informasi perikanan yang telah

disusun dan dikembangkan oleh pemerintah dipublikasikan kepada

para pelaku usaha perikanan sehingga mereka dapat menata dan

mengelola usaha perikanan dengan baik.65

Data dan informasi statistik perikanan tangkap, selama ini

didapat berdasarkan mekanisme pelaporan oleh Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten/Kota secara periodik per 3 tiga bulan

(triwulan). Data statistik tersebut selanjutnya akan divalidasi

ditingkat provinsi, untuk selanjutnya akan divalidasi ditingkat

nasional untuk memastikan bahwa data yang diperoleh tersebut

sudah sesuai dengan metode yang dipergunakan, dan merupakan

data yang berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan, namun

disatu sisi kelemahannya tidak ada sistem pertukaran data antar

provinsi bertetangga sehingga tingkat eksploitasi Wilayah Pengelolaan

Perikanan (WPP) tidak diketahui secara akurat.66

65 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.

66 Ibid.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

45

Saat ini ada satu sistem informasi dan data statistik perikanan

yang dapat digunakan untuk mengetahui sumber ikan yaitu Sistem

Informasi Geografis (SIG) telah diaplikasikan dalam konsep penetapan

potensi lahan untuk budidaya perikanan maupun dalam kegiatan

penangkapan ikan di laut. SIG memerlukan suatu sistem basis data

spatial (keruangan) dan basis data non spasial (atribute).

Penyerbaluasan informasi dan data statistik kepada nelayan melalui

sistem informasi berbasis komputer di pelabuhan perikanan, TPI, dan

sentra penyuluhan.67 Untuk itu perlu diperbaharui setiap 2 (dua)

tahun terutama mengenai potensi perikanan. Untuk data hasil

tangkap dan data lainnya sudah bisa diakses secara online setiap

harinya.68 Walaupun data statistik perikanan di Indonesia sudah

tersedia namun belum dapat diakses dengan mudah, selain itu

banyak data yang jika dikaji lebih dalam terlihat jauh dari

kebenarannya. Dengan demikian sulit dijadikan dasar pengambilan

keputusan/kebijakan atau untuk kepentingan ilmiah. Banyak

industri penangkapan yang memberikan data daerah penangkapan

yang tidak sesuai.69

Terdapat hambatan dalam pengembangan sistem dan

informasi perikanan adalah terbatasannya tenaga atau personel di

lapangan guna melakukan pengumpulan data, terbatasnya dana

operasional untuk pengambilan data, perubahan desa sampel yang

dijadikan lokasi budidaya ikan yang tidak sesuai.70 Data tangkapan

oleh industri penangkapan belum dapat didata dengan benar. Masih

ada informasi yang belum terekam dari semua kapal sesuai keadaan

sebenarnya. Di sisi lain belum ada sanksi bagi industri penangkapan

67 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Kalimantan Selatan, 12-17 September 2016.

68 Diskusi dengan Pelabuhan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Kalimantan Selatan, 12-17 September 2016.

69 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.

70 Diskusi Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Kalimantan Selatan, 12-17 September 2016.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

46

yang tidak memberikan informasi dengan benar.71 Sistem informasi

dan data statistik perikanan yang diperoleh di pelabuhan perikanan

adalah dengan menggunakan instrumen Log Book Penangkapan, yang

memuat infomasi tentang jumlah volume dan jenis hasil tangkapan,

daerah penangkapan, serta kebutuhan logistik.72

Di Provinsi Kalimantan Selatan juga terkait dengan sistem

informasi dan data statistik perikanan yang dapat digunakan untuk

mengetahui keberadaan dan jumlah hasil tangkapan pada tiap

pelabuhan saat ini belum ada, karena penangkapan ikan di laut

Provinsi Kalimantan Selatan lebih bnyak dilakukan oleh nelayan dari

luar Jawa, sehingga ikan-ikan tersebut selanjutnya dibawa ke

pelabuhan di Jawa. Adapun hasil perikanan di oleh nelayan Provinsi

Kalimantan Selatan banyak yang tidak dilakukan penjualannya

dipelabuhan perikanan, sehinga potensi maupaun hasil tangkap

perikanan yang ada di wilayah laut Provinsi Kalimantan Selatan sulit

untuk didata.73 Data dan informasi juga penting bagi pendataan

jumlah nelayan secara benar dan terkini, serta perlu dilakukan

sensus Perikanan yang dilaksanakan minimal 10 tahun sekali sebagai

database tindakan selanjutnya.74

5. Pungutan Perikanan

Dalam UU Perikanan, pungutan perikanan dikenakan kepada

setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya

ikan namun pungutan ini tidak dikenakan kepada nelayan dan

pembudidaya ikan kecil. Namun dengan dikeluarkannya UU Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mana perizinan

usaha perikanan hanya terdapat di Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah. Perizinan mengenai pengelolaan ruang laut diatas 12 mil

dilakukan oleh Pemerintah Pusat sedangkan untuk perizinan

pengelolaan ruang laut dibawah 12 mil dilakukan oleh Pemerintah

Provinsi. Terkait pengelolaan perikanan dan perizinan pendaftaran

serta pendaftaran kapal diatas 30 GT dilakukan oleh Pemerintah

71 Ibid. 72 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit. 73 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung

Mangkurat, Loc. Cit. 74 Diskusi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Provinsi Kalimantan

Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 12-17 September 2016.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

47

Pusat sedangkan untuk kapal dibawah 30 GT dilakukan oleh

pemerintah provinsi. Dengan ditariknya perizinan ke Pemerintah

Pusat, maka Pemerintah Daerah tidak mendapatkan bagi hasil yang

adil, karena pungutan yang seharusnya diambil ketika mengurus

perizinan pengelolaan perikanan saat ini hanya dilakukan oleh

Pemerintah Provinsi untuk pemanfaatan perikanan di bawah 12 mil.75

Jika melihat pada praktiknya tidak dapat dipungkiri terdapat pula

nelayan yang melakukan pemanfaatan perikanan di wilayah

kabupaten/kota, namun dengan adanya ketentuan ini pemerintah

kabupaten/kota tidak mendapatkan bagi hasil apapun.

Di samping itu dalam Pasal 14 huruf d UU Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dikatakan

bahwa “Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi

dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80%

(delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota”. Pembagian

80% dari penerimaan negara disektor perikanan dibagikan dengan

porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota seluruh Indonesia

sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan

adanya frasa ini maka daerah penghasil sumber ikan terbesar tidak

mendapatkan bagi hasil yang adil karena bagi hasilnya tersebut juga

dibagi ke daerah yang tidak memiliki sumber daya perikanan.

Sehingga banyak daerah yang memiliki sumber daya ikan yang

melimpah yang masih kekurangan dan tidak sejahtera dengan bagi

hasil seperti ini. Dengan Perizinan kapal diatas 30 GT dilakukan oleh

Pemerintah Pusat maka pemerintah kabupaten/kota hanya menarik

retribusi dari nelayan.76 Jadi dapat dikatakan bahwa pemasukan bagi

pemerintah daerah dalam sektor perikanan hanya didapat dari bagi

hasil dari sektor perikanan yang sama rata dengan provinsi lain di

seluruh Indonesia dan juga retribusi yang dikenakan bagi nelayan.

Provinsi Maluku memiliki peraturan mengenai retribusi yang

diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 15 Tahun

2013 tentang Retribusi Perizinan Tertentu. Dalam Perda tersebut

75 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.

76 Ibid.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

48

dijelaskan mengenai subjek dan objek yang dikenai retribusi

perikanan. Selain itu dalam Perda Retribusi Perizinan tertentu juga

diatur sanksi administratif dan sanksi pidana yang dikenakan bagi

wajib retribusi yaitu orang pribadi atau badan yang menurut

peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk

melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau

pemotong retribusi tertentu.77

Mekanisme pungutan saat ini sudah berjalan dengan baik,

namun perlu kontrol dan sanksi hukum yang jelas. Terkait

penentuan dana bagi hasil dari pungutan sesuai yang diatur dalam

Pasal 48-51 sejauh ini belum diberikan ke nelayan, karena

peruntukannya sesuai Pasal 50 bukan untuk nelayan tetapi untuk

konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan. Namun jika penentuan

bagi hasil yang dimaksud dalam pertanyaan ini adalah dalam kaitan

dengan upah yang diterima sebagai seorang nelayan/tenaga

kerja/buruh berdasarkan beban kerja, belum terlalu adil bagi

nelayan. Dalam banyak jurnal hasil penelitian diketahui salah satu

sumber kemiskinan nelayan adalah sistem bagi hasil yang diterapkan

belum berpihak kepada nelayan kecil.78

Menurut Pelabuhan Perikanan Nusantara sampai sejauh ini

tidak ada kendala mengenai pungutan perikanan, karena pungutan

pengusahaan perikanan baru atau perubahan serta pungutan hasil

perikanan atas izin penangkapan ikan dan/atau kapal operasi

penangkapan ikan baru atau perpanjangan ditangani oleh Pusat

(DJPT), sedangkan yang ditangani oleh pelabuhan perikanan adalah

jasa pelabuhan perikanan yang mana tarifnya berdasarkan PP Nomor

75 Tahun 2015 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara

bukan pajak yang berlaku pada kementerian kelautan dan perikanan.

Kedepannya diharapkan pungutan hasil perikanan ditangani oleh

pelabuhan perikanan dimana izin kapal tersebut dikeluarkan.79

Beberapa kendala dalam pengembangan sektor perikanan

tangkap di Provinsi Kalimantan Selatan terkait dengan pungutan

77 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit. 78 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Pattimura, Provinsi Maluku, Loc Cit. 79 Diskusi dengan Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Kegiatan

Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

49

salah satunya adalah tidak adanya kebijakan pemerintah yang

memberikan kepastian usaha, hal ini lebih diperlemah dengan

berlakunya sistim otonomi daerah muncul pungutan berganda yaitu

pungutan yang ada di pusat dan didaerah (Pemda). Pungutan-

pungutan tersebut sering menjadi keluhan bagi pengusaha yang

terjun ke bisnis perikanan laut. Sebagai contoh untuk 1 unit kapal,

harus membayar yang disebut Pungutan Pengusaha Perikanan (PPP)

yang dihitung berdasarkan gross ton (GT) kapal. Per kapal minimum

bisa kena Rp 10 juta. Setelah membayar PPP baru pengusaha

mengantongi Izin Usaha Perikanan (IUP). Sementara untuk

memperoleh Surat izin Perusahaan (SIP) pengusaha terlebih dahulu

harus membayar pungutan hasil penangkapan (PHP). Hitungannya

berdasarkan GT kapal dikali produktivitas tangkapan dikali 2,5%,

lalu dikali lagi harga patokan jenis ikan. Belum lagi harus mengurus

surat lain dari instansi perhubungan laut, pihak keamanan, dan

instansi lain. Sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya biaya

tingga (high cost) dalam perekonomian dan menyebabkan

menurunnya daya saing dan produktivitas sektor perikanan tangkap.

Sementara di daerah, hal yang sama akan terjadi, dimana seorang

pengusaha harus membayar pungutan yang ditetapkan Pemerintah

daerah. Misalnya, pungutan 2% dari harga ikan paling tinggi. Kalau

sekali mendarat kapal membawa 10 ton hasil tangkap. Dimana 2 ton

udang dan sisanya ikan biasa. Maka pungutan 2% dihitung dengan

menganggap 10 ton itu harga udang karena harga udang yang paling

mahal. Kendala lainnya, adalah harga kapal yang mahal. Untuk kapal

di atas 30 GT minimal harganya Rp 1 miliar. Harga tersebut buat

kelompok nelayan jelas tidak akan terjangkau, kecuali ada kredit dari

bank. Namun, pihak bank banyak yang enggan mengucurkan kredit

untuk pembelian kapal ikan. Kalau pun ada yang mau memberikan

kredit kepada kelompok nelayan, bank biasanya meminta jaminan.

Sementara nelayan tidak memiliki jaminan kecuali kapal dan hasil

tangkapan. Disisi lain bank tidak menerima jaminan berupa kapal.

Dengan kondisi seperti itu, sulit rasanya mendongkrak jumlah kapal

berukuran 30 GT keatas tanpa ada dukungan dari bank.80

80 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Loc. Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

50

6. Penelitian dan Pengembangan Perikanan serta Pendidikan,

Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan

Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Maluku

diperuntukkan sebagai wilayah untuk kegiatan penangkapan ikan,

konservasi, penelitian dan pengembangan. Selalu ada penelitian yang

dilakukan di Maluku oleh lembaga-lembaga terkait di pusat tetapi

hasilnya jarang disampaikan kepada daerah. Hasil dari suatu

kegiatan penelitian dan pengembangan di suatu wilayah seharusnya

dapat dijadikan bahan acuan dalam perencanaan pembangunan dan

penentuan kebijakan di bidang perikanan. Bentuk pendidikan,

pelatihan, dan penyuluhan perikanan di Maluku salah satunya

melalui program magang nelayan penerima paket ke Balai

Penangkapan Ikan di Tegal. Selain itu juga dilakukan pelatihan

berupa perbaikan dan perawatan mesin kapal, dan pelatihan

manajemen usaha perikanan.81

Adapun beberapa kendala dan hambatan dalam penerapan

teknologi, yaitu:

a. Penerimaan dan pemahaman teknologi bagi pelaku utama/pelaku

usaha merupakan bagian dari proses edukasi dan adaptasi

teknologi. Mereka diyakinkan dengan bukti (termasuk insentif)

bukan sebatas ujicoba.

b. Berbagai upaya dalam menghasilkan teknologi akan menjadi tidak

berarti jika tidak diikuti dengan usaha menyebarluaskannya. Di

sisi lain diseminasi bukan hanya semata-mata menyebarkan

informasi, namun juga menjadi media dalam memperoleh umpan

balik untuk perencanaan penelitian dan diseminasinya serta

sebagai bahan masukan bagi penentu kebijakan.

c. Di bidang sumber daya manusia, jumlah peneliti dan perekayasa

sebagai penghasil teknologi dan jumlah penyuluh sebagai tenaga

pendamping teknologi di masyarakat masih sangat minim

dibandingkan dengan negara-negara maju.

d. Keterkaitan yang erat antara unsur peneliti, penyuluh, pelatih dan

masyarakat kelautan dan perikanan sangat diperlukan dalam

upaya mempercepat proses adopsi teknologi, dimana penyuluh dan

pelatih berperan sebagai jembatan antara peneliti dan masyarakat.

81 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

51

Teknologi yang dihasilkan oleh peneliti akan disalurkan oleh

penyuluh dan pelatih kepada masyarakat sebagai adopter. Oleh

karena itu, diperlukan suatu usaha agar ada link antara sumber

teknologi, penyampai teknologi dan pengguna teknologi agar

penyampaian teknologi dapat dilakukan secara informatif, aplikatif

dan efektif. Link tersebut dapat berupa kegiatan yang dapat

mempertemukan keempat unsur tersebut (peneliti-

penyuluh/pelatih-masyarakat) guna terjadi komunikasi dan tukar-

menukar pengalaman dalam penerapan teknologi.

7. Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan (Otonomi Daerah)

Terkait apakah substansi di dalam UU Perikanan dan UU No.

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah sinkron, pada

bidang kelautan yang semula kewenangan dibagi antara Pemerintah

Pusat, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/ Kota, kini hanya diberikan kepada Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah Propinsi. Kewenangan Kabupaten/Kota yang

hilang diantaranya adalah pelaksanaan kebijakan, penataan ruang

laut, pengawasan dan penegakan hukum, koordinasi pengelolaan dan

pemanfaatan, dan perizinan (kecuali ijin usaha perikanan). Untuk itu

hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah kewenangan dalam

mengatur tata ruang perikanan dan pengelolaan perikanan berbasis

masyarakat/kearifan lokal.82

Selain itu hambatan terkait pelaksanaan otonomi daerah

adalah masih dirasa belum terjadi sinkronisasi antara peraturan

dengan teknis pelaksanaan, hal ini terlihat dari beberapa hal yaitu;

(a) Provinsi mengawasi laut secara keseluruhan sementara sarana,

prasaran dan koordinasi dengan kabupaten/kota tidak tersedia

cukup baik; (b) kelembagaan pengawasan wilayah laut masih lemah

terlihat dari armada dan jumlah personil; (c) terjadi disharmonisasi

dengan peraturan daerah. Disamping itu, dalam sektor perikanan

budidaya masih terdapat perumusan yang masih belum sinkron yaitu

masalah pengelolaan areal pembudidayaan lintas kabupaten/kota

yang masih belum jelas contohnya pengelolaan induk (grandparent

stock) yang merupakan wewenang provinsi ternyata dimiliki pula oleh

82 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Loc. Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

52

pemerintah kabupaten/kota sehingga menimbulkan tumpang tindih

kewenangan. Untuk sektor perikanan tangkap sendiri, lahirnya UU

Pemda memberikan kemudahan bagi nelayan dan pelaku perikanan

tangkap untuk melakukan pendaftaran serta memperoleh perizinan

terpadu satu pintu agar SIUP dan SIKPI yang diperlukan dalam

kegiatan perikanan tangkap dapat dilaksanakan.83

Terkait dengan wacana pembentukan lembaga khusus yang

menangani masalah pengelolaan perikanan, grand desain wilayah

pengelolaan perikanan di kawasan pulau-pulau kecil dan terluar

(PPKT). Pembentukan lembaga khusus tidak begitu diperlukan, tetapi

hal ini menjadi tanggungjawab bersama untuk menjaga keutuhan

NKRI termasuk upaya mensejahterakan masyarakat didalamnya. 84

Dalam rangka otonomi daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi Maluku memberi usulan sebagai berikut:85

a. Penguatan urusan pemerintahan terutama substansi terkait

dengan perikanan budidaya yang dirasa masih kurang diatur

secara komprehensif bila dibandingkan dengan perikanan tangkap,

walaupun penyerahan urusan pemerintahan antara Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan 45 Tahun 2009 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan telah sinkron dan sinergi.

b. Penguatan regulasi terkait dengan alokasi anggaran DAU dan DAK

pada Provinsi Maluku yang bercirikan kepulauan dengan wilayah

administrasi yang sebagian besar terdiri dari laut (92,4%),sehingga

pemerataan pembangunan disektor perikanan di Provinsi Maluku

mampu optimal dari hulu hingga hilir, khususnyauntuk perikanan

tangkap, perikanan budidaya sampai pengolahan dan pemasaran

yang masih banyak hambatan/kendala.

c. Tindak lanjut yang serius terhadap dukungan anggaran

Pemerintah Pusat yang telah mencanangkan Provinsi Maluku

sebagai “Lumbung Ikan Nasional” oleh Presiden RI pada waktu

yang lalu. Hal ini mengingat pengelolaan sumberdaya kelautan dan

perikanan di Provinsi Maluku belum optimal jika hanya

83 Diskusi Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan, Loc. Cit.

84 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Loc. Cit.

85 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Maluku, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

53

mengandalkan dari Badan Pengelola Lumbung Ikan Nasional

Provinsi Maluku saja.

d. Perluasan kewenangan Pemerintah Provinsi dalam mengelola

sumberdaya kelautan dan perikanan dari 12 mil diukur dari garis

pantai menjadi 24 mil.

e. Kewenangan penerbitan izin (baru) sebaiknya tidak terbatas sampai

dengan 30 GT, tapi sampai dengan 60 GT. Perluasan kewenangan

penerbitan ijin oleh Gubernur saja, sehingga para nelayan tidak

perlu lagi mengurus izin ke Jakarta ( > 30 GT – 60 GT).

f. Segala perijinan yang berasal dari Pemerintah Pusat ataupun

daerah, agar mengacu atau berdasarkan rekomendasi Gubernur,

seperti Konservasi.

g. Komoditas ikan yang akan diekspor melalui daerah lain, agar

memperhatikan daerah produsen sehingga daerah penghasil

mendapat bagian atau perhatian khusus.

h. Kewenangan melakukan pendataan pesisir dan pulau-pulau kecil

yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada

Pemeritah Kabupaten/Kota.

i. Pembagian kewenangan yang tidak seimbang dapat

menurunkan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) dan juga

ketika terjadi masalah di daerah yang kebijakannya ditangani

oleh Pusat tidak bisa diselesaikan secara cepat.

j. Perlu pola hubungan dan pembagian kewenangan yang tepat

antara Pemerintah Pusat dan Daerah agar dapat dihindari

fenomena atau ekses buruk akibat ketimpangan hubungan dan

pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah, dengan

memasukkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,

demokratis dan terpercaya.

Selain itu, Universitas Patimura Provinsi Maluku juga

memberikan usulan sebagai berikut:86

a. Perlu penguatan kewenangan kearifan lokal budaya sasi, adat yang

telah dilakukan masyarakat setempat dalam mengelola

sumberdaya perikanan secara turun temurun dari nenek

moyangnya,baik melalui moratorium aspek kawasan, aspek jenis

komoditas maupun aspek alat tangkap, sehingga masyarakat lokal

86 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas, Pattimura Provinsi Maluku, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

54

dapat sejahteradampak kebijakan pembagian kewenangan yang

dikeluarkan.

b. Perlu ada pengaturan kewenangan mengenai jalur penangkapan

ikan bagi para nelayan asli dan pendatangyang akan melakukan

penangkapan ikan di daerah tertentu, agar tidak terjadi konflik

diantara nelayan.

c. Perlu ada pengaturan kewenangan yang jelas terkait dengan sistem

pengelolaan breeding dan spawning.

d. Perlu penyegaran kembali kajian mengenai stok ikan di Provinsi

Maluku, mengingat Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya

Ikan Laut belum optimal sehingga akan lebih mudah dalam

pendugaan Maximum Sustainable Yield (MSY) ikan di Provinsi

Malukuuntuk pengaturan kewenangannya.

e. Perlu ada revisi pengaturan perimbangan keuangan UU 33 Tahun

2004, agar bersifat adil bagi daerah penghasil sumberdaya ikan.

Selama ini dirasakan tidak adil dalam pembagian bagi hasil ke

pemerintah daerah. Contoh Potensi Perikanan di Kabupaten

Kepulauan Aru sangat besar, namun fasilitas perikanannya hanya

dimiliki oleh pengusaha dan belum berpihak ke

masyarakatsehingga masyarakatnya selalu miskin.

f. Perlu ada keberpihakan kepada kabupaten/kota yang mampu

mengelola sumberdaya ikan secara berkelanjutan, mengingat

dengan meningkatnya peran provinsi dalam kewenangannya, akan

berdampak kabupaten/kotakurang optimal dalam memanfaatkan

sumberdaya ikan yang ada, dan/atau mungkin bisa berakibat

makin tidak peduli atas wilayah lautnya.

g. Perlu ada pengaturan kewenangan terhadap pemanfaatan perairan

umum, waduk dan sejenisnya pada bidang perikanan budidaya

agar sejak dini lingkungan perairan tidak tercemar oleh ride tide

atau blooming algae.

h. Perlu ada tambahan pengaturan kewenangan mengenai alat

tangkap selain alat tangkap utama, yaitu alat tangkap bantu dan

tambahan. Hal ini untuk meminimalisir konflik antar nelayan di

daerah penangkapan.

8. Pengawasan Perikanan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

55

Pengawasan perikanan merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari pengelolaan perikanan, guna mendukung

terwujudnya kedaulatan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan

untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini diharapkan berdampak

terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian

perikanan.

Saat ini, terdapat sejumlah permasalahan terkait dengan

pengawasan terhadap pengelolaan sektor perikanan, yaitu:87

1. Di wilayah 12 mil laut provinsi Kalimantan Selatan masih sering

terjadi konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.

Umumnya konflik terjadi karena nelayan pendatang memasuki

wilayah tangkap nelayan lokal. Tidak dapat dipungkiri potensi

perikanan tangkap provinsi Kalimantan Selatan sebesar

339.437,3 ton yang dinilai cukup besar serta kekayaan wilayah

perairan laut yang melimpah turut mengundang nelayan

pendatang yang umumnya berasal dari pulau jawa untuk mencari

dan menangkap ikan di perairan kalimantan selatan. Hal ini

berpotensi konflik besar yang perlu untuk mendapatkan

penanganan secara tepat.

2. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti

centrang, lampaesar dan pukat yang mengancam ekosistem

lingkungan dan benih ikan ditengarai masih sering terjadi.

Kurangnya kesadaran dan pengetahuan para nelayan tangkap

menjadi akar masalah yang perlu untuk mendapatkan

penangangan baik melalui penindakan maupun sosialisasi dan

upaya preventif lainnya agar kondisi lingkungan tetap terjaga.

3. Keterbatasan sarana dan prasarana serta tenaga sumberdaya

manusia yang memadai merupakan permasalahan klasik yang

kerap terjadi. Hal ini menjadi kendala utama dalam penegakan

dan pengawasan sektor perikanan di Provinsi Kalimantan Selatan.

4. Dokumen tangkap, budidaya, pengangkutan, maupun penjualan

ikan dari dan didalam wilayah provinsi Kalimantan Selatan

maupun di luar wilayah provinsi Kalimantan Selatan yang masih

belum lengkap dimiliki oleh para pelaku usaha perikanan.

87 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

56

5. Alih fungsi wilayah perikanan menjadi perkebunan yang tidak

sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah.

6. Padat tangkap (overfishing) di perairan pantai.88

7. Di bidang perikanan budidaya, masalah peraturan tata ruang

yang sering kali dilanggar atau tidak dipatuhi tanpa ada tindakan

yang tegas dari pemerintah atau aparat penegak hukum. Bahkan

tidak sedikit aturan tata ruang diganti atau disesuaikan dengan

kepentingan pribadi atau kelompok penguasa.89

Dalam kegiatan pengawasan perikanan, instansi yang

melaksanakan pengawasan di bidang perikanan adalah Ditjen

Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), TNI AL,

Polairud, dan Pokwasmas, yang dilakukan melalui koordinasi intensif.

Terkait dengan kegiatan kegiatan pengawasan di bidang

perikanan tersebut masih terdapat beberapa masalah, antara lain:90

1. pengawasan perairan perbatasan masih lemah, keterbatasan

kapal patroli dan sistem pengawasan;

2. pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan yang masih

lemah dan belum efektif; dan

3. IUU Fishing masih terjadi, penegakan hukum/ penanganan kasus

tindak pidana perikanan masih sangat lemah

Mengingat pentingnya kegiatan pengawasan perikanan, maka

diperlukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu

antara lain:91

a) Pelaksanaan pengawasan perikanan dalam rangka tertib dan

patuh terhadap peraturan perundang-undangan, perlu

dilaksanakan baik dalam bentuk sosialisasi peraturan, maupun

uji petik dan patroli.

b) Perlu penguatan koordinasi lintas sektor pada pengawasan

perikanan yang melibatkan instansi terkait lainnya, yaitu Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Polri, TNI-AL, Satker PSDKP,

Bakamla, dan lain-lain.

88 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Loc. Cit.

89 Ibid 90 Ibid. 91 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Maluku, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

57

c) Pengaturan kewenangan petugas pengawasan perikanan terhadap

Kapal Penangkap Ikan ukuran besar perlu diperketat dan dibatasi

jumlahnya dalam rangka untuk kelestarian sumberdaya ikan.

d) Perlu ada penguatan pengaturan sistem pengawasan pengelolaan

sumberdaya kelautan dan perikananberbasis masyarakat. Hal ini

karena keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting, sebab

sarana dan prasarana pengawasan yang disediakan oleh

pemerintah terbatas, dan sudah menjadi adat budaya masing-

masing daerah sebagai wujud rasa tanggung jawab terhadap

sumber penghidupannya, seperti Awig-awig di Bali dan NTB,

Panglima Laut di Aceh, dan Sasi di Maluku.

e) Terkait dengan pengaturan mengenai pengawasan perikanan

budidaya, belum terakakomodir di UU Perikanan maupun Perda.

f) Perlu penguatan sarana prasana, peningkatan kuantitas dan

kualitas aparat SDM pengawas perikanan, dukungan anggaran

untuk biaya operasional yang memadai, keterlibatan Kelompok

Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) yang intensif mengingat hal

tersebut sudah termaktub dalam UU 45/2009 Pasal 67, serta

KEPMEN 58/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Masyarakat

dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan

Perikanan.

g) Perlu ada penguatan kewenangan yang sama dengan instansi lain

khususnya pada Polisi Air dalam melakukan patroli di perairan

dengan tidak dibatasi areanya, dan jika memungkinkan sampai di

atas 12 mil, sehingga mempunyai kekuatan hukum dalam

melakukan kegiatan pengawasan perikanan. Contohnya dalam

Pasal 66A ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengawas perikanan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan pegawai

negeri sipil yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh

menteri atau pejabat yang ditunjuk, perlu ditambah kata-kata

Polisi Air agar lebih kuat.92

h) Perlu ada pengaturan sanksi yang berat terhadap pelaku bom

ikan di RUU tentang Perikanan agar mempunyai efek jera.

Kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bom (handak)

dan zat kimia (potassium) tersebut sangat merusak ekosistem

92 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku dalam, Loc. Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

58

terumbu karang sehingga bisa berakibat kepunahan keragaman

jenis ikan atau sejenisnya. Kondisi tersebut tentu tidak boleh

dibiarkan berlarut-larut. 93

i) Perlu ada revisi terkait dengan permintaan saksi ahli yang

dihadirkan tidak harus dari pusat, namun bisa dari Provinsi

sehingga akan mempercepat proses penyidikan perkara. Selain

itu, perlu ada penambahan waktu masa penahanan di Pasal 73B,

dan Pasal 76.94

j) Perlu ada kewenangan yang lebih luas, bagi siapa saja tim

pengawas perikanan yang menangkap kapal yang terlibat IUU

Fishing untuk diteruskan atau diproses lebih lanjut hingga

penahanan.95

k) Perlu ada pengaturan yang spesifik mengenai “Operasi Bersama”

antara Bakamla, Polisi Air dan PPNS dalam melakukan kegiatan

penangkapan pelaku IUU Fishing sehingga sinergi dan efektif

serta optimal, walaupun terkadang operasi pengawasan di laut

dilakukan secara mandiri oleh masing-masing instansi. Mengingat

luasnya perairan yang harus diawasi, keterbatasn sarana kapal

pengawas/patroli dan besarnya biaya operasional kapal.96

9. Peran Serta Masyarakat

Pengaturan mengenai peran serta masyarakat di UU

Perikanan saat ini masih dirasa kurang komprehensif. Peran serta

masyarakat masih dinilai belum optimal terutama terkait pengelolaan

wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Terdapat 5 (lima)

kabupaten pesisir dan 126 desa peisir dengan jumlah penduduk

sebesar 686.956 jiwa. Potensi sumber daya manusia ini sayangnya

belum terkelola secara baik, sehingga upaya peningkatan pengelolaan

ekosistem lingkungan, sosial ekonomi, perikanan, dan pengamanan

pulau-pulau pesisir belum terlaksana dengan baik. Kedepannya

peran serta masyarakat baik secara mandiri maupun melalui

93 Ibid. 94 Ibid 95 Ibid. 96 Ibid.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

59

penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) menjadi

prioritas dalam bidang perikanan dan kelautan.97

Partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan perikanan

juga diperlukan melalui pendampingan atau penyuluhan perikanan,

yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 98

Dalam kegiatan pengelolaan perikanan, masyarakat masih

menjunjung tinggi adat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan

berkelanjutannya ketersedian ikan di daerah mereka. Keberadaan

hukum adat selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan keseharian

masyarakat.

Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pemanfaatan

sumberdaya kelautan dan perikanan menjadi sangat penting,

dikarenakan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan yang

disediakan oleh pemerintah, di lain pihak potensi sumberdaya

pengawasan di masyarakat cukup besar, dan sudah menjadi adat

budaya masing-masing daerah sebagai wujud rasa tanggung jawab

terhadap sumber penghidupannya, seperti Awig-awig di Bali dan NTB,

Panglima Lut di Aceh, dan Sasi di Maluku.

Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat, adalah merupakan

sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam

mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab.

Peran masyarakat tidak dapat dipandang sebelah mata, banyak

kasus-kasus pencurian dan perusakan terumbu karang yang

dilakukan oleh nelayan asing maupun lokal. Beberapa jenis

pelanggaran pidana yang sering terjadi adalah99: mengoperasikan

kapal penangkapan ikan berbendera asing di ZEEI tidak dilengkapi

Surat Ijin Penangkapan Ikan, penggunaan alat penangkapan ikan

yang tidak sesuai, pengangkutan ikan tidak memiliki Surat

Keterangan Berlayar dari Syahbandar perikanan dan melanggar

ketentuan persyaratan atau standard operasional penangkapan ikan.

97 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan, Loc. Cit.

98 Diskusi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Provinsi Kalimantan Selatan, Loc. Cit.

99 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

60

Selain itu, kegiatan pengawasan sumber daya perikanan

terutama di laut, pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan juga dilakukan oleh TNI-AL, Bakamla dan

Polair, yang dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing

instansi ataupun melalui operasi bersama (tetapi jarang terjadi)100.

Persoalan yang terjadi di lapangan adalah kendala sarana kapal

pengawas/patrol yang tidak memadai, baik kapasitas, jarak jelajah

dan sudah usangnya kapal patrol tersebut. Luasnya perairan di

Indonesia ini, dengan keterbatasan sarana yang ada pengawasan

tersebut belum maksimal untuk menjangkau perairan di wilayah

tersebut.

Guna menunjang kegiatan pengawasan oleh instansi terkait,

dengan keterbatasan yang telah disebutkan di atas peran serta

masyarakat sebagai pengawas terhadap wilayah dan kekayaan

sumber daya perikanan di wilayah tangkap mereka, masyarakat

nelayan dapat berpartisipasi dan aktif memberikan informasi di

lapangan jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal

nelayan asing ataupun local.

Pelibatan masyarakat dalam pengawasan tentu menjadi hal

yan krusial dan penting diikutsertakan terutama dalam pembahasan-

pembahasan program pemerintah yang terkait dengan nelayan.

Bantuan kapal dari pemerintah misalnya, disesuaikan dengan

kebutuhan nelayan lokal dan diberikan sesuai data nelayan yang

benar-benar membutuhkannya, alih-alih bantuan malah jatuh

kepada orang atau kelompok orang yang bukan nelayan, alhasil kapal

bantuan tidak dapat digunakan dengan maksimal.101

Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan, kebutuhan

program terletak pada pengambilan keputusan menyangkut

kebutuhan terpenting bagi mereka sesuai dengan perubahan kondisi

lingkungan dan perubahan sosial, ini berkaitan dengan ketahanan

adaptasi nelayan terhadap persoalan-persoalan tertentu yang

berhubungan dengan persoalan pesisir ketidakpastian hasil

tangkapan serta kerusakan lingkungan/ sumberdaya perikanan yang

menyebabkan penurunan hasil tangkapan mereka.

100 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku, Loc. Cit. 101 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung

Mangkurat, Loc. Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

61

10. Pengadilan Perikanan, Penegakan Hukum, dan Sanksi

a. Pengadilan Perikanan

Pada dasarnya pelaksanaan fungsi pengadilan perikanan yang

menuntut suatu proses penyelesaian perkara yang mudah, murah

dan cepat secara umum telah berjalan dengan baik. Beberapa hal

yang menjadi kendala dalam perkara perikanan antara lain:102

1) Permasalahan Waktu Penahanan Tersangka/Terdakwa.

Dalam ketentuan Pasal 37 ayat 6 UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan disebutkan bahwa “untuk kepentingan penyidikan,

Penyidik dapat menahan Tersangka paling lama 20 (dua puluh)

hari”, selanjutnya ayat 7 dijelaskan jangka waktu sebagaimana

dimaksud dalam ayat 6 apabila diperlukan guna pemeriksaan

yang belum selesai maka jangka waktu penahanan tersebut dapat

diperpanjang oleh Penuntut Umum untuk paling lama 10

(sepuluh) hari, dengan demikian maka total jangka waktu seorang

ditahan dalam proses penyidikan tindak pidana perikanan adalah

30 (tiga puluh) hari.

Jika dibandingkan masa penahanan tersangka dalam proses

penyidikan tindak pidana perikanan dengan tindak pidana umum

sebagaimana ditentukan dalam KUHAP maka penyidikan tindak

pidana perikanan lebih singkat, hal ini merupakan tantangan dan

kendala sendiri karena pihak penyidik dituntut untuk secepat

mungkin menyelesaikan proses penyidikan dalam waktu yang

relatif singkat. Bahwa ditinjau dari prespektif asas penanganan

suatu tindak pidana dalam kerangka penegakan hukum yang

mengedepankan asas cepat adalah sesuatu yang baik, namun hal

ini menjadi persoalan tersendiri jika penyidik menjadikan waktu

penahanan yang singkat sebagai alasan dalam menyiapkan hal-

hal terkait dengan pembuktian perkara, sehingga pembuktian

lemah dan tidak sempurna yang pada akhirnya dapat

menyebabkan pembuktian di persidangan tidak maksimal dan

memungkinkan terdakwa lepas dari tuntutan hukum.

2) Tentang Persoalan Mengadili Tanpa Kehadiran Terdakwa (In

absensia).

102 Ibid.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

62

Berkaitan dengan pemeriksaan sidang pengadilan secara In

Absensia muncul persoalan manakala terjadi, seorang tersangka

yang meninggal dunia ketika perkaranya hendak dilimpahkan ke

Pengadilan untuk disidangkan, hal ini menimbulkan masalah

tersendiri karena disatu sisi dengan kematian tersangka tersebut

menjadikan perkara dinyatakan ditutup demi hukum, namun

disisi lain perkara tersebut tidak selesai sehingga upaya untuk

melakukan perampasan barang bukti kapal sebagai modal

merehabilitasi kerugian negara akibat adanya IUU Fishing tidak

tercapai dengan baik.

Persoalan tersebut pernah terjadi pada tahun 2013 dalam perkara

atas nama Mr. Jaruey Kamthong/Nahkoda KM.SF2-3872. Pada

waktu itu penyidik hendak melimpahkan perkara meskipun

Tersangka telah meninggal dunia dengan mendasarkan pada

ketentuan Pasal 79 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Pihak Kejaksaan Negeri setempat berkeberatan dengan

pelimpahan perkara dimaksud dengan berdasar kepada ketentuan

Pasal 77 KUHP. Terhadap permasalahan tersebut menurut

pendapat penulis hal tersebut harus dikaitkan dengan asas

legalitas. Secara yuridis undang-undang telah melakukan suatu

pembatasan khusus tentang hapusnya pertanggungjawaban

pidana, pengaturan tersebut dapat dilihat dalam Bab VIII tentang

hapusnya kewenangan menuntut pidana. Pasal 77 bab tersebut

disebutkan, “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh

meninggal dunia”.

Ini mengindikasikan bahwa bagi seseorang tersangka yang telah

meninggal dunia maka tidak dapat dilakukan penuntutan oleh

jaksa penuntut umum, ketentuan ini tidak saja membatasi

pertanggung jawaban hukum pelaku tindak pidana yang telah

meninggal dunia akan tetapi lebih dari itu ada kandungan/nilai-

nilai kemanusian yang tersirat di dalamnya. Oleh karena itu, bagi

pelaku yang telah meninggal dunia tidak dapat dilanjutkan proses

hukumnya, tidak boleh ada dalam proses penegakan hukum itu

dilakukan dengan cara melanggar hukum juga, tidak ada alasan

baik yuridis maupun filosofis yang dapat dijadikan argumentasi

pembenar untuk tetap melakukan penuntutan bagi pelaku tindak

pidana yang telah meninggal dunia.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

63

Harus dipahami maksud ketentuan Pasal 79 UU No. 31 Tahun

2004 tersebut adalah ditekankan pada proses persidangan,

artinya pada tahap penyidikan tersangka masih ada namun ia

tidak ada lagi pada tahap persidangan dan alasan ketiadaan

terdakwa di sidang tersebut diterjemahkan dalam bentuk seperti

melarikan diri, bukan karena kematian. Jika terdakwa dalam

proses persidangan melarikan diri, maka persidangan tetap

dilangsungkan secara In Absensia, namun jika meninggal maka

perkara dimaksud haruslah dinyata-kan ditutup demi hukum

dengan mengacu pada ketentuan Pasal 77 KUHP.

3) Bahasa

Nelayan asing umumnya hanya dapat berkomunikasi

menggunakan bahasa daerah asalnya sehingga proses

pemeriksaan di pengadilan sangat tergantung oleh penterjemah.

Secara umum penterjemah yang memahami bahasa daerah

nelayan asing tersebut sulit ditemukan.

4) Saksi

Saksi penangkap utamanya dari Angkatan Laut tidak pernah

dapat dihadirkan di pengadilan untuk memberikan kesaksian

dengan alasan sedang tugas patroli di laut. Hal ini tidak

memungkin dilakukan pengecekan/konfirmasi keterangan pada

saat pemeriksaan di pengadilan khususnya keterangan dari saksi

penangkap yang tidak diakui/dibantah oleh terdakwa. Selain itu,

Sulit menghadirkan ahli sesuai bidang kompetensi yang

diperlukan dan saksi yang dihadirkan belum dilengkapi sertifikat

keahlian.

5) Permasalahan Pemanfaatan Kembali Barang Bukti berupa

Kapal.

Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun

2004, benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau

yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas

untuk negara, dan hampir pasti ditemui Jaksa Penuntut Umum

akan menuntut agar kapal yang digunakan sebagai alat dirampas

untuk negara terlebih apabila kapal tersebut adalah kapal nelayan

asing. Ketika tuntutan Jaksa Penuntutan Umum tersebut

dikabulkan oleh hakim, maka benda yang dirampas tersebut

PUSAT PUU B

K DPR R

I

64

sudah sah menjadi hal milik negara untuk selanjutnya yang

menjadi permasalahan kemudian adalah pemanfaatan kapal-

kapal dimaksud sehingga tidak rusak sia-sia di dermaga.

Terkait dengan hukum acara di bidang perikanan, saat ini

keberlakuannya masih dirasa kurang efektif. Pemerintah dalam

hal ini telah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 14

Tahun 2000 tentang Pemanfaatan Kapal Perikanan yang

dinyatakan dirampas untuk negara. Dalam point pertama Keppres

tersebut disebutkan kapal perikanan berserta kelengkapannya

yang dinyatakan dirampas untuk negara, dimanfaatkan untuk

meningkatkan kemampuan nelayan kecil dan nelayan

transmigran dalam usaha penangkapan ikan. Namun demikian

pemanfaatan kapal tersebut bukannya tanpa persoalan karena

dalam praktiknya terdapat beberapa kendala yaitu, pertama pada

umumnya kapal nelayan asing yang dirampas banyak diantanya

menggunakan teknologi penangkapan ikan yang tidak bisa

digunakan oleh nelayan tradisional kita sehingga kapal yang

diserahkan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal.103

Kendala kedua dalam upaya pemanfaatan barang bukti

kapal ini adalah bahwa menurut informasi kapal yang telah

ditangkap karena melakukan tindak pidana perikanan tidak bisa

diterbitkan izin usahanya lagi, hal ini disebabkan oleh beberapa

faktor, diantaranya ada kekhawatiran jika pihak korporasi tempat

kapat tersebut disita bernaung akan melakukan upaya

memperoleh kembali kapal tersebut dengan cara membeli untuk

kemudian digunakan lagi melakukan usaha penangkapan ikan.

Alasan lain mengapa kapal yang ditangkap tidak bisa lagi

diberikan izin melakukan usaha penangkapan ikana karena

berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries

(CCRF) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan yang lestari dan

bertanggung jawab perlu dilaksanakan dengan pemberian tanda

terhadap kapal ikan, alat penangkapan ikan dan alat bantu

penangkapan. Pemberian tanda dimaksudkan untuk

mempermudah pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap

setiap pelaku penangkapan ikan. Dan bagi kapal ikan yang

103 Ibid.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

65

ditangkap kerena melakukan IUU Fishing tidak akan diberi tanda

lagi, oleh karena itu secara universal kapal dimaksud dianggap

kapal yang tidak memiliki tanda khusus/kapal ilegal.104

Sampai saat ini penyidikan terfokus (sebagian besar)

dilakukan untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan

terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak

pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang

terjadi di perairan territorial. Untuk itu diperlukan upaya untuk

penguatan lembaga penyidik perikanan khususnya PPNS dan

Polri berupa peningkatan kemampuan teknis penyidikan,

dukungan pembiayaan serta penyediaan sarana dan prasaran

pendukung agar dapat menjangkau dan menangani seluruh

tindak pidana di bidang perikanan.

Selain alat bukti yang telah di atur di dalam KUHAP, untuk

memudahkan pembuktian pada proses pemeriksaan di pengadilan

perlu ditambahkan alat elektonik. Hal ini berkaitan dengan

pembuktian lokasi (lokus) terjadinya tindak pidana yang

memerlukan data dari alat elektronik seperti Vessel Monitoring

System (VMS), GPS dll.

Tempat penyimpanan barang bukti tindak pidana

perikanan khususnya Kapal, sampai saat ini belum ada. Untuk

menyiasati masalah tersebut maka barang bukti kapal, jaring dan

uang hasil lelang di titipkan di JPU berdasarkan berita acara

penitipan barang.

Pasal 80 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara

dari penuntut umum hakim harus menjatuhkan putusan, namun

tidak disebutkan mekanisme apabila waktu tersebut terlampaui.

b. Penegakan Hukum

Pelaksanaan Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan yaitu tindakan

khusus berupa pembakaran atau penenggelaman kapal berdasar

bukti permulaan yang cukup dilakukan oleh Penyidik dan/atau

pengawas perikanan apabila diyakini bahwa kapal ikan asing tersebut

benar-benar melakukan tindak pidana perikanan di WPPNRI tanpa

SIPI atau SIKPI.105 Tindakan ini perlu dilakukan secara hati hati

104 Ibid. 105 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

66

karena berpotensi melanggar ketentuan UNCLOS Pasal 57 ayat (1)

yang menjamin kebebasan pelayaran di wilayah perairan ZEE. Di

wilayah ZEE kapal penangkap ikan berbendera asing dapat berlayar

bebas dengan syarat seluruh alat penangkap ikan di simpan di dalam

palka sesuai Pasal 38 ayat (1). Demikian pula dengan kapal

pengangkut ikan yang mengangkut ikan bukan dari hasil tangkapan

di WPP Indonesia dapat berlayar tanpa perlu dilengkapi dengan

SIKPI.Penenggelaman kapal yang dilakukan penyidik berdasarkan

ketentuan Pasal 69 ayat (4) pada prinsipnya bertentangan dengan

asas praduga tidak bersalah oleh sebab itu maka penenggelaman

sebaiknya dilakukan setelah ada keputusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap.106

Untuk mendukung pengembangan usaha perikanan bagi

nelayan kecil maka kapal dan alat tangkap ikan yang telah disita

sebaiknya tidak ditengggelamkam atau dimusnahkan tetapi di

serahkan kepada kelompok bersama usaha nelayan dan atau

koperasi perikanan sesuai ketentuan Pasal 76C ayat (5).107

Kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU

Fishing) tidak semua dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

kejahatan. Yang dimaksud dengan tindak pidana kejahatan, apabila

telah melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) s/d ayat (4), Pasal 9, Pasal

12 ayat (1) s/d ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 26

ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28 ayat (1).108

Pemerintah dituntut harus aktif dan konsistem melakukan

perjanjian kerjasama penaggulangan IUU Fishing baik secara bilateral

maupun multilateral. Selain itu dukungan pemenuhan kebutuhan

aparat yang tangguh yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana

yang memadai antara lain berupa kapal pengawas serta memperkuat

pos penjagaan di daerah perbatasan dengan memperhatikan

perekonomian mereka. Permasalahan IUU Fishing juga terkait karena

kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hukum

perikanan sehingga perlu dilakukan sosialisasi yang melibatkan

semua pihak baik aparat penegak hukum maupun pihak swasta

secara berkelanjutan. Hal ini ditujukan untuk menghindari adanya

106 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit. 107 Ibid. 108 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

67

penafsiran hukum yang berbeda antar aparat penegak hukum.

Koordinasi antar-lembaga terkait perlu di lakukan secara konsisten

dalam penegakan hukum perikanan sehingga dengan kewenangan

yang mereka miliki masing-masing dapat mencapai tujuan yang

sama.109

c. Sanksi

Sanksi pidana dalam UU Perikanan masih belum efektif dan

kurang memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana.

Contohnya untuk jenis pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf m

dan huruf n, sanksinya masih terlalu ringan dan tidak akan pernah

memberikan efek jera bagi pelaku, sehingga disarankan agar sanksi

pidana denda dinaikan dari Rp. 250.000.000 menjadi paling banyak

Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) ditambah dengan pidana

kurungan paling lama 6 (enam) bulan.110

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 35A ayat (3) mengenai

penggunaan nahkoda dan anak buah kapal sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa

peringatan, pembekuan izin atau pencabutan izin yang diberikan

secara bertahap.111Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk

penyerapan tenaga kerja Indonesia di bidang perikanan, karena pada

pelaksanaannya pasal ini tidak dapat menyentuh operator kapal

dengan alasan investor asing. Selain itu perlu dilakukan monitoring

atau pengecekan terinci oleh masing-masing instansi yang

mengeluarkan surat izin.112

Pelanggaran terhadap jenis, jumlah dan ukuran alat

penangkap ikan sebagai mana di atur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a

sebaiknya diatur dalam satu pasal tersendiri dan digolongkan

sebagai satu tindak pidana kejahatan sesuai pasal Pasal 103 ayat (1),

karena pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat menyebabkan

berbagai jenis dan ukuran ikan non target ikut tertangkap sehingga

berpotensi membahayakan kelestarian sumber daya ikan.113

109 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit. 110 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit. 111 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit. 112 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku, Loc Cit. 113 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

68

Sanksi bagi korporasi yang melakukan tindak pidana

perikanan hendaknya dijatuhkan hanya kepada korporasi dalam

bentuk denda bukan kepada pengurus sebagaimana di atur dalam

Pasal 101.114

Ketentuan Pasal 102 yang tidak membolehkan pidana penjara

bagi nelayan asing yang melakukan tindak pidana di ZEE Indonesia

kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia

dengan pemerintah negara yang bersangkutan, bertentangan dengan

asas equality before the law bahwa semua orang sama kedudukannya

dimata hukum. Disamping itu penjatuhan hukuman denda semata

tanpa di barengi dengan pemberian hukuman pengganti akan

menyulitkan nelayan asing yang tidak mampu membayar denda.

Nasib nelayan tersebut, terkatung katung tidak akan diizinkan oleh

pihak imigrasi untuk pulang kenegaranya selama kewajiban denda

belum dibayarkan. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan suatu

bentuk hukuman pengganti berupa kurungan bagi nelayan asing

yang tidak mampu membayar denda.115

Untuk efektifitas penerapan sanksi terhadap tidak pidana

perikanan yang terjadi diperlukan pemahaman yang baik dari

petugas penyidik dan JPU untuk menganalisa dan mengidentikasi

bentuk pelanggaran yang terjadi, apakah digolongkan ke dalam

tindak kejahatan atau pelanggaran. Untuk itu diperlukan upaya

peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat melalui kegiatan

pembinaan dan pelatihan secara teratur.116

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan

Diatur Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan

Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan

Negara

1. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam

Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat

Beberapa materi muatan baru yang akan diatur dalam Undang-

Undang Perikanan tentu akan menimbulkan implikasi terhadap

masyarakat. Beberapa hal yang dimungkinkan akan mempengaruhi

114 Ibid. 115 Ibid. 116 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

69

usaha perikanan serta penyelenggaraan perikanan secara

keseluruhan dapat diuraikan berikut ini:

a. pengaturan mengenai usaha perikanan budidaya diatur lebih

komprehensif diharapkan dapat memberikan implikasi terhadap

meningkatnya hasil perikanan budidaya yang dapat menunjang

potensi perikanan di Indonesia selain dari hasil perikanan

tangkap.

b. pengaturan mengenai Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) dalam

implementasinya diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan

perikanan, karena:

1) SLIN merupakan implementasi konsep logistik berbasis

komoditas, yaitu melakukan penanganan (penyimpanan dan

pengiriman) dan mengembangkan sarana dan prasarananya

sesuai dengan karakteristik komoditas.

2) SLIN menggunakan prinsip supply chain management (SCM)

dengan mengintegrasikan proses-proses pengadaan,

penyimpanan, transportasi, dan distribusi, dengan melibatkan

kementerian-kementerian terkait, pemerintah daerah, pelaku

usaha, hingga nelayan dan pembudidaya ikan.

3) SLIN menggunakan pendekatan komoditas unggulan,

wilayah/kawasan, dan konektivitas sesuai dengan potensi

daerah.

Pengaturan SLIN diharapkan dapat berperan dalam:

1) mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan

pangan nasional melalui jaminan ketersediaan,

keterjangkauan, dan keberlanjutan untuk pemenuhan

konsumsi ikan dan industri pengolahan ikan; dan

2) memenuhi konsumsi ikan dan industri pengolahan ikan

melalui jaminan terhadap pengadaan, penyimpanan,

transportasi, dan distribusi ikan dan produk perikanan, serta

bahan dan alat produksi.

c. pengaturan mengenai sistem data dan informasi perikanan yang

mewajibkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai

dengan kewenangannya untuk membangun, menyusun,

mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi

Perikanan diharapkan dapat memperkuat penyelenggaraan

perikanan terutama pada saat perencanaan. Dengan adanya

PUSAT PUU B

K DPR R

I

70

sistem data dan informasi yang mutakhir dan akurat potensi

perikanan di Indonesia juga dapat lebih terukur dan terjaga

kelestariannya.

d. pengaturan tersendiri mengenai konservasi perikanan diharapkan

dapat menjamin keberadaan, ketersediaan, dan

kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Dengan

penguatan pengaturan Konservasi sumber daya ikan yang

dilakukan melalui konservasi ekosistem, jenis ikan, dan sumber

daya genetik ikan diharapkan juga peran serta masyarakat agar

lebih peduli terhadap potensi sumber daya ikan serta pengelolaan

perikanan secara keseluruhan.

e. pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah setidaknya

mempengaruhi beberapa urusan kewenangan di bidang kelautan

dan perikanan pada pemerintahan daerah seperti:

1) Kelembagaan

a) Kelembagaan kelautan dan perikanan hanya ada di

provinsi.

b) Kelembagaan yang ada di kabupaten/kota berganti status

menjadi cabang dinas atau UPTD provinsi.

c) Perlu pengaturan pemindahan P3D (personil, pembiayaan,

sarana dan prasarana, dan dokumen).

d) Tahap transisi dilakukan melalui mekanisme tugas

pembantuan dari provinsi ke kabupaten/kota.

2) Personil (ASN) Daerah

a) Personil (ASN) Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) di

kabupaten/kota dapat beralih status menjadi pegawai

provinsi.

b) Bagi personil kabupaten/kota yang tidak mau beralih

status, kekosongan diisi oleh personil provinsi.

c) Tata cara pengubahan status kepegawaian di fasilitasi BKN

regional.

d) Pemerintah pusat menentukan standar kompetensi bagi

pejabat DKP terkait seleksi terbuka sesuai UU ASN;

3) Keuangan Daerah

PUSAT PUU B

K DPR R

I

71

a) Kewajiban penganggaran menjadi kewenangan provinsi

(money follow function).

b) Bantuan keuangan pusat kedepan hanya diperuntukan

bagi provinsi.

4) Pelayanan Publik

a) Perijinan terkait kelautan dan perikanan akan beralih ke

provinsi.

b) Perijinan harus diatur oleh Norma, Standar, Prosedur dan

Kriteria (NSPK) yang jelas.

c) NSPK jadi lebih rumit karena ada yang bersifat cross-

cutting ketika terkait dengan kementerian atau lembaga

lain.

5) Bimbingan dan Pengawasan (BinWas)

a) BinWas tekhnis dilakukan langsung oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan.

b) BinWas umum dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.

c) Rule of engagement atau interface antara BinWas umum

dan teknis harus diatur antara kedua kementerian di atas.

d) Pengawasan terhadap Unit Pelaksana Tekhnis Daerah

(UPTD) atau cabang dinas provinsi dilakukan oleh

inspektorat provinsi.

2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan Undang-

Undang tentang Jalan terhadap Aspek Beban Keuangan Negara

Kajian ekonomi dan dampak pelaksanaan dari RUU Perikanan

ini tidak mengalami banyak perubahan terhadap aspek beban

keuangan negara. Namun demikian ada beberapa pengaturan yang

memang memberi dampak pada aspek keuangan negara seperti

pengaturan mengenai pungutan Perikanan dan pembentukan

Pengadilan Perikanan.

Pungutan perikanan berdampak pada jumlah pendapatan

negara bukan pajak (PNBP) yang tercatat meningkat dari Rp 77,49

miliar pada tahun 2015 menjadi Rp 360,86 miliar pada tahun 2016.

Kenaikan pencapaian PNBP pada tahun 2016 disebabkan

pemberlakuan Peraturan Pemerintah yang menaikkan tarif pungutan

hasil perikanan secara progresif dengan menerapkan formula baru

bagi sistem pemungutan retribusi kegiatan kelautan dan perikanan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

72

Pembentukan Pengadilan Perikanan pada dasarnya dilakukan

secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan

keuangan Negara. Oleh karena itu, seiring dengan peningkatan

penegakan hukum terutama untuk menindaklanjuti tindak pidana

perikanan maka penambahan Pengadilan Perikanan tentunya akan

menambah beban penggunaan keuangan Negara, seperti perekrutan

hakim ad hoc serta pembangunan sarana dan prasarana Pengadilan

Perikanan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

73

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT

A. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tahun 1945

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki

luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 yang

memiliki keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang

sangat besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau perairan laut

Indonesia sebesar 7,2 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan

yang diperbolehkan sebesar 7,0 juta ton/tahun. Indonesia sebagai

negara maritim terbesar di dunia, memiliki kekayaan alam sangat

besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan

(perikanan, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove,

rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), SDA tak terbarukan,

energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC

(Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan

kelautan dan pulau-pulau kecil untuk pariwisata bahari, transportasi

laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah. Kekayaan

alam tersebut menjadi salah satu modal dasar yang harus dikelola

dengan optimal untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat Indonesia.

Potensi perikanan yang sangat besar di Indonesia menjadi salah

satu sumber kekayaan Indonesia merupakan rahmat dari Tuhan

Yang Maha Esa yang harus dikelola, dimanfaatkan, dan dilestarikan

secara bertanggungjawab dan berkelanjutan, demi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah juga wajib mengelola potensi sumber daya perikanan

Indonesia dengan menguasai perairan perikanan Indonesia dan

mengelolanya demi sebesar-besranya kemammuran rakyat. Hal ini

sesuai dengan amanah Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang

menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya

untuk kemammuran rakyat.”

PUSAT PUU B

K DPR R

I

74

B. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Saat ini regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan

perikanan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 2009 (yang selanjutnya disebut UU Perikanan). Pada

dasarnya UU Perikanan ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya

ikan secara lestari melalui penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,

pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, dan meningkatkan

ekspor, serta meningkatkan taraf hidup nelayan.

Namun dalam praktiknya timbul permasalahan terkait dengan

keberlakuan UU Perikanan yaitu dengan banyaknya praktik-praktik

Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing yang terjadi di

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI),

baik yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan Indonesia (KII)

maupun oleh kapal-kapal perikanan asing menyebabkan kerugian

baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun ekonomi. Namun

saat ini UU Perikanan belum mengakomodir ketentuan mengenai IUU

Fishing sehingga banyak sekali kasus IUU Fishing yang terjadi di

Indonesia.

Dalam penyelenggaraan perikanan masih banyak terdapat

konflik yang dialami nelayan misalnya seperti konflik yang terjadi di

wilayah perbatasan antara nelayan Indonesia dengan nelayan asing,

konflik yang disebabkan oleh pembagaian wilayah tangkapan dimana

banyak sekali kapal penangkapan ikan dari pihak asing yang

melakukan pemanfaatan perikanan di wilayah perairan Indonesia, hal

ini disebabkan karena belum optimalnya rencana tata ruang dan

rencana zonasi dalam sektor perikanan untuk perikanan tangkap.

Keterbatasan armada penangkapan ikan yang masih

didominasi oleh kapal berukuran kecil menjadi suatu permasalahan

yang dialami oleh nelayan, karena hal ini menyebabkan jangkauan

wilayah penangkapan ikan menjadi terbatas sehingga jumlah

tangkapan yang didapat menjadi sedikit. Permasalahan lain yang

sering dihadapi nelayan yaitu dalam proses perizinan baik perizinan

usaha penangkapan ikan maupun perizinan kapal perikanan. Dalam

PUSAT PUU B

K DPR R

I

75

praktiknya terdapat banyak permasalahan yang dialami oleh

pembudidaya perikanan seperti tumpang tindihnya pemanfaatan

lahan; terbatasnya prasarana saluran irigasi; terbatasnya

ketersediaan serta distribusi induk dan benih unggul; tingginya harga

pakan menyebabkan hasil dari budidaya ikan masih belum

maksimal; serangan hama dan penyakit ikan/udang; adanya

pencemaran yang mempengaruhi kualitas lingkungan perikanan

budidaya.

Jika melihat lingkup pengaturan dalam UU Perikanan saat ini

lebih menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan

pengaturan perikanan budidaya dirasa belum komprehensif.

Sehingga dalam praktiknya perikanan budidaya membutuhkan

pengaturan yang lebih komperhensif mengingat potensi dan

pengembangannya perikanan budidaya ke depan akan semakin

signifikan. Di samping itu penggunaan sumberdaya kelautan dan

perikanan yang belum memperhatikan kearifan lokal menjadi salah

satu dampak yang diakibatkan karena hal tersebut yaitu kerusakan

lingkungan laut dan pencemaran laut, pencurian ikan (illegal fishing)

dan gejala penangkapan ikan yang berlebihan. Lemahnya

kemampuan nelayan dalam melakukan pemasaran produk juga

menjadi salah satu kendala dalam pengembangan usaha nelayan

untuk menjadi usaha yang maju.

Sampai saat ini penyidikan dalam kasus perikanan sebagian

besar terfokus untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan

terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak

pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang

terjadi di perairan territorial. Penjatuhan sanksi pidana yang terdapat

dalam UU Perikanan belum memberikan efek jera terhadap tindak

pidana di bidang perikanan. Sedangkan ketentuan pengaturan

mengenai keterlibatan masyarakat dalam sektor perikanan dalam UU

Perikanan masih sangat terbatas yakni hanya pada pengawasan

perikanan.

Hal lain yang menyebabkan perlunya dilakukan perubahan

terhadap UU Perikanan yaitu dengan diterbitkannya beberapa

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan maka

perlu dilakukan sinkronisasi kewenangan pemerintah dan

pemerintah daerah dibidang perikanan terkait dengan keberlakuan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

76

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan

Daerah, sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016

tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya

Ikan, dan Petambak Garam, UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,

dan UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil.

C. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan

dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak

Garam (UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan)

UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan merupakan dasar

hukum yang berlaku di Indonesia dalam menyelenggarakan

perlindungan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam

termasuk keluarga nelayan dan pembudi daya ikan yang melakukan

pengolahan dan pemasaran, sehingga memberikan jaminan kepastian

hukum serta keadilan bagi mereka agar mencapai sasaran yang

maksimal. Nelayan di dalam UU ini mencakup nelayan, nelayan kecil,

nelayan tradisional, nelayan buruh, dan nelayan nelayan pemilik.

Adapun pembudidaya ikan mencakup pembudidaya ikan,

pembudidaya ikan kecil, penggarap lahan budi daya, dan pemilik

lahan budidaya. UU ini juga mencakup petambak garam, petambak

garam kecil, penggarap tambak garam dan pemilik tambak garam.

Adapun keterkaitan UU Perlindungan dan Pemberdayaan

Nelayan dengan UU Perikanan adalah meliputi definisi perikanan dan

usaha perikanan (Pasal 1 angka 20 dan angka 22 UU Perlindungan

dan Pemberdayaan Nelayan), komoditas perikanan (Pasal 1 angka 24

Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan), subyek pelaku di bidang

perikanan yaitu nelayan dan pembudidaya ikan (Pasal 1 angka 3

sampai dengan angka 4, dan angka 9 sampai dengan angka 12 UU

Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan), upaya-upaya

pemberdayaan dan perlindungan bagi nelayan dan pembudidaya ikan

(Bab IV dan Bab V UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan).

Salah satu permasalahan yang timbul adalah ketidaksinkronan

mengenai definisi “nelayan kecil” yang ada di UU Perikanan dan UU

Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Pasal 1 angka 11 UU

PUSAT PUU B

K DPR R

I

77

Perikanan mendefinisikan “nelayan kecil adalah orang yang mata

pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan

berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT)”. Adapun ketentuan

Pasal 1 angka Pasal 1 angka 4 UU Perlindungan dan Pemberdayaan

Nelayan mendefinisikan “nelayan kecil adalah Nelayan yang

melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan

maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling

besar 10 (sepuluh) gros ton (GT)”.

Definisi nelayan yang berbeda tersebut akan menimbulkan

permasalahan hukum dalam implementasi penyelenggaraan

perikanan khususnya yang terkait dengan pengaturan terhadap

“nelayan kecil” karena menyangkut substansi pengaturan yang ada di

Bab X, Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 UU No. 31 Tahun 2004 dan

ketentuan lainnya yaitu ketentuan “pengecualian” terhadap

kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal

perikanan (Pasal 7 ayat (3) UU No. 45 Tahun 2009), kewajiban

memiliki SIPI dan/atau membawa SIPI asli (Pasal Pasal 27 ayat (5)

dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009), pungutan perikanan

(Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009), dan keringanan pengenaan

sanksi pidana dan denda (Pasal 100B dan Pasal 100C UU No. 45

Tahun 2009).

Definisi pembudi daya ikan dalam UU Perikanan yang berbunyi

“Pembudi daya Ikan adalah setiap orang yang mata pencahariannya

melakukan pembudidayaan ikan.” perlu disesuaikan dengan Pasal 1

angka 9 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya

Ikan, dan Petambak Garam yang berbunyi “Pembudi daya Ikan

adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan

pembudidayaan ikan air tawar, ikan air payau, dan ikan air laut.”

Karena saat ini telah ada UU Perlindungan dan Pemberdayaan

Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, substansi

pengaturan terkait perlindungan dan perberdayaan nelayan yang ada

di UU Perikanan, substansinya disinkronkan atau jika perlu dihapus,

karena sudah cukup diatur di UU Perlindungan dan Pemberdayaan

Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, selain juga

PUSAT PUU B

K DPR R

I

78

untuk memperkecil kemungkinan tumpang tindih atau tidak sinkron

di antara keduanya.

Materi yang terkait dengan usaha-usaha bagi perlindungan dan

pemberdayaan nelayan yang ada di UU Perikanan harus disinkronkan

dengan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, yang mencakup

substansi definisi nelayan dan pembudidaya ikan (Pasal 1 angka 10

sampai dengan angka 13 UU No. 45 Tahun 2009), tujuan

penyelenggaraan perikanan, pemberdayaan nelayan, system

pemantauan kapal perikanan (Pasal 7 ayat (3) UU No. 45 Tahun

2009), kebersamaan dan kemitraan (Pasal 25 (2) UU No. 45 Tahun

2009), kewajiban dan pengecualian pemilikan SIPI dan SIKPI (Pasal

27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009), pungutan

perikanan, pelestarian perikanan, dan pemanfaatan bahan rampasan

dari hasil tindak pidana dibidang perikanan. Semua substansi

tersebut harus sinkron pengaturannya antara UU Perlindungan dan

Pemberdayaan Nelayan dan UU Perikanan.

D. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan (UU

Kelautan)

NKRI sebagai negara kepulauan memiliki sumber daya alam

yang melimpah yang merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang

Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus

dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan

umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Wilayah laut sebagai bagian

terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki posisi dan nilai

strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik,

ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan

modal dasar pembangunan nasional. UU Kelautan ini disusun untuk

memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan

kelautan serta untuk menegaskan bahwa Indonesia merupakan

negara kepulauan.

UU kelautan disusun dengan tujuan untuk menegaskan

Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim;

mendayagunakan Sumber Daya Kelautan dan/atau kegiatan di

wilayah laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan dan hukum laut internasional demi tercapainya

PUSAT PUU B

K DPR R

I

79

kemakmuran bangsa dan negara; mewujudkan laut yang lestari serta

aman sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa Indonesia;

memanfaatkan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk

sebesar-besarnya kesejahteraan bagi generasi sekarang tanpa

mengorbankan kepentingan generasi mendatang; memajukan budaya

dan pengetahuan Kelautan bagi masyarakat; mengembangkan

sumber daya manusia di bidang Kelautan yang profesional, beretika,

berdedikasi, dan mampu mengedepankan kepentingan nasional

dalam mendukung Pembangunan Kelautan secara optimal dan

terpadu; memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh

masyarakat sebagai negara kepulauan; dan mengembangkan peran

NKRI dalam percaturan kelautan global sesuai dengan hukum laut

internasional untuk kepentingan bangsa dan negara.

Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam UU

Kelautan meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan

kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di atasnya serta

dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat

(2) UU Kelautan. Keterkaitan UU Kelautan dengan UU Perikanan

terletak dalam pengelolaan kelautan, karena salah satu bentuk

pengelolaan kelautan Indonesia yaitu dalam sektor perikanan. Dalam

UU Kelautan dikatakan bahwa wilayah Laut terdiri atas wilayah

perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar

laut internasional. Di wilayah laut Indonesia yang terdiri atas wilayah

perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar

laut internasional. Pemerintah berhak melakukan pengelolaan dan

pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan laut. Wilayah perairan

meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.

Sedangkan wilayah yurisdiksi meliputi Zona Tambahan, ZEE, dan

Landas Kontinen. Dapat dikatakan bahwa pengelolaan dan

pemanfaatan kelautan yang salah satunya dilakukan melalui sektor

perikanan dapat dilakukan di perairan pedalaman, perairan

kepulauan, dan laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE, Landas

Kontinen, laut lepas, dan kawasan dasar laut internasional. Jika

melihat ketentuan UU Perikanan wilayah pengelolaan perikanan

untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan terdapat di

perairan Indonesia; ZEEI; Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

80

air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan

yang potensial di wilayah Republik Indonesia; Laut Lepas; dan laut

teritorial. Jika melihat dari ketentuan di atas maka wilayah laut yang

dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan perikanan di UU Perikanan

dan UU Kelautan sudah selaras namun di UU Perikanan tidak

terdapat ketentuan mengenai pengelolaan perikanan di Zona

Tambahan dan Landas Kontinen. Terdapatnya nomenklatur baru

dalam wilayah laut, maka mengenai pengelolaan perikanan di zona

tambahan dan landas kontinen dapat dijadikan materi muatan dalam

perubahan RUU Perikanan.

Pemerintah wajib untuk berpartisipasi dalam pengelolaan

perikanan di laut lepas melalui forum pengelolaan perikanan regional

dan internasional. Pembangunan kelautan yang terdapat dalam Bab

V dilaksanakan untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara

kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan

nasional. Pembangunan kelautan diselenggarakan melalui

perumusan dan pelaksanaan kebijakan salah satunya terkait

pengelolaan sumber daya kelautan yakni perikanan.

Dalam Bab Keenam bagian kesatu diatur mengenai pengelolaan

kelautan. Pengelolaan kelautan yang dilakukan oleh pemerintah dan

pemerintah daerah yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya kelautan

dengan menggunakan prinsip ekonomi biru. Kebijakan ekonomi biru

dalam UU kelautan ditetapkan oleh pemerintah. Pembangunan

ekonomi kelautan dilaksanakan melalui penciptaan usaha yang sehat

dan peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat pesisir

dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, mandiri, dan

mengutamakan kepentingan nasional. Pemanfaatan sumber daya

kelautan meliputi perikanan; energi dan sumber daya mineral;

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; dan sumber daya

nonkonvensional.

Terkait pemanfaatan sumber daya kelautan yang berupa sektor

perikanan maka pemerintah mengatur pengelolaan sumber daya ikan

di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta menjalankan

pengaturan sumber daya ikan di laut lepas berdasarkan kerja sama

dengan negara lain dan hukum internasional sebagaimana tercantum

dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19. Dalam melakukan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

81

pemanfaatan sektor perikanan pemerintah mengoordinasikan

pengelolaan sumber daya ikan serta memfasilitasi terwujudnya

industri perikanan. Dalam memfasilitasi terwujudnya industri

perikanan, pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian

sumber daya ikan; menjamin iklim usaha yang kondusif bagi

pembangunan perikanan; dan melakukan perluasan kesempatan

kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup nelayan dan

pembudidaya ikan. Pemerintah mengatur sistem logistik ikan

nasional untuk kepentingan distribusi hasil perikanan. Selain itu

dalam rangka peningkatan usaha perikanan, maka pihak perbankan

bertanggung jawab dalam pendanaan suprastruktur usaha

perikanan, yang mana pendanaan tersebut diatur dalam undang-

undang tersendiri. Di samping itu perikanan termasuk ke dalam

pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam paragraf 3 UU Kelautan dikatakan bahwa pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi

sumber daya hayati, sumber daya nonhayati, sumber daya buatan,

dan jasa lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Perikanan termasuk ke dalam

sumber daya buatan dan jasa lingkungan. Dalam penjelasan Pasal 22

ayat (3) UU Kelautan dikatakan bahwa sumber daya buatan meliputi

infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan.

Sedangkan jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan

dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan

dan perikanan, serta energi gelombang laut.

UU Kelautan juga mengatur mengenai penegakan kedaulatan

dan hukum di wilayah perairan Indonesia, dasar laut, dan tanah di

bawahnya yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan hukum internasional. Untuk penegakkan

hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi khususnya dalam

melaksanakan patrol keamanan dan keselamatan di wilayah perairan

dan wilayah yurisdiksi Indonesia dilakukan badan keamanan laut.

Badan Keamanan Laut (Bakamla) memiliki tugas patroli keamanan

dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi

Indonesia.

Bakamla memiliki fungsi untuk menyusun kebijakan nasional

di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia

PUSAT PUU B

K DPR R

I

82

dan wilayah yurisdiksi Indonesia; menyelenggarakan sistem

peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan

Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; melaksanakan

penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran

hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi

Indonesia; menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli

perairan oleh instansi terkait; memberikan dukungan teknis dan

operasional kepada instansi terkait; memberikan bantuan pencarian

dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi

Indonesia; dan melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan

nasional. Selain Bakamla dibentuk pula sistem pertahanan laut yang

berfungsi untuk mengelola kedaulatan negara, mempertahankan

keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa Indonesia

dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan

Indonesia di wilayah laut. Sistem pertahanan laut diselenggarakan

oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.

Dalam wilayah laut dibutuhkan perencanaan ruang laut untuk

menentukan struktur ruang dan pola ruang laut. Struktur ruang

Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan kelautan dan sistem

jaringan prasarana dan sarana laut yang berfungsi sebagai

pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis

memiliki hubungan fungsional. Pola ruang laut meliputi kawasan

pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan kawasan

strategis nasional tertentu. Perencanaan ruang laut meliputi

perencanaan tata ruang laut nasional, perencanaan zonasi wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil, dan perencanaan zonasi kawasan laut.

Perencanaan ruang laut merupakan suatu proses untuk

menghasilkan rencana tata ruang laut dan/atau rencana zonasi

untuk menentukan struktur ruang laut dan pola ruang laut.

Perencanaan ruang laut dipergunakan untuk menentukan kawasan

yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya,

misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri

maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk

melindungi kelestarian sumber daya kelautan; serta untuk

menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran,

pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

83

E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (UU Pemda)

Keterkaitan UU Pemda dengan UU Perikanan adalah mengenai

pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pasal 9

ayat (1) UU Pemda mengklasifikasikan urusan pemerintahan yang

terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan

konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Selanjutnya dalam

Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa urusan pemerintahan konkuren

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan

yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah

kabupaten/kota. Pasal 9 ayat (4) menyatakan urusan pemerintahan

konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan

otonomi daerah.

Urusan pemerintahan konkuren kemudian terbagi menjadi

kewenangan daerah yang terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan

urusan pemerintahan pilihan. Salah satu urusan pemerintahan

pilihan tersebut meliputi kelautan dan perikanan (Pasal 11 ayat (1)).

Pasal 14 ayat (1) UU Pemda menyebutkan bahwa penyelenggaraan

urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan

sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah

provinsi. Dalam Pasal 14 ayat (5) disebutkan daerah kabupaten/kota

penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari

penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), dan pada ayat (5) selanjutnya diatur penentuan daerah

kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan

adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil

diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan

kepulauan.

Dengan berlakunya UU Pemda tersebut, terjadi perubahan

kewenangan pengelolaan laut provinsi yang semula 4-12 mil kini

menjadi 0-12 mil, pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumnya

oleh pemerintah kabupaten/kota diambil alih oleh pemerintah

provinsi, salah satunya kewenangan zonasi laut yang dulu 4-12 mil

menjadi 0-12 mil. Sebelumnya zonasi laut 0-4 mil merupakan

kewenangan Pemerintah kabupaten/kota.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

84

Dalam hal pembagian urusan bidang antara pemerintah pusat,

daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, khususnya pada sektor

kelautan dan perikanan yang diatur oleh Undang-Undang tidak

terdapat pemberian kewenangan pengelolaan kepada daerah

kabupaten/kota yang diambil alih oleh pemerintah pusat dan daerah

provinsi.

Berikut rincian pembagian urusan pemerintahan bidang

kelautan dan perikanan:

a. Sub Urusan Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

1) Pemerintah Pusat

a) Pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional.

b) Penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional.

c) Penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah)

ikan antarnegara.

d) Penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur perdagangannya

secara internasional.

e) Penetapan kawasan konservasi.

f) Database pesisir dan pulau-pulau kecil.

2) Pemerintah Daerah Provinsi

a) Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan

gas bumi.

b) Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di

luar minyak dan gas bumi.

c) Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

b. Sub Urusan Perikanan Tangkap

1) Pemerintah Pusat

a) Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 mil.

b) Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang

diperbolehkan (JTB).

c) Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk:

(1) kapal perikanan berukuran di atas 30 Gross Tonase (GT);

dan

(2) di bawah 30 Gross Tonase (GT) yang menggunakan modal

asing dan/atau tenaga kerja asing.

d) Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan

perikanan nasional dan internasional.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

85

e) Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal

pengangkut ikan dengan ukuran di atas 30 GT.

f) Pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.

2) Pemerintah Daerah Provinsi

a) Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan

12 mil.

b) Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal

perikanan berukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.

c) Penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan

perikanan provinsi.

d) Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal

pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan

30 GT.

e) Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30

GT.

3) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

a) Pemberdayaan nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota.

b) Pengelolaan dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

c. Sub Urusan Perikanan Budidaya

1) Pemerintah Pusat

a) Sertifikasi dan izin edar obat/dan pakan ikan.

b) Penerbitan izin pemasukan ikan dari luar negeri dan

pengeluaran ikan hidup dari wilayah Republik Indonesia.

c) Penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang

pembudidayaan ikan lintas Daerah provinsi dan/atau yang

menggunakan tenaga kerja asing.

2) Pemerintah Daerah Provinsi

Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya

lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

3) Pemerintah Kabupaten/Kota

a) Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya

dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota.

b) Pemberdayaan usaha kecil pembudidayaan ikan.

c) Pengelolaan pembudidayaan ikan.

d. Sub Urusan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

1) Pemerintah Pusat

PUSAT PUU B

K DPR R

I

86

Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di atas 12 mil,

strategis nasional dan ruang laut tertentu.

2) Pemerintah Daerah Provinsi

Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan

12 mil.

e. Sub Urusan Pengolahan dan Pemasaran

1) Pemerintah Pusat:

a) Standardisasi dan sertifikasi pengolahan hasil perikanan.

b) Penerbitan izin pemasukan hasil perikanan konsumsi dan

nonkonsumsi ke dalam wilayah Republik Indonesia.

c) Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil

perikanan lintas Daerah provinsi dan lintas negara.

2) Pemerintah Daerah Provinsi:

Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil

perikanan lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah

provinsi.

f. Sub Urusan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan

Hasil Perikanan

1) Pemerintah Pusat:

Penyelenggaraan karantina ikan, pengendalian mutu dan

keamanan hasil perikanan.

g. Sub Urusan Pengembangan SDM Masyarakat Kelautan dan

Perikanan

1) Pemerintah Pusat:

a) Penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional.

b) Akreditasi dan sertifikasi penyuluh perikanan.

c) Peningkatan kapasitas SDM masyarakat kelautan dan

perikanan.

Perubahan konstelasi kewenangan pengelolaan perikanan

pasca ditetapkannya UU Pemda perlu segera ditindaklanjuti dengan

melakukan penyesuaian aturan tentang perikanan untuk menjamin

adanya kepastian hukum bagi masyarakat, memastikan tidak

terganggunnya fungsi pelayanan publik, serta memastikan inisiatif

pengelolaan perikanan yang selama ini telah digagas dan

dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak terbengkalai.

Perubahan terhadap aturan di bidang perikanan yang perlu

disesuaikan mencakup kewenangan perizinan (termasuk pendaftaran

PUSAT PUU B

K DPR R

I

87

kapal perikanan), pengaturan zona tangkap, kelembagaan

pengelolaan perikanan yang selama ini ada di kabupaten/kota, serta

kewenangan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan dan

genetik.

F. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU

Pelayaran)

Keterkaitan UU Pelayaran dengan UU Perikanan adalah

angkutan di perairan yang termasuk didalamnya kapal perikanan.

Definisi Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau

memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan

kapal. Pasal 219 UU Pelayaran menyatakan bahwa setiap kapal yang

berlayar wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan

oleh Syahbandar. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 42 UU Perikanan,

bahwa dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan,

ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan yang mempunyai tugas

dan wewenang menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar. Setiap kapal

perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan ikan

dan/atau pengangkutan ikan dari pelabuhan perikanan wajib

memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh

syahbandar di pelabuhan perikanan yang diangkat oleh menteri yang

membidangi urusan pelayaran. Pelaksanaan ketentuan mengenai

Surat Persetujuan Berlayar ini menimbulkan beberapa permasalahan

seperti adanya dualisme rezim yang dipakai untuk menentukan jenis

kapal perikanan yang digunakan, apakah menggunakan ketentuan

UU Pelayaran atau UU Perikanan.

Pasal 276 sampai dengan Pasal 271 UU Pelayaran mengatur

mengenai penjagaan laut dan pantai. Adapun tugas dari penjaga laut

dan pantai diantaranya melakukan pengawasan dan penertiban

kegiatan serta lalu lintas kapal dimana di dalamnya termasuk kapal

perikanan. Hal ini perlu sinkronisasi dengan ketentuan mengenai

pengawas perikanan yang ada dalam Pasal 66B UU Perikanan

sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

G. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau

Kecil (UU PWP3K)

PUSAT PUU B

K DPR R

I

88

Keterkaitan UU PWP3K dengan UU Perikanan adalah mengenai

ikan (sumber daya hayati) dan sumber daya buatan meliputi

infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan yang

termasuk sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 1 angka

4). Berdasarkan UU Perikanan wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan meliputi perairan Indonesia, ZEEI dan sungai,

danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat

diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di

wilayah Republik Indonesia. Perairan Pesisir termasuk dalam

pengelolaan wilayah perikanan sebagaimana definisi dalam UU

PWP3K yaitu laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan

sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang

menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan

dangkal, rawa payau, dan laguna (Pasal 1 angka 7).

Selain itu, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di

sekitarnya salah satunya diprioritaskan untuk kepentingan usaha

perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari (Pasal

23). UU Perikanan belum secara tegas mengatur mengenai usaha

perikanan serta industri perikanan di wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil, sehingga perlu ditambahkan pengaturannya dalam

perubahan UU Perikanan.

H. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem

Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K)

Kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan

merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utamanya agar mereka

mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam

mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya

lainnya. Selain itu, kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, dan

kehutanan dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan

produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraan, serta

meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

UU SP3K telah mengatur secara komprehensif dalam suatu

pengaturan yang terpadu dan serasi antara penyuluhan yang

diselenggarakan oleh kelembagaan penyuluhan pemerintah,

kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan penyuluhan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

89

swadaya kepada pelaku utama dan pelaku usaha. Sedangkan UU

Perikanan dianggap masih bersifat parsial dan belum mengatur

sistem penyuluhan secara jelas, tegas, dan lengkap.

Di dalam UU Perikanan terdapat bab mengenai pendidikan,

pelatihan, dan penyuluhan perikanan yaitu Bab IX. Pada Pasal 57

ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah menyelenggarakan pendidikan,

pelatihan, dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan

pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan. Pada ayat

(2) Pemerintah menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu)

satuan pendidikan dan/atau pelatihan perikanan untuk

dikembangkan menjadi satuan pendidikan dan/atau pelatihan yang

bertaraf internasional.

Selanjutnya dalam Pasal 58 disebutkan bahwa Pemerintah

dapat bekerja sama dengan lembaga terkait, baik di tingkat nasional

maupun di tingkat internasional, dalam menyelenggarakan

pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan. Sedangkan dalam

Pasal 59 untuk ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan

pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pengaturan peyuluhan perikanan dalam UU Perikanan tersebut

masih belum spesifik dan masih didelegasikan kepada Peraturan

Pemerintah. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan perikanan dapat

mengacu pada UU SP3K. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

UU SP3K ini merupakan undang-undang rujukan bagi kegiatan

penyuluhan perikanan terhadap nelayan, pembudi daya ikan,

pengolah ikan, dan masyarakat.

I. UU Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNCLOS 1982

(UU tentang Pengesahan UNCLOS 1982)

UU tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dibentuk dalam rangka

meratifikasi ketentuan konvensi internasional yang diatur dalam

United Nations Convention of The Law on The Sea Tahun 1982.

Meskipun konvensi internasional ini telah ditandatangani pada tahun

1982, Indonesia baru melakukan resepsi (receptie) akan ketentuan

yang dikandung didalamnya setelah 3 tahun konvensi tersebut

berlaku secara internasional yaitu tanggal 31 Desember 1985. Pada

tanggal 11 Desember 1982 UNCLOS menetapkan asas-asas dasar

PUSAT PUU B

K DPR R

I

90

untuk penataan kelautan, sebagai instrumen perjanjian internasional

UNCLOS merupakan hasil negosiasi antar lebih dari seratus negara

termasuk Indonesia, yang mengatur materi yang begitu luas dan

kompleks. Secara rinci UNCLOS menetapkan hak dan kewajiban,

kedaulatan, hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara-negara dalam

pemanfaatan dan pengelolaan laut.

Keberadaan UNCLOS dapat dikatakan telah mengakhiri

ketidaktertiban hukum dalam pemanfaatan laut. Selain

mempertahankan berbagai zona maritim seperti perairan pedalaman,

laut territorial, landas kontinen dan laut lepas, UNCLOS telah

menetapkan sejumlah ketentuan baru seperti tentang selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional, perairan kepulauan, dan

ZEE, serta perubahan pada ketentuan tentang landas kontinen

(sampai dengan 200 mil atau lebih). Di samping itu UNCLOS juga

menciptakan suatu rezim zona maritim yang baru yaitu untuk dasar

laut samudera dalam di luar yurisdiksi nasional yang dikenal sebagai

international sea bed area yang ditetapkan sebagai “warisan bersama

umat manusia” (common heritage of mankind).

Untuk mengantisipasi timbulnya sengketa dalam

pengimplementasian ketentuan-ketentuan baru tersebut, UNCLOS

menyediakan suatui kerangka kelembagaan. Disamping kelembagaan

yang telah tersedia dalam lingkup PBB seperti specialized agencies

dan International Court of Justice (ICJ), UNCLOS mendirikan

Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS), International

Sea-bed Authority (ISBA) dan International Tribunal for the Law of the

Sea (ITLOS) untuk menjamin interpretasi yang tepat dan mudah dari

ketentuan-ketentuannya yang sangat kompleks tersebut. Seperti

diketahui meskipun UNCLOS dan Annex-nya mengandung ratusan

ketentuan-ketentuan yang rinci, masih tersedia kemungkinan adanya

perbedaan dalam interpretasi dan pengimplementasiannya. Dengan

demikian perlu kita perhatikan praktek negara-negara, serta fungsi

dari berbagai lembaga internasional yang disebutkan di atas untuk

memperjelas arti dan maksud dari ketentuan-ketentuan tersebut agar

menjamin pengimplementasiannya dengan baik. Dalam hal ini kerja

sama antar negara pihak disertai dukungan dari lembaga

internasional tersebut sangat penting untuk mencegah sengketa

tentang hukum laut.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

91

UNCLOS telah merumuskan pengaturan secara internasional

bagi pelbagai kegiatan kelautan, ke dalam suatu dokumen yang

terdiri dari 320 pasal dan aturan tambahannya yang dimuat dalam 9

buah lampiran serta beberapa resolusi pendukungnya. Sebagian

besar merupakan perubahan dan kodifikasi dari ketentuan-ketentuan

yang telah ada, akan tetapi bagian terpenting dari UNCLOS ini

menggambarkan usaha pembaharuan yang merefleksikan adanya

suatu perkembangan yang progresif (progressive development) dari

hukum internasional. Secara keseluruhan UNCLOS ini merupakan

suatu kerangka pengaturan yang sangat komprehensif dan meliputi

hampir semua kegiatan di laut, sehingga dianggap sebagai “a

constitution for the oceans”. Sejumlah pembaharuan dapat dilihat,

antara lain, pada perumusan ketentuan-ketentuan baru tentang ZEE,

negara kepulauan, selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional, perlindungan lingkungan laut, riset ilmiah kelautan,

serta perumusan ketentuan-ketentuan, mekanisme serta prosedur

penambangan daerah dasar laut samudra dalam yang terletak di luar

yurisdiksi nasional.

Hal lain yang cukup menarik adalah bahwa UNCLOS

mengandung beberapa kewajiban kerja sama bagi negara pihak.

Salah satu contoh adalah adanya kewajiban kerja sama regional di

bidang pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber

daya hayati laut. Selain dari itu UNCLOS juga menganjurkan kerja

sama serupa di bidang perlindungan lingkungan laut dan riset ilmiah

kelautan. Sejak mulai berlakunya, UNCLOS telah mengalami

perkembangan dengan diadakannya secara terus-menerus

pertemuan-pertemuan lebih lanjut mengenai pelaksanaannya melalui

pelbagai forum. Seperti diketahui, sebagai kelanjutan dari

pelaksanaan Konvensi telah dibentuk antara lain, International

Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), Commission on the Limits of the

Continental Shelf (CLCS), dan telah dilengkapi dengan dua perjanjian

tambahan, yaitu Perjanjian Tambahan (Implementing Agreement)

tahun 1994 tentang Implementasi Bab XI dan tahun 1995 tentang

jenis ikan yang sama atau persediaan jenis ikan yang termasuk

dalam jenis yang sama di ZEE dua negara atau di ZEE dan zona

diluar dan yang berdekatan dengannya (Pasal 63) dan jenis ikan yang

PUSAT PUU B

K DPR R

I

92

bermigrasi jauh (Pasal 64) yang dikenal sebagai Straddling Stocks dan

Highly Migratory Stocks.

UNCLOS dibagi ke dalam tujuh belas bab, dan empat belas bab

daripadanya mengatur tentang berbagai hal, antara lain tentang

pengertian atau istilah dan ruang lingkup berlakunya. Bab-bab

selanjutnya berisi ketentuan-ketentuan tentang laut teritorial dan

zona tambahan; selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;

negara kepulauan; zona ekonomi eksklusif; landas kontinen; laut

lepas; pulau; laut tertutup dan setengah tertutup; hak negara tak

berpantai untuk akses ke dan dari laut serta kebebasan transit;

daerah dasar laut samudera dalam (Kawasan); perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut; riset ilmiah kelautan; dan

pengembangan dan alih teknologi kelautan. Tiga Bab terakhir berisi

ketentuan tentang Penyelesaian Sengketa (Bab XV), Ketentuan Umum

(Bab XVI) dan Ketentuan Penutup.

Di samping itu, UNCLOS juga dilengkapi dengan sembilan

lampiran (Annex) yang berisi ketentuan-ketentuan lebih lanjut

tentang jenis ikan yang bermigrasi jauh; komisi tentang batas-batas

landas kotinen; persyaratan dasar untuk prospekting, eksplorasi dan

eksploitasi di Kawasan; anggaran dasar Enterprise (sebagai pelaksana

kegiatan di Kawasan); konsiliasi; Statuta Mahkamah Internasional

Hukum Laut (ITLOS); Arbitrase; Arbitrase Khusus, dan partisipasi

organisasi internasional. Seperti telah diuraikan sebelumnya

Konvensi ini juga dilengkapi dengan dua Perjanjian Tambahan.

UNCLOS serta Resolusi-Resolusi yang menyertainya merupakan

suatu dokumen hukum yang sangat luas, dan bagi mereka yang tidak

familiar atau kurang mengikutinya sangat kompleks dan

membingungkan. Hal ini terbukti dari banyaknya para ahli, bahkan

ahli hukum, yang mencoba menginterpretasikan ketentuan-

ketentuan konvensi dengan cara selain “pick and choose” juga tanpa

memperhatikan sejarah dan tujuan pembentukannya.

Keterkaitan antara UNCLOS dengan RUU tentang Perikanan

antara lain terletak pada pemanfaatan wilayah perairan Indonesia

yang meliputi landas kontinen, ZEE, dan wilayah perairan lepas

pantai lainnya. Dalam UNCLOS dibenarkan bahwa setiap negara

memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah lautan mulai dari

wilayah landas kontinen 12 mil hingga ZEE 200 mil. Dalam wilayah

PUSAT PUU B

K DPR R

I

93

kedaulatan atau yurisdiksi sebagaimana dimaksud, negara memiliki

wewenang untuk melakukan pemanfaatan dan pendayagunaan

secara menyeluruh terhadap wilayah laut tersebut. Ditegaskan pula

dalam hal wilayah laut itu berbatasan secara langsung dengan

wilayah laut dari negara lain maka penyelesaiannya ditetapkan

melalui kesepakatan bersama antara kedua negara tersebut.

Pemanfaatan terhadap wilayah laut termasuk didalamnya persoalan

perikanan mulai dari penangkapan hingga aktifitas penjagaan

ketersediaan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan.

Dalam RUU Perikanan nantinya harus mengakomodir mengenai

batasan atas yurisdiksi wilayah perairan yang diperkenankan untuk

mengambil sumberdaya alam hayati berupa komoditi perikanan.

Aspek pengelolaan lingkungan mulai dari penangkapan, larangan

penggunaan bahan dan alat tangkap yang mengganggu ekosistem

dan keselamatan lingkungan, pencemaran lingkungan hidup, hingga

kewajiban ganti rugi dan rekonsiliasi atas sengketa yang timbul dari

pelanggaran wilayah perairan dan wilayah tangkap perikanan harus

pula diakomodir secara utuh didalam RUU tentang Perikanan.

J. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara

Nasional Indonesia (UU TNI)

UU TNI dibentuk karena adanya perubahan sistem

ketatanegaraan yang berimplikasi terhadap TNI, antara lain adanya

pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-

masing. Pembentukan Undang-Undang tentang TNI bertujuan untuk

membangun dan mengembangkan TNI secara profesional sesuai

dengan kepentingan politik negara yang mengacu pada nilai dan

prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan

hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah

diratifikasi.

TNI mempunyai tugas pokok yaitu menegakkan kedaulatan

negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi

segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman

dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. TNI

PUSAT PUU B

K DPR R

I

94

mempertahankan keutuhan dan kesatuan wilayah kekuasaan negara

dengan segala isinya, di darat, laut, dan udara yang batas-batasnya

ditetapkan dengan undang-undang.

Ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan

negara di antaranya adalah pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh

negara lain dan ancaman keamanan di laut atau udara yurisdiksi

nasional Indonesia yang dilakukan pihak-pihak tertentu, berupa

salah satunya penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian

kekayaan laut. TNI mempunyai wewenang dalam melindungi

kekayaan laut Indonesia yang dilakukan untuk kepentingan

pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan

nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Matra TNI Angkatan Laut (TNI AL) merupakan matra yang

bersinggungan langsung dengan kegiatan perikanan khususnya di

bidang pengawasan dan penyidikan. AL bertugas untuk

melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan,

menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut

yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan

hukum internasional yang telah diratifikasi, melaksanakan tugas

diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik

luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah, melaksanakan tugas

TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut,

dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.

UU Perikanan memberikan kewenangan kepada TNI AL

melalui penyidik perwira TNI AL dalam rangka penyidikan tindak

pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan NKRI.

Penyidik perwira TNI AL juga berwenang melakukan penyidikan

terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.

Lebih lanjut UU Perikanan menjabarkan secara rinci

kewenangan yang dimiliki oleh para penyidik. Salah satu kewenangan

yang secara nyata dilakukan oleh TNI AL adalah kewenangan untuk

menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau

menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak

pidana di bidang perikanan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

95

K. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia

Kepolisian merupakan alat negara yang mempunyai salah satu

fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan

ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pengemban fungsi

kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu

oleh kepolisian khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan/atau

bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kepolisian khusus adalah

instansi dan/atau badan Pemerintah yang oleh atau atas kuasa

undang-undang (peraturan perundang-undangan) diberi wewenang

untuk melaksanakan fungsi kepolisian dibanding teknisnya masing-

masing. Wewenang bersifat khusus dan terbatas dalam “lingkungan

kuasa soal-soal” (zaken gebeid) yang ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya. Contoh dari

kepolisian khusus yaitu Balai Pengawasan Obat dan Makanan, Polsus

Kehutanan, dan lain-lain.

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain

adalah memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum,

melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa, dan melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana

dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam rangka menyelenggarakan tugas Kepolisian Negara

Republik Indonesia secara umum berwenang antara lain menerima

laporan dan/atau pengaduan, melaksanakan pemeriksaan khusus

sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan,

melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, dan mencari

keterangan dan barang bukti. Selain kewenangan secara umum,

Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai kewenangan di

bidang proses pidana yaitu melakukan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan; melarang setiap orang meninggalkan

atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan

penyidikan; membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik

dalam rangka penyidikan; membawa dan menghadapkan orang

kepada penyidik dalam rangka penyidikan; menyuruh berhenti orang

PUSAT PUU B

K DPR R

I

96

yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; memanggil orang

untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara; mengadakan penghentian penyidikan;

menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; memberi

petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri

sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil

untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan mengadakan

tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ketentuan

mengenai kewenangan di bidang proses pidana ini sangat terkait

dengan UU Perikanan karena ketentuan penyidikan dalam UU

Perikanan mengacu pada sebagian besar ketentuan kewenangan di

bidang proses pidana dalam Undang-Undang tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

Selain ketentuan kewenangan di bidang proses pidana,

ketentuan tugas dan kewenangan secara umum juga ikut menjadi

acuan dalam ketentuan penyidikan pada UU Perikanan, yaitu

ketentuan yang mengatur mengenai penerimaan laporan dan/atau

pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana di bidang

perikanan dan koordinasi antar penyidik dalam penanganan

penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.

L. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan

Indonesia (UU Perairan)

Indonesia merupakan negara kepulauan yang seluruh

wilayahnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan. Sebagai negara

kepulauan Indonesia memiliki suatu gugusan pulau, termasuk

bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-

lain sebagai wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain

demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah

lainnya merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan,

keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis

dianggap sebagai demikian. Penegasan bahwa Indonesia merupakan

negara kepulauan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perairan.

Keterkaitan antara UU Perairan dan UU Perikanan terdapat

dalam pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia. Definisi

PUSAT PUU B

K DPR R

I

97

perairan Indonesia terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Perairan yang

menyatakan bahwa perairan indonesia terdiri dari laut teritorial

Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.

Jadi dapat diketahui bahwa pengelolaan perikanan di perairan

Indonesia mencakup laut teritorial Indonesia beserta perairan

kepulauan dan perairan pedalamannya. Selain dalam UU Perairan

definisi mengenai perairan juga terdapat dalam Pasal 1 angka 20 dan

Pasal 3 ayat (1) UU Perikanan yang menyatakan bahwa Perairan

Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan

dan perairan pedalamannya. Jika melihat wilayah pengelolaan

perikanan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perikanan terlihat

bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk

penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi perairan

Indonesia; ZEEI; sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air

lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan

yang potensial di wilayah NKRI.

Jika melihat dalam UU Perikanan dan UU Perairan Indonesia

diketahui bahwa wilayah pengelolaan perikanan baik untuk

penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi laut

teritorial beserta perairan kepulauan dan perairan pedalaman, ZEEI,

dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang

dapat diudahakan serta lahan pembudidayaan ikan. Laut teritorial

dapat diartikan sebagai jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut

yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Sedangkan

perairan kepulauan diartikan semua perairan yang terletak pada sisi

dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan

kedalaman atau jaraknya dari pantai. UU Perairan juga memberikan

definisi mengenai perairan pedalaman yang diartikan semua perairan

yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai

Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang

terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.

Terkait dengan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan

pelestarian lingkungan perairan Indonesia yang salah satunya

dilakukan melalui sektor perikanan dilakukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan hukum internasional.

Meskipun Indonesia memiliki hak berdaulat di wilayah perairan

Indonesia, namun pemerintah Indonesia harus tetap menghormati

PUSAT PUU B

K DPR R

I

98

persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain yang

menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan kepulauan

yang meliputi pelaksanaan hak perikanan tradisional, hak akses dan

komunikasi negara tetangga yang langsung berdampingan,

pemasangan, pemeliharaan, dan penggantian kabel di dasar laut oleh

negara lain.

Di wilayah perairan Indonesia semua kapal dari berbagai

negara dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan

perairan kepulauan Indonesia. Lintas damai dapat diberikan jika

berkaitan dengan navigasi yang normal, atau perlu dilakukan karena

keadaan memaksa, mengalami kesulitan, memberi pertolongan

kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau

kesulitan. Lintas dianggap damai diberikan apabila tidak merugikan

kedamaian, ketertiban, atau keamanan Indonesia, dan dilakukan

sesuai dengan ketentuan konvensi dan hukum internasional yang

lain. Lintas oleh kapal asing dianggap membahayakan kedamaian,

ketertiban, atau keamanan Indonesia dan melakukan salah satu

kegiatan yang dilarang oleh konvensi dan/atau hukum internasional

termasuk setiap kegiatan perikanan.

Pemerintah Indonesia menetapkan alur laut dan skema

pemisahan lalu lintas di laut territorial dan perairan kepulauan dalam

rangka untuk melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal asing

yang melaksanakan hak lintas damai di perairan Indonesia, serta

untuk menjamin keselamatan pelayaran. Lintas damai melalui alur-

alur yang telah ditetapkan khususnya diperuntukan bagi lintas kapal

tanki, kapal bertenaga nuklir, dan kapal yang mengangkut muatan

yang berbahaya atau beracun, termasuk limbah radio aktif. Selain itu

alur lintas damai dapat juga ditetapkan untuk kepentingan

perlindungan perikanan, termasuk budidaya laut dan pelestarian

lingkungan laut. Penetapan alur-alur laut, terutama skema pemisah

lalu lintas tersebut dilakukan dengan bekerja sama dengan organisasi

internasional yang berwenang terutama dalam masalah teknis

keselamatan pelayaran.

Selain itu keterkaitan antara UU Perikanan dan UU Perairan

Indonesia dapat dilihat dalam Bab V UU Perairan Indonesia mengenai

penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia. Dalam

rangka untuk menegakkan hukum di perairan Indonesia, ruang

PUSAT PUU B

K DPR R

I

99

udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya maka diperlukan

pengawasan oleh pemerintah. Pengawasan dalam sektor perikanan

dilakukan oleh pengawas perikanan yang merupakan pegawai negeri

sipil yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh menteri

atau pejabat yang ditunjuk. Di samping itu pengawas perikanan juga

dapat dididik untuk menjadi Penyidik Pengawai Negeri Sipil

Perikanan. Sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukan, sesuai

dengan ketentuan konvensi hukum internasional dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

M. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina

Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (UU KHIT)

Tindakan karantina sebagai suatu upaya pencegahan masuk

dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan,

atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari

suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam

wilayah negara Republik Indonesia. Lebih lanjut, tindakan karantina

merupakan salah satu cara untuk menghindarkan ancaman yang

dapat merusak kelestarian sumberdaya perikanan dari hama dan

penyakit ikan. Kerusakan tersebut akan menurunkan hasil produksi

budidaya ikan, baik kuantitas maupun kualitas atau dapat

mengakibatkan musnahnya jenis-jenis ikan tertentu yang bernilai

ekonomis dan ilmiah tinggi. Bahkan beberapa penyakit hewan dan

ikan tertentu dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan

masyarakat.

Dalam UU Perikanan dan UU KHIT terdapat perbedaan dalam

mendefinisikan ikan. Dalam UU Perikanan Pasal 1 angka 4 “Ikan

adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus

hidupnya berada di dalam lingkungan perairan” dan penjelasan Pasal

7 ayat (6) UU Perikanan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“jenis ikan” adalah:

1. ikan bersirip (Pisces);

2. udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya (Crustacea);

3. kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan sebangsanya

(Mollusca);

4. ubur-ubur dan sebangsanya (Coelenterata);

PUSAT PUU B

K DPR R

I

100

5. tripang, bulu babi dan sebangsanya (Echinodermata);

6. kodok dan sebangsanya (Amphibia);

7. buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya

(Reptilia);

8. paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya (Mammalia);

9. rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam

air (Algae);

10. biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis

tesebut di atas, termasuk ikan yang dilindungi.

semuanya termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi.

Sedangkan definisi ikan dalam Pasal 1 angka 10 UU KHIT

“Ikan adalah semua biota perairan yang sebagian atau seluruh daur

hidupnya berada di dalam air, dalam keadaan hidup atau mati,

termasuk bagian-bagiannya.

Pada Pasal 41A huruf j disebutkan bahwa fungsi pelabuhan

perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya

dapat berupa tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan. Hal ini

berhubungan dengan kegiatan karantina dimana pada Pasal 5 UU

KHIT dimana setiap media pembawa hama dan penyakit hewan

karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme

pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah

NKRI wajib:

1. dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit

bagi hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan,

tumbuhan dan bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa

yang tergolong benda lain;

2. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;

3. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di

tempat-tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina.

N. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE)

UU KSDAHE merupakan dasar hukum yang berlaku dalam

penyelenggaraan perlindungan sistem penyangga kehidupan,

pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam

PUSAT PUU B

K DPR R

I

101

hayati dan ekosistemnya, agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi

kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan

manusia. UU ini mencakup semua segi di bidang KSDAHE.

Adapun keterkaitan UU KSDAHE dengan UU Perikanan adalah

mencakup lingkup dari pengaturan UU KSDAHE yang meliputi

ekosistem, tumbuhan, dan satwa yang ada di wilayah perairan.

Ekosistem dalam hal ini adalah mencakup kawasan suaka alam,

cagar alam, kawasan pelestarian alam, cagar biosfer, suaka alam,

taman hutan raya, maupun taman wisata yang ada diwilayah

perairan. Adapun tumbuhan dan satwa mencakup tumbuhan dan

satwa liar yang berada di wilayah konservasi yang ada diwilayah

perairan.

Di dalam ketentuan Pasal 5 UU KSDAHE dinyatakan bahwa

KSDAHE dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga

kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa

beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan secara lestari sumber daya

alami hayati dan ekosistemnya. Selain itu ketentuan larangan

maupun sanksi terkait konservasi yang ada di wilayah perairan harus

juga disinkronkan dengan UU KSDAHE. Ini berarti, segala tindakan

KSDAHE yang ada di wilayah perairan yang telah diatur di dalam UU

Perikanan atau akan diatur di dalam RUU Perikanan harus

disinkronkan substansinya dengan materi yang ada di dalam UU

KSDAHE.

Kegiatan konservasi di dalam UU Perikanan mencakup

konservasi sumber daya ikan, yang di dalam Pasal 1 angka 8 UU No.

45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai perlindungan, pelestarian, dan

pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan

genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan

kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Adapun usaha

konservasi pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan melalui upaya

konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika

ikan (Pasal 13 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004). Kemudian Penjelasan

Pasal 13 ayat (1) menjelaskan bahwa konservasi sumber daya

perikanan Kawasan konservasi yang terkait dengan perikanan, antara

lain, adalah terumbu karang, padang lamun, bakau, rawa, danau,

sungai, dan embung yang dianggap penting untuk dilakukan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

102

konservasi. Dalam hal ini Pemerintah dapat melakukan penetapan

kawasan konservasi, antara lain, sebagai suaka alam perairan, taman

nasional perairan, taman wisata perairan, dan/atau suaka perikanan.

Selain itu pengaturan terkait dengan konservasi perikanan

yang ada di UU No. 45 Tahun 2009 mencakup juga substansi

mengenai penetapan jenis ikan yang dilindungi (Pasal 7 ayat (6)),

penetapan Menteri dalam mendukung kebijakan pengelolaan

konservasi sumber daya perikanan (Pasal 7 ayat (1) huruf r),

penggunaan pungutan perikanan untuk konservasi (Pasal 50),

pengawasan (Pasal 66 ayat (3)), serta tugas dan tempat pengawas

perikanan (Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 66B ayat (2) huruf f).

Substansi pengaturan terkait konservasi yang ada di dalam UU

Perikanan ini harus sinkron dengan UU KSDAHE.

O. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

Ekslusif (UU ZEE)

UU ZEE dibentuk dengan tujuan untuk menjamin eksistensi

hukum laut di wilayah Indonesia. Eksistensi hukum laut itu

diwujudkan dalam bentuk perlindungan yang mencakup beberapa

hal diantaranya; (i) perlindungan dalam rangka peningkatan

kesejahteraan bangsa dengan memanfaatkan segala sumber daya

alam yang tersedia baik hayati maupun non hayati; (ii) penjaminan

kegiatan penelitian ilmiah di wilyah yurisdiksi hukum laut Indonesia;

(iii) pemanfaatan segenap energi potensial dan efektif yang dapat

diperoleh dari wilayah hukum laut Indonesia; (iv) legitimasi wilayah

ZEE sebagai mana yang telah di atur dalam konvensi hukum laut

internasional yang mengakui wilayah ZEE sejauh 200 mil dari lepas

pantai. Selain itu, UU ZEE berperan juga sebagai payung hukum

yang mengatur segala bentuk aspek pendayagunaan dan pengelolaan

atas wilayah laut Indonesia.

UU ZEE ini terdiri dari 9 Bab dan 21 Pasal. UU ZEE mengatur

mulai dari hak kedaulatan negara beserta yurisdiksi dan kewajiban-

kewajibannya, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di wilayah

ZEE, ganti rugi terhadap pelanggaran wilayah ZEE, dan penegakan

hukum di wilayah ZEE Indonesia. Dari beberapa hal pokok yang

diatur dalam UU ini menggambarkan bahwa penyelenggaran

kedaulatan di wilayah laut Indonesia merupakan suatu tindakan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

103

serius dalam rangka menjamin yurisdiksi dan pemanfaatan secara

tepat dan bertanggung jawab atas wilayah ZEE Indonesia.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 UU ZEE,

ZEE Indonesia diartikan sebagai jalur di luar dan berbatasan dengan

laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-

undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar

laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200

mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dari

ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang 200 mil wilayah

ZEE, Indonesia memiliki kedaulatan penuh termasuk aspek

pemanfaatan dan pendayagunaan atas sumber-sumber yang

terkandung baik dipermukaan maupun yang ada di dalam wilayah

laut ZEE Indonesia. Bertolak dari adanya penjaminan atas

pemanfaatan itu, dapat dipahami bahwa keterkaitan utama antara

UU ZEE dengan Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan dapat

dilihat dari adanya kepastian untuk memanfaatkan sumber daya

alam hayati berupa perikanan secara bertanggung jawab demi

kesejahteraan bangsa.

Keterkaitan lainnya terletak dalam Pasal 4 UU ZEE tentang

prinsip kedaulatan dan yurisdiksi. Hak berdaulat untuk melakukan

eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya

alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya

serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi

dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, termasuk di dalamnya

pemanfaatan terhadap kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan yang

dilakukan di dalam wilayah ZEE itu harus dilakukan secara berdaya

guna dan tepat guna dengan memperhatikan aspek pengelolaan,

ketersedian dan keberlanjutan sumber daya alam, dan lingkungan.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di wilayah ZEE termasuk di

dalamnya aspek pengelolaan baik eksploitasi dan eksplorasi

dilakukan berdasarkan izin Pemerintah Republik Indonesia atau

berdasarkan ketentuan yang diatur dalam konvensi-konvensi hukum

internasional. Oleh sebab itu kegiatan perikanan terutama

penangkapan ikan diwilayah ZEE Indonesia harus dilakukan

berdasarkan izin Pemerintah dan dengan memperhatikan aspek

lingkungan sehingga kegiatan pemanfaatan perikanan tidak dapat

PUSAT PUU B

K DPR R

I

104

dilakukan secara sembarangan dan tanpa memperhatikan aspek

pengelolaan dan pencemaran lingkungan.

P. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil

Perikanan (UU Bagi Hasil Perikanan)

UU Bagi Hasil Perikanan ini bertujuan untuk meningkatkan

taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta

memperbesar produksi ikan, sehingga proses bagi hasil tersebut

harus sejauh mungkin menghilangkan unsur-unsurnya yang bersifat

pemerasan dan semua pihak yang turut serta masing-masing

mendapat bagian yang adil dari usaha itu. Sebelum UU Bagi Hasil

Perikanan tersebut dikeluarkan, bagi hasil di bidang perikanan

diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan hukum adat setempat

yang menurut ukuran sosialisme Indonesia pada waktu itu belum

memberikan dan menjamin bagian yang layak bagi para nelayan

penggarap dan penggarap tambak.

Perjanjian bagi hasil perikanan menurut UU Bagi Hasil

Perikanan adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha

penangkapan atau pemeliharaan ikan antara nelayan penggarap

dengan nelayan pemilik atau antara petani penggarap tambak dengan

petani pemilik tambak. Menurut perjanjian, mereka masing-masing

menerima bagian dari hasil usaha tersebut menurut imbangan yang

telah disetujui sebelumnya.

Pasal 3 ayat (1) UU Bagi Hasil Perikanan menyebutkan bahwa

jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian

bagi-hasil, maka dari hasil usaha itu kepada pihak nelayan

penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan

bagian sebagai berikut, yaitu: Pertama, untuk perikanan laut. Jika

dipergunakan perahu layar: minimum 75% (tujuh puluh lima persen)

dari hasil bersih; sedangkan, jika dipergunakan kapal motor:

minimum 40% (empat puluh persen) dari hasil bersih. Kedua, untuk

perikanan darat. Mengenai hasil ikan pemeliharaan minimum 40%

(empat puluh persen) dari hasil bersih, sedangkan mengenai hasil

ikan liar minimum 60% (enam puluh persen) dari hasil kotor.

Selanjutnya pada ayat (2) dijelaskan, bahwa pembagian hasil diantara

para nelayan penggarap dari bagian yang mereka terima menurut

ketentuan dalam ayat 1 pasal ini diatur oleh mereka sendiri, dengan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

105

diawasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan untuk

menghindarkan terjadinya pemerasan, dengan ketentuan, bahwa

perbandingan antara bagian yang terbanyak dan yang paling sedikit

tidak boleh lebih dari 3 (tiga) lawan 1 (satu).

Kemudian Pasal 4 UU Bagi Hasil Perikanan menjelaskan

bahwa angka bagian pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak

sebagai yang tercantum dalam Pasal 3 ditetapkan dengan ketentuan,

bahwa beban-beban yang bersangkutan dengan usaha perikanan itu

harus dibagi sebagai berikut: Pertama, untuk perikanan laut. Beban-

beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan

pihak nelayan penggarap antara lain: ongkos lelang, uang

rokok/jajan, dan biaya perbekalan untuk para nelayan penggarap

selama di laut, biaya untuk sedekah laut (selamatan bersama) serta

iuran-iuran yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang

bersangkutan seperti untuk koperasi dan pembangunan

perahu/kapal, dana kesejahteraan, dana kematian, dan lain-lainnya.

Sedangkan beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik

antara lain: ongkos pemeliharaan dan perbaikan perahu/kapal serta

alat-alat lain yang dipergunakan, penyusutan dan biaya eksploitasi

usaha penangkapan, seperti untuk pembelian solar, minyak, es, dan

lain sebagainya.

Kedua, untuk perikanan darat. Bahan-bahan yang menjadi

tanggungan bersama dari pemilik tambak dan penggarap tambak,

uang pembeli benih ikan pemeliharaan, biaya untuk pengeduk

saluran (caren), biaya-biaya untuk pemupukan tambak dan

perawatan pada pintu-air serta saluran, yang mengairi tambak yang

diusahakan itu. Sedangkan, bahan-bahan yang menjadi tanggungan

pemilik tambak; disediakannya tambak dengan pintu-air dalam

keadaan yang mencukupi kebutuhan, biaya untuk memperbaiki dan

mengganti pintu-air yang tidak dapat dipakai lagi serta pembayaran

pajak tanah yang bersangkutan; dan bahan-bahan yang menjadi

tanggungan penggarap tambak: biaya untuk menyelenggarakan

pekerjaan sehari-hari yang berhubungan dengan pemeliharaan ikan

didalam tambak, dan penangkapannya pada waktu panen.

Dalam UU Perikanan, saat ini tidak diatur secara khusus

mengenai sistem bagi hasil perikanan, akan tetapi UU Perikanan

tersebut telah mengamanatkan pengusaha perikanan untuk

PUSAT PUU B

K DPR R

I

106

mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan

kelompok nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil dalam kegiatan

usaha perikanan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

107

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian

besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang

sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki

merupakan rahmat dan karunia dari Tuhan yang dapat dimanfaatkan

untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan

nasional. Tugas Negara adalah untuk melindungi segala tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum

sebagaimana diamanatkan Alinea Ketiga Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945.

Upaya perlindungan dan memajukan kesejahteraan tersebut

dilakukan melalui penyelenggaraan perikanan yang memanfaatkan

secara optimal, yang diarahkan pada pendayagunaan sumber daya

ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan

kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,

meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil,

meningkatkan penerimaan dari devisa negara, menyediakan

perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai

tambah dan daya saing hasil perikanan serta menjamin kelestarian

sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan serta tata ruang. Hal

ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan harus

seimbang dengan daya dukungnya, sehingga diharapkan dapat

memberikan manfaat secara terus menerus. Salah satunya dilakukan

dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan

pengelolaan perikanan.

Selain itu pemerintah juga melakukan upaya perlindungan

potensi perikanan melalui kebijakan dan pengaturan pengelolaan

perikanan berupa pengawasan, sekaligus penegakaan hukum untuk

menjaga potensi perikanan Indonesia agar tidak hanya diekploitasi

negara lain maupun kekuatan asing, tetapi sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan:

“bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalammnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat.”

PUSAT PUU B

K DPR R

I

108

Selain itu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai

Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations

Convention on the Law of the Sea 1982, menempatkan Indonesia

memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan

pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan SDI di Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Laut Lepas yang dilaksanakan

berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum pengelolaan sumber daya

ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber

daya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dan

teknologi melalui perubahan UU Perikanan yang dapat

mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan yang

sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan

ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya

ikan, perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin

efektif, efisien, dan modern maupun upaya pengawasan dan

penegakan hukum.

B. Landasan Sosiologis

Potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki merupakan

potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan

bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Kita harus

dapat mengantisipasi terjadinya perubahan di bidang perikanan, baik

yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian

lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode

pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern.

Sektor perikanan di Indonesia telah sedemikian rupa diatur dan

dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 45

Tahun 2009. Dalam perjalanan selama lebih dari 10 tahun masih

terdapat berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan perikanan.

Kondisi dan permasalahan yang ada memang tidak seluruh

bersumber dari kekuranglengkapan norma pengaturan di tingkat

undang-undang. Namun demikian banyak faktor kebijakan yang

harus dibenahi dan diperkuat dalam konteks penyelengaraan

perikanan yang harus dilakukan di tingkat undang-undang.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

109

Secara umum permasalahan lingkup pengaturan, pembagian

tugas dan kewenangan di tingkat pusat dan daerah dalam

penyelenggaraan perikanan, pengaturan pengelolaan, pengolahan dan

pemasaran hasil perikanan, dan aspek pengawasan dan penegakan

hukum masih menjadi kendala dan belum sepenuhnya dapat dijawab

dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun

2009.

Lingkup pengaturan UU Perikanan saat ini lebih

menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan pengaturan

perikanan budidaya dirasa belum komprehensif. Dalam praktiknya

perikanan budidaya membutuhkan pengaturan yang lebih

komprehensif mengingat potensi dan pengembangannya ke depan

akan semakin signifikan. Saat ini belum diatur secara jelas mengenai

zonasi bagi perikanan budidaya, sehingga nelayan budidaya kesulitan

untuk mengetahui wilayah yang dapat dilakukan pembudidayaan dan

menimbulkan terjadi konflik antara nelayan pembudidaya dan

nelayan tangkap ketika nelayan pembudidaya melakukan

pembudidayaan ikan di wilayah perairan.

Pada intinya penting untuk mengatur tata ruang bagi

perikanan budidaya agar tidak terjadi pencemaran dan perebutan

lahan. Saat ini belum ada kebijakan yang jelas mengenai roadmap

riset-riset strategis dibidang rekayasa teknologi budidaya dan

revitalisasi program reservaat (suaka perikanan) untuk

pengembangan usaha budidaya.

Penyelenggaraan perikanan juga erat kaitannya dengan otonomi

daerah, terutama masalah kewenangan dan perizinan, serta tentang

kesyahbandaran. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan terkait

kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam

penyelenggaraan perikanan harus dilakukan sinkronisasi. Di sisi lain,

masyarakat masih menemukan kendala akibat adanya perubahan

kebijakan pembagian kewenangan tersebut terutama terkait dengan

aspek perizinan dan pengawasannya.

Degradasi sumberdaya kelautan dan perikanan, dikarenakan

eksploitasi yang tidak berwawasan lingkungan, maupun dampak dari

kegiatan sektor lain seperti pertambangan, minyak dan gas bumi di

PUSAT PUU B

K DPR R

I

110

wilayah perairan yang menyebabkan pencemaran laut, gejala

penangkapan ikan yang berlebihan, degradasi fisik habitat pesisir,

pencurian ikan (illegal fishing) dan pembuangan limbah secara illegal

menjadi pekerjaan rumah dalam pengelolaan potensi perikanan di

Indonesia.

Selain itu, mutu hasil produk perikanan masih harus terus

ditingkatkan sehingga nilai jual hasil perikanan baik di pasar lokal,

nasional, regional maupun global bisa lebih bersaing. Keamanan

pangan (food safety) merupakan syarat mutlak bagi negara importer,

kondisi ini masih harus terus ditingkatkan bagi nelayan kita agar

dapat bersaing di tingkat global. Sarana dan prasarana penunjang

juga menjadi syarat multak peningkatan kualitas hasil perikanan.

Kita harus dapat meningkatkan kemampuan teknologi pasca panen

yang meliputi penanganan dan pengolahan produk perikanan sesuai

dengan selera konsumen dan standar mutu produk secara

internasional terutama persyaratan sanitasi.

Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan karena

lemahnya market intelegence yakni penguasaan informasi tentang

pesaing, segmen pasar, dan selera konsumen, serta belum

memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan

komunikasi untuk mendukung distribusi produk perikanan dari

produsen ke konsumen secara tepat waktu menjadi kendala bagi

distribusi dan pemasaran hasil perikanan yang efisien dan

menguntungkan.

Aspek pengawasan dan penegakan hukum di sektor perikanan

masih menyisakan masalah penting terkait mekanisme koordinasi

antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana

di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum

acara, terutama mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan

perkara; permasalahan waktu penahanan tersangka/terdakwa;

pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (In absensia); permasalahan

pemanfaatan kembali barang bukti berupa kapal; dan fasilitas dalam

penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan

penerapan tindakan hukum berupa penenggalaman kapal asing yang

beroperasi di wilayah perikanan Indonesia.

Kewenangan yang dimiliki oleh penyidik di bidang perikanan

khususnya cukup memadai untuk melakukan tindakan terhadap

PUSAT PUU B

K DPR R

I

111

setiap perbuatan pidana di bidang perikanan. Namun demikian

sampai saat ini penyidikan sebagian besar terfokus untuk tindak

pidana di bidang penangkapan ikan terutama di wilayah perairan

ZEEI dan kurang menyentuh tindak pidana di bidang budidaya,

pengolahan serta tindak pidana yang terjadi di perairan territorial.

Untuk itu diperlukan upaya untuk penguatan lembaga penyidik

perikanan khususnya PPNS dan Polri berupa peningkatan

kemampuan teknis penyidikan, dukungan pembiayaan serta

penyediaan sarana dan prasaran pendukung agar dapat menjangkau

dan menangani seluruh tindak pidana di bidang perikanan.

Selain alat bukti yang telah di atur di dalam KUHAP, untuk

memudahkan pembuktian pada proses pemeriksaan di pengadilan

perlu ditambahkan alat elektonik. Hal ini berkaitan dengan

pembuktian lokasi (lokus) terjadinya tindak pidana yang memerlukan

data dari alat elektronik seperti Vessel Monitoring System (VMS), GPS,

dan lain-lain. Kendala lainnya terkait alat bukti adalah tempat

penyimpanan barang bukti tindak pidana perikanan khususnya

Kapal.

Pada dasarnya pelaksanaan fungsi pengadilan perikanan yang

menuntut suatu proses penyelesaian perkara yang mudah, murah

dan cepat secara umum telah berjalan dengan baik. Namun disadari

aspek waktu penyelesaiaan perkara utamanya perkara perikanan

yang terjadi di ZEE Indonesia oleh nelayan asing masih berlangsung

lebih dari 30 hari melebihi batas waktu penyelesaian perkara

berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan. Nelayan asing umumnya hanya dapat berkomunikasi

menggunakan bahasa daerah asalnya sehingga proses pemeriksaan

di pengadilan sangat tergantung oleh penterjemah. Secara umum

penterjemah yang memahami bahasa daerah nelayan asing tersebut

sulit ditemukan.

Perluasan yurisdiksi dan penambahan jumlah pengadilan

perikanan dan pembentukannya di tingkat banding dan kasasi juga

menjadi wacana yang penting agar penegakan hukum mampu

mencakup seluruh wilayah Indonesia. Saat ini penyelesaian perkara

pidana perikanan di tingkat kasasi relatif berlangsung lama bahkan

mencapai 1 tahun. Hal tersebut kemungkinan di sebabkan oleh

belum dibentuknya Hakim Ad hoc Perikanan di tingkat kasasi.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

112

C. Landasan Yuridis

Penyelenggaraan Perikanan yang selama ini dilaksanakan

berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah

dengan UU Nomor 45 tahun 2009 telah berlangsung lebih dari

sepuluh tahun dan dalam kurun waktu tersebut terdapat berbagai

permasalahan hukum mengingat adanya perkembangan dan

dinamika penyelenggaraan perikanan yang terjadi. Saat ini ada

beberapa undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan

perikanan, diantaranya UU Nomor 27 tahun 2007 sebagaimana telah

diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang

Kelautan, serta yang baru saja disahkan UU Nomor 7 Tahun 2016

tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya

Ikan, dan Petambak Garam. Dari beberapa ketentuan tersebut, dapat

dijadikan acuan dalam membangun paradigma baru terhadap

penyelenggaraan Perikanan dengan memperluas ruang lingkup

termasuk perikanan budidaya, mengutamakan peran serta seluruh

pemangku kepentingan, pelibatan masyarakat, penguatan sistem

data dan informasi terkait sumber daya ikan, serta penegakan hukum

dan pemberian sanksi terutama terkait Illegal Unreported and

Unregulated Fishing.

Selanjutnya, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dilakukan

sinkronisasi terhadap pembagian kewenangan antara Pemerintah

pusat dan daerah terkait penyelenggaran Perikanan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

113

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rancangan Undang-Undang

tentang Perikanan

Jangkauan dan arah pengaturan RUU Perikanan bertujuan

untuk menegakkan kedaulatan kemaritiman Indonesia sekaligus

melaksanakan pemanfaatan sumber daya perikanan yang terkandung

di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dalam rangka

mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan nasional untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Arah pengaturan yang ingin diwujudkan dalam RUU

Perikanan yaitu untuk meningkatkan produktivitas sumber daya ikan

baik perikanan tangkap maupun budidaya, pelestarian lingkungan

pembudidayaan ikan, pemanfaatan sistem pendukung perikanan dan

penegakan hukum di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia agar

dapat berdaya guna dan bersaing guna.

Untuk mencapai hal tersebut maka penyelenggaraan

perikanan memiliki beberapa tujuan pokok, yaitu:

a. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan Perikanan;

b. menjamin kelestarian Sumber Daya Ikan dan Lingkungan Sumber

Daya Ikan;

c. meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein yang

memenuhi standar mutu dan keamanan pangan;

d. meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri

pengolahan Ikan dan industri lainnya;

e. meningkatkan penerimaan dan devisa negara;

f. meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;

dan

g. mendorong perluasan dan kesempatan kerja serta berusaha.

Pengaturan dalam RUU Perikanan yang terkait dengan

penyelenggaraan perikanan meliputi:

1. penambahan materi dan substansi baru dalam rangka

penyempurnaan RUU Perikanan yang berorientasi pada

kedaulatan maritim Indonesia dan dalam rangka mencapai

ketahanan pangan melalui pemanfaatan sumber daya perikanan

yang berkelanjutan atau lestari.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

114

2. pengaturan komponen Perikanan beserta segala aspek

pendukungnya meliputi pemberdayaan dan pengelolaan

perikanan tangkap, pengelolaan perikanan budi daya terpadu,

penyediaan sarana dan prasarana pendukung perikanan,

manajemen usaha perikanan, dan pelaksanaan kewenangan

pengawasan dan penegkan hukum perikanan di wilayah

pengelolaan perikanan Indonesia.

3. mencakup perencanaan dan pengelolaan perikanan, usaha

perikanan, kapal perikanan, pelabuhan, syahbandar, sistem data

dan informasi perikanan, pungutan perikanan, konservasi

perikanan, penelitian dan pengembangan di bidang perikanan,

pendidikan pelatihan dan penyuluhan perikanan, kerjasama

internasional di bidang perikanan, pengawasan perikanan serta

peran serta masyarakat dalam menjaga, mengelola dan

memanfaatkan sumber daya perikanan Indonesia.

B. Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Perikanan

1. Ketentuan Umum

Ketentuan umum ini memberikan definisi dan batasan

pengertian terhadap:

a. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan

lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi,

pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam

suatu sistem bisnis perikanan.

b. Sumber Daya Ikan adalah potensi semua jenis Ikan dan

organisme lain yang berhubungan dengan Ikan.

c. Sumber Daya Perikanan adalah potensi semua Sumber Daya

Ikan, sumber daya lingkungan, serta segala sumber daya buatan

manusia yang digunakan untuk memanfaatkan Sumber Daya

Ikan.

d. Lingkungan Sumber Daya Ikan adalah perairan tempat kehidupan

Sumber Daya Ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya.

e. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian

dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

f. Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk memperoleh Ikan di

perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat

PUSAT PUU B

K DPR R

I

115

dan cara yang mengedepankan asas keberlanjutan dan

kelestarian, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk

memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,

mengolah, dan/atau mengawetkannya.

g. Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk memelihara,

membesarkan, dan/atau membiakkan Ikan serta memanen

hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan

yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,

menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau

mengawetkannya.

h. Pengolahan Ikan adalah pengolahan hasil Penangkapan Ikan dan

Pembudidayaan Ikan untuk tujuan komersial.

i. Pengelolaan Perikanan adalah semua upaya, termasuk proses

yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,

perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi Sumber

Daya Ikan, implementasi, pemantauan dan evaluasi, serta

penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang

Perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain

yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas

sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

j. Hasil Perikanan adalah Ikan yang ditangani dan/atau diolah

dan/atau dijadikan produk akhir yang berupa Ikan segar, Ikan

beku, dan olahan lainnya.

k. Konservasi Sumber Daya Perikanan adalah segala upaya

perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan,

termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin

keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan

keanekaragaman Sumber Daya Ikan.

l. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang

digunakan untuk melakukan Penangkapan Ikan, mendukung

operasi Penangkapan Ikan, pembudidayaan Ikan, pengangkutan

ikan, pengolahan Ikan, pelatihan Perikanan, dan

penelitian/eksplorasi Perikanan.

m. Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak

menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang menggunakan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

116

kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros

ton (GT).

n. Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan

Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan

tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai

dengan budaya dan kearifan lokal.

o. Pembudi Daya Ikan adalah Setiap Orang yang mata

Pencahariannya melakukan Pembudidayaan Ikan air tawar, Ikan

air payau, dan Ikan air laut.

p. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan yang

melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari.

q. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik

yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan

hukum.

r. Surat Izin Usaha Perikanan yang selanjutnya disingkat SIUP

adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan Perikanan

untuk melakukan usaha Perikanan dengan menggunakan sarana

produksi yang tercantum dalam izin tersebut.

s. Surat Izin Penangkapan Ikan yang selanjutnya disingkat SIPI

adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap Kapal Perikanan

untuk melakukan Penangkapan Ikan yang merupakan bagian

tidak terpisahkan dari SIUP.

t. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan yang selanjutnya disingkat

SIKPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap Kapal

Perikanan untuk melakukan pengangkutan Ikan.

u. Perairan Indonesia adalah Laut Teritorial Indonesia beserta

perairan kepulauan dan perairan pedalamannya

v. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas)

mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

w. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disingkat

ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan dengan Laut Teritorial

Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang

yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,

tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200

(dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial

Indonesia.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

117

x. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam

ZEEI, Laut Teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia,

dan perairan pedalaman Indonesia.

y. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan

perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat

kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis Perikanan yang

digunakan sebagai tempat Kapal Perikanan bersandar, berlabuh,

dan/atau bongkar muat Ikan yang dilengkapi dengan fasilitas

keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang Perikanan.

z. Hari adalah hari kerja.

aa. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang Perikanan.

bb. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang

memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

cc. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

2. Materi yang akan diatur

a. Perencanaan Perikanan

Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan Perikanan dibentuk

perencanaan perikanan yang dilakukan secara sistematis, terpadu,

terarah, menyeluruh, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan

karakteristik Perikanan setempat. Perencanaan perikanan dilakukan

berdasarkan pada:

a. daya dukung Sumber Daya Perikanan;

b. potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. potensi lahan dan Perairan;

d. rencana tata ruang wilayah;

e. rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana

tata ruang laut nasional, dan rencana zonasi kawasan laut;

f. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

g. kebutuhan sarana dan prasarana;

PUSAT PUU B

K DPR R

I

118

h. kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian dengan budaya

setempat; dan

i. tingkat pertumbuhan ekonomi.

Perencanaan perikanan merupakan bagian yang integral dari:

rencana pembangunan nasional; rencana pembangunan daerah;

rencana anggaran pendapatan dan belanja negara; dan rencana

anggaran pendapatan dan belanja daerah. Perencanaan perikanan

paling sedikit memuat kebijakan dan strategi. Kebijakan dan strategi

perikanan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

sesuai dengan kewenangannya. Perencanaan Perikanan disusun oleh

Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya. Perencanaan Perikanan disusun di tingkat nasional,

provinsi, dan kabupaten/kota. Perencanaan Perikanan ditetapkan

oleh Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah

kabupaten/kota menjadi rencana Perikanan baik jangka pendek,

jangka menengah, maupun jangka panjang.

Perencanaan Perikanan terdiri atas rencana Perikanan

nasional; rencana Perikanan provinsi; dan rencana Perikanan

kabupaten/kota. Rencana Perikanan nasional menjadi pedoman

untuk menyusun perencanaan Perikanan di tingkat provinsi.

Sedangkan Rencana Perikanan provinsi menjadi pedoman untuk

menyusun perencanaan Perikanan di tingkat kabupaten/kota.

Rencana Perikanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota menjadi

pedoman untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan

Perikanan.

b. Pengelolaan Perikanan

Kebijakan Pengelolaan Perikanan dalam wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk

melindungi, memanfaatkan, dan melestarikan Sumber Daya

Perikanan secara optimal dan berkelanjutan, dengan

mempertimbangkan potensi Sumber Daya Perikanan Indonesia.

Untuk mendukung kebijakan pengelolaan perikanan, Menteri

menetapkan:

1) rencana pengelolaan perikanan;

2) potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

PUSAT PUU B

K DPR R

I

119

3) jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4) potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

5) potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

6) jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;

7) jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan

ikan;

8) daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;

9) persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan

ikan;

10) pelabuhan perikanan;

11) sistem pemantauan kapal perikanan;

12) jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;

13) jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan

ikan berbasis budi daya;

14) pembudidayaan ikan dan perlindungannya;

15) pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta

lingkungannya;

16) rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta

lingkungannya;

17) ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;

18) kawasan konservasi perairan;

19) wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;

20) jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan

dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan

21) jenis ikan yang dilindungi.

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan

pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan yang ditetapkan

oleh Menteri. Kewajiban untuk mematuhi ketentuan mengenai sistem

pemantauan kapal perikanan dikecualikan bagi Nelayan Kecil,

Nelayan Tradisional, dan/atau Pembudidaya Ikan kecil. Dalam

pengelolaan perikanan maka ditetapkan potensi dan jumlah

tangkapan yang diperbolehkan, setelah mempertimbangkan

rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

120

Komisi nasional ini dibentuk oleh Menteri dan beranggotakan para

ahli di bidangnya, yang berasal dari lembaga terkait.

Dalam kebijakan pengelolaan perikanan terdapat kawasan

konservasi perairan dan jenis ikan yang dilindungi yang

diperuntukkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,

pariwisata, dan/atau kelestarian Sumber Daya Perikanan. Dalam

kebijakan pengelolaan perikanan Pemerintah Pusat mengatur

pemasukan, pengeluaran, dan/atau transit jenis calon induk, induk,

dan/atau benih Ikan ke dalam dan ke luar wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu

Pemerintah Pusat mengatur dan mengembangkan penggunaan

sarana dan prasarana Pembudidayaan Ikan dalam rangka

pengembangan Pembudidayaan Ikan.

Pemerintah Pusat mengatur dan membina tata kelola air dan

lahan pembudidayaan Ikan. Pelaksanaan tata kelola air dan lahan

Pembudidayaan Ikan dilakukan sesuai dengan kebutuhan teknis

Pembudidayaan Ikan dan menghindari penggunaan lahan yang dapat

merugikan pembudidayaan Ikan, termasuk ketersediaan sabuk hijau.

Pengaturan dan pembinaan dilakukan dalam rangka menjamin

kuantitas dan kualitas air serta perairan untuk kepentingan

pembudidayaan Ikan. Pada dasarnya pelaksanaan tata kelola air dan

lahan Pembudidayaan Ikan dilakukan oleh pemerintah daerah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pembinaan tata

kelola air dan lahan Pembudidayaan Ikan diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

Dalam kebijakan pengelolaan perikanan maka Pemerintah

Pusat menetapkan persyaratan dan standar serta melakukan

pengawasan terhadap alat pengangkut, unit penyimpanan hasil

produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan

lingkungannya. Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengelolaan

kesehatan ikan dan lingkungannya berkewajiban untuk melibatkan

masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan

standar serta pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil

produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan

lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan

lingkungannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

121

Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk

penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi perairan

Indonesia; ZEEI; dan landas kontinen. Pengelolaan perikanan di luar

wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara

umum.

Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Kebebasan menangkap

ikan dikecualikan di dalam kawasan zona inti konservasi perairan,

wilayah hak perikanan tradisional, dan/atau wilayah izin pengelolaan

Perikanan. Disamping nelayan kecil Pembudi daya ikan kecil juga

bebas membudidayakan komoditas ikan pilihan di seluruh wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut

mengenai wilayah pengelolaan perikanan dan kebebasan untuk

menangkap serta membudidayakan ikan diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Dalam wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia

untuk kepentingan penangkapan Ikan diberikan pengakuan terhadap

pengelolaan Perikanan yang dilakukan masyarakat hukum adat yang

diakui keberadaannya. Selain pengakuan terhadap masyarakat

hukum adat, Pemerintah Daerah memberikan izin pengelolaan

Perikanan kepada Nelayan Kecil yang berbasis masyarakat.

Pengelolaan perikanan harus dijalankan dengan sistem pengelolaan

yang menjamin kelestarian, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Terkait

dengan Izin pengelolaan perikanan dapat berupa hak pengelolaan

wilayah laut tertentu dan pengelolaan bagian dari alokasi

penangkapan yang diperbolehkan untuk satu atau lebih jenis

kelompok ikan.

Pengelolaan yang dilakukan masyarakat hukum adat dan

Nelayan Kecil yang berbasis masyarakat harus sesuai dengan rencana

pengelolaan perikanan di suatu wilayah Pengelolaan Perikanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Izin pengelolaan perikanan

diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Nelayan Kecil secara

berkelompok. Kelompok nelayan harus menyusun rencana aksi

pengelolaan Perikanan. Rencana aksi pengelolaan Perikanan menjadi

dasar bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan izin pengelolaan,

PUSAT PUU B

K DPR R

I

122

evaluasi, atau pencabutan izin pengelolaan. Ketentuan lebih lanjut

mengenai mekanisme dan tata cara, serta kriteria penetapan wilayah

izin pengelolaan Perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

c. Usaha Perikanan

Usaha Perikanan merupakan kegiatan yang dilaksanakan

dengan sistem bisnis Perikanan yang meliputi praproduksi, produksi,

pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran. Jenis Usaha Perikanan

terdiri atas usaha perikanan tangkap; perikanan budidaya;

pengangkutan perikanan; pengolahan perikanan; dan pemasaran

perikanan.

Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib

memiliki SIUP dan setiap orang dapat memiliki satu jenis atau

gabungan beberapa jenis usaha perikanan. SIUP diperoleh melalui

pelayanan terpadu satu pintu yang bertujuan membantu Setiap

Orang dalam memperoleh kemudahan pelayanan perizinan usaha

Perikanan. Pelayanan terpadu satu pintu dilaksanakan secara

bersama oleh instansi yang berwenang di bidang Perikanan dan

perhubungan. Ketentuan mengenai mekanisme, tata cara, dan

pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu diatur dengan Peraturan

Presiden.

Kewajiban memiliki SIUP dikecualikan bagi Nelayan Kecil

dan/atau Pembudi Daya Ikan Kecil. Meskipun dibebaskan dari SIUP,

Nelayan Kecil dan Pembudi Daya Ikan Kecil harus mendaftarkan diri,

usaha, dan kegiatannya kepada instansi Perikanan setempat tanpa

dikenakan biaya. SIUP diterbitkan untuk masing-masing jenis usaha

Perikanan dengan mencantumkan koordinat daerah penangkapan

ikan, jumlah dan ukuran kapal perikanan, jenis alat penangkap ikan

yang digunakan, dan pelabuhan pangkalan. Sedangkan SIUP untuk

jenis usaha Perikanan budidaya dengan mencantumkan kepemilikan,

luas lahan atau perairan, dan letak lokasinya.

SIUP untuk jenis usaha pengangkutan perikanan harus

mencantumkan daerah pengumpulan/pelabuhan muat, pelabuhan

pangkalan, jenis ikan, serta jumlah dan ukuran kapal perikanan.

Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam menerbitkan SIUP

harus mempertimbangkan potensi dan jumlah sumber daya ikan;

PUSAT PUU B

K DPR R

I

123

daerah penangkapan dan pembudidayaan ikan; jenis alat

penangkapan ikan yang ramah lingkungan; dan cara pembudidayaan

ikan yang ramah lingkungan.

Setiap orang yang melakukan jenis usaha perikanan harus

memenuhi standar mutu dan keamanan pangan hasil perikanan.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya membina dan memfasilitasi pengembangan usaha

perikanan agar memenuhi standar mutu dan keamanan pangan hasil

perikanan. Disamping itu Pemerintah Pusat membina dan

memfasilitasi berkembangnya industri perikanan nasional dengan

mengutamakan penggunaan bahan baku dan sumber daya manusia

dalam negeri. Industri perikanan nasional dibangun di lokasi yang

dekat dengan sumber bahan baku ikan. Pemerintah Pusat dan

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya membina

terselenggaranya kebersamaan dan kemitraan yang sehat antara

industri perikanan, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan/atau koperasi

perikanan.

Usaha Penangkapan Ikan terdiri dari usaha Penangkapan Ikan

dengan menggunakan kapal penangkap Ikan yang dioperasikan

secara tunggal; dan/atau usaha Penangkapan Ikan dengan

menggunakan kapal penangkap Ikan yang dioperasikan dalam satuan

armada Penangkapan Ikan. Usaha Penangkapan Ikan dilakukan oleh

kapal penangkap Ikan yang sekaligus berfungsi sebagai kapal

pengangkut Ikan hasil tangkapan. Usaha Penangkapan Ikan

dilakukan oleh kapal penangkap Ikan, kapal pengangkut Ikan, dan

kapal pendukung operasi Penangkapan Ikan yang merupakan satu

kesatuan armada Penangkapan Ikan.

Usaha Penangkapan Ikan wajib menggunakan alat

Penangkapan Ikan yang ramah lingkungan dan tidak merusak

ekosistem dan kelestarian Sumber Daya Ikan. Usaha Penangkapan

Ikan yang menggunakan kapal penangkap Ikan dan/atau kapal

pengangkut Ikan dengan jumlah kumulatif 100 (seratus) gross ton

(GT) ke atas, hanya dapat dilakukan oleh badan usaha berbadan

hukum.

Jenis usaha Penangkapan Ikan yang berada di wilayah

Pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya

dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum

PUSAT PUU B

K DPR R

I

124

Indonesia. Ketentuan tersebut dikecualikan bagi orang atau badan

hukum asing yang melakukan usaha Penangkapan Ikan di ZEEI,

sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau

ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Pemberian SIUP kepada orang dan/atau badan hukum asing

yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, harus didahului

dengan perjanjian perikanan dan pengaturan akses antara

Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera

kapal. Perjanjian perikanan harus mencantumkan kewajiban

pemerintah negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas

kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk

mematuhi perjanjian perikanan. Ketentuan mengenai pemberian SIUP

kepada orang dan/atau badan hukum asing diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal

penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk

melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan

Negara Republik Indonesia dan/atau di luar wilayah pengelolaan

Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI.

disamping itu Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan

kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk

melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI. Bagi

Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera

Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan

Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan

berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli. Kapal penangkap

ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di

wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan

persetujuan dari Pemerintah Pusat. Kewajiban memiliki SIPI

dan/atau membawa SIPI asli dikecualikan bagi Nelayan Kecil.

Setiap kapal penangkap ikan dapat melakukan alih muatan ke

kapal penangkap ikan dan/atau ke kapal pengangkut ikan dengan

ketentuan sekurang-kurangnya:

a. mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama;

b. pelaksanaannya diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan

dan kapal pengangkut ikan;

PUSAT PUU B

K DPR R

I

125

c. sistem pemantauan kapal Perikanan dalam kondisi aktif dan

dapat dipantau secara daring/online;

d. melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana

tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan

e. melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan

sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI.

Dalam pelaksanaan alih muatan setiap kapal yang melakukan

alih muatan wajib mendaratkan Ikan di pelabuhan pangkalan sesuai

SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa ke luar negeri. Ketentuan lebih

lanjut mengenai usaha Perikanan tangkap diatur dengan Peraturan

Menteri.

Usaha pembudidayaan Ikan terdiri dari usaha pembenihan

ikan; usaha pembesaran ikan; dan/atau usaha pengangkutan ikan

hasil pembudidayaan. Bagi Setiap orang yang melakukan usaha

pembudidayaan Ikan wajib memiliki izin sekurang-kurangnya berupa

izin lokasi, SIUP, dan SIKPI. Ketentuan mengenai izin dikecualikan

bagi pembudidaya ikan kecil. Setiap Orang yang melakukan usaha

pembudidayaan Ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara

Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan modal asing

wajib memiliki rekomendasi pembudidayaan ikan penanaman modal.

Dalam usaha pembudidayaan Ikan, Pemerintah Pusat atau

Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan

pembinaan usaha pembudidayaan Ikan yang sekurang-kurangnya

meliputi pengelolaan usaha; pengelolaan sarana dan prasarana;

teknik pembudidayaan; jaminan mutu keamanan dan kesehatan hasil

perikanan; dan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pembudidayaan ikan diatur

dalam Peraturan Menteri.

Usaha pengangkutan Ikan terdiri dari usaha pengangkutan

ikan; dan usaha pengangkutan ikan hidup. Dalam usaha

pengangkutan Ikan maka Setiap Orang yang melakukan usaha

pengangkutan Ikan wajib memiliki SIUP. Bagi setiap orang yang

memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan

berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan

pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara

Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. Setiap orang yang

memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

126

berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan

ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik

Indonesia wajib memiliki SIKPI. Setiap orang yang mengoperasikan

kapal pengangkut ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

membawa SIKPI asli. Kewajiban memiliki SIKPI dan/atau membawa

SIKPI asli tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau Pembudidaya

Ikan Kecil. Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pengangkutan

Ikan diatur dalam Peraturan Menteri.

Usaha pengolahan Ikan bertujuan untuk meningkatkan nilai

tambah Hasil Perikanan yang memenuhi kelayakan pengolahan ikan,

sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi Setiap Orang yang

melakukan usaha pengolahan ikan dan produk perikanan wajib

memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan,

sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan. Sistem

jaminan mutu dan keamanan Hasil Perikanan terdiri atas

pengawasan dan pengendalian mutu; pengembangan dan penerapan

persyaratan atau standar bahan baku, sanitasi dan teknik

penanganan serta pengolahan, mutu produk, sarana dan prasarana,

dan metode pengujian; dan sertifikasi.

Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan

kelayakan pengolahan dibuktikan dengan sertifikat kelayakan

pengolahan. Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan

persyaratan penerapan sistem jaminan mutu hasil perikanan harus

dibuktikan dengan sertifikat penerapan program manajemen mutu

terpadu.

Untuk menghasilkan produk pengolahan Perikanan yang

memenuhi kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan

keamanan, Pemerintah Pusat menetapkan bahan baku, bahan

tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang

membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya melakukan sosialisasi bahan baku, bahan tambahan

makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan

kesehatan manusia dan/atau lingkungan. Dalam rangka pengolahan

perikanan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

127

kewenangannya menyediakan atau memfasilitasi prasarana

pengolahan Hasil Perikanan.

Pemerintah Pusat dapat mendorong peningkatan nilai tambah

produk hasil perikanan dan dapat membatasi pengeluaran bahan

baku industri pengolahan ikan ke luar negeri untuk menjamin

ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Ketentuan mengenai

peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan dan pembatasan

pengeluaran bahan baku industri pengolahan ikan ke luar negeri

diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Untuk menunjang ketersediaan bahan baku industri

pengolahan Ikan dalam negeri, Pemerintah Pusat mengembangkan

sistem logistik Ikan nasional. Sistem logistik Ikan nasional meliputi:

1) pengembangan jaringan distribusi Ikan yang menjangkau seluruh

wilayah secara efisien;

2) pengelolaan sistem distribusi Ikan yang dapat mempertahankan

mutu dan keamanan Hasil Perikanan;

3) pengembangan sarana dan prasarana distribusi Ikan;

4) pengembangan kelembagaan distribusi Ikan;

5) pengelolaan pasokan Ikan dan permintaan Ikan;

6) pengembangan sistem informasi ketersediaan Ikan; dan

7) peningkatan peran pemerintah daerah dalam penyediaan dan

penyaluran bahan baku.

Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pengolahan

perikanan diatur dengan Peraturan Menteri. Usaha pemasaran

Perikanan bertujuan untuk mendistribusikan hasil perikanan agar

dapat dimanfaatkan, dinikmati, dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Dalam usaha pemasaran perikanan Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

mengembangkan sistem pemasaran produk hasil perikanan melalui

penyimpanan; transportasi; pendistribusian; dan promosi. Di

samping itu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya menyediakan atau memfasilitasi prasarana

pemasaran Hasil Perikanan.

Pemerintah Pusat berkewajiban menyelenggarakan dan

memfasilitasi kegiatan usaha pemasaran hasil perikanan baik di

dalam negeri maupun ke luar negeri. Pengeluaran hasil produksi

usaha perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

128

pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi

nasional. Pemasukan Hasil Perikanan dari luar negeri harus

memperhatikan hasil panen, hasil tangkapan, musim ikan, iklim, dan

cuaca di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran dan pemasukan Hasil

Perikanan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut

mengenai usaha pemasaran perikanan diatur dalam Peraturan

Menteri.

d. Kapal dan Pelabuhan/Kesyahbandaran Perikanan

Kapal Perikanan berdasarkan fungsinya meliputi kapal

penangkap Ikan; kapal pengangkut Ikan; kapal penyangga; kapal

pengolah Ikan; kapal latih Perikanan; kapal penelitian/eksplorasi

Perikanan; dan kapal pendukung operasi Penangkapan Ikan

dan/atau Pembudidayaan Ikan.

Bagi Setiap orang yang membangun, memasukkan dari luar

negeri, atau memodifikasi kapal perikanan wajib mendapat

persetujuan Menteri. Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan

dapat dilakukan di dalam atau di luar negeri setelah mendapat

pertimbangan teknis laik berlayar dari menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran.

Untuk kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan

penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan

Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah

kapal berkewarganegaraan Indonesia. Sedangkan bagi Kapal

perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di

ZEEI wajib menggunakan anak buah kapal berkewarganegaraan

Indonesia paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah anak

buah kapal.

Setiap orang yang berkewarganegaraan negara indonesia yang

memiliki Kapal Perikanan yang dioperasikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan laut lepas wajib

didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.

Pendaftaran kapal perikanan harus dilengkapi dengan dokumen bukti

kepemilikan; identitas pemilik; dan surat ukur. Sedangkan Kapal

perikanan yang telah terdaftar diberikan surat tanda kebangsaan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

129

Untuk pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh

dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar

sebagai kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan

dokumen harus dilengkapi pula dengan surat keterangan

penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal.

Setiap kapal perikanan Indonesia yang beroperasi di wilayah

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia diberi tanda pengenal

kapal perikanan.

Bagi setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak

memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, wajib menyimpan

alat penangkapan ikan di dalam palka. Sedangkan setiap kapal

penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin

penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam

palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan

di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang

dipergunakan oleh Nelayan Kecil dapat menggunakan 2 (dua) jenis

alat penangkapan ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan

musim. Ketentuan lebih lanjut mengenai kapal perikanan diatur

dengan Peraturan Menteri.

Pelabuhan Perikanan merupakan pendukung kegiatan

pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan dan lingkungannya,

mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan

pemasaran. Pelabuhan Perikanan mempunyai fungsi pemerintahan;

dan pengusahaan. Fungsi pemerintahan pada pelabuhan perikanan

merupakan fungsi untuk melaksanakan pengaturan, pembinaan,

pengendalian, pengawasan, serta keamanan dan keselamatan

operasional kapal perikanan di pelabuhan perikanan. Sedangkan

fungsi pengusahaan pada pelabuhan perikanan merupakan fungsi

untuk melaksanakan pengusahaan berupa penyediaan dan/atau

pelayanan jasa kapal perikanan dan jasa terkait di pelabuhan

perikanan. Fungsi pemerintahan, meliputi:

1) pelayanan pembinaan mutu hasil perikanan;

2) pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;

3) tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat

nelayan;

PUSAT PUU B

K DPR R

I

130

4) pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;

5) tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya

ikan;

6) pelaksanaan kesyahbandaran;

7) tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan;

8) publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan

kapal pengawas kapal perikanan;

9) tempat publikasi hasil penelitian kelautan dan perikanan;

10) pemantauan wilayah pesisir;

11) pengendalian lingkungan;

12) kepabeanan; dan/atau

13) keimigrasian.

Selain memiliki fungsi pemerintahan pelabuhan perikanan

dapat melaksanakan fungsi pemerintahan lainnya yang terkait

dengan pengelolaan perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Fungsi pengusahaan dari pelabuhan

perikanan, meliputi:

1) pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan;

2) pelayanan bongkar muat ikan;

3) pelayanan pengolahan hasil perikanan;

4) pemasaran dan distribusi ikan;

5) pemanfaatan fasilitas dan lahan di pelabuhan perikanan;

6) pelayanan perbaikan dan pemeliharaan kapal perikanan;

7) pelayanan logistik dan perbekalan kapal perikanan;

8) wisata bahari; dan/atau

9) penyediaan dan/atau pelayanan jasa lainnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya menyelenggarakan dan membina pengelolaan

pelabuhan perikanan. Dalam penyelenggaraan dan pembinaan

Menteri menetapkan:

1) rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional;

2) klasifikasi pelabuhan perikanan;

3) pengelolaan pelabuhan perikanan;

4) persyaratan dan/atau standar teknis dalam perencanaan,

pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan

pelabuhan perikanan;

PUSAT PUU B

K DPR R

I

131

5) wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan yang

meliputi bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi

wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan

6) pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah Pusat

atau Pemerintah Daerah.

Bagi Setiap Orang yang mengoperasikan kapal penangkap

ikan dan/atau kapal pengangkut ikan wajib mendaratkan seluruh

ikan tangkapannya di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau

pelabuhan lainnya yang ditunjuk. Dalam rangka keselamatan

operasional kapal perikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhan

perikanan yang mempunyai tugas dan wewenang:

1) menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;

2) mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan;

3) memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan;

4) memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat

penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan;

5) memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;

6) memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan;

7) mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan

perikanan;

8) mengawasi pemanduan;

9) mengawasi pengisian bahan bakar;

10) mengawasi kegiatan pembangunan dan pemanfaatan fasilitas

pelabuhan perikanan;

11) melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;

12) memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman

kebakaran di pelabuhan perikanan;

13) mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim;

14) memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal perikanan;

15) menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan

Keberangkatan Kapal Perikanan; dan

16) memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan.

Syahbandar di pelabuhan perikanan diangkat oleh menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran.

Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di pelabuhan perikanan

dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di pelabuhan

perikanan setempat. Dalam rangkaPenyelenggaraan kesyahbandaran

PUSAT PUU B

K DPR R

I

132

di pelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Bagi Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan

perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan tanpa

dikenai biaya. Surat laik operasi dikeluarkan oleh pengawas

perikanan setelah memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan

teknis.

Setiap nakhoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang

akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan

ikan dari pelabuhan perikanan wajib memiliki surat persetujuan

berlayar. Surat persetujuan berlayar dikeluarkan oleh syahbandar

setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi. Dalam hal

kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar pelabuhan

perikanan, surat persetujuan berlayar diterbitkan oleh syahbandar

setempat, setelah memperoleh surat laik operasi dari pengawas

perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat.

e. Sistem Data dan Informasi Perikanan

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun,

mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi

Perikanan. Kewajiban ini diselenggarakan dengan cara pengumpulan,

pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data:

1) potensi Perikanan;

2) pergerakan ikan;

3) sarana dan prasarana Perikanan;

4) produksi Perikanan;

5) pascaproduksi Perikanan;

6) pengolahan Perikanan;

7) pemasaran Perikanan; dan

8) sosial ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan

sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya mengadakan pusat informasi perikanan untuk

menyelenggarakan sistem data dan informasi perikanan yang

sistematis, lengkap, dan terintegrasi. Sistem data dan informasi

digunakan untuk Perencanaan Perikanan; pengelolaan Perikanan;

usaha Perikanan; penelitian dan pengembangan perikanan;

PUSAT PUU B

K DPR R

I

133

pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan konservasi

perikanan; kerjasama internasional; dan pengawasan perikanan.

Sistem data dan informasi meliputi basis data; jejaring sumber

informasi; dan sumber daya manusia untuk manajemen sistem data

dan informasi. Basis data diperoleh melalui kegiatan inventarisasi

Perikanan. Basis data perikanan paling sedikit memuat informasi

mengenai wilayah pengelolaan Perikanan; potensi dan ketersediaan

Sumber Daya Ikan; status dan kriteria Perikanan; jenis Ikan; jumlah

produksi Perikanan; konsumsi ikan nasional; peluang dan tantangan

pasar Perikanan; data pemasukan dan pengeluaran ikan dari dalam

atau ke luar negeri; data perizinan Perikanan; prakiraan cuaca; dan

harga hasil perikanan.

Basis data ini wajib diperbaharui oleh Menteri bersama

dengan lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu

pengetahuan sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan.

Penyelenggaraan sistem data dan informasi Perikanan dilaksanakan

oleh menteri bersama dengan lembaga pemerintah di bidang

pengembangan ilmu pengetahuan.

Dalam sistem data dan informasi perikanan maka Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangnnya

menjamin kerahasiaan informasi perikanan yang berkaitan dengan

data log book penangkapan dan pengangkutan ikan, data yang

diperoleh dari pengamat, dan data perusahaan dalam proses

perizinan usaha perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Selain itu Pemerintah Pusat memiliki

kewajiban untuk membangun jaringan informasi perikanan dengan

lembaga lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada dasarnya

sistem informasi perikanan harus dapat diakses dengan mudah dan

cepat oleh seluruh pengguna informasi perikanan. Ketentuan lebih

lanjut mengenai sistem data dan informasi diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

f. Pungutan Perikanan

Dalam penyelenggaraan perikanan maka dikenakan pungutan

perikanan yang dikenakan bagi setiap orang yang memperoleh

manfaat langsung dari Sumber Daya Ikan dan lingkungannya di

wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia

dan/atau di luar wilayah pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

134

Republik Indonesia. Pungutan perikanan ini terdiri dari penerimaan

negara bukan pajak; dan retribusi izin usaha perikanan. Namun

ketentuan pungutan perikanan ini dikecualikan bagi Nelayan Kecil

dan Pembudidaya Ikan Kecil. Pungutan perikanan digunakan untuk

penyelenggaraan perikanan dan kegiatan konservasi sumber daya

ikan dan lingkungannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan

perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah sedangkan ketentuan

lebih lanjut mengenai pungutan perikanan masing-masing diatur

dengan Peraturan Daerah.

g. Konservasi Perikanan

Dalam penyelenggaraan perikanan maka dilakukan konservasi

perikanan yang ditujukan untuk menjamin perlindungan, pelestarian,

dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan dilakukan usaha konservasi

Sumber Daya Ikan. Konservasi Sumber Daya Ikan dilakukan melalui

konservasi ekosistem, jenis ikan, dan sumber daya genetik ikan.

Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang

terkait dengan sumber daya ikan yang dilakukan melalui kegiatan

perlindungan dan/atau rehabilitasi habitat dan populasi ikan;

penelitian dan pengembangan; pemanfaatan sumber daya ikan dan

jasa lingkungan; pengembangan sosial ekonomi masyarakat;

pengawasan dan pengendalian; dan/atau monitoring dan evaluasi.

Penyelenggaraan Konservasi jenis ikan dilakukan melalui:

penggolongan jenis ikan; penetapan status perlindungan jenis ikan;

pemeliharaan; dan pengembangbiakan. Sedangkan penyelenggaran

konservasi sumber daya genetik ikan dilakukan melalui upaya

pemeliharaan; pengembangbiakan; penelitian; dan pelestarian gamet.

Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi ekosistem, konservasi

jenis ikan, dan konservasi sumber daya genetik ikan diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

h. Penelitian dan Pengembangan perikanan

Dalam penelitian dan pengembangan perikanan Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya

menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan

dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

dibutuhkan untuk mendukung pembangunan Perikanan. Kegiatan

Penelitian dan pengembangan bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di

PUSAT PUU B

K DPR R

I

135

bidang perikanan sebagai upaya mempercepat pembangunan

perikanan. Pelaksanaan Penelitian dan Pengembangan perikanan

harus memperhatikan kelestarian lingkungan, kearifan lokal, dan

kode etik.

Pelaksanaan dari kegiatan penelitian dan pengembangan

perikanan dilaksanakan oleh perorangan; perguruan tinggi; lembaga

swadaya masyarakat; dan/atau lembaga penelitian dan

pengembangan milik pemerintah atau swasta. Kegiatan penelitian

dan pengembangan Perikanan juga dapat dilakukan dengan bekerja

sama dengan pelaku usaha perikanan; asosiasi perikanan; dan/atau

lembaga penelitian dan pengembangan milik asing.

Kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan juga

dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah

sesuai dengan kewenangannya dengan badan atau lembaga penelitian

nasional dan/atau internasional dalam rangka kegiatan penelitian

dan pengembangan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hasil penelitian dan pengembangan Perikanan bersifat terbuka

untuk semua pihak kecuali penelitian tertentu yang dinyatakan oleh

Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah tidak untuk

dipublikasikan. Pada dasarnya hasil penelitian dan pengembangan

Perikanan dapat dipergunakan untuk:

1) meningkatkan kemandirian dalam penguasaan ilmu pengetahuan

dan teknologi di bidang perikanan;

2) mengungkapkan dan memahami potensi dan permasalahan

sumber daya ikan dan lingkungannya serta mengembangkan

teknologi pengelolaan perikanan dan konservasi sumber daya

ikan; dan

3) menyiapkan dan menyediakan basis ilmiah yang kuat dan

teknologi tepat guna sebagai kunci dalam menyusun kebijakan

pengelolaan dan pengembangan usaha perikanan agar lebih

efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah

lingkungan serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.

Bagi Warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang

melakukan penelitian Perikanan di wilayah pengelolaan perikanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memperoleh izin dari

Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Selain itu kegiatan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

136

penelitian yang dilakukan oleh warga negara asing dan/atau badan

hukum asing harus mengikutsertakan peneliti Indonesia. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Warga negara asing dan/atau badan

hukum asing di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan

Republik Indonesia wajib diserahkan kepada Pemerintah Pusat

dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

Kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan yang

dilakukan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing di

wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia

mendapatkan pengawasan dari Pemerintah Pusat dan/atau

Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan

melibatkan peran serta masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai

penyelenggaraan penelitian dan pengembangan perikanan diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

i. Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan

Dalam penyelenggaraan Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan

Perikanan maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai

dengan kewenangannya berkewajiban untuk menyelenggarakan

pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan guna meningkatkan dan

mengembangkan kompetensi sumber daya manusia di bidang

Perikanan. Kegiatan pendidikan dan pelatihan dapat diselenggarakan

oleh Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah; swasta; dan/atau

swadaya. Kegiatan pendidikan dan pelatihan paling sedikit berupa

pemberian pelatihan, penyuluhan, beasiswa, dan/atau bantuan biaya

pendidikan di bidang praproduksi, produksi, pascaproduksi,

pengolahan, dan pemasaran Ikan.

Pendidikan dan pelatihan perikanan dapat dilakukan melalui

pendidikan dan pelatihan formal atau non formal. Sedangkan

kegiatan Penyuluhan perikanan dilakukan secara partisipatif dan

berkelanjutan antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah

terhadap sumber daya manusia di bidang perikanan. Mengenai

pengaturan lebih lanjut mengenai pendidikan, pelatihan, dan

penyuluhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

j. Kerja Sama Internasional

Dalam pengelenggaraan pengelolaan perikanan dapat dilakukan

kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau

PUSAT PUU B

K DPR R

I

137

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan

pemerintah negara lain; lembaga atau organisasi internasional di

bidang Perikanan; dan/atau warga negara atau organisasi non-

pemerintah dari negara lain. Kerja sama internasional dalam

penyelenggaraan pengelolaan perikanan dapat berupa:

1) publikasi secara berkala hal-hal yang terkait dengan langkah

konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan;

2) kerja sama dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber

daya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup atau semi

tertutup, dan wilayah kantong;

3) kerja sama pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di

bidang Perikanan;

4) tukar menukar informasi di bidang Perikanan;

5) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di

bidang Perikanan;

6) pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang Perikanan; dan

7) keanggotaan pada badan/ lembaga/organisasi regional dan

internasional di bidang perikanan.

Kerja sama internasional di bidang Perikanan dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara

umum. Pengaturan lebih lanjut mengenai kerja sama internasional

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

k. Pengawasan Perikanan

Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perikanan maka

dilakukan pengawasan perikanan untuk menjamin tercapainya

tujuan penyelenggaraan Perikanan dan terciptanya tertib

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

perikanan. Pengawasan Perikanan dilakukan terhadap:

1) penangkapan ikan;

2) pembudidayaan Ikan;

3) pengolahan Ikan;

4) pemasaran hasil Perikanan;

5) mutu hasil Perikanan;

6) produksi, pemasaran, dan penggunaan pakan serta obat Ikan;

7) konservasi Perikanan; dan

8) penelitian dan pengembangan perikanan.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

138

Kegiatan Pengawasan Perikanan dilakukan oleh pengawas

perikanan yang merupakan pegawai negeri sipil yang bekerja di

bidang perikanan yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atau

pejabat yang ditunjuk. Pengawas perikanan dapat dididik untuk

menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan. Pengawas perikanan

juga dapat ditetapkan sebagai pejabat fungsional pengawas

perikanan. Dalam rangka menyelenggarakan pengawasan Perikanan

maka pengawas dapat melibatkan peran serta masyarakat baik

berupa perorangan atau kelompok.

Dalam melaksanakan pengawasan maka Pengawas Perikanan

melaksanakan tugas di:

1) wilayah pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

2) kapal Perikanan;

3) Pelabuhan Perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk;

4) pelabuhan tangkahan;

5) sentra usaha Perikanan;

6) unit pengolahan ikan;

7) area pembenihan ikan;

8) area pembudidayaan ikan; dan

9) kawasan konservasi perairan.

Dalam melaksanakan tugas pengawasan pengawas Perikanan

berwenang:

1) memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha Perikanan;

2) memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha

Perikanan;

3) memeriksa kegiatan usaha Perikanan;

4) memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan

Perikanan;

5) memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI.

6) mendokumentasikan hasil pemeriksaan;

7) mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk

keperluan pengujian laboratorium;

8) memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal

Perikanan;

9) menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dan menangkap

kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

139

tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara

Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan diserahkannya kapal

dan/atau orang tersebut di pelabuhan tempat perkara tersebut

dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik;

10) menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin di bidang

Perikanan untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan; dan/atau

11) melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang

berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau

membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau

awak kapal perikanan.

Dalam rangka mendukung kegiatan pengawasan maka

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya wajib menyediakan dan/atau memfasilitasi sarana

dan prasarana pengawasan Perikanan. Dalam melaksanakan

tugasnya, pengawas perikanan dapat dilengkapi dengan kapal

pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.

Disamping itu juga Kapal pengawas perikanan dapat dilengkapi

dengan senjata api.

Pengawas Perikanan dan/atau penyidik dapat melakukan

tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman

kapal perikanan yang berbendera asing yang patut diduga telah

melakukan tindak pidana di bidang Perikanan berdasarkan bukti

permulaan yang cukup. Tindakan khusus berupa pembakaran

dan/atau penenggelaman kapal dapat dilakukan dalam hal kapal

berbendera asing yang berusaha melarikan diri; melakukan

perlawanan yang dapat membahayakan keselamatan kapal,

pengawas, dan/atau awak kapal perikanan; dan/atau tidak memiliki

SIPI dan SIKPI serta secara nyata menangkap dan/atau mengangkut

ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Pengaturan lebih lanjut mengenai

pengawasan perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

l. Larangan

Dalam penyelenggaraan pengelolaan perikanan terdapat

larangan bagi setiap orang untuk:

1) melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan

dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

140

peledak, alat, cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan

dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan

Republik Indonesia;

2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan,

dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat,

cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau

membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan

Republik Indonesia;

3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,

penangunggjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator

kapal perikanan dilarang melakukan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat,

cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau

membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik

perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab

perusahaan pembudidayaan ikan yang melakukan usaha

pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan

biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau bangunan yang

dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber

daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5) menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat,

cara, dan/atau bangunan untuk penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikecualikan untuk kepentingan penelitian. Ketentuan mengenai

penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat,

cara, dan/atau bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Larangan lain dalam penyelenggaraan pengelolaan perikanan

dikenakan bagi setiap orang yang:

1) memiliki, menguasai, membawa, menggunakan alat penangkapan,

dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

141

merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap

ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. untuk ketentuan mengenai alat penangkapan

dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan

merusak keberlanjutan sumber daya ikan diatur dalam Peraturan

Menteri;

2) melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau

kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia;

3) membudidayakan ikan dan/atau ikan hasil rekayasa genetik yang

dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber

daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4) memproduksi, memasarkan, dan/atau menggunakan pakan dan

obat Ikan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan

sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/atau

kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Negara

Kesatuan Republik Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut

mengenai larangan yang telah diuraikan diatas diatur dalam

Peraturan Pemerintah;

5) memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan,

dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat ke dalam

dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Ketentuan mengenai pemasukan,

pengeluaran, pengadaan, pengedaran, dan/atau pemeliharaan

ikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah;

6) menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan

penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia

dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan

pengolahan ikan;

7) memalsukan SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI; dan/atau menggunakan

SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI palsu;

8) membawa lebih dari satu alat penangkapan ikan lainnya, karena

hanya memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat

penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

142

m. Pengadilan Perikanan

Dalam rangka penegakan hukum dibidang perikanan maka

dibentuk pengadilan perikanan untuk mengadili tindak pidana di

bidang Perikanan dibentuk pengadilan khusus yang berada di

lingkup peradilan umum. Pengadilan perikanan merupakan

berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana

di bidang perikanan. Pengadilan perikanan berkedudukan di

pengadilan negeri. Pada dasarnya pembentukan pengadilan

perikanan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan keuangan Negara dan pembentukannya ditetapkan

dengan Keputusan Presiden.

Kewenangan Pengadilan perikanan berlaku di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. untuk

yurisdiksi pengadilan Perikanan dibagi berdasarkan yurisdiksi

pengadilan yang berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Pembagian yurisdiksi pengadilan

Perikanan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

n. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang

Pengadilan Perikanan

Dalam rangka penegakkan hukum di bidang perikanan maka

dilakukan Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang

Pengadilan Perikanan. Penyidikan dalam perkara tindak pidana di

bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku

kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Penyidikan tindak

pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara

Kesatuan Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Kepolisian

Negara Republik Indonesia; Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan;

dan/atau Penyidik Perwira TNI AL.

Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang

terjadi di pelabuhan perikanan diutamakan dilakukan oleh Penyidik

Pegawai Negeri Sipil Perikanan. Dalam melakukan penyidikan maka

Penyidik harus melakukan koordinasi dalam penanganan penyidikan

tindak pidana di bidang perikanan. Untuk melakukan koordinasi

dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan maka Menteri

membentuk forum koordinasi. Penyidik memiliki kewenangan untuk:

1) menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana

di bidang perikanan;

PUSAT PUU B

K DPR R

I

143

2) memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk

didengar keterangannya;

3) membawa dan menghadapkan tersangka dan/atau saksi untuk

didengar keterangannya;

4) menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga

digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana

di bidang perikanan;

5) menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau

menahan kapal dan/atau orang yang diduga melakukan tindak

pidana di bidang perikanan;

6) memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha

perikanan;

7) memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di

bidang perikanan;

8) mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

tindak pidana di bidang perikanan;

9) membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

10) melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan

dan/atau hasil tindak pidana; dan

11) melakukan penghentian penyidikan.

Penyidik yang melakukan penangkapan atau penahanan kapal

asing di ZEEI harus segera memberitahukan kepada Negara bendera

mengenai penangkapan atau penahanan tersebut. Penyidik dapat

memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum

paling lama 7 (tujuh) Hari sejak ditemukan adanya tindak pidana di

bidang perikanan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat

menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh ) hari. Jangka waktu

penahanan jika diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang

belum selesai dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama

40 (empat puluh) hari. Ketentuan mengenai jangka waktu penyidikan

tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan

sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan

pemeriksaan telah terpenuhi. Setelah jangka waktu 60 (enam puluh)

hari maka penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari

tahanan demi hukum. Penyidik harus menyampaikan hasil

penyidikan ke penuntut umum paling lama 60 (enam puluh) Hari

sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan. Jangka waktu

PUSAT PUU B

K DPR R

I

144

penyidikan dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) Hari dalam

hal penyidikan membutuhkan kerjasama dengan negara lain

dan/atau terkait dengan tindak pidana non perikanan. Sedangkan

permohonan jangka waktu penyidikan dimohonkan kepada ketua

pengadilan negeri.

Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan

dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali

ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Penuntutan terhadap

tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum

yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Penuntut umum perkara tindak

pidana di bidang perikanan harus memenuhi persyaratan:

1) berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 2

(dua) tahun;

2) telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang

perikanan; dan

3) cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama

menjalankan tugasnya.

Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari

penyidik wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik

dalam waktu 5 (lima) Hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas

penyidikan. Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak

lengkap, penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara

kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk tentang hal-hal yang

harus dilengkapi. Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari

terhitung sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus

menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut

umum. Penyidikan dianggap telah selesai jika dalam waktu 5 (lima)

Hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau

apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada

pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.

Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan

tersebut lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari

terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan

lengkap, penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut

kepada pengadilan perikanan. Untuk kepentingan penuntutan,

penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan

lanjutan selama 20 (dua puluh) hari. Jangka waktu penahanan atau

PUSAT PUU B

K DPR R

I

145

penahanan lanjutan, apabila diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua

pengadilan negeri yang berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Ketentuan penahanan dan penahanan lanjutan tidak menutup

kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka

waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan telah

terpenuhi. Penuntut umum menyampaikan berkas perkara kepada

ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 50 (lima puluh)

Hari sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan.

Selain alat bukti yang telah di atur di dalam hukum acara

pidana yang berlaku, untuk memudahkan pembuktian pada proses

pemeriksaan di pengadilan dapat menggunakan alat bukti elektronik.

Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang

dihasilkan dari tindak pidana di bidang perikanan dirampas untuk

negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua

pengadilan negeri. Pengadilan negeri harus menyediakan tempat

penyimpanan barang bukti berupa benda dan/atau alat yang

digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana di

bidang perikanan yang telah dirampas. Barang bukti dari hasil tindak

pidana di bidang perikanan dapat dilelang untuk negara.

Barang bukti dari hasil tindak pidana di bidang perikanan yang

mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat

dilelang terlebih dahulu dengan persetujuan ketua pengadilan negeri.

Pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan uang

hasil pelelangan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara

bukan pajak.

Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana

di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang

berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa

kehadiran terdakwa. Dalam jangka waktu paling lama 50 (lima puluh)

Hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari

penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan dan

putusan perkara dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran

terdakwa.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

146

Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan

berwenang menetapkan penahanan selama 35 (tiga puluh lima) hari.

Jangka waktu penahanan, jika diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua

pengadilan negeri yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.

Ketentuan mengenai jangka waktu penahanan tidak menutup

kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka

waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan di sidang

pengadilan sudah terpenuhi.

Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke

pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam

jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) Hari terhitung sejak

tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi. Untuk

kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, hakim berwenang

menetapkan jangka waktu penahanan paling lama 35 (tiga puluh

lima) hari. Jangka waktu penahanan jika diperlukan guna

kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang oleh

ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh)

hari. Ketentuan waktu penahanan dalam tingkat banding tidak

menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum

jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan di

tingkat banding telah terpenuhi.

Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke

Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam

jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) Hari terhitung sejak

tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. Untuk

kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, hakim berwenang

menetapkan jangka waktu penahanan paling lama 35 (tiga puluh

lima) hari. Jangka waktu penahanan pada tingkat kasasi jika

diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat

diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10 (sepuluh)

hari. Ketentuan waktu penahanan dalam tingkat kasasi tidak

menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum

jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan di

tingkat kasasi telah terpenuhi.

Selain awak kapal yang ditetapkan sebagai tersangka dalam

tindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal

PUSAT PUU B

K DPR R

I

147

lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing.

Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing dilakukan oleh

instansi yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian melalui

kedutaan atau perwakilan negara asal awak kapal. Ketentuan

mengenai pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

o. Sanksi Administratif

Pengenaan sanksi berupa sanksi administratif yang melanggar

ketentuan larangan dalam RUU Perikanan. Adapun sanksi yang

dikenakan meliputi:

1) teguran tertulis;

2) denda administratif;

3) pembatasan kegiatan usaha;

4) penghentian sementara kegiatan usaha;

5) penarikan ikan dan/atau hasil pengolahan ikan dari peredaran;

6) pembekuan izin usaha;

7) deportasi bagi tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

8) pencabutan izin usaha; dan/atau

9) larangan untuk turut serta dalam kegiatan usaha, dan

ekspor/impor.

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara

dan mekanisme pengenaan sanksi administratif diatur dengan

Peraturan Pemerintah. Pada dasarnya Pengenaan sanksi administratif

tidak mengurangi pengenaan ketentuan pidana dalam Undang-

Undang ini.

p. Ketentuan Pidana

Pengaturan pidana dalam RUU Perikanan ini nantinya

menerapkan pola pemidanaan batas maksimum ketentuan pidana

yang dapat dikenakan terhadap setiap perbuatan yang diancamkan

dengan pidana.

Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan penangkapan

ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan

kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau bangunan

yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber

PUSAT PUU B

K DPR R

I

148

daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 112 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.200.000.000,00

(satu miliar dua ratus juta rupiah).

Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan

ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja menggunakan bahan

kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau bangunan

yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber

daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 112 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7

(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.400.000.000,00

(satu miliar empat ratus juta rupiah).

Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,

penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal

perikanan yang dengan sengaja melakukan penangkapan ikan

dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,

alat, cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau

membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3),

dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik

perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab

perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja menggunakan

bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau

bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan

kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (4), dipidana dengan

pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai,

membawa, menggunakan alat penangkapan, dan/atau alat bantu

PUSAT PUU B

K DPR R

I

149

penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan

sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan

pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1), dipidana dengan

pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja membudidayakan ikan

dan/atau ikan hasil rekayasa genetik yang dapat membahayakan

sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/atau

kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal

114 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar

lima ratus juta rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, memasarkan,

dan/atau menggunakan pakan dan obat Ikan dalam pembudidayaan

ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan

sumber daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3), dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan,

mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara

ikan yang merugikan masyarakat ke dalam dan/atau ke luar wilayah

pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1), dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku,

bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang

PUSAT PUU B

K DPR R

I

150

membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam

melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 116 dipidana dengan pidana penjara paling

lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00

(delapan ratus juta rupiah).

Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

melanggar kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00

(tiga miliar rupiah).

Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal

penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk

melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan

Negara Republik Indonesia dan/atau di luar wilayah pengelolaan

Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang melanggar

kewajiban memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat

(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun

dan/atau paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal

penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan

penangkapan ikan di ZEEI yang melanggar kewajiban memiliki SIPI

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan

berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara

Kesatuan Republik Indonesia di ZEEI, yang melanggar kewajiban

membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3),

dipidana dengan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan

berbendera asing di ZEEI, yang melanggar kewajiban membawa SIPI

asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

PUSAT PUU B

K DPR R

I

151

Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal

pengangkut ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk

melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melanggar kewajiban

memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2),

dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar

rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan SIUP, SIPI,

dan/atau SIKPI dan/atau menggunakan SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI

palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Setiap orang yang membangun, memasukkan dari luar negeri,

atau memodifikasi kapal perikanan yang melanggar kewajiban untuk

mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat

(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

dan/atau paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Setiap orang yang berkewarganegaraan negara indonesia yang

memiliki Kapal Perikanan yang dioperasikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan laut lepas yang

melanggar kewajiban mendaftarkan kapal perikanannya sebagai

Kapal Perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61

ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar

rupiah).

Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak

memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melangaar

kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), dipidana dengan

pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Setiap Orang yang menangkap ikan dengan menggunakan

bendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1

(satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di

ZEEI yang dengan sengaja membawa alat penangkapan ikan lainnya

PUSAT PUU B

K DPR R

I

152

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, dipidana dengan pidana

denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah

memiliki izin penangkapan ikan, yang melanggar kewajiban

menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di

luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64

ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Setiap nakhoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang

akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan

ikan dari pelabuhan perikanan yang melanggar kewajiban memiliki

surat persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73

ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta

rupiah).

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan

pengelolaan perikanan yang melanggar kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana denda

paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

117, pemalsuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59

ayat (1), dan pemalsuan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 61 ayat (1) yang melibatkan pejabat, pidananya ditambah 1/3

(satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

141 ayat (1), Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, Pasal 146,

Pasal 147, Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151, Pasal 152, dan

Pasal 153 dilakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi, pidana

dikenakan terhadap Korporasi dan/atau personil pengendali

Korporasi.

Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi jika tindak pidana:

dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali Korporasi;

dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;

dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi

perintah; dan/atau dilakukan dengan maksud memberikan manfaat

PUSAT PUU B

K DPR R

I

153

bagi Korporasi. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu

Korporasi, maka Korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

Pidana denda yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah

maksimum pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141

ayat (1), Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, Pasal 146, Pasal

147, Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal

153 ditambah dengan 2/3 (dua per tiga). Selain pidana denda

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi dapat

dikenai pidana tambahan berupa:

1) pengumuman putusan hakim;

2) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;

3) pencabutan izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

4) pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;

5) perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau

6) pengambilan Korporasi oleh negara.

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

12 ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 30, Pasal 34 ayat (1), Pasal 34

ayat (2), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (2), Pasal 38 ayat (1), Pasal

43, Pasal 46 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2),

Pasal 61 ayat (1), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 69, Pasal 72,

Pasal 73, dan Pasal 95 yang dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau

Pembudi Daya Ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama

1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua

ratus lima puluh juta rupiah).

Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana denda, denda

dimaksud wajib disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara

bukan pajak kementerian yang membidangi urusan perikanan.

Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini

tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di

wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), kecuali telah ada perjanjian antara

Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang

bersangkutan.

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal

142, Pasal 143, Pasal 145, Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, dan Pasal

151 adalah kejahatan. Sedangkan tindak pidana sebagaimana

PUSAT PUU B

K DPR R

I

154

dimaksud dalam Pasal 144, Pasal 146, Pasal 147, Pasal 150, Pasal

151, Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, dan Pasal 155 adalah

pelanggaran.

Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang

ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33

ayat (1), dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari

pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan

yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan.

Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang

dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk

negara.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

155

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan Negara

Kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari wilayah

perairan (laut) yang sangat luas dengan potensi perikanan yang

sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki

merupakan kekayaan negara dan sebagai potensi ekonomi yang dapat

dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung

pembangunan nasional.

Merujuk kepada hal itu, potensi perikanan yang ada di perairan

Indonesia tentunya perlu dikelola secara sinergis oleh seluruh

pemangku kepentingan. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya

perlu digawangi oleh pembentukan dan implementasi berbagai

kebijakan, regulasi, dan koordinasi lintas sektor yang sinergis.

Sampai dengan saat ini sinergitas yang dibutuhkan tersebut

dirasakan masih menyisakan ruang untuk penyempurnaan.

Untuk mewujudkan sinergi kebijakan di bidang perikanan,

harus merujuk kepada salah satunya usaha optimalisasi sumberdaya

perikanan yang ada demi kepentingan nasional. Hal tersebut tentu

akan membutuhkan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan.

Sebagai salah satu gambaran dibutuhkannya sinergi tersebut adalah

fakta bahwa dalam pembangunan perikanan, harus tetap memelihara

kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Para pelaku industri

penangkapan dan pembudidayaan ikan tidak boleh hanya

mengutamakan jumlah hasil perikanan yang maksimal untuk

keuntungan finansial, namun mengacuhkan peran lingkungan

perikanan yang menopang keberlanjutan industri perikanan di masa

datang.

Selain itu, sinergi juga dibutuhkan antar pemangku

kepentingan ketika sektor industri perikanan perlu ditata secara

menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan sektor yang terkait

dalam suatu keutuhan usaha perikanan yang saling menunjang dan

saling menguntungkan baik yang berskala kecil, menengah, dan

besar.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

156

Terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan,

seharusnya tidak berhenti kepada pelaku di lapangan tetapi juga

menyangkut kepada korporasi. Upaya penegakan hukum di bidang

perikanan harusnya lebih maju. Selain menimbulkan efek jera,

penegakan hukum tersebut juga harus memberikan sanksi ganti rugi

yang efektif untuk memulihkan sumber daya perikanan melalui ganti

kerusakan sumber daya ikan.

Adapun lingkup pengaturan dalam RUU Perikanan mencakup

perencanaan Perikanan, pengelolaan Perikanan, usaha Perikanan,

kapal dan pelabuhan/kesyahbandaran Perikanan, sistem data dan

informasi Perikanan, pungutan Perikanan, penelitian dan

pengembangan Perikanan, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan

Perikanan, Konservasi Perikanan, kerja sama internasional,

pengawasan Perikanan, larangan, pengadilan Perikanan, penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan Perikanan,

larangan, dan sanksi.

B. Saran

Penyempurnaan UU Perikanan sangat diperlukan sebagai

jawaban dari perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum

yang terjadi terkait dengan penyelenggaraan perikanan. Oleh karena

itu, penyusunan NA Perikanan ini diharapkan dapat menjadi

pedoman, acuan, dasar dalam penyusunan dan pembahasan RUU

Perikanan Komisi IV DPR bersama dengan Pemerintah.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

157

DAFTAR PUSTAKA

Buku Djoko Tribawono, 2013, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi,

Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Johanes Widodo dan Suadi, 2008, Pengelolaan Sumberdaya

Perikanan Laut, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Subdirektorat Pengembangan Standardisasi dan Klasifikasi Statistik,

2012, Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I .Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Arif Satria, 2015, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press.

Satjipto Rahardjo, Masalah penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis, Bandung: CV. Sinar Baru.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Makalah dan Artikel Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita,

Adrian Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017.

Food and Agriculture Organization of The United Nations, In Brief The State Of World Fisheries and Aquaculture, 2016.

Husni Thamrin, 2013, Kearifan Lokal dalam Pelestarian lingkungan, Kutubkhanah, Vol. 16 No. 1 Januari.

Julian J. Pattipeilohy, Sistem Penangkapan Ikan Tradisional Masyarakat Nelayan di Pulau Saparua, Jurnal Penelitian Vol. 7 No.5, Edisi November 2015.

Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2015.

Keraf, S. A, 2002, Etika Lingkungan,. Pn. Buku Kompas, Jakarta, dalam Stefanus Stanis, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur, Tesis tidak diterbitkan, 2005, Universitas Diponegoro Semarang.

Ningsih, 2005. Strategi Mengelola dan Memanfaatkan Sumber Daya Laut dan Perikanan. Majalah Info Kajian Bappenas, Volume 2, 2005.

Ridwan, Nurma A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal STAIN Purwokerto. Purwokerto. dalam, Juniarta, Susilo dan

PUSAT PUU B

K DPR R

I

158

Primyastanto, Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, 2013, Jurnal ECSOFiM Vol. 1.

Prijono, S.N. 2000a. Laporan Pendukung No 1: Sejarah dan Latar Belakang Proyek. dalam Zulkarnain, Asdi Agustar, Rudi Febriamansyah, 2008, Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir (Studi Kasus di Desa Panglima Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau), Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Vol. 1 Juli.

Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Laporan Penelitian “Penegakan Hukum Pidana Illegal Fishing”, Jakarta, 2012.

Soerjono Soekanto, “Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum”, Makalah pada Seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta, 1979.

Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kelautan, UU Nomor 32

Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 294, TLN Nomor 5603. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah,

UU Nomor 23 Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 244, TLN Nomor 5587.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 1 Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 2, TLN Nomor 5490.

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU Nomor 45 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 154, TLN 5073.

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengesahan UNCLOS 1982, UU Nomor 21 Tahun 2009.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pelayaran, UU Nomor 17 Tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 64, TLN 4849.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, UU Nomor 16 Tahun 2006, LN Tahun 2006 Nomor 92, TLN Nomor 4660.

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Tentara Nasional Indonesia, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 126, TLN 4438.

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2002, LN Tahun 2002 Nomor 2, TLN Nomor 4168.

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perairan Indonesia, UU Nomor 6 Tahun 1996.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, UU Nomor 16 Tahun 1992, LN Tahun 1992 Nomor 56, TLN Nomor 3482.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang tentang Zona Ekonomi Ekslusif, UU Nomor 5 Tahun 1983.

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Bagi Hasil Perikanan, UU Nomor 16 Tahun 1964.

PUSAT PUU B

K DPR R

I

159

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, PP Nomor 75 Tahun 2015.

Republik Indonesia, Peraturan Daerah Provinsi Maluku tentang Retribusi Perizinan Tertentu, Perda Provinsi Maluku Nomor 15 Tahun 2013.

Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pemanfaatan Kapal Perikanan, Keppres Nomor 14 Tahun 2000.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan Dan Perikanan Tahun 2015-2019, Permen-KP Nomor 25 Tahun 2015.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tentang Estimasi Potensi, Kepmen KP Nomor 47 Tahun 2016.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Tata Cara Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kepmen 58/2001.

Internet Antara, PDB Sektor Perikanan Makin Tumbuh pada Triwulan I 2016 ,

https://m.tempo.co/read/news/2016/04/04/090759733/pdb-sektor-perikanan-makin-tumbuh-pada-triwulan-i-2016, diakses tanggal 30 September 2016.

Lili Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam di Wilayah Pesisir laut, diakses 5 Oktober 2016, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-pidana/364-perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-hukum-adat-dalam-pengelolaan-sumber-daya-alam-di-wilayah-pesisir-dan-laut

PUSAT PUU B

K DPR R

I