Rubrik Parenting Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

10

description

 

Transcript of Rubrik Parenting Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

Page 1: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah
Page 2: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

| Celah |

“…maka sekali-kali janganlah kamu mengatakankepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamumembentak mereka, dan ucapkanlah kepada merekaperkataan yang mulia.” (Al-Israa’ [17]: 23)

Di sebuah tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),seorang anak berusia dua tahun berkata pada temannya,“Aku sayang kamu, di saat sedih maupun gembira!”

Tentu saja gurunya merasa heran dan melaporkanhal itu pada ibu anak tersebut. Si ibu tersenyum dan ber-kata bahwa kata-kata tersebut berasal dari sebuah bukukesayangan si anak. Ia kerap meminta ibunya untukmembacakan buku tersebut saat si anak bermain ataumenjelang tidur.

Tidak saja gurunya, bahkan ibunya pun sering ter-kaget-kaget sekaligus terharu saat mendengar kalimattersebut diungkapkan sang anak pada dirinya. Di lainkesempatan, anak itu berbicara pada kakaknya, “MaafKakak, itu tidak sopan!” saat ia mendengar ucapan ka-kaknya yang memang kurang nyaman didengar.

Gurunya bertanya kepada si ibu, apa rahasia men-didik anak yang santun berbahasa tersebut? Menurutsang ibu, anak tersebut sering diajak berbicara denganbahasa positif dan dalam suasana nyaman. Selain itu, siibu juga sering membacakan cerita, puisi atau lagu-laguyang berbahasa indah.

Ayat yang dikutip di awal tulisan ini dengan sangatgamblang melarang seoranganak berbicara kasar padaorangtuanya. Bahkan hanyaperkataan ‘ah’ pun dilarang. Na-mun jika kita melihat realita saatini sungguh bertolak belakang.Cermati gaya bicara anak-anakremaja, baik saat mereka berbi-cara maupun di jejaring sosial.Tak jarang mereka mengumpatdengan kasar juga mengolok-olok, bahkan pada orangtuamereka sendiri.

Ada yang salah dalam ma-

67SUARA HIDAYATULLAH | NOPEMBER 2011/DZULHIJJAH 1432

Ida S. Widayanti

Santun BerSantun BerSantun BerSantun BerSantun Berbahasabahasabahasabahasabahasa

syarakat kita saat ini. Menurut Thomas Lickona ‘peng-gunaan kata-kata yang memburuk’ merupakan salahsatu aspek yang merupakan tanda-tanda kehancuransuatu bangsa. Dengan demikian memburuknya berba-hasa menjadi indikator kestabilan sebuah negara.

Bagaimana mengajarkan anak agar berbicara dengansantun? Menurut Joseph Joubert, “Children need mod-els more than they need critics.” Artinya, anak lebihmembutuhkan contoh daripada teguran atau kritikan.Terus usahakan agar anak mendengar kalimat-kalimatyang santun dan positif, niscaya mereka juga akan me-ngeluarkan kata-kata yang juga santun dan positif.Namun sayang, televisi dan lingkungan justru menga-jarkan sebaliknya. Bahkan orangtua juga cenderungberkomentar negatif pada anak. Sebagai gambaran, hasilpenemuan Jack Canfield, penulis terkenal, menunjukkandata mencengangkan bahwa setiap anak rata-ratamenerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya75 komentar positif.

Apa yang dikatakan Joseph Joubert sesungguhnyaseperti itulah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallammengajar. Rasulullah adalah teladan yang baik, artinyacontoh nyata dari apa yang diajarkannya. Rasulullahtidak hanya menyuruh dan melarang, namun melakukansemua kebaikan. Dalam hal berbicara pun Rasulullahmencontohkan berbahasa yang santun.

Jika melihat hal tersebut,sepertinya mindset kita tentangayat di atas perlu kita ubah.Ayat tersebut adalah secaratidak langsung merupakan pe-rintah pada orangtua agarmendidik anak sehingga kelakmereka tidak berbicara kasar,membentak, atau berkata ‘ah’.Ayat tersebut secara implisitmenyatakan bahwa orangtuaagar memberi contoh perka-taan mulia dan santun. *Penulisbuku

ALI ATHWA/SUARA HIDAYATULLAH

Page 3: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

| usrah |

68 SUARA HIDAYATULLAH | NOPEMBER 2011/DZULHIJJAH 1432

Usia memang sesuatu yang tak bisa diketahui, begitupula dengan usia pernikahan. Entah dipisahkan olehkematian atau perceraian. Anak, tentu merupakan

pihak yang paling merasakan imbas ketika orangtuanyaberpisah. Apalagi ketika kemudian orangtua yang masihtinggal bersamanya memutuskan untuk menikah lagi.

Begitupun yang pernah dirasakan oleh Asti, (bukan namasebenarnya) ayahnya memilih untuk menikah lagi.Keputusan ayahnya untuk menikah setelah ibunya mening-gal delapan tahun lalu, membuat Asri keberatan. Lain lagidengan Agung, ayahnya menikah lagi justru ketika ibunyatengah menderita sakit keras. Sakit jantung yang dideritasang ibu tak membuat ayahnya berada di sisi, tetapi justrumenikah lagi dengan perempuan yang seumur denganAgung. Bahkan, setelah sang ibu wafat, Agung tak pernahmenerima kehadiran istri kedua ayahnya tersebut.

Menikah lagi memang hak orangtua. Apalagi jikamemang salah satu di antara mereka telah wafat atau sudahtidak bisa menjalankan kewajibannya. Namun, pernikahantentu tak hanya melibatkan mereka yang akan menikah. Adaanak-anak yang tak bisa diabaikan hak dan perasaannya,juga ada keluarga besar yang selama ini menaungi ikatanpernikahan.

Ini tentu merupakan hal yang harus dipertimbangkanoleh orangtua yang memutuskan menikah lagi. Pernikahanhendaknya juga menambah kedekatan pada AllahSubhanahu wa Ta’ala dan tidak melalaikan kewajibankepada sesama manusia. Sehingga pernikahan pun benar-benar menjadi berkah bagi semua pihak yang terkait denganpernikahan tersebut.

Kedewasaan BersikapDi sinilah dibutuhkan kedewasaan antara orangtua yang

hendak menikah kembali, anak –apabila ia telah mencapaiusia dewasa, dan pihak keluarga besar.

Kedewasaan orangtua yang hendak menikah kembalitentu merupakan hal yang terpenting dalam hal ini. Tentutidak ada larangan bagi orangtua yang hendak menikah lagipasca perpisahan dengan pasangannya. Akan tetapi, hal yangsangat perlu diperhatikan adalah kondisi anak yang akanmenerima pasangannya sebagai orang dengan titel orangtuatiri.

Karena itu, sangat penting untuk juga memperhatikanpendapat anak tentang kriteria calon pendamping yang akandipilihnya. Jangan sampai apa yang diharapkan menjadikebaikan bagi pihak orangtua justru adalah mimpi burukbagi anak.

Di sisi lain, kedewasaan anak –apabila ia telah memasukiusia dewasa, pun sangat diperlukan. Bila memang orangtuatelah menunjukkan komitmen untuk menikah lagi demimenjaga kehormatan dan kebaikan bersama, maka tidak adaalasan bagi anak untuk menghalangi niatan orangtuamenikah kembali.

Anak juga harus mengerti bahwa menikah lagi, lebih darisekadar memenuhi kebutuhan. Ini merupakan perintahAllah Yang Maha Mengetahui yang terbaik, “Dan kawin-kanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, danorang-orang yang layak (nikah) dari hamba-hambasahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yangperempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukanmereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pem-berian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (An-Nuur [24]: 32)

Dalam kasus seperti Asti, maka kelapangan hati anakuntuk menerima kehadiran pasangan baru sang ayah tentumerupakan jalan terbaik. Anak juga harus mengerti bahwaapa pun yang kelak menjadi keputusan sang ayah, sepertimemutuskan untuk tinggal bersama istri barunya kelak,merupakan bagian dari usaha-usaha terbaik dari ayahnyauntuk kebaikan bersama.

Satu hal lagi yang tak kalah penting adalah kedewasaan

Kedewasaan dalammenyikapinya meningkatkankualitas diri dan membuahkankeberkahan untuk semua.

MENIKAHMENIKAHMENIKAHMENIKAHMENIKAHKetika OrangtuaKetika OrangtuaKetika OrangtuaKetika OrangtuaKetika Orangtua

Lagi Lagi Lagi Lagi Lagi

Page 4: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

69SUARA HIDAYATULLAH | NOPEMBER 2011/DZULHIJJAH 1432

Namun demikian, orangtua yang akan menikah kembali,tentu harus memiliki persiapan yang lebih untuk menjemputkehidupan baru yang akan mengubah perjalanan diri dankeluarganya tersebut.

Kualitas DiriSiapapun yang memutuskan untuk menikah kembali

tentu memiliki harapan untuk menjalani kehidupan yanglebih baik dibandingkan dalam pernikahannya terdahulu.Harapan ini tentu harus dibarengi dengan kualitas diri yanglebih baik dibandingkan dengan kualitas diri di pernikahansebelumnya. Orangtua harus memiliki kematangan emosiyang lebih baik dan kepribadian yang lebih dewasa,disamping kemampuan finansial yang lebih kuat. Hal inipenting karena kualitas dan kuantitas masalah yang akandihadapi pun akan lebih kompleks dibandingkan padapernikahan pertama.

Akan tetapi, orangtua harus optimis bahwa kondisi initetap dapat terjalani dengan baik. Salah satunya denganberempati pada apa yang dirasakan oleh anak serta berusahamemahami sudut pandang anak dalam menyikapipernikahannya. Berbekal empati, orangtua tidak akan cepatberburuk sangka pada anak maupun keluarga besar.Sehingga ketika anak merespon pernikahannya dengan sikapyang buruk sekalipun, orangtua tetap dapat membuka dia-log dengan anak dan siap menerima alasan yang mendasarisikap anak.

Setiap orang tentu berhak memilih respon seperti apayang diambilnya dalam menyelesaikan masalah. Namun,kecerdasan orangtua dalam mengelola emosi sekaligustindakan apa yang akan diambilnya, bukan mustahil akanmembuat anak juga akan belajar memahami keputusanorangtuanya dan membuka hati melihat kebaikan yangterkandung di dalamnya.

Satu hal yang terpenting, orangtua pun harus menun-jukkan pada anak dan keluarga besar tentang tujuanpernikahan yang dilakukannya. Bila keputusan untukmenikah lagi didasari oleh tujuan-tujuan mulia di jalansyariat-Nya, maka orangtua harus berusaha menunjukkankepada anak bahwa segala kondisi yang terjadi saat ini,semata adalah sarana mencapai tujuan tersebut. Berteguh-hatilah dalam proses pembuktian tujuan ini karena sedikitsaja orangtua mengambil sikap yang tak semestinya, makaanak akan menganggap keputusan menikah lagi, tak lainhanya untuk kepentingan pribadi.

Terakhir, yakinlah bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatuyang didapat tanpa perjuangan dan kesabaran. Karena itu,sangat penting bagi orangtua, anak, dan keluarga besar untuksama-sama memegang-teguh titah-Nya, “... Dan bergaullahdengan mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidakmenyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadikamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikankebaikan yang banyak kepadanya.” (An-Nisaa [4]:19).*Kartika Trimarti, ibu rumah tangga tinggal di Bekasi, Jawa Barat

pihak keluarga besar dalam menyikapi keinginan anggotakeluarga untuk menikah lagi. Salah satunya adalah menjadipenengah antara orangtua yang akan menikah kembalidengan anaknya. Hal ini sangat membutuhkan kedewasaandan kelapangan hati yang luar biasa, karena keluarga besardalam hal ini tak boleh berpihak pada salah satu pihakdengan tendensi apa pun.

Selain itu, keluarga besar juga diharapkan mampumenjadi tempat yang paling nyaman, terutama bagi anakketika berada dalam masa adaptasi dengan orangtua tirinya.Anak juga diharapkan mendapatkan masukan-masukanpositif dari pihak keluarga, sehingga ia akan cepat berlapangdada sekaligus menyesuaikan diri dengan kondisi baruorangtuanya.

Jangan sampaiapa yang

diharapkanmenjadi

kebaikan bagipihak orangtuajustru adalahmimpi buruk

bagi anak.

MUH ABDUS SYAKUR/SUARA HIDAYATULLAH

Page 5: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

| tarbiyah |

70 SUARA HIDAYATULLAH | NOPEMBER 2011/DZULHIJJAH 1432

dipaparkan Pamela dan Laura. Ada empat tahapan penyele-saian konflik sesuai tahap perkembangan anak, yaitu: pasif (pas-sive), serangan fisik (physical aggression), serangan bahasa(verbal aggression), dan bahasa (language).

Tahap pertama pasif (passive). Pada tahap ini, anakhampir tidak melakukan kontak sosial dan komunikasi de-ngan lingkungan. Tahapan ini dialami oleh para bayi yangbelum bisa bicara dan berbuat banyak, terlebih menyelesai-kan masalahnya.

Tahap kedua adalah serangan fisik (physical ag-gression). Anak-anak usia pra-TK (sekitar 2-3 tahun) se-ringkali menyelesaikan masalah dengan melakukan sera-ngan fisik berupa: tantrum (marah), berteriak, menggigit,menendang, memukul, atau melempar benda. Ia belummempunyai perbendaharaan kata-kata untuk mengatasi per-soalannya. Saat menginginkan mainan, seorang anak akanlangsung merampas atau ketika marah pada temannya iaakan langsung memukul.

Tahap ketiga yaitu serangan kata-kata (verbal ag-gression). Ketika anak menginjak TK sekitar 4-6 tahunmaka serangan fisik akan berkurang, namun mereka mulaimemahami kekuatan kata-kata. Mereka akan bergerak ketahap ‘serangan kata-kata’. Anak perempuan usia 4 tahunkadang berkata: “Bajumu jelek!”

Tahap keempat yaitu bahasa (language). Tahap ini,seorang anak sudah dapat menyelesaikan masalah denganbahasa: kalimat yang positif, tidak kasar, dan tidak meng-hakimi. Hal itu cermin dari kematangan dan pengendalianemosi yang baik. Anak-anak yang akan masuk sekolah dasarsebaiknya sudah sampai pada tahapan bahasa untuk me-ngatasi persoalannya. Contoh: ketika seorang anak sedangmembuat bangunan dengan balok, seorang teman menyeng-gol bangunannya. Anak itu berkata, “Aku tidak suka, kamumerobohkan rumahku.” Kemudian temannya itu menjawab,“Maaf aku tidak sengaja!” Masalah selesai dan kedua anakitu melanjutkan pekerjaannya.

Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS kecil menggunakan lan-guage sebagai cara menyelesaikan masalah yang luar biasabesar. Cara semacam ini justru jarang dilakukan oleh bangsa

Seringkali masyarakat menye-lesaikan konflik dengan serangankata, bahkan serangan fisik.

MMMMMateri Konferensi Pendidikan Anak Usia Dini beberapa waktu lalu di Jakarta, mengingatkan kami akandialog monumental antara Nabi Ibrahim Alaihis-

salam dan putranya, Ismail Alaihissalam. Paparan dari duapakar dan praktisi pendidikan anak dari Florida, AmerikaSerikat, Pamela Phelps, Ph.D dan Laura Stannard, Ph.D ituditujukan untuk menjawab persoalan krusial bangsa ini.

Selama ini kita begitu resah dengan persoalan krisis mor-al, kekerasan, dan sebagainya. Solusi yang ditawarkan keduapakar tersebut, sudah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘Alai-hissalam dan anaknya yang menjadi cikal bakal syariat IdulAdha.

Ketika Ibrahim AS diperintahkan Allah Subhanahu waTa’ala untuk menyembelih Ismail AS, ia gundah gulana.Sepanjang hari ia memikirkan perihal mimpinya. Akhirnya,ia pun memberanikan diri berdialog dengan anaknya. “Makatatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusahabersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakkusesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa akumenyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Iamenjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperin-tahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatikutermasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat [37]:102)

Sebuah masalah sangat besar dapat diselesaikan olehNabi Ibrahim AS dan Ismail AS dengan sebuah dialog yangbijak. Ibrahim tidak menggunakan kekerasan fisik untuk me-maksa anaknya mengikuti perintahnya. Ia juga tak meng-gunakan serangan kata-kata yang bersifat keras layaknyaorangtua kepada anaknya.

Empat TahapanLakon yang dipraktekkan kedua Nabi tersebut dapat dije-

laskan dalam materi “keterampilan menyelesaikan konflik” yang

dari Ibrahim dan Ismaildari Ibrahim dan Ismaildari Ibrahim dan Ismaildari Ibrahim dan Ismaildari Ibrahim dan IsmailKKKKKONFLIKONFLIKONFLIKONFLIKONFLIKBelajarBelajarBelajarBelajarBelajar

SelesaikanSelesaikanSelesaikanSelesaikanSelesaikan

Page 6: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

71SUARA HIDAYATULLAH | NOPEMBER 2011/DZULHIJJAH 1432

ini. Sekarang, mari kita simak beberapa contoh kasus berikutini. Beberapa waktu lalu terjadi adu mulut antara anggotadewan saat sidang Pansus Century. Merujuk pada tahapanmenyelesaikan konflik di atas, ternyata mereka masih beradadi tahap verbal aggression karena mereka saling menyerangdengan kata-kata kasar dan tak pantas didengar.

Masih ingat dengan anggota dewan yang hendak menye-rang Ketua DPR RI saat sidang paripurna? Yang dilakukan‘orang tersebut’ adalah perilaku anak yang masih beradadalam tahap physical aggression yaitu memukul, menen-dang, dan melempar benda yang ada didekatnya.

Untuk sampai pada tahap language, kita harus melewatisatu per satu tahapan dengan benar. Saat berada pada satu

benar saat mereka berada pada sebuah tahapan. Sehinggaketika menyelesaikan persoalan, mereka masih mengguna-kan physical dan verbal aggression.

Selama ini, bisa jadi kita memandang pendidikan anakusia dini (PAUD) dan TK hanya sekadar bekal awal untukmengarungi jenjang pendidikan selanjutnya. Jika anaksudah mampu membaca, menulis, dan menghitung (calis-tung), maka kita menganggap pendidikan yang diajarkan te-lah memenuhi target.

Padahal, jika seorang anak memiliki masalah dalam halperilaku dan sikap, maka akan menimbulkan masalah di usiadewasa. Kemampuan sosial emosi seperti saling menghor-mati dan dapat bergaul baik dengan orang lain, penting un-

tahapan, kita juga harus mendapatkan pijakan yang benar.Jika ada saja kesalahan yang diajarkan, itu akan menjadiinvestasi buruk bagi perkembangan dan masa depannya.

Misalnya ada anak yang awalnya pasif, lalu memukulteman yang mengambil mainannya. Jika kita bereaksi,“Jangan memukul!” bisa jadi membuat anak akan menjadipasif lagi. Yang harus kita lakukan adalah memberi pijakanpada anak cara mengambil mainan dengan berbicara, tidakdengan fisik. “Katakan pada temanmu, ‘Tidak, itu mainanpunyaku!’.”

Akan tetapi, jika perilaku memukul dibiarkan saja, makaanak akan menganggap bahwa memukul adalah salah satu caramenyelesaikan masalah. Ia pun akan mengulangi perbuatannyadi kemudian hari, termasuk saat beranjak dewasa.

Sosial Emosi Rendah

Mengapa para politisi dan sebagian besar masyarakatbangsa ini masih berada pada tahapan serangan fisik danserangan kata-kata? Boleh jadi, karena ada masalah dalampendidikan usia dini. Mereka tidak mendapat pijakan yang

tuk kesuksesan di masa dewasanya.Pam dan Laura mengatakan bahwa pendidikan anak usia

dini harus ditangani secara serius. Jika kita ingin mengubahperilaku seorang anak yang sudah terlanjur besar, maka akanmembutuhkan waktu lama dan dana yang lebih besar.

Oleh karena itu, ketika kemampuan sosial emosi sebagianbesar masyarakat rendah -sehingga masih banyak yang me-nyelesaikan masalah dengan serangan fisik- maka dampak-nya sangat mengerikan. Kerusuhan, perkelahian, hingga pe-ristiwa pengeboman menjadi kerap terjadi. Kerugian akibathal tersebut berupa kehilangan nyawa, harta, benda, dan ke-tenangan tak bisa dihitung dengan angka rupiah.

Karena itu, kami berkesimpulan bahwa jawaban dariberbagai problem bangsa hari ini adalah dengan mereformasisistem pendidikan anak usia dini. Yang dibutuhkan tidakhanya membangun kognisi –seperti calistung- namun jugaaspek sosial emosi dan spiritualnya yang akan menentukankarakternya kelak, hingga mereka mampu menyelesaikanmasalah sebagaimana Nabi Ibrahim AS dan putranya. *Erwyn

Kurniawan, Direktur Eksekutif Sekolah Akhlak Quran (SAKURA), Bekasi dan Ida S. Widayanti,

penulis buku dan artikel parenting

Nabi Ibrahim danIsmail kecil

menggunakanlanguage

sebagai caramenyelesaikan

masalah yang luarbiasa besar

MUH ABDUS SYAKUR/SUARA HIDAYATULLAH

Page 7: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

72 SUARA HIDAYATULLAH | NOPEMBER 2011/DZULHIJJAH 1432

IInilah Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ini suatu ketika bertutur, “Tidak adasatu orang pun yang lebih para Sahabatcintai daripada Rasulullah SAW. Namunjika mereka melihat beliau, mereka tidak

berdiri untuk menyambutnya, karena mereka menge-tahui ketidaksukaan beliau terhadap hal itu.” (Riwa-yat At-Tirmidzi dalam Kitab Al-Adab dan dia berkata,“Ini adalah Hadits hasan shahih gharib dari jalur ini.”)

Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa yang menyu-kai manusia berdiri memberi penghormatan kepa-danya, hendaknya mengambil tempat duduknya dineraka.”(Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Di negeri tempat kita berpijak ini, sulit memba-yangkan ada seorang pemimpin yang kuat pengaruh-nya, besar wibawanya, ditaati perintahnya dengan ri-ngan hati, dan dinanti tutur katanya. Aparat negarahingga pimpinan sekolah banyak yang justru secarasengaja menciptakan budaya penghormatan demiterbentuknya apa yang diangankan sebagai karakterdan patriotisme. Hari ini anak-anak kita dididik untukberdiri menghormat kepada orang-orang yang disebutpemimpin; inspektur upacara bendera dan bahkankepada kepala desa yang datang menghadiri sebuahperhelatan. Tetapi hari ini kita melihat, tak ada keta-atan –apalagi kecintaan—yang tumbuh dengan kuatdalam diri anak-anak kita kepada para pemimpin.

Lalu apa yang melahirkan kecintaan besar dari pa-ra Sahabat Radhiyallahu ‘anhum ajma’in kepa-

da Rasulullah? Kita bisa menjawab ketelada-nan. Tetapi keteladanan seperti apa yang me-lahirkan kecintaan begitu besar dan ketaatanyang sedemikian kuat?

Mari kita simak firman Allah Ta’ala beri-kut ini, ”Sesungguhnya telah datang kepa-damu seorang rasul dari kaummu sendiri,

berat terasa olehnya penderitaanmu, sa-ngat menginginkan (keimanan dan kese-

lamatan) bagimu, amat belas-kasihan

KOLOM PARENTING | Mohammad Fauzil Adhim

KEIMANANKEIMANANKEIMANANKEIMANANKEIMANANLahirLahirLahirLahirLahirkan Keteladanankan Keteladanankan Keteladanankan Keteladanankan Keteladanan

lagi penyayang terhadap orang-orang muk-min.” (At-Taubah [9]: 128)

Apa yang bisa kita petik dari pribadi Rasulullah?Bukan sekadar manusia yang memiliki budi pekertiluhur. Pada dirinya ada kecintaan dan empati yangluar biasa, sedemikian besarnya kecintaan itu sehing-ga penderitaan kita adalah penderitaannya. Ia turutmerasakan penderitaan kita yang banyak. Ada keingi-nan yang sangat kuat untuk mengantarkan kita padakeselamatan, dan tidak ada keselamatan tanpa iman.Dan tidak bernilai iman jika tidak berpijak pada aqi-dah yang lurus dan agama yang benar sehingga tidak-lah kita berserah diri kecuali kepada Allah ‘Azza waJalla. Amat besar keinginannya agar kita meraih kese-lamatan dan kemuliaan, bahkan meskipun untuk ituia dimusuhi dan disakiti.

Ia melakukan semua itu bukan untuk meraih du-nia –yang ia tidak perlu berlelah-lelah untuk meraih-nya, andaikata ia menghendaki. Ia juga bukan me-ngejar kekuasaan dan mahkota. Tetapi ia berbuat de-ngan tulus, melayani, penuh kecintaan, berjuang de-ngan sungguh-sungguh demi membaguskan kita. Bu-kan meninggikan kedudukannya. Dan justru karenaitulah, kita merasakan keagungannya. Dunia menga-kui kemuliaannya. Bahkan Allah Ta’ala dan para ma-laikat pun bershalawat untuknya.

Terasa betul betapa berbedanya dengan apa yangkita jumpai hari ini. Atas nama dakwah dan mu-ru’ah (kehormatan), banyak orang yang berburu gelarustadz dan menyandangi dirinya dengan berbagai ke-mewahan. Kenapa? Karena ada persangkaan bahwadengan itu kita akan dihormati, dengan kekayaan itukita dimuliakan dan nasehatnya didengar. Tetapitidak. Mereka berceramah, manusia tertawa dan me-ngelu-elukan, sesudah itu tak ada lagi yang berbekas.

Jika agama hanya menjadi penghibur jiwa, makasulit membayangkan terjadi perubahan mendasar pa-da mereka yang mendengar dan belajar. Jika para pe-nyeru agama telah silau hatinya kepada kedudukan,gelar yang berderet, sebutan yang terucap, makanyaris tak mungkin rasanya budaya karakter akan

Page 8: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

73SUARA HIDAYATULLAH | NOPEMBER 2011/DZULHIJJAH 1432

tumbuh. Kebanggaan pada sebutan, simbol, dan yangsemacamnya lahir dari budaya prestasi dimana pres-tise lebih berharga daripada keringat dan kesunggu-han. Sementara budaya karakter menyibukkan diridengan sikap, usaha dan perjuangan, kejujuran, pela-yanan kepada orang lain, ketulusan, dan yang serupadengan itu. Tatkala karakter yang menjadi kegelisahanutama, prestasi akan menyertai. Prestasi muncul seba-gai akibat. Bukan tujuan.

Sehingga tak berharga sebuah prestasi, yang pal-ing memukau sekalipun, jika diraih dengan mencideraikeyakinan, keimanan, dan kejujuran.

Khusus mengenai budaya prestasi dan budayakarakter, saya berharap dapat membahas lebih lanjutpada lain kesempatan. Kali ini saya ingin mengajakAnda untuk kembali melihat betapa berbedanya antaraapa yang kita sebut sebagai pendidikan karakter de-ngan apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW sehing-

gah dan banyak hal lainnya yang masih dibiarkan.Ini memberi pelajaran berharga bagi kita. Kelak

kita tahu dalam sejarah betapa tinggi kemuliaanakhlak para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum ajma’in,tabi’in, tabi’it tabi’in, maupun para salafush-shalih.Tetapi kemuliaan akhlak itu bukan semata-mata aki-bat dari pembiasaan, melainkan tumbuh di atas ke-yakinan yang kuat dan keimanan yang benar.

Sangat berbeda kebiasaan yang muncul semata-mata sebagai hasil pembiasaan dengan kebiasaan yanglahir dari keyakinan yang kuat. Yang pertama akanmudah luntur oleh situasi, sedangkan yang keduacenderung mewarnai dan membawa pengaruh tatkalakita berada pada lingkungan yang sangat berbeda.

Serupa dengan itu, sangat berbeda kaya sebagaitujuan dan kaya sebagai akibat. Berbeda juga kayasebagai jalan. Kita kerahkan seluruh kemampuanuntuk mengejar kekayaan, lalu menyiapkan sejumlah

ga melahirkan manusia-manusia dengan karaktermulia yang luar biasa.

Sesungguhnya, tidaklah Rasulullah SAW diutus ke-cuali untuk membentuk akhlak mulia (akhlaqulkariimah). Tetapi mari kita periksa perjalanan sejarahNabi SAW? Apakah yang beliau lakukan di awal-awalmasa kenabian? Apakah beliau melakukan serangkai-an pembiasaan berkait dengan budi pekerti? Sepanjangyang saya pahami, bukan itu yang dilakukan olehNabi SAW. Masa-masa awal dakwah, titik tekan uta-manya adalah pada penanaman keyakinan yang kuatkepada Allah Ta’ala dan tidak mempersekutukan-Nya,membangun aqidah yang lurus, menempa mereka un-tuk memiliki ketundukan yang total kepada Allah- Ta’ala melalui qiyamul-lail yang panjang dan me-nafikan sesembahan selain Allah Ta’ala. Ketika itu,jilbab belum diperintahkan, minum khamr belum dice-

kemuliaan sebagai alasan. Bahwa jika kaya, kitamampu beramal, meniru para Sahabat Radhiyalla-hu ‘anhum ajma’in dan alasan lain yang serupa.Tetapi tatkala kaya sebagai jalan, kita sangat berke-inginan untuk melakukan amal mulia dan untuk itukita siapkan bekal. Kerinduannya terletak pada amal.Bukan kekayaan.

Jika dunia yang menjadi tujuan, maka dien akanmenjadi alat. Jika kaya yang menjadi impian, makasurga yang menjadi agunan. Jika menolong agamaAllah yang menjadi kegelisahan dan tekad kuat kita,maka kita akan siap berletih-letih untuk berjuang,termasuk mengumpulkan harta yang banyak agar da-pat mengongkosi perjuangan dan dakwah kita fillah,lillah, ilallah. Nah, semoga ada yang bisa kita renungkan.*

Tatkala karakter yangmenjadi kegelisahanutama, prestasi akanmenyertai. Prestasimuncul sebagai akibat.Bukan tujuan.

MUH. ABDUS SYAKUR/SUARA HIDAYATULLAH

Page 9: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

| profil keluarga |

Budi DharBudi DharBudi DharBudi DharBudi Dharmawanmawanmawanmawanmawan

KeluarKeluarKeluarKeluarKeluarga Lebih Pga Lebih Pga Lebih Pga Lebih Pga Lebih Pentingentingentingentingenting

74

membuat komitmen bersama padatujuan bersama. Ke depannya sepertiapa,” ujar Budi kepada SuaraHidayatullah yang berkunjung kerumahnya awal Oktober lalu.

Dalam pertemuan itu, Budi menga-takan kepada keluarganya, bahwa diatidak secara otomatis menggantikan pe-ran seorang ibu kepada anak-anaknya.Biar pun saat ini dia sebagai singleparent (orangtua tunggal), bukan ber-arti dia menjadi ayah sekaligus ibu un-tuk 13 anaknya itu. “Artinya, saya te-taplah seorang ayah,” kata pria kelahi-ran Bandung, 17 April 1961 ini.

Baginya, single parent bukan berartisatu orangtua menggantikan peran ayahatau ibu. Karena itu, ia mengajak anak-

SUARA HIDAYATULLAH | NOPEMBER 2011/DZULHIJJAH 1432

anaknya yang sudah besar untuk mem-bantunya mendidik dan mengasuhadik-adik mereka.

Syukurlah, peran Budi mengasuhanak juga dibantu oleh anak-anaknyayang telah besar. Seperti anak sulung-nya, Ahmad Umar Al-Faruq dan sejum-lah adiknya seraya meneruskan pesan-tren penghafal al-Qur`an, Ummu Habi-bah, di Tangerang yang telah dirintisoleh sang ibu.

Anaknya yang ketiga, Asma Kari-mah telah menikah, sedangkan anaknomor 8, 9, dan 10 di pesantren. “Ha-nya anak yang ke-11, 12, 13, dan nomor7 yang selalu tinggal di sini (di rumahbersamanya, red),” kata Budi.

Kepada anak-anaknya, budi menga-

Menjadi orangtua tunggalbagi 13 anak. BagaimanaBudi membangun kembalikeutuhan keluarga setelahditinggal sang istri tercinta

BBBBBudi Dharmawan tidak ingin dukameliputi keluarganya bertenggerterlalu lama. Sekitar satu sete-

ngah bulan pasca kematian istrinya,Yoyoh Yosroh (anggota Dewan Perwa-kilan Rakyat Pusat sekaligus pendiriPartai Keadilan Sejahtera), pada 21 Mei2011, dia segera menggelar rapat ke-luarga. Tiga belas anaknya, duamenantu, dan sejumlah cucu hadir da-lam pertemuan itu “Intinya, kita ingin

daripada Nikah Lagidaripada Nikah Lagidaripada Nikah Lagidaripada Nikah Lagidaripada Nikah Lagi

MUH ABDUS SYAKUR/SUARA HIDAYATULLAH

Page 10: Rubrik Parenting   Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

75SUARA HIDAYATULLAH | NOPEMBER 2011/DZULHIJJAH 1432

dalam Umar, anak pertama. Secara nilaidia paham betul kiprah ibunya sebagaidaiyah. Dia yang paling sabar di antaraanak-anak yang lain,” ujar Budi yangdulu kerap mengisi seminar-seminarparenting bersama istrinya ini.

KerinduanDiakui Budi, perasaan kerinduan

anak-anak terhadap sosok ibu memangkerap muncul. Di antaranya lewat mim-pi anak-anaknya. Helma, misalnya, se-pekan setelah pemakaman dia bermim-pi mendapati ibunya berada di rumah.Helma menceritakan, ibunya bilangmendapat cuti satu tahun dari AllahSubhanahu wa Ta’ala untuk pulang kedunia. “Aku senang bisa pergi ke mana-mana dan foto-foto sama Ummi,” tuturBudi menirukan cerita putrinya.

Saat ibunya mau kembali ke Allah,kata Helma, Abi menahan Umminyauntuk pergi. Namun, dalam mimpi ituUmmi berkata, kalau Ummi tidak pu-lang, nanti tidak dapat cuti lagi dariAllah. Kemudian Ummi pulang ketikadipanggil oleh malaikat: wahai ‘illiyyin,sudah saatnya engkau kembali kepadaAllah.”

Taat SuamiBudi mengatakan, Yoyoh wanita

kelahiran tahun 1962 yang dinikahinya

takan kepergian sang ibu merupakansatu bentuk kebersamaan baru. Semuaanggota keluarga harus tetap komit-men mencapai tujuan bersama. “Yakni,bagaimana kita bisa mengantarkan se-luruh anggota keluarga untuk masukpintu gerbang surga,” kata Budi yangjuga Wakil Sekjen PKS bidang proto-koler dan rumah tangga ini.

Mendahulukan kepentingan dankeutuhan keluarga, menjadi prioritashidup Budi, daripada kepentinganpribadi. Baginya, hal itu berartimenomorduakan urusan mencari istribaru demi menjaga perasaan anak-anaknya yang kebanyakan masih kecil.

“Menikah belum menjadi prioritassaat ini,” ujar pria lulusan FakultasPsikologi Universitas Indonesia tahun1987 ini.

Pengaruh Sang IstriSemasa hidup, sang istri memang

dikenal wanita yang sangat padat akti-vitasnya. Aktvitas Yoyoh berdakwahdan sebagai anggota dewan menuntut-nya sering bepergian dan meninggal-kan anak-anaknya. Tapi, bukan berartianak-anaknya menjadi telantar.

Komitmen Yoyoh dan Budi dalammengatur waktu telah memberikan ka-rakter kuat pada anak-anaknya. KataBudi, ketiga belas anaknya telah dibia-sakan berpuasa sehari penuh selamaRamadhan sejak usia tiga tahun.

Karenanya, kata Budi, semua anak-anaknya cukup siap saat menerima ka-bar kepergian ibu mereka. Putri keduabelasnya yang masih kelas 5 SD, HelmaHamimah, bahkan sempat membuatpuisi untuk ibunya saat hari ibunyameninggal. Berikut penggalan puisinya:

Kabar itu datang ….Ummi sudah meninggal.Aku berusaha menahan air mata,namun Aku tak kuasa menahan.Maka bulir air mata jatuh hinggapipiku lembab karena tangisankuYa Allah …. ia masih mempunyai 13anak dan 1 pesantren.

Menurut Budi, pengaruh didikansang ibu bergradasi pada masing-ma-sing anak. Tergantung sejauh manainteraksi mereka dengan sang ibu. “Ka-lau yang kecil-kecil tentu saja tidak se-

pada 1985 itu adalah sosok wanita yangtaat kepada suami. Sampai-sampai,katanya, soal urusan memindahkan mejamakan saja dia meminta izin kepadanya.

Itu sebabnya, Budi tidak pernah bisamarah hingga tiga hari kepada Yoyoh.Budi menceritakan, jika dirinya sedangmarah kepada Yoyoh, dia tidak akanmemberi tangannya untuk dicium sangistri ketika akan berangkat tugas. Dan,Yoyoh pun memilih tidak berangkat ker-ja sebelum dirinya mendapatkan ridhasuaminya. Akhirnya, diberikan juga ta-ngannya.

“Dia tidak mau sisakan persoalansekecil apa pun di rumah. Sebab, dia ta-hu di luar masih banyak persoalan-per-soalan besar yang harus diselesaikan,”kata Budi yang pernah menjabat StafAhli Menteri Pemuda dan Olahraga,Adhyaksa Dault ini.

Budi di Mata AnaknyaDi mata anak sulungnya, Umar, Bu-

di adalah seorang ayah cerdas yang ke-rap membuat keputusan-keputusan bri-lian dalam masalah-masalah keluarga.Kata Umar, sang ayah yang telah lamaaktif dalam gerakan dakwah selalu me-mahamkan kepada anak-anaknya, bah-wa kepergian sang ibu adalah karenatakdir Allah semata.

Menurut Umar, masalah takdirpenting ditekankan karena ShalahuddinAl Ayubi putra ke-5 merasa sangat ber-salah atas kematian ibunya. Sebabdialah yang mengemudikan mobil saatterjadinya kecelakaan yang berujungpada tewasnya sang ibu.

Kata Umar, karena sekarang ibunyatelah tiada maka sang ayah menjadi sen-tral bagi anak-anaknya untuk berbaktikepada orangtua. “Abi jadi lebih seringberinteraksi dengan anak-anaknya. Lagipula jam kerja Abi fleksibel, lebih ba-nyak kerja malam hari,” kata Umar yanglulusan Universitas Gajah Mada, Yogya-karta ini.

Umar mengatakan, sebenarnya su-dah ada beberapa pihak yang menawar-kan ayahnya untuk menikah lagi. Tapihal itu belum pernah dibahas. Seandai-nya sang ayah menikah lagi, Umar ber-harap wanita itu bisa seperti ibunya.“Yang menomorsatukan keluarga, pe-ngayom, dan hafal al-Qur`an,” pungkas-nya.* Ibnu Syafa’at, Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah

Semua anggotakeluarga harus

tetap komitmenmencapai tujuanbersama. “Yakni,bagaimana kitabisa mengantar-

kan seluruhanggota

keluarga untukmasuk pintu

gerbang surga”