Saya yang bertanda tangan di bawah...

118

Transcript of Saya yang bertanda tangan di bawah...

Page 1: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan
Page 2: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan
Page 3: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : M. Ridwan Arifin

NIM : 104045201515

Prodi/Konsentrasi : Jinayah Siyasah/Siyasah Syariyyah (Ketatanegaraan Islam)

Judul Skripsi : KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TINJAUAN FIQH

SIYASAH

Dengan surat permohonan ini saya menyatakan akan menyelesaikan perbaikan skripsi

sampai dengan jangka waktu maksimal tiga bulan terhitung dari tanggal 21 Maret

2011. Apabila perbaikan skripsi saya tidak selesai pada waktu tiga bulan dari tanggal

21 Maret 2011, saya siap dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di

Fakultas Syariah dan Hukum.

Ciputat Timur, 24 Maret 2011

M. Ridwan Arifin Drs. Abu Thamrin, M.Hum NIM : 104045201515 NIP : 19659081995031001

Page 4: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

i

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya berupa Rahmat dan

Inayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun masih jauh dari

kesempurnaan.

Shalawat beriringan sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya,

sahabatnya, yang diutus membawa misi islam keseluruh pelosok dunia sampai ke ahkirat.

Selanjutnya menyadari bahwa penulis skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada

bapak :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag selaku ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Bapak Afwan Faidzin,

M.Ag selaku sekertaris Program Studi Siyasah syar’iyyah Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dan melayani dalam penyelesaian

skripsi dan melengkapi persyaratan administrasi

3. Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu,

fikiran, dan tenaga untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Page 5: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

ii

4. Segenap pengurus Perpustakaan Utama, perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitasnya.

5. Yang teristimewa ummi dan abbi tersayang selaku orang tua yang telah memberikan

segalanya baik formil maupun materil serta doa yang tiada hentinya sehingga penulis dapat

menyelesaikan masa studi S1

6. Kakak tersayang a asep, teh neti serta adik-adik tercinta ari, irman, zulham serta keponakan

yang lucu noval, yang telah mendoakan penulis selama ini.

7. Teman-teman SS 2004 yang penulis kagumi: H. Asep, S.Hi yang masih setia menjadi

panglima PKIS(Pecinta Kopi Item Sejati), Bauk si bang doel yang klo udah chating ga

inget waktu, Heri, S.Hi yang sekarang jadi artis FTV, Joko, S.Hi yang suka sama barang

jamur, Arman si teknisi komputer, Jaki penerus Bang Haji Rhoma, Arul yang dah jadi

Manager, Rini, S.Hi si bebek, Atul, S.Hi yang kaya donat, Urwah, S.Hi yang suka mukul

orang, Santi, S.Hi , Putri, Ajay si manusia lobang, mamet yang suka X…, Alex si orok

beduk, Abdi Tsunade sejati, Ipunk si tulang bengkok, Iam si ambon pahite, Onay yang suka

nyendok, Ubay yang pusing sama kuliah, Jae tukang minyak wangi di Kwitang, Ahmed

yang badannya kaya kubah mesjid istiqlal, Rudi tukang rokok asongan, Bani klo dagang

maen mulu, Aji manusia kalong, Nyamuk yang klo dah tidur ga bangun-bangun, Dodon

yang suka dandan kaya wadon, umar si manusia antik,

8. Keluarga besar jama’ah Masjid Nurussalam

9. Bang udin dan keluarga yang sudah penulis anggap Orang tua, yang sering bawain

makanan ke kosan dan selalu memberikan dukungan, motivasi dan nasehat yang tiada

hentinya kepada penulis.

Page 6: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

iii

10. Teruntuk kekasih pujaan hati yang selama ini telah memberikan dukungannya baik formil

maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1 ini

11. Buat kampret yang suka maen ps yang klo kalah marah-marah mulu, fendi bos Daihatsu,

ersyad si keling, fahmi yang suka jalan-jalan, ali yang suka turing, uda edi yang udah tua

tapi ngaku muda, eha yang sudah memberikan fasilitas, Dede si embe stress, Jajang gondes

sejati, Ana yang badannya makin lebar kaya tangki pertamina.

Kebaikan yang telah semua berikan kepada penulis, tak mampu penulis membalasnya

hanya Allah SWT yang akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 16 Juni 2011/1432 H

Penulis

Page 7: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….……i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar belakang masalah.........................................................................1

B. Rumusan masalah dan pembatasan masalah……….......................... ..8

C. Tujuan dan manfaat penelitian..............................................................8

D. Metode penelitian..................................................................................9

E. Review Studi Terdahulu……………………………………………...10

F. Sistematika penulisan..........................................................................13

BAB II TEORI KEKUASAAN KEHAKIMAN...............................................14

A. Definisi kekuasaan kehakiman ...........................................................14

1. Kekuasaan kehakiman dalam Konvensional.................................14

2. Kekuasaan Kehakiman dalam islam.............................................18

B. Kekuasaan kehakiman dalam konteks negara hukum indonesia........25

C. Prinsip-prinsip pokok kekuasaan kehakiman......................................27

BAB III PROFIL MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH

KONSTITUSI.......................................................................................32

A. Mahkamah Agung.............................................................................32

B. Mahkamah Konstitusi.......................................................................38

Page 8: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

v

BAB IV ANALISA TERHADAP MODEL KEKUASAAN KEHAKIMAN

DALAM KONSEPSI NEGARA HUKUM INDONESIA…….….48

A. Model kekuasaan kehakiman di Indonesia……….…………..…..48

B. Model Kekuasaan Kehakiman dalam Islam……………………...56

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................72

B. Saran-saran...................................................................................74

Page 9: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu agenda reformasi di bidang hukum yang berkembang adalah

desakan untuk terwujudnya supremasi sistem hukum1 di dalam bingkai konstitusi

yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan

negara dan pemerintahan. Reformasi sesungguhnya akan dapat dilakukan lebih

cepat dan terarah jika didahului oleh perubahan mekanisme dan kelembagaan

yang baik dalam konteks kenegaraan maupun sosial. Perubahan mekanisme dan

kelembagaan tersebut dilakukan melalui perubahan Undang-undang Dasar 1945

yang sesungguhnya telah didasari oleh banyak pihak sehingga menjadi salah satu

tuntutan mendasar di awal era reformasi. 2

1 Adapun yang dimaksud dengan tata hukum adalah „keseluruhan norma yang diakui

masyarakat sebagai kaidah-kaidah yang mengikat (demi tercapainya ketertiban dalam kehidupan

masyarakat), dan karena itu dipertahankan berlakunya oleh suatu otoritas yang juga diakui

masyarakat‟. Sementara sistem hukum diartikan „keseluruhan atau prosedur yang spesifik, yang

karena itu dapat dibedakan ciri-cirinya dari kaidah-kaidah sosial yang lain pada umumnya, dan

kemudian secara relatif konsisten diterapkan oleh suatu struktur otoritas yang profesional guna

mengontrol proses sosial yang terjadi di masyarakat. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari

Hukum Klonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum Di

Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1994, hlm.1.

2 Transisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis biasanya dilembagakan

dalam konstitusi baru. Misalnya di negara-negar Eropa Timur yang mengalami transisi dari

pemerintahan komunis ke pemerintahan demokrasi liberal. Juga di Afrika Selatan, dari system

apartheid ke sebuah sistem yang menghormati HAM. Demikian pula Filipina setelah Marcos, dan

juga Thailand setelah berakhirnya dominasi militer. Di masa transisi demikian itu, konstitusi baru

menjadi kebutuhan esensial guna mengukuhkan konsolidasi demokrasi, agar elemen-elemen

otoriter pro status quo yang masih eksis tidak berpeluang kembali untuk berkuasa. Biasanya

konstitusi baru ini umumnya mengandung ciri demokrasi partisipatoris yaitu terbukanya akses

rakyat untuk mengontrol pemerintahan secara langsung. Di samping itu, konstitusi juga memuat sistem ketatanegaraan, perlindunan HAM sistem ekonomi, dan sistem peradilan, serta mekanisme.

Page 10: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

2

Kekuasaan, merupakan terjemahan dari kata power.3 Kata power sendiri,

bisa berarti authority: wibawa, hak untuk bertindak, ahli, dan wewenang strength:

kekuatan, tenaga, dan daya; and control;4 pengawasan, penilikan, pengaturan,

penguasaan dan pembatasan. Kekuasaan juga berarti “kemampuan orang atau

golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan,

wewenang, karisma, atau kekuatan fisik”.5 Menurut Mochtar Kusumaatmadja,

kekuasaan dalam pelbagai bentuknya tetap sama yaitu, “kemampuan seseorang

untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain”.6

Kekuasaan, memberikan peluang bagi seseorang yang memegang

kekuasaan untuk mendapatkan segala-galanya dalam kehidupannya; kehormatan,

status sosial, uang, dan juga kenikmatan hidup. karena begitu sentralnya

kekuasaan dalam kehidupan masyarakat, Musa Asy‟arie menengarai ada

anggapan bahwa kekuasaan itu pulung, anugerah gaib yang datang dari langit,

yang diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, dan karenanya bersifat sakral.7

Sehingga, sakralisasi kekuasaan berakibat bahwa, kekuasaan cenderung tidak

pernah salah sehingga kekuasaan bisa melakukan segala-galanya, cenderung

3Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia

Jakarta, 2005), hlm. 441.

4W.T.Cuningham, Ed. The Nelson Contemporary English Dictionary, (Canada: Thomas

Nelson and Sons Ltd. 1982), hlm. 391.

5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005.

6Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

Nasional, Majalah Ilmu Hukum, Padjajaran Nomor 1 Tahun 1979, hlm. 9.

7 Musa Asy‟arie, “Candu Kekuasaan”, Kompas, 22 Januari 2010.

Page 11: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

3

bersifat absolut. Dalam konteks inilah, maka kekuasaan harus dibatasi dengan

sebuah aturan hukum.

Sedangkan kehakiman, berasal dari kata hakim dan merupakan terjemahan

dari kata judge atau justice yang sering diartikan sebagai hakim dan atau

peradilan. Dengan demikian, kekuasaan adalah kewenangan atau hak untuk

bertindak.

Suatu kecenderungan yang bersifat mendasar dalam konstitusionalisme

moderen adalah konsep konstitusi sebagai kenyataan normatif (normative reality)

dan bukan sebagai kompromi politik sesaat dari kelompok-kelompok politik, yang

dapat berubah pada setiap saat equilibrium di antara kelompok-kelompok politik

itu berubah.8

Menurut Moh. Mahfud, minimal ada tiga alasan yang mendasari

pernyataan pentingnya Judicial Activition: Pertama, hukum sebagai produk

politik senantiasa mewakili watak yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik

yang melahirkannya. Kedua, kemungkinan, sering terjadi ketidaksesuain antara

suatu produk peraturan perundangan dengan peraturan-peraturan hukum yang

lebih tinggi, maka muncul berbagai alternatif untuk mengantisispasi dan

mengatasi hal tersebut melalui pembentukan atau pelembagaan mahkamah

konstitusi, mahkamah perundang-undangan, judicial review, uji materil oleh MPR

dan lain sebagainya. Ketiga, dari berbagai alternatif yang pernah ditawarkan,

pelembagaaan judicial review adalah lebih konkrit bahkan telah dikristalkan di

8 AR Brewer-Carias sebagaimana dikutip Gurita, Kewenangan “Judicial Review" MPR,

Kompas, Senin 4 September 2000.

Page 12: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

4

dalam berbagai peraturan perundang-undangan kendati cakupannya masih terbatas

sehingga sering disebut sebagai judicial review terbatas.9

Pendelegasian perundang-undangan yang diberikan kepada pemerintah

dapat membuka peluang yang besar untuk membuat peraturan pelaksanaan lebih

lanjut dari setiap undang-undang. Hal ini juga akan membuka kemungkinan bagi

diciptakannya peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak sesuai

bahkan bertentangan dengan UU yang diatur lebih lanjut atau lebih tinggi, oleh

sebab itu, untuk menjamin tertib tata hukum, perlu dilembagakan atau

diefektifkan pelaksanaan judicial review atau hak uji materil oleh lembaga yang

berwenang.10

Berdasarkan sistem hukum anglo saxon, secara yuridis terdapat hal-hal

yang perlu ditelaah lebih lanjut karena menjadi permasalahan hukum dalam

pengaturan judicial review yang dilaksanakan oleh dua lembaga yang berbeda

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di antara permasalahan tersebut;

Pertama, berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, baik

Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak

memiliki kedudukan yang sama dengan Mahkamah Agung dalam melakukan

kekuasaan yang dimiliki berdasarkan UUD, yaitu kekuasaan kehakiman. Kedua,

Berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun

9 Moh. Mahfud. MD, Hukum Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta,

1999, h. 327-328.

10 Moh. Mahfud. MD, Perkembangan Politik Hukum Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi

Politik Produk Hukum, Disertasi Doktor1999, dikutip dari Siti Fatimah, Parktek Judicial Review

di Indinesia, Pilar Media,Yogyakarta, 2005, h. 40-42.

Page 13: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

5

19545, kewenangan untuk melakukan pengujian terletak pada dua lembaga, yaitu

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.11

Tidak dapat dioperasionalkannya judicial review menurut Sri Sumantri

justru karena adanya keharusan atau persyaratan “pemeriksaan pada tingkat

kasasi” bagi setiap upaya judicial review. Sebab istilah “kasasi” secara yuridis

telah memiliki pengertian baku sebagai salah satu mata rantai teknis procedural

dalam proses peradilan. Berdasarkan hal tersebut, dirasakan perlu adanya suatu

pembahasan tentang judicial review dalam sistem hukum di Indonesia. Pada

dasarnya pembahasan tentang judicial review dalam skripsi ini bukan merupakan

pekerjaan perintis (pioneering work).12

Buku karangan Siti Fatimah, dalam buku

ini penulis melakukan analisis terhadap proses penyelenggaraan negara

berdasarkan pada hukum tata negara yang dianut oleh Indonesia. Kemudian

melalukan komparasi praktik tersebut di negara-negara yang bisa dijadikan kiblat

demokrasi, penegakan hukum tata negara. Secara runut ia mengkaji proses

pembuatan undang-undang dan memperbandingkan dengan konteks Indonesia

pasca Amandemen UUD 1945.13

Buku karangan Fatmawati, buku ini pada awalnya merupakan tesis dari

Fatmawati yang kemudian dijadikan buku. Dalam buku ini dipaparkan mengenai

hak menguji dalam sistem hukum Indonesia agar tidak terjadi kerancuan

penggunaan istilah Teotsingrecht dan Judicial Review. Buku ini juga memberikan

11

Ibid., hlm. 93.

12 Khuzdaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Di Indonesia, Muhammadiyah University Press,

Surakarta, 2005, hlm. 6

13 Siti Fatimah, op. cit., hlm. 7

Page 14: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

6

penjelasan mengenai ketentuan dan pelaksanaan hak menguji dalam sistem

hukum Indonesia yang berkaitan dengan dua lembaga negara, yaitu Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu buku ini juga membahas hak

menguji pada negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa kontinental,

Judicial Review pada negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon.14

Penelitian skripsi ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian

yang sebelumnya. Pengembangan yang dimaksud adalah sebuah upaya untuk

melakukan verifikasi, koreksi, pelengkapan, serta perincian dari penelitian-

penelitian yang sebelumnya untuk menuai kesempurnaan. Karena, Kekuasaan

Kehakiman dalam konteks ke Indonesia merupakan hal yang aktual dan masih

menjadi perdebatan. Penulis menganggap pembahasan ini sangat penting demi

tercapainya pemahaman yang komprehensif tentang “KEKUASAAN

KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 TINJAUAN FIQH

SIYASAH”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sedangkan pembatasan masalah yang penulis fokuskan adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung pada Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD

1945 dalam ketatanegaraan di Indonesia

2. Untuk mengetahui Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945

apakah yang digunakan dalam tatanan ketatanegaraan Islam

14

Fatmawati, Hak Menguji (Teotsingrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem Hukum

Indonesia, Grafindo Prasada, Jakarta, 2005.

Page 15: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

7

Berdasarkan paparan di atas, masalah yang menjadi fokus penelitian ini

tentang. Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, Adapun masalah

yang diajukan dalam penilitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan:

1. Bagaimana hubungan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung pada kekuasaan kehakiman pasca Amandemen UUD

1945?

2. Bagaimana model-model kekuasaan kehakiman pasca Amandemen UUD

1945 dalam ketatanegaraan Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Sejalan dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka

penelitian ini bertujuan : Mengetahui dan menjelaskan hubungan kewenangan

antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Kekuasaan

Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 dalam ketatanegaraan di

Indonesia.

2. Mengetahui dan menjelaskan Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen

UUD 1945 yang digunakan di Indonesia.

Penelitian ini bermanfaat untuk :

1. Secara Teoritis, memberikan penjelasan tentang hubungan kewenangan

antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Kekuasaan

Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 dalam ketatanegaraan di

Indonesia.

Page 16: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

8

2. Secara Praktis, memberikan masukan kepada para peminat hukum tata negara

serta praktisi ketatanegaraan tentang hubungan kewenangan antara

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Kekuasaan Kehakiman

Pasca Amandemen UUD 1945 dalam ketatanegaraan Islam.

3. Secara akademis, penulis ini merupakan syarat untuk meraih gelar Strata 1

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (normative

legal reseach), yaitu penelitian terhadap norma yang terdapat dalam hokum

positif yang memandang hukum sebagai kaidah tertulis atau tidak tertulis ataupun

suatu keputusan dari lembaga yang berwenang. Penelitian hukum normatif

menyoroti hukum sebagai suatu yang dicitacitakan (Das Sollen) hukum yang

dirumuskan dalam perundang-undangan. Penelitian ini akan meneliti ketentuan

tentang judicial review dalam ketatanegaraan Indonesia. Hukum dipahami sebagai

gejala normatif yang bersifat otonom yang terpisah dari gejala sosial. Bersifat

otonom bukan berarti terpisah dari gejala sosial secara dikotomis, karena

penelitian ini berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Struktur hukum

terkait dengan apa yang disebut Hans Kelsen sebagai “grundnorm”. Kaidah

hukum terikat dengan kaidah pokok dan harus terbebas dari pengaruh sosial.

Ajaran ini selanjutnya disebut dengan “Reine Rechtslehre” atau “The pure theory

of Law” karena terikat oleh norma dasar tersebut maka kaidah hukum tersusun

Page 17: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

9

dalam suatu susunan yang disebut dengan “stufenbau” dimana grundnorm

merupakan analisis pemikiran yuridis yang dihasilkan oleh pemikiran manusia.

2. Metode pengumpulan data

Sebagai penelitian hukum normatif, alat pengumpulan data yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumberdata

diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:

1) Norma/aturan dasar (Pembukaan UUD 1945)

2) Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh UUD 1945 dan penjelasannya serta

Ketetapan MPR

3) Peraturan Perundang-undangan

I. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

II. UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14

Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

III. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

IV. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1993 dan Perma

No. 1 Tahun 1999

V. Dan Peraturan Perundang-undangan yang lainnya yang berkaitan

dengan pembahasan penelitian.

4) Yurisprudensi

b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer seperti: Rancangan undang-undang, hasil penelitian yang sudah

ada, karya ilmiah dari kalangan ahli hukum dan lain sebagainya.

Page 18: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

10

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan-bahan

yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti: kamus, ensklopedia, indeks dan seterusnya.

E. Review Studi Terdahulu

Apa yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menunjukkan kehawatiran akan

timbulnya konflik antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih

rendah, bukan hanya menyangkut hubungan antara undang-undang dengan

keputusan pengadilan, tetapi juga menyangkut antara konstitusi dengan

undangundang. Oleh karena itu Kelsen mengemukan sejumlah syarat agar

kepatuhan terhadap konstitusi dapat terjamin, yakni pertama, adanya organ yang

diberi otoritas untuk melakukan pengujian hukum judicial review; dan kedua,

tersedianya mekanisme atau prosedur-termasuk dalam hal ini menyangkut

azasazas dan kaidah-kaidah hokum-untuk melakukan pengujian hukum.15

Pengalaman empiris pengaturan dan pelaksanaan hak uji di berbagai Negara

menunjukkan gejala yang dinamis sesuai dengan karakteristik sistem konstitusi

yang dianut dan kebutuhan hukum akan pranata hak uji pada masing-masing

negara. Di dalam literatur, secara historis hak uji telah ada di Inggris sejak abad ke

XVI. Pengadilan Inggris menetapkan setiap peraturan atau tindakan pemerintah

tidak boleh bertentangan dengan common law. Tetapi hak uji di Inggris ini

kemudian ditinggalkan akibat lahirnya ajaran supremasi atau kedaulatan

parlemen. Pranata hak uji kemudian dikembangkan dalam tradisi ketatanegaraan

Amerika Serikat, yang dimulai pada tahun 1803 dalam kasus Marbrury versus

15

Ibid., hlm. 61.

Page 19: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

11

Madison.16

Sementara itu di Republik Prancis yang saat ini adalah Republik yang

kelima, pengaturan tentang judicial review baru dijumpai dalam konstitusi de

Gaulle yang mulai berlaku pada 4 Oktober 1958.17

Dilembagakannya judicial

review menurut teori Hans Kelsen karena peraturan perundang-undangan dari

tingkat yang rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi atau yang dikenal dengan teori Stufenbauw ades Recht

the Hierarkhy of Law Theory: “The Legal order . . . is therefore nota system of

norms coordinated to each other, standing, so to speak, side by side on the same

level, but a hierarkhy of different levels of norms” (sebuah tata hukum bukanlah

merupakan suatu sistem kaidah-kaidah hukum yang berhubungan satu sama lain

dalam kedudukan yang sederajat melainkan merupakan berhirarki dari kaidah-

kaidah yang berada sederajat).18

Mengenai kewenangan Constitutional Council tidak hanya melakukan

judicial review; tetapi juga menjamin/mengamankan pemilihan presiden;

menjamin/mengamankan pemilihan anggota-anggota National Assembly dan

16

Konstitusi AS sebelum kasus Marbrury versus Madison muncul, sebenarnya tidak

mengenal institusi judicial review. Sebagaiman dinyatakan Robert K. Carr dalam buku American

Democracy in Theori and Practice; “there has been much controversy concerning the origin of

judicial review in US. It is vey clear that the constitution itself does not in so many words

authorisethe courts to declare act to congress unconstitutional”. Barulah ketika Jhon Marshal

menjadi ketua Mahkamah Agung (supreme court), di dalam kasus Marbrury versus Madison,

untuk pertama kalinya Mahkamah Agung AS menyatakan, bahwa ketentuan undang-undang

Federal bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional). Lihat Sri Sumantri, Hak Uji Material

Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 26-30.

17 Di dalam Pasal Titel VII konstitusi de Gaulle, dinyatakan:” sebelum suatu undang-

undang organik dinyatakan berlaku, terlebih dahulu harus disampaikan kepada Constitutional

Council.

18 Hans Kelsen, General Theory Of Law, Translated by Andrew Wedberg, Russel&Russel,

New York, 1973, hlm. 124, dikutip dari Sumali, Reduksi Kekusaan Eksekutif Di Bidang Peraturan

Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2002, hlm. 2.

Page 20: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

12

Senate; dan menjamin/mengamankan prosedur referendum. penyelenggraan

pemerintahan negara adalah untuk mencegah lembaga tersebut melanggar norma-

norma konstitusi terutama dalam hal membuat undang-undang. Amandemen

UUD 1945 membawa perubahan terhadap system ketatanaegaraan Indonesia.

Selain perubahan yang terjadi pada susunan kedudukan eksekutif, dan legislatif,

kekuasaan kehakiman pasca amandemen UUD 1945 juga mengalami perubahan

yang mendasar. Sebelum amandemen kekuasaan kehakiman hanya dilaksanakan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya setelah UUD 1945

diamandemenkan, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung, tetapi dilaksanakan bersama-sama dengan Mahkamah

Konstitusi.

Mahkamah Agung kewenangannya menyangkut hal-hal yang berkaitan

dengan kasasi dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-

Undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi kewenangannya mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.19

Dalam hal ini lembaga

yudikatif (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) diberi kewenangan

untuk melakukan kontrol terhadap lembaga lainnya dengan melakukan judicial

review dan menafsirkan ketentuanketantuan konstitusional serta menjaga agar

tidak bertentangan dengan konstitusi.20

19

Pada awalnya skema di atas adalah hasil dari perkuliahan Hukum Tata Negara di Pasca

Sarjana-UMS yang diampu oleh Aidul Fitri Ciada Azhari dengan beberapa perubahan dari

penulisguna menyesuaikan dengan pembahasan penelitian.

20 Siti Fatimah., op. cit. hlm. 110-111.

Page 21: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

13

F. Sistematika penulisan

Seluruh hasil penelitian di atas akan disusun dalam sebuah karya tulis

dengan sistematika:

BAB I memuat pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teori dan

kerangka pemikiran, metode penelitian, sistematika

penulisan.

BAB II membahas berbagai teori kekuasaan Kehakiman, pengertian

kekuasaan kehakiman dalam islam dan konvensional,

kekuasaan kehakiman dalam konteks negara hukum

Indonesia, prinsip-prinsip pokok kekuasaan kehakiman.

BAB III mendeskripsikan tentang profil Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung.

BAB IV memuat analisis terhadap model kekuasaan kehakiman

dalam konsepsi negara hukum Indonesia, melingkupi

model kekuasaan kehakiman dalam islam, dan format ideal

kekuasaan kehakiman di Indonesia

BAB V menutup penelitian ini dengan mengetengahkan simpulan-

simpulan dan saran-saran sebagai sebuah proses dialektika

pemikiran hukum.

Page 22: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

14

BAB II

TEORI KEKUASAAN KEHAKIMAN

A. Definisi Kekuasaan Kehakiman

1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman dalam Konvensional

Kekuasaan merupakan terjemahan dari kata power1. Kata power sendiri, bisa

berarti authority: wibawa, hak untuk berindak, ahli, dan wewenang; strength:

kekuatan, tenaga, dan daya; control;2 pengawasan, penilikan, pengaturan,

penguasaan, dan pembatasan. Sedngkan kehakiman, berasal dari kata hakimdan

merupakan terjemahan dari judge, atau justice yang sering diartikan sebagai hakim

dan/atau peradilan. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman dalam operasionalnya,

tidak bisa dipisahkan dari istilah badan peradilan. Bahkan kekuasaan kehakiman

menjadi ciri pokok dari Negara hukum (Rechsstaat) dan implementasi dari prinsip

Rule of law.

Menurut Harun Al-Rasyid, kekuasaan kehakiman ialah “kekuasaan yang

merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus

1 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, jakarta: Gramedia jakarta,

2005 hlm. 441.

2 W.T.Cunningham, Ed. The Nelson Contemporary English Dictionary, Canada: Thomas

Nelson and Sons Ltd. 1982, hlm 391.

Page 23: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

15

diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.3 Dalam

pasal 1 undang-undang No.4 Tahun 2004 pengertian kekuasaan kehakiman

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia ”Jaminan

tentunya tidak hanya di berikan kepada hakim, tetapi juga kepada seluruh kekuasaan

kehakiman, terutama lembaga-lembaga peradilan dengan tujuan agar dapat

menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Latar Belakang Kemunculan Kekuasaan Kehakiman

Perumusan Undang-Undang Dasar 1945 tentang penganutan prinsip

kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak mencakup pengorganisasian atau hubungan

organisatoris antara organisasi kekuasaan yudikatif dan organisasi kekuasaan

eksekutif. Yang disebutkan hanyalah prinsip bahwa kekuasaan kehakiman harus

bebas merdeka dan itu bisa diartikan berlaku hanya bagi fungsi peradilannya. Oleh

sebab itu, sejak pembentukan kabinet pertama dilingkungan eksekutif telah di bentuk

departemen kehakiman yang eksistensinya berlanjut sampai sekarang4

3 Jose Maria Maravall and Adam Prrzeworski, Democracy and The Rule of law, (London:

Cambridge University press, 2003), hlm. 242.

4 Harun Al-Rasyid, Himpunan peraturan hukum tata negara, edisi kedua, jakarta:

Universitas Indonesia press, 1996, hlm. 18.

Page 24: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

16

Bila ditilik dari sejarahnya, memang pasal 24 UUD 1945 (sebelum

amandemen) menurut Purwoto Gandasubrata tidak secara tegas mengatur kekuasaan

lembaga peradilan. Karena itu ia mengusulkan pentingnya penjabaran lebih lanjut

tentang pasal tersebut, yangtidak boleh mengurangi dan membatasi kekuasaan

lembaga peradilan dan mempertegas kedudukannyasederajat dengan kekuasaan

pemerintah/negara. Berbeda dengan itu, Ismail Saleh (mantan Menteri Kehakiman

Orde Baru ) membenarkan campur tangan atau keterlibatan kekuasaan pemerintah

negara dalam mengatur kekuasaan lembaga peradilan dengan mengajukan 3 (tiga)

alasan.

Pertama, campur tangan tesebut merupakan konsekuensi dari paham negara

kekeluargaan yang dianut dalam UUD 1945. Kedua, ampur tangan tersebut

dibenarkan karena sesuai dengan bunyi pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan

bahwa “presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan

persetujuan DPR”. Denngan demikian Presiden juga mengatur kekasaan kehakiman.

Ketiga, dengan pasal 5, maka kekuasaan lembaga peradilan bisa dikontrol sehingga

tidak berat sebelah dalam melaksanakan tugasnya. Gagasan tersebut kemudian

ditolak oleh Moch Koesno dan Purwoto yang menyatakan bahwa ; “ketentuan pasal 5

di atas tidak bermaksud mengurangi atau membatasi kekuasaan lembaga peradilan

yang merdeka atau untuk membenarkan adanya intervensi kekuasaan pemerintah

terhadap kekuasaan kehakiman.

Page 25: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

17

Selain itu, untuk semakin menegaskan prinsip negara hukum, sebuah

reformasi, ketentuan mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalm perubahan

ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 pada pasal 1 Ayat (3). Sejalan dengan ketentuan

tersebut maka, badan peradilan bebas dari penngaruh kekuasaan lainnya untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum an keadilan. Sejalan dengan

semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai

hukum tertinggi. Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan

ketatanegaraan khususnya kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut

ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan

Badan Peradilan di bawahnya; yakni Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,

lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Mahkamah

Konstitusi memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945,

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

UUD 1945 , memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil

pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberikan

Page 26: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

18

putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar UUD

1945.5

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan umum

bahwa, kekuasaan kehakiman merupakan elemen penting dalam sebuah negara,

karena kekuasaan kehakiman tesebut merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan

negara-terutama modern.

Pengertian Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam

Kekuasaan Kehakiman dalam islam sering di padankan dengan istilah sulthah

qadhaiyah. Kata sulthah/sulthatun sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang

berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-qudrah yang berarti

kekuasaan, kerajaan, pemerintahan. Menurut louis Ma‟luf sulthah berarti al-malik al-

qudrah, yakni kekuasaan pemerintah. Sedangkan al-qadha-iyyah yaitu putusan,

penyelesaian perselisihan, atau peradilan.jadi sulthah qadhaiyyah secara etimologis

yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman. Sedangkan

terminologi sulthatun bi mana al-qudrah yakni :

“kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari bentuk perbuatan yang dilaksanakan

atau bentuk perbuatan yang ditinggalkan”6

5 Tentang wewenang Mahkamah Konstitusi secara lengkap bisa dilihat pada. Abdul Latif,

Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta:

total media kreasi, 2007, hlm 165-241.

Page 27: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

19

Maksudnya yaitu kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses

perundang-undangan sejak penyusunannyasampai pelaksanaannya serta mengadili

perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Salah

satu prinsip dasar dari sistem pemrintahan/negara yang ditekankan dalam islam

adalah Negara Hukum. Tahir Azhari menyebutnya dengan istilah nomokrasi islam,

yakni suatu sistem pemintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah

hukum islam dan merupakan rule of islamic law. Sebagai negara hukum, maka

tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan di dalam

kehidupan bernegara.

Untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat dicapai tanpa

adanya lembaga peradilan (yudikatif) yang berfungsi untuk melaksanakan semua

ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya, kehadiran lembaga yudikatif dalam

sistem kenegaraan islam merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak

yang harus dipenuhi. Begitu urgennya sulthah qadhaiyyah (lembaga yudiatif), maka

tidak heran kalau sejak awal kehadiran negara dalam khazanah sejarah islam,

lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi meskipun masih dalam bentuknya yang

sangat sederhana.

6 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta,

Kencana, 2008 hlm. 146.

Page 28: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

20

1. Sejarah dan Praktik Kekuasaan Kehakiman

Untuk melihat secara jelas perkembangan kekuasaan kehakiman dalam islam

bisa dilacak dari awal munculnya istilah atau bentuk peradilan sejak masa Rasulullah

SAW, sampai pada periode Dinasti Abbasiyah dan sesudahnya. Periode pertama pada

masa awal islam, Rasulullah di samping sebagai kepala negara juga sekaligus sebagai

hakim tunggal. Dalam piagam madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi,

yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Karena itu,

segala urusan yang menjadi kewenangan kekuasaan kehakiman pun, semuanya

tertempu di di tangan beliau. Dan baru kemudian setelah wilayah islam meluas,

beliau mulai mengizinkan sejumlah sahabat bertindak sebagai hakim.7

Pada periode kedua, yakni pasca Rasulullah SAW.wafat, tampuk dan roda

pemrintahan dpegang oleh al-Khulafa al-Rasyidin. Masa khalifah Abu Bakar as-

Shiddiq, kekuasaan yudikatif masih di pegang oleh penguasa atau pihak eksekutif dan

belum ada perubahan yang berarti, kecuali perubahan ketika Abu Bakar mengangkat

Umar bin Khattab sebagai Hakim Agung untuk melaksanakan tugas yudikatif.

Meskipun demikian, secara keseluruhan belum ada pemisahan tegas antara kekuasaan

eksekutif dan yudikatif.

Hal tersebut ditunjukkan oleh kenyataan bahwa, pada masa Abu Bakar

wilayah kekuasaan negara Madinah dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap

7 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi………., hlm. 148.

Page 29: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

21

provinsi ia menugaskan seorang amir atau wali. Para amir tersebut juga bertugas

sebagai pemimpin agama (seperti imam dalam shalat), menetapkan hukum dan

melaksanakan undang-undang. Artinya, seorang amir di samping sebagai pemimpin

agama dan sebagai hakim, juga pelaksana tugas kepolisian.

Karena perluasan daerah terjadi begitu cepat, Umar segera mengatur

administrasi Negara dengan mencontoh admnistrasi yang sudah berkembang terutama

di Persia. Salah satu departemen yang dipandang perlu untuk didirikan yaitu

pengadilan dimana berfungsi untuk memisahkan lembaga yudikatif dan lembaga

eksekutif.8

Pada masa ini mulai diatur tata laksana peradilan antara lain dengan

mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah hakim,dan atas nama khalifah

menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat bersendikan Al-Quran,

Sunnah,dan Qiyas.9 Khalifah Umar juga dijuluki sebagai Bapak Peradilan, karena

beliau menggagaskan beberapa prinsip mengenai peradilan yang sampai sekarang

masih relevan untuk dipakai. Yaitu sebagai berikut:10

a. Memutuskan perkara di pengadilan adalah kewajiban yang harus dikokohkan dan

sunah yang harus diikuti.

8 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004 hlm. 37.

9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta, UI Press, 1993 hlm. 38.

10 Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Bani Quraisy. 2004. hlm. 50.

Page 30: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

22

b. Sebelum sebuah perkara diputuskan, ia harus dipahami terlebih dahulu agar hakim

dapat bertindak adil.

c. Pihak-pihak yang berperkara haus diperlakukan sama, baik dalam persidangan

maupun dalam menetapkan keputusan.

d. Alat bukti dibebankan kepada penggugat, sedangkan sumpah dibebankan kepada

pihak tergugat.

e. Damai sebagai jalan keluar dari persengketaan dibolehkan selama tidak

menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Pada masa pemerintahan Umar pula lembaga kehakiman mengalami

perubahan yaitu:

1. Menetapkan syarat-syarat pelantikan qadhi atau hakim yang ketat. Seperti

berilmu, berpribadian yang tinggi, dikenali oleh masyarakat

2. Gaji qadhi atau hakim dibayar tinggi (500 dirham sebulan) agar dapat berlaku

adil

3. Qadhi atau hakim haruslah terbuka kepada masyarakat agar keadilan

perundangan terjamin11

11

http://fastnote.wordpress.com/pentadbiran-umar-al-khattab/diunduh pada hari

senin/14/februari/22.33Wib.

Page 31: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

23

Sedangkan pada masa Usman bin Affan, mulai diadakan pembenahan

terhadap pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni menyangkut sarana dan prasarana.

Diantaranya; pertama, membangun gedung khusus untuk lembaga yudikatif, kedua,

menyempurnakan admnistrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang

mengurusi admnistrasi peradilan. Ketiga, memberi gaji kepada hakim dan stafnya dan

keempat, mengangkat naib kadi, semacam panitera yang membatu tugas-tugas Qadhi.

Masa Ali bin Abi Thalib tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ia

lebih banyak meneruskan kebijakan yang telah diterapkan oleh Khalifah Umar bin

Khattab sebagai halifah pendahulunya. Perubahan hanya pada prosedur dan proses

pengangkatan hakim yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat (khalifah),

diserahkan kepada pemerintah daerah (gubernur).

Adapun periode ketiga yakni masa Dinasti Umayyah, ketatalaksanaan

peradilan makin disempurnakan. Badan peradilan mulai berkembang menjadi

lembaga yang mandiri. Dalam menangani perkarapara hakim tidak terpengaruh oleh

sikap atau kebijaksanaan politik penguasa Negara. Mereka bebas dalam mengambil

keputusan, dan keputusan mereka juga berlaku terhadap para pejabat tinggi Negara.

Khalifah Umar bin Abdul Azis, kepala Negara yang kedelapan belas dari dinasti

umayyah menentukan lima keharusan bagi para hakim “ harus tahu apa yang terjadi

sebelum dia, harus tidak mempunyai kepentingan pribadi, harus tidak mempunyai

rasa dendam, harus mengikuti jejak para imam, dan harus mengikutsertakan para ahli

dan cerdik pandai. Pada waktu itu keputusan hakim mulai dibukukan, selain itu

Page 32: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

24

disamping badan peradilan dibentuk pula badan peradilan mazhalim yang menangani

pengaduan masyarakat terhadap tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang oleh

pejabat Negara, termasuk hakim. Peradilan mazhalim ini biasanya diketuai oleh

khalifah sendiri”.12

Perkembangan yang signifikan bagi kekuasaan kehakiman adalah terjadi pada

masa Dinasti Abbasiyah (periode keempat). Tidak hanya pembenahan terhadap

sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai disusun hukum materiil yang akan

digunakan oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusannya. Awalnya yang di

gunakan kitab Al-muwatha karya imam Malik. Namun imam Malik sendiri menolak

dengan alasan masih banyka Hadis Rasulullah SAW yang tersebar dibeberapa kota.

Atas usul Ibnu al-muqaffa kepada Khalifah al-Mansur maka disusunlah Kompilasi

Hukum Islam yang dijadikan pedoman oleh hakim dalam memutuskan perkara.

Periode kelima yakni masa Turki Usmani, pada awal abad ke 13 H Turki

membentuk Nizhamiyah (pengadilan umum), dan beberapa perkara khusus dari

peradilan agama dilimpahkan kepadanya. Akan tetapi, hakim dipengadilan umum

mengalami kesulitan dalam mengambil hukum-hukum fiqh. Akhirnya sultan atas

desakan para penguasa menyusun kodifikasi hukum-hukum agar mudah dirujuk dan

diambil hukumnya. Sehingga pada tahun 1285 H/1869 M dibentuklah panitia yang

dipimpin oleh Menteri Kehakiman dengan anggota dari para fuqaha. Selain

12

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm39.

Page 33: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

25

perubahan yang terjadi pada kekuasaan yudikatif pada masa ini, disamping terdapat

lembaga yang khusus menangani orang-orang muslim, juga didirikan peradilan yang

khusus menangani orang-orang non muslim (kafir dzimmi) dan orang-orang yang

tinggal di wilayah kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama masing-

masing dan undang-undang asing.

B. KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM

INDONESIA

Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

Pasal 1 menyebutkan bahwa “Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan

berdasarkan kekuasaan (machtstaat)”.13

Artinya, segala sesuatu yang dilakukan baik

oleh negara maupun seluruh elemennya dapat dipertanggungjawabkan oleh hukum.

Konsep Negara Hukum dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul

Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain di Eropa Kontinental dengan menggunakan

istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang

disebutnya dengan istilah „rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:14

Perlindungan hak asasi manusia, Pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan

undang-undang, Peradilan Tata Usaha Negara.

13

Lihat Penjelasan UUD 1945 sebelum amademen tentang “Sistem Pemerintahan Negara”,

butir 1 dalam Harun Al rasyid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara . Jakarta : UI Press. 1983 hal

15.

14 Hasan Zaini.Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.Alumni : Bandung, 1971. hal 154-

155.

Page 34: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

26

Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum

dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”.

Beliau menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum, yaitu: 15

Supremacy of Law, Equality before the law. Due Process of Law.

Seiring dengan perkembangan zaman, “The International Commission of

Jurist” menambahkan bahwa dalam negara hukum memerlukan peradilan yang bebas

dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary). Oleh karena itu,

selain prinsip-prinsip negara hukum rechstaat dan The Rule of Law,prinsip-prinsip

yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission

of Jurists” itu adalah: Negara harus tunduk pada hukum, Pemerintah menghormati

hak-hak individu, Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Menurut Prof Jimly

Asshiddiqie, prinsip negara hukum Indonesia dapat dibagi menjadi 12 (dua belas)

macam:16

Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam Hukum (Equality

before the Law), Asas Legalitas (Due Process of Law), Pembatasan Kekuasaan

Organ-Organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, Peradilan

Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), Perlindungan Hak

15

A.V Dicey.Introduction to the study of the Constitution, Hal 202 dan 203 dalam Azhary,

Negara Hukum Indonesia”Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya”, UI Press 1995. Hal

20-21.

16 Jimly Asshidiqie. Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer. Orasi Ilmiah pada Wisuda

Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang. 23 Maret 2006.

Page 35: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

27

Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), Berfungsi sebagai

Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), Transparansi dan

Kontrol Sosial:

Dalam perkembangannya ajaran pemisahan kekuasaan ini mendapat berbagai

modifikasi terutama melalui ajaran pembagian kekuasaan (Machtsverdeling atau

Distribution of Power), yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan

pembagian lembaga, dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya

hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar berbagai lembaga negara, akan

tetapi esensi kekuasaan negara itu harus dibagi atau dipisah masih relevan hingga

kini.17

C. PRINSIP-PRINSIP POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN

Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang

sangat pokok dalam peradilan yaitu pertama, the principle of judicial independence,

kedua, the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai

prasyarat pokok sistem disemua negara yang disebut hukum modern

Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap

para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu

tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

17

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. 2003. UII Press. Yogyakarta, hal. 9.

Page 36: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

28

pengangkatan, masa keja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan

pemberhentian hakim. Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah

ketidakberpihakan. Dalam praktek, ketidakberpihakan itu sendiri mengandung makna

dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial tetapi juga terlihat

bekeja secara imparsial (to appear to be impartial).18

1. Independensi

Independensi dalam hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan

keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi

melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan

pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi

pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya.

Inependensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan

hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dan berbagai pengaruh yang

berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan

halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik

atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok

atau golongan dengan ancaman, penderitaan atau keruugian tertentu atau dengan

imbalan berupa keuntungan jabatan, kleuntungan ekonomi dan bentuk lainnya.

18

Lihat kasus McGonnell vs United Kingdom (2000), 30 E.H.R.R, hlm.241.

Page 37: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

29

2. Ketidakberpihakan

Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang sangat melekat dalam hakikat

fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap

perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral,

menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak

mengutamakan salah satu pihak manapun disertai penghayatan yang mendalam

mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip

ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam setiap tahapan

proses pemeriksaan perkra sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga

putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi

semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.19

3. Integritas

Integritas hakim merupakan sikap bathin yang mencerminkan keutuhan dan

keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara

dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur,

setia, dn tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya disertai ketangguhan bathin

untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan,

popularitas, ataupun godaan –godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian

mencakup keseimbangan rohani dan jasmani atau mental dan fisik, serta

19

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia hlm, 532.

Page 38: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

30

keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan

intelektual dalam pelaksanaan tugasnya

4. Kepantasan dan Sopan Santun

Kepantasan tercermin dalam penampilan dan dalam perilaku pribadi yang

berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai

tempat, waktu, tata busana, tata suara atau kegiatan tertentu. Seangkan kesopanan

terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan

antar pribad, baik dalam tutur bahasa tubuh ataupun dalam tutur kata lisan dan

tulisan; dalam berindak, bekerja, dan beringkah laku; dalam bergaul dengan sesama

hakim, dengan karyawan atau pegawai pengadilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak

dalam persidangan atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.20

5. Kesetaraan

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap

semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membedakan

satu dengan yang lain atas dasar agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi

fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik atau alasan-alasan yang serupa.

Prinsip kesetaran ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk

senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai

kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.

20

Ibid hlm. 533.

Page 39: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

31

6. Kecakapan dan Keseksamaan

Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam

pelaksana peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam

kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau

pengalamandalam pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap

pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian,ketekunan,

dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.

Disamping itu, sebagaimana telah dijelaskan diatas Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004.21

menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan

keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Indonesia yang

tercantum dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.22

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, diuraikan bahwa

kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa

kekuasaan kehakiman itu bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra

yudisial kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

21

LN-RI Tahun 2004 Nomor 8, TLN-RI Nomor 4358,

22 Perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001.

Page 40: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

32

BAB III

PROFIL MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Mahkamah Agung

Penjajahan atas Ibu pertiwi Indonesia, selain mempengaruhi roda

pemerintahan yang berlaku pun pula sangat berpenagruh besar terhadap peradilan

Indonesia, sejarah berdirinya Mahkamah Agung kiranya tiak dapat dilepaskan

daripada penjajahan di bumi Indonesia ini, ini terbukti dengan adanya kurun-kurun

waktu, dimana bumi pertiwi indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda dan

sebagian lagi oleh pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di

Indonesia pun tak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut

Upaya memperjuangkan kekuasaan kehakiman yang mandiri sesungguhnya

tidak pernah berhenti dilakukan baik melalui upaya memperkuat kemandirian

kekuasaan kehakiman melalui amandemen Undang-undang kekuasaan kehakiman

maupun melalui serangkaian kegiatan diskusi dan seminar.perjalanan sejarah

memperlihatkan terjadinya pembelokan pelaksana kekuasaan kehakiman dimasa

pemerintahan Soeharto, terutama sejak memasuki dekade 1970-an. Intervensi

eksekutif mulai terlihat sejak periode tersebut sebagai bagian dari warna

politikpemerintahan Soeharto yang bercorak otoriter. Dalam kedudukannya sebagai

kepala pemerintahan, Soeharto berhasil mempengaruhi pelaksanaan kekuasaan

kehakiman melalui pola-pola pembuatan peraturan perundang-undangan yang

memberi keuntungan eksekutif

Page 41: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

33

Gerakan reformasi yang mengiringi berakhirnya pemerintahan orde baru

menjadi suatu „kesempatan‟ bagi Mahkamah Agung untuk kembali menyuarakan

tuntutannya terhadap indepedensi kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung ingin

memisahkan diri secara utuh dan mandiri dari campur tangan atau kontrol pihak

eksekutif pemerintah. Dengan kata lain, menyatukan antara „kepala dan perut hakim‟

di Mahkamah Agung. Gerakan reformasi pertama-tama langsung berpengaruh

kepada struktur ketatanegaraan yang menandai terjadinya reformasi atau peralihan

kekuasaan eksekutif, Mahkamah Agung telah membuktikan dirinya selalu menjadi

cabang kekuasaan negara yang menjaga agar setiap peralihan kekuasaan berlangsung

secara konstitusional. Pada prinsipnya gerakan reformasi di Indonesia memang

diawali dengan reformasi politik yang kemudian menimbulkan desakan-desakan

untuk melakukan reformasi di segala bidang, antara lain bidang ekonomi dan

hukum, termasuk institusi pengadilan dan Mahkamah Agung.

Untuk mencegah intervensi eksekutif dalam urusan peradilan maka

pembinaan badan peradilan diletakan pada di bawah satu atap yakni Mahkamah

Agung.Mahkamah Agung dibentuk berdasarkan ketetapan Pasal 24 Undang-Undang

Dasar 1945 sebagai landasan Konstitusional. Mahkamah Agung dalam sejarahnya

merupakan kelanjutan dari “Het Hooggerechts Hof Vor Indoesia” (Mahkamah

Agung Pemerintah Hindia Belanda Di Indonesia) yang didirikan berdasarkan RO

tahun 1824, diubah, Het Hooggerecthshof (HGH) merupakan Hakim Kasasi

terhadap putusan-putusan Raadvan Justitie(RVJ= pengadilan sehari-hari bagi orang-

Page 42: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

34

orang Eropadan disamakan bagi mereka). Het Hoogerecthshof berkedudukan di

Jakarta1. Setelah Indonesia merdeka keberadaan lembaga Het Hoogerecthshof

(Mahkamah Agung) ini telah dipertahankan dan diberlakukan sebagai lembaga

negara Republik Indonesia berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang

Dasar 1945 yang menetapkan bahwa”segala badan negara dn peraturan yang ada

masih langsung berlaku, sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang

Dasar 19452

Ketua Mahkamah Agung yang pertama waktu itu Alm. Mr Kusuma Atmadja

yang diangkat langsung oleh Presiden Ir. Soekarno bersamaan dengan dengan

pengangkatan menteri-menteri kabinet yang pertama pada bulan September 1945.

Pada waktu itu negara Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang

Mahkamah Agung. Barulah pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) dibuat

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung Indonesia3 yang

merupakan undang-undang pertama. Kemudian pada tahun 1965 dikeluarkan

Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung dan Pengadilan

dalam Lingkungan Peradilan Umum namun kemudian, undang-undang tersebut oleh

1 Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hlm 10-11.

2Saafrodin Bahar, Nannie Hudwatie Sinaga dan Ananda B. Kusuma, Risalah Sidang Badan

Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik

Indonesia, Jakarta, 1998, hlm 328.

3 Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, IKHI Cabang Mahkamah Agung, Jakarta,

1998, hlm 10.

Page 43: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

35

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat tidak

berlakunya ditetapkan pada saat undang-undang yang menggantikannya mulai

berlaku. Kemudian pada tahun 1985 dikeluarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun

1985 tentang Mahkamah Agung yang menggantikan Undang-undang Nomor 13

Tahun 1965.4 Barulah kemudian diubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 4

Tahun 2004 menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun 1985.

Visi Mahkamah Agung yaitu:

Mewujudkan Supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri,

efektif, dan efisien serta mendapatkan kepercayaan publik. Profesional dalam

memberi layanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan berbiaya rendah bagi

masyarakat serta mampu menjawab panggilan layanan publik

Misi Mahkamah Agung yaitu :

1. Pemberian rasa keadilan yang cepat dan jujur

2. Peradilan yang mandiri dan independen dari campur tangan pihak luar

3. Memerbaiki kualitas input eksternal pada proses peradilan

4. Institusi peradilan yang efisien, efektif dan berkualitas

5. Melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dengan bermartabat, integritas,

bisa dipercaya dan transparan

4 A. Mukti Arto, Konsep Ideal Mahkamah Agung Redefinisi Peran dan Fungsi Mahkamah

Agung Untuk Membangun Indonesia Baru, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2001, hlm 181.

Page 44: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

36

Mahkamah Agung memiliki kewenangan yang meliputi

1. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan

pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang

berada di bawah Mahkamah Agung

2. Berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang

3. Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang

Terhadap perumusan pemisahan antara kegiatan pengujian materi (judicial

review) undang-undang dan materi peraturan dibawah undang-undang dapat di

ajukan empat kritik.5 Pertama, pemberian kewenangan pengujian (judicial review)

materi undang-undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi yang

baru dibentuk mengesankan hanya sebagai tambahan perumusan terhadap materi

Undang-undang Dasar secara mudah dan tambal sulam seakan-akan hak uji materi

peraturan yang ada ditangan Mahkamah Agung tidak turut terpengaruh dengan

adanya hak uji yang di berikan kepada Mahkamah Konstitusi. Perumusan demikian

terkesan seakan-akan kurang didasarkan atas pendalaman konsep berkenaan dengan

konsepsi hak uji itu sendiri secara komprehensif.

5 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Materi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, makalah

disampaikan pada kuliah perdana pascasarjana fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,

yogyakarta, kamis 13 September 2001.

Page 45: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

37

Kedua, pemisahan kewenangan itu masuk akal untuk dilakukan jika sistem

kekuasaan yang dianut masih didasarkan atas dasar prinsip pembagian kekuasaan dan

bukan prinsip pemisahan kekuasaan yang mengutamakan mekanisme checks and

balance sebagaimana yanng diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 telah resmi dan

tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal. Ketiga, dalam

praktek pelaksanaannya nanti, secara hipotitis dapat timbul pertentangan subtantif

antara putusan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi. Keempat,

pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dijadikan sarana yang dapat

membantu mengurangi beban Mahkamah Agung, sehingga reformasi dan

peningkatan kinerja Mahkamah Agung sebagai rumah keadilan bagi setiap warga

negara segera dapat diwujudkan jika kewenangan penguji materi peraturan di bawah

Undang-undang Dasar sepenuhnya diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi,

sehingga Mahkamah Agung dapat menyelesaikan banyaknya tumpukan perkara yang

dari waktu kewaktu terus bertambah tanapa mekanisme penyelesaian yang jelas6

Dalam hal kekuasaan kehakiman yang diselenggarakan oleh Mahkamah

Agung dan peradilan yang ada dibawahnya, tentunya kedudukan, tugas, dan

kewenangan diatur dalam undang-undang tersendiri. Mahkamah Agung sebagai

Lembaga Tinggi Negara melaksanakan kekuaasaan kehakiman dan merupakan

peradilan tertinggi mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:

6 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,

2006, hlm 240.

Page 46: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

38

1. Fungsi bidang peradilan

2. Fungsi bidang pengawasan

3. Fungsi bidang pemberi nasehat

4. Fungsi bidang pengaturan

5. Fungsi bidang administrasi

6. Fungsi bidang tugas dan kewenangan lainnya

B. Mahkamah Konstitusi

Kedudukan Mahkamah Konstitusi ditergaskan dalam pasal 24 ayat (2)

Undang-undang Dasar 1945, amandemen ketiga dengan Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung sederajat sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Rumusan

pasal tesebut berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, peradilan agama, peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara

dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi

Dari sinilah landasan hukum terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai

pegangan dalam menjalankan kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir dan putusannya bersifat final dalam menguji undang-undang terhadap

Undang-undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara,

memutus pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum, dan

memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil presiden terhadap Undang-undang Dasar.

Page 47: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

39

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru yang diintrodusir oleh perubahan

ketiga Undang-undang Dasar 1945 peranannya sangat strategis, terlebih setelah

Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi bikameral dan tidak lagi sebagai

perwujudan kedaulatan rakyat. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung adalah sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di

Indonesia. Namun kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi,

yang membagi kekuasaan kehakiman ke dalam dua cabang, yaitu cabang peradilan

biasa yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang pengadilan Konstitusi

yang dijalankan oleh Mahkamah konstitusi.7

1. Visi Mahkamah Konstitusi

Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi

demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.

2. Misi Mahkamah Konstitusi adalah :

a. Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman

yang terpercaya

b. Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi

Mahkamah Konstitusi disamping mempunyai kedudukan yang sejajar dengan

Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan yang diatur dalam pasal 24C ayat

7 Fathurohman, Dian Aminundin, Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi

Di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti Bandung, 2004. Hlm 62.

Page 48: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

40

(1) Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian dipertegas dalam Undang-undang

Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi yang menentukan bahwa

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-undang Dasar

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-undang Dasar

c. Memutus pembubaran partai politik

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

e. Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa

penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai

peresiden

Adapun kejelasan kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a. Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah constitutional court yang ke

78 di dunia, dibentuk berdasarkan pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Jo Pasal 24C yang diputuskan dalam rapat paripurna Majelis

Page 49: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

41

Permusyawratan Rakyat ke-7, tanggal 9 November 2001, sidang Tahunan Majelis

Permusyawaratan Rakyat.8

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di

Indonesia yang kedudukannya sejajar dengan Mahkamah Agung. Namun sebelumnya

pengujian undang-undang tidal dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.9

Keberadaan judicial Review sangat dibutuhkan, baik secara yuridis, politik maupun

pragmatis. Secara yuridis sesuai dengan Stuffen Theory bahwa peraturan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi ( lex superiori

derogat legi inferiori). Oleh sebab itu, suatu undang-undang tidak boleh bertentangan

dengan Undang-undang Dasar. Untuk mengetahui suatu undang-undang bertentangan

atau tidak maka diperlukan judicial review.

Secara politis, kebutuhan akan judicial review sangat diperlukan agar visi dan

misi serta materi muatan suatu Undang-Undang tidak bertentangan dengan Undang-

undang Dasar . secara pragmatis, kebutuhan judicial review ini sangat diperlukan

untuk mencegah praktek penyelenggaraan pemerintah negara yang tidak sesuai atau

8 Laica Marzuki, Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi, Berita Mahkamah Konstitusi,

Edisi. No. 07 Oktober-November 2004, hlm. 24.

9 Dahlan Thalib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi Kedua

Cetakan Pertama, Liberty Yogyakarta. 1993, hlm 66.

Page 50: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

42

menyimpang dari Undang-undang Dasar. Tanpa judicial review sulit menegakkan

Undang-undang Dasar.10

Proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi ada 2 (dua) macam,

sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yakni :

a. Pengujian undang-undang secara formal yakni pengujian terhadap suatu

Undang-Undang dilakukan karena proses pembentukan Undang-Undang

tersebut dianggap pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan

Undang-undang Dasar

b. Pengujian Undang-Undang secara materiil yakni pengujian terhadap suatu

undang-undang dilakukan karena terdapat materi muatan dalam ayat,

pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap pemohon

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dapat dibedakan

menjadi dua. Yaitu kewenangan utama, dan kewenangan tambahan. Kewenangan

utama meliputi : (a) pengujian undang-undang terhadap UUD, (b) memutus keluhan

konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa (UUD RI 1945 tidak

memberikan kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi), sebaiknya Mahkamah

Konstitusi diberi Kewenangan utamanya yaitu untuk memutus Constitutional

10

Mukti Arto, Mengutip Amir Mahmud, Demokrasi, Undang-Undang dan Peran Rakyat,

Dalam PRISMA No. 8, jakarta LP3ES, 1984 hlm. 345-346.

Page 51: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

43

Complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah Konstitusi

Austria, Italy, Jerman dan lainnya. (c) memutus sengketa kewenangan antar lembaga

negara. Sedangkan kewenangan tambahan dapat bervariasi antara negara satu dengan

yang lainnya.

b. Memutus Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum adanya perubahan ketiga

Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2001, belum ada aturan mengenai

mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.

Maka barulah setelah adanya perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yang

mengadopsi pembentukan lembaga negara Mahkamah Konstitusi yang salah satu

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.11

Dalam menjalankan fungsi-fungsinya, lembaga negara kerap kali melakukan

kerjasama atau hubungan. Hubungan antar lembaga-lembaga negara sangat

dimungkinkan terjadinya konflik kepentingan yaitu manakala suatu lembaga negara

yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan, bekerja tidak sebagaimana

mestinya. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan sebagai lembaga

negara yang mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa lembaga negara.

Kewenangan ini diberikan oleh Undang-undang Dasar dalam kerangka mekanisme

checks and balances dalam menjalankan kekuasaan negara.

11

Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitutional Lembaga Negara, Konstitusi

Press, Cet Ke-3 Jakarta, 2006 hlm 2.

Page 52: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

44

c. Pembubaran Partai Politik

Di negara yang menganut sistem demokrasi, keberadaan partai politik

merupakan “condition sine quanon” partai politik mutlak diperlukan dalam

pemerintahan demokratis, partai politik dapat mempunyai fingsi menyelenggarakan

pendidikan politik. Pendidikan politik merupakan persyaratan yang harus

diselenggarakan dalam pemerintahan yang bersistem politik demokrasi. Dalam

negara demokrasi sangat dibutuhkan pemilihan umum yang mengikut setakan partai

politik sebagai peserta pemilihan umum. Dewasa ini tidak ada lagi negara

demokratis tanpa partai poltik, dukungan partai-partai politik terhadap pemimpin

sangat diperlukan tetapi seringkali terjadi suatu perbedaan ideologi yang

menyebabkan perlawanan terhadap pemimpin.12

Pembubaran partai politik pada dasarnya dan apapun alasannya bertentangan

dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Namun dalam

prakteknya pembubaran partai politik dapat dilakukan dengan alasan idiologi dan

pelanggaran hukum.13

Memang ada suatu dilema, di satu sisi keberadaan

parpolharus dipertahankan karena alasan hak asasi manusia namun disisi lain tidak

ada manfaatnya mempertahankan partai politik yang diduga menghambat proses

12

Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui perubahan Konstitusi,

diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur Bekerjasama Dengan In-trans, Malng,

2004 hlm 27.

13 Tanpa nama, “Mahkamah Konstitusi Berwenang Bubarkan Parpol”. Dalam

www.hukumonline.,Tanggal 8 Agustus 2003.

Page 53: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

45

pembaharuan. Persoalan pembubaran parpolsangat bertentangan dengan prinsip

demokraasi dan HAM.14

Pembubaran dan pembekuan partai politik dilakukan oleh Mahkamah Agung

melalui proses peradilan setelah terlebih dahulu mendengar dan memperimbangkan

keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan, jika melanggar tujuan

partai politik, kewajiban partai politik dan larangan partai politik. Larangan yang

tercantum dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah :

a. Menganut atau mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham

komunisme/ marxisme/ lenisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan

pancasila

b. Menerima sumbangan atau bantuandalam bentuk apapun dari pihak asing

baik langsung ataupun tidak langsung

c. Memberi sumbangan atau bantuan dalam bentuk apapun kepada pihak

asing, baik langsung atau pun tidak langsung yang dapat merugikan

kepentingan bangsa dan negara

d. Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah

Republik Indonesia dalam memelihara persahabatan dengan negara lain

14

Soewoto Mulyosudarmo, pembaharuan ketatanegaraan......Op.,Cit., hlm.28.

Page 54: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

46

d. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945, Majelis

Permusyawaratan Rakyat memutuskan penggunaan sistem perwakilan bikameral,

maka itu pemilihan umum tahun 2004, pemilih tidak hanya memilih Dewan

Perwakilan Rakyat namun juga anggota Dewan Perwakilan Daerah. Inilah

komposisi yang diharapkan benar-benar mewakili rakyat Indonesia. Dewan

Perwakilan Rakyat adalah wujud keterwakilan gagasan (representation ideas),

sedangkan Dewan Perwakilan Daerah adalah keterwakilan dalam kehadiran

(representation in presence).15

Mahkamah Konstitusi membatasi siapa saja yang berhak mengajukan

permohonan dalam sengketa pemilihan umum, seperti dalam pasal 74 ayat (1)

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu :

a. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan

Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum

b. Pasangan calon Presiden dan atau Wakil Presiden peserta pemilihan umum

c. Partai politik peserta pemilihan umum

e. Pendapat DPR mengenai Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden

Disamping kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, ada juga

kewajiban Mahkamah Konstitusi memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

15

Joko J. Prihatmoko. Pemilu 2004 Dan Konsolidasi Demokrasi. LP21 Press, Semarang,

2003.hlm.28.

Page 55: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

47

mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden atau Wakil Presiden

berdasarkan pasal24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment terhadap

presiden dan wakil presiden tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dan

merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan dari

ketatanegaraan yang di kembangkan di Indonesia. Selain itu keinginan untuk

memberikan pembatasan agar seorang presiden dan wakil presiden diberhentikan

bukan karena alasan politik belaka, melainkan juga memiliki landasan dan

pertimbangan hukum yang dipertimbangkan.16

Kekhawatiran itu sebenarnya hanya dapat dipahami dalam batas sistem

parlementer. Kekhawatiran itu tidak akan terjadi jika mekanisme pemberhentian

presiden harus di dasarkan pada proses peradilan yang berada dalam Mahkamah

Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden

atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kasus pelanggaran konstiusi

lainnya, yang berkaitan dengan prinsip presidensiil.17

16

Fathurohman, Dian Aminundin, Sirajudin, memahami......Op.,Cit.,hlm 53.

17 Suewoto Mulyosudarmo,.. pembaharuan Ketatanegaraan......Op.,Cut.,hlm 107.

Page 56: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

48

BAB IV

ANALISA TERHADAP MODEL KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM

KONSEPSI NEGARA HUKUM INDONESIA

A. MODEL KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Saat ini masyarakat mendambakan agar kekuasaan kehakiman lebih independen, lebih

lurus dan lebih peka pada tuntutan zaman. Independen maksudnya bebas dari tekanan, dan

pengaruh ekstra yudisial.Dambaan masyarakat tersebut muncul karena dalam sejarah kekuasaan

kehakiman pada masa lalu menunjukkan banyaknya intervensi dari eksekutif dan ekstra yudisial

dalam pelaksaanaan kekuasaan kehakiman sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka dan

tidak mandiri.1

Secara historis, pada awal kemerdekaan kekuasaan Kehakiman di Indonesia belum

menunjukkan bentuknya yang independen dan mandiri. Hal ini bisa dilihat susunan lembaga

peradilan masih diatur di dalam Undang-undang No. 34 Tahun 1942 tentang susunan peradilan

sipil dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah

Agung dan Kejaksaan Agung.1 Perubahan mulai nampak pasca disahkannya UU Nomor 19

Tahun 1948 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1947 sebagai keharusan untuk

merealisasikan pasal 24 UUD 1945. Dalam pasal 6 UU No 19 tahun 1948 dinyatakan adanya tiga

lembaga peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah dan

Peradilan Ketentaraan. Dan dalam pasal 10 ayat (2) UU tersebut juga diakui keberadaan Hakim

1 Pulus Efendie Lotulung, “Membangun Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim, makalah Lokakarya “Membangun

Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim”, Jakarta, KHN, 5 Juli 2005.

Page 57: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

49

perdamian desa sebagai pemegang kekuasaan dalam masyarakat yang bertugas untuk memeriksa

dan memutus perkara berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat desa.2

Era reformasi pasca jatuhnya rezim Orde Baru menjadi tonggak awal kemandirian dan

kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini ditandai dengan diamandemennya

UUD 1945, terutama pasal 24 ayat (1) yang mengharuskan kekuasaan kehakiman bersifat

merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Bunyi lengkap pasal tersebut adalah:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan”.3

Dalam rangka mewujudkan prinsip kemandirian dan kemerdekaan tersebut maka lahirlah

UU No. 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Salah satu poin penting dalam UU tersebut adalah kebijakan

penyatuatapan lembaga peradilan atau yang lebih populer dengan istilah kebijakan satu atap (one

roof system) dimana segala urusan peradilan baik yang menyangkut teknis yustisial maupun non

yustisial (organisasi, administrasi dan finansial) berada satu atap di bawah Mahkamah Agung.

Seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi UU tersebut kemudian dirubah menjadi UU

No. 4 Tahun 2004 dan perubahan terakhir adalah UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan

kehakiman.

Hampir bersamaan dengan UU No. 48 Tahun 2009 juga ada beberapa UU yang berkaitan

dengan dunia peradilan yang disahkan pada tahun 2009 yaitu UU No. 3 Tahun 2009 tentang

Mahkamah Agung, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009

tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

2 Uraian tentang dinamika peradilan pada masa kolonial dan awal kemerdekaan bisa dibaca dalam buku Soetandyo

Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Suatu Kajian tentang Perkembangan Sosial Politik,

Jakarta, Grasindo, 1994 3 Anwar Kariem, Undang-undang Dasar 1945: dari Awal Dibentuk Sampai Perubahan Era Reformasi, Jakarta,

Pustaka Bintang, 2004, hal. 33.

Page 58: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

50

Sejarah kekuasaan kehakiman mulai dari awal kemerdekaan sampai masa reformasi di

atas menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman itu dinamis selalu terkait dengan dinamika sosial

dan politik hukum bangsa. Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang

sangat mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor

X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan

Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara menuntut adanya pemisahan yang tegas

antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif.

Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman

yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman. Perubahan pokok dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan

atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap

kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala

urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di

bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris,

administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di

bawah departemen.

Selanjutnya Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan dan

perubahan dengan adanya Amandemen Undang-undang Dasar 1945 menjadi Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengubah sistem penyelenggaraan negara di

Page 59: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

51

bidang judikatif atau kekuasaan kehakiman sebagaimana termuat dalam BAB IX tentang

KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan

Peradilan Tata Usaha Negara dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian

berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,

lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah

pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah Konstitusi.

Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya Undang-undang yang mengatur tentang

kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan pula karena harus disesuaikan dengan

Undang-undang Dasar sebagai peraturan yang lebih tinggi agar peraturan yang tingkatnya lebih

rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kekuasaan kehakiman yang

semula diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman dirubah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999

tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman dan karena Undang-undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.4

4 Moh. Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 1993,

hlm 44.

Page 60: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

52

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.5

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan

Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi. Masing-masing peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diatur

dengan peraturan perUndang-undangan sebagaimana terurai di bawah ini.

a. Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan di Bawahnya

Peraturan perUndang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya adalah sebagai berikut:

a) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dirubah menjadi

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-undang Nomor 3

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung.

b) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dirubah menjadi

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang Nomor 49 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum.

5 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001,

hlm 77

Page 61: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

53

c) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirubah

menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-

undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

d) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah menjadi

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-undang Nomor 50

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama.

e) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan

dengan masalah internal institusional dan substantif. Dalam masalah personal, primaritas juga

masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitas hakim dalam

kekuasaankehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan

kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh mempengaruhi dan/atau terpengaruh atas

berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun

ekonomis.6

Asumsi Dasar Reformasi Kebebasaan Kekuasaan Kehakiman adalah bahwa Tujuan

utama kekuasaan kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI

yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Reformasi

dibidang kekuasaan kehakiman ditujukan untuk : pertama: menjadikan kekuasan kehakiman

sebagai sebuah institusi yang independen; kedua: mengembalikan fungsi yang hakiki dari

6 Moh. Mahful MD, op. cit., hal 52

Page 62: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

54

kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum; ketiga:menjalankan

fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya keempat: mendorong dan

memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna

mewujudkan kedaulatan rakyat dan kelima: melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk

yang paling kongkrit.

Kebebasan kekuasaan Kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan mandiri, tidak

hanya menyatu atapkan pembinaan dan pengawasan, tapi juga dimaksudkan untuk

memandirikan Hakim dan lembaga Mahkamah Agung. Secara organisatoris Mahkamah Agung

dan lingkungan peradilan lainnya harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala intervensi dan

pengaruh kekuasaan negara lainnya dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak

boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik pemerintah. Secara politik, kekuasaan

kehakiman harus didukung oleh pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif, eksekutif dan

yudikatif.

Indonesia juga harus melaksanakan secara utuh dan konsekwen prinsip-prinsip universal

dari kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman Karena itu harus direvisi dan diamandemen

segala peraturan perundang-undangan kebijakan dan lembaga -lembaga yang bertentangan

dengan jiwa dan prinsip dari kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Terdapat

beberapa alasan mengapa harus ada penegasan bahkan jaminan dan perlindungan kemerdekaan

atau kebebasan kekuasaan kehakiman.7

Pertama: secara natural, kekuasaan kehakiman tidak sekuat bahkan lemah dibandingkan

dengan cabang kekuasaan lain. Tanpa penegasan, jaminan dan perlindungan, kekuasaan

kehakiman tidak berdaya menghadapi kekuasaan-kekuasaan lain.

7 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Manda Maju ,Bandung,1995, hlm 6.

Page 63: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

55

`Kedua: kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin ”impartiality”

dan ”fairness” dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau tidak

langsung melibatkan kepentingan cabang kekuasaan yang lain.

Ketiga: kekuasaan kehakiman yang merdeka, dipandang sebagai unsure penting bahkan

sebagai ciri substantif sebuah negara hukum dan demokrasi atau negara hukum demokratis

(democratische rechtsstaat).

Kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU No.4 tahun 2004 yang menggantikan UU

No.14 tahun 1970. Pasal 1 UU No.4 tahun 2004 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman

adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini

berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan hukum dan

keadilannnya. Akan tetapi kebebasannya tidak mutlak , tidak ada batas, melainkan dibatasi dari

segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh system pemerintahan, sistem politik, sistem

ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi

oleh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim

tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk

mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan

putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good

judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.8

Seperti halnya materi hukum yang lain, maka kekuasaan kehakiman juga memiliki asas

yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum agar

terciptanya peradilan yang independen dari campur tangan pihak luar.

8 Ismail Suny, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistim Hukum Nasional

Page 64: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

56

“Asas-asal hukum umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baik diantaranya meliputi hal-

hal sebagai berikut :9

a. Asas Kebebasan Hakim.

b. Hakim bersifat Menunggu;

c. Pemeriksaan Berlangung Terbuka;

d. Hakim Aktif;

e. Asas Hakim bersiat Pasif (Tut Wuri);

f. Asas Kesamaan (Audi Et Alteram Partem);

g. Asas Objektivitas;

h. Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)

i. Asas tidak menolak perkara hukumnya tidak jelas atau tidak ada

j. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan

k. Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis

l. Asas pemeriksaan dalam dua tingkat

Untuk lebih jelasnya, asas-asas hukum umum peradilan yang baik akan diuraikan secara singkat

sebagai berikut :

a. Asas Kebebasan Hakim

asas ini dimiliki oleh setiap badan peradilan, kebebasan di sini maksudnya adalah tidak

boleh ada pihak lain yang ikut campur tangan dalam penanganan suatu perkara oleh

pengadilan/majelis hakim. Ikut campur dapat berupa pemaksaan, directive atau rekomendasi

yang datang dari pihak ekstra yudisial, ancaman dan lain sebagainya. Menurut Yahya Harahap,

kekuasaan kehakiman adalah “kekuasaan negara”. Dia adalah milik negara dan bangsa

Indonesia, bukan milik swasta atau milik golongan tertentu. Karena itu, setiap lingkungan

9 Tresna,, Peradilan di Indonesia, , Pradnya Paramita, Jakarta, 1978, hlm. 88.

Page 65: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

57

peradilan yang dilimpahi fungsi dan kewenangan menyelenggarakan peradilan adalah

lembaga”kekuasaan negara” dan sekaligus milik negara dan rakyat Indonesia.10

Asas mengenai kebebasan hakim ini dijamin oleh peraturan perundang-undangan.

Disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang nomor 4 tahun 2004, “Kekuasaan Kehakiman adalah

kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum

dan keadialn berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Apabila kita lihat, maka ketentuan seperti di atas juga terdapat di dalam pasal 2 undang-

undang tentang Mahkamah Agung yang berbunyi : “Mahkamah Agung adalah Pengadilan

negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas

dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.

Karena itulah dalam melaksankan tugasnya seorang hakim harus bebas dari segal

acampur tangan para pihak yang dapat mempengaruhi keputusan hakim, baik intern maupun

ekstern sehingga hakim dapat dengan tenang memberikan keputusan yang seadil-adilnya.

b. Hakim Bersifat Menunggu

Asas ini mempunyai arti bahwa inisiatif untuk berperkara di pengadilan terdapat pada

pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkanhakim hanya menunggu datangnya tuntutan hak

yang diajukan kepadanya. Oleh karenaitu dalam perkara perdata, selama para pihak yang merasa

dirugikan tidakmeminta hakim untuk turut campur tangna maka, sang hakim tidak berhak untuk

turut campur menangani dan memutuskan perkaranya.

Berbeda dengan hukum acara pdiana, dalamhukum acara pidana, inisiatif untuk

berperkara dilakukan oleh pemerintah yang diwakilkan oleh seoran gjaksa sebagai penntunt

10

Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, hlm. 179

Page 66: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

58

umum serta alat-alat kelengkapan negar alainnya seperti kepolisian. Hal ini dikarenakan di dalam

hukum secara pidan amengatur cara-cara mempertahankan kepentingan publik.

c. Pemeriksaan Berlangsung Terbuka

Asas ini terdapat dalam pasal 19 ayat (1) undang-undangan nomor 4 tahun 2004 yang

menyebutkan : “sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuak untuk umum, kecuali apabila

Undang-undang menentukan lain”. Dalam hal ini berati seitap orang diperoblehkan hadir untuk

mendengar dan melihat langsung jalannya pemeriksaan perkara yang dilakukan di pengadilan.

Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang baik dan tidak tejadi

penyimpangan proses pemeriksaan, seperti berat sebelah, halim bertindak sewenang-wenang.

Dengan demikian persidangan terbuka untuk umum itu diharapkan: a) dapat menjamin adanya

sosial control atas tugas-tugas yang dilaksanakan oleh hakim, sehingga hakim dapat

mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak, b) untuk memberikan

edukasi dan prepensi kepada masyarakat tentang suatu peristiwa, c) masyarakat dapat menilai

mana yang baik dan mana yang buruk

d. Hakim Aktif

Hakim sebagai pimpinan di dalam persidangan haruslah aktif dalam memimpin jalannya

persidangan sehingga persidangan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Dalam hal ini hakimlah

yang berwenang untuk memanggil para pihak, menentukan hari persidangan serta

memerintahkan agar alat-alat bukti yang perlu disampaikan dalam persidangan.

Selain hal itu hakim juga mempunyai wewenang untuk memberikan nasihat,

mengupayakan perdamaian, serta mengupayakan upaya-upaya hukum dan memberikan

keterangan kepada para pihak yang berperkara. Asas bahwa pengadilan harus aktif member

bantuan kepada para pihak yang sedang bersengketa ini dapat ditemukan dalam ketentuan pasal

Page 67: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

59

5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yaitu bahwa pengadian membantu pencari

keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya

peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

e. Asas Hakim Bersifat Pasif (Tut Wuri)

“Dalam hukum acara perdata, ruang lingkup sengketa yang diajukan kepada hakim untuk

diperiksa, ditentukan oleh para pihak yang berperkara”. Disini dapat kita lihat bahwa hakim

hanya membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari keadilan dan berusaha mengatasi

segala hambatan agar dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan dengan biaya yang

ringan, sesuai dengan pasal 4 ayat (2) undang-undang nomor 4 tahun 2004.

f. Asas Kesamaan (Audi et Alteram Partem)

Di dalam proses peradilan, para pihak yang berperkara atau bersengketa berhak untuk

mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama demi untuk membela dan melindungi hak-

hak yang bersangkutan. Asas ini juga menghendaki adanya keseimbangan prosessuil dalam

pemeriksaan. Oleh karena itu hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah saut pihak saja,

hakim harus memberikan kesempatan pihak lain untuk menyampaikan keterangan atau

pendapatnya. Keberadaan asas ini dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yaitu bahwa pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang

Tidak membeda-bedakan dalam hukum istilahnya dalam system Anglo Saxon adalah

equality before the law yang artinya bahwa setiap orang mempunyai persamaan kedudukan di

bawah hukum. Sedangkan lawan dari asas tersebut adalah “diskriminasi” yang berarti membeda-

bedakan hak dan kedudukan dalam sidang pengadilan.

Page 68: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

60

Mempertahankan persamaan perlakuan antara pihak berpekara di pengadilan juga

dituntut bahkan dalam hal tempat duduk mereka diruang pengadilan. Tidak boleh ada salah satu

pihak yang duduk lebih dekat dengan hakim dari pihak yang lain. Jika salah satu pihak duduk

sejajar dengan hakim atau lebih dekat dengannya, pihak yang lainya akan meragukan ketidak

berpihakan hakim dalam menangani kasusnya. Oleh karena itu penting bagi hakim untuk

meyakinkan bahwa kedua pihak telah disediakan tempat duduk yang sama bagi mereka di

pengadilan.

g. Asas Objektivitas

Asas objektivitas inid apat kit alihat di dala pasal 5 ayat (1) undang-undang nomor 4

tahun 2004, pasal ini menegaskan bahwa “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membedakan-bedakan orang”. Dengan kata lain hakim tidak boleh memmbeirkan keputusan

yang memihak kepada salah satu pihak yang berperkara, hakim harus objektif dalam memeriksa

dan memberikan putusan.

Salah satu upaya untuk mewujudkan keobjektivitasan seorang hakim, undang-undang

menyediakan hak bagi pihak yang diadili, hak tersebut adalah hak ingkar, yaitu hak seseorang

yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap seorang hakim

yang akan mengadili perkaranya, hal ini terdapat di dalam pasal 29 ayat (1) undang-undang

nomor 4 tahun 2004.

h. Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)

Pasal 25 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 menegaskan bahwa segala putusan

pengaidlan selainmemuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dair

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili. Oleh sebab itu hakim dalam memutuskan suatu perkara harus

Page 69: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

61

membeirkan pertimbangna yang cukup, hal ini dimaksudkan agar hakim tidak berbuat sewenang-

wenang.

Dengan memperhatikan asas-asas umum peradilan, maka diharapkan agar proses

peradilan dapat tercapai, yaitu membeirakn keadilan dan kepastian hukum terhadap suutu

peristiwa yang disengketakan para pihak dengan putusan pengadilan. Dan diharapkan pula

dengan putusan pengadilan yang baik, para pihak yang berperkara akan mendapatkan keadilan

serta hak-hak dan kepentingannya yang dilanggar dapat dipulihkan kembali sebagaimana

mestinya.

i. Asas tidak menolak perkara hukumnya tidak jelas atau tidak ada

Penerapan asas ini karena hakim sebagai organ pengadilan yang dianggap memahami

hukum, sehingga apabila hakim tidak menemukan hukum tertulis (peraturan perundang-

undangan), maka ia wajib berijtihad dan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memuuskan

hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha

Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dasar hukum mengenai asas ini di jumpai dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Ketentuan ini dalam bahasa latin

dikenal dengan ius curia novit yang artinya hakim dianggap tahu akan hukum, sehingga apapun

permasalahan yang diajukan kepadanya maka ia wajib mencarikan hukumnya. Ia wajib menggali

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan kata lain hakim disini berperan sebagai

pembentuk hukum dan padanya tidak di perkenankan hanya sebagai corong Undang-Undang.

j. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan

Asas bahwa beracara di pengadilan harus sederhana, cepat dan biaya ringan tertuang

dalam ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004tntang kekuasaan

Page 70: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

62

kehakiman. Beracara sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan dambaan bagi setiap pencari

keadilan, sehingga apabila peradilan kurang optimal dalam arti mewujudkan asas ini biasanya

maka seseorang akan enggan beracara di pengadilan, mereka justru enggan untuk berurusan

dengan lembaga peradilan.

k. Asas dilakukan dengan hakim majelis

Asas ini secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 pasal

17 ayat (1), (2), dan (3) yang menyatakan bahwa aemua pengadilan memeriksa, mengadili, dan

memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (orang) hakim, kecuali Undang-Undang menentukan

lain. Diantara tiga hakim tersebut satu bertindak sebagai ketua majelis hakim dan berwenang

untuk memimpin jalannya persidangan.

Tujuan bahwa sidang peradilan harus majelis adalah untuk menjamin pemeriksaan yang

seobjektif mungkin guna memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan. Dalam

hal terjadi kesepakatan dalam rapat permusyawaratan hakim maka diambil voting. Sementara

terdapat hakim yang berbeda pendapat, maka pendapat tersebut tetap dilampirkan dalam putusan

yang bersangkutan.

l. Asas pemeriksaan dalam dua tingkat

Bahwa pemeriksaan terhadap suatu perkara dilakukan dalam dua tingkat. Pemeriksaan

dalam dua tingkat ini menyangkut fakta hukumnya. Adapun dalam lingkungan peradilan,

pemeriksaan tingkat pertama dilakukan oleh pengadilan yang ada di kabupaten/kota. Sedangkan

apabila para pihak tidak puas terhadap putusan hakim pada tingkat pertama ini, maka dapat

mengajukan pemeriksaan di tingkat kedua atau banding kepada pengadilan yang terdapat di

tingkat provinsi. Tujuan dari adanya asas pemeriksaan dua tingkat ini adalah untuk kepentingan

Page 71: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

63

koreksi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama yang mungkin dianggap tidak adil bagi

salah satu atau kedua belah pihak.

B. MODEL KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM ISLAM

Dalam masyarakat pra-Islam, tidak ada kekuasaan politik dan sistem peradilan yang

terorganisir. Namun demikian, jika terjadi persengkataan mengenai hak milik, hak waris dan

pelanggaran hukum selain pembunuhan maka persengkataan tersebut di selesaikan melalui

bantuan juru damai atau wasit yang di tunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa.

Untuk itu tidak ada pejabat resmi, melainkan lebih bersifat ad-hoc. Artinya jika terjadi

persengketaan akan ditunjuk juru damai yang bertugas untuk menyelesaikan kasus tersebut. Juru

damai ini sering disebut hakam.

Dalam sejarah dicatat, bahwa Muhammad SAW sebelum menjadi Rasul pernah bertindak

sebagai wasit dalam perselisihan yang terjadi di kalangan masyarakat Mekkah. Perselisihan itu

berkenaan dengan upaya untuk meletakkan kembali hajar aswad pada tempat semula. Di

kalangan suku Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak untuk tugas yang mulia itu.

Perselisihan ini nyaris menimbulkan bentrokan fisik di antara sesama suku Quraisy. Untunglah

mereka menemukan jalan keluarnya. Yakni mereka sepakat untuk memberikan kehormatan

kepada orang yang pertama datang ke Ka‟bah melalui pintu Syaibah. Kebetulan Muhammad

datang lebih awal melalui pintu itu, kemudian mereka berseru. “inilah al-Amin. Kami setuju dia

menyelesaikan perselisihan ini“. Kemudian mereka menceritakan kepada Muhammad peristiwa

yang telah terjadi. Akhirnya Muhammad berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu dengan

pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela dengan penyelesaian yang dilakukan oleh

Muhammad itu.

Page 72: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

64

Inilah gambaran ringkas tentang kedudukan Muhammad sebagai figur yang ideal pada

saat itu untuk menyelesaikan perselisihan dikalangan sukunya. Kegiatan seperti ini terus berjalan

hingga beliau mendapatkan wahyu sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah SWT. Pada dirinya

terkumpul beberapa fungsi diantaranya, sebagai Nabi dan Rasul sebagai kepala negara, sebagai

hakim yang menyelesaikan sengketa dikalangan ummat Islam. Semula Nabi Muhammad SAW

bertindak sebagai hakim tunggal, namun setelah ummat Islam mulai tersebar ke berbagai daerah,

maka beliau memberikan kewenangan kepada sahabat lainnya untuk menjadi hakim yang

menyelesaikan persengkataan diantara para sahabat ditempat mereka berada. Hal itu dilakukan

karena tempat mereka jauh dari kediaman Nabi. Sebagai konsekuensi dari pemberian

kewenangan itu maka beliau juga mengizinkan para sahabat untuk “berijtihad“, dalam kasus-

kasus yang tidak diatur dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Masalah kehakiman dalam Islam tidaklah

dapat dipisahkan dari maksud untuk menertibkan jalannya pelaksanaan hukum. Dan hukum

Islam dilaksanakan adalah mempunyai kandungan tujuan yang amat luas juga berinti ada satu

rumus: untuk menjaga ketertiban hubungan antara makhluk sesama makhluk, dan hubungan

antara makhluk dengan Khaliknya.

Berhubung daerah yang diatur oleh hukum Islam sangat luas dan lapangan kerjanya

bermacam-macam, dapatlah kiranya dimengerti betapa pentingnya masalah kehakiman ini

menurut pandangan Islam. Untuk mengetahui bagaimana luas lapangan kerja yang menjadi

urusan kehakiman dapatlah kiranya di maklumi dari pada tujuan-tujuan pokok dari hukum-

hukum Islam itu sendiri. Tujuan-tujuan pokoknya dalam garis besarnya tersimpul dalam 4

sektor:

1. Mengatur kesempurnaan pergaulan hidup antara manusia sesamanya;

Page 73: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

65

2. Menjamin kebebasan manusia menjalankan ibadat sebagai pengakuan atas adanya

hubungan keyakinan antar Khalik (Tuhan) dan makhluk (manusia);

3. Memelihara dan menjamin keselamatan hidup tiap-tiap mansuia dari perbuatan-perbuatan

yang melanggar hukum yang berlaku;

4. Memelihara hak dan hak milik yang sah dari tiap-tiap manusia.11

Karena itu sungguh amat kelirulah orang yang mengira bahwa masalah kehakiman dalam

Islam hanya meliputi masalah perselisihan antara suami-isteri soal nikah, talak-rujuk, soal

pewarisan, dan tidak lebih dari itu.

Hakim sebagai salah satu atribut terpenting dalam kehakiman adalah sangat populer

sekali dalam hukum Islam. Hakim adalah sebagai pemegang amanat hukum dan sebagai

pelaksanaannya. Juga hakim ditunjuk untuk menjadi wali bagi wanita yang tidak punya wali

nikah.

Menjadi hakim mengikut Perundangan Islam mestilah memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Islam, bukan orang kafir

2. Baligh, sudah dewasa menurut perhitungan syara

3. Berakal, bukan orang bodoh

4. Merdeka, bukan hamba sahaya

5. Adil, bukan orang yang fasiq atau zalim

6. Memahami mksud-maksud ayat Qur‟an dan hadits-hadits Nabi SAW yang berkaitan

dengan kehakiman

7. Mengetahui ijma „ ulama‟ dan perselisihan faham antara mereka

8. Mengetahui bahasa arab sekedar untuk memahami ayat Quran dan hadits mengenai

hukum syara

11

Bustanul Arifin, Hukum Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001. Hlm.63

Page 74: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

66

9. Pandai menjalankan Qiyas (perbandingan)

10. Mempunyai pendengaran an penglihatan yang cukup dan bukan orang yang lalai

Peradilan (al-Qadha') adalah kebutuhan vital masyarakat (dharury lil mujtami') artinya

seluruh manusia butuh kepada peradilan tanpa terkecuali baik yang beragama Islam maupun

tidak. Justru itu Islam memerintahkan untuk membentuk lembaga peradilan, Untuk mewujudkan

peradilan yang baik harus didukung oleh beberapa hal :

1. Hakim yang shalih, berdedikasi yang harus memenuhi persyaratan yang dibutuhkan.

2. Menghukum dengan adil.

3. Kemerdekaan Hakim.

4. Putusan hakim adalah putusan Negara.

5. Hakim harus dilindungi oleh Negara.

Hakim mempunyai tugas sangat penting. Disamping itu hakim harus mempunyai moral

yang tinggi, berbudi luhur, dan menegakan hukum secara benar dan adil. Sehingga peranan

hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dapat dilihat dari tugasnya: Penggali Hukum,

Pemutus Perkara. Pemberi Nasehat

Sebagai salah satu bentuknya adalah dengan adanya kode etik profesi hakim yang

tujuannya untuk kemaslahatan bagi manusia, kemaslahatan tersebut tercantum dalam azas-azas

yang dituangkan dalam syariat hukum Darury yaitu hal yang pokok dalam kehidupan manusia,

hukum Hajjiy yaitu hukum yang menselaraskan dengan hajat dan kebutuhan manusia, dan

hukum Tahsiny yaitu merupakan keindahan hidup yang merupakam pelengkap dalam kehidupan

manusia12

. Dengan demikian tujuan penegakkan keadilan dan kebenaran dapat tercapai, dan

kode etik profesi hakim benar-benar membawa maslahat bagi manusia.

12

Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam,cet. ke-1, Surabaya : al-Ikhlas, 1994, hlm.20

Page 75: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

67

Pelaksana dan wewenang kekuasaan kehakiman dalam tradisi Islam terbagi dalam empat

lembaga yaitu: al-qadha, al-hisbah, al-madzalim, dan al-mahkamah al-asykariyyah. Semua

lembaga tersebut mempunyai tugas dan wewenang masing-masing untuk mengatur jalannya

peradilan yang bersih dan sesuai dengan syariat Islam. Untuk lebih jelasnya penulis akan

menjelaskan lebih rinci lagi

1. Al-Qadha

Kata Al-Qadha secara harfiah berarti “memutuskan atau menetapkan” sedangkan

menurut istilah fikih Al-Qadha berarti menetapkan hukum syara‟ pada suatu peristiwa atau

sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat. Qadha adalah lembaga yang vertugas

memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan dan

masalah wakaf. Secara spesifik, Salam Makdur memberi pengertian lembaga yang bertugas

memutuskan sengketa antara dua pihak yang bertikai dengan hukum yang telah di tetapkan oleh

Allah SWT dengan benar dan adil tanpa memihak kepada salah satunya, menempatkan mereka

sama di hadapan hukum Allah. Lembaga ini telah dirintis sudah sejak masa Rasulullah SAW dan

disempurnakan pada masa-masa sesudahnya

Taqliyuddin an-Nabhani menyebutnya Qadha biasa yakni yang mengurusi penyelesaian

perkara sengketa di tengah masyarakat dalam hal muamalah (transaksi yang dilakukan antara

satu orang dengan yang lainnya) dan uqubat (sanksi hukum). Badan ini dipimpin oleh seorang

qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari Al-

Quran, Sunah Rasul, ijma, ataupun berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa

dalam menetapkan keputusan hukum sekalipun tehadap penguasa. Dalam konteks Indonesia,

Qadha ini dapat disamakan dengan badan peradilan agama dan peradilan umum

Page 76: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

68

Sedangkan bila dilihat dari perfektif kontemporer, fungsi lembaga Qadhi dapat

dikatakan mirip dengan fungsi badan yudikatif dan legislatif. Pada satu sisi, qadhi mengurusi

kasus yang membutuhkan penyelesaian secara hukum Islam, dan mengadili perkara-perkara

perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam. Pada sisi lain, qadhi juga memiliki kewajiban

untuk melakukan ijtihad dalam rangka legislasi, termasuk mengeluarkan fatwa yang

diderivasikan dari syariah. Namun demikian, menurut Rifyal Ka‟bah fungsi legislasi qadhi

sangat terbatas karena terbatas pada hal-hal yang disebut al-mubah (lapangan kebolehan)

Oleh karena itu dalam Islam, tidak boleh ada pengaruh apapun dan dari siapapun atas

kedudukan para hakim dan mereka sendiripun tidak boleh terpengaruh kecuali oleh kebenaran

dan keadilan. Para hakim haruslah membersihkan diri dari hawa nafsu dan harus memperlakukan

semua manusia sama di depan hukum atau pengadilannya.

2. Al-Hisbah

Al-Hisbah secara etimologis berarti menghitung, berfikir, memberikan opini, pandangan

dan lain-lain. Sedangkan secara secara istilah Ibnu Taimiyah mendefinisikan Al-Al-Hisbah

sebagai lembaga yang bertujuan untuk memerintahkan apa yang disebut sebagai kebaikan (al-

ma’ruf) dan mencegah apa yang secara umum disebut sebagai keburukan (al-munkar) didalam

wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah untuk mengaturnya, mengadili dalam wilayah

umum-khusus lainnya, yang tidak bisa dijangkau oleh institusi biasa.13

Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam yang

bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Al-Mawardi mendefinisikan al-

hisbah dengan menegakkan kebajikan jika terlihat diabaikan, dan mencegah kebathilan yang

terbukti dilakukan. Pejabat hisbat disebut al-muhtasib, tugasnya menangani kriminal yang perlu

penyelesaian segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum, menyelesaikan masalah-

13

Acep Djazuli, Fiqih Siyasah, Jakarta, Kencana. 2003, hlm. 45.

Page 77: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

69

masalah kriminal, mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak tetangga, serta menghukum orang

yang mempermainkan hukum syariat. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah

pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang

yang melebihi kapasitas kendaraan

Ia ditunjuk oleh sultan dan/atau khalifah untuk mengawasi pasar-pasar dan para

pedagang agar tidak terjadi kecurangan. Ia juga bertugas memelihara sopan santun dan

kesusilaan di tengah-tengah masyarakat. Intinya menurut An-Nabhani, qadhi muhtasib adalah

orang yang mengurusi penyelesaian perkara penyimpangan yang bias membahayakan hak

jamaah, atau amar ma‟ruf nahi munkar dalam istilah al-Mawardi. Mengingat fungsinya tersebut,

maka seorang muhtasib memiliki hak-hak untuk melaksanakan hukuman apabila ada

pelanggaran secara langsung tanpa harus menunggu dilaksanakannya hukuman melalui proses

pengadilan. Dalam konteks sekarang, fungsi muhtasib sama dengan polisi pasar di zaman

sekarang, hanya saja perbedaannya polisi tidak dapat menghukum tedakwa tanpa diajukan ke

pengadilan terlebih dahulu.

3. Al-Madzalim

Kata al-madzalim adalah jama‟ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama

bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di

bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-

mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk

diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).Al-madzalim adalah

salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi

penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan Negara.selain itu, ia juga

menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan,

Page 78: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

70

atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional, qadhi madzalim bertugas

menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadha dan muhtasib, meninjau kembali

putusan yang dibuat oleh dua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.14

Badan tesebut memiliki Mahkamah Madzalim. Sidangnya selalu diselenggarakan di

masjid dan dihadiri oleh lima unsure sebagai anggota siding; 1) para pembela dan pembantu

sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan peyimpangan-penyimpangan hukum, 2)

para hakim memertahankan wibawa hukumdan mengembalikan hak kepada yang berhak, 3) para

fuqaha tempat rujukan qadhi madzalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah

yang musykil dari sedi hukum syariat, 4) para katib mencatat pernyataan-pernyataan dalam

siding dan keputusan siding, dan 5) para saksi memberikan kesaksian terhadap masalah yang

diperkarakan, dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil.

Wilayah al-madzalim merupakan lembaga kehakiman tingkat tinggi, yang sejak masa

khalifah Abdul Malik (685-705 M) untuk pusat dipegang langsung oleh khalifah. Dalam

penanganan ini khalifah menyediakan waktu khusus untuk menyelesaikan perkara yang masuk.

Sedangkan untuk daerah, jabatn ini di pegang oleh qadhi madzalim. Wilayat al-madzalim ini

juga menangani tindakan pejabat-pejabat Negara termasuk hakim yang berbuat sewenang-

wenang terhadap rakyat. Kalau dibandingkan dengan lembaga-lembaga kehakiman sekarang bisa

dipadankan dengan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung sebagai tempat bagi orang yang

kalah tak puas mengajukan kembali perkaranya. Dengan adanya Mahkamah Agung dan ketuanya

ini, kekuasaan Negara di bidang pengadilan bertambah lengkap. Di bawah Mahkamah Agung

ada pengadilan tinggi dan di bawahnya ada pengadilan Negara.

14

http://www.muslimdaily.net/opini/7045/mesir-dan-dar-al-%E2%80%98adl /diunduh pada hari senin

04/april/22.30

Page 79: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

71

4. Al-Mahkamah al-Asykariyyah

Selain tiga bidang yaitu hisbah, al-qadha, dan al-madzalim pada masa pemerintahan

Bani Abbas juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (al-mahkamah al-asykariyyah dengan

hakimnya adalah qadhi al-asykar atau qadhi al-jund) Posisi ini sudah ada sejak Sultan

Salahuddin Yusuf ibn Ayyub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-adl terutama

ketika persidangan tersebut menyangkut tentang anggota militer/tentara.

Page 80: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. kekuasaan Kehakiman dari Orde Lama ke Orde Baru masih menyisihkan

terjadinya dualisme kekuasaan kehakiman karena di satu sisi tetap memberikan

kepada pemerintah untuk mengurus masalah-masalah administrasi,

keorganisasian, dan keuangan dalam pihak lain memberikan kepada Mahkamah

Agung wewenang mengurus masalah-masalah tekhnis yuridis. Dualisme

semacam ini membawa konsekuensi bahwa hakim sebagai pegawai departemen

merupakan aparatur pemerintah (birokrasi) yang mempunyai kewajiban dan

tangggung jawab pula untuk mensukseskan program-program pemerintah.

Pembagian kekuasaan pada poros-poros tertentu itu tercakup pula gagasan

fundamental tentang perlunya kekuasaan kehakiman yang bebas merdeka dan

aman dari pengaruh dan intervensi dari kekuatan-kekuatan lain.

Didalam implementasinya prinsip kebebasan merdeka ini memang tidak

harus dengan membentuk organisasi yang secara struktural terpisah dari

eksekutif, sebab yang dipentingkan adalah fungsinya yang betul-betul bebas

merdeka. Namun gagasan untuk melepaskan pembinaan dunia peradilan dari

kekuasaan eksekutif yang telah disuarakan selama puluhan tahun masih tetap

relevan dan perlu dijadikan bagian dari politik hukum nasional untuk masa-masa

mendatang.

Page 81: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

73

2. Badan-badan peradilan dilepaskan dari departemen pemerintahan dan semua

hakimnya dijadikan pejabat negara yang seluruhnya dibina oleh Mahkamah

Agung. Sebab meskipun pemisahan struktural itu tidak diharuskan oleh konstitusi

namun peletakan pembinaan badan peradilan di bawah departemen pemerintahan

bertendensi mengurangi atau setidak-tidaknya mempengaruhi kebebasan hakim,

meskipun berdasarkan undang-undang pembinaan itu hanya terbatas pada bidang

organisatoris dan administratif finansial.

Tendensi keterpengaruhan atau pengurangan kebebasan itu menjadi ada

karena faktor psikologis, watak korps dan birokrasi, serta budaya paternalistik

bangsa indonesia yang membiasakan orang memihak pada kepentingan atasan

atau organisasinya. Memang pembentukan struktur bukan satu-satunya cara

yang dapat ditempuh untuk lebih menjamin berlangsungnya kekuasaan

kehakiman yang bebas dan merdeka. Selain itu masalah-masalah lain yang

dapat dilakukan secara simultan seperti sistem rekuitmen bagi calon hakim,

sistem pengawasan, pembangunan budaya peradilan dan sebagainya.

Mahkamah Agung adalah puncak kekuasaan kehakiman dalam lingkungan

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan

Peradilan Militer. Dengan perkataan lain Mahkamah Agung secara tegas hanya

diamati oleh dua kewenangan konstitusional yaitu (i) mengadili pada tingkat

kasasi, dan (ii) menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang

terhadap undang-undang.

Page 82: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

74

Sedangkan kewenangan lainnya merupakan kewenangan tambahan

yang secara konstitusional didelegasikan kepada pembentuk undang-undang

untuk menentukannya sendiri, artinya kewenangan tambahan ini tidak

termasuk kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang

Dasar melainkan diadakan atau ditiadakan hany oleh undang-undang.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi secara tegas diberikan lima kewenangan

atau sering disebut empat kewenangan ditambah satu kewajiban yaitu (i)

menguji konstitusionalitas undang-undang, (ii) memutus sengketa

kewenangan konstitusional antar lembaga negara, (iii) memutus perselisihan

mengenai hasil pemilihan umum, (iv) memutus pembubaran partai politik,

dan (v) memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan bahwa presiden

melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau

wakil presiden sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

B. Saran-saran

Dalam kekuasaan kehakiman perlu dilakukan amandemen terhadap Undang-

Undang Dasar 1945 agar kewenangan yang ada pada lembaga Mahkamah Konstitusi

bukan hanya menguji undang-undang tetapi kewenangannya tersebut diperluas

untuk melakukan pengujian terhadap peraturan daerah dan bukan kewenangan

pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-

undang diberikan Mahkamah Agung apalagi kewenangan tersebut bersifat

didelegasikan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukannya sendiri

Page 83: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

75

Agar terciptanya kehakiman yang diimpikan oleh masyarakat maka

penegakan hukum di lembaga peradilan haruslah terbebas dari campur tangan pihak

penguasa. Tidak ada pembedaan dalam hukuman antara masyarakat biasa dan

masyarakat dari kalangan atas yang mempunyai kekuasaan untuk membayar dan

membeli hukum demi kebebasannya. Dengan peradilan yang bersih dan terpercaya

maka diharapkan bisa mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat indonesia

yang selama ini kecewa dengan keberadaan perdilan yang hanya membela

kepentingan orang-orang kaya dan juga penguasa

Page 84: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

72

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1985.

Boestomi, H.T. Fungsi Dan Peranan Mahkamah Agung Dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Bappenas, 1998.

Ghai, Yosh. The Rule of Law and Human Rights in Malaysia and Singapore,

Kehmas 2 Grael, Selangor 1989.

Hartono, CFG. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.

Bandung: Alumni, 1991.

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada

University Press, 2002.

Konijnenbelt/Van Wijk. Hoofdstukken Van Administratif Reacht, Vuga, S

Gravenhage 1984.

Mahfud, Moh MD. Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia. Studi Politik Dan

Kehidupan Ketatanegaraan. Yogyakarta: Liberty, 1993.

________. Politik Hukum Di Indonesia, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta,

1998.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik. Jakarta: Presco,

1991.

Asshidiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta:

Sekretariat Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

___________. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: konstitusi

press, 2006.

Page 85: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

73

___________. Pengantar Ilmu Hukum tata Negara Jilid II. Jakarta: Konstitusi

Press, 2006.

___________. Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah.

Jakarta: UI Press, 1996.

Anshari, Abdul Ghafur. Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun

2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan). Yogyakarta: UUI Press,

2006.

Abdullah, Abdul Gani. Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan

Peradilan Agama. Jakarta: Intermasa, 1986.

___________. Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman,

DEPKUMHAM, Yogyakarta 2006.

Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,

Jakarta: Gunung Agung, 2002.

Alkostar, Artidjo,. Pembangunan Hukum Dalam Persfektif Kebijakan Dalam

Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta: Universitas Hukum Indonesia,

1997.

Azhari, 1995. Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang

Unsur-Unsurnya. Jakarta: UI Press, 1995.

Asrun, A. Muhammad. Krisis Peradilan Mahkamah Agung dibawah Soeharto,

Jakarta: tanpa penerbit, 2004.

Fadjar, A. mukthie. Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik.

Malang: In-Trans, 2003.

Arto, A. Mukti. Konsep Ideal Mahkamah Agung Redifinisi peran Dan Fungsi

Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru. Yogyakarta

Pustaka Pelajar, 2001.

Page 86: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

74

Manan, Bagir 1993. Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Sejak Kembali Ke UUD

1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik

Indonesia: 30 Tahun Kembali Ke UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1993.

___________. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Bandung: LPP

UNISBA, 1995.

___________. Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri, Mimbar Hukum. Jakarta:

Alhikmah, 1999.

____________. dan Magnar Kuntana. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia. Bandung: Alumni Bandung 1997.

Sutiyoso, Bambang, dkk. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di

Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2005.

Benny K. Harman. Konfigurasi Politik Dan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia.

Jakarta: Elsam, 1997.

Saragih, Ragen Bintan. Politik Hukum. Bandung: CV Utomo, 2006.

C.S.T Kansiel. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bina Aksara,

1986.

Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Rajawali Press,

2000.

Thaib, Dahlan, dkk. Teori dan Hukum Konstitusi. Yogyakarta: Rajawali Press,

2006.

____________. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, edisi

kedua cetakan pertama. Yogyakarta: Liberty.

Daniel S.Lev. Hukum Dan Politik Di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan.

Jakarta: LP3ES, 1990.

Page 87: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

75

_____________. Kegagalan Menciptakan System Politik Dalam Poltik Indonesia

Persfektif Sejarah. Jakarta: Gama Pustaka Utama, 2001.

Yunus, Didi Nazmi. Konsep Negara Hukum. Padang: Angkasa Raya, 1992.

Erman Rajagukguk, et.al. Perubahan Hukum Indonesia (1998-2004) Harapan

2005, Legal Development Facility-Fakultas Hukum. Jakarta: UI, 2004.

Fathurohman. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, PT.

Citra Aditya Bakti,Bandung, 2004.

Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian

Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai

Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif. Jakarta: Rundi Press, 1975.

Harjono. Kedudukan Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Kekuasaan

Kehakiman Dan Ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, 2003.

Panagaribuan, Luhut, Dkk. Keindependenan Kekuasaan Kehakiman. Jakarta

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.

Moko, Haryat. Etika Politik Dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas, 2004.

Page 88: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4 TAHUN 2004

TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

b. bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

Mengingat:

Page 89: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pasal 2

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Page 90: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Pasal 3

(1) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.

(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

Pasal 4

(1) Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

(2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

(3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(4) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana.

Pasal 5

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 6

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.

(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa

Page 91: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Pasal 7

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 8

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 9

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

BAB II

BADAN PERADILAN DAN ASASNYA

Pasal 10

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Page 92: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

(2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Pasal 11

(1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).

(2) Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:

a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;

b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan

c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

(3) Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.

(4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pasal 12

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan

Page 93: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 13

(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

(2) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

(3) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.

Pasal 14

(1) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri.

(2) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diatur dengan undang-undang.

Pasal 15

(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.

(2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus

Page 94: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Pasal 16

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Pasal 17

(1) Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.

(3) Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.

(4) Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 18

(1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

Pasal 19

(1) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

Page 95: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(3) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.

(4) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

(5) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

(6) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur oleh Mahkamah Agung.

Pasal 20

Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 21

(1) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 22

Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 23

Page 96: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Pasal 24

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Pasal 25

(1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

(3) Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.

Pasal 26

Untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta.

BAB III

HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA

Page 97: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Pasal 27

Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.

BAB IV

HAKIM DAN KEWAJIBANNYA

Pasal 28

(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Pasal 29

(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.

(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Page 98: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti, dan juru sita untuk masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.

(2) Sumpah atau janji hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

Sumpah:

”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Janji:

“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

(3) Lafal sumpah atau janji panitera, panitera pengganti, atau juru sita adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

BAB V

KEDUDUKAN HAKIM DAN PEJABAT PERADILAN

Pasal 31

Page 99: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 32

Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Pasal 33

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.

Pasal 34

(1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang.

(3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 35

Panitera, panitera pengganti, dan juru sita adalah pejabat peradilan yang pengangkatan dan pemberhentiannya serta tugas pokoknya diatur dalam undang-undang.

BAB VI

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

Pasal 36

Page 100: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

(1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.

(3) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

(4) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.

BAB VII

BANTUAN HUKUM

Pasal 37

Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Pasal 38

Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.

Pasal 39

Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.

Pasal 40

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dalam undang-undang.

Page 101: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

BAB VIII

KETENTUAN LAIN

Pasal 41

Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain diatur dalam undang-undang.

BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 42

(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.

(2) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.

(3) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.

(4) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(5) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling lambat:

a. 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir;

b. 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berakhir.

Page 102: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Pasal 43

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1):

a. semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung;

b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung;

c. semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi serta pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara beralih ke Mahkamah Agung.

Pasal 44

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2):

a. semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung;

b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung.

Pasal 45

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3):

Page 103: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

a. pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer;

b. semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung.

Pasal 46

Mahkamah Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB X

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 47

Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 48

Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 49

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Page 104: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 15 Januari 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 15 Januari 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 8

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4 TAHUN 2004

TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIMAN

Page 105: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban

Page 106: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Mengingat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan perubahan secara komprehensif.

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 107: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Ketentuan yang menentukan bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan:

1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.

Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif.

Page 108: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat.

Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud ”dipidana” dalam ayat ini adalah bahwa unsur-unsur tindak pidana dan pidananya ditentukan dalam undang-undang.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Page 109: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain.

Ayat (2)

Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (4).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Ketentuan ini mengatur tentang hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji tersebut dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (3)

Page 110: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan ”pengawasan tertinggi” dalam ketentuan ayat ini meliputi pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap semua badan peradilan dibawahnya.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Ayat (2)

Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam yang terdiri atas Mahkamah Syariah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk tingkat banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134).

Page 111: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ketentuan ayat (1) berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Page 112: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 24

Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Ayat (1)

Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Page 113: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Ayat (2)

Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya.

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ”derajat ketiga” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan ”kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Page 114: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ”dipimpin” dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai dengan selesainya pelaksanaan putusan.

Page 115: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Sejalan dengan asas bahwa seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan. Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas.

Page 116: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “organisasi, administrasi, dan finansial pada ayat ini adalah organisasi, administrasi, dan finansial pada mahkamah militer agung atau pengadilan militer utama, mahkamah militer tinggi atau pengadilan militer tinggi, dan mahkamah militer atau pengadilan militer.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 43

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Ketentuan ini masih tetap membolehkan penggunaan aset/barang inventaris yang ada selama aset/barang inventaris tersebut belum tersedia di Mahkamah Agung.

Pasal 44

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Page 117: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

Cukup jelas.

Huruf c

Lihat penjelasan Pasal 43 huruf c.

Pasal 45

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4358

Page 118: Saya yang bertanda tangan di bawah inirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4284/1/M.RIDWAN...Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan