Scanned by CamScanner - ULM
Transcript of Scanned by CamScanner - ULM
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 1
ANALISIS KESULITAN GURU DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI DI SMA NEGERI KECAMATAN RANTAU UTARA DAN RANTAU SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA T.A
2015/2016
Dwi Isnaini Ritonga1; Indaria Anggita2; Wirdah Yanti Nasution3
Universitas Negeri Medan
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesulitan yang di hadapi oleh guru dalam pembelajaran geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan Provinsi Sumatera Utara T.A 2015/2016 yang meliputi: (1) Kesulitan dalam materi pelajaran geografi kelas X, XI dan XI. (2) Kesulitan dalam mempersiapkan rancanangan pembelajaran. (3) Kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran. dan (3) Kesulitan dlam melakukan evaluasi pembelajaran.Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan Provinsi Sumatera Utara T.A 2015/2016.Populasi penelitian adalah seluruh guru geografi SMA Negeri Kecantan Rantau Utara dan Rantau Selatan yang berjumlah 6 orang dan mengingat populasi sedikit, maka sekaligus dijadikan sample. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan teknik komunikasi langsung dan teknik komunikasi tidak langsung. Teknik analisis datanya secara deskriptif.Hasil penelitan menunjukkan bahwa kesulitan guru dalam pembelajaran geografi: (1) Penguasaan materi kelas X, XI dan XII. Kesulitan pada kelas X SK memahami sejarah pembentukan bumi sebanyak 50%, SK menganalisi unsur-unsur geosfer 50%. Kesulitan kelas XI SK menganalisi fenomena biosfer dan antroposfer sebanyak 100%. Kesulitan kelas SK memperaktikan dasar peta dan pemetaan 11,11%, SK memahami pemanfaatan SIG 22,22%. (2) Kesulitan menyusun perencanaan pembelajaran yang meliputi kesulitan menentukan rancangan pembelajaran yang sesuai yaitu 33,33%, merancang media pembelajaran yaitu 50%, dan pemilihan sumber belajar yaitu 16,67%. (3) Kesulitan dalam melaksanakan proses pembelajaran yang meliputi 16,67% kesulitan dalam mengunakan strategi pembelajaran, 50% kesulitan dalam penggunaan media pembelajaran, 16,67% kesulitan dalam pengelolahan kelas, dan 16,67% kesulitan dalam efesiensi penggunaan waktu. (4) Kesulitan melakukan evaluasi pembelajaran yaitu 50% kesulitan dalam membererikan skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator, 33,33% kesulitan dalam menyusun laporan hasil penilaian yang telah dilakukan, dan 16,67% kesulitam dalam memberikan tindak lanjut dari hasil penilaian. Kata Kunci : Media Pembelajaran
2 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting karena pendidikan merupakan wahana untuk
meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Oleh karenanya,
mengingat begitu pentingnya peran pendidikan mengharuskan semua elemen yang terkait dengan
pendidikan untuk selalu mengevaluasi, berbenah dan meningkatkan kualitas pendidikan bangsa.
Pendidikan adalah usaha sadar yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, salah satu usaha untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional
menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Suryosubroto,2010).
Kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kegiatan proses
pembelajaran. Kegiatan proses pembelajaran akan berpengaruh pada pemahaman siswa terhadap
materi yang disampaikan oleh guru. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh keberhasilan
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, yaitu keterpaduan antara kegiatan guru dengan kegiatan
siswa. Salah satu usaha untuk mengoptimalkan pembelajaran adalah dengan cara memperbaiki
pengajaran yang banyak dipengaruhi oleh guru, karena pengajaran adalah suatu sistem, maka
perbaika dalam pengajaran tersebut pun harus mencakup keseluruhan komponen dalam sistem
pengajaran tersebut. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan oleh guru, maka guru harus memiliki dan menguasai perencanaan kegiatan belajar
mengajar, melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan, dan melakukan evaluasi terhadap hasil
dari proses belajar mengajar.
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemeritah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses
adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada suatu
pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses
pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan
menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester. Standar
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 3
proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil
pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksannya proses pembelajaran yang
efektif dan efesien.
Berdasarkan PP No 19 Tahun 2005 Pasal 20 menyatakan bahwa perencanaan proses
pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-
kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil
belajar. Perencanaan pembelajaran merupakan tahapan penting yang dilakukan guru sebelum
mereka melaksanakan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan akhir pembelajaran. Setiap
guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar
pembelajaran berlangsung secara interaktf, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik.
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP (Rancangan Pelaksanaan
Pembelajaran). Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan
kegiatan penutup. Kegiatan pendahuluan pada dasarnya merupakan kegiatan yang harus ditempuh
guru dan siswa pada setiap kali pelaksanaan pembelajaran. Fungsi kegiatan pendahuluan terutama
adalah untuk menciptakan suasana awal pembelajaran yang efektif yang memungkinkan siswa
dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Pada kegiatan pendahuluan hal yang dilakukan
guru adalah (1) Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran; (2) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya
dengan materi yang akan dipelajari; (3) Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar
yang akan dicapai; dan (4) Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai
silabus.
Untuk dapat menetukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan
usaha atau tindakan penilaian atau evaluasi. Penilaian atau evaluasi pada dasarnya adalah
memberikan pertimbangan atau harga atau nilai berdasarkan kriteria tertentu. Penilaian dilakukan
oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta
didik, serta digunakan sebagai bahan penyusun laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki
proses pembelajaran. Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan
menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau lisan. Penilaian hasil pembelajaran
menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.
Menjadi guru yang berkompetensi profesional memerlukan penguasaan pembelajaran secara
luas melalui pendidikan formal dan pelatihan yang memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan
dalam standar nasional pendidikan. Dalam proses belajar mengajar hendaknya guru dapat
4 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
mengarahkan dan membimbing siswa untuk aktif dalam kegiatan belajar mengajar sehingga tercipta
suatu interaksi yang baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa.
Pada umunya “kesulitan” merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya
hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai tujuan, sehingga memerlukan usaha lebih giat lagi
untuk dapat mengatasi. Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam suatu proses
belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan-
hambatan ini mungkin disadarin dan mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalaminya,
dan dapat bersifat sosiologis, psikologis atau fisiologis dalam keseluruhan proses belajarnya.
Pada kenyataanya guru sering kali mengalami kesulitan dalam menerapkan hal-hal yang
telah dipelajari dari berbagai macam teori belajar. Situasi dan kondisi yang dijelaskan dalam teori
seringkali berbeda dengan situasi dan kondisi kelas sebenarnya. Berdasarkan pengalaman penulis
ketika menjalani program PPL Tahun 2013, permasalahan yang sering ditemui oleh guru ialah
sulitnya menyusun perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, kurangnya fasilitas seperi
media dan alat peraga lainya yang menunjang sesuai karakter materi, sulitnya mengelolah kelas
yang baik, dan kurangnya persiapan materi yang diajarkan. Untuk itu, guru tidak saja dituntut
mampu melakukan transpormasi ilmu kepada peserta didik, tetapi guru juga harus mampu memilih
strategi, metode, teknik, serta model pembelajaran yang efektif dan efesien.
Pelaksanaan pendidikan yang terjadi di dalam kelas oleh guru haruslah efektif dan efesien
agar proses belajar mengajar menjadi sebuah proses yang menyenangkan. Untuk dapat menciptakan
kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan, seorang guru harus dapat melakukan pengelolaan
kegiatan belajar mengajar di kelas. Pengelolaan kegiatan belajar mengajar merupakan suatu usaha
yang dilakukan oleh guru agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari bagaimana
seorang guru mengelolah pembelajaran yang dilakukan sehingga siswa dapat mencapai tingkat
kemampuan yang optimal sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pengelolaan belajar mengajar
merupakan unsur kompetensi guru yang penting dan harus dilaksanakan. Karena pengelolaan
belajar mengajar diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Sebelum proses belajar mengajar
berlangsung, seorang guru hendaknya menguasai secara fungsional pendekatan sistem pengajaran,
prosedur metode, teknik pengajaran, menguasai secara mendalam serta berstruktur bahan ajar dan
mampu merencanakan fasilitas pengajaran.
Berdasarkan hasil observasi awal yang penulis lakukan pada tanggal 20 s/d 24 January
2015dengan guru bidang studi Geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau
Selatan, dimana dijelaskan oleh guru bidang studi geografi bahwa kesulitan yang di alami mereka
dalam pembelajaran geografi terletak pada kurangnya fasilitas pembelajaran seperti buku, media,
alat peraga lainnya yang menunjang materi pembelajaran, sulitnya menentukan metode, strategi dan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 5
model dalam pembelajaran geografi yang sesuai dengan materi yang diajarkan, kurang cukupnya
waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran sesuai karakter belajar, sulitnya mengelolah kelas yang
baik, kurangnya persiapan dalam mengajar. Hal ini tampak pada kompetensi dasar materi kelas X,
XI dan XII SMA. Seperti pada kelas X, SK 2, KD 2.1 mendeskripsikan tata surya dan jagad raya
pada materi teori terjadinya jagad raya.Kelas XI SK 1, KD 1.2 menganalisis sebaran hewan dan
tumbuhan pada materi persebaran hewan dan tumbuhan di Dunia dan di Indonesia. Pada kelas XII
SK 1, KD 1.2 memperaktekkan ketarmpilan dasar peta dan pemetaan pada materi membuat peta
lingkungan sekolah, SK 2, KD 2.2 menjelaskan pemanfaatan system informasi geografi pada materi
tahapan kerja SIG.
Ironisnya, implementasi pembelajaran di sekolah menunjukan bahwa proses pembelajaran
yang digunakan guru masih jauh dari ideal. Pada kenyataannya masih banyak guru yang lebih
dominan menggunakan metode ceramah pada saat pembelajaran, sehingga terlihat pada siswa pasif
pada saat pembelajaran berlangsung. Guru tidak memahami bagaimana perencanaan pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran dengan baik. Dalam melakukan evaluasi,
umunya guru menggunakan tes secara tertulis, sehingga tes hanya berorientasi ke ranah kognitif,
hanya beberapa guru yang menggunakan rublik untuk penilaian. Ini berarti bahwa pemahaman guru
tentang asesmen hanya pada ranah kognitif, tidak sampai pada ranah afektif dan psikomotor.
Sementara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan belajar mengajar yang dilakukan
oleh guru, maka guru harus memiliki dan menguasai perencanaan kegiatan belajar mengajar,
melaksanakan kegiatan yang direncanakan dan melakukan penilaian terhadap hasil dari proses
belajar mengajar.
Untuk menjadi seorang guru Geografi wajib memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu
tubuh tanah, astronomi, ilmu kimia, ilmu fisika, dan lain-lain. Karena dengan memiliki pengetahuan
ilmu tersebut maka dapat diterapkan untuk mengungkapkan gejala-gejala dan proses-proses alam
yang melatar belakangi kehidupan manusia di permukaan bumi. Dalam mengajarkan geografi ,
pendekatan interdisipliner atau setidak-tidaknya multidimensional, menjadi ciri khas dalam
pengajaran geografi. Oleh karena itu, kemampuan melakukan pendekatan interdisipliner atau
multidimensional, harus menjadi kemampuan dasar guru geografi. Tanpa memiliki kemampuan
dasar ini, guru yang mengajarkan geografi tidak akan dapat melakukan proses belajar-mengajar
secara wajar merealisasikan tujuan instruksionalnya. Inilah salah satu karakter geografi yang wajib
diperhatikan guru geografi (Nursid, 1996).
Rendahnya kualitas ouput pendidikan seringkali ditunjukan kepada guru yang dinyatakan
mempunyai tingkat profesionalisme yang rendah sebagai guru. Guru yang dikatakan mempunyai
nilai profesionalisme rendah apabila guru yang dalam membelajarkan materi pelajaran tidak dapat
sampai ke peserta didik dikarenakan ada beberapa kesulitan yang dihadapin guru baik pada saat
6 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi (penilaian). Dengan adanya kesulitan yang dihadapin
guru maka kualitas dan kuantitas hasil belajar tidak optimal.
Begitu pentingnya peran guru dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Penulis
merasa bahwa perlu melakukan analisis untuk mengkaji masalah ini dan mencari solusi yang
diharapkan dapat menjadi masukan bagi guru dengan “Analisis Kesulitan Guru Dalam
Pembelajaran Geografi Di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan Provinsi
Sumatera Utara T.A 2015/2016”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat di
identifikasikan masalah-masalah berkenaan dengan penelitian ini, yakni : (1) Rencana pembelajaran
yang tidak tepat; (2) Pelaksanaan pembelajaran yang tidak tepat; (3) Pengelolaan kelas yang tidak
efektif; (4) Ketersediaan sarana dan prasarana yang belum memadai; dan (5) Evaluasi hasil belajar
yang kurang tepat.
C. Pembatasan Masalah
Agar ruang lingkup dari penelitian dapat dijelaskan dengan lebih efektif dan efesien, maka
pembatasan masalah pada penelitian ini yaitu, mengenai kesulitan guru dalam pembelajaran
geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana kesulitan guru geografi dalam menyampaikan materi pelajaran geografi kelas X, XI
dan XII di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan ?
2. Bagaimana kesulitan guru geografi dalam mempersiapkan perencanaan pembelajaran geografi di
SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan ?
3. Bagiaman kesulitan guru geografi dalam pelaksanaan pembelajaran di SMA Negeri Kecamatan
Rantau Utara dan Rantau Selatan ?
4. Bagimana kesulitan guru geografi dalam melakukan evaluasi pembelajaran geografi di SMA
Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan ?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kesulitan guru geografi dalam menyampaikan materi pelajaran geografi kelas
X, XI dan XII di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan
2. Untuk mengetahui kesulitan guru geografi dalam mempersiapkan perencanaan pembelajaran
geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 7
3. Untuk mengetahui kesulitan guru geografi dalam pelaksanaan pembelajaran di SMA Negeri
Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.
4. Untuk mengetahui kesulitan guru geografi dalam melakukan evaluasi pembelajaran geografi di
SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.
F. Manfaat Penelitian
Penelitain ini memiliki manfaat untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang meliputi :
1. Bahan masukan bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Labuhan Batu untuk mengambil kebijakan di
bidang peningkatan pendidikan.
2. Bahan masukan bagi sekolah khusunya guru geografi di SMA Kecamatan Rantau Utara dan
Rantau Selatan untuk meningkatkan pembelajaran geografi.
3. Bahan masukan yang bermanfaat bagi penulis sebagai calon guru.
4. Bahan referensi dan perbandingan bagi penulis lain yang ingin melakukan penelitian.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Pengertian Pembelajaran Geografi
Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction”, yang banyak dipakai dalam dunia
pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran psikologi kognitif
holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Dalam istilah “pembelajaran”
yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk
kebutuhan belajar, siswa dituntut beraktivitas secara penuh, bahkan secara individual mempelajari
bahan pelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau “teaching”
menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam “instruction”
guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan fasilitas untuk
dipelajarin siswa (Sanjaya, 2006).
Menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan
ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan
pada peserta didik. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik. Proses
pembelajaran dialami sepanjang hayat seseorang manusia serta dapat berlaku dimanapun dan
kapanpun.
Pembelajaran merupakan suatu sistem, yang terdiri atas berbagai komponen yang saling
berhubungan satu dengan yang lain. Komponen tersebut meliputi: tujuan, materi, metode dan
8 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
evaluasi. Keempat komponen pembelajaran tersebut harus diperhatikan oleh guru dalam memilih
dan menentukan model-model pembelajaran apa yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran
(Rusman, 2011).
Pembelajaran geografi merupakan pembelajaran tentang aspek-aspek keruangan permukaan
bumi yang merupakan keseluruhan gejala alam dan kehidupan umat manusia dengan variasi
kewilayahannya. Pembelajaran Geografi merupakan pembelajaran tentang hakikat geografi yang
diajarkan di sekolah dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan mental anak pada jenjang
pendidikan masing-masing (Sumaatmadja, 1996). Berdasarkan Permendiknas No.22 Tahun 2006
tentang Standar Isi (SI), pembelajaran geografi membangun dan mengembangkan pemahaman
peserta didik tentang variasi dan organisasi spasial masyarakat, tempat dan lingkungan pada muka
bumi peserta didik didorong utuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka
bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis dipermukaan bumi. Selain itu peserta didik
dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman
mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah. Pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-
nilai diperoleh dalam pembelajaran Geografi diharapkan dapat membangun kemampuan peserta
didik untuk bersikap, bertindak cerdas, arif dan bertanggung jawab dalam menghadapi masalah
sosial, ekonomi dan ekologis.
2. Guru Geografi
Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan
kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan
di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di mesjid, di
surau/musala, di rumah dan sebagainya.
Guru adalah figur seorang pemimpin. Guru adalah sosok arsitektur yang dapat membentuk
jiwa dan watak anak didik. Guru mempunyai kekuasaan untuk membentuk dan membangun
kepribadian anak didik menjadi seseorang yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Tugas guru
sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah
tugas guru sebagai suatu profesi. Tuga sguru sebagai pendidik berarti meneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti
meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru
sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi
masa depan anak didik (Djamara, 2010).
Berdasarkan Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 9
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menegah. Dalam pasal 20 juga dikatakan bahwa antara
lain dalam melaksanakan tugas guru, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran,
melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu serta mengevaluasi hasil pembelajaran.
Untuk menjadi seorang guru Geografi wajib memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu tubuh
tanah, astronomi, ilmu kimia, ilmu fisika, dan lain-lain. Karena dengan memiliki pengetahuan ilmu
tersebut maka dapat diterapkan untuk mengungkapkan gejala-gejala dan proses-proses alam yang
melatar belakangi kehidupan manusia di permukaan bumi. Dalam mengajarkan geografi ,
pendekatan interdisipliner atau setidak-tidaknya multidimensional, menjadi ciri khas dalam
pengajaran geografi. Oleh karena itu, kemampuan melakukan pendekatan interdisipliner atau
multidimensional, harus menjadi kemampuan dasar guru geografi. Tanpa memiliki kemampuan
dasar ini, guru yang mengajarkan geografi tidak akan dapat melakukan proses belajar-mengajar
secara wajar merealisasikan tujuan instruksionalnya. Inilah salah satu karakter geografi yang wajib
diperhatikan guru geografi (Sumaatmadja, 1996).
Kemampuan dasar guru geografi berkenaan dengan penguasaan materi, tujuan pengajaran
geografi dan tingkat perkembangan mental anak sangat dituntut dalam pengajaran geografi. Seorang
guru geografi tanpa memiliki kemampuan dasar yang telah dikemukakan diatas, kecil sekali proses
belajar mengajar geografi itu berjalan wajar sehingga tujuan instruksional juga sukar terealisasikan.
Pengajaran geografi mempunyai nilai ekstensi yang meliputi nilai-nilai teoretis, praktis, filosofis,
dan ketuhanan. Dengan demikian, jika geografi diajarkan dan dipelajari secara terarah dan baik,
dapat membina anak didik berpikir integratif untuk dirinya sendiri dan untuk kepentingan
kehidupan pada umumnya (Sumaatmadja, 1996).
hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Teknologi yang konon dapat
memudahkan manusia mencari dan mendapatkan informasi dan pengetahuan, tidak mungkin bisa
menggantikan peran guru.
Peran guru dalam proses pembelajaran : (1) Guru sebagai sumber belajar, sebagai sumber
belajar dalam proses pembelajarab hendaknya guru memiliki bahan referensi yang lebih banyak
dibandingkan siswa. Guru dapat menunjukan sumber belajar yang dapat dipelajari oleh siswa yang
biasanya memiliki kecepatan belajar diatas rata-rata siswa yang lain, dan guru perlu melakukan
pemetaan tentang materi pelajaran; (2) Guru sebagai fasilitator, yaitu guru berperan dalam
memberikan pelayanana untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat
melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran ada beberapa hal yang perlu
dipahami guru yaitu: guru perlu memahami jenis media dan sumber belajar serta fungsi masing-
masing media tersebut, guru perlu memiliki keterampilan dalam merancang suatu media, dan guru
dituntut agar memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan sisswa; (3) Guru
sebagai pengelolah, yaitu guru berperan dalam menciptakan iklim belajar yang memungkinkan
10 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
siswa dapat belajar secara nyaman. Melalui pengelolahan kelas yang baik guru dapat menjaga kelas
agar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar seluruh siswa; (4) Guru sebagai demonstrator,
yaitu peran untuk menunjukan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih
mengerti dan lebih memahami setiap pesan yang disampaikan; (5) Guru sebagai pembimbing; (6)
Guru sebagai motivator, dalam proses pembelajaran motivasi merupakan salah satu aspek dinamis
yang snagat penting; (7) Guru sebagai evaluator, untuk mengumpulkan data atau informasi tentang
keberhasilan pelajaran yang telah dilakukan.(Djamarah, 2010).
3. Kesulitan Dalam Proses Pembelajaran
a. Materi Pelajaran
Materi pelajaran merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan belajar
mengajar. Untuk merancang pembelajaran kita perlu memikirkan materi/bahan pelajaran apa yang
diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mencapai kompetensi yang diinginkan, karena
itulah kita perlu mengembangkan bahan pembelajaran.Dalam mengembangkan bahan
pembelajaran, kita dapat mengacu pada dua hal, yaitu konteks tempat penyelenggaraan pendidikan
dan bentuk kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Materi pelajaran dapat dibedakan menjadi pengetahuan (kognitif), sikap (afektif)dan
keterampilan (psikomotor). Materi Pengetahuan (kognitif) berhubungan dengan berbagai informasi
yang harus dihafal dan didiskusikan oleh siswa, sehingga siswa dapat mengungkapkan kembali.
Merril (dalam Wina Sanjaya:2011) membedakan isi (materi pelajaran kognitif ) atas 4 macam,
yaitu:
1) Fakta
Fakta adalah sifat dari suatu gejala, peristiwa, benda, yang wujudnya dapat ditangkap oleh
panca indra. Fakta merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan data-data spesifik (tunggal)
baik yang telah maupun yang sedang terjadi yang dapat diuji atau diobservasi. Contohnya pada
pelajaran Sejarah, Peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, dll.
1) Konsep
Konsep adalah abstraksi kesamaan atau keterhubungan dari sekelompok benda atau sifat.
Suatu konsep memiliki bagian yang dinamakan atribut. Atribut adalah karakteristik yang dimiliki
suatu konsep. Gabungan dari berbagai atribut menjadi suatu pembeda antara satu konsep dengan
konsep lainnya. Materi konsep contohnya pengertian ekosistem, ciri-ciri tanaman , dll.
2) Prosedur
Prosedur adalah materi pelajaran yang berhubungan dengan kemampuan siswa untuk
menjelaskan langkah-langkah secara sistematis tentang sesuatu. Hubungan antara dua atau lebih
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 11
konsep yang sudah teruji secara empiris dinamakan generalisasi.Contoh materinya langkah-langkah
melakukan stek pada tanaman.
3) Prinsip.
Materi pelajaran tentang prinsip bisa berupa hasil penelitian/ sebuah teori yang telah
dibuktikan, sehingga dapat dipercaya. Seseorang akan dapat menarik suatu prinsip apabila sudah
memahami berbagai fakta dan konsep yang relevan. Contohnya dalil phitagoras, rumus, dll.
Selain dari segi kognitif, pengembangan materi pelajaran juga dari segi Afektif/sikap yakni
berhubungan dengan sikap/nilai atau keadaan dari dalam diri seseorang. Materi afektif termasuk
pemberian respon, penerimaan nilai, internalisasi, dll. Contohya nilai-nilai kejujuran, kasih sayang,
minat, kebangsaan, rasa sosial, dll.Dari segi psikomotor yakni materi yang mengarah pada
gerak/keterampilan.
Selain itu Hilda Taba (dalam Wina Sanjaya, 2011) juga mengemukakan bahwa ada 4 jenis
tingkatan bahan atau materi pelajaran, yakni fakta khusus, ide-ide pokok, konsep, dan system
berpikir. Fakta khusus adalah bentuk materi kurikulum yang sangat sederhana. Ide-ide pokok bisa
berupa prinsip atau generalisasi. Konsep menurut Hilda Taba, lebih tinggi tingkatannya dari ide
pokok, hal ini dikarenakan memahami konsep berarti memahami sesuatu yang abstrak sehingga
mendorong anak untuk berpikir lebih mendalam. System berpikir berhubungan dengan kemampuan
untuk memecahkan masalah secara empiris, sistematis dan terkontrol yang kemudian dinamakan
berpikir ilmiah.
b. Perencanaan Pembelajaran
Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun perencanaan pembelajaran
secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan
ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik. seorang guru harus memiliki kemampuan dalam
merencanakan pembelajaran, karena kegiatan yang direncanakan dengan matang akan lebih terarah
dan tujuan yang diinginkan akan mudah tercapai. Perencanaan pembelajaran disusun untuk setiap
kompetensi dasar yang akan dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Ada lima unsur
penting dalam rencana pembelajaran yaitu : (1) Tujuan instruksional; (2) Bahan ajar; (3) Kegiatan
belajar; (4) Metode dan alat bantu; dan (5) Evaluasi (Rusman, 2010).
Pembelajaran merupakan suatu sistem, yang terdiri atas komponen-komponen yang satu
sama yang lain saling berkaitan. Dengan rencana pembelajaran minimal ada 5 komponen pokok,
yaitu komponen tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode, media dan sumber
pembelajaran serta komponen evaluasi. Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab IV Pasal
12 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
20 yang menyatakan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan pelaksanaan
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode
pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar.
Komponen-komponen dalam perencanaan pembelajaran yaitu : (1) Tujuan, (2) Bahan
pelajaran, (3) Kegiatan belajar mengajar, (4) Metode, media dan sumber, (5) Evaluasi. Menurut
Sabri (2007) bahwa perencanaan pembelajaran meliputi : (1) Tujuan yang hendak dicapai, yaitu
bentuk tingkah laku apa yang diinginkan dapat dicapai atau dapat dimiliki oleh siswa setelah
terjadinya PBM; (2) Bahan belajar yang mengantarkan siswa mencapai tujuan; (3) Bagaimana
PBM yang akan diciptakan oleh guru agar siswa mencapai tujuan secara efektif dan efesien, dan (4)
Bagaimana menciptakan serta menggunakan alat untuk mengetahui dan mengukur apakah tujuan itu
dapat tercapai atau tidak. (Haryanto, 2008)
Buku panduan PPL Unimed yang di buat oleh tim penyusun UPPL Unimed membuat
indikator dalam rencana pembelajaran (APKG I) yang dimana indikatornya yaitu : (1) Perumusan
tujuan pembelajaran khusus; (2) Pengorganisasian bahan/ materi pembelajaran; (3) Rancangan
kegiatan pembelajaran; (4) Rancangan media pembelajaran; (5) Pemilihan sumber pembelajaran;
(6) Rancangan penilaian; dan (7) Keberhasilan dan kerapian.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat diambil satu kesimpulan bahwa dalam suatu
perencanaan pembelajaran hal-hal yang perlu direncanakan yaitu : menentukan bahan pembelajaran
dan merumuskan tujuan, memilih dan mengorganisasikan materi, media dan sumber, merancang
skenario pembelajaran, merancang pengelolaan kelas, merancang prosedur dan mempersiapkan alat
penilaian dan kesan umum rencana pembelajaran. Pada hakekatnya jika sutau kegiatan
direncanakan terlebih dahulu, keberhasilan atau kelancaran menuju tujuan yang akan dicapai akan
lebih terarah. Hal itulah yang membuat para guru harus memiliki kemampuan untuk membuat
sebuah perencanaan pembelajaran. Sesorang guru hendaknya merencanakan program pembelajaran
yang berupa materi maupun keterampilan yang akan diberikan setiap pertemuanya. Perencanaan itu
dapat sebagai kontrol dan pegangan saat mengajar bagi guru itu sendiri.
Perencanaan pengelolaan kelas merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam
pembelajaran, hal ini disebabkan dalam kelas terdapat peserta didik dengan karakter yang
bervariasi. Perbedaan karakter ini dapat diminimalisir dengan pengelolaan kelas yang baik. Hal ini
dapat dilakukan antara lain dengan: (1) Mengatur tempat duduk sesuai dengan strategi pembelajaran
yang digunakan; (2) Merencanakan alokasi waktu pembelajaran; dan (3) Menentukan cara
mengordinasikan siswa agar terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Sudirman dalam
Djamarah (2010) pengelolaan kelas merupakan suatu upaya memberdayagunakan potensi kelas
yang ada seoptimal mungkin untuk mendukung proses interaksi edukatif mencapai tujuan
pembelajaran.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 13
Perencanaan alat dan media pembelajaran merupakan salah satu indikator keberhasilan
dalam pembelajaran. Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pikiran, perasaan, perhatian, dan kemampuan siswa sehingga dapat mendorong proses
mengajar (Sabri, 2007). Sesuai dengan fungsinya, media dapat digunakan untuk membantu
memudahkan pemahaman siswa dalam menangkap dan memahami konsepatau materi yang
disampaikan. Materi juga dapat menghantarkan siswa ketingkat pemahaman yang lebih tinggi dari
pada disampaikan dengan ceramah atau lisan.
Dalam merencanakan suatu pembelajaran yang tercantum dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) seorang guru yang baik harus mencantumkan alokasi waktu untuk mencapai
kompetensi tertentu. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya materi yang mungkin belum
tersampaikan sehingga penggunaan waktu harus benar-benar diperhatikan. Adanya suatu proses
pembelajaran pengelolaan waktu dapat dibedakan menjadi tiga kelompok utama yaitu waktu untuk
kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup, dalam pembelajaran siswa perlu diatur
untuk membantu mempercepat tujuan pembelajaran dan memusatkan perhatian siswa hal ini dapat
dilakukan dengan mengatur cara membuka kelompok-kelompok kecil, mampu memanfaatkan
peralatan dan media yang ada sesuai dengan metode yang digunakan.
c. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut langkah-
langkah tertentu agar pelaksanaan mencapai hasil yang diharapkan (Rusman,2010). Pelaksaan
pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang bernilai edukatif, nilai edukatif mewarnai interaksi
yang terjadi antara guru dan siswa. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan
sebelum pelaksaan pembelajaraan dimulai (Sabri, 2007).
Buku panduan PPL Unimed yang di buat oleh tim penyusun UPPL Unimed membuat
indikator dalam pelaksanaan pembelajaran (APKG II) yang dimana indikatornya yaitu : (1)
Keterampilam membuka pelakaran; (2) Penyajian materi; (3) Strategi pembelajaran; (4)
Pemanfaatan media pembelajaran; (5) Pengelolahan kelas; (6) Penilaian pembelajaran; (7)
Keterampilan menutup pelajaran; (8) Sikap calon guru selama pembelajaran; dan (9) Efesiensi
penggunaan waktu.
Dalam pelaksanaan pembelajaran guru melakukan beberapa tahapan pelaksanaan
pembelajaran antara lain (Rusman, 2010) :
1) Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan dalam pembelajaran sering sering pula disebut dengan pra-
instruksional. Fungsi kegiatan tersebut utamanya adalah untuk menciptakan awal pembelajaran
14 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
yang efektif yang memungkinkan siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik.
Efisiensi waktu dalam kegiatan pendahuluan pembelajaran perlu diperhatikan, karena waktu yang
tersedia untuk kegiatan tersebut relatif singkat sekitar 5 (lima) menit. Oleh karena itu, dengan waktu
yang relatif singkat diharapkan guru dapat menciptakan kondisi awal pembelajaran yang baik,
sehingga aktivitas-aktivitas pada awal pembelajaran tersebut dapat mendukung proses dan hasil
pembelajaran siswa. Dalam kegiatan pendahuluan, guru harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a) Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.
b) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi
yang akan dipelajari.
c) Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai.
d) Menyampaikan cakupan materi dan penjelasaan uraian kegiatan sesuai silabus.
2) Kegiatan Inti
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar
yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberika ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata
pelajaran yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
1. Eksplorasi
Dalam kegiatan ekspolarasi, guru harus memerhatikan hal-hal berikut:
a) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi
yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip”alam takambangí” jadi guru dan belajar dari
aneka sumber.
b) Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar
lain.
c) Memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru,
lingkungan,dan sumber belajar lainnya.
d) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran.
e) Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.
3. Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru harus memperhatikan hal-hal berikut:
a) Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu
yang bermakna.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 15
b) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi,dan lain-lain untuk
memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.
c) Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah dan bertindak
tanpa rasa takut.
d) Menfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif.
e) Menfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar.
f) Menfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun
tertulis, secara indivisu maupun kelompok.
g) Menfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok.
h) Menfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival serta produk yang
dihasilkan.
i) Menfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa
percaya diri peserta didik.
4. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru harus memperhatikan hal-hal berikut:
a) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun
hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,
b) Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai
sumber,
c) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang
telah dilakukan,
d) Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai
kompetensi dasar:
e) Berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang
menghadapi kesulitan, dengar menggunakan bahasa yang baku dan benar
f) Membantu menyelesaikan masalah;
g) Memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;
h) Memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh;
i) Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
2) Kegiatan Penutup
Menutup pelajaran merupakan kegiatan dan pertanyaanguru untuk menyimpulkan atau
mengakiri kegiatan inti. Kegiatan menutup pelajaran dilakukan dengan maksud untuk memusatkan
perhatian siswa pada akhir penggal kegiatan atau ada akhir pelajaran. Dalam kegiatan penutup, guru
harus memperhatikan hal-hal berikut:
16 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
a) Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan
pelajaran;
b) Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara
konsisten dan terprogram;
c) Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
d) Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program
pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun
kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
e) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
d. Pelaksanaan Evaluasi Pembelajaran
Sudirman (dalam Djamarah,2010) mengemukakan rumusan, bahwa penilaian atau evaluasi
berati suatu tindakan untuk menemukan nilai sesuatu. Bila penilaian (evaluasi) digunakan dalam
dunia pendidikan, maka penilaian pedidikan berarti suatu tindakan untuk menentukan segala
sesuatu dalam dunia pendidikan. Sebagai alat penilaian hasil pencapaian tujuan dalam pengajaran,
evaluasi harus dilakukan secara terus menerus. Evaluasi tidak hanya sekedar menentukan angka
keberhasilan belajar. Tetapi yang lebih penting adalah sebagai dasar untuk umpan balik (feed back)
dari proses interaksi edukatif yang dilaksanakan Ali (dalam Djamarah,2010).
Evaluasi belajar dan pembelajaran adalah proses untuk menentukan nilai belajar dan
pembelajaran yang dilaksanakan, dengan melalui kegiatan penilaian atau pengukuran belajar dan
pembelajaran. Sedangkan pengertian pengukuran dalam kegiatan pembelajaran adalah proses
membandingkan tingkat keberhasilan yang telah ditentukan secara kuantitatif. Pengertian penilaian
belajar dan pembelajran adalah proses pembuatan keputusan nilai keberhasilan belajar dan
pembelajaran secara kualitatif (Darmadi, 2009).
Kegiatan evaluasi dilakukan dengan sadar oleh guru dengan tujuan memperoleh kepastian
mengenai keberhasilan belajar anak didik dan memberikan masukan kepada guru mengenai yang
dia lakukan dalam pengajaran. Dengan kata lain, evaluasi yang dilakukan guru bertujuan untuk
mengetahui bahan-bahan pelajaran yang disampaikannya sudah dikuasai atau belum oleh anak
didik, dan apakah kegiatan pengajaran yang dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Menurut
Sudirman (dalam Djamarah, 2010) tujuan penilaian (evaluasi) dalam proses belajar mengajar yaitu :
(1) Mengambil keputusan tentang hasil belajar; (2) Memahami anak didik; dan (3) Memperbaiki
dan mengembang program pengajaran. Dengan demikian, tujuan evaluasi adalah untuk
memperbaiki cara belajar mengajar, mengadakan perbaikan dan pengayaan bagi anak didik, serta
menempatkan anak didik pada situasi belajar mengajar yang lebih tepat sesuai dengan tingkat
kemampuan yang dimilikinya. Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki atau mendalami dan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 17
memperluas pelajaran, dan yang terakhir adalah untuk memberitahukan/melaporkan kepada para
orang tua/wali anak didik mengenai penentuan kenaikan kelas dan penentuan kelulusan anak didik.
Evaluasi tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pengajaran,maka bagi guru mutlak harus
mengetahui dan mengenal fungsi evaluasi, sehingga mudah menerapkannya untuk menilai
kenerhasilan pengajaran. Menurut Jahja(dalam Djamarah, 2010) fungsi evaluuasi dari segi anak
didik secara individual dan dari segi program pengajaran yaitu :
Evaluasi berfungsi memberikan informasi bagi perbaikan mutu pengajaran dan penyusunan
program sekolah. Dalam pendidikan, seperangkat alat evaluasi yang mutlak memerlukan objek
sebagai sasaran. Tanpa objek, evaluasi tidak akan dapat diperankan. Karena itu, objek evaluasi
menempati posisi yang cukup strategis dalam menunjang tuga guru. Sebab dengan mengetahui
objek evaluasi akan memudahkan guru dalam menyusun alat evaluasinya. Menurut Nana Sudjana
(dalam Djamarah, 2010) pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi, yaitu :
1) Segi tingkah laku, artinya segi yang menyangkut sikap, minat, perhatian, dan keterampilan
siswa sebagai akibat dari proses belajar dan mengajar,
2) Segi isi pendidikan, artinya penguasaan bahan pelajaran yang diberikan guru dalam proses
belajar mengajar,
3) Segi yang menyangkut proses mengajar dan belajar itu sendiri. Proses mengajar dan
belajar perlu penilaian secara objektif dari guru, sebab baik tidaknya proses mengajar dan
belajar akan menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai siswa.
4. Kesulitan-Kesulitan dalam Proses Pembelajaran
Kesulitan dalam proses pembelajaran merupakan suatu rangkaian kegiatan guna
menumbuhkan organisasi proses belajar mengajar yang efektif. Kegiatan dalam proses
pembelajaran meliputi kompetensi yang harus dicapai, pengaturan penggunaan waktu luang,
pengaturan ruang dan alat perlengkap pelajaran di kelas serta pengelompokkan siswa dalam belajar.
Dalam kegiatan belajar mengajar ada dua hal yang ikut menentukan keberhasilan yaitu pengaturan
proses belajar mengajar, dan pengajaran itu sendiri, dan keduanya saling ketergantungan satu sama
lain. Kemampuan mengatur proses belajar mengajar yang baik akan menciptakan situasi yang
memungkinkan anak belajar, sehingga merupakan titik awal keberhasilan proses pengajaran.
Menurut Djamarah (1996) berbagai kesulitan-kesulitan yang biasa dihadapin oleh guru
adalah: (1) kompetensi apa yang mau dicapai; (2) Materi pelajaran apa yang diperlukan; (3)
Metode, alat mana yang harus dipakai; (4) Prosedur apa yang akan ditempuh untuk melakukan
evaluasi. Menurut Sudjarwo (1989), kesulitan yang dihadapin guru dalam melaksanakan tugasnya
berkaitan dengan proses pembelajaran sebagai berikut: (1) Kekurangan alat ratikum, alat peraga dan
18 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
media; (2) Kekuarngan buku pegangan, buku-buku tentang kependidikan dan buku sumber; (3)
Memotivasi yang kurang dari siswa; dan (4) Dukungan administrasi yang kurang.
Menurut Mulyati (dalam Darmadi,2009), unsur-unsur yang terdapat dalam pengajaran ada
tiga yaitu : (1) Manusia, dalam hal ini adalah guru sebagai pengajar dan siswa sebagai subjek
belajar, (2) Institusi, yaitu lembaga atau sekolah sebagai penyedia sarana dan prasarana yang
dibutuhkan dalam pengajaran, dan (3) Pengajaran, yaitu berkaitan dengan kurikulum yang
merupakan pedoman materi yang akan diajarkan. Ketiga unsur tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi
satu dengan yang lainnya saling berkait. Proses pengajaran yang melibatkan ketiga unsur tersebut
dalam kenyataanya tidak selamanya berjalan seperti apa yang diharapkan, karena berbagai kesulitan
yang dialami pada salah satu unsur pengajaran diatas akan berpengaruh pada unsur lain.
Kesulitan yang dihadapin oleh guru berkaitan dengan pengajaran yang dilaksanakan yakni
berkaitan dengan perencanaaan yang meliputi kompetensi yang harus dicapai, metode mengajar
yang digunakan dan evaluasi. Kesulitan yang dihadapin institusi dalam hal ini sekolah adalah
ketersediaan alat dan bahan, sumber belajar seperti media, alat peraga dan buku serta fasilitas
pendukung.
B. Penelitian Relevan
Endah Suci Pratiwi (2012) dengan judul “Analisis Kesulitan-Kesulitan Guru Dalam
Pembelajaran IPS Terpadu (Studi Kasus Pada SMP Negeri 8 Kota Malang)”.Beberapa kesulitan
guru pada saat pembelajaran IPS terpadu di antara lain; (1) Guru mengalami kesulitan pada saat
menyampaikan materi yang bukan merupakan bidang ilmunya, (2) Guru mengalami kesulitan pada
saat menyusun perencanaan pembelajaran karena banyaknya indikator yang akan ditempuh oleh
siswa dan tidak semua materi dapat dipadukan. Sehingga apabila ingin memadukan ilmu-ilmu
sosial tersebut harus dipilah-pilah terlebih dahulu dan disesuaikan dengan tema yang sudah
ditentukan, (3) Kesulitan dialami karena kurangnya pedoman untuk mengintegrasikan materi-materi
yang tercakup dalam SK dan KD IPS terpadu yang disusun secara tematik, (4) Sulitnya membagi
waktu antara menyampaikan materi yang tercakup dalam IPS dan melaksanakan pembelajaran IPS
terpadu, (5) Kesulitan dialami guru karena kurikulum IPS terpadu yang dianggap masih terpisah-
pisah dan butuh pengkajian ulang apabila ingin bisa dipadukan dengan baik, (6) Faktor-faktor
eksternal, misalnyasiswa yang malas dan lain-lain.
Wardatus Sarifah (2012) dengan judul “Identifikasi Kesulitan Guru Geografi SMA Negeri Se-
Kabupaten Pamekasan Dalam Penyusunan RPP Berdasarkan KTSP. Hasil penelitian sebagai
berikut: pertama, guru geografi yang ada di SMA Negeri se-Kabupaten Pamekasan masih banyak
yang mengalami kesulitan dalam menyusun silabus berdasarkan KTSP pada berbagai
komponen; kedua, guru geografi yang ada di SMA Negeri se-Kabupaten Pamekasan masih banyak
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 19
yang mengalami kesulitan dalammenyusun RPP berdasarkan KTSP pada berbagai
komponen;ketiga, Upaya yang dilakukan guru geografi belum berhasil sepenuhnya sehingga harus
diadakan upaya yang lebih baik lagi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam menyusun silabus
dan RPP yaitu mengaktifkan kembali MGMP dengan melibatkan Dinas pendidikan serta guru-guru
yang bersangkutan.
Dewi Kuntari (2009) dengan judul “Problematika Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Yang Dihadapin Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMA di
Bondowoso”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) penerapan kurikulum tingkat satuan
pendidikan di SMA Negeri Bondowoso yaitu diawali dengan menyusun komponen KTSP seperti:
Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Tingkat satuan Pendidikan, Struktur dan Muatan KTSP, Kalender
Pendidikan, Silabus, (2) Problematika yang dihadapi guru Pendidikan Kewarganegaraan adalah (a)
kesulitan dalam membuat perangkat mengajar utamanya pada rencana pelaksanaan pembelajaran,
urutan dari komponen yang berbeda-beda tiap guru, format penilaian, dan juga keterlambatan
pengiriman kalender pendidikan dari pusat, sehingga menghambat penyusunan perangkat
pembelajaran bagi guru; (b) kesulitan guru dalam mengoperasikan komputer, LCD dan laptop; (c)
sarana dan prasarana yang terbatas;. (3) Upaya mengatasi problematika yang dihadapi guru yaitu:
(a) mengatasi kesulitan guru dalam menyusun perangkat mengajar, upaya yang dilakukan adalah
dengan mendatangkan pakar/ahli untuk mengadakan sosialisasi dan konsultasi tentang kesulitan
yang dihadapi guru; (b) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan dalam metode ataupun
media adalah pihak kepala sekolah, mengadakan kursus untuk guru seperti komputer dan LCD; (c)
untuk melengkapi sarana dan prasarana dilakukan dengan musyawarah dengan komite sekolah,
rapat orang tua wali murid.
Nadliroh (2010) dengan judul penelitian “Analisis Faktor-Faktor Penghambat Guru dalam
Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Madrasah Tsanawiyah Negeri Winong Kabupaten Pati
Tahun Ajaran 2010/2011”. Hasil penelitian yang diperoleh adalah semua faktor berpotensi
mempengaruhi ketidak berhasilan pembelajaran matematika. Namun, yang paling dominan berasal
dari peserta didik yang sangat sedikit minat dan motivasinya dalam mempelajari matematika. Untuk
mengatasi hambatan tersebut, guru di lingkungan MTsN Winong belum melakukan suatu tindakan
nyata untuk sungguh-sungguh mengatasi hambatan tersebut. Yang ada hanyalah musyawarah kecil
di sela-sela pergantian jam pelajaran.
Karolina (2010) dengan judul “Analisis Kendala Guru IPS Dalam Mengajarkan IPS Terpadu
di Kelas VII SMP Negeri Se-Kecamatan Sunggal”. Hasil penelitian menunjukan bahwa kendala
utama yang dihadapin guru dalam mengajarkan IPS terpadu yaitu dalam mengaitkan tema sesuia
dengan kompetansi 83,33% dan menjabarkan kompetensi dasar ke dalam indikator 83,33% serta
dalam mencari sumber belajar dengan pemanfaatan internet 75%.
20 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
C. Kerangka Berpikir
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, guru merupakan orang yang memberikan
pengajaran dan siswa sebagai orang yang menerima pengajaran tersebut. Dalam proses kegiatan
pembelajaran geografi tidak terlepas dari kesulitan yang dihadapin oleh guru, yang dimana meliputi
perencanaan pembelajaran geografi, pelaksanaan pembelajaran geografi dan melaukan evaluasi
dalam pembelajaran geografi.
Dalam penelitian ini akan diperoleh gambaran bagaimana kesulitan guru dalam
pembelajaran geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan. Adapun skema
kerangka berpikir dilihat pada gambar 1.
SKEMA KERANGKA BERPIKIR
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir
Pembelajaran Geografi Di SMA
Materi Pelajaran Geografi
Rancangan Pembelajran
Geografi
Melaksanakan Pembelajaran
Geografi
Evaluasi Pembelajaran
Geografi
Kesulitan Guru Geografi Di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau
Selatan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan diseluruh SMA Negeri di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau
Selatan Kabupaten Labuhan Batu yang dimana yaitu : SMA Negeri 1 Rantau Selatan, SMA Negeri
1 Rantau Utara, SMA Negeri 2 Rantau Selatan, SMA Negeri 2 Rantau Utara, dan SMA Negeri 3
Rantau Utara.
Alasan memilih sekolah ini menjadi lokasi penelitian adalah karena berdasarkan wawancara
saya dengan guru bidang studi geografi dikatakan bahwa adanya masalah-masalah yang di hadapin
guru geografi dalam pembelajaran geografi di SMA Negeri tersebut.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru yang mengajar di SMA Negeri di
Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yang terdiri dari 7 orang guru yaitu: SMAN1 Rantau
Selatan (2 Orang), SMAN1 Rantau Utara (1 Orang), SMAN 2 Rantau Selatan (1 Orang), SMAN 2
Rantau Utara (1 Orang) dan SMAN 3 Rantau Utara (1 Orang).
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini mengunakan sampel total yakni semua guru Geografi dari lima
SMA Negeri yang ada di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu sebanyak 6 orang.
C. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional
1. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah kesulitan guru dalam pembelajaran geografi di SMA
Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.
2. Defenisi Operasional
Definisi operasional dibuat untuk menghindari kesalah penafsiran terhadap variabel yang
diteliti. Variabel yang diteliti dalah kesulitan yang dihadapin guru dalam pembelajaran geografi
yang meliputi :
1. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) terdiri dari pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi
yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan
(fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.
2. Perencanaan pembelajaran adalah upaya untuk memperkirakan tindakan yang dilakukan dalam
kegiatan pembelajaran. Indikator dalam perencanaan pembelajaran yaitu : (1) Mendeskripsikan
22 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
tujuan pembelajaran; (2) Menentukan materi sesuai dengan kompetensi yang telah ditentukan;
(3) Menyederhanakan materi pokok; (4) Menjabarkan materi pelajaran sesuai terstruktur atau
sistematis; (5) Mengalokasi waktu; (6) Menentukan metode pembelajaran yang sesuai; (7)
Merancang prosedur pembelajaran; (8) Menentukan media pembelajaran; (9) Menentukan
sumber belajar; dan (10) Menentukan teknik penilaian yang sesuai.
3. Pelaksanaan pembelajaran adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut langkah-langkah
tertentu agar pelaksanaan pembelajaran mencapai hasil yang diharapkan. Tahapan dalam
pelaksanaan pembelajaran meliputi : (1) Kegiatan pendahuluan; (2) Kegiatan inti; dan (3)
Kegiatan penutup.
4. Evaluasi belajar dalam proses pembelajaran dapat digunakan untuk mengecek, mengukur,
menilai dan memperbaiki perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran yang telah
dilakukan. Evaluasi dapat digunakan untuk menilai tujuan dengan optimal. Indikator dalam
evaluasi yaitu : (1) Menyusun soal/prangkat penilaian; (2) Memeriksa jawaban/pemberian skor;
(3) Mengelolah hasil penilaian; (4) Mengalisis penilaian; (5) Menyimpulkan hasil penilaian;(6)
Menyusun laporan hasil penilaian; (7) Memberikan tindak lanjut hasil penilaian; dan (8)
Menyusun program tindak lanjut penilaian.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data antara lain:
2. Teknik Komunikasi Tidak Langsung
Alat yang digunakan dalam teknik komunikasi tidak langsung yaitu :
a. Angket
Angket yaitu suatu daftar pertanyaan tertulis yang dipergunakan untuk memperoleh informasi
dari responden. Angket dalam penelitian ini terdiri dari 10 item pertanyaan, dengan 2 item
pertanyaan pada aspek materi pelajaran, 2 item pertanyaan pada aspek perencanaan pembelajaran, 4
item pertanyaan pada aspek pelaksanaan pembelajaran, dan 2 item pertanyaan pada aspek evaluasi
pembelajaran
3. Teknik Komunikasi Langsung
Alat yang digunakan pada teknik komunikasi langsung yaitu:
a. Wawancara
Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu daftar wawancara yang terdiri dari 10
pertanyaan yang dilakukan secara tatap muka dengan responden, untuk mengetahui kesulitan guru
dalam pembelajaran geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.
Wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk menyesuaikan jawaban angket responden dengan
kenyataan di lapangan berdasarkan wawancara terhadap guru grografi.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 23
4. Teknik Observasi
Alat yang digunakan adalah daftar observasi, yaitu dengan cara mengamati secara langsung di
lapangan mengenai kesulitan guru geografi yang terjadi sesuai dengan tujuan penelitian dibantu
dengan daftar observasi penelitian.
E. Teknik Analisi Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif
yaitu menganalisis dan menyajikan fakta-fakta secara sistematis, kemudia dibantu dengan tabel-
tabel frekuensi sehingga lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.
Pada dasarnya data yang diperoleh oleh penulis baik dari wawancara, observasi maupun
angket berupah data mentah , yang kemudian penulis peroleh beberapa teknik yaitu :
1. Kategorisasi
Agar lebih mudah dianalisis, data yang diperoleh penulis baik dari observasi, wawancara
maupun angket kemudian dikelompokan menjadi beberapa katagori. Masing-masing katagori
merupakan data yang mempunyai kesamaan maksud. Kategorisasi dilakukan berdasarkan kesulitan
yang dihadapin oleh guru bidang studi geografi berdasarkan kesulitan materi pelajaran geografi,
perencanaan pembelajaran geografi, pelaksanaan pembelajaran geografi dan evaluasi pembelajaran
geografi.
2. Perhitungan
Setelah data di kategorisasi, penulis melakukan pengelolahan data dan perhitungan dengan
menggunakan rumus statistik presentasi :
𝑃𝑃 =FN
x100%
Keterangan :
P = Presentasi jawaban
F = Frekuensi jawaban responden
N = Banyaknya responden
!00% = Bilangan tetap konstan
Setelah data dihitung dengan mengunakan rumus statistik, kemudian dilakukan analisis
dengan triangulasi. Triangulasi disini dimaksud yaitu untuk membandingkan jawaban angket
dengan jawaban wawancara dan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis. Perbandingan ini
dilakukan sebagai penguat jawaban angket sekaligus mencari sebab kesulitan yang dilamin oleh
guru dalam pembelajaran geografi. Dengan begitu analisi yang penulis lakukan bukan hanya
mencari kesulitan yang dihadapin oleh guru bidang studi geografi secara kualitas (jumlah) tetapi
juga kualitas (sebab terjadinya kesulitan).
24 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH DAN LOKASI PENELITIAN
A. SMA Negeri 1 Rantau Utara
1. Fisik
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Rantau Utara, yang terletak di Jalan Mahoni
RantauPrapat. Gedung SMA Negeri 1 Rantau Utara didirikan pada Tahun 1997. Dilihat dari tanggal
berdirinya sekolah ini sudah cukup lama dan sekolah ini juga sudah memagari lingkungan sekolah
dengan 1 gerbang pintu keluar yang berhadapan langsung dengan jalan. SMA Negeri 1 Rantau
Utara ini terletak di daerah Kodam dan di belakang stasiun kereta api.
Secara administrartif letak wilayah SMA Negeri 1 Rantau Utara adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bila Barat
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Rantau Selatan
Gambar 2. SMA Negeri 1 Rantau Utara
b. Fasilitas Belajar
Fasilitas merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar
siswa. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar di sekolah juga ditentukan oleh kelengkapan
fasilitas belajar. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 1Rantau Utara(lihat tabel 1).
Tabel 1. Fasilitas Belajar SMA Negeri 1 Rantau Utara
No Ruang J u m l a h Keadaan
1 Ruang Kepala Sekolah 1 Baik
2 Ruang Belajar 23 Baik
3 Ruang Guru 1 Baik
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 25
4 Ruang BP / BK 1 Baik
5 Ruang Tata Usaha 1 Baik
6 Perpustakaan 1 Baik
7 Lab. Biologi 1 Baik
8 Lab. Kimia 1 Baik
9 Lab. Fisika 1 Baik
10 Lab. Bahasa 1 Baik
11 Lab. Komputer 1 Baik
12 Ruang PSB 1 Baik
13 Komputer Siswa 26 Baik
14 Laptop 10 Baik
15 Komputer Pegawai & Printer 3 Baik
16 Musholla 1 Baik
17 Kantin 2 Baik
18 Rumah Penjaga Sekolah 1 Baik
19 Kamar Mandi Guru 2 Baik
20 Kamar Mandi Kepala Sekolah 1 Baik
21 Kamar Mandi SiswaLaki-laki 4 Baik
22 Kamar Mandi SiswaPerempuan 4 Baik
24 Parkir Siswa 2 Baik
26 Koperasi guru 1 Baik
27 OHP 1 Baik
28 In Focus 3 Baik
30 Tape 1 Baik
31 Amplifier 1 Baik
Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Selatan, 2014
Tabel tersebut memperlihatkan fasilitas SMA Negeri 1Rantau Utara tergolong baik karena
belum mengalami kerusakan dan masih dapat digunakan dengan baik
26 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Gambar 3. Lapangan Bola SMA Negeri 1 Rantau Utara
c. Fasilitas Belajar Geografi
Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri
1Rantau Utara dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 1 Rantau Utara
No Fasilitas Jumlah (Unit) Keadaan
1 Globe 1 Baik
2 Peta Indonesia 2 Baik
3 Peta Dunia 1 Baik
4 Peta Asia Tenggara 1 Baik
5 Atlas 4 Baik
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1Rantau Utara, 2014
2. Non Fisik
1. Keadaan Guru
Agar pendidikan nasional dapat terealisasi dengan baik, diperlukakan tenaga pendidik yang
memiliki profesionalisme guru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan spesialisasi pendidikan
yang diperolehnya. Sementara itu profesioanal guru dalam menjalankan tugasnya banyak
ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya. Kualitas pendidikan dalam hal ini banyak
dilihat dari latar belakang pendidikan guru. Berikut ini akan disajikan tabel keadaan tenaga edukatif
berdasarkan penggolongan pendidikan formal.
Tabel 3. Jumlah Guru di SMA Negeri 1 Rantau Utara
Ijazah Tertinggi Jumlah
GT GTT
S 2
S 1
D III
4
40
6
-
6
1
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 27
Jumlah 50 7
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Utara, 2014
2. Keadaan Siswa
Jumlah siswa di SMA Negeri 1 Rantau Utara dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Jumlah Siswa SMA Negeri 1Rantau Utara
No Kelas Jumlah Presentase
1 X 427 35,29
2 XI 401 33,05
3 XII 385 31,74
Jumlah 1.213 100
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Utara, 2014
B. SMA Negeri 1 Rantau Selatan
1. Fisik
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Rantau Selatan, yang terletak di Jalan Ki Hajar
Dewantara RantauPrapat Kabupaten Labuhan Batu. Gedung SMA Negeri 1 Rantau Selatan
didirikan pada tahun 1959. Luas bangunannya 453 m2, halaman 7200 m2. Lingkungan sekolah ini
memiliki 1 gerbang pintu keluar yang dijaga oleh 2 orang satpam, dan pintu keluar sekolah ini
langsung dengan jalan raya.
Secara administratif letak wilayah SMA Negeri 1 Rantau Selatan adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rantau Utara
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu
b. Fasilitas Belajar
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar - mengajar adalah kelengkapan
fasilitas yang ada disekolah. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 1 Rantau Selatan (lihat tabel
5). Dari tabel tersebut terlihat bahwa fasilitas yang ada di SMA Negeri 1 Rantau Selatan dalam
kondisi yang masih dapat digunakan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, namun juga
terlihat dari segi jumlah masih belum memuaskan seperti perlengkapan untuk olah raga,
laboratorium fisik, laboratorium komputer, laboratorium biologi dan laboratorium IPS.
Tabel 5. Fasilitas Belajar SMA Negeri 1 Rantau Selatan
No Fasilitas Jumlah Keadaan
28 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Ruang Belajar
Ruang Kepala Sekolah
Ruang Dewan Guru
Ruang Tata Usaha
Ruang UKS
Ruang Kesenian
Musolah
Perpustakaan
Laboratorium Komputer
Laboratorium Biologi
Laboratorium Fisika
Laboratorium Kimia
Laboratorium Bahasa
Toilet Guru dan Siswa
Kantin
Lapangan Olah Raga
28
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
1
1
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Selatan , 2014
Tabel tersebut memperlihatkan fasilitas SMA Negeri 1Rantau Selatan tergolong baik karena
belum mengalami kerusakan dan masih dapat digunakan dengan baik.
c. Fasilitas Belajar Geografi
Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri 1
Rantau Selatan (lihat tabel 6).
Tabel 6. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 1 Rantau Selatan
No Fasilitas Jumlah Keadaan
1
2
3
Peta Indonesia
Peta Dunia
Globe
3
1
1
Baik
Baik
Baik
Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Selatan, 2014
Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa fasilitas belajar geografi terlihat jumlahnya masih belum
cukup dan masih banyak yang perlu ditambah oleh pihak sekolah seperti model muka bumi, atlas,
pantograf dan peta tematik. Fasilitas seperti peta masih sering menjadi pajangan dan jarang
digunakan untuk pembelajaran kondisi ini juga harus menjadi perhatian oleh guru bidang studi
geografi.
2. Non Fisik
1. Keadaan Guru
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 29
Pendidikan pada prakteknya akan terwujud dalam bentuk lembaga pendidikan seperti
lembaga formal yang diharapkan mampu menghasilkan siswa yang berprestasi sebagai sumberdaya
manusia yang berkualitas. Prestasi siswa tersebut diperoleh dari proses hasil belajar.
Agar pendidikan nasional dapat terealisasi dengan baik, diperlukakan tenaga pendidik yang
memiliki profesionalisme guru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan spesialisasi pendidikan
yang diperolehnya. Sementara itu profesioanal guru dalam menjalankan tugasnya banyak
ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya. Kualitas pendidikan dalam hal ini banyak
dilihat dari latar belakang pendidikan guru. Berikut ini akan disajikan tabel keadaan tenaga edukatif
berdasarkan penggolongan pendidikan formal.
Tabel 7. Jumlah Guru SMA Negeri 1 Rantau Selatan Berdasarkan Ijazah
No Pendidikan Terakhir Frekuensi (Orang) Persentase (%)
1 S – 1 57 90,47
2 D – 3 6 9,53
Jumlah 63 100
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 1 Rantau Selatan, 2014
2. Jumlah Siswa
Jumlah siswa di SMA Negeri 2 Rantau Selatan dapat dilihat pada tabel 8.
C. SMA Negeri 2 Rantau Utara
1. Fisik
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Rantau Utara, yang terletak di Jalan Menara No 4
RantauPrapat Kabupaten Labuhan Batu. Gedung SMA Negeri 2 Rantau Utara didirikan pada tahun
1990 dan dilakukan renovasi pada tahun 2013. Luas bangunannya 2122.50 m2, Lingkungan sekolah
ini memiliki 1 gerbang pintu keluar yang dijaga oleh 1 orang satpam.
Secara administratif letak wilayah SMA Negeri 2 Rantau Utara adalah sebagai berikut:
e. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bila Barat
f. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
g. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran
h. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Rantau Selatan
Tabel 8. Jumlah Siswa SMA Negeri 2 Rantau Utara
No Kelas Jumlah
Jumlah Lk Pr
1 X -1 7 34 41
30 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
2 X- 2 16 27 43
2 X- 3 15 25 40
3 X- 4 8 36 44
4 X- 5 21 22 43
5 X- 6 18 23 41
6 X- 7 17 25 42
7 X- 8 23 21 44
8 X- 9 23 21 44
9 X- 10 25 20 45
10 X- 11 24 23 47
11 XI IPA 1 8 36 44
12 XI IPA 2 15 32 47
13 XI IPA 3 13 35 48
14 XI IPA 4 17 30 47
15 XI IPA 5 21 23 44
16 XI IPS 1 15 31 46
17 XI IPS 2 26 15 41
18 XI IPS 3 16 23 39
19 XI IPS 4 29 10 39
20 XII IPA 1 14 20 34
21 XII IPA 2 5 34 39
22 XII IPA 3 11 28 39
23 XII IPA 4 10 28 38
24 XII IPA 5 22 20 42
25 XII IPS 1 16 27 43
26 XII IPS 2 20 16 36
27 XII IPS 3 17 24 41
28 XII IPS 4 29 10 39
Jumlah 501 722 1.223
Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara, 2014
b. Fasilitas Belajar
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar - mengajar adalah kelengkapan
fasilitas yang ada disekolah. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 2 Rantau Utara dapat dilihat
pada tabel 13. Dari tabel tersebut terlihat bahwa fasilitas yang ada di SMA Negeri 2 Rantau Utara
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 31
dalam kondisi yang masih dapat digunakan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, namun
juga terlihat dari segi jumlah masih belum memuaskan seperti perlengkapan untuk olah raga,
laboratorium fisik, laboratorium komputer, laboratorium biologi dan laboratorium IPS.
Tabel 9. Fasilitas Belajar SMA Negeri 2 Rantau Utara
No Fasilitas Jumlah Keadaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Ruang Belajar
Ruang Kepala Sekolah
Ruang Dewan Guru
Ruang Tata Usaha
Ruang UKS
Ruang Kesenian
Perpustakaan
Laboratorium Komputer
Laboratorium Biologi
Laboratorium Fisika
Laboratorium Kimia
Laboratorium Bahasa
Toilet Guru dan Siswa
Kantin
Pakiran Kereta Guru dan Siswa
23
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
1
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara Tahun, 2014
Tabel tersebut memperlihatkan fasilitas SMA Negeri 2 Rantau Utara tergolong baik karena belum
mengalami kerusakan dan masih dapat digunakan dengan baik.
c. Fasilitas Belajar Geografi
Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri 2
Rantau Utara (lihat tabel 10).
Tabel 10. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 2 Rantau Utara
No Fasilitas Jumlah Keadaan
1
2
3
Peta Indonesia
Peta Dunia
Globe
3
1
1
Baik
Baik
Baik
Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara,2015
32 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa fasilitas belajar geografi terlihat jumlahnya masih belum
cukup dan masih banyak yang perlu ditambah oleh pihak sekolah seperti model muka bumi, atlas,
pantograf dan peta tematik. Fasilitas seperti peta masih sering menjadi pajangan dan jarang
digunakan untuk pembelajaran kondisi ini juga harus menjadi perhatian oleh guru bidang studi
geografi.
2. Non Fisik
1. Keadaan Guru
Agar pendidikan nasional dapat terealisasi dengan baik, diperlukakan tenaga pendidik yang
memiliki profesionalisme guru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan spesialisasi pendidikan
yang diperolehnya. Sementara itu profesioanal guru dalam menjalankan tugasnya banyak
ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya. Kualitas pendidikan dalam hal ini banyak
dilihat dari latar belakang pendidikan guru. Berikut ini akan disajikan tabel keadaan tenaga edukatif
berdasarkan penggolongan pendidikan formal.
Tabel 11. Jumlah Tenaga Edukatif SMA Negeri 2 Rantau Utara
No Pendidikan
Terakhir
Frekuensi
(orang) Persentase
1
2
S -1
D - 3
57
63
90,47
9,53
Jumlah 63 100
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara, 2014
2. Keadaan Siswa
Jumlah siswa di SMA Negeri 2Rantau Utara dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 12. Jumlah Siswa SMA Negeri 2 Rantau Utara
No Kelas Jumlah Presentase
1 X 430 33,99
2 XI 420 33,21
3 XII 415 32,81
Jumlah 1.265 100
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Utara, 2014
D. SMA Negeri 2 Rantau Selatan
1. Fisik
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Rantau Selatan, yang terletak di Jalan Kancil
Sigambal RantauPrapat. Gedung SMA Negeri 2 Rantau Selatan didirikan pada tahun 1991. Pada
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 33
Tahun 1991 s/d 1998 SMA Negeri 2 Rantau Selatan disebut dengan SMA Negeri 5 Bila Hulu, pada
Tahun 1998 s/d 2004 disebut dengan SMA Negeri 4 Rantauprapat, pada Tahun 2004 s/d 2005
disebut dengan SMA Negeri 4 Rantauprapat, dan terakhir pada Tahun 2005 s/d pada saat ini disebut
dengan SMA Negeri 2 Rantau Selatan. Luas bangunannya 264 m2, halaman 5200 m2. Lingkungan
sekolah ini memiliki 1 gerbang pintu keluar yang berhadapan langsung dengan jalan.
Secara administratif letak wilayah SMA Negeri 2 Rantau Selatan adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rantau Utara
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu
b. Fasilitas Belajar
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar - mengajar adalah kelengkapan
fasilitas yang ada disekolah. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 2 Rantau Selatan (lihat tabel
13). Dari tabel tersebut terlihat bahwa fasilitas yang ada di SMA Negeri 2 Rantau Selatan dalam
kondisi yang masih dapat digunakan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, namun juga
terlihat dari segi jumlah masih belum memuaskan seperti perlengkapan untuk olah raga,
laboratorium fisik dan biologi dan laboratorium IPS.
Tabel 13. Fasilitas Belajar SMA Negeri 2 Rantau Selatan
No Fasilitas Jumlah Keadaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Ruang Belajar
Ruang Kepala Sekolah
Ruang Dewan Guru
Ruang Tata Usaha
Ruang UKS
Perpustakaan
Laboratorium Komputer
Laboratorium IPA
Laboratorium Bahasa
Laboratorium IPS
Toilet Guru dan Siswa
Kantin
Lapangan Olah Raga
Tempat Parkir roda 2 dan 4
16
1
1
1
1
1
1
1
1
1
4
2
2
1
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Selatan, 2014
34 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa fasilitas belajar di SMA Negeri 2 Rantau Selatan
dikategorikan baik, hal itu terlihat dari keadaan setiap fasilitas yang berada di sekolah tersebut,
tetapi untuk fasilitas Laboratorium IPA masih terdapat banyak kekurangan seperti kurangnya
bahan-bahan praktek.
c. Fasilitas Belajar Geografi
Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri 2
Rantau Selatan (lihat tabel 14).
Tabel 14. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 2 Rantau Selatan
No Fasilitas Jumlah Keadaan
1
2
3
Peta Indonesia
Peta Dunia
Globe
2
1
1
Baik
Baik
Baik
Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Selatan , 2014
Fasilitas belajar geografi yang ada seperti tabel 14 terlihat jumlahnya masih belum cukup
dan masih banyak yang perlu ditambah oleh pihak sekolah seperti model muka bumi, atlas,
pantograf dan peta tematik. Fasilitas seperti peta masih sering menjadi pajangan dan jarang
digunakan untuk pembelajaran kondisi ini juga harus menjadi perhatian oleh guru bidang studi
geografi.
2. Non Fisik
1. Keadaan Guru
Guru merupakan faktor eksternal yang terdapat dilingkungan sekolah, sehingga guru
mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa, propesionalisme
guru dalam menjalankan tugasnya banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya.
Kualitas pendidikan dalam hal ini dapat dilihat dari latar belakang pendidikan guru.
Tabel 15. Jumlah Tenaga Edukatif SMA Negeri 2 Rantau Selatan
No Pendidikan
Terakhir
Frekuensi
(orang) Persentase
1 S -1 57 90,47
2 D - 3 63 9,53
Jumlah 63 100
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Selatan, 2014
2. Keadaan Siswa
Jumlah siswa di SMA Negeri 2Rantau Selatan(lihat tabel 16).
Tabel 16. Jumlah Siswa SMA Negeri 2Rantau Selatan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 35
No Kelas Jumlah Presentase
1 X 345 34,85
2 XI 330 33,33
3 XII 315 31,82
Jumlah 990 100
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 2 Rantau Selatan, 2014
E. SMA Negeri 3 Rantau Utara
1. Fisik
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 3 Rantau Utara, yang terletak di Jalan: Jl. W.R.
Supratman Rantauprapat, Gedung SMA Negeri 3 Rantau Utara didirikan pada Tahun 1996 dan
mulai dioperasikan pada Tahun 1997. Dilihat dari tanggal berdirinya sekolah ini sudah cukup lama
dan sekolah ini juga sudah memagari lingkungan sekolah dengan 1 gerbang pintu keluar yang
berhadapan langsung dengan jalan.Secara administratif letak wilayah SMA Negeri 3 Rantau Utara
adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bila Barat
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan
c. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kisaran
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Rantau Selatan
b. Fasilitas Belajar
Fasilitas merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar
siswa. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar di sekolah juga ditentukan oleh kelengkapan
fasilitas belajar. Keadaan fasilitas belajar di SMA Negeri 3Rantau Utara(lihat tabel 17).
36 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel 17. Fasilitas Belajar SMA Negeri 1 Rantau Utara
No Fasilitas Jumlah Keadaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Ruang Belajar
Ruang Kepala Sekolah
Ruang Dewan Guru
Ruang Tata Usaha
Ruang UKS
Perpustakaan
Laboratorium Komputer
Laboratorium IPA
Laboratorium Bahasa
Laboratorium IPS
Toilet Guru dan Siswa
Kantin
Lapangan Olah Raga
Tempat Parkir roda 2 dan 4
17
1
1
1
1
1
1
1
1
1
4
2
2
1
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 3 Rantau Utara, 2014
Dari tabel 17 dijelaskan bahwa fasilitas belajar yang bearda di SMA Negeri 3 Rantau Utara
dikategorikan baik, karena masing-masing fasilitas yang berada di SMA Negeri 3 Rantau Utara
tersebut layak dipakai. SMA Negeri 3 Rantau Utara ini merupakan SMA Plus yang bearda di
Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhan Batu.
c. Fasilitas Belajar Geografi
Fasilitas belajar geografi yang digunakan dalam bidang studi geografi di SMA Negeri 3
Rantau Utara (lihat tabel 18).
Tabel 18. Fasilitas Belajar Geografi SMA Negeri 3 Rantau Utara
No Fasilitas Jumlah Keadaan
1
2
3
Peta Indonesia
Peta Dunia
Globe
2
1
1
Baik
Baik
Baik
Sumber: Tata Usaha SMA Negeri 3 Rantau Utara, 2014
Fasilitas belajar geografi yang ada seperti terlihat pada tabel 14 terlihat jumlahnya masih
belum cukup dan masih banyak yang perlu ditambah oleh pihak sekolah seperti model muka bumi,
atlas, pantograf dan peta tematik. fasilitas seperti peta masih sering menjadi pajangan dan jarang
digunakan untuk pembelajaran kondisi ini juga harus menjadi perhatian oleh guru bidang studi
geografi.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 37
2. Non Fisik
1. Keadaan Guru
Guru merupakan faktor eksternal yang terdapat dilingkungan sekolah, sehingga guru
mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa, propesionalisme
guru dalam menjalankan tugasnya banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperolehnya.
Kualitas pendidikan dalam hal ini dapat dilihat dari latar belakang pendidikan guru.
Agar tujuan pendidikan dapat direalisasi maka dibutuhkan tenaga pendidik yang profesional
yakni memiliki propesionalisme yang tinggi terhadap kerjanya. kepropesionalan guru salah satunya
dapat dilihat dari kualitas pendidikan yang diperolehnya. Kualitas dalam hal ini dapat dilihat dari
latar belakang pendidikan guru. Berikut ini akan disajikan tabel keadaan tenaga edukatif
berdasarkan penggolongan pendidikan formal.
Tabel 19. Keadaan Guru SMA Negeri 3 Rantau Utara
No Tingkat
Pendidikan
Jumlah dan Status Guru
Jumlah GT / PNS GTT / Guru
Bantu
L P L P
1 S3 / S2 1 - - 1 2
2 S1 17 19 3 1 39
3 D-4 - - - - -
4 D3 - - - - 1
Jumlah 18 19 3 2 42
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 3 Rantau Utara, 2014
2. Keadaan Siswa
Jumlah siswa di SMA Negeri 3Rantau Utara dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 20. Jumlah Siswa SMA Negeri 3 Rantau Utara
No Kelas Jumlah Presentase
1 X 321 35,43
2 XI 300 33,12
3 XII 285 31,45
Jumlah 906 100
Sumber : Tata Usaha SMA Negeri 3 Rantau Utara, 2014
38 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian merupakan keseluruhan data yang diperoleh di lapangan melalui
penyebaran angket, melaksanakan observasi langsung, serta melakukan wawancara kepada guru
geografi untuk mengetahui kesulitan guru dalam pembelajaran geografi pada SMA Negeri
Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan. Data yang dikumpulkan di lapangan disajikan sebagai
berikut:
1. Identitas Responden
Identitas responden merupakan karakteristik yang dapat diketahui dari nama responden,
nama insitusi, pendidikan terakhir, asal pendidikan, lama mengajar dan keterangan sertifikasi.
Dalam penelitian ini responden yang dimaksud yaitu guru bidang studi geografi di SMA Negeri
Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan. Untuk mengetahui lebih jelas identitas guru yang
dijadikan sampel dalam penelitian (lihat tabel 21).
Pada tebel 21 dapat dianalisis bahwa responden dalam penelitian ini ada 6 guru yang berada
di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan, yang dimana 3 guru yang berasal dari Kecamatan
Rantau Utara dan 3 guru berasal dari Keamatan Rantau Selatan. Pendidikan terakhir yang ditempuh
oleh guru di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu S1 Pendidikan Geografi. Untuk
lama mengajar yang telah dijalanin oleh guru di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu
dimana untuk lama mengajar 10 tahun terdiri dari 1 orang guru yaitu Ibu Ervida Harahap, S.Pd dari
SMA Negeri 1 Rantau Utara, lama mengajar 15 tahun terdiri dari 1 orang guru yaitu Bapak
Tumording Simanulang, S.Pd dari,
SMA Negeri 2 Rantau Selatan, 16 tahun lama mengajar terdiri dari 2 orang guru yaitu Ibu Ervida
Rosdani, S.Pd dari SMA Negeri 1 Rantau Selatan dan Ibu Ruprida Pakpahan, S.Pd dari SMA
Negeri 2 Rantau Utara, untuk lama mengajar 23 tahun terdiri dari 1oarang guru yaitu Ibu Hj. Elfrida
Munthe, S.Pd dari SMA Negeri 3 Rantau Utara dan untuk lama mengajar 26 tahun terdiri dari 1
orang guru yaitu Hj.Seri Sediani, S.Pd dari SMA Negeri 1 Rantau Selatan.
Tabel 21. Identitas Guru SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan
No Nama
Responden
Nama Insitusi Pendidikan
Terakhir
Lama
Mengajar
Keterangan
Sertifikasi
1 Ervida
Harahap, S.Pd
SMA Negeri 1
Rantau Utara
S1 10 Tahun Sudah
2 Hj. Seri
Sediani, S.Pd
SMA Negeri 1
Rantau Selatan
S1 26 Tahun Sudah
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 39
3 Ervida
Rosdani, S.Pd
SMA Negeri 1
Rantau Selatan
S1 16 Tahun Sudah
4 Ruprida
Pakpahan,
S.Pd
SMA Negeri 2
Rantau Utara
S1 16 Tahun Sudah
5 Tumording
Simanulang,
S.Pd
SMA Negeri 2
Rantau Selatan
S1 15 Tahun Sudah
6 Hj. Elfirda
Munthe, S.Pd
SMA Negeri 3
Rantau Utara
S1 23 Tahun Sudah
Sumber : Data Primer Olahan, 2014
2. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas X, XI dan XII
a. Kesulitan Guru Geografi Kelas X
Berdasarkan hasil penyebaran angket diketahui bahwa kesulitan guru geografi pada kelas X
terdapat pada SK 2 (Memahami sejarah pembentukan bumi), KD 2.1 (Mendeskripsikan tata surya
dan jagad raya), materi tata surya dan jagad raya (teori tentang terjadinya jagad raya), SK 3
(Menganalisis unsur-unsur geosfer), KD 3.1 (Menganalisis dinamika dan kecenderungan perubahan
litosfer dan pedosfer serta dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), materi pedosfer (Jenis
dan ciri tanah di Indonesia), SK 3 (Menganalisis unsur-unsur geosfer), KD 3.3 (Menganalisis
hidosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), materi hidosfer (Perairan laut, zona
pesisir dan laut, klasifikasi laut, morfologi laut, gerakan air laut, kualitas air).
Pada tabel 22 dapat dilihat bahwa ada 2 SK (Standar Kompetnsi), 3 KD (Kompetensi Dasar)
yang menjadi kesulitan guru dalam menjelaskan materi pembelajaran geografi kelas X. SK
(Memahami sejarah pembentukan bumi), KD (Mendeskripsikan tata surya dan jaday raya), Materi
(Teori tentang terjadinya tata surya dan jagad raya) merupakan kesulitan guru geografi kelas X,
yang dimana kesulitan pada SK, KD, dan materi tersebut merupakan kesulitan yang paling banyak
dihadapin oleh guru geografi yaitu dimana kesulitan tersebut sebanyak 50%. Kesulitan pada SK
(Menganalisis unsur-unsur geosfer), KD (Menganalisis dinamika dan kencenderungan perubahan
litosfer dan pedosfer serta dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), Materi (Pedosfer, jenis
dan ciri tanah di Indonesia) merupakan kesulitan yang kedua yang dihadapin oleh guru geografi di
SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan, yang dimana kesulitan tersebut
sebanyak 33,33%. Dan kesulitan yang terakhir yaitu 16,67% merupakan kesulitan yang terdapat
pada KD (Menganalisis dinamika dan kencenderungan perubahan litosfer dan pedosfer serta
dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), SK (Menganalisi hidosfer dan dampaknya terhadap
40 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
kehidupan di muka bumi), Materi hidosfer (Perairan laut, zona pesisir, klasifikasi laut, morfologi
laut, gerakan air laut dan kualitas air). Untuk lebih jelas dapat dilihat tabel 22.
Analisis data yang dapat dilihat dari tabel 22 menunjukan bahwa penjelasan kesulitan guru
geografi di SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu terjadi karena minimnya media
pembelajaran yang disediakan oleh pihak sekolah. Media pembelajaran sangat diperlukan untuk
guru dalam menyampaikan materi pembelajaran yang dimana materi tersebut membutuhkan media
untuk mempermuda guru dalam menyampaikan pembelajaran kepada peserta didik. Tidak hanya
media pembelajaran yang menjadi kesulitan guru, akan tetapi minimnya bahan ajar yang digunakan
guru merupakan kesulitan yang dihadapin guru geografi di SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau
Selatan.
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh 6 Kepala SMA di Kecamatan Rantau Utara dan
Rantau Selatan diketahui bahwa kesulitan tersebut terjadi karena minimnya media pembelajaran
yang tersedia di sekolah, media pembelajaran yang tersedia di sekolah merupakan media
pembelajaran yang mendasar seperti peta dan globe. Kurangnya media pembelajaran di perkuat
dengan hasil observasi di lapangan, yang dimana observasi ini dilakukan melihat media
pembelajaran apa yang tersedia di sekolah dan media pembelajaran apa yang kurang dalam
pembelajaran geografi di SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau Selatan.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 41
Tabel 22. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas X SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan
Kelas SK KD Materi Penjelasan Kesulitan Jumlah Presentase
(%)
X
Memahami
sejarah
pembentukan
bumi.
Mendeskripsikan
tata surya dan
jagad raya
- Teori tentang
terjadinya tata surya
- Teori tentang
terjadinya jagad raya
• Kesulitan dalam media pembelajaran
geografi yang menjelaskan tentang materi
pembelajaran tata surya dan jagad raya.
• Kurangnya bahan ajar yang menunjang
materi yang terkait.
3 50
Menganalisi
unsur-unsur
geosfer
Menganalisis
dinamika dan
kecenderungan
perubahan litosfer
dan pedosfer serta
dampaknya
terhadap
kehidupan di
muka bumi
Pedosfer
- Jenis dan ciri tanah di
Indonesia
• Media pembelajaran yang kurang
mengakibatkan guru mengalami kesulitan
dalam menyampaikan materi pembelajaran
seperti materi pedosfer yaitu materi yang
menjelaskan jenis dan ciri tanah di
Indonesia, akibat media yang kurang guru
mengalami kesulitan dalam
menyampaikan materi tersebut kepada
peserta didik.
2 33,33
42 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Menganalisis
hidrosfer dan
dampaknya
terhadap
kehidupan di
muka bumi
- Perairan laut
1. Zona pesisir dan laut
2. Klasifikasi laut
3. Morfologi laut
4. Gerakan air laut
5. Kualitas air laut
6. Wilayah perairan
laut Indonesia
• Kurangnya media pembelajaran yang
berhubungan dengan penjelasan materi
perairan laut, seperti penjelasan mengenai
gerakan air laut, morfologi air laut. Tidak
adanya media gambar-gambar yang
menunjang materi tersebut.
1 16,67
Sumber : Data Primer Olahan, 2014
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 43
b. Kesulitan Guru Geografi Kelas XI
Berdasarkan hasil penyebaran angket diketahui bahwa kesulitan guru geografi pada kelas
XI terdapat pada SK (Standar kompetensi) menganalisis fenomena biosfer dan antrosfer, KD
(Kompetensi dasar) meganalisis sebaran hewan dan tumbuhan, materi persebaran hewan dan
tumbuhan di Dunia dan Indonesia, hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik
lingkungannya.
Pada tabel 23 dapat dijelaskan bahwa kesulitan guru geografi pada kelas XI terdapat pada
SK (Standar kompetensi) menganalisis fenomena biosfer dan antrosfer, KD (Kompetensi dasar)
meganalisis sebaran hewan dan tumbuhan, materi persebaran hewan dan tumbuhan di Dunia dan
Indonesia, hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik lingkungannya yaitu
sebanyak 100%. Kesulitan ini mencapai angka 100% yang dimana dikatakan bahwa kesulitan pada
kelas XI terjadi sepenuhnya pada SK Standar kompetensi) menganalisis fenomena biosfer dan
antrosfer.
Kesulitan guru geografi di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan dikatakan bahwa
kesulitan tersebut terjadi pada tidak adanya media pembelajaran yang menunjang materi tersebut.
Kurangnya bahan ajar yang menunjang materi persebaran hewan dan tumbuhan di Dunia dan
Indonesia, hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik lingkungannya
merupakan kesulitan yang di alamin oleh guru di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan.
Sulitnya menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran merupakan
kesulitan yang dialamin oleh guru tersebut.
44 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel 23. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas XI SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan
Kelas K KD Materi enjelasan Kesulitan umlah resentase
%)
I
Menganalisis
fenomena
biosfer dan
antroposfer
Menganalsis sebaran
hewan dan
tumbuhan
- Persebaran hewan dan
tumbuhan dunia
- Persebaran hewan dan
tumbuhan di Indonesia
- Hubungan sebaran hewan
dan tumbuhan dengan
kondisi fisik lingkungannya
• Kurangnya media pembelajaran seperti
peta persebaran hewan dan tumbuhan di
Indonesia
• Kurangnya bahan ajar seperti buku-buku
yang menjelaskan persebaran hewan dan
tumbuhan di Indonesia.
• Sulitnya menentukan model, strategi,
pendekatan dan metode apa yang sesuai
dengan materi pembelajaran persebaran
hewan dan tumbuhan di Indonesia.
00
Sumber : Data Primer Olahan, 2014
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 45
c. Kesulitan Guru Geografi Kelas XII
Berdasarkan hasil penyebaran angket diketahui bahwa kesulitan guru geografi pada kelas
XII terdapat pada SK (Standar kompetensi) mempraktikkan keterampilan dasar peta dan pemetaan
dan memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (SIG). Kesulitan
pada KD (Kompetensi Dasar) pada kelas XII yaitu mempraktikkan keterampilan dasar peta dan
pemetaan dan menjelaskan pemanfaatan sistem informasi geografi.
Pada tabel 24 dapat dilihat kesulitan pada SK (Standar kompetensi) mempraktikkan
keterampilan dasar peta dan pemetaan, KD (Standar kompetensi) mempraktikkan keterampilan
dasar peta dan pemetaan, pada materi membuat peta lingkungan sekitar/sekolah yaitu dimana
kesulitanya mencapai 33,33%. Kesulitan yang kedua pada kelas XII SK (Standar kompetensi)
memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (SIG), KD
(Kompetensi dasar) menjelaskan pemanfaatan sistem informasi geografi, materi pengoperasian SIG
secara konvesional, penerapan SIG dalam kajian geografi, dan manfaat SIG dalam kajian geografi
yang dimana tingkat kesulitan kedua mencapai 66,67%.
Kesulitan guru geografi di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan dikatakan bahwa kesulitan
tersebut terjadi pada tidak adanya media pembelajaran yang menunjang materi tersebut. Kurangnya
bahan ajar yang menunjang materi persebaran hewan dan tumbuhan di Dunia dan Indonesia,
hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik lingkungannya merupakan
kesulitan yang di alamin oleh guru di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan. Sulitnya
menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran merupakan kesulitan
yang dialamin oleh guru tersebut.
46 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel 24. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas XII SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan
Kelas SK KD Materi Penjelasan Kesulitan Jumlah Presentase
(%)
XII
Mempraktikkan
keterampilan
dasar peta dan
pemetaan
Mempraktikkan
keterampilan
dasar peta dan
pemetaan
Membuat peta lingkungan
sekitar/sekolah
• Tidak mempunyai peralatan yang
menunjang untuk membantu dan
mempermudah materi tersebut
seperti ; meteran, kompas, dll
• Keterbatasan waktu yang tidak
memungkinkan untuk
mempraktikan keterampiln peta
dan pemetaan
2 33,33
Memahami
pemanfaatan
citra
penginderaan
jauh dan sistem
informasi
geografi (SIG)
Menjelaskan
pemanfaatan
sistem informasi
geografi
- Pengoperasian SIG
secara konvesional
- Penerapan SIG dalam
kajian geografi
- Manfaat SIG dalam
kajian geografi
• Keterbatasan media pembelajaran
yang berhubungan dengan SIG
seperti foto udara.
• Tidak adanya praktek yang
disediakan oleh pihak sekolah
untuk belajar SIG melalui
komputer sekolah
• Keterbatasan waktu
• Pengetahuan guru yang kurang
4 66,67
Sumber : Data Primer Olahan, 2014
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 47
3. Kesulitan Guru Geografi Dalam Perencanaan Pembelajaran Geografi
Menjadi seorang guru geografi yang profesional dapat dilihat dari persiapannya dalam
perencanaan proses pembelajaran dengan baik. Dalam menyusun rancangan pembelajaran seorang
guru geografi harus dapat membuat peta tentang proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Dari
hasil penelitian yang dilakukan bahwa fakta mengatakan kesulitan guru geografi dalam
pembelajaran geografi salah satunya yaitu merancang proses pembelajaran. Kesulitan guru dalam
merancang proses pembelajaran geografi meliputi kesulitan dalam merancangan kegiatan
pembelajaran, merancang media pembelajaran, dan pemilihan sumber belajar. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat (tabel 25).
Tabel 25. Kesulitan Guru Dalam Merancang Proses Pembelajaran Geografi
No Kesulitan Penjelasan Kesulitan Jumlah Presentase
(%)
1.
Rancangan
kegiatan
pembelajaran
• Dalam merancang
kegiatan pembelajaran
sulitnya menentukan
metode, pendekatan dan
model apa yang sesuai
dengan materi
pembelajaran.
• Sulitnya merancang
kegiatan pembelajaran
berhubungan dengan
lokasi waktu yang harus
terperinci setiap materi
2 33,33
2. Rancangan media
pembelajaran
• Keterbatasan sarana dan
prasarana di sekolah yang
menyediakan media
pembelajaran sekolah
sehingga penggunaan
media pembelajaran dalam
pembelajaran geografi
sangat rendah.
• Kurangnya cukup waktu
untuk menggunakan
3 50
48 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
media pembelajaran di
sekolah, misalnya
pengunaan infokus dalam
materi-materi tertentu
seperi ; sejarah
pembentukan bumi, tata
surga dll
3. Pemilihan sumber
belajar
• Dalam menentukan
pemilihan sumber belajar
kesulitan terjadi pada
pemilihan sumber belajar
yang dimana sumber
belajar harus disesuaikan
dengan perkembangan
siswa, dan setiap masing-
masing siswa memiliki
perkembangan yang
berbeda-beda.
1 16,67
Jumlah 6 100
Sumber : Data Primer Olahan, 2014
Berdasarkan hasil perolehan data yang diperoleh lewat angket (quesionare) pada tabel 25 di
atas dapat kita perhatikan bahwa kesulitan guru geografi dalam merancang proses pembelajaran
geografi yaitu kesulitan dalam rancangan kegiatan pembelajaran, kesulitan dalam meranang media
pembelajaran, dan kesulitan dalam pemilihan sumber belajar. Menentukan rancangan media
pembelajaran geografi merupakan kesulitan yang terbanyak yang dialami oleh guru geografi di
SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Kecamatan Rantau Selatan yang mengatakan tingkat
kesulitan sebanyak 50%. Kesulitan dalam menentukan rancangan media pembelajaran pada proses
pembelajaran geografi dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang disediakan sekolah
untuk menunjang proses pembelajaran, dan kurang cukupnya waktu yang digunakan dalam
menggunakan media pembelajaran merupakan kesulitan guru dalam menggunakan media
pembelajaran. Kesulitan guru geografi yang kedua dalam merancang proses pembelajaran geografi
dapat dilihat dari tingkat kesulitan guru dalam merancang kegiatan pembelajaran sebanyak 33,33 %.
Kesulitan dalam merancang kegiatan pembelajaran geografi disebabkan oleh sulitnya menentukan
pendekatan, metode, strategi dan model dalam pembelajaran geografi yang sesuai dengan materi,
dan sulitnya merancang kegiatan pembelajaran sesuai dengan lokasi waktu yang sudah terperinci.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 49
Dan kesulitan guru geografi yang ketiga dalam merancang proses pembelajaran geografi dapat
dilihat dari tingkat kesulitan geografi dalam pemilihan sumber belajar sebanyak 16,67%. Kesulitan
dalam pemilihan sumber belajar yang sesuai disebabkan oleh daya tangkap siswa yang berbeda-
beda. Setiap siswa memiliki daya tangkap yang berbeda-beda setiap individunya, sehingga sumber
belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran geografi merupakan tingkat kesulitan guru
untuk menentukan sumber belajar bagi siswa yang memiliki daya tangkap yang lambat.
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh 6 kepala SMA di Kecamatan Rantau Utara dan
Rantau Selatan diketahui bahwa kesulitan guru geografi dalam merancang perencanaan
pembelajaran yaitu dimana dikatakan bahwa kesulitan paling banyak terdapat di kesulitan dalam
menentukan media pembelajaran yang digunakan, menentukan metode, pendekatan, strategi model
pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran dan pemilihan sumber belajar. Sulitnya
menentukan metode, pendekatan, strategi dan model pembelajaran yang sesuai dengan materi
pembelajaran dilihat dari observasi yang dimana dilihat bahwa model pembelajaran yang digunakan
tidak sesuai dengan materi pembelajaran yang berlangsung. Pemilihan model pembelajaran yang
tidak sesuai merupakan kesulitan guru dalam mencapai indikator yang ingin dicapai pada materi
pembelajaran tersebut.
4. Kesulitan Guru Geografi Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Geografi
Berdasarkan hasil jawaban guru geografi pada lembar angket diketahui bahwa kesulitan
guru geografi dalam melaksanakan proses pembelajaran geografi yaitu pada tingkat melaksanakan
strategi pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran, pengelolahan kelas, dan efesiensi
penggunaan waktu. Untuk lebih jelasnya (lihat tabel 26).
Tabel 26. Kesulitan Dalam Melaksanakan Proses Pembelajaran Geografi
No Kesulitan PenjelasanKesulitan Jumlah Presentase
(%)
1 Strategi
Pembelajaran
• Kesulitan dalam strategi
pembelajaran yaitu diamana
kesulitanya terdapat pada strategi
apa yang sesuai digunakan untuk
materi pembelajaran geografi,
yaitu metode, pendekatan dan
model yang sesuai dengan
masing-masing materi
pembelajaran geografi.
1 16,67
50 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
2
Pemanfaatan
Media
Pembelajaran
• Ketersediaan media/alat peraga
yang disediakan sekolah kurang
• Kesesuaian media pembelajaran
yang tersedia disekolah dengan
kesusian materi yang akan
diajarkan
• Kulaitas media yang buruk.
3 50
3 Pengelolahan
Kelas
• Kesulitan dalam menertibkan
siswa
• Kesulitan dalam melibatkan
siswa aktif dalam pembelajaran
geografi
1 16,67
4
Efesiensi
Penggunaan
Waktu
• Kesulitan dalam menyajikan
materi berdasakna waktu yang
tersedia.
1 16,67
Jumlah 6 100
Sumber : Data Primer Olahan, 2014
Dari analisis tabel 26 dilihat bahwa kesuliatn guru dalam pelaksanaan pembelajaran geografi
yang pertama terdapat pada pemanfaatan media pembelajaran yaitu sebanyak 50%. Kesulitan
pemanfaatan media pembelajaran tersebut merupakan kesulitan yang dihadapin oleh guru bidang
studi pelajaran geografi di SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau Selatan. Penyebab yang
menimbulkan kesulitan tersebut yaitu diantaranya ketersediaan media pembelajaran yang kurang,
ketersedian waktu yang kurang dalam pemanfaatan media pembelajaran. Kesulitan kedua, ketiga
dan ke empat memiliki presentasi yang sama yaitu 16,67 % yang dimana tingkat kesulitan tersebut
terjadi pada stategi pembelajaran, pengelolahan kelas dan efesiensi waktu yang dibutuhkan.
Kesulitan-kesulitan tersebut terjadi karena adanya kesulitan yang dihadapin guru dalam menentukan
stategi pembelajaran yang pas di setiap materi yang akan di jelaskan. Kesulitan pengelolaan kelas
terjadi karena sulitnya guru mengatur peserta didik di dalam kelas yang disebabkan oleh ruangan
kelas yang kurang nyaman, banyaknya peserta didik di dalam kelas, dll. Dan untuk kesulitan guru
dalam penggunaan waktu yaitu dimana dikatakan bahawa antara materi yang di jelaskan dengan
watu yang tersedia tidak memungkinkan sehingga menjadi kendala untuk menerangkan materi yang
harus memiliki waktu yang lebih banyak.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 51
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh 6 kepala SMA di Kecamatan Rantau Utara dan
Rantau Selatan diketahui bahwa kesulitan guru geografi dalam melaksanakan pembelajaran
geografi yaitu kesulitan dalam strategi pembelajaran, kesulitan dalam pemanfaatan media
pembelajaran, kesulitan dalam pengelolahan kelas dan kesulitan dalam efesiensi waktu. Kesulitan
dalam strategi pembelajaran dapat dilihat dalam sulitnya menentukan metode, pendekatan, model
pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan dicapai, kesulitan tersebut dapat dilihat dari
observasi yang dilakukan, yang dimana dapat dilihat bahwa model pembelajaran yang digunakan
tidak sesuai dengan materi yang diajarkan. Kesulitan dalam pemanfaatan media pembelajaran dapat
dilihat dari tidak adanya media pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran.
Kesulitan dalam pengunaan waktu merupakan kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran geografi,
hal tersebut dapat dilihat dari tidak sesuainya waktu yang dibutuhan dengan indikator materi yang
ingin dicapai.
5. Kesulitan Guru Geografi Dalam Melakukan Evaluasi Pembelajaran Geografi
Berdasarkan hasil jawaban guru geografi pada lembar angket diketahui bahwa kesulitan
yang dihadapin oleh guru dalam melakukan evaluasi yaitu memberi skor pada tes hasil belajar
berdasarkan indikator, menyusun laporan hasil penilaian yang telah dilakukan, dan memberikan
tindak lanjut dari hasil penilaian. Untuk lebih jelasnya (lihat tabel 27).
Dari tabel 27 dijelaskan bahwa tingkat kesulitan guru yang pertama dalam melakukan
evalusi pembelajaran yaitu memberikan skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator yaitu
sebanyak 50%. Kesulitan ini terjadi disebabkan oleh kesulitan guru dalam memberikan penilaian
kepada peserta didik seperti penilaian tugas fortofolio, essay dan lain-lain. Kesulitan yang kedua
yang di alamin oleh guru bidang studi geografi yaitu menyusun laporan hasil penilaian yang telah
dilakukan yaitu sebanyak 33,33 %. Dikatakan oleh guru bidang studi geografi bahwa sulitnya
menyusun laporan hasil penilaian karena nilai yang di hasilkan oleh siswa tidak diatas KKM
sehingga dalam menyusun laporan penilaian dilakukan pengumpulan-pengumpulan nilai-nilai
sebelumnya seperti nilai harian. Dan kesulitan yang terkahir yang di alamin oleh guru bidang studi
geografi yaitu kesulitan dalam memberikan tindak lanjut dari hasil penilaian yaitu sebanyak 16,67
%. Kesulitan dalam memberikan tindak lanjut dari hasil penilaian megalami kesulitan yaitu
disebabkan oleh sulitnya memberikan remedia kepada siswa yang nilainya di bawah KKM kesulitan
terjadi yaitu kurang waktu yang efesien untuk melakukan remedial.
52 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel 27. Kesulitan Guru Dalam Melakukan Evaluasi Pembelajaran Geografi
No Kesulitan Penjelasan Kesulitan Jumlah Presentase (%)
1.
Memberi skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator
• Kesulitannya terjadi di saat pemberian skor untuk membedakan soal tes protofolio, essay dll
• Pemberian skor mengalami kesulitan pada saat menilai untuk setiap masing-masing siswa/siswi yang dimana dilihat dari tingkat kejujuranya dan ketekuananya dalam menjawab soal
3 50
2.
Menyusun laporan hasil penilaian yang telah dilakukan
• Menyusun laporan hasil penilaian ini sulit dilakukan karena nilai yang di hhasilkan oleh siswa jarang diatas KKM sehingga dalam menyusun laporan penilaian dilakukan pengumpulan-pengumpulan nilai-nilai sebelumnya seperti nilai harian
2 33,33
3. Memberikan tindak lanjut dari hasil penilaian
• Kesulitan dalam memberikan tindak lanjut hasil penilaian atau remedia kepada siswa yang nilainya di bawah KKM kesulitan terjadi yaitu kurang waktu yang efesien untuk melakukan remedial
1 16,67
Jumlah 6 100
Sumber : Data Primer Olahan, 2014
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 53
B. Pembahasan
Analisis kesulitan guru geografi di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan dalam
proses pembelajaran diperoleh angket yang terdiri dari 10 item pertanyaan, dengan 2 item
pertanyaan pada aspek materi pelajaran, 2 item pertanyaan pada aspek perencanaan pembelajaran, 4
item pertanyaan pada aspek pelaksanaan pembelajaran, dan 2 item pertanyaan pada aspek evaluasi
pembelajaran.
Penafsiran data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data hasil temuan yang merupakan
proposisi, kemudian dihubungkan dengan kajian pustaka maupun hasil penelitian lain yang relevan
dengan rumusan proposisi tersebut. Pembahasan yang dimaksud adalah :
1. Kesulitan Guru Dalam Materi Pembelajaran Geografi Kelas X, XI dan XII
Dalam penelitian kesulitan dalam materi pelajaran geografi dilakukan oleh 3 kelas yaitu
kelas X, XI dan XII. Diketahui bahwa masing-masing tingkat mengalami kesulitan yang berbeda-
beda disetiap jenjangnyakelas X terdapat pada SK 2 (Memahami sejarah pembentukan bumi), KD
2.1 (Mendeskripsikan tata surya dan jagad raya), materi tata surya dan jagad raya (teori tentang
terjadinya jagad raya), SK 3 (Menganalisis unsur-unsur geosfer), KD 3.1 (Menganalisis dinamika
dan kecenderungan perubahan litosfer dan pedosfer serta dampaknya terhadap kehidupan di muka
bumi), materi pedosfer (Jenis dan ciri tanah di Indonesia), SK 3 (Menganalisis unsur-unsur geosfer),
KD 3.3 (Menganalisis hidosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi), materi hidosfer
(Perairan laut, zona pesisir dan laut, klasifikasi laut, morfologi laut, gerakan air laut, kualitas air).
Kelas XI terdapat pada SK (Standar kompetensi) menganalisis fenomena biosfer dan antrosfer, KD
(Kompetensi dasar) meganalisis sebaran hewan dan tumbuhan, materi persebaran hewan dan
tumbuhan di Dunia dan Indonesia, hubungan persebaran hewan dan tumbuhan dengan kondisi fisik
lingkungannya. Dan Kelas XII yaitu terdapat pada SK 1 (Standar kompetensi) mempratekan
keterampilan dasar peta dan pemetaan, KD 1.2 (Kompetensi dasar) mempraktekkan keterampilan
dasar peta dan pemetaan, materi membuat peta lingkungan sekitar/sekolah. Kesulitan kedua
terdapat pada SK 2 (Standar kompetensi) memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh dan
system informasi geografi (SIG), KD 2.2 (Kompetensi dasar) menjelaskan pemanfaatan system
informasi geografi, materi pengoperasian SIG secara konvesional, penerapan SIG dalam kajian
geografi, dan manfaat SIG dalam kajian geografi.
Hasil penelitian pada aspek kesulitan guru dalam materi pelajaran relevan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Pratiwi (2012) dikatakan bahwa dalam kesulitan guru pada saat pembelajaran
IPS terpadu di antara lain yaitu dimana guru mengalami kesulitan pada saat menyampaikan materi
yang bukan merupakan bidang ilmunya. Selain Pratiwi (2012) penelitian yang relevan lainya yaitu
54 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
penelitian Kuntari (2009) dikatakan bahwa guru mengalami kesulitan dalam penerapan kurikulum
seperti materi pembelajaran yang tidak sesuai dengan waktu yang dibutuhkan.
2. Kesulitan Guru Geografi Dalam Perencanaan Pembelajaran Geografi
Kesulitan yang dialamin guru geografi di Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan yaitu
rancangan kegiatan pembelajaran, rancangan media pembelajaran dan pemilihan sumber belajar.
Hal ini sesuai dengan teori Djamarah (1996) yang mengatakan bahwa kesulitan yang biasa
dihadapin oleh guru yaitu: (1) Kompetensi apa yang mau dicapai; (2) Materi apa yang diperlukan;
(3) Metode, alat mana yang harus dipakai; (4) Prosedur apa yang akan ditempuh untuk melakukan
penilaian.
Pemilihan sumber belajar, menjadi kesulitan ketiga yang dihadapi oleh guru SMA Negeri
Kecamatan Rantau Utara dan Rantau Selatan, kesulitan ini berbeda dengan teori Djamarah (1996).
Di dalam teori Djamarah (1996) tidak disebutkan kesulitan pemilihan belajar merupakan kesulitan
guru dalam proses pembelajaran.
Pada hakekatnya jika suatu kegiatan pembelajaran yang direncanakan terlebih dahulu,
keberhasilan atau kelancaran menuju tujuan yang akan dicapai akan lebih terarah. Hal ini yang
membuat para guru harus memiliki kemampuan untuk membuat sesuatu rencana pembelajaran.
Menurut Suwarjo(2006), guru harus mampu menyusun rencana pembelajaran yang tidak saja baik,
tetapi juga mampu memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mencari, membangun serta
mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupanya.
Hasil penelitian pada aspek perencanaan proses pembelajaran ini relevan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Pratiwi (2012) yang mengatakan bahwa kesulitan guru pada saat pembelajaran
IPS terpadu di antara lain; (1) Guru mengalami kesulitan pada saat menyampaikan materi yang
bukan merupakan bidang ilmunya, (2) Guru mengalami kesulitan pada saat menyusun perencanaan
pembelajaran karena banyaknya indikator yang akan ditempuh oleh siswa dan tidak semua materi
dapat dipadukan. Sehingga apabila ingin memadukan ilmu-ilmu sosial tersebut harus dipilah-pilah
terlebih dahulu dan disesuaikan dengan tema yang sudah ditentukan, (3) Kesulitan dialami karena
kurangnya pedoman untuk mengintegrasikan materi-materi yang tercakup dalam SK dan KD IPS
terpadu yang disusun secara tematik, (4) Sulitnya membagi waktu antara menyampaikan materi
yang tercakup dalam IPS dan melaksanakan pembelajaran IPS terpadu, (5) Kesulitan dialami guru
karena kurikulum IPS terpadu yang dianggap masih terpisah-pisah dan butuh pengkajian ulang
apabila ingin bisa dipadukan dengan baik, (6) Faktor-faktor eksternal, misalnyasiswa yang malas
dan lain-lain.
Hasil temuan ini diperkuat dari hasil wawancara penulis dengan 6 Kepala Sekolah yang
menanyakan minimnya sarana yang tersedia di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 55
Selatan, sehingga sekolah harus berusaha mencari solusi sendiri, sedangkan mata pelajaran geografi
merupakan mata pelajaran yang banyak menggunakan media sebagai alat untuk menerangkan
materi tertentu. Namun demikian, kebanyakan guru geografi selalu menggunakan media seadanya
untuk menfasilitasi minimnya media tersebut dengan menggunakan media sendiri serta
memanfaatkan lingkungan sekitar. Pentingnya media pembelajaran yaitu :
a. Memiliki media pembelajaran yang tepat akan dapat ditekan serendah-rendahnya semua
hambatan komunikatif pada setiap proses pembelajaran.
b. Anak didik dapat menerima materi secara efektif sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya.
c. Dengan mengunakan berbagai macam media pembelajaran, tentunya secara efektif sekali,
pengalaman dan cakrawala akan dapat diperluas.
3. Kesulitan Guru Geografi Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Geografi
Kesulitan yang dialamin guru geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau
Selatan yaitu: strategi pembelajaran, mengguanakan media pembelajaran, pengelolahan kelas dan
menggunakan waktu secara efektif dan efesien. Dalam mengunakan staregi pembelajaran, masih
banyak guru yang bingung dalam menentukan strategi pembelajaran yang cocok digunakan untuk
pembelajaran geografi.
Hasil penelitian pada aspek kesulitan guru dalam pelaksanaan pembelajaran relevan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hasan (1994) yang dikatakan bahwa yang menjadi pertimbangan
utama dalam stategi pembelajaran adalah kesesuaian metode dengan tujuan pembelajaran materi
pelajaran, sumber dan fasilitas yang tersedia, kondisi belajar mengajar, kondisi peserta didik, dan
waktu yang tersedia.
Pengunaan media pembelajaran merupakan kesulitan yang dihadapin oleh setiap guru di
SMA Negeri Rantau Utara dan Rantau Selatan, minimnya sarana dan prasaran yang disediakan oleh
pihak sekolah merupakan kendala dalam pengunaan media pembelajaran. Media pembelajaran
merupakan salah satu sumber belajar, meskipun demikian penggunaan media tidak boleh
sembarangan. Pemilihan media harus disesuaikan dengan materi dan kompetensi yang harus dicapai
siswa. Sesuai teori Mulyasa (2004), fasilitas dan sumber belajar dipilih dan digunakan dalam proses
belajar apabila sesuai dan menunjang tercapainya kompetensi dasar.
Pengelolahan kelas merupakan kesulitan ketiga yang dihadapin guru dalam pembelajaran
geografi. Hasil penelitian pada aspek kesulitan guru dalam pengelolahan kelas relevan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hariyanto (2007) dikatakan bahwa dalam proses belajar mengajar
guru sebagai pengedali utama memiliki kompetensi seperti yang diharapkan seperti: (a) Mengelolah
56 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
kelas; (b) Menggunakan strategi pembelajran; (c) Mengelola interaksi kelas; (d) Bersifat terbuka
dan luwes serta membantu mengembangkan sikap positif peserta didik; (e) Mendemonstrasikan
keterampilan khusus dalam pembelajaran mata pelajaran tertentu; (f) Melaksanakan proses dan
hasil belajar; dan (g) Kesan umum pelaksanaan pembelajaran.
Hasil temuan ini diperkuat dari hasil wawancara penulis dengan 6 Kepala Sekolah yang
menanyakan minimnya sarana yang tersedia di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau
Selatan. Ketersediaan sarana dan prasarana kurang memadai, guru mengalami kesulitan untuk
melakukan pelaksanaan pembelajaran geografi. Hal ini sesuai dengan teori Sudjarwo (1989) yang
menyatakan bahwa kesulitan yang dihadapin oleh guru dalam melaksanakan tugasnya dalam proses
pembelajaran yaitu : (1) Kekurangan alat peraga, media pembelajaran; (2) Kekurangan buku
pegangan, buku sumber; (3) Motivasi yang kurang dari peserta didik, dan (4) Dukungan
administrasi yang kurang.
Hasil penelitian pada aspek pelaksanaan pembelajaran ini relevan dengan penelitian yang
dilakukan Kuntari (2009) yang mengatakan bahwa kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran
meliputi kesulitan dalam menentukan media pembelajaran, strategi pembelajaran dan penggunana
waktu yang efektif dan efesien.
4. Kesulitan Guru Geografi Dalam Melakukan Evaluasi Pembelajaran Geografi
Kesulitan yang dialamin guru geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau
Selatan yaitu : kesulitan dalam pemberian skor, pengusunan penilaian tindakan lanjut, dan
pemberian remedial.
Hasil penelitian kesulitan guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran relevan dengan teori
Sanjaya (2006) yang dikatakan bahwa evaluasi hasil belajar dalam kurikulum terbaru yang
diterapkan, dilakukan dengan cara: (1) Penilaian kelas; (2) Tes kemampuan dasar; (3) Penilaian
akhir; dan (4) Penilaian program untuk mengetahui keseuaian kurikulum dengan dasar, fungsi dan
tujuan pendidikan.
Guru yang mengajar di SMA Negeri 3 Rantau Utara merupakan guru yang tidak memiliki
kesulitan dalam ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan karena sekolah ini sudah cukup
memadai. Sementara, guru-guru yang mengajar di sekolah dimana sarana dan prasarana kurang
memadai, guru mengalami kesulitan untuk melakukan pelaksanaan pembelajaran geografi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sudjarwo (1989) yang menyatakan bahwa kesulitan yang dihadapin oleh
guru dalam melaksanakan tugasnya dalam proses pembelajaran yaitu : (1) Kekurangan alat peraga,
media pembelajaran; (2) Kekurangan buku pegangan, buku sumber; (3) Motivasi yang kurang dari
peserta didik, dan (4) Dukungan administrasi yang kurang.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 57
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan 6 Kepala Sekolah yang menanyakan kesulitan
guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan Rantau
Selatan dikatakan bahwa kesulitan tersebut terdapat pada saat melakukan penilaian yang meliputi
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Guru paling banyak mengalami kesulitan untuk
melakukan penilaian pada penialain ranah afektif dan psikomotorik, hal ini dikarenakan tidak
adanya standar skor yang jelas untuk penilaian ranah afektif, sehingga guru mengalami kesulitan
untu memberi nilai yang tepat.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa
dalam kesulitan guru dalam pembelajalajaran geografi di SMA Negeri Kecamatan Rantau Utara dan
Rantau Selatan menunjukkan adanya kesulitan pada 4 aspek berdasarkan nilai rata-rata persentase
yaitu :
1. Tingkat kesulitan guru geografi dalam menyampaikan materi pelajaran geografi pada kelas X, XI
dan XI yaitu dimana pada kelas X guru mengalami kesulitan pada materi tata surya dan jagad
raya, sebanyak 50%. Pada kelas XI tingkat kesulitan guru pada materi pembelajaran terjadi pada
materi persebaran hewan dan tumbuhan di Indonesia, sebanyak 100%. Kesulitan guru pada kelas
XII terdapat pada materi pembelajaran SIG (Sistem Informasi Geografi) yang dimana tingkat
kesulitan guru dalam materi tersebut menunjukan angka 66,67%.
2. Tingkat kesulitan guru geografi dalam menyusun perangkat pembelajaran yaitu terdiri dari
kesulitan dalam merancang pembelajaran sebanyak 33,33%, kesulitan dalam pemilihan media
pembelajaran yaitu sebanyak 16,67% dan kesulitan yang paling banyak dihadapin guru yaitu
kesulitan dalam menentukan media pembelajaran geografi sebanyak 50%.
3. Tingkat kesulitan guru dalam pelaksanaan pembelajaran geografi terdapat pada kesulitan dalam
strategi pembelajaran sebanyak 16,67%, kesulitan dalam pengelolaan kelas sebanyak 16,67%,
kesulitan dalam penggunaan waktu sebanyak 16,67% dan kesulitan paling banyak dihadapin
guru yaitu kesulitan dalam pemanfaatan media pembelajaran geografi yaitu sebanyak 50%.
4. Tingkat kesulitan guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran geografi yaitu terdapat pada
menyusun laporan penilaian yaitu sebanyak 33,33%, kesulitan dalam memberikan tindak
lanjut yaitu sebanyak 16,67% dan kesulitan yang paling banyak dihadapin oleh guru
geografi yaitu kesulitan dalam pemberian skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator
sebanyak 50%.
58 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
5.
B. Saran
Berdasarkan uraian di atas saran-saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Guru diharapkan lebih mengoptimlakan fungsi forum MGMP (Musyawarah Guru Mata
Pelajaran) untuk bertukar pikiran serta pengalaman tentang kesulitan yang dihadapin seperti
kesulitan materi pelajaran, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi
pembelajaran.
2. Kepada guru geografi agar menggunakan media dan alat peraga yang ada disekitar atau membuat
media sendiri untuk materi yang membutuhkan media.
3. Guru diharapkan menyesuaikan startegi pembelajaran, metode pembelajaran, model
pembelajaran dan pendekatan pembelajaran yang akan di lakukan sehingga materi dapat
dikembangkan sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
4. Kepada Kepala Sekolah agar selalu memberikan pengawasan serta menfasiliasi sarana
pembelajaran geografi sehingga dapat mengurangi timgkat kesulitan guru geografi dan tujuan
pembelajaran geografi dapat tercapai secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar,Sa’dun.2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung:Remaja Rosdakarya
Anonim.2011.Undang-Undang Guru dan Dosen.Bandung:Citra Umbara
Darmadi,Hamid. 2009. Kemampuan Dasar Mengajar. Bandung: Alfabeta
Djamarah,Bahri. 2010. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta
Djamarah. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta
Harjanto. 2008. Perencanaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta
Hasan, Chalijah. 1994.Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, cet I. Surabaya: Al-Ikhlas,
Karolina . 2011. Analisis Kendala Guru IPS Dalam Menggunakan IPS Terpadu Di Kelas VIII SMP
Negeri Se-Kecamatan Sunggal. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Medan. Jurusan Pendidikan
Geografi Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Medan..
Kuntari.2009.Problematika Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Yang
Dihadapin Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMA di Bondowoso.Skripsi (Tidak
Diterbitkan).Malang.Fakultas Ilmu Sosial.Universitas Negeri Malang
Mulyadi. 2008. Diagnosis Kesulitan Belajar. Yogjakarta: Nusa Litera
Mulyasa, E, 2004.Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya,
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 59
Musfah, Jejen. 2011. Peningkatan Kompetensi Guru: Melalui Pelatihan Dan Sumber Belajar Teori
dan Praktik. Jakarta: Kencana.
Nadliroh.2010. Analisis Faktor-Faktor Penghambat Guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran
Matematika Madrasah Tsanawiyah Negeri Winung Kabupaten Pati Tahun Ajaran
2010/2011”. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Palembang. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Sriwijaya.
Pratiwi. 2012. Analisis Kesulitan-Kesulitan Guru Dalam Pembelajaran IPS Terpadu (Studi Kasus
Pada SMP Negeri 8 Kota Malang). Skripsi (Tidak Diterbitkan). Malang. Fakultas Ilmu Sosial.
Universitas Negeri Malang.
Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalsme Guru. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sabri, Ahmad. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Ciputa Press
Sadulloh,Uyoh. 2010. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana
Sanjaya,Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sumaarmadja,Nursid. 1996. Metode Penelitian Geografi. Bandung: Bumi Aksara
Suryosubroto. 2010. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Tika, Pabunda. 2005. Metode Penelitian Geografi. Jakarta: Bumi Aksara
Tim UPPL Unimed. Buku Pedoman Pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan Terpadu.
Medan: Universitas Negeri Medan Press
Tirta, Umar, dkk. 2003. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Wardatus. 2012. Identifikasi Kesulitan Guru Geografi SMA Nageri Se-Kabupaten Pamaerkarsa
Dalam Menyusun RPP Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Skripsi. (Tidak
Diterbitkan). Malang. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Malang
60 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Lampiran 1 : Instrumen Angket Kesulitan Materi, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evalusi
Pembelajaran Geografi
LEMBAR INSTRUMEN PENELITIAN
“KESULITAN GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN GEOGRAFI”
I. PENGANTAR
1. Angket ini diedarkan kepada Bapak/Ibu guru dengan maksud untuk mendapatkan informasi
penelitian yang saya lakukan yang berjudul “Analisi Kesulitan Guru Geografi Dalam
Pembelajaran Geografi”.
2. Informasi yang saya peroleh dari bapak/ibu guru sangat membantu sebagai sumber data dalam
melengkapi penelitian tersebut.
3. Bapak/ibu guru tidak perlu ragu dalam mengisi angket ini, karena data yang kami dapatkan dari
bapak/ibu guru hanya untuk kepentingan penelitian tidak untuk kepentingan sekolah.
4. Partisipasi bapak/ibu guru dalam memberikan informasi sangat diharapkan.
II. IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Nama Insitusi :
Pendidikan Terakhir :
Lama Mengajar ;
Sertifikasi : A. Sudah
B. Belum
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 61
PERTANYAAN ANGKET
1. Kesulitan apa yang Bapak/Ibu alami dalam materi pelajaran geografi kelas X,XI dan XII ?
Kelas X
SK :
...........................................................................................................................................................
KD :
...........................................................................................................................................................
Materi Pelajaran :
...........................................................................................................................................................
Kelas XI
SK :
...........................................................................................................................................................
KD :
...........................................................................................................................................................
Materi Pelajaran :
...........................................................................................................................................................
Kelas XII
SK :
...........................................................................................................................................................
KD :
...........................................................................................................................................................
Materi Pelajaran :
...........................................................................................................................................................
2. Apa yang menyebabkan terjadinya kesulitan pada materi tersebut ? dan bagaimana cara
mengatasinya ? (Isi secara rinci setiap kesulitan)
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
3. Kesulitan apa yang Bapak/Ibu alami dalam merancang pelaksanaan pembelajaran geografi ?
(Lingkarin dan jawaban boleh lebih dari satu)
a. Perumusan tujuan pembelajaran secara khusus
b. Pengorganisasian bahan/materi
62 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
c. Rancangan kegiatan pembelajaran
d. Rancangan medi pembelajaran
e. Pemilihan sumber belajar
f. pemilihan sumber belajar
4. Apa yang menyebabkan terjadinya kesulitan tersebut ? dan bagaimana cara mengatasinya ? (Isi
secara rinci setiap kesulitan)
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
5. Kesulitan apa yang Bapak/Ibu alami dalam melaksanakan proses pembelajaran geografi ?
(Lingkarin dan jawaban boleh lebih dari satu)
a. Keterampilan membuka pelajaran
b. Penyajian materi
c. Staregi pembelajaran
d. Pemanfaatan media pembelajaran
e. Pengelolahan kelas
f. Penilaian pembelajaran
g. Keterampilan menutup pelajaran
h. Efesiensi penggunaan waktu
6. Apa yang menyebabkan terjadinya kesulitan tersebut ? dan bagaimana cara mengatasinya ? (Isi
secara rinci setiap kesulitan)
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
........................................
7. Metode apa yang sering Bapak/Ibu gunakan dalam proses pembelajaran geografi ? Mengapa ?
(Sebutkan alasanya)
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 63
8. Media pembelajaran apa yang sering Bapak/Ibu gunakan dalam proses pembelajaran geografi ?
Mengapa ? (Sebutkan alasanya)
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
9. Kesulitan apa yang Bapak/Ibu guru hadapin dalam melakukan evaluasi pembelajaran geografi ?
(Lingkarin dan jawaban boleh lebih dari satu)
a. Menyusun soal/prangkat penilaian sesuai dengan indikator
b. Memberi skor pada tes hasil belajar berdasarkan indikator
c. Mengelolah hasil penilaian
d. Menganalisis hasil penilaian
e. Menyimpulkan hasil penilaian secara jelas
f. Menyususn laporan hasil penilaian yang telah dilakukan
g. Memberikan tindakan lanjut dari hasil penilaian
h. Memperbaiki soal/perangkat penilaian yang salah
i. Menyusun program tindak lanjut hasil penilain
10. Apa yang menyebabkan terjadinya kesulitan tersebut ? dan bagaimana cara mengatasinya ? (Isi
secara rinci setiap kesulitan)
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
...........................................................................................................................................................
64 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Lampiran 2 : Instrumen Wawancara
LEMBAR INSTRUMEN PENELITIAN
“KESULITAN GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN GEOGRAFI”
III. PENGANTAR
1. Angket ini diedarkan kepada Bapak/Ibu guru dengan maksud untuk mendapatkan informasi
penelitian yang saya lakukan yang berjudul “Analisi Kesulitan Guru Geografi Dalam
Pembelajaran Geografi”.
2. Informasi yang saya peroleh dari bapak/ibu guru sangat membantu sebagai sumber data dalam
melengkapi penelitian tersebut.
3. Bapak/ibu guru tidak perlu ragu dalam mengisi angket ini, karena data yang kami dapatkan dari
bapak/ibu guru hanya untuk kepentingan penelitian tidak untuk kepentingan sekolah.
4. Partisipasi bapak/ibu guru dalam memberikan informasi sangat diharapkan.
IV. IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Nama Insitusi :
Pendidikan Terakhir :
Lama Mengajar ;
Sertifikasi : A. Sudah
B. Belum
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 65
PERTANYAAN WAWANCARA
1. Bagaimana program supervisor Bapak/Ibu laksanakan disekolah ?
2. Bagaimana proses pengawasan yang Bapak/Ibu lakukan untuk meningkatkan keterampilan guru
geografi dalam mengajar ?
3. Usaha apa saja yang Bapak lakukan untuk meningkatkan stabilitas dan efektifitas pembelajaran
geografi di kelas ?
4. Menurut Bapak/Ibu keterampilan-keterampilan apa saja yang seharusnya dimiliki guru geografi
untuk meningkatkan profesionalitas mereka mengajar ?
5. Bagaimana usaha-usaha yang Bapak/Ibu lakukan untuk memperbaiki cara kerja dan mutu guru
geografi ?
6. Untuk meningkatkan wawasan keilmuan guru geografi, langkah-langkah apa saja yang telah
Bapak/Ibu lakukan ?
7. Apakah saran Bapak/Ibu jika guru geografi mengalami kesulitan dalam melaksanakan
pembelajaran geografi ?
8. Usaha apakah yang Bapak/Ibu lakukan untuk ketersediaan media pembelajaran geografi ?
9. Apakah ada perbedaan antara guru geografi dengan guru lain, menginat geografi merupakan
pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa ?
10. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu tentang pembelajaran geografi ?
66 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Lampiran 3 : Instrumen Observasi
LEMBAR INSTRUMEN PENELITIAN
“KESULITAN GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN GEOGRAFI”
I. PENGANTAR
1. Angket ini diedarkan kepada Bapak/Ibu guru dengan maksud untuk mendapatkan informasi
penelitian yang saya lakukan yang berjudul “Analisi Kesulitan Guru Geografi Dalam
Pembelajaran Geografi”.
2. Informasi yang saya peroleh dari bapak/ibu guru sangat membantu sebagai sumber data dalam
melengkapi penelitian tersebut.
3. Bapak/ibu guru tidak perlu ragu dalam mengisi angket ini, karena data yang kami dapatkan dari
bapak/ibu guru hanya untuk kepentingan penelitian tidak untuk kepentingan sekolah.
4. Partisipasi bapak/ibu guru dalam memberikan informasi sangat diharapkan.
II. IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Nama Insitusi :
Pendidikan Terakhir :
Lama Mengajar ;
Sertifikasi : A. Sudah
B. Belum
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 67
LEMBAR OBSERVASI
No Aspek Yang Dinilai Ya Tidak
1. Guru mengajar membawa RPP ke kelas sebagai acuan
pembelajaran
2. Guru menguasai kelas
3. Guru menggunakan media pembelajaran
4. Sarana dan prasarana pembelajaran geografi lengkap
apa tidak
5. Guru mengunakan metode, strategi, dan model dalam
pembelajaran
68 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Lampiran 4 : Data Mentah Kesulitan Guru Geografi Dalam Materi Pelajaran, dan Perencanaan Pembelajaran Geografi
No Nama Guru Nama Instusi
Kesulitan Guru
Materi Perencanaan
X XI XII Rancangan
kegiatan
Rancangan
Media
Pemilihan Sumber
Belajar
1 Rosdani, S.Pd SMA Negeri 1 Rantau
Selatan √ √ √
2 Hj. Seri Sediani,
S.Pd
SMA Negeri 1 Rantau
Selatan √ √
3 Ervida Harahap,
S.Pd
SMA Negeri 1 Rantau
Utara √ √ √ √
4 Ruprida Pakpahan,
S.Pd
SMA Negeri 2 Rantau
Utara √ √ √ √
5 Tumarding
Simanulang, S.Pd
SMA Negeri 2 Rantau
Selatan √ √ √ √
6 Hj. Elfrida Munthe,
S.Pd
SMA Negeri 3 Rantau
Utara √ √ √ √
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 69
Lampiran 5 : Data Mentah Kesulitan Guru Geografi Dalam Pelaksanaan Pelajaran, dan Evaluasi Pembelajaran Geografi
No Nama Guru Nama Instusi
Kesulitan Guru
Merancang Evaluasi
Stategi
Pembelajaran
Media
Pembelajaran
Pengelolaan
Kelas
Efesiensi
Waktu
Pemberian
Skor
Menyusun
Laporan
hasil
Memberi
Tindakan
Lanjut
1 Rosdani, S.Pd SMA Negeri 1
Rantau Selatan √ √
2 Hj. Seri
Sediani, S.Pd
SMA Negeri 1
Rantau Selatan √ √
3 Ervida
Harahap, S.Pd
SMA Negeri 1
Rantau Utara √ √
4 Ruprida
Pakpahan, S.Pd
SMA Negeri 2
Rantau Utara √ √
5 Tumarding
Simanulang,
S.Pd
SMA Negeri 2
Rantau Selatan √ √
6 Hj. Elfrida
Munthe, S.Pd
SMA Negeri 3
Rantau Utara √ √
68 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
MODEL ENGAGED AUTHENTIC ASSESSMENT (EAA) BERBASIS SELF ANDPEER ASSESMENT(SPA) SEBAGAI INOVASI EVALUASI PEMBELAJARAN ABAD 21
Ence Surahman
Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang
ABSTRAK
Dalam paradigma pendidikan abad 21, pembelajaran ditekankan pada student learning oriented yang dikenal dengan slogan teacherless, student more. Hal tersebut menuntut pengelolaan proses pembelajaran yang dapat melibatkan partisipasi mahasiswa secara dominan dalam menemukan, mengkaji hingga mencari jawaban atas semua persoalan yang dihadapainya. Untuk merubah paradigma pembelajaran yang konvensional membutuhkan upaya serius baik dari pemerintah, stakeholder, pendidik dan mahasiswa. Semua pihak harus memahami urgensinya sehingga dapat bersama-sama memperbaiki kelemahan proses pembelajaran yang masih didominasi oleh peran pendidik. Salah satu upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran sehingga dapat mengoptimalkan partisipasi mahasiswa adalah dengan merubah model pembelajaran dan model penilaian yang diterapkan. Model authentic asesment merupakan salah satu model penilaian yang mendorong terbangunnya kesadaran akan mutu proses pembelajaran yang berorientasi kepada peningkatan capaian hasil belajar. Peningkatan mutu proses pembelajaran menjadi titik fokus dalam evaluasi pembelajaran. Evaluasi proses pembelajaran dapat dilakukan dengan melibatkan sesama mahasiswa dengan pendekatan penilaian diri sendiri (self asesment) dan penilaian sesama (peer asesment). Dalam implementasinya, model Engaded Authentic Assessment (EAA) memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menilai progres belajar dirinya dan rekan belajarnya. Dengan demikian model penilaian autentik dipandang perlu dan relevan dengan karakteristik evaluasi pembelajaran abad 21 yang berorientasi pada peningkatan kompetensi pada aspek pengetahuan, sikap dan perilaku para peserta didik. Kata Kunci: inovasi evaluasi pembelajaran, engaged authentic assessment, hasil belajar
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 69
Pendahuluan
Pembelajaran diperguruan tinggi bertujuan untuk membekali peserta didik baik pada jenjang
diploma, sarjana, magister hingga doktor untuk dapat menyiapkan dirinya terjun dalam kehidupan
bermasyarakat, berangsa dan bernegara. Di samping itu pembejaran di perguruan tinggi berupaya
untuk menyiapkan SDM yang profesional dalam bidang keilmuannya masing-masing sesuai dengan
janjangnya. Dengan demikian apabila pada pembelajaran peserta didik pada jenjang pendidikan
dasar bertujuan untuk membekali untuk dapat beradaptasi pada pendiidkan menengah dan tujuan
pendidikan menengah bertujuan untuk membekali peserta didik untuk beradaptasi dengan sistem
pembelajaran di perguruan tinggi, maka di perguruan tinggi pembelajaran difokuskan pada upaya
menyiapkan SDM unggul, berdaya saing dan mampu mengemban amanah keilmuan pada
bidangnya secara profesional.
Pembelajaran diperguruan tinggi adalah pembelajaran orang dewasa. Knowles (Abidin)
menyebut pendidikan orang dewasa dengan sebutan andragogi. Andragogi adalah the art and
science of helping adult learn (seni dan ilmu yan berkaitan dengan cara-cara membantu orang
dewasa untuk belajar (Knowles, 2004:8). Andragogi berasal dari bahasa Yunani Kuno aner, dengan
akar kata andr- yang berarti laki-laki (bukan anak-anak) atau orang dewasa, dan agogos yang
berarti membimbing atau membina.
Pola pendidikan pada orang dewasa harus dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan
karakteristik orang dewasa itu sendiri. Orang dewasa cenderung lebih suka mencari sendiri daripada
diberi. Selain itu orang dewasa memiliki kesadaran yang tinggi dibanding anak-anak. Dengan
demikian pola pembelajaran yang tepat bagi orang dewasa adalah pembelajaran berpusat kepada
peserta didik. Pendidik berperan sebagai fasilitator belajar.
Dalam rangka mensukseskan program pembelajaran di perguruan tinggi, para pemangku
kebijakan baik dari pusat yakni dibawah kementerian riset dan pendidikan tinggi, maupun pada
masing-masing institusi perguruan tinggi dan pada lingkungan departemen, program studi terus
berupaya untuk meningkatan kualitas layanan pembelajaran. Beberapa upaya dalam rangka
meningkatkan kualitas layanan pembelajaran di perguruan tinggi dilakukan melalui peningkatan
mutu pembelajaran, pengembangan keilmuan dan jenjang pendidikan para dosen dengan program
pendidikan lanjut, seminar, temu ilmiah maupu pelatihan. Di sampingitu upaya peningkatan kuliatas
layanan pembelajaran dilakukan melalui penyediaan pra sarana dan sarana yang memadai untuk
mendukung kelancaran proses pembelajaran seperti penyediaan buku, modul maupun diktat
perkuliahan. Selain itu melalui penyediaan layanan program pembelajaran online dan lain-lain
70 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Berdasarkan hasil observasi dan analisa penulis, ditemukan beberapa persoalan yang
menyangkut kendala dalam mewujudkan keberhasilan program pembelajaran di perguruan tinggi.
Beberapa kendala yang ditemui di antaranya adalah perbedaan raw inputpeserta didik pada setiap
departeman dan program studi. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya beberapa alternatif jalur
masuk perguruan tinggi, seperti jalur SNMPTN, SBMPTN dan jalur UM.
Pada dasarnya mutu proses penjaringan peserta didik pada masing-masing jalurmemiliki
standar tertentu. Namun demikian, perbedaan jumlah peminat, asal sekolah, asal daerah, perbedaan
strata sosial dan status ekonomi, tingkat kemampuan awal, kualitas etos belajar, pengalaman belajar
pada jenjang pendidikan sebelumnya, lingkungan pergaulan, karakter budaya dan adat istiadat pada
akhirnya berpengaruh terhadap perbedaan kemampuan berpikir kreatifpeserta didik di perguruan
tinggi.
Beberapa indikasi lemahnya kemampuan berpikir kreatif peserta didik terlihat dari
rendahnya tingkat percaya diri. Hal tersebut dapat terlihat dari keterlibatan dan aktivitas peserta
didik dalam berdiskusi, bertanya, menanggapi, menyanggah, berargumen, mengeluarkan pendapat,
ide dan gagasan serta dalam berinteraksi dengan sesamapeserta didik maupun dengan dosen dan
karyawan kampus. Begitu pula ketika diberikan tugas penyusunan dan penyajian makalah,
observasi, kajian buku, kajian jurnal dan lain-lain. Peserta didik yang tidak memiliki kemampuan
berpikir kreatif yang baik cenderung mengerjakan tugas seadanya. Hal tersebut menarik untuk
ditelitiagar dapat menemukanstrategi pembelajaran yang dapat meningkatkan mutu proses dan hasil
belajar peserta didik.
Strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik
memiliki kecenderungan yang melibatkan peserta didik secara dominan dalam proses pembelajaran.
Melalui kegiatan partisipasi yang dominan itulah kemampuan berpikir kreatif peserta didik
terbentuk. Hal itu dikarenakan proses aktivasi otak sebagai komponen dalam proses berpikir lebih
aktif. Semakin aktif sel-sel saraf otak digunakan untuk berpikir, memecahkan masalah,
menghasilkan proyek, akan meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat melatih
proses berpikir kreatif peserta didik.
Salah satu strategi pembelajaran yang memiliki kemampuan untuk mengaktivasi proses
berpikir tingat tinggi adalah strategi pembelajaran authentik asesment. Strategi pembelajaran
authentik asesment untuk belajar adalah salah satu strategi pembelajaran yang pada akhir-akhir ini
banyak digalakan, terutama di negara-negara yang sudah maju tarap pendidikannya. Strategi ini
menekankan kepada penggunaan pengetahuan dan pengalaman peserta didik sebagai dasar untuk
mengembangkan kemampuannya lebih lanjut dengan menekankan cara belajar mandiri.
Pembelajaran mandiri (self instruction) menekankan otonomi dan kontrol individu sendiri yang
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 71
memantau, mengarahkan, dan mengatur tindakan menuju tujuan penguasaan informasi,
memperlauas pemahaman, skill dan perbaikan diri. (Paris &Paris,2001).
Melalui strategi pembelajaran ini, peserta didik diharapkan dapat menyadari kekuatan dan
kelemahan akademik mereka, dan memiliki cara yang tepat untuk mengatasi tantangan tugas-tugas
akademik sehari-hari. Peserta didik datat menjadikan kesuksesan atau kegagalan mereka untuk
dijadikan sebagai faktor pendorong.
Strategi asesmen autentik untuk pembelajaran pada hakikatnya menggunakan tiga konsep
assesmen yang diimplementasikan dalam proses belajar mengajar secara terintegrasi. Ketiga konsep
tersebut yaitu; assesment of learning, assesment for learning dan assesment as learning. Salah satu
teknik yang digunakan dalam strategi assesmen untuk pembelajaran adalah self- assesment dan
peer assesment. Kedua teknik inilah yang menarik perhatian peneliti untuk mengkajinya secara
mendalam. Melalui studi ini, peneliti ingin mempelajari bagaimana mengimplementasikan strategi
pembelajaran assesmen autentik untuk dan bagaimana pengaruhnya terhadap peningkatan mutu
proses dan hasil belajar peserta didik.
Melalui strategi pembelajaran authentic asesment, keberhasilan kegiatan pembelajaran dapat
diukur sejak awal. Strategi pembelajaran authentik asesment memiliki minimal dua fungsi utama
yakni fungsi evaluasi diagnostik dan evaluasi formatif. Evaluasi diagnostik dalam rangka
menganalisis beberapa kelehaman, kekurangan dan kesulitan belajar peserta didik pada dimensi
proses belajar. Sedangkan fungsi evaluasi formatif bertujuan untuk mengukur hasil belajar peserta
didik.
Pembahasan
Kegiatan belajar dan pembelajaran merupakan proses utama dalam proses pendidikan secara mikro.
Azhar (2011:1) mendefinisikan belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri
setiap orang sepanjang hidupnya. Pendapat tersebut senada dengan pendapatnya Sadiman et al.
(2011:2) mendefinisikan belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang
dan berlangsung seumur hidup sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat. Driscoll dalam Sharon et
al. (2011:11) mendefinisikan belajar (learning) sebagai perubahan terus menerus dalam
kemampuan yang berasal dari pengalaman pembelajar dan interaksi pembelajar dengan dunia.
Proses belajar mengajar atau pembelajaran, pada dasarnya merupakan suatu sistem. Sebagai
suatu sistem, pembelajaran dibangun oleh beberapa komponen yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi (interdevedensi) antara satu komponen dengan komponen lainnya. Komponen
pembelajaran terdiri dari lima komponen utama yaitu; (a) kompetensi dan tujuan pembelajaran, (b)
72 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
materi dan bahan pembelajaran, (c) media pembelajaran (d) strategi dan metode pembelajaran, dan
(e) penilaian pembelajaran.
Kelima komponen pembelajaran di atas apabila dirumuskan dalam kalimat pertanyaan sebagai
berikut:
a. apa yang ingin dicapai dari suatu pembelajaran? (berkaitan dengan tujuan pembelajaran)
b. apa yang perlu diberikan untuk mencapai tujuan tersebut? (berkaitan dengan materi dan bahan
pembelajaran)
c. melalui apa materi atau bahan pelajaran itu disampaikan? (berkaitan dengan media
pembelajaran
d. pengalaman apa yang mesti diberikan kepada siswa agar dapat mencapai tujuan tersebut?
(berkaitan dengan strategi dan metode pembelajaran)
e. bagaimana kita mengetahui bahwa kompetensi dan tujuan tersebut sudah atau belum tercapai?
(berkaitan dengan komponen penilaian)
Kelima pertanyaan di atas memberikan gambaran bahwa diantara komponen pembelajaran
tersebut saling berkaitan satu sama lain, serta menunjukan bahwa kompetensi dan tujuan
pembelajaran merupakan komponen yang paling utama dan menentukan komponen-komponen
lainnya.
Pemahaman pembelajaran sebagai sebuah sistem dapat menginspirasi pemerataan perhatian
pada semua komponen pembelajaran. Dengan demikian guru sebagai juru kunci dalam proses
pembelajaran tidak hanya fokus pada penampilan di depan peserta didik melainkan juga
melaksanakan pekerjaan lain sebelum dan sesudah proses pembelajaran dilaksanakan.
Schunk (2012:5) mendefinisikan pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama
dalam perilaku, atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari praktik
atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Dengan demikian sebuah proses belajar dapat
dikategorikan sebagai kegiatan pembelajaran ketika memenuhi tiga kriteria utama yakni
menghasilkan perubahan, perubahan yang terjadi relatif bertahan lama dan proses perubahan
tersebut terjadi melalui pengalaman.
Sharon et al. (2011:11) menjelaskan belajar merupakan pengembangan pengetahuan dan
keterampilan atau sikap yang baru ketika seseorang berinteraksi dengan informasi dan lingkungan.
Lingkungan belajar diarahkan oleh pendidik dan mencakup fasilitas fisik, suasana akademik, serta
teknologi pengajaran. Berdasarkan beberapa definisi para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah proses seseorang berinteraksi dengan sebuah lingkungan tertentu baik yang secara
sengaja dirancang maupun tidak, dimana setelah proses interaksi tersebut, seseorang akan
mengalami perubahan tingkah laku yang terjadi secara permanen. Tingkah laku yang dimaksud baik
dalam ranah kognitif, afektif maupun sampai pada ranah psikomotorik.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 73
Dalam proses pendidikan yang dimaksud belajar adalah proses seorang peserta didik
berinteraksi yang terjadi secara aktif dengan lingkungannya baik lingkungan hidup seperti dosen,
teman belajar, adik dan kakak tingkat, orang tua, masyarakat dan lingkungan tak hidup seperti buku,
media pembelajaran, alam dan lain sebagainya. dimana setelah proses belajar maka peserta didik
akan mengalami peribahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak faham menjadi faham, dari tidak
mengerti menjadi mengerti.
Utomo (2013:27) menjelaskan pembelajaran merupakan proses aktif peserta didik yang
mengembangkan potensi dirinya. Peserta didiksebagai peserta didik dilibatkan ke dalam
pengalaman yang difasilitasi oleh pendidik sehingga peserta didik mengalir dalam pengalaman yang
melibatkan pikiran, emosi, terjalin dalam kegiatan yang menyenangkan dan menantang serta
mendorong prakarsa peserta didik. dalam proses pembelajaran terjadi proses saling keterkaitan
teruma antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar.
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi onlinemengartikan pembelajaran berarti proses, cara,
perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Dalam pasal 1 Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 pembelajaran dimaknai sebagai proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Penilaian autentik(authentic assesment) adalah sebuah salah satu jenis penilaian pembelajaran
yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai, baik pada dimensi penilaian proses, maupun
hasil pembelajaran dengan menggunakan berbagai instrumen yang disesuaikan dengan tuntutan
kompetensi yang hendak diukur. Semua jenis penilaian pada dasarnya harus memenuhi prinsip
objektivitas. Namun pada penilaian autentik, objektivitas aspek-aspek yang dinilai disertai dengan
dokumen, lembar kerja, penilaian kinerja dan produk yang menggambarkan pencapaian hasil
belajar apa adanya.
Penilaian autentik lahir sebagai upaya perbaikan dari pola penilaian sebelumnya yang dominan
menitikberatkan penilaian pada penilaian melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan
berdasarkan hasil saja). Sedangkan dalam penilaian autentik berupaya mengukur kompetensi sikap,
keterampilan dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil. Dalam penilaian autentik peserta didik
diminta untuk menerapkan konsep dan teori pada dunia nyata.
Intinya penilaian autentik mencoba menggali jawaban dari pertanyaan apakah peserta didik
belajar? bukan berfokus pada jawaban dari pertanyaan apa yang sudah peserta didik pelajari?.
Dengan demikian penilaian kompetensi peserta didik dilakukan dengan berbagai cara dan
pendekatan, bukan hanya menggunakan penilaian hasil pembelajaran.
74 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh dosen dalam menerapkan penilaian autentik
diantaranya; 1) autentik dari instrumen yang digunakan, artinya dosen harus menggunakan
instrumen yang beragam tidak hanya satu instrumen. Dan semuainstrumen harus divalidasi 2)
autentik dari aspek yang diukur, artinya dosen harus berusaha sedemikian rupa agar aspek yang
dinilai secara keseluruhan meliputi aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan dan 3) autentik dari
aspek kondisi peserta didik artinya dalam tahapan evaluasi autentik dosen harus menilai kondisi
awal (input), kemudian proses berupa aktivitas belajar peserta didik dan output (berupa hasil capain
kompetensi peserta didik (Kunandar, 2014;42).
Kusnandar menjabarkan beberapa ciri- ciri penilaian autentik diantaranya adalah;
a. Harus mengukur semua aspek pembelajaran yakni kinerja dan hasil atau produk. Artinya dalam
melakukan penilaian terhadap peserta didik harus mengukur aspek kinerja (performance) dan
produk/hasil yang dikerjakan oleh peserta didik. Dalam melakukan penilaian kinerja dan produk
dipastikan bahwa kinerja dan produk tersebar secara nyata dan objektif.
b. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. Artinya, dalam melakukan
penilaian terhadap peserta didik, dosen dituntut untuk melakukan penilaian terhadap kemapuan
atas kompetensi proses (kemampuan atau kompetensi peserta didik dalam ekgiatan
pembelajaran) dan kemapuan atau kompetensi peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran.
c. Menggunakan berbagai cara atau sumber. Artinya dalam melakukan penilaiatan terhadap
peserta didik ahrus menggunkan berbagai teknik penilaian (disesuaikan dengan tuntutan
kompetensi) dan menggunakan berbagai sumber atau data yang bisa digunakan sebagai
informasi yang menggambarkan penguasaan kompetensi peserta didik)
d. Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian. Artinya, dalam melakukan penilaian peserta
didik terhadap pencapaian kompetensi tertentu harus secara komprehensif dan tidak hanya
mengandalkan hasil tes semata. Informasi-informasi lain yang mendukung pencapaian
kompetensi peserta didik dapat dijadikan bahan dalam melakukan penilaian.
e. Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus mencerminkan bagian-bagian kedidupan
peserta didik yang nyata setiap hari. Mereka harus menceritakan pengalaman atau kegiatan yang
mereka lakukan setiap hari.
f. Penilaian harus menekankan kedalama pengetahuan dan keahlian peserta didik, bukan
keluasannya (kuantitas). Artinya, dalam melakukan penilaian peserta didik terhadap pencapaian
kompetensi harus mengukur kedalaman terhadap penguasaan kompetensi tertentu secara
objektif.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 75
Adapun karakteristik penilaian autentik menurut Kusnandar (2014;39) diantaranya;
a. Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif. Artinya, penilaian autentik dapat dilakukan
untuk mengukur pencapaian kompetensi terhadap satu atau beberapa kompetensi dasar
(formatif) maupun pencapaian kompetensi terhadap strandar kompetensi atau kompetensi inti
dalam satu semester (sumatif).
b. Mengukur keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta. Artinya, penilaian autentik itu
ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi yang menekankan aspek keterampilan (skill)
dan kinerja (performance), bukan hanya mengukur kompetensi yang sifatnya mengingat fakta
(hafalan dan ingatan)
c. Berkesinambungan dan terintegrasi. Artinya, dalam melakukan penilaian autentik harus secara
berkesinambungan (terus menerus) dan merupakan satu kesatuan secara utuh sebagai alat untuk
mengumpulkan informasi terhadap pencapaian kompetensi peserta didik.
d. Dapat digunakan sebagai feed back. Aritnya, penilaian autentik yang dilakukan oleh dosen dapat
digunakan sebagai umpan balik terhadap pencapaian kompetensi peserta didik secara
komprehensif.
Adapun yang dimaksud dengan engaged dalam penilaian autentik adalah keterikatan yang kuat
antara proses penilaian pembelajaran dengan semua komponen pembelajaran lainnya terutama
proses pelibatan peserta didik dalam proses penilaian.
Pemikiran tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa peserta didik yang sudah menginjak
masa perkembangan remaja akhir, dewasa awal dan dewasa telah memiliki pertimbangan yang
cukup matang dalam memberikan umpan balik dan penilaian terhadap proses belajar yang
dilakukan oleh dirinya, teman belajarnya bahkan gurunya.
Dengan demikian pola penilaian yang dikembangkan tidak kaku secara sentralistik pada
pendidik melainkan dalam prosesnya melibatkan peserta didik. Masukan pertimbangan dari peserta
didik merupakan salah satu aspek dalam pemberian penilaian akhir. Namun hasil dari penilaian diri
(self assesment) dan penilaian teman sebaya (peer assesment) dapat digunakan sebagai catatan
umpan balik bagi para peserta didik dalam belajar.
Beberapa bentuk proses penilaian autentikterikat sebagaimana modifikasi yang dijabarkan oleh
Kunandar (2014;40) diantaranya adalah;
a. Proyek atau penugasan dan laporannya. Proyek atau penugasan adalah tugas yang diberikan oleh
dosen kepada peserta didik dalam waktu tertentu sebagai implementasi dan pendalaman dari
pengetahuan yang diperoleh dalam pembelajaran.
76 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
b. Hasil tes tulis. Penilaian autentik dapat dilakukan dengan menggunakan hasil tes tulis sebagai
salah satu cara atau alat untuk mengukur pencapaian peserta didik terhadap kompetensi tertentu.
Penilaian tertulis biasanya dilakukan untuk mengukur kompetensi yang sifatnya kognitif atau
pengetahuan.
c. Portofolio (kumpulan karya peserta didik) selama satu semester atau satu tahun. Portofolio yang
dibuat dan disusun peserta didik berupa produk atau hasil kerja merupakan salah satu penilaian
autentik.
d. Pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah atau tugas mandiri diluar kelas yang dikerjakan peserta didik
sebagai pendalaman penguasaan kompetensi yang diperoleh dalam pembelajaran merupakan
salah satu penilaian autentik. Hasil pekerjaan rumah harus diberi respon dan catatan oleh dosen,
sehingga peserta didik mengetahui kekurangan dan kelemahan dari pekerjaan rumah yang
dikerjakan.
e. Kuis. Kuis adalah kegiatan yang dilakukan oleh dosen dengan memberika pertanyaan-
pertanyaan terhadap peserta didikdalam rangka mengukur penguasaan materi oleh peserta didik.
f. Karya peserta didik. Seluruh karya peserta didik baik secara individu maupun kelompok, seperti
laporan diskusi kelompok, eksperimen, pengamatan, proyek dan lain sebagainya dapat dijadikan
dasar penilaian autentik.
g. Presentasi atau penampilan peserta didik. Presentasi atau penampilan peserta didik di kelas
ketika melaporkan proyek atau tugas yang diberikan oleh dosen dapat menjadi bahan dalam
melakukan penilaian autentik.
h. Demonstrasi. Penampilan peserta didik dalam mendemonstrasikan atau mensimulasikan suatu
alat atau aktivitas tertentu yang berkaitan dengan materi pembelajaran dapat dijadikan bahan
penilaian autentik.
i. Laporan. Laporan suatu kegiatan atau aktivitas peserta didik yang berkaitan dengan
pembelajaran, seperti laporan proyek atau tugas menghitung pertumbuhan dan kepadatan
penduduk di suatu tempat tinggal peserta didik dapat dijadikan bahan penilaian autentik.
j. Jurnal. Catatan-catatan peserta didik yang menggambarkan perkembangan atau kemajuan
belajar peserta didik berkaitan dengan pembelajaran dapat dijadikan bahan penilaian autentik.
k. Karya tulis. Karya tulis peserta didik baik kelompok maupun individu yang berkaitan dengan
materi pembelajaran suatu bidang studi, seperti karya tulis yang dibuat oleh peserta didik dalam
ajang lomba karya tulis ilmiah, call paper dalam konferensi ilmiah dapat dijadikan bahan
penilaian autentik. Dengan demikian prestasi peserta didik diluar pembelajaran, tetapi memiliki
relevansi dengan bidang studi tertentu, maka dapat menjadi pertimbangan dalam penilaian
autentik.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 77
l. Kelompok diskusi. Kelompok-kelompok diskusi peserta didik baik yang dibentuk oleh dosen
maupun peserta didik secara mandiri dapat menjadi bahan penilaian autentik.
m. Wawancara. Wawancara yang dilakukan dosen terhadap peserta didik berkaitan denagn
pembelajaran dan penguasaan terhadap kompetensi tertentu dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam penilaian autentik.
Produk dari penilaian autentik terikat(engaged authentic assesment) dapat bermanfaat dalam
memberikan masukan dan pertimbangan baik untuk guru, sesama peserta didik dan untuk masing-
masing peserta didik. Bagi guru hasil autentik terikat (engaged authentic assesment)berguna dalam
memberikan pertimbangan penilaian akhir. Kedua mempermudah proses pemberian umpan balik
proses belajar para peserta didik. Ketiga memudahkan dalam inventarisir bukti-bukti proses
penilaian pembelajaran.
Bagi sesama peserta didik pola penilaian autentik terikat (engaged authentic assesment)
membantu rekan belajar untuk bercermin atas kelemahan kemajuan belajarnya, sehingga masing-
masing dapat merenungi letak kesalahan dan kekurangan dirinya. Dan bagi masing-masing peserta
didik penilaian autentik terikat (engaged authentic assesment) meningkatkan kesadaran dan
motivasi diri dalam belajar terutama dalam mencapai target kompetensi yang disesuaikan dengan
kemampuan terbaik dirinya.
Salah satu yang diukur dari proses penilaian selain penilaian proses belajar adalah hasil belajar.
Hasil belajar merupakan capaian hasil yang diperoleh seorang peserta didik setelah mengikuti
sebuah program pendidikan. Hasil belajar diperoleh melalui serangkaian tes yang dilakukan secara
terpadu. Hasil belajar menunjukan capaian terbaik seorang peserta didik pada sebuah program
pendidikan yang telah dilaksanakan.
Hasil belajar pada dasarnya adalah produk atau hasil yang dapat dicapai oleh peserta didik
setelah mereka melakukan atau mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian ada tiga hal
kunci dalam pembelajaran tersebut, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh dosen (mengajar), kegiatan
yang dilakukan oleh siswa (belajar) dan produk dari dua kegiatan tersebut, yaitu hasil Belajar.
Mengajar adalah mengorganisir lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan siswa
sehingga terjadi kegiatan belajar. (S. Nasution, 1990)
Sementara belajar pada hakikatnya adalah aktivitas yang membawa suatu perubahan tingkah
laku berkat pengalaman dan latihan, perubahan itu pada pokoknya didapatkanya kecakapan baru,
dan perubahan itu terjadi karena usaha yang disengaja. (OemarHamalik (2011: 123). Hasil belajar
adalah suatu kecakapan nyata (actual ability) yang menunjukan kepada aspek kecakapan yang
segera dapat didemonstrasikan dan diuji sekarang juga, karena merupakan hasil usaha dalam belajar
78 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
yang bersangkutan dengan cara, bahan dan dalam hal tertentu yang telah dialaminya.(Syamsudin
,1983:43)
Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar ada yang dapat diamati secara langsung
(observable) dan juga yang tidak dapat diamati. Hasil belajar ada yang terkait langsung dengan
tjuan dan isi pembelajaran yang sering disebut effek instruksional, dan ada pula hasil belajar
tersebut yang merupakan dampak pengiring dari pembelajaran atau disebut Nurturen effect. Kdua
jenis hasil belajar tersebut dpat diketahui, dipantau dan diukur derajat atau tingkatannya. Sebagai
contoh hasil belajar yang terkait langsung dengan tujuan dan isi pembelajaran perubahan aspek
kognitif, aspek apektif dan psikomotor, sedangkan hasilbelajar yang merupakan dampak dari proses
pembelajaran seperti tumbuhnya rasa percaya diri dalam belajar dan kemampuan memperbaiki diri
dari peserta didik. Kedua kategori hasil belajar inilah yang akan menjadi fokus kajian dalam studi
ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar secara garis besar dapat
dikelompokan ke dalam duagolongan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah faktor yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (pesertadidik), diantaranya adalah
factor fisiologis dan factor psikologis. Sedangkan factor eksternal yaitu faktor yang bersumber di
luar individu (peserta didik), seperti kondisi lingkungan dan kualitas pembelajaran..Faktorinilah
yang akan mempengaruhi setiap proses pembelajaran hingga menghasilkan hasil belajar yang
berbeda-beda dari setiap peserta didik. Berbagai penelitian menunjukan bahwa faktor yang paling
dominan mempengaruhi hasil belajar adalah faktor yang bersumber dari dalam diri siswa sendiri
(faktor internal). Pendafat lain yang hampir sama mengenai faktor- faktor yang
mempengaruhihasilbelajar dikemukakan oleh Sujana, sebagai berikut: kemampuan yang dimiliki
individu atau peserta didik, motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar,
ketekunan, social ekonomi, factor fisik atau psikis, kualitas pengajaran. Nana Sudjana (1991:22).
Lebih lanjut Sudjana mengemukakan faktor yang bersumber dari luar diri siswa yang paling
banyak mempengaruhi hasil belajar adalah kualitas pembelajaran. Kemudian kualitas pembelajaran
dipengaruhi oleh dosen, lingkungan, dan ukuran kelas (jumlah peserta didik).
Hasil belajar seorang peserta didik dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengulangan
terhadap materi yang belum dikuasainya. Dalam pembelajaran dikelas istilah remedial atau
pengulangan materi yang diberikan kepada peserta didik yang belum dapat menguasai seluruh
target kompetensi pada kurun waktu yang direncanakan. Mengingat hasil belajar dipengaruhi oleh
beberapa faktor, maka hasil belajar juga dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki faktor-faktor
penyebabnya. Sebagai contoh, salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah motivasi
internal dari peserta didik. Dengan demikian untuk meningkan hasil belajar yang lebih baik,
motivasi internal juga harus diperbaiki.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 79
Penilaian dalam proses pembelajaran antara lain sebagai kegiatan menghimpun fakta-fakta dan
dokumen belajar peserta didik yang dapat dipercaya untuk melakukan perbaikan program, apabila
kegiatan penilaian tersebut terjadi sebagai bagian dari program pembelajaran di kelas. Penilaian
juga merupakan proses menyimpulkan dan menafsirkan fakta-fakta dan membuat pertimbangan
dasar yang profesional untuk mengambil kebijakan pada sekumpulan informasi, yaitu informasi
tentang peserta didik. Surapranata (Surahman, 2016) menjelaskan program belajar peserta didik
dapat dilihat dengan melihat perkembangan hasil pribadi dan hasilpeserta didik dan sekaligus dapat
dibandingkan dengan peserta didik lain dalam kelompoknya.
Nuryani (Surahman, 2016) mendefinisikan penilaian atau pengukuran hasil belajar sering
dikaitkan dengan penialaian formatif dan penilaian sumatif, sementara penilaian yang melibatkan
proses belajar dikenal sebagai asesmen. Walaupun antara keduanya dapat dipertukarkan,
sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara pengukuran dan asesmen. Pengukuran biasanya
lebih menekankan hasil, jadi meninjau ke belakang atau yang sudah dilakukan, sedangkan asesmen
melibatkan pengukuran dan sekaligus melihat potensi ke depan perseorangan peserta didik. Karena
pada dasarnya, seseorang yang dikatakan belajar pasti mengalami perubahan tingkah laku.
Perubahan tingkah laku ini dipahami sebagai hasil dari belajar. Perubahan tingkah laku ini biasanya
dinyatakan dalam bentuk serangkaian kemampuan-kemampuan yang dicapai peserta didik selama
proses belajarnya. “Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia
mengalami pengalaman belajarnya (Sudjana, 2005: 22)”.
Melalui hal tersebut dapat dipahami bahwa belajar berkaitan erat dengan pengalaman belajar,
karena peserta didik yang berada dalam proses belajar tentu mendapatkan pengalaman belajar. Oleh
karena itu, dalam proses belajar perlu memperhatikan hal-hal lain diluar materi ajar. Hal tersebut
diberikan semata-mata agar dapat mendukung pengalaman belajar peserta didik. Karena
sebagaimana diketahui, bahwa kemampuan yang hendak dicapai dalam hasil belajar tidak hanya
berkaitan dengan penghafalan teori.
Siagian (Surahman, 2016) menyatakan kemampuan-kemampuan yang dimaksud dalam hasil
belajar dijelaskan oleh pernyataan berikut hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh
peserta didik berkat adanya usaha atau pikiran yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan,
pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga tampak
pada diri individu perubahan tingkah laku secara kualitatif. Melalui pendapat tersebut dapat
dipahami, bahwa tolak ukur dari hasil belajar, meliputi perubahan yang terjadi pada pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang ditunjukan dan dialami oleh peserta didik. Adapun perubahan-
perubahan tersebut harus bisa diukur dengan alat ukur yang tepat.
80 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Pendapat serupa terkait hasil belajar, dikemukakan oleh Anderson yang menyatakan bahwa
karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal
berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotorik dan
tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif (Rasyid & Mansur, 2008: 13). Ketiga ranah tersebut
senantiasa menjadi ukuran untuk menilai hasil belajar, walaupun pada dasarnya masing-masing
ranah memiliki perincian sejumlah aspek.
Pada sistem pendidikan formal, hasil belajar menjadi ukuran atas tercapainya tujuan dari proses
belajar. Oleh karena itu, proses belajar perlu mendapatkan penilaian atau evaluasi untuk mengetahui
ketercapaian tujuan dari proses belajar. “Hasil belajar adalah hal yang diperoleh seseorang yang
melakukan proses belajar dengan skala penilaian yang telah ditetapkan dengan mengukur tingkat
kesuksesan belajar yang biasanya dilakukan dengan bantuan tes (Suprijadi, 2010: 129). Melalui
penilaian yang biasanya berbentuk tes, nantinya akan menunjukkan pencapaian peserta didik
selama menjalani proses belajar.
Namun, perlu dipahami bahwa aspek kognitif, afektif dan psikomotorik memiliki karakteristik
tertentu sehingga tidak semua penilaian dapat dilakukan dengan tes. Aspek afektif dan
psikomotorik biasanya dinilai secara non-tes, menggunakan skala sikap atau secara observasi,
karena kaitannya dengan sikap dan nilai. Sudjana (Surahman, 2016) menjelaskan bahwa hasil
belajar afektif dan psikomotorik ada yang tampak pada saat proses belajar-mengajar berlangsung
dan ada pula yang baru tampak kemudian (setelah pengajaran diberikan) dalam praktek
kehidupannya di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Itulah sebabnya hasil belajar afektif
dan psikomotorik sifatnya lebih luas, lebih sulit dipantau namun memiliki nilai yang sangat berarti
bagi kehidupan peserta didik sebab dapat secara langsung mempengaruhi perilakunya.
Penilaian autentik terikat (engaged authentic assesment) dalam proses pembelajaran
memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menilai progres belajar dirinya sendiri
dan teman sebayanya. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap sikap mawas diri masing-masing.
Di samping itu akan meningkatkan motivasi belajar yang berdampak para peningkatan capaian
kompetensi hasil belajar.
Simpulan
Engaged Authentic Assessment (EAA) Berbasis Self And Peer Assesment (SPA)merupakan
sebuath alternatif inovasi Evaluasi Pembelajaran Abad 21 terutama pada jenjang pendidikan
menengah dan tinggi. Pertimbangan tersebut sesuai dengan prinsip dan karakteristik dalam
pembelajaran rema dan orang dewasa. Peserta didik pada level remaja dan orang dewasa dapat
dilibatkan dalam proses assesmen dirinya dan di luar dirinya. Pertimbangan pemahaman dan
pengalaman dalam membedakan benar salah, baik buruk menjadi point utama dalam karakter
peserta didik rema dan orang dewasa.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 81
Engaged Authentic Assessment (EAA) Berbasis Self And Peer Assesment (SPA) memberikan
kemudahan dan proses otentifikasi penilaian agar dapat berjalan sesuai prinsip-prinsipnya. Di
samping itu pola penilaian berbasis Self And Peer Assesment (SPA) dapat memudahkan pendidik
sebagai penilai dalam memberikan keputusan awal, antara dan keputusan akhir dengan
menggunakan masukan yang lebih objektif.
Pengunaan Engaged Authentic Assessment (EAA) Berbasis
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (2005). Strategi Pembelajaran Di Perguruan Tinggi. UMS. Surakarta.
Abin Syamsuddin Makmun. (2003). Psikologi Pendidikan. PT Rosda Karya Remaja, Bandung.
Duckett, Ian & Marilyn. (2005). Practical strategies for learning and teaching on vocational
programmes. United Kingdom.Blackmoe Ltd.
Self And Peer Assesment (SPA)
dalam pembelajaran baik di sekolah maupun di perguruan tinggi dipandang mampu meningkatkan
kesadaran belajar pada peserta didik. Masing-masing dapat bercermin pada setiap fase
perkembangan belajarnya. Hasil umpan balik berupa penilaian yang diberikan oleh temannya
diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar yang bertujuan untuk mencapai hasil belajar yang
sesuai dengan target kompetensinya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan dapat diakses melalui www.kbbi.web.id
Knowles, Malcom. (1997). The Modern Practice of Adult Education Andragogy versus Peadagogy.
New York. Association Press.
Nasution. (2009). Berbagai pendidikan dalam proses belajar mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Rustaman, Nuryani. (2005). Strategi belajar mengajar Biologi. Malang. UM Press.
Rasyid, Harun & Mansur. (2008). Penilaian hasil belajar. Bandung: Wacana Prima:
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sadiman, Arif S. (dkk). (2011). Media pendidikan, pengertian, pengembanga dan pemanfaatannya.
Jakarta. Rajawali Pers.
Siagian, Roida Eva Flora & Sri Dewi Saputri. (2012). Majalah Ilmiah Faktor. Maret-April 2012.
Univ. Indraprasta PGRI.
Sudjana, Nana. (2005). Penilaian hasil proses belajar mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sugiyono (2012). Memahami Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. ALFABETA
Surahman, Ence. (2016). Pengembangan Adaptive Mobile Learning pada Mata Pelajaran Biologi
SMA sebagai Upaya Mendukung Proses Blended Learning. UNY. Tesis.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
82 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
PENGEMBANGAN MULTIMEDIA PEMBELAJARANILMU PENGETAHUAN ALAM TENTANG EKOSISTEMDI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 7 PALEMBANG
Maryam1; Fuad Abd. Rachman2; Riswan Jaenuddin3
1. Guru SMKN 7 Kayu Agung 2. Guru besar FKIP Unsri 3. Dosen tetap FKIP Unsri
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan multimedia pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam tentang ekosistem untuk SMK yang valid, praktis dan efektif. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Akker, dengan model pengembangan produk Nieveen & Akker (1999) yang meliputi analisis, desain, evaluasi dan revisi. Tahap evaluasi menggunakan model Tessmer, yang terdiri dari tahap selft evaluation, expert review, one to one, small group dan field test. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XII di SMK Negeri 7 Palembang. Subyek pada ujicoba one to one adalah 3 orang siswa kelas XII TKR, subyek uji coba small group adalah 8 siswa kelas XII SL, dan subyek uji coba field test adalah 29 siswa kelas XII KT. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, walk through, dan tes. Multimedia ini valid dengan rerata penilaian ahli materi 4.00, ahli desain 4.43, ahli media 4.27. Tahap one to one rerata positif 4.04 dan rerata negative 2.11 dengan kriteria praktis. Hasil evaluasi small group, rerata positif 4,07 kriteria praktis dengan persentase kepraktisan 81.33%. Efektifnya multimedia dilihat dari hasil belajar pada tahap field test dari 29 siswa, yang mencapai nilai KKM sebanyak 26 orang (89,65%) dan 3 orang (10%) yang belum tuntas. Dari hasil expert review, uji one to one, uji small group, dan field test, peneliti menyimpulkan bahwa multimedia pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada pokok bahasan ekosistem di sekolah menengah kejuruan ini dinyatakan valid, praktis, dan efektif serta dapat menjadi salah satu alternatif penggunaan media dalam pembelajaran. Saran: bagi peneliti lain, disarankan agar mengembangkan multimedia interaktif pembelajaran IPA dengan menambahkan / membuat animasi sehingga multimedia menjadi lebih menarik; bagi sekolah, disarankan agar menyiapkan fasilitas multimedia pembelajaran disekolah dan menganjurkan guru untuk dapat memanfaatkan multimedia dalam pembelajaran; bagi peserta didik agar terus mengikuti pembelajaran dengan multimedia , karena praktis, dapat dibuka dimana saja dan kapan saja dengan menggunakan laptop yang telah dimiliki oleh hampir seluruh peserta didik. Kata Kunci : Penelitian pengembangan, multimedia, ekosistem
PENDAHULUAN
Prestasi belajar yang diraih peserta didik setelah proses pembelajaran memiliki makna bagi peserta
didik bersangkutan maupun bagi pendidik, karena prestasi belajar yang baik menunjukkan bahwa
peserta didik tersebut mempunyai tingkat pengetahuan yang baik. Sedangkan bagi pendidik,
prestasi peserta didik yang baik menunjukkan keberhasilan pendidik dalam proses pembelajaran.
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan pendidik dalam mengolah proses
belajar mengajar di dalam kelas. Kualitas pembelajaran dapat di tingkatkan melalui pengembangan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 83
dengan penyusunan kurikulum, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan pemanfaatan
media pembelajaran yang tepat.
Secara garis besar media pembelajaran di kelompokkan menjadi empat jenis, yaitu media visual,
media audio, media audio-visual dan multimedia.Salah satu media yang penulis pilih untuk
dikembangkan adalah multimedia.
Multimedia merupakan gabungan dari beberapa jenis media. Menurut Asyhar (2011) multimedia,
yaitu media yang melibatkan beberapa jenis media dan peralatan secara terintegrasi dalam suatu
proses atau kegiatan pembelajaran, pembelajaran multimedia melibatkan indra penglihatan dan
pendengaran melalui media teks, visual diam, visual gerak dan audio serta media interaktif berbasis
computer dan teknologi komunikasi dan informasi.
Daryanto (2011) menjelaskan multimedia terbagi menjadi dua katagori, yaitu multimedia linier dan
multimedia interaktif.Multimedia linier adalah suatu multimedia yang tidak dilengkapi dengan alat
pengontrol apapun yang dapat dioperasikan oleh pengguna.Multimedia ini berjalan sekuensial
(berurutan), contohnya TV dan film. Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi
dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh pengguna sehingga pengguna dapat memilih
apa yang dikehendaki untuk proses selanjutnya. Contoh multimedia interaktif adalah pembelajaran
interaktif dan aplikasi game.
Alasan pemilihan multimedia interaktif untuk dikembangkan dalam pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam tentang Ekosistem karena selama ini penyampaian materi ajar hanya
menggunakan metode ceramah yang dilakukan dikelas, sehingga hasil belajar siswa dirasa belum
maksimal (belum mencapai kriteria ketuntasan minimum klasikal). Hal ini dapat dilihat dari hasil
ulangan tengah semester siswa kelas XII semua program studi (kriya kayu, kriya logam, kriya
tekstil, seni lukis, desain komunikasi visual, teknik kendaraan ringan, dan teknik sepeda motor), di
SMK Negeri 7 Palembang masih di bawah nilai KKM yang telah ditetapkan, yaitu 75 dan
persentase ketuntasan belum mencapai ketuntasan klasikal, karena ketuntasannya masih dibawah
85%. Ketuntasan dalam belajar didasarkan pada konsep penguasaan penuh peserta didik terhadap
materi tertentu secara menyeluruh yang dibuktikan dengan hasil belajar yang baik pada materi yang
dipelajari tersebut .
Beberapa faktor yang mempengaruhi penguasaan penuh diantaranya adalah mutu
pengajaran yang diterapkan, kemampuan (kompetensi), dan tingkat ketekunan peserta didik dalam
mempelajari atau memahami sesuatu konsep materi yang diajarkan (Rusijono, 2014).Hal tersebut
perlu diperhatikan oleh guru, ketika melaksanakan pembelajaran tuntas yang tentunya disesuaikan
84 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
dengan waktu yang tersedia untuk belajar, sehingga peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar
sesuai kriteria yang telah ditetapkan.
Ilmu pengetahuan alam (IPA) termasuk kelompok adaftif di sekolah menengah kejuruan (
SMK) dengan beban belajar dua jam per minggu, dimana alokasi waktu satu jam pelajaran tatap
muka adalah 45 menit. Waktu yang tidak mencukupi dalam pembelajaran membuat kegiatan belajar
terutama dalam pembelajaran klasikal peserta didik yang lambat dan peserta didik yang berbakat,
kurang mendapat perhatian dari pendidik, bahan pelajaran yang diberikan masih uniform bagi
semua peserta didik, dimana setiap peserta didik diharapkan dan dituntut untuk belajar dengan
kecepatan yang sama. Menurut Nasution (2008) belajar akan lebih berhasil bila bahan pelajaran
sesuai dengan kebutuhan dan minat anak. Diketahui pula bahwa setiap anak itu berbeda secara
individual, bahwa perbedaan individual ini perlu mendapat perhatian yang lebih banyak. Bila semua
peserta didik mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menerima dan memahami materi
pelajaran tersebut diberi pengajaran yang sama, maka hasilnya akan berbeda. Akan tetapi jika diberi
metode pembelajaran yang lebih bermutu dan disesuaikan dengan kebutuhan setiap peserta didik
serta waktu belajar yang lebih banyak, maka setiap peserta didik dapat mencapai penguasaan penuh
atas bahan ajar tersebut. Perhatian akan perbedaan individual di kalangan peserta didik dan usaha
untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan itu dapat dilakukan dengan metode belajar
mandiri menggunakan multimedia.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dapat dimanfaatkan untuk menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah- masalah dalam
proses pembelajaran. Menurut Miarso (2009), beberapa masalah belajar antara lain : Sulit
membayangkan peristiwa yang lalu; Sulit mengamati objek yang terlalu kecil/ besar; Sulit
memperoleh pengalaman langsung; Sulit membayangkan pelajaran yang diceramahkan; Sulit
memahami konsep yang rumit, dan terbatasnya waktu belajar.
Pemanfaatan media yang tepat merupakan salah satu strategi dalam mengatasi masalah
pembelajaran di atas. Penggunaan multimedia dalam pembelajaran dapat membantu mempertajam
pesan yang disampaikan, dimana kelebihannya menarik indra dan menarik minat peserta didik
karena menggabungkan beberapa komponen yang terdiri dari teks, foto, video, animasi, dan musik
yang terprogram sesuai dengan silabus. Pembelajaran ini dapat dilakukan dengan bantuan komputer
(Computer Assisted Instructional/ CAI). Penelitian Rusijono, dan Syahid. A (2014) berpendapat
bahwa Program multimedia CAI (Computer-Assisted Instruction) merupakan sistem komputer yang
dapat menyampaikan pengajaran secara langsung kepada siswa yang memungkinkan mereka untuk
berinteraksi dengan pelajaran yang telah diprogram ke dalam sistem tersebut. Pembelajaran yang
dilakukan dengan bantuan komputer memiliki beberapa kelebihan diantaranya: membiasakan
peserta didik menggunakan komputer dalam pembelajaran, dapat melatih kecepatan dan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 85
keterampilan motorik tangan dalam memanfaatkan komputer, dan perangkat lunak materi ini dapat
dipindahkan ke compact disc ataupun flash disc yang dapat dibawa kemana saja.
Berdasarkan permasalahan dan analisis kebutuhan di atas maka penulis berinisiatif untuk
melakukan penelitian yang berjudul: “ Pengembangan multimedia pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam tentang Ekosistem di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 Palembang “ yang dikemas
dalam bentuk Compact Disc (CD) sebagai pembelajaran mandiri bagi peserta didik yang tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu.
METODELOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (development research) dengan model
pengembangan produk Nieven yang telah disederhanakan prosedur pengembangannya bersama
Akker. Penelitian pengembangan menurut Akker (1999), yaitu proses pengembangan produk
pembelajaran yang meliputi: analisis, desain, evaluasi dan revisi.
Dalam penelitian ini produk yang dikembangkan adalah multimedia pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam tentang Ekosistem di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 yang dikemas
dalam compact dis (CD) yang memenuhi standar validitas, kepraktisan dan keefektifan.Validasi
dilakukan oleh ahli bidang studi, ahli media dan ahli desain pembelajaran untuk mendapat masukan
dari para ahli tersebut tentang ketepatan isi atau materi, media yang digunakan dan desain
pembelajaran dari bahan ajar multimedia yang dikembangkan.Kepraktisan berarti bahwa bahan ajar
multimedia yang dikembangkan dapat diterapkan untuk kasus yang sebenarnya.Pengujian
kepraktisan dilakukan untuk mengetahui apakah produk yang dikembangkan mudah digunakan oleh
pemakai (user) dengan memberikan kuesioner kepada peserta didik. Keefektifan dilihat dari
hasil belajar peserta didik dengan melakukan penilaian kepada peserta didik melalui tes.Subjek
Penelitian adalah peserta didik kelas XII SMKN 7 Palembang tahun pelajaran 2015- 2016, pada
materi ekosistem. Jumlah kelas XII di SMKN 7 Palembang ada tujuh kelas yaitu satu kelas
program Teknik Mekanik Otomotif, satu kelas program Teknik Sepeda Motor, satu kelas program
Kria Logam, satu kelas program Kria Tekstil, satu kelas program Kria Kayu, satu kelas program
Desain Komunikasi Visual,dan satu kelas program Seni Lukis. Dalam penelitian ini data
didapatkan dan dikumpulkan dengan melakukan Wawancara, Walk through, menyebarkan
kuesioner, dan tes hasil belajar.
86 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menghasilkan suatu produk multimedia pembelajaran IPA tentang ekosistem di
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 Palembang. Setelah melalui tahapan pengembangan
diperoleh Multimedia Pembelajaran IPA yang valid, praktis dan efektif sebagai upaya untuk
menghilangkan kesan pembelajaran yang konvensional dan membosankan menjadi pembelajaran
yang bermakna, menyenangkan, dan mampu membangun kemandirian belajar yang pada akhirnya
dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Pada tahap analisis, peneliti melakukan analisis terhadap karakteristik peserta didik, analisis
kebutuhan pembelajaran, analisis tujuan, analisis kurikulum serta melakukan evaluasi dan revisi
terhadap analisis yang telah dibuat. Berdasarkan dari analisis kebutuhan, peserta didik
menginginkan media yang dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran IPA,
khususnya pada materi ekosistem. Oleh karena itu, peneliti mencoba mengembangkan multimedia
yang disesuaikan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Tahap kedua yaitu desain atau perancangan. Pada tahap ini peneliti melakukan perancangan
multimedia yang akan dikembangkan. Perancangan yang dilakukan dengan pemilihan materi sesuai
dengan isi kurikulum dan tuntutan kompetensi, mengumpulkan data berupa gambar, video, dan
musik serta menentukan program apa yang akan digunakan. Data-data yang telah terkumpul
kemudian dituangkan dalam naskah (storyboard). Storyboard dibuat dengan tujuan untuk
mendapatkan gambaran bentuk dan isi tampilan pada multimedia. Flowchart dan storyboard
menjadi acuan pertama bagi peneliti untuk mengembangkan multimedia menjadi produk yang utuh
dengan menggunakan bantuan Microsoft power point 2010.
Tahap ketiga adalah pengembangan (prototype 1) dan implementasi, Pada tahap ini dilakukan
pembuatan multimedia sesuai dengan flowchart dan storyboard yang sudah dibuat. Dalam tahap ini
seluruh materi, dan aspek pendukung seperti teks, audio, dan video digabungkan menjadi suatu
produk multimedia pembelajaran yang utuh dengan menggunakan bantuan Microsoft power point
2010.Selanjutnya, prototipe yang dihasilkan dilakukan pengujian dan penilaian. Tahapan penilaian
yang dilakukan dengan menggunakan evaluasi formatif Tesmer. Untuk menggukur validitas
dilakukan dengan melakukan reviu ahli yang meliputi aspek materi, desain dan media. Pada
prototipe pertama di validasi ahli materi yaitu berinisial KW yang merupakan dosen Program
Studi Fisika . Hasil validasi ahli materi memberikan penilaian pada prototipe pertama dengan rata-
rata yaitu 4,00 dengan kategori valid. Ahli materi memberikan masukan untuk menambahkan nama
peneliti, program studi pada cover CD dan penulisan beberapa konsep yang penting diberi warna
yang berbeda.Validasi prototipe pertama untuk materi(content) yaitu layak uji dengan revisi.
Validasi pada aspek media (lay out) mendapat penilaian rata-rata 4.43 dengan katergori sangat
valid. Hasil validasi media menyarankan agar ukuran huruf dan gambar harus proporsional, back
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 87
ground/ latar penulisan dapat diubah sesuai dengan pembahasan misalnya untuk bahasan komponen
biotik berwarna hijau sedangkan untuk komponen abiotic berwarna gelap atau putih.Menurut
validator media produk ini layak diuji coba dengan revisi.
Validasi pada aspek desain mendapat penilaian rata-rata 4.27 dengan kategori sangat valid.
Menurut validator prototipe pertama sudah memenuhi unsur validitas. Namun validator
menyarankan agar memperbaiki penulisan tujuan pembelajaran, penulisan teks pada tujuan
pembelajaran sebaiknya rata kiri agar tampilan lebih proporsional (tidak kosong ditengah kalimat),
serta perbaiki hyperlink pada bagian materi.
Untuk mendapatkan bukti tentang praktikalitas multimedia, maka peneliti melakukan uji coba
produk ini dengan melakukan evaluasi satu- satu yang dilakukan kepada 3 (tiga) orang peserta
didik yang memiliki kemampuan akademik berbeda yaitu peserta didik berkemampuan tinggi,
sedang dan rendah. Hasil dari evaluasi satu-satu menunjukkan bahwa peserta didik yang
berkemampuan tingggi tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan multimedia dan memahami
materi dan menyelesaikan evaluasi dengan baik. Untuk peserta didik berkemampuan sedang dan
rendah juga tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan multimedia, namun memerlukan waktu
lebih lama dalam mempelajari dan menyelesaikan evaluasi yang ada dengan hasil yang tidak terlalu
baik. Pada uji praktikalitas ini peneliti memberikan lembar kuesioner kepada peserta didik untuk
memperkuat data yang ada. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa peserta didik memberikan respon
yang positif terhadap multimedia yang digunakan seperti pernyataan multimedia menarik, dan
membuat belajar tidak membosankan. Disamping kelebihan yang terdapat pada multimedia,
terdapat komentar yang harus ditindaklanjuti oleh peneliti yaitu ada gambar yang kurang besar.
Hasil revisi dari evaluasi satu-satu akan menghasilkan prototipe kedua. Prototipe kedua
selanjutnya diujicobakan pada kelompok kecil. Pada evaluasi kelompok kecil ini peserta didik
diberikan kesempatan secara mandiri untuk menguji cobakan produk tersebut. Setelah evaluasi
kelompok kecil selesai, peserta didik diminta mengisi kuesioner yang telah disiapkan peneliti.
Tujuan pemberian kuesioner untuk mengetahui persepsi dan respon dari peserta didik terhadap
produk multimedia ini. Hasil kuesioner diperoleh persentae tingkat kepraktisan 81,33 % dengan
kategori praktis. Menurut hasil kuesioner bahwa multimedia yang telah dikembangkan menarik,
dan dengan adanya musik menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar sehingga
mempermudah mereka dalam memahami materi. Pada evaluasi kelompok kecil tidak terdapat
komentar yang harus ditindaklanjuti karena komentar peserta didik sudah bagus.
Pada tahap selanjutnya peneliti melakukan uji coba lapangan untuk membuktikan multimedia ini
memiliki efektifitas terhadap hasil belajar. Uji lapangan dimulai dengan memberikan pretest
88 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
terlebih dahulu untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik. Hasil pretest diperoleh data
bahwa peserta didik yang mencapai ketuntasan hanya 13,25%. Sedangkan pada post test diperoleh
data bahwa peserta didik yang memperoleh ketuntasan belajar 89,65 %. Dari hasil pretest dan
posttest tersebut terlihat adanya peningkatan yang cukup signifikan Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa multimedia mempunyai dampak potensial terhadap hasil belajar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pengembangan multimedia pembelajaran IPA
tentang ekosistem ini, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:
Telah berhasil dikembangkan Multimedia pembelajaran IPA tentang ekosistem yang sangat valid
melalui tahapan analisis, perancangan, pengembangan dan reviu ahli yang meliputi ahli materi,
desain dan media dengan rerata 4,23.
Telah berhasil dikembangkan Multimedia pembelajaran IPA tentang ekosistem untuk siswa SMK
kelas XII yang praktis melalui tahap analisis, perancangan, pengembangan dan evaluasi satu-satu
serta evaluasi kelompok kecil dengan persentase tingkat kepraktisan 81,33 % dengan kategori
praktis.
Telah berhasil dikembangkan Multimedia pembelajaran IPA tentang ekosistem yang mempunyai
efektifitas terhadap hasil belajar melalui tahap analisis, perancangan, pengembangan dan uji coba
lapangan dengan ketuntasan belajar 89,65%.
Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
Bagi pengembang yang akan mengembangkan multimedia pembelajaran IPA hendaknya membuat
atau menyiapkan animasi sehingga multimedia menjadi lebih menarik.
Bagi sekolah, sudah selayaknya menyiapkan fasilitas multimedia pembelajaran disekolah dan
menganjurkan guru untuk dapat memanfaatkan multimedia dalam pembelajaran.
Bagi peserta didik agar terus mengikuti pembelajaran dengan multimedia karena praktis, dapat
dibuka dimana saja dan kapan saja dengan menggunakan laptop yang telah dimiliki oleh hampir
seluruh peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Agustine, R. (2014). “Pengembangan Multimedia Interaktif materi Keragaman Budaya Indonesia
pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Menengah Pertama”.Tesis Program Studi
Magister Teknoloi Pendidikan. Palembang. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sriwijaya.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 89
Akker, J.V.D (1999). Principles and Methods of Development Research.In J.V.D. Akker, R.M.
Branch, K. Gustafson, N. Nieveen and T. Plomp (editor).Design Approaches and Tools in
Education and Training. Kluwer Academic Publisher, Dordrecht, Netherlands.
Alprog (2012).CD Interaktif, (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3930917, diakses 1
Desember 2012).
Aqib. Z. 2013. Model-model,media dan strategi pembelajaran kontekstual. Bandung: Yrama widya
Asyhar, R (2011). Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press.
Aunurrahman (2012).Belajar dan Pembelajaran.Cetakan keenam. Bandung: Alfabeta.
Chaeruman, U.A (2008). Field Test, (http://www.teknologipendidikan.net/?p=8, diakses November
2012).
Daryanto (2011).Media Pembelajaran.Cetakan 1. Bandung: Yrama Widya.
Direktorat Pembinaan SMA (2010). Seri Petunjuk Teknis: Analisis Konteks di Sekolah Menengah
Atas. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA.
Djaali dan P. Muljono (2008).Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia (Grasindo).
Gustafson, Kent L & Branch, Robert Maribe (2002).Survey of Instructional Development Models,
Fouth Edition. Syracuse, New York: ERIC.
Hamdani ( 2010). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.
Heinich, Robert., Molenda, Michael., Russel, James D., & Smaldino, Sharon E (2010). Instructional
Media and Technologies for Learning. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Johnson, E.B (2009). Contextual Teaching & Learning. Terjemahan oleh: Ibnu Setiawan.,Bandung:
Mizan Learning Center (MLC).
Khodijah, N (2011). Psikologi Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo.
Kosasih (2014).Strategi Belajar dan Pembelajaran Implementasi Kurikulum 2013.Cetakan kesatu.
Bandung: Yrama Widya.
Majid, Abdul (2005). Perencanaan Pembelajaran ( Mengembangkan Kompetensi Guru). Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mardalena (2013).Pengembangan Multimedia Interaktif Berbasis Konstruktivis menggunakan
Macromedia Flash Profesional pada Pembelajaran Biologi di Kelas XI Sekolah Menengah
Atas.Tesis Program Magister Teknologi Pendidikan. Palembang: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sriwijaya.
Miarso, Y (2009). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
90 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Munthe, Bermawy (2014). Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Nasution, S (2008). Berbagai Pendekatan dalam Belajar & Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22 dan 23 Tahun 2006, tentang Standar
Isi dan Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Menengah SMA-MA-SMK-
MAK.2006. BP. Cipta Jaya, Jakarta.
Pribadi, Benny A. 2010. Model Desain sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian rakyat
Rusijono & Syahid, A (2014). Pengembangan Multimedia Computer-Assisted Instruction (CAI)
disertai Metode Praktikum pada Mata Pelajaran Fisika Bab Tekanan untuk meningkatkan
Ketuntasan Belajar Siswa Kelas VIII SMP Wahid Hasyim 11 Buduran Siddoarjo.Jurnal Volume 01
Nomor 01 Tahun 2014, 0 – 216.
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jmtp/article/view/7981/baca-artikel#. Diakses Agustus 2015
Rusmiyati, I (2014).Penggunaan Multimedia dalam Pembelajaran Bahasa Sastra Indonesia di SMP
Negeri 2 Bawen Kabupaten Semarang. Jurnal Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran ; Vol 2,
Nomor 2, April 2014. http://jurnal.fkip.uns.ac.id. Pdf. Diakses Agustus 2015.
Sadiman, A.S. dkk. 2011. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sanaky, H.A (2009).Media Pembelajaran. Yogyakarta: Safiria Insania Preess
Sudrajat, A (2010). Media Pembelajaran Berbasis Komputer,
(http://yppti.org/index.php?option=com_content&view=article&id=164:media-pembelajaran-
berbasis-komputer-&catid=5:artikel&Itemid=4, diakses Desember 2012).
Sugiyono (2010).Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sunardjo (2008).Pengembangan Bahan Ajar.http://www.scribd.com/doc/5702869/11-
Pengembangan-Bahan-Ajar, diakses Desember 2012.
Suparman, M.A. (2004). Desain Instruksional. Jakarta: Universitas Terbuka.
Susilana, R dan C. Riyana (2007).Media Pembelajaran “Hakikat, Pengembangan, Pemanfaatan dan
Penilaian”. Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Indonesia. Bandung: Wacana Prima.
Tessmer, M (1998). Planning and Conducting Formative Evaluations “Improving the Quality of
Education and Training”. Philadelphia, London: Kogan Page.
Tim Penyusun Karya Tulis Ilmiah Universitas Sriwijaya (2013). Pedoman Umum Penulisan Karya
Tulis Ilmiah. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Trianto (2011). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 91
MENGUKUR GAYA BELAJAR ANAK
Hamzah B. Uno1
Nina Lamatenggo2
Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRAK
Gaya belajar merupakan karakteristik seseorang sekaligus sebagai variable internal yang dimiliki seseorang yang menjadi pembeda dengan orang lain dalam belajar. Ada yang belajar sambil dengar music, ada yang belajar sambil bermain, ada yang belajar tidak bisa ada bunyi apapun di sekitarnya. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa gaya belajar berpengarauh pada hasil belajar. Ada tiga jenis gaya belajar (1) gaya visual, (2) gaya auditory, dan (3) gaya kinestetik. Bagaimana mengetahui gaya belajar seseorang? Diperlukan adanya instrument pengukurnya. Makalah ini mencoba menggambarkan karakteristik gaya seseorang dan mengenalkan bagaimana instrument dalam mengukurnya.
Kata Kunci : Gaya belajar
Pendahuluan
Guru Perlu Mengetahui Gaya Belajar Anak
Tugas seorang guru sebagai pembelajar bukan merupakan tugas yang mudah tetapi tugas
yang menuntut panggilan professional. Salah satu aspek penting dalam tuntutan professional itu
adalah mengenal karakteristik siswa yang akan belajar. Penganalan guru tentang karakteristik siswa
adalah bagaimana guru mengenal gaya belajar siswa.
Pemahaman atas gaya belajar siswa tentu seorang guru tidak bisa melepaskan diri dari
pengetahuan perkembangan individu yang dalam konteks psikologi didasarkan pada pemikiran para
hali seperti Piaget tentang perkembangan berpikir anak, Kholbert tentang perkembangan moral
anak, Goleman tantang perkembangan amosi anak dan lain-lain. Dengan dilatari pemahaman atas
perkembangan berpikir, perkembangan moral dan perkembangan emosi guru dapat dengan mudah
mengenal gaya belajar anak.
Bagaimana mendudukkan dan memandang belajar seorang anak? Tterkadang kita salah
mengartikan belajar. Belajar bukan berarti datang ke sekolah, duduk yang manis sambil
mendengarkan penjelasan dari guru tetapi belajar memiliki arti yang luas. Untuk memahami makna
belajar yang sebenarnya, maka kita harus mengetahui bahwa belajar dibedakan menjadi dua hal,
yaitu belajar aktif dan belajar pasif. Berikut ini adalah kolom tentang belajar aktif dan belajar pasif.
92 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Belajar pasif adalah suatu proses aktifitas yang memfokuskan perhatian pada objek yang dipelajari
berdasarkan situasi yang dihadapi, dengan Menggunakan apa yang telah dipelajari agar memiliki
keuntungan di masa mendatang. Selanjutnya melihat adanya potensi belajar.
Apakah Gaya Belajar Itu?
Banyak pandangan ahli tentang gaya belar yang satu sama lain berbeda tergantuang dari sudut
pandang mana ahli itu mendefenisikan. Gaya belajar adalah variasi cara yang dimiliki seseorang
untuk mengakumulasi serta mengasimilasi informasi. Pada dasarnya, gaya belajar Anda adalah
metode yang terbaik memungkinkan Anda dalam mengumpulkan dan menggunakan pengetahuan
secara spesifik. Kebanyakan ahli setuju bahwa ada tiga macam dasar gaya belajar. Setiap individu
memungkinkan untuk memiliki satu macam gaya belajar atau dapat memiliki kombinasi dari gaya
belajar yang berbeda. Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di
sekolah dan dalam situasi-situasi antar pribadi. Ketika kita menyadari bagaimana diri ini dan orang
lain menyerap dan mengolah informasi, kita dapat menjadikan belajar dan berkomunikasi lebih
mudah dengan gaya sendiri. Ada dua kategori utama tentang bagaimana kita belajar yaitu: (1)
Modalisme adalah bagaimana kita menyerap informasi dengan mudah, (2) Dominasi otak adalah
cara dan bagaimana kita mengatur dan mengolah informasi.
Ada Berapa Jenis Gaya Belajar
Pengelompokan gaya belajar didasarkan pada karakteristik yang menjadi ciri dari pemilik gaya
belajar itu. Secara umum, gaya belajar dapat dikelompokkan berdasarkan kemudahan dalam
menyerap informasi (perceptual modality), cara memproses informasi (information processing), dan
karakteristik dasar kepribadian (personality pattern). Pengelompokan berdasarkan perceptual
modality didasarkan pada reaksi individu terhadap lingkungan fisik dan cara individu menyerap
data secara lebih efisien. Pengelompokan berdasarkan information processing didasarkan pada cara
individu merasa, memikirkan, memecahkan masalah, dan mengingat informasi. Sedangkan
pengelompokan berdasarkan personality pattern didasarkan pada perhatian, emosi, dan nilai-nilai
yang dimiliki oleh individu. DePorter dan Hernacki (1999) mengemukakan tiga jenis gaya belajar
berdasarkan modalitas yang digunakan individu dalam memproses informasi (perceptual modality).
Ketiga gaya belajar tersebut adalah gaya belajar visual (belajar dengan cara melihat), auditorial
(belajar dengan cara mendengar), dan kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan
menyentuh). Setiap individu menggunakan semua indera dalam menyerap informasi. Tetapi, secara
umum, individu mempunyai kecenderungan lebih kuat pada salah satu gaya belajar. Sebagian
individu mudah menangkap informasi dalam bentuk visual, sebagian yang lain menyukai informasi
bentuk verbal dan sebagian yang lain lebih nyaman dengan cara aktif dan interaktif. Berikut jenis-
jenis gaya belajar yang dikemukakan oleh DePorter dan Hernacki (1999) :
Gaya Belajar Visual
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 93
Individu yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual lebih senang melihat apa yang sedang
dipelajari. Gambar/visualisasi akan membantu mereka yang memiliki gaya belajar visual untuk
lebih memahami ide atau informasi daripada apabila ide atau informasi tersebut disajikan dalam
bentuk penjelasan. Apabila seseorang menjelaskan sesuatu kepada orang yang memiliki
kecenderungan gaya belajar visual, mereka akan menciptakan gambaran mental tentang apa yang
dijelaskan oleh orang tersebut. Ciri-ciri gaya belajar visual: (1) Bicara agak cepat, (2)
Mementingkan penampilan dalam berpakaian/presentasi, (3) Tidak mudah terganggu oleh
keributan, (4) Mengingat yang dilihat, dari pada yang didengar, (5) Lebih suka membaca dari pada
dibacakan, 6) Pembaca cepat dan tekun, (7) Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi
tidak pandai memilih kata-kata, (8) Lebih suka melakukan demonstrasi dari pada pidato, (9) Lebih
suka musik dari pada seni, (10) Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika
ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak visual dapat dilakukan dengan cara anatara laian:
(1) Gunakan materi visual seperti, gambar-gambar, diagram dan peta, (2) Gunakan warna untuk
menghilite hal-hal penting, (3) Ajak anak untuk membaca buku-buku berilustrasi, (4) Gunakan
multi-media (contohnya: komputer dan video). (5) Ajak anak untuk mencoba mengilustrasikan ide-
idenya ke dalam gambar.
Dalam teori Hemisfer, dijelaskan bahwa objek yang ditangkap oleh mata , diteruskan ke saraf ke
otak dan otak akan memproses objek yang ditangkap secara visual lalu merespon informasi yang
diterima tersebut. Syarat yang paling besar merespon objek tersebut adalah saraf otak visual yang
ada pada bagian bawah
dari otak baik visual
kiri maupun
visual kanan
perhatikan
Gambar Berikut .
94 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Selanjutnya, tangkapan visual kiri dan kanan atas objek yang terlihat ini menurut teori pemrosesan
informasi ( Rita Atkinson, 1987 ) bahwa infromasi tersebut diterima dengan proses penyandaian
berdasarkan makna yang ditangkap individu sesuai citra visualnya. Objek yang tertangkap visual
ang dianggap penting dan menyolok langsung diteruskan pada memori jangka pendek terutama
ingatan dari informasi yang diterima visual. Para psikologi kognitif senantiasa memusatkan
perhatiannya pada proses jalannya jalannya informasi mulai dari penerimaan penyimpanan hingga
pemanggilan kembali informasi yang tersimpan untuk digunakan dalam memecahkan masalah.
Rita Atkinson dan Richard Atkinson ( 1987 ) menyebutkan ingatan atas infromasi yang
diterima oleh indra disimpan dalam sistem penyimpanan informasi yaitu (1) memori sensori
(Sensory Memory), (2) memory jangka pendek ( Short Term Memory ), dan (3) memory jangka
panjang ( long term memory ).
Memory sensoris
Memori sensoris adalah ingatan yang berkaitan dengan penyimpanan infromasi semntara yang
dibawa oleh saraf panca indra. Setiap panca indra memiliki satu macam sensori memory. Memory
sensoris adalah informasi sensoris yang masih tersisa sesaat setelah stimulus diambil. Jadi dalam
diri manusia ada bebrapa macam sensoris motoris yaitu sensori motoric visual ( penglihatan ),
sensori motoric audio ( pendengaran ) dan sebagainya.
Memori sensorik ini cukup pendek dan biasanya akan menghilang segera setelah apa yang kita
rasakan terakhir. Sebagai contoh , ketika kita melihat. Melihat ratusan hal ketika berjalan selama
beberapa menit. Meskipun perhatian tertuju oleh sesuatu yang anda lihat, itu segera terlupakan oleh
sesuatu yang lain menarik perhatian anda diantara sekian banyak yang ditangkap oleh indra
penglihatan.
Ketika kita mendengar sesuatu atau melihat sesuatu atau meraba sesuatu , informasi yang ditangkap
oleh saraf indra- indra itu segera diubah dalam bentuk impuls-impuls neural (neuron) dan
dikirim ke bagian –bagian tertentu dari otak. Proses tersebut akan berlangsung dalam sepersekian
detik.
Dalam beberapa literatur dijelaskan antara lain oleh Brunner (1976), Piaget (1972) bahwa memori
sensoris berkapasitas besar untuk menyimpan informasi, tetapi simpanan tersebut informasi segera
dan cepat menghilang. Proses hilangnya informasi itu terjadi seper sepuluh detik , lalu akan
menghilang sama sekali setelah lewat dari satu detik.
Eksistensi dari pada memori sensori tersebut mempunyai peran yang terpenting dalam setiap diri
manusia. Jika seseorang menaruh perhatian yang lebih dari suatu informasi, maka informasi
tersebut akan mudah tersimpan dan tidak mudah hilang.
Memori Jangka Pendek
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 95
Memori jangka pendek atau ingatan jangka pendek yang disebut dengan Short Term Memory
adalah suatu proses penyimpanan memori sementara. Artinya informasi yang disimpan hanya
dipertahankan selama informasi tersebut dibutuhkan. Ingatan yang bau saja kita pikirkan. Ingatan
yang masuk pada sensori memori akan diteruskan ke memori jangka pendek. Infromasi yang ada
pada memori jangka pendek ini akan disimpan cegah lama jika dibandingkan dengan penyimpanan
pada memori sensori, dan selama anda menaruh perhatian atas informasi itu, maka informasi tersbut
tidak akan hilang pada memori jangka pendek. Dari memori jangka pendek tersebut, sebagian
materi dari informasi itu akan hilang, dan sebagian informasi diteruskan ke memori jangka panjang.
Jika kita ingat sesuatu , informasi dari memori jangka panjang tadi, maka informasi tersebut akan
segera dikembalikan oleh memori jangka panjang ke memori jangka pendek . misalnya nomor
telepon yang akan dituju untuk menyampaikan informasi pesan kepada orang lain, maka nomor
telepon tersbut telah ada dimemori jangka panjang oleh karena dibutuhkan untuk mengirimkan
pesan ke orang lain menggunakan nomor telepon orang tersebut, segera akan disampaikan kembali
oleh memori jangka panjang ke memori jangka pendek dan saat tiba di memori jangka pendek
nomor telepon tersebut oleh tangan akan ditulis dikertas atau langsung ditekan melalui digital yang
ada pada keyboard telepon genggam.
Jumlah informasi yang tersimpan pada memori jangka pendek sangat terbatas. Hasil penelitian
Morrison (1964) menjelaskan karya sekitar hingga informasi yang ada pada memori janka pendek
sekaligus. Setiap kali kita memperhatikan informasi yang ada pada memori sensori, maka informasi
yang ada pada memori jangka pendek terdorong keluar untuk hilang atau akan masuk memori
jangka panjang jika informasi itu benar –benar sangat kita butuhkan. Sebagai contoh mengingat
nama orang. Jika nama orang itu benar-benar sangat kita butuhkan setelah ada pada memori jangka
pendek langsung diteruskan ke memori jangka panjang apa lagi ada informasi lain yang baru yang
dating pada memori sensorik.
Rangsangan
luar melalui
indra
Register
penginderaan Memori
Sensorik
Proses
Pengkodean
Memori
jangka
pendek
Menjadi
Pengetahuan
kita
Memori
jangka
Panjang
Pemanggilan kembali
Informasi tentang ahli
lupa
96 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Gambaran memori jangka panjang
Memori Jangka panjang
Informasi yang ada pada memori jangka pendek sebagian akan diteruskan ke memori jangka
panjang dan infromasi yang ada pada memori jangka panjang dan informasi yang ada pada memori
jangka pendek ini akan hilang jika tidak diulang-ulang pehatian padanya. Jika terjadi proses
pengulangan atas informasi tersebut maka informasi itu akan diteruskan ke memori jangka panjang
(long term memory).
Beberapa ahli seperti Atkinson (1987) dan beberapa para peneliti mengatakan bahwa memori
jangka panjang dapat menyimpan informasi sangat lama, tergantung pada kepentingan
peggunaannya. Teknik untuk menyampaikan informasi ke memori jangka panjang melalui
pengulangan , proses ini disebut dengan memahami ( encoding ). Maksudnya menghubungkan
informasi baru tersbut dengan berbagai instansi lama di memori kita yang telah kita miliki yang
telah ada di memori jangka panjang. Cara kedua ini melalui proses encoding akan menambah
informasi yang telah ada. Di memori jangka panjang akan makin lama bertahan dan selanjutnya
informasi itu makin di pahami dan selanjuutnya dapat diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai informasi yang telah tersimpan pada memori jangka panjang sewaktu- waktu dapat
dipanggil kembali ke memori jangka pendek jika kita membutuhkannya (misalnya anak ikut ujian
untuk memecahkan soal-soal yang dihadapinya ). Hingga saat ini para ahli bellum mampu
melakukan explorasi dan meneliti berapa kapasitas memori jangka panjang sehingga dapat
menampung informasi yang tersimpan pada memori jangka panjang sangat dipengaruhi oleh nutrisi
yang baik yang membentuk memori tersbut hingga kualitas memori dapat bertahan. Apabila
kualitas memori melemah akibat. Sel- sel pembentuk memori kurang aktif maka disini terjadi
peluruhan inomasi dan proses ini yang disebut tidak dapat menggali atau mengigat kembali
informasi yang tersimpan atau inilah yang disebut “ lupa”. Jika kemudian kita makin lanjut usia
atau tua akibat proses nutrisi yang tidak optimal lagi disusun pembentuk sel- sel pembentuk
memori, maka pada fase penuaan ini pula banyak menymbang sulitnya informasi di memori jagka
panjang dan diingat untuk di panggil ke memori jangka pendek. Atau dengan kata lain “lupa”
seseorang di sebabkan karna kualitas memori dan proses penuaan umur.
APLIKASI TEORI PEMROSESAN INFORMASI DALAM PEMBELAJARAN
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran tentang teori pemrosesan
informasi adalah sebagai berikut :
Penyampaian informasi baik melalui tulisan , gambar maupun lisan di upayakan jangan terlalu cepat
karena hal ini berkaitan dengan perekaman informasi pada sensori memori , memori jangka pendek
hingga memori jangka panjang.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 97
Dalam pembelajaran siswa, guru tidak perlu terburu-buru memulai pelajaran. Sebaiknya siapkan
dulu siswa dengan membangun “perhatia” mereka. Fokus pada apa yang akan dipelajari. Ajak siswa
melupakan dulu hal-hal yang menganggu pikirannya termasuk alat tulsi, tas dan tempat duduk
mereka diatur serta segala yang menganggu dalam mengikuti pelajaran yang tersinggirkan.
Misalnya mematikan telepon genggam agar tidak terganggu perhatian anak dalam belajar.
Dalam pelajaran tertentu yang berkaitan dengan factor, konsep dan prinsip diusahakan siswa
menghafal untuk memperkuat ingatan baik pada memori jangka pendek maupun memori jangka
panjang. Menghafal pelajaran dapat dilakukan dengan cara menyuruh siswa bergiliran dikelas.
Biasakan agar selalu memastikan pekerjaan rumah “PR” kepada siswa sebagai implikasi elajr
mengulang melaluim ”PR” siswa akan menyumbang informasi lebih banyak pada long term
memory atau memori jangka panjang.
Penerimaan informasi dipengaruhi pula oleh umur anak. Anak yang berada pada TK berbeda
dengan anak SD begitu juga anak SMP berbeda dengan anak SMA. Daya tahan membangun
perhatian siswa berbeda berdasarkan umur anak. Siswa TK perhatian mereka terhadap objek
tertentu yang mereka pelajari antara 20 sampai 30 menit. Untuk anak SD antara 30 sampai 40
menit. Untuk anak SMP 40 sampai 45 menit, sementara umum ditas SLTA atau Mahasiswa
pehatian mereka bias focus dalam rentang antara 45 sampai 50 menit. Konsep ini yang dijadikan
acuan dalam penjadwalan belajar disekolah sbb :
1 jam pelajaran di TK diatur : 25 menit
1 jam pelajaran di SD diatur : 40 menit
1 jam pelajaran di SMP/SMA : 45 menit
1 jam pelajaran Mahasiswa : 50 menit
Gaya Belajar Auditorial
Gaya belajar auditori adalah gaya belajar yang dimiliki seseorang yang cenderung belajar lebih baik
dengan cara mendengarkan. Mereka menikmati saat-saat mendengarkan apa yang disampaikan
orang lain. Ciri-ciri gaya belajar auditori : (1) Saat bekerja suka bicara kepada diri sendiri, (2)
Penampilan rapi , (3) Mudah terganggu oleh keributan, (4) Belajar dengan mendengarkan dan
mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat, (5) Senang membaca dengan keras dan
mendengarkan, (6) Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca,
(7) Biasanya ia pembicara yang fasih, (8) Lebih pandai mengeja dengan keras daripada
menuliskannya, (9) Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik, (10) Mempunyai masalah
dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan Visual, (11) Berbicara dalam irama yang terpola, (12)
Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara.
98 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak auditori: (1) Ajak anak untuk ikut berpartisipasi
dalam diskusi baik di dalam kelas maupun di dalam keluarga, (2) Dorong anak untuk membaca
materi pelajaran dengan keras, (3) Gunakan musik untuk mengajarkan anak, (4) Diskusikan ide
dengan anak secara verbal, (5) Biarkan anak
merekam materi pelajarannya ke dalam kaset dan
dorong dia untuk mendengarkannya sebelum tidur.
Gaya Belajar Auditori dan Cara Berpikirnya
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa gaya belajar
auditori lebih senang jika menyerap informasi
disampaikan lewat cara ketimbang menyuruh mereka
untuk membaca lewat buku atau literature yang ada . gaya belajar auditori yang cenderung lebih
suka mendengar ini berkaitan dengan proses berpikirnya dimana rangsangan saraf dari otak lebih
dominan ke indra pendengaran ketimbang indra penglihatan. Saraf pendengaran lebih focus pada
bunyi yang diperdengarkan dan oleh karenanya bagi anak yang cenderung bergaya auditori lebih
muda memhami bunyi daripada mengingat apa ang dia baca lewat berbagai sumber dan literature
yang ada. Untuk merangsang lebih jauh penyerapan informasi bagi anak yang cenderung bertipe
gaya belajr auditori tersebut ahli-ahli instruksional menyarankan agar dalam pembelajaran guru atau
pendidik menggunakan bunyi tertentu karena bunyi tersebut lebih muda diingat oleh anak.
Untuk merangsang lebih jauh penyerapan infromasi bagi anak yang cenderung bertipe gaya belajar
auditori tersebut ahli-ahli instruksional menyarankan agar dalam pembelajaran guru atau pendidik
menggunakan bunyi tertentu untuk objek tertentu karena bunyi tersebut lebih mudah diingat oleh
anak. Dalam teori pemrosesan informasi yang masuk melalui pendengaran akan masuk ke memori
jangka pendek lalu kemudian infromasi tersebut dikirim ke memori jangka panjang. Tidak semua
infromasi yang masuk ke memori jangka pendek dapat dikirim ke memori jangka panjang sesuai
dengan kebutuhan yang diperlukan atas informasi yang masuk pada informasi jangka
panjangtersebut akan tersimpan rapid an menjadi milik individu dalam bentuk pengetahuan yang
sekali-kali dapat digunakan dalam memecahkan masalah ? hal ini tergantung pada masalah apa
yang dihadapi sesorang , begitu seseorang akan memcahkan masalahnya maka informasi yang
tersimpan akan keluar dengan sendirinya dan berfungsi memecahkan masalah yang dihadapi
individu.
System Auditori Dalam Pendengaran
Gaya sebagai gaya belajar, tidak bisa dijelaskan dan system auditori. System auditori terdiri
dari telinga , bagian-bagian otak, dan berbagai jalur penguhubung. Perhatian utama adalah terhadap
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 99
telinga bukan hanya pelengkap dibagian samping kepala tetapi seluruh organ pendengaran yang
sebagian besar terdapat pada bagian tengkorak kepala.
Sama seperti mata, telinga mengandung dua
system salah satu system memperkuat dan
mentransmisikan suara ke reseptor, dimana sistem
lain mengambil alih tugas dan mentranduksikan suara
menjadi impuls saraf. Sistem transmisi mencakup
telinga luar , yang terdiri dari daun telinga (pinna)
dan kanalis auditorius dan telinga dalam yang terdiri
gendang telinga dan rangkaian tiga tulang pendengaran. Sistem transduksiterletak ditelinga dalam
yang dinamakan koklea yang berisi resptor untuk suara. Besarya intensitas suara yang terdengar
antara telinga yang satu dengan telinga lainnya berbeda. Banyak orang yang memiliki defisit
pendengaran dan dengan demikian Ia memiliki ambang yang lebih tinggi, meskipun demikian
frekuensi penerimaan telinga atas bunyi yang didengar oleh kedua telinga tidak terlalu besar dan
berbeda. Biasanya suara yang terdengar oleh disisi kanan akan terdengar lebih nyaring oleh telinga
kanan jika dibandigkan dengan pendengaran oleh telinga kiri . demikian sebaliknya jika suara
melewati sisi kiri telinga akan diterima lebih nyaring oleh telinga kiri. Faktor penerimaan yang tak
simbang antara telinga kiri dan telinga kanan sangat bergantung kadang tidak bermasalah, maka
sebaiknya dalam mengikuti pelajaran harus mengambil posisi di tengah-tengah kelas sehingga dapat
diterima dengan baik informasi secara auditorius. Besarnya frekwensi suara yang diterima telinga
tidak sama setiap individu. Bagi orang yang dewasa muda dapat mendengar frekwensi antara 20
dan 20.000 Hz (Eyesles per second ) meskipun demikian sebagian hanya bisa mendengar
frekewensi kurang dari 1 Hz pada 100 Hz dan meningkat 10.000 Hz.
Dalam teori persepsi nada yang dikemukakan Lord Rutherford seorang dokter dari Inggris
(1886) menjelaskan bahwa (a) Gelombang suara menyebabkan seluruh membran besi laris bergetar
, dan kecepatan gertaran sesuai dengan frekwensi suara (b) kecepatan getaran membrane
menentukan kecepatan impuls serabut saraf di dalam auditorius. Jadi nada pada 1000 Hz
menyebabkan membran besilaris bergetar 1000 kali per detik , dan otak mengintrepetasikan hal itu
dinamakan “ Teori Temporal” (juga dinamakan teori frekwensi ).
Teori temporal tersebut mengisyaratkan kepada setiap orang terutama guru dikelas dalam
mneyampaikan infromasi perlu memperhatikan frekwnsi suara. Akibat perbedaan penerimaan dan
penangkapan suara oleh telinga yang satu sama lain berbeda, maka proses penyampaiannya
100 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
informasi tidak harus tidak harus dilakukan dengan nada tinggi. Demikian pula sebaliknya
infromasi disajikan dengan nada rendah. Kombinasi keduanya sangat perlu dipadukan agar
informasi yang diterima melalui pendengaran dalam proses auditori bias diterima dengan baik dan
efektif.
Beberapa indikator anak yang cenderung gaya belajarnya auditorius adalah sebagai berikut :
Suka mendengar radio,
Suka mendengar musik
Suka sandiwara atau lakon
Suka debat
Suka bercerita apa yag dibacakan dengan berbagai ekspresi
Pengingat yang baik ( nama orang )
Bagus dalam mengingat fakta.
Memiliki perbendaharaan kata yang banyak.
Menerima dan memberikan penjelasan arah dengan baik
Senang menerima instruksi
Menyukai selera yang penting tidak menyebalkan
Mampu menjelaskan atas pilihannya pada objek yang dipilih
Mengungkapkan emosinya secara verbal.
Suka menggunakan kata-kata yang tidak sering digunakan orang
Menyembunyikan sesuatu yang tersirat
Senang memberi nasehat
Senang mendongeng
Bercerita lucu
Bekerja dengan bijaksana ( sesuai prosedur )
Selalu memberi solusi atas masalah yang dihadapi
Kecepatan bicaranya sedang
Membangun hubungan dengan yang lain lewat diskusi dan dialog
Suka bercakap dengan dirinya sendiri
Berbisnis melalui telepon.
Tidak suka pada peta konsep.
Mengukur Kecenderungan Gaya Belajar Anak Yang Auditori
Kecenderungan anak yang bergaya auditori dapat dilakukan melalui pendeteksian indicator
kecenderungan auditori. Indicator-indikator kecenderunagn auditori tersebut. Disusun dalam suatu
daftar pertanyaan atau pernyataan. Untuk selanjutnya instrument gaya auditori tersebut diedarkan
kepada anak untuk diisi sesuai dengan apa yang dialami atau dirasakannya. Pertanyaan atau
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 101
pernyataan tersebut dengan memiliki jawaban“YA“ atau “TIDAK” jika jawaban pilihan “YA”
melebihi 50 %, maka kecenderungan cara belajar anak auditori
Instrumen Pengukur Gaya Belajar Auditori Anak
No. Pernyataan Berdasarkan Indikator YA TIDAK 1 Saya suka mendengar radio 2 Saya suka mendengar music 3 Saya suka mengikuti sandiwara 4 Saya suka berdebat 5 Saya suka bercerita
6 Saya suka menyampaikan apa yang dibaca kepada orang lain
7 Saya suka bercerita dengan berbagai ekspresi
8 Saya cepat mengingat nama orang 9 Saya cepat mengingat nama benda 10 Saya bagus dalam mengingat fakta
11 Saya berbicara dengan perbendaharaan kata yang luas
12 Saya cepat menerima arahan dalam bentuk verbal
13 Saya memberikan arahan dan penjelasan secara oval
14 Saya menjelaskan sesuatu secara detail
15 Saya mengungkapkan emosi secara verbal melelui pengubahan vokal
16 Saya menjalankan usaha atau bisnis lewat telepon
17 Saya mampu mengingat kembali kata-kata yang pernah diucapkannya
18 Saya menyampaikan emosi hati dengan mengubah nada bicara
19 Ketika menjadi pimpinan tertentu selalu saya memberi instruksi
20 Saya merespon baik tatkala mendengar informasi ketimbang membaca
102 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Gaya Belajar Kinestetik
Seseorang individu yang memiliki kecenderungan gaya belajar kinestetik akan belajar lebih baik
apabila terlibat secara fisik dalam kegiatan langsung. Mereka akan belajar sangat baik apabila
mereka dilibatkan secara fisik dalam poembelajaran. Mereka akan berhasil dalam belajar apabila
mereka mendapat kesempatan untuk memanipulasi media untuk mempelajari informasi baru.Ciri-
ciri gaya belajar kinestetik adalah: (1) Berbicara perlahan, (2) Penampilan rapi, (3) Tidak terlalu
mudah terganggu dengan situasi keributan, (4) Belajar melalui memanipulasi dan praktek, (5)
Menghafal dengan cara berjalan dan melihat, (6) Menggunakan jari sebagai petunjuk ketika
membaca, (7) Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita, (8) 8. Menyukai buku-
buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca, (9) Menyukai
permainan yang menyibukkan, (10) Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang
pernah berada di tempat itu, (11) Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka
Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi. Strategi untuk mempermudah proses belajar anak
kinestetik disarankan melakukan antara lain: (1) Jangan paksakan anak untuk belajar sampai
berjam-jam, (2) Ajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya (contohnya: ajak dia
baca sambil bersepeda, gunakan obyek sesungguhnya untuk belajar konsep baru), (3) Izinkan anak
untuk mengunyah permen karet pada saat belajar, (4) Gunakan warna terang untuk menghilite hal-
hal penting dalam bacaan(5) Izinkan anak untuk belajar sambil mendengarkan music
Tujuan Memahami Ggaya Belajar
entingnya memahami gaya belajar tidak lain bertujuan untuk menemukan kecocokan antara cara
penyampaian informasi dan jenis gaya belajar yang melekat pada diri peserta didik. Setiap orang
memiliki gaya belajar yang berbeda dan bisa belajar dengan lebih baik melalui cara-cara yang
berbeda. Dengan kata lain,memahami gaya belajar yang Anda miliki adalah cara terbaik untuk
memaksimalkan proses belajar di kelas. Setelah Anda menemukan gaya belajar Anda dan
mengetahui metode terbaik untuk membantu Anda dalam belajar melalui gaya itu, Anda akan
terkejut bila mengetahui betapa Anda dapat berkembang dengan pesat di dalam kelas, bahkan di
mata pelajaran yang sebelumnya Anda anggap susah dan rumit.
Penutup
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang kompleks menuntut penanganan untuk meningkatkan
kualitasnya, baik yang bersifat menyeluruh maupun pada beberapa komponen tertentu saja.
Beberapa dari gerakan-gerakan baru tersebut memusatkan diri pada perbaikan dan peningkatan
kualitas kegiatan belajar mengajar pada sistem persekolahan, seperti cara guru mengajar dan cara
murid belajar. Gaya Belajar Siswa ada 3 Jenis, Yaitu : gaya belajar visual (belajar dengan cara
melihat), auditorial (belajar dengan cara mendengar), dan kinestetik (belajar dengan cara bergerak,
bekerja, dan menyentuh).
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 103
Guru memang suatu profesi yang unik. Pendekatannya harus dipandang secara individual dan
kelembagaan. Secara individual, seorang guru harus mempunyai jiwa pengabdian yang tinggi. Lalu
jiwa pengabdian yang tinggi ini ditunjang oleh keinginan yang kuat untuk selalu memberikan dan
melayani sebaik mungkin kepada anak didik. Maka dari itu, guru juga harus selalu belajar, baik
untuk ilmu pengetahuan dan keterampilan pengajaran, maupun belajar memahami aspek psikologis
kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R. dan Cusher, K. Multicultural and intercultural studies, dalam Teaching Studies of
Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall, 1994.
Banks, J. Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of
Research in Education, 1993.
Carter, R. T. dan Goodwin, A.L. Racial identity and education. Review of Research in Education,
(20) 1994.
eid Gavin. 2009. Motivating Learners In The Classroom,Idea AndStrategies (memotivasi siswa
dikelas, gagasan and strategi. Jakarta. Indeks.
arcia, E. E. Language, culture, and education. Review of Research in Education, (19), 1993.
Giddens, A. & Turner, J. (Eds). Social theory today. Cambridge: Polity Press, 1987.
Glazer, N. & Moynihan, D.P. (Eds). Ethnicity: theory and experience. New York: Columbia Univ.
Press, 1975.
Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosional (terjemahan), cet. VII, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1975.
Groundlund E. Norman, 1970. Stating Behavior Objectives For Classroom Instruction. New York:
The Macmillan Company
Kibler, Robert J. etal. 1981. Objectives For Instruction and Evaluation. Boston: Allyn and Bacon,
Inc.
LeDoux, Joseph, Emotion, Memory and The Brain, Scientific American, edisi June, 1946.
Llinas, Rudolfo, dan Urs Ribary, Coherent 40-Hz Oscillation Characterizes Dream State in
Humans, Proceeedings of The National Academy of Science, USA, 1937.
Oliver, J.P. dan Howley, C. Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC
Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196, 1992.
Ron Ashkean dkk, Boundaryless Organization, breaking the Chain of Organizational Structure,
Jossy-Bass Publisher, San Francisco, CA: 1995
104 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Russel, Stuart and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach, Prentice-Hall Inc.,
New Jersey, 1995
Uno Hamzah B., Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan., Penerbit “Nurul Jannah”
Gorontalo, 1997
Uno Hamzah B., Pengantar Evaluasi Pembelajaran., Penerbit: “Nurul Jannah” Gorontalo, 1997
Uno Hamzah, Kudrat Masri ,Dan Panjaitan Keysar . 2014. Variabel Penelitian Dalam pendidikan
Dan Pembelajaran. Jakarta. Ina Publikatama.
Uno Hamzah. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta. Bumi Aksara.
Uno, Hamzah B, Teori Belajar dan Pembelajaran (suatu pengantar), Gorontalo, Penerbit: Nurul
Jannah, 1998
Uno, Hamzah B. (2005). Landasan Pendidikan. Gorontalo : Nurul Jannah.
Uno, Hamzah B., Dailami Firdaus, Herminato S. Perencanaan Pembelajaran, Gorontalo: Nurul
Jannah, 2000
Uno, Hamzah B., Disain Pembelajaran Mata Kuliah Statistika Deskriptif., Malang., 1993.
Uno, Hamzah B., Sofyan Hermianto, Candiasa Made, Pengembangan Instrumen Untuk Penelitian,
Jakarta, Penerbit: Delima Press, 2001.
Uno Hamzah B. dan Mohammad Nurdin Model Pembelajaran : Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Uno Hamzah B dan Lamatenggo Nina, Teori Kinerja dan Pengukurannya, Jakarta: Bumi Aksara,
2012.
Uno Hamzah B, Masri Kudrat Umar dan Keisar Panjaitan, Variabel Penelitian dalam Pendidikan
dan Pembelajaran, Jakarta:Penerbit Ina Publikatama, 2013.
Uno Hamzab B. dan Lamatenggo Nina, Teori Variabel Keguruan & Pengukurannya, Gorontalo:
Sultan Amai Press, 2014.
Uno Hamzah B. Desain Pembelajaran, Bandung: Penerbit MQS, 2010.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 105
KELAYAKAN PROBLEM BASED LEARNING DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DI SMK
Herminarto Sofyan
Faculty of Engineering Yogyakarta State University
Kokom Komariah
Faculty of Engineering Yogyakarta State University
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi awal pembelajaran dalam penerapan Kurikulum 2013 SMK dan kondisi pembelajaran setelah diterapkan Problem Based Learning (PBL). Penelitian ini merupakan bagian dari pengembangan model pembelajaran PBL dalam Penerapan Kurikulum 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah guru-guru yang mencoba menerapakan PBL dalam penerapan Kurikulum 2013. Data dikumpulkan dengan teknik angket dan wawancara melalui Focused Group Discussion (FGD). Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian tahun pertama menunjukkkan bahwa: (a) PBL sangat potensial diterapkan dalam penerapan Kurikulum 2013 di SMK. Kesiapan guru dalam implementasi Kurikulum 2013 termasuk dalam kategori tinggi dengan harga rerata sebesar 96,73 dan pencapaian skor 71,9%. Kesesuaian implementasi pembelajaran dalam penerapan Kurikulum 2013 termasuk kategori tinggi dengan rerata 152,26 dan pencapaian skor 78,40%. Sebagian besar guru menyatakan bahwa PBL layak diterapkan di setiap mata pelajaran dalam implementasi Kurikulum 2013; (b) PBL terbukti mampu meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek kemampuan (hard skills) maupun sikap (soft skills). Kata Kunci: Kurikulum 2013, SMK, Probem Based Learning
106 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
PENDAHULUAN
Pendidikan kejuruan, dalam hal ini Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang mempersiapkan
peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu (Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003) memiliki peran strategis dalam menyiapkan SDM khususnya tenaga kerja tingkat menengah.
Pengalaman di lapangam meupun data proyeksi perencanaan pembangunan menunjukkan bahwa
ditinjau dari prospek kebutuhan maupun kelayakkan ekonomisnya pendidikan kejuruan masih
merupakan investasi yang cukup baik dalam mempersiapkan tenaga terampil tingkat menengah
(Sukamto, 2001:10). Hal senada dikatakan oleh Wardiman (2016:313) bahwa SMK adalah Sekolah
Kejuruan untuk mencetak lulusan yang terampil dan langsung bisa masuk ke dunia kerja.
Paradigma pengembangan pendidikan kejuruan ke depan tentu tidak terlepas dari karakteristik
dunia kerja dan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam era mendatang. Dalam kacamata pendidikan
kejuruan, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah seberapa relevan learning outcome yang
dihasilkan dunia pendidikan dengan karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan di masa mendatang.
Berbagai kajian merumuskan learning outcome yang diperlukan bagi lulusan dalam menghadapi
tantangan ketenagakerjaan ke depan. The Partnership for 21st Century
Skills(www.21centuryskills.org.) merumuskan 21st century student outcomes and support system
yang tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. 21st Century Student Outcomes and Support System
Pemikiran yang tertuang pada Gambar 1 tersebut menunjukkan cara pandang holistik tentang
pembelajaran yang diperlukan guna mewujudkan lulusan yang memiliki kompetensi komprehensif.
Kompetensi tersebut meliputi aspek kemampuan dasar (bahasa, seni, matematik, ekonomi, sain,
geografi, sejarah, dan kewarganegaraan); kemampuan belajar dan inovasi (kreatifitas dan inovasi,
berpikir kritis, komunikasi, dan kolaborasi); kemampuan mengelola informasi, media, dan teknologi
informasi; serta kemampuan hidup dan karir (life and career skills). Apabila dilihat dari dimensi-
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 107
dimensi yang tertuang dalam kompetensi yang diharapkan tersebut, tampak jelas bahwa penanaman
karakter merupakan tuntutan bagi lulusan agar mampu berjaya di era mendatang.
Penerapan Kurikulum 2013 merupakan salahsatu upaya pemerintah untuk lebih meningkatkan
kualitas lulusan sesuai dengan tujuan pendidikan. Perubahan kurikulum 2013 diharapkan dapat
menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap
(tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Hal
ini dalam rangka menyongsong perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan abad 21, yang
mengalami pergeseran baik ciri maupun model pembelajaran. Skema pada Gambar 2 berikut
inimenunjukkan pergeseran paradigma belajar abad 21 yang berdasarkan ciri abad 21 dan model
pembelajaran yang harus dilakukan(www.kemdikbud.go.id).
Gambar 2. Paradigma Pengembangan Kurikulum 2013
Gambar 2menunjukkan posisi kurikulum 2013 yang terintegrasi sebagaimana tema pada
pengembangan kurikulum 2013. Untuk mencapai tema itu, dibutuhkan proses pembelajaran yang
mendukung kreativitas. Oleh karena itu perlu dirumuskan kurikulum yang mengedepankan
pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation
based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Di samping itu, dibiasakan bagi
peserta didik untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning. Untuk menghasilkan
peserta didik yang mempunyai kemampuan yang sebagaimana diharapkan dari perubahan
kurikulum 2013 ini, maka terdapat beberapa elemen perubahan sebagaimana ditunjukkan pada
elemen perubahan gambar diatas(http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/05/11584463)
Perubahan kurikulum 2013 atau pengembangan kurikulum 2013, diharapkan mampu mendorong
peserta didik aktif dan kreatif melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan
(mempresentasikan), apa yang diperoleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelaj-
aran. Melalui pengembangan kurikulum 2013, diharapkan peserta didik memiliki kompetensi sikap,
108 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
keterampilan, dan pengetahuan yang jauh lebih baik. Peserta didik akan lebih kreatif, inovatif, dan
lebih produktif. Sedikitnya ada lima entitas, masing-masing peserta didik, pendidik dan tenaga
kependidikan, manajemen satuan pendidikan, Negara dan bangsa, serta masyarakat umum, yang
diharapkan mengalami perubahan. Skema 2 menggambarkan perubahan yang diharapkan pada
masing-masing enitas (http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/artikel-menyongsong-penerapan-
kurikulum2013).
Perubahan kurikulum menuntut perubahan paradigma pembelajaran dari teaching ke learning dari
teaching community ke learning community. Dengan demikian guru dituntut untuk kreatif dan
inovatif dalam mendesain pembelajaran agar peserta didik termotivasi dan merasa senang selama
pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya dari guru bagaimana
mengembangkan pembelajaran agar pembelajaran menjadi menarik, menyenangkan, memotivasi
siswa untuk belajar mandiri.
Dalam tataran operasional, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan.Ketiga ranah
kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda. Sikap diperoleh
melalui aktivitas“ menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”.
Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas“ mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, mencipta. Keterampilan diperoleh melaluiaktivitas“ mengamati, menanya, mencoba,
menalar, menyaji, dan mencipta”.Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan
turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses (Permendikbud No. 65 Tahun 2013). Untuk
memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antarmata pelajaran), dan
tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis
penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta didik
untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan
menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah
(project based learning). Pendekatan/model belajar yang diharapkan dalam penerapan Kurikulum
2013 meliputi karakteristik tematik terpadu, pendekatan scientific, discovery learning, problem
based learning, dan project based learning.
Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu metode pembelajaran yang layak
dikembangkan seiring dengan tuntutan pembelajaran dalam penerapan Kurikulum 2013. Hal ini
selaras dengan karakteristik PBL sebagai suatu metode pembelajaran konstruktivistik berorientasi
student centered learning yang mampu menumbuhkan jiwa kreatif, kolaboratif, berpikir
metakognisi, mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, meningkatkan pemahaman akan
makna, meningkatkan kemandirian, memfasilitasi pemecahan masalah, dan membangun teamwork.
Dengan demikian upaya perumusan model pembelajaran tersebut mendesak dilakukan dalam upaya
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 109
meningkatkan efektifitas implementasi Kurikulum 2013. Namun demikian hingga saat ini belum
ditemukan model dan formula yang tepat dalam implementasi PBL tersebut sebagai rujukan
pembelajaran terutama di SMK. Oleh karenanya diperlukan kajian kondisi awal pembelajaran
dalam penerapan Kurikulum 2013, dan kondisi setelah diterapkannya PBL. Hasil peneltian ini
diharapkan menjadi rujukan bagi SMK di Indonesia dalam mengimplementasikan pembelajaran
khusunya PBL selaras dengan tuntutan pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum 2013.
Problem-based Learning
Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning) merupakan salahsatu model yang tepat
dikembangkan dalam pembelajaran teknologi untuk merespon isu-isu peningkatan kualitas
pembelajaran teknologi dan antisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di dunia kerja.
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) adalah strategi pembelajaran yang “menggerakkan” siswa
belajar secara aktif memecahkan masalah yang kompleks dalam situasi realistik. PBL dapat
digunakan untuk pembelajaran di tingkat matapelajaran, unit matapelajaran, atau keseluruhan
kurikulum. PBL seringkali dilakukan dalam lingkungan belajar tim dengan penekanan pada
kegiatan membangun pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan pengambilan
keputusan secara konsensus, dialog dan diskusi, kerjasama tim, manajemen konflik, dan
kepemimpinan tim.
Problem-based Learning merupakan pendekatan yang berorientasi pada pandangan konstruktivistik
yang memuat karakteristik kontekstual, kolaboratif, berpikir metakognisi, dan memfasilitasi
pemecahan masalah. Siswa dimungkinkan belajar secara bermakna yang dapat mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui pemecahan masalah. Problem-based learning merupakan
pendekatan yang membelajarkan siswa yang dikonfrontasikan dengan masalah praktis, berbentuk
ill-structured, atau open ended melalui stimuli dalam belajar (Boud dan Falleti, 1997 dalam
Demitra, 2003).
Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning) juga merupakan pendekatan
pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belajar tentang cara berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. (Nurhadi, 2004). Dengan
demikianPBL merupakan pembelajaran yang dipandu oleh permasalahan. Sebelumnya siswa
diberikan permasalahan. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan baru untuk memecahkannnya
(http://chemeng.mcmaster.ca/pbl/pbl.htm). Hal ini sejalan dengan yang Tan (2004:7) menyatakan:
110 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Problem-based learning is recognized as a progressive active-learning and learner-centered
approach where unstructured problems (real-world or simulated complex problems) are used as the
starting point and anchor for the learning process.
Pembelajaran berbasis masalah juga merupakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik,
serta didasari pada permasalahan nyata/real world problem (http://www.pbli.org/pbl/pbl.htm).Lebih
lanjut beberapa karakteristik pembelajaran PBL antara lain: (1) siswa harus peka terhadap
lingkungan belajarnya, (2) simulasi problem yang digunakan hendaknya berbentuk ill-structured,
dan memancing penemuan bebas (free for inquiry), (3) pembelajaran diintegrasikan dalam berbagai
subyek, (4) pentingnya kolaborasi, (4) pembelajaran hendaknya menumbuhkan kemandirian siswa
dalam memecahkan masalah, (5) aktivitas pemecahan masalah hendaknya mewakili pada situasi
nyata, (6) penilaian hendaknya mengungkap kemajuan siswa dalam mencapai tujuan dalam
pemecahan masalah, (7) PBL hendaknya merupakan dasar dari kurikulum bukan hanya
pembelajaran.
Beberapa kelebihan dari metode PBL antara lain: meningkatkan pemahaman akan makna,
meningkatkan kemandirian, meningkatkan pengembangan skill berpikir tingkat tinggi,
meningkatkan motivasi, memfasilitasi relasi antar siswa dan meningkatkan skill dalam membangun
teamwork(http://edweb.sdsu.edu/clrit/learningtree/PBL/PBLadvantages.htm).
Pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti pembelajaran proyek (project-
based learning), pendidikan berbasis pengalaman (experience based learning),pembelajaran otentik
(authentic learning) dan pembelajaran berakar pada kehidupan nyata (anchored instruction).Peran
guru dalam pembelajarn berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan
memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Pengajaran berbasis masalah tidak dapat dilaksanakan jika
guru tidak mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara
terbuka. Intinya, siswa dihadapkan situasi masalah yang otentik dan bermakna yang menantang
siswa untuk memecahkannya.
PBL didasarkan pada kerangka kerja teoretik konstruktivisme, social learning, situated cognition,
dan komunitas praktik sebagai teori belajar. Teori-teori ini memiliki tema-tema umum tentang
konteks dan proses belajar yang saling terkait. Landasan-landasan berpikir yang memberikan
rasional PBL antara lain: Pertama, belajar bermakna sering terjadi dalam konteks tertentu. Dengan
kata lain, belajar adalah makin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan
situasi di mana konsep diterapkan. Misalnya, siswa ingin mempelajari tentang anatomi dan siklus
kehidupan ikan karena mereka merasa bahwa informasi ini berguna dalam penentuan sebab
kematian ikan di sungai. Cara belajar ini jelas kontradiktif dengan model kurikulum tradisional.
Belajar dalam kelas biologi tradisional, siswa belajar anatomi dan siklus kehidupan ikan sebelum
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 111
mereka memahami bagaimana informasi itu mungkin digunakan. Dalam situasi PBL, siswa
dihadapkan pada kegiatan aplikatif dan melakukan analisis, barangkali sebelum mereka mengetahui
atau memahami konsep yang tercakup dalam situasi itu. Lebih daripada itu, dalam PBL semua
pengetahuan dan keterampilan secara langsung relevan dengan konteks, sedangkan dalam model
kurikulum tradisional pengetahuan dan keterampilan dasar mungkin tidak pernah diaplikasikan.
Para pendidik yang menerapkan PBL meyakini bahwa siswa acapkali gagal membuat hubungan
antara “pengetahuan buku” dan aplikasi tanpa mereka belajar dengan aplikasi praktik. Jadi,
perspektif belajar berbasis masalah menegaskan bahwa partisipasi adalah elemen penting dalam
belajar.
PBL juga berdasarkan pada pandangan bahwa belajar terjadi melalui interaksi sosial sedangkan
sumber-sumber belajar dapat membantu setiap individu memperluas belajar mereka. Kerangka
pikirnya menegaskan bahwa pemahaman dari suatu ide atau konsep terbatas pada beberapa poin,
dan menegaskan apa yang disebut dengan zone of proximal development. Zona ini dapat terjadi
sepanjang tingkat pemahaman antar individu, tergantung pada keluasan pengetahuan dan
pemahaman mereka. Agar dapat memperluas pemahaman yang sebelumnya mengalami hambatan,
individu harus berinteraksi dengan orang atau medium yang dapat memberikan informasi baru,
sehingga mendapatkan perspektif baru. Tipe interaksi eksternal ini dapat membantu siswa
melampaui zone of proximal development, memperluas pemahaman mereka mengembangkan
pikiran-pikiran baru yang muncul kemudian. Dalam situasi kompleks yang dikaitkan dengan PBL,
siklus belajar yang majemuk saling berkoeksistensi dan berkembang secara simultan, masing
menekankan pada konsep dan strategi yang berbeda.
Karakteristik dan Tahapan Pembelajaran Model Problem-Based Learning
Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan
kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan intelektual, belajar tentang berbagai
peran orang dewasa dengan melibatkan diri dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi
pembelajar yang otonom dan mandiri. Pembelajaran Berbasis Masalah memerlukan beberapa
tahapan dan beberapa durasi tidak sekedar merupakan rangkaian pertemuan kelas serta belajar
dalam tim kolaboratif. Secara umum siswa melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar
kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis
informasi. Pemecahan masalah selain dilakukan secara kolaboratif juga harus bersifat inovatif, unik,
dan berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan siswa atau kebutuhan
masyarakat atau industri lokal. Dari perspektif ini, jelas sekali Pembelajaran Berbasis Masalah
112 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
merupakan model yang inovatif yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan
yang kompleks (CORD, 2001:65). Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-
prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan siswa dalam investigasi pemecahan masalah dan
kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan siswa bekerja secara otonom
mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata
(Thomas, 2000:http://www.autodesk.com/foundation).
Pengajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahap utama yang dimulai dengan suatu
situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Dalam penyusunannya
maka problem yang digunakan berciri; menunjukkan lingkungan atau siytuasi yang mewakili
situasi nyata, masalah benar-benar nyata, masalah memungkinkan untuk dipecahkan, interdisiplin,
objectif, berorientasi pada penyelesaian tugas, serta membutuhkan pengetahuan yang kompleks.
Dalam strukturnya akan terdiri dari pengantar, isi, dasar teori, bahan, hasil yang diharapkan.
Disamping itu pembelajaran model PBL juga bercirikan penyelesaian masalah dalam kelompok-
kelompok kecil yang mandiri (http://edweb.sdsu.edu/clrit/learningtree/PBL/PBLadvantages.html).
Secara rinci tahapan-tahapan pembelajaran model PBL dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tahapan-tahapan Pembelajaran PBL
Tahapan Tingkah Laku Guru
Tahap 1 Orientasi siswa
kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar
terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang
dipilihnya
Tahap 2. Mengorganisasi
siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
Tahap 3. Membimbing
penyelidikan individual
dan kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksankan eksperimen, untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
Tahap 4. Mengembangkan
dan menyajikan hasil
karya
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model
serta membantu mereka berbagi tugas dengan
temannya
Tahap 5. Menganalisis
dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Guru membantu melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka
gunakan.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 113
Secara operasional pembelajaran masalah dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Problem diberikan di dalam urutan belajar, sebelum persiapan atau berlangsungnya kegiatan, (2)
Situasi masalah diberikan kepada siswa dalam cara yang sama seperti masalah itu terjadi di dunia
nyata, (3) Siswa bekerja menyelesaikan masalah yang dapat memberi peluang dirinya berpikir dan
menggunakan pengetahuannya, sesuai dengan level belajarnya, (4) Lingkup belajar pemecahan
masalah ditetapkan dan digunakan sebagai pemandu belajar individual, (5) Pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk belajar ini, diterapkan kembali pada masalah, untuk
mengevaluasi keefektifan belajar dan memberi penghargaan belajar, dan (6) Belajar yang terjadi di
dalam kerja dengan masalah dan dalam belajar individual, diringkas dan diintegrasikan ke dalam
pengetahuan dan keterampilan siswa yang sudah dimiliki(Muslimin & Moh. Nur, 2000:13).
Dari uraian di atas terlihat bahwa pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa secara aktif.
Siswa tidak menerima materi pelajaran semata-mata dari guru, melainkan berusaha menggali dan
mengembangkan sendiri. Dengan demikian diharapkan siswa lebih termotivasi dalam belajar dan
mengetahui kebermaknaan dari apa yang dipelajarinya. Hasil belajar yang diperoleh tidak semata
berupa peningkatan pengetahuan, tetapi juga meningkatkan keterampilan berfikir.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode ex-post facto. Penelitian dilakukan di
lima SMK di Yogyakarta dengan paket keahlian teknik pemesinan, teknik pengelasan, teknik
kendaraan ringan, teknik sepeda motor, dan boga. Pupolasi penelitian adalah guru mata pelajaran
produktif dari lima SMK yang terbagi dalam sembilan grup. Sampel diambil sama dengan populasi.
Data dambil dengan angket dan wawancana melalui Focused Group Discussion (FGD). Data
dianalisis secara deskriptif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kondisi Awal Pembelajaran dalam Penerapan Kurikulum 2013
Data variabel implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013diperoleh menggunakan
angket tertutup dengan jumlah butir 48. Skor minimal per butir 1 dan skor maksimal per butir 4
(empat alternatif jawaban). Dengan demikian rentang skor yang ditetapkan untuk variabel
kesesuaian implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 adalah dari 48 sampai
dengan 192, rerata kriteria (Mi) sebesar 120 dan simpangan baku kriteria (SDi) sebesar 24.
Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh rentang skor antara 115 sampai dengan 198, harga rerata
114 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
(mean) sebesar 152,26, nilai tengah (median) sebesar 149, modus (mode) sebesar 149, dan
simpangan baku sebesar 19,639.
Kecenderungan data variabel kesesuaian implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum
2013 dapat diketahui dengan membandingkan besarnya rerata hasil penelitian (empiris) dengan
rerata kriteria yang ditetapkan. Dari hasil perhitungan diperoleh rerata data hasil penelitian
(empiris) sebesar 150,52. Nilai tersebut lebih besar dibanding rerata kriteria sebesar 19200. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kesesuaian implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum
2013 secara keseluruhan termasuk kategori di atas rerata. Selanjutnya kecenderungan dari masing-
masing skor tersebut dapat dibedakan menjadi lima kategori yang memiliki rentang antara 48
sampai 192. Gambaran secara rinci dapat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Kecenderungan Skor Variabel Kesesuaian Implementasi
Pembelajaran dengan Tuntutan Kurikulum 2013
No Interval Kategori Jumlah Persentase
(%)
1 154,6 - 192 Sangat Tinggi 30 30
2 135,4 - 153,6 Tinggi 61 61
3 105,6 - 134,4 Sedang 9 9
4 86,4 - 104,6 Rendah - -
5 48 - 85,4
Sangat
Rendah - -
Jumlah
100 100
Berdasarkan persentase kecenderungan data variabel tersebut dapat diketahui bahwa kesesuaian
implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 secara umum cenderung termasuk
dalam kategori tinggi sampai sangat tinggi. Hal ini selaras dengan rerata hasil penelitian yang telah
dianalisis.
Berdasarkan analisis deskriptif dapat pula diketahui pencapaian skor variabel kesesuaian
implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 dengan cara membandingkan skor
total yang dicapai (empiris) dengan skor total tertinggi yang ditetapkan. Untuk variabel kesesuaian
implementasi pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 diperoleh skor total 15052 dan skor
tertinggi yang ditetapkan adalah 19200 sehingga skor variabel kesesuaian implementasi
pembelajaran dengan tuntutan kurikulum 2013 mencapai 78,40% dari skor tertinggi yang ditetapkan
dengan kategori tinggi.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 115
Aspek kesesuaian implementasi pembelajaran secara rinci dalam aspek pendahuluan, kegiatan inti,
dan penutup dapat dicermati pada Tabel 3 s.d. Tabel 6.
Tabel 3. Kesesuaian Implementasi Pembelajaran dengan Tuntutan Kurikulum 2013 Aspek
Pendahuluan
No Pernyataan Rerata Pencapaian
Skor (%)
1 Menyampaikan manfaat materi pembelajaran 3,32 83
2 Menyampaikan kemampuan yang akan dicapai
peserta didik
3,27 82
3 Menyampaikan rencana kegiatan misalnya,
individual, kerja kelompok, dan melakukan
observasi.
3,22 81
4 Mengaitkan materi pembelajaran sekarang dengan pengalaman peserta didik atau pembelajaran sebelumnya.
3,22 81
5 Mendemonstrasikan sesuatu yang terkait dengan tema.
3,19 80
6 Mengajukan pertanyaan menantang. 3,02 76 Tabel 4. Sepuluh Besar Aspek Kesesuaian Implementasi Pembelajaran dengan Skor Tinggi
No Pernyataan Rerata Pencapaian Skor (%)
1 Menyesuaikan materi dengan tujuan pembelajaran.
3,26 82
2 Memancing peserta didik untuk bertanya 3,26 82 3 Memfasilitasi peserta didik untuk bertanya 3,26 82 4 Memfasilitasi peserta didik untuk mengamati 3,26 82 5 Menunjukkan sikap terbuka terhadap respons
peserta didik. 3,26 82
6 Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.
3,23 81
7 Menumbuhkan partisipasi aktif peserta didik 3,23 81 8 Merespon positif partisipasi aktif peserta didik 3,23 81
116 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
9 Menunjukkan hubungan antar pribadi yang kondusif
3,23 81
10 Menumbuhkan keceriaan atau antusiasme peserta didik dalam belajar
3,23 81
Tabel 5. Sepuluh Besar Aspek Kesesuaian Implementasi Pembelajaran dengan Skor Rendah
No Pernyataan Rerata Pencapaian Skor (%)
1 Menerapkan Project based learning 2,85 71
Memfasilitasi siswa untuk melakukan sintesis 2,85 71 Menerapkan discovery learning 2,85 71 2 Memfasilitasi siswa untuk melakukan interpretasi 2,97 74 3 Menerapkan pendekatan sientific 2,99 75 4 Memfasilitasi siswa untuk melakukan penilaian 2,99 75 Memfasilitasi kegiatan yang memuat komponen
eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi 3,05 76
Menggunakan proyek/kegiatan sebagai media 3,05 76 Memberikan masalah untukmemberi kesempatan
siswa melakukan proses problem solving 3,05 76
5 Menggunakan media pembelajaran yang beragam 3,05 76
Tabel 6. Kesesuaian Implementasi Pembelajaran dengan Tuntutan
Kurikulum 2013 Aspek Penutup
No Pernyataan Rerata Pencapaian
Skor (%)
1 Memberihan tes lisan atau tulisan . 3,18 80
2 Mengumpulkan hasil kerja sebagai bahan portofolio.
3,15 79
3 Melakukan refleksi atau membuat rangkuman dengan melibatkan peserta didik.
3,12 78
4 menerapkan penilaian authentic 3,06 77
5 Melaksanakan tindak lanjut dengan memberikan arahan kegiatan berikutnya dan tugas pengayaan.
3,06 77
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 117
Berdasarkan data pada Tabel 3 s.d. Tabel 6 di atas tampak bahwa implementasi pembelajaran
dalam aspek pendahuluan dan penutup pada dasarnya memiliki kesesuaian yang tinggi, sedangkan
dalam hal kegiatan inti aspek ketidaksesuaian pada umumnya bersumber dari belum diterapkannya
pembelajaran scientific, project based learning, discovery, dan penilaian otentik atau project based
learning.
Potensi implementasi Problem Based Learning dalam penerapanKurikulum 2013 di SMK diperoleh
melalui angket dengan 14 buah pertanyaan. Hasil lengkap disajikan sebagai berikut. Pertama,
pemahaman tentang Problem Based LearningI adalah: (a) 8 orang atau 8% guru menyatakan sangat
memahami PBL; (b) 75 orang atau 75% guru menyatakan sebagaian besar memahami PBL; (c) 17
orang atau 17% guru menyatakan kurang memahami PBL.
Kedua, penerapan Problem Based Learning adalah: (a) 4 orang atau 4% guru menyatakan belum
pernah menerapkan PBL; (b) 41 orang atau 41% guru menyatakan baru pada tahap mencoba PBL;
(c) 5 orang atau 5% guru menyatakan pernah menerapkan PBL satu kali; (d) 34 orang atau 34%
guru menyatakan lebih dari satu kali menerapkan PBL; (e) 16 orang atau 16% guru menyatakan
sudah merasakan manfaat atau dampak penerapan PBL.
Ketiga, pemahaman tentang prinsip-prinsip Problem Based Learning adalah: (a) 55 orang atau 55%
guru menyatakan sebagaian besar memahami prinsip-prinsip PBL; (b) 45 orang atau 45% guru
menyatakan belum memahami prinsip-prinsip PBL.
Keempat, Informasi tentang Problem Based Learning adalah: (a) 8 orang atau 8% guru menyatakan
belum pernah menerima sosialisasi PBL; (b) 84 orang atau 84% guru menyatakan PBL pernah
menerima sosialisasi baik yang diselenggarakan sekolah, maupun pihak luar; (c) 8 orang atau 8%
guru menyatakan mendapat informasi PBL dari sumber pustaka.
Kelima, penyampaian informasi tentang Problem Based Learning dalam pelatihan adalah: (a) 63
orang atau 63% guru menyatakan bahwa PBL disampaikan dalam pelatihan kurikulum 2013; (b) 37
orang atau 37% guru menyatakan bahwa PBL disampaikan dalam pelatihan kurikulum 2013;
Keenam, penerapan Problem Based Learning di SMK adalah: (a) 13 orang atau 13% guru
menyatakan baru pada tahap pemahaman implementasi PBL; (b) 44 orang atau 44% guru
menyatakan beberapa guru telah menerapkan; (c) 23 orang atau 23% guru menyatakan telah
menerapkan secara efektif; (d) 20 orang atau 20 % guru menyatakan telah menerapkan PBL secara
berkelanjutan.
Ketujuh, kesesuaian dengan pendekatan saintifik adalah: (a) 90 orang atau 90% guru menyatakan
bahwa PBL sesuai dengan pendekatan saintifik dalam penerapan Kurikulum 2013; (b) 10 orang
118 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
atau 10% guru menyatakan bahwa PBL kurang atau tidak sesuai dengan pendekatan saintifik dalam
penerapan Kurikulum 2013.
Kedelapan, kemungkinan penerapan Problem Based Learning adalah: (a) 94 orang atau 94% guru
menyatakan bahwa PBL sangat mungkin diterapkan dalam penerapan Kurikulum 2013; (b) 6 orang
atau 6% guru menyatakan bahwa PBL tidak mungkin diterapkan dalam penerapan Kurikulum 2013.
Kesembilan, mata pelajaran yang sesuai untuk menerapkan Problem Based Learning adalah : (a) 48
orang atau 48% guru menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan di semua mata pelajaran, (b) 51
orang atau 51% guru menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan di mata pelajaran produktif, (c) 5
orang atau 5% guru menyatakan bahwa PBL cocok diterapak pada mata pelajaran teori.
Kesepuluh, kelayakan penerapan Problem Based Learning adalah: (a) 58 orang atau 58% guru
menyatakan bahwa PBL dapat diterapkan pada semua tingkat; (b) 9 orang atau 9% guru
menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan untuk siswa Tingkat I; (c) 27 orang atau 27% guru
menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan untuk siswa Tingkat II; (d) 9 orang atau 9% guru
menyatakan bahwa PBL cocok diterapkan untuk siswa Tingkat III.
Kesebelas, program yang dibutuhkan dalam implementasi Problem Based Learning, Sebagian
besar guru menyatakan bahwa dalam implemetasi PBL dibutuhkan sosialisasi, penyusunan
perangkat, perencanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.
Kedua belas, perangkat yang dibutuhkan dalam implementasi Problem Based Learning, Sebagian
besar guru menyatakan bahwa dalam implementasi PBL diperlukan RPP, buku ajar, modul, bahan
ajar, media, dan alat evaluasi.
Ketiga belas, kemanfaatan Problem Based Learning adalah: (a) 42 orang atau 42% guru
menyatakan belum merasakan manfaat dari PBL; (b) 58 orang atau 58% guru menyatakan sudah
merasakan manfaat dari PBL.
Berdasarkan data di tersebut dapat dicermati bahwa padadasarnya sekolah maupun guru memiliki
potensi yang cukup dalam mengimplementasikan PBL. Semua guru juga menunjukkan persepsi
positif tentang PBL dan menyatakan bahwa PBL memiliki keuntungan dalam meningkatkan
kemampuan siswa baik dalam aspek hard skill maupun soft skills.
Kondisi Pembelajaran dalam Penerapan PBL
Berdasarkan refleksi dari pelaksanaan PBL di sembilan kelompok meliputi SMK bidang teknik
mesin, teknik otomotif, dan tata boga, terdapat beberapa hasil implementasi PBL dalam penerapan
Kurikulum 2013.
Pertama, menurut para guru, PBL merupakan pembelajaran yang mudah direncanakan. Namun
demikian dalam aplikasinya masih dibutuhkan waktu cukup panjang bagi guru untuk memulai
merencanakan pembelajaran. Hal ini terutama menyangkut keraguan guru apakah memang PBL
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 119
bisa diterapkan selaras dengan pembelajaran yang diharapkan dalam penerapan Kurikulum 2013.
Masih dibutuhkan waktu bagi tim guru untuk meyakini bahwa PBL memang selaras dengan
pembelajaran yang diharapkan di Kurikulum 2013. Dalam implementasi PBL penekanan bahwa
PBL adalah pembelajaran yang selaras dengan pendekatan saintifik sangat penting ditegaskan. Hal
ini akan mengurangi keraguan guru dalam merencanakan pembelajaran dengan PBL.
Kedua, para guru mengemukakan bahwa PBL akan lebih mudah diterapkan bila didukung dengan
materi, media, dan bahan ajar yang lengkap. Dengan materi, media, dan bahan ajar yang lengkap
maka guru akan leluasa mendesain permasalahan sesuai dengan karakteristik siswa. Dengan
demikian kemampuan guru dalam mengembangkan materi pembelajaran, media, dan bahan ajar
merupakan salah satu kunci keberhasilan penerapan PBL.
Ketiga, PBL dapat diterapkan baik pada materi yang sederhana maupun kompleks. Untuk materi
yang sederhana PBL dapat diterapkan dengan lebih mudah, namun untuk materi yang sifatnya
kompleks beberapa guru yang mencoba masih mengalami kesulitan di tahap-tahap awal. Oleh
karenanya guru perlu mencoba penerapan PBL dalam materi pembelajaran yang sederhana terlebih
dahulu, setelah memiliki pengalaman dapat menerapkan di materi yang lebih kompleks. Demikian
halnya dalam pembelajaran teori, sebagian besar guru menyatakan PBL lebih mudah diterapkan
dalam pembelajaran teori meskipun bukan berarti tidak dapat diterapkan di pembelajaran praktek.
Untuk pembelajaran praktek, aspek PBL perlu ditekanakan dalam upaya membangun kerangka
pikir “bagaimana supaya praktek dapat dilakukan dengan tepat dan efisien”. Sehingga PBL tidak
dimaksudkan untuk merubah atau mempertanyakan metode praktek yang sudah baku.
Keempat, para guru menyatakan bahwa PBL mampu menunjang pembelajaran dalam penerapan
Kurikulum 2013. Kemampuan-kemampuan yang muncul tidak hanya menyangkut penguasaan
siswa terhadap materi pembelajaran, namun kemampuan lain yang bersifat afektif atau soft skills
dapat berkembang dengan baik. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan bertanya,
mengemukakan pendapat, kerjasama, disiplin, kerja keras, keaktifan, dan kreatifitas. Dengan
demikian jelas bahwa PBL dapat meningkatkan kompetensi siswa secara komprehensif meliputi
aspek knowledge, attitude, dan skill.
Kelima, aspek yang paling krusial dan dirasa membutuhkan kerja keras dalam pendekatan saintifik
dan PBL adalah mengorganisasi pertanyaan atau menumbuhkan kemampuan siswa untuk menanya.
Hal ini dirasakah oleh sebagian besar guru. Dalam aspek yang lain seperti mengumpulkan data,
mengasosiasi, dan mengomunikasi siswa relative tidak mengalami kesulitan yang berarti. Oleh
karenanya kemampuan menanya bagi siswa merupakan aspek penting yang perlu ditingkatkan.
120 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Keenam, sebagian besar guru menyatakan bahwa kunci keberhasilan guru dalam
mengimplementasikan PBL adalah kemampuan untuk mendesain problem atau permasalahan.
Makin beragam dan makin kontekstual problem yang didesain makin memudahkan guru dalam
mengelola kelas. Iklim kelas akan sangat ditentukan oleh seberapa baik permasalahan dirumuskan.
Berdasarkan catatan-catatan tersebut, maka langkah awal yang perlu dilakukan dalam menerapkan
PBL adalah merubah pola pikir pengajar tentang PBL. Perlu diyakinkan bahwa PBL merupakan
pembelajaran yang dapat diterapkan dalam mendukung pembelajaran di Kurikulum 2013. Langkah
berikutnya adalah perlunya pelatihan guru dalam menerapkan PBL, menyiapkan materi ajar, media,
dan bahan ajar. PBL terbukti mampu meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek kemampuan
(hard skills) maupun sikap (soft skills).
SIMPULAN
PBL sangat potensial diterapkan dalam penerapan Kurikulum 2013 di SMK. Kesesuaian
implementasi pembelajaran dalam penerapan Kurikulum 2013 termasuk kategori Sebagian besar
guru menyatakan bahwa PBL layak diterapkan di setiap mata pelajaran dalam implementasi
Kurikulum 2013. langkah awal yang perlu dilakukan dalam menerapkan PBL adalah merubah pola
pikir pengajar tentang PBL. Perlu diyakinkan bahwa PBL merupakan pembelajaran yang dapat
diterapkan dalam mendukung pembelajaran di Kurikulum 2013. Langkah berikutnya adalah
perlunya pelatihan guru dalam menerapkan PBL, menyiapkan materi ajar, media, dan bahan ajar
DAFTAR PUSTAKA
21st Century Student Outcome and Support System. Diambil dari www.21stcenturyskills.org., pada
tanggal 23 April 2011.
Demitra (2003). Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika Sekolah Dasar dengan Pendekatan
Problem Based Learning. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran
di Hotel Inna Garuda Tanggal 22 – 23 Agustus 2003.
Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Depdikbud. (2013). Permendikbud No 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses. .
Nurhadi. (2004). Kurikulum 2002: Pertanyaan & Jawaban. Jakarta: Grasindo.
Sukamto. (2001). Perubahan karalteristik dunia kerja dan revitalisasi pembelajaran dalam
kurikulum pendidikan kejuruan. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Pendidikan Kejuruan pada
Fakultas Teknik UNY, tanggal 5 Mei 2001.
Tan, Oon-Seng. (2009). Problem-based Learningand Creativity. Singapore: Cengage Learning Asia
Pte Ltd.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 121
Wardiman. (2016). Sepanjang Jalan Kenangan, Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Wagiran.(2010a). Pengembangan Pembelajaran Model Problem Based Learning dengan Media
Pembelajaran Berbantuan Komputer dalam Matadiklat Measuring bagi Siswa SMK (Tahun Kedua).
Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY.
122 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
INCREASED COMPETENCY THROUGH TRAINING INTERVENTIONS Survey in PT Kimia Farma Pharmacy Business Unit of the City Depok 2016
Iffah Budiningsih1 , Tjiptogoro Dinarjo Soehari2, Masduki Ahmad3
[email protected], [email protected], [email protected]
1,2,3 Lecturer of University Islam As Syafi’iyah, Jakarta – Indonesia
ABSTRACT
This purpose of this is to determine the influence of training interventions toward the improvement
of the competence of employee work in the era of digitalization.Research methods The survey
method used was correlation between the independent variable (X) training intervention and
dependent variable (Y) workplace competencies. Regression analysis is used to determine the
model of the reletionship between the variable Y (work competence) and X (intervention training),
while the correlation analysis to determine whether the relationship between the variable Y
(competence) and X (training intervention). The target population in this study are employees of PT
Kimia Farma Pharmacy in Depok City and tee level of employees in this research are assistant
manager, supervisor, and clerks. The total number of population is 96 employees; and all of the
population made a sample reserach. Engineering data retrie by using of non instrument test
(questionnaire) using the likert scale. The results of the research are : (a) in era of information
technology progress of training intervention still give positive influence and strong as an
instrument toenhance employee competence, particulary related to incerased motivation to achieve
organizational targets and objectives; (b) incerased employee competencies can be predicted by
intervention training by using simple regression model of Y= 0,878 + 0,777 X; (c) training
contribute to the achievement of competencies work for as much as 45.5%, while the remaining
55,5 % of other factor such as, working environment, leaders’ support, reward system, suport
infrastructure support work, etc. The recommendations are: (a) for the purpose of the attainment
o0f competencies “new skill” competence; more advisable to use intervantion internship or
mentoring expert to the work of the training intervention (employees won’t to leave the
workplace and work as usually;(b) intervention training will provide for employee career
development system and the progress of the company/organizaztion if training is managed
systematically and sustainably managed.
Keywords : Intervention , competence, training
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 123
PENDAHULUAN
Pelatihan merupakan salah bentuk implementasi dari pembelajaran orang dewasa atau sering
disebut dengan andragogy. Andragogy dari kata ‘egogos‘ yang artinya membimbing, sehingga
secara harfiah mempunyai makna yaitu upaya membimbing orang dewasauntuk tujuan peningkatan
sikap, pengetahuan maupun keterampilannya. Makna dari definisi orang dewasa secara sosial dan
psikologi adalah individu yang telah mempunyai ‘peran’ dapat mengarahkan dirinya sendiri (self
directing). Pelatihan muncul ketika setiap individu dewasa yang telah mendapatkan peran dalam
kehidupannya baik berkaitan dengan pekerjaannya, kehidupan keluarga, kemasyarakatan dll,
menyadaridiperlukan peraturan, etika atau ketarampilan baru yang sebelumnya belum dimiliki guna
menjalankan peran dalam kehidupannya; mereka menyadari ternyata banyak hal yang harus
dipelajari lagi, sehingga perlu pelatihan.Secara umum tujuan dari pelatihan adalah untuk
mengembangkan keterampilan baru, pengetahuan atau keahlian yang dibutuhkan dalam
menjalankan perannya (pekerjaannya). Pendekatan belajar orang dewasa pada umunya dimulai dari
situasi peran dalam kehidupannya seringkali terkait dengan pekerjaannya, sehingga pelatihan
dimulai dari kemampuanapa atau kompetensi apa yang belum atau kurang dimiliki untuk
menjalankan peran yang sebaik mungkin dalam pekerjaannya (untuk memenuhi standar minimal).
Seiring dengan perjalanan waktu dan berkembangnya IPTEK khususnya teknologi informasi
berakibat pada terjadinya perubahan budaya dalam menjalani kehidupan termasuk juga dalam
budaya organisasi/perusahaan. Kemajuan Teknologi informasi berdampak pada berkembangnya
konsep dalamproses pembelajaran yaitu bahwa pembelajaran/pelatihan dapat dilakukan dimana
saja, kapan saja, dan oleh siapa saja; hal tersebut memberikan implikasi bahwa untuk proses
pembelajaran/pelatihan dapat dilakukan dengan tanpa ruang kelas, tanpa guru (tidak ada tatap
muka), sehingga hal tersebut memberikan keuntungan dalam pembiayaan atau lebih efisien.
Kegiatan pelatihan pada umumnyamemerlukan biaya yang cukup mahal, tidak hanya dari sudut
pandang biaya pengembangan dan pengiriman karyawan, tetapi yang lebih penting karyawan
harus mengorbankan waktu meninggalkan pekerjaannya untuk mengikuti pelatihan yang
seharusnya untuk menghasilkan sesuatu. Studi terbaru dari Baldwin dan Ford (1988) dan Ford dan
Weissbein, (1997) menunjukkan bahwa hanya ada sedikit efek transfer dari pelatihan untuk
pekerjaannya sekitar 10% - 20% setelah setahun pelatihan dan tidak banyak intervensi
peningkatan kinerja. Pendapat beberapa orang bahwa kinerja dapat ditingkatkan dengan cara yang
lebih murah (misalnya, penghapusan tugas-tugas yang tidak kompatibel, pengenalan sistem umpan
balik, dll), maka rasio biaya-manfaat yang lebih tinggi dapat diturunkan Saat ini berkembang bahwa
124 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
program training boleh jadi hanya sebagai salah satu intervensi untuk meningkatkan kemampuan
seseornag guna memperoleh perilaku/kemampuan/kinerja baru untuk menjalankan mesin-mesin
baru, dan banyak intervensi untuk meningkatkan kinerja seseorang tanpa harus meninggalkan
pekerjaannya, misal : mengundang tenaga ahli untuk pendampingan mengoperasionalkan mesin
baru tersebut, dll
Seringkali pelatihan yang diberikan kepada karyawan tidak memberi dampak terhadap
perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilannya sehingga berdampak tidak berubahnya cara
kerja karyawan tersebut, padahal tujuan utama mengikuti pelatihan adalah untuk meningkatkan
sikap, pengetahuan dan ketarmpilan kerja (berubah menjadi lebih baik); hal tersebut mungkin salah
satu penyebabnya adalah bahwa pelatihanyang diberikan tidak berdasarkan pada kebutuhan yang
diperlukan oleh karyawan. Program pelatihandapat tidak berhasil meningkatkan kinerja karyawan
karena pengetahuan & keterampilan yang diperolah tidak relevan dengan peran, tugas, serta
aktivitas karyawan sehari-hari.Hasil penelitian Alireza D. (19...) tentangintervensi pelatihan dengan
judul penelitiannya : “Developing an intervention program to reduce ergonomic risk factors among
office employees”, menunjukkan bahwa intervensi training menunjukkan efek positif dalam
memperbaiki penampilan kerja ketika menjalankan pekerjaan di kantor.
Faktor kompetensi karyawan dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari memegang peranan
yang cukup penting ditengah persaingan industri di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang
kian ketat dan termasuk di dalamnya industri farmasi. Industri farmasi di Indonesia perkembangan
dan tumbuh sangat pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia, dan perkembangan
properti perumahan tempat tinggal sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk; hal tersebut
memberikan implikasi pada pertumbuhan industri retail obat-obatan (farmasi). PT. Kimia Farma
yang telah berdiri di Indonesia sejak Th 1958 hingga saat ini telah membangun sistem karier bagi
para karyawannya melalui peningkatan kapasitas SDM di semua level dalam rangka
mengantisipasi kebutuhan industri, yaitu tersedianya SDM profesional yang mampu mewujudkan
visi dan misi PT. Kimia Farma yaitu SDM yang mempunyai kompetensi untuk memenuhi standar
minimal profesionalisme.
Kompetensi atau kemampuan yang dimiliki seseorang pada umumnya diperoleh setelah
melalui proses pendidikan yaitu pendidikan formal seperti : melalui jenjang pendidikan mulai dari
SD sampai tingkat tingkat tertinggi (S3); kompetensi juga dapat diperoleh melalui pendidikan non
formal/informal pengalaman magang, kursus, pendampingan ahli, praktek terus menerus dll.
Kompetensi merupakan hasil dari proses pembelajaran atau learning outcome sehingga kompetensi
merupakan karakteristik/ciri yang telah dimilki seseorang setelah melalaui proses pembelajaran
yang menyangkut sikap (nilai-nilai), pengetahuan, dan keterampilan (skill) yang selanjuntnya
digunakan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu. Dalamn penelitian ini sebagai subyek adalah
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 125
karyawan Apotik Kimia Farma Kota Kota Depok yang merupakan Unit Bisnis dari PT Kimia
Farma. Secara umum karyawan PT Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok membutuhan kompetensi
kerja yang intinya bagaimana memberikan ‘pelayanan prima’ kepada pelangggannya.
Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) karyawan PT Kimia Farma termasuk salah satu Unit
Bisnisnya yaitu Apotik Kimia Farma Kota Kota Depok memegang peranan penting mewujudkan
visi dan misi PT. Kimia Farma menjadi perusahaan HEALTHCAREpilihan utama masyarakat yang
terintegrasi dan menghasilkan nilai-nilai yang berkesinambungan; untuk itu diperlukan SDM yang
profesional yang mempunytai kompetensi diatas standar guna mewujudkan Good Corporate
Governance serta Operational Excellence yang harus dijalankan visi dan misi semua Unit Bisnis
PT. Kimia Farma.Upaya untuk mencapai visi dan misi PT. Kimia Farma tersebut dilakukan
senantiasa memandang karyawan Kimia Farma sebagai Human Capitalyang merupakan asset PT
Kimia Farma yang paling berharga yang harus dijaga dan ditingkatkan kompetensi, pengembangan
karir, kinerja serta kesejahteraannya; sehingga menumbuhkan rasa kenyamanan dan kebanggaan
kepada PT. Kimia Farma.Proses pengelolaan SDM di Kimia Farma dikelola dengan framework
Manajemen SDM berbasis kompetensi yang diotomasi dalam sistem HCIS (Human Capital
Information System) mulai diberlakukan sejak Januari 2012. Sistem ini dijalankan secara
terintegrasi dan bertahap antara Kantor Pusat Kimia Farma sebagai Holding dengan Strategic
Business Unit (SBU) yang dimiliki oleh Kimia Farma dan/atau seluruh anak perusahaan.
Secara garis besar klasifikasi kompetensi pada Human Capital Management System yang
diterapkan di PT. Kimia Farma meliputi :Core Competency (kompetensi inti) dan Non Core
Competency(kompetensi non inti). Untuk Kompetensi inti terkait dengan karakteristik perusahaan
PT Kimia Farma yaituHEALTCARE; sedangkan kompetensi non inti adalah kompetensi yang
disyaratkan sesuai dengan unit bisnisnya dan posisi karyawannya . Adapun kompetensi non inti
Kimia Farma terbagi atas : a) Soft Competency, yang diperoleh dan diperkuat melalui berbagai :
Pelatihan, seperti : penjenjangan posisi/jabatan, Self Motivation, Communication Skill, Coaching &
Mentoringdll; b) Hard Competency, yang meliputi pelatihan : Product Knowledge, Manajemen
Perusahaan, Supply Chain Manajemen, Risk Managementdll
Berbagai pelatihan diberikan kepada karyawan PT. Kimia Farma, namun yang menjadi
permasalahan adalah tidak semua tujuan pembekalan atau perkuatan kompetensi melalui berbagai
pelatihan tersebut menghasilkan kompetensi karyawan yang sesuai dengan standart minimal dan
dapat menghasilkan kinerja yang diharapkan.
Sesuai Surat Keputusan Direksi PT. Kimia Farma Apotek, standar kompetensi pegawai PT. Kimia
Farma Apotek dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu : a) Tinggi ≥ 86; b) Sedang 75 – 85; c)
126 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Rendah ≤ 74; dan yang disarankan adalah karyawan yang mempunyai skor kompetensi “tinggi”.
Hasil pengukuran kompetensi tahun 2014 terhadap 60 karyawan dari 96 karyawan di Apotik Kimia
Farma Kota Depok, yaitu : 9 orang level Asisten Manajer (Asman), 3 orang level Supervisor dan 48
orang level Pelaksana. Dari 60 karyawan ternyata yang memenuhi standar skor kompetensi PT
Kimia Farma yaitu “tinggi” hanya mencapai 20 % dari 60 karyawan baik Asisten Manager,
Supervisor maupun pelaksana; sisanya 80 % perlu ditingkatkan kompetensinya. Pelatihan
merupakan salah satu bentuk intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi baik
hard competencymaupun soft competency.
Data pelatihan karyawan Apotik Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok pada Th 2015
menunjukkan Total Man Hour Training(THM) yang telah dicapai sebesar 35,60 jam/pegawai.;
sedangkan Standar Man Hour Training yang ditetapkan perusahaan PT Kimia Farma untuk tahun
2015 adalah sejumlah 32 jam/pegawai; dengan demikian pelatihan untuk karyawan Apotik Kimia
Farma Unit Bisnis Kota Depoktelah melebihi standar yang ditetapkan PT Kimia Farma, sehingga
diharapkan terdapat peningkatan kompetensi pada Tahun-tahun berikutnya dan memberikan
dampak pada peningkatan kinerjanya. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi
permasalahan SDM perusahaan PT. Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok pada Tahun 2013-2014 :
Dari hasil pengukuran kompetensi di tahun 2015 terhadap 60 karyawan yang dilakukan tes uji
kompetensi, hanya 20% yang memenuhi standar skor kompetensi PT. Kimia Farma Apotek dan
sisanya 80 % tidak memenuhi standar skor kompetensi perusahaan, yaitu : 32 % memiliki skor
kompetensi ‘sedang’ dan 48 % memiliki skor kompetensi ‘rendah’
Dari data pelatihan pegawai yang dilaksanakan di tahun 2015 sejumlah 3.412 jam pelatihan bagi 96
orang karyawan, diperoleh Man Hour Training (MHT) Kimia Farma Apotek Unit Bisnis Kota
Depok di tahun 2015 telah dilakukan sebesar 35,6 jam/pegawai dari standar yang ditetapkan
perusahaan sebesar 32 MHT Tahun 2015. Namundengan MHT yang melebihi standar
perusahaanternyatabelum terlihat nyata adanya dampak yang signifikan dari hasil pelatihan tersebut
kepada peningkatan kompetensi karyawan Apotek Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok di tahun
2015.
Dari masalah yang telah teridentifikasi tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan penelitian
pengaruh intervensi pelatihan terhadap pencapaian kompenetensi kerja karyawan Apotik Kimia
Farma Unit Bisnis Kota Depok dengan rumusan masalah : Apakah intervensi pelatihan karyawan
berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi kerja karyawan Kimia Farma Unit Bisnis Apotek
Kota Depok ? seberapa besar kontribusinya terhadap peningkatan kompetensi ? apakah training
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 127
masih dipetahankan sebagai solusi untuk peningkatan kompetensi dengan catatan perlunya adanya
inovasi berbagai metode training ?
II. KAJIAN PUSTAKA
A. KOMPETENSI
Menurut Undang Undang RI No. 20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, pasal 35 (1)
yang dimaksud dengan kompetensi adalah :kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap,pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standard nasional yang telah disepakati”.
Sedangkan menurut Undang-Undang RI No13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 (10) yang
dimaksud kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Noe (2015: 14),
mengemukakan bahwa kompetensi sumber daya manusia (SDM) professional adalah kemampuan
menerapkan prinsip-prinsip manajemen SDM untuk berkontribusi terhadap keberhasilan bisnis;
yang diindikasikan adanya ; a) kemampuan mengelola interaksi dengan pelanggan dan stakeholder
lainnya; b) kemampuan dapat memberikan solusi bagi perusahaan ketika menghadapi persoalan dan
situasi yang pelik; c) kemampuan berinisiatif, d) kemampuan memberikan umpan balik yang
efektif; e) kemampuan bekerja efektif dengan semua kalangan; f) kemampuan mengintegrasikan
nilai-nilai perusahaan ke dalam pekerjaan; g) cakap menterjemahkan informasi sehingga mampu
memberikan rekomendasi terbaik; h) kemampuan memahami matrik fungsi bisnis, organisasi dan
industri.
Shermon (2011: 11), mengemukakan bahwa kompetensi adalah karakteristik seseorang,
yang memungkinkan dirinya menghasilkan kinerja yang terbaik atas tugas yang diberikan
kepadanya. Kompetensi memiliki dua arti: kemampuan seseorang untuk berkinerja terbaik pada
area tugas, dan sesuatu yang dimiliki seseorang untuk mewujudkan kinerja efektif. Susanto (2000)
mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik-karakteristik yang mendasari individu untuk
mencapai kinerja superior. Menurut Palan (2007: 6) kompetensi adalah karakter dasar seseorang
yang mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir yang yang menggambarkan motif,
karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan, keahlian/keterampilan yang berlaku
dalam cakupan situasi yang sangat luas dan bertahan untuk waktu yang lama yang dapat berkinerja
unggul di tempat kerja. Seseorang dikatakan berkinerja unggul apabila dalam bekerja menunjukkan
kinerjanya di atas rata-rata karyawan pada umumnya dan menurut Palan (2007 :60) biasanya hanya
128 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
mencapai 10 % dari total karyawan. Dimensi kompetensi dalam rujukan buku Kompetensi PT.
Kimia Farma (Persero) Tbk (2012) adalah :
1. Kompetensi Pribadi (Personality)adalah kematangan pribadi yang dapat difungsikan
untuk berinteraksi dan bekerja secara efektif dengan berbagai kalangan pelanggan (internal
maupun eksternal) terdiri dari 5 indikator, yaitu :a) flexibility, b) integrity, c) interpersonal
understanding, d) learning and adaptibility , e) self confidence.
2. Kompetensi Kepemimpinan (Leadership) adalah kumpulan pengetahuan dan kemampuan
yang terbentuk dari pengalaman dalam mengelola pekerjaan/bisnis dan sumberdaya kerja ,terdiri
dari 4 indikator : a) building coalition, b) change leadership, c) developing organizational talent,
d) strategic information and communication.
3. Kompetensi Bisnis(Business) adalah pengetahuan dan kemampuan/keterampilan yang
terbentuk dari pengalaman di dalam mengelola pekerjaan/bisnis terdiri dari 4 indikator : a)
business acumen, c) customer and market focus , d) strategic networking, e) strategic
planning, f) visioning.
Dari uraian tersebut di atas , maka yang dimaksud dengan kompetensi adalah kemampuan kerja
setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang
menggambarkan motif, karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan,
keahlian/keterampilan yang berlaku dalam cakupan situasi yang sangat luas dan bertahan untuk
waktu yang lama yang dapat berkinerja unggul di tempat kerja sesuai dengan standar kerja di
lingkungan kerjanya.
B. PELATIHAN
Menurut Gomes (1997 : 197), “Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki prestasi kerja pada
suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya. Idealnya, pelatihan harus
dirancang untuk mewujudkan tujuan – tujuan organisasi, yang pada waktu bersamaan juga
mewujudkan tujuan – tujuan para pekerja secara perorangan. Selanjutnya menurut Gary Dessler
(1997 : 263) pelatihan adalah “Proses mengajarkan karyawan baru atau yang ada sekarang, tentang
keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka”; sedangkan
menurut John R. Schermerhorn, Jr (1999 : 323), pelatihan merupakan “serangkaian aktivitas yang
memberikan kesempatan untuk mendapatkan dan meningkatkanketerampilan yang berkaitan
dengan pekerjaan”.Ivancevich (2001:379) menyatakan bahwa arti pelatihan adalah proses dan usaha
untuk meningkatkan kapasitas karyawan melalui informasi, keahlian dan pemahaman i tentang
organisasi dan tujuannya.
Menurut Goldstein dalam J. Patrick (1992 :2)pelatihan adalah proses akuisisi keterampilan, konsep,
atau sikap yang mengakibatkan peningkatan kinerja di pada situasi pekerjaan. Pelatihan erat
berkaitan dengan transfer teori, prinsip-prinsip atau keterampilan tertentu. Namun, sebenarnya
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 129
pelatihan bukan hanya transfer teori, prinsip-prinsip atau keterampilan tetapi lebih ke arah
perubahan perilaku yang dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan kinerja terkait dengan
pelaksanaan pekerjaan. Sebagian orang keberatan atas harapan terhadap hasil pelatihan yaitu dapat
berdampak pada peningkatan kinerja. Sementara banyak kalangan berpendapat bahwa pelatihan
tidak secara langsung berdampak pada peningkatan kinerja tetapi lebih pada peningkatan
kompetensi yang merupakan output pelatihan. Baldwin, dan Ford ( 1988) berpendapat bahwa
palatihan pada umumnya mahal, bukan saja dilihat dari sudut pengembangan dan pengiriman
karyawan, tetapi yang lebih penting dilihat dari aspek bahwa karyawan harus meninggalkan
pekerjaan untuk beberapa waktu tertentu yang seharusnya dapat menghasilkan/memproduksi
sesuatu. Selanjutnya Baldwin dan Ford mengemukakan bahwa hasil beberapa studi menunjukkan
hanya sedikit efek transfer dari pelatihan untuk peningkatan kinerja pekerjaannya, yaitu sekitar 10-
20 %.
Saat ini masih banyak orang beranggapan bahwa training merupakan intervensi yang efektif
dilakukan untuk mengatasi masalah kinerja karyawan, namun pelatihan sebenarnya merupakan
salah satu upaya untuk mengatasi masalah kinerja. J Patrick (1992 : 5) memberikan solusi selain
training yaitu : a) mengganti posisi orang yang berkinerja tidak bagus dengan orang-orang yang
berkinerja bagus yaitu orang yang memiliki kemampuan & sikap yang sesuai untuk menyelesaikan
tugas2 yang tidak dapat dikerjakan oleh karyawan yang sebelumnya; b) melatih orang - orang
terpilih untuk menjadi lebih terampil dalam melakukan tugas; c) desain ulang persyaratan tugas
atau mengubah persyaratan kinerja. Ke-tiga pilihan alternatif tersebut dapat digunakan sebagai
solusi permasalahan kinerja secara bersamaan atau kombinasi dua diantara ke tiganya. Pilihan
solusi alternatif-alternatif tersebut guna menyelesaikan masalah kinerja dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti : a) ketersediaan sumber daya tenaga kerja dan keuangan; b) budaya organisasi; c)
kendala tim pelaksana; d) ketersediaan tenaga ahli; e) sarana dan prasarana pelatihan dll.
Menurut J. Patrick& Wendy K.Patrick (2009 :3) pelatihan akan memberikan manfaat pada
peningkatan kinerja karyawan apabila selama proses pelatihan dan setelah kembali bekerja
dilakukan evaluasi secara cermat dan komprehensif , yaitu meliputi 4 (empat) tingkatan :
1. Evaluasi tingkat 1 : evaluasi untuk melihat tingkat reaksi positif peserta terhadap
acara/agenda pelatihan;
2. Evaluasi tingkat 2 : evaluasi untuk melihat tingkat keinginan peserta mendapatkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang didasarkan pada partisipasi mereka dalam acara/agenda
pelatihan (sejauhmana nanti peserta dapat perperan atau berpartisipasi dalam sharing
pengalaman selama pelatihan);
130 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
3. Evaluasi tingkat 3 : evaluasi untuk melihat tingkat peserta dalam menerapkan apa
yangdipelajari selama pelatihan ketika mereka kembali di tempat kerja;
4. Evaluasi tingkat 4 : Untuk melihat tingkat hasil yang ditargetkan dan menetukan kegiatan
pelatihan dan penguatan berikutnya.
Selanjunya D. Patrick dalam J. Patrick & Wendy K Patrick (2009 : 3)berpendapat bahwa pelatihan
akan memberikan bermanfaat bagi sebuah organisasi apabila pelatihan dimulai dengan identifikasi
tentang hasil apa yang diinginkan dan menentukan perilaku apa yang diperlukan untuk mencapai
terget kinerja; juga bagaimana membuat kondisi pelatihan yang memungkinkan para peserta dapat
berpartisipasi aktif selama pelatihan berlangsung (memberikan reaksi poritif). Menurut Noe (2012 )
keberhasilan pelatihan ditentukan antara lain : kesiapan peserta pelatihan, lingkungan/suasana
pelatihan, iklim perusahaan/organisasi, metode& media palatihan dan evaluasi pelatihan.
Dari uraian tersebut diatas,maka yang dimaksud dengan pelatihan adalah serangkaian
aktivitas terencana yang dapat meningkatkan pemahaman teori, prinsip-prinsip dan keterampilan
kerja sehingga terjadi perubahan perilaku yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan kompetensi
kerja yang dipengaruhi oleh kesiapan peserta pelatihan, lingkungan/suasana pelatihan, iklim
perusahaan/organisasi, metode & media palatihan dan evaluasi pelatihan.
III. METODE PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh intervensi pelatihan
terhadap peningkatan kompetensi kerja karyawan Apotek Kimia Farma Unit Bisnis Kota Kota
Depok. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei korelasional antara variabel
independen intervensi pelatihan (X) dan variabel dependen kompetensi kerja (Y). Analisis regresi
digunakan untuk menentukan model hubungan antara variabel Y (kompetensi) dengan X (intervensi
pelatihan), sedangkan analisis korelasi untuk menentukan kuat tidaknya hubungan antara variabel Y
(kompetensi kerja ) dan X (intervensi pelatihan). Populasi target dalam penelitian ini adalah
karyawan PT. Kimia Farma Apotek Unit Bisnis Kota Kota Depok dengan level Asisten Manajer,
Supervisor dan Pelaksana yang berjumlah 96 orang karyawan, dan kesemua populasi dijadikan
sampel penelitian. Teknik pengambilan data dengan menggunakan instrumen non tes (kuesioner)
dengan menggunakan skala likert yaitu : kategori sangat setuju ( skor= 5), kategori setuju (skor =
4), kategori cukup setuju (skor = 3), kategori tidak setuju (skor = 2) dan kategori sangat tidak setuju
(skor = 1). Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif (tendensi
sentral) dan analisis inferensial,(analisis korelasi dan regresi linier sederhana) dengan bantuan
program SPPS for Window. Definisi operasional untuk kedua variabel penelitian sebagai berikut :
Definisi Operasional Variabel Kompetensi (Y) :
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 131
Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap kerja yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-
nilai, pengetahuan, keahlian/keterampilan yang berlaku dalam cakupan situasi yang sangat luas dan
bertahan untuk waktu yang lama yang dapat berkinerja unggul di tempat kerja sesuai dengan
standar kerja di lingkungan kerjanya.
Definisi Operasional Variabel Pelatihan (Y) :
Pelatihan adalah serangkaian aktivitas terencana yang dapat meningkatkan pemahaman teori,
prinsip-prinsip dan keterampilan kerja sehingga terjadi perubahan perilaku yang diwujudkan dalam
bentuk peningkatan kompetensi kerja yang dipengaruhi oleh kesiapan peserta pelatihan,
lingkungan/suasana pelatihan, iklim perusahaan, metode palatihan dan evaluasi pelatihan.
Variabel dan Indikator Penelitian
Variabel terdiri atas variabel terikat (Y) yaitu kompetensi , sedangkan sebagai variabel bebas (X)
adalah pelatihan dengan bentuk persamaan: Y = a + bX . Masing-masing variabel memiliki
indikator yang dapat dilihat pada Table 4 di bawah ini.
Tabel 4. Ringkasan Instrumen Variabel Kompetensi &Pelatihan
VARIABEL DIMENSI INDIKATOR No. Item
Pertanyaan
Skala
Kompetensi
(Y)
Motif
Kemauan untuk mencapai target
kerja
2. Kemauan untuk meningkatkan
motivasi
kerja
1
2
Ordinal
1 sd 5 Sifat Pribadi Pengendalian emosi
2. Keuletan dalam menyelesaikan
pekerjaan
3
4
Konsep Diri Keyakinan pada kemampuannya
Bersikap positif terhadap
permasalahan
5
6
Pengetahuan Pemahaman permasalahan
Penguasaan bidang pengetahuan
terkait pekerjaan
7
8
5. Keterampilan Mempunyai inovasi dalam 9
132 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
pekerjaan
Mampu menggunakan fasilitas
terkait dengan pekerjaan
10
Jumlah Item Pernyataan 10
Pelatihan
(X)
1. Kesiapan
Pelatihan
1.Kemampuan peserta menyerap
pelatihan
2. Lingkungan pekerjaan
1
2
Ordinal
1 sd 5
2.Lingkungan
Pelatihan
1. Materi pelatihan
2. Pelatih
3. Sarana pelatihan
3
4
5
3. Iklim
Perusahaan/
Organisasi
1. Iklim peralihan/perubahan
2. Dukungan atasan kerja
6
7
4. Metode
pelatihan
1. Metode pelatihan 8,9,10
5. Evaluasi
Pelatihan
1. Hasil kognitif/pengetahuan
2. Hasil keterampilan
3. Hasil sikap
11
12
13
- Jumlah Item 13
Sebelum instrumen digunakan untuk penelitian dilakukan terlebih dahulu uji coba instrumen pada
30 responden untuk menguji tingkat validitas dengan menggunakan rumus r Product Moment dari
Pearson dan reliabilitas instrumen dengan menggunakan rumus r Cronbach Alpha. Hasil uji
validitas untuk instrumen intervensi pelatihan (X) dari 13 butir pernyataan variabel pelatihan,
semua pernyataan memiliki nilai r (Pearson Correlation) > 0,30, yaitu nilai r antara 0,507 – 0,866,
sehingga semua butir pernyataan dari variabel pelatihan dinyatakan valid. Untuk instrumen
variabel kompetensi kerja dari 10 butir pernyataan, semua pernyataan memiliki nilai r (Pearson
Correlation) > 0,30, yaitu nilai r antara 0,505 – 0,865, sehingga semua butir pernyataan dari
variabel kompeternsi kerja dinyatakan valid. Selanjutnyahasil uji reliabilitas dengan menggunakan r
Alpha Cronbach untuk ke 13 instrumen variabel pelatihan menunjukkan nilairrebialitas = 0,764
atau koefisien reliabilitasnya tinggi; sedangkan untuk ke 10 instrumen variabel kompetensi
menunjukkan nilai r rebialitas = 0,767 atau koefisien reliabilitasnya tinggi.
IV. HASIL PENELITIAN
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 133
A. GAMBARAN UMUM RESPONDEN PENELITIAN
Gambaran umum tentang responden penelitian ini adalah karyawan Apotik Kimia Farma Unit
Bisnis Kota Kota Depok yang berjumlah 96 orang dan seluruhnya menjadi sample penelitian atau
disebut dengan sample jenuh/sensus. Karakteristik atau identitas responden penelitian menyangkut :
jenis kelamin, usia, pendidikan, lama kerja, dan jabatan dapat dilihat sebagaimana Tabel 5 berikut
ini :
Tabel 5. Identitas Responden
Identitas Responden Jumlah Responden (org) Persentase (%)
1. Jenis Kelamin :
Laki-laki 24 25
Perempuan 72 75
2. Usia (tahun) :
< 20 26 27,1
20 – 30 60 62,5
31 – 40 6 6,3
41 – 50 4 4,2
3. Pendidikan :
SLTP 2 2,1
SLTA/sederajat 79 82.3
Diploma 1 1,0
Sarjana (S1)& Profesi 14 14,6
4. Lama Kerja (tahun) :
< 1 30 31,3
1 – 3 38 39,6
3 – 6 18 18,8
6 – 10 3 3,1
10 – 20 4 4,2
>20 3 3,1
5. Jabatan
Asisten Manager 5 5,2
Supervisor 6 6,3
Pelaksana 85 88,5
Sumber: Data Primer Diolah (2016)
134 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan (75 %) lebih tinggi dari pada yang berjenis
kelamin laki-laki (25 %), usia responden paling banyak berumur sekitar 20 – 30 Th, yaitu 62,5 %;
pendidikan responden yang paling bantyak adalah SLTA/sederajat , yaitu 82,3 %; pengalaman kerja
responden bekerja di Apotik Kimia Farma Unit BisnisKota Depokyang paling banyak sekitar 1-3
Th , yaitu 39,6 % dan jabatan responden yang paling banyak adalah tingkat pelaksana, yaitu 88,5
%.
B. HASIL ANALISIS DESKRIPTIF
Berdasarkan hasil analisisdata deskriptif, menliputi ukuran tendensi sentral yaitu : rata-rata,
standart deviasi, skor minimum, skor maksimum dan range baik untuk variabel kompetensi (Y)
maupun pelatihan (X). Skore data menggunakan skala likert dengan katagori skor 5 = sangat
setuju, skor 4 = setuju, skor 3 = cukup setujua, skor 2 = tidak setuju dan skor 1 = sangat tidak
setuju. Hasil analisis deskriptif untuk variabel kompetensi dan pelatihan dapat dilihat sebagaimana
Tabel 6 dan 7.
1. Analisis Deskriptif Data Variabel Kompetensi (Y)
Hasil analisis deskriptif untuk variabel kompetensi yang mencakup 10 indikator dapat
dilihat sebagaimana Tabel 6. berikut :
Tabel 6. Descriptive Statistics Competencies
N Range
Minimu
m
Maxim
um Sum Mean
Std
Deviati
on
Varianc
e
Statist
ic
Statist
ic Statistic Statistic
Statist
ic
Statist
ic
Std.
Error Statistic Statistic
ITEMC1 96 3 2 5 417 4,34 ,07 ,646 ,417
ITEMC2 96 3 2 5 389 4,05 ,06 ,622 ,387
ITEMC3 96 3 2 5 373 3,89 ,07 ,663 ,439
ITEMC4 96 2 3 5 396 4,13 ,06 ,567 ,321
ITEMC5 96 2 3 5 389 4,05 ,06 ,569 ,324
ITEMC6 96 2 3 5 406 4,23 ,06 ,552 ,305
ITEMC7 96 3 2 5 373 3,89 ,06 ,596 ,355
ITEMC8 96 3 2 5 378 3,94 ,06 ,577 ,333
ITEMC9 96 2 3 5 360 3,75 ,06 ,562 ,316
ITEMC1
0 96 2 3 5 385 4,01 ,06 ,607 ,368
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 135
Valid N
(listwise) 96
-
- - - - - - -
Dari Tabel 6 tersebut di atas secara umum dapat dijelaskan bahwa rata-rata (mean) pendapat
responden memberikan penilaian/skor untukke-10 indikator kompetensi mencapai kisaran antara
3,75 – 4,34dengan std. error mean antara 0,06 – 0,07, artinya semua responden memberikan
pendapat ‘setuju’terhadap ke 10 indikator kompetensi. Responden (96 orang) memberikan
pendapat/penilaian ‘tertinggi’ terhadap dimensi kompetensi no 1 yaitu ”Motif” pada indikator ke-1
: ‘kemauan untuk mencapai target kerja’, dengan skor rata-rata= 4,34 (di atas setuju);sedangkan
skore ‘terendah’ diberikan untuk dimensi ke 5, yaitu “keterampilan” pada indikator ke-9 :
“mempunyai inovasi dalam pekerjaan”, dengan skor rata-rata = 3,75 (di atas cukup setuju).
2. Analisis Data Variabel Pelatihan (X)
Hasil analisis deskriptif untuk variabel pelatihan yang mencakup 13 indikator dapat dilihat
sebagaimana Tabel 7. menunjukkan rata-rata (mean) pendapat responden memberikn skor untuk ke-
13 indikator pelatihan berkisar antara 3,80 – 4,28 dengan std error mean antara 0,05 – 0,06 , artinya
semua responden memberikan pendapat ‘setuju’ terhadap ke-13 indikator pelatihan. Responden
(96 orang) memberikan pendapat/penilaian‘tertinggi’terhadap dimensi kompetensi no 1 yaitu
”kesiapan pelatihan ” pada indikator ke-2 : ‘lingkungan pekerjaan’, dengan skor rata-rata = 4,28 (di
atas setuju); sedangkan skore ‘terendah’ diberikan untuk dimensi ke 2 , yaitu “ lingkungan
pelatihan” pada indikator ke-5 : “sarana pelatihan”, dengan skor rata-rata = 3,80 (di atas cukup
setuju).
Tabel 7. Descriptive Statistics Training
N Range
Minimu
m
Maxim
um Sum Mean
Std
Deviati
on
Varianc
e
Statist
ic
Statist
ic Statistic Statistic
Statist
ic
Statist
ic
Std.
Error Statistic Statistic
ITEMT1 96 2 3 5 399 4,16 ,06 ,568 ,323
ITEMT2 96 2 3 5 411 4,28 ,05 ,537 ,288
ITEMT3 96 2 3 5 369 3,84 ,05 ,488 ,238
ITEMT4 96 2 3 5 374 3,90 ,06 ,571 ,326
ITEMT5 96 2 3 5 365 3,80 ,06 ,626 ,392
136 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
ITEMT6 96 3 2 5 392 4,08 ,06 ,556 ,309
ITEMT7 96 3 2 5 408 4,25 ,06 ,580 ,337
ITEMT8 96 2 3 5 397 4,14 ,06 ,555 ,308
ITEMT9 96 2 3 5 389 4,05 ,06 ,550 ,303
ITEMT1
0 96 2 3 5 384 4,00 ,06 ,562 ,316
ITEMT1
1 96 2 3 5 393 4,09 ,06 ,563 ,317
ITEMT1
2 96 2 3 5 391 4,07 ,06 ,567 ,321
ITEMT1
3 96 2 3 5 388 4,04 ,06 ,560 ,314
Valid N
(listwise) 96
Ket : ITEMT1 = Item pertanyan training 1
C. HASIL ANALISIS KORELASI DAN REGRESI
Tabel 8. Model Summary
Catatan : Predictors: (constant) X...
**Sangat signifikan
F table (α: 0,01) = 6,90, F table (α :0,05) = 3,91
Sebelum dilakukan analisis korelasi dan regresi, terlebih dahulu dilakukan uji
persyaratan analisis yaitu : uji normalitas data, uji homogenitas varians dan uji linieritas , dalam
penelitian ini ke-tiga uji persyaratan analisis tersebut terpenuhi, yaitu data variabel Y maupun X
Mode
l R
R
Squar
e
Adjuste
d R
Square
Std.
Error of
the
Estimat
e Change Statistics
R
Square
Change
F
Change df1 df2
Significan
ce F
Change
1 ,667(a
) ,445 ,439 ,29232 ,445
75,335*
* 1 94 ,000
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 137
berdistribusi normal, varians data homogen dan regresi linier. Berdasarkan analisis korelasi (Tabel
9.) diperoleh nilai koefisien korelasi R = 0,667 hal ini menunjukkan hubungan antara kompetensi
dan pelatihan positif dan kuat. Nilai koefisien determinasi R2 = 0,445 dan berdasarkan uji F
koefisien determinasi tersebut sangat signifikan,karena F change > F table, baik pada α= 0,05
(75,335 > 3,91) maupun pada α = 0,01 (75,335 > 6,90). Hal tersebut memberikan makna bahwa
pelatihan memberikan kontribusi pada pembentukan kompetensi karyawanApotik Kimia Farma
Unit Bisnis Kota Depok sebesar 44,5 % dan 56,5 %oleh berbagai faktor lainnya, dengan demikian
pelatihan tidak dapat diabaikan dalam pencapaian kompetensi yang diharapkan.
Hasil analisis varian (ANOVA) sebagaimana Tabel 9. dan Tabel 10. menunjukkan bahwa
model Y = 0,878 + 0,777 Xsangat signifikan, karena F hitung > F table baik pada α = 0,05 (75,335
> 3,91) maupun pada α = 0,01 (75,335 > 6,90 ) atau dapat dilihat dari nilai sig 0,00< 0,05. Uji
signifikansi terhadap konstanta regresi, yaitu a = 0,878 sebagaimana Tabel 10 menunjukkan
‘signifikan’, karena nilai sig < 0,05 ( 0,018 < 0,05), demikian juga dengan koefisien regresi, yaitu b
= 0,777 menunjukan ‘signifikan’, karena nilai sig < 0,05 (0,00 < 0,05). Dari hasil pengujian model
regresi sederhana Y = 0,878 + 0,777 X, pengujian terhadap konstanta, koefisien regresi, koefisien
korelasi maupun koefisien determinasi, maka dapat disimpulkan bahwa model tersebut dapat
digunakan untuk memprediksi kompetensi (Y) dengan menggunakan data pelatihan jika memang
data pelatihan diketahui. Model regresi linier sederhana Y = 0,878 + 0,777 X memberikan
maknabahwa setiap peningkatan/penurunan 10 satuan kegiatan pelatihan, maka akan diikuti dengan
peningkatan/penurunan pencapaian kompetensi kerja rata-rata sebesar 7,77 satuan pada konstanta
0,878; dan apabila tidak dilakukan intervensi pelatihan atau X = 0, maka kompetensi dapat
diprediksi hanya mencapai 0,878 satuan.
Tabel 9. ANOVA(b)
Model
Sum of Squares df
Mean Square F
F table Significance
Α = 0,05
α = 0,01
1 Regression
6,437 1 6,437 75,335**
3,91, 6,90 ,000(a)
Residual 8,032 94 ,085 Total 14,470 95
Catatan : a Predictors: (constant) X... b Dependent Variable: ** sangat signifikan
138 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel 10. Coefficients(a)
Dependent Variable: Y
V. PEMBAHASAN
Hasil uji keberartian model regersi Y= 0,878 + 0,777 X menunjukan bahwa model tersebut
sangat signifikan, sehingga intervensi pelatihan ‘tidak dapat diabaikan’ sebagai instrumen untuk
meningkatkan kompetensi kerja karyawan; dan model tersebut juga dapat digunakan ‘untuk
memprediksi’ pencapaian kompetensi kerja melalui ‘intervensi pelatihan; kontribusinya mencapai
44,5 % untuk pencapaian kompetensi kerja yang diperlukan dan 55,5 % oleh faktor lain, seperti :
linkungan kerja, dukungan pimpinan, sistem reward, dukungan sarana prasarana kerja dll.
Beberapa pakar seperti Baldwin, dan Ford ( 1988) berpendapat bahwa palatihan pada
umumnya mahal, dilihat dari sudut pengembangan dan pengiriman karyawan, tetapi yang lebih
penting dilihat dari aspek bahwa karyawan harus meninggalkan pekerjaan untuk beberapa waktu
tertentu yang seharusnya dapat menghasilkan sesuatu produk. Selanjutnya Baldwin dan Ford
mengemukakan bahwa hasil beberapa studi menunjukkan hanya sedikit efek transfer dari pelatihan
untuk peningkatan kinerja pekerjaannya, yaitu sekitar 10-20 %. Hasil studi tersebut memang benar
bahwa ‘pelatihan’ berpengaruh sangat signifikan terhadap upaya ‘peningkatan kompetensi’ bukan
‘peningkatan kinerja’. Hal tersebut juga didukung pendapat Doolet et al (2007) dalam Marcia L. A
(2012) bahwa sebagian besar kinerja seseorang dapat diprediksi oleh kompetensi, bukan oleh
pengaruh training.
Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indikator kompetensi: ‘kemauan untuk
mencapai target kerja’ dinilai paling ‘tinggi’oleh para responden, hal ini menunjukkan bahwa para
karyawan PT Kimia Farma Unit Bisnis Kota Depok mempunyai kebutuhan berprestasi tinggi untuk
mencapai target-target/tujuan perusahan/organisasi, dan hal ini menjadi modal utama SDM (human
capital) yang sangat diperlukan untuk kemajuan perusahaan/organisasi; sedangkan penilaian
‘terendah’ adalah pencapaian ‘keterampilan’dalam inovasi untukmelaksanakan pekerjaan’. Hal
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardiz
ed
Coefficient
s T
Significan
ce
B Std. Error Beta
1 (Constan
t) ,878 ,364 2,413 ,018
X ,777 ,089 ,667 8,680 ,000
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 139
tersebut seringkali terjadi dalam suatu pelatihan,‘materi pelatihan’ yang dibahas/diberikan dalam
training tertinggal satu atau dua langkah dari kemajuan IPTEK yang seharusnya
dibutuhkan/diberikan dalam training, sehingga seringkali keterampilan yang diperoleh dalam
training kurang inovatif yang berakibat kurang sesuai dengan tuntutan keterampilan terbaru dalam
melaksanakan pekerjaannya.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN :
1. Di era digitalisasi, intervensi pelatihan masih memberikan pengaruh positif dan kuat sebagai
instrumen untuk meningkatkan kompetensi kerja karyawan, terutama untuk peningkatan
motivasi pencapaian target-target/tujuan perusahaan/organisasi;
2. Peningkatan kompetensi kerja karyawan dapat diprediksi oleh intervensi pelatihan dengan
menggunakan model regresi sederhana Y = 0,878 + 0,777 X;
3. Pelatihan memberikan kontribusi terhadap pencapaian kompetensi kerja sebanyak 45, 5 %
dan sisanya 55,5 % dapat diprediksi oleh faktor-faktor lain, seperti : lingkungan kerja, dukungan
pimpinan, sistem reward, dukungan sarana prasarana kerja dll.
B. REKOMENDASI
1. Untuk tujuan pencapaian kompetensi ‘keterampilan baru’; lebih dianjurkan untuk
menggunakan intervensi magang atau pendampingan tenaga ahli ditempat kerja dari pada intervensi
pelatihan (karyawan tidak perlu meninggalkan tempat kerja dan bekerja seperti bisanya) ;
2. Intervensi pelatihan akan memberikan manfaat bagi sistem pengembangan karier karyawan
dan kemajuan perusahaan/organisasiapabila pelatihan dikelola secara sistemik dan berkelanjutan;
3. Tahap-tahap yang perlu dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan pelatihan antara lain :
a) identifikasi reaksi peserta pelatihan atas acara/agenda pelatihan; b) identifikasi
kebutuhan/keinginan peserta mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang didasarkan
pada partisipasi peserta dalam acara/agenda pelatihan; c) monitoring tingkat peserta
dalam menerapkan apa yang dipelajari selama pelatihan ketika mereka kembali di tempat
kerja; d) mengukur hasil pelatihan yang ditargetkan dan menetukan kegiatan pelatihan dan
penguatan berikutnya.
4. Untuk perusahaan-perusahaan/organisasi yang belum stabil, yang menganggap bahwa
‘intervensi pelatihan’ mahal, dan dalam rangka untuk mendapat karyawan yang mempunyai
kompetensi standar untuk menjalankan tugas-tugas, maka solusinya sebagaiman disarankan oleh
J. Patrick (2009 : 4) antara lain :
140 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
a) Mengganti posisi orang yang berkinerja tidak bagus dengan orang-orang yang mampu
berkinerja bagus, yaitu orang yang memiliki keterampilan & sikap yang sesuai untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang tidak dapat dikerjakan oleh karyawan yang sebelumnya;
b) Memilih beberapa orang untuk dimagangkan pada perusahaan yang
menjadi‘bencmark’sehingga menjadi lebih terampil dalam melakukan tugas;
c) Desain ulang persyaratan tugas atau mengubah persyaratan kinerja pada karyawan
yang tidak mampu berkinerja sesuai dengan harapan persahaan/organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ashabugh, Marcia L. (2012). Expert Isnytuctional Designer Voices : Leadership
Competencies Critical to Global Practise and Quality Online Learning Designs. Editor : Minchael
Simson, 35th Annual Proceedings-AECT, pp. 3-19.Louisville, Ky
[2] Baldwim, T. T. and Ford, K. J. Â (1988). Transfer of training: a review and directions for
future research. Personnel psychology 41, 63-105.
[3] Deheshti, Alirza. Developing an Intervention Program to Reduce Rrgonomic Risk Factors
among Office
Employees?.http://search.proquest.com/agricenvironm/docview/18278835724B377FAEE7465FPO/
19?accountid=62688.Doakses 15 Februari 2017.
[4] Ford, J.K. and Weissbein, D.A. Â (1997). Transfer of training: an updated review and
analysis,Performance improvement quarterly, 10 (2), 22-41.
[5] Gibson, James L. Ivancevich, Jhon M., Donnely, James H., 1995, Organizations
Behavior- Structure-Process, Edisi kedelapan, Illinois.
[6] Gomes, F.C. 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, cetakan e-empat, Andy
Offset,Yogyakarta.
[7] http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2009/04/pelatihan-kerja-definisi-teknik.html.
Diakses 16-9-2016.
[8] Irene Brunetti , Lorenzo Corsini. (2017).Workplace Training Programs :
Instrument for Human Capital Improvement or Screening Divices ? Eupopen Journal
of Traning and Development , Vol 59 lss : 1, pp.31-46.
http://dx.doi.org/10.1108/ET-09-2014-0104.
[9] Miner, J.B., 1988, Organization Behavior Performance and Productivity, First
Edition, Random House, Inc, New York
[10] Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright. (2015). Human Resource Management ,9th
Edition. McGraw-Hill Education, UK
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 141
[11] Palan. 2007. Competency Management : Teknik Mengimplementasikan Manajemen
SDM Berbasis Kompetensi Untuk Peningkatan Daya Saing Organisasi. Edisi bahasa
Indonesia,PPM ,Jakarta.
[12] Patrick, J. Wendy Kaysar Kirkpatrick (2009) . The Kirkpatrick Four Level :
A Fresh Look After 1959- 2009. Kirkpatrick Parteners, Toronto
[13] Patrick, J. (1992). Training : Research and Practise, Academic Press Inc., London
[14] Shao, Zihang; Cherisse M. C.; Amanda, A. (2012). Linking Training to Performance
Improvement. Editor : Minchael Simson,35th Annual Proceedings-AECT, pp. 175-179. Louisville,
Ky.
[15] Steers, Richard M. 1999, Efektivitas Organisasi : Kajian Perilaku (Alih Bahasa M.
Yamin), , Erlangga, Jakarta
[16] Stoner, James, AF., Gilbert, Daniel, R, 1995, Management, sixth edition. Prentice-
Hall International. Inc, New Jersey.
142 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
ALTERNATIF PENANGANAN ANAK HIPERAKTIF MENGGUNAKAN TERAPI GELOMBANG OTAK
Dr. Imam Yuwono, M.Pd
Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Penelitian yang dilakukan oleh Steven W. Lee yang dikutip oleh Feni Olivia (2007) anak hiperkatif
menghasilkan gelombang theta berlebihan. Tetapi tidak cukup menghasilkan gelombang beta.
Gelombang theta merupakan gelombang otak pada kisaran frekwensi 4-8 Hz. Yang dihasilkan oleh
pikiran bawah sadar (subconsciaus mind). Gelombang theta muncul saat manusia bermimpi dan
saat terjadi REM (rapit eye movement). Pikiran bawah sadar menyimpan memori jangka panjang
dan merupakan gudang inspirasi kreatif. Selain itu, pikiran bawah sadar menyimpan materi yang
berasal dari kreativitas yang tertekan atau tidak diberi kesempatan untuk muncul ke permukaan dan
materi psilologis yang di tekan. Semua materi yang berhubungan dengan emosi, baik emosi positif
maupun negatif tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Emosi–emosi yang negatif yang tidak
teratasi dengan baik, setelah masuk ke pikiran bawah sadar akhirnya menjadi beban psikologis yang
menghambat kemajuan diri seseorang. Gelombang beta adalah gelombang otak yang frekwensinya
paling tinggi. Yaitu berkisar antara 12 sampai 40 Hz. Gelombang beta dihasilkan oleh proses
berpikir secara sadar. Kita menggunakan gelombang beta untuk berpikir, berinteraksi,
berkonsentrasi dalam kehidupan sehari-hari. Apabila seseorang berkurang dalam gelombang beta
maka ia sulit untuk menfokuskan pikiran, dan menyadari sesuatu diluar diri. Penelitian ini akan
mengungkap bagaimana cara meningkatkan gelombang beta anak hiperaktif dengan menggunakan
terapi gelombang otak.
Kata Kunci: Hiperaktif, Gelombang Otak
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 143
PENDAHULUAN
Istilah hiperaktif pada dasarnya diambil dari istilah ADHD (Attention Deficit Hyperactive
Desorders). Definisi ADHD adalah suatu peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan
tertentu yang menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya pada dua tempat dan
suasana yang berbeda. Aktifitas anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan yang ditandai
dengan gangguan perasaan gelisah, selalu menggerak-gerakkan jari-jari tangan, kaki, pensil, tidak
dapat duduk dengan tenang dan selalu meninggalkan tempat duduknya meskipun pada saat dimana
dia seharusnya duduk degan tenang. Terminologi lain yang dipakai mencakup beberapa kelainan
perilaku meliputi perasaan yang meletup-letup, aktifitas yang berlebihan, suka membuat keributan,
membangkang dan destruktif yang menetap.
PERMASALAHAN
1. Bagaimana cara melakukan terapi gelombang otak?
2. Apakah menggunakan terapi gelombang otak dapat mengurangi perilaku tak terkontrol anak
hiperaktif?
KAJIAN PUSTAKA
Diagnosis anak hiperaktif
Bila didapatkan seorang anak dengan usia 6 hingga 12 tahun yang menunjukkan tanda-tanda
hiperaktif dengan prestasi akademik yang rendah dan kelainan perilaku, hendaknya dilakukan
evaluasi awal kemungkinan. Untuk mendiagnosis ADHD digunakan kriteria DSM IV yang juga
digunakan, harus terdapat 3 gejala : Hiperaktif, masalah perhatian dan masalah konduksi
KRITERIA A MASING-MASING (1) ATAU (2)
Enam atau lebih dari gejala
Enam atau lebih gejala dari kurang perhatian atau konsentrasi yang tampak paling sedikit 6 bulan
terakhir pada tingkat maladaptive dan tidak konsisten dalam perkembangan
A. INATTENTION
Sering gagal dalam memberi perhatian secara erat secara jelas atau membuat kesalahan yang tidak
terkontrol dalam sekolah, bekerja atau aktivitas lainnya
Sering mengalami kesulitan menjaga perhatian/ konsentrasi dalam menerima tugas atau aktifitas
bermain
144 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Sering kelihatan tidak mendengarkan ketika berbicara secara langsung menyelesaikan pekerjaan
rumah, pekerjaan atau tugas, mengerjakan perkerjaan rumah (bukan karena perilaku melawan),
gagal untuk mengerti perintah
Sering kesulitan mengatur tugas dan kegiatan
Sering menghindar, tidak senang atau enggan mengerjakan tugas yang membutuhkan usaha
(seperti pekerjaan sekolah atau perkerjaan rumah)
Sering kehilangan suatu yang dibutuhkan untuk tugas atau kegiatan ( permainan, tugas sekolah,
pensil, buku dan alat sekolah lainnya )
Sering mudah mengalihkan perhatian dari rangsangan dari luar yang tidak berkaitan
Sering melupakan tugas atau kegiatan segari-hari
Enam atau lebih gejala dari hiperaktivitas/impulsifitas yang menetap dalam 6 bulan terakhir
B. HIPERAKTIFITAS
Sering merasa gelisah tampak pada tangan, kaki dan menggeliat dalam tempat duduk
Sering meninggalkan tempat duduk dalam kelas atau situasi lain yang mengharuskan tetap duduk.
Sering berlari dari sesuatu atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak seharusnya
(pada dewasa atau remaja biasanya terbatas dalam keadaan perasaan tertentu atau kelelahan )
Sering kesulitan bermain atau sulit mengisi waktu luangnya dengan tenang.
Sering berperilaku seperti mengendarai motor
Sering berbicara berlebihan
C. IMPULSIF
Sering mengeluarkan perkataan tanpa berpikir, menjawab pertanyaan sebelum pertanyaannya
selesai
Sering sulit menunggu giliran atau antrian
Sering menyela atau memaksakan terhadap orang lain (misalnya dalam percakapan atau
permainan).
KRITERIA B: Gejala hiperaktif-impulsif yang disebabkan gangguan sebelum usia 7 tahun.
KRITERIA C : Beberapa gangguan yang menimbulkan gejala tampak dalam sedikitnya 2 atau
lebih situasi ( misalnya di kelas, di permainan atau di rumah )
Penanganan anak hiperaktif yang selama ini dilakukan
Melihat penyebab hiperaktif yang belum pasti terungkap dan adanya beberapa teori
penyebabnya, maka tentunya terdapat banyak terapi atau cara dalam penanganannya sesuai dengan
landasan teori penyebabnya. Beberapa terapi untuk anak hiperaktif:
Terapi medikasi atau farmakologi adalah penanganan dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini
hendaknya hanya sebagai penunjang dan sebagai kontrol terhadap kemungkinan timbulnya impuls-
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 145
impuls hiperaktif yang tidak terkendali. Sebelum digunakannya obat-obat ini, diagnosa ADHD
haruslah ditegakkan lebih dulu dan pendekatan terapi okupasi lainnya secara simultan juga harus
dilaksanakan, sebab bila hanya mengandalkan obat ini tidak akan efektif. Beberapa obat yang
dipergunakan. Menurut beberapa penelitian dan pengalaman klinis banyak obat yang telah
diberikan pada penderita ADHD, diantaranya adalah : antidepresan, Ritalin (Methylphenidate
HCL) , Dexedrine (Dextroamphetamine saccharate/Dextroamphetamine sulfate) , Desoxyn
(Methamphetamine HCL), Adderall (Amphetamine/Dextroamphetamine), Cylert (Pemoline),
Busiprone (BuSpar), Clonidine (Catapres). Methylphenidate, merupakan obat yang paling sering
dipergunakan, meskipun sebenarnya obat ini termasuk golongan stimulan, tetapi pada ksus
hiperaktif sering kali justru menyebabkan ketenangan bagi pemakainanya. Selain methylphenidate
juga dipakai Ritalin dalam bentuk tablet, memilki efek terapi yang cepat, setidaknya untuk 3-4 jam
dan diberikan 2 atau 3 kali dalam sehari. Methylphenidate juga tersedia dalam bentuk dosis tunggal.
Dextroamphetamine merupakan obat lain yang dipergunakan. Ritalin atau methylphenidate, obat
stimulan yang biasa diberikan pada anak penyandang ADHD ternyata dapat menyebabkan
perubahan struktur sel otak untuk jangka waktu lama, ilmuwan melaporkan. Joan Baizer profesor
fisiologi dan biofisika dari University of Buffalo mengungkapkan pemberian Ritalin setiap hari
selama bertahun tahun pada sel otak tikus terlihat sama seperti yang diakibatkan oleh amphetamin
atau kokain.
Terapi nutrisi dan diet banyak dilakukan dalam penanganan penderita. Diantaranya adalah
keseimbangan diet karbohidrat, penanganan gangguan pencernaan (Intestinal Permeability or
"Leaky Gut Syndrome"), penanganan alergi makanan atau reaksi simpang makanan lainnya.
Feingold Diet dapat dipakai sebagai terapi alternatif yang dilaporkan cukup efektif. Suatu substansi
asam amino (protein), L-Tyrosine, telah diuji-cobakan dengan hasil yang cukup memuaskan pada
beberapa kasus, karena kemampuan L-Tyrosine mampu mensitesa (memproduksi) norepinephrin
(neurotransmitter) yang juga dapat ditingkatkan produksinya dengan menggunakan golongan
amphetamine. Beberapa terapi biomedis dilakukan dengan pemberian suplemen nutrisi, defisiensi
mineral, essential Fatty Acids, gangguan metabolisme asam amino dan toksisitas Logam berat.
Terapi inovatif yang pernah diberikan terhadap penderita ADHD adalah terapi EEG Biofeed back,
terapi herbal, pengobatan homeopatik dan pengobatan tradisional Cina seperti akupuntur.
Terapi sensori integration. Sensori integration adalah pengorganisasian informasi melalui beberapa
jenis sensori di anataranya adalah sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh dan grafitasi, penglihatan,
pendengaran, pengecapan, dan penciuman yang sangat berguna untuk menghasilkan respon yang
bermakna. Beberapa jenis terapi sensori integration adalah memberikan stimulus vestibular,
146 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
propioseptif dan taktil input. Menurunkan tactile defensivenes dan meningkatkan tactile
discrimanation. Meningkatkan body awareness berhubungan dengan propioseptik dan kinestetik.
Selain sensory integration terapi sensori lain yang dikenbal dalam terapi gangguan perkembangan
dan perilaku adalah Snoezelen. Snoezelen adalah sebuah aktifitas yang dirancang mempengaruhi
system Susunan Saraf pusat melalui pemberian stimuli yang cukup pada system sensori primer
seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah dan pembau. Disamping itu juga melibatkan
sensori internal seperti vestibular dan propioseptof untuk mencapai relaksasi atau aktivasi seseorang
untuk memperbaiki kualitas hidupnya
Terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan perkembangan dan perilaku pada anak yang mulai
dikenalkan oleh beberapa ahli perkembangan dan perilaku anak di dunia, diantaranya adalah
sensory Integration (AYRES), snoezelen, neurodevelopment Treatment (BOBATH), modifukasi
Perilaku, terapi bermain dan terapi okupasi lainnya.
Terapi bermain sangat penting untuk mengembangkan ketrampilan, kemampuan gerak, minat dan
terbiasa dalam suasana kompetitif dan kooperatif dalam melakukan kegiatan kelompok. Bermain
juga dapat dipakai untuk sarana persiapan untuk beraktifitas dan bekerja saat usia dewasa. Terapi
bermain digunakan sebagai sarana pengobatan atau terapitik dimana sarana tersebut dipakai untuk
mencapai aktifitas baru dan ketrampilan sesuai dengan kebutuhan terapi.
Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan menyeluruh.
Penanganan ini harus melibatkan multi disiplin ilmu yang dikoordinasikan antara dokter, orangtua,
guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap penderita.
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subyek
penelitian adalah siswa hiperaktif di kelas IX SMP X dengan jumlah siswa sebanyak 9 orang, tiga
orang diantaranya merupakan siswa hiperaktif. Penelitian dilakukan dengan durasi waktu
selama 3 bulan.
Prosedur dan tahap-tahap penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut:
Kegiatan Pra Penelitian, Pada kegiatan pra penelitian dilakukan pengamatan awal dengan cara
mengamati perilaku siswa hiperaktif di dalam kelas saat pembelajaran berlangsung, maupun di luar
kelas pada saat anak istirahat. Hasil pengamatan ini dijadikan bahan pertimbangan untuk
menentukan langkah tindakan berikutnya. Data yang dikumpulkan melalui studi pendahuluan dapat
di deskripsikan sebagai berikut:
Ketiga anak hiperaktif yang berinisial, S, Y, dan N di kelas IX selalu nampak gelisah dalam
mengikuti pelajaran. Mereka hanya bisa bertahan duduk manis memperhatikan pelajaran maksimal
5 menit.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 147
Perhatian mereka mudah beralih-alih, tidak fokus ke materi pelajaran yang disampaikan guru,
mereka selalu gagal dalam mengerjakan tugas
Sering menunjukkan perilaku yang melanggar norma/aturan sekolah seperti naik kursi, naik meja
dan keluar ruangan saat pembelajarn berlangsung
Pada saat jam istirahat ketiga siswa hiperaktif membuat kelompok tersendiri, mereka cenderung
bermain untuk menimbulkan kegaduhan. Seperti mengeluarkan suara keras (ha, ha, ha) secara
bergantian
Ketiga siswa ini sering bertindak tanpa kesadaran seperti, melempari genting sekolah menggunakan
batu kerikil
Saat jam istirahat ketiga siswa hiperaktif sangat menyukai bermain di pekarangan/kebun sekolah
dari pada di dalam ruangan.
Siswa Y dan S sangat menyukai kegiatan mengejar serangga, seperti kumbang, belalang maupun
capung
Siswa Y, S dan N akan berhenti melakukan aktifitas ketika mendengar suara serangga, mereka
memperhatikan dengan seksama bunyi serangga di pekarangan sekolah.
Siswa S sangat menyukai suara musik, sehingga pada saat pembelajaran jika ada suara musik
perhatian siswa bisa beralih ke suara musik.
2. Kegiatan Penelitian,
Tahap 1. Perencanaan tindakan, Rencana tindakan ini meliputi:
Menyiapkan alat peraga pembelajaran berupa rekaman suara serangga, VCD player dan
perangkatnya.
Menyiapkan lembar pengamatan tentang perhatian siswa pada saat pembelajaran
Mendesain rencana pembelajaran (RPP), membuat instrument tes perhatian dan mempersiapkan
LKS
Tahap 2. Pelaksanaan tindakan, tahap tindakan merupakan penerapan kegiatan pembelajaran yang
telah disusun dalam perencanaan, yaitu menggunakan pembelajaran dengan media belajar sambil
mendengarkan suara serangga. Adapun langkah pembelajaran sebagai berikut:
Eksplorasi
Kelas VII yang berjumlah 9 anak dibuat menjadi 3 kelompok belajar.Tiga orang siswa hiperaktif
disebar kedalam kelompok-kelompok. Pada dasarnya setiap kelompok ada satu anak hiperaktif
Guru menjelaskan prosedur belajar dengan diiringi musik suara serangga
Guru membunyikan suara serangga untuk menarik perhatian siswa
148 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Eksplanasi
Guru membunyikan rekaman suara serangga dengan suara sayup-sayup
Setelah semua anak tenang (tertuju pada suara serangga) guru mulai menjelaskan konsep operasi
penjumlahan bilangan bulat.
Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok heterogen beranggotakan 3 orang,
setiap kelompok ada satu siswa hiperaktif.
Guru menugaskan kelompok untuk mengerjakan tugas kelompok
Siswa hiperaktif bersama siswa reguler mengerjakan tugas kelompok
Suara serangga dibunyikan sayup-sayup mengiringi diskusi kelompok
Suara serangga dibunyikan keras, ketika ada anak yang kurang memperhatikan jalannya diskusi.
Ketika ingin menarik perhatian siswa suara serangga dikeraskan sesaat kemudian dikecilkan lagi
Ekspansi
Pada tahap ini, guru memberikan kesimpulan materi yang telah dibahas guna memantapkan
pemahaman siswa
Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan memberikan tes secara lisan
Tahap 3. Observasi
Pelaksanaan observasi dilakukan pada saat pembelajaran berlangsung menggunakan lembar
pengamatan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data tentang aktivitas siswa
yang mengganggu perhatian terhadap pelajaran\
Tahap 4. Refleksi
Pada tahap ini data yang diperoleh dalam siklus I dikumpulkan dan dianalisa. Hasil analisa pada
tahapan ini akan digunakan sebagai acuan untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Jenis Instrumen dan Cara Penggunaannya
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa lembar pengamatan
digunakan untuk mengumpulkan data tentang aktifitas yang menggaggu perhatian siswa hiperaktif
dalam proses belajar mengajar.
Analisis Data dan Refleksi
Data aktifitas yang mengganggu perhatian siswa diperoleh dengan cara melakukan
pengamatan ketika proses relajar mengajar berlangsung. Data ini dianalisis secara deskriptif
kuantitatif menggunakan skor rata-rata kriteria dan prosentase ketuntasan belajar secara perorangan.
Menurut Depdikbud (1995) dalam Sawadi Nata (2006:9) Ketentuan ketuntasan belajar dihitung
berdasarkan rumus:
Jumlah perolehan skor
Rata-rata skor =
Jumlah option perilaku
Jumlah perolehan skor
Prosentase skor = x 100%
Skor maksimal
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 149
Adapun kriteria presentase sebagai berikut:
Keterangan :
4 : Amat Baik < 35%
5 : Baik 35% - 44%
6 : Sedang 45% - 64%
7 : Cukup 65% - 84%
8 : Kurang 85% - 100%
Kriteria ketuntasan belajar
Siswa dikatakan berhasil dalam pembelajaran ketika, ia berkurang dalam melakukan perilaku yang
mengganggu pelajaran. Aktifitas pengganggu perhatian dalam pembelajaran sebelumnya sebanyak
8 atau 9 kali (lebih dari 85%) dalam dua jam pelajaran. Setelah penelitian ini menurun hingga skor
5 atau kurang dari 44%. Dalam dua jam pelajaran.
PEMBAHASAN
1. Cara terapi gelombang otak
Terapi gelombang otak adalah jenis terapi permainan untuk merangsang otak
agar menghasilkan impuls-impuls listrik. Aliran listrik ini, yang lebih dikenal sebagai gelombang
otak. Gelombang otak diukur dengan dua cara yaitu amplitudo dan frekuensi. Amplitudo adalah
besarnya daya impuls listrik yang diukur dalam satuan micro volt.
Frekuensi adalah kecepatan emisi listrik yang diukur dalam cycle per detik, atau hertz. Frekuensi
impuls menentukan jenis gelombang otak yaitu beta, alfa, theta, dan delta. Jenis atau kombinasi dan
jenis gelombang otak menentukan kondisi kesadaran pada suatu saat.
Pandangan keliru yang selama ini ada dalam benak banyak orang adalah otak hanya menghasilkan
satu jenis gelombang pada suatu saat. Saat kita aktif berpikir kita berada pada gelombang beta.
Kalau kita rileks kita berada di alfa. Kalau sedang ngelamun, kita di theta. Dan, kalau tidur lelap
kita berada di delta. Pandangan itu salah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suatu saat,
pada umumnya, otak kita menghasilkan empat jenis gelombang secara bersamaan, namun dengan
kadar yang berbeda. Dalam kondisi tertentu, misalnya meditasi, kita dapat secara sadar mengatur
jenis gelombang otak mana yang ingin kita hasilkan. Setiap orang punya pola gelombang otak yang
unik dan selalu konsisten. Keunikan itu tampak pada komposisi ke empat jenis gelombang pada saat
tertentu. Komposisi gelombang otak itu menentukan tingkat kesadaran seseorang. Meskipun pola
150 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
gelombang otak ini unik, tidak berarti akan selalu sama sepanjang waktu. Kita dapat secara sadar,
dengan teknik tertentu, mengembangkan komposisi gelombang otak agar bermanfaat bagi diri kita.
2. Dasar pemikiran perlunya terapi gelombang otak bagi anak hiperaktif?
Menurut beberapa penelitian, penyebab anak hiperaktif antara lain:
Adanya disfungsi sirkuit neuron di otak yang dipengaruhi oleh dopamin sebagai neurotransmitter
pencetus gerakan dan sebagai kontrol aktivitas diri. Akibatnya menyebabkan terjadinya hambatan
pada sistem kontrol perilaku. Anak menjadi hiiperaktif salah satunya karena produksi hormon
adrenalin tidak terkontrol. Hormon adrenalin merangsang untuk melakukan suatu kegiatan.
Produksi hormon adrenalin yang berlebihan mengakibatkan anak melakukan kegiatan di luar
kontrol diri. Kondisi ini mengakibatkan anak sulit untuk berkonsentrasi pada sesuatu yang
dilakukan. (Psyichiatric Association Press (1994)
Anak hiperkatif menghasilkan gelombang theta berlebihan. Tetapi tidak cukup menghasilkan
gelombang beta. Gelombang theta merupakan gelombang otak pada kisaran frekwensi 4-8 Hz.
Yang dihasilkan oleh pikiran bawah sadar (subconsciaus mind). Gelombang theta muncul saat
manusia bermimpi dan saat terjadi REM (rapit eye movement). Pikiran bawah sadar menyimpan
memori jangka panjang dan merupakan gudang inspirasi kreatif. Selain itu, pikiran bawah sadar
menyimpan materi yang berasal dari kreativitas yang tertekan atau tidak diberi kesempatan untuk
muncul ke permukaan dan materi psilologis yang di tekan. Semua materi yang berhubungan dengan
emosi, baik emosi positif maupun negatif tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Emos–emosi yang
negatif yang tidak teratasi dengan baik, setelah masuk ke pikiran bawah sadar akhirnya menjadi
beban psikologis yang menghambat kemajuan diri seseorang. Gelombang beta adalah gelombang
otak yang frekwensinya paling tinggi. Yaitu berkisar antara 12 sampai 40 Hz. Gelombang beta
dihasilkan oleh proses berpikir secara sadar. Kita menggunakan gelombang beta untuk berpikir,
berinteraksi, berkonsentrasi dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun beta sering menghilang saat
manusia menfokuskan pikiran, gelombang beta sangat dibutuhkan agar manusia dapat menyadari
sesuatu diluar diri. Bersamaan dengan gelombang otak lainnya gelombang beta sangat dibutuhkan
dalam proses kreatif. Tanpa gelombang beta semua kreatifitas yang merupakan hasil pikiran bawah
sadar akan tetap terkunci dibawah sadar, tanpa bisa terangkat ke permukaan dan disadari oleh
pikiran. Walaupun gelombang beta merupakan komponen penting dalam kesadaran diri manusia,
namun gelombang beta tidak dapat beroperasi tanpa didukung oleh gelombang otak yang lain.
Apabila hal ini terjadi maka seseorang akan dipenuhi rasa kekhawatiran, ketegangan dan proses
berpikir yang tidak fokus. Gelombang alfa adalah gelombang otak yang frekwensinya sedikit lebih
lambat dibandingkan beta. Yaitu 8-12 Hz (hertz). Gelombang alfa berhubungan dengan kondisi
yang rilek dan santai. Dalam kondisi alfa, pikiran dapat melihat gambaran mental secara jelas dan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 151
dapat merasakan sensasi dengan lima indera apa yang terjadi dalam pikiran. Gelombang alfa adalah
pintu gerbang bawah sadar. Manfaat gelombang alfa adalah sebagai jembatan penghubung antara
pikiran sadar dan bawah sadar. Untuk meningkatkan konsentrasi anak hiperaktif diperlukan latihan
untuk mengurangi gelombang theta dan banyak menghasilkan gelombang beta. ( Steven W. Lee
yang dikutip oleh Feni Olivia (2007)
Anak hiperaktif memiliki masalah dalam pendengaran. Bisa mendengar tetapi kesulitan mengerti
apa yang didengarnya. Karena telinga dan otak tidak bekerja efesien dalam memproses suara. Ada
yang kesulitan memilih suara dari banyak sumber suara yang berbeda. Ada yang kesulitan
memusatkan pendengaran pada suara tertentu. Misalnya, seharusnya anak mendengar suara guru,
tetapi ia malah tertarik pada bunyi es krim di luar ruangan. Akibatnya anak menjadi terganggu oleh
suatu hal beberapa saat. Anak menjadi terganggu oleh suara disekitarnya. Memperbaiki jalur
pendengaran dengan terapi suara akan memulihkan kapasitas pendengaran (penerimaan suara)
sehingga anak akan dapat belajar terfokus dan menangkap suara yang diinginkan langsung ke pusat
bahasa di otak. (Wilens TE dalam Widodo (2004)
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk menangani
anak hiperaktif di sekolah maupun dirumah tidak bisa disamakan dengan melakukan remedial
terhadap kesulitan belajar secara umum. Sebelum melakukan pembelajaran terhadap anak
hiperaktif, perlu terlebih dahulu melakukan terapi sesuai dengan permasalahan anak. Terapi yang
dilakukan difokuskan sebagai latihan kontrol hormon adrenalin, meningkatkan gelombang beta dan
mengurangi gelombang theta. Selain itu terapi dimanfaatkan untuk memperbaiki jalur pendengaran,
sebab kondisi telinga dan otak anak hiperaktif tidak efesien dalam memproses suara. Mereka
kesulitan memilih suara dari banyak sumber suara yang berbeda. Terapi gelombang otak dapat
dilakukan dengan menggunakan permainan-permainan untuk mengontrol hormon adrenalin,
meningkatkan gelombang beta, dan memperbaiki jalur pendengaran
3. Terapi gelombang otak mengurangi perilaku tidak terkontrol
Data hasil pengamatan tentang aktivitas yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran ketika
studi pendahuluan diperoleh melalui pengamatan ketika anak mengikuti pembelajaran matematika
selama dua jam pelajaran atau 80 menit. Data yang diperoleh dirangkum pada tabel berikut:
Tabel 1 : Hasil pengamatan aktifitas siswa yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran
152 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel diatas menunjukkan bahwa ketiga siswa hiperaktif yang menjadi responden Pada saat
dilakukan pengamatan awal subyek memiliki kecenderungan melakukan kegiatan yang menggu
perhatian pembelajaran yang sangat tinggi. Perilaku negatif ini dilakukan siswa sebanyak 7 sampai
9 kali dalam dua jam pelajaran. Artinya pada saat studi pendahuluan ketiga siswa sangat kurang
dalam memperhatikan pelajaran yang disampaikan guru. Pelaksanaan tindakan siklus pertama
dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan atau 40x8 jam pelajaran = 320 menit. Tujuan yang ingin
dicapai pada tindakan siklus pertama adalah meningkatnya perhatian siswa hiperaktif terhadap
materi pelajaran. Tindakan yang dicobakan adalah menjelaskan konsep pelajaran dengan iringan
suara serangga. Strategi pembelajaran yang dilakukan menggunakan langkah sebagai berikut:
Eksplorasi, kelas VII yang berjumlah 9 anak dibuat menjadi 3 kelompok belajar.Tiga orang siswa
hiperaktif disebar kedalam kelompok-kelompok. Pada dasarnya setiap kelompok ada satu anak
hiperaktif. Guru menjelaskan prosedur belajar dengan diiringi musik suara serangga.Guru
memotivasi belajar siswa dengan cara bertanya tentang konsep pembelajaran yang akan
disampaikan. Diakhir tahap ini anak hiperaktif diajak mendengarkan suara serangga dengan
seksama.
No Aspek yang diamati Nama responden/
Rata –rata skor
Presentase skor
Y S N Y S N
1
2
3
4
5
Meninggalkan tempat
duduk di kelas
Berlari kesana kemari
dalam kelas
Gelisah dengan tangan dan
kaki yang senantiasa
bergerak
Melontarkan pertanyaan
yang tidak bermakna
kepada guru
Mengeluarkan suara aneh
diluar kontrol diri
8,6 7,8 7,8 95,5 86,6 86,6
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 153
Eksplanasi, pada tahap guru menjelaskan konsep matematika, diiringi suara serangga yang
dimainkan dengan sayup-sayup. Guru memberikan kesempatan siswa untuk memahami konsep
matematika dengan metode totorial teman sebaya (teman yang tidak hiperaktif). Jika anak hiperaktif
yang melkukan kegiatan mengganggu perhatian, maka suara serangga di putar secara nyaring. Pada
saat tertentu ketika siswa mulai tenang suara serangga dibunyikan sayup-sayup.
Ekspansi, pada tahap ini, guru memberikan kesimpulan materi yang telah dibahas dengan teman
sebaya memantapkan pemahaman siswa
Evaluasi, Evaluasi dilakukan dengan memberikan pertanyaan lisan untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman siswa terhadap konsep pembelajaran.
Observasi, pelaksanaan observasi dilakukan oleh peneliti diakhir pertemuan siklus pertama.
Observasi menggunakan lembar pengamatan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh data tentang aktivitas yang sebenarnya terjadi dalam proses belajar mengajar. Hasil
pengmatan pada siklus pertama tertera pada tabel berikut:
Tabel 2: Pengamatan aktifitas siswa yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran
SIKLUS I
Refl
eksi
Tind
akan pada siklus pertama dilakukan selama 4 kali pertemuan atau 8 jam pelajaran selama 320 menit.
Pembelajaran diiringi suara serangga, ada siklus pertama, perilaku subyek tidak banyak mengalami
perubahan dengan data studi pendahuluan. Dimungkinkan subyek masih menyesuaikan dengan
media pembelajaran. Pada pertemuan akhir mulai berpengaruh pada perilaku subyek. Skor
penurunan aktifitas pengganggu perhatian pada sesi ini belum mencapai hasil yang signifikan. Skor
No Aspek yang diamati Nama responden/
Rata –rata skor
Presentase skor
Y S N Y S N
1
2
3
4
5
Meninggalkan tempat duduk di kelas
Berlari kesana kemari dalam kelas
Gelisah dengan tangan dan kaki yang
senantiasa bergerak
Melontarkan pertanyaan yang tidak
bermakna kepada guru
Mengeluarkan suara aneh diluar
kontrol diri
8 7,6 7,6 88,8 82,2 82,2
154 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
rata-rata yang diperoleh subyek Yadalah 8 atau kriteria kurang, subyek S = 7,6 atau kurang dan
subyek N memperoleh 7,6 atau kurang. Perlakuan yang dilakukan pada sesi pertama belum banyak
berpengaruh pada peningkatan perhatian subyek.
Pada tahap eksplorasi siswa mendengarkan bunyi serangga tidak disertai penghayatan,
sehingga pengaruh suara serangga terhadap peningkatan perhatian siswa tidak signifikan, bahkan
cenderung sama dengan pada saat studi pendahuluan. Pada tahap eksplanasi, iringan bunyi serangga
pada saat penyampaian konsep dan pada saat diskusi dengan teman sebaya berhasil menarik
perhatian siswa hiperaktif. Walaupun skor penurunan perilaku mengganggu pembelajaran tidak
menurun secara signifikan akan tetapi lebih baik daripada saat studipendahuluan.
Revisi
Pada siklus berikutnya perlu diadakan perubahan strategi penggunaan iringan susra serangga
pada saat pembelajaran. Pada tahap eksplorasi siswa perlu peningkatan penghayatan terhadap bunyi
serangga. Dengan menghayati diharapkan suara serangga akan mempengaruhi gelombang otak anak
hiperaktif, yang akan mempengaruhi perhatian anak. Pada tahap eksplanasi musik yang ditimbulkan
dari suara serangga dibunyikan secara sayup-sayup mengiringi pemahaman konsep matematika.
Dengan suara sayup diharapkan akan memberikan ketenangan pada otak anak.
Pelaksanaan tindakan siklus kedua, dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan atau 40x8 jam
pelajaran = 320 menit. Tujuan yang ingin dicapai pada tindakan siklus kedua adalah
mengoptimalkan perhatian siswa hiperaktif terhadap materi pelajaran. Tindakan yang dicobakan
adalah menjelaskan konsep pelajaran dengan iringan suara serangga. Strategi pembelajaran yang
dilakukan menggunakan langkah sebagai berikut:
Eksplorasi (10 menit)
Bernyanyi bersama menggunakan iringan tepuk tangan
Mendengarkan suara serangga, kali ini posisi siswa duduk dengan tenang dilantai untuk meresapi
alunan suara serangga
Guru menyampaikan garis besar tujuan pembelajaran hari itu, yaitu akan membahas beberapa
operasi penjumlahan pada bilangan bulat.
Eksplanasi (60 menit)
Guru membunyikan rekaman suara serangga dengan suara sayup-sayup
Setelah semua anak tenang (tertuju pada suara serangga) guru mulai menjelaskan konsep operasi
penjumlahan bilangan bulat.
Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok heterogen beranggotakan 3 orang,
setiap kelompok ada satu siswa hiperaktif.
Guru menugaskan kelompok untuk mengerjakan tugas kelompok
Siswa hiperaktif bersama siswa reguler mengerjakan tugas kelompok
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 155
Suara serangga dibunyikan sayup-sayup mengiringi diskusi kelompok
Suara serangga dibunyikan keras, ketika ada anak yang kurang memperhatikan jalannya diskusi.
Ketika ingin menarik perhatian siswa suara serangga dikeraskan sesaat kemudian dikecilkan lagi
Ekspansi (10 menit)
Bersama dengan siswa, guru membahas hasil kerja siswa dan dilanjutkan dengan menghitung skor
yang diperoleh tiap kelompok
Memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapat skor paling tinggi, dan kepada siswa
yang paling memperhatikan pelajaran
Observasi, pelaksanaan observasi dilakukan oleh peneliti diakhir pertemuan siklus kedua.
Observasi menggunakan lembar pengamatan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh data tentang aktivitas siswa hiperaktif dalam proses belajar mengajar. Hasil
pengmatan pada siklus pertama tertera pada tabel berikut:
Tabel 3: Pengamatan aktifitas siswa yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran
SIKLUS II
No Aspek yang diamati Nama responden/
Rata –rata skor
Presentase skor
Y S N Y S N
1
2
3
4
5
Meninggalkan tempat duduk di
kelas
Berlari kesana kemari dalam kelas
Gelisah dengan tangan dan kaki
yang senantiasa bergerak
Melontarkan pertanyaan yang tidak
bermakna kepada guru
Mengeluarkan suara aneh diluar
kontrol dir
6,6 6,6 5,8 73,3 73,3 64,4
Refleksi
Tindakan pada siklus kedua dilakukan selama 4 kali pertemuan atau 8 jam pelajaran selama
320 menit. Pembelajaran diiringi suara serangga, pada siklus kedua, perilaku subyek banyak
mengalami perubahan dibandingkan pada siklus pertama. Dimungkinkan subyek mulai
menyesuaikan strategi dan media pembelajaran. Terbukti skor aktifitas siswa yang mengganggu
pembelajaran siswa Y dan S dengan skor 6,6 dan siswa N memperoleh skor 5,8. Ketiga siswa
156 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
hiperaktif mengalami penurunan frekwensi aktifitas pengganggu perhatian yang cukup signifikan.
Pasa sesi sebelumnya pada level kurang menjadi sedang. Prosentase skor menurun dari 88,8% pada
sesi sebelumnya menurun menjadi 64,4%.
Pada tahap eksplorasi siswa mendengarkan bunyi serangga mulai menggunakan
penghayatan, sehingga pengaruh suara serangga terhadap peningkatan perhatian siswa cukup
signifikan. Pada tahap eksplanasi, iringan bunyi serangga pada saat penyampaian konsep dan pada
saat diskusi dengan teman sekelompok berhasil menarik perhatian siswa hiperaktif. Pengaturan
frekwensi suara serangga untuk menarik perhatian siswa ketika terjadi kegaduhan ternyata mampu
menarik perhatian siswa hiperaktif.
Penurunan frekwensi gangguan perhatian pada siklus kedua ini cukup signifikan. Namun
demikian belum mencapai batas penurunan yang diharapkan pada penelitian ini, yaitu menurunkan
aktifitas pengganggu pelajaran dari 9 kali atau lebih dalam 2 jam pelajaran menjadi 4 atau 5 kali
dalam 2 jam pelajaran. Dengan demikian perlu penambahan frekwensi tindakan pada siklus
berikutnya.
Revisi
Tindakan pada siklus ketiga pada prinsipnya menggunakan strategi pembelajaran pada
siklus kedua. Pemanfaatan suara serangga pada pembelajaran siklus ketiga selain untuk mengiringi
penjelasan konsep perlu difariasikan lagi. Misalnya digunakan untuk menarik perhatian ketika anak
tidak mau menjawab pertanyaan, untuk memberikan hadiah, ketika siswa bisa duduk dengan
tenang. Menarik perhatian ketika ingin masuk kelas mengikuti pelajaran.
Pelaksanaan tindakan siklus ketiga, dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan atau 40x8 jam
pelajaran = 320 menit. Tujuan yang ingin dicapai pada tindakan siklus kedua adalah
mengoptimalkan perhatian siswa hiperaktif terhadap materi pelajaran. Tindakan yang dicobakan
adalah menjelaskan konsep pelajaran dengan iringan suara serangga. Strategi pembelajaran yang
dilakukan menggunakan langkah sebagai berikut:
Eksplorasi (10 menit)
Bernyanyi bersama menggunakan iringan tepuk tangan
Mendengarkan suara serangga, kali ini posisi siswa duduk dengan tenang dilantai untuk meresapi
alunan suara serangga
Guru menyampaikan garis besar tujuan pembelajaran hari itu, yaitu akan membahas beberapa
operasi penjumlahan pada bilangan bulat.
Eksplanasi (60 menit)
Guru membunyikan rekaman suara serangga dengan suara sayup-sayup
Setelah semua anak tenang (tertuju pada suara serangga) guru mulai menjelaskan konsep operasi
penjumlahan bilangan bulat dengan tehnik simpan dua bilangan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 157
Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok heterogen beranggotakan 3 orang,
setiap kelompok ada satu siswa hiperaktif.
Guru menugaskan kelompok untuk mengerjakan tugas kelompok
Siswa hiperaktif bersama siswa reguler mengerjakan tugas kelompok
Suara serangga dibunyikan sayup-sayup mengiringi diskusi kelompok
Suara serangga dibunyikan keras, ketika ada anak yang kurang memperhatikan jalannya diskusi,
seketika anak akan menoleh ke suara. Ketika anak memperhatikan pelajaran maka bunyi serangga
diputar sayup-sayup lagi.
Suara serangga dibunyikan keras, ketika ada anak mampu menjawab pertanyaan dengan baik dan
bisa duduk dengan tenang.
Ketika ingin menarik perhatian siswa suara serangga dikeraskan sesaat kemudian dikecilkan
Bunyi serangga diputar ketika guru ingin menarik perhatian siswa untuk memasuki ruangan
Ekspansi (10 menit)
Bersama dengan siswa, guru membahas hasil kerja siswa dan dilanjutkan dengan menghitung skor
yang diperoleh tiap kelompok
Memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapat skor paling tinggi, dan kepada siswa
yang paling memperhatikan pelajaran
Observasi, pelaksanaan observasi dilakukan oleh peneliti diakhir pertemuan siklus ketiga.
Observasi menggunakan lembar pengamatan. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh data tentang aktivitas siswa hiperaktif dalam proses belajar mengajar. Hasil
pengmatan pada siklus ketiga tertera pada tabel berikut:
Tabel 4: Pengamatan aktifitas siswa yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran
SIKLUS III
No Aspek yang diamati Nama responden/ Rata –rata skor
Presentase skor
Y S N Y S N 1 2 3 4 5
Meninggalkan tempat duduk di kelas Berlari kesana kemari dalam kelas Gelisah dengan tangan dan kaki yang senantiasa bergerak Melontarkan pertanyaan yang tidak bermakna kepada guru Mengeluarkan suara aneh diluar kontrol diri
5,4 5 4,4 60 55,5 48,8
158 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Refleksi pelaksanaan tindakan siklus ketiga
Pemanfaatan suara serangga pada pembelajaran siklus ketiga, berhasil merubah kebiasaan
perilaku subyek penelitian yang mengganggu perhatian dalam pembelajaran. Terbukti skor aktifitas
siswa yang mengganggu pembelajaran siswa Y = 5,4 atau kriteria baik, siswa S dengan skor 5 atau
mencapai kriteria baik dan siswa N memperoleh skor 4,4 atau kriteria amat baik. Ketiga siswa
hiperaktif mengalami penurunan frekwensi aktifitas pengganggu perhatian yang cukup signifikan.
Pada sesi sebelumnya pada level kurang menjadi sedang. Prosentase skor menurun dari 88,8% pada
sesi sebelumnya menurun menjadi 64,4%.
Pada tahap eksplorasi siswa mendengarkan bunyi serangga mulai menggunakan
penghayatan, sehingga pengaruh suara serangga terhadap peningkatan perhatian siswa cukup
signifikan. Pada tahap eksplanasi, iringan bunyi serangga pada saat penyampaian konsep dan pada
saat diskusi dengan teman sekelompok berhasil menarik perhatian siswa hiperaktif. Pengaturan
frekwensi suara serangga untuk menarik perhatian siswa ketika terjadi kegaduhan ternyata mampu
menarik perhatian siswa hiperaktif.
Penurunan frekwensi gangguan perhatian pada siklus kedua ini cukup signifikan. Namun
demikian telah mencapai batas penurunan yang diharapkan pada penelitian ini, yaitu menurunkan
aktifitas pengganggu pelajaran dari 9 kali atau lebih dalam 2 jam pelajaran menjadi 4 atau 5 kali
dalam 2 jam pelajaran. Pada siklus ketiga pengaruh pemanfaatan suara serangga berhasil
meningkatkan perhatian siswa dalam pembelajaran sesuai dengan kriteria keberhasilan yang
diharapkan dalam penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan temuan penelitian dan analisis hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Terapi gelombang otak anak ADHD dapat dilakukan dengan mendengarkan suara serangga
Pemanfaatan bunyi serangga dalam pembelajaran matematika dapat digunakan untuk meningkatkan
perhatian siswa hiperaktif.
Peningkatan perhatian siswa hiperaktif ditandai dengan menurunnya perilaku pengganggu perhatian
dari 8/9 kali menjadi 4/5 kali dalam dua jam pelajaran. Atau dari prosentase skor tertinggi 95,5%
menjadi 48,8%.
Penurunan perilaku pengganggu perhatian pembelajaran dengan angka diatas dibutuhkan waktu 960
menit atau 24 jam pelajaran.
Langkah pembelajaran pemanfaatan bunyi serangga, pada tahap eksplorasi siswa dikondisikan
untuk menghayati alunan bunyi serangga untuk menarik minat anak, tahap eksplanasi bunyi
serangga dikondisikan dengan suara sayup-sayup mengiringi penjelasan konsep matematika dan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 159
diskusi dengan teman sebaya. Tahap ekspansi bunyi serangga diatur sedemikian rupa untuk menarik
perhatian ketika anak bertanya, menjawab pertanyaan dan melakukan aktifitas tak terkontrol
Berdasarkan hasil temuan penelitian ini disarankan kepada:
Kepada guru maupun terapis anak hiperaktif menggunakan bunyi serangga dalam pembelajaran
matematika. Penggunaan bunyi serangga bisa difariasikan untuk menarik perhatian, memotivasi
belajar, menenangkan pikiran dan mengiringi diskusi
Kepada peneliti lanjutan, disarankan melakukan penelitian untuk mengukur seberapa besar
pengaruh bunyi serangga untuk meningkatkan gelombang beta dan memperbaiki jalur pendengaran
anak hiperaktif.
DAFTAR PUSTAKA
APA. Diagnostic and statistical manualof mental disorders. Washington. DC American Psychiatric
Assosiation Press. 1994
Ashman. A &Elkin, J. (1994). Education Children with Special Need. New Jersey : Scon Edition
Englewood eliffs Prentice. Inc.
Berit H. Johnson & Skjorten M.D. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus. Bandung: Uniplb
Forlag. Devisi International. Jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus Fak. Pendidikan Universitas
Oslo. PPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
Berk, L.E. (1998). Development Through The Lifespan. Needham Heights.
A Viacom Company: Allyn and Bacon.
Elia J. Ambrosini PJ Rapoport : Treatment of attention –deficit-hyperactivity disorder. N Engl J
Met 1999. Maret 11: 340 http://www.gelombangotak.com/ a/n Irawan
Grainger, J. (1997). Children’s Behaviour, Attention and Reading Problems Strategies for School
Based Interventions. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Jessica Grainger (2003), Children,s Behaviour Attention and Reading Problem : Terjemahan ,
Jakarta : PT Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Mercer, D.C. dan Mercer, A.R. (1989). Teaching Student with Learning Problem. Ohio: Merril
Publishing Company.
Skjorten, Miriam, D. & Johnsen, Berit, H.(2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus, Suatu Pengantar
(Alih bahasa, Susi Septaviana R.). Bandung : PPS UPI.
Sunanto, Juang (2006) Pengantar Penelitian dengan Subyek Tunggal: University of Tsukuba
160 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Widodo Judarwanto (2007) Penatalaksanaan Attention Deficit Hyperactive Disorders pada anak :
jakarta
BIODATA PENULIS
Nama : Imam Yuwono, S.Pd..M.Pd
Jenis Kelamin : Laki-laki
NIP : 196608031991031014
Pendidikan : Pasca Sarjana /Pendidikan Berkebutuhan Khusus
UPI Bandung Bekerjasama Univ.Oslo Norway
Pekerjaan : Dosen PLB FKIP Unlam Banjarmasin
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 161
PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS BERBASIS E-LEARNING
Ahmad Dahlan Siregar1
Iin Syahri2
Lona Marlina3
FAKULTAS PASCASARJANA TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI
MEDAN
ABSTRAK
Di era globalisasi saat ini perkembangan teknologi sangat pesat. Pada dasarnya konsep teknologi
pendidikan masih tertuju pada upaya melahirkan pemecahan masalah belajar yang dihadapi. Sesuai
dengan perkembangan dunia pendidikan dan pembelajaran pada saat ini salah satunya adalah
pembelajaran dalam bentuk elektronik pembelajaran atau e-Learning. Pengembangan desain
pembelajaran e-learning sangat membantu dan mempermudah pembelajaran. Dalam hal ini para
pendidik dapat melakukan inovasi dan pengembangan bahan ajar yang lebih modern sesuai dengan
perkembangan zaman. Dengan adanya konsep pembelajaran modern diharapkan mampu
menggabungkan antara software intelligence dan hardware intelegence dalan dunia pendidikan.
Keberadaan e-learning tidak terlepas dari komputer dan internet. Seiring dengan itu maka
berkembanglah teknologi yang berguna untuk mempermudah sesuatu pekerjaan manusia terutama
di dunia pendidikan. Sistem dalam e-learning ini peserta didik tidak harus berada didalam kelas,
bisa dalam jarak jauh sehingga dapat mempersingkat target waktu pembelajaran dan hemat biaya
yang harus dikeluarkan oleh sebuah program studi atau program pendidikan. Walaupun demikian,
sistem pembelajaran jarak jauh tetap berpijak pada karakteristik utamanya, yaitu pada keterpisahan
secara fisik antara pendidik dan peserta didik. Fungsi e-learning dalam kegiatan pembelajaran di
kelas yaitu : sebagai tambahan yang sifatnya pilihan, pelengkap atau pengganti. Tetapi untuk
penyelenggaraan e-learning ini dibutuhkan sistem administrasi dan manajemen yang baik. Di dalam
e-learning ini terdapat beberapa model dan teori-teori belajar yang mendukung model e-learning.
Kata Kunci: Pengembangan, pembelajaran berbasis, E-Learning
162 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia pendidikan dan pembelajaran setidaknya harus mengimbangi berbagai
tuntutan upaya pemecahan tantangan yang dihadapi.Fenomena ini sangat dirasakan betul ketika
sebuah kebijakan pembangunan pendidikan mulai dari pusat sampai ke daerah bahkan ke ruang
kelas tempat belajar kita, semuanya nyaris hanya menjadi beban bagi pihak-pihak
tertentu.Keberhasilan sebuah kebijakan diantaranya akan diukur dari kondisi dan kualitas tindakan
nyata yang dilakukan pada tataran lapangan.Demikian juga halnya dengan sebuah realitas layanan
pembelajaran yang sampai saat ini masih belum optimal jika dikaitkan dengan kebijakan
pembangunan pendidikan, khususnya mengenai pembangunan ICT di Indonesia yang diharapkan
mampu menyentuh pribadi inovatif di kalangan masyarakat dan praktisi pembelajaran. Trend
pengajaran (teaching) yang dulunya menempatkan guru sebagai satu-satunya komunikator aktif
mengguna-kan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses belajar mengajar, kini telah
mengalami perubahan besar; guru (pendidik/ pengajar) dan siswa (pembelajar) telah ditempatkan
dalam posisi yang sama-sama aktif menggunakan teknologi dan media dalam proses pembelajaran
(learning).
Disini pengembangan sistem layanan pembelajaran berbasis ICT, yaitu dalam bentuk elektronik
pembelajaran atau e-learning.Dengan adanya pembelajaran e-learning diharapkan mampu menjadi
bekal bagi para praktisi pendidikan dan para pendidik, guru dalam melakukan inovasi dan
pengembangan bahan ajar yang lebih modern. TIK sebagai media informasi yang luar biasa telah
menjadi sebuah kemajuan positif bagi dunia pendidikan. Sadiman dan kawan-kawan (2009:7)
menyimpulkan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan
dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta
perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Penggunaan TIK dalam hal ini
tentunya dapat diarahkan untuk mendukung proses pembelajaran siswa.Berbagai kelebihan dalam
penerapan teknologi instruksional seperti; penggunaan Web (E-Learning) dapat diasumsikan
sebagai salah satu faktor pendorong berkembangnya proses pembelajaran pada institusi-institusi
pendidikan nonformal. Salah satu contohnya adalah di SMK PAB 1 Helvetia Medan yang telah
menerapkan teknologi komputer berbasis jaringan (network) dalam proses pembelajaran.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 163
Penggunaan Web (E-learning) telah dijadikan sebagai salah satu metodologi belajar yang menarik
bagi para peserta didiknya.
Dengan metode pembelajaran seperti itu, para siswa ditempatkan pada rangkaian belajar dimana
mereka secara aktif mencari dan memperoleh informasi dan bahan belajar yang sangat luas dalam
berbagai format media baik teks, gambar, video, ataupun film dengan menggunakan Web (E-
Learning) sebagai media. Dalam Uses and Gratification theory dijelaskan bahwa khalayak memiliki
kekuatan (aktif) dalam menentukan pemanfaatan media massa termasuk media dalam internet
sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan mereka atas informasi yang dibutuhkan.
Kebutuhan akan kemampuan bahasa Inggris saat ini juga merupakan kebutuhan utama bagi kita
semua. Dengan adanya ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau disebut dengan ASEAN Community
maka mau tidak mau kita sebagai warga Negara harus dapat menyambut era itu dan harus mampu
menangkap peluang yang ada. Untuk itu kebutuhan akan penguasaan bahasa Inggris mutlak
diperlukan oleh kita semua.
Untuk bisa menguasai bahasa Inggris ini sendiri bukan perkara mudah, masalah yang sering
dihadapi sendiri adalah metode pembelajaran yang konvensional, belum interaktif, masih
berpatokan kepada text book. Banyak penyedia platform e-learning yang belum secara maksimal
menyediakan fitur-fitur yang bisa membantu siswa untuk belajar bahasa Inggris dengan cara yang
menyenangkan.
Bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran yang masuk dalam kurikulum di SMK, akan
tetapi proses pembelajaran bahasa Inggris masih belum bisa mencapai hasil seperti yang
diharapkan. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya siswa yang tetap belum mampu
berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris walaupun mereka sudah mem-pelajarinya sejak
memasuki bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas ataupun yang sederajat.
Kondisi pembelajaran ini mengharuskan guru aktif dan kreatif me-nyiasati, mencari dan memilih
strategi pem-belajaran yang paling tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang terkait dengan
proses dan hasil pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas merupakan salah satu
tugas utama guru yang dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa.
Dalam proses pem-belajaran masih sering ditemui adanya ke-cenderungan siswa lebih pasif
sehingga mereka lebih banyak menunggu sajian guru daripada mencari dan menemukan sendiri
pengetahuan, keterampilan atau sikap yang mereka butuhkan.
Turban dkk (Suyanto, 2005: 21) me-ngemukakan bahwa multimedia adalah kom-binasi dari paling
sedikit dua media input atau output. Media ini dapat berupa audio (suara, musik), animasi, video,
teks, grafik, dan gambar. Azhar Arsyad (2009:170) menyata-kan multimedia secara sederhana
164 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
didefinisi-kan lebih dari satu media, media ini bisa berupa kombinasi antara teks, grafik, animasi,
suara dan video. Blackwell (1997: 1) dalam multimedia application in education menyata-kan
bahwa multimedia adalah kombinasi dari teks, grafik, seni, suara, animasi dan video dengan
linkatau alat yang memungkinkan bagi guru ataupun siswa untuk mengendali-kan, berinteraksi dan
berkomunikasi dengan komputer. Ketika user bisa mengontrol apa dan kapan saja unsur-unsur yang
ada dalam media tersebut maka proses ini disebut multimedia interaktif, jadi dengan mengguna-kan
multimedia, siswa tidak hanya bisa melihat dan mendengar tetapi juga bisa juga mengatur perintah-
perintah didalamnya secara stimulan. Dari pendapat Blackwell dapat dikatakan bahwa multimedia
merupakan suatu kombinasi data yang memuat jenis dan media untuk menyampaikan pesan
menjadi lebih komunikatif dan berkesan.
Rumusan Masalah
Metode pembelajaran yang di gunakan kurang variatif
Sulitnya siswa memahami materi pembelajaran dengan metode konvensional
Masih sedikitnya guru yang mengetahui tentang pembelajaran e-Learning
Belum maksimalnya guru yang menggunakan platform e-learning yang disediakan
Rendahnya hasil belajar Bahasa Inggris siswa di sekolah
Kurang diterapkannya teknologi komputer berbasis jaringan (network) dalam proses pembelajaran
Batasan Masalah
Apa yang dimaksud dengan E-Learning dalam pembelajaran?
Apa fungsi dan manfaat dari E-Learning dalam pembelajaran?
Bagaimana desain pembelajaran Bahasa Inggris dengan E-Learning?
Apa-apa saja model dalam E-Learning?
Tujuan
Untuk mengetahui pengertian E-Learning dalam pembelajaran
Untuk mengetahui fungsi dan manfaat dari E-Learning dalam pembelajaran
Untuk mengetahui desain pembelajaran Bahasa Inggris dengan E-Learning
Untuk mengetahui model-model dalam E-Learning
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 165
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN
Pengertian E-Learning (Pembelajaran Elektronik)
Pembelajaran elektronik atau e-Learning telah dimulai pada tahun 1970-an (Waller and Wilson
2001 dalam Darmawan, 24:2014), tetapi mulai bersifat komersial dan berkembang pesat sejak
periode 1990-an (Kamarga,2002 dalam Darmawan, 25:2014).E-Learning merupakan suatu
penerapan teknologi informasi yang relatif baru di Indonesia, mulai dikenal secara komersial pada
1995 ketika IndoInternet membuka layanannya sebagai penyedia jasa layanan Internet pertama.E-
Learning terdiri dari dua bagian, yaitu “e” yang merupakan singkatan dari “electronic” dan
“learning” yang berarti “pembelajaran.”Jadi e-Learning berarti pembelajaran dengan menggunakan
jasa/bantuan perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer.Dengan demikian, maka e-
Learning atau pembelajaran online adalah pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa
elektronis seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelit atau komputer.(Darmawan, 25:2014).
Ada tiga hal penting sebagai persyaratan kegiatan belajar elektronik (E-Learning) (Darmawan,
25:2014) yaitu:
Kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan/internet (LAN atau WAN)
Tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan (misalnya CD-ROM atau bahan
cetak)
Tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar apabila mengalami
kesulitan
Disamping ketiga persyaratan tersebut di atas, masih dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan
lainnya untuk menunjang terlaksananya e-Learning antara lain:
Lembaga yang menyelenggarakan / mengelola kegiatan pembelajaran mengerti cara mengelola
sistem pembelajaran
Sikap positif peserta didikdan tenaga kependidikan terhadap teknologi komputer dan Internet
Rancangan sistem pembelajaran yang dapat dipelajari/diketahui oleh setiap peserta belajar
Sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan belajar peserta belajar
Mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh lembaga penyelenggara.
Ada beberapa bagian menurut e-Learning menurut (Naudu Som, 1:2006) yaitu :
Individualisasi e-learning online pribadi mengacu pada situasi di mana seorang pelajar belajar
mengakses sumber belajar seperti database atau konten kursus secara online melalui Intranet atau
Internet. Contoh khas dari hal ini adalah pelajar yang belajar sendiri atau melakukan penelitian di
Internet atau jaringan lokal.Individual e-learning offline pribadi mengacu pada situasi di mana
166 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
seorang pelajar belajar menggunakan sumber belajar seperti database atau paket pembelajaran yang
dibantu komputer secara offline (yaitu, meski tidak terhubung ke Intranet atau Internet). Contoh
dari hal ini adalah pelajar yang bekerja sendiri dari hard drive, CD atau DVD.
Pembelajaran e-learning berbasis kelompok secara serentak mengacu pada situasi di mana
kelompok peserta didik bekerja sama secara real time melalui Intranet atau Internet. Ini mungkin
termasuk konferensi berbasis teks, dan satu atau dua arah audio dan videoconference. Contohnya
termasuk pelajar yang terlibat dalam obrolan real-time atau konferensi video audio.
Pembelajaran e-learning berbasis kelompok secara asinkron mengacu pada situasi di mana
kelompok peserta didik bekerja di Intranet atau Internet dimana pertukaran di antara peserta terjadi
dengan penundaan waktu (yaitu, tidak secara real time). Contoh khas dari jenis kegiatan ini meliputi
diskusi on-line melalui milis elektronik dan konferensi berbasis teks dalam sistem manajemen
pembelajaran.
Peran E-Learning Dalam Pendidikan
Dalam upaya memahami dan memaknai keberadaan e-learning maka ada beberapa
perspektif yang dapat digunakan guna memperoleh pemahaman yang utuh dan fleksibel tentang e-
learning.E-learning pada dasarnya tidak selalu harus berhubungan dengan proses pendidikan dan
pembelajaran yang berbasis elektronik dan virtual secara ideal, namun e-learning yang mampu
memberikan pemahaman bagaimana peserta belajar memperoleh materi dan melakukan proses
pembelajaran melalui fasilitas internet dan sajian halaman website yang memberikan dan
menyediakan bahan ajar secara elektronik.
Ketika suatu lembaga pendidikan sudah memahami dana siap mengancurkan dana
pendampingan untuk kesuksesan penyelenggaraan pendidikan dan layanan pembelajaran maka
setelah semuanya terbangun pada akhirnya akan muncul tuntutan praktis kepada warga
belajar.Kondisi ketika pembelajaran dengan melalui hasil telaah ilmu pengembangan kurikulum,
maka ada beberapa keterkaitan langsung antara penyelenggaraan pembelajaran secara elektronik
dan manajemen pendidikan secara kelembagaan berdasarkan pendekatan sistem.E-Learning yang
banyak dipahami orang termasuk oleh para praktisi dunia pendidikan maka akan dapat dipahami
bahwa e-Learning sangat memerlukan tindakan nyata dari fungsi manajemen melalui media
komunikasi elektronik.
Dalam proses penggunaan atau pemanfaatan elektronik pembelajaran ini maka untuk
sebagian pengembang pembelajaran sangat konsen dengan pemanfaatan elektronik dalam
melakukan inovasinya.Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya pengemasan pembelajaran
agar bisa lebih menarik para peserta didik dan pendidik yang lain sehingga inovasi akan terus
dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.Pada dasarnya e-Learning memungkinkan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 167
pembelajaran bisa lebih mudah dikelola khususnya dari segi materi, penempatan, pengelolaan, dan
penilaian serta setting lingkungan dan kondisi pembelajaran yang dibutuhkan.
Evaluasi Pembelajaran Dalam E-Learning
Penilaian dalam konteks rangkaian beberapa sistem e-Learning mungkin masih bisa
dilakukan, yaiutu dengan cara memberikan akses pada web e-Learning yang telah
direlevansinya.Artinya, halaman dan sistem evaluasi digital untuk e-Learning tidak bisa
sederhana.Walaupun demikian ada sisi lain jika penilaian proses rasa percaya diri, rasa mandiri,
rasa kesadaran, serta kemampuan untuk melakukan pencarian atas segala penyelesaian tugas belajar
secara individual dapat terlatih dengan baik.Sistem evaluasi yang dapat dikembangkan, yaitu
evaluasi proses dengan indicator dan acuan penuntasan belajar berupa alokasi waktu yang
dihabiskan, halaman-halaman e-Learning yang tertuntaskan, mampu tidaknya membaca dan
memaknai, setelah itu benar menjawab soal yang disajikan, serta mampu melewati keseluruhan
proses pembelajaran.
Maka sistem penilaian yang dapat diterapkan, yaitu sistem penilaian dengan indicator
ketuntasan belajar secara online, kemampuan membuat laporan dan meng-
uploadnya/mengirikannya secara online, serta mampu menjawab keseluruhan soal, yaitu soal yang
dimunculkan pada setiap akan selesai sajian materi pelajaran.Adapun skor untuk penilaian yang
dilakukan biasanya memiliki skala interval, serta dapat dengan cepat diproses sehingga mampu
memberikan informasi lebih cepat secara online kepada peserta didiknya.
Ada sejumlah praktisi yang telah menggunakan manjemen penyelenggaraan dan layanan
pembelajarannya e-Learning, mereka telah banyak menggunakan pola dan sistem penerapan
evaluasi pembelajarannya.Salah satu pola penilaian dalam e-Learning yang ditujukan untuk
beberapa aspek di antaranya:
Penilaian desain interaktif program layanan e-Learning
Penilaian kemudahan akses program e-Learning oleh pembelajaran
Penilaian kualitas dan keunggulan konten materi yang dikembangkan
Penilaian proses interaksi pembelajaran selama e-Learning dimanfaatkan
Penilaian sistem evaluasi itu sendiri (sistem penilaian yang disajikan dalam program e-Learning)
Penilaian aktivitas pembelajaran pembelajaran selama menyelesaiakan sejumlah tugas dan latihan
dalam sistem program e-Learning
Penilaian terhadap hasil belajar yang sifatnya pengetahuan secara terintegrasi dengan program e-
Learning
168 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Penilaian pasca penggunaan program e-Learning oleh internal lembaga pendidikan yang
mengelolanya
E-Learning dan Model-Model Pembelajaran
E-Learning merupakan salah satu pemikiran dalam upaya mengintegrasikan proses
pembelajaran dari pembelajaran tradisional,pembelajaran jarak jauh, dan perpaduan berbagai model
pembelajaran lainnya (blended learning).(Darmawan, 20:2014)
Traditional Learning
Pembelajaran yang umum dan banyak dilakukan dalam lembaga-lembaga pendidikan, di
mana proses pembelajaran dan interaksinya cenderung banyak melibatkan guru, siswa, media, dan
sumber belajar buku cetak, serta dukungan peralatan dan sarana standar untuk melayani
pembelajaran peserta didiknya.
Distance Learning
Pembelajaran jarak jauh awalnya ditujukan guna penyelenggaraan pelatihan atau training dalam
jangka waktu pendek.Perkembangannya berlangsung pesat setelah adanya konsep Teknologi
Pembelajaran di mana media dan teknologi penyaluran pesan dalam bentuk komunikasi jarak jauh
mampu dilakukan untuk melayani peserta didik.
Blended Learning
Model pembelajaran Blended Learning ini merupakan kombinasi berbagai model pembelajaran
yang ditujukan guna mengoptimalkan proses dan layanan pembelajaran baik jarak jauh, tradisional,
bermedia, bahkan berbasis komputer.Sebagai contoh, siswa yang belajar di kelas namun
memanfaatkan fasilitas bahan ajar online, kemudian dicetak dan download serta dipelajari secara
klasikal di dalam kelas, setelah itu mereka diskusi dengan bantuan media cetak, maupun elektronik,
bahkan online.
Perkembangan teknologi informasi beberapa tahun belakangan ini sangat berkecepatan tinggi,
sehingga dengan perkembangan ini telah mengubah paradigma masyarakat dalam mencari dan
mendapatkan informasi, yang tidak lagi terbatas pada informasi surat kabar, audiovisual dan
elektronik, tetapi juga sumber-sumber informasi lainnya yang salah satu di antaranya melalui
jaringan internet.
Salah satu bidang yang mendapatkan dampak yang cukup berarti dengan perkembangan teknologi
ini adalah bidang pendidikan, yang pada dasarnya pendidikan merupakan suatu proses komunikasi
dan informasi dari pendidik kepada peserta didik yang berisi informasi-informasi pendidikan, yang
memiliki unsur-unsur pendidik sebagai sumber informasi, sarana penyajian ide, gagasan dan materi
pendidikan, serta peserta didik itu sendiri.(Oetomo dan Priyogutomo, 2004 dalam Darmawan,
22:2014)
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 169
Fungsi dan Manfaat E-Learning
Terdapat tiga fungsi e-Learning dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom
instruction), (Darmawan, 29: 2014) yaitu :
Suplemen (tambahan)
E-Learning berfungsi sebagai suplemen (tambahan), yaitu: peserta didik mempunyai kebebasan
memilih, apakah akan memanfaatkan materi e-Learning atau tidak.Dalam hal ini, tidak ada
kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi e-Learning.Sekalipun sifatnya
opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki pengetahuan atau wawasan.
Komplemen (pelengkap)
E-Learning berfungsi sebagai komplemen (pelengkap), yaitu: materinya diprogramkan untuk
melengkapi materi pembelajaran yang diterima peserta didik di dalam kelas.Di sini berarti materi e-
Learning diprogramkan untuk menjadi materi reinforcement (penguatan) atau remedial bagi peserta
didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.
Substitusi (pengganti)
Ada tiga alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih peserta didik yaitu :
Sepenuhnya secara tatap muka (konvensional)
Sebagian dari tatap muka dan sebagian dari internet
Sepenuhnya dari internet
Alternatif model pembelajaran manapun yang akan dipilih peserta didik tidak menjadi masalah
dalam penilaian karena semua model penyajian materi yang disampaikan mendapat pengakuan atau
penilaian yang sama.Jika peserta didik dapat menyelesaikan program perkuliahannya dan lulus
melalui kedua model ini, maka institusi penyelenggara pendidikan akan memberikan pengakuan
yang sama.
Karakteristik dan perangkat yang diperlukan oleh e-Learning antara lain adalah (Soekartawi,2003
dalam Darmawan, 31: 2014):
Memanfaatkan jasa teknologi elektronik, antara pendidik dan peserta didik, antarpeserta didik
sendiri, atau antarpendidik-pendidik, dapat berkomunikasi relative mudah dengan dan tanpa dibatasi
oleh hal-hal yang protokoler
Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan komputer network)
Menggunakan bahan ajar yang bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer
sehingga dapat diakses oleh pendidik dan peserta didik kapan saja dan dimana saja bila yang
bersangkutan memerlukannya
170 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan
dengan administrasi pendidikan yang dapat dilihat setiap saat di komputer.
Berikut ini beberapa pendapat ahli lain mengenai manfaat e-Learning (Siahaan,2003 dalam
Darmawan, 32:2014) melihat manfaat e-Learning dari dua sudut, yaitu dari sudut peserta didik dan
pendidik
Peserta didik
Belajar di sekolah-sekolah kecil didaerah-daerah miskin untuk mengikuti mata pelajaran tertentu
yang tidak dapat diberikan oleh sekolahnya
Mengikuti program pendidikan di rumah (home schoolers) umtuk mempelajari materi pembelajaran
yang tidak dapat diajarkan oleh para orang tuanya, seperti bahasa asingvdan keterampilan di bidang
komputer
Merasa fobia dengan sekolah atau peserta didik yang dirawat di rumah sakit maupun di rumah, yang
putus sekolah tetapi berminat melanjutkan pendidikannya, maupun peserta didik yang berada di
berbagai daerah atau bahkan yang berada di luar negeri, dan
Tidak tertampung di sekolah konvensional untuk mendapatkan pendidikan
Pendidik
Lebih mudah melakukan pemutakhiran bahan-bahan belajar yang menjadi tanggung jawabnya
sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang terjadi
Mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna peningkatan wawasannya karena waktu luang
yang dimiliki relative lebih banyak
Mengontrol kegiatan belajar peserta didik, bahkan pendidik/instruktur juga dapat mengetahui kapan
peserta didiknya belajar, topic apa yang dipelajari, berapa lama sesuatu topic dipelajari, serta berapa
kali topic tertentu dipelajari ulang
Mengecek apakah peserta didik telah mengerjakan soal-soal latihan setelah mempelajari topic
tertentu
Memeriksa jawaban peserta didik dan memberitahukan hasilnya kepada peserta didik
Desain Pengembangan Bahasa Inggris Dengan E-Learning
Desain adalah proses interaksi dengan melibatkan peserta didik.Asumsi ini menjelaskan
bahwa desain pembelajaran menganut prinsip learned-centered atau berorientasi pada peserta didik
sehingga peserta didik ikut terlibat dalam proses desain pembelajaran.(Atwi, 85:2014).
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 171
Desain pembelajaran itu sendiri adalah suatu proses yang terdiri dari sejumlah subproses,
mulai dari perumusan tujuan instruksional umum hingga evaluasi formatif untuk menghasilkan
program atau produk instruksional.(Atwi, 85:2014).
Perencanaan
Mendefinisikan bidang/ruang lingkup yang diambil dari silabus dan RPP guru mata pelajaran
bahasa Inggris.
Mengidentifikasi karakteristik siswa dari hasil pra survei.
Membuat dokumen perencanaan, menge-nai materi, hal-hal yang diperlukan dalam membuat
produk, dll.
Menentukan dan mengumpulkan sumber-sumber untuk mata pelajaran bahasa Inggris, misalnya:
dari buku, internet, sekolah, dll.
Melakukan brainstorming yaitu melaku-kan diskusi dengan guru mata pelajaran bahasa Inggris, dan
teman sejawat.
Desain
Melakukan analisis konsep dan tugas yang berkaitan dengan materi.
Membuat flowcharts dan storyboards.
Pengembangan
Menyiapkan teks (tentang materi untuk keselurahan dalam pembuatan produk CD interaktif)
Menggabungkan bagian-bagian dan me-madukan berbagai bahan yang telah terkumpul.
Menyiapkan materi-materi pendukung.
Membuat program.
Melakukan uji alpha, yaitu memvalidasi produk yang dilakukan oleh ahli media dan ahli materi
(evaluasi formatif).
Membuat revisi yang pertama terhadap produk yang telah dibuat.
Melakukan uji beta, yaitu menguji produk ke 6 orang siswa untuk menge-tahui tanggapan siswa
terhadap produk yang dibuat (evaluasi formatif).
Melakukan revisi akhir yaitu membuat produk final software pembelajaran bahasa Inggris dalam
bentuk CD pem-belajaran interaktif.
Melakukan evaluasi sumatif dengan mengadakan pretest dan posttest pada kelas dengan
pembelajaran menggunakan media cetak dan kelas yang mengguna-kan media berbasis komputer
dan melihat rerata hasil belajar setiap kelas tersebut.
172 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Secara keseluruhan pada tahap pengem-bangan ini dilakukan ongoing evaluation yaitu
evaluasi terus menerus dari awal hingga akhir pengembangan. Tahap ini dilakukan dengan uji alpha
dan uji beta, serta melakukan revisi terhadap produk secara keseluruhan.
Model E-Learning
CD/Web-based Courseware
Multimedia CD atau materi berbasis Web ini dapat diakses setiap waktu oleh peserta didik.Ini
dikembangkan berdasarkan pada pertimbangan isu desain instruksional.
VOISS-Virtual Online Instructional Support System
VOISS merupakan representasi komponen inti pembelajaran.Sistem tersebut terdiri lebih dari
sepuluh modul yang berbeda seperti pelajaran berbasis web, forum diskusi, frequently-asked
questions (FAQ), e-mail, bulletin board, pengumuman, tugas-tugas, kuis, jadwal dan hasil ujian
untuk setiap peserta didik.
Tutorial Sessions
Tutorial meetings dibagi dalam dua model yaitu pertemuan online dan tatap muka.Contohnya yang
dikembangkan oleh MMU (Multimedia University) di Malaysia adalah menggunakan fasilitas
media yang disebut Multimedia Learning System (MMLS).Fasilitas tersebut mempunyai tujuan
sebagai berikut:
Peserta didik dapat mengakses secara multimedia materi kuliah dan tutorial yang berhubungan
dengan mata kuliah yang mereka kontrak
Adanya interaksi antara instruktur dan peserta peserta didik, dan di antara peserta didik sendiri
dalam konferensi melalui forum diskusi dan fasilitas chatting
Terdapat e-mail, baik di dalam dan luar struktur perkuliahan
Penyerahan tugas dilakukan melalui file transfer atau file attachment
Adanya feedback antara instruktur dan peserta didik, dan di antara peserta didik dalam proyek
bersama
Adanya monitoring intelligence performance dan kemajuan peserta didik
Komponen E-Learning
Secara garis besar, apabila kita menyebut tentang E-Learning, ada tiga komponen utama yang
menyusun E-Learning tersebut (Wahono, 2007) dalam (Darmawan, 63:2014)
E-Learning System
Sistem perangkat lunak yang mem-virtualisasi proses belajar mengajar konvensional.Bagaimana
manajemen kelas, pembuatan materi atau konten, forum diskusi, sistem penilaian (rapor), sistem
ujian online dan segala fitur yang berhubungan dengan manajemen proses belajar mengajar.Sistem
perangkat lunak tersebut sering disebut dengan LMS (Learning Management System).
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 173
Menurut Jason Cole (2005) dalam (Darmawan, 65:2014) mengungkapkan bahwa secara umum,
fungsi-fungsi yang harus terdapat pada sebuah LMS/CMS antara lain:
Uploading and sharing materials
Menyediakan layanan untuk mempermudah proses publikasi konten
Forum and chats
Menyediakan layanan komunikasi dua arah antara instruktur dan pesertanya baik dilakukan secara
sinkron (chat) maupun asinkron (forum, e-mail)
Quizzes and survey
Digunakan untuk memberikan grade secara instan bagi peserta kursus dan merupakan tool yang
sangat baik digunakan untuk mendapatkan respon (feedback) langsung dari siswa
Gathering and reviewing assignments
Proses pemberian nilai dan skoring kepada siswa dapat juga dilakukan secara online dengan
bantuan LMS/CMS.
Recording grades
Melakukan rekaman data grade siswa secara otomatis, sesuai konfigurasi dan pengaturan yang
dilakukan oleh instruktur dari awal pembelajaran dilaksanakan.
E-Learning Content (Isi)
Konten dan bahan ajar yang ada pada E-Learning system ini bisa dalam bentuk Multimedia –Based
Content (konten berbentuk multimedia interaktif) atau Text Based
Content (konten berbentuk teks seperti pada buku pelajaran biasa).
E-Learning Infrastructure (Peralatan)
Insfrastruktur E-Learning dapat berupa personal computer (PC), jaringan komputer dan
perlengkapan multimedia.Termasuk di dalamnya peralatan teleconference apabila kita memberikan
layanan synchronous learning melalui teleconference.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
E-Learning merupakan suatu penerapan teknologi informasi yang relatif baru di Indonesia, mulai
dikenal secara komersial pada 1995 ketika IndoInternet membuka layanannya sebagai penyedia jasa
layanan Internet pertama.E-Learning terdiri dari dua bagian, yaitu “e” yang merupakan singkatan
dari “electronic” dan “learning” yang berarti “pembelajaran.”Jadi e-Learning berarti pembelajaran
dengan menggunakan jasa/bantuan perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer.
174 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
E-learning Bahasa Inggris yang mampu meningkatkan kemampuan kognitif siswa adalah e-lerning
yang mempunyai tingkat interaktifitas pengguna tinggi, yang selain menyajikan materipembelajaran
dalam bentuk file baik itu dalam format words, powerpoint, html atau PDF tapi e-learning tersebut
juga mempunyai nilai lebih menu yang lebih bersifat interaktif, baik itu dalambentuk evaluasi
online yang lebih bervariasi, konsultasi online maupun fasilitas chatting.
Baik guru dan siswa E-Learning dapat bermanfaat mulai dari pemutahiran bahan-bahan pengajaran,
waktu yang relatif singkat atau hemat waktu, dan cara yang lebih praktis
Saran
Untuk pengembangan dimasa yang akan datang, penulis menyarankan adanya pengembangan dari
E-Learning yaitu :
Karena keterbatasan waktu dan kemampuan dari penulis, maka apa yang penulis rencanakan belum
terealisasi sepenuhnya dalam upaya memperbaiki e-learning ini. Oleh karena itu perlu diadakannya
beberapa pengembangan fitur pada poin-poin tertentu.
Materi harus selalu diupdate agar siswa mendapatkan materi secara lengkap dengan mudah dalam
upaya meningkatkan kemampuan kognitifnya.
Guru sebaiknya memberikan quiz maupun tugas-tugas secara kontinyu sehingga siswa terpacu
untuk belajar mandiri dan selalu mengikuti perkembangan yang ada pada e-learning ini.
Untuk menjaga eksistensi dari aplikasi ini maka perlu adanya perawatan (maintenance) agar data
maupun program ini dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam upaya meningkatkan kemampuan
kognitif siswa.
E-Learning dapat digunakan oleh guru dan siswa disekolah-sekolah untuk mempermudah
pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Azhar. 2007. Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Blackwell, John. 1997. Multimedia applica-tion in education. (http://web.viu.ca/-
seeds/mm/index.html.
Turban, Efraim & Linda, Volonino. 2010.Information Technology For Management Edision 7th,
Edition. Jhon Willey & Sons : Asia
diakses 27 Juni 2017)
Darmawan, Deni. 2014.Pengembangan E-Learning Teori dan Desain.Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Naudu, Som. 2006. E-Learning Guidebooks of Principles, Procedures and Practices.2nd.Revised
Edition.Cemka
Suparlan, Atwi. 2014. Desain Instruksional Modern.Jakarta : Penerbit Erlangga
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 175
PENGEMBANGAN KURIKULUM BERTARAF INTERNASIONAL Sihombing, Mardimpu.
Jurusan Teknologi Pendidikan, Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Medan
ABSTRAK
Penelitian ini berangkat dari pertanyaan Bagaimanakah pengembangan kurikulum di Indonesia,
dan bagaimanakah pengembangan kurikulum menuju taraf internasional? Salah satu upaya dalam
peningkatan kemampuan dan pengembangan SDM adalah pembangunan Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui: Untuk mengetahui perkembangan
kurikulum di Indonesia serta Untuk mengetahui perkembangan kurikulum menuju
taraf internasional. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan rancangan
penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) observasi, (2)
wawancara, dan (3) dokumentasi. Data yang diperoleh dari ketiga teknik tersebut diorganisasikan,
ditafsirkan dan dianalisis guna menyusun dan mengababstraksi temuan di lapangan. Keabsahan data
dimaksudkan untuk mengecek kebenaran data dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu dengan
sumber data dan pengumpulan data.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan kepada: (1) Kepala sekolah yang sekolahnya
dalam kurikulum notabene Bertaraf Internasional agar menelaah kembali tentang kurikulum RSBI,
dimana dalam kurikulum RSBI tersebut perlu adanya dukungan penuh dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah, masyarakat serta sekolah itu sendiri sebagai pelaksana, (2) Guru
dengan sekolah Bertaraf Internasional dalam mengembangkan kegiatan belajar-mengajar agar lebih
berpacu pada tujuan pendidikan nasional yang mampu mengantarkan peserta didik untuk
merealisasikan kurikulum RSBI, (3) Ketua Jurusan Teknologi Pendidikan agar di jurusan
Teknologi Pendidikan ini dikembangkan mata kuliah manajemen kurikulum lebih mendalam, (4)
Peneliti lain agar dapat dimanfaatkan untuk bahan informasi dan referensi untuk penelitian
selanjutnya yang terkait kurikulum dengan latar yang berbeda.
Kata kunci: Kurikulum, rintisan sekolah bertaraf internasional
176 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Kurikulum sebagai suatu rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat strategis
dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan,
maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh
dan kuat. Kurikulum erat kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan yang harus selalu
diadakan pembaharuan. Dengan adanya peningkatan mutu pendidikan, hal ini akan membawa
dampak besar terhadap tercapainya pendidikan nasional bahkan diharapkan mampu bersaing secara
internasional. Dari latar belakang tersebut itulah, pemerintah menetapkan beberapa sekolah di
Indonesia sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang merupakan langkah awal
sebelum menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Penelitian ini berangkat dari pertanyaan
Bagaimanakah pengembangan kurikulum di Indonesia, dan bagaimanakah pengembangan
kurikulum menuju taraf internasional? Salah satu upaya dalam peningkatan kemampuan dan
pengembangan SDM adalah pembangunan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Program Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sekolah menengah telah dikembangkan pemerintah melalui
Direktorat Pembinaan SMA, SMP dan SMK sejak tiga tahun silam. Dari sejumlah sekolah tersebut,
mungkin tidak semuanya akan berhasil menjadi SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), namun
pemerintah berharap terjadi peningkatan mutu secaa signifikan di semua sekolah tersebut. RSBI
memerlukan guru yang berkualitas. Para guru SBI adalah guru yang terpilih, memiliki dedikasi
yang baik, menguasai bidang studi, menguasai pembelajaran yang mendidik, mampu menggunakan
TIK dan dapat mengajar dengan bahasa Inggris. Untuk itu, pemerintah perlu mempersiapkan
program untuk melatih para calon guru yang akan bertugas di sekolah-sekolah RSBI. Serangkaian
program telah disiapkan untuk mencapai hal tersebut. Salah satu program tersebut adalah
pengembangan program studi bertaraf internasional. Program studi bertaraf internasional
memerlukan persiapan dalam berbagai hal, meliputi dosen, sarana dan prasarana perkuliahan,
kurikulum, buku-buku referensi, peralatan laboratorium, ICT dan layanan yang memenuhi standard
internasional. Terkait dengan pengembangan kurikulum, maka kurikulum yang ada perlu diperbaiki
dan dikembangkan agar bertaraf internasional.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui: Untuk mengetahui perkembangan kurikulum di Indonesia
serta Untuk mengetahui perkembangan kurikulum menuju taraf internasional
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan rancangan penelitian studi kasus.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) observasi, (2) wawancara, dan (3)
dokumentasi. Data yang diperoleh dari ketiga teknik tersebut diorganisasikan, ditafsirkan dan
dianalisis guna menyusun dan mengababstraksi temuan di lapangan. Keabsahan data dimaksudkan
untuk mengecek kebenaran data dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu dengan sumber data
dan pengumpulan data.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 177
Berdasarkan hasil paparan data di lapangan ditemukan manajemen kurikulum yang terdiri dari
perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum, evaluasi kurikulum.
Pertama, perencanaan pada kurikulum RSBI adalah perencanaan yang sudah dilakukan yaitu
kurikulum RSBI disusun berdasarkan KTSP yang telah dikembangkan masing-masing oleh sekolah,
dalam hal ini sekolah ini merencanakan kurikulum berdasarkan SNP untuk kurikulum nasional, dan
SNP+X untuk kurikulum SBI, unsur X terdiri dari: penerapan tiga mata pelajaran dalam bahasa
Inggris yaitu English, mathematics, dan science. Perencanaan dilaksanakan setiap awal tahun ajaran
baru dengan membuat dokumen 1 yang terdiri dari segala hal yang ada di sekolah dan dokumen 2
yang berisi silabus dan RPP. Perangkat kerja tersebut disusun oleh tim penyusun kurikulum yang
terdiri dari kepala sekolah, pihak-pihak kurikulum, dewan guru, komite sekolah dan disahkan oleh
kepala Diknas kota Malang. Perencanaan kurikulum yang belum dilaksanakan adalah menjalin
hubungan sister school dengan negara di luar negeri, tetapi masih sebatas dalam wacana
mengadopsi kurikulum dari negara anggota.
Kedua, pelaksanaan kurikulum pada RSBI adalah sesuai dengan perencanaan kurikulum yaitu
melaksanakan kurikulum nasional dan kurikulum SBI dimana dalam pelaksanaan pembelajaran
kurikulum dilaksanakan dengan diterapkannya sistem semi full day school dengan pendekatan
PAKEM dan CTL yang mengedepankan pembelajaran berbasis ICT. Penyampaian materi di
sekolah ini menggunakan bilingual yakni dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di sekolah ini
juga ada guru pendamping di hampir setiap kelas. Sekolah ini mempunyai program peningkatan
kemampuan guru yaitu: diklat, workshop, juga ada kegiatan yang di luar program yang tidak
terjadwal. Pelaksanaan yang belum dilakukan di sekolah ini adalah diterapkannya penggunaan
bahasa pengantar dengan bahasa Inggris sepenuhnya (monolingual). Sekolah juga belum meraih
prestasi tingkat nasional maupun internasional.
Ketiga, kegiatan evaluasi kurikulum pada RSBI berasal dari pihak tim kurikulum yang ditujukan
kepada guru di kelas dengan pemantauan melalui jurnal pribadi, jurnal harian dan jurnal kelas.
Selain itu guru juga mengevaluasi diri sendiri (self evaluation) dan mengevaluasi siswa dalam PBM
di kelas.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan kepada: (1) Kepala sekolah yang sekolahnya
dalam kurikulum notabene Bertaraf Internasional agar menelaah kembali tentang kurikulum RSBI,
dimana dalam kurikulum RSBI tersebut perlu adanya dukungan penuh dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah, masyarakat serta sekolah itu sendiri sebagai pelaksana, (2) Guru
dengan sekolah Bertaraf Internasional dalam mengembangkan kegiatan belajar-mengajar agar lebih
berpacu pada tujuan pendidikan nasional yang mampu mengantarkan peserta didik untuk
178 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
merealisasikan kurikulum RSBI, (3) Ketua Jurusan Teknologi Pendidikan agar di jurusan
Teknologi Pendidikan ini dikembangkan mata kuliah manajemen kurikulum lebih mendalam, (4)
Peneliti lain agar dapat dimanfaatkan untuk bahan informasi dan referensi untuk penelitian
selanjutnya yang terkait kurikulum dengan latar yang berbeda.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 179
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN KEMAMPUAN MEMAHAMI GAMBAR BERSERI TERHADAP HASIL BELAJAR MENGARANG
SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR
Mohamad Syarif Sumantri
Anita Wulan Diniarti
Universitas Negeri Jakarta
ABSTRACT
The objective of the research is to study the relationship between the ability of creative thinking, the
ability to understand the Serial drawings and the results of learning to arrangement. The research
was conducted at the five grade students of elementary school Tambun 2 Bekasi in 2016 with 44
student taken as sample using random sampling. The research method used is the survey. The
technique used to analyze the data was the statistical technique af regression and correlation. The
result of the research indicated that there was positive correlation between (1) the ability of creative
thinking and the results of learning to arrangement, (2) the ability to understand the pictures glow
(Serial drawings) and the results of learning to arrangement, and (3) the ability of creative thinking
and the ability to understand the pictures glow with the results of learning to arrangement. In the
other word, it generally can be concluded that in improving the results of learning to arrangement is
by improving the ability of creative thinking and the ability to understand the Serial drawings.
Kata kunci: Berpikir kreatif, gambar berseri, mengarang
Pendahuluan
Dalam sistem pendidikan Nasional di Indonesia, mata pelajaran Bahasa Indonesia sangat penting.
Hal ini disebabkan oleh peran bahasa Indonesia yang sangat strategis, yakni sebagai bahasa
pengantar pendidikan dan bahasa Nasional. Pada usia Sekolah Dasar bahasa merupakan hal
terpenting. Siswa membutuhkan bahasa untuk berbicara dengan orang lain, mendengarkan orang
lain, membaca dan menulis. Bahasa memungkinkan siswa untuk dapat mendeskripsikan kejadian-
kejadian di masa lalu secara terperinci serta untuk merencanakan masa depan. Berdasarkan survei
banyak lembaga internasional, budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan negara lain
di dunia. Literasi, Indonesia urutan 64 dari 65 negara, Tingkat membaca siswa, Indonesia urutan ke
180 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
57 dari 65 negara (https://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/PISA%202012%20framework%20e-
book_final.pdf).
Dengan bahasa, manusia dapat mengutarakan buah pikiran, ide, pendapat, gagasan dan
perasaan mereka kepada sesamanya, serta dapat menjalin hubungan sosial satu sama lain. Bahasa
adalah alat komunikasi, baik yang digunakan antar individu dalam kehidupan sehari-hari maupun
digunakan oleh para ilmuan dalam mengkomunikasikan temuan-temuan yang bersifat ilmiah.
Hal ini menunjukkan, bahwa bahasa memainkan peranan penting dalam kelangsungan hidup
manusia.
Tujuan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar secara umum ialah agar siswa mampu dan
terampil berbahasa, baik itu secara lisan maupun tertulis. Dalam proses pembelajaran bahasa
Indonesia di Sekolah Dasar masih terdapat banyak kesulitan yang dialami oleh siswa untuk mampu
dan terampil dalam berbahasa. Dari hasil pengamatan dilapangan, kesulitan yang dialami siswa
disebabkan karena kurangnya kemampuan dan keterbatasan serta minimnya pengalaman dan
kurangnya sarana maupun prasarana yang memadai. Selama ini di sekolah siswa biasanya hanya
menyalin tulisan dari papan tulis. Hal ini dapat berakibat pada dangkalnya penguasaan kata untuk
mengungkapkan gagasan dan kreativitas mereka. Padahal kemampuan ini menjadi salah satu
indikator penilaian dalam keterampilan berbahasa seperti menulis atau mengarang.
Menurut UUD No.2 th 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Tujuan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya memiliki kesejajaran dengan pengembangan
pendidikan yang mencangkup tiga matra seperti dikemukakan oleh Bloom, yaitu matra kongnitif,
psikomotorik, dan afektif. Pengembangan dari ketiga matra atau domain itu secara optimal
berimbang dan padu akan membuka peluang tumbuhnya kreativitas anak yang tinggi. Perbandingan
pengembangan ketiga matra ini dapat diperjelas dengan bagan berikut :
K = kongnitif
P = psikomotorik
A = afektif
KR = kreativitas
Gambar 1 Gambar 2
Pada Gambar 1 terlihat pengembangan ketiga matra yang seimbang, sehingga tumbuhnya
kreativitas anak sangat tinggi (terlihat ruang KR gambar 1 lebih luas dari pada KR gambar 2).
Sedangkan pada gambar KR 2 terlihat pengembangan matra kongnitif lebih ditekankan dari pada
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 181
kedua matra lainnya. Akibatnya, peluang tumbuhnya kreativitas anak lebih terbatas dibandingkan
dengan yang terlihat pada gambar 1.
Fungsi imajinasi dan kreativitas yang terletak dalam belahan otak sebelah kanan banyak terabaikan,
karena banyak kegiatan seperti yang disebutkan di atas. Pembebanan belahan otak kiri dengan
pengetahuan hafalan, latihan, menyalin, ulangan dan drill yang berlebihan tidak sepenuhnya akan
mewujudkan penanjakan perkembangan kongnitif, bahkan akan menjadikan siswa tidak berpikir
kreatif dan menjadikan perkembangan kongnitif mengarah hanya pada hasil berpikir konvergen
saja. Dalam kemampuan berbahasa seperti mengarang diperlukannya kemampuan berpikir divergen
seperti, penguasaan kata untuk mengungkapkan gagasan dan kreativitas mereka.
Weiguo Pang (2015), dan Patti Drapeau (2014) menjelaskan bahwa setiap anak mempunyai potensi
untuk kreatif, potensi ini akan mengalami hambatan jika tidak diperlihatkan dan tidak dirangsang.
Dengan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, siswa akan mempunyai kemampuan untuk
memecahkan masalahnya sendiri dari berbagai sudut pandang dengan menggunakan ide dan
keterampilan yang mereka miliki.
Menurut Utami Munandar (1999) kemampuan berpikir kreatif seseorang juga turut menunjang
dalam membuat sebuah karangan dan dalam memahami sebuah cerita dalam gambar berseri.
Karena pada dasarnya mdenganalisis gambar berseri sangat membutuhkan pola pikir yang kreatif,
dengan cara ini seseorang akan mampu melihat peristiwa dan persoalan yang ada dari banyak
perspektif. Pasalnya, seorang pemikir kreatif akan menghasilkan lebih banyak alternatif dalam
memecahkan masalahnya sendiri. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kreatif akan
mdenganalisis gambar berseri dari berbagai aspek, misalnya dari segi struktur dan gambar yang ada
pada sebuah cerita.
Tarigan (1993) mengatakan bahwa mengarang melalui media gambar merupakan salah satu
teknik mengajar menulis yang efektif. Gambar yang terlihat diam tetapi sebenarnya berkata bagi
mereka yang peka dan penuh kreativitas dan imajinasi. Oleh karena itu pemilihan gambar bagi
pengarang haruslah tepat dan menarik, serta merangsang kreativitas bagi penulis yang melihatnya.
Mengarang dengan media gambar berarti mempermudah diketahui isi karangan oleh para
pembacanya.
Blamires, Mike; Peterson, Andrew (2014) menjelaskan kreativitas merupakan salah satu komponen
terpenting dalam keterampilan berbahasa. Peningkatan kemampuan siswa dalam kemampuan
memahami gambar berseri adalah berkaitan erat dengan mempertajam perasaan, penalaran dan daya
imajinasi serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungannya. Kemampuan memahami
gambar berseri merupakan indikator kreativitas dalam memahami suatu media gambar. Siswa dapat
182 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
menangkap dan mengunakana panca indranya sewaktu melihat gambar, dapat berinteraksi
berdasarkan pengetahuannya, serta menjadikan pesan-pesan yang bermakna dalam suatu bentuk
tulisan maupun lisan dan menjadikannya sebuah cerita dan karangan yang padu.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang pola dan kadar
(besarnya) hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar
berseri hasil belajar mengarang di sekolah dasar.
Penelitian ini dibatasi pada kemampuan berpikir kreatif dengan kemampuan memahami
gambar berseri terhadap hasil belajar mengarang pada siswa kelas V Sekolah Dasar. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat dapat dimanfaatkan sebagai pedoman untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dalam meningkatkan hasil belajar mengarang di sekolah dasar dengan memanfaatkan
kreativitas yang mereka miliki dan dapat memudahkan siswa untuk mengarang dengan
memanfaatkan media pembelajaran.
Pengungkapan Hasil belajar mengarang bukanlah merupakan gabungan dari hasil belajar dengan
mengarang. Kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda bahwa hasil belajar itu adalah
usaha siswa untuk meraih ranah kongnitif, afektif dan psikomotorik. Thomas L. Good and Jere E.
Brophy (1990), lebih lanjut mengatakan bahwa belajar adalah perubahan yang relatif tetap yang
disebabkan praktek atau pengalaman yang lampau.
Menurut Djago Tarigan, (1993) mengarang berarti ‘menyusun’ atau ‘merangkai’. Menulis dalam
mengarang menuntut pengalaman, waktu, kesempatan, latihan dan keterampilan-keterampilan
khusus dan pengajaran. Mengarang atau menulis merupakan suatu alat komunikasi yang terjadi
antara penulis dan pembaca yang disampaikan tanpa menggunakan ekspresi wajah. Membuat
sebuah karangan dalam bentuk lambing-lambang grafis tidak sekedar untuk membuat sebuah kata
atau kalimat, tetapi merupakan penuangan pikiran ke dalam bahasa yang lengkap, jelas dan utuh
sehingga dapat diterima oleh orang lain.
Finoza Lamuddin (2008) berpendapat bahwa mengarang adalah aktivitas siswa dalam hal tulis
menulis atau kapabilitas yang diperlihatkan oleh siswa dalam merangkai kata secara tertulis
berdasarkan tata bahasa Indonesia. Serta dapat mengetahui ide, diksi (pilihan kata), koherensi
(kesatuan) pikiran, hubungan antar paragraph yang satu dengan paragraph yang lain saling
berkaitan secara runtun, sehingga membentuk sebuah karangan yang indah dan padu.
Djago Tarigan, (1993) dan Hairston, Maxine C. (1992) mengemukakan bahwa komponen-
komponen yang dapat dianalisis dalam menilai hasil belajar menulis adalah sebagai berikut: (1)
komponen isi karangan, (2) komponen organisai, (3) komponen tata bahasa, contoh dalam pilihan
kata(diksi), (4) komponen gaya penulisa, contoh menyusun kalimat, (5) komponen mekanik.
Kemampuan mengarang lebih lanjut dikemukakan oleh Hairston yang memberikan rician skala
penilaian dalam menilai hasil belajar mengarang di antaranya : (1) isi karangan (30%), (2)
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 183
organisasi (20%), (3) penggunaan bahasa (25%), (4) kosakata (20%), (5) mekanik, ejaan dan tanda
baca (5%).
Selain itu Tarigan (1993) berpendapat tentang beberapa tahapan yang harus dilalui dalam proses
menulis sebuah karangan. Pada umumnya terdiri dari tiga langkah-langkah yang dimulai dari tahap
Pra-penulisan (persiapan), tahap penulisan (pengembangan isi karangan) dan pasca-penulisan
(revisi penyempurnaan tulisan). Terdapat pula tahapan-tahapan sederhana dalam memudahkan
proses menulis. Menurut Kurniawan (2005) adapun tahapan-tahapan dalam menulis adalah sebagai
berikut; 1) prapenulisan, 2) pembuatan draf, 3) merevisi, 4) menyuting, dan 5) berbagi (sharing).
Spendel dan Stiggins (1990) mengatakan bahwa ada dua pendekatan yang sering dilakukan dalan
mengukur kemampuan menulis seseorang, yaitu pengukuran secara langsung dan tidak langsung.
Pengukuran langsung, seseorang diminta membuat sebuah tulisan yang sebenarnya, contoh
membuat artikel. Kemudian penilai membaca tulisan dan memberikan nilai berdasarkan kriteria
yang telah ditentukan. Pada pengukuran tidak langsung, penilaian ditentukan pada kemampuan
seseorang menguasai pengetahuan menulis. Dalam pengukuran ini seseorang diminta untuk
memberikan pendapatnya tentang tulisan orang lain.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Hasil belajar mengarang adalah aktivitas siswa dalam hal
tulis menulis yang diperlihatkan oleh siswa dalam merangkai kata dalam mengungkapkan ide atau
gagasan secara tertulis dengan melewati tahapan-tahapan dalam menulis yaitu tahap perencanaan
(planning), penulisan (drafing) dan tahap revisi (revising). Dengan komponen yang
digunakan adalah 1) isi karangan, 2) organisai, 3) tata bahasa (diksi), 4) komponen
penggunaan bahasa, dan 5) mekanik ejaan dan tanda baca.
Berpikir dan bernalar merupakan dua istilah yang saling berkaitan, kedua istilah itu telah banyak
dikemukakan para ahli. Menurut Suriasumantri (1998) penalaran merupakan suatu proses berpikir
dalam menarik kesimpulan berupa pengetahuan.
Dalam berpikir dituntut adanya kesanggupan pengamatan yang kuat dan cermat, kesanggupan
melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan yang tidak segera tampak apabila
tidak diperhatikan. Untuk itu orang yang sedang mengamati sesuatu secara seksama, tentu
melakukan konsentrasi terhadap suatu yang diamati dengan mengkait-kaitkan terhadap
pengalaman yang dimilikinya. Di situlah terjadi aktivitas oleh otak (pikiran) seseorang.
meningkatkan kualitas hidup. Kreativitas yang dimiliki manusia lahir bersamaan dengan lahirnya
manusia itu. Sejak lahir, manusia memperlihatkan kecenderungan dalam berpikir dan
mengaktualkan dirinya yang mencangkup kemampuan kreatif (Patti Drapeau, 2014).
184 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Menurut Utami Munandar, (1999) dan Hulbeck (1964), “Creative action is an imposing of one’s
own whole personality on the environment in an unique and characteristic way” yaitu: Tindakan
kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.
Definisi yang lebih baru tentang kreativitas diberikan dalam “three-facet model of creativity” oleh
Sternberg, yaitu “kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis:
intelegensi, gaya kognitif dan kepribadian atau motivasi. Bersama ketiga segi dari alam
pikiran ini membantu memahami apa yang melatar belakangi individu yang kreatif.
Menurut Beghetto, Ronald A., Kaufman, James C. (2014) kreativitas melibatkan pemikiran
divergen atau pemikiran kreatif yang diwakili oleh kelancaran (fluency), kelenturan (flexibility),
originalitas (originality), dan elaborasi (elaboration). Orang yang tinggal dalam kelancaran
bergagasan, menghasilkan banyak gagasan pemecahan masalah dalam jangka waktu yang pendek.
Orang yang tinggi dalam kelenturan, dapat dengan mudah menyesuaikan gagasan pemecahan
masalah yang telah digunakan, jika suatu masalah baru menuntut pendekatan yang baru. Orang
yang tinggi dalam originalitas, dapat menghasilkan gagasan baru yang unik atau tidak lazim.
Elaborasi adalah kemampuan untuk menambah detail pada ide dasar yang dihasilkan. Orang yang
kreativitasnya tinggi dapat menghasilkan empat hal tersebut dengan baik.
Berdasarkan beberapa pendapat bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah aktivitas mental
seseorang dalam melakukan hubungan antara bagian yang mencangkup konsep-konsep, gagasan
dan pengertian yang dimiliki oleh seseorang dengan menggunakan akal pikiran yang ditandai
dengan indikasi kelancaran, fleksibilitas (keluwesan), orisinilitas dan elaborasi.
Kemampuan memahami gambar berseri pada hakikatnya adalah suatu proses kreativitas dan daya
pikir siswa dalam memahami suatu media gambar. Secara kongnitif dikatakan bahwa seorang siswa
dapat menulis suatu karangan berdasarkan gambar yang telah dilihat dan divisualisasikan secara
tertulis dalam bentuk sebuah karangan secara produktif (menggunakan) dan secara reseptif
(pemahaman) berdasarkan daya nalar, imajinasi dan kreativitas yang dimiliki. (Spendel. V and
Richard j, 1990).
Suatu gambar atau suatu seri gambar dapat dijadikan bahan penyusunan karangan. Gambar atau seri
gambar pada hakikatnya adalah mengekspresikan suatu hal. Bentuk ekspresi tersebut dalam fakta
gambar bukan dalam bentuk bahasa. Pesan yang tersirat dalam gambar tersebut dapat dinyatakan
kembali dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Penerjemahan pesan dari bentuk visual ke dalam
bentuk kata-kata atau kalimat sangat bergantung kepada kemampuan imajinasi dan kreativitas
siswa.
Arnone, Marilyn; Small, Ruth; Chauncey, Sarah; McKenna, (2011) menegaskan untuk mengetahui
kemampuan memahami gambar berseri siswa perlu diperhatikan beberapa syarat penilaian, di
antaranya; (1) Mengungkapkan makna (tema) media gambar berseri dengan tepat dan relevan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 185
dengan isi karangan bergambar, (2) Menangkap isi pesan yang terdapat dalam gambar berseri, (3)
Keterampilan memilih butir soal berdasarkan urutan media gambar berseri. Dalam kemampuan
memahami suatu gambar berseri setiap siswa tidak akan sama kemampuannya. Menurut Mahmoud
Hana perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : (1) tingkatan kecerdasan, (2) daya
tangkap dalam pemahaman gambar berseri, (3) daya imajinasi (kreativitas) dan memancing
pengetahuan umum, (4) penguasaan kosa kata.
Berdasarkan uraian peneliti menyimpulkan bahwa kemampuan memehami gambar berseri adalah
suatu proses kemampuan memahami gambar berdasarkan sImbol media gambar yang
membutuhkan proses berpikir kreatif dan daya pikir siswa dalam memahami suatu media gambar
dengan indikator; 1) mengungkapkan makna gambar, 2) mengungkapkan isi pesan yang terdapat
dalam gambar dan 3) keterampilan memilih urutan media gambar.
Metode
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian survei dengan teknik korelasional
(Keterhubungan). Peneliti tidak melakukan perlakuan terhadap responden, tetapi hanya melakukan
pengukuran terhadap hal-hal yang nyata. Penelitain ini menggunakan teknik korelasional sederhana,
untuk menguji hipotesis yang menyatakan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
Adapun desain dilihat pada gambar konstelasi hubungan antar variabel sebagai berikut :
Keterangan :
X1 : Kemampuan berpikir kreatif
X2 : Kemampuan memahami gambar seri
Y : Hasil belajar mengarang
Gambar 3.
Hubungan antar variabel penelitian
Dalam gambar hubungan antar variabel penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa
penelitian ini akan menjawab apakah terdapat hubungan antara variabel X1 dengan variabel Y,
antara variabel X2 dengan Y, dan antara variabel X1 dan X2 secara bersama-sama terhadap variabel
Y.
Penelitian dilakukan di SD Negeri Kabupaten Tambun, sampel penelkitan dengan teknik simpel
random diperoleh 44 siswa kelas V dari populasi terjangkau 220 siswa. Pengumpulan data
mengunakan instrument tes yaitu hasil belajar mengarang bahasa Indonesia dengan tes mengarang
mengunakan standar rubric dengan indicator (1) isi karangan (30%), (2) organisasi (20%), (3)
penggunaan bahasa (25%), (4) kosakata (20%), (5) mekanik, ejaan dan tanda baca (5%). Variable
X1
X2
Y
186 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
berfikir kreatif mengunakan tes uraian terbuka (open ended) menggunakan standar rubric dengan
indicator indikasi kelancaran, fleksibilitas (keluwesan), orisinilitas dan elaborasi serta tes
kemampuan memahami gambar berseri mengunakan tes visual. Dengan indicator 1)
mengungkapkan makna gambar, 2) mengungkapkan isi pesan yang terdapat dalam gambar dan 3)
keterampilan memilih urutan media gambar. Analisis data menggunakan bantuan program SPSS
versi 17. Uji coba instrument dilakukan di sekolah dasar negeri 04 Tambun selatan Kabupaten
Bekasi.
Hasil dan Pembahasan
Data yang menjadikan dasar deskripsi hasil penelitian adalah skor hasil belajar mengarang (Y),
Kemampuan berpikir kreatif (X1) dan kemampuan memahami gambar berseri (X2). Data yang
berhasil dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan teknik statistic deskriptif, yang meliputi
perhitungan skor terendah dan skor tertinggi sehingga tampak rentan datanya, nilai rata-rata, srandar
deviasi, modus, median dan distribusi frekuensi. Secara keseluruhan deskripsi data skor hasil
belajar mengarang, skor kemampuan berpikir kreatif dan skor kemampuan memahami gambar
berseri terangkum pada tabel berikut ini :
Tabel 1.
No Aspek H.B Mengarang K.B Kreatif K.M.G. Berseri 1 Skor Total 3261 2342 3328 2 Skor minimum 64 46 64 3 Skor Maksimum 83 58 85 4 Range 19 12 21 5 Mean 74.11 53.25 75.64 6 Median 74 54 76 7 Modus 75 58 75 8 Standar Deviasi 5.868 3.577 5.388 9 Varians 34.429 12.797 29.027
Pengajuan Persyaratan Analisis
Dalam pengujian persyaratan analisis, dilakukan dua pengujian yang terdiri dari uji normalitas
data dan uji homogenitas varian.
Uji Normalitas
Berdasarkan hasil perhitungan data uji normalitas dengan Chi Square dan dengan bantuan program
SPSS for Windows release 17.0, didapatkan hasil sebagaimana terlihat pada tabel berikut :
Tabel.2 Rangkuman Data Uji Normalitas
Variabel N P value (Sig.) α Keterangan Y 44 0,235 0,05 Berdistribusi Normal X1 44 0,389 0,05 Berdistribusi Normal X2 44 0,108 0,05 Berdistribusi Normal
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 187
Uji Homogenitas Varians
Langkah-langkah dalam proses pengujian adalah pertama membuat pengelompokkan data Y atas X,
selanjutnya dihitung nilai-nilai db, 1/db, varians Si², log Si², (db) log Si²,dan (db) Si². Dari nilai-
nilai yang diperoleh kemudian dihitung Chi kuadrat hitung dan Chi kuadrat tabel.
Tabel 3 Rangkuman Data Uji Homogenitas
No Varian data
Y atas X1 X2
db Chi kuadrat
hitung
Chi kuadrat
tabel
Keterangan
1 X1 43 10,13 55,75 Homogen 2 X2 43 0,312 55,75 Homogen
Hubungan Kemampuan Berpikir Kreatif dengan Hasil Belajar Mengarang
Berdasarkan hasil perhitungan regresi sederhana terhadap pasangan data penelitian kemampuan
berpikir kreatif terhadap hasil belajar mengarang diperoleh konstanta (a) sebesar 0,977 dan b
sebesar 1,373, sehingga bentuk hubungan antara kedua variabel dapat digambarkan melalui
persamaan regresi Ŷ = 0,977 + 1,373 X1. Hasil perhitungan uji signifikansi dan linieritas atas
persamaan regresi tersebut disajikan pada tabel ANAVA seperti terlihat pada :
Tabel 4. Coefficients Hasil Belajar Mengarang
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta 1 (Constant) .977 7.384 .132 .895
X1 1.373 .138 .837 9.927 .000 a. Dependent Variable: Hasil Belajar Menggarang
Kekuatan hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dengan hasil belajar mengarang dapat
dilihat dari koefisien korelasi. Hasil perhitungan koefisien korelasi dan uji-t dapat dilihat pada
tabel 1.5 sebagai berikut :
Tabel 5. Hasil Pengujian Keberartian Koefisien Korelasi Kemampuan
Berpikir Kreatif dengan Hasil Belajar mengarang
N
Db
t tabel t hitung α = 0,05 α = 0,01
44 42 0,837 11,8543* 1.6820 2,4185 Keterangan :
* : Koefisien korelasi sangat signifikan (t hitung = 11,8543 > t tabel = 1,6820 pada α = 0,05).
N : Jumlah responden db : Derajat bebas
rx1y : Koefisien korelasi antara X1 dan Y
188 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Sebagaimana terlihat pada tabel 1.5, dari hasil perhitungan signifikan koefisien korelasi tersebut
thit = 11,85 lebih besar dari ttabel = 1,68 pada α = 0,05. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan positif variabel kemampuan berpikir kreatif dan variabel
hasil belajar mengarang teruji kebenarannya dan terdapat hubungan positif. Koefisien determinasi
merupakan kuadrat dari koefisien korelasi kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar
menggarang yaitu (rx1y)² = (0,837)² = 0,7005. Artinya, 70% variasi dalam Y (Hasil belajar
menggarang) dijelaskan oleh X1 (Kemampuan berpikir kreatif).
Untuk menggetahui hubungan kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar menggarang dengan
melakukan penggontrolan terhadap variabel kemampuan memahami gambar berseri dan dilakukan
perhitungan koefisien parsial. Koefisien korelasi parsial yang diperoleh antara Y dengan X1 apabila
dilakukan pengontrolan terhadap variabel X2 (ry.X1.2) = 0,485. Uji keberartian korelasi parsial
dilakukan dengan uji t. Hasil dari penggujian terdapat pada tabel di bawah ini :
Tabel 6 Koefisien Korelasi Parsial X1 dengan Y jika X2 dikontrol
Koefisien Korelasi
Parsial
t tabel t hitung α = 0,05 α = 0,01
ry1 = 0,485 3,550* 1.6820 2,4185
Keterangan :
* : Koefisien korelasi signifikan (t hitung = 3,550 > t tabel = 1,6820 pada α = 0,05).
ry1 : Koefisien korelasi parsial antara X1 dan Y jika X2 dikontrol
Dari hasil penggujian di atas adalah, jika dilakukan pengontrolan terhadap variabel kemampuan
memahami gambar berseri (X2), kemampuan berpikir kreatif (X1), mempunyai hubungan positif
dan signifikan dengan hasil belajar menggarang (Y).
Hubungan Kemampuan Memahami Gambar Berseri dengan Hasil Belajar
Mengarang.
Berdasarkan hasil perhitungan regresi sederhana terhadap pasangan data penelitian kemampuan
berpikir kreatif terhadap hasil belajar mengarang diperoleh konstanta a sebesar 5,682 dan b
sebesar 1,055 sehingga bentuk hubungan antara kedua variabel dapat digambarkan melalui
persamaan regresi Ŷ = 5,682 + 1,055 X2. Hasil perhitungan uji signifikansi dan linieritas atas
persamaan regresi tersebut disajikan pada tabel ANAVA seperti terlihat pada table .7
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 189
Tabel 7 Coefficients X2 dengan Y
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
T Sig.
B Std. Error Beta 1 (Constant) -5.682 3.163 -1.797 .080
X2 1.055 .042 .969 25.293 .000 a. Dependent Variable: Hasil Belajar Menggarang
Kekuatan hubungan antara kemampuan memahami gambar berseri dengan hasil belajar
mengarang dapat dilihat dari koefisien korelasi. Hasil perhitungan koefisien korelasi dan uji-t
dapat dilihat pada tabel 8 sebagai berikut
Tabel. 8 Hasil pengujian keberartian koefisien korelasi X2 dan Y
N
db rx2y t tabel t hitung α = 0,05 α = 0,01
44 42 0,969 26,110* 1.6820 2,4185
Keterangan :
* : Koefisien korelasi sangat signifikan (t hitung = 26,110 > t tabel = 1,6820 pada α = 0,05).
N : Jumlah responden db : Derajat bebas
rx2y : Koefisien korelasi antara X2 dan Y
Sebagaimana terlihat pada tabel 8, dari hasil perhitungan signifikan koefisien korelasi tersebut thit
= 26,110 lebih besar dari ttabel = 1,68 pada α = 0,05. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan positif variabel kemampuan memahami gambar berseri dan
variabel hasil belajar mengarang teruji kebenarannya dan terdapat hubungan positif. Koefisien
determinasi merupakan kuadrat dari koefisien korelasi kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar
menggarang yaitu (rx2y)² = (0,969)² = 0,938. Artinya, 93% variasi dalam Y (Hasil Belajar
Menggarang) dijelaskan oleh X2 (Kemampuan Memahami gambar berseri). Hasil ini relevan
dengan pendapat Arnone, Marilyn; Small, Ruth; Chauncey, Sarah; McKenna, H, (2011).bahwa
media berperan penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa dan mendukung minat siswa
belajar sesuatu karena dengan media belajar menjadi lebih menarik.
Untuk mengetahui hubungan kemampuan memahami gambar berseri dan hasil belajar
menggarang dengan melakukan penggontrolan terhadap variabel kemampuan berpikir kreatif dan
dilakukan perhitungan koefisien parsial. Koefisien korelasi parsial yang diperoleh antara Y dengan
X2 apabila dilakukan pengontrolan terhadap variabel X1 (ry2.1) = 0,918. Uji keberartian korelasi
parsial dilakukan dengan uji t. Hasil dari penggujian terdapat pada tabel di bawah ini :
190 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel 9 Koefisien Korelasi Parsial X2 dengan Y jika X1 dikontrol
Koefisien Korelasi
Parsial
t tabel t hitung α = 0,05 α = 0,01
ry2 = 0,918 14,803* 1.6820 2,4185 Keterangan :
* : Koefisien korelasi signifikan (t hitung = 14,803 > t tabel = 1,6820 pada α = 0,05).
ry2 : Koefisien korelasi parsial antara X2 dan Y jika X1 dikontrol
Dari hasil penggujian di atas adalah, jika dilakukan pengontrolan terhadap variabel kemampuan
berpikir kreatif (X1), kemampuan memahami gambar berseri (X2), mempunyai hubungan positif
dan signifikan dengan hasil belajar menggarang (Y).
Hubungan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Kemampuan Memahami Gambar Berseri Secara
Bersama-sama Hasil Belajar Mengarang
Berdasarkan analisis regresi berganda terhadapa kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan
memahami gambar berseri dengan hasil belajar mengarang menghasilkan konstanta (a) sebesar
10,065, (b1) sebesar 0,320 dan (b2) sebesar 0,887. Dengan demikian diperoleh persamaan regresi Ŷ
= 10,065 + 0,320 X1 + 0,887 X2. Hasil perhitungan uji signifikansi persamaan regresi tersebut
disajikan pada tabel berikut :
Tabel 10 Coefficients X1 dan X2 dengan Y
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta 1 (Constant) -10.065 3.061 -3.289 .002
X2 .887 .060 .815 14.796 .000 X1 .320 .090 .195 3.547 .001
a. Dependent Variable: Hasil Belajar Menggarang
Kekuatan hubungan antara kemampuan berpikir kreatif (X1) dan kemampuan memahami gambar
berseri (X2) secara bersama-sama dengan hasil belajar mengarang (Y) ditujukan oleh Ry.1.2 =
0,976. Koefisien korelasi ganda tersebut ternyata sangat signifikan. Uji signifikansi koefisien
korelasi ganda dapat dilihat pada tabel berikut :
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 191
Tabel 11. Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Antara Kemampuan Berpikir Kreatif dan
Kemampuan Memahami Gambar Berseri Terhadap Hasil Belajar Mengarang
N Ry1.2 F tabel F hitung α = 0,05 α = 0,01
44 0,976 406,837* 3.23 5,18
Uji keberartian koefisien korelasi jamak dengan uji F diperoleh F hitung sebesar 406,837 dan F
tabel pada taraf signifikan α = 0,01 sebesar 5,18 dan pada α = 0,05 sebesar 3,23. Karena F hitung >
Ftabel. Maka dapat disimpulkan korelasi jamak sangat signifikan. Koefisien determinasi (Ry.1.2)
adalah sebesar 0,976 dan (Ry.1.2)² = (0,976)² = 0,952. Artinya 95,2 % variasi yang terjadi pada
hasil belajar menggarang (Y) dapat dijelaskan oleh variansi kemampuan berpikir kreatif (X1) dan
kemampuan memahami gambar berseri (X2).
Peringkat pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat dapat dilihat
berdasarkan urutan besarnya koefisien korelasi parsial sebagaimana terlihat pada tabel berikut :
Tabel 12. Urutan Peringkat Menurut Besarnya Koefisien Korelasi Parsial
Koefisien Korelasi Parsial Peringkat
Kemampuan Berpikir Kreatif = 0,837 (70%) Kedua Kemampuan memahami gambar berseri = 0,969
(93 8%)
Pertama
Variabel bebas yang paling kuat hubungan secara parsial dengan variabel terikat adalah kemampuan
memahami gambar berseri (X2) dengan Ry.1.2 = 0,969 sebagai peringkat pertama kemudian diikuti
oleh kemampuan berpikir kreatif (X1) Ry.1.2 = 0,837 pada peringkat yang kedua.
Hasil pengujian hipotesis ketiga yang menunjukkan adanya hubungan positif antara
kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri dengan hasil belajar
mengarang semakin memperkuat hasil pengujian hipotesis pertama dan kedua. Dengan melihat
konstribusi kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri terhadap hasil
belajar menggarang yang cukup besar, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kemampuan
berpikir kreatif dan semakin tinggi kemampuan memamahami gambar berseri siswa maka
semakin tinggi pula hasil belajar mengarangnya. Koenig, Alan J, (1995) dan Ulfa, Andi Maria dkk
(2017) menegaskan terkait dengan temuan tersebut bahwa media memiliki peran dalam
mengembangkan kreativitas siswa.
Dari data deskripsi analisis yang telah dijabarkan menunjukkan bahwa dari kemampuan berpikir
kreatif diperoleh nilai rata-rata = 53,25, modus = 58, median = 54,00. Hal ini menunjukkan bahwa
192 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
siswa memiliki skor rata-rata untuk kemampuan berpikir kreatif yang bervariasi. Bervariasinya skor
yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa berbeda-beda satu sama
lainnya. Hubungan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor kemampuan
berpikir kreatif maka semakin tinggi pula hasil belajar menggarangnya. Konstribusi dari
kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar menggarang ditandai dengan nilai (rx1y)² =
(0,837)² = 0,7005. Hal ini menunjukkan bahwa 70 % kemampuan berpikir kreatif berpengaruh
dan signifikan terhadap hasil belajar menggarang.
Berdasarkan pada hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif dan
signifikan antara kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar menggarang artinya semakin
tinggi kemampuan berpikir kreatif siswa maka semakin tinggi pula hasil belajar menggarang,
Deskripsi analisis menunjukkan bahwa total skor kemampuan memahami gambar berseri sebesar
3328 dan diperoleh nilai rata-rata = 75,64, modus = 75, median = 76. Dari perhitungan tersebut,
terlihat siswa memiliki skor yang beragam. Beragamnya skor tersebut, menunjukkan bahwa
kemampuan memahami gambar berseri antar siswa berbeda-beda. dari hasil pengamatan peneliti
secara garis besar adanya keragaman tersebut di sebabkan oleh siswa tidak terbiasa dalam
memecahkan soal dalam sebuah gambar seri dan ini juga merupakan hal yang baru buat siswa
dengan cara dan strategi belajar mengajar yang bervariasi.
Dari hasil hipotesis kemampuan memahami gambar berseri menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif dan signifikan antara kemampuan memahami gambar berseri dan hasil belajar menggarang,
hal ini ditunjukkan dari nilai (rx2y)² = (0,969)² = 0,938. Artinya 93,8 % sebanyak 93,8 %
kemampuan memahami gambar berseri berpengaruh dan signifikan terhadap hasil belajar
menggarang.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, didapat kesimpulan bahwa ada hubungan positif dan
signifikan antara kemampuan memahami gambar berseri dan hasil belajar menggarang artinya
semakin tinggi kemampuan memahami gambar berseri siswa semakin tinggi pula hasil belajar
mengarangnya.
Hasil perhitungan koefisien korelasi ganda sebanyak (Ry1.2) adalah sebesar 0,976 dan koefisien
korelasi determinasi sebanyak (Ry1.2)² = (0,976)² = 0,952. Hal ini berarti sebanyak 95,2% hasil
belajar menggarang dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami
gambar berseri secara bersama-sama. Konstribusi setiap variabel secara individu, yaitu; konstribusi
kemampuan berpikir kreatif sebanyak 70% terhadap hasil belajar menggarang, dan konstribusi
kemampuan memahami gambar berseri sebanyak 93,8% terhadap hasil belajar menggarang. Artinya
bahwa hasil belajar menggarang akan jauh lebih baik apabila mereka juga memiliki kemampuan
berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri yang baik pula.Temuan tersebut
didukung oleh hasil penelitian oleh Pratt, Amy; Logan, Jessica (2014) dan Blamires, Mike;
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 193
Peterson, Andrew (2014) bahwa mengarang sangat terkait dengan aspek kemampuan kreativitas
siswa.
Kesimpulan, Implikasi dan Saran
Pertama, Kemampuan berpikir kreatif (X1) memiliki hubungan positif dengan hasil belajar
mengarang (Y). Hubungan ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi (ry1) = 0,837 dan
koefisien determinasi (ry1)² = 0,7005, yang menunjukkan bahwa 70,05 % dari hasil belajar
menggarang dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kreatif. Dengan demikian, kemampuan
berpikir kreatif secara konsisten memiliki hubungan langsung dengan hasil belajar mengarang.
Kedua, Kemampuan memahami gambar berseri (X2) memiliki hubungan positif dengan hasil
belajar mengarang (Y). Hubungan ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi (ry2) = 0,969 dan
koefisien determinasi (ry1)² = 0,938, yang menunjukkan bahwa 93,8 % dari hasil belajar
menggarang dipengaruhi oleh kemampuan memahami gambar berseri. Dengan demikian,
kemampuan memahami gambar berseri secara konsisten memiliki hubungan langsung dengan hasil
belajar mengarang.
Ketiga, Kemampuan berpikir kreatif (X1) dan kemampuan memahami gambar berseri (X2) secara
bersama-sama memiliki hubungan positif dengan keterampilan menulis eksposisi (Y). Hal ini
dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi ganda (Ry1.2) = 0,976, dan koefisien determinasi
(Ry1.2)² = 0,952. Menunjukkan sebanyak 95,2% dari hasil belajar menggarang dipengaruhi oleh
kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri secara bersama-sama.
Dengan demikian, kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar berseri
bersama-sama secara konsisten memiliki hubungan langsung dengan hasil belajar menggarang.
Hasil penelitian yang telah dikemukakan pada kesimpulan di atas akan berdampak pada beberapa
hal sebagai wujud implikasinya, yaitu: akan terdapat upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan hasil belajar mengarang khususnya pada siswa sekolah dasar. Hal ini dikarenakan
telah terbukti adanya hubungan kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memahami gambar
berseri terhadap hasil belajar mengarang, maka melalui upaya ini kualitas pembelajaran dalam
meningkatkan hasil belajar mengarang dapat ditingkatkan. Untuk meningkatkan hasil belajar
menggarang, siswa hendaknya diberikan dorongan dan motivasi untuk selalu mencari sesuatu yang
baru dalam tulisan dan dituntut untuk berusaha seunik mungkin dalam mengembangkan
gagasannya saat menulis.
Untuk meningkatkan hasil belajar mengarang<mengharuskan beberapa pihak terkait seperti guru,
guru dalam melaksanakan pengajaran menulis harus memilih bahan materi yang lebih kreatif,
194 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
mengajarkan siswa dengan menggunakan media-media yang lebih menarik perhatian siswa seperti
membuat sebuah gambar kemudian siswa menceritakan kembali dalam sebuah tulisan. Sebuah
media gambar lebih mudah diingat dari pada kata-kata. Gambar dapat membuat sebuah ide yang
abstrak menjadi lebih kongkrit dan berarti. Pengalaman yang kongkrit bisa memudahkan siswa
belajar dan meningkatkan hasil belajar.
Saran
Mengacu pada beberapa implikasi (dampak) yang telah dikemukakan di atas, maka berikut
adalah beberapa saran yang dapat menjadi acuan dalam menindaklanjuti implikasi tersebut
Pertama, Hasil belajar menggarang membutuhkan sebuah proses latihan dan frekuensi menulis yang
lebih sering. Sebagai dasar untuk memperbaiki hasil belajar menggarang siswa harus lebih banyak
menulis, menulis di mading, buku, majalah dan lain-lain. Sehingga dengan banyaknya siswa
menulis dari berbagai sumber, dapat memungkinkan siswa untuk mengembangkan gagasan dan ide-
ide juga dapat membuat siswa menjadi senang menulis.
Kedua, Siswa harus lebih aktif dan banyak bertanya dalam mengungkapkan sebuah bacaan.
Siswa juga harus bisa mengungkapkan kesan terhadap suatu bacaan apakah bacaan tersebut
menyenangkan, membosankan atau sekedar hanya bacaan yang tidak bermanfaat. Dengan siswa
dapat memperoleh kesan dalam sebuah bacaan maka siswa akan lebih mudah memperoleh
informasi dari bacaan yang dibaca dan akan lebih lama mengingatnya.
Ketiga, guru harus memberikan fasilitas dan media yang membuat siswa ingin berkreasi dan
mengungkapkan ide gagasan. Guru juga harus slektif dalam memilih media yang akan dijadikan
latihan bagi siswa. Guru memilih jenis media yang disenangi oleh siswa sehingga merangsang
keinginan dan minat siswa untuk menulis.
Daftar Pustaka
Arnone, Marilyn; Small, Ruth; Chauncey, Sarah; McKenna, H, (2011). Curiosity, interest and
engagement in technology-pervasive learning environments: a new research agenda. Educational
Technology Research & Development. Apr2011, Vol. 59 Issue 2, p181-198. 18p.
Beghetto, Ronald A., Kaufman, James C. (2014). Classroom contexts for creativity. High Ability
Studies. Jun 2014, Vol. 25 Issue 1, p53-69. 17p.
Blamires, Mike; Peterson, Andrew (2014), Can creativity be assessed? Towards an evidence-
informed framework for assessing and planning progress in creativity. Cambridge Journal of
Education. Jun 2014, Vol. 44 Issue 2, p147-162. 16p.
Djago Tarigan dan H.G. Tarigan, (1996). Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 195
Djago Tarigan, (1993). Membina Keterampilan Menulis Paragraf dan Pengembangannya. Bandung:
Angkas
Finoza Lamuddin (2008), Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi insane Mulia.
Hairston, Maxine C. (1992). Succesfull Writing. New York: W.W. Norton & Company.
https://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/PISA%202012%20framework%20e-book_final.pdf
Jujun S. Suriasumantri (1998), Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: Sinar Harapan
Kurniawan K (2005), Model Pengajaran Menulis Bagi Penuntun Asing. Jakarta: Andi Offset.
Koenig, Alan J, (1995). Learning Media Assessment of Students With Visual Impairments: A
Resource Guide for Teachers New York: Publisher: Texas School for the Blind &; 2 edition
Ulfa, Andi Maria dkk (2017). The Effect of the Use of Android-Based Application in Learning
Together to Improve Students' Academic Performance. AIP Conference Proceedings. 2017, Vol.
1847 Issue 1, p1-6. 6p.
Pratt, Amy; Logan, Jessica (2014). Improving Language-Focused Comprehension Instruction in
Primary-Grade Classrooms: Impacts of the Let's Know! Experimental Curriculum. Educational
Psychology Review, Sep2014, Vol. 26 Issue 3, p357-377, 21p
Patti Drapeau (2014). Sparking Student Creativity: Sparking Student Creativity: Practical Ways to
Promote Innovative Thinking and Problem Solving, Publisher: Association for Supervision &
Curriculum Development
Spendel. V and Richard j, (1990). Stiggins Coaching Writers. London: Longman.
Thomas L. Good and Jere E. Brophy (1990), Education psychology: A Realistic Approach.
NewYork: Longman.
Utami Munandar, (1999). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Pustaka. Sinar
Harapan, 1999.
Weiguo Pang (2015), Promoting Creativity in the Classroom: A Generative View.Psychology of
Aesthetics, Creativity & the Arts. May2015, Vol. 9 Issue 2, p122-127
196 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
KURIKULUM BERBASIS KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL
Muhammad Iqbal Daulay, Juanda, Alexander Chrisse Ginting Munthe
Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana UNIMED [email protected]
ABSTRAK
Kurikulum adalah keseluruhan pengalaman belajar yang direncanakan dan diarahkan oleh sekolah
untuk mencapai tujuan pendidikannya (Ralph Tyler: 1957). Dunia pendidikan nasional perlu
dirancang agar bisa melahirkan generasi atau sumber daya manusia yang memiliki keunggulan di
era globalisasi. Nilai ketrampilan generik sangat penting untuk dimiliki oleh siswa dalam upaya
meningkatkan kemampuan mereka bersaing di pasar global. Untuk universitas itu, dalam hal ini
program studi harus bisa memenuhi kebutuhan siswa melalui kegiatan belajar dan perangkat
mereka, yang akhirnya berada pada kurikulum. Untuk itu sejak 2012 Indonesia telah melakukan
standarisasi dengan merilis kurikulum berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI). Diharapkan kualifikasi nasional akan memberikan panduan untuk memberdayakan sumber
daya manusia di satu negara untuk mencapai pembelajaran seumur hidup. Kurikulum yang
diharapkan bisa mengantisipasi kebutuhan lulusannya dengan pekerjaan menunggu di depan mata.
Indonesia adalah salah satu ekonomi utama di Asia Tenggara dan pemerintah telah menetapkan
tujuan ambisius untuk pembangunan sosial dan ekonominya, yang mana pengembangan sumber
daya manusia sangat penting. Meskipun ada perbedaan regional yang membatasi akses terhadap
pendidikan berkualitas bagi banyak orang, Indonesia telah membuat kemajuan yang mengesankan
di berbagai bidang di bidang pendidikan sejak krisis Asia 1997-98 seperti liputan pendidikan dasar.
Banyak tantangan tetap termasuk perluasan pendaftaran di pendidikan menengah dan tinggi,
meningkatkan kualitas dan relevansi dan membuat tata kelola dan keuangan lebih responsif.
Kata Kunci: Kurikulum, Kerangka Kualifikasi Indonesia
Pendahuluan
Dalam pengembangan kurikulum model lama, menurut para ahli teknologi pendidikan,
penyusunan kurikulum, penyusunan buku-buku serta perangkat kurikulum lainnya lebih bersifat
seni dan didasarkan atas kepentingan politik daripada landasan-landasan ilmiah dan teknologis.
Pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian nilai-nilai umum, konsep-konsep, masalah
dan keterampilan yang akan menjadi isi kurikulum disusun dengan fokus pada nilai-nilai tadi.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 197
Pengembangan kurikulum teknologis berpegang pada beberapa kriteria, yaitu:
Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh pengembang kurikulum yang
lain,
Hasil pengembangan terutama yang berbentuk model adalah yang bisa diuji coba ulang, dan
hendaknya memberi hasil yang sama.
Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada kompetensi. Pengembangan
dan penggunaan alat dan media pengajaran buka hanya sebagai alat bantu tetapi bersatu dengan
program pengajaran dan ditujukan pada penguasaan kompetensi tertentu.
Sejarah kurikulum
Perkembangan teori kurikulum tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangannya.
Perkembangan kurikulum telah dimulai pada tahun 1890 dengan tulisan Charles dan Mr Murry,
tetapi secara definitif berawal pada hasil karya Franklin Babbit tahun 1918. Menurut Bobbit, inti
teori kurikulum itu sederhana, yaitu kehidupan manusia. Kehidupan manusia meskipun berbeda-
beda pada dasarnya sama, terbentuk oleh sejumlah kecakapan pekerjaan. Werrett W. Charters
(1923) setuju dengan konsep Bobbit tentang analisis kecakapan/ pekerjaan sebagai dasar
penyusunan kurikulum. Charters lebih menekankan pada pendidikan vokasional.
Ada dua hal yang sama dari teori kurikulum, teori Bobbit dan Charters.
Pertama, keduanya setuju atas penggunaan teknik ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah
kurikulum. Dalam hal ini mereka dipengaruhi oleh gerakan ilmiah dalam pendidikan yang
dipelopori oleh E.L. Thorndike, Charles Judd, dan lain-lain.
Kedua, keduanya bertolak pada asumsi bahwa sekolah berfungsi mempersiapkan anak bagi
kehidupan sebagai orang dewasa.
Mulai tahun 1920, karena pengaruh pendidikan progresif, berkembang gerakan pendidikan yang
berpusat pada anak (child centered). Isi kurikulum harus didasarkan atas minat dan kebutuhan
siswa. Pendidikan menekankan kepada aktivitas siswa, siswa belajar melalui pengalaman.
Penyusunan kurikulum harus melibatkan siswa.
Perkembangan teori kurikulum selanjutnya dibawakan oleh Hollis Caswell. Dalam peranannya
sebagai ketua divisi pengembang kurikulum di beberapa negara bagian di Amerika Serikat
(Tennesee, Alabama, Florida, Virginia), ia mengembangkan konsep kurikulum yang berpusat pada
masyarakat atau pekerjaan (society centered) maka Caswell mengembangkan kurikulum yang
bersifat interaktif dalam pengembangan kurikulumnya, Caswell menekankan pada partisipasi guru-
guru, berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, menentukan struktur organisasi dari penyusunan
198 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
kurikulum, dalam merumuskan pengertian kurikulum, merumuskan tujuan, memilih isi,
menentukan kegiatan belajar, desain kurikulum, menilai hasil dan sebagainya.
Pada tahun 1947 di Universitas Chicago berlangsung diskusi besar pertama tentang teori kurikulum.
Sebagai hasil diskusi tersebut dirumuskan tiga tugas utama teori kurikulum:
mengidentifikasi masalah-masalah penting yang muncul dalam pengembangan kurikulum dan
konsep-konsep yang mendasarinya,
menentukan hubungan antara masalah-masalah tersebut dengan struktur yang mendukungnya,
mencari atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang akan datang untuk memecahkan
masalah tersebut.
Ralph W. Taylor (1949) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian
kurikulum:
Tujuan pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah?
Pengalaman pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut?
Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif?
Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai?
Dalam konferensi nasional perhimpunan pengembang dan pengawas kurikulum tahun 1963
dibahas dua makalah penting dari George A. Beauchamp dan Othanel Smith. Beauchamp
menganalisis pendekatan ilmiah tentang tugas-tugas pengembangan teori dalam kurikulum.
Menurut beauchamp, teori kurikulum secara konseptual berhubungan erat dengan pengembangan
teori dalam ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah
penggunaan istilah-istilah teknis yang tepat dan konsisten, analisis dan klasifikasi pengetahuan,
penggunaan penelitian-penelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi atau kaidah-
kaidah sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan fenomena kurikulum.
Dalam makalah kedua, Othanel Smith menguraikan peranan filsafat dalam pengembangan
teori kurikulum yang bersifat ilmiah. Menurut Smith ada tiga sumbangan utama filsafat terhadap
teori kurikulum, yaitu dalam (1) merumuskan dan mempertimbangkan tujuan pendidikan, (2)
memilih dan menyusun bahan, dan (3) perumusan bahasa khusus kurikulum.
James B. MacDonald (1964) melihat teori kurikulum dari model sistem. Ada empat sistem
dalam persekolahan, yaitu: kurikulum, pengajaran (instruction), mengajar (teaching), dan belajar.
Interaksi dari empat sistem ini dapat digambarkan dengan suatu diagram Venn. Melihat kurikulum
sebagai suatu sistem dalam sistem yang lebih besar yaitu persekolahan dapat memperjelas
pemikiran tentang konsep kurikulum. Pengguna model sistem juga dapat membantu para ahli teori
kurikulum menentukan jenis dan lingkup konseptualisasi yang diperlukan dalam teori kurikulum.
Broudy, Smith, dan Bunett (1964) menjelaskan masalah persekolahan dalam suatu skema
yang menggambarkan komponen-komponen dari keseluruhan proses mempengaruhi anak.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 199
Content
Facts
Concept
Descriptive
Principles
Curriculum
Categories of instruction
Symbolic studies
Basic sciences
Developmental studies
Thesthetics studies
Sudents Learnings:
Cognitive maps
Evaluational maps
Attitudes and values systems
Associative meanings and images
Intellectual Operations
Executive Operations
Assessment system:
Examinations
Tests: Essay-Objective
Teacher Judgements
Self evaluation
Self inventory
Modes of Teaching
Situational
Modes
Operational
Modes
Beauchamp merangkumkan perkembangan teori kurikulum antara tahun 1960 sampai
dengan 1965. Ia mengidentifikasi adanya enam komponen kurikulum sebagai bidang studi, yaitu:
landasan kurikulum, isi kurikulum, desain kurikulum, rekayasa kurikulum, evaluasi dan penelitian,
dan pengembangan teori.
Thomas L. Faix (1966) menggunakan analisis struktural-fungsional yang berasal dari
biologi, sosiologi, dan antropologi untuk menjelaskan konsep kurikulum. Fungsi kurikulum
dilukiskan sebagai proses bagaimana memelihara dan mengembangkan strukturnya. Ada sejumlah
pertanyaan yang diajukan dalam analisis struktural-fungsional ini. Topik dan subtopik dari
pertanyaan ini menunjukkan fenomena-fenomena kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan itu
menyangkut: (1) pertanyaan umum tentang fenomena kurikulum, (2) sistem kurikulum, (3) unit
analisis dan unsur-unsurnya, (4) struktur sistem kurikulum, (5) fungsi sistem kurikulum, (6) proses
kurikulum, (7) prosedur analisis struktural-fungsional.
200 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Alizabeth S. Maccia (1965) dari hasil analisisnya menyimpulkan adanya empat teori
kurikulum, yaitu: (1) teori kurikulum (curriculum theory), (2) teori kurikulum-formal (formal
curriculum theory), (3) teori kurikulum valuasional (valuational curriculu theory), dan (4) teori
kurikulum praksiologi (praxiologi curriculum theory).
Mauritz Johnson (1967) membedakan antara kurikulum dengan proses pengembangan
kurikulum. Kurikulum merupakan hasil dari sistem pengembangan kurikulum, tetapi sistem
pengembangan bukan kurikulum. Menurut Johnson kurikulum merupakan seperangkat tujuan
belajar yang terstruktur. Jadi kurikulum berkenaan dengan tujuan dan bukan dengan kegiatan.
Berdasarkan rumusan kurikulum tersebut, pengalaman belajar anak menjadi bagian dari pengejaran.
Johnson menganalisis enam unsur kurikulum, yaitu:
A curriculum is a structured series of intended learning outcomes
Selection is an essential aspect of curriculum formulation
Structure is an essential characteristic of curriculum
Curriculum guide instruction
Curriculum evaluation involeves validation of both selection and structure
Curriculum is the criterion for instructional evaluation
Jack R. Frymier (1967) mengemukakan tiga unsur dasar kurikulum, yaitu: aktor, artifak, dan
pelaksanaan. Aktor adalah orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah
isi dan rancangan kurikulum. Pelaksanaan adalah proses interaksi antara aktor yang melibatkan
artifak. Studi kurikulum menurut Frymier meliputi tiga langkah: perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
Ada beberapa masalah atau isu substansial dalam pembahasan tentang teori kurikulum,
yaitu: definisi kurikulum, sumber-sumber kebijaksanaan kurikulum, desain kurikulum, rekayasa
kurikulum, peranan nilai dalam pengembangan kurikulum, dan implikasi teori kurikulum.
Sejarah kurikulum di Indonesia
Kurikulum yang digunakan di Indonesia dipengaruhi oleh tatanan sosial politik Indonesia.
Negara-negara penjajah yang mendiami wilayah Indonesia ikut juga mempengaruhi sistem
pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai
aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan kurikulum. Sekolah-sekolah dibentuk dengan
membedakan pendidikan antara anak Belanda, anak timur asing, dan anak pribumi. Golongan
pribumi ini masih dipecah lagi menjadi masyarakat kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan
zaman kolinial adalah sebagai berikut (Sanjaya, 2007:207).
Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi menggunakan pengantar bahasa
daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun. Mereka yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke
Sekolah Sambungan (Vervolg School) selama 2 tahun. Dari sini mereka bisa melanjutkan ke
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 201
Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama 4 tahun, inilah sekolah paling atas untuk bangsa pribumi
biasa. Untuk golongan pribumi masyarakat bangsawan bisa memasuki His Inlandsche School
selama 7 tahun, Mulo selama 3 tahun, dan Algemene Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.
Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5 tahun dengan pengantar bahasa
Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang berbahasa Belanda selama 7 tahun. Siswa HCS dapat
melanjutkan ke Mulo.
Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai perguruan tinggi, yaitu Eropese
Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan HBS 3 dan 5 tahun Lyceum 6 tahun, Maddelbare
Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge School 5 tahun, Sekolah kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan
kedokteran gigi 5 tahun.
Rencana pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam
bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris).
Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Awalnya pada tahun 1947, kurikulum
saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia
masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan
yang pernah digunakan sebelumnya.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan
menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua
hal pokok:
Daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya
Garis-garis besar pengajaran (GBP)
Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikira dalam arti kognitif, namun yang diutamakan
pendidikan watak atau perilaku (value , attitude), meliputi :
Kesadaran bernegara dan bermasyarakat
Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari
Perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Rencana Pelajaran Terurai 1952
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini
sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri
202 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang
dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai
1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata
Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16
tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.Di penghujung era Presiden
Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan
Pancawardhana, yaitu :a) Daya cipta, b) Rasa, c) Karsa, d) Karya, e) Moral.
Kurikulum Rencana Pendidikan 1964
Pada akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi
Rencana Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah konsep
pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini mewajibkan
sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem
solving). Rencana Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah
Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima kelompok bidang studi, yaitu kelompok
perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.
Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis,
yang disesuaikan dengan perkembangan anak.
Cara belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Selain itu
pemerintah menerapkan hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada hari Sabtu, siswa diberi
kebebasan berlatih kegitan di bidang kebudayaan, kesenian, olah raga, dan permainan, sesuai minat
siswa. Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk manusia pacasialis yang sosialis Indonesia,
dengan sifat-sifat seperti pada ketetapan MPRS No II tanun 1960. Penyelenggaraan pendidikan
dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi kelas I dan II yang asalnya berupa skor
10 – 100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan bagi kelas II hingga VI tetap menggunakan skor
10 – 100.
Kurikulum 1968
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran
kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai
keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD,
sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu
pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani. Kurikulum 1968
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 203
merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum
pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus.
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang
dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati.
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai
kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi
pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya
pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
Kurikulum 1968 lahir dengan pertimbangan politik ideologis. Tujuan pendidikan pada
kurikulum 1964 yang bertujuan menciptakan masyarakat sosialis Indonesia diberangus, pendidikan
pada masa ini lebih ditekankan untuk membentuk manusia pancasila sejati. Kurikulum 1968
bersifat correlated subject curriculum, artinya materi pelajaran pada tingkat bawah mempunyai
korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan. Bidang studi pada kurikulum ini dikelompokkan pada
tiga kelompok besar: pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Metode pembelajaran sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pendidikan dan psikologi
pada akhir tahun 1960-an. Salah satunya adalah teori psikologi unsur. Contoh penerapan metode
pembelajaran ini adalah metode eja ketika pembelajaran membaca. Begitu juga pada mata pelajaran
lain, “anak belajar melalui unsur-unsurnya dulu”.
Kurikulum berorientasi pencapaian tujuan (1975 – 1994)
Setelah Indonesia memasuki masa orde baru maka tatanan kurikulumpun mengalami
perubahan dari “Rencana Pelajaran” menuju kurikulum berbasis pada pencapaian tujuan. Dalam
konteks ini adalah kurikulum subjek akademik, merupakan model konsep kurikulum yang paling
tua, sejak sekolah yang pertama dulu berdiri. Kurikulum ini menekankan pada isi
atau materi pelajaran yang bersumber dari disiplin ilmu. Penyusunannya relatif mudah, praktis, dan
mudah digabungkan dengan model yang lain. Kurikulum ini bersumber dari pendidikan klasik,
perenalisme dan esensialisme, berorientasi pada masa lalu. fungsi pendidikan adalah memelihara
dan mewariskan ilmu pngetahuan, tehnologi, dan nilai-nilai budaya masa lalu kepada generasi yang
baru.
Latar Belakang Diberlakukanya Kurikulum 1975
204 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Dalam Kata Pengantar Kurikulum 1975, Menteri Pendidikan Republik Indonesia Sjarif Thajeb,
menjelaskan tentang latar belakang ditetapkanya Kurikulum 1975 sebagai pedoman pelaksanaan
pengajaran di sekolah.
Sejak Tahun 1969 di Negara Indonesia telah banyak perubahan yang terjadi sebagai akibat lajunya
pembangunan nasional, yang mempunyai dampak baru terhadap program pendidikan nasional. Hal-
hal yang mempengaruhi program maupun kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan
pembaharuan itu adalah :(a) Selama Pelita I, yang dimulai pada tahun 1969, telah banyak timbul
gagasan baru tentang pelaksanaan sistem pendidikan nasional.(b) Adanya kebijaksanaan pemerintah
di bidang pendidikan nasional yang digariskan dalam GBHN yang antara lain berbunyi : “Mengejar
ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mempercepat lajunya
pembangunan.(c) Adanya hasil analisis dan penilaian pendidikan nasional oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaaan mendorong pemerintah untuk meninjau kebijaksanaan pendidikan
nasional.(d) Adanya inovasi dalam system belajar-mengajar yang dianggap lebih efisien dan efektif
yang telah memasuki dunia pendidikan Indonesia.(e) Keluhan masyarakat tentang mutu lulusan
pendidikan untuk meninjau sistem yang kini sedang berlaku.
Pada Kurikulum 1968, hal-hal yang merupakan faktor kebijaksanaan pemerintah yang berkembang
dalam rangka pembangunan nasional tersebut belum diperhitungkan, sehingga diperlukan
peninjauan terhadap Kurikulum 1968 tersebut agar sesuai dengan tuntutan masyarakat yang sedang
membangun.
Kurikulum 1984
Latar Belakang Diberlakukanya Kurikulum 1984
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi
kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR
1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang
menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Secara umum dasar
perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai berikut.
Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum
pendidikan dasar dan menengah.
Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak
didik.
Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah.
Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri
sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk Pendidikan
Luar Sekolah.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 205
Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan
lapangan kerja.
Ciri-ciri Kurikulum 1984.
Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan
masyarakat dan ilmu pengetahuan/ teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap
tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai
perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki
ciri-ciri sebagai berikut.
Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman
belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar
fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang
pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA).
CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif
terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh
pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang
digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran.
Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari
siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk
menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami
konsep yang dipelajarinya.
Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran
berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus
melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan
pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari
sederhana menuju ke kompleks.
Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajar-
mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh
pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan
dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.
Latar Belakang Diberlakukanya Kurikulum 1994
206 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Adapun yang menjadi latar belakang diberlakukanya kurikulum 1994 adalah sebagai berikut.
Bahwa sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa serta agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang.
Bahwa untuk mewujudkan pembangunan nasional di bidang pendidikan, diperlukan peningkatan
dan penyempurnaan pentelenggaraan pendidikan nasional, yang disesuaikan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, perkembangan masyarakat, serta kebutuhan
pembangunan.
Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional maka Kurikulum Sekolah Menengah Umum perlu disesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan tersebut.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak
pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap
diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup
banyak.
Kurikulum berbasis kompetensi dan KTSP (2004/ 2006)
Kurikulum yang berorientasi pada pencapaian tujuan (1975 – 1994) berimpilkasi pada
penguasaan kognitif lebih dominan namun kurang dalam penguasaan keterampilan (skill). Sehingga
lulusan pendidikan kita tidak memiliki kemampuan yang memadai terutama yang bersifat aplikatif,
sehingga diperlukan kurikulum yang berorientasi pada penguasaan kompetensi secara holistik.
Untuk itu upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup
pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlaq, budi
pekerti, pengetahuan,keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku.
Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan
kecakapan hidup (life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didikuntuk
bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang.dengan demikian peserta didik
memiliki ketangguhan, kemandirian, danjati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau
pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Penyempurnaan kurikulum untuk
mewujudkan peserta didik yang dimaksudkan itu telah diamanatkan dalam kebijakan-kebijakan
nasional sebagai berikut
Perubahan keempat UUD 1945 Pasal31 tentang Pendidikan.
Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004.
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 207
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah sebagai
Daerah Otonom, yang antara lain menyatakan pusat berkewenangan dalam menentukan:kompetensi
siswa; kurikulum dan materi pokok; penilaian nasional;dan kalender pendidikan.
Atas dasar itulah maka Indonesia memilih untuk memberlakukan Kurikulum KBK sebagai
pedoman penyelenggaraan pendidikan serta penyempurnaannya dalam bentuk Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP).
Kurikulum 2013
Makna manusia yang berkualitas, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun
penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan
pembelajaran yang didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan. Konten pendidikan dalam SKL
dikembangkan dalam bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang pendidikan sebagai suatu
rencana tertulis (dokumen) dan kurikulum sebagai proses (implementasi). Dalam dimensi sebagai
rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan SKL menjadi konten kurikulum yang berasal
dari prestasi bangsa di masa lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa
mendatang.
Kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI)
Sebagai bagian dari dunia global, pada tahun 2015 pemerintah Indonesia harus terbuka
terhadap semua negara ASEAN dalam hal perdagangan global dan urusan lainnya karena
Masyarakat Ekonomi ASEAN akan diimplementasikan secara politis dan legal. Mobilitas para
profesional di seluruh negara ASEAN semakin sering terjadi. Profesional dengan berbagai tingkat
kompetensi dan dari berbagai bidang utama secara bergantian akan masuk dan keluar di antara
negara-negara ASEAN. Mengantisipasi kondisi ini, pemerintah Indonesia terpaksa memberikan
kualifikasi yang lebih baik kepada warganya; Jika tidak maka akan sangat disayangkan bagi
Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Tentunya, memiliki pengakuan profesional internasional
untuk pekerja terampil Indonesia adalah suatu keharusan agar mereka dapat bersaing dengan semua
orang dari negara-negara ASEAN lainnya.
Kerangka Kerja Kualifikasi Indonesia (IQF) nampaknya merupakan jawaban untuk situasi
masa depan ini. IQF yang telah mendapat dukungan hukum berupa Keputusan Presiden No. 8/2012
208 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
menawarkan deskripsi tingkat kualifikasi untuk hasil belajar atau pernyataan sertifikat di sekolah-
sekolah Indonesia dari jurusan hingga pendidikan tinggi. Sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
tersebut, IQF menetapkan sembilan tingkat kualifikasi dengan tiga lapisan keahlian yang berbeda,
yaitu tingkat 1 sampai dengan 3 untuk operator, level 4 sampai 6 untuk teknisi atau analis, dan level
7 sampai 9 untuk para ahli.
Pendidikan di Indonesia
Pendidikan dan keterampilan sangat penting bagi prospek pertumbuhan Indonesia pada
dekade berikutnya. Sekarang telah memiliki kesempatan untuk memanfaatkan progres yang sangat
substansial yang telah dicapai dalam memperluas akses terhadap pendidikan. Upaya ini telah
dilakukan pada tingkat investasi yang relatif tinggi untuk fasilitas pendidikan, pengajaran personil
dan materi pembelajaran. Meningkatkan kinerja pendidikan di Indonesia sangat penting untuk
memenuhi tantangan mencapai status pendapatan yang tinggi. Prioritas utama untuk Indonesia
adalah untuk meningkatkan hasil belajar dan untuk memungkinkan siswa membentuk keterampilan
dan pemahaman inti. Dukungan tambahan akan dibutuhkan untuk mengatasi rendahnya tingkat
kesiapan dan motivasi siswa. Kunci sukses akan terletak pada standar pengajaran dan
kepemimpinan sekolah.
Guru membutuhkan dukungan agar bisa mengembangkan kapasitas profesional lebih baik
dan dimintai pertanggungjawaban lebih untuk hasil yang dicapai. Pendidikan guru pra-layanan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 209
terutama di bidang pengembangan pelayanan profesional guru membutuhkan perbaikan besar.
Proses penilaian harus memberi tahu para guru, orang tua dan pembuat kebijakan tentang seberapa
baik siswa belajar, dan bagaimana sekolah-sekolah yang berbeda melakukan terhadap kerangka
standar pendidikan nasional. Pemeriksaan publik nasional perlu ditingkatkan namun metode
penilaiannya lebih beragam juga diperlukan, terutama penilaian formatif di kelas.
Di dalam dan luar sekolah, perhatian lebih dekat harus sesuai dengan relevans pendidikan
untuk pekerjaan dan pembangunan ekonomi. Indonesia membutuhkan sistem pendidikan kejuruan
yang lebih beragam dan terkoordinasi secara nasional dengan tingkat keterlibatan pengusaha yang
tinggi.
Tabel 1. Pencapaian pendidikan tahun 2011 menurut jenis kelamin dan klasifikasi perkotaan/
pedesaan
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), SUSENAS 2009 - 2011.
Tabel 1 menunjukkan pencapaian pendidikan penduduk Indonesia dari 15 tahun ke atas di tahun
2011. Sekitar 10,8% perempuan pedesaan dan 5.3% perempuan perkotaan berusia 10 tahun ke atas
tidak pernah hadir bentuk pendidikan, dibandingkan dengan 4,9% laki-laki pedesaan dan 1,8%
perkotaan laki-laki (BPS). Hampir 20% perempuan pedesaan tidak menyelesaikan sekolah dasar
sedangkan sekitar 10% penduduk perkotaan memiliki gelar universitas hanya 3% dari laki-laki
pedesaan dan perempuan memiliki. Tingkat pencapaian pendidikan nampaknya berkorelasi dengan
tingkat kemiskinan dan ketersediaan layanan di seluruh Indonesia.
Tabel 2 membandingkan Indonesia dengan beberapa negara Asia lainnya dalam sebuah angka
Indikator pembangunan manusia. Sementara Indonesia tampil relatif baik tentang berat badan anak-
anak, perkembangan sekolah dan melek huruf kaum muda, negara berkinerja kurang baik pada
penggunaan energi dan penggunaan internet.
|Tabel 2 Indikator perkembangan manusia komparatif untuk negara-negara Asia terpilih
210 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Sumber: Asian Development Bank, Statistik Dasar 2014.
Tahapan pembangunan menuju Jangka Panjang Nasional Visi Rencana Pembangunan adalah
sebagai berikut.
• Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Pertama Rencana Pembangunan Nasional)
(atau RPJMN 2005-2009) merupakan langkah awal reformasi yang dilakukan oleh pemerintah.
• Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Kedua (atau RPJMN 2010-2014) bertujuan
untuk mengkonsolidasikan reformasi dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan memperkuat ekonomi daya saing.
Prioritas strategis untuk pendidikan, baik di bawah Kementerian Keuangan Pendidikan dan
Kebudayaan (MOEC) atau Kementerian Agama (Depag), ditetapkan dalam kerangka keseluruhan
rencana nasional. Pendidikan merupakan prioritas kedua setelah reformasi sektor publik, di tahun
2010- Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014. Rencana strategis MOEC Untuk
2010-2014 memiliki lima misi yang menjadi basis pendidikan semua program. Mereka:
1. meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan;
2. meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan;
3. meningkatkan kualitas dan relevansi layanan pendidikan;
4. meningkatkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan;
5. meningkatkan kepastian / jaminan mendapatkan layanan pendidikan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Ketiga (atau RPJMN 2015- 2019) akan
diarahkan untuk mencapai daya saing ekonomi atas dasar sumber daya alam dan kualitas sumber
daya manusia, dan meningkat kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Keempat (atau RPJMN 2020-2025) bertujuan
mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan atas
dasar struktur ekonomi yang kokoh, didukung oleh manusia berkualitas tinggi dan kompetitif
sumber daya
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 211
Sistem pendidikan di Indonesia sangat luas dan beragam. Dengan Lebih dari 60 juta siswa dan
hampir 4 juta guru dalam jumlah 340.000 lembaga pendidikan, ini adalah sistem pendidikan
terbesar ketiga di Wilayah Asia dan terbesar keempat di dunia (hanya di belakang Republik Rakyat
Cina, India dan Amerika Serikat). Dua kementerian bertanggung jawab Mengelola sistem
pendidikan, dengan 84% sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Nasional Pendidikan dan
Kebudayaan (MOEC) dan sisanya 16% di bawah Kementerian Urusan Agama (Depag). Sekolah
swasta memainkan peran penting. Sementara hanya 7% sekolah dasar yang swasta, kenaikan
sahamnya menjadi 56% anak yunior sekolah menengah dan 67% orang tua senior.
References
Tyler, (2010). Basic PrinciplesOf Curriculum and Instruction. The University of Chicago Press,
Ltd., London
Mawardi, GLOBALISASI DAN KURIKULUM BERBASIS KKNI.
(file:///C:/Users/ika/Downloads/7-6-1-PB.pdf)
Marliyah, ANALISIS KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA (
KKNI) (Strategi Meningkatakan Standar Kualitas SDM melalui Pendidikan formal, informal dan
non formal). Vol : XXII, No : 1, MEI 2015. (file:///C:/Users/ika/Downloads/389-1407-1-PB.pdf)
Susilo, CURRICULUM OF EFL TEACHER EDUCATION AND INDONESIAN
QUALIFICATION FRAMEWORK: A BLIP OF THE FUTURE DIRECTION, Dinamika Ilmu P-
ISSN: 1411-3031; E-ISSN: 2442-9651 2015, Vol. 15 No. 1.
(file:///C:/Users/ika/Downloads/Curriculum_of_EFL_Teacher_Education_And.pdf)
Nana S. Sukmadinata, PENGEMBANGAN KURIKULUM: Teori dan Praktek. 2001. PT REMAJA
ROSDAKARYA, Bandung.
Sumaryati, INDONESIAN QUALIFICATIONS FRAMEWORK: SEBUAH UPAYA
INTERNALISASI GENERIC SKILLS, Jurnal Pendidikan Ekonomi Indonesia P-ISSN: 2505 –
4987 2016: Vol 1: No 1. http://journal.aspropendo.org/index.php/jpei/article/view/3
Silitonga, THE EXPLORATORY STUDY ON NATIONAL QUALIFICATION FRAMEWORK
OF INDONESIA AND OTHER PIONEER IMPLEMENTOR COUNTRIES, International Journal
of Information Technology and Business Management 29th January 2013. ISSN 2304 – 0777.
Vol.9 No. 1. (http://www.jitbm.com/9th%20volume/Parlagutan%206.pdf)
Endrotomoits, KKNI SEBAGAI ACUAN KURIKULUM PENDIDIKAN TINGGI.
(file:///D:/Download/1.-Dasar-pengemb-kurikulum-endro.compressed.pdf)
Isailah, PERMEN DIKBUD 49/ 2014 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN TINGGI.
(file:///D:/Download/02-SN-DIKTI-dan-KPT-Dr.-Illah-Sailah-red.pdf)
212 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Amiie, PENGERTIAN KURIKULUM MENURUT PARA AHLI.
(http://amiie23new.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-kurikulum-menurut-para-ahli.html)
Muhakbargowa, sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia, blog.umy.ac.id
(http://blog.umy.ac.id/muhakbargowa/files/2012/11/SEJARAH-PERKEMBANGAN-
KURIKULUM-DI-INDONESIA.pdf)
Fitriya, SEJARAH KURIKULUM DI INDONESIA 1945 – 2013, hidayatulfitriya.blogspot.co.id
(http://hidayatulfitriya.blogspot.co.id/2014/02/sejarah-kurikulum-di-indonesia-1945-2013.html)
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 213
PENINGKATAN MOTIVASI DAN PENGUASAAN KOSAKATA SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DENGAN MENGGUNAKAN HYPNOTEACHING
Amelia Rahmadaini1; Rizky Sofiya Ardilla2; Yusnina3
Universitas Negeri Medan
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan motivasi dan penguasaan kosakata
siswa dalam proses pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan hypnoteaching dan untuk
mengetahui kompetensi siswa dengan menggunakan hypnoteaching. Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa kelas dua tahun SMA Sw Free Methodist Medan tahun ajaran 2014 / 2015.Jalan
Sekolah no. 32 Helvetia Medan yang terdiri dari 33 siswa. Semua populasi diambil sebagai sampel
total. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian tindakan kelas. Instrumen dalam mengumpulkan
data berupa rencana pembelajaran, tes, pertanyaan, dan catatan harian. Penelitian ini dianalisis
dengan data kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini mengambil dua siklus yaitu siklus I dan siklus
II. Pada pre-test, skor rata-rata adalah 52,51. Pada nilai rata-rata tes siklus pertama adalah 68,45 dan
pada tes siklus kedua skor rata-rata adalah 81,03. Pada tes kompetensi pertama tidak ada siswa yang
mendapat 70 dengan persentase 0%. Tes kompetensi kedua pada siklus I ada enam belas siswa yang
mendapat poin 70 dengan persentase 48,48%. Tes kompetensi ketiga pada siklus II ada tiga puluh
tiga siswa mendapat poin sampai 70 dengan persentase 100% yang berarti semua siswa Bisa lulus
dengan standart skor minimal. Perbaikannya adalah 90,90%. Ini menyiratkan bahwa Hypnoteaching
sangat efektif dalam memotivasi siswa dan meningkatkan kemampuan penguasaan kosakata siswa
dalam proses belajar bahasa Inggris.
Kata Kunci: Motivasi, Kosakata, Hypnoteaching
1. Improving
Based on shady, ”Improving is going through better work enviroment to reach. Improving concist
of three steps. They are good,better and best”
Doing a work in a simple way is called good.
Doing a work in different way but in acorrect is called better.
Doing a work in different way with a great quality and correctly is called the best.
214 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
2. Motivation
Teacher should do whatever necessary to motivate their students. The teacher can serve as a source
of comfort, hope, confidence, or inspiration as well as the source of frustration, discomfort, anger
and fear. They can provide whatever it takes to initiate therapeutic movement. They create a
therapeutic setting within which students will be motivated and confident enough to do the things
that will help them to discover the kind of thought and behavior that fits their unique circumstances.
The most important thing that a teacher can do is create a “healing environment.” This will motivate
the students to undergo the restructuring of events that allows them to apply their newly acquired
learning efficiently within a more creative view of themselves and their relationships. You don't
always need to know what the problem is in order to achieve a therapeutic closure. When you talk
strongly to the student you give them an inspiration. They believe they can do things. State it simply
and believe what you are saying. You can motivate a despairing students to do things when you
convey an understanding and sincere belief that they can use their power for change.
As a teacher we often consider student motivation to be up to the student. Such abstract concepts as
attitude and needs are personal and not easy for an instructor to address. Adult educators are dealing
with a group of individuals whose needs and motivations are very diverse. Life experience widens
the gap between students and creates a diversity that is important in learning. Teachers must meet
the challenge of designing instruction that is motivating. There are a number of motivational
techniques which have a great bearing on instructional design. The potential benefits of attention to
motivation in instructional design are many. Krashen claims that learners with high motivation,
self-confidence, a good self-image, and a low level of anxiety are better equipped for success in
second language acquisition. Low motivation, low self-esteem, and debilitating anxiety can
combine to 'raise' the affective filter and form a 'mental block' that prevents comprehensible input
from being used for acquisition. In other words, when the filter is 'up' it impedes language
acquisition. (Krashen: 1985).
2.1 Components of the Motivation to Learn
a) Curiosity
The behaviorist talks about reward and punishment as being the main influence on learning.
Behavior can be focused toward a reward or away from a punishment. Human behavior is far more
complex. People are naturally curious. They seek new experiences; they enjoy learning new things;
they find satisfaction in solving puzzles, perfecting skills and developing competence. A major task
in teaching is to nurture student curiosity and to use curiosity as a motive for learning. Providing
students with stimuli that are new but not too different from what they already know stimulates
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 215
curiosity. Presenting stimuli that are completely foreign may create anxiety rather than curiosity.
There must be a balance between complexity and clarity. Ask students in a form of questions or
create a problem situation rather than presenting statements of fact. This increases student interest
and curiosity to learn more about the topic. Curiosity is a motive that is intrinsic to learning, and
thus continued learning is not dependent upon the teacher rewarding learning.
b) Self-Efficacy
The term self-efficacy reminds the author of a phrase our mother was always fond of “the power of
positive thinking.” This concept was again brought to mind at a lecture I attended given by a sports
psychologist who was hired by the Saskatchewan Roughriders prior to their winning the Grey Cup
in 1989. He had each player wrap a piece of tape on their ring fingers to represent the grey cup ring
they would be wearing after winning the grey cup. They were asked to believe in their ability to
win. This concept of self-efficacy can be applied to student learning. Students that harbor hesitate of
their ability to succeed are not motivated to learn. Dividing tasks into chunks and providing
students with early success is a method of developing confidence in the student. This is described
by Driscoll (1994) as performance accomplishments, one of four possible sources of self-efficacy.
The other three she describes include vicarious experience, verbal persuasion and physiological
states. Vicarious experience is when the learner observes a role model attaining success at a task.
Verbal persuasion is often used as others persuade a learner that he or she is capable of succeeding
at a particular task. The final possible source of self-efficacy is physiological states. This is the
“good feeling” that convinces a student of probable success or failure. For example a student may
feel physically sick when they arrive at an exam. There is little a teacher can do to alter a student’s
physiological state, other than to suggest relaxation exercises or desensitization training to
overcome fears and anxiety.
c) Attitude
Every educator has encountered students who are labeled as having a bad attitude. A teacher dealing
with a student with an “attitude” is instructed to deal specifically with accured behavior.
Performance evaluations are not to include the term, “bad attitude”.
Rather specific examples of actual situations must be cited of students’ assignment and
performance. In an educational setting the performance that we are striving for is learning, which in
some cases can be judged through behavior but not always. It is important to point out to students
specific behaviors that demonstrate an attitude. However the attitude of a student toward learning is
very much an intrinsic characteristic and is not always demonstrated through behaviors. The
216 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
positive behaviors exhibited by the student may only occur in the presence of the instructor, and
may not be apparent at other times. For example a person may have a poor attitude toward the
police but when confronted by a policeman they behave courteously and respectful. The behavior is
contrary to the attitude. Fleming and Levie (1993) summarize three approaches to attitude
change;“providing a persuasive message, modelling and reinforcing appropriate behavior and
inducing dissonance between the cognitive, affective and behavioral components of the attitude.”
They suggest that if a person is induced to perform an act that is contrary to that person’s own
attitude.
d) Need
The needs of individual students can vary greatly. The most well known and respected classification
of human need is Maslow’s hierarchy of needs. There are five levels of need in this hierarchy: (1)
Physiological (lower-level) (2) Safety (lower-level) (3) Love and belongings (higher needs) (4)
Esteem (higher need) (5) Self-Actualization (higher need). The importance of this to motivation is
the lower-level needs must be satisfied at one level before the next higher order of needs become
predominant in influencing behavior.
Education fits into the realm of achieving higher level needs. Students will not be ready to learn if
they have not had their lower level needs met. Children, who are sent to school in a condition
hungry, are not able to learn. Their lower needs must be met first.
e) Competence
Competence is an intrinsic motive for learning that is highly related to self efficacy. Students beings
receive pleasure from doing things well. Success in a subject for some students is not enough. For
students who lack a sense of efficacy teachers must not only provide situations where success
occurs but also give students opportunities to undertake challenging tasks on their own to prove to
themselves that they can achieve. Prerequisite skill development promotes competence in a field of
study. There is old sayings, give someone a fish and they will eat for a day, teach someone to fish
and they will eat for a lifetime. Learning a skill without an understanding of the process is doomed
to be lost. External support, respect and encouragement are important for the student to achieve
competence. The achievement of competence itself becomes the intrinsic motivating factor.
f) External Motivators
Active participation provides a stimulating environment and combats boredom.Learning strategies
should be flexible, creative and constantly applied. Stimulating learning environments provide
variety in of presentation style, methods of instruction and learning materials. Students will learn in
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 217
boring situation provided with motivators such as fear, pressure and extrinsic goals (grades, job
status, and so on). The learning environment under those motivators is often tense and stressful.
Grade has value as an external motivator in learning if the process of evaluation is well planned
considering motivation theory. Reinforcement is another form of an external motivator. The value
of reinforcement as a motivator is questioned from those who suggest that once the reinforcement is
removed the behavior stops. Critics suggest students must have intrinsic motivation to accomplish
certain activities. In intrinsic motivation the “doing” is the main reason for finishing an activity.
With extrinsic motivation the value is placed on the ends of the action. The value of reinforcement
is on the road to intrinsic motivation. Students need confidence building reinforcement such as
praise and encouragement to guide them. Students can also provide their own self rewards for
accomplishing goals they have set. External motivators must be accepted, valued and endorsed by
students. They must feel that their perspectives are valued, and they have opportunities to share
their thoughts and feelings.“External conditions that support these internal conditions include;
provisions for relevancy, choice, control, challenge, responsibility, competence, personal
connection, fun, and support from others in the form of caring, respect and guidance in skill
development.” (Mc Combs :1996)
2.2 Motivation in Learning Foreign Language
Actually students motivation related to teach with students desirability to engage in learning
process. Motivation is very needed for effective learning process in the class. It is very important
role in learning process, not only in the process but also achievement result. Commonly, student
who has high motivation will be clutched successful process or result in learning process.
Motivation is an essential condition of learning. Result of study will be optimal if there is
motivation. It will be determined intensity of study effort to students. According to Sardiman (2009:
85) there are three function of motivation in learning foreign language they are:
1. To promote people to act
It means that motivation become a moving spirit or motor. Motivation is spirit of moving from
energy activity which will done by student.
2. To establish behavior direction
It means that motivation direct activity which is the aim. Thus motivation will give direction and
activity that should be done by proper goals in learning English from students.
3. To select people behavior
218 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
It means that motivation determine the activities that must reach of goal, by selecting the activities
that useful o student’s goals in learning English. Grade of motivation can determine student’s
activeness. Motivation is as the certain requirement in learning English. Usually, students in the
classroom feel bored, lazy, unhappy, etc. in this case shows that teacher have been yet to motivate
students in order to improve their spirit, mind, and energy in learning. Many children are
undeveloped because they did not get the suitable motivation for them. If students obtain the proper
motivation they will strength and reach what they want.
Motivation has the great part in learning process. The role of it is similarity with the fuel to run the
engine. If motivation is enough it will motivate students to be active in the classroom especially in
English learning. There are some values of motivation in learning English such as; motivation
determined the grade of success or failure in learning, learning based on motivation is necessity
needed for students, not only improve their creativity but also the essential part in teaching-learning
process.
3.Vocabulary
Vocabularies are units of language that express our experiences. It means that in teaching foreign
language for the teacher should have teach words firstly which student know to make students
express the most common of their experience. Usually, experiences of the young students come
center surround them. The vocabulary connected with these activities and experiences can be taught
to students without facing much difficulty.
Nowadays, vocabulary acquisition is more important to develop than grammar mastery. Students
who know hundreds it are able to use in sentences in all language skill.
It is the units to express ideas for them whereas vocabulary must be teach at first time. It can be
learned in a given was restricted. Rivers argued as quoted by Nunan that acquisition an adequate
vocabulary is important for successful in second language use, the reason is without vocabulary
student unable to use structure and function. The students may have learned it for comprehensible
communication. Nasr (1972:12) argued that teaching vocabulary is important to make students
understand and practice by using words in correct situation.
Learning meaning of the words into student’s mother tongue may not show successful because
when the students learn English and involved with their mother tongue they will confused and break
their focus. Vocabulary is a powerful carrier of meaning. In addition, 850 vocabulary items have
more than 850 of meaning. It shows that vocabulary has unique characteristic. Now, the problems
was faced by teacher is which one of these multiple meaning should be taught for their students.
The students must learn the strict meaning of words as they are used in special sentences and in
certain situation. There are three matters that teacher must remember when they teaching
vocabulary. (a) Words are not only important in meaning but also their distribution with other
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 219
words. (b) Words have many meaning. Only one or a few of these meanings are same in two
languages. (c) Words taught to be understood by children or words taught to be used by them.
According to Finnochiaro (1984:87) give suggest that student’s vocabulary can be divided into two
kinds, namely: active vocabulary and passive vocabulary. Active vocabulary refers to students
understanding it. They can pronounce correctly and use them and use them constructively in
speaking and writing. Passive vocabulary is which students can understand about it when they are
reading some English text, listening in target language. Actually, passive vocabulary is appropriate
for the advanced learner because they had mastering active vocabulary first before starting to
learning active vocabulary. The teacher can explain the differences between active vocabularies
clearly. There are some steps in which can be used to improve vocabulary mastery such as:
1. Paying attention with words
Whenever we heard or read a word that we do not know please write down on your note.
2. Reading
Help the students to find new and interesting words. Read everything depend on their hobby such
as: magazine, newspaper, books etc.
3. Use dictionary
Later or sooner we will know most of the words and want to add more. Use the dictionary to find
the meaning of the words when we read. We can write down on our note.
4. Review vocabulary
Keep our note and study it whenever we have a few minute. Look at the words and try to remember
the definition.
5. Practice
Students can improve their vocabulary in oral and written by practices.
Hypnoteaching
Usually, hypnotic questioning serves to elicit the information more readily than can be done in the
waking state, but the entire process depends on the development of a good student-teacher
relationship rather than upon hypnotic technique, and the hypnosis is essentially a means by which
the client can give the information in a comfortable manner. Hypnotherapy generates effective
learning that will not be possible except by prolonged effort in non-hypnotic therapies. Successful
hypnotherapy should be systematically directed to a re-education of students, and the stimulation of
220 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
their strongest desires to reorganize themselves to the realities of life and their ability to cope with
the problems confronting them. Hypnosis cannot create new abilities within a person, but it can
assist in a greater and better utilization of abilities already possessed, even if these abilities will not
previously recognize, and trance is used for the student to discover he can do things.
Hypnosis allows freedom and ease in structuring the therapeutic situation and renders the student's
feelings much more accessible. In a hypnotic state the client gains a more acute awareness of his
needs and capabilities. He can be freed from mistaken beliefs, false assumptions, self-doubts and
fears which stand in the way of his fullest participation in life. Hypnosis enables students to learn
from experienced events which they would otherwise tend to overlook or distort. In hypnoteaching
the student can learn to look at things that are unpleasant – without fear, with a willingness to
understand, and with a willingness to cope in new ways. Re-education through hypnoteaching is a
complex restructuring of subjective experiences that can be initiated very simply and then gently
guided toward an English learning goal.
Then, as a result of some tangible performance, the student develops a profound feeling that the
repressive barriers have been broken, that the communication is actual understandable, and that its
meaning can no longer be kept at a symbolic level. It can enable students to team to trust, to
communicate with, and to use that vast range of hidden resources stored within their own
subconscious minds. The most important thing a teacher can teach the student during the pre-
induction, induction, and programming phases is that they can trust their subconscious mind
completely and rely upon it fully. The trance offers both student and teacher a ready access to the
student's subconscious mind. It permits a direct dealing with those individual life experiences which
are significant to the problems and which must be processed if creative results are to be achieved.
Hypnoteaching gives prompt and extensive access to the subconscious. Hypnoteaching concept is a
substance that must be mastered by every teacher in teaching.
This problem is part of the concept study Hypnoteaching in English teacher. Teacher as part of the
elements that exist within each school is a huge figure to materialize an advanced school and
professional. Therefore, the lecturers demanded not only make the learning process, but create
wonders in the classroom and unleash the potential of students in Hypnoteaching. So in this section
we will look at the ability of English teachers in Hypnoteaching concept.
1. Understanding Hypnoteaching currently, the term hypnotherapy and Hypnoparenting
appear most often discussed. Now comes a new term again, Hypnoteaching. Hypnoteaching
Actually what is it? A question that is quite intriguing and interesting to be discuss in depth. Why
do we need to learn this? Are not the skills of teachers already complete with the skills didactic
method? It turns out that all is not yet complete. Hypnosis comes from the word "Hypnos" which is
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 221
the Greek God of sleep. The word "hypnosis" was first introduced by James Braid, a famous
English physician who lived between 1795-1860. Before the time of James Braid, hypnosis is
known as mesmerism or magnetism.
Some definitions about Hypnosis or already in Indonesian rising become: a. Hypnosis is a
technique or practice of influencing others to enter into a hypnotic trance b. Hypnosis is a condition
in which attention becomes much focused so that the level of suggestibility (the advice received)
rose to very high c. Hypnosis is the art of communication to influence someone to change the level
of consciousness. Achieved by lowering their brain waves from Beta to Alpha and Theta. d.
Hypnosis is the art of communication to explore the subconscious.
Hypnosis is a state of increased awareness Definition of hypnosis created by the United State
Department of Education, Human Services Division, is: "Hypnosis is the by-pass of the critical
factors of the conscious mind Followed by the establishment of acceptable selective thinking" or
"hypnosis is a critical factor of the conscious mind penetrating followed by the acceptance of an
idea or suggestion ". Novian (2010: 4) Hypnoteaching is a blend of teaching that involves the
conscious mind and subconscious mind. Hypnoteaching is a blend of two words "hypnosis" which
shall mean suggesting and "Teaching" which shall mean teaching. Professional Affairs Board of the
British Psychological Society states that hypnosis can reduce anxiety, stress and other psychological
problems. In its development until now, hypnosis is very support in developing the performance of
self and the learning process.In a journal on newscientist.com, John Gruzelier, a psychologist at
Imperial College in London doing research using MRI, a tool to determine brain activity. He found
that person in a hypnotic state, activity in the brain increases. Particular section of the brain that
affect the process of higher-order thinking and behavior. He mentioned that humans are able to do
things that he himself do not dare dream of. So, hypnosis greatly impact in motivating and
improving performance. In the process of teaching and learning, hypnosis is also good to motivate
students, improve concentration, confidence, discipline, and organizational. Skills can be improved
with certainty through hypnosis therapy.
Hypnosis in daily activities, very often we actually experienced. However, we often do not realize
that what we have experienced is a series of activities in a conscious state of hypnosis. The
following simple events actually a hypnotic. Like when we watch a movie or soap operas on
television, sometimes our emotions are too carried away, sometimes crying or sometimes angry
about a certain character. Though we consciously know that it is manmade and not merely apparent.
This often happens in the classroom when the teacher ask all students to be quiet and all the
students and then silence, the class will silent. That's when the students have been hypnotized by
222 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
her professor. Similarly, when the lecturer gives the students a joke and laugh, in truth they have
been hypnotized by her professor.
2. Conscious Mind and Subconscious Mind Paul Maclean, the Quantum Learning, named
the three components of the brain is the organ with the name of the triune brain or brain three-in-
one. He mentioned that because in one human brain there are three sections, each of which develop
at different times throughout human evolutionary history. Each section also has specific neural
structures to organize the tasks to be done. The review is a recent study of the brain that are in
demand by many observers and perpetrators of education.In the brain three-in-one, each split into
two parts, namely the right and the left. At present, two hemispheres of the brain known as the right
brain and left brain. The workings of the brain known as the work left conscious brain (Conscious)
and serves as a"smart brain", Intelligent Quotient (IQ). Part of the brain is just struggling with the
level of discourse, logic, and cognition. While the right hemisphere of the brain called unconscious
and serves as a "dumb brain". Said to be stupid for any information communicated to him directly
received, believed, and acknowledged the truth.
The right brain is known as the Emotional and Spiritual Quotient (ESQ). It turned out that our
minds are filled by the subconscious mind. In his book "Peace of Mind" Sandy Mc Gregor said
"Hegemony" subconscious mind is so great and really mastery person's thinking as much as 88%.
The conscious mind, leaving only about 12% of total mastery. The result is predictable and follows
the plot. That by maximizing the potential of our minds, there will be an increase in intelligence that
is extraordinary in ourselves. All activities that are automated program will be stored in the
subconscious mind. The program must pass through the conscious mind in advance. The more
mature age of a person, then it became stronger and thicker. This led to the ability to absorb the
lessons to be longer. With hypnoteaching, this is made easier so that information can more easily
enter the brain. In this Hypnoteaching, learning more emphasis on the ability of the subconscious
brain. Under this scheme the role of the conscious brain and the subconscious mind in determining
success and failure of a person in his life sail.
5. Application of Hypnoteaching in Vocabulary
Many ways have been used to teach vocabulary more interest and pleasurable. Not only methods
applied by teacher in order to improve their vocabulary but also appropriate motivation in language
teaching such as; role play, picture, games, cards, etc. One of the methods to improve students
vocabulary mastery and motivation is hypnoteaching. It is can improve students interest and love of
English learning. Almost all the students very need motivation in English learning process. To get
successful in teaching vocabulary by applying hypnoteaching the teacher should consider:
a. Read the text or word several time, in order to the teacher mastering the material.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 223
B. Analyze the text, such as; words, pictures etc.
c. Visualize and Imagine sounds clearly so the students understand it.
The steps can be done to make hypnoteaching in English learning are:
1.Intention and self motivation.
The success of student depends on one's intention to struggle and hard work in English to achieve
success. Great intentions will bring a high motivation and commitment on the class in the school.
Ask your student, what their intention learning English? Why they are learning English?
2.Pacing
The second step is a very important step. Pacing means to equate the position, gesture, language,
and brain waves with other people or learners. The basic principle here is "people tend to, or prefer
to get together interact with the like have a lot in common". Naturally and instinctively, everyone
will feel comfortable and excited to gather with others who have in common with it so it will feel
comfortable in it. With the comfort that comes from the similarity of brain waves, then every
message transmitted from one person to other persons will be accepted and understood very well in
English learning.
3.Leading.
Leading means leading or directing us to do after pacing. After doing the pacing, the learners will
feel comfortable with us. That's when almost every anything we say or assign to students, then
students will do so willingly and happily. As difficult as any of the material, then the subconscious
mind of learners will capture our subject matter is easy, then as difficult as any exam questions are
tested, will come to be easy, and learners will be able to learn a glorious achievement.
4.Use Positive words.
The next step is to step in to support pacing and leading. The use of positive words in English
learning is consistent with the workings of the subconscious mind that will not accept a negative
word. The words given by the educators either directly or indirectly affect the psyche of learners.
Positive words from educators can make students feel more confident in accepting the material
provided. The words may be solicitation and appeals. So if there are things that should not be done
by learners, should use the pronoun positive to replace the negative words. For example if the
students will assume that English is difficult we can change their mind that English is easy.
5.Give praise.
One of the things that are important in learning is the 'reward and punishment'. Praise is a reward
increased self esteem. Praise is one way to establish a person's self concept that English is easy. So
224 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
give a sincere compliment to the learners. With compliments, someone will be encourage to do
more than ever.
6.Modelling
Modeling is the process of giving models or samples through the speech and behavior consistent. It
is very necessary and become one of the key hypnoteaching. After students become comfortable
with English learning. It is also necessary confidence (trust) of learners in our consolidated with our
behavior that is consistent with our speech and our words. So we always become a trusted figure.
To support and maximize a hypnoteaching, educators should be able to do things with the Master
the material comprehensively. Involve learners actively. Strive to conduct an informal interaction
with the learners. Give learners the authority and responsibility for learning. Convinced that the way
humans learn is different from each other. Assure students that they are capable. Give the
opportunity for learners to do something in a collaborative or cooperative. Strives contextual
material presented. Give feedback directly to and is descriptive. Adding experiences by increasing
flight hours. The suggestions of Hypnoteaching in English learning:
a. Creating the environmental hypnosis.
Be careful in act and behavior. The teacher is as one of programmer shaper of students mental.
Teacher’s behavior should be influence of student’s behavior.
b. Creating pleasure condition in the classroom.
Set up your classroom to improve their desire more colorful. Not only on the paint but also you can
tall in creation of your student like poem,
picture, short story, photo, etc. Therefore, our student more like in the class.
c. Using positive word and positive sentences.
Using positive word in our conversation and explanation in the class. English is easy better than
don’t worry English. Make motivation sentences, verse, and wise word in the classroom. So, our
students will have read every day.
d. Give example more than command.
The teacher is figure for the students. Give positive sample on act and behavior like as invite. The
students more like apply and realize than just command.
e. Teaching more spirit.
Showing our spirit that we are very like with your students, material, and teaching English class.
Gesture is very important, the teacher more apparently energetic, full spirit and fun. It is can
improve student’s motivation to learn English.
f. Avoiding negative label.
Give commend our students because commend can improve student’s motivation. For example: you
are good students, smart student, you are clever etc.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 225
g. Come up their interest of English.
Make a please condition on our classroom and teach friendly. Method of teaching is very important.
We can give joke, sometime you can teach on outclass or visit the place about your material.
h. Enclose of Game.
Create our class with variation game to improve student’s motivation in English learning. Usually,
the students more interest study with game, like as role play, picture, cards etc.
Telling waken and interest story.
Tell story about figure person from our environment or figure in the world. Most of students like the
story. Use it to pull their interest in our subject and material especially English learning.
j. Supporting their dream
Help and hermit our student to establish their dream in the future. When they are imagining their
dream, create condition like as their wish. Support their parent to guide their child creating purpose
in the future in order to facilitating children’s necessity.
6. Learning Process
Learning is a process of interaction between participant to learn with teacher instructors
learning specific learning goals. (Hamzah B, 2007: 54).Based on the above opinion, it is understood
that learning is a process which occur more frequently or experienced by students, while teaching is
the dominant activity experienced by students. In the other hand between teaching and learning is
different activity but having same goal that is how to change the optimal off on students.
Learning is development that comes from exercise and effort (Elizabeth B. Hurtlock: 1990: 28)On
the Article of Law our nation No. 20 0f 2003 on national education says that learning is a process of
interaction of learner and learning resources in a learning environment.Therefore, learning is a
deliberate process that causes students to learn in an environment to perform activities on a
particular.
Conceptual Framework
There are three aspects to be discussed in this paper; motivation,vocabulary mastery and
hypnoteaching. It must be considered about that.In the environmental inputs, the role of a teacher in
the success of a process of learning is enormous. Each teacher has a different way of teaching.
These difference is how teaching a class condition and this gave a different result. Learning in
Indonesia during this time use conventional learning methods in the teaching process of learning by
way of lectures in which the teachers tend to be active whereas the student tend. Some experts said
the method used is not feasible anymore. Now there is a method that is considered Hypnoteaching
226 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
method. The advantage of learning Hypnoteaching teaching-learning is that process is more
dynamic and there is good interaction between educators and learners.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 227
PENERAPAN MEDIA PEMBELAJARAN POWER POINT ANIMASI DAPAT MENINGKATKAN HOTS PADA ANAK USIA DINI DALAM MEMPELAJARI PERKALIAN SATU DIGIT SAMPAI
TIGA DIGIT DALAM PELAJARAN MATEMATIKA DI LAB SCHOOL IKIP PGRI JEMBER TAHUN AJARAN 2016-2017
Amin Silalahi, BA, MBA, DMS, Dosen di Teknologi Pembelajaran, Graduate School IKIP PGRI
Jember
ABSTRAK
Responden penelitian ini sebanyak 10 siswa PAUD, berumur 5 tahun 5 siswa (50%), 6 tahun
sebanyak 2 siswa ( 20%) dan 7 tahun sebanyak 3 (30%) di Lab School IKIP PGRI Jember dengan
mempergunakan metode judgment sampling, melakukan tes perkalian satu digit sampai tiga digit,
melakukan observasi melalui pengambilan foto pada waktu proses pembelajaran berlangsung mulai
dari jam 9.15 Am sampai 10.00 AM, penelitian ini juga mempergunakan statistik deskriptif
(frekuensi dan percentil) untuk menjawab perumusan masalah penelitian ini.
Hasil statistik deskriptif mengambarkan sebagai berikut: 1. Sebelum memberikan media
PowerPoint animasi, peneliti memberikan tes perkalian dengan hasil sebagai berikut: siswa Lab
School IKIP PGRI Jember tidak dapat menjawab perkalian satu digit sampai tiga digit. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil observasi dan interview: Anak-Anak mengatakan tidak tahu jawabannya
3 (30%), Anak-Anak kebingungan mau menjawab soal perkalian yang diberikan. 3 (30%), Anak-
Anak ribut-ribut di kelas 1 (10%), Anak-Anak Jalan-Jalan di kelas 2 (20%), Anak-Anak diam saja
(tidak melakukan apa-apa) 1 (10%)
Hasil dari penelitian ini adalah: 1 Ada kontribusi/manfaat penerapan media pembelajaran power
point animasi dapat meningkatkan HOTS pada anak usia dini dalam mempelajari perkalian satu
digit sampai tiga digit dalam pelajaran matematika di LAB School IKIP PGRI Jember tahun ajaran
2016-2017 karena anak anak PAUD Lab School dapat menjawab soal perkalian (Kognitif),
mempraktekkan apa yang dilihat di power point (psikomotor), anak dapat bekerjasama dalam
diskusi kelompok untuk mempraktekkan perkalian yang ada di powerpoint animasi (afektif). 2.
Ada dampak media PowerPoint animaasi meningkatkan keatifan siswa anak usia dini dalam
mempelajari perkalian satu digit sampai tiga digit dalam pelajaran matematika di Lab School IKIP
PGRI Jember tahun ajaran 2016-2017 seperti yang disebutkan dalam narasi statistik deskriptif
nomor satu berkembang menuju hasil statistik deskriptif nomor dua di atas.
Kata Kunci: Media pembelajaran power point animasi dan HOTS
(Higher Order Thinking Skill).
228 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Pendidikan hendaknya memperhatiakan pencapaian HOTS di setiap pengajaran yang dilakukan di
kelas. HOTS sendiri sudah mengakomodasi tiga ranah yaitu kognitif, psikomotor dan afektif. Kalau
diperhatian dalam capaian pembelajaran yang ditulisakan dalam rancangan pembelajaran per
semester terdapat indikator HOTS, namun guru-guru kesulitan untuk mengimplementasikan HOTS
itu di tiga ranah yang diharapkan di HOTS dalam mata pelajaran Matematika.
Pelajaran Matematika bagi siswa PAUD adalah pelajaran yang sulit. Karena Siswa merasakan sulit
maka pengalaman awal belajar di tingkat usia dini akan mempengaruhi hasil belajar di tingkat SD
sampai perguruan Tinggi. Kalau pengalaman anak usia dini sudah mempersepsikan bahwa belajar
mate-matika tidak sulit maka, motivasi belajarnya juga akan bertambah dan mau belajar mandiri.
Pencapaian tujuan pemebalajaran HOTS, menigkatakan motivasi belajar dan belajar mendiri pada
mata pelajaran matematika, peneliti menentukan tujuan penelitian ini dengan menetapkan
perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ada kontribusi/manfaat penerapan media
pembelajaran powerpoint animasi dapat meningkatkan HOTS pada anak usia dini dalam
mempelajari perkalian satu digit (3 x5), dua digit (12x15) sampai tiga digit (125 x 149) dalam
pelajaran matematika di LAB School IKIP PGRI Jember tahun ajaran 2016-2017? 2. Apakah ada
dampak media powerpoint animaasi meningkatkan keatifan siswa anak usia dini dalam mempelajari
perkalian satu digit (3 x5), dua digit (12x15) sampai tiga digit (125 x 149) dalam pelajaran
matematika di Lab School IKIP PGRI Jember tahun ajaran 2016-2017?
Responden penelitian ini sebanyak 10 siswa PAUD, berumur 5 tahun 5 siswa (50%), 6 tahun
sebanyak 2 siswa ( 20%) dan 7 tahun sebanyak 3 (30%) di Lab School IKIP PGRI Jember dengan
mempergunakan metode judgment sampling, melakukan tes perkalian satu digit sampai tiga digit,
melakukan observasi melalui pengambilan foto pada waktu proses pembelajaran berlangsung mulai
dari jam 9.15 Am sampai 10.00 AM, penelitian ini juga mempergunakan statistik deskriptif
(frekuensi dan percentil) untuk menjawab perumusan masalah penelitian ini.
Hasil statistik deskriptif mengambarkan sebagai berikut: 1. Sebelum memberikan media
PowerPoint animasi, peneliti memberikan tes perkalian dengan hasil sebagai berikut: siswa Lab
School IKIP PGRI Jember tidak dapat menjawab perkalian satu digit sampai tiga digit. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil observasi dan interview: Anak-Anak mengatakan tidak tahu jawabannya
3 (30%), Anak-Anak kebingungan mau menjawab soal perkalian yang diberikan. 3 (30%), Anak-
Anak ribut-ribut di kelas 1 (10%), Anak-Anak Jalan-Jalan di kelas 2 (20%), Anak-Anak diam saja
(tidak melakukan apa-apa) 1 (10%)
2. Dari tiga soal perkalian satu digit sampai tiga digit sebagai berikut: soal dengan satu digit sisawa
dari sepuluh orang menjawab benar 90% (9 orang), soal perkalian dua digit dari sepuluh orang
menjawab benar 70% (7 siswa), soal perkalian tiga digit menjawab benar dari 10 orang sebesar 60%
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 229
(6 siswa). Anak-Anak mengatakan gampang menjawab soal yang diberikan 3 (30%), Anak-Anak
aktif menirukan setiap pergerakan yang ditampilkan di powerpoint 4 (40%), Anak-Anak Antusias
memperhatikan setiap pergerakan yang ditampilkan di layar projektor.3 (30%).
Hasil dari penelitian ini adalah: 1 Ada kontribusi/manfaat penerapan media pembelajaran power
point animasi dapat meningkatkan HOTS pada anak usia dini dalam mempelajari perkalian satu
digit sampai tiga digit dalam pelajaran matematika di LAB School IKIP PGRI Jember tahun ajaran
2016-2017 karena anak anak PAUD Lab School dapat menjawab soal perkalian (Kognitif),
mempraktekkan apa yang dilihat di power point (psikomotor), anak dapat bekerjasama dalam
diskusi kelompok untuk mempraktekkan perkalian yang ada di powerpoint animasi (afektif).
2. Ada dampak media PowerPoint animaasi meningkatkan keatifan siswa anak usia dini dalam
mempelajari perkalian satu digit sampai tiga digit dalam pelajaran matematika di Lab School IKIP
PGRI Jember tahun ajaran 2016-2017 seperti yang disebutkan dalam narasi statistik deskriptif
nomor satu berkembang menuju hasil statistik deskriptif nomor dua di atas.
230 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
PENGEMBANGAN SISTEM LAYANAN PERPUSTAKAAN BERBASIS TIK DENGAN MODEL AMALIA DALAM MENINGKATKAN MINAT MEMBACA SISWA SEKOLAH DASAR DI
TANJUNG GADING KABUPATEN BATU BARA Suci Amalia1*, Efendi Napitupulu2, Asih Menanti3
1Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan
2,3Dosen di Universitas Negeri Medan
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan layanan perpustakaan yang sebelumnya
dilakukan secara manual dengan menggunakan pembukuan dan kemudian diubah menjadi layanan
perpustakaan berbasis TIK. Transformasi perpustakaan berbasis TIK memberikan peran penting
dalam pengembangan, pengolahan, penelusuran, peminjaman dan pengembalian koleksi
perpustakaan. Sesuatu yang menarik dalam sistem pelayanan perpustakaan ini adalah keterlibatan
siswa dalam belajar menggunakan perangkat lunak (software) yang disediakan. Perangkat lunak
(software) dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP dengan database MySQL dan
tentu saja Macromedia Flash untuk memberikan animasi yang dibutuhkan. Pengembangan sistem
layanan perpustakaan mengacu pada tahapan model AMALIA (Attention, Memoryzing,
Accelerating, Literal, Improving dan Assets). Tahapan-tahapan tersebut secara rinci berarti
Attention starts from alphabeth, Memoryzing by effect, Accelerating by exercise, Literal
comprehension from any literature book, Improving readiness by borrowing these books, dan be
own Assets by collecting these books. Penelitian ini diarahkan secara khusus untuk tingkat sekolah
dasar karena mengacu pada tahapan tersebut mengajarkan bagaimana seorang siswa dapat belajar
dari tidak dapat membaca sampai dapat membaca dan kemudian melakukan proses pelayanan
perpustakaan dalam hal peminjaman dan pengembalian buku serta tersedianya fasilitas mengkoleksi
buku. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada minat baca siswa yang cukup signifikan yang
dapat ditunjukkan dalam grafik kunjungan untuk setiap tingkatan kelas di sekolah yang diteliti.
Pemilihan sekolah yang diteliti yang memenuhi syarat untuk penerapan sistem layanan
perpustakaan berbasis TIK di wilayah Tanjung Gading adalah SD Swasta Islam Terpadu Al-Ihya
Tanjung Gading karena tersedianya beberapa unit komputer yang dapat digunakan untuk
merealisasikan produk penelitian ini. Tanjung Gading merupakan kawasan hunian PT. Indonesia
Asahan Aluminium (Inalum) dimana juga tersedia tingkatan sekolah mulai dari TK sampai dengan
SMA.
Kata Kunci: Sistem layanan perpustakaan, model AMALIA, minat membaca
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 231
Pendahuluan
Perpustakaan merupakan salah satu sarana pembelajaran yang dapat menjadi sebuah kekuatan untuk
mencerdaskan bangsa. Perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran siswa di sekolah
dalam mencari ilmu pengetahuan. Fasilitas yang disediakan sekolah ini sangat bermanfaat bagi
semua siswa apabila dapat memanfaatkan perpustakaan tersebut secara maksimal. Namun, tidak
semua perpustakaan menerapkan teknologi dalam proses layanan perpustakaan seperti dalam
pendaftaran anggota, pencarian buku, peminjaman buku, dan lain-lain. Pada umumnya pelayanan
perpustakaan dilakukan secara manual menggunakan pembukuan sehingga kurang efisien dalam
waktu serta kesulitan dalam mencari status keberadaan buku. Buku-buku yang tersedia juga belum
disusun menurut aturan klasifikasi bahan pustaka mencakup kelas klasifikasi dan kode klasifikasi
buku.
Perpustakaan erat kaitannya dengan minat membaca dan belajar membaca umumnya dimulai sejak
tingkat sekolah dasar sehingga dirasakan perlu adanya suatu media yang memudahkan anak dalam
tahapan membaca dari tahapan awal sampai lanjutan, kemudian melakukan peminjaman buku
sampai dengan kepemilikan buku yang mereka sukai, yang bisa mereka dapati melalui perpustakaan
di sekolahnya. Tahapan dalam model AMALIA yang meliputi Attention, Memoryzing,
Accelerating, Literal, Improving dan Assets diharapkan bisa memfasilitasi kebutuhan ini sehingga
berkembang menjadi reading habit (kebiasaan membaca) untuk menumbuhkan minat membaca
siswa. Inilah yang menarik dalam dalam model AMALIA ini yaitu keterlibatan siswa dalam belajar
menggunakan perangkat lunak (software) yang disediakan. Perangkat lunak (software) dibuat
dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP dengan database MySQL dan tentu saja
Macromedia Flash untuk memberikan animasi yang dibutuhkan.
Kajian Teoretis
Minat Membaca
Secara harfiah minat membaca adalah keinginan kuat seseorang untuk membaca atau dalam
pengertian lain minat membaca adalah adanya kecenderungan kognitif dan afektif dalam diri siswa
terhadap aktivitas membaca, atau sesuatu yang diusahakan untuk tertarik kepada buku bacaan dan
mengembangkannya menjadi reading habit (kebiasaan membaca). Oleh sebab itu, minat membaca
siswa perlu sekali dikembangkan. Menumbuhkan minat membaca siswa sebaiknya diusahakan
sedini mungkin ketika seseorang baru mengenal tulisan (huruf).
232 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Minat yang berkembang pada seseorang disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini: (a) Minat
tumbuh bersamaan dengan perkembangan fisik dan mental; (b) Minat bergantung pada kesiapan
belajar; (c) Minat bergantung pada kesempatan belajar; (d) Perkembangan minat mungkin terbatas;
(e) Minat dipengaruhi pengaruh budaya; (f) Minat berbobot emosional; (g) Minat itu egosentris. [1]
Karena pentingnya peran minat dalam kehidupan anak, minat yang akan membantu penyesuaian
pribadi dan sosial anak perlu sekali ditemukan dan dipupuk. Beberapa cara menemukan minat anak
melalui: (a) Pengamatan kegiatan; (b) Pertanyaan; (c) Pokok pembicaraan; (d) Membaca; (e)
Menggambar spontan; (f) Keinginan; (g) Laporan mengenai apa saja yang diminati [1]. Salah satu
cara menemukan minat anak adalah dengan membaca, bila anak-anak bebas memilih buku untuk
dibaca atau dibacakan, memilih bahasan topik yang menarik minatnya atau memilih perpustakaan
misalnya sebagai tempat untuk belajar dan menambah perbendaharaan ilmu.
Perpustakaan sebagai Sumber Belajar
Sumber Belajar (untuk Teknologi Pendidikan) meliputi semua sumber (data, orang, dan barang)
yang dapat digunakan oleh pelajar baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, biasanya
dalam situasi informal, untuk memberikan fasilitas belajar. Sumber itu meliputi Pesan, Orang,
Bahan, Peralatan, Teknik dan Latar (lingkungan) [2], sebagaimana tercantum dalam tabel berikut
ini:
Sumber atau
Komponen Definisi Contoh
Pesan Informasi yang akan disampaikan oleh
komponen lain; dapat berbentuk ide,
fakta, makna dan data.
Materi-materi dalam semua
bidang studi
Orang Orang-orang yang bertindak sebagai
penyimpan dan/atau menyalurkan
pesan.
Guru; siswa; pelaku; pembicara.
Bahan Barang-barang (lazim disebut media
atau perangkat lunak "software") yang
biasanya berisikan Pesan untuk
disampaikan dengan menggunakan
peralatan; kadang-kadang bahan itu
sendiri sudah merupakan bentuk
penyajian
Transparansi; slide; film-strip;
video tape; tape audio; bahan
pengajaran terprogram; program
pengajaran dengan menggunakan
komputer; buku jurnal dan lain-
lain
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 233
Peralatan Barang-barang (lazim disebut
perangkat keras/ "hardware")
digunakan untuk menyampaikan
Pesan yang terdapat pada bahan.
OHP; proyektor slide; proyektor
filmstrip; perekaman tape video;
perekaman audio; pesawat
televisi; pesawat radio; mesin
komputer dan lain-lain.
Teknik Prosedur atau langkah-langkah
tertentu dalam menggunakan bahan,
alat, latar, dan orang untuk
menyampaikan pesan.
Komputer alat bantu pengajaran;
pengajaran terprogram; simulasi;
permainan; pengajaran dalam
bentuk tim; pengajaran individual;
ceramah; diskusi dan lain-lain.
Latar
(lingkungan)
Lingkungan dimana pesan diterima
oleh pelajar
Lingkungan fisik: gedung
sekolah; perpustakaan; ruang
kelas, dan lain-lain
Lingkungan non fisik:
penerangan; sirkulasi udara, dan
lain-lain
Perpustakaan merupakan salah satu sumber belajar dari aspek latar (lingkungan). Perpustakaan
menghimpun, mengelola, menyimpan, melestarikan, menyajikan, serta memberdayakan informasi.
Agar informasi yang dikelola mempunyai nilai manfaat yang produktif, informasi tersebut harus
memenuhi kriteria: benar, tepat, cepat, dikemas dengan menarik dan siap saji.
Komputerisasi Perpustakaan
Komputerisasi perpustakaan dalam arti yang sebenarnya adalah dipakainya komputer dalam setiap
tahap pekerjaan perpustakaan secara terintegrasi dengan menggunakan sistem tertentu [3]. Ini
berarti bahwa mulai dari tahap pengembangan, pengolahan, penelusuran sampai dengan
peminjaman dan pengembalian koleksi perpustakaan dikerjakan dengan sistem komputer yang
sama.
Adapun pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi untuk kegiatan perpustakaan memiliki
beberapa tujuan. Pertama, meringankan pekerjaan. Kedua, memudahkan dan memperlancar
pelaksanaan tugas kepustakawanan. Ketiga, mempercepat proses temu kembali akan informasi.
Keempat, memperlancar kerja sama informasi. Kelima, meningkatkan pelayanan informasi dan
memanfaatkan teknologi, informasi dan komunikasi. [4]
234 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Klasifikasi Bahan Pustaka
Klasifikasi bahan pustaka dimaksudkan untuk memudahkan pengguna dalam mencari buku-buku
yang diperlukan secara cepat dan tepat. Untuk keperluan itu, setiap buku yang dimiliki harus
ditandai melalui proses klasifikasi sebelum digunakan oleh masyarakat pengguna. Untuk
melakukan proses klasifikasi, ada pedoman dan cara-cara tertentu sebagai kesepakatan secara
nasional dan internasional.
Merujuk pada panduan klasifikasi bahan pustaka yang diberikan oleh dinas pendidikan setempat,
Dinas Pendidikan Kabupaten Batubara, dari buku Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey [5],
DDC (Dewey Decimal Classification) merupakan sistem klasifikasi yang menganut prinsip
“desimal” yang cakupannya meliputi seluruh bidang ilmu pengetahuan (universal). Seluruh ilmu
pengetahuan dibagi ke dalam 10 kelas utama yang diberi kode/ lambang (selanjutnya disebut notasi)
000 s.d. 900 yang biasanya dinamakan Ringkasan Pertama (First Summary), sebagai berikut:
000 Karya Umum
100 Filsafat dan Psikologi
200 Agama
300 Ilmu-Ilmu Sosial
400 Bahasa
500 Ilmu-Ilmu Murni (Sains)
600 Ilmu-Ilmu Terapan (Teknologi)
700 Kesenian dan Olahraga
800 Kesusasteraan
900 Sejarah dan Geografi
Model AMALIA
Teori-teori yang berkaitan dengan Model AMALIA dalam penelitian ini adalah teori
behavioristik, teori kognitif serta teori pengolahan informasi, teori behavioristik menyangkut
perubahan perilaku yang dapat diamati dari stimulus dan respon, teori kognitif mengenai tahapan-
tahapan perkembangan kognitif yang dilalui serta teori pemrosesan informasi berkaitan dengan
proses sensori, pengulangan dan memori jangka panjang, masing-masing teori tersebut ikut
membangun prosedural dalam model ini dan beberapa istilah-istilah yang digunakan sebagai kata-
kata penyerta untuk menguatkan istilah-istilah dalam masing-masing tahapan.
Tahapan-tahapan model AMALIA dalam sistem layanan perpustakaan ditampilkan dalam gambar
berikut ini:
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 235
Metodologi Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Pemilihan sekolah yang memenuhi kualifikasi penerapan sistem layanan perpustakaan berbasis TIK
di wilayah Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara ini adalah SD Swasta IT Al-Ihya Tanjung Gading
karena ketersediaan beberapa unit komputer yang dapat digunakan untuk merealisasikan produk
dari penelitian ini, yang pelaksanaannya dimulai pada bulan April 2017 sampai dengan bulan Juni
2017. Tanjung Gading merupakan kawasan hunian PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum)
dimana juga tersedia tingkatan sekolah mulai dari TK sampai dengan SMA.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V di SD Swasta IT Al-Ihya Tanjung
Gading Kabupaten Batu Bara berjumlah 87 siswa yang terhimpun dari 3 kelas, salah satu siswa
dinyatakan gugur karena berhalangan hadir ketika dilakukan pre-test minat membaca, sehingga
tercatat jumlah keseluruhan siswa yang ikut serta berjumlah 86 siswa. Untuk pengunjung
perpustakaan terbuka untuk semua tingkatan kelas.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang akan menghasilkan produk berupa sistem
layanan perpustakaan berbasis TIK dengan model AMALIA berdasarkan analisis kebutuhan di
ATTENTION A Attention starts from Alphabet
MEMORYZING M
Memoryzing by effect
ACCELERATING
A Accelerating by exercise
LITERAL
L Literal comprehension from any literature book
IMPROVING
I Improving readiness by borrowing these books
ASSETS
A Be own Assets by collecting these books
Gambar 2.1 Model AMALIA
236 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
lapangan. Borg & Gall [6] menyatakan bahwa penelitian pengembangan adalah suatu proses yang
dipakai untuk mengembangkan dan memvalidasi produk penelitian. Produk tersebut tidak selalu
berbentuk benda atau perangkat keras (hardware), seperti buku, modul, alat bantu pembelajaran di
kelas atau di laboratorium, tetapi bisa juga perangkat lunak (software), seperti program komputer
untuk pengolahan data, pembelajaran di kelas, perpustakaan atau laboratorium, ataupun model-
model pendidikan, pembelajaran, pelatihan, bimbingan, evaluasi, manajemen, dan lain-lain [7].
Penelitian ini mengikuti suatu langkah-langkah secara siklus.
Keterangan:
Research and information collecting; 2. Planning; 3. Develop preliminary form of product; 4.
Preliminary field testing; 5. Operasional field testing; 6. Operasional product revision; 7. Main
field testing; 8. Main product revision; 9. Final product revision; 10. Dessemination and
implementation.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Pengembangan Produk
Sistem layanan perpustakaan berbasis TIK yang diterapkan merujuk pada tahapan-tahapan model
AMALIA (Attention, Memoryzing, Accelerating, Literal, Improving dan Assets) dengan harapan
melalui tahapan-tahapan tersebut dapat dijadikan sebuah media yang dapat membantu siswa dalam
meningkatkan minat membaca. Berikut ini tampilan hasil pengembangan produk beserta penjelasan
untuk masing-masing tahapannya:
A (Attention) : Attention starts from Alphabet
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 3.1 Siklus Penelitian dan Pengembangan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 237
Attention starts from alphabet, perhatian dimulai dari alphabet. Model ini diawali dengan
memberikan perhatian terhadap rangsangan yang mengarah kepada tercapainya tujuan belajar,
rangsangan tersebut dapat berupa bentuk, warna, atau yang lainnya yang dapat ditangkap oleh
panca indera. Rangsangan perhatian dalam model ini berupa bentuk huruf alphabet dengan
perbedaan tampilan warna di setiap alphabetnya.
M (Memoryzing) : Memoryzing by effect
Pada tahapan ini, setiap huruf alphabet memiliki animasinya masing-masing, ketika perintah
actionnya diaktifkan (tekan tombol) maka akan menunjukkan animasi penulisan setiap huruf
alphabet itu sendiri, dan dapat diulangi kembali dengan mengaktifkan kembali action scriptnya
238 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
sesuai kebutuhan sampai huruf alphabet tersebut terbentuk dalam struktur kognitif siswa atau
melekat dalam memorynya. Memoryzing by effect berarti melekat dalam memory karena
pengulangan effect.
A (Accelerating) : Accelerating by exercise
Setelah siswa dibentuk perhatiannya dengan pengenalan huruf alphabet kemudian memahami
animasi penulisan huruf-huruf alphabet dari efek animasinya, pada tahap ini siswa diperkenalkan
dengan cara membaca kata menuju suatu kalimat yang mengarah kepada judul-judul buku yang
tersimpan dalam data buku-buku perpustakaan disertai pembacaan ejanya ketika action scriptnya
diaktifkan, kondisi inilah yang dinamakan percepatan membaca dengan latihan (accelerating by
exercise) mengeja kata dalam satuan kalimat dengan mengikuti kaidah ejaan yang disempurnakan
(EYD).
L (Literal) : Literal comprehension from any literature book
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 239
Membaca pemahaman literal yaitu membaca yang terdiri atas huruf-huruf dan kalimat-kalimat.
Tahapan ini siswa mulai mencoba untuk membaca beberapa kalimat dari buku-buku literatur yang
tersedia di perpustakaan. Jadi tampilan yang disajikan masih berupa abstraksi dari buku-buku yang
dipilih beserta informasi lainnya tentang buku tersebut ketika siswa memilih salah satu buku yang
dituju pada layar tampilan.
I (Improving) : Improving readiness by borrowing these books
Tahap inilah yang memfungsikan perpustakaan sebagaimana pada umumnya, yaitu tahap
peminjaman buku yang dipilih ketika mengklik bagian peminjaman pada tampilan layar. Kemudian
siswa mengisi beberapa kolom-kolom yang tersedia selain kolom-kolom yang sudah otomatis terisi
oleh sistem. Dalam hal ini improving readiness by borrowing these books (resources) berarti
meningkatkan kesediaan dalam hal ini kemampuan lanjut ke tahap berikutnya dengan meminjam
buku-buku yang dipilih.
A (Assets) : be own Assets by collecting these books
Aset diartikan sebagai segala sesuatu yang bernilai, dimiliki oleh seseorang atau suatu
organisasi (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer). Dalam layanan ini disediakan fasilitas untuk
meng-copy beberapa lembar yang dianggap penting oleh pengguna (siswa/ guru) dari buku-buku
yang dipilih untuk keperluan pendidikan. Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 44 ayat 1, antara lain:
(1) Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk
Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak
Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
240 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
a. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan
suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta;
b. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
c. ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
d. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pencipta.
Hasil Validasi
Sebelum dilakukan uji keefektifan perlu dilakukan uji persyaratan data yaitu persyaratan normalitas
dan homogenitas. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal
dengan menggunakan uji Lilliefors, sedangkan uji homogenitas untuk mengetahui apakah data
homogen dengan menggunakan uji Bartlett.
Dari hasil perhitungan uji normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors untuk Pre-Test didapat Lo
= 0,0183, dengan n = 86 dan taraf nyata α = 0,05, dari Daftar Nilai Kritis L untuk Uji Lilliefors [7]
didapat L = 0,09554 (Lt = 0,886√𝑛𝑛
= 0,886√86
= 0,09554) yang lebih besar dari Lo = 0,0183 sehingga
hipotesis nol diterima. Kemudian untuk hasil perhitungan uji normalitas Post-Test didapat Lo =
0,0041, dengan n = 86 dan taraf nyata α = 0,05, dari Daftar Nilai Kritis L untuk Uji Lilliefors [8]
didapat L = 0,09554 yang lebih besar dari Lo = 0,0041 sehingga hipotesis nol juga diterima.
Kesimpulannya adalah bahwa populasi berdistribusi normal.
Selanjutnya hasil perhitungan uji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett
Sampel dk 1
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑆𝑆𝑖𝑖2 log 𝑆𝑆𝑖𝑖2 (dk) log 𝑆𝑆𝑖𝑖2
1 85 0,0118 233,889 2,3690 201,365
2 85 0,0118 234,858 2,3708 201,518
Jumlah 170 - - 402,883
Varians gabungan: 𝑆𝑆2 = ∑(𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1 )𝑆𝑆𝑖𝑖2
∑( 𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1 ) = 234,3735 sehingga log 𝑆𝑆2 = 2,3699
B = (log 𝑆𝑆2) ∑(𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1 ) = (2,3699)(170) = 402,885
Dengan uji Bartlett: 𝑋𝑋2 = (ln 10) { B - ∑(𝑛𝑛𝑖𝑖 − 1 ) log 𝑆𝑆𝑖𝑖2 } = 0,00461, dari daftar Chi-kuadrat
dengan dk = 1 pada α = 0,05 diperoleh X0,95 (1)2 = 3,84, ternyata X2 = 0,00461 < 3,84 sehingga
diperoleh Ho : 𝜎𝜎12 = 𝜎𝜎2
2 diterima dalam taraf nyata 0,05 (5%). Kesimpulannya karena 𝑋𝑋ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑛𝑛𝑖𝑖2 lebih
kecil dari 𝑋𝑋𝑖𝑖𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡2 maka kedua kelompok tersebut adalah homogen.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 241
Uji keefektifan dilakukan untuk melihat perbedaan yang signifikan antara minat membaca siswa
dengan menggunakan sistem layanan perpustakaan berbasis TIK dan layanan perpustakaan manual
menggunakan pembukuan dengan uji beda (uji t).
T = X1����− X2����
S� 1n 1
+ 1n 2
dimana S adalah varians gabungan yang dihitung dengan
rumus S2 = (n1−1)S12 +(n2−1)S2
2
n1+ n2−2
Dari hasil perhitungan didapati S = 15,31 dan T = 8,779. Rumus derajat kebebasan (dk) adalah dk =
𝑛𝑛1+ 𝑛𝑛2 – 2, sehingga dk = 170. Dari tabel diperoleh 𝒕𝒕𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏 (0.05) = 1,96, kriteria korelasi yang
diperoleh dikatakan signifikan (hipotesis diterima) jika Thitung >Ttabel dalam taraf signifikan 0,05 (5
%), karena 8,779 > 1,96 maka dikatakan signifikan (hipotesis diterima).
Untuk menghitung keefektifan sistem yang diterapkan dengan menggunakan Likert Scale atau skala
Likert. Pertama-tama menentukan terlebih dahulu skor ideal. Skor ideal (kriterium) adalah skor
yang ditetapkan dengan asumsi bahwa setiap responden pada setiap pertanyaan memberikan
jawaban dengan skor tertinggi. [9]
P = skor hasil pengumpulan dataskor ideal
x 100%
Validasi ahli materi dilakukan oleh Staf – UPT Perpustakaan UNIMED, yaitu Ibu Tessa
Simahate, S.Sos., M.I.Kom. dan Ibu Catur Dedek Khadijah, S.Sos., MM., validasi materi mencakup
aspek format, isi dan bahasa. Selanjutnya validasi ahli media dalam penelitian ini dilakukan oleh
Bapak Prof. Dr. Muhammad Badiran, M.Pd. dan Ibu Dr. Samsidar Tanjung, M.Pd., selaku dosen
Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, validasi media mencakup
aspek tampilan, penyajian dan kegrafikan. Sedangkan untuk validasi guru SD dalam penelitian ini
dilakukan oleh 19 guru yang berasal dari masing-masing tingkatan kelas mulai dari kelas 1 sampai
dengan kelas 6 di SD Swasta IT Al-Ihya Tanjung Gading, validasi ini mencakup aspek tampilan,
penyajian, isi dan minat.
Tabel 4.1. Persentase Rerata Skor Penilaian Kelayakan Tiap Aspek
dan Pendapat Ahli serta Guru SD
No. Penilaian Skor
Maksimal
Validator
Ahli
Materi
Ahli
Media Guru SD
1 Aspek Format 44,00 36,50 - -
242 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
(82,96%)
2 Aspek Isi
Ahli Materi: 25,50 - -
32,00 (79,69%)
Guru SD: - -
23,47
24,00 (97,79%)
3 Aspek Bahasa 16,00 13,50
- - (84,38%)
4 Aspek
Tampilan
Ahli Media: -
49,00 -
52,00 (94,23%)
Guru SD: - -
19,31
20,00 (96,55%)
5 Aspek
Penyajian
Ahli Media: -
46,50 -
48,00 (96,88%)
Guru SD: - -
23,63
24,00 (98,46%)
6 Aspek
Kegrafikan 20,00 -
19,00 -
(95,00%)
7 Aspek Minat 8,00 - - 7,90
(98,75%)
Hasil Uji Coba Produk
Uji coba produk dilakukan setelah peneliti melakukan revisi berdasarkan hasil validasi ahli materi,
ahli media dan guru, hasil penilaian pada uji coba produk ini meliputi aspek tampilan, penyajian, isi
dan minat. Uji coba produk dilakukan bertahap dimulai dari uji coba perorangan sebanyak 5 siswa,
uji coba kelompok kecil sebanyak 10 siswa dan uji coba lapangan di kelas sebanyak 86 siswa.
Tabel 4.2. Presentase Rerata Skor Hasil Penilaian Tahap Uji Coba pada Tiap Aspek
No Penilaian Skor
Maksimal
Responden
Uji Coba
Perorangan
(5 siswa)
Uji Coba
Kelompok Kecil
(10 siswa)
Uji Coba
Kelompok
Lapangan Terbatas
(Sekolah/ 3 Kelas)
1 Aspek
Tampilan 20,00
15,2 15,00 16,00
(76,00%) (75,00%) (80,00%)
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 243
2 Aspek
Penyajian 24,00
20,6 20,20 20,00
(85,83%) (84,17%) (83,33%)
3 Aspek Isi 24,00 19,20 18,60 20,00
(80,00%) (77,5%) (83,33%)
4 Aspek Minat 8,00 7,00 6,40 6,60
(87,5%) (80%) (82,5%)
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil yang telah dicapai dari keseluruhan proses penelitian pengembangan sistem
layanan perpustakaan berbasis TIK dengan model AMALIA ini dapat disimpulkan bahwa
pengembangan sistem layanan perpustakaan ini telah dikembangkan sesuai dengan prosedur
penelitian pengembangan, kemudian ditinjau dari aspek format, isi, bahasa, tampilan, penyajian,
kegrafikan dan minat dari validasi ahli materi, ahli media dan guru SD, “layak” diterapkan di
perpustakaan tempat dilaksanakannya penelitian.
Harapan kedepannya adanya penambahan buku-buku yang bermanfaat dan datanya segera
di input di sistem agar sistem yang sudah berjalan terus berkesinambungan.
Daftar Pustaka
[1] Hurlock, E.B. 1978. Child Development (Perkembangan Anak) Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
[2] AECT. 1977. Definisi Teknologi Pendidikan: Satuan Tugas Definisi dan Terminologi AECT.
Terjemahan oleh Yusufhadi Miarso, dkk. 1986. Jakarta: Rajawali.
[3] Rahayuningsih, F. 2007. Pengelolaan Perpustakaan. Yogyakarta: Graha Ilmu
[4] Lasa, H.S. 2016. Manajemen Perpustakaan, Sekolah/Madrasah. Yogyakarta: Ombak.
[5] Hamakonda, T.P. & Tairas, J.N.B. 2002. Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey. Jakarta:
Gunung Mulia.
[6] Setyosari, P. 2012. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
[7] Sukmadinata, N.S. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[8] Sudjana. 2009. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
[9] Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta
244 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
DIKLAT INSTRUKTUR, PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, DICK AND CAREY
Sukriyah Batubara Juanda1; Natalia Novery Tarigan2
Email: [email protected]
Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan
ABSTRAK
Pendidikan anak usia dini menjadi urgensi pendidikan diluar jalur sekolah untuk mempersiapkan
anak didik sebelum memasuki pendidikan sekolah dasar. Mutu pengelolaan pendidikan anak usia
dini dan pengajar menjadi elemen utama untuk mencapai tujuan pendidikan. Diklat instruktur tutor
pendidikan menjadi alternatif utama dalam mempersiapkan tujuan pendidikan. Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui keterampilan beserta sikap peserta pelatihan dalam menigkatkan mutu
pendidikan pelayanan program pendidikan anak usia dini sesuai kebijakan yang telah ditetapkan
melalui pendekatan Beyond Centers and Circle Times. Bentuk desain diklat instruktur tutor
pendidikan anak usia dini menggunakan Desain Dick and Carey, dengan strategi instruksional: 1).
Kegiatan awal sebelum instruksional, 2) menyusun informasi, 3) Tes acuan patokan, 4) Tindak
Lanjut instruksional. sehingga tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus beserta
hasil kemampuan yang akan dicapai oleh peserta diklat dapat diperoleh secara maksimal dengan
model desain ini secara komperhensif berdasarkan penetapan kebijakan pada daerah masing-masing
peserta. Tujuan pencapaian peserta pelatihan diklat meliputi: 1) Kebijakan yang berhubungan
dengan pendidikan anak usia dini, 2) Materi tentang Beyond Centers snd Circle Times, 3) Materi
keamanan, kesehatan dan Nutrisi. Dalam mencapai tujuan akhir diklat ini proses implikasi
pembelajaran diklat ini menggunakan metode ceramah dan tanya jawab dengan sumber pengajaran
buku pedoman deteksi dini dan tumbuh kembang anak beserta panduan diklat yang menjadi acuan
dasar pelatihan. Dengan demikian dengan adanya diklat diklat instruktur tutor paud tingkat regional
angkatan pertama ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pengelolaan dan kualitas pendidikan
anak usia dini berdasarkan kebijakan pemerintah pada daerah masing-masing.
Kata Kunci: Diklat Instruktur, Pendidikan Anak Usia Dini, Dick and Carey
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 245
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 pasal 54 disebutkan bahwa
pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan secara mandiri, efisien, efektif dan akuntabel.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai satuan pendidikan di jalur Pendidikan Luar Sekolah
adalah jenjang pendidikan yang sangat penting dalam mempersiapkan anak untuk mengikuti
pendidikan dasar sehingga perlu dikelola secara efektif dan efisien.
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan upaya pembinaan yang ditujukan kepada
anak usia 0-6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut. Bentuk penyelenggaraan PAUD melalui jalur pendidikan non formal oleh
Direktorat PAUD dilaksanakan dalam bentuk penyelenggaraan program Kelompok Bermain,
Tempat Penitipan Anak (TPA) dan bentuk satuan sejenis lainnya.
Untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan program pendidikan bagi anak usia
dini, hendaknya didukung oleh tenaga-tenaga yang berkemampuan dan berkelayakan karena
keberhasilan penyelenggaraan program PAUD tersebut tidak terlepas dari peran serta pendidik
PAUD. Mutu ketenagaan tersebut harus ditingkatkan secara bertahap, sistematik dan
berkesinambungan. Sehubungan dengan hal tersebut, pendidik PAUD dituntut dapat memenuhi
kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Untuk itulah para pendidik PAUD wajib memiliki
kemampuan teknis yang handal, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi penyelenggaraan
program PAUD yang berkualitas, salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan tenaga pendidik PAUD tersebut adalah melalui kegiatan Diklat Instruktur/TOT bagi
Pelatihan Tutor PAUD.
Dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tutor PAUD
di daerah, maka pada tahun 2008 BP-PLSP Regional I akan menyelenggarakan kegiatan Pendidikan
dan Pelatihan Instruktur TOT bagi Diklat Tutor PAUD melalui pendekatan “BEYOND Centers and
Circle Times” atau (BCCT), sehingga akan diperoleh calon pelatih yang memiliki kemampuan
untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan kompetensi yang
diharapkan.
246 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
B. DASAR
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
PP No.73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah
SK Mendiknas RI No.115/O/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPPLSP
SK Mendiknas RI No.041/O/2004 tentang Rincian dan Tata Kerja Tugas Balai Pengembangan
Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) berkenaan dengan pengembangan atau peningkatan
Sumber Daya Manusia
DIPA Direktorat Jenderal Pendidikan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidik Non
Formal 2007
C. TUJUAN
Tujuan Umum
Menerapkan dan menggali pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihan dalam
meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD di daerah masing-masing sesuai
kebijakan yang ditetapkan.
Tujuan Khusus
Mentransfer dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh kepada peserta
pelatihan/tutor PUD tentang :
Kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan PAUD
Materi BCCT
Materi tentang Keamanan, Kesehatan dan Nutrisi
BAB II
IDENTIFIKASI KEBUTUHAN
DAN TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
A. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN
Kebutuhan adalah kesenjangan keadaan saat ini dibandingkan dengan keadaan yang seharusnya.
Dengan perkataan lain setiap keadaan yang kurang dari yang seharusnya menunjukkan adanya
kebutuhan. Apabila kesenjangan itu besar atau menimbulkan lebih jauh sehingga perlu ditempatkan
sebagai prioritas untuk diatasi, kebutuhan itu disebut masalah. Proses identifikasi kebutuhan yang
dimulai dari mengidentifikasi kesenjangan antara keadaan yang diharapkan seringkali dilanjutkan
sampai pada proses pelaksanaan pemecahan masalah dan evaluasi terhadap efektivitas dan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 247
efisiensinya. Ada tiga kelompok orang yang dapat dijadikan sumber informasi dalam
mengidentifikasi kebutuhan instruksional tentang diklat instruktur/tot tutor PAUD tingkat regional
angkatan I tersebut yaitu :
a. Mahasiswa/siswa, terutama yang telah bekerja.
b. Masyarakat, yang akan menggunakan ketrampilan peserta setelah selesai mengikuti
pelatihan.
c. Pendidik, termasuk pengajar dan pengelola program pendidikan melalui wawancara.
Kemampuan yang akan dicapai
(Tujuan)
Mahasiswa/siswa Pendidik
Masyarakat yang Akan dilayani
MasukGambar. Hubungan Kerjasama dan Partisipasi Ketiga Pihak dalam Mengidentifikasi
Kebutuhan Instruksional
Dari hasil angket dan wawancara didapat satu kesimpulan bagaimana para peserta pelatihan
agar mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dan sikap dalam meningkatkan mutu pelayanan
penyelenggaraan program PAUD didaerah masing-masing sesuai kebijakan yang ditetapkan agar
hasilnya lebih maksimal.
B. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional diperoleh jenis pengetahuan,
ketrampilan dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh
mahasiswa. Bloom (1977) membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan menurut jenis
kemampuan yang tercantum di dalamnya. Ini dapat kita lihat dalam kawasan kognitif, afektif dan
kawasan psikomotor. Menurut Gane E. Hall dan Heward L. Jones (1976) dalam Gredler (1991)
Tujuan Instruksional Umum adalah pernyataan umum mengenai hasil suatu program pengajaran.
Dick and Carey (1978) menyatakan tujuan instruksional umum adalah suatu pernyataan yang
menjelaskan mengenai apakah kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa setelah selesai mengikuti
suatu pengajaran.
248 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Dengan demikian dalam merancang pelatihan instruktur/tot tutor PAUD tingkat regional angkatan I
ini disusunlah tujuan instruksional umum (TIU) sebagai berikut : “Setelah selesai pelatihan, peserta
mempunyai keahlian yang profesional dalam menerapkan dan menggali pengetahuan, keterampilan
dan sikap peserta pelatihan dalam meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD
di daerah masing-masing sesuai kebijakan yang ditetapkan”.
BAB III
ANALISIS INSTRUKSIONAL
Analisis instruksional adalah proses menjabarkan kompetensi umum menjadi kompetensi
khusus yang tersusun secara logis dan sistematik. Menurut Atwi Suparman (1997) analisis
instruksional adalah proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang terusun
secara logis dan sistematik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku
khusus yang dapat menggambarkan perilaku umum secara terperinci.
Dengan melakukan analisis instruksional akan tergambar susunan perilaku khusus dari yang
paling awal sampai yang paling akhir. Melalui tahap perilaku-perilaku khusus tertentu peserta
pelatihan akan mencapai perilaku umum.
Bila kompetensi umum dirumuskan menjadi kompetensi khusus akan terdapat 4 (empat)
macam susunan yaitu hierarkial, prosedural, pengelompokkan dan kombinasi.
Struktur perilaku hierarkial merupakan kedudukan 2 perilaku yang menunjukkan bahwa salah satu
perilaku hanya dapat dilakukan bila telah dikuasai perilaku yang lain.
Struktur prosedural merupakan kedudukan beberapa perilaku yang menunjukkan bahwa tidak ada
yang menjadi perilaku prasyarat untuk yang lain.
Struktur pengelompokkan merupakan perilaku-perilaku khusus yang dapat diurutkan sebagai
hierarkial dan prosedural, terdapat perilaku-perilaku khusus yang tidak mempunyai ketergantungan
antara satu dengan yang lain, walaupun semuanya berhubungan.
Suatu kompetensi umum bila diuraikan menjadi kompetensi khusus sebagian besar akan terstruktur
secara kombinasi antara struktur hierarkikal, procedural dan pengelompokan. Sebagian dari
kompetensi khusus yang terdapat di dalam ruang lingkup kompetensi umum itu mempersyaratkan
kompetensi khusus yang lain. Selebihnya merupakan urutan kompetensi khusus dan umum.
Berdasarkan uraian di atas materi pelatihan yang akan dilatih adalah sebagai berikut:
Menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh kembang anak.
Mendeskripsikan tentang keamanan, kesehatan dan nutrisi (gizi) atau KKG.
Menguraikan tentang evaluasi bermain anak.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 249
Menemukan tentang tiga jenis main (sensosimotor, peran dan pembangunan) dan penerapannya.
Menjelaskan tentang penataan lingkungan main.
Mendeskripsikan tentang perkembangan anak usia dini.
Melakukan micro teaching.
Mendemonstrasikan tentang bermain dan anak.
Mendeskripsikan tentang pengamatan anak.
Menjelaskan tentang penyelenggaraan PAUD melalui pendekatan “Beyond Centers and Circle
Times” atau BCCT.
Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PAUD.
Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PTK dan PNF.
Setelah perilaku khusus di identifikasi maka selanjutnya menyusun perilaku khusus
dalam satu daftar urutan yang logis dari perilaku umum ke perilaku khusus yang paling dekat
hubungannya dengan perilaku umum diteruskan sampai paling jauh dari perilaku umum serta
menulis Perilaku Khusus (PK) dalam satu kartu (kertas) ukuran 3 x 5 cm dan menyusunnya yang
mana prosedur dan hirarki (beri nomor).
250 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
STRUKTUR PERILAKU
Menerapkan dan Menggali Pengetahuan, Ketrampilan dan Sikap Peserta
Pelatihan dalam Penigkatan Mutu Pelayanan Penyelenggaraan Program
PAUD di Ti k t R i l
Melakukan Micro Teaching
Menemukan
tentang tiga jenis
main dan
Menjelaskan
tentang
penataan
lingkungan
Mendeskripsikan
tentang perkembangan
anak usia dini
Menjelaskan
tentang deteksi
dini tumbuh
Mendeskripsik
an tentang
keamanan,
kesehatan dan
Menguraikan tentang
evaluasi bermain anak
Mendemonstrasika
n tentang bermain
dan anak
Mendeskripsik
an tentang
pengamatan
Menjelaskan tentang
penyelenggaraan
PAUD melalui
Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PTK-PNF
Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PAUD
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 251
BAB IV
IDENTIFIKASI PERILAKU
DAN KARAKTERISTIK AWAL PESERTA
Sebelum diadakan pelatihan, perlu diketahui perilaku karakteristik awal peserta pelatihan. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan pengembangan instruksional. Perilaku awal adalah kemampuan
kemampuan yang dimiliki peserta sebelum dilakukan pelatihan instruktur/tot tutor PAUD tingkat
regional angkatan I ini. Perilaku awal ini dapat diperoleh dengan wawancara dan pengisian angket.
Perilaku awal yang sudah dimiliki peserta pelatihan adalah :
Para peserta pelatihan dapat membaca dan menulis.
Para peserta dapat melakukan tata cara dalam mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap
dalam meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD yang telah ditetapkan.
Para peserta memiliki keinginan untuk mengetahui bagaimana meningkatkan mutu pelayanan
penyelenggaraan program PAUD di daerah mereka nantinya setelah mereka mengikuti pelatihan
ini.
Dari gambar analisis instruksional dapat dilihat adanya garis entry behavior yang akan dicapai, oleh
karena itu materi pelatihan dapat dimulai dari memahami penjelasan tentang kebijakan direktorat
PTK dan PNF.
Karakteristik awal peserta pelatihan perlu diketahui agar pengelola dan tenaga pengajar/instruktur
dapat membuat program sesuai dengan latar belakang yang dimiliki peserta pelatihan yang secara
pasti masing-masing memiliki perbedaan.
Jadi karakteristik awal peserta pelatihan adalah sebagai berikut :
Peserta pelatihan adalah berasal dari masyarakat dan mahasiswa.
Peserta pelatihan memiliki ijazah lulusan SMA dan S-1.
Peserta pelatihan memiliki etos kerja yang tinggi.
BAB V
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Tujuan Instruksional Khusus adalah pernyataan yang menggambarkan hasil belajar yang
diharapkan setelah selesainya sebagian dari program pelatihan. Tujuan Instruksional Khusus
(Specifik Instructional Objective) adalah tujuan khusus yang menyatakan adanya sesuatu yang
dapat dikerjakan atau dilakukan oleh siswa (pebelajar) setelah pengajaran. Dick and Carey (1985)
252 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
mengulas bagaimana Robert Mager mempengaruhi dunia pendidikan di Amerika Serikat seperti
dikutip Atwi Suparman (1993) merumuskan tujuan instruksional khusus dengan kalimat yang jelas,
pasti dan dapat diukur. Manfaat TIK digunakan untuk menyususn tes. TIK harus mengandung
unsur-unsur yang dapat memberikan petunjuk kepada penyususn tes agar ia dapat mengembangkan
tes yang terdapat didalamnya. Unsur-unsur TIK adalah sebagai berikut :
A (audiens) yakni pebelajar atau peserta didik dengan segala karakteristiknya. Siapa pun peserta
didik, apa pun latar belakangnya, jenjang belajarnya, serta kemampuan prasyaratnya sebaiknya jelas
dan rinci. Penjelasan juga menyangkut triwulan, semester atau program pendidikan dan pelatihan
yang diikuti.
B (behavior) yakni perilaku belajar yang dikembangkan dalam pembelajaran. Perilaku belajar
mewakili kompetensi, tercermin dalam penggunaan kata kerja.
C (conditions) yakni situasi kondisi atau lingkungan yang memungkinkan bagi pebelajar dapat
belajar dengan baik. Penggunaan media dan metode serta sumber belajar menjadi bagian dari
kondisi belajar ini.
D (degree) yakni persyaratan khusus atau criteria yang dirumuskan sebagai dibaku sebagai bukti
bahwa pencapaian tujuan pembelajaran dan proses belajar berhasil.
Dengan demikian yang menjadi Tujuan Instruksional Khusus (TIK) pada pelatihan instruktur/tot
tutor PAUD tingkat regional angkatan I adalah :
Menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh kembang anak.
Mendeskripsikan tentang keamanan, kesehatan dan nutrisi (gizi) atau KKG.
Menguraikan tentang evaluasi bermain anak.
Menemukan tentang tiga jenis main (sensosimotor, peran dan pembangunan) dan penerapannya.
Menjelaskan tentang penataan lingkungan main.
Mendeskripsikan tentang perkembangan anak usia dini.
Melakukan micro teaching.
Mendemonstrasikan tentang bermain dan anak.
Mendeskripsikan tentang pengamatan anak.
Menjelaskan tentang penyelenggaraan PAUD melalui pendekatan “Beyond Centers and Circle
Times” atau BCCT.
Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PAUD.
Menjelaskan tentang kebijakan direktorat PTK dan PNF.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 253
BAB VI
TES ACUAN PATOKAN
Tes acuan patokan adalah butir-butir yang mengacu pada tujuan instruksional atau untuk
mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan instruksional
khusus (TIK). Tes acuan patokan terdiri dari butir-butir yang langsung mengukur. Patokan
menyatakan butir-butir soal itu memberi tanda untuk menyatakan kecukupan untuk kerja siswa
yang berkaitan dengan tujuan. Mengapa dibuat tes acuan patokan ? Supaya pelajar mencapai tujuan.
Tes acuan patokan dipergunakan tabel spesifikasi atau kisi-kisi yang sederhana. Penggunaan
tabel yang sederhana dapat memenuhi kebutuhan seorang pengajar untuk menyusun tes yang
konsisten dengan tujuan instruksional, baik yang bersifat kognitif, afektif dan psikomotor. Tes yang
telah dilambangkan digunakan untuk mengukur tingkat penguasaan peserta pelatihan dalam setiap
bagian pelajaran atau seluruh mata pelajaran.
Dengan maksud di atas tujuan acuan patokan adalah menyususn butir soal berdasarkan TIK
yang telah disusun dengan maksud untuk mengukur tingkat penguasaan setiap siswa terhadap
perilaku yang tercantum dalam menyususn TIK.
Untuk mengukur tujuan instruksional dari pokok bahasan dilakukan ujian formatif, apakah
dilakukan di tengah-tengah berlangsungnya kegiatan PBM, di akhir PBM atau di akhir selesainya
sebuah pokok bahasan hal ini disesuaikan dengan rancangan dan kondisi yang memungkinkan.
Ujian dapat berbentuk tes lisan, tertulis, hal ini tergantung pada materi dan waktu yang
tersedia, serta jumlah peserta pelatihan.
Langkah-langkah yang digunakan untuk membuat Tes Acuan Patokan pada Pelatihan Instruktur/Tot
Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I ini adalah :
1. Membuat tabel spesifikasi (kisi-kisi) untuk penyusunan tes sesuai tabel di bawah ini :
No Kriteria Perilaku Bobot
Perilaku Jenis Tes Jumlah
1 Para peserta diklat akan dapat
menjelaskan tentang deteksi dini
tumbuh kembang anak.
10 %
Tes
Karangan 1
2 Para peserta diklat akan dapat
mendeskripsikan tentang
keamanan, kesehatan dan nutrisi
10 % Tes
Karangan 1
254 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
(gizi) atau KKG.
3 Para peserta diklat akan dapat
menguraikan tentang evaluasi
bermain anak.
10 % Tes
Karangan 1
4 Para peserta diklat akan dapat
menemukan tentang tiga jenis main
(sensosimotor, peran dan
pembangunan) dan penerapannya.
10 %
Tes
Karangan
1
5 Para peserta diklat akan dapat
menjelaskan tentang penataan
lingkungan main.
5 %
Tes
Karangan
1
6 Para peserta diklat akan dapat
mendeskripsikan tentang
perkembangan anak usia dini.
5 %
Tes
Karangan
1
7 Para peserta diklat akan dapat
melakukan micro teaching. 20 %
Tes
Karangan
1
8 Para peserta diklat akan dapat
mendemonstrasikan tentang
bermain dan anak.
5 %
Tes
Karangan
1
9 Para peserta diklat akan dapat
mendeskripsikan tentang
pengamatan anak.
5 %
Tes
Karangan
1
10 Para peserta diklat akan dapat
menjelaskan tentang
penyelenggaraan PAUD melalui
pendekatan “Beyond Centers and
Circle Times” atau BCCT.
10 %
Tes
Karangan
1
11 Para peserta diklat akan dapat
menjelaskan tentang kebijakan
direktorat PAUD.
5 %
Tes
Karangan
1
12 Para peserta diklat akan dapat
menjelaskan tentang kebijakan
direktorat PTK dan PNF.
5 %
Tes
Karangan
1
JUMLAH BOBOT PERILAKU 100 %
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 255
Keterangan :
Bobot perilaku seluruhnya 100 %
Tes acuan yang dipergunakan pada pelatihan instruktur/tot tutor tingkat regional angkatan I ini
terdiri dari 1 jenis tes, yaitu :
- Tes karangan sebanyak 12 item.
2. Menyusun tes yang akan diujikan
Tes Karangan :
Petunjuk :
Bacalah soal di bawah ini dengan teliti dan cermat, lalu jawablah dengan singkat dan jelas.
Jelaskan bagaimana proses deteksi dini tumbuh kembang anak.
Jelaskan urutan KKG dalam PAUD.
Jelaskan bagaimana aplikasi tentang evaluasi bermain anak.
Jelaskan tata urutan tiga jenis main dalam PAUD berikut penerapannya.
Jelaskan tentang penataan lingkungan main pada PAUD.
Jelaskan tentang perkembangan anak usia dini.
Jelaskan tentang bagaimana cara melakukan micro teaching pada PAUD.
Jelaskan macam-macam bermain dalam PAUD.
Jelaskan bagaimana kriteria tentang pengamatan anak.
Jelaskan tentang penyelenggaraan PAUD melalui pendekatan “Beyond Centers and Circle Times”
atau BCCT.
Jelaskan bagaimana kebijakan direktorat PTK dan PNF dalam PAUD.
BAB VII
PENGEMBANGAN STRATEGI INSTRUKSIONAL
Pengembangan instruksional mencakup pengertian, metode-metode instruksional untuk
menciptakan suatu sistem atau program instruksional. Pengembangan ini merupakan suatu system
aktivitas professional berdasarkan pola yang telah dihasilkan di dalam perancangan dan merupakan
proses dan memakai prosedur-prosedur yang secara optimal dapat menciptakan suatu program
instruksional. Strategi instruksional merupakan cara yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi
pelajaran kepada siswa (pebelajar) untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat
dikatakan membelajarkan si belajar atau proses mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi
256 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
pelajaran. Penyusunan strategi instruksional haruslah didasarkan atas tujuan yang akan dicapai, juga
atas pertimbangan lain yaitu harus melihat hambatan yang dihadapi oleh pengajar.
Strategi instruksional menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu bahan
instruksional dan prosedur-prosedur yang akan digunakan dalam mendesain bahan-bahan ajar untuk
menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa atau peserta pelatihan. Strategi instruksional
berkenaan dengan pendekatan pengajaran dalam mengelola kegiatan instruksional untuk
menyampaikan pelajaran secara sistematis, sehingga kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai
peserta pelatihan secara efektif dan efisien.
Menurut Dick and Carey (1985) mengatakan lima komponen umum dari strategi
instruksional sebagai berikut :
Kegiatan Pra Instruksional
Penyusunan Informasi
Partisipasi peserta
Tes
Tindak lanjut
Dengan demikian dalam pelatihan instruktur/tot tutor PAUD tingkat regional angkatan I ini,
terdapat 12 strategi instruksional sesuai tujuan Instruksional yang telah ditetapkan pada
perancangan pelatihan instruktur/tot tutor PAUD tingkat regional angkatan I.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 257
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 1 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh kembang
anak.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
U
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Deteksi dini tumbuh
kembang anak :
- tumbuh berarti
bertambah dalam
ukuran. Tumbuh dapat
berarti bahwa sel tubuh
bertambah banyak.
Perkembangan anak
tidak sama dengan
pertumbuhannya.
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
5
5
-
-
5
5
P
E
N
Y
A
J
Uraian
Materi
Contoh
Penjelasan tentang :
*Deteksi dini tumbuh
kembang anak.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam deteksi
dini tumbuh kembang
anak
Ceramah
Ceramah
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
10
10
30
25
P
E
N
U
T
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
Melaksan
akan te
dan
diskusi
Ceramah
Lembaran
soal
OHP
-
10
15
5
15
15
258 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 2 : Para peserta pelatihan akan dapat mendeskripsikan tentang KKG.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Tujuan
Ruang lingkup seputar
keamanan, kesehatan
dan gizi.
- Dampak kekurangan
gizi dapat merusak
kesehatan anak dan
penyebab masalah gizi.
Para peserta pelatihan
Ceramah
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
OHP
5
5
5
-
-
-
5
5
5
P
E
N
Y
A
J
I
Uraian
Materi
Contoh
Penjelasan tentang :
*KKG.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam KKG.
Jelaskan beberapa hal
yang mempengaruhi
Ceramah
Ceramah
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
-
10
10
20
30
25
20
P
E
N
U
T
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
Melaksa
nakan
tes dan
diskusi
Cerama
Lembaran
soal
OHP
-
10
15
5
15
15
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 259
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 3 : Para peserta pelatihan akan dapat menguraikan tentang evaluasi bermain anak.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
U
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Penilaian bentuk
aktivitas bermain anak
dengan mendapatkan
informasi tentang
pengetahuan,
ketrampilan serta
kemajuan
perkembangan anak
dalam suasana bermain.
- Proses perencanaan
bermain anak.
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
5
5
-
-
5
5
P
E
N
Y
A
J
I
A
Uraian
Materi
Contoh
Penjelasan tentang :
*Evaluasi bermain
anak.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam evaluasi
bermain anak.
Ceramah
Ceramah
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
-
10
10
20
30
25
20
260 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
P
E
N
U
T
U
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Tindak
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
bagian yang belum
dimengerti
Melaksa
nakan
tes dan
diskusi
Ceramah
Lembaran
soal
OHP
dan
Transparan
-
10
15
5
15
15
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 4 : Para peserta pelatihan akan dapat menemukan tentang tiga jenis main dan
penerapannya.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Terdapat tiga criteria
yaitu main
sensorimotor, main
peran dan main
pembangunan.
- Kegiatan dalam jenis
main serta
penerapannya.
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
5
5
-
-
5
5
P
E
N
Y
A
J
I
Uraian
Materi
Contoh
Penjelasan tentang :
*Tiga jenis main dan
penerapannya.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam kegiatan
bermain anak.
Ceramah
dan
Demonst
rasi
Demonst
rasi
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
20
15
10
10
30
25
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 261
P
E
N
U
T
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
Melaksa
nakan
tes dan
diskusi
Cerama
Lembaran
soal
OHP
-
10
15
5
15
15
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 5 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang penataan lingkungan main.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Ruang lingkup seputar
penataan lingkungan
main anak.
- Terdapat beberapa
kegiatan yaitu sebelum
main, sast main dan
sesudah main.
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
5
5
-
-
5
5
262 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
P
E
N
Y
A
J
I
Uraian
Materi
Contoh
Penjelasan tentang :
*Penataan lingkungan
main anak.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam penataan
lingkungan main anak.
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
20
15
10
10
30
25
P
E
N
U
T
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
Melaksa
nakan
tes dan
diskusi
Cerama
Lembaran
soal
OHP
-
10
15
5
15
15
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 6 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang perkembangan anak usia dini.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 263
P
E
N
D
A
H
U
L
U
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Tujuan
Instruksiona
l h
PAUD adalah suatu
upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai
dengan 6 tahun.
- Terdapat fase
perkembangan anak.
Para peserta pelatihan
akan dapat menjelaskan
k b
Ceramah
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
OHP
d
5
5
5
-
-
-
5
5
5
P
E
N
Y
A
J
I
A
N
Uraian
Materi
Contoh
Latihan
Penjelasan tentang :
*Perkembangan anak
usia dini.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam
perkembangan anak
usia dini.
Jelaskan beberapa hal
yang termasuk dalam
kategori proses
k b k
Ceramah
Ceramah
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
-
10
10
20
30
25
20
P
E
N
U
T
U
P
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Tindak
lanjut
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
bagian yang belum
dimengerti
Melaksan
akan te
dan
diskusi
Ceramah
Lembaran
soal
OHP
dan
Transparan
-
10
15
5
15
15
264 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 7 : Para peserta pelatihan akan dapat melakukan micro teaching.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
U
A
N
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Tujuan
Instruksiona
Ruang lingkup kajian
tentang micro teaching.
- Proses micro teaching.
Para peserta pelatihan
akan dapat melakukan
Ceramah
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
5
5
5
-
-
-
5
5
5
P
E
N
Y
A
J
I
A
N
Uraian
Materi
Contoh
Latihan
Penjelasan tentang :
*Micro teaching.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam kegiatan
micro teaching.
Jelaskan bagaimana
pelaksanaan micro
teaching secara tepat.
Ceramah
Ceramah
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
-
10
10
20
30
25
20
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 265
P
E
N
U
T
U
P
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Tindak
lanjut
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
bagian yang belum
dimengerti
Melaksa
nakan
tes dan
diskusi
Ceramah
Lembaran
soal
OHP
dan
Transparan
-
10
15
5
15
15
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 8 : Para peserta pelatihan akan dapat mendemonstrasikan tentang bermain dan anak.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
U
A
N
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Tujuan
Instruksiona
l Khusu
(TIK)
Ruang lingkup kajian
tentang bermain serta
hakikat bermain.
- Bentuk permainan dan
factor-faktor yang
mempengaruhi
bermain.
Para peserta pelatihan
akan dapat
mendemonstrasikan
tentang bermain dan
k
Cerama
h
Cerama
h
Cerama
h dan
Demons
i
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
5
5
5
-
-
-
5
5
5
266 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
P
E
N
Y
A
J
I
A
N
Uraian
Materi
Contoh
Latihan
Penjelasan tentang :
*Bermain dan anak.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam kegiatan
bermain dan anak.
Jelaskan bagaimana
unsur interaksi social
dalam bermain
Cerama
h
Cerama
h dan
Demons
trasi
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
-
10
10
20
30
25
20
P
E
N
U
T
U
P
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Tindak
lanjut
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
bagian yang belum
dimengerti
Melaks
anakan
tes dan
diskusi
Ceramah
Lembaran
soal
OHP
dan
Transparan
-
10
15
5
15
15
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 267
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 9 : Para peserta pelatihan akan dapat mendeskripsikan tentang pengamatan anak
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
U
A
N
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Tujuan
Instruksiona
l Khusu
(TIK)
Ruang lingkup kajian
tentang pengamatan
anak.
- Factor-faktor yang
mempengaruhi
pengamatan kegiatan
anak.
Para peserta pelatihan
akan dapat
mendeskripsikan
tentang pengamatan
anak.
Ceramah
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
5
5
5
-
-
-
5
5
5
268 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
P
E
N
Y
A
J
I
A
N
Uraian
Materi
Contoh
Latihan
Penjelasan tentang :
*Pengamatan anak.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam kegiatan
pengamatan anak.
Jelaskan langkah-
langkah dalam proses
pengamatan kegiatan
anak.
Ceramah
Ceramah
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
-
10
10
20
30
25
20
P
E
N
U
T
U
P
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Tindak
lanjut
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
bagian yang belum
dimengerti
Melaksa
nakan
tes dan
diskusi
Ceramah
Lembaran
soal
OHP
dan
Transparan
-
10
15
5
15
15
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 269
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 10 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang penyelenggaraan PAUD
melalui pendekatan BCCT.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
U
A
N
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Tujuan
Instruksiona
l Khusu
(TIK)
Konsep PAUD serta
metode BCCT.
- Ciri-ciri metode
BCCT.
Para peserta pelatihan
akan dapat menjelaskan
tentang
penyelenggaraan
PAUD melalui
pendekatan BCCT.
Ceramah
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
5
5
5
-
-
-
5
5
5
270 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
P
E
N
Y
A
J
I
A
N
Uraian
Materi
Contoh
Latihan
Penjelasan tentang :
*Penyelenggaraan
PAUD melalui
pendekatan BCCT.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam kegiatan
penyelenggaraan
PAUD dan contoh
metode BCCT.
Jelaskan langkah-
langkah dalam proses
penyelenggaraan
PAUD malalui
pendekatan BCCT.
Ceramah
Ceramah
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
-
10
10
20
30
25
20
P
E
N
U
T
U
P
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Tindak
lanjut
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
bagian yang belum
dimengerti
Melaksa
nakan
tes dan
diskusi
Ceramah
Lembaran
soal
OHP
dan
Transparan
-
10
15
5
15
15
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 271
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 11 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang kebijakan direktorat PAUD.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
U
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Tujuan
Instruksiona
l Khusu
(TIK)
Konsep kebijakan
direktorat PAUD.
- Kebijakan pemerintah
dalam pembinaan
tenaga pendidik PAUD.
Para peserta pelatihan
akan dapat menjelaskan
tentang kebijakan
direktorat PAUD.
Ceramah
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
5
5
5
-
-
-
5
5
5
P
E
N
Y
A
J
I
A
N
Uraian
Materi
Contoh
Latihan
Penjelasan tentang :
* Kebijakan direktorat
PAUD.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam kegiatan
PAUD berdasarkan
kebijakan direktorat
PAUD.
Jelaskan langkah-
langkah yang dilakukan
pemerintah dalam
merumuskan kebijakan
PAUD.
Ceramah
Ceramah
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
-
10
10
20
30
25
20
272 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
P
E
N
U
T
U
P
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Tindak
lanjut
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
bagian yang belum
dimengerti
Melaksa
nakan
tes dan
diskusi
Ceramah
Lembaran
soal
OHP
dan
Transparan
-
10
15
5
15
15
Bidang Pelatihan : Instruktur/TOT Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
TIK No. 12 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang kebijakan direktorat PTK dan
PNF.
No Uraian Kegiatan Instruksional Metode Media
Waktu (Menit)
Guru Sis
wa
Jlh
1 2 3 4 5 6 7 8
P
E
N
D
A
H
U
L
U
A
N
Deskripsi
Singkat
Relevansi
Tujuan
Instruksiona
l Khusu
(TIK)
Konsep kebijakan
direktorat PTK dan
PNF.
- Kebijakan pemerintah
dalam pembinaan
tenaga pendidik dan
nonformal.
Para peserta pelatihan
akan dapat menjelaskan
tentang kebijakan
direktorat PNF dan
PTK.
Ceramah
Ceramah
Ceramah
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
OHP
dan
Transparan
5
5
5
-
-
-
5
5
5
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 273
P
E
N
Y
A
J
I
A
N
Uraian
Materi
Contoh
Latihan
Penjelasan tentang :
* Kebijakan direktorat
PTK dan PNF.
Menunjukkan beberapa
contoh dalam kegiatan
kebijakan direktorat
PTK dan PNF.
Jelaskan langkah-
langkah yang dilakukan
pemerintah dalam
merumuskan kebijakan
PTK dan PNF.
Ceramah
Ceramah
Tanya
jawab
OHP
dan
Transparan
Lembaran
Tes
Lembaran
soal
20
15
-
10
10
20
30
25
20
P
E
N
U
T
U
P
Tes
Formatif
dan Umpan
balik
Tindak
lanjut
Melaksanakan tes dan
mengidentifikasi
kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan tes
Penjelasan kembali
bagian yang belum
dimengerti
Melaksa
nakan
tes dan
diskusi
Ceramah
Lembaran
soal
OHP
dan
Transparan
-
10
15
5
15
15
B A B VIII
PENGEMBANGAN BAHAN INSTRUKSIONAL
Pengembangan bahan instruksional adalah pengembangan bahan ajar yang dikelompokkan
ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :
1. Pengembangan bahan ajar mandiri. Dalam belajar mandiri mahasiswa menggunakan bahan
belajar yang didesain secara khusus. Bahan tersebut dipelajarinya tanpa tergantung kepada
kehadiran pengajar.
2. Pengembangan bahan ajar konvensional. Kegiatan instruksional ini berlangsung dengan
menggunakan pengajar sebagai satu-satunya sumber belajar dan sekaligus bertindak sebagai penyaji
isi pelajaran.
274 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
3. Pengembangan bahan pengajar belajar siswa (PBS). Kegiatan instruksional PBS ini
menggunakan bahan belajar yang telah ada di lapangan. Bahan belajar itu dipilih oleh pengajar atas
dasar kesesuaiannya dengan strategi instruksional yang telah disusunnya.
A. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
“Setelah selesai pelatihan, peserta mempunyai keahlian yang profesional dalam menerapkan
dan menggali pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihan dalam meningkatkan mutu
pelayanan penyelenggaraan program PAUD di daerah masing-masing sesuai kebijakan yang
ditetapkan”.
B. Bahan Ajar
1. Deskripsi Materi Pelatihan
Pelatihan ini bertujuan agar peserta pelatihan agar mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dan
sikap dalam meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD didaerah masing-
masing sesuai kebijakan yang ditetapkan agar hasilnya lebih maksimal.
Dengan demikian, “Setelah selesai pelatihan, peserta mempunyai keahlian yang profesional dalam
menerapkan dan menggali pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihan dalam
meningkatkan mutu pelayanan penyelenggaraan program PAUD di daerah masing-masing sesuai
kebijakan yang ditetapkan”.
Tabel 1.1
Program Materi Diklat
NO. MATERI JAM PELAJARAN
TEORI PRAKTEK JUMLAH
A Materi Kebijakan
Kebijakan Direktorat PTK PNF
Kebijakan Direktorat PAUD
2
2
-
-
2
2
B Materi Pokok
Peyelenggara PAUD melalui
pendekatan BCCT
Bermain dan Anak
Evaluasi Perkembangan Anak
Usia Dini
2
2
2
-
2
2
2
4
4
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 275
Penataan Lingkungan Main
Tiga Jenis Main dan Penerapannya
Perencanaan dan Evaluasi
Bermain Anak
Pengamatan Anak
Micro Teaching
2
2
2
-
-
3
2
4
7
7
5
4
6
7
7
C Materi Penunjang
Deteksi Dini Tumbuh Kembang
Anak
Keamanan, Kesehatan, dan Nutrisi
3
2
-
-
3
2
JUMLAH 23 27 50
2. Kegunaan Materi Pelatihan
Materi pelatihan ini diberikan kepada peserta pelatihan : Pelatihan ini bertujuan agar peserta
pelatihan agar mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dan sikap dalam meningkatkan mutu
pelayanan penyelenggaraan program PAUD didaerah masing-masing sesuai kebijakan yang
ditetapkan agar hasilnya lebih maksimal.
3. Tujuan Instruksional Umum
“Setelah selesai pelatihan, peserta mempunyai keahlian yang profesional dalam menerapkan dan
menggali pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta pelatihan dalam meningkatkan mutu
pelayanan penyelenggaraan program PAUD di daerah masing-masing sesuai kebijakan yang
ditetapkan”.
4. Urutan Bahan Ajar
Proses deteksi dini tumbuh kembang anak.
Urutan KKG dalam PAUD.
Aplikasi tentang evaluasi bermain anak.
Tata urutan tiga jenis main dalam PAUD berikut penerapannya.
276 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Penataan lingkungan main pada PAUD.
Perkembangan anak usia dini.
Cara melakukan micro teaching pada PAUD.
Macam-macam bermain dalam PAUD.
Kriteria tentang pengamatan anak.
Penyelenggaraan PAUD melalui pendekatan “Beyond Centers and Circle Times” atau BCCT.
Kebijakan direktorat PTK dan PNF dalam PAUD.
Petunjuk Bagi Peserta Pelatihan
a. Agar seluruh bahan pelatihan dipelajari dengan tekun hingga dapat memahaminya.
b. Hal-hal yang kurang jelas ditanyakan pada instruktur.
c. Laksanakan seluruh kegiatan sesuai dengan instruksi.
Petunjuk Bagi Instruktur
a. Menjelaskan bahan pelatihan sejelas mungkin.
b. Penyampaian materi dilakukan secara bertahap sesuai urutan yang telah ditetapkan.
c. Berikan latihan pada akhir pembahasan materi.
PERTEMUAN 1
TIK No. 1 : Para peserta pelatihan akan dapat menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh
kembang anak.
Pokok Bahasan : Menjelaskan deteksi dini tumbuh kembang anak.
Deskripsi Singkat : Pada kegiatan ini peserta pelatihan akan dibimbing untuk dapat menjelaskan
tentang deteksi dini tumbuh kembang anak. Tumbuh berarti bertambah dalam ukuran. Tumbuh
dapat berarti bahwa sel tubuh bertambah banyak. Perkembangan anak tidak sama dengan
pertumbuhannya.
I. Bahan Bacaan : Mainaria, M. Pd. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak.
II. Pertanyaan dan Kunci Tugas : Agar peserta diklat dapat memahami secara cepat, gunakan
pertanyaan : Jelaskan pengertian tentang konsep deteksi dini tumbuh kembang anak ?
III. Tugas Latihan : Paparkan penjelasan tentang konsep deteksi dini tumbuh kembang anak
dengan membaca sumber bacaan.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 277
MENJELASKAN KONSEP DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG ANAK
A. Pendahuluan
- Deskripsi Singkat : Pada kegiatan ini peserta pelatihan akan dibimbing untuk dapat menjelaskan
tentang deteksi dini tumbuh kembang anak. Tumbuh berarti bertambah dalam ukuran. Tumbuh
dapat berarti bahwa sel tubuh bertambah banyak. Perkembangan anak tidak sama dengan
pertumbuhannya.
- Relevansi : Pertumbuhan dipengaruhi oleh jumlah dan macam makanan yang dikonsumsi tubuh.
- TIU : Setelah selesai pelatihan ini, siswa atau peserta pelatihan dapat menjelaskan tentang konsep
deteksi dini tumbuh kembang anak
- TIK : Para peserta pelatihan akan dapat memahami deteksi dini dan tumbuh kembang
anak.
B. Penyajian
- Materi : Konsep deteksi dini dan tumbuh kembang anak
- Uraian : Penjelasan tentang deteksi dini tumbuh kembang anak. Menunjukkan beberapa contoh
dalam deteksi dini tumbuh kembang anak.
- Latihan : Jelaskan beberapa hal yang mempengaruhi deteksi dini tumbuh kembang anak.
C. Penutup
Tes Formatif :
Jelaskan apa yang dimaksud dengan deteksi dini dan tumbuh kembang anak ?
Jelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep deteksi dini tumbuh kembang anak
(baik eksternal maupun internal ?
Umpan Balik : Bandingkan materi yang diterima saat latihan dan penggunaan dalam
menjawab tes formatif
Tindak Lanjut : Bila pemahaman tentang materi konsep deteksi dini dan tumbuh kembang
anak masih kurang dapat diminta bantuan instrukur.
SATUAN ACARA PEMBELAJARAN (SAP)
Judul Mata Pelatihan : Penjelasan tentang deteksi dini tumbuh kembang anak
Materi Pokok : Deteksi dini dan tumbuh kembang anak
Alokasi Waktu : 120 menit
I. Tujuan Instruksional Umum (TIU)
278 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Setelah selesai pelatihan ini, siswa atau peserta pelatihan dapat menjelaskan tentang konsep
deteksi dini tumbuh kembang anak.
II. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Para peserta pelatihan akan dapat memahami deteksi dini dan tumbuh kembang anak.
III. Indikator
Peserta pelatihan/siswa dapat :
Menjelaskan deteksi dini dan tumbuh kembang anak
IV. Model Pembelajaran
- Model pembelajaran ceramah.
- Model pengajaran tanya jawab .
V. Sumber Pembelajaran
- Buku Pedoman Deteksi Dini dan Tumbuh Kembang Anak.
- Panduan Diklat.
VI. Alat dan Bahan
OHP dan transparan.
VII. Kegiatan Belajar Mengajar
Tahap Kegiatan Belajar Kegiatan Siswa
Media dan
alat
Pengajaran
Pen
Dahulu
an
(8 menit)
1. Menjelaskan cakupan materi pendukung yang
akan dipelajari.
2. Menjelaskan seputar tentang konsep deteksi
dini tumbuh kembang anak.
3. Menjelaskan kompetensi yang akan dicapai.
Mendengarkan
dan
memperhatikan
OHP dan
transparan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 279
Penyajia
n/
Kegiatan
inti
(76
menit)
4. Menjelaskan tentang deteksi dini tumbuh
kembang anak.
5. Menunjukkan beberapa contoh dalam deteksi
dini tumbuh kembang anak.
Mendengarkan
dan
memperhatikan
OHP dan
transparan
Penutup
(12menit
)
13. Memantapkan kembali uraian pokok
pengajaran yang telah dipaparkan.
14. Memerintahkan kepada peserta pelatihan
untuk membaca dan menjawab pertanyaan.
Mendengarkan
dan
memperhatikan
Peserta
mengerjakan
sesuai dengan
yang ditugaskan
Buku panduan
VIII. Evaluasi
Menugaskan kepada peserta untuk menjawab soal di bawah ini :
Jelaskan karakteristik apa saja yang dapat ditemui dalam konsep deteksi dini dan tumbuh kembang
anak.
Terangkan cara proses deteksi dini dan tumbuh kembang anak menurut tahap usia anak didik.
IX. Referensi
Mainaria, M. Pd. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak.
Medan, 30 Juni 2017
Instruktur,
SUKRIYAH BATUBARA
JUANDA
NATALIA NOVERI TARIGAN
280 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
BAB IX
PENUTUP
Desain pelatihan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan/arahan dalam
penyelenggaraan Diklat Instruktur/TOT bagi pelatihan Tutor PAUD Tingkat Regional Angkatan I
ini, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara optimal. Desain ini bersifat fleksibel
dan dapat disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan penyelenggaran pelatihan di lapangan. Semoga
desain ini bermanfaat.
REFERENSI
Dick & Carey, (2005). “The Systematic Design of Instruction”, 6th Edition. New York
Longman.Inc.
Suparman, Atwi. (2001). Desain Instruksional. Jakarta : Universitas Terbuka.
Prawiradilaga, Dewi Salma. (2007). Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Atmodiwirio. (2002). Manajemen Pelatihan. Jakarta : Ardadizya Jaya.
Suparman dan Purwanto. (1997). Analisis Pembelajaran. Jakarta : Depdikbud.
Nasriah. (2006). Pendidikan Anak Usia Dini. Medan : FIP UNIMED.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 281
PEMANFAATAN DESAIN MEDIA AJAR INTERAKTIF DENGAN PROGRAM MICROSOFT POWER POINT DAN ISPRING DI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Dr. H. Hamsi Mansur, M.M.Pd 1 Agus Hadi Utama, M.Pd 2
[email protected] [email protected]
Program Studi Teknologi Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Fokus penelitian ini adalah Pemanfaatan Desain Media Ajar Interaktif dengan Program Microsoft
Power Point dan iSpring di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung
Mangkurat. Data yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah (1) Kondisi faktual pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan oleh para praktisi pendidikan di lingkungan Teknologi Pendidikan
FKIP ULM Banjarmasin, (2) Pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan program microsoft
power point dan iSpring, dan (3) Implementasi pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan
program microsoft power point dan iSpring. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah
desain pembelajaran model ASSURE, sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan (R & D).
Penelitian ini menghasilkan deskripsi tentang (1) Kondisi faktual pembelajaran sebelum di
implementasikannya media power point dan ispring (2) Perencanaan dan pemanfaatan media power
point dan ispring, dan (3) Implementasi dan evaluasi media ajar interaktif dengan program
microsoft power point dan iSpring.
Kata Kunci: Microsoft Power Point, iSpring, Model ASSURE
282 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Para praktisi pendidikan baik itu guru maupun dosen adalah orang yang ditugaskan secara sadar
bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik. Seorang guru
hendaknya memiliki kemampuan merancang program pembelajaran interaktif serta mampu menata
dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai kedewasaan
sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Guru yang profesional adalah mereka yang
menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai guru secara profesional sesuai perannya sebagai tutor,
motivator, dan fasilitator.
Sebagai fasilitator seorang Guru yang profesional dituntut untuk mampu menciptakan atau
menyempurnakan program/media/bahan ajar yang interaktif agar tujuan pendidikan dapat tercapai
dengan optimal, yaitu: efektif, efisien, dan bermakna. Proses pembelajaran yang masih berpusat
pada guru (teacher-oriented) dan dengan media/bahan ajar sederhana tidaklah cukup untuk
menjalankan tugas pokok sebagai fasilitator Guru yang profesional. Pembelajaran yang tidak
memanfaatkan multimedia/media/bahan ajar yang interaktif menyebabkan potensi peserta didik
menjadi pasif dan proses pembelajaran yang selalu monoton menyebabkan pembelajaran menjadi
tidak bermutu dan bermakna.
Jika hal ini berlangsung terus menerus maka kreativitas siswa tidak akan berkembang. Seharusnya
proses interaksi dalam kegiatan belajar mengajar di kelas melibatkan berbagai pihak yang saling
berkaitan. Pihak-pihak yang berkompeten dan profesional dalam proses pembelajaran saling bekerja
sama menciptakan model-model pembelajaran dan atau media pembelajaran yang interaktif sesuai
tujuan yang akan dicapai bersama.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti mempunyai usulan program penelitian Fakultas,
khusunya Program Studi Teknologi Pendidikan FKIP Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin (ULM) berupa pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan memanfaatkan
program Microsoft Power Point dan iSpring.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi
seperti berikut:
Bagaimanakah kondisi faktual pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh para praktisi
pendidikan di lingkungan Teknologi Pendidikan FKIP ULM Banjarmasin?
Bagaimanakah pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan program microsoft power point dan
iSpring?
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 283
Mengapa pemanfaatan desain media ajar interaktif diperlukan dan atau diterapkan?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Definisi Media Ajar Interaktif
Media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang berarti
“Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan.
Menurut wikipedia media pembelajaran interkatif adalah sebuah metode pembelajaran berbasis
teknologi informasi dan komunikasi. Media pembelajaran interaktif merupakan media penyampaian
pesan antara tenaga pendidik kepada peserta didik yang memungkinkan komunikasi antara manusia
dan teknologi melalui sistem dan infrastruktur berupa program aplikasi serta pemanfaatan media
elektronik sebagai bagian dari metode edukasinya.
Manfaat dari media pembelajaran interaktif adalah sebagai berikut :
1. Penyampaian materi pembelajaran yang dapat diseragamkan
Dengan bantuan media pembelajaran, penafsiran yang berbeda antar tenaga pendidik dapat
dihindari dan dapat mengurangi terjadinya kesenjangan informasi diantara peserta didik dimanapun
berada.
2. Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik
Media dapat menampilkan informasi melalui suara, gambar, gerakan dan warna, baik secara alami
maupun manipulasi, sehingga membantu tenaga pendidik untuk menciptakan suasana belajar
menjadi lebih hidup, tidak monoton dan tidak membosankan.
3. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif
Dengan media akan terjadinya komukasi dua arah secara aktif.
4. Efisiensi dalam waktu dan tenaga
Dengan media tujuan belajar akan lebih mudah tercapai secara maksimal dengan waktu dan tenaga
seminimal mungkin. Tenaga pendidik tidak harus menjelaskan materi ajaran secara berulang-ulang,
sebab dengan sekali sajian menggunakan media, peserta didik akan lebih mudah memahami
pelajaran.
5. Meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik
Media pembelajaran dapat membantu peserta didik menyerap materi belajar lebih mandalam dan
utuh.
6. Media pembelajaran interaktif
284 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Proses belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Media pembelajaran dapat dirangsang
sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar dengan lebih leluasa
dimanapun dan kapanpun tanpa tergantung seorang guru.
7. Media dapat menumbuhkan sikap positif peserta didik terhadap materi dan proses belajar.
Media dapat membantu peserta didik agar lebih percaya diri terhadap kemampuan akademik dan
potensi bakat yang dimiliki.
8. Mengubah peran tenaga pendidik ke arah yang lebih positif dan produktif.
Tenaga pendidik menjadi tenaga yang kompeten karena mampu memanfaatkan teknologi yang tepat
guna.
B. Desain Pembelajaran Model ASSURE
Pembelajaran Model ASSURE adalah sebuah formulasi untuk kegiatan pembelajaran
yang berorientasi di kelas yang menekankan pemanfaatan teknologi dan media dengan baik
agar siswa belajar secara aktif. Model ASSURE mengacu kepada Analyze Learners, State
Objectives, Select Methods, Media and Materials, Utilize Media and Materials, Require Learner
Participation, Evaluate and Revise.
Model ASSURE dicetuskan oleh Heinich, dkk sejak tahun 1980-an dalam mendesain pelaksanaan
pembelajaran di ruang kelas secara sistematis dengan memadukan penggunaan teknologi dan media
yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Metode
ini terus dikembangkan oleh Smaldino, dkk. sampai sekarang. Meskipun berorientasi Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM), namun model ini tidak menyebutkan strategi pembelajaran secara
eksplisit seperti halnya Pembelajaran Model ADDIE. Strategi pembelajaran dikembangkan melalui
pemilihan dan pemanfaatan metode, media, bahan ajar, serta peran serta peserta didik di kelas.
Model pembelajaran ASSURE sangat membantu dalam merancang program pembelajaran dengan
menggunakan berbagai jenis media yang berfokus untuk menekankan pengajaran kepada peserta
didik dengan berbagai gaya belajar, dan konstruktivis belajar dimana peserta didik diwajibkan
untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka dan tidak secara pasif menerima informasi. Model
ASSURE sangat sederhana dan relatif mudah untuk diterapkan sehingga dapat dikembangkan
sendiri oleh pengajar serta peserta didik dapat dilibatkan dalam persiapan untuk kegiatan belajar
mengajar.
D. Program Microsoft Power Point
Program Microsoft Powerpoint pertama kali dikembangkan oleh Bob Gaskins & Dennis Austin.
Pada masa itu Ms. Powerpoint digunakan sebagai presenter untuk perusahaan bernama Forethought,
Inc yang kemudian diubah namanya menjadi Powerpoint. Versi pertama Powerpoint adalah versi
1.0 dirilis pada tahun 1087. Saat itu dirilis untuk sistem operasi Apple Macintosh. Powerpoint msih
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 285
menggunakan warna hitam putih, yang dapat membuat halaman teks & grafik untuk OHP
(Overhead Projector). Versi berikutnya muncul setahun kemudian dengan dukungan beragam
warna.
Pada 31 Juli 1987, Microsoft mengakuisisi Forethought, Inc dan perangkat lunaknya, Powerpoint,
seharga 14 juta dollar. Setelah itu versi Powerpoint 2.0 muncul ke pasaran pada tahun 1990. Sejak
saat itu Powerpoint telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam paket Microsoft Office.
Microsoft Powerpoint adalah salah satu program aplikasi Microsoft Office yang berguna untuk
membuat presentasi dalam bentuk slide. Aplikasi ini biasanya digunakan untuk keperluan
presentasi, mengajar, dan untuk membuat animasi sederhana. Hadirnya Powerpoint menggantikan
cara presentasi kuno yaitu dengan transparasi proyektor atau biasa disebut OHP (Over Head
Proyector). Dengan adanya Powerpoint, membuat presentasi menjadi sangat mudah karena
didukung dengan fitur-fitur yang canggih dan menarik. Microsoft powerpoint juga menyediakan
beragam template untuk memperindah presentasi.
Kegunaan atau fungsi Microsoft Powerpoint adalah sebagai berikut:
Membuat presentasi dalam bentuk slide-slide.
Menambahkan audio, video, gambar dan animasi dalam presentasi sehingga presentasi menjadi
lebih menarik dan hidup.
Mempermudah dalam mengatur dan mencetak slide.
Membuat presentasi dalam bentuk softcopy sehingga dapat diakses melalui perangkat komputer
lainnya.
E. Program iSpring
iSpring adalah sebuah program/aplikasi komputer yang bekerja sebagai add-in Powerpoint. Add-in
iSpring dimaksudkan untuk menjadikan file-file Powerpoint lebih menarik dan interaktif berbasis
Flash dan dapat dibuka di hampir setiap komputer atau platform lainnya. Beberapa fungsi add-in
iSpring adalah sebagai berikut:
iSpring dapat menyisipkan berbagai bentuk media, sehingga media pembelajaran yang dihasilkan
akan lebih menarik, diantaranya adalah dapat merekam dan sinkronisasi video presenter,
menambahkan Flash dan video YouTube, mengimpor atau merekam audio, menambahkan
informasi pembuat presentasi dan logo perusahaan, serta membuat navigasi dan desain yang lebih
menarik.
Mudah didistribusikan dalam format flash, yang dapat digunakan dimanapun dan dioptimalkan
untuk pengolahan web.
286 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Membuat kuis dengan berbagai jenis pertanyaan/soal yaitu : True/False, Multiple Choice, Multiple-
Response, Type-In, Matching, Sequence, Numeric, Fill in the Blank, Multiple Choice Text.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan model ASSURE. Model
ASSURE adalah desain pembelajaran yang digunakan dalam proses penelitian dan pengembangan
mengacu pada suatu bentuk siklus yang didasarkan dari hasil kajian temuan penelitian, kemudian
ditindak lanjuti dengan perencanaan, proses pemanfaatan, dan implementasi. Metode ini merupakan
metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk/konten tertentu, dan menguji
keefektifan implementasi produk/konten tersebut (Sugiyono, 2010).
Pengembangan produk dalam penelitian ini didasarkan pada studi pendahuluan, kemudian diuji
dalam situasi tertentu dan dilakukan revisi terhadap hasil uji coba, sampai akhirnya diperoleh suatu
produk akhir. Dalam penelitian ini, produk yang akan dihasilkan adalah desain media ajar interaktif
dengan program microsoft power point dan iSpring.
Subyek dan Lokasi Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah para praktisi pendidikan di lingkungan FKIP ULM
Banjarmasin, meliputi tenaga pengajar (dosen) dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan
konteks penelitian. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Teknologi Pendidikan FKIP
ULM Banjarmasin.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. KESIMPULAN
1. Kondisi faktual pelaksanaan pembelajaran
Kondisi faktual pembelajaran sebelum di implementasikannya media power point dan
ispring adalah sebatas tatap muka kegiatan perkuliahan dengan memanfaatkan media power point
biasa dan diskusi kelompok. Dengan memanfaatkan media power point dan ispring untuk
membantu proses pembelajaran dapat meningkatkan kinerja dosen, efisiensi dalam waktu dan
tenaga, serta meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik. Hal ini terbukti dari hasil uji coba
instrument menunjukkan poin “interaktif” sehingga proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan
menarik.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 287
2. Pemanfaatan desain media ajar interaktif dengan program microsoft power point dan iSpring.
Kegiatan perencanaan desain bahan ajar interaktif dengan program microsoft power point
dan iSpring dalam penelitian ini berjalan dengan baik dan lancar. Hal ini membuktikan bahwa para
praktisi pendidikan dan mahasiswa program studi Teknologi Pendidikan siap sedia dalam
memanfatkan desain pembelajaran model ASSURE.
3. Implementasi desain media ajar interaktif dengan program microsoft power point dan iSpring
Implementasi desain bahan ajar interaktif dengan program microsoft power point dan iSpring dalam
penelitian ini dibagi 3 (tiga), yaitu: a) perencanaan media/bahan ajar interaktif dalam penelitian ini
berjalan dengan baik dan lancar, tidak ada kendala teknis. b) pemanfaatan media/bahan ajar
interaktif dalam penelitian ini membuktikan bahwa para praktisi pendidikan dan mahasiswa
program studi Teknologi Pendidikan siap sedia dalam memanfatkan desain pembelajaran model
ASSURE. c) evaluasi kinerja/hasil pembelajaran menunjukkan terjadinya interaktifitas antara dosen
dan mahasiswa dalam proses pembelajaran sehingga telah memenuhi syarat kriteria instrument
“interaktif”.
DAFTAR PUSTAKA
Borg. W.R. dan Gall, M.D. 1983. Educational Research: An Introduction. New York: Longman.
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Jakarta: Alfhabeta.
Sujadi, 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta. Rineka cipta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Smaldino, Sharon. Lowter, Deborah. Russel, James D. 2011. Teknologi Pembelajaran dan Media
untuk Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sukmadinata, Nana Sy. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Kesuma Karya.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
288 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
PENGEMBANGAN MULTIMEDIA INTERACTIVE WHITEBOARD UNTUK ANAK USIA DINI BERLATIH MOTORIK HALUS
MELALUI BELAJAR MENULIS HURUF
Yerry Soepriyanto1, Achmad Abrori Prawiro K1, A.J.E. Toenlioe1,
1Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Malang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dari pengembangan ini adalah untuk menghasilkan sebuah produk multimedia Interactive
WhiteBoard (IWB) yang layak sebagai alat untuk berlatih motorik halus anak usia dini melalui
belajar menulis huruf. Teknologi IWB yang digunakan adalah rancangan dari Johnny Chung Lee
yang terdiri dari LCD projector, BlueTooth dongle, WII-mote, komputer serta papan penampil.
Pengembangan menggunakan model yang diadaptasi dari Borg-Gall. Model pengembangan terdiri
dari tujuh tahap, akan tetapi dalam pengembangan ini hanya sampai pada tahap revisi produk utama
atau tahap kelima. Hasil pengujian lapangan awal dari ahli media maupun ahli materi menunjukkan
bahwa multimedia valid dan layak digunakan untuk berlatih motorik halus melalui belajar menulis
huruf. Sedangkan dari hasil pengamatan anak-anak yang berlatih motorik halus dengan belajar
menulis huruf pada multimedia IWB ini menunjukkan bahwa segi kemenarikannya tinggi meskipun
dari segi kelancaran, kemudahan serta keamanan penggunaan di kelas masih belum bisa terpenuhi.
Kata Kunci: Multimedia, Interactive WhiteBoard, belajar menulis huruf,
IWB rancangan Johnny Chung Lee
Pendahuluan
Selama ini untuk belajar mengenal huruf pada pendidikan anak usia dini menggunakan media yang
terbuat dari busa serta menggunakan media 2 dimensi berupa papan tulis dan gambar – gambar atau
buku – buku penunjang lainnya. Begitu pula pada saat berlatih motorik halus, anak- anak
menggunakan buku yang berpola untuk membentuk sesuatu yang bisa berupa bentuk, huruf atau
apapun. Hal ini bisa menimbulkan kebosanan pada siswa, perilaku yang ditunjukkan adalah
cenderung tidak menghiraukan instruksi yang diberikan oleh guru saat pembelajaran dan lebih
memilih untuk bermain dengan benda yang ada disekitarnya. Sikap yang ditunjukkan tersebut
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 289
memberikan gambaran bahwa alat atau media yang digunakan tidak terlalu menarik, dan menantang
sehingga antusiasme dan motivasi tidak muncul pada diri anak-anak.
Multimedia Interactive Whiteboard
Multimedia merupakan integrasi dan kombinasi komponen multimedia atau beberapa jenis media
yang meliputi suara, animasi, teks, grafis, dan video (Gungoren, 2013:14). Mayer (1997) dalam
teori kognitif multimedia belajar menyatakan bahwa pebelajar melakukan tiga proses kognitif yaitu
memilih, mengatur dan mengintegrasikan. Pemilihan dipakai untuk informasi visual,
mengorganisasikan dipakai untuk informasi verbal dan pada akhirnya informasi visual dan verbal
diintegrasikan secara bersama-sama. Dengan demikian Multimedia tidaklah hanya
mengintegrasikan atau kombinasi dari berbagai jenis media, akan tetapi lebih cenderung multimedia
adalah menyampaikan informasi visual dan mengorganisasikan informasi verbal melalui salah satu
atau kombinasi media yang tepat dari beberapa jenis media dan diintegrasikan secara bersama-sama
dengan pengetahuan sebelumnya.
Interactive WhiteBoard (IWB) adalah sebuah teknologi yang menggabungkan antara layar
proyektor LCD/LED dan komputer dengan papan yang bisa disentuh untuk pengendaliannya serta
program aplikasi yang berjalan pada sistem operasi komputer tersebut. Di pasaran tersedia berbagai
macam model papan sentuh interaktif, salah satunya adalah SMARTboard yang harganya sangat
mahal untuk sebuah institusi sekolah. Secara umum, saat membeli perangkat tersebut sudah
disediakan papannya, proyektor LCD, konektor yang dihubungkan dengan komputer dan perangkat
lunak untuk mengendalikan interaksi dengan papan dan program aplikasi yang digunakan untuk
menjalankan. Untuk perangkat IWB yang digunakan adalah rancangan dari Johny Chung Lee yang
lebih terjangkau harganya. Perancangan dimulai sejak tahun 2008, seiring dengan banyaknya
pengguna perangkat game Nitendo dengan WII console-nya. Perangkat pengendali konsol game
tersebut adalah WII-mote (Wireless Remote) yang menerima interaksi melalui penerima InfraRed
dan mengirimkan sinyal hasil penerimaan ke perangkat lain dengan Bluetooth.
Gambar 1 Penempatan perangkat IWB (Chung-Lee, 2008)
290 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Rancangan terdiri dari beberapa perangkat utama yaitu papan tulis putih (whiteboard), WIImote,
Bluetooth dongle, InfraRed pen, proyektor, komputer atau sejenis Laptop/notebook, serta software
pengendali interaksi yang terinstal pada komputer. Penempatan perangkat utama diperlihatkan pada
gambar 1 yaitu Wiimote diletakkan mengarah ke papan tulis dengan sensor InfraRed (IR)
menghadap ke whiteboard. Dongle bluetooth ditancapkan pada port USB sebuah komputer yang
sudah terinstall software pengendali interaksi dan LCD Projector. Untuk pena IR nya dipergunakan
sebagai alat untuk interaksi dengan whiteboard. Secara keseluruhan biaya yang dibutuhkan tidak
lebih dari $ 150 atau Rp. 2.000.000,- (Rp. 13.300/$1) dengan asumsi proyektor dan komputer sudah
ada di dalam kelas sebagai fasilitas pembelajaran standar. Untuk software pengendali perangkat
menggunakan rancangan Johny Chung Lee yang gratis dan bersifat open source. Dengan demikian
rancangan ini lebih murah dibandingkan dengan IWB yang diproduksi secara masal oleh
perusahaan pengembang perangkat yang punya nama semacam SMARTboard.
Pada dasarnya papan interaktif adalah teknologi yang dapat membuat penggunanya untuk
berinteraksi dengan konten yang diproyeksikan dari komputer pada permukaan papan. Apapun yang
dapat dilakukan secara virtual pada komputer, juga dapat dilakukan pada permukaan papan (Swan
dkk, 2010: 132). Papan interaktif/Interactive WhiteBoard ini akan hanya sekedar papan apabila
tidak ada muatan atau isi yang terkandung didalamnya dan dijadikan interaksi dengan pengguna.
Untuk itu multimedia menjadi sebuah content/isi agar papan interaktif berfungsi dan bermakna
sesuai dengan yang diharapkan. Multimedia akan sangat berbeda bila hanya sekedar dijalankan
pada sebuah komputer biasa dengan tampilan yang digunakan monitor dan alat yang dipakai adalah
mouse dan keyboard. Multimedia Interactive Whiteboard menyediakan kemampuan untuk
menggabungkan fasilitas grafis berskala besar, animasi, video dan audio. Hal ini menjadikan
teknologi ini dapat memperkuat proses belajar dengan cara yang tidak tersedia saat menggunakan
papan tradisional. Terlebih lagi papan bisa disentuh dan informasi bisa dimanipulasi memberikan
jangkauan yang lebih luas dalam keterlibatannya. IWB juga bisa memberikan bantuan dalam belajar
kinestetik yang memungkinkan anak menghubungkan informasi verbal dan visual dengan
keterlibatan aktif melalui manipulasi dan pergerakan objek yang sedang dibahas. Hal ini cenderung
memiliki dampak positif pada retensi dan keterlibatan di kelas (Miller, 2005).
Levy (2002) yang melakukan riset kecil terhadap sikap anak-anak dalam menggunakan teknologi
IWB menyatakan bahwa lebih menyenangkan dan menggairahkan mereka dalam belajar serta lebih
tertarik dibandingkan dengan whiteboard normal. Smith (2001) juga menunjukkan peningkatan
antusiasme dan motivasi yang dihasilkan oleh pengguna IWB. Bahkan North Islington Education
Action Zone berpendapat bahwa IWB dapat memperbaiki perilaku dan mendorong anak untuk
memperhatikan lebih lama, serta juga bisa memberi kontribusi pada tingkat pencapaian yang lebih
tinggi. Cuthell (2005) menyatakan bahwa bermain adalah elemen yang penting dari belajar dan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 291
IWB dapat secara efektif mengkombinasikan niat serius dengan bermain-main. Inilah yang disebut
“ostensiveness” oleh Cuthell dimana istilah tersebut adalah cara anak-anak belajar dengan
menunjuk obyek untuk memperkuat konsep.
Motorik Halus Anak Usia Dini
Perkembangan fisik motorik halus pada anak sangat berpengaruh. Banyak kegiatan yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan gerak motorik halus anak salah satu contohnya adalah permainan
dot – to – dot permainan ini dapat mengkoordinasikan antara mata dengan tangan dalam
menghubungkan titik – titik yang akan membentuk suatu pola, gambar atau bahkan huruf. Sehingga
dapat meningkatkan gerak motorik halus pada anak, selain itu anak juga dapat mengenal huruf
ataupun hewan sekitar rumah. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada hakikatnya adalah
pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan
perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan seluruh aspek
kepribadian anak. Oleh karena itu, Lembaga PAUD memberi kesempatan bagi anak untuk
mengembangkan kepribadian dan potensi secara maksimal. Anak belajar melalui bermain, anak
belajar dengan cara membangun pengetahuannya, anak belajar secara alamiah, dan anak belajar
paling baik jika apa yang dipelajarinya mempertimbangkan keseluruhan aspek pengembangan,
bermakna, menarik, dan fungsional (Masitoh, 2009). Menurut Sujiono (2007:9) fisik motorik adalah
gerakan yang mungkin dapat dilakukan oleh seluruh tubuh. Perkembangan motorik adalah
perkembangan unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh, sedangkan keterampilan motorik
berkembang sejalan dengan kematangan syaraf dan otot. Karena Mengembangkan kemampuan
motorik sangat diperlukan anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Sedangkan dari hasil observasi yang dilakukan di TK Dharma wanita 3 malang, pada materi
pengenalan huruf alphabet media yang digunakan masih terbuat dari busa serta menggunakan media
2 dimensi berupa papan tulis dan gambar – gambar atau buku – buku penunjang lainnya. Karena
penggunanaan media tersebut secara terus menerus tanpa adanya inovasi dari media pembelajaran
yang digunakan menyebabkan siswa merasakan kebosanan. Kebosanan ini salah satunya
ditunjukkan dengan perilaku siswa yang cenderung tidak menghiraukan instruksi yang diberikan
oleh guru saat pembelajaran dan lebih memilih untuk bermain dengan benda yang ada disekitarnya.
Pemberian stimulus, dan penggunaan bahan pembelajaran bisa memberikan motivasi dan dorongan
dalam belajar serta sikap yang diharapkan. Penggunaan bahan pembelajaran mengenal huruf
didasarkan pada prinsip bahwa PAUD merupakan tempat yang menyenangkan dan menarik, tempat
anak bermain sambil mempelajari berbagai hal termasuk mengenal huruf.
Metode
292 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Dalam penelitian ini, menggunakan model penelitian dan pengembangan Borg and Gall yang telah
diadaptasi hingga diperoleh tujuh tahapan penelitian dan pengembangan. Tujuh tahapan tersebut
ditunjukkan dalam gambar berikut:
Gambar 2 Model Pengembangan yang diadaptasi dari Borg dan Gall (1983)
Multimedia Interactive WhiteBoard untuk anak usia dunia berlatih motorik halus melalui belajar
menulis huruf telah diujicobakan pada siswa TK A di TK Dharma Wanita 3 Malang. Sebelum
pelaksanakan uji coba lapangan, validasi dilakukan terhadap produk yang dikembangkan oleh ahli
media dan ahli materi untuk mengetahui kelayakannya. Berdasarkan hasil dari validasi ahli media
dan ahli materi diperoleh masukan yang digunakan sebagai bahan revisi produk. Setelah dilakukan
revisi produk, uji coba lapangan dilakukan. Dari uji coba lapangan diperoleh gambaran terhadap
produk multimedia interactive whiteboard yang dikembangkan. Dengan demikian hanya lima tahap
yang dilakukan dari tujuh tahap yang disarankan oleh model tersebut.
Produk pengembangan ini merupakan sebuah prototype multimedia papan interaktif. Alat yang
diperlukan adalah komputer atau laptop, dengan spesifikasi minimum komputer atau laptop pentium
4 menggunakan operating system Windows7, RAM 1GB dan terdapat CD-ROM di dalamnya.
LCD Proyektor, WII Remote, dan IR pen yang dilengkapi sensor LED infrared serta software
utama dan sofware pendukung. Software utama dalam pengembangan multimedia adalah Delphi
XE5 yang digunakan untuk membuat aplikasi multimedia pembelajaran. Software pendukung
dalam pembuatan media interaktif pengembang menggunakan software Adobe Photoshop CC untuk
editing gambar dan background dan software adobe audition CS6 untuk editing audio.
Analisis Data
Penelitian dan Pengumpulan Informasi
Perencanaan
Pengembangan Produk Awal
Uji Coba Awal
Revisi Hasil Uji Coba
Uji Coba Utama
Revisi dan Produk Akhir
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 293
Teknik analisis data yang digunakan dalam dan evaluasi para ahli untuk uji produk adalah data
kualitatif dan data kuantitatif berupa presentase. Dari perolehan data tersebut akan dianalisis secara
kualitatif dan kuantitatif.
Data kuantitatif diperoleh dari ahli media dan ahli materi yang berupa angket kuisioner. Rumus
untuk mengolah data adalah sebagai berikut:
Keterangan :
P = Persentase
100 = Konstanta
Data Kualitatif diperoleh dari tanggapan dan saran ahli media dan ahli materi dan hasil observasi di
lapangan saat uji coba produk berupa kemenarikan, efisiensi, dan efektifitas saat menggunakan
produk multimedia interactive whiteboard untuk anak usia dini berlatih motorik halus melalui
belajar menulis huruf.
Pedoman yang digunakan untuk menilai kelayakan multimedia pengenalan huruf vokal pada papan
interaktif. digunakan kriteria tingkat kelayakan.
Tabel adaptasi kriteria tingkat kelayakan (Arikunto, 2010)
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan pengolahan data dari hasil penyebaran dan pengisian angket kepada dua responden,
yakni satu orang ahli media dan satu orang ahli materi, maka dapat diinterpretasikan bahwa ahli
media menyatakan produk dalam kriteria valid dengan rata-rata 86,25%. Untuk ahli materi
memberikan pernyataan valid juga dengan rata-rata persentase sebesar 96,25%.
Dari sajian di atas dapat disimpulkan bahwa multimedia interactive whiteboard untuk anak usia dini
berlatih motorik halus melalui belajar menulis huruf dikatakan valid pada setiap validasi yang
dilakukan yaitu validasi ahli media dan ahli materi. Dengan kata lain multimedia interactive
Kategori Persentase keterangan Skor
A
B
C
D
76 – 100
51 – 75
26 – 50
0 – 25
Valid
Cukup valid
Kurang valid
Tidak valid
4
3
2
1
P =𝑗𝑗𝑖𝑖𝑗𝑗𝑡𝑡𝑡𝑡ℎ𝑑𝑑𝑡𝑡𝑘𝑘𝑡𝑡𝑡𝑡𝑖𝑖𝑘𝑘𝑖𝑖ℎ𝑡𝑡𝑛𝑛𝑗𝑗𝑡𝑡𝑎𝑎𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑛𝑛𝑘𝑘𝑡𝑡𝑘𝑘𝑎𝑎𝑎𝑎𝑛𝑛𝑑𝑑𝑡𝑡𝑛𝑛
𝑘𝑘𝑑𝑑𝑎𝑎𝑘𝑘𝑗𝑗𝑡𝑡𝑑𝑑𝑘𝑘𝑖𝑖𝑗𝑗𝑡𝑡𝑡𝑡𝑥𝑥 100
294 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
whiteboard untuk anak usia dini berlatih motorik halus melalui belajar menulis huruf valid dan
layak digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
Dari hasil observasi pada saat uji coba lapangan diperoleh kesimpulan bahwa dari segi
kemenarikan media sudah terpenuhi tetapi dari segi keefisienan poin kelancaran penggunaan alat
permainan belum terpenuhi karena terdapat dua anak yang kesulitan ketika menggunakan IR Pen.
Keamanan permainan saat dipergunakan juga belum terpenuhi karena pada saat memainkan ada
seorang anak yang selalu mendekat pada perangkat keras yang terhubung dengan listrik serta
penyangga proyektor LCD/LED yang mudah goyang apabila tersenggol. Segi keefektifan pada butir
kemudahan menghubungkan titik belum terpenuhi karena terdapat dua anak yang kesulitan
menghubungkan titik dengan lurus. Dua anak tersebut sulit melihat titik yang akan dihubungkan
karena proyeksi dari LCD proyektor terhalang oleh tangan mereka, hal ini dikarenakan dua anak
tersebut tidak memposisikan tubuhnya dengan benar.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil pengembangan multimedia interactive whiteboard untuk anak usia dini berlatih
motorik halus melalui belajar menulis huruf, dapat disimpulkan bahwa produk ini valid dan layak
digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam rangka pemanfaatan multimedia pengenalan huruf papan interaktif harus disertai dengan
bimbingan guru. Hal ini diperlukan karena peran guru adalah mencontohkan cara penggunaan atau
berinteraksi dengan content/isi dan membantu anak-anak yang mengalami kesulitan selama proses.
Selain itu guru juga berperan memberi pertanyaan singkat sebagai upaya evaluasi terhadap materi.
Sebelum disebarluaskan sebagai media penunjang pembelajaran perlu dilakukan kajian terhadap
sasaran yang dituju terlebih dahulu agar nantinya produk dapat dimanfaatkan sesuai dengan
kebutuhan sasaran. Produk juga masih terbatas pada huruf-huruf tertentu yang hanya melibatkan
bentuk titik, garis, lingkaran, dan kurva belum ke bentuk-bentuk yang lebih kombinasional dan
kompleks.
Daftar Rujukan
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rhineka Cipta.
Borg, W., & Gall, M. (1983). Educational Research: An Introduction. New York: Longman Inc.
Chung-Lee, J. (2008). http://johnnylee.net/projects/wii. Retrieved May 23, 2011.
Cuthell, J. P. (2005) Seeing the Meaning. The impact of interactive whiteboards on teaching and
learning. Proceedings of WCCE 05 Stellenbosch South Africa. Diperoleh dari:
http://crescerinteractivo.portodigital.pt/downloads/SeeingTheMeaning-
ImpactInteractiveWhiteboards.pdf (diakses tanggal 05.01.2010).
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 295
Gungoren, O. C. (2013). Authentic Learning in Multimedia. Journal of Distance Education and e-
Learning, 1 (3), 14-19.
Levy, P. (2002) Interactive Whiteboards in Learning and Teaching in Two Sheffield Schools: A
Developmental Study. Department of Information Studies, University of Sheffield. Diperoleh dari:
www.dis.shef.ac.uk/eirg/projects/wboards.htm (diakses tanggal 03.04.06).
Mayer, R.E. (1997). Multimedia learning: Are we asking the right questions. Educational
Psychologist 32:1–19.
Mayer, R.E. (2001). Multimedia Learning. Boston: Cambridge University Press.
Miller, D.J., Glover, D. and Averis, D. (2005) Developing Pedagogic Skills for the Use of
Interactive Whiteboards in Mathematics. Glamorgan: British Educational Research Association.
Diperoleh dari:www.keele.ac.uk/depts/ed/iaw/docs/IAWResearch.pdf (diakses tanggal 15.06.06).
North Islington Education Action Zone (2002) Why Interactive Whiteboards Work For Us.
Diperoleh dari: www.virtuallearning.org.uk/whiteboards/Why_IWB_work_for_us.pdf (diakses
tanggal 13.10.06).
Smith, H (2001) SmartBoard™ Evaluation: Final Report. Maidstone: Kent NGFL. Diperoleh dari:
www.kented.org.uk/ngfl/ict/IWB/whiteboards/report.html#top (diakses tanggal 04.04.06).
Sujiono, B, dkk. (2008). Metode Pengembangan Fisik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Swan, K., Kratcoski, A., Schenker, J., & Hooft, M. (2010). Interactive Whiteboards and Student
Achievement. Interactive Whiteboard For Education: Theory, Research and Practice, 1 (9), 131-
143.
296 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
IMPLEMENTASI MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA PROGRAM KEAHLIAN TATA BOGA GUNA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN
Dr. Kokom Komariah, M.Pd1 /[email protected]
Prof. Dr. Herminarto Sofyan, M.Pd2 /[email protected],
Dr. Wagiran, M.Pd3 /[email protected]
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model Problem Based Leaning (PBL) pada
program Keahlian Tata Boga dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Penelitian dilakukan di
SMK yang mempunyai Program Keahlian Tata Boga di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu
SMKN 4 Yogyakarta, SMK N 3 Wonosari, dan SMKN 1 Sewon Bantul. Subjek penelitian adalah
guru yangmelakukan implementasi PBL. Data dikumpulkan melalui observasi yang dilakukan oleh
guru. Hasil penelitian implementasi PBL pada sejumlah aktivitas dalam pembelajaran Tata Boga
menunjukkan bahwa perilaku-perilaku posisif muncul dalam kriteria tinggi. Keterlibatan siswa
dalam proses pembelajaran dinilai sangat tinggi. Aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran
pada umumnya sangat tinggi, dan menurunnya aspek negative dalam pembelajaran misalnya ramai
tidak memperhatikan penjelasan guru, mengganggu temannya belajar dan ribut.
Kata Kunci: Problem Based Learning, SMK Tata Boga, Kualitas Pembelajaran
Pendahuluan
Kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan faktor kunci yang menentukan kualitas
suatu bangsa. Penelitian yang dilakukan oleh Muchlas Samani, 2008:3) menunjukkan bahwa
kekuatan suatu Negara dalam era global akan ditentukan oleh faktor-faktor: 1) Inovasi dan
kreativitas (45%), networking (25%), teknologi (20%), dan sumberdaya alam (10%). Oleh karena
itu sumberdaya tidak akan efektif kalau kita hanya menggunakan sumberdaya alamnya saja.
Pendidikan mempunyai peran yang sangat signifikan dalam penyiapan sumberdaya
manusia untuk hidup pada era mendatang yang sarat dengan perubahan-perubahan dalam segala
aspek. Oleh karena itu pendidikan yang terencana dapat mengembangkan potensi sumberdaya
manusia secara holistic meliputi kecerdasan intelektual, spiritual, emosional, sosial dan kinestetis,
sehingga proses pendidikan harus berorientasi pada kemampuan adaptasi, mampu berfikir kritis
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 297
dan berpikir tingkat tinggi. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai upaya menyiapkan peserta didik
untuk bekerja di masa depan, tetapi bisa hidup kapan dan dimanapun.
Guna mengembangkan semua potensi tersebut, dibutuhkan suatu strategi atau model
pembelajaran yang dapat melatih peserta didik untuk mengembangkan semua potensinya.
Pendekatan scientific merupakan salah satu bentuk unggulan kurikulum 2013. Salah satu
bentuk model pembelajaran yang sangat disarankan dalam implementasi kurikulum 2103 adalah
Problem Based Learning.
Program Kehlian Tata Boga di SMK merupakan program unggulan yang keberadaannya
cukup lama di Indonesia. Namun guru masih kesulitan memadukan kajian keilmuan bidang tata
boga antara imu (science) dan seni (art). Banyak materi-materi yang diberikan di sekolah masih
bersifat hafalan dan teks book. Buku-buku yang ada di sekolah saat ini belum sepenuhnya dapat
mengakomodir kebutuhan peserta didik dan kebutuhan lulusan di dunia kerja. Banyak materi
yang hanya sifatnya hafalan dan belum cukup mendalam, sehingga guru masih perlu
menambahkan materi dari sumber lain. Akibatnya guru tidak terbiasa menemukan konsep pada
pembelajaran tata boga.
Guna meningkatkan kualitas pembelajaran, salah satu solusi yang diterapkan adalah
model pembelajaran PBL (Problem based learning). PBL merupakan model pembelajaran yang
menyajikan masalah kontekstual, sehingga dapat merangsang peserta didik belajar untuk
memecahkan masalah, baik secara individu maupun kelompok.
Susanto (2015) menyatakan bahwa PBL akan membuat peserta didik terbiasa
menghadapi masalah-masalah dan tertantang untuk untuk menyelesaikan masalah baik di dalam
kelas, maupun di dalam kehidupan sehari-hari. Muhson (2009:171) menegaskan bahwa PBL
merupakan metode belajar menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan
dan mengintegrasikan pengetahuan baru, berfokus pada keaktifan peserta didik yang diharapkan
dapat mengembangkan pengetahuan mereka sendiri .
Salah satu hal yang menarik dalam mengimplementasikan PBL dalam pembelajaran Tata Boga
adalah apa yang ditulis oleh Fogaty (1997) dengan istilah KND (Know, Need, Do) yaitu apa
yang kita tahu, apa yang kita perlu tahu dan apa yang dapat kita kerjakan. Strategi KND dapat
dijadikan sebagai salah satu arahan guna mengembangkan kegiatan pembelajaran dengan model
PBL.
Jonassen (2004:3) menjelaskan bahwa dalam mengembangkan masalah dalam PBL dapat dilihat
berdasarkan empat hal, yaitu 1) struktur masalah, 2) kompleksitasnya, 3) dinamikanya, 4)
spesifikasinya atau sulit tidaknya difahami. Selanjutnya proses Problem Based Learning dalam
298 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
sebuah model pembelajaran di luar kelas yang dikembangkan oleh Fogarty (1997: 19-20)
mempunyai tahapan 1) meet the problem; 2) define the problem, 3) gather the facts, 4) generate
questions, 5) hypothesize, 6) researchs, 7) generate alternative, and 8) advocate solutions.
Implementasi model PBL dalam mata pelajaran Tata Boga diharapkan dapat melatih siswa
untuk belajar mandiri, menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks bagi peserta didik
untuk belajar dengan cara berpikir kritis dan keterampilan dalam memecahkan masalah kehidupan.
Langkah awal yang perlu dilakukan dalam menerapkan PBL adalah merubah pola pikir pengajar
tentang PBL. Perlu diyakinkan bahwa PBL merupakan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam
mendukung pembelajaran di Kurikulum 2013. Seperti dikatakan oleh Arens, (2008:41-43) bahwa
PBL bertujuan untuk membantu peserta didik untuk mengembangkan keterampilan berikir dan
keterampilan mengatasi masalah, mempelajari peran orang dewasa dan menjadi pelajar yang
mandiri.
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan kejuruan abad XXI adalah pendidikan untuk untuk
(1) membangun transformasi budaya tekno sains-sosio-kultural; (2) penguasaan tingkat
keterampilan menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup (life skills) diri pribadinya dalam
berkeluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara, (3) penguasaan keterampilan belajar (learning
skills) sepanjang hayat dalam kehidupan nyata, (4) peningkatan inovasi penerapan kemampuan
berpikir kritis, kreatif, berkomunikasi, dan berkolaborasi dengan orang lain; (5) peningkatan
keterampilan menggunakan informasi multi media; (6) pemenuhan aspek efisiensi social untuk
mendapatkan atau memiliki pekerjaan yang layak, pantas, baik dan sopan (decent work); (7)
peningkatan kapabilitas posisikarier sehingga mandiri dalam berkesejahteraan (Sudira, 2016: 223)
Berdasarkan hal tersebut implementasi model pembelajaran Problem based learning dalam
pembelajaran merupakan suatu solusi yang dihadapkan mempunyai daya ungkit untuk
memperbaiki output pendidikan kejuruan agar sesuai dengan tuntutan abad XXI.
2. Metode
Penelitian dilakukan di SMK yang mempunyai Program Keahlian Tata Boga di Daerah Istimewa
Yogyakarta, yaitu : SMKN 4 Yogyakarta, SMK N 3 Wonosari, dan SMKN 1 Sewon Bantul.
Subjek penelitian adalah guru yang melakukan implementasi PBL. Data dikumpulkan melalui
observasi yang dilakukan oleh guru. Analisis data dilakukan secara deskriptif.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penerapan Problem Based Learning yang dilakukan di SMK Tata Boga yang diwakili
oleh SMKN 4, SMK N 3, dan SMKN 1 Sewon Bantul perilaku siswa saat melaksanakan PBL
sebagai berikut
Hasil Observasi Perilaku dan Aktivitas Siswa dalam Implementasi Model Pembelajaran
Problem Based learning
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 299
Proses penelitian yang dilaksanakan menggunakan dua angket yaitu guru dan siswa. Adapun hasil
pengamatan yang dilakukan guru selama proses penerapan Problem Based Learning sebagai
berikut:
Tabel 1. Pengamatan Perilaku Siswa oleh Guru
No Aspek yang diamati Skor Kriteria
1. Antusias dalam belajar 4,33 Sangat Tinggi
2. Menanggapi positif dorongan
guru/teman 4,00 Tinggi
3. Menentukan target penyelesaian
tugas 4,00 Tinggi
Rerata 4,11 Sangat Tinggi
Pada sejumlah aktivitas dalam pembelajaran Tata Boga menunjukkan bahwa perilaku-
perilaku posisif muncul, seperti antusiame dalam belajar sangat tinggi, menanggapi posisitif
dorongan teman/guru dan siswa rata-rata mempunyai target dalam penyelesaian tugas ada dalam
criteria tinggi .
Tabel 2. Tingkat Keterlibatan Siswa dalam Proses Pembelajaran
No Aspek yang diamati Skor Kriteria
1. Memperhatikan penjelasan guru 4,50 Sangat Tinggi
2. Memperhatikan petunjuk kerja 4,00 Tinggi
3. Memperhatikan proses
penyelesaian masalah 4,17 Sangat Tinggi
4. Memperhatikan pendapat siswa
lain 4,33 Sangat Tinggi
Rerata 4,25 Sangat Tinggi
Selama proses pembelajaran Problem Based Learning dilaksanakan secara umum siswa dinilai
tinggi dalam memperhatikan penjelasan guru, petunjuk kerja dan proses penyelesaian masalah serta
memperhatikan pendapat siswa lain. Hasil ini sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Fogaty
(1997) yaitu penggalian apa yang mereka ketahui, apa yang mereka butuh untuk diketahui dan
apa yang perlu meraka kerjakan. Hal ini berdampak pada tingkat kerlbatan sisiwa dalam
pembelajaran sangat tinggi
Tabel 3. Tingkat Keaktifan Siswa dalam Proses Pembelajaran
300 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
No Keaktifan Siswa Skor Kriteria
1. Bertanya 4,00 Sangat Tinggi
2. Mengemukakan ide 3,83 Tinggi
3. Mengerjakan soal latihan 4,17 Sangat Tinggi
4. Melakukan
demonstrasi/presentasi 4,17 Sangat Tinggi
Rerata 4.04 Tinggi
Selain itu, aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran seperti bertanya, mengemukakan ide,
mengerjakan soal latihan, melakukan demonstrasi/ presentasi pada umumnya sangat tinggi.
Bertanya dalam hal ini terkait dengan apa yang perlu mereka ketahui, misalnya terkait metode
pengolahan makanan kering atau basah, prinsip-prinsipnya, prosedur kerja dan hal-hal apa yang
perlu mereka lakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Mengerjakan soal, terkait dengan menyunpulkan informasi, belajar memecahkan masalah, sesuai
dengan pendapat Komariyah & Manoy (2014: 188) menyatakan bahwa PBL merupakan
kerangka konseptual yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan lingkungan belajar
yang menggunakan masalah kontekstual sebagai fous untuk mengembangkan keterampilan
pemecahan masalah.
Tahapan melakukan demonstrasi dan presentasi juga sangat tinggi, karena pada prinsipnya
tahapan dalam PBL ada kesamaan dengan scientific, dimana ada proses mengomunikasikan di
akhir pembelajaran.
Tabel 4. Menurunnya Aspek Negatif dalam Proses Pembelajaran
No Aspek yang diamati Skor Kriteria
1. Ada siswa yang ramai tidak
memperhatikan pelajaran 2,50 Rendah
2. Ada siswa yang mengganggu
temannya 1,83
Sangat
Rendah
3. Ada siswa yang ribut 1,67
Sangat
Rendah
Rerata 2,00
Sangat
Rendah
Penerapan model Problem Based Learning yang dinilai masih baru di SMK berpotensi dapat
menimbulkan beberapa kondisi yang membuat kurang kondisifnya kelas. Adanya kebebasan siswa
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 301
dalam proses belajar seperti diskusi, presentasi dan lain-lain dapat menyebabkan terjadinya kelas
yang ramai, ribut serta mengganggu siswa lain dalam belajar. Hasil pengamatan yang dilakukan
tampak siswa yang ramai dan tidak memperhatikan tergolong rendah, artinya siswa ramai karena
terjadinya proses bertanya dan diskusi, tapi tidak menggannggu temannya, bukan ramai dan ribut
yang mengganggu berjalannya proses pembelajaran.
4. Kesimpulan
. Efektiivitas implementasi Model Problem Based Learning pada program keahlian Tata Boga
di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat disimpulkan sebagai berikut
Penerapan PBL pada sejumlah aktivitas dalam pembelajaran Tata Boga menunjukkan bahwa
perilaku-perilaku posisif muncul, seperti antusiame dalam belajar sangat tinggi, menanggapi
posisitif dorongan teman/guru dan siswa rata-rata mempunyai target dalam penyelesaian tugas
ada dalam kriteria tinggi .
Selama proses pembelajaran Problem Based Learning secara umum keterlibatan siswa dalam
proses pembelajaran dinilai sangat tinggi, hal ini ditandai dengan keterlibatannya dalam
memperhatikan penjelasan guru, petunjuk kerja dan proses penyelesaian masalah serta
memperhatikan pendapat siswa lain.
Aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran seperti bertanya, mengemukakan ide, mengerjakan
soal latihan, melakukan demonstrasi/ presentasi pada umumnya sangat tinggi.
Penerapan model Problem Based Learning menunjukkan menurunnya aspek negative dalam
pembelajran misalnya ramai tidak memperhatikan penjelasan guru, mengganggu temannya belajar
dan ribut.
Sumber
Atmojo, S.E.( 2013). Penerapn Model Berbasis Masalah dalam Peningkatan Hasil Belajar
Pengolahan Lingkungan”. Jurnal Kependidikan 43 (2), 134-143
Fogaty. R. (1997). Problem based Learning & Curriculum Models for the Multiple Intelegences
cCassroom. Illinois: Sky Ligh Profesional Development
Harris,R. (1998) Introduction to Problem Solving. www.virtualSalt.
Jonassen, D.H (2011). Learning To Solve Problem. A Handbook for Desaining Problem Solving
Environment. New York: Routledge.
Komariyah, S., S & Manoy , J.T 2014. “ Penerapan Problem Based Learning (PBL) dengan metode
Creative Problem Solving (CPS) pada materi barisan dan eret Aritmatika Kelas X” Jurnal Ilmiah
pendidikan Matematika.
302 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Muchlas Samani. (2008). Pengembangan Life Skill: Tantangan bagi guru vokasi. Makalah
disampaikan dalam seminar nasional Mencetak Guru Profesional dan Kreatif bidang Vokasi,
diselenggarakan oleh Program Hibah Kompetisi A3 Juurusan PTBB FT, di Universitas Negeri
Yogyakarta.
Muhson . A. (2009). Peningkatan Minat Belajar dan Pemahaman Mahasiswa Melalui Penerapan
Problem Based Learning”. Jurnal Keendidikan, 39 (2) , 171 -182
Sofyan. H. (2016) Potential Implementation of Problem Based learning in Kurikulum 2013
Context at Vocational High School. Proceeedings the 2015. International Conference on Inovation
in Engeneering and Vocational Education. Indonesia: Bandung.
Sudira, P. (2016) .TVET Abad XXI Filosofi, Teori, Konsep, dan Strategi Pembelajaran Vokasional.
Yogyakarta: UNY Press.
Suya Dharma, (2013). Tantangan Guru SMK Abad 21 Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah, Direktorat Jendral pendidikan Menengah Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Wagiran. (2013). Kinerja Guru Teori, Penilaian dan Upaya Peningkatannya. Yogyakarta:
Deepublish.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 303
PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIMEDIA UNTUK MENINGKATKAN PERBENDAHARAAN KATA SISWA TUNARUNGU KELAS I DI SLB B/ C PARAMITA GRAHA BANJARMASIN
Mirnawati, S.Pd., M.Pd1; Khairunnisa, S.Pd2
Program Studi Pendidikan Luar Biasa, FKIP ULM Banjarmasin
ABSTRAK
Seseorang dapat berinteraksi dengan adanya komunikasi, komunikasi dapat terjalin dengan baik
karena cukupnya perbendaharaan kata yang dimilikinya. Permasalahan yang terdapat pada siswa
tunarungu kurang dengar adalah miskinnya perbendaharaan kata yang dimilikinya, hal tersebut
membuat siswa tidak mengetahui nama-nama dari benda disekitar lingkungannya bahkan tidak
mampu mengucapkannya. Penelitian ini mengemukakan tentang penggunaan media pembelajaran
berbasis multimedia dalam meningkatkan perbendaharaan kata siswa tunarungu kurang dengar,
media tersebut merupakan media yang inovatif, kreatif dan menyenangkan agar bisa menarik
perhatian anak untuk mengikuti pembelajaran.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
quasi eksperimen dengan desain penelitian time series design (O1 O2 O3 O4 X O5 O6 O7 O8)
yang terdiri dari pre test yaitu pemberian tes sebelum diberikan perlakuan, treatmen yakni
menggunakan media pembelajaran berbasis multimedia dan post test yaitu pemberian tes setelah
diberikan perlakuan. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang siswa tunarungu kurang dengar
kelas dasar I di SLB B/ C Paramita Graha Banjarmasin yang berinisial Nn. Teknik pengumpulan
data menggunakan tes, angket validasi, observasi dan dokumentasi. Instrumen pengumpulan data
menggunakan soal, lembar angket validasi, observasi dan alat dokumentasi. Teknik analisis data
dalam penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan
adanya peningkatan terhadap perbendaharaan kata siswa tunarungu yang berinisial NN kelas dasar I
di SLB B/ C Paramita Graha Banjarmasin. Adapun hasil pre test (O1=1)+(O2=2)+(O3=4)+(O4=4)=
11 yang menunjukkan hasil kemampuan awal anak masih rendah. Pada ke 3 kali treatmen
menggunakan media pembelajaran berbasis multimedia terbukti motivasi siswa, keaktifan siswa
dan tanggung jawab siswa tinggi. Hal ini terbukti dengan hasil post test
(O5=20)+(O6=22)+(O7=25)+(O8=28)= 95, yang menunjukkan hasil kemampuan yang meningkat.
Kesimpulan dalam peneitian ini adalah media pembelajaran berbasis multimedia dapat berpengaruh
positif pada kemampuan perbendaharaan kata siswa tunarungu kurang dengar kelas asar I di SLB B/
C Paramita Graha Banjarmasin.
Kata kunci: pembelajaran berbasis multimedia, perbendaharaan kata, siswa tunarungu
304 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Latar Belakang
Manusia selain sebagai makhluk individu juga berperan sebagai makhluk sosial yang kehidupannya
membutuhkan orang lain dalam aktifitas kesehariannya. Aktifitas tersebut untuk dapat berjalan
dengan baik dibutuhkan sebuah jalinan komunikasi dan interaksi yang baik antara lingkungan
sekitar baik lingkungan keluarga maupun masyarakat. Proses ini adalah sebuah hal yang sangat
dibutuhkan oleh seorang manusia sebab manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan
manusia lain untuk saling membantu dan berbagi sebagai keperluan dalam mencapai kebutuhan dan
kelangsungan hidupnya.
Menurut Desmita dalam Hidayati (2015:2) Interaksi dan komunikasi terbangun sejak dini, ketika
bayi dalam kandungan terlahir, tumbuh dan berkembang maka keluarga, ibu, ayah, adik, kakak dan
anggota keluarga lainnya membangun interaksi dengan berbagai cara dan ketika beranjak besar
mulai memerlukan orang lain untuk memperoleh berbagi informasi, pengetahuan, belajar dan
mengembangkan diri menjadi manusia yang lebih dewasa dalam sebuah struktur sosial yang sesuai
dengan tatanan kehidupan.
Komunikasi adalah proses terjadinya pengiriman pesan dari seseorang kepada orang lain. Oleh
karena itu dengan adanya komunikasi maka interaksi akan lebih bermakna. Melalui komunikasi
pula manusia dapat menyampaikan keinginannya, mengungkapkan perasaannya, memberikan
informasi, menyampaikan pendapat ide dan pikirannya baik secara verbal (lisan) maupun non
verbal (isyarat).
Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang terjadi dua arah dengan adanya proses timbal balik
dan saling memahami apa yang disampaikan. Akan tetapi tidak semua orang dapat melakukan
komunikasi dengan baik terutama pada siswa berkebutuhan khusus tunarungu. Tunarungu adalah
sebuah keadaan dimana seseorang yang kehilangan pendengaran baik itu kurang dengar atau tuli
sehingga mengalami hambatan pada bahasa dan komunikasinya sebab mereka tidak dapat
mengetahui seperti apa mempersepsikn bunyi bahasa secara baik selain itu perbendaharaan kata
yang dimiliki siswa masih sangat sedikit. yang mengakibatkan seorang tunarungu mengalami
kesulitan dalam proses interaksi dan komunikasi. Keadaan tersebut menyebabkan anak tunarungu
mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, seperti dikemukakan
olehBintoro dalam Haenudin (2013:2):
Berdasarkan keterangan yang diberikan dari pihak sekolah dan guru kelas di SLB B/C Paramita
Graha Banjarmasin, khususnya pada siswa tunarungu yang yang berinisial NN umur 7 tahun yang
sekarang duduk dikelas I belum dapat melakukan komunikasi oral secara optimal yaitu komunikasi
yang baik dengan adanya proses timbal balik dan terjadi dua arah dan saling memahami apa yang
disampaikandan siswa mampu mengucapkan sebuah kata bahkan kalimat dengan komunikasi oral,
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 305
akan tetapi hal ini belum dimampu dilakukan siswadikarenakan siswa masih sangat miskin
perbendaharaan kata yang dimilikinya, ditambah dengan interaksi siswa sesama tunarungu sering
menggunakan bahasa isyarat yang sering diterapkan dilingkungan keluarga atau masyarakat dan
sangat sedikit sekali menggunakan komunikasi oral. Saat ini siswa sudah mengenal isyarat alphabet
yang membuat dia sudah bisa membaca walau dengan bantuan, tetapi dalam kemampuan
pengucapan nama-nama benda yang sering siswa temui dilingkungannya siswa masih belum
mampu mengucapkan nama benda tersebut secara oral ketika ditanyakan.
Hal ini berdampak pula pada pemberian materi pembelajaran dikelas, siswa mengalami kesulitan
untuk memahami apa yang disampaikan oleh guru (pengajar) karena siswa yang miskin
perbendaharaan kata, akibatnya proses pembelajaran harus sering diulang. Selain itu berdampak
juga dengan komunikasi siswa dengan orangtua, karena siswa sulit mengungkapkan apa yang
diinginkannya dan orangtua sulit memahami apa yang diinginkan siswa. Hal inilah yang
menyebabkan komunikasi tidak berjalan dengan baik.
Salah satu media yang dianggap dapat membantu siswa belajar dalam perbendaharaan kata pada
siswa tunarungu adalah media pembelajaran berbasis multimedia.
Pembelajaran berbasis multimedia yang dibuat adalah berupa slide show yang menampilkan suatu
kata yang sering digunakan atau kata yang sudah tidak asing lagi dalam lingkungan sekitar siswa.
Slide show yang ditampilkan adalah gambar dari benda tampil gambar buku, klik lagi maka akan
muncul tulisan tampil tulisan “bu-ku” , selanjutnya klik lagi tampil videoyang mengucapkan
kata “buku” dan siswa melihat cara pengucapan kata “buku” dengan membaca bahasa bibir dan
mengikutinya. Media berbasis multimedia memungkinkan siswa tunarungu untuk memperbanyak
perbendaharaan kata serta dapat mengembangkan komunikasi oral siswa. Maka dengan kemampuan
komunikasi secara oral dengan benar yang akan dimiliki siswa akan membantu siswa dilingkungan
masyarakat sebagai alat komunikasi oral secara optimal agar mereka dapat melakukan komunikasi
dengan baik, baik komunikasi dilingkungan rumah maupun dilingkungan sekolah.
Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti mengangkat permasalahan tentang: “Pembelajaran
Berbasis Multimedia untuk Meningkatkan Perbendaharaan KataSiswa Tunarungu Kelas I di SLB B/
C Paramita Graha Banjarmasin”.
Metodologi Penelitian
A. Jenis, tempat, dan subjek penelitian
Penelitian ini digolongkan dalam jenis penelitian eksperimen digunakan untuk mencari pengaruh
perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. bentuk desain yang
306 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
digunakan adalah quasi eksperimen design, time series design O1 O2 O3 O4 X O5 O6 O7 O8.
Dilaksanakan di SLB B/ C Paramita Graha Banjarmasin yang beralamat di jalan kelayan B
gang.Bersama Banjarmasin. Dengan subjek penelitian tunarungu kelas I sekolah dasar di SLB B/ C
Paramita Graha Banjarmasin pada tahun ajaran 2016/ 2017 yang berjumlah 1 orang siswa
tunarungu dengan jenis kelamin perempuan
B. Prosedur penelitian
1. Pretest. Siswa tunarungu akan diberikan terlebih dahulu kartu bergambar dengan tema yang
sesuai dengan media yang diajarkan tanpa pemberian intervensi dan siswa diperintahkan untuk
melihat dan mengucapkan nama dari gambar tersebut secara mandiri
2. Treatmen. siswa tunarungu akan diberikan perlakuan, siswa akan dijelaskan tentang
penggunaan media pembelajaran berbasis multimedia
3. Postest. kondisi pengulangan dari fase pretest sebagai evaluasi sampai sejauh mana
intervensi atau treatmen yang diberikan berpengaruh kepada subjek.
C. Tekhnik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain.
1. Tes
2. Angket validasi
3. Observasi
4. Dokumentasi
D. Tekhnik analisis data
Tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Analisis data kemampuan siswa Data tentang kemampuan siswa dalam pembelajaran
dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif kuantitatif.
2. Analisis Data Validasi Ahli
Data kuantitatif hasil penilaian validator untuk masing-masing perangkat pembelajaran yang
diperoleh melalui lembar validasi perangkat pembelajaran berupa angket dianalisis dengan
menggunakan statistik deskriptif dengan mencari rata-rata hitung (mean). Adapun kriteria dari
penilaian oleh validator untuk perangkat pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut:
No Rata-Rata Nilai dari Validator Keterangan
1 1 > Va ≤ 1,50 Tidak baik
2 1,50 >Va ≤ 2,50 Kurang baik
3 2,50 > Va ≤ 3,50 Cukup baik
4 3,50 > Va ≤ 4,50 Baik
5 4,50 > Va ≤ 5,0 Sangat baik
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 307
Keterangan:
Va = tingkat kevalidan
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan skor tes kemampuan perbendaharaan kata terdapat perbedaan
yang cukup signifikan sebelum dan sesudah diberikan media pembelajaran berbasis
multimediadalam kemampuan pengucapan perbendaharaan kata. Nilai pre test siswa adalah O1=1
O2=2 O3=4 dan O4=4 namun setelah penerapan media pembelajaran berbasis multimedianilai
posttestsiswa adalah O5=20 O6=22 O7=25 dan O8=28. Jadi hasil penelitian tersebut dapat
dijelaskan bahwa media pembelajaran berbasis multimedia berpengaruh positif terhadap
kemampuan perbendaharaan kata siswa tunarungu kurang dengar kelas dasar I di SLB B/ C
Paramita Graha Banjarmasin.
Peningkatan perbendaharaan kata siswa tunarungu kurang dengar ini dipengaruhi oleh penggunaan
media pembelajaran berbasis multimedia yang menggunakan kata-kata yang sering terlihat siswa
disekitar lingkungannya atau kata-kata yang sederhana, sehingga siswa lebih mudah mengingat
nama-nama dari benda tersebut.
Multimedia Menurut Putra adalah sebuah sistem komputer yang memudahkan untuk
menggabungkan teks, grafik, audio, video dan animasi dalam bentuk presentasi yang dikendalikan
oleh program komputer yang interaktif, kreatif dan menyenangkan. Tujuan dari media pembelajaran
berbasis multimedia ini sebagai media yang dapat membantu proses pembelajaran yang akan
diberikan kepada siswa, serta membantu pemahaman siswa tunarungu yang memanfaatkan indera
penglihatan terhadap proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan perbendaharaan kata
siswa tunarungu. Selain itu, manfaat menggunakan media pembelajaran menurut Meimulyani dan
Caryoto (2013: 36) adalah dapat membantu untuk mengatasi berbagai macam hambatan diantaranya
mengurangi sifat verbalisme, mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan tipe belajar murid karena
kelemahan di salah satu indera, mengatasi kesulitan guru dalam memberikan pelayanan belajar
kepada murid untuk meringankan beban guru dan mempermudah belajar siswa.
Menurut (Rakim, 2008) Kelebihan dari media pembelajaran berbasis multimedia adalah mampu
menggabungan beberapa unsur antara teks, gambar, audio, video maupun animasi dalam satu
kesatuan yang saling mendukung sehingga menjadikan sebuah program pembelajaran interaktif,
kreatif dan menyenangkan. Selain itu bisa menampilkan benda yang sukar di lihat secara langsung
atau berbahaya tetapi dapat terlihat dalam media ini dengan aman, yang mana media pembelajaran
308 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
tersebut merupakan media yang sesuai untuk kebutuhan siswa tunarungu yg lebih mengutamakan
kemampuan visual dalam pembelajaran.
Simpulan dan Saran
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran
berbasis multimedia berpengaruh positif terhadap kemampuan meningkatkan perbendaharaan kata
pada siswa tunarungu kurang dengar kelas dasar I di SLB B/ C Paramita Graha Banjarmasin. Hal
ini ditunjukkan dari hasil belajar siswa setelah diberikan perlakuan (pos test)O5= 20 O6=22 O7=25
dan O8=28lebih tinggi dari hasil belajar siswa sebelum diberikan perlakuan (pre test)O1=1 O2=2
O3=4 dan O4=4.Dengan demikian dapat diajukan suatu rekomendasi bahwa media pembelajaran
berbasis multimedia dapat berpengaruh positif sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu media
pembelajaran alternatif untuk membantu meningkatkan kemampuan perbendaharaan kata pada
siswa tunarungu kurang dengar.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, dikemukakan saran sebagai berikut:
1. Memilih media pembelajaran berbasis multimedia yang sesuai dengan hambatan yang
dimiliki siswa, media pemebelajaran ini sangat cocok untuk siswa tunarungu karena media ini
kreatif, inovatif dan menyenangkan dan mudah untuk dibuat
2. Guru hendaknya mempersiapkan secara cermat perangkat dan pendukung yang diperlukan
dalam proses pembelajaran karena sangat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pembelajaran
yang akhirnya berpengaruh pada peningkatan kemampuan siswa serta mengoptimalkan penggunaan
media pembelajaran dan penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran. Hal ini disarankan para pendidik untuk
memilih media pembelajaran berbasis multimedia.
3. Media ini disarankan untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran untuk
mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya, guna meningkatkan kemampuan perbendaharaan
kata siswa tunarungu.
4. Kepada sekolah untuk memberikan pelatihan kepada guru yang belum bisa menggunakan
komputer, karena perangkat yang ada dikomputer bisa dijadikan sebagai media pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan anak, misalnya pada media pembelajaran berbasis multimedia ini.
5. Kepada segenap orang tua/wali siswa tunarungu kurang dengar, senantiasa membantu dan
memfasilitasi siswa tunarungu tersebutyang mengalami kesulitan dalam komunikasi dikarenakan
miskinnya kosa kata yang dimiliki siswa, agar kemampuan tersebut dapat berkembang secara
optimal dan bisa memilih media pembelajaran berbasis multimedia.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 309
Daftar Pustaka
Ading, Asep SH dan Ate Suandi, 2013. Bina Persepsi Komunikasi Bunyi dan Irama. Jakarta Timur:
PT. Luxima Metro Media.
Ariani, Niken dan Dany Haryanto, 2010. Pembelajaran Multimedia di Sekolah. Jakarta: PT. Prestasi
Pustakarya.
Arikunto, Suharmi. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Haenudin, 2013. Pendidikan Siswa Berkebutuhan Khusus Tunarungu. Jakarta Timur: PT. Luxima
Metro Media.
Hidayati, Sri. 2016. Penerapan Media Pembelajaran Bahasa Isyarat dalam Aplikasi Power Point
untuk Meningkatkan Perbendaharaan Kosakata Isyarat Anak Tunarungu Berat Kelas III di SDLB
Negeri Sungai Malang Amuntai
Junaidi, Akhmad. 2013.Pengaruh Penggunaan Media Kartu Kata Bergambar untuk Meningkatkan
Perbendaharaan Kosakata Anak Tunaungu Kelas III di SDLB Negeri Sungai Malang Amuntai.
Kristiani, Maya. 2014. Kelebihan dan Kekurangan Multimedia. Online: tersedia di
(http://mayakristiani.blogspot.co.id/2014/01/kelebihan-dan-kekurangan-multimedia.html) di akses
pada tanggal 05/01/2017 pukul 23.28
Rahman, Muzdalifah M. 2014. Memahami Prinsip Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. di
akses pada tanggal 7 Mei 2017 20.57
https://www.google.com/search?q=jurnal+prinsip+pembelajara+anak+tunarungu&ie=utf-
8&oe=utf-8
Somantri, Sutjihati. 2013. Psikologi Siswa Luar Biasa. Online: tersedia di (http://endang-
k5113020.plbuns13.blogspot.com/2013/10/msalah-masalah-dan-dampak-ketunarunguan-html) di
akses pada tanggal 09/12/2016 pukul 12.14
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Wahyu, 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat
FKIP.
Yulianto, Dion, 2014. Pedoman Umum EYD dan Dasar Umum Pembentukan Istilah. Jogjakarta:
DIVA Press.
310 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
IMPROVING STUDENT OF IAIN GORONTALO TOWARDS HUMAN RIGHT AND DEMOCRACY THROUGH CONSTRUVIST INSTRUCTIONAL MODEL
Moh. Fahri Yasin
IAIN Gorontalo
ABSTRACT
University students have shown their important roles in improving the human right and democracy
in Indonesia. However some of them do not realize that they break the values of the human right
and democracy while doing their actions. The research was intended to develope an instructional
system to improve the attitudes of the students of IAIN of Gorontalo towards human rights and
democracy. The research was a participatory action research targeted to the first semester studens
(111 students) of civic object at the Faculty of Education, the Faculty of Low and Islamic Economy
and the Faculty of Islam Proselytizing of IAIN Gorontalo in the academic year of 2014/2015. The
research was conducted in the two cycles and and the data were collected through docoment study,
interview and observation in the pre-implementation during the implementation process. The data
anaylisis and interpretation lead to the conclusion that the constructivist instructi in design could
improve the student attitudes in implementing democratic values and human rights. The conclusion
implies that the constructivist intsructional design can be implemented to improve te students
towards human rights and democracy.
Key words: Attitude, constructivist instructional design, human rights, and
democracy
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 311
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbagai peristiwa kemanusiaan yang terjadi dalam negeri ini, sebagian terindikasi adanya
pelanggaran hak azasi manusia dan terbatasnya ruang gerak pelaksanaan demokrasi. Akumulasi
dari berbagai peristiwa tersebut menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru pada pertengahan
tahun 1998 dan dimulainya proses transisi menuju demokrasi, yang ditandai dengan munculnya
pemimpin-pemimpin politik nasional yang baru melalui mekanisme demokratis. Akan tetapi,
sampai sekarang belum terlihat secara keseluruhan tanda-tanda yang meyakinkan yang
mengindikasikan bahwa proses transisi demokrasi yang tengah berlangsung dapat benar-benar
berhasil mewujudkan demokrasi yang dilandasi dengan etika, moral, dan agama.
Peran mahasiswa tidak dapat disangkal bahwa merekalah yang mengantarkan terwujudnya proses
demokrasi di Indonesia. Mahasiswalah yang berani mengoreksi kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah. Namun, pada sisi lain sebagian mahasiswa cenderung melakukan aksinya yang tidak
memperhatikan lagi rambu-rambu, etika, dan aturan yang berlaku.
Hampir semua komponen bangsa termasuk para politisi kurang me-mahami apa yang disebut
dengan istilah yang dipakai oleh Hefner demokrasi keadaban (democratic civility).(Hefner: 2000)
Secara faktual kondisi seperti ini kita saksikan hampir setiap hari di berbagai media cetak,
elektronik, dan situs-situs internet misalnya konflik dan fragmentasi politik yang semakin meluas di
kalangan elitpolitik, parpol-parpol yang kian rentang konflik dan perpecahan, serta aksi-aksi
demonstrasi yang cenderung tergelincir menjadi anarkis.
Gambaran seperti di atas tidak kondusif bagi transisi Indonesia menuju demokrasi. Menurut
Azyumardi Azra ada tiga mekanisme demokrasi yang harus dibangun menuju demokrasi yang
semakin genuine dan otentik yaitu: pertama, reformasi sistem (constitutional reforms), yang
menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat sistem legal politik; kedua,
reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan (institutional reforms
and empowerment) lembaga-lembaga politik; ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik
(political culture) yang lebih demokratis. (ICCI: 2000)
Poin pertama dan kedua tentunya yang harus mengembangkan adalah para legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, sedangkan poin ketiga harus dikembangkan oleh semua elemen masyarakat termasuk
mahasiswa. Salah satu cara untuk mengembangkan budaya politik adalah melalui pendidikan
kewargaan (civic education). Murray Print mengemukakan bahwa pembentukan warga negara yang
312 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif
hanya melalalui pendidikan kewargaan.
Pendidikan Kewargaan merupakan salah satu mata kuliah yang tergolong sebagai mata kuliah
pengembangan kepribadian. Mata kuliah ini merupakan bentuk modifikasi yang dilakukan oleh
UIN Syarif Hidayatullah sebagai pengganti mata kuliah Pancasila dan Kewiraan. Mata kuliah
Pancasila dan Kewiraan dianggap mata kuliah yang sifatnya dogmatis yang dipakai oleh
pemerintahan Orde Baru sebagai bentuk untuk mempertahankan status quo pemerintah dan militer
pada saat itu. Mata kuliah ini dianggap kurang akomodatif menampung proses transisi demokratis
yang sedang berlangsung dewasa ini.
Pendidikan kewargaan dirancang untuk mengedepankan masalah- masalah keadaban demokrasi
atau demokrasi keadaban melalui pemahaman terhadap konteks hak asasi manusia, hubungan sipil
militer, otonomi daerah, dan hubungan agama dan negara dalam upaya mewujudkan kultur
demokrasi yang bermuara pada pembentukan masyarakat madani. Dengan demikian, pendidikan
kewargaan sarat dengan muatan sikap, yaitu sikap dan perilaku dalam mengedepankan prinsip-
prinsip pluralisme, kebersamaan, serta saling menghargai dan menghormati sesama bangsa.
Kenyataan di masyarakat bahwa ketika mahasiswa memosisikan di-rinya sebagai agent of social
control cenderung melupakan rambu-rambu keadaban demokrasi, bahkan mahasiswa terjebak pada
dua sisi yaitu sisi pelanggaran HAM terhadap hak-hak sipil dan sisi lain pelanggaran HAM oleh
aparat terhadap mahasiswa yang anarkis. Kondisi seperti ini menurut Pradipa membuat masyarakat
tidak banyak berharap kepada gerakan mahasiswa, bahkan masyarakat mulai mencibir dan
melecehkan setiap gerakan mahasiswa (Pradipa Yoedhanegara: 2005) Gambaran seperti ini
bertentangan dengan tujuan pembelajaran Pendidikan Kewargaan (Civic Education) yaitu
“Menjadikan mahasiswa sebagai warga Negara yang cerdas, bertanggung jawab dan berkeadaban
(good citizen). Oleh sebab itu, mata kuliah ini perlu dikembangkan melalui aspek sikap yang
meliputi unsur kognitif, afeksi, dan konasi. Aspek lain yang juga terkait dengan itu adalah etika,
moral, dan agama. Kesemuanya itu diharapkan dapat menumbuhkan demokrasi di Indonesia yang
tidak menjadi ajang konfrontasi dan ajang saling menjatuhkan demi kepentingan sesaat. Demokrasi
semu yang dipaksakan dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM. Pengembangan etika
moral dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memerlukan keterlibatan semua komponen
masyarakat.
Pendidikan kewargaan yang diterima di perkuliahan selama ini tidaklah cukup untuk
mengembangkan sikap demokrasi dan sikap terhadap pemahaman, kepedulian, dan keikutsertaan
dalam memantau pelaksanaan hak asasi manusia. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk
menggerakkan upaya kepedulian terhadap HAM dan demokrasi dan sekaligus meluruskan sikap
mahasiswa dalam membangun karakter bangsa perlu dilakukan kegiatan yang mengarah pada
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 313
kegiatan yang sistematis dalam merancang kegiatan pembelajaran secara komprehensif, khususnya
tentang pembelajaran HAM dan demokrasi. Pengembangan kegiatan ini juga dikaitkan dengan
upaya penyadaran terhadap keseimbangan antara hak dan kewajiban mahasiswa. Hak dan
kewajiban tersebut bukan hanya dilihat dari persepsi HAM dalam bentuk universal, tetapi juga
terkait dengan bentuk pribadi baik dalam perspektif budaya lokal maupun dalam perspektif
keagamaan.
Pada Pengamatan awal oleh peneliti menemukan bahwa optimalisasi pembelajaran Pendidikan
Kewargaan (Civic Education) khususnya di IAIN Gorontalo belum terlaksana dengan baik yaitu
belum seimbangnya antara apa yang dipelajari dan apa yang diwujudkan dalam bentuk perilaku
sebagai perwujudan sikap mahasiswa. Hasil evaluasi yang berupa nilai semester pada umumnya
lulus dengan kategori baik, tetapi hasil sikap dalam bentuk perilaku belum tercermin sebagai
mahasiswa yang menghargai proses demokrasi. Dalam menyampaikan aspirasinya mahasiswa
cenderung memaksa agar tuntutan mereka dipenuhi.
Gambaran kondisi di atas diasumsikan ada kaitannya dengan kurang optimalnya pelaksanaan proses
perkuliahan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa efektivitas pembelajaran mata kuliah
Pendidikan Kewargaan yang dilakukan oleh para dosen mata kuliah tersebut cenderung kurang
melakukan analisis yang terkait dengan urutan dan keterkaitan materi dengan kondisi kampus.
Aspek penggunaan strategi penyampaian pembelajaran cenderung tidak variatif dan mendalam.
Demikian pula dengan sistem pengelolaan pembelajaran dan system evaluasinya. Kalau dilakukan
secara baik dan tepat, maka komponen-komponen dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan
sikap mahasiswa. Dalam kaitan dengan penilaian sikap, para dosen tidak memiliki catatan yang
terkait dengan hasil pengamatan sikap.
Identifikasi Area dan Fokus Penelitian
Pendidikan Kewargaan merupakan salah satu mata kuliah pengembangan kepribadian yang
disingkat MPK. Dalam konteks ini, IAIN Gorontalo dijadikan sebagai situs penelitian dengan
pertimbangan bahwa lembaga ini sarat dengan ilmu-ilmu etika dan moral dan selain itu masalah
HAM dan Demokrasi menjadi inti dalam mata kuliah Pendidikan Kewargaan (Civic Education).
Mata kuliah ini ádalah mata kuliah lintas fakultas yang harus diambil oleh setiap mahasiswa IAIN
Gorontalo.
Mengingat cakupan pembahasan dalam mata kuliah Pendidikan Kewargaan dan terbatasnya alokasi
waktu pembelajaran maka dalam penilitian tindakan ini hanya dibatasi pada masalah Demokrasi
dan HAM yang dijadikan sebagai objek sikap bagi mahasiswa empat prodi di tiga fakultas yakni;
314 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Fakultas Tarbiyah dan Tadris, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam dan Fakultas Ushuluddin dan
Dawah. Pertimbangan ditetapkannya empat prodi ini karena penelitian ini dilakukan secara
koloboratif dengan pengampu mata kuliah Pendidikan Kewargaan.
Pembatasan Fokus Penelitian
Mengingat banyaknya bahasan yang terkait dengan HAM dan Demokrasi, baik berupa
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan maka sebagai objek sikap yang akan dikembangkan adalah (1)
HAM yang berkaitan dengan Declaration of Human Rights, Hakikat HAM dan KAM, HAM dalam
perspektif Islam, HAM dan Gender; (2) Hakekat Demokrasi, konsep demokrasi dan ajaran Islam,
demokrasi sebagai pandangan hidup, unsur-unsur penegak demokrasi, prinsip-prinsip dan parameter
demokrasi, partisipasi dalam penegakan demokrasi, serta masyarakat madani sebagai wujud
implementasi demokrasi dan penegakan HAM dan KAM.
Kedua pokok bahasan ini akan dikembangkan melalui pemberian tindakan yang berdasar pada
pendidikan nilai yang terkait dengan nilai-nilai pengetahuan, moral, dan agama melalui komponen
pembelajaran berupa strategi pengorganisasian isi pembelajaran, penyampaian, pengelolaan dan
sistim evaluasinya.
Perumusan Masalah Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah penelitian dan identifikasi area fokus penelitian di atas maka
rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut.
1 Apakah penerapan model desain konstruktivis pada konsep Demokrasi dan HAM dalam
mata kuliah Pendidikan Kewargaan dapat mengembangkan sikap mahasiswa IAIN Sultan Amai
Gorontalo?
Bagaimana merancang desain pembelajaran Pendidikan Kewargaan yang dapat meningkatkan sikap
mahasiswa, khususnya yang terkait HAM dan Demokrasi.
Pengelolaan pembelajaran yang bagaimana yang bisa meningkatkan sikap mahasiswa.
Sistem evaluasi yang bagaimana yang dapat mengembangkan sikap yang konsisten dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa?
Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk kontribusi Teknologi
Pendidikan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran HAM dan Demokrasi yang ada pada mata
kuliah Pendidikan Kewargaan dan umum pada pembelajaran mata kuliah pengembangan
kepribadian yang bermanfaat bagi mahasiswa dan tenaga pengajar dalam lingkungan IAIN.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 315
Untuk para ahli teknologi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan bukti empirik sebagai bahan inovasi dalam bidang desain dan pengembangan
pembelajaran.
Secara teoretis penelitian ini berguna sebagai rintisan dasar untuk mengembangkan
teori-teori yang berkaitan dengan bagaimana pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan humaniora dapat
dilakukan secara efektif dan efisien sehingga melahirkan produk yang dapat mengukur berbagai
bentuk dan tingkatan ranah pembelajaran.
KAJIAN TEORETIK DAN PENGAJUAN KONSEPTUAL INTERVENSI TINDAKAN
Acuan Teori dan Fokus yang Diteliti
Kawasan yang memungkinkan untuk dikaji dalam penelitian tindakan baik yang memakai analisis
kualitatif maupun kuantitatif meliputi bidang pendidikan, kesehatan, pekerja sosial, dan
pegembangan ekonomi. Khusus yang berkaitan dengan pendidikan antara lain, pengembangan
lembaga pendidikan, pengembangan kurikulum, evaluasi, dan proses pembelajaran. Kawasan yang
akan diteliti adalah yang terkait dengan proses pembelajaran berbentuk perbaikan sistem
pembelajaran yang bermuara pada perubahan sikap dalam memahami konteks HAM dan
Demokrasi. Ada beberapa kajian teori yang terkait dengan kegiatan ini.
Nilai, Sikap, dan Perilaku Manusia
Nilai dan sikap terkadang digunakan secara bergantian dalam konteks sikap. Sebenarnya kedua
istilah ini tidak sama persis maknanya. Nilai merupakan sebuah istilah yang tidak mudah untuk
diberikan batasan secara pasti sebab nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Ndraha
menyatakan bahwa nilai bersifat abstrak oleh karena itu, nilai pasti termuat dalam sesuatu. Sesuatu
yang memuat nilai ada empat macam, yaitu raga, perilaku, sikap, dan pendirian dasar. (Ndraha:
1997) Patricia Cranton mengemukakan bahwa nilai adalah prinsip-prinsip social, tujuan-tujuan atau
standar yang dipakai atau diterima oleh individu, kelas, masyarakat dan lain-lain. (Patricia: 1992)
Perbincangan tentang nilai terkait erat dengan sikap, perilaku, dan kepribadian seseorang. Kalau
nilai dibandingkan dengan fakta, terkait dengan penilaian seseorang tentang fakta, peristiwa, dan
perilaku. Perilaku pada umumnya mendahului nilai dan perilaku melukiskan keadaan atau realitas
hidup sehari-hari. (Dimyati: 1996). Kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian
empirik, tetapi lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki
disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport menyatakan bahwa nilai itu merupakan
kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau
memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya. Dalam kaitan ini terkandung pemikiran
316 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik atau diperbolehkan. Nilai
memiliki dua atribut yaitu isi dan intensitasnya. Atribut isi adalah berkaitan dengan apakah sesuatu
itu penting sedangkan atribut intensitas menyangkut sejauh mana tingkat kepentingannya.
Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran HAM dan Demokrasi, pendidikan HAM
adalah suatu kegiatan pendidikan yang termasuk ke dalam wilayah pendidikan nilai (value
education). Dalam wilayah ini terdapat tiga jenis kegiatan pendidikan, yaitu (1) pendidikan nilai
estetika, (2) pendidikan nilai sinoetika, dan (3) pendidikan nilai etika. Pendidikan nilai sinoetika
menurut Muchtar Buchori adalah pendidikan yang membimbing peserta didik untuk
mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai yang berhubungan dengan masalah hubungan
antarpribadi. Nilai-nilai ini mendasari rasa empati yang ada pada diri kita terhadap orang lain.
Secara umum pendidikan nilai bertujuan membimbing peserta didik untuk mengenal,
memahami, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai yang dalam kehidupan masyarakat muncul
dalam bentuk norma-norma (patokan perilaku). Ketentuan terhadap nilai atau norma hidup yang
lahir dari pendidikan nilai ini harus bersifat sukarela dan pribadi. Oleh karena itu, pembelajaran
HAM hendaknya membimbing mahasiswa untuk mengenal, memahami, menghayati, dan menaati
nilai-nilai yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam HAM.
Dalam upaya penerapan nilai-nilai khususnya yang terkait dengan nilai-nilai demokrasi dan
HAM, ada beberapa pendekatan dalam pendidikan nilai yang dapat dipertimbangkan dalam
pengimplementasian nilai. Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan
moral. Menurut Hersh, di antara berbagai teori pendidikan nilai yang berkembang, ada enam teori
yang banyak digunakan, yaitu pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan,
pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku
sosial. Selanjutnya, secara sederhana Elias mengklasifikasi pendekatan tersebut menjadi tiga, yaitu
pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku (Elias: 1989). Klasifikasi ini
menurut Rest didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi,
yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Mencerrmati pandangan Elias ada pendekatan nilai yang lebih jelas berdasarkan tipologi
yang dilakukan oleh Superka, dkk. ketika menyelesaikan pendidikan tingkat doktor dalam bidang
pendidikan menengah di University of California, Berkeley tahun 1973. Superka telah melakukan
kajian dan merumuskan tipologi dari berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang dan
digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam kajian tersebut, dibahas delapan pendekatan pendidikan
nilai berdasarkan berbagai literatur dalam bidang psikologi, sosiologi, filsafat, dan pendidikan yang
berhubungan dengan nilai. Namun, berdasarkan hasil pembahasan dengan para pendidik dan alasan-
alasan praktis dalam penggunaaannya di lapangan, pendekatan-pendekatan tersebut telah diringkas
menjadi lima, yaitu (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) pendekatan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 317
perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) pendekatan analisis
nilai (values analysis approach), (4) pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan
(5) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
Pada dasarnya semua pendekatan nilai di atas memungkinkan untuk diimplementasikan
pada proses pembelajaran. Namun, kalau dikaitkan dengan pendekatan konstruktivis, pendekatan
analisis nilai dan klarifikasi nilai lebih tepat.
Sikap (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer pada tahun 1862. Pada saat
itu, Spencer mengartikan sikap sebagai status mental seseorang. (Saifuddin Aswar: 1988) Sikap
merupakan susunan mental atau kecenderungan kesiapan merespon, dasar kejiwaan, ketetapan sifat
dasar, dan karakter.(Oskamp: 1977). Sikap pada dasarnya juga menyangkut tanggapan psikologis
seseorang terhadap objek tertentu, baik berupa benda maupun kegiatan yang datang dari luar dirinya
Fishben: 1975). Oleh karena itu, sikap merupakan keadaan, kesiapan, dan kecenderungan untuk
berbuat atau bereaksi dalam beberapa tindakan bila berhadapan dengan beberapa stimulus. Fisbein
dan Azjen mendefinisikan sikap sebagai kesiapan untuk merespon menurut cara yang konsisten
suka atau tidak suka terhadap suatu objek yang diberikan.
Dalam penerapannya sikap sebagai suatu sistem yang menetap dalam diri individu berupa penilaian
yang bersifat positif dan negatif, yakni kecenderungan untuk menyetujui dan menolak. Sikap positif
akan terbentuk atau timbul apabila rangsangan yang datang pada seseorang memberi pengalaman
yang menyenangkan. Sikap negatif akan timbul bila rang- sangannya memberi pengalaman yang
tidak menyenangkan (D. Krech: 1988). Tindakan seseorang pada saat ini maupun yang akan datang
tidak lepas dari rangkaian pengalaman belajarnya di masa lalu. Perilaku mereka bergantung pada
harapan dan penilaian yang diberikan terhadap objek yang dihadapinya. Oleh karena itu, sikap
merupakan salah satu unsur yang penting dalam kehidupan sehingga dalam situasi tertentu
seseorang akan bertindak sesuai dengan sikapnya.
Gagne dan Briggs berpendapat bahwa kekuatan sikap seseorang terhadap objek psikologis
diperlihatkan oleh banyaknya frekuensi memilih sesuatu dalam keadaan yang berbeda-beda (Gagne:
1979). Ada beberapa karakteristik untuk melihat konteks sikap. Pertama, ia berada pada komponen
kognitif yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan terhadap objek sikap.
Kedua, ia memiliki komponen afektif yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang
terhadap objek sikap. Ketiga, ia memiliki komponen konatif yang menunjukkan suatu kecende-
rungan bertindak terhadap objek sikap. Ketiga komponen tersebut ada dalam sikap dan akan
menuntun dan memberi arah pada kegiatan belajar seseorang. Sikap seseorang dapat dibentuk dan
diubah. Aspek pembentukan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor genetik, fisiologis,
318 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
pengalaman langsung dengan objek sikap, dan komunikasi sosial. Dengan demikian, bentuk nyata
dari sikap kita tercermin dalam bentuk perilaku.
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan nyata dari seseorang untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.(Zembardo: 1996) Teori fungsional Kutz yang dikutip oleh Azwar
mengemukakan bahwa salah satu fungsi sikap bagi individu adalah fungsi instrumental atau fungsi
manfaat.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap
merupakan (1) kecenderungan atau kesiapan seseorang memberikan respons dalam bentuk perilaku
tertentu terhadap suatu stimulus (rangsangan) terhadap lingkungan sekitar; (2) respons yang
diberikan terhadap suatu objek dapat dalam bentuk negatif atau positif.
Hovland dan kawan-kawannya telah meneliti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi
persuasif. Dalam penelitian mereka mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses yang
digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan stimulasi yang biasanya dalam bentuk lisan
guna mengubah perilaku orang lain. Komunikasi lisan yang menggunakan media yang menarik
dan pesan yang berisi aspek kecerdasan jamak dapat mempercepat proses perubahan sikap.
Pendekatan Konstruktivis dalam Pembelajaran
Konstruktivisme bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi merupakan penggabungan dari berbagai
pendekatan. Menurut Von Glassersfeld pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad 20 dalam
tulisan Mark Baldwin yang dikemukakan oleh Piaget dan telah memperdalam dan
mengembangkannya secara luas. Sebenarnya jika ditelusuri lebih jauh lagi maka gagasan
konstruktivis ini telah dimulai oleh Vico (Von Glassersfeld: 1988)
Dari berbagai pandangan konstruktivisme ada dua pandangan yang mendominasi, yaitu individual
cognitive constructivist dan socio cultural constructivist. Teori individual cognitive constructivist
dikemukakan oleh Jean Piaget yang berfokus pada konstruktivis internal individu terhadap
pengetahuan. Menurut Duffy konstruktivis adalah suatu alternatif epistemologi bagi tradisi
objektivitas yang berisi pengalaman dari dunia nyata. (Thomas M. Duffy: 1992) Pandangan kedua,
sosial cultural constructivist banyak dikembangkan oleh Vygotsky yang berpendapat bahwa belajar
dari orang lain yang lebih kompeten dalam keterampilan sesuai dengan budaya dan teknologi
adalah batu penjuru teori pendidikan. Vygotsky mengkritik pendapat Piaget bahwa perkembangan
anak harus mengawali belajar. Vygotsky berpendapat bahwa belajar adalah suatu aspek penting dan
universal dari proses pengembangan budaya terorganisasi khususnya fungsi psikologis manusia.
Konstruktivisme memilki beberapa turunan teori pembelajaran. Menurut pandangan
konstruktivisme belajar merupakan proses aktif pembelajar mengonstruksi arti, baik tes, dialog,
maupun pengalaman fisis. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 319
pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang sehingga
pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut memiliki beberapa ciri antara lain sebagai berikut:
Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh pembelajar dari apa yang mereka lihat,
dengar, rasakan, dan di amati. Makna konstruksi itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang telah
dimiliki.
Makna konstruksi merupakan proses yang terus-menerus setiap kali berhadapan dengan fenomena
atau persoalan yang baru.
Belajar bukan kegiatan yang semata-mata mengumpulkan fakta, melainkan suatu pengembangan
pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukan hasil perkembangan melainkan
perkembangan itu sendiri yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang
merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi tidak seimbang adalah situasi yang baik untuk memacu
belajar.
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pembelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pembelajar yaitu konsep-konsep,
tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. Richard D.
Mayer yang dikutip oleh Reigeluth mengemukakan bahwa pembelajaran konstrutivis adalah proses
belajar terjadi apabila pembelajar secara aktif menciptakan pengetahuan mereka sendiri. Mayer
menjelaskan bahwa ada tiga hal pokok dalam pembelajaran konstruktivistik yaitu (1) pembelajaran
sebagai kekuatan respons, (2) pembelajaran sebagai pemerolehan pengetahuan, dan (3)
pembelajaran sebagai konstruksi pengetahuan (Paul Suparno: 1997).
Ada beberapa konsep tentang pembelajaran konstruktivis sebagaimana dikemukakan
oleh Bruce di antaranya adalah (1) pembelajar belajar ketika mereka aktif dalam pembelajaran
mereka sendiri; (2) melalui pertanyaan dan penemuan oleh mereka berupa penciptaan ulang dan
berinteraksi dengan lingkungan untuk membangun pengetahuannya; (3) belajar secara aktif
membimbing kemampuan berpikir secara kritis membimbing kemampuan berpikir secara kritis dan
pemecahan masalah melalui suatu pendekatan pembelajaran aktif pembelajar akan belajar tentang
isi, makna, dan proses pada saat yang bersamaan.
Belajar dalam pandangan ahli konstruktivis terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh
individu. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang guru atau instruktur adalah menciptakan
lingkungan belajar yang sering diisebut scenario of problems, yang mencerminkan adanya
pengalaman belajar yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang
sesungguhnya.
320 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Peristiwa belajar berlangsung lebih efektif jika siswa berhubungan langsung dengan objek
yang sedang dipelajari dan ada di lingkungan sekitar. McCown mengemukakan bahwa siswa belajar
dan membangun pengetahuan mereka manakala mereka berupaya untuk memahami lingkungan
yang ada di sekitar mereka. Membawa siswa bersentuhan langsung dengan objek atau peristiwa
yang sedang dipelajari akan memberikan kemungkinan untuk membangun pemahaman yang baik
tentang objek atau peristiwa tersebut (Cruickshank: 2006).
Gagnon dan collay berpendapat bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan manakala dia
terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Contoh aktivitas pembelajaran yang menandai si pembelar
melakukan konstruksi pengetahuan terdiri dari atas beberapa bentuk kegiatan, yaitu:
berpikir secara individual dalam memahami setiap peristiwa belajar.
Berpikir kolaboratif dalam membagi pengalaman
Mengaitkan pengetahuan yang dimikiki dengan fenomena yang dilihat,
berpikir kritis tentang isu-isu yang bersifat kompleks,dan
mengatasi masalah yang sedang dihadapi (G. W. Gagnon: 2001).
Konstruksi pengetahuan merupakan proses berpikir dan menafsirkan suatu peristiwa yang dialami.
Setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Oleh karena itu pengetahuan yang dimiliki oleh
individu merupakan pengetahuan yang bersifat unik pula. Proses belajar dalam diri individu dapat
dikatakan telah terjadi apabila pengetahuan yang telah dimiliki dapat digunakan untuk menafsirkan
pengalaman baru secara utuh, lengkap, dan lebih baik dari pada sebelumnya. Siswa perlu
mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Mengaitkan
pengetahuan lama dengan pengetahuan baru merupakan hal yang prinsipal untuk membangun ilmu
pengetahuan.
HAM dan Demokrasi
HAM dan demokrasi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di dalam unsur
penegakan demokrasi terdapat hak-hak individu yang harus dipenuhi yaitu hak untuk
mengemukakan pendapat dan hak untuk berserikat. Jack Donnely mengemukakan bahwa fungsi
utama HAM adalah untuk memperbaiki hubungan sosial (Jack Donnely: 1989).
Secara historis HAM menggantikan istilah Natural Rights menjadi Hak Asasi Manusia yang
dipahami sebagai natural righst dan merupakan suatu kebutuhan dan realitas sosial yang bersifat
universal. Dalam perkembangannya HAM telah mengalami perubahan-perubahan mendasar seiring
dengan keyakinan dan praktik-praktik sosial di lingkungan kehidupan masyarakat.
Pada awalnya, HAM dapat dirasakan di negara-negara maju. Sesuai dengan perkembangan
kemajuan transportasi dan komunikasi secara luas, maka negara berkembang seperti Indonesia mau
tidak mau, sebagai anggota PBB, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrumen HAM,
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 321
Persoalan yang muncul dalam mengadopsi instrumen internasional adalah terkait dengan
kebijakan pemerintah khususnya dalam menjaga kedaulatan dan kesatuan wilayah Indonesia. Sikap
sebagian masyarakat seperti sebagian masyarakat Papua yang ingin mendirikan negara tesendiri
dengan meminta suaka politik kepada pemerintah Australia melahirkan sikap yang pro dan kontra.
Secara teoretis HAM dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai
manusia. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia pada Bab I pasal 1 yaitu Hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Sementara Nayyar Shamsi mengemukakan bahwa hak dasar manusia meliputi; (1) hak
untuk hidup, (2) hak untuk keamanan, (3) hak kaum perempuan untuk dihormati, (4) hak
memperoleh kehidupan yang terstandar, (5) hak dalam perlakuan hukum yang sama, (6) hak
kebebasan individu, (7) hak kesejajaran dengan yang lain, dan (8) hak untuk bekerja sama atau
tidak (Nayyar Shamsi: 2003). Konsep HAM secara normatif bertujuan mencegah kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau membatasi penggunaan sarana kekuasaan yang
berlebihan dan semena-mena.
Menurut R.E Havard HAM mutlak diperlakukan dunia modern di mana pun yang terjadi dan
apa pun pribadinya, HAM, pertama-tama dimaksudkan untuk melindungi individu tehadap negara
dan semua kekuatan kersif yang menyelinap di mana-mana yang biasa dilakukan oleh banyak
negara modern (Rhoda E. Howard: 2000).
Pada aspek lain, HAM adalah masalah hukum karena HAM merupakan usaha untuk
menerjemahkan keyakinan tentang martabat manusia ke dalam bahasa hukum yang konkret dengan
tujuan agar hak-hak itu seperlunya dapat dilaksanakan di depan pengadilan sebagai konsekuensi
ratifikasi dari hukum internasional tentang HAM.
Dengan demikian, persoalan HAM perlu disikapi dengan berbagai pertimbangan yang
komprehensif. Hukum HAM cukup kuat, tetapi kenyataannya banyak kasus HAM tidak dapat
diselesaikan. Salah satu upaya untuk meminimalisasi masalah HAM adalah sosialisasi yang ber-
imbang antara hak dan kewajiban. Keseimbangan hak dan kewajiban adalah acuan yang dapat
menciptakan demokrasi keadaban.
Demokrasi telah menjadi isu penting kehidupan masyarakat modern saat ini. Hampir tidak
ada satu pun negara di dunia yang tidak merespon ide-ide ini, bahkan oleh pemerintah paling korup
dan tiran sekalipun, sehingga muncul istilah-istilah seperti “Demokrasi Liberal”, “Demokrasi
322 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Terpimpin”, “Demokrasi Pancasila”, “Demokrasi Kerakyatan”, “Demokrasi Sosialis”, dan
seterusnya demi memberi ciri kepada rezim dan aspirasi mereka. Kenyataan tersebut tidak
mengecualikan pada masyarakat Islam. Didorong oleh keinginan untuk menghadirkan Islam
sebagai ideologi modern dan sistem pemerintahan yang progresif, para ilmuan dan penulis muslim
telah menafsirkan kembali teori politik dan yuridis Islam dalam istilah-istilah demokrasi. Paham-
paham seperti “pengakuan akan otoritas (bai`ah), musyawarah (syura), dan konsensus (ijma)”,
“kesejajaran manusia di hadapan Tuhan tanpa perbedaan ras, warna kulit dan etnis”, “kebebasan
berkepercayaan dan berpikir, baik muslim maupun non-muslim”, dan sejenisnya secara luas
diajukan. Semua dinyatakan untuk membuktikan watak Islam yang humanistik dan demokratis
dalam konstitusi politik dan kehidupan sosialnya.
Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), adalah kekuasaan
oleh rakyat. Istilah ini, secara historis, telah dikenal sejak abad ke-5 SM yang pada awalnya
merupakan respons terhadap pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di Negara-Negara Kota
Yunani Kuno. Saat itu, demorasi dipraktikkan sebagai sistem dimana seluruh warga Negara, karena
jumlahnya yang tidak lebih dari 10.000 jiwa, sehingga memungkinkan untuk membentuk lembaga
legislatif. Semua pejabat bertanggung jawab sepenuhnya kepada majelis rakyat ini. Ide-ide
demokrasi modern tidak lagi didasarkan atas pemikiran demokrasi Yunani tersebut melainkan
dikembangkan dari ide-ide dan lembaga-lembaga dari masa renaisans yang dimulai pada abad ke-
16. Ide-ide yang dimaksud adalah gagasan sekularisme yang diprakarsai Niccolo Macheavelli
(1469-1527), gagasan Negara Kontrak Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi
negara dan liberalisme serta pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif oleh
John Locke (1632-1704) yang kemudian disempurnakan Baron de Montesquieu (1689-1755), serta
ide tentang kedaulatan rakyat dan social contract yang diperkenalkan Jean-Jacques Rousseau (1712-
1878) (David After: 1977).
Acuan Teori Rancangan Alternatif Tindakan
Pembelajaran konstruktivis yang dijadikan sebagai acuan tindakan dalam penelitian ini mengacu
pada model yang dikembangkan oleh Gagnon dan Collay. Rancangan ini dikembangkan menjadi 6
elemen pada disain pembelajaran konstruktivis yaitu :
Situation, yaitu pandangan sebuah episode proses pembelajaran secara menyeluruh yang
berhubungan dengan hal-hal seperti apa tujuan episode pembelajaran yang akan dicapai,
menjelaskan proses pemecahan masalah, menjawab pertanyaan, membuat metafora, membuat
keputusan, kesimpulan gambar, atau menetapkan tujuan apa yang diharapkan setelah pebelajar
selesai dari kegiatan, bagaimana mengetahui bahwa pebelajar telah mencapai kompetensi yang
diharapkan, bagaimana deskripsi tugas yang telah diselesaikan.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 323
Questioning, yaitu langkah yang dapat mengukur keberhasilan setiap elemen yang ada dalam CLD
yang berujung pada penciptaan metafora, membuat keputusan, melakukan penyimpulan atau
penataan kompetensi.
Grouping, yaitu pengelompokan pembelajar berdasarkan karakte- ristik materi, karakteristik
pembelajar atau karakter lain. Semua itu bertujuan agar terjadi tukar pendapat dalam mengonstruksi
pengetahuan yang akan melahirkan sikap menghargai terhadap setiap perbedaan yang ada.
Bridge yaitu kegiatan awal bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dan untuk
membangun "jembatan" antara apa yang mereka sudah tahu dan apa yang dapat mereka pelajari
dengan menjelaskan situasi. Ini mungkin melibatkan hal-hal seperti memberi kesempatan kepada
mereka memecahkan masalah setelah diskusi kelas, bermain game, atau membuat daftar. Kadang-
kadang ini paling baik dilakukan sebelum peserta didik dalam kelompok dan kadang-kadang setelah
mereka dikelompokkan.
Exhibit, yaitu bagian yang melibatkan peserta didik membuat sebuah pemaparan untuk orang lain
dari rekaman yang mereka buat untuk mencatat pikiran mereka saat mereka menjelaskan situasi. Ini
dapat mencakup menulis deskripsi pada kartu dan memberikan presentasi lisan, membuat grafik,
diagram, atau representasi visual lainnya.
Reflection, yaitu pembelajar melakukan refleksi dalam menyelasaikan tugas mereka, dan apakah
pembelajar ingat kepada perasaan, imajinasi, dan bahasa yang sesuai dengan pemikirannya dan
sikap seperti apa yang diekspressikan oleh pembelajar setelah mengikuti kegiatan.
Bahasan Hasil Penelitian yang Relevan
Fokus utama penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan proses pembelajaran pelatihan
untuk membangun sikap dan perilaku yang positif berkaitan dengan HAM dan Demokrasi bagi
mahasiswa. Dalam konteks ini hasil penelitian yang berkaitan dengan perubahan sikap antara lain
adalah seperti yang dilakukan oleh Hovland dan kawan-kawannya tentang faktor yang
memengaruhi komunikasi persuasif yang tepat. Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa
apabila suatu komunikasi persuasif dilakukan secara tepat, sikap yang menjadi objek komunikasi
dapat berubah secara signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Salmah dengan judul “Kemampuan
Mengajar Guru Sekolah Dasar” menggambarkan bahwa simpulan hasil penelitiannya adalah bahwa
sikap terhadap profesi guru dengan kemampuan mengajar matematika memiliki koefisien 0,7374
dalam arti kontribusi sikap profesi terhadap kemampuan mengajar sebesar 73,74%. Selain itu,
masih ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan betapa pentingnya hubungan antara sikap dan
hasil objek tertentu, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Ali Pada bahwa setiap satu skor
324 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
kenaikan sikap terhadap matematika akan menyebakan kenaikan skor hasil belajar matematika
sebesar 0,63. Selanjutnya, Adriman juga membuktikan bahwa hubungan antara sikap terhadap
profesi pelaut dengan motivasi berprestasi dalam belajar memiliki koefisien korelasi sebesar 0,405
yaitu semakin positif sikap taruna terhadap profesi pelaut, semakin tinggi motivasi belajar. Hasil
penelitian yang terkait dengan HAM oleh Nusa Putra tentang model pengembangan pembelajaran
pembentukan prilaku HAM melalui pelajaran Bahasa Indonesia adalah bahwa: (1) Pembentukan
perilaku HAM dapat diintegrasikan dalam pelajaran Bahasa Indonesia dengan strategi aktivitas
interaktif secara simultan dengan mengembangkan keterampilan emosional dan pengembangan
berpikir kreatif.
Pengembangan Konseptual Perencanaan
Model Pembelajaran Tindakan
Ciri khas model pembelajaran ditandai dengan adanya syntax yang menggambarkan suatu
keterurutan peristiwa dalam pembelajaran. Proses pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu
proses penataan Iingkungan secara sistematis sehingga pembelajar dapat belajar secara efektif dan
efesien. Proses pembelajaran dapat pula diartikan sebagai seperangkat kejadian atau peristiwa
internal dan eksternal yang mempengaruhi yang belajar sedemikian rupa sehingga membantu proses
belajar (Gagne: 1979) Dalam kegiatan pembeIajaran faktor-faktor internal seperti minat,
karakteristik, motivasi instrinsik dan prior knowledge harus dikelola dengan baik. Demikian juga
faktor eksternal seperti lingkungan, instrumen pemantuan, lembar kerja, media dan sumber-sumber
belajar. Atas dasar ini menjadi pertimbangan menentukan dan mengembangkan model pem-
belajaran. Dengan demikian istilah model pembelajaran di maknai sebagai seperangkat komponen
strategi yang terpadu seperti: cara mengurutkan ide-ide, konsep, prosedur dan kaedah sebagai
struktur isi pembelajaran, penggunaan tinjauan dan rangkuman, penggunaan contoh-contoh,
praktik-praktik dan penggunaan berbagai strategi untuk memotivasi pemelajar (Reigeluth: 1985)
Lebih lanjut disebutkan bahwa model pembelajaran membantu kita mengkonseptualisasikan
representasi suatu realitas hidup. Pendapat lain menyatakan bahwa model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam pengorganisasian
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi
para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran merupakan kegiatan bertujuan dan
tertata secara sistematis.
Model pembelajaran merupakan rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang berbagai
dumber belajar dan memandu aktivitas pembelajaran baik dalam kelas maupun di luar kelas. Oleh
karena itu model pembelajaran merupakan seperangkat komponen strategi pembelajaran yang akan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 325
dikembangkan dalam suatu tindakan. Dalam penelitian ini, model pembelajaran yang akan
diimplementasikan adalah salah satu model pembelajaran konstruktivistik.
Rancangan Model Pembelajaran Konstruktivistik
Perencanaan tindakan berupa model pembelajaran konstruktivistik didasarkan pada assumptions of
constructivism yang dikemukakan oleh Duffy and Jonassen, yaitu; 1) knowledge is constructed
from expelence, 2) there is no shared reality, learning is a personal interpretation of the world, 3)
learning is active, 4) meaning is negotiated from multiple perspectives, and 5) learning should occur
in realistic settings (Duffy: 1992).
Secara konseptual model konstruktivistik yang dirancang untuk diimplementasikan dalam
mengembangkan sikap positif terhadap HAM dan Demokrasi. Prinsip tersebut meliputi; pertama,
mengembangkan pengalaman melalui proses konstruksi pengetahuan. Prinsip ini meng-hendaki
agar melibatkan mahasiswa dalam menemukan makna dan nilai-nilai HAM dan Demokrasi pada
Setiap tema diskusi. Kedua, mengembangkan pengalaman belajar yang memungkinkan apresiasi
dan pengayaan wawasan sebagai alternatif dalam pemecahan masalah. Mereka mengevaluasi
alternatif pemecahan suatu problem serta memperkaya pemahaman mereka. Ketiga,
mengintegrasikan proses belajar dengan pengalaman nyata dan relevan. Sebaqian besar belajar
berlangsung di konteks kampus, hendaknya dosen merancang situasi nyata masuk dalam aktivitas
belajar. Keempat, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menentukan isi dan arah
belajar mereka sendiri. Hal mi merupakan intl dan pembelajaran konstruktivistik. Karena itu fungsi
dosen sebagai fasilitator mendorong mahasiswa dalam kerangka pencapaian penerapan nilai-nilai
HAM dan Demokrasi dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Kelima, menanamkan belajar melalui
pengalaman bersosialisasi Perkembangan intelektual berkaitan dan dipengaruhi interaksi sosial.
Karena itu aktivitas belajar harus merupakan kolaborasi antara semua komponen. Keenam,
mendorong penggunaan berbagai bentuk komunikasi tersebut akan membatasi siswa dalam melihat
dunia. Ketujuh, mendorong peningkatan kesadaran mahasiswa dalam proses pemaknaan
pengetahuan dan realitas yang konsisten dengan sikap dan perilakumya. Kunci hasil belajar
konstruktivistik adalah mengetahui bagaimana kita tahu kemampuan mahasiswa untuk menjelaskan
mengapa atau bagaimana memecahkan suatu problem dengan cara tertentu; menganalisis
bagaimana proses mereka mengkonstruksi pengetahuan merupakan aktivitas refleksi diri yang
berorientasi pada kesadaran diri bahwa di atas hak ada kewajiban. Prinsip-prinsip tersebut akan
diimplementasikan ke dalam enam elemen Constructivist Learning Design.
326 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
METODE PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara yang efektif dalam mengembangkan sikap positif
terhadap pemahaman dan implementasi konsep-konsep yang ada dalam HAM dan Demokrasi.
Secara rinci, tujuan penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut:
Memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen demi
tercapainya tujuan pembelajaran.
Mengidentifikasi, menemukan solusi, dan mengatasi masalah pembelajaran di kelas agar
pembelajaran bermutu.
Meningkatkan dan memperkuat kemampuan dosen dalam memecahkan masalah-masalah
pembelajaran dan membuat keputusan yang tepat bagi mahasiswa dan kelas yang diajarnya.
Mengeksplorasi pembelajaran yang selalu berwawasan atau berbasis penelitian agar pembelajaran
dapat bertumpu pada realitas empiris kelas, bukan semata-mata bertumpu pada kesan umum atau
asumsi
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di IAIN Gorontalo. Penentuan lokasi penelitian didasarkan atas
pertimbangan (1) dari segi lembaga, IAIN Gorontalo adalah lembaga pendidikan Islam yang banyak
mengaji tentang nilai-nilai Islam. (2) Dari segi fungsi, lembaga ini merupakan lembaga yang
mengkaji persoalan nilai, moral, dan agama. Dengan demikian, masalah sikap sebagai cermin
kepribadian lembaga sangat perlu dikaji secara mendalam. (3) Dari segi pengembangan
pembelajaran HAM dan Demokrasi pada mata kuliah Pendidikan Kewargaan di IAIN Sultan Amai
Gorontalo. (4) Peneliti ingin menyumbangkan hasil pemikiran yang terkait dengan masalah
pembelajaran HAM dan Demokrasi yang termuat dalam Pendidikan Kewargaan secara khusus dan
secara umum apabila ada mata kuliah lain yang memiliki karakteristik yang sama.
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2014/2015 yang berlansung
dari bulan Oktober sd Pebruari.
Metode dan Disain Tindakan/Rancangan Siklus Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang menggunakan metode pendekatan
kualitatif. Ada beberapa pertimbangan ketika peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Strauss
dan Corbin yang dikutip Hoepfl mengakui bahwa metode kualitatif dapat digunakan untuk
mengetahui suatu fenomena yang sekecil apapun. Selain itu, metode kualitatif juga dapat digunakan
untuk mengetahui suatu perspektif yang kemungkinan sukar bagi penelitian kuantitatif. (M. Hoepfl,
M: 1994).
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 327
Kemmis dan Mc. Taggart menyatakan bahwa penelitian tindakan merupakan bentuk refleksi diri
secara kolektif yang melibatkan partisipan dalam situasi sosial untuk mengembangkan rasionalisasi
dan justifikasi praktik pendidikan, sebagaimana yang dialami dalam praktik sehari-hari (Mc
Taggart: 1996).
Penelitian tindakan memiliki beberapa tipe, yang cenderung berbeda-beda jika dilihat dari segi
tujuan dan pendekatan yang digunakan. Berdasarkan pernyataan McKernan, Hughes membagi tipe
penelitian tindakan menjadi tiga, (1) the scientific-technical view of problem solving; (2) practical-
deliberative action research; (3) critical-emancipatory action research (Ian Hughes: 1997).
Bob Dick mengatakan bahwa penelitian tindakan cenderung (1) bersiklus, tahapan cenderung
terulang pada urutan yang mirip; (2) partisipatif, klien dan informan terlibat sebagai partner atau
paling tidak partisipan aktif di dalam proses riset; (3) kualitatif, lebih berhubungan dengan bahasa
daripada angka-angka; dan (4) reflektif, refleksi kritis terhadap proses dan hasil merupakan bagian
penting dari tiap siklus (Bob Dick: 2000).
Dalam hal apakah penelitian tindakan bersifat kualitatif atau kuantitatif, Bob Dick memberikan
penegasan bahwa kebanyakan penelitian tindakan bersifat kualitatif. Akan tetapi beberapa
memadukan antara kualitatif dan kuantitatif.
Model intervensi tindakan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model revisi Lewin
yang dikemukakan oleh Elliot. Desain penelitian tindakan Elliot seperti yang dikemukakan oleh
Dorothy Gabel memiliki karakteristik siklus seperti berikut. (1) Initially an exploratory stance is
adopted, where an understanding of problem is developed and plan are made for some form of
interventionary strategy. (The Reconnaissance & General Plan). (2) Then the intervention is carried
out (The Action in Action Research). (3) During and around the time of the intervention, pertinent
observations are collected in various forms (Monitoring the implementation by Observation). (4)
The new interventional strategies are carried out and the cyclic process repeats, continuing until a
sufficient understanding of (or implement able solution for) the problem is achieved (Reflection and
Revision) ( Dorothy Gabel: 1995).
Subjek/Pelaku Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh peneliti berkolaborasi dengan dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Kewargaan di lingkungan IAIN Sultan Amai Gorontalo. Penentuan dosen tersebut
berdasarkan atas pertimbangan kesamaan pandangan dengan peneliti yaitu ingin mengubah
kebiasaan yang kurang efektif dan efisien dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan.
328 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Subjek yang menjadi sasaran tindakan adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Tadris, mahasiswa
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam. dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Dakwah.
Mahasiswa yang dijadikan fokus tindakan adalah dua prodi untuk Fakultas Tarbiyah dan Tadris,
yakni prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Prodi Tadris bahasa Inggris (TBI), satu prodi untuk
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam yakni Prodi Akhwalu Syahsiah (AS), dan satu prodi untuk
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah yakni prodi Aqidah Filsafat (AF). Jumlah keseluruhan
mahasiswa pada empat prodi yang ditetapkan sebagai subjek penelitian tindakan 111 (seratus
sebelas mahasiswa).
Tahapan Intervensi Tindakan
Karena strategi pembelajaran HAM dan Demokrasi menggunakan multi approach, pada tahapan
intervensi mengacu pada (1) Model Elliot, (2) Model Constructivist Learning Design, dan (3)
Model Hovland tentang perubahan sikap,
Kerangka umum penelitian tindakan ini dengan model Elliot yaitu (1) rekonaisan dan perencanaan
umum, (2) pelaksanaan intervensi, (3) pemantauan penerapan dengan observasi, dan (4) refleksi dan
revisi. Langkah-langkah ini juga dikembangkan oleh Gabel Untuk lebih jelasnya, dapat diikuti
penjelasan seperti berikut ini.
1 Rekonaisan dan Perencanaan
Setelah peneliti menemukan masalah penelitian, yakni belum adanya upaya sistematis berkaitan
dengan pembelajaran sikap khususnya pembelajaran HAM dan demokrasi yang merupakan bagian
dari kegiatan dan kebijakan kurikuler maka akan disusun perencanaan sebagai berikut. (1)
Mengadakan diskusi dan penjelasan terhadap dosen pengasuh mata kuliah Civic Education,
pembantu dekan III, ketua jurusan, penasehat akademik, dan ketua-ketua lembaga kemahasiswaan
tentang rencana model pembelajaran HAM dan Demokrasi. (2) Merancang proses pembelajaran
peningkatan pemahaman pokok bahasan yang disesuaikan dengan model yang akan digunakan
dalam penelitian tindakan ini. (3) Menyiapkan buku, makalah, jurnal, majalah, surat kabar, atau
teks-teks lain dan cuplikan video clip yang diperlukan sebagai bahan ajar. (4) Menyiapkan alat
bantu pembelajaran yang diperlukan sesuai dengan program kegiatan. (5) Merancang dan
mempersiapkan perangkat untuk memonitor proses pembelajaran dan hasil pembelajaran sikap dan
perilaku dari setiap pokok bahsan yang dipilih.
Pelaksanaan Tindakan dengan Intervensi
Tindakan yang dilakukan oleh peneliti adalah bekerja sama dengan dosen mata kuliah Pendidikan
Kewargaan. Peneliti mengarahkan pelaksanaan penelitian tindakan dalam kegiatan pembelajaran
dengan bentuk sosialisasi langkah-langkah yang ditempuh dalam proses pembelajaran mencacu
pada model CDL yang terdiri dari 6 elemen, yaitu (1) situasional/orientasi pembelajaran, (2)
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 329
pengelompokan, (3) pertanyaan, (4) penghubung, (5) eksibisi, dan (6) refleksi. baik antara sesama
mahasiswa maupun mahasiswa dengan dosen.
Pemantauan dengan Observasi
Pemantauan dilakukan secara terus-menerus, baik yang menyangkut proses belajar maupun hasil
belajar. Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran pada beberapa pokok bahasan, sejak
dilaksanakan tindakan, pengamatan secara jeli, teliti, dan terencana terhadap semua fenomena perlu
dilakukan. Demikian juga terhadap hasil pembelajaran, pelaksanaan pengamatan untuk mengetahui
peningkatan hasil belajar.
Refleksi dan Revisi
Refeksi seperti yang diungkapkan oleh Dewey yang dikutip oleh Jenniver bahwa refleksi muncul
ketika ada sesuatu masalah atau situasi yang kurang baik. Refleksi dalam penelitian ini merupakan
kegiatan kajian, pengamatan, dan perenungan kembali hasil atau dampak dari tindakan telah dicatat
dalam pengamatan. Hasilnya dianalisis, diinterpretasikan, dan disimpulkan bersama peneliti dan
kolaborator. Kesimpulan ini menjadi acuan dalam memperbaiki rencana untuk diterapkan pada
tingkatan berikutnya.
Data dan Sumber Data
Data yang telah dikumpulkan dapat dikelompokkan menjadi; (1) proses pembelajaran; (2)
pengorganisasian pesan/isi pembelajaran, penyampaian pembelajaran; (3) pengelolaan
pembelajaran dan; (4) hasil perolehan hasil belajar sikap.
Sumber data utama dalam penilitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan
tindakan itu sendiri dapat diperoleh dari orang, peristiwa, dan benda. Ketiga bentuk data tersebut
dirinci sebagai berikut.
Sumber berupa orang adalah dosen pengampu dan mahasiswa semester satu yang mengambil mata
kuliah Pendidikan Kewargaan. .
Sumber berupa peristiwa adalah peristiwa yang terjadi pada saat pembelajaran berlangsung.
Peristiwa ini dapat berbentuk interaksi antara dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan
mahasiswa, mahasiswa dengan pimpinan.
Sumber berupa benda adalah berbagai bentuk sumber belajar.
Sumber berupa hasil wawancara dan pengamatan yang berbentuk pernyataan-pernyataan
mahasiswa.
330 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Instrumen Pengumpul Data yang Digunakan
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan berbagai teknik sebagai berikut.
Studi dokumen atau sering juga disebut dengan analisis kegiatan. Teknik ini dipergunakan dalam
rangka penjaringan data yang berkaitan dengan komponen-komponen pembelajaran (Nawawi:
1995)
Wawancara, yaitu teknik yang digunakan dalam menjaring data yang ada kaitannya dengan faktor
keapaan dan kemengapaan membuat dan bertindak yang berhubungan dengan proses pembelajaran
HAM dan Demokrasi dan untuk membandingkan dengan hasil perolehan teknik pengumpulan data
yang lain. Wawancara ini dilaksanakan dalam dua bentuk, pertama, wawancara dilaksanakan secara
bebas untuk membangun suatu persepsi yang sama dan suasana keakraban dengan menanyakan hal
yang terkait dengan suasana kekerabatan. Kedua, wawancara dilakukan secara terstruktur dengan
menggunakan jadwal wawancara yang telah dipersiapkan secara cermat untuk memperoleh
informasi yang relevan dengan masalah penelitian. Selain itu hal yang perlu siperhatikan selama
wawancara adalah ketepatan waktu yang telah disepakati, hornat dan sopan dalam menawarkan
pertanyaan dam saran (Kerlenger: 1977).
Observasi, yaitu teknik yang digunakan untuk melihat secara langsung apa yang sesungguhnya
terjadi dalam kegiatan ini. Hal yang menjadi objek pengamatan adalah bagaimana para kolaborator
melakukan tindakan yang telah disepakati sebelumnya dengan peneliti dan bagaimana gambaran
perilaku mahasiswa terhadap konsekuensi dari suatu perlakuan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik mengumpulkan data terkait dengan pencatatan data di lapangan. Menurut Bogdan
dan Biklen catatan tertulis adalah tentang apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan ketika
mengumpulkan dan merefleksikan data dalam penelitian kualitatif yang dibuat sesegera mungkin
setiap kali melakukan kegiatan tersebut di lapangan (Bogdan: 1982). Dalam konteks ini peneliti
merasakan betapa pentingnya catatan lapangan dibuat sehingga pencatatan data di lokasi penelitian
sudah dilaksanakan sejak studi pendahuluan dan berlangsung selama pengumpulan data
berlangsung, termasuk pada pengamatan, wawancara, dan studi dokumen. Untuk mempermudah
penggunaan catatan ini dilakukan peringkasan catatan setiap kegiatan penelitian. Selain itu diadakan
perbaikan dan kelengkapan data.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 331
Teknik Pemeriksaan Keterpercayaan
Credibility
Teknik pengecekan data melalui kredibilitas sangat diperlukan supaya hasil penelitian dapat
dipercaya. Dalam konteks ini terdapat tujuh cara yang ditempuh, yakni: 1) memperpanjang masa
pengamatan dan memperbaiki sIstem tindakan yang dilakukan dalam penelitian tindakan, 2)
melakukan observasi secara terus menerus dan sungguh-sungguh dalam jangka waktu tertentu
sehingga informasi yang ditemukan sesuai dengan yang diharapkan, 3). melibatkan teman sejawat
yang tidak ikut meneliti untuk membicarakan dan bahkan mengritik segenap proses dan hasil
penelitian, sehingga peneliti dapat memperoleh masukan atas kelemahan yang terjadi selama dalam
proses penelitian; 4) mengecek kesesuaian rekaman, interpretasi, dan simpulan-simpulan hasil
penelitian dengan apa yang telah diperoleh dari para partisipan selama penelitian berlangsung; dan
5) melakukan triangulasi.
Triangulasi data sumber adalah membandingkan data hasil lapangan dan teori. Triangulasi
teori atau sering diistilahkan dengan penjelasan banding. Terkadang ada suatu fakta tidak dapat
dideteksi tingkat kepercayaannya hanya melalui satu teori, tetapi diperlukan teori lain untuk
menjelaskannya. Teknik ini berlangsung pada saat pengumpulan data. Triangulasi metode adalah
dilakukan dengan sasaran dan jenis permasalahan data yang sama, seperti metode wawancara,
observasi, dokumen, dan angket. Hal ini sangat memungkinkan terjadi pada pelaksanaan
pembelajaran HAM dan Demokrasi yang bukan hanya didasarkan pada teori ilmu-ilmu
pembelajaran, tetapi ada sentuhan spritualitas yang susah dilacak keberadaannya dalam diri
manusia.
Untuk menghindari atau mengurangi kesalahan dalam penyusunan proposisi yang disusun
peneliti, hasil mekanisme pelaksanaan penelitian sampai pada penyimpulan hasil penelitian
deperhadapkan dengan rambu-rambu yang berkaitan dengan teknik
Transferability
Tenik ini merupakan pertanyaan pengalaman yang tidak dapat dijawab oleh peneliti. Yang
bisa menjawab adalah para pembaca laporan penelitian. Kalau pembaca laporan penelitian
memperoleh gambaran yang begitu jelas terhadap latar atau konteks tentang apa suatau hasil
penelitian yang dapat diberlakukan maka laporan tersebut memenuhi standar transferabilitas
“benarnya" penelitian dalam mengkosep-tualisasikan apa yang diteliti.
332 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Confirmability
Teknik ini hampir sama dengan dependabilitas yang khususnya berkaitan dengan mutu hasil
penelitian dengan memperhatikan dukungan catatan data lapangan dan kesatuan internalnya dalam
penyajian interpretasi dan kesimpulan hasil penelitian. Pemeriksaan teknis dapat dilakukan secara
bersamaan dengan teknik dependabilitas.
Analisis Data dan Interpretasi Hasil Analisis
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara
kualitatif ditempuh untuk menganalisis proses data, yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan,
membandingkan, meng-kategorikan, dan menginterpretasikan. Kemudian, data akan dianalisis
melalui tiga tahapan. Ketiga tahapan tersebut meliputi (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3)
penarikan kesimpulan. Kesimpulan adalah hasil dari analisis data induktif. Data yang telah
dilakukan adalah polarisasi dan kategorisasi data yang memiliki kesamaan karakteristik secara
substansial. Penyajian data atau pemaparan data adalah penyajian hasil temuan baik pada pra
tindakan maupun pada proses tindakan. Penarikan simpulan merupakan hasil sintesa yang
didasarkan pada analisis setiap komponen-komponen tindakan.
Dalam pedoman penulisan tesis dan disertasi yang mengutip pendapat Lawrence
dikemukakan bahwa “Subtantial theory is developed for a specific area concern… Format theory is
developed for a broad conceptual area in general theory”. Dengan demikian, dari hasil verifikasi
atau kesimpulan data akan dirumuskan beberapa pernyataaan yang sifatnya preposisi cikal bakal
teori yang berkaitan dengan hasil tindakan yang dilakukan oleh peneliti. Karakteristik dari proposisi
ini pada tahap awal masih bersifat idiografik.
Tindak Lanjut/Pengembangan Perencanaan Tindakan
Sesuai dengan sifat penelitian tindakan, setiap proses atau tahapan dalam setiap siklus maka
rekomendasinya adalah apakah penelitian tindakan ini berhenti pada siklus pertama atau harus
dilanjutkan dengan siklus berikutnya karena pada intinya adalah melakukan refleksi setiap tindakan
yang dilakukan berdasarkan harapan yang ingin dicapai yang telah diproyeksikan sebelumnya
DESKRIPSI, ANALISIS DATA, INTERPRETASI HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambaran Sikap Mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo
Mahasiswa IAIN Gorontalo yang tersebar di tiga fakultas seperti disebutkan sebelumnya
memiliki berbagai latar belakang yang berbeda. Selain memiliki latar belakang disiplin ilmu yang
berbeda, mahasiswa IAIN juga memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari sisi organisasi ekstra
seperti HMI, PMII, dan IMM maupun organisasi intern seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 333
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Pramuka, Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam
(MAPALA), dan lain sebagainya,
Dalam kaitan penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah gambaran sikap
mahasiswa prodi Akhwalu Syahsiah (AS), prodi Aqidah Filsafat (AF), prodi Pendidikan Agama
Islam (PAI), dan prodi Tadris Bahasa Inggeris (TBI) yang tersebar di tiga Fakultas (Tarbiyah,
Syariah, dan Ushuluddin). Pada setiap prodi yang akan menjadi kajian analisis adalah bagian
karakteristik yang diduga berpengaruh pada sikap mahasiswa, yaitu (1) organisasi ektra seperti yang
telah disebutkan di atas, (2) organisasi intern, dan (3) pendidikan sebelum masuk ke IAIN.
Jumlah mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian adalah sebanyak 111 orang yang
tersebar di empat kelas prodi yang berbeda. Setiap mahasiswa dilacak karakteristiknya masing-
masing yang diduga dapat mempengaruhi sikap mahasiswa.
Gambaran tentang sikap mahasiswa diperoleh melalui (1) pengamatan secara cermat ketika
mereka mengikuti perkuliahan Pendidikan Kewargaan, (2) hasil wawancara langsung dengan
mahasiswa, dan (3) melalui dengan catatan lapangan ketika mereka mengikuti perkuliahan dan
ketika mereka berdemonstrasi, baik di tingkat fakultas maupun tingkat institut
Sikap mahasiswa melalui pengamatan dalam perkuliahan Pendidikan Kewargaan
menunjukkan bahwa tema atau topik diskusi menentukan tinggi rendahnya perhatian dan respons
mahasiswa. Ketika mahasiswa membica-rakan masalah yang terkait dengan materi yang sifatnya
normatif, antara lain materi tentang identitas negara dan kontitusi, sikapnya kurang serius, tetapi
ketika mereka berdiskusi tentang hal-hal yang faktual terjadi di masyarakat seperti isu pelaksanaan
pilkada, isu politik atau otonomi daerah, mahasiswa sebagian besar ikut terlibat dalam memberikan
apresiasi yang berkaitan dengan masalah aktual tersebut.
Bentuk apresiasi mahasiswa secara umum, sikap mereka kelihatan berada pada posisi
prasangka yang negatif terhadap kebijakan yang diambil oleh para pengambil keputusan, mulai, dari
level lokal, regional, dan nasional. Level lokal misalnya kebijakan yang dilakukan oleh Rektor
tentang kenaikan SPP, Badan Hukum Pendidikan (BHP), dan Badan Layanan Umum (BLU). Hal
ini tampak ketika dosen memberi contoh kasus tentang bagaimana sikap mahasiswa terhadap suatu
kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Kembali kepada persoalan sikap mahasiswa
terhadap HAM dan Demokrasi, yang menarik bagi mahasiswa tergantung pada sejauh mana
perasaan keterkaitan subtopik dengan pribadi mahasiswa.
Gambaran awal sikap mahasiswa melalui dengan wawancara pada dasarnya tidak terlalu
berbeda dengan apa yang teramati lewat observasi di kelas. Perbedaan sedikit terlihat pada ekspresi
mahasiswa ketika memberikan respons pada peneliti yaitu tidak sebebas mengemukakan pendapat
334 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
ketika mereka mengemukakan gagasannya kepada teman-teman mereka. Selanjutnya, gambaran
sikap lewat catatan lapangan ketika mahasiswa berdemonstrasi berbeda dengan sikap mereka di
dalam kelas. Sikap mereka dalam menyampaikan orasi cenderung tidak etis dan bahkan dengan
melakukan anarkis. Ketika melakukan demonstrasi, mereka mengatasnamakan kelompok peduli
kampus.
Aspek lain dari sikap mahasiswa yang terkait dengan demokrasi juga menggambarkan
perbedaan sikap, baik dari sisi objek sikap pada topik yang sama, maupun pada instrumen yang
berbeda. Demikian pula halnya dengan topik HAM yang berbeda. Sikap mahasiswa terhadap HAM
ada beberapa tema yang didiskusikan, yaitu tema tentang kesetaraan gender, perkawinan lintas
budaya dan agama, kekerasan terhadap wanita pada bidang domestik, dan perbedaan aliran dalam
satu keyakinan. Pemilihan pimpinan, pelecehan dan tindak kekerasan terhadap seseorang maupun
kelompok juga menjadi bahan yang didiskusikan.
Deskripsi Upaya Pengembangan Sikap Mahasiswa
Pengembangan sikap mahasiswa dilakukan dengan pendekatan konstruktivis, baik secara
konseptual maupun secara implementatif, Upaya pengembangan sikap secara terencana melalui
perbaikan sistem pembelajaran mata kuliah Pendidikan Kewargaan. Secara sistematis perencanaan
tindakan ini diawali dengan (1) pengamatan awal pra tindakan dan wawancara dengan mahasiswa
dan dosen mata kuliah Pendidikan Kewargaan pada pra tindakan, (2) penyusunan program, (3)
implementasi program, (4) pengamatan, (5) refleksi, dan (6) rencana tindak lanjut.
Pengamatan Awal Pratindakan
Sesuai dengan hasil pengamatan kurang lebih satu semester, yaitu pada tahu akademik
2007/2008 terhadap mahasiswa di tiga fakultas secara intensif, baik di kelas perkuliahan maupun di
luar kelas, maka dapat digambarkan bahwa pada umumnya kondisi pembelajaran yang dilakukan
oleh para dosen Pendidikan Kewargaan didominasi pada kecenderungan diskusi monoton dengan
mahasiswa tertentu saja yang berbicara. Dosen kurang memberikan dorongan kepada mahasiswa
yang kurang aktif, sehingga dosen mengalami kesulitan ketika mau menggambarkan sikap
mahasiswa secara keseluruhan. Suasana seperti ini hampir terlihat di semua kelas perkuliahan.
Pengorganisasian waktu dalam kaitannya dengan ketuntasan pokok bahasan sering kali tidak
tercapai apalagi terkait dengan target hasil belajar sikap yang ditargetkan pada setiap pokok
masalah yang didiskusikan. Komentar tentang pokok diskusi sering kali keluar dari subtansi materi.
Selain itu dosen kurang mengarahkan pada subtansi. Mereka melihat pada aspek penyampaian
pendapat meskipun tidak tepat sasaran.
Aspek lain yang kurang dilakukan oleh dosen adalah terkait dengan bagaimana
mengorganisasikan isi materi secara sistematis. Analisis yang terkait dengan hubungan antara satu
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 335
konsep dengan konsep yang lain kurang diperhatikan, demikian pula keterkaitan dan identifikasi
antara fakta yang satu dengan fakta yang lain juga kurang mendapat penekanan. Selanjutnya materi
yang terkait dengan prosuderal, fakta, konsep, dan kaidah juga kurang penjelasan dari dosen.
Terkait dengan masalah strategi pengelolaan pembelajaran hampir tidak tersentuh, artinya
analisis karakteristik mahasiswa dan analisis sumber belajar dan kondisi pembelajaran tidak
mendapat penekanan yang serius. Aspek pengelolaan pembelajaran sangat menentukan dalam
melahirkan sikap yang positif baik terhadap perilaku mahasiswa maupun perilaku mahasiswa
terhadap dosen dan mata kuliah
Model pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh dosen dirasakan dampaknya, yaitu
bahwa mahasiswa cenderung berpikir secara normatif parsial. Dosen juga merasakan bahwa untuk
mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi sikap mahasiswa terhadap sesuatu masalah masih sulit
untuk dideskripsikan oleh dosen. Selain itu, belum ada upaya sistematis bagaimana menganalisis
tentang konsistensi pengetahuan dan sikap dari masing-masing mahasiswa.
Setelah dosen Pendidikan Kewargaan melakukan perenungan atas beberapa pertanyaan yang
peneliti lontarkan, mereka menyadari bahwa berbagai kelemahan proses pembelajaran yang telah
dilakukan, baik dari segi strategi pengorganisasian isi pembelajaran, strategi penyampaian, strategi
pengelolaan pembelajaran, maupun sistem evaluasi, mereka berpendapat bahwa kami belum
mampu menempatkan mahasiswa sebagai subjek yang belajar memiliki hak untuk menentukan
pengetahuan yang mereka bangun sendiri yang dapat melahirkan sikap konsisten dengan apa yang
mereka bangun.
Berdasarkan gambaran kondisi di atas maka klasifikasi masalahnya dapat dikemukan bahwa
mahasiswa belum memperoleh kesempatan secara menyeluruh untuk membangun pemahamannya
secara komprehensif terhadap objek masalah, khususnya yang berkaitan dengan Demokrasi dan
HAM. Hal ini terindikasi pada kegiatan-kegiatan dosen ketika melakukan proses pembelajaran di
kelas. Pada umumnya dosen kurang melatih mahasiswa mengkonstruk realita yang ada yang dapat
membangun sikap mereka. Misalnya, dosen kurang membiasakan mahasiswa bagaimana membuat
peta konsep terhadap pokok-pokok bahasan yang akan dibahas dalam satu semester, demikan pula
halnya dengan pembuatan peta konsep dalam satu pokok bahasan. Setiap awal tatap muka pertama
dosen perlu bersama-sama dengan mahasiswa membuat peta konsep dan sekaligus memberi label
keterkaitan antara konsep yang satu dengan yang lainnya yang mengambarkan relasi hierarkis,
prosedur, dan kluster. Hasil pengamatan di kelas perkuliahan Pendidikan Kewargaan mereka hanya
langsung membagi topik/pokok bahasan yang akan dibahas selama dalam satu semester.
336 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Dalam proses pembelajaran juga tampak bahwa mahasiswa berpikir secara subjektif, yang
seakan-akan pendapatnya sendiri yang benar. Hal ini berkonsekuensi terhadap lahirnya sikap dari
mahasiswa yang tidak simpatik pada temanya yang menganggap pendapatnya sajalah yang paling
benar. Demikian juga sebaliknya, secara tidak sadar juga melakukan hal yang sama.
Selain pengamatan di dalam kelas, juga ada satu fenomena yang menarik untuk dikaji di luar
dari masalah materi perkuliahan, yakni mahasiswa dalam menyampaikan aspirasinya sebagai
bentuk kepedulian terhadap kampus lebih senang dalam bentuk demo, sehingga demo sudah
menjadi kegiatan rutinitas bagi sebagian mahasiswa. Hal ini sangat mengganggu tingkat
kenyamanan perkuliahan sehingga terkadang antar mahasiswa yang demo dan belajar terjadi
insiden di antara mereka. Kalau memperhatikan tuntutan mereka sebagai tema kritik dalam
demonstrasi mereka, yang lebih dominan adalah persoalan politik kampus dari pada masalah yang
terkait dengan kepentingan kesuksesan mereka belajar di perguruan tinggi.
Dengan gambaran permasalahan di atas maka yang menjadi area dan fokus penelitian
tindakan ini adalah bentuk pembelajaran yang mampu meningkatkan/mengembangkan adalah sikap
mahasiswa dalam melihat persoalan-persoalan demokrasi dan HAM. Selanjutnya, pokok
permasalahn ini dirinci menjadi:
apakah penerapan model desain konstruktivis pada konsep Demokrasi dan HAM dalam mata kuliah
Pendidikan Kewargaan dapat mengembangkan sikap mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo?
bagaimana merancang desain pembelajaran Pendidikan Kewargaan, yang dapat meningkatkan sikap
mahasiswa khususnya yang terkait dengan HAM dan Demokrasi;
pengelolaan pembelajaran yang bisa meningkatkan sikap mahasiswa;
sistem evaluasi yang dapat mengembangkan sikap konsisten dengan pengetahuan yang dimiliki
oleh mahasiswa;
Untuk menganalisis dan meyelesaikan persoalan di atas, perlu dibuat langkah-langkah
sistematis dalam menerapkan suatu tindakan yang dapat mengembangkan sikap mahasiswa.
Rencana Program Tindakan Siklus Pertama
Program tindakan pada siklus pertama berbentuk lesson plan kemudian dikonversi ke dalam
format rancangan enam elemen rancangan belajar konstruktivis yang disebut dengan Constructivist
Learning Design (CLD). Rencana pembelajaran mahasiswa didorong untuk meningkatkan perhatian
mahasiswa dalam mengkaji masalah-masalah HAM dan Demokrasi. Untuk meningkatkan atau
mengubah sikap mahasiswa digunakan teknik brain storming pada awal kegiatan pendahuluan.
Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi konsep apa saja yang harus dimunculkan dalam setiap
pokok pembahasan yang berkaitan dengan demokrasi dan HAM. Dari hasil brain storming tersebut,
mahasiswa diminta untuk menyeleksi sendiri mana konsep inti dan mana konsep turunan kemudian
mereka diminta untuk membuat peta konsep.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 337
Supaya mahasiswa bisa termati proses perkembangan sikapnya setiap elemen CLD, yaitu
pengkondisian (situation), pengelompokan (grouping), penghubung (bridge), pertanyaan
(questioning), eksibisi, dan refleksi dilakukan pengamatan.
Salah satu contoh gambaran lengkap tentang lesson plan pada prodi yang diteliti pada siklus
pertama adalah sebagai berikut.
Lesson Plan untuk mahasiswa Prodi Akhwalu Syahsiah (AS) Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Pokok Bahasan : Demokrasi (Teori dan Aksi)
Sub Pokok Bahasan : mengkritisi wacana hubungan Islam dan Demokrasi
Mahasiswa :Tarbiyah Prodi AS Semester I Tahun Akademik 2007/2008
1 Pengantar (Overview)
Dalam konteks pemahaman demokrasi di Indonesia masih terdapat beberapa pandangan yang
berbeda, baik dari sisi teori, maupun pada sisi penerapan. Islam sebagai jumlah penduduk mayoritas
di Indonesia memiliki banyak konsep-konsep ideal tentang kemasyarakatan, tetapi cukup miskin
pengalaman dalam praktik berdemokrasi. Di belahan negera-negara Muslim masih tumbuh subur
rezim-rezim otoriter, sedangkan di negera Barat sudah pada dataran praktek berdemokrasi.
2 Tujuan Pembelajaran
1 Mahasiswa mampu menjelaskan beberapa istilah dalam Islam yang terkait dengan prinsip
prinsip demokrasi yang sesuai dengan Islam.
2 Mahasiswa mampu menjelaskan sikap mereka tentang parameter tegaknya demokrasi yang
tidak bertentangan dengan ideologi negara.
3 Mahasiswa mampu memberikan solusi alternatif supaya proses demokrasi tumbuh dan
berkembang dengan cepat di Negara Islam.
4 Mahasiswa mau dan sadar memberikan apresiasi terhadap perbaikan dan pelaksanaan nilai-
nilai demokrasi kapan dan di mana pun mereka berada.
3 Strategi Pembelajaran
Elisitas ( inventarisasi pendapat dengan selektif)
Asosiasi ( mahasiswa diperlihatkan gambar video kemudian diminta responnya)
Ice breaking
Information search
338 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
4 Bahan dan Media Pembelajaran
Bahan : Tranparansi, spidol, kertas HVS
Media : OHP atau Laptop, LCD (in focus)
5 Prosedur Pembelajaran
Motivasi
Pernyataan penyadaran tentang peranan mahasiswa dalam menumbuhkan nilai-nilai demokrasi
Questioning
Presentasi Dosen
Gambaran singkat tentang konsep inti dalam materi demokrasi dan istilah-istilah yang terkait
dengan Islam
Aktivitas
Dosen menyampaikan materi sebagai pengantar
Memberikan pertanyaan sebagai bahan yang akan didiskusikan
Hasilnya ditampilkan dan diseleksi yang berhubungan dengan materi
Refleksi/klarifikasi nilai
Motivasi
Evaluasi
Memberikan beberapa pertanyaan inti yang berkaitan dengan sikap mahasiswa tentang demokrasi.
Tugas Terstruktur
Menugaskan mahasiswa secara individu untuk mengamati lingkungan domisilinya tentang perilaku
berdemokrasi (laporan dalam bentuk tertulis).
Gambaran lesson plan di atas dikonversi menjadi rancangan belajar konstruktivis seperti
yang tergambar pada tabel berikut:
Tabel 4.1 Konversi Lesson Plan ke Rangcangan Belajar Konstruktivistik
No Komponen Aktivitas Pembelajaran
1 Situasi Maksud dan tujuan dari sesi perkuliahan ini adalah
bagaimana mahasiswa memahami dan meng-klarifikasi
nilai-nilai yang terkait dengan materi demokrasi secara
umum yang meliputi demokrasi sebagai pandangan
hidup, unsur penegak demok-rasi, prinsip dan parameter
demokrasi, model-model demokrasi di Indonesia yang
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 339
dibandingkan dengan istilah-istilah, baik yang relevan,
maupun yang tidak yang ada dalam ajaran Islam.
Selanjutnya kompetensi yang diharapkan pada
perkuliahan ini adalah terwujudnya kemampuan
penguasaan pengetahuan kewargaan (civic knowledge),
keca-kapan sikap kewargaan (civic disposition), secara
konsisten sehingga mahasiswa mampu meng-
artikulasikan keterampilan kewargaan (civic skills) dalam
berdemokrasi.
2 Pengelompokan Mahasiswa dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
dosen mengelomkpokkan mahasiswa dengan cara
menghitung sampai tiga, secara berulang hingga semua
mahasiswa memiliki nomor masing-masing, semua yang
menyebutkan nomor satu bergabung menjadi kelompok
satu demikian seterusnya. Masing-masing kelompok
diberi satu topik untuk didiskusikan. Kelompok satu
membahas hakikat demokrasi sebagai pandangan hidup,
kelompok dua membahas prinsip dan unsur-unsur
parameter negara demokratis, kelompok tiga membahas
Islam dan demokrasi.
3 Pengaitan Sebelum mahasiswa berdiskusi berdasarkan information
search, dosen melakukan review singkat yang terkait
dengan materi sebelumnya, yaitu tentang konstitusi.
Dosen memberikan waktu 10 menit untuk membaca
materi yang sudah disiapkan oleh dosen.
4 Pertanyaan Setelah selesai diskusi, dosen meminta setiap kelompok
mengajukan pertanyaan yang kritis yang terkait dengan
yang norma dan realitas yang ada
5 Ekshibisi Setiap kelompok peserta diminta untuk mengemukakan
pendapat tentang hasil bacaan dan diskusi kelompok.
Pada saat pemaparan hasil diskusi, mahasiswa, melalui
kelompoknya mem-berikan tanggapan, pertanyaan, saran,
dan solusi tentang permasalahan yang muncul dari setiap
340 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
kelompok. Hal ini dilakukan secara bergantian.
6 Refleksi Pada akhir sesi pembelajaran, dosen meminta pendapat
atau pandangan mahasiswa tentang pengetahuan yang
telah diperoleh dari proses pembelajaran tentang
demokrasi. Dosen meminta mahasiswa untuk
merenungkan kembali selama dalam proses
pembelajaran apakah mahasiswa sudah menerapkan nilai-
nilai demokrasi baik ketika bertanya maupun ketika
menanggapi pertanyaan dari teman-temannya
Implementasi Tindakan Siklus Pertama
Ada dua kegiatan yang dirancang pada kegiatan awal perkuliahan, yakni; (1)
kegiatan pada tatap muka pertama dalam perkuliahan satu semester, (2) kegiatan pendahuluan
setiap tatap muka dalam perkuliahan.
Kegiatan pendahuluan pada awal perkuliahan adalah melakukan perkenalan. Dalam
hal ini hanya satu kelas yang dideskripsikan pada uraian ini, sebab kegiatan yang dilakukan oleh
dosen pada kegiatan ini teknisnya sama yaitu perkenalan, penyampaian kontrak perkuliahan.
Salah seorang dosen yang melakukan kegiatan tatap muka awal adalah dosen yang
mengajar pada prodi PAI. Pertama-tama dosen meminta mahasiswa untuk memperkenalkan diri
dengan cara silang, yaitu si A memperkenalkan si B, dan si B memperkenalkan si C, dan
seterusnya. Langkah ini merupakan langkah awal untuk menanamkan sikap keingintahuan terhadap
teman yang lainnya. Lewat perkenalan ini, dosen dapat mengamati bagaimana struktur awal
mahasiswa dalam mengelaborasi teknik memperkenalkan orang lain di hadapan teman-temannya.
Setelah kegiatan perkenalan selesai, dosen mulai melakukan kegiatan pengondisian dengan
menggambarkan secara menyeluruh dari setiap episode kegiatan perkuliahan dengan pernyataan
yang jelas tentang tujuan mata kuliah, tugas seperti apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa dan
kesepakatan kode etik selama mengikuti perkuliahan termasuk masalah kehadiran tepat waktu.
Untuk membangun pemahaman mahasiswa terhadap mata kuliah yang akan diterima
dan sekaligus mengetahui karakteristik pengetahuan awal yang dimiliki mahasiswa, pertama yang
dilakukan oleh dosen adalah meminta mahasiswa untuk mencurahkan pendapatnya tentang konsep-
konsep apa saja yang menjadi inti materi dalam perkuliahan Pendidikan Kewargaan. Pertanyaan
pertama yang dilontarkan oleh dosen adalah "Coba Anda kemukakan apa saja yang Anda ketahui
tentang Pendidikan Kewargaan? Hanya ada sembilan dari 30 mahasiswa yang menjawab. Jawaban
mereka bervariasi, ada yang mengatakan bahwa Pendidikan Kewargaan adalah pengganti mata
kuliah Kewiraan yang materinya bersifat dogmatis, yang lain mengatakan mata kuliah ini
seharusnya membahas tentang bagaimana masyarakat memahami kedudukannya sebagai warga
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 341
negara yang memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, Ada pula yang berpendapat bahwa mata
kuliah ini isinya adalah membicarakan nilai-nilai Pancasila yang sudah banyak dilupakan oleh para
pemimpin kita.
Langkah selanjutnya dosen mengakomodasi sekian pendapat dan tanggapan dengan
teknik elisitasi yaitu dosen menulis di papan tulis kemudian dosen kembali merumuskan konsep inti
yang ada pada mata kuliah Pendidikan Kewargaan. Ada tiga konsep inti yang dirumuskan secara
bersama, yaitu (1) demokrasi, (2) HAM dan KAM, dan (3) masyarakat madani (civil society).
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh dosen adalah menyampaikan semua materi
perkuliahan yang merupakan akumulasi dari konsep inti yang terdiri atas sembilan bagian
(terlampir). Kesembilan bagian tersebut diorganisir sesuai dengan prinsip-prinsip struktur materi
yaitu fakta, konsep, prosedur dan prinsip atau kaidah. Dosen menjelaskan bahwa ada tiga strategi
yang dikembangkan dalam mata kuliah ini, yaitu (1) strategi pengorganisasian materi yang bersifat
konsep dan prinsip diurutkan berdasarkan dengan pendekatan herarkis, materi yang bersifat fakta
diurutkan berdasarkan dengan pendekatan cluster atau pengelompokan, dan materi yang bersifat
prosedural didekati dengan pendekatan tahapan teknis, (2) strategi penyampain yang melibatkan
dosen dan mahasiswa memilih berbagai teknik dan model pembelajaran, Ada beberapa teknik yang
disebutkan, yaitu teknik pengambilan keputusan, klarifikasi nilai dan pemecahan masalah, dan (3)
strategi pengelolaan pembelajaran yang antara lain bagaimana mengatur perbedaan karakteristik
mahasiswa dan bagaimana melaksanakan hasil kesepakatan antara mereka. Selanjutnya juga
disepakati tentang sistem penilaian dan aspek-aspek penentuan nilai akhir.
Kegiatan pada tatap muka selanjutnya yang merupakan implementasi tindakan
penelitian adalah tidak semua materi seperti yang disebutkan di atas, tetapi hanya dua bagian inti
materi yaitu Demokrasi dan HAM.
Penyajian materi yang telah diseleksi dirancang khusus dan implementasinya juga
dibatasi pada empat prodi yaitu (1) Prodi AS, AF, PAI dan TBI.
Kelas Prodi AS (pertemuan 2)
Pendahuluan: dosen mengawali dengan salam dan dimulai mengucapakan syukur kepada
Allah. Kuliah dimulai dengan melakukan brainstorming, yaitu menanyakan apa itu demokrasi.
Mahasisiwa menjawab bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat.
Mahasiswa kedua menjawab dari segi etimologisnya, yaitu demokrasi terdiri dari dua kata yaitu
demos dan kratos. Demos adalah rakyat dan kekuasaan. Dosen merumuskan beberapa perpektif
tentang demokrasi. Antara lain dikatakan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang
342 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
mengakomodir apa yang diinginkan oleh rakyat dengan demikian dapat juga dimaknai bahwa
demokrasi merupakan kekuasaan di tangan rakyat.
Sebelum kegiatan inti dimulai, dosen terlebih dahulu membagi mahasiswa menjadi tiga
kelompok yang rata-rata terdiri dari sembilan orang berdasarkan tempat duduk. Setelah kelompok
terbentuk, dosen menggunakan strategi information search, yaitu masing-masing ditugasi untuk 1)
membaca materi selama 10 menit, 2) mendiskusikan hasil bacaannya, dan 3) memplenokan hasil
rumusan tugasnya. Ada tiga topik diskusi yang diberikan. Kelompok satu membahas “hakikat
demokrasi sebagai pandangan hidup”. Kelompok dua membahas “prinsip dan parameter Negara
demokratis”. Kelompok tiga membahas “kelompok tiga membahas Islam dan demokrasi. Ketika
mereka berdiskusi, dosen berkeliling mengawasi diskusi kelompok. Setelah selesai, dosen meminta
perwakilan masing-masing kelompok untuk menyampaikan hasil diskusinya. Kelompok yang
pertama tampil adalah kelompok dua yang menyampaikan prinsip dan parameter negara demokrasi
yang menemukan tiga kesimpulan yaitu persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Kelompok dua yang
membahas “hakekat demokrasi sebagai pandangan hidup” menyimpulkan tujuh hal, yaitu;
pemaknaan demokrasi sebagai bentuk kerja, kesadaran atas kemajemukan, musyawarah, konsistensi
antara cara dan tujuan, norma kejujuran dalam permufakatan, kebebasan nurani, dan upaya selalu
mencoba meskipun terkadang salah. Kelompok tiga yang membahas “Islam dan Demokrasi”
menyimpulkan bahwa Islam dan Demokrasi memiliki persamaan dan perbedaan, Di kalangan umat
Islam perbedaan secara teoretis dan secara implementatif memiliki rentang dari yang ekstrem
sampai yang moderat. Persamaan lebih banyak pada tataran aplikasi, yaitu bahwa setiap orang
memiliki hak yanag sama.
Penutup: sebagai kegiatan terakhir dalam tatap muka, dosen menyimpulkan secara bersama-sama
apa saja yang menjadi inti hakikat dan implementasi demokrasi di Indonesia. Dosen dan
mahasiswa kembali mempertegas hakikat demokrasi, yaitu nilai yang menghargai pluralisme,
keadaban, dan kesamaan derajat. Untuk menggugah afeksi mahasiswa, dosen kembali menyebutkan
manfaat dari materi yang telah dipelajari secara bersama. Dalam kegiatan ini, dosen memberikan
tugas investigasi tentang bentuk penyampaian aspirasi mahasiswa melalui pengamatan di
lingkungan domisili masing-masing mahasiswa secara berkelompok. Selain itu dosen juga
memberikan sejumlah pertanyaan untuk dijawab dan inventarisasi nilai-nilai yang terkandung
dalam materi yang telah didiskusikan. Kemudian dosen menutup perkuliahan dengan ucapan
semoga Anda sukses dalam studi wassalamu alaikum.
Observasi Pengaruh Tindakan Siklus I
Pada tahap ini observasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tindakan siklus I mempengaruhi
peningkatan sikap sebagaimana yang diharapkan dalam penelitian ini. Berdasarkan observasi yang
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 343
dilakukan secara intensif, ternyata melalui pendekatan pembelajaran konstruktifistik terjadi
peningkatan sikap secara kualitatif terhadap masalah HAM dan Demokrasi. Komponen-komponen
yang mengalami perubahan, yaitu adanya perubahan sikap mahasiswa yang menolak dan bahkan
ekstrem terhadap beberapa konsep demokrasi, misalnya demokrasi itu tidak sama dengan konsep
syura dalam Islam. Demokrasi dalam bentuk pemilihan langsung tidak sesuai dengan praktik Islam.
Demikian pula dengan masalah HAM yang berkaitan dengan isu gender, kawin lintas agama,
poligami, pindah agama. Penolakan tersebut menjadi lebih moderat dan bahkan ada yang menerima
setelah mengikuti proses diskusi dan memahami sumber-sumber bacaan yang telah disiapkan.
Selain itu, terjadi peningkatan kemampuan dan keterampilan dosen untuk menata dan mengelola
pembelajaran, misalnya dosen membuat kesepatan awal bagaimana kode etik yang harus dipatuhi
dalam mengikuti perkuliahan, bagaimana teknik membagi kelompok yang heterogen, bagaimana
memberikan tugas kepada mahasiswa yang variatif berdasarkan karakteristik mahasiswa.
Kemudian, unsur lain yang meningkat adalah pelaksanaan sistem penilaian yang menekankan pada
setiap elemen desain tindakan mulai dari kondisi sampai pada elemen refleksi. Penilaian dan
keputusan dilakukan dengan pelaksanaan penilaian yang semakin terimplementasi dengan baik,
yang sebelum pelaksanaan tindakan tidak ada catatan secara terprogram tentang bagaimana bentuk
dan tingkatan sikap mahasiswa. Komponen lain yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan
secara kuantitatif dan kualitatif partisipasi mahasiswa dalam mendiskusikan masalah HAM dan
Demokrasi. Bagaimana proses itu terjadi pada salah satu prodi yang diteliti adalah deskripsinya
sebagai berikut:
Kondisi perubahan sikap mahasiswa
Prodi AS
Jumlah keseluruhan mahasiswa Prodi AS yang mengikuti perkuliahan pada pertemuan II sejumlah
25 orang. Instrumen yang digunakan untuk mengetahui bagaimana perubahan sikap mahasiswa
adalah pengamatan dan sejumlah daftar pertanyaan. Objek pengamatan adalah sebagai berikut: (1)
kualitas pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa, (2) kualitas jawaban tanggapan mahasiswa, (3)
kewajaran saran yang diajukan, dan (4) solusi permasalahan yang diajukan. Adapun instrumen
pertanyaan yang diajukan kepada mahasiswa untuk mengetahui sikap mahasiswa, yaitu (1)
Setujukah Anda tentang konsep demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia (pasca orde baru) jika
anda tidak setuju atau setuju, jelaskan alasannya; (2) kalau saudara tidak setuju dengan konsep
demokrasi, apa solusi yang Anda tawarkan, (3) dalam kehidupan sehari-hari, utamanya di
lingkungan kampus dan di lingkungan domisili Anda, apakah anda merasa/melihat bahwa nilai-nilai
344 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
demokrasi sudah terlaksana; (4) bagaimana pendapat Saudara tentang hakikat demokrasi yang
sesuai dengan latar belakang budaya, agama, ras/suku, dan tingkat kesejahteraan; (5) bagaimana
kecenderungan sikap anda terhadap dua konsep demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan
demokrasi tidak langsung.
Selama dalam pengamatan terlihat bahwa mahasiswa Prodi AS mengalami perubahan sikap
meskipun secara keseluruhan belum representatif. Indikator yang dijadikan penilaian adalah: (1)
jawaban dari sejumlah pertanyaan yang diberikan kepada setiap mahasiswa pada akhir kegiatan
tatap muka dan (2) pengamatan aktifitas mahasiswa selama mengikuti kegiatan perkuliahan.
Identifikasi atas jawaban pertanyaan yang diberikan kepada mahasiswa memiliki jawaban yang
bervariasi, tergantung pada perspektif yang digunakan oleh mahasiswa. Variasi jawaban tersebut
adalah sebagai berikut:
Jawaban soal tentang konsep demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia pasca Orde Baru adalah (a)
konsep demokrasi yang diterapkan sekarang belum tepat, (b) konsep demokrasi sudah tepat, tetapi
disalahgunakan oleh kelompok-kelompok yang berambisi dengan kekuasaan, (c) euforia demokrasi
sekarang ini sama dengan ”demo crazy”, (d) konsep demokrasi yang sebenarnya yang harus
diterapkan di Indonesia adalah seperti yang ada dalam konsep ajaran Islam seperti konsep ”syuraa”.
Jawaban soal nomor dua tentang ketidaksetujuan dengan demokrasi yang dianut di Indonesia adalah
(a) realitas yang belum menganut sistem demokrasi dari rakyat untuk rakyat seperti di Cina,
Malaysia, Singapura dan beberapa negara lain di dunia tingkat income per kapitanya lebih tinggi
dibandingkan dengan Indonesia yang sudah menganut sistem demokrasi; (b) biaya pelaksanaan
sebuah demokrasi begitu mahal dibandingkan dengan membiayai masyarakat yang memiliki
ekonomi lemah; (c) hasil produk berupa peraturan, kebijakan yang prosesnya dianggap sudah
demokratis terkadang tidak memenuhi rasa keadilan, dan (d) menyuburkan praktik money politics.
Jawaban soal nomor tiga tentang pernyataan mahasiswa atas tanggapan penerapan nilai demokratis
di lingkungan keluarga, masyarakat, dan kampus: (a) sebagian besar mahasiswa merasa masih
banyak hal yang tidak demokratis atas keputusan yang dilakukan oleh orang tua dan anak, misalnya
pilihan jodoh, pekerjaan, dan pendidikan; (b) pengamatan mereka atas pola kehidupan dan interaksi
antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dan instansi pemerintahan, dan lembaga/institusi
swasta yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi, misalnya penggusuran, pemutusan hubungan
kerja, dan pelayanan jasa; (c) pemaksaan kehendak terhadap kelompok masyarakat yang satu
dengan masyarakat lainnya; (d) kalau dibandingkan dengan era Orde Baru dengan era roformasi,
pelaksanaan nilai demokrasi sudah lumayan dari segi proses, tetapi dari segi subtansi masih terjadi
penyalahgunaan wewenang.
Jawaban soal nomor empat tentang konsep demokrasi terhadap pluralisme budaya, suku, agama dan
kepercayaan: (a) konsep demokrasi semestinya tidak harus sama karena masing-masing
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 345
suku/budaya memiliki nilai-nilai dan konsep demokrasi masing-masing; (b) Subtansi demokrasi
dari nilai kesejajaran, kekeluargaan harus menjadi unsur utama pada semua aspek perbedaan yang
ada pada masyarakat bangsa dan negara; (c) nilai demokrasi yang sudah dilaksanakan secara turun
temurun harus dipertahankan dan jangan dikorbankan dengan alasan menghargai budaya orang lain.
5. Jawaban soal nomor lima tentang demokrasi langsung dan tidak langsung yaitu: (a) mereka lebih
suka/cenderung kepada demokrasi langsung sebab dengan demokrasi langsung mereka akan bisa
mengaspirasikan apa yang menjadi keinginan secara pribadi, tanpa harus banyak persoalan-
persoalan lain (b) mereka lebih cenderung pada demokrasi langsung dengan semboyan “biarkan
rakyat yang berbicara”; (c) mereka lebih cenderung kepada demokrasi lansung karena dengan
demokrasi langsung kita bebas berekspresi (d) konsep ini sama dengan yang telah diajarkan dalam
Islam melalui musyawarah.
Aspek lain yang teramati adalah aktivitas mahasiswa selama mengikuti kegiatan
perkuliahan, seperti pelaksanaan diskusi kelompok dan diskusi kelas. Aktivitas setiap kelompok
tercermin bahwa pada umumnya anggota kelompok berkontribusi dalam merumuskan hasil diskusi
kelas, meskipun ada satu atau dua orang yang tidak berkomentar sama sekali dan sebaliknya masih
ada anggota kelompok yang mendominasi pembicaraan dalam diskusi kelas. Jenis aktivitas yang
muncul selama diskusi antara lain: memberikan saran dan tanggapan, bertanya, menjawab dan
memberikan solusi. Aktivitas yang dominan adalah memberi tanggapan dalam perumusan diskusi.
Kegiatan diskusi kelas didominasi oleh kegiatan bertanya, menanggapi, dan kadang-kadang
muncul suasana debat yang cukup keras. Kegiatan diskusi kelas dilakukan secara bergantian setiap
kelompok. Setiap kelompok menyampaikan hasil rumusan diskusi kelompok, kemudian dilanjutkan
dengan kegiatan tanya jawab. Setiap kelompok yang tampil rata-rata ditanggapi oleh beberapa
penanya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan cukup kritis dan biasanya keluar dari apa yang telah
dirumuskan oleh kelompok penyaji.
Refleksi Tindakan Siklus I
Refleksi bukan hanya bagian dari proses penelitian tindakan, melainkan juga merupakan bagian dari
desain pembelajaran konstruktifis. Komponen yang digunakan dalam melakukan refleksi atas
tindakan siklus satu disederhanakan sesuai dengan tahapan-tahapan dalam pembelajaran, yaitu (1)
pendahuluan, (2) penyajian inti, dan (3) penutup. Dalam hal ini refleksi tidak dilakukan pada setiap
prodi, tetapi dilakukan secara umum.
Pendahuluan berdasarkan refleksi antara dosen dan peneliti, terdapat beberapa hal terkait penerapan
model konstruktivistik yang perlu diperhatikan, yakni:
346 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Terjadi perubahan kebiasaan yang merepotkan dosen pada saat melakukan pembukaan perkuliahan
karena dosen harus melalui dengan kegiatan pengondisian. Salah satu kegiatan yang ada pada
elemen pengodisian adalah melakukan brainstorming, yaitu untuk memotivasi mahasiswa dalam
mengonstruksi pengetahuannya.
Dosen memiliki keterbatasan dalam mengidentifikasi materi yang bersifat fakta, konsep, prosedur,
dan kaidah.
Keterlibatan mahasiswa secara refresentatif dalam melakukan curah pendapat belum maksimal.
Direkomendasikan pada siklus berikutnya untuk khususnya pada tahap pembukaan perkuliahan,
dosen memaksimalkan upaya menarik perhatian mahasiswa dengan cara: (a) Pendahuluan bukan
hanya brainstorming, tetapi juga diperlukan dorongan sikap untuk merasakan dan memiliki
keprihatinan terhadap persoalan HAM dan Demokrasi yang dialami oleh mahasiswa ataupun orang
lain, (b) Pelibatan mahasiswa bukan hanya merumuskan tentang topik pembicaraan materi,
melainkan juga diberikan tugas berupa simbol-simbol, gambar, dan karikatur untuk dimaknai.
Penyajian, ada kebiasaan dosen pada pratindakan dalam penyajian materi semuanya diserahkan
kepada mahasiswa. Dosen hanya mengamati kegiatan diskusi tanpa bekerja keras. Pada siklus
pertama ternyata dosen telah bekerja keras untuk mengimplementasi elemen CLD.
Elemen grouping, pengaitan, dan ekshibisi yang masuk pada tahapan penyajian telah dilakukan oleh
dosen meskipun hasilnya belum maksimal karena kegiatan itu pengalaman baru bagi dosen. Dosen
telah merasakan bahwa dengan pendekatan CLD betul meningkatkan sikap mahasiswa. Indikator itu
terlihat bahwa mahasiswa semakin aktif dalam berdiskusi, semakin serius mengikuti perkuliahan
dan mahasiswa mulai memperlihatkan sikap kooperatif dan toleransinya. Namun demikian masih
terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap penyajian yang terkait dengan elemen CLD
sebagai berikut.
Pemanfaatan media pembelajaran otomatis terkait langsung dengan penyampaian materi
pembelajaran. Pada umumnya dosen sudah menggunakan powerpoint sebagai media penyampaian
pesan. Namun, tampilannya belum memenuhi unsur keterkaitan konsep.
Mahasiswa belum memanfaatkan media tersebut dalam mempre-sentasikan laporan/makalah.
Mahasiswa masih kesulitan dalam membuat peta konsep pada pemaparan hasil-hasil diskusinya.
Mahasiswa masih sulit dalam mengkonkretkan konsep-konsep yang ada pada HAM dan Demokrasi
Mahasiswa masih enggan melakukan pengungkapan hasil penilaian diri di hadapan kelas
Perlu dilakukan revisi pada siklus kedua pada tahapan penyajian yang meliputi:
Penggunaan media oleh mahasiswa sekaligus melatih diri untuk mengembangkan kreasinya.
Kegiatan investigasi sebagai pengalaman langsung ditingkatkan
Mendorong mahasiswa yang kurang aktif untuk berani mengemukakan pendapatnya
Penutup
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 347
Pada setiap akhir pembahasan suatu materi dosen memberikan sejumlah pertanyaan sikap sebagai
alat penilaian sudah sejauh mana perubahan sikap mahasiswa terhadap masalah HAM dan
Demokrasi. Selain pemberian pertanyaan, dosen juga melakukan refleksi bersama dengan
mahasiswa. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai bahan masukan untuk pembelajaran berikutnya.
Tindak Lanjut Siklus I
Ada beberapa komponen yang dapat direkomendasikan sebagai tindak lanjut untuk perbaikan pada
siklus II yang berhubungan dengan model pembelajaran konstruktivistik dalam upaya
meningkatkan sikap mahasiswa terhadap masalah HAM dan Demokrasi sebagai berikut:
Mendorong dan mengondisikan terjadinya peningkatan sikap terhadap nilai-nilai HAM dan
Demokrasi. Peningkatan sikap mahasiswa terhadap HAM dan Demokrasi adalah target perbaikan
sikap, sikap itu bisa terinternalisasi dalam kehidupan keseharian mahasiswa
Pengelolaan pembelajaran termasuk unsur penting dalam upaya mengubah sikap mahasiswa, seperti
yang disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa pengelolaan pembelajaran meliputi identifikasi
karakteristik mahasiswa, karakteristik sumber belajar dan karakteristik materi bahan ajar, dan
karakteristik sumber belajar. Dengan demikian, tindak lanjut yang harus dilakukan oleh dosen
adalah menginventarisasi berbagai komponen yang dapat mempengaruhi hasil belajar. Komponen
kondisi yang berupa karakteristik mahasiswa, struktur materi, dan pengelolaan kelas harus menjadi
acuan dalam pengembangan strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian pembelajaran.
Sistem evaluasi ditingkatkan secara terus-menerus untuk mengikuti perkembangan kondisi
pembelajaran. Titik penekanannya adalah pembuatan indikator-indikator pencapaian setiap aspek
unjuk kerja mahasiswa. Umpan balik hasil penilaian senantiasa dikomunikasikan dengan
mahasiswa.
Peningkatan aktivitas mahasiswa sangat ditentukan oleh sejauh mana kreativitas guru untuk
mendorong mahasiswanya aktif dalam berbagai kegiatan. Dosen harus mampu menciptakan
suasana kondusif yang memotivasi mahasiswa untuk bersikap yang elegan.
Pengamatan Pascasiklus Satu
a. Deskripsi Situasi
Dengan selesainya tindakan pada siklus satu, dapat dikemukakan bahwa tindakan dengan
pendekatan CLD dapat meningkatkan sikap mahasiswa dalam memandang masalah HAM dan
Demokrasi dikaitkan dengan eksistensinya sebagai mahasiswa perguruan tinggi Islam. Indikator itu
348 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
terlihat dalam bentuk perilaku dan argumentasi yang dikemukakan oleh keempat prodi yang
menjadi subjek penelitian tindakan.
Mahasiswa di empat prodi telah menunjukkan sikap kesungguhan dalam mengikuti
perkuliahan dari awal sampai akhir, tetapi pada sisi kenderungan masih lebih banyak yang bertanya
belum pada subtansi permasalahan. Mereka bertanya masih didominasi dengan kesan subjektif,
misalnya tentang pernyataan demokrasi sebagai produk barat yang hanya dipakai sebagai siasat
untuk memperluas pengaruhnya pada negara-negara berkembang.
Untuk meminimalisasi asumsi-asumsi subjektivitas mahasiswa maka dosen harus bekerja
keras untuk memberikan referensi dan pandangan-pandangan dan bukti-bukti peristiwa yang dapat
mempengaruhi perasaan subjektivitas mahasiswa tanpa mereduksi nilai-nilai yang tertanam pada
diri mahasiswa.
b. Masalah
Mengacu pada hasil pengamatan pascasiklus pertama, masih dijumpai beberapa masalah
yang perlu dianalisis untuk menemukan jalan keluar pada rancangan tindakan siklus kedua.
Masalah-masalah tersebut terkait dengan penekanan terhadap beberapa elemen-elemen LDC,
sebagai berikut.
Elemen pengondisian sudah mampu mendorong motivasi mahasiswa. Namun, belum seluruhnya
dirasakan oleh mahasiswa.
Elemen questioning sebagian sudah dapat mempengaruhi mahasiswa, tetapi belum mendorong
secara optimal mahasiswa berpikir lebih dalam.
Elemen refleksi sebagai inti dalam pembelajaran konstruktivis telah mampu memberikan kesadaran
pada mahasiswa tentang kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki, tetapi refleksi pada
pengamatan siklus satu belum optimal. Salah satu penyebabnya adalah faktor waktu dan faktor
bimbingan dari dosen
Sistem penilaian dan sistem pengelolaan pembelajaran dapat mendeskripsikan perubahan sikap
mahasiswa tetapi masih perlu dipertajam intrumen dan indikatornya.
c. Analisis Masalah
Kalau dicermati lebih mendalam belum optimalnya pencapaian tujuan penelitian tindakan
ini pada siklus pertama itu disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.
1) Dosen masih terbatas kemampuan untuk mempengaruhi sikap mahasiswa
2) Dosen masih sulit mengimplementasikan secara tepat desain pembelajaran konstruktivis
3) Dosen kewalahan dalam menilai dan mencatat secara keseluruhan aspek-aspek penilaian sikap
bagi mahasiswa
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 349
Pemeriksaan Keabsahan Data
Kredibilitas
Sebagai instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri sehingga
dimungkinkan dalam pelaksanaan di lapangan terjadi kecenderungan bias dan untuk menghindari
hal tersebut, data yang diperoleh perlu diuji kredibilitasnya dan derajat kepercayaannya.
Pengecekan kredibilitas atau derajat kepercayaan perlu dilakukan untuk membuktikan
apakah yang diamati oleh peneliti benar-benar telah sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi
secara wajar di lapangan. Derajat kepercayaan data dalam penelitian kualitatif digunakan dalam
upaya memenuhi kriteria (nilai) kebenaran yang bersifat emic, baik bagi pembaca maupun bagi
subjek yang diteliti
Menurut Lincoln dan Cuba bahwa untuk memperoleh data yang valid dapat ditempuh
dengan empat cara: (1) observasi yang dilakukan secara terus-menerus, (2) triangulasi sumber data,
metode, dan peneliti lain, (3) pengecekan anggota, diskusi teman sejawat, dan (4) pengecekan
mengenai kecukupan referensi.
Keempat cara tersebut di atas semuanya digunakan dalam penelitian ini dan bahkan
ditambah lagi dengan cara lain, yaitu perpanjangan waktu penelitian.
Cara pertama, observasi dilakukan secara sungguh-sungguh dan terus menerus baik pada pra
tindakan maupun pada proses tindakan siklus satu dan dua. Observasi sebelum tindakan
dimaksudkan untuk mengetahui; 1. Keadaan umum tentang sikap mahasiswa dalam berdemokrasi
dan berperilaku dalam menghargai hak-hak orang lain dan juga perilaku dalam melaksanakan
kewajibannya, 2. Keadaan secara spesifik tentang kebiasaan-kebiasaan mahasiswa dan dosen dalam
mengikuti perkuliahan Pendidikan Kewargaan. Kemudian, observasi yang dilakukan selama dalam
masa tindakan baik pada siklus satu maupun siklus dua dimaksudkan untuk mengetahui segala
bentuk aktivitas mahasiswa sebagai konsekuensi penerapan pendekatan konstruktivistik semua
dicatat baik dalam bentuk rekaman audio, visual, maupun dengan catatatan lapangan. Semua
aktivitas baik yang terkait maupun yang tidak terkait dengan proses pembelajaran itu diamati lalu
dideskripsikan untuk selanjutnya dianalisis. Observasi setelah selesai proses pembelajaran
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh tindakan mengubah sikap mahasiswa.
Cara kedua, triangulasi sumber data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari
informan yang satu dengan yang lainnya, misalnya dari dosen yang satu ke dosen yang lainnya, dari
mahasiswa prodi yang satu ke mahasiswa prodi yang lain. Triangulasi metode dilaksanakan dengan
cara memanfaatkan penggunaan beberapa metode yang berbeda untuk mengecek balik derajat
350 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh, misalnya hasil observasi dibandingkan atau dicek
dengan interview, kemudian dicek lagi melalui dokumen yang relevan. Pengecekan data dengan
member check dilakukan pada subjek wawancara melalui dua cara. Cara pertama langsung pada
saat wawancara dalam bentuk penyampaian ide yang tertangkap oleh peneliti saat wawancara. Cara
kedua tidak langsung dalam bentuk penyampaian rangkuman hasil wawancara yang sudah dibuat
oleh peneliti. Dalam hal ini, tidak setiap fokus penelitian mendapat member chek. Namun,
pengakuan kebenaran data oleh pihak-pihak tertentu yang dianggap sumber informasi dari yang
sudah diwawancarai dan dinyatakan memadai mewakili sumber informasi sasaran wawancara.
Cara ketiga, rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini cukup lama, dimulai bulan
Oktober 2014 sampai dengan bulan Pebruari 2015. Waktu lima bulan pertama, semester ganjil
tahun akademik 2014/2015 penelitian pratindakan dan lima bulan berikutnya, semester ganjil tahun
akademik 2014/2015, penelitian tindakan. Ini merupakan suatu bukti bahwa penelitian ini tidak
dilakukan secara tergesa-gesa. Setiap data yang terkumpul tidak langsung disimpulkan, tetapi
diperlukan data lain untuk dibandingkan lalu diambil satu kesimpulan.
2. Transferabilitas
Transferabilitas atau keteralihan dalam penelitian kualitatif dapat dicapai dengan cara ”Uraian
Rinci”. Untuk penelitian ini peneliti berusaha melaporkan hasil penelitian secara rinci. Uraian
laporan diusahakan dapat mengungkap secara khusus segala sesuatu yang diperlukan oleh pembaca
agar para pembaca dapat memahami temuan-temuan yang diperoleh. Penemuan itu sendiri bukan
bagian dari uraian rinci, melainkan penafsirannya yang diuraikan secara rinci dengan penuh
tanggung jawab berdasarkan pada kejadian-kejadian yang ada. Dalam konteks ini tentunya peneliti
tidak bisa menentukan apakah hal ini bisa dialihkan ke tempat lain karena pembacalah yang
menentukan. Peneliti hanya berusaha secara maksimal merancang penelitian ini dengan jelas.
Dependabilitas
Dependabilitas atau ketergantungan dilakukan untuk menanggulangi kesalahan-kesalahan dalam
konseptualisasi rencana penelitian, pengum-pulan data, interpretasi temuan, dan pelaporan hasil
penelitian. Untuk itu diperlukan dependent ouditor. Sebagai dependent ouditor dalam penelitian ini
adalah para promotor.
4. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas atas kepastian diperlukan untuk mengetahui apakah data yang
diperoleh objektif atau tidak. Hal ini bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap
pandangan, pendapat, dan temuan seseorang. Jika telah disepakati oleh beberapa atau banyak
orang, dapat dikatakan objektif. Namun, penekanannya tetap pada datanya. Untuk menentukan
kepastian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengonfirmasikan data dengan para
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 351
informan atau para ahli. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama dengan pengauditan dependabilitas.
Perbedaannya jika pengauditan dependabilitas ditujukan pada penilaian proses yang dilalui selama
penelitian, sedangkan pengauditan konfirmabilitas adalah untuk menjamin keterkaitan antara data,
informasi, dan interpretasi yang dituangkan dalam laporan serta didukung oleh bahan-bahan yang
tersedia.
Analisis dan Interpretasi Data
Pada dasarnya analisis data sudah dilakukan sejak penyusunan perencanaan dan
implementasi pada siklus satu dan siklus dua. Analisis dan interpretasi data pada bagian ini adalah
pada aspek: (1) rancangan pendekatan pembelajaran konstruktivis. (2) Sistem pengelolaan pembela-
jaran. (3) Sistem evaluasi.
Perubahan sikap mahasiswa
Data mengenai perubahan sikap mahasiswa pada semua prodi yang diberikan tindakan pada
siklus pertama dan kedua dari aspek keseriusan dalam mengikuti perkuliahan/pembelajaran,
intensitas pertanyaan, intensitas menjawab, intensitas menanggapi, dan intensitas memberikan
solusi menunjukkan ada kemajuan seperti yang tergambar pada tabel berikut.
Tabel 4.35 Akumulasi Peningkatan Aktivitas Mahasiswa Semua Prodi
No.
Tepat waktu
siklus
Bertanya
siklus
Menjawab
siklus
Menanggapi
siklus
Solusi
siklus
Ket.
I II I II I II I II I II
AS 19 27 15 17 5 10 7 5 4 8
AF 17 25 10 14 4 11 5 6 6 8
PAI 25 27 15 15 9 10 8 8 5 9
TBI 20 22 10 12 6 10 5 7 3 6
Data hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa jenis aktivitas mengalami peningkatan
pada setiap prodi. Kedatangan tepat waktu terjadi karena dalam pengelolaan pembelajaran telah
disepakati antara dosen dan mahasiswa membuat kesepakatan tentang batas toleransi kehadiran
mahasiswa dan dosen. Disepakati dalam penyampaian kontrak perkuliahan pada tatap muka
pertama bahwa mahasiswa menyepakati lewat dari 5 menit jadwal perkuliahan tidak diperkenankan
lagi masuk ruangan kuliah. Kata kunci atau makna yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah
”komitmen”. Manusia yang memiliki komitmen yang tinggi adalah manusia yang menghargai
352 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
sesamanya tanpa melihat latar belakangnya. Komitmen salah satu indikator status mental seseorang,
seprti yang dikemukakan oleh Saefuddin Azhar.
Aktivitas bertanya juga mengalami peningkatan intensitas dan kualitasnya. Aktivitas ini telah
menjadi salah satu elemen penting dalam CLD. Bertanya merupan suatu potensi manusia dalam
memperoleh pengetahuan dan aktivitas perlu dikondisikan karena tidak semua manusia terampil
dalam bertanya. Pada pengantar pembukaan kegiatan pembelajaran dosen sudah menyampaikan
bahwa salah satu komponen penilaian akhir mata kuliah Pendidikan Kewargaan adalah aktivitas
bertanya, menanggapi, menjawab dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul
dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas. Aktivitas bertanya dalam rancangan tindakan ini
dianalisis dari dua sisi, yaitu sisi intensitas dan sisi kualitas. Dosen telah mengondisikan bagaimana
mahasiswa semuanya mendapat giliran untuk bertanya. Sisi lain adalah bagaimana mahasiswa bisa
bertanya secara fokus/terarah dan kritis. Kalau diperhatikan pada tabel no. 4.9 – 4.12 (Pengamatan
Kategorisasi sikap) tergambar bahwa ada peningkatan, dari asal bertanya ke bertanya secara fokus
mengalami peningkatan kecuali pada prodi AF. Kenaikan ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
seperti yang dikemukakan oleh salah sorang dosen Pendidikan Kewargaan bahwa teknik
pembelajaran konstruktivis dari dosen, keluasan referensi, dan keluasan pengalaman termasuk
pengalaman berorganisasi dapat meningkatkan kualitas pertanyaan mahasiswa terhadap suatu objek
sikap. Peningkatan pertanyaan terarah ke pertanyaan kritis tidak mengalami perubahan intensitas.
Hal ini disebabkan oleh faktor nilai yang dianut oleh mahasiswa. Kata kunci atau makna yang dapat
diambil dari aktivitas ini adalah ”penerapan motivasi dan keberanian menentang main stream”.
Aktivitas menjawab dan menanggapi adalah proses internalisasi dan struktur kognitif seseorang.
Semakin banyak diberi tugas menjawab pertanyaan, semakin mendewasakan cara berpikir
seseorang. Jawaban dan tanggapan kritis tidak akan muncul pada seseorang kalau seseorang itu
hanya memakai pendekatan behavioristik (teori stimulus-respon) Peningkatan intensitas menjawab
terarah mengalami perubahan yang berarti pada semua prodi. Hal ini dipengaruhi oleh desain
elemen ekshibisi pada tahapan penyajian atau strategi penyampaian pembelajaran. Mahasiswa yang
mengetahui bahwa dirinya dikompetisikan dengan teman-temannya berpengaruh pada tingkat
keseriusannya. Kata kunci atau makna yang bisa ditarik dari aktivitas ini ”mahasiswa memiliki
potensi luar biasa yang perlu didorong untuk dimaksimalkan”.
Aktivitas memberikan solusi adalah aktivitas berpikir tingkat tinggi (advance organizer). Salah satu
teknik yang diterapkan oleh dosen Pendidikan Kewargaan memetapan konsep (concept mapping).
Konsep pemetaan adalah salah satu elemen advance organizer. Kelemahan tenaga pendidik secara
umum adalah kurang mendorong dan kurang memfasilitasi berpikir tingkat tinggi. Meskipun
demikian, dosen telah membuktikan bahwa mahasiswa di seluruh prodi mengalami peningkatan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 353
intensitas pada siklus dua, seperti yang tergambar pada kolom 5 tabel no. 4.33 (Hasil kategorisasi
sikap melalui pertanyaan) di atas.
Keseluruhan jenis aktivitas tersebut sangat didukung oleh semua elemen CLD. Dengan demikian,
bahwa rancangan ini secara sistem memiliki pengaruh pada peningkatan sikap mahasiswa. Menurut
Krathwohl, Bloom, dan Masea ada lima tingkatan sikap, yaitu mulai dari menerima, merespon,
menghargai, mengorganisasi, dan bertindak konsisten. Kelima level sikap ini kalau dikaitkan
dengan kelima jenis aktivitas maka tergambar bahwa yang paling dominan sikap mahasiswa pada
siklus pertama adalah level sikap menerima dan merespon. Namun, kalau diperhatikan pada
kecenderungan hasil aktivitas pada siklus kedua maka terlihat bahwa level sikap mahasiswa semua
prodi bergerak pada level menghargai dan mengorganisasi. Ada perbedaan rata-rata peningkatan
sikap di setiap prodi. Perbedaan itu setelah dicermati dengan teliti maka mahasiswa yang tidak
mengikuti suatu organisasi aktifitas dalam mengomunikasikan ide agak susah. Berbeda dengan
mahasiswa yang aktivis organisasi, mereka berani dalam mengomunikasikan idenya. Persoalan
dalam berpendapat ekstrem, seperti yang tergambar pada sebagian mahasiswa setelah
diinventarisasi, mereka memiliki latar belakang organisasi ekstra yang fanatik terhadap suatu
doktrin aliran tertentu.
Data lain yang dianalisis adalah instrumen pertanyaan yang dirancang oleh dosen pada
siklus kedua yang sifatnya dilematis, juga mempengaruhi sikap mahasiswa. Untuk mengembangkan
daya nalar kritis mahasiswa salah satunya cara adalah melalui rancangan pertanyaan yang
dilematis. Ada beberapa pertanyaan dilematis yang digunakan oleh dosen untuk memahami
bagaimana sikap mahasiswa terhadap masalah demokrasi dan HAM. Pertanyaan itu, seperti yang
tertera pada tabel 4.29 – 4.32 (Hasil pengamatan kategori sikap). Mahasiswa didorong untuk
mengoptimalkan daya nalarnya dan motivasi untuk membaca referensi lebih banyak.
Selain analisis data, pengamatan seperti diuraikan di atas juga ada instrumen daftar pertanyaan
wawancara kepada semua mahasiswa untuk memahami bagaimana sikap mereka terhadap masalah
demokrasi dan HAM yang diperhadapkan dengan nilai-nilai Islam. Daftar pertanyaan wawancara,
temanya masalah demokrasi dan HAM. Pertanyaan pada siklus satu berbeda dengan pertanyaan
pada siklus dua. Namun, subtansinya sama.
Analisis sikap mahasiswa semua prodi pada siklus satu terhadap argumentasi jawaban atas
pertanyaan setuju tidaknya demokrasi dan implementasinya yang tertera pada tabel 4.13 – 4.16
(Hasil kategorisasi sikap lewat pertanyaan tentang Demokrasi dan HAM) dan analisis pada siklus
dua terhadap argumentasi jawaban atas pertanyaan sikap memilih dan menolak tentang HAM dan
demokrasi yang tertera pada tabel 4.29 - 4.32 (Hasil Pengamatan kategorisasi sikap).
354 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Data pada tabel no. 4.13 – 4.16 (Hasil kategorisasi sikap lewat pertanyaan tentang
Demokrasi dan HAM) menunjukkan bahwa dari enam pertanyaan, sikap menerima yang paling
dominan, kemudian sikap menolak yang paling sedikit adalah sikap akomodatif. Sikap penerimaan
terhadap demokrasi dan implementasinya adalah tentunya sikap yang diharapkan sebagai warga
negara Indonesia yang baik. Sikap penerimaan ini sedikit banyaknya dipengaruhi oleh hasil bacaan
dari materi yang dirancang oleh dosen dan hasil klarifikasi nilai. Penanaman nilai melalui klarifikasi
nilai banyak digunakan oleh para pendidik. Sikap menolak sistem demokrasi dari sebagian kecil
mahasiswa prodi AS rupanya mereka terlalu fanatik dengan simbol-simbol keagamaan. Mereka
memiliki latar belakang organisasi keislaman yang berorientasi pemaknaan ibadah/syariat.
Kemudian, yang akomodatif adalah mahasiswa yang memiliki wawasan yang luas tentang
demokrasi dan tentang keislaman.
Data pada tabel no. 4.29 – 4.32 (Hasil Pengamatan kategorisasi sikap). yang terdiri dari dua
bentuk pertanyaan yaitu pertanyaan tentang demokrasi dan implementasinya terdiri dari lima
pertanyaan dan pertanyaan tentang implementasi HAM yang terdiri atas empat pertanyaan. Format
pertanyaan yang sifatnya dilematis, yaitu dua pernyataan, yang keduanya dianggap benar dari setiap
perspektif yang harus dipilih, salah satunya atau diakomodasi keduanya sebagai penentuan sikap.
Ada tiga pilihan sikap, yaitu apakah mahasiswa menerima atau menolak salah satu dari dua
pernyataan yang ada, kemudian pilihan ketiga adalah mengakomodasi kedua pernyataan yang
kelihatan bertentangan. Untuk menjelaskan kepada pembaca supaya tidak salah persepsi dalam
membaca kolom kategorisasi sikap, pernyataan pertama dalam setiap pertanyaan patokan, misalnya,
kalau setuju dengan pernyataan pertama berarti datanya pada kolom menerima dan kalau tidak
setuju pada pernyataan pertama, berarti pilihannya pada kolom menolak. Kalau kedua pernyataan
diterima, pilihannya pada kolom akomodatif.
Prodi AS dan TBI pada umumnya bersikap akomodatif terhadap masalah demokrasi dan
syura dalam pengambilan keputusan, jika dibandingkan dengan dua pilihan lainnya. Demikian pula
masalah kriteria pemimpin, Sikap akomodatif mencerminkan bahwa pilihan sikap mereka
menunjukkan keluasan wawasan baik secara umum maupun khusus (Islam). Aspek lain yang
berpengaruh adalah latar belakang jurusan. Jurusan TBI kajian keilmuannya banyak diinspirasi oleh
logika-logika umum sehingga pola pikir mereka seimbang dengan pengetahuan keislamannya.
Prodi AS yang menggeluti ilmu hukum baik hukum Islam maupun hukum positif juga
mempengaruhi sikap toleransi mahasiswa.
Sikap mahasiswa prodi TBI dan AF dalam menyikapi masalah implementasi HAM seperti
hak tentang hidup, hak tentang perlindungan fisik, hak memilih agama dan berpendapat, pada
umumnya bersikap sesuai dengan syariat agama. Ada aspek tertentu yang dominan sikap
akomodatifnya, yaitu yang terkait dengan hukuman potong tangan bagi pencuri. Mereka
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 355
memberikan pikiran-pikiran analisis tentang makna potong tangan sebagai makna yang perlu
diinterpretasi ulang.
Perubahan sikap memilih atau menolak sesuatu ke sikap akomodatif bagi mahasiswa pada
setiap prodi sedikit banyaknya dipengaruhi oleh perlakuan dosen. Perlakuan dosen terhadap
mahasiswa adalah menghargai semua pendapat, kemudian secara bertahap memberikan pikiran-
pikiran banding, baik secara lisan maupun secara tertulis dan juga melalui tayangan lewat multi
media.
Sistem Pengelolaan Pembelajaran
Kontribusi pengelolaan pembelajaran dalam kaitannya dengan perubahan sikap mahasiswa
tidak kalah penting dengan rancangan materi pembelajaran, rancangan strategi penyampaian
pembelajaran, dan rancangan sistem evaluasi. Pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh dosen
dalam dua siklus mengacu pada (1) hasil identifikasi gaya belajar mahasiswa, (2) catatan tentang
kemajuan belajar mahasiswa, (3) identifikasi sumber belajar, (4) identifikasi karakteristik
mahasiswa, dan (5) penataan pengelolaan lingkungan belajar.
Hasil identifikasi gaya belajar mahasiswa yang secara teoretis dibagi atas: gaya belajar
visual, auditorial, dan kinestetik untuk mahasiswa tidak secara langsung memberikan pengaruh
pada perubahan sikap, tetapi masih memerlukan rancangan yang teritegrasi dalam memilih dan
menetapkan media pembelajaran. Dari hasil pengamatan, gaya belajar auditorial dan gaya belajar
visual hampir sama sehingga dalam penggunaan media pembelajaran lebih banyak menggunakan
multimedia yang menggabungkan antara audio, visual, dan gerak. Efektivitas dan efesiensi
pembelajaran dapat diwujudkan dengan penggunaan program powerpoint yang tidak hanya
mengakses informasi yang ada dalam file komputer, tetapi juga dapat mengakses langsung dari
internet dengan menggunakan fasilitas hot spot yang disediakan oleh kampus. Penggunaan media
ini sekaligus bentuk pengondisian sebagai salah satu elemen konstruktivistik.
Catatan tentang kemajuan belajar sebagai bentuk perubahan sikap mahasiswa, telah dicatat
oleh dosen dengan menggunakan instrumen pengamatan yang berisi data tentang intensitas aktivitas
mahasiswa dan bentuk kualitas pernyataan mahasiswa. Instrumen tersebut adalah bukti objektivitas
yang dilakukan oleh dosen dalam memberikan penilaian formatif untuk bahan perbaikan sistem,
termasuk bahan untuk pembimbingan kepada mahasiswa dalam rangka perbaikan sikap. Untuk
memperbaiki dan mendorong mahasiswa untuk bisa berpikir pada level yang lebih tinggi maka
dosen juga telah memberikan tugas kepada mahasiswa untuk membuat laporan dari hasil suatu
investigasi dan hasil pekerjaan tugas tersebut untuk menilai sejauh mana penguasaan materi,
kekuatan argumentasi, dan ketepatan tujuan suatu tugas. Mahasiswa juga diberi sejumlah
356 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
pertanyaan sikap untuk mengetahui bagaimana sebenarnya konsep nilai yang dianut. Semua
kegiatan itu adalah bentuk dari suatu pengelolaan pembelajaran. Pengelolaan atau manajemen
pembelajaran merupakan salah satu komponen yang mengatur sistem link yang bersama-sama
mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.
Identifikasi sumber belajar juga menjadi bagian penting dalam mengubah persepsi mahasiswa yang
terkadang persepsi itu dianggap sebagai sikap. Salah satu komponen yang telah berpengaruh pada
perubahan sikap mahasiswa adalah elemen pengondisian (situation). Elemen pengondisian
pembelajaran dapat terwujud kalau difasilitasi dengan berbagai sumber belajar. Materi yang telah
disiapkan oleh dosen belum cukup, masih perlu penambahan sumber lain. Dalam hal ini dosen perlu
menguasai informasi yang terkait dengan informasi subtansi dan pendukung terhadap materi yang
didiskusikan. Dalam penelitian ini dosen telah memberikan informasi sumber yang berupa bahan
printed material yang disampaikan pada tatap muka pertama, yaitu berupa naskah kontrak
perkuliahan. Selain informasi dari buku dan sejenisnya, juga diberikan informasi yang ada di
beberapa website. Pengenalan karakteristik mahasiswa merupakan faktor penting dalam mengubah
sikap mahasiswa. Untuk menciptakan komunikasi dengan seseorang perlu memahami latar
belakang status seseorang tersebut. Komunikasi akan tercipta apabila ada unsur kesamaan antara
pemberi pesan dan penerima pesan. Upaya yang telah dilakukan oleh dosen adalah melacak hal-hal
yang dapat dijadikan bahan kajian yang digunakan untuk mempengaruhi, dengan mudah,
mahasiswa. Salah satu dari unsur karakteristik mahasiswa yang didata oleh dosen adalah latar
belakang organisasi mahasiswa dan latar belakang pendidikan, sebelum masuk ke IAIN Sultan
Amai Gorontalo. Mahasiswa yang diberikan perlakuan tindakan memiliki latar belakang organisasi
ekstra seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Jumlah anggota HMI dan PMII seimbang,
sementara anggota IMM hanya sedikit. Prodi PAI dan AF didominasi oleh HMI, sementara prodi
AS didominasi oleh PMII. Latar belakang organisasi ekstra memiliki pengaruh terhadap wawasan
berpikir mahasiswa. Dosen yang memiliki latar belakang organisasi ekstra yang sama dengan
mahasiswanya cukup berpengaruh dalam komunikasi. Dosen yang memiliki organisasi yang
berbeda dengan mahasiswanya cenderung komunikasi batinnya agak terganggu. Salah satu upaya
yang dilakukan oleh dosen adalah melakukan pendekatan lain, yaitu memperlihatkan kedekatan
dalam sisi pembimbingan. Aspek lain yang berpengaruh dalam perubahan sikap adalah latar
belakang pendidikan. Mahasiswa yang berlatar belakang pesantren, berlatar belakang madrasah,
dan berlatar belakang sekolah umum memperlihatkan perbedaan sikap dalam menanggapi suatu
masalah. Pada umumnya mahasiswa prodi AF dan AS berlatar belakang madrasah dan prodi PAI
dan TBI berimbang antara yang berlatar belakang sekolah umum dan madrasah.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 357
Penataan lingkungan belajar sebagai salah satu aspek pengelolaan pembelajaran juga berpengaruh
langsung terhadap perubahan sikap mahasiswa. Salah satu rancangan pengelolaan yang telah
dilakukan oleh dosen adalah kegiatan investigasi. advokasi, dan resolusi konflik. Kegiatan
investigasi yang ditugaskan kepada mahasiswa secara individu untuk mendorong tingkat kepedulian
mahasiswa. Mahasiswa yang melakukan investigasi, seperti mewawancarai korban kekerasan
rumah tangga langsung secara nyata merasakan bagaimana penderitaan yang dialami oleh korban
kekerasan. Prodi AS dan AF diberi tugas simulasi advokasi terhadap korban pemerkosaan di luar
jam tatap muka. Kegiatan ini memberikan pengaruh kepada mahasiswa dalam mengantisipasi suatu
kasus. Prodi PAI dan TBI secara kelompok diberikan tugas mendampingi masyarakat yang putus
sekolah pada tingkat SLTA. Hal ini berkaitan dengan hak asasi untuk memperoleh akses
pendidikan, Mahasiswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan intelektualnya dalam
pendampingan masyarakat yang bermasalah akibat dari suatu kebijakan pemerintah.
Sistem Penilaian
Sistem penilaian yang telah dilakukan oleh dosen semakin sistematis jika dibandingkan dengan
kegiatan pratindakan. Tradisi penilaian yang dilakukan oleh dosen kurang memberikan tindak
lanjut terhadap apa yang dinilai. Mahasiswa tidak mengetahui apa yang harus diperbaiki terhadap
unjuk kerjanya. Penilaian yang dilakukan oleh dosen baik pada siklus satu maupun siklus dua telah
mendorong motivasi mahasiswa untuk tampil lebih baik dan lebih bergairah karena merasa
diperhatikan oleh dosen. Rekaman tentang kemajuan sikap mahasiswa tercatat secara baik
meskipun dosen mengalami kerepotan dalam merekam perkembangan belajar mahasiswa.
Dengan catatan rekaman dari semua elemen desain pembelajaran konstruktivistik ini bukan hanya
menilai unjuk kerja mahasiswa, melainkan juga menilai unjuk kerja dosen sendiri dengan membuat
instrumen sejumlah pertanyaan, apakah saya sebagai dosen sudah melaksanakan rambu-rambu
pendekatan konstruktivistik?
Pembahasan Temuan Penelitian dan Keterbatasan
Temuan
Ada empat temuan dalam penelitian tindakan ini, yaitu 1) Penerapan desain pembelajaran
konstruktivistik dapat mempengaruhi perubahan sikap mahasiswa, 2) Pengelolaan pembelajaran
mendorong ke arah perubahan sikap, 3) Sistem penilaian berbasis proses mendorong kesadaran
mahasiswa dalam memperbaiki sikap, dan 4) Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik
dapat menjadikan sikap lebih konsisten antara pemahaman dan ekspresi sikap.
358 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Pembahasan
Temuan tentang ”Penerapan desain pembelajaran konstruktivistik dapat mempengaruhi
perubahan sikap mahasiswa”, penerapan model pembelajaran konstruktivistik dengan rancangan
enam elemen merupakan rancangan yang terintegrasi yang menghasilkan keempat temuan di atas.
Sebelum desain ini dilaksanakan, para dosen Pendidikan Kewargaan telah menerapkan
sebagian ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis, seperti pembelajaran aktif, diskusi kelompok,
dan pemaparan. Namun, secara sistematik dan holistik belum dilaksanakan sehingga para dosen
mengalami kesukaran dalam melaksanakan pembelajaran yang konstruktivistik. Pembelajaran yang
dilaksanakan oleh dosen Pendidikan Kewargaan pada pratindakan, tidak bervariasi dan tidak ada
pencatatan kemajuan belajar mahasiswa.
Penelitian ini mengembangkan model pembelajaran konstruktivistik dalam mata kuliah
Pendidikan Kewargaan dengan fokus pada kajian HAM dan Demokrasi sebab kedua konsep ini
menjadi materi inti dalam mata kuliah ini. Model pembelajaran ini telah memberi peluang yang
banyak kepada mahasiswa untuk mengonstruksi sendiri pengetahuan dan sikapnya. Dengan
demikian, sikap akan berubah sesuai dengan pengetahuan yang telah dikonstruksi. Rekonstruksi
pengetahuan muncul akibat dari perpaduan pengalaman belajar dan informasi yang baru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosen yang konsisten dalam menerapkan rancangan
konstruktivis yang enam elemen ini menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami perubahan sikap.
Mahasiswa yang pada awal-awal diskusi, misalnya, menolak perempuan menjadi pucuk pimpinan
karena wawasan permaknaan ayat-ayat Al-Quran yang dipahami secara tekstual, tetapi setelah
terjadi dialog yang panjang akhirnya berubah sikap, yaitu mulai menerima kalau perempuan itu bisa
menjadi pucuk pimpinan
Temuan tentang ” Pengelolaan pembelajaran mendorong ke arah perubahan sikap”.
Pengelolaan pembelajaran konstruktivistik berbasis pada karakteristik mahasiswa dan materi
mampu mengembangkan sikap mahasiswa. Mengenali karakteristik mahasiswa, seperti
pengetahuan awal, karakteristik, dan gaya belajar sangat membantu dosen untuk memilih dan
menetapkan materi yang pas dan strategi pembelajaran yang pas. Materi yang pas dan strategi yang
pas mendorong ketertarikan mahasiswa untuk mempelajari konsep dan aplikasi demokrasi dan
HAM.
Pengelolaan pembelajaran terkait dengan semua elemen yang ada dalam rancangan
tindakan. Khususnya pada elemen situation, questioning, dan pengelompokan harus didasarkan
pada karakteristik mahasiswa. Dalam elemen pengelompokam terkait pemilihan dan pemanfaatan
media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran. Salah satu unsur yang menonjol dalam
pengelolaan pembelajaran konstraktivistik adalah mengondisikan mahasiswa supaya tidak terbebani
oleh konsep-konsep pemikiran main stream yang ada. Mahasiswa dapat mengemukakan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 359
pemikiranya meskipun kontradiksi dengan pendapat umum. Pemikiran mereka akan bertahan atau
berubah melalui proses debat dan diskusi.
Pengelolaan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik bukan hanya pada tataran
teoritis dan konsep, tapi melainkan menyentuh pada tataran teknis, misalnya, pada penataan kelas
ynag dinamis. Posisi tempat duduk mahasiswa yang melingkar memungkinkan kontak mata di
antara mereka. Ekspresi wajah salah satu indikator untuk mengenali bagaimana kondisi sikap
mahasiswa terhadap objek sikap. Penataan kelas tidak selamanya dalam in, door tetapi juga ditata
dalam bentuk out door. Kegiatan out door dilakukan oleh dosen Pendidikan Kewargaan dalam
bentuk kegiatan investigasi. Kegiatan investigasi telah dilakukan oleh mahasiswa yang dikerjakan
berdasarkan pada rambu-rambu yang diberikan oleh dosen.
Penataan kelas baik dalam kegiatan in door maupun out door disesuaikan dengan
karakteristik materi dan kondisi mahasiswa. Penataan teknis yang monoton dapat mempengaruhi
sikap karakteristik mahasiswa. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan De Porter dan Henacki
bahwa jika saya harus menyebutkan satu alasan mengapa program-program kami begitu sukses
dalam membantu seseorang menjadi pelajar yang lebih baik, ini karena kami berjuang untuk
menentapkan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun mental. Lebih lanjut juga dikemukakan
oleh dosen dan mahasiswa bahwa kelas dinamis tidak membosankan.
Temuan tentang ”Sistem penilaian berbasis proses mendorong kesadaran mahasiswa dalam
memperbaiki sikap” Sistem Penilaian dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik
adalah suatu proses dari pengambilan keputusan yang berbasis penilaian berkelanjutan yang terkait
dengan kondisi kelas, hubungan antarmahasiswa, pemikiran kolaboratif, dan belajar individu.
Permasalahan dosen Pendidikan Kewargaan sebelum dilakukan tindakan adalah persiapan penilaian
secara periodik belum mendorong peningkatan belajar mahasiswa. Dengan demikian, dosen perlu
mengklarifikasi bagaimana mahasiswa membuat pemahaman mereka sendiri dan mengonstruksikan
pengetahuan dengan yang lain maka dosen dapat mendorong siswa belajar baik secara individual
maupun kelompok.
Temuan tentang ”Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dapat menjadikan sikap
lebih konsisten antara pemahaman dan ekspresi sikap”. Menurut pandangan behavioristik bahwa
pembentukan sikap melalui pembiasaan dari awal. Sikap juga bisa terbentuk dan berubah akibat
pengidolaan terhadap seseorang. Teori konsistensi afektif yang dikemukakan oleh Rosenberg
bahwa komponen kognitif sikap tidak hanya menyangkut apa yang diketahui tentang objek, tetapi
juga meliputi apa yang diyakini mengenai hubungan antara objek sikap dan nilai-nilai penting
lainnya dalam individu. Secara empirik ditemukan bahwa perolehan pengetahuan melalui
360 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
pengonstruksian pengetahuan melahirkan sikap yang konsisten. Sementara pengetahuan yang
diperoleh dengan pendekatan behavioristik kemungkinan terjadi kontradiksi antara pengetahuan
yang dipahami berbeda dengan sikap yang diekspressikan, misalnya orang mengetahui salah satu
fungsi shalat adalah mencegah perbuatan keji, tetapi kenyataannya tetap melakukan perbuatan yang
tercela. Kemungkinan gambaran seperti demikian adalah akibat dari pemerolehan pengetahuan
agama secara dogmatis atau dengan istilah transfer pengetahuan.
Keterbatasan Penelitian
Paling tidak ada dua keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu dari segi dosen dan peneliti,
juga dari segi metodologi khususnya terkait dengan validitas. Seperti diketahui bahwa tujuan dari
pelaksanaan penelitian tindakan ini untuk mengetahui kondisi awal sikap mahasiswa tentang
implementasi nilai-nilai demokrasi di kampus. Kemudian, dari kondisi tersebut, peneliti berusaha
mengubah sikap mahasiswa yang menjadi sikap yang menghargai nilai-nilai demokrasi dan
memiliki sikap yang menghargai hak-hak asasi manusia.
Untuk mengubah suatu sikap bukanlah pekerjaan ringan, butuh waktu dan proses yang
panjang, butuh keterlibatan banyak orang, dan keleng-kapan perangkat aturan. Sementara dalam
penelitian ini hanya mencoba untuk memperbaiki sistem pembelajaran dari salah satu mata kuliah,
yaitu Pendidikan Kewargaan. Dengan keterbatasan waktu dan biaya maka hanya mengambil dua
materi inti, yaitu Demokrasi dan HAM untuk dijadikan objek sikap. Pertimbangan memilih materi
Demokrasi dan HAM karena materi ini tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan keseharian
manusia.
Meskipun penelitian ini hanya terbatas pada aspek perbaikan pembelajaran HAM dan
Demokrasi, tetapi tetap merupakan langkah awal dari suatu upaya perbaikan sikap. Permasalahan
sikap yang kompleks tidak dapat menunggu sampai ada biaya yang besar karena kalau dibiarkan
akan terjadi hal-hal yang dapat memperburuk academic atsmosphire.
Dari sisi peneliti dan dosen memiliki keterbatasan komunikasi yang intens dalam
mendiskusikan hal teknis dan subtansi terhadap suatu rancangan tindakan yang segera
diimplementasikan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya tugas dan wewenang yang tumpang tindih
yang menyebabkan keterbatasan bertindak.
Dari sisi subtansi penelitian tindakan mengacu pada penyelesaian masalah yang butuh suatu
produk atau sistem yang sifatnya lokal yang diduga dapat menyelesaikan masalah pembelajaran.
Namun, keter-batasannya adalah terletak pada prosedur penentuan sampelnya tidak seketat dengan
penentuan sampel dalam penelitian kuantitatif. Selain itu, juga karena menggabungkan dua jenis
kegiatan, yaitu penelitian dan pengembangan.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 361
Secara khusus keterbatasan penelitian ini karena hanya mengambil empat prodi dari sepuluh prodi
yang ada di IAIN Sultan Amai Gorontalo, tetapi dari sisi ketentuan penelitian kualitatif sudah
memenuhi standar kegiatan ilmiah. Kemudian, dari sisi metodologi positivistik hasil penelitian ini
tidak bisa digeneralisasi sehingga tidak bisa dipakai sebagai rujukan utama pada penelitian yang
lain. Meskipun demikian, jika di tempat yang lain, juga dilaksanakan penelitian tindakan dan
karakteristik subjek dan objek penelitian memiliki kesamaan maka dalam pengecekan keabsahan
data dalam penelitian nonpositivistik ada yang disebut dengan transferable, artinya hasil penelitian
dianggap sahih.
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Kesimpulan
Mengacu pada temuan dan pembahasan, penelitian ini menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Penerapan Desain Pembelajaran Konstruktivistik pada materi pembelajaran Demokrasi dan HAM
mampu mengembangkan sikap mahasiswa dalam memaknai demokrasi dan hak asasi manusia. Hal
ini digambarkan dengan adanya; (1) perubahan sikap terhadap cara menilai permasalahan dari sikap
menolak atau menerima ke sikap akomodatif. (2) perubahan cara berpikir tidak fokus ke cara
berpikir terarah dan kritis. (3) peningkatan intensitas aktivitas berupa kegiatan; datang tepat waktu,
bertanya, menjawab, menanggapi, dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dibicarakan
baik dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas.
Pengorganisasian isi pembelajaran materi Demokrasi dan HAM dikembangkan dengan teknik
elaborasi yang mengacu pada klasifikasi karakteristik materi dan karakteristik mahasiswa yang
kemudian diurutkan sesuai dengan sifat materi apakah materi itu berupa fakta, konsep, prosedur,
dan kaidah. Pengorganisasian materi divisualisasikan dalam bentuk struktur atau bagan berupa peta
konsep yang menggambarkan status dan keterkaitan materi yang satu dengan yang lainnya.
Pengorganisasian materi mempengaruhi sikap mahasiswa dalam hal ketertarikannya terhadap
materi dan cara berpikir mahasiswa yang lebih komprehensif.
Strategi penyampaian pembelajaran dengan berbagai pendekatan, seperti brainstorming, learning
start by question, elisitasi, information search, critical insident, interactive learning, snaw balling,
concept mapping, reading guide, small discussion telah dilakukan oleh dosen Pendidikan
Kewargaan. Penggunaan strategi tersebut disesuaikan dengan kondisi waktu, sifat materi, dan
target pencapaian sikap yang diharapkan bersama. Penggunaan media pembelajaran seperti LCD in
focus dengan menggunakan program presentasi powerpoint menambah daya tarik mahasiswa
362 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
mengikuti kegiatan pembelajaran. Dengan penggunaan media seperti ini telah meningkatkan
efsiensi dan efektivitas pembelajaran demokrasi dan HAM.
Strategi pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh dosen tidak terlepas dari kegiatan penataan
materi, analisis karakteristik mahasiswa dan strategi penyampaian pembelajaran. Pengenalan
terhadap gaya belajar mahasiswa yang dilakukan pada awal tatap muka memberikan kemudahan
kepada dosen untuk memilih dan menata media pembelajaran yang digunakan. Demikian pula
dengan pengenalan latar belakang kemampuan kognitif, sikap. dan latar belakang organisasi
mahasiswa. Hal ini telah dijadikan acuan untuk menata proses pelaksanaan pembelajaran. Kesemua
upaya itu telah mempengaruhi sikap mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan.
Sistem evaluasi proses dan penilaian autentik mendorong mahasiswa untuk bersikap dan
berperilaku yang baik. Setiap hasil pengamatan selama dalam proses pembelajaran dijadikan
sebagai bahan perbaikan sistem. Perekaman peristiwa dicatat dengan baik sesuai dengan indikator
yang dijadikan sebagai rambu-rambu penilaian, seperti dalam menjawab pertanyaan sejauh mana
mahasiswa memahami pertanyaan, seberapa baik argumentasi yang dikemukakan, kejelasan
jawaban, dan informasi akaurat yang disampaikan. Penilaian autentik dilakukan dengan cara secara
lisan oleh setiap mahasiswa secara acak untuk mengemukakan apa menjadi kelebihan dan
kekurangan dalam menangkap makna dari setiap peristiwa yang terjadi selama mengikuti kegiatan
pembelajaran.
Implikasi
Mengacu pada hasil dan temuan penelitian, implikasi penelitian ini terbagi pada dua
implikasi, yaitu implikasi teoretis dan implikasisi praktis.
Implikasi Teoretis
Penerapan desain pembelajaran konstruktivistik secara langsung mempengaruhi perubahan sikap
mahasiswa, berpengaruh terhadap sistem pengelolaan pembelajaran, dan juga berpengaruh pada
sistem penilaian proses maupun penilaian hasil pembelajaran
Penerapan desain pembelajaran konstruktivistik memberi peluang terhadap perubahan sikap
seseorang secara konsisten antara pengetahuan dan ekspresi sikap.
Sistem penilaian dengan pemberian feed back secara langsung terhadap penilaian proses dan hasil,
dapat mempengaruhi perubahan sikap mahasiswa
Penataan konstruksi pertanyaan yang dilematis mendorong mahasiswa untuk berpikir secara kritis
yang mengarah kepada pikiran yang kreatif yang terindikasi pada sikap mencintai profesi.
Implikasi Praktis
Desain pembelajaran pembelajaran konstruktivistik dapat diterapkan sebagai model pembelajaran
mata kuliah pengembangan kepribadian.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 363
Penerapan desain ini memerlukan kesadaran dari dosen betapa pentingnya mengubah cara berpikir
tanpa strategi ke cara berpikir strategis, cara berpikir given ke cara berpikir kritis, dan cara berpikir
sederhana ke cara berpikir multiperspektif.
Penerapan desain ini memerlukan dukungan akademik yang kondusif dan tidak kaku dengan aturan
tekstual dan prosedural. Desain ini memerlukan waktu yang relatif banyak yang dirancang di luar
pertemuan tatap muka yang formal,
Dengan tingkat kompleksitas desain ini, memerlukan dukungan dana dan infrastruktur oleh lembaga
untuk menunjang terlaksananya kegiatan pembelajaran.
Saran
Mengacu pada temuan dan implikasi penelitian maka diajukan beberapa saran sebagai berikut.
Pada mata kuliah Pendidikan Kewargaan atau mata kuliah pengem-bangan kepribadian lainnya
maka sebaiknya setiap dosen hendaknya selalu melakukan refleksi terhadap desain pembelajaran
yang digunakan sehingga sikap ketertarikan mahasiswa terhadap masalah khusus demokrasi dan
HAM dalam mata kuliah Pendidikan Kewargaan tetap terjaga.
Perlu sosialisasi yang intensif bagi dosen pengampu mata kuliah pengembangan kepribadian
tentang penjabaran lebih kompleks desain pembelajaran konstruktivistik sehingga mahasiswa dapat
bersikap objektif dalam melihat persoalan kemanusian dengan melahirkan solusi yang cerdas
intelektual, emosial, dan spritual.
Penataan lingkungan belajar bukan hanya dalam kampus, melainkan juga dirancang untuk kegiatan
di masyarakat, lembaga/instituís, dan di media massa.
Sistem penilaian perlu dikembangkan indikator-indikatornya yang disesuaikan dengan sifat materi
dan aktivitas belajar sehingga penilaian tidak bias.
Referensi
Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Anderson, Orin W. & David R. Krathwohl (eds.). A Taxonomy for Learning, Learning, Teaching
and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman,
2001.
Baehr, Peter R., Hak Asasi Manusia dalam Politik luar Negeri.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1998.
Bogdan, R.C & Biklen SK.. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and
Method. Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1982.
364 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Brannen, J.. Memadu Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Penerjemah H. Nuktah Arfawie Kurde,
Iman Syafii, dan Noerhadi. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda dan Pustaka
Pelajar, 1997.
Buchori, Muchtar, “Pendidikan HAM dalam Transformasi Indonesia,” Makalah disampaikan dalam
Workshop Perumusan Kurikulum Pengajaran HAM di Fakultas Hukum pada PT Negeri dan
Swasta, PUSHAM UII dan NCHR, Yogyakarta 29-30 Mei 2005
Creswell, John W. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches.
United States of Amarica: Sage Publication, Inc, 2003
Degeng, I N.S. Strategi Pembelajaran: Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang, IKIP
MALANG dan IPTPI, 1997.
Departemen Agama RI. Al Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989.
Dick, W dan Reiser. A.R. Planning Effective Instruction. USA: Allyn and Bacon, 1989.
Dimyati, M. Penelitian Pendidikan Nilai. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang,1996.
Donnely, Jack. Universal Human Right in Theory and Practice. Ithaca New York: Cornell
University Press, 1989.
Fosnot, Twamey, Cathrine. (ed.). Constructivism: Theory, Prespectives, and Practice. New York:
Teachers College Press, 1996
Fraenkel, J.R. How to Teach Values: an Analytic Approach. New Jersey. Englewood Cliffs:
Printice Hall Ind, 1977.
Gagne, R. M. The Condition of Learning and Theory of Instruction. New York: Holt, Rinehart and
Winston,1985.
Gagnon Jr, George W. dan Michelle Collay. Dsigning for Learning Six Elements in Constructivist
Classroom. New DelhiL Corwin Press, Inc, 2001.
Glassersfeld, Von. Cognition, Construction of Knowledge, and Teaching. Washington D.C:
National Science Foundation, 1988.
Hefner, Robert W. Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia. United States of
America: Princeton University Press, 2000
Hartley, J. dan Davies. Preinstructional Strategies: The role of pretest, behavior objectives,
overviews, and advance organizers. Review of Educational Research,1976.
Harun Nasution. “Pengantar” dalam Harun Nasution dan Bahtiar Effendy (ed.), Hak-Hak Azazi
Manusia dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1978.
Idrus, Junaidi. Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Madjid Membangun Visi dan Misi Baru Islam
Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
J..L. Elias, Moral Education: Secular and Relegious. Florida: Robert E Krieager Publishing Co. Inc.
1989
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 365
K. Brohi. “Islam and Human Right” dalam Altar Gauhar (ed.). The Challenge of Islam, Islamic
Council of Europe. London, 1978.
Kember, David, Action Learning and Action Research, London: Kogan Page Limited, 2000
Krech, at.al. Individual in Society, Tokyo: McGraw Hill Book Company. 1988
Kurnia, Slamet Titon. Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1989.
Mayer, R.E. An Evaluation of the elaboration model of instruction from the perspective of
assimilation theory. Journal Instructional Development, 1981.
Marlowa, Bruce A & Marilyn L. Page. Creating and Sustaining the Construtivist Classroom.
California: Corwin Press. Inc, 2005
McGill, Ian and Liz Beaty. Action Learning: Guide for Professional, Management, and Educational
Development. London, UK: Kogan Page Limited, 2002.
M. Duffy, Thomas & David H. Jonassen (ed). Contructivism and the Technology of Instruction.
New Jersey Lawrence Erlbaum Associates,1992
Merril, M. D “Component Display Theory” Dalam C.M. Reigeluth (Ed) Instructional Design
Theories and Models: An overview of their current status. Hillsdale: N.J Lawrence Erlbaum
Associates, 1983.
M. Hardjon, Philipus. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Mills, Geoffery E. Action Research: A Guide for teacher Researccher.New Jersey: Merril an
imprint of Prentice Hall, 2000.
Miles, M.B. & Huberman, Michael, A. Analisis data kualitatif. Jakarta: UI-Press, 1992.
M. Najjar, Fauzi, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 2.
Bandung, tahun, 1990.
Moon, Jennefer. Reflection in Learning: Professional Development Theory and Practice. London,
UK: Kogan Page Limited. 1995.
Nainggolan, Zainuddin. Inilah Islam. Jakarta: Dea, 2000.
Nawawi, H. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1995.
Norman P. Barry, An Introduction to Modern Political Theory. New York: Martins Press, 1981.
Oppenheim, A.N. Design a Questionaire and Disegn Attitude Measurement, London: Heinemam
Educational Book, Ltd, 1970
366 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Pada, Ali “Hubungan Sikap terhadap Matematika, Motivasi Berprestasi dan Kemampuan Penalaran
dengan Hasil Belajar Matematika di SMU Negeri Padangsidempuan” (Disertasi). Jakarta: PPS UNJ,
2004.
P. Huntington, Samuel. “Democracy’s Third Wave” dalam Journal of Democracy, vol. 2, no. 2,
Tahun 1991.
Putra, Nusa, “Pembentukan Perilaku HAM: Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Indonesia
Terpadu di SD Disertasi Jakarta; PPS UNJ 2007
Rahman, Fazlur, “Non-Muslim Minority on an Islamic State”, dalam Journal Institute of Muslem
Minority Affairs, (vol. 7. no. 1), Tahun 2000.
Rahmat, Jalaluddin. “Islam dan Demokrasi” Dalam Maqnis Suseno. Agama dan Demokrasi.
Jakarta: P3M, 1992.
Rais, M. Amin, “Etika kehidupan Antar Umat Beragama”, Dalam Nourruzzaman Shiddiqui. Etika
Pembangunan dalam Pemikiran Islam. Jakarta: Rajawali, 1986.
Reigeluth, C.M. Instructional Design Theories and models A New Paradigm of Instructional
Theory. Mahwa NJ 07430 : Lawrence Erlbaum Associates, Inc, 1999.
Seels, B.B. & Richey, R.. Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field.
Washington D.C: AECT, 1994
Shamsi, Nayyar. Human Rights and Islam. New Delhi: Reference Press, 2003.
Siagler, Cognitive Psychology, dikutip dari James P. Byrnes Cognitive Development and Learning
in Instructional Context. Boston: Allyn and Bacon,1997
Simpson, E. J. The Classification of Educational Objectives: Psychomotor domain. Urbana:
University of Illinois Press, 1966.
Smith, L. P dan Ragan, T.J. Instructional Design, New York: Merril an Imprint of Macmillan
Publishing Company,1993.
Spooncer, Attitude 2004, p. 1
http:/www.cultsock.inderect.co.uk/MUhome/cshtm/psy/att1.htm
Oskamb, Stuar, Attitude and Opinions. Englewood Cliffs, New Jersey Pritice Hall, Inc, 1977.
Sukardjo, H. Ahmad dan Ahmad Sudirman Abbas. Demokrasi dalam Perspektif Islam. Jakarta:
Anglo Media, 2005
Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997.
The New Encyclopedia Britannica, vol. 4. Chicago, University of Chicago Press, 1988.
Tim penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah. Pendidikan Kewargaan. Jakarta: ICCE UIN
Jakarta, 2000.
Yoedhanegara, Pradipa, Disentralisasi Gerakan Mahasiswa. Jakarta: DPP Aliansi Wartawan, 2005.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 367
TEKNOLOGI PENDIDIKAN MASA KINI DALAM PERSPEKTIF MULTI DISIPLIN ILMU (Tinjauan Pendidikan Islam, Manajemen dan Ekonomi Islam)
Dr. Zainal Abidin Arief. M.Si
Program Studi Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana UIKA Bogor
ABSTRAK
Teknologi pendidikan masa kini sejatinya berorentasi pada basis keterampilan yang berkaitan erat
dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking (HOT) yang meliputi:
kegiatan berkreasi, mengevaluasi, dan menganalisis, berbeda dengan permasalahan yang dihadapi
manusia pada masa sebelumnya. Oleh karena itu, dalam perspektif teknologi pendidikan masa kini,
kualitas manusia perlu ditingkatkan agar mampu menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan
dan tantangan dalam kehidupan. Seperti telah kita pahami bersama bahwa peningkatan kualitas
manusia hanya dapat diperoleh melalui proses pendidikan yang berkualitas. Proses pendidikan yang
berkualitas merupakan salah satu kajian dalam bidang studi teknologi pendidikan, dimana teknologi
pendidikan dapat memfasilitasi pembelajaran untuk mencapai hasil pembelajaran yang maksimal
dengan memanfaatkan teknologi dan berbagai potensi sumber daya pembelajaran secara optimum.
Dalam perspektif teknologi pendidikan masa kini akan ditinjau pula dari sudut pandang berdasarkan
disiplin ilmu Pendidikan Islam, Manajemen dan Ekonomi Islam.
Kata kunci: Teknologi Pendidikan, Multidisiplin Ilmu
PENDAHULUAN
Inovasi di bidang teknologi pendidikan terutama teknologi informatika dan komunikasi telah
merubah wajah dunia pendidikan dari sistem korespondensi menjadi sistem pembelajaran, yang
dikenal dengan istilah belajar jarak jauh. Bahkan jauh sebelum itupun sudah dikenal istilah
teknologi pendidikan melalui education personal, maka sejak itu pulalah perubahan besar di bidang
pendidikan telah terjadi melalui perkembangan teknologi komunikasi yang menggunakan jasa
satelit, transmisi gelombang mikro, kabel optik dan komputer yang memungkinkan terjadinya
komunikasi sangat cepat efektif dan efesien. Penggunaan interaktif teknologi canggih itulah yang
mengubah wajah dunia pendidikan dengan cepat diantaranya: produksi bahan pembelajaran,
merancang medIa dan bahan pembelajaran itu sendiri, kini telah tersedia sangat banyak dan begitu
368 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
canggih, tidak ketinggalan perpustakaanpun telah mulai menyediakan video, disc, dan perangkat
lunak komputer.
TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF MULTI DISIPLIN ILMU
Dalam perspektif teknologi pendidikan, proses pembelajaran selain terkandung konsep-konsep yang
mempengaruhi cara berpikir, bertindak, juga ada upaya untuk meningkatkan proses dan hasil belajar
peserta didik sebagai salah satu indikator kualitas pendidikan. Dalam menyelenggarakan proses
pembelajaran di Universitas Ibn Khaldun khususnya pada Program Studi Teknologi Pendidikan
harus berlandaskan pada motto: iman, ilmu dan amal, sehingga masing-masing mata kuliah harus
terkandung dan terintegrasi dengan nilai-nilai Islami. Begitu pula dalam merefleksikan hakekat
teknologi pendidikan sesungguhnya sangat erat dengan makna: “Iqra” dalam surat Al – Alaq
sebagai wahyu pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Artinya: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajarkan
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya". (QS.
Al Alaq 1-5)
Ayat tersebut memberi makna bahwa umat Islam di wajibkan untuk menjadi pembelajar sepanjang
hayat hal ini seiring dengan makna teknologi pembelajaran. Dalam surat Al Alaq, Allah SWT
memerintahkan rasul-Nya, Muhammad SAW untuk membaca (Iqra), yang berarti belajar.
Iqra (baca) dalam prespektif teknologi pendidikan, memiliki tafsir yang luas, yaitu sebagai
“pembelajaran.” Oleh karena itu makna pembelajaran atau Iqra adalah teknologi pendidikan yang
bersifat interaktif, inspiratif, berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup untuk
mengembangkan kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik
peserta didik, karena teknologi pendidikan adalah perekayasa pembelajaran, bagaimana belajar
yang efektif, efisien dan menyenangkan, sehingga hasil belajar dapat tercapai secara maksimal.
Dengan demikian Teknologi Pendidikan tidak sekedar student centre tetapi juga harus student
creator yang berorientasi pada iman, ilmu dan amal.
Menurut definisi AECT tahun 2004 teknologi pendidikan memiliki beberapa kelebihan sebagai
berikut: sebagai suatu konsep bidang garapan dalam memfasilitasi praktek pembelajaran,
didefinisikan sebagai berikut: “Educational technology is the study and ethical practices of
facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing, appropriate
technology process and resources (AECT, 2008)”. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat
diartikan bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis untuk memfasilitasi
pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber
daya serta memanfaatkan teknologi tepat guna. Dengan demikian hakekat teknologi pendidikan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 369
adalah perekayasa pembelajaran, bagaimana belajar yang efektif, efesien dan menyenangkan dalam
meningkatkan kinerja peserta didik, pendidik dan Institusi pendidikan itu sendiri.
Konsep kinerja dalam perspektif teknologi pendidikan memiliki tafsir yang luas artinya berusaha
sunguguh-sungguh untuk memperoleh hasil terbaik dan benar, meningkatkan kinerja dengan
menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber daya serta memanfaatkan teknologi tepat guna.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ankabut ayat 69:
لمع المحسنين والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن ا�
yang artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik. Ayat tersebut memberi makna bahwa pembelajar, pengajar dan
Intitusi pengajaran harus sungguh berjihad di jalan Allah SWT untuk menciptakan dan
meningkatkan kinerja dengan benar dalam meningkatkan kinerja peserta didik, pendidik dan
Institusi pendidikan..
TEKNOLOGI PENDIDIKAN MASA KINI
Pada tahun 2004, AECT meluncurkan definisi teknologi pendidikan menurut referensi dari
Januszewski dan Molenda (2004) sebagai berikut: “Education technology is the study and ethical
practice of facilitating learning and improving performance by creting, using, and managing
appropriate technological processes and resources”. Struktur definisi tahun 2004 ini memiliki alur
pemikiran yang lengkap sebagai suatu profesi. Komponen awal yang dirumuskan adalah keterkaitan
antara teori dan praktik. Teori rumusan bangunan atau ilmu menjadi acuan dan panduan untuk
melaksanakan praktik atau terapan. Panduan tersebut mengatur pola berpikir seorang teknolog
pembelajaran untuk bekerja. Praktik atau terapan adalah pengujian kemampuan teknologi
pembelajaran tersebut untuk memecahkan masalah di lapangan. Kesenjangan antara teori dan
praktik sering terjadi, tentu saja hal ini harus diterima sebagai sesuatu yang biasa. Perlu kiranya
dianalisis bahwa kesenjangan tersebut bukan karena kesalahan teori, akan tetapi kesenjangan
tersebut diasumsikan sebagai gejala untuk mengkaji ulang teori. Dengan demikian, setiap teori
dapat diperbaiki karena adanya kesempatan dari praktik atau terapan yang mengujinya dilapangan.
Rumusan 2004 memayungi kesenjangan dan keterkaitan antara teori dan praktik yang sebenarnya
selama ini telah dilakukan oleh para pakar teknolog pendidikan namun luput dari pengamatan.
Berdasarkan rumusan definisi dari AECT 2008 tersebut maka dapat diartikan bahwa teknologi
pendidikan adalah studi dan praktek etis untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan
kinerja dengan menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber daya serta memanfaatkan
370 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
teknologi tepat guna. Dengan demikian hakekat teknologi pendidikan adalah perekayasa
pembelajaran, bagaimana belajar yang efektif, efesien dan menyenangkan dalam meningkatkan
kinerja peserta didik, pendidik dan Institusi pendidikan itu sendiri.
Studi, artinya pemahaman secara teoritis bagaimana konsep teknologi pendidikan membutuhkan
perbaikan pengetahuan berkelanjutan melalui penelitian dan merefleksikan dalam praktek, dimana
tercakup terminologi studi yang menujukkan pengumpulan informasi dan analisis melalui
penelitian.
Praktek Etik, praktek merupakan kegiatan yang tidak bertentangan dengan norma dan nilai yang
berhubungan dengan nilai profesi yang akan dilakukan, seperti kode etik dalam suatu pekerjaan.
Komite Etika AECT telah meningkatkan kewaspadaan etika professional. Kode etik professional
dibedakan menjadi 3 kategori yaitu: 1) komite individu, seperti perlindungan hak untuk
mendapatkan materi dan hasil, melindungi keselamatan dan kesehatan pada profesional; 2) komite
social, seperti kejujuran pada publik berdasarkan masalah dalam bidang pendidikan atau adil dalam
praktek yang patut dengan pelayanan pada profesi.; dan 3) komite profesi, seperti meningkatkan
pengetahuan profesioal; dan keterampilan memberikan ketepatan pratek untuk bekerja dan publikasi
ide.
Memfasilitasi Pembelajaran, Peristiwa pembelajaran dapat dilakukan dan diatur face-to-face atau
dalam lingkungan virtual, sebagaimana belajar jarak jauh. Fasilitas pembelajaran dapat mengatur
pembelajaran dan membantu menciptakan lingkungan belajar lebih mudah dan menarik.
Pembelajaran dapat dikategorikan menurut taksonomi. Salah satu yang dinyatakan oleh Perkins
(1992). Jenis pembelajaran sederhana adalah penyimpanan (retention) informasi. Tujuan
pembelajaran dapat termasuk pemahaman (understanding) sebagaimana penyimpanan.
Improving Performance. Teknologi Pendidikan meningkatan kinerja dan efektivitas bahwa proses
pembelajaran harus berkualitas, dan mengacu pada kemampuan pembelajar untuk menggunakan
kapabilitas baru yang diperoleh. Konsep Improving Performance yang berkaitan dengan teknologi
kinerja manusia. Kajian ini juga menyebutkan menciptakan, memanfaatkan dan mengelola.
Menciptakan menunjukkan pada penelitian, teori dan praktek termasuk dalam generalisasi materi
pembelajaran, lingkungan dan sistem pembelajaran dalam arti luas.
Pemanfaatan menunjukkan teori dan praktek berhubungan dengan membawa pembelajar kepada
kontak dengan kondisi dan sumber belajar. Pemanfaatan dimulai dengan memilih sumber dan
proses yang layak antara metode dan materi, dengan kata lain selama pemilihan dilakukan oleh
pembelajar dan instruktur.
Pengelolaan merupakan salah satu tanggung jawab professional dalam kawasan teknologi
pendidikan. Proses produksi media, dan pengembangan pembelajaran yang menjadi semakin rumit
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 371
dalam skala besar, membutuhkan kemampuan dan keterampilan serta keahlian manajemen proyek
dalam pengelolaan.
Appropriate, terminology ini berarti keserasian mengaplikasikan proses dan sumber, pantas
tidaknya dan cocok dengan tujuan yang diharapkan. Terminology kelayakan teknologi digunakan
secara luas di kawasan komunitas pengembangan dibandingkan alat atau praktek yang sederhana
dan kebanyakan dimulai dengan pemecahan masalah.
Technology, merupakan terminologi yang menjelaskan pendekatan kegiatan manusia berdasarkan
aplikasi sistematis berdasarkan keilmuan atau mengorganisasi keilmuan untuk tugas praktek
(Janusweski and Molenda, 2004).
Proses: kajian proses sebagai seri aktivitas yang terus menerus mengarah pada hasil. Teknologi
Pendidikan memakai proses khusus untuk merancang, mengembangkan, dan memproduksi sumber
belajar, digolongkan pada proses besar pengembangan pembelajaran.
Sumber, banyak sumber belajar yang terpusat untuk mengidentifikasi kawasan. Sumber adalah
orang, alat, teknologi, dan desain materi untuk membantu pembelajar. Sumber dapat termasuk
system ICT canggih, sumber komunikasI seperti perpustakaan, kebun binatang, museum, dan
orang-orang dengan pengetahuan khusus atau expert.
Konsepsi teknologi pendidikan ini akan berkembang sepanjang bidang dimiliki, dan mereka terus
berkembang, oleh karena itu konsepsi hari ini adalah bersifat sementara, terikat oleh ruang dan
waktu. Kajian 10 tahun kedepan merupakan pengembangan dari kawasan sebelumnya, dan tiap
kawasan melanjutkan perkembangannya. Definisi pada tahun 2008, misalnya juga masih sama yang
dikeluarkan oleh AECT pada tahun 2004 yang dikemukakan oleh Januszewski, & M. Molenda
(Eds.) pada buku Definition In Educational Technology: A Definition with Commentary.
Kajian 2008, lebih spesifik menekankan pada studi & etika praktek. Kajian Teknologi Pendidikan
dari AECT Tahun 2008. Educational Technology is the study and ethical practice of facilitating
learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological
process and resources”. Teknologi Pendidikan adalah studi dan etika praktek untuk memfasilitasi
pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses
dan sumber daya teknologi. Teknologi pendidikan sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan
kinerja. Menurut penjelasan The Association for Educational Communications and Tecnology
(AECT, 2008) ada tiga kinerja yang harus ditingkatkan yaitu:
Kinerja peserta didik
372 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Kinerja pendidik dan perancang pendidikan
Kinerja organisasi pendidikan.
Pertanyaannya adalah bagaimana meningkatkan kinerja peserta didik, kinerja pendidik dan
perancang pendidikan serta kinerja organisasi pendidikan itu sendiri? Hal ini terkait dengan
perkembangan infomasi dan teknologi, model, strategi, pendekatan, paradigma pembelajaran dan
metode pembelajaran menjadi sesuatu yang harus dikembangkan dalam kaitannya dengan teknologi
pendidikan, walaupun sebenarnya yang kaitannya dengan teknologi hanyalah bagian terkecil dari
tujuan peningkatan kinerja pembelajaran peserta didik, pendidik dan perancang pendidikan serta
kinerja institusi pendidikan. Domain secara tersirat dinyatakan dalam rentang lebih luas, yaitu
kajian (the study) atas apa yang sebelumnya telah dikerjakan, yaitu sejarah kemunculan garapan dan
kajian sejak masa kelahiran disiplin ilmu ini sampai masa kini, yaitu era kreativitas abad ke-21 yang
meliputi antara lain:
Pembelajaran Keterampilan di Masa Kini
Pembelajaran keterampilan di Era abad ke 21 ini merupakan keterampilan yang dibutuhkan oleh
peserta didik untuk menghadapi perubahan dunia, karena banyak perubahan yang terjadi pada era
globalisasi ini, seperti perubahan tempat kerja, otomatisasi, kebijakan yang menuntut tanggung
jawab individu.
Keterampilan Abad ke-21
Keterampilan yang dibutuhkan oleh peserta didik atau pembelajar untuk menghadapi perubahan
dunia, sehingga mereka mampu menjalani kehidupan dengan baik, efektif dan efesien yaitu dengan
memanfaatkan sumberdaya dan teknologi tepat guna. Teknologi pendidikan dapat membantu
memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan peningkatan inovasi pembelajaran
melalui keterampilan informasi, media dan teknologi yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk
meraih keterampilan kehidupan (life skill). Keterampilan abad ke-21 berdasarkan kajian Koay,
Suan See (HOTS“21st 2014), didasarkan pada subjek inti dan tema abad ke-21. Subjek inti terdiri
dari membaca bahasa Inggris, bahasa Arab dan bahasa seni, bahasa dunia, seni, matematika,
ekonomi, ilmu pengetahuan, geografi, sejarah, dan pemerintahan serta kewarganegaraan. Tema
abad ke-21 adalah kesadaran global; keuangan, ekonomi, bisnis, dan literasi kewirausahaan;
pengetahuan sipil; literasi kesehatan; dan keaksaraan lingkungan. Keterampilan abad ke-21 ini
harus didukung oleh sistem pendidikan, seperti standar penilaian, kurikulum dan pengajaran,
pengembangan profesional, dan lingkungan belajar.
Keterampilan informasi, media, dan teknologi terdiri dari melek informasi, melek komunikasi, dan
melek media, yang berkaitan dengan:
Informasi keaksaraan, ini meliputi akses dan mengevaluasi informasi, penggunaan dan pengelolaan
informasi yang meliputi penggunaan informasi akurat dan kreatif untuk isu atau masalah yang
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 373
dihadapi, mengelola aliran informasi dari berbagai sumber, dan menerapkan pemahaman mendasar
dari masalah etika/hukum di sekitar akses dalam penggunaan informasi.
Media literacy (melek media), meliputi analisis media dan menciptakan produk media.
Menganalisis media terdiri dari memahami kedua makna mengapa pesan media yang dibangun dan
untuk tujuan apa serta bagaimana mengkaji individu menginterpretasikan pesan yang berbeda,
bagaimana nilai-nilai dari sudut pandang yang berbeda dan disertakan atau dikecualikan, serta
bagaimana media dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku dalam menerapkan pemahaman
mendasar dari masalah hukum/etika seputar akses dan penggunaan media.
Melek TIK yaitu kemampuan untuk menerapkan teknologi secara efektif. Kemampuan ini terdiri
dari penggunaan teknologi sebagai alat untuk penelitian, mengatur, mengevaluasi, dan
mengkomunikasikan informasi; menggunakan teknologi digital (misalnya, komputer, pemutar
media, GPS, dll), alat komunikasi/jaringan, dan jaringan sosial tepat guna untuk mengakses,
mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi yang dapat berfungsi
dalam pengetahuan keterampilan dan menerapkan pemahaman mendasar dari masalah hukum dan
etika seputar akses dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi tepat guna dan tepat
sasaran.
Keterampilan dalam kehidupan untuk meniti karier meliputi keterampilan sosial lintas budaya,
produktivitas dan akuntabilitas yang kreatif dan pengarahan diri sendiri serta kepemimpinan yang
bertanggung jawab.
Pembelajaran Bermakna.
Proses pembelajaran bermakna dalam persfektif teknologi pendidikan seharusnya dimulai dengan
pemecahan masalah dan berorientasi pada peserta didik dengan menggunakan sistem dan sumber
belajar dalam arti luas, sehingga pendidik (guru) dan peserta didik keduanya secara bersamaan aktif
berinteraksi dan berkomunikasi dalam proses pembelajaran, maka dengan demikian proses
komunikasi dapat berjalan dengan baik. Semakin baik kualitas interaksi maka diharapkan akan
semakin baik pula hasil pembelajaran yang bermakna dan akhirnya peserta didik mempunyai
pengalaman belajar yang mendalam dan mengesankan serta mampu meningkatkan optimalisasi
proses pembelajaran.
Pembelajaran bermakna dalam konteks teknologi pendidikan merupakan pembelajaran yang
menjadikan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya, tidak ditransmisikan oleh guru
kepada peserta didik. Untuk mengalami pembelajaran bermakna, peserta didik harus melakukan
kegiatan yang lebih dari sekedar mengakses atau mencari informasi, mereka perlu tahu bagaimana
cara untuk memeriksa, memahami, menafsirkan dan mendalami informasi tersebut. Pembelajaran
374 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
bermakna mensyaratkan bahwa pendidik (guru) harus mengubah peran mereka dari pemberi untuk
pembimbing, karena peserta didik belajar dari pemikiran tentang apa yang sedang mereka kerjakan,
pendidik (guru) berperan dalam merangsang dan mendukung kegiatan yang melibatkan peserta
didik dalam berpikir. Guru juga harus menerima bahwa boleh jadi pemikiran peserta didik tersebut
melampaui pemahaman mereka sendiri. Ketika seorang pembelajar menghubungkan informasi baru
yang diperolehnya atau pengetahuan dasar yang sudah diperoleh sebelumnya, maka informasi-
informasi tersebut akan dikonsolidasikan ke dalam memori jangka panjang dan dapat digunakan di
lain waktu pada kesempatan yang berbeda.
Pembelajaran bermakna dalam perspektif teknologi pendidikan memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Aktif memanipulatif. Para peserta didik secara aktif terlibat dengan tugas yang berarti di
mana mereka memanipulasi objek dan parameter lingkungan serta mengamati hasil manipulasi
mereka.
2. Artikulatif dan reflektif. Para pembelajar mengartikulasikan apa yang mereka miliki,
menyelesaikan dan merefleksikan pada aktivitas dan observasi serta merenungkan pengalaman baru
dengan pengetahuan mereka sebelumnya.
3. Disengaja dan diarahkan. Ketika peserta didik secara aktif dan sengaja berusaha mencapai
tujuan kognitif, mereka berpikir dan belajar lebih banyak karena mereka memenuhi niat
4. Pembelajaran otentik bersifat kompleks/kontekstual harus tertanam dalam kehidupan nyata,
sebagai konteks yang berguna.
5. Koperatif dan kolaboratif. Biarkan peserta didik untuk bekerja sama, memanfaatkan
keterampilan masing-masing dan mengambil alih pengetahuan masing-masing untuk memecahkan
masalah dan melakukan tugas. Ketika peserta didik berkolaborasi dan berkomunikasi, maka mereka
belajar bahwa ada lebih dari satu cara untuk melihat dunia dan ada beberapa solusi untuk
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan.
Dengan demikian pembelajaran disebut bermakna jika setelah belajar peserta didik memahami
materi pembelajaran dan dapat menerapkannya untuk memecahkan masalah mereka. Setelah
belajar, peserta didik memiliki banyak keterampilan yang digunakan untuk memecahkan masalah
dalam hidup mereka. Guru harus mengintegrasikan keterampilan dalam pengajaran pada mata
pelajaran akademik inti.
KESIMPULAN
Teknologi pendidikan masa kini. AECT, 2008. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diartikan
bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis untuk memfasilitasi pembelajaran dan
meningkatkan kinerja dengan menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber daya serta
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 375
memanfaatkan teknologi tepat guna. Dengan demikian hakekat teknologi pendidikan adalah
perekayasa pembelajaran, belajar bagaimana belajar yang efektif, efesien dan menyenangkan.
Teknologi pendidikan dalam perspektif pendidikan Islam bahwa Iqra (baca) dalam prespektif
teknologi pendidikan, memiliki tafsir yang luas, yaitu sebagai “pembelajaran.” Oleh karena itu
makna pembelajaran atau Iqra adalah teknologi pembelajaran yang bersifat interaktif, inspiratif,
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik peserta didik, karena teknologi
pendidikan adalah perekayasa pembelajaran, bagaimana belajar yang efektif, efisien dan
menyenangkan, sehingga hasil belajar dapat tercapai secara maksimal. Dengan demikian Teknologi
Pendidikan tidak sekedar student centre tetapi juga harus student creator yang berorientasi pada
iman, ilmu dan amal.
Teknologi pendidikan dalam perspektif manajemen dan ekonomi Islam.
Kajian Teknologi Pendidikan masa kini dari AECT Tahun 2008 menyatakan bahwa studi dan etika
praktek untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan,
penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya teknologi. Teknologi pendidikan sebagai
salah satu sarana untuk meningkatkan kinerja. Menurut penjelasan Association for Educational
Communications and Tecnology (AECT, 2008). Ada tiga kinerja yang harus ditingkatkan yaitu: a)
kinerja peserta didik, b) kinerja pendidik dan perancang Pendidikan serta c) kinerja
organisasi/Institusi pendidikan.
Konsep kinerja dalam perspektif teknologi pendidikan memiliki tafsir yang luas artinya berusaha
sunguguh-sungguh untuk memperoleh hasil terbaik dan benar, meningkatkan kinerja dengan
menciptakan, menggunakan dan mengelola sumber daya serta memanfaatkan teknologi tepat guna.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ankabut ayat 69.
REFERENSI
AECT Task Force on Definition and Terminology The Definition of Educational
technology.Washington, DC; Associtation for Educational Communication and Tecnhology. 1977
Alan Januszewski & Michael Molenda. Educational Technology: A Definition with Commentary.
Lawrence Erlbaum Associates, 2008.
Arief Zainal Abidin, Landasan Teknologi Pendidikan Penerbit UIKA PRESS, Bogor 2015
Arief Zainal Abidin, Teknologi Kinerja dalam Proses Pembelajaran, Penerbit UIKA PRESS, Bogor
2016
Barbara B. Seels & Rita C. Richey. Instructional Technology: The Definition and Domains of the
Field. Association for Educational Communication and Technology (AECT), 1994.
376 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Barbara L. Martin and Leslie J. Briggs, The Affective and Cognitive Domains: Integration for
Instruction and Research Englewood Cliffs N.J.: Educational Technology Publication Inc, 1986.
Koay, Suan See. Higher Order Thinking Skills (HOTS): “21st Century Skills in Secondary Science,
“Enhancing Higher Order Thinking Skills and Integrated Values Education”: Customised Course
for Indonesian Secondary Science Educator. Penang, Malaysia: SEAMO RECSAM. 2014
Januszewski dan Persichitte in januszewski dan Molenda, Educational Tecnhology: A Definition
with Commentay. New York: Taylor dan Francis Group- Lawrence Erlbaum, pp. 259-282. Chp. 11
Andrew Yearman.2008.
Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, Mizan Media Utama, Bandung. 1994
Quraish Shihab dkk. Sejarah dan Ulumul Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta.. 2001,
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 377
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROJECT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN
SEBAGAI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Sukirman
Jurusan Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Semarang
ABSTRAK
Implementasi Kurikulum 2013 yang harus dikuasai oleh guru adalah penguasaan model
pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning / PBL). Dijadikannya PBL sebagai salah
satu model pembelajaran yang diharapkan dapat diimplementasikan dalam Kurikulum 2013, karena
Model Pembelajaran Berbasis Proyek menuntut keaktifan siswa, dapat memberikan pengalaman
langsung serta menuntut pembelajaran yang tidak terbatas hanya sebagai pengetahuan saja. Namun
demikian, tidak semua materi pembelajaran menggunakan model. Untuk itu, guru harus dapat
memilih sesuai karakteristik materi model pembelajaran dan karakteristik materi yang akan
diajarkan. Kurikulum 2013 menggunakan 3 (tiga) model pembelajaran utama (Permendikbud No.
103 Tahun 2014) yang diharapkan dapat membentuk perilaku saintifik, perilaku sosial serta
mengembangkan rasa keingintahuan. Ketiga model tersebut adalah: model Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem Based Learning), model Pembelajaran Berbasis Projek (Project Based Learning),
dan model Pembelajaran Melalui Penyingkapan/Penemuan (Discovery/Inquiry Learning).
Disamping model pembelajaran di atas dapat juga dikembangkan model pembelajaran Production
Based Education (PBE) sesuai dengan karakteristik pendidikan menengah kejuruan. Model
pembelajaran Projek based Learning adalah model pembelajaran yang menggunakan
proyek/kegiatan dalam pembelajaran peserta didik. Dalam hal ini peserta didik di arahkan
melakukan kegiatan lapangan untuk mengeksplorasi, mengobservasi, mengamati, menginterpretasi,
dan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang materi pembelajaran. Dalam model PJBL
peserta didik di bawa dalam aktivitas yang nyata untuk mengumpulkan dan mengintegrasikan
pengetahuannya sehingga menghasilkan pengalaman belajar yang berguna dan bermanfaat. Dalam
PJBL pembelajaran di mulai dari proses menemukan (inquiri) dengan memunculkan pertanyaan
penuntun (a guiding question). Kemudian dibimbing dalam sebuah proyek kolaboratif yang
mengintegrasikan materi pelajaran dengan kegiatan-kegiatan nyata di lapangan.
Kata Kunci : Kurikulum 2013, Model Pembelajaran Berbasis Proyek
378 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Top of Form
Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013
Pembelajaran adalah proses interaksi antarpeserta didik, antara peserta didik dan pendidik, dan
antara peserta dan sumber belajar lainnya pada suatu lingkungan belajar yang berlangsung secara
edukatif, agar peserta didik dapat membangun sikap, pengetahuan dan keterampilannya untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang
mengandung serangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga penilaian.
Menurut Joyce dan Weil (dalam Rusman, 2012:133), model pembelajaran adalah suatu rencana atau
pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang),
rancangan bahan- bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.
Selanjutnya secara lebih jelas Rusman menyebutkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu
cara yang sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi seperangkat
materi dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Rusman, 2012:155).
Kurikulum 2013 menggunakan 3 (tiga) model pembelajaran utama (Permendikbud No. 103 Tahun
2014) yang diharapkan dapat membentuk perilaku saintifik, perilaku sosial serta mengembangkan
rasa keingintahuan. Ketiga model tersebut adalah: model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning), model Pembelajaran Berbasis Projek (Project Based Learning), dan model
Pembelajaran Melalui Penyingkapan/Penemuan (Discovery/Inquiry Learning). Disamping model
pembelajaran di atas dapat juga dikembangkan model pembelajaran Production Based Education
(PBE) sesuai dengan karakteristik pendidikan menengah kejuruan.
Tidak semua model pembelajaran tepat digunakan untuk semua KD/materi pembelajaran. Model
pembelajaran tertentu hanya tepat digunakan untuk materi pembelajaran tertentu. Sebaliknya materi
pembelajaran tertentu akan dapat berhasil maksimal jika menggunakan model pembelajaran
tertentu.Oleh karenanya guru harus menganalisis rumusan pernyataan setiap KD, apakah cenderung
pada pembelajaran penyingkapan (Discovery/Inquiry Learning) atau pada pembelajaran hasil karya
(Problem Based Learning dan Project Based Learning).
Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Model Pembelajaran Berbasis Proyek adalah metoda pembelajaran yang menggunakan
proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis,
dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.
Model Pembelajaran Berbasis Proyek adalah model atau metode belajar yang menggunakan
masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru
berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek
dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam
melakukan insvestigasi dan memahaminya.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 379
Melalui Model Pembelajaran Berbasis Proyek, proses inquiry dimulai dengan memunculkan
pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek
kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan
terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai
prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PBL merupakan investigasi mendalam tentang
sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik. Mengingat
bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran
berbasis proyekmemberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi)
dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara
kolaboratif.
Pembelajaran berbasis proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan
Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai
institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri harus
dapat membekali peserta didiknya dengan “kompetensi terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja
dibidang masing-masing. Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK
diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan
demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis proyek.
Pembelajaran Berbasis proye kmemiliki karakteristik sebagai berikut:
peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja
adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik
peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang
diajukan
peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk
memecahkan permasalahan
proses evaluasi dijalankan secara kontinyu
peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan
produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif, dan
situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.
Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai fasilitator, pelatih,
penasehat dan perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya imajinasi, kreasi
dan inovasi dari siswa. Namun demikian, ada beberapa hambatan dalam implementasi metode
Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain berikut ini.
380 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Pembelajaran berbasis proyek memerlukan banyak waktu yang harus disediakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang komplek.
Banyak orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk memasuki
sistem baru.
Banyak instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional, dimana instruktur memegang peran
utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur yang kurang atau
tidak menguasai teknologi.
Banyaknya peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah.
Untuk itu disarankan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih
menarik lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang
kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan pembagian tugas
kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Atau buatlah suasana
belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus
dilakukan di dalam ruang kelas.
Berdasarkan urian di atas dapat disimpulan bahwa Pembelajaran Berbasis Projek adalah kegiatan
pembelajaran yang menggunakan projek/kegiatan sebagai proses pembelajaran untuk mencapai
kompetensi sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Penekanan pembelajaran terletak pada aktivitas-
aktivias peserta didik untuk menghasilkan produk dengan menerapkan keterampilan meneliti,
menganalisis, membuat, sampai dengan mempresentasikan produk pembelajaran berdasarkan
pengalaman nyata. Produk yang dimaksud adalah hasil projek dalam bentuk desain, skema, karya
tulis, karya seni, karya teknologi/prakarya, dan lain-lain. Pendekatan ini memperkenankan pesera
didik untuk bekerja secara mandiri maupun berkelompok dalam menghasilkan produk nyata.
Karakteristik dan Prinsip-prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek (project based learning)
1. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Proyek (project based learning)
Menurut Buck Institute for Education (1999) dalam Trianto (2014: 43) menyebutkan bahwa project
based learning memiliki karakteristik, yaitu:
siswa sebagai pembuat keputusan, dan membuat kerangka kerja
terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya
siswa sebagai perancang proses untuk mencapai hasil.
siswa bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan.
melakukan evaluasi secara kontinu.
siswa secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan.
hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya.
Kelas memiliki atmosfir yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 381
Karakteristik pembelajaran berbasis proyek adalah memposisikan siswa sebagai pemain utama
dalam pembelajaran. Siswa aktif dalam hal membuat keputusan, merancang solusi, bertanggung
jawab mencari dan mengelola informasi, dan merefleksikan apa yang mereka lakukan. Selain itu,
ada masalah atau tantangan tanpa solusi yang telah ditetapkan sebelumnya, evaluasi berlangsung
terus menerus, dan adanya produk akhir, serta ruang kelas memiliki suasana yang mentolerir
kesalahan dan perubahan. Karakteristik pembelajaran berbasis proyek (project based learning),
terdiri dari:
Siswa di pusat dari proses pembelajaran.
Proyek fokus pada tujuan penting pembelajaran yang selaras dengan spesifikasi kurikulum.
Proyek didorong oleh Curriculum-Framing Questions.
Proyek melibatkan terus-menerus dan beberapa jenis asesmen.
Proyek ini memiliki koneksi dunia nyata.
Siswa menunjukkan pengetahuan melalui sebuah produk atau kinerja.
Teknologi mendukung dan meningkatkan pembelajaran siswa
Keterampilan berpikir merupakan bagian integral dari pekerjaan proyek.
Strategi instruksional yang bervariasi dan mendukung gaya belajar beberapa.
Karakteristik pembelajaran berbasis proyek menurut intel ini pada dasarnya memiliki kesamaan
seperti yang telah disebutkan di atas, namun konsepnya lebih lengkap. Kesamaannya pada posisi
siswa yang aktif dalam belajar, adanya masalah yang diuraikan dalam bentuk pertanyaan. Hal yang
menjadi pembeda dengan karakteristik di atas adalah adanya hubungan dengan dunia nyata.
Prinsip-prinsip pembelajaran Berbasis Proyek
Pembelajaran berbasis proyek dapat diidentifikasi melalui ciri-cirinya, pembelajaran berbasis
proyek merupakan pembelajaran yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui
pembuatan produk. Produk yang dibuat dengan serangkaian kegiatan perencanaan, pencarian,
kolaborasi. Dalam kajiannya Krajcik, et al. dalam Abdurrahim (2011) menyarankan lima ciri-ciri
dari pembelajaran berbasis proyek, yakni: driving question, investigation, artifacts, collaboration
dan technological tools.
Thomas (2000), menguraikan lima kriteria pokok dari suatu pembelajaran berbasis proyek. Kriteria
ini bukan merupakan definisi dari pembelajaran berbasis proyek, tetapi didesain untuk menjawab
pertanyaan “apa yang harus dimiliki proyek agar dapat digolongkan sebagai pembelajaran berbasis
proyek?”. Lima kriteria itu adalah keberpusatan (centrality), berfokus pada pertanyaan atau masalah
(driving question), investigasi konstruktif (constructive investigation) atau desain, otonomi siswa
382 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
(autonomy), dan realisme (realism). Kriteria-kriteria ini dapat dijadikan sebagai prinsip-prinsip
pembelajaran berbasis proyek.
1. Centrality (keberpusatan)
Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap
kurikulum. Bell dalam Abdurrahim (2011) mengatakan, “PBL is not suplementery activity to
support learning; It is a basic of the curriculum”. Di dalam pembelajaran berbasis proyek, proyek
adalah model pembelajaran; siswa mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu
melalui proyek. Ada kerja proyek yang mengikuti pembelajaran tradisional dengan cara proyek
tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktek tambahan, atau aplikasi praktek yang diajarkan
sebelumnya dengan maksud lain. Akan tetapi, menurut kriteria di atas, aplikasi proyek tersebut
tidak dapat dikategorikan sebagai pembelajaran berbasis proyek. Kegiatan proyek yang
dimaksudkan untuk pengayaan di luar kurikulum juga tidak termasuk pembelajaran berbasis
proyek.
2. Driving Question (berfokus pada pertanyaan atau masalah)
Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau masalah, yang
mendorong siswa menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok
dari disiplin. Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Definisi proyek (bagi siswa) harus
dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang
melatarinya yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, et. al.
dalam Abdurrrahim, 2011). Biasanya dilakukan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan atau ill-
defined problem (Thomas, 2000). Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek mungkin dibangun
melalui unit tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu
belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang mengajar siswa,
sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus digubah
(orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual (Blumenfeld, et. al. dalam Abdurrahim,
2011).
3. Constructive Investigation (investigasi konstruktif)
Proyek melibatkan siswa dalam investigasi konstruktif. Investigasi mungkin berupa proses desain,
pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, discovery, atau proses
pengembangan model. Akan tetapi, agar dapat disebut proyek memenuhi kriteria pembelajaran
berbasis proyek, aktivitas inti dari proyek itu harus meliputi transformasi dan konstruksi
pengetahuan (dengan pengertian: pemahaman baru, atau keterampilan baru) pada pihak siswa. Jika
pusat atau inti kegiatan proyek tidak menyajikan “tingkat kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan
dengan penerapan informasi atau keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang dimaksud adalah
tak lebih dari sebuah latihan, dan bukan proyek pembelajaran berbasis proyek yang dimaksud.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 383
Membersihkan peralatan laboratorium mungkin sebuah proyek, akan tetapi mungkin bukan proyek
dalam pembelajaran berbasis proyek (Bereiter, et al. dalam Abdurrahim, 2011).
4. Autonomy (otonomi siswa)
Proyek mendorong siswa sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek dalam pembelajaran berbasis
proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan dalam naskah, atau terpaketkan. Latihan laboratorium
bukanlah contoh pembelajaran berbasis proyek, kecuali jika berfokus pada masalah dan merupakan
inti pada kurikulum. Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek tidak berakhir pada hasil yang
telah ditetapkan sebelumnya atau mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan sebelumnya.
Proyek pembelajaran berbasis proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu kerja yang tidak
bersifat ketat (tanpa diawasi), dan siswa lebih bertanggung jawab daripada proyek tradisional dan
pembelajaran tradisional (Bereiter, et al. dalam Abdurrahim, 2011).
5. Realism (realisme)
Proyek adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontetikan pada siswa. Karakteristik ini
boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan siswa, konteks di mana kerja proyek
dilakukan, kolaborator yang bekerja dengan siswa dalam proyek, produk yang dihasilkan, kriteria di
mana produk-produk atau unjuk kerja dinilai. Pembelajaran berbasis proyek melibatkan tantangan-
tantangan kehidupan nyata, berfokus pada pertanyaan atau masalah otentik (bukan simulatif), dan
pemecahannya berpotensi untuk diterapkan di lapangan yang sesungguhnya (Baron, et al. dalam
Abdurrahim, 2011). Wena (2012) dalam Nashriah (2014) menurut Thomas pembelajaran berbasis
proyek mempunyai beberapa prinsip, yaitu:
Prinsip sentralistis (centrality) menegaskan bahwa kerja proyek merupakan esensi dari kurikulum.
Prinsip pertanyaan pendorong/penuntun berarti bahwa kerja proyek berfokus pada pertanyaan atau
permasalahan yang dapat mendorong siswa untuk berjuang memperoleh konsep utama suatu bidang
tertentu.
Prinsip investigasi konstruktif (constructive investigation) merupakan proses yang mengarah
kepada pencapaian tujuan, yang mengandung kegiatan inkuiri, pembangunan konsep dan resolusi.
Prinsip otonomi (autonomy) diartikan sebagai kemandirian siswa dalam melaksanakan proses
pembelajaran, yaitu bebas menentukan pilihannya sendiri, bekerja dengan minimal supervisi, dan
bertanggung jawab.
Prinsip realistis (realism) berarti bahwa proyek merupakan sesuatu yang nyata.
Hal yang sama diungkapkan oleh ...bahwa pembelajaran berbasis proyek adalah pembelajaran
dengan menggunakan tugas proyek sebagai metode pembelajaran. Para siswa bekerja secara nyata,
384 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
seolah-olah ada di dunia nyata yang dapat menghasilkan produk secara nyata atau realistis. Prinsip
yang mendasari pada pembelajaran berbasis proyek adalah:
Pembelajaran berpusat pada siswa yang melibatkan tugas-tugas proyek pada kehidupan nyata untuk
memperkaya pembelajaran.
Tugas proyek menekankan pada kegiatan penelitian berdasarkan suatu tema atau topik yang telah
ditentukan dalam pembelajaran.
Penyelidikan atau eksperimen dilakukan secara otentik dan menghasilkan produk nyata yang telah
dianalisis dan dikembangkan berdasarkan tema/topik yang disusun dalam bentuk produk (laporan
atau hasil karya). Produk tersebut selanjutnya dikomunikasikan untuk mendapat tanggapan dan
umpan balik untuk perbaikan produk.
Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis Proyek
Kelebihan dan kekurangan pada penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Kelebihan/Keuntungan Model Pembelajaran Berbasis Proyek
Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk
melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai.
Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang
kompleks.
Meningkatkan kolaborasi.
Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi.
Meningkatkan keterampilan peserta didikdalam mengelola sumber.
Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi
proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk
menyelesaikan tugas.
Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang
untuk berkembang sesuai dunia nyata.
Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan
yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata.
Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik
menikmati proses pembelajaran.
2. Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Proyek
Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah.
Membutuhkan biaya yang cukup banyak.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 385
Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang
peran utama di kelas.
Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan
mengalami kesulitan.
Ada kemungkinanpeserta didikyang kurang aktif dalam kerja kelompok.
Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik
tidak bisa memahami topik secara keseluruhan
Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek di atas seorang pendidik harus dapat
mengatasi dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah, membatasi waktu
peserta didik dalam menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan peralatan yang
sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau
sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan sehingga instruktur dan peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran berbasis proyek ini juga menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan seperti
kolaborasi dan refleksi. Menurut studi penelitian, Pembelajaran berbasis proyek membantu siswa
untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka, sering menyebabkan absensi berkurang dan lebih
sedikit masalah disiplin di kelas. Siswa juga menjadi lebih percaya diri berbicara dengan kelompok
orang, termasuk orang dewasa.
Pelajaran berbasis proyek juga meningkatkan antusiasme untuk belajar. Ketika anak-anak
bersemangat dan antusias tentang apa yang mereka pelajari, mereka sering mendapatkan lebih
banyak terlibat dalam subjek dan kemudian memperluas minat mereka untuk mata pelajaran
lainnya. Antusias peserta didik cenderung untuk mempertahankan apa yang mereka pelajari, bukan
melupakannya secepat mereka telah lulus tes.
Langkah langkah pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Langkah-langkah pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain.
Penentuan pertanyaan mendasar (Start With the Essential Question).
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan
peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia
nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik yang
diangkat relevan untuk para peserta didik.
Mendesain perencanaan proyek (Design a Plan for the Project).
386 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan peserta didik. Dengan emikian
peserta didik diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang
aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial,
dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan
yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek.
Menyusun jadwal (Create a Schedule)
Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan
proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (1) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (2)
membuat deadline penyelesaian proyek, (3) membawa peserta didik agar merencanakan cara yang
baru, (4) membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara yang tidak berhubungan dengan
proyek, dan (5) meminta peserta didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu
cara.
Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of the
Project)
Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik selama
menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi peserta didik pada setiap
roses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik. Agar
mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas
yang penting.
Menguji hasil (Assess the Outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian standar, berperan
dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat
pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi
pembelajaran berikutnya.
Mengevaluasi pengalaman (Evaluate the Experience)
Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan refleksi terhadap aktivitas
dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun
kelompok. Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamanya
selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik mengembangkan diskusi dalam rangka
memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan
baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran.
Peran guru dan peserta didik dalam pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project
Based Learning)
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 387
Peran guru dan peserta didik dalam pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai berikut.
1) Peran Guru
Merencanakan dan mendesain pembelajaran.
Membuat strategi pembelajaran.
Membayangkan interaksi yang akan terjadi antara guru dan siswa.
Mencari keunikan siswa.
Menilai siswa dengan cara transparan dan berbagai macam penilaian.
Membuat portofolio pekerjaan siswa.
2) Peran Peserta Didik
Menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir.
Melakukan riset sederhana.
Mempelajari ide dan konsep baru.
Belajar mengatur waktu dengan baik.
Melakukan kegiatan belajar sendiri/kelompok.
Mengaplikasikan hasil belajar lewat tindakan.
Melakukan interaksi sosial (wawancara, survey, observasi, dll).
Sistem Penilaian dalam pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Penilaian pembelajaran dengan metoda Pembelajaran berbasis proyek harus diakukan secara
menyeluruh terhadap sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa dalam
melaksanakan pembelajaran berbasis proyek. Penilaian pembelajaran berbasis proyek dapat
menggunakan teknik penilaian yang dikembangkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yaitu penilaian proyek atau penilaian produk. Penilaian tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Penilaian Proyek
Pengertian Penilaian proyek
Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam
periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari perencanaan,
pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Penilaian proyek dapat
digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan
dan kemampuan menginformasikan peserta didik pada mata pelajaran tertentu secara jelas. Pada
penilaian proyek setidaknya ada 4 (empat) hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
388 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Pengelolaan
Kemampuan siswa dalam memilih topik, mencari informasi, dan mengelola waktu pengumpulan
data, serta penulisan laporan.
Relevansi
Topik, data, dan produk sesuai dengan KD.
Keaslian
Produk (misalnya laporan) yang dihasilkan siswa merupakan hasil karyanya, dengan
mempertimbangkan kontribusi guru berupa petunjuk dan dukungan terhadap proyek siswa.
Inovasi dan kreativitas
Hasil proyek siswa terdapat unsur-unsur kebaruan dan menemukan sesuatu yang berbeda dari
biasanya.
Teknik Penilaian Proyek
Penilaian proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir proyek.
Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan
disain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapkan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil
penelitian juga dapat disajikan dalam bentuk poster. Pelaksanaan penilaian dapat menggunakan alat/
instrumen penilaian berupa daftar cek ataupun skala penilaian. Penilaian Proyek dilakukan mulai
dari perencanaan , proses pengerjaan sampai dengan akhir proyek. Untuk itu perlu memperhatikan
hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai. Pelaksanaan penilaian dapat juga menggunakan rating scale
dan checklist.
Penilaian Produk
Pengertian Penilaian Produk
Penilaian produk adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk. Penilaian
produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk teknologi dan seni,
seperti: makanan, pakaian, hasil karya seni (patung, lukisan, gambar), barang-barang terbuat dari
kayu, keramik, plastik, dan logam. Pengembangan produk meliputi 3 (tiga) tahap dan setiap tahap
perlu diadakan penilaian yaitu:
Tahap persiapan, meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dan merencanakan, menggali, dan
mengembangkan gagasan, dan mendesain produk.
Tahap pembuatan produk (proses), meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dalam menyeleksi
dan menggunakan bahan, alat, dan teknik.
Tahap penilaian produk (appraisal), meliputi: penilaian produk yang dihasilkan peserta didik sesuai
kriteria yang ditetapkan.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 389
Teknik Penilaian Produk
Penilaian produk biasanya menggunakan cara holistik atau analitik.
Cara holistik, yaitu berdasarkan kesan keseluruhan dari produk, biasanya dilakukan pada tahap
appraisal.
Cara analitik, yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap semua kriteria
yang terdapat pada semua tahap proses pengembangan.
Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Proyek untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Kurikulum 2013 mengisyaratkan bahwa pembelajaran di kelas harus menggunakan pendekatan
saintifik. Pendekatan saintifik mengharuskan guru menyusun strategi atas lima kegiatan. Di antara
limat kegiatan itu adalah mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosi, dan
mengkomunikasikan. Kelima langka tersebut harus secara integratif terlaksana dalam kegiatan
pembelajaran.
Dari pendekatan saintifik terdapat model pembelajaran yang relevan di antaranya Pembelajaran
Berbasis Proyek. Jika kita amati proses pembelajaran di kelas, guru biasa menyampaikan materi
pembelajaran secara abstrak. Peserta didik tidak di bawa ke arah yang kongkrit atau ke arah dunia
nyata sehingga anak hanya hapal bukan paham. Dampak dari pelaksanaan pembelajaran tersebut
anak tidak mampu menghubungkan antara materi pembelajaran yang dipelajari dengan bagaimana
pengetahuan yang telah diperoleh itu diterapkan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Konsep-
konsep yang telah dipelajari hanya diingat sebentar. Karena memang peserta didik hanya
menghapal kemudian hilanglah semua konsep-konsep itu dalam beberapa saat yang tidak lama. Hal
ini mengakibatkan pembelajaran yang berlangsung tidak berdampak apa-apa dalam kehidupannya.
Melalui model pembelajaran PJBL diharapkan mampu meminimalisasi semua permasalahan di atas.
Siswa tidak hanya menghapal tetapi juga paham, mengingat lebih lama, dan mampu
mengaplikasikan materi yang telah dipelajarinya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Atau
setidaknya siswa mampu melakukan tindakan untuk menyusun dan mempraktikan semua materi
pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini karena PJBL dirancang agar mampu menyelesaikan
permasalahan yang kompleks dengan melakukan investigasi lapangan dan memahaminya. Model
pembelajaran Projek based Learning adalah model pembelajaran yang menggunakan
proyek/kegiatan dalam pembelajaran peserta didik. Dalam hal ini peserta didik di arahkan
melakukan kegiatan lapangan untuk mengeksplorasi, mengobservasi, mengamati, menginterpretasi,
dan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang materi pembelajaran.
Dalam model PJBL peserta didik di bawa dalam aktivitas yang nyata untuk mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuannya sehingga menghasilkan pengalaman belajar yang berguna dan
390 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
bermanfaat. Dalam PJBL pembelajaran di mulai dari proses menemukan (inquiri) dengan
memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question). Kemudian dibimbing dalam sebuah
proyek kolaboratif yang mengintegrasikan materi pelajaran dengan kegiatan-kegiatan nyata di
lapangan.
Daftar Pustaka
Aunurrahman . 2011. Belajar Dan Pembelajaran. Alfabeta. Bandung.
Hamzah. 2010. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif Dan
Efektif. Bumi Aksara. Jakarta.
Iskandar. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Gaung Persada (GP) Press. Ciputat.
Kamdi, W. 2007. Model Pembelajaran Project Based Learning. UNS Press. Semarang.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Modul Pelatihan Kurikulum 2013,
Jakarta:Kemdikbud
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Modul Pelatihan Kurikulum 2013,
Jakarta:Kemdikbud.
Made Wena. 2011. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Bumi Aksara. Jakarta.
Markham, T. (2003). Project-Based Learning Handbook (2nd ed.). Novato, CA: Buck Institute for
Education.
Masnur Muslich. 2011. Melaksanakan PTK Itu Mudah. Bumi Aksara. Jakarta.
Muhibbin Syah. 2006. Psikologi Belajar. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Mulyasa. 2010. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.
Rusman. 2012. Model – Model Pembelajaran. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 391
Sabar Nurohman. 2008. Pendekatan Project Based Learning Sebagai Upaya Internalisasi Scientific
Method Bagi Mahasiswa Calon Guru. (Online), http://Shobru.files.wordpress.com/2008/08/Project-
Based-Learning.pdf. (diakses 6 April 2014).
Slameto. 2010. Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta. Jakarta.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Alfabeta. Bandung.
Wina Sanjaya. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Kencana. Jakarta.
392 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
WEB-SUPPORTED SYSTEM FOR COLLABORATION LEARNING SEBAGAI PENGEMBANG KAPABILITAS PEBELAJAR
Henry Praherdhiono
Universitas Negeri Malang
ABSTRAK
Pengembangan kapabilitas pebelajar merupakan cara dalam mengembangkan performa lulusan
perguruan tinggi. Perkembangan penelitian pada Jurusan Teknologi Pendidikan (TEP) Fakultas
Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang (UM) telah mengarah dalam pembelajaran
kolaboratif pada Sistem Aplikasi Pembelajaran Online (SAPROL) sejak tahun 2007. Tujuan
penelitian adalah mengembangkan Web-Supported System for Collaboration Learning (WSSCL)
dalam SAPROL TEP FIP UM untuk mendukung kurikulum life based learning (pembelajaran) TEP
FIP UM. Konten pengembangan adalah produk fitur kolaborasi online dan kajian empiris pada
WSSCL dalam rangka memastikan kesiapan pembelajar dengan WSSCL dalam kurikulum yang
dirancang oleh TEP FIP UM. Kajian empiris difokuskan pada deskripsi informasi pelaksanaan
WSSCL.
Kata Kunci: Kapabilitas, Web-Supported System For Collaboration Learning (WSSCL), life based
learning
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 393
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi mempengaruhi perkembangan pembelajaran (Abulibdeh & Hassan, 2011).
Jurusan Teknologi Pendidikan (TEP) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang
(UM) telah bergeser pada pembelajaran kolaboratif (Annamalai, Tan, & Abdullah, 2016). Sistem
pembelajaran di TEP FIP UM berbasis web yang dikembangkan untuk melayani karakteristik
individu maupun kolaborasi. Perkembangan berikutnya, Peneliti jurusan TEP FIP UM bergeser
pada bagaimana mengembangkan pembelajaran berbasis web untuk kebutuhan pembelajaran
kolaborasi. Pembelajaran secara kolaboratif dan pembelajaran kolaboratif perlu didukung oleh
perangkat komputer (Deutsch, Coleman, & Marcus, 2011; Johnson & Johnson, 1999). Model
transmisi pesan langsung dari pembelajaran dengan menciptakan peluang untuk mengkonstruksi
pengetahuan dan terlibat dalam pembelajaran secara bersama (L. Kim, 1998). Pembelajaran
kolaboratif, yang didukung oleh perangkat komputer, memiliki fokus studi tentang bagaimana
orang belajar bersama dengan dukungan komputer pribadi yang dimiliki pebelajar, dan dukungan
tersebut merupakan intersubjektif arti keputusan yang membuat bidang kajian keilmuan yang unik
pada masing-masing individu (Stahl, Koschmann, & Suthers, 2006).
Pedagogi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teknologi (Farah, Ireson, & Richards, 2016).
Hal ini terlihat dalam perkembangan kurikulum Universitas Negeri Malang mengalami perubahan
mendasar. Perubahan yang terjadi adalah era kompetensi menuju era pengembangan kapabilitas
pebelajar. TEP FIP UM juga mengalami perubahan penguatan lulusan. Landasan pengembangan
adalah kebutuhan kekinian dalam konteks kehidupan. Selain profesional juga harus memiliki
kapabilitas di era perkembangan keilmuan dan pengetahuan (He & Yang, 2016; Yeung, 1999).
Lingkungan belajar dalam konteks kehidupan telah berkembang pada penggabungan lingkungan
kerja dengan lingkungan belajar dalam sebuah sistem Pendidikan (Luppicini, 2005). Model
pembelajaran juga merupakan respon terhadap konteks perubahan penggunaan teknologi pada
lingkungan belajar. Beberapa pengembangan model yang telah mengidentifikasi kebutuhan untuk:
a) pendekatan peningkatan kapasitas daripada kepatuhan pendekatan dalam lingkungan belajar
(Yeung, 1999), b) memenuhi sifat perubahan dan kebutuhan dunia kerja (Coffield, 2000) , c)
pendekatan pedagogis baru untuk belajar dan mengajar dan inovasi (Higgins, 2016), d) strategi
pembelajaran yang menggunakan teknologi akan memecah banyak hambatan pada pebelajar (Farah
et al., 2016), dan e) meningkatkan integrasi antara bekerja dengan belajar (Birt & Cowling, 2016).
Pengembangan Web-Supported System For Colaboration Learning (WSSCL) merupakan
kebutuhan dasar pada sistem pembelajaran. Landasan keilmuan pengembangan WSSCL pada
394 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
pembelajaran adalah kapabilitas mahasiswa untuk mampu mengembangkan makna dan praktik
(Koschmann, 2002). WSSCL memerlukan sistem pembuatan makna-dalam konteks kegiatan
bersama, dan cara-cara di mana praktik-praktik ini dimediasi melalui media yang dirancang dengan
sistem kolaborasi (Dascalu et al., 2015). Ungkapan praktik pembuatan makna-dalam konteks
kegiatan bersama berkaitan erat dengan konsep pengetahuan konstruktivisme sosial (Mayer,
Moreno, Boire, & Vagge, 1999). Sosial-budaya memiliki perspektif dari pembelajaran kolaboratif
yang didukung oleh komputer merupakan suatu proses sosial yang riil di mana individu mengambil
tanggung jawab untuk membangun pemahaman dan pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi
sosial (Veletsianos & Navarrete, 2012). Dari perspektif sosial budaya pembelajaran kolaboratif
yang didukung oleh komputer, mampu memberi otonomi yang tinggi untuk menentukan tujuan
kelompok, proses kelompok memantau, dan produk kelompok (Kuo, Walker, Schroder, & Belland,
2014).
WSSCL dalam pembelajaran merupakan pengembangan unggulan sistem pembelajaran on-line
yang telah dikembangkan TEP FIP UM. Mengingat sifat dari agen pebelajar yang tinggi dan
otonomi yang dapat dilakukan pada WSSCL, maka dapat menjadi pengembangan yang strategis
dalam mengembangkan pengalaman belajar yang bermakna (Hadjerrouit, 2010). Tidak semua
mahasiswa dapat memanfaatkan potensi dalam lingkungan belajar online (Phielix, Prins, &
Kirschner, 2010). Kondisi belajar pada jurusan TEP FIP UM termasuk menjadi masalah dalam
peningkatan disonansi kognitif, waktu yang lebih lama untuk mencapai konsensus bersama, dan
tingkat partisipasi rendah. Mahasiswa yang tidak siap menggunakan SAPROL karena cenderung
untuk diri sendiri. Permasalahan kolaborasi secara signifikan menghambat hasil belajar (Shumar &
Renninger, 2002). Hal ini terkait dengan frustrasi mahasiswa dalam lingkungan pembelajaran
kolaboratif secara online (Capdeferro & Romero, 2012). Masalah yang nampak dalam di
permukaan adalah mahasiswa tidak memiliki komitmen kolaborasi dikarenakan sikap
ketidaksenangan dan persaingan. Masalah lain adalah ketegangan pembagian kerja, kesulitan
komunikasi dan masalah negosiasi.
Penelitian kesiapan pebelajar dalam penggunaan kolaborasi berbasis web telah banyak dilakukan di
berbagai bidang, seperti kesiapan pebelajar di bidang pendidikan (Annamalai et al., 2016), kesiapan
psikologis untuk mengubah kebiasaan hidup dalam terapi medis (Carey, Purnine, Maisto, & Carey,
1999), kesiapan aktivitas fisik dalam latihan fisik (Marcus, Rakowski, & Rossi, 1992), dan kesiapan
masyarakat dalam sosial budaya (Beebe, 2001).
Kesiapan pebelajar menggunakan web untuk kolaborasi secara teori masih menimbulkan beberapa
perbedaan pendapat. Konsep '' kesiapan '' dalam berbagai studi memiliki makna umum kemampuan
sampai batas tertentu, yang merupakan tingkat kesiapan psikologis atau fisik untuk beberapa
tindakan, baik untuk mengubah perilaku pribadi atau untuk meningkatkan kualifikasi pribadi untuk
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 395
memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan (Liaw, Chen, & Huang, 2008). Studi kesiapan
mengenai masalah kolaborasi juga telah dilakukan di bidang komunikasi sosial (Nardi, 2005) dan
pengembangan kolaborasi laboratorium (Olson, Teasley, Bietz, & Cogburn, 2002). Terdapat
peneliti yang mengusulkan beberapa kriteria untuk mengevaluasi para negara dari kesiapan
komunikatif, yang meliputi tiga dimensi dari koneksi, yaitu afinitas, komitmen, dan
perhatian. Penilaian tiga dimensi ini menyediakan seperangkat pedoman untuk mempromosikan
kesiapan komunikasi antar kolaborator (Nardi, 2005). Demikian pula, sebagian yang lain
menunjukkan bahwa ada beberapa faktor penentu keberhasilan pembangunan kolaborasi, termasuk
kesiapan kolaborasi, kesiapan infrastruktur kolaboratif, dan kesiapan teknologi kolaboratif (Olson et
al., 2002). Mereka telah lanjut mengidentifikasi beberapa komponen kesiapan kolaborasi, yang
motivasi untuk berkolaborasi, prinsip-prinsip bersama kolaborasi, dan pengalaman dengan spesifik
elemen kolaborasi. Kriteria ini digunakan untuk mengevaluasi kondisi kesiapan web kolaborasi.
Faktor yang berhubungan dengan kesiapan pebelajar Universitas Negeri Malang telah dipelajari
dalam konteks pembelajaran online. Kesiapan pebelajar untuk terlibat dalam kolaborasi online
dapat diidentifikasi dengan kemampuan untuk terlibat dalam dialog secara online, literasi teknologi
yang baik dan keterampilan pembelajaran kooperatif (Johnson & Johnson, 1999; Kemery, 1999;
Toh, So, Seow, Chen, & Looi, 2013). Selain itu, Vonderwell (2004) berpendapat bahwa
mempromosikan kesiapan mahasiswa adalah penting untuk sukses pengalaman belajar
online. Mereka mengidentifikasi 'regulasi diri, motivasi, dan kesadaran perubahan peran dalam
konteks pembelajaran online sebagai indikator dari kesiapan untuk belajar online.
Beberapa penelitian menyelidiki kesiapan pebelajar secara online 'dengan mengidentifikasi struktur
internal dari instrumen yang diusulkan. Validasi diperlukan untuk melihat kesiapan untuk belajar
kuesioner online (Smith*, 2005; Smith, Murphy, & Mahoney, 2003).
Pengembangan web kolaborasi pada jurusan TEP telah menggunakan pendekatan pengembangan
skala yang luas. Skala pengembangan adalah pengembangan 1) keterampilan menggunakan
komputer (Afreen, 2014), 2) kemampuan belajar mandiri (Broadbent & Poon, 2015), 3)
Mengurangi ketergantungan belajar (Abulibdeh & Hassan, 2011), 4) penguatan belajar online
(Veletsianos & Navarrete, 2012) dan 4) keterampilan akademik (Tondeur, Devolder, & van Braak,
2016). Pendekatan pengembangan selanjutnya digunakan sebagai instrumen untuk melihat efek
kesiapan mahasiswa dalam belajar secara online pada pola partisipasi mereka. Secara khusus dilihat
dalam keaktifan diskusi online dengan pola asynchronous (H. K. Kim & Bateman, 2007). Instrumen
dalam mengukur kesiapan mahasiswa TEP dalam konteks pembelajaran online untuk menilai secara
online kesiapan pebelajar.
396 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Web-Supported System For Collaboration Learning (WSSCL) dalam SAPROL TEP FIP UM perlu
dideskripsikan bagaimana pembelajaran berbasis on-line mampu mendukung pembelajaran secara
makro. Bagian utama yang perlu dideskripsikan adalah 1) kajian konten pengembangan, 2) kajian
uji kelayakan dan 3) kajian empiris pada WSSCL. Sehingga dapat memastikan kapabilitas
mahasiswa TEP FIP UM dalam mengunakan dan mengelola WSSCL di pembelajaran online yang
telah dirancang oleh UM. Kajian terfokus pada dasar deskriptif informasi pelaksanaan WSSCL.
METODE
Penelitian dilakukan dengan mendiskripsikan WSSCL. Secara keseluruhan model deskripsi yang
memiliki karakteristik yang dominan pada pengembangan berbasis web.
Metode dalam mengkaji web-supported system for collaboration learning memiliki fase-fase
pelaksanaan antara lain : 1). Analisa pebelajar; 2). Mengkaji Rancangan Evaluasi yang
dipersiapakan dalam WSSCL 3) Mengkaji Fase Serentak yang meliputi desain, pengembangan
sistem, ujicoba dan Implementasi dan evaluasi Formatif.; 4). Mengkaji implementasi pembelajaran
menggunakan WSSCL;
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Pengumpulan hasil belajar mahasiswa
Kegiatan WSSCL memiliki pengaruh terhadap kapabilitas yang berbentuk kapasitas dan
kepemilikan etos kerja tinggi. Mahasiswa secara umum berhasil mengumpulkan hasil belajar sesuai
jadwal yang ditentukan. Mahasiswa yang mengikuti matakuliah secara individu mampu
menunjukkan kinerja optimal dengan mengumpulkan sesuai jadwal yang ditentukan. Perbedaan
waktu pengumpulan hasil belajar mahasiswa tidak lagi dalam rentang minggu. Perbedaan
pengumpulan memiliki rentang hari. Mahasiswa telah menyadari pentingnya menunjukkan hasil
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 397
belajar dalam proses pembelajaran. Penggunaan WSSCL memberikan kapabilitas untuk meregulasi
dirinya sendiri (Broadbent & Poon, 2015).
Mahasiswa memiliki kemampuan mengembangkan konten pemebalajaran sebagai tugas secara
orisinil. Pada data video yang diunggah mahasiswa dalam sistem pembelajaran blended, mahasiswa
meng-upload hasil belajar berupa proses pengembangan web pribadi. Mahasiswa secara runtut
mampu memaparkan, konten web hingga keunggulan web site melalui video. Hal ini menunjukkan
mahasiswa memiliki kesiapan berkolaborasi melalui aktifitas berbagi video secara akademik
(Gernsbacher, 2015; Guo, Kim, & Rubin, 2014).
Gambar 2. Kemampuan berbagi konten pembelajaran
Kondisi mahasiswa telah memiliki metafora konten yang tinggi. Mahasiswa mampu
memperkenalkan conceptual distance antara pebelajar lain dengan materi objek atau subjek dan
mendorong pemikiran-pemikiran orisinil. Contoh kegiatan adalah, dengan meminta mahasiswa
berpikir web site sebagai sebuah sumber belajar buku pada umumnya, sehingga mahasiswa
sebenarnya tengah menyediakan sebuah struktur metafora, di mana mahasiswa dapat berpikir
tentang sesuatu dengan cara yang baru. Sebaliknya, dosen dapat meminta mahasiswa untuk berpikir
tentang topik baru, konten web pembelajaran, dengan cara yang lama, yakni dengan meminta
mereka membandingkan melalui Learning Manajemen System. Aktivitas metafora kemudian
tergantung pada dan berasal dari pengetahuan mahasiswa, membantu mereka menghubungkan
gagasan-gagasan dari materi yang familiar pada gagasan-gagasan dari materi yang baru, atau
melihat materi yang familiar dari perspektif yang baru (Caione, Guido, Martella, Paiano, &
Pandurino, 2016). Strategi-strategi sinektik yang kemudian menggunakan aktivitas metaforis
dirancang untuk menyediakan sebuah susunan yang darinya mahasiswa dapat membebaskan diri
398 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
mereka dalam mengembangkan imajinasi dan wawasan dalam setiap aktivitas sehari-hari. Tiga jenis
analogi digunakan sebagai basis latihan sinektik: analogi personal (personal analogy), analogi
langsung (direct analogy), dan konflik padat (compressed conflict) (Joyce, 2015).
Gambar 3. Pemberian pengetahuan baru melalui pembelajaran on-line
Hakikat analogi personal yang telah tercapai dalam mahasiswa adalah pada keterlibatan secara
empatik. Analogi personal mengharuskan lepasnya identitas diri sendiri (keakuan) menuju ruang
atau objek lain (Publish) (Joyce, 2015). Antara dosen dengan mahasiswa atau mehasiswa dengan
mahasiswa tidak lagi memiliki jarak. Menurunnya jarak secara konseptual tercipta oleh hilangnya
diri atau identitas seseorang (mahasiswa) menjadi wujud kemampuan berbagi atau berkolaborasi
aktif. Mahasiswa lebih kreatif dan inovatif membuat analogi tersebut. Empat tingkat keterlibatan
dalam analogi personal pada pengembangan web site pribadi sesuai dengan tahapan
1. Deskripsi Mahasiswa pertama terhadap fakta fakta. Mahasiswa tersebut menceritakan web
site yang terkenal, tetapi tidak menghadirkan cara baru dalam memandang objek dan tidak
menunjukkan keterlibatan empatik..
2. Identifikasi Mahasiswa pertama terhadap emosi. Mahasiswa tersebut menceritakan emosi-
emosi umum, tetapi tidak menghadirkan wawasan-wawasan baru yaitu Mahasiswa merasa mampu
mengembangkan webs ite pribadi".
3. Identifikasi empatik terhadap makhluk hidup. Mahasiswa mengidentifikasi secara emosional
dan kinestetik subjek analogi yaitu Mahasiswa memberikan ekspresi pada saat pengembangan video
hasil belajar sehingga mengundang empati mahasiswa lainnya.
4. Identifikasi empatik terhadap perangkat. Level ini mengharuskan komitmen penuh.
Mahasiswa tersebut melihat dirinya sendiri sebagai objek dan mencoba mengeksplorasi masalah:
Mahasiswa mampu merasakan terbantu dengan perangkat-perangkat pembelajaran disekitarnya baik
berupa software dan hardware.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 399
KESIMPULAN
Web-Supported System for Collaboration Learning (WSSCL) dalam SAPROL TEP FIP UM
merupakan pendukung life based learning khususnya dalam pengembangan kapabilitas mahasiswa
dalam berkolaborasi. Konten pengembangan yang dikonstruksi dosen dan mahasiswa saling
bersinergis. kelayakan dan bukti empiris pada WSSCL dapat mengukur dan memastikan kesiapan
pebelajar (Smith et al., 2003). dengan WSSCL dalam kurikulum yang dirancang oleh UM. Kajian
terfokus pada dasar deskriptif informasi pelaksanaan WSSC. Penyiapan sistem WSSCL untuk
mewadahi tindakan kolaborasi seperti sikap mahasiswa terhadap kolaborasi, keterampilan
berkolaborasi, berbagi pengalaman sebelumnya, dan jaringan sosial. Sebagai akibat wajar,
Kesenjangan yang dirasakan terutama terletak pada rendahnya kesiapan pembelajaran dalam
kegiatan kolaborasi melalui komputer (Kemery, 1999). Meskipun penelitian telah dilaksanakan,
mungkin perlu melihat kembali pentingnya faktor kolaborasi dalam proses pembelajaran hingga
hasil. Mengingat bahwa beberapa studi penelitian sampai saat ini hanya mampu mengevaluasi
kesiapan atau menyarankan pendekatan sistematis untuk menilai keadaan mahasiswa. Konteks
WSSCL, diperlukan mahasiswa dalam Kurikulum pembelajaran di berbagai universitas. oleh karena
itu, Pengembangan WSSCL diperlukan untuk: 1) Pengembangan aplikasi literatur, 2)
Pengembangan dan implementasi kongkrit teknologi yang mendukung pembelajaran. Penelitian ini
membantu menjembatani kesenjangan dalam memahami nuansa kolaborasi dan memberikan
dengan memberikan panduan praktis untuk mengukur kesiapan mahasiswa. Yang pada akhirnya
meningkatkan proses dan hasil belajar mahasiswa
Daftar Pustaka
Abulibdeh, E. S., & Hassan, S. S. S. (2011). E-learning interactions, information technology self
efficacy and student achievement at the University of Sharjah, UAE. Australasian Journal of
Educational Technology, 27(6).
Afreen, R. (2014). B ring your own device (BYOD) in higher education: opportunities and
challenges. International Journal of Emerging Trends & Technology in Computer Science, 3(1),
233–236.
Annamalai, N., Tan, K. E., & Abdullah, A. (2016). Teaching Presence in an Online Collaborative
Learning Environment via Facebook. Pertanika Journal of Social Sciences & Humanities, 24(1).
Beebe, J. (2001). Rapid assessment process: An introduction. AltaMira Press.
Birt, J., & Cowling, M. A. (2016). Mixed reality in higher education: Pedagogy before technology.
400 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Broadbent, J., & Poon, W. L. (2015). Self-regulated learning strategies & academic achievement in
online higher education learning environments: A systematic review. The Internet and Higher
Education, 27, 1–13.
Caione, A., Guido, A. L., Martella, A., Paiano, R., & Pandurino, A. (2016). Knowledge base
support for dynamic information system management. Information Systems and E-Business
Management, 14(3), 533–576.
Capdeferro, N., & Romero, M. (2012). Are online learners frustrated with collaborative learning
experiences? The International Review of Research in Open and Distributed Learning, 13(2), 26–
44.
Carey, K. B., Purnine, D. M., Maisto, S. A., & Carey, M. P. (1999). Assessing readiness to change
substance abuse: A critical review of instruments. Clinical Psychology: Science and Practice, 6(3),
245–266.
Coffield, F. (2000). The necessity of informal learning (Vol. 4). Policy press.
Dascalu, M.-I., Bodea, C.-N., Moldoveanu, A., Mohora, A., Lytras, M., & de Pablos, P. O. (2015).
A recommender agent based on learning styles for better virtual collaborative learning experiences.
Computers in Human Behavior, 45, 243–253.
Deutsch, M., Coleman, P. T., & Marcus, E. C. (2011). The handbook of conflict resolution: Theory
and practice. John Wiley & Sons.
Farah, M., Ireson, G., & Richards, R. (2016). A Content, Pedagogy and Technology [CPT]
Approach to TPACK. Imperial Journal of Interdisciplinary Research, 2(12).
Gernsbacher, M. A. (2015). Video captions benefit everyone. Policy Insights from the Behavioral
and Brain Sciences, 2(1), 195–202.
Guo, P. J., Kim, J., & Rubin, R. (2014). How video production affects student engagement: An
empirical study of mooc videos. In Proceedings of the first ACM conference on Learning@ scale
conference (pp. 41–50). ACM.
Hadjerrouit, S. (2010). A conceptual framework for using and evaluating web-based learning
resources in school education.
He, W., & Yang, L. (2016). Using wikis in team collaboration: A media capability perspective.
Information & Management, 53(7), 846–856.
Higgins, S. (2016). New (and Old) Technologies for Learning: Innovation and Educational Growth.
Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1999). Making cooperative learning work. Theory into Practice,
38(2), 67–73.
Joyce, B. R. (2015). Models of teaching (Ninth edition). Boston: Pearson.
Kemery, E. R. (1999). Developing on-line collaboration. Web-Based Learning and Teaching
Technologies: Opportunities and Challenges, 227–245.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 401
Kim, H. K., & Bateman, B. (2007). Student characteristics and participation patterns in online
discussion. In Society for Information Technology & Teacher Education International Conference
(Vol. 2007, pp. 2381–2387).
Kim, L. (1998). Crisis construction and organizational learning: Capability building in catching-up
at Hyundai Motor. Organization Science, 9(4), 506–521.
Koschmann, T. (2002). Dewey’s contribution to the foundations of CSCL research. In Proceedings
of the Conference on Computer Support for Collaborative Learning: Foundations for a CSCL
Community (pp. 17–22). International Society of the Learning Sciences.
Kuo, Y.-C., Walker, A. E., Schroder, K. E., & Belland, B. R. (2014). Interaction, Internet self-
efficacy, and self-regulated learning as predictors of student satisfaction in online education
courses. The Internet and Higher Education, 20, 35–50.
Liaw, S.-S., Chen, G.-D., & Huang, H.-M. (2008). Users’ attitudes toward Web-based collaborative
learning systems for knowledge management. Computers & Education, 50(3), 950–961.
Luppicini, R. (2005). A systems definition of educational technology in society. Educational
Technology & Society, 8(3), 103–109.
Marcus, B. H., Rakowski, W., & Rossi, J. S. (1992). Assessing motivational readiness and decision
making for exercise. Health Psychology, 11(4), 257.
Mayer, R. E., Moreno, R., Boire, M., & Vagge, S. (1999). Maximizing constructivist learning from
multimedia communications by minimizing cognitive load. Journal of Educational Psychology,
91(4), 638.
Nardi, B. A. (2005). Beyond bandwidth: Dimensions of connection in interpersonal
communication. Computer Supported Cooperative Work (CSCW), 14(2), 91–130.
Olson, G. M., Teasley, S., Bietz, M. J., & Cogburn, D. L. (2002). Collaboratories to support
distributed science: the example of international HIV/AIDS research. In Proceedings of the 2002
annual research conference of the South African institute of computer scientists and information
technologists on enablement through technology (pp. 44–51). South African Institute for Computer
Scientists and Information Technologists.
Phielix, C., Prins, F. J., & Kirschner, P. A. (2010). Awareness of group performance in a CSCL-
environment: Effects of peer feedback and reflection. Computers in Human Behavior, 26(2), 151–
161.
Shumar, W., & Renninger, K. A. (2002). Introduction: On conceptualizing community. Building
Virtual Communities, 1–19.
402 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Smith*, P. J. (2005). Learning preferences and readiness for online learning. Educational
Psychology, 25(1), 3–12.
Smith, P. J., Murphy, K. L., & Mahoney, S. E. (2003). Towards identifying factors underlying
readiness for online learning: An exploratory study. Distance Education, 24(1), 57–67.
Toh, Y., So, H.-J., Seow, P., Chen, W., & Looi, C.-K. (2013). Seamless learning in the mobile age:
A theoretical and methodological discussion on using cooperative inquiry to study digital kids on-
the-move. Learning, Media and Technology, 38(3), 301–318.
Tondeur, J., Devolder, A., & van Braak, J. (2016). Examining Scaffolding Support in a Computer-
Based Learning Environment for Elementary School Learners. International Journal of Academic
Research in Education, 2(1).
Veletsianos, G., & Navarrete, C. (2012). Online social networks as formal learning environments:
Learner experiences and activities. The International Review of Research in Open and Distributed
Learning, 13(1), 144–166.
Yeung, A. K. (1999). Organizational learning capability. Oxford University Press on Demand.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 403
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEMBELAJARAN YANG BERKUALITAS
Agus Wedi
Email: [email protected]
Program Studi Teknologi Pendidikan – Universitas Negeri Malang
ABSTRAK
Di antara standar pokok yang menjadi acuan dalam penyediaan pendidikan di seluruh wilayah
negara Republik Indonesia adalah standar isi materi pembelajaran. Isi/konten pembelajaran (materi
pembelajaran) harus distandarisasi dan dijamin yang menghasilkan pembelajaran yang berkualitas,
sehingga siswa dapat mencapai kompetensi yang diharapkan. Pertanyaannya adalah apakah guru
memiliki kesempatan berperan dalam pengembangan materi pembelajaran? Jika iya, bagaimana
seharusnya pengembangan dilakukan. Pengembangan materi pembelajaran sangat penting (urgent)
dilakukan dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, maka bisa menjadi masalah yang serius dalam upaya
mencapai kompetensi belajar siswa. Dalam konteks ini, karakteristik jenis materi dalam
pembelajaran merupakan aspek penting yang harus dipahami oleh guru. Fenomena yang terjadi
selama acara ini, sebenarnya masih banyak guru yang tidak mengerti sifat dan konstruksi konten
yang akan dipelajari siswa. Makalah ini berusaha untuk menjelaskan jenis bahan ajar dan panduan
pengembangannya dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang
berkualitas.
Kata Kunci: Jenis materi, pengembangan pembelajaran
PRELIMINARY
Quality instruction depends on student motivation and creativity of teachers and learning materials
are delivered and how its development. As a teacher of teachers are required to master the teaching
materials are taught and skilled in teaching it. In the process of teaching and learning, mastery of
the subject matter and how to deliver a very essential requirement. To be able to master the subject
matter, the teacher must first need to understand the types of subject matter.
The phenomenon shows that not all teachers have an understanding of how the characteristics of the
subject matter as well as the construction of learning materials developed and prepared. As a result,
404 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
not only will have difficulty in teaching it but also learners will encounter difficulty in mastering the
material, even to achieve the expected high learning competency.
As a consequence of the publication of the Law of the Republic of Indonesia number 20 of 2003 on
National Education System and Government Regulation (PP) number 19 of 2005 on National
Education Standards (SNP), the Government, in this case the Minister of National Education, has
issued various regulations to implementation education in the entire territory of the Republic of
Indonesia (NKRI) can meet a certain benchmark or standard. The standards are: (1) the content
standards, (2) competency standards, (3) a standard process, (4) the standard of teachers and, (5) the
standard of facilities and infrastructure, (6) management standards, (7) financing standards, and (8)
the assessment standards of education.
According DPSMA (2008), in achieving content standards (SI), which contains standards of
competence (SK) and basic competence (KD) to be achieved by learners after through learning in a
ladder and a certain time, so that in turn achieve competency standards (SKL) after completing the
learning in the educational unit completely certain. So that learners can achieve SK, KD, and SKL
expected, need to be supported by a variety of other standards, including standard processes and
standards teachers and education personnel.
To help learners achieve a wide range of expected competencies, performance or the learning
process needs to be arranged so interactive, inspiring, fun, challenging, motivating the students to
actively participate and provide ample opportunity for innovation, creativity, and independence in
accordance with their talents, interests, and physical and psychological development of learners.
Analysis on the standards of competence and basic competences is also a very important part in
supporting the whole component of the learning materials (Sunardi & Sujadi, 2016).
Instruction/Learning message design is an important stage to be done by the teacher, in the early
stages of designing the message begins by analyzing learners (pretest), set goals, define tasks /
teaching materials and describe the material and conceptual framework, it is that the teaching and
learning can take place effectively, By designing learning materials in advance, will allow teachers
in implementing the learning process in the classroom. Message design represents the final
conclusions from the data processing market share and design concepts. This conclusion reflects the
main theme of a thorough and represent the design submitted to be accepted or is the main point of
a design for the intended audience (http://rdrizaldimtp.blogspot.co.id/2013/03/desain-pesan-
pembelajaran-strategi .html
Based on the Regulation of the Minister of Education and Culture No. 103 of 2014 on Education in
Primary and Secondary Education, Pedagogic core Competency Standards Subject Teachers
develop curriculum include competence related to the subject of teaching. Sub competence include:
(1) Understanding the principles of curriculum development, (2) determine the learning objectives
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 405
of teaching, (3) determine the learning experiences appropriate to achieve the learning objectives of
teaching, (4) Choose the learning materials of teaching related to the experience learning and
learning objectives, (5) Reforming learning materials in strict accordance with the approach chosen
and the characteristics of learners, and (6) Develop indicators and assessment instruments.
In the teacher's professional learning activities are required to have the ability to organize learning
environment as well as possible. In most of the implementation of learning in areas of the country to
put the learning resources such as textbooks or module as the primary learning materials used by
teachers to achieve the learning objectives outlined in the curriculum. The material in textbooks or
instructional materials typically have been developed at the central level or at least in the area,
while teachers in schools only use granted directly.
In the Government Regulation No. 19 of 2005 Article 20, hinted that teachers are expected to
develop learning materials, which are then reinforced by Education Minister Regulation number 41
of 2007 on the Standard Process, which among other things regulates the planning of the learning
process that requires the educator in the educational unit for develop a lesson plan. One element in
the RPP is a source of learning. Thus, teachers are expected to develop learning materials as a
source of learning and teaching reference.
In addition, the attachment of the National Education Minister Regulation number 16 of 2007 on
Academic Qualification Standards and Competencies Teacher, also arranged on various
competencies that must be owned by educators, both core competencies and competency subjects.
For teachers in the educational unit level High School, both in the demands of pedagogical
competence and professional competence, related to the ability of teachers in developing learning
resources and learning materials.
Therefore, besides being the implementation of Ministerial Regulation No. 25 of 2006 on the
Details Duty Work Unit in the of Higher primary and secondary education directorate that details
tasks Sub-Learning - Directorate of PSMA (which among other things stated that carrying out the
preparation of materials preparation of guidelines and procedures for the implementation of
learning, including the preparation of guidelines for implementation curriculum) deemed necessary
to develop a guide for high school teachers so that they can be used as a reference in the
development of learning materials.
Defintition of Learning Materials
The success of the overall learning is highly dependent on the success of teachers to design learning
materials. Learning Materials is essentially an integral part of the syllabus, namely planning,
predictions and projections on what will be done during the learning activities.
406 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Broadly speaking, it can be argued that the learning materials (instructional materials) are the
knowledge, skills, and attitudes that must be mastered learners in order to meet the competency
standards set by the Ministry of National Education (DPSMA, 2008).
Learning material occupies a very important position of the overall curriculum, which must be
prepared for the implementation of learning to achieve the target. The targets must match the
Competence Standard and Basic Competence to be achieved by learners. That is, the material
specified for the learning activities should be material that really support the achievement of
standards of competence and basic competence, and achievement indicators.
Learning materials have been selected as optimal as possible to help learners to reach the standard
of competence and basic competences. Things that need to be considered with regard to the
selection of instructional materials is the type, scope, sequence, and treatment (treatment) to the
learning materials.
So that teachers can make the preparation of efficient and effective, required to understand the
various aspects related to the development of learning materials, both with regard to the nature,
function, principles, and procedures development of materials and measure the effectiveness of
these preparations.
Types of Learning Materials
The types of learning materials can be classified in the following table.
The types
of
learning
materials
Definition and Example
Facts Everything that bewujud reality and truth, include the names of objects, historical
events, symbols, place names, names of people, names of parts or components of an
object, and so on. Examples in the subjects of History: Events around the
Proclamation of August 17, 1945 and the establishment of the Government of
Indonesia.
Concept Any tangible new understandings that could arise as a result of thought, including
the definition, understanding, special character, the essence, the core/content and so
on. For example, in Biology: Tropical rain forests in Indonesia as a source of
germplasm, Businesses Indonesia biodiversity conservation in-situ and ex-situ, and
so forth.
Principle The main form of things, staple, and has the most important position, covering
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 407
proposition, formula, adage, postulate, paradigms, theorems, and the relationship
between concepts that describe the implications of causation. For example, in the
subjects of Physics: Newton's laws of motion, Newton's Laws 1, 2 Newton's Laws,
Newton's Laws 3, Static Friction and Kinetic Friction, and so forth.
Procedure A systematic steps or sequentially in doing an activity and chronology system. For
example, in the subjects of ICT: Steps to access the internet, tricks and strategies of
use Web Browser and Search Engine, and so forth.
Attitude
or Value
Is the result of learning aspects of attitudes, for example the value of honesty,
compassion, mutual help, enthusiasm and interest in learning and work, and so on.
For example, in the subjects of Geography: The use of the environment and
sustainable development, namely environmental sense, components of the
ecosystem, the environment as a resource, sustainable development.
DPSMA (2008)
Principles of Material Development
Principles as basis in determining the learning material is suitability (relevance), constancy
(consistency), and adequacy (adequacy).
a. Relevance means conformity. Learning materials should be relevant to the achievement of
standards of competence and achievement of basic competence. If the expected ability of learners
mastered the form of memorizing facts, then the learning material that is taught must be a fact, not a
concept or principle or any other kind of material. For example: the basic competencies that must be
mastered learner is "Explain the law of demand and the law of supply and underlying assumptions"
(Economy class X semester of 1) the selection of instructional materials submitted should
"Reference to the law of supply and demand" (material concept) and not Drawing demand and
supply curves of a list of transactions (material procedure).
b. Consistency means constancy. If the basic competencies that must be mastered, there are four
kinds of learners, the materials must be taught also have to include four kinds. For example the
basic competencies that must be mastered learners Operation Algebra numbers of the root (Math
Class X Semester 1) which includes addition, subtraction, multiplication, and division, then the
material taught should also include engineering as addition, subtraction, multiplication, and
rationalizing fractional form root.
c. Adequacy means adequacy. The material taught should be sufficient to help learners master the
basic competencies that are taught. The material should not be too little, and should not be too
408 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
much. If too little then less help to achieve the standards of competence and basic competences.
Conversely, if too much will result in a delay in the achievement of the curriculum (overall
achievement SK and KD).
As for the development of learning materials teachers must be able to identify Learning Materials to
consider things such as: (a) the potential of learners; (B) the relevance of the characteristics of the
area; (C) the level of development of physical, intellectual, emotional, social, and spiritual learners;
(D) the usefulness for learners; (E) the structure of science; (F) timeliness, depth and breadth of
learning materials; (G) relevance to learners' needs and demands of the environment; and (h) the
allocation of time (http://iinapriliyani.blogspot.co.id/2012/09/pengembangan-materi-
pembelajaran.html).
Principles of Learning Materials Packaging
The subject matter is essentially message we want to convey to the students to master. The message
needs to be understood by the students, because when not understood the message would not be
meaningful information. In order for the message you want convey meaningful as learning
materials.
Packaging materials and instructional messages can be done in two ways namely visual packaging
and packaging in printed form. Some technical considerations in presenting the content or subject
matter into learning materials are: (a) conformity with the goals to be achieved, (b) simplicity, (c)
the basic elements of the message, (d) organizing materials, and (e) show how to use.
Determination of Scope and Sequence of Learning Materials
1. Determination of the scope of learning materials
The order of presentation (sequencing) teaching materials is very important to determine the
sequence of study or teach. Without the proper order, if among some learning materials have a
relationship that is a prerequisite (prerequisite) will make it difficult for students to learn. For
example material number operations as addition, subtraction, multiplication, and division. Students
will have difficulty learning multiplication if the sum of the material has not been studied. Students
will have difficulty split if the material reduction has not been studied. Learning material that has
been determined the scope and depth can be sorted through two basic approaches, namely: a
procedural approach, and hierarchical. The procedural approach that procedural sequence learning
materials describe the steps in the order in accordance with the steps carrying out a task. Eg
measures calling, measures operate a video camera equipment. While the hierarchical approach
describes the sequence that is tiered from the bottom up or top down. Earlier material to be studied
first as a precondition for the next study material.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 409
In determining the scope or the scope of learning materials should pay attention to whether the
material is in the form of cognitive (facts, concepts, principles, procedures) affective, or
psychomotor aspects, because when it is implemented in the learning process so each type of
description of the material requires a strategy and media different learning.
Criteria for selection of teaching materials that will be developed in the system instructional and
underlie the determination of strategies of teaching and learning: (1) criteria for instructional
purposes, (2) the subject matter in order detailed, (3) are relevant to the needs of students, (4)
compliance with the conditions, (5 ) the subject matter contains aspects of ethics, (6) arranged in the
subject matter and scope of the systematic and logical sequence, (7) the subject matter derived from
standard source book, a personal expert teachers and society.
In addition to considering the kind of material must also consider the principles that should be used
to determine the scope of learning materials relating to the breadth and depth of the material.
Breadth of coverage means that the material describes how much material is put into a learning
materials. The depth of the material concerning the details of the concepts contained therein to be
learned by the learners.
For example, the process of photosynthesis can be taught in elementary, junior high and high
school, also in college, but the breadth and depth of each education level will vary. The higher the
level of education will be more extensive coverage aspects of the process of photosynthesis are
studied and the more detail every aspect also studied. In elementary and junior high chemical
aspects briefly mentioned without indicating the chemical reaction. In high school chemical
reactions began to be studied in universities and the chemical reaction of photosynthesis has been
deepened.
Adequacy or inadequacy of the range of material is also noteworthy. Inadequate coverage material
aspects of a learning material will greatly help achieve the mastery of basic competencies that have
been determined. For example, if the study is intended to provide the ability for learners in the field
of buying and selling, then the description of the material include (a) mastery of the concept of
purchasing, sales, profits and losses; (B) formula calculates profit and loss if known purchases and
sales; and (c) the implementation / application of the formula calculating profit and loss.
Coverage or scope of the material needs to be determined to know whether the material to be taught
too much, too little, or have inadequate resulting in conformity with the basic competencies to be
achieved.
410 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
2. Sequence of Learning Materials
The order of presentation is useful to determine the order of the learning process. Without the
proper order, if among some learning materials have a relationship that is a prerequisite
(prerequisite) will make it difficult for learners to learn. For example, material number operations as
addition, subtraction, multiplication, and division. Learners will have difficulty studying subtraction
sum if the material has not been studied. Learners will have difficulty doing multiplication division
if the material has not been studied.
Learning material that has been determined the scope and depth can be sorted through two basic
approaches, namely: procedural and hierarchical approach.
Procedural Approach
Procedural sequence learning materials describe the steps in the order in accordance with the steps
carrying out a task. Such as steps: the call, in operating the video camera equipment, how to install
the computer program, and so forth.
Example: Procedural Order (procedures); On the subjects of Information and Communication
Technology (ICT), students must achieve basic competency "Setting the peripherals on the
operating system (OS) computer". So that learners achieve it, must perform sequential steps ranging
from how to read images peripherals up to test its success.
The hierarchical approach
Hierarchical sequence learning materials describes the sequence that is tiered from the bottom up or
top down. Earlier material to be studied first as a precondition for the next study material. Example:
Order Hierarchical (tiered); About the story of the Income Statement in the Sale and Purchase.
So that learners are able to calculate the profit or loss in the buying and selling (application of the
formula / proposition), students must first learn the concepts / terms of profits, losses, sales,
purchasing, capital base (mastery of concepts). After that students need to learn the formula /
proposition calculate profit and loss (mastery proposition). Furthermore, learners apply the
proposition or principle of trading (mastery of the application of the proposition).
Determination Learning Resources
A variety of learning resources can be used to support specific learning materials. The
determination must still refer to any standard of competence and basic competences that has been
set. Several types of learning resources, among others, (a) books, (b) report the results of the
research, (c) journal (publication of research results and scientific thought), (d) a scientific
magazine, (e) assessment experts in the study, (f) the work of professional , (g) the book
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 411
curriculum, (h) periodicals such as daily, weekly, and monthly, (i) internet sites, (j) multimedia
(TV, video, VCD, audio cassettes, etc.), (k) the environment ( natural, social, cultural arts,
engineering, industry, economy), (l) speakers.
Keep in mind that if a teacher is not appropriate to rely on one type of source as the only source of
learning. Learning Resources is a referral, meaning from a variety of learning resources that a
teacher should do analysis and collect the appropriate materials to be developed in the form of
teaching materials. In addition, learning activities is not an attempt to resolve the entire content of a
book, but to help learners achieve competence. Therefore, teachers should use a source of learning
and instructional materials are varied, for the development of teaching materials can be guided to
guide development of teaching materials issued by the Directorate of SMA.
Before packing the subject matter should be determined first goals to be achieved in the form of
interest in the form of behavioral changes of a general nature, as well as the behavior of the
indicators measured in the form of learning outcomes.
Simplicity. Simplicity packaging aims to facilitate student learning. Simplicity in the packaging of
this form of simplicity in presentation, communicative language and easy to grasp their meaning,
and more practical.
These design elements message
In each package there are elements of the image that should be easy to understand.
organizing materials
Study materials should be written in the parts to the whole. Each student completed studying the
particular unit immediately give feedback so that students master the material as a whole and
complete.
Instructions for use. In any form of packaging material must be accompanied by instructions on
how to use.
Principle of Packaging Learning/Instructional Materials
The subject matter is essentially message we want to convey to the students to master. The message
needs to be understood by the students, because when not understood the message would not be
meaningful information. In order for the message you want convey meaningful as learning
materials, there are a number of criteria that need to be noticed in them are as follows: (1) novelty,
meaning that a message will be meaningful if be new or cutting-edge, (2) proximity, meaning that
the message delivered must be in accordance with the student experience, (3) conflict, meaning that
412 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
messages are presented should be packaged in a way that stirs emotions, and (4) humor, meaning
that the message conveyed should be packed so displays funny impression.
Packaging materials and instructional messages can be done in two ways namely visual packaging
and packaging in printed form. Some technical considerations in presenting the content or subject
matter into learning materials which are: (a) conformity with the goals to be achieved, (b)
simplicity, (c) the basic elements of the message, (d) the organization of material, and (e) show how
to use.
STRATEGY OF IMPLEMENTATION LEARNING MATERIALS
Steps of Learning Materials Determination
1. Identification of the standards and basic competencies
Before determining the learning material first needs to identify aspects of the integrity of
competency to be learned or mastered learners. These aspects need to be determined, for each
standard and basic competencies require the kind of material of different learning activities. It
should be determined whether the standards and basic competencies that must be mastered learners
including cognitive, psychomotor or affective.
- Competence of Cognitive Domains if the competencies set includes knowledge,
comprehension, application, analysis, synthesis and evaluation.
- Competence of Psychomotor Domains if the competencies set includes initial motion, semi
routine, and routine.
- Competence of Affective Domains if the set includes the provision of a response, appreciation,
assessment, and internalization.
2. Identify the Types of Learning Materials
Identification is done with regard to the suitability of learning materials with the level of activity /
learning domains. The material is suitable for the cognitive behavior is determined by emphasizing
the intellectual aspects, such as knowledge, understanding, and thinking skills. Thus, the type of
material that is appropriate for the cognitive are facts, concepts, principles and procedures.
Learning materials appropriate to the affective domain is determined by the behavior which
emphasizes aspects of feelings and emotions, such as interests, attitudes, appreciation, and how
adjustment. Thus, the type of material that is suitable for the affective domain includes taste and
appreciation, such as giving a response, reception, internalization, and assessment.
Learning materials are suitable for psychomotor determined based behaviors that emphasize aspects
of motor skills. Thus, the type of material that is suitable for psychomotor consists of the initial
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 413
motion, semi-routine and routine. For example handwriting, typing, swimming, operate a computer,
operate machinery, and so on.
The material to be covered to be identified accurately to the achievement of competence can be
measured. In addition, by identifying the types of material to be covered, then the teacher will get
accuracy in learning methodology. Therefore, any kind of learning materials requires strategy,
methods, media and evaluation system is different. For instance method or rote learning material
facts could use "mnemonics", "bridge of memory" (mnemonics), while learning method procedure
material by means of a "demonstration".
The easiest way to determine the type of learning material to be covered is by asking questions
about the basic competencies that must be mastered learners. With reference to the basic
competence, we will know whether we are teaching the material must be facts, concepts, principles,
procedures, aspects of attitude, or motor skills.
Here are the guiding questions to identify the types of material:
Is the basic competencies that must be mastered learners be given the name of an object, a symbol
or an event? If the answer is "yes" then the learning material to be taught is the "fact". Example:
The name and symbols of chemical substances, the names of human organs.
Is the basic competencies that must be mastered learners in the form of the ability to express a
definition, write something characteristic, classify or categorize some examples of objects in
accordance with a definition? If the answer is "yes" means that the material to be taught is the
"concept". Example: A teacher of Biology showed some herbs, then classified the students were
asked to or grouping which includes fibers and rooted plants which are rooted riding.
Is the basic competencies that must be mastered learners be explained or perform the steps or
procedures in sequence or create something? If "yes" then the material to be taught is "procedure".
Example:
• A teacher Citizenship Education educate how the process of drafting measures to overcome the
problems in achieving equality of Human Rights.
• A teacher of Physics explains how to make artificial magnets. A chemistry teacher teaches how to
make soap.
Is the basic competencies that must be mastered learners determine the relationship between some
concepts, or apply the relationship between the various concepts? If the answer is "yes", it means
learning material should be taught included in the category of "principle". Example:
• A teacher of Mathematics explains how to calculate the area of a triangle using trigonometry rules.
414 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Formula for the area of a triangle is half of a multiplication of two adjacent sides times the sine of
the angle which is enclosed.
• A teacher of Economics explained the relationship between supply and demand of goods traffic in
the economy. If demand rises while the supply remains, then the price will rise.
Is the basic competencies that must be mastered learners chose to do or not to do based on the
consideration of good and bad, like it or not, beautiful is not beautiful? If the answer is "Yes", then
the learning material to be taught in the form of aspects of attitudes or values. Example: Budi chose
not to obey traffic signs rather than late to school even has teached the importance of obeying traffic
regulations.
Is the basic competencies that must be mastered learners such acts physically? If the answer is
"Yes", then the learning material to be taught is the motor aspect. Example: In the high jump
lessons, learners are expected to jump over the bar as high as 125 centimeters. Learning material to
be taught is the technique of high jump.
In order to be clearer in identifying learning materials are included cognitive (facts, concepts,
principles, and procedures), affective and psychomotor aspects, presented the following flowchart
(flowchart) measures the determination of learning materials. In addition to describing the steps that
show you how to think, the diagram below also shows the keywords to determine the type or types
of learning materials in relation to the formulation of basic competencies that must be mastered
learners.
Delivery Sequencing Strategy
1. Strategy of simultaneous delivery order
If teachers have to submit more than one learning material, then according to the order submission
strategies simultaneously, the overall material presented simultaneously, then deepened one by one
(global method). For example, a teacher of chemistry to submit items of chemical bond that consists
of several types of bonds, the stability of the element, lewis structure, ionic and covalent bonding,
covalent compounds polar and non-polar, metal bond. First of all the teacher presents a general
overview as well as an outline, then any kind of bond is presented in depth.
2. Strategy successive delivery order
If the teacher should deliver learning materials more than one, then the strategy according to the
order of successive delivery, a material one by one presented in depth and then sequentially presents
the next material in depth anyway. The same example, a teacher of chemistry to submit items of
chemical bonds consisting of several types of bonds, the stability of the element, structure, ionic and
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 415
covalent bonding, covalent compounds polar and non-polar, metal bond. After the first bond types
are presented in depth, and then present the following types are ionic, covalent and so on.
Strategy of Materials Types Delivery
Broadly speaking, the measures deliver learning materials is very dependent on the type of material
that will be presented. Measures and strategies outlined in this guide is still in the stage of minimal.
Development, submitted to the creativity of teachers, to the extent not violate the rules that have
been described in previous chapters.
Delivery Strategy of Facts
If the teacher should deliver the learning material facts types (object names, place names, historical
events, the person's name, emblem or symbol name, etc.). Step-by-step instructional material
educates the kinds of "facts":
1) Present the facts
2) Provide assistance for the material to be memorized
3) Give the issues recall (review)
4) Provide feedback
5) Give the test.
Example: Strategies delivery of materials Physics Class X of Refractive Index Light.
Step 1:
Presentation Facts
Serve the material of the refractive index of the medium, ie for diamond and glass. If a medium has
a dense molecular structure will have a large refractive index, and vice versa. Use verbal, verbal and
image or a slide presentation.
Step 2:
Give Help
Help memorize refractive index difference between diamond and glass. To help memorize, can use
a couple glass association with a small (focus on the letter k and c), whereas for intan taken the
opposite values, is big. Thus, the diamond has a refractive index greater than glass.
416 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Step 3:
Problems Review
Give matters relating to the implementation of the density of the molecular makeup.
Step 4:
Provide Feedback
Give feedback or information whether the answer is right or wrong learners. If properly provide
confirmation, if any provide the correction or rectification.
Step 5:
Test
Give tests to assess whether learners really have to understand the difference of refractive index
medium. Of test item should be different from the examples of cases that have been given at the
time of submission of the facts.
Strategy in Delivery the concept
Learning material in the form of concepts is a matter of definition or understanding. The purpose of
studying the concept is to make the students understand, can show the characteristics, elements,
differentiate, compare, generalize, and so on.
Measures to teach or convey the kind of learning material "concept":
1) Serve Concepts
2) Provide assistance (in the form of core content, the fundamental characteristics, examples and are
not examples)
3) Provide practice questions and tasks
4) Provide feedback
5) Give the test.
Example: Presentation of the concept of the crime of theft
Step 1:
Presentation of concept
In accordance with article 362 of Criminal Code, "Whoever intentionally taking the property of
others unlawfully with the intent to have punished with imprisonment of at least years."
Step 2:
To provide assistance
The first students are helped to understand the concept with the sentence itself, does not have to
memorize the verbal to the concept being studied (in this case Article theft). Both show the essential
elements of the concept of the crime of theft, namely: (a) take the goods (economic value); (B) the
item belonging to someone else; (C) unlawfully (without the permission of the owner); (D) with
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 417
intent owned (taking money for snacks). Positive example. Wawan night the yard of Ali by
destroying the gate (intentionally) taking (illegal) building materials such as concrete iron (the
property of others), then sold, the money to buy rice (with a view owned). Examples of negative /
false (not an example but similar). Badu Gani borrow bikes are not returned but are sold, the money
to buy food. From a negative example or a bad example this, elements of "deliberately take the
property of another person with the intent possessed" are met, but there is one element that is not
met, that is "against the law", for "borrowing". So taking the permission of the owner of the goods.
Therefore, the act is not a criminal offense of theft, but evasion.
Step 3:
Exercise
First, the students were asked to memorize the sentence itself (memorized paraphrasing) Then the
students were asked to provide examples of theft cases other than that exemplified by the teacher to
know the students understanding of the material the crime of theft.
Step 4:
Feedback
Give feedback or information on whether the learner is right or wrong in giving an example. If
properly provide confirmation, if any provide the correction or rectification.
Step 5:
Test
Give tests to assess whether learners really understand the material a criminal offense of theft. Of
test item should be different from the examples of cases that have been given at the time of
submission of concepts and exercises to avoid the disciples only memorized but not understood.
The strategy to deliver principle learning material
Includes learning materials are the principle types of proposition, formula, law (law), postulates,
theorems, etc. Measures to teach or convey the kind of learning material "principle"
1) Give the principle
2) Provide assistance in the form of an example of the application of the principle
3) Provide practice questions
4) Provide feedback
5) Give the test.
418 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Example: The strategy to deliver material value Trigonometry Functions
in various Quadrant Angle.
Step 1:
Presentation Material Principle
Serve with verbal material, writing, pictures or slide presentation. Show me the value of
trigonometric functions in each quadrant through comparison with an acute angle, in order to obtain
a sign of positive or negative number for each function sine, cosine and tangent in each quadrant.
Step 2:
Give Help
Provide assistance to the learner to apply the formulas given. To memorize the signs numbers of
each value Trig functions in each quadrant, can also be given assistance to memorize. (Remember!
Help significant delivery of materials, such as using certain way of thinking to help memorize. This
form of delivery significantly, using the bridge memory, mnemonics, or mnemonics, associations
pairs, and so on). For example, to memorize the sign of the value of the trigonometric functions
used way of thinking: what, by whom, using materials, tools, techniques, and what kind of
environment? Based on the framework, help remember the signs of the value of the trigonometric
functions using mnemonics, bridge memory (mnemonics).
Step 3:
Problems Review
Give matters relating to the implementation of the determination of the value of Trig functions in
different quadrants
Step 4:
Provide Feedback
Give feedback or information whether the answer is right or wrong learners. If properly provide
confirmation, if any provide the correction or rectification.
Step 5:
Test
Give tests to assess whether learners really understand the value of Trig functions in different
quadrants. Of test item should be different from the examples of cases that have been given at the
time of submission of facts and exercises to avoid the disciples only memorized but did not grasp.
Delivery Strategy of Procedures
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 419
The purpose is to learn the procedures so that learners can perform the procedure or practice, not
just understood or memorized. Includes learning materials these types of procedures are the steps in
a task sequence. Such as steps turn on the television, turn on and turn off the computer.
Measures to teach procedures include:
1) The present procedure
2) the provision of assistance by way of demonstrating how to implement the procedure
3) provide training (practice)
4) to provide feedback
5) gives the test.
For example, ICT Subject: Procedure installing UTP cable to the RJ-45 connector on the local
network.
Step 1:
Present procedure
Serve steps or procedures to install UTP cable with RJ-45 connectors using an image or a slide
presentation.
Step 2:
Provide assistance
You can help to make the students familiar about the color of the cable, the order of the appropriate
connection type, how to hold the RJ-45 connector and use crimping pliers.
Step 3:
Provide training
Assign students to practice to practice with or without crimping for one type of connection, such as
straight.
Step 4: Provide feedback
Tell what do learners in practice is correct or incorrect. You can confirm if it is true, and correction
if any.
Step 5:
Provide test
Give tests install cables with different connection types, such as crossover.
The strategy to deliver the material aspects of attitude (affective)
Including learning material aspects of attitude (affective) according to Bloom (1978) is giving a
response, acceptance of a value, internalization, and assessment. Some strategies for teaching
aspects of attitudes among other things: the creation of conditions, model or example,
420 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
demonstrations, simulations, delivery doctrine or dogma. Example: on the subjects of Sociology
class X provides examples of the role of values and norms in society.
Strategy Creation of Conditions: In order to have a normative attitude in public life, in front of the
booth mounted track to line up in the form of an iron fence that can only be passed one by one in
turn. Modeling strategy or Example: Expressed example or model someone who does not have a
normative attitude, someone who does not want an orderly in line.
Learning Strategies of Learning Materials
Viewed from the side of teachers, treatment (treatment) of the learning material in the form of
activity or instruction, teachers convey to students (teaching activity). Conversely, in terms of the
learners, the treatment of the learning material in the form of study or interact with learning
materials (learning activity) (Ministry of National Education, DPSMA, 2008).
In particular in the study, the activities of learners can be grouped into memorize, use, find and
select. The following explanations and examples are minimal. Teachers are welcome to develop
customized with more sophisticated methods owned:
Memorize
There are two types of memorization, ie memorizing verbal (remember verbatim) and memorize
paraphrase (remember paraphrase). Memorizing verbal was to memorize exactly as it is. There are
learning materials that had to be memorized exactly as it is, for example, the person's name, place
name, agent name, emblem, historical events, names of parts or components of an object, and so on.
Conversely there is also a learning material that does not have to memorize exactly as you are, but
can be expressed in the language or the sentence itself (memorized paraphrasing). What is
important students know or understand, for example, understand the core content of the 1945
Constitution, the definition of shares, the argument of Archimedes, etc.
Use / apply
Learning materials after memorized or understood then used or applied. So in the learning process
of students need to be able to use, implement or apply materials that have been studied. The use of
facts or data is to be used as evidence in the context of decision making. For example, based on the
results of excavations it was discovered the presence of gold jewelry that has been finished, semi-
finished, jewelry has been damaged, furnace, material gold bullion in the former colonial heritage
Wonoboyo village, Klaten, Central Java. By using these facts, the historians concluded that the
location is the former site of the goldsmiths.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 421
The use of materials concept is to draw up a proposition, the proposition, or formula. As is known,
the proposition or formula is the relationship between several concepts. For example, in the trade "If
the sale is greater than the capital, there will be a gain or profit". Concepts in the sale and purchase
includes sales, cost of capital, profit, profit, and the concept of "bigger".
In addition, possession of a concept used to generalize -or- and differentiate. For example, a child
who has understood the concept of the "clock is a timepiece", will be able to generalize, however,
that vary in size and shape, it can be concluded that the object was an hour.
The application or use of the principle is to resolve issues in other cases. For example, a learner who
has been able to calculate the area of a rectangle after studying the formulas, can determine the area
of a rectangle anywhere, no matter how big the length and width of the rectangle to be calculated
extent. The use of the material the procedure is to be done or practiced. A learner who has mastered
and practiced riding a motorcycle, the motorcycle can ride.
Use of the procedure (psychomotor) is to perform a task or perform an act. For example, learners
can ride a motorcycle after mastering the steps or procedures riding a motorcycle.
Use of the material is behaving according to the value attitude or attitudes that have been studied.
For example, learners economize water in the shower and wash after getting a lesson about the
importance of being frugal.
Find
The discovery here is to find ways to solve new problems using facts, concepts, principles and
procedures that have been studied. Find, is the result of high-level learning. Gagne (1987) refer to it
as the application of cognitive strategies. For example, after studying the law of communicating
vessels of a learner can make sprinklers equipment hanging pots using PVC pipes. Another
example, after studying the properties of wind that can rotate the propeller learners can create
prototypes, models or mockups wells windmills to get ground water
Choose
Selecting here concerns the affective aspects or attitudes. The purpose of selecting here is to choose
to do or not do something. For example, choose to read novels instead of reading the scientific
literature. Choosing obey traffic rules but late to school or pick abuse but not too late, and so forth
(http://iinapriliyani.blogspot.co.id/2012/09/pengembangan-materi-pembelajaran.html)
422 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
LEARNING MATERIALS DEVELOPMENT ROLE IN THE CREATION OF LEARNING
QUALITY
Learning that educates be described as learning that provide meaningful experiences for students.
Learning to maximize student potential to grow. Learning that educates only be realized if they are
designed well, not least the material being studied, has been adapted to the principles of the
development of learning materials. With the material resulting from the development of good, and
students interact with the learning materials, directly or indirectly, will realize the learning activities
that educate.
Special or operational principle is a scientific professional development, where the overall material
and activities that are within the competence of the charge and the indicator must be correct and
verifiable scientifically.
Especially with the development of curriculum changes that apply in Indonesia, the of participants
will explore and Utilize the philosophical and educational principles fundamental to the effective
creation of learning materials to the elementary classroom. The criteria for developing
manipulatives as well as various techniques and principals in creating and using Reviews These
materials will be presented. Thematic units and Directly integrated curricula that will enhance,
enrich and supplement any content Also the area will be developed (Capangpanga, 2012).
CONCLUSION
Basically, the teacher is curriculum developers and project learning at the instructional level
(classes), because the teacher was also instrumental in the development of learning content.
Although during this teacher has been using a book that was given by the government, at least in
using teaching materials that teachers can know and understand the procedure as well as the
development of learning materials of construction. Thus, conscious, teachers educate the students of
the subject matter by using the existing books continue to act based on an understanding of the
construction and arrangement of the material development of true learning. Moreover, if the teacher
is not only to use the book as the only source of learning but sources other messages that can be
selected and developed for the benefit of student learning. This is where the importance of
procurement teachers about the characteristics of the type of material the students will learn well.
Bibliography
Capangpanga, R. S. 2012. Different Types of Instructional Materials.
https://www.myncta.org/products/developing-instructional-materials-for-the-classroom. Accessed
on 08-09-2016.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 423
Ministry of National Education (DPSMA). 2008. Learning Materials Development Guide. Jakarta:
Directorate General of Primary and Secondary Education, Directorate of High School. Jakarta:
Directorate General of Higher primary and secondary education directorate, DPSMA.
Regulation of the Minister of Education and Culture No. 103 of 2014 on Education in Primary and
Secondary Education.
Sunardi & Sujadi, I. 2016. Pedagogic Material: Supporting Learning Resources PLPG. Jakarta:
Ministry of Education and Culture, Directorate General of Teachers and Education Personnel.
http://bandono.web.id/2009/04/02/pengembangan-bahan-ajar.php. (date accessed 12-08-2016).
http://cerpenik.blogspot.co.id/2011/11/pengembangan-kompetensi-pedagogik-dan-profesional.html.
(date accessed 12-08-2016).
http://iinapriliyani.blogspot.co.id/2012/09/pengembangan-materi-pembelajaran.html. (date
accessed 12-09-2016).
http://rdrizaldimtp.blogspot.co.id/2013/03/desain-pesan-pembelajaran-strategi.html. (date accessed
12-09-2016).
424 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
TEKNOLOGI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN ABAD 21 Haryono
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
ABSTRAK
Teknologi pendidikan adalah studi dan praktik secara beretika untuk memfasilitasi belajar dan
peningkatan kinerja melalui penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan aneka sumber dan teknologi
secara tepat. Dalam kontek masyarakat abad 21 yang merupakan masyarakat berpengetahuan
dengan mega kompetisi dalam setiap segi kehidupan, untuk memperoleh peluang partisipasi di
dalamnya menuntut kompetensi yang lebih dari sebatas kemampuan dasar berupa membaca,
menulis, dan berhitung. Kehidupan masyakat global menuntut warganya untuk menguasai
kompetensi abad 21, yaitu berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah, komunikasi,
kolaboratif, kreatif dan inovatif. Hal ini diperlukan untuk dapat berpartisipasi, memperoleh peluang
untuk bertahan dan terus eksis di dalamnya. Untuk menyiapkan manusia abad 21, diperlukan model
pembelajaran yang tidak saja bersifat deduktif tetapi juga induktif. Teknologi pendidikan hadir
berkontribusi mewujudkan model pembelajaran yang yang kondusif bagi berkembangnya
kemampuan dasar individu yang memungkinkan untuk berkembang dan mencipta diri secara
optimal.
Kata Kunci: teknologi pendidikan, kompetensi, pembelajaran abad 21
Pendahuluan
Perubahan sistem nilai dan pola kehidupan sebagai dampak laju perkembangan IPTEK dan proses
globalisasi, secara tidak langsung telah menuntut prasyarat kemampuan manusia untuk memperoleh
peluang partisipasi di dalamnya. Dalam konteks keterbukaan dunia, manusia hidup dalam
masyarakat mega kompetisi yang terus menerus mengejar kualitas dan keunggulan (Tilaar, 1999).
Masyarakat masa depan, masyarakat global menuntut manusia bercirikan kreatif kritis, fleksibel,
terbuka, inovatif, tangkas (“dexterity”), kompetitif, peka terhadap masalah, menguasai informasi,
mampu bekerja dalam “team work” lintas bidang, dan mampu beradaptasi terhadap perubahan
(Semiawan, 1998). Untuk memperoleh peluang partisipasi dalam masyarakat mega kompetisi,
dibutuhkan kemampuan mengubah tantangan dan atau hambatan menjadi peluang, suatu ketahan-
malangan atau Adversity Quotient (“AQ”) yang merupakan kerangka kerja konseptual baru dan
peralatan yang diperlukan untuk memahami dan mencapai kesuksesan tertentu (Stoltz, 2000).
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 425
Peserta didik untuk menghadapi masyarakat pengetahuan, tidak cukup dibekali dengan kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Tree Rs” (reading,
writting, arithmetic), tetapi juga memerlukan kompetensi masyarakat global, yaitu komunikasi,
kreatif, berpikir kritis, dan kolaborasi yang selanjutnya dikenal dengan sebutan “Four Cs”
(communicators, creators, critical thingkers, and collaborators) (NEA, 2012).
Model pembelajaran yang dikembangkan dengan mengacu pada paradigma (lama) bahwa siswa
adalah individu yang belum dewasa, individu yang pasif sebagai objek dalam proses interaksi
belajar mengajar, dan menempatkan guru sebagai pusat kegiatan belajar mengajar (Zamroni, 2000),
tidak lagi memadai untuk menyiapkan sumber daya manusia abat 21, warga masyarakat global.
Model pembelajaran yang menekankan proses deduksi, proses transfer pengetahuan oleh guru
kepada siswa tidak mampu menjangkau percepatan perubahan yang terjadi. Penumpukan
pengangguran terdidik dan pembengkakan jumlah pengangur lulusan perguruan tinggi adalah salah
satu indikasi dari ketidakmampuan model pembelajaran yang menekankan proses transfer
pengetahuan dalam memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja yang berkembang.
Pembelajaran dalam konteks mempersiapkan sumber daya manusia ke depan harus lebih mengacu
pada konsep belajar yang dicanangkan oleh Komisi UNESCO dalam wujud “the four pillars of
education” yaitu belajar untuk mengetahui (“learning to know”), belajar melakukan sesuatu
(“learning to do”), belajar hidup bersama sebagai dasar untuk berpartisipasi dan bekerjasama
dengan orang lain dalam keseluruhan aktivitas kehidupan manusia (“learning to life together”), dan
belajar menjadi dirinya (“learning to be”) (Delors, 1996 dalam Haryono, 2006). Hasil pembelajaran
yang terpenting adalah dimilikinya kekuatan dan kemampuan belajar yang tinggi untuk dapat
mendidik dan mengembangkan diri lebih lanjut, bukan saja diperolehnya sejumlah pengetahuan,
keterampilan, dan sikap tetapi yang lebih penting adalah pengembangan metakognisi, yaitu
bagaimana pengetahuan, keterampilan, dan sikap itu diperoleh (Schunk, 2012).
Dalam kerangka mempersiapkan manusia abad 21 yang hidup dalam nuansa masyarakat
pengetahuan dan mega kompetisi dengan gelombang perubahan yang sedemikian cepat, dibutuhkan
suatu model pembelajaran yang tidak saja bersifat deduktif tetapi juga induktif. Model
pembelajaran yang dibutuhkan adalah yang mampu menjamin peserta didik memiliki keterampilan
belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media informasi, serta dapat
bekerja dan bertahan dengan menguasai sejumlah keterampilan untuk hidup (life skills).
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan pilihan untuk mempersiapkan peserta didik
menjadi warga masyarakat global, masyarakat pengetahuan yang penuh dengan tantangan sekaligus
peluang. Melalui pendekatan pembelajaran saintifik yang menjadi satu paket kebijakan pendidikan,
426 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
yaitu Kurikulum 2013 adalah langkah strategis menyiapkan generasi emas bagi Indonesia di kancah
pergaulan dunia yang terbuka. Ada tiga konsep dasar yang dibenamkan dalam Kurikulum 2013,
yaitu keterampilan abad 21, pendekatan saintifik, dan penilaian autentik (Murti, 2013).
Terkait dengan upaya mencari dan mengembangkan model pembelajaran yang efektif untuk
mempersiapkan peserta didik menghadapi masyarakat global, teknologi pendidikan hadir
memberikan solusi. Teknologi pendidikan adalah studi dan praktik secara etis untuk memfasilitasi
pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses
dan sumber daya teknologi secara tepat (Januszewski and Molenda, 2008). Teknologi pendidikan
merupakan terapan disiplin pengetahuan dengan suatu tujuan meningkatkan belajar, pembelajaran,
dan atau kinerja (Spector, 2016). Teknologi pendidikan sebagai disiplin ilmu terapan, berkembang
oleh adanya kebutuhan di lapangan yaitu kebutuhan untuk belajar secara lebih efektif, efisien, luas,
banyak, cepat, dan fungsional (Haryono, 2008).
Pertanyaan yang perlu didiskusikan lebih lanjut adalah bagaimana teknologi pendidikan berperan
dan berkontribusi dalam pengembangan model-model pembelajaran yang mampu membekali para
peserta didik dengan sejumlah kompetensi yang diperlukan dalam konteks masyarakat abad 21. Apa
yang dapat dikontribusikan oleh bidang teknologi pendidikan sebagai studi dan praktik dalam
mewujudkan kinerja pembelajaran yang mampu menyiapkan peserta didik memperoleh peluang
partisipasi di kancah masyarakat global yang penuh tantangan dan peluang tersebut.
Untuk mengawali bahan diskusi, berikut diuraikan sepintas perihal kompetensi abad 21,
pembelajaran untuk membekali pesrta didik dengan kompetensi abad 21, dan peran teknologi
pendidikan dalam mengembangkan pembelajaran yang konstruktif terhadap pencapaian kompetensi
abad 21. Selanjutnya lontaran ide yang masih sangat terbatas ini biarlah menjadi stimulan dan
menginspirasi kepada semua yang terpanggil untuk terus mengembangkan gagasan, mencari solusi
atas persoalan, dan beraksi membumikan teknologi pendidikan untuk kepentigan anak negeri.
Kompetensi Abad 21
Kompetensi lebih dari sekedar pengetahuan dan atau keterampilan, di dalamnya mencakup
kemampuan untuk memenuhi tuntutan yang kompleks, merepresentasi dan memobilisasi sumber
daya psikologis seperti keterampilan dan sikap khusus (Ontario, 2016). Antara kompetensi dan
keterampilan memang sering digunakan secara bersamaan, tetapi memiliki makna yang sangat
berbeda. Kompetensi menunjuk pada kemampuan dalam mengaplikasikan capaian pembelajaran
(learning outcomes) secara adekuat dalam konteks pendidikan, pekerjaan, personal atau
pengembangan profesional. Kompetensi tidak terbatas pada komponen kognitif seperti penggunaan
teori, konsep, dan atau pengetahuan, tetapi juga meliputi aspek-aspek fungsional keterampilan
teknis, atribut interpersonal, dan nilai etik. Semetara keterampilan – “skill” menunjuk pada
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 427
kemampuan dalam menyelesaikan tugas dan atau memecahkan masalah. Betapapun kompetensi
merupakan konsep yang lebih luas dari sekadar keterampilan.
Seiring laju perubahan dan perkembangan yang terjadi pada era global yang telah jauh berbeda
dengan era dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, tuntutan akan kompetensi manusia untuk bisa
hidup, bekerja, dan meraih peluang partisipasi di dalamnya, jauh lebih kompleks dan berkelas
tinggi. Pergeseran lapangan kerja dari model industri produksi ke arah ekonomi pengetahuan,
kebutuhan tenaga kerja mengalami transformasi dari pekerjaan rutin secara manual yang cukup
dengan keterampilan dan kemampuan kognitif rendah bergeser pada pekerjaan non rutin yang
memelukan keahlian berpikir (Trilling and Fabel, 2009). Ekonomi pengetahuan (knowledge
economy) berbasis teknologi dan tekoneksi secara global membutuhkan kompetensi yang sesuai
dengan tuntutan perubahan dan dinamika sosial yang tidak dapat diperkirakan (Ontario, 2016).
Pendidikan dan pembelajaran harus mampu mengotimalkan perkembangan kompetensi peserta
didik, menjamin nahwa perserta pada saatnya mampu hidup, bekerja, dan berpartisipasi dalam
masyarakat abad 21, masyarakat berpengetahuan, dan masyarakat ekonomi global.
Kompetensi abad 21 secara substantif dapat dirumuskan sebagai berikut.
Kompetensi abad 21 berhubungan dengan perkembangan ranah kognitif, interpersonal, dan
intrapersonal. Secara konvensional kompetensi kognitif yang meliputi berpikir kritis, analitis, dan
problem solving dapat diharapkan menjadi indikator kunci kesuksesan. Tetapi perubahan ekonomi,
teknologi, dan konteks sosial pada abad 21 menjadikan kompetensi interpersonal dan intrapersonal
lebih menentukan kesuksesan seseorang. Perusahaan (para pemilik pekerjaan) semakin menghargai
soft skill seperti teamwork dan leadership skills (Ontario, 2016). Keterampilan sosial seseorang
menjadi faktor penentu pekerjaan, soft skills yang dimiliki oleh orang muda berdampak pada
prospek pekerjaan di masa tuanya (Pellegrino and Hilton, 2012).
Kompetensi abad 21 memiliki manfaat yang terukur untuk beberapa area kehidupan. Konpetensi
kunci dapat diidentifikasi berdasarkan seberapa memberi kontribusi terhadap pencapaian
pendidikan, relasi, pekerjaan, kesehatan dan kesejahteraan. Kompetensi ini berhubungan dengan
berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas dan inovasi. Berpikir kritis dalam hal ini
dideskripsikan sebagai kemampuan untuk merancang dan mengelola proyek, memecahkan masalah,
dan membuat keputusan secara efektif dengan memanfaatkan perangkat dan sumber yang
bervariasi. Berpikir kritis diperlukan untuk memperoleh, memproses, merasionalisasi, dan
mengkritisi berbagai informasi yang bertentangan untuk dipilih secara tepat. Komunikasi menunjuk
tidak hanya pada kemampuan berkomunikasi secara efektif baik secara oral dan tulis dengan
perangkat digital yang bervariasi, tetapi juga keterampilan dalam mendengarkan (listening skills).
428 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Kolaborasi yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan untuk bekerja dalam tim, belajar dari
yang lain dan berkontribusi terhadap yang lain, menggunakan keterampilan jejaring sosial, dan
menunjukkan empati dalam berkerja. Kolaborasi diperlukan untuk mengembangkan kecerdasan
kolektif, mengkonstruk makna, dan mencipta konten personal. Kreativitas dideskripsikan sebagai
pengejaran atas gagasan, konsep, produk baru yang dibutuhkan oleh dunia. Inovasi merupakan
elemen atau unsur dari kreativitas dan sering dimaknai sebagai realisasi atas ide baru yang
selanjutnya mampu memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan (Ontario, 2016).
Kompetensi pada ranah intrapersonal memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan,
pengembangan karakter, dan kesuksesan seseorang. Kompetensi non akademik, kompetensi
intrapersonal seperti ketekunan (perseverance), ketabahan (grit), keuletan (tenacity), dan pola pikir
(mindset) memiliki hubungan yang kuat terhadap kapasitas individu dalam menghadapi tantangan
dan mencapai kesuksesan jangka panjang (Ontario, 2016).
Kompetensi berkenaan dengan metakognisi dan perkembangan pola pikir merupakan esensi
pencapaian kesuksesan di abad 21. Pemahaman tentang bagaimana orang belajar dan seberapa
dirinya mampu belajar, adalah hasil pendidikan dan pembelajaran yang penting dalam
menghantarkan seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Oleh karenanya belajar
tentang proses bagaiamana belajar perlu menjadi inti dan tujuan pendidikan abad 21 (Ontario,
2016). Metakognisi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk memperoleh keterampilan,
pengetahuan, dan sikap yang diperlukan untuk keperluan hidupnya (Schunk, 2012).
Kompetensi berkenaan dengan kewarganegaraan lokal, global, dan digital meningkatkan
kemampuan individu dalam merespon secara konstruktif terhadap perubahan dan tantangan yang
dihadapi. Kompetensi kewarganegaraan (citizenship) adalah kompetensi personal dan sosial, melek
warganegara (civic literacy), kesadaran global, dan keterampilan lintas budaya. Kompetensi
kewarganegaraan merupakan pengetahuan global, sensitifitas dan respek terhadap budaya lain, aktif
terlibat dalam isu-isu kemanusian dan lingkungan, dan secara khusus mampu berkolaborasi secara
lintas budaya dan negara (Ontario 2016).
Kompetensi berkenaan dengan kreativitas dan inovasi menjadi unsur penting dalam aktivitas
kewirausahaan (entrepreunership). Kewirausahaan adalah proses penciptaan dan penerapan ide-ide
inovatif terkait dengan peluang ekonomi dan masalah sosial, melalui penciptaan usaha, peningkatan
dan pengembangan produk, atau memperbarui mode organisasi. Kompetensi kewirausahaaan
adalah kombinasi dari kompetensi interpersonal, intrapersonal, dan kognitif yang meliputi
kreativitas dan inovasi, kolaborasi, kerja tim, kepemimpinan, dan ketekunan (Ontario, 2016).
Rangkuman kerangka internasional kompetensi abad 21 yang dirumuskan oleh The Assesment and
Teaching of 21st Century Skills (ATC21S) Project, meliputi; (1) cara berpikir, terdiri atas
kreativitas dan inovasi, berpikir kritis, problem solving, dan membuat keputusan; (2) cara bekerja,
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 429
terdiri atas komunikasi dan kolaborasi; (3) perangkat bekerja, terdiri atas literasi informasi, dan
literasi TIK; (4) hidup di dunia, terdiri atas kewarganegaraan lokal dan global, keterampilan hidup
dan karir (mencakup adaptif terhadap perubahan, mengelola tujuan dan waktu, menjadi pembelajar
mandiri, mengelola kegiatan/projek, bekerja efektif dalam tim, fleksibel, membimbing dan
memimpin orang lain), tanggung jawab secara personal dan sosial (Ontario, 2016). Sementara
Fullan and Scott (2014) mengidentifikasi kompetensi abad 21 ke dalam “The Six Cs”, yaitu; (1)
Character education, mencakup karakter jujur, pengaturan diri dan tanggung jawab, tekun, empati
untuk memberikan rasa aman dan kebermaknaan bagi orang lain, percaya diri, kepribadian yang
sehat dan sejahtera, keterampilan hidup dan karir. (2) Citizenship, mencakup aspek pengetahuan
global, sensitifitas dan respek terhadap budaya lain, aktif terlibat dalam kegiatan kemanusiaan dan
lingkungan. (3) Communication, mencakup kemampuan berkomunikasi secara efektif baik dalam
bentuk oral, tulis, dan pemanfaatan perangkat digital, serta keterampilan dalam mendengar. (4)
Critical thinking and problem solving, berpikir secara kritis dalam merancang dan mengelola
kegiatan (project), memecahkan masalah, dan membuat keputusan dengan memanfaatkan perangkat
digital dan sumber yang bervariasi. (5) Collaboration, mencakup kemampuan bekerja dalam tim,
belajar dari yang lain dan berkontrinbusi tehadap yang lain, keterampilan social networking, dan
empati terhadap perbedaan dalam bekerja. (6) Creativity and imagination, mencakup kompetensi
entrepeunership secara ekonomi dan sosial, memperhatikan dan mendorong lahirnya berbagai ide
baru, dan kepemimpinan.
Dalam konteks menyiapkan generasi menjadi warganegara masyarakat global, masayarakat
informasi, dan masyarakat berpengetahuan, NEA (2012) merekomendasikan tentang pentingnya
pengembangan “Four Cs” untuk melengkapi pelajaran inti (core subject) dari suatu program
pendidikan. Four Cs yang dimaksud adalah; (1) Critial thinking and problem solving, di dalamnya
mencakup kemampuan berargumen secara efektif, berpikir sistemik, membuat pembenaran dan
keputusan, dan memecahkan masalah. (2) Communication, mampu menyampaikan pikiran dan
gagasan secara efektif dalam bentuk oral, tulis, dan non verbal lainnya, terampil mendengar
(listening skills), mampu menggunakan perangkat komunikasi secara efektif dan fungsional,
mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, berbagai tujuan, dan berbagai konteks budaya.
(3) Collaboration, kemampuan bekerja secara efektif dalam tim, fleksibel dan mau membantu
untuk berkompromi demi tercapainya tujuan bersama, dan mampu berbagi tanggung jawab dan
menghargai kontribusi dari anggota tim. (4) Creativity and Innovation, adalah kemampuan untuk
berpikir kreatif, bekerja secara kreatif dengan yang lain, mampu mengimplementasikan ide-ide
kreatif dalam praktik.
430 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Pembelajaran untuk Membelajarkan Kompetensi Abad 21
Pembelajaran adalah proses menjadikan orang belajar. Pembelajaran adalah suatu usaha yang
disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar (Miarso, 2004), malakukan pengubahan
pengetahuan, keterampilan, strategi, keyakinan, sikap, dan perilaku (Schunk, 2012). Usaha
menjadikan orang lain belajar dapat dilakukan oleh seseorang atau tim yang memiliki kemampuan
dalam merancang, mengembangkan, memanfaatkan, mengelola, dan menilai proses dan sumber
belajar. Pembelajaran mengandung makna yang lebih dari pengajaran sebagaimana dipahami
sebagai penyajian bahan ajar. Belajar adalah suatu proses mental yang bersifat personal,
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan untuk menghasilkan perubahan-perubahan
dalam kemampuan, sikap, keyakinan, pengetahuan, dan atau keterampilan (Spector, 2016). Hal ini
menunjukkan secara jelas bahwa belajar adalah suatu proses untuk menghasilkan sesuatu.
Membelajarkan kompetensi abad 21 kepada peserta didik adalah sebuah keniscayaan.
Pembelajaran yang dikembangterapkan pada abad 21 adalah pembelajaran yang mampu
mengembangkan kompetensi secara utuh, tidak saja membekali peserta didik dengan sejumlah core
subject sesuai peminatan, tetapi juga perlu membekali dengan kompetensi non akademik yang lebih
bersifat interpersonal dan intrapersonal. Pembelajaran yang dikembangkan harus mengarah pada
upaya memberdayakan peserta didik, yaitu mampu membantu pertumbuhan dan perkembangan
daya kekuatan untuk melakukan sesuatu (power to), membangun kerjasama (power with), dan
mengembangkan kekuatan dalam diri pribadi (power within). Pembelajaran harus dapat membantu
seseorang untuk dapat memiliki kemampuan berpikri, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
guna mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan mengembangkan keterampilan tertentu
sesuai dengan kebutuhan. Hal ini diperlukan agar orang mampu mengambil tanggung jawab atas
kehidupannya, memberi inspirasi agar orang dapat mengembangkan perasaan harga diri dan
kesediaan untuk mengambil sikap, berani bersikap kritis terhadap dirinya, dan reflektif terhadap
tindakan-tindakannya. Di samping itu pembelajaran juga harus membantu seseorang untuk
membangun kemampuan bekerjasama dengan orang lain, solidaritas atas dasar komitmen pada
tujuan dan pengerttian bersama, memecahkan masalah bersama demi tercapainya kesejahteraan
bersama. Pembelajaran harus dapat menumbuhkembangkan suatu caring society, komunitas
persaudaraan yang memperhatikan kepentingan semua pihak. Selanjutnya pembelajaran juga harus
mampu berfungsi sebagai pemberdayaan kekuatan batin seseorang, mengembangkan potensi dalam
diri seseorang untuk menjadi kekuatan yang mampu menumbuhkan harga diri, kepercayaaan diri,
dan harapan akan masa depannya (Sastrapratedja, 2004).
Untuk mewujudkan model pembelajaran yang relevan dan kondusif untuk menyiapkan peserta
didik menjadi wargaegara masyarakat gobal, masyakatat informasi, dan masyarakat pengetahuan
abad 21, diperlukan langkah dan atau strategi sebagai berikut.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 431
Fokus pembelajaran pada praktik belajar lebih dalam (deeper learning) dan belajar kemitraan baru.
Belajar lebih dalam adalah proses dimana individu menjadi mampu mengambil apa yang dipelajari
dari satu situasi dan mengamplikasikannya pad situasi lain. Belajar lebih dalam melibatkan lintas
kompetensi kognitif, interpersonal, dan intrapersonal. Pembelajar adalah mitra bagi eserta didik
dalam proses belajar lebih dalam melalui proses eksplorasi, keterhubungan pada dunia nyata yang
lebih luas (Ontario, 2016).
Strategi pembelajaran mengaplikasikan strategi pedagogi yang mendukung praktik deeper learning
dan kemitraan baru. Untuk menyiapkan peserta didik mampu mencapai kesuksesan dalam
masyarakat pengetahuan dan ekonomi yang dinamis yang dicirikan dengan kompleksitas, tidak
terprediksi, keterhubungan global, perubahan yang sekaligus peluang, pembelajaran harus bergeser
dari model pembelajaran langsung ke arah model pembelajaran penemuan (inquiry based model).
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi yang dapat dikembangkan,
pembelajar tidak hanya mempresentasikan informasi tetapi dalam jangka panjang juga menjadikan
peserta didik lebih terampil dalam pemecahan masalah (Ontario, 2016).
Pemanfaatan teknologi diarahkan pada upaya membantu peserta didik dalam mengembangkan
keterampilan teknologis sebagai bagian dari kompetensi abad 21. Pemanfaatan teknologi dalam
dimensi produk maupun proses diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam
proses belajar dan peningkatan pecapaian prestasi. Teknologi memungkinkan individu oleh
memperoleh akses informasi (real-time data), memberikan simulasi tentang suatu objek
sebagaimana adanya (real world), dan peluang untuk terkoneksi dengan berbagai objek belajar
sesuai minat. Teknologi dapat membantu dalam asesmen perkembangan performansi peserta didik,
memfasilitasi proses komunikasi dan kolaborasi (Ontario, 2016).
Pendidikan informal dan belajar pengalaman berperan penting dalam mengmebangkan kompetensi
peserta didik. Artinya pembelajaran yang dikembangterapkan bagi peserta didik harus
mempertimbangkan pengalaman belajar yang diperoleh di luar kelas, dan perlu mengembangkan
berbagai aktivitas untuk memperkaya pengalaman belajar peserta didik di luar kelas (Ontario,
2016).
Assesmen dilakukan dengan pendekatan pedagogik transformatif. Assesmen yang dikembangkan
untuk mendukung keberhasilan proses pembelajaran berorientasi pada pencapaian kompetensi abad
21, adalah yang mampu menjangkau seluruh aspek capain pembelajaran(Ontario, 2016). Assesmen
autentik memungkinkan untuk mengkur capaian pembelajaran secara komprehensif, mulai dari
dimensi kognisi, keterampilan, hingga sikap dan sistem nilai, tidak hanya beorientasi pada produk
(capaian hasil) semata, tetapi juga dari dimensi proses pencapainya.
432 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Dukungan infrastruktur pembelajaran berperan penting dalam pencapaian komptensi abad 21.
Ruang fisik di mana dan kapan peserta didik melakukan proses belajar menjadi faktor pendukung
yang signifikan. Ruang fisik (physical space) mencakup aspek desain yang fleksibel, memfasilitasi
keterhubungan yang konstruktif, konfigurasi perpustakaan yang menjadi pusat belajar, dan desain
yang memudahkan berhunungan dengan dunia luar, dengan komunitas yang labih luas Ontario,
2016).
Dengan langkah dan atau strategi di atas, diharapkan dapat mewujudkan suatu model pembelajaran
yang mampu menjadikan peserta didik aktif belajar untuk membangun pengetahuan, keterampilan,
dan sikap sesuai tuntutan perubahan dan tantangan jaman. Keaktifan peserta didik dalam
pembelajaran dicirikan oleh aktif dalam berpikir – mind on dan aktif dalam berbuat – hand on
(Suparno, 2002). Kedua bentuk keaktifan ini saling terkait. Tindakan riil peserta didik dalam
pembelajaran adalah hasil keterlibatan berpikir terhadap objek belajar, pengalaman dari hasil
tindakan diolah dengan menggunakan kerangka pikir dan pengetahuan yang sudah dimiliki untuk
membangun sebuah pemahaman baru. Dengan demikian peserta didik mengembangkan
pengetahuan dan bahkan mengubah pengetahuan sebelumnya menjadi lebih baik, lebih lengkap,
dan lebih komprehensif. Lebih dari itu berangkat dan pengetahuan dan pemahaman barunya, peserta
didik melakukan pengolahan dan refleksi yang dapat melahirkan suatu tindakan lain sebagai
perwujudan dari keingintahuannya yang terus berlanjut. Proses aktif belajar yang ditumbuhkan
dalam pembelajaran merupakan proses yang tiada henti (Haryono, 2005).
Peran Teknologi Pendidikan
Teknologi pendidikan adalah studi dan praktik secara beretika untuk memfasilitasi belajar dan
peningkatan kinerja melalui penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan aneka sumber dan teknologi
secara tepat (Januszewski and Molenda, 2008). Teknologi pendidikan merupakan bidang yang
berkepentingan dengan usaha memudahkan proses belajar dan peningkatan kinerja melalui
perancangan, pengembangan, pemroduksian, pendayagunaan, dan pengelolaan sumber dan
teknologi secara tepat. Teknologi pendidikan merupakan bidang ilmu terapan yang
mengintegrasikan secara sinergis beberapa disiplin ilmu dengan maksud memudahkan terjadinya
proses belajar, meningkatkan mutu pembelajaran, dan meningkatkan kinerja. Proses studi
(pengkajian) dan praktik dalam teknologi pendidikan harus dilakukan secara bertetika.
Teknologi pendidikan adalah proses bersistem dalam membantu memecahkan masalah belajar
manusia sepanjang hayat, di mana saja, kapan saja, dengan cara apa saja, dan oleh siapa saja
(Miarso, 2004). Masalah belajar utama yang sering menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas
profesional pendidik adalah berkenaan dengan proses membelajarkan konsep abstrak, konsep yang
rumit/kompleks, peristiwa yang sudah lewat, pemahaman terhadap bahan yang diceramahkan,
memberikan pengalaman langsung dan pengalaman berinteraksi dengan objek yang terlalu besar
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 433
atau kecil. Permasalahan belajar dalam konteks mikro ini dapat diatasi dengan menerapkan prinsip-
prinsip teknologi pendidikan, seperti pemanfaatan media yang relavan dalam proses pembelajaran,
pengembangan model pembelajaran yang tepat sesuai karakteristik peserta didik dan kompetensi
yang akan dicapai, dan pendayagunaan aneka sumber belajar yang tersedia. Pemecahan masalah
belajar yang terjadi di ruang-ruang kelas pembelajaran dapat dilakukan dengan menerapkan teori
dan praktik teknologi pendidikan (Haryono, 2008).
Dalam konteks membelajarkan kompetensi abad 21, peran teknologi pendidikan dapat
diwujudnyatakan dalam aplikasi fungsi penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber dan
teknologi untuk meningkatkan mutu pembelajaran dalam jangka pendek dan peningkatan kinerja
sebagai capaian pembelajaran jangka panjang. Untuk mengembangkan kompetensi abad 21
dibutuhkan model pembelajaran yang fokus pada belajar lebih dalam (deeper learning) dan
kemitraan baru (new partnership) dengan strategi pedagogi yang lebih luas, didukung dengan
pemanfaatan dan pengelolaan aneka sumber dan teknologi secara tepat dan fungsional. Ini semua
adalah tantangan yang sekaligus peluang bagi bidang teknologi pendidikan untuk menunjukkan
eksistensi dan peran strategisnya.
Terapan teknologi pendidikan berpotensi mendorong berkembangnya sistem pembelajaran yang
lebih inovatif, pendayagunaan produk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung
aktivitas pembelajaran, dan berkembangnya pola pembelajaran yang bervariasi. Sistem
pembelajaran inovatif sebagai bentuk terapan teknologi pendidikan, telah berhasil
diciptakembangkan dan beberapa diantaranya dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional.
Sistem pendidikan terbuka seperti SMP Terbuka, SMA Terbuka, Universitas Terbuka adalah bentuk
riil dari terapan teknologi pendidikan dalam inovasi pembelajaran yang telah melembaga dan
menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Sistem pembelajaran jarak jauh, pembelajaran
berbasis web, e-learning adalah terapan teknologi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan belajar
yang prospektif ke depan seiring laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama
dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (Haryono, 2008).
Terkait dengan model pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi abad 21, para teknolog
pendidikan ditantang untuk mampu menciptakembangkan berbagai rancangan pembelajaran yang
efektif bagi tercapainya suatu proses belajar yang mendalam dan terbangunnya kemitraan baru,
rancangan pembelajaran yang fungsional memberikan pengalaman pemecahan masalah,
mengembangkan kemampuan untuk berbuat, bekerja dengan orang lain, dan kekuatan batin peserta
didik. Berangkat dari rancangan pembelajaran yang dikembangkan, teknolog pendidikan harus juga
mampu mengembangkan dan meproduksi perangkat pembelajaran (bahan ajar, media, dan alat ukur
434 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
keberhasilannya) yang diperlukan. Setelah itu teknolog pendidikkan masih harus melakukan uji
kelayakan dan keefektivan atas produk yang berhasil diciptakembangkan. Jauh sebelum melakukan
perancangan, pengembangan, pemroduksian, dan penerapan suatu karya, teknolog pendidikan juga
harus melakukan pengkajian baik secara konseptual teoretik maupun praksis empirik lapangan.
Bidang teknologi pendidikan memiliki peran strategis dalam mewujudkan pembelajaran abad 21
yang yang harus mengembangkan kompetensi kognitif, interpersonal, dan intrapersonal, membekali
peserta didik dengan core subject yang kuat dilengkapi dengan kompetensi non akademik yang
sangat diperlukan dalam lapangan kerja pada era global, masyarakat informasi, dan masyarakat
pengetahuan. Kompetensi berpikir kritis dan pemecahan masalah, komunikasi, kolaborasi, kreatif
dan inovatif menjadi faktor determinan terhadap keberhasilan seeorang dalam kehidupan dan
perjalanan karirnya. Melalui fungsi penciptaan, pemanfaatan, dan pengelolaan aneka sumber dan
teknologi secara tepat, teknologi dapat berkontribusi secara bermakna dalam upaya mewujudkan
pembelajaran yang mampu mengembangkan kompetensi akademik dan non akademik sesuai
tuntutan perubahan.
Penutup
Kehadiran teknologi pendidikan adalah untuk memberikan solusi terhadap permasalahan belajar
manusia, lahir dan berkembang untuk berkontribusi pada uaya peningkatan mutu pembelajaran dan
peningkatan kinerja. Dalam kontek pembelajaran untuk menyiapkan warganegara pada masyarakat
global, masyarakat informasi, dan masyarakat pengetahuan, teknologi pendidikan mampu
berkontribusi melalui fungsi penciptaan, pemanfaatan, pengelolaan aneka sumber dan teknologi.
Eksistensi dan perkembangan teknologi pendidikan selanjutnya akan lebih banyak bergantung pada
seberapa para teknolog pendidikan yang mau dan mampu berinovasi dalam implementasi teknologi
pendidikan secara nyata untuk praksis pendidikan dan pembelajaran. Bidang teknologi pendidikan
memiliki peran strategis dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran dan kinerja seiring
perkembangan jaman dan tuntutan perubahan.
Pustaka Acuan
Fullan, M. 2013. Great to Excellent: Launching the next stage of Ontario,s education agenda.
Diunduh Juni 2017 dari http://michaelfullan.ca/great-to-excellent-launching-the-next-stage-of-
ontarios-education-agenda/
Haryono. 2005. “Aplikasi Teori Belajar dalam Desain Pembelajaran”. Makalah. Diunduh Juni 2017
dari http://blog.unnes.ac.id/fransharyono.
Haryono. 2006. “Model Pembelajaran Berbasis Peningkatan Keterampilan Proses Sains”. Jurnal
Pendidikan Dasar. Vol. 7 No. 1 Maret 2006. Hal. 1-10. Diunduh Juni 2017 dari
http://blog.unnes.ac.id/fransharyono.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 435
Haryono. 2008. “Kesalahan Terapan Teknologi Pendidikan dalam Praksis Pembelajaran”. Makalah
Promosi Guru Besar Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang, 26
Februari 2008. Diunduh Juni 2017 dari http://blog.unnes.ac.id/fransharyono.
Januszewski, Alan and Michael Molenda. 2008. Educational Technology: A Definition with
Commentary. New York: Taylor & Francis Group.
Murti, Kuntarti Eri. 2013. “Pendidikan Abad 21 dan Implementasinya pada Pembelajaran di SMK
untuk Paket Keahlian Desain Interior”. Artikel Kurikulum 2013 SMK. Diunduh Juni 2107 dari
http://p4tksb-jogja.com/index.php/more/topic/525-artikel-widyaswara.
NEA (National Education Association). 2012. Preparing 21st Century Students for a Global
Society: An Educator’s Giude to the “Four Cs”. Author: NEA. Diunduh September 2016 dari
www.nea.org/assets/docs/A-Guide-to-Four-Cs.pdf.
Ontario Ministry of Education. 2016. 21st Century Competencies: Towards defining 21st Century
Competencies for Ontario. Toronto: Author. Diunduh September 2016 dari
www.ksbe.edu/_assets/spi/pdfs/21_century_skills_full.pdf.
Pallegrino, J.W. and Margaret L. Hilton. 2102. Education for Life and Work: Developing
Transferable Knowledge and Skills in the 21st Century. Diunduh Juni 2017 dari
http://www.nap.edu/catalog.php?record_id=13398.
Sastrapratedja, M. 2004. “Apa dan Siapakah Manusia” dalam Widiastono, Tonny D. 2004.
Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories: An Educational Pespective. (Alih Bahasa: Eva Hamidah,
Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semiawan, Conny R. 1998. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang
Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Spector, J. Michael. 2016. Foundations of Educational Technology. New York: Routledge.
Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient, Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Alih Bahasa: T.
Hermaya. Jakarta: Grasindo.
Suparno, Paul., dkk. 2002. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius.
Tilaar, H. A. R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21.
Magelang: Tera Indonesia.
Trilling, Bernie and Charles Fadel. 2009. 21st Century Skills: Learning for Life in Our Time. San
Francisco: Jossey-Bass.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
436 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Moh. Iqbal Assyauqi, M. Pd
H. Ahmad Hifni, S.Pd.i, M.Pd
Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin
ABSTRAK
Pengembangan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: analisis kebutuhan, desain
pengembangan pembelajaran, pengembangan produk, produk awal, evaluasi, dan produk akhir.
Tahap analisis kebutuhan merupakan langkah awal dari pengembangan produk yaitu
mengumpulkan informasi yang relevan dengan produk yang akan dikembangkan. Tahap desain
pengembangan pembelajaran yaitu tahap menetapkan kompetensi, menyusun strategi pembelajaran,
mengembangkan materi pembelajaran, dan merencanakan bentuk penilaian. Tahap pengembangan
produk mencakup sub-tahapan, membuat flow chart, mengumpulkan bahan-bahan pendukung,
membuat story board, memproduksi produk, dan menampilkan bahan-bahan pendukung. Tahap
produk awal merupakan hasil pengembangan produk yang pertama. Tahap evaluasi adalah tahap
dimana produk awal dievaluasi yang terdiri dari lima sub-tahapan, yaitu evaluasi ahli media,
evaluasi ahli materi, uji coba perorangan (dua orang), uji coba kelompok kecil (enam orang), dan uji
coba lapangan (dua puluh lima orang). Tahap produk akhir merupakan tahap dimana produk yang
telah diujicobakan akan diproduksi dan siap disebarluaskan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Data dikumpulkan melalui angket, observasi, dan wawancara. Data dari hasil observasi dan
wawancara dianalisis secara deskriptif kualitatif, sedangkan data yang diperoleh dari angket
dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
Hasil pengembangan menunjukkan bahwa pada umumnya seluruh aspek dianggap baik oleh siswa
dengan rerata skor 3,88 dari rentang skor 1-5. Aspek instruksional memiliki rerata skor 3,91, aspek
isi 3,82, aspek tampilan 4,03, dan aspek pemrograman 3,77. Seluruh rerata pada aspek-aspek
tersebut tergolong pada kriteria baik.
Kata Kunci: Pengembangan, Media Pembelajaran Interaktif, Anak Berkebutuhan Khusus.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 437
PENDAHULUAN
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat
belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan demikian pendidik (dosen, guru, instruktur dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan
keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna (Artistiana, 2013: 9).
Secara garis besar tugas dan tanggung jawab seorang guru adalah mengembangkan kecerdasan yang
ada dalam diri setiap anak didiknya. Kecerdasan ini dikembangkan agar anak didik dapat tumbuh
dan besar menjadi manusia yang cerdas dan siap menghadapi segala tantangan di masa depan.
Diantara kecerdasan yang perlu dikembangkan oleh guru adalah sebagai berikut :
Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan Intelektual atau biasa disebut Intelligence Quotient (IQ) adalah kemampuan potensial
seseorang untuk mempelajari segala sesuatu dengan alat-alat berpikir. Kecerdasan intelektual ini
dapat diukur dari sisi kekuatan verbal dan logika seseorang.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional biasa disebut Emotional Quotient (EQ). Kecerdasan ini setidaknya terdiri
dari lima komponen pokok yaitu kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati dan mengatur
sebuah hubungan sosial. Kecerdasan ini juga dikembangkan pada sekolah-sekolah formal, namun
porsinya jauh dibawah kecerdasan Intelektual. Padahal, menurut beberapa penelitian dibidang
kecerdasan dan psikologi, termasuk menurut Daniel Goleman, bahwa kontribusi IQ bagi
keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya yang 80% ditentukan oleh sederetan faktor
yang disebut sebagai kecerdasan emosional. Disinilah dibutuhkan seorang guru yang dapat
mengembangkan kecerdasan emosional murid-muridnya.
Kecerdasan Spritual
Kecerdasan spiritual yang biasa disebut sebagai Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang
mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri sehingga seseorang memiliki kemampuan
dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu
(Azzet, 2014:19).
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam bidang pendidikan mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Keadaan tersebut menuntut adanya perubahan yang besar dalam
sistem pendidikan di Indonesia. Perubahan yang diharapkan adalah pendidikan akan lebih
berorientasi kepada siswa, pilihan sumber belajar semakin banyak tersedia dan siswa dapat belajar
kapan saja dan di mana saja. Melalui TIK kita dapat meningkatkan mutu pendidikan, yaitu dengan
438 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
cara membuka lebar-lebar terhadap akses ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan menyenangkan (Rusman, dkk., 2012:5).
Perkembangan teknologi tersebut telah memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat, dalam
hal ini terutama siswa dan guru. Peranan TIK yang sedang berkembang saat ini dalam bidang
pendidikan adalah kemudahan dalam akses internet. Internet merupakan jaringan komputer yang
menghubungkan beberapa rangkaian komputer di seluruh dunia yang memiliki miliaran informasi,
baik dalam bentuk tulisan, tabel, grafik, gambar, animasi maupun video. Dampak yang ditimbulkan
dengan pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran yaitu, guru-guru mengakui dengan adanya
internet telah merubah anak untuk menjadi lebih kritis, kreatif dan tidak hanya berpegang pada
materi pelajaran yang ada di buku teks (Sinaga dan Zainuddin, 2013:35).
Dalam proses pembelajaran seorang guru harus mempunyai perangkat pembelajaran yang telah
disusun secara matang, sehingga dapat membuat pembelajaran menjadi menyenangkan bagi peserta
didik, diantara perangkat tersebut adalah media pembelajaran. Media pembelajaran yang
dipergunakan dalam proses pembelajaran dapat berupa perangkat lunak seperti: Program Microsoft
Powerpoint, lembar transparansi, gambar, CD maupun perangkat keras seperti : OHP, LCD, VCD
Player, piranti demonstrasi ataupun piranti eksperimen.
Di dalam media pembelajaran terdapat bahan ajar yang menurut strukturnya terdapat tujuh
komponen, yaitu judul, petunjuk belajar, kompetensi dasar atau materi pokok, informasi
pendukung, latihan, tugas atau langkah kerja dan penilaian. Dan menurut bentuknya bahan ajar
tersebut dapat berupa bahan ajar interaktif (interactive teaching material) yakni kombinasi dari dua
atau lebih media (audio, teks, grafiks, gambar, animasi dan video) yang oleh penggunanya
dimanipulasi atau diberi perlakuan untuk mengendalikan suatu perintah dan/atau perilaku alami dari
suatu presentasi (prastowo, 2014: 41).
Keberhasilan seorang guru dalam menyampaikan suatu materi pelajaran, tidak hanya dipengaruhi
oleh kemampuannya (kompetensi guru) dalam menguasai materi yang akan disampaikan, tetapi ada
faktor-faktor lain yang harus dikuasainya sehingga ia mampu menyampaikan materi secara
profesional dan efektif. Seorang guru harus memiliki kemampuan merancang dan
mengimplementasikan berbagai model pembelajaran yang dianggap cocok dengan materi
pembelajaran, termasuk di dalamnya memanfaatkan sumber dan media pembelajaran untuk
menjamin efektivitas pembelajaran (Sumarmi, 2015:3)
Untuk memahami anak tunagrahita atau terbelakang mental ada baiknya memahami terlebih dahulu
konsep Mental Age (MA), Mental age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak
pada usia tertentu. Sebagai contoh, anak yang mempunyai usia enam tahun akan mempunyai
kemampuan yang sepadan dengan kemampuan anak usia enam tahun pada umumnya. Artinya anak
yang berumur enam tahun akan memiliki MA enam tahun. Jika seorang anak memiliki MA lebih
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 439
tinggi dari umurnya (Cronology Age), maka anak tersebut memiliki kemampuan mental atau
kecerdasan di atas rata-rata. Sebaliknya jika MA seorang anak lebih rendah daripada umurnya,
maka anak tersebut memiliki kemampan kecerdasan dibawah rata-ata. Anak tunagrahita selalu
memiliki MA yang lebih rendah daripada CA secara jelas. Oleh karena itu, MA yang sedikit saja
kurangnya dari CA tidak termasuk tunagrahita. MA dipandang sebagai indeks dari perkembangan
kognitif seorang anak. Dari IQ tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu anak tunagrahita
ringan, anak tunagrahita sedang dan anak tunagrahita berat (Somantri, 2013: 103).
Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud mengembangkan bahan ajar berupa media pembelajaran
interaktif dari program Microsoft PowerPoint yang ditunjang dengan aplikasi I-spring untuk anak
tunagrahita ringan. Alasan pengembangan menggunakan media powerpoint ini karena program
Microsoft PowerPoint merupakan program yang tidak asing lagi bagi para pendidik ataupun sudah
familiar dikalangan guru, sedangkan aplikasi I-spring merupakan add-in atau tambahan program
yang dapat disatukan dalam program Microsoft PowerPoint yang memiliki kemampuan menjadikan
program tersebut menjadi aplikasi flash yang bisa digunakan dalam komputer manapun tanpa harus
diinstall terlebih dulu, dan program flash tersebut merupakan media pembelajaran yang biasa
digunakan dalam pembuatan media pembelajaran. Keunggulan dari program I-spring ini dapat
digunakan sebagai media secara online dan memudahkan dalam pembuatan soal bersifat acak
disetiap membuka soal tersebut. Jadi, penyusun ingin membuat suatu media pembelajaran interaktif
berupa Microsoft powerpoint dengan aplikasi I-Spring sebagai media interaktif bagi anak
tunagrahita sehingga dapat memudahkan guru untuk menyampaikan bahan ajar kepada anak
tunagrahita. Selain itu Microsoft powerpoint dengan aplikasi I-Spring juga dapat menarik perhatian
siswa untuk lebih memperhatikan materi yang dijelaskan oleh guru.
Dalam media tersebut berisi materi yang sesuai dengan kompetensi yang akan dikuasai oleh peserta
didik yang akan menjadi responden dalam penelitian ini. Untuk mengetahui keefektifan media,
siswa akan diberi pretest untuk mengetahui kemampuan awal. Setelah itu, siswa akan diberi
pembelajaran dengan media dalam Microsoft powerpoint dengan aplikasi I-Spring. Kemudian pada
pertemuan akhir siswa akan diberi posttest; tes yang sama, sehingga akan diketahui keefektifan
media tersebut dari hasil tes berdasarkan latar belakang di atas, perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui keefektifan sebuah media pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus. Oleh
karena itu, dalam hal ini penulis tertarik melakukan penelitian dengan menggunakan media
Microsoft powerpoint dengan aplikasi I-Spring sebagai media interaktif dalam pembelajaran anak
tunagrahita.
440 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
METODE
Pengembangan media pembelajaran menggunakan program Microsoft PowerPoint dengan aplikasi
I-Spring ini memiliki tahapan prosedur yang harus dilakukan. Pada penelitian ini penulis
mengunakan berbagai macam model pengembangan diantaranya adalah model pengembangan dari
Dick & Carey, medel Brog & Gall, model pengembangan Kemp & Dayton serta model
pengembangan dari Rob Phillips. Dari keempat model tesebut di atas, kemudian peneliti
memodifikasinya sedemikian rupa sehingga menjadi suatu model yang praktis dan sederhana
sehingga mudah dalam pelaksanaanya. Mengikuti saran M. Atwi Suparman (2001: 52), seorang
pengembang sebaiknya memilih salah satu di antaranya yang dianggapnya sesuai atau
mengkombinasikan beberapa di antaranya untuk menyusun model baru. Hal itu karena setiap model
itu baik dan sesuai untuk kondisi tertentu. Kondisi yang dimaksud adalah besar-kecil atau
kompleks-tidaknya suatu lembaga pendidikan, ruang lingkup tugas pendidikan, serta kemampuan
pengelola.
Karena setidaknya terdapat lima criteria yang dapat dipakai sebagai pedolaman dalam memilih
model pengembangan yang baik: (1) Sederhana; (2) Lengkap; (3) Mungkin diterapkan; (4) Luas;
dan (5) Teruji (Mukminan, 2004: 18-19). Oleh karena itu peneliti mencoba untuk menjadikannya
sebagai rujukan dalam memodifikasi model pengembangan. Dimana pada model yang telah di
modifikasi oleh peneliti ini memuat lima kriteria tersebut. Secara lebih garis besar dalam model
penelitan dan pengembangan tersebut dapat lihat pada gambar 1:
Gambar 6. Model Pengembangan Media Permainan Bergambar berbantuan Komputer Terhadap
Pembelajaran Kosakata Bahasa Arab
(Adaptasi Dick & Carey (2005), Borg & Gall (1983)
Kemp & Dayton (1985) Rob Phillips (1997))
Untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan
dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi dimasyarakat luas, maka
diperlukan penelitian untuk menguji keefektifan produk tersebut (Sugiono, 2006: 407)
Penelitian dimulai dengan menganalisa kebutuhan dari siswa. Kebutuhan itu didasarkan kepada
perihal hak dan kewajiban mereka dalam pendidikan, dan kegiatan sehari-hari siswa baik disekolah
Analisis Kebutuhan
Perencanaan Pengembangan Pembelajaran
Pengembangan
Produk
Produk Awal
Evaluasi Produk Akhir
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 441
maupun dirumah sejak pagi sampai dengan malam. Data awal yang didapatkan dengan wawancara
terhadap guru dan siswa, bahwa mereka kadang masih tidak ada gambaran jelas tentang kegiatan
yang dilakukan setiap hari. Selanjutnya, penelitian dilanjutkan dengan mendesain bahan ajar untuk
gambaran materi dan video tentang kegiatan sehari-hari,
Setelah produksi atas purwarupa bahan ajar untuk materi tentang kegiatan sehari-hari selesai, maka
dilakukanlah uji validasi oleh ahli media dan uji validasi ahli materi yang telah ditunjuk. Jika
diperlukan revisi, maka produk yang sudah dibuat direvisi sesuai dengan saran ahli untuk kemudian
dilakukan uji coba produk.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini berupa kuesioner dan
untuk mengetahui efektivitas penggunaan media permainan bergambar menggunakan post test dan
pretest. Instrumen berupa ckuesioner disusun untuk mengevaluasi kualitas software pembelajaran.
Adapun kisi-kisi pertanyaan yang ada diangket adalah:
Tabel I
Kisi-Kisi Instrumen Kuesioner Untuk Ahli Materi
No. Komponen
Penilaian
Indikator Jumlah
Butir
1. Isi Kebenaran isi 1
Kecukupan materi 1
Penyajian materi pembelajaran berurut 1
Urgensi tiap materi 1
Kesesuaian materi dengan kurikulum 3
Relevansi soal dengan materi 1
2. Pembelajaran/
Instruksional
Kejelasan sasaran 1
Kejelasan tujuan pembelajaran 1
Struktur materi 1
Ketepatan evaluasi 1
Konsisten antara tujuan dan materi
evaluasi
1
Pemberian musik dan narasi 2
Pemberian umpan balik untuk motivasi 1
Jumlah 16
442 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel II
Kisi-Kisi Instrumen Kuesioner Untuk Ahli Media
No. Komponen
Penilaian
Indikator Jumlah
Butir
1. Komunikasi Struktur program 1
Logika berpikir 1
Interaksi pengguna dengan media 1
Pemberian umpan balik 1
Penggunaan bahasa 1
2. Tampilan Jenis dan ukuran teks(huruf) 2
Warna, grafis dan animasi 3
Sound (musik) penggiring dan narasi 2
Penggunaan bahasa 2
Screen design 1
3. Program Urutan sajian 1
Tombol 1
Kejelasan petunjuk program 1
Navigasi 1
Kemudahan penggunaan 1
Efesiensi tampilan 2
Kecepatan 1
Jumlah 23
Tabel III
Kisi-Kisi Instrumen Kuesioner Untuk Pengguna
No
.
Komponen Penilaian Indikator Jumlah
Butir
1. Kualitas materi
pembelajaran
Kebenaran materi 1
Ketepatan cakupan materi 1
Kejelasan Materi 1
Urutan Materi 1
Penggunaan bahasa 1
Penggunaan Bahasa dlm 1
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 443
Menjelaskan Konsep, Materi, &
Latihan Soal
Petunjuk Penggunaan
Permainan
1
Kesesuaian Materi dengan
Permainan
1
Kesesuaian Permainan Dengan
Karakteristik Pengguna
1
Kualitas Item Soal dlm
Permainan
1
Variasi Bentuk Soal Permainan 1
2. Kualitas strategi
pembelajaran
Kualitas pendahuluan 1
Kebebasan memilih materi
untuk dipelajari
1
Keterlibatan dan peran siswa
dalam aktivitas belajar
1
Kualitas umpan balik 1
Kualitas pengayaan 1
3. Kualitas teknis Kejelasan petunjuk penggunaan
program
1
Keterbacaan teks atau tulisan 1
Kemudahan Navigasi 1
Kualitas tampilan gambar 1
Sajian animasi 1
Komposisi warna 1
Kejelasan suara atau narasi 1
Daya dukung musik 1
Kemudahan penggunaan
software
1
Jumlah 25
444 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
MENU UTAMA
Materi Permainan
Penyusun Exit
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kebutuhan
Pada tahapan ini, analisis dilakukan dengan studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur yang
dilakukan bermaksud untuk mengkaji beberapa literatur-literatur yang sudah ada sebagai bahan
awal dalam menyusun produk desain materi pembelajaran tentang kegiatan sehari-hari. Literatur
yang dimaksud bisa berupa buku cetak maupun pedoman-pedoman lain yang menyangkut tentang
materi pembelajaran tentang kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada studi lapangan bermaksud
untuk mengumpulkan untuk kemudian dianalisis kepada siswa, wali murid,guru dan beberapa ahli
dalam pendidikan tetang materi kegiatan sehari-hari. Model pengumpulan data tersebut dilakukan
dengan metode kuisionar maupun wawancara. Setelah data didapatkan, maka hal yang selanjutnya
adalah melakukan analisa untuk kemudian ditindak lanjuti sebagai bahan desain pengembangan
media pembelajaran berupa Powerpoint dengan aplikasi I Spring.
Perencanaan Pengembangan Bahan Ajar
Tahapan perencanaan dilakukan untuk menyusun hal-hal yang berkaitan dengan penelitian mulai
yang berkaitan langsung dengan produk penelitian maupun segala perihal yang ikut mendukung
penelitian. Selain itu, skenario penelitian juga mulai dilakukan guna mengefisienkan dan
memaksimalkan proses penelitian yang dilangsungkan. Pada tahapan ini, peneliti mulai
merumuskan isi materi tentang media pembelajran tentang kehidupan sehari-hari yang tercantum
dalam pelaksanaan dalam kehidupan. Perumusan desain juga dapat membantu untuk memperjelas
arah pembelajaran pada bahan ajar untuk kegiatan sehari-hari. tahapan ini memuat isi, tujuan, dan
storyboard mengenai materi kegiatan sehari-hari.
Tabel IV
Storyboard pengembangan Media Interaktif untuk ABK
Keterangan Visual Audio
Setelah memasukan CD/DVD
pembelajaran interaktif untuk Anak
Berkebutuhan Khusus, maka mereka
akan langsung masuk kedalam menu
pembelajaran yg berisikan tentang
materi pembelajaran, dalam hal ini
materi tersebut berisikan tentang
kebiasan sehari-hari, kemudian ada
Permainan, Profil Penyusun dan
tombol Keluar(exit)
Musik
Instrument
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 445
Materi
Pagi Sore Siang
Materi Kegatan Pagi, siang
dan sore Hari
Materi Video Gambar
Permaian
Labirin Tebak
jawaban Tebak
gambar
Ketika mereka menekan tombol
materi akan masuk kedalam menu
materi kegiatan sehari-hari. Menu
teresebut berisikan tentang materi
kegiatan pada pagi hari, siang hari
dan sore hari.
Musik
Pada materi pagi, siang dan sore
hari akan tampil kegiatan pada pagi
hari diiringi gambar dan video. Pada
bagian ini para siswa diberikan
tombol next dan back untuk melihat
apa saja kegiatan pada pagi hari
Narasi
mengenai
materi
disertai
music
penggiring
Pada bagian permainan para peserta
didik diajak untuk memilih
permainan berdasarkan keingin
mereka masing-masing sesuai
dengan materi yang dipelajari pada
bagian materi kegiatan sehari-hari,
ada tiga jenis permainan yaitu
labirin, tebak gambar dan temukan
jawaban. Setiap permainan ada
tombol untuk kembali ke menu
permainan.
Next Back
446 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Pengembangan Produk (Produk Awal)
Gambar 1:
Menu Awal Media Interaktif untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Gambar 2
Menu Materi
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 447
Gambar 3
Materi Kegiatan Pagi Hari
Gambar 3
Menu Permainan
Evaluasi
Produk awal di atas kemudian dievaluasi sesuai dengan prosedur pengembangan yang telah
dikemukakan di atas. Melalui proses evaluasi ini diperoleh empat set kumpulan data dalam
penelitian ini, yaitu data hasil uji coba ahli media, data hasil uji coba ahli materi, data hasil uji
kelompok kecil, dan data hasil uji coba lapangan.
448 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Data-data yang diperoleh berupa skor tanggapan baik dari ahli media, ahli materi ataupun
mahasiswa tentang media permainan bergambar terhadap pembelajaran bahasa Arab yang menjadi
produk penelitian ini. Data dari ahli media dan ahli materi digunakan sebagai acuan untuk merevisi
prduk awal sebelum diujicobakan ke lapangan.
Ahli media menitikberatkan evaluasi produk pada aspek-aspek media di antaranya adalah aspek
komunikasi, aspek tampilan dan aspek pemprograman. Sedangkan untuk ahli materi
menitikberatkan evaluasi produk pada aspek-aspek materi, materi yang dimaksud adalah materi
yang terkandung dalam produk yang dikembangkan seperti aspek isi dan aspek
pembelajaran/instructional. Data-data yang diperoleh adalah data tentang tanggapan baik dari ahli
media, ahli materi, dan siswa tentang media. Data dari ahli media dan ahli materi digunakan sebagai
pijakan untuk merevisi produk awal sebelum diujicobakan ke lapangan.
Data uji coba kelompok kecil dimaksudkan untuk mengetahui beberapa kelemahan atau hambatan
produk penelitian. Dengan uji coba kelompok kecil ini, diketahui bagian mana yang menjadi
kendala ketika produk tersebut diujicobakan ke lapangan. Uji coba kelompok kecil digunakan
sebagai pengalaman awal sebelum produk diujicobakan ke lapangan.
Uji coba lapangan menghasilkan data yang nantinya akan mengukur kelayakan dari produk yang
dikembangkan, serta untuk mengetahui bagaimana manfaat produk tersebut bagi para pemakainya.
Data-data yang digali dari uji coba lapangan meliputi beberapa aspek kualitas materi pembelajaran,
aspek strategi pembelajaran dan aspek teknis. Selanjutnya deskripsi masing-masing data tersebut
dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:
Deskripsi Data Uji Coba Ahli Media (Media Expert).
Ahli media yang menjadi validator dalam produk pengembangan ini adalah DR. Ani Cahyadi, M.
Pd. yang merupakan salah satu dosen Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin, dan menjabat
sebagai Sekretaris LPM UIN Antasari. Kompetensi dan kiprahnya dalam bidang media
pembelajaran menjadi alasan kuat memilihnya menjadi ahli media. Data diperoleh dengan cara
memberikan angket kepada ahli media setelah mencoba menggunakan produk. Beberapa
pertanyaan seputar produk ditanyakan kepada peneliti. Hasil uji coba ahli media dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
Aspek komunikasi
Aspek ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana tanggapan ahli media tentang berbagai
macam hal yang berkaitan dengan komunikasi dalam produk ini terhadap penggunannya. Dengan
berpedoman pada tanggapan ahli media tersebut di lihat pada table 5 di bawah ini:
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 449
Table 5.
Hasil Tanggapan Ahli Media Terhadap Aspek Komunikasi
No Indikator Skor Kategori
1 Struktur program 4 Baik
2 Logika berpikir 4 Baik
3 Interaksi pengguna dengan media 4 Baik
4 Pemberian umpan balik 4 Baik
5 Penggunaan bahasa 4 Baik
Σ Skala Penilaian 20 Baik
Rerata Skala = Σ Skala Penilaian / 5 4
Keterangan: = Sangat Baik = Baik = Cukup Baik = Kurang = Sangat Kurang Kriteria akhir dari aspek komunikasi di atas diperoleh dari hasil konversi data kuantitatif ke data
kualitatif dengan skala 5, lihat tabel 6 dan uraian berikut ini:
Tabel 6.
Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif dengan Skala 5
Data
Kuantitatif Rentang Data Kualitatif
5 X > Xi + 1,80 Sbi Sangat baik
4 Xi + 0,60 Sbi< X ≤ Xi + 1,80Sbi Baik
3 Xi – 0,60Sbi < X ≤ Xi + 0,60Sbi Cukup
2 Xi – 1,80Sbi < X ≤ Xi – 0,60 Sbi Kurang
1 X ≤ Xi – 1,80Sbi Sangat kurang
Keterangan:
Xi (Rerata Ideal) = ½(skor mak ideal + skor min ideal)
Sbi (Simpangan baku ideal) = 1/6(skor mak ideal – skor min ideal)
X = Skor Aktual
450 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Berdasarkan rumus konversi data di atas, maka setelah didapatkan data-data kuantitatif, untuk
mengubahnya ke dalam data kualitatif pada pengembangan ini diterapkan konversi sebagai berikut:
Skor Mak = 5
Skor Min = 1
Xi = ½ (5+1)
= 3
Sbi = 1/6 (5-1)
= 0,6
Skala 5= X > 3 + (1,8 x 0,6)
= X > 3 + 1,08
= X > 4,08
Skala 4 = 3 + (0,6 x 0,6) < X ≤ 4,08
= 3 + 0,36 < X ≤ 4,08
= 3,36 < X ≤ 4,08
Skala 3 = 3 – 0,36 < X ≤ 3,36
= 2,64 < X ≤ 3,36
Skala 2 = 3 – (1,8 x 0,6) < X ≤ 2,64
= 3 - 1,08 < X ≤ 2,64
= 1,92 < X ≤ 2,64
Skala 1 = X ≤ 1,92
Atas dasar perhitungan di atas maka konversi data kuantitatif ke data kualitatif skala 5 dapat
disederhanakan sebagai berikut: (Tabel 7)
Tabel 7.
Pedoman Hasil Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif
Skor Rentang Kategori
5 X > 4,08 Sangat baik
4 3,36 < X ≤ 4,08 Baik
3 2,64 < X ≤ 3,36 Cukup
2 1,92 < X ≤ 2,64 Kurang
1 X ≤ 1,92 Sangat kurang
Selanjutnya dengan berpedoman pada tabel hasil konversi di atas, seluruh data kuantitatif skala 5
dikonversi ke dalam data kualitatif untuk menentukan kriteria akhir dari masing-masing aspek.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 451
Tabel 5 diketahui bahwa seluruh item yang dinilai dari aspek komunikasi masuk dalam kategori
baik dengan jumlah skor 20 dan rerata skor 4. Selain memberikan tanggapan ahli media juga
memberikan komentar atau saran umum yang berkaitan dengan aspek komunikasi: (a) Bila
menjawab salah, siswa perlu diberi petunjuk (clue), atau pada akhir permainan diberi kunci
jawaban, dan (b) Pada akhir soal (permainan) diberikan ringkasan skor hasil.
Aspek tampilan
Aspek ini dimaksudkan untuk mengetahui tanggapan ahli media mengenai berbagai hal yang
berkaitan dengan tampilan produk program pembelajaran ini. Dengan berpedoman pada tanggapan
ini, perlu tidaknya perbaikan tahap pertama pada aspek ini akan dilakukan. Tabel 8 sebagai berikut:
Tabel 8.
Hasil Tanggapan Ahli Media Terhadap Aspek Tampilan
No Indikator Skor Kategori
1 Jenis huruf 4 Baik
2 Ukuran huruf 4 Baik
3 Penggunaan warna 4 Baik
4 Grafis background 4 Baik
5 Pemilihan animasi 4 Baik
6 Penggunaan musik pada tampilan 4 Baik
7 Penggunaan suara 4 Baik
8 Penggunaan bahasa Indonesia 4 Baik
9 Penggunaan Video 4 Baik
10 Screen design 4 Baik
Σ Skala Penilaian 40 Baik
Rerata Skala= Σ Skala Penilaian / 10 4
Tabel 8 menunjukkan bahwa item yang dinilai dari aspek tampilan masuk dalam kategori baik,
yaitu dengan jumlah skor 40 dan rerata skor 4
Aspek pemprograman
452 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel 9
Hasil Tanggapan Ahli Media Terhadap Aspek Pemrograman
No Indikator Skor Kategori
1 Urutan penyajian 4 Baik
2 Konsistensi tombol 4 Baik
3 Kejelasan petunjuk program 4 Baik
Σ Skala Penilaian 12 Baik
Rerata Skala= Σ Skala Penilaian / 3 4
Tabel 9 di atas diketahui bahwa aspek pemrograman masuk dalam kategori baik, hal ini dapat
dilihat dari jumlah skala penilaian yaitu 12 dan rerata skor yaitu 4, oleh karena itu berdasarkan hasil
dari tabel 7, 4 termasuk dalam kategori baik.
Deskripsi Data Uji Coba Ahli Materi (Content Expert).
Ahli materi yang menjadi validator dalam produk penelitian ini adalah Tsauban Abqorie, S.Pd.I.
Beliau merupakan guru SLB di SLB Martapura. Beliau juga merupakan salah satu guru teladan dan
juga pengembang media pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus. Adapun data diperoleh
dengan cara memberikan angket yang mencakup aspek instruksional dan aspek isi, setelah
menggunakan produk. Selain itu, ahli materi juga mengevaluasi hasil print-out materi-materi yang
terkandung dalam produk ini. Dalam beberapa keadaan, ahli materi juga mencoba menanyakan
langsung tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang terkandung dalam produk.
Adapun hasil uji coba ahli materi dideskripsikan sebagai berikut:
Aspek isi
Aspek yang dimaksudkan yaitu untuk mengetahui tanggapan ahli materi mengenai berbagai hal
yang berkaitan dengan isi materi pembelajaran yang dalam dalam CD/DVD Pembelajaran Interaktif
untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Adapun hasil dari tanggapan ahli materi seperti pada tabel 10
dibawah ini:
Tabel 10.
Hasil Tanggapan Ahli Materi Terhadap Aspek Isi
No Indikator Skor Kategori
1 Kebenaran isi 4 Baik
2 Kecukupan materi 4 Baik
3 Penyajian materi pembelajaran berurut 4 Baik
4 Urgensi tiap materi 4 Baik
5 Kesesuaian materi dengan standar 4 Baik
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 453
kompetensi
6 Kesesuaian materi dengan kompetensi
dasar
4 Baik
7 Kesesuaian indikator dengan
kompetensi dasar
4 Baik
8 Relevansi game dengan materi 5 Sangat Baik
Σ Skala Penilaian 33 Sangat Baik
Rerata Skala = Σ Skala Penilaian / 8 4,13
Berdasarkan tabel konversi diatas yang seluruh data kuantitatif skala 5 dikonversi ke dalam data
kualitatif untuk menentukan kategori akhir dari masing-masing aspek. Sehingga dari tabel 10
diketahui bahwa seluruh item yang dinilai dari aspek isi termasuk kedalam kategori sangat baik, ini
berdasarkan pada perhitungan jumlah skala penilaian aspek isi yaitu 33 dan rerata skala yaitu 4,13.
Aspek pembelajaran/Instruksional
Tabel 12.
Hasil Tanggapan Ahli Materi Terhadap Aspek Pembelajaran/Instruksional
No Indikator Skor Kategori
1 Kejelasan sasaran 4 Baik
2 Kejelasan tujuan pembelajaran 4 Baik
3 Struktur materi 4 Baik
4 Ketepatan evaluasi 4 Baik
5 Konsisten antara tujuan dan materi
evaluasi
4 Baik
6 Pemberian musik 5 Sangat Baik
7 Pemberian narasi 5 Sangat Baik
8 Pemberian umpan balik untuk
motivasi
4 Baik
Σ Skala Penilaian 34 Sangat Baik
Rerata Skala = Σ Skala Penilaian / 8 4,25
454 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Tabel 12 di atas, dapat diketahui bahwa hasil tanggapan ahli materi terhadap aspek
pembelajaran/instruksional termasuk kedalam kategori sangat baik, hal ini dapat dilihat dari jumlah
skala penilaian yaitu 34 dan rerata skala yaitu: 4,25. Berdasarkan data konversi di atas, bahwa rerata
skala 4,25 termasuk kedalam skala 5 atau sangat baik
KESIMPULAN
Pengembangan media pembelajaran menggunakan Microsoft PowerPoint dengan aplikasi I-Spring
ini telah melalui tahap yaitu: (1) tahap analisis, pada tahapan ini dilakukan indentifikasi tujuan
media pembelajaran dan karateristik siswa, (2) tahap perancangan, pada tahapan ini yang dilakukan
adalah mengembangkan story board, menentukan layout, mendesign block diagram dan
mengumpulkan bahan-bahan baik berupa grafik, image, sound, picture , animasi, menentukan
program aplikasi yang akan digunakan dan sebagainya, (3) tahap produksi, pada tahapan ini
dilakukan pengorganisasian lay-out, design, dan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan untuk
menjadi suatu produk media pembelajaran, (4) tahap evaluasi, pada tahapan ini akan dievaluasi dan
dinilai oleh tim ahli materi dan ahli media. Hasil pengembangan program Microsoft PowerPoint
dengan aplikasi I-Spring ini di kemas didalam Compact Disk (CD). Program pembelajaran yang
dikembangkan ini telah memenuhi kelayakan dari aspek-aspek penilaian dari ahli materi yaitu: pada
aspek isi, dan aspek pembelajaran/instruksional. Hasil evaluasi ahli materi menunjukkan bahwa
produk pembelajaran ini masuk kategori sangat baik pada aspek isi dengan rerata skala 4,13. Untuk
aspek pembelajaran/instruksional dengan rerata skala yaitu 4,25 masuk dalam kategori sangat baik.
Daftar Pustaka
Akhmad Muhaimin Azzet, 2014, Menjadi Guru Favorit, Ar-Ruzz Media, Cet.III, Jogjakarta
Dick, W., Carey, L., & Carey, J.O. (2001). The systematic design of instruction (5th ed). New
York: Longman.
Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, M.Si.,psi, Psikologi Anak Luar Biasa, Refika Aditama
Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R. (2003). Educational research. An introduction (7th ed.). New
York: Pearson Educational Inc.
Kemp, J. E. & Dayton, D. K. (1985). Planning and producting instructional media (4th ed.). New
York: Harper & Row, Publisher, Inc.
Mukminan. (2004). Desain Pembelajaran. Yogyakarta : Program Pascasarjana. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Nenden Rilla Artistiana, 2013, Mengenal dan Mempraktekkan Model-Model Pembelajaran, CV
Sahala Adiyatama, Cet.1, Jakarta
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 455
EVALUASI PEMANFAATAN SUMBER BELAJAR BERBASIS INTERNET DI LINGKUNGAN FKIP UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Dr. Nina Permata Sari / [email protected]
Mastur, M.Pd / [email protected]
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi pemanfaatan sumber belajar di lingkungan FKIP ULM
dan untuk mendeskripsikan (1) Efektivitas Pemanfaatan sumber belajar berbasis Internet di FKIP
ULM Banjarmasin. (2) Apa saja hambatan dan kendala yang dihadapi mahasiswa dalam
memanfaatkan sumber belajajar berbasis internet di FKIP ULM Banjarmasin. Penelitian
menggunakan pendekatan evaluasi berorientasi tujuan (goal oriented evaluation). Teknik
pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan angket. Analisis data menggunakan analisis
deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian diperoleh: (2) Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
internet sebagai sumber belajar dapat membuat siswa menjadi lebih aktif dan mandiri sehingga
pembelajaran lebih efektif. (2) Mahasiswa dan dosen menemukan banyak kendala dalam mengakses
internet yang disediakan fakultas. Kendala ini didasari rendahnya kapasitas bandwidth yang dimiliki
fakultas sehingga penggunaan internet utamanya di jam-jam perkuliahan antara pukul 8.00-17.00
WITA susah mengaksesnya.
Kata Kunci: evaluasi, sumber belajar, internet
Pendahuluan
Perkembangan teknologi jaringan Internet telah mengubah paradigma dalam mendapatkan
informasi dan berkomunikasi, yang tidak lagi dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Melalui
keberadaan internet mereka bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dimanapun dan kapanpun
waktu yang diinginkan. Salah satu bidang yang tersentuh dampak perkembangan teknologi ini
adalah dunia pendidikan. Sebagai sebuah sumber informasi yang hampir tak terbatas, maka jaringan
internet memenuhi kapasitas dijadikan sebagai salah satu sumber pembelajaran dalam dunia
pendidikan. Bahkan beberapa perguruan tinggi dan utamanya program studi Teknologi Pendidikan,
mencanangkan lahirnya sistem pembelajaran yang berbasiskan teknologi jaringan ini, seperti
456 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
lahirnya konsep tentang distance learning, web-based education, dan e-learning, yang kalau ditinjau
dari implementasinya mempunyai wujud yang hampir sama, yaitu memanfaatkan fasilitas jaringan
internet sebagai salah satu sarana dan media dalam pendidikan dan pembelajaran. Melihat
perkembangan fenomena ini, akan sangat tertinggal dunia pendidikan kita, jika tidak bisa
memanfaatkan teknologi internet. Walaupun belum akan menyelenggarakan pembelajaran maupun
pendidikan berbasiskan internet, setidaknya dosen mampu dan menganjurkan pemanfaatan
resources yang ada di internet sebagai salah satu sumber pembelajaran maupun bahan
pembelajaran.
Perkembangan Internet yang begitu cepat telah mengubah banyak aspek dalam proses komunikasi
data komputer, setelah jaringan internet barubah menjadi jaringan global, banyak aplikasi baru
berkembang untuk menunjang keefektifan dan kefleksibelan lintas data dalam jaringan internet, dan
Internet berubah menjadi topik yang selalu up to date untuk dibicarakan pada tingkat riset dan
materi perkuliahan di perguruan tinggi diseluruh dunia. Perubahan yang amat pesat ini akhirnya
mengubah pola pemafaatan internet oleh perguruan tinggi, yang semula hanya digunakan untuk
riset, menjadi sarana untuk mempublikasikan hasil riset tersebut, dan akhirnya bagaimana
memanfaatkan jaringan ini sebagai sarana dalam proses pendidikan. Ide-ide tentang pemanfaatan
jaringan global ini sebagai sarana pembelajaran telah melahirkan banyak hal, yang semula hanya
berupa CBT (Computer-Based Training) menjadi WBT (Web-Based Training) (Horton, 2000).
Selain di perguruan tinggi, penggunaan Internet di bidang pendidikan sangat berguna dalam proses
belajar mengajar di sekolah, dimana para siswa dapat melengkapi ilmu pengetahuannya, sedangkan
guru dapat mencari bahan ajar yang sesuai dan inovatif melalui internet. Murid dapat mencari apa
saja di Internet, mulai dari mata pelajaran hingga ilmu pengetahuan umum semuanya bisa di cari di
internet. Sedangkan guru bisa mencari informasi yang dapat dijadikan bahan untuk mengajarkan
materi kepada siswanya selain dari buku (Supriyanto, 2007:2).
Penggunaan Internet sebagai media pendidikan dapat dianggap sebagai suatu hal yang sudah jamak
digunakan di kalangan pelajar. Untuk itu setiap lembaga pendidikan dari semua jenjang bisa
menjadikan Internet sebagai sarana untuk belajar selain dari buku dan agar mampu menjadi solusi
dalam mengatasi masalah yang selama ini terjadi, misalnya minimnya buku yang ada di
perpustakaan, keterbatasan tenaga ahli, jarak rumah dengan lembaga pendidkan, biaya yang tinggi
dan waktu belajar yang terbatas. Menyadari bahwa di Internet dapat ditemukan berbagai informasi
apa saja, maka pemanfaatan Internet menjadi suatu kebutuhan. Dalam setiap aktifitas belajar
mengajar, guru dan dosen adalah seorang yang memberikan bimbingan kepada peserta didiknya,
dan juga seorang guru juga harus mempunyai profesionalitas yang tinggi terhadap keahliannya.
Selain itu guru juga harus mempunyai suatu keahlian lain dibidang teknologi Informasi terutama
Internet, karena pada zaman sekarang guru dituntut untuk untuk bisa menggunakan Internet karena
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 457
bisa menggali lebih banyak lagi informasi selain yang ada di buku (Uno, 2008:3). Bagi para siswa
atau mahasiswa di perguruan tinggi, penggunaan internet sebagai alat dalam menggali informasi
yang berupa materi yang menyangkut dengan pelajaran yang akan dapat memicu sekaligus dapat
meningkatkan motivasi dalam proses pembelajaran mereka. Menurut Oetomo (2002:5) ketersediaan
informasi yang up-to-date telah mendorong tumbuhnya motivasi untuk membaca dan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Begitu juga dengan pemanfaatan internet oleh mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) sebagai alat dalam mengali informasi yang berupa
pendidikan, akan dapat memicu sekaligus dapat meningkatkan motivasi dalam proses pembelajaran
mereka. Mahasiswa dengan cepat dapat mengakses berbagai informasi sesuai kebutuhan belajarnya.
Bahkan informasi yang tidak dapat diperoleh dari sumber-sumber di perpustakaan FKIP ULM
dengan mudah diperoleh hanya dengan berselancar di internet. Inilah salah satu kelebihan dari
pemanfaatan internet untuk sumber belajar. Dan sekarang pertanyaannya, sejauh manakah
mahasiswa mengoptimalkan peran internet yang disediakan FKIP ULM untuk kegiatan
pembelajaran? Sudah sesuaikan kapasitas Bandwith yang disediakan kampus untuk kebutuhan
mahasiswa dalam mengakses informasi dan refrensi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting dan mendesak dicari jawabannya. Mengingat di era Big
Date ini ketergantungan mahasiswa terhadap informasi lebih tinggi dengan sebelum-seblumnya.
Apalagi hasil pra-penelitian mengungkapkan data bahwa tingkat kepuasan mahasiswa dan dosen
terhadap layanan internet di lingkungan FKIP ULM sangat minim. Mereka mengeluh koneksi
internet kampus yang kecepatannya justru lebih rendah dibandingkan kecepatan akses internet
melalui jaringan seluler mereka. Padahal sejatinya, FKIP ULM sebagai institusi pendidikan,
kebutuhan “data informasi yang bersifat elektronik” lebih besar daripada mahasiswa. Begitupun
halnya dengan dosen yang dituntut serba cepat memperoleh informasi dan up to date dengan
perkembangan teknologi. Dan hal ini tidak terwujud apabila FKIP tidak menyediakan sarana dan
fasilitas internet yang baik untuk perkembangan keilmuan di lingkungan kampus.
Berangkat dari pertanyaan dan beberapa uraian di atas, kiranya sangat menarik apabila dikaji dan
dievaluasi secara mendalam perihal pemanfaatan internet FKIP ULM sebagai sumber belajar. Oleh
karenanya dalam penyusunan penelitian ini penulis mengangkat judul “Evaluasi Pemanfaatan
Sumber Belajar Berbasis Internet di FKIP Universitas Lambung Mangkurat”. Mengingat selama ini
pemanfaatan dan penggunaan internet di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ULM
belum dievaluasi. Sehingga stakeholder belum mengetahui timbal balik dari penyediaan internet
oleh Fakultas.
458 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Penelitian ini bertujuaan untuk mendiskripsikan; efektivitas Pemanfaatan sumber belajar berbasis
Internet di FKIP ULM Banjarmasin. Dan, Apa saja hambatan dan kendala yang dihadapi
mahasiswa dalam memanfaatkan sumber belajajar berbasis internet di FKIP ULM Banjarmasin ?
Metode
Penelitian ini adalah penelitian evaluatif yang dirancang untuk memperoleh informasi yang akurat
tentang pemanfaatan sumber belajar berbasis internet di lingkungan FKIP ULM. Untuk menunjang
keberhasilan penelitian ini maka peneliti menggunakan model evaluasi yang dikemukakan oleh
Tyler, yaitu model evaluasi goal oriented evaluation atau evaluasi yang berorientasi pada tujuan,
yaitu sebuah model yang menekankan peninjauan pada tujuan sejak awal kegiatan berlangsung
secara berkesinambungan. Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan ialah pendekatan
deskripti kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif dipilih dengan pertimbangan penelitian ini akan
mendeskripsikan keadaan yang sebenarnya dari populasi penelitian berdasarkan data yang diperoleh
dalam penelitian dengan berdasarkan pada data yang diperoleh dari observasi, wawancara, dan
dokumentasi.
Penelitian ini dilaksanakan di FKIP ULM yang berlokasikan di Jl. Brigjen H. Hasan Basri,
Banjarmasin Kalimantan Selata. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ini memiliki
puluhan program studi kependidikan yang guru maupun non guru. Penelitian ini dilakukan pada
pertengahan bulan April 2017, tepatnya dilaksanakan pada tanggal 15 April 2017 – 30 Mei 2017
atau selama satu setengah bulan.
Subjek penelitian ini adalah Dosen, Mahasiswa, dan Pengelola Internet FKIP ULM. Objek
penelitian ini bertempat FKIP ULM yaitu pemanfaatan sumber belajar berbasis internet. Pada
penelitian ini peneliti mengambil mahasiswa dan doses secara sampling yang dijadikan sebagai
responden untuk dimintai keterangan tentang evaluasi pemanfaatan sumber belajar Internet.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Pengamatan,
wawancara, dan dokumentasi. Berdasarkan metode yang digunakan, maka alat pengumpulan data
yang diperlukan berupa lembar observasi, pedoman wawancara, dan pedoman dokumentasi.
Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara terus-menerus sejak awal pengumpulan data.
Pada prosesnya terdiri dari atas tiga tahapan yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data,
dan pengambilan kesimpulan. Proses analisis data dilakukan mulai proses awal sampai dengan
akhir pengumpulan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model
analisis interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman.
Hasil Penelitian
Adapun hasil deskripsi persentase dari 175 mahamahasiswa dari berbagai program studi (Prodi) di
lingkungan FKIP ULM dapat dilihat lebih jelas pada tabel 4.1 berikut:
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 459
Tabel 4.1. Pemanfaatan Internet sebagai Sumber Belajar
Variabel Jumlah Skor Kriteria
Frekuensi %
Pemanfaatan Internet Untuk Sumber
Belajar
153 87,43 Tinggi
Pemanfaatan Internet Untuk Non
Sumber Belajar
22 12,57 Sedang
Jumlah 175 100
Berdasarkan tabel 4.1 terlihat bahwa pemanfaatan internet sebagai sumber belajar untuk
mahamahasiswa FKIP ULM termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam tabel
sebanyak 87,43% responden menyatakan bahwa pemanfaatan internet sebagai sumber belajar
termasuk dalam kategori tinggi, sebanyak 12,57% responden menyatakan bahwa pemanfaatan
internet sebagai sumber informasi lainnya (wifi hp, sosmed, dll) termasuk dalam kategori sedang.
Secara terperinci hasil analisis persentase variabel pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dan
penggunaan internet untuk kegiatan non pembelajaran pada setiap sub variabel dapat dijabarkan
sebagai berikut:
Frekuensi Penggunaan Internet
Berdasarkan hasil penelitian pada mahamahasiswa FKIP ULM dapat diketahui seberapa besar
frekuensi penggunaan internet sebagai sumber belajar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
lampiran 10 dan terangkum dalam tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2. Frekuensi Penggunaan Internet
Variabel Jumlah Skor Kriteria
Frekuensi %
Frekuensi Penggunaan Internet di
kalanganan mahamahasiswa FKIP
ULM
137 78,29 Tinggi
38 21,71 Sedang
0 0,0 Rendah
Jumlah 175 100
Dari tabel 4.2 di atas dapat diketahui mengenai frekuensi penggunaan internet diperoleh hasil
sebesar 78,29% atau 137 responden termasuk dalam kategori tinggi, sebesar 21,71% atau 38
460 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
responden termasuk dalam kategori sedang dan yang dalam kategori rendah mengenai frekuensi
penggunaan internet tidak ada.
Dari uraian di atas maka dapat digambarkan bahwa frekuensi penggunaan internet oleh
mahamahasiswa FKIP ULM termasuk dalam kriteria tinggi, hal ini dikarenakan hampir setiap hari
atau lebih dari 6 kali dalam seminggu mahasiswa mengakses internet fakultas. Frekuensi
penggunaan internet fakultas termasuk dalam kriteria sedang dikarenakan mahamahasiswa hanya
mengakses internet 1 sampai 4 kali dalam seminggu.
Untuk kriteria rendah tidak ada dikarenakan hampir setiap mahasiswa mengakses internet walaupun
1 atau 2 kali dalam seminggu. Pada dasarnya mahasiswa mahasiswa FKIP ULM mengakses internet
dengan tujuan mencari referensi atau materi bahan materi kuliah dan mengerjakan tugas yang
diberikan oleh Dosen, tetapi ada juga mahasiswa yang mengakses internet untuk hiburan seperti
mengakses facebook, game online dan lain sebagainya.
Cara Memanfaatkan Internet
Berdasarkan hasil penelitian pada mahasiswa FKIP ULM dapat diketahui seberapa besar cara
memanfaatkan internet. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.3 serta berikut:
Tabel 4.3. Cara Memanfaatkan Internet
Sub Variabel Jumlah Skor Kriteria
Frekuensi %
Cara Memanfaatkan Internet di
kalanganan mahamahasiswa FKIP
ULM
132 75,43 Tinggi
43 24,57 Sedang
0 0,0 Rendah
Jumlah 175 100
Dari tabel 4.3 dan gambar 7 di atas dapat diketahui mengenai cara memanfaatkan internet diperoleh
hasil sebesar 75,43% atau 132 responden termasuk dalam kategori tinggi, sebesar 24,57% atau 43
responden termasuk dalam kategori sedang dan yang dalam kategori rendah mengeni cara
memanfaatkan internet tidak ada.
Dari uraian di atas maka dapat digambarkan bahwa cara memanfaatkan internet termasuk dalam
kriteria tinggi. Hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiswa mahasiswa FKIP ULM sudah dapat
menggunakan internet sebagai sumber belajar dalam mencari refrensi dan mengerjakan tugas
dengan baik. Pada akhirnya mahasiswa FKIP ULM dapat memahami materi perkuliahan dengan
mudah.
Cara memanfaatkan internet termasuk dalam kriteria sedang dikarenakan mahasiswa kurang dapat
memanfaatkan internet sebagai sumber belajar tetapi mahasiswa lebih memilih buku pegangan atau
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 461
sumber belajar lain. Alasan lain rendahnya penggunaan internet fakultas sebagai sumber belajar
karena faktor kurang maksimalnya jaringan internet atau koneksi internet yang lemot.
Jenis Informasi yang Diakses di Internet
Berdasarkan hasil penelitian pada mahasiswa FKIP ULM dapat diketahui jenis informasi yang
diakses di internet oleh mahasiswa mahasiswa FKIP ULM. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
lampiran 10 dan terangkum dalam tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4. Jenis Informasi yang diakses di Internet
Sub Variabel Jumlah Skor Kriteria
Frekuensi %
Jenis Informasi yang Diakses di
Internet mahasiswa FKIP ULM
128 73,14 Tinggi
47 26,86 Sedang
0 0,0 Rendah
Jumlah 175 100
Dari tabel 4.4 di atas dapat diketahui mengenai jenis informasi yang diakses di internet diperoleh
hasil sebesar 73,14% atau 128 responden termasuk dalam kategori tinggi, sebesar 26,86% atau 47
responden termasuk dalam kategori sedang dan yang dalam kategori rendah mengenai jenis
informasi yang diakses di internet tidak ada.
Dari uraian di atas, jenis informasi yang diakses di internet oleh mahasiswa FKIP ULM termasuk
dalam kriteria tinggi. Hal ini dapat digambarkan bahwa sebagian besar mahasiswa memanfaatkan
internet dalam proses pembelajaran sebagai sumber belajar optimal. Di internet menyediakan
banyak informasi yang sangat membantu mahasiswa dalam memperoleh referensi yang berkaiatan
dengan materi perkuliahan.
Jenis informasi yang diakses di internet termasuk dalam kriteria sedang dapat digambarkan bahwa
mahasiswa kurang dapat memanfaatkan internet sebagai sumber belajar yang semestinya digunakan
untuk mencari informasi atau referensi yang berkaitan dengan materi perkuliahan. Untuk kriteria
rendah tidak ada dapat digambarkan bahwa rata-rata mahasiswa hanya memanfaatkan internet
untuk hiburan saja. Mahasiswa mengakses internet tidak untuk tujuan mencari referensi atau
informasi yang berkaitan dengan materi perkuliahan melainkan hanya untuk hiburan saja.
462 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi
Berdasarkan hasil penelitian pada mahasiswa FKIP ULM untuk materi perkuliahan dapat diketahui
internet sebagai sumber belajar berbasis TIK. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.5 serta
berikut:
Tabel 4.5. Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis TIK
Sub Variabel Jumlah Skor Kriteria
Frekuensi %
Internet sebagai Sumber Belajar
Berbasis TIK
136 77,71 Tinggi
39 22,29 Sedang
0 0,0 Rendah
Jumlah 175 100
Dari tabel 4.5 dan gambar 10 di atas dapat diketahui mengenai internet sebagai sumber belajar
berbasis TIK diperoleh hasil sebesar 77,71% atau 136 responden termasuk dalam kategori tinggi,
sebesar 22,29% atau 39 responden termasuk dalam kategori sedang dan yang dalam kategori rendah
mengenai internet sebagai sumber belajar berbasis TIK tidak ada.
Dari uraian di atas maka dapat digambarkan bahwa internet sebagai sumber belajar berbasis TIK
termasuk dalam kriteria tinggi. Hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiswa FKIP ULM dapat
memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dengan baik dengan tujuan untuk mencari referensi
atau informasi yang berkaitan dengan materi perkuliahan. Internet sebagai sumber belajar berbasis
TIK termasuk dalam kriteria sedang dikarenakan mahasiswa dalam memperoleh referensi atau
informasi mengenai materi perkuliahan lebih mengandalkan buku pegangan daripada internet.
Untuk kriteria rendah tidak ada dikarenakan rata-rata mahasiswa hanya memanfaatkan internet
untuk hiburan.
Tanggapan Dosen Mengenai Pemanfaatan Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis TIK dalam
Proses Pembelajaran
Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar sangat penting dan memberikan kontribusi positif
dalam menunjang kualitas proses pembelajaran di FKIP ULM. Melalui internet dosen maupun
mahasiswa FKIP ULM dapat memperoleh informasi terkait dengan materi perkuliahan yang sulit
didapatkan dari buku-buku pegangan yang ada ataupun dari sumber belajar lain. Berikut tabel
tanggapan Dosen mengenai pemanfaatan internet sebagai sumber belajar berbasis TIK dalam proses
pembelajaran.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 463
Tabel 4.6. Tanggapan Dosen Mengenai Pemanfaatan Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis TIK
dalam Proses Pembelajaran
Sub Variabel Jumlah Skor Kriteria
Frekuensi %
Tanggapan Dosen Mengenai
Pemanfaatan Internet sebagai
Sumber Belajar Berbasis TIK dalam
Proses Pembelajaran.
136 77,71 Tinggi
39 22,29 Sedang
0 0,0 Rendah
Jumlah 175 100
Berdasarkan tabel 4.6 diatas dapat diketahui tanggapan dari 39 Dosen FKIP ULM mengenai
pemanfaatan internet sebagai sumber belajar berbasis TIK dalam proses pembelajaran tergolong
tinggi. Kemampuan mengoperasikan internet diperoleh hasil sebesar 87,18% atau 34 Dosen
termasuk dalam kategori tinggi. Ketersediaan internet diperoleh hasil sebesar 89,74% atau 35 Dosen
termasuk dalam kategori tinggi. Frekuensi penggunaan internet diperoleh hasil sebesar 92,31% atau
36 Dosen termasuk dalam kategori tinggi.
Cara memanfaatkan internet diperoleh hasil sebesar 87,18% atau 34 Dosen termasuk dalam kategori
tinggi. Jenis informasi yang diakses di internet diperoleh hasil sebesar 80,74% atau 35 Dosen
termasuk dalam kategori tinggi. Internet sebagai sumber belajar berbasis TIK diperoleh hasil
sebesar 84,62% atau 33 Dosen termasuk dalam kategori tinggi.
Dosen FKIP ULM rata-rata sudah memiliki kemampuan yang baik untuk memanfaatkan internet
sebagai sumber belajar dan hampir setiap hari memanfaatkannya dalam menunjang kegiatan belajar
mengajar. Dosen FKIP ULM juga sudah mampu mengakses internet seperti memanfaatkan search
engine atau website yang ada untuk mencari bahan ajar materi perkuliahan untuk digunakan dalam
kegiatan belajar mengajar.
Dosen FKIP ULM menggunakan metode ceramah bervariasi dan diskusi dalam menyampaikan
materi perkuliahan di kelas. Materi perkuliahan yang diajarkan di dalam proses pembelajaran selalu
diperkaya referensinya dari internet. Penggunaan internet dapat memudahkan Dosen dalam
mengembangkan materi perkuliahan. Dosen FKIP ULM sebagian besar menyuruh mahasiswanya
untuk mengakses internet guna mencari materi pelajaran atau referensi serta penyelesaian tugas.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa setiap Prodi di lingkungan
FKIP ULM sudah mempunyai jaringan internet yang sangat menunjang proses pembelajaran. Prodi-
464 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
prodi FKIP ULM rata-rata menggunakan wifi Fakultas untuk akses internet dengan kualitas dan
kecepatan signal yang baik guna memperlancar proses pembelajaran.
Ketersediaan jaringan internet sangat membantu Dosen maupun mahasiswa dalam memperoleh
informasi yang berkaitan dengan materi perkuliahan. Dosen dapat memperoleh bahan ajar yang
dapat digunakan dalam mempermudah penyampaian materi perkuliahan. Informasi yang diperoleh
dari internet sangat membantu mahasiswa mempermudah pemahaman materi perkuliahan yang
pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar.
Ketersediaan jaringan internet juga didukung dengan ketersediaan laptop pribadi yang dimiliki
masing-masing mahasiswa FKIP ULM. Sebagian besar mahasiswa FKIP ULM sudah mempunyai
laptop yang memadai untuk digunakan dalam mengakses internet.
Pembahasan
Pemanfaatan sumber belajar merupakan penggunaan secara sistematis dari sumber belajar sehingga
tercapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Tidak semua konsep-konsep dalam materi
perkuliahan bisa dijelaskan secara lisan dan verbal, tapi perlu dijelaskan secara konkret, sehingga
mahasiswa tidak menangkap konsep itu secara abstrak. Dengan pemanfaatan internet sebagai
sumber belajar, proses pembelajaran akan menjadi kreatif, inovatif, meningkatkan minat dan
motivasi mahasiswa serta hasil belajar materi perkuliahan akan meningkat.
Kemampuan dan kemahiran mahasiswa dalam memanfaatkan teknologi internet sangat diperlukan.
Melalui internet, mahasiswa dapat mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan sesuai
kebutuhan yang relevan dengan mata pelajaran materi perkuliahan. Pemanfaatan internet sebagai
sumber belajar juga akan membantu mempermudah dan mempercepat penyelesaian tugas-tugas
mata pelajaran materi perkuliahan yang diberikan oleh Dosen di kelas. Oleh karena itu, Dosen
sebagai motivator dan dinamisator hendaknya memberikan dorongan serta motivasi agar mahasiswa
selalu memanfaatkan internet fakultas dalam pembelajaran secara optimal.
Banyak manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dalam proses
pembelajaran. Internet dapat memberikan kemudahan dalam mencari referensi atau informasi yang
berkaitan dengan pokok bahasan mata pelajaran materi perkuliahan. Mahasiswa dapat mencari
segala informasi atau referensi yang dibutuhkan melalui internet dengan cepat dan tidak
membutuhkan waktu yang lama.
Berdasarkan hasil penelitian pemanfaatan internet sebagai sumber belajar pada FKIP ULM
termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 87,43%. Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar
dalam proses pembelajaran mata pelajaran materi perkuliahan FKIP ULM termasuk dalam kategori
tinggi. Hal ini memberikan gambaran bahwa internet sebagai sumber belajar di FKIP ULM benar-
benar dimanfaatkan secara optimal oleh mahasiswa dalam proses pembelajaran dan sebagian besar
mahasiswa dapat mengoperasikan internet. Melihat kondisi tersebut, diharapkan dapat
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 465
meningkatkan minat dan motivasi mahasiswa dalam pemahaman materi pelajaran materi
perkuliahan secara optimal yang berdampak pada hasil belajar materi perkuliahan yang semakin
tinggi.
Frekuensi Penggunaan Internet
Frekuensi penggunaan internet dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap tercapainya
tujuan pembelajaran. Semakin tinggi frekuensi penggunaan internet semakin tinggi pula tujuan
pembelajaran yang akan dicapai. Sebaliknya, semakin rendah frekuensi penggunaan internet
semakin rendah pula tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Mahasiswa yang sering memanfaatkan
internet memiliki pemahaman yang berbeda dengan mahasiswa yang jarang atau bahkan tidak
pernah sama sekali memanfaatkan internet dalam proses pembelajaran. Mahasiswa yang sering
memanfaatkan internet memiliki pemahaman yang baik dan hasil belajarpun tinggi. Mahasiswa
yang sering memanfaatkan internet sebagai sumber belajar akan lebih memahami materi pelajaran
materi perkuliahan yang diajarkan oleh Dosen. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak pernah
memanfaatkan internet sebagai sumber belajar memiliki pemahaman materi pelajaran yang kurang
baik.
Frekuensi penggunaan internet dalam proses pembelajaran di FKIP ULM termasuk dalam kriteria
tinggi. Mahasiswa dalam memanfaatkan internet dalam proses pembelajaran belum menjamin
dalam pemanfaatannya itu digunakan sebagai sumber belajar berkaitan dengan materi pelajaran
materi perkuliahan. Akan tetapi pemanfaatan internet tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai
hiburan saja.
Hasil penelitian menunjukan bahwa frekuensi penggunaan internet pada mahasiswa FKIP ULM
termasuk dalam kriteria tinggi dengan diperoleh hasil persentase 78,29%. Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan oleh peneliti bahwa mahasiswa FKIP ULM dalam memanfaatkan internet
disebabkan karena adanya dorongan dan perintah dari Dosen materi perkuliahan yang
mengharuskan untuk mencari referensi atau informasi yang berkaitan dengan mata pelajaran materi
perkuliahan. Selain itu juga, adanya tugas yang diberikan oleh Dosen materi perkuliahan yang
mengharuskan mahasiswa untuk mengakses internet dalam mengerjakan tugas tersebut.
Sebagian besar mahasiswa FKIP ULM hampir setiap hari memanfaatkan internet baik di sekolah
pada saat proses pembelajaran materi perkuliahan berlangsung atau pada waktu istirahat tetapi juga
dapat dilakukan pada saat mahasiswa di rumah. Mahasiswa memanfaatkan internet sebagai sumber
belajar lebih dari 5 kali dalam seminggu dengan tujuan untuk mencari materi pelajaran atau
referensi materi perkuliahan serta penyelesaian tugas yang diberikan oleh Dosen. Selain digunakan
466 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
untuk mencari hal tersebut di atas, mahasiswa juga sering memanfaatkan internet sebagai hiburan
seperti mengakses facebook, twitter, dan sebagainya.
Cara Memanfaatkan Internet
Kemampuan mengoperasikan internet sangat mempengaruhi pemanfaatan internet dalam proses
pembelajaran. Mahasiswa harus memiliki kemahiran mengakses internet dalam kaitannya sebagai
sumber belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara memanfaatkan internet termasuk dalam
kriteria tinggi dengan diperoleh persentase sebesar 75,43%. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan peneliti memberikan gambaran bahwa sebagian besar mahasiswa FKIP ULM telah
memiliki kemampuan yang tinggi dalam memanfaatkan internet sebagai sumber belajar materi
perkuliahan. Mahasiswa FKIP ULM sudah memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dengan
baik, yaitu untuk mencari referensi atau materi mata pelajaran materi perkuliahan dan mengerjakan
tugas yang diberikan oleh Dosen, walaupun mereka kadang-kadang memanfaatkan internet hanya
untuk hiburan seperti mengakses facebook, twitter, atau situs yang lainnya.
Mahasiswa FKIP ULM dapat mengakses referensi mata pelajaran atau literature materi perkuliahan
dan dapat diakses kapan saja tanpa batas waktu biayanya lebih murah. Mahasiswa akan
memperoleh banyak materi pelajaran materi perkuliahan sehingga mempunyai pandangan luas
tentang materi yang diajarkan oleh Dosen di sekolah dan dapat membantu mereka dalam
pemahaman materi pelajaran materi perkuliahan.
Jenis informasi yang diakses di internet
Internet memberikan banyak informasi yang lengkap dan relevan dengan materi pelajaran materi
perkuliahan dalam proses pembelajaran di sekolah. Begitu banyak informasi diperoleh melalui
pemanfaatan internet sebagai sumber informasi belajar yaitu memberikan kemudahan dalam
berinovasi dalam proses pembelajaran di sekolah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis informasi yang diakses di internet termasuk dalam
kriteria tinggi dengan diperoleh persentase sebesar 73,14%. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan oleh peneliti bahwa informasi yang diperoleh mahasiswa FKIP ULM dari internet yaitu
berhubungan dengan materi pelajaran materi perkuliahan. Mahasiswa mengakses website seperti
google, blogger, detik, wordpress, National Geography Chanel, dan website lainnya.
Mahasiswa FKIP ULM mengakses internet dengan tujuan untuk mencari materi pelajaran atau
referensi materi perkuliahan seperti proses terjadinya tsunami, gunung meletus, gempa, proses
terjadinya hujan, dan materi materi perkuliahan yang lainnya. Selain itu, mahasiswa dapat
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen. Dan tidak menutup kemungkinan mahasiswa
mengakses website facebook, game online, twitter dan lain sebagainya, tetapi hanya untuk sekedar
hiburan saja. Mereka mengakses website tersebut hanya semata untuk menghilangkan kejenuhan
dalam proses pembelajaran.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 467
Internet sebagai Sumber Belajar Berbasis TIK
Internet adalah sumber informasi, sehingga sangat tepat jika internet dijadikan sebagai sumber
belajar. Banyak hal yang dapat kita jadikan sebagai sumber informasi melalui internet. Mulai dari
pengetahuan umum, pengetahuan khusus, pengetahuan popular.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet sebagai sumber belajar berbasis TIK termasuk dalam
kriteria tinggi dengan diperoleh persentase sebesar 77,71%. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan oleh peneliti bahwa pemanfaatan internet sebagai sumber belajar berbasis TIK di FKIP
ULM sudah baik dan sesuai dengan pembelajaran materi perkuliahan di sekolah.
Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar materi perkuliahan yang tinggi juga sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan jaringan internet di sekolah. Berdasarkan hasil pengamatan pada
FKIP ULM menunjukkan bahwa rata-rata FKIP ULM sudah mempunyai jaringan internet. Hal itu
sangat memudahkan mahasiswa dalam memanfaatkan internet sebagai sumber belajar secara
optimal.
Mahasiswa FKIP ULM tidak lagi mengandalkan sumber belajar yang diberikan oleh Dosen saja
tetapi mereka mempunyai kesadaran yang tinggi akan pentingnya pemanfaatan internet dalam
membantu proses pembelajaran di sekolah terutama mencari referensi atau membantu penyelesaian
tugas materi perkuliahan yang diberikan oleh Dosen. Mahasiswa FKIP ULM merasa sumber belajar
yang diberikan oleh Dosen belum cukup dalam menunjang proses pembelajaran.
Mereka membutuhkan sumber belajar lain yaitu informasi dari internet sebagai penunjang
pembelajaran di sekolah sehingga pengetahuan dan pemahaman tentang materi pelajaran materi
perkuliahan. Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar juga dapat memberikan kemudahan bagi
mahasiswa dalam proses pembelajaran yang berdampak pada meningkatnya hasil belajar materi
perkuliahan.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Hal ini
diketahui dari hasil observasi pada saat penelitian sehingga dengan demikian dapat disimpulkan
bahwasanya: a) Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan internet sebagai sumber belajar dapat
membuat siswa menjadi lebih aktif dan mandiri sehingga pembelajaran lebih efektif. b) Mahasiswa
dan dosen menemukan banyak kendala dalam mengakses internet yang disediakan fakultas.
Kendala ini didasari rendahnya kapasitas bandwidth yang dimiliki fakultas sehingga penggunaan
internet utamanya di jam-jam perkuliahan antara pukul 8.00-17.00 WITA susah mengaksesnya.
468 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
UPAYA GURU PAUD DALAM MENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MELALUI ORIGAMI
Nurussa'adah
Educational Technology Department, Education Faculty,
State Semarang University
Email: [email protected]
ABSTRACT
Proses pembelajaran di PAUD , dapat disebut kegiatan bermain sambil belajar merupakan kegiatan
yang menyenangkan bagi anak-anak. Anak usia 4 – 6 tahun pada masa pendidikan anak usia dini
atau masa pendidikan Taman Kanak-kanak, anak-anak sudah sangat membutuhkan alat untuk
bermain dalam rangka mengembangkan kemampuannya, bakatnya, menatnya sesuai dengan apa
yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitarnya. Bermain dengan menggunakan
alat permainan dapat memenuhi seluruh aspek kebahagiaan anak. Pada saat anak merasakan senang
, maka pertumbuhan otak anak pun menjadi meningkat menuju sempurna, sehingga akan makin
memudahkan anak dalam melakukan proses pembelajarannya. Oleh karena itu alat permainan ini
tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan anak. Pembelajaran anak usia dini dapat berhasil apabila
kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan tahapan tumbuh kembang anak. Guru
dituntut kreatif dalam pengembangan media pembelajaran dengan memanfaatkan bahan-bahan di
sekitar kita; seperti kertas, lim, nasi yang dapat digunakan sebagai bahan media pembelajaran
Origami / seni melipat kertas dari Jepang. Kreatifitas guru dituntut agar proses pembelajaran dapat
berlangsung menyenangkan dan variatif sehingga anak-anak tidak merasa bosan, dengan
bervariasinya media yang digunakan dalam pembelajaran anak usia dini, tujuan pembelajaran dapat
tercapai. Dalam mengembangkan media pembelajaran Origami tetap mengutamakan aspek
kemudahan, kenyamanan, ramah lingkungan dan menyenangkan bagi anak.
Kata kunci : Guru PAUD, media pembelajaran, dan origami.
PENDAHULUAN
Anak memiliki potensi kecerdasan masing-masing. Dengan kecerdasan dan kreativitas akan
muncul menjadi bakat apabila diasah dan distimuli dengan baik. Kecerdasan yang dimiliki anak itu
tentunya tidak muncul begitu saja, melainkan dengan adanya stimuli, peranan lingkungan dan
media yang mendukung dalam proses tumbuh kembang anak dan proses pembelajaran di sekolah.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 469
Aktivitas kerja pendidikan, pada hakekatnya memiliki tujuan yang hakiki yakni humanisasi.
Pendidikan memiliki makna dasar, mamanusiakan manusia. Membuat manusia menjadi cerdas dan
kreatif guna mencapai perkembangan hidup yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pendidikan berupaya memberikan motivasi anak didik berani menghadapi problematika kehidupan,
mampu menciptakan karya melalui kreativitas dan kecerdasan yang dimiliki.
Keberhasilan suatu pendidikan tidak lepas dari peranan guru. Guru Pendidikan Anak Usia
Dini atau guru Taman Kanak-kanakmengemban tugas yang sangat mulia, yakni menjaga agar bahan
/ materi pembelajaran di TK dapat dimanfatkan dengan baik. Di tangan guru yang kreativ dan dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, anak-anak dapat tumbuh menjadi manusia-manusia yang
berfikir, berjiwa dan berkarya, dan mencapai kemandirian dalam kehidupannya.
Pendidikan Anak Usi Dini ( PAUD ) menjadi penting , karena pendidikan manusia pada
empat tahun pertama sangat menentukan kualitas hidup selanjutnya. Pembentukan berbagai konsep
bagi anak, seperti konsep diri, konsep hidup, dan konsep belajar dipengaruhi oleh bagaimana
lingkungannya memperlakukan dirinya.
Guru PAUD dan Taman Kanak-kanak mempunyai tugas penting dan mulia, dapat disebut
setiap guru menyadari akan tugas utamanya : mendidik dan mengasuh anak usia dini. Selain
kemampuan secara akademik , juga perlu didukung aspek lain yang mampu membantu keberhasilan
pembelajaran. Adanya guru yang berkualitas secara akademik, kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan peserta didik, serta media pembelajaran yang memadai.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya
pembaharuan dalam pemanfaatanhasil-hasil teknologi dalam proses belajar di kelas maupun di luar
kelas. Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang dapat disediakan oleh sekolah,
dan tidak menutup kemungkinan bahwa alat-alat tersebut sesuai dengan perkembangan dan tuntutan
zaman. Guru sekurang-kurangnya dapat menggunkan alat yang murah dan efisien yang meskipun
sederhana dan nyaman, tetapi merupakan keharusan dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran
yang diharapkan. Disamping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut untuk
dapat mengembangkan keterampilan membuat media pembelajaran yang akan digunakannya
apabila media tersebut belum tersedia. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman
yang cukup tentang media pembelajaran.
Peran media dalam pembelajaran khususnya dalam pendidikan anak usia dini semakin
penting artinya mengingat perkembangan anak pada saat itu berada pada masa berfikir konkrit.
Oleh karena itu salah satu prinsip pendidikan untuk anak usia dini harus berdasarkan realita artinya
bahwa anak diharapkan dapat mempelajari sesuatu secara nyata. Dengan demikian dalam
470 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
pendidikan untuk anak usia dini harus menggunakan media pembelajaran yang memungkinkan
anak dapat belajar secara nyata.
Origami adalah keterampilan yang memerlukan latihan dengan tahapan-tahapan tertentu,
dan ketika telah menguasainya, seseorang akan merasa bangga dengan apa yang telah dicapainya.
Tentunya hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri anak. Rasa bahwa diri mampu melakukan
sesuatu, adalah bagian yang paling penting dalam proses belajar, terutama bagi anak-anak yang
tidak berbakat dalam bidang akademis (slow learner), yang biasanya tidak dihargai di dalam system
pendidikan mainstream yang terlalu berorientasi akademik. Mereka umumnya merasa tidak mampu
dan minder. Menurut seorang ahli dalam bidang ini anak-anak yang berkebutuhan khusus sering
menemui kegagalan dalam proses belajar, karena mereka merasa tidak mampu (minder), yang
membuat mereka tidak mau mencoba atau berusaha karena percaya bahwa dirinya akan menemui
kegagalan lagi. Dalam Ratna Megawangi (2010:25): Pengalaman Martha Lady dalam menangani
anak-anak yang demikian adalah dengan memberikan pelatihan origami, untuk memberikan
pengalaman bahwa mereka bisa berhasil untuk menciptakan sesuatu.Ratna Megawangi (2010:25) :
Origami memberikan peluang bagi anak untuk melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa
diperbaiki, sehingga dengan pengarahan, origami selalu memberikan hasil nyata. Perasaan bahwa
diri telah berhasil membuat sesuatu secara nyata, ternyata telah menumbuhkan semangat dan
kepercayaan diri anak.
PEMBAHASAN
MEDIA PEMBELAJARAN
Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah
berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima
pesan. Dalam proses belajar mengajar di kelas, Media berarti sebagai sarana yang berfungsi
menyalurkan pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Kelancaran aplikasi model pembelajaran
banyak ditentukan oleh Media Pembelajaran yang digunakan. Media pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta
didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.
Dalam proses kegiatan belajar mengajar guru dituntut tidak hanya dapat menggunakan
media pembelajaran yang sudah tersedia saja, melainkan juga dituntut untuk dapat mengembangkan
media berbagai bahan dan alat, banyak media yang dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat
keterampilan dan kreativitas guru. Tujuan dari penggunaan dan pengembangan media adalah agar
dapat menyampaikan pesan kepada peserta didik dapat lebih efektif da efisien. Untuk menggunakan
dan mengembangkan media pembelajaran guru harus memperhatikan beberapa landasan dan prinsip
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 471
media. Telah diketahui oleh guru bahwa dalam interaksi belajar mengajar dapat berjalan efektif dan
efisien perlu digunakan media yang tepat. Ketepatan yang dimaksud tergantung pada tujuan
pembelajaran, pesan ( isi ) pembelajaran dan karakteristik peserta didik yang terlibat dalam kegiatan
pembelajaran. Ada 4 tinjauan, yaitu tinjauan psikologis, teknologis, empiric, dan filosofis.
Landasan Psikologis Belajar adalah proses yang kompleks dan unik; artinya seorang yang belajar
mellibatkan segala aspek kepribadiannya, baik fisik maupun mental. Keterlibatan dari semua aspek
kepribadian ini akan tampak dari perilaku belajar orang itu. Perilaku belajar yang tampak adalah
unik; artinya perilaku itu hanya terjadi pada orang itu dan tidak pada orang lain. Setiap orang
memunculkan perilaku belajar yang berbeda. Keunikan perilaku belajar ini disebabkan oleh adanya
perbedaan karakteristik yang menentukan perilaku belajar, seperti: gaya belajar (visual vs auditif),
gaya kognitif (field independent vs field dependent), bakat, minat, tingkat kecerdasan, kematangan
intelektual, dan lainnya yang bisa diacukan pada karakteristik individual peserta didik. Perilaku
belajar yang kompleks dan unik ini menuntut layanan dan perlakuan pembelajaran yang kompleks
dan unik pula untuk setiap siswa. Komponen pembelajaran yang bertanggung jawab untuk
menangani masalah ini adalah strategi penyampaian pembelajaran, lebih khusus lagi media
pembeljaran. Media pembelajaran haruslah dipilih sesuai dengan karakteristik individual peserta
didik. Guru sedapat mungkin harus memberikan layanan pada setiap peserta didik sesuai dengan
karakteristik belajarnya. Perubahan perilaku sebagai akibat dari belajar dapat dikelompokkan
menjadi 3 aspek, yaitu: pengetahuan, sikap dan keterampilan. Setiap aspek menuntut penggunaan
media pembelajaran yang berbeda. Kajian psikologi menyatakan bahwa anak akan lebih
mudahmempelajari hal yang konkrit dari pada yag abstrak. Landasan Teknologis sasaran akhir dari
teknologi pembelajaran adalah memudahkan belajar siswa. Untuk mencapai sasaran akhir ini,
teknolog-tegnolog di bidang pembelajaran mengembangkan berbagai sumber belajar untuk
memenuhi kebutuhan setiap siswa sesuai dengan karakteristiknya. Dalam upaya itu, teknologi
bekerja mulai dari pengembangan dan pengujian teori-teori tentang berbagai media pembelajaran
melalui penelitian ilmiah, dilanjutkan dengan pengembangan desainnya, produksi, dan memilih
media yang telah diproduksi, pembuatan katalog untuk memudahkan layanan penggunaannya,
mengembangkan prosedur penggunannya dan akhirnya menggunakannya baik pada tingkat kelas
maupun pada tingkat yang lebih luas lagi. Dengan demikian dalam kaitannya dengan teknologi,
media pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide,
peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan,
mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi kegiatan belajar mengajar
itu mempunyai tujuan yang terkontrol. Dalam teknologi pembelajaran, guru dalam melaksanakan
472 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
pemecahan masalah yang dilakukan dalam bentuk kesatuan komponen-komponen system
pembelajaran yang telah disusun dalam disain yang lengkap, sehingga menjadi suatu system
pembelajaran yang lengkap. Landasan Empirik , berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa
ada interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan karakteristik belajar siswa dalam
menentukan hasil belajar siswa. Maksudnya bahwa siswa akan akan mendapat keuntungan yang
signifikan apabila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristiknya.
Siswa yang memiliki gaya belajar visual akan lebih senag apabila pembelajaran menggunakan
media visual, seperti film, video, gambar, atau diagram. Sedangkan siswa yang memiliki gaya
belajar auditif akan lebih senang apabila kegiatan pembelajarannya menggunakan media
pembelajaran auditif, seperti rekaman suara, radio atau ceramah dari guru. Berdasarkan landasan
rasional empiris tersebu, maka pemilihan media pembelajaran hendaknya mempertimbangkan
kesesuaian antara karakteristik pebelajar, karakteristik materi pelajaran dan karakteristik media itu
sendiri. Atas dasar uraian tersebut, maka prinsip penyesuaian jenis media yang akan digunakan
dalam kegiatan pembelajaran dengan karakteristik individual siswa menjadi semakin mantap.
Pemilihan dan penggunaan media pembelajaran tidak didasarkan pada kesukaan atau kesenangan
guru, melainkan dilandaskan pada kesuaian media dengan karakteristik siswa, dengan tidak
mengabaikan kriteria lain yang telah disebutkan sebelumnya. Landasan filosofi , dengan bebagai
media pembelajaran siswa dapat mempunyai banyak pilihan , bagi guru dapat menggunakan media
yang lebih sesuai dengan karekteristik siswa. Dengan kata lain siswa dihargai harkat
kemanusiaannya diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, baik cara maupun alat belajar sesuai
dengan kemampuannya. Dengan demikian, penerapan teknologi dan pengembangan media
pembelajaran yang dilakukan akan menggunakan pendekatan humanis.
FUNGSI \MEDIA PEMBELAJARAN
Levie dan Lentz (1982) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya
media visual, yaitu:
Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk
berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau
menyertai teks materi pelajaran. Seringkali pada awal pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi
pelajaran, sehingga mereka tidak memperhatikan. Media gambar dapat menenangkan dan
mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian,
kemungkinan untuk memperoleh dan mengingat isi pelajaran semakin besar.
Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar ( atau
membaca ) teks yang bergambar. Gammbar atau lambing visual dapat menggugah emosi dan sikap
siswa, misal informasi yang menyangkut masalah social atau ras.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 473
Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa
lambing visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat
informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.
Fungsi kompensatoris media pembelajaran memberikan konteks untuk memahami teks membantu
siswa ya ng lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingat
kembali. Dengan kata lain , media pembelajaran dapat berfungsi untuk mengakomodasikan /
membantu siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan
dengan teks atau secara verbal
ORIGAMI
Mengajarkan Origami pada Anak-anak Usa Dini
Dalam kurikulum Montessori termasuk dalam Practical life (kecakapan hidup praktis) untuk
membantu pengembangan fungsi control dan koordinas motorik agar dapat terampil dalam aktivitas
si lingkungan rumah dan sekolahnya. Untuk memperkenalkan origami pada usia dini beberapa anak
dalam lipatan pertama. Karena apabila pertama kali anak merasa kesulitan dan menemui kegagalan,
hal ini akan membuat kesan pertama yang negetif, sehingga akan menurunkan minat dan motivasi
anak selanjutnya.
Pertama-tama anak perlu mengetahui manfaat lipat melipat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya
di meja makan, orangtua dapat mengajarkan bagaimana melipat serbet makan. Selain langsung
dapat dilihat kegunaannya, melipat serbet adalah tahapan yang paling mudah bagi anak, sehingga
anak merasa mampu, yang akan meningkatkan semangat dan kepercayaan dirinya. Gunakan serbet
dari kain yang agak tebal (hindari kain yang licin seperti satin atau sutera yang sulit untuk dilipat).
Bisa juga melipat handuk , atau baju sehingga dapat disusun di lemari dengan rapih.
Aktivitas dimeja makan ini juga dapat dijadikan wahana untuk memperkenalkan bentuk-
bentuk geometri, misalnya melipat kain bujur sangkar, menjadi segi tiga, membongakarlipatan segi
tiga menjadi bujur sangkar lagi. Biarkan anak membongkar lipatan untuk dilipat lagi, sehingga anak
akan hafal tahapanya. Hal ini akan menumbuhkan rasa kepercayaan dirinya, sehingga ia akan
tertarik dengan bentuk-bentuk lain yang lebih sulit. Hindari memulai lipatan yang rumit, karena
anak akan menemui kesulitan sehingga tidak akan tertarik untuk melanjutkannya. Perlu diingat
bahwa pada tahapan-tahapan awal, anak harus merasa berhasil, dan berikan apresiasi terhadap
pekerjaannya.
Ketika menggunakan kertas, berikan anak kesempatan untuk mengikuti garis lipatan yang
sudah terbentuk terlebih dahulu (dengan membongkar kertas yang sudah dilipat), dengan melipat
474 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
mengikutigaris horizontal, diagonal, atau vertikas. Apabila nak sudah terampil dengan mengikuti
garis, maka tahap selanjutannya bisa diberikan kertas yang baru.
Untuk permulaan lakukanlah dengan origami yang sesederhana mungkin, jangan terlalu
banyak lipatan dan rumit nanti bisa membuat anak stress dan tidak mau belajar. Kita bisa mulai
dengan hanya satu lipatan saja misalkan :
1 2 3
Selembar kertas origami kita lipat menjadi 2 bagian
Kemudian , diambil secarik potongan kertas kecil dan tempelkan diatas origami tersebut.
Dan terbentuklah sebuah buku.
Kemudian ke tingkat berikutnya, kita bisa membuat lemari. Caranya :
1 2 3
Kertas origami kertas lipat menjadi 2 untuk membuat garis ketengahnya.
Kemudian sisi kiri dan kanan kita tekuk ke tengah sehingga menerupai lemari 2 pintu
Beri potongan kertas berbentuk bulat yang menerupai gagang lemari/pintu
Selanjutnya, lakukanlah dengan lipatan yang lebih banyak lagi.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 475
Untuk membuat origami lainya dapat melihat di sumberr-sumber yang tersedia di internet atau
membeli buku-buku tentang origami. Banyak sekali pelajaran origami yang dapat diakses di
internet dengan gratis, diantaranya adalah sebagai berikut :
http://www.tammyyee.com/origamishirt.html
http://www.origami.com/diagrams.htm
http://www.origami-intructions.com
http://www.ssanggar-origami.com
http://www.origami-club.com
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan origami ini :
Ketika melipat, lakukanlah di tempat yang datar seperti, lantai, meja, buku yang tebal, papan
berjalan, dll.
Perhatikan pada lipatan pertama, usahaman serapi mungkin karena mempengaruhi lipatan
berikutnya. Jika lipatan pertamamya kurang rapi, maka akan mendapatkan hasil yang kurang
memuaskan.
Jika sudah mahir, bisa melakukan lipatan di udara, jadi tidak perlu dialasi dengan alas yang tebal
KESIMPULAN
Pemanfaatan Origami ( seni melipat kertas dari Jepang ) sebagai media pembelajaran bagi
anak usia dini sangat bermanfaan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak.
Keragaman media yang disajikan tentunya tergantung dari kreatifitas guru dalam menyajikan
tentunya bergantung dari kreatifitas guru dalam menyajikan pembelajaran yang berkualitas dan
menyenangkan bagi anak.
Semua bahan kertas dapat dipakai menjadi media pembelajaran dengan syarat memenuhi unsur-
unsur media yang dapat dipakai untuk pembelajaran anak usia dini. Bahan kerta mudah diperoleh
atau dijangkau , murah , aman , kreatif, menyenangkan dan bisa dibuat serta dimainkan kapan saja.
Kreatifitas guru maupun orang tua dalam mendampingi anak-anak bermain akan memotivasi
anak untuk menjadi kreatif dengan rangsangan media pembelajaran yang disajikan dalam setiap
kegiatan. Guru Diharapkan le3bih kreatif dalam mengembangkan media pembelajaran. Guru dapat
memanfaatkan bahan-bahan kertas untuk digunakan sebagai media dan alat permainan bagi anak
usia dini.
476 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad Azhar. 2013, Media Pembelajaran, Jakarta: Rajawali Pers.
Hamalik, Oemar. 1994, Media Pendidikan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sariati Megawangi Ratna, Dewi RYK. 2011, Origami untuk Membangun Karakter,
Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Yusuf Syamsu, Sugandhi Nani M. 2012, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 477
PENGEMBANGAN MEDIA VIDEO TUTORIAL PEMBELAJARAN PADA MATA KULIAH MEDIA 3D DAN ANIMASI UNTUK MAHASISWA PRODI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT Rafiudin
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengembangkan Media Video Tutorial Pembelajaran pada Mata Kuliah
Media 3D dan Animasi untuk Mahasiswa Prodi Teknologi Pendidikan Universitas Lambung
Mangkurat yang teruji kelayakannya. Secara khusus tujuannya adalah untuk (1) mengetahui
kebutuhan mahasiswa terhadap media video tutorial pembelajaran (2) memperoleh penilaian dan
saran perbaikan ahli terhadap media video tutorial pembelajaran media 3D dan animasi serta respon
dari pengguna produk. Metode penelitian yang akan diterapkan dalam penelitian ini memuat tiga
komponen utama yaitu: (1) jenis penelitian akan menerapkan research and development / penelitan
dan pengembangan, (2) Model desain menggunakan model Dick and Carey (Borg & Gall.
2006:590) yang terdiri sepuluh tahapan pengembangan, dan (3) uji coba produk yang terdiri atas uji
coba ahli dan uji coba pengguna produk. Berdasarkan hasil validasi oleh ahli materi/isi, (1)
komponen kelayakan isi memperoleh skor total 27 dengan persentase sebesar 84% dengan kategori
sangat layak; (2) Aspek penyajian secara keseluruhan memperoleh skor sebesar 33 dengan
persentase 92% dengan kategori sangat layak; (3) secara keseluruhan aspek kelayakan bahasa
memperoleh skor 23 dengan persentase sebesar 82% termasuk dalam kategori sangat layak. Aspek
kegrafikan media video tutorial pembelajaran ini memperoleh skor 28 dengan persentase sebesar
77% dengan kategori layak digunakan.
Hasil validasi tersebut kemudian di lakukan perbaikan dan di uji coba perorangan, uji coba
kelompok kecil, dan uji coba kelompok besar dengan hasil komponen pertama sebanyak 22
mahasiswa senang mengikuti pembelajaran menggunakan media tersebut dengan persentase 88%,
100% mengaku senang dengan suasana perkuliahan menggunakan media tersebut, 80% senang
dengan cara dosen mengajar menggunakan media tersebut, 100% mahasiswa menyatakan tertarik
menggunakan media video tutorial dalam perkuliahan, 100% merasa terbantu dengan media
tersebut, dan 88% menyatakan bahwa matakuliah media 3D dan animasi mudah dipelajari dengan
menggunakan media video tutorial pembelajaran. Dengan demikian, hasil pengembangan media
video tutorial pembelajaran pada mata kuliah media 3D dan animasi untuk mahasiswa prodi
teknologi pendidikan universitas lambung mangkurat layak di gunakan.
Kata kunci: Pengembangan, Media Pembelajaran, Video Tutorial, Animasi
478 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
PENDAHULUAN
Media merupakan salah satu komponen pembelajaran yang mempunyai peranan penting
dalam kegiatan belajar mengajar. Pemanfaatan media dalam pembelajaran akan mempermudah
proses pembelajaran di kelas, meningkatkan efisiensi proses pembelajaran, menjaga relevansi antara
materi pelajaran dengan tujuan belajar, dan membantu konsentrasi pebelajar dalam proses
pembelajaran. Menurut Miarso (2004) media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan
untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan si
pebelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Pengertian media tersebut,
mengindikasikan bahwa segala sesuatu yang dimanfaatkan dalam proses pembelajaran untuk
menyampaikan pesan kepada peserta didik dan dapat memacu mereka untuk belajar, di golongkan
sebagai media pembelajaran.
Media pembelajaran merupakan bagian yang harus mendapat perhatian pengajar atau
fasilitator dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dosen atau fasilitator perlu mempelajari bagaimana
menetapkan media pembelajaran yang sesuai agar dapat mengefektifkan pencapaian tujuan
pembelajaran dalam proses belajar mengajar.Pemilihan media yang tepat dalam pembelajaran,
dapat dilakukan dengan menggunakan model dimana perancang dapat menentukan klasifikasi
umum dalam suatu tujuan dan kemudian memaksimalkan kemampuan media pembelajaran untuk
memuat tujuan tersebut.Proses pemilihan media diawali dengan mengembangkan tujuan
pembelajaran, spesifikasi tujuan pembelajaran, menentukan media berdasarkan tujuan pembelajaran
yang di tetapkan, mengevaluasi sumber yang tersedia, mencocokkan tujuan, strategi, dan
karakteristik media, kemudian menentukan biaya keefektifan sistem yang dipilih, dan setelah itu
menetapkan sistem belajar.Namun, pada kenyatannya media pembelajaran masih
seringterabaikandengan berbagai alasan, antara lain: terbatasnya waktu untuk membuat persiapan
mengajar, sulit mencari media yang tepat, tidak tersedianya biaya, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya
tidak perlu terjadi jika setiap guru/fasilitator telah mempunyai pengetahuan dan keterampilan
mengenai media pembelajaran.
Penggunaan media pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam peningkatan
proses pembelajaran. Sehingga, setiap dosen dituntut menciptakan suasana pembelajaran yang lebih
inovatif yang mampu mendorong mahasiswa belajar secara optimal baik dalam belajar mandiri
maupun dalam pembelajaran di kelas.Sebaliknya, penggunaan media yang kurang tepat akan
menciptakan suasana belajar yang tidak nyaman bagi siswa, sehingga tujuan pembelajaran tidak
tercapai. Suatu pengamatan yang dilakukan peneliti di prodi teknologi pendidikan mengindikasikan
sebuah proses pembelajaran yang kurang menarik bagi mahasiswa khususnya pada mata kuliah
media 3D dan animasi.Proses belajar mengajar pada mata kuliah inisepenuhnya dengan bimbingan
dosen tanpa ada sebuah media yang bisa memudahkan mahasiswa dalam belajar baik secara
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 479
mandiri maupun terbimbing. Sementara itu, mata kuliah 3D dan animasi merupakan mata
kuliahyang bertumpuh pada praktikum yang memerlukan keterampilan dalam penguasaan sebuah
perangkat lunak.Mata kuliah 3D dan animasi memerlukan sebuah media tutorial yang mampu
memandu mahasiswa dalam membuat animasi secara mandiri dan terbimbing sehingga mampu
mengefisiensikan waktu belajar.Salah satu media yang bisa digunakan dalam belajar mandiri yaitu
melalui video tutorial pembelajaran animasi.
Video pembelajaran merupakan media yang terdiri atas beberapa unsur yaitu auditorial, visual dan
unsur gerak yang membantu dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran terutama mampu menarik
perhatian dan motivasi mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran. Unsur suara yang ditampilkan
berupa narasi, dialog, sound effect dan musik, sedangkan unsur visual berupa gambar/foto diam
(still image), gambar bergerak (motion picture), animasi, dan teks.Menurut Anderson (1987:105)
media video memiliki kelebihan, antara lain: penggunaan video (disertai suara atau tidak), dapat
menunjukan kembali gerakan tertentu, menggunakan efek tertentu dapat diperkokoh baik proses
belajar maupun nilai hiburan dari penyajian, informasi dapat disajikan secara serentakn pada waktu
yang sama di lokasi (kelas) yang berbeda dan dengan jumlah penonton atau peserta yang tak
terbatas dengan jalan menempatkan monitor dikelas, dan dengan video mahasiswa dapat belajar
secara mandiri. Sehingga, dengan media ini mahasiswa lebih termotivasi dalam belajar baik secara
terbimbing maupun mandiri.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap mahasiswa prodi teknologi
pendidikan, mereka kurang termotivasi dan kurang bersemangat dalam mengikuti pembelajaran
materi kuliah Animasi. Proses belajar mengajar pada mata kuliah animasi masih sepenuhnya
dengan bimbingan dosen, misalnya: dosen menjelaskan tahap demi tahap proses pembuatan
animasi, jika tidak di bimbing oleh dosenmahasiswa sering kali tidak melakukan semua tahapan
proses pembuatan animasi dan sering mereka ketinggalan tahapan sehingga hasil pembuatan
animasinya tidak selesai, kecuali bagi mereka yang dapat dengan cepat memahaminya. Hal tersebut
disebabkan Karena tidak tersedianya media pembelajaran yang membuatmahasiswa mampu belajar
secara mandiri dengan mengikuti tahapan-tahapan dalam pembuatan animasi.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tuntutan ketersediaan media video tutorial pembelajaran
pada mata kuliah 3D dan animasi sangat di harapkan. Sehingga, penelitian dan pengembangkan
sebuah media video tutorial pembelajaran pada mata kuliah media 3D dan animasi bagi mahasiswa
prodi teknologi pendidikan FKIP ULM sangat penting untuk dilakukan.
480 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan atau research and development (R&D)
karena mengembangkan sebuah produk yaitu media video tutorial pembelajaran Animasi.Sugiyono
(2013:297) menyatakan bahwa penelitian pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan
untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Selain itu, Borg dan
Gall (2007:589) mendefinisikan bahwa penelitian dan pengembangan adalah model pengembangan
berbasis industri di mana temuan-temuan penelitian digunakan untuk merancang produk baru dan
prosedur, yang kemudian secara sistematis diuji di lapangan, dievaluasi, dan disaring sampai
memenuhi kriteria efektifitas, kualitas dan memenuhi standar yang ditetapkan.
Model Dick and Carey merupakan model desain pendekatan sistem yang digunakan untuk
mendesain, mengembangkan,mengimplementasikan, dan mengevaluasi pembelajaran. Model
pengembangan ini melalui tahapan yang sangat teliti antara setiap komponen, khususnya hubungan
antara strategi pembelajaran dan hasil pembelajaran yang akan dicapai.
Tahap pertama, pengembang menentukan tujuan umum pembelajaran dalam pengembangan media.
Tujuan umun pembelajaran berdasarkan tujuan pengajaran materi animasi. Kemudian,
melakukakan analisis kebutuhan, yang meliputi analisis peserta didik, strategi pembelajaran, proses
pembelajaran, kurikulum dan materi-materi pembelajaran, sehingga dapat mengindikasi tujuan
pembelajaran.
Tahap kedua, pengembang mengidentifikasi pengetahuan dan ketrampilan yang harus ada pada
pembelajaran, kemudian menganalisis pembelajaran terhadap tujuan pembelajaran umum melalui
dua tahap. Pertama, menggolongkan pernyataan tujuan umum menurut jenis kapabilitas belajar.
Kedua, melakukan analisa lanjutan untuk mengidentifikasi keterampilan bawahan. Setelah itu,
melakukan analisis tujuan umum pembelajaran dan kemudian menggolongkan berdasarkan
kemampuan siswa, sehingga pengetahuan dan keterampilan siswa dapat diketahui.
Tahap ketiga pengembang melakukan analisis terhadap karakteristik siswa yang akan belajar dan
konteks pembelajaran. Kedua langkah tersebut dilakukan secara bersamaan atau paralel. Analisis
konteks meliputi kondisi-kondisi terkait dengan keterampilan yang dipelajari oleh siswa dan situasi
yang terkait dengan tugas yang dihadapi oleh siswa kemudian menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang dipelajari. Setelah itu, melakukan analisis terhadap karakteristik mahasiswayang
meliputi kemampuan aktual yang dimiliki oleh siswa, gaya belajar, dan sikap terhadap aktivitas
belajar. Hasil identifikasi tentang karakteristiksiswakemudian dijadikan acuan dalam memilih dan
menentukan strategi pembelajaran yang akan digunakan.
Tahap keempat, pengembang menulis tujuan khusus pembelajaran yang merupakan pernyataan
tentang apa yang akan dicapai siswa setelah mereka selesai mengikuti kegiatan pembelajaran.
Beberapa hal yang dilakukan oleh pengembang dalam merumuskan tujuan pembelajaran khusus,
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 481
yaitu:Pertama, menentukan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah
menempuh proses pembelajaran. Kemudian, menganalisa kondisi yang diperlukan agar siswa dapat
melakukan unjuk kemampuan dari pengetahuan yang telah dipelajari. Setelah itu, menentukan
indikator atau kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam
menempuh proses pembelajaran. Kriteria yang relevan tersebut berupa kecermatan, waktu
(kecepatan), kesesuaian dengan prosedur, kuantitas atau kualitas hasil akhir.
Tahap kelima mengembangkan alat atau instrumen penilaian validasi produk dan instrumen
penilain. Pengembang mengembangkan instrumen validasi yang terdiri dari instrumen validasi
media pembelajaran dan instrumen materi pembelajaran. Instrumen validasi dikembangkan
berdasarkan komponen kelayakan isi, kelayakan penyajian, kelayakan bahasa, dan komponen
kegrafikan. Instrumen penilaian yang dikembangkan terdiri dari tes pendahuluan (pre test)dan post
test)
Tahap keenam pengembang mengembangkan strategi pembelajaran dengan mengelompokkan
dalam lima komponen yaitu: 1).aktivitas pra pembelajaran, 2).penyajian materi atau isi, 3)
partisipasi pebelajar, 4) penilaian dan 5) aktivitas lanjutan yaitu meninjau lagi strategi secara
keseluruhan untuk menentukan berhasilnya proses belajar.
Tahap ketujuh adalah mengembangkan strategi pembelajaran, pengembang kemudian
mengembangkan media pembelajaran. Pada tahap ini, pengembang melakukan analisis kebutuhan
untuk mengetahui materi pembelajaran seperti apa yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa,
tingkat pemahaman, dan tujuan yang hendak dicapai. Setelah analisis kebutuhan dilakukan, tahap
kedua adalah melakukan penelusuran ketersediaan materi-materi pembelajaran. Materi-materi
pembelajaran tersebut ditelusuri dari berbagai sumber yang menyediakaan berbagai materi-materi
pembelajaran dan kemudian dievaluasi untuk mengetahui apakah materi-materi pembelajaran
tersebut layak untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran. Materi-materi pembelajaran yang telah
dievaluasi, kemudian dicocokkan dengan tujuan pembelajaran dan ditentukan berdasarkan
keterampilan-keterampilan dan tujuan yang hendak dicapai. Setelah itu, materi yang telah
ditentukan di uji persyaratan hak cipta, direvisi ketersediaan materinya dan kemudian
mengembangkan materi-materi pembelajaran baru yang dibutuhkan.
Tahap kedelapan adalah pengembang merancang dan melakukan evaluasi formatif pembelajaran.
Evaluasi formatif yang dirancang dalam pengembangkan produk atau program pembelajaran ini,
yaitu: evaluasi perorangan, kelompok kecil, kelompok besar, dan lapangan. Pengembang
melakukan evaluasi perorangan melalui kontak langsung dengan minimal tiga orang calon
pengguna program untuk memperoleh masukan tentang kesalahan-kesalahan yang tampak dalam
482 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
bahan ajar dan memperoleh petunjuk awal, daya guna bahan ajar dan reaksi mahasiswa pada isi
bahan ajar. Kemudian, melakukan evaluasi kelompok kecil dengan mengujicobakan program
terhadap kelompok kecil calon pengguna untuk menentukan efektivitas perubahan yang telah dibuat
setelah evaluasi perorangan dan mengidentifikasi masalah yang mungkin masih ada. Setelah itu,
melakukan evaluasi lapangan untuk menguji cobakan program terhadap sekelompok besar calon
pengguna program sebelum program tersebut digunakan dalam situasi pembelajaran yang
sesungguhnya.
Tahap kesembilan adalah melakukan perbaikan atau penyempurnaan terhadap draf program
pembelajaran berdasarkan masukan dari validator dan uji pelaksanaan lapangan. Tahap uji coba
dalam penelitian produk pengembanagan ini merupakan tahap dilaksanakan evaluasi formatif yang
teridiri dari uji coba perorangan (ahli) dan uji coba kelompok kecil. Desain uji coba terdiri dari uji
coba ahli, uji coba kelompok kecil, dan uji coba lapangan atau kelompok besar.
Tahap kesepuluh adalah melakukan evaluasi sumatif setelah program selesai dievaluasi secara
formatif dan direvisi sesuai dengan standar yang digunakan oleh pengembang. Evaluasi sumatif
tidak melibatkan perancang program, tetapi melibatkan penilai independen. Hal ini merupakan satu
alasan untuk menyatakan bahwa evaluasi sumatif tidak tergolong ke dalam proses desain sistem
pembelajaran.
Desain uji coba terdiri dari uji coba ahli, uji coba kelompok kecil, dan uji coba lapangan atau
kelompok besar. Berikut penjelasan uji coba yang diterapkan dalam penelitian pengembangan ini:
Uji Coba Ahli
Pengujian pada tahap ini digunakan untuk menguji kelayakan produk berdasarkan
pedoman angket uji kelayakan. Meliputi; (1) ahli media yang akan menilai rancangan media yang
dibuat, dan (2) ahli materi yang akan menilai rancangan materi yang akan dijadikan sebagai bahan
ajar dalam media video tutorial pembelajaran.
Uji Coba Kelompok Kecil
Pada tahapan ini, pengujian akan dilakuakan dengan pebelajar sebagai pengguna produk. Uji coba
produk, dalam hal ini adalah media pembelajaran menyimak berita wawasan kebangsaan diperlukan
untuk mengetahui sejauh mana produk dari hasil pengembangan berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa. Uji coba produk juga melihat sejauh mana produk yang dibuat dapat mencapai sasaran dan
tujuan. Serta untuk mendapatkan masukan perbaikan agar dilakukan revisi sebelum dillakukan uji
coba kelompok besar.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 483
Uji Coba Kelompok Besar dan Lapangan
Uji coba kelompok besar dilakukan untuk mengetahui efektifitas media
pembelajaran yang dikembangkan dalam proses pembelajaran sebelum diterapkan terhadap
pengguna produk (lapangan) dalam situasi pembelajaran yang sesungguhnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Acuan pengembangan media video tutorial dalam penelitian ini di peroleh dari hasil penyebaran
angket terhadap pengguna produk. Hasil angket tersebut teridentifikasi kebutuhan mahasiswa
terhadap media video tutorial yang akan dikembangkan. Kebutuhan mahasiswa terhadaap media
video tutorial meliputi 4 aspek, yaitu: (a) aspek jenis media; (b) aspek karakteristik media; (c) aspek
materi; (d) aspek sampul CD.
Pada aspek jenis media menunjukan respon mahasiswa terhadap jenis atau kemasan media
video tutorial pembelajaran, sebanyak 9 mahasiswa memilih media video pembelajaran dikemas
dalam bentuk file MP3. Mereka berpendapat bahwa jika media video tutorial pembelajaran ini
dikemas dalam bentuk file MP3, akan lebih mudah proses pembuatannya. Kemudian ada 32
mahasiswa memilih media video tutorial pembelajaran dikemas dalam bentuk file MP4 dalam CD.
Sebagian besar dari mereka berpendapat jika media video tutorial pembelajaran dikemas dlam
bentuk CD, akan lebih menarik dan praktis. Dari data yang diperoleh maka peneliti memilih media
pembelajaran dikemas dalam bentuk kaset CD, akan lebih menarik dan praktis. Dari data yang
diperoleh maka peneliti memilih media pembelajaran dalam bentuk file MP4 dalam kaset CD.
Pada aspek sampul CD terdiri atas judul media video tutorial pembelajaran pada
pembungkus, jenis huruf pembungkus CD, warna pembungkus CD, dan gambar cover CD media
tutorial pembelajaran. Bagian judul media video tutorial pembelajaran ada 10 mahasiswa yang
memilih “Video Tutorial Blender Animasi 3D-Mudah dan Interaktif.” Menurut mereka judul
tersebut sesuai dengan isi CD tersebut.Kemudian, ada 23 mahasiswa yang memilih judul “Tutorial
Blender - Belajar Cepat Membuat Animasi 3D” judul ini dinilai lebih menarik oleh sebagian besar
mahasiswa. Selain itu, ada 8 mahasiswa yang memilih pendapat lain mengenai pemilihan judul
media video tutorial pembelajaran ini. Selanjutnya, pada aspek jenis huru pada pembungkus CD ada
sebanyak 12 mahasiswa memilih hjenis huruf Times New Roman, 10 mahasiswamemilih jenis
huruf Arial, dan 19 mahasiswa memilih jenis huruf Comic. Sebagian mereka sependapat, bahwa
jenis huruf yang mereka pilih lebih menarik bagi mereka dan ada 4 mahasiswa mengemukakan
jawaban lain. Kemudian pada bagian warna pembungkus CD, sebanyak 8 mahasiswa memilih
warna merah.Warna biru dipilih oleh 12 mahasiswa. Alasannya hampir sama, mereka lebih tertarik
dengan warna yang mereka pilih. Ada 16 mahasiswa berpendapat warna pembungkus CD
484 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
disesuaikan kebutuhan.Selain itu, ada 4 mahasiswa mempunyai jawaban lain dengan pendapat
berbeda. Sebanyak 24 mahasiswa memilih gambar Animasi 3D untuk dijadikan cover CD dan
pembungkus CD media video tutorial pembelajaran. Alasan mereka adalah disesuaikan dengan
materi yang dibahas.Kemudian 10 mahasiswa memilih gambar objek 3D, dengan alasan sesuai
dengan fungsi dari software tersebut.Ada 6 mahasiswa juga memilih abstrak untuk dijadikan cover.
Beberapa mahasiswa juga memilih jawaban lain. Terakhir adalah harapan dan masukan terhadap
media video tutorial pembelajaran ini, yaitu sebagian besar mahasiswa berpendapat agar dibuat
suatu media video tutorial pembelajaran 3D dan Animasi yang menarik dan mudah dipelajari.
Berdasarkan analisis tiap aspek di atas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa membutuhkan media
video tutorial pembelajaran 3D dan animasi yang menarik dan inovatif. Berupa CD tutorial yang
berisi petunjuk penggunaan dan panduan belajar yang dapat merangsang kemampuan mahasiswa
dalam membuat obyek 3D dan animasi sehingga dapat memudahkan dalam mempelajarinya dan
dapat dipelajari secara mandiri.
Ada tiga aspek utama yang di validasi dalam materi media video tutorial pembelajaran ini
yaitu komponen kelayakan isi, komponen kelayakan penyajian, dan komponen kelayakan bahasa.
Hasil validasi komponen kelayakan isi memperoleh skor total 27 dengan persentase sebesar 84%.
Hal ini menunjukan bahwa aspek komponen kelayak isi dalam media video tutorial pembelajaran
pada mata kuliah media 3D dan animasi berkualitas baik dan sangat layak di terapkan dalam proses
pembelajaran.
Aspek penyajian secara keseluruhan memperoleh skor sebesar 33 dengan persentase
92%.Dengan demikian kriteria penyajian media video tutorial pembelajaran termasuk dalam
kategori sangat baik atau sangat layak. aspek kelayakan bahasa memperoleh skor 23 dengan
persentase sebesar 82%. Dengan demikian kriteria penyajian media video tutorial pembelajaran
sangat baik atau sangat layak untuk di terapkan dalam proses pembelajaran media 3D dan animasi.
Secara keseluruhan aspek kegrafikan media video tutorial pembelajaran ini memperoleh skor 28
dengan persentase sebesar 77%. Dengan demikian, kriteria penyajian media tersebut termasuk
dalam kategori layak digunakan dalam proses pembelajaran mata kuliah media 3D dan animasi.
Setelah melewati proses peninjauan oleh ahli materi dah ahli medi pembelajaran, maka
langkah berikutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba perorangan terhadap media video
tutorial pembelajaran yang telah direvisi sebelumnya. respos 3 mahasiswa terhadap proses
pembelajaran dengan menggunakan media video tutorial pembelajaran pada uji coba perorangan.
Dari 3 mahasiswa yang mengikuti uji coba, semua mahasiswa atau 100% mengaku senang dengan
suasana perkuliahan menggunakan media video tutorial pembelajaran. Dari segi kecepatan waktu
memahami mata kuliah, ada 66,7% mahasiswa merasa mudah memahami dan 33,3 kurang cepat
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 485
memahami dengan menggunakan media video tutorial pembelajaran pada mata kulia media 3D dan
animasi.
Setelah uji coba perorangan, langkah berikutnya adalah dilakukan uji coba kelompok kecil
pada 9 orang responden.Uji coba ini dilakukan untuk mengidentifikasi keurangan-kekurangan yang
tidak terdeteksi pada uji coba perorangan. Berdasarkan tabel di atas, diketahui tanggapan
mahasiswa yaitu: komponen pertama ada 9 mahasiswa senang dalam mengikuti pembelajaran
dengan media video tutorial pembelajaran dengan persentase 100%; komponen kedua ada 9
mahasiswa merasa senang dengan perkuliahan menggunakan media video tutorial; sedangkan pada
cara dosen mengajar ada 7 mahasiswa merasa senang dengan persentase 88,9% dan hanya 3
mahasiswa yang tidak senang.
Selanjutnya, komponen ketiga 100% merasa tertarik dengan menggunakan media,
komponen ke empat ada 77,8% cepat memahami perkuliahan dengan menggunakan media,
komponen kelima ada 88,9% mengaku lebih memahami perkuliahan dengan menggunakan media
video tutorial. Kemudian, komponen ke enam ada 66,7% merasa terbantu belajar dan komponen
ketujuh 77,8% mengaku mata kuliah media 3D dan animasi tidaklah sulit jika menggunakan video
tutorial pembelajaran.
Setelah melewati uji coba kelompok besar, maka langkah berikutnya adalah dilakukan uji
coba kelompok besar kepada 25 mahasiswa. respon mahasiswa terhadap media video tutorial
pembelajaran. Komponen pertama sebanyak 22mahasiswa senang dalam mengikuti pembelajaran
menggunakan media tersebut dengan persentase 88%, 100% mengaku senang dengan suasana
perkuliahan menggunakan media tersebut, 80% senang dengan cara dosen mengajar menggunakan
media tersebut, 100% mahasiswa menyatakan tertarik menggunakan media video tutorial dalam
perkuliahan, 100% merasa terbantu dengan media tersebut, dan 88% menyatakan bahwa mata
kuliah media 3D dan animasi mudah dipelajari dengan menggunakan media video tutorial
pembelajaran.
Media Video Tutorial Pembelajaran ini memiliki keunggulan yaitu media ini masih jarang
digunakan di lapangan, penggunaannnya praktis, dan materi pembelajaran animasi 3D dikatakan
lengkap.Pengunaan video pembelajaran model tutorial ini sangat cocok untuk digunakan dalam
pembelajaran karena bersifatnya praktek. Keunggulan mampu memperlihatkan bagaimana sesuatu
bekerja. Misalnya dalam mendemonstrasikan bagaimana cara membuat desain animasi, membuat
objek 3D, atau membuat pewarnaan, editing, membuat efek suara, benda bergerak, membuat objek
banguan dan lain sebagainya. Semua itu akan terasa lebih simpel, mendetail, dan bisa diulang-
ulang.
486 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Video tutorial pembelajaran merekam kegiatan motorik mahasiswa juga memberikan
kesempatan pada mereka untuk mengamati dan mengevaluasi kerja praktikum mereka, baik secara
pribadi maupun feedback dari teman-temannya. Media ini juga dapat meningkatkan kompetensi
interpersonal, video tutorial memberikan kesempatan pada mereka untuk mendiskusikan apa yang
telah mereka saksikan.
Berdasarkan tanggapan mahasiswa terhadap medio video tutorial yang dikembangkan,
menyatakan jika media video tutorial pembelajaran pada mata kuliah media 3D dan animasi sangat
menarik, menambah minat belajar mahasiswa, mudah dipahami, dan sangat bermanfaat untuk
mahasiswa dalam mengatasi kesulitan belajar. Dengan demikian, media video tutorial pembelajaran
mata kuliah media 3D dan animasi yang dikembangkan disetujui oleh pengguna produk dan bisa
diterapkan dalam proses perkuliahan untuk mata kuliah media 3D dan animasi di Program Studi
Teknologi Pendidikan FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini menghasilkan media video tutorial pembelajaran pada mata kuliah media 3D
dan animasi, yaitu secara umum produk yang dihasilkan diwujudkan dalam bentuk CD video
tutorial pembelajaran. CD video tutorial pembelajaran ini didesain sesuai kebutuhan mahasiswa
yaitu menarik, mudah dipahami, dan memiliki cakupan materi pembelajaran Animasi 3D yang
lengkap. Media ini berisi materi, fungsi dan cara pengoperasian program software blander yan
menyajikan materi secara terbimbing serta merangsang siswa untuk belajar. Berdasarkan hasil
penelitian dan pengembangan tersebut, maka diperoleh simpulan sebagai berikut:
Media video tutorial pembelajaran pada mata kulia 3D dan animasi di Program Studi Teknologi
Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat yang dikembangkan telah teruji dari segi validitas dan
layak untuk digunakan sebagai media dan materi pembelajaran dalam perkuliahan.
Media video tutorial pembelajaran yang dikembangkan dapat meningkatkan kreativitas dan
motivasi belajar mahasiswi program studi teknologi pendidikan.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:
Saran Pemanfaatan
Media video tutorial pembelajaran ini dapat digunakan oleh sisw-siswa SMK, mahasiswa ilmu
komputer, teknik komputer dan dosen sebagai bahan pembelajaran pada mata kuliah animasi 3D di
perguruan tinggi yang bisa digunakan saat perkuliahan maupun di saat di luar perkuliahan.
Materi-materi animasi 3D banyak pula tersedia di internet, sehingga untuk memperkaya materi dan
meningkatkan pemahaman Animasi 3D dapat ditelusuri di internet.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 487
Saran Desiminasi
Media video tutorial pembelajaran yang dihasilkan menggunakan model sistem pembelajaran Dick
and Carey (dalam Borgh and Gall, 2007:590) telah mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar
mahasiswa program studi teknologi pendidikan. Media video tutorial ini dapat disebarluaskan dan
digunakan sebagai bahan pembelajaran animasi 3D.
Saran Pengembangan Produk Lebih Lanjut
Penelitian dan pengembangan media video tutorial pembelajaran hendaknya terus dilakukan
sehingga dapat menghasilkan produk yang baik dan bermanfaat dalam meningkatkan kualitas
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif S Sadiman. 2003. Media Pendidikan. Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Astuti, Dwi. 2006. Teknik membuat Animasi Profesional Menggunakan Macromedia Flash 8. Semarang: Penerbit Andi. Arsyad, Azhar. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Briggs. L.J. and Gagne.R.M. (1979).Princples of Instructional Design. Florida State University: United States of America. Borgh, W.R. and Gall, W.R. (20017). Educational Research. New York: Pearson Education, Inc. Cheppy Riyana. 2007. Pedoman Pengembangan Media Video. Jakarta: P3AI UPI. Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media. https://ayobelajarmultimedia.wordpress.com/home-3/camtasia-studio-6-0/ Miarso, Y (2009). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Rusman. 2012. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer. Bandung: Alfabeta. S. Wojowasito.2006. Kamus Bahasa Indonesia.Malang: C.V Pengarang. Sugiono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
488 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
PENGEMBANGAN E-LEARNING BERBASIS PENDEKATAN ILMIAH PADA MATA PELAJARAN IlMU PENGETAHUAN ALAM JENJANG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Developing of E-learning Based on Scientific Approach on Natural Sciences Lesson
Heru Amrul Mu’arif
TP, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk e-learningberbasis pendekatan ilmiah pada
mata pelajaran ilmu pengetahuan alam bagi siswa kelas VIII SMP dengan spesifikasi model dan isi
yang ditetapkan, (2) mengetahui kelayakan produk e-learning, (3) mengetahui hasil belajar siswa
setelah menggunakan e-learning. Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (R&D)
dan diadaptasi dari model Alessi dan Trollip. Prosedur pengembangan meliputi tahap perencanaan,
desain, dan pengembangan. Penelitian berhasil menunjukan hasil sebagai berikut. (1) Produk e-
learning berbasis pendekatan ilmiah berhasil dikembangkan dengan sebuah sistem manajemen
pembelajaran (LMS) online yang dibuat dengan software aplikasi moodle. E-learning berbasis
pendekatan ilmiah dikembangkan untuk pokok bahasan sistem tata surya dan kehidupan di bumi (2)
Produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam telah
memenuhi kriteria dan dinyatakan layak sebagai media pembelajaran berdasarkan validasi ahli
media, ahli materi, dan siswa, kelayakannya mencapai rerata skor 4,15 dengan kategori baik. (3)
Keefektifan pembelajaran IPA lebih baik setelah menggunakan e-learning dibuktikan melalui
peningkatan hasil belajar. Hasil belajar siswa kelas VIII SMP di Yogyakarta mengalami
peningkatan setelah menggunakan e-learning.
Kata kunci: e-learning, pendekatan ilmiah, ilmu pengetahuan alam.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 489
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dalam hal teknologi informasi menyebabkan
terbuka luasnya area pembelajaran. Perkembangan teknologi informasi juga telah mengubah
kondisi pembelajaran yang selalu terikat dengan ruang dan waktu menjadi pembelajaran yang bisa
dilaksanakan kapan saja dan dimana saja. Ruang belajar bukan jadi penghalang atau sekat yang
membatasi kegiatan siswa dalam belajar. Bahkan dunia merupakan ruang belajar manusia tanpa
batas seperti pepatah “The World is The Classroom”. Jika aktivitas pembelajaran masih terkendala
ruang dan waktu maka akan sangat bertentangan dengan keilmuan teknologi pembelajaran.
Teknologi pembelajaran hadir sebagai solusi dari masalah-masalah yang muncul dalam proses
belajar dan pembelajaran. Landasan ontologi timbulnya konsep teknologi pendidikan/pembelajaran
antara lain: (1) adanya sejumlah besar orang yang belum terpenuhi kesempatan belajarnya, (2)
adanya sumber yang belum dapat dimanfaatkan untuk keperluan belajar, (3) perlu adanya usaha
untuk menggarap sumber-sumber tersebut agar dapat terpenuhi hasrat belajar setiap orang, (4)
perlunya pengelolaan sumber-sumber belajar agar bisa digunakan secara optimal untuk keperluan
belajar (Miarso, 2005, p.166). Sebagai teknolog pembelajaran sudah seharusnya dapat berkontribusi
dalam membantu penentu kebijakan mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
Pada tahun 2013, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada eranya mulai
memberlakukan kurikulum baru guna memperbaharui kurikulum sebelumnya yakni kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Kurikulum 2013 diberlakukan pada
jenjang sekolah dasar hingga menengah.
Kurikulum 2013 mengamanatkan penggunaan pendekatan ilmiah dalam proses pembelajaran
sebagaimana tercantum dalam Permendiknas No. 65 Tahun 2013 (Mendikbud, 2013a, p.9) tentang
standar proses. Pendekatan ilmiah ini diyakini sebagai sarana yang tepat dalam pengembangan
sikap, pengetahuan, dan keterampilan di abad 21. Pada abad 21, siswa tidak hanya dituntut untuk
berpengetahuan saja, namun juga dapat memanfaatkan dan mengaplikasikan pengetahuan yang
diperoleh untuk kehidupannya kelak.
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk jenjang SMP dan SMA atau yang sederajat
dilaksanakan menggunakan langkah-langkah pendekatan ilmiah. Seluruh mata pelajaran
diintegrasikan dengan pendekatan ilmiah termasuk proses pembelajaran mata pelajaran IPA. Proses
pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Harapannya hasil
akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang
baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak
(hard skills) dari siswa yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
490 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan langkah-langkah pendekatan ilmiah. Langkah-langkah Pendekatan ilmiah dalam
pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba dan
membentuk jejaring atau lebih sering disingkat dengan 5M. Pendekatan ilmiah menjadi pendekatan
yang perlu dilaksanakan pada seluruh mata pelajaran untuk jenjang pendidikan menengah, tanpa
terkecuali mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Pembelajaran IPA pada jenjang Sekolah Dasar dan Menengah bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan proses ilmiah, mendorong pemahaman konsep dan mengembangkan sikap positif
terhadap ilmu pengetahuan. Sikap positif terhadap ilmu pengetahuan membutuhkan sumber belajar
dan media pembelajaran yang beragam (Surjono, 2013, p.15). Faktanya sumber belajar dan media
pembelajaran yang dapat mendukung kegiatan pembelajaran IPA yang dapat mendukung langkah-
langkah pendekatan ilmiah masih sangat terbatas. Sumber belajar yang digunakan masih berupa
buku cetak. Siswa dituntut untuk mengakses sumber belajar lainnya melalui internet tanpa kontrol
dan acuan yang jelas.
Prasurvey yang dilakukan di SMP Negeri 5 Yogyakarta dan SMP Al Azhar 26 Yogyakarta
kemudian diperoleh hasil identifikasi masalah sebagai berikut, (1) belum optimalnya interaksi
pembelajaran (2) belum adanya media pembelajaran yang tepat dan menarik untuk mengakomodir
interaksi pembelajaran IPA yang menggunakan langkah pendekatan ilmiah. (3) pertemuan tatap
muka yang terbatas mengakibatkan ada beberapa materi yang sulit untuk dipelajari dengan tatap
muka khususnya pada materi yang dipelajari di akhir semeseter. (4) sumber belajar yang
terintergrasi dengan kurikulum 2013 dan pendekatan ilmiah masih terbatas sehingga siswa kesulitan
untuk melakukan pengamatan. (5) belum optimalnya pemanfaatan fasilitas laboratorium komputer
dan jaringan internet dalam mendukung kegiatan pembelajaran IPA. (6) rendahnya hasil belajar
siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta pada mata pelajaran IPA.
Berdasarkan analisis terhadap kendala dan permasalah yang muncul pada pembelajaran maka
diperlukan solusi yang tepat dan bermanfaat agar pembelajaran IPA dapat mencapai tujuan dan
kompetensi yang diinginkan. Pembelajaran yang memanfaatkan teknologi dan media pembelajaran
serta berbasis pendekatan ilmiah akan memudahkan siswa untuk mengakses sumber belajar dan
tujuan pembelajaran akan mudah dicapai. Upaya untuk memberikan akses terhadap sumber belajar
yang memadai dapat dilakukan melalui e-learning.
E-learning yang kini menjadi sangat populer karena flexibilitas dan efektivitasnya merupakan cara
penyampaian materi pembelajaran yang cukup baik. Melalui e-learningdan sumber daya memadai
materi pembelajaran dapat diakses kapan saja dan dimana saja (Surjono, 2013, p.19). Hasil
penelitian tentang e-learning (Yuliastuti, dkk, 2014, p.1) menujukan bahwa apabila e-learning
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 491
dikembangkan dengan baik maka dapat digunakan dalam kegiatan belajar tatap muka di kelas,
pembelajaran jarak jauh, serta menjadi sarana belajar mandiri bagi siswa
Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan solusi yang ditawarkan maka dirumuskan permasalahan
yakni, bagaimana produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam yang layak dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP. Adapun
tujuan penelitian ini adalah menghasilkan produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata
pelajaran IPA yang layak dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMP. Melalui e-
learning berbasis pendekatan ilmiah diharapkan menjadi solusi terhadap masalah yang
terindentifikasi.
Konsep e-learning secara umum yaitu suatu pembelajaran elektronik berbasis web atau TIK yang
dibuat dengan prinsip dan metode tertentu sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran
open source yang menarik. Pembelajaran dengan e-learning memungkinkan siswa belajar secara
individual, kolaboratif, aktif, konstruktif, kontekstual, reflektif, serta mengasah berfikir tingkat
tinggi, baik melalui internet maupun intranet.
Kearn, S.K. (2010, p.6) menyatakan bahwa e-learning memiliki kelebihan yaitu: (1) hemat biaya,
(2) fleksibel tempat, (3) pengguna dapat melakkan akses dimana saja, dan kapan saja setiap saat, (4)
standarisasi konten antar instruktur diseluruh organsisasi, (5) tugas yang interaktif, (6)
kompatibilitas, (7) peserta didik segera mendapat umpan balik, (8) pelacakan kinerja peserta didik
mudah diketahui. E-learning juga mempunyai kelemahan karena sangat bergantung dengan jaringan
internet.
Pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas dari berbagai
kekurangan. Adapun kelemahan e-learning menurut Clarey, J. (2009, p.52), yaitu: (1) kemampuan
akses, (2) kecepatan internet, (3) biaya dan waktu pengembangan, (4) keterbatasan pengembangan,
(5) tidak semua materi cocok untuk e-learning, (6) butuh motivasi dan inisatif dari peserta didik. E-
learning yang baik tentunya harus memenuhi kriteria berdasarkan aspek-aspek yang dinilai
Alessi M.S. & Trollip R.S (2001, p.404) mengemukakan beberapa aspek yang penting untuk dinilai
pada media pembelajaran khususnya e-learning. Adapun aspek-aspek tersebut yakni, infomasi
tambahan (auxiliary information), pertimbangan sikap pengguna (affective considerations),
hubungan pengguna dengan program (interface), navigasi (navigation), pegagogi (pedagogy), fitur
tak tampak (invisible features), dan materi tambahan (supplementary materials). E-learning efektif
jika dikembangkan dengan basis pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran seperti
pendekatan ilmiah.
492 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran
sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan,
menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Pada mata pelajaran, materi, atau situasi
tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural.
Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau
sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat non ilmiah.
Esensi pendekatan ilmiah yang digunakan pada e-learning nantinya akan membantu peserta didik
untuk mengakses banyak sumber dan melaporkan setiap temuan-temuan yang dipelajari kepada
pendidik. Interaksi dan forum diskusi yang ada pada e-learning juga memudahkan peserta didik
untuk mengeksplore banyak sumber-sumber belajar. Melalui e-learning, langkah dan kegiatan
Pendekatan ilmiah bisa diakomodir.
Penggunaan pendekatan ini diharapkan dapat membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi
siswa dan juga untuk meningkatkan kecakapan abad 21, yaitu way of thinking, way of working,
tools for working, and living in the world (Brinkley, 2010, pp.1-2). Pendekatan illmiah diyakini
dapat mendorong siswa untuk mengembangkan seluruh kemampuannya terutama kecakapan hidup
di abad 21, yaitu bagaimana berpikir, bekerja, sebagai suatu alat mendapatkan pekerjaan, dan
bagaimana hidup di masyarakat. Jadi, secara tidak langsung siswa sedang diajak untuk
merencanakan karir masa depannya. Tentunya karir masa depannya bergantung pada skill dan
kompetensi yang ia miliki sejak dibangku sekolah.
Pembelajaran mata pelajaran IPA lebih menekankan pada pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompotensi agar peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses
“mencari tahu dan berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam. Melalui e-learning berbasis pendekatn ilmiah, pembelajaran IPA akan
dilakukan dengan: (1) memberikan proses pengalaman pada peserta didik sehingga siswa
menguasai materi yang dipelajari, (2) menanamkan peserta didik pentingnya pengamatan empiris
dalam menguji suatu pernyataan ilmiah (hipotesis), (3) memberikan akses sebesar besarnya untuk
mencari sumber-sumber belajar melalui media pembelajaran seperti e-learning, dan (4)
memperkenalkan dunia teknologi melalui kegiatan kreatif dalam kegiatan perancangan dan
pembuatan alat-alat sederhana maupun penjelasan berbagai gejala dalam keilmuan ipa serta
menjawab berbagai masalah yang dialami siswa sehari-hari.
Materi pelajaran sebagai konten yang dikembangkan harus dikelola sesuai sesuai dengan
karakteristik peserta didik sebagai calon pengguna produk. Implementasi nyata dari kajian
mengenai karakteristik peserta didik terhadap e-learning yang dikembangkan dapat dilihat dari
penentuan sasaran pengguna, desain layout yang akan digunakan, materi yang disajikan, umpan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 493
balik yang diberikan, gambar, video dan penggunaan kalimat yang mudah dipahami oleh calon
pengguna.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan atau dikenal dengan istilah Research and
Development (R & D), yang menghasilkan sebuah produk berupa e-learning berbasis pendekatan
ilmiah pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam bagi siswa kelas VIII SMP Negeri 5
Yogyakarta.
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dimulai dari bulan Maret hingga Juni 2015. Lokasi penelitian atau uji coba produk
yakni di SMP Negeri 5 Yogyakarta. Pada pelaksanaannya uji coba dilakukan secara bertahap
sebanyak 4 kali pertemuan.
Target/Subjek Penelitian
Target/sasaran penelitian dan uji coba produk yakni siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta.
Subjek atau responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 5
Yogyakarta. Penetapan subjek berdasarkan pertimbangan bahwa materi yang diajarkan sesuai
dengan analisis kebutuhan dan pelajaran pada semester II. Untuk lebih jelasnya subjek uji coba
sebagai berikut : (1) subjek untuk analisis kebutuhan yang terdiri dari 33 orang siswa kelas VIII
SMP Negeri 5 Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa hasil rekapitulasi nilai UAS Semester 1
menunjukkan bahwa kelas tersebut masih memperoleh nilai di bawah rata-rata yang sudah
ditetapkan sekolah dan kelas lainnya, (2) Subjek untuk uji coba test alpha dilakukan oleh ahli media
dan Media yang terdiri dari 2 Ahli Materi dan 2 Ahli Media dengan dasar pertimbangan bahwa Ahli
media dan materi tidak berkeberatan, berkompeten dibidangnya dan bersedia menilai instrumen.
Ahli materi terdiri dari 1 dosen dan 1 guru mata pelajaran IPA, (3) subjek ujicoba tes beta dilakukan
oleh 30 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta yang dipilih secara acak dengan dasar
pertimbangan tidak menggangu proses pembelajaran dan bersedia dalam menguji produk, dan (4)
Subjek dalam penilaian sumatif (produk final) melibatkan 30 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 5
Yogyakarta yang dipilih secara acak dengan dasar pertimbangan tidak menggangu proses
pembelajaran.
Prosedur
Prosedur pengembangan e-learning berbasis pendekatan ilmiah mata pelajaran IPA kelas VIII SMP
Negeri 5 Yogyakarta, diadaptasi dari prosedur pengembangan yang sudah dikembangkan oleh
Alessi dan Trollip yang kemudian oleh peneliti disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan
494 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
penelitian. Sebelum melakukan pengembangan untuk menentukan karakteristik materi dan
karakteristik pengguna, peneliti telah melakukan analisis kebutuhan terlebih dahulu. Analisis ini
mengacu pada kurikulum 2013 yang digunakan pada jenjang SMP, Khususnya SMP Negeri 5
Yogyakarta.
Model pengembangan ini memiliki tiga atribut dan tiga fase, tiga fase tersebut meliputi standard,
ongoing evaluation, dan project management. Sedangkan tiga fase meliputi perencanaan (planning),
desain (design) dan pengembangan (development).
Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif
didapat dari uji coba produk e-learning. Data kuantitatif didapat dari ahli media dan ahli materi (uji
alpha) juga dari siswa (uji beta). Data tersebut dibutuhkan agar nantinya dapat memberikan
gambaran mengenai kelayakan e-learning dan kualitas teknik tampilan produk serta peningkatan
pemahaman siswa setelah menggunakan produk e-learning.
Instrumen yang digunakan untuk penelitian dikembangkan dari aspek-aspek penilaian e-learning
yang dikemukakan Allesi dan Trollip (2001: p401) serta didukung oleh pendapat Graham Attwel
(2006: p.43) melalui kriteria penilaian e-learning. Instrumen yang digunakan untuk penelitian
terlebih dahulu dilakukan validasi oleh ahli instrumen.
Validasi instrument meliputi penentuan expert judgement ahli media, ahli materi, dan siswa.
Validasi yang dilakukan berupa validitas konstruk ahli media dan ahli materi. Validasi instrumen
dilakukan oleh validator instrumen.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh pada saat prasurvey dan analalsismelalui guru, analisis kebutuhan siswa dan
laboran IPA dipakai dalam menentukan ide awal pengembangan e-learning berbasis pendekatan
ilmiah pada mata pelajaran IPA. Selain itu saran dari ahli media, ahli materi, dan siswa dihimpun
dan dianalisis untuk memperbaiki e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran IPA.
Tabel 1. Konversi Data Penilaian Produk E-learning
Nilai Kriteria Skor
Rumus Perhitungan
A Sangat baik X>Xi+1,8Sbi X>4,21
B Baik Xi+0,6Sbi<X≤Xi+1,8Sb
i 3,40<X≤4,21
C Cukup baik Xi-0,6Sbi<X≤Xi+0,6Sbi 2,60<X≤3,40
D Kurang Xi-1,8Sbi<X≤Xi-0,6Sbi 1,79<X≤2,60
E Sangat kurang X≤Xi-1,8Sbi X≤1,79
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 495
Data yang diperoleh dari validasi ahli media, materi, dan tanggapan siswa dianalisis menggunakan
statistik deskriptif kemudian dikonversi ke dalam data “5” (Sukardjo, 2006, p.53).Konversi data
untuk menentukan kategori penilaian dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Pendekatan ilmiah yang menjadi basis produk e-learning
dapat diketahui melalui implementasinya dari kurikulum, sajian materi, pengelolaan materi dan
langkah pembelajaran yang digunakan. E-learning dapat diakses melalui situs
marbelscience.web.id. Tampilan depan portal e-learning dapat dilihat melalui Gambar 1.
Gambar 1. Tampilan portal e-learning
Gambar 2. Tampilan Depan E-learning
Setelah e-learning dikembangkan maka dilanjutkan dengan validasi oleh 2 orang ahli materi dan 2
orang ahli media. Validasi dilakukan untuk memperoleh penilaian terhadap e-learning. Adapun
hasil penilaian oleh kedua ahli materi dapat diketahui melalui Gambar 3.
496 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Penilaian ahli materi 1 terhadap seluruh indikator/aspek yang divalidasi diperoleh rata-rata
penilaian sebesar 4,1 dengan kategori "Baik" dan dinyatakan layak untuk diujikan pada tahap
berikutnya.
Penilaian ahli materi 2 terhadap seluruh indikator/aspek yang divalidasi diperoleh rata-rata
penilaian sebesar 4,2 dengan kategori “Sangat Baik” dan dinyatakan “Layak” atau sudah siap untuk
diujikan pada tahap berikutnya yakni oleh ahli media.
Adapun hasil penilaian oleh kedua ahli media dapat diketahui melalui gambar 4.
44,5 4,33 4,25
4 4
00,5
11,5
22,5
33,5
44,5
5
Pendahuluan Penyajian judul
Pendalaman Materi
Partisipasi siswa
Aktivitas tindak lanjut
Penilaian
Skor
Aspek yang dinilai
Ahli Materi 1
Ahli Materi 2
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
Skor
Aspek yang dinilai
Ahli Media 1
Ahli Media 2
Gambar 4. Hasil Penilaian Ahli Media
Gambar 3. Hasil Penilaian Ahli Media
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 497
Hasil validasi/uji alpha yang dilakukan oleh ahli media 1 diperoleh rata-rata penilaian yakni 3,91
dengan kategori “Baik” dan dinyatakan “Layak” serta dapat dilakukan ujicoba berikutnya. Hasil
validasi oleh ahli media 2 diperoleh rata-rata penilaian 4,52 dengan kategori “Sangat Baik” dan
dinyatakan “Layak” serta dapat dilakukan uji coba berikutnya. Langkah berikutnya adalah uji beta
yang dilakukan oleh siswa sebagai calon pengguna.
Uji beta atau tes beta merupakan tes akhir yang sepenuhnya dilakukan oleh siswa sebagai peserta
uji coba. Uji beta dilakukan secara formal dengan prosedur pembelajaran yang telah disepakati pada
rencana pelaksanaan pembelajaran. Uji beta dilakukan secara bertahap sebanyak 4 kali pertemuan.
Peserta yang melakukan uji beta berjumlah 34 siswa yang terdiri dari siswa kelas VIII.3 SMP
Negeri 5 Yogyakarta. Hasil analisis data uji beta dapat diketahui melalui Tabel 2.
Berdasarkan hasil rekapitulasi data uji beta terhadap e-learning berbasis pendekatan ilmiah
diperoleh rata-rata penilaian 4,07.Hasil analisis terhadap data dan persentase hasil penilaian subyek
coba pada uji beta diketahui bahwa kualitas e-learning berbasis pendekatan ilmiah mata pelajaran
IPA bagi siswa kelas VIII SMP termasuk kategori baik dan layak untuk digunakan pada proses
pembelajaran.
Evaluasi sumatif dilakukan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah menggunakan e-learning
berbasis pendekatan ilmiah. Evaluasi dilakukan dalam bentuk pretest dan posttest. Pretestdilakukan
Tabel 2. Hasil analsis data uji beta
No Aspek/Indikator yang divalidasi Nilai Rata-Rata Kriteria
1 Daya tarik produk 140 4,12 Baik
2 Kedalaman Materi 130 3,82 Baik
3 Motivasi 134 3,94 Baik
4 Dukungan Terhadap Belajar 142 4,18 Baik
5 Waktu dan Kesempatan Belajar 133 3,91 Baik
6 Tampilan dan Bahan yang Ditampilkan 139 4,09 Baik
7 Kemudahan akses 133 3,91 Baik
8 Konsistensi tampilan dan navigasi 133 3,91 Baik
9 Fasilitas interaksi 148 4,35 Sangat Baik
10 Kesesuaian materi dengan kehidupan 134 3,94 Baik
Jumlah 1366 40,17
Rata-rata 136,6 4,07 Baik
498 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
pada pertemuan awal yakni pada tanggal 22 Mei 2015 sebelum siswa memperoleh materi
menggunakan e-learning. Posttest dilakukan pada pertemuan terakhir yakni pada tanggal 29 Mei
2015 atau setelah siswa memperoleh materi dan belajar menggunakan e-learning. Pretest dan
posttest diberikan kepada kelas VIII SMP sebagai subjek coba penggunaan e-learning. Adapun hasil
belajar siswa dalam bentuk uji kompetensi yang diperoleh melalui posttest dan pretest dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis data evaluasi sumatif.
Data Nilai Pretest Postest
NilaiTertinggi 90 100
NilaiTerendah 65 80
Jumlah 2680 3210
Rata-Rata 78,82 94,41
Gain 15,59 Berdasarkan analisis terhadap hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta diperoleh
rata-rata pretest 78,82 dan rata-rata posttest 94,41. Setelah dianalisa tedapat selisih rata-rata sebesar
15,59. Data hasil belajar ini menjadi rekomendasi bagi pengembang untuk menyimpulkan bahwa e-
learning berbasis pendekatan ilmiah dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Pada saat dilaksanakan uji beta peneliti juga melakukan pengamatan terhadap reaksi dan sikap
pengguna e-learning melalui laporan aktivitas pengguna dari aplikasi moodle. Aplikasi moodle
memberikan laporan aktivitas berdasarkan intensitas keaktifan siswa dari forum, chatt, dan Quiz (uji
kompetensi). Penilaian juga dilakukan ketika siswa menggunakan secara langsung e-learning pada
pertemuan tatap muka. Penilaian pengamatan reaksi dan sikap pengguna terhadap e-learning
diperoleh dari penilaian terhadap beberapa aspek meliputi, antusiasme, kemudahan dalam
menggunakan media, respon postif, rasa ingin tahu, sikap aktif. Adapun hasil analisis penilaian
terhadap reaksi dan sikap dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis penilaian terhadap reaksi dan sikap pengguna
No Aspek Yang diamati Nilai Rata-rata 1 Antusiasme 147 4,32 2 Kemudahan dalam menggunakan media 148 4,35 3 Respon Postif 142 4,17 4 Rasa Ingin Tahu 143 4,2 5 Sikap Aktif 148 4,35 Jumlah 728 21,39 Rata-Rata 145,6 4,27 Kategori Baik
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 499
Respon yang positif ditunjukan oleh siswa terhadap e-learning diketahui dari hasil pengamatan selama penggunaan e-leaning diperoleh rata-rata 4,28 dengan katerogi baik. Dengan demikian, e-learning berbasisi pendekatan ilmiah dinilai sebagai media pembelajaran yang valid dan layak untuk
digunakan pada pembelajan IPA khususnya bagi jenjang kelas VIII SMP. Pengembangan e-learning berbasis pendekatan ilmiah dilakukan sejak bulan april sampai bulan juni
2015 (tiga bulan). Pengembangan e-learning berbasis pendekatan ilmiah berupa portal e-learning
dengan menggunakan aplikasi editing web dreamweaver dan LMS (Learning Management System)
melalui aplikasi moodle. Moodle merupakan perangkat lunak open source yang mendukung
implementasi e-learning.
Berdasarkan analisis kebutuhan di SMP Negeri 5 Yogyakarta dan SMP Al Azhar 26 Yogyakarta
diperoleh informasi dan data yang menguatkan peneliti untuk mengembangkan sebuah media
berupa e-learning. E-learning yang dikembangkan juga dikaitkan dengan penerapan kurikulum
2013. Penerapan kurikulum 2013 erat kaitannya dengan pendekatan ilmiah pada seluruh mata
pelajaran termasuk ilmu pengetahuan alam. Melalui e-learning berbasis pendekatan ilmiah ini siswa
SMP dapat mengakses materi yang diinginkan khususnya materi yang dikembangkan dalam bentuk
digital.
Portal e-learning yang diberi identitas mari belajar sains ini dapat diakses siswa melalui internet
dimana saja dan kapan saja dengan URL marbelscience.web.id. Cakupan materi e-learning meliputi
materi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam kelas VIII semester genap dengan pokok bahasan
Sistem Tata Surya dan Kehidupan di Bumi. E-learning bersera konten yang diupload pada e-
learning telah melalui validasi oleh ahli materi dan ahli media, serta telah mengikuti tahap-tahap
dalam pengembangan.
Pada tahap uji alpha, e-learning berbasis pendekatan ilmiah divalidasi oleh 4 orang ahli yang
meliputi 2 orang ahli materi dan 2 orang ahli media. Validasi oleh kedua ahli materi dilakukan
012345
SKor
Aspek yang diamati
Rata-rata
Gambar 5. Hasil penilaian reaksi dan sikap pengguna
500 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
mulai tanggal 18 Mei sampai 26 Mei 2015. Penilaian ahli materi 1 terhadap seluruh indikator/aspek
yang divalidasi diperoleh rata-rata penilaian sebesar 4,1 dengan kategori "Baik" dan dinyatakan
layak digunakan dan telah direvisi sesuai saran. Penilaian ahli materi 2 terhadap seluruh
indikator/aspek yang divalidasi diperoleh rata-rata penilaian sebesar 4,2 dengan kategori “Sangat
Baik” dan dinyatakan layak dan telah direvisi sesuai saran.
Validasi oleh kedua ahli media dilakukan mulai tanggal 19 Mei sampai 23 Mei 2015. Hasil
validasi/uji alpha yang dilakukan oleh ahli media 1 diperoleh rata-rata penilaian yakni 3,91 dengan
kategori “Baik” dan dinyatakan layak serta telah direvisi sesuai saran. Hasil penilaian oleh ahli
media 2 diperoleh rata-rata penilaian 4,52 dengan kategori “Sangat Baik” dan dinyatakan layak
serta telah direvisi sesuai saran.
Pada tahap uji beta, e-learning berbasis pendekatan ilmiah telah diujicobakan pada 34 peserta yang
berasal dari kelas VIII.3 SMP Negeri 5 Yogyakarta. Uji coba dilakukan mulai tanggal 23 Mei
sampai tanggal 29 Mei 2015. Pada akhir pertemuan dilakukan penilaian terhadap produk e-learning
ini dan diperoleh rata-rata penilaian sebesar 4,07 dengan kategori baik serta dinyatakan layak
digunakan dalam proses pembelajaran.
Pengukuran hasil uji belajar melalui pemberian pretest dan posttest pada evaluasi sumatif dilakukan
juga pada 34 siswa kelas VIII.3 SMP Negeri 5 Yogyakarta. Pretest dilakukan pada saat sebelum
siswa menggunakan atau mengakses e-learning yakni pada tanggal 20 Mei 2015. Sedangkan posttes
dilakukan setelah siswa mengunakan atau mengakses e-learning yakni pada tanggal 29 Mei 2015.
Hasil pretest kemudian dibandingkan dengan hasil posttest untuk diperoleh data hasil belajar.
Berdasarkan analisis terhadap hasil prettest dan posttest diketahui adanya kenaikan hasil belajar
setelah menggunakan e-learning sebesar 15,58%. Efek positif dari kenaikan hasil belajar tersebut
yakni pembelajaran IPA kelas VIII Semester genap menggunakan e-learning berbasis pendekatan
ilmiah dapat meningkatkan kompetensi kognitif dan pemahaman konsep.
Nilai fleksibilitas e-learning dapat dilihat dari dokumentasi pada lampiran 25, kegiatan yang
menunjukan bahwa siswa bisa mengakses dimana saja, kapan saja tanpa harus terikat waktu dan
jam pelajaran tatap muka. E-learning berbasis pendekatan ilmiah mendapat respon baik dari
sekolah, guru mata pelajaran dan siswa sebagai pengguna. Respon yang positif ditunjukan oleh
siswa terhadap e-learning diketahui dari hasil pengamatan selama penggunaan e-leaning diperoleh
rata-rata 4,28 dengan katerogi baik. Dengan demikian, e-learning berbasisi pendekatan ilmiah
dinilai sebagai media pembelajaran yang valid dan layak untuk digunakan pada pembelajan IPA
khususnya bagi jenjang kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta.
Adapun keterbatasan dalam penelitian ini (1) penerapan e-learning dalam pembelajaran akan lebih
efektif jika dilaksanakan dengan pertemuan pembelajaran lebih banyak, minimal tiga kali
pertemuan. Namun, dalam penelitian dan pengembangan ini peneliti mengalami kesulitan dalam
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 501
mengatur alokasi waktu pembelajaran karena terkait masa studi peneliti, (2) instrumen ranah
keterampilan dalam penelitian ini belum dikembangankan karena tidak termasuk dalam analisis
data atau pembahasan. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu peneliti dan fokus peneliti, (3)
penelitian dan pengembangan hanya dilakukan sampai tahap uji coba dan tes sumatif, sedangkan uji
coba dengan skala luas belum bisa dilakukan karena keterbatasan dana dan waktu peneliti, (4)
subjek uji coba dalam penelitian dan pengembangan yang terbatas, menyebabkan tidak semua
populasi siswa di SMP pilot project Kurikum 2013 di Yogyakarta dapat diuji coba. Jumlah populasi
yang semakin banyak dan bervariasi dapat memberikan informasi tambahan terkait temuan-temuan
lapangan yang dapat digunakan untuk menyempurnakan e-learning yang dikembangkan.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. Hasil penelitian
dan pengembangan berupa produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam bagi siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta. Software yang digunakan
untuk mengembangkan e-learning ini menggunakan moodle. Fitur yang ada pada aplikasi moodle
berupa forum, chat, sajian materi, dan penilaian disesuaikan dengan langkah pendekatan ilmiah.
Produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah telah layak sesuai kriteria yang ditentukan
berdasarkan hasil uji alpha dan uji beta dan seluruh rangkaian kegiatan penelitian dan
pengembangan. Hasil belajar yang diketahui melalui evaluasi sumatif terhadap penggunaan e-
learning berbasis pendekatan ilmiah pada mata pelajaran IPA di SMP Negeri 5 Yogyakarta
menunjukan bahwa terdapat peningkatan pencapaian hasil belajar siswa sebesar 15,58%. Nilai rata-
rata pretest 78,82 meningkat pada posttest menjadi 94,41 dengan presentase ketuntasan belajar
siswa 100%
Saran
Produk e-learning berbasis pendekatan ilmiah ini perlu implementasi lebih lanjut agar diketahui
kelemahan dan kekurangannya dalam proses pembelajaran, materi yang disajikan di e-learning
tidak hanya mata pelajaran IPA tetapi mata pelajaran lainnya yang basis kurikulumnya 2013, Selain
itu pendidik/guru diharapkan mampu memanfaatkan e-learning ini untuk meningkatkan hasil belajar
siswa.
502 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Daftar Pustaka
Alessi, M.S. & Trollip, R.S. (2001). Multimedia for learning, methods and development. United
States: Pearson Education Inc.
Attwell, G. (2006). Evaluating e-learning; A guide to the evaluation of e-learning (3thed). Bremen:
Druck Perspektiven Offset.
Brinkley, M. (2010). Defining 21st century skills. Diambil pada tanggal 20 Maret 2014, dari
http://atc21s.org/wp-content/uploads/2011/11/1-Defining-21st-Century-Skills.pdf, 1-2(20), 52.
Clarey, J. (2009). E-learning 101: An intriduction to e-learning, learning tools, and technologies.
Brandon Hall Research.
Kearn, S.K. (2010). E-learning in avation. England: Ashghate Publising Limited.
Kukuh, S.P. (2005). Membangun e-learning dengan moodle. Yogyakarta: Andi.
Sagan, C. (1980). The Scientific Approach. Diambil pada tanggal 30 Oktober 2013,
http://www.sagepub.com/upm-/32355_chapter2.pdf
Smaldino, dkk. (2005). Instructional technology and media for learning (8thed). New Jersey:
Merrill prentice Hall.
Sukardjo. (2006). Kumpulan Materi Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: UNY Press.
Surjono, H. D.(2013). Membangun course e-learning berbasis moodle-2rd.Ed. Yogyakarta: UNY
Press.
Yuliastuti, dkk. (2014). Pengembangan media pembelajaran IPA terpadu berbasis e-learning dengan
moodle untuk siswa sekolah menengah pertama pada tema pengelolaan sampah [versi elektronik].
Jurnal Pendidikan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta. Diambil pada tanggal 26 Agustus
2014, dari http;//google.com/3730-8259-1-sm.pdf.1 (5), 10.
Yusufhadi Miarso. (2005). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta: Prenata Media.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 503
Profil Penulis
Heru Amrul Muarif, lahir di Desa Siku, kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, pada tanggal 22
Februari 1991. Pendidikan terakhir S1 Sarjana Pendidikan dari Jurusan Teknologi Pendidikan,
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Kemudian melanjutkan studi di Program
Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta pada program studi Teknologi Pembelajaran.
504 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER PENDEKATAN SCIENTIFIC MULTIKULTURAL PADA PENDIDIKAN SEJARAH
Samsidar, Tanjung, dan Hidayat
Teknologi Pendidikan Pascasarjana Unimed
ABSTRAK
Pembelajaran sejarah nasional sebagai unsur pegembangan nasionalisme kultural sangat berfungsi
untuk menjadi mediasi dalam memantapkan hubungan antara unsur-unsur masyarakat plural.
Menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, regional maupun internasional dalam
pendidikan, tidak terlepas dari budaya dan multikultur yang dikemas dalam pendidikan sejarah.
Maka diperlukan pendidikan dengan penerapan Model Pembelajaran Berbasis Karakter Pendekatan
Scientific Multikultural melalui kurikulum yang terintegrasi budaya lokal. Pendidikan yang
demikian berorientasi pada pembentukan karakter dan berbudaya yaitu pendidikan yang
memberikan jiwa keberanian dan kemauan menghadapi permasalahan hidup dan kehidupan secara
wajar, berjiwa mandiri, tangguh dan berdaya saing, dan berjiwa kreatif untuk mencari solusi dalam
mengatasi permasalahan masyarakat yang berkembang. Mata kuliah Pendidikan Sejarah diharapkan
mampu memberikan pembelajaran, pelatihan, penugasan lapangan, survei, dan praktik kerja.
Kata Kunci: Model pembelajaran berbasis karakter, pendekatan scientific, multicultural
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 505
PENDAHULUAN
Salah satu dampak krisis secara keilmuan, hampir semua disiplin ilmu dipertanyakan ”kontribusi
keampuhannya” untuk memulihkan krisis multidimensional tersebut, termasuk peranan
pembelajaran sejarah dalam mempertahankan integrasi bangsa. Beberapa sejarawan dan pengamat
sosial berpendapat bahwa nasionalisme yang menyangkut inte-grasi bangsa perlu ”direvitalisasi”
dalam arti luas menyangkut beralihnya pandangan ahistoris ke historis, berkembangnya ke arah
egalitarism, justice, clean governance dan clean government yang mempercepat terwujudnya civil
society agar tidak kehilangan aktualitasnya (Hobsbawm, 1990:210-211; Abdullah, 2001:73;
Guibernau, 1996: 150; Kleden, 2001:73; Simatupang, 2002: 45).
Pentingnya perubahan paradigma pendidikan sejarah tersebut bukan semata-mata karena adanya
gerakan reformasi yang terjadi belakangan ini, gerakan reformasi itu sendiri hanyalah sebagai
faktor pemicu terjadinya gerakan ke arah itu. Robinson (1965) telah merintis perubahan dari Sejarah
Lama (The Old History) ke Sejarah Baru (The New History), merupakan reaksi terhadap Sejarah
Lama yang terlalu kaku membatasi diri pada sejarah politik. Perluasan pengkajian pada Sejarah
Baru mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, pertanian, pendidikan, psiko-logi, teknologi,
dan sebagainya secara inter/multidisipliner. Sejarah Baru ini dengan demikian lebih luas, dan
hanya-lah sebagai faktor pemicu terjadinya gerakan ke arah itu. Robinson (1965) telah merintis
perubahan dari Sejarah Lama (The Old History) ke Sejarah Baru (The New History), merupakan
reaksi terhadap Sejarah Lama yang terlalu kaku membatasi diri pada sejarah politik.
Perluasan pengkajian pada Sejarah Baru mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, pertanian,
pendidikan, psikologi, teknologi, dan sebagainya secara inter/multidisipliner. Sejarah Baru ini
dengan demikian lebih luas, dan menurut Burke (1993:3-4) merupakan Sejarah Baru sejarah sosial.
Tampaknya telah terjadi perubahan/pergeseran begitu kuat perubahan ini dalam filsafat pendidikan
sejarah dari perenialism yang menekankan “transmission of the glorious past” ke arah suatu posisi
di mana berbagai aliran filsafat seperti essensialism bahkan social reconstructionism bergabung
terlebur di dalamnya secara eklektik (Hasan, 1999: 9).
Pembelajaran sejarah yang bersifat eklektik tersebut tidak saja menjadi wahana pengembangan
kemampuan intelektual dan kebanggaan masa lampau, tetapi juga merupakan wahana upaya
memperbaiki kehidupan masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya. Pembelajaran
sejarah juga memiliki nilai praktis-pragmatis bagi mahasiswa, tidak sekedar nilai-nilai teoretik-
idealisme konseptual. Sebagai konsekuensi logis dari pergeseran filsafat pembelajaran sejarah
tersebut, menurut Hasan (1999:9), terdapat tiga hal baru; (1) keterkaitan pelajaran sejarah dengan
kehidupan sehari-hari mahasiswa; (2) pemahaman dan kesadaran akan karakteristik cerita sejarah
506 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
yang tidak bersifat final; dan (3) perluasan tema sejarah politik dengan tema-tema sejarah sosial,
budaya, ekonomi, dan teknologi.
Pembelajaran sejarah nasional sebagai unsur pegembangan nasionalisme kultural sangat berfungsi
untuk menjadi mediasi dalam memantapkan hubungan antara unsur-unsur masyarakat plural.
Anderson (1983:12-16) menyebutkan peran sejarah nasional sebagai identitas nasional dan
perkembangan kesadaran nasional. Selanjutnya ia juga melihat arti penting identitas nasional
sebagai pengaruh yang paling kuat dan bertahan lama dalam identitas kultural kolektif. Kemudian
Vanderburg (1985:272) menambahkan bahwa melalui pembelajaran sejarah nasional, juga berupaya
membentuk model-model perilaku yang me-mupuk nasionalisme kultural untuk menciptakan pola
hubungan yang mengatasi lingkungan temporal dan spasial serta dimensi-dimensi lainnya.
Dalam rangka pengembangan pembelajaran sejarah agar lebih fungsional dan terintegrasi dengan
berbagai bidang keilmuan lainnya, maka terdapat berbagai bidang yang seyogianya mendapat
perhatian, yaitu: pertama, untuk menjawab tantangan masa depan, kreativitas dan daya inovatif
diperlukan agar suatu bangsa bukan hanya sekedar manjadi konsumen IPTEK, konsumen budaya,
maupun penerima nilai-nilai dari luar secara pasif, melainkan memiliki keunggulan kompetitif
dalam hal penguasaan IPTEK. Oleh karenanya, sikap, motivasi, dan kreativitas perlu
dikembangkan melalui penciptaan situasi proses belajar mengajar yang dinamis di mana pengajar
mendorong vitalitas dan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan diri. Kedua, peserta didik
akan dapat mengembangkan daya kreativitasnya apabila proses belajar mengajar dilaksanakan
secara terprogram, sistemis dan sistematis, serta ditopang oleh ketersediaan sarana dan prasarana
yang memadai. Ketiga, dalam proses pengembangan kematangan intelektualnya, peserta didik perlu
dipacu kemampuan berfikirnya secara logis dan sistematis.
Dalam proses belajar mengajar, pengajar harus memberi arahan yang jelas agar peserta didik dapat
memecahkan suatu persoalan secara logis dan ilmiah. Keempat, peserta didik harus diberi
internalisasi dan keteladanan, dimana mereka dapat berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Fenomena ini dalam hal-hal tertentu dapat membentuk semangat loyalitas, toleransi, dan
kemampuan adaptabilitas yang tinggi. Dalam pendekatan ini perlu diselaraskan dengan kegiatan
proses belajar mengajar yang memberi peluang kepada mereka untuk berprakarsa secara dinamis
dan kreatif. Oleh karena itu, diperlukan kinerja dosen yang mendukung pencapaian kualitas
tersebut.
Makalah ini akan membahas tentang: model pembelajaran berbasis karakter dengan
pendekatan scientific multikultural untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pada pendidikan
sejarah.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 507
PEMBAHASAN
Pengembangan model pembelajaran berbasis karakter dengan pendekatan scientific
multikultural untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pada pendidikan sejarah di Perguruan
Tinggi dilaksanakan untuk menerangkan eksistensi ataupun sosio-genesis negara-nasional kita. Ini
berarti bahwa identitas nasional kita terikat pada Sejarah Nasional itu, maka dapat pula Sejarah
Nasional itu dipandang sebagai lambang identitas bangsa Indonesia. Dipandang kepentingannya
dalam pembangunan bangsa, Sejarah Nasional berperan sangat strategis dan fundamental, terutama
dalam membangun kesadaran nasional khususnya dan pendidikan naional umumnya. Oleh karena
itu tidak berlebihan jika dalam Sejarah Nasional tersebut berperan sebagai sumber inspirasi dan
aspirasi pada generasi muda yang mencakup heroisme, yaitu cerita-cerita kepahlawanan tanpa
memperluas kultus individu.
Pembelajaran sejarah nasional sebagai unsur pegembangan nasionalisme kultural sangat berfungsi
untuk menjadi mediasi dalam memantapkan hubungan antara unsur-unsur masyarakat plural. Peran
sejarah nasional sebagai identitas nasional dan perkembangan kesadaran nasional selanjutnya
merupakan arti penting identitas nasional sebagai pengaruh yang paling kuat dan bertahan lama
dalam identitas kultural kolektif. Melalui pembelajaran sejarah nasional, juga berupaya membentuk
model-model perilaku yang memupuk nasionalisme kultural untuk menciptakan pola hubungan
yang mengatasi lingkungan temporal dan spasial serta dimensi-dimensi lainnya.
Keutamaan penelitian ini adalah mewujudkan suatu model pembelajaran berbasis karakter
pendekatan scientifik multikultural sebagai proses terjadinya kegiatan pembelajaran sebagai upaya
untuk pencapaian tujuan terjadinya proses belajar untuk memahami gambaran pengalaman kolektif
terhadap masalah-masalah global (internasional) yang aktual untuk membantu pemahaman dimensi
proses globalisasi yang beragam manifestasinya. Sehingga penting dalam pengembangan model
pembelajaran sejarah berbasis karakter melalui pendekatan multikulrutal ini dilakukan karena
mampu memberikan: (1) Interaksi antar etnik, dalam definisi ini diartikan sebagai proses hubungan
timbal balik antar etnis di Indonesia yang bermakna baik secara sukarela maupun atas dasar
kewajiban yang memupuk integrasi bangsa. Aspek-aspek yang dikaji mencakup: (a) pergaulan
lintas etnis di sekolah dan masyarakat, (b) penghargaan dan keingintahuan terhadap budaya sendiri
dan orang lain yang berbeda di masyarakat, (c) sikap penerimaan terhadap komunitas yang
heterogen; dan (2) Rasa solidaritas bangsa, dalam definisi ini memiliki arti suatu kesadaran
menyangkut perasaan setia kawan dan tanggung jawab sebagai warganegara, merasa terikat satu
kesatuan dengan segala kebanggaan dan kekurangannya yang menumbuhkan kebersamaan emosi
sebagai bangsa Indonesia. Aspek-aspek yang diukur mencakup: (a) rasa kesetaraan dan keadilan
508 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
sebagai bangsa Indonesia (b) merasa bagian dari bangsa Indonesia dan karenanya merasa memiliki
sebagai bangsa (c) mengembangkan sikap dan perilaku kebersamaan bangsa dengan menghargai
perbedaan etnis, budayanya, agama, dan kedaerahannya.
Historis-Epistemologis Kurikulum Multikultur dalam Pendidikan Sejarah
Evolusi historis-epistemologis kurikulum multikultur, berawal pada tahun 1960 ketika muncul
gerakan hak-hak sipil sebagai koreksi terhadap kebijakan de facto tentang asimilasi kelompok
minoritas ke dalam politik "melting pot" budaya Amerika yang dominan. Gerakan ini bertujuan
untuk mempromosikan perlunya penyediaan pendidikan yang sama bagi semua ras (equal education
for all races) (Sobol, dalam Gary, 1994; Fillion, 2011). Kredo pedagogis-epistemologis gerakan ini
adalah bahwa proses pembentukan pengetahuan bukan sebatas sebuah tindakan individual,
melainkan berdasarkan makna-makna yang tercipta, terbentuk, dan terbangun di dalam sebuah
konteks-situasional (personal, sosial, historikal, politik, linguistikal, dan kultural) (Dantas, 2007);
dan bahwa pendidikan perlu dibangun berdasarkan perspektif dan kesadaran akan arti pentingnya
keberagaman sosio-kultural masyarakat (Banks, 2000; Fillion, 2011).
Untuk mewujudkan misi pendidikan sejarah berbasis multikultur ini, di kalangan pakar muncul 3
tipologi program pendidikan multikultur yang diintegrasikan ke dalam kurikulum. Ketiga tipologi
program tersebut adalah: program yang berorientasi pada konten (content-oriented programs);
program yang berorientasi pada peserta didik (student-oriented programs); dan program yang
berorientasi sosial (socially-oriented programs). Pakar yang menjadi proponen gerakan baru ini
adalah Banks, Sleeter, dan Grant (Gary, 1994). Diskursus akademik ini, menjadi awal munculnya
pemikiran tentang pendidikan sejarah berbasis multikultur dan pendidik sebagai intelektual dan
pengembang kurikulum multikultur.
Dasar-dasar pedagogis dan epistemologis gerakan ini, dikemukakan oleh Banks melalui sebuah
”canon debate”, yang kemudian merumuskan 5 tipologi pengetahuan (Banks, 1996), yaitu
pengetahuan personal/kultural, populer, akademik mainstream, akademik transformatif, dan
pengetahuan akademik. Terpenting dari tipologi pengetahuan tersebut, adalah tipologi dikotomistis
antara “pengetahuan akademik mainstream” (mainstream academic knowledge) vs “pengetahuan
akademik transformatif” (transformative academic knowledge).
Pada perkembangan selanjutnya, pedagogi dan epistemologi “baru” ini mendapatkan dukungan
berbagai kajian bahasa dan budaya dari perspektif multikultur, diantaranya oleh Jegede &
Aikenhead (2000), Zamroni (2001), Stanley & Brickhouse (2001), Ogawa (2002). Hasil-hasil
penelitian mereka menegasikan kredo pedagogis dan epistemologis tentang ”kurikulum
esensialistik” yang dibangun berdasarkan pengetahuan akademik mainstream. Menurut mereka,
keniscayaan kurikuler esensialistik dapat menghambat perkembangan tahapan progresif kognitif
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 509
peserta didik, mendistorsi atau merusak “genuine concepts”, “indigenous science”, atau
“spontaneous concept” mereka tentang alam semesta yang dibangun dan dikembangkan dari
keseharian pengalaman personal, sosial dan kulturalnya di masyarakat. Kurikulum esensialistik,
juga dapat mencabut peserta didik dari situasi nyata yang menjadi basis pembentukan dan
penggunaannya; juga kurang bermakna bagi mereka, serta menunjukkan adanya “hegemoni atau
imperialisme pendidikan” atas diri peserta didik. Bahkan, kurikulum esensialistik dapat mendistorsi
atau merusak self-concept peserta didik yang merupakan faktor esensial bagi pembentukan
identitas atau karakter peserta didik (Sumantri, 2002).
Model Pembelajaran Berbasis Karakter Pendekatan Scientific Multikultur
Unsur utama dalam pembentukan karakter bangsa adalah nilai-nilai budaya. Karena itu,
pengembangan pendidikan nilai budaya merupakan penentu totalitas kepribadian/ karakter bangsa
yang berawal pada akar perjalanannya dan ditentukan oleh hasil proses aktualisasi nilai-nilai budaya
tersebut. Pembangunan karakter suatu bangsa adalah suatu proses yang sifatnya berkelanjutan
menuju pada kondisi karakter bangsa yang diinginkan. Identitas suatu bangsa adalah pilihan dan
terbentuk dari pancaran karakter bangsa yang sudah melembaga/ mendarah daging atau menjadi
kebiasaan sehari-hari sehingga menjadi karakter atau jati diri bangsa.
Menurut Samsuri (2009:1) dan Zuchdi (2008:5) pendidikan karakter, pendidikan nilai, dan
pendidikan moral sering disamakan. Pendidikan karakter merupakan upaya untuk
menginternalisasikan nilai-nilai utama atau nilai-nilai positif kepada warga masyarakat agar
menjadi warga bangsa yang percaya diri, tahan uji, dan bermoral tinggi, demokratis dan
bertanggung jawab serta survive dalam kehidupan bermasyarakat. Karakter mencerminkan
kepribadian yang berkaitan dengan moralitas namun kualitas moral itu sedemikian khas sehingga
berbeda kualitas dengan orang lain atau kelompok masyarakat yang lain.
Fungsi utama dari pendidikan nilai ini bersifat abstrak, yakni penanaman nilai-nilai budaya sebagai
pembentuk pribadi (pada skala individu) dan sebagai pembentuk jati diri bangsa (pada skala
kebangsaan). Sedangkan bagian yang konkrit adalah pembelajaran, yaitu upaya-upaya untuk
mengalihkan pengetahuan dari dosen kepada mahasiswa. Ukuran keberhasilan dari aspek
pembelajaran ini lebih jelas karena itu umumnya orang menganggap bahwa hasil pembelajaran
inilah yang betul-betul dibutuhkan dalam dunia kerja. Dengan demikian maka pendidikan yang
berfungsi mencerdaskan bangsa itu harus menghasilkan manusia-manusia yang berdaya guna dalam
dunia kerja, sekaligus kreatif dan berbudaya.
510 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Zamroni (1993: 147-8) menjelaskan bahwa dari kenyataan tersebut maka untuk membangun
karakter dan bangsa diperlukan political will atau komitmen dari pemerintah atau penguasa.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Lickona (1992), tanpa
ketiga aspek ini maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus
dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan
menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak
menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi
segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan
itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Muatan pendidikan karakter secara psikologis
mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991) atau
dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup moral judgment and moral behaviour baik yang
bersifat prohibition-oriented morality maupun pro-social morality (Piaget, 1967; Kohlberg, 1975;
Berg, 1981).
Secara pedagogis, pendidikan karakter sebaiknya dikembangkan dengan menerapkan holistic
approach, dengan pengertian bahwa “Effective character education is not adding a program or set of
programs. Rather it is a tranformation of the culture and life of the school” (Berkowitz, 2010).
Sementara itu Lickona (1992) menegaskan bahwa “In character education, it’s clear we want our
children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they
believe to be right-even in the face of pressure form without and temptation from within”.
Dalam pengembangan pendidikan karakter di perguruan tinggi, institusi pendidikan atau sekolah
harus menjadi lingkungan yang kondusif. Menurut Lewis (1996:8) pendidikan karakter akan
senantiasa mengembangkan akhlak mulia dan kebiasaan yang baik bagi para peserta didik. Bulach
(2002:80) menjelaskan dosen dan orang tua perlu membuat kesepakatan tentang nilai-nilai utama
apa yang perlu di belajarkan misalnya: respect for self, others, and property; honesty; self-
control/discipline. Dalam kaitan ini, Lickona (2000: 48) menyebutkan beberapa nilai kebaikan
yang perlu dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan peserta didik agar tercipta kehidupan yang
harmonis di dalam keluarga dan masyarakat. Beberapa nilai itu antara lain kejujuran, kasih sayang,
pengendalian diri, saling menghargai atau menghormati, kerjasama, tanggung jawab, dan
ketekunan. Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti
mengukuhkan moral intelektual peserta didik atas dasar nilai-nilai kebaikan sehingga menjadi
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 511
pribadi yang mantap dan tahan uji, pribadi-pribadi yang cendekia, mandiri, dan bernurani tetapi
juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial.
Koesoema (2007:116) berpendapat bahwa pendidikan karakter dapat menjadi salah satu langkah
untuk menyembuhkan penyakit sosial. Dalam konteks keindonesiaan pendidikan karakter adalah
proses menyaturasakan sistem nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya Indonesia dalam dinamika
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan karakter bangsa merupakan suatu
proses pembudayaan dan transformasi nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya bangsa
(Indonesia) untuk melahirkan insan atau warga negara yang berperadaban tinggi dan warga negara
yang berkarakter. Karakter bangsa adalah sebuah keunikan suatu komunitas yang mengandung
perekat kultural bagi setiap warga negara. Karakter bangsa menyangkut perilaku yang mengandung
core values dan nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila dan simbol-simbol keindonesiaan.
Secara formal, internalisasi nilai-nilai moral melalui pengembangan kemampuan ke dalam domain
afektif kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah dirumuskan dalam kebijakan pendidikan di
Indonesia tetapi kurang jelas implementasinya karena lebih menekankan pada pengembangan
kognitif. Dikemukakan oleh Ringness (1975: 5) bahwa: “One finds affective behavior in any school
situation–indeed, in any situation- but compared to cognitive learning, relatively little affective
learning has been deliberately introduced into the curriculum”.
Dalam rangka membangun kepribadian utuh diperlukan keseimbangan ketiga aspek tersebut.
Pendidikan karakter yang esensinya adalah internalisasi nilai-nilai moral termasuk dalam
pengembangan domain afektif. Domain afektif berkaitan dengan aspek batiniah (the internal side)
yang tidak dapat diamati maka dalam pemahamannya sering ditemukan konsep yang tumpang-
tindih. Domain afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, rasa senang-tidak senang, apresiasi,
sikap, nilai-nilai, moral, karakter dan lain-lain. Adanya tumpang-tindih konsep terlihat dalam
pendapat Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut. ”The affective domain includes all
behavior connected with feelings and emotions. Thus, as was earlier stated, emotions, tastes and
preferences, appreciations, attitudes and values, morals and character, and aspects of personality
adjustment or mental health are included”.
Proses internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif meliputi beberapa jenjang dan jenjang
afeksi yang paling dalam adalah karakterisasi pembentukan karakter). Krathwohl dkk (1964)
mengemukakan taksonomi domain afektif yang cakupannya secara hirarkhis, meliputi: (1)
receiving, (2) responding, (3) valuing, (4) organization, and (5) characterization (Bloom, et.al,
1981: 301-302; Ringness, 1975: 21). Dengan demikian karakterisasi adalah proses internalisasi
nilai yang telah mencapai tingkatan paling tinggi/dalam. Penghayatan terhadap suatu nilai, pada
512 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
tingkatan yang sangat dalam maka nilai itu telah mengkarakter atau menjadi penanda khas
kepribadian orang yang bersangkutan.
Scientific multikulturalisme dalam praktek merupakan suatu strategi dari integrasi sosial di mana
keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara
efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan,
bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial yang bisa
melahirkan persatuan kuat, tetapi justru pengakuan terhadap adanya pluralitas (kebhinnekaan)
budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang
demokratis. Pengalaman konflik yang cukup frekuentif yang terjadi pada beberapa tempat dapat
dijadikan tolak ukur bahwa negeri ini masih merangkak dalam memahami subtansi
multikulturalisme.
Pengembangan faham multikultural dalam masyarakat tidak akan pernah terbentuk dengan
sendirinya. Dibutuhkan proses yang panjang dan sistematis. Paham multikultural sebagai entitas
yang paling asasi dalam membentuk hubungan harmonis kemasyarakatan ini harus tertanam
semenjak dini, dan salah satu lembaga yang tepat untuk menanamkan dan mengembangkannya
adalah lembaga sekolah, melalui kurikulum pendidikan yang akomodatif terhadap kepentingan ini.
Pendidikan multikultural adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi yang
memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada dan
dari manapun datangnya (secara ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, keyakinan, atau agama, dan
negara). Pendidikan multikultural merupakan dambaan semua orang, lantaran keniscayaannya
konsep “memanusiakan manusia”. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya dia akan sangat
membutuhkan pendidikan model pendidikan multikultural ini. (Mahfud, 2006: 70). Dengan melihat
dan memperhatikan berbagai pengertian pendidikan multikultural, disimpulkan bahwa pendidikan
multikultural adalah sebuah proses pengembangan yang tidak mengenal sekat-sekat dalam interaksi
manusia. Sebagai wahana pengembangan potensi, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
menghargai heterogenitas dan pluralitas, pendidikan yang menjunjung tinggi nilai kebudayaan,
etnis, suku, dan agama.
Dalam konteks ini, tentu saja pembelajaran agama Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah harus
memuat kurikulum berbasis keanekaragaman (multikultur). Pendidikan merupakan interaksi antara
orang dewasa dengan orang yang belum dapat menunjang perkembangan manusia yang
berorientasikan pada nilai-nilai dan pelestarian serta perkembangan kebudayaan yang berhubungan
dengan usaha pengembangan kehidupan manusia. Tujuan pendidikan yang ditentukan oleh negara
merupakan kesepakatan bersama yang patut dihormati. Sebagai suatu kesepakatan, tujuan
pendidikan bukanlah merupakan suatu dogma yang tidak berubah bahkan merupakan patokan yang
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 513
terus bergerak ke depan untuk lebih menyempurnakan upaya memerdekakan warganya. (Tilaar,
2006: 112).
Prinsip Dasar Implementasi Pendidikan Multikultural di Indonesia
Prinsip Dasar Implementasi Pendidikan Multikultural di Indonesia kultur oleh etnis dan kultur
“mayoritas” WMPA. Oleh karena itu, maka untuk menerapkan pendidikan multikultural di
Indonesia haruslah hati-hati, tepat, dan bijaksana, karena belum tentu sama dengan Amerika.
Bagaimana pendidikan multikultural dapat diimplementasikan di negara lain di luar Amerika
Serikat? Bagaimana mentransfer konsep pendidikan multikultural ala Amerika Serikat menjadi
model yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsa Indonesia? Sudah barang tentu perlu
penyesuaian dan pemahaman yang benar. (Zamroni, 2011a:159; cetak tebal dari Penulis). Dengan
kata lain, jika pendekatan pendidikan multikultural akan diimplementasikan di Indonesia, haruslah
berdasarkan realita Indonesia dan kearifan lokal (local wisdom atau indigenous knowledge) dalam
makna luas, tegasnya dengan memperhatikan karakteristik bangsa dan budaya Indonesia sendiri.
Sebelum lanjut, dalam konteks implementasinya di Indonesia, pendidikan multilkultural itu dapat
dilihat atau diposisikan sebagai berikut.
1. Sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan keberagaman budaya Indonesia
hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem
pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur (berbarkat) dan bahagia dunia akhirat.
2. Sebagai pendekatan pendidikan; yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang
kontekstual, yang memperhatikan keragaman budaya Indonesia. Nilai budaya diyakini
mempengaruhi pandangan, keyakinan, dan perilaku individu (pendidik dan peserta didik), dan akan
terbawa ke dalam situasi pendidikan di sekolah dan pergaulan informal antar individu, serta
mempengaruhi pula struktur pendidikan di sekolah (kurikulum, pedagogi dan faktor lainnya).
Meminjam “teori” Zamroni (2011a: 149), kedudukan nilai budaya dalam struktur statis pendidikan
(bawaan mahasiswa, bawaan dosen, kurikulum, dan pedagogi atau “the art of teaching”) akan
tampak sebagai berikut.
514 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Gambar 1.
Nilai Budaya Akademik Pendekatan Scientific Multikultur Melalui Proses Pembelajaran
Pendidikan Sejarah dan Pedagogik Berbasis karakter
3. Bidang kajian dan bidang studi; yaitu disiplin ilmu yang dibantu oleh sosiologi dan antropologi
pendidikan menelaah dan mengkaji aspek-aspek kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan
perwujudannya (norma, etiket atau tatakrama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-lain mencakup
“manifestasi budaya” agama) untuk/dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan. Hasil
telaah dan kajian ini akan dapat menjadi bidang studi yang diajarkan secara operasional (dan
kontekstual) kepada para calon pendidik yang mungkin akan berhadapan dengan keragaman
budaya (tidak harus untuk semua). Sebaliknya, “proses pendidikan yang multikultural” itu pun
harus juga terus dikaji ditelaah, baik efektivitas dan efisiensinya, maupun dan terutama
kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi Indonesia, dan ketepatan sesuai dengan hakekatnya.
Samsidar (2013) dalam penelitiannya tentang “Pengaruh Media Pembelajaran dan Gaya
Kognitif Terhadap Hasil Belajar Sejarah”, menunjukkan bahwa (1) hasil belajar Sejarah mahasiswa
yang diajarkan dengan menggunakan media pembelajaran peta lebih tinggi dari hasil belajar
mahasiswa yang diajarkan dengan menggunakan media pembelajaran berbasis TIK dengan Fhitung
= 5,94 dan Ftabel = 4,02 pada taraf signifikan α = 0,05 dengan dk = (1:56), (2) hasil belajar Sejarah
mahasiswa yang memiliki gaya kognitif tinggi lebih tinggi dari hasil belajar siswa yang memiliki
gaya kognitif rendah dengan Fhitung = 162,23 dan Ftabel = 4,02 pada taraf signifikan α = 0,05
dengan dk = (1:56), (3) terdapat interaksi antara media pembelajaran buku ajar dengan gaya
Bawaan Mahasiswa
Bawaan Dosen
Kurikulum Pendidikan
Sejarah
Pedagogik Berbasis
Karakter
Nilai Budaya Akademik
Pendekatan Scientifik
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 515
kognitif terhadap hasil belajar Sejarah dengan Fhitung = 14,08 dan Ftabel = 4,02 dengan taraf
signifikansi α =0,05 dengan dk = (1:56).
Samsidar (2014) dalam penelitiannya tentang “Model Pembelajaran Wisata Sejarah Dalam
Meningkatkan Minat Belajar Sejarah” menunjukkan bahwa minat belajar mahasiswa sangat tinggi
sebesar 87% terhadap hasil belajar sejarah melalui pembelajaran wisata sejarah, dengan melalui
wisata sejarah dapat meningkatkan hasil belajar sejarah. Keberhasilan belajar mahasiswa dalam
proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh minat yang ada pada dirinya. Minat memiliki
beberapa efek terhadap belajar mahasiswa: minat mempengaruhi secara langsung terhadap perilaku
yang diarahkan pada tujuan tertentu. Minat mendorong meningkatnya semangat dan usaha. Minat
meningkatkan ketekunan dalam kegiatan. Minat mempertinggi proses berpikir. Minat mendorong
perbaikan kinerja.
PENUTUP
Peran sejarah nasional sebagai identitas nasional dan perkembangan kesadaran nasional selanjutnya
merupakan arti penting identitas nasional sebagai pengaruh yang paling kuat dan bertahan lama
dalam identitas kultural kolektif. Melalui pembelajaran sejarah nasional, juga berupaya membentuk
model-model perilaku yang memupuk nasionalisme kultural untuk menciptakan pola hubungan
yang mengatasi lingkungan temporal dan spasial serta dimensi-dimensi lainnya.
Pendidikan karakter merupakan upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai utama atau nilai-nilai
positif kepada warga masyarakat agar menjadi warga bangsa yang percaya diri, tahan uji, dan
bermoral tinggi, demokratis dan bertanggung jawab serta survive dalam kehidupan bermasyarakat.
Karakter mencerminkan kepribadian yang berkaitan dengan moralitas namun kualitas moral itu
sedemikian khas sehingga berbeda kualitas dengan orang lain atau kelompok masyarakat yang lain.
Scientific multikulturalisme dalam praktek merupakan suatu strategi dari integrasi sosial di mana
keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara
efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan,
bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial yang bisa
melahirkan persatuan kuat, tetapi justru pengakuan terhadap adanya pluralitas (kebhinnekaan)
budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang
demokratis.
516 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
REFERENSI
Abdullah, Taufik. (1999). “Nasionalisme Indonesia: Dari asal-usul ke prospek masa depan” dalam
Sejarah , Jakarta: MSI dan Arsip Nasional RI.
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism, London: The Thetford Press Ltd. Vanderburg (1985:272)
Banks, J.A. (1988). Approaches to multicultural curriculum reform. Multicultural Leader, 1(2), 1-3.
Diunduh 12 Agustus 2011, dari http://people. ucsc.edu/~marches /PDFs/Approaches% 20to%20
Multicultural %20Reform, %20Banks.PDF.
Banks, J.A. (1995). Transformative challenges to the social sciences disciplines: implications for
social studies teaching and learning. Theory and Research in Social Education, XXIII(1), 2-20.
Banks, J.A. (1997). Teaching strategies for ethnic studies (6th ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Banks, J.A. (1999). An introduction to multicultural education (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Banks, J.A. (Ed.). (1996). Multicultural education: Transformative knowledge and action: historical
and contemporary perspectives. New York, Teachers College Press.
Banks, J.A., Cortes, C.E., Gay, G., Garcia, R.L., & Ochoa, A. (1992). Curriculum guidelines for
multicultural education (Rev. ed.), Washington, DC: National Council for the Social Studies.
Dantas, M.L. (2007). Building teacher competency to work with diverse learners in the context of
international education. Teacher Education Quarterly, Winter 2007.
Fillion, S.E. (2011). Multicultural curriculum. Diunduh 11 Agustus, 2011 dari
www.txstate.edu/edphd/PDF/multicultural.pdf
Gary, B. (1994). Varieties of multicultural education: An introduction. ERIC Digest 98. diunduh 12
Agustus 2011, dari http://www.ericdigests.org/1995-1/multicultural.htm
Hasan,.S.H. (1999). “Pendidikan Sejarah Untuk Membangun Manusia Baru Indonesia”, dalam
Mimbar Pendidikan, Nomor 2 Tahun XVIII, Bandung IKIP Bandung, hlm.4-11.
Hobsbaum E.J. (1990). Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Penerjemah: Hajartian Silawati,
Yogyakarta: Tiara Wacana. Abdullah, Taufik, Ed. 1990. “Di Sekitar Sejarah Lokal di Indonesia”,
dalam Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kleden, Ignas. (2001). Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Mahfud, Chairul. (2006). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ogawa, M (2002). Science as the culture of scientist: How to cope with scientism?. Diunduh 27
Januari 2005 dari www.ouhk.edu.hk/cridal/misc/ogawa.htm.
Peter. (1993). History and Social Theory, New York: Cornel University Press.
Robinson, James Harvey. (1965). The New History, New York: The Free Press. Burke,
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 517
Stanley, W.B. & Brickhouse, N.W. (2000), The multicultural question revisited. Science Education.
85(1). 35-48. diunduh 12 Agustus 2011, dari http://faculty.ed.uiuc.edu/m-
osbor/507SE06/stanleybrickhouse2001.pdf
Simatupang, Maurits (2002). Budaya Indonesia yang Supraetnis, Jakarta: Sinar Sinanti.
Sumantri, M. (2002). Pengembangan potensi peserta didik dengan kurikulum terpadu untuk
menjadi manusia indonesia seutuhnya. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar tetap dalam bidang
Ilmu Perencanaan Kurikulum pada FIP-UPI. Bandung:UPI.
Tilaar, H.A.R, (2006). Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme
dan Studi Kultural. (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 112.
Zamroni. (2001). School and university colaboration for improving science and mathematics
instruction in school. Paper presented at the National Seminar on Science and Mathematic
Education. Bandung, August, 21, 2001.
Zamroni. (2011a). Pendidikan demokrasi pada masyarakat multikultural. Yogyakarta: Gavin
Kalam Utama.
518 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM LESSON STUDY
Abdul Hasan Saragih, R. Mursid, dan Harun Sitompul
Teknologi Pendidikan Pascasarjana Unimed
ABSTRAK
Perencanaan Pembelajaran merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa calon guru di
LPTK. ternyata pada proses pembelajaran yang berlangsung masih teacher centered. Mahasiswa
cenderung pasif sepanjang proses pembelajaran berlangsung, dan dosen mendominasi dengan
metode ceramah. Melalui pendekatan konstruktivisme dan berkarakter, yaitu pendekatan yang
berpusat pada mahasiswa, diharapkan pengetahuan dibangun sendiri oleh individu yang belajar.
Melalui kegiatan lesson study, perlu dikaji tentang bagaimana keaktifkan dan ketuntasan belajar
mahasiswa dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstrutivisme. Sesuai
dengan objek yang ingin dikaji maka penelitian dan pengembangan sangat penting dilakukan untuk
mengembangkan model pembelajaran.
Kata Kunci: Pembelajaran berbasis karakter, konstruktivisme, lesson study
PENDAHULUAN
Sejalan dengan bergulirnya Kurikulum KKNI yang mengharuskan adanya perubahan orientasi
pembelajaran berpusat kepada mahasiswa aktif dengan pendekatan konstruktivisme, serta
keseriusan para dosen dalam merancang strategi pembelajaran, maka diperlukan sebuah terobosan
yang mampu mengakomodir kebutuhan tersebut. Kebutuhan akan orientasi baru dalam merancang
pembelajaran terasa begitu kental dan nyata dalam berbagai aspek dengan memperhatikan
komponen dan bidang kajian. Para pendidik dan praktisi pendidikan sudah seharusnya mampu
merespon perubahan yang terjadi dan mengubah paradigma pendidikan. Salah satu cara untuk
menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus menerus adalah dengan
mengimplementasikan model sebagai acuan penting penyelenggaraan pembelajaran.
Berdasarkan realita yang ada selama ini dalam perkuliahan Perencanaan Pengajaran, masih banyak
mahasiswa mengalami kesulitan dalam membuat skenario pembelajaran yang menggiring siswa
bisa aktif belajar, mempunyai inovasi dan kreativitas. Selain itu, diantara mahasiswa yang kurang
serius, kurang mampu dalam merancang pembelajaran. Mereka pada umumnya jika harus ada
produk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) enggan merancang, dan mengambil yang sudah
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 519
jadi di sekolah-sekolah. Mereka tidak menyadari bahwa rancangan pembelajaran tidak bisa secara
instan meniru dari orang lain atau mengambil yang sudah jadi karena semuanya akan
mempertimbangkan kondisi dan karakteristik siswa yang dihadapi, dan pola atau strategi apa yang
akan kita gunakan.
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara tidak langsung menunjukkan rendahnya kualitas
pembelajaran, dan rendahnya kualitas pembelajaran salah satunya disumbangkan oleh rendahnya
kualitas guru. Sebagai agen pembelajaran, guru merupakan kunci utama keberhasilan pendidikan,
sehingga tidak mengherankan jika kemudian guru menjadi pihak yang dianggap paling bertanggung
jawab terhadap baik-buruknya kualitas pendidikan. Sebagai agen pembelajaran, fungsi utama guru
adalah meningkatkan mutu pendidikan nasional (UU No.14 tahun 2005).
Dalam rangka memenuhi tuntutan Undang-undang tersebut, maka pemerintah menetapkan empat
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugasnya, yaitu kompetensi
pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial (PP No.19 tahun
2005 Bab VI pasal 28 , UU No.14 tahun 2005 Bab IV pasal 10). Dalam penjelasan keempat
kompetensi tersebut, seorang guru profesional diharapkan tidak hanya menguasai materi pelajaran
sesuai bidang keilmuannya (kompetensi profesional), tetapi mampu mengelola pembelajaran
dengan baik (kompetensi pedagogik), memiliki kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,
berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik (kompetensi kepribadian), serta mampu
berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan peserta didik (kompetensi sosial) dalam rangka
mewujudkan tujuan pembelajaran.
Selama ini, proses pembelajaran pada matakuliah Perencanaan Pengajaran dilihat dari ketuntasan
belajar dan hasil belajar mahasiswa, tidak terdapat indikasi masalah yang berarti seperti pada mata
kuliah-mata kuliah di rumpun pendidikan. Namun demikian, pada proses pembelajaran yang
berlangsung di kelas hingga saat ini, masih berpusat pada dosen atau sering disebut juga teacher
centered atau dikenal dengan pendekatan tradisional (Utami, et al : 2011). Dalam pembelajaran
tersebut, dosen sebagai individu yang lebih aktif dalam mengajar dan mahasiswa berperan sebagai
objek yang menerima pengetahuan dengan pasif. Meskipun beberapa metode sudah coba diterapkan
seperti metode diskusi, namun mahasiswa masih belum merespon baik. Mereka masih pasif dalam
mengemukakan pendapat, diskusi lebih banyak didominasi oleh dosen. Jika hal ini dibiarkan,
dikhawatirkan, mahasiswa akan membawa pengalaman belajarnya ketika di bangku kuliah sampai
ke lapangan yaitu kelas-kelas mereka kelak pada saat menjadi guru.
Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, proses pembelajaran para calon guru sudah sepantasnya
diarahkan pada ranah-ranah kompetensi tersebut seperti yang diungkapkan oleh Sarna (2007)
520 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
bahwa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) mempunyai tugas utama menghasilkan
tenaga guru profesional yang mampu berperan sebagai agen pembelajaran yang tercermin dalam
kompetensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial yang padu.
Kompetensi guru secara holistik merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi, salah satunya
adalah kompetensi dalam merencanakan pembelajaran, termasuk didalamnya pembelajaran pada
Pendidikan Teknik Mesin. Perencanaan pembelajaran dipilih sebagai tema penelitian ini mengingat
pentingnya perencanaan bagi keberhasilan pembelajaran. Perencanaan yang baik adalah jantung
pengajaran dan pembelajaran yang efektif. Jika kita memiliki perencanaan yang baik, maka dapat
dipastikan para siswa menguasai hasil belajar yang ditentukan kurikulum seraya membuat
kemajuan yang bagus. Sementara pengalaman mengajar akan membantu Anda untuk membangun
kepercayaan diri. Pengajaran tanpa perencanaan atau gagal merencanakan, seperti kata pepatah,
adalah sama dengan merencanakan untuk gagal.
Secara teknis administratif, kompetensi guru dalam merencanakan pembelajaran adalah dalam
bentuk menyusun RPP. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah rencana kegiatan pembelajaran
tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan
kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD) (Pemendikbud
65 Tahun 2013). Lebih lanjut ditegaskan bahwa setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban
menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasiaktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi bagi siswa untuk mengembangkan prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Seiring implementasi kurikulum baru yang dikenal kurikulum 2013, guru harus menyesuaikan
perubahan kurikulum. Pembelajarannya harus menerapkan scientific approach (pendekartan ilmiah)
dan Authentic Assessment atau penilaian autentik, maka hal tersebut harus tertuang dalam RPP.
Dalam makalah ini permasalahan yang akan dipaparkan adalah model pembelajaran berbasis
karakter melalui pendekatan konstruktivisme dalam lesson study pada matakuliah perencanaan
pembelajaran.
PEMBAHASAN
Perencanaan pembelajaran berbasis karakter merupakan seperangkat materi dan alat yang
dipersiapkan mahasiswa calon dosen ketika akan mengajar dengan mengedepankan aspek afektif
dan nilai-nilai karakter yang luhur dalam perencanaanya untuk diinternalisasikan ke dalam diri
mahasiswa. Perencanaan pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme
adalah proses perencanaan nilai-nilai moral atau karakter bagi mahasiswa. Ada banyak dimensi
yang harus diperhatikan dalam menyusun perencanaan pembelajaran berbasis karakter. Perencanaan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 521
pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme sangat bermanfaat bagi
mahasiswa calon guru dalam mempersiapkan dirinya terjun ke masyaakat untuk dapat
membelajarkan nilai-nilai karakter agar peserta didik mampu menjadikan dirinya berkembang dan
mempunyai nilai-nilai budi pekerti yang baik.
Melalui pendidikan, dosen sebagai tenaga kependidikan berusaha mengajar, melatih dan
membimbing mahasiswa. Untuk dapat melakukan hal itu semua, tenaga kependidikan tersebut
haruslah seorang yang profesional dalam bidang profesinya. dengan hal ini, diharapkan akan lebih
meningkatkan mutu pendidikan. Walaupun pada hakikatnya mutu pendidikan itu bukan hanya
ditentukan oleh dosen, melainkan juga oleh mahasiswa, sarana penunjang dan faktor lainnya.
Namun pada akhirnya semua itu tergantung pada kualitas pengajaran, dan kualitas pengajaran
tergantung pada kualitas dosen (Samana, 2002:21).
Pembentukan kompetensi professional keguruan memerlukan pengintegrasian antara pendekatan
teoritis dan praktek kerja, pengintegrasiaan antara tujuan, bahan ajar, metode kerja, media serta
teknologi pengajaran dan sumber pengajaran secara berdaya guna. Kegiatan pembelajaran
merupakan kegiatan yang sistematis dan berurutan. Berhubung dengan itu kegiatan pembelajaran
perlu direncanakan dengan baik. Salah satu kompetensi yang harus dikuasai Dosen adalah
merencanakan pembelajaran. Sebagai seorang administrator pembelajaran Dosen perlu memiliki
Kompetensi merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil dan proses pembelajaran.
Dengan mempelajari bahan latihan perencanaan pembelajaran ini diharapkan para Dosen akan
menjadi lebih profesional dalam merencanakan pembelajaran. Secara garis besar, setelah
mempelajari modul ini, diharapkan Anda menguasi konsep, prinsip dan prosedur perencanaan
pembelajaran berbasis kompetensi serta menerapkannya dalam merencanakan pembelajaran sesuai
matapelajaran. Secara khusus, dari mata ini, diharapkan Anda mampu: (1) menjelaskan konsep,
prinsip, dan prosedur perencanaan pembelajaran secara sistematis; (2) merumuskan kompetensi;
(3) mengidentifikasi karakteristik mahasiswa; (4) menentukan materi pelajaran; (5) menentukan
strategi pembelajaran; (6) memilih alat dan media pembelajaran (7) menentukan prosedur dan alat
evaluasi; (8) menentukan alokasi waktu dan sumber bahan.
Pengembangan model pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme dalam
lesson study pada mata kuliah perencanaan penmbelajaran di Perguruan Tinggi Unimed
dilaksanakan untuk meningkatkan kompetensi pembelajaran mahasiswa calon guru pada
mahasiswa.
522 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran merupakan aktivitas penetapan tujuan, penyusunan bahan dan
sumber belajar, pemilihan media, pemilihan pendekatan dan strategi, pengaturan lingkungan
belajar, perancangan sistem penilaian hasil belajar, dan perancangan prosedur pembelajaran dan
perancangan prosedur pembelajaran.
Briggs (1978:20) memberikan definisi disain atau rencana pembelajaran sebagai berikut:
keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan sistem
penyampaiannya untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan belajar, termasuk di dalamnya
pengembangan paket pembelajaran, kegiatan pembelajaran, uji coba dan revisi paket pembelajaran,
dan terakhir kegiatan mengevaluasi program dan hasil belajar.
Perencanaan pembelajaran merupakan disain pembelajaran salah satu komponen kegiatan
teknologi pendidikan. Hal ini dapat dipahami kalau diingat bahwa teknologi pendidikan merupakan
“Suatu bidang garapan yang ikut serta berusaha untuk memberikan fasilitas (kemudahan) proses
belajar manusia dengan jalan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber belajar melalui fungsi
pengembangan dan fungsi pengelolaan”. (Gafur, 1979:2). Sesuai dengan definisi tersebut
komponen kegiatan dalam rangka mengaplikasikan konsep teknologi pendidikan adalah sebagai
berikut: (1) memahami the learner dengan segala karakteristik dan kebutuhannya. Teknologi
pendidikan sangat memperhatikan karakteristik, keadaan individual, dan kebutuhan masing-masing
siswa. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa keunikan masing-masing individu sangat
berpengaruh terhadap hasil belajar; (2) memanfaatkan secara penuh segala sumber belajar untuk
meningkatkan proses pembelajaran. Sumber belajar ini meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik,
dan lingkungan atau “setting”. Sumber belajar meliputi sumber belajar yang direncanakan (learning
resource by design) dan sumber belajar yang digunakan (learning resource by utilization); (3)
melakukan kegiatan pengembangan; di sini kegiatan itu meliputi : riset, mengembangkan disain,
produksi paket pengajaran, evaluasi, pengadaan bahan, alat dan biaya, serta pemanfaatannya; (4)
mengelola semua kegiatan mulai dari penyusunan rencana, pelaksanaan monitoring, revisi dan
evaluasi. Pengelolaan ini meliputi pengelolaan organisasi dan personel; dan (5) mengevaluasi hasil
dan proses pembelajaran.
Perencanaan Pembelajaran Berbasis Karakter
Perencanaan pembelajaran merupakan sesuatu hal yang paling penting bagi guru dalam
menjalankan tugasnya. Perencanaan pembelajaran adalah proyeksi tentang sesuatu yang akan
dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran akan lebih optimal jika guru
terlebih dahulu menyiapkan perencanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran perlu dilakukan
oleh guru untuk mengkoordinasikan komponen-komponen pembelajaran. Perencanaan pebelajaran
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 523
berbasis karakter berarti menyusun rencana pembelajaran yang lebih mengedepankan aspek sikap,
perilaku, karakter yang akan diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik.
Perencanaan adalah menyusun langkah-langkah yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Perencanaan tersebut dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun lebih utama adalah
perencanaan yang dibuat harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran. Perencanaan
merupakan suatu cara yang memuaskan untuk membuat kegiatan dapat berjalan dengan baik,
disertai dengan berbagai langkah yang antisipatif guna memperkecil kesenjangan yang terjadi
sehingga kegiatan tesebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian dapat
didefinisikan bahwa perencanaan adalah proses penyusunan berbagai keputusan pembelajaran yang
akan dilaksanakan pada masa kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan. Dengan perencanaan,
membantu membantu guru secara sistematik dan menganalisis kebutuhan pelajar dan menyusun
kemungkinan yang berhubungan dengan kebutuhan. Karena dengan perencanaan pembelajaran guru
dapat memproyeksikan kegiatan apa yang akan dilakukan agar abak didik dapat mencapai tujuan
pembelajaran.
a. Komponen-Komponen Perencanaan Pembelajaran
Rencana pembelajaran yang baik menurut Gagne dan Briggs hendaknya mengandung lima
komponen yang disebut anchor point, yaitu: (1) Tujuan pengajaran; (2) Materi pelajaran/bahan
ajar, (3) pendekatan dan metode mengajar, media pengajaran dan pengalaman belajar; (4)
Alat/Media dan Sumber Belajar (5) Evaluasi keberhasilan. Uraian singkat dari kelima komponen
di atas sebagai berikut.
1) Tujuan
Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau
yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu. Tujuan merupakan
suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan pembelajaran. Tujuan-tujuan pembelajaran harus
berpusat pada perubahan perilaku siswa yang di inginkan, dan karenanya harus dirumuskan secara
operasional, spesifik, dapat diukur dan dapat diamati ketercapaiannya.
Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah
laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran. Meski para ahli
memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi
yang sama, bahwa: (1) Tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau
524 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) Tujuan dirumuskan dalam
bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.
2) Materi Pelajaran
Materi pelajaran merupakan unsur belajar yang harus mendapatkan perhatian penting dari guru.
Materi pelajaran merupakan medium untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ”dikonsumsi” oleh
siswa. Oleh karena itu, penentuan materi pelajaran mesti berdasarkan tujuan yang hendak dicapai,
dalam hal ini adalah hasil-hasil yang diharapkan misalnya berupa pengetahuan, keterampilan, sikap,
dan pengalaman lainnya.
Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar
kompetensi yang telah ditentukan.Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau nilai.
3) Pendekatan, strategi, model dan metode pembelajaran
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru dan siswa terlibat dalam sebuah interaksi dalam materi
pelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi itu siswalah yang lebih aktif bukan guru. Interaksi
itu terwujud karena adanya pendekatan, strategi, model, dan metode pembelajaran yang diterapkan.
Keaktifan siswa tentu mencakup kegiatan fisik dan mental, individual dan kelompok. Oleh karena
itu, interaksi dikatakan maksimal bila terjadi antara guru dengan semua siswa, antara siswa dengan
guru, antara siswa dengan siswa, siswa dengan materi pelajaran dan media pembelajaran, bahkan
siswa dengan dirinya sendiri, namun tetap dalam kerangka mencapai tujuan yang telah di tetapkan
bersama.
Agar memperoleh hasil optimal, sebaiknya guru memperhatikan perbedaan individual siswa, baik
aspek biologis, intelektual, dan psikologis. Ketiga aspek ini diharapkan memberikan informasi
kepada guru, bahwa setiap siswa dapat mencapai prestasi belajar yang optimal, sekalipun dalam
tempo yang berlainan.
4) Alat/Media dan Sumber Belajar
Istilah media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari medium. Secara harfiah
berarti perantara atau pengantar. Pengertian umumnya adalah segala sesuatu yang dapat
menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi. Media menurut AECT
adalah segala sesuatu yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan. Sedangkan Gagne
mengartikan media sebagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 525
mereka untuk belajar. Briggs mengartikan media sebagai alat untuk memberikan perangsang bagi
siswa agar terjadi proses belajar.
Media pembelajaran adalah media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu
guru dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar.
Sebagai penyaji dan penyalur pesan, media belajar dalam hal-hal tertentu bisa mewakili guru dalam
menyajikan informasi belajar kepada siswa. Jika program media itu didesain dan dikembangkan
secara baik, maka fungsi itu akan dapat diperankan oleh media meskipun tanpa keberadaan guru.
Media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran. Dawyer (1967) berpendapat bahwa belajar yang sempurna hanya dapat tercapai jika
menggunakan bahan-bahan audio visual yang mendekati realitas. Sumber belajar adalah segala
sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana materi pelajaran terdapat. Menurut
Nasution (2000) sumber belajar dapat berasal dari masyarakat dan kebudayaannya, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan siswa. Pemanfaantan sumber-sumber belajar
tersebut tergantung pada kreatifitas guru, waktu, biaya serta kebijakan-kebijakan lainnya.
5) Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas dari
sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan.
Berdasarkan pengertian ini, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu evaluasi
adalah suatu proses bukan suatu hasil. Hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi adalah kualitas
sesuatu, baik yang menyangkut tentang nilai atau arti, sedangkan kegiatan untuk sampai pada
pemberian nilai dan arti itu adalah evaluasi. Membahas tentang evaluasi berarti mempelajari
bagaimana proses pemberian pertimbangan mengenai kualitas sesuatu. Tujuan evaluasi adalah
untuk menentukan kualitas sesuatu, terutama yang berkenaan dengan nilai dan arti.Pemberian nilai
dan arti ini dalam bahasa yang dipergunakan Scriven (1967) adalah formatif dan sumatif.Jika
formatif dan sumatif merupakan fungsi evaluasi, maka nilai dan arti adalah hasil kegiatan yang
dilakukan oleh evaluasi.
Pendekatan Konstruktivisme dalam Perencanaan Pembelajaran
Konstruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky. Ke duanya menekankan bahwa perubahan
kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui proses
disequilibrium dalam upaya memahami informasi-informasi barn (Nur, 2000). Konstruktivisme
memandang bahwa pengetahuan merupakan konstruksi kognitif melalui aktifitas seseorang.
526 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Konstruktivisme menekankan bahwa manusia mengkonstruksi obyek dan hubungannya yang
mereka rasakan untuk memperluas konsepsi mereka yang sesuai dengan lingkungan. Brown dikutip
Duffy (1992:4) mengemukakan bahwa construktivists emphasize "situating" cognitive experiences
in authentic activities.
Ide-ide konstruktivisme modern banyak dilandasi oleh teori Vigotsky. Terdapat empat prisip kunci
dari teori Vigotsky yang memegang peranan penting yatu (1) penekanan pada hakekat sosial; (2)
konsep daerah perkembangan terdekat; (3) pemagangan kognitif; dan (4) scaffolding. Vygotsky
menekankan bahwa scaffolding atau mediated learning atau dukungan tahap demi tahap untuk
belajar dalam pemecahan masalah sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran krostruktivisme
modem. (Kozulin & Presseisen, 1995).
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan
gagasan yang bane, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupkan himpunan dan
pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan
dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum
seperti: (1) pelajar aktif membina pengetahuan berdasarkan pengalaman yang sudah ada; (2) dalam
konteks pembelajaran, pelajar sehanisnya membina sendiri pengetahuan mereka; (3) pentingnya
membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara
pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru; (4) unsur terpenting dalam teori ini ialah
seseorang membina pengetahuan dirinyasecara aktif dengan cara membandingkan informasi barn
dengan pemahamannya yang sudah ada; (5) ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi
pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar inenyadari gagasan-
gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah; dan (6) bahan pengajaran yang
disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar
("http://id.wikipedia.org/wilci/Konstruktivisme ")
Untuk mengatasi pennasalahan di atas, dalam penelitian ini dilakukan tindakan aktif yang
mengaplikasikan pendekatan belajar kotruktivisme. Dalam mengarahkan materi perkuliahan dan
pemberian contoh-contoh pembelajaran bermutu serta tugas- tugas yang harus dikerjakan oleh
mahasiswa dilakukan simulasi, agar mahasiswa benar-benar dapat melihat secara jelas seperti apa
betul pembelajaran yang akan dilatihkan pada mahasiswa tersebut. Jadi mahasiswa akan benar-
benar dilatih untuk membuat perangkat pembelajaran matematika yang bersifat kontekstual dan
melaksanakannya di depan kelas sehingga dapat membuat pembelajaran menjadi menarik.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 527
Lesson Study dengan Penerapan Karakter
Lesson study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian
pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan pada prinsip-prinsip kolegalitas oleh
sekelompok dosen untuk membangun sebuah komunitas belajar (learning community). Lesson
Study bukan merupakan suatu strategi ataupun metode pembelajaran, tetapi kegiatan lesson study
dapat menerapkan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan
situasi dan kondisi serta permasalahan yang dihadapi dosen pada setiap proses pembelajaran.
Lesson study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian
pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan
mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Hendayana, 2007). Model pembinaan lesson
study dapat digunakan sebagai model bimbingan mengajar bagi dosen terhadap mahasiswa
(Rustono, 2008). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan profesionalisme pengajar dalam
memfasilitasi proses pembelajaran. Mata kuliah Perencanaan Pengajaran sengaja dipilih karena
konten dari mata kuliah ini yaitu upaya memberikan bekal keterampilan kepada para calon guru
untuk mampu merancang pembelajaran. Dari berbagai mata kuliah perencanaan pembelajaran
muaranya adalah bagaimana mahasiswa calon guru mampu merancang berbagai komponen yang
mendukung terselenggaranya pembelajaran sehingga menghasilkan acuan yang sejalan dengan
kemauan pemangku kepentingan dan pemerintah melalui kurikulumnya.
Lesson study dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan dan tahap
refleksi. Tahap perencanaan bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat mengajarkan
mahasiswa bagaimana berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Tahap pelaksanaan
merupakan tahap penerapan rancangan pembelajaran yang telah disusun sebelumnya. Selama
proses pembelajaran berlangsung pengamat menfokuskan perhatian kepada aktivitas mahasiswa
yaitu interaksi sesama mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan bahan ajar serta
interaksi mahasiswa dengan lingkungan.
Setelah selesai proses pembelajaran, langsung dilakukan diskusi antara dosen model dengan
pengamat. Mula-mula dosen model menyampaikan kesan-kesan selama proses pembelajaran
berlangsung, lalu dilanjutkan oleh para pengamat. Pengamat harus menyampaikan fakta temuannya
di kelas secara jujur dan bijak demi perbaikan proses pembelajaran. Dosen model harus dapat
menerima masukan dari pengamat untuk perbaikan pembelajaran pada tahap berikutnya. Pada
prinsipnya, semua orang yang terlibat dalam kegiatan lesson study harus memperoleh lesson learn.
Dengan demikian kegiatan lesson study dapat digunakan untuk membangun komunitas belajar
(learning community) (Rusman. 2011).
528 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik
karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain,
serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana
pendidikan karakter diartikan sebagai hal positif apa saja yang dilakukan dosen dan berpengaruh
kepada karakter mahasiswa yang diajarnya. Pendidikan karakter semata-mata merupakan bagian
dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik
(Samani, M. dan Hariyanto. 2011).
PENUTUP
Perencanaan pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme adalah proses
perencanaan nilai-nilai moral atau karakter bagi mahasiswa. Ada banyak dimensi yang harus
diperhatikan dalam menyusun perencanaan pembelajaran berbasis karakter. Perencanaan
pembelajaran berbasis karakter melalui pendekatan konstruktivisme sangat bermanfaat bagi
mahasiswa calon guru dalam mempersiapkan dirinya terjun ke masyaakat untuk dapat
membelajarkan nilai-nilai karakter agar peserta didik mampu menjadikan dirinya berkembang dan
mempunyai nilai-nilai budi pekerti yang baik. Rencana pembelajaran yang baik menurut Gagne dan
Briggs hendaknya mengandung lima komponen yang disebut anchor point, yaitu: (1) Tujuan
pengajaran; (2) Materi pelajaran/bahan ajar, (3) pendekatan dan metode mengajar, media
pengajaran dan pengalaman belajar; (4) Alat/Media dan Sumber Belajar (5) Evaluasi
keberhasilan.
Lesson Study bukan merupakan suatu strategi ataupun metode pembelajaran, tetapi kegiatan lesson
study dapat menerapkan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang dapat disesuaikan
dengan situasi dan kondisi serta permasalahan yang dihadapi dosen pada setiap proses
pembelajaran. Mata kuliah Perencanaan Pengajaran sengaja dipilih karena konten dari mata kuliah
ini yaitu upaya memberikan bekal keterampilan kepada para calon guru untuk mampu merancang
pembelajaran.
REFERENSI
Armis. (2013). Penerapan pendekatan konstruktivisme dalam perkuliahan perencanaan pengajaran
matematika. Jurnal Edumatica, Volume 03 Nomor 01, ISSN: 2088-2157, April 2013
Herlina. (2003). Penggunaan Pendekatan Konstruktivisme untuk Meningkatkan Aktivitas dan
Konsepsi Mahasiswa pada Matakuliah Fisika Matematika (Studi Kasus pada Mahasiswa PS Fisika
FKIP UNILA). Laporan Penelitian. FKIP Universitas Lampung.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 529
Guatafson, (1981). Survey of Instructional Development Model. Geogia: Clearing House In
Information Resources, Syracause University.
John W. (2009). Educational Psyhology. America New York: McGraw-Hill.
Joyce, Bruce and Marsha Weil & Emily Calhoun, (2009). Models of Teaching. Boston: Ally and
Bacon.
Kozulin, A. (1995). Mediated Learning Experience and Psychologist tools, - Vygotsky"s and
Feuerstein"s perspectives in astudy of student learning, Educational Psychologist.
Kemp, J.E. (1977). Instruksional Design. Belmont: Fearon Tilman Publisher, Inc.
Lewis, C. (2002). Lesson study: A handbook of teacher-led instructional change. Research for
Better Schools: Philadelphia.
Nadzir, M. (2013). Perencanan Pembelajaran berbasis karakter .Jurnal Pendidikan Agama Islam,
Vol. 02. No. 02, Nopember 2013. Hal: 351-352
Novalita, Rahmi. (2014) Pengaruh perensanaan pembelajaran terhadap pelaksanaan pembelajaran.
Jurnal Lentera, Vol. 14, No. 2. Maret 2014.
Nur, Mohamad, dkk. (2000). Pengajaran berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis
dalam Pengajaran. Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah Universitas Negeri Surabaya.
Plomp, Tj. (1997). Educational Design: Introduction. From Tjeerd Plomp (eds). Educational &
Training System Design: Introduction. Design of Education and Training (in Dutch).Utrecht (the
Netherlands): Lemma. Netherland.Faculty of Educational Science and Technology, University of
Twente.
Plomp, Tj & Wolde, J. van den. (1992). The General Model for Systematical Problem Solving.
From Tjeerd Plomp (Eds.). Design of Educational and Training (in Dutch). Utrecht (the
Netherlands): Lemma. Netherland. Faculty of Educational Science and Technology, University of
Twente. Enschede the Netherlands.
Reigeluth, C.M. (1999). Instructional-Design Theories and Models Volume II: A New Paradigm of
Instructional Theory. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Rusman. (2011). Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada
Samana, A. (2002). Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Karnisius Santrock,
Sarna, Ketut. (2007). Pendidikan Guru Profesional Melalui Pembelajaran Bertahap, Terpadu dan
Holistik. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Undiksha. P 440-451.
Samani, M. dan Hariyanto. (2011). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT.
Rosdakarya Remaja
530 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Sujana, Nana. (1989). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya
Utami, B et al. (2011). Penerapan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Model Pembelajaran Think
Pair Share (TPS) dalam Kegiatan Lesson Study untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil
Belajar Strategi Belajar-Mengajar. Jurnal Inovasi Pendidikan Jilid 12 Nomor 1 p 1 -18.
Woolfolk, Anita. (2009). Educational Psychology Active Learning Edition, Boston: Allyn and
Bacon.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 531
PENGEMBANGAN TIK DALAM PENDIDIKAN BERBASIS HIGHER ORDER THINKING SKILLS (HOTS): MODEL, STRATEGI, DAN ASSESMENT
R. Mursid, Abdul Hasan Saragih, Naeklan Simbolon
Teknologi Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Medan
ABSTRAK
TIK dalam pendidikan berbasis HOTS sangat penting untuk membantu dosen/guru dan pebelajar
dalam mengkreasi, menata, dan mengorganisasi pembelajaran sehingga memungkinkan peristiwa
belajar terjadi dalam rangka mencapai tujuan belajar. Model pembelajaran TIK dalam pendidikan
berbasis HOTS sangat diperlukan untuk memandu proses belajar secara efektif yang memiliki
landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif, berorientasi kekinian, memiliki sintak
pembelajaran yang sedehana, mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan dan hasil belajar yang
disasar berdasarkan kemampuan dalam berpikir tingkat tinggi. Tahapan pembelajaran TIK dalam
pendidikan berbasis HOTS dilakukan mengacu pada pembelajaran: active learning, constructive,
collaborative, intentional/antusiastik, conversational/dialogis, contextualized, reflective,
multisensory, high order thingking skill training. Sedangkan output yang dihasilkan dalam
pelaksanaan pembelajaran TIK dalam pendidikan berbasis HOTS adalah produk nyata berdasarkan
hasil investigasi dalam pembelajaran; berinovatif, kreatif dan produktif; bertanggungjawab dan
berkarakter; berkarya dan melakukan pekerjaan dengan hasil yang baik; hasil berlajar penguasaan
aspek kognitif, afektif, dan psikomorotik; dan memiliki kecakapan/skills.
Kata Kunci: Tik dalam pendidikan, higher order thinking skills, model, strategi, assesment
PENDAHULUAN
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan aspek paedogogi dalam pembelajaran tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Kehadiran TIK dalam pendidikan dalam proses pembelajaran
justru menambah khazanah pengetahuan dan perkembangan aspek-aspek pedagogi. Instruksi-
instruksi yang digunakan pada prinsipnya sangat membantu dalam hal meningkatkan
pemahaman pebelajar, membantu dalam mengeksplorasi sumber belajar dan menanamkan sikap
kritis pebelajar. Terjadinya interaksi dan hubungan antara TIK dan pedagogi secara komplek telah
532 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
dipaparkan. Intinya, kehadiran TIK dalam pendidikan dapat menambah wawasan bagi para
perancang pembelajaran untuk menuju model pembelajaran yang inovatif dan kreatif. Tujuan
umum mengintegrasikan TIK dalam pendidikan adalah membantu pebelajar dalam belajar serta
mengetahui bagaimana menggunakan TIK sebagai media dalam mempelajari materi pelajaran.
Sedangkan untuk Guru/Dosen untuk meningkatkan ketrampilan dalam memanfaatkan TIK sebagai
media dan sumber belajar.
Menurut Onwu, O.G. et al (2009) secara khusus memberi petunjuk dalam mengintegrasikan TIK
dalam pendidikan adalah memfasilitasi belajar pebelajar. Melalui proses pembelajaran diharapkan
pebelajar dapat: (1) menerapkan prinsip-prinsip pedagogi secara kritis dengan bantuan TIK; (2)
mengembangkan dan memfasilitasi aktivitas pembelajaran berbasis TIK; (3) menganalisis dan
menggunakan TIK mengevaluasi materi pelajaran dengan; (4) menggunakan berbagai alat
komunikasi dan media multimendia (e-mail, web dan laboratorium virtual) dalam proses
pembelajaran; (5) menggunakan TIK dalam kegiatan penelitian, membantu pemecahan masalah
materi pelajaran; (6) menggunakan TIK dalam rangka mengembangkan profesionalitas dalam
pembelajaran; dan (7) mengintegrasikan TIK dalam kurikulum yang dapat menghantarkan
TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi
informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai media, manipulasi,
dan pengelolaan informasi. Sedangkan pengertian untuk teknologi komunikasi yaitu semua hal yang
berkaitan dengan penggunaan media untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat satu ke
perangkat lainnya. Maka sekarang kita tau bahwa teknologi informasi dan teknologi komunikasi
merupakan dua aspek yang sangat erat hubungannya sehingga tidak bisa dipisahkan satu sama
lainnya. Sehingga teknologi informasi dan komunikasi memiliki pengertian yang sangat luas yaitu
semua kegiatan yang berkaitan dengan pemrosesan, manipulasi data, pengelolaan, pemindahan
informasi. Sehingga dikatakan TIK merupakan simbol dari kemajuan untuk suatu bangsa, sehingga
sekarang kita tau peran TIK di Negara kita terutama dalam dunia pendidikan.
Dalam makalah ini permasalahan yang hendak di paparkan adalah: (1) pengembangan model
integrasi TIK dalam pembelajaran berbasis HOTS; (2) pengembangan strategi pembelajaran TIK
dalam pembelajaran berbasis HOTS; dan (3) pengembangan assesmen TIK dalam pembelajaran
berbasis HOTS.
PEMBAHASAN
Pengembangan Model Integrasi TIK dalam Pembelajaran
Salah satu model integrasi TIK dalam pembelajaran telah dikembangkan oleh Wang & Lao
(2007). Model perencanaannya, didasarkan pada cakupan materi yang dipelajari yakni
pembagian makro, meso dan mikro. Berdasarkan cakupan, materi pelajaran, integrasi TIK dapat
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 533
terjadi di tiga wilayah yakni wilayah makro pada tataran kurikulum, meso pada wilayah topik
pelajaran dan mikro pada wilayah matakuliah. Banyak model desain instruksional yang telah
dikembangkan untuk membantu guru/dosen dalam mengintegrasikan TIK dalam kurikulum.
Misalnya, model ASSURE yang terdiri dari (analisis peserta belajar, menyebutkan tujuan belajar,
memilih metoda yang sesuai, pemilihan media dan materi pelajaran, permintaan yang dibutuhkan,
evaluasi dan revisi model, dalam Wang (2007).
Atas dasar itu, mata kuliah TIK dalam pendidikan pada tataran kurikulum berfungsi untuk
mendukung semua materi pelajaran dan pengalaman belajar untuk keseluruhan matakuliah.
Misalnya, integrasi TIK suatu multimedia yang disampaikan, dalam bentuk CD-ROM atau
matakuliah berbasis web. Sementara itu, TIK dapat digunakan sebagai bahan paket pendukung
dalam mempelajari topik tertentu. Sedangkan pada tingkat (mikro) yakni materi pelajaram TIK
dapat digunakan untuk membantu pemahaman konsep dalam hal menjelaskan konsep tertentu.
TIK atau yang dikenal dalam bahasa Inggris dengan istilah Information and Communication
Technologies (ICT) merupakan suatu program yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk
memproses, untuk media , manipulasi, dan menyampaikan informasi. UNESCO (2004)
mendefenisikan bahwa TIK adalah teknologi yang digunakan untuk berkomunikasi dan
menciptakan, mengelola dan mendistribusikan informasi. Defenisi umum TIK adalah computer,
internet, telepon, televisi, radio, dan peralatan audiovisual. Teknologi yang dimaksud termasuk
komputer, internet, teknologi penyiaran (radio dan televisi), dan telepon. Penguasaan TIK berarti
kemampuan memahami dan menggunakan alat TIK secara umum termasuk computer (Computer
literate) dan memahami informasi (Information literate).
Sebenarnya sasaran yang ingin dicapai melalui implementasi teknologi dan system informasi adalah
guna menjawab tantangan yang dihadapi dalam suatu pembelajaran dalam era globalisasi yaitu: (1)
perkembangan peserta didik; (2) peningkatan kualitas pembelajaran; (3) efisiensi dan efektifitas
proses belajar mengajar; dan (4) SDM Untuk mecapai sasaran yang diinginkan dibutuhkan system
informasi yang dapat memenuhi kriteria berikut: reliability, availability; transparancy, accuracy;
scalability; optimalisasi; flexibility; best practise; knowledge enhancement; and competency match.
Pengembangan Strategi Pembelajaran TIK dalam Pendidikan Berbasis HOTS
Pembelajaran melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi memerlukan kejelasan komunikasi
tertentu mengurangi ambiguitas dan kebingungan dan memperbaiki sikap Pebelajar tentang tugas
berpikir. Strategi pembelajaran harus mencakup pemodelan dalam keterampilan berpikir, contoh
pemikiran terapan, dan adaptasi untuk beragam kebutuhan pebelajar scaffolding (memberi
534 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
dukungan di awal pembelajaran dan secara bertahap mengharuskan pebelajar untuk
melaksanakannya secara mandiri) membantu pebelajar mengembangkan skill yang lebih tinggi.
Strategi pembelajaran berguna dalam: latihan, elaborasi, organisasi, dan metakognisi. Pembelajaran
dirancang khusus untuk strategi pembelajaran yang spesifik. Pembelajaran langsung (informasi
yang berpusat pada guru/dosen) harus digunakan dengan hemat. Pembelajaran harus singkat dan
ditambah dengan latihan untuk subskill dan pengetahuan.
Kegiatan kelompok kecil seperti diskusi pebelajar, peer tutoring, dan pembelajaran kooperatif dapat
efektif dalam pengembangan kemampuan berpikir. Strategi pembelajaran harus melibatkan
tantangan dalam tugas, dorongan, dan umpan balik yang terus berlanjut. Komunikasi dan
pembelajaran melalui komputer dapat memberikan akses dan memungkinkan kolaborasi. Hal ini
bisa efektif dalam membangun keterampilan di bidang-bidang seperti analogi verbal, pemikiran
logis, dan penalaran induktif/deduktif.
Tabel 1. Development of Higher Order Thinking Skills
Situations Skills Outcomes
Situasi beberapa
kategori, yang belum
dimiliki pebelajar
jawaban yang
dipelajari, sebaiknya
reallife konteks
Keterampilan multidimensi
penerapan lebih dari satu
aturan atau transformasi
konsep atau aturan yang
diketahui sesuai dengan
situasi
Hasil yang tercipta melalui proses
berpikir, tidak dihasilkan dari Hafalan
tanggapan belajar pengalaman
sebelumnya
• ambiguities
• challenges
• confusions
• dilemmas
• discrepancies
• doubt
• obstacles
• paradoxes
• problems
• puzzles
• questions
• uncertainties
• complex analysis
• creative thinking
• critical thinking
• decision making
• evaluation
• logical thinking
• metacognitive thinking
• problem solving
• reflective thinking
• scientific experimentation
• scientific inquiry
• synthesis
• systems analysis
• arguments
• compositions
• conclusions
• confirmations
• decisions
• discoveries
• estimates
• explanations
• hypotheses
• insights
• inventions
• judgments
• performances
• plans
• predictions
• priorities
• probabilities
• problems
• products
• recommendations
• representations
• resolutions
• results
• solutions
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 535
Kauchak dan Eggen (1998) menemukan bahwa strategi berikut berkontribusi pada hal-hal tertentu
Jenis komunikasi instruksional yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi.
1. Sejajarkan tujuan pembelajaran, tujuan, gagasan dan keterampilan konten, tugas belajar,
penilaian kegiatan, dan bahan dan media .
2. Menetapkan kegiatan dan rutinitas terorganisir.
a. Siapkan analisis tugas tentang kemampuan berpikir untuk dipelajari: identifikasi yang spesifik
kemampuan berpikir untuk dipelajari, pengetahuan dan keterampilan prasyarat, urutan subskill
terkait, dan kesiapan pebelajar untuk belajar (diagnosis prasyarat pengetahuan dan kemampuan).
b. Siapkan contoh masalah, contoh, dan penjelasan.
c. Siapkan pertanyaan yang melampaui sekadar mengingat kembali informasi faktual yang harus
dipusatkan tingkat pemahaman yang lebih tinggi, seperti bagaimana? mengapa? dan seberapa baik?
d. Merencanakan strategi untuk diagnosis, bimbingan, latihan, dan remediasi.
e. Jelaskan dan ikuti rutinitas yang telah ditetapkan, seperti mulai tepat waktu dan mengikuti Urutan
kegiatan yang direncanakan.
f. Sampaikan antusiasme, perhatian tulus pada topik, kehangatan, dan bisnis pendekatan dengan
persiapan dan organisasi yang menyeluruh, waktu transisi minimal antara aktivitas, ekspektasi yang
jelas, dan yang nyaman, tidak mengancam suasana.
3. Jelaskan tugasnya dengan jelas.
a. Tetapkan tujuan di awal tugas.
b. Berikan contoh produk jadi.
c. Hindari terminologi yang kabur dan ambigu seperti "mungkin," "sedikit lagi," "beberapa,"
"Biasanya," dan "mungkin." Istilah ini menyarankan disorganisasi, kekurangan persiapan, dan
kegugupan.
d. Perkenalkan tugas dengan kerangka pengorganisasian yang jelas dan sederhana seperti diagram,
bagan, pratinjau, atau satu gambaran paragraf.
e. Perkenalkan konsep dan istilah kunci sebelum penjelasan lebih lanjut dan studi.
f. Gunakan pertanyaan yang memusatkan perhatian pada informasi penting.
g. Berikan penekanan dengan pernyataan lisan, perilaku nonverbal, pengulangan, dan tulisan
sinyal.
h. Buat ide dengan gambar, diagram, contoh, demonstrasi, model, dan perangkat lain.
4. Berikan sinyal transisi untuk mengkomunikasikan bahwa satu gagasan berakhir dan yang lainnya
dimulai.
536 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
5. Berikan umpan balik pada interval yang sering dengan umpan balik korektif untuk memperjelas
kesalahan atau sebagian tanggapan salah.
Pengembangan Assesment TIK dalam Pembelajaran Berbasis HOTS
Penilaian yang valid terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi mengharuskan pebelajar untuk
tidak terbiasa dengan pertanyaan atau tugas yang mereka minta untuk menjawab atau melakukan
dan bahwa mereka sudah cukup pengetahuan sebelumnya untuk menggunakan kemampuan berpikir
tingkat tinggi dalam menjawab pertanyaan atau melakukan tugas. Penelitian secara psikologis
menunjukkan bahwa keterampilan yang diajarkan dalam satu domain bisa di generalisasi ke orang
lain. Dalam jangka waktu yang lama, individu mengembangkan keterampilan tingkat tinggi
(kemampuan intelektual) yang berlaku untuk permasalahan yang kompleks.
Tiga tugas dalam mengukur ketrampilan tingkat tinggi: (a) seleksi, termasuk item pilihan ganda,
pencocokan, dan rangking; (b) generasi, yang mencakup pertanyaan singkat, esai, dan item kinerja
atau tugas; dan (c) penjelasan, yang meliputi pemberian alasan untuk tanggapan seleksi atau umum.
Guru/dosen menyadari pentingnya memiliki pebelajar mengembangkan keterampilan tingkat tinggi,
namun sering tidak menilai kemajuan pebelajar mereka. Beberapa model berbasis kinerja tersedia
untuk membantu mereka dalam mengajar dan menilai keterampilan ini.
Terdapat beberapa prinsip umum penggunaan teknologi, dalam ICT, yaitu sebagai berikut:
a. Efektif dan efisien Penggunaan ICT harus memperhatikan manfaat dari teknologi ini dalam
hal mengefektifkan belajar, meliputi perolehan ilmu, kemudahan dan keterjangkauan, baik waktu
maupun biaya. Dengan demikian, penggunaan ICT yang justru membebani akan berakibat tidak
berjalannya pembelajaran secara efektif dan efisien.
b. Optimal dengan menggunakan ICT, paling tidak pembelajaran menjadi bernilai “lebih” daripada
tanpa menggunakannya. Nilai lebih yang diberikan ICT adalah keluasan cakupan, kekinian (up to
date), kemodernan dan keterbukaan.
c. Menarik Artinya dalam prinsip ini, pembelajaran di kelas akan lebih menarik dan
memancing keingintahuan yang lebih. Pembelajaran yang tidak menarik dan memancing
keingintahuan yang lebih akan berjalan membosankan dan kontra produktif untuk pembelajaran.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi mencakup pemikiran kritis, pemecahan masalah, pengambilan
keputusan, dan pemikiran kreatif (Lewis & Smith, 1993). Mereka mencakup keterampilan yang
didefinisikan di Bloom's taksonomi tujuan pendidikan (Bloom, 1956); Hirarki kemampuan belajar
yang dikemukakan oleh Briggs and Wager (1981), Gagné (1985), dan Gagné, Briggs, and Wager
(1988); dan sejumlah konseptualisasi lainnya yang kurang terkenal. Contohnya adalah matriks
Gubbins keterampilan berpikir kritis (seperti yang dikutip dalam Legg, 1990), yang mencakup (1)
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 537
pemecahan masalah, (2) Pengambilan keputusan, (3) kesimpulan-penalaran induktif dan deduktif,
(4) pemikiran yang berbeda, (5) pemikiran evaluatif, dan (6) filsafat dan penalaran.
Metode penilaian untuk mengukur pemikiran tingkat tinggi mencakup item pilihan ganda, Item
pilihan ganda dengan pembenaran tertulis, item tanggapan yang dibangun, tes kinerja, dan
portofolio. Metode ini dapat digunakan baik dalam penilaian kelas maupun di seluruh negara
bagian, namun untuk nyaman, pertimbangkan dua macam penilaian secara terpisah.
Merangsang daya kreatifitas berpikir Pebelajar .
Pebelajar akan terus berusaha untuk mencoba sesuatu yang baru mereka lihat di dalam internet, dari
ketertarikan itu mereka bisa dimungkinkan untuk membuat sesuatu inovasi baru. Reeves (1998)
memaparkan hasil investigasi 10 tahun oleh proyek Apple Classrooms of Tomorrow (ACOT), dan
menyimpulkan bahwa inovasi-inovasi pedagogis dan hasil-hasil positif pembelajaran dapat
diperoleh dengan penerapan teknologi (ICT) disekolah. Dalam mengintegrasikan teknologi ke
dalam proses pembelajaran, para ahli meneliti dan mengembangkan berbagai model.
Woodbridge (2004) dan imodifikasi/dikembangkan lebih lanjut oleh penulis. Beberapa catatan
penting dari model tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Teknologi (ICT) berperan pada tiga fungsi: pertama, menciptakan kondisi belajar yang
menyenangkan dan mengasyikan (efek emosi); kedua, membekali kecakapan pebelajar untuk
menggunakan teknologi tinggi. Ini menjawab tantangan relevansinya dengan dunia di luar sekolah.
Ketiga, teknologi berfungsi sebagai learning tools dengan program-program aplikasi dan
penggunaan, selain mempermudah dan mempercepat pekerjaan, juga memperbanyak variasi dan
teknik-teknik analisis dan interpretasi.
(2) Emosi positif, keterampilan menggunakan teknologi, dan kecakapan dalam memanfaatkan
program-program dan penggunaannya itu merupakan bekal dan kondisi yang positif bagi
pengembangan kemampuan intelektual pebelajar melalui pengembangan kemampuan mencipta,
memanipulasi, dan belajarberlatih dengan tugastugas yang berbasis penyelesaian masalah
membangun lingkungan belajar konstruktivis.
ICT memegang peran yang sangat besar dalam suatu proses salah satunya dalam bidang pendidikan
untuk memfasilitasi proses pembelajaran. Terdapat beberapa penggunaan ICT dalam Pengajaran
dan Pembelajaran, yaitu:
(1) Tutorial ICT digunakan untuk pembelajaran tutorial apabila digunakan untuk
menyampaikan pelajaran berdasarkan urutan yang telah ditetapkan. Pembelajaran tutorial meliputi:
(a) pembelajaran ekspositori yaitu penjelasan. terperinci. (b) demonstrasi dan latihan.
538 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
(2) Eksplorasi penggunaan ICT untuk pembelajaran berlaku apabila ICT digunakan sebagai
media untuk: (a) mencari dan mengakses informasi dari internet. (b) melihat demonstrasi sesuatu
kejadian sesuai urutan dengan soft ware dan hard ware.
(3) Alat aplikasi. ICT dikatakan sebagai alat aplikasi apabila membantu murid melaksanakan
tugas contoh: membuat dan menganalisa diagram dalam pelajaran matematika.
(4) Komunikasi. ICT dikatakan sebagai alat untuk memudahkan komunikasi antara tenaga
pendidik dengan murid dalam mengirim dan menerima informasi. Dengan demikian tujuan ICT
akan sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri ketika digunakan dalam pembelajaran.
Penggunaan ICT justru tidak menjadi penghambat dalam pembelajaran namun akan memberikan
manfaat yang lebih dalam pembelajaran.
Kriteria Pengembangan Sistem
Hal yang dominan dalam pemanfaatan fasilitas belajar jarak jauh adalah sebagai alat untuk
menyebarkan bahan ajar secara cepat kepada para pebelajar. Namun demikian hal yang terjadi
adalah bahan perkuliahan di dalam web ternyata tidak dapat memecahkan permasalahan belajar
pebelajar (Evans et al, 2004). Lebih jauh Evans et al (2004) menjelaskan bahwa apabila bahan
perkuliahan tersebut disajikan dengan mempertimbangkan faktor pedagogis dan mudah ditelusuri
pebelajar akan meningkatkan kualitas belajar pebelajar. Pengembangan aturan pengajaran online,
dukungan kelembagaan, kedisiplinan dan tambahan variasi pilihan bahan ajar (O’Reilly et al, 2000)
akan memungkinkan web berubah dari sekedar sebagai sumber bahan kuliah menjadi sesuatu yang
dapat meningkatkan pengalaman belajar pebelajar. Perlu pula diperhatikan berbagai hal dari sudut
pandang guru/dosen sebagai fasilitator perkuliahan dan pebelajar sebagai peserta perkuliahan
dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut.
Lebih jauh Institute for Higher Education Policy, Amerika (dalam Govindasamy, 2002)
mensyaratkan tujuh parameter yang perlu diperhatikan dalam menerapkan e-learning yang
mempertimbangkan prinsip-prinsip pedagogis, yaitu: (1) institutional support; (2) course 10
development; (3) teaching and learning; (4) course structure; (5) student support; (6) faculty
support; dan (7) evaluation and assessment. Karenanya, dalam bahasa yang lain, Soekartawi (2003)
mengidentifikasi bahwa keberhasilan implementasi e-learning sangat tergantung kepada penilaian
apakah: (a) e-learning itu sudah menjadikan suatu kebutuhan; (b) tersedianya infrastruktur
pendukung seperti telepon dan listrik (c). tersedianya fasilitas jaringan internet dan koneksi internet;
(d) software pembelajaran (learning management system); (e) kemampuan dan ketrampilan orang
yang mengoperasikannya; dan (f) kebijakan yang mendukung pelaksanaan program e-learning.
Komunikasi yang dimediasi komputer memberi kesempatan akses ke data jarak jauh Sumber,
kolaborasi proyek kelompok dengan Pebelajar di lokasi lain, dan pembagian kerja Evaluasi atau
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 539
tanggapan oleh pebelajar lain (Kauchak & Eggen, 1998). Dibantu komputer Instruksi (CAI) dan
instruksi berbasis komputer (CBI), bila dikombinasikan dengan instruksi reguler, "Meningkatkan
sikap, motivasi, dan prestasi pebelajar," (Crowl et al., 1997, hlm. 35). Berikut adalah aplikasi dari
komunikasi yang dimediasi oleh komputer semacam itu efektif dalam meningkatkan pembelajaran
prasyarat dan keterampilan berpikir tingkat tinggi:
• Mempraktikkan keterampilan inferensi dan strategi pemecahan masalah (Kauchak & Eggen,
1998);
• pengembangan keterampilan di bidang-bidang seperti analogi lisan, penalaran logis, dan
Pemikiran induktif/deduktif (Kapas, 1997); dan
• pengeboran dan latihan, yang menggabungkan probe atau tes (Crowl et al., 1997).
Menurut Friedman (2006) dalam memasuki abad ke-21, bisnis digital di berbagai sektor mulai
marak di banyak negara. Keadaan ini menyebabkan pergeseran paradigma pembelajaran harus
dihadapi untuk mempersiapkan pendidikan menyongsong era global. Dalam hal ini, salah
satu keterampilan abad ke-21 menuntut terjadinya perubahan evolusi berpikir. Setiap Pebelajar di
abad ini, diharapkan memiliki keterampilan berpikir yaitu bagaimana berpikir kritis (high order
thinking skill atau Iebih dikenal dengan nama HOTS), mencari solusi, kreatif, berinovasi,
komunikasi, kolaborasi, serta memiliki keterampilan informasi dan media (lCT literacy).
Pengertian ICT literacy dapat dimaknai yaitu menggunakan teknologi digital, alat komunikasi dan
atau jaringan untuk mengakses, mengatur, meneliti, mengevaluasi, menciptakan informasi untuk
keperluan komunikasi. Terkait dengan kriteria keterampilan abad ke-21 tersebut maka pada
penelitian ini dibahas keterampilan berpikir yang disebut high order thinking skill (HOTS) dan ICT
literacy. Berpikir merupakan bagian intelektual manusia dalam proses kognitif tingkat tinggi
(Wilson, 2000). Skill dapat dimaknai sebagai bentuk keterampilan dan merupakan kemampuan
untuk melakukan sesuatu dengan baik (Lawson,2002).
Terkait dengan integrasi TIK dalam pembelajaran ternyata computer dapat digunakan sebagai alat
untuk melibatkan pebelajar dalam berpikir (]onassen, 2000). Wegerif (2002) menunjukkan bahwa
ada tiga langkah bagaimana penggunaan TIK dapat memperkaya pengajaran dan pembelajaran yang
menstimulasi keterampilan berpikir. Ketiga langkah tersebut adalah: (a) mendukung dinamika
penyampaian informasi (b) berlaku sebagai guru/dosen untuk mendorong pembelajaran namun
pada saat yang sama berlaku sebagai sumber belajar ketika pebelajar berdiskusi dan mengeksplorasi
ide (c) adanya komputer jaringan membuat pebelajar dapat berkreasi secara langsung dengan
pebelajar lain tanpa dibatasi ruang dan waktu.
540 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Selanjutnya, dalam DfES (2002), keterampilan berpikir juga dapat diklasifikasikan ke dalam
kategori (a) keterampilan memproses informasi, (b) keterampilan memberi argumentasi, (c)
keterampilan menemukan sesuatu yang baru dan (d) keterampilan berpikir kreatif (e) keterampilan
mengevaluasi. Fischer et al (1995) menyoroti beberapa faktor yang mempengaruhi proses berpikir
yaitu: (a) kemampuan kognitif dan memori pebelajar, (b) pengalaman masa lalu, usia, dan
kebiasaan dan (c) sikap Pebelajar misalnya motivasi, tekanan, ketertarikan, kepercayaan terhadap
orang lain, percaya diri, mengatur emosi, ketekunan, dan daya retensi terhadap materi pelajaran.
Setiap pebelajar perlu menggunakan HOTS (Zohar, 2004). Resnick (1987) menekankan bahwa
HOTS harus merupakan salah satu program sekolah bahkan dimulai dari jenjang taman kanak-
kanak pada setiap materi pelajaran. Menurut Lavonen dan Meisalo (1998), baik kreativitas, berpikir
kritis, dan kemampuan memecahkan masalah adalah termasuk HOTS. Zoller (2001) menyatakan
bahwa HOTS adalah mengajukan pertanyaan, menyelesaikan masalah, membuat keputusan,
berpikir kritis, dan mengevaluasi dalam konteks materi kimia. Menurut Zohar dan
HOTS menekankan dalam memberi argumen, mengajukan pertanyaan, membuat perbandingan,
mengidentifikasi asumsi yang tersembunyi, memformulasi hipotesis, merencanakan eksperimen,
dan membuat kesimpulan. Menurut Schwartzer (2002) membagi HOTS menjadi tiga bagian yaitu:
(a) inquiry skills, data processing skills, dan additional critical thinking skllls. Domin (1999)
menyatakan contoh implementasi HOTS misalnya pada kompetensi pebelajar untuk bersikap dalam
berpendapat, mengambil kesimpulan, merencanakan, menilai. Marland, Patching, dan Putt (1992)
membahas pembelajaran jarak jauh juga menciptakan HOTS dalam sikap menganalisis,
mengantisipasi, membandingkan, mengkonflrmasi hubungan, meta kognisi, mengingat kembali,
merencanakan strategi, dan transformasi. Nastasi dan Clements (1992) mengklasifikasi HOTS
dalam pembelajaran berbasis komputer ke dalam sikap sosial-kognitif yang meliputi baik kolaborasi
maupun non kolaborasi, teman sebaya sebagai sumber belajar guru/dosen sebagai sumber belajar,
konflik sosial, dan konflik kognitif. Partisipasi Pebelajar , dukungan guru/dosen, interaksi Pebelajar
, termasuk kegiatan praktis, motivasi, dan umpan balik memberi hubungan pengaruh positif
tumbuhnya HOTS (Hart, 1990). Implementasi lebih luas yaitu pada hasil penelitian topik tugas
berbasis web yang merupakan akses informasi dan aktivitas tanpa batas seperti yang dikemukakan
oleh Coleman, King, Ruth dan Stary (2001); Tal dan Hochberg (2003). Pada saat pebelajar
mempresentasikan hasil penelitiannya di depan kelas, kemampuan berpikir tingkat tinggi ini akan
terbukti (Maor, 2000). Sementara itu pembelajaran jarak jauh yang dikemukakan dalam Waterhouse
(2005) menyatakan mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan keterampilan berpikir
kritis, kemampuan memecahkan masalah, berkolaborasi, menumbuhkan keterampilan terhadap
penguasaan teknologi, dan menciptakan pembelajaran yang efektif, interaktif, dan memberi feed
back kepada Pebelajar . Melalui refleksi dari pengalamannya akan diperoleh informasi,
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 541
menginterpretasi informasi, menganalisis, membuat hubungan sebabakibat, dan sintesis tentang apa
yang mereka telah pelajari serta dapat menghasilkan pengetahuan yang baru.
Adapun penerapan dalam pembelajaran, menurut Domin (1999), suatu langkah yang paling
memungkinkan untuk mendorong tumbuhnya HOTS dalam laboratorium adalah menempatkan
pebelajar pada posisi sebagai pendesain, pengembang, dan mengatur eksperimennya sendiri melalui
pendekatan pendekatan berbasis masalah (problem based learning). Penerapan TIK dalam
pembelajaran di kelas memberi kesempatan bagi pebelajar untuk mengembangkan HOTS yang
bermakna yang diingat sepanjang hayat (Bass dan Perkins (1984), Nastasi dan Clements (1992),
Linn (1998)).
Untuk mendukung proses integrasi TIK di dalam pembelajaran, maka Manajemen Sekolah,
guru/dosen dan Pebelajar harus memahami 9 (sembilan) prinsip integrasi TIK dalam pembelajaran
yang terdiri atas prinsip-prinsip:
1. Aktif: memungkinkan pebelajar dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan
bermakna.
2. Konstruktif: memungkinkan pebelajar dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang
selama ini ada dalam benaknya.
3. Kolaboratif: memungkinkan pebelajar dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling
bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama
anggota kelompoknya.
4. Antusiastik: memungkinkan pebelajar dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
5. Dialogis: memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan
dialogis dimana pebelajar memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam
maupun luar sekolah .
6. Kontekstual: memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-
world) melalui pendekatan ”problem-based atau case-based learning”
7. Reflektif: memungkinkan pebelajar dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta
merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen
(1995), dikutip oleh Norton et al (2001)).
8. Multisensory: memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar
(multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000).
542 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
9. High order thinking skills training: memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat
tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung juga
meningkatkan ”ICT & media literacy” (Fryer, 2001).
PENUTUP
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah Information and Communication Technologies (ICT) merupakan media atau bantu
untuk melakukan kegiatan seperti pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan transfer/pemindahan
informasi. ICT terdiri dari dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi.
Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai media,
manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan pengertian untuk teknologi komunikasi yaitu
semua hal yang berkaitan dengan penggunaan media untuk memproses dan mentransfer data dari
perangkat satu ke perangkat lainnya. Sehingga teknologi informasi dan komunikasi memiliki
pengertian yang sangat luas yaitu semua kegiatan yang berkaitan dengan pemrosesan, manipulasi
data, pegelolaan, pemindahan informasi. ICT sangat diperlukan dalam pembelajaran di era sekarang
ini. Dengan prinsip penggunaan ICT yang efektif dan efisien, optimal, menarik, dan merangsang
daya kreativitas, ICT menjadi salah satu media pembelajaran yang banyak digunakan di berbagai
bidang pendidikan karena meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran.
Penggunaan ICT dalam pembelajaran antara lain sebagai tutorial, eksplorasi, alat aplikasi, dan
komunikasi. Penggunaan ICT di Indonesia ini sangat diperlukan untuk memajukan kualitas
pendidikan yang ada di Indonesia serta menjadi pemicu bangsa Indonesia untuk lebih berkembang.
Kini di era pendidikan berbasis TIK, peran guru/dosen tidak hanya sebagai pengajar semata namun
sekaligus menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar bagi
pebelajar . Karenanya guru/dosen dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar
kepada pebelajar untuk mengalami peristiwa belajar. Dengan peran guru/dosen sebagaimana
dimaksud, maka peran pebelajarpun mengalami perubahan, dari partisipan pasif menjadi partisipan
aktif yang banyak menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/ keterampilan serta
berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli. Disisi lain pebelajar juga
dapat belajar secara individu, sebagaimana halnya juga kolaboratif dengan pebelajar lain.
Model pembelajaran TIK dalam pendidikan berbasis HOTS sangat diperlukan untuk memandu
proses belajar secara efektif yang memiliki landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif,
berorientasi kekinian, memiliki sintak pembelajaran yang sedehana, mudah dilakukan, dapat
mencapai tujuan dan hasil belajar yang disasar berdasarkan kemampuan dalam berpikir tingkat
tinggi. Sedangkan startegi pembelajaran yang baik harus melalui tahapan evaluasi. Evaluasi
dilakukan melalui beberapa cara, meliputi; tes formatif dan sumatif, pendekatan PAN/PAP,
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 543
pendekatan afektif, kognitif dan psikomotorik, tugas rutin, critical books review, critical journal
review, mini research, rekayasa ide, project, dan portopolio. Tahapan pembelajaran TIK dalam
pendidikan berbasis HOTS dilakukan mengacu pada pembelajaran: active learning, constructive,
collaborative, intentional/antusiastik, conversational/dialogis, contextualized, reflective,
multisensory, high order thingking skill training. Sedangkan output yang dihasilkan dalam
pelaksanaan pembelajaran TIK dalam pendidikan berbasis HOTS adalah: produk nyata berdasarkan
hasil investigasi dalam pembelajaran; berinovatif, kreatif dan produktif; bertanggungjawab dan
berkarakter; berkarya dan melakukan pekerjaan dengan hasil yang baik; hasil berlajar penguasaan
aepek kognitif, afektif, dan psikomorotik; dan memiliki kecakapan/skills.
DAFTAR PUSTAKA
Bloom, B. S. (Ed). (1956). Taxonomy of educational objectives. Handbook I: Cognitive
domain. New York: McKay.
Briggs, L. J., & Wager, W. (1981). Handbook for procedures for the design of instruction.
Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications.
Crowl, T. K., Kaminsky, S., & Podell, D. M. (1997). Educational psychology: Windows on
teaching. Madison, WI: Brown and Benchmark.
DfES. 2002. Qualifying to teach: Professional standards for qualified teacher status and
requirements for initial teacher training. London: The Stationery Office.Fischer et al (1995)
Evan, C., Gibbons, N. J., Shah, K. and Griffin, D. K. (2004) Virtual Learning in the biological
sciences: pitfalls of simply “putting notes on the web” Computer & Education, 43, 49-61
Gagné, R. M. (1985). The conditions of learning (4th ed.). New York: Holt, Rinehart and Winston,
Inc.
Gagné, R. M., Briggs, L. J., & Wager, W. W. (1988). Principles of instructional design. New York:
Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Govindasamy, T. (2002). Successful Implementation of e-Learning: Pedagogical Considerations.
Internet and Higher Education, 4, 287–299.
Hart, K. A. 1990. Teaching Thinking in College: Accent on improving college teaching and
learning. Ann Arbor, MI: National Center for Research to Improve Postsecondary Teaching and
Learning.
Jonassen, D. 1991. Thinking Technology: context is everything. Educational Technology. 3l(6): 35-
37 .
544 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Kauchak, D. P., & Eggen, P. D. (1998). Learning and teaching: Research-based methods (3rd ed.).
Boston: Allyn and Bacon.
Lavonen, and Meisalo, Y. 2002. Research-Based Design of Learning Materials for Technology-
oriented Science Education. Themes in Educatio. 1 ( 3): 107 – 131.
Legg, S. M. (1990). Issues in critical thinking. Paper prepared for the College of Pharmacy at the
University of Florida, Gainesville, FL.
Lewis, A., & Smith, D. (1993). Defining higher order thinking. Theory into Practice,
32(3), 131−137.
Linn, R. L. (1993). Educational assessment: Expanded expectations and challenges (CSE Tech.
Rep. No. 351). Los Angeles: University of California, National Center for Research on Evaluation,
Standards, and Student Testing.
Maor, D. & Fraser, B.I. 1996. The Development and Use of a classroom Instrument in the
Evaluation of Inquiry-based ComputerAssisted Learning. International lournal of science
Education, lB, 401 -421.
Marland, P., Patching, W. and Putt, I. 1992. Thinking While Studying: A Process Tracing Study of
Distance Learners. Distance Education. ]j (2): t93 - 2r7.
Nastasi, B. K., and clements, D. H. 1992. social-ccognitive Behaviour and Higher order Thinking in
Educational computer Environments. Learning and Instruction. 2 (195): 215 – 238
O’Reilly, M., Ellis, A. and Newton, D. (2000) The Role of University Web Pages in Staff
Development: Supporting Teaching and Learning Online, In AUsWb2K, Sixth Australian
Wide Web Conference Cairns, Australia. Tersedia di
http://ausweb.scu.edu.au/aw2k/papers/o_reilly/paper.htm
Soekartawi (2003). E-Learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Presentasi
pada Seminar e-Learning perlu e-Library, Universitas Petra, Surabaya, 3 Februari.
Wang, Q & Woo, H.L (2007), Systemic planning for ICT Integration in Topic Learning,Journal of
Educational Technology and Society, 10 (1), 148_156.
Waterhouse, S. 2005. The Power of e-Learning. The Essensial Guide for Teaching in the Digital
Age. California: Allyn & Bacon.
Zohar, A. 2004. Higher Order Thinking in Science Classroom: Students' Learning and Teachers'
Professional Development. Science & Technology Educational Library. volume 22. D orchrecht:
Kluwer.
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 545
PEMBELAJARAN BERMAIN REKORDER SOPRAN MELALUI YOUTUBE DI PROGRAM STUDI GURU MI UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN ARSYAD AL-BANJARI
Muhammad Najamudin
Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Inovasi pembelajaran merupakan pembaharuan atau penemuan baru dalam dunia pembelajaran
untuk kemajuan pendidikan disampaikan dalam dunia pendidikan memberi makna agar lebih
memiliki arti penting. Mengadakan perubahan prilaku yang sejujur-jujurnya, dan setulus-tulusnya
yang mempunyai daya nalar, memiliki inspirasi dan daya pikir tinggi, yang dapat menjunjung
harkat dan martabat manusia peserta didik. Penelitian ini, melihat fenemona di eraglobalisasi tidak
ada lagi manusia yang tidak memiliki smartphone. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan
pembelajaran rekorder sopran melalui youtube. Metode digunakan meliputi: 1). Observasi, 2).
Wawancara dan 3). Dokumentasi. Berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah
dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1). Terjadi peningkatan Hasil belajar mahasiswa
dikarenakan penggunaan teknik pembelajaran melalui youtube, semua itu terbukti dengan
terjadinya peningkatan hasil belajar yang signifikan dari mahasiswa. 2). Penggunaan teknik
pembelajaran youtube mempunyai pengeruh positif terhadap keaktifan mahasiswa, yang
ditunjukkan dengan peningkatan nilai keaktifan mahasiswa yang signifikan.
Kata Kunci: Inovasi, Pembelajaran, Youtube
PENDAHULUAN
Pendidik merupakan jabatan yang amat strategis dalam nenunjang proses dan hasil kinerja
pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidik merupakan
gerbang awal sekaligus representasi kondisi dan kinerja pendidikan. Dalam hubungan ini,
penampilan seorang pendidik harus terwujud sedemikian rupa secara efektif sehingga dapat
menunjang dinamika dan keefektifan pendidikan. Kinerja penampilan pendidik didukung sejumlah
546 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
kompetensi tertentu dan berlandaskan kualitas kepribadian yang harus dapat terwujudkan secara
nyata. Dengan demikian sifat utama seorang pendidik adalah kemampuannya dalam
mewujudkan penampilan kualitas kepribadian dalam interaksi dengan lingkungan pendidikan
agar kebutuhan dan tujuan dapat tercapai secara efektif.
Pendidikan merupakan kunci untuk semua kemajuan dan perkembangan yang berkualitas, sebab
dengan pendidikan manusia dapat mewujudkan semua potensi dirinya baik sebagai pribadi
maupun sebagai warga masyarakat. Dalam rangka mewujudkan potensi diri menjadi multiple
kompetensi harus melewati proses pendidikan yang diimplementasikan dalam proses
pembelajaran. Suatu realita sehari-hari, didalam suatu ruang kelas ketika Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) berlangsung, nampak beberapa atau sebagian besar mahasiswa belum belajar
sewaktu dosen mengajar.
Apabila masalah ini dibiarkan dan berlanjut terus, lulusan sebagai generasi penerus bangsa
akan sulit bersaing dengan lulusan negara-negara lain. Lulusan yang diperlukan tidak sekedar
yang mampu mengingat dan memahami informasi tetapi juga yang mampu menerapkannya
secara kontekstual melalui beragam kompetensi. Di era pembangunan yang berbasis ekonomi dan
globalisasi sekarang ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar mahasiswa
mampu Memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan , menilai dan menggunakan
informasi, serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam
pengambilan keputusan.
Proses belajar mengajar antara pelajar dengan para pengajar sangatlah penting dalam mencapai
tujuan yang di ingikan dari kedua belah pihak. Pengajar sangat diharapkan dapat memberikan
segala ilmu yang di ajarkan kepada mahasiswa, sedangkan mahasiswa diharapkan juga menyerap
apa yang telah di sampaikan pengajar. Dalam proses kegiatan belajar mengajar tersebut terkadang
terdapat berbagai kendala dalam hal pemahaman terhadap suatu meteri.
Dalam dunia pendidikan memahami akan materi yang disampaikan adalah mutlak harus
dipenuhi. Seorang mahasiswa wajib mengerti akan materi yang diajarkan tidak hanya sekedar tahu
akan materi yang telah di sampaikan. Seiring perkembangan zaman metode pembelajaran harus
memiliki inovasi dan tidak terlihat hidup monoton. Salah satunya melalui pembelajaran lewat video
yaitu youtube. Oleh karena itu, media pembelajaran dengan menggunakan video di youtube di
harapkan dapat membantu pemahaman bagi mahasiswa.
Fenomena sekarang mahasiswa tidak ada lagi yang tidak memiliki smartphone, karena kegunaan
ponsel itu bisa melakukan tugas di luar fungsi normalnya. Dulu sebuah handphone hanya bisa di
gunakan untuk sms ataupun menelepon, atau untuk jenis handphone tertentu bisa juga untuk
mengakses data, namun pada saat ini sebuah smartphone bisa diibaratkan dengan mempunyai
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 547
fungsi yang hampir sama dengan laptop atau PC. Berdasarkan latar belakang inilah peneliti tertarik
untuk memanfaatkan era teknologi dalam kegiatan pembelajaran seni.
Inovasi adalah suatu gagasan (ide), praktek atau obyek yang dapat dipahami sebagai sesuatu yang
baru, atau mempunyai makna lain yaitu mengadopsi dari sesuatu yang sebenarnya bukan
benar-benar baru, kalau diukur sejak ditemukan pertama kali, namum dipahami sebagai sesuatu
yang baru yang memiliki karakteristik :
Memiliki tingkat hubungan keuntungan, yaitu adanya pemahaman bahwa ide tersebut harus
lebih baik daripada yang digantikannya, dapat diukur oleh istilah istilah ekonomi, prestise sosial,
keramah-tamahan dan faktor penting adalah dapat memuaskan.
Memiliki tingkat kecocokan, yaitu adanya kosistensi dengan nilai yang mapan, pengalaman
masa lalu dapat memenuhi kebutuhan.
Memiliki tingkat kerumitan yaitu kesadaran bahwa inovasi memiliki kesulitan untuk dipahami
dan dipergunakan.
Dapat dicoba, yaitu bahwa inovasi bersifat terbatas.
Dapat diobservasi, yaitu sebuah inovasi yang dapat terlihat untuk diteliti (EverettM Roges, 1995 :
11-16).
Inovasi, dapat digambarkan sebagai upaya peningkatan pemikiran, dan kaitannya dalam
proses pembelajaran sebgai penghasilan produk atau kaidah yang baru kearah pelaksanaan
kurikulum. Konsep inovasi meliputi aktivitas yang melibatkan pembaharun dan perubahan
yang positif.
Pembaharuan itu menjelma melalui cara, kaidah, teknik atau pendekatan baru yang meningkatkan
pembelajaran. Inovasi dapat dipahami sebagai dasar kontribusi pribadi dan bukan sekedar
untuk pemenuhan dari suatu keadaan yang dibutuhkan atau sekedar budaya kebiasaan. Basis
untuk berinovasi adalah lebih pada tingkat dasar dari kegiatan atau perbaikan seseorang. Inovasi
adalah lebih pada pengembangan produk dan respon perilaku terhadap perbedaan-perbedaan
(Stephen Carter, 1999:44).
Tenaga pengajar yang inovatif adalah yang aktif mencari ide-ide baru, dan mengalami proses
pelaksanaan yang terus berkesinambungan, tidak terhenti dalam satu waktu saja melainkan
terus berlangsung. Dan mengalami proses perubahan. Perubahan ini mesti menunjukkan sifat-sifat
baru dan asli untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum di sekolah.
Kecakapan dan keberhasilan penggunaan pendekatan yang inovatif perlu disesuaikan dengan
biaya, waktu, tenaga dan penggunaannya.
548 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang secara
harfiah berarti perantara atau pengantar (Sadiman dkk, 2009: 6). Media seperti yang dikutip dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 726) adalah (1) alat; (2) sarana komunikasi seperti koran,
majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk; (3) yang terletak antara dua pihak; (4) perantara,
penghubung. Sedangkan dalam Kamus Kata Serapan, media adalah benda/alat/sarana, yang menjadi
perantara untuk menghantarkan sesuatu (Martinus, 2001: 359-360).
Pendekatan pembelajaran merupakan istilah yang melingkupi seluruh proses pembelajaran.
Pendekatan dan strategi pembelajaran mempunyai makna yang sama untuk menjelaskan bagaimana
proses seorang guru mengajar dan peserta didik belajar dalam mencapai tujuan. Penggunaan kedua
istilah ini sering dipertukarkan. Burden (1998) menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah
sebuah metode untuk menyampaikan pelajaran yang dapat membantu peserta didik mencapai
tujuan belajar.
Secara umum, pendekatan atau strategi pembelajaran dibedakan menjadi dua yaitu
pendekatan/strategi yang berpusat pada peserta didik dan pendekatan yang berpusat pada dosen.
Disisi lain, strategi pembelajaran juga dapat diklasifikasikan menjadi strategi pembelajaran
klasikal, kelompok dan individu.
Youtube adalah sebuah situs website media sharing video online terbesar dan paling populer di
dunia internet. Saat ini pengguna youtube tersebar di seluruh dunia dari berbagai kalangan usia, dari
tingkat anak-anak sampai dewasa. Para pengguna youtube dapat mengupload video, search video,
menonton video, diskusi/tanya jawab tentang video dan sekaligus berbagi klip video secara gratis.
Setiap hari ada jutaan orang yang mengakses youtube sehingga tidak salah jika youtube sangat
potensial untuk dimanfaatkan sebagai media pembelajaran.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. sasaran utama penelitian ini adalah pembelajaran
rekorder sopran melalui youtobe. Instrument penelitian adalah peneliti sendiri. Teknik pengumpulan
data menggunakan wawancara terarah dan tidak terararh, observasi partisipan dan studi
dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada analisis
Miles dan Huberman (1994:10), dimana proses analisis data yang digunakan secara serampak mulai
dari proses pengumpulan data, mereduksi, mengklarifikasi, mendeskripsikan, menyimpulkan dan
menginterpretasikan, menyimpulkan dan menginterpretasikan semua informasi secara selektif.
Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini, memakai dependabilitas dan konfirmabilitas
(Lincoln dan Guba dalam Jazuli, 2001 : 34).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap Perencanaan Pembelajaran rekorder sopran diajarkan pada semester genap 2016/2017,
pembelajaran ini mengacu pada kurikulum, yang ditetapkan Program Studi Guru Madrasah
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 549
Ibtidaiyah. Penelitian ini dilakukan selama 3 kali pertemuan dan media yang digunakan dalam
kegiatan belajar adalah rekorder. Rekorder adalah alat musik yang berupa tabung dengan sumber
suara yang dilengkapi dengan lubang-lubang yang berfungsi sebagai pengatur tinggi nada, terbuat
dari bambu, kayu, ebonite, logam dan plastik.
Dalam pelaksanaan ada beberapa metode yang diterapkan ialah sebagai berikut :
Metode ceramah
Metode ceramah dalam pembelajaran rekorder digunakan sebelum atau sesudah latihan alat musik
yang dilakukan. Tujuan metode ceramah yang digunakan untuk menjelaskan kepada mahasiswa
tentang organologi, ketentuan bermain alat musik melodis dan ritmis, menjelaskan tanda musik
yang dipergunakan pada partitur musik,
Metode demonstrasi
Metode demontrasi yang dilakukan dalam pembelajaran ialah guna memberikan pengetahuan
tentang alat musik rekorder, teknik tiupan yang benar, cara memegang alat musik.
Pertemuan 1
Pada pertemuan pertama sebelum memasuki dan membahas materi pembelajaran yang akan
diberikan pada mahasiswa, terlebih dahulu mengabsen yang tidak hadir pada saat pembelajaran di
lakukan.
Kegiatan inti :
Menjelaskan tentang teori musik.
Mengenalkan dan menjelaskan beberapa jenis instrument musik.
Mengenalkan dan menjelaskan cara memegang alat musik dengan baik dan benar.
Mengenalkan bagian-bagian alat musik rekorder sopran meliputi :
Kepala sebagai sumber bunyi.
Tempat bidang tiupan.
Pada akhir pertemuan, mendiskusikan materi pelajaran yang telah di pelajari dan menanyakan
kepada mahasiswa kesulitan yang dihadapi siswa dalam mempelajari materi pembelajaran. Peneliti
berpendapat langsung dilapangan langkah-langkah pembelajaran yang diberikan kepada mahasiswa
dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajarannya berjalan dengan baik dan lancer.
Pertemuan 2
550 | Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan
Pada pertemuan kedua ini, sebelum memasuki dan membahas materi pembelajaran yang akan
diberikan pada mahasiswanya terlebih dahulu mengabsen yang tidak hadir pada saat pelajaran
berlangsung.
Kegiatan inti yaitu:
Menonton bersama-sama tutorial bermain rekorder sopran malalui aplikasi youtobe.
Mengenalkan dan menjelaskan cara memegang alat musik dengan baik dan benar.
Memainkan lagu dengan nada yang baik dan benar. Seluruh mahasiswa di minta memainkan lagu 1
suara yang telah dibagikan memakai rekorder, dan dosen mencontohkan bermain musik rekorder.
mahasiswa duduk ditempatnya masing-masing, sambil dosen mencontohkan mahasiswa
memperhatikannya..
Mencontohkan memainkan lagu 1 suara yang partiturnya sudah di bagikan kepada mahasiswa.
Pada akhir pertemuan, mendiskusikan materi pelajaran yang telah di pelajari dan menanyakan
kepada mahasiswa mengenai kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam mempelajari materi
pembelajaran. Serta memberi penugasan memainkan lagu “Ibu Kita Kartini 2 suara secara
kelompok.
Pertemua 3
Pada pertemuan ini ketiga sebelum memasuki dan membahas materi pembelajaran yang akan
diberikan terlebih dahulu mengabsen yang tidak hadir pada saat pelajaran berlangsung.
Pada pertemuan ke tiga inimengadakan evaluasi bermain rekorder secara kelompok. Menyimak dan
apabila terjadi kesalahan dalam memainkan lagu tersebut, akan memperbaikinya.
Kegiatan inti :
Memberikan evaluasi mahasiswa dalam cara memainkan lagu dengan menggunakan teknik tiupan,
serta bermain dengan baik dan benar.
Memberikan evaluasi pada mahasiswa tentang cara memainkan lagu dengan nada yang baik dan
benar.
Penilaian praktek dilaksanakan secara kelompok. Aspek penilaian meliputi : ketepatan intonasi
lagu, irama lagu, kekompakan dalam bermain alat musik, dan teknik memainkan alat musik.
Dapat disimpulkan pada pertemuan ke tiga ini, setelah menganalisis, mengamati peneliti lihat
langsung dilapangan, tidak ada kendala yang menyulitkan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran
berlangsung. Hasil yang didapatkan sangat signifikan dalam proses pembelajarannya.
Setelah dilakukan analisis data, rata-rata minat belajar mahasiswa menjadi meningkat yang artinya
sebagian besar anak menyukai pembelajaran melalui youtobe banyak yang mendapatkan nilai tuntas
yang artinya sebagian besar mahasiswa minat belajarnya sudah meningkatkan dari pada sebelum
diberi perlakuan. Indikator yang paling kuat dari indikator yang lain yaitu antusias ketika
melakukan kegiatan alasannya mahasiswa menjadi lebih merespon dosen saat dosen menjelaskan
Seminar Nasional Prodi Teknologi Pendidikan | 551
kegiatan apa yang akan dilakukan hari ini serta konsentrasi anak terhadap tutorial yang
diperlihatkan oleh dosen, mahasiswa pun menjadi lebih tertib dan teratur dari biasanya.
PENUTUP
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dituturkan dapat dikemukakan kesimpulan sebagai
berikut : Ada perbedaan nilai sebelum dan sesudah perlakuan. hal itu menunjukkan bahwa minat
belajar mahasiswa dengan menggunakan media youtobe.
Saran
Berdasarkan hasil analisis di atas, diharapkan pihak kampus menjadikan media ini sebagai media
pembelajaran untuk meningkatkan minat belajar.
Dosen sebaiknya menguasai pembelajaran yang bervariasi yaitu dengan bermain sambil belajar,
sesekali pembelajaran dilakukan di luar kelas tidak di dalam kelas terus menerus, salah satunya bisa
menggunakan pembelajaran dengan menggunakan media sehingga mahasiswa akan menjadi lebih
tertarik dan bersemangat untuk mengikut proses belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Rogers, Everett m, Diffusion of Inovations. USA, 1995.
Jazuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Ter. Tjejep Rohendi Rohidi. Jakarta: Penerbit
UI Press.
Sudjana, Nana &Rivai. 2010. Media Pembelajaran. Bandung: Sinar Baru