Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

32
Hubungan antara Optimisme dan Hardiness pada Mahasiswa Program Diploma III Kebidanan Sella Santi Ramadani dan Sugiarti Musabiq Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email: ramadanisella @gmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara optimisme dan hardiness pada mahasiswa program Diploma III Kebidanan di daerah DKI Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Banten. Pengambilan data dilakukan pada 571 partisipan mahasiswa program Diploma III Kebidanan dengan menggunakan kuesioner, Life Orientation Test Revised (LOT-R) untuk mengukur optimisme dan Dispositional Resilience Scale 15-Revised (DRS 15-R) untuk mengukur hardiness. Hasil uji statistik menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara optimisme dan hardiness (r = + 0.380, N = 571; p < 0.01, two tails) pada mahasiswa program Diploma III Kebidanan pada empat wilayah yang sudah ditentukan. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi skor optimisme individu, maka semakin tinggi pula skor hardiness. Kata kunci: Optimisme; Hardiness; Mahasiswa; Bidan The Correlation between Optimism and Hardiness among Midwifery Diploma III Programs Students Abstract The purpose of this study is to examine the relationship between optimism and hardiness in midwifery students in the area of Jakarta, West Sumatra, West Java and Banten. Data were collected on 571 midwifery diploma students using questionnaires, which consist of Life Orientation Test-Revised (LOT- R) to measure optimism and Dispositional Resilience Scale 15-Revised (DRS 15-R) to measure hardiness. Statistical test results showed that there is a positive and significant relationship between optimism and hardiness (r = + 0.380, N = 571; p < 0.01, two tails) on midwifery diploma students in four areas mentioned. In other words, the higher the optimism score individual gets, the higher his/her hardiness score.

Transcript of Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Page 1: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Hubungan antara Optimisme dan Hardiness pada Mahasiswa Program Diploma III Kebidanan

Sella Santi Ramadani dan Sugiarti Musabiq

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Email: ramadanisella @gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara optimisme dan hardiness pada mahasiswa program Diploma III Kebidanan di daerah DKI Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Banten. Pengambilan data dilakukan pada 571 partisipan mahasiswa program Diploma III Kebidanan dengan menggunakan kuesioner, Life Orientation Test Revised (LOT-R) untuk mengukur optimisme dan Dispositional Resilience Scale 15-Revised (DRS 15-R) untuk mengukur hardiness. Hasil uji statistik menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara optimisme dan hardiness (r = + 0.380, N = 571; p < 0.01, two tails) pada mahasiswa program Diploma III Kebidanan pada empat wilayah yang sudah ditentukan. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi skor optimisme individu, maka semakin tinggi pula skor hardiness.

Kata kunci: Optimisme; Hardiness; Mahasiswa; Bidan

The Correlation between Optimism and Hardiness among Midwifery Diploma III Programs Students

Abstract

The purpose of this study is to examine the relationship between optimism and hardiness in midwifery students in the area of Jakarta, West Sumatra, West Java and Banten. Data were collected on 571 midwifery diploma students using questionnaires, which consist of Life Orientation Test-Revised (LOT-R) to measure optimism and Dispositional Resilience Scale 15-Revised (DRS 15-R) to measure hardiness. Statistical test results showed that there is a positive and significant relationship between optimism and hardiness (r = + 0.380, N = 571; p < 0.01, two tails) on midwifery diploma students in four areas mentioned. In other words, the higher the optimism score individual gets, the higher his/her hardiness score.

Keywords: Optimism; Hardiness; Collage Students; Midwifery

Pendahuluan

Pada tahun 2015 yang lalu Indonesia gagal dalam mencapai target MDGs untuk menekan

angka kematian ibu (AKI). Millenium Development Goals (MDGs) adalah Deklarasi

Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) yang dimulai September tahun 2000, berupa delapan butir tujuan untuk

dicapai pada tahun 2015. Target dari Millenium Development Goals (MDGs) adalah tercapai

Page 2: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun 2015. Dari delapan butir

tujuan MDGs, tujuan kelima adalah meningkatkan kesehatan ibu, dengan target menurunkan

angka kematian ibu. Target AKI di Indonesia pada tahun 2015 adalah 102 kematian per

100.000 kelahiran hidup (Wardah, 2013). Namun, berdasarkan data yang dilansir oleh website

resmi Central Intelligence Agency (CIA, 2016) pada tahun 2015 lalu, AKI di Indonesia

berada pada peringkat 52 dari 184 negara lainnya dengan 126 kematian ibu per 100.000

kelahiran hidup. Hal ini membuktikan bahwa pencapian yang ingin diraih oleh MDGs pada

tahun 2015 telah gagal pada butir tujuan kelima, mengenai target penurunan AKI.

Tingginya AKI ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena tingginya kasus

ibu melahirkan pada usia yang terlalu muda biasanya dibawah 20 tahun, banyaknya ibu yang

melahirkan dalam usia tua biasanya diatas 35 tahun atau rapatnya usia kelahiran (Robby,

2014). Selain itu menurut data dari hasil sensus penduduk tahun 2010 terdapat tiga faktor

tertinggi penyebab kematian ibu yaitu Perdarahan, HDK (Hipertensi Dalam Kehamilan) dan

Infeksi, namun yang tertinggi sebanyak 32% kematian ibu disebabkan oleh HDK (Depkes,

2013). Salah satu pencegahan dari masalah tersebut adalah dengan melaksanakan program

KB (Keluarga Berencana). Berbagai upaya seperti peningkatan pengetahuan kesehatan ibu

saat kehamilan, kualitas kebersihan lingkungan, akses ke pelayanan kesehatan, pemerataan

tenaga ahli seperti bidan di berbagai daerah terpencil, serta upaya intervensi dan preventif

lainnya harus gencar dilaksanakan. Dalam rangka menerapkan program tersebut tidak hanya

pemerintah saja yang bekerja, dibutuhkan pula kerjasama para tenaga kesehatan yang terlatih

seperti dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, serta bidan.

Berdasarkan data Riskesdas 2013, penolong saat persalinan dengan kualifikasi

tertinggi dilakukan oleh bidan (68,6%), kemudian oleh dokter (18,5%), lalu non tenaga

kesehatan (11,8%) (Pratiwi, 2014). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa bidan

dinilai memiliki peran strategis dalam proses melahirkan dan menjadi pilihan masyarakat

dalam persalinan. Peran sebagai bidan telah dijabarkan dalam Buku Panduan Pelayanan

Kebidanan dan Neonatal yang diterbitkan oleh BPJS Kesehatan diantaranya adalah dengan

memberikan pelayanan seperti pemeriksaan kehamilan, persalinan, pemeriksaan bayi baru

lahir, pemeriksaan pasca melahirkan dan pelayanan KB (Kumreg, 2014). Sejalan dengan hal

ini Direktur Jenderal Gizi Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Slamet Riyadi

Yuwono, mengatakan bahwa Indonesia akan melaksanakan program EMAS atau Expanding

Maternal and Newborn Survival dimana selama lima tahun (2012-2016) pemerintah RI dan

Amerika Serikat bekerja sama dalam rangka penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir

Page 3: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

(Wardah, 2012). Hal ini menegaskan kembali bahwa tugas dan peran sebagai bidan sampai

saat ini masih penuh dengan tantangan dalam penurunan AKI di Indonesia. Menurut Ikatan

Bidan Indonesia (IBI, 2016) bidan merupakan seorang perempuan yang lulus dari pendidikan

kebidanan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik

Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau

secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.

Melihat tingginya kebutuhan bidan sebagai lini pertama bagi proses persalinan serta

perlindungan kesehatan ibu dan anak tersebut, membuktikan bahwa profesi pekerjaan sebagai

seorang bidan merupakan kesempatan karir yang sangat dibutuhkan baik dalam berdiri sendiri

sebagai seorang bidan atau yang membantu dokter di instansi kesehatan. Sekolah kebidanan

di Indonesia kini telah banyak berdiri baik yang diselenggarakan pemerintah dan swasta.

Berdasarkan data dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (2011), No.

400/D/T/2009 terdapat 729 perguruan tinggi menyelenggarakan Program Studi Kebidanan

Diploma III, dan 69 perguruan tinggi menyelenggarakan Program Studi Bidan Pendidik (D4).

Berdasarkan data dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) untuk jenjang

S1 terdapat dua perguruan tinggi yaitu di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Bangsa,

Banda Aceh dan Universitas Brawijaya, Malang serta untuk jenjang S2 juga terdapat dua

yaitu di Universitas Brawijaya, Malang dan Universitas Padjajaran, Bandung. Pendidikan

Bidan dilakukan dalam waktu yang pendek, hanya dengan minimal menyelesaikan Diploma

III saja seseorang mahasiswa kebidanan sudah dapat mengikuti uji kompetensi, dan bekerja

pada pelayanan kesehatan. Lebih kurang terdapat 54.000 dalam 6 tahun lulusan bidan, oleh

karena itu kualitas bidan masih perlu ditingkatkan agar memenuhi standar kompetensi

(Depkes, 2013).

Menjamurnya sekolah kebidanan yang ada tersebut tidak diimbangi dengan lapangan

kerja yang mencukupi. Pada kenyataanya masih tedapat fakta-fakta lain di lapangan yang

memperlihatkan kesan seakan-akan profesi bidan masih kurang mendapat perhatian di

Indonesia. Berdasarkan pernyataan dari tujuh mahasiswa kebidanan yang berhasil peneliti

wawancarai, kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa yang selama ini menjadi kecemasan

di masa depan adalah mengenai lapangan pekerjaan dan kehidupan sebagai bidan saat nanti

mereka lulus. Mereka merasa bahwa yang sering dibutuhkan posisinya di rumah sakit adalah

para perawat, dokter, dan sedikit bidan. Mereka merasa profesi bidan masih dikesampingkan

dan kurang dijamin kesejahteraannya. Terlebih lagi untuk membuka praktik sendiri

Page 4: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

dibutuhkan pula persayaratan yang cukup panjang dan sulit. Menurut salah satu lulusan

mahasiswa kebidanan berinisial SM yang peneliti wawancarai secara personal, persyaratan

untuk dapat membuka praktik sendiri sebagai bidan yang ia ketahui diantaranya adalah

memiliki pengalaman bekerja selama dua tahun, memiliki STR (Surat Tanda Regristrasi),

Masuk dalam keanggotaan IBI (Ikatan Bidan Indonesia), memiliki SIPB (Surat Izin Praktik

Bidan), Memiliki tempat praktik sesuai kriteria yang ditetapkan oleh IBI.

Sulitnya mengurus surat-surat untuk menjadi seorang tenaga ahli kesehatan,

merupakan isu yang hangat dan ramai dibicarakan oleh kalangan mahasiswa Diploma III

Kebidanan. Setelah nantinya dinyatakan lulus uji kompetensi, proses untuk mendapatkan STR

ini ternyata sangat lambat. Bisa setahun bahkan ada yang mencapai tiga tahun, alasannya

kinerja dari MTKI lambat. Oleh karena itu untuk para bidan yang fresh graduate dalam

mencari pekerjaan harus menggunakan surat keterangan STR dalam proses. Hal ini akhirnya

menimbulkan keresahan para calon lulusan sekolah kebidanan yang merasa tidak memiliki

arah yang jelas akan karir mereka.

Terlebih lagi berdasarkan wawancara tersebut, didapatkan keterangan bahwa rekan-

rekan dari lulusan sekolah kebidanan masih banyak yang tidak bekerja menjadi seorang bidan

karena mereka merasa tidak yakin akan profesinya. Peneliti juga berkesempatan

mewawancarai dosen di salah satu sekolah kebidanan di Bogor, beliau mengatakan bahwa

beberapa mahasiswanya kerap kali memutuskan untuk berhenti melanjutkan studi kebidanan

saat masa studinya. Alasannya bermacam-macam, karena masalah beban kerja yang cukup

berat, kurang terjaminnya lapangan pekerjaan dan persaingan yang ketat untuk menjadi

bidan. Kesan profesi ini hanya banyak dibutuhkan di daerah-daerah terpencil dibandingkan

perkotaan pun membuat para mahasiswa kebidanan merasa tidak berharga dan berfikir

kesejahteraan mereka akan sulit.

Adanya pengalaman yang tidak menyenangkan sebagai bidan, yang telah di ceritakan

oleh para narasumber diatas dapat mendorong sebuah keyakinan akan hasil yang tidak baik

dalam diri mahasiswa Diploma III Kebidanan. Hal ini berdampak pada ketidakpastian bagai

mahasiswa program Diploma III Kebidanan yang masih menempuh pendidikannya untuk

menjadi ragu dan menyurutkan ekspektasi mahasiswa Diploma III Kebidanan untuk sukses

menjadi seorang bidan. Ekspektasi atau keyakinan bahwa hasil yang buruk akan terjadi

disebut dengan pesimisme (Carver, Scheier, & Segerstrom 2010). Bila merujuk kembali pada

keterangan dari para narasumber mengenai masih banyaknya lulusan bidan yang mengaggur

Page 5: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

atau bahkan bekerja sebagai profesi lain dan adanya keterangan mengenai mahasiswa yang

tidak ingin melanjutkan studinya menunjukan adanya kecenderungan pesimis pada mahasiswa

Diploma III Kebidanan. Kondisi tersebut menggambarkan kondisi mahasiswa yang

menyakini bahwa kegagalan yang akan didapat, sehingga mereka menjauhkan diri, menjadi

pasif, serta berhenti berusaha mengejar tujuan yang telah di tentukan sebelumnya (Scheier &

Carver, 1985).

Padahal profesi bidan merupakan profesi yang berperan penting sebagai lini pertama

dalam memperkuat sistem kesehatan primer untuk masyarakat desa maupun kota pada

kesehatan dan keselamatan ibu/anak selama masa kehamilan hingga pasca melahirkan. Sikap

yang sebaliknya harus dimiliki adalah keyakinan bahwa hasil yang baik akan terjadi pada

dirinya yang biasa disebut dengan optimisme (Carver, Scheier, & Segerstrom 2010).

Optimisme menjadi sesuatu hal yang penting untuk dimiliki, khususnya bagi para mahasiswa

kebidanan mengingat tantangan menjadi seorang bidan sangat besar serta berbagai situasi

penuh tekanan harus siap mereka hadapi. Selain itu individu yang memiliki kecenderungan

optimisme akan lebih baik dalam mengatasi tekanan atau masalah yang datang kedalam

kehidupannya. Sejalan dengan penelitian dari Passer dan Smith (2009) yang menunjukkan

bahwa orang yang memiliki optimisme berada pada risiko yang lebih rendah terhadap

kecemasan dan depresi ketika menghadapi stres. Fakta mengenai optimisme mempengaruhi

tindakan seseorang dalam mencoba menangani masalahnya ini tidak terlepas dari kepribadian

individu itu sendiri. Menurut Carver dan Scheier, optimisme dan pesimisme adalah kualitas

dasar dari kepribadian (Snyder & Lopez, 2002). Mereka mempengaruhi bagaimana individu

mengorientasikan atau mengarahkan tiap peristiwa dalam hidup mereka.

Kepribadian merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi pola pikir yang

bersifat optimis. Melihat berbagai hambatan dan rintangan yang dihadapi para mahasiswa

kebidanan tersebut dapat membuat individu rentan akan stres. Salah satu kepribadian yang

diidentifikasi dapat menetralkan stressor yang terkait dengan situasi yang penuh dengan

tekanan adalah kepribadian hardiness (Kobasa, dalam Kreitner & Kinicki, 2005). Schultz &

Schultz (2006) mengatakan bahwa hardiness merupakan suatu variabel kepribadian yang

dapat menjelaskan perbedaan individual dalam kerentanan terhadap stres. Individu yang

hardy melihat peristiwa yang membuat stres sebagai kesempatan yang bermakna untuk

belajar dan berkembang, oleh karena itu individu lebih terlibat dalam memecahkan masalah

daripada menghindari masalah aktif (Heckman & Clay, 2005). Namun, menurut hasil

Page 6: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

wawancara yang dilakukan sebelumnya mengenai adanya para mahasiswa kebidanan yang

pindah jurusan dan lebih memilih bekerja pada profesi lain mengindikasikan bahwa para

calon bidan tersebut cenderung memiliki hardiness yang rendah. Individu dengan hardiness

yang rendah memandang kemampuannya rendah dan tidak berdaya serta diatur oleh nasib

(Schultz & Schultz, 2002). Penilaian tersebut menyebabkan kurangnya pengharapan,

membatasi usaha dan mudah menyerah ketika mengalami kesulitan sehingga mengakibatkan

kegagalan.

Sebaliknya, Schultz dan Schultz (2002) menjelaskan bahwa individu yang memiliki

tingkat hardiness yang tinggi memiliki sikap yang membuat mereka lebih mampu dalam

melawan stres. Individu yang memiliki tingkat hardiness yang tinggi cenderung melihat

pengalaman baru yang menantang sebagai peluang untuk pertumbuhan pribadi dan dengan

aktif akan mencari dan mengejar peluang tersebut (Hystad et al, 2011). Kecenderungan ini

tidak hanya meningkatkan kesiapan mereka untuk belajar dan berkembang, tetapi juga

membuat individu ini siap untuk memilih cara koping terbaik dalam menghadapi peristiwa

yang penuh tekanan. Seperti penelitian dari Hull et al, bahwa hardiness telah terbukti untuk

memprediksi kesehatan fisik maupun mental yang baik, karena individu ini mengurangi

dampak peristiwa kehidupan yang penuh stres dengan meningkatkan penggunaan strategi

koping yang adaptif (Stasiowski, 2008). Sehingga harapannya apabila para mahasiswa

kebidanan memiliki tingkat hardiness yang tinggi maka mereka akan mampu bertahan dalam

melanjutkan studi kebidannya.

Individu dengan kepribadian hardiness yang tinggi mempunyai perilaku-perilaku yang

membuat mereka lebih kuat dalam menahan stres, perilaku tersebut merupakan tiga kumpulan

aspek yaitu kontrol, komitmen dan tantangan (Kobasa, 1979). Individu yang hardy percaya

bahwa mereka dapat mengontrol atau mempengaruhi kejadian-kejadian dalam hidup mereka

agar dapat mengantisipasi ancaman yang akan datang. Individu juga berkomitmen kuat pada

pekerjaan dan aktivitas-aktivitas lain yang mereka senangi serta mengubah pandangan bahwa

sesuatu yang mengancam dapat menjadi sebuah tantangan (Kobasa, 1979). Hardiness

mahasiswa kebidanan dalam hal ini dalam bertahan menyelesaikan studinya adalah sebuah

karakteristik kepribadian mahasiswa yang tahan bahkan dapat menetralkan stres dalam

penyelesaikan beban studi yang ada, percaya masalah yang muncul dalam perjalanan studinya

di kebidanan dapat dikontrol, dan berkomitmen kuat untuk menyelesaikan studinya serta

Page 7: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

mengubah pandangan bahwa isu atau masalah mengenai profesi bidan yang ada adalah

sebuah tantangan yang harus dihadapi.

Baik optimisme dan hardiness keduanya merupakan prediktor individu dalam

merespon stress (Eschleman, Bowling & Alarcon, 2010). Adanya kemungkinan penurunan

performa mahasiswa kebidanan karena memiliki ekspektasi yang buruk serta rentan akan

berbagai tekanan tersebut mendorong peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana bentuk dan

besarnya hubungan antara hardiness dan optimisme pada mahasiswa program Diploma III

Kebidanan ini. Sejauh ini penelitian terkait hubungan antara hardiness dan optimisme belum

banyak dilakukan, serta penelitian dengan subjek mahasiswa kebidanan masih belum banyak

dilakukan pula. Mengingat terdapat fenomena atau isu terkait profesi bidan yang telah

dijelaskan sebelumnya, yang dapat berakibat menurunkan optimisme, dan mendorong

munculnya pesimis pada mahasiswa kebidanan menjadikan peneliti memilih mahasiswa

kebidanan sebagai subjek penelitian ini.

Tinjauan Pustaka

Optimisme

Definisi ilmiah baik optimisme maupun pesimisme fokus pada harapan untuk masa

depan (Carver, Scheier & Segerstrom, 2010). Optimisme dapat diartikan sebagai keyakinan

yang ada pada diri seseorang bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidupnya

merupakan hal yang positif (Scheier & Carver, 1985). Carver, Scheier dan Segerstrom (2010)

kemudian berpendapat bahwa keyakinan menyeluruh tersebut relatif stabil dalam rentang

waktu maupun konteks. Istilah optimisme juga sering dikenal dengan sebutan dispositional

optimism, yang artinya harapan menyeluruh terhadap terjadinya hasil yang baik dalam hidup

seseorang (Scheier & Carver, 1985)

Konsep optimisme tumbuh dari self-regulation of behavior model yang berasal dari

teori expectancy-value dalam psikologi. Berdasarkan model ini, selama harapan individu

yakin untuk hasil positif, mereka akan tetap berkomitmen dalam mencoba untuk mengatasi

kesulitan dalam mencapai tujuan mereka. Namun, ketika mereka memiliki keraguan yang

kuat tentang hasil positif dan kemampuan mereka untuk mencapai tujuan itu, mereka lebih

mungkin untuk mengurangi semangat mereka untuk mengejar tujuan dan/atau benar-benar

melepaskan diri dari upaya yang diarahkan pada tujuan lebih lanjut (Stasiowski, 2008).

Page 8: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Menurut Scheier dan Carver (2005) optimisme dengan pendekatan expectancy-value,

yang mengasumsikan bahwa tingkah laku manusia terorganisasi dalam upaya pencapaian

tujuan yang diinginkan (goal). Tujuan (goal) adalah tindakan, atau nilai-nilai yang dilihat

orang sebagai yang baik diinginkan atau tidak diinginkan. Individu mencoba untuk

menyesuaikan perilaku mereka dengan apa yang mereka pandang sebagai tujuannya, dan

menjauh dari apa yang mereka tidak inginkan (Scheier & Carver, 1985 ). Inti selanjutnya dari

konsep ini adalah expectancies yang artinya rasa percaya diri atau keraguan tentang mencapai

tujuan (goal). Kepercayaan diri inilah yang akan mengarahkan individu untuk bertindak

kepada tujuannya. Ketika seseorang mampu mempertahankan kepercayaan dirinya mengenai

hasil dari usaha mereka, maka individu tersebut akan terus berusaha meskipun menghadapi

kesulitan.

Menurut Seligman dan koleganya yang menyatakan bahwa optimisme merupakan

sebuah pandangan bagaimana seseorang dapat menjelaskan sebuah kejadian (explannatory

style) (Peterson, 2000). Menurut pandangan ini seseorang yang optimis cenderung akan

menjelaskan kejadian atau pengalaman negatif sebagai akibat dari faktor eksternal (kesalahan

diluar dirinya), unstable (hanya sementara), dan hanya di situasi spesifik. Sebaliknya,

seseorang yang pesimis cenderung menjelaskan kejadian negatif yang menimpanya sebagai

sesuatu yang disebabkan oleh faktor internal (kesalahan diri sendiri), stabil (berlangsung

terus-menerus), dan menganggap situasi itu secara menyeluruh merusak segalanya dan

sebagai kegagalan diri (Peterson, 2000).

Beberapa manfaat bagi orang yang optimis adalah persahabatan lebih panjang,

memiliki interaksi sosial yang baik, dan lebih banyak disukai (Stasiowski, 2008). Sebaliknya,

pesimisme berkorelasi positif dengan tingkat yang lebih tinggi dengan kecemasan, depresi,

gejala fisik kegagalan, dan kerenggangan sosial.

Pengukuran variabel optimisme menggunakan Life Orientation Test-Revised (LOT-R)

oleh Scheier, Carver, dan Bridges (1994). LOT-R terdiri dari sepuluh item pernyataan, yakni

enam item terdiri dari tiga item yang mengarah pada hasil positif (optimisme), tiga item

lainnya mengarah pada hasil negatif (pesimisme), serta empat item merupakan pernyataan

pengalih perhatian (filler item).

Hardiness

Page 9: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Istilah hardiness atau bisa diartikan juga sebagai ketahanan atau ketangguhan. Ada

pula yang menyebutkan hardiness dengan istilah psychological hardiness, namun dalam

penelitian ini peneliti menggunakan istilah hardiness karena dalam pengertian kedua istilah

tersebut yang sama. Ide mengenai konsep hardiness ini adalah adanya perbedaan individu

sejauh mana orang secara efektif merespon dan mengatasi situasi penuh tekanan (Eschleman,

Bowling, & Alarcon, 2010). Konsep tersebut menggambarkan kecenderungan seseorang

untuk menjadi tahan terhadap efek dari stres dan mampu dengan efektif beradaptasi serta

mengatasi lingkungan yang menekan (Eschleman, Bowling, & Alarcon, 2010).

Kobasa, Maddi, & Kahn, mengatakan bahwa hardiness merupakan kumpulan dari

karakteristik kepribadian yang berfungsi sebagai sumber daya bagi individu dalam

menghadapi peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan (Heckman & Clay, 2005).

Menurut Kobasa dan Maddi (1979), hardiness merupakan kombinasi dari tiga kualitas

kepribadian atau trait yaitu: (a) keyakinan pada kemampuan sendiri untuk mengontrol atau

mempengaruhi jalannya suatu peristiwa (control), (b) motivasi internal dan komitmen untuk

berbagai bidang kehidupan, termasuk pekerjaan, hubungan interpersonal, dan diri sendiri

(commitment), dan (c) apresiasi dari pengalaman baru dan tantangan sebagai kesempatan

untuk belajar dan pribadi tantangan pertumbuhan (challenge) (Hystad, Safvenbom, Olsen, &

Espevik, 2015).

Hardiness berkembang sejak dini dalam kehidupan manusia dan sifat hardiness relatif

stabil sepanjang waktu (Bartone, 1995). Kobasa, Maddi & Courington mengatakan bahwa

hardiness merupakan campuran dari kognisi, emosi, dan tindakan yang bertujuan tidak hanya

untuk bertahan hidup tetapi juga memperkaya kehidupan melalui pengembangan (Heckman &

Clay, 2005). Selain itu, Menurut Kobasa, efek hardiness pada kesehatan mental dimediasi

oleh penilaian kognitif individu dari situasi stres dari strategi koping. Secara khusus,

hardiness akan mengubah dua komponen penilaian tersebut dengan, mengurangi penilaian

ancaman dan meningkatkan harapan seseorang bahwa upaya koping yang dilakukan akan

berhasil (Bissonnette, 1998).

Kobasa juga memaparkan bahwa Individu yang hardy melihat tekanan dalam hidup

sebagai peluang berarti, oleh karena itu, lebih melibatkan pada hal memecahkan masalah

daripada menghindari masalah (Heckman & Clay, 2005). Ketahanan (hardiness) juga telah

terbukti menjadi faktor dalam efektifitas kinerja pada orang dewasa yang bekerja dan

mahasiswa (Maddi et al., 2012). Barton et al., menemukan bahwa pegawai yang memiliki

Page 10: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

hardiness rendah, sering membuat keputusan yang lebih keliru daripada pegawai yang tinggi

hardinessnya saat simulasi (Hystad, Safvenbom, Olsen, & Espevik, 2015). Hardiness

dipelajari di awal kehidupan, tetapi masih bisa ditingkatkan di masa dewasa melalui intervensi

pelatihan. Di beberapa penelitian, Maddi dan rekan telah mampu menunjukkan efektivitas

pelatihan hardiness pada pelajar dan orang dewasa yang bekerja (Hystad, Safvenbom, Olsen,

& Espevik, 2015).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur DRS 15 Revised (DRS 15-R) yang

telah diadaptasi di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh pendapat Funk (1992) yang

menyatakan bahwa DRS merupakan alat ukur yang baik dalam mengukur hardiness. Selain

itu, alat ukur DRS adaptasi ini juga sesuai dengan karakteristik populasi penelitian yaitu

dibuat untuk dewasa muda, dimana para mahasiswa program Diploma III Kebidanan lebih

banyak berada pada tahap usia tersebut.

Metode Penelitian

Penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu optimisme dan hardiness. Pada penelitian

ini juga terdapat empat hipotesis, yakni hipotesis alternatif 1 (Ha) yaitu terdapat hubungan

yang positif dan signifikan antara optimisme dan hardiness pada mahasiswa program

Diploma III Kebidanan. Hipotesis alternatif 2 (Ha) yaitu terdapat hubungan yang signifikan

antara optimisme dan dimensi hardiness komitmen pada mahasiswa program Diploma III

Kebidanan. Hipotesis alternatif 3 (Ha) : Terdapat hubungan yang signifikan antara optimisme

dan dimensi hardiness kontrol pada mahasiswa program Diploma III Kebidanan. Terakhir

hipotesis alternatif 4 (Ha) : Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara hardiness

tantangan pada mahasiswa program Diploma III Kebidanan.

Definisi konseptual dari optimisme dalam penelitian ini adalah keyakinan yang ada

pada diri seseorang bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidupnya merupakan hal

yang positif (Scheier & Carver, 1985). Definisi operasional optimisme dalam penelitian ini

adalah skor total dari alat ukur Life Orientation Test-Revised. Semakin tinggi skor total Life

Orientation Test-Revised, maka semakin optimis seseorang, sebaliknya semakin rendah skor

yang didapat maka semakin pesimis orang tersebut. Definisi konseptual variabel selanjutnya

yaitu, hardiness pada penelitian ini adalah kumpulan dari karakteristik kepribadian yang

berfungsi sebagai sumber daya bagi individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan yang

penuh dengan tekanan (Heckman & Clay, 2005). Terakhir definisi operasional dari hardiness

pada penelitian ini adalah jumlah skor total yang didapatkan dari alat ukur Dispositional

Page 11: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Resilience Scale 15-Revised (DRS 15-R). Semakin tinggi skor total yang dihasilkan

menunjukan semakin tinggi tingkat hardiness individu, begitupun sebaliknya semakin rendah

skor yang didapat maka semakin rendah tingkat hardiness.

Berdasarkan pada cara memeroleh data, penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

karena terdapat proses kuantifikasi dari variabel penelitian. Proses kuantifikasi tersebut adalah

dengan melakukan perhitungan respon partisipan secara statistik untuk mengetahui hubungan

antarvariabel pada penelitian. Penelitian ini termasuk dalam penelitian korelasional karena

tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari lebih mendalam tentang hubungan antara

optimisme dan hardiness pada mahasiswa program Diploma III Kebidanan.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-

probability atau non-random sampling sehingga tidak semua anggota populasi mendapatkan

kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian (Kumar, 2005). Jenis non-probability

yang digunakan adalah Accidental sampling atau yang biasa dikenal juga sebagai convenience

sampling, yang mana kelompok subjek dinilai dapat diperoleh secara mudah dalam

mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan penelitian (Kumar,1996;

Gravetter & Forzano, 2009). Mengingat penelitian ini tergabung dalam payung penelitian,

maka peneliti memutuskan untuk menargetkan pengambilan sampel berjumlah minimal 400

mahasiswa program Diploma III Kebidanan dari total empat provinsi yang sudah ditentukan

sebelumnya.

Peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian, yaitu Life Orientation

Test-Revised (LOT-R) dan Dispositional Resilience Scale 15 - Revised (DRS 15-R) yang telah

diadaptasi oleh penelitian sebelumnya. Adapun adaptasi LOT-R menggunakan hasil revisi

LOT terakhir yaitu Life Orientation Test-Revised (LOT-R) yang sudah dilakukan oleh

Mentari (2013) pada skripsinya dalam pengukuran optimisme yang telah diuji cobakan pada

66 pasien rehabilitasi. Pada pengukuran hardiness, peneliti menggunakan Disposotional

Resilience Scale 15 – Revised yang telah di adaptasi oleh Lukman tahun 2008 yang telah

diuji cobakan pada 55 pramu sosial di Panti Sosial Bina Laras

Kedua alat ukur yang telah diadaptasi selanjutnya diujicobakan melalui uji keterbacaan,

uji reliabilitas, dan uji validitas. Uji reliabilitas kedua alat ukur dilakukan dengan menghitung

nilai coefficient-alpha atau Cronbach’s Alpha (Anastasi & Urbina, 1997) yang menghasilkan

reliabilitas sebesar α = 0,51 untuk LOT-R dan α = 0,61 untuk hardiness. Uji validitas LOT-R

Page 12: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

berdasarkan nilai corrected item-total correlation (rIT) menyatakan bahwa item nomor 3,

sedangkan validitas hardiness direvisi pada item nomor 14. Perlu direvisi karena memiliki

nilai korelasi item dengan skor total di bawah 0.2 (Nunnaly, 1994).

Pengambilan data penelitian ke empat provinsi ini dilakukan mulai tanggal 13 April – 4

Mei 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner offline (luring/hardcopy) dan juga

kuesioner online, untuk memperluas penjaringan partisipan. Total dari seluruh kuesioner yang

didapat dan dapat diolah adalah sebanyak 571 kuesioner. Setelah pengumpulan data selesai,

peneliti melakukan pengolahan data secara kuantitatif. Pengolahan data diawali dengan

menggunakan program Microsoft Excel 2013. Setelah itu penelitian ini menggunakan

perhitungan statistik melalui program IBM SPSS. Setelah semua data terkumpul, peneliti

menggunakan metode dan teknik statistik untuk mengetahui hubungan dua variabel serta

distribusi frekuensi dan persentase data partisipan yang telah didapatkan.

Hasil Penelitian

Berikut adalah penjabaran distribusi partisipan berdasarkan beberapa data kontrol

yang disusun oleh peneliti dalam kuesioner yang digunakan.

Tabel 1. Gambaran Umum Data Demografis Partisipan PenelitianKategori Frekuensi Persentase

Usia17-20 472 82.6%21-25 99 17.3%

ProvinsiDKI Jakarta 180 31.5%

Sumatera Barat 283 49.6%Jawa Barat 37 37%

Banten 71 12.4%Agama

Islam 554 97%Kristen Katolik 3 0.5%

Kristen Protestan 13 2.3%Hindu 1 0.2%

SukuMinang 273 47.8%

Jawa 142 24.9%Melayu 23 4%Betawi 2 6.7%Batak 14 2.5%Sunda 74 13%

Sumba Timur 1 0.2%Bugis 2 0.4%Dayak 1 0.2%Bali 1 0.2%

Flores 2 0.4%Tempat Tinggal

Asrama 116 20.3%Kos 283 49.6%

Page 13: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Kategori Frekuensi PersentaseOrang Tua 156 27.3%

Saudara 14 2.5%Wali 2 0.4%

Pilihan Ke-1 276 48.3%2 183 32%3 64 11.2%4 26 4.6%5 22 3.9%

Pendapatan Orangtua< Rp. 2.600.000 199 34.9%

Rp. 2.600.000- Rp. 6.000.000 319 55.9%>Rp. 6.000.000 53 9.3%

Pelatihan0-4 500 87.56%5-10 69 12.0%11-15 2 0.35%

Kepuasan HidupSangat Tidak Puas 10 1.8%

Tidak Puas 20 3.5%Agak Tidak Puas 42 7.4%

Agak Puas 99 17.3%Puas 283 49.6%

Sangat Puas 117 20.5%Keinginan Siapa

Diri Sendiri 410 7.18%Orang tua 158 27.7%

Kakak 3 0.5%

Sebagian besar partisipan berusia 17-20 dengan jumlah 472 partisipan. Berdasarkan

provinsi dengan jumlah partisipan terbanyak adalah dari Sumatera Barat sebanyak 283.

Tempat tinggal parapartisipan lebih banyak tinggal di tempat kos yaitu sebanyak 283

partisipan. Pilihan kebidanan yang dijalani saat ini lebih banyak merupakan pilihan pertama

para partisipan yaitu sebanyak 276. Keinginan untuk memilih jurusan kebidanan pun lebih

banyak dari keinginan diri sendiri dengan 410 partisipan.

Tabel 2. Gambaran Umum Optimisme

Kategorisasi Skor Rentang Skor Frekuensi PersentaseRendah 8 – 14 102 17.86%Sedang 15 – 20 375 65.67%Tinggi 21 – 24 94 16,46%

Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai pesebaran rata-rata skor total (mean)

optimisme partisipan adalah sebesar 17,53 dan standar deviasi (SD) sebesar 2,96. Sedangkan

untuk nilai maksimum yang didapatkan sebesar 24 dan nilai minimum sebesar 8. Perhitungan

berdasarkan nilai mean pula peneliti melakukan pembuatan katagorisasi. Pesebaran skor

optimisme dianggap rendah jika skor partisipan kurang dari 15 (mean – 1 SD), dianggap

Page 14: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

tinggi jika skor partisipan lebih dari 20 (mean + 1 SD), sementara dianggap sedang jika skor

berada di antara mean + 1 SD dan mean – 1 SD. Melihat perhitungan di atas dapat

disimpulkan bahwa sebagian besar sampel partisipan penelitian, yakni mahasiswa program

Diploma III Kebidanan pada wilayah DKI Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Banten,

memiliki tingkat optimisme sedang (cukup optimis) yaitu sebanyak 375 orang (65,67%).

Sebanyak 102 orang (17,86%) memiliki tingkat optimisme yang rendah dan 94 orang

(16,46%) memiliki tingkat optimisme yang tinggi.

Tabel 3. Gambaran Umum hardiness

Kategorisasi Skor Rentang Skor Frekuensi PersentaseRendah 16 – 27 99 17.34%Sedang 28 – 34 344 60.25%Tinggi 35 – 42 128 22.42%

Berdasarkan hasil perhitungan didapat nilai rata-rata skor total (mean) hardiness

partisipan adalah sebesar 31,39 dengan SD= 4, nilai minimum 16, dan nilai maksimum 42.

Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar sampel partisipan penelitian, yakni mahasiswa

program Diploma III Kebidanan pada wilayah DKI Jakarta, Sumatera Barat, jawa Barat, dan

Banten, memiliki tingkat hardiness yang sedang yaitu sebanyak 344 orang (60, 25%).

Sedangkan sebanyak 99 orang (17,34%) memiliki tingkat hardiness yang rendah dan 128

sisanya (22,42%) memiliki hardiness yang tinggi.

Tabel 4. Hasil Uji Korelasi Optimisme dan hardiness

Variabel r Sig (p) r2

Optimisme dengan hardiness 0.380 .000** 0.144

Berdasarkan hasil perhitungan korelasi didapatkan nilai korelasi sebesar r = + 0.380, n

= 571; p < 0.01, two tails. Hubungan yang signifikan ini membuat hipotesis alternatif 1 (ha)

diterima, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan

antara skor optimisme dengan hardiness. Nilai r yang positif menunjukan bahwa kenaikan

skor optimisme individu akan diikuti pula oleh kenaikan skor hardiness, atau dengan kata lain

maka semakin tinggi pula skor hardiness, begitu pun sebaliknya.

Kuadrat dari nilai korelasi atau coefficient of determintation (r2) digunakan untuk

mengukur persentase variabilitas suatu variabel yang bisa diprediksi dari hubungannya

dengan variabel yang lain, sebagai evaluasi dari kekuatan hubungan antara dua variabel

Page 15: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

(Gravetter & Forzano, 2009). Nilai r2 optimisme dengan hardiness ditemukan sebesar 0.144,

dapat diinterpretasikan bahwa sebanyak 14,4% variabilitas skor hardiness dapat diprediksi

atau dijelaskan melalui skor optimisme, sedangkan 85,6% variabilitas skor hardiness dapat

dijelaskan melalui hubungannya dengan variabel lain.

DiskusiKesimpulan dari hasil utama penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang

positif dan signifikan antara optimisme dan hardiness pada mahasiswa program Diploma III

Kebidanan pada wilayah DKI Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Banten. Sesuai dengan

teori yang ada bahwa optimisme dan hardiness adalah dua variabel yang mempengaruhi cara

orang berinteraksi dengan lingkungan, khususnya untuk situasi yang penuh dengan tekanan

(Salvatore & Hightower, 1999). Hubungan ini dapat dijelaskan dengen penjelasan berikut.

Profesi menjadi seorang bidan tidaklah mudah, untuk itu dibutuhkan individu-individu yang

berkualitas, baik dari segi akademis, keterampilan dan kepribadinya. Ketika setiap individu

yang memiliki kepribadian hardiness, mereka yakin bahwa mereka dapat mengendalikan

peristiwa yang ada (Nurtjahjanti & Ratnaningsih, 2011). Hal ini pula yang pada akhirnya

menumbuhkan sikap optimisme, dimana salah satu ciri dari sikap optimsime adalah yakin

bahwa sesuatu yang baik akan terjadi pada dirinya. Meskipun sedang menghadapi situasi yang

sulit, orang optimis akan tetap yakin bahwa dapat menyelesaikannya dan pada akhirnya akan

mendapat sesuatu yang baik (Snyder & Lopez, 2002).

Hasil selanjutnya adalah mengenai gambaran umum dari skor optimisme dan

hardiness. Pada mahasiswa program Diploma III Kebidanan baik skor optimisme dan

hardiness lebih banyak pada kategorisasi sedang. Hal tersebut menandakan bahwa secara

umum mahasiswa program Diploma III Kebidanan cukup memiliki harapan positif akan masa

depannya dan mampu bertahan dalam kondisi yang penuh tantangan sekalipun. Namun,

individu dengan skor rendah baik pada optimisme dan hardiness masih cukup banyak yaitu

berjumlah 99 orang untuk hardiness dan 102 untuk optimisme. Hal ini menunjukan bahwa

mahasiswa Diploma III Kebidanan kurang memiliki harapan positif akan masa depannyadan

kurang mampu bertahan dalam kondisi sulit. Hal ini dimungkinkan karena berbagai fakta

yang ada mengenai profesi sebagai bidan yang cukup menantang, yang pada akhirnya

membuat mereka cenderung tidak yakin. Hal inilah yang memungkinkan mahasiswa

kebidanan mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan studinya atau bahkan tidak memilih

untuk menjadi seorang bidan seperti hasil dari wawancara yang telah dilakukan. Pada

Page 16: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

dasarnya optimisme dan hardiness penting dimiliki karena jika individu tinggi pada kedua

variabel ini memungkinkan seseorang untuk dapat memilih cara koping terbaik bukan justru

menghindarinya (Bissonnette, 1998).

Hal lain yang menyebabkan masih banyaknya individu yang rendah pada skor

optimisme dan hardiness bisa pula disebabkan karena kurangnya faktor pendukung seperti

pelatihan, kepuasan hidup, atau dukungan sosial. Salah satu contoh penelitian sebelumnya

mengatakan bahwa baik optimisme dan hardiness berhubungan secara positif dengan

kepuasan hidup seseorang (Taheri et al., 2014). Dapat disimpulkan bahwa semakin puas

seseorang akan kehidupannya maka semakin tinggi pula kecenderungan optimis dan

hardiness dalam dirinya. Selain itu, dukungan sosial juga sangat dibutuhkan dalam

membentuk individu yang optimis serta hardy. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang

mengatakan bahwa efek buruk dari stressor akan terbantu berkurang karena adanya dukungan

sosial (Weiss et al., 2013). Budaya kolektivitas yang dominan di Indonesia memungkinkan

individu menjadi lebih tangguh dan optimis karena mendapat dukungan dari orang-orang

sekitar. Begitu pula dengan mahasiswi kebidanan yang secara umum memiliki karakteristik

yang homogen, berbeda dengan mahasiswa pada umumnya sehingga hal ini juga mampu

membantu mempererat hubungan satu sama lain salah satunya dengan cara memberikan

dukungan sosial.

Setelah melakukan penelitian ini, peneliti merasa ada kendala yang terletak pada hal-

hal teknis seperti didapatkannya partisipan dari wilayah yang tidak seimbang. Hal ini terbukti

dengan jumlah partisipan pada penelitian ini lebih banyak berasal dari suku minang. Hal ini

disebabkan karena berbagai kendala salah satunya adalah masalah birokrasi sekolah

kebidanan yang cukup sulit dan cukup lama. Sehingga menjelang batas waktu pengambilan

data para partisipan tidak dapat terambil dengan jumlah yang setara pada setiap daerahnya.

Namun, ada kelebihan yang ditawarkan dari penelitian ini. Salah satunya penelitian ini

merupakan penelitian dengan menggunakan subjek atau partisipan penelitian yang masih

sangat jarang untuk diteliti khususnya dalam bidang ilmu psikologi. Menurut data yang

didapatkan persalinan di Indonesia lebih banyak dibantu oleh tenaga kesehatan dari seorang

bidan (68,6%), kemudian oleh dokter (18,5%), lalu non tenaga kesehatan (11,8%) (Pratiwi,

2014).

Saran

Page 17: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Saran MetodologisBerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti dapat memberikan beberapa

saran metodologis yang dapat diperhatikan untuk penelitian selanjutnya, yakni:

1. Pastikan penggunaan kata-kata didalam kuesioner tidak ambigu agar tidak terjadi

kesalahpahaman yang dapat mempengaruhi gambaran dari hasil yang didapatkan.

Oleh karena itu analisis item secara kualitatif selanjutnya harap dilakukan secara

lebih mendalam guna meningkatkan validitas dan reliabilitas alat ukur.

2. Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan keseimbangan proporsi partisipan

dengan cara probability atau random sampling, yang mana setiap individu dalam

populasi memiliki kesempatan setara untuk dapat menjadi sampel dalam

penelitian.

Saran Praktis

Ada pun saran praktis yang dapat peneliti berikan yakni :

1. Dibuatnya seminar atau pelatihan yang dapat membantu para mahasiswa program

Diploma III Kebidanan dalam meningkatkan optimisme dan hardiness. Hal ini

diketahui karena hasil skor akhir optimisme dan hardiness pada mahasiswa

program Diploma III Kebidanan masih banyak yang rendah. Mengingat khususnya

terdapat hubungan antara pelatihan dengan konstruk hardiness dan pentingnya

kedua konstruk untuk dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.

2. Alat ukur hardiness dan optimisme yang ada juga dapat dipertimbangkan untuk

menjadi tes seleksi masuk calon bidan ke instansi-instansi kesehatan atau bagi

konselor maupun psikolog sekolah dalam melihat tinggi rendahnya skor kedua

variabel pada tiap mahasiswa.

3. Bagi penelitian selanjutnya dengan subjek yang sama harus dipersiapkan perizinan

ke pihak-pihak sekolah kebidanan atau pihak terkait jauh-jauh hari agar terhindar

dari berbagai hambatan yang tidak diinginkan.

Daftar ReferensiArcher, S.L. (1994). Intervention for Adolescent Identity Development. London: Sage

Publication.Arnett, J. J. (2004). Emerging Adulthood : The Winding Road From the Late Teens Through

the Twenties. Oxford University Press: New York. Ebook, available at : http://gen.lib.rus.ec

Page 18: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Di unduh dari: http://ban-pt.kemdiknas.go.id/direktori.php

Bartone, P.T., et al. (2009). Big Five Personality Factors, Hardiness, and Social judgment as Predictors of Leader Performance. Development Journal. Vol. 30 No. 6. DOI 10.1108/01437730910981908

Bissonnette, M. (1998). Optimism, Hardiness, and Resiliency: A Review of the Literature. Di Unduh dari: http://www.reachinginreachingout.com/documents/optimism%20hardiness%20and%20resiliency.pd

Carver, C. S., Scheier, M. F., & Segerstrom, S. C. (2010). Optimism. Clinical Psychology Review 30, 879–889.

Central Intelligence Agency. (2016). The World Factbook: Indonesia. Di unduh dari:https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world factbook/geos/id.html

Departemen Kesehatan. (2013). Rencana Aksi percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu Di Indonesia. Di unduh dari: http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2013/12/RAN-PP-AKI-2013-2015.pdf

Eschleman. K. J., Bowling. N., & Alarcon. G.M. (2010). A Meta-Analytic Examination of Hardiness. International Journal of Stress Management. Vol. 17, No. 4, 2777-307. DOI 10.1037/a0020476

Goleman, D. (2002). Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hystad, S. W., Safvenbom, R., Olsen, O.K., & Espevik, R. (2015). On the Stability of Psychological Hardiness: A Three-Year Longitudinal Study. Military Psychology. Vol. 27, No. 3, 155–168. http://dx.doi.org/10.1037/mil0000069.

Hystad, S.W., Eid, J., Laberg J. C., & Bartone, P. T. (2011). Psychological Hardiness Predicts Admission Into Norwegian Military Officer Schools. Military Psychology, Vol. 23:381–389, 2011. DOI: 10.1080/08995605.2011.589333

Heckman, C. J., dan Clay, D, L. (2005). Hardiness, History of Abuse and Women’s Health. Journal of Health Psychology, Vol 10(6) 767–777. DOI: 10.1177/1359105305057312

Hutz, C. S., et al. (2014). The Relationship of Hope, Optimism, Self-Esteem, Subjective Well-Being, and Personality in Brazilians and Americans. Psychology. Vol. 5, 514-522. http://dx.doi.org/10.4236/psych.2014.5606.

Hurlock, E. B. (1973). Adolescent Development. USA: macGraw-Hill inc.Ikatan Bidan Indonesia. (2016). Bidan. Di unduh dari: http://ibi.or.id/Isma, M. N. P. (2013). Hubungan Optimisme Dan Subjective Well- Being Pada Pasien Yang

Sedang Menjalani Program Rehabilitasi Medik. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) 2012-2016. Di unduh dari: http://www.gizikia.depkes.go.id/kategori-emas/emas/

Kobasa, S, C. (1979). Stressful Life Events, Personality, and Health: An Inquiry Into Hardiness. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 37 No.1

Page 19: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Kreitner, R. & Kinicki, A. (2005). Perilaku Organisasi. Buku 2. Edisi 5. Alih Bahasa: Erly Suandy. Jakarta: Salemba Empat.

Kumar, R. (1996). Research Methodology. New Delhi: Sage Publications India.Kumreg. (2014). BukuPanduan Praktis Kebidanan dan Neonatal. Humas BPJS Kesehatan. Di

unduh dari: http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/c2145cecc7a821fe00e19d57e67bc950.pdf

Lukman, A. (2008). Adaptasi Dispositional Resilience Scale-short form pada Pramu Sosial Usia Dewasa Muda di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa. Thesis. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Maddi, S., Khoshaba, D.M., Resurreccion, N., et. al. (2012).The Relationship of Hardiness and Some Other Relevant Variabels to College Performance. Journal of Humanistic Psychology. 52(2) 190-205. DOI: 10.1177/0022167811422497.

Maddi. S.R., Harvey R.H. Khoshaba D.M., Lu, J.L, Persico, & M., Brow. (2006). The Personality construct of hardiness III: Relationship with repression, innovativeness, authoritarianism and performance. Journal of Personality. 74 (2), 575-598

Maddi, S. R., & Kobasa S.C. (1984). The Hardy Executive: Health and Stress. Homewood II: Dow Jones Irwin.

Marcia, J.E., Archer, S.L., Waterman, A.S., Orlofsky, J.L., & Matteson, D.R. 1993. Ego Identity. A Handbook for Psychological Research. New York: Springer Verlag.

Mishra., K. K. (2013). Optimsm and Well-being. Social Science International. Vol. 29, No. 1 (2013), page 75-87.

Moazedian, A., Nazari, M. A., & Ahghar, Ghodsi. (2014). The Effectiveness of Hardiness Training on Test Anxiety. Iranian Journal of Cognition and Education. Vol.1, No.1, 47-52.

Papalia, D.E. dan Feldman, R.D. (2012). Experience Human Development (12th ed). McGraw-Hill Companies, Inc.

Passer, M.W., & Smith, R. E. (2009). Psychology: The Science of Mind and Behavior (4th ed). New York: Mc Graw Hill.

Peterson, C. (2000). The Future of Optimism. American Psychological Association. Vol. 55, No. 1, 44-55. DOI: 10.1037//0003-066X.55.1.44

Pratiwi,. D,. A. (2014). Angka Kematian Ibu di Indonesia Masih Jauh dari Target MDGs 2015. Diunduh dari: http://www.kompasiana.com/ditaanugrah/angka-kematian-ibu-di-indonesia-masih-jauh-dari-target-mdgs-2015_54f940b8a33311ba078b4928

Rachman, A. M. P. (2014). Hardiness Mahasiswa Dalam Menyelesaikan Skripsi Ditinjau Dari Tingkat Optimisme. Thesis. Semarang: Universitas Diponogoro.

Robby. (2014).Target MDGs 2015: Angka Kematian Ibu Sulit Diatasi. Di unduh dari: http://harianterbit.com/read/2014/05/07/1860/0/29/Target-MDGs-2015-Angka-Kematian-Ibu-Sulit-Diatasi

Sarwono, S. W. (1987). Perbedaan Antara Pemimpin Dan Aktivis Dalam Gerakan Proses Mahasiswa. Suatu Studi Psikologi Sosial. Disertasi Pasca Sarjana. Depok: Universitas Indonesia.

Page 20: Sella Santi Ramadani-Naskah Ringkas-FPsi-2016

Scheier, M.F. & Carver, C.S. (2002). Optimism. (In C.R. Snyder & Shane J. Lopez). Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press.

Scheier, M.F., Carver, C.S., & Bridges, M.W. (1994). Distinguishing Optimism from Neuroticism (and trait anxiety, self-mastery, and self-esteem): A reevaluation of The Life Orientation Test. Journal of personality and social psychology, 67, 1063-1078.

Schultz, D., & Schultz, S., E,. 2006. Psychology and Industry Today: An Introduction to Industrial and Organizational Psychology. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education.

Schultz, D. dan Schultz, S. E. 2002. Psychology and Work Today. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall

Seligman, M.E.P. (2008). Positive Health. Applied Psychology. Volume 57, Issue Supplement s1, pages 3–18. DOI: 10.1111/j.1464-0597.2008.00351.x

Shapiro, L.E. (1997). Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama

Surat Edaran Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. (2011). Di unduh dari: http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/SEDirjen1643-ET2011MoratoriumProdiKesehatan.pdf

Srivastava, S., & Angelo, K. M. (2009). Optimism, effects on relationships. In H.T.Reis and S. K. Sprecher (Eds.), Encyclopedia of human relationships. Thousand Oaks, CA: Sage.

Stasiowski, S. (2008). Optimism And Hardiness: Influence on Coping and Psychological Distress. Dissertation. Long Island University.

Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2002). Handbook Of Positive Psychology. Oxford University. New York.

Taheri, A. et al. (2014). Mental Hardiness and Social Support in Life Satisfaction of Breast Cancer Patients. Social and Behavioral Sciences. Vol. 159, 23 Pages 406-409. Doi:10.1016/j.sbspro.2014.12.397

Wardah, F. (2012). Idonesia Akan Luncurkan Program Emas Untuk Turunkan Angka Kematian Ibu Melahirkan. Di unduh dari: http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-akan-luncurkan-program-emas-untuk-turunkan-angka-kematian-ibu-melahirkan/106226.html

Wardah, F. (2013). Tiga Target MDG Indonesia Sulit Dicapai 2015. Di unduh dari: http://www.voaindonesia.com/content/tiga-target-mdg-indonesia-sulit-dicapai-2015/1604198.html