Serangga dalam pertanian
-
Upload
marsiningsih-yanyan -
Category
Documents
-
view
730 -
download
2
description
Transcript of Serangga dalam pertanian
TUGAS SC
MENGENAL SERANGGA DALAM PERTANIAN
OLEH:
NI WAYAN MARSININGSIH
JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGIFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR
2010
i
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL: Mengenal Serangga dalam Pertanian
Denpasar, 11 November 2010
Jurusan : Agroekoteknologi
Fakultas : Pertanian
Universitas : Udayana
Mengetahui,
Ketua panitia Penulis
I Gede Sila Adnyana Ni Wayan Marsiningsih
NIM: 0805105024 NIM: 1005105050
Ketua HIMAGROTEK Sekretaris HIMAGROTEK
Putu Ananta Widhia Dharma I.A.A. Widyari SastriNIM: 0805105003 NIM: 0805105006
Ketua BPMA Sekretaris BPMA
I Dewa Nyoman Darmayasa I.G.A Surya Utami Dewi
NIM: 0805105014 NIM:0805105002
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat-Nya saya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Mengenal Serangga
dalam Pertanian”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas sosialisasi
agroekoteknologi.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita
semua.
Denpasar, 11 November 2010
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG.....................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................2
1.3 TUJUAN..........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................3
BAB III PEMBAHASAN............................................................................7
BAB IV PENUTUP...................................................................................13
4.1 KESIMPULAN..............................................................................13
4.2 SARAN..........................................................................................13
BAB V DAFTAR PUSTAKA...................................................................14
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu
pengetahuan), dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk hidup
yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih ada sekitar 10 juta spesies serangga yang
belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan
tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan
mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan
keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di padang pasir dan Antarktika.
Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata,
kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam
biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat.
Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai
macam kutu dll.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dsb. Dalam
suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan
serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi
adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata.
Satu-satunya ekosistem di mana serangga tidak lazim ditemukan adalah di
samudera. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk dan
perilaku. Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga berkaitan erat
dengan rangka luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga merangkap
sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil serta kemampuan
terbang sebagian besar jenis serangga.
Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif
sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya.
Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan
keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi,
menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu
dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida.
Beberapa jenis serangga juga berguna bagi kehidupan manusia seperti lebah madu,
ulat sutera, kutu lak, serangga penyerbuk, musuh alami hama atau serangga perusak
tanaman, pemakan detritus dan sampah, dan bahkan sebagai makanan bagi mahluk lain,
termasuk manusia. Tetapi sehari-hari kita mengenal serangga dari aspek merugikan
2
kehidupan manusia karena banyak di antaranya menjadi hama perusak dan pemakan
tanaman pertanian dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit seperti malaria
dan demam berdarah. Walaupun demikian sebenarnya serangga perusak hanya kurang
dari 1 persen dari semua jenis serangga. Dengan mengenal serangga terutama biologi dan
perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga
yang merugikan ini.
Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku
adaptasi dalam lingkungannya, dan demilkian banyaknya jenis serangga yang terdapat di
muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun
terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya,
bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi,
ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke
spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah anatomi serangga?
2. Bagaimana sistem reproduksi serangga?
3. Identifikasi dan klasifikasi serangga.
1.3 Tujuan
1. Ingin mengetahui bagaimanakah struktur anatomi serangga.
2. Ingin mengetahui bagaimanakah sistem reproduksi serangga.
3. Ingin mengetahui identifikasi dan klasifikasi seranga.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Studi populasi dan ekosistem merupakan bagian dari ekologi. Sejak tahun 1960-an
telah banyak diterbitkan buku-buku teks ekologi. Di antara sekian banyak buku-buku
ekologi yang digunakan untuk subyek ini antara lain dapat diacu Odum (edisi ketiga,
1971), Watts (1973), Southwick (1976), Price (1975), Krebs (1978) dan Begon, Harper
dan Townsend, (edisi kedua, 1990).
Sejak zaman dahulu orang telah mengamati masalah-masalah ekologi tetapi istilah
ekologi sendiri belum digunakan pada waktu itu. Masyarakat primitif telah menggunakan
tumbuhan dan hewan di sekitar mereka untuk keperluan hidupnya. Peradaban manusia
secara bertahap tumbuh sejak manusia mulai menggunakan api dan alat-alat untuk
mengubah lingkungannya bagi kepentingan kelangsungan hidupnya. Kemajuan
penguasaan manusia terhadap alam sejalan dengan berkembangnya peradaban yang
berarti juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan teknik-
teknik pemanfaatan sumber-sumber alam secara lebih efisien. Pertumbuhan peradaban
juga menyebabkan penduduk dunia semakin meningkat dan hal ini diiringi oleh
berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber-sumber alam yang dieksploitasi manusia.
Proses-proses perubahan yang bersifat dinamik ini lambat laun menginsyafkan manusia
bahwa sumber-sumber alam yang persediaannya terbatas perlu dikelola secara lestari agar
hasil yang diperoleh dari padanya tak mengalami penurunan, akan tetapi tetap berlanjut
(sustainable) dan sumber-sumber alam hayati yang digunakan diusahakan untuk dapat
dibaharui (renewable).
Tulisan-tulisan mengenai ekologi pada zaman dahulu muncul dalam konteks ilmu
hewan, ilmu tumbuhan dan/atau ilmu hayat. Pada abad ke 4 sebelum Masehi filsuf
Aristoteles mencoba menjelaskan masalah-masalah epidemi hama belalang dan tikus
yang sering mengancam tanaman pertanian Yunani. Dalam bukunya Historia Animalium,
Aristoteles menjelaskan bahwa terjadinya ledakan hama tikus disebabkan oleh laju
pertumbuhan populasi tikus yang tak terkendalikan oleh musuh-musuh alaminya, dan
pada waktu itu manusia tidak sanggup mengatasinya. Menurut Aristoteles, hanya hujan
deraslah yang dapat menghempaskan populasi tikus itu sampai mati dan mengalirkannya
ke sungai-sungai dan selanjutnya ke laut. Plato dan Herodotus juga dalam tulisan mereka
menyinggung mengenai alam dan sumber-sumbernya yang mampu menjamin
berlangsungnya kehidupan spesies-spesies mahluk hidup. Mereka menganggap bahwa
4
kerapatan populasi atau jumlah individu dari setiap spesies tidak banyak berubah
sepanjang waktu. Jika terjadi ledakan populasi yang dapat membawa bencana, hal ini
disebabkan oleh tindakan dewa-dewa untuk menghukum orang-orang yang hidupnya
tidak berkenan kepada para dewa. Penulis-penulis ini beranggapan bahwa dalam alam
terdapat keseimbangan, dan keselarasan (harmony) sehingga tidak akan ada spesies yang
dapat punah karena kepunahan spesies akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan
keselarasan dalam alam. Anggapan ini mungkin cukup berdasar pada zaman Plato karena
pada waktu itu manusia belum banyak melakukan perubahan-perubahan dalam
ekosistemnya.
Jadi, apa yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf zaman dahulu merupakan pemikiran
pada zaman itu mengenai ekologi, walaupun istilah ekologi belum digunakan sampai
dengan abad ke 19. Istilah “oekologi" pertama kali dimunculkan pada tahun 1869 oleh
ahli ilmu hayat bangsa Jerman, Ernst Haeckel. Oekologi atau ekologi berasal dari kata
Junani oikos yang berarti rumah, dan logos yang artinya pengetahuan. Ekologi biasanya
didefinisikan sebagai hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Karena
ekologi berkaitan dengan biologi kelompok-kelompok makhluk hidup dan proses-proses
fungsional yang berlangsung di darat, di lautan, di perairan dan di udara maka ekologi
merupakan kajian terhadap struktur dan fungsi alam, di mana manusia merupakan bagian
utama dari padanya. Ekologi dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pola-pola
hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Keadaan lingkungan hidup
mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk
hidup atau keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan sebaliknya keaneka-ragaman dan
banyaknya makhluk hidup juga menentukan keadaan lingkungan. Misalnya, kualitas dan
kuantitas penutupan tanah oleh hutan ditentukan oleh banyaknya jenis pohon yang ada
dalam hutan yang bersangkutan. Hutan Pinus merkusii yang cenderung berkembang
dalam formasi sejenis (hutan pinus "monokultur") membentuk serasah yang proses
humifikasinya lebih lambat sehingga sangat kurang memberikan peluang bagi
pertumbuhan tumbuhan bawah. Di lain pihak, proses pertumbuhan hutan tropik yang
pada umumnya terdiri atas berbagai spesies pohon, menghasilkan serasah dengan
humifikasi yang cepat dan menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan bawah. Hutan tropik
yang lebat ini memberikan konservasi lahan yang lebih baik karena tingkat erosi tanah
menjadi sangat berkurang, air hujan dapat diserap lebih banyak ke dalam tanah sehingga
pada musim penghujan tidak mengakibatkan banjir di daerah aliran sungai sekitarnya.
Demikian pula, ekosistem hutan tropik yang memiliki komunitas dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi merupakan habitat bagi pelbagai makhluk hidup
5
seperti bakteria, lumut, rayap dan berbagai satwa liar. Keanekaragaman dan jumlah
makhluk hidup yang ada dalam ekosistem hutan menjamin keadaan lingkungan yang
baik. Dari uraian ini jelas bahwa ekologi merupakan keseluruhan pola hubungan timbal-
balik antara makhluk hidup dan lingkungan.
Dewasa ini dengan berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
berkembangnya penekanan-penekanan khusus sesuai dengan keperluan pembangunan,
maka kajian-kajian ekologi juga berkembang demikian rupa sehingga kita kini mengenal
berbagai macam ekologi seperti ekologi kependudukan, ekologi perairan, ekologi hutan,
ekologi pertanian, ekologi serangga dan bahkan ekologi perkotaan dan sebagainya.
Kemajuan-kemajuan dalam ilmu-ilmu dasar (matematika, biologi, kimia, fisika dan
statistika) sebagai dasar pengembangan teknologi telah banyak berjasa dalam
perkembangan ekologi terutama sekitar 40 tahun terakhir. Kemajuan teknologi yang pada
satu sisi telah menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan, pada sisi lain merupakan
tumpuan harapan manusia dalam upayanya mengelola lingkungannya secara lebih baik.
Kajian ekologi antara lain dapat dipelajari dengan membagi lingkungan hidup
(environment) atau biosfer (biosphere) dalam beberapa bagian sesuai dengan komponen-
komponen atau bagian yang membentuk lingkungan yaitu:
1. Lingkungan fisik atau abiotik,
2. Lingkungan hayati atau biotic
3. Lingkungan fisik mencakup unsur-unsur litosfer (lithosphere) atau lapisan kerak
bumi termasuk tanah) yang mencakup tipe tanah, bahan induk, serta parameter-
parameternya seperti struktur, tekstur, sifat-sifat fisik, kimia dan kesuburan), hidrosfer
(hydrosphere), yang meliputi lautan dan perairan lainnya dengan parameter-parameter:
arus, kedalaman, salinitas, keasaman (pH), kandungan bahan-bahan, suhu dll.) dan
atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu dll.).
4. Lingkungan biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan yang terbentuk
dari semua fungsi hayati makhluk-makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya saling
berinteraksi. Asosiasi atau hubungan-hubungan fungsional antar makhluk hidup dapat
dikaji dalam berbagai tahapan. Misalnya ada studi mengenai satu makhluk hidup dan
seluruh populasinya, ada pula studi yang mencakup seluruh komunitas yaitu kajian atas
interaksi berbagai populasi dalam satu daerah tertentu.
Perkembangan ekologi yang berkaitan dengan dinamika populasi walau
berkembang agak lambat tetapi cukup konsisten. Dapat dikatakan walaupun sejak dahulu
pada waktu-waktu tertentu orang telah tertarik kepada masalah sensus penduduk, teori-
teori populasi baru berkembang pesat pada abad ke-19. Memang dasar-dasar studi
6
populasi telah ada sejak abad ke 17 tetapi kajian-kajian yang lebih mendalam baru mulai
mendapat perhatian setelah para ahli mulai memikirkan masalah keterbatasan sumber
daya (bahan makanan, perumahan dsb.) dalam hubungannya dengan peningkatan
penduduk.
Sepanjang sejarah dunia sejak abad-abad pertama bangsa-bangsa di Eropah dan
Asia Kecil telah mengenal sensus atau penghitungan jumlah penduduk. Antara lain
karena para penguasa ingin mengetahui besarnya pajak yang dapat dipungut dari
rakyatnya dan berapa besar angkatan perang yang dapat dikerahkan untuk menaklukkan
daerah-daerah sekitar yang dapat dijangkau untuk melebarkan daerah jajahan.
Konsep-konsep mengenai analisis kependudukan baru mulai muncul pada abad ke
17 di Inggeris. Pada tahun 1662 Graunt mengemukakan argumentasi mengenai
pentingnya data sensus penduduk untuk menentukan laju kelahiran, laju kematian, nisbah
kelamin (sex ratio) dan struktur umur untuk mengukur potensi pertumbuhan penduduk,
dan ia berkesimpulan bahwa walaupun tanpa imigrasi penduduk London pada waktu itu
akan meningkat dua kali setelah 64 tahun.
Anthonie van Leeuwenhoek, yang dikenal sebagai penemu mikroskop karena
kegemarannya memeriksa makhluk-makhluk renik, juga gemar mengamati
perkembangan binatang kecil seperti kumbang beras, lalat carrion dan kutu kepala
manusia. Ia menghitung banyaknya telur yang diletakkan oleh lalat carrion betina dan
menyimpulkan bahwa dalam tiga bulan sepasang lalat tersebut dapat menghasilkan
746.496 lalat.
Dalam bukunya berjudul Natural History, Buffon pada tahun 1756 (vide Krebs,
1978) mengemukakan bahwa setiap populasi makhluk hidup mengalami proses yang
sama. Antara lain dikemukakan, walaupun tingkat keperidian (fertilitas) suatu organisme
mungkin sangat tinggi tetapi bahaya yang mengancam populasinya juga besar. Lebih jauh
ia mengemukakan bahwa ledakan populasi yang sewaktu-waktu terjadi pada tikus
lapangan sebagian dapat ditekan oleh penyakit dan kekurangan makanan. Demikian pula,
jika tidak terdapat penyakit yang mengancam populasi kelinci, maka kelimpahan populasi
kelinci akan mengubah setiap padang rumput yang ada di dunia menjadi padang pasir.
Buffon menolak hipotesis Aristoteles mengenai ledakan populasi tikus lapangan yang
dapat ditekan oleh hujan deras. Akan ikhwal kelimpahan populasi tikus, seperti halnya
dengan kelinci, ia berpendapat bahwa epidemi tikus lapangan kemudian menurun karena
timbulnya wabah penyakit. Ternyata bahwa masalah-masalah yang telah dikemukakan
oleh Buffon mengenai hama dan penyakit pada pertengahan abad ke 18 itu masih saja
merupakan masalah kita sekarang — 250 tahun sesudahnya.
7
Perlu pula disinggung mengenai teori demografi yang kontroversial dari Malthus. Dalam
bukunya Essay on Population Malthus menghitung, walaupun jumlah individu suatu
organisme dapat berkembang secara geometrik (deret ukur: 1, 2, 4, 8 …) tetapi sumber-
sumber makanan tidak melampaui pertumbuhan aritmatik (deret hitung: 1, 2, 3, 4 …).
Besarnya perbedaan dalam pola peningkatan kedua model ini menyebabkan Malthus
mengambil kesimpulan bahwa perkembangbiakan populasi makhluk hidup akan
dikendalikan oleh kemampuan makhluk hidup itu untuk menghasilkan bahan makanan
baginya. Peningkatan bahan makanan secara aritmatik yang diberikan oleh Malthus
memang merupakan hipotesis yang kurang berdasar, tetapi sampai saat ini, 200 tahun
setelah teori Malthus dicetuskan, kita masih saja mempermasalahkan implikasi-implikasi
teori itu, antara lain kendali-kendali apa yang dapat dilakukan untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk yang memang tidak sesederhana pertumbuhan menurut pola
geometrik seperti yang dihipotesiskan oleh Malthus itu. Salah seorang yang
mempertanyakan teori Malthus adalah Doubleday (vide Krebs, 1978). Berdasarkan
pengamatannya terhadap perkembangan populasi manusia, pada tahun 1841 ia
mengemukakan suatu teori bahwa jika suatu spesies terancam populasinya maka
kesuburannya akan meningkat. Teori ini didasarkan atas beberapa kenyataan yang
diamatinya pada saat itu yaitu adanya orang-orang yang gizinya kurang akan tetapi
tingkat kesuburannya lebih tinggi dari orang-orang yang makanannya berkelimpahan.
Doubleday menjelaskan bahwa penurunan kesuburan pada orang-orang yang
makanannya melimpah disebabkan oleh kelebihan mineral dalam tubuhnya. Walaupun
apa yang diamati oleh Doubleday mungkin dapat kita amati sekarang namun pendekatan
yang digunakannya untuk menjelaskan masalah ini kini dianggap kurang tepat.
Quetelet, seorang ahli statistika Belgia adalah yang pertama kali mengetengahkan
teori mengenai terjadinya penekanan populasi sebagai akibat peningkatan populasi secara
geometrik. Pada tahun 1838, salah seorang mantan muridnya, Verhulst, menggambarkan
peningkatan suatu populasi terhadap waktu, yang ia namakan kurva logistik dalam bentuk
S. Konsep yang dikemukakan oleh Verhulst telah membuka jalan bagi perkembangan
studi populasi sampai pada tahap yang dicapai sekarang. Kelak dalam bab-bab berikut
teori yang mendasari kurva logistik serta implikasi-implikasinya akan dikaji lebih
mendalam.
8
BAB III
PEMBAHASAN
1. Bagaimanakah anatomi serangga?
Serangga pada umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang
kuat. Jaringan otot dan organ-organ terdapat di dalamnya. Di seluruh permukaan
tubuhnya, integumen serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang cahaya,
tekanan, bunyi, temperatur, angin dan bau.
Pada umumnya serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (“dada”) dan
abdomen (“badan”). Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan dan
rangsangan syaraf , serta untuk memproses informasi (otak). Berbagai macam bagian
mulut serangga seperti: pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat Lepidoptera, penusuk-
pengisap (kutu daun, walang sangit, nyamuk), spons pengisap (lalat), belalai-sifon (kupu-
kupu dang ngengat). Toraks yang terdiri atas tiga ruas memberikan tumpuan bagi tiga
pasang kaki (sepasang pada setiap ruas), dan jika terdapat sayap, dua pasang pada ruas
kedua dan ketiga. Bentuk kaki bervariasi menurut fungsinya seperti untuk menggali
(jangkrik, Gryllidae), menangkap (walang sembah, Mantidae), untuk berjalan (semut,
Formicidae) dsb.
Fungsi utama abdomen adalah untuk menampung saluran pencernaan dan alat
reproduksi. Anatomi internal serangga dicirikan oleh peredaran darah terbuka, adanya
saluran-saluran atau pipa pernapasan dan tiga bagian saluran pencernaan. Serangga
memiliki jantung dan aorta tetapi darah beredar bebas di dalam rongga badannya. Udara
memasuki tubuhnya melalui spirakel (lobang-lobang) pada dinding badannya, melaui
system pipa yang becabang-cabang ke seluruh tubuh.
Saluran pencernaan terdiri atas tiga bagian dengan fungsi yang berbeda-beda.
Sistem syaraf terdiri atas otak di kepala dan simpul-simpul syaraf di bagian toraks dan
abdomen, berfungsi untuk mengolah informasi dan memberikan perintah-perintah ke
organ-organ fungsional lainnya seperti otot dan kelenjar-kelenjar. Pengetahuan tentang
struktur dan fungsi dari eksoskeleton serangga merupakan aspek penting karena berguna
untuk pengembangan formulasi insektisida yang mampu menembus integumen serangga
yang berlapis.
Kajian-kajian tentang komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat senyawa-
senyawa kimia yang berperan dalam komunikasi antar individu serangga, dan mekanisme
dalam menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon (pheromones) dan
banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara sintetik, misalnya bahan
9
penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi (atraktan individu serangga
sejenisnya) dan atraktan makanan. Feromon sintetik ini kini banyak digunakan untuk
mengumpan serangga hama (kemudian diracuni dengan insektisida), mendeteksi adanya
hama, mengestimasi kelimpahan dan untuk pengendalian. Apa pula feromon sintetik yang
dalam pengendalian hama berfungsi membingungkan lawan jenis sehingga tidak
memungkinkan terjadi perkawinan, dan berakibat pada penurunan populasi hama.
Struktur bagian mulut serangga digunakan juga dalam taktik pengendalian hama,
terutama dalam aspek selektivitas. Misalnya jika suatu serangga hama daun memiliki tipe
mulut mengunyah maka insektisida digunakan dengan cara penyemprotan pada
permukaan daun. Cara ini hanya efektif jika daun dimakan hama sedangkan dengan
kontak saja tidak efektif. Perlu dipertimbangkan juga akan adanya serangga yang bersifat
musuh alami dari hama yang perlu dihindarkan dari bahaya insektisida. Karena serangga
bernapas melalui spirakel (lobang-lobang) pada integumen, penyumbatan spirakel akan
meyebabkan kematiannya. Penggunaan insektisida berbasis minyak merusak integumen
(yang bahan utamanya adalah kutikel).
Ada pula bakteri yang menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus
thuringiensis. Komponen bakteri ini seperti spora kini telah diproduksi dan dikemas
sebagai insektisida thuricide. Thuricide menimbulkan penyakit saluran pencernaan pada
serangga. Sebagian besar insektisida yang digunakan sekarang merupakan racun syaraf
dan banyak di antaranya secara kimia dikembangkan dari produk-produk alamiah seperti
piretroida. Contoh feromon sintetik yang kini digunakan sekarang antara lain untuk
mengendalikan serangan rayap pada bangunan dengan jalan menarik (attracting); rayap
yang tertarik diberi makan flumuron (bahan perusak kutukel), membawanya ke sarang
koloni, menyebabkan koloni rayap tidak dapat berganti kulit dan kemudian punah.
2. Bagaimana sistem reproduksi serangga?
Kebanyakan serangga memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada
beberapa spesies jarang terdapat jantan atau jika terdapat hanya pada musim-musim
tertentu saja. Dalam keadaan tak ada jantan, betinanya masih bisa bereproduksi. Hal ini
umum di antara kutu daun (Aphids). Pada beberapa jenis penyengat (Hymenoptera), telur
yang tak dibuahi menjadi jantan, sedangkan yang dibuahi menjadi betina.
Apa pula spesies yang tak memiliki jantan, semua keturunannya betina. Biasanya
setiap telur mengembangkan satu embrio, tapi ada juga yang mengembangkan banyak
embrio (polyembryony), sampai ratusan. Biasanya, serangga bertelur; namun ada pula
jesis-jenis yang telurnya menetas dalam tubuh induk sehingga melahirkan seperti ovipar,
pada Aphids (kutu daun).
10
Pertumbuhan serangga dan perkembangan (Metamorfosis)
Pertumbuhan serangga biasanya melalui empat tahap bentuk hidup yaitu: telur,
larva / nimfa, pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara tunggal, atau dalam
kelompok, di dalam atau di atas jaringan tanaman atau binatang inang yang menjadi
sasaran makanan serangga. Embrio di dalam telur berkembang menjadi larva atau nimfa
(tergantung macam metamorfosis atau perkembangan) yang keluar dari telur pada saat
telur menetas. Larva/nimfa memiliki tahapan perkembangan (instar), yang setiap
tahapannya melalui proses pergantian kulit (ecdysis), karena setiap meningkatan ukuran
tubuh pada satu instar ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang lebih besar
(sama halnya dengan anak yang bertumbuh memerlukan pakaian yang ukurannya lebih
besar). Larva berkembang menjadi pupa (pada ulat kup-kupu disebut cocoon atau
kepompong), dan pupa dan nimfa berkembang menjadi serangga dewasa.
Ada dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga, yaitu
metamorfosis sempurna atau holometabola yang melaui tahapan-tahapan atau stadium:
telur – larva – pupa – dewasa, dan metamorfosis bertahap (hemimetabola) yang melalui
stadium-stadium: telur – nimfa – dewasa.
Pada hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum
berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama dengan
habitat stadium dewasanya. Contoh hemimetabola adalah jenis-jenis kepik seperti walang
sangit, yang nimfanya menempati habitat yang sama dengan kepik dewasa, biasanya
pada daun. Jenis-jenis belalang (Orthoptera) dan lipas (Blattaria) juga termasuk
hemimetabola, nimfa dan stadium dewasanya hidup dan makan pada habitat yang sama.
Kumbang (Coleoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) dan semut serta
lebah (Hymenoptera) adalah serangga holometabola. Bentuk pradewasa (larva dan pupa)
jenis-jenis holometabola ini sangat berbeda dengan stadium dewasanya. Perhatikanlah
bentuk-bentuk larva seperti ulat bulu, ulat hijau, ulat jengkal yang kelak menjadi pupa
dan kemudian menjadi kupu-kupu indah dan berwarna-warni. Habitat larva bisanya
sangat berbeda dari habitat dewasanya. Ulat makan daun sedangkan kupu mengisap
cairan bunga. Demikian pula, larva lebah madu dipelihara oleh pekerja (dalam koloni),
makan madu; tapi lebah dewasa yang bersayap terbang mencari serbuk bunga sebagai
makanannya.
Serangga metabola, setelah stadium larva memasuki tahapan pupa yang “tidak
aktif” (tidak makan), terbungkus dalam kulit kepompong yang disebut puparium yang
berfungsi sebagai pelindung. Serangga termasuk berdarah dingin, sehingga
pertumbuhannya banyak dipengaruhi suhu lingkungannya. Di daerah-daerah beriklim
11
dingin pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia
pertumbuhan serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang terjadi di
daerah beriklim panas lebih banyak daripada di daerah dingin.
Dengan mempelajari perilaku pertumbuhan serangga para pakar pengendalian
hama serangga mengembangkan cara-cara pengendalian dengan menggunakan pengatur
tumbuh (insect growth regulators, IGR). Salah satunya adalah pengendalian dengan
hormon pertumbuhan, yang mengganggu pembentukan kutikel pada saat ganti kulit. Cara
ini sangat efektif dan selektif (tidak mengganggu serangga yang bukan sasaran) karena
hanya mempengaruhi serangga sasaran. Dinamika pertumbuhan serangga hama tanaman
budidaya telah benyak diteliti dan daripadanya dihasilkan model-model pertumbuhan
yang dapat digunakan untuk meramalkan saat-saat terjadinya epidemi pada tanaman atau
inang tertentu, sehingga tindakan pengendalian dapat dilaksanakan secara lebih tepat.
3. Identifikasi dan klasifikasi serangga.
Pengetahuan mengenai klasifikasi serangga diperlukan agar jenis-jenis serangga
yang demikian banyaknya dapat dibedakan. Misalnya, dari sekian banyak serangga yang
menjadi hama tanaman padi, perlu diketahui jenis-jenisnya, karena mereka memiliki
perilaku hidup yang berbeda, menyerang bagian tanaman yang berbeda (daun, buah,
batang, akar) menyebabkan kerugian yang berbeda sehingga berbeda pula cara
penanganannya.
Pada umumnya spesies-spesies serangga dibedakan sesuai dengan kemiripan dalam
penampakannya. Jenis-jenis lalat misalnya, dibedakan dari kupu-kupa berdasarkan
karakter sayap. Lalat hanya memilki sepasang sayap, sedangkan kupu-kupu dua pasang.
Secara hirarki, dikenal taksa-taksa (taxon, taxa) dalam klasifikasi, oleh karenanya maka
ilmu mengenai penggolongan jenis-jenis mahluk hidup biasanya disebut taksonomi
(taxonomy). Taksonomi ulat kubis misalnya adalah sebagai berikut:
· Filum (Phylum) - Arthropoda
· Kelas - Insecta
· Ordo - Lepidoptera
· Famili - Plutellidae
· Genus - Plutella
· spesies - Plutella xylostella
Dengan demikian nama spesies Plutella xylostella berlaku universal bagi ulat
kubis di seluruh dunia.
Ekologi serangga
12
Ekologi adalah disiplin kajian hubungan-hubungan antar mahluk hidup dan
lingkungannya. Mengetahui kelimpahan (abundance) serangga (hama) yang menyerang
tanaman tertentu serta pengetahuan tentang kegiatan dan penampilan hama tersebut
(phenology) merupakan factor-faktor penting dalam menentukan pengendaliannya.
Beberapa hama memiliki hanya satu generasi pada satu musim (univoltine), sedangkan
ada pula yang banyak generasi per musim (multivoltine). Dalam pengendalian hama
berkonteks agrosistem biasanya hama dianggap sebagai populasi. Atribut-atribut penting
populasi adalah kerapatan, distribusi umur, laju kelahiran dan laju kematian.
Dinamika populasi
Di bumi ini tak ada satupun yang tidak berubah. "Semua berubah dari waktu
ke waktu; tak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri". Demikian ucap
Heraklitus 500 tahun S.M. Oleh perubahan juga maka kita mengenal jenis-jenis
hayati dan individu-individu populasi yang ada sekarang — termasuk di dalamnya
eksistensi (dan status) kita sebagai bagian dari populasi hayati di bumi. Dan
mungkin kita menyesali jika suatu saat karena ulah manusia sendiri atau bukan,
ada jenis (spesies) tertentu punah. Bahkan juga mungkin kita merasa berkeberatan
jika ada jenis lain yang tak diinginkan muncul. Perubahan yang terjadi di bumi
sebagian besar melibatkan populasi jenis-jenis hayati di mana manusia termasuk
di dalamnya. Tetapi manusia pula yang dianggap bertanggung jawab untuk
"memulihkan" perubahan atau lebih etis jika dikatakan mengendalikan perubahan
agar "berubah" ke arah lebih menguntungkan manusia – agar cukup tersedia
populasi spesies-spesies hayati seperti tanaman padi, ternak sapi, populasi ikan di
laut dan di danau, semuanya untuk pasokan pangan. Tapi kita tak menginginkan
jika populasi tikus di Jakarta menjadi demikian banyaknya sehingga jumlahnya
melebihi jumlah penduduk Jakarta sendiri (walaupun perkiraan itu mungkin
benar) atau patogen koli (salah satu penyebab penyakit saluran pencernaan
manusia) di sungai-sungai dan perairan menjadi demikian meningkat dan
mengancam kesehatan kita, sehingga dari waktu ke waktu perlu dikendalikan
(perlu diubah). Apa yang dikemukakan merupakan topik populasi dan perubahan,
atau singkatnya – dinamika populasi.
13
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari data diatas dapat disimpulkan:
1. Pada umumnya serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks (“dada”)
dan abdomen (“badan”). Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan
makanan dan rangsangan syaraf , serta untuk memproses informasi (otak).
2. Kebanyakan serangga memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual. Pada
beberapa spesies jarang terdapat jantan atau jika terdapat hanya pada musim-
musim tertentu saja. Dalam keadaan tak ada jantan, betinanya masih bisa
bereproduksi. Hal ini umum di antara kutu daun (Aphids). Pada beberapa jenis
penyengat (Hymenoptera), telur yang tak dibuahi menjadi jantan, sedangkan
yang dibuahi menjadi betina.
3. Pada umumnya spesies-spesies serangga dibedakan sesuai dengan kemiripan
dalam penampakannya. Jenis-jenis lalat misalnya, dibedakan dari kupu-kupa
berdasarkan karakter sayap. Lalat hanya memilki sepasang sayap, sedangkan
kupu-kupu dua pasang. Secara hirarki, dikenal taksa-taksa (taxon, taxa) dalam
klasifikasi, oleh karenanya maka ilmu mengenai penggolongan jenis-jenis
mahluk hidup biasanya disebut taksonomi (taxonomy).
4.2 Saran
Dari data diatas adapun saran yang dapat diberikaan yaitu:
1. kita harus mengenali terlebih dahulu, bagaimana anatomi, cara bereproduksi, dan
jenis-jenis serangga itu sendiri baru kita bisa mengambil tindakan untuk mengatasi
permasalahan yang menyangkut tentang serangga.
14
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Begon, M, J.L. Harper dan C. L. Townsend (1990). Ecology: Individuals, Populations
and Communities. 2nd Ed. Blackwell Sci. Publ. , Boston, Oxford etc. 945 p.
Hoffmann, M.P. and Frodsham, A.C. (1993) Natural Enemies of Vegetable Insect Pests.
Cooperative Extension, Cornell University, Ithaca, NY. 63 pp.
Insect Biology and Ecology: A Primer.
http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html (Cornell University),
dikunjungi 15 Desember 2000.
Krebs, C.J. (1978). Ecology: The experimental Analysis of Distribution and Abundance,
2nd Ed.. Harper & Raw Publ., New York etc. 678 p.
Meyer, John R. ; Department of Entomology, NC State University, ENT 425
http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425 , dikunjungi 1 November 2000.
Odum, E.P. (1971). Fundamental of Ecology. W.B.Saunders Co. Philadelphia etc., 574.
Tarumingkeng, PhD, Rudy C. (1994). Dinamika Populasi. Pustaka Sinar Harapan. 284 p.