Share

75
Winda Hariyana (Rehabilitasi Medik) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spinal Cord Injury (SCI) dapat didefinisikan sebagai kerusakan atau trauma sumsum tulang belakang yang dapat mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi yang mengakibatkan berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi). Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sumsum tulang belakang rusak, sehingga mengakibatkan hilangnya beberapa sensasi dan kontrol motorik. Spinal cord injury (SCI) adalah suatu tekanan terhadap sumsum tulang belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen, di motorik normal, indera, atau fungsi otonom. Efek dari spinal cord injury tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma tetraplegia mencapai 90 %. Pasien dengan trauma spinal cord komplit berpeluang sembuh kurang dari 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah nol. Untuk

Transcript of Share

Page 1: Share

Winda Hariyana (Rehabilitasi Medik)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Spinal Cord Injury (SCI) dapat didefinisikan sebagai kerusakan atau trauma sumsum

tulang belakang yang dapat mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi yang

mengakibatkan berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi). Spinal cord injury (SCI)

terjadi ketika sumsum tulang belakang rusak, sehingga mengakibatkan hilangnya

beberapa sensasi dan kontrol motorik. Spinal cord injury (SCI) adalah suatu tekanan

terhadap sumsum tulang belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau

permanen, di motorik normal, indera, atau fungsi otonom. Efek dari spinal cord injury

tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang ditimbulkan karena

cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai mengakibatkan hilangnya fungsi

motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi

komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien

dengan trauma tetraplegia mencapai 90 %. Pasien dengan trauma spinal cord komplit

berpeluang sembuh kurang dari 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam

setelah trauma, peluang perbaikan adalah nol. Untuk prognosis trauma spinal cord

inkomplit lebih baik jika dibandingkan dengan trauma spinal cord komplit. Jika fungsi

sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50 %.

Angka kejadian dengan spinal cord injury dapat dikatakan masih relatif tinggi. Di

U.S. saja, insiden trauma SCI sekitar 5 kasus per satu juta populasi per tahun atau sekitar

14.000 pasien per tahun. Insiden trauma SCI tertinggi terjadi pada usia 16-30 tahun (53,1

%).

Laki-laki-wanita rasio individu dengan SCI di Amerika Serikat adalah 4:1; yaitu, laki-

laki merupakan sekitar 80% orang dengan SCI. Sekitar 80 % pria dengan trauma SCI

rata-rata berusia 18-25 tahun. Laki-laki berusia antara 18-25 tahun lebih cenderung

menderita spinal cord injury akibat trauma (kecelakaan atau beberapa tindakan

kekerasan). Dan di atas 50 % cedera spinal cord injury ini mengenai daerah servikalis.

60% lebih pasien dengan cedera spinal cord disertai dengan cedera mayor, seperti:

cedera pada kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler.

Page 2: Share

Penyebab spinal cord injury meliputi kecelakaan sepeda motor (44 %), tindak

kekerasan (24 %), jatuh (22 %) (pada orang usia 65 tahun ke atas), luka karena senjata

api (9%), kecelakaan olahraga (rata-rata pada usia 29 tahun) misal menyelam (8 %), dan

penyebab lain misalnya infeksi atau penyakit, seperti tumor, kista di tulang belakang,

multiple sclerosis, atau cervical spondylosis (degenerasi dari disk dan tulang belakang di

leher)(2 %).

B. Identifikasi masalah

Tn. S merupakan pasien rawat inap lantai 4 gedung prof. soelarto dengan cidera

medulla spinalis. Identifikasi masalah keperawatan dilakukan dengan menggunakan

pengkajian keperawatan secara menyuluruh yang dilakukan oleh kelompok pada tanggal

20 desember 2012.

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mampu melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera medulla

spinalis.

2. Tujuan khusus

a. Mampu memahami definisi, klasifikasi dan penanganan spinal cord injury

b. Mampu melakukan asuhan keperawatan pada Tn.S dengan spinal cord injury

c. Mampu mengsinergiskan teori dengan kasus pada Tn.S

Page 3: Share

BAB II

TINJAUN TEORI

A. Spinal Cord Injury

1. Anatomi vertebra dan spinal cord

Tulang vertebrata yang di sertai dengan syaraf tulang belakang berfungsi untuk

menyokong kepala. Tulang vertebra terdiri dari 33 bagian, diantaranya : 7 tulang

servical di leher, 12 tulang torakal yang berada pada bagian atas punggung belakang

yang sesuai dengan pasangan pada tulang rusuk, 5 tulang lumbal yang berada pada

bagian belakang bawah, 5 tulang sacral dimana 1 tulangnya di sebut sacrum, 4 tulang

coccigis.

Penomoran dan penamaan pada tulang servikal mengacu pada penamaan “C”

dimana c adalah cervical. Penomoran di mulai pada C1,C2,C3,C4,C5…C7. Pada

tulang torakal, penamaan dan penomoran dimulai dengan T1… T12, Penomoran pada

lumbal dimulai dengan L1..l5. penomoran pada tulang vertebra tersebut di mulai dari

kepala.

Saraf Tulang belakang merupakan perpanjangan dari otak yang terakumulasi dan

telindungi oleh tulang vertebral coloumn. Tulang belakang juga terdiri dari cairan

yang bertindak sebagai buffer untuk melindungi jaringan syaraf yang halus. Syaraf

tulang belakang juga terdiri dari serabut syaraf yang berfungsi untuk mengirimkan

informasi dari dan ke tungkai hingga organ lain. Serabut syaraf cervical yang berda di

leher berfungsi mengatur pergerakan, perasaan pada lengan, leher, dan tubuh bagian

atas. Syaraf torakal berfungsi mensupplay tubuh dan perut, syaraf lumbal dan sacrum

berfungsi untuk mensupplay kaki, bladder, bowel dan organ seksual.

2. Definisi Spinal Cord injury

Spinal Cord Injury (SCI) atau cedera sumsum tulang belakang adalah kerusakan

atau trauma pada sumsum tulang belakang yang dapat mengenai elemen tulang,

jaingan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis

menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau

lebih tulang vertebra) sehingga mengakibatkan gangguan/defisit fungsi neurologis.

3. Etiologi

a. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya

Page 4: Share

b. Injuri atau jatuh dari ketinggian.

c. Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena menyelam pada

air yang sangat dangkal

d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.

e. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress

f. lateral, distraksi (stretching berlebih), penekanan.

g. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti

spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan

mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis akibat

proses inflamasi infeksi maupun noninfeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh

fraktur kompresi pada vertebrata; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi;

dan penyakit vaskuler.

4. Tanda dan Gejala

a. Nyeri pada area spinal atau paraspinal

b. Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan dan kaki

c. Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan, paralisis)

d. Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku, parestesis,

hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)

e. Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafragma

f. Shock dengan kecepatan jantung menurun

g. Priapismus

h. Kerusakan kardiovaskuler

i. Kerusakan pernapasan

j. Kesadaran menurun

k. Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid paralisis

di bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka, hilangnya reflek-reflek

spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus vasomotor (hipotensi), inkontinensia

urine dan retensi feses (apabila berlangsung lama akan menyebabkan

hiperreflek/paralisis spastic.

5. Jenis/Klasifikasi (Model) Level Kerusakan dan dampak masing-masing level

kerusakan

a. Berdasarkan klasifikasi ASIA (American Spinal injury Association)

Page 5: Share

ASIA A : Complete (kehilangan fungsi motoris dan sensoris termasuk pada

segmen sacral S4-S5 )

ASIA B : Incomplete (kehilangan fungsi motoris, namun fungsi sensoris tidak

hanya dibawah level lesi dan termasuk segmen sacral S4-S5)

ASIA C : Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak

fungsional dengan kekuatan otot < 3)

ASIA D : Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara dan

fungsional dengan kekuatan otot > 3)

ASIA E : Normal (fungsi sensoris dan motoris normal)

b. Berdasarkan lokasi cedera, antara lain :

1) Cedera Cervikal

Lesi C1-C4

Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma

masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan

tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional).

Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan

beberapa daerah wajah.

Pasien dengan quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian

penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis dan semua

aktivitas kebutuhan sehari-harinya membutuhkan pertolongan. Pasien

dengan quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator

mekanis tetapi dapat dilepas sehingga penggunaannya secara intermitten

saja.

Lesi C5

Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi

diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis

intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan.

Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam

melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi

pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.

Lesi C6

Pada lesi segmen C6, distress pernapasan dapat terjadi karena paralisis

intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi

gangguan pada otot bisep, trisep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada

Page 6: Share

perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas

higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju.

Lesi C7

Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan

aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari

tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7

mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus.

Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui

ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan

dan memasak.

Lesi C8

Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi

duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat

diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke

posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8

harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan

pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.

2) Cedera Torakal

Lesi T1-T5

Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernapasan dengan

diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi

pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial

dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti

kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.

Lesi T6-T12

Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks abdomen. Dari

tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada

tingkat T12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh

bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara

mandiri. Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah :

T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas

T3 Aksilla

T5 Putting susu

T6 Prosesus xifoid

Page 7: Share

T7, T8 Margin kostal bawah

T10 Umbilikus

T12 Lipat paha

3) Cedera Lumbal

Lesi L1-L5

Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu :

L1 : Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian

belakang dari bokong.

L2 : Ekstremitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha

L3 : Ekstremitas bagian bawah dan daerah sadel.

L4 : Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.

L5 : Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstremitas bawah dan area

sadel.

4) Cedera Sakral

Lesi S1-S6

Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan

posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki.

Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis,

perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

c. Berdasarkan lengkap dan tidak nya cedera

Berdasarkan lengkap dan tidaknya cedera adalah ada dua jenis cedera tulang

belakang. cedera tulang belakang lengkap mengacu pada jenis cedera yang

mengakibatkan hilangnya fungsi yang lengkap di bawah tingkat cedera, sementara

tidak lengkap cedera tulang belakang adalah mereka yang menghasilkan sensasi

dan perasaan bawah titik cedera. Tingkat dan derajat fungsi dalam luka yang tidak

lengkap sangat individu, dan tergantung pada cara di mana sumsum tulang

belakang telah rusak.

1) Cedera Spinal Cord Lengkap

Cedera lengkap berarti bahwa tidak ada fungsi di bawah tingkat cedera, tidak

ada sensasi dan tidak ada gerakan sukarela. Kedua sisi tubuh sama-sama

terpengaruh. Cedera tulang belakang lengkap menyebabkan paraplegia lengkap

atau tetraplegia lengkap. Paraplegia Lengkap digambarkan sebagai kerugian

permanen fungsi motorik dan saraf pada tingkat T1 atau bawah, yang

mengakibatkan hilangnya sensasi dan gerakan di kaki, usus, kandung kemih,

Page 8: Share

dan wilayah seksual. Lengan dan tangan mempertahankan fungsi normal.

Sebuah cedera tulang belakang yang lengkap berarti bahwa tidak ada gerakan

atau sensasi di bawah tingkat cedera. Dalam cedera yang lengkap, kedua sisi

tubuh sama-sama terpengaruh. Cedera tulang belakang lengkap jatuh di bawah

lima klasifikasi yang berbeda:

a) Kabel sindrom anterior: dicirikan oleh kerusakan pada bagian depan tulang

belakang, mengakibatkan gangguan suhu, sentuhan, dan sensasi nyeri di

bawah titik cedera. Beberapa gerakan nantinya dapat dipulihkan.

b) Kabel pusat sindrom: ditandai oleh kerusakan di tengah dari sumsum tulang

belakang yang mengakibatkan hilangnya fungsi dalam pelukan tetapi

beberapa gerakan kaki. Pemulihan Beberapa mungkin.

c) Kabel posterior sindrom: ditandai oleh kerusakan bagian belakang sumsum

tulang belakang, sehingga kekuatan otot yang baik, rasa sakit, dan sensasi

suhu, tetapi koordinasi yang buruk.

d) Brown-Sequard sindrom: dicirikan oleh kerusakan pada satu sisi tulang

belakang, mengakibatkan hilangnya gangguan pergerakan tapi sensasi

diawetkan pada satu sisi tubuh, dan diawetkan gerakan dan hilangnya sensasi

di sisi lain tubuh.

e) Cauda equina lesi: ditandai dengan cedera pada saraf yang terletak antara

wilayah lumbalis pertama dan kedua tulang belakang, mengakibatkan

hilangnya sebagian atau lengkap dari sensasi. Dalam beberapa kasus, saraf

tumbuh kembali.

Paraplegia lengkap adalah suatu kondisi yang menyebabkan kerugian permanen

gerakan dan sensasi di tingkat T1 atau bawah. Pada tingkat T1 ada fungsi tangan

normal, dan sebagai tingkat bergerak ke bawah kolom tulang belakang

meningkatkan kontrol perut, fungsi pernapasan, dan keseimbangan duduk

mungkin terjadi.

Beberapa orang dengan paraplegia lengkap memiliki gerakan batang parsial,

yang memungkinkan mereka untuk berdiri atau berjalan jarak pendek dengan

peralatan bantu. Pada kebanyakan kasus, paraplegics lengkap memilih untuk

mendapatkan sekitar melalui self-propelled kursi roda.

2) Cedera Spinal Cord Tidak Lengkap

Dalam cedera tidak lengkap, pasien sering dapat memindahkan satu anggota gerak

lebih daripada yang lain, mungkin memiliki fungsi yang lebih pada satu sisi dari

Page 9: Share

yang lain, atau mungkin memiliki beberapa sensasi di bagian tubuh yang tidak

dapat dipindahkan.

Efek dari cedera tidak lengkap tergantung pada apakah bagian depan, belakang,

samping, atau pusat sumsum tulang belakang terpengaruh. Ada lima klasifikasi

cedera tulang belakang lengkap: kabel sindrom anterior, sindrom kabel pusat,

sindrom serabut posterior, Brown-Sequart sindrom, dan cauda equina lesi.

a) Kabel Sindrom Anterior: Cedera terjadi pada bagian depan tulang belakang,

meninggalkan orang dengan hilangnya sebagian atau lengkap dari kemampuan

untuk nyeri akal, suhu, dan sentuhan di bawah tingkat cedera. Beberapa orang

dengan jenis cedera kemudian memulihkan beberapa gerakan.

b) Sindrom Kabel Tengah: Cedera terjadi di pusat sumsum tulang belakang, dan

biasanya mengakibatkan hilangnya fungsi lengan. Beberapa kaki, usus, dan

kontrol kandung kemih dapat dipertahankan. Beberapa pemulihan dari cedera

ini dapat mulai di kaki, dan kemudian bergerak ke atas.

c) Sindrom Kabel posterior: Cedera terjadi ke arah belakang sumsum tulang

belakang. Biasanya listrik otot, nyeri, dan sensasi suhu diawetkan. Namun,

orang tersebut mungkin mengalami kesulitan dengan koordinasi ekstremitas

d) Sindrom Brown-Sequard: Cedera ini terjadi pada satu sisi dari sumsum tulang

belakang. Nyeri dan sensasi suhu akan hadir di sisi yang terluka, tetapi

kerusakan atau kehilangan gerakan juga akan menghasilkan. Sisi berlawanan

dari cedera akan memiliki gerakan yang normal, tetapi rasa sakit dan sensasi

suhu akan terpengaruh atau hilang.

e) Cauda lesi kuda: Kerusakan pada saraf yang keluar dari kipas sumsum tulang

belakang pada daerah lumbal pertama dan kedua tulang belakang bisa

menyebabkan hilangnya sebagian atau lengkap dari gerakan dan perasaan.

Tergantung memperpanjang kerusakan awal, kadang-kadang saraf dapat tumbuh

kembali dan melanjutkan fungsi.

Page 10: Share

6. Patofisiologi

Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak

cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat

hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.

Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi,

kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa

memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran

darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk

melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan

respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan

fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman

Page 11: Share

nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan

eliminasi.

Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena:

jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan

kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika cedera mengenai

saraf C-4 dan C-5 akan terjaditetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas

paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6

dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau

tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika

terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia

dengan keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya; 

pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai

fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan

L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan

sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

7. Definisi Tetraplegia

Tetraplegia merupakan cidera tulang belakang bagian leher yang disebabkan karena

kerusakan pada C1 dan T1. Tetraplegia merupakan suatu kondisi kelihangan sensasi

pada empat bagian tubuh, bladder, bowel dan organ seksual.

8. Paraplegia

Merupakan cidera pada bagian bawah leher yang disebabkan karena kerusakan pada

bagian bawah T1. Paraplegia merupakan suatu kondisi yang menyebabkan kelemahan

dan kehilangan sensasi pada bagian tubuh, kaki, bowel, bladeer dan organ seksual

namun lengan dan tangan normal.

9. Akibat Spinal Cord Injury

a. Spinal Shock

Pada waktu tertentu setelah terjadi cidera, individu akan memperlihatkan

kondisi spinal shock. Kondisi tersebut seperti “blackout effect” yang terjadi karena

kehilangan seluruh fungsi tulang belakang dekat area yang terjadi injury. Kondisi

tersebut dapat terjadi selama beberapa hari ataupun beberapa minggu. Sulit untuk

menentukan sejauh mana kondisi spinal shock yang dialami.

Page 12: Share

b. Bagi Tubuh

Cedera tulang belakang akan mengakibatkan paralysis dibawah level injury,

kehilangan sensasi pada kulit untuk merasakan sensasi nyeri, sentusan, perbedaan

dingin dan panas, perubahan bowel dan blader, perubahan fungsi seksual,fertilitas

pada laki laki.

10. Tindakan Rehabilitatif

Penatalaksanaan pertama SCI termasuk imobilisasi eksternal untuk stabilisasi

sementara, traksi untuk mendapatkan atau mempertahankan alignment yang baik, dan

farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder. Setelah transportasi dan

evaluasi awal telah lengkap, extended-external fixation atau intervensi bedah dapat

dikerjakan. Terakhir, disfungsi yang berhubungan dapat direhabilitasi.

a. Imobilisasi dan Traksi

Halo vest (Gambar 2) sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera spina

servikal. Philadelphia collar bersifat semirigid, sintetik foam brace dimana pada

dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-J collar

bersifat mi Brace yang secara adekuat melakukan imobilisasi fraktur spina servikal

adalah thermoplastic Minerva body jaket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ lebih baik

dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman dibandingkan halo vest

sedangkan halo vest lebih bagus dalam membatasi rotasi dibandingkan TMBJ.

b. Farmakoterapi

Farmakoterapi standar pada SCI berupa metilprednisolon 30 mg/kgBB secara bolus

intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi tersebut

dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi tersebut

dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4

mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon dapat

dikerjakan pada waktu antara 3 hingga 8 jam setelah cedera maka terapi tersebut

dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4

mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini efektif dimana terjadi

peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara signifikan dalam waktu 6 minggu

pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total. Efek dari metilprednisolon ini

kemungkinan berhubungan dengan efek inhibisi terhadap peroksidasi lipid

dibandingkan efek glukokortikoid. Antasid atau H2 antagonis ditujukan untuk

mencegah iritasi atau ulkus lambung.

Page 13: Share

11. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

1) Riwayat kesehatan

Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat

kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.

2) Pemeriksaan fisik

a) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,

hiperventilasi, ataksik)

b) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK

c) Sistem saraf :

Kesadaran : GCS

Fungsi saraf kranial : Trauma yang mengenai/meluas ke batang otak

akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.

Fungsi sensori-motor : Adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan

diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.

d) Sistem pencernaan

Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,

kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika

pasien sadar : Tanyakan pola makan?

Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.

Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.

e) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik : hemiparesis/plegia,

gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.

f) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan : disfagia atau

afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.

g) Psikososial : data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat

pasien dari keluarga.

b. Diagnosa

1) Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang

punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.

2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi

ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.

Page 14: Share

3) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk

membersihkan sekret yang menumpuk.

4) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan

sesorik.

5) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan

immobilitas, penurunan sensorik.

6) Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau

kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder

terhadap cedera medulla spinalis.

7) Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder

terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks sakrum yang

terlibat (S2-S4).

8) Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan

alat traksi

9) Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf

simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.

10) Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk

menelan.

11) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan

dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis.

12) Kurang perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan

paralisis.

13) Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit dan

prosedur perawatan

B. Fraktur

1. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang

umumnya disebabkan oleh ruda paksa/ trauma. Trauma yang menyebabkan tulang

patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang

menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung

misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius

distal patah. (Brunner&Suddrath, 2002)

Page 15: Share

Fraktur tibia(Fraktur Colles) adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah

kanan akibat jatuh yang bertumpu pada tangan dorsifleksi terbuka. Fraktur ini sering

terjadi pada anak- anak dan wanita lanjut usia dengan tulang osteoporesis dan tulang

lemah yang tak mampu menahan energi akibat jatuh, (Brunner&Suddrath, 2002)

2. Jenis- Jenis Patah tulang:

a. Patah tulang terbuka atau tertutup

Patah tulang terbuka yaitu bila tulang yang patah menembus jaringan lunak

disekitarnya dan terjadi hubungan antara tulang dan udara. Patah tulang tertutup

yaitu patah tulang yang tidak menyebabkan jaringan kulit robek.

Klasifikasi patah tulang terbuka: menurut Gustilo

1) Tipe I

Luka kecil kurang dan 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat

tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi

biasanya bersifat simpel, tranversal, oblik pendek atau komunitif

2) Tipe II

Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat

atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan jaringan

3) Tipe III

Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit dan

struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe:

a) tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah

b) tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan lunak, tulang tidak

dapat do cover soft tissue

c) tipe IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera

b. Patah tulang lengkap dan tidak lengkap

Patah tulang lengkap (Complete) bila patahan- patahan tulang satu sama lainnya.

Patah tulang tidak lengkap yaitu bila antara patahan tulang masih terjadi hubungan

sebagian. Patah tulang tidak lengkap sering terjadi pada anak yang tulangnya lebih

lentur.

c. Tulang Menurut garis patahnya

1) Patah tulang melintang

2) Patah tulang oblik atau miring

Page 16: Share

3) Patah tulang memanjang

4) Patah Tulang bertindih yaitu bagian tulang yang patah saling berhadapan dan

berdekatan

5) Patah Tulang Baji yaitu kepingan tulang masuk kebagian tulang yang lunak,

(Oswari, 1995)

3. Etiologi

Fraktur dapat terjadi diakibat oleh beberapa hal:

a. Kekerasan langsung yaitu tulang patah pada titik terjadinya kekerasan itu sendiri,

biasanya bersifat terbuka dengan garis patah melintang atau miring

b. Kekerasan tidak langsung yaitu patah tulang ditempat yang jauh dari tempat

terjadinya kekerasan, biasanya terjadi pada bagian paling lemah dalam jalur

hantaran vektor kekerasan, (Oswari, 1995).

4. Patofisiologi

Terjadinya trauma yang mengakibatkan fraktur akan dapat merusak jaringan

lunak disekitar fraktur mulai dari otot fascia, kulit sampai struktur neuromuskuler atau

organ- organ penting lainnya, pada saat kejadian kerusakan terjadilah respon

peradangan dengan pembentukan gumpulan atau bekuan fibrin , osteoblas mulai

muncul dengan jumlah yang besar untuk membentuk suatu metrix baru antara

Fragmen- fragmen tulang. Klasifikasi terjadinya fraktur dapat dibedakan yang terdiri

Page 17: Share

dari fraktur tertutup dan fraktur terbuka, fraktur tertutup yaitu tidak ada luka yang

menghubungkan fraktur dengan kulit, fraktur terbuka yaitu terdapat luka yang

menghubungkan luka dengan kulit,(Potter&Pery, 2006).

Setelah terjadinya fraktur periosteum tulang terkelupas dari tulang dan terobek

terus kesisi berlawanan dari sisi yang mendapat truma, akibatnya darah keluar melalui

celah- celah periosteum dan ke otot disekitarnya dan disertai dengan oedema, selain

keluar melalui celah periosteum yang rusak, darah juga keluar akibat terputusnya

pembuluh darah didaerah terjadinya fraktur.

Infiltrasi dan pembengkakan segera terjadi dan bertambah selam 24 jam pertama,

menjelang akhir periode ini otot menjadi hilang elastisitasya, oleh karena itu reposisi

lebih mudah dilakukan selama beberapa jam setelah cedera, setelah dilakukan reposisi

atau immobilitas maka pertumbuhan atau penyatuan tulang dimulai dengan

pembentukan kallus.

5. Gejala klinis

Menurut Corwin (2000), gejala klinis fraktur tibia dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Bentuk anggota badan yang diduga patah tampak berubah

b. Patah lengan atau tungkai bawah, menyebabkan anggota gerak tampak lebih

pendek

c. Anggota badan yang patah tidak dapat digerakkan

d. Anggota badan yang patah bila digerakkan akan terasa gesekan tulang

e. Daerah yang patah terasa sakit, bengkak dan berubah warna.

f. Gejala yang pasti ialah bila dibuat foto rontgent.

6. Penatalaksanaan

Menurut Brunner & suddarth (2002). Prinsip penanganan Fraktur meliputi:

a. Reduksi fraktur Adalah Mengembalikan fregmen tulang pada kesejajarannya dan

rotasi anatomis

b. Imobolisasi fraktur Adalah mempertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang

benar sampai terjadi penyatuan, imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi ekterna

dan interna.

c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi adalah segala upaya diarahkan pada

penyembuhan tulang dan jaringan lunak, reduksi dan imobilisasi harus dipertahan

kan sesuai dengan kebutuhan.

Page 18: Share

Prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu :

a. Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur

Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anannesis,

pemeriksaan kelinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan :

lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik yang sesuai untuk pengobatan,

komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.

b. Reduction : tujuannya untuk mengembalikan panjang & kesegarisan tulang. Dapat

dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri

dari penggunaan traksimoval untuk menarik fraktur kemudian memanupulasi untuk

mengembalikan kesegarisan normal/dengan traksi mekanis.Reduksi terbuka

diindikasikan jika reduksi tertutup gagal/tidak memuaskan. Reduksi terbuka

merupakan alat frusasi internal yang digunakan itu mempertahankan dalam

posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat, skrup dan

plat. Reduction internafixation (orif) yaitu dengan pembedahan terbuka dan

mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk memasukkan skrup/pen

kedalam fraktur yang berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian tulang yang

fraktur secara bersamaan.

c. Retention, imobilisasi fraktur tujuannya mencegah pengeseran fregmen dan

mencegah pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk mempertahankan

reduksi (ektrimitas yang mengalami fraktur) adalah dengan traksi.Traksi

merupakan salah satu pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-

tulang sebagai kekuatan dngan kontrol dan tahanan beban keduanya untuk

menyokong tulang dengan tujuan mencegah reposisi deformitas, mengurangi

fraktur dan dislokasi, mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot,

mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan mengimobilisasi area

spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi yaitu : skin traksi dan skeletal traksi.

Rehabilitation, mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal mungkin

7. Fase Penyembuhan tulang

Menurut Brunner&Suddrath (2002) fase penyembuhan tulang meliputi:

a. Fase Hematoma ; Proses penyembuhan yang terjadi dari proses perdarahan

disekitar patahan tulang, proses ini terjadi secara biologis alami pada setiap

patahan tulang.

b. Fase jaringan fibrosis : Hematoma akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan

fibrosis, jaringan ini yang menyebabkan fregmen tulang saling menempel.

Page 19: Share

c. Fase Pembentukan Kallus : Jaringan fibrosis yang menempel pada patahan tulang

akan membentuk kodroid yang merupakan bahan dasar pembentukan tulang.

d. Osifikasi : Terjadi penulangan total yang disebabkan oleh kallus fibrosa menjadi

kallus tulang

e. Remodelling : Kemampuan tulang unuk menyesuaikan bentuknya seperti bentuk

semula.

C. GIPS

Gips dalam bahasaa latin disebut kalkulus, dalam bahasa ingris disebut plaster of paris ,

dan dalam belanda disebut gips powder. Gips merupakan mineral yang terdapat di alam

berupa batu putih tang mengandung unsur kalsium sulfat dan air.

Gips adalah alat imobilisasi eksternal yang kaku yang di cetak sesuai dengan kontur

tubuh tempat gips di pasang (brunner & sunder, 2000) gips adalah balutan ketat yang

digunakan untuk imobilisasi bagian tubuh dengan mengunakan bahan gips tipe plester

atau fiberglass (Barbara Engram, 1999). Jadi gips adalah alat imobilisasi eksternal yang

terbuat dari bahan mineral yang terdapat di alam dengan formula khusus dengan tipe

plester atau fiberglass. Indikasi pemasangaan gips adalah pasien dislokasi sendi , fraktur,

penyakit tulang spondilitis TBC, pasca operasi, skliosis, spondilitis TBC, dll

1. Jenis-jenis Gips

Kondisi yang ditangani dengan gips menentukan jenis dan ketebalangips yang

dipasang. Jenis-jenis gips sebagai berikut:

a. Gips lengan pendek. Gips ini dipasang memanjang dari bawah siku sampai lipatan

telapak tangan, dan melingkar erat didasar ibu jari.

b. Gips lengan panjang. Gips ini dipasang memanjang. Dari setinggi lipat ketiak

sampai disebelah prosimal lipatan telapak tangan. Siku biasanya di imobilisasi

dalam posisi tegak lurus.

c. Gips tungkai pendek. Gips ini dipasang memanjang dibawah lutut sampai dasar jari

kaki, kaki dalam sudut tegak lurus pada posisi netral,

d. Gips tungkai panjang, gips ini memanjang dari perbatasan sepertiga atas dan

tengah paha sampai dasar jari kaki, lutut harus sedikit fleksi.

e. Gips berjalan. Gips tungkai panjang atau pendek yang dibuat lebih kuat dan dapat

disertai telapak untuk berjalan

f. Gips tubuh. Gips ini melingkar di batang tubuh

Page 20: Share

g. Gips spika.gipsini melibatkan sebagian batang tubuh dan satu atau dua ekstremitas

(gips spika tunggal atau ganda)

h. Gips spika bahu. Jaket tubuh yang melingkari batang tubuh, bahu dan siku

i. Gips spika pinggul. Gips ini melingkari batang tubuh dan satu ekstremitas bawah

(gips spika tunggal atau ganda)

ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR

D. Farmakoterapi

1. Methylprednisolone

a. Definisi

Yaitu suatu glukokortikoid alamiah (memiliki sifat menahan garam (salt

retaining properties)), digunakan sebagai terapi pengganti pada defisiensi

adrenokortikal. Analog sintetisnya terutama digunakan sebagai anti-inflamasi

pada sistem organ yang mengalami gangguan. Glukokortikoid menimbulkan efek

metabolisme yang besar dan bervariasi. Glukokortikoid merubah respon

kekebalan tubuh terhadap berbagai rangsangan.

b. Indikasi

1) Kelainan endokrin : insufisiensi adrenokortikal (hydrocortisone atau cortisone

merupakan pilihan pertama, kombinasi methylprednilosolone dengan

mineralokortikoid dapat digunakan); adrenal hiperplasia kongenital; tiroid non-

supuratif; hiperkalemia yang berhubungan dengan penyakit kanker.

2) Penyakit rheumatik : sebagai terapi tambahan dengan pemberian jangka pendek

pada arthritis sporiatik, arthritis rheumatoid, ankylosing spondilitis, bursitis akut

dan subakut, non spesifik tenosynovitis akut, gouty arthritis akut, osteoarthritis

post-trauma, dan epikondilitis.

3) Penyakit kolagen : systemik lupus eritematosus, karditis rheumatik akut, dan

sistemik dermatomitosis (polymitosis).

4) Penyakit kulit : pemphigus, bullous dermatitis herpetiformis, eritema

multiforme yang berat (Stevens Johnson sindrom), eksfoliatif dermatitis,

mikosis fungoides, psoriaris, dan dermatitis seboroik .

5) Alergi : seasonal atau perenial rhinitis alergi, penyakit serum, asma bronkhial,

reaksi hipersensitif terhadap obat, dermatitis kontak dan dermatitis atopik.

Page 21: Share

6) Penyakit mata : corneal marginal alergi, herpes zooster opthalmikus,

konjungtivitis alergi, keratitis, chorioretinitis, neuritis optik, iritis, dan

iridosiklitis.

7) Penyakit pernafasan : sarkoidosis simptomatik, pulmonary tuberkulosis

pulminan atau diseminasi.

8) Kelainan darah : idiopatik purpura trombositopenia, trombositopenia sekunder

pada orang dewasa, anemia hemolitik, eritoblastopenia, hipolastik anemia

kongenital.

9) Penyakit kanker (Neoplastic disease) : untuk terapi paliatif pada leukemia dan

lympoma pada orang dewasa, dan leukemia akut pada anak.

10) Edema : menginduksi diuresis atau remisi proteinuria pada syndrom nefrotik.

11) Gangguan saluran pencernaan : kolitis ulseratif dan regional enteritis.

12) Sistem syaraf : eksaserbasi akut pada mulitipel sklerosis.

13) Lain-lain : meningitis tuberkulosa.

c. Kontraindikasi

Methylprednisolone dikontraindikasikan pada infeksi jamur sistemik dan pasien

yang hipersentitif terhadap komponen obat.

d. Dosis

Dosis awal bervariasi antara 4–48 mg/hari tergantung pada jenis dan beratnya

penyakit, serta respon penderita. Bila telah diperoleh efek terapi yang memuaskan,

dosis harus diturunkan sampai dosis efektif minimal untuk pemeliharaan.

Pada situasi klinik yang memerlukan methylprednisolone dosis tinggi termasuk

multiple sklerosis : 160 mg/hari selama 1 minggu, dilanjutkan menjadi 64 mg/hari

selama 1 bulan menunjukkan hasil yang efektif.

Jika selama periode terapi yang dianggap wajar respon terapi yang diharapkan

tidak tercapai, hentikan pengobatan dan ganti dengan terapi yang sesuai. Setelah

pemberian obat dalam jangka lama, penghentian obat sebaiknya dilakukan secara

bertahap.

Pemberian obat secara ADT (Alternate-Day Therapy) : adalah rejimen dosis untuk

2 hari diberikan langsung dalam 1 dosis tunggal pada pagi hari (obat diberikan

tiap 2 hari sekali). Tujuan dari terapi ini meningkatkan farmakologi pasien

terhadap pemberian dosis pengobatan jangka lama untuk mengurangi efek-efek

yang tidak diharapkan termasuk supresi adrenal pituitari, keadaan :”Cushingoid”,

simptom penurunan kortikoid dan supresi pertumbuhan pada anak.

Page 22: Share

Pada penderita usia lanjut : Pengobatan pada penderita usia lanjut, khususnya

dengan jangka lama harus direncanakan terlebih dahulu, mengingat resiko yang

besar dari efek samping kortikosteroid pada usia lanjut, khususnya osteoporosis,

diabetes, hipertensi, rentan terhadap infeksi dan penipisan kulit.

Pada anak-anak : Dosis umum pada anak-anak harus didasarkan pada respon

klinis dan kebijaksanaan dari dokter klinis. Pengobatan harus dibatasi pada dosis

minimum dengan periode yang pendek, jika memungkinkan, pengobatan harus

diberikan dalam dosis tunggal secara ADT.

e. Efek samping

Efek samping berikut adalah tipikal untuk semua kortikosteroid sistemik. Hal-hal

yang tercantum di bawah ini tidaklah menunjukkan bahwa kejadian yang spesifik

telah diteliti dengan menggunakan formula khusus.

1) Gangguan pada cairan dan elektrolit : Retensi sodium, retensi cairan, gagal

jantung kongestif, kehilangan kalium pada pasien yang rentan, hipokalemia

alkalosis, hipertensi.

2) Jaringan otot : steroid miopati, lemah otot, osteoporosis, nekrosis aseptik,

keretakan tulang belakang, keretakan pathologi.

3) Saluran pencernaan : ulserasi peptik dengan kemungkinan perforasi dan

perdarahan, pankretitis, ulserasi esofagitis, perforasi pada perut, perdarahan

gastrik, kembung perut. Peningkatan Alanin Transaminase (ALT, SGPT),

Aspartat Transaminase (AST, SGOT), dan Alkaline Phosphatase telah diteliti

pada pengobatan dengan kortikosteroid. Perubahan ini biasanya kecil, tidak

berhubungan dengan gejala klinis lain, bersifat reversibel apabila pemberian

obat dihentikan.

4) Dermatologi : mengganggu penyembuhan luka, menipiskan kulit yang rentan,

petechiae, ecchymosis, eritema pada wajah, banyak keringat.

5) Metabolisme : Keseimbangan nitrogen yang negatif sehubungan dengan

katabolisme protein. Urtikaria dan reaksi alergi lainnya, reaksi anafilaktik dan

reaksi hipersensitif. dilaporkan pernah terjadi pada pemberian oral maupun

parenteral.

6) Neurologi : Peningkatan tekanan intrakranial, perubahan fisik, pseudotumor

cerebri, dan epilepsi.

Page 23: Share

7) Endokrin : Menstruasi yang tidak teratur, terjadinya keadaan „cushingoid“,

supresi pada pitutary-adrenal axis, penurunan toleransi karbohidrat, timbulnya

gejala diabetes mellitus laten, peningkatan kebutuhan insulin atau

hypoglikemia oral, menyebabkan diabetes, menghambat pertumbuhan anak,

tidak adanya respon adrenokortikoid sekunder dan pituitary, khususnya pada

saat stress atau trauma, dan sakit karena operasi.

8) Mata : Katarak posterior subkapsular, peningkatan tekanan intrakranial,

glaukoma dan eksophtalmus.

9) Sistem imun : Penutupan infeksi, infeksi laten menjadi aktif, infeksi

oportunistik, reaksi hipersensitif termasuk anafilaksis, dapat menekan reaksi

pada test kulit.

10)Pemberian obat dalam jangka lama dapat menyebabkan katarak subkapsular,

glaukoma, dan sekunder infeksi okular yang berhubungan dengan jamur dan

virus.

11)Pemberian methylprednisolone dosis tinggi dapat menyebabkan penurunan

tekanan darah, retensi garam dan air, peningkatan ekskresi kalium dan

kalsium, serta menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi jamur, bakteri

dan virus

12)Penderita yang mendapat terapi methylprednisolone jangan diberi vaksinasi

cacar. Vaksinasi lain hendaknya tidak diberikan terutama pada pasien yang

mendapat terapi methylprednisolone dosis tinggi karena adanya kemungkinan

bahaya dari komplikasi neurologik dan berkurangnya respon antibodi.

13)Pemberian obat pada pasien tuberkulosa laten atau reaktivitas tuberkulin, harus

disertai observasi lanjutan karena kemungkinan terjadi reaktivasi dari penyakit

tersebut. Selama terapi jangka panjang, pasien harus diberi khemoprofilaksis.

14)Pemberian pada wanita hamil dan menyusui harus mempertimbangkan

besarnya manfaat dibandingkan resikonya.

15)Penggunaan pada penderita sirosis dan hipotiroid dapat meningkatkan efek

kortikosteroid.

2. Mecobalamin

a. Definisi

Secara Biokimia Mecobalamin adalah Cyanocobalamin yang mengandung co-

enzym basa metil aktif. Mecobalamin berperan dalam reaksi transmetilasi dan

Page 24: Share

merupakan homolog B12 yang teraktif di dalam tubuh yang berpengaruh terhadap

metabolisme asam nukleat, protein dan lemak.

Mecobalamin bekerja memperbaiki jaringan syaraf yang rusak pada gangguan

syaraf seperti: degenerasi dan demielinasi aksonal; juga membantu pematangan

eritroblast, membantu pembelahan eritroblast dan sintesis heme, sehingga dapat

memperbaiki status darah pada anemia megaloblastik.

3. Cefixime

Cefixime kapsul 100 mg

Tiap kapsu mengandung Cefixime trihydrate setara dengan Cefixime.......100 mg

Cefixime sirup kering 100 mg/5mL

Tiap 5 mL suspensi mengandung Cefixime trihydrate setara dengan Cefixime...100

mg

a. Farmakologi

Aktivitas antibakteri

Cefixime memiliki spektrum antibakteri yang luas terhadap mikroorganisme

gram-positif dan gram-negative. Dibandingkan dengan sediaan oral cephalosporin

lain, cefixime khususnya memiliki aktivitas yang poten terhadap organisme gram-

positif seperti Streptococcus sp, Streptococcus pneumoniae, dan gram-negatif

seperti branhamella catarrhalis, Escherichia coli, proteus sp, Haemophillus

influenzae. Cara kerjanya adalah sebagai bakterisidal. Cefixime sangat stabil dan

memiliki aktiitas yang baik terhadap beta-laktamase yang dihasilkan banyak

organisme.

b. Mekanisme Kerja

Cefixime menghambat sintesis dinding sel mikroorganisme. Cefixime memiliki

afinitas yang tinggi untuk pembentukan protein penicillin, dengan tempat aktivitas

yang bervariasi tergantung pada organismenya.

c. Farmakokinetik

Konsentrasi serum

Pemberian Cefixime secara oral dengan dosis tunggal 50, 100, atau 20 mg pada

orang dewasa sehat yang berpuasa, konsentrasi maksimum setelah 4 jam berturut-

turut adalah: 0,69 ; 1,13 dan 1,95 g/mL. Waktu paruh dalam serum antara 2,3 –

2,5 jam.

Page 25: Share

Pemberian cefixime secara oral dengan dosis 1,5 ; 3,0 atau 6 mg (potensi)/kg bb

pada pasien anak-anak yang fungsi ginjal yang normal, maksimum konsentrasi

serum setelah 3-4 jam berturut-turut adalah : 1,14 ;2,01 dan 3,97 g/mL. Waktu

paruh dalam serum adalah 3,2-3,7 jam. 

Penetrasi terhadap jaringan

Penetrasi ke dalam air liur, tonsil, jaringan mukosa sinus maksilaris, sekret

telinga, cairan empedu, dan jaringan kantong empedu sangat baik.

Metabolisme

Tidak ditemukan metabolit antibakteri yang aktif pada serum manusia atau urin.

Eksresi

Cefixime terutama dieksresi melalui ginjal. Peningkatan eksresi urin (lebih dari 12

jam) setelah pemberian oral sediaan 50, 100 atau 200 mg , pada orang dewasa

sehat yang berpuasa, sekitar 20-25%. Konsentrasi maksimum dalam urin berturut-

turut adalah : 42,9 ;62,2 dan 82,7  g/mL setelah 4-6 jam. Peningkatan eksresi

urin (lebih dari 12 jam), setelah pemberian oral sediaan 1,5 ; 3,0 dan 6,0 mg/kg bb

pada pasien anak-anak dengan fungsi ginjal yang normal, sekitar 13-20%

d. Indikasi

Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh

miroorganisme sebagai berikut:

1) Infeksi saluran urin tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Escherichia coli

dan Proteus mirabillis.

2) Otitis media yang disebabkan oleh Haemophillus influenzae (beta-laktamase

strain positif dan negatif), moraxella (Branhamella) catarrhalis (umumnya

yang termasuk beta-laktamase strain positif) dan Streptococcus pyogenes.

3) Faringitis dan tonsillitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.

4) Bronkhitis akut dan eksaserbasi akut bronkhitis kronik yang disebabkan oleh

Streptococcus pneumoniae dan Haemophillus influenzae (beta-laktamase

strain negatif dan positif).

5) Pengobatan demam tifoid pada anak dengan multi-resisten terhadap

pengobatan standar.

e. Dosis dan cara pemberian

1) Untuk orang dewasa dan anak dengan berat badan, > 30 kg : dosis yang

dianjurkan adalah 50-100 mg (potensi), 2 kali sehari. Dosis harus disesuaikan

dengan umur, berat badan dan kondisi pasien. Pada infeksi yang berat atau

Page 26: Share

dapat berinteraksi, dosis dapat ditingkatkan menjadi 200 mg (potensi), 2 kali

sehari.

2) Cefixime suspensi 100 mg (potensi) : dosis umum untuk anak-anak adalah 1,5

- 3 mg (potensi)/kg, 2 kali sehari. Dosis harus disesuaikan terhadap kondisi

pasien. Untuk infeksi yang berat atau dapat berinteraksi, dosis dapat

ditingkatkan menjadi 6 mg (potensi)/kg, 2 kali sehari.

3) Pada anak-anak, otitis media harus diobati dengan sediaan suspensi. Studi

klinik pada otitis media menunjukkan bahwa pada pemberian dosis yang sama,

sediaan suspensi memberikan hasil kadar puncak dalam darah yang lebih

tinggi dibandingkan dengan sediaan tablet. Oleh karena itu pada pengobatan

otitis media pengoabatan dengan sediaan suspensi tidak boleh diganti dengan

sediaan tablet.

4) Demam tifoid pada anak-anak : 10-15 mg/kg/hari selama 2 minggu.

5) Pasien dengan kerusakan fungsi ginjal memerlukan modifikasi dosis

tergantung pada tingkat kerusakan. Apabila bersihan kreatinin antara 21-60 mg

mL/min atau pasien mendapat terapi hemodialisa, dosis yang dianjurkan

adalah 75% dari dosis standar (misalnya 300 mg sehari). Apabila bersihan

kreaatinin kuran dari 20 mL/min atau pasien mendapat terapi rawat jalan

peritonial dialisaberkelanjutan, dosis yang dianjurkan adalah 50% dari dosis

standar (misalnya 200 mg perhari).

6) Pada kasus overdosis

Lakukan pengosongan lambung karena tidak ada antidot yang spesifik.

Cefixime tidak dapat dihilangkan dari sirkulasi dalam jumlah yang signifikan

oleh proses hemodialisa atau peritoneal dialisa.

f. Perhatian

1) Reaksi hipersensitivitas seperti syok dapat terjadi.

Berikan dengan hati-hati pada :

a) Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap penicillin.

b) Pasien dengan riwayat hipersensitif pribadi atau keluarga, seperti : asma

bronkhial, ruam kulit dan urtikaria.

c) Pasien dengan kerusakan ginjal yang serius.

d) Pasien dengan nutrisi oral yang rendah, pasien yang mendapat nutrisi

parenteral, pasien usia lanjut atau pasien dengan keadaan lemah,

Page 27: Share

pengamatan yang teliti perlu dilakukan pada pasien dengan gejala defisiensi

Vitamin K.

e) Pemberian pada wanita hamil dilakukan hanya bila manfaat lebih besar

dibandingkan resikonya.

f) Pada wanita yang menyusui, harus dipertimbangkan untuk melakukan

penghentian terapi, karena cefixime dieksresikan pada air susu.

g) Manfaat dan keamanan pemberian obat pada anak usia kurang dari 6 bulan,

bayi baru lahir, dan bayi prematur belum ada data.

g. Efek samping:

1) Syok

Pemberian obat harus berhati-hati karena gejala syok dapat terjadi, walaupun

jarang jika ada gejala yang berhubungan seperti perasaan tidak sehat, rasa

tidak nyaman pada ronggamulut, suara pernafasan yang keras, pening,

keinginan buang air besar yang tidak normal, tinnitus atau diaforesis terjadi,

pemberian obat harus segera dihentikan.

2) Hipersensitivitas

Jika timbul gejala hipersensitivitas seperti ruam kulit, urtikaria, eritema,

pruritus atau demam, pemberian obat harus dihentikan dan dilakukan tindakan

perlu.

3) Hematologi

Granulositopenia atau eosinofilia kadang-kadang dapat terjadi.

Trombositopenia jarang terjadi. Pemberian obat harus dihentikan jika

ditemukan gejala abnormalitas. Dilaporkan pernah terjadi anemia hemolitik

pada pemberian cehphem lainnya.

4) Hati

Kadang-kadang terjadi peningkatan GOT, GPT atau alkaline phosphatase.

5) Ginjal

Monitoring berkala fungsi ginjal disarankan untuk dilakukan karena kerusakan

ginjal yang serius seperti insufisiensi ginjal akut dapat terjadi. Jika ditemukan

gejala abnormalitas, hentikan pemberian obat dan lakukan tindakan yang

perlu.

6) Sistem pencernaan

Page 28: Share

Jarang terjadi colitis serius, seperti colitis pseudomonas, yang ditandai adanya

darah pada feses. Nyeri abdominal atau sering diare memerlukan penanganan

segera termasuk muntah, diare, nyeri perut, rasa tidak enak di perut, rasa

terbakar atau anoreksia, mual, kembung dan konstipasi dapat terjadi.

7) Pernafasan

Jarang terjadi intestitial pneumonia atau gejala PIE, yang ditandai dengan

demam, batuk, dispnea, x-ray rongga dada yang abnormal. Jika timbul gejala,

hentikan segera pemberian obat, lakukan tindakan yang perlu seperti

pemberian hormon adrenokortikal.

8) Perubahan flora bakteriJarang terjadi stomatitis dan candidiasis.

9) Defisiensi vitamin

Jarang terjadi defisiensi Vitamin K (seperti hypotrombinemia atau

kecendrungan perdarahan) atau kelompok Vitamin B (seperti glositis,

stomatitis, anoreksia atu neuritis).

10) Lain-lain

Jarang terjadi sakit kepala atau pusing. Dilaporkan penelitian pada bayi tikus

yang diberi 100 mg/kg bb/hari secara oral, mengurangi spermatogenesis.

11) Pengaruh terhadap nilai laboratorium

Hasil positif palsu dapat terjadi pada test gula urin dengna larutan Benedict’s,

larutan fehling dan Clinitest, Positif palsu belum pernah dilaporkan pada

penggunaan Testape.

Direct Coombs test positif dapat terjadi.

h. Kontraindikasi

Pasien dengan riwayat syok atau hipersensitivitas yang disebabkan oleh

komponen dalam obat.

Page 29: Share

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Data Demografi

1. Biodata

Nama : Tn. S (35 tahun)

Diagnosa Medis : SCI Incomplete AIS B SI Setinggi C4

ec Suspect Fraktur C4-C5 ec. Trauma,

Fraktur Tibia 1/3 Medial

Tanggal Masuk : 14 Desember 2012

Tanggal Pengkajian : 17 Desember- 20 Desember 2012

Terapi Medik :

- Mecobalamin

- Methylprednisolon

- Cefixime

B. Keluhan Utama (17 Desember 2012)

Klien mengeluh belum buang air besar selama 4 hari, perut terasa kembung dan begah

C. Riwayat Kesehatan (17 Desember 2012)

1. Riwayat Kesehatan Sekarang

a. Waktu timbulnya penyakit, kapan? Jam?

Saat di rawat di RS

b. Bagaimana awal munculnya? Tiba-tiba? Berangsur-angsur?

Tiba-tiba

c. Keadaan penyakit, apakah sudah membaik, parah, atau tetap?

Saat ini keadaan pasien mulai membaik, nyeri tidak ada, tangan dan kaki

sudah bisa digerakan sedikit

d. Usaha yang dilakukan untuk mengurangi keluhan?

Banyak minum

e. Kondisi saat dikaji

Kesadaran compos mentis, klien kooperatif, klien mengeluh belum BAB

selama 4 hari, perut penuh dan kembung, nafsu makan berkurang karena mual,

BAK dengan DC, klien dengan tirah baring terdapat kelemahan pada ke 4

ekstremitas, terdapat luka dekubitus di punggung kiri dan tumit kanan,

terpasang gips di kaki kiri

Page 30: Share

2. Riwayat Kesehatan yang Lalu

a. Penyakit pada masa anak- anak dan penyakit infeksi yang pernah dialami

Tidak ada masalah

b. Kecelakaan yang pernah dialami

1 bulan yang lalu klien mengalami kecelakaan, klien mengendarai motor

kemudian tertabrak tronton, klien langsung tidak sadar

c. Prosedur operasi dan perawatan rumah sakit

Sebelumnya klien tidak pernah dioperasi, klien di rawat di lantai 1 GPS

d. Allergi

Tidak ada alergi makanan/ obat-obatan/ zat

e. Pengobatan dini

Tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu

3. Riwayat Kesehatan Keluarga

a. Identifikasi berbagai penyakit keturunan yang umumnya menyerang

Ibu klien menderita hipertensi, tetapi klien tidak menderita hipertensi

b. Anggota keluarga yang terkena alergi, asma, hipertensi, penyakit jantung,

TBC, stroke, anemia, hemopilia, arthritis, migrain, DM, kanker, dan gangguan

emosional

Ibu klien menderita hipertensi

c. Buat bagan dengan genogram

Page 31: Share

Ibu klien menderita hipertensi

Istri klien menderita asam urat

D. Riwayat Psikososial

1. Identifikasi klien tentang kehidupan sosialnya

Klien adalah seorang kepala keluarga dan pencari nafkah. Klien memiliki seorang

istri dan 3 orang anak.

2. Identifikasi hubungan klien dengan yang lain dan kepuasan diri sendiri

Klien mampu membina hubungan yang baik dengan keluarga dan lingkungan

sekitarnya. Klien tetap bersyukur dan menerima keadaannya saat ini

3. Tanggapan klien tentang penyakitnya

Klien mulai menerima penyakitnya dan berusaha mengikuti program yang

dianjurkan di RS

E. Riwayat Spiritual

1. Kaji ketaatan klien beribadah dan menjalankan kepercayaannya

Semenjak sakit, klien tidak menjalankan ibadah shalat, karena klien bingung cara

melakukan shalat di tempat tidur

2. Sistem pendukung dalam keluarga

Istri dan anak- anaknya selalu mendampingi klien dan memberikan perhatian/

motivasi pada klien

3. Ritual yang biasa dijalankan

Berdoa

F. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum klien

a. Tanda- tanda dari distres

Tanda-tanda dari distres masih nampak, klien kadang merasa tidak bisa

melakukan apa- apa lagi, akan tetapi klien sudah bisa menerima kondisinya

saat ini dan mempunyai semangat untuk sembuh

b. Penampilan dihubungkan dengan usia

Penampilan sesuai dengan usia

c. Ekspresi wajah, bicara, mood

Klien tampak lemas, bicara pelan

d. Berpakaian dan kebersihan umum

Page 32: Share

Klien tidak mengenakan baju, karena badannya berkeringat. Secaara umum

kebersihan diri klien cukup.

e. Tinggi badan, berat badan, gaya berjalan

Klien belum mampu berjalan

2. Tanda- tanda vital

a. Suhu : 36,5 0 C

b. Nadi :76 x/ menit

c. Pernapasan : 20 x/ menit

d. Tekanan darah: 90/ 60 mmHg

3. Sistem pernafasan

a. Hidung

Tulang hidung simetris, tidak ada pernapasan dengan cuping hidung, tidak ada

polip atau sekret

b. Leher

Tidak ada pembesaran kelenjar, tidak ada tumor

c. Dada

1) Bentuk dada

Normal

2) Perbandingan ukuran anterior-posterior dengan tranversi

Anterior-posterior : transversi = 1:2

3) Gerakan dada kiri dan kanan

Tidak ada gerakan dada, klien menggunakan pernafasan perut

4) Keadaan proxecus xipoideus

Normal

5) Suara nafas

Vesikuler

6) Apakah ada suara nafas tambahan

Tidak ada suara nafas tambahan

d. Clubbing finger

Tidak ada

4. Sistem kardiovaskular

a. Conjungtiva, bibir

Conjungtiva anemis, bibir tidak pucat

b. Ukuran jantung

Page 33: Share

Normal

c. Ictus cordis/ apex

Normal

d. Suara jantung

Bunyi S1 dan S2 normal, tidak ada bunyi suara jantung tambahan

e. Capillary refil

< 3 detik

5. Sistem pencernaan

a. Sklera

Tidak ikterik

b. Bibir

Kering, sedikit pecah-pecah

c. Mulut

Kemampuan menelan baik, mampu menggerakan lidah dengan baik, tidak ada

stomatitis

d. Gaster

Ada kembung, gerakan peristaltik usus lemah

e. Abdomen

Terdapat distensi abdomen, bising usus 4x/ menit lemah

f. Anus

Normal, tidak ada hemmoroid, wink refleks +

6. Sistem indra

a. Mata

1) Kelopak mata, bulu mata, alis, lipatan epikantus dengan ujung atas telinga

Kelopak mata +/+, bulu mata +/+ tebal, alis +/+ tebal

2) Visus

Mampu melihat dengan jelas

3) Lapang pandang

Kemampuan melihat klien masih baik

b. Hidung

1) Penciuman, perih di hidung, trauma, mimisan

Penciuman masih berfungsi baik, tidak ada trauma, tidak ada mimisan

2) Sekret yang menghalangi penciuman

Tidak ada sekret

Page 34: Share

c. Telinga

1) Keadaan daun telinga, operasi telinga

Daun telinga +/+ normal, tidak ada operasi telinga

2) Kanal auditorius

3) Membran tympani

4) Fungsi pendengaran

Baik

7. Sistem saraf

a. Fungsi cerebral

1) Status mental

Daya ingat jangka panjang dan pendek masih baik, orientasi waktu,

tempat, dan orang baik

2) Kesadaran

Compos mentis, GCS : E4M6V5

3) Bicara

Bicara pelan dan agak lambat, penggunaan kalimat baik dan dapat

dimengerti

b. Fungsi kranial

1) Saraf kranial I klien mampu membedakan bau minyak kayu putih

dengan minyak wangi

2) Saraf kranial II klien mampu membaca tulisan pada kertas

3) Saraf kranial III pupil isokor, saat diberi cahaya pupil konstriksi dan

dilatasi saat tidak diberi cahaya

4) Saraf kranial IV klien mampu menggerakan bola mata mengikuti

petunjuk

5) Saraf kranial V klien mampu mengedipkan mata

6) Saraf kranial VI klien mampu membuka dan menutup mata

7) Saraf kranial VII klien mampu mengerutkan dahi dan senyum simetris

8) Saraf kranial VIII klien mampu mendengar dengan baik

9) Saraf kranial IX klien mampu membedakan antara manis dan asin

10) Saraf kranial X klien mampu menelan

11) Saraf kranial XI klien mampu menggerakkan bahu ke atas dan mampu

melawan tahanan

12) Saraf kranial XII klien mampu menggerakkan lidahnya

Page 35: Share

c. Fungsi motorik

Terdapat kelemahan pada ke empat ekstremitas

Nilai kekuatan otot :

1411 1141

1111 NT

d. Fungsi sensorik

Fungsi sensorik +/+

Key point sensory :

C1- C4 = 2

C5-C8 = 1

T1-T6 =2

T7-T9 = 1

T10-T12 = 0

S1-S2 =

e. Refleks ekstremitas atas +/+

Ekstremitas bawah +/ NT (gips)

f. Iritasi meningen tidak terkaji

8. Sistem muskuloskeletal

a. Kepala (bentuk kepala) : Normochepal, rambut terdistribusi merata di kepala,

di dahi, dan dagu bawah ada luka jaitan

b. Vertebrae (gerakan, bentuk, ROM) : Normal

c. Pelvis : tidak ada fraktur

d. Lutut : kaki kiri pada tibia sinistra terdapat fraktur

Pada hasil rotgen terdapat fraktur terbuka tibia sinistra 1/3 medial, terpasang

gips dengan luka pada fraktur grade III B

e. Kaki : kaki mengalami kelemahan, ROM pasif

f. Bahu : normal, simetris

g. Tangan : terdapat kelemahan pada kedua tangan dengan kekuatan otot 1411|

1141

h. Kemampuan aktivitas : ADL dibantu total

i. Tonus otot : lemah

j. Kekuatan otot: 1411 1141

1111 NT

Page 36: Share

9. Sistem integumen

a. Rambut : warna hitam terdistribusi dibagian tubuh, kebersihan kurang

b. Kulit : perubahan warna (-), kulit kering, terdapat luka dekubitus pada bagian

tumit kanan dengan grade III dan mid aksila sinistra dengan grade II

c. Kuku : warna putih kemerahan, sianosis (-)

10. Sistem endokrin

a. Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran

b. Percepatan pertumbuhan : tidak ada masalah

c. Gejala kreatinisme atau gigantisme : tidak ada masalah

d. Ekskresi urine berlebih : ekskresi urin dengan DC

e. Suhu tubuh yang tidak seimbang, keringat berlebihan, leher kaku : suhu

tubuh naik turun (kadang normal,kadang tinggi), ada keringat

f. Riwayat bekas air seni dikelilingi semut : tidak pernah

11. Sistem perkemihan

a. edema palpebra : tidak ada pembesaran

b. moon face : tidak ada

c. edema anasarka: tidak ada

d. keadaan kandung kemih : distensi kandung kemih, tidak ada keinginan

untuk buang air kecil, klien terpasang DC, dan mulai dilakukan ICP pada

tanggal 20 desember 2012

e. Nocturia,dysuria, kencing batu : tidak ada

f. Penyakit hubungan sexual : tidak ada

12. Sistem reproduksi

a. Keadaan gland penis (urethra) : normal, tidak ada pembengkakan

b. Testis (sudah turun/belum) : normal

c. Pertumbuhan rambut (kumis, janggut, ketiak) : normal, terdapat

pertumbuhan rambut di kumis, janggut dan ketiak

d. Pertumbuhan jakun : normal

e. Perubahan suara : ada perubahan suara dari remaja menjelang dewasa

13. Sistem imun

a. Allergi : tidak ada alergi

b. Imunisasi : tidak diimunisasi

Page 37: Share

c. Penyakit yabg berhubungan dengan cuaca : tidak ada

d. Riwayat tranfusi dan reaksinya : tidak ada

G. Aktivitas Sehari-hari

1. Nutrisi

a. Selera makan : kurang

b. Menu makan dalam 24 jam : nasi, lauk, dan sayur

c. Frekuensi makan dalam 24 jam : 3x/hari, klien hanya makan sedikit (1x

makan menghabiskan 3-4 sendok maka)

d. Makanan yang disukai dan makanan pantangan :

e. Pembatasan pola makanan : tidak ada

f. Cara makan : dibantu oleh istri, alat makan yang diberikan dari rumah sakit

g. Ritual sebelum makan : tidak ada ritual khusus

2. Cairan

a. Jenis minuman yang dikonsumsi dalam 24 jam : air putih dan susu

b. Frekuensi minum : 8-10x/hari (sekitar 2 liter)

c. Kebutuhan dalam 24 jam : 2500 cc

3. Eliminasi (BAK&BAB)

a. Tempat pembuangan :

kondisi saat ini, untuk buang air kecil klien menggunakan dower cateter

sementara selama di rawat klien belum buang air besar.

b. Frekuensi?kapan?teratur? :

belum BAB selama 4 hari dan BAK terpasang D/C

c. Konsistensi :

BAB = Lembek dan sedikit

BAK = Kuning dan keruh

d. Kesulitan dan cara menangani : untuk memperlancar BAB klien mengatasinya

dengan cara minum banyak air putih, sementara cara untuk menangani BAK

klien masih terpasang D/C

e. Obat obatan untuk memperlancar Bab dan Bak : untuk memperlancar BAB

klien diberikan obat Laksadin.

4. Istirahat Tidur

a. Apakah cepat tertidur : klien sulit tidur

b. Jam tidur (siang /malam) : malam : klien tidur malam selama 6 jam namun

setiap 2 jam selalu di bangunkan untuk dilakukan posturing, siang : 2 jam.

Page 38: Share

c. Bila tidak tidur apa yang dilakukan : memejamkan mata

d. Apakah tidur secara rutin : iya

5. Olahraga

a. Progam olahraga tertentu : Latihan ROM oleh fisioterapi

b. Berapa lama melakukan dan jenisnya : ROM pasif pada keempat ekstremitas.

c. Perasaan setelah melakukan olahraga : merasa lebih segar dan enak.

6. Rokok/ Alkohol dan Obat obatan

a. Apakah merokok? Jenis? berapa banyak? sebelum di rumah sakit klien merokok

1 bungkus perhari.

b. Apakah minum minuman keras? berapa minum/hari/minggu? Jenis minuman?

Apakah banyak minum ketika stress? Apakah minum minuman keras

mengganggu presentasi kerja? Klien tidak mengkonsumsi minuman keras.

c. Kecanduan kopi, alcohol, the atau minuman ringan? berapa banyak per hari ?

tidak ada kecanduan terhadap minuman tertentu.

d. Apakah mengkonsumsi obat dari dokter? Marihuana, pil tidur, obat bius? Klien

tidak mengkonsumsi obat.

7. Personal Hygiene

a. Mandi (frekuensi, cara, alat mandi, mandiri atau dibantu?) ; 2x/hari di bantu.

b. Cuci rambut : selama di RS belum pernah cuci rambut

c. Gunting kuku : 1x/mingggu

d. Gosok gigi : klien tidak bisa gosok gigi sendiri, oral hyginene dibantu perawat 1

kali per hari.

8. Aktivitas/ mobilitas fisik

a. Kegiatan sehari-hari : klien hanya tirah baring di tempat tidur, semua ADL

dibantu

b. Pengaturan jadwal harian : mengikuti kegiatan di RS

c. Penggunaan alat bantu untuk aktivitas : kedua tangan dan kaki terdapat

kelemahan dan gangguan fungsi dan saat pengkajian belum dibuatkan alat

bantu fungsional

d. Kesulitan pergerakan tubuh : masih kesulitan untuk menggerakkan ke 4

ekstremitasnya

9. Rekreasi

a. Bagaimana perasaan anda saat bekerja : lelah, tapi klien senang

Page 39: Share

b. Berapa banyak waktu luang : hanya malamdan pada hari minggu

c. Apakah puas setelah rekreasi : iya, tapi jarang

d. Apakah anda dan keluarga menghabiskan waktu senggang : menghabiskan

waktu di rumah

e. Bagaimana perbedaan hari libur dan hari kerja : hari libur lebih santai, hari

kerja lebih lelah

H. Tes Diagnostik

1. Laboratorium RSUP Fatmawati

Tanggal Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

20/12/12 Hematologi

Hemoglobin

Eritrosit

KHER

11.5

3.86

31.6

g/dl

juta/uL

g/dl

13.2 – 17.3

9.40 – 5.90

32.0 – 36.0

14/12/12 Urinalisa

Urobilinogen

Keton

Leukosit

Darah/ Hb

8.0

Trace

2+

3+

E.U./dl <1

Negatif

Negatif

Negatif

17/12/12 Protein urin

Sedimen urin

Leukosit

Eritrosit

Bakteri

2+

>50

15-20

Positif

/LPB

/LPB

Negatif

0-5

0-2

negatif

20/12/12 Biakan MO

Bahan : Pus

Pseudomonas

aeruginosa

2. Ro Foto

Terdapat fraktur terbuka tibia sinistra 1/3 medial

I. Terapi Saat Ini

1. Mecobalamin 3x1

2. Methylprednisolon 3x1

3. Cefixime 2x1

Page 40: Share

DATA FOKUS

NAMA PASIEN : Tn. SA

DATA OBJEKTIF DATA SUBJEKTIF

1. Tingkat hambatan mobilisasi klien

adalah 4

2. Klien terlihat berbaring saja ditempat

tidur

3. Pada pemeriksaan radiologi di RSUP

Fatmawati klien mengalami spinal

cord injury incomplete AIS B SI

setinggi c4-c5

4. Pada pemeriksaan key point sensory

nilai pada c5-c8 adalah 1

5. Nilai kekuatan otot

1411 1141

1111 NT

6. Pada hasil rontgen terdapat fraktur

ditibia sinistra 1/3 media

7. Terlihat luka dekubitus pada

permukaan kulit di midaksila sinistra

dengan grade II dan di tumit kanan

dengan grade III

8. Karakteristik luka

Midaaksila sinistra

9. Luas luka: 3x5 cm

10. Warna dasar luka 90% merah muda,

10% hitam (pada tepian luka), bau (-),

hangat (-), eksudat (-)

Tumit kanan

11. Luas luka 3x3 cm

12. Warna dasar luka 10% merah muda,

90% hitam, kulit tampak

Klien mengatakan:

1. Semenjak kecelakaan lalu lintas 1 bulan

yang lalu klien tidak dapat

menggerakkan kaki dan tangannya

2. Klien hanya tiduran ditempat tidur

3. Semua aktivitas klien dibantu

4. Ada luka dipunggung karena kelamaan

tidur

5. Klien belum bisa BAB sejak 4 hari yang

lalu

6. Perut terasa kembung dan begah

7. Klien merasa mual

8. Sebelum sakit BAB setiap hari

9. Tidak bisa mengeluarkan air kencing

sendiri

10. Nyeri sudah tidak ada

Page 41: Share

menggelembung bau (-), hangat (-),

eksudat (-)

13. Bising usus 4x/menit, lemah

14. Abdomen teraba keras

15. Karakteristik feses: konsistensi keras

sedikit

16. Teraba skibala

17. Klien bedrest

18. Ada distensi kandung kemih

19. Pada pengkajian awal klien terpasang

DC, kemudian pada tanggal 20/12/12

DC dilepas, klien menggunakan ICP

20. S : 38,0 ; pada tanggal 20 Desember

2012 didapatkan luka pada fraktur

yang digips

21. Luas luka : 3x3 cm dengan kedalaman

3 cm, eksudat 4 cc berwarna kuning

kemerahan

22. Warna dasar luka merah 70%, putih

20%, kuning 10%, hangat (+),

bengkak sekitar luka (+)

23. pada tanggal 20/12/12 dilakukan

pemerikasaan biakan MO pada pus di

luka fraktur didapatkan hasil :

terdapat pseudomanas aeruginosa

24. Dan pada pemeriksaan Mikroskopis

didapatkan hasil : gram – batang

ditemukan, leukosit : 3-8/ LPB

Page 42: Share

DIAGNOSA KEPERAWATAN

NAMA PASIEN : Tn. SA

DIAGNOSA KEPERAWATAN TGL. DITEMUKAN

1. Retensi urin b.d kerusakan

neuromuscular

2. Konstipasi b.d immobilisasi

3. Kerusakan integritas kulit b.d

imobilisasi fisik

4. Gangguan mobilitas fisik b.d

kerusakan neuromuscular

5. Resiko penyebaran infeksi b.d

fraktur terbuka pada tibia sinistra

17 Desember 2012

17 Desember 2012

17 Desember 2012

17 Desember 2012

20 Desember 2012

Page 43: Share

ANALISA DATA

NAMA PASIEN : Tn. SA

NO DATA PROBLEM ETIOLOGI

1. Data subjektif

Klien mengatakan:

Belum bisa BAK sendiri,

keinginan berkemih belum

ada

Data Objektif

Klien belum mampu

mengeluarkan urin sendiri

Teraba distensi pada kandung

kemih

Kklien terpasang DC sejak

masuk di lantai 4 GPS

Riwayat kecelakaan dengan

spinal cord injury

Hasil lab urin pada tgl 14

Desember 2012 di fatmawati

terdapat gram negative batang,

leukosit 1-2/ LPB

Urinalisa pada tanggal 14

desember 2012 didapatkan

hasil:

Urobilinogen 8,0 E.U/dl

Keton race

Leukosit 2+

Darah /Hb 3+

Protein urin 2+

Sedimen urin: leukosit >

50/LPB, eritrosit 15-20

Retensi urin Kerusakan

neuromuscular

Page 44: Share

/LPB, bakteri positif

2. Data subjektif

Klien mengatakan:

Sejaka kecelakaan 1 bulan

yang lalu klien tidak

mampu menggerakan

keempat ekstremitasnya

Klien hanya tiduran dan

semua aktivitas klien

dibantu

Data objektif

Tingkat hambatan

mobilisasi adalah 4

Klien terlihat bedrest

Pada pemeriksaan key

point sensory nilai pada c5-

c8 adalah 1

Pada pemeriksaan radiologi

di RSUP Fatmawati klien

mengalami spinal cord

injury incomplete AIS B SI

setinggi c4-c5

Nilai kekuatan otot

1411 1141

1111 NT

Pada hasil rontgen

didapatkan hasil terdapat

fraktur tibia sinisttra 1/3

media

Gangguan

mobilitas fisik

Kerusakan

neuromuskular

3. Data subjektif

Klien mengatakan:

Belum bisa BAB selama 4

konstipasi Imobilisasi

Page 45: Share

hari sejak dirawat di lt 4 GPS

Sebelum sakit klien BAB

setiap hari

Perut terasa begah

Klien tidak merasakan

keinginan untuk BAB

Data objektif

Bising usus 4x/menit,lemah

Abdomen bawah teraba

keras, terasa skibala

Karaktersitik fese: keras dan

sedikit

Klien bedrest

4. Data subjektif

Klien mengatakan:

Ada luka dipunggung

karena 1 bulan lebih tidak

bisa bangun dari tempat

tidur

Ada luka ditumit kanan

Kulit kering

Data objektif

Terlihat luka dekubitus pada

permukaan kulit di midaksila

sinistra dengan grade II dan di

tumit kanan dengan grade III

Karakteristik luka

Midaaksila sinistra :

Luas luka: 3x5 cm, Warna

dasar luka 90% merah muda,

10% hitam (pada tepian luka),

Kerusakan

integritas kulit

Imobilisasi fisik

Page 46: Share

bau (-), hangat (-), eksudat (-)

Tumit kanan:

Luas luka 3x3 cm,Warna dasar

luka 10% merah muda, 90%

hitam, kulit tampak

menggelembung bau (-),

hangat (-), eksudat (-).

5. Data subjektif

Klien mengatakan:

Suhu tubuh berubah-

ubah selama 3 hari

belakangan kadang

normal dan kadang

demam

Data objektif

Pada tanggal 20

desember 2012:

Suhu: 38,0 derajat: ada luka

pada area fraktur terbuka

(tibia sinistra) yang digips

Karakteristik luka:

Luas luka: 3x3 cm

Kedalaman 3 cm

Eksudat 4 cc

berwarna kuning

kemerahan

Warna luka 70%

merah, 20% putih,

10% kuning

Hangat (+), bengkak

(+)

pada tanggal

20/12/12 dilakukan

Resiko penyebaran

infeksi

Fraktur terbuka

pada tibia sinistra

Page 47: Share

pemerikasaan biakan

MO pada pus di luka

fraktur didapatkan

hasil : terdapat

pseudomanas

aeruginosa

Dan pada

pemeriksaan

Mikroskopis

didapatkan hasil :

gram – batang

ditemukan, leukosit :

3-8/ LPB

Page 48: Share

Daftar Pustaka

Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 .

Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk

perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC

www.Asia-spinalinjury.org