SKRIPSI PROSES ADAPTASI MAHASISWA TERHADAP CULTURE …
Transcript of SKRIPSI PROSES ADAPTASI MAHASISWA TERHADAP CULTURE …
SKRIPSI
PROSES ADAPTASI MAHASISWA TERHADAP CULTURE SHOCK
(Studi Deskriptif pada Mahasiswa Bima di Unismuh Makassar)
Disusun dan diusulkan oleh
UMRAH DEA SAHBANI
Nomor Stambuk: 105650000315
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
ii
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Komunikasi
Disusun dan diusulkan oleh:
UMRAH DEA SAHBANI
Nomor Stambuk: 105650000315
Kepada
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
PERSETUJUAN
Proses Adaptasi Mahasiswa Terhadap
Culture Shock (Studi Deskriptif pada
Judul Skripsi
Mahasiswa Bima di Unismuh Makassar)
Nama Mahasiswa : Umrah Dea Sahbani
Nomor Stambuk 1056500003 15 Program Studi : Imu Komunikasi
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Wardah S.Sos, M.A NIDN: 0912088601
Arni, S.Kom, M.I.Kom NIDN: 0930078204
Mengetahui:
Dekan Ketua Jurusan
Fisipol Unismuh Makassar Tlmu Komunikasi
Dr. Hi. Ihvani Malik, S.Sos, M.Si Dr. H. Muh. Tahir, M.Si NBM: 730 727 NBM:811 413
PENERIMAAN TIM
Telah diterima oleh T'im Penguji Skripsi Fakultas lImu Sosial dan llmu Politik
Universitas Muhammadiyah Makassar, berdasarkan Surat Keputusan/undangan
menguji ujian skripsi Dekan Fisip Universitas Muhammadiyah Makassar, dengan
Nomor: 0171/FSP/A.3-VIII/IV/42/2021 sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana (S.I.Kom) dalam Program Studi Imu Komunikasi di
Makassar pada hari Rabu, 28 April 2021.
TIM PENILAI
Ketua Sekretaris
Dr. Hi. Thvani Malik,S.Sos., M.Si DE. Burhanuddin, S,Sos. V,ST NBM: 730727 NBM: 1084366
Penguji
1. Dr. Amir Muhiddin, M.Si (Ketua)
2. Dra. Diana Rina M, M.Si
3. Ahmad Syarif, S.Sos, M.I.Kom (
4. Arni, S.Kom, M.I.Kom
IV
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Umrah Dea Sahbani
Nomor Stambuk : 105650000315
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa
bantuan dari pihak lain atau telah ditulis/dipublikasikan orang lain atau melakukan
plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
sesuai aturan yang berlaku, sekalipun itu pencabutan gelar akademik.
Makassar, April 2021
Yang Menyatakan,
Umrah Dea Sahbani
vi
ABSTRAK
Umrah Dea Sahbani, Arni dan Wardah. Proses Adaptasi Mahasiswa
Terhadap Culture Shock (Studi Deskriptif Pada Mahasiswa Bima di
Unismuh Makassar)
Perbedaan budaya dapat menimbulkan culture shock pada pihak-pihak yang
terlibat dalam komunikasi antarbudaya. Mahasiswa asal Bima menjadi salah satu
contoh mahasiswa yang mengalami culture shock sejak memutuskan kuliah di
Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses adaptasi mahasiswa
Bima terhadap culture shock di Unismuh Makassar serta hambatan yang diperoleh
dalam proses adaptasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif, sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sekunder
dengan jumlah informan sebanyak 5 orang mahasiswa. Teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang
digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Keabsahan
data yang digunakan yaitu triangulasi sumber dan triangulasi waktu.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan kondisi yang dialami
masing-masing mahasiswa Bima dalam lima fase adaptasi budaya. Perbedaan
kondisi sosial budaya mengakibatkan mahasiswa mengalami culture shock di
Makassar. Namun mahasiswa memilih bertahan dan menghadapi segala kondisi
yang ada, sehingga secara keseluruhan semua mahasiswa mampu beradaptasi di
lingkungan budaya baru. Adapun hambatan dalam proses adaptasi mahasiwa
Bima berasal dari dalam diri dan lingkungan.
Kata Kunci: Komunikasi Antarbudaya, Adaptasi, Culture Shock
vii
KATA PENGANTAR
Tiada kata indah yang patut diucapkan seorang hamba kepada Sang
Pencipta atas segala cinta kasih-Nya yang tak terhingga dan nikmat-Nya yang tak
berujung sehingga kita mampu melewati hari-hari yang penuh makna dan
memberi kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Proses Adaptasi Mahasiswa Terhadap Culture Shock (Studi Deskriptif Pada
Mahasiswa Bima di Unismuh Makassar)”. Shalawat dan salam senantiasa tercurah
kepada Rasulullah SAW yang mengantarkan manusia ke zaman yang terang
benderang ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian penulisan skripsi ini dapat
terwujud atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang telah tulus
memberikan sumbangsih berupa fikiran, motivasi dan nasehat. Untuk semua itu
dengan kerendahan hati pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
Teruntuk orang tua penulis, Bapak Junaedi dan Ibu Tati, terima kasih telah
membesarkan dan sabar dalam mendidik penulis dengan penuh cinta serta
senantiasa mendukung setiap keputusan penulis serta tak pernah menyerah dalam
memotivasi dan selalu mendoakan penulis yang tiada henti-hentinya. Terima
kasih untuk ketiga saudara penulis, Umy Dzulhijjah, M. Uyuun Abdil Syawal, M.
Uznul Rabiul Awal yang juga selalu menyemangati penulis dalam proses
penyusunan penelitian ini.
viii
Selanjutnya pada kesempatan ini, tidak lupa penulis menyampaikan ucapan
terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan
semangat dan bantuannya, terutama kepada:
1. Ibu Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
2. Bapak Dr. H. Muh. Tahir, M.Si, selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
3. Ibu Arni, S.Kom., M.Ikom., selaku Pembimbing I, dan Ibu Wardah,
S.Sos., M.A selaku Pembimbing II yang selalu membantu dan
mengarahkan penulis ditengah kesibukannya sebagai tenaga pengajar dan
kesibukan lainnya. Beliau selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk
penulis selama proses penyusunan skripsi ini. Penghargaan setinggi-
tingginya kepada beliau atas dedikasinya sebagai pembimbing yang telah
menjadi panutan bagi penulis.
4. Seluruh Bapak/Ibu dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan pengetahuan yang sangat
bermanfaat selama masa perkuliahan.
5. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman seperjuanganku
sekaligus sahabatku, Z4/8: Sya, Inun, Kebo, Eca, Bale, Binbin, dan Abang
Arqo yang selalu memberikan doa dan dukungan serta telah menjadi
sahabat yang baik untuk penulis.
ix
6. Terima kasih juga untuk saudari-saudariku yang tercinta, Inda, Rika, Kim,
Piyu, Abe, Bomlak atas doa dan dukungan yang senantiasa diberikan
kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan penulis. Penulis
mengharapkan kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca guna menambah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan Ilmu
Komunikasi. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan semua orang yang telah
hadir dalam hidup penulis.
Billahi Fii Sabililhaq Fastaabiqul Khairat
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Makassar, April 2021
Penulis,
Umrah Dea Sahbani
x
DAFTAR ISI
SAMPUL
HALAMAN PENGAJUAN SKRIPSI ................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...........................................................................iii
PENERIMAAN TIM .........................................................................................iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ..........................v
ABSTRAK ........................................................................................................vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................vii
DAFTAR ISI .....................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ..xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... .xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................5
D. Kegunaan Penelitian ......................................................................5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu .......................................................................7
B. Konsep dan Teori ...........................................................................8
1. Komunikasi Antarbudaya ..........................................................8
2. Adaptasi Budaya .......................................................................13
3. Culture Shock ...........................................................................16
C. Kerangka Pikir ...............................................................................20
xi
D. Fokus Penelitian .............................................................................20
E. Definisi Fokus Penelitian ................................................................20
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ..........................................................23
B. Jenis dan Tipe Penelitian ................................................................23
C. Sumber Data ...................................................................................23
D. Informan Penelitian ........................................................................24
E. Teknik Pengumpulan Data ..............................................................25
F. Teknik Analisis Data ......................................................................27
G. Pengabsahan Data...........................................................................28
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...............................................29
1. Sejarah Pendirian ......................................................................29
2. Visi ...........................................................................................31
3. Misi ..........................................................................................33
4. Tujuan ......................................................................................33
5. Sasaran .....................................................................................34
6. Kebijakan Strategis ...................................................................34
7. Budaya Organisasi ....................................................................35
8. Prinsip ......................................................................................38
9. Struktur Organisasi ...................................................................39
10. Profil Fakultas dan Program Studi.............................................40
B. Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock ....41
C. Hambatan Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap
Culture Shock ................................................................................73
D. Pembahasan ....................................................................................78
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................89
B. Saran ..............................................................................................90
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................92
LAMPIRAN
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Universitas Muhammadiyah Makassar ............39
Gambar 4.2. Profil Fakultas dan Program Studi Unismuh Makassar ...................40
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Fase Perencanaan dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock .....................................................................................45
Tabel 4.2. Fase Honeymoon dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock .....................................................................................48
Tabel 4.3. Fase Frustation dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock .....................................................................................59
Tabel 4.4. Fase Readjustment dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock .....................................................................................67
Tabel 4.5. Fase Resolution dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock .....................................................................................71
Tabel 4.6. Hambatan Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture
Shock .................................................................................................................77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kesatuan yang dihuni dengan keanekaragaman
serta kekayaan. Ada berbagai suku bangsa, ras, daerah dan kepercayaan.
Indonesia juga terdiri dari berbagai adat dan budaya daerah yang tersebar
diberbagai wilayah dengan keadaan geografis yang berbeda pula. Keragaman
tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak lagi keberadaannya.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk, dimana
anggota masyarakat terdiri dari beragam kebudayaan. Keberagaman budaya
tersebut menimbulkan perbedaan dalam kelompok masyarakat yang akan lebih
mudah dipahami apabila terdapat proses komunikasi di dalamnya. Pola
komunikasi yang memungkinkan terjadi dalam proses interaksi tersebut tidak
lain ialah komunikasi antarbudaya.
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu
kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-
nilai, adat, kebiasaan (Steward dalam Daryanto, 2016:207). Dalam menjalani
proses komunikasi antarbudaya, pihak-pihak yang berkomunikasi dapat
mengalami keterkejutan budaya karena perbedaan budaya tersebut.
Keterkejutan terhadap suatu budaya dialami seseorang khususnya ketika hidup
dalam lingkungan kebudayaan yang baru. Kondisi ini disebut dengan culture
shock.
2
Istilah culture shock pertama diperkenalkan oleh seorang antropolog
Canada bernama Calervo Oberg pada tahun 1960. Culture shock disebut
sebagai kondisi yang dialami oleh individu ketika hidup di luar lingkungan
kulturnya yang berbeda dari kulturnya sendiri dalam usaha menyesuaikan diri
terhadap lingkungan baru. Culture shock ditandai dengan adanya perasaan
cemas dan perasaan bingung tentang hal-hal yang harus dilakukan serta cara
melakukan sesuatu karena seseorang kehilangan tanda dan lambang dalam
pergaulan sosial (Ridwan, 2016:197).
Culture shock sering dikaitkan dengan fenomena saat seseorang memasuki
suatu budaya baru yang bukan hanya identik dengan negara asing tetapi bisa
pula merujuk pada agama baru, lembaga pendidikan baru, lingkungan kerja
baru bahkan keluarga baru. Culture shock dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai kejutan budaya. Keterkejutan terhadap suatu budaya akan dialami oleh
individu saat memasuki kehidupan baru dengan suasana, tempat, serta
kebiasaan yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Hal tersebut merupakan
hal yang lazim dikarenakan individu tersebut telah lama hidup disuatu tempat
dan telah terbiasa dengan budaya yang ada di tempat asalnya.
Contoh culture shock paling sederhana adalah multikulturalnya mahasiswa
pada suatu universitas. Mahasiswa yang ada di setiap universitas tentu berasal
dari daerah yang berbeda-beda, baik berasal dari dalam Indonesia maupun luar
Indonesia, baik dari dalam daerah maupun luar daerah. Seperti yang terjadi
pada salah satu universitas di kota Makassar yaitu Universitas Muhammadiyah
Makassar (Unismuh Makassar). Mahasiswa Unismuh yang tersebar diberbagai
3
fakultas berasal dari daerah yang berbeda-beda dan tentunya mereka memiliki
latar belakang budaya yang berbeda pula. Salah satu kelompok mahasiswa
yang berasal dari luar daerah di Unismuh yaitu mahasiswa yang berasal dari
Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Mahasiswa aktif asal Bima di Unismuh sendiri hingga tahun 2020
diketahui berjumlah 33 orang. Mahasiswa yang berasal dari Bima menjadi
salah satu contoh mahasiswa yang mengalami culture shock sejak memutuskan
kuliah dan tinggal di Makassar. Perbedaan budaya antara daerah asal mereka
yaitu Bima dengan lingkungan baru mereka yaitu Makassar menyebabkan
mereka mengalami culture shock. Hal tersebut tentu saja dapat terjadi
dikarenakan setiap daerah memiliki budaya yang berbeda seperti dari segi
bahasa keseharian, kebiasaan masyarakat, adat istiadat serta nilai-nilai yang
dianut di daerah tersebut.
Pernyataan tentang culture shock yang dialami mahasiswa Bima diperoleh
berdasarkan hasil pra penelitian peneliti terhadap beberapa mahasiswa Bima,
dimana para mahasiswa adalah orang-orang yang sebelumnya belum pernah
berkunjung ke Kota Makassar dan sama sekali belum mengetahui kondisi
sosial budaya kota Makassar. Mereka mengungkapkan bahwa mereka
mengalami culture shock sejak tahun pertama kuliah. Salah satu mahasiswa
Bima angkatan 2018 bernama Rajak mengungkapkan bahwa benturan keadaan
sosial budaya yang berbeda secara perlahan mempengaruhi kondisi
psikologisnya, baik dari segi bahasa, pergaulan, serta kebiasaan kultural
masyarakat kota Makassar.
4
Mahasiswa Bima lainnya bernama Yuliana angkatan 2016
mengungkapkan bahwa perbedaan budaya dari segi bahasa, pergaulan, bahkan
sampai makanan menjadi faktor yang membuatnya mengalami culture shock.
Ia yang sebelumnya sama sekali tidak mengetahui pola-pola budaya di
Makassar membuatnya cukup terkejut setelah memutuskan kuliah di Makassar.
Baginya, hampir semua yang ia temukan di Makassar adalah hal yang baru.
Contoh dalam segi bahasa yaitu penggunaan kata ganti yang umumnya
digunakan masyarakat Makassar yang menurutnya membingungkan karena di
Bima tidak terdapat hal tersebut, serta dialek dan penggunaan diksi tertentu
yang membuatnya terkadang salah dalam menginterpretasikan makna dalam
komunikasi.
Timbulnya masalah culture shock tersebut memicu persoalan penyesuaian
diri mahasiswa atau yang biasa disebut dengan proses adaptasi. Adaptasi
merupakan upaya yang dilakukan setiap individu agar dapat menyatu dengan
segala kondisi di lingkungan baru, demikian pula bagi para mahasiswa asal
Bima. Setelah memutuskan keluar dari lingkungan hidup yang lama dan masuk
ke dalam lingkungan hidup yang baru, maka permasalahan yang berkenaan
dengan kondisi sosial budaya di lingkungan baru perlahan-lahan akan
bermunculan. Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya membutuhkan
penyelesaian yang diperoleh melalui proses adaptasi. Adapun proses adaptasi
yang dilakukan masing-masing mahasiswa dalam menghadapi culture shock
tentunya berbeda-beda.
5
Maka berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, peneliti
tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang proses adaptasi mahasiswa asal
Bima terhadap culture shock berdasarkan fase-fase adaptasi budaya serta
hambatan apa saja yang ditemukan dalam proses adaptasi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti merumuskan dua
masalah yang akan diteliti, yaitu:
1. Bagaimana proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap culture shock?
2. Apa hambatan proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap culture
shock?
C. TujuanPenelitian
1. Untuk mengetahui proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap culture
shock.
2. Untuk mengetahui hambatan proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap
culture shock
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis:
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih dalam pengembangan
studi ilmu komunikasi khusunya dalam ruang lingkup komunikasi
antarbudaya serta dapat menjadi referensi bagi penelitian berikutnya.
2. Kegunaan Praktis:
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman sekaligus
gambaran mengenai culture shock yang merupakan gejala sosial yang
6
umumnya dialami oleh individu setelah mendiami sebuah wilayah dengan
kondisi kultur yang berbeda seperti yang dialami mahasiswa perantau asal
Bima serta upaya adaptasi yang dapat dilakukan dalam menghadapi culture
shock.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
No. Nama Peneliti dan Judul
Penelitian Metode dan Hasil Penelitian Perbedaan
1.
Manap Solihat (2018) “Adaptasi Komunikasi dan
Budaya Mahasiswa Asing
Program Internasional di
Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM
Bandung)”
Kualitatif/ Hasil penelitian ini menunjukkan keragaman
bangsa, budaya, dan bahasa
tidak sepenuhnya membawa
permasalahan dalam adaptasi komunikasi para mahasiswa
asing. Namun minimnya
waktu, intensitas dan sarana untuk interaksi menimbulkan
permasalahan komunikasi
antarbudaya.
Penelitian ini fokus pada adaptasi komuni-
kasi antarbudaya
mahasiswa asing dalam
lingkungan belajarnya. Sedangkan peneliti
fokus pada proses
adaptasi mahasiswa Bima terhadap culture
shock di Makassar.
2. Irvan Ansyori (2015) “Pola Komunikasi
Mahasiswa Etnis
Minangkabau yang Mengalami Culture Shock
dalam Interaksi Sosial”
Kualitatif/ Hasil penelitian ini menunjukkan mahasiswa
mengalami kendala dalam
bahasa yang digunakan karena penggunaan bahasa Jawa di
lingkungan kampus lebih
dominan, perbedaan nilai
budaya mengakibatkan rasa canggung untuk berinteraksi
dengan budaya setempat dan
adanya perbedaan pola-pola perilaku kultural.
Penelitian ini fokus pada pola komunikasi
mahasiswa
Minangkabau yang mengalami culture
shock di Surakarta.
Sedangkan peneliti
fokus pada proses adaptasi mahasiswa
Bima yang mengalami
culture shock.
3. Oktolina Simatupang,
Lusiana A. Lubis dan Haris
Wijaya (2015) “Gaya Berkomunikasi dan
Adaptasi Budaya
Mahasiswa Batak di Yogyakarta”
Kualitatif/ Hasil penelitian ini
menunjukkan sebagian besar
informan berbicara lugas dan eksplisit. Hal ini menunjukkan
gaya komunikasi mereka
cenderung komunikasi konteks rendah. Secara keseluruhan
subjek dapat berinteraksi
dengan baik di Yogyakarta. Keterbukaan dan kesediaan
mereka untuk beradaptasi
dengan budaya baru menolong
mereka untuk bisa merasa nyaman di lingkungan baru.
Penelitian ini fokus pada
gaya berkomunikasi
mahasiswa Batak dalam beradaptasi di
Yogyakarta. Sedangkan
peneliti fokus pada proses adaptasi
mahasiswa Bima yang
mengalami culture shock di Makassar.
8
B. Konsep dan Teori
1. Komunikasi antarbudaya
1.1. Komunikasi antarbudaya
Pembicaraan tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari
pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar
dua kata, tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, “harus dicatat bahwa
studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan
pada efek kebudayaan terhadap komunikasi” (William B.Hart II dalam
Liliweri, 2011:8).
Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya
adalah komunikasi, karena budaya muncul melalui komunikasi. Akan tetapi
pada gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara berkomunikasi
anggota budaya bersangkutan (Mulyana dalam Lubis, 2015:319).
Pakar komunikasi mendefinisikan komunikasi antarbudaya dalam banyak
perspektif. Samovar dan Porter memberi pengertian komunikasi antarbudaya
sebagai komunikasi yang terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu
memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya,
komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi
budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam suatu komunikasi
(Samovar, 2014:13).
Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa mendefinisikan bahwa komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,
misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial (Liliweri,
9
2018:653). Rogers dan Steinfart mendefinisikan komunikasi antarbudaya
sebagai pertukaran informasi antara individu yang berbeda secara budaya
(Priandono, 2016:58).
Definisi lain yaitu menurut Stewart (Daryanto, 2016:207), komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang
menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat,
kebiasaan.
Pernyataan lain mengenai komunikasi antarbudaya adalah proses
pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada
orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan
menghasilkan efek tertentu (Liliweri, 2011:9).
Berdasarkan beberapa definisi komunikasi antarbudaya di atas, dapat
disimpulkan bahwa sebuah proses komunikasi yang menekankan pada
perbedaan latar belakang budaya pada pelaku komunikasinya disebut sebagai
komunikasi antarbudaya.
1.2. Hakikat komunikasi antarbudaya
a) Enkulturasi
Proses individu-individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi
dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut. Melalui proses sosial dan
pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi
bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses memperoleh pola-pola
demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan Rakhmat
dalam Putri, 2015:43).
10
b) Akulturasi
Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep
mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan
asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hulangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat
dalam Putri, 2015:44).
Akibat kontak kebudayaan atau peristiwa akulturasi, sering terjadi
perubahan dan perkembangan budaya pada masyarakat setempat, yang
prosesnya dapat menimbulkan sejumlah masalah baik yang positif maupun
negatif. Akibat akulturasi tersebut salah satunya adalah peristiwa dekulturasi.
Dekulturasi adalah tumbuhnya unsur kebudayaan yang baru untuk
memenuhi kebutuhan baru, yang timbul karena perubahan situasi (Kodiran
dalam Susetyo, 2010:5)
1.3. Elemen-elemen dalam komunikasi antarbudaya
Menurut Samovar & Porter dalam (Hajriadi, 2017:18), terdapat tiga
elemen penting dalam komunikasi antarbudaya, ketiga elemen tersebut yaitu:
a) Persepsi
Persepsi adalah dimana individu menyeleksi, mengevaluasi, dan
merangkai stimuli dari luar diri individu. Adapun persepsi kultural dipengaruhi
oleh kepercayaan, nilai dan sistem yang mengatur individu.
11
b) Proses verbal
Proses verbal mengarah kepada bagaimana kita berbicara kepada orang
lain melalui kata-kata dan juga proses berfikir dalam diri (komunikasi
interpersonal).
c) Proses non-verbal
Proses nonverbal mengarah pada pengguna tanda-tanda nonverbal seperti
bahasa tubuh, nada suara, ekspresi dan jarak fisik ketika berkomunikasi.
Tanda-tanda komunikasi non-verbal berbeda maknanya sesuai dengan budaya
yang berbeda melatarbelakanginya.
1.4. Hambatan-hambatan dalam komunikasi antarbudaya
L.M Barna dalam Moulita (2018:36) mengungkapkan bahwa terdapat
beberapa faktor penghambat komunikasi antarbudaya diantaranya yaitu:
a) Andaian kesamaan
Kesalahpahaman dapat muncul karena kita sering berpikir bahwa ada
kesamaan di antara setiap manusia di seluruh dunia yang dapat membuat proses
berkomunikasi menjadi mudah. Padahal kenyataannya, bentuk-bentuk adaptasi
terhadap kebutuhan baik biologis maupun sosial serta nilai-nilai, kepercayaan,
dan sikap di sekeliling kita adalah sangat berbeda antara budaya satu dengan
yang lain. Oleh karena tidak adanya satu tolak ukur yang dapat digunakan
sebagai acuan untuk pemahaman tersebut, maka sebaiknya setiap pertemuan
antarbudaya kita perlakukan secara khusus dengan cara mencari tahu perihal
apa saja yang berhubung kait dengan makna-makna persepsi dan komunikasi
yang dipegang oleh kelompok budaya yang kita hadapi.
12
b) Perbedaan bahasa
Permasalahan dalam penggunaan bahasa adalah apabila seseorang hanya
memperhatikan satu makna saja dari satu kata atau frasa yang ada pada bahasa
baru, tanpa mempedulikan konotasi atau konteksnya.
c) Kesalahan interpretasi nonverbal
Orang-orang dari budaya yang berbeda mendiami realitas sensori yang
berbeda pula. Mereka melihat, mendengar, dan merasakan hanya pada apa
yang dianggap bermakna bagi mereka.
d) Stereotip dan prasangka
Stereotip merupakan penghalang dalam komunikasi sebab dapat
mempengaruhi cara pandang yang objektif terhadap suatu stimulus. Stereotip
muncul karena ia telah ditanamkan dengan kuat sebagai mitos atau kebenaran
sejati oleh kebudayaan seseorang dan terkadang merasionalkan prasangka.
e) Kecenderungan untuk menghakimi/menilai
Faktor penghalang lainnya untuk memahami orang-orang yang berbeda
budaya adalah kecenderungan untuk menghakimi, untuk menerima, atau
menolak pernyataan dan tindakan dari orang atau kelompok lain, sebelum
memahami pikiran dan perasaan yang disampaikan oleh orang itu sesuai sudut
pandangnya.
f) Kecemasan Tinggi
Seseorang dapat disebut cakap dan kompeten dalam berkomunikasi
antarbudaya apabila seseorang mampu mengatasi berbagai masalah yang ada,
13
termasuk rasa khawatir atau cemas ketika berinteraksi dengan individu dari
budaya yang berbeda.
2. Adaptasi budaya
Setiap individu yang hidup dalam lingkungan baru akan melalui masa
penyesuaian diri yang disebut dengan adaptasi. Adaptasi yang dimaksud yakni
upaya penyesuaian diri terhadap lingkungan termasuk budaya yang ada di
dalamnya. Menurut Kim (Lubis, 2015:321), adaptasi budaya adalah proses
jangka panjang menyesuaikan diri dan akhirnya merasa nyaman dengan
lingkungan baru. Setiap orang asing di lingkungan yang baru harus
menanggapi setiap tantangan untuk mencari cara agar dapat menjalankan
fungsi di lingkungan yang baru tersebut. Maka dari itu adaptasi merupakan
proses mengalami tekanan, penyesuaian diri dan perkembangan.
Ruben dan Steward (dalam Oriza, 2016:2379) mengungkapkan, ketika
seseorang jauh dari rumah, jauh dari tempat yang selama ini dianggap “rumah”,
jauh dari lingkungan tempat ia tumbuh besar, dan jauh dari kebiasaan-
kebiasaan yang selalu ia lakukan, orang tersebut mau tidak mau akan sadar atau
tidak akan mempelajari hal-hal yang baru untuk bisa bertahan hidup. Ketika
seseorang jauh dari zona nyamannya untuk waktu yang lama, contohnya kuliah
maka akan terjadi transfer nilai yang biasa kita sebut dengan adaptasi budaya.
Young Y. Kim (dalam Oriza, 2016:2380) menguraikan dan
menggambarkan langkah-langkah dalam proses pengadaptasian sebuah budaya,
yakni terdapat empat fase ditambah dengan fase perencanaan.
14
1. Fase perencanaan
Fase perencanaan adalah fase dimana seseorang masih berada pada kondisi
asalnya dan menyiapkan segala sesuatu mulai dari ketahanan fisik sampai
kepada mental, termasuk kemampuan komunikasi yang dimiliki untuk
dipersiapkan, yang nantinya digunakan pada kehidupan barunya.
2. Fase honeymoon
Fase ini adalah ketika seseorang telah berada di lingkungan baru,
menyesuaikan diri dengan budaya dan lingkungannya. Tahap ini adalah tahap
dimana seseorang masih memiliki semangat dan rasa penasaran yang tinggi
serta menggebu-gebu dengan suasana baru yang akan dijalani. Individu
tersebut mungkin akan merasa asing, rindu rumah dan merasa sendiri namun
masih terlena dengan keramahan penduduk lokal terhadap orang asing.
3. Fase frustation
Fase ini adalah tahap dimana rasa semangat dan penasaran yang
menggebu-gebu tersebut berubah menjadi rasa frustasi, jengkel dan tidak
mampu berbuat apa-apa karena realita yang sebenarnya tidak sesuai dengan
ekspetasi yang dimiliki pada awal tahapan.
4. Fase readjustment
Tahap ini adalah tahap penyesuaian kembali, dimana seseorang akan mulai
mengembangkan berbagai cara untuk bisa beradaptasi dengan keadaan yang
ada. Seseorang mulai menyelesaikan krisis yang dialami di fase frustation.
Penyelesaian ini ditandai dengan proses penyesuaian ulang dari seseorang
untuk mencari cara, seperti mempelajari bahasa, dan budaya setempat.
15
5. Fase resolution
Fase yang terakhir berupa jalan akhir yang diambil seseorang sebagai jalan
keluar dari ketidaknyamanan yang dirasakan. Dalam tahap ini ada beberapa hal
yang dapat dijadikan pilihan oleh orang tersebut, seperti:
a) Flight, yaitu ketika seseorang tidak tahan dengan lingkungannya dan
merasa tidak dapat melakukan usaha untuk beradaptasi yang lebih dari apa
yang telah dia lakukan.
b) Fight, yaitu orang yang masuk pada lingkungan dan kebudayaan baru dan
dia sebenarnya merasa tidak nyaman, namun ia berusaha untuk tetap
bertahan dan berusaha menghadapi segala hal yang membuat dia merasa
tidak nyaman.
c) Accomodation, yaitu tahapan dimana seseorang mencoba untuk menikmati
apa yang ada di lingkungannya yang baru, awalnya mungkin orang
tersebut merasa tidak nyaman, namun dia sadar bahwa memasuki budaya
baru memang akan menimbulkan sedikit ketegangan, maka dia pun
berusaha berkompromi dengan keadaan, baik eksternal maupun internal
dirinya.
d) Full participation, yaitu ketika seseorang sudah mulai merasa nyaman
dengan lingkungan dan budaya barunya. Tidak ada lagi rasa khawatir,
cemas, ketidaknyamanan, dan bisa mengatasi rasa frustasi yang dialami
dahulu.
16
3. Culture shock
3.1. Culture shock
Pada akhir tahun 1960, Kalervo Oberg memperkenalkan istilah culture
shock untuk pertama kalinya, yaitu kondisi yang dialami oleh individu ketika
hidup di luar lingkungan kulturnya yang berbeda dari kulturnya sendiri dalam
usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Culture shock ditandai
dengan adanya perasaan cemas pada seseorang, serta timbulnya perasaan
bingung tentang hal-hal yang harus dilakukan serta cara melakukan sesuatu
karena ia kehilangan tanda dan lambang dalam pergaulan sosial (Ridwan,
2016:197).
Mulyana dan Rakhmat menjelaskan bahwa pada dasarnya culture shock
adalah berbenturan persepsi, yang diakibatkan penggunaan persepsi
berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari
orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai budayanya berbeda
dan belum ia pahami (Rachma, 2016:24).
Sementara Furnham dan Bochner mengatakan bahwa culture shock adalah
ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaaan sosial kultur baru maka
ia tidak dapat menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan perilaku di
lingkungan baru tersebut (Hajriadi, 2017:21).
Culture shock merupakan dinamika dalam proses adaptasi lintas budaya
yang dapat mempengaruhi komunikasi dan perilaku orang yang mengalaminya.
Berada di tengah perbedaan budaya bisa membuat perasaan salah tingkah
sehingga interaksi dan komunikasi menjadi tidak efektif (Shoelhi, 2015:25)
17
Deddy Mulyana (2015:247) mengungkapkan bahwa meskipun culture
shock sering dikaitkan dengan fenomena memasuki suatu budaya (yang identik
dengan negara) asing. Lingkungan budaya baru yang dimaksud bisa merujuk
pada agama baru, lembaga pendidikan baru, lingkungan kerja baru, atau
keluarga besar baru yang dimasuki lewat perkawinan.
Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak interpersonal secara
langsung dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya, seringkali
menimbulkan frustasi. Individu bisa jadi merasa kikuk dan terasa asing dalam
berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan budaya baru yang ia masuki
(Deddy Mulyana dalam Putri, 2015:47)
Samovar dan Daniel dalam (Putri, 2015:47) mengungkapkan bahwa reaksi
yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu individu dengan
individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-
reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
a. Antagonis/memusuhi terhadap lingkungan baru.
b. Rasa kehilangan arah dan penolakan.
c. Homesick/rindu pada rumah/lingkungan lama.
d. Rindu pada teman dan keluarga.
e. Merasa kehilangan status dan pengaruh.
f. Menarik diri.
g. Kehilangan kepercayaan diri.
h. Menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka.
18
3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock
Menurut pendapat Parrillo dalam (Ridwan, 2016:210), beberapa faktor
yang mempengaruhi culture shock, yaitu sebagai berikut.
a) Faktor pergaulan
Individu cenderung mengalami ketakutan akan perbedaan pergaulan di
setiap tempat yang baru. Ketakutan ini menjadikannya merasa canggung dalam
menghadapi situasi, tempat tinggal, dan suasana yang baru. Ia akan merasa
terasing dengan orang-orang di sekelilingnya.
b) Faktor teknologi
Teknologi juga merupakan faktor penting dalam mempengaruhi timbulnya
masalah culture shock. Individu merasa takut tidak dapat mengikuti
perkembangan teknologi di tempat tinggal barunya sehingga cenderung akan
merasakan ketakutan. Untuk itu, ia dituntut berpikir keras mengikuti
perkembangan teknologi serta mampu mengaplikasikannya dalam
kehidupannya.
c) Faktor geografis
Faktor geografis identik dengan keadaan geografis di daerah tersebut,
misalnya perbedaan cuaca, perbedaan letak wilayah, seperti daerah pantai
dengan daerah pegunungan. Hal ini menyebabkan individu tersebut mengalami
gangguan kesehatan.
19
d) Faktor bahasa keseharian
Bahasa merupakan cermin dari sebuah kebudayaan yang beradab. Individu
yang mengalami culture shock sering menganggap faktor bahasa sebagai salah
satu ketakutan yang cukup besar ketika akan menetap di tempat yang baru.
e) Faktor ekonomi
Ketakutan terhadap biaya hidup yang lebih tinggi merupakan salah satu
faktor penyebab timbulnya culture shock. Apalagi jika ia berasal dari daerah
atau tempat yang tingkat ekonominya lebih rendah daripada tempat barunya.
Untuk itu, ia akan berusaha keras untuk memperoleh penghasilan yang lebih
besar agar mampu bertahan hidup di tempat yang baru.
f) Faktor adat istiadat
Beradaptasi dengan adat istiadat yang baru bukan hal yang mudah bagi
seorang pendatang karena individu cenderung mengalami kekagetan budaya,
terutama dalam hal adat istiadat.
g) Faktor agama
Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu dalam usahanya
menyesuaikan di tempat tinggal yang baru. Individu mengalami ketakutan
tersendiri terhadap agama yang menjadi perbedaan yang sangat rentan dan
tidak dapat disatukan dengan mudah.
20
C. Kerangka Pikir
D. Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus pada bagaimana proses adaptasi mahasiswa asal
Bima terhadap culture shock berdasarkan fase adaptasi budaya serta hambatan
yang diperoleh mahasiswa asal Bima dalam proses adaptasi.
E. Deskripsi Fokus Penelitian
1. Proses adaptasi
Proses adaptasi adalah proses penyesuaian diri seseorang terhadap
lingkungan dan budaya baru. Tahapan adaptasi terdiri dari beberapa fase yaitu:
- Fase perencanaan, adalah fase awal sebelum individu masuk ke
lingkungan baru dimana individu mempersiapkan segala sesuatu yang
dianggap perlu di lingkungan baru baik dari segi fisik maupun mental.
Proses Adaptasi Mahasiswa Bima terhadap
culture shock di Unismuh Makassar
Hambatan proses
adaptasi mahasiswa
Bima terhadap culture
shock
Proses adaptasi mahasiswa Bima
terhadap culture shock: “Fase adaptasi
budaya: Young Y. Kim (Oriza,
2016:2380):
1. Fase perencanaan 4. Fase readjustment
2. Fase honeymoon 5. Fase resolution
3. Fase frustation
Mampu Beradaptasi
21
- Fase honeymoon, adalah ketika individu telah berada di lingkungan baru.
Fase ini menjadi tahap awal dari proses adaptasi terhadap budaya dan
lingkungan baru dimana individu masih memiliki semangat dan rasa
penasaran yang tinggi terhadap lingkungan barunya.
- Fase frustation, adalah fase dimana individu mulai menemukan berbagai
masalah di lingkungannya sehingga rasa semangat perlahan menurun
karena individu mulai menyadari realita yang sebenarnya. Fase ini
merujuk pada gejala culture shock yang dialami individu.
- Fase readjustment, adalah fase dimana individu mulai berupaya untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan setelah sebelumnya mengalami fase
frustation. Individu mulai berusaha untuk menyelesaikan masalah yang
ada demi bertahan di lingkungan baru.
- Fase resolution, adalah fase akhir dari proses adaptasi dimana individu
menentukan pilihan sebagai jalan keluar dalam upaya penyesuaian dirinya
terhadap lingkungan baru. Pada fase ini individu diantaranya akan memilih
untuk menerima dan bertahan dengan lingkungan budaya baru atau tetap
bertahan pada budaya tempat asalnya.
2. Culture shock
Culture shock adalah kondisi yang dialami oleh seseorang ketika
memasuki atau hidup di lingkungan baru dengan latar budaya/kultur yang
berbeda dari kultur tempat ia berasal atau tempat dimana ia tinggal
sebelumnya. Culture shock dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor
pergaulan, teknologi, geografis, bahasa, ekonomi, adat istiadat, dan agama.
22
3. Mahasiswa Bima
Mahasiswa Bima adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Kabupaten
Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat yang kuliah di Universitas
Muhammadiyah Makassar.
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu yang dibutuhkan oleh peneliti untuk meneliti yaitu dua bulan
(September-November 2020) dengan lokasi penelitian yaitu di lingkungan
Universitas Muhammadiyah Makassar yang terletak di jalan Sultan Alauddin
No. 259, Kelurahan Gunung Sari, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar.
B. Jenis dan Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapat pemahaman yang sifatnya
umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan (Ruslan, 2010:215).
Adapun tipe penelitian yang digunakan yaitu deskriptif. Penelitian deskriptif
menurut Nawawi dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat ini
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Ardial,
2015:262).
C. Sumber Data
Sumber data dari penelitian ini terbagi atas dua, yaitu sumber primer dan
sumber sekunder.
1) Sumber primer
Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data (Sugiyono, 2018:225). Adapun sumber data primer
dari penelitian ini diperoleh dari informan utama yaitu para mahasiswa asal
Bima serta informan pendukung yaitu elemen lain selain mahasiswa di
Unismuh Makassar seperti dosen ataupun pihak lainnya.
2) Sumber sekunder
Sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen
(Sugiyono, 2018:225). Data sekunder diperoleh dari literatur, baik buku-buku,
foto, autobiografi, maupun referensi yang terkait dengan penelitian ini.
D. Informan Penelitian
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan salah satu teknik
sampling non-probabilitas (non acak), yaitu purposive sampling. Purposive
sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut dianggap paling
tahu tentang apa yang kita harapkan (Sugiyono, 2018:218).
Peneliti menggunakan teknik ini untuk menentukan informan utama
berdasarkan karakteristik yang ditentukan peneliti sesuai kebutuhan penelitian.
Maka, mahasiswa yang akan dijadikan sebagai informan utama adalah
mahasiswa dengan kriteria:
- Mahasiswa aktif Unismuh Makassar yang berasal dari Kabupaten Bima
(lahir dan besar di Kabupaten Bima)
- Telah tinggal dan kuliah di Makassar minimal dalam kurun waktu satu
tahun.
- Belum pernah datang maupun tinggal di Makassar sebelumnya.
25
Adapun alasan peneliti memilih mahasiswa Bima sebagai informan karena
adanya perbedaan karakter dari masing-masing mahasiswa yang berasal dari
Bima dalam proses adaptasinya. Maka dari itu peneliti telah memilih 5 (lima)
orang informan utama yang sesuai dengan kriteria di atas.
Tabel 4.1. Data Mahasiswa Bima yang Menjadi Informan Utama
No. Nama
Mahasiswa Fakultas Prodi/Angkatan
Lama
Menetap
1. Yuyun
Anggriani Agama Islam
Hukum Ekonomi
Syariah/2018 2 tahun
2. Yulianah Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik
Ilmu
Komunikasi/2016 4 tahun
3. Uswatun
Hasanah
Keguruan dan
Ilmu Pendidikan
Pendidikan
Matematika/2016 4 tahun
4. A. Rajak Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik
Ilmu
Pemerintahan/2018 2 tahun
5. Jumriati Keguruan dan
Ilmu Pendidikan
Pendidikan Bahasa
Inggris/2018 2 tahun
E. Teknik Pengumpulan Data
1) Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana
dalam Hajriadi, 2017:29). Wawancara yang dilakukan peneliti yaitu wawancara
terstruktur dan tidak terstruktur.
26
Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, jika
peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan
diperoleh (Sugiyono, 2018:138). Peneliti melakukan wawancara terstruktur
dengan mengacu pada daftar pertanyaan yang berkaitan dengan masalah
penelitian.
Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas, peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan data (Sugiyono, 2018:140). Peneliti juga
menggunakan wawancara tidak terstruktur untuk menciptakan situasi yang
lebih nyaman bagi informan dalam memperoleh data tambahan dan lebih
lengkap terkait identifikasi masalah.
2) Observasi
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang
berupa peristiwa, tempat, lokasi, dan benda serta rekaman gambar. Observasi
adalah pengamatan secara langsung yang melibatkan semua indera (Sinarti,
2017:37).
3) Dokumentasi
Dokumentasi bertujuan memperkuat gambaran lapangan bagi penelitian.
Dokumentasi dapat menjadi bukti otentik tentang keabsahan penelitian yang
dilakukan. Dokumentasi dapat berupa pengambilan gambar atapun video
lapangan (Hajriadi, 2017:30).
27
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Miles dan
Hubermanyang dikutip dari (Sugiyono, 2018:247), yaitu sebagai berikut:
1) Data reduction (reduksi data)
Reduksi data yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih
jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
2) Dispaly data (penyajian data)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan
data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data biasa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Yang paling
sering digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu dengan teks yang bersifat
naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa
yang telah dipahami.
3) Conclution drawing (penarikan kesimpulan/verifikasi)
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif yaitu penarikan kesimpulan
dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara,
dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung
pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang
28
dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
G. Pengabsahan Data
Uji validasi data atau pengabsahan data penelitian ini melalui pendekatan
analisis Triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan
sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan
berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi
teknik pengumpulan data, dan waktu (Sugiyono, 2018:273).
Pengabsahan data pada penelitian ini menggunakan dua jenis triangulasi
yaitu triangulasi sumber dan waktu. Triangulasi sumber untuk menguji
kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh
melalui beberapa sumber, seperti buku dan referensi lainnya. Sedangkan
triangulasi waktu dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan
wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah Pendirian
Universitas Muhammadiyah Makassar didirikan pada tanggal 19 Juni 1963
sebagai cabang dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pendirian Perguruan
Tinggi ini adalah sebagai realisasi dari hasil Musyawarah Wilayah
Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara ke-23 di Kabupaten Bantaeng.
Pendirian tersebut didukung oleh Persyarikatan Muhammadiyah sebagai
organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran dakwah amal
ma’ruf nahi munkar, lewat surat Nomor: E-6/098/1963 tertanggal 22 Jumadil
Akhir 1394 H/12 Juli 1963 M. Kemudian akte pendiriannya dibuat oleh
notaries R. Sinojo Wongsowidjojo berdasarkan akta notaris Nomor: 71 Tanggal
19 Juni 1963. Universitas Muhammadiyah Makassar dinyatakan sebagai
Perguruan Tinggi Swasta terdaftar sejak 1 Oktober 1965. Selanjutnya
diperbaharui melalui Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Republik Indonesia Nomor: 503/KPT/I/2018 tentang perubahan Badan
Penyelenggara Universitas Muhammadiyah Makassar di Kota Makassar dari
Yayasan Perguruan Tinggi Muhammadiyah menjadi Persyarikatan
Muhammadiyah.
Universitas Muhammadiyah Makassar saat ini dipimpin oleh Prof. Dr. H.
Abdul Rahman Rahim, SE, MM. Adapun nama-nama mantan rektor
Universitas Muhammadiyah Makassar sejak terdaftar sebagai perguruan tinggi
30
swasta sebagai berikut: 1) Drs. H. Abdul Watif Masri (Alm); 2) Drs. Tajuddin
Baso Nur (Alm); 3) Prof. H. Fachruddin Ambo Enre (Alm); 4) Drs. H.
Mahmud Lantana Fahry (Alm); 5) KH. Djamaluddin Amin (Alm); 6) Prof. Dr.
Abd. Rahman Rahim (Alm); 7) KH. Makmur Ali (Alm); 8) Prof. Dr. H. Ambo
Enre Abdullah (Alm); 9) Prof. Dr. H. Irwan Akib, M.Pd.
Awal berdirinya perguruan tinggi ini, membuka dua fakultas yaitu
Fakultas Pendidikan dan Perguruan (menggunakan kurikulum yang sama
dengan IKIP Makassar) dan Fakultas Tarbiyah (menggunakan kurikulum yang
sama dengan IAIN Alauddin Makassar). kedua fakultas yang ada terus
dikembangkan yaitu dengan membuka cabang di beberapa kabupaten/kota di
Sulawesi Selatan. Cabang untuk FKIP berada di Kabupaten Bone, Bulukumba,
Sidrap, Enrekang dan Pare-Pare. Semua cabang tersebut saat ini telah berdiri
sendiri sebagai Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP),
kecuali Pare-Pare yang telah berubah menjadi Universitas Muhammadiyah
Pare-Pare (UMPAR). Sementara untuk cabang Fakultas Tarbiyah yang dibuka
di kabupaten Jeneponto, Sinjai, Enrekang, Maros dan Pangkep telah berdiri
sendiri. Tiga tahun setelah berdiri Universitas Muhammadiyah Makassar
membuka 4 fakultas baru pada tahun 1965 yaitu: 1) Fakultas Ilmu Agama dan
Da’wah (FIAD); 2) Fakultas Ekonomi (Fekon); 3) Fakultas Sosial Polit ik; 4)
Akademi Pertanian. Selanjutnya pada tahun 1987 dibuka Fakultas Teknik,
tahun 1994 dibuka Fakultas Pertanian, tahun 2002 dibuka program pasca
sarjana, dan tahun 2008 dibuka Fakultas Kedokteran.
31
Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) ini mengemban tugas dan peran
yang sangat besar bagi agama, bangsa, dan negara, baik di masa sekarang
maupun di masa yang akan datang. Sebagai salah satu PTM di kawasan
Indonesia Timur padanya tertanam kultur pendidikan yang diwariskan sebagai
amal usaha Muhammadiyah. Universitas Muhammadiyah Makassar kini
memiliki potensi yang signifikan, modal yang cukup, dan akses yang luas.
Modal yang cukup, tergambar pada upaya mendorong tumbuhnya dana abadi
peningktana aset, dan akses yang luas dibuktikan dengan semakin kuatnya
jaringan internal antara PTM dan Pimpinan Pesyarikatan Muhammadiyah dari
semua tingkatan mulai dari ranting, sampai Pimpinan Pusat. Perluasan kerja
sama eksternal, baik kepada instansi pendidikan, birokrasi, ekonomi, maupun
sosial kemasyarkatan, baik di dalam maupun di luar negeri.
2. Visi
Pernyataan visi Universitas Muhammadiyah Makassar adalah sebagai
berikut. “Menjadi Perguruan Tinggi Islam Terkemuka, Unggul, Terpercaya
dan Mandiri pada Tahun 2024”.
Pernyataan visi tersebut mengandung makna bahwa:
Perguruan Tinggi Islam dimaknai sebagai amal usaha Muhammadiyah
yang bergerak di bidang dakwan dan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan
demikian, Universitas Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan tinggi
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni senantiasa
berorientasi pada pengembangan nilai-nilai islam dalam bingkai Negara
32
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Terpercaya dimaknai bahwa Universitas Muhammadiyah Makassar selalu
berusaha memelihara citra Muhammadiyah khususnya di bidang pendidikan
yaitu menunaikan amanah masyarakat dalam penyelenggaraan Catur Dhrma
Perguruan Tinggi Muhammadiyah sehingga Universitas Muhammadiyah
Makassar menjadi pilihan utama masyarakat.
Unggul memiliki makna substansif yang bernilai kompetitif tinggi.
Keunggulan Universitas Muhammadiyah Makassar akan dibangun melalui
kegiatan-kegiatan akademik yang bersifat substansial yang dapat
dikompetisikan, baik dalam ranah nasional maupun internasional. Keunggulan
yang dikembangkan menagarh kepada enam bidang keunggulan yaitu; 1)
Pendidikan, 2) Penelitian, 3) Pengabdian kepada masyarakat, 4)
Kemahasiswaan, 5) Kelembagaan, 6) Al Islam Kemuhammadiyahan. Masing-
masing bidang didorong untuk memiliki keunggulan spesifik sehingga
mempunyai nilai kompetitif yang tinggi.
Mandiri dimaknai sebagai universitas yang mampu mengelola dan
mengembangkan dirinya dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh sivitas
akademika, alumni, masyarakat, bangsa, dan negara.
Terkemuka memiliki makna sebagai cita-cita mulai yang terencana dan
terarah untuk (1) memelihara kepercayaan sivitas akademika Universitas
Muhammadiyah Makassar, alumni, dan tempat yang tepat untuk: menuntut
ilmu, mengembangkan, dan menyebarluaskan, sekaligus sebagai tempat
33
mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT. (2) meraih keunggulan dalam
proses pelaksanaan Catur Dharma Perguruan Tinggi Muhammadiyah, dan (3)
mewujudkan kemandirian dalam pengelolaan dan pengembangan diri, serta
mampu mensejahterakan seluruh sivitas akademika Universitas
Muhammadiyah mensejahterakan seluruh sivitas akademika Universitas
Muhammadiyah Makassar, alumni, masyarakat, bangsa, dan negara.
3. Misi
Misi yang diemban dalam proses penyelenggaraan pendidikan tinggi di
Universitas Muhammadiyah Makassar, yakni:
a. Menyelenggarakan proses pendidikan untuk meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan.
b. Menyelenggarakan dan mengembangkan proses pembelajaran yang
kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan.
c. Menumbuhkembangkan dan menyebarluaskan penelitian yang inovatif,
unggul, dan berdaya saing.
d. Menumbuhkembangkan kewirausahaan berbasis kemitraan dan
ukhuwah.
e. Meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan sivitas akademika, alumni
dan masyarakat.
4. Tujuan
Mengacu pada visi dan misi di atas, maka tujuan Universitas
Muhammadiyah Makassar dirumuskan sebagai berikut:
34
a. Menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, cakap, profesional,
bertanggung jawab dan mandiri.
b. Meningkatnya mutu proses dan hasil pembelajaran yang bermuara pada
kualitas lulusan.
c. Meningkatnya kuantitas dan kualitas hasil penelitian.
d. Terwujudnya unit-unit usaha yang berbasis ekenomi syariah.
e. Meningkatnya kuantitas dan kualitas pengabdian dan pelayanan pada
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.
5. Sasaran
Sasaran, indikator, target, dan strategi pencapaiannya dikelompokkan
dalam lima bidang yaitu: (1) Bidang Kelembagaan, (2) Bidang Akademik, (3)
Bidang SDM, Keuangan dan Administrasi, (4) Bidang Kemahasiswaan dan
alumni, dan (5) Bidang Kaderisasi, Pembinaan Al-Islam Kemuhammadiyahan
(AIK) dan Kerjasama.
6. Kebijakan Strategis
Kebijakan strategis dirumuskan sebagai berikut:
a. Peningkatan akhlaqul karimah (Pendidikan Karakter) dengan
pengembangan kehidupan kampus yan islami yang ditandai dengan
sikap, pandangan, tata kehidupan masyarakat kampus.
b. Peningkatan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan terprogram
melalui pengembangan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada
masyarakat, kerjasama, dan Al Islam Kemuhammadiyahaan.
35
c. Peningkatan prasarana dan sarana dengan mempertimbangkan urgensi
dan asas manfaat.
d. Peningkatan kualitas caturdarma melalui penguatan lembaga
penjaminan mutu dengan mekanisme PDCA (Plan, Do, Chek, and
Action).
e. Mengoptimalkan pelaksanaan caturdarma sebagai pencitraan akademik
dan ciri khas perguruan tinggi Muhammadiyah.
f. Optimalisasi pengembangan teknologi sistem informasi yang
menunjang pengembangan perguruan tinggi, dan pengendalian mutu.
g. Membangun kerjasama internal dan eksternal dengan PT lain dan
stakeholder.
7. Budaya organisasi
a) Integritas
Integritas (Integrity) yang dimaksud adalah konsistensi dan keteguhan
yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai yang diterapkan
dalam organisasi yang menjadi menjadi gambaran keseluruhan pribadi anggota
organisasi. Nilai integirtas ibarat “nyawa” dari organisasi, karena itu nilai ini
menjadi yang pertama dan utama yang harus dimiliki, dihayati, dan diamalkan
oleh setipa sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Makassar yang
terwujud dalam sikap: jujur, beretika, bertanggung jawab, adil, bermartabat,
dan dapat dipercaya, satu kata dan tindakan, mempunyai rasa memiliki dan
amanah terhadap perguruan, menjaga kepatuhan dan nama baik institusi,
36
menghargai pihak yang telah berjasa kepada Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Integrity disempurnakan berdasarkan pandangan Islam yang diukur dari
aqidah yanng bersih, ibadah yang benar, akhlak yang kokoh, kekuatan jasmani,
berwawasan luas, melawan hawa nafsu negatif, pandai menjaga waktu, teratur
dalam segala urusan, mandiri, dan bermanfaat untuk orang lain.
Integritas diperjelas dalam Al-Quran An-Nahl ayat 91-92, artinya: “Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu
telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu
seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal
dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah
(perjanjian)mu sebagai alat penipu si antaramu, disebabkan adanya satu
golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.
Sesungguhnya Allah hanya mengujimu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di
hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu
perselisihkan itu. (An0Nahl: 91-92).
b) Profesional
Profesional yang dimaksud adalah semua pegawai dan dosen Universitas
Muhammadiyah Makassar memiliki kemampuan yang tinggi, keterampilan dan
keahlian dalam menjalankan profesi/pekerjaan sesuai dengan keahliannya.
37
Profesional yang harus dimiliki pegawai Universitas Muhammadiyah Makassar
adalah:
1. Skill yang artinya pegawai tersebut harus benar-benar ashli di
bidangnya.
2. Knowledge yang artinya orang tersebut harus dapat menguasai
minimalnya berwawasan mengenai ilmu yang berkaitan dengan
bidangnya.
3. Attitude yang artinya bukan hanya pintar, akan tapi harus memiliki
etika yang diterapkan di dalam bidangnya.
Ciri pegawai yang profesionalis:
1. Memiliki kemampuan dan pengetahuan yang tinggi.
2. Memiliki kode etik.
3. Memiliki tanggung jawab profesi serta integritas yang tinggi.
4. Memiliki jiwa pengabdian kepada masyarakat.
5. Memiliki kemampuan yang baik dalam perencanaan program kerja.
6. Menjadi anggota organisasi dari profesinya.
c) Enterpreneurship
Enterpreneurship yang dimaksud adalah sesuatu yang ada dalam diri yang
memberikan dorongan semangat dan membuat kita selalu bergerak ke depan,
ingin memiliki masa depan yang lebih baik. Inilah inti sari enterpreneurship
yaitu melakukan inovasi terus menerus, mandiri, visioner, kreatif, realistis,
berani mengambil resiko, pantang menyerah, dan mandiri.
38
8. Prinsip
Prinsip untuk menunjang budaya organisasi dibingkai dengan prinsip:
“Sipakainge, Sipakalebbi, Sipakatau”
“Malilu Sipakainge”
“Mali Siparappe”
“Rebba Sipatokkong”
“Resofa temmanginggi Namalolomo Naletei Fammasena Dewatae”
9. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Universitas Muhammadiyah Makassar mengacu pada
peraturan yang berlaku secara umum bagi perguruan tinggi di Indonesia, dan
disesuaikan dengan ketentuan khusus bagi perguruan tinggi Muhammadiyah.
Bagan struktur organisasi Universitas Muhammadiyah Makassar digambarkan
sebagai berikut.
39
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Universitas Muhammadiyah Makassar.
(Sumber: www.unismuh.ac.id)
40
10. Profil fakultas dan program studi
Gambar 4.2. Profil fakultas dan program studi Unismuh Makassar.
(Sumber: Modul Profil Unismuh Makassar 2019, hal. 12-13)
41
B. Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock
Individu yang hidup dalam lingkungan baru akan melalui proses
penyesuaian diri atau disebut dengan adaptasi. Namun ketika seseorang hidup
pada lingkungan baru dengan kondisi kebudayaan yang berbeda dari
lingkungan asalnya, tak jarang akan menimbulkan situasi dimana seseorang
merasa tidak mampu untuk menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan
perilaku yang ada di lingkungan baru tersebut. Hal tersebut dikenal dengan
istilah culture shock. Adapun culture shock yang dialami individu umumnya
terjadi dalam masa transisi penyesuaian diri di lingkungan baru.
Mahasiswa asal Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat pada
Universitas Muhammadiyah Makassar merupakan contoh kelompok individu
yang mengalami culture shock setelah memutuskan merantau dan kuliah di
Makassar. Maka dari itu proses penyesuaian diri menjadi upaya penting bagi
mereka agar dapat menyatu dengan segala kondisi di lingkungan baru mereka
yakni di Makassar, termasuk dalam mengatasi permasalahan-permasalahan
yang menyebabkan mereka mengalami culture shock.
Hasil penelitian ini menjelaskan tentang proses adaptasi mahasiswa asal
Bima terhadap culture shock yang mereka alami dengan mengacu pada empat
fase adaptasi budaya ditambah dengan satu fase (fase perencanaan) yang
dikemukakan oleh Young Y. Kim (dalam Oriza, 2016: 2380) sebagai berikut:
42
1. Fase perencanaan
Fase perencanaan adalah fase awal sebelum mahasiswa masuk ke
lingkungan baru. Pada fase ini mahasiswa mempersiapkan segala sesuatu yang
dianggap perlu sebelum masuk ke lingkungan baru.
a) Persiapan materiel
Persiapan materiel yang dimaksud ialah segala persiapan yang bersifat
kebendaan. Informan pertama bernama Yuyun selaku mahasiswa program
studi Hukum Ekonomi Syariah menuturkan, “Saya mengurus berkas-berkas
penting untuk pendaftaran seperti SKHU, domisili, surat berkelakuan baik,
KTP, dan lain-lain.” (wawancara, 02/10/20)
Persiapan pertama yang dilakukan Yuyun sebelum merantau ke Makassar
yakni mempersiapkan segala dokumen penting yang dianggap akan dibutuhkan
dalam proses pendaftaran kuliah seperti SKHU, surat berkelakuan baik dan
dokumen penting lainnya.
Informan kedua dari program studi Pendidikan Bahasa Inggris bernama
Jumriati mengemukakan, “Persiapan saya waktu itu untuk merantau ke
Makassar yang pertama itu berkas-berkas untuk masuk universitas, tiket kapal,
pakaian-pakaian.” (wawancara, 29/10/20)
Persiapan yang dilakukan Jumriati sebelum merantau hampir sama dengan
informan pertama yakni mempersiapkan berkas-berkas untuk pendaftaran
kuliah, mempersiapkan beberapa pakaian sebagai salah satu kebutuhan utama,
dan juga tiket kapal.
43
Informan berikutnya bernama Uswatun dari program studi Pendidikan
Matematika menuturkan, “Paling kayak bahan pokok ji saja.” (wawancara,
28/09/20). Uswatun menjelaskan bahwa salah satu persiapan yang ia lakukan
sebelum merantau ialah mempersiapkan kebutuhan pangan seperti bahan-bahan
makanan dan sejenisnya untuk nantinya dikonsumsi sehari-hari.
Informan selanjutnya yakni mahasiswa dari program studi Ilmu
Komunikasi bernama Yulianah, ia menuturkan, “Untuk persiapannya kalau
finansial sama orang tua lah.” (wawancara, 28/09/20). Bagi Yulianah salah
satu hal yang perlu dipersiapkan sebelum merantau ialah persiapan finansial
atau biaya yang tentunya menjadi penunjang kebutuhan hidup selama di
perantauan.
b) Persiapan mental
Persiapan mental yang dimaksud ialah kesiapan yang berasal dari dalam
diri mahasiswa (secara psikologis) untuk memulai kehidupan di lingkungan
baru. Yuyun mengungkapkan, “Dan juga keberanian supaya saya tidak takut.”
(wawancara, 02/10/20). Persiapan lain yang dilakukan Yuyun ialah mendorong
dirinya untuk bersikap berani agar ia tidak merasa takut untuk memulai
kehidupan di Makassar dalam waktu yang cukup lama.
Informan berikutnya yaitu mahasiswa program studi Ilmu Pemerintahan
bernama Rajak mengemukakan:
“Persiapannya sebelum merantau dulu sih sebelum ke Makassar sempat
bergaul dengan kawan-kawan yang memang kuliah di Makassar.
Semisalkan kondisi Makassar yang panas geografisnya panas sosial
budaya masyarakatnya. Kita sudah tau bagaimana itu Makassar jadi itu
bisa menjadi salah satu persiapan mental kita.” (wawancara, 30/09/20)
44
Persiapan yang dilakukan Rajak sebelum merantau ke Makassar ialah
dengan terlebih dahulu mencari tahu tentang gambaran kondisi kehidupan di
Kota Makassar melalui teman-teman sepergaulannya di desa yang telah lebih
dulu kuliah di Makassar. Maka dengan adanya informasi tersebut Rajak merasa
terbantu untuk mempersiapkan mentalnya menghadapi kehidupan di kota besar
seperti Makassar.
Informan selanjutnya yaitu Jumriati menuturkan, “Saya memberanikan
diri saja untuk merantau karena saya percaya saya berjodoh untuk menetap
dan kuliah disana.” (wawancara, 29/10/20). Jumriati menjelaskan bahwa
keberanian dan keyakinannya untuk kuliah di Makassar merupakan modal awal
baginya untuk melakukan perantauan.
Selanjutnya yaitu Uswatun mengungkapkan, “Kalau dari segi mental sih
paling minta arahan dulu dari orang tua bagaimana sikap ta di sini supaya
tidak mengganggu orang lain begitu.” (wawancara, 28/09/20). Persiapan
mental dari Uswatun ialah meminta bantuan kepada orang tuanya agar diberi
arahan tentang bagaimana bersikap yang baik di lingkungan orang lain agar
kelak ia tidak menimbulkan masalah yang dapat merugikan dirinya sendiri
maupun orang lain.
Berdasarkan penuturan kelima informan mengenai persiapan awal yang
dilakukan sebelum merantau pada fase perencanaan, dapat dilihat pada tabel
matriks berikut:
45
Tabel 4.1. Fase Perencanaan dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock
No. Nama Fase Perencanaan
1. Yuyun - Mempersiapkan berkas pendaftaran kuliah
- Memberanikan diri
2. Rajak - Mencari informasi tentang Kota Makassar melalui teman
sepergaulan di Bima yang kuliah di Makassar
3. Jumriati - Mempersiapkan berkas pendaftaran kuliah
- Memberanikan diri
4. Uswatun - Mempersiapkan bahan pokok
- Meminta arahan orang tua
5. Yulianah - Mempersiapkan finansial
(Sumber: Hasil olahan data primer, tahun 2021)
Berdasarkan penuturan informan mengenai fase perencanaan dalam proses
adaptasi dapat disimpulkan bahwa persiapan yang dilakukan mahasiswa dapat
digolongkan menjadi dua yakni persiapan secara materiel dan persiapan secara
mental. Persiapan secara materiel meliputi persiapan yang berhubungan dengan
benda-benda yang diperlukan oleh masing-masing mahasiswa seperti berkas
kelengkapan persyaratan pendaftaran kuliah, pakaian-pakaian, bahan-bahan
makanan, dan biaya hidup (uang). Adapun persiapan mahasiswa dari segi
mental yakni seperti mempersiapkan keberanian diri untuk merantau, mencari
informasi terlebih dahulu mengenai gambaran keadaan lingkungan baru yang
akan dimasuki, serta meminta arahan kepada orang tua. Persiapan yang
46
dilakukan para mahasiswa berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-
masing individu.
2. Fase honeymoon
Fase kedua adalah fase honeymoon, yaitu ketika mahasiswa telah berada di
lingkungan baru yakni di Makassar, sekaligus menjadi tahap awal dari proses
adaptasi. Pada fase ini suasanan baru yang dirasakan mahasiswa menimbulkan
kesan tersendiri pada masing-masing mahasiswa.
a) Perasaan bahagia
Yuyun mengungkapkan, “Perasaannya senang, bahagia.” (wawancara,
02/10/20). Menurut Yuyun dirinya merasa bahagia setelah berada di Kota
Makassar. Hal senada juga diungkapkan oleh mahasiswa lain yaitu Yulianah, ia
mengungkapkan, “Cukup bahagia dan tentunya bersemangat untuk
menjalankan amanah yang diberikan orang tua.” (wawancara, 28/09/20)
Yulianah menjelaskan bahwa setelah tiba di tempat perantauan dirinya
merasa bahagia dan merasa bersemangat untuk memulai kehidupannya di
Makassar khususnya berkuliah.
Uswatun juga menuturkan hal yang sama, “Ya senang, bersyukur akhirnya
tiba di Makassar.” (wawancara, 28/09/20). Perasaan bahagia juga dirasakan
oleh Uswatun setelah berada di Makassar. Selanjutnya, Jumriati menuturkan
“Perasaan saya setelah di Makassar saya merasa senang karena apa yang
saya inginkan itu sudah terwujud.” (wawancara, 29/10/20)
Senada dengan Yuyun, Yulianah, dan Uswatun, keinginan Jumriati untuk
kuliah di Makassar membuatnya merasa bahagia setelah berada di Makassar.
47
b) Terkesan dengan keramahan penduduk
Yuyun menuturkan, “Kesannya Makassar seru dan orang-orangnya juga
pada asyik.” (wawancara, 02/10/20). Suasana Kota Makassar yang ramai dan
sepanjang hari dihidupkan dengan beragam aktivitas penduduknya serta
keramahan para penduduk kepada orang lain termasuk kepada para pendatang
membuat Yuyun merasa terkesan dengan Kota Makassar.
c) Terkesan dengan kondisi sosial budaya Makassar
Kondisi sosial budaya sebuah kota metropolitan seperti Kota Makassar
yang dinilai sangat berbeda dengan Kabupaten Bima membuat mahasiswa
Bima merasa terkesan, seperti yang diungkapkan Rajak bahwa:
“Yang menarik sekaligus uniklah semisalkkan menariknya kota Makassar
ini lingkungannya cukup produktif dan sisi uniknya juga adalah kayak
bahasanya. Itu menjadi semangat awal lah untuk kita yang baru di
Makassar untuk belajar bagaimana budaya di Makassar ini.”
(wawancara, 30/09/20)
Aktivitas masyarakat di Kota Makassar yang setiap hari terbilang sibuk,
membuat Rajak menilai Makassar sebagai kota yang produktif. Kesibukan
masyarakat di kota yang terlihat berbeda dengan masyarakat di desa menjadi
hal yang menarik bagi Rajak. Kemudian yang menarik lainnya adalah dari segi
bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat. Sisi menarik yang
ditemukan Rajak pada awal tinggal di Makassar membuatnya bersemangat
untuk mempelajari budaya di Kota Makassar.
Jumriati juga menilai banyak hal menarik dari Kota Makassar. Jumriati
menuturkan:
“Banyak yang menarik dari Kota Makassar menurut saya, seperti gedung-
gedungnya, terus ada grab juga karena di kampung itu saya jarang sekali
48
naik mobil sedan begitu, dan juga ada pete-pete karena di kampung saya
juga jarang ada pete-pete kayak gitu, dan juga bahasanya dengan orang-
orang di sana beda jauh sekali dengan di sini dan juga aneh saya
dengarnya begitu. Itu sih yang menarik menurut saya.” (wawancara,
29/10/20)
Gedung-gedung tinggi Kota Makassar serta tersedianya transportasi umum
seperti layanan grab dan mobil angkutan umum yang dikenal dengan sebutan
pete-pete, menjadi hal yang menarik bagi Jumriati. Terlebih transpotasi umum
yang terdapat di Makassar masih terbilang jarang ditemukan di desa Jumriati.
Selain dari segi bangunan dan transportasi kota, bahasa keseharian masyarakat
setempat yang meskipun terdengar aneh tetapi menarik bagi Jumriati.
Berdasarkan penuturan kelima informan mengenai perasaan serta kesan
yang didapatkan setelah berada di Makassar dalam fase honeymoon, dapat
dilihat pada tabel matriks berikut:
Tabel 4.2. Fase Honeymoon dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock
No. Nama Fase Honeymoon
1. Yuyun - Terkesan dengan keramahan penduduk
2. Rajak - Terkesan dengan sosial budaya Kota Makassar
- Bersemangat mempelajari budaya Makassar
3. Jumriati - Terkesan dengan sosial budaya Kota Makassar
4. Yulianah - Merasa bahagia
5. Uswatun - Merasa bahagia
(Sumber: Hasil olahan data primer, tahun 2021)
49
Berdasarkan penuturan informan mengenai fase honeymoon dalam proses
adaptasi dapat disimpulkan bahwa setelah berada di Kota Makassar atau awal
masuk di lingkungan Kota Makassar mahasiswa Bima merasakan hal positif
yang mencakup perasaan bahagia karena telah berada di Makassar, merasa
terkesan dengan keramahan para penduduk, dan merasa terkesan dengan
kondisi sosial budaya Kota Makassar seperti suasana kota yang ramai dengan
bangunan-bangunannya yang tinggi serta bahasa masyarakat setempat yang
dinilai unik.
3. Fase frustation
Fase ketiga adalah fase frustation, yaitu fase ketika mahasiswa mulai
menemukan berbagai masalah di lingkungannya sehingga semangat yang
dirasakan pada fase sebelumnya tidak lagi sama karena mahasiswa mulai
menyadari realita di lingkungan yang sebenarnya.
a) Kebingungan terhadap bahasa
Penggunaan bahasa keseharian oleh masyarakat di masing-masing daerah
seperti penggunaan dialek dan kosa kata yang berbeda menjadi salah satu
permasalahan yang sering dialami oleh para pendatang yang berbeda secara
kultural. Hal tersebut juga dialami oleh mahasiswa Bima. Yuyun sebagai
informan pertama mengungkapkan:
“Saya sempat shock itu karena dari segi bahasanya, banyak menggunakan
kata tambahan seperti ji, mi, ki, ka, dan lain sebagainya yang membuat
saya keliru. Terus karena pengucapan bahasanya juga berbeda jadi saya
tidak mengerti. Jadi pertamanya saya takut terus enggak pede kalau
bicara.” (wawancara, 02/10/20)
50
Permasalahan pertama yang dialami Yuyun yaitu berkaitan dengan bahasa.
Bahasa keseharian orang Makassar yang sering menggunakan kata imbuhan
hampir disetiap kalimat seperti imbuhan ji, mi, ki, ka, dan lain-lainnya
membuat Yuyun kebingungan saat berkomunikasi. Selain itu, perbedaan suku
kata antara bahasa yang digunakan orang Makassar dengan bahasa yang
biasanya Yuyun gunakan di Bima membuatnya tidak paham sehingga Yuyun
merasa takut dan tidak percaya diri untuk berkomunikasi.
Selanjutnya yaitu Yulianah, ia mengungkapkan:
“Jadi pas pertama masuk dalam lingkungan budaya Makassar itu sendiri
sempat kaget apalagi dalam hal bahasa. Banyak perbedaan logat, kata
ganti, kata bantu. Itu sama sekali hal yang baru buat saya karena di Bima
tidak ada kata bantu seperti itu. Terus kalau orang disini kan juga masih
biasa menggunakan bahasa Indonesia tapi kalau di tempat saya di
kampung betul-betul bahasa asli Bima. Kalau saya dengar logat Makassar
juga bahasanya kayak dibolak balik begitu jadi saya bingung. Jadi
bahasanya memang sangat berbeda sekali. Terus pernah waktu KKP di
Gowa karena memang langsung berhadapan dengan kebudayaan yang
sangat berbeda, berbaur dengan masyarakat yang sangat berbeda
bahasanya jadi mereka bicara saya tidak tau saya bingung. Jadi ya
merasa terasingkan sih dan kayak kebingungan begitu” (wawancara
28/09/20)
Perbedaan bahasa keseharian orang Makassar mulai dari dialek,
penggunaan kata ganti seperti kata “kita” yang umumnya bermakna lebih dari
satu orang tetapi bagi orang Makassar artinya “kamu”, kemudian penggunaan
kata bantu seperti kata imbuhan ji, mi, ki, dan lainnya adalah sesuatu yang
tidak ada dalam bahasa Bima. Serta penempatan kata dalam bahasa keseharian
orang Makassar yang kadang dibolak-balik membuat Yulianah bingung saat
diajak berkomunikasi. Perbedaan lainnya yaitu kebiasaan orang Makassar yang
masih sering menggunakan Bahasa Indonesia saat berbicara sedangkan di
51
tempat asal Yulianah di Bima, masyarakatnya menggunakan bahasa asli Bima.
Pengalaman lain yang juga pernah dialami ketika ia melaksanakan tugas KKP
di salah satu kabupaten yang secara kultur tidak jauh berbeda dengan Makassar
yaitu di Kabupaten Gowa. Pengalamannya berbaur langsung dengan
masyarakat yang sangat berbeda dari segi budaya khususnya bahasa, membuat
Yulianah merasa asing berada di tengah masyarakat tersebut.
Kebingungan terhadap bahasa juga dialami oleh Jumriati, ia
mengungkapkan:
“Bahasanya yang sangat jauh berbeda bikin saya bingung sampai
sekarang. Karena dulu sebelum ke Makassar saya pikir nda sulit seperti
itu bahasanya. Pertama-tamanya saya kan belum bisa bahasa Makassar
jadi saya hanya mendengarkan mereka saja tidak berani berbicara.
Karena takut berbicara itu jadi saya merasa terkucilkan karena saya
hanya diam saja, nda mau saya berbicara sekalipun. Saya minder karena
tidak bisa sekali bahasa Makassar. Sulit sekali.” (wawancara, 29/10/20)
Bahasa orang Makassar yang sangat jauh berbeda dengan orang Bima
membuat Jumriati hingga kini masih dibuat kebingungan. Semula ia
beranggapan bahwa bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Kota Makassar
tidak rumit dan mudah dipahami. Namun setelah ia berada di Makassar ia baru
menyadari bahwa bahasa keseharian orang Makassar sangat sulit.
Ketidakmampuannya berbahasa Makassar membuat Jumriati merasa tidak
percaya diri untuk berkomunikasi sehingga ia lebih memilih untuk diam dan
mendengarkan orang lain berbicara dan hal tersebut membuatnya merasa
terkucilkan.
52
b) Cita rasa makanan
Permasalahan kedua yang dialami oleh mahasiswa Bima yakni perbedaan
cita rasa makanan. Yulianah menuturkan, “Yang kedua dalam hal
makanannya. Makanan yang pake sagu itu yang kapurung dicampur dengan
bahan-bahan sayuran itu hal yang baru juga karena di Bima tidak ada sagu
jadi saya enggak suka.” (wawancara, 28/09/20)
Menurut Yulianah hal baru lainnya adalah dari segi makanan. Di Makassar
terdapat makanan dengan bahan utamanya terbuat dari sagu yang dikenal
dengan nama kapurung. Walaupun kapurung bukan makanan khas Makassar
tetapi kebanyakan orang Makassar senang memakannya. Kapurung juga salah
satu hidangan yang tergolong mudah dalam pembuatannya sehingga sering
dijadikan sebagai menu makanan dalam acara pertemuan seperti arisan ataupun
perkumpulan yang sifatnya informal. Makanan seperti kapurung yang terbuat
dari sagu dan sayur-sayuran adalah makanan yang tidak disukai Yulianah
karena di Bima tidak terdapat sagu sehingga ia tidak terbiasa dengan rasa dari
sagu ataupun makanan-makanan yang berbahan dasar sagu.
Persoalan makanan lainnya juga diungkapkan oleh Uswatun,
“Masakannya disini berbeda. Kalau disini itu saya lihat masakannya itu
enak sih iya cuma kayak banyak campurannya. Kalau di Bima itu kita
masak, bumbunya ya sederhana saja. Jadi aneh saja rasanya karena
biasanya makan makanan yang bumbunya itu seadanya saja.”
(wawancara, 28/09/20)
Makanan khas Makassar dikenal dengan rasa bumbunya yang kuat serta
kebiasaan orang Makassar menggunakan berbagai jenis bumbu dan rempah
dalam mengolah makanan. Tetapi bagi Uswatun ia tidak terbiasa dengan
53
makanan yang diolah dengan berbagai macam bumbu karena orang-orang di
Bima hanya menggunakan bumbu seadanya saat memasak sehingga cita rasa
makanan di Makassar dirasa kurang cocok dengan lidah Uswatun.
Permasalahan yang sama juga diungkapkan Jumriati. Ia mengungkapkan,
“Saya baru tau ternyata di Makassar itu makanannya macam-macam seperti
ada pisang epe, kapurung, barobbo, tapi ada beberapa makanan yang rasanya
aneh di lidah saya seperti kapurung itu.” (wawancara, 29/10/20)
Menurut Jumriati hal baru yang ia ketahui setelah tinggal di Makassar
ialah banyaknya jenis makanan yang biasa dimakan ataupun dijual di
Makassar. Namun dari berbagai jenis makanan tersebut terdapat beberapa
makanan yang tidak disukai oleh Jumriati, salah satunya kapurung. Cita rasa
makanan di Makassar yang berbeda dengan yang biasanya dimakan oleh
Jumritati selama di Bima juga menjadi alasan ia tidak menyukai beberapa jenis
makanan di Makassar.
c) Keamanan kota
Faktor keamanan kota juga dinilai sebagai masalah bagi mahasiswa Bima
setelah tinggal di Kota Makassar. Yuyun mengungkapkan, “Saya kira
Makassar itu aman kayak diperkampungan gitu jauh dari kejahatan ternyata
tidak. Ternyata di lorong saya ada begal. Makanya saya tidak berani pulang
larut malam. Jadi keamanannya saya tidak suka, tindak kejahatannya banyak.”
(wawancara, 02/10/20)
Kondisi keamanan di Kota Makassar yang marak terjadi pembegalan
membuat Yuyun tidak berani pulang larut malam saat bepergian di malam hari.
54
Sebelumnya ia yang menganggap bahwa Kota Makassar adalah kota yang
aman seperti di kampung halamannya merasa terkejut setelah sempat
mengetahui adanya begal di daerah tempat tinggalnya di Makassar.
Kemudian permasalahan lain juga diungkapkan oleh Rajak, “Sedikit
membuat risih ya ini sih kayak geng motor. Saya kalau liat kayak geng motor
begitu lewat ya agak sedikit takut sih. Apalagi pernah liat kejadian di
Pettarani.” (wawancara, 30/09/20)
Maraknya geng motor yang berkeliaran di jalan raya Kota Makassar sudah
menjadi salah satu permasalahan umum di Makassar. Namun bagi Rajak
sendiri, keberadaan geng motor secara nyata yang ternyata mengerikan baru ia
ketahui setelah berada di Makassar, dikarenakan di tempat asalnya di Bima
keberadaan geng motor masih terbilang jarang bahkan tidak pernah. Sebuah
kejadian di salah satu jalan raya di Makassar yang disebabkan oleh geng motor
juga pernah disaksikan langsung oleh Rajak. Hal tersebut menjadikannya
begitu takut jika melihat komplotan geng motor melintas di jalan.
Permasalahan pada keamaan kota lainnya diungkapkan pula oleh
Uswatun. Ia menuturkan, “Kalau dilihat dari segi masyarakatnya sih ini ada
begal, kalau di kampung nda ada begal. Terus ini ada juga si Mr. Black, jadi
ngeri juga.” (wawancara 28/09/20)
Keberadaan begal yang menakutkan serta adanya pelaku penyimpangan
seks yang berkeliaran di sekitar tempat tinggal Uswatun yang dikenal dengan
sebutan Mr. Black adalah permasalahan yang mengkhawatirkan bagi Uswatun.
55
Terlebih masalah-masalah tersebut adalah hal yang sebelumnya belum pernah
dialami Uswatun selama di Bima.
d) Kondisi geografis
Kondisi geografis seperti perbedaan cuaca yang dirasakan oleh Mahasiswa
Bima juga menjadi hal yang dikeluhkan setelah tinggal di Makassar. Rajak
mengungkapkan, “Yang berbeda yang lainnya itu seperti cuacanya, jauh lebih
panas ternyata.” (wawancara, 30/09/20). Kondisi geografis Kota Makassar
menurut Rajak terasa lebih panas dibanding dengan di desa tempat asalnya.
Kemudian hal serupa juga diungkapkan oleh Jumriati, “Pemikiran saya
Kota Makassar itu cuacanya dingin terus ternyata panas.” (wawancara,
29/10/20). Permasalahan yang sama juga dirasakan oleh Jumriati yakni cuaca
di Makassar yang dirasa panas, padahal sebelumnya ia mengira bahwa
Makassar adalah kota dengan kondisi geografisnya yang dingin.
e) Gaya pergaulan
Gaya pergaulan yang dimaksud ialah kebiasaan yang dilakukan oleh
pemuda-pemudi atau remaja-remaja di kota dalam bergaul. Gaya pergaulan di
kota dinilai berbeda oleh salah satu mahasiswa Bima yaitu Rajak. Ia
mengungkapkan:
“Dari sisi pergaulannya ku lihat ada beberapa kriteria semisalkan dari
teman-teman satu kelas itu kan atau satu angkatan ada pergaulannya yang
bisa dikatakan sedikit elitis lah dalam pergaulannya kayak nongkrong di
kafe atau warung kopi. Ya ku pikir yang biasa ku temani nongkrong di
tempat biasa sih karena di kampung juga begitu kan.” (wawancara,
30/09/20)
Gaya pergaulan anak-anak di Kota Makassar contohnya pada teman-teman
sekelas maupun teman seangkatan Rajak di kampus dinilai cukup elit
56
(berkelas), seperti menjadikan kafe atau warung kopi sebagai tempat untuk
menghabiskan waktu bersama teman-teman. Kebiasaan teman-temannya dalam
bergaul tersebut dinilai berbeda dengan kebiasaannya selama di Bima. Saat di
Bima Rajak bersama teman-teman sepergaulannya lebih sering menghabiskan
waktu bersama di rumah atau di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Walaupun kebiasaan nongkrong di kafe atau di warung kopi sudah menjadi hal
yang lazim di Kota Makassar namun hal tersebut adalah hal yang tidak lazim
bagi Rajak.
Rajak juga mengungkapkan bahwa, “Dari beberapa kejadian tentunya
ada lah yang membuat kita kecewa semisalkan kayak pergaulan yang belum
mampu kita sesuaikan secara total.” (wawancara, 30/09/20). Dari apa yang
disampaikan oleh Rajak dapat dijelaskan bahwa ketidakmampuan Rajak dalam
menyesuaikan diri pada gaya pergaulan teman-temannya yang dinilai cukup
elit sempat membuatnya merasa kecewa. Dirinya yang sejak di kampung
halaman terbiasa bergaul bersama teman-teman di tempat sederhana merasa
tidak mampu mengikuti kebiasaan beberapa teman di kampus yang menjadikan
kafe atau warung kopi sebagai tempat berkumpul.
f) Ekonomi
Faktor ekonomi yang dimaksud ialah persoalan biaya hidup. Permasalahan
biaya hidup di Kota Makassar diungkapkan oleh Jumriati. Ia menuturkan,
“Ternyata biaya hidup di Makassar itu tinggi ya, jadi kalau lagi tidak ada
uang itu rasanya susah sekali.” (wawancara, 29/10/20).
57
Jumriati mengungkapkan bahwa biaya hidup di Makassar terbilang lebih
tinggi dibanding dengan biaya hidup di Bima. Biaya hidup tinggi yang
dimaksud seperti tingginya nilai jual dan biaya yang harus dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari selama di Makassar. Setelah tinggal di
Makassar Jumriati menyadari bahwa biaya hidup yang ia butuhkan tidaklah
sedikit. Terlebih lagi dirinya sedang berada jauh dari orang tua dan sedang
menempuh pendidikan yang juga membutuhkan biaya tersendiri, sehingga ia
akan merasa sangat kesulitan jika sedang kekurangan uang.
g) Homesick
Masalah lain yang dialami mahasiswa Bima yang disebabkan oleh
perbedaan kondisi sosial budaya di Makassar ialah keadaan mahasiswa Bima
yang mengalami homesick atau perasaan rindu rumah. Informan pertama yaitu
Yuyun mengungkapkan, “Sering rindu rumah, rindu orang tua, teman-teman,
saudara. Rasanya sedih. Jadi pernah kepikiran di awal-awal ingin pulang
kembali ke Bima, beda suasananya.” (wawancara, 02/10/20).
Yuyun menuturkan bahwa berada di Makassar membuat dirinya selalu
rindu kepada orang tua, teman-teman, dan saudaranya. Ia juga merasa sedih
setiap kali mengalami homesick. Lalu di masa awal kuliah, ia pernah berpikir
untuk pulang kembali ke Bima karena merasa suasana di Makassar berbeda
dengan di Bima.
Informan berikutnya, Rajak menuturkan:
“Tentunya pernah merasakan kangen rumah bahkan sampai sekarang ya
kalau dibilang kangen ya kangen. Kangen rumah, orang tua, dan saudara
di kampung. Tapi kalau berpikir untuk balik ke Bima sih enggak pernah,
58
karena sudah ada beberapa teman yang dekat disini.” (wawancara,
30/09/20)
Rajak juga pernah mengalami homesick selama kuliah di Makassar. Ia
merasa rindu pada rumah dan keluarga di kampung halamannya. Meskipun
begitu dirinya tidak pernah berniat untuk kembali ke Bima karena ia memiliki
teman akrab yang membantunya merasa nyaman kuliah di Makassar.
Kemudian berikutnya yaitu Yulianah, menuturkan:
“Pernah homesick, sangat pernah. Setiap tahun sih kayaknya. Pernah
rasanya mau balik ke Bima tapi berpikir-pikir lagi kan udah jauh ke sini
udah mengeluarkan biaya banyak gitu masa pulangnya setengah jalan
gitu. Malu juga kan pulangnya.” (wawancara, 28/09/20)
Homesick adalah hal yang Yulianah setiap tahun. Ia juga pernah memiliki
keinginan untuk pulang kembali ke Bima. Namun karena ia berpikir banyaknya
biaya yang telah dikeluarkan untuk bisa sampai di Makassar, maka ia tidak
ingin berhenti di tengah jalan dan merasa malu jika ia kembali ke Bima
sebelum menyelesaikan pendidikannya.
Senada dengan yang diungkapkan oleh Uswatun, ia menuturkan, “Aduh
sering banget, sampai sekarang saja masih. Kalau lagi rindu itu pasti nangis
bombay. Tapi kalau berpikir balik sih tidak ji soalnya kalau berpikir balik
kayak usaha orang tua itu kayak sia-sia begitu.” (wawancara, 28/09/20)
Mahasiswa lainnya, Uswatun juga sering mengalami homesick. Ia dibuat
sangat sedih hingga menangis setiap kali merindukan keluarganya. Namun ia
tidak pernah memiliki keinginan untuk kembali ke kampung halamannya
karena baginya hal tersebut akan membuat usaha orang tuanya yang telah
membatunya untuk kuliah di Makassar menjadi sia-sia.
59
Informan kelima yaitu Jumriati, menuturkan, “Bukan lagi pernah malahan
setiap hari saya rasakan homesick. Mau ketemu sama kampung, sama orang
tua, rindunya setengah mati. Malahan kalau setiap kangen itu kepikiran untuk
pualng kembali ke Bima.” (wawancara, 29/10/20)
Tidak berbeda dengan informan lainnya, Jumriati juga mengalami
homesick bahkan setiap hari. Ia selalu merasakan rindu pada kampung
halamannya dan orang tuanya. Keinginan untuk kembali ke Bima juga selalu
timbul setiap kali ia merasakan homesick.
Berdasarkan penuturan kelima informan mengenai permasalahan yang
dialami dalam fase frustation, dapat dilihat pada tabel matriks berikut:
Tabel 4.3. Fase Frustation dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock
No. Nama Fase Frustation
1. Yuyun
- Kebingungan terhadap bahasa
- Keamanan kota (adanya begal)
- Kehilangan kepercayaan diri untuk berkomunikasi
- Homesick
2. Rajak
- Kebingungan terhadap bahasa
- Kondisi geografis (cuaca lebih panas)
- Gaya pergaulan
- Keamanan kota (adanya geng motor)
- Perasaan kecewa
- Homesick
60
3. Yulianah
- Kebingungan terhadap bahasa
- Cita rasa makanan
- Merasa terasingkan
- Homesick
4. Uswatun
- Cita rasa makanan
- Kebingungan terhadap bahasa
- Keamanan kota (adanya begal dan pelaku penyimpangan seks
yang berkeliaran)
- Homesick
5. Jumriati
- Kebingungan terhadap bahasa
- Kondisi geografis (cuaca yang panas)
- Cita rasa makanan
- Biaya hidup yang tinggi
- Takut berkomunikasi
- Merasa terkucilkan
- Kehilangan kepercayaan diri
- Homesick
(Sumber: Hasil olahan data primer, tahun 2021)
Berdasarkan penuturan informan mengenai fase frustation dalam proses
adaptasi dapat disimpulkan bahwa berbagai masalah ditemukan dan dialami
oleh para mahasiswa setelah proses adaptasi dengan lingkungan mulai berjalan
dan lingkungan mulai menunjukkan keadaan sosial budaya yang sebenarnya.
Permasalahan tersebut meliputi kebingungan terhadap bahasa yang digunakan
masyarakat setempat, perbedaan kondisi geografis, keamanan di lingkungan
kota, perbedaan cita rasa makanan, perbedaan gaya pergaulan, biaya hidup
yang tinggi, serta sering mengalami homesick.
61
4. Fase readjustment
Fase selanjutnya setelah melewati fase frustation disebut dengan fase
readjustment, yaitu ketika individu mulai berusaha mengembangkan berbagai
cara untuk beradaptasi dengan keadaan yang ada dan mengatasi permasalahan-
permasalahan yang dihadapi sebelumnya sehingga individu dapat terus
bertahan di lingkungan baru. Pada fase ini mahasiswa Bima mulai
menyelesaikan krisis yang dialami di fase frustation dengan cara sebagai
berikut:
a) Belajar bahasa
Perbedaan bahasa merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh
mahasiswa Bima di Makassar. Bahasa keseharian orang-orang Makassar sulit
dimengerti oleh Mahasiswa Bima karena dinilai sangat berbeda dengan bahasa
di daerah Bima, mulai dari penggunaan suku kata, dialek, dan penggunaan
imbuhan tertentu dalam kalimat seperti imbuhan ji, mi, ki, ka, dan lain
sebagainya. Maka untuk mengatasi permasalahan bahasa yang sulit dimengerti,
mahasiswa Bima berupaya untuk mempelajari bahasa yang biasa digunakan
oleh orang-orang di Makassar. Seperti yang diungkapkan oleh Yuyun:
“Saya perlahan-lahan mulai belajar bahasa Makassar. Saya minta tolong
kepada kakak sepupu saya untuk mengajarkan saya penggunaan dan
penempatan kata tambahan seperti kata ji, mi, ki, dan ka, yang kadang
masih keliru kak.” (wawancara, 02/10/20)
Setelah tinggal di Makassar Yuyun secara perlahan mulai mempelajari
bahasa Makassar. Ia dibantu oleh kakak sepupunya yang sudah lebih lama
kuliah di Makassar, salah satu hal yang diajarkan oleh sepupunya yaitu
penggunaan kata imbuhan atau kata tambahan yang biasa digunakan oleh
62
orang-orang Makassar di akhir kalimat seperti imbuhan ji, mi, ki, ka, yang tidak
dimengerti Yuyun.
Kemudian mahasiswa lainnya yaitu Rajak menuturkan, “Mencoba juga
untuk mempelajari bahasanya. Apalagi kita tiap hari kuliah kita dibenturkan
dengan logat bahasa yang kayak gitu.” (wawancara, 30/09/20). Seperti halnya
Yuyun, Rajak juga mencoba mempelajari bahasa Makassar agar memudahkan
ia dalam berkomunikasi khusunya dengan teman-teman di kampus yang setiap
hari berkomunikasi dengan menggunakan dialek Makassar.
Berikutnya yaitu Yulianah, ia menuturkan:
“Hal pertama sih memang mempelajari bahasanya karena kendala
utamanya ya memang bahasa. Jadi sebenarnya gampang-gampang susah
sih karena awal-awal itu saya pake bahasa Indonesia yang formal sekali
untuk berkomunikasi. Jadi saya tanya-tanya sama saudara bagaimana ini
kalau dalam segi bahasa.” (wawancara, 28/09/20)
Mempelajari bahasa adalah hal utama yang dilakukan Yulianah dalam
proses adaptasinya di Makassar. Baginya bahasa menjadi kendala utama
selama ia berada di Makassar. Ia yang pada awalnya hanya bisa menggunakan
bahasa Indonesia formal saat berkomunikasi, membuatnya merasa cukup
kesulitan dalam mempelajari bahasa baru. Ia meminta bantuan kepada
saudaranya yang juga berada di Makassar untuk diajarkan bahasa Makassar.
Mempelajari bahasa juga dilakukan oleh Uswatun. Ia menuturkan:
“Kalau untuk bahasanya dipelajari. Sebelumnya kan tidak tau kayak
“kita” itu kan “kamu”, kalau saya kan biasa pake “kamu” tapi teman-
teman tegur bilang jangan pake “kamu” tapi pake “kita”. Kalau itu
diajari sama teman-teman.” (wawancara, 28/09/20)
Uswatun juga berusaha mempelajari bahasa Makassar seperti pengunaan
kata-kata tertentu yang memiliki perbedaan makna. Contohnya kata “kita”
63
yang dalam bahasa Indonesia artinya menunjukkan dua orang atau lebih namun
dalam bahasa Makassar kata “kita” berarti “kamu”. Penggunaan kata-kata
tersebut dan yang lainnya dipelajari Uswatun dengan bantuan teman-teman
kelasnya .
Selanjutnya yaitu Jumriati menuturkan: “Kayak bahasanya saya terus
berusaha mempelajarinya dan berusaha memakai bahasa Makassar walaupun
masih terbata-bata.” (wawancara, 29/10/20). Seperti keempat informan
lainnya Jumriati juga turut mempelajari bahasa Makassar dan berusaha untuk
menggunakan bahasa Makassar saat berkomunikasi walaupun ia masih terbata-
bata.
b) Memasak sendiri
Perbedaan cita rasa makanan di Makassar dengan makanan yang biasa
dimakan di Bima, membuat mahasiswa Bima memilih untuk mengolah atau
memasak sendiri makanan yang ingin dimakan. Seperti yang dituturkan oleh
Uswatun, “Kalau yang makanan itu saya pilih masak sendiri.” (wawancara,
28/09/20). Uswatun yang tidak terbiasa dengan cita rasa makanan di Makassar
lebih memilih memasak sendiri agar ia bisa memakan makanan yang sesuai
dengan lidahnya.
Selain Uswatun pilihan untuk memasak sendiri juga dilakukan oleh
Jumriati. Ia menuturkan, “Kayak misalnya makanan. Jika itu enak di lidah
saya ya saya makan tapi kalau tidak enak di lidah saya ya saya tidak
memakannya. Tapi saya lebih suka masak sendiri saja.” (wawancara,
29/10/20).
64
Bagi Jumriati terdapat beberapa jenis makanan di Makassar yang tidak
sesuai dengan seleranya seperti olahan makanan yang terbuat tepung sagu.
Maka dalam hal makanan ia memilih untuk memakan makanan yang sesuai
dengan seleranya atau ia memilih untuk mengolah makanannya sendiri.
c) Meningkatkan keamanan diri
Tindak kejahatan yang masih marak terjadi di Kota Makassar seperti
adanya begal, geng motor dan pelaku penyimpangan seksual menjadi ketakutan
tersendiri bagi mahasiswa Bima selama berada di Makassar. Setelah tinggal di
Makassar dalam beberapa kurung waktu, Mahasiswa Bima pernah dikejutkan
oleh kejadian-kejadian tersebut yang sebelumnya tidak pernah dialami atau
tidak pernah terjadi di tempat tinggal mereka di Bima.
Keadaan tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi Mahasiswa Bima
khususnya saat mereka bepergian. Untuk itu meningkatkan keamaan diri
menjadi hal yang dilakukan mahasiswa Bima sebagai bagian dari upaya
adaptasi di Makassar.
Yuyun menuturkan, “Saya kalau keluar malam sampai jam 8 takutnya ada
begal atau enggak kalau pulang saya minta diantar sama senior.”
(wawancara, 02/10/20). Ketakutan Yuyun terhadap maraknya begal yang
berkeliaran membuatnya berusaha untuk lebih menjaga diri dengan cara
membatasi aktivitas malam di luar rumah yaitu sampai jam 8 malam atau
dengan meminta bantuan kepada teman sepergaulan atau kakak kelasnya untuk
mengantarnya pulang saat bepergian di malam hari.
65
Upaya meningkatkan diri juga dilakukan oleh Uswatun, ia
mengungkapkan, “Kalau pulang malam menghindari tempat gelap karena kan
mereka kayak Mr. Black itu biasanya ada di tempat gelap yang sepi.”
(wawancara, 28/09/20).
Setelah pernah mengalami kejadian yang menakutkan yaitu bertemu
dengan pelaku penyimpangan seksual yang dikenal dengan sebutan Mr. Black
di daerah tempat tinggalnya di Makassar, Uswatun berupaya untuk lebih
meningkatkan keamanan diri saat berpergian khususnya di malam hari. Ia
memilih menghindari tempat gelap atau gang-gang sepi saat bepergian agar
tidak mengalami kejadian yang serupa karena pelaku penyimpangan seks
tersebut diketahui sering berkeliaran di tempat-tempat yang sepi.
d) Berani mengenal orang baru
Tantangan lain saat tinggal di lingkungan baru yakni berani mengenal dan
berbaur dengan orang-orang baru. Namun tidak semua orang mudah untuk
membuka diri dengan orang-orang di lingkungan asing khususnya orang-orang
yang berbeda secara kultural dengan diri kita. Hal tersebut dialami oleh salah
satu mahasiswa Bima yaitu Yuyun.
Yuyun menuturkan, “Saya berusaha melatih mental saya biar tidak takut
dengan orang baru.” (wawancara, 02/10/20). Yuyun mengungkapkan bahwa
dirinya sangat pemalu dan penakut termasuk dalam hal mengenal orang baru.
Maka dari itu selama kuliah di Makassar ia terus berupaya untuk
menghilangkan ketakutannya mengenal orang baru dengan cara melatih
66
mentalnya untuk lebih berani membuka diri terhadap orang-orang baru yang
ditemui.
e) Bergaul dengan teman-teman dari budaya tuan rumah
Cara lain agar dapat beradaptasi dan berbaur di lingkungan baru yaitu
dengan mempelajari budaya melalui orang-orang yang berasal dari budaya di
lingkungan tersebut. Hal tersebut dilakukan oleh salah satu mahasiswa Bima
yaitu Rajak.
Rajak mengungkapkan, “Saya apa yah ya ngikut aja dulu sama teman-
teman dari Sulawesi semisalkan bagaimana caranya disini yang sopan itu
gimana yang baik itu gimana yang buruk itu gimana supaya kita itu
enggak secara spontan semisalkan kita yang belum tau keadaan soal
tradisi soal budaya dan watak masyarakat disini, itu kan enggak bakalan
cocok kalau kita tidak mengikuti beberapa hal itu.” (wawancara,
30/09/20)
Proses memahami lingkungan kebudayaan di Makassar bagi Rajak ialah
mencoba belajar dari teman-teman sepergaulannya di kampus yang berasal dari
Sulawesi khususnya dari Makassar. Melalui teman-temannya Rajak mencoba
mempelajari nilai-nilai baik dan buruk yang berlaku di masyarakat, agar ia pun
dapat bersikap sesuai dengan aturan perilaku di masyarakat setempat karena
sebagai seorang pendatang ia tentunya belum memahami karakter dan
kebiasaan masyarakat di Kota Makassar.
f) Bergaul dengan teman sekultur
Beberapa orang akan merasa lebih nyaman dan aman ketika berada di
sekitar orang-orang yang secara kultural sama dengan dirinya. Hal tersebut
juga akan memudahkan seseorang untuk berinteraksi dengan satu sama lain.
Memilih bergaul dengan orang-orang yang berasal dari kultur yang sama
67
menjadi salah satu cara bagi mahasiswa Bima yaitu Yulianah untuk dapat
bertahan hidup di Makassar.
Yulianah mengungkapkan, “Kalau bergaul lebih memilih dengan teman-
teman sesama Bima karena lebih nyaman aja rasanya tapi tetap berteman
sama yang lain juga.” (wawancara, 28/09/20). Yulianah mengungkapkan
bahwa dirinya adalah tipe orang yang lebih senang berada di sekitar orang-
orang yang tidak jauh berbeda dengan dirinya. Maka dari itu selama kuliah di
Makassar, ia memilih untuk lebih sering bersilaturahmi dengan teman-teman
sesama dari Bima yang juga kuliah di Unismuh Makassar.
Yulianah merasa lebih nyaman dan cocok bergaul dengan orang Bima. Ia
juga mengungkapkan bahwa ia merasa lebih terbantu dalam menjalani
kehidupannya di Makassar khususnya secara psikis apabila tetap berada dalam
lingkungan orang-orang Bima. Namun disisi lain ia juga tetap berteman dengan
teman-teman di kampus yang bukan berasal dari Bima.
Berdasarkan penuturan kelima informan mengenai upaya yang dilakukan
dalam mengatasi berbagai masalah dalam fase readjustment, dapat dilihat pada
tabel matriks berikut:
Tabel 4.4. Fase Readjustment dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock
No. Nama Fase Readjustment
1. Yuyun
- Belajar bahasa
- Meningkatkan kemanan diri (membatasi waktu aktivitas
malam di luar rumah)
- Melatih mental untuk berani mengenal orang lain
68
2. Rajak - Belajar bahasa
- Bergaul dengan teman-teman dari Makassar
3. Yulianah - Belajar bahasa
- Bergaul dengan teman-teman sekultur
4. Uswatun
- Belajar bahasa
- Memasak sendiri
- Meningkatkan keamanan diri (menghindari tempat sunyi saat
bepergian)
5. Jumriati - Belajar bahasa
- Memasak sendiri
(Sumber: Hasil olahan data primer, tahun 2021)
Berdasarkan penuturan informan mengenai fase readjustment dalam
proses adaptasi dapat disimpulkan bahwa masing-masing mahasiswa memiliki
cara tersendiri dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan termasuk dalam
menghadapi berbagai permasalahan di fase frustation. Namun karena semua
mahasiswa mengalami kendala bahasa maka mempelajari bahasa masyarakat
setempat adalah upaya yang dilakukan oleh semua mahasiswa. Upaya lainnya
ialah bergaul dengan teman-teman yang berasal dari Makassar untuk
mempelajari kultur tuan rumah, memberanikan diri mengenal orang baru,
memasak sendiri dikarenakan adanya perbedaan cita rasa makanan antara
daerah Bima dengan Makassar, menjaga diri bagi mereka yang khawatir akan
kondisi keamanan di Kota Makassar, serta bergaul dengan teman-teman
sekultur. Dapat dikatakan bahwa bentuk penyesuain diri yang dilakukan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing mahasiswa.
69
5. Fase resolution
Fase terakhir dari proses adaptasi mahasiswa Bima ialah fase resolution.
Fase resolution disebut sebagai jalan akhir dari upaya penyesuaian diri
informan terhadap lingkungan budaya baru. Pada fase ini mahasiswa Bima
menetukan pilihan sebagai jalan keluar dari ketidaknyamanan yang dirasakan
dalam proses adaptasi. Beberapa hal yang dapat dijadikan pilihan antara lain
disebut dengan istilah flight, fight, accomodation, dan full participation.
Peneliti pada fase ini menanyakan sejauh mana kenyamanan yang
dirasakan mahasiswa setelah tinggal dan kuliah di Makassar, sehingga dari
jawaban para informan dapat digolongkan sebagai berikut:
a) Full participation
Full participation adalah ketika seseorang sudah dapat menerima segala
keadaan yang ada dan tidak meresahkan masalah apapun lagi karena mulai
merasa nyaman di lingkungan dan budaya barunya.
Yuyun sebagai informan pertama menuturkan, “Alhamdulillah saya sudah
nyaman dan saya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan dan kultur
budaya di Makassar bahkan saya sudah bisa mengerti artinya toleransi.”
(wawancara, 02/10/20).
Yuyun menuturkan bahwa dirinya telah merasa nyaman dengan
lingkungannya. Ia sudah dapat menerima dan menghargai perbedaan kultur
yang dirasakan selama hidup di Makassar.
Informan kedua yaitu Rajak menuturkan, “Karena saya orangnya cukup
adaptif jadi pada akhirnya ya bisa nyaman disini.” (wawancara, 30/09/20).
70
Rajak menegaskan bahwa dirinya adalah orang yang mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan orang-orang baru. Sehingga meskipun ia berasal dari
daerah dengan budaya yang berbeda tetapi ia telah merasa nyaman tinggal di
Kota Makassar.
Selanjutnya yaitu Uswatun dengan singkat menuturkan: “Nyaman.”
(wawancara, 28/0920). Sama seperti Yuyun dan Rajak, Uswatun juga
menegaskan bahwa dirinya kini telah nyaman hidup di Makassar.
b) Accomodation
Jika ketiga informan yaitu Yuyun, Rajak, dan Uswatun berada pada
pilihan full participation, maka salah satu mahasiswa yakni Yulianah berada
pada pilihan accomodation. Accomodation yang dimaksud ialah ketika
seseorang mencoba menikmati apa yang ada di lingkungan baru. Walaupun
awalnya merasa tidak nyaman namun seseorang berusaha berkompromi dengan
keadaan baik secara eksternal maupun internal dirinya.
Yulianah menuturkan:
“Kalau saya sendiri sih kalau dibanding dengan di kota sih lagi-lagi lebih
suka di kampung daripada di kota kan. Dengan orang-orangnya lebih
suka di kampung, makanannya juga memang lebih baik di kampung. Tapi
karena kuliahnya disini jadi dinikmati saja. Netral sih.” (wawancara,
28/09/20)
Yulianah menuturkan bahwa dirinya lebih menyukai kehidupan di
kampung atau di Bima daripada di Kota Makassar. Ia lebih senang dengan
segala hal yang ada di kampung halamannya seperti orang-orangnya dan juga
makanannya. Tetapi karena ia sendiri telah memutuskan untuk kuliah di
Makassar sehingga ia merasa harus siap menerima keadaan di Kota Makassar.
71
Ia memilih bersikap netral terhadap lingkungan barunya yang artinya ia tetap
berusaha menikmati keadaan yang ada meskipun kenyamanan yang dirasakan
tidak senyaman saat ia berada di lingkungan asalnya.
c) Fight
Fight yaitu orang yang masuk pada lingkungan kebudayaan baru dan dia
sebenarnya merasa tidak nyaman, namun ia berusaha untuk tetap bertahan dari
segala hal yang membuatnya tidak nyaman. Jumriati berada pada pilihan fight,
ia menuturkan, ”Sebenarnya masih kurang nyaman sih karena cuacanya panas
dan biaya hidup disini itu kan tinggi. Tapi ya karena kuliah disini jadi yah
jalani saja.” (wawancara, 29/10/20).
Jumriati mengungkapkan bahwa dirinya merasa belum sepenuhnya
nyaman hidup di Makassar karena perbedaan kondisi geografis serta tingginya
biaya hidup yang dirasakan selama ini. Namun ia berusaha bertahan dengan
keadaan yang ada termasuk dengan hal-hal yang membuatnya tidak nyaman.
Berdasarkan penuturan kelima informan mengenai pilihan akhir dalam
upaya adaptasinya dengan lingkungan pada fase resolution, dapat dilihat pada
tabel matriks berikut:
Tabel 4.5. Fase Resolution dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima
Terhadap Culture Shock
No. Nama Fase Resolution
1. Yuyun Full participation
2. Rajak Full participation
72
3. Uswatun Full participation
4. Yulianah Accomodation
5. Jumriati Fight
(Sumber: Hasil olahan data primer, tahun 2021)
Berdasarkan penuturan informan mengenai fase resolution dalam proses
adaptasi dapat disimpulkan bahwa tiga orang informan yakni Yuyun, Rajak,
dan Uswatun telah merasa nyaman hidup di Kota Makassar, dengan kata lain
ketiga informan sudah bisa menerima kondisi lingkungan sosial budaya di Kota
Makassar meskipun pada awalnya mereka harus menghadapi beberapa
perbedaan budaya. Maka ketiga informan tersebut berada pada pilihan full
participation. Sedangkan dua informan lainnya yakni Yulianah dan Jumriati
tidak sepenuhnya merasa nyaman karena kondisi sosial budaya dari daerah asal
mereka yaitu Bima terasa lebih baik bagi keduanya. Namun kedua informan
dapat berkompromi dengan keadaan yang ada. Maka kedua informan tersebut
berada pada pilihan accomodation.
Adapun telaah penyesuaian diri dalam perspektif islam terdapat dalam Q.S. Al-
Isra Ayat 15.
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya
73
sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami
tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
Surah Al-Isra ayat 15 menjelaskan bahwa Allah SWT telah mengingatkan
kepada hamba-Nya untuk menyelamatkan dirinya sesuai dengan hidayah yang
ditunjukkan oleh Allah SWT. Selain itu Allah SWT juga mengingatkan kepada
hamba-Nya bahwa siapa saja yang memilih jalan yang sesat maka akan
menimbulkan kerugian pada dirinya sendiri. Hal ini terkait dengan proses adaptasi
yang dilakukan oleh manusia, bahwa manusia selalu dituntut untuk menyesuaikan
diri dimanapun ia berada. Sehingga setiap individu dapat hidup dengan baik di
lingkungannya.
C. Hambatan Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture
Shock
Tingkat kemampuan seseorang berbeda-beda dalam hal menyesuaikan
diri. Namun proses penyesuaian diri tidak selalu berjalan begitu saja tanpa
adanya kendala ataupun hambatan. Kendala ataupun hambatan ini pula yang
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan
lingkungannya. Terutama jika lingkungan tersebut memiliki kondisi
kebudayaan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya, maka kemungkinan
hambatan yang ditemukan akan jauh lebih besar dikarenakan adanya perbedaan
nilai-nilai budaya antara kedua lingkungan.
Beberapa hal yang menjadi hambatan dalam proses adaptasi dapat berasal
dari dalam diri seseorang maupun dari luar diri seseorang seperti faktor
keadaan lingkungan. Maka pada hasil penelitian ini menjelaskan tentang
74
hambatan yang ditemukan mahasiswa asal Bima dalam proses adaptasi
terhadap culture shock.
a) Homesick
Homesick diartikan sebagai perasaan rindu rumah. Homesick biasanya
dialami oleh seseorang saat berada jauh dari lingkungan dan orang-orang
terdekat seperti orang tua atau keluarga. Homesick menjadi hambatan bagi
salah satu mahasiswa Bima yaitu Yuyun. Ia menuturkan, “Pastinya
hambatannya sering kangen sama orang tua kangen keluarga.” (wawancara,
02/10/20)
Yuyun menjelaskan bahwa hambatan pertama dalam proses adaptasinya
yaitu karena sering merasakan rindu terhadap orang tua dan keluarganya di
Bima. Perasaan rindu tersebut mengarah pada kondisi homesick yang juga
merupakan reaksi terhadap culture shock. Jadi dengan kata lain, homesick yang
dialami Yuyun bukan hanya sebagai reaksi dari culture shock yang dialaminya
tetapi juga menjadi hambatan baginya untuk berbaur dengan lingkungan
barunya karena selalu teringat pada lingkungan asalnya.
b) Kesulitan memahami bahasa
Persoalan bahasa tidak hanya menjadi faktor mahasiswa mengalami
culture shock, akan tetapi juga menjadi hambatan bagi mahasiswa Bima dalam
beradaptasi. Yulianah mengungkapkan:
“Kalau yang penyesuaian diri sih bahasanya aja sampai sekarang kan
masih belum terlalu fasih gitu kan kalau berbahasa Makassar. Bahkan
sering salah menginterpretasikan sesuatu kayak bahasa gitu. Jadinya
kayak salah paham gitu.” (wawancara, 28/08/20)
75
Yulianah menjelaskan bahwa yang menjadi penghambat dalam proses
adaptasinya yaitu mengarah pada persoalan komunikasi. Ia belum fasih dalam
menggunakan bahasa Makassar dan belum banyak memahami kata-kata yang
biasa digunakan oleh masyarakat setempat. Kendala tersebut membuatnya
sering mengalami kesalahpahaman karena ia sering salah menafsirkan kalimat
yang dilontarkan orang lain saat berkomunikasi dengan dirinya. Sehingga
untuk berkomunikasi dengan baik ia hanya mampu menggunakan bahasa
Indonesia yang formal.
Mahasiswa lainnya yaitu Uswatun juga mengalami hambatan yang sama,
“Hambatannya itu bahasa. Bahasanya dulu nda dipahami begitu.”
(wawancara, 28/09/20). Sama seperti Yulianah, Uswatun juga mengungkapkan
bahwa faktor penghambat dalam proses adaptasinya yaitu faktor bahasa yang
dulunya belum dipahami sehingga membuatnya cukup sulit untuk
berkomunikasi dengan teman-teman atau orang-orang yang berbahasa
Makassar.
c) Takut berbaur dengan orang baru
Ketakutan berbaur dengan orang baru menjadi penghambat dalam proses
adaptasi bagi mahasiswa Bima yaitu Yuyun. Ia menuturkan, “Kadang juga
takut berbaur dengan orang-orang baru karena banyak di berita keluar bahwa
kejahatan di Kota Makassar sering terjadi.” (wawancara, 02/10/20).
Kabar tentang maraknya tindak kejahatan di Kota Makassar yang sering
didengar Yuyun menimbulkan ketakutan pada dirinya untuk berbaur dengan
orang baru. Ketakutan tersebut membuat dirinya tidak mudah percaya pada
76
orang asing yang ditemuinya. Sehingga keadaan tersebut menjadi penghambat
baginya dalam beradaptasi, sedangkan berbaur dengan orang baru merupakan
salah satu cara untuk bisa beradaptasi di lingkungan baru.
d) Kultur asal yang kuat
Kuatnya nilai-nilai budaya yang dibawa oleh seseorang sejak lahir
terkadang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima nilai
dan budaya yang lain. Hal tersebut dialami oleh Rajak, ia menuturkan:
“Saya enggak bisa secara total mengubah semisalkan kayak perlakuan
kita kayak kebiasaan kita dengan keadaan yang baru dengan teman-teman
dan masyarakat yang baru. Apalagi kayak saya ini sejak lahir di Bima
terus kan jadi kulturnya bisa dibilang kuat lah.” (wawancara, 30/09/20)
Rajak menjelaskan bahwa faktor kultur yang sudah melekat kuat pada
dirinya sejak ia lahir yakni kultur Bima, membuatnya merasa tidak mudah
untuk mengikuti budaya dan kebiasaan masyarakat di Kota Makassar termasuk
dalam lingkungan pertemanannya yang didominasi oleh orang-orang yang
berasal dari Sulawesi, seperti gaya berbicara dan beberapa kebiasaan tertentu.
Sehingga hal tersebut cukup menyulitkan dirinya untuk bisa menyatu dengan
kebudayaan baru yang ada meskipun ia adalah orang yang mudah berbaur
dengan orang lain.
e) Karakter pribadi
Karakter pribadi yang dimaksud adalah sifat yang dimiliki oleh seseorang
yang membuat seseorang sulit untuk berinterkasi dengan orang lain seperti sifat
pemalu dan pendiam. Karakter inilah yang ada pada diri mahasiswa Bima yaitu
pertama dari Uswatun. Ia menuturkan, “Karena saya pendiam jadi kayak susah
berinteraksi dengan orang lain.” (wawancara 28/09/20).
77
Karakter Uswatun yang pendiam membuatnya sulit untuk membangun
interaksi dengan orang lain. Hal ini tentu berpengaruh terhadap proses adaptasi
karena menjalin komunikasi dengan orang lain sangat dibutuhkan agar bisa
menyatu dengan lingkungan baru.
Mahasiswa kedua yaitu Jumriati, “Hambatannya itu menurut saya karena
saya pemalu jadi agak malu kenal orang baru, terus saya juga orangnya tidak
berani memulai bicara dengan orang baru.” (wawancara, 29/10/20). Hal yang
menghambat Jumriati dalam proses adaptasinya adalah karena sifat pemalu
yang dimiliki sehingga ia tidak berani memulai komunikasi dengan orang baru
atau orang yang tidak dikenal.
Maka berdasarkan penuturan kelima informan mengenai hambatan dalam
proses adaptasi, dapat dilihat pada tabel matriks berikut:
Tabel 4.6. Hambatan Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture
Shock
No. Nama Jenis Hambatan
1. Yuyun - Homesick
- Takut berbaur dengan orang baru
2. Rajak Kultur asal yang kuat sehingga tidak bisa sepenuhnya
mengikuti kebiasaan dan budaya masyarakat setempat
3. Yulianah - Kesulitan memahami bahasa
4. Uswatun - Kesulitan memahami bahasa
- Karakter pribadi (Pendiam)
5. Jumriati - Karakter pribadi (pemalu)
(Sumber: Hasil olahan data primer, tahun 2021)
78
Berdasarkan penuturan informan mengenai hambatan dalam proses
adaptasi dapat disimpulkan bahwa masing-masing informan memiliki
hambatan yang berbeda dalam proses penyesuaian diri di Makassar. Hambatan-
hambatan tersebut ada yang berasal dari dalam diri informan seperti karakter
pribadi informan yang pendiam dan pemalu sehingga informan tidak berani
memulai komunikasi dengan orang-orang baru yang ditemui, sering mengalami
homesick, serta adanya ketakutan untuk berbaur dengan orang baru. Ada pula
yang berasal dari lingkungan seperti faktor bahasa dan faktor kultur asal yang
sudah melekat kuat sehingga informan tidak bisa sepenuhnya mengikuti
budaya tuan rumah.
D. Pembahasan
1. Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock
a. Fase Perencanaan
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa sebelum memasuki lingkungan
hidup baru di Makassar, mahasiswa Bima melakukan persiapan yang merujuk
kepada kondisi mental dan menyiapkan berbagai barang yang dinilai penting
untuk dibawa ke tempat perantauan. Kemudian dari data yang diperoleh, dapat
dikatakan bahwa dalam fase perencanaan ini persiapan yang dilakukan
mahasiswa Bima hanya mencakup dua hal yakni persiapan mental dan
materiel.
Sedangkan dalam uraian teoritis Young Y. Kim menjelaskan bahwa pada
fase perencanaan seseorang menyiapkan segala sesuatu mulai dari ketahanan
fisik sampai kepada mental, termasuk kemampuan komunikasi yang dimiliki
79
untuk nantinya digunakan pada kehidupan barunya (Oriza, 2016:2380). Namun
dalam fase ini mahasiswa tidak memiliki persiapan yang merujuk kepada
ketahanan fisik dan kemampuan komunikasi ataupun pengetahuan bahasa serta
budaya lainnya dari lingkungan yang akan dimasuki.
Pengetahuan bahasa tidak menjadi salah satu persiapan bagi mahasiswa
Bima mengingat tempat perantauan mereka yakni Kota Makassar masih berada
dalam wilayah negara yang sama dengan daerah asal mereka, sehingga
kemampuan komunikasi yang akan digunakan ialah berdasarkan pada
penggunaan bahasa Indonesia.
b. Fase honeymoon
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa setelah berada di Kota Makassar
mahasiswa berada dalam perasaan yang bahagia. Kemudian dalam kajian
teoritis oleh Young Y. Kim (Oriza, 2016:2380) dijelaskan bahwa fase
honeymoon adalah tahap dimana seseorang masih memiliki semangat dan rasa
penasaran yang tinggi serta menggebu-gebu dengan suasanan baru yang akan
dijalani. Perasaan semangat juga dialami oleh mahasiswa Bima baik perasaan
semangat untuk memulai kehidupan di lingkungan baru atau khususnya untuk
melanjutkan pendidikan di Makassar maupun bersemangat untuk mempelajari
budaya Makassar.
Perasaan semangat tersebut diperoleh dari adanya hal-hal menarik dari
Kota Makassar yang tidak ditemukan mahasiswa di desa tempat asal mereka
serta suasana Kota Makassar sebagai kota besar yang cukup berbeda dengan
suasana di tempat asal mahasiswa di Kabupaten Bima.
80
Fase ini juga menjelaskan bahwa individu mungkin merasa asing, rindu
rumah dan merasa sendiri namun masih terlena dengan keramahan penduduk
lokal terhadap orang asing (Oriza, 2016:2380). Perasaan terkesan terhadap
keramahan para penduduk juga dialami oleh salah satu mahasiswa Bima
namun hasil penelitian menunjukkan tidak ada mahasiswa yang memiliki
perasaan rindu rumah atau merasa asing/sendiri diawal mereka masuk ke
lingkungan Makassar melainkan hanya ada perasaan bahagia yang dialami oleh
semua mahasiswa
c. Fase frustation
Hasil penelitian yang ditemukan bahwa perbedaan kondisi sosial budaya
yang tampak dalam lingkungan hidup mahasiswa di Kota Makassar menjadi
faktor timbulnya masalah bagi mahasiswa Bima. Kemudian melihat dari
faktor-faktor permasalahan yang dialami oleh mahasiswa Bima yang meliputi
faktor bahasa, faktor makanan, faktor keamanan kota, faktor kondisi geografis,
faktor pergaulan, faktor ekonomi dan ditambah dengan faktor internal diri
mahasiswa (homesick), beberapa faktor seperti faktor bahasa keseharian,
pergaulan, geografis, dan ekonomi merujuk pada faktor yang dapat
mempengaruhi culture shock yang disebutkan oleh Parillo (Ridwan, 2016:210)
dalam kajian teoritis.
Aang Ridwan dalam bukunya berjudul Komunikasi Antarbudaya
menyebutkan, culture shock ditandai timbulnya perasaan bingung tentang hal-
hal yang harus dilakukan serta cara melakukan sesuatu karena ia kehilangan
tanda dan lambang dalam pergaulan sosial (Ridwan, 2016:197). Perasaan
81
bingung juga dialami mahasiswa Bima dalam lingkungannya dimana mereka
bingung pada penggunaan bahasa kesehariaan orang Makassar baik yang
mereka dengar dari orang-orang di lingkungan kampus maupun di luar
lingkungan kampus. Kebingungan terhadap bahasa menyebabkan mahasiwa
tidak komunikatif dalam berkomunikasi dengan orang-orang Makassar.
Penjelasan mengenai culture shock juga dikemukakan oleh Furnham dan
Bochner, “Culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-
kebiasaan sosial kultur maka ia tidak dapat menampilkan perilaku yang sesuai
dengan aturan perilaku di lingkungan baru tersebut (Hajriadi, 2017:21)”.
Permasalahan yang dialami oleh mahasiswa Bima timbul dikarenakan
mahasiswa tidak atau belum mengetahui kebiasaan sosial budaya yang tumbuh
dalam lingkungan Kota Makassar. Disamping itu latar belakang budaya yang
telah melekat sejak lahir pada diri mahasiswa Bima berbeda dengan budaya
yang berlaku di lingkungan baru yang dimasuki, sehingga setelah memulai
kehidupan di Makassar mahasiswa Bima tidak sepenuhnya mampu mengikuti
atau menampilkan aturan perilaku yang sama. Seperti menggunakan bahasa
yang sama dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang berasal dari budaya
tuan rumah, mengikuti kebiasaan pergaulan, selera makanan, dan sebagainya.
Permasalahan yang dialami mahasiswa juga turut mempengaruhi
psikologis mahasiswa yang mengarah pada timbulnya berbagai reaksi
emosional seperti ketakutan untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbeda secara bahasa, kehilangan kepercayaan diri, timbulnya perasaan
kecewa, merasa terasingkan, rindu pada rumah dan keluarga (homesick),
82
bahkan sempat berpikir untuk kembali pulang ke kampung halaman. Reaksi-
reaksi tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Samovar dan Daniel
bahwa “Beberapa reaksi dari culture shock yang mungkin terjadi antara satu
individu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda
pula diantaranya ialah homesick/rindu pada rumah/lingkungan lama dan
kehilangan kepercayaan diri (Putri, 2015:47)”.
Merujuk pada hasil penelitian dan berbagai uraian teoritis mengenai
culture shock, dapat dikatakan bahwa permasalahan yang dialami mahasiswa
Bima berkenaan dengan gejala culture shock. Dengan kata lain, fase frustation
adalah fase dimana mahasiwa mengalami culture shock. Culture shock inilah
yang menyebabkan perubahan emosional pada mahasiswa Bima yakni di fase
sebelumnya mahasiswa merasa bahagia dan bersemangat dengan lingkungan
barunya kemudian berubah menjadi perasaan bingung, takut, kecewa, dan
terasingkan setelah mengalami culture shock.
Namun terdapat perbedaan yang ditunjukkan pada hasil penelitian terkait
fase frustation. Pada kajian teoritis dijelaskan bahwa “Fase frustation adalah
tahap diaman rasa semangat dan penasaran yang menggebu-gebu berubah
menjadi rasa frustasi, jengkel, dan tidak mempu berbuat apa-apa karena realita
yang sebenarnya tidak sesuai dengan ekspetasi yang dimiliki pada tahap awal
(Young Y. Kim dalam Oriza, 2016:2380)”. Namun hasil penelitian
menunjukkan tidak adanya perasaan frustasi dan jengkel yang dialami oleh
mahasiswa Bima dalam fase frustation.
83
Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat salah satu
faktor yang mendorong mahasiswa mengalami culture shock yang tidak
disebutkan dalam kajian teoritis, yaitu faktor keamanan kota. Faktor keamanan
kota seperti maraknya begal dan geng motor di Kota Makassar menjadi suatu
hal mengejutkan sekaligus menakutkan bagi mahasiswa Bima karena hal
tersebut tidak pernah terjadi di lingkungan asal mereka di Bima.
d. Fase readjustment
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pada fase ini masing-masing dari
mahasiswa Bima menentukan cara untuk bisa beradaptasi dengan keadaan
yang ada dan perlahan-lahan mencoba mengatasi berbagai permasalahan yang
ditemukan di lingkungan. Kemudian dalam uraian teoritis dijelaskan bahwa
dalam fase readjustment seseorang mulai menyelesaikan krisis yang dialami di
fase frustation. Penyelesaian ini ditandai dengan proses penyesuaian ulang dari
seseorang untuk mencari cara, seperti mempelajari bahasa dan budaya setempat
(Young Y. Kim dalam Oriza, 2016:2380).
Pemaparan tersebut sesuai dengan apa yang dialami oleh mahasiswa Bima
pada fase ini yakni para mahasiswa menentukan cara untuk menyelesaikan
masing-masing masalahnya sebagai upaya penyesuaian kembali dengan
lingkungan. Dimana pada fase sebelumnya yakni pada fase honeymoon
mahasiswa memulai proses adaptasinya dengan situasi yang masih dianggap
menyenangkan, namun kemudian mahasiswa mulai menemukan berbagai
masalah di lingkungan yang membuat mereka mengalami culture shock (ini
disebut fase frustation).
84
Sehingga agar dapat bertahan di lingkungan barunya yakni di Makassar,
mahasiswa memutuskan untuk melakukan berbagai cara untuk mengatasi
permasalahan tersebut sebagai bagian dari upaya penyesuaian kembali
sekaligus penyesuaian yang sesungguhnya dengan lingkungan baru. Salah satu
cara yang dilakukan oleh mahasiswa Bima yaitu mempelajari bahasa dan
budaya setempat.
e. Fase resolution
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pada fase ini jalan terakhir yang
dipilih oleh mahasiswa Bima berdasarkan pada kemampuan masing-masing
mahasiswa untuk membuka diri dan menerima keadaan lingkungan budaya
barunya di Makassar. Tiga orang mahasiswa Bima mampu menemukan
kenyamanan dan kecocokan dalam lingkungan budaya barunya sehingga tidak
ada lagi permasalahan yang dikhawatirkan. Dan jika merujuk pada uraian
teoritis maka apa yang dialami tiga mahasiswa tersebut sesuai dengan
penjelasan dari full paticipation yakni “Full participation adalah ketika
seseorang sudah mulai merasa nyaman dengan lingkungan dan budaya
barunya. Tidak ada lagi rasa khawatir, cemas, ketidaknyamanan dan bisa
mengatasi rasa frustasi yang dialami dahulu.” (Young Y. Kim dalam Oriza,
2016:2380).
Kemudian pilihan lain yang dapat dijadikan pilihan dalam fase ini yaitu
accomodation yaitu “Tahapan dimana seseorang mencoba untuk menikmati
apa yang ada di lingkungannya yang baru, awalnya mungkin orang tersebut
merasa tidak nyaman, namun dia sadar bahwa memasuki lingkungan baru
85
memang akan menimbulkam sedikit ketegangan, maka ia pun berusaha
berkompromi dengan keadaan baik eksternal maupun internal dirinya.” (Young
Y. Kim dalam Oriza, 2016:2380). Salah satu mahasiswa Bima berada pada
pilihan tersebut dikarenakan apa yang dialaminya sesuai dengan teori tersebut.
Rasa kenyamanan lebih dapat dirasakan jika berada di daerah asalnya yaitu
Kabupaten Bima. Namun mahasiswa tersebut menyadari bahwa sebagai
seorang pendatang ada hal-hal berbeda yang harus diterima dari lingkungan
baru. Sehingga meskipun lebih merasa nyaman di daerah asalnya namun ia
tetap berusaha untuk berkompromi dengan keadaan yang ada.
Pilihan lain bagi salah satu mahasiswa Bima yaitu fight. Beberapa
perbedaan kondisi yang dirasakan mahasiswa Bima di Makassar yaitu kondisi
cuaca yang panas dan tingginya biaya hidup menimbulkan rasa
ketidaknyamanan pada mahasiswa Bima. Namun ia berusaha bertahan dan
menjalani kehidupan meskipun merasakan ketidaknyamanan. Hal yang dialami
oleh mahasiswa Bima tersebut sesuai dengan penjelasan Young Y. Kim “Fight
yaitu orang yang masuk pada lingkungan dan kebudayaan baru dan dia
sebenarnya merasa tidak nyaman namun ia berusaha untuk tetap bertahan dan
berusaha menghadapi segala hal yang membuat dia merasa tidak nyaman.”
(Oriza, 2016:2380)
Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan
semua mahasiswa mampu beradaptasi dengan lingkungan budaya baru di
Makassar. Hal ini ditunjukkan dari apa yang dialami masing-masing
mahasiswa dalam setiap fase. Mulai dari tahap perencanaan hingga berada
86
pada tahap yang menempatkan mahasiswa dalam kondisi culture shock
sehingga mendorong mahasiswa untuk menemukan berbagai cara agar dapat
keluar dari kondisi yang tidak nyaman dan dapat menjalankan fungsi di
lingkungan baru. Fase akhir yaitu fase resolution menjadi gambaran yang
menunjukkan bahwa semua mahasiswa memilih bertahan dan tetap
menghadapi segala kondisi yang ada di lingkungan baru.
Penuturan seluruh informan juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
dari proses penyesuaian diri masing-masing individu dalam lingkungannya,
termasuk perihal permasalahan yang dihadapi maupun penyelesaian masalah
yang dipilih oleh masing-masing individu. Sehingga dalam penelitian ini setiap
fase yang dihadapi oleh para mahasiswa dapat menggambarkan sebagaimana
yang dikemukakan oleh Kim (Lubis, 2015:321) bahwa adaptasi budaya adalah
proses jangka panjang menyesuaikan diri dan akhirnya merasa nyaman dengan
lingkungan baru.
2. Hambatan Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa dalam tahapan proses adaptasi
mahasiswa Bima terhadap culture shock di Makassar terdapat beberapa
hambatan yang dialami oleh mahasiswa Bima baik hambatan yang bersifat
internal maupun eksternal (lingkungan). Hambatan yang dialami oleh
mahasiswa Bima yaitu kesulitan dalam memahami bahasa yang berpengaruh
terhadap kemampuan mahasiswa dalam menafsirkan sebuah kalimat saat
berkomunikasi.
87
Kesalahan penafsiran saat berkomunikasi merupakan salah satu hambatan
dalam komunikasi antarbudaya yang dijelaskan dalam uraian teoritis oleh L.M.
Barna. L.M Barna menjelaskan bahwa salah satu hambatan dalam komunikasi
antarbudaya yaitu adanya perbedaan bahasa, dimana permasalahan dalam
penggunaan bahasa terjadi apabila seseorang hanya memperhatikan satu makna
saja dari satu kata atau frasa yang ada pada bahasa baru, tanpa memperdulikan
konotasi dan konteksnya (Moulita, 2018:36). Hal inilah yang dialami oleh
Yulianah.
Adanya perbedaan bahasa yang biasa digunakan antara ia dengan orang-
orang di Makassar, membuatnya sering mengalami kesalahan penafsiran yang
merujuk pada kesalahpahaman saat berkomunikasi. Kesalahan penafsiran
disebabkan karena keterbatasan pengetahuan Yulianah pada kata-kata yang
terkandung dalam sebuah kalimat.
Hambatan lain yang dialami oleh mahasiswa Bima yaitu adanya perasaan
takut berbaur dengan orang baru. Perasaan takut berbaur dengan orang baru
juga berkaitan dengan hambatan komunikasi antarbudaya yang lainnya, yaitu
perihal kecemasan tinggi. Menurut L.M. Barna (Moulita, 2018:36), “seseorang
harus mampu mengatasi berbagai masalah yang ada, termasuk rasa khawatir
atau cemas ketika berinteraksi dengan individu dari budaya yang berbeda”.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa adanya perasaan cemas atau
khawatir ketika berinteraksi dengan individu khususnya dari budaya yang
berbeda dapat menghambat terbangunnya hubungan komunikasi yang baik.
88
Tanpa adanya hubungan komunikasi yang baik maka seseorang akan merasa
kesulitan untuk beradaptasi di lingkungan baru.
Adapun hal-hal yang menjadi penghambat dalam komunikasi antarbudaya
dapat dikatakan sebagai penghambat proses adaptasi dikarenakan proses
adaptasi tidak terlepas dari proses komunikasi.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan dalam pembahasan,
maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Proses adaptasi yang dilalui oleh para mahasiswa Bima berdasarkan pada
lima fase adaptasi budaya menunjukkan adanya perbedaan kondisi yang
dialami masing-masing mahasiswa disetiap fase. Adapun faktor yang
mendorong terjadinya culture shock pada mahasiswa dalam fase frustation
antara lain faktor bahasa, cita rasa makanan, keamanan kota, kondisi
geografis, gaya pergaulan, biaya hidup, serta homesick. Kemudian fase
resolution sebagai fase terakhir yang dilalui oleh mahasiswa menunjukkan
bahwa semua mahasiswa memilih bertahan dan tetap menghadapi segala
kondisi yang ada di lingkungan baru. Sehingga secara keseluruhan semua
mahasiswa mampu beradaptasi dengan lingkungan budaya baru di
Makassar.
2. Tahapan proses adaptasi mahasiswa Bima terhadap culture shock di
Makassar tidak terlepas pula dari hambatan. Hambatan-hambatan tersebut
ada yang berasal dari dalam diri informan seperti karakter pribadi
informan yang pendiam dan pemalu sehingga informan tidak berani
memulai komunikasi dengan orang-orang baru yang ditemui, sering
mengalami homesick, serta adanya ketakutan untuk berbaur dengan orang
baru. Ada pula yang berasal dari lingkungan seperti faktor bahasa dan
90
faktor kultur asal yang sudah melekat kuat sehingga informan tidak bisa
sepenuhnya mengikuti budaya tuan rumah.
B. Saran
1. Pengalaman culture shock yang dialami oleh para mahasiswa Bima
diharapkan dapat menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk terus belajar
mengenal dan memahami budaya di Kota Makassar sebagai lingkungan
baru yang mereka datangi.
2. Diharapkan bagi orang-orang yang akan masuk dalam lingkungan budaya
baru baik untuk sementara waktu maupun untuk menetap agar
mempelajari atau mencari tahu mengenai budaya di lingkungan tersebut
untuk meminimalisir gejala culture shock terhadap budaya baru serta lebih
memudahkan dalam proses penyesuaian diri nantinya.
3. Mahasiswa perantau asal Bima diharapkan tidak memiliki pandangan yang
negatif akan kebiasaan yang berbeda dengan identitas dirinya, hal ini
bertujuan untuk mempermudah mereka dalam beradaptasi.
4. Mahasiswa yang berjumlah lebih dominan atau yang berasal dari
Makassar/Sulawesi Selatan harus menerima perbedaan logat maupun
kebiasaan yang ada pada identitas mahasiswa asal Bima karena sejatinya
perbedaan itu memberikan warna dalam sebuah hubungan.
5. Bagi setiap individu yang akan melakukan perantauan diharapkan untuk
dapat menerima dan bersikap terbuka terhadap perbedaan-perbedaan yang
ada di lingkungan perantauan, karena hal tersebut merupakan suatu
identitas budaya.
91
6. Hendaknya mahasiswa perantau yang masih memilih untuk hidup
berkelompok dengan mahasiswa sesama kulturnya karena kenyamanan
yang dirasakan mulai berupaya membuka diri untuk melakukan interaksi
dan komunikasi antarbudaya dengan orang-orang dari budaya tuan rumah.
Hal ini juga akan membantu menanggulangi culture shock yang alami
menuju suatu penyesuaian diri
7. Penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam melihat culture shock
yang dialami oleh pendatang serta membantu memberikan masukan
mengenai upaya lain dalam menanggulanginya dan dalam mempercepat
proses adaptasi mereka.
8. Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian lain yang sejenis
pada kondisi atau subjek yang berbeda.
92
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ardial, 2015. Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Daryanto, dkk, 2016. Teori Komunikasi. Yogyakarta: Gava Media.
Liliweri, Alo, 2018. Prasangka, Konflik, dan Komunikasi Antarbudaya. Jakarta:
Kencana.
----------------, 2011. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mulyana, Deddy, 2015. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Priandono, T. E., 2016. Komunikasi Keberagaman. Bandung: Rosdakarya.
Ridwan, Aang, 2016. Komunikasi Antarbudaya: Mengubah Persepsi dan Sikap
dalam Meningkatkan Kreativitas Manusia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ruslan, Rosady, 2010. Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi.
Jakarta: Rajawali Pers.
Samovar, L. A., dkk, 2014. Komunikasi Lintas Budaya (Communication Between
Cultures) Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika.
Shoelhi, Mohammad, 2015. Komunikasi Lintas Budaya dalam Dinamika
Komunikasi Internasional. Bandung: Simbiosis Retakama Media.
Sugiyono, 2018. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung:
Alfabeta.
Skripsi:
Hajriadi, 2017. Culture Shock dalam Komunikasi Antarbudaya. http://digilib.uin-
suka.ac.id/id/eprint/26434. Diakses pada 30 April 2019.
Putri, I. E., 2015. Mahasiswa Asing di Makassar: Studi Tentang Komunikasi dan
Budaya Mahasiswa Asing dalam Melakukan Interaksi dengan
Mahasiswa Lokal di Universitas Hasanuddin.
93
Rachma, A. S., 2016. Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa Asal
Sumatera di Untirta. https://scholar.google.com. Diakses pada 27 Maret
2019.
Sinarti, 2017. Culture Shock Mahasiswa Bugis Sinjai dalam Melakukan Interaksi
Sosial. https://scholar.google.com. Diakses pada 27 Maret 2019.
Jurnal:
Lubis, L. A., dkk, 2015. Gaya Berkomunikasi dan Adaptasi Budaya Mahasiswa
Batak di Yogyakarta. Jurnal Komunikasi ASPIKOM, Vol. 2 No. 5, Juli
2015. https://scholar.google.com. Diakses pada 06 Maret 2020.
Moulita, 2018. Hambatan Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa.
Jurnal Interaksi, Vol. 2 No. 1, Januari 2018. http://jurnal.umsu.ac.id.
Diakses pada 23 Oktober 2019.
Oriza, V. D., 2016. Proses Adptasi dalam Menghadapi Komunikasi Antar Budaya
Mahasiswa Rantau di Universitas Telkom. e-Proceeding of Management,
Vol. 3 No. 2, Agustus 2016. https://scholar.google.com. Diakses 29
Maret 2019.
Susetyo, B., 2010. Identifikasi Dekulturasi Sebagai Teori Perubahan Kebudayaan
Dalam Musik Indonesia:Kajian Proses Perubahan Rebana Menjadi
Kasidah Modern di Kota Semarang. https://journal.unnes.ac.id. Diakses
pada 23 April 2021.
Sumber lain:
Modul Profil Unismuh Makassar dan Panduan Orientasi Akademik Mahasiswa
Baru Tahun 2019.
www.unismuh.ac.id, diakses pada 30 November 2020.
LAMPIRAN
LIST WAWANCARA
1. Apa saja persiapan saudara sebelum merantau ke Makassar?
2. Bagaimana perasaan dan kesan anda setelah berada di Makassar?
3. Setelah berada di Makassar, adakah hal tertentu yang menarik bagi saudara dari
lingkungan Kota Makassar?
4. Permasalahan apa saja yang saudara alami selama beradaptasi di lingkungan
baru?
5. Pernahkah saudara mengalami homesick?
6. Apa saja yang saudara lakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut?
7. Apa saja hambatan yang saudara temukan dalam proses adaptasi di Makasaar?
8. Apakah saudara sudah merasa nyaman tinggal di Makassar?
DOKUMENTASI
Wawancara dengan Yulianah dari Prodi Ilmu Komunikasi (28/09/2020)
Wawancara dengan Uswatun dari Prodi Pendidikan Matematika (28/09/2020)
Wawancara dengan A. Rajak dari Prodi Ilmu Pemerintahan (30/09/2020)
Informan: Jumriati dari Prodi Pendidikan Matematika
RIWAYAT HIDUP
UMRAH DEA SAHBANI, Lahir di Kota Ujung Pandang
(Makassar) Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 06
Januari 1997, dari pasangan Ayahanda JUNAEDI dan
Ibunda TATI. Penulis masuk sekolah dasar pada tahun
2003 di SD Negeri Balang Baru Makassar dan pada tahun
2009 masuk sekolah menengah pertama di SMP Negeri 18
Makassar dan tamat pada tahun 2012. Melanjutkan kembali pendidikan sekolah
menengah atas di SMK Negeri 1 Makassar dan tamat pada tahun 2015. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan pada Program Sarjana (S1) Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Makassar dan selesai tahun 2021. Riwayat Organisasi yang pernah diikuti yakni
Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi (HUMANIKOM) dan pernah
diamanahi sebagai Sekretaris Bidang Jurnalistik periode 2016-2017, Ketua
Bidang Organisasi periode 2017-2018, dan Sekretaris Dewan Pertimbangan
HUMANIKOM periode 2018-2019. Penulis juga pernah mengikuti Darul Arqam
Dasar (DAD) pada tahun 2015.