SUHARDIMAN G 621 06 022

76
i ZONASI TINGKAT KERAWANAN BANJIR DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PADA SUB DAS WALANAE HILIR Oleh SUHARDIMAN G 621 06 022 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

Transcript of SUHARDIMAN G 621 06 022

Page 1: SUHARDIMAN G 621 06 022

i

ZONASI TINGKAT KERAWANAN BANJIR DENGAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PADA

SUB DAS WALANAE HILIR

Oleh

SUHARDIMAN

G 621 06 022

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2012

Page 2: SUHARDIMAN G 621 06 022

ii

ZONASI TINGKAT KERAWANAN BANJIR DENGAN SISTEM

INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PADA

SUB DAS WALANAE HILIR

SKRIPSI

Oleh

SUHARDIMAN

G 621 06 022

Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Teknologi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2012

Page 3: SUHARDIMAN G 621 06 022

iii

Page 4: SUHARDIMAN G 621 06 022

iv

Suhardiman. (G 621 06 022). “Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Pada Sub Das Walanae Hilir” Dibawah Bimbingan, Dr. Suhardi, S.TP, MP dan Ir. Abdul Waris, MT

RINGKASAN Banjir merupakan bencana alam paling sering terjadi, baik dilihat dari

intensitasnya pada suatu tempat maupun jumlah lokasi kejadian dalam setahun yaitu sekitar 40% di antara bencana alam yang lain. Salah satu Sub DAS yang terdapat di bagian Hilir DAS Walanae yaitu Sub DAS Walanae Hilir. Sub DAS ini memilki luas sekitar 155.137,405 Ha yang bermuara pada DAS Walanae. Sub DAS ini merupakan Sub DAS yang stategis karena berdekatan dengan Sub DAS Walanae Tengah dan Sub DAS Cendrana yang merupakan pemasok air pada daerah bone, wajo dan soppeng.

Peta kerawanan banjir merupakan bagian dari sistem peringatan dini (early warning system) dari bahaya dan resiko banjir sehingga akibat dari bencana banjir dapat diperkirakan dan pada akhimya dapat diminimalkan. Peta tersebut diperoleh dengan menggunakan Teknik SIG (Sistem Informasi Geografis) berdasarkan metode analisis, penilaian, pembobotan dan proses tumpang susun (overlay) berdasarkan faktor meteorologi dan karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir

Dari peta kerawanan banjir didapat bahwa Sub DAS Walanae terdiri dari tiga kelas kerawanan banjir yaitu : kelas Kurang Rawan Banjir dengan luas 23.788,17 ha dengan persentase yaitu 15.33%, kelas Rawan Banjir dengan luas 85.602,92 ha dengan persentase yaitu 55.18%, kelas Sangat Rawan Banjir dengan luas 45.746,32 ha dengan persentase yaitu 29.49%. Kecamatan yang memiliki luas kelas kerawanan sangat rawan yang paling tinggi adalah kecamatan Cendrana dengan luas 8.443.33 ha dengan persentase yaitu 5.44% diikuti Kec. Duabaccoe dengan luas 6.984.59 ha dengan persentase yaitu 4.50%, dan Pammana dengan luas 6.566.46 ha dengan persentase yaitu 4.23% dari jumlah total wilayah Sub DAS Walanae Hilir. Daerah ini mempunyai daerah sangat rawan banjir yang luas dipengaruhi oleh faktor yaitu : kelas lereng yang umumnya datar (0 - 8%), Ketinggian 08 – 12,5 mdpl tekstur tanah dengan kriteria Sangat halus,, Penggunaan Lahan yang didominasi sawah, kebun campuran, tubuh air, tambak, merupakan daerah aliran sungai dan ketinggian lahan yang rendah. Saran yang dapat diberikan adalah, Untuk mendapatkan hasil yang optimal pada penelitian lebih lanjut sebaiknya mengunakan wilayah cakupan yang lebih kecil dan diverifikasi dengan kejadian-kejadian banjir yang pernah terjadi.

Kata Kunci : Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir, Banjir, Walanae Hilir, Sistem Informasi Geografis, Peta Kerawanan Banjir

Page 5: SUHARDIMAN G 621 06 022

v

RIWAYAT HIDUP

Suhardiman, Lahir di Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara

pada tanggal 12 Oktober 1988. Merupakan anak Ketujuh

dari Sembilan Bersaudara, dari pasangan Orang Tua Bapak

Usman Oce dan Ibu A. Hartini Ahmad.

Jalur pendidikan yang pernah ditempuh adalah sebagai berikut:

SD Inpres Paccerakkang Makassar, masuk tahun 1993 dan tamat tahun 2000.

SLTP Negeri 11 Makassar, masuk tahun 2000 dan tamat tahun 2003.

SMA Negeri 06 Makassar, masuk tahun 2003, dan tamat tahun 2006.

Melalui jalur seleksi SPMB, Penulis diterima di Program Studi Teknik Pertanian,

Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin,

Makassar. Masuk tahun 2006 dan lulus tahun 2012.

Selama penulis menempuh pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin

pernah menjadi Asisten mata kuliah Dasar Ilmu Ukur Wilayah, Mekanisasi

Pertanian, Perbengkelan Pertanian, dan Mesin Budidaya Pertanian. Menjadi

anggota Agritec Study Club (TSC) dan menjadi pengurus HIMATEPA UH periode

2008/2009, Anggota UKM Bola Voli UNHAS dan aktif sebagai pengurus inti pada

Unit Kegiatan Mahasiswa RESIMEN MAHASISWA (MENWA) Satuan 701 Wolter

Monginsidi Universitas Hasanuddin periode 2007/2010.

Page 6: SUHARDIMAN G 621 06 022

vi

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan akhir ini dengan baik.

Dengan selesainya laporan ini, penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Dr. Suhardi, S.TP, MP dan Ir. Abdul Waris, MT sebagai dosen pembimbing

yang telah memberikan segala bentuk arahan mulai dari penyusunan

proposal, pelaksanaan penelitian, sampai penyusunan laporan akhir ini.

2. Segenap Pegawai dan Staf Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-

DAS) Jeneberang–Walanae, Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya pada

divisi Seksi Monitoring dan Evaluasi DAS, Ibu Ir. Lely Mardawati D, MP,

Bapak Jamaluddin, S.Hut, dan Bapak Sulking Rifai S,Hut, atas kerjasamanya

selama penulis melakukan penelitian pada Sub Das Walanae Hilir.

3. Terima kasih kepada kanda Syahrul Belantara SP, Kanda Sulfian S.Si,

Sodara Rahmat STP, Sodara Zulkifli ZA, STP dan Sodari Mariana Ekha

Safitra Atas bimbingan, motivasi selama ini dan kerjasamanya selama penulis

melakukan penelitian dan menyusun laporan akhir ini.

4. Secara khusus Ayahanda Usman Oce dan Ibunda A. Hartini Ahmad, dan

saudara - saudaraku Terimakasih buat segala kasih sayang, pengorbanan

materi dan tenaga, nasehat-nasehat, teguran, dan perhatian yang sangat

tulus selama ini.

Page 7: SUHARDIMAN G 621 06 022

vii

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas

dari kesalahan karena keterbatasan yang dimiliki, oleh karena itu saran dan kritik

dibutuhkan untuk penyempurnaan skripsi ini selanjutnya. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian dan menjadi berkat bagi kita semua

amin ya Rabbal Alamin.

Makassar, Agustus 2012

Penulis

Page 8: SUHARDIMAN G 621 06 022

viii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii RINGKASAN ................................................................................................ iv RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Tujuan dan Kegunaan..................................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Banjir ............................................................................................. 3 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Banjir ....................................... 4

2.2.1 Curah Hujan ........................................................................... 4 2.2.2 Kelerengan (Kemiringan Lahan) ............................................ 6 2.2.3 Ketinggian (Elevasi) Lahan .................................................... 8 2.2.4 Testur Tanah ......................................................................... 9 2.2.5 Penggunaan Lahan ................................................................ 10

2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) ........................................................... 11 2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) ................................................... 12

2.4.1 Sistem lnformasi Geografis (SIG) .......................................... 12 2.4.1 Manajemen Basis Data .......................................................... 14

2.5 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ........................................... 15

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................... 18 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 18 3.3 Metode Penelitian ........................................................................... 19

3.3.1 Pengumpulan Informasi dan Data .......................................... 19 3.3.2 Analisis Data Curah Hujan ..................................................... 19 3.3.3 Analisis Citra Landsat ............................................................ 20 3.3.4 Analisis Peta Testur Tanah .................................................... 22 3.3.5 Membangun Basis Data ......................................................... 24 3.3.6 Menganalisis Data ................................................................. 24 3.3.6.1 Analisis Atribut ........................................................... 24 3.3.6.2 Analisis Keruangan .................................................... 26 3.3.7 Analisis Tingkat Kerawanan ................................................... 26 3.3.8 Menyajikan Hasil Analisis....................................................... 27

3.4 Diagram Alir Penelitian ................................................................... 28

Page 9: SUHARDIMAN G 621 06 022

ix

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Wilayah .................................................................. 29 4.2 Parameter – Parameter Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir ............... 29

4.2.1 Faktor Curah Hujan ................................................................ 29 4.2.2 Faktor Lereng ......................................................................... 31 4.2.3 Faktor Ketinggian ................................................................... 32 4.2.4 Faktor Tekstur Tanah ............................................................. 33 4.2.5 Faktor Penggunaan Lahan .................................................... 35

4.3 Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) ....................................................... 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 40 5.2 Saran ................................................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 41

LAMPIRAN

Page 10: SUHARDIMAN G 621 06 022

x

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel 1 Pemberian Skor Parameter Curah Hujan ...................................... 6

Tabel 2 Klasifikasikan Kemiringan Lereng ................................................ 7

Tabel 3 Pemberian Skor Parameter Kelerengan ........................................ 7

Tabel 4 Pemberian Skor Parameter Ketinggian ........................................ 8

Tabel 5 Pemberian Skor Parameter Tekstur Tanah ................................... 10

Tabel 6 Pemberian Skor Parameter Pengunaan Lahan ............................. 11

Tabel 7 Pembagian jenis tanah dan tekstur tanah sub das walanae hilir .. 22

Tabel 8 Pembobotan Parameter-Parameter Banjir ..................................... 26

Tabel 9 Nilai Tingkat Kerawanan Kebanjiran.............................................. 27 Tabel 10 Curah Hujan Sub DAS Walanae Hilir ............................................ 30 Tabel 11 Kemiringan Lahan Sub DAS Walanae Hilir ................................... 32 Tabel 12 Ketinggian Lahan Sub DAS Walanae Hilir ..................................... 33 Tabel 13 Tekstur Tanah Sub DAS Walanae Hilir ......................................... 35

Tabel 14 Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir ................................. 36 Tabel 15 Nilai Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) Sub DAS Walanae Hilir ..... 37 Tabel 16 Rekapitulasi Tingkat Kerawanan Banjir ......................................... 39

Page 11: SUHARDIMAN G 621 06 022

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 1 Diagram Alir Penelitian .............................................................. 28

Gambar 2 Peta Curah Hujan Tahunan Sub DAS Walanae Hilir ................. 30

Gambar 3 Peta Lereng Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae .................. 31

Gambar 4 Peta Ketinggian Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae ............ 32

Gambar 5 Peta Tekstur Tanah Sub DAS Walanae Hilir .............................. 34

Gambar 6 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir ...................... 35

Gambar 7 Peta Kerawanan Banjir Sub DAS Walanae Hilir .......................... 37

DAFTAR LAMPIRAN

Page 12: SUHARDIMAN G 621 06 022

xii

Nomor Judul Halaman

1. Peta Lokasi DAS Walanae ............................................................. 44

2. Peta Lokasi Sub DAS Walanae Hilir ................................................ 45

3. Peta Administrasi ............................................................................ 46

4. Peta Jenis Tanah ............................................................................ 46

5. Peta Penggunaan Lahan ................................................................ 47

6. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Bone ................................. 47

7. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Wajo .................................. 48

8. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Wajo .................................. 48

9. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan

Stasiun Ajangale Tahun 2001 s/d 2010 ........................................... 49

10. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan

Stasiun Amali Tahun 2001 s/d 2010 ................................................ 50

11. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan

Stasiun Duo Boccoe Tahun 2001 s/d 2010 ..................................... 51

12. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan

Stasiun Tellusiattinge Tahun 2001 s/d 2010 .................................... 52

13. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan

Stasiun Tempe Tahun 2001 s/d 2010 ............................................. 53

14. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan

Stasiun Paria/Majennang Tahun 2001 s/d 2010 .............................. 54

15. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan

Stasiun Sanreseng Ade Tahun 2001 s/d 2010 ............................... 55

16. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan

Stasiun BPP. Manyili / Paneki Tahun 2001 s/d 2010..................... 56

17. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan

Stasiun BPP Palaguna/Pammana Tahun 2001 s/d 2010 ................ 57

18. Nilai Curah Hujan Rata – Rata Tahun 2001 s/d Tahun 2010 .......... 58

19. Proses Analisis Citra Dengan Erdas ............................................... 59

20. Foto Dokumentasi Tempat Penelitihan Sungai Walanae Hilir ......... 62

21. Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) Sub DAS Walanae Hilir ............... 63

Page 13: SUHARDIMAN G 621 06 022

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banjir merupakan bencana alam paling sering terjadian, baik dilihat

dari intensitasnya pada suatu tempat maupun jumlah lokasi kejadian dalam

setahun yaitu sekitar 40% di antara bencana alam yang lain. Bahkan pada

tempat-tempat tertentu, banjir merupakan rutinitas tahunan. Lokasi

kejadiannya bisa perkotaan atau pedesaan, negara sedang berkembang

atau negara maju sekalipun (Suherlan, 2001).

Perbedaan diantara lokasi terjadinya banjir adalah dari segi dampak

terjadinya banjir. Dampak banjir pada wilayah perkotaan pada umumnya

adalah pemukiman sedangkan di pedesaan dampak dari banjir disamping

pemukiman juga daerah pertanian yang bisa berdampak terhadap

ketahanan pangan daerah tersebut dan secara nasional terlebih jika terjadi

secara besar-besaran pada suatu Negara (Suherlan, 2001).

Salah satu Sub DAS yang terdapat di bagian Hilir DAS Walanae yaitu

Sub DAS Walanae Hilir yang merupakan Sub DAS prioritas pertama. Sub

DAS ini memilki luas sekitar 155.137,41 ha yang bermuara pada DAS

Walanae. Sub DAS ini merupakan Sub DAS yang stategis karena

berdekatan dengan Sub DAS Walanae Tengah dan Sub DAS Cendrana

yang merupakan pemasok air pada daerah Bone, Wajo dan Soppeng

(BPDAS Jeneberang-Walanae, 2010).

Fenomena yang terjadi di Sub DAS Walanae Hilir sebagaimana yang

terlihat di lapangan adalah bahwa Sub Walanae Hilir banyak mengalami

kehilangan penutupan lahan dengan berbagai pola penggunaan lahan yang

berubah fungsi berdampak terjadinya banjir pada musim hujan. Sehingga di

Page 14: SUHARDIMAN G 621 06 022

2

butuhkan sebuah peta yang dapat membantu sebagai bahan informasi

dalam pencegahan banjir (Anonim, 2011a).

Peta kerawanan banjir merupakan bagian dari sistem peringatan dini

(early warning system) dari bahaya dan resiko banjir sehingga akibat dari

bencana banjir dapat diperkirakan dan pada akhimya dapat diminimalkan.

Peta tingkat kerawanan banjir yang baik adalah peta yang memiliki tingkat

akurasi yang tinggi. Peta tersebut diperoleh dengan menggunakan Teknik

SIG (Sistem Informasi Geografis) berdasarkan metode penilaian,

pembobotan dan proses tumpangsusun (overlay) berdasarkan faktor

meteorologi dan karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berpengaruh

terhadap terjadinya banjir. Teknik SIG ini mempunyai kelebihan dalam hal

kecepatan pemrosesan, kemudahan dalam penyajian, lebih efektif dan

efisien serta akurat bila dibandingkan dengan pengerjaan secara manual.

berdasarkan uraian di atas, maka dianggap perlu untuk melakukan

penelitian mengenai Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir Dengan Sistem

Informasi Geografis (SIG) Pada Sub Das Walanae Hilir

1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan memetakan daerah

rawan banjir pada daerah Sub DAS Walanae Hilir.

Kegunaan Penelitian ini adalah sebagai informasi mengenai lokasi

yang rawan terjadinya banjir pada sub DAS Walanae Hilir yang meliputi

Bone, Wajo dan Soppeng, sehingga upaya pencegahan atau

penanganannya dapat ditentukan.

Page 15: SUHARDIMAN G 621 06 022

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Banjir

Menurut Richards, 1955 dalam Suherlan, 2001, Flood Estimation and

Control bahwa banjir memiliki dua arti yaitu (1) meluapnya air sungai

disebabkan oleh debit sungai yang melebihi daya tampung sungai pada

keadaan curah hujan yang tinggi dan (2) banjir merupakan genangan pada

daerah rendah yang datar yang biasanya tidak tergenang.

Kerawanan banjir adalah keadaan yang menggambarkan mudah

atau tidaknya suatu daerah terkena banjir dengan didasarkan pada faktor-

faktor alam yang mempengaruhi banjir antara lain faktor meteorologi

(intensitas curah hujan, distribusi curah hujan, frekuensi dan lamanya hujan

berlangsung) dan karakteristik Daerah Aliran Sungai (kemiringan

lahan/kelerengan, Ketinggian Lahan, Testur tanah dan penggunaan lahan)

(Suherlan, 2001).

Pengendalian banjir adalah pencegahan limpasan air di atas

permukaan tanah, khususnya tanah tendah, dan pengurangan aliran dalam

saluran alami atau sungai selama dan sesudah hujan besar. Pengendalian

banjir ini merupakan salah satu fase masalah teknik yang terlibat di dalam

pengawetan tanah dan air (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 1992)

Banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi apabila dikelompokkan

maka akan didapatkan tiga faktor yang berpengaruh terhadap banjir, yaitu

elemen meteorologi, karakteristik fisik DAS dan manusia. Faktor meteorologi

yang berpengaruh menimbulkan banjir adalah intensitas curah hujan,

distribusi curah hujan, frekuensi dan lamanya hujan berlangsung.

Page 16: SUHARDIMAN G 621 06 022

4

Sedangkan karakteristik fisik DAS yang berpengaruh terhadap terjadinya

banjir adalah luas DAS, kemiringan lahan, Ketinggian Lahan, penggunaan

lahan, dan testur tanah. Dan manusia berperan pada percepatan perubahan

karakteristik fisik DAS (Suherlan, 2001).

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Banjir

2.2.1 Curah Hujan

Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu

daerah dalam waktu tertentu. Dalam perhitungan debit banjir

memerlukan data intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah

ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air

tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan dinotasikan dengan I

dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan,

intensitas hujan yang tinggi umumnya terjadi dalam durasi yang

pendek dan meliputi daerah yang tidak luas. Penyebab utama banjir

adalah hujan deras yang turun di DAS. Tebal hujan yang tinggi yang

turun pada DAS lebih memungkinkan menjadi penyebab timbulnya

banjir daripada curah hujan yang turun pada DAS dengan tebal yang

rendah. Hal ini disebabkan curah hujan dengan tebal yang tinggi akan

lebih besar memberikan sumbangan debit air ke DAS dan apabila

daya tampung dari sungai terlampaui maka akan mengakibatkan banjir

(Loebis, 1992).

Curah hujan yang diperlukan untuk perancangan pengendalian

banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang

bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik yang tertentu biasa

disebut curah hujan wilayah/daerah. Penggunaan data curah hujan

Page 17: SUHARDIMAN G 621 06 022

5

sesaat pada keadaan hujan yang deras tidak dapat dibuat peta

sebarannya (peta Polygon Theissen) sebab kejadian hujan tidak

merata, tidak pada setiap tempat pengamatan terjadi hujan. Begitu

pula halnya tebal hujan pada puncak hujan selama satu bulan tidak

dapat digunakan menjadi data masukan, sebab puncak hujan pada

setiap tempat pengamatan waktunya tidak bersamaan.

Poligon Thiessen mendefinisikan individu area yang

dipengaruhi oleh sekumpulan titik yang terdapat di sekitarnya. Poligon

ini merupakan pendekatan terhadap informasi titik yang diperluas (titik

menjadi poligon) dengan asumsi bahwa informasi yang terbaik untuk

semua lokasi yang tanpa pengamatan adalah informasi yang terdapat

pada titik terdekat dimana hasil pengamatannya diketahui (Aronoff,

1989 diacu dalam Primayuda 2006). Garis didefinisikan pada jarak

equidistan antara dua titik yang berdampingan (Barus, 2005).

Penggunaan peta Polygon Theissen pada puncak hujan

didasarkan pada alasan bahwa semakin tinggi tebal hujan dalam

periode yang pendek akan lebih memungkinkan terjadi banjir yakni

Polygon Theissen tahunan, hal ini disebabkan pada masalah banjir

tidak memperhatikan tebal hujan tahunan atau tebal hujan periode

yang panjang.

Daerah yang mempunyai tebal hujan yang tinggi maka daerah

tersebut akan lebih berpengaruh terhadap kejadian banjir.

Berdasarkan hal tersebut maka untuk pemberian skor ditentukan

aturan sebagai berikut yaitu : semakin tinggi tebal curah hujan maka

Page 18: SUHARDIMAN G 621 06 022

6

skor untuk tingkat kerawanan semakin tinggi. Pada Tabel 1 disusun

pemberian skor untuk parameter tebal curah hujan.

Tabel 1. Pemberian Skor Parameter Curah Hujan

No. Kelas Jumlah Curab Hujan

Skor (mm/tahun)

1 Sangat basah > 3.000 9

2 Basah 2.501 – 3.000 7

3 Sedang/lembab 2.001 – 2.500 5

4 Kering 1.501 – 2.000 3

5 Sangat kering < 1.500 1

Sumber: Primayuda (2006)

2.2.2 Kelerengan (Kemiringan Lahan)

Kelerengan atau kemiringan lahan merupakan perbandingan

persentase antara jarak vertikal (tinggi lahan) dengan jarak horizontal

(panjang lahan datar). Kelerengan merupakan parameter DAS yang

berpengaruh secara tidak langsung terhadap besar kecilnya kejadian

banjir. Kemiringan lahan semakin tinggi maka air yang diteruskan

semakin tinggi. Air yang berada pada lahan tersebut akan diteruskan

ke tempat yang lebih rendah semakin cepat jika dibandingkan dengan

lahan yang kemiringannya rendah (landai), sehingga kemungkinan

terjadi penggenangan atau banjir pada daerah yang derajat kemiringan

lahannya tinggi semakin kecil. Semakin curam suatu DAS maka

semakin cepat air mengalir dari DAS tersebut dan semakin pendek

waktu pengakumulasian debit banjir di DAS tersebut (Richard, 1955

dalam Asriningrum dan Gunawan, 1998).

Kemiringan lereng, yaitu suatu derajat ketinggian permukaan

lahan yang juga akan mempengaruhi pada laju infiltrasi. Kemiringan

lereng tersebut di dapat dari Data DEM-SRTM. Data DEM-SRTM

Page 19: SUHARDIMAN G 621 06 022

7

digunakan untuk mengetahui kemiringan lereng. Kemiringan lereng

tersebut diklasifikasikan sebagai berikut pada table 2 :

Tabel 2. Klasifikasikan Kemiringan Lereng

Kelerengan keterangan

0-8 % merupakan daerah datar dan landai

8-15 % merupakan daerah bergelombang sampai berbukit

15-25 % merupakan daerah berbukit

25-40 % merupakan daerah berbukit sampai bergunung

>40 % merupakan daerah bergunung

Daerah yang berpotensi rawan banjir adalah daerah yang mempunyai

topografi datar sampai dengan daerah yang bertopografi landai

dengan kemiringan lereng antara 0-8 % (BPDAS Jeneberang-

Walanae, 2010).

Kemiringan lahan semakin tinggi maka air yang diteruskan

semakin tinggi. Air yang berada pada lahan tersebut akan diteruskan

ke tempat yang lebih rendah semakin cepat jika dibandingkan dengan

lahan yang kemiringannya rendah (landai). Dengan demikian, maka

semakin besar derajat kemiringan lahan maka skor untuk kerawanan

banjir semakin kecil. Pada Tabel 3 disusun pemberian skor untuk

parameter kemiringan lahan.

Tabel 3. Pemberian Skor Parameter Kelerengan

No. Kelas Kelerengan Skor

1. 0-8 % 9

2. 8-15 % 7

3. 15-25 % 5

4. 25-40 % 3

5. >40 % 1

Sumber: Utomo (2004)

Page 20: SUHARDIMAN G 621 06 022

8

2.2.3 Ketinggian (Elevasi) Lahan

Ketinggian (Elevasi) Lahan adalah ukuran ketinggian lokasi di

atas permukaan laut. Lahan pegunungan berdasarkan elevasi

dibedakan atas dataran medium (350-700 m dpl) dan dataran tinggi

(>700 m dpl). Elevasi berhubungan erat dengan jenis komoditas yang

sesuai untuk mempertahankan kelestarian lingkungan (Anonim,

2012b).

Ketinggian mempunyai pengaruh terhadap terjadinya banjir.

Berdasarkan sifat air yang mengalir mengikuti gaya gravitasi yaitu

mengalir dari daerah tinggi ke daerah rendah. Dimana daerah yang

mempunyai ketinggian yang lebih tinggi lebih berpotensi kecil untuk

terjadi banjir. Sedangkan daerah dengan ketinggian rendah lebih

berpotensi besar untuk terjadinya banjir. Pemberian skor pada kelas

ketinggian yang lebih tinggi lebih kecil daripada skor untuk kelas

ketinggian yang rendah. Pada Tabel 4 disusun pemberian skor untuk

parameter Parameter Ketinggian

Tabel 4. Pemberian Skor Parameter Ketinggian

No Kelas Skor

1 0 – 12,5 m 9

2 12,6 – 25 m 7

3 26 – 50 m 5

4 51 -75 m 3

5 76 – 100 m 1

6 >100 m 0

Sumber : Asep Purnama (2008)

Page 21: SUHARDIMAN G 621 06 022

9

2.2.4 Testur Tanah

Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang

terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi

pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah (Badan Pertanahan

Nasional). dari ketiga jenis fraksi tersebut partikel pasir mempunyai

ukuran diameter paling besar yaitu 2 – 0.05 mm, debu dengan ukuran

0.05 – 0.002 mm dan liat dengan ukuran < 0.002 mm (penggolongan

berdasarkan USDA). keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh

terhadap keadaan sifat2 tanah yang lain seperti struktur tanah,

permeabilitas tanah, porositas dan lain2 (Anonim, 2012c).

Tekstur merupakan sifat kasar-halusnya tanah dalam

percobaan yang ditentukan oleh perbandingan banyaknya zarah-zarah

tunggal tanah dari berbagai kelompok ukuran, terutama perbandingan

antara fraksi-fraksi lempung, debu, dan pasir berukuran 2 mm ke

bawah (Notohadipranoto, 1978).

Tanah dengan tekstur sangat halus memiliki peluang kejadian

banjir yang tinggi, sedangkan tekstur yang kasar memiliki peluang

kejadian banjir yang rendah. Hal ini disebabkan semakin halus tekstur

tanah menyebabkan air aliran permukaan yang berasal dari hujan

maupun luapan sungai sulit untuk meresap ke dalam tanah, sehingga

terjadi penggenangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian

skor untuk daerah yang memiliki tekstur tanah yang semakin halus

semakin tinggi. Pemberian skor untuk tingkat Tekstur Tanah dapat

dilihat pada Tabel 5.

Page 22: SUHARDIMAN G 621 06 022

10

Tabel 5. Pemberian Skor Parameter Tekstur Tanah

Sumber: Primayuda (2006)

2.2.5 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari pengaruh

aktivitas manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi.

Penggunaan lahan akan mempengaruhi kerawanan banjir suatu

daerah, penggunaan lahan akan berperan pada besarnya air limpasan

hasil dari hujan yang telah melebihi laju infiltrasi. Daerah yang banyak

ditumbuhi oleh pepohonan akan sulit sekali mengalirkan air limpasan,

hal ini disebabkan besarnya kapasitas serapan air oleh pepohonan

dan lambatnya air limpasan mengalir disebabkan tertahan oleh akar

dan batang pohon. Lahan yang banyak ditanami oleh vegetasi maka

air hujan akan banyak diinfiltrasi dan lebih banyak waktu yang

ditempuh oleh limpasan untuk sampai ke sungai sehingga

kemungkinan banjir lebih kecil daripada daerah yang tidak ditanami

oleh vegetasi (Seyhan, 1995).

Lahan yang banyak ditanami oleh vegetasi maka air hujan akan

banyak diinfiltrasi dan lebih banyak waktu yang ditempuh oleh

limpasan untuk sampai ke sungai sehingga kemungkinan banjir lebih

kecil daripada daerah yang tidak ditanami oleh vegetasi. Pada Tabel 6

disusun penggunaan lahan yang ada.

No. Kelas Skor

1 Sangat halus 9

2 Halus 7

3 Sedang 5

4 Kasar 3

5 Sangat kasar 1

Page 23: SUHARDIMAN G 621 06 022

11

Tabel 6. Pemberian Skor Parameter Pengunaan Lahan

No. Kelas Skor

1 Tubuh Air (Danau dan Sungai) 9

2 Tambak 9

3 Sawah 8

4 Hutan Mangrove 7

5 Permukiman 6

7 Padang Rumput 5

8 Kebun campuran 3

9 Hutan 1

Sumber: Primayuda (2006)

2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang

secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang

menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke

laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah

tangkapan air (catchmen area) yang merupakan suatu ekosistem dengan

komponen utama terdiri dari sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi) dari

sumber daya manusianya (Asdak, 2002).

Daerah Aliran Sungai adalah suatu sistem yang mengubah curah

hujan (input) ke dalam debit (output) di pelepasannya (outlet). DAS

merupakan sistem yang kompleks dan heterogen yang terdiri atas beberapa

sub sistem, dimana sub sistem tersebut dianggap homogeny

(Soemarto 1987).

Sebagai satu sistem hidrologi, DAS merupakan satu kawasan yang

dialiri oleh sebuah sistem sungai yang saling berhubungan sedemikian rupa

sehingga aliran-aliran yang berasal dari kawasan tersebut keluar melalui

satu aliran tunggal (Linsley,et al., 1982).

Seyhan (1995) dalam (Suherlan, 2001) memberi batasan bahwa DAS

merupakan keseluruhan lahan dan perairan yang dibatasi oleh pemisah

Page 24: SUHARDIMAN G 621 06 022

12

topografi yang dengan sesuatu atau berbagai cara memberi sumbangan

debit kepada sungai yang ada. Dan menurut Webster (1976) dalam

(Suherlan, 2001), bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kawasan

yang dibatasi oleh pemisah topografi (punggung bukit) yang menampung,

menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atas permukaan

tanah ke sungai utama yang bermuara di laut.

Konsep DAS merupakan dasar dari semua perencanaan hidrologi.

Mengingat DAS yang besar pada dasarnya tersusun dari DAS-DAS yang

kecil, dan DAS yang kecil ini juga tersusun dari DAS-DAS yang lebih kecil

lagi. Secara umum DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang

dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun

batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di

wilayah tersebut member kontribusi aliran ke titik control (outlet)

(Suripin, 2004).

2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)

2.4.1 Sistem lnformasi Geografis (SIG)

Sistem informasi Geografi adalah suatu sistem informasi

tentangpengumpulan dan pengolahan data serta penyampaian

informasi dalam koordinat ruang, baik secara manual maupun digital.

Data yang diperlukan merupakan data yang mengacu pada lokasi

geografis, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu data grafis dan data

atribut. Data grafis tersusun dalam bentuk titik, garis, dan poligon.

Sedangkan data atribut dapat berupa data kualitatif atau kuantitatif

yang mempunyai hubungan satu-satu dangan data grafisnya (Barus

dan Wiradisastra, 2000).

Page 25: SUHARDIMAN G 621 06 022

13

Menurut ESRI (1999), Sistem Informasi Geografis (SIG)

adalah suatu alat berbasis komputer untuk memetakan dan meneliti

hal-hal yang ada dan terjadi di muka bumi. Sistem Informasi

Geografis mengintegrasikan operasi database umum seperti query

dan analisa statistik dengan visualisasi yang unik dan manfaat

analisa mengenai ilmu bumi yang ditawarkan oleh peta. Kemampuan

ini menjadi penciri Sistem Informasi Geografis dari sistem informasi

lainnya, dan sangat berguna bagi suatu cakupan luas perusahaan

swasta dan pemerintah untuk menjelaskan peristiwa, meramalkan

hasil, dan strategi perencanaan. Menurut Barus dan Wiradisastra

(2000), Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan alat yang

handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara

dalam bentuk digital. Sistem ini merupakan suatu sistem computer

untuk menangkap, mengatur, mengintegrasi, memanipulasi,

menganalisis dan menyajikan data yang bereferensi ke bumi.

Komponen utama SIG dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu:

perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen), dan

pemakai.

Sistem informasi geografi (SIG) pada saat ini sudah

merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencana

atau kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dalam hal

pemetaan sumberdaya. Dua dekade sebelum ini terjadi juga pada

Penginderaan Jauh (PJ) atau Remote Sensing, walaupun tidak

secepat kepopuleran SIG. Kedua teknologi tersebut merupakan

teknologi informasi atau lebih spesifik lagi teknologi informasi spasial

Page 26: SUHARDIMAN G 621 06 022

14

karena berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data spasial.

(Barus dan Wiradisastra, 2000).

2.4.2 Manajemen Basis Data

Data yang dihimpun pada basis data memungkinkan data

yang sangat banyak dan bervariasi jenisnya, yang sudah tentu

memerlukan sistem pengelolaan yang baik untuk memudahkan

pengguna dalam mengorganisasikan data. Manajemen basis data

merupakan suatu pendekatan yang sistematis untuk

mengorganisasikan dan mengelola himpunan data dengan

menggunakan program aplikasi tertentu untuk mengakses data

tersebut. Sistem Manajemen Basis Data dapat diartikan sebagai

program komputer yang digunakan untuk memasukkan, mengubah,

menghapus, memanipulasi dan memperoleh data atau informasi

secara praktis dan efisien (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Tahap awal dari membangun basis data adalah melakukan

pengerjaan automatisasi data. Pengautomatisasi data diagi menjadi

dua tahapan pengerjaan yaitu: proses digitasi dan memasukkan data

atribut ke dalam basis data.

1. Proses Digitasi

Pada tahap ini dilakukan konversi pada peta menjadi

format digital pada komputer dengan cara memasukkan data

spasial ke dalam basis data, pembuatan peta digital (coverage)

dilakukan dengan mendigitasi menggunakan software ArcGis

Page 27: SUHARDIMAN G 621 06 022

15

2. Mentransformasikan hasil digitasi ke dalam koordinat bumi

Setelah data spasial dapat digunakan maka dilakukan

pekerjaan utama yang dilaksanakan pada pengelolan basis data

yaitu mentransformasikan coverage hasil digitasi ke dalam

koordinat bumi sehingga dapat ditumpangsusunkan dengan

coverage lain.

Sistem koordinat adalah sekumpulan aturan tentang

bagaimana mendefinisikan titik awal. Transformasi sistem

koordinat merupakan teknik transformasi meja digitizer atau layar

ke koordinat bumi sebenarnya atau koordinat geografi bumi

dengan persamaan transformasi. Peta digital hasil digitasi adalah

peta yang masih mempunyai koordinat digitizer atau koordinat

layar apabila peta tersebut didigit pada layar komputer. Supaya

peta mempunyai koordinat yang sesuai di lapangan maka

koordinat digitizer atau layar tersebut harus diubah menjadi

koordinat bumi sebenarnya yang bereferensi geograti. Caranya

adalah dengan mengganti koordinat TIC dengan koordinat bumi

sebenarnya menggunakan sistem proyeksi tertentu.

2.5 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Penginderaan jauh membahas pengumpulan informasi mengenai

suatu objek, kejadian (fenomena), atau area melalui analisis data yang

didapat dari pengamatan dengan menggunakan peralatan sedemikian rupa

sehingga tidak terjadi kontak langsung dengan objek, kejadian (fenomena),

atau area yang diamati. Dengan demikian bidang penginderaan jauh sering

mengunakan peralatan-peralatan yang berupa kamera, scanner, atau

Page 28: SUHARDIMAN G 621 06 022

16

sensor-sensor lain yang dibawa oleh wahana pengangkut (platform) yang

dapat bergerak cepat. Salah satu aktifitas di bidang penginderaan jauh yang

paling tua adalah pemotretan (foto) udara dengan menggunakan wahana

balon udara dan pesawat terbang. Aktifitas yang lain adalah perekaman data

unsur-unsur permukaan bumi dengan menggunakan wahana satelit (Barus

dan Wiradisastra, 2000).

Pada saat ini teknologi satelit penginderaan jauh beserta sensor-

sensor yang telah menyertainya telah maju sedemikian rupa sehingga

menyebabkan resolusi spasial setiap pixel data citra hasil perekaman

sensor-sensor yang bersangkutan dapat mencapai puluhan dan belasan

meter (untuk citra-citra Landsat dan Spot,misalnya), atau bahkan mencapai

satu (1) meter (untuk. citra IKONOS pankromatik, misalnya) di permukaan

bumi. Selain itu, proses perekaman data citra digital satelit ini dapat

dilakukan dengan efektif dan efisien dalam waktu yang relatif singkat (Barus

dan Wiradisastra, 2000).

Sistem informasi geografi berkaitan dengan data bereferensi spasial.

Data masukan dari sistem informasi geografi dapat diperoleh dari berbagai

sumber antara lain:

1. Data lapangan. Data ini diperoleh dari pengukuran lapangan secara

langsung.

2. Data peta Informasi yang telah terekam pada peta kertas atau film.

3. Data citra penginderaan jauh.

Citra penginderaan jauh yang berupa foto udara harus diinterpretasi

terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk digital. Sedangkan citra

yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung

Page 29: SUHARDIMAN G 621 06 022

17

digunakan setelah diadakan konversi sebelumnya. Metode pemasukan data

yang dapat dilaksanakan adalah : digitasi peta pada meja digitizer atau pada

layar komputer (on-screen digitizing) dan import data dari aplikasi perangkat

lunak yang lain (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Page 30: SUHARDIMAN G 621 06 022

18

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Walanae Hilir. pada DAS

Walanae di Kabupaten Bone, Wajo dan Soppeng yang berlangsung pada

bulan September 2011 sampai dengan Februari 2012 Lokasi penelitian

dilaksanakan di tiga wilayah mencakup sebagian Kabupaten Bone di bagian

hilir dengan luasan sekitar 55% dari keseluruhan Sub DAS Walanae Hilir,

sebagian Kabupaten Soppeng di bagian hilir dengan luasan sekitar 5% dan

sebagian Kabupaten Wajo di bagian hilir dengan luasan sekitar 40% dari

Sub DAS Walanae Hilir yang terletak di Hilir DAS Walanae.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS, kompas,

Kamera, meteran. Scanner, Printer, Laptop dan Program Erdas Imagine 9.2,

ArcView 3.3, ArcGis 9, Microsoft Excel.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu :

1. Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1:50.000 (Jurusan Ilmu Tanah Fakultas

Pertanian)

2. Peta Administrasi, skala 1:250.000 (BPDAS Jeneberang-Walanae)

3. Citra Landsat TM+7 Tahun 2010 dan Peta Penggunaan lahan 1:250.000

4. Peta Kelerengan, skala 1:250.000 (BPDAS Jeneberang-Walanae)

5. Data Curah Hujan Kab. Bone Meliputi kec. Cenrana, kec. Ajangale, kec.

Amalia, kec. Duaboccoe, kec. Tellusiattinge. Data Curah Hujan Kab. Wajo

Meliputi kec Tempe, Kec. Paria, Kec.Sanreseng, Kec. Paneka. Kec.

Pammana (BKMG Stasium Maros Baru Kab. Maros)

6. Peta Jenis Tanah, skala 1:250.000 (Jur. Ilmu Tanah, Pertanian UNHAS)

Page 31: SUHARDIMAN G 621 06 022

19

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian diringkas menjadi delapan tahapan pokok yaitu:

mengumpulkan informasi dan data, Analisis Data Curah Hujan, Analisis Citra

Landsat, Analisis Peta Testur Tanah membangun basis data, menganalisis

data, Analisis Tingkat Kerawanan dan menyajikan hasil analisis data berupa

peta.

3.3.1 Pengumpulan Informasi dan Data

a. Pengumpulan Informasi Biofisik Sub DAS Walanae Hilir, DAS

Walanae (Letak dan Luas Sub DAS Walanae Hilir)

b. Jenis Data :

1) Peta kemiringan lereng

2) Peta Ketinggian

3) Peta Administrasi Wilayah

4) Peta Rupa Bumi

3.3.2 Analisis Data Curah Hujan

1. Pengumpulan Data Hujan

Pencarian dilakukan di instansi yang terkait dengan data hujan, yaitu

BKMG Stasium Maros Baru Kab. Maros. Data curah hujan yang

terkumpul berupa data curah hujan tahunan (2001-2010) yang

meliputi: (1) jumlah curah hujan dan (2) bulan hujan. Data tersebut

berasal dari stasiun – stasiun penakar hujan yang ada di wilayah DAS

Walanae.

Nilai curah hujan rata-rata tahunan dihitung dengan menggunakan

persamaan sebagai berikut:

……………………………………………. (1)

Page 32: SUHARDIMAN G 621 06 022

20

Keterangan:

X = Curah hujan rata-rata tahunan

Ri = Curah hujan tahunan untuk tahun ke-i

N = Jumlah tahun data curah hujan yang digunakan untuk membuat

peta curah hujan

2. Pembuatan peta curah hujan

Metode Poligon Thiessen mendefinisikan individu area yang

dipengaruhi oleh sekumpulan titik yang terdapat di sekitarnya. Poligon

ini merupakan pendekatan terhadap informasi titik yang diperluas (titik

menjadi poligon) dengan asumsi bahwa informasi yang terbaik untuk

semua lokasi yang tanpa pengamatan adalah informasi yang terdapat

pada titik terdekat dimana hasil pengamatannya diketahui, prosesnya

menggunakan ArcView 3.3 dengan extensions create Thissen

polygons – 2.6 dengan memesukkan titik koordinat ke dalam peta.

3.3.3 Analisis Citra Landsat

Pada penelitian ini digunakan citra Landsat TM+7 Propinsi Sulawesi

Selatan tahun 2010. Secara umum analisis dilakukan dengan bantuan

software Erdas Imagine 9.2. dengan tahapan sebagai berikut :

1. Koreksi Radiometri

Koreksi radiometri ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya

sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan

faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek

atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek dipermukaan bumi yang

terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya, tetapi

Page 33: SUHARDIMAN G 621 06 022

21

menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil

karena proses serapan

2. Koreksi Geometrik

Koreksi Geometrik dilakukan pada citra dengan mengidentifikasi

Ground Control Points (GCP) atau titik-titik ikat yang mudah ditentukan

seperti percababangan sungai atau perpotongan jalan, dengan

menggunakan peta acuan penggunaan lahan yang sudah ada dalam

bentuk vector format SHP sebagai titik acuan untuk menentukan titik

ikat, Nilai akurasi GCP ditunjukkan oleh nilai Root Mean Square Error

(RMS-error). RMS-error menyatakan nilai kesalahan dari proses

koreksi geometrik. Akurasi yang baik ditunjukkan oleh nilai RMS-error

yang sangat kecil mendekati nol.

3. Pemotongan Image

Pemotongan Image bertujuan untuk membatasi citra yang akan di

analisis sesuai dengan besaran tempat yang akan di analisis agar

mudah dalam prosesnya.

4. Klasifikasi Citra Tak Terbimbing (unsupervised classification)

Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi

tidak terbimbing dengan metode klasifikasi kemiripan maksimum,

klasifikasi bertujuan untuk mendapatkan kelas-kelas penggunaan

lahan. Klasifikasi ini dilakukan dengan meperbandingkan peta

penggunaan lahan yang sudah jadi dengan citra yang akan di

klasifikasi.

Page 34: SUHARDIMAN G 621 06 022

22

3.3.4 Analisis Peta Testur Tanah

Analisis peta testur tanah dilakukan untuk mempersiapkan peta tekstur

tanah. Peta tekstur tanah diperoleh dari analisis peta sebaran tanah dari

Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas hasanuddin yang

berasal dari Bakosurtanal yang berupa peta vektor (shapefile).

Pembagian sebaran jenis tanah tersebut kemudian di analisis untuk

mendapatkan testur tanah dengan mengunakan buku kunci taksonomi

tanah, referensi buku lainnya dan literatur jurnal dan penelitihan. Pada

table 7 disusun Pembagian jenis tanah dan tekstur tanah pada sub das

walanae hilir.

Tabel 7. Pembagian jenis tanah dan tekstur tanah sub das walanae hilir

No. Jenis Tanah Tekstur Tanah Deskripsi Tanah

1 Entisol Sangat Halus Tanah Entisol adalah tanah tanpa atau

dengan sedikit perkembangan dimana

sifat – sifatnya sebagian besar

ditentukan oleh bahan induknya

(Lopulisa, 2004).

Tekstur Tanah Lebih Halus dari pasir

halus berlempung (Sangat Halus) dan,

50 % atau lebih dari maktriksnya,

memiliki satu atau lebih sifat berikut

kroma (0) atau kroma (Soil Survey

Staff, 1999).

2 Inceptisol Kasar Tanah Inceptisol memiliki tekstur kasar

dengan kadar pasir 60 %, hanya

mempunyai horizon yang banyak

mengandung sultat masam (catday)

pH < 3,5 terdapat karatan. Tanah

Inceptisol umumnya memiliki horizon

Page 35: SUHARDIMAN G 621 06 022

23

kambik. Horizon kambik merupakan

indikasi lemah atau spodik.

(Hardjowigeno, 1992).

3 Regosol Kasar Regosol adalah tanah yang belum

banyak mengalami perkembangan

profilnya. Oleh karena itu tebal solum

tanahnya biasanya tidak melebihi 25

cm. Mengandung bahan yang belum

atau masih mengalami pelapukan.

Tanah ini berwarna kelabu, coklat,

atau coklat kekuningan. Tekstur tanah

biasanya kasar, yaitu pasir hingga

lempung berdebu, struktur remah,

konsistensi tanah lepas sampai

gembur dan pH 6-7. Makin tua tanah

maka semakin padat konsistensinya.

Umumya regosol belum membentuk

agregat, sehingga peka terhadap

erosi. Umumnya cukup mengandung

unsure P dan K yang masih segar dan

belum siapuntuk diserap tanaman,

tetapi kekurangan unsure N.

(Dharmawijaya, 1992)

4 Ultisol Sedang Untisol adalah tanah dengan horizon

argilik bersifat masam dengan

kejenuan basa rendah (Hardjowigeno,

1993).

umumnya berkembang dari bahan

induk tua Ultisol adalah Ultisol

umumnya mempunyai struktur sedang

hingga kuat, dengan bentuk gumpal

bersudut (Prasetyo et al. 2006)

Page 36: SUHARDIMAN G 621 06 022

24

3.3.5 Membangun Basis Data

Tahap awal dari membangun basis data adalah melakukan

pengerjaan automatisasi data. Pengautomatisasi data dibagi menjadi dua

tahapan pengerjaan yaitu :

1. Proses digitasi

Digitasi adalah konversi data analog kedalam format digital pada

komputer dengan cara memasukkan data spasial ke dalam basis

data, pembuatan peta digital (coverage) dilakukan dengan mendigitasi

citra yang telah dianalisis menjadi peta penggunaan lahan.

2. Mentransformasikan hasil digitasi ke dalam koordinat bumi.

Setelah data spasial dapat digunakan maka dilakukan pekerjaan

utama yang dilaksanakan pada pengelolan basis data yaitu

mentransformasikan coverage hasil digitasi ke dalam koordinat bumi

sehingga dapat ditumpangsusunkan dengan coverage lain.

3.3.6 Menganalisis Data

Proses menganalisis data dibagi menjadi dua yaitu: analisis atribut

dan analisis keruangan. Atributing adalah proses pemberian atribut atau

informasi pada suatu coverage. Pemberian atribut ini lebih mudah

dilakukan di ArcView, karena prosedurnya yang tidak terlalu rumit.

3.3.6.1 Analisis Atribut

Proses analisis atribut dibagi menjadi dua bagian yaitu klasifikasi

dan pengskoran dan pembobotan.

1. Klasifikasi dan Pengskoran

Klasifikasi yang dimaksud adalah pembagian kelas dari

masing-masing peta digital. Pengskoran dimaksudkan sebagai

Page 37: SUHARDIMAN G 621 06 022

25

pemberian skor terhadap masing-masing kelas. Menurut (Erlan

Suherlan, 2001) Pemberian skor ini didasarkan pada pengaruh kelas

tersebut terhadap besarnya banjir.

Adapun pemberian skor dilandasi beberapa filosofi, yaitu : 1)

wilayah dengan curah hujan tinggi memiliki kerentanan banjir lebih

tinggi, 2) kemiringan lereng yang landai memiliki kerentanan banjir

lebih tinggi dari lereng yang curam, 3) Tanah dengan tekstur sangat

halus memiliki peluang kejadian banjir yang tinggi, sedangkan tekstur

yang kasar memiliki peluang kejadian banjir yang rendah 4) bentuk

lahan yang lebih landai hingga cekung memiliki kerentangan lebih

tinggi, 5) semakin dekat dengan sungai atau badan air, maka

kemungkinan terjadinya genangan atau banjir yang berasal dari

luapan sungai lebih besar, 6) Penggunaan lahan yang dianggap

rentan terhadap banjir adalah Penggunaan lahan yang lebih

berpengaruh pada air limpasan yang melebihi laju infiltrasi.

2. Pembobotan

Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta digital

masing masing parameter yang berpengaruh terhadap banjir, dengan

didasarkan atas pertimbangan pengaruh masing-masing parameter

terhadap banjir.

Pembobotan dimaksudkan sebagai pemberian bobot pada

masing-masing peta tematik (parameter). Penentuan bobot untuk

masing-masing peta tematik didasarkan atas pertimbangan,

seberapa besar kemungkinan terjadi banjir dipengaruhi oleh setiap

Page 38: SUHARDIMAN G 621 06 022

26

parameter geografis yang akan digunakan dalam analisis SIG. yang

menghasilkan pembobotan seperti ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Pembobotan Parameter-Parameter Banjir

No. Parameter Banjir Bobot (%)

I Curah hujan 30

2 Penggunaan Lahan 20

3 Kelerengan 20

4 Tekstur Tanah 20

5 Ketinggian Lahan 10

Sumber: Primayuda (2006)

3.3.6.2 Analisis Keruangan

Analisis keruangan dilakukan dengan menumpangsusunkan

peta-peta digital yang sebelumnya telah diberi skor dan bobot pada

masing-masing peta digital dilakukan dengan bantuan software ArcGis,

sehingga menghasilkan peta zonasi yang akan di analisis selanjutnya

untuk mengetahui tingkat kerawanan banjirnya.

Peta-peta digital yang akan ditumpangsusunkan adalah peta

curah hujan (Polygon Thiessen), peta kelerengan, peta Tekstur Tanah

dan peta penggunaan lahan.

3.3.7 Analisis Tingkat Kerawanan

Nilai kerawanan suatu daerah terhadap banjir ditentukan dari total

penjumlahan skor lima parameter yang berpengaruh terhadap banjir

(curah hujan, kelerengan, Ketinggian Lahan, Tekstur Tanah dan

penggunaan lahan). Menurut Kingma, 1991 nilai kerawanan ditentukan,

dengan, menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝐾 = 𝑊𝑖 𝑥 𝑋𝑖 𝑖=1 ..…………………………….……………...………… (2)

Page 39: SUHARDIMAN G 621 06 022

27

Keterangan :

K = Nilai kerawanan

Wi = Bobot untuk parameter ke-i

Xi = Skor kelas parameter ke-i

Nilai kerawanan suatu daerah terhadap banjir ditentukan dari total

penjumlahan skor masing-masing parameter banjir, daerah yang sangat

rawan terhadap banjir akan mempunyai skor total yang tinggi dan

sebaliknya daerah yang tidak rawan terhadap banjir akan mempunyai

total skor yang rendah. Tabel 9 menunjukkan tingkat kerawanan banjir

berdasarkan nilai kerawanan penjumlahan skor masing-masing parameter

banjir.

Tabel 9. Nilai Tingkat Kerawanan Kebanjiran

No. Tingkat Kerawanan Jumlah Nilai Semua

Kebanjiran Parameter

1. Sangat rawan banjir 6,75 – 9

2. Rawan banjir 4,5 – 6,75

3. Kurang rawan banjir 2,25 – 4,5

4. Tidak rawan banjir < 2,25

Asep Purnama (2008)

3.3.8 Menyajikan Hasil Analisis

Setelah didapat nilai kerawanan banjir maka peta tersebut

ditumpangsusunkan dengan peta administrasi daerah sehingga akan

didapatkan daerah cakupan banjir. Hasil analisis disajikan dalam bentuk

peta kerawanan banjir. Penyajian hasil dilakukan dengan bantuan

software ArcGis.

Page 40: SUHARDIMAN G 621 06 022

28

3.3.9 Diagram Alir Penelitian

Pengumpulan Data dan Analisis Faktor Daerah Rawan Banjir

Pembangunan Basis Data

Analisis Data

Penyajian Hasil Analisis

Gambar 1 : Diagram alir penelitian

1. Digitasi

2. Mentransformasikan

hasil digitasi ke dalam

koordinat bumi

Analisis Atribut:

Pengskoran dan Pembobotan

Analisis Keruangan

(Overlay)

Analisis Tingkat Kerawanan

dan Resiko Banjir

Peta Kerawan Banjir

Analisis Peta

Testur Tanah

1. Koreksi

Radiometri

2. Koreksi

Geometrik

3. Pemotongan

image citra

4. Klasifikasi Tidak

Terbimbing

Peta Tekstur

Tanah Peta Penutupan

Lahan

MULAI

Citra Landsat Data Curah Hujan

Peta Curah Hujan

Polygon Thissen

1. Pengumpulan

data Curah Hujan

2. Pembuatan Peta

Curah Hujan

Analisis Citra Analisis Data Curah

Hujan

Peta Sebaran Tanah

Analisis Testur

Tanah

1. Peta Kelas

Lereng

2. Peta

Administratif

3. Peta Ketinggian

- Peta Kelas Lereng - Peta Administratif - Peta Rupa Bumi - Peta Ketinggian

Pengumpulan Data

Page 41: SUHARDIMAN G 621 06 022

29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Wilayah

Sub DAS Walanae Hilir merupakan Sub DAS bagian hilir dari sistem

DAS Walanae. Sub DAS Walanae Hilir mencakup tiga wilayah yaitu bagian

hulu Kabupaten Soppeng (Kecamatan Lilirilau), Wajo (Kecamatan Bola Solo,

Kecamatan Majauleng, Kecamatan Maningpajo, Kecamatan Pammana,

Kecamatan Penrang, Kecamatan Sabbangparu, Kecamatan Sajoanging,

Kecamatan Takkalala, Kecamatan Tanasitolo dan Kecamatan Tempe) dan

bagian hilir Kabupaten Bone (Kecamatan Ajangale, Kecamatan Amali,

Kecamatan Awangpone, Kecamatan Cendrana, Kecamatan Duaboccoe,

Kecamatan Tellusiattinge, dan Kecamatan Ulaweng). Luas DAS Walanae

yaitu 202.734,31 ha, dimana luas Sub DAS Walanae Hilir yaitu 155.137.41

ha. Secara geografis Sub DAS Walanae Hilir terletak antara 119059’01’’

sampai dengan 120023’34’’ BT dan 03058’61’’ sampai dengan 04029’68’’ LS.

4.2 Parameter – Parameter Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir

4.2.1 Faktor Curah Hujan

Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah

dalam waktu tertentu. Dalam perhitungan debit banjir memerlukan data

intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah

hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut

terkonsentrasi. Salah satu penduga penyebab terjadinya Banjir yaitu

Curah hujan. Pada kawasan Sub DAS Walanae Hilir tingkat curah

hujan yang terjadi cukup tinggi. Hujan akan menimbulkan banjir jika

intensitasnya cukup tinggi dan jatuhnya dalam waktu yang relatif lama.

Page 42: SUHARDIMAN G 621 06 022

30

Gambar 2. Peta Curah Hujan Tahunan Sub DAS Walanae Hilir

Hampir seluruh wilayah di Sub DAS Walanae Hilir (63,12%)

mempunyai curah hujan (<1.500 mm/tahun atau Normal). Sedangkan

bagian hulu merupakan bagian Sub DAS Walanae Hilir yang masuk

kategori kering (curah hujan 1.501 – 2.000 mm/tahun) (Tabel 10).

Tabel 10. Curah Hujan Sub DAS Walanae Hilir

No. Kelas Curah Hujan Luas luas

(%) (mm/tahun) (ha)

1 Sangat basah > 3.000 - -

2 Basah 2.501 – 3.000 - -

3 Sedang/lembab 2.001 – 2.500 - -

4 Kering 1.501 – 2.000 97.915,73 63,12

5 Sangat kering < 1.500 57.221,67 36,88

155.137,41 100

Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.

Page 43: SUHARDIMAN G 621 06 022

31

4.2.2 Faktor Lereng

Kemiringan lahan atau kelas lereng di Sub DAS Walanae Hilir

dibagi lima kelas kemiringan, dimana kelas yang mendominasi adalah

kelas kemiringan lahan datar (8 – 15%). Kelas datar ini menyebar di

bagian hilir dan tengah Sub DAS Walanae Hilir. Sedangkan pada

bagian hulu lebih banyak terdapat lahan yang berombak dan

bergelombang. Pada daerah pegunungan kemiringan lahan berupa

lahan yang berbukit sampai terjal (Gambar 3).

Gambar 3. Peta Lereng Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae

Luas kelas kemiringan lahan datar (8 – 15%) adalah 89.833,98

ha dengan persentase 57,91%. Sedangkan kelas kemiringan dengan

luasan paling kecil adalah kelas kemiringan lahan berbukit curam/terjal

dengan luas 7,27 ha dengan persetase 0,005% (Tabel 11).

Page 44: SUHARDIMAN G 621 06 022

32

Tabel 11. Kemiringan Lahan Sub DAS Walanae Hilir

No Kelerengan Lereng

(%) Luas (ha)

Luas (%)

1 Flat 0 - 8 40.989,54 26,42

2 Very Gentle 08 - 15 89.833,98 57,91

3 Mod Steep 15 - 25 18.451,29 11,89

4 Very Steep 25 - 40 5.855,32 3,77

5 Extremely Steep > 40 7,27 0.005

Total 15.5137,41 100,00

Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.

4.2.3 Ketinggian

Pembagian kelas ketinggian di Sub DAS Walanae Hilir dibagi

menjadi enam kelas. Sub DAS Walanae Hilir didominasi oleh daerah

dengan ketinggian di atas 0 – 12.5 mdpl terutama di daerah aliran

sungai (Sungai Walanae) Hal ini dikarenakan daerah hilir merupakan

daerah yang dekat atau langsung berbatasan dengan laut. Sedangkan

pada bagian hulu ketinggian daerahnya adalah > 100 mdpl.

Gambar 4. Peta Ketinggian Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae

Page 45: SUHARDIMAN G 621 06 022

33

Luasan daerah yang mempunyai ketinggian 0m – 12,5 mdpl

adalah 57.481,18 ha dengan persentase 26,16%. ketinggian >100

mdpl adalah 37.972,50 ha dengan persentase 69,74%. Untuk kelas

ketinggian 12,5m – 25 mdpl adalah 28.380,83 ha dengan persentase

69,74%. (Tabel 12).

Tabel 12. Ketinggian Lahan Sub DAS Walanae Hilir

No Ketinggian Luas (ha)

Luas (%)

1 0m – 12,5m 57.481,18 26,16

2 12,5m – 25m 28.380,83 69,74

3 25m – 50m 10.296,72 3,10

4 50m -75m 8.277,89 0,99

5 75m – 100m 12.728,29 26,16

6 >100m 37.972,50 69,74

Total 155.137,40 100,00

Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.

4.2.4 Faktor Tekstur Tanah

Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang

terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi

pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah (Badan Pertanahan

Nasional).

Dari Peta Tekstur Tanah (Gambar 5) dapat dilihat bahwa kelas

yang paling luas untuk tekstur tanah adalah kelas Sedang. Sebagian

besar kelas tekstur tanah sedang ini terdapat pada bagian tepi dan

hulu Sub DAS Walanae Hilir. pada bagian tengah dan hilir Sub DAS

Walanae Hilir umumnya mempunyai kelas tekstur tanah sangat halus.

Page 46: SUHARDIMAN G 621 06 022

34

Gambar 5. Peta Tekstur Tanah Sub DAS Walanae Hilir

Tekstur tanah Sub DAS Walanae Hilir umumnya adalah tekstur

tanah Sedang, dimana kelas tekstur tanah Sedang ini mempunyai

luasan 108.189,60 ha dengan persentase 69.74% dari seluruh luas

Sub DAS Walanae Hilir. Kelas tekstur tanah yang paling kecil

luasannya adalah kelas kasar dengan luas 6.358,63 ha dengan

persentase 4.10% (Tabel 13). Karena sifat kelas tekstur tanah sangat

halus ini yang menahan air luapan sungai meresap ke dalam tanah,

memberikan pengaruh bahwa banyak daerah di Sub DAS Walanae

Hilir susah menyerap air sehingga timbul penggenangan air dan

memperbesar kemungkinan terjadi banjir.

Page 47: SUHARDIMAN G 621 06 022

35

Tabel 13. Tekstur Tanah Sub DAS Walanae Hilir

No. Kelas Luas luas

(%) (ha)

1 Sangat halus 40.589,17 26,16

2 Halus - -

3 Sedang 108.189,60 69.74

4 Kasar 6.358,63 4,10

5 Sangat kasar - -

155.137,40 100,00

Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.

4.2.5 Penggunaan Lahan

Dalam penentuan indeks penggunaan lahan ini ditentukan dari

peta tata guna lahan, citra landsat TM+7 Bulan Februari Tahun 2010

dan keterangan tata guna lahan pada peta topografi RBI. Dari data

tersebut kemudian di buatlah peta penggunaan lahan. Pengunaan

lahan di sekitar kawasan Sub DAS Walanae Hilir diklasifikasikan

menjadi delapan kelas Penggunaan lahan yaitu dapat dilihat pada

Gambar 6 dan Tabel 14.

Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir

Page 48: SUHARDIMAN G 621 06 022

36

Penggunaan lahan di Sub DAS Walanae Hilir didominasi oleh

Kebun campuran dengan luas 92.585,77 ha dengan persentase yaitu

59,68% kemudian Sawah dengan luas 52.170,00 ha dengan

persentase yaitu 33,63%. Penggunaan lahan berupa hutan yang

berperan dalam pencegahan banjir mempunyai luas 4.296,00 ha dan

persentase 2.77 %.

Tabel 14. Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir

No Tutupan Lahan Luas (ha)

Luas (%)

1 Pemukiman 378,07 0,24

2 Kebun Campuran 92.585,77 59,68

3 Sawah 52.170,00 33,63

4 Hutan 4.296,00 2,77

5 Tubuh Air 3.006,00 1,94

6 Hutan Magrove 540,10 0,35

7 Tegalan 365,47 0,24

8 Tambak 1.796,00 1,16

Total 155137,41 100,00

Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.

4.3 Tingkat Kerawanan Banjir (TKB)

Tingkat kerawanan banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan

(yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat pada setiap unit

lahan yang diperoleh berdasarkan nilai kerawanan banjir. Di banyak daerah

yang tanahnya mempunyai daya serapan air yang buruk (Tekstur Tanah),

atau jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air.

Ketika hujan lebat turun, yang kadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba

yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air.

Daerah rawan banjir adalah daerah yang dari segi fisik dan

klimatologis memiliki kemungkinan terjadi banjir dalam jangka waktu tertentu

dan berpotensi terhadap rusaknya alam.

Page 49: SUHARDIMAN G 621 06 022

37

Gambar 7. Peta Kerawanan Banjir Sub DAS Walanae Hilir

Dari peta kerawanan banjir yang dibuat berdasarkan peta – peta factor

penentu banjir didapat bahwa Sub DAS Walanae Hilir terdiri dari tiga kelas

kerawanan banjir yaitu : kelas Kurang Rawan Banjir dengan luas 23.788,17

ha dengan persentase yaitu 15.33%, kelas Rawan Banjir dengan luas

85.602,92 ha dengan persentase yaitu 55.18%, kelas Sangat Rawan Banjir

dengan luas 45.746,32 ha dengan persentase yaitu 29.49%. (Gambar. 7)

Tabel 15. Nilai Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) Sub DAS Walanae Hilir

No Tingkat Kerawanan Banjir Luas

(ha)

Luas

(%)

1 Tidak Rawan Banjir - -

2 Kurang Rawan Banjir 23.788,17 15,33

3 Rawan Banjir 85.602,92 55,18

4 Sangat Rawan Banjir 45.746,32 29,49

Total 155.137,41 100,00

Sumber: Hasil Analisa SIG, 2012

Page 50: SUHARDIMAN G 621 06 022

38

Kecamatan yang memiliki luas kelas kerawanan sangat rawan yang

paling tinggi adalah kecamatan Cendrana dengan luas 8.443.33 ha dengan

persentase yaitu 5.44% diikuti Kec. Duabaccoe dengan luas 6.984.59 ha

dengan persentase yaitu 4.50%, dan Pammana dengan luas 6.566.46 ha

dengan persentase yaitu 4.23% dari jumlah total wilayah Sub DAS Walanae

Hilir. Daerah ini mempunyai daerah sangat rawan banjir yang luas

dipengaruhi oleh faktor yaitu : kelas lereng yang umumnya datar (0 - 8%),

Ketinggian 08 – 12,5 mdpl tekstur tanah dengan kriteria Sangat halus,,

Penggunaan Lahan yang didominasi sawah, kebun campuran, tubuh air,

tambak, merupakan daerah aliran sungai dan ketinggian lahan yang rendah

(Lampiran 21)

Pemetaan daerah kerawanan banjir ini bertujuan untuk

mengidentifikasi daerah mana saja yang rawan untuk terjadinya banjir,

sehingga daerah tersebut dapat dianalisis untuk melakukan pencegahan dan

penanganan banjir. Untuk melakukan pencegahan dan penanganan banjir,

faktor yang dapat dilakukan perbaikan/perubahan adalah Penggunaan lahan

yang merupakan faktor manusia. Dimana Penggunaan lahan berupa

pemukiman, sawah, dan tanah terbuka memberikan pengaruh yang besar

untuk terjadinya banjir. Sedangkan faktor – faktor yang lain merupakan faktor

alam yang umumnya sulit untuk dilakukan perbaikan/perubahan. Penanganan

banjir di sub das walanae hilir dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan

di daerah hulu agar air kiriman dari hulu tidak langsung masuk ke hilir yang

dapat menyebabkan terjadinya banjir.

Page 51: SUHARDIMAN G 621 06 022

39

Tabel 16. Rekapitulasi Tingkat Kerawanan Banjir Pada Sub Das Walanae Hilir

No Tingkat Kerawanan Banjir

Kabupaten

Total

Bone Wajo Soppeng

Luas % Luas % Luas % Luas %

1 Kurang rawan banjir 18.825,57 12,13 1.195,78 0,77 3.766,82 2,43 23.788,17 15,33

2 Rawan banjir 29.968,82 19,32 54.343,05 35,03 1.291,05 0,83 85.602,92 55,18

3 Sangat Rawan Banjir 21.268,92 13,71 24.477,39 15,78 0,00 0,00 45.746,31 29,49

TOTAL SUB DAS WALANAE HILIR 155.137,41 100,00

Sumber: Hasil Analisa SIG, 2012

Page 52: SUHARDIMAN G 621 06 022

40

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa secara deskriptif dan uraian-uraian yang

dikemukakan pada bab-bab terdahalu, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Secara Umum Wilayah pada Sub DAS Walanae Hilir, sudah berada

pada tingkat kerawanan banjir yang sangat tinggi.

2. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap Kerawanan banjir pada Sub

DAS Walanae Hilir adalah faktor ketinggian lahan yang rendah.

3. Penanganan banjir di sub das walanae hilir dapat dilakukan dengan

melakukan perbaikan di daerah hulu agar air kiriman dari hulu tidak

langsung masuk ke hilir yang dapat menyebabkan terjadinya banjir.

5.2. Saran

Untuk mendapatkan hasil yang optimal pada penelitian lebih lanjut

sebaiknya mengunakan wilayah cakupan yang lebih kecil dan diverifikasi

dengan kejadian-kejadian banjir yang pernah terjadi.

Page 53: SUHARDIMAN G 621 06 022

41

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011a. (Daerah Aliran Sungai (Das) Walanae, Sulawesi Selatan) http://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/12/das-Walanae.pdf. Tanggal diakses 15 November 2011.

Anonim, 2012b.http://mbojo.wordpress.com/2007/08/15/segitiga-tekstur/ Tanggal

diakses 24 Mei 2012. Anonim, 2012c.http://www.arsingtadda.com/bab-ii-faktor-penentu-kepekaan-

tanah-terhadap-longsor-dan-erosi.html. Tanggal Akses 27 Juli 2012 Asdak, 2002.Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran Sungai.Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta. Asriningrum dan Gunawan, 1998. Zonasi Tingkat Kerentanan Banjir

Menggunakan Sistem Informasi Geografi (Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta). (Skripsi). Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.

Barus B, 2005. Kamus SIG (Sistem Informasi Geografis) dengan 128 Diagram.

Bogor: Studio Teknologi Informasi Spasial. Barus, B dan U.S. Wiradisastra, 2000. Sistem Informasi Geografis: Sarana

Manajemen Sumberdaya. Bogor: Lab Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.

BPDAS Jeneberang-Walanae, 2010. Laporan Karakteristik DAS Jeneberang-

Walanae 2010, BPDAS Jeneberang-Walanae. Makassar Darmawijaya, 1992. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta. Hardjoamidjojo, S. dan Sukartaatmadja, S. 1992. Teknik Pengawetan Tanah dan

Air. JICA IPB. Bogor. Hardjoamidjojo, Sarwono, 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika

Pressindo, Jakarta Hardjowigeno, S, 1992. Ilmu Tanah. Edisi Ketiga. PT. Mediyatama Sarana

Perkasa, Jakarta Loebis, J, 1992. “Banjir Rencana Untuk Bangunan Air”. Departemen Pekerjaan

Umum Linsley, R.K., M.A Kohler and J.J.H Paulhus, 1982. Hydrology for Engineers.

McGraw-Hill.Inc. New York. Lopulisa, Christianto, 2004. Tanah – Tanah Utama Dunia, Cetakan 1, LEPHAS,

Makassar

Page 54: SUHARDIMAN G 621 06 022

42

Notohadipranoto, dan R.M. Tejoyuwono, 1978. Asas-Asas Pedologi. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Prasetyo, B.H, 2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah

Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia. Balai Penelitian Tanah, Jurnal Litbang Pertanian Bogor

Primayuda A, 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Resiko Banjir Menggunakan

Sistem Informasi Geografis: studi kasus Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur (skripsi). Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Purnama A, 2008. Pemetaan Kawasan Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai

Cisadane Menggunakan Sistem Informasi Geografis. (skripsi). Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Seyhan, 1995. Dasar-dasar hidrologi, Universitas Gajah Mada. Soemarto, C.D, 1987. Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya. Soil Survey Staff, 1998. (keys to soil taxonomy) Kunci Taksomi Tanah. Edisi

Kedua Bahasa Indonesia, 1999. Pusat Penelitian Tanah Dan Agroklimat, Badan Penelitihan Dan Pengembangan Pertanian,

Suherlan, 2001. Zonasi Tingkat Kerentangan Banjir Kabupaten Bandung

Mengunakan System Informasi Geografis. (skripsi). Bogor Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan air. Penerbit Andi:

Yogyakarta. Utomo W. Y. 2004. Pemetaan Kawasan Berpotensi Banjir di DAS Kaligarang

Semarang dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (skripsi). Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Page 55: SUHARDIMAN G 621 06 022

43

DAFTAR LAMPIRAN

Page 56: SUHARDIMAN G 621 06 022

44

Lampiran 1. Peta Lokasi DAS Walanae

Page 57: SUHARDIMAN G 621 06 022

45

Lampiran 2. Peta Lokasi Sub DAS Walanae Hilir

Page 58: SUHARDIMAN G 621 06 022

46

Lampiran 3. Peta Administrasi Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae

Lampiran 4. Peta Jenis Tanah Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae

Page 59: SUHARDIMAN G 621 06 022

47

Lampiran 5. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae

Lampiran 6. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Bone

Page 60: SUHARDIMAN G 621 06 022

48

Lampiran 7. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Wajo

Lampiran 8. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Wajo

Page 61: SUHARDIMAN G 621 06 022

49

Lampiran 9. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Ajangale Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Bone Stasium : Ajangale

Lintang : 04º 14' 03,3" LS Bujur : 120º 11' 09,5" BT Tinggi : 13 M

Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agu Sep Okt Nov Des CH

2001 X X X X X X X X X X X X 0

2002 X X X X X X X X X X X X 0

2003 X X X X X X X X X X X X 0

2004 15 X 134 280 184 - 94 - - - 195 20 922

2005 38 42 210 252 680 25 126 24 - 175 120 19 1711

2006 30 64 40 87 235 367 3 - - - 13 121 960

2007 55 97 58 210 X 73 14 14 X 41 X 59 621

2008 35 23 82 314 592 96 140 63 9 210 173 74 1811

2009 X X X 185 169 35 156 X X X X X 545

2010 81 78 X 111 228 X 245 X X X X X 743

Max Curah hujan tahunan 7313

Max Jumlah tahun data curah hujan 7

Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan

1044.71429

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011

Page 62: SUHARDIMAN G 621 06 022

50

Lampiran 10. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Amali Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Bone Stasium : Amali

Lintang : 04º 24' 14,5" LS Bujur : 120º 06' 36,5" BT Tinggi : 125 M

Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH

2001 X X X X X X X X X X X X 0

2002 X X X X X X X X X X X X 0

2003 X X X X X X X X X X X 306 306

2004 X 7 89 356 390 - 101 - - - X X 943

2005 67 40 121 246 1527 301 70 7 - 89 117 29 2614

2006 65 65 12 76 124 108 35 - 4 - 11 295 795

2007 77 113 192 362 X 136 29 66 X 84 X 236 1295

2008 52 91 84 308 332 121 126 147 38 107 X 92 1498

2009 X X 123 283 190 X 112 36 32 89 58 160 1083

2010 115 64 152 229 285 480 385 250 382 370 368 31 3111

Max Curah hujan tahunan 11645

Max Jumlah tahun data curah hujan 8

Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan

1455.63

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011

Page 63: SUHARDIMAN G 621 06 022

51

Lampiran 11. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Duo Boccoe Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Bone Stasium : Duo Boccoe

Lintang : 04º 19' 18,8" LS Bujur : 120º 15' 02,0" BT Tinggi : 19 M

Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH

2001 X X X X X X X X X X X X 0

2002 X X X X X X X X X X X X 0

2003 X X X X X X X X X X X X 0

2004 X X 89 343 133 - 21 - 22 - 168 77 853

2005 45 44 224 258 489 62 127 31 - 90 100 110 1580

2006 37 72 53 101 263 293 32 16 - - 10 254 1131

2007 56 85 48 172 85 20 9 X 29 - 30 534

2008 97 26 111 225 568 212 162 128 172 100 38 104 1943

2009 166 61 286 142 142 169 36 - 17 193 1212

2010 8 33 443 718 643 811 439 1373 630 551 5 5654

Max Curah hujan tahunan 12907

Max Jumlah tahun data curah hujan 7

Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1843.86

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011

Page 64: SUHARDIMAN G 621 06 022

52

Lampiran 12. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Tellusiattinge Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Bone Stasium : Tellusiattinge

Lintang : 04º 23' 04,0" LS Bujur : 120º 14' 18,9" BT Tinggi : 52 M

Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH

2001 245 x 84 x x x x x 59 x x x 388

2002 112 69 68 x x x x x x x x x 249

2003 x x x x x x x x x x 145 392 537

2004 158 150 34 447 142 69 92 - - - x x 1092

2005 71 79 200 281 624 66 114 52 - 82 226 134 1929

2006 43 93 39 178 149 265 66 13 - - 6 110 962

2007 106 200 36 165 x 85 17 118 x 13 x 68 808

2008 x 32 168 316 423 55 302 144 24 145 28 48 1685

2009 178 81 18 163 113 387 94 6 4 83 111 138 1376

2010 123 115 296 150 x 135 425 282 x x x 118 1644

Max Curah hujan tahunan 10670

Max Jumlah tahun data curah hujan 10

Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1067

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011

Page 65: SUHARDIMAN G 621 06 022

53

Lampiran 13. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Tempe Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : Tempe

Lintang : 04º 08' 15,6" LS Bujur : 120º 02' 18,1" BT Tinggi : 58 M

Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH

2001 x x x x x x x x x x x x 0

2002 x x x x x x x x x x x x 0

2003 x x x x x x x x x x x x 0

2004 x x x x x x x x x x x x 0

2005 x x x x x x x x x 171 138 100 409

2006 82 x 73 198 202 244 13 9 - - 102 138 1061

2007 199 97 167 86 224 387 105 67 47 146 55 65 1645

2008 86 50 36 141 190 236 155 131 90 250 392 127 1884

2009 136 33 162 116 167 9 105 4 17 51 70 30 900

2010 72 155 32 118 389 411 393 332 677 322 285 26 3212

Max Curah hujan tahunan 9111

Max Jumlah tahun data curah hujan 6

Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1518.5

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011

Page 66: SUHARDIMAN G 621 06 022

54

Lampiran 14. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Paria/Majennang Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : Paria/Majennang

Lintang : 04º 01' 49,4" LS Bujur : 120º 07' 34,1" BT Tinggi : 99 M

Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH

2001 268 67 144 316 247 401 92 40 223 137 193 109 2237

2002 271 66 233 300 407 267 13 x - - 179 158 1894

2003 95 56 262 410 189 490 229 87 250 67 113 x 2248

2004 152 26 60 212 287 15 122 - 27 - 98 27 1026

2005 23 85 182 112 451 66 213 75 16 223 103 91 1640

2006 33 85 44 69 340 246 49 - - - 150 152 1168

2007 60 46 173 230 430 54Q 208 84 78 173 273 x 1755

2008 72 70 245 207 219 315 315 112 85 165 272 94 2171

2009 63 17 78 239 109 20 128 - 44 44 176 52 970

2010 51 104 123 252 421 518 546 266 366 178 267 31 3123

Max Curah hujan tahunan 18232

Max Jumlah tahun data curah hujan 10

Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1823.2

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011

Page 67: SUHARDIMAN G 621 06 022

55

Lampiran 15. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Sanreseng Ade Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : Sanreseng Ade

Lintang : 04º 13' 50,4" LS Bujur : 120º 15' 53,4" BT Tinggi : 10 M

Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH

2001 x x x x x x x x x x x x 0

2002 x x x x x x x x x x x x 0

2003 x x x x x x x x x x x x 0

2004 x x x x x x x x x x x x 0

2005 x x x x x x x x x x x x 0

2006 110 x 62 93 x 599 40 7 4 - 19 170 1104

2007 53 58 102 234 346 451 196 110 41 118 235 142 2086

2008 103 41 260 221 383 321 258 145 162 229 206 141 2470

2009 123 7 152 290 88 91 138 18 80 42 85 1114

2010 135 89 238 171 389 227 366 288 585 158 180 25 2851

Max Curah hujan tahunan 9625

Max Jumlah tahun data curah hujan 5

Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1925

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011

Page 68: SUHARDIMAN G 621 06 022

56

Lampiran 16. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun BPP. Manyili / Paneki Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : BPP. Manyili / Paneki

Lintang : 04º 10' 44,2" LS Bujur : 120º 17' 05,6" BT Tinggi : 16 M

Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH

2001 99 22 152 494 130 310 4 - 55 55 92 99 1512

2002 81 39 250 215 541 319 47 2 - - 64 66 1624

2003 46 132 122 423 267 146 190 102 100 36 136 332 2032

2004 103 30 24 299 226 33 75 16 28 158 30 1022

2005 60 89 133 166 370 73 246 19 24 253 113 115 1661

2006 15 57 4 100 215 490 25 7 - - 72 30 1015

2007 3 77 138 289 335 220 122 123 60 41 111 86 1605

2008 47 5 150 164 348 191 142 101 62 90 109 104 1513

2009 85 74 70 73 41 135 11 57 49 68 663

2010 45 44 134 87 303 358 124 123 230 34 87 4 1573

Max Curah hujan tahunan 14220

Max Jumlah tahun data curah hujan 10

Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1422

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011

Page 69: SUHARDIMAN G 621 06 022

57

Lampiran 17. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun BPP Palaguna/Pammana Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : BPP Palaguna/Pammana

Lintang : 04º 10' 44,2" LS Bujur : 120º 17' 05,6" BT Tinggi : 16 M

Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH

2001 134 93 31 130 101 171 21 36 95 114 147 145 1218

2002 137 7 249 14 5 32 273 717

2003 108 131 149 293 201 143 201 56 37 63 146 382 1910

2004 124 59 64 203 338 25 56 25 10 68 972

2005 14 117 121 151 474 44 76 31 128 105 127 1388

2006 88 71 26 173 199 255 7 26 152 167 1164

2007 143 54 86 203 256 267 93 43 25 81 73 28 1352

2008 32 42 237 153 129 259 181 181 51 156 391 107 1919

2009 131 45 41 151 127 5 0 0 8 37 66 80 691

2010 84 190 98 60 335 340 264 264 577 232 189 43 2676

Max Curah hujan tahunan 14007

Max Jumlah tahun data curah hujan 10

Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1400.7

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011

Page 70: SUHARDIMAN G 621 06 022

58

Lampiran 18. Nilai Curah Hujan Rata – Rata Tahun 2001 s/d Tahun 2010

NO NAMA STASIUN X Y CH TAHUNAN

RATA2

1 AJANGALE 120.1859722222 -4.23425 1044.714286

2 AMALI 120.1101388889 -4.404027778 1455.625

3 DUA BOCCOE 120.2505555556 -4.321888889 1843.857143

4 TELLUSIATTINGE 120.2385833333 -4.384444444 1067

5 TEMPE 120.0383611111 -4.137666667 1518.5

6 PARIA/MAJENNANG 120.1261388889 -4.030388889 1823.2

7 SANRESENG ADA 120.2648333333 -4.230666667 1925

8 BPP. MANYILI /

PENEKA 120.2848888889 -4.178944444 1422

9 BPP. PALAGUNA /

PAMMANA 120.0380277778 -4.17075 1400.7

Sumber : DataPromer Setelah Diolah, 2011

Page 71: SUHARDIMAN G 621 06 022

59

Lampiran 19. Proses Analisis Citra Dengan Erdas

a. Analisis Layer Stack

b. Analisis Koreksi Radiometri

Page 72: SUHARDIMAN G 621 06 022

60

c. Analisis Koreksi Geometri

d. Analisis Pemotongan Citra

Page 73: SUHARDIMAN G 621 06 022

61

e. Analisis Klasifikasi Tidak Terbimbing (unsupervised classification)

Page 74: SUHARDIMAN G 621 06 022

62

Lampiran 20. Foto Dokumentasi Tempat Penelitihan Sungai Walanae Hilir

Page 75: SUHARDIMAN G 621 06 022

63

Lampiran 21. Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) Sub DAS Walanae Hilir

KABUPATEN KECAMATAN TINGKAT

KERAWANAN BANJIR

LUAS PERSENTASE

(Ha) (%)

Bone

Kec. Ajangale Kurang Rawan Banjir 0.26 0.00

Kec. Amali Kurang Rawan Banjir 10981.78 7.08

Kec. Awangpone Kurang Rawan Banjir 155.81 0.10

Kec. Duabaccoe Kurang Rawan Banjir 1420.41 0.92

Kec. Tellusiattinge Kurang Rawan Banjir 4504.95 2.90

Kec. Ulaweng Kurang Rawan Banjir 1762.37 1.14

Jumlah 18825.57 12.13

Kec. Ajangale Rawan Banjir 8158.65 5.26

Kec. Amali Rawan Banjir 1491.38 0.96

Kec. Awangpone Rawan Banjir 1143.11 0.74

Kec. Cendrana Rawan Banjir 5283.54 3.41

Kec. Duabaccoe Rawan Banjir 7749.45 5.00

Kec. Tellusiattinge Rawan Banjir 6070.54 3.91

Kec. Ulaweng Rawan Banjir 72.15 0.05

Jumlah 29968.82 19.32

Kec. Ajangale Sangat Rawan Banjir 3014.48 1.94

Kec. Cendrana Sangat Rawan Banjir 8443.33 5.44

Kec. Duabaccoe Sangat Rawan Banjir 6984.59 4.50

Kec. Tellusiattinge Sangat Rawan Banjir 2826.52 1.82

Jumlah 21268.92 13.71

Soppeng

Kec. Lilirilau Kurang Rawan Banjir 3766.82 2.43

Rawan Banjir 1291.05 0.83

Jumlah 5057.87 3.26

Wajo

Kec. Pammana Kurang Rawan Banjir 1166.71 0.75

Kec. Sabbangparu Kurang Rawan Banjir 29.07 0.02

Jumlah 1195.78 0.77

Kec. Bola Solo Rawan Banjir 13969.34 9.00

Kec. Majauleng Rawan Banjir 4758.07 3.07

Kec. Maniangpajo Rawan Banjir 44.49 0.03

Kec. Pammana Rawan Banjir 6753.44 4.35

Kec. Penrang Rawan Banjir 6943.33 4.48

Kec. Sabbangparu Rawan Banjir 264.66 0.17

Kec. Sajoanging Rawan Banjir 25.76 0.02

Kec. Takkalala Rawan Banjir 13215.38 8.52

Kec. Tanasitolo Rawan Banjir 5977.14 3.85

Kec. Tempe Rawan Banjir 2391.45 1.54

Page 76: SUHARDIMAN G 621 06 022

64

KABUPATEN KECAMATAN TINGKAT

KERAWANAN BANJIR

LUAS PERSENTASE

(Ha) (%)

Jumlah 54343.05 35.03

Kec. Bola Solo Sangat Rawan Banjir 3798.46 2.45

Kec. Majauleng Sangat Rawan Banjir 5162.49 3.33

Kec. Pammana Sangat Rawan Banjir 6566.46 4.23

Kec. Penrang Sangat Rawan Banjir 2233.71 1.44

Kec. Sabbangparu Sangat Rawan Banjir 1.82 0.00

Kec. Takkalala Sangat Rawan Banjir 3686.49 2.38

Kec. Tanasitolo Sangat Rawan Banjir 1221.57 0.79

Kec. Tempe Sangat Rawan Banjir 1806.39 1.16

Jumlah 24477.39 15.78

TOTAL 155137.41 100.00

Sumber: Hasil Analisa SIG, 2012