Syndrome Nefrotik

26
1. Definisi sindrom nefrotik Menurut Smeltzer dan Bare (2002), sindroma nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai dengan peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria), penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema, dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). Tanda-tanda tersebut dijumpai di setiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler glomerolus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerolus. Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004) 2. EPIDEMIOLOGI Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1.2 Penelitian di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir 20 per 1 juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi tertentu, seperti di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik kongenital dapat terjadi pada 1/10.000 atau 1/500 kelahiran. Berdasarkan ISKDC 84.5% dari semua anak dengan sindrom nefrotik primer mempunyai gambaran histologik sindrom nefrotik kelainan minimal, 9.5% glomerulosklerosis fokal, 2.5% mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau penyebab lainnya.( Cohen EP, 2010) 3. ETIOLOGI DAB FAKTOR RESIKO

description

Sindrom Nefrotik

Transcript of Syndrome Nefrotik

Page 1: Syndrome Nefrotik

1. Definisi sindrom nefrotik

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), sindroma nefrotik merupakan gangguan klinis

ditandai dengan peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria),

penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema, dan serum kolesterol

yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). Tanda-tanda tersebut

dijumpai di setiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler glomerolus dan

menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerolus.

Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan

permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan

kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004)

2. EPIDEMIOLOGI

Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7

tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini

berkisar 1:1.2 Penelitian di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir 20

per 1 juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi tertentu, seperti

di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik kongenital dapat terjadi pada 1/10.000 atau

1/500 kelahiran. Berdasarkan ISKDC 84.5% dari semua anak dengan sindrom nefrotik primer

mempunyai gambaran histologik sindrom nefrotik kelainan minimal, 9.5%

glomerulosklerosis fokal, 2.5% mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau penyebab

lainnya.( Cohen EP, 2010)

3. ETIOLOGI DAB FAKTOR RESIKO

Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai

suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi

menjadi :

a. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah

edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua

pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa

neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal

dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

b. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh :

Page 2: Syndrome Nefrotik

Malaria kuartana atau parasit lainnya.

Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

Glumerulonefritis akut atau kronik.

Trombosis vena renalis.

Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.

Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif

hipokomplementemik.

Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom

Alport, miksedema.

Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial

Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.

Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,

probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.

Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik, purpura

Henoch-Schonlein, sarkoidosis.

Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor gastrointestinal.

Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome1

c. Sindrom nefrotik idiopatik

Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan

histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa dan

mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :

Kelainan minimal

Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu.

Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler

glomerulus.

Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa

proliferasi sel. Prognosis kurang baik.

Glomerulonefritis proliferatif

- Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel

mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma

endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.

- Dengan penebalan batang lobular.

Page 3: Syndrome Nefrotik

Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang

lobular.

- Dengan bulan sabit ( crescent)

Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai

kapsular dan viseral. Prognosis buruk.

- Glomerulonefritis membranoproliferatif

Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran

basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis

buruk.

Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.

d. Glomerulosklerosis fokal segmental

Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus.

Prognosis buruk.

Faktor Resiko Sindrom Nefrotik

Adapun beberapa faktor yangdapat menyebabkan seseorang menderita Nephrotic

Syndrome adalah:

Penyakit atau keadaan tertentu beberapa keadaan ataupun penyakit dapat

mempertinggi resiko untuk menderita Nephrotic Syndrome, contoh: diabetes,

amyloidosis dll.

Pengobatan atau obat-obatantertentu penggunaan obat antiinflamasi dan obat untuk

mengobati infeksi juga dapat mempertinggi resiko untuk terkena Nephrotic Syndrome.

Infeksi tertentu seperti HIV, Hepatitis B/C, dan Malaria.

(Mansjoer Arif. 2000)

4. Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan etiologi:

I. Sindrom nefrotik pada anak-anak / infantil.

Sindrom nefrotik infantil adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia tiga bulan

sampai satu tahun, sedangkan jika terjadi sebelum usia tiga bulan disebut sebagai

sindrom nefrotik kongenital. Indonesia dilaporkan ada enam per 100.000 anak per

tahun menderita sindrom nefrotik.

a. Sindrom nefrotik infantil

Page 4: Syndrome Nefrotik

Sangat jarang ditemukan, sindrom ini dapat disebabkan nail patella

syndrome, pseudohermaphroditism, XY gonadal disgenesis, tumor Wilms,

intoksikasi merkuri, sindrom hemolitik uremik, dan infeksi seperti sifilis, virus

sitomegalo, hepatitis, rubela, malaria, dan toksoplasmosis. Prognosis sindrom

nefrotik infantil umumnya buruk tetapi masih lebih baik daripada prognosis

sindrom nefrotik kongenital (Pardede S.O., 2002).

b. Sindrom nefrotik kongenital.

Merupakan penyakit familial, timbul dalam beberapa hari/ minggu setelah

lahir. Biasa menimbulkan kematian sebelum bayi berusia satu tahun

(Himawan S., 1979)

II. Sindrom nefrotik pada dewasa:

a) Glomerulonefritis primer (Sebagian besar tidak diketahui sebabnya).

Glomerulonefritis membranosa

Jarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa. Hampir

semua pada orang dewasa. Pada mikroskop biasa terlihat gambaran

penebalan dinding kapiler, pada mikroskop elektron terlihat kelainan

membrana basalis. Kelainan ini jarang memberikan respon terhadap steroid

dan prognosis mortalitas lebih kurang 50% (Himawan S., 1979).

Glomerulonefritis Kelainan Minimal

Merupakan penyebab utama SN anak-anak, Pada dewasa hanya 20%.

Dengan mikroskop biasa tidak tampak kelainan yang jelas pada glomerulus

sedangkan ada mikroskop elektron dapat dilihat sel epitel kapiler glomerulus

yang membengkak dan bervakuol. Fungsi ginjal biasanya tidak banyak

terganggu dan tidak ada hipertensi (Himawan S, 1979).

Penampakan yang tidak biasa yaitu hipertensi (30% pada anak-anak dan50%

pada dewasa), hematuri (20% pada anak-anak dan 30% pada dewasa) dan

penurunan fungsi ginjal (kurang dari 5% pada anak-anak dan 30% pada

dewasa) (Braunwald E., 2008).

Prognosis kelainan ini relatif paling baik. Pengobatannya ialah dengan

pemberian steroid. Sering mengalami remisi spontan, akan tetapi sering pula

kambuh (Himawan S., 1979).

Glomerulonefritis membranoproliferatif

Biasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan

penyakit progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah ginjal.

Page 5: Syndrome Nefrotik

Ciri khasnya adalah kadar komplemen serum yang rendah. (Himawan S.,

1979).

Glomerulonefritis pasca streptokok

b) Glomerulonefritis sekunder akibat:

1) Infeksi

i. HIV, hepatitis virus B dan C

ii. Sifilis, malaria, skistosoma

iii. Tuberkulosis, lepra

2) Keganasan

Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodgkin,

myeloma multiple, dan karsinoma ginjal

3) Penyakit jaringan penghubung

Lupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (Mixed connective

tissue disease)

4) Efek Obat dan Toksin

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAIN), preparat emas, penisilamin,

kaptopril, heroin

5) Lain-lain: Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf

kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.

(Prodjosudjadi W., 2006).

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling sering

(Prodjosudjadi W, 2006). Perlu diingat bahwa penyakit-penyakit yang termasuk golongan

nefrosis, yaitu penyakit yang terutama mengenai tubulus, tidak ada yang menyebabkan SN

(Himawan S., 1979).

Menurut tinjauan dari Robson pada lebih dari 1400 kasus, beberapa jenis glomerulonefritis

primer merupakan penyebab dari 78% sindrom nefrotik pada orang dewasa dan 93% pada

anak-anak. Pada 22% orang dewasa keadaan ini disebabkan oleh gangguan sistemik

(terutama diabetes, amiloidosis, dan thrombosis vena renalis), dimana ginjal terlibat secara

sekunder atau karena mengalami respon abnormal terhadap obat atau alergen lain (Wilson

L.M.,1995).

5. Patofisiologi

Page 6: Syndrome Nefrotik

Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan

permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma, yang menimbulkan proteinuria,

hipoalbuminemia, hyperlipidemia, dan edema. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler

glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi

proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya

albumin, tekanan osmotic plasma menurun sehingga cairan

Intravaskuker berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut

menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran

darah ke renal karena hypovolemic. Karena terjadi penurunan darah ke renal, maka ginjal

akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin-angiotensin dan

peningkatan sekresi antidiuretic hormone (ADH) dan sekresi aldosterone yang kemudian

terjadi retensi natrium dan air yang akan menyebabkan edema/ascites.

Pada sindroma nefrotik terjadi peningkatan kolesterl dan trigliserida serum akibat

dari peningkatan produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan

tekanan onkotik plasma. Adanya hyperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi

lipoprotein dalam hati yang timbul karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak yang

banyak dalam urin (lipiduria). Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui

urin dan peningkatan katabolisme abumin ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat

(namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin

normal atau menurun.

Proteinuria merupakan kelainan dasar sndroma nefrotik. Proteinuria sebagian besar

berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal

dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrane basalis

glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma

dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuria tidak

berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma

yang lebih besar dari 70kD melalui membrane basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh

charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier.

Pada hyperlipidemia, kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low

density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)

dapat meningkat, noemal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipis di

hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,

VLDL,kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah. Peningkatan sintesis

lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

Page 7: Syndrome Nefrotik

Lipiduria, lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.

Sumber lemak ini berasal dari filtrate lipoprotein melalui membrane basalis glomerulus yang

permeable.

Edema sebagai salah satu manifestasi klinis dari sindroma nefrotiik disebabkan oleh

penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia dan retensi natrium (teori

underfill). Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin, aldosterone, hormone antidiuretic

dan katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus

albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan

eksresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang.

Membran glomerulus yang normalnya impermeable terhadap albumin dan protein

lain menjadi permeable terhadap protein terutama labumin, yang melewati membran dan

ikut keluar bersama urin. Hal ini menurunkan kadar albumin di da;am tubuh, menurunkan

cairan osmotik koloid dalam kapiler yang mengakibatkan akumulasi cairan di interstitial

(edema) dan pembengkakan tubuh, biasanya pada abdomen (ascites). Berpindahnya cairan

dari plasma ke interstitial menurunkan volume vaskuler, yang akan mengaktifkan stimulasi

RAA dan sekresi ADH serta aldosteron. Reabsorbsi tubulus ginjal terhadap air akan

meningkatkan volume intravaskuler (Smeltzer,et al, 2010; Shearer,Kaysen, 2001; Shearer,

Stevenson, 2001).

6. MANIFESTASI KLINIS NEFROTIC SYNDROME

Manifestasi klinis yang bisa ditimbulkan diantaranya adalah:

a. Anoreksia

b. Keletihan

c. Pucat

d. Diare

e. Nyeri abdomen

f. Penurunan haluran urine. Urine dapat tampak berbusa atau bergelembung

g. Periorbital (biasanya tanda pertama), edema pedal dan pratibial sampai edema seluruh

tubuh (anasarka), berat badan meningkat, asites dan efusi pleura. Pembengkakan labia

atau skrotum juga dapat terjadi. Dengan edema yang khas, anak mungkin terlihat pucat

dan mengalami gawat napas.

h. Kulit mengilat dengan vena menonjol

Page 8: Syndrome Nefrotik

i. Penurunan tekanan darah yang ringan atau normal

j. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi, terutama pneumonia, peritonitis, selulitis, dan

septikemia; anak rentan terhadap infeksi sekunder karena imunoglobulin hilang melalui

urine.

(Muscari, 2005)

Walaupun gejala pada akan bervariasi seiring dengan perbedaan proses penyakit, gejala

yang paling sering berkaitan dengan sindrom nefrotik adalah

1. Penurunan haluaran urine dengan urine berwarna gelap, berbusa

2. Retensi cairan dengan edema berat (edema fasiel, abdomen, area genital dan

ekstremitas)

3. Distensi abdomen karena edema edema dan edema usus yang mengakibatkan kesulitan

bernapas, nyeri abdomen, anoreksia dan diare

4. Pucat

5. Keletihan dan intoleran aktivitas

6. Nilai uji laboratorium abnormal

(Sowden, 2009)

Manifestasi klinis dari sindrom nefrotik (Baradero, 2009) adalah edema berat di seluruh

tubuh (anasarka), proteinuria berat, hipoalbuminemia dan hiperlipidemia. Pasien juga

mengalami anoreksia, dan merasa cepat lelah. Pasien wanita dapat mengalami amenorea.

Manifestasi klinis sindrom nefrotik

Fungsi Normal

Kapiler glomerular tidak

permeabel terhadap protein

serum. Plasma protein

membentu tekanan osmotik

koloid untuk menahan cairan

intraselular.

Patofisiologi

Kapiler glomerular menjadi

permeable (berpori pori)

terhadap protein serum dan

mengakibatkan proteinuria

dan tekanan osmotik serum

menurun. Filtrasi glomerular

juga menurun

Manifestasi Klinis

Edema anasarka, proteinuria

berat, hipoalbuminemia,

dan hiperlipidemia.

Page 9: Syndrome Nefrotik

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Tes dan prosedur yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom nefrotik meliputi:

1.) Urine tes

Urinalisis dapat mengungkapkan kelainan pada urin, seperti sejumlah besar protein, jika

terdapat sindrom nefrotik. Sampel urin dikumpulkan selama 24 jam untuk mengukur

ukuran yang akurat dari protein dalam urin. Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam

(fase oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah,

hemoglobin, mioglobin, porfirin.

Protein urin à >3,5g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari

Urinalisa à cast hialin dan granular, hematuria

Dipstick urin à positif untuk protein dan darah

Berat jenis urin à meningkat (normal : 285 mOsmol)

2.) Tes darah.

Jika pasien memiliki sindrom nefrotik, sebuah tes darah mungkin menunjukkan

rendahnya tingkat protein albumin (hipoalbuminemia) khusus dan, sering, penurunan

tingkat protein darah secara keseluruhan. Kehilangan albumin sering dikaitkan dengan

peningkatan kolesterol darah dan trigliserida darah. Kreatinin dan urea serum darah

juga dapat diukur untuk menilai fungsi ginjal secara keseluruhan. Hemoglobin menurun

karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi

dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan

perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).

Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.

3.) Biopsi jaringan ginjal untuk pengujian.

Dokter mungkin menyarankan prosedur yang disebut ginjal biopsi untuk mengambil

sedikit sampel jaringan ginjal untuk pengujian. Selama biopsi ginjal, jarum khusus

dimasukkan melalui kulit dan masuk ke ginjal. Jaringan ginjal dikumpulkan dan dikirim

ke laboratorium untuk pengujian. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk

Page 10: Syndrome Nefrotik

glomerulonefritis kronis atau pembentukan jaringan parut yang tidak spesifik pada

glomeruli

4.) Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan

5.) USG Ginjal, dan CT scan ginjal datau IVP untuk menunjukkan pengkisutan ginjal

6.) Anamnesis : bengkak seluruh tubuh,buang air kecil keruh•Pemeriksaan fisis: edema

anasarka,asites

7.) Laboratorium: Proteinuria masif >3,5 gram / 24 jam / 1,73

m2,hiperlipidemia,hipoalbuminemia (<3,5 gram/dl),lipiduria,hiperkoagulabilitas.

Diagnosis etiologi berdasarkan biopsi ginjal

DIAGNOSIS BANDING

Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi,diagnosis etiologi SN

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Urinalisis,ureum,kreatinin,tes fungsi hati, profil lipid, DPL, elektrolit, gula darah, hemostatis,

pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal, protein urin kuatitatif.

8. PENATALAKSANAAN MEDIS

Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi penyebabnya. Mengobati infeksi

penyebab sindrom nefrotik dapat menyembuhkan sindrom ini. Jika penyebabnya adalah

penyakit yang dapat diobati (misalnya: penyakit Hodgkin atau kanker lainnya), maka

mengobatinya akan mengurangi gejala ginjal. Jika penyebabnya adalah kecanduan heroin,

maka menghentikan pemakaian heroin pada stadium awal sindrom nefrotik, bias

menghilangkan gejala-gejalanya. Penderita yang peka terhadap cahaya matahari, racun

pohon ek, racun pohonivy atau gigitan serangga, sebaiknya menghindari bahan-bahan

tersebut. Desensitisasi bisa menyembuhkan sindrom nefrotik akibat racun pohon ek, racun

pohon ivy atau gigitan serangga. Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka untuk

mengatasi sindrom nefrotik, pemakaian obat harus dihentikan.

Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan kalium dengan

jumlah yang normal dengan lemak jenuh dan natrium yang rendah. Protein 3-5gr/kgBB/hari.

Kalori rata-rata: 100kalori/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema berat. Bila tanpa edema

diberi 1-2gr/hari. Pembatasan cairan terjadi bias terdapat gejala gagal ginjal. Terlalu banyak

Page 11: Syndrome Nefrotik

protein akan meningkatkan kadar protein dalam air kemih. ACE inhibitors (misalnya

captopril,lisinopril) biasanya menurunkan pembuangan protein dalam kandung kemih dan

menurunkan kosentrasi lemak dalam darah. Tetapi penderita yang mempunyai kelainan

fungsi ginjal yang ringan atau berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah.

Jika cairan tertimbun di perut, untuk mengurangi gejala dianjurkan makan dalam porsi kecil

tetapi sering.

Tirah baring dianjurkan bila ada edema hebat atau ada komplikasi. Bila edema sudah

berkurang atau tidak ada komplikasi maka aktifitas fisik tidak memperngaruhi perjalanan

penyakit. Sebaliknya tanpa ada aktifitas dalam jangka waktu yang lama akan mempengaruhi

kejiwaan anak.

Tekanan darah tinggi biasanya diatasi dengan diuretic. Diuretic juga dapat

mengurangi penimbunan cairan dan mengurangi pembengkakan jaringan,tetapi bisa

meningkatkan resiko terbentuknya pembekuan darah. Pemberian diuretic terbatas pada

anak dengan edema berat, gangguan pernapasan,gangguan gastrointestinal atau obstruksi

urethra yang disebabkan oleh edemahebat ini. Pada beberapa kasus SN yang disertai

anasarka, dengan pengobatankortikosteroid tanpa diuretik, edema juga menghilang.

Metode yang lebih aktifdan fisiologik untuk mengurangi edema adalah yang merangsang

dieresis dengan pemberian albumin (salt poor albumin): 0,5-1gr/kgBB selama satu jam yang

disusul kemudian oleh furosemid I.V 1-2mg/kgBB/hari. Pengobatan ini bisa diulangi selama 6

jam bila perlu. Diuretic yang biasa dipakai adalah diuretic jangka pendek seperti furosemid

atau asam etakrinat. Pemakaian diuretic yang berlangsung lama dapat menyebabkan:

Hipovolemia

Hipokalemia

Alkalosis

Hiperuricemia

Selain itu pengobatan juga bisa dilakukan dengan antibiotic maupun kortikosteroid.

Antibiotik diberikan apabila ada tanda-tanda infeksi sekunder. Pengobatan dengan

kortikosteroid terutama diberikan pada SN yang sensitif terhadap kortikosteroid yaitu pada

SNKM. Bermacam-macam cara yang dipakai tergantung pengalaman dari tiap senter, tetapi

umumnya dipakai cara yang diajukan oleh International Colaborative Estudy of Kidney

Disease in Children (ISKDC, 1976).

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa

memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus.

Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.Untuk

Page 12: Syndrome Nefrotik

menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik

digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut :

Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan

sindrom nefrotik

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk

memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60mg/m2/hari dengan dosis

maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar

40 mg/m² /hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu

setelah itu pengobatan dihentikan.

a. Sindrom nefrotik serangan pertama

Page 13: Syndrome Nefrotik

1. Perbaiki keadaan umum penderita:

Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian

gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan

fungsi ginjal.

Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin

konsentrat.

Berantas infeksi.

Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.

Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.

Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada

hipertensi, dapat ditambahkan obat anti hipertensi.

2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis

sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi

spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak

perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan

keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.

b. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)

Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.

Perbaiki keadaan umum penderita.

1. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering

Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali

dalam masa 12 bulan.

Induksi

Prednison dengan dosis 60 mg/m² /hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,

diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.

Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m²/48 jam, diberikan selang

sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4minggu. Setelah 4 minggu,

prednison dihentikan.

2. Sindrom nefrotik kambuh sering

Sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa

12 bulan.

Induksi

Page 14: Syndrome Nefrotik

Prednison dengan dosis 60 mg/m²/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,

diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.

Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m²/48 jam,diberikan selang

sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis

prednison diturunkan menjadi 40 mg/m² /48 jam diberikan selama 1 minggu,

kemudian30 mg/m² /48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m²/48 jam

selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m²/48 jam selama 6 minggu, kemudian

prednison dihentikan.

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral2-3 mg/kg/hari

diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid

dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila

pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat

komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.

Prinsip pengobatan Sindrom Nefrotik

Patofisiologi Pengobatan

1. Kerusakan glomerulus Imunosupresif

Antikoagulan

Anti agregasi trombosit

2. Kehilangan protein Diet rendah protein (hewani)

3. Hipoalbuminemia & penurunan tekanan onkotik Infuse salt poor human albumin

4. Sekresi aldosteron Diuretic spironolokton

5. Retensi natrium dan air Diuretic furosemid

Diet rendah garam

6. Sembab yang resisten Ultrafiltrasi

Sedangkan penatalaksanaan medik Sindroma Nefrosis menurut Arif Mansjoer, 2000

adalah sbb :

Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1

gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindar

makanan yang diasinkan. Diet protein 2 –3gram / kgBB / hari.

Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik,

biasanya furosemid 1 mg / kgBB / hari. Bergantung pada beratnya edema dan

Page 15: Syndrome Nefrotik

respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid ( 25 –50

mg / hari ), selama pengobatandiuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi,

alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.

Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive Studyof Kidney

Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut :

a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg / hari luas

permukaan badan ( 1bp ) dengan maksimum 80 mg / hari.

b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40

mg / hari / 1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60

mg / hari. Bila terdapat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini

dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.

Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi.

Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.

9. Komplikasi

1. Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol pada

umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari normal sampai sedikit tinggi.

Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya LDL (low density

lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Tingginya kadar LDL

pada SN disebabkan oleh peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme hati.

Mekanisma hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan

lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.

2. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai oleh akumulasi lipid pada debris sel dan

cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih

dikaitkan dengan protenuria daripada dengan hiperlipidemia.

3. Tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi intravascular.

Pada SN akibat GNMP kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi.

Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vena trombosis) sering dijumpai pada SN.

Terjadinya

4. Infeksi oleh kerana defek imunitas humoral, selular, dan gangguan system komplemen.

Oleh itu bacteria yang tidak berkapsul seperti Haemophilus influenzae and

Streptococcus pneumonia boleh menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan IgG, IgA

dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh kerana sintesis yang

Page 16: Syndrome Nefrotik

menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang

melalui urine.

5. Gagal ginjal akut disebabkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi di

dalam jaringan tubuh, kurang sekali cairan di dalam sirkulasi darah. Penurunan aliran

darah ke ginjal menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan timbulnya

nekrosis tubular akut.

6. Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang

menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan syok.

(Wiguno Prodjosudjadi. 2006, Gunawan, C.A, Sukandar E, Sulaeman R., 1990)

Referensi

1. Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester.

Jakarta: EGC.

Page 17: Syndrome Nefrotik

2. Smetlzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Brunner & Suddart : Buku ajar

keperawatan Medikal Bedah Vol.1. Alih bahasa : Agung waluyo, dkk. Editor : Monica Ester,

Ellen Panggabean. Edisi 8. Jakarta : EGC.

3. Wiguno Prodjosudjadi, Divisi Ginjal Hipertensi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-4,

Aru W.Sudoyo, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta, 2006

4. Cohen EP. Nephrotic Syndrome. [online] 20 December 2010 [cited 18 Januari 2011].

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview

5. Gunawan, C.A, Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan, Bagian/ SMF Ilmu

Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Mulawarman / RSUD

A.Wahab Sjahranie Samarinda

6. Sukandar E, Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam : Soeparman, Soekaton U, Waspadji S

et al (eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282-305.

7. Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat

Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-15

8. Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001. Sindrom nefrotic

dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta. Penerbit Media Aesculapius

FKUI. Hal. 525-27

9. Pardede S.O., 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia kedokteran. No.134. Hal. 32-

37

10. Prodjosudjadi W., 2006. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A.,

Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat

Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 1174 - 81

11. Baradero, 2009, Seri asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal, Jakarta:EGC,

http://books.google.co.id/books?

id=i9mAClWMwKIC&pg=PA43&dq=penyakit+nefrotik+sindrom&hl=id&sa=X&ei=YbmlUem

_FdHqrQeFo4GgCw&ved=0CDwQ6AEwBA#v=onepage&q=penyakit%20nefrotik

%20sindrom&f=false

12. Muscari, Keperawatan Pediatrik, 2005, Jakarta: EGC http://books.google.co.id/books?

id=Xo5iH7MSZCIC&pg=PA352&dq=penyakit+nefrotik+sindrom&hl=id&sa=X&ei=YbmlUem

_FdHqrQeFo4GgCw&ved=0CEEQ6AEwBQ#v=onepage&q=penyakit%20nefrotik

%20sindrom&f=false

13. Sowden, 2009, Buku Saku Keperawatan Pediatri,

Jakarta:EGChttp://books.google.co.id/books?

Page 18: Syndrome Nefrotik

id=j_ScFduyerMC&pg=PA442&dq=penyakit+nefrotik+sindrom&hl=id&sa=X&ei=YbmlUem_

FdHqrQeFo4GgCw&ved=0CC8Q6AEwAQ#v=twopage&q=penyakit%20nefrotik

%20sindrom&f=true

14. Caridi G, Bertelli R, Carrea A, et al. 2001. Prevalence, genetics, and clinical features of

patients carrying podocin mutations in steroid-resistant nonfamilial focal segmental

glomerulosclerosis. J Am Soc Nephrol; 12: 2742–46.

15. Green G, Kim J, Winkler C, et al. 2002. Genetic polymorphisms in CD2AP are common in

patients with glomerular disease. J Am Soc Nephrol; 13: 39 (abstr).

16. Karle SM, Uetz B, Ronner V, Glaeser L, Hildebrandt F, Fuchshuber A. 2002. Novel mutations

in NPHS2 detected in both familial and sporadic steroid-resistant nephrotic syndrome. J

Am Soc Nephrol; 13: 388–93.

17. Shearer GC, Kaysen GA. 2001. Proteinuria and plasma compositional changes contribute to

defective lipoprotein catabolism in the nephrotic syndrome by separate mechanisms. Am J

Kidney Dis: 37 (suppl 2): S119–22.

18. Shearer GC, Stevenson FT, Atkinson DN, Jones H, Staprans I, Kaysen GA. 2001.

Hypoalbuminemia and proteinuria contribute separately to reduced lipoprotein

catabolism in the nephrotic syndrome. Kidney Int; 59: 179–89.

19. Smeltzer, Suzanne C., Brenda G. Bare., Janice L.L., et al. 2010. Brunner & Suddarth’s

Textbook of Medical Surgical Nursing 12 Ed. Vol 1. Philadelphia: Wolters kluwer health /

lippincott williams & wilkins.

20. Anggraini, Shindy, (2012). Urinary System Disease : “Neprhotic Syndrome”.

http://blog.ub.ac.id/shinanri/2012/06/24/sindrom-nefrotik/, diakses tanggal 29 mei 2013

pkl 17.11