Tan Malaka

7
Menafsirkan Pemikiran Tan Malaka dalam Bermatematika Iwan Pranoto Jika Descartes dianggap sebagai pencetus peradaban pencerahan di Eropa, tak berlebihan jika Tan Malaka kita sebut sebagai benak janin peradaban pencerahan bagi nasion ini. Tan Malaka menciptakan cetak biru republik ini, dan diimpikannya janin republik yang dibidaninya ini tumbuh berdasar nalar. Yang sangat menarik, pentingnya unsur berpikir dan logika serta matematika dalam bernegara ditulis berulang-ulang di buku juaranya, Madilog 1 . Tulisan ini tidak akan meninjau sisi politik maupun ideologi pemikiran Tan Malaka, tetapi justru hendak menafsirkan gagasan pembelajaran matematika yang dipikirkan Tan Malaka. Beliau menuliskan banyak gagasan tentang apa itu matematika, pentingnya matematika, dan pengalaman bermatematika di Madilog dan beberapa tulisan lainnya. Kemudian, dicoba dibandingkan dengan praktik pembelajaran matematika sekolah di era sekarang ini. Di bagian akhir tulisan ini akan dicoba diajukan sebuah strategi untuk mewujudkan pemikiran Tan Malaka ini ke dalam pembelajaran matematika bagi anak, cucu, dan cicit Tan Malaka di abad 21 ini. Kegemaran Bermatematika Memang tak ada yang meragukan bahwa matematika bermanfaat dalam kehidupan, dan pada abad 21 ini, matematika semakin berperan luas dalam sains, teknologi, dan bahkan kehidupan sehari-hari. Dan, beberapa pendapat mengatakan bahwa untuk memotivasi siswa dalam belajar matematika adalah dengan menunjukkan manfaat dan keterkaitannya dalam kehidupan nyata. Ini tentu tak salah, tetapi yang justru terlupakan adalah unsur sukacita dalam bermatematika. Ini yang justru disiratkan dalam tulisannya. Tan Malaka berdasar pengalaman hidupnya sendiri saat kanak-kanak justru melihat kegiatan bermatematika termasuk berpikir sebagai kesukacitaan sampai menjadi kegemaran. 1 Malaka, Tan. Madilog, Widjaja Jakarta, 1951. Cetakan Ketiga, TePLOK Press, April 2000

Transcript of Tan Malaka

Page 1: Tan Malaka

Menafsirkan Pemikiran Tan Malaka dalam Bermatematika Iwan Pranoto

Jika Descartes dianggap sebagai pencetus peradaban pencerahan di Eropa, tak berlebihan jika Tan Malaka kita sebut sebagai benak janin peradaban pencerahan bagi nasion ini. Tan Malaka menciptakan cetak biru republik ini, dan diimpikannya janin republik yang dibidaninya ini tumbuh berdasar nalar. Yang sangat menarik, pentingnya unsur berpikir dan logika serta matematika dalam bernegara ditulis berulang-ulang di buku juaranya, Madilog1. Tulisan ini tidak akan meninjau sisi politik maupun ideologi pemikiran Tan Malaka, tetapi justru hendak menafsirkan gagasan pembelajaran matematika yang dipikirkan Tan Malaka. Beliau menuliskan banyak gagasan tentang apa itu matematika, pentingnya matematika, dan pengalaman bermatematika di Madilog dan beberapa tulisan lainnya. Kemudian, dicoba dibandingkan dengan praktik pembelajaran matematika sekolah di era sekarang ini. Di bagian akhir tulisan ini akan dicoba diajukan sebuah strategi untuk mewujudkan pemikiran Tan Malaka ini ke dalam pembelajaran matematika bagi anak, cucu, dan cicit Tan Malaka di abad 21 ini.

Kegemaran Bermatematika

Memang tak ada yang meragukan bahwa matematika bermanfaat dalam kehidupan, dan pada abad 21 ini, matematika semakin berperan luas dalam sains, teknologi, dan bahkan kehidupan sehari-hari. Dan, beberapa pendapat mengatakan bahwa untuk memotivasi siswa dalam belajar matematika adalah dengan menunjukkan manfaat dan keterkaitannya dalam kehidupan nyata. Ini tentu tak salah, tetapi yang justru terlupakan adalah unsur sukacita dalam bermatematika. Ini yang justru disiratkan dalam tulisannya. Tan Malaka berdasar pengalaman hidupnya sendiri saat kanak-kanak justru melihat kegiatan bermatematika termasuk berpikir sebagai kesukacitaan sampai menjadi kegemaran.

Kegemaran berhitung dan berpikir memang umum di Indonesia. Di daerah yang saya kenal ketika saya masih pemuda, kegiatan untuk berhitung itu memang luar biasa. Di tanah Batak dan Minangkabau kegiatan itu sampai ke puncak.2

Penggunaan kata “kegemaran” bersama kata “berpikir” tentunya menarik dan sangat langka di masa sekarang. Dari hasil survei PISA 2004, justru Indonesia termasuk tertinggi pengidap math anxiety atau kecemasan terhadap matematika. Uniknya pula, kutipan ini menunjukkan bahwa secara kultural dua daerah di Sumatra itu, yakni tanah Minangkabau dan tanah Batak, sangat kuat penghargaannnya pada matematika saat itu. Ini tentu perlu diteliti lebih lanjut, mencari akar kultural penyebab tumbuhnya kegemaran bermatematika tersebut.

Yang disiratkan Tan Malaka di atas bahwa kegiatan berhitung dan berpikir bukanlah beban. Bermatematika bukan karena harus, tetapi karena ingin. Bukan pula belajar matematika untuk lulus ujian, tetapi hanya untuk mengerjakannya. Seperti saat mengisi teka-teki silang, seseorang 1 Malaka, Tan. Madilog, Widjaja Jakarta, 1951. Cetakan Ketiga, TePLOK Press, April 20002 Idem, hal. 83

Page 2: Tan Malaka

bermatematika untuk dinikmati prosesnya. Kenikmatan bukan saat kegiatan berakhir, tetapi justru kenikmatan terjadi pada saat proses bermatematika itu berlangsung. Bermatematika seharusnya seperti sebuah petualangan. Seseorang yang bermatematika harus dibayangkan seorang pemanjat tebing atau pendaki gunung yang gemar menjelajah berpetualang. Dapat dibayangkan, tentunya seseorang yang sedang berpetualang akan bersikap sukacita saat mengerjakannya, walau menghadap kesulitan dan tantangan. Masalah atau tantangan bukan sesuatu yang dihindari tetapi justru kesempatan untuk menikmati proses mengatasinnya. Seorang petualang justru tak mau menggunakan jalan pintas, karena menikmati setiap detik dan jengkal proses berpetualang itu. Demikian juga seorang pemelajar matematika seharusnya menikmati tiap langkah proses bermatematika, bukan menerapkan rumus cepat yang tak dipahaminya.

Pendapat ini sangat mendasar dan paradigmatik. Sekaligus pendapat ini sangat revolusioner, karena memposisikan kehendak individu sebagai sumber pengembangan manusia. Terlebih lagi, pernyataan Bapak Bangsa itu sekarang sejalan dengan riset sains terkini terkait pendidikan. Misalnya psikologi dan ilmu syaraf menguatkan pendapat bahwa seseorang yang belajar matematika didorong motivasi dari dalam diri akan lebih efektif, ketimbang motivasi dari luar. Belajar matematika karena menggemarinya justru paling ideal dan guru harus mengusahakannya.

Belajar Matematika

Dari tulisannya, Tan Malaka pada masa itu mengamati praktik pendidikan matematika yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda di sekolah dasar dan menengah dengan cermat. Penekanan pendidikan matematika saat itu yang memang menekankan pada manipulasi angka, tanpa cukup menganalisis, tentunya merisaukan beliau. Gagasan beliau tentang pendidikan matematika yang sarat dengan kegiatan berpikir justru tak terwujudkan pada pendidikan sekolah saat itu. Kegiatan berpikir diasingkan dari pelajaran matematika.

Saat itu tentunya pemerintah Hindia-Belanda memang membutuhkan buruh, pencatat, dan penghitung di jawatan atau pabrik-pabrik, bukan pemikir. Sekolah dituntut menghasilkan buruh siap bekerja dan handal sebagai pekerja patuh. Dampaknya, sekolah diarahkan melaksanakan pendidikan matematika yang justru menjauhi makna matematika itu sendiri. Ini persis seperti yang dituliskannya:

Pendidikan ala sekolah Belanda tak menambah, bahkan membunuh kegiatan matematika3.

Dengan frasa “membunuh kegiatan matematika”, Tan hendak mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika yang dipraktikkan di sekolah justru malah membuat anak tak berkenalan dengan inti matematika yang sesungguhnya. Kegiatan di kelas yang diamatinya justru bukan matematika, tetapi sekedar hitung-hitungan angka dan mengabaikan proses berpikir. Proses mengutak-atik angka tanpa pemahaman.

Akibatnya, matematika yang ditampilkan di sekolah-sekolah saat itu justru dirasa Tan tanpa makna. Akibatnya siswa belajar matematika menjadi “terpaksa”, menjadi sebuah kewajiban. Akibatnya, motivasi dasar seorang siswa belajar matematika bukanlah dorongan sukacita atau ingintahu, tetapi justru demi tujuan pragmatis, yakni cari uang. Ini sejatinya menunjukkan keresahan Tan terhadap

3 Idem, hal. 83

Page 3: Tan Malaka

alasan keliru seseorang belajar matematika demi pangkat. Keadaan ini bagi Tan justru merendahkan sekaligus menghina matematika yang bagi dirinya sejatinya sebuah karya agung kemanusiaan.

Kalau si murid mempelajari matematika, bukan karena ia suka pada ilmu itu, melainkan karena ia terpaksa mempelajari, untuk mendapatkan pangkat yang tinggi, seperti opzicthter atau insinyur4.

Bagi Tan, matematika itu tak seharusnya direndahkan pangkatnya dalam keilmuan sebagai sesuatu yang dipelajari untuk fungsi atau kegunaannya semata. Baginya, matematika sebagai kendaraan seseorang untuk belajar berpikir justru yang paling utama. Matematika bagi Tan dipelajari untuk mengembangkan diri pemelajarnya, memanusiakan pemelajar seutuhnya. Tan tampak sekali tak rela jika hal terakhir itu diabaikan. Tan malah secara keras mengungkapkan ketaksetujuan terhadap tindakan tak cukup menghargai matematika ini di kalimat berikut:

Tetapi kalau ia sudah mendapat angka yang memuaskan, matematika sebagai pelatih otak dia lemparkan sama sekali5.

Di kalimat ini, Tan mengkritisi keadaan seseorang mengerjakan matematika yang berorientasi pada hasil dan mengabaikan proses berpikirnya. Kegiatan bermatematika yang dipikirkan Tan justru harus tetap melihat matematika sebagai kendaraan untuk berlatih otak. Siswa yang belajar matematika diharapkan menyadari bahwa bermatematika itu melatih otak, mengembangkan kemampuan berpikirnya. Kemudian, Tan menekankan manfaat seseorang bermatematika utamanya selain untuk dinikmati juga untuk pengembangan diri termasuk meningkatkan sikap pemelajarnya dalam kehidupan. Ini terbaca di kutipan berikut:

Seorang … kalau sdh dilatih dg silat yg baik, akan berbeda pandang langkah sikap & tangkisannya terhadap serangan lawannya… Begitulah juga otak yang sudah dilatih oleh matematika, lain sikapnya terhadap suatu persoalan daripada otak mentah6

Matematika memang unik dibanding disiplin keilmuan lain. Matematika sendiri sebagai sebuah struktur abstrak sebenarnya tak mengandung pengetahuan. Sangat berbeda dibanding Fisika, Kimia, Kerekayasaan, Ilmu Sosial, dan lainnya. Istilah-istilah matematika yang digunakan sebenarnya tak begitu utama. Pengajaran matematika jadi sesungguhnya sangat jauh dari gambaran suatu transfer pengetahuan. Lebih tepatnya, seorang guru yang membelajarkan matematika sebenarnya sedang berupaya menyadarkan muridnya untuk mengembangkan dua hal, yakni ketrampilan dan sikap.

Seseorang yang belajar matematika sejatinya akan mengembangkan ketrampilannya bernalar, berkomunikasi kompleks, menyelesaikan masalah, dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Ini semua kata kerja. Memang demikianlah seharusnya matematika dimaknai sebagai sebuah kata kerja, bukan kata benda. Walau dalam kehidupan nyata seseorang tak menghadapi masalah matematika secara eksplisit, seperti menentukan akar persamaan kuadrat, namun ketrampilan-ketrampilan yang dibangun melalui pengalaman bermatematika merupakan senjata utama dalam menghadapi persoalan sehari-hari. Ini yang dikatakan Tan di kutipan di atas. Ketrampilan-ketrampilan tadi itulah yang seharusnya mewujud di diri pemelajarnya.

4 Idem, hal. 835 Idem, hal. 836 Idem, hal. 54

Page 4: Tan Malaka

Selain mengembangkan ketrampilan yang terkait dengan proses berpikir seperti di atas, seseorang yang belajar matematika akan mengembangkan sikapnya. Pertama yang akan dibangun adalah sikap positif terhadap masalah. Selain pemelajar matematika akan memiliki sikap percaya diri dalam menghadapi masalah, pemelajar yang berhasil akan memandang masalah sebagai sebuah kendaraan untuk mengembangkan dirinya. Masalah dalam kehidupan manusia merupakan sebuah peluang untuk semakin membijakkan dirinya. Bukankah setiap manusia di dunia ini memang selalu dipasangkan dengan masalah baginya? Dan, setiap manusia sejatinya harus selalu mengingat pentingnya masalah bagi dirinya.

Kehidupan era modern ini sama sekali tidak meniadakan masalah, malah masalah yang dihadapi manusia di era sekarang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Masalah era sekarang sangat tak rutin. Masalah era sekarang banyak yang belum ditemui di era sebelumnya. Seperti masalah pemanasan global, manusia era sekarang harus menyelesaikan rangkaian masalah yang belum ada riset sebelumnya. Penyakit era sekarang banyak yang belum ada di literatur. Dokter harus menyelesaikan masalah/penyakit yang dihadapi pasiennya dengan kemampuan berpikir serta sikap ingin tahu, gigih, percaya diri, dan bersahaja.

Jika seseorang belajar matematika dengan baik, sejatinya akan tumbuh sikap percaya diri tetapi juga sekaligus sikap bersahaja. Semakin seseorang belajar matematika lanjut, dirinya akan semakin menyadari bahwa matematika tak bicara tentang kebenaran, tetapi tentang kesahihan. Sikap dirinya akan menjadi semakin menghargai hak berpendapat orang lain. Tak serta merta menganggap pendapat yang berbeda dengan pendapatnya sebagai sesuatu yang salah atau sesat. Akibatnya, dirinya semakin tak takabur. Pembangunan sikap bersahaja ini yang justru sangat penting dari pembelajaran matematika. Sikap bersahaja ini dalam praktik pendidikan yang dipabrikkan seperti sekarang menjadi tak diperhatikan, karena sikap itu tak dapat diukur. Namun, apakah memang semua pencapaian ketrampilan dan sikap dalam pendidikan matematika harus dapat diukur?

Yang perlu digarisbawahi, sikap bersahaja ini justru yang menjadi jantung keselarasan sosial berdasarkan intelektualitas. Oleh karenanya, mutu pembelajaran matematika akan sangat relevan dengan pembangunan keselarasan sosial. Ini lah tantangan pembelajaran matematika sekolah dasar dan menengah sesungguhnya.

Nyata Tak Bermateri

Tan Malaka memiliki pandangan sangat mendalam atau filosofis terhadap matematika. Pertama, beliau memahami bahwa matematika adalah sebuah disiplin keilmuan yang tak bermateri. Matematika adalah studi tentang gagasan semata yang dibuat oleh manusia. Panca indra tak boleh berperan dalam matematika. Semua penarikan kesimpulan harus senantiasa bergantung pada proses bernalar deduktif. Dua garis sejajar atau dua segmen garis sama panjang tak dapat dibuktikan menggunakan mistar, jangka, penggaris, atau alat lainnya. Ini yang dikatakan Tan Malaka bahwa matematika adalah ilmu tak bermateri.

…dalam perasaan kekurangan materi, penulis banyak mendapatkan materi pada ilmu tak bermateri. Persoalan matematika melupakan banyak perkara lain-lain…

Sebuah ironi sangat mungkin hendak disiratkan beliau dalam kutipan di atas. Pada saat dalam kehidupannya, beliau serba kekurangan dari segi materi dan juga tak sehat, beliau justru

Page 5: Tan Malaka

memperoleh kebahagiaan dalam bermatematika. Kekurangan materi dipuaskan dengan ilmu tak bermateri. Kegiatan bermatematika baginya menjadi sebuah layaknya sebuah taman hiburan. Mungkin ini bak anak kecil yang memasuki alam fantasinya.

Kedua, kutipan di atas juga menekankan sekali lagi bagaimana beliau memandang belajar matematika atau bermatematika. Baginya, bermatematika adalah sebuah kenikmatan yang justru dapat mengalahkan permasalahan dalam kehidupannya. Ini mengatakan bahwa Tan Malaka sangan menikmati kegiatan bermatematika. Ini mungkin yang dia ingin cucu dan buyutnya hari ini merasakan saat bermatematika. Pesan Tan Malaka tentang cara pandang terhadap matematika ini perlu digaungkan melalui ucapan dan tindakan guru-guru matematika sekarang dan masa depan. Bapak Bangsa yang kasmaran bermatematika ini telah memberikan tauladan bagaimana seharusnya kita semua menikmati belajar matematika.

Strategi

Untuk menggaungkan gagasan Tan Malaka terhadap matematika ini memang akan baik jika direkacipta secara seksama ke dalam pendidikan matematika sekolah dasar dan menengah. Bahkan pada perkuliahan matematika di tahun pertama pendidikan tinggi pun, gagasan Tan Malaka ini seharusnya dikenalkan. Sudut pandang Tan Malaka terhadap matematika akan membangun budaya belajar matematika yang baru. Sudut pandang ini akan memicu kasmaran bermatematika di siswa-siswi sekolah. Gairah ini akan menggeser paradigma kuno dari pengajaran matematika yang sangat menekankan pada kepatuhan prosedur dan manipulasi tanpa makna, menjadi proses bernalar serta kenikmatan bermatematika. Secara resmi, harus ada terus menerus upaya menyebarkan paradigma ini.

Namun, melalui jalur informal yang tidak bergantung pada birokrasi, penyebaran paradigma Tan Malaka pada pendidikan matematika ini justru lebih menunjukkan peluangnya. Melalui pembelajaran matematika secara daring, terbuka, dan masif, penyebaran gagasan dan pengenalan paradigma pendidikan matematika beliau dapat lebih tersebar. Pembuatan modul-modul pembelajaran matematika yang merealisasikan gagasan Tan Malaka yang dapat diunduh secara gratis oleh guru-guru akan membuat penyebarannya efektif. Kemudian, yang harus diupayakan adalah membuat model-model pembelajaran matematika yang mendasarkan pada cara pandang Tan Malaka dalam bentuk rangkaian video singkat, sekitar 7 menitan atau kurang. Bentuk video akan membuat guru dapat melihat secara langsung bagaimana pembelajaran matematika di kelas yang mewujudkan paradigma Tan Malaka.