TBR RAHMI
-
Upload
nurul-arsy-m -
Category
Documents
-
view
231 -
download
0
Transcript of TBR RAHMI
I. PENDAHULUAN
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati tekanan terhadap nervus
medianus yang disebabkan oleh peningkatan tekanan dalam terowongan karpal
pada pergelangan tangan. Sindrom terowongan karpal dapat terjadi pada satu
tangan atau keduanya dan salah satu penyebabnya antara lain aktivitas kerja dan
hobi yang membutuhkan gerak berulang dari pergelangan tangan dan jari, terlebih
jika dikombinasi dengan gerakan menjepit kuat, menggenggam atau kegiatan
yang melibatkan alat getar atau instrumen yang memberikan tekanan di dasar
telapak tangan. Nyeri pada sindrom terowongan karpal merupakan jenis nyeri
neuropatik dengan gejala klinis yaitu nyeri, kesemutan, pengecilan dan kelemahan
otot eminensia tenar, serta hilangnya sensasi pada area yang dipersarafi oleh
nervus medianus (Magee et al, 2009; Ginsberg, 2008; Davey, 2005).
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan,
terapi haruslah meningkatkan angka kesembuhan dengan biaya yang masuk akal.
Ono et al (2010) mengadakan review literature mengenai penatalaksanaan CTS
seperti yang pernah dilakukan oleh The American Academy of Orthopaedic
Surgeons (AAOS) pada tahun 2007. Literatur terbaru menunjukkan tren
pembedahan pada CTS yang dilakukan pada stadium awal CTS. Penggunaan
steroid maupun tindakan pembidaian juga masih digunakan walaupun efeknya
hanya berlangsung sementara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati tekanan terhadap
nervus medianus yang disebabkan oleh peningkatan tekanan dalam
terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor
retinakulum. Dulu, sindroma ini juga disebut dengan nama acroparesthesia,
median thenar neuritis atau partial thenar atrophy (Rambe, 2004; Magee et al,
2009; Campbell, 2012).
Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di
mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang
dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia
membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan
atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan
palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang
karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan
menyebabkan tekanan pada struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu
nervus medianus (Rambe, 2004; Campbell, 2012).
Gambar 2.1. Anatomi terowongan karpal dan nervus medianus (Davis et al,
2005).
Gambar 2.2. Distribusi sensorik nervus medianus (Davis et al, 2005).
B. EPIDEMIOLOGI
CTS adalah salah satu jenis gangguan pada tangan dan entrapment
neuropathy yang paling sering ditemukan. Insidensi yang tertinggi dialami
oleh orang-orang usia pertengahan dan wanita yang berusia lebih tua.
Insidensi CTS di Amerika diestimasikan mencapai 1-3 per 1000 orang per
tahun. Prevalensinya dapat mencapai 50 kasus per 1000 subjek pada populasi
umum (Ono, 2010).
Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum diketahui
karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis penyakit akibat kerja
yang dilaporkan karena berbagai hal, antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian
pada pekerjaan dengan risiko tinggi pada pergelangan tangan dan tangan
melaporkan prevalensi CTS antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian yang
dilakukan pada pekerja garmen di Jakarta berkaitan dengan prevalensi
terjadinya CTS mencapai 20,3% (Tana, 2004).
Prevalensi CTS yang tinggi adalah sebuah isu penting terutama di tempat-
tempat bekerja karena secara langsung berkaitan dengan produktivitas yang
terganggu akibat disabilitas yang merupakan dampak dari CTS. Berdasarkan
laporan tahun 2008 dari Bureau of Labor Statistics, CTS merupakan jenis
penyakit yang membutuhkan cuti yang cukup lama, yakni bisa mencapai 28
hari, di semua jenis industri. Berdasarkan National Institutes of Health biaya
yang dibutuhkan oleh pekerja akibat CTS, termasuk biaya berobat dan
kerugian akibat hilangnya jam kerja mencapai 30.000 dolar untuk setiap
pekerja yang terkena (Latinovic et al, 2006; Ono, 2010).
C. PATOGENESIS
Ada beberapa hipotesa mengenai patogenesis dari CTS. Sebagian besar
penulis berpendapat bahwa faktor mekanik dan vaskular memegang peranan
penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi secara kronis di mana
terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan terhadap
nervus medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama akan mengakibatkan
peninggian tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler
melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi intrafasikuler
lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini
akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural.
Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul
terutama pada malam/pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat
digerak-gerakkan atau diurut (mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara
pada aliran darah). Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis
epineural yang merusak serabut saraf. Lama-kelamaan safar menjadi atrofi
dan digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus
terganggu secara menyeluruh (Rambe, 2004).
Pada CTS akut biasanya terjadi penekanan yang melebihi tekanan perfusi
kapiler sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf.
Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan intrafasikuler
yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi
vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf terganggu.
Akibatnya terjadi kerusakan pada saraf tersebut . Tekanan langsung pada safar
perifer dapat pula menimbulkan invaginasi Nodus Ranvier dan demielinisasi
lokal sehingga konduksi saraf terganggu (Rambe, 2004).
D. ETIOLOGI
Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga
dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan
semakin padatnya terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan
pada nervus medianus sehingga timbullah CTS. Pada sebagian kasus
etiologinya idiopatik, terutama pada penderita wanita dan lanjut usia.
Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulang-ulang pada
pergelangan tangan dengan bertambahnya resiko menderita gangguan pada
pergelangan tangan termasuk CTS (Allan et al, 2014; Greenberg, 2010;
Evans, 2006).
Secara keseluruhan etiologi CTS sangat bervariasi yaitu (Gilroy, 2000;
Kotwal & Varshney, 2011) :
1. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy,
misalnya HMSN ( hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.
2. Trauma : dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan
tangan dan tangan .Sprain pergelangan tangan. Trauma langsung terhadap
pergelangan tangan. Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi
pergelangan tangan yang berulang-ulang.
3. Kongenital : monopolisakaridosis, mukolipidosis
4. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
5. Metabolik: amiloidosis, gout.
6. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus,
hipotiroidi, kehamilan.
7. Sistemik : Congestive heart failure
8. Neoplasma : kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
9. Penyakit kolagen dan autoimun : artritis reumatoid, polimialgia
reumatika, skleroderma, lupus eritematosus sistemik, tenovaginitis,
khondrokalsinosis.
10. Degeneratif : osteoartritis.
11. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk
dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi antikoagulan, kontrasepsi oral,
dan kekurangan vitamin B 6.
E. GEJALA
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja.
Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal
biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti
terkena aliran listrik (tingling) pada jari dan setengah sisi radial jari walaupun
kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari. Keluhan parestesia
biasanya lebih menonjol di malam hari (nocturnal acroparesthesia). Gejala
lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam
hari sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini
umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan
tangannya atau dengan meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi.
Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan
tangannya. Bila penyakit berlanjut, rasa nyeri dapat bertambah berat dengan
frekuensi serangan yang semakin sering bahkan dapat menetap. Kadang-
kadang rasa nyeri dapat terasa sampai ke lengan atas dan leher, sedangkan
parestesia umumnya terbatas di daerah distal pergelangan tangan (Allan et al,
2014; Greenberg, 2010).
Dapat pula dijumpai pembengkakan dan kekakuan pada jari-jari, tangan
dan pergelangan tangan terutama di pagi hari. Gejala ini akan berkurang
setelah penderita mulai mempergunakan tangannya. Hipesetesia dapat
dijumpai pada daerah yang impuls sensoriknya diinervasi oleh nervus
medianus (Rambe, 2004; Greenberg, 2010).
Pada tahap yang lebih lanjut penderita mengeluh jari-jarinya menjadi
kurang trampil misalnya saat menyulam atau memungut benda-benda kecil.
Kelemahan pada tangan juga dapat dijumpai, sering dinyatakan dengan
keluhan adanya kesulitan yang dialami penderita sewaktu mencoba memutar
tutup botol atau menggenggam. Pada penderita CTS pada tahap lanjut dapat
dijumpai atrofi otot-otot thenar dan otot-otot lainnya yang diinnervasi oleh
nervus melanus (Rambe, 2004).
F. DERAJAT
Menurut Katz (2002) derajat keparahan CTS digolongkan sebagai berikut :
1. Derajat 0 (Asimtomatik)
a) Tidak ada gejala dan tanda CTS
b) Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin ditemukan
kelainan pada sekitar 20 % populasi
c) Tidak memerlukan terapi
2. Derajat 1 (Simtomatik Intermiten)
a) Parastesia tangan intermiten
b) Tidak ada defisit neurologis
c) Salah satu tes provokasi mungkin positif
d) Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin tidak
normal
e) Terapi konservatif
3. Derajat 2 (Simtomatik Persisten)
a) Defisit neurologis sesuai dengan distribusi saraf medianus
b) Tes provokasi positif
c) Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik tidak normal
d) Terapi konservatif atau operatif
4. Derajad 3 (Berat)
a) Atrofi otot thenar
b) Pemeriksaan elektromiografis: fibrilasi atau neuropati unit motorik
c) Terapi operatif
G. DIAGNOSA
Diagnosa CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala di atas juga
didukung oleh beberapa pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan Fisik
Harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan
perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan.
Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu
menegakkan diagnosa CTS adalah (Rambe, 2004; Greenberg, 2010) :
a) Phalen's Test.
Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu
60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk
menegakkan diagnosa CTS.
Gambar 2.3. Phalen’s test
b) Wrist Extension Test
Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya
dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan.
Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini
menyokong diagnosa CTS.
c) Tinel's Sign.
Tes ini mendukung diagnosa hila timbul parestesia atau nyeri pada
daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada
terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
Gambar 2.4. Tinel’s Sign
d) Flick's Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan
jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong
diagnosa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada
penyakit Raynaud.
e) Thenar Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot
thenar. Atrofi thenar biasanya timbul pada stadium lanjut dari CTS.
f) Torniquet Test.
Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan tensimeter di
atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1
menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
g) Pressure Test (Durkan’s Direct Median Nerve Compression Test)
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan
ibu jari selama 30 detik. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik
timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
Gambar 2.5.
Durkan’s compression test (Georgiew, 2007).
h) Luthy's sign (Bottle's Sign)
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada
botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh
dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung
diagnosa.
i) Closed Fist Sign
Penderita diminta untuk mengepalkan tangan dengan erat dan diminta
untuk mempertahankan posisi ini selama 60 detik. Tes ini signifikan
apabila terdapat paling tidak 1 tanda lain yang positif.
j) Pemeriksaan Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.
k) Pemeriksaan Fungsi Otonom.
Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau
licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada
akan mendukung diagnosa CTS.
Dari berbagai macam pemeriksaan di atas, Phalen test dan Tinel test
adalah sangat patognomonik untuk diagnosis CTS (Barnardo, 2004; Davis,
2005; Aroori, 2008).
2. Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik) (Rambe, 2004) :
a) Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik,
gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot
thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot
lumbrikal. EMG bisa normal pada 31 % kasus CTS.
b) Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal.
Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal
latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi
safar di pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari
masa laten motorik.
3. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu
melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. USG, CT
scan dan MRI dapat memperkirakan ukuran kanal serta dapat mendeteksi
adanya infiltrasi lemak pada nervus medianus, bursitis, inflamasi,
neuroma dan space occupying lesion lainnya yang merupakan kondisi
patologis lain yang menyebabkan CTS. Pemeriksaan ini juga diperlukan
pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi (Kotwal &
Varshney, 2011; Allan et al, 2014).
4. Pemeriksaan laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa
adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun darah
lengkap (Rambe, 2004; Allan et al, 2014).
H. DIAGNOSA BANDING
1. Cervical radiculopathy
Biasanya keluhannya berkurang hila leher diistirahatkan dan bertambah
hila leher bergerak. Oistribusi gangguan sensorik sesuai dermatomnya.
2. lnoracic outlet syndrome.
Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otototot thenar. Gangguan
sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan bawah.
3. Pronator teres syndrome
Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di telapak tangan daripada
CTS karena cabang nervus medianus ke kulit telapak tangan tidak melalui
terowongan karpal.
4. de Quervain's syndrome
Tenosinovitis dari tendon muskulus abduktor pollicis longus dan ekstensor
pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang repetitif. Gejalanya
adalah rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di dekat ibu
jari. KHS normal. Finkelstein's test : palpasi otot abduktor ibu jari pada
saat abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri bertambah (Rambe, 2004).
I. PROGNOSA
Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif pacta umumnya
prognosa baik. Secara umum prognosa operasi juga baik namun penyembuhan
post operatifnya bertahap. Perbaikan yang paling cepat dirasakan adalah
hilangnya rasa nyeri yang kemudian diikuti perbaikan sensorik. Biasanya
perbaikan motorik dan otot- otot yang mengalami atrofi baru diperoleh
kemudian. Keseluruhan proses perbaikan CTS setelah operasi ada yang
sampai memakan waktu 18 bulan. Bila setelah dilakukan tindakan operasi,
tidak juga diperoleh perbaikan maka dipertimbangkan kembali kemungkinan
berikut ini : 1) Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan
terhadap nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal, 2) Telah
terjadi kerusakan total pada nervus medianus, 3) Terjadi CTS yang baru
sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema, perlengketan, infeksi,
hematoma atau jaringan parut hipertrofik (Rambe, 2004; Greenberg, 2010).
III. OPTIMAL MANAGEMENT OF CARPAL TUNNEL SYNDROME
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan,
terapi haruslah meningkatkan angka kesembuhan dengan biaya yang masuk akal.
Ono et al (2010) mengadakan review literature mengenai penatalaksanaan CTS
seperti yang pernah dilakukan oleh The American Academy of Orthopaedic
Surgeons (AAOS) pada tahun 2007. Tujuan diadakannya review tersebut adalah
untuk meyediakan informasi mengenai terapi yang direkomendasikan berdasarkan
bukti-bukti yang tertera di literature. Review dilakukan dengan sebelumnya
melakukan pencarian literature mengenai penatalaksanaan CTS menggunakan
MedLine dan Cochrane Library.Artikel yang direview harus memenuhi kriteria
inklusi sebagai berikut : 1) Tipe artikel termasuk meta analisis, panduan praktis,
RCT atau review sistematis 2) Diterbitkan dalam bahasa Inggris 3)
Dipublikasikan antara 7 April 2007 hingga 28 Mei 2010 4) Penelitian berbasis
sampel menggunakan subjek yang terdiagnosis CTS secara klinis maupun
elektrofisiologi 5) Terdapat evaluasi mengenai efikasi dari berbagai pilihan terapi
(Ono et al, 2010).
Berdasarkan penelitian tersebut, liiteratur terbaru menunjukkan tren
pembedahan pada CTS yang dilakukan pada stadium awal CTS baik dengan atau
tanpa denervasi pada nervus medianus. Sementara pada penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh AAOS tindakan pembedahan dilakukan pada CTS yang
sudah mengalami denervasi. Salah satu penelitian yang menjadi sampel untuk
review ini menunjukkan bahwa subjek yang mengalami pembedahan memiliki
outcomes yang lebih baik dibandingkan mereka yang hanya menjalani terapi
modalitas dengan USG saja. Sebuah penelitian meta analisis lain menyimpulkan
bahwa terapi pembedahan hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan
pembidaian, namun bukti apakah terapi pembedahan hasilnya msih lebih baik atau
tidak dibandingkan dengan injeksi steroid masih belum jelas. Oleh karena itu
masih perlu dilakukan penelitian sebanyak-banyaknya untuk memutuskan terapi
yang paling baik untuk pasien dengan gejala yang ringan sampai sedang apakah
harus menjalani terapi konservatif atau pembedahan sebagai terapi inisialnya (Ono
et al, 2010).
Secara keseluruhan terapi CTS adalah sebagai berikut :
1. Terapi Konservatif
a) Medikamentosa
1) Pemberian steroid
AAOS merekomendasikan injeksi steroid untuk mengobati CTS
dan steroid oral sebagai pilihan kedua sebelum benar-benar akan
dilakukan tindakan pembedahan. Penelitian menyebutkan bahwa
steroid dinilai lebih efektif dibandingkan obat-obatan anti inflamasi
non steroid dan diuretik, namun juga memiliki potensi efek samping
yang lebih serius. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Marshall et al disimpulkan bahwa injeksi steroid secara lokal selama
tiga bulan dinilai lebih efektif dibandingkan penggunaan steroid oral
dalam mengobati CTS. Studi terbaru menyebutkan penggunaan steroid
oral maupun injeksi yang disandingkan dengan tindakan pembidaian
dapat meningkatkan skala fungsional dari saraf yang terkena (Marshall
et al, 2007; Gurcay et al, 2009).
Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan
karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke
arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon
musculus palmaris longus. Bila belum berhasil, suntikan dapat diulangi
setelah 2 minggu atau lebih. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan
bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.
Terapi steroid efektif dalam mengurangi inflamasi dan edema,
namun efek sampingnya perlu diperhatikan. Efek samping utama
adalah berkurangnya sintesis kolagen dan proteoglikan. Ini berdampak
pada berkurangnya tenosit yang mengakibatkan turunnya kekuatan
mekanik dari tendon. Hal tersebut dapat memicu degenerasi yang lebih
jauh lagi (Ibrahim et al, 2012).
Dapat disimpulkan bahwa terapi steroid utamanya steroid injeksi
efektif untuk meredakan gejala sementara pada banyak pasien.
Bagaimanapun juga efikasi serta durasi waktu yang dibutuhkan untuk
pengobatan dengan steroid masih belum dapat dipastikan. Perlu
dilakukan investigasi yang lebih mendalam untuk menentukan efek
jangka panjang dari penggunaan injeksi steroid lokal serta berapa kali
dan seberapa sering injeksi steroid harus diulang (Ono et al, 2010).
2) Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan
membantu menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan untuk
menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Obat pilihan untuk terapi
awal biasanya adalah ibuprofen. Pilihan lainnya yaitu ketoprofen dan
naproxen (George, 2009).
3) Vitamin B6 (piridoksin)
Beberapa penulis berpendpat bahwa salah satu penyebab CTS
adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan pemberian
piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi beberapa penulis
lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin tidak bermanfaat
bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan dalam dosis besar
(Allan et al, 2014).
b) Non Medikamentosa
1) Istirahatkan pergelangan tangan
2) Pembidaian
Pada pasien dengan CTS yang ringan, terapi yang paling simpel
adalah dengan melakukan pembidaian pada malam hari. Bidai dapat
dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3
minggu.Pembidaian cukup bermanfaat di samping itu juga tergolong
murah serta cenderung menghasilkan komplikasi yang minimal.
Imobilisasi dapat menurunkan tekanan di sekitar jaringan lunak dalam
terowongan karpal sehingga aliran darah menjadi lancar serta dapat
mengurangi tekanan pada nervus medianus. Karena alasan ini,
pembidaian terbukti membuahkan hasil pada pasien yang sering
mengalami perasaan hilang sensasi atau kebas dan tingling terutama
pada malam hari dan saat istirahat. Untuk beberapa pasien pembidaian
mungkin dibutuhkan sepanjang hari (Ono et al, 2010).
AAOS merekomendasikan tindakan pembidaian sebelum akhirnya
dipilih tindakan operatif dalam pengobatan CTS. Evidence-based
studies juga mendukung pernyataan ini. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa pembidaian dapat meedakan beberapa gejala pada stadium awal
CTS serta sangat bermanfaat tanpa efek samping yang serius.
Pembidaian harus dilakukan sebagai terapi inisial sebelum dilakukan
tindakan pembedahan terutama dalam kasus yang ringan atau sedang
(Piazzini et al, 2007; de Angelis et al, 2009).
3) Fisioterapi
a. Modalitas Ultrasound
Terapi ultrasound dilakukan dengan menggunakan gelombang
suara frekuensi tinggi yang langsung ditujukan pada daerah yang
sakit. Gelombang suara diubah menjadi panas pada jaringan lunak
yang ada pada tangan dan diharapkan dapat melebarkan pembuluh
darah, sehingga oksigen dapat disalurkan pada jaringan yang
terkena. Sebagai hasilnya diyakini bahwa terapi ultrasound dapat
membantu mempercepat proses penyembuhan pada jaringan yang
mengalami cedera. Pemberian modalitas ultrasound pada sindrom
terowongan karpal dengan dosis frekuensi 1 MHz, pada intensitas
1 W/cm2, selama 15 menit dengan modus intermittent dapat
meningkatkan suhu sebesar 3o C, dimana peningkatan suhu 2o-
30C diketahui dapat menurunkan nyeri dan spasme otot. Selain itu
getaran ultrasound dengan intensitas 0.5 - 3 watt/cm² dengan
gelombang kontinyu dapat mempengaruhi eksitasi dari saraf
perifer sehingga mempercepat proses pemulihan cedera pada
nervus medianus (Pretince, 2005).
Biasanya terapi ultrasound diresepkan bersamaan dengan latihan
saraf dan tendon. Terapi ultrasound telah direkomendasikan untuk
pengobatan CTS namun hal ini hanya didasarkan pada dua
penelitian saja, sehingga perlu dilakukakan investigasi yang lebih
jauh untuk meningkatkan bukti-bukti positif terapi ultrasound
dalam pengobatan CTS (Bakhtiary et al, 2004; O’connor et al,
2003).
b. Nerve Gliding
Nerve Gliding yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan
(ROM) latihan dari ekstremitas atas dan leher yang menghasilkan
ketegangan dan gerakan membujur sepanjang saraf median dan
lain dari ekstremitas atas. Gliding Exercise bertujuan mengurangi
hambatan pada terowongan karpal sehingga tendon dapat bergerak
bebas dengan meningkatkan sirkulasi darah ke tangan dan
pergelangan tangan sehingga mengurangi pembengkakan dan
meningkatkan perbaikan pada jaringan lunak (otot, ligamen dan
tendon). Gliding Exercise akan memperlancar aliran peredaran
darah di tangan melalui gerakan yang dilakukan secara teratur serta
dilakukan sebelum melakukan aktivitas kerja yang juga akan
mengurangi tekanan pada saraf medianus (Daryono et al, 2013).
c. Neural Mobilization
Neural mobilization adalah teknik manual terapi dengan
mengulur saraf dan struktur jaringan ikat untuk mempengaruhi
kerja saraf, mengembalikan keseimbangan jaringan, dan
meningkatkan fungsi, mempercepat kembalinya fungsi saraf untuk
kembali bekerja dan melakukan aktivitas rekreasi, meningkatkan
lingkup gerak sendi yang terganggu akibat masalah neurodinamik,
mengurangi resiko operasi, dan mengurangi nyeri. Neural
mobilization dapat mengurangi tekanan yang ada di dalam saraf
sehingga dapat mengakibatkan peningkatan aliran darah ke saraf
yang pada akhirnya dapat terjadi regenerasi pada nervus medianus
(Tal-Akabi dan Rushton, 2000; Brotzman, 2011).
d. Myofascial Release
Myofascial release adalah kumpulan dari pendekatan teknik
yang berfokus pada pembebasan gerak yang terbatas yang berasal
dari jaringan lunak tubuh (Rigs dan Grant, 2008). Myofascial
release pada sindrom terowongan karpal bermanfaat untuk
melepaskan kekakuan ligamen karpal transversal dan membuka
atau melebarkan terowongan karpal. Peregangan yang dilakukan
oleh pasien sendiri (self-stretching) pada pergelangan tangan,
telunjuk, dan ibu jari juga merupakan salah satu komponen
myofascial release (Karageanes, 2005).
Pemberian myofascial release dapat meningkatkan aliran darah
dan temperatur cutaneus secara signifikan. Hal tersebut
menyebabkan terbuangnya sisa-sisa metabolisme dan cairan
berlebih selama diberikan myofascial release sehingga terjadi
penurunan nyeri dan pemulihan kualitas cairan dari jaringan fascia
.
2. Terapi Operatif
Carpal Tunnel release (CTR) merupakan bedah tangan dan pergelangan
tangan yang paling sering dilakukan di Amerika dengan estimasi sekitar
400.000 operasi tiap tahunnya. CTR sebagai terapi efektif untuk pengobatan
CTS didukung dengan bukti-bukti berkualitas. Terdapat beberapa variasi
dalam pembedahan CTR. Dua yang paling utama adalah Open Carpal Tunnel
release (OCTR) dan Endoscopic Carpal Tunnel release (ECTR) (Concannon
et al, 2000; Keith et al, 2009)
a) Open Carpal Tunnel Release
Secara tradisional OCTR dilakukan dengan insisi longitudinal yang
relatif luas yaitusekitar 4-5 cm mulai dari garis kardinal Kaplan’s hingga
ke lengkungan pergelangan tangan. Seiring waktu ukuran insisi semakin
berkurang, kebanyakan dokter bedah sekarang hanya melakukan insisi
sepanjang 2 hingga 4 cm yang berakhir 2 cm ke arah distal dari garis
pergelangan tangan. OCTR merupakan terapi yang efektif dan relatif
aman sehingga ditetapkan sebagai standar pembedahanuntuk CTS.
Hasilnya cenderung memuaskan dengan tingkat kepuasan pasien yang
tinggi serta rendahnya rasio komplikasi. Komplikasi yang dihasilkan oleh
metode ini antara lain luka parut yang halus, kelemahan dalam mencubit
dan menggenggam, serta rasa nyeri yang semuanya berkaitan dengan
tindakan insisi (Ono et al, 2010)
Gambar 2.6. Open Carpal Tunnel Release (Ono, 2010).
b) Endoscopic Carpal Tunnel Release (ECTR)
ECTR merupakan suatu metode carpal tunnel release menggunakan
alat endoskop atau arthroskop. Prosedur ini dinilai kurang invasif apabila
dibandingkan dengan OCTR. ECTR ditujukan untunk mengurangi
komplikasi yang sering ditimbulkan OCTR dengan insisi yang lebih kecil
yangditempatkan di pertengahan dari telapak tangan. Diasumsikan bahwa
penyelamatan dari fascia superfisial serta jaringan lemak yang melintasi
bagian atas dari fleksor retinakulum dapat mempercepat pemulihan
kekuatan genggaman tangan, jaringan parut yang lebih samar, serta
mengurangi nyeri. Berdasarkan studi oleh Atroshi et al tahun 2009 yang
membandingkan antara OCTR dan ECTR menyatakan bahwa kedua
tindakan pembedahan ini sama-sama memberikan hasil yang baik hanya
saja ECTR memungkinkan pemulihan yang lebih cepat. Di sisi lain ECTR
dilaporkan memiliki angka komplikasi yang lebih tinggi berkaitan dengan
tingkat kesulitan dari metode pembedahan tersebut, selain itu dilihat dari
segi biaya, ECTR memerlukan biaya yang lebih besar. Bagaimanapun juga
dokter-dokter bedah yang berpengalaman dapat menyelesaikan operasi
dengan sukses tanpa menimbulkan komplikasi yang berarti.
Gambar 2. 7. Endoscopic Carpal Tunnel Release (Ono, 2010)
c) Mini Open Carpal Tunnel Release
Dalam beberapa tahun ini, para ahli bedah mengadopsi suatu metode
yang disebut mini OCTR,atau biasa disebut short incision procedure. Ide
dibalik metode ini adalah mengombinasikan kemudahan dan keamanan
dari OCTR serta mengurangi trauma jaringan dan morbiditas post operatif
dari ECTR dengan teknik insisi terbuka yang ukurannya lebih kecil.
Berdasarkan AAOS apabila insisi yang lebih kecil digabungkan dengan
bedah terbuka akan menghasilkan outcomes yang lebih superior dalam hal
ini penyembuhan gejala, status fungsional, serta jaringan parut yang
ditimbulkan (Tessitore et al, 2004).
Gambar 2. 8. Mini Open Carpal Tunnel
Release
IV. KESIMPULAN
1. CTS adalah suatu penyakit neuropati yang disebabkan oleh penekanan pada
nervus medianus dan merupakan penyakit jepitan saraf yang paling sering
ditemukan.
2. Penatalaksanaan CTS yang optimal meliputi terapi konservatif baik obat-
obatan dan fisioterapi serta terapi operatif dengan berbagai macam tekniknya.
Selain itu juga harus masuk akal dari segi biaya.
3. Review terbaru menunjukkan bahwa terapi pembedahan menghasilkan
outcomes yang lebih baik. Namun perlu penelitian lebih banyak lagi untuk
benar-benar membuktikannya.