Peraturan BPK No. 2 Tahun 2015 Tentang Pemeriksaan Laporan ...
Tentang ma'rifatullah 2
-
Upload
fitri-indra-wardhono -
Category
Lifestyle
-
view
767 -
download
13
Transcript of Tentang ma'rifatullah 2
Tentang Ma’rifatullah – 2
Oleh Yusdeka
2
Daftar Isi
Artikel 1 : Bertasawuf ataukah Bertarekat .............................................................................. 3
Artikel 2 : Peran Penerus Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul .............................................................. 9
Artikel 3 : Sikap Berketuhanan ............................................................................................. 13
Artikel 4 : Kacamata Makrifatullah ....................................................................................... 29
A. Pembahasan .................................................................................................... 29
B. Kesimpulan ...................................................................................................... 47
Artikel 5 : Mengingati Allah .................................................................................................. 50
A. Pembahasan .................................................................................................... 50
B. Kesimpulan ...................................................................................................... 58
3
Artikel 1 :
Bertasawuf ataukah Bertarekat
http://yusdeka.wordpress.com/2014/03/18/bertasawuf-ataukah-bertarekat-bagian-1/
Selama ini banyak umat Islam yang rancu untuk memahami istilah Tasawuf dan Tarekat.
Banyak yang mengira bahwa tasawuf dan tarekat itu adalah dua hal yang sama. Akibatnya
setiap orang yang berkata tentang tasawuf, maka selalu saja orang itu akan
menghubungkannya dengan tarekat, ataupun sebaliknya.
Padahal kalau dilihat dari waktu kemunculannya, tasawuf itu sudah ada sejak zaman
Rasulullah. Bahkan sebelum zaman Beliaupun tasawuf sudah ada. Sebab tasawuf adalah
sebuah hasrat atau kecenderungan yang ada di semua agama untuk mengenal adanya Tuhan
dan lalu mengabdi kepada-Nya. Jauh sebelum Nabi lahir juga telah ada sekumpulan orang
yang cenderung untuk itu. Nabi Ibrahimpun disebut sebagai orang yang beragama HANIF,
yang percaya kepada Tuhan yang SATU. Agama Tuhan yang satu
yang tidak menyembah berhala.
Filsouf terkenal seperti Lao Tse di China, Pluto, Socrates, Sidharta
Gautama, dan sebagainya juga telah mengenal dan percaya kepada
sesuatu yang sangat hebat, yang tak terbayangkan, yang tak
terdefinisikan, yang mengatur dan menciptakan semua alam ciptaan
ini. Semua ciptaan ini berasal dari sesuatu yang tak terdefinisikan
yang oleh Lao Tse disebut sebagai TAO, atau dalam bahasa Jawa
disebut “tan keno kinoyo opo”, yang dalam bahasa arabnya adalah
“laisa kamistlihi syai’un”.
Makanya tidak heran kalau pernah suatu ketika di zaman Nabi saat
Beliau di Madinah, turun dari gunung-gunung, naik dari lembah-
lembah ratusan orang ahli sufi (orang-orang yang menjalankan
tasawuf) untuk bertemu dengan Rasulullah dan menyatakan
keislaman mereka kepada Beliau. Mereka diberi tempat khusus di
dalam masjid dan disebut sebagai Ahli Sufah yang sangat disayang
oleh Rasulullah.
Semasa Rasulullah, para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in,
sebenarnya tugas beliau-beliau juga adalah untuk mengajak manusia beriman kepada Allah.
Kepada siapapun yang mau beriman, maka barulah Beliau-beliau mengajarkan kepada
mereka tentang Makrifatullah melalui pintu ilmu. Dengan cara ilmu begitu, sebentar saja
mereka sudah bisa bermakrifatullah. Abu Bakar Ra., misalnya, dalan hitungan menit saja
Beliau bisa langsung makrifat kepada Allah, sehingga Beliaupun kemudian dikenal sebagai
Ash Siddiq, yang selalu membenarkan Rasulullah.
4
Setelah mereka bermakrifat, barulah mereka diberitahu tentang wajibnya shalat, dan
indahnya melakukan ibadah-ibadah lainnya. Simple sekali. Karena simple ini pulalah yang
menyebabkan Islam bisa berkembang ke semua penjuru dunia. Islam diterima di China,
India, Melayu, Jawa, dan daerah-daerah lainnya dengan mudah. Islam menyebar dengan
sangat cepat dan mudah. Karena yang diajarkan juga mudah dan tidak bertele-tele.
Sekali lagi, mereka hanya didakwahi agar mau beriman kepada Allah. Kalau mereka mau
beriman, maka barulah mereka dikenalkan kepada Allah, sehingga mereka bisa bermakrifat
kepada Allah dalam waktu yang sangat singkat. Untuk bermakrifatullah itu mereka tidak
butuh waktu yang lama dan mereka tidak harus pula terlebih dahulu melalui dzikir-dzikir
(wirid) yang sangat banyak dan rumit. Setelah bermakrifat kepada Allah itu barulah mereka
diberitahu tentang kewajiban mendirikan shalat, dan mengamalkan ibadah-ibadah lainnya
yang sangat mudah dan sederhana.
Karena makrifatnya benar, maka shalat merekapun juga akan ada pula hasilnya. Hati mereka
menjadi tenteram, bahagia, dan damai. Itu semua terjadi karena mereka mengingat Allah di
dalam shalt itu. Mereka juga sangat mudah menangis, terharu, dan tersungkur ketika
mereka mendengarkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada mereka. Hati mereka suka
bergetar dan kulit mereka suka merinding tatkala Nama Allah disebutkan kepada mereka.
Mereka sangat menghargai orang lain. Mereka suka membatu anak yatim dan menolong
orang yang lemah dan yang papa. Ilmu merekapun jadi bertambah luas. Penemuan-
penemuan baru banyak tercipta saat itu. Sungguh saat itu adalah masa-masa pembukatian
tentang betapa hebat-nya Islam. Islam berkembangpesat
melampaui batas-batas negara dan bangsa.
Kesederhanaan itulah yang menyebabkan mereka sangat
senang untuk shalat malam (tahajud dan witir) pada sepertiga
malam terakhir. Siangnya mereka banyak berpuasa, sedekah,
dan berkarya dengan semangat yang sangat tinggi. Semua itu
mereka lakukan dalam rangka bersyukur kepada Allah dan
untuk melatih diri dalam mengingat Allah. Mereka mengingat
Allah di dalam shalat malam itu, yang nantinya akan mereka lakukan pula di luar shalat, saat
beraktifitas, saat berdagang, saat berjalan, saat duduk, saat berdiri, saat tiduran. Mereka
selalu mengingat Allah (dzikrullah) dalam setiap keadaan. Dalam berdzikir itu, yang mereka
lakukan bukanlah mengucapkan kata-kata wiridan yang jumlahnya ratusan ribu kali, baik
Tidak ada diajarkan hal-hal yang aneh. Misalnya untuk bisa
bermakrifatullah itu harus dzikir dulu sekian ratus ribu kali, dan
praktek-praktek aneh lainnya.
5
secara lisan, dzikir di hati, ataupun dzikir sirr. Tapi mengingat Allah yang mereka lakukan
adalah mengingat seperti proses mengingat orang tua mereka (lihat Al Baqarah 200).
Sedangkan tarekat baru bermunculan beberapa ratus tahun setelah Rasulullah dan generasi
para tabi’it tabi’in wafat. Saat itu muncullah berbagai dzikir dengan cara menyebut nama-
nama Allah dengan suara keras, berulang-ulang sampai ratusan ribu kali, dan itu bisa pula
diikuti dengan badan yang bergoyang dan berayun ke kiri dan ke kanan. Objek pikir di dalam
dzikir itupun disebut sebagai lathaif, yang sudah terpengaruhi dan bercampur aduk dengan
konsep cakra-cakra dalam ajaran meditasi ala Hindu. Tujuan
akhir dari dzikir-dzikir itu adalah untuk mencapai maqam
makrifatullah.
Ya…, ajaran tarekat ini pulalah yang mengenalkan konsep
Syariat-Tarekat-Hakekat-Makrifat yang konon katanya sangat
mengawang-awang itu. Konsep yang sangat gencar
disampaikan oleh para penganutnya melalui bermacam
media cetak ataupun media visual. Bahwa Syariat itu barulah
sekedar begini begitu saja, baru tingkat kulitnya saja dari
Islam.
Oleh sebab itu dikatakan berkata bahwa setiap orang yang
ingin beragama Islam dengan benar dan hak, mereka
diharuskan untuk bertarekat. Ada tarekat (jalan khusus) yang harus ditempuh oleh seorang
yang beriman kepada Allah yang ingin menempuh jalan spiritual (salik). Setiap orang harus
bertarekat ini atau itu dulu untuk sampai kepada Allah. Sebab tanpa bertarikat maka ia tidak
akan bisa sampai ke jenjang hakekat.
Bahwa hakekat itu adalah ilmu yang sangat rahasia yang hanya bisa diperoleh melalui proses
bertarikat. Dan puncak dari pencapaian seorang salik dalam bertarekat itu adalah mereka
mendapatkan ilmu makrifatullah yang merupakan Ilmu yang sangat rahasia dan
dirahasiakan. Namun nestapanya, hanya orang-orang “khusus bil khusus” sajalah yang bisa
sampai ke maqam makrifatullah ini. Kalau orang-orang biasa, jangan harap untuk bisa
mencapainya.
Karena konsep ini demikian gencarnya disampaikan ke tengah-tengah umat, maka ia telah
menghantui umat Islam untuk menjalankan syariat seperti yang telah dicontohkan oleh
Nabi. Umat Islam jadi ragu-ragu, jadi gamang, dan jadi tidak percaya diri dalam menjalankan
syariat. Apalagi dengan adanya ungkapan seperti MELEPAS SYARIAT dulu untuk kemudian
baru bisa masuk ke maqam makrifat yang sangat rahasia. Jadi makrifatullah dalam konsep ini
dianggap tingkatan yang tertinggi yang harus dicapai oleh umat Islam. Makanya syariat
kadangkala diremehkan oleh orang-orang yang sudah mencapai level makrifat ini.
6
Dalil kerahasiannya pun mereka mengambil dari hadist Abu Hurairah sebagai berikut :
HR Thabrani
“Aku telah hafal dari Rasulullah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan
untuk menyebarkannya kepada sekalian manusia yatu ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah
ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskannya kepada manusia yaitu ilmu
yang seperti ”Hai’atil Maknun (Perhiasan Yang sangat Indah)”. Maka apabila ilmu ini aku
sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau manghalalkan darahku)”.
Tentang Hai’atil Maknan ini diambil juga dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :
HR. Abu Abdir Rahman As-Salamy
“Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan
selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika
mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang
lupa (tidak berdzikir kepada Allah)”.
Padahal yang dimaksud oleh Abu Hurairah Ra., dengan ilmu yang belum berani Beliau
sampaikan itu adalah tasawuf, bukan tarekat. Sebab saat itu tarekat belum lahir. Dan alasan
yang paling penting adalah bahwa saat itu memang sangat sulit sekali mencari Al Hadist dan
Al Qur’an secara utuh yang akan mendukung apa-apa yang
akan Beliau sampaikan itu. Al Qur’an dan Al Hadist saat itu
belum terkumpul secara utuh, masih dalam bentuk lembaran-
lembaran terpisah dan hanya beberapa orang saja yang tahu
dan hafal, sehingga kalau Beliau menyampaikannya, Beliau
takut kalau-kalau umat nanti salah mengerti dan salah
persepsi karena umat saat itu masih kekurangan referensi.
Karena kalau sudah salah persepsi dan salah dimengerti oleh khalayak ramai, tantangannya
adalah nyawa Beliau sendiri.
Akan tetapi keadaan pada saat itu sangat berbeda sekali dengan keadaan kita saat kita
sekarang ini. Al Qur’an dan Al Hadist sudah selesai turun dan sudah dibukukan pula.
Sehingga sekarang ini kita sudah dengan sangat mudah bisa menemukan dalil-dalil Al Qur’an
dan Al Hadist tentang apa saja, termasuk untuk tasawuf itu. Misalnya :
Shahih Muslim Bk 1, 28 (1998)
“Engkau akan datang kepada suatu kaum Ahli Kitab. Karena itu, hendaklah yang pertama-
tama engkau serukan kepada mereka ialah beriman kepada Allah Azza wa Jallah. Apabila
mereka telah mengenal Allah, maka beritahulah mereka bahwa Allah mewajibkan kepada
mereka shalat lima waktu sehari semalam”.
7
Jumhur ulama khalaf dan salaf mengatakan “Awwaluddin Makrifatullah”, yaitu awal agama
adalah mengenal Allah swt .
Karena tasawuf itu memang hanyalah sebuah konsep yang sangat mudah dan sederhana
saja. Yaitu kita BERIMAN kepada Allah, lalu MENGENAL Allah yang kita imani itu
(MAKRIFATULLAH), lalu kita lakukan SHALAT dan ibadah-ibadah yang lainnya dalam rangka
untuk MENGINGAT ALLAH (Dzikrullah) dan dalam rangka untuk bersyukur kepada-Nya.
Jadi konsep bertasawuf itu sebenarnya mudah saja, yaitu pertama BERMAKRIFATULLAH
sampai poool (full), lalu BERSYARIAT dengan semangat 45 (jahadu). Kedua-duanya memang
harus seiring dan sejalan secara bersamaan. Kalau tidak, maka kita akan sangat kesulitan
dalam menjalankan syariat itu, atau kita akan kehilangan makna hakiki atas kemakrifatan
kita itu.
Kenapa?
Karena, kalau kita belum bermakrifatullah, dan saat kita melakukan berbagai syariat,
terutama shalat, maka selama shalat itu kita akan mengingat apa-apa yang selain Allah.
Ingatan kita akan liar kesana kemari. Kita malah akan mengingat berbagai hal yang tidak kita
ingat di luar shalat. Aneh sekali.
Karena sulitnya kita fokus untuk mengingat Allah saat kita belum bermakrifatullah itu, maka
muncul pula berbagai teknik baru (bid’ah) yang ditawarkan orang yang konon tujuannya
adalah untuk membantu kita mengingat-ingat dan sadar kepada Allah. Misalnya :
• dzikir sambil mengamati cakra-cakra,
• dzikir dengan menyebut nama Allah atau Huu Allah sambil mengamati gerak nafas,
• dzikir sambil berputar-putar,
• dzikir sambil joged,
• dzikir sambil bernyanyi-nyanyi,
• dan sebagainya.
Hasilnya pun ada pula…! Ada rasa
tenangnya, ada rasa bahagianya, ada
cintanya, ada menangisnya, ada
“khusyuk” (karena pikiran menjadi
tidak liar lagi). Sungguh di sinilah
jebakannya. Sangat halus dan tipis
sekali. Sebab, karena ada hasilnya itulah yang menyebabkan kita menganggap bahwa cara
itu sudah benar. Padahal hasilnya itu adalah hanya karena kita memang sedang fokus
kepada sebuah objek pikir tertentu saja ketika kita melakukan praktek dzikir seperti itu.
Keadaan itu persis sama dengan ketika kita menonton film, atau acara-cara teve seperti
sepak bola, lawak, dan olah raga lainnya. Kita bisa “khusyuk” menontonnya.
8
Di samping kita bermasalah dengan ingatan kita di dalam shalat itu, amal-amal kita yang
lainpun akan kita lakukan pula dengan sebab-sebab riya’ dan ingin dihargai oleh orang lain.
Kita ingin sekali dipuji dan dihormati oleh orang lain. Kita ingin sekali berbangga diri dan
merasa hebat di hadapan orang lain.
Akan tetapi kalau kita sudah bermakrifatullah (mengenal Allah), lalu kita mendirikan shalat,
maka selama shalat itu ingatan kita akan sangat mudah sekali TERKUNCI kepada Allah yang
sudah kita kenali dengan baik itu (dzikrullah). Dengan begitu, kita dengan otomatis akan
melupakan wujud-wujud apapun juga yang selain dari Allah. Dan dengan bermakrifatullah
itu pula kita akan menjadi tidak sanggup lagi untuk
bersikap ria, untuk ingin dihargai orang lain, dan untuk
bersikap sombong.
9
Artikel 2 :
Peran Penerus Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul
http://yusdeka.wordpress.com/page/2/
Dengan mengetahui peta dari peran-peran seperti di atas, yang harus dijalankan oleh umat
manusia di setiap zaman dalam meramaikan sandiwara kehidupan ini, maka kini kita tinggal
membahas satu peran saja lagi secara agak lebih detail, yaitu peran penerus Nabi-Nabi dan
Rasul-Rasul. Untuk pemeran penerus peran Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul ini, arena bermain
dan wilayah kerja merekapun tidak jauh-jauh dari arena bermain dan wilayah kerja Nabi-
Nabi dan Rasul-Rasul. Panggung sandiwara mereka berada di sebalik visible matter, dark
matter, dan dark energy, yaitu di wilayah Dzat. Mereka paham betul bahwa saat tangan dan
panca indera mereka bersentuhan atau berinteraksi dengan semua materi dan energi yang
ada di alam semesta ini, MATA HATI mereka melihat dengan terang bahwa semua materi
dan energi itu adalah alam sifat semata yang mencerminkan adanya Dzat di sebalik semua
alam sifat itu.
Walaupun alam sifat yang terlihat oleh mata kepala mereka sangat beragam dan memungkin
sekali untuk memunculkan banyak tanya tentang kenapa dan untuk apa, namun mereka
sudah tidak mau lagi berbantah-bantahan untuk itu. Karena mereka sudah paham betul
bahwa ternyata dalam penglihatan mata hati mereka yang sudah menjadi sangat tajam dan
waspada, pandangan mata hati khas untuk orang bermakrifat, di sebalik semua benda dan
non benda yang terdeteksi oleh panca indera maupun di sebalik energi-energi yang
memegang kesemuanya itu, dan di sebalik semua peristiwa dan kejadian, alam Sifat,
TERNYATA ada Wajibul Wujud yang menyebabkan kesemuanya itu terzahir. Wajibul Wujud
itu adalah DZAT Yang Maha Agung, DZAT Yang Maha Indah. Dzat Yang Maha Meliputi segala
sesuatu. Dzat Yang menamakan Diri-Nya Sendiri dengan sebutan Allah.
Dialah yang bersabda “KUN, jadilah…” terhadap sedikit dari Dzat-Nya sendiri, sehingga dari
Dzat-Nya yang sedikit itu terzahirlah semua ciptaan (termasuk semua peristiwa) yang
terkurung di dalam sebuah sistem tertutup yang sangat KETAT. Ruang tertutup itu disebut
sebagai LAUHUL MAHFUZ (Rencana Induk Penciptaan). Apapun yang ada di dalam Lauhul
Mahfuz itu sudah direncanakan dengan sangat lengkap, sangat sempurna, dan tidak ada
satupun yang terlupakan walau sebiji atompun.
Tak lupa, untuk setiap kejadian dan peristiwa yang akan dialami oleh setiap ciptaan di dalam
Lauhul Mahfuz itu, sudah diikutsertakan pula berbagai HIKMAH, Pendidikan, Pelajaran, dan
IJIN-IJIN yang diperlukan untuk terzahirnya semua ciptaan dan semua peristiwa itu, sehingga
tidak ada satu ciptaan dan peristiwapun yang bisa tercipta dan terjadi tanpa IJIN-Nya, tanpa
sepengetahuan-Nya. Dan juga, tidak ada satu ciptaan dan peristiwapun yang tidak ada
pelajaran yang bisa dipetik dari penzahirannya. Sungguh Lauhul Mahfuz itu adalah sebuah
10
Rencana Induk (Grand Scenario) Yang Maha Sempurna untuk Sebuah Maha Karya Yang Tak
Tertandingi dari Dzat Yang Maha Indah dan Maha Agung. Allahu Akbar…! Rencana Induk itu
tidak akan pernah berubah dari rencana awal yang sudah sangat-sangat matang itu.
Selanjutnya, Takdir, Ruang, dan Waktulah yang akan mengawal Semua Ciptaan dan Semua
Peristiwa itu untuk mengada, untuk terzahir.
Demi Masa…, lalu FAYAKUN, maka terjadilah apa yang harus terjadi, terciptalah apa yang
harus tercipta. Semuanya tepat pada qada, qadar, dan Ijin-ijinnya, tepat pada waktunya,
tepat pada ruangnya, dan tepat pula hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari setiap
kejadian dan setiap ciptaan itu. Semuanya patuh kepada rencana induk yang telah
ditetapkan pada saat sabda KUN pertama kali disabdakan-Nya yang gemanya akan tetap
menjalar sepanjang zaman.
Orang-orang yang sudah makrifat bisa melihat dengan mata hatinya, yang telah menjadi
sangat tajam, bahwa semua peristiwa dan peran yang tergelar dan terhampar di alam
semesta ini ternyata pada hakikatnya adalah Dzat-Nya semata-mata. Langit, bintang-bintang,
matahari, bumi dan segala isinya ternyata adalah sedikit dari Dzat-Nya yang terzahir menjadi
berbagai bentuk, rupa, dan warna, dengan peran dan sifatnya masing-masing pula. Karena
semua yang terzahir itu adalah dari Dzat-Nya sendiri, sehingga apapun yang terlihat oleh
mata, terdengar oleh telinga, teraba oleh kulit, terbaui oleh hidung, dan terasa oleh lidah,
bisa pula disebut sebagai Dzat-Nya Yang Zahir. Jadi…, tanah, gunung dan lembah,
pepohonan, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, manusia, semua benda dan ciptaan yang
ada, pada hakikatnya adalah Dzat-Nya Yang Zahir yang berasal dari Dzat-Nya Yang Batin.
Sabda KUN-Nya lah yang telah menjadi sebab musabab terzahirnya Dzat-Nya Yang Zahir yang
tadinya berazal dari Dzat-Nya Yang Batin. Sehingga mereka akan bisa memahami bahwa
Dialah Yang Dzahir dan Dia pulalah Yang Bathin. Ketika mereka terpandang (dengan mata
zahir mereka) kepada Dzat Yang Zahir, maka mereka akan melihat berbagai SIFAT (banyak
dan beragam). Akan tetapi ketika mereka terpandang (dengan mata hati mereka) kepada
Dzat Yang Batin, maka mereka hanya akan melihat Hakikat Yang satu. Wujud Yang Tunggal,
Wajibul Wujud, Yaitu DZAT-Nya yang sedikit dari DZAT-Nya keseluruhan Yang Maha Indah.
Ya…, mata hati mereka dapat melihat dengan sangat tajam bahwa Dzat Yang Batin yang
berada di sebalik Dzat Yang Dzahir itu besarnya terhadap Dzat-Nya yang Maha Indah
hanyalah sebesar sebutir pasir ditengah-tengah padang pasir yang sangat luas, seukuran
setetes air asin ditengah lautan yang sangat luas. Sangat kecil sekali. Sehingga lidah
merekapun KELU untuk mengucapkan kata-kata: “Akulah Al Haq, akulah Tuhan, yang ada
dalam jubahku adalah Allah, subhani, aku adalah Aku, Dia adalah aku, aku adalah Dia,
engkau adalah Engkau, dan sebagainya. Mereka tidak terjerumus untuk mengucapkan kata-
kata yang memang sering muncul dari lidah orang-orang yang berpaham Wahdatul Wujud.
Paham yang mempercayai bahwa SEMUA ciptaan ini berasal dari penzahiran SEMUA Dzat
11
Allah. Sebab kalau memang begitu, Allah akan menjadi kecil sekali…, sebesar alam ciptaan.
Diapun menjadi tidak pantas untuk kita puja dengan ungkapan Allahu Akbar.
Dengan memahami alam hakikat seperti ini, maka mereka akan berhenti untuk bertengkar
dan berbantah-bantahan. Apa yang mau dipertengkarkan dan diperbantahkan? Karena di
alam hakikat itu sudah TIDAK ada nama-nama, sudah TIDAK ada rupa-rupa,
sudah TIDAK ada suara-suara, sudah TIDAK ada getaran-getaran dan rasa-
rasa, sudah TIDAK ada sifat-sifat, sudah TIDAK ada yang bisa ditulis-tulis
dan dijabar-jabarkan. STOP…! Kita hanya bisa berkata DZAT… !
Karena mereka sadar bahwa yang Wujud hanya Dzat-Nya. Sang Wajibul
Wujud. Sedangkan mereka sudah tidak punya hak apa-apa lagi untuk MENGAKU wujud.
Sebab mereka TAHU DAN SADAR bahwa kalau mereka mengaku wujud pula, maka saat itu
berarti ada DUA wujud yang ada, yaitu wujud mereka sendiri dan Wujud Dzat Yang Wajibul
Wujud. Sehingga saat itu juga runtuhlah TAUHID mereka.
Tambahan lagi, mereka juga tahu dan sadar bahwa ketika mengaku wujud, artinya mereka
mengakui: “Ini adalah pikiran saya, ini adalah milik saya, ini adalah kebenaran saya”, maka
mereka segera saja akan berhadap-hadapan dengan pikiran, milik, dan kebenaran orang-
orang lain yang juga mengaku wujud seperti mereka. Lalu
mereka akan saling berbantah- bantahan, saling bertengkar,
dan bahkan bisa sampai saling bunuh-bunuhan satu sama
lainnya. Ramai sekali…
Sebab, kalau turun dari alam hakikat ke alam sifat, maka kita
akan segera berhadapan dengan sifat-sifat berbagai ciptaan
yang tak terbatas. Kita lalu akan membahas semua sifat-sifat itu tanpa habis-habisnya. Kita
bisa pula berdebat sepanjang masa, tanpa akhir. Bahkan seandainya seluruh air lautan yang
akan kita jadikan sebagai tinta untuk menulisnya, sampai keringpun lautan itu, tidak akan
selesai-selesai kita menulisnya.
Jadi mereka berjalan meninggalkan semua alam Sifat untuk menuju ke Alam Hakikat, yaitu
Alam Dzat. Sehingga mereka berhasil menafikan wujud-wujud yang lainnya kecuali hanya
wujud Dzat, “Laa maujud illa Dzat”. Bahwa hanya Dzat lah Yang Wajubul Wujud, sedang
yang lain selain dari Dzat adalah Sirna, Fana, Tidak Wujud.
Lalu mereka terkejut memandang dengan mata hati mereka akan Kewujudan-Nya, Keesaan-
Nya, Kemahabesaran-Nya. Mereka segera bermakrifatullah. Bahwa wujud itu menamakan
diri-Nya sendiri dengan nama Allah, sehingga merekapun segera sadar bahwa tiada yang
wujud itu kecuali Allah, Laa maujud Illallah…, Laa muajud illallah…
Setiap kali mereka memanggil-Nya dengan sebutan Allah, maka tubuh merekapun tergetar,
hati merekapun remuk redam.
12
Ya Allah…, lalu lutut merekapun lunglai
Ya Allah…, lalu merekapun tersungkur.
Ya Allah…, lalu tubuh merekapun bergetar.
Ya Allah…, lalu hati merekapun remuk redam.
Ya Allah…, lalu mata merekapun jadi sembab.
Merekapun segera saja berenang di alam makrifat, bermakrifat kepada Allah (Makrifatullah).
Lalu Makrifatullah inilah yang melandasi setiap aktifitas mereka, melandasi SIKAP mereka,
baik itu untuk beribadah kepada Allah maupun untuk berhubungan dengan sesama umat
manusia.
13
Artikel 3 :
Sikap Berketuhanan
http://yusdeka.wordpress.com/2014/03/27/sikap-berketuhanan-bagian-1/
Dengan mengetahui secara garis besar peran-peran yang selalu berulang dalam drama atau
sandiwara kehidupan dari zaman ke zaman seperti di atas, maka sekarang tinggal terpulang
kepada setiap pribadi untuk meneropong dirinya masing-masing. Peran itu akan tetap
berulang dan berulang setiap hari, seperti hal berulangnya kita menonton acara-acara serial
di televisi. Pemerannya boleh jadi berbeda-beda, tetapi alur ceritanya selalu saja hampir
sama dari satu serial keserial yang lain. Hanya berbeda dalam bumbu dan remeh temehnya
saja. Sama juga halnya dengan kita menonton sepakbola atau bulu tangkis, perannya dari
dulu ya itu-itu saja, tetapi para pemeran atau para pemainnyalah yang membuat tontonan
yang sama dari hari kehari itu tetap disukai oleh orang banyak.
Tanpa kita sadari, saat ini :
• Ujug-ujug kita sudah jadi penerus peran tukang sihir dari zaman
Fir’aun saja,
• Ujug-ujug kita sudah jadi penerus peran Abu Jahal saja,
• Tanpa dinyana kita sudah jadi penerus peran orang-orang munafik
saja,
• Entah kenapa kita sudah jadi begitu dekat saja dengan peran iblis
dan syetan,
• Tahu-tahu kita sudah menjadi orang yang begitu gigih melanjutkan
tongkat estafet peran Nabi-nabi dan Rasul-rasul saja.
Semuanya seperti sudah diatur dengan sangat matang dan sempurna, baik berupa pikiran
awalnya, rasa yang mengikuti pikiran awal itu, dan juga proses-proses berikutnya yang
mengikuti pikiran awal itu. Ia hanya seperti dialirkan begitu saja dari Dzat-Nya untuk terzahir
mengikuti takdirnya masing-masing.
Bagi orang-orang yang sudah bermakrifat kepada Allah (Makrifatullah), bahwa ada orang
yang menolak ataupun menerima ketika mereka mengatakan bahwa seseorang itu sedang
menjalan peran ini ataupun itu, sudah menjadi sesuatu yang tidak penting lagi baginya.
Sebab mereka sudah merasakan esensinya, bahwa semua peran-peran itu semata-mata
adalah penzahiran peran Dzat-Nya yang sedikit menjadi berbagai ciptaan, peristiwa, aktifitas,
kejadian, dan pemusnahan, atau dapat diistilahkan sebagai SIFAT-SIFAT, di dalam Lauhul
Mahfuz yang sangat sempurna.
Sangat sempurna dalam arti kata: Sudah jelas QADA dan QADARNYA, sudah ada IJIN oleh
Allah untuk Dzat-Nya terzahir menjadi Sifat-sifat, sudah ada HIKMAH atau PELAJARAN di
setiap penzahiran sifat-sifat itu, tidak ada satupun detail yang terlupakan oleh Allah, sudah
14
lengkap sebab dan akibatnya, tidak akan pernah berubah, tepat waktu dan tempat
penzahiran segala sifat-sifat itu.
Oleh sebab itu orang-orang yang sudah bermakrifatullah akan kelu lidahnya untuk
mengumpat dan mencela semua ciptaan yang ada di hadapannya, akan lunglai tangannya
untuk merusak dan mencelakai semua ciptaan yang ada didepannya, akan lemah kakinya
untuk menghancurkan semua ciptaan yang ada di bawah kakinya. Mereka jadi tak kuasa
untuk berbuat makar, membunuh, dan merusak terhadap semua ciptaan yang ada
didepannya. Mereka akan berbuat sebaik-baiknya kepada semua ciptaan itu. Mereka akan
memeliharanya dengan sungguh-sungguh. Mereka akan menjadi penjaga yang setia untuk
kelestarian semua ciptaan itu. Karena mereka sadar bahwa yang mereka jaga sebenarnya
adalah Dzat-Nya Yang Dzahir..
Mereka juga akan kelu lidahnya untuk mengakui apa-apa sebagai miliknya. Mereka akan
sungkan untuk berkata aku. Mereka tak kuasa berkata ini milikku. Mereka malu untuk
menuntut ini adalah hakku. Mereka sungguh menjadi tak berkutik, karena mereka terkejut
bahwa di sebalik semua yang terzahir itu ternyata adalah semata-mata Dzat-Nya sendiri.
Mata hati mereka menjadi sangat tajam untuk menyadari bahwa Wujud yang sebenarnya
Wujud, Wajibul Wujud, ternyata adalah Dzat-Nya. Sedangkan semua ciptaan, termasuk diri
mereka sendiri, pada hakikatnya adalah tidak wujud. Karena mereka tidak wujud, apa yang
akan mereka akui ? Ya nggak ada.
Untuk setiap peristiwa, mereka akan membaca (IQRA) apa-apa hikmah dan pelajaran yang
terkandung didalamnya. Lalu mereka akan menyesuaikan diri, akan belajar, akan
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan mereka untuk menghadap hal-hal yang
sama atau bahkan hal yang lebih dahsyat dari apa-apa yang mereka alami sekarang ini di
masa-masa mendatang.
Mereka merubah nasib mereka sendiri untuk menjadi lebih baik di masa depan dengan cara
mereka tekun membaca dan mempelajari peristiwa demi peristiwa dan kejadian demi
kejadian. Sebab mereka paham betul bahwa Allah tidak akan merubah nasib mereka kalau
mereka tidak merubahnya sendiri dengan jalan membaca hikmah-hikmah dan pelajaran-
pelajaran dari berbagai takdir (baik atau buruk) yang telah menimpa mereka sebelum-
sebelumnya.
Namun dalam proses membaca peristiwa-peristiwa itu mata hati mereka juga sangat tajam
melihat bahwa apa yang mereka lakukan dalam proses membaca (iqraa) itu, semuanya
sudah tertulis pula di Lauhul Mahfuz, berikut dengan segala hasilnya. Dengan begitu mereka
sadar sesadar-sadarnya bahwa sebenarnya bukan merekalah yang membaca, tapi mereka
hanya DIBACAKAN, DIDIKTEKAN tentang peristiwa-peristiwa atau sifat-sifat.
15
Berikut ini akan kita lihat beberapa suku bangsa yang berhasil ataupun yang gagal dalam
membaca hikmah dan pelajaran dari beberapa peristiwa yang berulang.
• Orang Jepang berhasil merubah nasibnya untuk masa-masa mendatang dalam
menghadapi bencana gempa dan tsunami justru dengan
cara membaca hikmat dan pelajaran yang terkandung di
dalam peristiwa gempa bumi dan tsunami itu. Mereka
tidak sibuk mencari kambing hitam yang akan disalah-
salahkan atas terjadinya peristiwa gempa dan tsunami itu.
Sehingga gempa dan tsunami itu “nyaris” sudah
ditundukkan oleh mereka dengan korban manusia yang
sangat sedikit.
• Orang Amerika dan Eropa, dari membaca angin, mereka berhasil menciptakan berbagai
pesawat terbang mulai dari pesawat komersial sampai dengan pesawat terbang yang
aneh-aneh untuk berperang dengan sesama. Dari membaca bulan, planet-planet, dan
bintang-bintang, mereka juga berhasil membangun cikal bakal alat transportasi antar
plannet. Dan banyak lagilah keberhasilan bangsa-bangsa
di dunia ini dalam membaca ayat-ayat Allah yang
bertebaran di muka bumi ini untuk kemudian
menghasilkan ilmu-ilmu baru yang sangat menakjubkan.
• Hanya orang-orang Jakarta (khususnya) dan orang
Indonesia (pada umumnya) yang nampaknya kurang belajar dan membaca hikmah atas
peristiwa-peristiwa banjir dan bencana alam lainnya, seperti kabut asap, yang terjadi
setiap tahunnya. Mereka lebih sibuk mencari kambing hitam yang ternyata mereka
lekatkan kepada Gubernur, Wakilnya dan pihak-pihak lainnya. Sehingga setiap kali terjadi
banjir atau bencana asap, yang jadi sasaran kemarahan adalah Gubernur dan Wakilnya
itu. Dan akhirnya semuanya jadi lupa untuk menundukkan banjir dan asap itu sendiri.
• Yang sedang hangat, berkali-kali bangsa Indonesia telah melaksanakan Pemilu, Pilkada,
Pilpres, Pilgub, dan pil-pil lainnya, yang katanya untuk memperbaiki taraf kehidupan
rakyat, namun ternyata semua aktifitas itu tidak serta merta bisa mengubah taraf hidup
rakyat dan martabat bangsa kita digelanggang sandiwara kehidupan antar bangsa. Yang
ingin dipilih memang sangat antusias menjajakan partainya dan dirinya diawal-awal
kampanyenya, tapi kemudian ia jadi sibuk dengan dirinya sendiri dan partainya setelah ia
duduk dengan empuk di kursi pemerintahan dan dewan yang terhormat. Lalu kegagalan
dan kerakusan bin centang-perenang seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya
pun berulang dengan magnitute yang lebih mencengangkan. Rakyat kembali hanya bisa
menikmati hidup dalam rasa keterpurukan, sambil bersungut-sungut dan memaki-maki di
dalam hati, lalu kemudian mereka kembali lupa untuk menarik hikmah dan pelajaran.
16
Ada memang yang mampu mengambil hikmat dan pelajaran dari peristiwa-peristiwa itu,
namun bagi orang-orang yang tidak bermakrifatullah, ketika mereka merasa bisa membaca
dan berpikir atas berbagai peristiwa, mereka akan melihat bahwa mereka sendirilah yang
berpikir. Sehingga mereka berkata dengan gagah berani : “Karena aku berpikir begini maka
hasilnya jadi begini, karena saya berani berpikir begitu, maka hasilnya pun jadi begitu”. Ada
rona atau nada keangkuhan dan pengakuan mereka atas sebuah proses berpikir yang telah
mereka alami dan lalui itu. Dan merekapun kemudian berani pula menjual dan memasarkan
keangkuhan dan pengakuan mereka itu dengan gagah berani kepada orang lain.
Namun bagi orang yang sudah bermakrifatullah, mata hati mereka juga telah menjadi
sangatlah tajam untuk melihat bahwa dalam membaca hikmah dan pelajaran dari setiap
peristiwa itupun sebenarnya mereka tidaklah sulit-sulit amat. Sebab tenyata Allah sendirilah
yang telah berkenan mengalirkan kepahaman itu ke dalam hati dan pikiran mereka. Tiba-tiba
saja Allah memunculkan atau menzahirkan sebutir benih pikiran di dalam pikiran mereka.
Benih pikiran itu lalu berkembang dan membesar untuk kemudian berubah menjadi sebuah
kepahaman baru atas apa-apa yang sebelumnya belum mereka ketahui, atau bisa pula
terjadi dalam bentuk perubahan-perubahan peristiwa dan kejadian dengan secepat kilat.
Dan yang terpenting adalah, karena mereka sadar bahwa semua peristiwa dan kejadian itu,
termasuk hikmahnya, sudah tertera dan tertulis pula dalam Buku Perencanaan Induk Yang
Sangat Sempurna (Lauhul Mahfuz), maka mereka benar-benar sudah tidak punya tempat lagi
untuk mengaku bisa, merasa hebat dan tahu atas pencapaian mereka dalam membaca
hikmah dari berbagai peristiwa dan kejadian-kejadian itu. Mereka hanya berkata:
Subhanallah, semua adalah ayat-ayat Allah yang nyata, yang terzahir dari sedikit Dzat-Nya.
Mereka juga paham bahwa dengan munculnya sebuah benih pikiran di dalam pikiran
mereka, mereka hanya perlu waspada untuk melihat apakah bibit pikiran itu akan membawa
mereka kepada takdir yang baik (Ilham Taqwa) ataupun takdir yang buruk (Ilham FUJUR)
yang akan terjadi beberapa waktu yang akan datang. Dua-duanya terjadi atas ijin dari Allah.
Sebab ketika Allah telah mengijinkan sesuatu takdir (kejadian atau peristiwa) terjadi untuk
beberapa waktu yang akan datang, sesuai dengan yang tertulis di Lauhul Mahfuz), yang
peristiwanya bisa saja terjadi beberapa saat lagi atau beberapa waktu yang akan datang,
Allah terlebih dahulu berkenan mengirimkan sinyal-sinyal-Nya ke dalam alam pikiran (mata
hati) orang-orang tertentu, berikut dengan rasanya sekaligus ke dalam dada mereka.
Peristiwa diberitahu lebih awal, sebelum sebuah peristiwa terjadi, disebut juga sebagai
Ilham, atau Firasat, atau Wahyu, yang tergantung kepada siapa penerimanya. Ilham dan
firasat adalah biasanya didapatkan oleh orang-orang yang sangat dekat dengan Allah,
sedangkan Wahyu adalah berita-berita kepada Nabi dan Rasul Allah.
Karena pemberitahuan itu hanyalah berupa penyingkapan sedikit dari peristiwa-peristiwa
yang akan datang, yang kesemuanya itu sudah tertulis di Lauhul Mahfuz, maka lidah
17
merekapun kelu untuk mengaku hebat dan mengetahui hal-hal yang gaib. Sebab mereka
memang hanyalah sekedar diberitahu dan diperlihatkan saja untuk sekilas. Memang untuk
Nabi Muhammad SAW agak berbeda, karena Beliau sudah diberitahu dan diperlihatkan
peristiwa-peristiwa sejak mulainya proses penciptaan alam semesta ini sampai dengan
proses berkumpulnya seluruh umat manusia kelak di dalam syurga. Beliau dikenalkan
dengan tuntas dan paripurna. Tapi tidak pernah Beliau mengaku bahwa Belia adalah orang
yang sangat hebat. Beliau selalu mengaku hanya sebagai Rasulullah, hamba Allah. Tidak
lebih.
Yang menarik adalah sikap orang-orang yang sudah bermakrifatullah tentang do’a. Selama in
sangat umum orang berpendapat bahwa, setiap orang bisa mengubah nasibnya dengan cara
berdo’a. Mereka bisa berdoa secara sendiri-sendiri, maupun secara berjamaah, ataupun
minta dido’akan oleh orang-orang tertentu, baik dengan imbalan maupun dengan tanpa
imbalan. Tujannya adalah satu, yaitu agar Allah berkenan mengubah nasib atau takdir yang
ia rasakan tidak baik untuk saat ini. Yang miskin ingin menjadi kaya, yang sakit ingin jadi
sembuh, yang kaya ingin tambah kaya, yang sehat ingin tambah panjang umur, yang gagal
ingin jadi berhasil, yang sedang ikut test tertentu ingin lulus, dan sebagainya. Dan ternyata
memang banyak pula orang yang terkabul apa-apa yang mereka do’akan itu. Hidup mereka
telah berubah menjadi lebih baik.
Nah…, bagi orang yang belum bermakrifatullah, mereka benar-benar menganggap bahwa
do’a-do’a mereka itulah, atau paling tidak kata-kata dan pikiran merekalah, yang telah
mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. Lalu mereka kemudian berkata dengan
sumringah. “berdo’a dong…, atau mari kita berdo’a bersama-sama untuk kebaikan sebuah
kaum atau wilayah, atau minta do’a kepada si anu tuh… do’anya makbul, atau saya berubah
begini karena saya rajin berdo’a…”, dan sebagainya. Atau bisa pula dengan menggunakan
istilah-istilah dunia quantum yang memang sangat populer saat ini, bahwa ada yang
mengaku bisa mengubah sebuah keadaan di suatu tempat dengan menggetarkan vibrasi
tertentu ke alam semesta yang nanti akan di respon oleh alam semesta itu sesuai dengan
vibrasi yang dilepaskan oleh orang-orang tersebut.
“Hebat sekali mereka ya..!”, kata orang yang tidak atau belum bermakrifatullah kepada
mereka. Seakan-akan Allah terpaksa menghapus rencana awal-Nya terhadap suatu kejadian
atau peristiwa gara-gara ada intervensi do’a-do’a atau getaran-getaran bermuatan kehendak
tertentu dari orang-orang tertentu yang sangat hebat. Sehingga Allahpun menyerah dan
terpaksa mengubah rencana-Nya menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang-
orang yang hebat itu.
Makanya ada orang yang rela pergi ke mana-mana untuk menjajakan getaran kasih sayang,
getaran ikhlas, getaran penyembuhan, getaran quantum, dan getaran-getaran lainnya.
18
Sebab memang banyak pula orang-orang percaya kepada mereka, sebab memang mereka
bisa melihat ada hasilnya. Ada perubahannya.
Akan tetapi bagi orang yang sudah bermakrifatullah, keadaannya sungguh sangat berbeda
sekali. Berbeda seperti berbedanya langit dan bumi. Mereka bisa melihat dengan sangat
tajam melalui mata hati mereka, yang memang sudah terbuka, bahwa :
. . . proses mereka berdo’a itu, do’a-do’a yang mereka baca, dan juga waktu ketika
mereka berdo’a itu, termasuk perasaan mereka yang muncul saat berdo’a itu,
misalnya rasa tenang, bahagia, cinta, dan ikhlas, semuanya sudah tertulis di Lauhul
Mahfuz. SUDAH TERTULIS. Lidah mereka hanyalah sekedar tempat penzahiran saja
dari do’a-do’a itu agar bisa terlantun pada saatnya. Dan hati mereka hanya sekedar
tempat untuk menikmati rasa-rasa yang muncul itu dengan penuh rasa syukur.
Begitu juga, ketika terjadi perubahan-perubahan ataupun tidak pada diri mereka sendiri
ataupun terhadap lingkungan di sekitar mereka setelah mereka berdo’a itu, mereka bisa
melihatnya dengan mata hati yang sangat bening, bahwa keadaan yang berubah ataupun
tidak itu, sudah tertulis dengan sangat
sempurna di Lauhul Mahfuz.
Sehingga lidah orang-orang yang sudah
bermakrifatullah menjadi kelu untuk mengaku-
ngaku, karena memang ternyata tidak ada
sesuatu apapun yang bisa mereka akui sebagai
hasil jerih payah mereka, walau hanya sekedar
do’a mereka, apalagi sebagai kehebatan
mereka. Sebab semua perubahan di alam materi maupun di dimensi quantum itu ternyata
hanyalah semata-mata penzahiran dari sedikit Dzat-Nya menjadi berbagai sifat-sifat yang tak
terbatas.
Mereka juga bisa melihat dengan jernih bahwa untuk penzahiran semua sifat-sifat itu, sudah
tertulis pula dengan matang tentang siapa-siapa yang akan berperan sebagai penerus peran
tukang sihir Fir’uan, siapa-siapa yang akan bertugas untuk meneruskan tongkat estafet peran
Iblis, Fir’aun, Qarun, dan siapa-siapa pula yang akan kukuh meneruskan peran Nabi-Nabi dan
Rasul-Rasul. Tak lupa pula penerus peran orang-orang munafik, kafir, malas, bodoh, pandai,
pintar, dan sebagainya.
Semua pemeran itu akan kukuh dan matian-matian dalam menjalankan peran mereka dalam
sebuah panggung sandiwara kehidupan yang maha kolosal. Skenarionya, dan pemeran-
pemerannya selalu berubah dan diperbaharui setiap saat, sampai datangnya saat kehidupan
di kampung akhirat kelak. Sungguh kehidupan dikampung akhirat itu jauh lebih baik, dan
kampung akhirat itu tidak ada satupun yang akan dianiaya oleh Allah. Lalu dengan begitu,
19
apakah orang-orang yang sudah bermakrifatullah hanya tinggal diam dan menjadi orang
yang pasrah begitu saja, atau tidak melakukan apa-apa lagi, sebab semuanya kan sudah
ditakdirkan dituliskan oleh Allah di Lauhul Mahfuz.
Jawabannya pun sudah di bimbing oleh Rasulullah (Saw) ketika Beliau ditanya: “Jika
demikian (sudah ditentukan) tidakkah lebih baik kami pasrah saja ya Rasulullah?”. Beliau
menjawab: “Janganlah begitu, beramallah dan jangan berpasrah”. Sunan Ibnu Majah.
Walaupun dari sisi Allah, taqdir dari semua ciptaan itu sudah direncanakan dan ditulis-Nya di
dalam buku yang nyata, Lauhul Mahfuz, namun dari sisi makhluk, khususnya manusia, taqdir
itu tetap menjadi sebuah misteri terselubung yang hanya akan dibukakan oleh Allah pada
waktu yang tepat dan tempat yang cocok berupa penzahiran kejadian-kejadian dan
peristiwa-peristiwa.
Kalaupun Allah berkenan membukakan sedikit rahasia penzahiran itu kepada kita, maka
itulah yang dinamakan sebagai ilham, pengajaran, atau pemberitahuan dari Allah kepada
kita sebelum kejadian dan peristiwa itu terzahir. Khusus untuk Rasulullah SAW, rahasia besar
itu dibukakan oleh Allah untuk Beliau mulai dari kejadian awal alam semesta ini sampai
dengan peristiwa akhir dari semua ciptaan itu nantinya. Sehingga Beliaupun paham betul
tentang: Dialah Yang Awal, dan Dia pulalah Yang Akhir.
Misteri itulah yang mengharuskan kita untuk selalu beramal dan beramal setiap saat sesuai
dengan kapasitas kita masing-masing. Dan amalan kita itu bukanlah amalan yang aneh-aneh
dan bukan pula amalan yang memberatkan kita. Tidak. Kita cukup mengikuti dan mencontoh
apa-apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam keseharian Beliau. Sebab amalan apapun yang
kita lakukan tapi itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah ternyata itu hanya akan
menyengsarakan dan melelahkan kita saja dalam menjalaninya.
Tapi harus diingat pula bahwa apapun amalan yang kita lakukankan itu, begitu kita
melakukannya, itu juga sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. Peristiwa kita melakukan amalan itu
bukanlah akibat dari usaha kita sendiri yang telah memutuskan dan memilih untuk
melakukannya. Sebab apa-apa yang kita pilih dan putuskan untuk kita lakukan itupun sudah
tertulis di Lauhul Mahfuz. Sehingga dengan begitu benar-benar tidak ada lagi tempat bagi
kita untuk mengaku dan berbangga diri: “Aku telah memilih begini, maka hasilnya seperti ini.
Atau kejadian ini adalah karena saya melakukan ini dan
itu, karena saya begini dan begitu”.
Misalnya, ketika suatu saat suatu daerah dilanda kemarau
panjang, tanah pertanian jadi kering kerontang, tanaman
dan hewan mati kehausan, manusia kesulitan air, lalu
sekelompok orang berkenan melakukan shalat istisqa
secara bersama-sama untuk minta hujan. Tak lupa
20
mereka membawa berbagai hewan ke tempat shalat itu dilaksanakan. Tidak lama setelah
orang-orang tersebut melaksanakan shalat istisqa, alhamdulillah hujan turun dengan sangat
derasnya. Pertanyaannya adalah: apakah hujan yang turun itu adalah karena akibat dari
orang-orang melaksanakan shalat istisqa ?, atau bagaimana?
Kalau jawaban kita adalah: bahwa hujan turun itu adalah karena hasil atau pengaruh dari
shalat istisqa yang kita lakukan itu, maka saat itu juga runtuhlah tauhid kita. Sebab dengan
begitu, ada dua yang wujud yang berkehendak dan berkuasa saat itu, yaitu Allah dan orang-
orang yang melakukan shalat istisqa itu. Allah seakan-akan menyerah atau takluk dengan
kehendak orang-orang yang shalat istisqa itu sehingga Allahpun terpaksa mengubah taqdir-
Nya dari menciptakan musim kemarau menjadi menciptakan suasana musim hujan.
Akan tetapi, kalau jawaban kita adalah: bahwa hujan itu sudah ditaqdirkan oleh Allah terjadi,
shalat istisqa yang dilakukan oleh orang-orang itu juga sudah ditaqdirkan oleh Allah
terlaksana, bahkan siapa-siapa yang shalat istisqa itu, apa bacaannya, dan apa do’anya,
semuanya juga sudah ditaqdirkan oleh Allah terlaksana. Sehingga dengan begitu, peristiwa
hujan, orang shalat istisqa, do’a-do’a yang dipanjatkan, semuanya itu hanyalah penzahiran
dari taqdir Allah yang sudah ditulis-Nya di Lauhul Mahfuz. Inilah jawaban orang-orang yang
bertauhid. Sebab tauhid mensyaratkan bahwa yang wujud hanyalah Dzat Allah, Sang Wajibul
Wujud. Sedangkan yang lain selain Dzat Allah adalah tidak wujud.
Sampai sekarang, memang ada 4 macam pemahaman yang berkenaan dengan masalah
taqdir ini. Yaitu:
1. Paham Jabariyah, yang mengatakan bahwa kita sama sekali tidak bebas untuk berbuat
dan berkehendak sesuai dengan pilihan kita. Kita hanya semata-mata berada pada posisi
orang yang TERPAKSA menerima untuk melakukan sebuah perbuatan tertentu yang
telah ditetapkan qada dan qadarnya oleh Allah.
2. Paham Muktazilah atau Qadariah, yang mengatakan bahwa kita bisa bebas memilih apa
saja yang akan kita perbuat dan kita kehendaki, baik itu untuk keburukan maupun untuk
kebaikan. Pilihan itu adalah mutlak atas kekebasan kita sendiri dalam memilih dan
menentukan. Kebebasan kita itu tidak bisa diintervensi oleh Allah. Bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya.
3. Paham Asy‘ariyah, yang menjadi paham mayoritas umat islam, yang mengatakan bahwa
segala perbuatan baik dan buruk itu memang adalah karena kehendak Allah, semua
sudah ditaqdirkan oleh Allah. Akan tetapi manusia diwajibkan berikhtiar untuk
mengusahakan agar perbuatannya itu adalah perbuatan baik yang sesuai dengan
petunjuk Al Quran dan As Sunnah.
4. Paham Makrifatullah, adalah paham orang-orang yang sedikit, yang mengatakan bahwa
orang yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya niscaya pastilah ia menyadari
21
bahwa ia tiada mempunyai wujud bagi dirinya sendiri. Karena ia sudah tidak wujud,
maka tidak ada pula baginya urusan dengan punya kekuasaan atau tidak punya
kekuasaan dalam memilih atau tidak memilih sebuah perbuatan dan kehendak. Sebab ia
sudah menyadari bahwa dirinya adalah tidak wujud. Bahwa dirinya hanyalah semata-
mata penzahiran atas sangat sedikit sekali diantara sangat sedikit Dzat Allah dari
keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Agung. Dzat-Nya yang sedikit itu “terkurung” di dalam
sistem tertutup di dalam ruang penciptaan yang agung yang disebut sebagai Lauhul
Mahfuz. Sehingga mata hati merekapun menjadi sangat tajam untuk memahami bahwa:
“Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh
mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tapi Allah-lah yang
melempar…”, Al Anfal (8): 17. Lalu mulut merekapun terdiam untuk mengaku-ngaku.
Apa yang mau mereka akui, kalau mereka sadar bahwa mereka tidaklah wujud.
Empat macam pemahaman ini pulalah nantinya yang akan membedakan setiap manusia
dalam menerima rukun iman yang ke enam, yaitu “PERCAYA KEPADA TAQDIR ALLAH.
Berbeda dalam penerimaan kita terhadap taqdir Allah itu, maka akan berbeda pula sikap kita
dalam bertindak dan beraktifitas terhadap sesama ciptaan yang lainnya maupun terhadap
sikap kita kepada Allah dan juga sikap kita kepada Rasulullah Muhammad SAW. Sikap
Berketuhanan…!. Mari kita lihat perbedaan-perbedaan itu dengan lebih detail.
Kalau kita meyakini Paham Jabariyah sebagai patokan kita dalam memahami TAQDIR, boleh
dikatakan kita akan berada pada sebuah ektrim atau kutub dalam bersikap, yaitu kita akan
cenderung untuk menjadi orang yang FATALIS, atau dalam bahasa Indonesia disebut
PASRAH. Bahwa semua taqdir adalah kekuasaan Mutlak Allah Swt, di mana manusia
dianggap tidak punya daya upaya sama sekali. Kita tidak bisa apa-apa. Oleh sebab itu apapun
usaha kita untuk merubah taqdir kita, itu dianggap tidak akan membawa hasil apa-apa.
Sehingga akhirnya kita terpaksa MEMUTUSKAN untuk mengerjakan sesuatu dalam keadaan
terpaksa, sebatas apa yang kita ANGGAP telah ditaqdirkan untuk kita saja. Atau bisa pula
lebih parah dari itu, yaitu tidak melakukan apa-apa.
Ciri-ciri paham jabariyah ini adalah kita akan menjadi orang yang tidak terlalu aktif untuk
menjalankan peradaban kita sebagai manusia. Sebab kita dihalangi oleh keyakinan bahwa
seaktif apapun kita, hasilnya tetap akan begitu-begitu saja, sebab semuanya sudah
ditaqdirkan oleh Allah untuk kita.
Seringkali orang yang berpaham Jabariyah ini bergumam: “Kalau begitu ya sudah, saya akan
pasrah saja kepada taqdir, atau nasib yang telah ditetapkan Allah untuk saya. Kalau saya
miskin, ya sudah…, saya pasrah saja. Kalau saya sakit, ya… saya tinggal pasrah saja. Toh Allah
sudah menetapkan taqdir saya seperti ini…”.
Pada posisi kutub extrim yang sangat bertolak belakang dengan Paham Jabariyah diatas,
terdapat kutub paham QADARIAH atau MUKTAZILAH. Kalau kita berpegang pada paham
22
Qadariah ini dalam menjalani kehidupan, maka ciri khas yang akan kita lakukan adalah kita
akan bersikap sangat RASIONALIS. Kita merasa bahwa kita bisa melakukan apa saja selama
hal itu bisa kita pikirkan dan bisa pula diterima oleh akal kita. Sungguh kita merasa sangat
bebas untuk memilih (free will) dan bebas pula untuk berkatifitas apa saja (free act) didalam
hidup kita. Sampai-sampai kita tergoda untuk meniadakan peran Allah di dalam hidup kita.
Godaan untuk menafikan peran Allah itu begitu kuatnya, sebab
saat ini hukum-hukum fisika quantum seperti memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada kita untuk
memengaruhi kejadian dan peristiwa sesuai dengan niat
(pemusatan pikiran) kita terhadap sebuah kejadian atau
peristiwa yang kita ingin “ciptakan”. Dan ajaibnya itu bisa
terjadi dengan sangat mudahnya. Kalau kita ikut menonton
acara pertunjukan olah fisika quantum itu, kita akan sangat
kelelahan untuk menjawab sebuah pertanyaan nakal berikut ini: “Lalu peran Tuhan di
mana?”. Apalagi kalau pertanyaan itu diajukan dengan nada yang slengekan, meremehkan,
dan dibarengi pula dengan tambahan wkkwkkwkk di belakangnya. Tidak jarang kekaguman
kita kepada Allah akan terkikis habis dibuatnya. Tetapi…, hal ini tentu saja hanya akan terjadi
pada orang-orang yang tidak mengenal Allah (makrifatullah).
Sekilas memang akan terlihat segi positive dari paham Qadariah ini. Bahwa banyak sekali
penemuan-penemuan baru yang tercipta dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, antariksa,
dan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya yang kesemuanya itu akan membuat kita lebih
mudah dan lebih nyaman dalam menjalani kehidupan kita. Akan tetapi hasil yang kita
dapatkan itu tidak serta merta bisa membuat kita bisa menikmati kehidupan ini dengan
bahagia. Hidup yang bebas dari segala macam rasa takut dan rasa khawatir. Di tengah-
tengah kemudahan dan kenyamanan yang ada di mana-mana, kita malah sedang dibebani
oleh rasa takut dan khawatir yang entah kenapa muncul begitu saja di dalam lubuk hati kita.
Sehingga hampir semua umat manusia saat ini sedang berusaha tanpa henti untuk
menemukan jalan keluar dari ketakutan dan kekhawatiran itu. Menemukan jalan menuju
kebahagiaan. Namun nampaknya jalan itu masih sangat panjang dan berliku.
Sebagai jalan tengah diantara kedua sisi ekstrim Jabariyah dan Qadariyah itu, muncullah
paham Asy‘ariyah yang merupakan paham yang dianut oleh sebagian besar umat Islam.
Kalau kita memakai paham Asy’ariyah ini dalam mengimani Taqdir, maka secara tidak sadar
kita akan dibawa untuk bisa menerima paham Jabariyah dan Qadariyah secara seimbang.
Paham Jalan Tengah. Dari sisi Jabariyah kita akan bisa menerima bahwa semua peristiwa dan
kejadian di alam dunia ini sudah ditaqdirkan oleh Allah untuk terjadi dan terzahir. Sedangkan
dari sisi Qadariyah kita akan bisa pula menerima istilah IKHTIAR yang mewakili keharusan
kita untuk berusaha dan berkarya dalam menentukan nasib kita sendiri. Tapi ikhtiar yang
dianggap afdal adalah ikhtiar yang bersesuaian dengan petunjuk Al Qur’an dan Al Hadist.
23
Setelah kita BERIKHTIAR yang sebenarnya mewakili sikap Paham Qadariyah, maka kita
diminta pula untuk menerima pasangan sikap sebaliknya yang mewakili Paham Jabariyah,
yaitu BERTAWAKKAL. Istilah IKHTIAR dan TAWAKKAL inilah yang sering dipakai oleh orang
yang berpaham Asy’ariyah untuk menghantam orang yang berpaham Qadariyah atau
Jabariyah.
Ketiga paham dalam memaknai taqdir seperti diatas telah berkembang ke segala penjuru
dunia islam sesuai dengan berjalannya waktu. Ada orang yang tetap memegang teguh
pahamnya sampai dia meninggal, dan ada pula orang yang berpindah dari satu kutub
pemahaman ke kutub pemahaman yang lainnya . Misalnya ada orang yang pada awalnya dia
berpaham Jabariyah, kemudian di tengah jalan dia beralih menjadi berpaham Qadariyah
ataupun sebaliknya. Yang banyak terjadi adalah orang yang tadinya berada pada kutub
pemahaman Qadariyah atau Jabariyah, kemudian dia beralih menjadi orang yang berpaham
Jalan Tengah atau paham Asy’ariyah. Orang yang beralih ke jalan tengah ini biasanya disebut
sebagai orang yang sudah TOBAT dari kesalahannya. Sebab orang yang berada di kutub
pemahaman Qadariyah ataupun kutub pemahaman Jabariyah ini masih dianggap oleh
mayoritas umat Islam sebagai orang yang berpemahaman sesat. Begitu pula orang yang
berpaham Qadariyah akan menyesatkan orang yang berpaham Jabariyah dan Asy’ariyah.
Dan orang yang berpaham Jabariyah akan bersemangat pula menyesatkan paham Qadariyah
dan paham Asy’ariyah.
Alhasil, alih-alih kita bisa bersikap kepada Allah untuk mengimani taqdir Allah yang
merupakan rukun iman yang ke-enam, akhirnya hampir semua dari kita malah terperosok
menjadi orang-orang yang saling menyalahkan dan saling bertengkar satu sama lainnya
tentang taqdir itu sendiri. Ramai sekali, dan hasilnyapun sangat minim untuk kemaslahatan
umat. Kenapa bisa Begitu? Ada rahasia apa disebalik semua tragik hidup yang seperti itu?
Dan bagaimana pulakah gerangan orang yang memegang Paham Makrifatulullah dalam
menyikapi taqdir?
Pertanyaan-pertanyaan tentang TAQDIR seperti ini rasanya sudah berumur ratusan tahun
(terutama setelah abad ke 4 wafatnya Rasulullah SAW). Dan sejak itu tampaknya kita nyaris
kehilangan jawaban yang bisa melegakan hati kita sebagai bekal kita dalam menghadapi
berbagai hempasan gelombang kehidupan yang mendera. Betapa tidak, lembaran catatan
sejarah umat manusia seperti tak henti-hentinya bercerita tentang jejak peradaban yang
penuh dengan kepedihan, kegalauan, penderitaan, tetesan darah dan airmata, dengan
diselingi di sana sini oleh canda ria, tawa ceria, dan kesumringahan, walau itu hanya
sebentar saja. Jutaan nyawa manusia telah berguguran baik melalui jalan peperang yang
hampir-hampir saja tak pernah berhenti sampai sekarang ini maupun melalui kecelakaan dan
bencana alam yang datang silih berganti.
24
Tatkala zaman bertukar, maka berganti pula derajat kesadisan di antara sesama umat
manusia. Perang sudah tidak membedakan lagi antara prajurit dengan anak-anak, wanita
dan orang tua. Semuanya bisa mati secara bersamaan tanpa mereka sempat untuk saling
bertanya-jawab satu sama lainnya tentang siapa mereka.
Belum lagi bencana alam yang datang bertubi-tubi menyambangi berbagai negara dan
bangsa yang juga merenggut jutaan nyawa manusia dan hewan ternak, menghancurkan
rumah dan sawah ladang, yang kesemuanya itu akan menguak jerit tangis yang menguras
airmata dan simpati.
Di tengah-tengah tragik hidup yang seperti itu, kita masih diharuskan untuk beriman kepada
TAQDIR ALLAH yang mengisyaratkan bahwa kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang
baik maupun yang buruk itu, semuanya berasal dari aktifitas dan pengaturan Allah. Dalil-dalil
Al Qur’an dan Al Hadistnyapun lengkap sekali kita punyai untuk kita jadikan sebagai patokan
kita dalam bersikap.
Namun itulah masalahnya, dengan semua kelengkapan bahan dasar untuk bersikap itu, kita
malah gagal untuk merangkainya menjadi sebuah bentuk sikap yang utuh. Kita gagal dalam
bersikap menghadapi Taqdir Allah seperti sikap yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW,
Sahabat-sahabat Beliau, Tabi’in, Tabiut Tabi’in. dan juga Nabi-Nabi dan orang-orang shaleh
pada Zaman Dahulu. Tanda-tandanya mudah saja kok untuk dilihat. Kita masih saja selalu
bertanya dan bertanya dengan sangat lantang ataupun dengan setengah malu-malu:
“Kenapa ini harus terjadi Ya Allah?; Kenapa begini Ya Allah?; Kenapa harus saya, keluarga
saya, anak saya yang harus menanggungnya Ya Allah? Khan yang seharusnya menanggung
nestapa ini adalah dia, si itu, si ini, keluarga si anu?”
Atau kita bisa pula berlagak menjadi seorang hakim yang sangat bijaksana tatkala sebuah
bencana alam menimpa suatu daerah. Dengan suara yang amat lantang kita bisa dengan
mudah menghakimi penduduk di daerah tersebut: “Bencana itu terjadi karena penduduk di
daerah itu sudah penuh dengan perbuatan maksiat, sehingga Allah menghukum mereka. Ini
adalah hukuman Allah atas dosa-dosa mereka. Coba kalau penduduk di daerah itu menjadi
orang yang beriman dan meninggalkan maksiat, insyaalah Allah akan menjauhkan bencana
dari daerah tersebut”. Huh…, betapa beraninya kita menghakimi mereka seakan-akan kita
tahu rahasia disebalik bencana itu.
Dan yang paling menggoda adalah keinginan kita untuk merasa memiliki suatu atribut atau
kebanggaan akan sesuatu yang sedang berada di tangan kita. Tak peduli apakah sesuatu itu
bersifat materil maupun sesuatu yang immateril seperti ilmu, rasa bahagia, khusyu, tenang,
ikhlas, dan lain-lain sebagainya. Misalnya, kita akan sangat mudah sekali tergoda untuk
dikatakan hebat, dibilang bisa ini dan bisa itu, dianggap memiliki ini dan itu, oleh orang lain.
Kalaupun orang lain tidak mengakuinya, kita sendiri bisa mengklaimnya secara sepihak
bahwa sesuatu itu adalah milik kita, atribut kita.
25
Di sinilah sebenarnya letak POKOK permasalahan seluruh umat manusia bermula. Yaitu
adanya AKU, sehingga harus ada pula Milikku. Akulah yang MEMUTUSKAN, akulah yang
bersikap, akulah yang menghukum, akulah yang berikhtiar, akulah yang memulai dan aku
pulalah yang akan mengakhirinya.
Ketika kita mengalami sebuah peristiwa atau kejadian, kalau kita berpaham Jabariyah, maka
kita akan keluar dengan sikap pasrah seperti berikut ini: “Karena aku merasa sudah tidak bisa
lagi melawan taqdir Allah, maka aku PUTUSKAN aku akan menjadi orang yang pasrah saja.
Orang yang menerima saja apapun kehendak Allah. Sebab apapun yang akan aku lakukan
toh nasib dan taqdirku sudah ditetapkan oleh Allah seperti apa yang aku alami sekarang ini”.
Lalu kitapun akan cenderung menjadi seperti orang yang berputus asa, dan tidak bergairah
lagi dalam menjalani kehidupan ini.
Sedangkan kalau kita berpaham Qadariyah atau Muktazilah yang sebenarnya keduanya
adalah sebelas dua belas saja alias sama, level intensitas keakuan dan kepemilikan kita
secara otomatis akan menjadi lebih kental dan kuat dibandingkan dengan paham Jabariyah.
Sebab ternyata dengan hanya mengubah-ubah dan mengatur-atur pola pikir kita, ternyata
kita seperti bisa pula mengubah-ubah dan mengatur-atur nasib kita ataupun kejadiaan-
kejadian dan peristiwa-peristiwa yang akan kita dapatkan dan alami di kemudian hari. Kita
seperti bisa untuk memilih kehidupan kita sendiri tanpa campur tangan Allah sedikitpun.
Menarik sekali…, dan menggoda sekali. Nanti akan terbuka sendiri, kenapa hal seperti ini
bisa terjadi…, insyaalah. Tell yea…, ini sebenarnya bukanlah masalah getaran atau vibrasi…
Masalah keakuan dan kepemilikan ini, tak terkecuali, ternyata juga menghinggapi kita ketika
kita berpaham Asy’ariyah dalam menyikapi taqdir ini. Karena kita berada ditengah-tengah
antara paham Jabariyah dan Qadariyah, maka kita lalu merasa lebih aman. Kita merasa tidak
bersikap terlalu ekstrim FATALIS dan tidak pula terlalu ekstrim RASIONALIS. Aman…, kata
kita. Sehingga kadangkala kita bisa bersikap Jabariyah yang ringan dan bisa pula bersikap
Qadariyah yang minimalis. Kita bisa merasa telah BERIKHTIAR dan bisa pula sekaligus
bersikap TAWAKKAL.
Ketiga paham ini sebenarnya Qur’ani dan Hadisti sekali. Sesuai dengan Al Qur’an dan Al
Hadist untuk masing-masing paham itu. Akan tetapi kalau dilihat lebih dalam lagi, ternyata
ketiga paham yang umumnya dipakai oleh umat manusia dalam menghadapi taqdir ini punya
masalah mendasar yang sama, yaitu masalah kewujudan umat manusia di alam dunia ini.
Ya…, ketiganya masih wujud, karena dalam ketiga paham itu masih ada kita yang merasa
bisa menetapkan dan memutuskan apa-apa yang akan kita lakukan, sehingga tanpa kita
sadari saat itu juga runtuhlah Tauhid kita. Sebab disamping ada Wujud Allah sebagai Dzat
Wajibul Wujud, ada pula wujud kita sebagai manusia yang berhak untuk memutuskan dan
menetapkan. Karena kita merasa ada wujud kita, kita merasa wujud, maka kitapun merasa
berhak pula untuk protes, bertanya-tanya, dan menetapkan sikap kita di hadapan Allah.
26
Persis seperti sikap yang ditunjukkan oleh iblis di hadapan Allah ketika Nabi Adam pertama
kali diciptakan oleh Allah.
“Aku ada, aku lebih baik dari Adam, Allah salah kalau menyuruhku sujud kepada Adam”, kata
iblis kepada Allah. Lalu ketika Allah mengusirnya dari syurga, maka diapun menerimanya
dengan terpaksa dan malah sempat berikrar bahwa dia akan tetap menggoda seluruh umat
manusia agar nantinya umat manusia itu melawan kepada Allah seperti dirinya, kecuali bagi
orang-orang Allah (mukhlashin).
Malaikat, dalam hal penciptaan Nabi Adam ini, pada awalnya sempat pula menyatakan
kewujudannya di hadapan Allah. Ia mengatakan bahwa Allah mungkin keliru dalam
menciptakan Adam ini, yang ciri-cirinya mirip sekali dengan makhluk penumpah darah
sebelumnya, dan ia juga merasa bahwa sudah cukup hanya ia sajalah yang sujud dan
bertasbih kepada Allah. Oleh sebab itu ia menganggap bahwa
Allah tidak seharusnya menciptakan makhluk yang lain lagi
selainnya.
Lihatlah, betapa pada awalnya Iblis dan Malaikat mempunyai
sikap yang sama kepada Allah terhadap peristiwa penciptaan
Adam ini. Mereka hanya melihat Adam dalam tatanan sifat yang
begini dan begitu, sehingga merekapun berani atau tergoda
untuk membantah Allah dengan berpatokan kepada sifat-sifat
Adam itu. Karena mereka segera saja membandingkan sifat-sifat
mereka dengan sifat-sifat Adam yang mereka lihat secara kasat mata.
Akan tetapi, ketika Allah telah menampakkan kepada mereka “tanda-tanda-Nya” di dalam
diri Adam, hanya Malaikat sajalah yang akhirnya tersadar, sehingga iapun segera sujud tanpa
reserve kepada Adam. Malaikatpun menyadari bahwa dengan melihat “tanda-tanda Allah” di
dalam diri Adam seperti itu, maka jelaslah baginya bahwa Adam pun sebenarnya tidaklah
wujud. Yang wujud adalah tanda-tanda Allah itu. Lalu Ia pun sujud kepada tanda-tanda Allah
yang ada di depannya itu. Dengan sujud itu, maka malaikatpun dengan sendirinya rela pula
untuk melepaskan wujudnya, melepaskan keakuan dan kepemilikannya terhadap dirinya.
Sedangkan Iblis tetap gagal menangkap “tanda-tanda Allah” yang ada di dalam diri Adam itu,
sehingga ia pun bersikukuh untuk tetap tidak sujud kepada Adam sampai hari kiamat. Ia
tetap hanya mampu melihat wujud Adam dengan segala sifat-sifat tanahnya yang kelak akan
ia bandingkan terus dengan wujud dirinya yang berupa api dengan segala sifat-sifatnya pula.
Ia akan tetap melihat adanya kewujudan dirinya dan kewujudan Adam ditengah-tengah
Wujud Sang Wajibul Wujud Allah Swt. Sungguh saat itu juga tanggallah tauhid iblis sampai
hari kiamat kelak.
27
Bukankah ketika kita juga merasa wujud yang ditandai dengan kita selalu mengatakan bahwa
ini adalah aku dan ini adalah milikku, sebenarnya saat itu juga kita tengah kehilangan tauhid
kita di hadapan Allah? Karena saat itu ada dua wujud yang eksis, yaitu Wujud Dzat Wajibul
Wujud, dan wujud makhluk yang mengaku wujud pula.
Ketika kita merasa wujud, maka kita dengan gagah berani sering berkata: “Apapun yang
baik-baik yang saya lakukan adalah dari Allah, sedangkan yang buruk adalah dari saya dan
hawa nafsu saya sendiri”. Walaupun kelihatannya kalimat ini sungguh-sungguh santun, tapi
ia tetap bertentangan dengan rukun iman yang ke-6 yang menyatakan bahwa taqdir baik
dan buruk itu semuanya berasal dari Allah…
Begitulah…, banyak orang yang telah mencoba untuk mencari jawaban tentang makna taqdir
ini melalui berbagai pendekatan dan ilmu. Namun sebanyak itu pulalah muncul ragam
jawaban yang membingungkan umat. Padahal untuk menjawabnya kita hanya perlu melihat
“keanehan-keanehan” sikap yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menyikapi perilaku
ummat Beliau, baik yang sudah beriman kepada Allah maupun yang belum.
Nyaris Rasulullah SAW membenarkan semua yang dilakukan oleh para sahabat Beliau,
walaupun yang dilakukan oleh para sahabat Beliau itu berbeda secara signifikan satu sama
lainnya. Beliau hanya memperbaikinya sedikit di sana sini kalau memang itu perlu Beliau
perbaiki agar sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah. Beliau juga membela seorang
Baduy yang buang air kecil di dalam masjid dari amarah para sahabat, sehingga akhirnya si
Baduy itu malah berbalik jadi menyatakan
keimanannya kepada Allah dan Rasulullah.
Pada suatu ketika Rasulullah dilempari batu
oleh para kafirun di Thaif, sampai-sampai
malaikat sendiripun geram melihat mereka,
sehingga malaikat itu ingin menenggelamkan
para kafirun itu dengan tanah pegunungan
saat itu juga. Tapi Rasulullah melarangnya dan
malah berdo’a agar Allah mengeluarkan dari
keturunan mereka, orang-orang yang kelak akan menyembah Allah.
Tanda-tanda Allah seperti apakah gerangan yang dilihat oleh Malaikat sehingga ia langsung
sujud menyungkur kepada Adam? Sebab kitapun sebenarnya harus (kalau tidak mau
dikatakan wajib) mengenal tanda-tanda Allah itu, karena tanda-tanda Allah itu pulakah yang
dilihat oleh Rasulullah terhadap umat Beliau (baik yang sudah beriman maupun yang belum
beriman) sehingga Beliau tidak pernah sekalipun bersikap kasar kepada umat Beliau itu.
Tanda-tanda itu pulalah, pada suatu ketika, yang telah membedakan Musa As dan Khidir As
dalam bersikap, sehingga akhirnya Beliau berduapun harus berpisah satu sama lainnya.
28
Sebab ternyata pada saat itu Musa As gagal melihat tanda-tanda Allah itu, sementara Khidir
As bisa melihatnya dengan jelas dan terang benderang.
Dan tanda-tanda itu hanya bisa dilihat dengan memakai “Kacamata Makrifatullah…”
29
Artikel 4 :
Kacamata Makrifatullah1
A. Pembahasan
Alhamdulillah, sampai tahapan ini, kita sudah membahas begitu banyak hal yang telah
membebani perjalanan umat islam yang bermula sejak abad ke 4 setelah Rasulullah
SAW wafat yang ternyata berlanjut sampai sekarang ini. Beban itu bermula sejak
dikenalkannya istilah SYARIAT – TAREKAT – HAKEKAT – MAKRIFAT oleh orang-orang
yang mencoba menggali kehidupan BERTASAWUF, yang sebenarnya sudah ada sejak
zaman Rasulullah, melalui cara-cara baru yang disebut sebagai JALAN TAREKAT.
Sejak zaman itu, maka umat islam dalam beribadah terpecah menjadi dua kutub extrim,
yaitu KUTUB SYARIAT yang menyatakan dirinya berpegang teguh kepada Al Qur’an dan
Al Hadits, dan KUTUB TAREKAT yang juga menyatakan dirinya berpegang teguh pada Al
Qur’an dan Al Hadits pula. Tapi anehnya masing-masing kutub itu, Syariat dan Tarekat,
malah saling menyalahkan yang lainnya dan saling membenarkan hanya dirinya sendiri.
Semuanya sibuk sekali untuk membangun keakuannya masing-masing. Membangun
kepemilikannya masing-masing.
Dari Kutub Syariat, kemudian lahirlah berbagai golongan yang bisa kita lihat
eksistensinya sampai sekarang. Misalnya Sunni, Syiah, Qadariyah/Muktazilah, Jabariyah,
Asy’ariyah, sampai kepada yang terbaru seperti Salafi, Wahabi, dan sebagainya.
Semuanya ke luar dengan doktrin yang sangat ketat dalam mempertahankan dogma
pemikirannya masing-masing.
Dari kutub Tarekatpun muncul berbagai tarekat yang nantinya bisa dibedakan menurut
nama pembawanya disaat awal pembentukannya. Misalnya Naqsyabandiyah,
Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, Sammaniyah, Tijaniyah, Sanusiyah, dan
sebagainya. Mungkin lebih dari 40-an aliran tarekat yang terdapat di seluruh dunia saat
ini. Dari sebagian besar para pemraktek Tarekat ini kemudian munculnya paham
Wahdatul Wujud, Ittihad, Hulul, Baqa-Billah, Nur Muhammad, Insan Kami, Syatahat,
Rabitah Mursyid, dan sebagainya. Juga di dalam berbagai tarekat ini kemudian dikenal
berbagai DZIKIR seperti Dzikir Lisan, Dzikir Qalb, dan Dzikir Sirr, yang tujuannya adalah
untuk tujuannya adalah untuk membersihkan JIWA agar Jiwa pengamalnya tersebut bisa
menangkap ILHAM untuk mencapai peringkat Makrifatullah. Sebuah peringkat yang
sangat WAH, yang sangat sulit untuk dicapai oleh orang-orang biasa.
1 http://yusdeka.wordpress.com/2014/05/01/kacamata-makrifatullah-bagian-5/
30
Untuk sesaat, marilah kita tinggalkan keramaian pembahasan alam Syariat dan Tarekat
itu untuk kemudian kita masuk ke alam Hakekat menuju Alam Makrifat dengan
memakai Kacamata Makrifatullah. Kita ke luar dari pembahasan itu untuk mengamati
bahwa :
. . . Syariat dan Tarekat itu ternyata hanyalah ALAM SIFAT
yang memang akan selalu ramai dan riuh rendah begitu
kalau kita tetap bertahan di dalamnya.
Kita tidak akan pernah habis-habisnya membahas Alam Sifat ini sampai kapanpun juga,
selama kita masih punya mata, telinga, dan panca indera kita yang lainnya. Karena
memang Alam Sifat ini adalah alam DZAHIR (lahiriah) yang bisa kita deteksi dengan
mudah dengan menggunakan panca indera kita. Kalau nanti tidak cocok, silahkan
kembali ke pembahasan alam Syariat dan Hakekat yang sangat ramai itu untuk
menjalani hari-hari kita selanjutnya.
Kita ikuti saja contoh dari Rasulullah dalam berda’wah :
Shahih Muslim Buku 1, 28 (1998)
“Engkau akan datang kepada suatu kaum Ahli Kitab. Karena itu, hendaklah yang
pertama-tama engkau serukan kepada mereka ialah beriman kepada Allah Azza wa
Jallah. Apabila mereka telah mengenal Allah, Makrifat kepada Allah, maka beritahulah
mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.”
Sebab makrifat kepada Allah Ta’ala itulah yang merupakan
asas atau dasar fondasi yang di atasnya akan didirikan
segala macam kehidupan kerohanian.
Salah dasarnya, maka salah pula bangunan kerohanian yang kita dirikan diatasnya.
Sebab kalau sudah masuk ke dalam Alam Makrifat kepada Allah SWT itu, Alam
Makrifatullah, maka kita akan menjadi orang-orang yang aneh dan ganjil, terutama :
• Di mata orang-orang syariat, dan juga
• Di mata orang-orang tarekat secara umum, apalagi
• Di mata orang-orang awam.
Seganjil dan seaneh Rasulullah SAW, para Sahabat Beliau, Uwais Al Qarni, Khidir AS, dan
“orang-orang Allah” lainnya yang kadangkala sering masih disembunyikan oleh Allah
sampai saatnya nanti dimunculkan oleh Allah ketika mereka sudah punya tugas tertentu
dari Allah yang harus dilaksanakannya untuk kemaslahatan umat manusia.
1. Rasulullah SAW telah membuat orang-orang Yahudi merasa aneh dan ganjil.
31
Mereka tidak mudah untuk mempercayai penglihatan mata mereka. Bagaimana
bisa seorang pengembala kambing di gurun pasir dan tidak tahu pula tulis dan baca
menyatakan dirinya telah diangkat oleh Allah sebagai Rasul-Nya. Khan seharusnya
Allah mengangkat Rasul-Nya itu dari kalangan Yahudi sendiri yang menganggap
dirinya adalah orang-orang yang terpilih, the choosen one.
2. Pada sisi lainnya, keanehan yang Beliau lakukan adalah :
a. Walaupun Beliau sudah dijamin untuk masuk syurga, namun Beliau masih tetap
saja melakukan shalat dengan kualitas dan kuantitas yang jauh melebihi
siapapun juga.
b. Begitu juga keanehan Beliau terhadap seluruh umat Beliau, baik yang sudah
beriman kepada Allah maupun yang belum, sangat menggambarkan fungsi
Beliau sebagai Rahmat bagi semua manusia. Beliau tidak pernah menghina,
menghardik, memaki, dan berkata kasar kepada semuanya. Sebab beliau telah
melihat tanda-tanda Allah di sebalik semua ciptaan Allah yang tergelar ini.
Bahwa semuanya ternyata berasal dari sedikit Dzat-Allah yang terdzahir
menjadi semua ciptaan. Semuanya ternyata bersahabat. Sahabat yang terjalin
karena semuanya bersumber dari Dzat Yang satu, Dzat Allah yang sedikit, yang
dikurung oleh Allah sendiri di Lauhul Mahfuz.
Begitu juga Para Sahabat Beliau yang menjadi Khalifah, Uwais Al Qarni, Nabi Khidir As,
dan orang-orang Allah yang lainnya, semuanya bersikap aneh dan ganjil jika dipandang
dengan kacamata masyarakat umum. Sebab :
. . . Beliau-beliau itu memang memakai kacamata lain,
kacamata Makrifatullah.
Kacamata yang mampu melihat tanda-tanda Allah di sebalik
semua ciptaan.
Yaitu adanya Dzat Wajibul Wujud yang menjadi unsur dasar dari semua ciptaan. Tanpa
adanya Dzat Wajibul Wujud ini, maka tidak akan pernah pula tercipta semua ciptaan.
Lensa dari Kacamata Makrifatullah itu adalah Lensa Hakikat,
sebuah lensa yang bisa menangkap adanya Wujud Yang Batin
di sebalik Alam Yang Dzahir itu.
Bahwa di sebalik Alam Sifat ini ternyata ada Dzat Yang Batin yang terdzahir menjadi
seluruh Ciptaan (Dzat Yang Dzahir) itu. Dan :
. . . lensa hakikat ini hanya bisa dipakai dengan
menggunakan Mata Hati atau Mata Akal. Bukan Mata Lahiriah.
32
Setelah Mata Hati kita berhasil melihat Wujud Dzat Yang Batin yang menjadi unsur awal
dari terciptanya semua ciptaan ini, maka kita tinggal selangkah lagi untuk bermakrifat
kepada Allah. Bahwa Dzat Yang Batin yang terdzahir itu hanyalah sedikit saja dari
keseluruhan Dzat Yang Maha Indah, yang menamakan diri-Nya sendiri sebagai Allah.
Dan kita akan berhenti di sini. Tidak ada lagi sesudah Dzat Yang Maha Indah itu. Sesudah
itu adalah kesesatan dan kejahilan. Dan setelah itu kita tinggal mengingat Allah di dalam
Hati kita sepanjang masa. Kita mengingat Allah saat shalat, di luar shalat, saat berdiri,
saat duduk, saat berbaring, saat bekerja, saat berdagang, saat apapun juga.
Jadi seseorang yang dikatakan sudah memakai kacamata Makrifatullah adalah ia yang
telah mampu memandang dirinya dan semua ciptaan ini dengan UTUH. Bahwa :
1. Ketika Mata Lahiriahnya melihat Sifat semua ciptaan, maka Mata Hatinya telah
mampu pula melihat Wujud Dzat yang merupakan hakekat dari semua alam ciptaan
itu, dan kemudian
2. Hatinya telah mampu pula untuk mengingat Allah setiap saat sebagai alamat
terakhirnya dalam bermakrifat.
Dari Sifat ia beranjak ke Hakekat untuk kemudian ia Bermakrifatullah. SIFAT –
HAKEKAT – MAKRIFATULLAH. Ia meninggalkan alam Sifat untuk masuk ke Alam Hakekat
lalu menuju ke Alam Makrifatullah. Dan alat yang dipakainya untuk itu adalah MATA
LAHIRIAHNYA untuk memadang Sifat, MATA HATINYA untuk memandang Hakekat, dan
HATINYA untuk Bermakrifatullah dengan mengingat Allah setiap saat.
Hati yang sudah mampu mengingat Allah setiap saat disebut Hati yang sudah berdzikir
kepada Allah, dzikrullah. Sehingga untuk hati yang seperti itu berlakulah hukum ingat
mengingat antara Allah dengan hamba-Nya.
Al Baqarah (2) : 152
“FADZKURUNI ADZKURKUM”, “Ingatlah Aku dan Aku pasti akan ingat pula kepada
kamu.”
Lalu dengan melalui Jalan Ingat Allah, Dzikrullah, itulah kemudian Allah akan berkenan
memberikan pengajaran-pengajaran dan petunjuk-petunjuk-Nya kepada kita. Berkali-
kali Allah juga menyatakan dengan gamblang bahwa :
Ar Ra’du (13) : 28
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.”
Jelas sekali, tanpa ditutup-tutupi.
33
Namun dalam hal Mengingat Allah, Dzikrullah, ini pulalah masalah terbesar umat
manusia bermula dan berakar. Sebab :
1. Kita hampir bisa mengingat segala sesuatu tanpa batas. Kita nyaris bisa mengingat
semua ciptaan, lengkap dengan berbagai atribut dan karakternya masing-masing.
2. Akan tetapi kita hampir saja gagal total dalam mengingat Allah. Kita sangat kesulitan
dalam mengingat Allah. Sebentar saja kita sudah lelah, bosan, dan tertidur. Dalam
keadaan seperti itulah kita harus menjalankan shalat dan ibadah-ibadah yang
lainnya. Saat kita tidak sedang ingat kepada Allah, malah kita disuruh untuk
menyembah-Nya, memuja-Nya, dan mencintai-Nya lebih dari mencintai apapun
juga. Tentu saja itu sulit sekali kalau tidak mau dikatakan tidak bisa. Masak cinta
hanya bertepuk sebelah tangan.
Sementara itu, di tengah-tengah badai kehidupan yang sering datang menerpa kita,
sungguh kita merindukan sebuah kehidupan yang penuh ketenteraman, yang pernah
kita reguk saat pertama kali kita hidup begitu dekat dan mesra dengan Allah di alam
Azali. Ingatan kita tentang suasana alam azali itu sebenarnya tetap akan ada sampai
kapanpun juga, walaupun hidup kita saat ini sedang berlumuran dosa sekalipun. Sebab
kita pernah mengalaminya, kita pernah duduk begitu dekat dengan Allah. Kita kemudian
berusaha mengingat-ingat kembali suasana alam azali itu dengan
memasuki pintu ingatan kepada Allah.
Akan tetapi pintu ingatan kita kepada Allah itu ternyata telah tertutup
rapat dan semakin rapat seiring dengan bertambahnya usia kita.
Karena sejak kecil sampai sekarang, dengan sistem pendidikan dan
pengajaran sekuler maupun pesantren seperti yang berkembang
sekarang ini, kita ternyata telah membangun berbagai pintu ingatan
yang malah menjauhkan kita dari pintu ingatan kepada Allah. Sehingga setiap saat pintu
yang rajin kita masuki adalah pintu ingatan kita kepada segala sesuatu yang selain dari
Allah itu. Misalnya :
1. Pintu ingatan kita kepada hal-hal yang berbau maksiat dan kotor jauh lebih mudah
kita masuki dibandingkan dengan pintu ingatan kita kepada kebaikan.
2. Pintu ingatan kita tentang hal-hal yang remeh temeh, hura-hura, dan canda ria, jauh
lebih gampang kita masuki dari pada pintu ingatan kita kepada hal-hal yang
membangun dan yang membutuhkan perhatian lebih serius. Apalagi pintu ingatan
kepada Allah, ampun sulitnya.
Dilematis sekali keadaan yang kita alami :
1. Di satu sisi, ada kerinduan kita yang sangat kental untuk bisa kembali menikmati
suasana kehidupan mesra bersama Allah.
2. Di sisi yang lainnya, jangankan bisa hidup mesra dengan Allah, bahkan untuk
sekedar mengingat Allah saja kita nyaris sudah tidak sanggup lagi.
34
Padahal tidak akan pernah ada ketenteram yang bisa kita dapatkan tanpa kita hidup
mesra bersama dengan Allah. Sehingga kemudian muncullah ceruk pasar yang
menjajakan pencapaian kebahagiaan dan ketenteraman itu melalui jalan atau cara-cara
baru, mulai dari yang berbau agama sampai kepada yang murni sekuler, atau yang
sekuler dengan dibungkus istilah-istilah agama islam disana-sini agar bisa diterima oleh
umat islam yang awam.
Padahal kalaulah kita umat islam ini benar-benar paham dengan pokok permasalahan
menahun yang sedang kita hadapi, lalu kita mengetahui solusinya, maka sungguh islam
ini akan mampu mengguncangkan dunia seperti di zaman-zaman awal dulu. Sebab :
. . . masalah-masalah umat islam ini
hanya akan bisa diselesaikan jika umat islam:
1. Bisa bermakrifat kepada Allah dengan benar.
2. Lalu kita bisa mengingat Allah dengan benar.
3. Dan kita bisa pula menggunakan Akal atau Hati kita dengan
benar.
Sehingga Fadzkurini Adzkurkum itu benar-benar terjadi antara kita dengan Allah, yang
menyebabkan pengajaran dan petunjuk Allahpun akan mengalir pula kepada kita
dengan deras tanpa henti, Dan hal inilah yang akan kita bahas selanjutnya.
Tentang makrifatullah, sedikit banyaknya sudah diuraikan dalam serial artikel
sebelumnya. Silahkan, bagi yang masih berkenan, membukanya kembali. Tetapi di sana-
sini nanti akan kita masuki kembali jika itu memang diperlukan. Sebab makrifatullah ini
adalah sesuatu yang sangat penting dan prinsip sekali, yang akan menjadi landasan
berpijak kita dalam menjalani kehidupan rohani atau berspiritual (bertasawuf).
Sebab salah dalam bermakrifat, bisa-bisa kita akan :
1. Menuhankan manusia seperti umat kristiani menuhankan Yesus, atau menuhankan
diri sendiri, atau
2. Menuhankan guru kita, atau
3. Menuhankan Nur Muhammad, atau malah
4. Sekalian tidak menuhankan siapa-siapa alias atheis.
Salah dalam bermakrifat pulalah yang akan menyebabkan kita sangat sulit untuk
menerima Taqdir Allah tanpa reserve. Padahal percaya kepada taqdir Allah ini adalah
rukun iman yang keenam di dalam agama Islam. Gagal dalam menerima taqdir ini, maka
sebenarnya gagal pulalah keimanan kita kepada Allah. Sungguh ngeri-ngeri sedap kalau
35
mengingat akibatnya. Kelihatannya ringan, tapi alangkah sulitnya untuk dilaksanakan,
terutama kalau kita belum mengenal Allah.
Nah, marilah kita membuka dan mengurai sekat-sekat yang telah mengganggu kita
tentang masalah Hati dan juga masalah mengingat Allah ini dengan perlahan dan
sesederhana mungkin.
• MAKRIFATULLAH akan membawa kita untuk MENGENAL ALLAH.
• Sedangkan DZIKRULLAH akan mengantarkan kita untuk bisa MENGINGAT ALLAH yang
sudah kita kenal itu di setiap waktu.
Jadi menurut kacamata makrifatullah, urutan aktifitas yang harus kita lakukan adalah :
• Kita berusaha untuk mencapai MAKRIFATULLAH terlebih dahulu,
• Lalu kemudian barulah kita berlatih melakukan DZIKRULLAH (mengingat Allah).
Dzikrullah atau mengingat Allah setelah kita mengenal Allah itu, bisa kita lakukan kapan
saja dan di mana saja. Nyaris tanpa batas. Tidak ada hitung-hitungannya, dan tidak ada
pula cara-cara yang rumit dan bertele-tele. Yang terpenting adalah kita memakai alat
mengingat yang tepat, lalu kita ISTQAMAH melakukannya. Hasil selanjutnya biarkanlah
Allah sendiri yang akan memberikannya kepada kita. Kita tidak usah ngotot dan tergesa-
gesa untuk mendapatkan ini dan itu. Istiqamah saja, selanjutnya adalah urusan Allah.
Sesuai dengan istilahnya, Dzikrullah – Mengingat Allah, maka :
. . . dalam mengingat Allah itu kita tidak perlu bersuara,
apalagi berteriak-teriak (bengak-bengok, Bahasa Jawa).
Bahkan berbisikpun sebenarnya kita tidak perlu.
Ya, kita cukup hanya mengingat Allah, yang sudah kita kenal terlebih dahulu, dengan
jalan kita masuk ke PINTU INGATAN kepada Allah. Setelah pintu ingatan kepada Allah itu
kita masuki, maka kita tinggal duduk di dalam ruangan yang di sana aktifitas kita hanya
semata-mata ingat kepada Allah. Ruang itu bisa disebut sebagai RUANG SPIRITUAL. Dan
setelah itu barulah kita BERIBADAH di dalam Ruang Spiritual itu sembari kita selalu
mengingat Allah selama kita beribadah maupun nanti di luar ibadah.
Kalau makrifat kita sudah benar-benar tertuju kepada Allah (makrifatullah), maka kalau
kemudian kita mencoba untuk mengingat Allah (dzikrullah), maka insyaallah akan
diturunkan oleh Allah NATIJAH (benturan, dampak, impak) yang akan membuat kita
mudah sekali merasa terharu, gampang sekali menangis bahagia, ada rasa sejuk di
dalam dada kita, serta ada rasa tenang dan tenteram yang menjalar keseluruh sel-sel
tubuh kita. Dan natijah itu sangatlah kuat sekali. Dalam istilah lainnya NATIJAH ini juga
bisa disebut juga sebagai RIQQAH. Natijah atau Riqqah inilah yang membuat kita serasa
hidup bersama Allah seperti dahulu kita pernah mengalaminya di alam Azali. Dan kalau
36
kita kemudian melaksanakan shalat dalam keadaan seperti itu, sungguh alangkah
lezatnya, Lazzatul Iman… Ya Allah, ingin rasanya shalat itu nggak ada akhirnya.
Akan tetapi kalau urutan aktifitasnya kita ubah dan kita balik menjadi DZIKRULLAH yang
kita lakukan terlebih dulu, dengan cara kita mengulang-ulang membaca kalimat
Thaayyibah sebanyak-banyaknya seperti: “Allah, Allah, atau Laa ilaha illallah, atau
kalimat-kalimat lainnya”, dengan harapan setelah sekian lama kita berdzikir dengan cara
seperti itu, kita kemudian bisa mencapai maqam MAKRIFATULLAH, maka hasilnya akan
sangat berbeda sekali dengan hasil yang kita dapatkan melalui aktifitas menurut kaca-
mata makrifatullah seperti di atas.
Urutan yang terbalik seperti ini biasanya akan kita lakukan kalau kita mengikuti
praktek dzikir di dalam sebuah tarekat atau majelis dzikir lainnya. Kita akan
mengulang-ulang menyebut nama Allah atau kalimat Tauhid sebanyak ribuan kali
bahkan bisa sampai ratusan ribu kali selama berhari-hari dan bermalam-malam.
Dalam hal ini, makna DZIKIR yang tadinya berarti MENGINGAT telah berubah menjadi
makna MENYEBUT-NYEBUT atau MEMANGGIL-MANGGIL nama Allah secara berulang-
ulang. Kegiatan seperti ini bisa juga disebut sebagai WIRIDAN, yang
bisa dimaknai sebagai mengucap, memanggil, atau menyebut-
nyebut.
Masalahnya adalah, selama kita melaksanakan WIRIDAN tersebut,
saat itu INGATAN kita sedang tertuju atau akan kita tujukan kepada
APA atau SIAPA? Karena dengan cara seperti ini kita memang tidak
atau belum diajarkan tentang makrifatullah, dengan harapan
makrifatullah itu nanti akan kita dapatkan sendiri melalui wirid yang kita lakukan, maka
ingatan kita bisa pergi kemana-mana. Untuk menghambat pikiran kita ke mana-mana,
maka mursyid atau pembimbing dzikir kita akan berusaha menahan ingatan kita itu tidak
ke mana-mana dengan berbagai cara.
Misalnya, kita diminta untuk membayangkan wajah guru, pembimbing, atau mursyid
kita itu sebelum kita melakukan wiridan. Sang pembimbing kemudian mengatakan
bahwa ia juga sedang membayangkan wajah gurunya. Dengan saling membayangkan
wajah guru seperti itu, maka diharapkan ada hubungan rohani antara kita dengan guru
kita, dengan guru dari guru kita, sampai kemudian muaranya adalah di Rasulullah. Kalau
sudah begitu, dikatakan rohani kita sudah terhubung kepada rohani Rasulullah melalui
rohani guru kita dan rohani nenek-nenek guru kita. Lalu barulah setelah itu kita
dibolehkan melakukan wiridan. Proses wirdan seperti ini disebut sebagai RABITHAH
MURSYID. Tanpa melakukan rabithah ini, wirid kita dianggap tidak sah dan rohani kita
tidak akan sampai tersambung kepada Rasulullah.
37
Selanjutnya, setelah diyakini rohani kita tersambung dengan Rohani Rasulullah, maka
kemudian ada dua cabang keyakinan yang menerusinya :
1. Melalui Rohani Rasulullah inilah kita berharap bisa mendapatkan pengajaran
hakekat dan kemudian bisa pula mendapatkan makrifatullah. Sebab Beliau dianggap
pernah melihat Allah saat Beliau melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj dulu. Maka
kitapun berharap untuk bisa pula melihat Allah.
2. Melalui rohani Rasulullah itu kita berharap bisa melihat Nur Muhammad yang
cahayanya sangat menyilaukan mata. Lalu dengan meyakini bahwa Nur Muhammad
itu adalah hakekat dari semua ciptaan, maka setelah kita melihat Nur Muhammad
itu, barulah kita berharap untuk bisa bermakrifatullah.
Cara lain agar ingatan kita tidak lari kemana-mana adalah dengan memfokuskan ingatan
kita kepada beberapa titik tertentu di sekitar dada, kening, ubun-ubun, dan kemudian
seluruh tubuh kita (kullu jasad). Titik-titik ini disebut sebagai LATHAIF, atau CAKRA
dalam istilah meditasi Hindu. Lathaif yang paling penting adalah lathaif QALB yang
letaknya ada di sekitar JANTUNG kita. Belum cukup hanya sekedar fokus kepada lathaif-
lathaif itu saja, itupun bisa kita tambahkan dengan memasukkan nama Allah ke dalam
lathaif itu berkali-kali. Istilahnya adalah, lathaif itu DIHUNJAMKAN dengan nama Allah.
Karena Lathaif itu ada di kiri dan kanan dada kita, maka ketika kita melakukan wirid Laa
ilaha illallah kita harus menyentuh lathaif-lathaif itu dengan ingatan kita. Salah satu
caranya adalah dengan menggoyangkan badan dan kepada ke kiri dan ke kanan.
Makanya kalau ada kegiatan wirida atau tahlilan, ketika orang membaca laa ilaha illallah,
biasanya kepalanya geleng-geleng ke kiri dan ke kanan, badannyapun ikut bergoyang-
goyang. Jadi angguk-angguk, yang-goyang sampai wiridan itu selesai. Dan karena
umumnya orang wiridan dan tahlilan seperti itu, maka orang-orang yang tidak ada
ilmunyapun ikut-ikutan geleng-geleng dan goyang-goyang badan ketika tahlilan.
Agar lebih afdol, maka tubuh kitapun dilemahkan. Makan dan minum dibuat seminim
mungkin. Cahaya matahari dikurangi. Kita diharuskan untuk duduk wiridan, tidur,
ibadah, dan makan-minum di dalam kelambu di tempat gelap yang jauh dari sinar
matahari. Sungguh melelahkan dan menyiksa
diri sekali. Semuanya itu kita lakukan adalah
untuk membersihan diri kita dari segala dosa
dan kekotoran, proses Tazkiyatunnafs.
Setelah hari kesekian, tubuh kita melemah,
nafsu kita melemah, oksigen di otak kita juga
berkurang, maka perasaan kita mulai hidup.
Tiba-tiba kita bisa menangis atau berteriak-
teriak histeris. Atau tubuh kita tiba-tiba
seperti dialiri oleh getaran yang hebat. Badan kita bergetar dan berguncang-guncang,
38
kaki kita bisa menendang ke kiri dan ke kanan. Kadangkala sampai harus ada yang
memeganginya. Keadaan seperti ini bisa pula terjadi berhari-hari lamanya.
Kemudian setelah itu kita akan mengalami fase diam dan hening, karena semua getaran
yang kasar sudah meninggalkan raga kita. Yang tersisa adalah getaran yang halusnya.
Dalam keheningan itu kita akan merasakan diri kita menjadi mengembang. Kita seperti
sedang berada di sebuah pepadang yang sangat luas dan sepi. Dan dalam fase inilah
banyak terjadi apa yang dinamakan orang perjalanan spiritual. Dan yang menariknya
adalah dalam fase diam dan hening ini. Banyak ceritanya.
Singkat cerita, setelah itu kita akan disuruh melakukan dzikir SIRR dan akhirnya duduk
diam sambil menunggu-nunggu datangnya ILHAM & KEPAHAMAN kepada kita. Syukur-
syukur ilham atau kepahaman itu adalah ayat-ayat Allah tentang makrifatullah,
misalnya: “Akulah yang Hidup, Akulah yang Awal dan Akulah yang Akhir,” dan
sebagainya, sehingga dengan begitu kita sudah dianggap mendapatkan maqam
makrifatullah. Setelah itu kitapun diberi ijazah, sehingga kita bisa pula mengajarkannya
kepada orang lain. Kita telah bisa menjadi guru atau pembimbing pula. Cuma :
. . . untuk mendapatkan maqam itu seringkali kita harus menunggu ilham &
kepahaman itu yang bisa sampai belasan bahkan puluhan tahun lamanya.
Kalau begitu memang yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, maka insyaallah pintu
agama Islam ini akan segera tertutup. Akan ditinggalkan oleh umat, kecuali hanya untuk
sekedar berutopia belaka.
Masih banyak contoh objek yang lain yang bisa kita pakai untuk menahan pikiran kita
agar tidak liar. Apa saja bisa kita jadikan sebagai objek ingatan kita agar pikiran kita
berhenti sejenak pada objek ingatan itu. Dan itu sebenarnya tidak perlu ditambah-
tambahi dengan wirid apapun juga. Misalnya dengan :
1. Memerhatikan gerak nafas,
2. Mendengarkan bunyi,
3. Mencium wangi tertentu,
4. Bersedia untuk dipengaruhi orang lain,
5. Merasakan getaran,
6. Meyakini atau mengimani pikiran orang lain,
7. Terpesona dengan iming-iming tertentu,
8. Lawakan yang menarik,
9. Tontonan yang mencekam perasaan,
10. Dan sebagainya.
Semuanya itu disebut sebagai objek pikiran yang kita masuki melalui pintu ingatan. Dan,
kesemuanya itu barulah dalam tatanan Alam Sifat.
39
Kalau itu yang kita lakukan, kita seperti orang mempunyai hati yang mendua, hati yang
selingkuh :
1. Mulut kita menyebut Allah, atau saya cinta Allah, tapi
2. Hati kita saat itu sedang berasyik masyuk mengingat ciptaan-Nya.
Ketika kita melakukannya kepada sesama manusia saja, telah membuat kita merasa
capek dan lelah. Apalagi kalau kita melakukannya kepada Allah yang Maha Pencemburu,
tentu saja capek dan lelahnya akan sangat kuat sekali. Makanya dalam tradisi dzikir
tententu, untuk menghilangkan rasa capek dan lelah seperti itu, mereka kadangkala
memakai tumbuh-tumbuhan yang mempunyai efek seperti kokain dan amfetamin,
misalnya daun ganja atau daun khat. Itu mereka lakukan agar mereka fly, tidak ingat
kepada apa-apa.
Padahal :
SYAHADAT bermakna, NAFIKAN semua Alam Sifat,
sampai menemukan Wujud Alam Hakikat yang SATU, yang akan mengantarkan kita
untuk Bermakrifat kepada Allah.
Kalau kita belum berhasil menafikan Alam Sifat, lalu kita sudah mengatakan “Illallah,
atau Allah”, maka saat itu artinya kita mau tidak mau akan memilih salah satu Sifat dari
sekian banyak Sifat yang sangat beragam, yang akan menjadi Tuhan kita yang nantinya
kita sebut sebagai Allah. Ya masih syiriklah kalau begitu ! Dan secara tidak sadar, ini
akan membawa kita untuk sama dengan istilah orang Barat yang mengatakan Allah itu
adalah The God. Artinya dari sekian banyak God maka ada satu yang Paling God, The
God. Makna asli dari istilah itu adalah di antara sekian banyak berhala, maka ada satu
berhala yang paling berhala.
Sedangkan di dalam Islam, Allah tidaklah sama dengan The God. Sebab Allah sendirilah
yang menamakan diri-Nya sendiri dengan nama Allah. Kemudian barulah Dia
menyebutkan bahwa (Dzat) Dia Esa, Tunggal. Dia adalah tempat segala sesuatu
meminta. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan Dia sendiri pula yang
menyatakan bahwa Dia tidak serupa dengan apapun juga. Dia tidak sama dengan
apapun juga.
Dia juga menyatakan bahwa Dialah:
• Yang tiada Permulaan dan tiada Akhir
• Yang Awal
• Yang Akhir
• Yang Zahir
• Yang Batin
• Yang Maha Halus
40
• Yang Meliputi semua
• Yang ada di mana-mana
• Yang bersamamu di manapun kamu berada
• Yang Maha Besar, Maha Luas, Maha Tinggi
Dan, semua yang Dia perkenalkan itu adalah tentang DZAT-NYA. Sebab melalui atau
terhadap Dzat-Nya itulah Dia akan melakukan segala sesuatu Yang dikehendaki-Nya.
Menciptakan segala peristiwa, kejadian, dan makhluk-Nya. Karena Dia memang :
• Maha Berkehendak terhadap Dzat-Nya,
• Yang Maha Melihat melalui Dzat-Nya,
• Maha Mendengar melalui Dzat-Nya,
• Maha Mengawasi melalui Dzat-Nya,
• Maha Mengetahui melalui Dzat-Nya,
• Yang Maha Berkuasa terhadap Dzat-Nya,
• Yang Maha Mengatur Dzat-Nya, dan sebagainya.
Dan Dzat-Nya yang Dia perbincangkan itu hanyalah sedikit saja dari keseluruhan Dzat-
Nya Yang Maha Indah, yang menamakan diri-Nya dengan Allah.
Hal-hal seperti inilah dasar makrifatullah yang harus kita ketahui. Mata Lahiriah kita
melihat Sifat-Nya, Mata Hati kita melihat Dzat-Nya, Hati kita mengingat-Nya. Satu paket
utuh yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebab inilah yang akan menjadi landasan atau
pondasi kita untuk mendirikan segala macam aktifitas rohani kita dalam rangka kita
beribadah kepada-Nya. Lebih dari ini akan mudah membawa kita kepada kesesatan.
Kurang dari ini, akan cenderung membawa kita kepada kejahilan.
Nah, sekarang mari kita lanjutkan. Pada artikel sebelumnya, kita sudah paham bahwa
untuk mengenal dan mengingat Allah itu tentu ada ALAT-NYA. Selama ini kita banyak
yang keliru dalam menggunakan alat untuk mengenal dan mengingat Allah ini, makanya
hasilnya juga akan keliru total. Dan kekeliruan itu sudah menyebar luas hampir ke
seluruh dunia Islam tanpa kecuali, terutama di tempat-tempat yang disinggahi oleh
penyebaran tarekat dan dzikir-dzikir lainnya sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Kekeliruan itu adalah yang berkenaan dengan HATI dan MATA HATI.
Untuk mengenal Allah (bermakrifatullah), memang kita butuh
alat yang mampu untuk melihat sampai ke Alam Hakikat.
Sebab kalau kita hanya memakai Mata Lahiriah atau panca indera kita saja untuk
mengenal Allah, maka kita hanya akan sampai kepada pengenalan Alam Sifat saja. Oleh
sebab itu :
41
. . . kita butuh Mata Hati yang mampu untuk melihat
sampai ke Alam Hakekat dari semua Alam Sifat.
Begitu Mata Lahiriah kita melihat Alam Sifat atau Alam Ciptaan, maka kita akan segera
saja terkejut, tercengang, dan terkagum-kagum oleh kenyataan yang sebenarnya. Sebab
MATA HATI kita akan segera melihat bahwa di sebalik semua Alam Sifat atau Alam
Ciptaan itu ternyata adalah Dzat Allah semata wayang. Satu-satunya Wujud yang Eksis.
Dzat Wajibul Wujud.
Lalu alat apa yang kita pakai untuk mengingat Allah, dan bagaimana caranya.
Jawabannya kita lihat saja di dalam Al Quran. Wadzkur rabbika fi nafsika, yang sering
diterjemahkan orang sebagai berikut :
Al A’Raaf (7) : 205
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang lalai.”
Dan ayat lain dalam :
Al Baqarah (2) : 200
“Fadzkurullaha kaa dzikrikum aaba akum au asyadda dzikra.”
“Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut
nama) Allah, sebagaimana kalian menyebut-sebut (membangga-banggakan) nenek
moyangmu2, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia
ada orang yang berdoa : ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia.’ Dan tiadalah
baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.3”
2 Adalah menjadi kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah setelah menunaikan haji lalu bermegah-megahan
tentang kebesaran nenek moyangnya. Setelah ayat ini diturunkan maka memegah-megahkan nenek
moyangnya itu diganti dengan dzikir kepada Allah. 3 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang Jahiliyyah wuquf di musim pasar. Sebagian dari
mereka selalu membangga-banggakan nenek moyangnya yang telah membagi-bagi makanan, meringankan
beban, serta membayarkan diat (denda orang lain). Dengan kata lain, di saat wuquf itu, mereka menyebut-
nyebut apa yang pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 200)
sampai: asyadda dzikira, sebagai petunjuk apa yang harus dilakukan di saat Wuquf. (Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Menurut riwayat lain, orang-orang di masa itu apabila telah melakukan manasik, berdiri di sisi jumrah
menyebut-nyebut jasa-jasa nenek moyang di zaman jahiliyyah. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 200)
sebagai petunjuk apa yang harus dilakukan di sisi Jumrah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari
Mujahid.)
Menurut riwayat lain, salah satu suku bangsa Arab sesampainya ke tempat wuquf berdoa: "Ya Allah, semoga
Allah menjadikan tahun ini tahun yang banyak hujannya, tahun makmur yang membawa kemajuan dan
42
Karena biasanya kita memulai proses dengan berdzikir terlebih dahulu sebelum
Bermakrifatullah, maka tentang makna dzikirpun kita jadi bingung. Apakah dzikir itu
INGAT atau MENYEBUT-NYEBUT. Kemudian kalau dzikir itu dimaknai sebagai ingat, maka
kita kebingungan lagi tentang bagaimana caranya untuk mengingat Allah di dalam hati.
Kalau dzikir itu kita maknai dengan menyebut-nyebut, maka biasanya menyebut di
dalam hati itu kita interpretasikan dengan menyebut tanpa bersuara. Karena kita
mengira-ngira bahwa menyebut tanpa bersuara itu seperti bersumber dari dalam dada
kita, maka hati itu kita simpulkan berada di dalam dada
kita. Itu bersesuaian pula dengan cara tarekat yang
menyatakan bahwa hati itu adalah QALB, Jantung yang
letaknya di dalam dada.
Apalagi ada Hadits Nabi yang mengatakan bahwa:
”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal
daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika
gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah,
gumpalan daging itu adalah jantung (Qalb) atau hati.”
Mulailah kita bingung, bagaimana kita akan bisa untuk mengingat Allah di dalam jantung
atau hati kita, atau di dalam dada kita. Paling bisa yang kita pahami adalah kita
menyebut-nyebut Nama Allah secara sangat perlahan, seakan-akan suara kita yang ke
luar itu adalah dari hati kita yang kira-kira letaknya di dalam dada kita, atau jantung kita.
Kalau menyebut-nyebut seperti ini yang dimaksud untuk berdzikir, maka dzikir yang kita
lakukan itu akan sangat terbatas sekali waktunya. Hanya selama kita tidak melakukan
pekerjaan yang lain. Kalau kita bekerja, maka menyebut-nyebut Nama Allah itu sudah
tidak bisa lagi kita lakukan. Bagaimana kita akan bisa menyebut Nama Allah di dalam
hati kita sementara kita sedang mengunyah makanan, atau menyetir kendaraan? Lalu
gagallah usaha kita untuk berdzikir setiap saat seperti yang diperintahkan oleh Al Quran
dan Al Hadits. Sebab Rasulullah pernah bersabda: “Mataku tidur, namun hatiku tidak”,
juga “Rasulullah SAW mengingat Allah sepanjang waktu”.
Oleh sebab itu surat Al Baqarah ayat 200 dan Surat Al A’Raaf ayat 205 ini begitu
pentingnya untuk kita pahami kalau kita ingin ingat kepada Allah, Dzikrullah. Sebab ayat
itu bercerita tentang ALAT dan CARA untuk mengingat Allah. Alatnya adalah hati, dan
caranya adalah seperti kita mengingat orang tua kita. Dengan memahami kombinasi dua
ayat ini, insyaallah kita akan paham sebuah rahasia besar umat manusia yang sudah
kebaikan. Mereka tidak menyebut-nyebut urusan akhirat sama sekali. Maka Allah menurunkan ayat tersebut
di atas sampai akhir ayat (S. 2: 200) sebagai petunjuk bagaimana seharusnya berdoa. Setelah itu kaum
Muslimin berdoa sesuai petunjuk dalam al-Qur'an (S. 2: 201) yang kemudian ditegaskan oleh Allah SWT
dengan firman-Nya ayat berikutnya (S. 2: 202). (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu
Abbas.)
43
lama terpendam yang telah membuat kita begitu menderita. Rahasia Mengingat Allah,
Dzikrullah. Rahasia tentang “Fadzkuruni Adzkurkum, peristiwa ingat mengingat antara
hamba dengan Tuhannya”.
Mari kita coba. Marilah kita ingat orang yang paling kita cintai di dunia ini, yaitu ibu kita,
atau bisa pula bapak kita. Terserah saja mana yang lebih mudah untuk di ingat. Begitu
kita memunculkan keinginan kita untuk mengingat ibu kita, maka seketika itu juga kita
telah membuka pintu ingatan kita kepada ibu kita. Jadi KUNCI untuk membuka PINTU
INGATAN itu adalah dengan memunculkan KEINGINAN kita untuk ingat kepada sesuatu,
atau dalam bahasa agama Islam disebut NIAT. Lakukanlah, ingatlah, ingat ibu kita untuk
beberapa saat. Cukup satu atau dua menit.
Ada beberapa point penting yang bisa kita ambil manfaatnya dari latihan singkat
mengingat ibu kita diatas:
a. Ingatan itu ternyata adanya di dalam otak kita. Bukan di dalam dada kita. Kalau
begitu, mungkinkah yang disebut HATI (Qalb) yang dikatakan oleh Rasulullah SAW
itu tempatnya adalah di dalam otak kita? Mari kita lihat istilah-istilah seperti hati
yang kotor, hati yang banyak bintik-bintik hitamnya, hati yang gelap, hati yang keras
dan membatu, hati yang mati. Hati yang kalau bagus maka bagus pula seluruh
tubuh kita. Sebaliknya kalau hati itu rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh kita.
Selama ini istilah-istilah tersebut ditujukan kepada keadaan hati yang ada di dalam
dada kita, gambarnyapun sering dibuat seperti gambar jantung. Kalau hati kotor,
digambarkan dengan jantung kita itu banyak titik-titik hitamnya. Kalau hati itu
gelap, digambarkan dengan jantung kita berwarna gelap dan
hitam. Begitu juga hati yang mati dan jeras, gambarannya
adalah jantung yang seperti batu. Keadaan jantung yang
seperti itu akan mempengaruhi tingkah laku kita, sikap kita
terhadap orang lain.
Misalnya kalau hati kita kotor, maka kita akan mudah untuk
berjudi, minum arak, memakai ganja, bermaksiat, pelecehan, pembunuhan. Atau
dalam bentuk yang lebih halus tapi sangat berpengaruh buat kita maupun orang lain
seperti : Gelisah walaupun tanpa masalah, egois, menghina, sombong dan congkak,
menyebarkan aib, mengumpat, menyusahkan orang lain, ria, dan sebagainya.
Terlihat sekali bahwa dengan mengetahui tentang hati yang kotor hanya seperti ini
saja, kita tidak akan pernah bisa memahami inti permasalahan yang sebenarnya.
Sudahlah di mana letak hati itu kita tidak punya kepastian, ditambah lagi dengan
kita tidak mengetahui kenapa hati kita itu bisa kotor, dan juga cara-cara
44
membersihkannyapun sulitnya luar biasa, maka lengkaplah penderitaan kita
dibuatnya.
Padahal hati yang kotor, gelap, mati, keras, dan punya bintik hitam itu artinya
adalah bahwa kita sudah tidak mampu lagi untuk INGAT kepada Allah. Kita sudah
lupa dengan pintu ingatan kita kepada Allah. Pintu ingatan kita kepada Allah itu
sudah tertutup dengan pintu ingatan kita kepada yang selain Allah.
Karena kita sudah tidak tahu lagi pintu ingatan kepada Allah, maka begitu kita
bangun tidur kita akan masuk ke pintu-pintu ingatan yang sangat beragam.
Misalnya, begitu membuka mata kita bisa segera masuk ke pintu ingatan tentang
mencuri. Maka maka sejak bangun tidur itu sampai kita tidur lagi nantinya, bahkan
bisa sampai terbawa mimpi, kita akan selalu berusaha untuk mencuri.
Kalau kita masuk pintu ingatan tentang pornografi, maka seharian yang akan kita
kerjakan adalah hal-hal yang berkenaan dengan pornografi. Begitu juga dengan
pintu ingatan marah, benci, rindu, takut, dan pintu-pintu ingatan lainnya. Semua
pintu itu bisa silih berganti kita masuki dalam sehari. Begitu kita masuk, maka akan
ada pula rasanya. Dan rasa yang muncul itu juga berganti-ganti atau berubah-ubah
sesuai dengan pintu pikiran apa yang kita masuki. Karena rasa yang berganti-ganti
dan berubah-ubah sesuai dengan berubah dan bergantinya pikiran kita itulah maka
keadaan itu dinamakan QALBU.
Dibersihkan dengan cara apapun, misalnya dengan wiridan yang seperti apapun
juga, selama kita masih berada pada ingatan kepada selain Allah seperti itu, maka
hasilnya boleh dikatakan akan sangat minim sekali.
Yang sangat melelahkan sebenarnya adalah ketika kita lupa kepada Allah, hampir
secara otomatis itu akan membuka pintu ingatan kepada hal-hal yang berbau
MAKSIAT. Begitu pintu maksiat itu terbuka, walaupun baru sedikit, iblis akan segera
menahan pintu itu agar tetap terbuka lebar. Pintu itu di ganjalnya dengan
“kakinya”. Sekuat apapun juga kita melawannya, sekuat itu pula ia akan
menahannya, bahkan bisa lebih. Kita bacakan ayat-ayat Al qur’an atau wirid apapun
juga, ia akan tetap bertahan meniupkan was-was kepada kita. Itulah sebabnya kalau
kita akhirnya sampai melakukan sebuah perbuatan maksiat, maka perbuatan
maksiat berikutnya hanya masalah waktu saja untuk kita lakukan kembali dan
kembali.
Akan tetapi begitu kita berhasil masuk ke dalam pintu ingatan kepada Allah, dan
kita Istiqamah pula mengingati Allah, maka hasilnya akan sangat berbeda sekali.
Pintu-pintu pikiran kita kepada apapun yang selain Allah secara otomatis akan
tertutup. HATI kita yang dalam hal ini bisa bermakna PIKIRAN kita (MIND) akan
45
menjadi bersih dari segala pikiran yang berbau maksiat. Bintik-bintik hitam di dalam
pikiran kita, berupa pikiran tentang perbuatan maksiat, akan segera hilang seperti
dicelup oleh cahaya yang menerangi. Dan yang terpenting adalah, hati atau pikiran
kita, akan segera menjadi tenteram. Sebab hanya dan hanya dengan mengingat
Allahlah hati kita akan menjadi tenteram. Semakin istiqamah kita mengingat Allah,
maka semakin tenteram pula pikiran kita.
Ar Ra’d (13) : 28
“Orang-orang yang beriman dan HATI/PIKIRAN mereka menjadi tenteram dengan
MENGINGAT ALLAH (Dzikrullah). Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah
HATI/PIKIRAN menjadi tenteram.”
Usaha yang terberat yang harus kita lakukan sekarang adalah untuk menyamakan
HATI kita dengan PIKIRAN. Hati adalah Pikiran, dan letaknya adalah di dalam otak
kita. Sebab hampir seumur hidup kita sudah MATANG dengan doktrin bahwa
PIKIRAN letaknya adalah di dalam OTAK kita, dan HATI letaknya adalah di dalam
DADA kita. Selalu saja begitu. Huh, menyeka kening yang sedikit berkeringat.
Padahal hati/pikiran inilah yang akan membawa ketenteraman kepada kita. Dan
hati/pikiran yang tenteram inilah yang akan menjadi awal dari kenikmatan hidup
kita bersama Allah.
b. Untuk membuka pintu ingatan itu, kita hanya butuh memunculkan KEINGINAN
untuk mengingat sesuatu. Kita tidak perlu mengucapkannya dalam bentuk
rangkaian kalimat seperti : “Sengaja aku untuk mengingat ibuku… bla… bla.” Kalau
begitu niat dalam shalat atau ibadah-ibadah lain perlukah kita lafazkan dengan lidah
? Silahkan jawab sendiri. Sebab, ternyata kalau kita sudah memunculkan keinginan
untuk shalat, misalnya, hampir semua aktifitas shalat, mulai dari berjalan ke masjid,
berwuduk, gerakan dan bacaan shalat, semuanya hampir berjalan secara otomatis.
Kita tidak perlu memikirkannya sedikitpun.
c. Yang bisa kita ingat adalah apa-apa yang pernah kita ketahui sebelumnya atau ia
pernah tersimpan di dalam ruang pikiran kita (memori). Kalau tidak begitu, maka
ingatan kita tentang sesuatu disebut sebagai KHAYALAN. Kalau ingatan kita hanya
sebatas khayalan, maka yang kita ingat itu bisa bentuk yang aneh-aneh bin ajaib.
Tidak aneh kalau ada yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang menakutkan,
yang welas asih, yang memelas, dan sebagainya. Ya seperti dewa-dewi itulah.
Oleh sebab itu dalam mengingat Allah, kita tidak boleh mengkhayalkan apapun
juga. Kalau kita ingat kepada Sifat-Nya yang berupa semua alam Ciptaan ini, maka
kita sudah buktikan bahwa itu akan membuat kita kesulitan. Oleh sebab itu di
sinilah pentingnya Makrifatullah untuk kita pahami. Dan makrifatullah itu bisa kita
46
dapatkan melalui kajian ILMU yang disampaikan oleh orang yang memang telah
diberikan ilmu makrifatullah itu oleh Allah. Melalui orang yang seperti itulah, ilmu
yang sulit itu bisa menjadi mudah. Ketika ia bukakan sebuah pintu gerbang ilmu
makrifatullah, maka semua pintu ilmu yang lainnya bisa terbuka dengan sangat
mencengangkan.
Sebab di dalam pintu Ilmu Makrifatullah itulah ternyata terletak pintu-pintu ilmu
yang lainnya, yang tanpa Ilmu Makrifatullah itu akan sangat sulit, kalau tidak mau
dikatakan tidak mungkin, untuk dibuka. Disitulah terletaknya pintu DZIKRULLAH dan
pintu KHUSYUK yang sangat menggetarkan. Dan di situ jugalah terletaknya pintu
MUKASYSYAFAH yang akan membuka dan membuat Mata Hati kita menjadi sangat
tajam, sehingga kita mampu melihat dan mengurai tali temali, yang
menghubungkan berbagai episode dan lakonan di dalam drama kehidupan ini,
berujung di tangan TAQDIR.
Dengan memasuki pintu makrifatullah itu pulalah ternyata yang akan membawa
kita untuk bisa meninggalkan semua pintu alam GHURUR yang penuh dengan tipu
daya, yang akan menjauhkan dan memisahkan kita dari Allah. Karena alam ghurur
itu membuat kita MERASA WUJUD. Karena merasa wujud, maka kita akan selalu
BERGADUH dengan Allah.
Dan Alhamdulillah, baru-baru ini saya sendiri telah dikenalkan oleh Allah kepada
seseorang yang sangat Arif dan Bijaksana dalam Ilmu Makrifatullah itu, berikut
dengan segala praktek dan amalannya yang ternyata sangat sederhana dan mudah.
Dan hasil dari kajian dengan Beliau itulah yang sekarang banyak mewarnai artikel-
artikel saya, yang bermula dari artikel “Arah Selanjutnya”.
Pesan Beliau kepada saya pada suatu waktu: “Kalau kamu yang menjadi TERKENAL
saat kamu menyampaikan ilmu makrifatullah ini, artinya kamu masih salah. Akan
tetapi kalau Allah yang semakin dikenal oleh umat manusia ketika engkau
menyampaikan ilmu makrifatullah ini, maka insyaallah ridha Allah bersamamu.
Buatlah dirimu tidak wujud, dan istiqamahlah di situ”.
d. Dalam mengingat sesuatu ada sebuah “aktifitas kecil” yang selama ini nyaris luput
dari perhatian kita. Tapi aktifitas kecil itu ternyata mempunyai dampak yang sangat
besar dalam hal proses kita mengingat itu. Perhatikanlah.
Begitu kita INGIN mengingat sesuatu, maka kita seperti NAIK dan MASUK ke dalam
otak kita. Pekerjaan naik dan masuknya kita ke dalam hati/pikiran kita yang ada di
dalam otak kita itu ditandai dengan naiknya hitam bola mata kita sedikit dari
biasanya ke arah kening sembari dahi kita juga agak sedikit berkerinyit (berkerut).
Kita akan sangat kesulitan mengingat sesuatu dengan terpusat atau fokus dan
47
dalam waktu yang lama kalau kita tidak melakukan aktifitas kecil tersebut di atas.
Kalau belum ngeh (menyadarinya) cobalah lakukan.
• Ingatlah IBU atau BAPAK kita TANPA kita melakukan aktifitas naik dan masuk ke
dalam hati/pikiran kita seperti di atas.
• Kemudian ulangi aktifitas di atas DENGAN menaikkan hitam bola mata kita
sedikit ke atas dan kening juga sedikit dikerutkan.
• Lakukanlah aktifitas-aktifitas itu beberapa kali dan rasakanlah perbedaannya.
• Silahkan nanti berbagi hasilnya yang di dapat.
Demikianlah 4 point penting yang bisa kita petik dari aktifitas kita mengingat orang tua
kita. Lalu apa makna dari kita membawa naik bola mata kita ke arah kening dan
mengerutkan kening ketika proses mengingat itu kita lakukan? Kalau proses mengingat
Allahpun sama seperti itu, apa yang kita lihat dengan MATA HATI kita ketika
HATI/PIKIRAN kita mengingat Allah itu? Kita akan bahas dalam artikel “MENGINGATI
ALLAH”.
Insyaallah nanti kita juga akan masuk lebih dalam mengenai Ruh, Pikiran yang juga bisa
berarti Hati atau Akal, Mata Hati (Mata Akal), Jiwa (yang dipegang oleh Allah saat kita
tidur), Nyawa dan Jasad dalam artikel “MENGENAL ANASIR DIRI”. Mudah-mudahan
semua itu nanti akan menyederhanakan pemahaman-pemahaman tentang diri kita yang
sudah sangat berbelit-belit dan berpilin-pilin tidak karuan.
B. Kesimpulan
1. Begitu banyak hal yang telah membebani perjalanan umat islam yang bermula sejak
abad ke 4 setelah Rasulullah SAW wafat yang ternyata berlanjut sampai sekarang
ini, berupa : SYARIAT – TAREKAT – HAKEKAT – MAKRIFAT.
2. Umat islam dalam beribadah terpecah menjadi dua kutub extrim, yaitu :
a. Dari Kutub Syariat, kemudian lahirlah berbagai golongan yang bisa kita lihat
eksistensinya sampai sekarang. Misalnya Sunni, Syiah, Qadariyah/Muktazilah,
Jabariyah, Asy’ariyah, sampai kepada yang terbaru seperti Salafi, Wahabi, dan
sebagainya.
b. Dari kutub Tarekatpun muncul berbagai tarekat yang nantinya bisa dibedakan
menurut nama pembawanya di saat awal pembentukannya. Misalnya
Naqsyabandiyah, Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, Sammaniyah,
Tijaniyah, Sanusiyah, dan sebagainya.
3. Syariat dan Tarekat itu ternyata hanyalah ALAM SIFAT yang memang akan selalu
48
ramai dan riuh rendah begitu kalau kita tetap bertahan di dalamnya. Sedangkan
makrifat kepada Allah Ta’ala itulah yang merupakan asas atau dasar fondasi yang di
atasnya akan didirikan segala macam kehidupan kerohanian.
4. Namun, kalau sudah masuk ke dalam Alam Makrifat kepada Allah SWT itu, Alam
Makrifatullah, maka kita akan menjadi orang-orang yang aneh dan ganjil. semuanya
bersikap aneh dan ganjil jika dipandang dengan kacamata masyarakat umum. Sebab
beliau-beliau itu memang memakai kacamata lain, kacamata Makrifatullah.
Kacamata yang mampu melihat tanda-tanda Allah di sebalik semua ciptaan.
5. Lensa dari Kacamata Makrifatullah itu adalah Lensa Hakikat, sebuah lensa yang bisa
menangkap adanya Wujud Yang Batin di sebalik Alam Yang Dzahir itu. lensa hakikat
ini hanya bisa dipakai dengan menggunakan Mata Hati atau Mata Akal. Bukan Mata
Lahiriah.
6. Seseorang yang dikatakan sudah memakai kacamata Makrifatullah adalah ia yang
telah mampu memandang dirinya dan semua ciptaan ini dengan UTUH :
a. Ketika Mata Lahiriahnya melihat Sifat semua ciptaan, maka Mata Hatinya telah
mampu pula melihat Wujud Dzat yang merupakan hakekat dari semua alam
ciptaan itu, dan kemudian
b. Hatinya telah mampu pula untuk mengingat Allah setiap saat sebagai alamat
terakhirnya dalam bermakrifat. Hati yang sudah mampu mengingat Allah setiap
saat disebut Hati yang sudah berdzikir kepada Allah, dzikrullah.
7. Di tengah-tengah badai kehidupan yang sering datang menerpa kita, sungguh kita
merindukan sebuah kehidupan yang penuh ketenteraman. Kita kemudian berusaha
mengingat-ingat kembali suasana alam azali itu dengan memasuki pintu ingatan
kepada Allah. Akan tetapi pintu ingatan kita kepada Allah itu ternyata telah tertutup
rapat dan semakin rapat seiring dengan bertambahnya usia kita. Padahal tidak akan
pernah ada ketenteram yang bisa kita dapatkan tanpa kita hidup mesra bersama
dengan Allah.
8. Masalah-masalah umat islam ini hanya akan bisa diselesaikan jika umat Islam:
a. Bisa bermakrifat kepada Allah dengan benar.
b. Lalu kita bisa mengingat Allah dengan benar.
c. Dan kita bisa pula menggunakan Akal atau Hati kita dengan benar.
9. Menurut kacamata makrifatullah, urutan aktifitas yang harus kita lakukan adalah :
a. Kita berusaha untuk mencapai makrifatullah terlebih dahulu,
49
b. Lalu kemudian barulah kita berlatih melakukan Dzikrullah (mengingat Allah).
10. Dzikrullah adalah mengingat Allah. Dalam mengingat Allah itu kita tidak perlu
bersuara, apalagi berteriak-teriak. Bahkan berbisikpun sebenarnya kita tidak perlu.
11. Kita cukup hanya mengingat Allah, yang sudah kita kenal terlebih dahulu, dengan
jalan kita masuk ke Pintu Ingatan kepada Allah. Setelah pintu ingatan kepada Allah
itu kita masuki, maka kita tinggal duduk di dalam ruangan yang di sana aktifitas kita
hanya semata-mata ingat kepada Allah. Ruang itu bisa disebut sebagai Ruang
Spiritual. Dan setelah itu barulah kita beribadah di dalam Ruang Spiritual itu
sembari kita selalu mengingat Allah selama kita beribadah maupun nanti di luar
ibadah.
12. Insyaallah akan diturunkan oleh Allah natijah. Dalam istilah lainnya natijah ini juga
bisa disebut juga sebagai riqqah.
13. Akan tetapi kalau urutan aktifitasnya kita ubah dan kita balik menjadi Dzikrullah
yang kita lakukan terlebih dulu, dengan harapan setelah sekian lama kita berdzikir
dengan cara seperti itu, kita kemudian bisa mencapai maqam makrifatullah, maka
hasilnya akan sangat berbeda sekali dengan hasil yang kita dapatkan melalui
aktifitas menurut kacamata makrifatullah seperti di atas.
14. Syahadat bermakna, nafikan semua Alam Sifat, sampai menemukan Wujud Alam
Hakikat yang satu, yang akan mengantarkan kita untuk Bermakrifat kepada Allah.
15. Untuk mengenal dan mengingat Allah itu tentu ada alatnya, alat yang mampu untuk
melihat sampai ke Alam Hakikat. Alat yang kita pakai untuk mengingat Allah, dan
caranya. ALAT dan CARA untuk mengingat Allah terdapat di surat Al Baqarah ayat
200 dan Surat Al A’Raaf ayat 205. Alatnya adalah hati, dan caranya adalah seperti
kita mengingat orang tua kita.
50
Artikel 5 :
Mengingati Allah4
A. Pembahasan
Sekarang mari kita masuk lebih dalam pada topik yang selalu menjadi pembahasan yang
sangat ramai di tengah-tengah umat Islam, yaitu DZIKRULLAH. Kita sudah bahas
sebelumnya bahwa :
. . . makna yang tepat untuk DZIKIR adalah MENGINGAT,
bukan MENYEBUT-NYEBUT.
Sebab untuk menyebut-nyebut, istilah yang lebih tepat itu adalah WIRID.
Untuk mengingat kita tidak butuh hitungan.
Yang penting adalah kita sudah tahu apa yang akan kita ingat itu, baik :
• melalui melihat langsung sifat-sifat yang kita itu melalui alat panca indera kita,
maupun
• melalui pengkhabaran ILMU.
Untuk mengingat sesuatu itu kita cukup menimbulkan keinginan kita untuk MASUK ke
dalam Pintu Ingatan tentang sesuatu yang ingin kita ingat itu. Kita bisa berpindah dari
satu ingatan kepada ingatan yang lainnya, atau kita bisa pula mengingat sesuatu itu
berlama-lama, berjam-jam, berhari-hari, bahkan kita bisa ingat sesuatu itu sampai di
alam mimpi sekalipun, terutama untuk sesuatu yang sangat kita senangi, kita hormati,
dan kita sanjung-puja.
Kalau yang kita ingat, senangi, hormati, dan sanjung-puja itu
adalah Allah, maka disebut dengan proses Dzikrullah.
Mengingati Allah.
Kalau WIRID, kita butuh hitung-hitungan, butuh bacaan-bacaan, dan sikap-sikap
pengucapan tertentu, seperti :
1. Wiridan dengan mengucapkannya dengan LISAN,
2. Wirid dengan mengucapkannya sambil berkonsentrasi ke jantung yang biasa
disebut juga dengan dzikir QALB, atau
3. Wirid dengan berdiam diri yang biasa disebut sebagai DZIKIR SIRR.
4 http://yusdeka.wordpress.com/2014/05/07/mengingati-allah-bagian-1/
51
Tujuan masing-masing, Dzikirullah dan Wirid itu, juga berbeda sekali.
1. Dzikirullah adalah proses mengingati Allah yang sudah kita kenali (bermakrifatullah)
sebelumnya dengan baik. Jadi secepat kita bisa bermakrifatullah, maka secepat itu
pula kita bisa mengingati Allah. Lalu, begitu kita bisa ISTIQAMAH dalam mengingati
Allah, maka Allah akan membersihkan hati kita dari ingatan-ingatan kepada apapun
yang selain dari Allah. Jadi :
. . . mengingati Allah itu adalah salah satu proses
tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa) yang sangat utama,
yang buahnya sangatlah segar dan ranum berupa
kita dapat khusyu dalam shalat dan hati kita yang tenteram,
. . . yang merupakan dambaan bagi seluruh umat manusia.
Di atas semua itu, masih ada buah lainnya yang hanya akan diberikan oleh Allah
kepada orang-orang-Nya sendiri :
• Seperti yang diberikan Allah kepada KHIDIR yang telah membuat Musa terkecoh
dan tidak sabar melihat berbagai keanehan menurut kacamata biasa.
• Atau kepada Uwais Al Qarni yang telah membuat Sahabat Nabi terheran-heran
dan rela untuk meminta do’a kepadanya,
• Atau kepada orang-orang Allah yang lainnya yang tetap disembunyikan oleh
Allah.
Mereka adalah orang-orang yang sudah mempunyai :
. . . kesempurnaan hidup, kepuasan hidup, kebahagiaan hidup yang amat
sangat, yang berada di dunia Ketuhanan.
Cukuplah Allah bagi mereka.
Mereka tidak mau lagi ke luar dari keadaan itu, kalau tidak Allah sendiri yang
menugaskan mereka untuk ke luar menyampaikan hal-hal yang patut disampaikan
kepada umat manusia. Sebab kapanpun juga :
a. Ketika MATA mereka memandang Ciptaan,
b. MATA HATI mereka telah tidak pernah lagi sedikitpun berpaling dari
memandang Dzat Allah yang Wujud di sebalik semua ciptaan itu, dan
c. HATI merekapun selalu Istiqamah dalam mengingati Allah.
2. Sedangkan WIRID umumnya kita ucapkan atau lakukan agar kelak, cepat atau
lambat, kita akan bisa mengenal Allah (bermakrifatullah). Dengan wirid itu pula kita
52
mencoba untuk membersihkan hati kita yang konon katanya berada di dalam dada
kita. Kita wirid dengan harapan agar berbagai tujuan kita dalam hidup ini bisa
tercapai. Ramai sekali.
Sekarang marilah kita fokuskan pembahasan kita kepada aktifitas mengingati Allah.
Pintu ingatan yang akan kita masuki adalah pintu ingatan kepada Allah.
Saat HATI kita masuk ke pintu ingatan kepada Allah, MATA HATI kita memandang
tidak ada rupa, tidak ada umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna atau aura, tidak
ada bunyi. Artinya MATA HATI kita memandang Dzat yang MAHA GAIB.
Padanan caranya adalah sama dengan kalau kita mengingati ibu kita. Saat hati kita
mengingati ibu kita, maka mata hati kita bisa memandang atribut ibu kita yang kita
kenali dengan baik. Misalnya senyumnya, duduknya, tangisnya, dan sebagainya.
Akan tetapi kalau kita mengingati Allah, mata hati kita, kita lebihkan dari mengingati
atribut ibu kita itu, ataupun melebihkannya dari atribut-atribut apapun yang boleh
disebut sebagai ALAM GHURUR. Saat hati kita mengingat Allah, mata hati kita lalu kita
bawa untuk melewati alam ghurur yang ada di seluruh tubuh kita. Ya, lewati dan
tinggalkan semua alam ghurur yang selalu akan mengganggu kita untuk mengingati
Allah.
Karena pintu ingatan kita itu ada di dalam otak kita, maka
alam ghurur yang paling dekat dengan pintu ingatan kita itu
adalah UBUN-UBUN kita.
Dan ubun-ubun kita itu pulalah alam ghurur yang paling tinggi di antara alam-alam
ghurur lainnya yang ada di dalam tubuh kita. Nabi mengatakan :
“Kembali menuju perjalanan ke kampung abadi (akhirat) meninggalkan kampung
penuh tipuan (ghurur), merasakan mati sebelum mati.”5
Dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki kita adalah alam ghurur semuanya,
termasuk ke luar masuknya nafas kita.
Semuanya itu akan menghalangi MATA HATI kita untuk memandang Dzat, yang oleh
hadits di atas disebut sebagai Kampung Abadi (Akhirat). Dzat akan bisa kita pandang
dengan mata hati ketika pandangan mata hati itu kita jauhkan dari alam ghurur. Kita
lebihkan dari alam ghurur, yang dalam hal ini, yang paling mudah kita lewati adalah
ubun-ubun kita.
5 Tafsir Al Baghawi surat Az Zumar 22, halaman 1124 hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud.
53
Cobalah pandang ubun-ubun kita ! Dengan mata lahiriah kita pasti tidak akan bisa
memandang ubun-ubun kita itu. Sebab ubun-ubun itu hanya akan bisa kita pandang
dengan memakai Mata Hati. Sedangkan MATA HATI kita baru akan bisa memandang
sesuatu kalau Mata Lahiriah kita tertutup rapat dan HATI kita TERKUNCI kepada
INGATAN tentang sesuatu itu.
Latihan berikut ini agak teknis memang. Tapi mari kita coba dan rasakanlah
manfaatnya :
• Tutuplah MATA LAHIRIAH kita. Maka secara otomatis MATA HATI kita akan melihat
gelap. Mata hati kita tidak akan melihat apa-apa. Sebab saat itu HATI kita memang
belum ingat apa-apa yang akan kita lihat dengan MATA HATI kita itu.
• Dengan MATA LAHIRIAH kita masih tetap ditutup, naikkanlah hitam bola mata kita ke
atas ke arah kening. Otomatis kita akan siap untuk masuk ke dalam pintu-pintu
ingatan kita yang letaknya seperti di dalam otak kita.
• Bukalah salah satu pintu ingatan kita tentang, misalnya durian.
Kunci ingatan kita kepada durian itu dengan tetap menaikkan
bola mata hitam kita ke atas, dan kening kita juga sedikit
berkerut. Ingatan kita seperti fokus sekali, dan tidak bercabang-
cabang kepada ingatan-ingatan yang lain selain ingatan kepada
durian.
• Pandanglah dengan MATA HATI kita durian yang telah kita ingat
di dalam hati itu.
• Apa yang terpandang ? Dan Apa yang terasa ? Silahkan jawab sendiri.
Dengan cara yang sama, cobalah masuki pintu-pintu ingatan yang lainnya satu-persatu,
terutama untuk hal-hal yang pernah kita alami. Jangan hal-hal yang berupa gambaran
atau lukisan, khayalan, dan sebagainya. Getaran (vibrasi) atau cahayapun boleh kita
ingat. Apalagi kata-kata bijak yang pernah kita dengar atau baca. Misalnya : Power,
Force, Quantum, Gerak Nafas, Patrap, dan sebagainya. Kemudian kunci ingatan kita itu
di dalam hati kita. Lalu lihatlah dengan mata hati kita, Apa yang terpandang, dan apa
yang terasa ?
Bagi yang doyan ilmu kedigjayaan, kesaktian, dan ilmu yang aneh-aneh lainnya, maka
cara ini adalah salah satu pintu pembuka dalam berkonsentrasi untuk selanjutnya kita
bisa asyik bersilancar di dunia ilmu-ilmu kesaktian itu, yang akan membuat kita terkekeh
kesenangan.
Akan tetapi bagi yang haus untuk masuk dan duduk di Dunia Ketuhanan, mari kita
lanjutkan proses mengingat ini dengan mengingati Allah, DZIKRULLAH.
54
Kita akan meninggalkan semua ALAM GHURUR yang menipu menuju ALAM
HAKEKAT, yaitu Alam Dzat, untuk kemudian kita memantapkan Makrifat kita
kepada Allah, MAKRIFATULLAH.
Kita akan masuki secara langsung keadaan FADZKURUNI ADZKURKUM6, di mana terjadi
peristiwa ingat-mengingat antara hamba dengan Allahnya tanpa perantara.
• “Bismillahirrahmanirrahim.”
• Tutuplah mata lahir, naikkan bola mata hitam, masuk ke pintu ingatan kepada Allah.
Ingat saja Allah. Tidak usah dibayangkan, Tidak usah juga bersuara memanggil-
manggil Allah. Ingat saja Allah, dan KUNCI ingatan kita kepada Allah itu dengan tetap
menaikkan hitam bola mata dan menaikkan otot dahi kita sedikit ke atas. Kalau saat
itu kita mencoba untuk membuka mata lahiriah kita, maka kita akan kesulitan.
Kelopak mata kita akan terasa seperti dilem atau direkat.
• Tujukan pandangan MATA HATI kita ke arah UBUN-UBUN. Sambil HATI kita tetap
MENGINGAT ALLAH. Mata hati kita tidak akan melihat apa-apa, tidak ada rupa, tidak
ada umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna atau aura, tidak ada bunyi. Ya, kosong
begitu saja. Tekan pandangan mata hati kita itu ke arah ubun-ubun. Tembus, lewati,
atau lebihkan pandangan mata hati kita melewati ubun-ubun itu, dan lakukanlah itu
dengan ISTIQAMAH. Dengan seketika, kita telah siap untuk meninggalkan semua
alam ghurur yang ada di seluruh batang tubuh kita.
Kita akan berada pada keadaan kerohanian di mana,
6 Al Baqarah (2) : 152 : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
55
. . . HATI kita Mengingati Allah (dzkrullah), MATA HATI kita melihat DZAT-NYA yang
TIADA RUPA, TIADA WARNA, dan TIADA UMPAMA.
Nantinya, saat MATA LAHIRIAH kita memandang semua CIPTAAN yang tergelar di dalam
Ruang Penciptaan (Lauhul Mahfuz), yang tak lain adalah PENAMPAKAN dari SIFAT-SIFAT-
NYA, maka :
. . . MATA HATI kita telah tajam pula untuk memandang bahwa DI SEBALIK semua
CIPTAAN (Sifat-sifat) itu ternyata HAKEKATNYA adalah DZAT-NYA semata-mata, dan
HATI KITA akan segera terkejut dan berhenti untuk MENGINGAT apapun juga selain
ALLAH.
56
Ya,
. . . HATI kita hanya akan diisi semata-mata dengan INGATAN kepada Allah. Tidak
ada satupun yang kita ingat kecuali HANYA ALLAH.
Sebab kita sudah tahu bahwa ternyata adalah DZAT-NYA semata wayang yang menjadi
HAKEKAT dari semua ciptaan itu. Dzat-nya yang sedikit dari KESELURUHAN DZAT-NYA
yang MAHA INDAH. Dari SIFAT kita bergerak menuju HAKIKAT untuk kemudian berhenti
di MAKRIFAT kepada Allah.
Kalau praktek ini kita lakukan dengan ISTIQAMAH, maka pada saatnya :
• Kita akan mendapatkan KHUSYU di dalam shalat kita. Hal ini ditandai dengan kita
selalu bisa mengingati Allah selama kita shalat itu. Kita berbicara, rukuk, sujud,
menghormat, merendah, dan berdoa kepada Allah yang selalu kita INGATI itu
• Kita juga bisa tingkatkan pencapaian kita itu untuk mendapatkan IHSAN di dalam
Shalat kita. Ketika kita MENGHADAPKAN WAJAH (MATA HATI) kita kepada Allah,
maka MATA HATI kita itu akan bisa merasakan bahwa ternyata kita selalu DILIHAT
oleh Allah melalui Dzat-Nya yang menggenggam segala sesuatu, sehingga kemanapun
kita hendak bersembunyi, Dia akan melihat kita melalui Dzat-Nya. Dan itu sungguh
menggetarkan dan menggentarkan hati.
Mata Hati kita juga akan berhasil pula merasakan bahwa :
• Kita dan semua ciptaan ini ternyata diliputi oleh Dzat-Nya Yang Maha Halus.
• Kita semua ternyata bersaudara, bersahabat. Karena kita, semua ciptaan ini, ternyata
berasal dari Dzat yang sama, hanya dengan TAQDIR yang berbeda.
57
Dengan menyadari itu, setiap kali kita menyapa dan memberi salam kepada apa saja
yang ada di sekeliling kita, hati kita akan berucap “Subhannallah, Allahu Akbar”. Dan
kesemuanya itu akan menggetarkan HATI maupun JASAD kita. Sungguh tidak ada yang
sia-sia dengan semua ciptaan Allah yang ada di depan mata kita. Hal inilah akan
membuat kita menjadi orang yang mudah menangis, terharu, rasa merinding dan sejuk
di sekujur batang tubuh kita. Karena Allah berkenan memberikan respons-respons-Nya
berupa NATIJAH atau RIQQAH yang sangat mengejutkan kita.
Dengan cara pandang memakai Kacamata Makrifatullah seperti ini, maka kita akan
mudah pula untuk BERIMAN kepada TAQDIR ALLAH, yang dengannya ALLAH memegang
DESTINY dari semua CIPTAANNYA di Alam Penciptaan (Lauhul Mahfuz)
Akhirnya kita akan benar-benar menyerah dan tak berkutik di hadapan Allah. Kita akan
merasa lemah lunglai di hadapan-Nya. Sebab ternyata kita tidak punya harga apa-apa di
hadapan Allah. Sedikitpun kita tidak punya harga. Jangankan punya harga, untuk
mengaku merasa wujud saja di hadapan-Nya kita akan malu. Sungguh MALU. Sebab
semua yang tergelar dan terhampar di alam semesta ciptaan ini ternyata adalah
PERLAKUAN ALLAH sendiri terhadap sedikit dari DZAT-NYA, yang besarnya tak lebih dari
setetes air asin di dalam Samudera. Setiap kita ingin mengaku bahwa kita memiliki
sesuatu, kita jadi malu semalu-malunya. Sebab saat itu pula mata hati melihat bahwa
apa yang ingin kita akui sebagi milik kita itu ternyata adalah penzahiran dari Dzat-Nya
semata-mata. Ya, semuanya adalah penzahiran atas SEDIKIT dari Dzat-Nya yang Maha
Indah.
• Bahkan tidak jarang Allah berkenan pula memberikan pandangan Mukassyafah
kepada kita dengan sekali-sekali Allah benar-benar mengangkat HIJAB yang
menghalangi pandangan mata hati kita. Sehingga tersingkaplah apa-apa yang seharus
tersingkap di hadapan mata hati kita. Semuanya itu diberikan Allah kepada kita untuk
menghibur kita dalam kesendirian kita di tengah-tengah keramaian alam ciptaan-Nya.
Sebab Dunia Ketuhanan adalah dunia yang sepi dan sunyi. Sesepi dan sesunyi Alam
Rahim ibu kita.
• Atau boleh jadi pula Allah berkenan memberikan cahaya-Nya ke dalam hati kita yang
akan menyilaukan pandangan mata hati kita. Sebab kalau hati kita sudah bercahaya,
maka insyaallah kita akan bisa menyuruh RUH kita ke luar dari tubuh kita, untuk
kemudian kita bisa melakukan PERJALANAN RUHANI (RUH + HATI (atau AKAL, atau
Pikiran)) meninggalkan tubuh kita untuk pergi ke tempat-tempat tertentu, seperti
pengalaman OOBE begitulah. Tetapi tentu saja OOBE yang kita lakukan itu akan
sangat berbeda dengan perjalanan Astral Projection biasa, terutama dalam hal
kacamata yang kita pakai. Karena kita akan memakai Kacamata Makrifatullah selama
melakukan OOBE itu, sedangkan Astral Projection biasanya hanya memakai Kacamata
Makrifatunnafs yang akan membawa kita kepada jalan kesombongan.
58
Sebenarnya banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang
bisa diberikan oleh Allah kepada kita kalau kita bisa
konsisten dalam mengingati Allah, baik di dalam shalat
maupun di luar shalat. Tapi kita tidak usahlah
membicarakannya di sini. Tidak elok.
Cuma saja biasanya :
. . . banyak di antara kita kelak, ketika melakukan aktifitas Dzikrullah itu, malah
ingin mendapatkan pengalaman-pengalaman seperti di atas
secepatnya. Niat kita dalam melakukan dzikrullah malah ingin agar kita bisa cepat-
cepat melakukan OOBE, menjadi sakti, dan sebagainya. Ya, keliru lagi. Padahal
semua itu nanti hanyalah pemberian Allah belaka.
Kita nggak perlu kita meminta-mintanya kepada Allah, tapi itu nanti akan diberikan Allah
sendiri kepada kita kalau itu memang sudah hak kita. Sebab Allah menjamin :
Ingatlah kepada-Ku, Aku akan ingat pula kepadamu.
Fadzkuruni adzkurkum7.
Demikianlah sekilas makna dari kalimat “Fadzkuruni adzkurkum” yang dipahamkan oleh
Allah kepada kami. Wallahu a’lam. Selanjutnya, kalau Allah masih mengizinkan. Untuk
lebih mematangkan proses kita mengingati Allah ini, kita akan membahas tentang
“Menelisik Anasir Diri”, sehingga kita tidak salah-salah lagi dalam menempatkan diri kita
di hadapan Allah. Sebab tentang diri kita ini, kita sudah hampir buta sejak lama sekali.
Terlalu banyak konsep yang rumit dan sulit yang beredar di sekitar kita. Sehingga
kitapun nyaris tidak mengenal lagi diri kita yang sebenarnya. Sebab :
. . . kalau kita mengenal diri kita, dan kita mengenal Allah,
maka kita akan segera sadar bahwa diri kita ternyata
TIDAKLAH WUJUD.
B. Kesimpulan
1. Makna yang tepat untuk dzikir adalah mengingat, bukan menyebut-nyebut. Untuk
menyebut-nyebut, istilah yang lebih tepat itu adalah WIRID.
2. Untuk mengingat kita tidak butuh hitungan.
7 Al Baqarah (2) : 152 : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
59
3. Wirid merupakan awal dari untuk mengenal Allah.
4. Setelah kenal, barulah kita melakukan Dzikrullah, yang adalah upaya mengingati
Allah. Kita ingat, senangi, hormati, dan sanjung-puja Allah.
5. Dzikirullah adalah proses mengingati Allah yang sudah kita kenali (bermakrifatullah)
sebelumnya dengan baik. Jadi secepat kita bisa bermakrifatullah, maka secepat itu
pula kita bisa mengingati Allah.
6. Mengingati Allah itu adalah salah satu proses tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa),
yang buahnya sangatlah segar dan ranum berupa kita dapat khusyu dalam shalat
dan hati kita yang tenteram.
7. Orang-orang yang dapat bermakrifat, akan berprinsip ‘Cukup Allah Bagiku’
(Hasbunalloh).
8. Orang-orang ini sudah mempunyai kesempurnaan hidup, kepuasan hidup,
kebahagiaan hidup yang amat sangat, yang berada di dunia Ketuhanan.
9. Saat HATI kita masuk ke pintu ingatan kepada Allah, maka MATA HATI kita
memandang tidak ada rupa, tidak ada umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna
atau aura, tidak ada bunyi. Artinya MATA HATI kita memandang Dzat yang MAHA
GAIB.
10. Dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki kita semuanya adalah alam ghurur.
Semuanya itu akan menghalangi MATA HATI kita untuk memandang Dzat. Dzat akan
bisa kita pandang dengan mata hati ketika pandangan mata hati itu kita jauhkan
dari alam ghurur. Kita lebihkan dari alam ghurur, yang dalam hal ini, yang paling
mudah kita lewati adalah ubun-ubun kita.
11. Kita akan meninggalkan semua ALAM GHURUR yang menipu menuju ALAM
HAKEKAT, yaitu Alam Dzat, untuk kemudian kita memantapkan Makrifat kita kepada
Allah, MAKRIFATULLAH.
12. Latihan untuk ingat-mengingat antara hamba dengan Allahnya tanpa perantara
adalah sebagai berikut :
a. “Bismillahirrahmanirrahim.”
b. Tutuplah mata lahir, naikkan bola mata hitam, masuk ke pintu ingatan kepada
Allah. Ingat saja Allah. Tidak usah dibayangkan, Tidak usah juga bersuara
memanggil-manggil Allah.
c. Tujukan pandangan mata hati kita ke arah ubun-ubun. sambil hati kita tetap
mengingat Allah. Mata hati kita tidak akan melihat apa-apa. Tekan pandangan
mata hati kita itu ke arah ubun-ubun. Tembus, lewati, atau lebihkan pandangan
mata hati kita melewati ubun-ubun itu, dan lakukanlah itu dengan istiqamah.
60
13. Jika kita dapat selalu mengingat Allah, maka Allah akan ingat (pula) kepada kita,
maksudnya Allah akan melimpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepada kita.