Tentang ma'rifatullah 2

60
Tentang Ma’rifatullah – 2 Oleh Yusdeka

Transcript of Tentang ma'rifatullah 2

Page 1: Tentang ma'rifatullah 2

Tentang Ma’rifatullah – 2

Oleh Yusdeka

Page 2: Tentang ma'rifatullah 2

2

Daftar Isi

Artikel 1 : Bertasawuf ataukah Bertarekat .............................................................................. 3

Artikel 2 : Peran Penerus Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul .............................................................. 9

Artikel 3 : Sikap Berketuhanan ............................................................................................. 13

Artikel 4 : Kacamata Makrifatullah ....................................................................................... 29

A. Pembahasan .................................................................................................... 29

B. Kesimpulan ...................................................................................................... 47

Artikel 5 : Mengingati Allah .................................................................................................. 50

A. Pembahasan .................................................................................................... 50

B. Kesimpulan ...................................................................................................... 58

Page 3: Tentang ma'rifatullah 2

3

Artikel 1 :

Bertasawuf ataukah Bertarekat

http://yusdeka.wordpress.com/2014/03/18/bertasawuf-ataukah-bertarekat-bagian-1/

Selama ini banyak umat Islam yang rancu untuk memahami istilah Tasawuf dan Tarekat.

Banyak yang mengira bahwa tasawuf dan tarekat itu adalah dua hal yang sama. Akibatnya

setiap orang yang berkata tentang tasawuf, maka selalu saja orang itu akan

menghubungkannya dengan tarekat, ataupun sebaliknya.

Padahal kalau dilihat dari waktu kemunculannya, tasawuf itu sudah ada sejak zaman

Rasulullah. Bahkan sebelum zaman Beliaupun tasawuf sudah ada. Sebab tasawuf adalah

sebuah hasrat atau kecenderungan yang ada di semua agama untuk mengenal adanya Tuhan

dan lalu mengabdi kepada-Nya. Jauh sebelum Nabi lahir juga telah ada sekumpulan orang

yang cenderung untuk itu. Nabi Ibrahimpun disebut sebagai orang yang beragama HANIF,

yang percaya kepada Tuhan yang SATU. Agama Tuhan yang satu

yang tidak menyembah berhala.

Filsouf terkenal seperti Lao Tse di China, Pluto, Socrates, Sidharta

Gautama, dan sebagainya juga telah mengenal dan percaya kepada

sesuatu yang sangat hebat, yang tak terbayangkan, yang tak

terdefinisikan, yang mengatur dan menciptakan semua alam ciptaan

ini. Semua ciptaan ini berasal dari sesuatu yang tak terdefinisikan

yang oleh Lao Tse disebut sebagai TAO, atau dalam bahasa Jawa

disebut “tan keno kinoyo opo”, yang dalam bahasa arabnya adalah

“laisa kamistlihi syai’un”.

Makanya tidak heran kalau pernah suatu ketika di zaman Nabi saat

Beliau di Madinah, turun dari gunung-gunung, naik dari lembah-

lembah ratusan orang ahli sufi (orang-orang yang menjalankan

tasawuf) untuk bertemu dengan Rasulullah dan menyatakan

keislaman mereka kepada Beliau. Mereka diberi tempat khusus di

dalam masjid dan disebut sebagai Ahli Sufah yang sangat disayang

oleh Rasulullah.

Semasa Rasulullah, para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in,

sebenarnya tugas beliau-beliau juga adalah untuk mengajak manusia beriman kepada Allah.

Kepada siapapun yang mau beriman, maka barulah Beliau-beliau mengajarkan kepada

mereka tentang Makrifatullah melalui pintu ilmu. Dengan cara ilmu begitu, sebentar saja

mereka sudah bisa bermakrifatullah. Abu Bakar Ra., misalnya, dalan hitungan menit saja

Beliau bisa langsung makrifat kepada Allah, sehingga Beliaupun kemudian dikenal sebagai

Ash Siddiq, yang selalu membenarkan Rasulullah.

Page 4: Tentang ma'rifatullah 2

4

Setelah mereka bermakrifat, barulah mereka diberitahu tentang wajibnya shalat, dan

indahnya melakukan ibadah-ibadah lainnya. Simple sekali. Karena simple ini pulalah yang

menyebabkan Islam bisa berkembang ke semua penjuru dunia. Islam diterima di China,

India, Melayu, Jawa, dan daerah-daerah lainnya dengan mudah. Islam menyebar dengan

sangat cepat dan mudah. Karena yang diajarkan juga mudah dan tidak bertele-tele.

Sekali lagi, mereka hanya didakwahi agar mau beriman kepada Allah. Kalau mereka mau

beriman, maka barulah mereka dikenalkan kepada Allah, sehingga mereka bisa bermakrifat

kepada Allah dalam waktu yang sangat singkat. Untuk bermakrifatullah itu mereka tidak

butuh waktu yang lama dan mereka tidak harus pula terlebih dahulu melalui dzikir-dzikir

(wirid) yang sangat banyak dan rumit. Setelah bermakrifat kepada Allah itu barulah mereka

diberitahu tentang kewajiban mendirikan shalat, dan mengamalkan ibadah-ibadah lainnya

yang sangat mudah dan sederhana.

Karena makrifatnya benar, maka shalat merekapun juga akan ada pula hasilnya. Hati mereka

menjadi tenteram, bahagia, dan damai. Itu semua terjadi karena mereka mengingat Allah di

dalam shalt itu. Mereka juga sangat mudah menangis, terharu, dan tersungkur ketika

mereka mendengarkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada mereka. Hati mereka suka

bergetar dan kulit mereka suka merinding tatkala Nama Allah disebutkan kepada mereka.

Mereka sangat menghargai orang lain. Mereka suka membatu anak yatim dan menolong

orang yang lemah dan yang papa. Ilmu merekapun jadi bertambah luas. Penemuan-

penemuan baru banyak tercipta saat itu. Sungguh saat itu adalah masa-masa pembukatian

tentang betapa hebat-nya Islam. Islam berkembangpesat

melampaui batas-batas negara dan bangsa.

Kesederhanaan itulah yang menyebabkan mereka sangat

senang untuk shalat malam (tahajud dan witir) pada sepertiga

malam terakhir. Siangnya mereka banyak berpuasa, sedekah,

dan berkarya dengan semangat yang sangat tinggi. Semua itu

mereka lakukan dalam rangka bersyukur kepada Allah dan

untuk melatih diri dalam mengingat Allah. Mereka mengingat

Allah di dalam shalat malam itu, yang nantinya akan mereka lakukan pula di luar shalat, saat

beraktifitas, saat berdagang, saat berjalan, saat duduk, saat berdiri, saat tiduran. Mereka

selalu mengingat Allah (dzikrullah) dalam setiap keadaan. Dalam berdzikir itu, yang mereka

lakukan bukanlah mengucapkan kata-kata wiridan yang jumlahnya ratusan ribu kali, baik

Tidak ada diajarkan hal-hal yang aneh. Misalnya untuk bisa

bermakrifatullah itu harus dzikir dulu sekian ratus ribu kali, dan

praktek-praktek aneh lainnya.

Page 5: Tentang ma'rifatullah 2

5

secara lisan, dzikir di hati, ataupun dzikir sirr. Tapi mengingat Allah yang mereka lakukan

adalah mengingat seperti proses mengingat orang tua mereka (lihat Al Baqarah 200).

Sedangkan tarekat baru bermunculan beberapa ratus tahun setelah Rasulullah dan generasi

para tabi’it tabi’in wafat. Saat itu muncullah berbagai dzikir dengan cara menyebut nama-

nama Allah dengan suara keras, berulang-ulang sampai ratusan ribu kali, dan itu bisa pula

diikuti dengan badan yang bergoyang dan berayun ke kiri dan ke kanan. Objek pikir di dalam

dzikir itupun disebut sebagai lathaif, yang sudah terpengaruhi dan bercampur aduk dengan

konsep cakra-cakra dalam ajaran meditasi ala Hindu. Tujuan

akhir dari dzikir-dzikir itu adalah untuk mencapai maqam

makrifatullah.

Ya…, ajaran tarekat ini pulalah yang mengenalkan konsep

Syariat-Tarekat-Hakekat-Makrifat yang konon katanya sangat

mengawang-awang itu. Konsep yang sangat gencar

disampaikan oleh para penganutnya melalui bermacam

media cetak ataupun media visual. Bahwa Syariat itu barulah

sekedar begini begitu saja, baru tingkat kulitnya saja dari

Islam.

Oleh sebab itu dikatakan berkata bahwa setiap orang yang

ingin beragama Islam dengan benar dan hak, mereka

diharuskan untuk bertarekat. Ada tarekat (jalan khusus) yang harus ditempuh oleh seorang

yang beriman kepada Allah yang ingin menempuh jalan spiritual (salik). Setiap orang harus

bertarekat ini atau itu dulu untuk sampai kepada Allah. Sebab tanpa bertarikat maka ia tidak

akan bisa sampai ke jenjang hakekat.

Bahwa hakekat itu adalah ilmu yang sangat rahasia yang hanya bisa diperoleh melalui proses

bertarikat. Dan puncak dari pencapaian seorang salik dalam bertarekat itu adalah mereka

mendapatkan ilmu makrifatullah yang merupakan Ilmu yang sangat rahasia dan

dirahasiakan. Namun nestapanya, hanya orang-orang “khusus bil khusus” sajalah yang bisa

sampai ke maqam makrifatullah ini. Kalau orang-orang biasa, jangan harap untuk bisa

mencapainya.

Karena konsep ini demikian gencarnya disampaikan ke tengah-tengah umat, maka ia telah

menghantui umat Islam untuk menjalankan syariat seperti yang telah dicontohkan oleh

Nabi. Umat Islam jadi ragu-ragu, jadi gamang, dan jadi tidak percaya diri dalam menjalankan

syariat. Apalagi dengan adanya ungkapan seperti MELEPAS SYARIAT dulu untuk kemudian

baru bisa masuk ke maqam makrifat yang sangat rahasia. Jadi makrifatullah dalam konsep ini

dianggap tingkatan yang tertinggi yang harus dicapai oleh umat Islam. Makanya syariat

kadangkala diremehkan oleh orang-orang yang sudah mencapai level makrifat ini.

Page 6: Tentang ma'rifatullah 2

6

Dalil kerahasiannya pun mereka mengambil dari hadist Abu Hurairah sebagai berikut :

HR Thabrani

“Aku telah hafal dari Rasulullah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan

untuk menyebarkannya kepada sekalian manusia yatu ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah

ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskannya kepada manusia yaitu ilmu

yang seperti ”Hai’atil Maknun (Perhiasan Yang sangat Indah)”. Maka apabila ilmu ini aku

sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau manghalalkan darahku)”.

Tentang Hai’atil Maknan ini diambil juga dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :

HR. Abu Abdir Rahman As-Salamy

“Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan

selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika

mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang

lupa (tidak berdzikir kepada Allah)”.

Padahal yang dimaksud oleh Abu Hurairah Ra., dengan ilmu yang belum berani Beliau

sampaikan itu adalah tasawuf, bukan tarekat. Sebab saat itu tarekat belum lahir. Dan alasan

yang paling penting adalah bahwa saat itu memang sangat sulit sekali mencari Al Hadist dan

Al Qur’an secara utuh yang akan mendukung apa-apa yang

akan Beliau sampaikan itu. Al Qur’an dan Al Hadist saat itu

belum terkumpul secara utuh, masih dalam bentuk lembaran-

lembaran terpisah dan hanya beberapa orang saja yang tahu

dan hafal, sehingga kalau Beliau menyampaikannya, Beliau

takut kalau-kalau umat nanti salah mengerti dan salah

persepsi karena umat saat itu masih kekurangan referensi.

Karena kalau sudah salah persepsi dan salah dimengerti oleh khalayak ramai, tantangannya

adalah nyawa Beliau sendiri.

Akan tetapi keadaan pada saat itu sangat berbeda sekali dengan keadaan kita saat kita

sekarang ini. Al Qur’an dan Al Hadist sudah selesai turun dan sudah dibukukan pula.

Sehingga sekarang ini kita sudah dengan sangat mudah bisa menemukan dalil-dalil Al Qur’an

dan Al Hadist tentang apa saja, termasuk untuk tasawuf itu. Misalnya :

Shahih Muslim Bk 1, 28 (1998)

“Engkau akan datang kepada suatu kaum Ahli Kitab. Karena itu, hendaklah yang pertama-

tama engkau serukan kepada mereka ialah beriman kepada Allah Azza wa Jallah. Apabila

mereka telah mengenal Allah, maka beritahulah mereka bahwa Allah mewajibkan kepada

mereka shalat lima waktu sehari semalam”.

Page 7: Tentang ma'rifatullah 2

7

Jumhur ulama khalaf dan salaf mengatakan “Awwaluddin Makrifatullah”, yaitu awal agama

adalah mengenal Allah swt .

Karena tasawuf itu memang hanyalah sebuah konsep yang sangat mudah dan sederhana

saja. Yaitu kita BERIMAN kepada Allah, lalu MENGENAL Allah yang kita imani itu

(MAKRIFATULLAH), lalu kita lakukan SHALAT dan ibadah-ibadah yang lainnya dalam rangka

untuk MENGINGAT ALLAH (Dzikrullah) dan dalam rangka untuk bersyukur kepada-Nya.

Jadi konsep bertasawuf itu sebenarnya mudah saja, yaitu pertama BERMAKRIFATULLAH

sampai poool (full), lalu BERSYARIAT dengan semangat 45 (jahadu). Kedua-duanya memang

harus seiring dan sejalan secara bersamaan. Kalau tidak, maka kita akan sangat kesulitan

dalam menjalankan syariat itu, atau kita akan kehilangan makna hakiki atas kemakrifatan

kita itu.

Kenapa?

Karena, kalau kita belum bermakrifatullah, dan saat kita melakukan berbagai syariat,

terutama shalat, maka selama shalat itu kita akan mengingat apa-apa yang selain Allah.

Ingatan kita akan liar kesana kemari. Kita malah akan mengingat berbagai hal yang tidak kita

ingat di luar shalat. Aneh sekali.

Karena sulitnya kita fokus untuk mengingat Allah saat kita belum bermakrifatullah itu, maka

muncul pula berbagai teknik baru (bid’ah) yang ditawarkan orang yang konon tujuannya

adalah untuk membantu kita mengingat-ingat dan sadar kepada Allah. Misalnya :

• dzikir sambil mengamati cakra-cakra,

• dzikir dengan menyebut nama Allah atau Huu Allah sambil mengamati gerak nafas,

• dzikir sambil berputar-putar,

• dzikir sambil joged,

• dzikir sambil bernyanyi-nyanyi,

• dan sebagainya.

Hasilnya pun ada pula…! Ada rasa

tenangnya, ada rasa bahagianya, ada

cintanya, ada menangisnya, ada

“khusyuk” (karena pikiran menjadi

tidak liar lagi). Sungguh di sinilah

jebakannya. Sangat halus dan tipis

sekali. Sebab, karena ada hasilnya itulah yang menyebabkan kita menganggap bahwa cara

itu sudah benar. Padahal hasilnya itu adalah hanya karena kita memang sedang fokus

kepada sebuah objek pikir tertentu saja ketika kita melakukan praktek dzikir seperti itu.

Keadaan itu persis sama dengan ketika kita menonton film, atau acara-cara teve seperti

sepak bola, lawak, dan olah raga lainnya. Kita bisa “khusyuk” menontonnya.

Page 8: Tentang ma'rifatullah 2

8

Di samping kita bermasalah dengan ingatan kita di dalam shalat itu, amal-amal kita yang

lainpun akan kita lakukan pula dengan sebab-sebab riya’ dan ingin dihargai oleh orang lain.

Kita ingin sekali dipuji dan dihormati oleh orang lain. Kita ingin sekali berbangga diri dan

merasa hebat di hadapan orang lain.

Akan tetapi kalau kita sudah bermakrifatullah (mengenal Allah), lalu kita mendirikan shalat,

maka selama shalat itu ingatan kita akan sangat mudah sekali TERKUNCI kepada Allah yang

sudah kita kenali dengan baik itu (dzikrullah). Dengan begitu, kita dengan otomatis akan

melupakan wujud-wujud apapun juga yang selain dari Allah. Dan dengan bermakrifatullah

itu pula kita akan menjadi tidak sanggup lagi untuk

bersikap ria, untuk ingin dihargai orang lain, dan untuk

bersikap sombong.

Page 9: Tentang ma'rifatullah 2

9

Artikel 2 :

Peran Penerus Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul

http://yusdeka.wordpress.com/page/2/

Dengan mengetahui peta dari peran-peran seperti di atas, yang harus dijalankan oleh umat

manusia di setiap zaman dalam meramaikan sandiwara kehidupan ini, maka kini kita tinggal

membahas satu peran saja lagi secara agak lebih detail, yaitu peran penerus Nabi-Nabi dan

Rasul-Rasul. Untuk pemeran penerus peran Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul ini, arena bermain

dan wilayah kerja merekapun tidak jauh-jauh dari arena bermain dan wilayah kerja Nabi-

Nabi dan Rasul-Rasul. Panggung sandiwara mereka berada di sebalik visible matter, dark

matter, dan dark energy, yaitu di wilayah Dzat. Mereka paham betul bahwa saat tangan dan

panca indera mereka bersentuhan atau berinteraksi dengan semua materi dan energi yang

ada di alam semesta ini, MATA HATI mereka melihat dengan terang bahwa semua materi

dan energi itu adalah alam sifat semata yang mencerminkan adanya Dzat di sebalik semua

alam sifat itu.

Walaupun alam sifat yang terlihat oleh mata kepala mereka sangat beragam dan memungkin

sekali untuk memunculkan banyak tanya tentang kenapa dan untuk apa, namun mereka

sudah tidak mau lagi berbantah-bantahan untuk itu. Karena mereka sudah paham betul

bahwa ternyata dalam penglihatan mata hati mereka yang sudah menjadi sangat tajam dan

waspada, pandangan mata hati khas untuk orang bermakrifat, di sebalik semua benda dan

non benda yang terdeteksi oleh panca indera maupun di sebalik energi-energi yang

memegang kesemuanya itu, dan di sebalik semua peristiwa dan kejadian, alam Sifat,

TERNYATA ada Wajibul Wujud yang menyebabkan kesemuanya itu terzahir. Wajibul Wujud

itu adalah DZAT Yang Maha Agung, DZAT Yang Maha Indah. Dzat Yang Maha Meliputi segala

sesuatu. Dzat Yang menamakan Diri-Nya Sendiri dengan sebutan Allah.

Dialah yang bersabda “KUN, jadilah…” terhadap sedikit dari Dzat-Nya sendiri, sehingga dari

Dzat-Nya yang sedikit itu terzahirlah semua ciptaan (termasuk semua peristiwa) yang

terkurung di dalam sebuah sistem tertutup yang sangat KETAT. Ruang tertutup itu disebut

sebagai LAUHUL MAHFUZ (Rencana Induk Penciptaan). Apapun yang ada di dalam Lauhul

Mahfuz itu sudah direncanakan dengan sangat lengkap, sangat sempurna, dan tidak ada

satupun yang terlupakan walau sebiji atompun.

Tak lupa, untuk setiap kejadian dan peristiwa yang akan dialami oleh setiap ciptaan di dalam

Lauhul Mahfuz itu, sudah diikutsertakan pula berbagai HIKMAH, Pendidikan, Pelajaran, dan

IJIN-IJIN yang diperlukan untuk terzahirnya semua ciptaan dan semua peristiwa itu, sehingga

tidak ada satu ciptaan dan peristiwapun yang bisa tercipta dan terjadi tanpa IJIN-Nya, tanpa

sepengetahuan-Nya. Dan juga, tidak ada satu ciptaan dan peristiwapun yang tidak ada

pelajaran yang bisa dipetik dari penzahirannya. Sungguh Lauhul Mahfuz itu adalah sebuah

Page 10: Tentang ma'rifatullah 2

10

Rencana Induk (Grand Scenario) Yang Maha Sempurna untuk Sebuah Maha Karya Yang Tak

Tertandingi dari Dzat Yang Maha Indah dan Maha Agung. Allahu Akbar…! Rencana Induk itu

tidak akan pernah berubah dari rencana awal yang sudah sangat-sangat matang itu.

Selanjutnya, Takdir, Ruang, dan Waktulah yang akan mengawal Semua Ciptaan dan Semua

Peristiwa itu untuk mengada, untuk terzahir.

Demi Masa…, lalu FAYAKUN, maka terjadilah apa yang harus terjadi, terciptalah apa yang

harus tercipta. Semuanya tepat pada qada, qadar, dan Ijin-ijinnya, tepat pada waktunya,

tepat pada ruangnya, dan tepat pula hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari setiap

kejadian dan setiap ciptaan itu. Semuanya patuh kepada rencana induk yang telah

ditetapkan pada saat sabda KUN pertama kali disabdakan-Nya yang gemanya akan tetap

menjalar sepanjang zaman.

Orang-orang yang sudah makrifat bisa melihat dengan mata hatinya, yang telah menjadi

sangat tajam, bahwa semua peristiwa dan peran yang tergelar dan terhampar di alam

semesta ini ternyata pada hakikatnya adalah Dzat-Nya semata-mata. Langit, bintang-bintang,

matahari, bumi dan segala isinya ternyata adalah sedikit dari Dzat-Nya yang terzahir menjadi

berbagai bentuk, rupa, dan warna, dengan peran dan sifatnya masing-masing pula. Karena

semua yang terzahir itu adalah dari Dzat-Nya sendiri, sehingga apapun yang terlihat oleh

mata, terdengar oleh telinga, teraba oleh kulit, terbaui oleh hidung, dan terasa oleh lidah,

bisa pula disebut sebagai Dzat-Nya Yang Zahir. Jadi…, tanah, gunung dan lembah,

pepohonan, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, manusia, semua benda dan ciptaan yang

ada, pada hakikatnya adalah Dzat-Nya Yang Zahir yang berasal dari Dzat-Nya Yang Batin.

Sabda KUN-Nya lah yang telah menjadi sebab musabab terzahirnya Dzat-Nya Yang Zahir yang

tadinya berazal dari Dzat-Nya Yang Batin. Sehingga mereka akan bisa memahami bahwa

Dialah Yang Dzahir dan Dia pulalah Yang Bathin. Ketika mereka terpandang (dengan mata

zahir mereka) kepada Dzat Yang Zahir, maka mereka akan melihat berbagai SIFAT (banyak

dan beragam). Akan tetapi ketika mereka terpandang (dengan mata hati mereka) kepada

Dzat Yang Batin, maka mereka hanya akan melihat Hakikat Yang satu. Wujud Yang Tunggal,

Wajibul Wujud, Yaitu DZAT-Nya yang sedikit dari DZAT-Nya keseluruhan Yang Maha Indah.

Ya…, mata hati mereka dapat melihat dengan sangat tajam bahwa Dzat Yang Batin yang

berada di sebalik Dzat Yang Dzahir itu besarnya terhadap Dzat-Nya yang Maha Indah

hanyalah sebesar sebutir pasir ditengah-tengah padang pasir yang sangat luas, seukuran

setetes air asin ditengah lautan yang sangat luas. Sangat kecil sekali. Sehingga lidah

merekapun KELU untuk mengucapkan kata-kata: “Akulah Al Haq, akulah Tuhan, yang ada

dalam jubahku adalah Allah, subhani, aku adalah Aku, Dia adalah aku, aku adalah Dia,

engkau adalah Engkau, dan sebagainya. Mereka tidak terjerumus untuk mengucapkan kata-

kata yang memang sering muncul dari lidah orang-orang yang berpaham Wahdatul Wujud.

Paham yang mempercayai bahwa SEMUA ciptaan ini berasal dari penzahiran SEMUA Dzat

Page 11: Tentang ma'rifatullah 2

11

Allah. Sebab kalau memang begitu, Allah akan menjadi kecil sekali…, sebesar alam ciptaan.

Diapun menjadi tidak pantas untuk kita puja dengan ungkapan Allahu Akbar.

Dengan memahami alam hakikat seperti ini, maka mereka akan berhenti untuk bertengkar

dan berbantah-bantahan. Apa yang mau dipertengkarkan dan diperbantahkan? Karena di

alam hakikat itu sudah TIDAK ada nama-nama, sudah TIDAK ada rupa-rupa,

sudah TIDAK ada suara-suara, sudah TIDAK ada getaran-getaran dan rasa-

rasa, sudah TIDAK ada sifat-sifat, sudah TIDAK ada yang bisa ditulis-tulis

dan dijabar-jabarkan. STOP…! Kita hanya bisa berkata DZAT… !

Karena mereka sadar bahwa yang Wujud hanya Dzat-Nya. Sang Wajibul

Wujud. Sedangkan mereka sudah tidak punya hak apa-apa lagi untuk MENGAKU wujud.

Sebab mereka TAHU DAN SADAR bahwa kalau mereka mengaku wujud pula, maka saat itu

berarti ada DUA wujud yang ada, yaitu wujud mereka sendiri dan Wujud Dzat Yang Wajibul

Wujud. Sehingga saat itu juga runtuhlah TAUHID mereka.

Tambahan lagi, mereka juga tahu dan sadar bahwa ketika mengaku wujud, artinya mereka

mengakui: “Ini adalah pikiran saya, ini adalah milik saya, ini adalah kebenaran saya”, maka

mereka segera saja akan berhadap-hadapan dengan pikiran, milik, dan kebenaran orang-

orang lain yang juga mengaku wujud seperti mereka. Lalu

mereka akan saling berbantah- bantahan, saling bertengkar,

dan bahkan bisa sampai saling bunuh-bunuhan satu sama

lainnya. Ramai sekali…

Sebab, kalau turun dari alam hakikat ke alam sifat, maka kita

akan segera berhadapan dengan sifat-sifat berbagai ciptaan

yang tak terbatas. Kita lalu akan membahas semua sifat-sifat itu tanpa habis-habisnya. Kita

bisa pula berdebat sepanjang masa, tanpa akhir. Bahkan seandainya seluruh air lautan yang

akan kita jadikan sebagai tinta untuk menulisnya, sampai keringpun lautan itu, tidak akan

selesai-selesai kita menulisnya.

Jadi mereka berjalan meninggalkan semua alam Sifat untuk menuju ke Alam Hakikat, yaitu

Alam Dzat. Sehingga mereka berhasil menafikan wujud-wujud yang lainnya kecuali hanya

wujud Dzat, “Laa maujud illa Dzat”. Bahwa hanya Dzat lah Yang Wajubul Wujud, sedang

yang lain selain dari Dzat adalah Sirna, Fana, Tidak Wujud.

Lalu mereka terkejut memandang dengan mata hati mereka akan Kewujudan-Nya, Keesaan-

Nya, Kemahabesaran-Nya. Mereka segera bermakrifatullah. Bahwa wujud itu menamakan

diri-Nya sendiri dengan nama Allah, sehingga merekapun segera sadar bahwa tiada yang

wujud itu kecuali Allah, Laa maujud Illallah…, Laa muajud illallah…

Setiap kali mereka memanggil-Nya dengan sebutan Allah, maka tubuh merekapun tergetar,

hati merekapun remuk redam.

Page 12: Tentang ma'rifatullah 2

12

Ya Allah…, lalu lutut merekapun lunglai

Ya Allah…, lalu merekapun tersungkur.

Ya Allah…, lalu tubuh merekapun bergetar.

Ya Allah…, lalu hati merekapun remuk redam.

Ya Allah…, lalu mata merekapun jadi sembab.

Merekapun segera saja berenang di alam makrifat, bermakrifat kepada Allah (Makrifatullah).

Lalu Makrifatullah inilah yang melandasi setiap aktifitas mereka, melandasi SIKAP mereka,

baik itu untuk beribadah kepada Allah maupun untuk berhubungan dengan sesama umat

manusia.

Page 13: Tentang ma'rifatullah 2

13

Artikel 3 :

Sikap Berketuhanan

http://yusdeka.wordpress.com/2014/03/27/sikap-berketuhanan-bagian-1/

Dengan mengetahui secara garis besar peran-peran yang selalu berulang dalam drama atau

sandiwara kehidupan dari zaman ke zaman seperti di atas, maka sekarang tinggal terpulang

kepada setiap pribadi untuk meneropong dirinya masing-masing. Peran itu akan tetap

berulang dan berulang setiap hari, seperti hal berulangnya kita menonton acara-acara serial

di televisi. Pemerannya boleh jadi berbeda-beda, tetapi alur ceritanya selalu saja hampir

sama dari satu serial keserial yang lain. Hanya berbeda dalam bumbu dan remeh temehnya

saja. Sama juga halnya dengan kita menonton sepakbola atau bulu tangkis, perannya dari

dulu ya itu-itu saja, tetapi para pemeran atau para pemainnyalah yang membuat tontonan

yang sama dari hari kehari itu tetap disukai oleh orang banyak.

Tanpa kita sadari, saat ini :

• Ujug-ujug kita sudah jadi penerus peran tukang sihir dari zaman

Fir’aun saja,

• Ujug-ujug kita sudah jadi penerus peran Abu Jahal saja,

• Tanpa dinyana kita sudah jadi penerus peran orang-orang munafik

saja,

• Entah kenapa kita sudah jadi begitu dekat saja dengan peran iblis

dan syetan,

• Tahu-tahu kita sudah menjadi orang yang begitu gigih melanjutkan

tongkat estafet peran Nabi-nabi dan Rasul-rasul saja.

Semuanya seperti sudah diatur dengan sangat matang dan sempurna, baik berupa pikiran

awalnya, rasa yang mengikuti pikiran awal itu, dan juga proses-proses berikutnya yang

mengikuti pikiran awal itu. Ia hanya seperti dialirkan begitu saja dari Dzat-Nya untuk terzahir

mengikuti takdirnya masing-masing.

Bagi orang-orang yang sudah bermakrifat kepada Allah (Makrifatullah), bahwa ada orang

yang menolak ataupun menerima ketika mereka mengatakan bahwa seseorang itu sedang

menjalan peran ini ataupun itu, sudah menjadi sesuatu yang tidak penting lagi baginya.

Sebab mereka sudah merasakan esensinya, bahwa semua peran-peran itu semata-mata

adalah penzahiran peran Dzat-Nya yang sedikit menjadi berbagai ciptaan, peristiwa, aktifitas,

kejadian, dan pemusnahan, atau dapat diistilahkan sebagai SIFAT-SIFAT, di dalam Lauhul

Mahfuz yang sangat sempurna.

Sangat sempurna dalam arti kata: Sudah jelas QADA dan QADARNYA, sudah ada IJIN oleh

Allah untuk Dzat-Nya terzahir menjadi Sifat-sifat, sudah ada HIKMAH atau PELAJARAN di

setiap penzahiran sifat-sifat itu, tidak ada satupun detail yang terlupakan oleh Allah, sudah

Page 14: Tentang ma'rifatullah 2

14

lengkap sebab dan akibatnya, tidak akan pernah berubah, tepat waktu dan tempat

penzahiran segala sifat-sifat itu.

Oleh sebab itu orang-orang yang sudah bermakrifatullah akan kelu lidahnya untuk

mengumpat dan mencela semua ciptaan yang ada di hadapannya, akan lunglai tangannya

untuk merusak dan mencelakai semua ciptaan yang ada didepannya, akan lemah kakinya

untuk menghancurkan semua ciptaan yang ada di bawah kakinya. Mereka jadi tak kuasa

untuk berbuat makar, membunuh, dan merusak terhadap semua ciptaan yang ada

didepannya. Mereka akan berbuat sebaik-baiknya kepada semua ciptaan itu. Mereka akan

memeliharanya dengan sungguh-sungguh. Mereka akan menjadi penjaga yang setia untuk

kelestarian semua ciptaan itu. Karena mereka sadar bahwa yang mereka jaga sebenarnya

adalah Dzat-Nya Yang Dzahir..

Mereka juga akan kelu lidahnya untuk mengakui apa-apa sebagai miliknya. Mereka akan

sungkan untuk berkata aku. Mereka tak kuasa berkata ini milikku. Mereka malu untuk

menuntut ini adalah hakku. Mereka sungguh menjadi tak berkutik, karena mereka terkejut

bahwa di sebalik semua yang terzahir itu ternyata adalah semata-mata Dzat-Nya sendiri.

Mata hati mereka menjadi sangat tajam untuk menyadari bahwa Wujud yang sebenarnya

Wujud, Wajibul Wujud, ternyata adalah Dzat-Nya. Sedangkan semua ciptaan, termasuk diri

mereka sendiri, pada hakikatnya adalah tidak wujud. Karena mereka tidak wujud, apa yang

akan mereka akui ? Ya nggak ada.

Untuk setiap peristiwa, mereka akan membaca (IQRA) apa-apa hikmah dan pelajaran yang

terkandung didalamnya. Lalu mereka akan menyesuaikan diri, akan belajar, akan

mengembangkan pengetahuan dan kemampuan mereka untuk menghadap hal-hal yang

sama atau bahkan hal yang lebih dahsyat dari apa-apa yang mereka alami sekarang ini di

masa-masa mendatang.

Mereka merubah nasib mereka sendiri untuk menjadi lebih baik di masa depan dengan cara

mereka tekun membaca dan mempelajari peristiwa demi peristiwa dan kejadian demi

kejadian. Sebab mereka paham betul bahwa Allah tidak akan merubah nasib mereka kalau

mereka tidak merubahnya sendiri dengan jalan membaca hikmah-hikmah dan pelajaran-

pelajaran dari berbagai takdir (baik atau buruk) yang telah menimpa mereka sebelum-

sebelumnya.

Namun dalam proses membaca peristiwa-peristiwa itu mata hati mereka juga sangat tajam

melihat bahwa apa yang mereka lakukan dalam proses membaca (iqraa) itu, semuanya

sudah tertulis pula di Lauhul Mahfuz, berikut dengan segala hasilnya. Dengan begitu mereka

sadar sesadar-sadarnya bahwa sebenarnya bukan merekalah yang membaca, tapi mereka

hanya DIBACAKAN, DIDIKTEKAN tentang peristiwa-peristiwa atau sifat-sifat.

Page 15: Tentang ma'rifatullah 2

15

Berikut ini akan kita lihat beberapa suku bangsa yang berhasil ataupun yang gagal dalam

membaca hikmah dan pelajaran dari beberapa peristiwa yang berulang.

• Orang Jepang berhasil merubah nasibnya untuk masa-masa mendatang dalam

menghadapi bencana gempa dan tsunami justru dengan

cara membaca hikmat dan pelajaran yang terkandung di

dalam peristiwa gempa bumi dan tsunami itu. Mereka

tidak sibuk mencari kambing hitam yang akan disalah-

salahkan atas terjadinya peristiwa gempa dan tsunami itu.

Sehingga gempa dan tsunami itu “nyaris” sudah

ditundukkan oleh mereka dengan korban manusia yang

sangat sedikit.

• Orang Amerika dan Eropa, dari membaca angin, mereka berhasil menciptakan berbagai

pesawat terbang mulai dari pesawat komersial sampai dengan pesawat terbang yang

aneh-aneh untuk berperang dengan sesama. Dari membaca bulan, planet-planet, dan

bintang-bintang, mereka juga berhasil membangun cikal bakal alat transportasi antar

plannet. Dan banyak lagilah keberhasilan bangsa-bangsa

di dunia ini dalam membaca ayat-ayat Allah yang

bertebaran di muka bumi ini untuk kemudian

menghasilkan ilmu-ilmu baru yang sangat menakjubkan.

• Hanya orang-orang Jakarta (khususnya) dan orang

Indonesia (pada umumnya) yang nampaknya kurang belajar dan membaca hikmah atas

peristiwa-peristiwa banjir dan bencana alam lainnya, seperti kabut asap, yang terjadi

setiap tahunnya. Mereka lebih sibuk mencari kambing hitam yang ternyata mereka

lekatkan kepada Gubernur, Wakilnya dan pihak-pihak lainnya. Sehingga setiap kali terjadi

banjir atau bencana asap, yang jadi sasaran kemarahan adalah Gubernur dan Wakilnya

itu. Dan akhirnya semuanya jadi lupa untuk menundukkan banjir dan asap itu sendiri.

• Yang sedang hangat, berkali-kali bangsa Indonesia telah melaksanakan Pemilu, Pilkada,

Pilpres, Pilgub, dan pil-pil lainnya, yang katanya untuk memperbaiki taraf kehidupan

rakyat, namun ternyata semua aktifitas itu tidak serta merta bisa mengubah taraf hidup

rakyat dan martabat bangsa kita digelanggang sandiwara kehidupan antar bangsa. Yang

ingin dipilih memang sangat antusias menjajakan partainya dan dirinya diawal-awal

kampanyenya, tapi kemudian ia jadi sibuk dengan dirinya sendiri dan partainya setelah ia

duduk dengan empuk di kursi pemerintahan dan dewan yang terhormat. Lalu kegagalan

dan kerakusan bin centang-perenang seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya

pun berulang dengan magnitute yang lebih mencengangkan. Rakyat kembali hanya bisa

menikmati hidup dalam rasa keterpurukan, sambil bersungut-sungut dan memaki-maki di

dalam hati, lalu kemudian mereka kembali lupa untuk menarik hikmah dan pelajaran.

Page 16: Tentang ma'rifatullah 2

16

Ada memang yang mampu mengambil hikmat dan pelajaran dari peristiwa-peristiwa itu,

namun bagi orang-orang yang tidak bermakrifatullah, ketika mereka merasa bisa membaca

dan berpikir atas berbagai peristiwa, mereka akan melihat bahwa mereka sendirilah yang

berpikir. Sehingga mereka berkata dengan gagah berani : “Karena aku berpikir begini maka

hasilnya jadi begini, karena saya berani berpikir begitu, maka hasilnya pun jadi begitu”. Ada

rona atau nada keangkuhan dan pengakuan mereka atas sebuah proses berpikir yang telah

mereka alami dan lalui itu. Dan merekapun kemudian berani pula menjual dan memasarkan

keangkuhan dan pengakuan mereka itu dengan gagah berani kepada orang lain.

Namun bagi orang yang sudah bermakrifatullah, mata hati mereka juga telah menjadi

sangatlah tajam untuk melihat bahwa dalam membaca hikmah dan pelajaran dari setiap

peristiwa itupun sebenarnya mereka tidaklah sulit-sulit amat. Sebab tenyata Allah sendirilah

yang telah berkenan mengalirkan kepahaman itu ke dalam hati dan pikiran mereka. Tiba-tiba

saja Allah memunculkan atau menzahirkan sebutir benih pikiran di dalam pikiran mereka.

Benih pikiran itu lalu berkembang dan membesar untuk kemudian berubah menjadi sebuah

kepahaman baru atas apa-apa yang sebelumnya belum mereka ketahui, atau bisa pula

terjadi dalam bentuk perubahan-perubahan peristiwa dan kejadian dengan secepat kilat.

Dan yang terpenting adalah, karena mereka sadar bahwa semua peristiwa dan kejadian itu,

termasuk hikmahnya, sudah tertera dan tertulis pula dalam Buku Perencanaan Induk Yang

Sangat Sempurna (Lauhul Mahfuz), maka mereka benar-benar sudah tidak punya tempat lagi

untuk mengaku bisa, merasa hebat dan tahu atas pencapaian mereka dalam membaca

hikmah dari berbagai peristiwa dan kejadian-kejadian itu. Mereka hanya berkata:

Subhanallah, semua adalah ayat-ayat Allah yang nyata, yang terzahir dari sedikit Dzat-Nya.

Mereka juga paham bahwa dengan munculnya sebuah benih pikiran di dalam pikiran

mereka, mereka hanya perlu waspada untuk melihat apakah bibit pikiran itu akan membawa

mereka kepada takdir yang baik (Ilham Taqwa) ataupun takdir yang buruk (Ilham FUJUR)

yang akan terjadi beberapa waktu yang akan datang. Dua-duanya terjadi atas ijin dari Allah.

Sebab ketika Allah telah mengijinkan sesuatu takdir (kejadian atau peristiwa) terjadi untuk

beberapa waktu yang akan datang, sesuai dengan yang tertulis di Lauhul Mahfuz), yang

peristiwanya bisa saja terjadi beberapa saat lagi atau beberapa waktu yang akan datang,

Allah terlebih dahulu berkenan mengirimkan sinyal-sinyal-Nya ke dalam alam pikiran (mata

hati) orang-orang tertentu, berikut dengan rasanya sekaligus ke dalam dada mereka.

Peristiwa diberitahu lebih awal, sebelum sebuah peristiwa terjadi, disebut juga sebagai

Ilham, atau Firasat, atau Wahyu, yang tergantung kepada siapa penerimanya. Ilham dan

firasat adalah biasanya didapatkan oleh orang-orang yang sangat dekat dengan Allah,

sedangkan Wahyu adalah berita-berita kepada Nabi dan Rasul Allah.

Karena pemberitahuan itu hanyalah berupa penyingkapan sedikit dari peristiwa-peristiwa

yang akan datang, yang kesemuanya itu sudah tertulis di Lauhul Mahfuz, maka lidah

Page 17: Tentang ma'rifatullah 2

17

merekapun kelu untuk mengaku hebat dan mengetahui hal-hal yang gaib. Sebab mereka

memang hanyalah sekedar diberitahu dan diperlihatkan saja untuk sekilas. Memang untuk

Nabi Muhammad SAW agak berbeda, karena Beliau sudah diberitahu dan diperlihatkan

peristiwa-peristiwa sejak mulainya proses penciptaan alam semesta ini sampai dengan

proses berkumpulnya seluruh umat manusia kelak di dalam syurga. Beliau dikenalkan

dengan tuntas dan paripurna. Tapi tidak pernah Beliau mengaku bahwa Belia adalah orang

yang sangat hebat. Beliau selalu mengaku hanya sebagai Rasulullah, hamba Allah. Tidak

lebih.

Yang menarik adalah sikap orang-orang yang sudah bermakrifatullah tentang do’a. Selama in

sangat umum orang berpendapat bahwa, setiap orang bisa mengubah nasibnya dengan cara

berdo’a. Mereka bisa berdoa secara sendiri-sendiri, maupun secara berjamaah, ataupun

minta dido’akan oleh orang-orang tertentu, baik dengan imbalan maupun dengan tanpa

imbalan. Tujannya adalah satu, yaitu agar Allah berkenan mengubah nasib atau takdir yang

ia rasakan tidak baik untuk saat ini. Yang miskin ingin menjadi kaya, yang sakit ingin jadi

sembuh, yang kaya ingin tambah kaya, yang sehat ingin tambah panjang umur, yang gagal

ingin jadi berhasil, yang sedang ikut test tertentu ingin lulus, dan sebagainya. Dan ternyata

memang banyak pula orang yang terkabul apa-apa yang mereka do’akan itu. Hidup mereka

telah berubah menjadi lebih baik.

Nah…, bagi orang yang belum bermakrifatullah, mereka benar-benar menganggap bahwa

do’a-do’a mereka itulah, atau paling tidak kata-kata dan pikiran merekalah, yang telah

mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. Lalu mereka kemudian berkata dengan

sumringah. “berdo’a dong…, atau mari kita berdo’a bersama-sama untuk kebaikan sebuah

kaum atau wilayah, atau minta do’a kepada si anu tuh… do’anya makbul, atau saya berubah

begini karena saya rajin berdo’a…”, dan sebagainya. Atau bisa pula dengan menggunakan

istilah-istilah dunia quantum yang memang sangat populer saat ini, bahwa ada yang

mengaku bisa mengubah sebuah keadaan di suatu tempat dengan menggetarkan vibrasi

tertentu ke alam semesta yang nanti akan di respon oleh alam semesta itu sesuai dengan

vibrasi yang dilepaskan oleh orang-orang tersebut.

“Hebat sekali mereka ya..!”, kata orang yang tidak atau belum bermakrifatullah kepada

mereka. Seakan-akan Allah terpaksa menghapus rencana awal-Nya terhadap suatu kejadian

atau peristiwa gara-gara ada intervensi do’a-do’a atau getaran-getaran bermuatan kehendak

tertentu dari orang-orang tertentu yang sangat hebat. Sehingga Allahpun menyerah dan

terpaksa mengubah rencana-Nya menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang-

orang yang hebat itu.

Makanya ada orang yang rela pergi ke mana-mana untuk menjajakan getaran kasih sayang,

getaran ikhlas, getaran penyembuhan, getaran quantum, dan getaran-getaran lainnya.

Page 18: Tentang ma'rifatullah 2

18

Sebab memang banyak pula orang-orang percaya kepada mereka, sebab memang mereka

bisa melihat ada hasilnya. Ada perubahannya.

Akan tetapi bagi orang yang sudah bermakrifatullah, keadaannya sungguh sangat berbeda

sekali. Berbeda seperti berbedanya langit dan bumi. Mereka bisa melihat dengan sangat

tajam melalui mata hati mereka, yang memang sudah terbuka, bahwa :

. . . proses mereka berdo’a itu, do’a-do’a yang mereka baca, dan juga waktu ketika

mereka berdo’a itu, termasuk perasaan mereka yang muncul saat berdo’a itu,

misalnya rasa tenang, bahagia, cinta, dan ikhlas, semuanya sudah tertulis di Lauhul

Mahfuz. SUDAH TERTULIS. Lidah mereka hanyalah sekedar tempat penzahiran saja

dari do’a-do’a itu agar bisa terlantun pada saatnya. Dan hati mereka hanya sekedar

tempat untuk menikmati rasa-rasa yang muncul itu dengan penuh rasa syukur.

Begitu juga, ketika terjadi perubahan-perubahan ataupun tidak pada diri mereka sendiri

ataupun terhadap lingkungan di sekitar mereka setelah mereka berdo’a itu, mereka bisa

melihatnya dengan mata hati yang sangat bening, bahwa keadaan yang berubah ataupun

tidak itu, sudah tertulis dengan sangat

sempurna di Lauhul Mahfuz.

Sehingga lidah orang-orang yang sudah

bermakrifatullah menjadi kelu untuk mengaku-

ngaku, karena memang ternyata tidak ada

sesuatu apapun yang bisa mereka akui sebagai

hasil jerih payah mereka, walau hanya sekedar

do’a mereka, apalagi sebagai kehebatan

mereka. Sebab semua perubahan di alam materi maupun di dimensi quantum itu ternyata

hanyalah semata-mata penzahiran dari sedikit Dzat-Nya menjadi berbagai sifat-sifat yang tak

terbatas.

Mereka juga bisa melihat dengan jernih bahwa untuk penzahiran semua sifat-sifat itu, sudah

tertulis pula dengan matang tentang siapa-siapa yang akan berperan sebagai penerus peran

tukang sihir Fir’uan, siapa-siapa yang akan bertugas untuk meneruskan tongkat estafet peran

Iblis, Fir’aun, Qarun, dan siapa-siapa pula yang akan kukuh meneruskan peran Nabi-Nabi dan

Rasul-Rasul. Tak lupa pula penerus peran orang-orang munafik, kafir, malas, bodoh, pandai,

pintar, dan sebagainya.

Semua pemeran itu akan kukuh dan matian-matian dalam menjalankan peran mereka dalam

sebuah panggung sandiwara kehidupan yang maha kolosal. Skenarionya, dan pemeran-

pemerannya selalu berubah dan diperbaharui setiap saat, sampai datangnya saat kehidupan

di kampung akhirat kelak. Sungguh kehidupan dikampung akhirat itu jauh lebih baik, dan

kampung akhirat itu tidak ada satupun yang akan dianiaya oleh Allah. Lalu dengan begitu,

Page 19: Tentang ma'rifatullah 2

19

apakah orang-orang yang sudah bermakrifatullah hanya tinggal diam dan menjadi orang

yang pasrah begitu saja, atau tidak melakukan apa-apa lagi, sebab semuanya kan sudah

ditakdirkan dituliskan oleh Allah di Lauhul Mahfuz.

Jawabannya pun sudah di bimbing oleh Rasulullah (Saw) ketika Beliau ditanya: “Jika

demikian (sudah ditentukan) tidakkah lebih baik kami pasrah saja ya Rasulullah?”. Beliau

menjawab: “Janganlah begitu, beramallah dan jangan berpasrah”. Sunan Ibnu Majah.

Walaupun dari sisi Allah, taqdir dari semua ciptaan itu sudah direncanakan dan ditulis-Nya di

dalam buku yang nyata, Lauhul Mahfuz, namun dari sisi makhluk, khususnya manusia, taqdir

itu tetap menjadi sebuah misteri terselubung yang hanya akan dibukakan oleh Allah pada

waktu yang tepat dan tempat yang cocok berupa penzahiran kejadian-kejadian dan

peristiwa-peristiwa.

Kalaupun Allah berkenan membukakan sedikit rahasia penzahiran itu kepada kita, maka

itulah yang dinamakan sebagai ilham, pengajaran, atau pemberitahuan dari Allah kepada

kita sebelum kejadian dan peristiwa itu terzahir. Khusus untuk Rasulullah SAW, rahasia besar

itu dibukakan oleh Allah untuk Beliau mulai dari kejadian awal alam semesta ini sampai

dengan peristiwa akhir dari semua ciptaan itu nantinya. Sehingga Beliaupun paham betul

tentang: Dialah Yang Awal, dan Dia pulalah Yang Akhir.

Misteri itulah yang mengharuskan kita untuk selalu beramal dan beramal setiap saat sesuai

dengan kapasitas kita masing-masing. Dan amalan kita itu bukanlah amalan yang aneh-aneh

dan bukan pula amalan yang memberatkan kita. Tidak. Kita cukup mengikuti dan mencontoh

apa-apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam keseharian Beliau. Sebab amalan apapun yang

kita lakukan tapi itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah ternyata itu hanya akan

menyengsarakan dan melelahkan kita saja dalam menjalaninya.

Tapi harus diingat pula bahwa apapun amalan yang kita lakukankan itu, begitu kita

melakukannya, itu juga sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. Peristiwa kita melakukan amalan itu

bukanlah akibat dari usaha kita sendiri yang telah memutuskan dan memilih untuk

melakukannya. Sebab apa-apa yang kita pilih dan putuskan untuk kita lakukan itupun sudah

tertulis di Lauhul Mahfuz. Sehingga dengan begitu benar-benar tidak ada lagi tempat bagi

kita untuk mengaku dan berbangga diri: “Aku telah memilih begini, maka hasilnya seperti ini.

Atau kejadian ini adalah karena saya melakukan ini dan

itu, karena saya begini dan begitu”.

Misalnya, ketika suatu saat suatu daerah dilanda kemarau

panjang, tanah pertanian jadi kering kerontang, tanaman

dan hewan mati kehausan, manusia kesulitan air, lalu

sekelompok orang berkenan melakukan shalat istisqa

secara bersama-sama untuk minta hujan. Tak lupa

Page 20: Tentang ma'rifatullah 2

20

mereka membawa berbagai hewan ke tempat shalat itu dilaksanakan. Tidak lama setelah

orang-orang tersebut melaksanakan shalat istisqa, alhamdulillah hujan turun dengan sangat

derasnya. Pertanyaannya adalah: apakah hujan yang turun itu adalah karena akibat dari

orang-orang melaksanakan shalat istisqa ?, atau bagaimana?

Kalau jawaban kita adalah: bahwa hujan turun itu adalah karena hasil atau pengaruh dari

shalat istisqa yang kita lakukan itu, maka saat itu juga runtuhlah tauhid kita. Sebab dengan

begitu, ada dua yang wujud yang berkehendak dan berkuasa saat itu, yaitu Allah dan orang-

orang yang melakukan shalat istisqa itu. Allah seakan-akan menyerah atau takluk dengan

kehendak orang-orang yang shalat istisqa itu sehingga Allahpun terpaksa mengubah taqdir-

Nya dari menciptakan musim kemarau menjadi menciptakan suasana musim hujan.

Akan tetapi, kalau jawaban kita adalah: bahwa hujan itu sudah ditaqdirkan oleh Allah terjadi,

shalat istisqa yang dilakukan oleh orang-orang itu juga sudah ditaqdirkan oleh Allah

terlaksana, bahkan siapa-siapa yang shalat istisqa itu, apa bacaannya, dan apa do’anya,

semuanya juga sudah ditaqdirkan oleh Allah terlaksana. Sehingga dengan begitu, peristiwa

hujan, orang shalat istisqa, do’a-do’a yang dipanjatkan, semuanya itu hanyalah penzahiran

dari taqdir Allah yang sudah ditulis-Nya di Lauhul Mahfuz. Inilah jawaban orang-orang yang

bertauhid. Sebab tauhid mensyaratkan bahwa yang wujud hanyalah Dzat Allah, Sang Wajibul

Wujud. Sedangkan yang lain selain Dzat Allah adalah tidak wujud.

Sampai sekarang, memang ada 4 macam pemahaman yang berkenaan dengan masalah

taqdir ini. Yaitu:

1. Paham Jabariyah, yang mengatakan bahwa kita sama sekali tidak bebas untuk berbuat

dan berkehendak sesuai dengan pilihan kita. Kita hanya semata-mata berada pada posisi

orang yang TERPAKSA menerima untuk melakukan sebuah perbuatan tertentu yang

telah ditetapkan qada dan qadarnya oleh Allah.

2. Paham Muktazilah atau Qadariah, yang mengatakan bahwa kita bisa bebas memilih apa

saja yang akan kita perbuat dan kita kehendaki, baik itu untuk keburukan maupun untuk

kebaikan. Pilihan itu adalah mutlak atas kekebasan kita sendiri dalam memilih dan

menentukan. Kebebasan kita itu tidak bisa diintervensi oleh Allah. Bahwa tiap-tiap orang

adalah pencipta bagi segala perbuatannya.

3. Paham Asy‘ariyah, yang menjadi paham mayoritas umat islam, yang mengatakan bahwa

segala perbuatan baik dan buruk itu memang adalah karena kehendak Allah, semua

sudah ditaqdirkan oleh Allah. Akan tetapi manusia diwajibkan berikhtiar untuk

mengusahakan agar perbuatannya itu adalah perbuatan baik yang sesuai dengan

petunjuk Al Quran dan As Sunnah.

4. Paham Makrifatullah, adalah paham orang-orang yang sedikit, yang mengatakan bahwa

orang yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya niscaya pastilah ia menyadari

Page 21: Tentang ma'rifatullah 2

21

bahwa ia tiada mempunyai wujud bagi dirinya sendiri. Karena ia sudah tidak wujud,

maka tidak ada pula baginya urusan dengan punya kekuasaan atau tidak punya

kekuasaan dalam memilih atau tidak memilih sebuah perbuatan dan kehendak. Sebab ia

sudah menyadari bahwa dirinya adalah tidak wujud. Bahwa dirinya hanyalah semata-

mata penzahiran atas sangat sedikit sekali diantara sangat sedikit Dzat Allah dari

keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Agung. Dzat-Nya yang sedikit itu “terkurung” di dalam

sistem tertutup di dalam ruang penciptaan yang agung yang disebut sebagai Lauhul

Mahfuz. Sehingga mata hati merekapun menjadi sangat tajam untuk memahami bahwa:

“Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh

mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tapi Allah-lah yang

melempar…”, Al Anfal (8): 17. Lalu mulut merekapun terdiam untuk mengaku-ngaku.

Apa yang mau mereka akui, kalau mereka sadar bahwa mereka tidaklah wujud.

Empat macam pemahaman ini pulalah nantinya yang akan membedakan setiap manusia

dalam menerima rukun iman yang ke enam, yaitu “PERCAYA KEPADA TAQDIR ALLAH.

Berbeda dalam penerimaan kita terhadap taqdir Allah itu, maka akan berbeda pula sikap kita

dalam bertindak dan beraktifitas terhadap sesama ciptaan yang lainnya maupun terhadap

sikap kita kepada Allah dan juga sikap kita kepada Rasulullah Muhammad SAW. Sikap

Berketuhanan…!. Mari kita lihat perbedaan-perbedaan itu dengan lebih detail.

Kalau kita meyakini Paham Jabariyah sebagai patokan kita dalam memahami TAQDIR, boleh

dikatakan kita akan berada pada sebuah ektrim atau kutub dalam bersikap, yaitu kita akan

cenderung untuk menjadi orang yang FATALIS, atau dalam bahasa Indonesia disebut

PASRAH. Bahwa semua taqdir adalah kekuasaan Mutlak Allah Swt, di mana manusia

dianggap tidak punya daya upaya sama sekali. Kita tidak bisa apa-apa. Oleh sebab itu apapun

usaha kita untuk merubah taqdir kita, itu dianggap tidak akan membawa hasil apa-apa.

Sehingga akhirnya kita terpaksa MEMUTUSKAN untuk mengerjakan sesuatu dalam keadaan

terpaksa, sebatas apa yang kita ANGGAP telah ditaqdirkan untuk kita saja. Atau bisa pula

lebih parah dari itu, yaitu tidak melakukan apa-apa.

Ciri-ciri paham jabariyah ini adalah kita akan menjadi orang yang tidak terlalu aktif untuk

menjalankan peradaban kita sebagai manusia. Sebab kita dihalangi oleh keyakinan bahwa

seaktif apapun kita, hasilnya tetap akan begitu-begitu saja, sebab semuanya sudah

ditaqdirkan oleh Allah untuk kita.

Seringkali orang yang berpaham Jabariyah ini bergumam: “Kalau begitu ya sudah, saya akan

pasrah saja kepada taqdir, atau nasib yang telah ditetapkan Allah untuk saya. Kalau saya

miskin, ya sudah…, saya pasrah saja. Kalau saya sakit, ya… saya tinggal pasrah saja. Toh Allah

sudah menetapkan taqdir saya seperti ini…”.

Pada posisi kutub extrim yang sangat bertolak belakang dengan Paham Jabariyah diatas,

terdapat kutub paham QADARIAH atau MUKTAZILAH. Kalau kita berpegang pada paham

Page 22: Tentang ma'rifatullah 2

22

Qadariah ini dalam menjalani kehidupan, maka ciri khas yang akan kita lakukan adalah kita

akan bersikap sangat RASIONALIS. Kita merasa bahwa kita bisa melakukan apa saja selama

hal itu bisa kita pikirkan dan bisa pula diterima oleh akal kita. Sungguh kita merasa sangat

bebas untuk memilih (free will) dan bebas pula untuk berkatifitas apa saja (free act) didalam

hidup kita. Sampai-sampai kita tergoda untuk meniadakan peran Allah di dalam hidup kita.

Godaan untuk menafikan peran Allah itu begitu kuatnya, sebab

saat ini hukum-hukum fisika quantum seperti memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya kepada kita untuk

memengaruhi kejadian dan peristiwa sesuai dengan niat

(pemusatan pikiran) kita terhadap sebuah kejadian atau

peristiwa yang kita ingin “ciptakan”. Dan ajaibnya itu bisa

terjadi dengan sangat mudahnya. Kalau kita ikut menonton

acara pertunjukan olah fisika quantum itu, kita akan sangat

kelelahan untuk menjawab sebuah pertanyaan nakal berikut ini: “Lalu peran Tuhan di

mana?”. Apalagi kalau pertanyaan itu diajukan dengan nada yang slengekan, meremehkan,

dan dibarengi pula dengan tambahan wkkwkkwkk di belakangnya. Tidak jarang kekaguman

kita kepada Allah akan terkikis habis dibuatnya. Tetapi…, hal ini tentu saja hanya akan terjadi

pada orang-orang yang tidak mengenal Allah (makrifatullah).

Sekilas memang akan terlihat segi positive dari paham Qadariah ini. Bahwa banyak sekali

penemuan-penemuan baru yang tercipta dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, antariksa,

dan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya yang kesemuanya itu akan membuat kita lebih

mudah dan lebih nyaman dalam menjalani kehidupan kita. Akan tetapi hasil yang kita

dapatkan itu tidak serta merta bisa membuat kita bisa menikmati kehidupan ini dengan

bahagia. Hidup yang bebas dari segala macam rasa takut dan rasa khawatir. Di tengah-

tengah kemudahan dan kenyamanan yang ada di mana-mana, kita malah sedang dibebani

oleh rasa takut dan khawatir yang entah kenapa muncul begitu saja di dalam lubuk hati kita.

Sehingga hampir semua umat manusia saat ini sedang berusaha tanpa henti untuk

menemukan jalan keluar dari ketakutan dan kekhawatiran itu. Menemukan jalan menuju

kebahagiaan. Namun nampaknya jalan itu masih sangat panjang dan berliku.

Sebagai jalan tengah diantara kedua sisi ekstrim Jabariyah dan Qadariyah itu, muncullah

paham Asy‘ariyah yang merupakan paham yang dianut oleh sebagian besar umat Islam.

Kalau kita memakai paham Asy’ariyah ini dalam mengimani Taqdir, maka secara tidak sadar

kita akan dibawa untuk bisa menerima paham Jabariyah dan Qadariyah secara seimbang.

Paham Jalan Tengah. Dari sisi Jabariyah kita akan bisa menerima bahwa semua peristiwa dan

kejadian di alam dunia ini sudah ditaqdirkan oleh Allah untuk terjadi dan terzahir. Sedangkan

dari sisi Qadariyah kita akan bisa pula menerima istilah IKHTIAR yang mewakili keharusan

kita untuk berusaha dan berkarya dalam menentukan nasib kita sendiri. Tapi ikhtiar yang

dianggap afdal adalah ikhtiar yang bersesuaian dengan petunjuk Al Qur’an dan Al Hadist.

Page 23: Tentang ma'rifatullah 2

23

Setelah kita BERIKHTIAR yang sebenarnya mewakili sikap Paham Qadariyah, maka kita

diminta pula untuk menerima pasangan sikap sebaliknya yang mewakili Paham Jabariyah,

yaitu BERTAWAKKAL. Istilah IKHTIAR dan TAWAKKAL inilah yang sering dipakai oleh orang

yang berpaham Asy’ariyah untuk menghantam orang yang berpaham Qadariyah atau

Jabariyah.

Ketiga paham dalam memaknai taqdir seperti diatas telah berkembang ke segala penjuru

dunia islam sesuai dengan berjalannya waktu. Ada orang yang tetap memegang teguh

pahamnya sampai dia meninggal, dan ada pula orang yang berpindah dari satu kutub

pemahaman ke kutub pemahaman yang lainnya . Misalnya ada orang yang pada awalnya dia

berpaham Jabariyah, kemudian di tengah jalan dia beralih menjadi berpaham Qadariyah

ataupun sebaliknya. Yang banyak terjadi adalah orang yang tadinya berada pada kutub

pemahaman Qadariyah atau Jabariyah, kemudian dia beralih menjadi orang yang berpaham

Jalan Tengah atau paham Asy’ariyah. Orang yang beralih ke jalan tengah ini biasanya disebut

sebagai orang yang sudah TOBAT dari kesalahannya. Sebab orang yang berada di kutub

pemahaman Qadariyah ataupun kutub pemahaman Jabariyah ini masih dianggap oleh

mayoritas umat Islam sebagai orang yang berpemahaman sesat. Begitu pula orang yang

berpaham Qadariyah akan menyesatkan orang yang berpaham Jabariyah dan Asy’ariyah.

Dan orang yang berpaham Jabariyah akan bersemangat pula menyesatkan paham Qadariyah

dan paham Asy’ariyah.

Alhasil, alih-alih kita bisa bersikap kepada Allah untuk mengimani taqdir Allah yang

merupakan rukun iman yang ke-enam, akhirnya hampir semua dari kita malah terperosok

menjadi orang-orang yang saling menyalahkan dan saling bertengkar satu sama lainnya

tentang taqdir itu sendiri. Ramai sekali, dan hasilnyapun sangat minim untuk kemaslahatan

umat. Kenapa bisa Begitu? Ada rahasia apa disebalik semua tragik hidup yang seperti itu?

Dan bagaimana pulakah gerangan orang yang memegang Paham Makrifatulullah dalam

menyikapi taqdir?

Pertanyaan-pertanyaan tentang TAQDIR seperti ini rasanya sudah berumur ratusan tahun

(terutama setelah abad ke 4 wafatnya Rasulullah SAW). Dan sejak itu tampaknya kita nyaris

kehilangan jawaban yang bisa melegakan hati kita sebagai bekal kita dalam menghadapi

berbagai hempasan gelombang kehidupan yang mendera. Betapa tidak, lembaran catatan

sejarah umat manusia seperti tak henti-hentinya bercerita tentang jejak peradaban yang

penuh dengan kepedihan, kegalauan, penderitaan, tetesan darah dan airmata, dengan

diselingi di sana sini oleh canda ria, tawa ceria, dan kesumringahan, walau itu hanya

sebentar saja. Jutaan nyawa manusia telah berguguran baik melalui jalan peperang yang

hampir-hampir saja tak pernah berhenti sampai sekarang ini maupun melalui kecelakaan dan

bencana alam yang datang silih berganti.

Page 24: Tentang ma'rifatullah 2

24

Tatkala zaman bertukar, maka berganti pula derajat kesadisan di antara sesama umat

manusia. Perang sudah tidak membedakan lagi antara prajurit dengan anak-anak, wanita

dan orang tua. Semuanya bisa mati secara bersamaan tanpa mereka sempat untuk saling

bertanya-jawab satu sama lainnya tentang siapa mereka.

Belum lagi bencana alam yang datang bertubi-tubi menyambangi berbagai negara dan

bangsa yang juga merenggut jutaan nyawa manusia dan hewan ternak, menghancurkan

rumah dan sawah ladang, yang kesemuanya itu akan menguak jerit tangis yang menguras

airmata dan simpati.

Di tengah-tengah tragik hidup yang seperti itu, kita masih diharuskan untuk beriman kepada

TAQDIR ALLAH yang mengisyaratkan bahwa kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang

baik maupun yang buruk itu, semuanya berasal dari aktifitas dan pengaturan Allah. Dalil-dalil

Al Qur’an dan Al Hadistnyapun lengkap sekali kita punyai untuk kita jadikan sebagai patokan

kita dalam bersikap.

Namun itulah masalahnya, dengan semua kelengkapan bahan dasar untuk bersikap itu, kita

malah gagal untuk merangkainya menjadi sebuah bentuk sikap yang utuh. Kita gagal dalam

bersikap menghadapi Taqdir Allah seperti sikap yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW,

Sahabat-sahabat Beliau, Tabi’in, Tabiut Tabi’in. dan juga Nabi-Nabi dan orang-orang shaleh

pada Zaman Dahulu. Tanda-tandanya mudah saja kok untuk dilihat. Kita masih saja selalu

bertanya dan bertanya dengan sangat lantang ataupun dengan setengah malu-malu:

“Kenapa ini harus terjadi Ya Allah?; Kenapa begini Ya Allah?; Kenapa harus saya, keluarga

saya, anak saya yang harus menanggungnya Ya Allah? Khan yang seharusnya menanggung

nestapa ini adalah dia, si itu, si ini, keluarga si anu?”

Atau kita bisa pula berlagak menjadi seorang hakim yang sangat bijaksana tatkala sebuah

bencana alam menimpa suatu daerah. Dengan suara yang amat lantang kita bisa dengan

mudah menghakimi penduduk di daerah tersebut: “Bencana itu terjadi karena penduduk di

daerah itu sudah penuh dengan perbuatan maksiat, sehingga Allah menghukum mereka. Ini

adalah hukuman Allah atas dosa-dosa mereka. Coba kalau penduduk di daerah itu menjadi

orang yang beriman dan meninggalkan maksiat, insyaalah Allah akan menjauhkan bencana

dari daerah tersebut”. Huh…, betapa beraninya kita menghakimi mereka seakan-akan kita

tahu rahasia disebalik bencana itu.

Dan yang paling menggoda adalah keinginan kita untuk merasa memiliki suatu atribut atau

kebanggaan akan sesuatu yang sedang berada di tangan kita. Tak peduli apakah sesuatu itu

bersifat materil maupun sesuatu yang immateril seperti ilmu, rasa bahagia, khusyu, tenang,

ikhlas, dan lain-lain sebagainya. Misalnya, kita akan sangat mudah sekali tergoda untuk

dikatakan hebat, dibilang bisa ini dan bisa itu, dianggap memiliki ini dan itu, oleh orang lain.

Kalaupun orang lain tidak mengakuinya, kita sendiri bisa mengklaimnya secara sepihak

bahwa sesuatu itu adalah milik kita, atribut kita.

Page 25: Tentang ma'rifatullah 2

25

Di sinilah sebenarnya letak POKOK permasalahan seluruh umat manusia bermula. Yaitu

adanya AKU, sehingga harus ada pula Milikku. Akulah yang MEMUTUSKAN, akulah yang

bersikap, akulah yang menghukum, akulah yang berikhtiar, akulah yang memulai dan aku

pulalah yang akan mengakhirinya.

Ketika kita mengalami sebuah peristiwa atau kejadian, kalau kita berpaham Jabariyah, maka

kita akan keluar dengan sikap pasrah seperti berikut ini: “Karena aku merasa sudah tidak bisa

lagi melawan taqdir Allah, maka aku PUTUSKAN aku akan menjadi orang yang pasrah saja.

Orang yang menerima saja apapun kehendak Allah. Sebab apapun yang akan aku lakukan

toh nasib dan taqdirku sudah ditetapkan oleh Allah seperti apa yang aku alami sekarang ini”.

Lalu kitapun akan cenderung menjadi seperti orang yang berputus asa, dan tidak bergairah

lagi dalam menjalani kehidupan ini.

Sedangkan kalau kita berpaham Qadariyah atau Muktazilah yang sebenarnya keduanya

adalah sebelas dua belas saja alias sama, level intensitas keakuan dan kepemilikan kita

secara otomatis akan menjadi lebih kental dan kuat dibandingkan dengan paham Jabariyah.

Sebab ternyata dengan hanya mengubah-ubah dan mengatur-atur pola pikir kita, ternyata

kita seperti bisa pula mengubah-ubah dan mengatur-atur nasib kita ataupun kejadiaan-

kejadian dan peristiwa-peristiwa yang akan kita dapatkan dan alami di kemudian hari. Kita

seperti bisa untuk memilih kehidupan kita sendiri tanpa campur tangan Allah sedikitpun.

Menarik sekali…, dan menggoda sekali. Nanti akan terbuka sendiri, kenapa hal seperti ini

bisa terjadi…, insyaalah. Tell yea…, ini sebenarnya bukanlah masalah getaran atau vibrasi…

Masalah keakuan dan kepemilikan ini, tak terkecuali, ternyata juga menghinggapi kita ketika

kita berpaham Asy’ariyah dalam menyikapi taqdir ini. Karena kita berada ditengah-tengah

antara paham Jabariyah dan Qadariyah, maka kita lalu merasa lebih aman. Kita merasa tidak

bersikap terlalu ekstrim FATALIS dan tidak pula terlalu ekstrim RASIONALIS. Aman…, kata

kita. Sehingga kadangkala kita bisa bersikap Jabariyah yang ringan dan bisa pula bersikap

Qadariyah yang minimalis. Kita bisa merasa telah BERIKHTIAR dan bisa pula sekaligus

bersikap TAWAKKAL.

Ketiga paham ini sebenarnya Qur’ani dan Hadisti sekali. Sesuai dengan Al Qur’an dan Al

Hadist untuk masing-masing paham itu. Akan tetapi kalau dilihat lebih dalam lagi, ternyata

ketiga paham yang umumnya dipakai oleh umat manusia dalam menghadapi taqdir ini punya

masalah mendasar yang sama, yaitu masalah kewujudan umat manusia di alam dunia ini.

Ya…, ketiganya masih wujud, karena dalam ketiga paham itu masih ada kita yang merasa

bisa menetapkan dan memutuskan apa-apa yang akan kita lakukan, sehingga tanpa kita

sadari saat itu juga runtuhlah Tauhid kita. Sebab disamping ada Wujud Allah sebagai Dzat

Wajibul Wujud, ada pula wujud kita sebagai manusia yang berhak untuk memutuskan dan

menetapkan. Karena kita merasa ada wujud kita, kita merasa wujud, maka kitapun merasa

berhak pula untuk protes, bertanya-tanya, dan menetapkan sikap kita di hadapan Allah.

Page 26: Tentang ma'rifatullah 2

26

Persis seperti sikap yang ditunjukkan oleh iblis di hadapan Allah ketika Nabi Adam pertama

kali diciptakan oleh Allah.

“Aku ada, aku lebih baik dari Adam, Allah salah kalau menyuruhku sujud kepada Adam”, kata

iblis kepada Allah. Lalu ketika Allah mengusirnya dari syurga, maka diapun menerimanya

dengan terpaksa dan malah sempat berikrar bahwa dia akan tetap menggoda seluruh umat

manusia agar nantinya umat manusia itu melawan kepada Allah seperti dirinya, kecuali bagi

orang-orang Allah (mukhlashin).

Malaikat, dalam hal penciptaan Nabi Adam ini, pada awalnya sempat pula menyatakan

kewujudannya di hadapan Allah. Ia mengatakan bahwa Allah mungkin keliru dalam

menciptakan Adam ini, yang ciri-cirinya mirip sekali dengan makhluk penumpah darah

sebelumnya, dan ia juga merasa bahwa sudah cukup hanya ia sajalah yang sujud dan

bertasbih kepada Allah. Oleh sebab itu ia menganggap bahwa

Allah tidak seharusnya menciptakan makhluk yang lain lagi

selainnya.

Lihatlah, betapa pada awalnya Iblis dan Malaikat mempunyai

sikap yang sama kepada Allah terhadap peristiwa penciptaan

Adam ini. Mereka hanya melihat Adam dalam tatanan sifat yang

begini dan begitu, sehingga merekapun berani atau tergoda

untuk membantah Allah dengan berpatokan kepada sifat-sifat

Adam itu. Karena mereka segera saja membandingkan sifat-sifat

mereka dengan sifat-sifat Adam yang mereka lihat secara kasat mata.

Akan tetapi, ketika Allah telah menampakkan kepada mereka “tanda-tanda-Nya” di dalam

diri Adam, hanya Malaikat sajalah yang akhirnya tersadar, sehingga iapun segera sujud tanpa

reserve kepada Adam. Malaikatpun menyadari bahwa dengan melihat “tanda-tanda Allah” di

dalam diri Adam seperti itu, maka jelaslah baginya bahwa Adam pun sebenarnya tidaklah

wujud. Yang wujud adalah tanda-tanda Allah itu. Lalu Ia pun sujud kepada tanda-tanda Allah

yang ada di depannya itu. Dengan sujud itu, maka malaikatpun dengan sendirinya rela pula

untuk melepaskan wujudnya, melepaskan keakuan dan kepemilikannya terhadap dirinya.

Sedangkan Iblis tetap gagal menangkap “tanda-tanda Allah” yang ada di dalam diri Adam itu,

sehingga ia pun bersikukuh untuk tetap tidak sujud kepada Adam sampai hari kiamat. Ia

tetap hanya mampu melihat wujud Adam dengan segala sifat-sifat tanahnya yang kelak akan

ia bandingkan terus dengan wujud dirinya yang berupa api dengan segala sifat-sifatnya pula.

Ia akan tetap melihat adanya kewujudan dirinya dan kewujudan Adam ditengah-tengah

Wujud Sang Wajibul Wujud Allah Swt. Sungguh saat itu juga tanggallah tauhid iblis sampai

hari kiamat kelak.

Page 27: Tentang ma'rifatullah 2

27

Bukankah ketika kita juga merasa wujud yang ditandai dengan kita selalu mengatakan bahwa

ini adalah aku dan ini adalah milikku, sebenarnya saat itu juga kita tengah kehilangan tauhid

kita di hadapan Allah? Karena saat itu ada dua wujud yang eksis, yaitu Wujud Dzat Wajibul

Wujud, dan wujud makhluk yang mengaku wujud pula.

Ketika kita merasa wujud, maka kita dengan gagah berani sering berkata: “Apapun yang

baik-baik yang saya lakukan adalah dari Allah, sedangkan yang buruk adalah dari saya dan

hawa nafsu saya sendiri”. Walaupun kelihatannya kalimat ini sungguh-sungguh santun, tapi

ia tetap bertentangan dengan rukun iman yang ke-6 yang menyatakan bahwa taqdir baik

dan buruk itu semuanya berasal dari Allah…

Begitulah…, banyak orang yang telah mencoba untuk mencari jawaban tentang makna taqdir

ini melalui berbagai pendekatan dan ilmu. Namun sebanyak itu pulalah muncul ragam

jawaban yang membingungkan umat. Padahal untuk menjawabnya kita hanya perlu melihat

“keanehan-keanehan” sikap yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menyikapi perilaku

ummat Beliau, baik yang sudah beriman kepada Allah maupun yang belum.

Nyaris Rasulullah SAW membenarkan semua yang dilakukan oleh para sahabat Beliau,

walaupun yang dilakukan oleh para sahabat Beliau itu berbeda secara signifikan satu sama

lainnya. Beliau hanya memperbaikinya sedikit di sana sini kalau memang itu perlu Beliau

perbaiki agar sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah. Beliau juga membela seorang

Baduy yang buang air kecil di dalam masjid dari amarah para sahabat, sehingga akhirnya si

Baduy itu malah berbalik jadi menyatakan

keimanannya kepada Allah dan Rasulullah.

Pada suatu ketika Rasulullah dilempari batu

oleh para kafirun di Thaif, sampai-sampai

malaikat sendiripun geram melihat mereka,

sehingga malaikat itu ingin menenggelamkan

para kafirun itu dengan tanah pegunungan

saat itu juga. Tapi Rasulullah melarangnya dan

malah berdo’a agar Allah mengeluarkan dari

keturunan mereka, orang-orang yang kelak akan menyembah Allah.

Tanda-tanda Allah seperti apakah gerangan yang dilihat oleh Malaikat sehingga ia langsung

sujud menyungkur kepada Adam? Sebab kitapun sebenarnya harus (kalau tidak mau

dikatakan wajib) mengenal tanda-tanda Allah itu, karena tanda-tanda Allah itu pulakah yang

dilihat oleh Rasulullah terhadap umat Beliau (baik yang sudah beriman maupun yang belum

beriman) sehingga Beliau tidak pernah sekalipun bersikap kasar kepada umat Beliau itu.

Tanda-tanda itu pulalah, pada suatu ketika, yang telah membedakan Musa As dan Khidir As

dalam bersikap, sehingga akhirnya Beliau berduapun harus berpisah satu sama lainnya.

Page 28: Tentang ma'rifatullah 2

28

Sebab ternyata pada saat itu Musa As gagal melihat tanda-tanda Allah itu, sementara Khidir

As bisa melihatnya dengan jelas dan terang benderang.

Dan tanda-tanda itu hanya bisa dilihat dengan memakai “Kacamata Makrifatullah…”

Page 29: Tentang ma'rifatullah 2

29

Artikel 4 :

Kacamata Makrifatullah1

A. Pembahasan

Alhamdulillah, sampai tahapan ini, kita sudah membahas begitu banyak hal yang telah

membebani perjalanan umat islam yang bermula sejak abad ke 4 setelah Rasulullah

SAW wafat yang ternyata berlanjut sampai sekarang ini. Beban itu bermula sejak

dikenalkannya istilah SYARIAT – TAREKAT – HAKEKAT – MAKRIFAT oleh orang-orang

yang mencoba menggali kehidupan BERTASAWUF, yang sebenarnya sudah ada sejak

zaman Rasulullah, melalui cara-cara baru yang disebut sebagai JALAN TAREKAT.

Sejak zaman itu, maka umat islam dalam beribadah terpecah menjadi dua kutub extrim,

yaitu KUTUB SYARIAT yang menyatakan dirinya berpegang teguh kepada Al Qur’an dan

Al Hadits, dan KUTUB TAREKAT yang juga menyatakan dirinya berpegang teguh pada Al

Qur’an dan Al Hadits pula. Tapi anehnya masing-masing kutub itu, Syariat dan Tarekat,

malah saling menyalahkan yang lainnya dan saling membenarkan hanya dirinya sendiri.

Semuanya sibuk sekali untuk membangun keakuannya masing-masing. Membangun

kepemilikannya masing-masing.

Dari Kutub Syariat, kemudian lahirlah berbagai golongan yang bisa kita lihat

eksistensinya sampai sekarang. Misalnya Sunni, Syiah, Qadariyah/Muktazilah, Jabariyah,

Asy’ariyah, sampai kepada yang terbaru seperti Salafi, Wahabi, dan sebagainya.

Semuanya ke luar dengan doktrin yang sangat ketat dalam mempertahankan dogma

pemikirannya masing-masing.

Dari kutub Tarekatpun muncul berbagai tarekat yang nantinya bisa dibedakan menurut

nama pembawanya disaat awal pembentukannya. Misalnya Naqsyabandiyah,

Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, Sammaniyah, Tijaniyah, Sanusiyah, dan

sebagainya. Mungkin lebih dari 40-an aliran tarekat yang terdapat di seluruh dunia saat

ini. Dari sebagian besar para pemraktek Tarekat ini kemudian munculnya paham

Wahdatul Wujud, Ittihad, Hulul, Baqa-Billah, Nur Muhammad, Insan Kami, Syatahat,

Rabitah Mursyid, dan sebagainya. Juga di dalam berbagai tarekat ini kemudian dikenal

berbagai DZIKIR seperti Dzikir Lisan, Dzikir Qalb, dan Dzikir Sirr, yang tujuannya adalah

untuk tujuannya adalah untuk membersihkan JIWA agar Jiwa pengamalnya tersebut bisa

menangkap ILHAM untuk mencapai peringkat Makrifatullah. Sebuah peringkat yang

sangat WAH, yang sangat sulit untuk dicapai oleh orang-orang biasa.

1 http://yusdeka.wordpress.com/2014/05/01/kacamata-makrifatullah-bagian-5/

Page 30: Tentang ma'rifatullah 2

30

Untuk sesaat, marilah kita tinggalkan keramaian pembahasan alam Syariat dan Tarekat

itu untuk kemudian kita masuk ke alam Hakekat menuju Alam Makrifat dengan

memakai Kacamata Makrifatullah. Kita ke luar dari pembahasan itu untuk mengamati

bahwa :

. . . Syariat dan Tarekat itu ternyata hanyalah ALAM SIFAT

yang memang akan selalu ramai dan riuh rendah begitu

kalau kita tetap bertahan di dalamnya.

Kita tidak akan pernah habis-habisnya membahas Alam Sifat ini sampai kapanpun juga,

selama kita masih punya mata, telinga, dan panca indera kita yang lainnya. Karena

memang Alam Sifat ini adalah alam DZAHIR (lahiriah) yang bisa kita deteksi dengan

mudah dengan menggunakan panca indera kita. Kalau nanti tidak cocok, silahkan

kembali ke pembahasan alam Syariat dan Hakekat yang sangat ramai itu untuk

menjalani hari-hari kita selanjutnya.

Kita ikuti saja contoh dari Rasulullah dalam berda’wah :

Shahih Muslim Buku 1, 28 (1998)

“Engkau akan datang kepada suatu kaum Ahli Kitab. Karena itu, hendaklah yang

pertama-tama engkau serukan kepada mereka ialah beriman kepada Allah Azza wa

Jallah. Apabila mereka telah mengenal Allah, Makrifat kepada Allah, maka beritahulah

mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.”

Sebab makrifat kepada Allah Ta’ala itulah yang merupakan

asas atau dasar fondasi yang di atasnya akan didirikan

segala macam kehidupan kerohanian.

Salah dasarnya, maka salah pula bangunan kerohanian yang kita dirikan diatasnya.

Sebab kalau sudah masuk ke dalam Alam Makrifat kepada Allah SWT itu, Alam

Makrifatullah, maka kita akan menjadi orang-orang yang aneh dan ganjil, terutama :

• Di mata orang-orang syariat, dan juga

• Di mata orang-orang tarekat secara umum, apalagi

• Di mata orang-orang awam.

Seganjil dan seaneh Rasulullah SAW, para Sahabat Beliau, Uwais Al Qarni, Khidir AS, dan

“orang-orang Allah” lainnya yang kadangkala sering masih disembunyikan oleh Allah

sampai saatnya nanti dimunculkan oleh Allah ketika mereka sudah punya tugas tertentu

dari Allah yang harus dilaksanakannya untuk kemaslahatan umat manusia.

1. Rasulullah SAW telah membuat orang-orang Yahudi merasa aneh dan ganjil.

Page 31: Tentang ma'rifatullah 2

31

Mereka tidak mudah untuk mempercayai penglihatan mata mereka. Bagaimana

bisa seorang pengembala kambing di gurun pasir dan tidak tahu pula tulis dan baca

menyatakan dirinya telah diangkat oleh Allah sebagai Rasul-Nya. Khan seharusnya

Allah mengangkat Rasul-Nya itu dari kalangan Yahudi sendiri yang menganggap

dirinya adalah orang-orang yang terpilih, the choosen one.

2. Pada sisi lainnya, keanehan yang Beliau lakukan adalah :

a. Walaupun Beliau sudah dijamin untuk masuk syurga, namun Beliau masih tetap

saja melakukan shalat dengan kualitas dan kuantitas yang jauh melebihi

siapapun juga.

b. Begitu juga keanehan Beliau terhadap seluruh umat Beliau, baik yang sudah

beriman kepada Allah maupun yang belum, sangat menggambarkan fungsi

Beliau sebagai Rahmat bagi semua manusia. Beliau tidak pernah menghina,

menghardik, memaki, dan berkata kasar kepada semuanya. Sebab beliau telah

melihat tanda-tanda Allah di sebalik semua ciptaan Allah yang tergelar ini.

Bahwa semuanya ternyata berasal dari sedikit Dzat-Allah yang terdzahir

menjadi semua ciptaan. Semuanya ternyata bersahabat. Sahabat yang terjalin

karena semuanya bersumber dari Dzat Yang satu, Dzat Allah yang sedikit, yang

dikurung oleh Allah sendiri di Lauhul Mahfuz.

Begitu juga Para Sahabat Beliau yang menjadi Khalifah, Uwais Al Qarni, Nabi Khidir As,

dan orang-orang Allah yang lainnya, semuanya bersikap aneh dan ganjil jika dipandang

dengan kacamata masyarakat umum. Sebab :

. . . Beliau-beliau itu memang memakai kacamata lain,

kacamata Makrifatullah.

Kacamata yang mampu melihat tanda-tanda Allah di sebalik

semua ciptaan.

Yaitu adanya Dzat Wajibul Wujud yang menjadi unsur dasar dari semua ciptaan. Tanpa

adanya Dzat Wajibul Wujud ini, maka tidak akan pernah pula tercipta semua ciptaan.

Lensa dari Kacamata Makrifatullah itu adalah Lensa Hakikat,

sebuah lensa yang bisa menangkap adanya Wujud Yang Batin

di sebalik Alam Yang Dzahir itu.

Bahwa di sebalik Alam Sifat ini ternyata ada Dzat Yang Batin yang terdzahir menjadi

seluruh Ciptaan (Dzat Yang Dzahir) itu. Dan :

. . . lensa hakikat ini hanya bisa dipakai dengan

menggunakan Mata Hati atau Mata Akal. Bukan Mata Lahiriah.

Page 32: Tentang ma'rifatullah 2

32

Setelah Mata Hati kita berhasil melihat Wujud Dzat Yang Batin yang menjadi unsur awal

dari terciptanya semua ciptaan ini, maka kita tinggal selangkah lagi untuk bermakrifat

kepada Allah. Bahwa Dzat Yang Batin yang terdzahir itu hanyalah sedikit saja dari

keseluruhan Dzat Yang Maha Indah, yang menamakan diri-Nya sendiri sebagai Allah.

Dan kita akan berhenti di sini. Tidak ada lagi sesudah Dzat Yang Maha Indah itu. Sesudah

itu adalah kesesatan dan kejahilan. Dan setelah itu kita tinggal mengingat Allah di dalam

Hati kita sepanjang masa. Kita mengingat Allah saat shalat, di luar shalat, saat berdiri,

saat duduk, saat berbaring, saat bekerja, saat berdagang, saat apapun juga.

Jadi seseorang yang dikatakan sudah memakai kacamata Makrifatullah adalah ia yang

telah mampu memandang dirinya dan semua ciptaan ini dengan UTUH. Bahwa :

1. Ketika Mata Lahiriahnya melihat Sifat semua ciptaan, maka Mata Hatinya telah

mampu pula melihat Wujud Dzat yang merupakan hakekat dari semua alam ciptaan

itu, dan kemudian

2. Hatinya telah mampu pula untuk mengingat Allah setiap saat sebagai alamat

terakhirnya dalam bermakrifat.

Dari Sifat ia beranjak ke Hakekat untuk kemudian ia Bermakrifatullah. SIFAT –

HAKEKAT – MAKRIFATULLAH. Ia meninggalkan alam Sifat untuk masuk ke Alam Hakekat

lalu menuju ke Alam Makrifatullah. Dan alat yang dipakainya untuk itu adalah MATA

LAHIRIAHNYA untuk memadang Sifat, MATA HATINYA untuk memandang Hakekat, dan

HATINYA untuk Bermakrifatullah dengan mengingat Allah setiap saat.

Hati yang sudah mampu mengingat Allah setiap saat disebut Hati yang sudah berdzikir

kepada Allah, dzikrullah. Sehingga untuk hati yang seperti itu berlakulah hukum ingat

mengingat antara Allah dengan hamba-Nya.

Al Baqarah (2) : 152

“FADZKURUNI ADZKURKUM”, “Ingatlah Aku dan Aku pasti akan ingat pula kepada

kamu.”

Lalu dengan melalui Jalan Ingat Allah, Dzikrullah, itulah kemudian Allah akan berkenan

memberikan pengajaran-pengajaran dan petunjuk-petunjuk-Nya kepada kita. Berkali-

kali Allah juga menyatakan dengan gamblang bahwa :

Ar Ra’du (13) : 28

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat

Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.”

Jelas sekali, tanpa ditutup-tutupi.

Page 33: Tentang ma'rifatullah 2

33

Namun dalam hal Mengingat Allah, Dzikrullah, ini pulalah masalah terbesar umat

manusia bermula dan berakar. Sebab :

1. Kita hampir bisa mengingat segala sesuatu tanpa batas. Kita nyaris bisa mengingat

semua ciptaan, lengkap dengan berbagai atribut dan karakternya masing-masing.

2. Akan tetapi kita hampir saja gagal total dalam mengingat Allah. Kita sangat kesulitan

dalam mengingat Allah. Sebentar saja kita sudah lelah, bosan, dan tertidur. Dalam

keadaan seperti itulah kita harus menjalankan shalat dan ibadah-ibadah yang

lainnya. Saat kita tidak sedang ingat kepada Allah, malah kita disuruh untuk

menyembah-Nya, memuja-Nya, dan mencintai-Nya lebih dari mencintai apapun

juga. Tentu saja itu sulit sekali kalau tidak mau dikatakan tidak bisa. Masak cinta

hanya bertepuk sebelah tangan.

Sementara itu, di tengah-tengah badai kehidupan yang sering datang menerpa kita,

sungguh kita merindukan sebuah kehidupan yang penuh ketenteraman, yang pernah

kita reguk saat pertama kali kita hidup begitu dekat dan mesra dengan Allah di alam

Azali. Ingatan kita tentang suasana alam azali itu sebenarnya tetap akan ada sampai

kapanpun juga, walaupun hidup kita saat ini sedang berlumuran dosa sekalipun. Sebab

kita pernah mengalaminya, kita pernah duduk begitu dekat dengan Allah. Kita kemudian

berusaha mengingat-ingat kembali suasana alam azali itu dengan

memasuki pintu ingatan kepada Allah.

Akan tetapi pintu ingatan kita kepada Allah itu ternyata telah tertutup

rapat dan semakin rapat seiring dengan bertambahnya usia kita.

Karena sejak kecil sampai sekarang, dengan sistem pendidikan dan

pengajaran sekuler maupun pesantren seperti yang berkembang

sekarang ini, kita ternyata telah membangun berbagai pintu ingatan

yang malah menjauhkan kita dari pintu ingatan kepada Allah. Sehingga setiap saat pintu

yang rajin kita masuki adalah pintu ingatan kita kepada segala sesuatu yang selain dari

Allah itu. Misalnya :

1. Pintu ingatan kita kepada hal-hal yang berbau maksiat dan kotor jauh lebih mudah

kita masuki dibandingkan dengan pintu ingatan kita kepada kebaikan.

2. Pintu ingatan kita tentang hal-hal yang remeh temeh, hura-hura, dan canda ria, jauh

lebih gampang kita masuki dari pada pintu ingatan kita kepada hal-hal yang

membangun dan yang membutuhkan perhatian lebih serius. Apalagi pintu ingatan

kepada Allah, ampun sulitnya.

Dilematis sekali keadaan yang kita alami :

1. Di satu sisi, ada kerinduan kita yang sangat kental untuk bisa kembali menikmati

suasana kehidupan mesra bersama Allah.

2. Di sisi yang lainnya, jangankan bisa hidup mesra dengan Allah, bahkan untuk

sekedar mengingat Allah saja kita nyaris sudah tidak sanggup lagi.

Page 34: Tentang ma'rifatullah 2

34

Padahal tidak akan pernah ada ketenteram yang bisa kita dapatkan tanpa kita hidup

mesra bersama dengan Allah. Sehingga kemudian muncullah ceruk pasar yang

menjajakan pencapaian kebahagiaan dan ketenteraman itu melalui jalan atau cara-cara

baru, mulai dari yang berbau agama sampai kepada yang murni sekuler, atau yang

sekuler dengan dibungkus istilah-istilah agama islam disana-sini agar bisa diterima oleh

umat islam yang awam.

Padahal kalaulah kita umat islam ini benar-benar paham dengan pokok permasalahan

menahun yang sedang kita hadapi, lalu kita mengetahui solusinya, maka sungguh islam

ini akan mampu mengguncangkan dunia seperti di zaman-zaman awal dulu. Sebab :

. . . masalah-masalah umat islam ini

hanya akan bisa diselesaikan jika umat islam:

1. Bisa bermakrifat kepada Allah dengan benar.

2. Lalu kita bisa mengingat Allah dengan benar.

3. Dan kita bisa pula menggunakan Akal atau Hati kita dengan

benar.

Sehingga Fadzkurini Adzkurkum itu benar-benar terjadi antara kita dengan Allah, yang

menyebabkan pengajaran dan petunjuk Allahpun akan mengalir pula kepada kita

dengan deras tanpa henti, Dan hal inilah yang akan kita bahas selanjutnya.

Tentang makrifatullah, sedikit banyaknya sudah diuraikan dalam serial artikel

sebelumnya. Silahkan, bagi yang masih berkenan, membukanya kembali. Tetapi di sana-

sini nanti akan kita masuki kembali jika itu memang diperlukan. Sebab makrifatullah ini

adalah sesuatu yang sangat penting dan prinsip sekali, yang akan menjadi landasan

berpijak kita dalam menjalani kehidupan rohani atau berspiritual (bertasawuf).

Sebab salah dalam bermakrifat, bisa-bisa kita akan :

1. Menuhankan manusia seperti umat kristiani menuhankan Yesus, atau menuhankan

diri sendiri, atau

2. Menuhankan guru kita, atau

3. Menuhankan Nur Muhammad, atau malah

4. Sekalian tidak menuhankan siapa-siapa alias atheis.

Salah dalam bermakrifat pulalah yang akan menyebabkan kita sangat sulit untuk

menerima Taqdir Allah tanpa reserve. Padahal percaya kepada taqdir Allah ini adalah

rukun iman yang keenam di dalam agama Islam. Gagal dalam menerima taqdir ini, maka

sebenarnya gagal pulalah keimanan kita kepada Allah. Sungguh ngeri-ngeri sedap kalau

Page 35: Tentang ma'rifatullah 2

35

mengingat akibatnya. Kelihatannya ringan, tapi alangkah sulitnya untuk dilaksanakan,

terutama kalau kita belum mengenal Allah.

Nah, marilah kita membuka dan mengurai sekat-sekat yang telah mengganggu kita

tentang masalah Hati dan juga masalah mengingat Allah ini dengan perlahan dan

sesederhana mungkin.

• MAKRIFATULLAH akan membawa kita untuk MENGENAL ALLAH.

• Sedangkan DZIKRULLAH akan mengantarkan kita untuk bisa MENGINGAT ALLAH yang

sudah kita kenal itu di setiap waktu.

Jadi menurut kacamata makrifatullah, urutan aktifitas yang harus kita lakukan adalah :

• Kita berusaha untuk mencapai MAKRIFATULLAH terlebih dahulu,

• Lalu kemudian barulah kita berlatih melakukan DZIKRULLAH (mengingat Allah).

Dzikrullah atau mengingat Allah setelah kita mengenal Allah itu, bisa kita lakukan kapan

saja dan di mana saja. Nyaris tanpa batas. Tidak ada hitung-hitungannya, dan tidak ada

pula cara-cara yang rumit dan bertele-tele. Yang terpenting adalah kita memakai alat

mengingat yang tepat, lalu kita ISTQAMAH melakukannya. Hasil selanjutnya biarkanlah

Allah sendiri yang akan memberikannya kepada kita. Kita tidak usah ngotot dan tergesa-

gesa untuk mendapatkan ini dan itu. Istiqamah saja, selanjutnya adalah urusan Allah.

Sesuai dengan istilahnya, Dzikrullah – Mengingat Allah, maka :

. . . dalam mengingat Allah itu kita tidak perlu bersuara,

apalagi berteriak-teriak (bengak-bengok, Bahasa Jawa).

Bahkan berbisikpun sebenarnya kita tidak perlu.

Ya, kita cukup hanya mengingat Allah, yang sudah kita kenal terlebih dahulu, dengan

jalan kita masuk ke PINTU INGATAN kepada Allah. Setelah pintu ingatan kepada Allah itu

kita masuki, maka kita tinggal duduk di dalam ruangan yang di sana aktifitas kita hanya

semata-mata ingat kepada Allah. Ruang itu bisa disebut sebagai RUANG SPIRITUAL. Dan

setelah itu barulah kita BERIBADAH di dalam Ruang Spiritual itu sembari kita selalu

mengingat Allah selama kita beribadah maupun nanti di luar ibadah.

Kalau makrifat kita sudah benar-benar tertuju kepada Allah (makrifatullah), maka kalau

kemudian kita mencoba untuk mengingat Allah (dzikrullah), maka insyaallah akan

diturunkan oleh Allah NATIJAH (benturan, dampak, impak) yang akan membuat kita

mudah sekali merasa terharu, gampang sekali menangis bahagia, ada rasa sejuk di

dalam dada kita, serta ada rasa tenang dan tenteram yang menjalar keseluruh sel-sel

tubuh kita. Dan natijah itu sangatlah kuat sekali. Dalam istilah lainnya NATIJAH ini juga

bisa disebut juga sebagai RIQQAH. Natijah atau Riqqah inilah yang membuat kita serasa

hidup bersama Allah seperti dahulu kita pernah mengalaminya di alam Azali. Dan kalau

Page 36: Tentang ma'rifatullah 2

36

kita kemudian melaksanakan shalat dalam keadaan seperti itu, sungguh alangkah

lezatnya, Lazzatul Iman… Ya Allah, ingin rasanya shalat itu nggak ada akhirnya.

Akan tetapi kalau urutan aktifitasnya kita ubah dan kita balik menjadi DZIKRULLAH yang

kita lakukan terlebih dulu, dengan cara kita mengulang-ulang membaca kalimat

Thaayyibah sebanyak-banyaknya seperti: “Allah, Allah, atau Laa ilaha illallah, atau

kalimat-kalimat lainnya”, dengan harapan setelah sekian lama kita berdzikir dengan cara

seperti itu, kita kemudian bisa mencapai maqam MAKRIFATULLAH, maka hasilnya akan

sangat berbeda sekali dengan hasil yang kita dapatkan melalui aktifitas menurut kaca-

mata makrifatullah seperti di atas.

Urutan yang terbalik seperti ini biasanya akan kita lakukan kalau kita mengikuti

praktek dzikir di dalam sebuah tarekat atau majelis dzikir lainnya. Kita akan

mengulang-ulang menyebut nama Allah atau kalimat Tauhid sebanyak ribuan kali

bahkan bisa sampai ratusan ribu kali selama berhari-hari dan bermalam-malam.

Dalam hal ini, makna DZIKIR yang tadinya berarti MENGINGAT telah berubah menjadi

makna MENYEBUT-NYEBUT atau MEMANGGIL-MANGGIL nama Allah secara berulang-

ulang. Kegiatan seperti ini bisa juga disebut sebagai WIRIDAN, yang

bisa dimaknai sebagai mengucap, memanggil, atau menyebut-

nyebut.

Masalahnya adalah, selama kita melaksanakan WIRIDAN tersebut,

saat itu INGATAN kita sedang tertuju atau akan kita tujukan kepada

APA atau SIAPA? Karena dengan cara seperti ini kita memang tidak

atau belum diajarkan tentang makrifatullah, dengan harapan

makrifatullah itu nanti akan kita dapatkan sendiri melalui wirid yang kita lakukan, maka

ingatan kita bisa pergi kemana-mana. Untuk menghambat pikiran kita ke mana-mana,

maka mursyid atau pembimbing dzikir kita akan berusaha menahan ingatan kita itu tidak

ke mana-mana dengan berbagai cara.

Misalnya, kita diminta untuk membayangkan wajah guru, pembimbing, atau mursyid

kita itu sebelum kita melakukan wiridan. Sang pembimbing kemudian mengatakan

bahwa ia juga sedang membayangkan wajah gurunya. Dengan saling membayangkan

wajah guru seperti itu, maka diharapkan ada hubungan rohani antara kita dengan guru

kita, dengan guru dari guru kita, sampai kemudian muaranya adalah di Rasulullah. Kalau

sudah begitu, dikatakan rohani kita sudah terhubung kepada rohani Rasulullah melalui

rohani guru kita dan rohani nenek-nenek guru kita. Lalu barulah setelah itu kita

dibolehkan melakukan wiridan. Proses wirdan seperti ini disebut sebagai RABITHAH

MURSYID. Tanpa melakukan rabithah ini, wirid kita dianggap tidak sah dan rohani kita

tidak akan sampai tersambung kepada Rasulullah.

Page 37: Tentang ma'rifatullah 2

37

Selanjutnya, setelah diyakini rohani kita tersambung dengan Rohani Rasulullah, maka

kemudian ada dua cabang keyakinan yang menerusinya :

1. Melalui Rohani Rasulullah inilah kita berharap bisa mendapatkan pengajaran

hakekat dan kemudian bisa pula mendapatkan makrifatullah. Sebab Beliau dianggap

pernah melihat Allah saat Beliau melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj dulu. Maka

kitapun berharap untuk bisa pula melihat Allah.

2. Melalui rohani Rasulullah itu kita berharap bisa melihat Nur Muhammad yang

cahayanya sangat menyilaukan mata. Lalu dengan meyakini bahwa Nur Muhammad

itu adalah hakekat dari semua ciptaan, maka setelah kita melihat Nur Muhammad

itu, barulah kita berharap untuk bisa bermakrifatullah.

Cara lain agar ingatan kita tidak lari kemana-mana adalah dengan memfokuskan ingatan

kita kepada beberapa titik tertentu di sekitar dada, kening, ubun-ubun, dan kemudian

seluruh tubuh kita (kullu jasad). Titik-titik ini disebut sebagai LATHAIF, atau CAKRA

dalam istilah meditasi Hindu. Lathaif yang paling penting adalah lathaif QALB yang

letaknya ada di sekitar JANTUNG kita. Belum cukup hanya sekedar fokus kepada lathaif-

lathaif itu saja, itupun bisa kita tambahkan dengan memasukkan nama Allah ke dalam

lathaif itu berkali-kali. Istilahnya adalah, lathaif itu DIHUNJAMKAN dengan nama Allah.

Karena Lathaif itu ada di kiri dan kanan dada kita, maka ketika kita melakukan wirid Laa

ilaha illallah kita harus menyentuh lathaif-lathaif itu dengan ingatan kita. Salah satu

caranya adalah dengan menggoyangkan badan dan kepada ke kiri dan ke kanan.

Makanya kalau ada kegiatan wirida atau tahlilan, ketika orang membaca laa ilaha illallah,

biasanya kepalanya geleng-geleng ke kiri dan ke kanan, badannyapun ikut bergoyang-

goyang. Jadi angguk-angguk, yang-goyang sampai wiridan itu selesai. Dan karena

umumnya orang wiridan dan tahlilan seperti itu, maka orang-orang yang tidak ada

ilmunyapun ikut-ikutan geleng-geleng dan goyang-goyang badan ketika tahlilan.

Agar lebih afdol, maka tubuh kitapun dilemahkan. Makan dan minum dibuat seminim

mungkin. Cahaya matahari dikurangi. Kita diharuskan untuk duduk wiridan, tidur,

ibadah, dan makan-minum di dalam kelambu di tempat gelap yang jauh dari sinar

matahari. Sungguh melelahkan dan menyiksa

diri sekali. Semuanya itu kita lakukan adalah

untuk membersihan diri kita dari segala dosa

dan kekotoran, proses Tazkiyatunnafs.

Setelah hari kesekian, tubuh kita melemah,

nafsu kita melemah, oksigen di otak kita juga

berkurang, maka perasaan kita mulai hidup.

Tiba-tiba kita bisa menangis atau berteriak-

teriak histeris. Atau tubuh kita tiba-tiba

seperti dialiri oleh getaran yang hebat. Badan kita bergetar dan berguncang-guncang,

Page 38: Tentang ma'rifatullah 2

38

kaki kita bisa menendang ke kiri dan ke kanan. Kadangkala sampai harus ada yang

memeganginya. Keadaan seperti ini bisa pula terjadi berhari-hari lamanya.

Kemudian setelah itu kita akan mengalami fase diam dan hening, karena semua getaran

yang kasar sudah meninggalkan raga kita. Yang tersisa adalah getaran yang halusnya.

Dalam keheningan itu kita akan merasakan diri kita menjadi mengembang. Kita seperti

sedang berada di sebuah pepadang yang sangat luas dan sepi. Dan dalam fase inilah

banyak terjadi apa yang dinamakan orang perjalanan spiritual. Dan yang menariknya

adalah dalam fase diam dan hening ini. Banyak ceritanya.

Singkat cerita, setelah itu kita akan disuruh melakukan dzikir SIRR dan akhirnya duduk

diam sambil menunggu-nunggu datangnya ILHAM & KEPAHAMAN kepada kita. Syukur-

syukur ilham atau kepahaman itu adalah ayat-ayat Allah tentang makrifatullah,

misalnya: “Akulah yang Hidup, Akulah yang Awal dan Akulah yang Akhir,” dan

sebagainya, sehingga dengan begitu kita sudah dianggap mendapatkan maqam

makrifatullah. Setelah itu kitapun diberi ijazah, sehingga kita bisa pula mengajarkannya

kepada orang lain. Kita telah bisa menjadi guru atau pembimbing pula. Cuma :

. . . untuk mendapatkan maqam itu seringkali kita harus menunggu ilham &

kepahaman itu yang bisa sampai belasan bahkan puluhan tahun lamanya.

Kalau begitu memang yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, maka insyaallah pintu

agama Islam ini akan segera tertutup. Akan ditinggalkan oleh umat, kecuali hanya untuk

sekedar berutopia belaka.

Masih banyak contoh objek yang lain yang bisa kita pakai untuk menahan pikiran kita

agar tidak liar. Apa saja bisa kita jadikan sebagai objek ingatan kita agar pikiran kita

berhenti sejenak pada objek ingatan itu. Dan itu sebenarnya tidak perlu ditambah-

tambahi dengan wirid apapun juga. Misalnya dengan :

1. Memerhatikan gerak nafas,

2. Mendengarkan bunyi,

3. Mencium wangi tertentu,

4. Bersedia untuk dipengaruhi orang lain,

5. Merasakan getaran,

6. Meyakini atau mengimani pikiran orang lain,

7. Terpesona dengan iming-iming tertentu,

8. Lawakan yang menarik,

9. Tontonan yang mencekam perasaan,

10. Dan sebagainya.

Semuanya itu disebut sebagai objek pikiran yang kita masuki melalui pintu ingatan. Dan,

kesemuanya itu barulah dalam tatanan Alam Sifat.

Page 39: Tentang ma'rifatullah 2

39

Kalau itu yang kita lakukan, kita seperti orang mempunyai hati yang mendua, hati yang

selingkuh :

1. Mulut kita menyebut Allah, atau saya cinta Allah, tapi

2. Hati kita saat itu sedang berasyik masyuk mengingat ciptaan-Nya.

Ketika kita melakukannya kepada sesama manusia saja, telah membuat kita merasa

capek dan lelah. Apalagi kalau kita melakukannya kepada Allah yang Maha Pencemburu,

tentu saja capek dan lelahnya akan sangat kuat sekali. Makanya dalam tradisi dzikir

tententu, untuk menghilangkan rasa capek dan lelah seperti itu, mereka kadangkala

memakai tumbuh-tumbuhan yang mempunyai efek seperti kokain dan amfetamin,

misalnya daun ganja atau daun khat. Itu mereka lakukan agar mereka fly, tidak ingat

kepada apa-apa.

Padahal :

SYAHADAT bermakna, NAFIKAN semua Alam Sifat,

sampai menemukan Wujud Alam Hakikat yang SATU, yang akan mengantarkan kita

untuk Bermakrifat kepada Allah.

Kalau kita belum berhasil menafikan Alam Sifat, lalu kita sudah mengatakan “Illallah,

atau Allah”, maka saat itu artinya kita mau tidak mau akan memilih salah satu Sifat dari

sekian banyak Sifat yang sangat beragam, yang akan menjadi Tuhan kita yang nantinya

kita sebut sebagai Allah. Ya masih syiriklah kalau begitu ! Dan secara tidak sadar, ini

akan membawa kita untuk sama dengan istilah orang Barat yang mengatakan Allah itu

adalah The God. Artinya dari sekian banyak God maka ada satu yang Paling God, The

God. Makna asli dari istilah itu adalah di antara sekian banyak berhala, maka ada satu

berhala yang paling berhala.

Sedangkan di dalam Islam, Allah tidaklah sama dengan The God. Sebab Allah sendirilah

yang menamakan diri-Nya sendiri dengan nama Allah. Kemudian barulah Dia

menyebutkan bahwa (Dzat) Dia Esa, Tunggal. Dia adalah tempat segala sesuatu

meminta. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan Dia sendiri pula yang

menyatakan bahwa Dia tidak serupa dengan apapun juga. Dia tidak sama dengan

apapun juga.

Dia juga menyatakan bahwa Dialah:

• Yang tiada Permulaan dan tiada Akhir

• Yang Awal

• Yang Akhir

• Yang Zahir

• Yang Batin

• Yang Maha Halus

Page 40: Tentang ma'rifatullah 2

40

• Yang Meliputi semua

• Yang ada di mana-mana

• Yang bersamamu di manapun kamu berada

• Yang Maha Besar, Maha Luas, Maha Tinggi

Dan, semua yang Dia perkenalkan itu adalah tentang DZAT-NYA. Sebab melalui atau

terhadap Dzat-Nya itulah Dia akan melakukan segala sesuatu Yang dikehendaki-Nya.

Menciptakan segala peristiwa, kejadian, dan makhluk-Nya. Karena Dia memang :

• Maha Berkehendak terhadap Dzat-Nya,

• Yang Maha Melihat melalui Dzat-Nya,

• Maha Mendengar melalui Dzat-Nya,

• Maha Mengawasi melalui Dzat-Nya,

• Maha Mengetahui melalui Dzat-Nya,

• Yang Maha Berkuasa terhadap Dzat-Nya,

• Yang Maha Mengatur Dzat-Nya, dan sebagainya.

Dan Dzat-Nya yang Dia perbincangkan itu hanyalah sedikit saja dari keseluruhan Dzat-

Nya Yang Maha Indah, yang menamakan diri-Nya dengan Allah.

Hal-hal seperti inilah dasar makrifatullah yang harus kita ketahui. Mata Lahiriah kita

melihat Sifat-Nya, Mata Hati kita melihat Dzat-Nya, Hati kita mengingat-Nya. Satu paket

utuh yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebab inilah yang akan menjadi landasan atau

pondasi kita untuk mendirikan segala macam aktifitas rohani kita dalam rangka kita

beribadah kepada-Nya. Lebih dari ini akan mudah membawa kita kepada kesesatan.

Kurang dari ini, akan cenderung membawa kita kepada kejahilan.

Nah, sekarang mari kita lanjutkan. Pada artikel sebelumnya, kita sudah paham bahwa

untuk mengenal dan mengingat Allah itu tentu ada ALAT-NYA. Selama ini kita banyak

yang keliru dalam menggunakan alat untuk mengenal dan mengingat Allah ini, makanya

hasilnya juga akan keliru total. Dan kekeliruan itu sudah menyebar luas hampir ke

seluruh dunia Islam tanpa kecuali, terutama di tempat-tempat yang disinggahi oleh

penyebaran tarekat dan dzikir-dzikir lainnya sejak zaman dahulu sampai sekarang.

Kekeliruan itu adalah yang berkenaan dengan HATI dan MATA HATI.

Untuk mengenal Allah (bermakrifatullah), memang kita butuh

alat yang mampu untuk melihat sampai ke Alam Hakikat.

Sebab kalau kita hanya memakai Mata Lahiriah atau panca indera kita saja untuk

mengenal Allah, maka kita hanya akan sampai kepada pengenalan Alam Sifat saja. Oleh

sebab itu :

Page 41: Tentang ma'rifatullah 2

41

. . . kita butuh Mata Hati yang mampu untuk melihat

sampai ke Alam Hakekat dari semua Alam Sifat.

Begitu Mata Lahiriah kita melihat Alam Sifat atau Alam Ciptaan, maka kita akan segera

saja terkejut, tercengang, dan terkagum-kagum oleh kenyataan yang sebenarnya. Sebab

MATA HATI kita akan segera melihat bahwa di sebalik semua Alam Sifat atau Alam

Ciptaan itu ternyata adalah Dzat Allah semata wayang. Satu-satunya Wujud yang Eksis.

Dzat Wajibul Wujud.

Lalu alat apa yang kita pakai untuk mengingat Allah, dan bagaimana caranya.

Jawabannya kita lihat saja di dalam Al Quran. Wadzkur rabbika fi nafsika, yang sering

diterjemahkan orang sebagai berikut :

Al A’Raaf (7) : 205

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,

dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu

termasuk orang-orang yang lalai.”

Dan ayat lain dalam :

Al Baqarah (2) : 200

“Fadzkurullaha kaa dzikrikum aaba akum au asyadda dzikra.”

“Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut

nama) Allah, sebagaimana kalian menyebut-sebut (membangga-banggakan) nenek

moyangmu2, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia

ada orang yang berdoa : ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia.’ Dan tiadalah

baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.3”

2 Adalah menjadi kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah setelah menunaikan haji lalu bermegah-megahan

tentang kebesaran nenek moyangnya. Setelah ayat ini diturunkan maka memegah-megahkan nenek

moyangnya itu diganti dengan dzikir kepada Allah. 3 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang Jahiliyyah wuquf di musim pasar. Sebagian dari

mereka selalu membangga-banggakan nenek moyangnya yang telah membagi-bagi makanan, meringankan

beban, serta membayarkan diat (denda orang lain). Dengan kata lain, di saat wuquf itu, mereka menyebut-

nyebut apa yang pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 200)

sampai: asyadda dzikira, sebagai petunjuk apa yang harus dilakukan di saat Wuquf. (Diriwayatkan oleh Ibnu

Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Menurut riwayat lain, orang-orang di masa itu apabila telah melakukan manasik, berdiri di sisi jumrah

menyebut-nyebut jasa-jasa nenek moyang di zaman jahiliyyah. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 200)

sebagai petunjuk apa yang harus dilakukan di sisi Jumrah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari

Mujahid.)

Menurut riwayat lain, salah satu suku bangsa Arab sesampainya ke tempat wuquf berdoa: "Ya Allah, semoga

Allah menjadikan tahun ini tahun yang banyak hujannya, tahun makmur yang membawa kemajuan dan

Page 42: Tentang ma'rifatullah 2

42

Karena biasanya kita memulai proses dengan berdzikir terlebih dahulu sebelum

Bermakrifatullah, maka tentang makna dzikirpun kita jadi bingung. Apakah dzikir itu

INGAT atau MENYEBUT-NYEBUT. Kemudian kalau dzikir itu dimaknai sebagai ingat, maka

kita kebingungan lagi tentang bagaimana caranya untuk mengingat Allah di dalam hati.

Kalau dzikir itu kita maknai dengan menyebut-nyebut, maka biasanya menyebut di

dalam hati itu kita interpretasikan dengan menyebut tanpa bersuara. Karena kita

mengira-ngira bahwa menyebut tanpa bersuara itu seperti bersumber dari dalam dada

kita, maka hati itu kita simpulkan berada di dalam dada

kita. Itu bersesuaian pula dengan cara tarekat yang

menyatakan bahwa hati itu adalah QALB, Jantung yang

letaknya di dalam dada.

Apalagi ada Hadits Nabi yang mengatakan bahwa:

”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal

daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika

gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah,

gumpalan daging itu adalah jantung (Qalb) atau hati.”

Mulailah kita bingung, bagaimana kita akan bisa untuk mengingat Allah di dalam jantung

atau hati kita, atau di dalam dada kita. Paling bisa yang kita pahami adalah kita

menyebut-nyebut Nama Allah secara sangat perlahan, seakan-akan suara kita yang ke

luar itu adalah dari hati kita yang kira-kira letaknya di dalam dada kita, atau jantung kita.

Kalau menyebut-nyebut seperti ini yang dimaksud untuk berdzikir, maka dzikir yang kita

lakukan itu akan sangat terbatas sekali waktunya. Hanya selama kita tidak melakukan

pekerjaan yang lain. Kalau kita bekerja, maka menyebut-nyebut Nama Allah itu sudah

tidak bisa lagi kita lakukan. Bagaimana kita akan bisa menyebut Nama Allah di dalam

hati kita sementara kita sedang mengunyah makanan, atau menyetir kendaraan? Lalu

gagallah usaha kita untuk berdzikir setiap saat seperti yang diperintahkan oleh Al Quran

dan Al Hadits. Sebab Rasulullah pernah bersabda: “Mataku tidur, namun hatiku tidak”,

juga “Rasulullah SAW mengingat Allah sepanjang waktu”.

Oleh sebab itu surat Al Baqarah ayat 200 dan Surat Al A’Raaf ayat 205 ini begitu

pentingnya untuk kita pahami kalau kita ingin ingat kepada Allah, Dzikrullah. Sebab ayat

itu bercerita tentang ALAT dan CARA untuk mengingat Allah. Alatnya adalah hati, dan

caranya adalah seperti kita mengingat orang tua kita. Dengan memahami kombinasi dua

ayat ini, insyaallah kita akan paham sebuah rahasia besar umat manusia yang sudah

kebaikan. Mereka tidak menyebut-nyebut urusan akhirat sama sekali. Maka Allah menurunkan ayat tersebut

di atas sampai akhir ayat (S. 2: 200) sebagai petunjuk bagaimana seharusnya berdoa. Setelah itu kaum

Muslimin berdoa sesuai petunjuk dalam al-Qur'an (S. 2: 201) yang kemudian ditegaskan oleh Allah SWT

dengan firman-Nya ayat berikutnya (S. 2: 202). (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu

Abbas.)

Page 43: Tentang ma'rifatullah 2

43

lama terpendam yang telah membuat kita begitu menderita. Rahasia Mengingat Allah,

Dzikrullah. Rahasia tentang “Fadzkuruni Adzkurkum, peristiwa ingat mengingat antara

hamba dengan Tuhannya”.

Mari kita coba. Marilah kita ingat orang yang paling kita cintai di dunia ini, yaitu ibu kita,

atau bisa pula bapak kita. Terserah saja mana yang lebih mudah untuk di ingat. Begitu

kita memunculkan keinginan kita untuk mengingat ibu kita, maka seketika itu juga kita

telah membuka pintu ingatan kita kepada ibu kita. Jadi KUNCI untuk membuka PINTU

INGATAN itu adalah dengan memunculkan KEINGINAN kita untuk ingat kepada sesuatu,

atau dalam bahasa agama Islam disebut NIAT. Lakukanlah, ingatlah, ingat ibu kita untuk

beberapa saat. Cukup satu atau dua menit.

Ada beberapa point penting yang bisa kita ambil manfaatnya dari latihan singkat

mengingat ibu kita diatas:

a. Ingatan itu ternyata adanya di dalam otak kita. Bukan di dalam dada kita. Kalau

begitu, mungkinkah yang disebut HATI (Qalb) yang dikatakan oleh Rasulullah SAW

itu tempatnya adalah di dalam otak kita? Mari kita lihat istilah-istilah seperti hati

yang kotor, hati yang banyak bintik-bintik hitamnya, hati yang gelap, hati yang keras

dan membatu, hati yang mati. Hati yang kalau bagus maka bagus pula seluruh

tubuh kita. Sebaliknya kalau hati itu rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh kita.

Selama ini istilah-istilah tersebut ditujukan kepada keadaan hati yang ada di dalam

dada kita, gambarnyapun sering dibuat seperti gambar jantung. Kalau hati kotor,

digambarkan dengan jantung kita itu banyak titik-titik hitamnya. Kalau hati itu

gelap, digambarkan dengan jantung kita berwarna gelap dan

hitam. Begitu juga hati yang mati dan jeras, gambarannya

adalah jantung yang seperti batu. Keadaan jantung yang

seperti itu akan mempengaruhi tingkah laku kita, sikap kita

terhadap orang lain.

Misalnya kalau hati kita kotor, maka kita akan mudah untuk

berjudi, minum arak, memakai ganja, bermaksiat, pelecehan, pembunuhan. Atau

dalam bentuk yang lebih halus tapi sangat berpengaruh buat kita maupun orang lain

seperti : Gelisah walaupun tanpa masalah, egois, menghina, sombong dan congkak,

menyebarkan aib, mengumpat, menyusahkan orang lain, ria, dan sebagainya.

Terlihat sekali bahwa dengan mengetahui tentang hati yang kotor hanya seperti ini

saja, kita tidak akan pernah bisa memahami inti permasalahan yang sebenarnya.

Sudahlah di mana letak hati itu kita tidak punya kepastian, ditambah lagi dengan

kita tidak mengetahui kenapa hati kita itu bisa kotor, dan juga cara-cara

Page 44: Tentang ma'rifatullah 2

44

membersihkannyapun sulitnya luar biasa, maka lengkaplah penderitaan kita

dibuatnya.

Padahal hati yang kotor, gelap, mati, keras, dan punya bintik hitam itu artinya

adalah bahwa kita sudah tidak mampu lagi untuk INGAT kepada Allah. Kita sudah

lupa dengan pintu ingatan kita kepada Allah. Pintu ingatan kita kepada Allah itu

sudah tertutup dengan pintu ingatan kita kepada yang selain Allah.

Karena kita sudah tidak tahu lagi pintu ingatan kepada Allah, maka begitu kita

bangun tidur kita akan masuk ke pintu-pintu ingatan yang sangat beragam.

Misalnya, begitu membuka mata kita bisa segera masuk ke pintu ingatan tentang

mencuri. Maka maka sejak bangun tidur itu sampai kita tidur lagi nantinya, bahkan

bisa sampai terbawa mimpi, kita akan selalu berusaha untuk mencuri.

Kalau kita masuk pintu ingatan tentang pornografi, maka seharian yang akan kita

kerjakan adalah hal-hal yang berkenaan dengan pornografi. Begitu juga dengan

pintu ingatan marah, benci, rindu, takut, dan pintu-pintu ingatan lainnya. Semua

pintu itu bisa silih berganti kita masuki dalam sehari. Begitu kita masuk, maka akan

ada pula rasanya. Dan rasa yang muncul itu juga berganti-ganti atau berubah-ubah

sesuai dengan pintu pikiran apa yang kita masuki. Karena rasa yang berganti-ganti

dan berubah-ubah sesuai dengan berubah dan bergantinya pikiran kita itulah maka

keadaan itu dinamakan QALBU.

Dibersihkan dengan cara apapun, misalnya dengan wiridan yang seperti apapun

juga, selama kita masih berada pada ingatan kepada selain Allah seperti itu, maka

hasilnya boleh dikatakan akan sangat minim sekali.

Yang sangat melelahkan sebenarnya adalah ketika kita lupa kepada Allah, hampir

secara otomatis itu akan membuka pintu ingatan kepada hal-hal yang berbau

MAKSIAT. Begitu pintu maksiat itu terbuka, walaupun baru sedikit, iblis akan segera

menahan pintu itu agar tetap terbuka lebar. Pintu itu di ganjalnya dengan

“kakinya”. Sekuat apapun juga kita melawannya, sekuat itu pula ia akan

menahannya, bahkan bisa lebih. Kita bacakan ayat-ayat Al qur’an atau wirid apapun

juga, ia akan tetap bertahan meniupkan was-was kepada kita. Itulah sebabnya kalau

kita akhirnya sampai melakukan sebuah perbuatan maksiat, maka perbuatan

maksiat berikutnya hanya masalah waktu saja untuk kita lakukan kembali dan

kembali.

Akan tetapi begitu kita berhasil masuk ke dalam pintu ingatan kepada Allah, dan

kita Istiqamah pula mengingati Allah, maka hasilnya akan sangat berbeda sekali.

Pintu-pintu pikiran kita kepada apapun yang selain Allah secara otomatis akan

tertutup. HATI kita yang dalam hal ini bisa bermakna PIKIRAN kita (MIND) akan

Page 45: Tentang ma'rifatullah 2

45

menjadi bersih dari segala pikiran yang berbau maksiat. Bintik-bintik hitam di dalam

pikiran kita, berupa pikiran tentang perbuatan maksiat, akan segera hilang seperti

dicelup oleh cahaya yang menerangi. Dan yang terpenting adalah, hati atau pikiran

kita, akan segera menjadi tenteram. Sebab hanya dan hanya dengan mengingat

Allahlah hati kita akan menjadi tenteram. Semakin istiqamah kita mengingat Allah,

maka semakin tenteram pula pikiran kita.

Ar Ra’d (13) : 28

“Orang-orang yang beriman dan HATI/PIKIRAN mereka menjadi tenteram dengan

MENGINGAT ALLAH (Dzikrullah). Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah

HATI/PIKIRAN menjadi tenteram.”

Usaha yang terberat yang harus kita lakukan sekarang adalah untuk menyamakan

HATI kita dengan PIKIRAN. Hati adalah Pikiran, dan letaknya adalah di dalam otak

kita. Sebab hampir seumur hidup kita sudah MATANG dengan doktrin bahwa

PIKIRAN letaknya adalah di dalam OTAK kita, dan HATI letaknya adalah di dalam

DADA kita. Selalu saja begitu. Huh, menyeka kening yang sedikit berkeringat.

Padahal hati/pikiran inilah yang akan membawa ketenteraman kepada kita. Dan

hati/pikiran yang tenteram inilah yang akan menjadi awal dari kenikmatan hidup

kita bersama Allah.

b. Untuk membuka pintu ingatan itu, kita hanya butuh memunculkan KEINGINAN

untuk mengingat sesuatu. Kita tidak perlu mengucapkannya dalam bentuk

rangkaian kalimat seperti : “Sengaja aku untuk mengingat ibuku… bla… bla.” Kalau

begitu niat dalam shalat atau ibadah-ibadah lain perlukah kita lafazkan dengan lidah

? Silahkan jawab sendiri. Sebab, ternyata kalau kita sudah memunculkan keinginan

untuk shalat, misalnya, hampir semua aktifitas shalat, mulai dari berjalan ke masjid,

berwuduk, gerakan dan bacaan shalat, semuanya hampir berjalan secara otomatis.

Kita tidak perlu memikirkannya sedikitpun.

c. Yang bisa kita ingat adalah apa-apa yang pernah kita ketahui sebelumnya atau ia

pernah tersimpan di dalam ruang pikiran kita (memori). Kalau tidak begitu, maka

ingatan kita tentang sesuatu disebut sebagai KHAYALAN. Kalau ingatan kita hanya

sebatas khayalan, maka yang kita ingat itu bisa bentuk yang aneh-aneh bin ajaib.

Tidak aneh kalau ada yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang menakutkan,

yang welas asih, yang memelas, dan sebagainya. Ya seperti dewa-dewi itulah.

Oleh sebab itu dalam mengingat Allah, kita tidak boleh mengkhayalkan apapun

juga. Kalau kita ingat kepada Sifat-Nya yang berupa semua alam Ciptaan ini, maka

kita sudah buktikan bahwa itu akan membuat kita kesulitan. Oleh sebab itu di

sinilah pentingnya Makrifatullah untuk kita pahami. Dan makrifatullah itu bisa kita

Page 46: Tentang ma'rifatullah 2

46

dapatkan melalui kajian ILMU yang disampaikan oleh orang yang memang telah

diberikan ilmu makrifatullah itu oleh Allah. Melalui orang yang seperti itulah, ilmu

yang sulit itu bisa menjadi mudah. Ketika ia bukakan sebuah pintu gerbang ilmu

makrifatullah, maka semua pintu ilmu yang lainnya bisa terbuka dengan sangat

mencengangkan.

Sebab di dalam pintu Ilmu Makrifatullah itulah ternyata terletak pintu-pintu ilmu

yang lainnya, yang tanpa Ilmu Makrifatullah itu akan sangat sulit, kalau tidak mau

dikatakan tidak mungkin, untuk dibuka. Disitulah terletaknya pintu DZIKRULLAH dan

pintu KHUSYUK yang sangat menggetarkan. Dan di situ jugalah terletaknya pintu

MUKASYSYAFAH yang akan membuka dan membuat Mata Hati kita menjadi sangat

tajam, sehingga kita mampu melihat dan mengurai tali temali, yang

menghubungkan berbagai episode dan lakonan di dalam drama kehidupan ini,

berujung di tangan TAQDIR.

Dengan memasuki pintu makrifatullah itu pulalah ternyata yang akan membawa

kita untuk bisa meninggalkan semua pintu alam GHURUR yang penuh dengan tipu

daya, yang akan menjauhkan dan memisahkan kita dari Allah. Karena alam ghurur

itu membuat kita MERASA WUJUD. Karena merasa wujud, maka kita akan selalu

BERGADUH dengan Allah.

Dan Alhamdulillah, baru-baru ini saya sendiri telah dikenalkan oleh Allah kepada

seseorang yang sangat Arif dan Bijaksana dalam Ilmu Makrifatullah itu, berikut

dengan segala praktek dan amalannya yang ternyata sangat sederhana dan mudah.

Dan hasil dari kajian dengan Beliau itulah yang sekarang banyak mewarnai artikel-

artikel saya, yang bermula dari artikel “Arah Selanjutnya”.

Pesan Beliau kepada saya pada suatu waktu: “Kalau kamu yang menjadi TERKENAL

saat kamu menyampaikan ilmu makrifatullah ini, artinya kamu masih salah. Akan

tetapi kalau Allah yang semakin dikenal oleh umat manusia ketika engkau

menyampaikan ilmu makrifatullah ini, maka insyaallah ridha Allah bersamamu.

Buatlah dirimu tidak wujud, dan istiqamahlah di situ”.

d. Dalam mengingat sesuatu ada sebuah “aktifitas kecil” yang selama ini nyaris luput

dari perhatian kita. Tapi aktifitas kecil itu ternyata mempunyai dampak yang sangat

besar dalam hal proses kita mengingat itu. Perhatikanlah.

Begitu kita INGIN mengingat sesuatu, maka kita seperti NAIK dan MASUK ke dalam

otak kita. Pekerjaan naik dan masuknya kita ke dalam hati/pikiran kita yang ada di

dalam otak kita itu ditandai dengan naiknya hitam bola mata kita sedikit dari

biasanya ke arah kening sembari dahi kita juga agak sedikit berkerinyit (berkerut).

Kita akan sangat kesulitan mengingat sesuatu dengan terpusat atau fokus dan

Page 47: Tentang ma'rifatullah 2

47

dalam waktu yang lama kalau kita tidak melakukan aktifitas kecil tersebut di atas.

Kalau belum ngeh (menyadarinya) cobalah lakukan.

• Ingatlah IBU atau BAPAK kita TANPA kita melakukan aktifitas naik dan masuk ke

dalam hati/pikiran kita seperti di atas.

• Kemudian ulangi aktifitas di atas DENGAN menaikkan hitam bola mata kita

sedikit ke atas dan kening juga sedikit dikerutkan.

• Lakukanlah aktifitas-aktifitas itu beberapa kali dan rasakanlah perbedaannya.

• Silahkan nanti berbagi hasilnya yang di dapat.

Demikianlah 4 point penting yang bisa kita petik dari aktifitas kita mengingat orang tua

kita. Lalu apa makna dari kita membawa naik bola mata kita ke arah kening dan

mengerutkan kening ketika proses mengingat itu kita lakukan? Kalau proses mengingat

Allahpun sama seperti itu, apa yang kita lihat dengan MATA HATI kita ketika

HATI/PIKIRAN kita mengingat Allah itu? Kita akan bahas dalam artikel “MENGINGATI

ALLAH”.

Insyaallah nanti kita juga akan masuk lebih dalam mengenai Ruh, Pikiran yang juga bisa

berarti Hati atau Akal, Mata Hati (Mata Akal), Jiwa (yang dipegang oleh Allah saat kita

tidur), Nyawa dan Jasad dalam artikel “MENGENAL ANASIR DIRI”. Mudah-mudahan

semua itu nanti akan menyederhanakan pemahaman-pemahaman tentang diri kita yang

sudah sangat berbelit-belit dan berpilin-pilin tidak karuan.

B. Kesimpulan

1. Begitu banyak hal yang telah membebani perjalanan umat islam yang bermula sejak

abad ke 4 setelah Rasulullah SAW wafat yang ternyata berlanjut sampai sekarang

ini, berupa : SYARIAT – TAREKAT – HAKEKAT – MAKRIFAT.

2. Umat islam dalam beribadah terpecah menjadi dua kutub extrim, yaitu :

a. Dari Kutub Syariat, kemudian lahirlah berbagai golongan yang bisa kita lihat

eksistensinya sampai sekarang. Misalnya Sunni, Syiah, Qadariyah/Muktazilah,

Jabariyah, Asy’ariyah, sampai kepada yang terbaru seperti Salafi, Wahabi, dan

sebagainya.

b. Dari kutub Tarekatpun muncul berbagai tarekat yang nantinya bisa dibedakan

menurut nama pembawanya di saat awal pembentukannya. Misalnya

Naqsyabandiyah, Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, Sammaniyah,

Tijaniyah, Sanusiyah, dan sebagainya.

3. Syariat dan Tarekat itu ternyata hanyalah ALAM SIFAT yang memang akan selalu

Page 48: Tentang ma'rifatullah 2

48

ramai dan riuh rendah begitu kalau kita tetap bertahan di dalamnya. Sedangkan

makrifat kepada Allah Ta’ala itulah yang merupakan asas atau dasar fondasi yang di

atasnya akan didirikan segala macam kehidupan kerohanian.

4. Namun, kalau sudah masuk ke dalam Alam Makrifat kepada Allah SWT itu, Alam

Makrifatullah, maka kita akan menjadi orang-orang yang aneh dan ganjil. semuanya

bersikap aneh dan ganjil jika dipandang dengan kacamata masyarakat umum. Sebab

beliau-beliau itu memang memakai kacamata lain, kacamata Makrifatullah.

Kacamata yang mampu melihat tanda-tanda Allah di sebalik semua ciptaan.

5. Lensa dari Kacamata Makrifatullah itu adalah Lensa Hakikat, sebuah lensa yang bisa

menangkap adanya Wujud Yang Batin di sebalik Alam Yang Dzahir itu. lensa hakikat

ini hanya bisa dipakai dengan menggunakan Mata Hati atau Mata Akal. Bukan Mata

Lahiriah.

6. Seseorang yang dikatakan sudah memakai kacamata Makrifatullah adalah ia yang

telah mampu memandang dirinya dan semua ciptaan ini dengan UTUH :

a. Ketika Mata Lahiriahnya melihat Sifat semua ciptaan, maka Mata Hatinya telah

mampu pula melihat Wujud Dzat yang merupakan hakekat dari semua alam

ciptaan itu, dan kemudian

b. Hatinya telah mampu pula untuk mengingat Allah setiap saat sebagai alamat

terakhirnya dalam bermakrifat. Hati yang sudah mampu mengingat Allah setiap

saat disebut Hati yang sudah berdzikir kepada Allah, dzikrullah.

7. Di tengah-tengah badai kehidupan yang sering datang menerpa kita, sungguh kita

merindukan sebuah kehidupan yang penuh ketenteraman. Kita kemudian berusaha

mengingat-ingat kembali suasana alam azali itu dengan memasuki pintu ingatan

kepada Allah. Akan tetapi pintu ingatan kita kepada Allah itu ternyata telah tertutup

rapat dan semakin rapat seiring dengan bertambahnya usia kita. Padahal tidak akan

pernah ada ketenteram yang bisa kita dapatkan tanpa kita hidup mesra bersama

dengan Allah.

8. Masalah-masalah umat islam ini hanya akan bisa diselesaikan jika umat Islam:

a. Bisa bermakrifat kepada Allah dengan benar.

b. Lalu kita bisa mengingat Allah dengan benar.

c. Dan kita bisa pula menggunakan Akal atau Hati kita dengan benar.

9. Menurut kacamata makrifatullah, urutan aktifitas yang harus kita lakukan adalah :

a. Kita berusaha untuk mencapai makrifatullah terlebih dahulu,

Page 49: Tentang ma'rifatullah 2

49

b. Lalu kemudian barulah kita berlatih melakukan Dzikrullah (mengingat Allah).

10. Dzikrullah adalah mengingat Allah. Dalam mengingat Allah itu kita tidak perlu

bersuara, apalagi berteriak-teriak. Bahkan berbisikpun sebenarnya kita tidak perlu.

11. Kita cukup hanya mengingat Allah, yang sudah kita kenal terlebih dahulu, dengan

jalan kita masuk ke Pintu Ingatan kepada Allah. Setelah pintu ingatan kepada Allah

itu kita masuki, maka kita tinggal duduk di dalam ruangan yang di sana aktifitas kita

hanya semata-mata ingat kepada Allah. Ruang itu bisa disebut sebagai Ruang

Spiritual. Dan setelah itu barulah kita beribadah di dalam Ruang Spiritual itu

sembari kita selalu mengingat Allah selama kita beribadah maupun nanti di luar

ibadah.

12. Insyaallah akan diturunkan oleh Allah natijah. Dalam istilah lainnya natijah ini juga

bisa disebut juga sebagai riqqah.

13. Akan tetapi kalau urutan aktifitasnya kita ubah dan kita balik menjadi Dzikrullah

yang kita lakukan terlebih dulu, dengan harapan setelah sekian lama kita berdzikir

dengan cara seperti itu, kita kemudian bisa mencapai maqam makrifatullah, maka

hasilnya akan sangat berbeda sekali dengan hasil yang kita dapatkan melalui

aktifitas menurut kacamata makrifatullah seperti di atas.

14. Syahadat bermakna, nafikan semua Alam Sifat, sampai menemukan Wujud Alam

Hakikat yang satu, yang akan mengantarkan kita untuk Bermakrifat kepada Allah.

15. Untuk mengenal dan mengingat Allah itu tentu ada alatnya, alat yang mampu untuk

melihat sampai ke Alam Hakikat. Alat yang kita pakai untuk mengingat Allah, dan

caranya. ALAT dan CARA untuk mengingat Allah terdapat di surat Al Baqarah ayat

200 dan Surat Al A’Raaf ayat 205. Alatnya adalah hati, dan caranya adalah seperti

kita mengingat orang tua kita.

Page 50: Tentang ma'rifatullah 2

50

Artikel 5 :

Mengingati Allah4

A. Pembahasan

Sekarang mari kita masuk lebih dalam pada topik yang selalu menjadi pembahasan yang

sangat ramai di tengah-tengah umat Islam, yaitu DZIKRULLAH. Kita sudah bahas

sebelumnya bahwa :

. . . makna yang tepat untuk DZIKIR adalah MENGINGAT,

bukan MENYEBUT-NYEBUT.

Sebab untuk menyebut-nyebut, istilah yang lebih tepat itu adalah WIRID.

Untuk mengingat kita tidak butuh hitungan.

Yang penting adalah kita sudah tahu apa yang akan kita ingat itu, baik :

• melalui melihat langsung sifat-sifat yang kita itu melalui alat panca indera kita,

maupun

• melalui pengkhabaran ILMU.

Untuk mengingat sesuatu itu kita cukup menimbulkan keinginan kita untuk MASUK ke

dalam Pintu Ingatan tentang sesuatu yang ingin kita ingat itu. Kita bisa berpindah dari

satu ingatan kepada ingatan yang lainnya, atau kita bisa pula mengingat sesuatu itu

berlama-lama, berjam-jam, berhari-hari, bahkan kita bisa ingat sesuatu itu sampai di

alam mimpi sekalipun, terutama untuk sesuatu yang sangat kita senangi, kita hormati,

dan kita sanjung-puja.

Kalau yang kita ingat, senangi, hormati, dan sanjung-puja itu

adalah Allah, maka disebut dengan proses Dzikrullah.

Mengingati Allah.

Kalau WIRID, kita butuh hitung-hitungan, butuh bacaan-bacaan, dan sikap-sikap

pengucapan tertentu, seperti :

1. Wiridan dengan mengucapkannya dengan LISAN,

2. Wirid dengan mengucapkannya sambil berkonsentrasi ke jantung yang biasa

disebut juga dengan dzikir QALB, atau

3. Wirid dengan berdiam diri yang biasa disebut sebagai DZIKIR SIRR.

4 http://yusdeka.wordpress.com/2014/05/07/mengingati-allah-bagian-1/

Page 51: Tentang ma'rifatullah 2

51

Tujuan masing-masing, Dzikirullah dan Wirid itu, juga berbeda sekali.

1. Dzikirullah adalah proses mengingati Allah yang sudah kita kenali (bermakrifatullah)

sebelumnya dengan baik. Jadi secepat kita bisa bermakrifatullah, maka secepat itu

pula kita bisa mengingati Allah. Lalu, begitu kita bisa ISTIQAMAH dalam mengingati

Allah, maka Allah akan membersihkan hati kita dari ingatan-ingatan kepada apapun

yang selain dari Allah. Jadi :

. . . mengingati Allah itu adalah salah satu proses

tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa) yang sangat utama,

yang buahnya sangatlah segar dan ranum berupa

kita dapat khusyu dalam shalat dan hati kita yang tenteram,

. . . yang merupakan dambaan bagi seluruh umat manusia.

Di atas semua itu, masih ada buah lainnya yang hanya akan diberikan oleh Allah

kepada orang-orang-Nya sendiri :

• Seperti yang diberikan Allah kepada KHIDIR yang telah membuat Musa terkecoh

dan tidak sabar melihat berbagai keanehan menurut kacamata biasa.

• Atau kepada Uwais Al Qarni yang telah membuat Sahabat Nabi terheran-heran

dan rela untuk meminta do’a kepadanya,

• Atau kepada orang-orang Allah yang lainnya yang tetap disembunyikan oleh

Allah.

Mereka adalah orang-orang yang sudah mempunyai :

. . . kesempurnaan hidup, kepuasan hidup, kebahagiaan hidup yang amat

sangat, yang berada di dunia Ketuhanan.

Cukuplah Allah bagi mereka.

Mereka tidak mau lagi ke luar dari keadaan itu, kalau tidak Allah sendiri yang

menugaskan mereka untuk ke luar menyampaikan hal-hal yang patut disampaikan

kepada umat manusia. Sebab kapanpun juga :

a. Ketika MATA mereka memandang Ciptaan,

b. MATA HATI mereka telah tidak pernah lagi sedikitpun berpaling dari

memandang Dzat Allah yang Wujud di sebalik semua ciptaan itu, dan

c. HATI merekapun selalu Istiqamah dalam mengingati Allah.

2. Sedangkan WIRID umumnya kita ucapkan atau lakukan agar kelak, cepat atau

lambat, kita akan bisa mengenal Allah (bermakrifatullah). Dengan wirid itu pula kita

Page 52: Tentang ma'rifatullah 2

52

mencoba untuk membersihkan hati kita yang konon katanya berada di dalam dada

kita. Kita wirid dengan harapan agar berbagai tujuan kita dalam hidup ini bisa

tercapai. Ramai sekali.

Sekarang marilah kita fokuskan pembahasan kita kepada aktifitas mengingati Allah.

Pintu ingatan yang akan kita masuki adalah pintu ingatan kepada Allah.

Saat HATI kita masuk ke pintu ingatan kepada Allah, MATA HATI kita memandang

tidak ada rupa, tidak ada umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna atau aura, tidak

ada bunyi. Artinya MATA HATI kita memandang Dzat yang MAHA GAIB.

Padanan caranya adalah sama dengan kalau kita mengingati ibu kita. Saat hati kita

mengingati ibu kita, maka mata hati kita bisa memandang atribut ibu kita yang kita

kenali dengan baik. Misalnya senyumnya, duduknya, tangisnya, dan sebagainya.

Akan tetapi kalau kita mengingati Allah, mata hati kita, kita lebihkan dari mengingati

atribut ibu kita itu, ataupun melebihkannya dari atribut-atribut apapun yang boleh

disebut sebagai ALAM GHURUR. Saat hati kita mengingat Allah, mata hati kita lalu kita

bawa untuk melewati alam ghurur yang ada di seluruh tubuh kita. Ya, lewati dan

tinggalkan semua alam ghurur yang selalu akan mengganggu kita untuk mengingati

Allah.

Karena pintu ingatan kita itu ada di dalam otak kita, maka

alam ghurur yang paling dekat dengan pintu ingatan kita itu

adalah UBUN-UBUN kita.

Dan ubun-ubun kita itu pulalah alam ghurur yang paling tinggi di antara alam-alam

ghurur lainnya yang ada di dalam tubuh kita. Nabi mengatakan :

“Kembali menuju perjalanan ke kampung abadi (akhirat) meninggalkan kampung

penuh tipuan (ghurur), merasakan mati sebelum mati.”5

Dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki kita adalah alam ghurur semuanya,

termasuk ke luar masuknya nafas kita.

Semuanya itu akan menghalangi MATA HATI kita untuk memandang Dzat, yang oleh

hadits di atas disebut sebagai Kampung Abadi (Akhirat). Dzat akan bisa kita pandang

dengan mata hati ketika pandangan mata hati itu kita jauhkan dari alam ghurur. Kita

lebihkan dari alam ghurur, yang dalam hal ini, yang paling mudah kita lewati adalah

ubun-ubun kita.

5 Tafsir Al Baghawi surat Az Zumar 22, halaman 1124 hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud.

Page 53: Tentang ma'rifatullah 2

53

Cobalah pandang ubun-ubun kita ! Dengan mata lahiriah kita pasti tidak akan bisa

memandang ubun-ubun kita itu. Sebab ubun-ubun itu hanya akan bisa kita pandang

dengan memakai Mata Hati. Sedangkan MATA HATI kita baru akan bisa memandang

sesuatu kalau Mata Lahiriah kita tertutup rapat dan HATI kita TERKUNCI kepada

INGATAN tentang sesuatu itu.

Latihan berikut ini agak teknis memang. Tapi mari kita coba dan rasakanlah

manfaatnya :

• Tutuplah MATA LAHIRIAH kita. Maka secara otomatis MATA HATI kita akan melihat

gelap. Mata hati kita tidak akan melihat apa-apa. Sebab saat itu HATI kita memang

belum ingat apa-apa yang akan kita lihat dengan MATA HATI kita itu.

• Dengan MATA LAHIRIAH kita masih tetap ditutup, naikkanlah hitam bola mata kita ke

atas ke arah kening. Otomatis kita akan siap untuk masuk ke dalam pintu-pintu

ingatan kita yang letaknya seperti di dalam otak kita.

• Bukalah salah satu pintu ingatan kita tentang, misalnya durian.

Kunci ingatan kita kepada durian itu dengan tetap menaikkan

bola mata hitam kita ke atas, dan kening kita juga sedikit

berkerut. Ingatan kita seperti fokus sekali, dan tidak bercabang-

cabang kepada ingatan-ingatan yang lain selain ingatan kepada

durian.

• Pandanglah dengan MATA HATI kita durian yang telah kita ingat

di dalam hati itu.

• Apa yang terpandang ? Dan Apa yang terasa ? Silahkan jawab sendiri.

Dengan cara yang sama, cobalah masuki pintu-pintu ingatan yang lainnya satu-persatu,

terutama untuk hal-hal yang pernah kita alami. Jangan hal-hal yang berupa gambaran

atau lukisan, khayalan, dan sebagainya. Getaran (vibrasi) atau cahayapun boleh kita

ingat. Apalagi kata-kata bijak yang pernah kita dengar atau baca. Misalnya : Power,

Force, Quantum, Gerak Nafas, Patrap, dan sebagainya. Kemudian kunci ingatan kita itu

di dalam hati kita. Lalu lihatlah dengan mata hati kita, Apa yang terpandang, dan apa

yang terasa ?

Bagi yang doyan ilmu kedigjayaan, kesaktian, dan ilmu yang aneh-aneh lainnya, maka

cara ini adalah salah satu pintu pembuka dalam berkonsentrasi untuk selanjutnya kita

bisa asyik bersilancar di dunia ilmu-ilmu kesaktian itu, yang akan membuat kita terkekeh

kesenangan.

Akan tetapi bagi yang haus untuk masuk dan duduk di Dunia Ketuhanan, mari kita

lanjutkan proses mengingat ini dengan mengingati Allah, DZIKRULLAH.

Page 54: Tentang ma'rifatullah 2

54

Kita akan meninggalkan semua ALAM GHURUR yang menipu menuju ALAM

HAKEKAT, yaitu Alam Dzat, untuk kemudian kita memantapkan Makrifat kita

kepada Allah, MAKRIFATULLAH.

Kita akan masuki secara langsung keadaan FADZKURUNI ADZKURKUM6, di mana terjadi

peristiwa ingat-mengingat antara hamba dengan Allahnya tanpa perantara.

• “Bismillahirrahmanirrahim.”

• Tutuplah mata lahir, naikkan bola mata hitam, masuk ke pintu ingatan kepada Allah.

Ingat saja Allah. Tidak usah dibayangkan, Tidak usah juga bersuara memanggil-

manggil Allah. Ingat saja Allah, dan KUNCI ingatan kita kepada Allah itu dengan tetap

menaikkan hitam bola mata dan menaikkan otot dahi kita sedikit ke atas. Kalau saat

itu kita mencoba untuk membuka mata lahiriah kita, maka kita akan kesulitan.

Kelopak mata kita akan terasa seperti dilem atau direkat.

• Tujukan pandangan MATA HATI kita ke arah UBUN-UBUN. Sambil HATI kita tetap

MENGINGAT ALLAH. Mata hati kita tidak akan melihat apa-apa, tidak ada rupa, tidak

ada umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna atau aura, tidak ada bunyi. Ya, kosong

begitu saja. Tekan pandangan mata hati kita itu ke arah ubun-ubun. Tembus, lewati,

atau lebihkan pandangan mata hati kita melewati ubun-ubun itu, dan lakukanlah itu

dengan ISTIQAMAH. Dengan seketika, kita telah siap untuk meninggalkan semua

alam ghurur yang ada di seluruh batang tubuh kita.

Kita akan berada pada keadaan kerohanian di mana,

6 Al Baqarah (2) : 152 : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan

bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

Page 55: Tentang ma'rifatullah 2

55

. . . HATI kita Mengingati Allah (dzkrullah), MATA HATI kita melihat DZAT-NYA yang

TIADA RUPA, TIADA WARNA, dan TIADA UMPAMA.

Nantinya, saat MATA LAHIRIAH kita memandang semua CIPTAAN yang tergelar di dalam

Ruang Penciptaan (Lauhul Mahfuz), yang tak lain adalah PENAMPAKAN dari SIFAT-SIFAT-

NYA, maka :

. . . MATA HATI kita telah tajam pula untuk memandang bahwa DI SEBALIK semua

CIPTAAN (Sifat-sifat) itu ternyata HAKEKATNYA adalah DZAT-NYA semata-mata, dan

HATI KITA akan segera terkejut dan berhenti untuk MENGINGAT apapun juga selain

ALLAH.

Page 56: Tentang ma'rifatullah 2

56

Ya,

. . . HATI kita hanya akan diisi semata-mata dengan INGATAN kepada Allah. Tidak

ada satupun yang kita ingat kecuali HANYA ALLAH.

Sebab kita sudah tahu bahwa ternyata adalah DZAT-NYA semata wayang yang menjadi

HAKEKAT dari semua ciptaan itu. Dzat-nya yang sedikit dari KESELURUHAN DZAT-NYA

yang MAHA INDAH. Dari SIFAT kita bergerak menuju HAKIKAT untuk kemudian berhenti

di MAKRIFAT kepada Allah.

Kalau praktek ini kita lakukan dengan ISTIQAMAH, maka pada saatnya :

• Kita akan mendapatkan KHUSYU di dalam shalat kita. Hal ini ditandai dengan kita

selalu bisa mengingati Allah selama kita shalat itu. Kita berbicara, rukuk, sujud,

menghormat, merendah, dan berdoa kepada Allah yang selalu kita INGATI itu

• Kita juga bisa tingkatkan pencapaian kita itu untuk mendapatkan IHSAN di dalam

Shalat kita. Ketika kita MENGHADAPKAN WAJAH (MATA HATI) kita kepada Allah,

maka MATA HATI kita itu akan bisa merasakan bahwa ternyata kita selalu DILIHAT

oleh Allah melalui Dzat-Nya yang menggenggam segala sesuatu, sehingga kemanapun

kita hendak bersembunyi, Dia akan melihat kita melalui Dzat-Nya. Dan itu sungguh

menggetarkan dan menggentarkan hati.

Mata Hati kita juga akan berhasil pula merasakan bahwa :

• Kita dan semua ciptaan ini ternyata diliputi oleh Dzat-Nya Yang Maha Halus.

• Kita semua ternyata bersaudara, bersahabat. Karena kita, semua ciptaan ini, ternyata

berasal dari Dzat yang sama, hanya dengan TAQDIR yang berbeda.

Page 57: Tentang ma'rifatullah 2

57

Dengan menyadari itu, setiap kali kita menyapa dan memberi salam kepada apa saja

yang ada di sekeliling kita, hati kita akan berucap “Subhannallah, Allahu Akbar”. Dan

kesemuanya itu akan menggetarkan HATI maupun JASAD kita. Sungguh tidak ada yang

sia-sia dengan semua ciptaan Allah yang ada di depan mata kita. Hal inilah akan

membuat kita menjadi orang yang mudah menangis, terharu, rasa merinding dan sejuk

di sekujur batang tubuh kita. Karena Allah berkenan memberikan respons-respons-Nya

berupa NATIJAH atau RIQQAH yang sangat mengejutkan kita.

Dengan cara pandang memakai Kacamata Makrifatullah seperti ini, maka kita akan

mudah pula untuk BERIMAN kepada TAQDIR ALLAH, yang dengannya ALLAH memegang

DESTINY dari semua CIPTAANNYA di Alam Penciptaan (Lauhul Mahfuz)

Akhirnya kita akan benar-benar menyerah dan tak berkutik di hadapan Allah. Kita akan

merasa lemah lunglai di hadapan-Nya. Sebab ternyata kita tidak punya harga apa-apa di

hadapan Allah. Sedikitpun kita tidak punya harga. Jangankan punya harga, untuk

mengaku merasa wujud saja di hadapan-Nya kita akan malu. Sungguh MALU. Sebab

semua yang tergelar dan terhampar di alam semesta ciptaan ini ternyata adalah

PERLAKUAN ALLAH sendiri terhadap sedikit dari DZAT-NYA, yang besarnya tak lebih dari

setetes air asin di dalam Samudera. Setiap kita ingin mengaku bahwa kita memiliki

sesuatu, kita jadi malu semalu-malunya. Sebab saat itu pula mata hati melihat bahwa

apa yang ingin kita akui sebagi milik kita itu ternyata adalah penzahiran dari Dzat-Nya

semata-mata. Ya, semuanya adalah penzahiran atas SEDIKIT dari Dzat-Nya yang Maha

Indah.

• Bahkan tidak jarang Allah berkenan pula memberikan pandangan Mukassyafah

kepada kita dengan sekali-sekali Allah benar-benar mengangkat HIJAB yang

menghalangi pandangan mata hati kita. Sehingga tersingkaplah apa-apa yang seharus

tersingkap di hadapan mata hati kita. Semuanya itu diberikan Allah kepada kita untuk

menghibur kita dalam kesendirian kita di tengah-tengah keramaian alam ciptaan-Nya.

Sebab Dunia Ketuhanan adalah dunia yang sepi dan sunyi. Sesepi dan sesunyi Alam

Rahim ibu kita.

• Atau boleh jadi pula Allah berkenan memberikan cahaya-Nya ke dalam hati kita yang

akan menyilaukan pandangan mata hati kita. Sebab kalau hati kita sudah bercahaya,

maka insyaallah kita akan bisa menyuruh RUH kita ke luar dari tubuh kita, untuk

kemudian kita bisa melakukan PERJALANAN RUHANI (RUH + HATI (atau AKAL, atau

Pikiran)) meninggalkan tubuh kita untuk pergi ke tempat-tempat tertentu, seperti

pengalaman OOBE begitulah. Tetapi tentu saja OOBE yang kita lakukan itu akan

sangat berbeda dengan perjalanan Astral Projection biasa, terutama dalam hal

kacamata yang kita pakai. Karena kita akan memakai Kacamata Makrifatullah selama

melakukan OOBE itu, sedangkan Astral Projection biasanya hanya memakai Kacamata

Makrifatunnafs yang akan membawa kita kepada jalan kesombongan.

Page 58: Tentang ma'rifatullah 2

58

Sebenarnya banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang

bisa diberikan oleh Allah kepada kita kalau kita bisa

konsisten dalam mengingati Allah, baik di dalam shalat

maupun di luar shalat. Tapi kita tidak usahlah

membicarakannya di sini. Tidak elok.

Cuma saja biasanya :

. . . banyak di antara kita kelak, ketika melakukan aktifitas Dzikrullah itu, malah

ingin mendapatkan pengalaman-pengalaman seperti di atas

secepatnya. Niat kita dalam melakukan dzikrullah malah ingin agar kita bisa cepat-

cepat melakukan OOBE, menjadi sakti, dan sebagainya. Ya, keliru lagi. Padahal

semua itu nanti hanyalah pemberian Allah belaka.

Kita nggak perlu kita meminta-mintanya kepada Allah, tapi itu nanti akan diberikan Allah

sendiri kepada kita kalau itu memang sudah hak kita. Sebab Allah menjamin :

Ingatlah kepada-Ku, Aku akan ingat pula kepadamu.

Fadzkuruni adzkurkum7.

Demikianlah sekilas makna dari kalimat “Fadzkuruni adzkurkum” yang dipahamkan oleh

Allah kepada kami. Wallahu a’lam. Selanjutnya, kalau Allah masih mengizinkan. Untuk

lebih mematangkan proses kita mengingati Allah ini, kita akan membahas tentang

“Menelisik Anasir Diri”, sehingga kita tidak salah-salah lagi dalam menempatkan diri kita

di hadapan Allah. Sebab tentang diri kita ini, kita sudah hampir buta sejak lama sekali.

Terlalu banyak konsep yang rumit dan sulit yang beredar di sekitar kita. Sehingga

kitapun nyaris tidak mengenal lagi diri kita yang sebenarnya. Sebab :

. . . kalau kita mengenal diri kita, dan kita mengenal Allah,

maka kita akan segera sadar bahwa diri kita ternyata

TIDAKLAH WUJUD.

B. Kesimpulan

1. Makna yang tepat untuk dzikir adalah mengingat, bukan menyebut-nyebut. Untuk

menyebut-nyebut, istilah yang lebih tepat itu adalah WIRID.

2. Untuk mengingat kita tidak butuh hitungan.

7 Al Baqarah (2) : 152 : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan

bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

Page 59: Tentang ma'rifatullah 2

59

3. Wirid merupakan awal dari untuk mengenal Allah.

4. Setelah kenal, barulah kita melakukan Dzikrullah, yang adalah upaya mengingati

Allah. Kita ingat, senangi, hormati, dan sanjung-puja Allah.

5. Dzikirullah adalah proses mengingati Allah yang sudah kita kenali (bermakrifatullah)

sebelumnya dengan baik. Jadi secepat kita bisa bermakrifatullah, maka secepat itu

pula kita bisa mengingati Allah.

6. Mengingati Allah itu adalah salah satu proses tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa),

yang buahnya sangatlah segar dan ranum berupa kita dapat khusyu dalam shalat

dan hati kita yang tenteram.

7. Orang-orang yang dapat bermakrifat, akan berprinsip ‘Cukup Allah Bagiku’

(Hasbunalloh).

8. Orang-orang ini sudah mempunyai kesempurnaan hidup, kepuasan hidup,

kebahagiaan hidup yang amat sangat, yang berada di dunia Ketuhanan.

9. Saat HATI kita masuk ke pintu ingatan kepada Allah, maka MATA HATI kita

memandang tidak ada rupa, tidak ada umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna

atau aura, tidak ada bunyi. Artinya MATA HATI kita memandang Dzat yang MAHA

GAIB.

10. Dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki kita semuanya adalah alam ghurur.

Semuanya itu akan menghalangi MATA HATI kita untuk memandang Dzat. Dzat akan

bisa kita pandang dengan mata hati ketika pandangan mata hati itu kita jauhkan

dari alam ghurur. Kita lebihkan dari alam ghurur, yang dalam hal ini, yang paling

mudah kita lewati adalah ubun-ubun kita.

11. Kita akan meninggalkan semua ALAM GHURUR yang menipu menuju ALAM

HAKEKAT, yaitu Alam Dzat, untuk kemudian kita memantapkan Makrifat kita kepada

Allah, MAKRIFATULLAH.

12. Latihan untuk ingat-mengingat antara hamba dengan Allahnya tanpa perantara

adalah sebagai berikut :

a. “Bismillahirrahmanirrahim.”

b. Tutuplah mata lahir, naikkan bola mata hitam, masuk ke pintu ingatan kepada

Allah. Ingat saja Allah. Tidak usah dibayangkan, Tidak usah juga bersuara

memanggil-manggil Allah.

c. Tujukan pandangan mata hati kita ke arah ubun-ubun. sambil hati kita tetap

mengingat Allah. Mata hati kita tidak akan melihat apa-apa. Tekan pandangan

mata hati kita itu ke arah ubun-ubun. Tembus, lewati, atau lebihkan pandangan

mata hati kita melewati ubun-ubun itu, dan lakukanlah itu dengan istiqamah.

Page 60: Tentang ma'rifatullah 2

60

13. Jika kita dapat selalu mengingat Allah, maka Allah akan ingat (pula) kepada kita,

maksudnya Allah akan melimpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepada kita.