TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

22
77 Kajian Linguistik, Februari 2015, 77-98 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660 TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Demak Magdalena Perawati Silaban [email protected] Hamzon Situmorang, Mhd. Takari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstract Folksong is a form of folklore consisting of the wordsand songs, which circulated orally among members of a particular collective, traditionally shaped, and has many variants. This research aimed to determine the factors that influence the extinction of children folksong on Batak Toba society, analyze the function and meaning, context, and local wisdom. For that, the theory of functionalism and semiotics were used. The method used was descriptiv equalitative method. The data were the lullaby songs to make the child sleeping (lullaby) and the children playing song were recorded directly in Lintongnihuta Humbang Hasundutan District. The results showed that both lullaby and children play songs had the same functions suac as to entertain, educate the child, to be a mean of coercion of social norms and social control, and to reinforce the bond of brotherhood. However, the difference is that the play song has a function of critic for another people while the lullaby was not. In terms of contexts, both lullaby and children playing song took the venue as the background of singing the children folksong. They listened to the atmosphere and use natural resources to sing them. The lullaby had local wisdom values that were respecting the parents, honor the women, while the local wisdom values of children playing song were sharing, health, brothers harmony, and love the environment. From the discussion, it was concluded that the oral tradition of lullaby and children playing song on MBT contained local knowledge therefore need to be preserved as an oral tradition of MBT. Keywords: Folksong, lullaby, children playing song, Batak Toba society, and local wisdom. LATAR BELAKANG Awal mula tradisi lisan berkembang di Indonesia adalah adanya bentuk interaksi secara lisan dalam suatu masyarakat yang memiliki adat istiadat atau tradisi, sehingga pada saat itu tradisi kelisanan lebih mendominasi daripada tradisi keberaksaraan.Tradisi lisan, dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat, merupakan aset budaya yang penting dan berharga yang layak untuk dikaji dan dilestarikan karena tradisi lisan merupakan kekuatan kultural dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa. Hal ini diperkuat oleh Sibarani (2012: 15) yang mengatakan bahwa tradisi lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan membangun peradaban. Tahun ke-12, No 1

Transcript of TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

Page 1: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

77

Kajian Linguistik, Februari 2015, 77-98

Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT

BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG

HASUNDUTAN

Demak Magdalena Perawati Silaban

[email protected]

Hamzon Situmorang, Mhd. Takari

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstract

Folksong is a form of folklore consisting of the wordsand songs, which

circulated orally among members of a particular collective, traditionally

shaped, and has many variants. This research aimed to determine the factors

that influence the extinction of children folksong on Batak Toba society,

analyze the function and meaning, context, and local wisdom. For that, the

theory of functionalism and semiotics were used. The method used was

descriptiv equalitative method. The data were the lullaby songs to make the

child sleeping (lullaby) and the children playing song were recorded directly

in Lintongnihuta Humbang Hasundutan District. The results showed that

both lullaby and children play songs had the same functions suac as to

entertain, educate the child, to be a mean of coercion of social norms and

social control, and to reinforce the bond of brotherhood. However, the

difference is that the play song has a function of critic for another people

while the lullaby was not. In terms of contexts, both lullaby and children

playing song took the venue as the background of singing the children

folksong. They listened to the atmosphere and use natural resources to sing

them. The lullaby had local wisdom values that were respecting the parents,

honor the women, while the local wisdom values of children playing song

were sharing, health, brothers harmony, and love the environment. From the

discussion, it was concluded that the oral tradition of lullaby and children

playing song on MBT contained local knowledge therefore need to be

preserved as an oral tradition of MBT.

Keywords: Folksong, lullaby, children playing song, Batak Toba society,

and local wisdom.

LATAR BELAKANG

Awal mula tradisi lisan berkembang di Indonesia adalah adanya bentuk interaksi

secara lisan dalam suatu masyarakat yang memiliki adat istiadat atau tradisi, sehingga

pada saat itu tradisi kelisanan lebih mendominasi daripada tradisi keberaksaraan.Tradisi

lisan, dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat, merupakan aset budaya yang penting

dan berharga yang layak untuk dikaji dan dilestarikan karena tradisi lisan merupakan

kekuatan kultural dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa. Hal ini diperkuat

oleh Sibarani (2012: 15) yang mengatakan bahwa tradisi lisan dapat menjadi kekuatan

kultural dan salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan

membangun peradaban.

Tahun ke-12, No 1

Page 2: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

78

Folklor merupakan bagian dari tradisi lisan, sebagai suatu memori kolektif yang tersebar

dan diwariskan turun-temurun secara tradisional, dalam versi yang berbeda, baik dalam

bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu

pengingat (mnemonic device) (baca juga Danandjaja 2007: 2). Berdasarkan klasifikasi

folklor menurut ahli folklor dari Amerika Serikat yaitu Brunvand (dalam Danandjaja,

2007: 22-153), folklor dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu folklor lisan, folklor

sebagian lisan, dan folklor bukan lisan.

Wujud tradisi lisan dapat berupa tradisi berkesusasteraan lisan seperti tradisi

menggunakan bahasa rakyat, tradisi penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan

tradisional atau berteka-teki, berpuisi rakyat, bercerita rakyat, melantunkan nyanyian

rakyat, dan menabalkan gelar kebangsawanan (Sibarani, 2012: 48). Sastra lisan

merupakan tradisi yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat, sastra lisan

menggunakan bahasa sebagai media utama. Finnegan (1977: 17) berpendapat bahwa

sastra untuk dapat disebut lisan harus memenuhi tiga kriteria yaitu 1) segi komposisi, 2)

segi transmisi, 3) segi penyajian atau pementasan.Kriteria yang terakhir tidak selalu harus

di hadapan orang banyak seperti teater.

Penelitian khazanah tradisi lisan di Indonesia pada awalnya digalakkan setelah muncul

kesadaran akan semakin banyaknya penutur dan penikmat yang hilang. Perkembangan

zaman yang modern juga sedikit banyaknya mendukung hilangnya dan pupusnya tradisi

lisan. Nyanyian rakyat merupakan salah satu wujud tradisi lisan yang dikhawatirkan

kehilangan penutur dan penikmatnya. Nyanyian rakyat merupakan bunyi (suara) yang

berirama dan berlagu musik yang terangkai sehingga menghasilkan suatu harmonisasi

yang indah. Hal ini diperkuat oleh Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 141) yang

menyatakan bahwa nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang terdiri dari

kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu,

berbentuk tradisional, serta memiliki banyak varian.

Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 142) nyanyian rakyat terdiri dari tiga jenis

yaitu: 1) nyanyian rakyat yang berfungsi yaitu nyanyian rakyat yang kata-kata dan

lagunya memegang peranan yang sama penting, contoh: nyanyian kelonan/menidurkan

anak (lullaby), nyanyian kerja (working song), dan nyanyian permainan (playing song); 2)

nyanyian rakyat yang bersifat liris yaitu nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang

merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya; dan 3) nyanyian rakyat yang bersifat

berkisah (narrative song). Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, nyanyian

rakyat tidak diketahui siapa penciptanya karena pada saat nyanyian tersebut diciptakan

rasa kebersamaan masih jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan individual.

Nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak (lullaby), maupun nyanyian

permainan anak (playing song) dahulu sudah menjadi kebiasaan bagi orang tua untuk

menyanyikan nyanyian pengantar tidur anaknya. Berbeda dengan masa sekarang, orang

tua sudah jarang menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi anaknya, memperdengarkan

lagu-lagu klasik dirasa lebih bermanfaat dan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu

juga nyanyian permainan anak yang pada masa lalu begitu populer digunakan anak-anak

dalam mengiringi permainan mereka, tetapi pada masa sekarang mereka umumnya sudah

tidak menggunakan bahkan tidak mengenal lagi nyanyian-nyanyian permainan tersebut.

Nyanyian menidurkan anak (lullaby) dan nyanyian permainan (playingsong) termasuk ke

dalam golongan nyanyian rakyat yang memiliki fungsi di dalamnya. Disebut berfungsi

karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktivitas khusus dalam kehidupan

manusia. Nyanyian menidurkan anak berisi pesan-pesan, nasihat-nasihat, petuah-petuah,

harapan, cita-cita, dan keinginan orang tua terhadap anaknya dari kecil hingga beranjak

dewasa, sedangkan nyanyian permainan menurut Danandjaja (1991: 147) adalah

nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-kata lucu dan selalu dikaitkan

dengan permainan (play) atau permainan bertanding (game).

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 3: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

79

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki nyanyian rakyat, demikian pula dengan

masyarakat Batak Toba (selanjutnya disingkat MBT) yang berada di Kecamatan

Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. MBT memiliki berbagai jenis nyanyian

rakyat yang dimiliki secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Salah satu jenis

nyanyian rakyat MBT yang sudah mulai tertinggal adalah nyanyian anak, baik itu

nyanyian menidurkan anak maupun nyanyian permainan anak.

Dalam MBT nyanyian menidurkan anak disebut dideng. Biasanya sebelum menidurkan

anak, para orang tua pada MBT gemar sekali mendidengkan anaknya, dan ketika hendak

mendidengkan anak maka si anak akan digendong (diompa) dengan memakai kain

gendongan yang disebut parompa, atau memasukkannya ke dalam ayunan. Ketika si

anak sudah dalam gendongan si orang tua, maka si orang tua tersebut mulai

mendidengkan anaknya sambil menepuk-nepuk bokong si anak dengan pelan ataupun

mengelus-elus badannya. Selain itu hentakan kaki si orangtua akan turut mengikuti irama

lagu yang dinyanyikan. Nyanyian permainan anak adalah nyanyian yang biasanya

dinyanyikan anak-anak pada saat bermain, baik dilakukan di dalam rumah, maupun di

luar rumah waktu siang atau sore hari dalam keadaan cerah, atau di tempat lain di tempat

mereka bermain yang menurut mereka nyaman, seperti di lapangan terbuka. Nyanyian

permainan anak ini biasanya dinyanyikan secara kolektif baik oleh anak laki-laki maupun

perempuan yang jumlahnya minimal empat atau enam orang.Biasanya tidak semua

daérah sama dalam hal isi lagu permainan anak, tergantung tempat di mana mereka

tinggal. Nyanyian permainan anak pada MBT yang dibahas dalam penelitian ini adalah

nyanyian permainan anak yang masih eksis di lapangan penelitian yaitu Sampele

sampele, Jambatan Tapanuli, Kacang koring, dan Sada dua tolu.

Beberapa nyanyian anak pada MBT memiliki beberapa varian. Pewarisan nyanyian anak

yang dilakukan secara lisan oleh nenek moyang Batak Toba mengakibatkan nyanyian

anak tersebut memiliki banyak varian. Halini pun terjadi dalam pelantunan beberapa

nyanyian anak misalnya Sampele sampele, Jambatan Tapamuli memiliki beberapa varian.

Adanya varian dalam nyanyian anak pada MBT menjadi sebuah fenomena yang menarik

untuk dianalisis. Sebagai sebuah seni, nyanyian anak juga memiliki fungsi. Salah satu

fungsinya yang sangat menonjol adalah nyanyian anak berfungsi untuk mendidik, yakni

di dalam nyanyian anak tersebut berisi nasihat-nasihat, petuah-petuah, cita-cita, dan

harapan-harapan para orang tua yang diperuntukkan bagi anak-anaknya ketika beranjak

dewasa. Lirik nyanyian anak terdiri dari barisan kata-kata yang memiliki makna

mendalam atau tujuan tertentu yang dipesankan kepada masyarakat sebagai

pendengarnya. Selain itu lirik nyanyian anak mengandung makna yang dapat

mempengaruhi pembentukan identitas dan karakter mereka. Kemudian, nyanyian anak

berkaitan erat dengan konteks pertunjukan yang meliputi dua hal: konteks situasi dan

konteks budaya. Konteks situasi merupakan lingkungan atau tempat peristiwa

berlangsung. Selain konteks situasi, konteks budaya pun turut mempengaruhi dalam hal-

hal yang berkaitan dengan peristiwa yang melatari pertunjukan. Di samping memiliki

fungsi dan makna, nyanyian anak yang merupakan warisan budaya juga sarat akan

kearifan-kearifan lokal yang mencerminkan nilai-nilai budaya yang sangat penting untuk

digali yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi

sehingga dapat melangsungkan kehidupan bahkan berkembang secara berkelanjutan.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas yaitu tentang latar belakang penelitian

dengan objek kajian nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yang berada di Kecamatan

Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan. Adapun alasan pengambilan data di

lokasi tersebut karena keberadaan tradisi lisan khususnya nyanyian rakyat anak-anak

masih bertahan di daerah tersebut ditengah masyarakat yang telah mengalami

modernisasi. Sehubungan dengan nyanyian rakyat anak-anak memiliki banyak

Page 4: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

80

varian, maka penelitian dilakukan di dua desa di Kecamatan Lintongnihuta yaitu

Desa Nagasaribu dan Desa Tapian Nauli.

LANDASAN TEORI

Teori Fungsionalisme Folklor

Dalam menganalisis nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, akan digunakan teori

fungsionalisme folklor, teori semiotik, dan teori teks, konteks serta konteks. Teori

fungsionalisme folklor terbagi dua yaitu:

Fungsionalisme Murni

Teori fungsi awalnya dikemukakan oleh Malinowski, seorang antropolog sosial.

Berbicara fungsi folklor, menurut Bascom (1965b: 280) tidak dapat dilepaskan begitu

saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya. Folklor milik seseorang

dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam dari

kebudayaan orang yang memilikinya. Pemilik folklor tidak menganggap penting tentang

asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka.

Prop (1975: 21) menyatakan: “Function is understood as an act of character, defined

from point of view of its significance for the course of the action: Dalam konteks ini,

fungsi merupakan bentuk “ketergantungan” secara utuh pada sebuah sistem budaya.

Dalam kaitan ini, fungsi dapat terkait dengan perjuangan kelas (strata sosial).

Fungsionalisme Struktural

Teori fungsionalisme struktural memiliki fungsi bagi pemenuhan keutuhan dan sistematik

struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami sebagai pengaturan kontinu atas orang-

orang dalam kaitan yang ditemukan oleh institusi, yakni norma dan pola perilaku yang

dimapankan secara sosial. Masyarakat pemilik folklor adalah sebuah institusi yang satu

sama lain saling terkait. Mereka saling isi-mengisi demi keutuhan folklor itu sendiri. Hal

tersebut sesuai dengan yang dikatakan Leach (1949: 542) bahwa struktur sosial

merupakan bentuk “eksis” pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan anatomi

manusia. Anatomi manusia jelas saling ada ketergantungan dalam kerjanya, begitu pula

folklor.Setiap folklor memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan itu

membentuk struktur yang unik.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pengkajian folklor dari aspek struktural

fungsional akan menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial. Setiap unsur

memiliki tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi kelangsungan sebuah

struktur. Pada situasi demikian, peneliti akan meninjau lebih jauh seberapa fungsi

masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar. Setiap unsur struktur ada

kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus diteima atau ditolak oleh unsur lain.

Setiap unsur struktur dihadapkan pula pada “pola pilihan” yang harus diambil. Pada saat

itu masyarakat akan menentukan pilihan dan memutuskan.

Teori Semiotika

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de

Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik dan Charles Sander Pierce (1839-1914).

Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Pierce menyebutnya

semiotik (semiotics).Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda

(signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut

petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu artinya.

Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol. Dikaitkan dengan

pelopornya, maka dalam semiotika terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 5: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

81

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Pericean. Menurut Zoest (Ratna, 2006: 103), dihubungkan dengan bidang-bidang yang

dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran,

sebagai beikut: 1) Aliran semiotika komunikasi, 2) Aliran semiotika konotatif, dan 3)

Aliran semiotika ekspansif.

Dalam menganalisis makna teks nyanyian rakyat anak-anak ini akan digunakan semiotika

yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua

tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem

pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan

materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi—atau sistem

penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda,

dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.

Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak.

Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan

yang tinggi. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan

antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit,

tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia

menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan

berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda

“bunga” mengkonotasikan “kasih sayang”. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis

kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative

meaning).

Teks, Koteks, dan Konteks

Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks, dan

konteks, sedangkan isi terdiri dari makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal

(Sibarani, 2012: 241-242). Teks merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang

tersusun ketat “tightly formalized language” seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif

yang mengantarkan tradisi lisan non verbal seperti teks pengantar sebuah performansi.

Struktur itu dapat dilihat dari struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro. Struktur

makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari sebuah teks

yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Struktur alur

merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks, termasuk teks tradisi lisan secara

garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (introduction), bagian tengah

(body), dan penutup (conclusion), yang masing-masing saling mendukung secara koheren

(Sibarani, 2012: 242).

Ko-teks menurut Cook (1994) adalah hubungan antar wacana yang merupakan

lingkungan kebahasaan yang melingkupi suatu wacana. Menurut Sibarani (2012: 242)

koteks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik,

proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Deskripsi paralinguistik mencakup

intonasi, aksen, jeda, dan tekanan sedangkan kinetik merupakan bidang ilmu yang

mengkaji gerak isyarat. Proksemik merupakan bidang ilmu yang mempelajari penjagaan

jarak antara pembicara dan pendengar sebelum dan ketika sedang terjadi komunikasi.

Deskripsi sikap dan penjagaan jarak antar pelaku dan antara pelaku dengan penonton

akan memberikan kontribusi pada interpretasi makna dalam tradisi lisan. Bentuk ko-teks

lain yang sangat perlu dikaji dalam tradisi lisan adalah unsur material atau benda yang

sering mendampingi penggunaan teks. Unsur-unsur material yang dipergunakan dalam

praktik tradisi lisan dapat berupa perangkat pakaian dengan gayanya, penggunaan warna

dengan ragam pilihannya, penataan lokasi dengan dekorasinya, dan penggunaan berbagai

properti dengan fungsi masing-masing. Dalam penelitian nyanyian anak-anak pada MBT

yang menjadi ko-teks adalah intonasi, aksen, jeda, dan tekanan dari nyanyian anak

Page 6: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

82

tersebut, dan juga benda-benda atau material yang digunakan dalam nyanyian permainan

tersebut.

Secara harfiah, konteks berarti “something accompanying text”, yang berarti: sesuatu

yang inheren dan hadir bersama teks. Konteks diungkapkan melalui karakterisasi bahasa

yang digunakan penutur (Halliday & Hasan, 1985). Di dalam teori Halliday, pengertian

harfiah itu diterjemahkan dalam batasan Saussure yang menyatakan bahwa bahasa

sebagai suatu fakta sosial. Oleh Halliday “something” di atas diolah menjadi “sesuatu

yang telah ada dan hadir dalam partisipan sebelum tindak komunikasi dilakukan, karena

itu konteks mengacu pada konteks kultural dan konteks sosial (Halliday, 1978) yang

diidentifikasikan melalui medan, pelibat dan sarana (Sinar, 2010).

Dalam kajian tradisi lisan peranan konteks sangat penting. Dalam penelitian tradisi lisan

nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, konteks merupakan salah satu yang harus

diamaati sehingga pemaknaan nyanyian anak-anak dapat dilihat secara keseluruhan. Oleh

karena itu penulis tertarik dalam mendeskripsikan nyanyian anak-anak dalam konteks

sosial dan konteks situasi yang dikemukakan oleh Sibarani. Dalam Sibarani (2012: 326)

konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan

konteks. Konteks sosial ini meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola,

penikmat dan bahkan komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu,

tempat dan cara penggunaan teks. Hal ini terlihat jelas pada nyanyian anak-anak,

siapakah penutur, pengelola dan penikmatnya. Dan kapan nyanyian anak-anak itu

dilakukan, di mana tempatnya, serta bagaimana melakukannya

Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai

nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat

maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa

lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal

tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lokal memiliki suatu nilai tersendiri yang mana nilai-nilai yang terkandung

dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kearifan lokal

yang mencerminkan nilai budaya diantaranya adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin,

pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolaan jender, pelestarian dan kreativitas

budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan

sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur

(Sibarani, 2012: 133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti (core local

wisdom) yaitu kesejahteraan dan kedamaian.

METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti Tradisi lisan Nyanyian Rakyat Anak-

Anak Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang

Hasundutan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif dipilih karena

penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggali, menggambarkan, dan menjelaskan

objek yang diteliti secara alamiah yaitu mendeskripsikan data berdasarkan permasalahan

dalam penelitan ini yaitu keberadaan nyanyian anak pada MBT, fungsi dan makna,

konteks, serta kearifan lokal.

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 7: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

83

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

1. Deskripsi Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak (dideng)

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, waktu di desa Nagasaribu menunjukkan

pukul dua belas (12) siang, ibu L. Sinaga telah selesai memberi makan anak bayinya

yang berumur enam (6) bulan yang bernama Mauliate Sinaga. Saatnya anaknya akan

ditidurkan, sambil menunggu anak-anaknya yang lain pulang sekolah. Sudah menjadi

kebiasaan dalam menidurkan anaknya, ibu Sinaga selalu menyanyikan nyanyian

pengantar tidur bagi anaknya. Terlebih dahulu ibu Sinaga mengambil sebuah kain

panjang (parompa) yang akan digunakan untuk menggendong anaknya. Posisi

menggendong anaknya adalah gendong depan (ompa jolo) agar ibu dapat mengelus-elus

bokong maupun badan anaknya (Gambar 4.1) agar anaknya cepat tidur. Dengan irama

lagu yang pelan serta mendayu-dayu ibu Sinaga menyanyikan nyanyian dideng-dideng

secara terus menerus sambil mengelus-elus badan anaknya hingga anaknya tertidur lelap.

Setelah anaknya tertidur, barulah ibu Sinaga berhenti menyanyikan nyanyian dideng

dideng dan kemudian meletakkannya di tempat tidur. Ibu Sinaga dan suaminya adalah

seorang petani, hampir setiap hari ibu itu dan suaminya pergi ke kebunnya yang berada

tidak jauh dari rumahnya yaitu di belakang rumahnya. Setelah anak-anaknya pulang

sekolah, ibu itu pergi ke kebun dan menyuruh anak-anaknya menjaga dan mengawasi

adiknya yang masih bayi. Jika anak bayinya tersebut terbangun dari tidurnya dan

menangis, maka dengan segera anak-anaknya akan memanggil ibunya yang bekerja di

kebun di belakang rumah untuk menyusui maupun mendidengkan anaknya kembali.

Gambar 4.1. Ibu L. Sinaga mendidengkan anaknya dalam gendongannya

Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 3 Mei 2014

Variasi lirik nyanyian menidurkan anak Dideng dideng dapat dilihat pada tabel 4.1

berikut:

Tabel 4.1: Variasi lirik nyanyian menidurkan anak Dideng dideng

Versi informan Op.

Felix Sihombing

Versi informan ibu

S. Sihombing

Versi Ibu L.Sinaga

di desa Nagasaribu

Versi Ibu D.

Simanullang di desa

Tapian Nauli

Molo huingot i

sude

loja ni dainang i

marmudu au sian

na metmet

tu na balga

Molo huingot i

sude

loja ni dainang i

marmudu au sian

na metmet

tu na balga

Molo huingot i

sude

loja ni dainang i

marmudu au sian

na metmet

tu na balga

Molo huingot i sude

loja ni dainang i

marmudu au sian na

metmet tu na balga

Page 8: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

84

Diabing au

diompa au

asa sonang

modom au

dideng dideng

didok tu au

o hasian

Diabing au

diompa au

asa sonang

modom au

dideng dideng

didok muse

o hasian

Diabing au

diompa au asa

sonang modom

au

dideng dideng

didok muse

o hasian

Diompa au

diabing au

asa sonang

modom au

dideng dideng

didok muse

o hasian

2. Deskripsi Nyanyian Permainan Anak Pada Masyarakat Batak Toba

Deskripsi Nyanyian Permainan Kacang koring

Tradisi lisan nyanyian permainan Kacang koring direkam pada tanggal 5 Mei 2014 di

desa Tapian Nauli dan tanggal 16 Juni 2014 di desa Nagasaribu. Nyanyian ini

dinyanyikan ketika hendak bermain petak umpat (martabun tabuni). Nyanyian

permainan kacang koring merupakan nyanyian permainan untuk menentukan giliran

dalam sebuah permainan yaitu siapa yang menang (yang akan dicari) dan yang kalah

(yang akan mencari). Jumlah pemain biasanya minimal empat orang anak.

Di desa Tapian Nauli nyanyian permainan ini dilakukan oleh delapan (8) orang anak,

mereka adalah Nova, Lamtiur, Novita, Rotua, Sanni, Anna, Marito dan Lusi. Dalam

melakukan permainan ini mereka membentuk lingkaran kecil, mereka menurunkan

tangan kanannya masing-masing dengan telapak tangan menghadap ke bawah (Gambar

4.3), kemudian secara bersama-sama mereka mengucapkan „kacang koring sibuat na

otik’. Ketika mengucapkan suku kata terakhir yaitu „tik‟, masing-masing memperlihatkan

salah satu telapak tangan mereka dengan bagian telapak tangan menghadap ke bawah

atau ke atas. Pemenang adalah jumlah minimal anak yang posisi telapak tangannya tidak

sama dengan telapak tangan temannya yang lain. Pemenang pertama adalah Rotua dan

Sanni, telapak tangan mereka berdua menghadap ke bawah, sedangkan telapak tangan

enam (6) orang lainnya menghadap ke atas. Pemenang kedua adalah Novita dan

Lamtiur, telapak tangan mereka berdua menghadap ke atas sedangkan yang empat

lainnya menghadap ke bawah. Pemenang selanjutnya adalah Marito, telapak tangannya

menghadap ke atas sedangkan telapak tangan tiga orang lainnya menghadap ke bawah.

Kemudian Nova menyusul sebagai pemenang berikutnya, telapak tangannya mengahadap

ke atas sedangkan telapak tangan dua orang lainnya menghadap ke bawah. Akhirnya

tinggal dua pemain yaitu Anna dan Lusi, untuk menentukan siapa yang menang dari

antara mereka berdua maka mereka melakukan sut. Siapa yang yang kalah bermain sut

maka dia akan bertugas sebagai penjaga pos. Anna kalah dalam bermain sut, sehingga dia

mendapat giliran sebagai penjaga pos. Anna menghadapkan wajahnya ke dinding sambil

menunggu temannya yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil menunggu Anna

mengucapkan kata „nunga”? (sudah?), jika masih ada temannya yang menjawab „daung’

(belum), berarti mereka belum menemukan tempat persembunyian, tetapi jika tidak ada

lagi yang menjawab, menandakan bahwa mereka sudah berada di tempat

persembunyiannya masing-masing dan sudah bisa untuk dicari. Pertama sekali Anna

menemukan Nova yang bersembunyi di balik bunga, setelah Nova ditemukan Anna

mengucapkan „tul si Nova‟ sambil memegang dinding tempat di mana wajahnya

dihadapkan tadi. Selanjutnya Anna dan Nova bersama-sama mencari teman mereka

yang lain. Begitu seterusnya dilakukan hingga semua teman mereka temukan.

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 9: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

85

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Gambar 4.3 Nyanyian permainan anak Kacang koring di desa Tapian Nauli

Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 5 Mei 2014

Di desa Nagasaribu nyanyian permainan ini dilakukan oleh enam (6) orang anak

(Gambar 4.4), mereka adalah Paskah, Daniel, Heppy, Dewi, Masta dan Lambok.

Pemenang pertama adalah Daniel dan Dewi, pemenang kedua adalah Masta, pemenang

ketiga adalah Paskah. Heppy dan Lambok melakukan sut dan Heppy adalah

pemenangnya, yang juga berarti bahwa Lambok adalah pemain yang kalah yang akan

bertugas sebagai penjaga pos. Dia menghadapkan wajahnya ke dinding dan menghitung

satu sampai lima puluh (50) sedangkan teman-temannya yang lain sibuk mencari tempat

persembunyian. Temannya yang pertama ditemukan adalah Daniel yang bersembunyi di

atas pohon, kemudian Masta ditemukan dibalik bunga pangkas. Ketika Lambok

meninggalkan pos dan sibuk mencari temann-temannya, Paskah datang ke pos dan

langsung memegang dinding tadi sambil mengatakan „tul’ lalu dia kembali mencari

tempat persembunyian. Hal itu berarti bahwa Lambok kembali menghadapkan wajahnya

ke dinding dan menghitung satu sampai lima puluh. Ketika Lambok menemukan Paskah,

segera lambok datang ke pos dan memegang dinding sambil mengatakan tul si Paskah,

tetapi tanpa disadari dari belakangnya telah datang Daniel dan Masta meraka langsung

memegang dinding sambil mengatakan tul. Hal itu berarti bahwa Lambok kembali

menjaga pos dan menghitung satu sampai lima puluh. Begitu terus dilakukan hingga dia

berhasil mengamankan pos dan menemukan teman-temannya di tempat persembunyian

mereka.

Gambar 4.4 Nyanyian permainan anak Kacang koring di desa Nagasaribu

Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 16 Juni 2014

Berdasarkan pengamatan di lapangan lirik nyanyian permainan Kacang koring versi

informan ibu S. Sihombing, versi anak-anak di desa Nagasaribu dan desa Tapian Nauli

memiliki lirik yang sama atau tidak memiliki varian. Hal tersebut disebabkan lirik

nyanyian permainan ini yang pendekyang hanya dua baris sehingga mudah untuk diingat.

Liriknya adalah sebagai berikut:

Page 10: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

86

Kacang koring (kacang kering)

sibuat na otik (ambil sedikit)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bagian ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama yaitu deskripsi keberadaan nyanyian

menidurkan anak dan nyanyian permainan anak pada MBT saat ini, analisis fungsi dan

makna, koteks, konteks, serta pembahasan refleksi kearifan lokal.

Keberadaan Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak Pada Masyarakat Batak

Toba Saat Ini

Keberadaan nyanyian menidurkan anak dideng pada MBT saat ini sudah mulai sulit

ditemukan. Ini terlihat dengan adanya pergeseran dan perubahan budaya yang

dipengaruhi oleh mobilitas zaman yang cepat dan begitu sangat berpengaruh terhadap

kehidupan sosial masyarakat. Kemajuan teknologi yang semakin merata baik di desa

maupun di kota turut mempengaruhi keberlangsungan dideng pada MBT. Sekarang, di

zaman yang canggih dan modern ini para orangtua lebih suka memperdengarkan

nyanyian-nyanyian atau musik-musik melalui media elektronik seperti CD, DVD, VCD,

radio, dan media elektronik lainnya. Mereka cenderung lebih suka memperdengarkan

musik-musik klasik yang diputar melalui audiovisual, atau media-media elektronik

daripada dideng dideng dalam menidurkan anak. Hal itu dirasa lebih praktis, tidak

merepotkan dan lebih up to date (sesuai dengan perkembangan zaman). Kebiasaan para

orang tua Batak Toba yang sudah mulai terpengaruh oleh kemajuan teknologi perlahan-

lahan membuat mereka menjadi orang tua yang pasif yang berakibat pada kedekatan

mereka dengan anak-anak mereka secara psikologis akan berkurang. Seperti yang telah

dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam mendideng, selain menyanyi orang tua juga akan

kreatif menciptakan gerakan yang bisa membuat anaknya cepat tidur seperti mengelus-

elus badan si anak, menepuk-nepuk bokongnya, dan lain-lain. Tetapi dengan hadirnya CD

maupun DVD telah dapat menggantikan tradisi dideng tersebut yang dulunya biasa

dilakukan oleh nenek moyang mereka. Kondisi seperti ini perlahan-lahan akan membuat

tradisi dideng tersebut akan benar-benar hilang di tengah-tengah kehidupan MBT itu

sendiri. Dan sebagai generasi penerus Batak Toba, nyanyian dideng dideng hendaknya

dipelihara dan diwariskan kepada generasi selanjutnya karena nyanyian ini adalah salah

satu kekayaan budaya daerah dari Batak Toba yang sangat sayang untuk dilupakan begitu

saja.

Keberadaan Nyanyian Permainan Anak Pada Masyarakat Batak Toba Saat Ini

Keberadaan nyanyian permainan anak pada MBT akhir-akhir ini juga sudah mulai

mengalami kepunahan. Berdasarkan penelitian di lapangan hal tersebut disebabkan oleh

beberapa faktor.

1. Teknologi

Kemajuan teknologi membawa banyak kemudahan bagi manusia. Permainan modern

dalam komputer yang dikenal dengan games yang kaya dengan sensasi, mengasyikkan,

dan penuh fantasi diciptakan. Dan sebagai bayarannya permainan anak tradisional kini

mulai ditinggalkan. Permainan anak tradisional yang kaya nilai digantikan dengan

permainan anak modern produk teknologi. Games modern dirasa lebih praktis karena

tidak memerlukan tanah lapang dan banyak teman, cukup sendirian di depan komputer

seseorang bisa terjun dalam permainan yang mengasyikkan. Hal tersebutlah yang juga

menghampiri anak-anak Batak Toba saat ini tak terkecuali yang di desa, bisa memainkan

bermacam-macam games di komputer merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena hal

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 11: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

87

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

itu menunjukkan bahwa mereka dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Padahal di

balik semua itu anak-anak tersebut tidak menyadari bahwa bermain games di komputer

lama kelamaan akan berpengaruh buruk bagi mereka. Pengaruh buruk tersebut antara

lain: a) Membunuh kreatifitas anak-anak sebagai generasi muda. Permainan tradisional

biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya. Mereka menggunakan barang-barang,

benda-benda, atau tumbuh- tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Hal tersebut

mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. b) Hilangnya

kecerdasan spiritual anak. Dalam permainan tradisional terdapat konsep menang dan

kalah. Namun, menang dan kalah ini tidak menjadikan para pemainnya bertengkar atau

minder. Bahkan ada kecenderungan, orang yang sudah bisa melakukan permainan

mengajarkan secara langsung kepada teman-temannya yang belum bisa. c) Hilangnya

kecerdasan natural anak, banyak alat-alat permainan yang dibuat atau digunakan dari

tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir. Aktivitas tersebut mendekatkan anak terhadap

alam sekitarnya sehingga anak lebih menyatu terhadap alam. d) Matinya kecerdasan

kinestetik anak, pada umumnya, permainan tradisional mendorong para pemainnya untuk

bergerak, seperti melompat, berlari, menari, berputar, dan gerakan-gerakan lainnya.

Menguasai teknologi bukanlah hal yang salah, tetapi menguasai teknologi lalu melupakan

dan meninggalkan tradisi budaya yang sudah diwariskan nenek moyang adalah hal yang

salah.

2. Pendidikan

Dewasa ini, sekolah sebagai lingkungan pendidikan dan sebagai rumah kedua bagi anak

sudah tidak lagi berkontribusi dalam memperkenalkan atau mensosialisasikan nyanyian

permainan anak. Hal itu disebabkan karena guru sekolah sendiri tidak paham permainan

tradisi yang seharusnya diajarkan kepada anak dalam kaitan implementasi kurikulum

muatanlokal. Karen awalaupun ada buku permainan tradisi khususnya yang

menggunakan nyanyian, tetapi tidak disertai notasi sehingga syair nyanyian tersebut

hanya sebatas sekelompok kata-kata saja. Berdasarkan pengamatan di lapangan, hanya

beberapa sekolah di Kecamatan Lintongnihuta yang dalam pembelajarannya mengajarkan

permainan tradisi yang menggunakan nyanyian salah satunya adalah SD Negeri Nababan

Dolok desa Nagasaribu. Kalaupun ada sedikit sekolah yang mengajarkan permainan

tradisi, hanya sebatas permainan yang tidak menggunakan nyanyian yang diajarkan dalam

pelajaran olahraga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sepantasnya juga

mengajarkan kepada anak didik nyanyian permainan yang merupakan warisan nenek

moyang ini yang didalamnya terkandung pendidikan karakter.

1. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak

a. Analisis Fungsi Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak

Pada dasarnya dideng berfungsi sebagai media, baik itu media penghibur anak, media

untuk menyampaikan pesan, media untuk menyampaikan doa dan harapan untuk anak,

media untuk belajar bagi anak, media untuk penguat tali kasih sayangan tara orang tua

dan anak dan juga media untuk mencurahkan kasih sayang orang tua kepadaanaknya.

Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan teori diatas, maka dapat dikatakan bahwa

fungsi dideng adalah sebagai: (1) sebagai bentuk hiburan; (2) sebagai alat pendidikan

anak; (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial;

dan(4) berfungsi sebagai penguat ikatan persaudaraan.

Page 12: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

88

1. Sebagai bentuk hiburan

Fungsi dideng dikatakan sebagai bentuk hiburan karena dideng sendiri merupakan

nyanyian yang dinyanyikan ketika hendak menidurkan anak. Nyanyian bagi anak

bayi Mauliate Sinaga (6 bulan) dan Lina Simanullang (2 bulan) akan membuat mereka

semakin terlelap dalam tidur, sedangkan bagi ibu mereka yang menyanyikannya yaitu ibu

L. Sinaga dan ibu D. Simanullang juga dapat menghilangkan sedikit kepenatan dan

keletihan mereka dalam bekerja sehari-hari yang berprofesi sebagai petani. Hal ini

disebabkan dengan bernyanyi ibu Sinaga dan ibu Simanullang akan lebih bersantai

sejenak dan melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan. Hal ini senada

dengan teori yang dikemukakan oleh Danandjaja bahwa nyanyian rakyat memiliki fungsi

rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk

sementara waktu atau menghibur diri dari kesukaran hidup, sehingga dapat pula menjadi

semacam pelipur lara atau untuk melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan

sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa.

2. Sebagai alat pendidikan anak

Selain sebagai bentuk hiburan dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Fungsi

pendidikan mengarah kepada fungsi pembentukan karakter, etika, dan moral. Hal ini

dapat dihubungkan dengan berbagai nilai yang benar dan salah, nilai baik dan buruk.

Dideng merupakan nyanyian yang diperuntukkan bagi bayi dan anak-anak usia dini.

Proses belajar bayi maupun anak usia dini seperti Mauliate Sinaga dan Lina Simanullang

tidak sama dengan proses belajar anak-anak pada umumnya. Pada umumnya proses

belajar anak-anak dapat dilakukan disekolah. Selain itu faktor lingkungan juga turut

memberikan pengalaman belajar bagi anak. Sangat berbeda dengan proses belajar bayi

maupun anak usia dini karena pada masa ini anak hanya belajar dari orang tuanya. Maka

dari itulah dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak karena di dalam dideng

tersebut terdapat pesan-pesan moral, petuah-petuah dan pengajaran yang diberikan oleh

orang tua sehingga secara tidak langsung anak akan mulai belajar. Pesan atau pengajaran

yang terdapat dalam nyanyian Dideng dideng ini adalah agar setiap anak selalu

menghormati orangtuanya khususnya ibunya, karena pengorbanan seorang ibu bukan

hanya ketika melahirkan anaknya saja tetapi juga ketika merawat anaknya dari kecil

hingga dewasa. Oleh karena itu, ketika seorang anak sudah dewasa janganlah menjadi

anak yang durhaka kepada ibunya, tetapi menjadi anak yang berbakti.

3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial

Begitu pula halnya dengan fungsi dideng sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma

sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang disampaikan orang tua kepada anaknya

lewat dideng biasanya berisi tentang hal-hal yang mengandung nilai-nilaimoral. Hal ini

bertujuan agar kelak ketika sang anak dewasa ia menjadi pribadi yang baik, yang

menghormati orang tua, mertua, maupun orang-orang yang lebih tua darinya, serta

bertindak serta berlaku sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku sehingga akan

menjadi manusia yang berguna baik bagi bangsa, maupun masyarakat.

4. Sebagai penguat ikatan persaudaraan

Selanjutnya fungsi dideng sebagai penguat ikatan persaudaraan merupakan bentuk adanya

cinta dan kasih sayang yang besar antara ibu dan anaknya. Dengan mendidengkan

anaknya ibu Sinaga dan ibu Simanullang dapat mencurahkan segala keinginan dan

harapannya kepada anak-anak yang sangat mereka kasihi. Dari sanalah akan semakin

tumbuh dan tercipta ikatan tali cinta kasih antara anak dan ibunya.

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 13: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

89

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

2. Analisis Makna Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak

Nyanyian dideng dideng merupakan nyanyian yang menggambarkan perwujudan kasih

sayang seorang ibu kepada anaknya dari kecil hingga dewasa. Dalam konteks mandideng

si anak yang ditidurkan adalah masih bayi, atau usia dini. Anak yang masih bayi atau usia

dini tentu belum bisa mengungkapkan atau mengekspresikan kasih sayang ibunya

kepadanya melalui kata-kata maupun nyanyian. Dalam hal ini sang ibulah yang

bernyanyi dengan harapan kelak nanti anaknya dewasa, anaknya tersebut akan tetap

mengingat dan menghargai semua perjuangan ibunya yang telah membesarkannya dari

kecil hingga dewasa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lirik nyanyian dideng dideng versi

informan, dan versi kedua ibu yang mendideng anaknya di Desa Nagasaribu dan Desa

Tapian Nauli adalah sama atau tidak memiliki varian. Lirik pada bait pertama adalah

sebagai berikut:

molo huingot i sude jika kuingat semua itu

loja ni dainang i lelahnya ibuku

marmudu au sian na metmet merawat aku dari kecil

tu na balga hingga besar

Lirik tersebut di atas memiliki makna denotatif yang menghasilkan makna eksplisit,

langsung, dan pasti. Lirik tersebut menggambarkan anak yang tidak pernah melupakan

segala susah payah maupun perjuangan yang dilalui ibunya ketika merawatnya dari kecil

hingga dewasa. Sejak ibu mengandung anaknya, banyak hal yang harus dialami ibu,

mulai dari sakitnya mengidam hingga pertaruhan nyawa ketika melahirkan. Setelah

anaknya lahir, tugas utama ibu adalah menyusui anaknya karena air susu merupakan

makanan utama bagi bayi. Setelah masa-masa menyusui, seorang anak harus tetap berada

di bawah pengawasan ibu untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan anaknya.

Memberi anaknya makan, memandikan, menidurkan, merupakan tanggung jawab harian

ibu, di samping harus melakukan aktivitas lain mengurus rumah tangga, dan juga

membantu suami mencari nafkah. Semua itu dilakukan ibu hari berganti hari, minggu

berganti minggu, bulan berganti bulan bahkan tahun berganti tahun, hal itu terus

dilakukan demi anak dan keluarganya. Setelah anaknya remaja dan beranjak dewasa

bukan berarti ibu tidak lagi mengurusi anaknya, memang tanggung jawab untuk

menyuapi, memandikan, menidurkan anaknya tidak lagi dilakukan, tetapi justru di masa-

masa inilah ibu juga harus tetap mengawasi pertumbuhan anaknya, khususnya

pertumbuhan karakternya, agar kelak anaknya tumbuh menjadi anak yang baik, anak

yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa. Semua hal yang dilalui ibunya

tersebut membuat anak sadar bahwa hanya karena ibulah dia bisa tumbuh dan

berkembang hingga dewasa. Dengan tetap mengingat susah payah seorang ibu dalam

membesarkannya dari kecil hingga dewasa, seorang anak telah menunjukkan bahwa dia

adalah anak yang menghargai orang tuanya, tetapi anak yang melupakannya adalah anak

durhaka.

Selanjutnya pada bait ke dua nyanyian dideng dideng terdapat lirik sebagai berikut:

diabing au diompa au dipangku aku digendong aku

asa sonang modom au agar aku tenang tidur

dideng dideng dideng dideng

didok muse o hasian disebut lagi oh sayang

Page 14: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

90

Lirik pada bait ke dua nyanyian dideng dideng di atas juga memiliki makna denotatif.

Lirik tersebut menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan ibu di kala hendak

menidurkan anaknya. Menidurkan anak bukanlah hal yang mudah, karena anak hanya

bisa tidur kalau dia sudah merasa nyaman. Banyak cara yang dilakukan seorang ibu agar

anaknya cepat tidur dan terlelap. Pada umumnya ibu-ibu terlebih dahulu menyusui

anaknya sebelum menidurkannya, karena anak yang sudah kenyang pada umumnya akan

cepat tidur. Tetapi terkadang dengan perut yang sudah kenyang pun, si anak masih tetap

rewel, di sinilah ibu harus berusaha mengupayakan agar anaknya cepat tidur. Kadang-

kadang anaknya dipangku (diabing), tetapi kalau belum juga bisa tidur dalam

pangkuannya, anaknya digendong (diompa) lagi. Dan kalau anaknya belum juga bisa

tidur dengan cara dipangku maupun digendong, maka ibu akan mendidengkan anaknya

dengan menyanyikan nyanyian pengantar tidur dideng dideng.

3. Analisis Konteks Nyanyian Menidurkan Anak

Ko-teks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik,

proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Dalam hal budaya, nyanyian menidurkan

anak dideng dideng termasuk kepada pertunjukan budaya. Kata-kata yang digunakan

sepenuhnya adalah kosakata bahasa Batak Toba. Kata-kata ini merupakan kata-kata yang

memiliki makna, sementara nyanyian tersebut disajikan dalam bentuk melodis. Mimik

muka ibu yang mendidengkan anaknya yaitu ibu Sinaga dan ibu Simanullang

mengekspresikan kasih sayang yang tulus dari mereka kepada anak-anak mereka yaitu

Mauliate Sinaga dan Lina Simanullang. Gerak yang dilakukan ibu Sinaga dan ibu

Simanullang adalah gestur kegiatan menyayangi anak. Ketika Mauliate Sinaga berada

dalam gendongan ibu Sinaga yaitu posisi gendong depan, secara spontan ibu Sinaga

mengelus-elus bokong maupun badan anaknya pelan-pelan, hal itu dimaksudkan agar

anaknya cepat tidur senada dengan irama lagu Dideng dideng yang pelan dan mendayu-

dayu. Begitu juga ketika Lina Simanullang berada dalam ayunan, gerakan tangan ibu

Simanullang yang mengayun anaknya dengan pelan-pelan juga mengikuti irama lagu.

Karena nyanyian ini merupakan pertunjukan budaya sehari-hari yang tidak begitu

menonjolkan segi artistik, tetapi lebih menonjolkan guna dan fungsi sosial, maka kostum,

tata cahaya, gaya rambut, properti, setting tak begitu diutamakan. Artinya ibu

melakukannya dengan alamiah saja, apaadanya, mengalir dalam budaya Batak Toba.

Pakaian yang digunakan oleh ibu Sinaga dan ibu Simanullang juga adalah pakaian

sehari-hari wanitaBatak Toba yang padaumumnya selalu memakai sarung (mandar) dan

laman laman apabila sedang bekerja di luar rumah atau di kebun untuk menghindari

terik matahari dan hujan. Unsur material yang digunakan dalam nyanyian Dideng dideng

ini adalahkain panjang (parompa) yang digunakan untuk menggendong anak baik dalam

posisi gendong depan maupun posisi gendong belakang, tetapi dalam hal ini posisi

menggendong anak adalah posisi gendong depan. Jika anak yang didideng adalah dalam

ayunan, maka yang digunakan adalah ayunan (anggunan) yang terbuat dari segitiga besi

dan per/pegas.

4. Analisis Konteks Nyanyian Menidurkan Anak

1. Tempat berlangsungnya dideng

Dideng dalam menidurkan anak biasanya berlangsung didalam rumah sang anak itu

sendiritepatnyadiruang tengah karenadisanalahayunandiletakkanatau digantungkan.

Orang-orang tua Batak Toba jarang meletakkan atau menggantungkan ayunan di ruang

depan atau di ruang tamu, karena jika ada tamu yang datang, si anak pasti tidak akan bisa

tidur karena akan terganggu oleh pembicaraan tamu. Begitu juga dengan di dapur, di

dapur jarang diletakkan atau digantungkan ayunan karena dapur adalah tempat memasak,

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 15: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

91

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

suasana dapur yang penuh asap maupun aroma-aroma menyengat dari masakan tidak baik

untuk kesehatan anak. Tetapi, menurut pengamatan di lapangan, ayunan lebih sering

ditempatkan atau digantungkan di dalam kamar orang tua si anak dengan tujuan agar tidur

si anak lebih tenang, dan tidak sering dilalui oleh orang yang berjalan di rumah. Tetapi

jika sang ibu turut membawa anaknya ke sawah ataupun ke ladang, maka dideng juga

bisa berlangsung di tempat tersebut. Biasanya ibu menidurkan anaknya di sebuah gubuk

agar terhindar dari binatang liar, tetapi apabila anaknya menangis ibu akan segera

meninggalkan pekerjaannya dan menggendong anaknya dengan kain parompa dengan

cara ompa jolo karena di gubuk tersebut tidak ada ayunan, dan tidak mungkin ayunan bisa

digantungkan di dalam sebuah gubuk yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak kuat

karena gubuk hanyalah sebagai tempat berteduh dan beristirahat sebentar.

2. Waktu berlangsungnya dideng

Dideng hanya dilakukan dalam konteks menidurkan anak. Dideng bisa dilakukan kapan

saja disaat anak hendak tidur baik di waktu malam maupun di siang hari. Akan tetapi

waktu yang lebih dominan berlangsungnya dideng adalah di waktu sianghari, karena pada

waktu malam hari si anak biasanya tidur di samping ibunya, jika anaknya menangis ibu

segera menyusui anaknya dan biasanya dengan hanya disusui saja tanpa didideng si anak

sudah langsung tidur.

3. Pelibatatau pelantun dideng

Orang yang mendidengkankan anak biasanya adalah ibu. Ibu adalah orang yang

bertanggung jawab mengurus anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan seorang ayah

bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja mencari nafkah diluar

rumah. Selain itu, sosok ibu adalah figur yang paling dekat dengan anak, yang paling

mengerti kebutuhan anak, sebagai tempat untuk mengadu, bermanja, maupun bermain.

Keterikatan batin antara ibu dan anak juga kuat dan sangat dibutuhkan oleh anak

terutamaanak bayi dan usia dini.

4. Pelibat yang mendengar dideng

Orang yang mendengar atau berada dilokasi berlangsungnya dideng adalah anak itu

sendiri (anak yang menjadi tujuan utama dilantunkannya dideng). Hal ini disebabkan oleh

jika terlalu banyak orang lain berada disana maka anak tersebut akan sulit untuk tidur

karena sudah barang tentu terjadi kebisingan, sementara itu agar cepat tidur sang anak

butuh ketenangan.

5. Suasana ketika berlangsungnya dideng

Suasana yang tercipta ketika berlangsungnya dideng adalah suasana yang tenang dan

sunyi dimana hanya ada ibu dan anak ketika proses dideng tersebut berlangsung. Seperti

telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam menidurkan anak dibutuhkan suasana

yang sunyi dan tenang agar sang anak dapat segera tertidur. Hal ini disebabkan

berdasarkan pengamatan dilapangan anak akan sulit untuk tidur apabila berada ditengah

suasana yang ramai dan ribut karena pada dasarnya anak usia dini memiliki ketajaman

pendengaran sehingga apabila terdengar suara yang gaduh ia akan mudah untuk

terbangun lagi.

Page 16: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

92

6. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Permainan Anak

1. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Permainan Anak Kacang Koring

a. Analisis fungsi nyanyian permainan anak kacang koring

Pada hakikatnya „bermain‟ bukanlah suatu kegiatan yang tidak ada artinya.Bermain

memberi banyak manfaat positif terutama bagi upaya membekal i anak -anak

dengan kemampuan ter tentu agar dapat bertahan hidup dalam lingkungannya.

Dengan bermain, anak-anak akan memperoleh berbagai kemampuan,

keterampilan, dan pengetahuan yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup

mereka, tanpa harus merasa jemu ketika berada dalam proses mempelajari ketrampilan

dan pengetahuan tersebut.

Pada dasarnya fungsi nyanyian permainan anak kacang koring juga sama dengan

fungsi folklor seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

1. Sebagai bentuk hiburan

Pada dasarnya setiap nyanyian permainan anak memiliki fungsi sebagai bentuk hiburan

atau rekreatif, demikian juga nyanyian permainan kacang koring juga memiliki fungsi

sebagai bentuk hiburan atau rekreatif. Hal itu disebabkan nyanyian permainan kacang

koring merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-anak ketika hendak memulai

permainan. Dengan bermain anak-anak di desa Nagasaribu dan desa Tapian Nauli dapat

menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan mereka dalam beraktivitas sehari-hari

seperti belajar di sekolah maupun di rumah dan membantu orang tua bekerja.

2. Sebagai alat pendidikan anak

Selain sebagai bentuk hiburan nyanyian permainan kacang koring juga berfungsi sebagai

alat pendidikan anak. Kacang koring merupakan nyanyian permainan yang dilakukan

oleh anak-anak usia sekolah. Selain mendapatkan pendidikan formal di sekolah, anak-

anak di desa Nagasaribu dan di desa Tapian Nauli juga mendapatkan pendidikan non

formal di luar sekolah yaitu melalui bermain. Nyanyian permainan kacang koring ini

memiliki nilai pendidikan, pesan maupun petuah bagi anak yaitu saling berbagi, hal

tersebut dapat dilihat pada lirik “sibuat na otik” (ambil sedikit). Jika anak-anak diberi

makanan, biasanya masing-masing anak akan berlomba mengambil sebanyak-banyaknya

tanpa menghiraukan apakah temannya yang lain sudah mendapat bagian atau tidak. Jika

sifat seperti ini terus dibiarkan tentu akan terbawa-bawa sampai mereka dewasa. Maka

melalui nyanyian ini anak-anak diajari untuk saling berbagi, tidak rakus, adalah lebih baik

mengambil sedikit saja atau secukupnya saja agar teman-teman yang lain juga mendapat

bagian.

3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial

Nyanyian permainan Kacang koring juga berfungsi sebagai alat pemaksa berlakunya

norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang disampaikan melalui

nyanyian ini mengandung nilaimoral. Halini bertujuan agar kelak ketika sang anak

dewasa dan dalam kehidupan sehari-harinya ia menjadi pribadi yang menyenangkan,

hidup sederhana, tidak berlebihan, taat pada ajaran-ajaran, serta bertindak dan berlaku

sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku sehingga akan menjadi manusia yang

berguna baik bagi bangsa maupun masyarakat.

b. Analisis makna tradisi lisan nyanyian permainan anak Kacang koring

Nyanyian permainan kacang koring adalah nyanyian permainan yang memiliki makna

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 17: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

93

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

denotatif yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Nyanyian permainan

ini mengandung nasihat. Hal tersebut dapat dilihat pada lirik: “sibuat na otik” (ambil

sedikit). Kacang koring (kacang kering) adalah sejenis makanan ringan yang disukai oleh

semua orang termasuk anak-anak. Dalam lirik nyanyian permainan ini anak-anak

dianjurkan untuk mengambil kacang kering tersebut sedikit saja. Lirik tersebut bermakna

agar anak-anak jangan rakus, jangan egois, tetapi harus mau berbagi dengan teman-teman

yang lain. Mampu berbagi akan menjadikan anak-anak menjadi pribadi-pribadi yang

memiliki etika dan tata krama sehingga kelak mereka dewasa dan terjun ke masyarakat

mereka bisa hidup teratur.

c. Analisis koteks tradisi lisan nyanyian permainan anak Kacang koring

Dalam hal budaya, nyanyian permainan anak Kacang koring termasuk kepada

pertunjukan budaya. Kata-kata yang digunakan sepenuhnya adalah kosakata bahasa Batak

Toba. Kata-kata ini merupakan kata-kata yang memiliki makna, sementara nyanyian

tersebut disajikan dalam bentuk melodis. Mimik muka anak-anak yang menyanyikan

nyanyian permainan ini adalah ceria, senang bercampur penasaran akan telapak tangan

siapa yang berbeda dari yang lain, karena telapak tangan yang berbeda dari yang lain

akan menjadi salah satu pemain yang menang atau pemain yang akan dicari dalam tempat

persembunyian nanti. Gerak yang dilakukan anak-anak adalah dengan serentak

menunjukkan telapak tangan masing-masing di akhir lagu, karena jika lambat dapat

dipastikan bahwa setelah melihat telapak tangan teman-temannya si anak tersebut akan

menunjukkan telapak tangan yang berbeda dari temannya tersebut karena takut kalah dan

menjadi pemain yang akan mencari temannya di tempat persembunyiannya. Hal tersebut

menunjukkan bahwa si anak tersebut adalah anak yang tidak mempunyai kepribadian

tegas, yang takut mengambil resiko. Karena nyanyian permainan ini j u g a merupakan

pertunjukan budaya sehari-hari yang tidak begitu menonjolkan segi artistik, tetapi lebih

menonjolkan guna dan fungsi sosial, maka kostum, tata cahaya, gaya rambut, properti,

setting tak begitu diutamakan. Artinya anak-anak melakukannya dengan alamiah saja,

apa adanya, mengalir dalam budaya Batak Toba. Pakaian yang digunakan oleh anak-anak

adalah pakaian sehari-hari.

d. Analisis konteks tradisi lisan nyanyian permainan anak Kacang koring

1. Pelaku permainan

Nyanyian permainan ini biasanya dinyanyikan sewaktu bermain petak umpat (martabun

tabuni), nyanyian ini merupakan nyanyian permainan untuk menentukan giliran dalam

sebuah permainan atau siapa yang menang dan kalah. Jumlah pemain minimal empat

orang anak. Dalam pengamatan langsung, tidak hanya dalam nyanyian permainan kacang

koring ini, tetapi juga dalam nyanyian permainan yang lain, pelaku nyanyian permainan

ini lebih banyak didominasi oleh perempuan, hal itu dikarenakan anak-anak laki-laki pada

umumnya sudah disuruh orang tua mereka untuk mengurusi ternak mereka, seperti

mencari rumput untuk makanan kerbau atau menjemput kerbau dari tempat

penggembalaannya di sore hari yaitu di ladang, sedangkan anak perempuan tinggal di

rumah untuk memasak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Dan jika anak-anak

perempuan tersebut sudah selesai melakukan tugasnya mereka bermain bersama anak-

anak yang lain.

2. Tempat berlangsungnya permainan

Permainan ini biasanya dilakukan di luar rumah, tetapi bisa juga di dalam rumah,

tergantung situasi. Kalau cuaca sedang gerimis, hujan, atau terik matahari, maka tidak

Page 18: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

94

baik bagi anak-anak untuk bermain di luar rumah, sehingga permainan ini juga bisa

dilakukan di dalam rumah, apalagi jika rumahnya cukup besar dan memiliki banyak

kamar sebagai tempat persembunyian.

3. Waktu berlangsungnya permainan

Nyanyian permainan ini biasanya dilakukan di sore hari, setelah anak-anak pulang dari

sekolah atau setelah anak-anak membantu orang tua mereka, karena pada umumnya anak-

anak yang tinggal di pedesaan sudah dilibatkan orang tuanya untuk bekerja walaupun

sekedar membantu-bantu. Selain itu cuaca di sore hari tidak sepanas dan seterik di siang

hari, sehingga baik untuk kesehatan anak-anak.

4. Cara melakukan permainan

Permainan ini dilakukan dengan membentuk lingkaran kecil, secara bersama-sama anak-

anak mengucapkan kalimat „kacang koring sibuat na otik’. Ketika mengucapkan suku

kata terakhir yaitu „tik‟, masing-masing anak memperlihatkan salah satu telapak tangan

dengan bagian dalam telapak tangan menghadap ke bawah atau ke atas. Pemenang adalah

anak yang memperlihatkan telapak tangan yang berbeda dari anak lainnya. Ketika anak-

anak yang lain sudah menang, maka pemain yang kalah ditentukan oleh dua anak yang

tersisa dengan melakukan sut. Anak yang kalah sut mendapat giliran sebagai penjaga pos.

Si anak tersebut menghadapkan wajahnya ke dinding atau ke tiang untuk menunggu anak

yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil menunggu si anak tersebut

mengucapkan kata „nunga”? (sudah?), jika masih ada anak yang menjawab „daung’

(belum), berarti mereka belum menemukan tempat persembunyian, tetapi jika tidak ada

lagi yang menjawab, menandakan bahwa mereka sudah di tempat persembunyian dan

sudah bisa untuk dicari. Jika si anak tersebut sudah memukan salah satu temannya, dia

harus mengucapkan kata „tul‟ sambil menyebutkan nama temannya tersebut. Begitu

seterusnya hingga semua anak ditemukan.

5. Pelibat yang mendengar nyanyian permainan Kacang koring

Orang yang berada di lokasi atau orang yang mendengarkan nyanyian permainan Kacang

koring ini adalah anak-anak itu sendiri sebagai pelaku nyanyian permainan ini. Tetapi,

sehubungan dengan nyanyian permainan ini dilakukan di luar rumah atau di lapangan,

maka petutur atau penikmat nyanyian permainan ini bisa juga masyarakat atau orang

yang berada di sekitar lokasi, seperti: orang yang kebetulan lewat, ataupun orang-orang

yang dengan sengaja ingin menonton anak-anak yang sedang bermain nyanyian

permainan ini.

PEMBAHASAN

1. Kearifan Lokal Nyanyian Menidurkan Anak

Di dalam penelitian kearifan lokal nyanyian menidurkan anak terdapat beberapa

kearifan yang merupakan nilai dan norma warisan leluhur yang menurut fungsinya dalam

menata kehidupan sosial masyarakatnya seperti yang dianalisis berdasarkan pengamatan

langsung.

a. Menghormati orang tua

Dalam nyanyian menidurkan anak dideng dideng digambarkan bagaimana susah

payah dan perjuangan orang tua khususnya ibu dalam membesarkan anaknya dari kecil

hingga dewasa. Semua itu dilakukan ibu sebagai perwujudan kasihnya kepada anaknya.

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 19: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

95

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Oleh karena itu, sebagai balasannya setiap anak hendaknya menghormati orangtuanya.

Hal ini juga sesuai dengan ungkapan dalam MBT yaitu tentang kedudukan orangtua yang

sangat tinggi sehingga diibaratkan sebagai Debata na ni ida (Allah yang dapat dilihat).

Allah adalah Tuhan pencipta langit, bumi dan segala isinya, Dia adalah Maha segala-

galanya, dari padaNya kita meminta berkat dan hanya kepadaNya pulalah kita

menyembah dan mengucap syukur. Hal ini berarti bahwa setiap anak wajib menghargai

dan menghormati orangtuanya agar mendapat berkat. Di sisi lain, ada beberapa ungkapan

dalam MBT tentang menghormati orangtua (Sahril, 2011:51) yaitu:

- “Natoras na tutu mangkaholongi ianakkonna, ianakkon na tutu pasangap natorasna”,

artinya orang tua yang benar ialah yang mencintai anak-anaknya dan anak-anak yang

benar ialah yang menghormati orang tua.

- “Tinaba hau toras bahen sopo di balian, na burju marnatoras ingkon dapotan

parsaulian, alai na tois marnatoras, olo ma i gomahan ni babiat”, artinya orang yang

mengasihi orang tuanya dan selalu melayani mereka sebaik-baiknya akan mendapat

kebahagiaan, tetapi yang durhaka terhadap orangtuanya akan mendapat marabahaya.

Dalam ajaran agama Kristen terdapat juga perintah untuk menghormati orang tua yaitu

dalam Patik Palimahon (Titah ke lima) yang berbunyi: “Ingkon pasangap on mu

natorasmu asa martua ho jala leleng mangolu di tano na ni lehon ni Jahowa Debatam di

ho”, artinya hormatilah orang tuamu agar kamu beroleh umur panjang di tanah yang

diberikan Tuhan Allahmu kepadamu. Dari sini jelas terlihat bahwa pandangan MBT dan

ajaran agama tentang menghargai dan menghormati orang tua adalah suatu keharusan dan

kewajiban bagi setiap anak agar beroleh berkat, kebahagiaan, dan umur panjang.

b. Menghormati kaum perempuan

Satu hal yang tidak bisa dilakukan kaum laki-laki dan hanya bisa dilakukan oleh kaum

perempuan, dan yang menjadi perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan adalah

bahwa kaum perempuan bisa mengandung dan melahirkan anak.Sebagai kaum

perempuan, ibu telah merawat anaknya sejak dalam kandungan, kemudian melahirkannya

dan membesarkannya. Dalam MBT kedudukan kaum perempuan/ibu sangat tinggi,

bahkan kita harus memberi penghormatan lebih kepadanya dibanding kepada kaum bapak

(Sahril, 2011: 52) seperti pada ungkapan berikut: “sada sangap tu ama, dua sangap tu

ina”, artinya di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak,

maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu diciptakan oleh Tuhan,

untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam rumah tangga

orang Batak.

c. Pantang menyerah

MBT merupakan masyarakat yang pantang menyerah, mereka selalu giat berusaha demi

mencapai apa yang dicita-citakan. Sikap pantang menyerah ini juga tercermin dalam

nyanyian menidurkan anak dideng dideng yaitu pada lirik: diabing au diompa au/asa

sonang modom au/ dideng dideng didok muse/o hasian

(dipangku aku/digendong aku/agar tenang aku tidur/dideng-dideng disebut lagi/oh

sayang). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menidurkan anak yang masih bayi

bukanlah pekerjaan yang mudah, bayi hanya akan tidur jika dia sudah merasa nyaman.

Bayi belum bisa berbicara, segala ketidaknyamanan yang dia rasakan hanya bisa dia

ungkapkan melalui tangisan. Dalam lirik tersebut di atas tergambar berbagai cara yang

dilakukan ibu agar anaknya bisa tidur tenang dan terlelap, ibu tidak menyerah apabila

satu cara yang dia lakukan belum bisa membuat anaknya tidur. Terkadang ibu memangku

anaknya, dan jika anaknya belum bisa tidur dalam pangkuannya, ibu menggendongnya,

dan jika anaknya belum juga bisa tidur dengan dipangku dan digendong, maka ibu

menyanyikan nyanyian pengantar tidur yaitu dideng dideng. Setiap kali ibu hendak

Page 20: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

96

menidurkan anaknya, semua itu terus dilakukan tanpa mengeluh sedikitpun. Bagi MBT

anak adalah segalanya, apapun akan dilakukan orangtua untuk memperjuangkan anaknya,

hal ini sesuai dengan ungkapan orang Batak yang menyatakan “anak hon hi do

hamoraon di au” (anakku adalah kekayaan bagiku).

2. Kearifan Lokal Nyanyian Permainan Anak Kacang Koring

Dalam nyanyian permainan kacang koring terdapat nilai kearifan lokal yaitu saling

berbagi. Hal ini tercermin pada lirik „si buat na otik‟ (ambil sedikit). Kacang koring

(kacang kering) merupakan snack khas MBT, dan jenis kacang kering yang terkenal dari

Batak Toba adalah kacang garing sihobuk. Kacang ini aslinya berasal dari desa Sihobuk,

Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Kacang Sihobuk memiliki karakter rasa yang kuat,

gurih dan renyah berkat proses pembuatannya yang cukup unik. Terlebih dahulu dipilih

kacang yang tebal kulitnya agar tidak mudah hancur ketika sedang diproses, kemudian

direndam selama satu sampai dua hari, lalu dijemur sampai kering selanjutnya

digongseng di atas bara di dalam tungku yang bercampur pasir

(http://blogspot.com/makanan-tradisional-sumatera-utara.html). Kacang ini sangat baik

untuk kesehatan karena tidak digoreng melainkan digongseng. Dahulu, kacang ini hanya

bisa dijumpai di daerah Tarutung sekitarnya, oleh karena itu para perantau selalu

memburu kacang ini sebagai oleh-oleh khas Tarutung. Berkat pembuatannya yang unik,

dan kegunaannya yang baik untuk kesehatan, serta hanya bisa dijumpai di kota asalnya,

maka tidak heran kalau kacang ini dulunya sangat mahal, sehingga orang-orang pun

hanya membelinya secukupnya saja, yang penting ada sedikit-sedikit untuk dibagi-bagi

kepada famili maupun anggota keluarga.

Sekarang ini, kacang garing sihobuk disuguhkan di pesta-pesta Batak Toba seperti pesta

pernikahan, memasuki rumah baru, kematian, dan lain-lain. Kacang ini sengaja dipesan

atau dibeli dari daerah asalnya yaitu Tarutung. Kacang ini dibagi-bagikan oleh pihak boru

yang mengadakan pesta kepada para tamu yang terdiri dari hula-hula, dongan tubu, ale-

ale, dongan sahuta, bersama dengan snack yang lain seperti lampet (lepat), teh manis,

kopi, dan lain-lain. Cara pembagian kacang ini adalah diberi sejumput-sejumput kepada

para tamu, hal ini bermaksud agar semua tamu mendapat bagian karena yang dibagi

adalah sedikit. Tetapi, jika kacang sihobuk tidak ada maka kacang kering yang biasa

dijual di onan (pasar) lah sebagai penggantinya. Meskipun lebih murah dan lebih mudah

didapat, tetap kacang ini dibagi sejumput-sejumput kepada para tamu.

Membagi-bagikan snack kacang kering walaupun hanya sejumput-sejumput merupakan

simbol penghormatan dari pihak yang mengadakan pesta kepada para tamu. Meskipun

demikian para tamu termasuk hula-hula, dongan tubu sudah merasa senang dan

terhormat. Hal ini menunujukkan bahwa di manapun MBT selalu menunujukkan sikap

berbagi yang tinggi, walaupun posisinya sebagai hula hula mereka tidak bersikap serakah

dengan meminta bagian yang lebih banyak dari tamu yang lain. Jadi, kacang koring

sibuat na otik mengandung nilai kearifan lokal bahwa MBT memiliki sikap saling

berbagi. Hal ini juga sesuai dengan ungkapan MBT yang mengatakan “holan babiat do

siallang na godang”(hanya harimau yang makan banyak).

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Keberadaan nyanyian rakyat anak-anak pada MBT saat ini yaitu nyanyian menidurkan

anak dan nyanyian permainan anak sudah mulai mengalami pergeseran dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu: bahasa, teknologi dan pendidikan. Nyanyian anak pada MBT

adalah nyanyian anak yang memiliki fungsi. Fungsi nyanyian menidurkan anak adalah

sebagai bentuk hiburan, alat pendidikan anak, alat pemaksa berlakunya norma-norma

Demak Magdalena Perawati Silaban

Page 21: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

97

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

sosial, dan penguat ikatan persaudaraan, sedangkan fungsi nyanyian permainan anak

masing-masing adalah sebagai bentuk hiburan, sebagai alat pendidikan anak, sebagai alat

pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial, dan sebagai penguat

ikatan persaudaraan. Makna nyanyian menidurkan anak adalah menghargai perjuangan

ibu, sedangkan makna nyanyian permainan anak masing-masing tidak boleh rakus,

menjaga kebersihan badan, kebersamaan, dan cinta lingkungan. Konteks nyanyian

menidurkan anak dan nyanyian permainan anak ini adalah mengenailatar atau tempat

berlangsungnya nyanyian anak tersebut, siapa yang melantunkan, siapa yang

mendengarkan, bagaimana suasananya, serta bagaimana melakukannya. Nilai kearifan

lokal yang terdapat pada nyanyian menidurkan anak adalah menghormati orang tua,

menghormati kaum perempuan, sedangkan kearifan lokal nyanyian permainan anak

masing-masing adalah saling berbagi, kesehatan, saling berbagi, kerukunan bersaudara,

serta cinta lingkungan. Nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak MBT

merupakan tradisi lisan yang memiliki kearifan lokal yang sangat baik oleh karena itu

perlu dilestarikan sebagai tradisi lisan MBT.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. (2007). Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barthes, Roland. (2009). Mitologi. Yogjakarta: Kreasi Wacana.

Bascom, William R. (1965b). Four Functions of Folklore dalam Alan Dundes The Study

of Folklore. Englewood Cliff: Prentice Hall Inc.

Cook, Guy. (1994). Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Danandjaja, James. (1991). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.

Jakarta: Grafiti.

Danandjaja, James. (1994). Metode Mempergunakan Folklor Sebagai Bahan Penelitian

Antropologi Psikologi dalam Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan

Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press.

Danandjaja, James. (2002). Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang Manunggal.

Jakarta: Grafiti.

Danandjaja, James. (2007). Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi

Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Finnegan, Ruth. (1977). Oral Poetry. Its Nature, Significance and Social Context.

London: Cambridge University Press.

Halliday, M.A.K. (1978). Language as Social Semiotics. London: University Park Press.

Halliday, M.A.K. Hasan R. (1985). Language, Context, and Text: Aspect of Language in

A Social Semaiotic Perspective. London: Oxford University Press.

Leach, Maria. (1949). (Ed.). Dictionary of Folklore Mythology and Legend. New York:

Funk & Wagnalls Company.

Prop, Vladimir. (1975). Morfology of the Folktale. Austin, London: University of Texas

Press.

Ratna, Nyoman Kutha. (2006). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Page 22: TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA ...

98

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal Hakikat. Peran, dan Metode Tradisi Lisan.

Medan: Asosiasi Tradisi Lisan

Sinar, T.S. (2010). Teori dan Analisis Wacana. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Media internet

(http://blogspot.com/makanan-tradisional-sumatera-utara.html). Diunggah tanggal 3

Agustus 2014.

Demak Magdalena Perawati Silaban