Trauma Ginjal
-
Upload
riya-effendy -
Category
Documents
-
view
158 -
download
3
description
Transcript of Trauma Ginjal
MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA GINJAL
Di susun untuk melengkapi tugas seminar di semester IV tingkat 2
Dosen pengampu: Sri Rahayu, S.kep. Ns
Di susun oleh
1. DANANG SETIAWAN
2. IJANG WALUYA
3. IRMAWATI
4. LIYASARI
5. M. NAZIRUDIN
6. SUGIYARTO
7. SULISTIANINGRUM
AKADEMI KEPERAWATAN PRAGOLOPATI PATI
TAHUN AKADEMI 2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem urinaria adalah suatu sistem di mana terjadinya proses penyaringan darah
sehingga darah terbebas dari zat-zat yang tidak di pergunakan oleh tubuh dan menyerap
zat-zat yang masih di pergunakan oleh tubuh. Zat yang tidak berguna oleh tubuh larut
dalam air dan di keluarkan berupa urine
Sistem urinaria terdiri dari dua ginjal, dua ureter, kandung kemih dan uretra.
Dalam bab ini yang di bahas adalah ginjal yang mengalami trauma sehingga mengetahui
penyimpangan-penyimpangan fungsi ginjal
Suplai darah ginjal oleh arteri renalis dari aorta, arteri renalis dextra melewati
bagian belakang vena cava inferior. Jumlah darah yang melewati ginjal sangat besar.
Drainase vena oleh vena renalis ke dalam vena cava inferior, vena renalis sinistra
melewati bagian depan aorta. Ginjal di susun oleh nefron yaitu unit terkecil dari ginjal
B. Tujuan
Tujuan di susun makalah ini adalah:
1. Mengetahui sistem perkemihan terutama ginjal
2. Mengetahui bahaya trauma ginjal
3. Menyelesaikan salah satu tugas seminar tinkat 2 semester IV khususnya kuliah
keperawatan sistem perkemihan A1
BAB II
TRAUMA GINJAL
A. Pengertian
Trauma Ginjal adalah suatu penyakit ginjal yang disebabkan oleh trauma tumpul atau
trauma tajam
(FKUI:2000)
Cedera renal yang paling sering adalah kontusi, laserasi, ruptur, dan cedera pedikel renal
atau laserasi internal kecil pada ginjal
(Brunner & Suddart:2001)
Trauma renal adalah cedera pada ginjal yang di sebabkan oleh berbagai macam ruda
paksa daik tumpul maupun paksa
http://nursing-keperawatan.blogspot.com/2008/09/trauma-ginjal.html
Klasifikasi
Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pegangan dalam terapi
dan prognosis. Trauma renal dapat di golongkan berdasarkan mekanisme cidera, lokasi
anatomis atau keparahan cidera
1. Trauma Minor
Lesi meliputi:
a. Kontusi ginjal
b. Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada sistem pelviocalices
c. Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang kadang) 75 – 80 %
dari keseluruhan trauma ginjal
2. Trauma Mayor
Mencakup laserasi mayor di sertai pupture kapsul ginjal. Cedera ini dapat di tangani
secara konservatif ( tirah baring tanpa pembadahan) atau melalui intervensi bedah
3. Trauma Kritikal
Meliputi laserasi multiple yang parah pada ginjal di sertai cidera pada suplai faskuler
ginjal. Cedera kritikal kebanyakan cedera penetrasi memerlukan bedah eksplorasi
akibat tingginya insiden keterlibatan organ lain dan seriusnya komplikasi yang terjadi
jika cidera tidak di tangani
B. Etiologi
1. Adanya cedera traumatik menyebabkan ginjal dapat tertusuk oleh iga paling bawah
sehingga terjadi kontusi atau ruptur
2. Fraktur iga atau fraktur tranfersum vertebra lumbal dapat di hubungkan dengan
kontusi renal atau laserasi
3. Cedera tumpul (kecelakaan lalu lintas, jatuh, cedera atletik, pukulan)
4. Penetrasi (luka tembak, luka tikam)
5. Lalai dalam menggunakan sabuk pengaman dapat menimbulkan trauma renal pada
kecelakaan lalu lintas
(Brunner &Suddart:2001)
C. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari trauma ginjal antara lain :
1. Bengkak dan memar daerah pinggang ( swelling & bruising renal angle )
2. Distensi abdomen akibat penimbunan darah atau urine
3. Dapat terjadi ileus
4. Berkurangnya produksi air kemih
5. Bengkak tungkai, kaki atau pergelangan kaki
6. Nyeri pinggang hebat ( kolik )
7. Demam
8. Mual dan muntah
(Brunner &Suddart:2001)
D. Patofisiologi
Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas atau
pinggang merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi
intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous
nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas
dari teknik-teknik di atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi
kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan
trauma ginjal .
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya
pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat
kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma
langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau
perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ
organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan
pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat
menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang
menimbulkan trombosis.
Ada beberapa faktor yang turut menyebebkan terjadinya trauma ginjal. Ginjal
yang relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau corpus vertebrae, baik karena
trauma langsung ataupun tidak langsung akibat deselerasi. Kedua, trauma yang demikian
dapat menyebabkan peningkatan tekanan subcortical dan intracaliceal yang cepat
sehingga mengakibatkan terjadinya ruptur. Yang ketiga adalah keadaan patologis dari
ginjal itu sendiri.
Sebagai tambahan, jika base line dari tekanan intrapelvis meningkat maka
kenaikan sedikit saja dari tekanan tersebut sudah dapat menyebabkan terjadinya trauma
ginjal. Hal ini menjelaskan mengapa pada pasien yang yang memiliki kelainan pada
ginjalnya mudah terjadi trauma ginjal.
(Mc.Aninch:2000)
E. KOMPLIKASI
Komplikasi awal terjadi I bulan pertama setelah cedera
1. Urinoma
2. Delayed bleeding
3. Urinary fistula
4. Abses
5. Hipertensi
Komplikasi lanjut
1. Hidronefrosis
2. Arteriovenous fistula
3. Piolenofritis
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan radiologi
Sebagian besar trauma tumpul ginjal adalah derajat 1 ( kontusio ginjal ) yang dapat
sembuh spontan tanpa komplikasi lanjutan.
b. Intravenous Urography
Tujuan pemeriksaan ini untuk melihat adanya ekstravasasi urin dan pada trauma
tajam untuk melihat alur peluru. Pemeriksaan ini sangat akurat untuk melihat
adanya trauma ginjal. Tetapi tidak sensitif dan spesifik untuk melihat adanya cidera
parenkim ginjal.
c. CT scan
Pada pasien yang stabil dapat dilakukan pemeriksaan CT, yang merupakan
pemeriksaan yang sensitif dan spesifik untuk menentukan laserasi parenkim,
ekstravasasi urin, infark segmental, dan melihat hematom retroperitoneal atau
cidera organ intra abdomen yang lain ( hepar, limpa, pankreas, danusus ).
d. Ultrasonography
Pemeriksaan ini terutama ditujukan untuk melihat adanya hemoperitoneum pada
trauma tumpul abdomen. Tapi tidak dianjurkan untuk mengevaluasi pada trauma
ginjal yang akut, mengingat terbatasnya visualisasi ginjal dan lebih tergantung
pada operator yang melakukan pemeriksaan
e. Arteriography
Mempunyai peran selektif hanya untuk mengevaluasi dan terapi persistent delayed
renal bleeding atau symptomatic post traumatic arterio - venous fistulas.
Pemeriksaan sinar X untuk ginjal dan saluran kemih, misalnya urografi intravena
dan CT scan, dapat secara akurat menentukan lokasi dan luasnya cedera.
f. Pemeriksaan darah rutin
Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg
dalam serum dan kemudian berangsur - angsur turun kembali. Untuk mencari
kelainan pada darah itu sendiri
( Jusuf Misbach:2000 )
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan keperawatan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengendalikan hemoragi, nyeri dan infeksi
untuk mempertahankan dan melindungi fungsi ginjal dan mempertahankan drainase
urine.
a. Hematuria merupakan manifestasi umum yang menunjukkan cedera renal.
Hematuria mungkin tidak muncul atau terdeteksi hanya melalui pemeriksaan
mikroskopik. Seluruh urine di kumpulkan dan di kirim ke laboratorium untuk di
analisis guna mendeteksi adanya eritrosit dan untuk mengikuti jalanya perdarahan.
Kadar hemoglobin dan hematokrit di pantau ketat, penurunan nilai substansi
menunjukkan adanya hemoragi
b. Pasien di pantau adanya oliguri dan tanda syok hemoragik, karena cedera pedikel
atau ginjal yang hancur dapat menyebabkan eksanguinasi( kehilangan banyak
darah yang mematikan). Hematoma yang meluas dapat menyebabkan ruptur capsul
ginjal. Untuk mendeteksi hematoma, area di sekitar iga paling bawah, lumbar
vertebra atas, panggul dan abdomen di palpasi akan adanya nyeri tekan. Terabnya
massa di sertai nyeri tekan, bengkak, dan ekimosis pada panggul atau abdominal
menunjukkan adanya hemoragie renal.area massa di tandai dengan pensil sehingga
pemeriksa dapat mengevaluasi perubahan pada area tersebut
c. Trauma renal sering di hubungkan dengan cedera lain pada organ abdominal (hati,
usus besar, usus halus) oleh karena itu kulit pasien di kaji akan adanya abrasi,
laserasi, dan tempat masuk serta keluarnya luka di abdomen atas dan thoraks
bawah, karena kondisi ini mungkin berhubungan dengan cedera renal
2. Penatalaksanaan medis
a. Konservatif. Pengobatan konservatif tersebut meliputi istirahat di tempat tidur,
analgesik untuk menghilangkan nyeri, serta observasi status ginjal dengan
pemeriksaan kondisi lokal, kadar hemoglobin, hematokrit serta sedimen urin.
Penanganan trauma ginjal grade 2 masih menimbulkan suatu kontroversi.
Penenganan secara konservatif, seperti yang dipilih oleh kebanyakan dokter,
mengandalkan kemampuan normal ginjal untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
b. Tindakan konservatif ini dilakukan untuk menghindari dilakukannya tindakan
nephrektomi. Sedangkan dokter yang memilih tindakan operatif secara dini
mengemukakan bahwa finsidens terjadinya komplikasi lanjut dapat diturunkan
dengan tindakan nephrektomi.
c. Penanganan trauma ginjal memerlukan tindakan operatif berupa laparotomi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal
masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data
dan perumusan diagnosis keperawatan
( Lismidar, 1990 )
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan klien
yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif,
tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien
( Marilynn E. Doenges et al, 2001 )
b. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, diagnose medis
c. Pada pola kehidupan sehari – hari dapat dilihat dari :
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Biasanya ada riwayat perokok,
penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.
Pada pola eliminas. Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
Pola aktivitas dan latihan. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah.
Pola tidur dan istirahat. Klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena
kejang otot/ nyeri otot
Pola hubungan dan peran. Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk beraktivitas.
Pola persepsi dan konsep diri. Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,
mudah marah, tidak kooperatif
Pola sensori dan kognitif. Pada pola sensori klien mengalami gangguan
penglihatan/ kekaburan pandangan, perabaan/ sentuhan menurun pada muka
dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi penurunan
memori dan proses berpikir.
Pola tata nilai dan kepercayaan. Klien biasanya jarang melakukan ibadah
karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/ kelumpuhan pada salah satu
sisi tubuh.
( Marilyn E. Doenges, 2001 )
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang diperiksa mencakup :
a. Keadaan umum : nyeri pada pinggang
b. Suara bicara : tidak mengalami gangguan
c. Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
d. Pemeriksaan integumen
1. Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan
cairan maka turgor kulit akan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda
dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke hemoragik
harus bed rest 2-3 minggu
2. Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
3. Rambut : umumnya tidak ada kelainan
4. Pemeriksaan kepala dan leher
5. Kepala : bentuk normal
6. Muka : simetris
7. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar karotis
e. Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun
suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan
menelan.
f. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang
terdapat kembung.
g. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
h. Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelemahan anggota gerak
Pathways
Cedera traumatik & fraktur iga/ tranversum penetrasi & kecelakaan
Cedera tumpul vertebra lumbal lalu lintas
Trauma Renal
Robekan pembuluh darah
Renal
Perdarahan terdapat darah dalam urine
Memperbaiki fungsi
Mengganggu fungsi kehilangan eritrosit ginjal
Ginjal
Eritrosit menurun prosedur operasi
Peningkatan leukosit gangguan sirkulasi
Darah
Tanda peradangan
kulit pucat
nyeri
G3 keseimbangan cairan & elektrolit
Resiko infeksi
G3 perfusi jaringan
cemas
A. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan analisa dan interpretasi data yang
diperoleh dari pengkajian keperawatan klien. Diagnosa keperawatan memberikan
gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata ( aktual ) dan
kemungkinan akan terjadi ( potensial ) di mana pemecahannya dapat dilakukan dalam
batas wewenang perawat.
Adapun diagnosa yang mungkin muncul adalah :
1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan trauma ginjal
2. Cemas berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. Ganggauan keseimbangan cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan perdarahan
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah
5. Resiko infeksi behubungan dengan trauma ginjal
(NANDA:2006)
Intervensi Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan merupakan mata rantai antara penetapan
kebutuhan klien dan pelaksanaan keperawatan. Dengan demikian rencana asuhan
keperawatan adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat mengenai
rencana tindakan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya
berdasarkan diagnosa keperawatan.
Rencana keperawatan dari diagnosa keperawatan diatas adalah :
a. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan trauma ginjal
Tujuan:
Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di harapkan nyeri
pasien berkurang dengan kriteria hasil:
1. Tidak ada ekspresi lisan atau wajah
2. Tidak ada posisi tubuh melindungi
3. Tidak ada kegelisahan atau ketegangan otot
4. Tidak ada perubahan dalam kecepatan pernapasan, denyut jantung atau
tekanan darah
Intervensi:
1. Kaji nyeri, amati lokasi dan intensitasnya ( skala 0 – 10 )
Rasional: mengetahui tingkat nyeri yang di rasakan pasien
2. Pertahankan bedrest jika diindikasikan
Rasional: Mengurangi aktivitas dapat mengurangi rasa nyeri
3. Menganjurkan tehnik relaksasi/nafas dalam serta aktivitas diversional
Rasional: mengurangi rasa nyeri pasien
4. Berikan kompres dingin pada daerah sekitar trauma
Rasional: vasokontriksi serabut-serabut saraf besar menekan serabut saraf
kecil sehungga impuls nyeri ke otak terhambat
b. Cemas berhubungan dengan prosedur pembedahan
Tujuan :
Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di harapkan Pasien
menunjukkan penurunan kecemasan dan ketakutan dengan kriteria hasil:
1. Pasien dapat rileks
2. Mengungkapkan informasi yang akurat tentang keadaannya
3. Tidak menunjukkan perilaku agresif
4. Mengidentifikasi gejala yang merupakan indikator cemas
Intervensi :
1. Berikan perhatian kepada pasien, ciptakan hubungan saling percaya dengan
pasien dan support person.
Rasional: mendekatkan diri kepada pasien merupakan salah satu langkah
awal komunikasi terapeutik
2. Berikan informasi tentang prosedur spesifik, kateterisasi, urine berdarah, iritasi
bladder.
Rasional: memberi pengetahuan pasien agar dapat mengenali gejala-gejala
tersebut
3. Informasikan sebelum melakukan prosedur dan pertahankan privacy pasien
Rasional: menanyakan persetujuan pasien
4. Anjurkan pasien dan keluarga mengungkapkan perasaannya
Rasional: mengurangi kecemasan pasien
c. Ganggauan keseimbangan cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan perdarahan
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di harapkan
kekurangan volume cairan teratasi dan keseimbangan elektrolit asam-basa akan di
capai dengan kriteria hasil:
1. Keseimbangan cairan, keseimbangan elektrolit, dan asam basa
2. Hidrasi yang edekuat
3. Status nutrisi dan asupan makanan dan cairan edekuat
4. Frekuensi irama nadi, nafas dalam rentang yang di harapkan
5. Serum dan pH urine dalam batas normal
Intervensi:
1. Observasi input dan output pasien
Rasional: mengetahui keseimbangan jumlah cairan yang masuk dan yang
keluar
2. Monitor cairan dan elektrolit tiap 4 jam
Rasional: kekurangan cairan dalam tubuh dapat mengakibatkan elastisitas kulit
terganggu
3. Lakukan tranfusi bila perlu
Rasional: kadar Hb yang rendah harus di lakukan tranfusi
4. Berikan cairan parenteral dan oral
Rasional: menggantikan sejumlah cairan dan elektrolit yang di butuhkan tubuh
5. Kolaborasi pemasangan kateter
Rasional: untuk mempertahankan drainase urine dan mengetahui hematuria
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah
Tujuan:
Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di harapkan pasien
menunjukkan keseimbangan cairan, menunjukkan integritas jaringan kulit dan
mukosa dan menunjukkan perfusi jaringan perifer dengan kriteria hasil:
1. Tekanan darah normal
2. Nadi perifer teraba
3. Tidak ada edema perifer
4. Hidrasi kulit
5. Suhu ekstremitas hangat
6. Kulit utuh, warna normal
Intervensi:
1. Pantau sirkulasi perifer secara komprehensif
Rasional: menilai irama dan frekuensi nadi, warna kulit dan suhu tubuh
pasien
2. Pantau posisi bagian tubuh saat mandi, duduk maupun berbaring
Rasional: mencegah terjadinya ulkus
3. Hindari suhu eksrim pada ekstremitas
Rasional: pada sirkulasi yang terganggu, hindari suhu ekstrim karena dapat
merusak kulit
4. Periksa setiap hari adanya perubahan integritas kulit
Rasional: mengkaji keadaan kulit
5. Kolaborasi untuk memberikan antitrombosit atau anticoagulan jika di perlukan
Rasional: mencegah pembekuan darah
e. Resiko infeksi behubungan dengan trauma ginjal
Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di harapkan pasien
dapat menunjukkan pengendalian resiko dan faktor resiko infeksi akan hilang
dengan kriteria hasil:
1. Terbebas dari tanda atau gejala infeksi
2. Menunjukkan hiegine pribadi yang adekuat
3. Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan, genitourinaria, dan imun
dalam batas normal
4. Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi
5. Melaporkan tanda dan gejala infeksi
Intervensi:
1. Pantau tanda dan gejala infeksi
Rasional: melihat apakah ada tanda-tanda infeksi
2. Pantau hasil laboratorium
Rasional: pada keadaan infeksi jumlah leukosit meninggi
3. Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
Rasional: infeksi tidak sembuh mungkin karena usia lanjut, imun rendah atau
malnutrisi
4. Batasi jumlah pengunjung bila di perlukan
Rasional: memberikan rasa nyaman kepada pasien
5. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik
Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut
(Doengoes:2001)
DAFTAR PUSTAKA
1. http://nursing-keperawatan.blogspot.com/2008/09/trauma-ginjal.html
2. Brunner & Suddart. Keperawatan medikal bedah edisi 8. Jakarta EGC:2001
3. John Gibson. Anatomi dan fisiologi modern untuk perawat edisi 2. Jakarta. EGC:2002
4. NANDA. Diagnosa keperawatan. Jakarta. EGC: 2006
5. Doenges M.E. (2001), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3, Penerbit Buku Kedoketran EGC,
Jakarta