Trauma maksilofasial

82
YENI ANGGRAINI KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD DR. SOEDARSO PSPD UNTAN PONTIANAK 2013 TRAUMA MAKSILOFASIAL

Transcript of Trauma maksilofasial

Page 1: Trauma maksilofasial

YENI ANGGRAINI

K E PAN I T E R AA N K L I N I K I L M U B E D AH

R S U D D R . S O E D AR S O

P S P D U N TAN

P O N T I AN AK

2 0 1 3

TRAUMA MAKSILOFASIAL

Page 2: Trauma maksilofasial

PENDAHULUAN

Merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan jaringan lunak wajah

Terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma

Penyebab pada orang dewasa :: kecelakaan lalu lintas (40-45%), penganiayaan atau berkelahi (10-15%), olahraga (5-10%), jatuh (5%) dan lain-lain (5-10%)

Pada anak-anak penyebab paling sering adalah olahraga seperti naik sepeda (50-65%), sedang yang lainnya adalah kecelakaan lalu lintas (10-15%), penganiayaan atau berkelahi (5-10%) dan jatuh ( 5-10 %).

Page 3: Trauma maksilofasial

ANATOMI WAJAH

Maksilofasial dibagi menjadi

tiga bagian

Sepertiga atas wajah =

tulang frontalis, regio supra

orbita, rima orbita dan sinus

frontalis.

Sepertiga tengah =

maksila, zigomatikus, lakri

mal, nasal, palatinus, nasal

konka inferior, dan tulang

vomer

Sepertiga bawah =

mandibula

Page 4: Trauma maksilofasial

DEFINISI

Fraktur maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang

mengenai wajah dan jaringan sekitarnya yang

menyebabkan hilangnya kontinuitas tulang-tulang

wajah.

Page 5: Trauma maksilofasial

ETIOLOGI

Page 6: Trauma maksilofasial

KLASIFIKASI

Trauma jaringan lunak wajah

Trauma pada jaringan lunak wajah diklasifikasikan berdasarkan jenis luka dan penyebab seperti ekskoriasi, luka sayat(vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka bacok(vulnus punctum), luka bakar (combustio) dan luka tembak (Vulnus sclopetorum).

Page 7: Trauma maksilofasial

Trauma jaringan keras wajah

Fraktur Sepertiga Bawah

Wajah

(Fraktur Mandibula)

40% – 62% dari seluruh

fraktur wajah

perbandingan pria dan

wanita, yaitu 3 : 1 – 7 : 1

Kegiatan olahraga penyebab

paling umum fraktur

mandibular (31,5%), diikuti

oleh kecelakaan kendaraan

bermotor (sejumlah 27,2%).9

Page 8: Trauma maksilofasial

LOKASI FRAKTUR

MANDIBULA

1/3 fraktur mandibula terjadi di daerah kondilar-subkondilar,

1/3 terjadi di daerah angulus, dan

1/3 lainnya terjadi di daerah korpus, simfisis, dan parasimfisis.

Fraktur subkondilar banyak ditemukan pada anak-anak, sedangkan fraktur angulus lebih sering pada remaja dan dewasa muda.

Page 9: Trauma maksilofasial
Page 10: Trauma maksilofasial

JENIS FRAKTUR MANDIBULA

Page 11: Trauma maksilofasial
Page 12: Trauma maksilofasial

Tanda dan gejala8,9,11

Nyeri, dapat dirasakan saaat pasien mencoba menggerakkan rahang untuk berbicara, mengunyah atau menelan.

Perdarahan dari rongga mulut.

Maloklusi. Keadaan dimana rahang tak dapat dikatupkan.

Trismus. Ketidakmampuan membuka mulut lebih dari 35 mm, batas terendah nilai normal adalah 40 mm.

Pergerakan Abnormal

Ketidakmampuan menutup rahang = menandakan fraktur pada prosessus alveolar, angulus, ramus dari simfisis.

Krepitasi tulang.

Mati rasa pada bibir dan pipi.

Oedem daerah fraktur dan wajah tidak simetris.

Page 13: Trauma maksilofasial

DIAGNOSIS

Anamnesis

Keluhan subyektif berkaitan dengan fraktur

mandibula dicurigai dari adanya nyeri, oklusi

abnormal, mati rasa pada distribusi saraf

mentalis, pembengkakan, memar, perdarahan

gigi, gigi yang fraktur atau

tanggal, trismus, ketidakmampuan mengunyah.

Riwayat trauma seperti kecelakaan lalu

lintas, kekerasan, terjatuh, kecelakaan olah raga

ataupun riwayat penyakit patologis.10

Page 14: Trauma maksilofasial

II. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis pasien secara umum

Umumnya trauma maksilofasial dapat diketahui

keberadaannya pada pemeriksaan awal (primary

survey) atau pemeriksaan sekunder (secondary

survey).

Pemeriksaan saluran napas merupakan suatu hal

penting karena trauma dapat saja menyebabkan

gangguan jalan napas.

Penyumbatan dapat disebabkan oleh terjatuhnya lidah

kearah belakang, dapat pula oleh tertutupnya saluran

napas akibat adanya lendir, darah, muntahan, dan

benda asing.12

Page 15: Trauma maksilofasial

b. Pemeriksaan lokal fraktur mandibula12

1. Pemeriksaan klinis ekstraoral

Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis

dan pembengkakan.

Laserasi jaringan lunak .

Jika terjadi perpindahan tempat dari fragmen-fragmen itu pasien

tidak bisa menutup geligi anterior, dan mulut menggantung kendur

dan terbuka.

Pasien sering kelihatan menyangga rahang bawah dengan tangan.

Dapat pula air ludah bercampur darah menetes dari sudut mulut

pasien.

Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan terhadap daerah

kondilus pada kedua sisi, kemudian diteruskan kesepanjang

perbatasan bawah mandibula.

Jika fraktur mengenai saraf mandibula maka bibir bawah akan

mengalami mati rasa.

Page 16: Trauma maksilofasial

2. Pemeriksaan klinis intraoral

Setiap serpihan gigi yang patah harus

dikeluarkan..

Sulkus bukal diperiksa adanya ekimosis dan

kemudian sulkus lingual.

Dengan hati-hati dilakukan palpasi pada daerah

dicurigai farktur, ibu jari serta telunjuk ditempatkan

di kedua sisi dan ditekan untuk menunjukkan

mobilitas yang tidak wajar pada daerah fraktur.

Page 17: Trauma maksilofasial

Palpation of the inferior borders of the mandible (A)and preauricular areas (B). Irregularities or tenderness indicate the possibility of fractures.

Page 18: Trauma maksilofasial

The method of bimanual palpation of the mandible to detect fractures through the tooth-bearing region.

Page 19: Trauma maksilofasial

Patient showing deviation of the mandible to the right side when attempting to open the mouth (A). This patient has a right condylar fracture (arrow) that is seen on panoramic radiography (B).

Page 20: Trauma maksilofasial

III. Pemeriksaan Radiologis8,11,12

Foto panoramic dapat memperlihatkan keseluruhan

mandibula dalam satu foto. Pemerikasaan ini

memerlukan kerjasama pasien, dan sulit dilakukan

pada pasien trauma, selain itu kurang

memperlihatkan TMJ, pergeseran kondilus medial

dan fraktur prosessus alveolar.

Pemeriksaan radiografik defenitif terdiri dari

fotopolos mandibula PA, oblik lateral.

CT Scan baik untuk fraktur kondilar yang sulit dilihat

dengan panoramic

Page 21: Trauma maksilofasial

Normal PA mandibula

Page 22: Trauma maksilofasial

There is a mildly displaced fracture of the

angle of the right mandible.

Page 23: Trauma maksilofasial

There is a mildly

displaced fracture

of the angle of the

right

mandible.

Page 24: Trauma maksilofasial

Lateral view of mandible showing linear fracture

(arrow).

Page 25: Trauma maksilofasial

Left sided mandibular fracture of the mandibular condyle.”

Page 26: Trauma maksilofasial
Page 27: Trauma maksilofasial
Page 28: Trauma maksilofasial

Dislocated mandible. Both mandibularcondyles (labeled M) are dislocated anterior to their respective mandibular fossae (red and black arrows) in the temporal bones. The blue arrow points to the articulareminence which prevents the mandibularcondyle (black M) from relocating in the mandibular fossa(black arrow).

Page 29: Trauma maksilofasial

Fraktur Sepertiga Tengah Wajah

Fraktur Le Fort (LeFort

Fractures) merupakan tipe

fraktur tulang-tulang wajah

yang adalah hal klasik terjadi

pada trauma-trauma pada

wajah.

Fraktur Le Fort diambil dari

nama seorang ahli bedah

Perancis René Le Fort (1869-

1951) yang

mendeskripsikannya pertama

kali di awal abab 20.9

Page 30: Trauma maksilofasial

Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)/ (transversal)

merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi,

Fraktur Le Fort I meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara maxilla dan palatum/arkus alveolar kompleks.

menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum.

Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral.

Page 31: Trauma maksilofasial

Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw.

Pergerakan palatum durum dan gigi bagian atas.

Edema pada wajah

hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.

Hal ini dievaluasi dengan memegang gigi seri dan palatum durum dan mendorong masuk dan keluar secara lembut.

Page 32: Trauma maksilofasial
Page 33: Trauma maksilofasial

Fraktur Le Fort tipe II

Fraktur Le Fort tipe II =

fraktur piramidal.

Berjalan melalui tulang

hidung dan diteruskan ke

tulang lakrimalis, dasar

orbita, pinggir infraorbita

dan menyebrang ke

bagian atas dari sinus

maksila juga ke arah

lamina pterigoid sampai ke

arah fossa pterigopalatina.

Page 34: Trauma maksilofasial

testing for mobility of the central midface.

Page 35: Trauma maksilofasial

Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis. Karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai “floating maxilla (maksila yang melayang) ”.

Le Fort II : Edema pada wajah,

edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign.

Perdarahan subkonjungtiva dan hipoesthesia di nervus infraorbital, dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema.

Maloklusi

Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal.

Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini.

Page 36: Trauma maksilofasial

Fraktur Le Fort III9

Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui fissure orbitalis superior melintang kearah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatico-frontal dan sutura temporo-zigomatikum.

Disebut juga sebagai “cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial.

Page 37: Trauma maksilofasial

Edema wajah yang masif,

ekimosis periorbital,

remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang

zygomatikomaksila,

pergerakan gigi, palatum durum,

epistaksis, keluar cairan serebrospinal pada hidung.

Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini

yaitu keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid dan

lamina cribiformis.

Page 38: Trauma maksilofasial
Page 39: Trauma maksilofasial

left inferior orbital rim (fractured: Le Fort II is likely present),

and left zygomatic arch (fractured: Le Fort III is likely present).

Coronal CT image shows fracture of lateral orbital rim (frontal process of zygoma) on left (solid arrow); Le Fort III fracture is present on left, because lateral rim is also a unique feature of Le Fort III fractures.

Left orbital floor on left (open arrow) is fractured, as is expected in Le Fort II fractures. Right orbital floor is intact.

Page 40: Trauma maksilofasial

The method to palpate the midface for Le Fort fractures. The anterior teeth are grasped and the maxilla manipulated to determine whether it moves. If motion is palpated at the nasal bridge (A), a Le Fort II or III fracture is present. If motion is also detected at the zygoma (B), a Le Fort III fracture is present. If motion is not detected at either point but the maxilla is loose, a Le Fort I fracture is likely.

Page 41: Trauma maksilofasial

FRAKTUR ZIGOMA

insiden dari fraktur zigoma (27,64%)

Predileksi terutama pada laki-laki, dengan

perbandingan 4:1 dengan perempuan.

Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering

adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan

bermotor.

Bilateral fraktur zigoma jarang terjadi, hanya sekitar

4 % dari 2067 kasus

Page 42: Trauma maksilofasial

Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus :

fraktur stable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran ke medial), (b) rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral.

Fraktur unstable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran ke medial); (b) rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral; (c) dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral; (d) comminuted fracture.

Page 43: Trauma maksilofasial

Normal lines of fracture in a zygomaticomaxillarycompound fracture. Note the fracture extending through the infraorbitalforamen, commonly resulting in numbness to the upper lip, side of the nose, and lower eyelid.

Page 44: Trauma maksilofasial

Penemuan klinis yang bisa ditemukan: Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas

pergerakan rahang.

tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi.

Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan.

Parestesi pada lateral hidung dan bibir bagian atas disebakan kelainan pada nervus infraorbital.

diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada muskulus rektus inferior.

Trismus bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada kelainan di mandibula.

ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi.

Page 45: Trauma maksilofasial

A patient with a depressed zygomaticomaxillary complex fracture. Note the loss of cheek contour on the left.

Palpation of the zygoma externally (A) and in the maxillary vesibule(B) for osseous irregularities.

Page 46: Trauma maksilofasial
Page 47: Trauma maksilofasial

FRAKTUR NASAL

Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat

trauma dengan bengkak, dan krepitus pada

jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami

epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur

dengan CSF.

Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas

septum nasal karena adanya pergeseran

septum dan fraktur septum.

Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti

patah hidung dengan telecanthus, pelebaran

jembatan hidung dengan canthus medial

terpisah, dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.

Page 48: Trauma maksilofasial

Method of palpating the nasal complex for fractures. The nasal pyramid should be moved right and left to detect mobility.

Patient with naso-orbitoethmoidfracture and cerebrospinal fluid rhinorrhea (A). The fluid leaves a double ring where it drips onto fabric (B).

Page 49: Trauma maksilofasial
Page 50: Trauma maksilofasial

Lateral radiographic view of a displaced nasal bone

fracture in a patient who sustained this injury

because of a punch to the face during a hockey

game.

Page 51: Trauma maksilofasial

A patient with naso-orbitoethmoid fracture. Note the increase in the intercanthal distance and the rounded shape of the medial palpebral fissure on the right. The normal palpebral fissure on the patient's left has an angular relationship between the upper and lower eyelids.

Page 52: Trauma maksilofasial

Fraktur Sepertiga Atas Wajah

Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang

frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus

frontalis.

Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressed

ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier

yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.

Ditandai dengan destruksi atau krepitasi pada

supraorbital rims, emfisema subkutan, dan parestesi

pada supraorbital nerve.

Page 53: Trauma maksilofasial

Patient with frontal sinus fracture. A, Note the swelling on the patients left side (arrows).

B, CT scan showing the fractures through the anterior and posterior tables of the frontal sinus and resulting pneumocephalus.

Page 54: Trauma maksilofasial

DIAGNOSIS TRAUMA MAKSILOFASIAL

Anamnesis

Tanyakan pertanyaan spesifik tentang cedera.

Bagaimana mekanisme cedera?

Apakah pasien kehilangan kesadaran?

Apakah pasien memiliki masalah visual seperti penglihatan ganda atau

kabur?

Apakah pasien memiliki masalah pendengaran apapun, seperti

pendengaran menurun atau tinnitus?

Apakah gigi kontak seperti biasanya (oklusi normal)?

Apakah pasien mampu menggigit tanpa rasa sakit?

Apakah pasien mengalami mati rasa atau kesemutan pada wajah?

Apakah pasien mengalami kesulitan bernapas melalui hidung?

Apakah terdapat perdarahan dari hidung atau telinga?

Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup

mulut? Apakah ada rasa sakit atau kejang otot?

Page 55: Trauma maksilofasial

Inspeksi

Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :

a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.

b. luka tembus.

c. Asimetris atau tidak.

d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.

e. Otorrhea / Rhinorrhea

f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.

g. Cedera kelopak mata.

h. Ecchymosis, epistaksis

i. defisit pendengaran.

j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.

Page 56: Trauma maksilofasial

Raccoon Eyes. Ecchymosis in the periorbital

area, resulting from bleeding from a fracture site in

the anterior portion of the skull base. This finding

may also be caused by facial fractures.

Page 57: Trauma maksilofasial
Page 58: Trauma maksilofasial

Palpasi

Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, luka, dan perdarahan,

Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.

Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.

Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas.

Palpasi zygoma sepanjang lengkungan serta artikulasi dengan tulang frontal, tulang temporal, dan maxillae

Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan langit-langit secara keras dan lembut dengan mendorong maju dan mundur, lalu naik dan turun

Page 59: Trauma maksilofasial

Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.

Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.

Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan Krepitasi.

Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan Rhinorrhea cairan cerebrospinal.

Page 60: Trauma maksilofasial

Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atau ecchymosis daerah mastoid (Battle sign).

Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak.

Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda Krepitasi atau mobilitas.

Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.

Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingiva dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.

Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.

Page 61: Trauma maksilofasial

Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi

temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan

bentuk, atau ecchymosis.

Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan

satu jari di saluran telinga eksternal, sementara

pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit

atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.

Periksa paresthesia atau anestesi saraf.

Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II -

VIII

Page 62: Trauma maksilofasial

Pemeriksaan Radiologis

untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk

mengetahui letak fraktur.

Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan

fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.

panoramic view, postero-anterior view, lateral

oblique view. Computed Tomography (CT) scans

Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga

tengah wajah dapat menggunakan Water’s

view, lateral skull view, posteroanterior skull

view, dan submental vertex view.

Page 63: Trauma maksilofasial

Penatalaksanaan Pasien Fraktur

Maksilofasial

Manajemen Umum

A : Airway maintenance with cervical spine

control/ protection

B : Breathing and adequate ventilation

C : Circulation with control of hemorrhage

D : Disability neurologic examination

E: Exposure/ enviromental control

Page 64: Trauma maksilofasial

Terapi medis umum

Jika pasien sadar. Dudukkan pasien menghadap ke depan sehingga lidahnya, saliva dan darah mengalir keluar.

Jika pasien tidak sadar Saat perawatan perlu ditidurkan pada posisi recovery, hati – hati bila ada cedera lain yang membahayakan.

Diberikan oksigen dan cairan kristaloid isotonik. Mengadministrasikan Packed Red Cell (PRC) jika pasienmengalami pendarahan masif. Diindikasikan tetanus profilaksis. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 – 10 menit.

Kebersihan dan desinfeksi. Jika sadar suruh untuk kumur –kumur dengan : Cairan kumur clorheksidin 0,5 %

larutan garam 2 %

jika tidak mungkin kumur dengan air bersih.

Page 65: Trauma maksilofasial

Obat-obatan

Antibiotika, diberikan golongan penisillin selama seminggu, harus diberikan segera.

Untuk luka wajah, gunakan Cefazolin (Sefalosporin).

Untuk luka rongga mulut, gunakanklindamisin.

Untuk patah tulang sinus, gunakanamoksisilin.

Untuk patah tulang dengan robeknyaduramater atau kebocoran cairanserebrospinal, gunakan vankomisin danceftazidime.

Page 66: Trauma maksilofasial

Jika gelisah berikan diazepam.

Manajemen nyeri. Gunakan obat oral untuk luka

ringan dan obat parenteral jika pasien tidak dapat

mengambil obat oral (yaitu, tidak melalui mulut).

Untuk obat anti-inflamasi, gunakan

ibuprofen, naproxen, atau ketorolac.Untuk kontrol

pusat, gunakan narkotika

(misalnya, kodein, oxycodone, xanax, meperidin, mo

rfin).

Page 67: Trauma maksilofasial

PEMBEDAHAN

Prinsip dasar pada bedah yang harus dipersiapkan

sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur

maksilofasial ialah :

reduksi fraktur (mengembalikan segmen-segmen

tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi

segmen-segmen tulang untuk meng-imobilisasi

segmen-segmen pada lokasi fraktur.

Page 68: Trauma maksilofasial

Perawatan fraktur dengan menggunakan

intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi

tertutup karena tidak adanya pembukaan dan

manipulasi terhadap area fraktur secara langsung.

Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan

ialah penggunaan arch bar.

Page 69: Trauma maksilofasial

Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah

perawatan pembukaan dan reduksi terhadap area

fraktur secara langsung dengan tindakan

pembedahan.

dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara

adekuat.

Indikasi perawatan reduksi terbuka ialah

berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau

pada fraktur unfavorable, seperti fraktur

angulus, dimana tarikan otot masseter dan medialis

pterygoid dapat menyebabkan distraksi segmen

proksimal mandibula.

Page 70: Trauma maksilofasial

FRAKTUR MANDIBULA

IDW – IMW

Arch Bar

Miniplate dan screw

Page 71: Trauma maksilofasial
Page 72: Trauma maksilofasial

FITTING AN ARCH BAR. A, bending it to shape. B, fitting it round the maxilla. C, wiring it to the maxilla. D, passing a win round a tooth. E, fixing the rubber bands.

After R.O. Dingman and P. Navig ’Surgery of Facial Fractures’ W.B. Saunders Co. Publishers, permission requested

Page 73: Trauma maksilofasial

Bridle wire is used for temporary stabilization of a fractured segment.

This provides some patient comfort by minimizing mobility of the fracture segments

Bridle wire used to decrease mobility and provide patient comfort.

Page 74: Trauma maksilofasial
Page 75: Trauma maksilofasial

Le Fort I : Reposisi dan arch bar maxilla digantung dengan snar wire pada tepi bawah orbita atau IMW.

Le Fort II : Reposisi dengan Rowe Forceps

• Fiksasi : IDW + IMW / arch bar + suspense

• Miniplate

Fiksasi wire/arch bar dipertahankan selama 5 – 6 minggu.

Le Fort III : Open reduction internal fixation

Fiksasi dengan miniplate dan wire

Page 76: Trauma maksilofasial
Page 77: Trauma maksilofasial

FRAKTUR ZYGOMATICUM

Page 78: Trauma maksilofasial

FRAKTUR NASAL

KONSERVATIF

Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor topikal.

Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan.

Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti.

Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya

Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian.

Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.

OPERATIF

Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan.

Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.

Page 79: Trauma maksilofasial

FRAKTUR NASAL

ELEVATING A FRACTURE OF THE NOSE.

A, inflitrating the site of the fracture.

B, raising the depressed bones with curved artery forceps. Always suspect a fracture after any blow on the nose. Swelling of the soft tissues can easily hide it.

Page 80: Trauma maksilofasial
Page 81: Trauma maksilofasial
Page 82: Trauma maksilofasial

This custom medical exhibit features surgical images for stabilization of fractures to the maxilla and mandible (involving the upper and lower jaw and teeth). Images include: 1. Tooth extraction, 2. Stabilization wire placement, and finally 3. Immobilization of the jaws with Erich arch bars.