Undang-undang ASN
-
Upload
putu-andina-hineni -
Category
Documents
-
view
49 -
download
0
description
Transcript of Undang-undang ASN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aparatur negara yang profesional diharapkan lahir dengan telah
diundangkannya UU ASN (Undang-Undang Aparatur Sipil Negara) yang
memuat sejumlah hal baru yang diantaranya adalah penegasan status,
kedudukan, fungsi, dan peran pegawai ASN, jenis/kelompok jabatan ASN,
pengangkatan dalam jabatan berdasarkan perbandingan objektif,
kesempatan yang setara antara PNS, anggota TNI/Polri untuk menduduki
jabatan di lingkungan sipil/TNI/Polri, dan kewenangan pembinaan dan
manajemen ASN. Pemerintahan baru yang terbentuk pasca pemilu 2014
harus segera merealisasikan visi, misi dan janji selama kampanye
kedalam program aksi nyata dengan menyusun berbagai kebijakan dan
program/kegiatan pembangunan di seluruh sektor. Dengan modal
legitimasi/keabsahan yang besar maka pemimpin bangsa yang baru
dituntut melakukan komunikasi dengan birokrasi pemerintahan sehingga
kepentingan rakyat pemilih dapat dikedepankan. Sebagai sebuah sistem
yang sudah tertata maka birokrasi pemerintahan akan bekerja sesuai
arahan dari Presiden dan Wakil Presiden, senantiasa secara profesional
melaksanakan kebijakan publik, melayani publik, dan menjadi perekat dan
pemersatu seluruh komponen bangsa. Sebagai perencana, pelaksana,
dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan nasional maka keterlibatan aktif pegawai ASN sangat
dibutuhkan.
Paradigma baru birokrasi adalah ASN merupakan aparatur
profesional yang kompeten, berorientasi pelayanan publik, dan loyalitas
1
kepada negara dan aturan perundang-undangan. Dalam konteks
profesionalisme, UU ASN memberlakukan sistem merit (sistem
berdasarkan kompetensi). Artinya, ASN adalah jabatan profesional yang
menuntut persaingan dan kompetensi. Jaminan pelaksanaan manajemen
pegawai ASN sesuai UU ASN akan memberikan kepastian bagi setiap
aparatur ASN atas pola dan pengembangan karier, promosi, mutasi,
peniaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, dan penegakan
disiplin yang adil (fair).
Namun implementasi aturan baru itu masih butuhkan waktu yang
cukup lama. Sebab sejumlah turunan UU ASN terlebih dahulu harus
dibuat, dan itu tersirat ketika penulis mengamati sejumlah pokok penting
dalam UU ASN tersebut. Tak kurang dari 20 perangkat kebijakan dalam
bentuk peraturan pemerintah (PP) yang menjadi referensi untuk
melahirkan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak)
yang dibutuhkan oleh UU ASN untuk diberlakukan. Kiranya dari saat ini
pemerintah daerah sudah harus memperlihatkan sikap tegasnya guna
menyiapkan sumberdaya manusia aparaturnya untuk menyambut
penerapan UU ASN. Itu demi mewujudkan totalitas reformasi birokrasi di
daerah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat betapa pentingnya
kinerja Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan
terutama setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 diterapkan.
Kinerja yang efektif dari perangkat daerah akan menunjang pencapaian
visi dam misi pemerintahan sebagai landasan pembangunan daerah yang
melibatkan tiga pilar utama good governance yaitu pemerintah, swasta,
dan masyarakat. Beranjak dari pemikiran inilah, penulis terdorong untuk
2
mengangkat topik ini dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana
kinerja Pegawai Pemerintah Daerah untuk mendukung implementasi dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara,
dengan judul : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, bahwa, Kinerja
Pemerintah Daerah mempunyai peranan penting dalam implementasi
penerapan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, maka dapat
diidentifikasikan masalah yaitu :
1. Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 masih
dibutuhkan waktu yang cukup lama, sebab sejumlah turunan
UU ASN terlebih dahulu harus dibuat.
C. Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, metode
yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode observasi atau
pengamatan langsung dan metode studi kepustakaan atau studi pustaka.
D. Sistematika Penulisan
Pada karya tulis ini, akan dijelaskan hasil penelitian dimulai dengan
bab pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang masalah, identifikasi
masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Dilanjutkan
dengan bab II yang berisi tentang tinjauan teoritis yang terdiri dari
beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh ahli.
Bab berikutnya penulis membahas secara keseluruhan tentang
masalah yang diangkat, yaitu tentang analisis implementasi Undang-
3
Undang Nomor 5 Tahun 2014 terhadap kinerja Pegawai Pemerintah
Daerah. Bab keempat merupakan penutup dalam karya tulis ini. Pada
bagian ini penulis menyampaikan uraian yang sudah disampaikan dan
memberikan sejumlah saran.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kinerja
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Kinerja (performance),
namun pada prinsipnya adalah sama yaitu hasil pekerjaan yang telah
dilakukan oleh seseorang. Karena itu, kinerja sering diartikan sebagai ukuran
keberhasilan suatu organisasi. Artinya, jika kinerja seseorang optimal, maka
dapat dikatakan orang tersebut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan
suatu organisasi tempat dimana ia bekerja. Banyak organisasi yang berhasil
atau efektif karena ditopang oleh kinerja sumber daya manusia yang
berkualitas. Sebaliknya, tidak sedikit organisasi yang gagal karena faktor
kinerja sumber daya manusia yang tidak optimal.
Berbicara tentang kinerja maka akan berhadapan pada penilaian sikap
atau sesuatu yang telah dicapai atau prestasi yang ditunjukkan. Menurut
Simanjuntak (2005:1) pengertian “Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas
pelaksanaan tugas tertentu”.
Dari definisi-definisi tersebut dapat diartikan bahwa kinerja merupakan
suatu proses untuk pencapaian hasil pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijaksanaan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas dari
seorang pegawai secara individu maupun dari sebuah unit kerja secara
berkelompok sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing
untuk mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi dalam rangka
mencapai tujuan organisasi tersebut yang pelaksanaannya sesuai dengan
perencanaan strategis organisasi yang telah ditetapkan.
5
B. Pengukuran Kinerja
Berhubungan dengan konsep kinerja, Rummler dan Brache dalam
Sudarmanto (2009:7) mengemukakan ada 3 (tiga) level kinerja, yaitu :
1. Kinerja Organisasi; merupakan pencapaian hasil (outcome) pada
level atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini
terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan
manajemen organisasi
2. Kinerja proses; merupakan kinerja pada proses tahapan dalam
menghasilkan produk atau pelayanan. Kinerja pada level proses
ini dipengaruhi oleh tujuan proses, rancangan proses, dan
manajemen proses.
3. Kinerja individu/pekerjaan; merupakan pencapaian atau efektivitas
pada tingkat pegawai atau pekerjaan. Kinerja pada level ini
dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan, rancangan pekerjaan, dan
manajemen pekerjaan, serta karakteristik individu.
Menurut Dwiyanto (2008:47) mengatakan bahwa “penilaian kinerja
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting sebagai ukuran keberhasilan
suatu organisasi dalam mencapai misinya”. Sedangkan menurut Moeheriono
(2009:61) pengukuran kinerja mempunyai pengertian “suatu proses penilaian
tentang kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran dalam pengelolaan
sumber daya manusia untuk menghasilkan barang dan jasa, termasuk
informasi atas efisiensi dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan
organisasi”.
Indikator kinerja birokrasi sangat kompleks. Hal ini terjadi karena
birokrasi publik memiliki stakeholders yang sangat banyak dan memiliki
6
kepentingan yang berbeda-beda. Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup
hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada
birokrasi itu, tetapi harus dilihat juga dari indikator-indikator yang melekat
pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan
responsivitas.
Kenyataan bahwa birokrasi publik memiliki stakeholders yang banyak
dan memilikii kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya
membuat birokrasi publik mengalami kesulitan untuk merumuskan misi yang
jelas. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi birokrasi publik di mata para
stakeholders juga berbeda-beda. Dwiyanto (2008:50-51) menjelaskan
beberapa indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi
publik, yaitu :
1. Produktivitas, tidak hanya mengukur tingkat efisien, tetapi juga mengukur
efektivitas pelayanan.
2. Kualitas pelayanan, yaitu cenderung menjadi penting dalam menjelaskan
kinerja organisasi pelayanan publik, kualitas layanan relatif sangat tinggi
maka bisa menjadi satuan ukuran kinerja yang mudah dan murah.
3. Responsivitas, yaitu kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan
dan aspirasi.
4. Responsibilitas, yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan itu
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar dengan
kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun yang implisit.
5. Akuntabilitas, yaitu menunjukkan pada seberapa besar kebijakan dan
kegiatan organisasi tunduk pada para pemimpin yang telah dipilihnya.
7
Menurut Faustino dalam Mangkunegara (2006:41) : “Adapun syarat
utama untuk melakukan penilaian kinerja yang efektif adalah adanya kriteria
kinerja yang dapat diukur secara obyektif dan adanya obyektivitas dalam
proses evaluasi”. Pengukuran kinerja merupakan hal yang sangat penting
untuk dapat memperbaiki pelaksanaan kerja yang dapat dicapai. Untuk
menjadi efektif, maka standar-standar kinerja tersebut harus dikaitkan dengan
hasil yang diinginkan dari masing-masing pekerjaan melalui penilaian kinerja.
Dalam pandangan Sedarmayanti (2007:198) mengatakan penilaian
kinerja penting peranannya karena sebagai alat untuk :
1. Memastikan pemahaman pelaksana akan ukuran yang digunakan
untuk mencapai kinerja.
2. Memastikan tercapainya rencana kinerja yang telah disepakati.
3. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja dan
membandingkannya dengan rencana kerja serta melakukan tindakan
untuk memperbaiki kinerja.
4. Memberi penghargaan dan hukuman yang objektif atas kinerja
pelaksana yang telah diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja
yang disepakati.
5. Menjadi alat komunikasi antar karyawan dan pimpinan dalam upaya
memperbaiki kinerja organisasi.
6. Mengidentifikasikan apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi.
7. Membantu memahami proses kegiatan organisasi.
8. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif.
9. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan.
10.Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.
Penilaian kinerja adalah salah satu tahapan penting dalam siklus
pengembangan sumber daya manusia, baik di sektor publik maupun di sektor
8
swasta. Penilaian kinerja merupakan proses pengukuran terhadap tingkat
penyelesaian tugas-tugas yang dilakukan oleh pegawai selama masa tertentu
dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan karakteristik tugas
tersebut. Melalui penilaian kinerja akan diketahui sejauh mana perkembangan
pegawai/aparat dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk menunjang
kinerja organisasi.
Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja
antara satu pegawai dengan pegawai lainnya yang berada di bawah
pengawasannya. Walaupun pegawai-pegawai bekerja pada tempat yang
sama namun produktifitas mereka tidaklah sama. Sudarmanto (2009:30)
mengatakan :
Perbedaan-perbedaan kinerja ini disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain misalnya motivasi kerja, kepuasan kerja, desain pekerjaan,
komitmen, kepemimpinan, partisipasi, fungsi-fungsi manajemen, kejelasan
arah karier, kompetensi, budaya organisasi, sistem penghargaan, dan
mungkin masih banyak lagi dari berbagai hasil penelitian yang sebelumnya –
yang mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja
individu.
Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Seperti yang telah
diungkapkan oleh Keith Davis dalam Mangkunegara (2000:67) :
Human Performance = ability x motivation
Motivation = attitude x situation
Ability = knowledge x skill
9
Penjelasan yang dikutip menurut pandangan Mangkunegara (2012:13-
14) :
1. Faktor kemampuan (ability)
Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan
potensi (IQ) dan kemampuan reality. Artinya pimpinan dan
pegawai yang memiliki IQ dan skill yang memadai, maka akan
lebih mudah untuk mencapai kinerja yang maksimal.
2. Faktor motivasi (motivation)
Motivasi merupakan suatu sikap dalam menghadapi situasi kerja
di lingkungan organisasinya. Mereka yang memberikan respon
positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi
kerja yang tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif
terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi yang
rendah. Situasi kerja yang dimaksud antara lain hubungan kerja,
fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola
kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.
C. Standard Operating Procedures (SOP)
Untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu, suatu organisasi akan
menjalankan sebuah kegiatan yang didukung dengan sejumlah keputusan
tertentu. Jadi, untuk mewujudkan tujuan yang sama, tiap anggota organisasi
terikat pada prosedur tertentu yang harus diikuti dan dipatuhi. Menurut
Tambunan (2013:3) SOP pada dasarnya adalah:
pedoman yang berisi prosedur-prosedur operasional standar yang ada di dalam suatu organisasi yang dugunakan untuk memastikan bahwa setiap keputusan, langkah, atau tindakan, dan penggunaan fasilitas pemrosesan yang dilaksanakan oleh orang-orang di dalam suatu organisasi, telah berjalan secara efektif, konsisten, standar, dan sistematis.
SOP yang efektif mensyaratkan organisasi memiliki visi dan misi yang
jelas. Visi dan misi adalah pemandu utama ke arah mana organisasi akan
10
dibawa. Namun, SOP yang efektif sebaiknya disusun apabila visi dan misi
organisasi telah jelas dinyatakan.
D. Umpan Balik
Pelaksanaan kinerja dalam proses pencapaian tujuan organisasi perlu
dimonitor dan dikendalikan, untuk dapat mengetahui secara lebih dini apabila
terjadi penyimpangan dari rencana. Untuk keperluan tersebut, diperlukan
adanya umpan balik dari proses pelaksanaan sehingga pemimpin dapat
membuat pertimbangan dan langkah yang diperlukan untuk mengoreksi
penyimpangan agar tujuan organisasi tetap dapat dicapai sesuai dengan
target yang ditetapkan.
Wibowo (2012:165) mendefinisikan umpan balik sebagai “informasi
tentang perilaku masa lalu, disampaikan sekarang, yang mungkin
memengaruhi perilaku di waktu yang akan datang”. Pandangan lain dari
Kreitner dan Kinicki (2001:273) bahwa umpan balik adalah merupakan
informasi obyektif tentang kinerja individual atau kolektif. Kinerja setiap orang
dimonitor, didata, dan dilaporkan kepada atasan sebagai umpan balik.
Dari pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya, umpan balik adalah informasi tentang proses pelaksanaan kinerja
baik individu, kelompok, maupun organisasi dalam mencapai tujuannya.
Wibowo (2012:166) mengatakan :
Umpan balik pada tingkat organisasi berkenaan dengan monitoring apakah terjadi deviasi antara rencana dengan pelaksanaan dan memprediksi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila terjadi deviasi, perlu ditetapkan tindakan yang harus dilakukan untuk mengoreksinya sehingga tujuan tetap dapat dicapai.
Umpan balik yang baik akan menginspirasi organisasi untuk
melakukan koreksi atas usaha yang telah dilakukannya ketika usaha tersebut
belum mencapai hasil yang maksimal. Sebaliknya, apabila telah mencapai
11
hasil yang maksimal, peranan umpan balik adalah untuk memacu prestasi
menjadi lebih baik lagi hingga batasan yang paling maksimal.
Umpan balik dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja dimasa yang
akan datang, sehingga harus diberikan dalam bentuk dan cara yang benar.
Umpan balik yang disampaikan tersebut diharapkan akan memberikan
dampak yang positif. Ken Lawson (2005:98) mengemukakan beberapa ciri
umpan balik yang efektif :
1. Constructive (konstruktif)2. Relates exclusively to work (menghubungkan pada pekerjaan secara
eksklusif)3. Assesses performance, not personality (menilai kinerja, bukan
kepribadian)4. Specific (spesifik)5. Accounts for perceptual differences (memperhitungkan perbedaan
persepsi)6. Objectives (objektif)
12
BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisis Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara
Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam berlakunya aturan tersebut,
maka tidak dikenal lagi istilah tenaga honorer di Indonesia.
Regulasi yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada 15 Januari 2014, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan :
"Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah
profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja (PPPK)yang bekerja pada instansi pemerintah".
Yang selanjutnya disebutkan bahwa :
"Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut
Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah
dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina
kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan
atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan."
Pemerintah perlu berhati-hati dan bekerja keras, agar amanat yang
tertuang dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (UU ASN) bisa diterapkan secara menyeluruh mulai Januari 2016.
Hasil kajian divisi riset kebijakan publik Pusat Telaah dan Informasi
Regional (PATTIRO) memperlihatkan, UU ASN memiliki mandat untuk
13
membuat 19 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden (Perpres), 1
Keputusan Presiden (Kepres), 1 Peraturan Menteri (Permen), 1 Keputusan
Menteri (Kepmen), dan 1 Peraturan Komisi Aparatur Sipil Negara (Per-KASN)
Beberapa hal yang perlu dikaji lebih mendalam dari UU ASN ini.
Misalnya, pada pasal 9 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa pegawai ASN
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan pimpinan instansi pemerintah, dan
Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan
partai politik.
Kebebasan dari pengaruh dan intervensi politik ini tentu termasuk juga
dari pimpinan instansi pemerintah sebagai Pegawai ASN. Sayangnya,
persoalan intervensi ini tidak dimasukan dalam bagian penjelasan Pasal 9.
Sehingga, menjadi tidak jelas, bagaimana cara memastikan dan jaminan apa
yang dapat menjadi panduan untuk membebaskan Pegawai ASN dari
pengaruh dan intervensi politik
Pemerintah harus mengeluarkan panduan yang dengan tegas memastikan
dan menjamin bahwa tidak akan ada intervensi terebut. Panduan tersebut
harus dibuat dalam kerangka kerja KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara)
maupun dalam kerangka kerja Pegawai ASN dalam kegiatan sehari-hari
B. Sistem Merit Pegawai
Pada bagian penjelasan Bab Umum dijelaskan bahwa yang dimaksud
Sistem Merit adalah perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan
promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif,
sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
14
Sedangkan di Pasal 1 ayat (22), dijelaskan bahwa Sistem Merit adalah
kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan
latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status
pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Jika dijelaskan secara singkat, pada bagian penjelasan UU ASN
Sistem Merit adalah mekanisme perbandingan, sedangkan di batang tubuh
UU ASN, Sistem Merit adalah Kebijakan dan Manajemen. Tidak ada
penjelasan lebih lanjut secara operasional tentang Sistem Merit yang
diberikan kepada Peraturan Pemerintah atau Peraturan KASN.
C. Hamonisasi UU dan Sistem Informasi ASN
Dengan disahkannya UU ASN ini, maka Undang-Undang nomor 43
tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (UU Pokok Kepegawaian) dinyatakan tidak berlaku lagi atau
dicabut.
Meskipun UU Pokok Kepegawaian dicabut, namun peraturan
pelaksanaan UU tersebut masih dinyatakan berlaku, dengan catatan,
sepanjang tidak bertentangan dan diganti berdasarkan pada UU ASN.
Pernyataan ini menuntut adanya harmonisasi antara peraturan
pelaksanaan UU Pokok Kepegawaian terhadap UU ASN. Mana peraturan
yang sesuai dan mana peraturan yang bertentangan. Tindakan harmonisasi
ini sangat mendesak, mengingat waktu Pemerintah untuk membuat peraturan
pelaksanaan UU ASN hanya 2 tahun. Perlu diperhatikan oleh Pemerintah,
tindakan harmonisasi terkadang tidak menjadi prioritas atau terkendala proses
interdep (antar departemen di pemerintahan). Pemerintah juga harus berhati-
15
hati dengan ketatnya jadwal pelaksanaan Sistem Informasi ASN yang
berdasarkan pasal 133 UU ASN harus dilaksanakan secara nasional paling
lama tahun 2015. Jika yang dimaksud bulan Desember 2015 sebagai batas
akhir, maka diperlukan kerja ekstra keras dari Pemerintah untuk mewujudkan
dan melaksanakan sistem informasi ASN.
D. Pengaruh UU ASN Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah
Menilik UU yang akhirnya disahkan, sejumlah hal patut diapresiasi
karena memang memberikan nuansa baru yang lebih baik dalam sistem
manajemen SDM aparatur di Indonesia. Beberapa perubahan signifikan
dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, UU ASN memberikan koridor yang cukup baik dalam
pengaturan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sudah
menjadi rahasia umum bahwa pengelolaan pegawai pemerintah non-PNS
alias honorer telah menjadi masalah yang mengemuka sejak awal Kabinet
Indonesia Bersatu I. Setelahnya, banyak pula instansi yang merekrut pegawai
kontrak dengan mekanisme yang terkesan mengada-ada (seperti seakan-
akan dari perusahaan alih daya/outsourcing atau dengan manuver melalui
manipulasi anggaran untuk membayarkan honornya) untuk mengakali
ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Penegasan aturan soal PPPK ini
merupakan jalan keluar yang patut diapresiasi, karena ini akan memisahkan
PPPK dari ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan karena UU ASN akan
menjadi lex specialis dari masalah ini.
Kedua, secara filosofis UU ASN hanya mengenal eselonisasi hingga
tingkat ke-2, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi. Meskipun
demikian, secara implisit, eselonisasi tetap dipertahankan dalam nama
16
Jabatan Administrasi. Jabatan Administrasi terdiri atas administrator
(ekuivalen dengan eselon III dalam sistem sebelumnya), pengawas (ekuivalen
dengan eselon IV dalam sistem sebelumnya), dan pelaksana (ekuivalen
dengan eselon V dan fungsional umum dalam sistem sebelumnya).
Pesan implisit ini membuka ruang penafsiran yang sangat luas dan
berpotensi ambigu. Misalnya, seluruh jabatan eselon III memang akan
dialihkan sebagai administrator. Jika demikian, bagaimana dengan wacana
pengalihan jabatan eselon III di sejumlah instansi yang sebetulnya
berkarakteristik fungsional. Hal ini baru akan terjawab dalam peraturan
pemerintah (PP) yang menjadi pelaksana UU ini nantinya.
Ketiga, UU ini memberi pengakuan dan tanggung jawab kehormatan
kepada pejabat tinggi (high rank officials) di birokrasi, yang disebut sebagai
Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Pada dasarnya, ini merupakan manifestasi
dari gagasan senior executive service (SES) yang dulu diperkenalkan RUU
ASN versi awal. SES merupakan praktik yang lazim di negara-negara yang
telah menganut New Public Management (NPM).
Pada umumnya, setiap SES akan memiliki tanggung jawab yang tinggi
karena dia akan menjadi penghubung antara birokrasi dengan politisi,
panutan (role model) bagi birokrat, dan penasihat utama (senior advisor) bagi
pejabat politik. Dengan tanggung jawab itu, umumnya SES akan menerima
tunjangan tambahan, pendidikan dan pelatihan khusus, dan tentunya sanksi
yang lebih berat apabila melanggar. Namun demikian, dalam UU ASN, tidak
ada penjelasan terkait ketiga hal tersebut bagi pemangku JPT. Tanpa adanya
penjelasan ini, sebenarnya JPT tidak dapat dikategorikan sebagai praktik
SES.
17
Keempat, UU ASN mengatur tentang kelembagaan dalam manajemen
SDM aparatur. Hal ini patut diapresiasi karena potensi tumpang-tindih
kewenangan antara menteri di bidang pendayagunaan aparatur negara (sebut
saja Menpan J) dan menteri di bidang dalam negeri (sebut saja Mendagri J)
sudah dapat diminimasi, bahkan mungkin hilang.
Kewenangan penuh berada pada Menpan, karena UU ini sekaligus
menghapuskan Bab V “Kepegawaian” dari UU Nomor 32 Tahun 2004.
Pengaturan kewenangan juga terdapat antara Kementerian PANRB, Badan
Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan
sebuah komisi yang akan dibentuk yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN). Pengaturan ini sudah cukup rapi, meskipun potensi tumpang-tindih
masih bisa terjadi terutama antara Kemenpanrb dengan BKN (Pasal 26 dan
Pasal 48 huruf e). Hal ini sangat mungkin terjadi apabila kedua instansi tidak
bekerja sama dalam pelaksanaan tugas tersebut.
Kelima, UU ini menjadi dasar pembentukan KASN. Bagi sebagian
orang, ini mungkin dianggap sebagai titik lemah UU ASN, namun bagi saya
pribadi, pembentukan KASN adalah manifestasi dari praktik governance di
bidang pendayagunaan aparatur negara. Prinsip dasar dari governance
adalah perluasan pelaksana pemerintahan dari pemerintah kepada aktor lain
di negara, yaitu masyarakat sipil (civil society) dan sektor swasta.
Di Indonesia, hal ini terejawantahkan dalam bentuk Lembaga Non
Struktural (LNS). Saya sadar bahwa sejumlah LNS tidak berfungsi secara
efektif dan cenderung mengakibatkan inefisiensi anggaran negara, namun
saya pikir tidak untuk KASN. PNS adalah unsur yang penting dalam
18
penyelenggaraan negara, bahkan seringkali PNS lebih berkuasa
dibandingkan pejabat politik karena memiliki budaya organisasi dan
pengalaman yang lebih dibandingkan sebagian pejabat politik.
Oleh karena itu, tidak jarang pejabat politik (misalnya menteri atau
kepala daerah) gagal menjalankan organisasinya karena tidak memiliki PNS
yang berkualitas baik. Apabila seluruh proses terkait manajemen PNS
diserahkan hanya kepada PNS (Kemenpanrb, BKN, LAN), maka terdapat
potensi “saling melindungi” yang berakibat tidak efektifnya manajemen PNS
tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan KASN yang keanggotannya dapat diisi
oleh PNS maupun non-PNS.
Namun demikian, tentunya dibutuhkan pengaturan yang lebih
komprehensif agar KASN dapat berfungsi efektif. Hal ini terkait dengan tugas
dan kewenangan yang dimiliki KASN, salah satunya mengawasi proses
pengisian JPT. Dengan perkiraan jumlah eselon I dan II (setara JPT) di
Indonesia yang per Agustus 2013 mencapai 15.726 jabatan (3.318 pegawai
instansi pusat dan sisanya pegawai pemerintah daerah), mekanisme
pengawasan seperti apa yang dapat dibangun oleh KASN untuk memastikan
pengisian jabatan ini berjalan efektif.
Apabila 15.000-an jabatan ini dapat dipastikan terisi oleh orang-orang
yang berkualitas dan berintegritas, maka sebetulnya ini bukan angka yang
tinggi, karena mereka ini nantinya akan memimpin sekitar puluhan ribu PNS di
Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah. Tentu ini merupakan pengungkit
yang luar biasa bagi perbaikan birokrasi Indonesia. Inilah yang kiranya patut
menjadi perhatian lebih lanjut, agar KASN tidak bernasib sama dengan
sejumlah PNS lain yang seakan sia-sia.
19
Keenam, UU ASN secara eksplisit menyebutkan bentuk
pengembangan karier PNS dengan pemberian kesempatan praktik kerja di
instansi lain termasuk perusahaan swasta paling lama selama satu tahun
(Pasal 70 ayat 5 dan 6). Ketentuan ini terdapat pada gagasan reform leaders
academy yang dicetuskan oleh Philia Wibowo, partner McKinsey Indonesia
yang juga salah seorang anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi
Nasional.
Dalam penjelasan ayat 6, disebutkan pula bahwa pemerintah dapat
membuka kesempatan kepada pegawai swasta untuk menduduki jabatan
ASN sesuai persyaratan kompetensi paling lama satu tahun. Ini merupakan
terobosan yang patut diapresiasi. Saya cukup terkejut membaca adanya
ketentuan ini dalam versi akhir RUU ASN. Namun demikian, pengaturan
tentang “dapat” ini harus disusun dengan seksama agar tidak menjadi sia-sia
karena di lapangan nanti pelaksana menganggap hal tersebut tidak
dibutuhkan.
Ketujuh, UU ASN membuka peluang diberhentikannya PNS atas
alasan kinerja (Pasal 77 ayat 6). Hal ini tentu patut diapresiasi karena
memberikan nuansa baru dalam birokrasi terutama dalam hal penilaian
kinerja PNS. Namun demikian, patut dinanti bagaimana pengaturan
lanjutannya dalam PP yang diamanatkan kemudian. Kedelapan, atas
penilaian kinerja PNS tersebut juga akan diberikan tunjangan kinerja (Pasal
80 ayat 3). Kedua hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi birokrasi
untuk membangun sistem manajemen kinerja yang komprehensif.
Kedelapan, UU ASN menjadikan pengisian JPT terbuka secara
nasional. JPT sendiri terdiri dari tiga tingkatan, yaitu JPT utama (yang kini
20
ekuivalen dengan Kepala LPNK), JPT madya (yang kini ekuivalen dengan
eselon I), dan JPT pratama (yang kini ekuivalen dengan eselon II).
Pengisian JPT utama dan madya dilakukan secara nasional. Artinya,
setiap PNS yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan akan dapat melamar
pada lowongan JPT yang dibuka pada setiap instansi. Sebagai contoh,
seorang PNS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat melamar
sebagai Sekretaris Daerah Provinsi X. Ketentuan lain adalah
dimungkinkannya pengisian JPT utama dan madya dari kalangan non-PNS
atas persetujuan Presiden (Pasal 109 ayat 1). Seluruh proses pengisian JPT
dilakukan melalui tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing instansi
dengan anggota tim seleksi terdiri dari internal dan eksternal instansi.
Namun demikian, gagasan yang cukup baik ini menimbulkan
ambivalensi ketika disebutkan dalam Pasal 111 bahwa aturan ini
“dikecualikan bagi instansi pemerintah yang telah menerapkan sistem merit
dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan KASN”.
Pengecualian ini dapat dilihat dari kacamata positif maupun negatif.
Dari sisi positif, ini memberi ruang bagi pejabat pembina kepegawaian di
instansi untuk mengembangkan sistem manajemen SDM aparaturnya sendiri,
atau dalam istilah populernya let the manager manages. Namun demikian,
pengecualian ini juga akan memunculkan ambivalensi manakala instansi yang
dikatakan sudah menerapkan “sistem merit” ini tidak ingin membuka diri
kepada PNS dari instansi lain.
Dualisme ini dapat mengarah pada kesia-siaan karena nantinya
instansi akan cenderung melakukan penutupan diri tersebut dengan bungkus
21
“sistem merit” yang izinnya dapat diperpanjang layaknya SIM (Surat Izin
Mengemudi, atau dalam hal ini mungkin lebih tepat sebagai Surat Izin Merit).
Pengecualian ini juga sejatinya menunjukkan bahwa dalam birokrasi
pemerintah masih terdapat ego sektoral, karena saya dapat menangkap
instansi mana yang akan mengajukan pengecualian ini nantinya.
Oleh karena itu, pengecualian sebaiknya terbatas pada detail
mekanismenya semata, tapi tidak boleh menutup kesempatan yang dimiliki
setiap pegawai di penjuru NKRI untuk menduduki JPT. Jangan sampai fungsi
ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa menjadi pudar dengan
pengecualian atas nama “sistem merit”, karena sistem merit tidak berarti
menutup kemungkinan pegawai daerah menduduki JPT di pusat dan
sebaliknya.
Kesembilan, UU ASN memperkenalkan sistem kontrak pada JPT,
yang berlaku per lima tahun. Hal ini mirip dengan yang dilakukan Australia,
yaitu jabatan secretary di setiap kementerian hanya dapat diisi selama lima
tahun dan selanjutnya harus dipilih kembali. Dengan demikian, diharapkan
terjadi penyegaran dan tidak ada “pengkaplingan” jabatan oleh seseorang
atau sekelompok orang. Bahkan, pemangku JPT yang gagal memenuhi target
kinerja selama 1 tahun akan diberi kesempatan 6 bulan untuk ditinjau ulang.
Artinya, kinerja kembali menjadi kata kunci dalam manajemen SDM aparatur.
Tentu saja hal ini masih harus dipersenjatai dengan peraturan pelaksananya
nanti.
Sembilan butir tersebut kiranya yang patut menjadi perhatian karena
memberikan nuansa baru dalam manajemen SDM aparatur. Sebenarnya
22
masih ada sejumlah hal lain seperti pensiun, korps pegawai, dan lain-lain,
namun tidak terlalu signifikan dibandingkan kesepuluh hal di atas.
Bagaimanapun, UU ASN merupakan UU yang cukup fleksibel karena
sebagian besar ketentuan di dalamnya bersifat multiinterpretasi. Oleh karena
itu, dibutuhkan kontrol publik yang ketat dalam proses penyusunan peraturan
pelaksana dari UU ASN (yang dalam perhitungan sederhana saya terdapat 3
Perpres, 19 PP, dan 1 Permenpan, dengan jumlah PP bisa saja lebih
tergantung pemisahan materinya).
Kontrol ini diperlukan agar semangat perubahan dari UU ASN tidak
kempis di tengah jalan karena interpretasi konservatif dari peraturan
pelaksananya kelak. Hanya dengan demikianlah UU ASN dapat benar-benar
mengantarkan kita pada era baru manajemen SDM aparatur Indonesia.
23
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengetahui sejauh mana analisis implementasi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap
kinerja Pemerintah Daerah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kinerja Pemerintah Daerah setelah ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara masih perlu
ditingkatkan lagi. Hal ini disebabkan oleh UU ASN memiliki mandat
untuk membuat 19 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden
(Perpres), 1 Keputusan Presiden (Kepres), 1 Peraturan Menteri
(Permen), 1 Keputusan Menteri (Kepmen), dan 1 Peraturan Komisi
Aparatur Sipil Negara (Per-KASN) Pemerintah hanya punya waktu
kurang dari dua tahun untuk menyiapkan seluruh regulasi turunan dari
UU ASN sehingga Pemerintah Daerah masih belum dapat
mengimplementasikan secara total mandat dari UU Nomor 5 Tahun
2014 ini.
B. Saran
1. Tuntutan kepada pegawai ASN untuk bekerja secara profesional harus
didukung juga dengan implementasi UU ASN secara konsisten oleh
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Konsistensi
implementasi UU ASN merupakan bukti komitmen pemerintahan baru
dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan menegaskan netralitas
birokrasi pemerintahan daerah terhadap pengaruh politik atas
keterpilihan para wakil rakyat/anggota legislatif, Kepala Daerah dan
24
Wakil Kepala Daerah serta jauh dari praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme.
2. Kiranya dari saat ini pemerintah daerah sudah harus memperlihatkan
sikap tegasnya guna menyiapkan sumberdaya manusia aparaturnya
untuk menyambut penerapan UU ASN. Itu demi mewujudkan totalitas
reformasi birokrasi di daerah.
25