Undang-undang ASN

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aparatur negara yang profesional diharapkan lahir dengan telah diundangkannya UU ASN (Undang-Undang Aparatur Sipil Negara) yang memuat sejumlah hal baru yang diantaranya adalah penegasan status, kedudukan, fungsi, dan peran pegawai ASN, jenis/kelompok jabatan ASN, pengangkatan dalam jabatan berdasarkan perbandingan objektif, kesempatan yang setara antara PNS, anggota TNI/Polri untuk menduduki jabatan di lingkungan sipil/TNI/Polri, dan kewenangan pembinaan dan manajemen ASN. Pemerintahan baru yang terbentuk pasca pemilu 2014 harus segera merealisasikan visi, misi dan janji selama kampanye kedalam program aksi nyata dengan menyusun berbagai kebijakan dan program/kegiatan pembangunan di seluruh sektor. Dengan modal legitimasi/keabsahan yang besar maka pemimpin bangsa yang baru dituntut melakukan komunikasi dengan birokrasi pemerintahan sehingga kepentingan rakyat pemilih dapat dikedepankan. Sebagai sebuah sistem yang sudah tertata maka birokrasi pemerintahan akan bekerja sesuai arahan dari Presiden dan Wakil Presiden, 1

description

Aparatur negara yang profesional diharapkan lahir dengan telah diundangkannya UU ASN (Undang-Undang Aparatur Sipil Negara) yang memuat sejumlah hal baru yang diantaranya adalah penegasan status, kedudukan, fungsi, dan peran pegawai ASN, jenis/kelompok jabatan ASN, pengangkatan dalam jabatan berdasarkan perbandingan objektif, kesempatan yang setara antara PNS, anggota TNI/Polri untuk menduduki jabatan di lingkungan sipil/TNI/Polri, dan kewenangan pembinaan dan manajemen ASN. Pemerintahan baru yang terbentuk pasca pemilu 2014 harus segera merealisasikan visi, misi dan janji selama kampanye kedalam program aksi nyata dengan menyusun berbagai kebijakan dan program/kegiatan pembangunan di seluruh sektor. Dengan modal legitimasi/keabsahan yang besar maka pemimpin bangsa yang baru dituntut melakukan komunikasi dengan birokrasi pemerintahan sehingga kepentingan rakyat pemilih dapat dikedepankan.

Transcript of Undang-undang ASN

Page 1: Undang-undang ASN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aparatur negara yang profesional diharapkan lahir dengan telah

diundangkannya UU ASN (Undang-Undang Aparatur Sipil Negara) yang

memuat sejumlah hal baru yang diantaranya adalah penegasan status,

kedudukan, fungsi, dan peran pegawai ASN, jenis/kelompok jabatan ASN,

pengangkatan dalam jabatan berdasarkan perbandingan objektif,

kesempatan yang setara antara PNS, anggota TNI/Polri untuk menduduki

jabatan di lingkungan sipil/TNI/Polri, dan kewenangan pembinaan dan

manajemen ASN. Pemerintahan baru yang terbentuk pasca pemilu 2014

harus segera merealisasikan visi, misi dan janji selama kampanye

kedalam program aksi nyata dengan menyusun berbagai kebijakan dan

program/kegiatan pembangunan di seluruh sektor. Dengan modal

legitimasi/keabsahan yang besar maka pemimpin bangsa yang baru

dituntut melakukan komunikasi dengan birokrasi pemerintahan sehingga

kepentingan rakyat pemilih dapat dikedepankan. Sebagai sebuah sistem

yang sudah tertata maka birokrasi pemerintahan akan bekerja sesuai

arahan dari Presiden dan Wakil Presiden, senantiasa secara profesional

melaksanakan kebijakan publik, melayani publik, dan menjadi perekat dan

pemersatu seluruh komponen bangsa. Sebagai perencana, pelaksana,

dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan

pembangunan nasional maka keterlibatan aktif pegawai ASN sangat

dibutuhkan.

Paradigma baru birokrasi adalah ASN merupakan aparatur

profesional yang kompeten, berorientasi pelayanan publik, dan loyalitas

1

Page 2: Undang-undang ASN

kepada negara dan aturan perundang-undangan. Dalam konteks

profesionalisme, UU ASN memberlakukan sistem merit (sistem

berdasarkan kompetensi). Artinya, ASN adalah jabatan profesional yang

menuntut persaingan dan kompetensi. Jaminan pelaksanaan manajemen

pegawai ASN sesuai UU ASN akan memberikan kepastian bagi setiap

aparatur ASN atas pola dan pengembangan karier, promosi, mutasi,

peniaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, dan penegakan

disiplin yang adil (fair).

Namun implementasi aturan baru itu masih butuhkan waktu yang

cukup lama. Sebab sejumlah turunan UU ASN terlebih dahulu harus

dibuat, dan itu tersirat ketika penulis mengamati sejumlah pokok penting

dalam UU ASN tersebut. Tak kurang dari 20 perangkat kebijakan dalam

bentuk peraturan pemerintah (PP) yang menjadi referensi untuk

melahirkan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak)

yang dibutuhkan oleh UU ASN untuk diberlakukan. Kiranya dari saat ini

pemerintah daerah sudah harus memperlihatkan sikap tegasnya guna

menyiapkan sumberdaya manusia aparaturnya untuk menyambut

penerapan UU ASN. Itu demi mewujudkan totalitas reformasi birokrasi di

daerah.

Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat betapa pentingnya

kinerja Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan

terutama setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 diterapkan.

Kinerja yang efektif dari perangkat daerah akan menunjang pencapaian

visi dam misi pemerintahan sebagai landasan pembangunan daerah yang

melibatkan tiga pilar utama good governance yaitu pemerintah, swasta,

dan masyarakat. Beranjak dari pemikiran inilah, penulis terdorong untuk

2

Page 3: Undang-undang ASN

mengangkat topik ini dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana

kinerja Pegawai Pemerintah Daerah untuk mendukung implementasi dari

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara,

dengan judul : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang

Aparatur Sipil Negara.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, bahwa, Kinerja

Pemerintah Daerah mempunyai peranan penting dalam implementasi

penerapan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, maka dapat

diidentifikasikan masalah yaitu :

1. Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 masih

dibutuhkan waktu yang cukup lama, sebab sejumlah turunan

UU ASN terlebih dahulu harus dibuat.

C. Metode Penulisan

Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, metode

yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode observasi atau

pengamatan langsung dan metode studi kepustakaan atau studi pustaka.

D. Sistematika Penulisan

Pada karya tulis ini, akan dijelaskan hasil penelitian dimulai dengan

bab pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang masalah, identifikasi

masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Dilanjutkan

dengan bab II yang berisi tentang tinjauan teoritis yang terdiri dari

beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh ahli.

Bab berikutnya penulis membahas secara keseluruhan tentang

masalah yang diangkat, yaitu tentang analisis implementasi Undang-

3

Page 4: Undang-undang ASN

Undang Nomor 5 Tahun 2014 terhadap kinerja Pegawai Pemerintah

Daerah. Bab keempat merupakan penutup dalam karya tulis ini. Pada

bagian ini penulis menyampaikan uraian yang sudah disampaikan dan

memberikan sejumlah saran.

4

Page 5: Undang-undang ASN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kinerja

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Kinerja (performance),

namun pada prinsipnya adalah sama yaitu hasil pekerjaan yang telah

dilakukan oleh seseorang. Karena itu, kinerja sering diartikan sebagai ukuran

keberhasilan suatu organisasi. Artinya, jika kinerja seseorang optimal, maka

dapat dikatakan orang tersebut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan

suatu organisasi tempat dimana ia bekerja. Banyak organisasi yang berhasil

atau efektif karena ditopang oleh kinerja sumber daya manusia yang

berkualitas. Sebaliknya, tidak sedikit organisasi yang gagal karena faktor

kinerja sumber daya manusia yang tidak optimal.

Berbicara tentang kinerja maka akan berhadapan pada penilaian sikap

atau sesuatu yang telah dicapai atau prestasi yang ditunjukkan. Menurut

Simanjuntak (2005:1) pengertian “Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas

pelaksanaan tugas tertentu”.

Dari definisi-definisi tersebut dapat diartikan bahwa kinerja merupakan

suatu proses untuk pencapaian hasil pelaksanaan suatu

kegiatan/program/kebijaksanaan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas dari

seorang pegawai secara individu maupun dari sebuah unit kerja secara

berkelompok sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing

untuk mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi dalam rangka

mencapai tujuan organisasi tersebut yang pelaksanaannya sesuai dengan

perencanaan strategis organisasi yang telah ditetapkan.

5

Page 6: Undang-undang ASN

B. Pengukuran Kinerja

Berhubungan dengan konsep kinerja, Rummler dan Brache dalam

Sudarmanto (2009:7) mengemukakan ada 3 (tiga) level kinerja, yaitu :

1. Kinerja Organisasi; merupakan pencapaian hasil (outcome) pada

level atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini

terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan

manajemen organisasi

2. Kinerja proses; merupakan kinerja pada proses tahapan dalam

menghasilkan produk atau pelayanan. Kinerja pada level proses

ini dipengaruhi oleh tujuan proses, rancangan proses, dan

manajemen proses.

3. Kinerja individu/pekerjaan; merupakan pencapaian atau efektivitas

pada tingkat pegawai atau pekerjaan. Kinerja pada level ini

dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan, rancangan pekerjaan, dan

manajemen pekerjaan, serta karakteristik individu.

Menurut Dwiyanto (2008:47) mengatakan bahwa “penilaian kinerja

merupakan suatu kegiatan yang sangat penting sebagai ukuran keberhasilan

suatu organisasi dalam mencapai misinya”. Sedangkan menurut Moeheriono

(2009:61) pengukuran kinerja mempunyai pengertian “suatu proses penilaian

tentang kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran dalam pengelolaan

sumber daya manusia untuk menghasilkan barang dan jasa, termasuk

informasi atas efisiensi dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan

organisasi”.

Indikator kinerja birokrasi sangat kompleks. Hal ini terjadi karena

birokrasi publik memiliki stakeholders yang sangat banyak dan memiliki

6

Page 7: Undang-undang ASN

kepentingan yang berbeda-beda. Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup

hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada

birokrasi itu, tetapi harus dilihat juga dari indikator-indikator yang melekat

pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan

responsivitas.

Kenyataan bahwa birokrasi publik memiliki stakeholders yang banyak

dan memilikii kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya

membuat birokrasi publik mengalami kesulitan untuk merumuskan misi yang

jelas. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi birokrasi publik di mata para

stakeholders juga berbeda-beda. Dwiyanto (2008:50-51) menjelaskan

beberapa indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi

publik, yaitu :

1. Produktivitas, tidak hanya mengukur tingkat efisien, tetapi juga mengukur

efektivitas pelayanan.

2. Kualitas pelayanan, yaitu cenderung menjadi penting dalam menjelaskan

kinerja organisasi pelayanan publik, kualitas layanan relatif sangat tinggi

maka bisa menjadi satuan ukuran kinerja yang mudah dan murah.

3. Responsivitas, yaitu kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan

masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan

mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan

dan aspirasi.

4. Responsibilitas, yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan itu

dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar dengan

kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun yang implisit.

5. Akuntabilitas, yaitu menunjukkan pada seberapa besar kebijakan dan

kegiatan organisasi tunduk pada para pemimpin yang telah dipilihnya.

7

Page 8: Undang-undang ASN

Menurut Faustino dalam Mangkunegara (2006:41) : “Adapun syarat

utama untuk melakukan penilaian kinerja yang efektif adalah adanya kriteria

kinerja yang dapat diukur secara obyektif dan adanya obyektivitas dalam

proses evaluasi”. Pengukuran kinerja merupakan hal yang sangat penting

untuk dapat memperbaiki pelaksanaan kerja yang dapat dicapai. Untuk

menjadi efektif, maka standar-standar kinerja tersebut harus dikaitkan dengan

hasil yang diinginkan dari masing-masing pekerjaan melalui penilaian kinerja.

Dalam pandangan Sedarmayanti (2007:198) mengatakan penilaian

kinerja penting peranannya karena sebagai alat untuk :

1. Memastikan pemahaman pelaksana akan ukuran yang digunakan

untuk mencapai kinerja.

2. Memastikan tercapainya rencana kinerja yang telah disepakati.

3. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja dan

membandingkannya dengan rencana kerja serta melakukan tindakan

untuk memperbaiki kinerja.

4. Memberi penghargaan dan hukuman yang objektif atas kinerja

pelaksana yang telah diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja

yang disepakati.

5. Menjadi alat komunikasi antar karyawan dan pimpinan dalam upaya

memperbaiki kinerja organisasi.

6. Mengidentifikasikan apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi.

7. Membantu memahami proses kegiatan organisasi.

8. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif.

9. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan.

10.Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.

Penilaian kinerja adalah salah satu tahapan penting dalam siklus

pengembangan sumber daya manusia, baik di sektor publik maupun di sektor

8

Page 9: Undang-undang ASN

swasta. Penilaian kinerja merupakan proses pengukuran terhadap tingkat

penyelesaian tugas-tugas yang dilakukan oleh pegawai selama masa tertentu

dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan karakteristik tugas

tersebut. Melalui penilaian kinerja akan diketahui sejauh mana perkembangan

pegawai/aparat dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk menunjang

kinerja organisasi.

Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja

antara satu pegawai dengan pegawai lainnya yang berada di bawah

pengawasannya. Walaupun pegawai-pegawai bekerja pada tempat yang

sama namun produktifitas mereka tidaklah sama. Sudarmanto (2009:30)

mengatakan :

Perbedaan-perbedaan kinerja ini disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain misalnya motivasi kerja, kepuasan kerja, desain pekerjaan,

komitmen, kepemimpinan, partisipasi, fungsi-fungsi manajemen, kejelasan

arah karier, kompetensi, budaya organisasi, sistem penghargaan, dan

mungkin masih banyak lagi dari berbagai hasil penelitian yang sebelumnya –

yang mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja

individu.

Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor

kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Seperti yang telah

diungkapkan oleh Keith Davis dalam Mangkunegara (2000:67) :

Human Performance = ability x motivation

Motivation = attitude x situation

Ability = knowledge x skill

9

Page 10: Undang-undang ASN

Penjelasan yang dikutip menurut pandangan Mangkunegara (2012:13-

14) :

1. Faktor kemampuan (ability)

Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan

potensi (IQ) dan kemampuan reality. Artinya pimpinan dan

pegawai yang memiliki IQ dan skill yang memadai, maka akan

lebih mudah untuk mencapai kinerja yang maksimal.

2. Faktor motivasi (motivation)

Motivasi merupakan suatu sikap dalam menghadapi situasi kerja

di lingkungan organisasinya. Mereka yang memberikan respon

positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi

kerja yang tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif

terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi yang

rendah. Situasi kerja yang dimaksud antara lain hubungan kerja,

fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola

kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.

C. Standard Operating Procedures (SOP)

Untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu, suatu organisasi akan

menjalankan sebuah kegiatan yang didukung dengan sejumlah keputusan

tertentu. Jadi, untuk mewujudkan tujuan yang sama, tiap anggota organisasi

terikat pada prosedur tertentu yang harus diikuti dan dipatuhi. Menurut

Tambunan (2013:3) SOP pada dasarnya adalah:

pedoman yang berisi prosedur-prosedur operasional standar yang ada di dalam suatu organisasi yang dugunakan untuk memastikan bahwa setiap keputusan, langkah, atau tindakan, dan penggunaan fasilitas pemrosesan yang dilaksanakan oleh orang-orang di dalam suatu organisasi, telah berjalan secara efektif, konsisten, standar, dan sistematis.

SOP yang efektif mensyaratkan organisasi memiliki visi dan misi yang

jelas. Visi dan misi adalah pemandu utama ke arah mana organisasi akan

10

Page 11: Undang-undang ASN

dibawa. Namun, SOP yang efektif sebaiknya disusun apabila visi dan misi

organisasi telah jelas dinyatakan.

D. Umpan Balik

Pelaksanaan kinerja dalam proses pencapaian tujuan organisasi perlu

dimonitor dan dikendalikan, untuk dapat mengetahui secara lebih dini apabila

terjadi penyimpangan dari rencana. Untuk keperluan tersebut, diperlukan

adanya umpan balik dari proses pelaksanaan sehingga pemimpin dapat

membuat pertimbangan dan langkah yang diperlukan untuk mengoreksi

penyimpangan agar tujuan organisasi tetap dapat dicapai sesuai dengan

target yang ditetapkan.

Wibowo (2012:165) mendefinisikan umpan balik sebagai “informasi

tentang perilaku masa lalu, disampaikan sekarang, yang mungkin

memengaruhi perilaku di waktu yang akan datang”. Pandangan lain dari

Kreitner dan Kinicki (2001:273) bahwa umpan balik adalah merupakan

informasi obyektif tentang kinerja individual atau kolektif. Kinerja setiap orang

dimonitor, didata, dan dilaporkan kepada atasan sebagai umpan balik.

Dari pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada

dasarnya, umpan balik adalah informasi tentang proses pelaksanaan kinerja

baik individu, kelompok, maupun organisasi dalam mencapai tujuannya.

Wibowo (2012:166) mengatakan :

Umpan balik pada tingkat organisasi berkenaan dengan monitoring apakah terjadi deviasi antara rencana dengan pelaksanaan dan memprediksi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila terjadi deviasi, perlu ditetapkan tindakan yang harus dilakukan untuk mengoreksinya sehingga tujuan tetap dapat dicapai.

Umpan balik yang baik akan menginspirasi organisasi untuk

melakukan koreksi atas usaha yang telah dilakukannya ketika usaha tersebut

belum mencapai hasil yang maksimal. Sebaliknya, apabila telah mencapai

11

Page 12: Undang-undang ASN

hasil yang maksimal, peranan umpan balik adalah untuk memacu prestasi

menjadi lebih baik lagi hingga batasan yang paling maksimal.

Umpan balik dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja dimasa yang

akan datang, sehingga harus diberikan dalam bentuk dan cara yang benar.

Umpan balik yang disampaikan tersebut diharapkan akan memberikan

dampak yang positif. Ken Lawson (2005:98) mengemukakan beberapa ciri

umpan balik yang efektif :

1. Constructive (konstruktif)2. Relates exclusively to work (menghubungkan pada pekerjaan secara

eksklusif)3. Assesses performance, not personality (menilai kinerja, bukan

kepribadian)4. Specific (spesifik)5. Accounts for perceptual differences (memperhitungkan perbedaan

persepsi)6. Objectives (objektif)

12

Page 13: Undang-undang ASN

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara

Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam berlakunya aturan tersebut,

maka tidak dikenal lagi istilah tenaga honorer di Indonesia.

Regulasi yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

pada 15 Januari 2014, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan : 

"Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah

profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan

perjanjian kerja (PPPK)yang bekerja pada instansi pemerintah".

Yang selanjutnya disebutkan bahwa :

"Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut

Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah

dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina

kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan

atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan

perundang-undangan."

Pemerintah perlu berhati-hati dan bekerja keras, agar amanat yang

tertuang dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil

Negara (UU ASN) bisa diterapkan secara menyeluruh mulai Januari 2016.

Hasil kajian divisi riset kebijakan publik Pusat Telaah dan Informasi

Regional (PATTIRO) memperlihatkan, UU ASN memiliki mandat untuk

13

Page 14: Undang-undang ASN

membuat 19 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden (Perpres), 1

Keputusan Presiden (Kepres), 1 Peraturan Menteri (Permen), 1 Keputusan

Menteri (Kepmen), dan 1 Peraturan Komisi Aparatur Sipil Negara (Per-KASN)

Beberapa hal yang perlu dikaji lebih mendalam dari UU ASN ini.

Misalnya, pada pasal 9 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa pegawai ASN

melaksanakan kebijakan yang ditetapkan pimpinan instansi pemerintah, dan

Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan

partai politik.

Kebebasan dari pengaruh dan intervensi politik ini tentu termasuk juga

dari pimpinan instansi pemerintah sebagai Pegawai ASN. Sayangnya,

persoalan intervensi ini tidak dimasukan dalam bagian penjelasan Pasal 9.

Sehingga, menjadi tidak jelas, bagaimana cara memastikan dan jaminan apa

yang dapat menjadi panduan untuk membebaskan Pegawai ASN dari

pengaruh dan intervensi politik

Pemerintah harus mengeluarkan panduan yang dengan tegas memastikan

dan menjamin bahwa tidak akan ada  intervensi terebut. Panduan tersebut

harus dibuat dalam kerangka kerja KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara)

maupun dalam kerangka kerja Pegawai ASN dalam kegiatan sehari-hari

B. Sistem Merit Pegawai

Pada bagian penjelasan Bab Umum dijelaskan bahwa yang dimaksud

Sistem Merit adalah perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja

yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja

yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan

promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif,

sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

14

Page 15: Undang-undang ASN

Sedangkan di Pasal 1 ayat (22), dijelaskan bahwa Sistem Merit adalah

kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi,

kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan

latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status

pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Jika dijelaskan secara singkat, pada bagian penjelasan UU ASN

Sistem Merit adalah mekanisme perbandingan, sedangkan di batang tubuh

UU ASN, Sistem Merit adalah Kebijakan dan Manajemen. Tidak ada

penjelasan lebih lanjut secara operasional tentang Sistem Merit yang

diberikan kepada Peraturan Pemerintah atau Peraturan KASN.

C. Hamonisasi UU dan Sistem Informasi ASN

Dengan disahkannya UU ASN ini, maka Undang-Undang nomor 43

tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian (UU Pokok Kepegawaian) dinyatakan tidak berlaku lagi atau

dicabut.

Meskipun UU Pokok Kepegawaian dicabut, namun peraturan

pelaksanaan UU tersebut masih dinyatakan berlaku, dengan catatan,

sepanjang tidak bertentangan dan diganti berdasarkan pada UU ASN. 

Pernyataan ini menuntut adanya harmonisasi antara peraturan

pelaksanaan UU Pokok Kepegawaian terhadap UU ASN. Mana peraturan

yang sesuai dan mana peraturan yang bertentangan. Tindakan harmonisasi

ini sangat mendesak, mengingat waktu Pemerintah untuk membuat peraturan

pelaksanaan UU ASN hanya 2 tahun. Perlu diperhatikan oleh Pemerintah,

tindakan harmonisasi terkadang tidak menjadi prioritas atau terkendala proses

interdep (antar departemen di pemerintahan). Pemerintah juga harus berhati-

15

Page 16: Undang-undang ASN

hati dengan ketatnya jadwal pelaksanaan Sistem Informasi ASN yang

berdasarkan pasal 133 UU ASN harus dilaksanakan secara nasional paling

lama tahun 2015. Jika yang dimaksud bulan Desember 2015 sebagai batas

akhir,  maka diperlukan kerja ekstra keras dari Pemerintah untuk mewujudkan

dan melaksanakan sistem informasi ASN.

D. Pengaruh UU ASN Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah

Menilik UU yang akhirnya disahkan, sejumlah hal patut diapresiasi

karena memang memberikan nuansa baru yang lebih baik dalam sistem

manajemen SDM aparatur di Indonesia. Beberapa perubahan signifikan

dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, UU ASN memberikan koridor yang cukup baik dalam

pengaturan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sudah

menjadi rahasia umum bahwa pengelolaan pegawai pemerintah non-PNS

alias honorer telah menjadi masalah yang mengemuka sejak awal Kabinet

Indonesia Bersatu I. Setelahnya, banyak pula instansi yang merekrut pegawai

kontrak dengan mekanisme yang terkesan mengada-ada (seperti seakan-

akan dari perusahaan alih daya/outsourcing atau dengan manuver melalui

manipulasi anggaran untuk membayarkan honornya) untuk mengakali

ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Penegasan aturan soal PPPK ini

merupakan jalan keluar yang patut diapresiasi, karena ini akan memisahkan

PPPK dari ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan karena UU ASN akan

menjadi lex specialis dari masalah ini.

Kedua, secara filosofis UU ASN hanya mengenal eselonisasi hingga

tingkat ke-2, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi. Meskipun

demikian, secara implisit, eselonisasi tetap dipertahankan dalam nama

16

Page 17: Undang-undang ASN

Jabatan Administrasi. Jabatan Administrasi terdiri atas administrator

(ekuivalen dengan eselon III dalam sistem sebelumnya), pengawas (ekuivalen

dengan eselon IV dalam sistem sebelumnya), dan pelaksana (ekuivalen

dengan eselon V dan fungsional umum dalam sistem sebelumnya).

Pesan implisit ini membuka ruang penafsiran yang sangat luas dan

berpotensi ambigu. Misalnya, seluruh jabatan eselon III memang akan

dialihkan sebagai administrator. Jika demikian, bagaimana dengan wacana

pengalihan jabatan eselon III di sejumlah instansi yang sebetulnya

berkarakteristik fungsional. Hal ini baru akan terjawab dalam peraturan

pemerintah (PP) yang menjadi pelaksana UU ini nantinya.

Ketiga, UU ini memberi pengakuan dan tanggung jawab kehormatan

kepada pejabat tinggi (high rank officials) di birokrasi, yang disebut sebagai

Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Pada dasarnya, ini merupakan manifestasi

dari gagasan senior executive service (SES) yang dulu diperkenalkan RUU

ASN versi awal. SES merupakan praktik yang lazim di negara-negara yang

telah menganut New Public Management (NPM).

Pada umumnya, setiap SES akan memiliki tanggung jawab yang tinggi

karena dia akan menjadi penghubung antara birokrasi dengan politisi,

panutan (role model) bagi birokrat, dan penasihat utama (senior advisor) bagi

pejabat politik. Dengan tanggung jawab itu, umumnya SES akan menerima

tunjangan tambahan, pendidikan dan pelatihan khusus, dan tentunya sanksi

yang lebih berat apabila melanggar. Namun demikian, dalam UU ASN, tidak

ada penjelasan terkait ketiga hal tersebut bagi pemangku JPT. Tanpa adanya

penjelasan ini, sebenarnya JPT tidak dapat dikategorikan sebagai praktik

SES.

17

Page 18: Undang-undang ASN

Keempat, UU ASN mengatur tentang kelembagaan dalam manajemen

SDM aparatur. Hal ini patut diapresiasi karena potensi tumpang-tindih

kewenangan antara menteri di bidang pendayagunaan aparatur negara (sebut

saja Menpan J) dan menteri di bidang dalam negeri (sebut saja Mendagri J)

sudah dapat diminimasi, bahkan mungkin hilang.

Kewenangan penuh berada pada Menpan, karena UU ini sekaligus

menghapuskan Bab V “Kepegawaian” dari UU Nomor 32 Tahun 2004.

Pengaturan kewenangan juga terdapat antara Kementerian PANRB, Badan

Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan

sebuah komisi yang akan dibentuk yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara

(KASN). Pengaturan ini sudah cukup rapi, meskipun potensi tumpang-tindih

masih bisa terjadi terutama antara Kemenpanrb dengan BKN (Pasal 26 dan

Pasal 48 huruf e). Hal ini sangat mungkin terjadi apabila kedua instansi tidak

bekerja sama dalam pelaksanaan tugas tersebut.

Kelima, UU ini menjadi dasar pembentukan KASN. Bagi sebagian

orang, ini mungkin dianggap sebagai titik lemah UU ASN, namun bagi saya

pribadi, pembentukan KASN adalah manifestasi dari praktik governance di

bidang pendayagunaan aparatur negara. Prinsip dasar dari governance

adalah perluasan pelaksana pemerintahan dari pemerintah kepada aktor lain

di negara, yaitu masyarakat sipil (civil society) dan sektor swasta.

Di Indonesia, hal ini terejawantahkan dalam bentuk Lembaga Non

Struktural (LNS). Saya sadar bahwa sejumlah LNS tidak berfungsi secara

efektif dan cenderung mengakibatkan inefisiensi anggaran negara, namun

saya pikir tidak untuk KASN. PNS adalah unsur yang penting dalam

18

Page 19: Undang-undang ASN

penyelenggaraan negara, bahkan seringkali PNS lebih berkuasa

dibandingkan pejabat politik karena memiliki budaya organisasi dan

pengalaman yang lebih dibandingkan sebagian pejabat politik.

Oleh karena itu, tidak jarang pejabat politik (misalnya menteri atau

kepala daerah) gagal menjalankan organisasinya karena tidak memiliki PNS

yang berkualitas baik. Apabila seluruh proses terkait manajemen PNS

diserahkan hanya kepada PNS (Kemenpanrb, BKN, LAN), maka terdapat

potensi “saling melindungi” yang berakibat tidak efektifnya manajemen PNS

tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan KASN yang keanggotannya dapat diisi

oleh PNS maupun non-PNS.

Namun demikian, tentunya dibutuhkan pengaturan yang lebih

komprehensif agar KASN dapat berfungsi efektif. Hal ini terkait dengan tugas

dan kewenangan yang dimiliki KASN, salah satunya mengawasi proses

pengisian JPT. Dengan perkiraan jumlah eselon I dan II (setara JPT) di

Indonesia yang per Agustus 2013 mencapai 15.726 jabatan (3.318 pegawai

instansi pusat dan sisanya pegawai pemerintah daerah), mekanisme

pengawasan seperti apa yang dapat dibangun oleh KASN untuk memastikan

pengisian jabatan ini berjalan efektif.

Apabila 15.000-an jabatan ini dapat dipastikan terisi oleh orang-orang

yang berkualitas dan berintegritas, maka sebetulnya ini bukan angka yang

tinggi, karena mereka ini nantinya akan memimpin sekitar puluhan ribu PNS di

Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah. Tentu ini merupakan pengungkit

yang luar biasa bagi perbaikan birokrasi Indonesia. Inilah yang kiranya patut

menjadi perhatian lebih lanjut, agar KASN tidak bernasib sama dengan

sejumlah PNS lain yang seakan sia-sia.

19

Page 20: Undang-undang ASN

Keenam, UU ASN secara eksplisit menyebutkan bentuk

pengembangan karier PNS dengan pemberian kesempatan praktik kerja di

instansi lain termasuk perusahaan swasta paling lama selama satu tahun

(Pasal 70 ayat 5 dan 6). Ketentuan ini terdapat pada gagasan reform leaders

academy yang dicetuskan oleh Philia Wibowo, partner McKinsey Indonesia

yang juga salah seorang anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi

Nasional.

Dalam penjelasan ayat 6, disebutkan pula bahwa pemerintah dapat

membuka kesempatan kepada pegawai swasta untuk menduduki jabatan

ASN sesuai persyaratan kompetensi paling lama satu tahun. Ini merupakan

terobosan yang patut diapresiasi. Saya cukup terkejut membaca adanya

ketentuan ini dalam versi akhir RUU ASN. Namun demikian, pengaturan

tentang “dapat” ini harus disusun dengan seksama agar tidak menjadi sia-sia

karena di lapangan nanti pelaksana menganggap hal tersebut tidak

dibutuhkan.

Ketujuh, UU ASN membuka peluang diberhentikannya PNS atas

alasan kinerja (Pasal 77 ayat 6). Hal ini tentu patut diapresiasi karena

memberikan nuansa baru dalam birokrasi terutama dalam hal penilaian

kinerja PNS. Namun demikian, patut dinanti bagaimana pengaturan

lanjutannya dalam PP yang diamanatkan kemudian. Kedelapan, atas

penilaian kinerja PNS tersebut juga akan diberikan tunjangan kinerja (Pasal

80 ayat 3). Kedua hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi birokrasi

untuk membangun sistem manajemen kinerja yang komprehensif.

Kedelapan, UU ASN menjadikan pengisian JPT terbuka secara

nasional. JPT sendiri terdiri dari tiga tingkatan, yaitu JPT utama (yang kini

20

Page 21: Undang-undang ASN

ekuivalen dengan Kepala LPNK), JPT madya (yang kini ekuivalen dengan

eselon I), dan JPT pratama (yang kini ekuivalen dengan eselon II).

Pengisian JPT utama dan madya dilakukan secara nasional. Artinya,

setiap PNS yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan akan dapat melamar

pada lowongan JPT yang dibuka pada setiap instansi. Sebagai contoh,

seorang PNS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat melamar

sebagai Sekretaris Daerah Provinsi X. Ketentuan lain adalah

dimungkinkannya pengisian JPT utama dan madya dari kalangan non-PNS

atas persetujuan Presiden (Pasal 109 ayat 1). Seluruh proses pengisian JPT

dilakukan melalui tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing instansi

dengan anggota tim seleksi terdiri dari internal dan eksternal instansi.

Namun demikian, gagasan yang cukup baik ini menimbulkan

ambivalensi ketika disebutkan dalam Pasal 111 bahwa aturan ini

“dikecualikan bagi instansi pemerintah yang telah menerapkan sistem merit

dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan KASN”.

Pengecualian ini dapat dilihat dari kacamata positif maupun negatif.

Dari sisi positif, ini memberi ruang bagi pejabat pembina kepegawaian di

instansi untuk mengembangkan sistem manajemen SDM aparaturnya sendiri,

atau dalam istilah populernya let the manager manages. Namun demikian,

pengecualian ini juga akan memunculkan ambivalensi manakala instansi yang

dikatakan sudah menerapkan “sistem merit” ini tidak ingin membuka diri

kepada PNS dari instansi lain.

Dualisme ini dapat mengarah pada kesia-siaan karena nantinya

instansi akan cenderung melakukan penutupan diri tersebut dengan bungkus

21

Page 22: Undang-undang ASN

“sistem merit” yang izinnya dapat diperpanjang layaknya SIM (Surat Izin

Mengemudi, atau dalam hal ini mungkin lebih tepat sebagai Surat Izin Merit).

Pengecualian ini juga sejatinya menunjukkan bahwa dalam birokrasi

pemerintah masih terdapat ego sektoral, karena saya dapat menangkap

instansi mana yang akan mengajukan pengecualian ini nantinya.

Oleh karena itu, pengecualian sebaiknya terbatas pada detail

mekanismenya semata, tapi tidak boleh menutup kesempatan yang dimiliki

setiap pegawai di penjuru NKRI untuk menduduki JPT. Jangan sampai fungsi

ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa menjadi pudar dengan

pengecualian atas nama “sistem merit”, karena sistem merit tidak berarti

menutup kemungkinan pegawai daerah menduduki JPT di pusat dan

sebaliknya.

Kesembilan, UU ASN memperkenalkan sistem kontrak pada JPT,

yang berlaku per lima tahun. Hal ini mirip dengan yang dilakukan Australia,

yaitu jabatan secretary di setiap kementerian hanya dapat diisi selama lima

tahun dan selanjutnya harus dipilih kembali. Dengan demikian, diharapkan

terjadi penyegaran dan tidak ada “pengkaplingan” jabatan oleh seseorang

atau sekelompok orang. Bahkan, pemangku JPT yang gagal memenuhi target

kinerja selama 1 tahun akan diberi kesempatan 6 bulan untuk ditinjau ulang.

Artinya, kinerja kembali menjadi kata kunci dalam manajemen SDM aparatur.

Tentu saja hal ini masih harus dipersenjatai dengan peraturan pelaksananya

nanti.

Sembilan butir tersebut kiranya yang patut menjadi perhatian karena

memberikan nuansa baru dalam manajemen SDM aparatur. Sebenarnya

22

Page 23: Undang-undang ASN

masih ada sejumlah hal lain seperti pensiun, korps pegawai, dan lain-lain,

namun tidak terlalu signifikan dibandingkan kesepuluh hal di atas.

Bagaimanapun, UU ASN merupakan UU yang cukup fleksibel karena

sebagian besar ketentuan di dalamnya bersifat multiinterpretasi. Oleh karena

itu, dibutuhkan kontrol publik yang ketat dalam proses penyusunan peraturan

pelaksana dari UU ASN (yang dalam perhitungan sederhana saya terdapat 3

Perpres, 19 PP, dan 1 Permenpan, dengan jumlah PP bisa saja lebih

tergantung pemisahan materinya).

Kontrol ini diperlukan agar semangat perubahan dari UU ASN tidak

kempis di tengah jalan karena interpretasi konservatif dari peraturan

pelaksananya kelak. Hanya dengan demikianlah UU ASN dapat benar-benar

mengantarkan kita pada era baru manajemen SDM aparatur Indonesia.

23

Page 24: Undang-undang ASN

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mengetahui sejauh mana analisis implementasi Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap

kinerja Pemerintah Daerah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kinerja Pemerintah Daerah setelah ditetapkannya Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara masih perlu

ditingkatkan lagi. Hal ini disebabkan oleh UU ASN memiliki mandat

untuk membuat 19 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden

(Perpres), 1 Keputusan Presiden (Kepres), 1 Peraturan Menteri

(Permen), 1 Keputusan Menteri (Kepmen), dan 1 Peraturan Komisi

Aparatur Sipil Negara (Per-KASN) Pemerintah hanya punya waktu

kurang dari dua tahun untuk menyiapkan seluruh regulasi turunan dari

UU ASN sehingga Pemerintah Daerah masih belum dapat

mengimplementasikan secara total mandat dari UU Nomor 5 Tahun

2014 ini.

B. Saran

1. Tuntutan kepada pegawai ASN untuk bekerja secara profesional harus

didukung juga dengan implementasi UU ASN secara konsisten oleh

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Konsistensi

implementasi UU ASN merupakan bukti komitmen pemerintahan baru

dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan menegaskan netralitas

birokrasi pemerintahan daerah terhadap pengaruh politik atas

keterpilihan para wakil rakyat/anggota legislatif, Kepala Daerah dan

24

Page 25: Undang-undang ASN

Wakil Kepala Daerah serta jauh dari praktek korupsi, kolusi dan

nepotisme.

2. Kiranya dari saat ini pemerintah daerah sudah harus memperlihatkan

sikap tegasnya guna menyiapkan sumberdaya manusia aparaturnya

untuk menyambut penerapan UU ASN. Itu demi mewujudkan totalitas

reformasi birokrasi di daerah.

25