Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

36
Institute for Essential Services Reform (IESR) Jl. Mampang Prapatan VIII No. R-13, Jakarta 12790 Ph: 021-7992945 Fax: 021-7996160 11/1/2016 Institute for Essential Services Reform (IESR) Laporan ini merupakan hasil diskusi dari dialog publik yang dilaksanakan oleh IESR pada tanggal 31 Oktober 2016 di Hotel Oria. Dialog publik ini diadakan menjelang COP 22, dan memiliki fokus pada isu pendanaan perubahan iklim. Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan Perubahan Iklim

Transcript of Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Page 1: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

I n s t i t u t e f o r E s s e n t i a l

S e r v i c e s R e f o r m ( I E S R )

J l . M a m p a n g P r a p a t a n

V I I I N o . R - 1 3 , J a k a r t a

1 2 7 9 0

P h : 0 2 1 - 7 9 9 2 9 4 5

F a x : 0 2 1 - 7 9 9 6 1 6 0

1 1 / 1 / 2 0 1 6

Institute for Essential Services

Reform (IESR)

Laporan ini merupakan hasil diskusi dari dialog publik yang

dilaksanakan oleh IESR pada tanggal 31 Oktober 2016 di

Hotel Oria. Dialog publik ini diadakan menjelang COP 22,

dan memiliki fokus pada isu pendanaan perubahan iklim.

Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan Perubahan Iklim

Page 2: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

DIALOG PUBLIK MENJELANG

COP 22:

PENDANAAN PERUBAHAN IKLIM

Hotel Oria, 31 Oktober 2016

Page 3: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

1 Pembukaan Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan oleh IESR yang mengundang instansi atau

pihak-pihak yang punya kewenangan atau yang bertugas untuk membawa posisi Indonesia di dalam

negosiasi perubahan iklim. Pada tahun-tahun sebelumnya yang lazim diangkat adalah isu terkait COP

yang cukup luas. Tahun lalu, sehubungan dengan Paris Agreement, maka seluruh aspek dalam Paris

Agreement itu, dibahas. Namun, untuk tahun ini, karena banyak isu dalam Paris Agreement yang masih

'dibentuk', maka IESR hanya mengangkat satu tema, yaitu mengenai pendanaan perubahan iklim.

Pendanaan merupakan salah satu dari tiga pendukung yang menjadi agenda COP dan selalu disebut

sebagai Means of Implementation (MoI): teknologi, capacity building, dan pendanaan. Terkait dengan

pendanaan perubahan iklim, menarik untuk melihat kemajuan di Indonesia. Hal ini terlihat dari

bagaimana Indonesia mempersiapkan institusi-institusi pendanaan, maupun mekanisme pendanaan di

tingkat domestik, untuk mendanai aksi-aksi perubahan iklim, baik adaptasi maupun mitigasi. Untuk

Adaptation Fund, saat ini sudah ada accredited implementing entity di Indonesia, yaitu Kemitraan.

Dialog ini juga diperlukan untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Kemitraan terkait

dengan Adaptation Fund.

Indonesia juga telah menetapkan NDA untuk Green Climate Fund. Indonesia juga memiliki institusi

seperti ICCTF yang dibentuk oleh Bappenas, serta inisiatif-inisiatif lain yang saat ini berkembang untuk

mengakses pendanaan tersebut. KADIN juga saat ini tengah mempersiapkan suatu inisiatif. Ada juga

NGO lain yang memiliki inisiatif untuk mendanai kota. Namun, yang menjadi isu saat ini adalah

bagaimana mekanisme-mekanisme pendanaan tersebut, dapat memenuhi kebutuhan pendanaan untuk

aksi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim di Indonesia.

Selain daripada itu, mekanisme GCF yang merupakan mekanisme pendanaan terbesar untuk perubahan

iklim, juga sudah mulai, dan sudah siap 'belanja'. Modalitasnya sudah tersedia, instrumennya sudah ada,

dan saat ini sudah siap untuk menyalurkan dana, sehingga negara-negara termasuk institusi-institusi dari

negara-negara berkembang yang menjadi anggota dari UNFCCC, dapat memanfaatkan dana-dana

tersebut. Untuk mengakses pendanaan tersebut, tentunya harus kembali ke kapasitas nasional

Indonesia untuk mengakses pendanaan-pendanaan tersebut.

Sejak kesepakatan Paris tahun lalu, dan Indonesia juga sudah meratifikasi kesepakatan Paris, dengan

perkembangan terkini melalui inisiatif pendanaan lingkungan, perlu untuk dilihat bagaimana

pendanaan-pendanaan yang ada di Indonesia saat ini untuk siap dan dapat bersinergi dengan kebutuhan

pendanaan yang ada. Kebutuhan pendanaan memang sangat banyak. Contohnya, jika berbicara

mengenai target untuk energi terbarukan yang sesuai dengan KEN, 23%, pada tahun 2025, untuk

mencapai bauran energi 23%, maka berdasarkan hitung-hitungan dari kementerian ESDM, paling tidak

diperlukan 1600 T sampai dengan tahun 2025. Jika dilihat kemampuan pendanaan BUMN seperti PLN,

anggaran dari APBN, APBD, total kemampuannya mungkin tidak sampai 20% dari kebutuhannya. Itu

sebabnya, sebagian besar dari pendanaan ini memang harus didanai oleh investasi swasta.

Pendanaan investasi swasta ini juga tidak mudah, karena energi terbarukan masih dianggap sangat

beresiko. Jadi sebenarnya, banyak pihak masih berharap, khususnya dari METI (Masyarakat Energi

Page 4: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Terbarukan Indonesia), untuk mengakses pendanaan perubahan iklim seperti GCF sebagai salah satu

cara atau jalan untuk membiayai energi terbarukan. Permasalahan adalah dana tersedia, namun untuk

mengakses dana tersebut tidak dapat dilakukan dengan begitu saja, ada prosedur, mekanisme, dan

kesiapan institusi untuk mengakses pendanaan tersebut.

Pendanaan adaptasi sebagaimana yang tercantum di dalam RAN API, juga memiliki kebutuhan

pendanaan yang cukup besar. Hingga hari ini, belum ada gambaran mengenai sumber pendanaan selain

dari APBN. Hal ini menjadi latar belakang dari dialog ini, terkait dengan fokus dialog ini, yaitu pada aspek

pendanaan perubahan iklim.

Pendanaan perubahan iklim juga ditentukan oleh konstelasi politik, sehingga konstelasi politik

perubahan iklim global paska Paris perlu juga untuk dicermati. Bagaimana kemungkinan konstelasi

politik dengan terpilihnya Presiden Amerika Serikat, yang salah satu kandidatnya pada saat kampanye

pemilihan Presiden, sudah menyatakan bahwa yang akan dilakukan pertama kali sebagai Presiden,

adalah membatalkan keikutsertaan Amerika di dalam Paris Agreement. Apabila hal ini terjadi, apakah ini

tidak mengulangi pengalaman Kyoto Protokol dulu? Lalu kemudian, terkait dengan komitmen. Salah

satu komitmen di dalam Paris Agreement adalah mobilisasi pendanaan USD 100 milyar, yang diharapkan

bisa naik lagi.

Jika negara-negara besar seperti Amerika, yang dikuatirkan akan mundur dari PA, bagaimana

implikasinya dengan janji-janji yang terkait dengan pendanaan, pengembangan kapasitas, transfer

teknologi dan lain sebagainya? Hal-hal ini tentu saja sangat terkait dengan politik perubahan iklim.

Dalam konteks ini, IESR meminta kesediaan dari Bapak Prof. (HC) Dr. Rachmat Witoelar, Utusan Khusus

Presiden untuk Perubahan Iklim, agar dapat menyampaikan perspektif atau gambaran konstelasi politik

perubahan iklim global paska Paris Agreement, serta memberikan overview terkait dengan konteks di

Indonesia sendiri seperti apa, dan kira-kira apa yang sudah disiapkan oleh Indonesia untuk COP 22 di

Marakesh, sehingga, bila memungkinkan untuk mengundang masukan dari peserta yang hadir, terkait

dengan posisi-posisi kunci.

IESR juga mengundan Direktur Jenderal untuk Pengendalian Perubahan Iklim dari Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu, Ibu Nur Masripatin, yang diwakilkan oleh Ibu Drs. Sri Tantri

Arundhati, M.Sc., terkait dengan Adaptation Fund. KLHK merupakan NDA untuk Adaptation Fund. IESR

juga mengundang Yayasan Kemitraan juga, yang merupakan accredited entity untuk Adaptation Fund

untuk Indonesia. Terkait dengan pendanaan Green Climate Fund, IESR juga mengundang Bapak Dr.

Syurkani Ishak Kasim, dari PKPPIM (Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral), di

mana kementerian keuangan adalah NDA untuk GCF di Indonesia. IESR juga mengundang Bapak

Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup dari Bappenas. Bappenas membentuk ICCTF di tahun 2009, dan

saat ini dalam proses transisi karena awalnya mau menjadikan ICCTF sebagai transformation fund. ICCTF

bisa mendukung mitigasi dan adaptasi, walau demikian, saat ini masih menyalurkan hibah untuk

adaptasi dan mitigasi yang cukup besar sebenarnya, terutama dalam dua tahun terakhir, ada pendanaan

dari USAID, lalu ada juga dari UK, dan terakhir bekerja sama dengan BRG, untuk pendanaan gambut.

Walau demikian, Bapak Medrilzam berhalangan hadir dikarenakan rapat internal yang harus dihadiri.

Page 5: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

IESR juga mengundang Bapak Paul Butarbutar dari South Pole, yang akan mengulas mengenai

pendanaan berbasis pasar, khususnya untuk mitigation action.

Page 6: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

2 Pemetaan politik dalam negosiasi perubahan iklim Terkait mengenai peran negara di dalam konteks UNFCCC, sebenarnya organisasi seperti UNFCCC atau

badan PBB lainnya, berupaya untuk memberikan peluang yang sebaik-baik bahwa negara itu berfungsi.

Salah satu prioritas yang harus dicari jalan keluarnya adalah isu terkait dengan peran private sector.

Pengharapan yang ditimbulkan oleh Paris Agreement itu tinggi sekali, dan dicoba agar tetap

dilaksanakan, dijabarkan, diimplementasikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Untuk melakukan

hal ini, perlu penjabaran di institusi antar negara yang telah disebutkan di atas. Apa yang diputuskan di

Paris, tidak bisa dipisahkan dengan keputusan-keputusan yang sebelumnya terjadi.

Terkait dengan suasana psikologi politis, masih ada satu bidding position di antara negara-negara maju

dan negara berkembang, walaupun ini tidak seperti dulu. Bidding position yang ada di waktu yang

terdahulu, bersifat lebih antagonis; kalau sekarang berbeda, lebih bersahabat, walaupun jalannya tetap

tidak mudah. Lalu dengan konsep everyone on board, memiliki implikasi bahwa keputusan yang akan

diambil, berlaku untuk kita semua, tidak lagi memiliki dua kutub antara negara-negara maju dan negara-

negara berkembang. Maka untuk itu, dibentuklah beberapa alur-alur perundingan resmi. Marakesh

misalnya, memiliki 6 (enam) jalur perundingan resmi, yaitu: SBSTA 45, SBI 45, APA 1.2, COP 22, CMP12

dan CMA 1. Jalur perundingan yang baru adalah CMA. CMA ini terkait dengan perihal ratifikasi. Terkait

dengan ratifikasi ada ketentuan agar Paris Agreement bisa entry into force pada saat jumlah negara

yang meratifikasi memenuhi 55% emissions dan 55 countries. Jika persyaratan ini dipenuhi, maka Paris

Agreement akan entry into force satu bulan setelahnya. Secara formal Indonesia memang tidak

termasuk dalam CMA 1 (hanya sebagai obverser). Namun, karena sebelum COP 22 di Marrakech yang

lalu hanya sekitar 80 negara yang meratifikasi, diputuskan bahwa CMA 1 itu akhirnya hanya akan dibuka,

untuk kemudian ditutup (suspend).

INDC juga merupakan sebuah komitmen kita. INDC yang kemudian akan dijadikan menjadi NDC. NDC

akan menjadi pegangan bagi seluruh negara, karena NDC memuat kesempatan bagi negara-negara

berkembang untuk menyampaikan rencana-rencananya, khususnya mengenai emission cut yang terikat

secara internasional. Jika NDC Indonesia sudah bisa dinyatakan secara definite, maka itu bisa menjadi

satu menu untuk UNFCCC mengalokasi dana-dana yang tersedia. Dana-dana Adaptation Fund akan

diutamakan bagi negara-negara yang membutuhkannya, khususnya negara berkembang dan most

vulnerable. Kalau itu NDC Indonesia bisa didaftarkan sebagai yang kredibel dan mengikuti proses-proses

yang sebaik-baiknya di negara masing-masing, maka NDC akan bisa menjadi acuan dari pelaksanaan

inisiatif-inisiatif yang ada.

Pada akhirnya upaya-upaya implementasi paska tahun 2020 harus dapat disampaikan. Seperti yang

telah diketahui, implementasi aksi paska tahun 2020 pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan hasil dari

periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto. Pada kenyataannya sampai dengan saat ini baru 71

negara yang telah menerima dan meratifikasi the Doha Amendment, yang sebenarnya merupakan legal

basis dari implementation periode kedua dari Protokol Kyoto.

Oleh karena itu, salah satu posisi Indonesia adalah untuk memastikan negara-negara maju, bersama

dengan negara-negara berkembang yang lain, mendorong negara maju untuk memenuhi persyaratan

Page 7: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

EIF dengan penerimaan dan ratifikasi oleh 144 negara pihak pada Protokol Kyoto. Kenyataan bahwa

peran masing-masing Pihak di bawahPersetujuan Paris, tidak akan sama dengan apa yang selama ini

diterapkan di bawah UNFCCC dan Protokol Kyoto, memerlukan adanya kejelasan aturan main sebelum

implementasi efektif dapat dijalankan. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, aturan mengenai

NDC, mitigasi dan transparansi merupakan hal penting, mengingat selama ini negara berkembang tidak

memiliki target dan kewajiban, sementara di bahwa Persetujuan Paris semua Para Pihak memiliki target

dan kewajibannya. Sebagaimana dipahami untuk ketiganya akan ada perbedaan titik awal, namun

diharapkan pada waktu tertentu semua Para Pihak akan melakukan implementasi yang sama. Transisi

yang baik merupakan kunci dari kesuksesan Persetujuan Paris dan karenanya aturan main untuk

memastikan transisi yang baik harus dapat disepakati dalam waktu dekat.

Means of Implementation, merupakan isu penting, terutama yang terkait dengan kejelasan pendanaan

jangka panjang, serta peran GCF, selain itu juga kejelasan teknologi dan capacity building, termasuk

bagaimana kelanjutannya di Paska 2020. High level ministerial dialogue on climate finance yang

dilaksanakan pada tanggal 16 November 2016, juga akan menjadi salah satu sinyal mengenai pendanaan

perubahan iklim. Marakesh, diharapkan dapat menghasilkan beberapa keputusan kunci. Sebagaimana

yang disampaikan mengenai isu-isu penting yang disampaikan oleh Indonesia, tentunya dari

perundingan tersebut diharapkan dapat menghasilkan keputusan-keputusan, baik di COP 22, CMP 12,

maupun CMA 1, maupun SBSTA 45, SBI 45, dan APA 1.2. Keputusan terpenting bagi Indonesia, yang

terkait MoI terutama mengenai kejelasan pendanaan, adalah dalam hal mobilisasinya untuk mendukung

negara berkembang dan pada saat yang bersamaan akan mendukung operasionalisasi efektif terkait

dengan GCF, serta berbagai mekanisme pendanaan lain di bawah COP dan CMP.

Terkait dengan capacity building, Indonesia juga mengharapkan dapat dihasilkan keputusan yang

memungkinkan untuk dilaksanakannya Paris Committee on Capacity Building, PCCB. Indonesia juga

menargetkan untuk dapat menjadi anggota dari PCCB, mengingat cukup besarnya kepentingan

Indonesia dalam hubungannya dengan kapasitas, yang dapat merata di seluruh wilayah Indonesia.

Sejalan dengan implementasi persetujuan paris di dalam negeri, ada beberapa hal yang harus disiapkan

sebelum tahun 2020, termasuk, finalisasi dari NDC, sebagai bentuk komitmen Indonesia, dalam upaya

global dan pada saat yang bersamaan, sebagai arah pembangunan nasional, yang rendah emisi gas

rumah kaca dan memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.

NDC merupakan komponen vital, yang harus disiapkan secara seksama, dan harus disepakati oleh

sektor-sektor terkait. NDC juga harus direfleksikan dalam rencana pembangunan nasional. Target yang

disampaikan ke dunia internasional, cukup dalam bentuk penurunan emisi nasional. Sehingga

penurunan emisi untuk masing-masing sektor diatur dalam aturan yang sesuai dan mengikat pada

semua pihak di dalam negeri. Karena keputusan-keputusan Paris memberikan dampak kepada semua

Para Pihak, maka implementasinya akan memiliki implikasi yang sama sekali berbeda di Indonesia

dengan apa yang ada di luar Konvensi dan Protokol Kyoto.

Untuk itu bukan hanya dengan mitigasi, tapi juga adaptasi serta dukungan aksi berupa pendanaan,

teknologi, dan peningkatan kapasitas. Harus ada pencatatan dan pendataan dengan metodologi yang

Page 8: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

dapat diterima, dan mencakup seluruh aksi program dan kegiatan yang ada, karenanya lembaga untuk

memastikan hal ini, dapat berjalan dengan baik, seperti merupakan suatu keharusan.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan pendanaan, terutama pendanaan dalam negeri

baik APBN, maupun sumber pendanaan non-publik, yang akan mendukung aksi-aksi iklim. perencanaan

pembangunan yang sejalan dengan NDC, akan mengucurkan kepastian-kepastian pendanaan yang tidak

dapat lagi bersifat sesaat melainkan harus bersifat jangka panjang, terencana dengan baik, dan

komprehensif.

Mengingat lingkup implementasi Persetujuan Paris yang sangat luas, maka diperlukan peraturan

perundangan yang tepat yang dapat berlaku dan mengingat semua pihak dan seluruh masyarakat

Indonesia. UU Perubahan Iklim yang bersifat multi-sektor dan mencakup wilayah NKRI, menjadi penting

untuk memastikan kekuatan hukum dari implementasi Persetujuan Paris, dimana berbagai pihak,

termasuk, terutama, pemerintah daerah, akademisi, pihak swasta dan masyarakat menjadi hal yang

penting dalam implementasi yang efektif. Koordinasi akan aksi ini secara menyeluruh mrupakan hal yang

mutlak. Apa yang disampaikan oleh Indonesia sebagai Pihak yang meratifikasi Persetujuan Paris,

tentunya akan merefleksikan upaya Indonesia, sebagai satu kesatuan yang utuh. Kelembagaan untuk

memastikan koordinasi dan juga untuk memastikaan implementasi oleh pihak-pihak terkait, juga

merupakan kunci. Terkait dengan proses keseluruhan ini, maka lembaga yang dimaksud harus memiliki

otoritas serta sumberdaya yang prima, sehingga perannya dapat berjalan maksimal, akuntabel, dan

transparan. Hal yang juga penting adalah, yang memainkan peran sebenarnya bukan pemerintah, tapi

masyarakat.

2.1 Isu-isu yang muncul di dalam diskusi Beberapa isu yang muncul terkait dengan topik konstelasi politik dari diskusi ini adalah:

1. Pemerintah Indonesia cukup memiliki komitmen terkait dengan isu perubahan iklim, terlepas dari

proses ratifikasi yang tidak secepat yang diharapkan. Salah satu bentuk komitmen yang dapat dilihat

adalah Presiden Jokowi masih memutuskan untuk memiliki Utusan Khusus yang bergerak khusus di

bidang Perubahan Iklim. Walau demikian, isu yang juga diangkat adalah terkait dengan kesiapan

Indonesia sendiri, misalnya terkait dengan penanganan bencana, dan bagaimana Indonesia melihat

adaptasi sebagai isu yang penting. Saat ini hal yang masih dibicarakan adalah persoalan seputar gambut

dan kebakaran, namun perihal banjir belum dibicarakan. Dibentuknya BRG merupakan salah satu

inisiatif yang positif, dan diharapkan BRG dapat memperlihatkan kemajuan yang positif di dalam

beberapa bulan ke depan.

2. Konteks nasional akan merefleksikan apa yang ada di global. Ada usulan bahwa sebaiknya 70%

pembiayaan infrastruktur itu, dialokasikan kepada infrastruktur untuk ketangguhan, dimana perubahan

iklim menjadi pertimbangan di dalamnya. Sayangnya, hal ini tidak muncul. Itu sebabnya, pertanyaan

mengenai sejauh mana komitmen Indonesia, di tingkat nasional, terhadap perubahan iklim menjadi

valid.

3. Jika kepentingan Indonesia di dalam konteks global adalah pendaaan, maka bagaimana Indonesia

membangun strategi-strategi yang ada di dalam pendanaan nasional, itu seharusnya dibangun

Page 9: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

berdasarkan arsitektur yang utuh dan menyeluruh. Karena perubahan iklim itu seringkali ditanggapi

dengan keliru. Hal ini merupakan peluang bagi Indonesia, di mana pola pembangunan Indonesia bisa

menyeluruh, yang diterjemahkan untuk bisa mendapatkan koordinasi antar kementerian. Misalnya

hitungan kasar kami, investasi untuk adaptasi di tahun 2016 yang sudah terdapat di dalam anggaran itu

lebih dari 100 triliun. Tapi pertanyaannya apakah kemudian 100 T itu, itu benar-benar membangun

suatu ketangguhan wilayah atau tidak, atau kembali, pembangunannya ini hanyalah business as usual

(BAU), dengan tempelan perubahan iklim. Tahun 2013 kalau tidak salah, Amerika kalau tidak salah

sudah mengumumkan ke seluruh dunia. Bahwa bantuan Amerika, harus selalu dikaitkan dengan

adaptasi dan kebencanaan, selalu dikaitkan dengan kedua hal itu, di dokumen besarnya. Di Indonesia

pun akhirnya terkena dengan hal itu, pola pembangunan di Amerika harus selalu terkait dengan adaptasi

dan kebencanaan agar kemudian negara berkembang bisa membantu. Tentu ini pasti ada politiknya,

bantuan itu makin lama akan semakin kecil. Karena diasumsikan negara berkembang itu akan semakin

tangguh.

4. Indonesia sebaiknya tidak lagi berbicara mengenai negara maju sebagai individu negara maju. Tapi

sebagai blok pemikiran, negara-negara berkembang akan selalu merujuk kepada vulnerability, capacity,

tapi juga pada niatnya. Indonesia yang saat ini berusaha memberikan dana untuk poverty alleviation

sambil mengatasi masalah-masalah climate change, merupakan suatu tindakan yang terpuji. Misalnya

untuk memenuhi rasio elektrifikasi desa. Bagaimana dapat memberikan akses listrik ke desa, namun

pada saat yang bersamaan tidak akan memberikan dampak negatif pada climate change. Hal ini yang

harus disampaikan secara luas.

5. Pertanyaan lanjutan mengenai penyiapan infrastruktur untuk adaptasi. Bagaimana strategi

pemerintah untuk melakukan hal tersebut, serta sektor mana yang diutamakan? Serta bagaimana

pemerintah memastikan kesiapan masyarakat di lapangan? Fakta yang terjadi di lapangan adalah

dampak dari perubahan iklim sudah terjadi, dan masyarakat yang terkena dampak langsung itu seperti

petani, terutama petani di wilayah timur, di mana kekeringan semakin memanjang, kemudian abrasi di

wilayah pesisir itu semakin tinggi. Bagaimana dari sisi pemerintah sendiri, terutama dari sisi agrikultur,

strategi apa yang diberlakukan untuk mengatasi hal ini, dan bagaimana hubungannya dengan

kementerian yang terkait? Isu terkait dengan climate change, selalu harus bicara ke KLHK, padahal

sebenarnya masih banyak kementerian lain yang terkait. Kementerian ekonomi, seperti pertanian

misalnya. Bagaimana kementerian terkait melihat perubahan iklim ini? Apakah sudah mengintegrasikan

secara aktual adaptasi perubahan iklim, terhadap rencananya mereka sendiri, atau belum? Hal ini akan

diperhatikan oleh direktorat adaptasi dari KLHK.

6. Isu lain yang muncul adalah perihal mengenai kearifan lokal dan strategi up-scalingnya. ICCTF bekerja

sama dengan UI, untuk masyarakat di lombok timur dididik untuk menjadi petani. Masyarakat itu dididik

dan diakui cukup efektif dalam menghadapi perubahan iklim, terkait dengan tanggapan-tanggapan

efektif untuk pola tanam. Banyak negara maju yang berpikir bahwa mengatasi masalah climate change

itu tidak semata-mata dengan teknologi. Ada solusi tersendiri yang harus sesuai dengan masyarakat di

mana kegiatan tersebut diperlukan. Terkait dengan masyarakat Indonesia, local wisdom perlu

dikembangkan dan dipublikasikan.

Page 10: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

3 Pendanaan Perubahan Iklim melalui Green Climate Fund (GCF) Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) memiliki komponen pendanaan

perubahan iklim dan multilateral di dalam cakupan kerjanya. Artinya, PKPPIM juga menangani

pendanaan dari lembaga-lembaga pendanaan yang non-perubahan iklim. Perubahan iklim ini menjadi

satu portfolio di PKPPIM, yang menyebabkan padatnya isu yang ditangani oleh PKPPIM. Saat ini PKPPIM

menjadi National Designated Authority (NDA) dari Green Climate Fund (GCF). Walau demikian, PKPPIM

juga menangani isu-isu terkait pendanaan perubahan iklim secara general, termasuk budget tagging.

Paris Agreement menyatakan bahwa Green Climate Fund dan Global Environment Facility (GEF), yang

merupakan operating entities dari financial mechanism di bawah Article 11 dari Konvensi, akan menjadi

operating entities dari implementasi Paris Agreement. Itu sebabnya, menjadi sangat kritikal untuk

Indonesia dapat memahami dan menggunakan Green Climate Fund secara optimal, sehingga Indonesia

dapat mengimplementasikan apa yang menjadi kesepakatan Paris.

Gambar 1 Overview dari mayoritas sumber pendanaan perubahan iklim, data terakhir 2015/6, publikasi dari climatefundsupdate.org

Gambar 1 merupakan landscape yang menunjukkan posisi Indonesia, terkait dengan Green Climate

Fund, dan juga seluruh pendanaan yang ada baik di skala nasional maupun yang internasional, di mana

Indonesia terlibat atau pun menggunakan. Posisi Green Climate Fund saat ini adalah USD 10 milyar,

walaupun di 2020 diharapkan ini bisa naik menjadi USD 100 milyar. Saat ini memang GCF dilihat sebagai

pundi pendanaan perubahan iklim yang paling besar. Namun sebenarnya, jika dibandingkan dengan

kebutuhan pendanaan, apa yang sudah ada di GCF sangat jauh dari yang dibutuhkan.

Page 11: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Potensi Indonesia dari estimasi awal untuk mengakses GCF, Indonesia sebenarnya berada di posisi ke-5,

dilihat dari apa yang bisa digunakan di dalam negeri, terkait dengan adaptasi dan mitigasi. Berdasarkan

angka dana potensial yang mungkin bisa di-tap oleh Indonesia, yang bisa disalurkan mencapai USD 2.7

milyar, hingga tahun 2020. Jika dibandingkan dengan negara lain, negara yang setingkat dengan

Indonesia, potensi Indonesia untuk pendanaan ini masih cukup tinggi. Perhitungan ini dilakukan

berdasarkan program-program nasional yang sudah diidentifikasi, baik di sisi adaptasi dan mitigasi.

Adalah tantangan bagi Indonesia untuk dapat men-tap kebutuhan tersebut.

Kementerian Keuangan melihat posisi climate finance dari sisi kebijakan fiskal dan makro ekonomi.

Climate finance (pendanaan perubahan iklim) berada di kebijakan fiskal, karena ini terkait dengan

kemampuan APBN yang tidak mencukupi. Kementerian Keuangan sebenarnya berupaya untuk me-

mainstream-kan pemahaman bahwa perubahan iklim itu tidak harus selamanya bersifat cost center. Ini

penting untuk dilakukan, karena seringkali muncul pemikiran kalau ada sesuatu yang baru, maka harus

langsung dialokasikan anggaran. Hal ini berimplikasi pada anggaran yang biaya atau belanjanya akan

jauh di atas penerimaan. Itu sebabnya, penting juga untuk melihat dan mengelola dengan baik,

bagaimana melakukan implementasi dan penanganan perubahan iklim dengan pendanaan dari

alternatif lain, dan tidak harus dari anggaran pemerintah. Tentu saja, kontribusi pemerintah akan tetap

tinggi di situ.

Kedua terkait dengan makro-ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi concern bagi Kementerian

Keuangan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, terutama dengan kondisi ekonomi dunia

sekarang yang cenderung melambat, harga komoditas juga tidak terlalu baik, yang mungkin ada harapan

untuk harga minyak naik. Tapi, komoditas lain masih sangat rendah, suku bunga juga rendah, harga

minyak juga rendah, ini adalah kondisi yang tidak ideal. Hal-hal ini kemudian menjadi perhatian, dengan

pertanyaan apakah dengan melaksankan aksi-aksi perubahan iklim, dalam bentuk apa pun, baik

commercial project atau social, bisa mendorong pemberdayaan masyarakat. Apakah pemberdayaan

masyarakat itu bisa mendorong kepada pertumbuhan ekonomi secara bersamaan, sehingga bisa

diterapkan sebagai komitmen bersama terkait dengan perubahan iklim.

Beberapa hal di kementerian sebenarnya sudah dicoba untuk dilakukan, terutama di kementerian lain,

seperti dengan KHLK dan Bappenas. Kementerian Keuangan juga ada upaya untuk ke daerah, untuk

memasang apa yang telah diciptakan, dan bagaimana economic value-nya bisa ditingkatkan, dengan

cara meningkatkan pemahaman kepada masyarakat atau pun membangun di sisi infrastrukturnya. Pada

saat yang bersamaan, isu climate finance atau climate change, akan menjadi isu utama yang diusung.

3.1 Keberadaan NDA GCF di Indonesia Sebelumnya, pada saat DNPI masih ada, NDA GCF adalah Bapak Rachmat Witoelar, sesuai dengan

penunjukkan atau pun penugasan yang diberikan sebelumnya. Namun, dengan adanya kebijakan baru,

keputusan yang diambil berdasarkan dari diskusi pimimpinan antara Kemenkeu dan KLHK, diputuskan

untuk membentuk NDA sementara. Alasan dari pembentukan ini dikarenakan oleh adanya potensi dana

yang besar, dengan estimasi kasar di angka USD 2,7 milyar.

Page 12: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Apa yang menjadi peran dari NDA untuk GCF? Peran yang diharapkan dari NDA adalah untuk dapat

melakukan strategic oversight, yang kemudian dijabarkan ke dalam country programme. Country

programme ini merupakan alignment antara prioritas nasional, seperti NDC, NAMAs, RAD (Rencana Aksi

Daerah), RAN (Rencana Aksi Nasional), dan juga kebijakan lainnya yang berhubungan dengan perubahan

iklim. Ini yang sebenarnya menjadi dasar untuk menyusun country programme. Hal ini diperlukan agar

project-project yang akan diajukan kepada GCF, yang memerlukan persetujuan dari NDA, tidak

melenceng jauh dari ini. Walaupun proposal yang diajukan adalah kegiatan dalam bentuk project,

namun kegiatan tersebut harus berada di dalam kerangka country programme. Dalam penyusunan

country programme ini, NDA GCF menyatakan akan melibatkan kementerian-kementerian terkait,

termasuk ke dalamya adalah masyarakat non-pemerintah, yang akan disertakan untuk konsultasi. Draft

awal dari country programme sudah tersedia dan ada di Kementerian Keuangan, dan akan

dikembangkan kembali.

Gambar 2 Concept note dari Indonesia's Country Programme

Gambar 2 menunjukkan concept note yang awal, area kerjanya, kebutuhan, yang disusun berdasarkan

masukan dari kementerian dan lembaga yang relevan, terkait dengan lima area yang diajukan sebagai

country programme Indonesia. Namun demikian, dokumen ini masih memiliki potensi untuk perubahan.

Artinya masih ada area-area yang dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan, selain melihat dari arah

GCF itu sendiri.

Peran NDA yang kedua adalah, sebagai wadah untuk dilakukannya stakeholders consultation. NDA ini

dianggap sebagai perpanjangan tangan dari GCF, menjadi penghubung baik dari Pemerintah ke GCF

maupun GCF ke Pemerintah. Itu sebabnya, peran dari NDA menjadi kritikal, dalam rangka agar

Page 13: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

stakeholders di Indonesia dapat memahami dan mendapatkan informasi yang cukup dari NDA, baik dari

sisi Pemerintah, dari sisi CSO, atau dari sisi swasta.

NDA juga memiliki peran untuk mengeluarkan No-Objection Letter (NOL). Project yang diajukan bisa

pada skala komersial, namun, bisa juga program-program yang sifatnya lebih kepada community based.

Salah satu contoh, Kementerian Pertanian sudah mengajukan untuk petani atau pekebun kegiatan di

wilayah Indonesia Timur, untuk diajukan kepada GCF.

3.2 Akreditasi, pengajuan proposal, dan kriteria investasi GCF Akreditasi memungkinkan entitas-entitas yang terakreditasi untuk mengakses langsung pendanaan dari

GCF. Entitas terakreditasi bisa berupa perusahaan, maupun lembaga atau yayasan, yang memiliki track

record. Proses akreditasi meliputi beberapa tahapan: akreditasi tahap 1 merupakan tahap dimana

dilakukan completeness check. Tahap 2, merupakan tahapan dimana review dan keputusan dari Board

dilaksanakan. Tahap yang ketiga adalah legal arrangement.

Gambar 3 Tahapan proses akreditasi di GCF

Prosesnya sebenarnya sudah dimulai ketika aplikasi untuk akreditasi diterima oleh Sekretariat GCF.

Sekretariat GCF tidak akan menerima aplikasi tersebut, jika tidak ada persetujuan dari NDA negara

terkait. Bagi NDA di Indonesia, yang saat ini berada di Kementerian Keuangan, proses ini tidak dapat

dilakukan sendiri. Kementerian Keuangan membutuhkan kementerian dan lembaga terkait yang lain,

terutama untuk membantu mengkonfirmasikan atau pun menyampaikan, atau memasukkan input,

bahwa ini sebenarnya menjadi prioritas utama. Mandat yang juga didapatkan dari pimpinan di

Kementerian Keuangan adalah, agar semua proses terkait dapat berlangsung secara transparan. Itu

sebabnya, tidak mungkin bagi BKF untuk memberikan NOL untuk akreditasi bagi institusi tertentu saja.

Itu sebabnya penting untuk NDA dalam menyusun kriteria lembaga yang dapat diakreditasi. Kriteria ini

sedang dicoba untuk dikembangkan, dan nanti akan dilihat strukturnya ke depan.

Gambar 4 menggambarkan struktur dari akreditasi: termasuk track record institusi paling tidak 3 tahun

ke belakang, kemudian project size yang dipilih (mulai yang paling kecil USD 10 juta, sampai yang kelas A

itu yang sampai 250 juta).

Page 14: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Gambar 4 Persyaratan akreditasi GCF

Gambar 5 merupakan persyaratan terkait dengan fiduciary standards dan environmental and social

safeguards yang harus dipenuhi oleh entitas yang akan mengajukan akreditasi.

Gambar 5 Basic Fiduciary Standard dan Environmental and Social Safeguard (ESS)

Gambar 6 menunjukkan proses penerbitan NOL untuk pengajuan proposal. Pada awalnya diminta

concept note, namun yang paling dibutuhkan adalah proposal, sedangkan concept note bersifat

voluntary. Jika suatu entitas mengajukan proposal, maka proposal ini yang akan dikirimkan ke

Sekretariat GCF dan kemudian akan di-review oleh Independent Technical Advisory Panel (ITAP).

Berdasarkan rekomendasi dari ITAP, proposal ini kemudian akan di bawa ke Board untuk disetujui. Jika

Page 15: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

proposal tersebut disetujui, maka akan dilanjutkan dengan proses penyusunan business contract-nya,

sebagai bentuk legal arrangement-nya. Posisi NDA adalah pada tahap memberikan No-Objection Letter

(NOL).

Gambar 6 Proses pengajuan proposal kegiatan kepada GCF

Ada proses lainnya di dalam sebelum penyusunan proposal, yaitu pada saat masih menyusun concept

note. Contohnya adalah, saat ini ada satu lembaga internasional, yang mengajukan pendanaan dan

bermitra dengan salah satu K/L Indonesia, yang kemudian meminta letter of support dari NDA. NDA

dalam hal ini tidak memiliki kapasitas untuk memberikan letter of support, karena project tersebut

masih dalam proses inisiasi. NDA GCF menyatakan bahwa, jika pada waktu yang akan datang, akan ada

dari pihak kementerian lain, atau dari CSO dan NGO, yang ingin mengajukan proposal dan bekerja sama

dengan pihak internasional, sebaiknya pada tahap awal, pihak tersebut berkomunikasi dengan NDA dan

pihak-pihak terkait. Untuk beberapa lembaga asing yang membutuhkan letter of support sebagai bentuk

dukungan awal agar lembaga asing tersebut dapat beroperasi di Indonesia, maka yang seharusnya

memberikan itu adalah kementerian terkait, dengan siapa lembaga asing tersebut akan bermitra.

Page 16: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Gambar 7 Area-area pembiayaan GCF untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi

Gambar 7 adalah investment criteria yang ditetapkan oleh GCF. Pertimbangan pertama yang

diberlakukan terkait dengan investasi ini adalah dampak yang akan dihasilkan, selain dari memenuhi

prioritas negara.

Gambar 8 Readiness GCF untuk NDA Indonesia 2016

Page 17: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

3.3 Isu-isu yang muncul di dalam diskusi Beberapa pertanyaan yang muncul di dalam diskusi adalah:

1. Prioritas Pemerintah pada saat ini ada di area mana. Contohnya, bagi masyarakat yang tinggal di

pulau-pulau kecil, apakah masyarakat miskin yang tinggal di pulau-pulau kecil tersebut, yang terkena

dampak climate change, menjadi prioritas? Terutama karena kemampuan mereka mereka untuk

beradaptasi sangat rendah, dan ancaman kenaikan muka air laut memberikan dampak bagi mereka yang

tinggal di pulau-pulau kecil. Akses terhadap listrik bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil di

Indonesia juga menjadi masalah. Prioritas pemerintah terkait pendanaan memang tidak ada yang

spesifik. Kementerian Keuangan tidak dalam posisi untuk mengatakan bahwa pendanaan harus mengalir

ke project A atau project B. Selama kegiatan tersebut sudah masuk ke Bappenas, masuk ke prioritas

nasional, kemudian mengajukan proposal dan anggaran secara umum; jika itu sudah dipenuhi, maka

anggarannya sudah bisa di-approve. Mekanisme yang umumnya terjadi di dalam Pemerintah adalah

karena dana APBN terbatas, maka diberlakukan pagu indikatif, dan itu tidak mungkin untuk dirubah.

Kementerian Keuangan memiliki mekanisme yang disebut dengan budget tagging, termasuk di

dalamnya adalah isu tematik climate change dan lingkungan, mencakup adaptasi dan mitigasi. Ini juga

dapat dilihat oleh publik, di mana sistem penganggaran saat ini sangat transparan.

Tahun depan Kementerian Keuangan berencana untuk mencoba mekanisme budget tagging ini dengan

daerah. Namun kesulitannya dengan daerah adalah cara penganggaran daerah antar propinsi itu

berbeda, dinasnya juga beda. Dinas perkebunan dan kehutanan di satu propinsi bisa jadi pertanian dan

perkebunan di propinsi yang lain. Hal ini memiliki dampak bahwa pekerjaan yang ada kadang-kadang

tercampur satu sama yang lain.

2. Terkait dengan pendanaan dari Green Climate Fund (GCF). Green Climate Fund bisa diakses oleh

swasta dan juga oleh NGO yang ingin membangun kegiatan-kegiatan yang bersifat non-komersial. Dalam

konteks tersebut, apakah ada prioritas dari pemerintah untuk memastikan bahwa dana ini akan

digunakan untuk masyarakat yang disebutkan di atas?

Dana GCF ini sebenarnya sangat concern dengan prioritas pemerintah. Jadi, Pemerintah yang akan

menyusun apakah area tertentu menjadi area yang diinginkan oleh Indonesia atau tidak. Dalam

implementasinya, Pemerintah bisa memanfaatkan tetapi swasta juga bisa memanfaatkan. Di dalam

assessment proyek atau programmnya nanti bisa dilihat, apakah ada impact terhadap marginal group,

misalnya, atau tidak. Jika masyarakatnya ingin langsung mendapatkan dana ini, bisa dilakukan lewat

berbagai macam cara, namun tetap harus melalui accredited entities.

3. Jika pendanaan GCF memang tersedia untuk masyarakat, apakah lembaga masyarakat atau swasta

tersebut, ketika ingin mengakses pendanaan GCF ini, harus melalui kementerian tertentu dan apakah

harus sesuai dengan RPJMD? Sejauh mana kementerian dan pemda mengetahui mengenai keberadaan

GCF ini? Ini terkait dengan fakta bahwa Indonesia malah belum dapat mengakses dana GCF sama sekali,

apakah memang ada isu dengan Kementerian, dan juga terhadap Pemda? Bagaimana proses yang ada

dapat memastikan bahwa pelaku di lapangan, ikut terlibat. Apakah GCF bisa digunakan sebagai subsidi

Page 18: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

untuk anggaran yang disusun untuk penggunaan dana desa, mengingat banyak sekali desa yang

sebenarnya sangat membutuhkan program-program terkait dengan climate change ini.

Siapa pun sebenarnya boleh mengakses dana GCF, asalkan lembaga tersebut terakreditasi. Jadi, jika ada

satu lembaga swasta atau masyarakat yang ingin mengakses dana GCF, yang harus dilakukan pertama

kali adalah siapa yang akan menjadi mitranya, atau accredited entities yang mana. Indonesia masih

belum memiliki accredited entities1.

4. Apakah untuk kegiatan yang kecil-kecil misalnya seperti kegiatan mikro, apakah mungkin untuk

mendapatkan grant dalam bentuk loan?

Pendanaan GCF yang diakses, apakah itu dalam bentuk grant atau loan, akan sangat tergantung dengan

sifat alami project-nya. Kalau memang itu lebih kepada social programme, atau community

empowerment programme, grant merupakan instrumen yang lebih tepat dalam hal ini, bukan loan.

Pemda juga bisa ikut di dalam mengakses pendanaan ini. Misalnya, dalam kegiatan yang akan diajukan

oleh Kementerian Pertanian, mereka akan mengajak Pemda NTT, yang akan menggunakan BUMD dan

bank daerah-nya, sebagai alat untuk men-tap pendanaannya dengan cara melengkapi SOP

pendanaannya. Hal itu sangat memungkinkan, selama memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh

GCF.

5. Terkait dengan country programme atau country priorities untuk Indonesia yang diajukan kepada GCF.

Saat ini yang tertera di dalam country programme terkait dengan kategorisasi adaptasi, adalah kegiatan

adaptasi yang bisa memberikan co-benefit untuk kegiatan mitigasi. Sementara kebutuhan Indonesia

untuk kegiatan adaptasi bukanlah yang kegiatan adaptasi yang memberikan co-benefit terhadap

mitigasi. Apakah RAN API tidak menjadi satu arahan untuk penentuan country programme untuk

Indonesia, terutama untuk kategori adaptasi?

NDA GCF saat ini masih menerima masukan terkait dengan country programme, termasuk bagaimana

country programme harus inline dengan RPJMD, termasuk RAN API. Walaupun demikian, nantinya akan

ada kebijakan yang mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak. Ada prioritas terkait mana yang

harus masuk dulu dan mana yang tidak.

6. GCF memiliki target untuk tercapainya balance antara adaptasi dan mitigasi. Apakah GCF juga

memiliki target untuk balance melalui dana dari lembaga-lembaga multilateral lainnya, dan juga yang

dari National Implementing Entities? Bagaimana pun juga bagi negara-negara tertentu akan sulit sekali

untuk mendapatkan dana GCF melalui multilateral implementing entities. Kunci dari GCF adalah

mendapatkan akreditasi. Mengakses dana GCF harus lewat lembaga yang terakreditasi; lokal, nasional,

maupun internasional. Itu sebabnya, Indonesia sedang mengupayakan untuk mendapatkan akreditasi.

6. Bagaimana koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Perekonomian terkait dengan

TLFF (Tropical Landscape Finance Facility) dan bagaimana pelaksanaannya. Walaupun TLFF merupakan

1 Diskusi ini dilakukan sebelum GCF Board Meeting 15 dilakukan. Sehingga, status Indonesia pada saat itu belum

memiliki accredited entity.

Page 19: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

pendanaan yang berasal dari swasta untuk swasta, namun Sekretariat TLFF akan membutuhkan

dukungan dari Pemerintah.

Pendanaan TLFF dinilai masih belum jelas terkait dengan bagaimana mekanisme pendanaan yang akan

diberlakukan. Bagi Kementerian Keuangan, ini bukan masalah swasta memberikan pendanaan kepada

masyarakat kecil, namun lebih kepada peran intermediary yang ada, siapa yang akan tanggung jawab

kalau ada yang di-post dan siapa yang akan ditugaskan? Hal ini perlu untuk ditinjau kembali, agar tidak

menimbulkan konsekuensi pada pendanaan APBN di kemudian hari.

Page 20: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

4 Pendanaan perubahan iklim melalui Adaptation Fund (AF) Terkait dengan isu Adaptation Fund, KLHK masih dalam tahap awal untuk memulai NDA Adaptation

Fund. Sehingga, belum ada mekanisme seperti yang dimiliki oleh NDA untuk GCF di Indonesia. Statusnya

saat ini adalah KLHK berupaya untuk meneruskan apa yang menjadi tugas dari NDA AF ketika masih

ditangani oleh DNPI. Hal lainnya adalah saat ini Indonesia telah memiliki accredited entity untuk

Adaptation Fund, yaitu Kemitraan. Saat ini yang menjadi fokus dari KLHK adalah penyusunan RPP

mengenai instrumen ekonomi untuk lingkungan dan perubahan iklim. Terkait dengan Adaptation Fund

sendiri, NDA AF, KHLK, belum membuat semacam aturan baku untuk diterapkan di dalam negeri.

Indonesia sebenarnya telah mendapatkan pendanaan dari Adaptation Fund melalui WFP (World Food

Programme). Walau demikian, WFP ternyata mengalami down-sizing sehingga tidak dapat melanjutkan

proyek tersebut. Adaptation Fund memiliki ketentuan berupa cap senilai yang USD 10 juta, sedangkan

WFP telah mengajukan sekitar USD 6 juta, untuk kegiatan di Lombok.

Secara garis besar, mekanisme dari Adaptation Fund hampir sama dengan GCF, di mana sistem

menggunakan implementing entities untuk mengakses dana tersebut, menjadi keunikan tersendiri.

Kemitraan sebagai national implementing entities Indonesia untuk Adaptation Fund, akan mengajukan

proposal terkait dengan kegiatan-kegiatan adaptasi yang mungkin dilakukan di Indonesia. Saat ini,

Kemitraan sebenarnya sedang dalam proses pengajuan pendanaan tersebut.

Adaptasi sendiri memiliki cakupan yang luas di seluruh Indonesia. Jadi, memang perlu disusun

mekanismenya seperti apa. Prioritas memang sebaiknya mengacu pada RPJMN Indonesia, karena itu lah

yang menjadi arahan nasional untuk pembangunan nasional. KLHK mengharapkan tersedianya data iklim

nasional yang bisa dimanfaatkan, di mana Indonesia memprogramkan perencanaan pembangunan ke

depannya, berdasarkan apa yang memang dibutuhkan.

4.1 Isu-isu yang muncul di dalam diskusi Beberapa pertanyaan yang muncul di sesi ini adalah sebagai berikut:

1. Terkait dengan isu pendanaan perubahan iklim baik mitigasi maupun adaptasi, pasti akan selalu

terkait dengan Means of Implementation (MoI). Bagi negara-negara pemberi bantuan, sekaligus dalam

konteks transparency of action sebagaimana yang ada di dalam Paris Agreement, yang ingin dilihat

adalah hasil atau outcome atau result dari aksi-aksi mitigasi maupun adaptasi yang didukung tersebut.

Baik itu jumlah emisi yang diturunkan untuk mitigasi, atau pun tingkat kerentanan yang berkurang untuk

adaptasi. Apakah saat ini di KLHK sudah disiapkan instrumen untuk transparansi aksi mitigasi atau

adaptasi perubahan iklim, serta jenis MoI yang diberikan, baik pendanaan maupun peningkatan

kapasitas?

2. Adaptation Fund merupakan pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan

yang diarahkan kepada concrete projects, dan tidak diarahkan untuk kajian. Jadi sebenarnya untuk

menjawab kebutuhan negara berkembang agar dapat memiliki ketangguhan yang lebih cepat, itu

pertama. Kegiatan-kegiatan ini juga harus dilaksanakan bekerja sama dengan kementerian atau

Page 21: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

lembaga, tidak bisa pemerintah daerah. Tantangannya adalah untuk kegiatan adaptasi di satu daerah,

seringkali harus melibatkan kerja sama dengan beberapa kementerian.

3. Terkait dengan pusat informasi yang dapat menyampaikan dan meletakkan kemudian diukur dananya

berapa. Karena apa, karena korelasinya dengan apa yang diperjuangkan di internasional. Di tingkat

internasional, konteks yang digunakan selalu dalam MoI, salah satunya adalah pendanaan. Namun, yang

kita perlu ketahui adalah berapa banyak potensi pendanaan yang ada dan dapat menurunkan

kerentanan atau meningkatkan ketangguhan sampai berapa banyak? Hal ini menyebabkan urgensi

terkait dengan kebutuhan instrumen dan sistem yang tepat untuk hal ini. Bukan tidak mungkin ketika

dikumpulkan, ternyata dana yang tersedia atau dimintakan, ternyata melebihi dari yang dibutuhkan,

yang kemudian akan memicu munculnya masalah interest dan efisiensi. Adaptasi merupakan konsep

yang dibangun berdasarkan kerentanan, kajian kerentanan, kemudian sektor mana saja yang perlu

diprioritaskan. Pertanyaannya adalah apakah para pelaku adaptasi taat pada prinsip seperti itu?

4. Kemitraan saat ini telah mengirimkan concept note pada tanggal 1 Agustus 2016, yang kemudian

mendapatkan balasan dari Adaptation Fund. Proses yang harus dijalani diakui cukup panjang dan

complicated. Adaptation Fund memiliki format tersendiri untuk pengajuan concept note. Berdasarkan

submisi concept note yang telah dilakukan, Kemitraan kemudian mendapatkan feedback untuk

ditindaklanjuti. Kemitraan berencana untuk mengakses dana sekitar USD 4 juta, dengan mengambil

tema membangun ketangguhan di kota pesisir. Lokasi dari proyek yang akan diajukan adalah di Jawa

Tengah, tepatnya di Demak, Pekalongan dan Jepara. Proyek tersebut direncanakan untuk dimulai pada

Januari 2017, namun karena hingga bulan November 2016 concept note masih belum disetujui,

sedangkan untuk implementasi proyek diperlukan full proposal, maka ada kemungkinan proyek tersebut

diundur pelaksanaannya. Proyek ini direncanakan akan dilakukan dalam jangka waktu 36 bulan.

5. Terkait dengan isu pendanaan adaptasi perubahan iklim yang masih menjadi project-based, ternyata

memberikan dampak yang tidak baik pada keberlanjutan kegiatan. Adaptasi perubahan iklim juga

menyangkut gaya hidup dari orang-orang di mana kegiatan adaptasi tersebut dilakukan, yang

memerlukan waktu yang cukup lama yang seharusnya mendapatkan pendanaan yang bersifat multi-

year, dan bukan anggaran tahunan. Apakah apa mekanisme untuk proyek-proyek adaptasi ini tidak lagi

dibiayai secara tahunan, namun per lima tahun? Mungkin kah di dalam mekanisme tersebut untuk juga

melibatkan modal sosial di masyarakat dan juga kearifan lokal, sehingga masyarakat memiliki perspektif

yang berubah? Atau adakah cara lain untuk mendanai kegiatan-kegiatan adaptasi? Jika ada, bagaimana

caranya?

Berhadapan dengan upaya-upaya adaptasi perubahan iklim itu berbeda dengan upaya-upaya mitigasi

dan tidak bisa disamakan metodenya. Adaptasi akan lebih banyak pada masalah kemasyarakatan atau

penjangkauan orang. UNFCCC sendiri memberikan pendekatan bahwa adaptasi itu mencakup metode

untuk bertahan/survive dari orang atau sekelompok orang. Dengan memiliki perspektif seperti ini,

seharusnya sudah dapat diperhitungkan berapa kebutuhan pendanaan untuk adaptasi.

Terkait dengan sistem registry, KLHK telah menyusun sistem ini yang disebut dengan Sistem Registry

Nasional (SRN). Tujuan dari diluncurkannya SRN ini adalah untuk mengetahui, kira-kira upaya terkait

Page 22: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

perubahan iklim apa saja yang telah dilakukan, dan berapa dana yang sudah dikucurkan, baik untuk

kegiatan adaptasi maupun mitigasi, baik yang berasal dari APBD maupun dari APBN, atau pun dari dana

luar. SRN ini juga telah dikaitkan dengan public registry yang ada di UNFCCC. Ke depannya diharapkan

KLHK juga dapat memiliki basis yang kuat terkait dengan pencapaian dan juga upaya-upaya pendanaan.

Sistem ini juga memungkinkan untuk Indonesia dapat melihat gap yang muncul antara kebutuhan dan

pasokan dana.

Page 23: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

5 Pendanaan perubahan iklim dengan menggunakan mekanisme pasar Private sector dalam kaitannya dengan pendanaan perubahan iklim, bisa melakukan banyak hal. South

Pole di Swiss misalnya, mengelola dana pemerintah untuk loan guarantee dan credit guarantee. Bagi

private sector yang mau ekspansi, bisa mendapatkan bantuan perbankan, namun, mereka mendapatkan

jaminan dari Pemerintah untuk pinjaman mereka. Skema ini sudah dijalankan bertahun-tahun.

Di Indonesia, South Pole bekerja sama dengan investor, untuk investasi di energi sekitar 200 MW, senilai

kira-kira USD 500 juta. Pemerintah sama sekali tidak perlu berperan di sini. Dari investor tersebut akan

ada satu pihak yang bisa berpengaruh ke local community, karena investor tersebut bisa menyediakan

sebagian dari dividen, untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan lingkungan, sosial, dan lain

sebagainya. Jadi, komunitas yang berada di lokasi di mana project tersebut akan dibangun, akan

mendapatkan pendanaan yang cukup besar. Targetnya adalah dari seluruh project tersebut akan

tersedia pendanaan sekitar USD 25 juta/tahun. Pendanaan ini mungkin dapat digunakan untuk

menyelesaikan kesulitan keberlanjutan pendanaan yang dialami oleh masyarakat.

5.1 Mekanisme pasar Jika kita ingin mendapatkan gambaran terkait dengan hal-hal yang akan dilakukan untuk menurunkan

emisi gas rumah kaca atau untuk meng-address perubahan iklim, maka ada 4 pilihan yang tersedia.

Pertama adalah bahwa Pemerintah berinventasi secara langsung di infrastruktur, ada juga menerapkan

market based mechanism, atau juga mengeluarkan regulasi yang berhubungan dengan command and

control, dan ada juga yang sifatnya voluntary. Pada saat berbicara tentang market based mechanism,

yang dibicarakan sebenarnya adalah hal-hal yang terkait dengan emissions trading, perdagangan emisi,

dan juga pajak. Kalau di perdagangan emisi, ada yang menyangkut baseline dan credit serta cap and

trade. Sedangkan yang terkait dengan pajak karbon (carbon tax), terdapat pajak karbon yang dikenakan

pada konten karbon atau emisinya, atau pajak terkait dengan konten energi atau volumenya.

Per definisi, mekanisme pasar karbon sebenarnya sama dengan hukum supply dan demand, yang

menentukan jumlah dan harga dari satu komoditas yang ditawarkan di pasar. Selama ini terdapat 2

pendekatan pasar, pendekatan yang terkait dengan emisi, di mana kita bisa membatasi jumlah

emisinya, sehingga si pengemisi bisa membeli dan menjual ijin untuk menghasilkan emisi tersebut.

Dalam hal ini juga bisa jumlah emisi dibatasi atau bisa juga ditentukan berapa biaya yang bisa

dibayarkan oleh penghasil emisi pada saat mereka mengemisikan, yang biasanya akan dikaitkan dengan

pajaknya. Keduanya memiliki kesamaan, di mana terdapat harga emisi.

Ada juga mekanisme yang merupakan hybrid antara keduanya, di mana mekanisme tersebut dapat

dikategorikan sebagai carbon trade, dengan menetapkan ceiling price, maximum price, harga maksimum

yang diijinkan untuk mendapatkan ijin tambahan, atau harga dasar yang bisa digunakan oleh si pembeli

ijin untuk membeli. Ini bisa dilakukan seperti di penggunaan listri, di mana pada jam-jam tertentu, harga

listrik bisa dinaikkan, atau kita menggunakan mengkonsumsi listrik misalnya berapa kWh per bulan.

Model-model seperti ini bisa diberlakukan di sini.

Page 24: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Pada dasarnya semuanya akan ditentukan dari bagaimana menentukan harga dasar yang akan

ditetapkan untuk satu komoditas, dalam hal ini ijin emisi. Harga dasar dapat ditentukan agak tinggi pada

saat jumlah ijin untuk mengemisikan tersebut rendah. Jika harganya tinggi, maka orang akan dituntut

untuk bekerja dengan lebih efisien. Hal ini memungkinka orang untuk berbuat lebih banyak untuk

menurunkan emisinya, karena memiliki potential saving.

Terkait dengan di mana pajak emisi akan diberlakukan, maka upstream dan downstream akan menjadi

pertanyaan. Apakah pajak emisi akan ditetapkan di hulu, seperti apa pajak tersebut akan diterapkan?

Jika pajak diterapkan di hulu, maka harga produksi akan semakin tinggi, sehingga orang akan terdorong

untuk melakukan produksi dengan lebih efisien.

Jika pajak emisi diterapkan di downstream, maka pajak emisi tersebut akan diterapkan di tingkat

pengguna. Eropa misalnya memiliki pajak karbon untuk kendaraan, bahan bakar. Di beberapa negara,

revenue yang didapatkan dari pajak atau pun untuk carbon market, biasanya digunakan untuk berbagai

hal yang terkait dengan upaya mitigasi emisi. Swiss memiliki mekanisme yang disebut dengan

Klimarappen. Klimarappen menerapkan bahwa dari setiap penjualan 1 L bensin, akan dipungut 1

rappen, yang senilai dengan 1 sen. Uang ini digunakan untuk membeli carbon credit untuk membantu

pengurangan emisi. Jadi, revenue dapat digunakan untuk berbagai hal yang terkait dengan penurunan

emisi. Di Indonesia, mekanisme yang serupa adalah adanya pungutan untuk sawit, untuk CPO, yang

dikembalikan ke sektornya.

Hal-hal yang terpenting mengenai mekanisme pasar adalah keberadaan beberapa hal berikut ini,

sehingga pasarnya dapat bekerja dengan baik dan bisa memberikan integritas ekonomi dan lingkungan.

Hal-hal tersebut adalah segala sesuatu yang memungkinkan untuk dilakukannya pengukuran,

measurement dan monitoring. Measurement harus dapat bekerja dengan baik. Kemudian ada

transparency. Menyertai komponen measurement, harus juga melibatkan verifikasi, akuntabilitas,

fungibilitas, kemudian ada juga konsistensi. Sehingga, saat berbicara mengenai EU ETS di Eropa, maka

hal-hal tersebut sudah dibuat dengan aturan yang jelas, akuntabel, dan juga konsisten di dalam

penerapannya. Hal ini sangat dipentingkan saat berbicara mengenai mekanisme pasar. Pada akhirnya,

yang ingin dipastikan oleh orang lain terkait dengan pasar karbon adalah orang ingin melihat bahwa jika

yang dibeli adalah 1 ton karbon, maka emisi yang diturunkan juga sebesar 1 ton karbon.

Page 25: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Gambar 9 Aliran rantai produksi yang memungkinkan untuk penerapan pajak karbon

Mengambil contoh tentang Pasal 7 di UU No. 30 tahun 2007,di mana disebutkan bahwa harga energi

disesuaikan dengan harga keekonomian, di mana poin pentingnya adalah bagaimana harga energi harus

merefleksikan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan biaya konservasi energi . Di sisi lain,

di PP 79/2004 pasal 20, harus bersaing dengan harga energi dan sumber energi yang berlaku di satu

wilayah. Poinnya disini adalah jika RPP tersebut sudah berjalan dengan baik, dan terdapat klausul atau

pasal yang memperbolehkan pajak karbon atau carbon pricing, maka hal ini akan dapat diterapkan di

sektor energi, sehingga di perpajakan, terdapat konten untuk pasokan energi.

Beberapa waktu yang lalu, Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said,

mengumumkan untuk mengambil sebagian dari hasil penjualan minyak untuk dana ketahanan energi,

sebenarnya memiliki tujuan untuk menerapkan prinsip polluters pay principles, di mana semakin besar

seseorang menggunakan energi fosil, maka semakin besar pula kontribusinya untuk upaya-upaya

penanganan emisi.

Page 26: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Gambar 10 Cakupan gas rumah kaca di berbagai Emission Trading Scheme

Gambar 10 menunjukkan berbagai emisi yang tercakup di berbagai pasar tersebut. Jika diperhatikan,

maka sebenarnya ini merupakan contoh dari berbagai macam pasar karbon yang ada, yang sudah

befungsi dengan baik di negara-negara ini, kemudian ada juga yang sedang direncanakan, misalnya

untuk Cina secara keseluruhan (nasional). Sayangnya, Indonesia belum mencapai titik tersebut.

Selama ini terdapat dua pasar karbon yang sering dibicarakan orang, yaitu: CDM dan EU ETS. CDM pada

awalnya di tahun 2004, banyak dibicarakan hingga beberapa proyek kemudian menjadi proyek CDM,

yang kemudian berkembang hingga tahun 2012, dan mengalami puncaknya. Paska tahun 2012, jumlah

project yang masuk ke mekanisme ini turun secara drastis. Hal ini disebabkan karena CDM adalah

mekanisme yang sangat rigid, sangat kaku. Sehingga membuat orang enggan untuk mengajukan project.

Jikalau mereka memutuskan untuk investasi di project CDM, mereka akan enggan untuk menyisihkan

waktu tambahan sekedar untuk melakukan validasi dan verifikasi. Terutama pada saat harga karbon

sudah mulai menurun. Kemudian, pada kenyataannya, untuk proyek-proyek CDM yang terkait dengan

methan, banyak sekali project-project CDM yang kemudian under-perform.

Penyebab lainnya dari murungnya pasar untuk CDM adalah, ketika EU menyatakan keurungannya untuk

menerima CER dari negara berkembang, kecuali dari LDC. Hal ini disebabkan karena EU melihat bahwa

CDM telah memberikan efek pasar yang baik, terutama dari return-nya.

Sampai sekarang yang menjadi masalah untuk CDM itu adalah pasarnya yang terbatas. Negara di luar EU

tidak pernah mau menerima CER. Jika dibandingkan dengan EU ETS di Eropa, EU ETS dibagi hingga 3

fase. Fase pertama itu sampai tahun 2007, kemudian 2008-2012, lalu yang ketiga dari 2013-2020. Di fase

pertama itu, carry forward tidak diperbolehkan. Jika mereka sudah mendapatkan ijin di fase pertama,

maka kelebihan ijin tersebut tidak boleh digunakan di fase kedua. Inilah yang menyebabkan harga

allowance menjadi hampir nol, di akhir fase pertama. Hal ini sebenarnya bukan merupakan masalah,

Page 27: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

karena pada awalnya, pasar ini juga memulai dari harga nol, karena sebagian besar diberikan gratis oleh

Pemerintah EU.

Pada saat carry forward diperbolehkan di fase kedua dan ketiga, banyak sekali yang menyimpan

kelebihan allowance, untuk digunakan di fase berikutnya. EU pada saat itu juga masih menerbitkan ijin-

ijin baru, sehingga over-supply di pasar pun menjadi tidak terhindarkan. Akibatnya, harga allowance

untuk EU menjadi sangat rendah, yang awalnya mencapai EUR 30, saat ini berada di tataran EUR 6-8.

Penurunan harga ini membuat perusahaan menjadi tidak terlalu kreatif lagi untuk berinvestasi di

teknologi. Berbeda ketika harga allowance-nya masih EUR 30, ada dana yang cukup besar untuk

berinvestasi. Dampak lainnya dari over-supply ini menyebabkan EU menyatakan bahwa mereka tidak

lagi memerlukan CER di fase ketiga, kecuali tadi dari LDC. Ini pun dikarenakan EU ingin membantu

negara-negara dari LDC, bukan karena mereka membutuhkan CER. Pengalaman ini jelas menunjukkan

bahwa tidak ada yang namanya supply-control mechanism di pasar, sehingga terjadi over-supply yang

berimplikasi pada penurunan harga CER.

Gambar 11 Harga CER pada periode 2005-2014 di pasar EU ETS

Pada fase-fase pertama EU ETS, harga CER tercatat sangat tinggi hingga mencapai EUR 30. Namun, di

tahun 2007, harganya menjadi nol. Awal-awal tahun 2008 juga harga CER masih rendah sekali, namun

setelah itu, harga CER meningkat sangat tinggi, kemudian nol lagi.

Page 28: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Tahun 2012 merupakan tahun di mana harga CER sangat rendah, sehingga tidak lagi feasible untuk

melakukan investasi, dengan model carbon credit yang digunakan. Walaupun demikian ada beberapa

fasilitas khusus yang disediakan oleh beberapa bank pembangunan, yang bisa memberikan harga yang

bagus untuk carbon credit. Baru-baru ini misalnya ada pilot action untuk Metana, yang dimotori oleh

Bank Dunia, di mana pembelian carbon credit atau penurunan emisi dari Metana, yang terverifikasi,

masih dilakukan dengan harga EUR 3.4. Hal yang sama juga dilakukan untuk N2O, lalu ada juga negara-

negara Nordic yang membeli CER dengan harga EUR 4.

Di periode tahun 2007-2010, terdapat pergerakan harga antara minyak, karbon dan batubara. Ketika

kebutuhan fossil fuel itu tinggi, sehingga ekonominya berjalan dengan baik, maka harga karbon juga

akan menjadi lebih baik, sehingga mereka membutuhkan ijin atau CER lebih banyak untuk meng-offset

emisi mereka. Pola ini berlaku sampai sekitar tahun 2011; namun setelah itu, pola ini jadi berantakan.

Gambar 12 Perbandingan harga karbon-minyak-batu bara

Market stability reserve tidak pernah ada di EU ETS. Market stability reserve ini dapat mengerem upaya

penerbitan allowance atau mengerem upaya pembelian allowance dari pasar, jika diketahui jumlah

allowance terlalu banyak di pasar. Market stability reserve saat ini belum ada, dan rencananya baru akan

mulai diimplementasikan di tahun 2021. Itu sebabnya, sampai dengan saat ini, harga karbon baru ada di

kisaran EUR 6 atau EUR 7. Jika market stability reserve sudah diimplementasikan, maka harga karbon

seharusnya sudah bisa naik lagi, karena sudah bisa membatasi supply dari carbon credit atau allowance

yang ada di pasar.

Page 29: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Gambar 13 Market stability reserve

Bagaimana mekanisme pasar bisa berpengaruh pada pemenuhan target emisi? Jika melihat pola

penurunan emisi di Eropa, maka yang digambarkan pada Gambar 14 adalah historical emission yang

berdasarkan EU ETS yang telah mereka implementasikan. Bidang yang berwarna hijau adalah emisi yang

di-cover di EU ETS, sedangkan yang di atasnya tidak. Ini adalah limit atau cap yang diberikan oleh pasar.

Jadi ke depannya diharapkan targetnya akan seperti ini, dan kecenderungannya menurun, sehingga

emisi akan berkurang sampai di tahun 2025. Di tahun 2025 emisi akan berkurang hingga 1.1% dan

setelah itu di atas 2%.

Page 30: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Gambar 14 Peran mekanisme pasar untuk memenuhi target emisi

Seandainya ada perusahaan dengan mekanisme pasar yang berfungsi dengan baik, dengan harga yang

baik, pasti akan banyak perusahaan yang berupaya untuk tidak mencapai cap ini, karena mereka bisa

mendapatkan insentif akibat dari harga CER yang bagus. Kalau misalnya harga tidak terlalu bagus, maka

mereka hanya akan berupaya untuk memastikan harga emisinya ada di cap ini. Tidak ada insentif bagi

mereka untuk berbuat lebih baik lagi.

Harga yang baik bisa mendorong tercapainya penurunan emisi di bawah cap ini. Keberadaan market

stability reserve memungkinkan untuk pengaturan sedemikian rupa, di mana pada saat pasokan

berlimpah di pasar, maka pasokan akan dikurangi, dan yang ada di pasar akan di ambil sebagian. Ini

tentunya akan mendorong harga CER untuk naik. Ini juga menjadi satu pembelajaran penting, jika

Indonesia mau membuat pasar karbon domestik ke depannya.

Artikel 6 dari Paris Agreement membuka kesempatan untuk voluntary cooperation, antara dua atau tiga

pihak, untuk kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi, dengan rekoknisi dari CMA. Kerja sama seperti ini

diharapkan dapat mendorong negara-negara Pihak untuk mencapai target NDC yang lebih ambisius.

Poin yang penting di artikel ini adalah masalah environmental integrity dan sustainable development.

Pertanyaannya adalah, jika Indonesia ingin mendapatkan manfaat dari mekanisme pasar ini, apa yang

harus kita lakukan?

Pertama, Indonesia harus benar-benar meningkatkan kapasitas internal Indonesia. Inisiatif seperti SRN

itu harus dilihat dengan lebih mendalam lagi mengenai apa yang terdapat di dalamnya. Apakah

banyaknya CO2 harus dilihat lebih rinci lagi agar dapat di-clain sebagai penurunan emisi dari Indonesia?

Selain itu berapa banyak yang masih mungkin diperjualbelikan baik melalui mekanisme VCS, CER, atau

mekanisme lainnya. Berapa yang bisa kita dapat dari JCM, berapa dari REDD+ dan lain sebagainya.

Page 31: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Kedua, di PP yang terkait denagn retribusi di sektor kehutanan, diwajibkan untuk membayar 10% dari

pembayaran karbon. Belum ada mekanisme yang memungkinkan untuk mengetahui apakah karbon

tersebut sudah dibayar atau tidak, karena memang tidak dilaporkan. Seharusnya, SRN dapat

memberikan informasi berapa banyak karbon asset yang dimiliki oleh Indonesia dan berapa banyak yang

bisa di-transfer ke cooperative partners, dan berapa yang bisa digunakan untuk memenuhi kewajiban

untuk NDCs. Untuk itu, diharapkan bahwa nantinya akan ada satu unit yang kuat, apakah itu merupakan

institusi yang sudah ada, apakah itu nanti di KLHK atau di institusi lainnya, yang bisa melakukan

monitoring. Untuk Indonesia bisa memanfaatkan pasar karbon yang baru, Indonesia harus benar-benar

memiliki sistem MRV yang kuat, sistem registry-nya, juga mekanisme pasarnya.

Unit yang akan melakukan monitoring ini, juga harus bisa memastikan bahwa mitigation outcome yang

dilaporkan benar-benar dapat diverifikasi menggunakan metodologi yang baku, dan bukannya

menggunakan metodologi yang tidak baku. Saat berbicara mengenai penurunan emisi, harus diingat

bahwa itu adalah project specific dan location specific, sehingga tidak bisa digeneralisir.

Hal lainnya yang juga harus diperhatikan adalah apa yang berlaku di pasar global, skema global saat ini.

Contohnya ICAO, yang sudah setuju untuk menggunakan market based mechanism. Artinya adalah perlu

untuk melihat project apa yang eligible yang tepat untuk kerangka ini.

Gambar 15 MRV dan Registry sebagai key issues

Di sektor energi, telah ada target untuk menaikkan komposisi energi terbarukan menjadi 23% di tahun

2025. Ini sebenarnya merupakan masalah tersendiri bagi Indonesia, karena harus dicapai dalam waktu

sekitar 10 tahun ke depan, dan ini tidak mungkin kalau hanya menggunakan apa yang sudah dilakukan

hingga saat ini.

Page 32: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

Indonesia sebenarnya dapat mendorong apa yang disebut dengan aggressive policy. Contohnya adalah

ada draft PP yang bisa memasukkan pasal tentang kewajiban dari perusahaan yang menggunakan energi

fosil untuk mengembangkan energi terbarukan. Jadi diharapkan, jika target energi terbarukan di tahun

2025 adalah 23%, maka logikanya adalah perusahaan tersebut juga harus berkontribusi untuk

melakukan sebesar itu. Jika mereka tidak dapat melakukan hal itu, maka perusahaan tersebut dapat

dikenakan pajak, atau diwajibkan untuk membeli REC (Renewable Energy Certificate). Jadi perusahaan-

perusahaan yang sudah mengembangkan energi terbarukan, dapat memproduksi REC dan ini dapat

menjadi insentif untuk mengembangkan energi terbarukan yang lain. Hal ini akan mendorong sektor

energi terbarukan untuk membangun lebih banyak energi terbarukan, sehingga penurunan emisi juga

bisa dicapai dengan baik.

5.2 Isu-isu yang muncul di dalam diskusi Beberapa pertanyaan yang muncul di dalam diskusi ini adalah:

1. Terkait dengan instrumen yang dapat digunakan untuk mencapai target NDC, dan apakah emisi akan

turun hanya dari proyek pemerintah saja atau secara economy wide. Pendekatan yang digunakan oleh

NDC Indonesia adalah economy-wide target. Hal ini berarti bahwa sektor-sektor ekonominya yang harus

berkontribusi, bukan hanya proyek-proyek APBN dan APBD.

2. Terkait dengan sistem registry yang terintegrasi, hal ini sebenarnya mengenai kaitan antara proyek

yang bisa di-registry, yang bisa dihitung, dan ini bukan hanya mencakup emisi dari proyek-proyek

pemerintah tapi seluruh project yang terkait dengan non-state actors.

Hal yang juga menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa melakukan registry dan monitoring program

yang ada di masyarakat. Misalnya, dalam program ekonomi yang dilakukan oleh World Vision Indonesia

(WVI) ada yang disebut sebagai local value chain development dan juga market for the poor, di mana

bargaining power petani dapat ditingkatkan dengan mengumpulkan mereka, menyamakan standard

produksi, sehingga mereka bisa memiliki standard yang lebih tinggi lagi. Atau, bagaimana dengan

kelompok-kelompok petani untuk sustainable agriculture saja contohnya, yang sudah bisa mengurangi

emisi. Apakah mungkin bagi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pengurangan emisi, mereka

juga bisa membeli dari petani? Kemudian, terkait dengan konversi minyak tanah ke LPG, apakah itu tidak

dapat di-claim?

Untuk kegiatan yang melibatkan kegiatan-kegiatan atau kelompok-kelompok kecil, maka di CDM ada

yang namanya PoA, Programmes of Activities. Tujuan dari skema ini adalah untuk mengadopsi project-

project kecil yang dilakukan oleh masyarakat.

Terkait dengan konversi minyak tanah ke LPG, kegiatan ini memang tidak tercantum di RAN GRK.

Perhitungan emisi yang dapat dikurangi melalui kegiatan ini adalah dari 40 juta ton, hingga 160 juta ton,

jika program ini diteruskan. Angka ini jauh melampaui target di sektor energi, sehingga kemudian

Kementerian Keuangan melaporkan ke Bappenas dan KLHK, yang akan mempertimbangkan kegiatan ini

untuk masuk di revisi RAN GRK.

Page 33: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

3. Sejauh manakah potensi Indonesia untuk pasar atau tax? Jika pilihannya adalah pasar, apakah

transaction cost untuk market monitoring tidak akan menjadi sangat besar? Apabila menerapkan pajak

langsung, maka uangnya bisa masuk ke pool of fund yang dapat dikontrol?

Penentuan pilihan di sini akan sangat tergantung tujuannya. Jika pemerintah memiliki target untuk

mengumpulkan uang, sehingga uang tersebut akan digunakan untuk kegiatan itu, maka Pemerintah

sebaiknya memilih tax. Namun, jika pemerintah memiliki tujuan untuk mendorong bisnis supaya bisa

perform dengan baik, maka Pemerintah akan mendorong pasar karbon, yang sifatnya Business to

Business.

4. Apakah mungkin untuk menerapkan konsep pasar ini untuk adaptasi?

Kemudian, apakah bisa di adaptasi. Ini sebenarnya menjadi pertanyaan menarik. Kita sebenarnya pernah

membuat corat-coret, dengan Pak Medril kalau tidak salah waktu itu, gimana kita bisa membuatnya

sesuai dengan adaptasi. Kalau kita misalnya menggambarkan satu kawasan, kita bisa melihat misalnya

mencoba untuk menghitung tingkat kerawanan daerah tersebut, dan implikasinya ke private sector di

sana. Jadi, berdasarkan data itu sebenarnya, berdasarkan hasil perhitungan itu, kita bisa mendorong

market based adaptation di sana. Tapi harus kita design sedemikian rupa supaya si private sector itu

membeli kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat atau katakanlah oleh komunitas atau siapa pun

berdasarkan tingkat vulnerability dari masing-masing perusahaan itu. Ini bisa juga kita coba untuk

diskusikan.

5. Jika Indonesia ingin menggunakan mekanisme pasar dalam pencapaian NDC, apa yang menjadi

langkah pertama yang harus dilakukan?

Langkah pertama untuk dapat menggunakan mekanisme pasar dalam pencapaian NDC terletak di RPP

instrumen ekonomi yang saat ini sedang disusun. RPP tersebut menyebutkan bahwa dimungkinkan

untuk menerapkan pasar karbon. Bisa jadi sebenarnya Indonesia membutuhkan Undang-Undang khusus

untuk Perubahan Iklim. Karena kalau untuk pasar karbon, tidak didukung dengan kewajiban untuk

menurunkan emisi, maka hal tersebut akan sulit untuk dicapat. Penurunan emisi tidak bisa hanya

didukung oleh regulasi di tingkat PerMen. RPP juga tidak kuat, karena tidak memiliki regulasi di atasnya

yang menyebutkan bahwa satu pihak harus menurunkan emisi, demikian pula dengan UU No. 32. Ini jika

tujuan penggunaan pendekatan pasar untuk mencapai target NDC, namun, jika menggunakan

mekanisme pasar yang bersifat voluntary, RPP pun cukup. Namun, jika sifatnya mandatory, maka yang

pertama yang harus dilakukan adalah menyusun UU Perubahan Iklim.

Jika Indonesia menginginkan untuk menggunakan mekanisme pasar dalam pencapaian NDC, maka UU

Perubahan Iklim harus selesai dalam waktu 2 tahun, agar dapat memberikan cukup waktu untuk dapat

men-design carbon market sebagai bagian dari strategi pencapaian NDC. Ini juga yang seharusnya

menjadi inisiatif DPR.

6. Terkait dengan analisis resiko iklim yang berbasis ilmiah, pada umumnya tidak pernah

mengkaitkannya dengan valuasi nilai ekonomi. Tantangannya adalah ketika mencoba untuk

dikonversikan ke nilai-nilai ekonomi yang bisa dibeli oleh sektor swasta itu, ditemukan bahwa akan ada

Page 34: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

banyak nilai-nilai yang hilang. Jika diterapkan dengan ekosistem services, juga sulit, karena ada

perubahan peranan ekosistem setempat. Sedangkan ketika melakukan evaluasi, maka yang akan

dilakukan adalah melakukan evaluasi terutama yang ada hubungannya dengan perubahan ekosistem

setempat, di mana ada jasa-jasa ekosistem yang hilang. Bagaimana caranya mengembangkan analisis

tersebut, tanpa mengubah nilai sosial, kultural, monetizing itu, tidak terjadi reduksi nilai ekosistem itu

sendiri.

Saat ini South Pole sedang mengembangkan satu program untuk satu perusahaan asuransi. Ketertarikan

mereka itu sebenarnya untuk membantu untuk banjir di Jakarta, terutama di sungai Ciliwung.

Perusahaan asuransi ini tertarik untuk melakukan hal ini, karena nantinya akan berhubungan dengan

masalah pembayaran claim nantinya. Perusahaan asuransi tersebut sedang mencoba untuk melihat

peluang apakah mereka bisa membantu untuk mengurangi potensi terjadinya banjir yang sifatnya

kegiatan adaptasi, atau tidak. Hal ini berarti bahwa claim yang akan diterima oleh perusahaan asuransi

tersebut akan berkurang. Yang artinya adalah perusahaan asuransi tersebut meningkatkan

ketahanan/ketangguhan, melalui pembayaran premi yang terkumpulkan setiap bulan.

Page 35: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

6 Penutup Diskusi ditutup dengan beberapa isu yang dapat ditindaklanjuti pembahasannya, yaitu:

1. Kemungkinan untuk Indonesia menyusun UU Perubahan Iklim

2. Menggali isu pasar karbon lebih dalam

3. Instrumen-instrumen pembiayaan untuk adaptasi

4. Sistem Registry di Indonesia

Ada ekspektasi yang menyatakan bahwa negosiasi internasional saat ini mungkin belum terlalu penting

dibandingkan dengan implementasi di dalam negeri. Memang masih ada banyak aspek yang perlu

diperbaiki, atau building block-nya belum lengkap. Beberapa building block-nya yang telah teridentifikasi

di antaranya adalah, perlunya regulasi setingkat UU, instrumen regulasi, ada institusinya, mekanisme,

yang hanya dapat dikembangkan dalam waktu singkat. Politik anggaran menjadi penting, sistem

anggaran, dan penganggaran harus berubah dengan adanya Paris Agreement. Masih ada waktu 3 tahun

dengan pemerintah sekarang, untuk meletakkan fondasi yang kokoh agar Indonesia siap

mengimplementasikan Paris Agreement di tahun 2020.

Page 36: Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan ...

7 Rujukan Dr. Syurkani Ishak Kasim. NDA GCF Indonesia - Mendukung Aksi Adaptation Mitigasi RI. Disampaikan

pada dialog publik IESR untuk COP 22, 31 Oktober 2016.

Paul Butarbutar. Market mechanism to address climate change. Disampaikan pada dialog publik IESR

untuk COP 22, 31 Oktober 2016.