UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA NOVEMBER …
Transcript of UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA NOVEMBER …
1
LAPORAN AKHIR
PELAKSANAAN PENELITIAN DESENTRALISASI
SKIM DISERTASI DOKTOR
TAHUN ANGGARAN 2016
PENERAPAN TEKNIK MOLINA & ALBIR DALAM
PENERJEMAHAN TEKS MANTERA JAMUAN LAUT
DARI BAHASA MELAYU KE DALAM BAHASA INGGRIS
Tahun ke-1 dariRencana 1 Tahun
DewiKesumaNasution, SS., M.Hum
NIDN 0106087603
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
NOVEMBER 2016
2
LAPORAN PENGGUNAAN DANA PENELITIAN
TAHAP II (100%)
SKIM DISERTASI DOKTOR
TAHUN ANGGARAN 2015
PENERAPAN TEKNIK MOLINA & ALBIR DALAM
PENERJEMAHAN TEKS MANTERA JAMUAN LAUT
DARI BAHASA MELAYU KE DALAM BAHASA INGGRIS
Tahun ke-1 dariRencana 1 Tahun
DewiKesumaNasution, SS., M.Hum
NIDN 0106087603
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
NOVEMBER 201
3
4
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknik yang tepat untuk
menerjemahkanteks Mantera Jamuan Laut dari bahasa Melayu ke dalam Bahasa
Inggris.Sumber data penelitian ini adalah teks mantera jamuan laut, sedangkan data
penelitian adalah hasil terjemahan yang dilakukan oleh beberapa dosen di universitas
yang berbeda (para akademisi) dan penerjemah lepas (para praktisi) yang
menerjemahkan teks mantera jamuan laut dari bahasa Melayu ke bahasa Inggris.Metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Penelitian ini direncanakan hanya satu tahun dengan empat tahapan penelitian.
Tahap I, penelitian pendahuluan berupa pematangan persiapan dengan cara mempelajari
teks mantera jamuan lautsebagai teks sumber serta membaca referensi-referensi yang
berhubungan dengan teknik penerjemahan Molina &Albir yang akan diterapkan dalam
penerjemahan terks tersebut, sudah selesai dikerjakan. Tahap II, pengumpulan data
dengan caramenerjemahkan teks mantera jamuan laut dari bahasa Melayu ke bahasa
Inggris yang dilakukan oleh para akademisi dan para praktisi, sudah selesai dikerjakan.
Tahap III, menganalisis data dengan memahami ko-teks, teks, dan konteks untuk
merumuskan teknik penerjemahan Molina & Albir apa saja yang diterapkan dalam
penerjemahan teks mantera jamuan laut dari bahasa Melayu ke bahasa Inggris, sedang
dikerjakan. Tahap IV, menemukan teknik penerjemahan yang tepat untuk
menerjemahkan teks budaya; teks mantera jamuan laut dalam bahasa Melayu ke dalam
bahasa Inggris, belum dikerjakan.
Keywords: Terjemahan, Penerjemahan, Teks Mantera Jamuan Laut, Teknik
Penerjemahan
5
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun laporan
kemajuan pelaksanaan penelitian desentralisasi skim doktor tahun anggaran 2016.
Laporan kemajuan pelaksanaan penelitian desentralisasi skim doctor ini dibuat sebagai
salah satu bentuk pertanggungjawaban karena penelitian ini didanai oleh DIPA
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Ristek dan Teknologi. Penelitian ini
sedang berlangsung dan nantinya akan dilengkapi dengan laporan akhir pada akhir tahun
penelitian.
Ucapan terima kasih dihaturkan kepada Ditlitabmas Dirjen Dikti sebagai
penyandang dana penelitian ini,Koordinator Kopertis Wilayah I, Rektor Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara, Ketua Lembaga Penelitian UMSU dan Dekan FKIP
UMSU selaku pimpinan tempat penulis bertugas. Ucapan terima kasih juga dihaturkan
kepada ibu Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D., bapak Prof. Dr. Syahron Lubis,
M.A. dan ibu Dr. Nurlela, M.Hum., selaku promotor dan co-promotor penulis pada
program doktor ilmu linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam tahap penyelesaian
penelitian ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada masyarakat Melayu
Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara serta pihak-pihak
lain yang turut membantu kelancaran penelitian ini. Penulis menyadari bahwa laporan
kemajuan pelaksanaan penelitian ini masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Atas kritik dan saran yang
diberikan, penulis ucapkan terima kasih.
Medan, 15 November 2016
Penulis
6
DAFTAR ISI
RINGKASAN …………………………………………………………... i
PRAKATA .......………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN..………………………………………….….. 1
1.1 Latar Belakang.………...…………………………………………..….. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……..……………………………….. 6
2.1 Penerjemahan ………………………………………………………… 6
2.2 Hubungan Penerjemahan dan Kebudayaan ………………………….. 6
2.3 Teknik Penerjemahan Molina & Albir …….……..…………………... 8
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN........................... 16
3.1 Tujuan Penelitian.................................................................................... 16
3.2 Manfaat Penelitian.................................................................................. 16
BAB IV METODE PENELITIAN..……………………………………. 17
4.1 Lokasi Sumber Data Penelitian ……………………………………….. 17
4.2 Paradigma dan Model Penelitian ……………………………………… 17
4.3 Sumber Data dan Data Penelitian …………………………………….. 19
4.4 Teknik Pengumpulan Data ....………………………………………... 19
4.5 Teknik Analisis Data ………………………………………………….. 20
4.6 Pengecekan Keabsahan Data ………………………………………….. 20
BAB V HASIL YANG DICAPAI........................……………………...... 21
5.1 Teknik Penerjemahan Molina & Albir .……………………………....... 21
5.1.1 Teknik Peminjaman Murni ………………………………………….. 22
5.1.2 Teknik Adaptasi ……………………………………...........………… 25
5.1.3 Teknik Penerjemahan Harfiah………………..……………………… 27
5.1.4 Teknik Padanan Lazim........... ……………………………………….. 29
5.1.5 Teknik Kalke........... …………………………………………………. 32
5.1.6 Teknik Kreasi Diskursif..... ………………………………………….. 34
5.1.7 Teknik Reduksi... ……………………………………………………. 36
7
5.1.8 Teknik Partikularisasi............................................................................ 38
5.1.9 Teknik Amplifikasi................................................................................ 39
5.1.10 Teknik Modulasi.................................................................................. 41
5.1.11 Teknik Deskripsi.................................................................................. 42
BAB VI Model Penerjemahan Teks Mantera Jamuan Laut.................... 43
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN......................................................... 44
7.1 Simpulan................................................................................................... 44
7.2 Saran......................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 45
8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penerjemahan adalah upaya untuk mengungkapkan (kembali) pesan yang
terkandung dalam teks suatu bahasa atau teks sumber ke dalam bentuk teks dalam bahasa
lain atau teks sasaran. Nida dan Taber (1969:22) menggambarkan penerjemahan sebagai
suatu proses komunikasi. Penerjemah berdiri diantara dua bahasa dimana ia menjadi
penerima bahasa sumber dan kemudian menjadi pengirim dalam bahasa sasaran.
Proses penerjemahan sendiri bukan merupakan hal yang mudah, karena seorang
penerjemah harus dapat menyampaikan makna secara keseluruhan kepada pembaca yang
memiliki budaya yang berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa seorang penerjemah
mempunyai peranan yang sangat penting dalam komunikasi interlingual. Penerjemahan
tidak hanya sebuah proses yang melibatkan dua bahasa yang berbeda, tetapi juga antara
dua budaya yang berbeda. Oleh karena itu penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa yang
lain tidak bisa dilakukan tanpa pengetahuan tentang budaya dan struktur bahasa tersebut
(Larson, 1984: 431).
Menurut Hatim &Mason (1990) penerjemahan adalah kegiatan yang dapat
membuktikan dengan jelas tentang peran bahasa dalam kehidupan sosial yaitu
menyampaikan kembali isi sebuah teks ke dalam bahasa lain kepada penutur bahasa
tersebut. Penyampaian ini bukan sekedar kegiatan penggantian kata atau kalimat tetapi
menciptakan suatu komunikasi baru dari hasil kegiatan komunikasi yang sudah ada
dengan memperhatikan aspek-aspek sosial teks baru yang akan dikomunikasikan.
Dari pemaparan di atas, tampaklah bahwa penerjemahan tidak hanya sekedar
proses pengalihan makna. Penerjemah harus memperhatikan banyak hal; terutama hal-
hal yang terkait dengan kebudayaan.Menurut Molina dan Albir (2002: 209), teknik
merupakan hasil yang didapat dan dapat digunakan untuk mengklasifikasikan berbagai
macam tipe solusi penerjemahan. Mereka memberikan definisi tentang teknik
penerjemahan yang merupakan prosedur untuk menganalisis dan mengelompokkan
bagaimana padanan penerjemahan bekerja; dimana teknik penerjemahan itu sendiri
memiliki limakarakteristik dasar, yaitu: (1) berdampak pada hasil terjemahan, (2).
9
diklasifikasikan oleh perbandingan dengan teks aslinya, (3) berdampak pada unit mikro
dari teks, (4). bersifat discursive dan kontekstual, (5). bersifat fungsional.
Selain teknik penerjemahan, Hoed juga berpendapat bahwa ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam melakukan penerjemahan. Pertama adalah perbedaan
antara BSu dan Bsa; yang bermakna bahwa tidak ada dua bahasa yang sama, setiap
bahasa memiliki sistem dan strukturnya sendiri. Kedua adalah faktor konteks, dan yang
ketiga adalah teknik penerjemahan. Setelah mengetahui konteks yang dapat
dimanfaatkan untuk memecahkan masalah perbedaan sistem dan struktur, maka
penerjemah dapat menentukan teknik penerjemahan yang sesuai dengan konteksnya
(Hoed, 2006:41)
Faktor penting lainnya yang juga patut diperhatikan dalam penerjemahan, yaitu
ideologi penerjemahan; yaituprinsip atau keyakinan tentang betul-salah atau baik-
buruk dalam penerjemahan (Hoed, 2006: 83).Pada tataran makro, penerjemah
mempunyai pilihan global dalam proses penerjemahan. Molina dan Albir (2002)
menyatakan metodepenerjemahan merupakan pilihan cara penerjemahan pada tataran
global yang terjadidalam proses penerjemahan yang mempengaruhi teks secara
keseluruhan. Pemilihanmetode ini terkait dengan tujuan penerjemah, artinya metode
tersebut telah ditentukanatau direncanakan sebelumnya.
Pada tataran mikro penerjemah memiliki pilihan solusi atau carapenyelesaian
dalam mengatasi kesulitan penerjemahan. Ahli penerjemahan menggunakan istilah yang
berbeda-beda untuk mengatasi kesulitan ini dan mereka tidak hanya menggunakan
perbedaan istilah namun juga pada tataran konsep (Molina dan Albir, 2002). Newmark
(1988) dan Machali (2000) menggunakan istilah prosedur penerjemahan, sedangkan
Baker (1992) dan Suryawinata & Hariyanto (2003) menggunakan istilah strategi untuk
menerangkan konsep yang sama. Berbeda dengan pendapat di atas, Molina & Albir
(2002) membedakan strategidan teknik penerjemahan dari perspektif proses atau
produk penerjemahan. Strategi merupakan prosedur (disadari atau tidak disadari,
verbal atau non verbal) yangdigunakan penerjemah untuk mengatasi masalah pada
saat melakukan prosespenerjemahan dengan maksud tertentu yang terjadi dalam
pikirannya (Albir dalamMolina & Albir, 2002). Sementara teknik penerjemahanadalah
hasil dari pilihan yangdibuat penerjemah atau perwujudan strategi dalam mengatasi
10
permasalahan padatataran mikro yang dapat dilihat dengan membandingkan hasil
terjemahan dengan teks aslinya (ibid: 2002).
Pemahaman sebuah teks sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari keberadaannya dalam
lingkungan sosial budaya dan temporal tertentu karena teks diciptakan dalam sebuah
lingkungan praktik berwacana dalam kehidupan sosial budaya setiap manusia
(Fairclough, 1995:98).Bila bahasa sumber (Bsu) adalah teks yang sudah berumur
beberapa puluh tahun, maka teks tersebut dapat dikatakan sebagai teks lama.Dalam
penerjemahan teks lama dan juga teks keagamaan, aspek perbedaan
temporalmemproduksi dan meresepsi teks perlu memperoleh perhatian; demikian pula
aspek perbedaan budaya.Sejumlah kata perlu memperoleh penjelasan bila menyangkut
aspek budaya.Perbedaan budaya antara teks bahasa sumber dan bahasa sasaran
menimbulkan beberapa masalah.Masalah yang timbul dalam penerjemahan pada
dasarnya dapat dikaitkan dengan tiga faktor utama.Faktor pertama adalah kemampuan
penerjemah. Jika seseorang tidak mempunyai kompetensi (kebahasaan, kultural, transfer)
dan ketrampilan di bidang penerjemahan, dia tidak akan mungkin dapat melakukan tugas
penerjemahan dengan baik. Oleh sebab itu, sebutan “penerjemah” yang diberikan kepada
seseorang mengandung konsekuensi yang sangat berat. Sebagai pelaku utama dalam
proses penerjemahan, dia dituntut harus mampu menghasilkan terjemahan yang bisa
dipertanggung jawabkan. Faktor kedua adalah faktor kebahasaan. Pada umumnya, sistem
bahasa yang dilibatkan dalam penerjemahan berbeda satu sama lain. Secara morfologis
dan sintaksis, bahasa Inggris, misalnya, berbeda dari bahasa Indonesia.Sebagai
akibatnya, ada kalanya penerjemah dihadapkan pada masalah ketakterjemahan linguistik
(linguistic untranslatability).Faktor ketiga adalah faktor budaya.Faktor budaya ini
sebenarnya tumpang tindih dengan faktor kebahasaan apabila bahasa dipandang sebagai
budaya atau bagian dari budaya.Terlepas dari hal tersebut, faktor budaya seringkali
menimbulkan ketakterjamahan (cultural untranslatability). Ketakterjemahan budaya
dapat menyangkut masalah ekologi, budaya materi, budaya religi, budaya sosial,
organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur, dan bahasa isyarat, sehingga
penerapan teknik penerjemahan yang tepat tentunya dapat menghasilkan terjemahan
yang baik pula.
11
Penelitian ini mengambil permasalahannya pada proses penerjemahan teks
mantera sebagai bahasa sumber. Penerjemahan teks budaya, seperti teks mantera, sering
merupakan suatu masalah apabila dalam bahasa target tidak ditemukan konsep budaya
yang sama sehingga tidak ditemukannya padanan yang tepat. Hal ini sejalan dengan
pendapat Newmark (1988: 94) yang mengatakan “Frequently where there is cultural
focus, there is a translation problem due to the cultural gap or distance between the
source and target language”.Maksud Newmark tersebut di atas diketahui bahwa
dikarenakan adanya perbedaan budaya antara bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa
sasaran (Bsa), maka seorang penerjemah umumnya akan menemui kesulitan jika
berupaya menerjemahkan teks yang bermuatan budaya. Perbedaan ini secara langsung
akan menempatkan penerjemah pada posisi yang sulit. Di satu sisi seorang penerjemah
harus dapat mengalihkan pesan teks bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa)
secara akurat sedangkan disisi lain penerjemah menemukan padanan yang tidak ada
dalam bahasa sasaran. Dari hasil penerjemahan teks mantera jamuan laut yang telah
diterjemahkan oleh para akademisi dan praktisi sebagai data temuan tentatif, ditemukan
bahwa teknik yang digunakan adalah dominan menggunakan teknik penerjemahan,
transposisi dan literal yang tidak sesuai dengan makna dibalik teks sumber, seperti frase
„nenek air jembalang air‟ diterjemahkan menjadi „old woman of water, the spirit of
water‟ dan ada juga yang menerjemahkan menjadi „granny water gnome‟. Frase nenek
air jembalang air pada teks sumber mantera jamuan laut tentunya representasi dari
penguasa laut, bukan nenek pada makna yang sesungguhnya.Kemudian frase„anak cucu‟
diterjemahkan dengan „grand children‟; yang tentunya bukan cucu pada makna
sesungguhnya, melainkan representasi pada penduduk setempat.
Alasan kedua penelitian ini dilakukan adalah berkaitan dengan derasnya
kebudayaan luar yang masuk ke Indonesia yang semakin diminati oleh para remaja yang
merupakan generasi penerus bangsa, penerus warisan leluhur; sehingga terdapat
kecenderungan terhadap budaya luar semakin tinggi maka telah mengakibatkan
terancamnya kepunahan terhadap budaya leluhur tersebut. Selain daripada itu, UNESCO
pada Konvensi yang dilakukan pada tahun 2003 tentang Pelestarian Warisan Budaya Tak
Benda (The 2003 UNESCO Convention on the Safeguarding of Intangible Cultural
Heritage),
12
“Pengelolaan warisan dunia menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, pemerintah daerah, dan seluruh elemen masyarakat, dalam hal
perlindungan, pengembangan, pemasaran, investasi dan bisnis, serta
pemberdayaan masyarakat”.
Dari hasil konvensi tersebut terlihat bahwa UNESCO menginginkan agar
menjaga dan melestarikan budaya daerah khususnya tradisi lisan sebagai warisan
peninggalan sebuah negara. Alasan ketiga adalah berkaitan dengan pentingnya teks
warisan budaya Melayu untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris guna mengangkat
budaya lokal yang menyimpan kearifan lokal (local wisdom) ke dunia luar agar dapat
diperkenalkan secara global.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penerjemahan
Penerjemahan didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori dan
pendekatan yang berbeda. Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam
melihat kegiatan penerjemahan dan mendefinisikannya sebagai “the replacement of
textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language
(TL)” (mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan
dalam bahasa sasaran). Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa,”rendering
the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text”
(menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang
dimaksudkan pengarang).
Pada hakikatnya, penerjemahan mencakup pemakaian dua bahasa dengan ide atau
makna yang sama (Beekman dan Callow, 1974:58-59). Oleh karena itu, penerjemahan
yang benar adalah penerjemahan yang dapat mentransfer makna dari bahasa sumber ke
bahasa sasaran.Kemampuan menerjemah selain berkaitan dengan kemampuan menguasai
kosa kata, struktur bahasa juga harus dapat memahami situasi komunikasi dan konteks
budaya bahasa sumber, sehingga dapat mentransfer ke dalam kosa kata, struktur, dan
konteks budaya bahasa sasaran (Larson, 1984:15).
13
Dalam melakukan penerjemahan yang diprioritaskan bukanlah kesejajaran formal
kalimat demi kalimat (formal correspondence), tetapi kesepadanan pesan (equivalence)
antara Bsu dan Bsa (Hoed, 2006:52). Sehingga kepatuhan terhadap bentuk bahasa
sumber bukanlah hal yang fundamental, yang terpenting adalah hasil terjemahan harus
memiliki maksud yang sama persis dengan pesan pada bsu dan pada akhirnya akan
dihasilkan hasil terjemahan yang akurat, jelas dan wajar.
2.2Hubungan Penerjemahan dan Kebudayaan
Menerjemahkan teks pada dasarnya adalah menerjemahkan budaya karena bahasa
pada hakekatnya adalah produk dari budaya itu sendiri. Sebagai bagian dari budaya,
penerjemahan bahasa tentunya tidak bisa terhindar dari pengaruh dua budaya dari dua
bahasa yang bersangkutan, yaitu budaya bsu dan budaya bsa. Nida (1966)
mengemukakan bahwa faktor kebudayaan dapat menjadi kendala dalam
penerjemahan.Kebudayaan adalah cara hidup (way of life) yang perwujudannya terlihat
dalam bentuk prilaku serta hasilnya terlihat secara material (disebut artefak) yang
diperoleh melalui proses pembiasaan dan pembelajaran dalam suatu masyarakat dan
diteruskan di generasi ke generasi. Kebudayaan bersifat khas bagi masyarakat tertentu
dan penguasaannya tidak secara naluriah seperti halnya berjalan atau tidur,melainkan
melalui proses pembiasaan dan pembelajaran dari generasi ke generasi. Sedangkan
budaya itu sendiri menurut Koentjaraningrat (1989:186) adalah wujud ideal yang berupa
abstrak dan tak dapat diraba yang ada di dalam pikiran manusia yang dapat berupa
gagasan, ide, norma, keyakinan dan lain sebagainya. Berdasarkan definisi tersebut
diketahui bahwa budaya adalah sebuah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Perbedaan budaya antara teks bahasa sumber dan bahasa sasaran menimbulkan
ketakterjemahan budaya (cultural untranslatability).Ketakterjemahan budaya di sini
dapat menyangkut masalah ekologi, budaya materi, budaya religi, budaya sosial,
organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur, dan bahasa isyarat (Newmark, 1988:
95). Ada kemungkinan bahwa suatu konsep yang terkait dengan budaya (baik abstrak
maupun konkrit) dapat diungkapkan dalam bahasa sasaran tetapi konsep tersebut sama
sekali tidak ada dalam budaya bahasa sasaran.
14
Pada hakekatnya, teori penerjemahan sudah menyediakan pedoman untuk
mengatasi masalah-masalah penerjemahan.Namun, sebagai pedoman umum, teori
penerjemahan tidak selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan
ketakterjemahan yang timbul dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu.Bahkan,
suatu padanan untuk suatu ungkapan dalam bahasa sumber yang sudah lazim digunakan,
diterima dan dianggap benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara
mendalam, bukan merupakan padanan yang seratus persen benar.Kata bahasa Inggris
breakfast, misalnya, dipadankan dengan sarapan dalam bahasa Indonesia.Padanan ini
sudah lazim digunakan dan dianggap benar. Akan tetapi, jika fitur semantis dari ke dua
kata itu ditampilkan ke permukaan, kita baru menyadari bahwa konsep yang
dikandungnya berbeda satu sama lain. Demikian pula dengan kata farmer dan petani.Dari
sudut pandang penutur asli bahasa Inggris, farmer identik dengan orang kaya karena
tanah yang dimilikinya sangat luas.Sebaliknya, dari sudut pandang penutur asli bahasa
Indonesia, seorang petani pada umumnya dimasukkan dalam kategori orang miskin.
2.3 Teknik Penerjemahan Molina & Albir
Teknik Penerjemahan merupakan suatu metode, keahlian atau seni praktis yang
diterapkan pada suatu tugas tertentu (Machali, 2000:77). Terdapat banyak teknik
terjemahan yang dikemukakan oleh para pakar/ahli terjemahan yang pada akhirnya
cenderung saling tumpang tindih antara teknik dari seorang pakar satu dengan yang
lainnya. Teknik yang dimaksud sama namun memiliki istilah yang berbeda. Dalam hal
keberagaman tentunya hal ini bersifat positif, namun di sisi lain terkait penerjemahakan
menemukan kesulitan dalam menentukan istilah suatu teknik tertentu.
Molina dan Albir (2002:509) mendefinisikan teknik penerjemahan sebagai
prosedur untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana kesepadanan
terjemahan berlangsung. Ada lima karakteristik utama mengenai teknik-teknik
penerjemahan:1) Teknik-teknik penerjemahan mempengaruhi teks terjemahan, 2)
Teknik-teknik penerjemahan didapatkan dengan membandingkan Tsu dan Tsa,3)
Teknik-teknik penerjemahan berlangsung pada satuan-satuan mikro teks, 4) Teknik-
teknik penerjemahan bersifat diskursif dan kontekstual dan 5) Teknik-teknik
penerjemahan juga fungsional.
15
Berikut adalah teknik-teknik penerjemahan yang dikembangakan oleh Molina
dan Albir (2002: 507-508) yang dapat digunakan yaitu: (1) Peminjaman (Borrowing), (2)
Kalke (Calque), (3) Penerjemahan Harfiah (Literal Translation), (4) Transposisi
(Transposition), (5) Modulasi (Modulation), (6) Padanan Lazim (Establish Equivalence),
(7) Adaptasi (Adaptation), (8) Kompensasi (Compensation), (9) Amplifikasi
(Amplification), (10) Deskripsi (Description), (11) Kreasi Diskursif (Discursive
Creation), (12) Generalisasi (Generalization). (13) Kompresi Linguistik (Linguistic
Compression), (14) Partikularisasi (Particularization), (15) Reduksi (Reduction), (16)
Subsitusi (Subsitution), (17) Amplifikasi Linguistik (Linguistic Amplification), (18)
Variasi (Variation).
1. Peminjaman (Borrowing)
Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan menerjemahkan kata atau ungkapan
dengan cara menggunakan langsung kata atau ungkapan dalam bahasa sumber atau ke
bahasa sasaran. Peminjaman itu bisa bersifat murni (pure borrowing) tanpa penyesuaian
atau peminjaman yang sudah dinaturalisasi (naturalized borrowing), yaitu adanya
penyesuaian pada ejaan atau pelafalan. Kamus resmi pada bsa menjadi tolak ukur apakah
kata atau ungkapan tersebut merupakan suatu pinjaman atau bukan. Berikut adalah
contoh dari teknik penerjemahan ini:
BSu : Tape Recorder (pure borrowing), Television (naturalized borrowing)
BSa : Tape Recorder (peminjaman murni), Televisi (peminjaman alamiah)
2. Calque
Teknik Penerjemahan yang dikenal juga dengan loan translation ini adalah
menerjemahkan unsur bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan cara substitusi linear
(urutan unsur dalam bahasa sumber tidak harus sama dengan bahasa sasaran). Venuti
(2000:85) membedakan teknik penerjemahan ini menjadi (a) calque leksikal, dan (b)
calque gramatikal, yang dapat dilihat sebagai berikut:
Bsu : water fall (calque leksikal)
Bsa : air terjun
16
Bsu : See breakdown cost calculation in Exhibit C (calque gramatikal)
Bsa : Lihat rincian perhitungan harga pada Lampiran C
3. Penerjemahan Harfiah ( Literal Translation)
Teknik yang dilakukan dengan cara menerjemahkan kata demi kata dan penerjemah
tidak mengaitkan dengan konteks. Berikut adalah contoh dari teknik penerjemahan ini :
Bsu : Mary will join to the party tonight.
Bsa : Mary akan ikut ke pesta nanti malam.
4. Transposisi (Transposition)
Teknik penerjemahan ini disebut juga dengan teknik penggeseran bentuk, dimana
penerjemah melakukan perubahan katagori gramatikal. Seperti dapat dilihat pada contoh
berikut ini :
Bsu: Public service
Bsa: Layanan Umum
5. Modulasi ( Modulation)
Teknik penerjemahan ini melibatkan pergeseran makna karena terjadi perubahan
perspektif dan sudut pandang.Perubahan sudut tersebut dapat bersifat leksikal atau
struktural.Contoh dibawah ini adalah hasil penerjemahan dengan menggunakan teknik
modulasi.
Bsu : No Trespassing
Bsa : Dilarang Melintas
6. Padanan Lazim ( Establish Equivalence)
Teknik dengan penggunaan istilah atau ungkapan yang sudah lazim (berdasarkan kamus
atau penggunaan sehari-hari), seperti dapat dilihat pada contoh berikut:
Bsu : Pager
17
Bsa : Penyeranta
7. Adaptasi (Adaptation)
Teknik ini dikenal sebagai teknik adaptasi budaya. Teknik ini dilakukan dengan
mengganti unsur-unsur budaya yang ada Bsu dengan unsur budaya yang mirip dan ada
pada Bsa. Hal tersebut bisa dilakukan karena unsur budaya dalam Bsu tidak ditemukan
dalam Bsa, ataupun unsur budaya pada Bsa tersebut lebih akrab bagi pembaca sasaran.
Teknik ini sama dengan teknik pada padanan budaya. Hal ini dapat dilihat pada contoh
berikut ini :
Bsu : As white as snow
Bsa : Seputih salju
8. Kompensasi (Compensation )
Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan menyampaikan pesan pada bagian lain dari
teks terjemahan. Hal ini dilakukan karena pengaruh stilistik (gaya) pada Bsu tidak bisa
diterapkan pada Bsa. Hal ini muncul dimana letak terjemahan satu kalimat akan muncul
atau terjemahan pada bagian yang berbeda. Berikut adalah contoh dari teknik
penerjemahan ini:
Bsa : A pair of glasses
Bsu : Sebuah kacamata
9. Amplifikasi (Amplification )
Teknik penerjemahan dengan mengeksplisitkan atau memparafrase suatu informasi yang
implisit dalam Bsu. Catatan kaki bagian dari amplifikasi. Teknik reduksi adalah
kebalikan dari teknik ini, seperti dapat dilihat pada contoh berikut ini:
Bsu : Idul Fitri
Bsa : Hari raya umat Islam
10. Deskripsi (Description)
18
Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan menggantikan sebuah istilah atau
ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya.Contoh dibawah ini adalah hasil
penerjemahan dengan menggunakan teknik deskripsi.
Bsu : Batik
Bsa : Traditional cloth that is traditionally made using a manual wax-resist
Dyeing technique
11. Kreasi Diskursif (Discursive Creation)
Teknik penerjemahan dengan penggunaan padanan yang keluar konteks dan dapat
digunakan penerjemah dalam penerjemahan teks film.Hal ini dilakukan untuk menarik
perhatian calon pembaca. Berikut adalah contoh dari teknik ini:
Bsu : The Geisha
Bsa : Sang Geisha
12. Generalisasi (Generalization)
Teknik ini menggunakan istilah yang lebih umum pada BSa untuk BSu yang lebih
spesifik. Hal tersebut dilakukan karena BSa tidak memiliki padanan yang spesifik seperti
terlihat pada contoh berikut.
Bsa : Sister
Bsu : Kakak adik
13. Kompresi Linguistik (Linguistic Compression)
Teknik yang dilakukan dengan melihat unsur-unsur linguistic pada BSa. Teknik ini
merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi linguistik.Teknik ini lazim digunakan pada
pengalih bahasaan simultan dan penerjemahan teks film. Berikut adalah contoh dari
teknik penerjemahan ini:
Bsa : Oh my God!
19
Bsu : Astaga
14. Partikularisasi (Particularization)
Teknik penerjemahan dimana penerjemah menggunakan istilah yang lebih konkret,
presisi atau spesifik, dari superordinat ke subordinat.Teknik ini merupakan kebalikan
dari teknik generalisasi.Contoh dibawah ini adalah hasil penerjemahan dengan
menggunakan teknik partikularisasi.
Bsu : Sea transportation
Bsu : Kapal
15. Reduksi (Reduction)
Teknik yang diterapkan dengan penghilangan secara parsial, karena penghilangan
tersebut dianggap tidak menimbulkan distorsi makna. Dengan kata lain, mengimplisitkan
informasi yang eksplisit. Teknik ini kebalikan dari teknik amplifikasi. Berikut adalah
contoh dari teknik penerjemahan ini:
Bsu : Wine
Bsa : Alcohol drink made from grapes or other fruits
16. Substitusi (Subsitution)
Teknik ini dilakukan dengan mengubah unsur-unsur linguistik dan paralinguistik
(intonasi atau isyarat).Contoh simbol mata uang negara-negara Eropa adalah Euro,
diterjemahkan menjadi €.
17. Amplikasi Linguistik (Linguistic Amplication)
Teknik amplikasi linguistik adalah teknik penambahan elemenlinguistik sehingga
terjemahannya lebih panjang. Teknik inibiasanya digunakan dalam pengalihbahasaan
dan dubbing.
20
18. Variasi (Variation)
Variasi (variation) adalah teknik penggantian unsur linguistik atau para linguistik
(intonasi, gesture) yang mempengaruhi aspek keragaman linguistik misalnya
penggantian gaya, dialek sosial, dialek geografis.
Dari delapan belas teknik penerjemahan di atas, Molina dan Albir
mengklasifikasikan teknik penerjemahan adalah sebagai berikut (2002):
1. Memisahkan konsep teknik penerjemahan dari nosi lain yang berkaitan (strategi,
metode dan kesalahan penerjemahan).
2. Hanya memasukkan prosedur yang merupakan karakteristik penerjemahan dan
bukan yang berkaitan dengan perbandingan bahasa.
3. Untuk mempertahankan nosi bahwa teknik penerjemahan bersifat fungsional dan
tidak menilai apakah sebuah teknik tepat atau benar, karena selalu tergantung
pada situasi di dalam teks dan konteksnya.
4. Dalam hubungannya dengan terminologi, untuk mempertahankan istilah-istilah
yang biasa digunakan.
5. Untuk memformulasikan teknik baru dalam rangka menjelaskan mekanisme yang
belum digambarkan.
Molina & Albir berpendapat kebanyakan kajian teknik penerjemahantidak cocok
dengan sifat dinamika kesepadanan terjemahan (2002:508). Sebuah teknik adalah hasil
dari pilihan yang dibuat penerjemah.Kesahihanya bergantung pada konteks misalnya
tujuan penerjemahan, harapan pembaca sasaran. Jika sebuah teknik dievaluasi diluar
konteks dan dinyatakan tepat atau tidak tepat, pola ini tidak sejalan dengan sifat dinamis
dan fungsional penerjemahan. Dengan demikian, sebuah teknik hanya bisa dinilai
tepat atau tidak tepat apabila dievaluasi dalam konteks. Teknik penerjemahan bukan
masalah baik dan buruk melainkan fungsional dan dinamis dalam hal: 1) genreteks 2)
tipe penerjemahan (teknik atau non teknik), dan 3) mode penerjemahan 4) tujuan
penerjemahan dan karakteristik pembaca sasaran dan 5) metode penerjemahan yang
dipilih (Molina dan Hurtado Albir 2002:509).
21
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
(1) Membandingkan hasil penerjemahan yang dilakukan oleh para akademisi dan
praktisi melalui penerapan teknik penerjemahan Molina & Albir.
(2) Menemukan teknik penerjemahan yang baru dalam penerjemahan teks mantera
jamuan laut dari bahasa Melayu ke dalam bahasa Inggris.
3.2 Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian di atas hasil penelitian ini akan memberi kontribusi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan sosial budaya.
a. Penelitian ini memberikan manfaat secara teoretis yaitu menemukan suatu teknik
baru dalam penerjemahanteks budaya yang berangkat dari teknik penerjemahan
sendiri untuk mengkaji atau menganalisis sebuah hasil terjemahan. Selama ini
teknik atau metode yang digunakan boleh dikatakan hampir semuanya
menggunakan teori barat. Sebaliknya, kalau tidak didapatkan teknik penerjemahan
yang baru diharapkan penelitian ini dapat menguatkan teknik penerjemahan yang
sudah ada.
b. Penelitian ini secara praktis bermanfaat antara lain:
1. Bagi para penerjemah dalam mengatasi hal ketakterjemahan dalam
menerjemahkan teks budaya.
2. Bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dapat dijadikan sebagai upaya
pelestarian kebudayaan daerah.
22
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi Sumber Data Penelitian
Untuk mendapatkan sumber data, yaitu data lisan yang berupa tuturan mantera
Jamuan Laut yang dituturkan oleh pawang laut, maka sumber data ini diambil di suatu
daerah di Kabupaten Serdang-Bedagai-Sumatera Utara.Tempat ini dipilih karena
Upacara Jamuan Laut merupakan upacara ritual yang dilakukan dan masih dipercayai
oleh masyarakat Melayu Kabupaten Serdang-Bedagai; khususnya masyarakat yang
berprofesi sebagai nelayan.
4.2 Paradigma dan Model Penelitian
Paradigma penelitian ini menggunakan metode penelitiankualitatif.Penelitian
berorientasi pada produk atau karya terjemahan dengan melibatkan dua aspek data yaitu
data objektif dan genetik.Sumber data objektif adalah teks mantera jamuan laut yang
diterjemahkan oleh para akademisi yang berasal dari beberapa universitas dan praktisi.
Sedangkan data genetik berupa informasi penerjemah terkait, dan latar belakang
pengambilan keputusan pada saat proses penerjemahan.
Keterangan:
Garis penelitian pendahuluan
Garis penelitian lanjutan
Garis hasil penelitian
Berdasarkan bagan di atas terdapat empat tahapan penelitian, yaitu:
1. Penelitian Tahap I: sudah selesai dikerjakan
Penelitian pendahuluan berupa pematangan persiapan dengan cara mempelajari teks
mantera jamuan laut sebagai teks sumber serta membaca referensi-referensi yang
berhubungan dengan teknik penerjemahan Molina & Albir yang akan diterapkan
dalam penerjemahan terks tersebut.
2. Penelitian Tahap II: sudah selesai dikerjakan
23
Pengumpulan data dengan caramenerjemahkan teks mantera jamuan laut dari bahasa
Melayu ke bahasa Inggris yang dilakukan oleh para akademisi dan para praktisi.
3. Penelitian Tahap III: sudah dikerjakan
Menganalisis data dengan memahami ko-teks, teks, dan konteks untuk merumuskan
teknik penerjemahan Molina & Albir apa saja yang diterapkan dalam penerjemahan
teks mantera jamuan laut dari bahasa Melayu ke bahasa Inggris
Penelitian Tahap IV: sudah dikerjakan
Menemukan teknik penerjemahan yang tepat untuk menerjemahkan teks budaya;
teks mantera jamuan laut dalam bahasa Melayu ke dalam bahasa Inggris.
4.3 Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data yang digunakan adalah sumber tulisan, yaitu teks mantera jamuan
laut, sedangkan data penelitian adalah hasil terjemahan yang dilakukan oleh para
akademisi (para dosen bahasa Inggris FKIP UMSU) dan para praktisi (penerjemah lepas)
yang menerjemahkan teks mantera jamuan laut dari bahasa Melayu ke bahasa Inggris.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang akan digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Data penelitian dikumpulkan dengan cara metode dokumenter. Data ini diperoleh
dari catatan upacara jamuan laut yang ada pada informan (pawang laut).
2. Pencatatan langsung dan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap
seorang pawang pada pelaksanaan upacara jamuan laut.
3. Pengambilan data dilakukan secara selektif dengan teknik criterion-based
selection (Goetz & LeCompte dalam Sutopo 2006:6 & 65).
4.5 Teknik Analisis Data
Di dalam menganalisa data, teknik yang akan dilakukan oleh penulis adalah
mengikuti model analisis yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman dalam Sutopo
(2006:113-116) yaitu analisis interaktif. Analisis dilakukan melalui tiga komponen,
yaitu: 1) reduksi data, 2) sajian data, dan 3) penarikan simpulan serta verifikasi.
Berikut adalah Model Interaktif Analisa Data yang dikembangkan oleh Miles dan
Huberman (1994: 12) https://vivauniversity.files.wordpress.com...
24
Data
Collection
Data
Display
Conclusion:
Drawing/verifying
Data
Reduction
4.6 Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data dicek dengan teknik triangulasi sumber data.Data berupa teks
mantera jamuan lautyang diperoleh dari observasi melalui teknik rekaman, dicek dengan
data yang ada pada informan (pawang laut) yang penulis peroleh dengan cara
wawancara. Kemudian data ini juga dicek dengan buku-buku yang memuat teks mantera
pada kebudayaan Melayu. Sedangkan data hasil penerjemahan teks mantera jamuan laut
dari bahasa Melayu ke bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh para akademisi dan
praktisi akan dicek di antara sesama penerjemah.
BAB V
HASIL YANG DICAPAI
5.1 Teknik penerjemahan Molina & Albir
Para penerjemah memiliki definisi penerjemahan yang berbeda-beda. Secara
umum, penerjemahan dipahami sebagai kegiatan reproduksi suatu pesan dari bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran dengan padanan yang mendekati bahasa sumbernya,
sedangkan ukuran kesepadanan tersebut dapat diukur dari segi makna, kesepadanan efek
dan gaya bahasanya. Beberapa definisi penerjemahan yang berbeda-beda tersebut
didapati berdasarkan latar belakang dan sudut pandang terhadap penerjemahan itu
sendiri. Penerjemahan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, karena si penerjemah
25
harus dapat menyesuaikan makna dalam bahasa sumber dengan bahasa sasaran, sehingga
pembaca tidak merasakan perbedaan itu.
Dalam mengatasi kesulitan penerjemahan, penerjemah memiliki cara
penyelesaiannya masing-masing. Ahli penerjemahan menggunakan istilah yang berbeda-
beda pula untuk „cara penyelesaian‟ ini. Perbedaan yang tampak bukan hanya pada
perbedaan istilah, tetapi juga pada tataran konsep. Newmark dan Machali menggunakan
istilah „prosedur‟, sedangkan Baker menggunakan istilah „strategi‟ untuk menerangkan
konsep yang sama. Berbeda dengan para ahli diatas, Molina & Albir membedakan
strategi dan teknik penerjemahan dari perspektif proses atau produk penerjemahan.
Menurut Molina & Albir, strategi penerjemahan merupakan prosedur yang digunakan
penerjemah untuk mengatasi masalah pada saat melakukan proses penerjemahan dengan
maksud tertentu, sementara teknik penerjemahan merupakan hasil dari pilihan yang
dibuat penerjemah dalam mengatasi permasalahan dengan membandingkan hasil
terjemahan dengan teks aslinya.
Penelitian ini menerapkan teknik penerjemahan yang dipaparkan oleh Molina &
Albir karena memiliki teknik yang bervariasi, sehingga penerjemah dapat mengatasi
kesulitan dalam melakukan penerjemahan pada teks mantera jamuan laut. Berikut jenis
teknik-teknik penerjemahan tersebut:
5.1.1 Teknik Peminjaman Murni
Peminjaman (borrowing) adalah teknik penerjemahan dimana penerjemah
meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber. Peminjaman itu bisa bersifat murni
(pure), alamiah (naturalized). Peminjaman murni merujuk pada peminjaman kata atau
ungkapan bahasa sumber secara utuh tanpa disertai dengan penyesuaian pelafalan.
Peminjaman murni merujuk pada peminjaman kata atau ungkapan bahasa sumber secara
utuh tanpa disertai dengan penyesuaian pelafalan.
Pada umumnya teknik penerjemahan murni digunakan oleh para penerjemah
dikarenakan subjek yang diterjemahkan membahas hal yang berkenaan dengan agama
dan budaya bahasa sumber itu sendiri, dimana istilah tersebut tidak dimiliki oleh bahasa
sasaran, seperti tampak pada terjemahan tuturan-tuturan pada mantera pertama yang
dibacakan oleh pawang pada saat memancangkan panji/bendera pada awal upacara
26
dimulai.
Penerjemah pertama menggunakan teknik peminjaman pada mantera 1 sebanyak
10 kali, pada mantera kedua teknik peminjaman murni diterapkan pada satu data,
sedangkan pada mantera ketiga penerjemah pertama menggunakan teknik peminjaman
sebanyak sekali dan pada mantera keempat sebanyak 3 kali.
Penerjemah kedua menerapkan teknik peminjaman pada mantera pertama
sebanyak 6 kali, pada mantera kedua penerjemah menerapkan teknik peminjaman
sebanyak 5 kali, sedangkan pada mantera ketiga penerjemah menerapkan teknik
peminjaman sebanyak 3 kali dan pada mantera ke empat penerjemah menerapkan teknik
peminjaman sebanyak 3 kali.
Penerjemah ketiga menerapkan teknik peminjaman hanya pada mantera pertama
dengan frekuensi sebanyak 4 kali. Penerjemah keempat menerapkan teknik peminjaman
sebanyak 3 kali pada mantera pertama, 1 kali pada mantera kedua, dan 1 kali juga pada
mantera ketiga. Sedangkan pada mantera keempat tidak ditemukan penerapan teknik
peminjaman oleh penerjemah keempat. Sementara penerjemah kelima menerapkan
teknik peminjaman hanya pada mantera keempat dengan frekuensi sebanyak 4 kali.
Secara rinci, berikut data-data tuturan mantera jamuan laut yang tergolong pada
teknik peminjaman oleh penerjemah.
Adapun klausa yang tergolong kepada teknik peminjaman murni adalah sebagai
berikut:
Mantera 1
Data 1 Penerjemah
Bsu : Assalamualaikum alaikum mussalam
1
2
3
4
Bsa : Assalamualaikum alaikum mussalam
Ungkapan tersebut di atas merupakan ucapan yang biasa digunakan oleh warga
melayu yang notabene memeluk agama islam kepada seseorang. Dalam hal
penerjemahan, ucapan tersebut sangat jarang diterjemahkan sehingga teknik peminjaman
27
murni kerapkali diterapkan seperti yang dilakukan oleh penerjemah 1, penerjemah 2, 3,
dan 4.
Mantera 1
Data 4, 5, 6, 7 Penerjemah
Bsu : Akulah bomah yang asal
bomah yang usul
bomah yang tidak ditiru
bomah yang turun temurun
1
Bsa : I‟m the original bomah
The original bomah
Not imitated bomah
Hereditary bomah
Pada data 4, 5, 6, dan 7 diatas yang terdapat dalam mantera pertama terlihat bahwa penerjemah 1
meminjam kata „bomah‟ untuk dipakai pada bahasa sasaran.
Mantera 1
Data 14 dan 15 Penerjemah
Bsu : Bukan aku melepas bala mustaka
Jin Taru melepas bala mustaka
3
Bsa : I don‟t release disaster mustaka
but genie Taru releases it
Klausa aktif transitif pada bahasa sumber juga diterjemahkan dengan struktur yang sama
pada teks sasaran. Pada data ke 15 penerjemah menggunakan kata „it‟ sebagai rujukan
terhadap kata mustaka pada data 14.
Mantera 1
Data 17 Penerjemah
Bsu : Aku melepas kweng keneng 1
Bsa : I only cause kweng keneng
Bsa : I took off kweng keneng 2
Bsa : I release kweng keneng 3
28
Bsa : I take off kweng keneng 5
Pada data 17 mantera 1 di atas, klausa „Aku melepas kweng keneng‟
diterjemahkan menjadi „I only cause kweng keneng‟ oleh penerjemah 1, „I took off
kweng keneng‟ oleh penerjemah 2, „I release kweng keneng‟ oleh penerjemah 3, dan „I
take off kweng keneng‟ oleh penerjemah 5. Terlihat bahwa ketiga penerjemah meminjam
frasa kweng keneng karena dalam bahasa sasaran tidak ditemukan padanan frasa
tersebut.
5.1.2 Teknik Adaptasi
Teknik ini dikenal sebagai teknik adaptasi budaya. Teknik ini dilakukan dengan
mengganti unsur-unsur budaya yang ada bahasa sumber dengan unsur budaya yang mirip
dan ada pada bahasa sasaran. Hal tersebut bisa dilakukan karena unsur budaya dalam
bahasa sumber tidak ditemukan dalam bahasa sasaran, ataupun unsur budaya pada
bahasa sasaran tersebut lebih akrab bagi pembaca sasaran. Teknik ini sama dengan
teknik pada padanan budaya (cultural equivalent) oleh Newmark (1988:82). Teknik ini
dikenal sebagai teknik adaptasi budaya atau sebagaimana Baker (1992:31) menyebutnya
sebagai cultural substitution. Hal ini dapat dilihat pada terjemahan mantera pertama
berikut:
Teknik penerjemahan adapatasi dilakukan penerjemah pertama sebanyak 6 kali
pada mantera pertama. Sedangkan pada mantera kedua, ketiga dan keempat penerjemah
kedua tidak menerapkan teknik ini. Sama halnya penerjemah pertama, penerjemah kedua
menerapkan teknik ini sebanyak 6 kali. Sementara pada mantera kedua, ketiga, dan
keempat tidak ditemukan teknik adaptasi.
Penerjemah ketiga menerapkan teknik ini sebanyak 6 kali pada mantera pertama.
Sedangkan pada mantera kedua, penerjemah hanya menerapkan teknik ini sebanyak 2
kali. Pada mantera keempat, penerjemah ketiga menerapkan teknik adaptasi sebanyak 3
kali. Namun pada mantera ketiga, penerjemah tidak menerapkan teknik ini.
29
Penerjemah keempat menerapkan teknik ini sebanyak 8 kali pada mantera
pertama. Pada mantera ketiga, penerjemah menerapkan teknik adaptasi sebanyak 2 kali.
Pada mantera kedua dan keempat tidak ditemukan teknik penerjemahan adaptasi.
Penerjemah kelima menerapkan teknik ini dengan frekuensi sebanyak 5 kali pada
mantera pertama. Sedangkan pada mantera kedua, ketiga, keempat tidak ditemukan
penerapan teknik adaptasi.
Secara lebih rinci, data-data yang tergolong pada teknik ini adalah sebagai
berikut:
Pada kata „usul‟ pada penerjemahan di bawah ini diterjemahkan oleh penerjemah
2 dengan padanan kata „first‟ dan oleh penerjemah 3 diterjemahkan dengan kata „nature‟
sedangkan oleh penerjemah 4 diterjemahkan dengan kata „genesis‟ seperti berikut:
Mantera 1
Data 5 Penerjemah
Bsu : Bomah yang usul
- Bsa : The first shaman
- Bsa : The nature shaman
- Bsa : The genesis diviner
- 2
- 3
- 4
Mantera 1
Data 13 Penerjemah
Bsu : Mu keluar dari air ketuban
Bsa : You came out from amniotic fluid 1
Bsa : You are out of the amniotic fluid 2
Bsa : You're out from fetal membrane 3
Bsa : Come out from the watery womb 4
Bsa : You come out from the amniotic fluid 5
Pada penerjemahan di atas, penerjemah 1, 2 dan 4 menerjemahkan kata air
ketuban sesuai dengan padanan kata amniotic fluid, sedangkan oleh penerjemah 3
diterjemahkan dengan kata fetal membrane, sementara oleh penerjemah 5 diterjemahkan
30
dengan menggunakan kata the watery womb yang memiliki arti dan objek yang sama.
Dalam budaya sasaran frasa „amniotic fluid‟ merupakan padanan yang lazim untuk frasa
„air ketuban‟. Sedangkan frasa „fetal membrane‟ memiliki definisi sebagai „ketuban‟
sehingga hasil terjemahan 3 tidak sesuai dengan budaya pembaca sasaran.
5.1.3 Teknik Penerjemahan Harfiah
Teknik penerjemahan harfiah atau terjemahan kata demi kata biasanya digunakan
untuk menerjemahkan kata atau frase yang perlu dijelaskan satu persatu. Teknik ini juga
biasanya disebut dengan teknik padanan formal yang diajukan Nida. Berikut adalah
terjemahan mantera yang menggunakan teknik penerjemahan harfiah.
Teknik penerjemahan harfiah ditemukan sebanyak 9 kali pada mantera pertama
yang diterjemahkan oleh penerjemah pertama. Sementara pada mantera kedua
penerjemah pertama menerapkan teknik penerjemahan harfiah sebanyak 3 kali. Pada
mantera ketiga, penerjemah pertama menggunakan teknik penerjemahan harfiah
sebanyak 4 kali. Sementara pada mantera keempat, penerjemah pertama menggunakan
teknik penerjemahan harfiah sebanyak 1 kali.
Kemudian, teknik penerjemahan harfiah juga banyak digunakan oleh penerjemah
kedua. Penerjemah kedua menggunakan teknik penerjemahan harfiah sebanyak 10 kali
pada mantera pertama. Pada mantera kedua penerjemah kedua menggunakan teknik
penerjemahan harfiah sebanyak 9 kali. Pada mantera ketiga penerjemah kedua
menggunakan teknik penerjemahan harfiah sebanyak 1 kali begitu juga pada mantera
keempat sebanyak 1 kali.
Penerjemah ketiga dilain sisi menggunakan teknik penerjemahan harfiah
sebanyak 9 kali pada mantera pertama. Pada mantera kedua penerjemah ketiga
mengguanakan teknik penerjemahan harfiah sebanyak 2 kali. Pada mantera ketiga
penerjemah ketiga menggunakan teknik penerjemahan ini sebanyak 5 kali. Sedangkan
pada mantera keempat, teknik penerjemahan harfiah digunakan dengan frekuensi
sebanyak 6 kali.
Penerjemah keempat menggunakan teknik penerjemahan harfiah sebanyak 11
kali yaitu pada mantera pertama. Sedangkan pada mantera kedua, penerjemaha keempat
menerapkan teknik penerjemahan harfiah sebanyak 17 kali. Pada mantera ketiga, teknik
31
penerjemahan harfiah ditemukan dengan frekuensi sebanyak 9 kali. Begitu juga pada
mantera keempat, penerjemah menerapkan teknik penerjemahan harfiah sebanyak 9 kali.
Penerjemah kelima menerapkan teknik penerjemahan harfiah sebanyak 9 kali
yaitu terdapat pada mantera pertama. Pada mantera kedua, teknik penerjemahan harfiah
ditemukan sebanyak 2 kali. Pada mantera ketiga, penerjemah menerapkan teknik ini
sebanyak empat kali.
Secara lebih rinci, berikut ini data-data mengenai teknik penerjemahan harfiah
yang diterapkan oleh kelima penerjemah.
Mantera 1
Data 3 Penerjemah
Bsu : Marilah bersama aku
Bsa : Please, join with me 1
Bsa : Let with me 2
Bsa : Let‟s be with me 3
Bsa : Stay with me 4
Pada mantera pertama kata marilah diterjemahkan secara harfiah oleh
penerjemah 1 dengan kata join, oleh penerjemah 2 dan 3 dengan kata let dan oleh
penerjemah 4 dengan kata stay. Meskipun para penerjemah menggunakan beberapa kata
yang berbeda-beda namun memiliki arti yang sama dengan bahasa sumber. Penerjemah
menerjemahkan kata-kata tersebut secara kata per kata dari bahasa Melayu ke bahasa
Inggris.
Teknik yang sama juga diterapkan dalam menerjemahkan data sumber dibawah
ini:
Mantera 1
Data 9 Penerjemah
Bsu : Aku nak buat kenduri khidmat
Bsa : I want to hold a respectful party 1
Bsa : I am establishing the respecting ritual meal 3
Bsa : I want to held a humanity feast 4
Bsa : I have made a solemn feast 5
32
Frasa „kenduri khidmat‟ pada mantera pertama, data ke sembilan dalam bahasa
sumber diterjemahkan harfiah oleh penerjemah 1 menjadi „a respectful party‟, oleh
penerjemah 3 diterjemahkan menjadi „the respecting ritual meal‟, sementara oleh
penerjemah 4 diterjemahkan menjadi „humanity feast‟ dan oleh penerjemah 5
diterjemahkan dengan a solemn feast, dimana menurut penulis, kenduri khidmat pada
bahasa sumber adalah membuat jamuan yang akan diserahkan kepada penguasa laut.
5.1.4 Teknik Padanan Lazim
.
Teknik padanan lazim diterapkan oleh penerjemah 1 sebanyak 1 kali pada
mantera pertama. Sementara pada mantera kedua, penerjemaha 1 menerapkan teknik
padanan lazim dengan frekuensi sebanyak 7 kali. Penerjemah pertama atau penerjemah 1
tidak menerapkan teknik penerjemahan lazim pada mantera ketiga. Namun, pada mantera
keempat, penerjemah menerapkannya sebanyak 6 kali.
Penerjemah kedua yaitu 2 menerapkan teknik padanan lazim sebanyak 6 kali
pada mantera kedua. Sementara pada mantera pertama, penerjemah kedua tidak
menerapkan teknik penerjemahan padanan lazim. Namun, pada mantera ketiga,
penerjemah kedua menerapkan teknik padanan lazim sebanyak 1 kali. Dan pada mantera
keempat, penerjemah menerjemahkan bahasa sasaran dengan teknik padanan lazim
sebanyak 6 kali.
Penerjemah ketiga menerapkan teknik padanan lazim sebanyak 4 kali pada
mantera pertama. Sedangkan pada mantera kedua, penerjemah ketiga menerapkan teknik
padanan lazim sebanyak 7 kali. Pada mantera ketiga penerjemah kedua menerapkan
teknik padanan lazim sebanyak 2 kali. Pada mantera keempat, penerjemah kedua
menerapkan padanan lazim sebanyak 5 kali.
Penerjemah keempat menerapkan teknik padanan lazim sebanyak 1 kali pada
mantera pertama. Sedangkan pada mantera kedua, penerjemah menerapkan teknik
tersebut sebanyak 6 kali. Pada mantera keempat, penerjemah menerapkan teknik padanan
lazim sebanyak 1 kali. Namun, pada mantera ketiga penerjemah tidak menerapkan teknik
padanan lazim.
Penerjemah kelima menerapkan teknik padanan lazim sebanyak 5 kali pada
mantera ke dua dan begitu pula pada mantera ke empat. Sedangkan pada mantera
33
pertama dan ketiga penerjemah kelima tidak menerapkan teknik penerjemahan padanan
lazim.
Untuk lebih rinci, berikut ini data yang tergolong kedalam teknik padanan lazim:
Mantera 1
Data 22 Penerjemah
Bsu : Aku lepas sekali dengan lekar, sudip,
sendok
Bsa : I release once with rattan stand, spatula and
spoon
1
Bsa : I am releasing once with cooking pot 3
Pada data 22 mantera 1 di atas, klausa „Aku lepas sekali dengan lekar, sudip,
sendok pada bahasa sumber diterjemahkan menjadi „I release once with rattan stand,
spatula and spoon‟ penerjemah 1 dan „I am releasing once with cooking pot‟ oleh
penerjemah 3. Dengan penggunaan istilah atau ungkapan yang sudah lazim menjadi
„rattan stand‟. „spatula‟, spoon‟dan „ cooking pot‟ , dimana menurut penulis makna lekar,
sudip sendok merupakan media yang digunakan untuk melepas kweng keneng ke laut.
Mantera 2
Data 2 Penerjemah
Bsu : Ampun beribu ampun
Bsa : Have mercy on us 1
Bsa : Thousand of mercy 2
Bsa : Begging your thousand mercies 4
Bsa : Thousand of pardon 3
Bsa : Forgive a thousand times forgive
me
5
34
Pada data ke 2 mantera 2 di atas, klausa „Ampun beribu ampun’ pada bahasa
sumber diterjemahkan menjadi „Have mercy on us‟ oleh penerjemah 1, „Thousand of
mercy‟ oleh penerjemah 2, „Begging your thousand mercies‟ oleh penerjemah „4,
Thousand of pardon oleh penerjemah 3, „Forgive a thousand times forgive me‟ oleh
penerjemah 5. Dengan penggunaan istilah atau ungkapan yang sudah lazim menjadi „
mercy‟, „mercies‟ „pardon‟ dan „forgive „, dimana menurut penulis makna ampun
merupakan permohonan ampun ditujukan kepada Nenek jembalang air.
5.1.5 Teknik Kalke
Teknik kalke diterapkan oleh penerjemah pertama sebanyak 1 kali pada mantera
pertama. Sedangkan pada mantera kedua tidak ditemukan teknik kalke pada bahasa
sasaran oleh penerjemah pertama. Namun, pada mantera ketiga penerjemah pertama
menerapkan teknik kalke sebanyak dua kali. Dan pada mantera keempat, tidak
ditemukan penerapan teknik penerjemahan kalke.
Penerjemah kedua menerapkan teknik kalke sebanyak 1 kali yaitu pada mantera
kedua. Sementara pada mantera pertama, kedua, dan keempat tidak ditemukan penerapan
teknik penerjemahan kalke.
Penerjemah ketiga, menerapkan teknik kalke sebanyak 2 kali yaitu pada mantera
pertama, mantera kedua dan mantera ketiga. Sedangkan pada mantera keempat tidak
ditemukan teknik kalke pada bahasa sasaran.
Penerjemah keempat dan penerjemah kelima sama sekali tidak menerapkan
teknik kalke pada keempat mantera tersebut.
Secara lebih rinci. Berikut data-data yang tergolong pada teknik penerjemahan
kalke.
Mantera 1
Data 23
Penerjemah Bsu : Aku lepas sekali dengan Lontoh
tabib
Bsa : I release once with physician‟s lontoh 1
Bsa : I loose one with sacred of medician 4
35
Pada data ke-23 dalam mantera pertama di atas, klausa „Aku lepas sekali dengan
Lontoh tabib‟ diterjemahkan oleh penerjemah 1 menjadi „I release once with
physician‟s lontoh‟ serta „I loose one with sacred of medician‟ oleh penerjemah 4. Yang
menjadi fokus pembahasan disini adalah penerjemahan frase „Lontoh Tabib‟. Terdapat
perbedaan pandangan antara penerjemah 1 dan penerjemah 4. Penerjemah 1
menerjemahkannya menjadi „physician‟s lontoh‟ yang mana kata „lontoh‟ disini
dipinjam untuk agar tidak terjadi distorsi makna terhadap bahasa sumber. Sementara itu,
penerjemah 4 menerjemahkannya menjadi „sacred of medician‟. Penggunaan kata sacred
disini tidak sesuai dengan tata bahasa Inggris dimana sebelum „of‟ maka harus didahului
nomina. Namun secara teoritis, frasa tersebut dapat digolongkan ke dalam teknik
penerjemahan kalke.
Mantera 3
Data 8 Penerjemah
Bsu : Sampai pusat Tasek Peuh Jenggi
Bsa : Until comes to the center of Lake Peuh
Jenggi
1
Bsa : Till the central of Lake Peuh Jenggi 3
Pada data 8 mantera 3 di atas, klausa „Sampai pusat Tasek Peuh Jenggi‟
diterjemahkan tanpa merubah sudut padang pembaca. Penerjemah 1 menerjemahkan
kalimat tersebut menjadi „Until comes to the center of Lake Peuh Jenggi‟. Terlihat
bahwa tidak terjadi pergeseran yang berarti terhadap penerjemahan teks tersebut. Dilihat
dari frasa „Tasek Peuh Jenggi‟ diterjemahkan oleh penerjemah 1 dengan frasa „Lake
Peuh Jenggi‟ dan oleh penerjemah: 3 diterjemahkan menjadi „Lake center Peuh Jenggi‟.
Penerjemah 3 menambahkan kata “center” untuk menekankan keberadaan tasek pada
bahasa sumber. Tampak struktur Bsu yang masih muncul dalam Bsa yang merupakan
leksikal yang dipertahankan dengan mengikuti struktur Bsa.
Mantera 1
Data 24 Penerjemah
Bsu : Terimalah persembahan ini
36
Bsa : Please receive this offering 3
Pada data 24 mantera 1 di atas, klausa “Terimalah persembahan ini”
diterjemahkan menjadi “Please receive this offering” oleh penerjemah 3. Tampak
struktur Bsu yang masih muncul dalam Bsa dengan cara substitusi linear.
5.1.5 Kreasi Diskursif (Discursive Creation)
Teknik penerjemahan kreasi diskursif diterapkan oleh penerjemah pertama
dengan frekuensi sebanyak 1 kali pada mantera kedua. Pada mantera ketiga, teknik ini
digunakan oleh penerjemah 1 sebanyak 5 kali. Pada mantera keempat, ditemukan 3 kali
frekuensi penggunaan teknik kreasi diskursif oleh penerjemah pertama.
Penerjemah kedua menerapkan teknik ini sebanyak 5 kali pada mantera pertama.
Sedangkan pada mantera kedua, teknik ini diterapkan sebanyak 1 kali. Pada mantera
ketiga, penerjemah menerapkan teknik ini sebanyak 2 kali. Sedangkan pada mantera
keempat tidak ditemukan penerapan teknik ini. Penerjemah ketiga tidak menggunakan
teknik kreasi diskursif ini. Penerjemah keempat menerapkan teknik ini sebanyak 2 kali
pada mantera pertama. Sedangkan pada mantera kedua, mantera ketiga dan mantera
keempat tidak ditemukan penerapan teknik ini.
Penerjemah kelima, dilain sisi menerapkan teknik kreasi diskursif sebanyak 4 kali
pada mantera pertama. Pada mantera kedua, penerjemah hanya menerapkan 2 kali teknik
kreasi diskursif. Sedangkan pada mantera ketiga, penerjemah menerapkan teknik ini
sebanyak 3 kali. Dan pada mantera keempat, teknik ini diterapkan oleh penerjemah
sebanyak 4 kali.
Berikut ini data-data yang tergolong kedalam teknik kreasi diskursif:
Mantera 1
Data 21 Penerjemah
Bsu : Aku lepas sekali dengan periuk
belanga
Bsa : I really released with the huge pot 2
Bsa : I want to be released by the contents of
this earthware cooking pot
5
37
Pada contoh diatas, kata „periuk belanga‟ pada bahasa sumber diterjemahkan
dengan „ huge pot‟, dan „earthware cooking pot „, dimana menurut penulis makna periuk
belanga merupakan salah satu alat yang diberikan dalam persembahan.
Mantera 3
Data 2 Penerjemah
Bsu : Nenek putri hijau
Bsa : Oh Green Maiden old spirit 1
Bsa : The green princess grandmother 4
Pada contoh diatas, kata „nenek‟ pada bahasa sumber diterjemahkan dengan
penambahan „Oh Green‟, dan „Oh great „, dimana menurut penulis penerjamahan ini
bertujuan untuk menarik perhatian pembaca.
Mantera 1
Data 14 Penerjemah
Bsu : Bukan aku melepas bala mustaka
Bsa : Instead I took off the disaster 2
Pada contoh diatas, kata „bukan ‟ pada bahasa sumber diterjemahkan dengan
penambahan „instead„, dimana menurut penulis penerjamahan ini bertujuan untuk
menarik perhatian pembaca.
5.1.7 Reduksi (Reduction)
Pada tataran frasa, klausa atau kalimat, penghilangan dapat bersifat sebagian
(partial) atau menyeluruh (total). Sesuai dengan namanya, penghilangan sebagian
merujuk pada penghilangan bagian frasa, klausa atau kalimat. Sebaliknya, penghilangan
menyeluruh merujuk pada penghilangan keseluruhan unsur-unsur yang terdapat dalam
frasa, klausa, atau kalimat yang bersangkutan.
Teknik reduksi ditemukan sebanyak 5 kali pada mantera kedua yang
diterjemahkan oleh penerjemah pertama yaitu 1. Penerjemah kedua menerapkan teknik
reduksi dengan frekuensi sebanyak 2 kali yaitu pada mantera kedua dan pada mantera
ketiga. Sementara itu, penerjemah ketiga menerapkan teknik reduksi sebanyak 1 kali
38
pada mantera pertama, dan 10 kali pada mantera kedua. Penerjemah keempat memilih
tidak menerapkan teknik reduksi pada keempat mantera tersebut.
Mantera 2
Data 5 Penerjemah
Bsu : yang duduk diatas di tepi air
Bsa : Who sits by the seawater 1
Bsa : Who sitting on the seaside 2
Bsa : Who sits at side of water 3
Pada data ke-5 mantera ke-2 di atas, klausa „yang duduk diatas di tepi air‟ pada
bahasa sumber diterjemahkan menjadi „Who sits by the seawater‟ oleh penerjemah 1.
Terlihat bahwa ada terjadi penghilangan terjemahan untuk kata „di atas‟ pada bahasa
sumber. Penerjemah 2 sementara itu menerjemahkan klausa tersebut menjadi „Who
sitting on the seaside‟. Penggunaan kata sambung „who‟ dalam tata bahasa Inggris selalu
diikuti dengan verba dasar tanpa diikuti oleh gerund. Namun dalam hal ini, penerjemah 2
menerjemahkan klausa tersebut dengan penambahan akhiran –ing.
Mantera 3
Data 10 Penerjemah
Bsu : Terimalah persembahan anak
cucu
Bsa : Please, accept this offering 2
Pada data ke 10 di atas, klausa „Terimalah persembahan anak cucu‟ pada bahasa
sumber diterjemahkan menjadi „Please, accept this offering‟. Dapat diperhatikan bahwa
terdapat penghilangan secara parsial yaitu frasa „anak cucu‟ namun hal ini tidak
menimbulkan distorsi makna secara signifikan.
39
5.1.8 Partikularisasi (Particularization)
Teknik penerjemahan dimana penerjemah menggunakan istilah yang lebih
konkret, presisi atau spesifik, dari superordinat ke subordinat. Teknik ini merupakan
kebalikan dari teknik generalisasi. Hal ini berarti teknik partikularisasi mencoba
menerjemahkan satu istilah dengan cara mencari padanannya yang lebih spesifik.
Teknik partikularisasi tidak ditemukan pada mantera pertama hingga mantera
keempat oleh penerjemah pertama. Penerjemah kedua, di lain sisi, menerapkan teknik
partikularisasi sebanyak 1 kali hanya pada mantera keempat.
Penerjemah ketiga dan penerjemah keempat tidak menerapkan teknik
partikularisasi. Sementara itu, penerjemah kelima menerapkan teknik partikularisasi pada
mantera pertama sebanyak 1 kali dan pada mantera kedua sebanyak dua kali.
Mantera 1
Data 15 Penerjemah
Bsu : Jin Taru melepas bala mustaka
Bsa : Jin, release your reinforcements 5
Pada data ke 15 mantera pertama di atas, klausa „Jin Taru melepas bala mustaka’
pada bahasa sumber diterjemahkan menjadi „Jin, release your reinforcements‟ oleh
penerjemah 5. Reinforcement yang diterjemahkan oleh penerjemah 5 berarti bala
bantuan dalam bahasa Indonesia.
5.1.9. Amplifikasi (Amplification)
Dalam penelitian ini, teknik amplifikasi ditemukan pada mantera kedua yang
diterjemahkan oleh penerjemah pertama dengan frekuensi penggunaan teknik tersebut
sebanyak 8 kali. Pada mantera ketiga penerjemah menerapkan teknik ini sebanyak 1 kali.
Sementara pada mantera keempat teknik amplifikasi diterpkan sebanyak 2 kali oleh
penerjemah pertama.
Penerjemah kedua menerapkan teknik ini sebanyak 1 kali pada mantera kedua.
Sedangkan pada mantera ketiga penerjemah menerapkan teknik ini sebanyak 4 kali.
Begitu juga dengan mantera keempat, penerjemah menerapkan teknik ini sebanyak 4
40
kali. Penerjemah ketiga menerapkan teknik amplifikasi sebanyak 2 kali pada mantera
kedua. Sedangkan pada mantera ketiga, teknik amplifikasi diterapkan sebanyak 3 kali.
Pada mantera pertama dan kedua tidak ditemukan teknik penerjemahan amplifikasi pada
bahasa sasaran yang diterjemahkan oleh penerjemah ketiga.
Penerjemah keempat menerapkan teknik amplifikasi sebanyak 1 kali pada
mantera pertama, kedua dan ketiga. Sementara itu, penerjemah kelima menerapkan
teknik amplifikasi sebanyak 8 kali pada mantera kedua. Pada mantera ketiga dan
keempat, penerjemah menerapkan teknik ini sebanyak 1 kali. Namun pada mantera
pertama, tidak ditemukan penerapan teknik amplifikasi.
Secara lebih rinci, berikut data-data yang tergolong ke dalam teknik
penerjemahan amplifikasi pada bahasa sasaran mantera jamuan laut.
Mantera 2
Data 4 Penerjemah
Bsu : Nenek air jembalang air
Bsa : Water old spirit, water evil spirit 1
Pada mantera kedua data keempat di atas, penerjemah menerjemahkan kata
„nenek air‟ menjadi „water old spirit‟. Terlihat bahwa penerjemah menambahkan kata
“old” pada frase tersebut untuk menambahkan informasi implisit pada bahasa sumber.
Mantera 2
Data 12 Penerjemah
Bsu : Wahai Nenek air jembalang air
Bsa : Hey old spirit, water old spirit,
water evil spirit
1
Pada contoh diatas, kata „nenek‟ pada bahasa sumber diterjemahkan menjadi
„old spirit‟, dimana menurut penulis frasa old spirit memparafrasekan secara impilisit
kata „nenek‟. Kemudian penerjemah memparafrasekan frasa „nenek air‟ menjadi „old
spirit‟, dan frasa „jembalang air‟ diterjemahkan menjadi „water evil spirit‟. Kata
„jembalang‟ menurut penerjemah 1 memiliki padanan dengan kata „evil‟. Sesuai dengan
41
karakteristik teknik amplifikasi yaitu kebalikan dari teknik reduksi, maka penambahan
kata dalam teknik ini lumrah.
5.1.10 Teknik Penerjemahan Modulasi
Teknik penerjemahan yang mengganti, fokus, sudut pandang atau aspek kognitif
yang ada dalam BSu, baik secara leksikal ataupun struktural. Adapun data-data yang
tergolong dalam teknik ini adalah sebagai berikut:
Mantera 4
Data 13 Penerjemah
Bsu : Jangan diulah ulahi lagi anak cucu
Bsa : Do not disturb them again 2
Pada data ke-13 mantera ke-4 di atas, klausa „Jangan diulah ulahi lagi anak cucu‟
pada bahasa sumber diterjemahkan menjadi „Do not disturb them again‟ oleh
penerjemah 2. Perubahan struktur klausa dari bentuk pasif menjadi bentuk aktif pada
bahasa sasaran sehingga klausa ini merubah sudut pandang pembaca. Oleh karena itu,
klausa ini tergolong ke dalam teknik penerjemahan modulasi.
Mantera 1
Data 16
Penerjemah Bsu : Jin yang tua melepas bala mustaka
Bsa : The old genie releases it 1
Pada data ke-16 mantera pertama di atas, klausa „Jin yang tua melepas bala
mustaka‟ pada bahasa sumber diterjemahkan menjadi „The old genie releases it‟ oleh
penerjemah 1. Kata „it‟ pada bahasa sasaran merupakan pronomina pengganti untuk
frasa „bala-mustaka‟. Sehingga dengan demikian kata tersebut pada bahasa sasaran
mengubah sudut pandang penerjemah secara leksikal.
5.1.11 Teknik Deskripsi
Teknik penerjemahan yang mengganti istilah dalam bahasa sumber dengan
deskripsinya dalam bahasa sasaran. Teknik ini digunakan ketika suatu istilah dalam
bahasa sumber tidak memiliki istilah yang sepadan dalam bahasa sasaran.
42
Mantera 2
Data 20 Penerjemah
Bsu : Sikit tanda terkenang 1
Bsa : Altough you do not show your
appearance
Pada mantera kedua ini, data ke 20 menunjukkan bahwa terjemahan klausa “sikit
tanda terkenang” diterjemahkan menjadi “Although you do not show your appearance”
oleh penerjemah praktisi. Teknik deskrpsi disini terlihat dalam perpanjangan bahasa
sumber yang berjumlah tiga kata, namun setelah diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran
maka menjadi tujuh kata. Penambahan kata “you” dalam bahasa sumber
mendeskripsikan keberadaan seseorang dalam mantera tersebut.
Mantera 3
Data 4 Penerjemah
Bsu : Tempat jin turun berkecimpung 3
Bsa : The place of evil going down splashing
around
Pada mantera 3 data 4 di atas, klausa “Tempat jin turun berkecimpung”
diterjemahkan menjadi “The place of evil going down splashing around”. Dalam bahasa
sumber jumlah kata sebanyak empat kata, namun dalam bahasa sasaran, klausa tersebut
berjumlah delapan kata. Penerjemah 3 mendeskripsikan kata |berkecimpung menjadi
„splashing around‟ yang dalam hal ini penerjemah mencoba mendeskripsikan kata dalam
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan baik sehingga pembaca teks sasaran
dapat dengan mudah memahami bahasa sumber.
Mantera 4
Data 4 Penerjemah
Bsu : : Berkat Laa ilaha illallah Muhammadar
Rasulullah
3
Bsa : Blessing of kalimah syahadat (There are
no Gods, only Allah and Muhammad is
mesenger of Allah)
43
Pada mantera 4 data ke 4 diatas, klausa „Berkat Laa ilaha illallah Muhammadar
Rasulullah‟ diterjemahkan menjadi „Blessing of kalimah syahadat (There are no Gods,
only Allah and Muhammad is mesenger of Allah)‟ oleh penerjemah 3. Dapat dilihat
bahwa Frasa dalam bahasa sumber „Laa ilaha illallah Muhammadar Rasulullah‟ yang
merupakan bahasa Arab dan memiliki arti „tiada Tuhan selain Allah‟ dideskripsikan oleh
penerjemah 3 dengan beberapa penjelasan sehingga penerjemah 3 memasukkan tanda
kurung „There are no Gods, only Allah and Muhammad is mesenger of Allah).
Berdasarkan analisis diatas, didapatlah temuan bahwa penerjemah pertama
(akademisi) menerapkan sebelas teknik penerjemahan yaitu, dari yang paling dominan
ke paling sedikit digunakan: teknik padanan lazim, teknik harfiah, teknik peminjaman
murni, teknik amplifikasi, teknik kreasi diskursif, teknik adaptasi, teknik reduksi, dan
teknik deskripsi sama frekuensinya dengan teknik modulasi.
Sementara itu, penerjemah kedua menerapkan teknik harfiah yang paling
dominan, diikuti teknik peminjaman murni, kemudian teknik padanan lazim, teknik
amplifikasi, teknik kreasi diskursif, teknik adaptasi, teknik reduksi, teknik partikularisasi
dan teknik modulasi sama frekuensinya dengan teknik modulasi.
Penerjemah ketiga, secara dominan menggunakan teknik harfiah, kemudian
disusul dengan teknik padanan lazim, kemudian teknik adaptasi yang frekuensinya sama
dengan teknik reduksi, teknik kalke sebanyak 6 kali, teknik amplifikasi sebanyak 5 kali,
teknik peminjaman murni sebanyak 4 kali, teknik deskripsi sebanyak 2 kali, teknik
modulasi sebanyak 1 kali.
Penerjemah keempat, secara dominan menerapkan teknik harfiah dengan
frekeunsi penggunaan sebanyak 46 kali. Teknik padananan lazim diterapkan penerjemah
ke empat sebanyak 8 kali, teknik penambahan diterapkan penerjemah sebanyak 4 kali,
teknik kreasi diskursif diterapkan penerjemah sebanyak 2 kali. Sementara itu, teknik
amplifikasi, teknik deskripsi dan teknik modulasi masing-masing diterapkan dengan
frekuensi sebanyak 1 kali.
Penerjemah ke lima secara dominan menerapkan teknik harfiah sebanyak 16 kali.
Teknik kreasi diskursif diterapkan sebanyak 13 kali. Sementara teknik padanan lazim
44
sama frekuensinya dengan teknik adaptasi dan teknik amplifikasi yaitu sebanyak 10 kali.
Teknik peminjaman murni diterapkan sebanyak 4 kali. Teknik partikularisasi diterapkan
sebanyak 3 kali.
1
Penerjemahan Teks Mantera Jamuan Laut oleh
para praktisi
Penerjemahan Teks Mantera Jamuan Laut oleh
para akademisi
BAB VI
MODEL PENERJEMAHAN TEKS MANTERA JAMUAN LAUT
Penerjemah 1 Penerjemah 2 Penerjemah 3 Penerjemah 4 Penerjemah 5
Peminjaman Murni Peminjaman Murni Peminjaman Murni Peminjaman Murni Peminjaman Murni
Adaptasi Adaptasi Adaptasi Adaptasi Adaptasi
Harfiah Harfiah Harfiah Harfiah Harfiah
Padanan Lazim Padanan Lazim Padanan Lazim Padanan Lazim Padanan Lazim
Kalke Kalke Kalke Kreasi Diskursif Kreasi Diskursif
Kreasi Diskursif Kreasi Diskursif Reduksi Amplifikasi Partikularisasi
Reduksi Reduksi Amplifikasi Deskripsi Amplifikasi
Amplifikasi Partikularisasi Deskripsi Modulasi
Modulasi Amplifikasi Modulasi
Modulasi
Peminjaman Murni Peminjaman Murni
Harfiah Adaptasi
Padanan Lazim Harfiah
1
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, para penerjemah baik penerjemah akademisi maupun
penerjemah praktisi secara dominan menggunakan teknik penerjemahan harfiah dalam
penerjemahan teks mantera jamuan laut dari bahasa Melayu ke dalam bahasa Inggris.
Tingginya tingkat penggunaan teknik harfiah dan teknik padanan lazim, teknik
peminjaman (teknik peminjaman murni, teknik peminjaman alamiah) dalam penelitian
ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, bahasa Melayu sebagai bahasa sumber
dan bahasa Inggris sebagai bahasa sasaran memiliki sintaksis yang berbeda khususnya
pada sistem frasa. Kedua, ragam bahasa yang khas yang digunakan oleh komunitas
adat melayu di Serdang Bedagai. Bahasa tentang mantera mempunyai ciri-ciri
tersendiri sebagaimana ragam bahasa profesi lainnya. Mantera memiliki simbol
tersendiri yang perlu diketahui untuk memahami mantera sebagai sastra lisan atau lebih
tepat lagi tradisi lisan yang sangat erat hubungannya dengan kepercayaan dan pandangan
hidup (world view) masyarakat di mana mantra itu wujud.
7.2 Saran
Diperlukan penerjemah yang lebih profesional dan lebih mengetahui kebudayaan Melayu
agar teknik penerjemahan dominan yang digunakan bukan merupakan teknik
penerjemahan harfiah.
DAFTAR PUSTAKA
Baker, M. 1992. In Other Word: A Course Book on Translation. London: Routledge.
Beekman, J. & John Callow. 1974. Translating the Word of God. USA: Zonverdan.
Catford, J.C. 1965.A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press.
Fairclough, N. 1995.Critical Discourse Analysis. A Critical Study of language. London:
Longman.
2
Hatim, Basil & Ian Mason. 1990. Discourse and the Translator. London: Longman.
Hoed, B. H. 2006. Penerjemah dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya
Huberman, B & Miles, D. 1994. Q https://vivauniversity.files.wordpress.com
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 1989. “Sejarah teori Antropologi I”. Jakarta: Universitas Indonesia.
Larson, Mildred. 1984. Meaning-Based Translation: A guide to Cross-Language
Equivalence. Lanham, MD: University Press of America and Summer Institute of
Linguistics
Machali, Rochayah. 2009. Pedoman Bagi Penerjemah. Bandung: Kaifa.
Molina, L. and Albir, A.H. 2002. Translation Techniques Revisited: A Dynamic and
Functionalist Approach dalam Meta: Journal des Traducteurs/Meta: Translators'
Journal.XLVII, No. 4 hal.498-512. diunduh
darihttp://id.erudit.org/iderudit/008033ar.pdf pada tanggal 19 Desember 2014.
melayuonline.com/ind/culture/dig/2679/jamuan-laut-upacara-tolak-bala-adat-melayu-
serdang-sumatera-utara. Jamuan Laut: Upacara Tolak Bala Adat Melayu Serdang,
Sumatera Utara. Diunduh tanggal 2 Juli 2016.
Newmark, P. 1982. The Translators Handbook (First Edition). London: Aslib
Nida, E.A. 1966. “Linguistics and Ethnology in Translation Problems” dalam Hymes
(Ed.).Language in Culture & Society. New York: Harper & Row/John
Weatherhill.
Nida, E.A. & Taber, C.R.(1974) 1982. The Theory and Practice of Translation.Leiden:
E.J. Brill.
Snell-Hornby, M. 1995.Translation Studies: An Integrated Approach. Amsterdam: John
Benjamins Publishing Company.
3
Suryawinata, Z. dan Hariyanto, S. 2003. Translation (Bahasa Teori I). Yogyakarta:
Kanisius.
Sutopo, H.B. 2006. Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam
Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Venuti, L. 1995. The Translator‟s Invisibility: A History of Translation. London/New
York: Routledge.
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24