UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

75
UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN HUTAN SEBAGAI PENCEGAH PEMANASAN GLOBAL Oleh: Tarsoen Waryono Fenomena Pemanasan Global Pemanasan global telah menjadi isu internasional sejak beberapa dekade yang lalu, walaupun mungkin sebenarnya masih terdapat ketidakpastian apakah benar akan terjadi pemanasan global. Sebagai akibat dari pemanasan global, memberikan dampak sangat besar baik terhadap iklim dunia, maupun kenaikan permukaan air laut. Dampak iklim global ini akan mengakibatkan perubahan tatanan hujan pada suatu wilayah; dimana sebagian wilayah hujannya akan bertambah dan di beberapa wilayah lainnya hujannya akan berkurang. Hal ini memberikan dampak turunan terhadap sistem pertanian dalam arti luas. Kenaikan permukaan laut akan menyebabkan terendamnya daerah pantai yang rendah, hal ini akan menimbulkan kesulitan terhadap negara-negara yang memiliki pulau-pulau kecil, seperti Maldives, Fiji dan Marshall; negara dengan delta yang luas (Mesir dan Banglades), serta negara yang memiliki daerah rawa pantai yang luas seperti Indonesia. Di Indonesia daerah rawa pantai seperti mangrove, tambak udang, daerah pasang surut dan kota-kota yang berdataran rendah seperti (Jakarta, Surabaya dan Banjarmasin), terancam akan terendam. Kerugian lain misalnya akan munculnya gelombang badai dan menyusupnya intrusi air laut. Mencermati atas uraian tersebut di atas, dalam kaitannya dengan upaya pengendalian terhadap pemanasan global; memberdayakan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membangun kawasan hijau baik dalam bentuk hutan maupun hijauan lainnya; merupakan alternatif pendekatan yang dinilai efektif dan rasional. Hal ini mengingat bahwa pepohonan hutan berpotensi dalam hal pencegahan pemanasan global; karena jasa- jasa biologis dan hidrologisnya serta mampu mendaur ulang CO2 secara alami. Atas dasar itulah dalam paparan ini penulis ingin mencoba mengungkap lebih jauh proses terjadinya pemanasan global,

description

Artikel

Transcript of UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKATDALAM PELESTARIAN HUTAN SEBAGAI PENCEGAHPEMANASAN GLOBALOleh: Tarsoen Waryono Fenomena Pemanasan GlobalPemanasan global telah menjadi isu internasional sejak beberapa dekade yang lalu, walaupun mungkin sebenarnya masih terdapat ketidakpastian apakah benar akan terjadi pemanasan global. Sebagai akibat dari pemanasan global, memberikan dampak sangat besar baik terhadap iklim dunia, maupun kenaikan permukaan air laut.Dampak iklim global ini akan mengakibatkan perubahan tatanan hujan pada suatu wilayah; dimana sebagian wilayah hujannya akan bertambah dan di beberapa wilayah lainnya hujannya akan berkurang. Hal ini memberikan dampak turunan terhadap sistem pertanian dalam arti luas.Kenaikan permukaan laut akan menyebabkan terendamnya daerah pantai yang rendah, hal ini akan menimbulkan kesulitan terhadap negara-negara yang memiliki pulau-pulau kecil, seperti Maldives, Fiji dan Marshall; negara dengan delta yang luas (Mesir dan Banglades), serta negara yang memiliki daerah rawa pantai yang luas seperti Indonesia.Di Indonesia daerah rawa pantai seperti mangrove, tambak udang, daerah pasang surut dan kota-kota yang berdataran rendah seperti (Jakarta, Surabaya dan Banjarmasin), terancam akan terendam. Kerugian lain misalnya akan munculnya gelombang badai dan menyusupnya intrusi air laut.Mencermati atas uraian tersebut di atas, dalam kaitannya dengan upaya pengendalian terhadap pemanasan global; memberdayakan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membangun kawasan hijau baik dalam bentuk hutan maupun hijauan lainnya; merupakan alternatif pendekatan yang dinilai efektif dan rasional. Hal ini mengingat bahwa pepohonan hutan berpotensi dalam hal pencegahan pemanasan global; karena jasa-jasa biologis dan hidrologisnya serta mampu mendaur ulang CO2 secara alami.Atas dasar itulah dalam paparan ini penulis ingin mencoba mengungkap lebih jauh proses terjadinya pemanasan global, dampak dan upaya penangannya, serta memberdayakan masyarakat untuk tujuan pencegahannya.Bumi mempunyai suhu yang sesuai bagi kehidupan baik manusia maupun lainnya, akibat dari efek rumah kaca (ERK). Jika tidak ada ERK di dunia ini, maka bumi akan mempunyai suhu di bawah titik beku, yang akan berpengaruh terhadap kehidupan di muka bumi ini. Dengan demikian ERK tidaklah seburuk apa yang diduga oleh setiap insan yang awam terhadap penge-tahuan tersebut.Cahaya matahari yang berwarna putih, sebenarnya terdiri atas berbagai macam jenis warna (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu). Masing-masing jenis warna mempunyai panjang gelobang tertentu; cahaya ungu mempunyai panjang gelombang terpendek, dan merah terpanjang.Di sisi lain ada cahaya yang tidak tampak yaitu Ultra violet dengan panjang gelombang lebih pendek dari pada cahaya unggu; namun sebaliknya cahaya infra-merah dengan panjang gelombang lebih panjang dari pada merah, dan merupakan sinar yang bersifat panas.Di dalam atmosfer, bumi terdapat berbagai jenis gas; dimana gas-gas tersebut dapat meneruskan sinar matahari yang bergelombang pendek, hingga sinar mata hari dapat sampai ke permukaan bumi dan akibat yang ditimbulkannya permukaan bumi menjadi panas, dan permukaan bumi memancarkan kembali sinar yang diterimanya. Menurut hukum fisika panjang gelombang sinar yang dipancarkan sebuah benda tergantung pada suhu benda tersebut. Makin tinggi suhunya akan semakin pendek gelombangnya. Matahari dengan suhu yang tinggi, memancarkan sinar dengan gelombang yang pendek. Namun sebaliknya karena permukaan bumi dengan suhu yang rendah, maka memancarkan sinar dengan gelombang panjang yaitu sinar infra-merah. Sinar infra merah dalam atmosfer terserap oleh gas tertentu, hingga tidak terlepas ke angkasa luar. Panas yang terperangkap di dalam lapisan bawah atmosfir yang disebut troposfer; sebagai akibat yang ditimbulkannya permukaan bumi dan tropsfer menjadi naik suhu udaranya; dan peristiwa inilah yang disebut dengan istilah efek rumah kaca.*) Makalah Dalam Rangka Sarasehan Revitalisasi Kalpataru, 2009. Hotel Redstop Jakarta 5 Juni 2009.**). Staf pengajar Dep. Geografi FMIPA Universitas Indonesia dan Penerima Kalpataru 2005.Gas yang menyebabkan terjadinya ERK disebut gas rumah kaca (GRK); yang antara lain meliputi uap air (H2O); Carbon dioksida (CO2), metan (CH4); N02; Ozon dan CFC (gas buatan manusia).Pemantauan terhadap kadar GRK dalam atmosfer, kecuali air menunjukan kecende-rungan semakin meningkat; oleh karena itu dikhawatirkan intensitas ERK akan menjadi naik, hingga suhu permukaan bumi akan menjadi lebih tinggi dari keadaan sekarang ini; peristiwa inilah yang dikenal dengan istilah pemanasan global. Menurut Scneirder (1989), jika kecenderungan seperti sekarang ini terus berlangsung, maka pada abad yang akan datang suhu udara permukaan bumi akan naik antra 2,3oC sam pai 7,0oC; walaupun kenaikan ini nampaknya kecil, namun dampaknya akan sangat besar.2. Hutan dan Isu GlobalKerusakan hutan, khususnya hutan hujan tropis, kini ditelaah erat kaitannya dengan isu global, terutama kepunahan jenis flora dan fauna atau keragaman hayati (biodiversity), dan pemanasan global. Oleh karena itu dampak hidroorologi akibat kerusakan hutan sifatnya lokal, regional dan nasional, dan masalah ini kurang disoroti sebagai isu global. Namun demikian masalah penggurunan, sebagai akibat proses erosi yang berlebihan hingga terbentuk bentang alam yang menyerupai gurun, telah menarik perhatian internasional. Hal ini nampaknya erat kaitannya dengan dampak negatif akibat pemanasan global yang terjadi.Isu-isu di atas, dapat dilihat dari dua kepentingan baik internasional maupun nasional. Terhadap kepentingan internasional, erat kaitannya dengan pembagian biaya penanganan masalah global. Ditinjau dari segi luasan penyusutan hutan, nampaknya hutan tropis relatif lebih kecil dibanding dengan hutan non-tropis. Kerusakan hutan tropis tercatat 15,15% (7,01 juta km2), dan kerusakan padang rumput sebesar 19,1% (6,47 juta km2), sedangkan kerusakan hutan non-tropis sebesar 13,6 kali lipat lebih besar dibanding dengan penyusutan pada hutan hujan tropis. Akan tetapi isu yang terlontar bahwa kerusakan hutan hujan tropis lebih besar dibanding dengan hutan non-tropik. Dugaan lebih mendasar bagi negara-negara maju saat itu, bahwa kerusakan lapisan ozon di stratosfer disebabkan oleh rusaknya hutan tropis.Akhirnya dugaan itu menjadi reda setelah diperolehnya data penyebab rusak-nya lapisan ozon dan kadar GRK di atmosfer, lebih cenderung disebabkan oleh kenai-kan gas CFC (gas buatan manusia, mengkonsumsi 29%) yang banyak digunakan dalam industri (karet, plastik busa, AC dan alat pendingin lainnya). Kerusakan lapisan ozon seperti yang dikemukakan oleh Falk dan Brownlow (1989), mempunyai pengaruh naiknya sinar UV-B yang dapat mencapai bumi; yang berakibat sebagai penyebab naiknya frekwensi penyakit kangker kulit, katarak dan menurunnya kekebalan tubuh manusia.Walaupun hutan memberikan dampak yang relatif kecil terhadap pemanasan global dibanding dengan gas CFC; bukan berarti bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi dianggap aman. Penebangan hutan secara besar-besaran terutama di negara-negara berkembang cenderung memberikan pengaruh besar terhadap iklim global. Oleh karena itu harus diakui bahwa hutan sebagai sumber utama penyebab ERK. Demikian halnya dengan besaran laju erosi yang melebihi ambang batas erosi yang diijinkan, menimbulkan sedimentasi baik di sepanjang badan sungai dan atau muara sungai, hingga menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.Sedimen yang terjadi pada muara-muara sungai, memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan hidup hutan mangrove, yang erat kaitannya dengan kehidupan biota perairan laut. Di sisi lain, kerusakan hutan tropis menyebabkan terancamnya degradasi jenis flora dan fauna khsusnya terhadap jenis-jenis endemik.3. Dampak Pemanasan GlobalTimbulnya isu pemanasan global, karena dampaknya yang sangat besar, dan seandainya hal tersebut betul terjadi, akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut, yang secara langsung baik cepat atau lambat akan menimbulkan dampak-dampak turunannya.a. Perubahan iklimPara pakar lingkunagan sependapat bahwa pemanasan global akan menyebab-kan terjadinya perubahan iklim sedunia. Karena kenaikan suhu udara di permukaan bumi, maka laju penguapan air akan meningkat, dengan demikian jumlah awan dan hujan secara umum akan meningkat, dan menyebabkan distribusi curah hujan secara regional akan berubah. Di suatu daerah tertentu jumlah hujannya naik, akan tetapi di beberapa tempat lainnya akan mengalami penurunan.Di Asia Tenggara, curah hujan akan bertambah; sedangkan di wilayah Indonesia bagi daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi, penambahan curah hujan akan menimbulkan bahaya banjir dan meningkatnya erosi. Sedangkan kenaikan suhu udara karena pemanasan global akan mempersulit masalah kekurangan air (defisit air) di daerah tertentu.Mencermati pernyataan Scneirder (1989), terhadap perubahan suhu udara, kecende-rungan yang kini dirasakan telah menjadi kenyataan. Di beberapa kota di Indonesia, pada tahun 1970-an rata-rata suhu udara di Jakarta tercatat berkisar antara 24oC dan 26oC, dan kini telah (2007) berubah antara 29,12oC dan 31,26oC. Di kota Bogor (1972) tercatat berkisar antara 24,09oC dan 25,11oC, kini (2005) telah berubah antara 25,14oC dan 27,31oC, di Bandung (1970) tercatat berkisar antara 18,11oC dan 23,15oC, dan kini (2006) telah berubah antara 24,28oC dan 27,22oC. Perubahan suhu udara di beberapa kota juga berpengaruh terhadap kelembaban relatif, yang cenderung turun rata-rata 6,23% hingga 8,35%.Perkiraan lainnya yang menyertai perubahan iklim di Asia Tenggara, menurut Scneirder (1989), naiknya frekuensi dan intensitas badai. Indonesia saat ini masih beruntung karena terletak di luar daerah badai topan; namun demikian apakah badai yang berlangganan di bagian wilayah Filipina akan bergeser kearah selatan.Terhadap perubahan curah hujan, nampaknya juga mulai dirasakan pengaruh-pengaruhnya. Walaupun curah hujan meningkat dan ditandai dengan peningkatan genangan (banjir), akan tetapi neraca keseimbangan air setiap tahunnya memperlihatkan defisit air yang semakin berkelanjutan. Suatu contoh S. Ciliwung di Kota Depok, pada tahun 1970-an, pada bulan kering (Agustus), tercatat memiliki debit >413 m3/detik, namun kini (Agustus, 2005) hanya memiliki debit 32,44 m3/detik. S. Serayu di Rawalo (Jembatan Cindaga), pada bulan Juli 1980, tercatat memiliki debit 1.843 m3/detik, dan kini pada bulan yang sama (2005) hanya memiliki debit 169,65 m3/detik, dan kemungkinan juga terjadi pada beberapa sungai lainnya.Contoh isu di atas, memperlihatkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi akibat pemanasan global dimuka bumi ini.b. Kenaikan Permukaan LautBeberapa pendapat juga masih mempersoalkan ketidak pastian yang besar sebagai akibat dari pemanasan global, walaun di beberapa tempat secara nyata telah dirasakan akibat-akibatnya. Suatu prediksi para pakar lingkungan, permukaan air laut akan naik setinggi satu meter sejak tahun 2045, dan akan terlihat efektif pada tahun 2060. Kenaikan air laut diduga disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (a) adanya kenaikan suhu air laut, hingga menyebab-kan pemuaian di atas permukaan, dan menyebabkan volumenya bertambah, (b) melehnya es abadi di benua Antartika, dan pengunungan-pegunungan tinggi, serta (c) kenaikan air laut juga disebabkan turunnya permukaan tanah sebagai akibat dari proses geologi.Sebagai akibat kenaikan permukaan air laut, menyebabkan (a) terendamnya daerah-daerah genangan (rawa), seperti di daerah pasang surut Pulau Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan dan Irian Jaya bagian Barat, (b) meningkat dan meluasnya intrusi air laut yang menyusur melalui badan-badan sungai pada saat musim kemarau.Suatu pendapat para pakar lingkungan bahwa peranan fungsi jasa biologis, ekologis dan hidrologis komunitas vegetasi hutan dinilai mampu dalam mengendalikan degradasi lingkungan yang erat kaitannya dengan pemanasan global. Atas dasar itulah dalam paparan ini juga akan diungkap fenomen pelestarian hutan. Adapun keterkaitan dengan makna pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya dengan pelestarian hutan, dimaksudkan untuk memacu keperduliannya untuk ikut berkiprah dalam pelestarian lingkungan melalui pembudidayaan hutan; karena hutan merupakan sumber oksigen yang sangat esensial dibutuhkan oleh setiap insan manusia, dan atau kehidupan lainnya.4. Upaya Penanganan Terhadap Penyebab Pemanasan GlobalApabila benar kenaikan kadar GRK akan menyebabkan pemanasan global, maka fenomena yang terjadi tidak dapat dihindari lagi, dan harus diatasi serta ditangani seraca cermat berkelanjutan. Oleh karena itu usaha pertama yang harus ditempuh adalah dengan mengurangi emisi karbon ke atmosfer; dengan demikian upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain: (a) menaikan efesiensi penggunaan energi bahan bakar fosil; (b) mengikat dan mendaur ulang C02; (c) pengendalian pemanfaatan hutan secara tidak terkontrol; (d) peningkatan reboisasi dan penghijauan; yang secara rinci diuraikan sebagai berikut;Bahan bakar fosil, merupakan sumber cemaran CO2 terbesar; walaupun sebagian mampu diikat oleh jasa biologis pepohonan dalam proses fotosintesis. Namun demikian kandungan lainnya yang tercampur dengan bahan cemaran tersebut seperti aerosol, kadar debu dan kandungan kimiannya, cenderung meningkatkan GRK.Melalui kesadaran untuk efesiensi dalam penggunaan bahan bakar fosil, nampaknya merupakan alternatif yang dinilai positif. Kesadaran tersebut mulai muncul dengan perancangan pemanfaatan energi surya sebagai sumber penerangan dan atau kini sedang diuji pemanfaatanya untuk kepentingan otomotif.Secara umum telah diketahui bahwa secara alamiah dalam kaitannya dengan CO2 terdapat dua proses yang berlawanan, yaitu proses fotosintesis dan pernafasan. Dalam proses fotosistensis hanya dapat dilakukan oleh hijau daun; dimana CO2 diolah menjadi gula dengan bantuan cahaya matahari sebagai sumber energinya. Sedangkan hasil samping yang diperoleh adalah O2 (oksigen). Selanjutnya gula dimanfaatkan untuk membentuk bagian dari tubuh tumbuhan (batang, akar dan daun); dengan demikian semakin banyak biomassa hijau, berarti pula semakin banyak CO2 yang diikat (diserap), demikian halnya dengan oksigen yang diproduksi.Dalam proses pernafasan adalah sebaliknya; bahwa dalam tubuh memerlukan energi untuk pembakaran. Kedua proses tersebut berjalan bersamaan, dan secara lamiah bahwa hasil proses fotositesis lebih besar dibanding dengan proses pernafasan. Oleh karena itu jumlah CO2 yang diserap jauh lebih besar, berarti proses fotosintesis membantu dalam mengurangi jumlah CO2 pada atmosfer.Jika menggunakan bahan bakar kayu untuk kepentingan rumah tangga dan atau lainnya, maka jumlah CO2 yang dihasilkan cukup besar. Dengan dalih bahwa kayu yang dimanfaatkan diimbangi dengan laju pertumbuhan hutan, maka besaran emisi CO2 di udara jumlahnya akan tetap dan tidak menjadi bertambah.Sebuah aspek yang cukup menarik adalah pohon randu (Ceiba petandra), dulu diman-faatkan sebagai pengisi kasur dan bantal; akan tetapi sekarang justru tersingkir oleh karet busa. Karet busa diproduksi dengan menggunakan CFC di pabrik; dan merupakan sumber ozon di stratosfer. Untuk itu mempromosikan kembali untuk menggunakan kasur dan bantal dengan kapuk merupakan cara yang sehat dan membantu mengurangi ERK.Penebangan hutan yang tidak terkontrol, perladangan berpindah dan aktifitas perhu-tanan lainnya. Penebangan hutan selain mengurangi jumlah biomassa yang berperanan fungsi sebagai pengikat CO2 , namun demikian akan dinilai wajar apabila terciptanya kese-imbangan antara biomassa yang diproduksi dengan biomassa yang dibangun.Perladangan berpindah seperti yang dilakukan oleh masyarakat nomadik di sekitar kawasan hutan, walaupun metode pendekatan bercocok tanamannya dengan cara melakukan pembakaran, akan tetapi cara-cara yang dilakukan secara tertib dan terkontrol. Pembakaran dilakukan bertepatan menjelang 2-3 hari datangnya hujan, luasannya terbatas 0,5-1,5 ha, hingga cemaran CO2 cenderung dapat dikendalikan. Berbeda halnya dengan pembangunan hutan tanaman industri, dimana lahan yang dibuka relatif luas dan melakukan pembakan yang tidak terkontrol, hingga menyebabkan cemaran udara yang cenderung mendukung terjadinya pemanasan global.Kegiatan ini selain memperbaiki kerusakan tanah, juga merupakan sumber oksigen yang diperoleh dari proses pengikatan (penyerapan) CO2 di alam bebas. Semakin luas implentasi reboisasi yang dibangun; berarti pula memberikan efektifitas terkendalinya ERK.Dalam kenyataanya bahwa kegiatan reboisasi dan atau penghijauan juga sering meman-faatkan pendekatan melalui pembakaran hutan. Cara-cara pembangkaran yang menimbulkan polusi udara, nampaknya sudah mulai tidak lagi dilakukan. Melalui reboisasi dan penghijauan, selain memberikan manfaat terhadap pengendalian ERK, juga bermanfaat dalam hal pemulihan dan peningkatan produktifitas lahan.5. Beberapa Aspek Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pelestarian HutanMasyarakat baik di pedesaan dan atau diperkotaan dan peralihannya, pada hakekatnya cenderung mendambakan atas kenyamanan lingkungan hidupnya. Oleh sebab itu masyarakat juga berkepentingan terhadap sumber-sumber kenyamanannya; yang berarti pula masyarakat tergolong salah satu stakeholder. yang harus bersama-sama dengan pihak yang berkepen-tingan untuk ikut serta bertanggung-jawab terhadap upaya-upaya pengendalian pemanasan global.Di lingkungan perkotaan, kenyamanan nampaknya kini menjadi persyaratan mutlak yang harus dipenuhi; terlebih lagi di kawasan-kawasan permukiman, dimana keteduan, keredupan dan kesan pandang menjadi indaman bagi para huniannya. Secara alami makana kenyamanan lingkungan hidup diilustrasikan sebagai berikut;cahaya mata hariC02 + H2 0 C6 H12 06 + 02Mencermati rumus fotosistesis yang sederhana di atas, nampaknya jelas bahwa kenyamanan lingkungan permukiman yang diilustrasikan (02) sangat dipengaruhi oleh kemampuan kawasan hijau (C6 H12 06) untuk mengikat dan atau mendaur ulang jumlah polutan yang didominan oleh C02 , yang bersumber kendaraan bermotor di wilayah perkotaan.Dalam kaitannya dengan pelestarian hutan dan atau kawasan hijau di wilayah perkotaan, yang dinilai mampu sebagai pengendali dan pencegah terhadap pemanasan global; nampaknya partisipatif masyarakat perlu digalang dan dipacu untuk ikut serta dalam pelesta-riannya; dalam pada itu aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat meliputi hal-hal sebagai berikut;(1). Aspek kesadaran pentingnya hutan (kawasan hijau) sebagai salah satu penyangga kenyamanan lingkungan hidup;(2). Aspek peningkatan pengetahuan masyarakat dalam kaitannya dengan multiguna peranan fungsi hutan (kawasan hijau);(3). Aspek ekonomi, memberikan informasi dan peluang untuk bekerja dan berusaha pada sektor perhutanan;(4). Aspek sosial, dimana hutan merupakan bagian hidup bagi masyarakat, karena produk oksigen dari pepohonan hutan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap insan kehidupan;(5). Aspek pengaman, dimana hutan (kawasan hijau) merupakan kawasan penyangga baik terhadap kesuburan tanah, air dan kehidupan satwa liar;Mencermati uraian di atas, sehingga dapat dikatakan bahwa dampak pemanasan global akibat efek rumah kaca, nampaknya kini menjadi tanggung-jawab bersama mengingat bahwa ancaman-ancamanya mulai dapat dirasakan. Upaya pengendalian terhadap pemanasan global dinilai belum terlambat; serta keyakinan para pakar lingkungan bahwa pepohonan baik dalam bentuk hutan, budidaya pertanian dan atau lainnya mampu untuk mengegah dan mengendalikannya. Untuk itu menggalakan partisipasi masyarakat untuk ikut berkiprah merupakan pendekatan yang dinilai cukup strategis. Penyuluhan atas peranan fungsi jasa biologis, ekologis dan hidrologis kawasan hijau, nampaknya perlu diperdayakan kepada masyarakat secara luas, mengingat bahwa pepohonan merupakan bagian dari kehidupan setiap insan.

https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/archives/157

Partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan dinilai mampu mengurangi efek gas rumah kaca seperti karbondioksida atau CO2. Caranya adalah dengan menumbuhkan kesadaran meminimalkan penggunaan produk-produk yang bisa menghasilkan efek gas rumah kaca tersebut."Apalagi saat ini penyerapan alami emisi gas hasil pembakaran kian sulit lantaran berkurangnya kawasan hijau di pedesaan dan perkotaan. Akibatnya, bumi tengah menghadapi pemanasan yang relatif cepat," kata Ketua Forum Komunikasi Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta Tarsoen Waryono dalam seminar bertema "Selamatkan Bumi Kita", Sabtu (26/5), di Kampus Universitas Bina Nusantara, Jakarta.Penyebab utama pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang melepas karbondioksida dan gas lain yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Kerusakan lapisan ozon ini berpengaruh pada naiknya sinar ultra violet-B yang dapat mencapai bumi sehingga meningkatkan kasus kanker kulit, katarak, dan turunnya kekebalan tubuh manusia.Upaya pengendalian pemanasan global ini, lanjut Tarsoen, bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Salah satu caranya adalah meningkatkan kesadaran untuk efisiensi dalam penggunaan bahan bakar fosil untuk keperluan rumah tangga dan transportasi, mengurangi pemakaian karet busa dan beralih menggunakan kasur dan bantal dengan kapuk untuk mengurangi efek rumah kaca."Penyuluhan atas multifungsi kawasan hijau sebagai daerah penyangga terhadap kesuburan tanah, air, dan kehidupan satwa liar perlu diberdayakan kepada masyarakat secara luas," kata Tarsoen. Kegiatan penghijauan juga bisa dilakukan untuk memperbaiki kerusakan tanah dan merupakan sumber oksigen dari proses pengikatan CO2 di alam bebas sehingga efek rumah kaca dapat terkendali.Penebangan hutan yang tidak terkontrol dan perladangan berpindah bisa mengurangi jumlah biomassa yang berfungsi sebagai pengikat CO2. Pembangunan hutan tanaman industri, dengan lahan yang dibuka relatif luas dan penebangan pohon yang tidak terkontrol, menyebabkan pencemaran udara yang mendukung terjadinya pemanasan global. Karena itu, luas lahan yang dikelola para pemegang hak pengusahaan hutan harus dikurangi. (EVY)

Penanganan Pemanasan GlobalKegiatan manusia sehari-hari tidak luput dari penggunaan sumber-sumber daya alam seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam. Manusia senantiasa menggali sumber daya alam tersebut secara besar-besaran. Sehingga dari hasil tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Namun, manusia juga lalai untuk menjaga, merawat dan melindungi alam. Maka sering terjadi bencana alam karena ulah manusia itu sendiri. Salah satu bencana tersebut mengenai pemanasan globalMenurut orang awam, pengertian pemanasan global adalah naiknya suhu permukaan bumi. Hal tersebut dikarenakan meningkatnya efek rumah kaca di atmosfer. Peningkatan itu terjadi karena beberapa hal seperti : Bertambahnya jumlah karbondioksida (CO2) yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi, batu bara, gas alam dll) oleh beberapa pabrik / perusahaan industri. Sehingga terjadi pula pencemaran baik di tanah, air, udara. Selain itu ada pula penggundulan hutan secara besar-besaran. Dan masih banyak lagi sebab-sebab lainnya. Dengan demikian terjadi akibat pemanasan global yaitu mencairnya es dikutub utara dan kutub selatan. Pencairan es tersebut mengakibatkan pula permukaan air laut . Sehingga memperbesar resiko banjir di wilayah sekitar pantai/laut.Ada pula terjadi perubahan iklim yang menjadi semakin panas dan kering. Apabila kejadian tersebut terjadi secara terus menerus maka dapat mengancam kehidupan manusia di Bumi. Setelah kita mengetahui dampak dari pemanasan global sangatlah serius. Maka kita perlu melakukan suatu perubahan tentang aktivitas penggunaan sumber daya alam. Agar jangan sampai merugikan seluruh makhluk hidup. Adapun pula yang dilakukan diantaranya adalah mengurangi emisi karbondioksida yang berat penggunaan bahan bakar fosil untuk industri haruslah dikurangi. Menghentikan penggundulan hutan serta penanaman kembali hutan yang telah gundul secara intensif. Namun, tanpa adanya kesadaran dari kita sebagai manusia maka upaya mengurangi pemanasan global tidak akan berhasil. Pastinya kita ingin kehidupan yang seimbang (balance) dengan alam. Sehingga kelak anak cucu kita juga dapat menikmati hasil sumber daya alam yang sangat berlimpahPemanasan globalPemanasan global adalah proses di bumi ini yang tidak dapat dihindari manusia menyongsong masa depan. Dampak bagi generasi penerus yang terjadi ternyata sangat mengerikan bila masalah ini tidak dijadikan sebagai prioritas utama. Berbagai faktor berpengaruh dalam permasalahan pemanasan global. Manusia sebagai salah satu faktor penentu seharusnya harus ikut terlibat secara penuh dalam mengantisipasi dampak yang ditimbulkannya.Pemanasan global adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan dataran bumi, yang disebabkan oleh banyak hal namun yang paling mendominasi adalah efek rumah kaca, efek umpan balik dan variasi matahari. Pemanasan global memberikan banyak sekali efek negatif, salah satunya yang saat ini kita bisa rasakan adalah perubahan cuaca dan iklim yang ekstrim.Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Berbagai langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang menjadi wacana saat ini relatif belum dapat mencegah pemanasan global di masa depan.Namun, sampai sekarang sepertinya belum ada solusi kongkrit yang dapat menanggulangi permasalahan pemanasan global ini. Dunia memang sudah mengadakan konferensi-konferensi untuk membahas penanggulangan masalah ini namun sampai sekarang ini hanya disajikan dengan hasil-hasil konferensi yang lebih bersifat teori. Sedangkan, yang dibutuhkan saat ini adalah solusi kongkrit yang masyarakat dunia bisa mempraktekanya dengan mudah dan cepat. Karena masalah pemanasan global ini adalah masalah yang berpacu dengan waktu. Sedikit saja salah memperhitungkan waktu kita akan menyesal nantinya.Konferensi-konferensi dunia yang telah dilaksanakan untuk membahas tentang penanggulangan pemanasan global. Dulu kita telah mengenal protokol Kyoto, dan baru- baru ini dunia juga telah mengadakan konferensi tentang pemanasan global yang berlangsung di Nusa Dua Bali tahun 2007 yang lalu yang dikenal dengan UNFCCC (United Nations Framework Conference of Climate Change)Konferensi tersebut menghasilkan keputusan-keputusan yang akan menjadi jalan untuk mencapai konsensus baru lebih lanjut pada 2009 di Kopenhagen, Denmark sebagai pengganti Protokol Kyoto fase pertama yang berakhir pada tahun 2012 mendatang. Keputusan keputusan tersebut dikenal sebagai peta jalan Bali ( Bali road map ).Konferensikonferensi dunia memang diperlukan untuk membahas masalah ini karena bersifat mendunia. Namun hasil konferensi seharusnya bukan hanya keputusan-keputusan yang menjadi teori belaka. Tapi yang dibutuhkan adalah penerapan dan pelaksanaan keputusankeputusan konferensi tersebut tersebut dengan ketentuan waktu sesegera mungkin baik oleh pemerintahan atau masyarakat.Penanganan pemanasan global bisa saja mulai dari diri sendiri. Penerapan pada diri sendiri melalui cinta lingkungan, misalnya kita membeli satu pot tanaman yang kita suka, lalu kita tanam di halaman rumah kita dan kita rawat dengan baik.Memang terlihat sepele, tapi coba tanamkan dalam hati bahwa dengan satu pot tanaman yang benar- benar dirawat sendiri itu sudah menyumbangkan oksigen untuk dunia. Bayangkan apabila seluruh masyarakan dunia melakuan hal yang sama. Hal yang mungkin kita anggap sepele tadi bisa menjadi hal yang sangat besar manfaatnya. Yaitu meminimalisir dampak dari global warming.Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut.Kesepakatan Penanggulangan Pemanasan GlobalDelegasi internasional berhasil mencapai kesepakatan, mengenai cara terbaik memerangi perubahan iklim. Sebelumnya, China berupaya mencairkan bahasa yang digunakan dalam penghentian emisi gas rumah kaca yang destruktif. Perdebatan tertutup yang mencakup penggunaan energi nuklir hingga biaya pemanfaatan energi ramah lingkungan ini, berlangsung hingga Jumat subuh. Para delegasi berdebat mengenai penggunaan kata-kata. Namun konsensus akhirnya dicapai untuk dapat meluncurkan laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suatu jejaring ilmuwan beranggotakan sekitar 2.000 ilmuwan dan delegasi dari 120 negara. China yang merupakan polutan terbesar setelah Amerika Serikat (AS) memiliki posisi teguh selama pertemuan empat hari di Thailand. Bersama India dan negara-negara berkembang lainnya, China mendorong agar sasaran terendah dipakai untuk karbon dioksida (CO2) di atmosfer, begitu para delegasi menjelaskannya.Draf laporan yang diusulkan membatasi konsentrasi gas rumah kaca antara 445 parts per million (ppm) dan 650 ppm. China berusaha menujukannya pada yang tertinggi agar ekonomi mereka yang meningkat tidak terganggu.Pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.Menghilangkan karbonCara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.Gas karbondioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbondioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.Salah satu sumber penyumbang karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbondioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbondioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbondioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbondioksida sama sekali. Persetujuan internasional Protokol KyotoReaksi dunia dengan adanya pemanasan global

Kerjasama internasional untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbondioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbondioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi.Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbondioksida.Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.Bangsa Indonesia juga mulai melakukan aksi nyata dalam menyikapi pemanasan global. Hal ini dibuktikan dengan adanya kegiatan melakukan penanaman melalui program Kampanye Indonesia Menanam, Kecil Menanam Dewasa Memanen, Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Aksi Penanaman Serentak, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon.Seacara kelembagaan telah dilakukan pertemuan internasional di Provinsi Bali yaitu Conference Of Parties (COP) 13 United Nation Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) pada tanggal 3 s/d 14 Desember 2007 yang dihadiri oleh 103 negara dengan 9000 peserta.Penanganan pemanasan global bisa saja mulai dari diri sendiri. Penerapan pada diri sendiri melalui cinta lingkungan, misalnya kita membeli satu pot tanaman yang kita suka, lalu kita tanam di halaman rumah kita dan kita rawat dengan baik.Memang terlihat sepele, tapi coba tanamkan dalam hati bahwa dengan satu pot tanaman yang benar- benar dirawat sendiri itu sudah menyumbangkan oksigen untuk dunia. Bayangkan apabila seluruh masyarakan dunia melakuan hal yang sama. Hal yang mungkin dianggap sepele tersebut bisa menjadi hal yang sangat besar manfaatnya dalam meminimalisir dampak dari global warming.Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur iklim globalLangkah strategis dalam penanganan pemanasan global adalah mengurangi emisi karbon sebanyak 80% dibawah tingkat emisi 1990 pada tahun 2050 dengan mengimplementasikan market-based cap-and-trade system.Hal ini akan segera dimulai dengan membuat suatu target pengurangan emisi tahunan sehingga bisa menyamai level emisi 1990 pada tahun 2020.Cap and trade program akan menggunakan mekanisme pasar dalam mengurangi emisi dengan biaya yang efektif dan fleksibel.Dengan program ini ambang batas emisi karbon nasional akan ditentukan. Emisi yang dikeluarkan di bagi sehingga tercapai angka ambang batas emisi yang diijinkan untuk tiap perusahaan. Karena batasan emisi ini, maka perusahaan yang mengeluarkan emisi akan mempunyai konsekuensi keuangan. Perusahaan bebas untuk memperjualbelikan sisa jatah emisinya. Perusahaan yang mampu mengurangi polusi dengan biaya rendah dapat menjual sisa jatah emisinya kepada perusahaan yang mengurangi emisi dengan biaya tinggi. Setiap tahun batas emisi akan terus dikurangi sesuai dengan target pengurangan emisi yang telah ditentukan.Para pemimpin dunia harus menjadi pemimpin dalam perang melawan pemanasan global dan mengatakan bahwa AS akan kembali berinteraksi dalam berbagai forum seperti UNFCCC.Semua negara harus berinisiatif aktif membentuk dan melanggengkan forum baru bagi para produsen gas rumah kaca terbesar yaitu dalam bentuk Global Energy Forum. Forum tersebut anggotanya terdiri dari negara-negara G8 ditambah Brazil, China, India, Meksiko dan Afrika Selatan (G8+5). Forum Energi Global ini akan bergabung dalam proses negosiasi yang lebih luas di PBB untuk membangun kerangka kerja pasca Protokol Kyoto.Transfer teknologi negara maju kepada Negara berkembang untuk melawan perubahan iklim dalam kerangka Technology Transfer Program. Negara maju sebagai empunya teknologi harus mempunyai kepedulian khusus terhadap deforestasi hutan hujan tropis dan akan menawarkan insentif bagi pemeliharaan hutan yang berkelanjutan.Kurangi pemanasan GlobalUntuk mengurangi pemanasan global, mari kita kurangi CO2, baik dari kendaraan bermotor, listrik, ataupun industri. Saya membaca satu poster di salah satu industri elektronik besar di Bekasi, bahwa setiap penghematan listrik 1 KWh = pengurangan CO2 sebesar 0,712 Kg, berarti setiap orang bisa ikut aktif dalam mengurangi pemanasan global, paling tidak dengan menghemat pemakaian listrik setiap bulannya.Dari manakah penghematan signifikan yang bisa kita dapat?Menurut penelitian yang dilakukan oleh salah satu BUMN di gedung2 komersial, pemakaian mesin pendinginlah (AC, chiller) yang paling besar memakai daya listrik, sekitar 60-70% dari seluruh tagihan listriknya.Dan tahukah teman2 Mesin pendingin menggunakan Freon (CFC, HFC, HCFC) sbg bahan pendinginnya, didalam freon mengandung Chlor & Fluor. Chlor adalah gas yang merusak lapisan ozon sedangkan Fluor adalah gas yang menimbulkan efek rumah kaca. Global warming potential (GWP) gas Fluor dari freon adalah 510, artinya freon dapat mengakibatkan pemanasan global 510 kali lebih berbahaya dibanding CO2, sedangkan Atsmosfir Life Time (ALT) dari freon adalah 15, artinya freon akan bertahan di atsmosfir selama 15 tahun sebelum akhirnya terurai.

http://bpm.bandaacehkota.go.id/penanganan-pemanasan-global/

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37125/Chapter%20I.pdf;jsessionid=4B194A283106838A7C66588273A5607C?sequence=5 (Rfrensi Sei Kera Hilir)

Strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim: Sebuah pendekatan holistis dan integratifMarch 2, 2013posted byWinartoinDaily StoriesPerubahan iklim: Sebuah faktaPerubahan iklim bukan lagi sebuah isu. Perubahan iklim adalah sebuah fakta yang harus dihadapi oleh masyarakat di bumi. Selain itu, perubahan iklim tidak hanya menjadi konsumsi para akademisi, pemerintah dan pelaku bisnis semata sebab topik ini telah menjadi pembicaraan masyarakat umum karena dampaknya yang dirasakan secara langsung dan nyata terasa. Media massa, baik cetak, elektronik maupun online turut meramaikan topik perubahan iklim tersebut dengan cara menyebarluaskan temuan-temuan penelitian terkait perubahan iklim termasuk memberitakan tantangan, kesempatan dan praktik-praktik masyarakat dalam upaya mencegah dan beradaptasi dengan perubahan iklim.Mengingat dampak yang ditimbulkan semakin luas dan signifikan, diperlukan penanganan yang komprehensif, integratif dan holistik. Ada dua konsep utama yang diperkenalkan untuk menghadapi dampak perubahan iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah sebuah upaya yang penting dilakukan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Secara singkat, mitigasi berarti sebuah usaha yang dilakukan untuk mencegah, menahan dan atau memerlambat efek gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global di bumi. Berkebalikan dengan mitigasi, adaptasi lebih kepada upaya yang dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim yang telah terjadi dan dirasakan oleh manusia di bumi. Mitigasi saja tidak cukup, demikian pula dengan hanya beradaptasi saja. Keduanya harus berjalan beririnan. Oleh sebab itu, baik mitigasi dan adaptasi sangat penting dilakukan secara bersama-sama dan terintegrasi dalam menghadapi perubahan iklim.Mengingat tema dan topik yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi sangat luas, tulisan ini lebih lanjut akan lebih fokus kepada adaptasi yang perlu dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim. Hal ini juga sesuai dengan tema lomba blog yang diselenggarakan oleh Oxfam mengenai praktik-praktik beradaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim.Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Meskipun demikian, mengingat kedua konsep mitigasi dan adaptasi begitu sangat berkaitan, pada beberapa bagian, tulisan ini juga harus menyinggung konsep dan praktik mitigasi perubahan iklim.Sebelum melangkah ke diskusi mengenai adaptasi terhadap perubahan iklim, mari sejenak mengulas secara singkat tentang perubahan iklim berupa penyebab, dampak yang mungkin ditimbulkan, hingga kemunculan upaya-upaya untuk mencegah dan beradaptasi dengan perubahan iklim yang terjadi. Oleh sebab itu, pada bagian selanjutnya, akan dibahas mengenai pengertian, penyebab, dampak dan seluk-beluk perubahan iklim yang tetap menjadi topik terpanas dalam penelitian, pengambilan kebijakan serta diskusi.Perubahan Iklim: Pengertian, Penyebab dan DampakDalam buku Bumi Makin Panas, secara lugas Meiviana dkk. Selaku penulis menjelaskan konsep perubahan iklim. Menurut buku tersebut, perubahan iklim adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia (Meiviana dkk, 2004, hal. 3).Perubahan iklim tersebut terjadi karena proses alam yang melibatkan gas rumah kaca sehingga disebut denganefek rumah kaca. Radiasi sinar matahari yang mencapai bumi dipantulkan kembali ke atmosfer bumi. Namun, tidak semua gelombang sinar matahari menembus atmosfer bumi, sebab ada gelombang cahaya yang ditangkap oleh gas-gas yang berada di atmosfer, atau gas rumah kaca yang berasal dari berbagai kegiatan manusia, terutama aktivitas industri dan setiap aktivitas yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara, seperti penggunaan kendaraan bermotor dan penggunaan alat-alat elektronik).Proses alamiah gas rumah kaca sebetulnya bermanfaat bagi kehidupan manusia, sebab membuat suhu bumi layak dihuni oleh manusia dan makhluk hidup. Namun, seiring dengan perkembangan industri yang semakin meningkat, penggunaan bahan bakar fosil yang tidak terkontrol, serta penebangan pohon dan hutan yang menjadi paru-paru dunia, menyebabkan akumulasi gas rumah kaca di atmosfer tidak terkendali. Akibat yang ditimbulkan adalah suhu di bumi mengalami peningkatan dan memberikan dampak yang serius bagi kelanjutan hidup penghuni bumi.Oleh karena peristiwa gas rumah kaca terjadi secara global, dampak yang ditimbulkan juga dirasakan oleh seluruh penduduk dan makhluk hidup dipermukaan bumi. Akibat suhu udara yang meningkat, es dan gletser mencari, terutama di Kutub Utara dan Kutub Selatan,yang pada akhirnya membuat ketinggian air laut naik. Dengan peristiwa ini, maka akan menimbulkan efek yang berbahaya terutama masyarakat yang tinggal di pesisir laut dan pulau-pulau kecil. Mereka terancam kehilangan tempat tinggal dan penghidupan.Akibat lain yang dihasilkan oleh perubahan iklim adalah kemungkinan terjadinya perubahan dan pergeseran musim. Para ahli memerkirakan bahwa dampak yang mungkin ditimbulkan dari perubahan iklim berupa musim kemarau dan kekeringan yang melanda bumi. Selain itu, juga akan timbul banyak angin kencang, namun dengan intensitas hujan yang berkurang (Melviana, dkk., 2004). Dengan peristiwa tersebut, maka akan muncul ancaman gagal panen bagi para petani hingga akan berdampak pada ketahanan dan keamanan pangan.Ancaman dampak perubahan iklim tersebut dimungkinkan akan merubah pola hidup manusia dan makhluk hidup, sebab juga berpeluang berkembangnya penyakit-penyakit baru yang bisa menyerang manusia, hewan dan tumbuhan. Di daerah tropis seperti Indonesia misalnya, akan berpeluang munculnya penyebaran penyakit seperti demam berdarah dan malaria. Jika peningkatan suhu bumi terus berlanjut, bisa dimungkinkan beberapa makhluk hidup yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan suhu akan mati.Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana mengatasi dan mencegah dampak dari perubahan iklim yang sudah nyata-nyata ada dan mengancam kelangsungan hidup penghuni bumi? Pada bagian selanjutnya, akan diuraikan mengenai berbagai cara beradaptasi yang dilakukan untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Seperti yang dijelaskan pada bagian pertama, bahwa mitigasi dan adaptasi adalah proses yang sejalan dan tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, selain fokus kepada strategi adaptasi terhadap perubahan iklim, bagian berikut juga akan menyinggung topik mitigasi perubahan iklim.Mencegah dan Beradaptasi dengan Perubahan IklimDampak perubahan iklim sudah sangat nyata. Perubahan iklim sebetulnya bukan peristiwa yang baru, sebab pada dasarnya iklim bumi senantiasa berubah. Tetapi, persoalan yang dihadapi sekarang adalah perubahan iklim yang terjadi lebih cepat akibat akumulasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Selain aktivitas industri dan aktivitas manusia yang menggunakan bahan bakar fosil, tindakan manusia yang melakukan penggundulan hutan secara membabi buta hingga paru-paru dunia berkurang secara signifikan, membuat perubahan iklim berlangsung lebih cepat. Akibat yang ditimbulkan atas perubahan iklim itu juga terlihat nyata.Ada dua langkah primer yang diambil, mitigasi (pencegahan) dan beradaptasi. Mitigasi pada prinsipnya adalah berbagai tindakan aktif untuk mencegah, memerlambat terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global dan mengurangi dampak perubahan iklim melalui penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan penyerapan gas rumah kaca. Menurut laporan UNEP (2008), ada 4 prinsip dalam mitigasi, yaitu: Eliminasi, dengan cara menghindari penggunaan alat-alat penghasil emisi gas rumah kaca, misalnya mengganti bola lampu pijar dengan lampu LED yang lebih hemat energy. Pengurangan, dengan cara mengganti peralatan lama dan/atau mengoptimalkan struktur yang sudah ada, misalnya melalui mematikan alat-alat listrik yang tidak terpakai, menggunakan energy secara hemat dan efisien. Substitusi: Penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik dan/atau pemanas, misalnya dengan memanfaatkan tenaga surya, angin, air, bio energi atau panas bumi sebagai pengganti bahan bakar fosil. Offset: cara ini berbiaya rendah, tetapi memiliki manfaat yang cukup besar. Langkah yang diambil adalah melalui reboisasi dan reforestasi. Cara ini harus dilakukan dengan cakupan yang besar sehingga sering menjadi kendala.Langkah kedua dalam menghadapi perubahan iklim adalah dengan melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan perubahan itu. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan proses yang terjadi secara alamiah yang dilakukan oleh manusia dan makhluk hidup lain dalam habitat dan ekosistemnya sebagai sebuah reaksi atas perubahan yang terjadi. Menurut definisi UNDP yang dikutip UNEP (2008), adaptasi adalah a process by which strategies aiming to moderate, cope with, and take advantage of the consequences of climate events are enhanced, developed and implemented. Di dalam laporan tersebut juga menyertakan 4 prinsip dalam proses adaptasi perubahan iklim yaitu; menempatkan adaptasi dalam konteks pembangunan, membangun pengalaman beradaptasi untuk mengantisipasi variabilitas perubahan iklim, memahami bahwa adaptasi berlangsung dalam level yang berbeda, terkhusus di level lokal dan memahami bahwa adaptasi adalah proses yang terus berjalan.Lebih lanjut, menurut UNEP (2008), untuk mencapai tujuan dari adaptasi di atas, perlu langkah-langkah strategies sehingga tepat sasaran dan meminimalkan kerugian dari perubahan iklim. Langkah-langkah adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut meliputi:1. Mendapatkan orang dan pihak yang tepat untuk terlibat dalam proses partisipatif. Hal ini didasari pada adaptasi perubahan iklim yang yang harus dilakukan secara terintegrasi dalam rencana dan program pembangunan. Dengan demikian, orang dan pihak yang terlibat; misalnya pemerintah, industri, masyarakat adat, masyarakat pesisir, NGOs; perlu duduk bersama membicarakan langkah-langkah yang ditempuh untuk beradaptasi dengan perubahan iklim dan menghasilkan keputusan melalui proses yang konprehensif.2. Mengidentifikasi kerentanan, meliputi risiko saat ini dan risiko potensial yang mungkin ditimbulkan. Setelah menentukan orang dan pihak terkait, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi risiko dan ancaman perubahan iklim, baik risiko saat ini maupun risiko jangka panjang.3. Penilaian kapasitas adaptasi. Hal ini berkaitan dengan properti yang dimiliki oleh pihak-pihak terkait dalam proses adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim. Penilaian kapasitas adaptasi ini penting untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim.4. Mengidentifikasi pilihan-pilihan adaptasi. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi pilihan-pilihan adaptasi yang mungkin dilakukan berdasarkan analisis risiko dan penilaian kapasitas adaptasi.5. Mengevaluasi pilihan. Jika pilihan-pilihan adaptasi sudah teridentifikasi, maka opsi-opsi tersebut perlu dipilih berdasarkan efektivitas, kemudahan dalam implementasi, penerimaan dari masyarakat lokal, dukungan dari ahli dan dampak sosial yang ditimbulkan.6. Implementasi. Tahap implementasi adalah tahap pelaksanaan pilihan adaptasi yang telah diputuskan untuk diambil dalam menyesuaikan diri dengan perubahan iklim.7. Monitor dan mengevaluasi adaptasi. Tahap terakhir adalah monitor pelaksanaan implementasi dan melakukan evaluasi atas pilihan adaptasi. Karena proses adaptasi adalah proses yang terus berjalan, dipenuhi dengan variabilitas dan cost yang ditimbulkan sulit untuk diperhitungkan/diprediksi, maka monitor dan evaluasi pilihan adaptasi perlu dilakukan.Pada bagian di atas sudah diuraikan secara singkat dan umum mengenai mitigasi perubahan iklim dan adaptasi. Lantas, pertanyaan dalam konteks Indonesia adalah, bagaimana sikap dan tindakan pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam menghadapi perubahan iklim? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada bagian berikutnya, akan didiskusikan secara khusus adaptasi yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, industri dan pihak-pihak terkait dalam menghadapi perubahan iklim.Adaptasi Perubahan Iklim dalam Konteks Indonesia

Ringkasan strategi adaptasi berdasarkan Adaptasi terhadap perubahan iklim: Policy briefSebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan bahari yang sangat melimpah serta produksi di sektor pertanian yang tinggi. Namun, kekayaan tersebut saat ini menghadapi tantangan dengan adanya perubahan iklim yang mengancam para petani, nelayan dan masyarakat yang tinggal di daerah yang rawan bencana, seperti mereka yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil, sebab mata pencaharian mereka tergantung pada sektor pertanian dan perikanan yang peka terhadap iklim. Hal ini karena perubahan iklim telah mengakibatkan terjadinya perubahan cuaca dan musim dan naiknya permukaan air laut sehingga memberikan ancaman bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup. Jika tidak segera diantisipasi, sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengandalkan aktivitas penghidupan dari sektor-sektor yang rentan terhadap iklim seperti pertanian dan perikanan akan sangat terpukul dan merasakan dampak perubahan iklim yang signifikan.Biaya yang ditimbulkan atas perubahan iklim memang belum bisa dikalkulasikan secara tepat. Namun yang pasti, melihat fakta-fakta perubahan iklim yang sudah nyata dan dampaknya yang mulai dirasakan, perlu segera diambil tindakan beradaptasi dengan perubahan iklim. Mengingat dampak perubahan iklim yang sudah nyata, misalnya kejadian cuaca yang lebih ekstrem, kenaikan permukaan air laut, kenaikan suhu air laut dan kenaikan suhu udara, pemerintah bersama dengan segenap pihak terkait perlu segera bertindak untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan atau bencana yang mungkin terjadi.Dengan memerhatikan sektor-sektor yang potensial terkena dampak perubahan iklim, ada beberapa hal yang perlu segera dilakukan untuk beradaptasi. Sesuai dengan kerangka adaptasi yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, cara, metode dan opsi adaptasi perlu diimplementasikan dan diintegrasikan dengan rencana pembangunan, dengan tujuan melindungi dan masyarakat yang terkena dampak langsung perubahan iklim. Oleh karena itu, menyadari Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim, pemerintah lantas menyusun Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim. Upaya-upaya adaptasi tersebut berguna sebagai dasar pembuatan rencana antisipasi, mulai dari penyebarluasan informasi, tindakan dan penanganan, hingga pelibatan masyarakat.Dalam bentuk apa sajakah adaptasi perubahan iklim dilakukan? Di sektor pertanian misalnya, para petani perlu segera mempertimbangkan varietas tanaman dengan disertai pengelolaan dan cara penyimpanan air dan irigasi yang baik, sedangkan masyarakat di daerah pesisir, perlu mempertimbangkan mengatasi permasalahan kenaikan air laut melalui strategi membuat perlindungan dengan menanam pohon mangrove, mundur dan bermukim di daerah jauh dari pantai atau melakukan penyesuaian dengan mencari sumber pekerjaan lain. Di bidang kesehatan, karena perubahan iklim rentan terhadap penyebaran penyakit, misalnya demam berdarah atau malaria, diperlukan pengawasan penyebaran penyakit tersebut agar tidak terjadi wabah penyakit di tengah masyarakat.Rahmasari (2011) menguraikan strategi adaptasi fisik, adaptasi sosial ekonomi dan adaptasi sumber daya manusia melalui pendekatan proaktif dan reaktif. Strategi adaptasi fisik dapat dilakukan dengan pendekatan proaktif yaitu dengan menanam tanaman yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka laut, hantaman gelombang besar dan rob dan pendekatan reaktif yaitu dengan mengejar musim dan pengelolan terumbu karang. Strategi adaptasi sosial ekonomi dengan pendekatan proaktif melalui penggunaan bioteknologi di bidang budidaya tanaman yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir dan pendekatan reaktif yaitu masyarakat pesisir beralih ke mata pencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan iklim. Strategi adaptasi sumber daya manusia dapat dilakukan dengan cara manajemen pasca panen yaitu dengan memperhatikan penangkapan ikan di atas kapal sampai pada ikan tersebut siap diolah lebih lanjut atau dipasarkan, pola nafkah ganda yang bertujuan mendapatkan pendapatan alternatif dan melakukan kegiatan usaha di luar perikanan.PenutupBahwa biaya(cost)dampak perubahan iklim memang sulit dihitung dan diprediksi, namun karena dampak itu sudah nyata dirasakan, maka mengevaluasi dan memonitor langkah-langkah adaptasi yang telah dipilih dan disesuaikan dengan kapasitas adaptasi masyarakat sangat penting dilakukan karena jika terjadi permasalahan dapat segera diatasi dan ditanggulangi.Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak bagi masyarakat di seluruh dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Setiap langkah adaptasi yang diambil perlu disesuaikan dengan program-program pembangnan sebab berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, keamanan pangan, pengendalian penyakit, perencanaan kota dan pengelolaan bencana. Oleh sebab itu, karena perubahan iklim memberi dampak pada semua sektor, maka penanganannya pun harus dilakukan secara holistik dan terintegrasi dengan melibatkan segenap elemen masyarakat dan pemerintah.Akhirnya, bumi dan alam telah berubah. Sebagaimana teorisurvival the fittest,bahwa hanya yang bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan-lah yang akan survive dan lestari, maka manusia dan makhluk hidup lainnya perlu menyesuaikan diri dengan perubahan iklim yang saat ini dampaknya sudah nyata. Manusia sebagai makhluk yang dikarunia akal budi oleh Sang Pencipta memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga kelestarian alam dan tidak merusak lingkungan.Referensi bacaan:Meiviana, dkk. (2004). Bumi Makin Panas Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia.Simpson, M.C., Gssling, S., Scott, D., Hall, C.M. and Gladin, E. (2008)Climate Change Adaptation and Mitigation in the Tourism Sector: Frameworks, Tools and Practices.UNEP, University of Oxford, UNWTO, WMO: Paris, France.UNDP. (2007). Sisi lain perubahan iklim Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. Diakses darihttp://www.undp.or.id/pubs/docs/UNDP%20-%20Sisi%20Lain%20Perubahan%20Iklim%20ID.pdf.Adaptasi terhadap perubahan iklim: Policy brief. Di akses darihttp://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1235115695188/5847179-1258084722370/Adaptasi.terhadap.Perubahan.Iklim.pdf.Supriyatna, Jatna. Dampak Perubahan Iklim terhadap Kemiskinan. 8 Mei 2012. Diakses darihttp://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11075Rahmasari, Lisda. (2011). Strategi adaptasi perubahan iklim bagi masyarakat pesisir. Jurnal Sains dan Teknologi MARITIM, 10 (1), diakses darihttp://www.unaki.ac.id/index.php/ejournal/jurnal-ilmiah/134-strategi-adaptasi-perubahan-iklim-bagi-masyarakat-pesisir.http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim/adaptasi/http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/11/strategi-untuk-mengurangi-dampak-ekstrem-perubahan-iklimhttp://eprints.undip.ac.id/36496/1/bab_1-3.pdfhttp://www.pdii.lipi.go.id/read/2012/02/15/adaptasi-mitigasi-masyarakat-pesisir-dalam-menghadapi-perubahan-iklim-dan-degradasi-sumber-daya-laut.htmlhttp://www.aipi.or.id/en/news-and-messages/events/162-mengarusutamakan-adaptasi-terhadap-perubahan-iklim-dalam-agenda-pembangunanhttp://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=319http://www.satudunia.net/content/indepth-reportbelajar-upaya-adaptasi-perubahan-iklim-dari-semaranghttp://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/197212031999031-WAHYU_SURAKUSUMAH/Adaptasi_dan_mitigasi.pdfhttp://www.mongabay.co.id/2012/12/14/mayoritas-orang-indonesia-sadar-dampak-perubahan-iklim-namun-gagal-lakukan-adaptasi/http://rumahiklim.org/resources/apa-itu-redd-sebuah-panduan-untuk-masyarakat-adat-2010/http://yogas09.student.ipb.ac.id/tolong-sisakan-mangrove-untuk-anak-cucu-kamii/http://teguhalkhawarizmi.wordpress.com/2013/02/22/merawat-bakau-menjaga-hutan-bambu-melawan-pemanasan-global/http://www.streamindonesia.org/resource-center/mitigasi-perubahan-iklim?language=id

Perubahan iklim yang terjadi dewasa ini membuat negara-negara di belahan dunia ini termasuk juga Indonesia sangat rentan terhadap bencana, kelaparan, kemiskinan dan penyakit. Kepala Bidang Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Dadang Hilman, MA mengungkapkan hal itu dalam suatu seminar di Medan. Mengutip sebuah laporan, ia mengatakan, Indonesia salah satu negara yang rentan terhadap bencana yang terkait dengan perubahan iklim seperti halnya pemanasan global. Kemungkinan pemanasan global itu akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim yang pada gilirannya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar pada berbagai belahan dunia. Di Indonesia selama periode 2003-2005 terjadi 1.429 bencana. Sekitar 53,3 persen adalah bencana terkait dengan hidro-meteorologi. Banjir adalah bencana yang sering terjadi atau sebanyak 34 persen dan diikuti bencana longsor sebanyak 16 persen. Pada seminar Nasional Lingkungan Hidup dengan tema Pelestarian Lingkungan Dalam Upaya Mengurangi Dampak Pemanasan Global di Universitas Negeri Medan (Unimed) itu, ia mengatakan, pemanasan global ditandai dengan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi. Hal tersebut sebagai akibat peristiwa efek rumah kaca yaitu terperangkapnya radiasi matahari yang seharusnya dipancarkan kembali ke angkasa luar namun tertahan oleh lapisan akumulasi Gas Rumah Kaca di atmosfer. Berbagai tindakan aktif untuk mencegah terjadinya perubahan iklim dan mengurangi dampak pemanasan global dapat dilakukan dengan upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca ( GSK). Selain itu juga telah dilakukan berbagai kebijakan seperti di bidang kehutanan dengan penanggulangan illegal logging, rehabilitasi hutan dan lahan, serta konservasi, restrukturisasi sektor kehutanan, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan sebagainya. Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2006, disebutkan bahwa kerugian global akibat perubahan iklim diperkirakan akan mencapai 4,3 triliun dolar. Kerugian ini akan menjadi tanggungan negara-negara berkembang dan miskin yang relatif memiliki keterbatasan adaptif akibat keterbatasan modal dan teknologi. Agus Wirawan.

PERUBAHAN IKLIMDunia Rentan Terhadap Bencana Akibat Perubahan IklimMedan (ANTARA News) Perubahan iklim yang terjadi dewasa ini membuat negara-negara di belahan dunia ini termasuk juga Indonesia sangat rentan terhadap bencana.Kepala Bidang Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Dadang Hilman, MA mengungkapkan hal itu dalam suatu seminar di Medan, Minggu.Mengutip sebuah laporan, ia mengatakan, Indonesia salah satu negara yang rentan terhadap bencana yang terkait dengan perubahan iklim seperti halnya pemanasan global.Kemungkinan pemanasan global itu akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim yang pada gilirannya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar pada berbagai belahan dunia.Di Indonesia selama periode 2003-2005 terjadi 1.429 bencana. Sekitar 53,3 persen adalah bencana terkait dengan hidro-meteorologi. Banjir adalah bencana yang sering terjadi atau sebanyak 34 persen dan diikuti bencana longsor sebanyak 16 persen, katanya.Pada seminar Nasional Lingkungan Hidup dengan tema Pelestarian Lingkungan Dalam Upaya Mengurangi Dampak Pemanasan Global di Universitas Negeri Medan (Unimed) itu, ia mengatakan, pemanasan global ditandai dengan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi.Hal tersebut sebagai akibat peristiwa efek rumah kaca yaitu terperangkapnya radiasi matahari yang seharusnya dipancarkan kembali ke angkasa luar namun tertahan oleh lapisan akumulasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer.Berbagai tindakan aktif untuk mencegah terjadinya perubahan iklim dan mengurangi dampak pemanasan global dapat dilakukan dengan upaya penurunan emisi GRK.Selain itu juga telah dilakukan berbagai kebijakan seperti di bidang kehutanan dengan penanggulangan illegal logging, rehabilitasi hutan dan lahan, serta konservasi, restrukturisasi sektor kehutanan, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan sebagainya.Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2006, disebutkan bahwa kerugian global akibat perubahan iklim diperkirakan akan mencapai 4,3 triliun dolar.Kerugian ini akan menjadi tanggungan negara-negara berkembang dan miskin yang relatif memiliki keterbatasan adaptif akibat keterbatasan modal dan teknologi, katanya.Penyebab pemanasan globalEfek rumah kacaSegala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 C (59 F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 C (59 F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.Efek umpan balikAnasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi MatahariTerdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat keterangan dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat keterangannya selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Frhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinarkosmis.Mengukur pemanasan global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna LoaPada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 C (2.0 hingga 11.5 F) antara tahun 1990 dan 2100.IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.Model iklim

Prakiraan peningkatan temperature terhadap beberapa skenario kestabilan (pita berwarna) berdasarkan Laporan Pandangan IPCC ke Empat. Garis hitam menunjukkan prakiraan terbaik; garis merah dan biru menunjukkan batas-batas kemungkinan yang dapat terjadi.

Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.Artikel utama untuk bagian ini adalah: Model iklim globalPara ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 C hingga 6.4 C (2.0 F hingga 11.5 F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. [21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.Dampak pemanasan globalPara ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.Iklim Mulai Tidak StabilPara ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.Peningkatan permukaan laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 25 cm (4 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 88 cm (4 35 inchi) pada abad ke-21.Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.Suhu global cenderung meningkatOrang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.Gangguan ekologisHewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.Dampak sosial dan politikPerubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.PERUBAHAN IKLIM DAN DAMPAKNYA BAGI KEHIDUPANPernahkah anda mendengar tentang rumah kaca? Rumah yang atap dan dindingnya terbuat darikaca. Rumah ini biasa digunakan untuk pembibitan pada kegiatan perkebunan dan berfungsi untuk menghangatkan tanaman yang berada di dalamnya. Sebagai ilustrasi, pernahkah andaberada di dalam sebuah mobil yang tertutup, di bawah panas terik matahari? Bagaimana rasanya? Panas bukan? Hal ini disebabkan oleh sinar matahari yang masuk menembus kaca mobil membuat seisi mobil menjadi panas. Panas matahari tersebut terperangkap di dalam mobil, tidak dapat menembus ke luar kaca mobil. Hal di atas juga terjadi pada bumi, di mana radiasi yang dipancarkan oleh matahari, menembus lapisan atmosfer dan masuk ke bumi. Radiasi matahari yang masuk ke bumi dalam bentuk gelombang pendek menembus atmosfer bumi dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi.Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun sayangnya, tak semua gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar karena sebagian dihadang dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer disebut gas rumah kaca(GRK). Akibatnya radiasi matahari tersebut terperangkap di atmosfer bumi. Karena peristiwa ini berlangsung berulang kali, maka kemudian terjadi akumulasi radiasi matahari di atmosfer bumi yang menyebabkan suhu di bumi menjadi semakin hangat. Peristiwa alam ini dikenal dengan efek rumah kaca (ERK), karena peristiwanya serupa dengan proses yang terjadi di dalam rumah kaca. Jadi peristiwa efek rumah kaca bukanlah efek yang ditimbulkan oleh gedung-gedung kaca, seperti yang selama ini sering disalahartikan. Peristiwa ERK menyebabkan bumi menjadi hangat dan layak untuk ditempati manusia. Jika tidak ada ERK, maka suhu permukaan bumi akan 33C lebih dingin dibanding suhu saat ini. Namun berbagai aktivitas manusia, terutama prosesindustri dan transportasi, menyebabkan GRK yang diemisikan ke atmosfer terus meningkat. Alhasil, terjadilah perubahan komposisi GRK di atmosfer. Hal ini kemudian menyebabkan radiasi yang dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke luar angkasa terhambat sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi panas di atmosfer.Dalam Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC), ada enam jenis gas yang digolongkan sebagai GRK, yaitu karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs). GRK terutama dihasilkan dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) seperti pada penggunaan kendaraan bermotor dan penggunaan alat-alat elektronik. Selain itu penebangan pohon, penggundulan hutan serta kebakaran hutan juga merupakan sumber emisi GRK.Singkat kata, meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer akibat aktivitas manusia di berbagai belahan dunia, menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Akibatnya,suhu rata-rata di seluruh permukaan bumi meningkat. Peristiwa ini disebut Pemanasan Global. Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsurunsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim.Tabel Indeks Potensi Pemanasan GlobalBeberapa GRK Terhadap CO2dalam Waktu 100 tahun (GWP 1994)Jenis gas Indeks potensiCo21CH421N2O310HFCs500SF69200

Dampak Perubahan Iklimmemuat dampak perubahan iklim yang sudah dan yang mungkin akan terjadi di masa depan. Salah satu kesimpulannya, pemanasan global akan memberi dampak negative yang nyata bagi kehidupan ratusan juta warga di dunia. Salah satunya adalah meningkatnya suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang. Ini akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin mencair. Dampaknya panen gagal, yang hingga tahun 2050 membuat 130 juta penduduk dunia terutama di Asia mengalami kelaparan. Pertanian gandum di Afrika juga bernasib sama. Pemanasan global juga membuat permukaan laut meningkat, lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin meningkat. 30% garis pantai di dunia lenyap pada 2080. Lapisan es di kutub mencair hingga terjadi aliran air di Kutub Utara dan membuat Terusan Panama terbenam.Naiknya suhu udara akan memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai. Banyak tempat yang kering akan makin kering, sebaliknya sejumlah tempat yang basah akan makin basah. Hal ini membuata distribusi